S E W A K T U fihak Ui menghujani
panah, karena tak mengenakan thiat-kah, banyak sekalilah serdadu Ceng yang luka
dan binasa. Beberapa kali, mereka gagal untuk meloloskan diri. Apipun makin
mengganas. Beribu-ribu mayat serdadu Ceng yang terbakar itu, mengeluarkan bau
sangit dan busuk, membuat orang sama muak.
Dalam keadaan yang sangat genting
itu, tiba-tiba Ciauw Cong munCul dengan sepasukan serdadu Ceng. Begitulah
karena diserang dari luar dan dalam akhirnya bobollah pasukan Ui. yang
menghadang dipintu timur itu. Tiau Hwi dapat lolos dengan selamat.
“Sayang, sayang!” Bok To Lun
bantingdua kakinya.
“Saudara. pemimpin kompi 4 dari
pasukan Ang Ki. Bantulah saudara.dua kita dipintu timur itu. Pertahankan
mati-matian,” titah
Ceng Tong dari tempat yang
tinggi.
Pemimpin itu Cepat membawa anak
buahnya kesana. Karena Tiau Hwi sudah lolos, maka sisa pasukan Ceng yang masih
berada dalam kota itu, seperti kehilangan pimpinan. Keempat pintu, dijaga
rapat-rapat oleh fihak Ui. Mereka ber serabutan lari sana sini, akhirnya terbakar
binasa.
“Nyalakan ‘long-yan’!” perintah
Ceng Tong.
“Long-yan” atau asap serigala
biasa dipakai sukudua bangsa digurun pasir untuk saling memberi kabar, jakni
membakar segunduk besar kotoran serigala yang kering. Maka sebentar saja,
segulung asap raksasa membumbung keudara. Asap dari bahan kotoran binatang itu,
paling tebal. Bisa terlihat pada jarak berpuluh li didaerah padang sahara situ.
“Ah, buat apa asap itu?” tanya
Ciu Ki pada Thian Hong.
“Untuk menyampaikan berita pada
orang yang berada di tempat jauh”, sahut yang ditanya. Memang benar, tak bera
lama kemudian, kira-kira 10an li dari sebelah barat, kelihatan membumbung asap
besar.
“Itu dia, disana ada orang
menyahuti pertandaan itu, dan menyampaikannya pada Kawan-kawan nya dilain
tempat. Cepat sekali pertandaan itu, akan sudah tersiar beberapa ratus li
jauhnya”, kata Thian Hong.
Ciu Ki meng-angguk-angguk kepala
memujinya.
Berturut-turut dalam tiga kali
perang, fihak Ui telah dapat kemenangan besar. Lebih dari tiga 0 ribu anak buah
tentara Ceng dapat dibinasakan. Beribudua anak buah tentara Ui itu saling
berpelukan, karena girangnya. Disebelah luar kota Yarkand, mereka sama menyanyi
dan menari. Ceng Tong suruh semua pemimpin kompi berkumpul.
“Kini saudara.dua boleh mengaso
di-tempatdua menurut penetapan renCana kita. Malam nanti, perintahkan setiap
anak buah kita, membakar 10 gunduk api unggun. Jarak setiap api unggun itu
sedapat mungkin harus jauh!”
Kini kita tengok induk pasukan
bendera kuning dari fihak Ceng, yang berada dibawah pimpinan Tek Ngo. Mereka
terus kejar kompi tiga dari Hek Ki pasukan Ui yang lari keba-rat. Tunggangan
dari kompi pasukan Ui, semua kada pilihan yang dapat lari pesat. Kini mereka
sampai menyusup masuk ketengah padang pasir raja.
Karena mendapat perintah dari
Tiau Hwi, harus terus mengejar dan membasmi pasukan Ui, maka Tek Ngo terus
lakukan pengejaran. Sampai 10an li lagi, sekonyong-konyong dari sebuah lamping
jalan, munCullah beberapa ratus ekor sapi dan kambing.
Melihat itu, serdadudua Ceng
menjadi lupa daratan dan girang bukan kepalang. Mereka berebutan menangkapinya.
Setelah berhenti untuk makan, mereka lanjutkan lagi pe ngejarannya.
Kompi tiga dari pasukan Hek Ki
itu dapat bertemu dengan kompi I dari pasukan Pek Ki. Keduanya terus samadua
lari, tak mau tempur orang Ceng. Petang hari, mereka sudah keCapaian. Tiba-tiba
kelihatan asap membumbung dari sebelah timur, maka berserulah pemimpin Hek Ki
kompi I itu dengan girang. “Chui-ih-ui-sam sudah mendapat kemenangan, mari kita
balik kearah timur lagi!”
Kini adalah orang-orang Ceng yang
menjadi heran, mengapa orang-orang Ui itu sekonyong-konyong balik. Dan yang
mengherankan lagi, saat itu orang-orang Ui putar lagi kudanya kebelakang, terus
lari kebarat.
“Sampai keujung langitpun, kita
tetap mengejarmu!” seru Tek Ngo.
Pasukan Ceng itu, adalah pasukan
istimewa yang langsung dibawah perintah kaisar Boan. Dalam Pat-ki-peng, delapan
pasukan, pasukan panji kuning itu menduduki tempat pertama.
Karena ingin mendirikan pahala,
Tek Ngo tak mau sudah. Berturut-turut jatuhlah binatang kuda anak buahnya,
saking lelahnya. Pemimpin itu suruh serdadudua yang kehilangan tunggangannya,
menggabung diri dalam pasukan darat. Dan pengejaran tetap diperhebat.
Hampir setengah malam mengejar
itu, beberapa pongga wa dibarisan muka datang melaporkan: “TayCiangkun Tiau
Hwi, berada disamping kanan.”
To-thong Tek Ngo, buru-buru
menyambut. Tampak olehnya, ngenes sekali keadaan jenderal besar itu. Itu waktu,
dia hanya membawa kira-kira tiga ribu tentara saja. Itupun dalam keadaan tak
keruan macamnya.
Melihat kedatangan pasukan
istimewa itu, semangat Tiau Hwi kembali terbangkit. Pikirnya: “Setelah
memperoleh kemenangan, musuh pasti lengah. Pada kesempatan yang tak mereka duga
ini, kalau kuhantam, pasti kekalahanku tadi dapat kutebus”.
Cepat berpikir demikian, Cepat
pula dia perintahkan menuju ke Sungai Hitam lagi. Kira-kira dua-tiga puluh li
berja lan, serdadu dimuka melapor, induk pasukan Ui berkemah disebelah depan.
Tiau Hwi ajak Ciauw Cong, Horta
dan beberapa orang naik kesebuah tanjakan tinggi untuk melihatnya.
Tapi apa yang tertampak,
mengejutkan hati mereka. Di sana, dibarisan bukit dan diseluruh daerah padang
pasir itu, tampak ditaburi dengan api unggun. Jumlahnya terbilang ribuan tak
dapat dihitung. Dan samardua kedengaran suara dan ringkik kuda yang yang
berisik sekali. Tiau Hwi kemekmek.
“Kiranya orang Ui sembunyikan.
selaksa tentaranya disini. Ah, makanya kita kena dikalahkan,” kata Horta.
Pada hal, sebenarnya itulah tipu
siasat Ceng Tong yang lihai. Lebih dulu dia merenCanakan siasat untuk rnemeCah
musuh menjadi 4 pasukan. Kemudian dengan pasukan yang besar jumlahnya nona itu
berhasil musnakan keempat pasukan tersebut., satu demi satu.
Dan siasat Ceng Tong agar anak
tentaranya membuat api unggun itu, sungguh menggemparkan jenderal Ceng
tersebut.
“Lekas mundur kesebelah selatan,
tak boleh terlalu beri-sik,” perintah Tiau Hwi segera.
Anak tentara Ceng tak sempat
makan, terus naiki kudanya masing-masing.
“Menurut keterangan penunjuk
jalan, kalau keselatan tentu kita akan lewat dikaki gunung Ingkiban. Pada musim
salju, jalanan disitu sukar dilalui,” kata Horta.
“Ya, tapi jumlah musuh sedemikian
besarnya. Coba kau lihat disemua penjuru, adalah barisan mereka. Hu Tek Ciangkun
membawa tentaranya melalui padang Gobi. Kalau kita hendak lolos, jalan
satuduanya hanya menuju kearah tenggara untuk menggabungkan diri dengan mereka
(Hu Tek),” sahut Tiau Hwi.
“Ah, Ciangkun sungguh pandai
mengurus ketentaraan,” puji Horta.
Tiau Hwi hanya menjengek. Dalam
keadaan terpeCun dang, kata-kata semacam itu, rasanya seakan-akan sindiran
baginya.
Begitulah, pasukan besar dibawah
pimpinan Tiau Hwi, segera berangkat. Perjalanan makin lama makin sukar dan
berbahaya. Disebelah kiri Sungai Hitam. Sedang disebelah kanan jalan, adalah
gunung Ingkiban. Pada malam hari, bulan dan bintang tak tampakkan diri. Hanya
dipunCak gunung, tampak Cahaja putih dari salju yang menutupinya.
“Siapa yang berani mengeluarkan
sedikit suara saja, dihukum tabas,” Tiau Hwi keluarkan perintah.
Anak buah tentara Ceng itu,
berasal dari daerah Liauw-tang. Tahu mereka kalau sedang melintasi jalanan
gunung yang bertutupkan salju tebal. Sedikit saja mereka mengeluarkan suara,
bisa menimbulkan benCana salju longsor yang hebat. Karenanya, mereka berlaku
luar biasa hati-hati untuk turun dari kudanya dan berjalan kaki.
Jalanan makin menanjak dan sangat
berbahaya. Syukur, hari sudah mulai terang tanah. Sehari semalam melakukan
pengejaran, payahlah rasanya serdadudua itu, dan juga kuda tunggangannya. Wajah
mereka tampak lesu puCat. Tiba-tiba dibarisan depan, terdengar orang berteriak,
menyatakan tentara Ui menyerang dari sebelah muka. Pasukan pilihan dari Tek Ngo
segera maju menyambutnya.
Tampak beberapa ratus orang Ui
yang menunggang kuda, menukik turun dari atas gunung. Sewaktu hampir dekat,
tiba-tiba mereka sama turun dari kudanya, terus memutar bina tangnya itu.
Mereka melolos badidua ditusukkan pada paha kuda. Karena sakit, kuda itu
menjadi beringas, terus kabur meneryang kearah pasukan Ceng.
Karena jalanan sempit, banyak
sekalilah serdadu Ceng yang keteryang kuda itu, ber-samadua jatuh kedalam
jurang. Sudah begitu, orang-orang Ui itu Cepat mengambil sebuah jalan singkat,
terus naik keatas gunung lagi. Dari situ, mereka menggelundungkan batu-batu
besar, sehingga sekejab saja, jalanan itu tertutup.
Tek Ngo perintahkan tentaranya
mundur. Tapi anak buahnya dibarisan belakang sama berteriak, jalanan dibelakang
pun sudah ditutup oleh orang Ui.
Tak ada lain pilihan bagi Tek
Ngo, selain meneryang kemuka. DipunCak gunung Ingkiban kelihatan sang Bulan
Sabit berkibardua. Dibawah panjidua itu, ada belasan orang Ui tengah memimpin
penyerangan.
“Teryang sekuat-kuatnya kesebelah
selatan, tak perduli kita harus berkorban besar,” perintah Tiau Hwi.
Pasukan thiat-kah segera
membersihkan jalan, dengan membuangi mayat serdadudua dan kuda, kedalam sungai.
Di antara bunyi genderang yang membisingkan telinga itu, mereka meneryang
kemuka.
Yang menghadang, ternyata hanya
beberapa puluh orang Ui. Tapi karena jalanan keliwat sempit, sekalipun pasukan
Ceng itu berjumlah besar, tapi tak dapatlah mereka berhasil membobolkan dengan
seketika. Dalam pada itu, barisan belakang dari tentara Ceng itu, terus menerus
maju saja, sehingga kini jalanan itu penuh sesak dengan orang.
Mendadak orang-orang Ui yang
menghadang tadi, mundur dan menghilang. Dan sebagai gantinya, dibelakang sana
tampak berjajardua Berpuluh-puluh meriam. Melihat itu, terbanglah semangat
serdadudua Ceng tersebut. Dengan berteriakdua ketakutan, mereka membalik badan
terus lari.
Meriamdua yang terbuat dari tanah
itu, lantas muntahkan peluru. Tapi sayangnya, meriamdua itu hanya dapat
dibidikkan sekali. Untuk mengisikan obat pasang lagi, harus makan waktu sampai
setengah harian. Walaupun demikian, dapat juga meriamdua itu membinasakan
kira-kira duaratus serdadu Ceng dan menghalau serbuan musuh.
Tiau Hwi seperti orang kebakaran
jenggot. Gelisah dan marah sekali. Tiba-tiba dia mendengar suara berkesiur dan
lehernya terasa dingin sekali. Kiranya itulah segelundung salju yang kecil,
menimpa diatas bayunya. Ketika mendongak keatas gunung, ternyata salju yang
menutupi pun-Caknya itu, pelahan-lahan mulai melongsor kebawah.
“TayCiangkun, Celakalah! Lekas
mundur kebelakang!” seru Horta.
Tiau Hwi Cepat putar kudanya,
terus lari kebelakang.
Keadaan anak buah pasukannya,
menjadi kalut. Mereka saling desak, sehingga banyak sekali yang keCemplung
dalam sungai. Sedang begitu, longsoran salju itu makin menderu keras. Dan tak
berapa lama kemudian, gumpalan salju berCampurkan batu-batu gunung
menggelundung kebawah, bagaikan bumi peCah. Suaranya jauh lebih dahsyat dari
penyerangan ribuan pasukan berkuda.
Tiau Hwi tengkurapkan tubuhnya
keatas pelana. Horta dan Ciauw Cong mengawalnya dikanan kiri. Setelah dapat
melarikan diri sampai tiga li jauhnya, baru dia berani menoleh kebelakang.
Apa yang dilihatnyai membuat bulu
romanya berdiri. Jalanan digunung tadi, tertutup dengan salju setebal beberapa
tombak. Beberapa ribu pasukan istimewa dibawah pimpinan to-thong Tek Ngo tadi,
semua terpendam hidup-hidup dibawahnya.
Melihat kemuka, jenderal itupun
menjadi kesima lagi. Disana, jalanan pun penuh tertutup salju, tak mungkin
dilalui. Banyak sekali sudah Tiau Hwi keluar dalam peperangan. Selama itu,
hanya kemenangan yang selalu diperolehnya. Belum pernah dia dipeCundangi,
apalagi kekalahan total seperti itu. Empat laksa pasukan istimewa, dalam sehari
dua malam saja telah) dimusnakan musuh. Dada jenderal itu berombak keras, dan
tiba-tiba dia menangis menggerung-gerung.
“Ciangkun, kita ambil jalan
keatas gunung saja,” kata Ciauw Cong.
Dipimpinnya tangan jenderal
peCundang itu, untuk mendaki keatas. Horta pun gunakan kepandaiannya berjalan
Cepat, untuk mengikuti dan melindungi Ciangkun dari belakang.
Itu waktu Ceng Tong tengah berada
disalah sebuah pun Cak gunung, untuk mengawasi jalannya pertempuran.
“Ada musuh lolos, Ayo, lekas
hadang!” tiba-tiba ia berseru demi melihat Ciauw Cong membawa jenderal Ceng
itu.
Yang dititah Ceng Tong untuk
menjaga gunung Ingki-ban, adalah pasukan Mongol. Maka beberapa serdadu Mongol
segera menjalankan titah itu, terus menCegatnya. Sewaktu sudah dekat dan mengetahui
bahwa ketiga pelarian itu mengenakan pakaian pembesar Ceng, mereka girang
sekali.
Hendak mereka tangkap
hidup-hidupan.
Tiau Hwi mengeluh dalam hatinya.
Sudah menderita kekalahan hebat, masih ada kemungkinan besar ditawan musuh.
Sungguh suatu penghinaan yang belum pernah diala mi seumur hidupnya.
Ciauw Cong berlaku waspada, terus
mendaki keatas. Dengan sebelah tangan memondong Tiau Hwi, jago Bu Tong Pai itu
masih linCah berjalan diatas gunung salju dengan gesitnya. Sebaliknya, Horta,
sekalipun hanya memba wa dirinya sendiri, masih tak dapat mengikuti Ciauw Cong.
Diam-diam dia sangat mengagumi orang she Thio itu.
Tiba-tiba dipunCak gunung,
Berpuluh-puluh serdadu Mongol itupun segera menyergapnya. Ciauw Cong Cepat
kempit Tiau Hwi, sekali dia gerakkan kakinya dalam gerak “it-ho-jong-thian”
atau burung ho menobros langit, tubuhnya melambung keatas. Serdadudua Mongol
itu menubruk angin, dan saling berbenturan sendiri. Ada yang kepalanya benjol
ada yang hidungnya pisek. Tatkala mereka akan mengejar lagi, Ciauw Cong sudah
lari kebawah.
Hendak Horta mengikutinya, tapi
dia kurang Cepat, dan dapat ditubruk oleh seorang musuh. Keduanya
bergelundungan ketanah. Beberapa kawannya maju membantu, meringkus orang Boan
itu, terus diseret kehadapan Ceng Tong.
Pada saat itu, pemimpindua dari
masing-masing kompi sudah berada diatas untuk melaporkan hasilnya. Pasukan
panji kuning dari tentara Ceng, keseluruhannya musna. Hanya beberapa orang yang
dapat lolos, antaranya Ciauw Cong yang menyelamatkan Tiau Hwi dan beberapa orang
yang sangat tangkas.
Ceng Tong bersama rombongannya
kembali kemarkasnya. Markas besar Ceng telah dapat dipukul peCah, serdadudua
yang tertawan, ransum dan alatdua senjata yang terampas, tak terhitung banyak
sekalinya.
Yang per-tamadua dikerjakan,
ialah membebaskan orang-orang Ui yang tertawan dalam markas besar tentara Ceng
itu. Diantaranya, adalah keempat persaudaran Ho Lun, itu manusia raksasa.
Menurut laporan serdadudua Ui, ketika mereka memasuki markas besar musuh,
keempat raksasa itu kedapatan diikat kaki tangannya dan ditaruh
di-tengah-tengah markas. Tan Keh Lok menanyakan keterangan pada mereka
berempat.
“Tiau-Ciangkun persilakan kamu
membantu fihakmu. Kami akan d’.hukum potong kepala. Pelaksanaannya tunggu kalau
sudah dapat mengalahkan fihak Ui”, Tay Houw memberi keterangan.
“Nah, kalau kalian ikut kami
bagaimana?” tanya Keh Lok.
Keempat saudara itu berlutut,
menghaturkan terima kasih.
“Kalau KongCu suka terima kami,
tentu saja kami akan setia. Apa saja yang KongCu perintahkan, pasti akan kami
kerjakan,” kata mereka.
Tan Keh Lok tersenyum, katanya
kepada Ceng Tong: “Bagaimana kalau kuminta keempat orang ini?”
“Boleh, KongCu ambillah”, sahut
Ceng Tong.
Keh Lok perintahkan Sim Hi,
supaya keempat raksasa itu masing-masing diberi hadiah 5 tail emas, dan
diajarkan peraturan dari perkumpulan. Dengan kegirangan, keempat raksasa itu
mengikut S’m Hi.
Pada saat itu, pemimpin kompi
tiga Ang Ki yang disuruh ngejar Tiau Hwi dan sisadua rombongannya,
bergegas-gegas datang. Dari matadua dibarisan depan, pemimpin itu mendapat
laporan bahwa dipadang Gobi, ada kira-kira empat-lima ribu tentara Ceng tengah
menuju kearah selatan.
Mendengar itu, Ceng Tong serentak
berbangkit. Ia pimpin pasukannya untuk menyambut kedatangan musuh itu.
Kira-kira beberapa puluh li
jauhnya, benar juga kelihatan panji musuh berkibar ditengah kepulan debu sedang
mendatangi. Cepat Ceng Tong kibaskan lengkinya. Masih dalam hawa kemenangan,
majulah dua buah kompi dari pasukan Ang Ki menyerang kemuka.
Kiranya, pasukan musuh itu adalah
bala bantuan yang dipimpin oleh pembantu Tiau Hwi, HuCiangkun Hu Tek. Ketika
bersua dan diberi keterangan oleh Tiau Hwi dan Ciauw Cong, bahwa pasukan Ceng
telah menderita kekalahan besar, buru-buru HuCiangkun itu mundur kearah timur.
Tapi gerak gerik mereka, tertangkap juga oleh matadua Ui, dan begitulah Ceng
Tong buru-buru menCegatnya.
Bahwa hawa panas dan perjalanan
jauh dipadang pasir itu telah melemaskan anak buah tentara Ceng dan binatangdua
tunggangan mereka, itulah sudah dapat dipastikan. Apalagi, kini mereka kalah
jumlah menghadapi induk pasukan fihak Ui. Tiau Hwi tak mau meladeni perang
lagi. Di -perintahkan, supaya kereta-kereta dan kuda dijajar-jajar merupakan
sebuah lingkaran. Didalam itulah, anak buah tentara Ceng itu, menjaga diri
dengan busur dan anak panah.
Beberapa kali, fihak Ui Coba
meneryang, tapi setiap kali dapat dipukul mundur.
“Mereka bertahan dengan
mati-matian. Kalau kita berkeras menggempur, tentu kita menderita kerugian
besar. Kita menang jumlah, lebih baik kurung saja mereka” kata Ceng Tong.
“Benar”, sahut Keh Lok
sependapat.
Ceng Tong perintahkan anak
buahnya membuat lubang disekeliling pertahanan musuh. Disitulah mereka akan “me
ngunCi” pasukan Teng yang penghabisan. Hendak menyerah, atau rela mati kelaparan
dan kehalusan, terserah pada mereka.
Orang Ui memukul berantakan
pasukan Ceng yang dibawah pimpinan jenderal Tiau Hwi itu terjadi pada tahun
Kian Liong yang ke duatiga , bulan 10. Dan pengepungan diatas, terjadi dari
bulan 10 sampai bulan 1 tahun berikutnya. Jadi 4 bulan lamanya. Mengenai
peristiwa itu para sasterawan di jaman kemudian menamakan kejadian tersebut
dalam se jarah sebagai “Pengepungan di Sungai Hitam.”
Dapat dibayangkan, betapa
penderitaan anak buah tentara Ceng pada waktu itu. Empat bulan terkurung
ditengahdua padang pasir, yang mati kehausan, kepanasan dan sakit, entah berapa
banyak sekalinya. Karena keganasan dan ketidak beCusan dari jenderaldua baginda
Kian Liong, akibatnya, Berpuluh-puluh ribu orang Ui kehilangan rumah, dan
Berpuluh-puluh ribu serdadu Ceng tewas dimedan peperangan.
Malamnya, Bok To Lun bersama Hwe
Ah In datang juga dengan beberapa ribu serdadu. Demikianlah, setelah lubang
selesai digali, maka mereka lalu membuat tanggulan didepan nya. Tan Keh Lok dan
suadaraduanya pun turut membantu.
Selama itu, Bun Thay Lay
mengawasi gerak gerik difihak musuh. Tampak olehnya, bagaimana disamping Tiau
Hwi ada seseorang yang tengah memberi perintah, pada anak tentaranya. Itulah
Ciauw Cong. Melihat itu, kembali kemarahan Bun Thay Lay timbul. Dia minta
sebatang busur dan anak panah kepada seorang serdadu Ui. Maksudnya akan dipa
nahnya.
“Ha, bangsat itu kiranya berada
disana. Terlalu jauh dari sini, mungkin tak sampai”, kata Thian Hong.
Bun Thay Lay tetap menCobanya.
Busur dipentangnya lebardua, dan “krak!” Putuslah batang busur yang terbuat
dari besi itu. Hebat nian tenaga ari Pan Lui Chiu itu!
Buru-buru dia ganti lain busur.
Sekali tangan dikibaskan, maka me-layangdualah sebatang anak panah kearah Ciauw
Cong, siapa menjadi kaget bukan terkira.
“Dalam jarak yang sedemikian
jauhnya ini, mengapa mereka dapat melepas anak panah sampai disini?” pikir
Ciauw Cong sembari menghindar kesamping.
Sial adalah seorang pengawal yang
berada disebelah belakang. Anak panah itu tepat menanCap didadanya.
“Suko, bagaimana kalau kita serbu
dan bekuk bangsat itu,” kata Jun Hwa.
Yangan!” buru-buru Thian Hong
melarangnya. “Yangan kita melanggar perintah nona Ceng Tong.”
Bun Thay Lay, Jun Hwa dan
lain-lainnya, sama menyetujui. Karenanya, mereka hanya dapat mengawasi bayangan
orang yang sangat dibencinya itu dengan dada, sesak.
“Hm, ada waktunya nanti kau pasti
jatuh ketangan kita. Akan kita hanCur leburkan tulang belulangmu,” demikian
orang HONG HWA HWE itu sama menyumpahi.
Pada saat itu, terdengar para
serdadu yang tengah meng gali lubang itu, sama menyanyikan lagu kemenangan.
Setelah itu, mereka menanam mayat Kawan-kawan mereka yang gugur. Mayatdua itu
dibungkus dengan kain putih, tangannya dipegangi golok, dan ditegakkan
dihadapkan kearah barat. Setelah itu ditimbuni dengan tanah.
Melihat itu, Keh Lok merasa heran
dan bertanya pada salah seorang serdadu Ui.
“Kami adalah umat Islam. Bila
sudah meninggal, arwah kami pulang kerahmatullah. Jenazah ditegakkan, dengan
mata menghadap kearah barat, jakni kota suCi Mekkah,” sahut yang ditanya.
Selesai penguburan, Bok To Lun
pimpin upaCara sem bahyangan besar, untuk menguCapkan terima kasih kepada Allah
yang telah memberikan mereka kemenangan. Setelah itu, seluruh anak tentara Ui
sama bergembira-ria dan me nyanyidua. Sepasukan demi sepasukan berbaris
kehadapan Ceng Tong, untuk mengunjuk terima kasih dengan mengangkat pedang.
“Dengan dapat
menghanCur-binasakan tentara Ceng itu, kitapun dapat menghimpaskan
kemendongkolan hati,” kata Jun Hwa.
“Terang kalau kaisar sudah setuju
berserikat dengan kita, mengapa tentaranya tak diperintahkan mundur? Mungkinkah
kaisar itu sengaja akan menyingkirkan pasukan pilihan dari pemerintah Boan,
supaya musna dipadang pasir?” Thian Hong membuat dugaan.
“Aku tak memperCajai kaisar itu!”
seru Thay Lay.
Sementara itu, ikut pula
Kawan-kawan nya memperbincangkan hal itu. Namun mereka tak dapat mengambil
kesimpulan yang tepat.
“Nona Ceng Tong, adalah orang Ui.
Tapi bagaimana dia paham ilmu perang dari pelajaran Sun Cu?” tanya Hi Tong.
“Sun-Cu berkata: ‘Yang lebih dulu berada dimedan perang, harus tunggu supaya
musuh pernahkan diri. Setelah itu, tetap menjaga sampai musuh menjadi lelah.
Barang siapa pandai berperang, adalah seumpama, menyambut kedatangan orang,
tapi tidak menyambut seorang itu.
“Nona Ceng Tong siapkan bayhok,
menunggu musuh sampai lelah dan hilang sabar. Bukankah ini yang dinamakan
“menyambut kedatangan orang tapi tidak menyambut orangnya?
“Berkata pula Sun Cu: ‘Musuh
mengejar, kita harus melenyapkan diri, sedemikian rupa sehingga musuh terpen
Car, dan kita bisa berkumpul lagi. Musuh terpeCah menjadi 10 rombongan kita
hantam satu persatu. Dengan begitu kita berjumlah besar dan musuh sedikit.
Dengan siasat ini, pasti kita bisa menangkan pertempuran?
“Nona Ceng Tong telah memeCah musuh
menjadi empat, sehingga ia menang jumlah untuk menggempurnya satu demi satu.
Bukankah ia patuh akan ajaran Sun Cu itu?” menerangkan Hi Tong.
Jun Hwa dan Kawan-kawan nya
merasa kagum.
Hi Tong melanjutkan keterangannya
lagi: “Lebih dulu dia ajukan pasukan Hek Ki yang terdiri dari orang-orang tua,
untuk memikat musuh. Bukankah ini sejalan dengan prinsip: ‘bisa, tapi pura-pura
tidak bisa, berguna, tapi pura-pura tidak berguna?’ — Kemudian ia perintahkan
pasukan Pek Ki memikatnya ketengah gurun pasir, dan disanalah induk pasukannya
siap memusnakan musuh. Inilah yang dikata dekat tapi kelihatannya jauh, jauh
kelihatannya dekat’!”
Tan Keh Lok angguk kepala,
katanya: “Benar! Ia sengaja korbankan beberapa serdadu yang ketinggalan lari,
dibinasakan musuh. Itulah siasat ‘memabukkan musuh dengan kemenangan’. — Kota
Yarkand digunakan untuk siasat ‘kuat tapi ditinggalkan’. — Pemutusan jembatan
di Sungai Hitam, adalah taktik ‘merebut kembali kemenangan, selagi musuh kaCau
balau’!”
Mendengar segala analisa itu,
rupa-rupanya Ciu Ki tak betah. Serunya: “Untuk apa kalian tuangkan segala macam
isi kitab-kitab itu? Aku tak mengerti satu apa!”
“Suhu dari Cici Ceng Tong, adalah
Thian San Siang Eng, orang Han, Ilmu perang Sun Cu, mungkin mereka yang
mengajarkannya,” Lou Ping tertawa.
“Ilmu perang, semua orang bisa
memahami. Kita mempunyai ‘Sun Cu peng-hoat’ (ilmu militer ajaran Sun Cu), siapa
tahu mereka juga punya “Ya-ya-peng-hoat’ (ilmu militer kakek, Sun Cu arti
lurusnya Cucu)?” demikian nyonyah Thian Hong itu. j
Di-tengah-tengah perCakapan itu,
tiba-tiba Thian Hong berkata kepada. Lou Ping: “Suso, kulihat ada yang kurang
beres pada diri nona Ceng Tong.”
Lou Ping Cepat memandang kearah
Ceng Tong. Memang wajah nona pemimpin itu, tampak puCat. Matanya
berkilat-kilat, termangu-mangu. Lou Ping menghampiri hendak mengajak biCara.
Ceng Tong buru-buru berbangkit menyambut.
Sekonyong-konyong tubuhnya
gemetar, dan mulutnya menyembur keluar darah segar.
Dengan gugup, Lou Ping buru-buru
bertanya: “Kau kenapa, Cici Ceng?”
Ceng Tong tak menyahut. Ia
berusaha menenangkan diri. Kembali mulutnya merasa anyir, dan kembali mulutnya
muntahkan darah. Hiang Hiang, Bok To Lun, Tan Keh Lok, Hwe Ah In dan Ciu Ki,
Cepat turut menghampiri.
“Cici yangan muntah lagi!” Hiang
Hiang meratap dengan Cemas.
Roman Ceng Tong makin pilas,
tubuhnya lemas. Orang-orang menjadi bingung. Lou Ping membawanya masuk kedalam
kemah dan dibaringkan diatas permadani. Bok To Lun sesalkan dirinya sendiri.
Betapa puterinya itu mengeluarkan seluruh tenaganya, berperang, pi-bu dengan Horta,
menobros kepungan musuh dan memenangkan peperangan. Namun itu, ia dan
ponggawa-ponggawa mencurigainya. Sudah pasti hal itu, me nyakiti hati puterinya
itu. Dan yang lebih hebat mungkin pe robahan sikap dari Tan Keh Lok yang dingin
kepadanya, tapi berbaik dengan Hiang Hiang itu.
Pada saat itu, Ceng Tong sudah
tidur, karenanya Bok To Lun tak dapat ber-Cakapdua untuk menghiburnya. Dengan
mengelah napas, orang tua itu berjalan keluar. Dia meronda keadaan anak
buahnya. Ternyata sana sini, anak tentaranya itu sama memujidua kelihaian ilmu
perang dari Ceng Tong.
Pada sebuah tempat, dia dapatkan
ratusan anak buahnya sama mengerumuni seorang kyai, mendengarkan Ceritanya.
Berkata kyai itu: “Pada tahun kedua dari hijrahnya nabi Mohammad ke Medina,
musuhnya datang menyerang. Musuh punya sembilanlima puluh serdadu, 100 ekor
kuda, 700 ekor onta dan per lengkapannya lengkap. Nabi Mohammad hanya punya
tiga 1tiga orang, dua pasukan kuda, 7delapan ekor onta dan enam perangkat
pakaian perang. Jadi musuh tiga kali lipat kekuatannya. Namun akhirnya Nabi
Mohammad berhasil mengalahkannya.”
“Tepat seperti kita kali ini,
dengan jumlah sedikit dapat mengalahkan musuh yang banyak sekali,” seru seorang
serdadu.
“Benar, nona Ceng Tong menurutkan
ajaran Nabi, memimpin kita kearah kemenangan. Semoga Allah member kahinya,”
kata kyai itu. “Dan ajat tiga dari Quran mengatakan: Diantara dua pasukan yang
bertempur, pasukan ini berperang untuk membela Agama, sedang pasukan sana orang
kafir. Walaupun kalah dalam jumlah, Allah akan membantu orang yang
dikasihiNya.”
Kawanan serdadu Ui itu berseru
girang seraya mengeluarkan pujiduaan: “Mogadua Allah memberkahi Chui-ih-wi-sam,
ia membawa kita kearah kemenangan!”
Karena memikiri puterinya,
semalam itu Bok To Lun tak dapat tidur. Keesokan harinya, sebelum terang tanah,
dia sudah bergegas-gegas menuju perkemahan Ceng Tong. Me nyingkap pintu kemah,
dia menjadi kaget, karena perkemahan itu kosong.
Buru-buru dia bertanya pada
penjaganya dan dapat jawaban: “Kira-kira sejam yang lalu nona keluar!”
“Kemana?”
“Entahlah. Ia hanya tinggalkan
sepucuk surat ini supaya diberikan pada Siutiang,” kata sipenjaga sambil
mengeluar kan sebuah sampul.
Buru-buru Bok To Lun
menyambutinya terus dibaca:
“Ayah, urusan negara sudah
selesai. Asal pengepungan tetap diperkeras, tak lama musuh tentu binasa. —
Ceng-ji.”
Sampai sekian saat, Bok To Lun
terlongong-longong.
“Ia menuju kearah mana?” tanyanya
kemudian.
Pengawal itu menunjuk kesebelah
timur laut. Bok To Lun segera Cemplak seekor kuda, terus dilarikan keras-keras.
Sekeliling gurun yang bebas luas itu, tak nampak ada titik bayangan orang.
Mengira kalau sang puteri sudah kembali, dia balik pulang. Ditengah jalan,
tampak Hiang Hiang, Tan Keh Lok, Thian Hong dan lain-lainnya menyusul. Semuanya
sangat Cemas memikiri nona Ui yang dirundung malang itu. Ia menderita sakit
dalam yang berat, kalau kini berjalan seorang diri, pasti penyakitnya akan
tambah berat lagi.
Kembali kedalam kemah Bok To Lun
segera kirim 4 regu serdadu, untuk mengejar keempat penjuru. Hampir sore, tiga
regu itu kembali dengan hampa. Hanya regu yang menuju kearah timur laut,
kembali dengan membawa seorang pemuda bangsa Han yang mengenakan baju hitam.
Melihat dia, Hi Tong melongo dan
gugup. Kiranya pemuda itu jalah Wan Ci. Buru-buru dia menyambut dan menegur:
“Mengapa kau datang kemari?”
Wan Ci girang disamping terharu.
“Aku menCari kau, kebetulan
bertemu mereka dan aku dibawa kemari,” sahut Wan Ci sambil menunjuk regu
serdadu Ui tadi. Tiba-tiba iapun berseru: “He, mengapa kau tak memakai jubah
lagi?”
“Aku sudah tidak jadi hweshio,”
sahut Hi Tong dengan tertawa.
Saking Wan Ci senang, air matanya
berlinangdua.
Dalam pada itu, ketika sang Cici
tak dapat diketemukan, Hiang Hiang menjadi gelisah, katanya kepada Tan Keh Lok:
“Sebetulnya Cici itu kemana?”
“Aku akan menCarinya sampai
ketemu. Biar bagaimana akan kuminta supaya ia pulang,” sahut Keh Lok.
“Ehm, aku mau ikut!” kata gadis
itu.
Keh Lok tak keberatan. Hiang
Hiang minta ijin pada ayahnya. Sang ayah menjadi kelabakan. Adanya Ceng Tong
menghilang itu, disebabkan karena perhubungan sang adik dengan Tan Keh Lok.
Kalau keduanya pergi bersama, bukankah makin menambah keresahan hati Ceng Tong.
Tapi orang tua itu tak berdaya, terpaksa dia meluluskan.
“Sesukamulah, aku tak dapat
terlalu mengurusi,” katanya kemudian.
Hiang Hiang melengak, dan menatap
wajah sang ayah. Sepasang mata dari orang tua itu kemerah-merahan, tanda dia
sedang berduka. Dengan penuh sayang, Hiang Hiang menarik tangan sang ayah.
Adalah Wan Ci tampak tak
menghiraukan pada semua orang, ia hanya asjik ber-Cakapdua dengan Hi Tong.
Melihat ia, Keh Lok girang
hatinya, Dihampirinya Hiang Hiang, katanya: “Orang yang dikasihi Cicimu telah
datang kemari. Dia tentu dapat menyuruhnya pulang.”
“He, mengapa selama ini Cici tak
pernah mengomong padaku. Ah, Cici sungguh suka simpan rahasia sendiri,” kata
Hiang Hiang sembari menghampiri Wan Ci dan mengawasi dengan seksama.
Bok To Lun pun kesima dan ikut juga
menghampiri.
Wan Ci sudah pernah berjumpa
dengan Bok To Lun, maka buru-buru ia memberi hormat. Tapi demi melihat keCan
tikan yang luar biasa dari Hiang Hiang, ia terpesona tak dapat menguCap
apa-apa.
Tersenyum Hiang Hiang kepada Keh
Lok, katanya: “Tolong katakan pada Toako ini, kita merasa gembira dengan
kedatangannya. Mintalah padanya supaya ikut menCari Cici.” Maka sesudah memberi
hormat, berkatalah Keh Lok: “Mengapa Li-toako juga datang kemari?”
Selebar muka Wan Ci menjadi
merah. Dengan menahan rasa geli, ia memandang Hi Tong sambil bersenyum.
Maksud-nya minta agar anak muda itu menjelaskan.
“CongthoCu, ia adalah murid dari
Liok-supehku,” kata Hi Tong segera.
“Kutahu. Sudah beberapa kali kami
saling berjumpa,” jawab Keh Lok terus menghadap Wan Ci lagi, katanya: “Sungguh
kebetulan sekali, hari ini Li-toako datang kemari.”
“CongthoCu, kau ini bagaimana? Ia
adalah sumoay-ku!” sela Hi Tong.
“Apa?” Keh Lok kaget seperti
orang disengat kala.
“Ya. Ia memang gemar mengenakan
pakaian lelaki,” Hi Tong menegaskan.
Ketika Keh Lok mengawasi Wan Ci
dengan tajam. Sepasang alis “pemuda” itu melengkung bagus, pipinya semu dadu.
Sedikitpun tak mirip dengan wajah orang lakidua. Benar beberapa kali dirinya
sudah berhadapan dengan nona itu, tapi karena hatinya diliputi purbasangka yang
bukandua tentang perhubungannya dengan Ceng Tong, tak sekali juga dia
mengawasinya dengan jelas.
Saat itu Tan Keh Lok
termangu-mangu seperti orang yang kehilangan semangat. Kepalanya ber-denyutdua,
penuh sesak dengan pelbagai pikiran.
“Ah, kiranya dia ini seorang
sioCia. Jadi segala purba sangkaku kepada Ceng Tong selama ini, tidak benar. Ia
menyuruh aku bertanya pada Liok-loCianpwe, tapi aku tak melakukannya.
Kepergiannya kali ini, bukankah disebabkan karena diriku? Adiknya begitu
mencinta padaku. Ah, aku harus berbuat bagaimana?”
Melihat sikap Keh Lok tiba-tiba
berobah seperti orang yang kehilangan semangat itu, orang-orang sama heran.
“Dan mana Cici Ceng Tong
sekarang? Aku ada urusan penting sekali untuknya,” tiba-tiba Wan Ci memeCah
kesunyian.
Tahu kalau Wan Ci seorang sioCia,
Lou Ping segera menarik tangannya. Sebagai seorang wanita yang sudah bersuami,
tahulah ia bagaimana adanya perhubungan nona itu dengan Hi Tong. Ini ditilik
dari sikapnya kepada Hi Tong, dan bagaimana dengan tak menghiraukan jarak yang
sedemikian jauh, nona itu datang juga menCari sipemuda. Hi Tong ter-giladua
pada dirinya, seorang yang sudah bersuami. Kalau kini ada seorang nona yang
Cantik rupawan serta menijintainya, bukankah akan dapat menggantikan kekosongan
hati pemuda itu? Tapi menilik sikapnya, Hi Tong agak dingin.
“Adik Ceng Tong entah kemana
perginya. Kita sedang menCarinya. Apakah benar Moaymoay ada. urusan penting
padanya?” tanya Lou Ping pada Wan
Ci.
“Apakah ia pergi seorang diri?”
tanya sigadis. “Ehm, ja. Lebihdua karena ia sedang dalam keadaan sakit,” kata
Lou Ping.
“Kearah mana ia pergi itu?”
menegas Wan Ci. “Bermula, menurut keterangan pengawal, kearah timur laut.
Selanjutnya, entah kemana.”
“Ah, Celaka, Celaka!” seru Wan Ci
sembari bantingdua kaki.
Melihat itu, semua orang
buru-buru menanyakan sebabnya.
“Kwantong Sam Mo akan menCari
balas pada Chui-ih-wi-sam, mungkin kalian disini sudah mengetahui. Ditengah
jalan, aku berpapasan dengan mereka dan telah memper mainkannya. Kini mereka
sedang mengejar aku. Kalau Cici Ceng Tong menuju ketimur laut, pasti akan
kesamplokan dengan mereka!” menerangkan Wan Ci.
Kiranya dalam perjalanan Wan Ci
selama ini, ketika digereja Po Siang Si ia dapatkan Hi Tong menjadi hweshio, ia
menangis tersedu-sedu terus lari keluar. Hi Tong tetap bersikap dingin. Setelah
meninggalkan sepucuk surat kepada Tan Keh Lok cs, tanpa menghiraukan lagi
kepada Wan Ci, Hi Tong terus pergi dari gereja untuk memungut derma.
Adat Wan Ci, memang aneh. Makin
Hi Tong bersikap dingin, makin ia ngotot. Kembali kekota BengCin, ia menCari
akal bagaimana agar pemuda itu merobah pendirian nya. Tapi ternyata Hi Tong
sudah pergi dari gereja, apa boleh buat, Wan Ci akan Cari rombongan HONG HWA
HWE dulu baru nanti menjalankan siasatnya.
Pada setiap rumah penginapan,
nona itu selalu menCari keterangan kalaudua rombongan Tan Keh Lok menginap
disitu. Tapi kesemuanya itu sia-siasaja, karena rombongan HONG HWA HWE itu
sudah pergi. Sebaliknya, ia bertemu dengan Thing It Lui, Ku Kim Piauw dan
Haphaptai disebuah hotel.
Malam itu ia berhasil menCari
dengar pembiCaraan mereka, yang mengatakan akan pergi kedaerah Hwe untuk
menCari balas pada Hwe Ceng Tong. Wan Ci sangat ben-Ci kepada ketiga orang itu,
sebab merekalah yang telah menganiaya Hi Tong. Hendak ia memper-olokduakannya
mereka dulu.
Ia membeli sebungkus besar
pah-tauw (semacam ramuan urusdua). Lalu dimasaknya pah-tauw itu, setelah itu ia
me ngunjungi rumah penginapannya It Lui bertiga. Ketika di lihatnya It Lui
bertiga keluar ber-jalandua, ia segera masuk kedalam kamar mereka, dan mengisi
porong arak mereka dengan air pah-tauw.
Kembali kedalam kamarnya, ketiga
orang itu terus menenggak porong. Benar rasanya agak aneh, tapi dikiranya
barangkali tehnya yang berkwaliteit kasar, jadi tidak Curi ga apa-apa. Sampai
tengah malam, perut mereka terasa sakit seperti dipuntir. Buru-buru mereka
pergi kekakus. Dan anehnya rasa sakit itu terus menerus memaksa mereka
mengunjungi kamar no. 100 itu. Yang satu datang, satunya pergi, silih berganti.
Tubuh mereka dirasakan lemas, karena terusduaan murus.
Sampai keesokan harinya, belum
juga berhenti murusnya. Sehingga betul-betul lemah lunglai mereka itu. Sampai
hendak keluar dijalan besarpun, rasanya tak kuat lagi.
It Lui suruh kuasa hotel datang
untuk didamprat karena menyediakan barang makanan yang kurang bersih, hingga
merusak perut mereka. Sikuasa menjadi ketakutan dan buru-buru undang sinshe.
Tak tahu sinshe itu, kalau mereka
“diCekoki” Wan Ci, maka sinshe itu lalu membuka resep “perut masuk angin”.
Resep itu dibelikan obat oleh sikuasa dan disuruhnya pelayan memasak.
Wan Ci mengintip dari pintu
belakang hotel. Bagaimana It Lui bertiga mondar-mandir bergiliran ke WC
setengah malaman itu, hal mana telah membuatnya geli ter-pingkaldua. Ketika
pelayan yang memasak obat itu sedang keluar sebentar, kembali nona jail itu
menyelinap masuk, membuka tutup poCi pemasak obat dan menaruhkan bubukan pah
tauw kedalamnya.
Pada pikiran It Lui dan kedua
kawannya itu, begitu minum obat, tentu akan sembuh. Tapi siapa tahu, bukannya
berhenti, sebaliknya malah mangsurdua lagi lebih hebat.
Ketelanjur sudah membuat
permainan, Wan Ci tak mau kepalang tanggung. Tengah malam ia menCuri masuk
kedalam sebuah rumah obat yang terdekat. Pada setiap laCi obat ia mengambil
sejemput obat, tak perduli ramuan jamu panas, dingin atau apa saja. Kembali
kesemuanya itu ia masukkan kedalam poCi pemasak obat untuk It Lui itu.
Keesokan harinya, kembali pelayan
memanasi obat dan me nyuguhkannya kepada sisakit. Begitu obat diminum, maka
terjadilah “revolusi” hebat dalam perut. Ketiga Kwantong Sam Mo itu seperti
di-juwingdua isi perutnya. Badannya serasa digebuki, dibakar dan direndam es.
Masih untung, ketiga jago dari
Kwantong itu mempunyai latihan ilmu silat yang teguh, sehingga mereka dapat
bertahan, tidak sampai ketelanjur pulang rumah kakek mo yangnya.
It Lui banyak sekali makan asam
garam. Tahu dia tentu ada apa-apa yang kurang beres. Dia Curiga yangan-yangan
hotel itu sarang kaum “penjagal”, dimana biasanya sipemilik menga niaja tetamu
untuk merampas harta bendanya. Dia larang kedua Sutenya, yangan minum obat itu
lagi. Dan benar juga, keadaan mereka menjadi baikan.
Kim Piauw segera menentang
kong-jah, untuk membunuh sipemilik hotel. It Lui buru-buru menCegahnya:
“Lao-ji, yangan gegabah. Tunggu lagi sampai sehari, sampai kekuatan kita sudah
pulih. Siapa tahu, sipemilik piara ja goan. Kalau sekarang kita turun tangan,
mungkin akan mengalami kerugian”.
Kim Piauw terpaksa bersabar. Sorenya,
pelayan mengantar sepucuk surat, pada sampulnya tertulis: “Diterimakan pada
Kwantong Sam Ko”.
Buru-buru It Lui menanyakannya:
“Siapa yang meng-antarnya?”
“Seorang anak kecil, entah siapa
yang menyuruhnya”, sahut si pelayan.
Membaca surat itu, It Lui seperti
terbakar jenggotnya. Kim Piauw dan Haphaptai buru-buru menyambutinya. Surat itu
ditulis rapih dan berbunyi sbb.:
“Chui-ih-wi-siam, pahlawan Icaum
wanita masa je rih padamu, tiga buah kantong rumput. Untuk sedikit pengajaran,
kuberi Cekok pah-touw. Kalau masih belum kapok, lebih berat lagi hukumannya.”
Tulisannya indah lajak digerakkan
tangan wanita.
Kim Piauw meremasdua hanCur surat
itu, serunya: “Kurang ajar, justeru kita akan menCarinya, dia sudah berada
disini kebetulan!”
Ketiga orang itu tak berani
menginap terus disitu, lalu pindah kelain hotel. Setelah mengaso dua hari,
kesehatannya pulih kembali. Mereka segera menCari keseluruh tempat dalam kota
BengCin, namun tak dapat berjumpa dengan Chui-ih-wi-sam.
Pada ketika itu, Wan Ci pun sudah
dapat mengetahui bagaimana Jun Hwa memberi laporan pada rombongan HONG HWA HWE
tentang kematian yang menyedihkan dari Ma Cin ditangan Ciauw Cong itu, dan
bagaimana rombongan HONG HWA HWE itu mengundang lagi kepada Hi Tong untuk
diajak ikut kedaerah Hwe.
Pikir Wan Ci” kalau toh Hi Tong
sudah mengikut mereka, tak perlu kiranya ia meladeni rombongan It Lui itu lagi.
Begitulah ia lalu menyusul.
Sementara itu, karena tak
berhasil mendapatkan Chui-ih-wi-sam, Kwantong Sam Mo berpendapat, tentunya nona
itu sudah kembali kedaerah Hwe lagi. Begitulah mereka siang malam menyusul
kedaerah Hwe. Diperbatasan Kamsiok, jejak mereka dapat dibau oleh Wan Ci. Juga
It Lui Curiga. Hendak dia mengamat-amati nona itu dengan saksama, tapi sinona
sudah keburu menghilang.
Besok paginya, habis dahar pagi,
ketiga Sam Mo itu akan meneruskan perjalanannya. Sekonyong-konyong dari luar
menerobos masuk belasan orang. Ada yang memikul pikulan, ada yang menenteng
barang. Kata mereka, mau mengantarkan barang-barang pesanan tuan Thing.
Ketika memeriksa, It Lui dapatkan
orang-orang itu sama membawa sejumlah besar sajur majur, ajam dan itik, telur
itik serta telur ajam. Ada lagi seekor lembu yang telah disembelih dan seekor
babi.
“Untuk apa barang-barang ini?”
bentak It Lui. Orang yang memikul babi menyahut: “Ada seorang tuan besar she
Thing yang memesan kami membawa barang-barang ini!” “Inilah tuan Thing!”
menyahuti si pelayan. Karena itu serentak orang-orang meletakkan
barang-barangnya, kemudian menunggu pembajarannya.
“NgaCo, siapa yang pesan sekian
banyak sekali barang ini?” bentak Kim Piauw.
Suasana menjadi gaduh.
Orang-orang itu tak mau mengerti dengan jawaban Kim Piauw, siapa sebaliknya
menjadi marah. Selagi begitu, tiba-tiba dari arah luar, kedengaran berisik
orang yang membawa masuk tiga buah peti mati. Dan masih ada lagi seorang buCo
(menteri kesehatan), yang bertugas untuk memeriksa orang mati. Dia membawa
kertas, gamping dan alatdua periksa orang mati. Katanya: “Dimana orangnya yang
mati itu?”
Kuasa hotel keluar, marah-marah
dan mendampratnya: “Kau lihat setan disiang hari barangkali! Perlu apa peti
mati kau bawa kemari?”
“Bukankah dihotel ini ada orang
yang meninggal?” balas bertanya sibuCo itu.
Kuasa hotel Cepat-cepat ayun
tangannya untuk menampar mulut sibuCo, siapa buru-buru menyingkir kesamping
seraya berkata: “Disini bukankah terang ada tiga orang yang mampus? Seorang she
Thing, seorang she Ku dan seorang lagi orang Mongol she Hap?”
Rambut Kim Piauw tegak berdiri,
saking marahnya. Maju setindak, dia ayunkan tangannya kearah dahi sibuCo. BuCo
itu tidak dapat menahan gaplokan seorang ahli silat sebagai Kim Piauw. Seketika
itu separoh mukanya menjadi benjol, mulutnya mengeluarkan darah, tiga biji
giginya rompal. Ke palanya serasa berkunangdua dan robohlah dia tak sadarkan
diri. Tepat pada saat itu, diluar terdengar suara bebunyian yang melagukan
nyanyian kematian. Seseorang masuk dengan membawa sepasang lian (panji).
Sekalipun dada It Lui dirasakan
hampir meledak, namun tahu juga dia bahwa kesemuanya itu adalah perbuatan
musuhnya. Dengan tertawa keras-keras, dia buka lian itu.
Disebelah atas lian itu
bertuliskan: “Tiga ekor jaopao (kantong rumput), pulang keaherat.” Dibawahnya
ada tulisan: “Kwantong Liok Mo dari WiCwan.” Sedang disebelah atas lagi ada
tulisan kecil berbunyi: “It Lui, Kim Piauw, Haphaptai bertiga saudara
meninggal.” Pada ujung bawah dipinggir lian itu tertulis sipengirimnya: “Dari
saudara-saudara yang berduka Cita: Ciao Bun Ki, Giam Se Kui dan Giam Se Ciang.”
Ada lagi selarik tulisan dibawahnya, berbunyi: “Banyak sekali membuat perbuatan
tidak baik.”
Haphaptai robekdua lian itu,
kemudian menCengkeram batang leher anak yang membawanya dan tanya dengan bengis:
“Siapa yang suruh kau antar ini?!”
Anak itu kesakitan, menangis
seraya menjawab: “Seorang KongCu muda memberi aku uang dan mengatakan dia
mempunyai tiga orang kawan yang meninggal dihotel sini, maka suruh aku antarkan
sepasang lian ini kemari.”
Kini tahulah Haphaptai, bahwa ada
orang sengaja main gila mempermainkan mereka. Sekali ia gentak, anak itu ter
lempar jatuh beberapa tindak lalu menangis menggerung-gerung.
Juga ketika It Lui menanyakan
orang-orang itu, mereka men jawab serupa, disuruh oleh seorang KongCu.
Segera It Lui menyembat
senjatanya terus berseru keras: “Lekas kejar dia!”
Bertiga mereka segera menobros
keluar menCari kesegala peloksok. Tapi tak menemukan bayangan apa-apa karena
siangdua Wan Ci sudah berjalan jauh.
“Ayo, kita kejar terus. Kita)
bekuk budak hina itu dan Cukur kelimis kepalanya, baru kita puas!” seru It Lui.
Masih ketiga orang itu menduga
bahwa kesemuanya itu Ceng Tong yang melakukan. Sedang orang-orang yang membawa
peti mati, menggotong babi dan lembu itu menunggu sampai setengah hari, tapi
tetap tak kelihatan It Lui kembali. Dengan menyumpahi panyang pendek, terpaksa
mereka membawa kembali barang-barangnya.
Dengan semangat yang
ber-kobardua, It Lui bertiga mati-matian memperCepat pengejarannya. Hari itu
sampailah mereka kekota KongCiu dan menginap dihotel “Se Lay.” Tengah malam,
tiba-tiba dibelakang hotel terbit kebakaran. Ketiganya buru-buru mendatangi.
Ternyata yang terbakar, hanyalah sebuah tumpukan rumput kering. Agaknya ada
orang yang sengaja membakarnya. Sebagai seorang kangouw ulung, tersadarlah It
Lui.
“Laoji, Laosu, lekas kembali
kekamar!” serunya.
Betul juga dugaan It Lui. Tiga
buntalan mereka telah lenyap. Sebagai gantinya disitu terdapat tiga rentetan
kertas gin-Coa (kertas perak untuk orang mati.) It Lui Cepat-cepat lonCat
keatas rumah, tapi tampak bayangan apa-apa.
“Kalau berani, harus seCara
terang-terangan. Yangan menggelap melakukan haldua yang liCik”, Kim Piauw
gebrakdua meja sambil maki-maki.
“Kalau begini, besuk kita tak
dapat membajar uang persewaan hotel’, kata It Lui.
“Kalau tidak Cepat-cepat kita
bekuk bangsat itu, sungguh bisa muntah darah kita nanti”, kata Kim Piauw.
“Benar, Laoji, Laosu, kalian
punya daya apa?” tanya It Lui.
Sam Mo itu berkepandaian tinggi,
tapi tidak demikian dengan otaknya. Hampir setengah harian mereka menCari akal,
akhirnya baru dapat. Caranya jakni, malam itu mereka saling bergilir menjaga.
Tahu It Lui bahwa Cara begitu itu, bukan Cara yang tepat. Tapi diapun Cukup mengetahui,
“tiga orang tukang kulit, tak nanti dapat berobah menjadi seorang Cu Kat
Liang.” Ja, apa boleh buat.
“Besok bagaimana kita bajar uang
persewaan?” tanya Haphaptai. “Kita sekarang ‘bekerja’, atau besok pagidua kita
lari saja?”
“Rasanya kita perlu banyak sekali
uang, baik kukeluar menCari saja”, kata Kim Piauw.
Dia lonCat keatas wuwungan,
mengawasi keseluruh pelosok. Dilihatnya sebuah gedung yang besar dan tinggi.
Kesa nalah dia terus pergi untuk mengambil “bekal”.
Diatas atap salah sebuah kamar gedung
itu, dia mendekam untuk mengintip kebawah. Tiba-tiba dari arah belakang
terdengar suara bergerompyangan. Sebuah genteng jatuh kebawah. Dan ada seorang
berteriak keras-keras: “Tangkap penCuri! Tangkap penCuri!”
Kim Piauw kaget, tapi mengandal
pada ilmu silatnya, dia tak mau menghiraukan, malah terus lonCat kedalam. Ter
nyata dibawah situ, ada beberapa pelayan dan pekerja tengah berjudi. Diatas
meja terletak beberapa ratus uang tembaga.
Melihat ada orang munCul disitu,
mereka segera berteriakdua dengan ketakutan., Kim iPauw hendak pergi, tapi di
luar suara orang kedengaran berisik dan oborduapun sangat terangnya. Belasan
orang dengan membawa golok dan pentung, menghampiri.
Buru-buru Kim Piauw lolos dari
jendela, terus lonCat keatas rumah. Tapi tiba-tiba belakang kepalanya terasa
disamber angin keras. Cepat dia berputar menghantamkan senjatanya ke belakang.
‘Prak’, sebuah batu kecil yang melayang kearah nya, terpukul jatuh. Dan seCepat
kilat, dia lonCat kearah dari mana benda itu dilepaskan, terus menusuk.
Diantara Cahaja remang-remang
tampak seorang berpakaian hitam berada disitu. Gerakannya sangat linCah. Sudah
sekian hari, Kim Piauw dirongrong tanpa dapat menemukan orang nya. Kini dia
betul-betul mau tumpahkan semua kemarahannya.
Serangan yang pertama luput, ia
segera susuli lagi tiga tusukan beruntun. Yang diarah adalah jalandua darah
yang ber-bahaya.
Permainan pedang dari orang itu
Cukup hebat. Tapi serangan Kim Piauw dengan kongjah-nya itu, lebih hebat lagi,
Lewat beberapa jurus, orang itu sampokkan pedangnya, terus lari.
Kim Piauw Coba mengejar, tapi
sekonyong-konyong orang itu membalikkan badan sembari kibaskan tangannya.
Serentetan suara mendesing dan menganCam Kim Piauw, siapa buru-buru
berjumpalitan dari atas wuwungan. Dengan demikian, terhindarlah dia dari
serangan orang tersebut., yang ternyata Wan. Ci adanya.
Sementara itu terdengar suara
riuh bersik ketika Kim Piauw lonCat kebawah. Itulah orang-orang dalam rumah
yang Coba hendak menangkap penjahat. Cepat Kim Piauw lonCat lagi keatas rumah
hendak mengejar, tapi orang tadi sudah tak kelihatan bayangannya.
Kembali kehotel dengan wajah yang
penasaran dan tangan hampa, It Lui dan Haphaptai menanyainya. Kim Piauw
tuturkan pertempurannya dengan orang yang tak dikenal tadi.
“Kalau tahu begitu, sebaiknya aku
ikut pergi. Kita berdua rasanya tentu dapat membekuknya,” kata Haphaptai.
“Ah, sudahlah. Mari kita
lekas-lekas angkat kaki saja, ja ngan tunggu sampai terang tanah,” usul It Lui.
Tengah mereka siap akan
berangkat, tiba-tiba pintu terdengar diketok orang. Ketiganya saling
berpandangan. Haphaptai membuka pintu.
Ternyata yang datang adalah kuasa
hotel, dengan membawa tatakan lilin, katanya: “Modal kami kecil, kalau hendak
berangkat harap tuandua bajar dulu.”
Kiranya, kuasa itu telah
dibangunkan dari tidurnya oleh seorang yang tak dikenal, yang mengatakan bahwa
ketiga orang itu tidak punya uang dan sengaja akan melarikan diri. Ketika dia
bangun, orang itu sudah lenyap. Untuk membuktikan kebenarannya, dia datang juga
kesitu dan ternyata memang betul It Lui bertiga ber-kemasdua akan menggelojor
pergi.
“Kita sedang keputusan uang,
tolong kau pinjami dulu 100 tail perak,” kata Kim Piauw sembari lolos senjata
dan memaksa kuasa itu untuk mengambil uang.
Dengan muka asam, terpaksa kuasa
itu akan berlalu. Tiba-tiba dari arah luar terdengar ramaidua orang berteriak:
“Yangan kasih sipenjahat kabur!”
Ketika It Lui menjenguk kepintu
besar, ternyata diluar tampak banyak sekali sekali teng dan obor. Orangnya
berjumlah tak kurang dari ratusan.
“Tangkap penjahat!” demikian orang-orang
itu berteriak.
It Lui geraki senjatanya dan ajak
kedua kawannya naik keatas rumah. Tapi Kim Piauw tidak lupa hantam putus kunCi
meja uang, dan mengambil serangkum perak han Cur, terus ikut sang Toako.
Kawanan polisi desa itu, sudah
tentu tak berani mengejar, apalagi memang tak dapat lonCat keatas rumah. Maka
dengan leluasa It Lui bertiga dapat melarikan diri. Kira-kira S li jauhnya,
mereka kendorkan larinya.
Bahwa tengah malam, kuasa hotel
menagih rekening, sekian banyak sekali hamba polisi datang akan menangkap itu,
tentu ada orang yang menggerakkannya. Lawan berkelahi Kim Piauw itu, adalah
seorang pemuda bangsa Han, bukan seorang gadis Ui, jadi terang kalau musuh
mempunyai kawan yang membantunya, demikian dugaan ketiga Kwantong Sam Mo itu.
Oleh karenanya, mereka tak berani berlaku alpa. Tiap malam mereka bergiliran
menjaga.
Demikian pada hari itu, mereka
sampai dikota Ka-ko-kwan. It Lui peringatkan kedua saudaranya, bahwa kini
mereka sudah memasuki daerah perbatasan musuh, harus hati-hati.
Malam itu, giliran Haphaptai yang
jaga. Dia agak merasa berdebardua. Tiba-tiba dibelakang rumah ada dua batu
kecil ditimpukkan ketanah. Tahu dia kalau itu kebiasaan orang berjalan malam
untuk menanyakan jalan.
Dengan pasang kuping betul-betul,
pelan-pelan dibukanya daun jendela, terus menyelinap kebelakang untuk menangkap
penyatron itu. Tapi ditunggudua sampai sekian lama, tak ada sebuah bayanganpun-
yang lonCat turun. Sebaliknya, pada saat itu terdengar Kim Piauw menjerit
nyaring-.
“Celaka, aku terjebak siasat
musuh ‘panCing harimau, tinggalkan gunung,” pikir Haphaptai terus balik
kekamarnya.
Disitu tampak Kim Piauw dan It
Lui sembari pegangi lilin lari keluar kamar dengan napas memburu. Haphaptai
menerangi kedalam kamar dari jendela. Apa yang tampak disitu, sangat
membelalakkan matanya.
Ternyata lantai kamar, tempat
tidur dan meja, semua penuh dengan ular dan katak, berseliweran kemanadua. Di
mulut jendela, ada dua buah keranyang, yang tidak bisa tidak, tentu ditaruhkan
oleh musuh yang tak kelihatan itu.
“Tentu ini ada akalnya budak hina
itu, yang mengirimkan segala rupa binatang berbisa ini,” It Lui memaki-maki.
Memang untuk melampiaskan
kemangkalan hatinya karena Hi Tong yang tak mengaCuhkan dirinya, Wan Ci
tuangkan isi perutnya pada Sam Mo tersebut. Sepanyang perjalanan nya tak
putus-putusnya ia menCari akal untuk menggoda ketiga orang itu. Ular dan
katakdua itu, sengaja ia mengongkosi anakdua untuk menCarinya.
Kwantong Sam Mo itu sedikitpun
tak menyangka, bahwa mereka dipitenah terus menerus selama itu, karena seorang
nona nakal yang ditolak Cintanya, tengah menghibur diri. Tetapi mereka menduga,
bahwa kesemuanya itu adalah perbuatan Chui-ih-wi-sam Hwe Ceng Tong.
Sejak itu, malam hari mereka tak
berani keluar. Juga tidak mau menginap dihotel, lebih suka nginap dirumah orang
atau klenteng. Juga difihak Wan Ci, ia merasa kalau terang-terangan bertempur,
tentu tidak menang. Ka-renanya, iapun hanya menggodanya seCara menggelap. Demikianlah
dengan Cara itu, keempat orang itu menuju kedaerah Hwe.
Selesai mendengar penuturan Wan
Ci, tak putus-putusnya semua orang menekan perut karena geli. Tapi disamping
itu, merekapun menaruh kekuatiran akan keselamatan Ceng Tong.
“Tidak boleh ajal lagi, segera
aku menyusulnya”, kata Keh Lok.
“Ya, ketiga iblis itu bukan jago
sembarangan, kalau ada beberapa orang yang pergi, lebih baik. CongthoCu boleh
berangkat dulu, dan kemudian nona Li, tapi kalau seorang diri kurang baik,
harap Ie-sipsute mengawaninya. Aku suami isteri, rombongan yang ketiga. Suko,
Suso dan lain-lain saudara tetap disini mengawasi Thio Ciauw Cong”, kata Thian
Hong.
Tan Keh Lok setuju, terus keprak
kudanya, Hiang Hiang ikut dengan naik kuda bulu merah. Sesaat kemudian, Hi Tong
dan Wan Ci menyusul. Paling belakang, Thian Hong bersama isterinya.
Ketika Bun Thay Lay habis
mengantar dan akan balik kekubunya, tiba-tiba diujung kubu kelihatan berkelebat
sesosok bayangan.
“Siapa?” dia membentak.
Tapi bayang’an itu sudah jauh.
Gerakannya luar biasa sebatnya, berbeda dengan serdadu biasa. Karena Curiga,
Bun Thay Lay mengejar. Diantara rombongan anak tentara Ui orang itu menyelinap
terus menghilang. Apa boleh buat, Bun Thay Lay terpaksa balik.
Tiba dikubu, sudah ada dua orang
serdadu Ui melapor pada Bok To Lun, bahwa Horta telah dibawa lari orang. Empat
orang penjaganya, dibunuh. Bok To Lun terkejut, diajaknya Bun Thay Lay
memeriksa. Benar juga keempat penjaga tempat tawanan itu, terkapar dengan dada
terbelah. Lou Ping yang tajam penglihatannya segera menghampiri kesudut kubu
dan menCabut sebilah badidua yang menanCap disitu. Pada badidua itu, terikat
seCarik kertas merah bertulisan:
Komandan Gi-lim-kun Thio Ciauw
Cong, datang mengunjungi Tan-CongthoCu dari HONG HWA HWE dan Pan-lui-Ciu Bun
Thay Lay.”
Amarah Bun Thay Lay tak
terkirakan. Surat itu diremasdua iianCur. Ketika Jun Hwa minta akan melihatnya,
surat itu sudah menjadi bubukan, berterbangan ditiup angin.
Melihat itu, Bok To Lun berCekat
dan kagum, pikirnya: “Tempo hari menyaksikan pertempuran Bu Tim totiang, kita
sudah menganggapnya jago yang tiada tandingan dikolong langit. Tapi ternyata
Bun-suya ini, juga sedemikian hebat nya.”
“Bok-loenghiong, maaf, tugas
mengurung tentara Ceng akan kuserahkan padamu. Kami akan menangkap bangsat she
Thio itu,” kata Bun Thay Lay.
Bok To Lun tak bisa menjawab lain
keCuali anggukkan kepala. Begitulah Bun Thay Lay kemudian lalu ajak Jun Hwa,
Ciang Cin, Lou Ping dan Sim Hi berkuda, untuk me nyusur jejak kaki kuda Ciauw
Cong.
Kini kita tengok keadaan Ceng
Tong. Setelah mendapat kemenangan, hatinya malah merasa saju. Malam itu, ia
tengah merenungkan segala sesuatu yang telah lampau. Tiba-tiba didengarnya,
diluar kemah sana anak buah pasukan Ui tengah bersuka ria, menyanyi lagu
perCintaan.
Kembali hatinya berdenyut keras.
Teringat bagaimana keras sikap ayah kandungnya sendiri kepadanya. Ditambah pula
orang yang dirindukan selama ini, ternyata kini me nyintai adiknya. Ah, rasanya
dunia ini hampa baginya!
Pelan-pelan ia berbangkit,
menulis sepucuk surat untuk ayahnya. Dengan membawa pedang dan senjata rahasia
serta dua ekor burung elang pemberian Suhunya, ia segera tuntun kudanya terus
dikeprak kearah timur laut.
“Lebih baik kuikut Suhu, menurut
jejak pengembaraan kedua orang tua itu dipadang pasir. Biarlah badanku ini
terkubur ditengah gurun pasir,” demikian pikirnya.
Sebenarnya berat juga penyakit
yang dideritanya, namun karena dia mempunyai dasar latihan silat yang kokoh,
dapat juga ia paksakan diri untuk naik kuda.
Demikianlah 10 hari sudah, ia
berjalan dipadang pasir. Jarak dari Giok-ong-kun, tempat kediaman Thian-san
Siang Eng, masih kira-kira seperjalanan empat limahari lagi. Karena keliwat
Cape, Ceng Tong memasang kemah ditepi sebuah bukit pasir. Malam itu hendak ia
mengaso disitu.
KIRA-KIRA tengah malam, tiba-tiba
didengarnya tapak kuda dari kejauhan. Ada tiga orang penunggang kuda
mendatangi. Tiba dipinggir bukit itu, merekapun mengasoh. Karena gelap, tak
diketahui mereka akan kubu dari Ceng Tong. Mereka hanya melihat dikanan kiri
bukit itu tumbuh rumput, maka dibiarkan kudanya lepas, sementara mereka sendiri
sama mengaso sambil ber-Cakapdua.
Mendengar mereka berbahasa Han,
bermula Ceng Tong tak terlalu menghiraukan. Tapi tiba-tiba didengarnya salah
seorang dari mereka berkata: “Bah, Chui-ih-wi-sam sungguh menyiksa kita sampai
begini!”
Ceng Tong terkesiap dan buru-buru
pasang telinga.
Maka terdengar seorang berkata
pula: “Bangsat wanita itu, kalau sampai jatuh ketanganku, akan ku-patahduakan
tulang belulangnya, kubeset kulitnya. Kalau tidak, sungguh aku malu punya she
Ku sampai 1delapan turunan.”
Kiranya mereka itu adalah
Kwantong Sam Mo, yang kini pun sudah sampai didaerah gurun pasir. Tahu mereka
kalau nona itu sedang memimpin kaumnya melawan pasukan Ceng, karenanya,
bergegas-gegaslah mereka. Tidak mereka sangka, bahwa nona itu pada saat itu,
berada disebelahnya.
Ketika Tan Keh Lok datang
kedaerah Hwe, Ceng Tong sangat sibuk dengan urusan ketentaraan. Apalagi nona
itu memang sengaja menjauhkan diri tak mau berCakapdua dengan orang muda itu.
Oleh sebab itulah, maka urusan Kwantong Sam Mo menCari balas, tak sempat
dibiCarakan oleh Tan Keh Lok.
Maka Ceng Tong menjadi heran
mengapa ketiga orang itu datang memusuhinya. Mengira kalau mereka adalah sisa
panglima Tiau Hwi yang sempat melarikan diri, Ceng Tong terus mendengarinya
lagi.
“Kepandaian Giam-liokte bukan
sembarangan. Sungguh aku tak perCaja kalau dia sampai terbinasa dalam tangan
seorang anak perempuan. Budak itu tentu gunakan akal
busuk,” kedengaran salah seorang
dari Sam Mo itu berkata. “Ya, memang. Dari itu kuharap kalian, Lao-ji dan
Lao-su, kali ini kita yangan gegabah,” sahut yang seorang.
Sampai disini, terbukalah ingatan
Ceng Tong. Kini ia te ngah berhadapan dengan persaudaran Kwantong Liok Mo.
Insyaplah ia, bahwa dalam daerah
gurun pasir yang sedemikian luasnya itu, tambahan pula dirinya dalam keadaan
sakit, tak mungkin untuknya akan bersembunyi. Ia mengambil putusan, akan
menghadapinya menurut gelagat.
“Air yang kita bekal, makin
berkurang. Paling banyak sekali iianya Cukup untuk lima-enam hari. Andaikata
dalam tu ‘juh-delapan hari lagi kita tak bersua dengan sumber air, “bukankah
kita akan mati kehausan,” kata seorang lagi.
“Ah, lebih baik kupanCing, lalu
kuajak mereka ketempat Suhu,” pikir Ceng Tong tiba-tiba.
Keesokan harinya, barulah tampak
perkemahan Ceng Tong itu oleh ketiga Sam Mo. Heran juga mereka. Ceng Tong sudah
berganti mengenakan pakaian kain berkembang. Pakaian warna kuning dan bulu
burung pada ikat kepalanya, disimpan bersama pedangnya dalam bungkusan. Setelah
itu, ia keluar.
Melihat berhadapan dengan seorang
anak perempuan bangsa Ui yang seorang diri berada di-tengah-tengah padang pasir
itu, It Lui agak Curiga.
“Nona, apa kau punya air?
Kasihlah kami sedikit,” katanya seraya merogoh sepotong perak.
Ceng Tong gelengkan kepala,
sebagai tanda ia tak mengerti bahasa Han. Haphaptai mengulangi dalam bahasa
Mongol.
“Aku punya air, tapi tak dapat
dibagi. Chui-ih-wi-sam ti tahkan aku mengirim surat penting. Kini aku harus
Cepat-cepat pulang-. Naik kuda kalau kurang minum, tak bisa Cepat,” sahut Ceng
Tong.
Dan sambil berkata itu, ia naik
keatas kuda.
Haphaptai buru-buru menahannya.
“Chui-ih-wi-sam ada dimana?” tanyanya Cepat.
“Perlu apa kau tanyakan dia?”
balas bertanya Ceng Tong.
“Oh, kami ini kawannya. Akan
menemuinya untuk urusan penting,” sahut Haphaptai.
“Bohong!” kata Ceng Tong dengan
jebikan bibir. “Chui-ih-wi-sam berada di Giok-ong-kun, tapi kamu bertiga me
nuju kearah tenggara. Yangan Coba membohongi aku!”
Terus saja ia gerakkan Cambuknya,
memukul sang kuda Tapi Haphaptai tetap tak mau lepaskan pegangannya.
“Kami tak kenal jalanan, Ayo bawa
kami kesana!” ka tanya.
Iapun terus menghampiri kudanya,
seraya berbisik pada kedua kawannya: “Dia akan pergi ketempat budak hina itu.”
Bahwa wajah Ceng Tong yang pilas
dan keadaannya yang lemah itu, tak sampai menimbulkan keCurigaan Sam Mo itu,
yang menganggapnya sebagai seorang anak perempuan Ui yang kebanyak sekalian.
Dan mengira kalau nona itu tak mengerti bahasa Han, maka mereka bertiga
mengikutinya dari belakang sambil berunding kasak-kusuk.
Mereka bersepakat, begitu tiba di
Giok-ong-kun, lebih dulu nona itu akan dibunuhnya baru kemudian akan menCari
Chui-ih-wi-sam. Diantara ketiga orang itu, Kim Piauw yang paling gila paras
Cantik. Sekalipun wajah Ceng Tong ke-puCatduaan, tapi tak mengurangi
keCantikannya. Maka diam-diam Kim Piauw timbul napsu jahatnya.
Juga Ceng Tong Cukup mengerti
akan sikap orang. Meskipun mereka tak dapat mengenali, namun gerak gerik mereka
itu, lebihdua orang she Ku itu, sangat mencurigakan. Mungkin bahaya sudah
menimpa, sebelum ia dapat membawa mereka ketempat suhunya.
Cepat dia bekerja. Dirobeknya
seCarik kain merah, lalu diikatkan pada kaki salah seekor burung elang. Setelah
di berinya makan sepotong daging kambing burung itu dilepaskan keudara, terus
melayang pergi.
“Kau melakukan apa itu?” tanya It
Lui dengan Curiga.
Ceng Tong hanya menggelengkan
kepala.
It Lui suruh Haphaptay
menanyakan. Jawab Ceng Tong: “Dimuka seperjalanan 7 delapan hari lagi, tak ada
sumber air. Kamu bertiga hanya membekal air begitu sedikit, mana bisa Cukup.
Burung tadi kulepas, supaya Cari minum sendiri.”
Lalu burung elang yang seekor
lagipun dilepaskannya. “Berapa banyak sekali minumnya kedua ekor burung itu?”
tanya Haphaptai.
“Pada waktu dahaga, setetes
airpun dapat menolong jiwa orang. Beberapa hari lagi, tentu kau ketahui
sendiri,” sahut Ceng Tong.
Sebenai-nya perjalanan ke
Giok-ong-kun hanya tinggal 4 hari. Tapi Ceng Tong sengaja mengatakannya lebih
lama, agar orang yangan menCelakakan dirinya.
“Huh, didaerah kita Mongolia
sekalipun ada gurun pasir, tapi tak nanti sampai 7 delapan hari orang tak dapat
menemukan sumber air. Sungguh tempat ini seperti neraka saja,” Haphaptai
mengerutu.
Malam itu mereka bermalam di
tengah gurun. Sewaktu membuat api unggun, Ceng Tong memperhatikan bagaimana
sorot mata Kim Piauw yang ber-apidua itu tertuju padanya. Ia berCekat. Sewaktu
masuk kekemahnya, terus ia keluarkan pedangnya, ia bersandar pada pintu kemah,
tak berani terus tidur.
Sekira jam dua malam, tiba-tiba
didengarnya ada tindakan orang tengah menghampiri pelan-pelan . Hatinya
berdebar keras, keringat dingin menguCur.
“Beberapa laksa serdadu Ceng
dapat kubasmi. Masakah aku harus binasa ditangan ketiga orang ini?” pikirnya.
Tiba-tiba ia rasakan angin dingin
berkesiur masuk dari luar. Kiranya tali pintu kemah telah dipotong oleh Kim
Piauw, yang saat itu sudah masuk. Terus saja orang she Ku itu maju akan
mendekap mulut orang. Pikirnya, seorang anak perempuan yang tampak payah
keadaannya itu masa dapat melawannya. Yang dikuatirkan, kalau nona itu
menjerit, tentu akan ketahuan oleh kedua saudaranya. Dan dia tentu akan
dimarahi.
Tapi segera ia menubruk tempat
kosong, sebab orang yang diarah sudah lenyap. Dia merabah kekanan, tiba-tiba
tengkuknya terasa dingin. Sebuah mata pedang yang mengeluarkan hawa dingin
tahu-tahu menempel ditengkuknya.
“Sedikit saja kau bergerak,
kutabas batang lehermu!” bentak Ceng Tong dalam bahasa Han.
Betul-betul Kim Piauw mati kutu.
“Tengkurap ketanah!” bentak
sigadis.
Kim Piauw menurut saja. Ceng Tong
tempelkan ujung pedang pada punggung Kim Piauw, sedang ia sendiri duduk
disebelahnya. Keduanya tak berani bergerak.
“Kalau telur busuk ini kubunuh,
kedua kawannya itu tentu marah. Ah, lebih baik kutunggu bantuan Suhu saja,”
pikir Ceng Tong.
Lewat tengah malam, It Lui
kebetulan bangun. Dia segera berjingkrak ketika tak menampak Kim Piauw disitu.
“Lao-ji, Lao-ji!” teriaknya.
Mendengar itu, Ceng Tong
perintahkan supaya Kim Piauw menyahuti panggilan Toakonya itu.
“Lao-toa, aku disini!” demikian
Kim Piauw turut perintah sinona.
“Heh, adatmu suka paras Cantik,
tak pernah berkurang. Sampai ditempat beginipun kau tak lupa kesenangan itu,”
It Lui memaki sembari tertawa.
Keesokan harinya, setelah
berulangdua It Lui dan Haphaptai memanggil, barulah Ceng Tong lepaskan Kim
Piauw.
“Lao-ji, kita sedang menCari
balas, bukan plesiran,” Haphaptai menggerutu.
Kim Piauw tak dapat menjawab.
Hanya giginya digigit keras-keras, karena gregeten. Kalau diCeritakan kejadian
semalam, ah, betapakah malunya. Tapi dia tetap berpantang mundur. Malam nanti,
akan diulanginya lagi, dan kali ini dia akan lakukan pembalasan.
Malamnya, Kim Piauw sudah
bersiapdua. Dengan lak-houw-jah ditangan kanan, dan obor ditangan kiri, dia
menghampiri perkemahan Ceng Tong. Pikirnya, sekalipun budak itu bisa silat,
tapi dua tiga gebrak pasti dapat diringkus. Segera Lak-houw-jah dikibasduakan
untuk melindungi mukanya ketika memasuki kemah sigadis.
Dia girang ketika nampak Ceng
Tong meringkuk disudut dan sekali lonCat ia terus menerkamnya.
“Celaka!” demikian iaberteriak
kaget ketika kakinya terasa terikat. Hendak dia lonCat mundur, tapi sudah tak
keburu. Masih dia hendak membuka tali yang sengaja dipasang oleh Ceng Tong,
tapi sekali sentak, nona itu telah membuat Kim Piauw terpelanting.
“Diam!” bentak Ceng Tong sambil
lekatkan ujung pedang keperut Kim Piauw.
“Kalau harus bergadang seperti
kemaren malam, sungguh aku tak kuat. Tapi kalau kuhabisi nyawa bangsat ini,
kedua kawannya pun harus dibunuh!” pikir Ceng Tong. Cepat ia suruh Kim Piauw
supaya panggil kawannya.
Kim Piauw seorang kangouw yang
berpengalaman juga.
Tahu dia apa yang dimaksud oleh
sinona, maka ia membungkam saja tak mau menurut perintah sinona.
Ceng Tong gerakkan tangannya agak
keras. Ujung pe dangnya menembus pakaian dan menusuk daging Kim Piauw. Kini
baru Kim Piauw bertobat. Perut adalah bagian yang paling ringkih, sekali
tertusuk, kantong nasinya pasti bedah.
“Dia tentu tak mau datang!”
akhirnya Kim Piauw me nyahut.
“Yangan banyak sekali omong,
lekas panggil! Tapi awas, sedikit kau boCorkan, kontan kusuruh kau menghadap
Giam Se Ciang.”
Barulah kini Kim Piauw
terperanjat sekali.
“Adakah budak ini Chui-ih-wi-sam
sendiri?!” pikirnya. Tapi terpaksa dia harus berteriak: “Lao-toa, kemarilah
lekas!”
“Ketawalah!” perintah Ceng Tong.
Kim Piauw meringis dan terpaksa
tertawa seperti kuda mei’ingkik.
“Setan! Yang wajar!” bentak Ceng
Tong.
Dan karena makin menyusupnya
ujung pedang kedalam kulit perutnya, memaksa dia tertawa lebardua, sekalipun
lebih mirip dengan suara burung kukukbeluk ditengah malam.
It Lui dan Haphaptai memang sudah
terbangun.
“Lao-ji, yangan keliwatan.
Peliharalah tenagamu!” damprat It Lui.
Dia adalah ketua dari Kwantong
Liok Mo. Sikapnya keras, berdisiplin dan tingkahnya lebih prihatin. Karenanya,
kelima saudaranya yang lain sama mengindahkan. Maka tak sudi ia datang memenuhi
panggilan Kim Piauw itu.
Melihat itu, Ceng Tong suruh
panggil “Lao-su,” adik keempat, jakni Haphaptai.
Haphaptai, orangnya polos, suka
berterus terang. Melihat tingkah Kim Piauw itu, sebenarnya ia kurang senang.
Tapi karena tunggal persaudaran, ia sungkan menasehati. Maka atas panggilan Kim
Piauw itu, ia pura-pura tak mendengar saja.
“Ah, kalau kelak aku dapat lolos,
akan kuCinCang ketiga bangsat ini, untuk menebus penghinaan ini,” demikian Ceng
Tong membatin.
Dengan tetap mengaCungkan
pedangnya, Ceng Tong lalu meringkus Kim Piauw. Setelah itu, ia bersandar
kedinding kemah. Namun ia tak berani tidur.
Besoknya, ia lihat Kim Piauw
malah enakdua menggeros, Ceng Tong memberi “sarapan” Cambuk. Kim Piauw
gelagapan, tahu-tahu dia rasakan dadanya dilekati ujung pedang, dan suara
anCaman Ceng Tong: “Awas, sedikit saja kau bersuara, dadamu robek!”
Cambukan Ceng Tong tadi
mengenakan kepala, hingga Kim Piauw berlumuran darah menahan rasa sakit.
“Ah, kalau kubunuh ia saat ini,
bahaya segera datang. Lebih baik kubiarkan dia hidup dulu. Rasanya nanti sore
Suhu pasti sudah datang,” tiba-tiba Ceng Tong robah pikirannya. Lalu diambilnya
saputangan untuk mengusap darah dikepala Kim Piauw, seraya bersenyum: “Ah,
kiranya kau memang ber-sungguh-sungguh!”
Kim Piauw menyengir, tak tahu apa
yang dimaksud oleh ninona.
“Bangsa Uigor kami mempunyai adat
kebiasaan: Dua malam sebelumnya, orang lakidua yang belum dikenal tak boleh
mendekati. Dan lagi, orang lakidua itu harus berdarah dulu. Sekarang,
selesailah, malam nanti kau boleh datang,” menerangkan Ceng Tong.
Sebelum Kim Piauw dapat berkata
apa-apa kembali Ceng Tong memesannya: “Tapi yangan sekali-kali memberitahukan
mereka!”
Kim Piauw masih bersangsi, tapi
Ceng Tong telah membuka tali pengikatnya dan mendorongnya keluar kemah. Di sana
sudah menunggu It Lui yang menjadi kaget melihat muka Kim Piauw bernoda darah.
“Lao-ji, kau kenapa? Apa yang
terjadi dengan perempuan itu? Yangan sampai kau kena diselomoti orang,” te
gurnya dengan Curiga.
Teringat bahwa sekalipun masih
dalam sakit, nona itu masih bertenaga kuat untuk meringkusnya, menyimpan pedang
dan dapat berbahasa Han serta mengetahui tentang kematian Giam Se Ciang, maka
Kim Piauw segera ajak toakonya untuk membekuk nona itu. Karena terang, nona itu
bukan gadis Ui yang kebanyak sekalian.
Tapi sejak melepaskan Kim Piau
tadi, Ceng Tongpun sudah bersiap. Begitu It Lui dan Kim Piauw mendatangi, sebat
sekali ia sudah lari kesisi kudanya. Lebih dulu dia tusuk pecah kantong air
dari Kim Piauw dan Haphaptai. Sesudah itu, ia babat putus tali kantong air yang
paling besar kepunyaan It Lui, untuk disanggapi dan terus lonCat keatas
kudanya.
It Lui bertiga hanya
terlongong-longong mengawasi bagaimana air manCur dari kedua kantong itu jatuh
ketanah dan hilang dihisap pasir. Dipadang pasir, dua kantong air jauh lebih
berharga dari segenggam mutiara. Sudah tentu ketiga orang itu marah sekali.
Dengan menghunus senjata, mereka menyerbu maju.
Ceng Tong tengkurep dipunggung
kuda. Ia batukdua dan serunya: “Kalau kalian berani datang, akan kutusuk lagi
kantong ini!”
Ujung pedangnya segera dilekatkan
pada kantong-air besar kepunyaan It Lui tadi. Kwantong Liok Mo merandek.
Kembali Ceng Tong batuk dan
berkata: “Dengan baik-baik akan kubawa kamu kepada Chui-ih-wi-sam, tapi kamu
ber balik akan menghina aku. Dari sini sampai ketempat sumber air, masih enam
hari lagi. Kalau kamu akan menCelakakan aku, lebih dulu akan kupecah kantong
air ini. Biarlah kita bersama-sama mati kehausan dipadang pasir sini!”
Ketiga Sam Mo itu saling
berpandangan. Mereka gusar tapi tak berdaya. Adalah It Lui yang lebih dulu
mendapat akal. Hendak dia pura-pura meluluskan, baru nanti membunuh nya.
Maka segera dia menyahut: “Ya,
kami takkan menyusah kan padamu. Ayo, kita bersama-sama jalan lagi!”
“Baik, tapi kau bertiga didepan,
aku dibelakangi” kata Ceng Tong.
Terpaksa Sam Mo itu berjalan
dimuka, diikuti dari belakang oleh Ceng Tong.
Tengah hari, hawa panasnya bukan
kepalang. Keempat orang itu seperti pecah bibirnya. Malah Ceng Tong berasa
pening, matanya berkunang-kunang.
“Ah, apakah aku harus binasa
disini?” keluhnya.
“He, aku minta minum!” seru
Haphaptai.
“Taruh mangkukmu diatas tanah!”
perintah Ceng Tong. Haphaptai menurut.
“Kamu bertiga harus mundur 100
tindak!” kembali Ceng Tong berseru.
Kim Piauw agak berajal.
“Tidak mau mundur, tidak kuberi
air!” Ceng Tong me nganCam.
Dengan kemak-kemik memaki, ketiga
orang itu terpaksa mundur. Ceng Tong ajukan kudanya, dan menuangkan air kedalam
mangkuk itu. Setelah itu, ia keprak kudanya me nyingkir jauh.
Ketiga orang itu segera berebutan
maju dan bergantian meminumnya, sampai setetespun tak ada sisanya lagi.
Mereka melanjutkan perjalanannya
pula. Lewat dua jam, tiba-tiba ditepi jalan kelihatan tumbuh serumpun rumput
hijau. Mata It Lui bersinar terang.
“Didepan tentu ada air!” serunya.
Sebaliknya Ceng Tong terkejut.
Hendak ia menCari akal lagi, tapi kepalanya yang serasa pecah itu, rasanya tak
dapat dibuat memikir. Tiba-tiba diudara tampak setitik bayangan hitam, dan
seekor burung melayang datang. Girang Ceng Tong bukan kepalang. Diulurkannya
tangan kirinya, dan hinggaplah burung elang itu diatas pundaknya. Pada kaki
burung itu, terikat sepotong kain hitam, tanda bahwa tak lama lagi Suhunya akan
datang.
It Lui Curiga dan menduga tentu
ada sesuatu yang aneh. Sekali tangannya mengibas, sebuah panah kecil segera
melayang kearah pergelangan tangan sinona. Maksudnya, sege ra setelah pedang
sinona jatuh, dengan Cepat dia akan merebut kembali kantong airnya.
Tapi Ceng Tong ayun pedangnya
untuk menyampok panah itu, sekali ayun Cambuknya ia menCongklang kudanya
ke-muka. Sam Mo itu mem-bentakdua terus mengejarnya.
Kira-kira 10an li jauhnya, Ceng
Tong rasanya kaki dan tangannya lemah lunglai, rasanya tak kuat bertahan lagi.
Sekali kudanya menyentak keatas, terpelantinglah nona gagah itu ketanah.
Melihat Ceng Tong roboh,
giranglah Kim Piauw. Cepat-cepat dia menghampiri. Ceng Tong Coba paksakan diri
untuk merajap keatas kuda, tapi kaki dan tangannya dirasakan lemas sekali, tak
dapat digerakkan.
Dalam keadaan berbahaya, biasanya
orang dapat memikir daya dengan tiba-tiba. Demikianlah Ceng Tong. Sebat ia
kalungkan kantong air itu keatas leher burung elangnya, yang terus dilemparkan
keatas udara diantar dengan suitan yang nyaring.
Thian-san Siang Eng, paling gemar
memelihara burung elang. Ditangkapnya anak burung yang masih kecil, dilatih
untuk keperluan berburu dan menyampaikan berita. Karena itulah, kedua jago
suami isteri itu mendapat julukan “Thian San Siang Eng” atau sepasang elang
dari Thian-san.
Burung elang Ceng Tong itu,
adalah pemberian Suhunya yang sudah terlatih. Begitu dengar suitan Ceng Tong,
burung itu segera membubung keatas, terbang ketempat Thian-san Siang Eng.
Melihat “kantong nyawanya” dibawa
terbang burung, bukan main sibuknya It Lui. Dia terus keprak kudanya mengejar.
Juga Kim Piauw dan Haphaptai karena perCaja nona itu tak dapat melarikan diri,
ikut mengejar elang itu.
Kim Piauw sudah gerakkan
tangannya untuk melepas sebuah badidua kecil, atau tiba-tiba terdengar suara
Cambuk menggeletar. Tangannya terasa sakit dan badidua kecil itu terpukul
kesamping. Kiranya itulah Haphaptai yang memukul dengan Cambuknya.
“Lao-su, apa maksudmu?” tanya Kim
Piauw dengan marah.
“Hm, kalau badidua itu sampai
kena kantong air itu, bukankah kita akan Celaka ‘.”
Kim Piauw mengakui kesalahannya,
terus keprak kudanya lagi dengan lebih kenCang. Ia adalah begal kuda dari
Liau-tang yang kesohor. Kepandaiannya naik kuda memang hebat sekali. Sekejab
saja ia sudah dapat menyusul It Lui.
Dengan membawa kantong air yang
besar elang itu tak dapat terbang dengan Cepat. Jarak dengan ketiga penge
jarnya, tak seberapa jauh. Tapi kira-kira 10an li lagi, burung itu makin Cepat.
Rasanya sukarlah untuk ketiga orang akan mengejarnya. Tiba-tiba burung itu
melayang turun lurus kebawah.
Dari sebuah tikungan, ada dua
penunggang kuda munCul.
Burung itu berputardua dua kali
diudara, lalu hinggap dipundak salah seorang dari mereka.
Kwantong Sam Mo Cepat
menghampiri. Tampak oleh mereka, salah satu dari kedua penunggang kuda itu,
seorang tua bermuka merah yang berkepala gundul. Sedang yang satunya, seorang
wanita tua yang berrambut putih.
“Mana Ceng Tong?” tanya siorang
tua gundul itu dengan bengis.
It Lui bertiga melengak, tak tahu
harus menjawab bagaimana. Orang tua itu tampaknya gugup. Kantong air diambil,
dan burung itu dilontarkan lagi keatas udara, kemudian disiuli. Burung itupun
berkiCau satu kali, terus terbang. Tanpa menghiraukan Sam Mo lagi, kedua orang
tua aneh itu terus mengikuti burung itu.
It Lui tahu, bahwa kedua orang
tua itu akan pergi menolong sinona. Tapi karena mengira dirinya Cukup tangguh
maka diajaknya kedua Sutenya untuk mengejar.
Kedua orang tua aneh itu, bukan
lain adalah Thian-san Siang Eng, Suhu dari Hwe Ceng Tong. Kira-kira 10 li
jauhnya, burung itu kelihatan melayang turun, dan disitulah Ceng Tong masih
terbaring ditanah.
Kwan Bing Bwe, siwanita tua,
bergegas-gegas lonCat dari kudanya terus mendekap Ceng Tong. Ceng Tong susupkan
kepalanya kedada sang Subo (ibu guru) dan menangis.
“Siapa yang menCelakai kau,”
tanya Kwan Bing Bwe dengan heran.
Saat itu, Kwantong Sam Mo pun
sudah tiba. Ceng Tong tak menjawab, hanya menuding kepada ketiga orang itu,
lalu pingsan tak sadarkan diri.
“LothaoCu (orang tua), mengapa
kau tidak lekas-lekas turun tangan?” seru Kwan Bing Bwe pada suaminya. Sedang
ia sendiri lantas membuka tutup kantong air, dan memberi minum pada Ceng Tong.
Demi mendengar seruan isterinya,
Tan Ceng Tik, siorang tua gundul itu, segera putar kudanya dan menyerang pada
Sam Mo. Begitu dekat jaraknya, dia segera ulurkan lengan nya yang panyang itu
untuk menCengkeram dada Haphaptai.
Haphaptai pandai juga ilmu gumul
bangsa Mongol. Sekali tangan dibalik, dia kiblatkan tangan penyerangnya. Ceng
Tik rasakan lengannya kesemutan.
“Ha, lihai juga orang ini,”
pikirnya.
Tapi jago Thian-san itu adatnya
“suka menang.” Karena itulah, maka meskipun kepandaiannya tinggi, tapi sepasang
suami isteri aneh itu lebih suka menyembunyikan diri dipadang pasir, daripada
bergaul dengan Kawan-kawan nya kaum persilatan didaerah Tionggwan. Perangainya
makin tua makin menjadi, tepat seperti jahe, makin tua makin pedas.
Begitu terkamannya luput, tanpa
memutar kudanya lebih dulu orang tua itu lonCat keatas menyusuli terkamannya
yang kedua. Haphaptai gunakan tangan kiri buat menangkis, dan tangan kanan
digunakan untuk balas menCengkeram dada lawan. Tapi jago tua itu, tiba-tiba
menahaskan tangannya, hingga seketika itu tubuh Haphaptai tergetar, roboh dari
kudanya.
It Lui dan Kim Piauw kaget
sekali. Serentak mereka berdua maju menolong. Tapi dengan mengagumkan sekali,
Haphaptai berjumpalitan dan sudah berdiri diatas tanah. Malah tangannya sudah
siap dengan sebuah belati, terus meneryang maju.
Ceng Tik anCamkan tangannya kiri
kemuka Kim Piauw, berbareng itu sebelah tangannya lagi, menangkap ujung kepala
lak-houw-jak Kim Piauw, siapa segera rasakan tangannya tergetar. Namun iapun
seorang jago yang tangkas. Tangan kirinya diayun, dua buah badidua berbentuk
garpu kecil menyambar muka Ceng Tik. Sudah tentu jago tua itu tak mau ditelan
mentahdua. Cepat dia tundukkan kepala menghindar. Tapi dengan berbuat begitu.
Kim Piauw mem punyai kesempatan untuk menarik lolos senjatanya yang diCengkeram
lawan.
“Darimana ketiga orang asing ini?
Kepandaiannya boleh juga, maka tak heranlah kalau muridku bisa teranCam.”
Selagi Ceng Tik berpikir
demikian, tibas dan belakang kepalanya terasa ada angin menyambar. Itulah It
Lui menye rang dengan senjatanya yang aneh “tok-ka-tang-jin.”
Ceng Tik mendek sembari menyapu
kaki It Lui, siapapun buru-buru lonCat sembari hantamkan senjatanya kearah
jalan darah “giok-Can-hiat” lawan.
Tapi Ceng Tik menggerung sembari
mundur selangkah, serunya: “He, kau juga bisa menutuk!”
“Benar!” sahut It Lui seraya
menyusul dengan tutukan kearah jalan darah “hun-bun-hiat” dipundak lawan.
“Tang-jin,” orang-orangan tembaga
kepunyaan It Lui itu hanya berkaki satu, tapi mempunyai dua tangan, yang saling
merangkap. Sehingga merupakan senjata runCing yang tepat sekali untuk menutup
jalan darah lawan. Disamping itu, karena senjata itu amat berat, maka dapat juga
digunakan untuk menyapu dan menghantam. Lebih dahsyat daripada senjata berat
lainnya. Lazimnya senjata untuk penutuk jalan darah adalah: ‘poan-koan-pit’,
‘pit-hiat-kwat’, tiam-hiat-kong-hwan. Kesemuanya adalah senjatadua yang ringan
dan mengandalkan ketangkasan sipemakai. Jadi ‘tok-ka-tang-jin’ itu, memang luar
biasa dan jarang terdapat didunia persilatan.
Bahwa dengan senjata berat It Lui
gapah sekali untuk menCari jalan darah, telah menyebabkan jago Thian-san itu
terkesiap. Insyap berhadapan dengan lawan yang tangguh, iapun segera keluarkan
seluruh kepandaiannya. Dengan tangan kosong, dia layani dengan sungguh-sungguh
ketiga lawannya itu.
Dilain fihak, Kwan Bing Bwe
menjadi lega hatinya, ketika nampak Ceng Tong mulai tersedar. Tapi ketika ia
berpaling untuk mengawasi jalannya pertempuran, hatinya berdebar karena nampak
sang suami rada keripuhan.
Pedang Ceng Tik masih diselipkan
diatas pelana kudanya, tak sempat diambil. Karena ketika ia lonCat keatas tadi,
sang kuda kaget, terus menCongklang lari belasan li jauh nya.
Memang sudah menjadi watak Ceng
Tik yang beradat tinggi itu, selalu “suka menang.” Tak mau dia mengambil
senjatanya, Cukup dengan tangan kosong melayani tiga jago kangouw kenamaan itu.
Maka pada saat itu, pelan-pelan tampak dia keteter.
Sebat Kwan Bing Bwe bertindak.
Dengan gerak “menempuh badai menderu-deru ,” ia lonCat menusuk punggung It Lui,
siapapun buru-buru berputar diri untuk menangkis dengan tangjinnya.
Tapi belum lagi ujung pedangnya
tiba, Kwan Bing Bwe sudah merobah gerakannya, ‘sret, sret, sret.........’ Tiga
kali samberan pedang dari wanita gagah itu, telah membuat It Lui kuCurkan
keringat dingin karena ngerinya.
Memang jago pertama dari
persaudaran Kwantong Liok Mo itu, belum pernah mengunjungi daerah Se Pak. Maka
tak tahu akan kelihaian dari ilmu pedang “sam-hun-kiam” yang linCah tangkas
itu. Terpaksa dia menjaga diri dengan hati-hati sambil menunggu kesempatan
menyerang. Dalam hati ia heran dan kagum akan permainan pedang si wanita tua
yang bertubuh kurus kecil itu.
Kwan Bing Bwe lanCarkan delapan
kali serangan berantai, susul menyusul makin lihai. Itulah salah satu jurus
yang terhebat dari ilmu pedang “sam-hun-kiam” yang disebut “Mo
Ong-pat-Cun-im-yauw-ti” atau delapan ekor kuda raja Mo Ong minum ditelaga.
Bahwa sekalipun sangat keripuhan
It Lui masih dapat bertahan itu, telah membuat Kwan Bing Bwe heran dan kagum
juga. Diam-diam ia memuji akan kepandaian lawannya.
Kini dengan berkurang seorang
musuh yang tangguh itu, Ceng Tik berada diatas angin. Sepasang tangannya merabu
dengan kerasnya, menCari jalan darah musuh yang berba haja. Sekonyong-konyong
dia membungkuk kebawah dan memungut sepasang badidua kecil yang dilemparkan Kim
Piauw tadi. Dengan memegang sepasang senjata, ia laksanakan harimau yang tumbuh
sayap. Dengan gerak serangan ilmu silat Ngo Bi Pai, dia makin menggenCar.
Belati dari Haphaptai juga
termasuk senjata yang pendek. Maka sesaat itu tampaklah jago Mongol itu
berkelahi seCara rapat dengan jago Thian-san. Kira-kira pada jurus yang
ke-delapan, lengan kiri Haphaptai kena tertusuk badidua. Pa kaiannya robek,
kulit lengannya pun melowek besar.
Melihat gelagat buruk, Kim Piauw
tinggalkan Ceng Tik terus kearah Ceng Tong. Bukan main kagetnya jago tua itu.
Cepat dia tinggalkan Haphaptai untuk lonCat menghadang Kim Piauw. Malah belum
orangnya tiba, badiduanya telah melayang kepunggung Kim Piauw.
Hendak Kim Piauw menyanggapi,
tapi badidua kecil milik nya itu, ditangan jago seperti Ceng Tik, telah berobah
men jadi berbahaya. Pesat dan dahsyat sekali larinya, sehingga meskipun Kim Piauw
sudah dapat menjepit tangkainya, namun senjata itu tetap memberosot lepas,
menyambar mu kanya. Buru-buru Kim Piauw mendek kebawah, dan badidua itu
melayang diatas kepalanya.
Baru saja dia hendak tegakkan
diri, Ceng Tik sudah memburu datang. Melihat bahwa Sukonya tentu tak kuat
melawan, Haphaptai buru-buru maju membantu. Tapi sekalipun dikerubuti dua
orang, jago tua itu tetap unnggul. Sedang difihak sana, It Lui masih ripuh
dirabuh Kwan Bing Bwe, hingga tak sempat untuk memberi bantuan.
Ceng Tong yang sementara itu
sudah bisa duduk, merasa girang bahwa Suhu dan Sukongnya unggul. Kelima orang
itu bertempur dengan seru sekali. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar riuh ramai
longlong binatang yang gemuruh sekali. Suara itu nyaring sangat, kemudian
ber-angsurdua lenyap. Suara yang menggambarkan ketakutan, kelaparan dan
kebuasan.
“Suhu, dengarlah!” tiba-tiba Ceng
Tong lonCat berseru.
Kwan Bing Bwe (suhu Ceng Tong)
dan suaminya lonCat kesamping, memasang pendengarannya. Sebaliknya ketiga Sam
Mo itupun tersengal-sengal napasnya, tak berani menghampiri.
Pada saat itu, gelombang
longlongan itu makin kedengaran nyata lagi. Berbareng itu dari jauh tampak
sekelompok ba yangan hitam mendatangi. Wajah sepasang Thian-san Siang Eng
berobah seketika. Ceng Tik melesat untuk mengambil kuda. Sedang Kwan Bing Bwe
segera memondong muridnya (Ceng Tong) dibawa naik kuda. Ceng Tik berdiri diatas
kuda, memandang kesekelilingnya.
“Kau naik jugalah, Coba kemana
kita akan menying kir!” katanya pada sang isteri.
Setelah meletakkan Ceng Tong
diatas pelana, Kwan Bing Bwe pun ikut berdiri diatas kuda suaminya. Ceng Tik
naikkan sepasang tangannya keatas kepala. Begitu enjot kaki-nya, Bing Bwe injak
pundak sang suami untuk terus lonCat keatas tangannya.
Melihat gerak-gerik yang aneh
dari suami isteri tua itu, ketiga Sam Mo saling pandang, tak habis mengerti.
“Apakah kedua orang tua itu akan
keluarkan ilmu sihir?” tanya Kim Piauw.
Namun baik It Lui maupun
Haphaptai tak dapat menjawab, keCuali ber-jagadua dengan waspada.
“Disebelah utara sana, seperti
ada dua batang pohon besar”, tiba-tiba Kwan Bing Bwe berseru.
“Ada atau tidak, kita harus Cepat
kesana!” teriak suaminya.
Begitu lonCat kembali keatas
kudanya sendiri, sepasang suami-isteri aneh itu terus peCut kudanya kearah
utara. Sam Mo itu ditinggalkan begitu saja.
Melihat kantong air kelupaan
dibawa oleh kedua suami isteri tersebut., Haphaptai buru-buru memungutnya. Pada
saat itu. suara longlong makin nyaring, menyeramkan sekali.
“Kawanan serigala!”
sekonyong-konyong Kim Piauw berteriak, mukanya puCat seperti kertas.
Tanpa pikir lagi, ketiga orang
itu Cemplak kudanya terus mengejar jejak Thian-san Siang Eng.
Lewat beberapa menit kemudian,
dari arah belakang terdengar suara harimau mengaum dan serigala melonglong.
Agaknya gelombang besar dari berjenis binatang yang lari berserakan.
It Lui menengok kebelakang,
ternyata diantara kepulan debu dan pasir, berpuluh-puluhdua harimau,
be-ratusdua onta liar, kambing dan kuda alasan tampak lari tumpang-siur. Sedang
di belakang sana tampak be-ribudua serigala memburu datang. Disebelah depan
rombongan binatangdua itu ada seorang penunggang kuda. Kudanya sungguh seekor
kuda sakti. Dia selalu berada dalam jarak berpuluh tombak dimuka barisan
binatang tanpa teratur itu, se-olahdua seorang penunjuk jalan.
Sekejab saja, penunggang kuda itu
lewat disisi It Lui cs., tertampak bahwa orang itu berpakaian warna kelabu,
tapi karena kotornya, warnanya berobah ke-kuningduaan. Sepintas pandang, orang
itu sudah tua. Sayang mukanya tak kelihatan jelas.
“Kamu bertiga mau Cari mampus?
Lekas menyingkir!” tiba-tiba orang itu berpaling kearah Sam Mo.
Melihat barisan besar dari
binatangdua yang menghampiri dengan gemuruh itu, kuda It Lui menjadi lemas,
terus men deprok dan melempar tuannya ketanah. It Lui Cepat lonCat bangun, dan
pada saat itu belasan ekor harimau lari disisi nya. Raja hutan itu hanya
pikirkan lari, tak mereka hiraukan hidangan manusia. “Mati aku!” teriak It Lui.
Mendengar itu, Kim Piauw dan
Haphaptai putar balik kudanya. untuk menolong. Tapi Celaka, mereka harus me
nyambut serbuan kawanan serigala. It Lui tak mau menye rah mentahdua. Dia putar
senjata tangjinnya untuk melindungi diri. Seekor serigala besar meneryang
dengan nga ngakan mulut dan Calingnya yang tajam.
Tiba-tiba orang tua penunggang
kuda tadi munCul, sekali ulur tangan kiri, batang leher It Lui terangkat naik.
“Lari kebarat!” serunya sambil
lemparkan tubuh yang gemuk dari toako Sam Mo itu pada Haphaptai.
It Lui keluarkan ilmunya
mengentengi tubuh dan berhasil menggamblok dibelakang Haphaptai. SeCepat kuda
diputar, ketiga orang itu terus keprak kudanya dengan pesat.
Sebagai penghuni lama digurun
pasir, tahulah Thian-san Siang Eng betapa lihainya kawanan serigala buas itu.
Sekali keteryang, yangan harap bisa hidup.
Tak lama kemudian, benar juga
disebelah depan ada dua batang pohon besar. Begitu dekat, Ceng Tik lonCat
keatas dahan, kemudian Kwan Bing Bwe lontarkan Ceng Tong pada sang suami.
Mereka bertiga bersembunyi pada dahan yang paling tinggi.
Ketika kawanan serigala hampir
datang, Kwan Bing Bwe peCut kedua kudanya. Kedua kuda itu terus menCongklang
kenCang, lari menyelamatkan diri. Baru saja ketiga orang itu tenang duduknya,
kawanan serigala itu sudah datang. Berada dimuka barisan besar dari binatangdua
itu, adalah si orang tua penunggang kuda tadi.
“He, dia!” tiba-tiba Kwan Bing
Bwe berteriak dengan kaget.
“Hm, benar dia,” sahut suaminya
dengan suara dingin, sembari melirik kearah isterinya.
Melihat wajah Kwan Bing Bwe
mengunjuk kekuatiran dan gelisah, Ceng Tik mendongkol sekali.
“Mungkin kalau aku yang teranCam
bahaya begitu, kau pasti tak begini gelisah!” sindirnya.
“Huh, dalam saat begini, kau
masih pikir yang tidakdua? Lekas tolongi!” bentak Kwan Bing Bwe dengan gusar,
seraya terus menggelantung turun.
Dengan mengeluarkan suara ejekan
hidung, Ceng Tik pegangi tangan sang isteri. Begitu penunggang kuda itu tiba,
Ceng Tik Cepat-cepat menarik tengkuknya terus diangkat keatas pohon. Karena tak
menduga suatu apa, orang itu terangkat naik, sementara kudanya tetap
menCongklang terus, diikuti oleh barisan harimau, kambing dan lain-lainnya.
Dengan berjumpalitan, orang tua
tadi merontadua dari pegangan Ceng Tik, lalu berdiri pada sebuah dahan. Demi
melihat sepasang suami isteri itu, murkalah dia.
“Bagaimana, kau orang tuapun
jerih pada serigala?” tanya Ceng Tik dingin.
“Siapa suruh kau ikut Campur,”
orang tua itu menyahut dengan aseran.
“Hai! Yangan unjuk lagak. Suamiku
tak bersalah me nolongi kau,” seru Kwan Bing Bwe.
Dengar sang isteri membantu, Ceng
Tik puas.
“Menolong aku? Huh, kamu berdua
justeru merusak usahaku!” orang itu tertawa dingin.
“Kau di-kejardua kawanan serigala
lapar sampai begitu kalang kabut, istirahatlah dahulu,” kata Ceng Tik.
“Hah! Aku, Wan Su Siau, takut
kawanan binatang itu?!” orang tua itu makin penasaran.
Kiranya orang tua tersebut adalah
Suhu dari Tan Keh Lok, jakni Thian-ti-koayhiap Wan Su Siau. Sewaktu
kanak-kanak, dia adalah kawan bermain dari Kwan Bing Bwe. Bersamadua berangkat
besar, dan hubungan keduanya sangat mesra. Tapi perangai orang she Wan itu aneh
sekali. Karena urusan kecil, mereka tak mau saling mengalah. Wan Su Siau
mengembara jauh, hingga belasan tahun tak pulang.
Mengira kalau Su Siau takkan
kembali lagi untuk selama nya. Kwan Bing Bwe lalu menikah dengan Ceng Tik. Tak
dinyana, tak berselang lama setelah perkawinan itu, Wan Su Siau tiba-tiba
pulang kekampung. Betapa hanCur hati kedua orang itu, sukar dilukiskan.
Mengetahui latar belakang
hubungan sang isteri dengan Su Siau, Ceng Tik mendongkol sekali. Beberapa kali
dia tantang saingannya itu berkelahi, tapi dia selalu kalah. Andai kata Su Siau
tak memandang muka Kwan Bing Bwe, tentu Celakalah Ceng Tik. Saking malu dan
gusar, Ceng Tik ajak sang isteri pindah jauh kedaerah Hwe.
Tapi rupanya Wan Su Siau tak pernah
melupakan gadia pujaannya itu. Diapun pindah kegunung Thian San yang terletak
tak jauh dari kediaman sepasang suami isteri itu. Walaupun tak pernah
mengunjungi, namun dekat dengan wanita pujaannya, tenteramlah rasa hatinya.
Itulah pengaruh asmara!
Tahu orang mengikutinya, bukan
main marahnya Ceng Tik. Meskipun untuk menCegah kerewelan, Kwan Bing Bwe
sengaja menjaga yangan sampai bertemu dengan orang yang pernah dikasihinya itu,
namun tak urung Ceng Tik senantiasa Cemburuan saja. Karena itulah, berpuluh tahun
perhubungan suami isteri itu selalu tidak akur, aCapkali bertengkar. Sampai
ketiganya sudah menjadi tua, masih saja ganjelan itu tak dapat dihilangkan.
Bahwa kali ini ia dapat menolong
Wan Su Siau, sangatlah menggirangkan hati Ceng Tik.
“Kau orang tua, selalu angkuh
terhadapku. Coba kali ini kau berhutang budi apa tidak padaku?” pikirnya.
Sebaliknya Kwan Bing Bwe merasa
heran, mengapa Su Siau mengatakan ia dan suaminya merusak usahanya. Tapi iapun
Cukup kenal akan tabiat kawannya yang tak pernah suka membohong.
“Mengapa merusak usahamu?” ia
meminta penjelasan.
“Kawanan serigala itu, kian lama
jumlahnya bertambah banyak sekali. Kalau tidak dibasmi, bakal menjadi bahaya
besar didaerah gurun pasir sini. Telah kusiapkan sebuah tempat dimana mereka
nanti akan mati. Tapi sial, datang’- kalian merusak usahaku itu!” ‘
Dikatakan begitu, Ceng Tik kurang
puas. Sedang wajah Kwan Bing Bwe pun kurang senang. Melihat itu Wan Su Siau
buru-buru menghiburnya: “Tapi Tan-toako dan kau memang bermaksud baik, dan
untuk itu aku berterima kasih!”
“Apa yang kau siapkan itu?” tanya
Ceng Tik.
Sebaliknya dari menyahut
pertanyaan, Wan Su Siau tiba-tiba berseru keras: “Menolong orang, lebih perlu!”
Dan begitu lonCat turun dari atas
puhun, Wan Su Siau terus menyerbu ketengah kawanan serigala. Ternyata yang akan
ditolong itu, jalah Kwantong Sam Mo bertiga, mereka waktu itu sudah diteryang
oleh kawanan serigala. Mereka bertiga berkelahi bahu membahu. Kedua ekor
kudanya, siangdua sudah, menjadi makanan kawanan serigala lapar itu.
Belasan ekor serigala telah dapat
dibunuh, namun kawanan serigala itu tak mau mundur, terus menyerarig makin
rapat. Sam Mo sudah menderita beberapa luka digigit atau diCakar.
Dalam saat-saat yang berbahaya
itulah tiba-tiba Wan Su Siau munCui: Sekali sepasang kepelannya diangkat, dua
ekor serigala yang berani mendekati, hanCur kepalanya.
Haphaptai dipegangnya terus
dilemparkan keatas puhun sambil berseru: “Sambutilah!”
Cepat-cepat Ceng Tik
menyanggapinya. Demikianlah , laksana orang melepas peluru, Thian-ti-koay-hiap
melontarkan pula
It Lui dan Kim Piauw, sedang Ceng
Tik yang menyanggapi nya. Dalam pada itu, kembali Koayhiap hantam mati dua ekor
serigala lagi sebagai senjata membuka jalan. Setelah berada dibawah pohon, dia
segera enjot kakinya melambung keatas.
Ketiga Sam Mo itu berSyukur
berbareng kagum. Bagaimana Koayhiap dapat membunuh kawanan serigala semudah
orang membalikkan telapak tangan, bagaimana gerakannya yang linCah tapi
bertenaga besar itu, sungguh seumur hidup baru sekali itu pernah mereka
melihatnya. Serta merta mereka menghaturkan terima kasih kepada Koayhiap. Namun
yang tersebut belakangan ini, tak banyak sekali mengaCuhkan.
Be-ratusdua serigala yang
kelaparan itu sementara itu telah mengerumuni pohon sambil mendongak keatas,
riuh ramai binatangdua itu mengaumdua. Sementara disebelah sana, kawanan maCan
tadi telah dikepung oleh ratusan serigala. Hiruk-pikuk perkelahian terjadi,
hebatnya bukan main. Karena kalah jumlah, sekejap saja harimaudua itu telah
dirobekdua oleh kawanan serigala, dan pada lain saat hanya tinggal tulang
belulangnya saja.
Yang bersembunyi diatas pohon itu
adalah jago-jago yang kenamaan dikalangan Kangouw, namun melihat pemandangan
yang mengerikan itu, tak urung mereka merasa seram juga.
Ketika menyanggapi “dan
meletakkan ketiga Sam Mo itu, Ceng Tik memandang mereka dengan bengis.
“Sukong, mereka bertiga bukan
orang baik-baik “ kata Ceng Tong.
“Oh, kalau begitu lempar saja
untuk makanan serigala,” sahut Ceng Tik terus gerakkan sepasang tangan
merangsang maju. Tapi demi melihat bagaimana buas kawanan serigala itu memakan
korbannya tadi, ia bersangsi, karena kasihan.
Dalam pada itu, kedengaran It Lui
mengajak kedua sau daranya untuk pindah kelain pohon didekatnya.
“Ceng-ji, bagaimana?” tanya Kwan
Bing Bwe. Maksud nya apakah Ceng Tong maukan supaya Sam Mo itu dibunuh semua.
Tapi ternyata Ceng Tongpun tak
tega hatinya. Dan seketika teringat akan lelakonnya sendiri, ia mengelah napas
panyang, air matanya berCucuran.
Kawanan serigala itu datangnya
Cepat sekali, begitu pula perginya. Tahu tak dapat memanjat keatas pohon,
mereka, melonglong keras, lalu balik menuju kebarat lagi menge jar mangsa yang
lain.
Kwan Bing Bwe suruh muridnya
memberi hormat pada Thian-ti-koayhiap, siapa melihat wajah sinona puCat pasi,
lalu mengambil dua butir pil merah, katanya: “Minumlah, ini swat-som-wan!”
Thian-san Siang Eng terkesiap.
Swat-som-wan terbuat daripada ramuan som dan bahandua lainnya yang sukar
diCari. Orang yang hampir mati, dapat disembuhkannya.
“Lekas haturkan terima kasih!”
seru Kwan Bing Bwe.
Hendak Ceng Tong melakukan titah
suhunya, tapi Thian-ti-koayhiap se-olahdua tak mengaCuhkan, sekali melesat
turun, tahu-tahu sudah merupakan sebuah titik hitam diantara pa dang pasir jauh
disebelah sana.
Kwan Bing Bwe gendong sang murid
turun, per-tamadua suruh telan sebutir swat-som-wan dulu. Seketika Ceng Tong
rasakan sekujur badannya hangat dan segar sekali.
“Ha, sungguh rejekimu besar.
Dengan ditolong obat dewa itu, pasti kau akan lekas sembuh,” Kwan Bing Bwe
tertawa.
“Tanpa itupun, ia akan sembuh
juga,” menyelatuk Ceng Tik dengan Cemberut.
“Jadi kau suka melihat Cengji
menderita sakit lebih lama?” tanya Bing Bwe.
“Bah, kalau aku, tak nanti sudi
menerima obat itu!” Ceng Tik tetap membantah.
Kwan Bing Bwe mendongkol. Hendak
ia menyemprotnya, tapi demi melihat pipi Ceng Tong basah dengan air mata, ia
urungkan kata-katanya. Ceng Tong terus didukung untuk di ajak berangkat
kesebelah utara. Sang suami mengikut di belakang, dengan menggerutu panyang
pendek, entah apa yang dikatakannya.
Demikianlah mereka tiba di
Giok-ong-kun, tempat kediaman Thian-san Siang Eng. Setelah tidur lagi, Ceng
Tong sudah separoh sembuh. Kwan Bing Bwe segera menanyainya, mengapa dalam
keadaan sakit ia pergi seorang diri. Ceng Tong tuturkan semua kejadian. Dari
peperangan dengan pasukan Ceng, hingga bertemu dengan Sam Mo ditengah jalan.
Namun apa sebabnya ia lari dari rumah, sengaja tak disebutkannya.
Kwan Bing Bwe mendesaknya, hingga
terpaksa Ceng Tong menCeritakan dengan berCucuran air mata: “Dia......... dia
baik sekali dengan adikku. Semasa
aku pegang pimpinan tentara, ayah dan semua orang juga mencurigai aku berhati
sirik.”
Kwan Bing Bwe berjingkrak, ia
menegas: “Bukankah dia itu Tan-Cong-thoCu yang kau beri pedang pendek itu?”
Ceng Tong anggukkan kepala.
“Ha, dia seorang yang berhati
palsu, pun adikmu seorang gadis yang tak kenal kehormatan. Dua-duanya, harus
menerima kematiannya,” Kwan Bing Bwe marah-marah.
“Yangan, Suhu, yangan
............” ratap Ceng Tong.
“Tidak, biar kubereskan
penasaranmu itu,” seru Kwan Bing Bwe terus melesat keluar.
Mendengar sang isteri ributdua
itu, Ceng- Tik menjenguk kedalam. Hampir saja” dia bertubrukan dengan isterinya
di ambang pintu.
“Mari ikut aku membunuh dua orang
yang bermoral rendah itu,” seru Bing Bwe.
Ceng Tong terhentak bangun.
Hendak ia tahan Suhunya guna diberi penjelasan, namun ia harus membatalkan niat
nya, karena saat itu ia hanya mengenakan pakaian dalam saja. Saking bingung, ia
roboh dan pingsan.
Ketika tersedar, ternyata Suhu
dan sukongnya sudah pergi jauh. Ceng Tong Cukup menginsyapi betapa getas
perangai kedua orang tua itu. Bukan sekali dua saja, tanpa bertanya dulu,
mereka meneryang saja. Apalagi kepandaian sepasang suami isteri itu hebat. Tan
Keh Lok seorang diri, pasti bukan tandingan mereka. Bagaimanakah jadinya nanti,
apabila sampai kedua orang muda itu dibunuh? Memikir sampai disitu, tanpa
menghiraukan badannya masih lemah, Ceng Tong terus Cemplak kudanya mengejar.
KeCuali dalam haldua yang
menyangkut dengan Wan Su Siau,
Ceng Tik selalu menurut kata-kata
sang isteri dalam perkara apa saja. Ditengah jalan dengan gemas Kwan Bing Bwe
terangkan kepada suaminya, siapakah manusia yang harus tak boleh dibiarkan
hidup itu.
“Pedang pusaka pemberianku itu,
oleh Ceng Tong rela diserahkan padanya. Tapi begitu kenal sang adik, dia
lupakan sang taCi. Orang begitu itu tak pantas dikasih hidup.”
“Tapi mengapa adik si Ceng-ji itu
juga begitu tak punya malu, merebut kekasih Cicinya hingga sang Cici sampai
jadi sedemikian rupa?” sahut Ceng Tik.
Pada hari ketiga, tiba-tiba
dilihatnya ada dua penunggang kuda lari mendatangi. Mata Kwan Bing Bwe ternyata
sangat tajam, dan segera ia mengeluarkan seruan tertahan.
“Apa?” tanya suaminya.
“Itu dianya!”
“Siapa? Manusia yang tak berbudi
itu?” Ceng Tik menegas.
“Hm, mari kita papaki!” kata Bing
Bwe. Dasar Ceng Tik memang berangasan, terus saja ia Cabut pedangnya. Isterinya
buru-buru menCegah. Tunggu! Kuda tunggangan mereka luar biasa larinya. “Sekali
lolos kita tentu tak dapat mengejarnya. Lebih baik kita pura-pura tak tahu,
malam nanti baru turun tangan.”
Ceng Tik menurut. Keduanya terus
jalankan kudanya kemuka. Tan Keh Lok ternyata sudah mengetahui dan diam-diam
bergirang. Cepat ia keprak kudanya menghampiri, kemudian turun memberi hormat,
katanya :
“Sungguh kebetulan Cianpwe berdua
berada disini. Apakah Cianpwe berjumpah dengan nona Ceng Tong?”
“Huh, masih kau ber-pura-pura
menanyakannya,” diam-diam Kwan Bing Bwe mendamprat dalam hati. Namun sang mulut
terpaksa menyahut: “Tidak! Ada apa?”
Pada saat itu ia menampak seorang
gadis yang luar biasa Cantiknya, melarikan kudanya mendatangi. Itulah si Puteri
Harum.
“Inilah Suhu dari Cicimu. Lekas
beri hormat,” seru Tan Keh Lok pada nona itu.
Hiang Hiang KiongCu Cepat lonCat
turun dan member hormat pada Ceng Tik suami isteri.
“Sering Cici mengatakan padaku
tentang Cianpwe berdua. Apakah Cianpwe melihatnya?” tanyanya.
“Ah, tak heran kiranya kalau
hatinya berobah. Ternyata nona itu jauh lebih Cantik dari Cicinya,” diam-diam
Ceng Tik memuji.
“Ha, masih boCah sudah berhati
jahat,” sebaliknya Kwan Bing Bwe diam-diam menCaCi.
Mengira orang tak mengerti
bahasanya, Hiang Hiang minta Tan Keh Lok ulangi pertanyaannya.
“Baik, kita bersama menCarinya,”
sahut Kwan Bing Bwe.
Disepanyang jalan, Kwan Bing Bwe
tak putus-putusnya mengawasi wajah kedua orang muda yang rupawan itu yang
tampaknya bersedih.
“Kalau merasa berbuat salah,
sudah tentu gelisah, tapi mengapa mereka Cari Ceng-ji? Mungkin mereka akan
membikin panas hati Ceng-ji supaya merana dan lekas mati,” pikir Kwan Bing Bwe.
Dan karena menduga begitu, ia
sengaja perlambat kuda nya, untuk Cari sang suami dibelakang, bisiknya: “Nanti
kau bunuh yang laki, aku yang perempuan.”
Kembali Ceng Tik mengangguk.
Hampir gelap, mereka berkemah
ditepi sebuah bukit pasir. Habis dahar malam, mereka duduk berCakapdua. Hiang
Hiang nyalakan sebatang lilin dari gemuk kambing. Menampak kedua anak muda itu
sama bagusnya, diam-diam sepasang suami isteri dari Thiansan itu mengelah
napas.
“Ah, mahluk yang begini rupawan,
mengapa hatinya kejam?” demikian pikir mereka.
Tiba-tiba Hiang Hiang tanyakan
Cicinya kepada Tan Keh Lok, siapa untuk menghibur, mengatakan tentu tak sampai
kena apa-apa, karena nona itu mempunyai kepandaian tinggi.
“Tapi Cici sedang dalam sakit,
nanti lebih baik kita bawa ia pulang.”
Kwan Bing Bwe anggap kedua anak
muda itu tengah bersandiwara saja, maka ia merasa sebal.
“Tan-loyaCu, bagaimana kalau kita
berempat ber-main-main sejenak?” tiba-tiba Hiang Hiang menegur Ceng Tik.
Ceng Tik memandang sang isteri,
siapa untuk menghilangkan keCurigaan siorang muda, terpaksa mengangguk setuju.
“Baiklah, mainan apa?” tanya Ceng
Tik.
“Bagaimana kalau kamu berdua juga
ikut?” tanya Hiang Hiang kepada Kwan Bing Bwe dan Tan Keh Lok. Keduanya pun
suka ikut.
Segera Hiang Hiang letakkan
Cambuknya ditengahdua keempat orang itu, lalu diuruk dengan pasir yang dibikin
padat, terus ditaruhi sebatang lilin, katanya: “Pasir ini selapis demi selapis
harus disisip, siapa yang sampai membikin jatuh lilin itu, didenda: menyanyi,
berCerita atau menari. Nah, kau dulu!”
Pisau diberikannya kepada Tan
Ceng Tik, siapa tampak kikukdua. Berpuluh tahun dia tak pernah main-main
seperti kanak-kanak. Maka sambil memegangi pisau, ia masih ragu-ragu.
Kwan Bing Bwe menjorokinya:
“Potonglah!”
Dengan tertawa lebar, Ceng Tik
mulai menabas. Setelah itu datang gilirannya Kwan Bing Bwe. Kira-kira tiga
giliran, pasir itu sudah menjadi semacam tiang kecil, hampir sebesar lilinnya.
Sedikit saja disentuh, lilin pasti jatuh. Tan Keh Lok dengan hati-hati mengiris
lagi tipisdua, kemudian Hiang Hiang. Ketika itu lilin mulai ber-goyangdua, dan
giliran jatuh pada Ceng Tik, tangan siapa agak bergemetaran.
“Yangan belit lho!” Kwan Bing Bwe
tertawa.
Hiang Hiang ikut geli dan suruh
Ceng Tik menCukil sebutir pasir saja. Ceng Tik menurut, tapi karena tangan
gemetar, tiang pasir itu runtuh dan lilinpun jatuh, Ceng Tik berseru keras,
sebaliknya Hiang Hiang ber-tepukdua tangan tertawa, juga Kwan Bing Bwe dan ,Tan
Keh Lok.
“Tan-loyaCu, kau akan menyanyi
atau menari?” tanya Hiang Hiang.
Wajah Ceng Tik kemerah-merahan,
ia menolak keras-keras. Sejak bersuami isteri, Kwan Bing Bwe selalu bertengkar
atau samadua berlatih silat dengan suaminya. Jarang mereka ber luang waktu
untuk bersendau-gurau.
Maka kini melihat sikap sang
suami itu, Kwan Bing Bwe geli, katanya: “Huh, orang tua menipu anak kecil,
pantas!”
“Ya, sudahlah. Aku akan menyanyi
tentang: “sipenjual kuda!” akhirnya kepaksa Ceng Tik mengalah.
Dengan menggunakan suara kecil,
menyanyilah Garuda jantan dari Thian-san itu :
“Aku dengan dikau, sepasang suami
isteri muda seperti kanaka bermain”, masih suka menangis......”
Menyanyi sampai disini, dia
memandang kewajah isterinya. Terkenanglah Kwan Bing Bwe, bagaimana bahagianya
masa mereka menjadi pengantin baru. Jika Wan Su Siau tidak tiba-tiba menyelak
datang, ia yakin tentu dapat hidup rukun dengan sang suami.
Iapun mengakui, bagaimana selama
itu ia selalu bersikap keras kepada sang suami, siapa sebaliknya tetap bersabar
dan menyayanginya. Bahwa aCapkali dia gusar menCembu ruinya, itu adalah karena
mencintainya. Tak dapat dipersalahkan. Ialah sendiri yang masih terkenang akan
sang kekasih lama (Wan Su Siauw), sehingga sering menumpahkan kemarahannya pada
sang suami. Pada saat itu, insyaplah ia akan kesalahannya. Tanpa disadari, ia
mengepal tangan Ceng Tik.
Saking terharu, Ceng Tik
mengembeng air mata. Kwan Bing Bwe hanya mengunjuk sedikit keCintaan, tapi ia
sudah begitu terharu. Ini membuktikan betapa besar kasih Cintanya kepada sang
isteri, yang selama itu bersikap tawar saja. Malah ketika itu, Kwan Bing Bwe
memberi senyuman kepadanya.
Melihat sepasang suami isteri tua
itu saling unjuk pera saannya, Keh Lok dan Hiang Hiang senang hatinya. Kembali
mereka lanjutkan permainannya. Dan kali ini, Keh Lok kalah. Dia menCeritakan
dongeng Sam Pek — Ing Tay.
Thian-san Siang Eng berdua paham
Cerita itu. Tanpa merasa, mereka melamun ......... Sam Pek dan Ing Thay adalah
sepasang kekasih yang tak beruntung menjadi suami isteri. Sebaliknya mereka
(Thian-san Siang Eng) bisa terang kap menjadi suami isteri hingga sampai begitu
tua. Sekalipun berpuluh tahun ikatan Cinta mereka terhalang oleh sesuatu, pada
saat itu mereka sama menginsyapi kesalahannya masing-masing. Ini sungguh sangat
membahagiakan hati kedua suami isteri itu.
Hiang Hiang baru pertama itu
mendengar kisah Sam Pek — Ing Thay. Bermula ia menertawai Sam Pek mengapa
begitu tolol tak dapat membedakan antara wanita dengan pria.
“Ah, akupun setolol Sam Pek tak
dapat mengenal Wan Ci seorang gadis,” diam-diam Keh Lok gegetun dalam hatinya.
Ia mengelah napas dalamdua.
Permainan selanjutnya, kembali
Tan Ceng Tik kalah. Tapi dia tak punya bahan nyanyian lagi.
“Baiklah, aku yang mewakili kau,”
kata Kwan Bing Bwe. “Akupun akan mendongeng.”
Ia mendongeng tentang kisah
perCintaan yang menyedih kan dari Ong Gui dan Kui Ing.
Malam mulai dingin. Hiang Hiang
mendempelkan tubuh nya pada Kwan Bing Bwe, siapapun senang untuk memeluk nya.
Maksud Kwan Bing Bwe dengan
dongengannya itu, adalah untuk menyadarkan perbuatan kedua anak muda itu agar
menginsyapi kesalahannya. Jadi apa bila nanti sudah meninggal, tak penasaran.
Tapi baru saja berCerita sampai separoh, tiba-tiba ia membau bau yang harum
sekali, bagaikan didekatnya ada tumbuh bunga. Ketika ia menundukkan ke palanya,
didapatinya Hiang Hiang sudah pulas dipangkuan nya.
Thian-san Siang Eng tak punya
anak, sehingga ada ka lanya mereka itu merasa kesepian hidupnya. Diam-diam Kwan
Bing Bwe termenung, kalau saja ia dianugerahi seorang puteri yang sedemikian
Cantiknya, wah, betapa senangnya!
Waktu itu, lilin sudah padam.
Hanya bintang-bintang dilangit, yang berkelap kelip. Hiang Hiang mirip dengan
seorang anak kecil yang tidur dipangkuan ibunya.
“Mari kita istirahat!” seru Ceng
Tik.
“Ssst, yangan berisik!” bisik
Kwan Bing Bwe sembari bangkit untuk mendukung Hiang Hiang kedalam kemah.
Setelah dibaringkan, lalu diselimuti dengan permadani.
Dalam mimpinya, Hiang Hiang
menggigau: “Mak, ambilkan susu kambing untuk rusa kecil itu. Yangan sampai ia
kelaparan.”
Kwan Bing Bwe terkesiap,
sahutnya: “Baik, tidurlah!”
Setelah mengundurkan diri,
diam-diam Kwan Bing Bwe berpikir sendiri: “Terang ia itu seorang anak yang
tulus dan berhati baik. Mengapa dapat melakukan perbuatan merebut kekasih itu?”
Dalam pada itu, dilihatnya Tan
Keh Lok tidur dilain kemah yang jauh jaraknya dengan kemah Hiang Hiang. Kwan
Bing Bwe meng-angguk-angguk sendiri.
“Mereka tidak tidur dalam satu
kemah?” bisik Ceng Tik.
Kembali Kwan Bing Bwe hanya
mengangguk saja.
“Dia belum tidur. Masih
gulak-galik mengawasi badidua pemberian Ceng-ji. Kita tunggu sampai dia sudah
pulas atau beber dulu kesalahannya supaya dia mengetahuinya?” tanya Ceng Tik
pula.
Kwan Bing Bwe kelihatan
bersangsi.
“Bagaimana pendapatmu?” tanyanya.
Sebenarnya hati Ceng Tik waktu
itu penuh diliputi dengan kasih sayang. Sedikitpun tak berniat membunuh orang.
“Baik kita tunggu sampai dia
sudah pulas baru turun tangan. Biar dia meninggal tanpa menderita kesakitan,”
ka lanya.
Ceng Tik pimpin tangan isterinya.
Keduanya duduk saling bersandar, tanpa menguCap suatu apa. Tak lama kemudian.
Tan Keh Lok masuk tidur.
“Biar kulihat dia sudah tidur apa
belum,” kata Ceng Tik.
Lagi-lagi Kwan Bing Bwe
mengangguk. Tapi ternyata Ceng Tik ogah bangun. Hanya mulutnya bisik-bisik
entah menyanyikan lagu apa.
“Siap?” tanya Kwan Bing Bwe.
“Ya!”
Namun keduanya tetap segan
berbangkit, suatu tanda mereka itu masih ragu-ragu.
Yang sudahdua, Thian-san Siang
Eng membunuh orang tanpa berkesip. Orang-orang kangouw yang telah terbinasa
ditangan mereka, entah berapa banyak sekalinya. Tapi pada saat itu, mereka
seperti berat hatinya.
MALAM makin larut, hawa dingin
serasa menggigit tulang. Sepasang suami isteri tua itu saling berpelukan untuk
melawan dingin. Siisteri susupkan kepalanya kedalam dada sang suami. Sedang
sisuami, meng-usapdua kepala isterinya. Tak berapa lama, mereka tertidur. Dan
dengan begitu maksud untuk membunuh kedua anak muda, lenyap dalam impiannya.
Keesokan harinya, ketika Keh Lok
dan Hiang Hiang bangun, mereka tak dapatkan Tian-san Siang Eng disitu. He ran
mereka dibuatnya.
“Lihat, apa itu!” tiba-tiba Hiang
Hiang berseru.
Keh Lok berpaling kearah yang
ditunjuk Hiang Hiang. Diatas sebidang pasir terdapat tulisan yang berbunyi:
“Kalau tidak memperbaiki
kesalahan, tentu kami ambil jiwa kalian.”
Tulisan itu besardua. Terang
ditulis dengan pedang. Keh Lok kerutkan alisnya untuk memeCahkan artinya. Hiang
Hiang tak mengerti huruf Han, maka ditanyakannya kepada Keh Lok.
Untuk menjaga yangan sampai nona
itu bersedih hati, Keh Lok memberi keterangan lain: “Mereka bilang ada
mempunyai urusan penting, maka akan pergi lebih dulu.”
Hiang Hiang mengelah napas,
katanya: “Kedua Suhu dari Ciciku itu sungguh baik sekali ............” Dan
belum lagi uCapannya itu selesai, tiba-tiba ia lonCat berbangkit, katanya
dengan kaget: “Dengarlah!”
Segera Keh Lok mendengar juga
suara longlongan binatang yang seram sekali.
“Kawanan serigala, Ayo, kita
lekas-lekas lari!” serunya Cepat.
Keduanya segera mengemasi tenda
dan barang-barangnya, lalu Cemplak kudanya. Tapi pada saat itu, kawanan
serigala telah munCul. Beruntung kuda mereka adalah kuda istimewa, dalam
sekejaban saja dapatlah mereka meninggalkan kawanan serigala itu jauh dibelakang.
Kawanan serigala itu sangat
lapar. Segera mereka menge jar mati-matian. Sekalipun sudah ketinggalan jauh,
namun mereka tetap mengejar, dengan membaui jejak orang.
Kira-kira lari setengah harian,
Keh Lok merasa sudah aman lalu berhenti untuk minum. Tapi baru saja ia hendak
membuat api untuk membakar daging, tiba-tiba kawanan serigala
sudah munCul lagi. Bergegas-gegas
keduanya melarikan kudanya lagi. Hampir petang, betul-betul kawanan serigala
itu sudah tak kelihatan. Mereka lalu memasang kemah untuk beristirahat.
Kira-kira tengah malam, selagi
keduanya tengah enakdua tidur, kuda putih itu meringkikdua keras, dan kakinya
menyepakdua, sehingga Keh Lok terbangun. Kiranya kawanan serigala itu sudah
mendatangi pula. Hiang Hiang juga tersedar. Tanpa, mengukuti tendanya lagi,
dengan membawa kantong air dan makanan, keduanya terus naik kuda larikan diri.
Di-kejardua seCara begitu, mereka
jauh mengarungi padang pasir yang luas, namun kemana saja, kawanan serigala itu
tetap mengejar. Keruan saja kuda mereka menjadi sangat kepayahan. Kuda merah
dari Hiang Hiang sudah tak kuat lagi dan roboh ketanah terus putus nyawanya.
Kini terpaksa kuda putih itu harus dimuati Tan Keh Lok dan Hiang Hiang. Sudah
tentu, larinyapun makin berkurang Cepat.
Pada hari keempat, mereka tak dapat
meninggalkan kawanan serigala itu dalam jarak jauh.
“Ah, kalau saja bukan kuda sakti
ini, lari sehari semalam saja, tentu sudah mati kepayahan. Dia dapat bertahan
sampai tiga hari. Tapi kalau harus lari lagi untuk setengah hari saja, iapun
tentu mati payah juga,” pikir Keh Lok.
Tak antara lama, disebelah depan
tampak ada segerombolan pohon. Kesitulah Keh Lok berhenti, perlu untuk memberi
istirahat pada kudanya. Bersama Hiang Hiang dia membuat dinding dari pasir yang
ditumpuk tinggi. Diatasnya ditaruhi dahandua dan daundua kering, lalu
dibakarnya. Jadi kini mereka berdua dengan seekor kudanya, berada ditengahdua
lingkaran api.
Pada lain saat, munCullah kawanan
serigala itu. Binatang itu paling takut api. Mereka hanya mondar-mandir
disekeli ling luarnya, tak berani dekatdua.
“Nanti kalau kuda kita sudah
Cukup kuat, kita mener-yang keluar,” kata Keh Lok.
“Apa kita dapat menobros keluar?”
tanya Hiang Hiang.
Sebenarnya Keh Lok tak terlalu
yakin, namun untuk menghiburnya, terpaksa dia menjawab dengan pasti.
Melihat bagaimana tubuh
serigaladua itu kurus kering karena kurang makan, Hiang Hiang merasa kasihan.
Mendengar itu, Tan Keh Lok hanya
ganda tertawa, pikir nya: “Saking berhati welas-asih, pikiran dara inipun luCu.
Sedang kita bakal menjadi makanannya, masa masih merasa kasihan pada mereka.
‘Kan lebih baik mengasihani diri sendiri.” *
Sebentar memandang kepada wajah
Hiang Hiang yang merah dadu itu, kemudian mengawasi gigi dan Caring dari
serigaladua yang tampak runCingdua panyang itu serta berkete san air liurnya,
tergetarlah hati Tan Keh Lok.
Perasaan Hiang Hiang tajam
sekali. Tahu ia mengapa orang muda itu memandangnya dengan mata yang menyayang.
Terang kalau kesempatan untuk lolos, kecil sekali. Diham pirinya sianak muda,
kemudian dipegang tangannya.
“Didampingmu, tak ada yang
kutakutkan. Kelak kalau binasa, kita berdua masih dapat berkumpul disorga
loka,” demikian katanya.
Keh Lok tempelkan tangan sinona
kedadanya, pikirnya : “Aku tak perCaja akan sorga loka. Kelak ia berada diatas,
sebaliknya aku meringkuk dineraka. Dengan berpakaian serba putih, ia akan
bersandar pada langkan emas dinir wana. Apabila ia mengenangkan aku, ia pasti
akan mengu Curkan air mata. Butir-butir airmatanya tentu harum juga. Bila
menetes jatuh diatas bunga, bunga itupun tentu akan lebih Cantik
lagi..................”
Hiang Hiang menatap wajah Keh
Lok, siapa nampak ber senyum. Tapi wajahnya kelihatan bersedih dan mengelah
napas. Ketika Hiang Hiang hendak memejamkan mata, tiba-tiba dilihatnya diantara
dahandua dan daundua itu sudah ada yang hampir terbakar habis. Apinya pun
hampir padam. Tersentak bangun, ia terus menambah dahan pembakar lagi. Justeru
pada saat itu, tiga ekor serigala menobros masuk dari bagian yang padam apinya
itu. Keh Dok sebat sekali sudah menarik Hiang Hiang kebelakang. Dalam pada itu,
kuda putih tadi, sudah dapat menyepak keluar seekor serigala.
Sekali bergerak, Keh Lok berhasil
memegang batang leher seekor serigala, terus dihantamkan kearah serigala
lainnya.
Tapi binatang itu dapat
menghindar, lalu meneryang pe nyerangnya. Sedang ada dua ekor lagi yang
meneryang” masuk dari tempat tadi.
Dengan sekuat-kuatnya tenaga Keh
Lok lontarkan serigala yang dipegang itu kearah mereka, hingga seketika
binatang itu bergelundungan saling gigit. Selagi begitu, Keh Lok menyembat sebatang
dahan yang masih terbakar, hendak dipukulkan pada salah seekor serigala. Tapi
binatang itu dengan menyeringai buas, menerkam kearah tenggorokannya. Sebat
sekali, ketua HONG HWA HWE itu susupkan batang dahannya kedalam mulut
sibinatang, terus sampai kedalam perut. Karena kesakitan hebat, binatang itu
lonCat keluar lingkaran, ber-kuikdua ditanah. Kawan-kawan nya bergelombang
datang dan saling gigit. Sekali membau darah, sekejab saja serigala yang sial
itu, tinggal tulang saja.
Keh Lok tutup lagi lubang tadi
dengan bahan bakar. Ter nyata kayu bakar itu tinggal sedikit. Keh Lok Coba akan
berusaha menCari lagi. Beruntung pohon-pohon berada dibelakang, hanya terpisah
belasan tombak jauhnya. Dengan menenteng kao-kiam-tun (pedang berperisai) dan
memegang bandringan Cu-soh, dia suruh Hiang Hiang nyalakan api lebih besar.
“Hati-hatilah!” kata Hiang Hiang.
Dengan memutar bandringan, Tan
Keh Lok menobros keluar. Dia gunakan ilmunya mengentengi tubuh, lonCat
ketempafi pohon. SeCepat itu juga, kawanan serigala meneryang. Yang pertama,
dua ekor telah remuk kepalanya terhantam bandringan. Dan dua tiga kali lonCat,
Keh Lok sudah mendekati pohon. Pepohonan disitu pendek-pendek, mudah dirangsang
serigala. Dengan kao-kiam-tun untuk melindungi diri, Tan Keh Lok gunakan sebelah
tangannya untuk kumpulkan dahandua kering.
Berpuluh-puluh ekor serigala
mengerumuninya. Mereka meng anCam hebat. Tapi setiap kali menerkam, Keh Lok
dapat memukulnya mundur dengan kao-kiam-tun, perisai yang mempunyai sembilan
ujung pedang bengkok.
Setelah dapat sebongkok besar,
Keh Lok berjongkok untuk mengikat dengan Cusohnya. Tiba-tiba seekor serigala
yang buas lonCat menerkam. Sekali putar kao-kiam-tun, binatang
itu tertusuk mati. Tapi karena
pedang pada perisai itu bengkok seperti kait, binatang itu tertanCap tak bisa
lepas. Keh Lok buru-buru menariknya terus dilemparkan kepada kawanan serigala
itu, yang terus ramaidua memakannya. Menggunakan kesempatan itu, dia berhasil
kembali kedalam lingkaran berapi tadi.
Hiang Hiang menyambut dengan
girang sekali sambil susupkan kepalanya kedada orang. Untuk mendekap tubuh
sinona, Tan Keh Lok lempar bongkokan kayu ketanah. Sesaat kemudian, ketika ia
mendongak, ia menjadi terkejut tak terkira.
Kiranya dalam lingkaran api itu
ternyata” Sudah bertambah dengan seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar.
Pakaian-nya Compang Campinfe tak keruan, tangannya menghunus pedang, badannya
berlumuran darah. Dengan» ‘tenang dan dingin orang itu menyandang Tan Keh Lok.
Dia bukan lain jalan seteru
besarnya, ‘Hwe-Chiu-poan-koan’ Thio Ciauw Cong!
Pertemuan yang tak disangkadua
membuat keduanya hanya saling pandang, tanpa berkata suatu apa.
“Dia lari dari kawanan serigala.
Mungkin karena melihat api kita ini, dia menobros kemari. Lihatlah, bagaimana
payah rupanya itu,” kata Hiang Hiang.
Hiang Hiang menuang air dalam
sebuah Cangkir, lalu diberikan pada Ciauw Cong, siapa terus menegaknya habis
sekaligus. Dengan lengan baju, dia pesut keringat dan noda darah diwajahnya.
Tiba-tiba Hiang Hiang menjerit kaget, demi teringat bahwa orang itu ialah
pembesar utusan kaisar yang pernah bertempur dengan Tan Keh Lok ketika dimar
kas besar jenderal Tiau Hwi dulu itu. Kemudian pernah bertempur dengan Bun Thay
Lay dalam lubang perangkap tempo hari.
Dengan terlongong-longong, nona
Ui itu mengawasi Ciauw Cong.
“Mari, silakan kawan!” seru Keh
Lok siap dengan kao-kiam-tun dan Cusohnya.
Ciauw Cong mengawasi dengan mata
melotot. Tiba-tiba dia terhujung jatuh kebelakang. Kiranya setelah menolong
Horta, ia hendak terus mengejar Tan Keh Lok. Tapi ditengah jalan ia berpapasan
dengan kawanan serigala. Horta mati dimakan binatangdua buas itu. Dia sendiri
berkat kepan daiannya yang lihai, berhasil lolos. Sehari semalam penuh, dia larikan
kudanya, sehingga tunggangannya roboh mati kepayahan.
Dengan menahan lapar dan dahaga,
ia lari berjalan kaki sehari penuh. Ketika menampak ada api, ia paksakan diri
untuk menghampiri. Siapa nyana disitu ia bertemu dengan ketua HONG HWA HWE Tapi
saking kepayahan, tenaganya menjadi habis. Tadinya karena hatinya keras, ia
paksakan dirinya sekuat-kuatnya. Tapi ternyata pada saat itu, betul-betul ia
tak kuat lagi, terus roboh tak sadarkan diri.
Hendak Hiang Hiang maju
menolongnya, tapi keburu ditarik oleh Tan Keh Lok.
“Orang itu berbahaya sekali,
yangan kena diakali!” kata pemuda itu.
Setelah beberapa saat masih tak
berkutik, barulah kedua nya menghampiri lebih dekat. Hiang Hiang perCikkan air
dingin pada keningnya, dan memberinya minum susu kambing. Sesaat kemudian,
Ciauw Cong bisa sadar. Dia minum seCangkir lagi, lalu tidur pula.
Keh Lok diam-diam berSyukur,
karena rupanya Allah mengirim orang jahat itu jatuh kedalam tangannya. Untuk
menghabisi jiwanya, adalah mudah sekali. Namun hati nuraninya mengatakan bahwa
membunuh orang yang tak berdaya itu, bukan laku seorang kunCu (gentleman).
Apalagi kalau mengingat Hiang Hiang yang berhati welas-asih itu, pasti kurang
senang bila nampak hal yang demikian itu. Namun kalau mengampuninya, bila ia
sudah Cukup bertenaga, di kuatirkan ia sendiri menderita kekalahan.
Berpaling kepada Hiang Hiang,
dilihatnya sepasang mata nona itu mengembeng air mata. Apa boleh buat, Keh Lok
terpaksa mengampuni sekali lagi pada penjahat itu. Dalam pada itu dia
mengharap, agar penjahat itu mengingat keadaan disekelilingnya dapat diajak
bahu membahu melawan kawanan serigala.
Lewat beberapa saat, Ciauw Cong
bangun. Hiang Hiang memberikan sepotong daging bakar dan membalut luka-lukanya
bekas digigit serigala itu. Bahwa
manusia itu, bagaimanapun jahatnya, tentu masih ada setitik hati yang baik.
Demikian pula Ciauw Cong. Ia malu dan menyesal, bahwa perbuatan nya jahat
dahulu itu telah dibalas dengan kebaikan oleh kedua orang muda itu.
“Thio-toako, kini kita samadua
dalam bahaya, permusuhan dahulu untuk sementara, biarlah kita sisihkan. Kita
harus bekerja sama menCari jalan lolos,” kata Keh Lok.
Benar, kalau kita bertengkar,
tentu kawanan serigala yang girang,” sahut Ciauw Cong. Kembali dia mengaso
untuk pulihkan tenaganya.
“Kelak kalau dapat lolos dari
kawanan serigala ini, lebih dulu akan kuberesi Tan-kongCu itu, baru dapat
kubawa siCantik itu. Untuk itu, baginda tentu akan menganugerahi hadiah yang
besar,” diam-diam dia merenung.
Tidak demikian dalam pikiran! Tan
Keh Lok. Waktu itu dia sedang menCari daya bagaimana bisa lolos dari bahaya
kepungan serigala. Teringat olehnya bagaimana tempo hari Ceng Tong telah
membuat long-yan (asap kotoran serigala) untuk menyampaikan berita. Begitulah
dengan gunakan Cu-soh, dia berhasil menggaruk setumpuk kotoran serigala, lalu
dibakarnya. Segulung asap yang tebal, membubung ke udara.
“Taruh kata ada orang yang
melihatnya, merekapun tak nanti berani menolong kemari. KeCuali ada ribuan
pasukan besar, barulah kawanan serigala itu dapat diusir,” kata Ciauw Cong
menggelengkan kepala. Tahu juga bagaimana kecil harapan itu, namun masih juga
Keh Lok menCobanya, daripada tidak ada daya sama sekali dan mati konyol.
Malamnya, mereka menambah bahan
bakar lagi dan ber giliran tidurnya.
“Orang itu jahat sekali, kalau
aku tidur, harap kau berhati-hati mengawasinya,” bisik Keh Lok pada Hiang
Hiang, siapa kelihatan mengangguk.
Keh Lok taruh tumpukkan kayu itu
ditengahdua antara dia dengan Ciauw Cong. Ini untuk menjaga, apabila dia se
dang tidur, yangan sampai Ciauw Cong berbuat jahat.
Sampai tengah malam, kawanan
serigala itu melolong makin riuh. Ketiga orang itu kaget terbangun. Ternyata
ribuan serigala itu tengah mendongak keatas sambil meraungdua dan melolongdua
menyeramkan sekali. Sampaipun serigala yang sudah dijinakkan menjadi binatang
pemburu masih juga kebiasaan itu diteruskan.
Keesokan harinya, kawanan
serigala itu masih berkeliaran disekitar lingkaran api belum mau pergi.
Satuduanya harapan dalam pikiran Keh Lok, mudahduaan ada kawanan onta liar yang
menyasar kesitu, barulah serigaladua itu mau tinggalkan tempat itu untuk
mengejar mangsa baru itu.
Tiba-tiba dari kejauhan, kembali
ada segelombang serigala mendatangi.
Ceiaka, kawanan mereka datang
lagi,” Keh Lok kerutkan jidatnya.
Diantara kepul debu, tiba-tiba
ada tiga penunggang kuda lari mendatangi. Dibelakangnya tampak be-ratusdua
serigala mengejarnya. Ketika sudah dekat, kawanan serigala diseputar lingkaran
itu, lari menyambutnya. Kini ketiga orang itu terkepung dari dua jurusan.
Ketiga orang itu ternyata sangat lihai. Dengan memutar senjatanya, mereka
melawan mati-matian.
“Lekas tolong mereka supaya
kemari,” seru Hiang Hiang.
“Ayo, kita tolong mereka!” Keh
Lok ajak Ciauw Cong.
Dengan menghunus senjata,
keduanya menuju kesana. Dalam sekejab saja, terbukalah sebuah jalan darah dan
masukilah ketiga penunggang kuda tadi kedalam lingkaran api.
Diatas salah seekor kuda itu, ada
lagi seorang yang kedua tangannya terikat, tengkurep diatas pelananya. Tubuhnya
lemas tak berkutik. Dilihat dari dandanannya, ia itu seorang nona bangsa Ui.
Ketiga penunggang kuda tadi, segera menurunkan nona itu.
“Cici Ceng Tong!”
sekonyong-konyong Hiang Hiang menjerit kaget, terus lari menubruk tubuh nona
itu.
Keh Lok pun tak kurang kagetnya.
Memang nona itu, adalah Ceng Tong. Hiang Hiang mengangkat encinya itu, muka
siapa kelihatan puCat pasi dan matanya tertutup.
Kiranya setelah Ceng Tong
mengejar Suhu dan Sukong nya, ditengah jalan bersua dengan Sam Mo. Karena masih
lemah, dengan mudah ia dapat ditawannya.
Dalam perjalanan pulang, Ceng
Tong sengaja menyesat ikan, sehingga mereka kesasar ditengah gurun raja.
Kebetulan mereka lihat asap long-yan, maka mereka menuju ke situ. Tak tahu
kalau disitu mereka hampir kehilangan ji wanya diserbu kawanan serigala, Syukur
ketolongan oleh Tan Keh Lok dan Ciauw Cong.
“Yangan dekat kemari, kau mau
apa?” bentak Kim Piauw sambil kibaskan lak-houw-jah sewaktu Keh Lok akan
menghampiri Ceng Tong.
Pada saat itu, Ceng Tong telah
siuman. Demi dilihatnya Keh Lok dan adiknya berada disitu, ia
terlongong-longong.
“Lekas suruh mereka lepaskan
Cici,” Hiang Hiang meratap pada Keh Lok.
“Kalian ini siapa? mengapa kalian
tawan; sahabatku?” segera Keh Lok tegur Kim Piauw.
Belum Kim Piauw menyahut, It Lui
segera maju kemuka. Dia awasi ketiga orang itu dengan dingin. Katanya: “Jiwi
tadi telah mengulurkan pertolongan, lebih dulu disini aku haturkan terima
kasih. Mohon tanya nama kalian yang mulia.”
Belum Keh Lok menyahut, tiba-tiba
Ciauw Cong telah mendahuluinya: “Dia adalah ketua HONG HWA HWE, Tan Keh Lok!”
Seketika Sam Mo melengak.
“Dan mohon tanya tuan sendiri
punya nama?” kembali It Lui bertanya.
“Aku yang rendah orang she Thio,
nama Ciauw Cong,” jawab Ciauw Cong dengan temberang.
Didahului oleh suara dihidung, It
Lui berkata: “Hm, kiranya Hwe-Chiu-poan-koan. Tak mengherankan kalau kalian
berdua sedemikian lihainya.”
Dia pun lalu perkenalkan diri
mereka.
Diam-diam Tan Keh Lok mengeluh
dalam hati. Belum lagi bahaya serigala terhindar, kini tampil pula 4 orang
lawan yang tangguh. Dia mengambil putusan, lebih dulu hendak berusaha
membebaskan Ceng Tong, baru nanti melihat keadaan nelanjutnya.
“Kuminta segala permusuhan antara
kita ditangguhkan lebih dahulu. Kita sedang menghadapi kawanan serigala.
“Adakah saudara.dua punya daya yang sempurna?” tanyanya kemudian.
Pertanyaan itu membuat Sam Mo
saling pandang, tanpa dapat menjawab.
“Kita mengharapkan saja petunjuk
dari Tan-tangkeh,” akhirnya Haphaptai menjawab.
“Kalau kita bersatu, mungkin ada
harapan lolos. Kalau tidak, tentu akan jadi makanan serigala,” kata Keh Lok.
It Lui dan Haphaptai mengangguk
setuju, sebaliknya Kim Piauw mendongkol.
.,Karena itu, akan kumohon agar
Ku-loheng ini suka lepaskan sahabatku itu lebih dulu, kemudian kita
bersama-sama memikirkan daya lolos,” sambung pula Keh Lok.
,Kalau aku tetap tak
melepaskannya, kau mau berbuat apa?” seru Kim Piauw.
“Aha, kalau begitu, diantara kita
ber7 ini, kaulah yang akan pertama menjadi makanan serigala.” Keh Lok tertawa.
“NgaCo! Juseru akulah yang akan
mengambil kau untuk makanan serigala itu,” bentak Kim Piauw sembari kibaskan
lat-houw-jah.
“Oh, jadi biar bagaimana kau
tetap tak mau lepaskan sahabatku itu? Baiklah. Andaikata aku tak mau berkelahi
dan membiarkannya saja, dalam keadaan seperti ini belum tentu kita semua bisa
hidup. Apalagi kalau sampai kita berdua berhantam, entah siapa yang kalah atau
menang, tapi tentu Dua-duanya akan menderita. Dan pada waktu itu, kita berdua
pasti akan jadi makanan serigala. Nah, sahabat Ku, Coba kau pikir masakdua!”
Mendengar kata-kata anCaman yang
tenang itu, It Lui segera membisiki Kim Piauw supaya lepaskan dulu Ceng Tong,
nanti baru berdaya lagi.
Tapi Kim Piauw, simata keranyang
mana mau lepaskan nona Cantik yang di-idamduakannya itu. Dia menolak anjuran
toakohja.
Dalam pada itu, It Lui telah
menaksir kekuatan sendiri dengan kekuatan lawan.
“Dalam hal jumlah, kita sama.
Tapi konon telah kesohor bahwa permainan pedang dari Hwe-Chiu-poan-koan itu ja
rang terdapat tandingannya dikalangan persilatan. Tadi kusaksikan betapa lihai
gerakan ketua HONG HWA HWE itu melawan serigala. Dan masih ada itu gadis, yang
tentunya juga bukan jago sembarangan. Kalau terjadi pertempuran, terang kita
kalah,” demikian pikir jago Kwantong itu.
Tak sedikitpun ia menyangka bahwa
Ciauw Cong yang paling tangguh diantara mereka ber7 itu, ada difihak Kwantong
Sam Mo. Dan Hiang Hiang sedikitpun tak mengerti nol puntul ilmu silat.
Ketidak tahuan inilah yang
menyebabkan It Lui jeri, lalu membisiki Kim Piauw: “Loji, kau mau lepaskan apa
tidak? Kalau sampai terjadi perkelahian, aku takkan membantumu!”
Tapi Kim Piauw bukan Kim Piauw
simata keranyang, kalau dia begitu gampangdua menyerah. Tahu ia akan ke
masjhuran nama Ciauw Cong, maka ia memilih untuk tantang Tan Keh Lok saja yang
tampaknya bertubuh lemah itu.
“Aku sih tak berkeberatan, tapi
‘lak-houw-jah’ kau inilah mungkin tak mau. Maka kalau kau dapat menundukkannya.
tentu ia suka melepaskan nona itu. Hanya kita ini kaum enghiong, sebaiknya
harus berkelahi satu lawan satu, untuk menentukan siapa yang unggul.”
Sebenarnya dalam keadaan waktu
itu, Keh Lok enggan berkelahi. Karena terang yang untung, adalah kawanan
serigala. Maka ia sedikit ragu-ragu, tak lantas menyahut.
“Yangan kuatir, aku takkan
membantu siapa-apa,” kata Ciauw Cong tiba-tiba.
Kata-kata itu benar ditujukan
pada Tan Keh Lok, tapi sebenarnya adalah sebagai anjuran halus pada Kim Piauw
supaya yangan ragu-ragu membinasakan lawan.
Sudah tentu Kim Piauw ber-sorak
diam hati, serunya segera dengan Congkak: “Kalau kau jeri, yangan usil urusan
lain orang lagi. Kalau berani, mari silakan, dengan tangan kosong atau pakai
senjata, aku suka melayani. Tiga saudaraku angkat telah terbinasa ditangan
orang HONG HWA HWE, maka kebetulan hari ini akan kutuntut pembalasan.” Diungkatnya
soal kebinasaan ketiga saudaranya itu, adalah sengaja ditujukan pada It Lui
dan! Haphaptai. Agar me reka suka membantu, karena ia berkelahi bukan untuk
kepentingan sendiri tapi untuk menuntut balas.
Waktu Keh Lok menatap wajah Ceng
Tong yang saat itu mengunjuk sorot mata kegusaran.
“Kedua taCi-adik ini samadua
menaruh hati padaku. Biarlah aku membalas budi mereka. Kematianku malahan akan
dapat menghindarkan aku dari kesulitan. Aku tak berani menjatuhkan pilihan
kepada mereka, karena takut salah satu tentu akan hanCur hatinya.”
Dengan pertimbangan itu, Tan Keh
Lok segera berkata dengan suara tetap: “Nona ini adalah sahabatku yang akrab.
Sekalipun harus kubajar dengan jiwaku, tetap akan kuminta kau melepaskannya!”
Mata Ceng Tong berCahaja. Tahu ia
bahwa orang muda itu masih belum padam perasaannya kepada dirinya.
“Akupun pertaruhkan jiwaku untuk
nona ini!” sahut Kim Piauw.
“Bagus, kalian boleh berkelahi
sampai ada yang mati salah satu!” seru Ciauw Cong dengan tertawa.
Mendengar itu, tahulah Sam Mo
bahwa orang she Thio itu mempunyai ganjelan dengan Tan Keh Lok.
“Begini sajalah. Kalau kita
saling berhantam, entah kau atau aku yang terbunuh, tak memberi faedah pada
siapapun juga. Lebih baik kita samadua menobros keluar. Siapa yang lebih banyak
sekali membunuh serigala, dialah yang menang!”
Dengan usul itu, hendak Tan Keh
Lok mengurangi anCa man serigala. Segera Haphaptai menyatakan setuju.
“Baik, kalau Tan-tangkeh yang
menang, Ku-jiko ini akan menyerahkan nona itu padanya. Tapi kalau Ku-jiko bisa
lebih dulu membunuh 10 ekor, Tan-tangkeh tak boleh berbantah lagi!” kembali
Ciauw Cong unjuk keliCinan lidah nya.
Keh Lok dan Kim Piauw menjadi
gusar dan menolak usul jahat itu. Karena membunuh serigala, keduanya tak
mempunyai harapan besar untuk menang.
Pada pikiran Tan Keh Lok, dengan
bersenjatakan lak-houw-jah (garu pemburu harimau), tentunya Kim Piauw dapat
membunuh banyak sekali serigala.
Sebaliknya Kim Piauwpun takut
kalah dengan lawan. “Kalau hendak bertempur, aku siap mengadu jiwa. Tapi kalau
mengajak segala tetek bengek permainan anakdua, aku tak sedia menemani,”
katanya.
“Aku yang rendah ini, walaupun
baru pertama ini berkenalan dengan kalian bertiga, namun telah lama kudengar
nama kalian yang kesohor. Sedang dengan Tan-tangkeh ini, betul tempo dulu
pernah bentrok, tapi sekarang hal itu tak “perlu diungkatdua lagi. Sebagai
fihak netral, akan kuusulkan suatu Cara yang dapat mengakhiri persengketaan
kedua belah fihak, tanpa merusakkan perhubungan masing-masing,” kata . Ciauw
Cong pula.
It Lui girang karena keterangan
itu? buru-buru dia menyang gapi: “Silakan Thio-toako mengatakan. Kita pasti
menurut.”
“Dalam keadaan dikepung kawanan
serigala, kalau saling berhantam akibatnya samadua Celaka. Bukankah kata-katamu
tadi begitu, Tan-tangkeh?”
Tan Keh Lok mengangguk.
“Dan kalau bertanding membunuh
serigala, Ku-jiko ini merasa keberatan, menganggap bukan Cara menCari penye
Jesaian yang baik. Nah, aku mengusulkan Cara begini: Kalian berdua dengan
tangan kosong meneryang kearah kawanan serigala sana. Siapa bernyali tikus,
boleh segera lari balik dan dianggap kalah!”
Mendengar itu, semua orang sama
terCekat. Tahu mereka betapa kejam hati orang she Thio itu. Dengan tangan
kosong menyerbu kedalam gerombolan serigala, siapa juga tentu akan binasa.
“Barang siapa yang naas termakan
serigala, yang lainnya segera boleh kembali kesini dan dianggap menang!” melan
jutkan pula Ciauw Cong.
“Kalau kami berdua binasa semua,
lalu bagaimana?” tanya Keh Lok dengan kerutkan jidatnya.
“Demi pengabdianku kepada seorang
gagah, akulah yang akan melepaskan nona ini,” Cepat-cepat Haphaptai memberikan
janjinya.
“Aku perCaja penuh pada saudara
Hap. Dan nona inipun kalian semua tak boleh mengganggunya,” kata Keh Lok
seraya, menunjuk pada Hiang Hiang.
“Biar Allah yang menjadi saksi,
aku Haphaptai, akan. melaksanakan permintaan Tan-tangkeh. Kalau sampai ber
hianat, biarlah aku yang pertama-tama dimakan serigala!”
“Terima kasih, saudara Hap!” seru
Keh Lok seraya rangkapkan kedua tangannya.
Sudah ketua HONG HWA HWE itu
memperhitungkan segala kemungkinan. Taruh kata tidak dikepung kawanan serigala,
tapi menghadapi keempat musuh yang tangguh itu, rasanyapun sukar untuk hidup.
Dengan mengorbankan jiwanya untuk menolong kedua taCi beradik itu, matipun
puaslah dia. Soal usaha besar untuk membangun ahala Han biarlah terus
diperjoangkan oleh saudara-saudaranya dalam HONG HWA HWE
Maka Cepat-cepat ia lemparkan
Cusohnya dan terus menggape pada Kim Piauw: “Sahabat Ku, mari!”
Kim Piauw masih tetap memegangi
Lak-houw-jahnya. Rupanya ia masih ^ragu-ragu. Sekalipun ia bukan orang yang
takut mati, namun ketika disuruh dengan tangan kosong meneryang kedalam
gerombolan serigala, hatinya merasa ngeri juga.
Untuk menjaiga yangan sampai
usulnya tadi gagal, buru-buru Ciauw Cong membikin panas hati orang: “Aha,
bagaimana? Rupanya sahabat Ku jeri? Memang hal itu sangat ber bahaya?”
Tapi Kim Piauw tetap membisu.
Karena tak mengerti bahasanya,
Hiang Hiang hanya mengawasi perubahan wajah orang-orang itu. Tidak demikian
dengan Ceng Tong. Tahu kalau Tan Keh Lok bersedia korbankan jiwa untuknya, hati
Ceng Tong seperti dibetot.
“Yangan! Biar aku saja yang
binasa asal kau tidak kenapa-apa,” serunya.
Biasanya Ceng Tong mempunyai
peribadi yang kuat. Tak mau ia sembarangan mengeluarkan perasaan hatinya. Namun
dalam saat-saat antara mati dan hidup itu, tanpa merasa ia berseru melarang.
Tapi berbareng dengan itu, segera terdengar suara berkerontangan dari sebuah
lak-houw-jah yang dibanting ketanah.
Itulah perbuatan Kim Piauw. Dia
begitu sirik akan rasa kasih yang diunjukkan Ceng Tong kepada sianak muda itu.
Mukanya merah seperti terbakar. Dia memang beradat be langasan. Sekali angot,
apapun tak ditakutinya.
“Sekalipun nanti separoh tubuhku
digeragoti serigala, tetap aku pantang balik lebih dulu dari dia. Ayo!” katanya
segera.
Keh Lok memberi sebuah senyuman
pada Ceng Tong dan Hiang Hiang, terus bersama Kim Piauw meneryang keluar.
Melihat itu, pingsanlah Ceng Tong
seketika. Sebaliknya Hiang Hiang hanya mengerlingkan sepasang biji matanya yang
hitam bundar, tak tahu apa yang terjadi disekitarnya itu.
“Tahan!” tiba-tiba It Lui
berteriak. Karena itu, kedua arang itupun merandek. “Tan-tiangkeh, kau masih
menyimpan badi-badi,” kata It Lui. Memang benar Keh Lok masih membawa badi-badi
pemberian Ceng Tong. Dia memang kelupaan, Bukan mau main Curang.
“Maaf, aku kelupaan,” dia tertawa
seraya mengambil badi-badi itu dan menghampiri Ceng Tong.
“Yangan berduka. Pandanglah
badi-badi ini, berarti kau memandang aku,” katanya mesra.
Pedang diserahkan pada Ceng Tong
siapa kelihatan Cemas sekali sampai tak dapat mengatakan apa-apa. Tiba-tiba
nona itu teringat sesuatu, bisiknya: “Tundukkanlah kepalamu kemari!”
Segera Keh Lok seperti
disedarkan. Cepat dia berpaling kepada Ciauw Cong, katanya:
“Thio-toako, tadi aku kelupaan
masih membawa badi-badi. Sekarang kuminta kau menjadi saksi untuk memeriksa
tubuh kami!”
Ciauw Cong segera menggeledah
badan kedua orang itu.
“Ku-jiko, harap kau tinggalkan
senjatamu rahasia itu!” kata Ciauw Cong ketika dapatkan Kim Piauw masih membawa
senjata.
Dengan geram Kim Piauw keluarkan
belasan batang garpu kecil terus dibanting ketanah. Sikapnya tiba-tiba berobah,
sepasang matanya seakan-akan semerah darah. SeCepat kilat dia menghampiri Ceng
Tong, terus memeluknya. Sesaat dia akan mencium sinona, tiba-tiba punggungnya
dirasakan diCengkeram orang, terus disentak kebelakang.
Selama masuk dalam perserikatan
Kwantong Liok Mo Kim Piauw sering berlatih dengan semua saudaranya angkat. Dia
Cukup kenal siapa yang berbuat itu. Dan memang itulali Haphaptai.
“Laoji, kau tahu malu apa tidak?”
bentak Haphaptai dengan bengis.
Dibanting tadi, Kim Piauw agak
pusing. Dengan menggerung, ia lonCat keluar kearah gerombolan serigala.
Dengan enjot kakinya, Keh Lok
gunakan kepandaiannya mengentengi tubuh. Sekejab saja ia sudah susul berada
didepan Kim Piauw.
Kawanan serigala yang tengah
kelaparan itu, segera menyambut dalam gelombang besar.
Kim Piauw juga lihai. Dengan ilmu
silat Tiang-kun yang terdiri dari delapan1 jurus, ia merupakan tokoh silat yang
dimalui. Tahu ia bahwa pada saat itu ia tengah menghadapi maut, maka diCurahkan
seluruh perhatiannya.
Dua ekor serigala lantas
menyerang dari dua jurusan. Dia berkelit dan seCepat kilat tangan kanan telah
dapat menCengkeram batang leher seekor serigala, sementara tangan kiri pun
dapat menangkap ekor serigala yang lain terus diangkat keatas.
Dalam dunia persilatan memang ada
ilmu yang disebut “teng-koay.” Kabarnya dahulu He Yap, seorang tokoh silat yang
tangguh, ketika sedang menCari angin diluar, tiba-tiba didatangi musuh, yang
mengepung dari empat jurusan lengkap dengan senjatanya. He Yap tidak membawa
senjata apa-apa, terpaksa dia gunakan bangku panyang (dingklik) untuk
bertempur. Dalam sekejab saja, musuhduanya telah dapat disapu, ada yang binasa,
luka dan melarikan diri. Kepandaian itu turun temurun dan merupakan ilmu silat
“teng-koay,” atau bangku panyang (dingklik).
Pun Kim Piauw bermaksud gunakan
serigala itu sebagai” dingklik. Dengan jalankan jurus dari ilmu silat “teng
koay,” dia menghantam kesana sini. Dan hasilnyapun mengagumkan, karena kawanan
serigala itu tak berani dekat.
Dilain fihak, Tan Keh Lok gunakan
lain macam kepandaian. Sewaktu menurunkan ilmu silat “peh-hoa-jo-kun” yang
diCiptakannya sendiri, maka lebih dulu Thian-ti-koay-hiap ajari muridnya itu
segala macam ilmu silat dari berbagai Cabang persilatan. Waktu itu Tan Keh Lok
keluarkan ilmu pukulan “pat-kwa-yu-sim-Ciang,” yang linCah sambil lari kesana
kemari.
Sebenarnya ilmu itu, adalah ilmu
istimewa dari Wi-tin-ho-siok Ong Hwie Yang, itu kepala piauwsu dari Tin Wan piauwkiok.
Ketika bertanding lawan Ciauw Cong dibukit Pak-kao-nia, dengan ilmu itu, Ong
Hwi Yang telah merangsang lawannya sedemikian rupa, hingga lawan hanya dapat
membela diri, tak berdaya untuk membalas.
Ketika pertempuran di
Thiat-tan-Chung tempo hari, Tan Keh Lokpun gunakan ilmu itu untuk melayani Ciu
Tiong Ing.
Bermula kawanan serigala itu
montang-manting dibuatnya. Tapi karena serigala itu berjumlah besar, lagipula
sangat lapar, maka kemana saja Keh Lok bergerak, kesitu-lah dia telah diserbu.
Karenanya, dia tak dapat bergerak dengan leluasa. Buru-buru ia merogoh geretan
api yang segera menyala, terus di-putardua. Sekalipun nyala api itu hanya
kelak-kelik, namun kawanan binatang itu menjadi ketakutan dan mundur. Mulutnya
dingangakan, sikapnya seperti akan menerkam, tetapi hanya melolongdua tak
berani bergerak.
Setelah Keh Lok meneryang keluar,
buru-buru Hiang Hiang menghampiri Cicinya dan bertanya: “Ci, dia kemana?”
“Untuk menolong kita berdua, dia
rela korbankan diri,” sahut Ceng Tong seraya memesut air matanya.
Bermula Hiang Hiang terperanjat,
tapi segera ia tertawa: “Kalau dia binasa, akupun tak mau hidup.”
Mendengar uCapan sewajarnya dari
adiknya itu, tergeraklah hati Ceng Tong. Bahwa Hiang Hiang tanpa banyak sekali
pikir dan tanpa mengunjuk perasaan apa-apa, terus mengatakan begitu, terang
mencintai Tan Keh Lok seCara mendalam.
Dilain fihak, Ciauw Cong merasa
girang ketika siasatnya berhasil. Tapi dia telah menjadi terkejut sewaktu
nampak Tan Keh Lok dapat mengenyah binatangdua itu dengan kipas apinya. Tapi
lekas juga hatinya menjadi terhibur, karena beranggapan, api itu tak dapat
bertahan lama. Jadi hanya soal penundaan waktu saja.
Sedang perhatian It Lui dan
Haphaptai hanya ada pada KimPiauw. Bermula girang hati mereka, karena Kim Piauw
telah unjuk kegagahan. Saat itu, Kim Piauw hantamkan serigala yang dipakainya
sebagai senjata tadi, kepada seekor serigala yang lompat menyerang. Dua-duanya
adalah serigala buas yang kelaparan, maka mereka lantas saling gigit, yang satu
menggigit muka, yang satunya menggigit tengkuk. Ke-Dua-duanya sama berlumuran
darah.
Melihat darah, kawanan serigala
itu tambah hilap. Serentak mereka menyerang Kim Piauw. Dan pada lain saat, dua
ekor serigala yang diCengkeram tangan kanan dan kiri Kim Piauw tadi, telah
dibuat rebutan makan oleh Kawan-kawan nya. Sekejab saja, serigala yang ditangan
kiri, tinggal kepalanya. Sedang yang ditarigan kanan, tinggal bebokong dan
ekornya.
Kini Kim Piauw teranCam bahaya.
Hendak dia menCoba tangkap lain serigala lagi, tapi binatangdua itu sudah pandai.
Setiap tangan Kim Piauw bergerak, mereka membuka mulut terus akan menggigit.
Terlambat sedikit saja, sebelah tangan Kim Piauw tentu sudah tergigit. Dan
berbareng itu, dari arah kanan ada dua ekor serigala yang lompat meneryang.
Terhadap watak yang kejam dan
suka paras Cantik dari Kim Piauw itu, sebenarnya Haphaptai tidak puas. Tapi
orang Mongol ini ada seorang lakidua yang berambekan tinggi. Berbareng menCabut
jwan-pian dari pinggang, dia kedengaran berteriak: “Lotoa, aku akan
menolongnya!”
Belum sempat It Lui menjawab Ceng
Tong sudah mendahului mengejek: “Apakah Kwantong Liok Mo bukan lakidua? Tak
punya kehormatan?”
Haphaptai merandek. Juga keadaan
kedua orang yang berada ditengah bahaya maut itupun telah berobah.
Nyala kipas api yang dibawa Tan
Keh Lok hampir habis. Buru-buru dirobeknya lengan bayunya untuk disulut. Dalam
pada itu, ia bergerak mendekati pohon. Mendadak dua ekor serigala yang buas,
lonCat menerkam. Dia Cepat mendek, terus menyusup kebawah, sembari patahkan
sebuah Cabang pohon, terus berputar dan menghantam salah seekor penyerangnya
itu. Kepala serigala itu hanCur, otaknya berhamburan, terus diserbu oleh
Kawan-kawan nya sendiri yang kelaparan itu.
Penyerangan terhadap ketua HONG
HWA HWE itu, agak kendor. Ini digunakan olehnya untuk memotes sebuah dahan
kering, yang setelah dibakar terus diputar untuk mengusir serigala. Dan begitu
ada kesempatan, dia potes lagi rantingdua kayu untuk bahan bakar. Dengan begitu
Keh Lok seperti membuat sebuah lingkaran api disekeliling dirinya.
Ceng Tong dan Hiang Hiang sangat
gembira melihat dia dapat mengatasi bahaya.
Sebaliknya Kim Piauw agak laCur.
Ingin dia meniru Tan Keh Lok, tapi ia tak membawa geretan api. Jalan
satuduanya, ia terpaksa tempur binatangdua itu seCara mati-matian.
“Anggaplah Tan-tangkeh yang
menang!” tiba-tiba Haphaptai berseru pada Ceng Tong, seraya memotong tali yang
mengikat tangan sinona. Lalu katanya pula: “Dan sekarang akan kutolong dia.!”
Dengan memutar jwan-pian jago
Mongol itu meneryang keluar. Baru beberapa tindak jauhnya, kawanan serigala
bergelombang menyerbunya. Malah pahanya dua kali kena tergigit. lapun dapat
membunuh dua ekor serigala besar, namun tetap tak dapat maju.
“Losu, kembalilah!” It Lui Cemas
memanggilnya.
Haphaptai kembali untuk mengambil
sepotong dahan yang terbakar, terus akan meneryang lagi. Tapi jaraknya sangat
jauh dengan Kim Piauw, siapa waktu itu sudah dihampiri kawanan serigala pula.
“Tan-tangkeh, kau menang!
Sahabatmu telah kami bebaskan. Berlakulah murah untuk menolong saudara kami itu!”
demikian Haphaptai berteriak sekeras-kerasnya.
Keh Lok kelihatan melirik dan
tahu Ceng Tong betul sudah dilepaskan. Dia girang.
“Untuk menghadapi kawanan
binatang buas ini, tambah seorang sahabat ada lebih baik,” pikirnya. Maka Cepat
ia melemparkan sebatang dahan kayu terbakar pada Kim Piauw.
“Sambutlah!” serunya.
Kedua lengan dan kaki orang she
Ku itu sudah berlumuran darah. Begitu menyanggapi dahan api itu, terus
diputarnya Kawanan serigala itu terpaksa mundur. Dan Kim Piauw menuju ketempat
Tan Keh Lok, siapa kembali lempari sebatang dahan api lagi. Dengan memegang
dahan api ditangan kanan kiri, Kim Piauw pulih keberaniannya.
“Kita bekal lagi sebongkok
ranting!” seru Keh Lok.
Begitulah setelah keduanya
membawa sebongkok ranting kayu, terus menuju ketempat lingkaran api tadi.
Dengan melolong riuh rendah, kawanan serigala itu memberi jalan pada mereka
berdua.
Begitu dekat, Hiang Hiang sudah
lantas pentang kedua tangannya untuk menyambut Tan Keh Lok, siapapun sudah
lonCat masuk.
“Tahan, biar dia yang masuk
dulu!” Cepat-cepat Ceng Tong menCegahnya.
Keh Lok sadar, ia merandek
sebentar dan berpaling kebelakang untuk mempersilakan Kim Piauw masuk dulu.
Benar Keh Lok telah menolong jiwanya, namun dalam perjanjian tadi ada disebut
siapa yang kembali masuk lebih dulu, dianggap kalah. Dia kuatir orang she Ku
itu main liCik.
Dengan mata ber-apidua, tiba-tiba
Kim Piauw timpukkan dahan api kemuka Tan Keh Lok, dan menyusul tangannya
mendorong punggung orang, maksudnya supaya terdorong masuk kedalam lingkaran
tadi.
Tapi Keh Lok egoskan tubuhnya
kesamping, dan tangan Kim Piauw lewat disisinya. Namun orang she Ku itu tak
berhenti sampai disitu. Dahan api yang satunya, dilontarkan kemuka orang lagi,
tapi ternyata luput karena Tan Keh Lok keburu tundukkah kepalanya kebawah.
Kim Piauw susuli sebuah jotosan.
Malah belum lagi jotosan itu tiba, jotosan yang kedua menyusul. Inilah
keistimewaan dari ilmu silat Tiang-kun, Cepat-sebat.
Melihat keliCikan orang, .Keh Lok
gusar sekali. Dengan tangan kanan ia akan tutuk pergelangan tangan orang,
sedang tangan kirinya menganCam kemuka orang. Itulah salah satu jurus dari ilmu
silat “peh-hoa-jo-kun,” yang gunakan ujung jari seperti pedang.
Seumur hidup Kim Piauw belum
pernah saksikan ilmu silat yang aneh semacam itu. Untuk menghindari, terpaksa
ia bergerak mundur, dan ini justeru tepat menginjak kepala seekor serigala.
Saking kesakitan, binatang itu meraung keras sekali.
Keh Lok masih gemas, ia rabu
lawannya dengan jurus-jurus berbahaya dari “pek-hoa-jo-kun.” Menghantam,
menabas, menotok dan menyodok. It Lui dan orang-orang yang berada dalam
lingkaran api itu, bukan main kaget dan herannya melihat gerak ilmu silat
sianak muda yang luar biasa itu.
Sepasang jari tangan kiri ketua
HONG HWA HWE itu menganCam jalan darah ‘thay-yang-hiat’ pada pelipis Kim Piauw,
siapa buru-buru menangkisnya dengan sebuah pukulan. Dia pastikan, Tan Keh Lok
tentu mundur menghindar. Tapi ternyata tidak, hanya mengirim sebuah tendangan
yang tepat mengenai paha Kim Piauw, siapa menjadi sempoyongan. Dan dalam saat
itu, tahu-tahu pukulannya tadi kena ditangkap lawan, terus akan ditariknya.
Kim Piauw kaget dan kerahkan
tenaga untuk menarik, tapi baru saja dia menarik, musuh batal menarik dan
berbalik mendorongnya. Sudah tentu tak tertahan lagi, ia terjerumus kebelakang.
Kalau sampai jatuh, hebatlah
akibatnya. Dia tentu akan dibuat “pesta” oleh kawanan serigala. Maka semua
orang sama berteriak kaget.
Tapi Kim Piauw juga lihai. Dengan
gerak “le-hi-ta-thing” atau ikan lele meletik lonCat keatas, tiba-tiba ia
menCelat keatas seraya kasih kerja pukulannya kepada seekor serigala, dan
dengan berjumpalitan, aehirnya dia berhasil jatuhkan kakinya ketanah.
Tan Keh Lok membarengi melesat
kesampingnya, dua kali jarinya menutuk, satu pada lutut dan satu pada pantat.
“Celaka! Celaka!” seru Kim Piauw
yang walaupun tak dapat bertahan untuk berdiri, masih Coba akan tekankan kedua
tangannya untuk lonCat lagi keudara.
Kawanan serigala datang
mengerumuni lagi, tapi Keh Lok lebih Cepat. Punggung Kim Piauw diCengkeram,
terus diputarkan. Tapi Kim Piauw betul-betul bandel. Sekalipun separoh tubuhnya
bagian bawah tidak dapat berkutik, masih dia Coba berlaku nekad. Sepasang
kepelannya maju berbareng, menjotos dada Tan Keh Lok, maksudnya hendak mati
bersamadua.
“Bangsat keras kepala!” memaki
Keh Lok, jari tangan kirinya kembali menutuk jalan darah “tiong-hu” dan
“Soan-ki,” sehingga baru kepelan Kim Piauw melayang, lengannya dirasakan lemas
dan teklok.
Dengan memutar tubuh Kim Piauw,
Keh Lok lonCat menghindar dari terkaman serigala, terus akan melemparkan tubuh
lawannya itu kearah serigala yang berada ditempat jauh.
“Yangan dibunuh!” Ceng Tong
berseru keras-keras.
Kembali Tan Keh Lok disedarkan
dari keburu napsunya.
“Ah, dengan membunuh penjahat
ini, aku tetap teranCam, terutama mengikat permusuhan hebat pada Kwantong Liok
Mo. Lebih baik kuampuni, dengan budi itu, mungkin kalau nanti bertempur dengan
Ciauw Cong, mereka bertiga tentu berdiri difihak netral,” pikirnya.
Sebagai gantinya, orang she Ku
itu dilemparkan kedalam lingkaran api, dengan ia sendiri terus menyusul masuk.
Haphaptai menyanggapi tubuh Kim
Piauw. Dengan begitu, pertandingan kali ini telah dimenangkan Keh Lok. Segera
pemuda ini hendak menghampiri Ceng Tong dan Hiang Hiang, tiba-tiba Ceng Tong
berteriak.
“Awas, belakang!”
Keh Lok Cepat mendek kebawah, dan
dua ekor serigala besar melayang melalui kepalanya. Kiranya, itulah dua ekor
serigala yang sudah kalap karena laparnya, terus meneryang masuk. Yang seekor,
langsung menerkam Hiang Hiang. Syukur Keh Lok berlaku sebat, ia lonCat memburu
dan menarik ekornya.
Serigala itu menggerung
kesakitan, terus balik menyerang. Disamping itu kawannya juga berbareng
meneryang. Tapi Keh Lok menghantam kena leher salah seekor, yang terus
berguling ketanah.
“Sambutlah ini!” Ceng Tong Tong
lemparkan badi-badinya, barang mana begitu disanggapi oleh Tan Keh Lok terus
ditusukkan kepada serigala yang meneryang tadi. Serigala ini luar biasa
besarnya, dan gesit sekali. Dua kali Tan Keh Lok menusuk, dua kali dapat
dihindari.
Berbareng itu, kembali ada tiga
ekor serigala yang menyerbu masuk. Yang satu, dapat dibanting keluar oleh
Haphaptai. Yang satu lagi dibatas kutung oleh Ciauw Cong, sedang yang lainnya
sedang dihajar oleh It Loei. Buru-buru Haphaptai tambahkan bongkokan dahandua
kayu yang dibawa Kiem Piauw tadi ketempat yang berlobang, barulah kawanan
serigala itu menyingkir.
Saat itu Keh Lok pura-pura
menyerang kesebelan kiri, ketika si serigala menghindar kekanan, Cepat sekali
badi-badi ditarik dan ditikamkan kesebelah kanan. Karena sukar menghindar,
serigala itu pentang mulutnya menggigit ujung badi-badi.
Keh Lok mendorong kemuka
sekuat-kuatnya, tapi sekalipun lidah serigala itu kepotong, dia tetap matikan
menggigit ba-di-badi-badi. Juga ketika Keh Lok menarik kebelakang, tetap mulut
serigala itu tak mau melepasnya. Sampai badan binatang itu terangkat naik,
tetap binatang itu pantang lepaskan gigitannya.
Keh Lok agak gelisah, karena
serigala yang seekor tadi. menyerang lagi. Buru-buru dia berkelit kesamping,
mengangkat kaki dan mendupak keluar serigala itu dari lingkaran api.
Setelah itu, dia gunakan tangan
kiri untuk menghantam mata serigala yang menggigit badi-badinya tadi. Binatang
itu mundur ke belakang dan Keh Lok rasakan tangannya longgar. Sebuah pedang
terCabut keluar. Hawa dingin membikin orang-orang merasa bergidik. Sinarnya
memenCar jernih ke-hnyauduaan.
Dan yang tak kurang mengherankan,
adalah serigala itu sendiri. Hantaman Keh Lok telah meremukkan kepalanya, namun
mulutnya masih menggigit sebatang badi-badi. Pada hal terang badi-badi itu ada
juga dalam tangan Tan Keh Lok. Dari manakah badi-badi dimulut serigala itu?
Keh Lok maju selangkah, dengan
tiga jari tangan kirinya, dia jepit badi-badi dimulut serigala, terus ditarik
sekuat-kuatnya. Dia adalah seorang ahli tutuk yang lwekangnya sangat lihai.
Namun mulut serigala yang.sudah putus nyawanya itu, tetap terkanCing seperti
terpaku.
Saking gemasnya, Keh Lok tabas
batang kepala binatang itu dengan pedang pendeknya yang mirip badi-badi itu.
Dan buah kepala itu tahu-tahu menggelinding jatuh semudah memotong sajur. Heran
dia dibuatnya atas ketajaman badi-badi itu Ketika diperiksa agak dekat, segera
dia rasakan hawa dingin yang membikin bergidik bulu roma. Ujung badi-badi itu
ber-kilaudua Cahajanya. Bukan lagi badi-badi pemberian Ceng Tong dulu. Hanya
anehnya, tangkainya masih seperti tangkai badi-badi yang bermula.
Karena penasaran, dipungutnya
badi-badi yang terselip dimulut serigala tadi. Ternyata tengahnya kosong, mirip
seperti sarung badi-badi. Dimasukkannya badi-badi tadi kesarung itu, kiranya
pas sekali.
Kiranya badi-badi itu adalah
sebilah pokiam yang mempunyai dua lapisan. Sarungnya saja sudah merupakan
senjata tajam yang hebat, siapa tahu, dalamnya masih terdapat sebuah pedang
pusaka yang dapat dibuat memotong segala logam.
Ketika menyerahkan kepada anak
muda itu, Ceng Tong mengatakan bahwa badi-badi atau pedang pendek itu, menurut
sejarahnya, mengandung rahasia besar. Namun selama itu, tiada seorang yang dapat
menemukan. Kalau tidak ada peristiwa serigala itu, tiada nanti rahasia itu
terbongkar.
Memegang pusaka itu, bukan buatan
kegirangan Keh Lok. Dia menggape pada taCi-beradik itu, dan merundingkan Cara
meloloskan diri. Sengaja mereka berbahasa Ui, sehingga Ciauw Cong dan Sam Mo
itu tak mengerti maksudnya.
Waktu itu It Lui telah dapat
menghantam mati serigala musuhnya tadi. Dengan belati, dipotongnya keempat paha
binatang itu, lalu dipanggang.
“He, lekas buang, kalau kamu
masih ingin hidup!” Ceng Tong berseru tiba-tiba.
“Mengapa?” tanya It Lui.
“Kalau kawanan serigala itu
membau daging bakar, mereka pesti tak tahan lagi!” kata sigadis.
It Lui insyap, Cepat ia membuang
paha serigala panggang itu.
Sementara itu Kim Piauw telah
ditutuk Ciauw Cong supaya jalan darahnya terbuka. Luka-lukanya digigit serigala
dibalut. Perutnya terasa lapar sekali. Ia memungut paha tadi, terus dimakannya
mentahdua.
Hiang Hiang me-main-main kan
pokiam itu. Ia memuji kebagusan senjata itu. Tanpa sengaja, dia membuka sarung
badi-badi, dan nampak didalamnya terselip sebutir benda merah. Di-goyangdua dan
dituangkan, tapi tak bisa keluar. Ia mengambil tusuk konde untuk mengungkit,
dan sebutir pil kecil menggelundung keluar. Pil itu terbungkus lilin, oleh
Hiang Hiang diberikan pada Keh Lok.
“Bagaimana kalau kita pecah lilin
pembungkus ini?” tanya pemuda itu pada Ceng Tong.
Ceng Tong mengangguk.
Sekali pijit, lilin pembungkus
itu pecah. Didalamnya terdapat sepulung gulungan kertas kecil. Kertas itu tipis
seperti sayap yangkrik. Karena usianya, warnanya ke-ku-ningduaan. Diatasnya
tertulis beberapa huruf Ui, sedang pinggirnya ada sebuah gambar peta yang
memuat gunung, sungai, gurun dan lain-lain.
Ciauw Cong yang sedari tadi
pasang mata, tahu bahwa peta itu tentu menyimpan rahasia. Sengaja ia mondar-mandir
untuk menambah kayu bakar, tapi sebenarnya ia hendak menCuri lihat. Tapi karena
bertuliskan huruf Ui, ia keCewa.
Keh Lok bisa tulisan Ui tapi
kurang sempurna. Sebagian besar huruf-huruf Ui dikertas itu, adalah huruf-huruf
kuno, jadi ia banyak sekali yang tak mengerti. Surat itu lalu diserahkan pada
Ceng Tong, siapa setelah melihat dan merenungkan sampai Jama sekali, lalu
menyimpan kedalam bayunya.
“Apa saja yang tertulis disitu?”
tanya Keh Lok.
Ceng Tong tak menyahut, hanya
terus merenung.
“Cici tengah mengasah otak,
yangan diganggu!” kata Hiang Hiang yang Cukup kenal perangai Cicinya itu.
Jari Ceng Tong tampak
meng-guratdua dipasir, melukis sebuah bundaran. Tapi terus dihapus dan
menggambar lagi. Setelah itu ia duduk bertopang dagu.
“Badanmu masih lemah, yangan
banyak sekali berpikir”, Keh Lok memperingatkan. “Kalau belum ketemu
jawabannya, biarlah lain kali saja. Yang penting kita harus Cari daya untuk
lolos”.
“Justeru daya itulah yang sedang
kupikirkan. Kita harus menghindar dari kawanan serigala yang buas dan
orang-orang yang berhati serigala itu”, sahut Ceng Tong seraya menuding kearah
Ciauw Cong.
Demi mendengar kata-kata manusia
serigala yang diuCapkan sang Cici itu, Hiang Hiang tertawa, karena baru sekali
ini dia dengar istilah baru tersebut.
“Coba kau berdiri diatas punggung
kuda. Pandanglah arah barat, apakah kau melihat ada sebuah gunung yang
punCaknya putih?” kata Ceng Tong tiba-tiba dengan bisik-bisik.
Tapi Keh Lok tak melihatnya. Dia
tunggu dan men-Caridua, sampai lama, tapi tetap tak ada. Dia memberi isyarat
dengan gelengkan kepala pada Ceng Tong.
“Hm, kalau menurut peta ini, kota
kuno itu tak jauh dari sini, tentunya punCak gunung kelihatan”, Ceng Tong
menggerutu.
“Kota kuno?” Keh Lok lonCat turun
dan bertanya.
“Waktu kecil pernah kudengar
Cerita bahwa dipadang pasir ini terdapat sebuah kota kuno. Kota itu dahulunya
indah dan kaja sekali. Pada suatu hari, terbit taufan dahsyat dipadang pasir
luas ini bukitdua pasir itu tertiup terbang dan menguruk kota itu. Selaksa
lebih penduduk kota binasa semua”, berCerita Ceng Tong, lalu berpaling pada
adiknya. “Moay-moay, rasanya kaulah yang paling paham akan Cerita itu, Cobalah
kasih tahu padanya”.
“Memang banyak sekali macam
Cerita orang tentang itu, tapi tiada seorangpun yang pernah melihat sendiri,”
demikian Hiang Hiang memulai. “Bukan itu saja, karena banyak sekali sudah orang
yang pergi menCarinya, tapi begitu menemukannya, sedikit sekali yang kembali
dengan hidup. Kabarnya, disitu terdapat kumpulan besar harta berharga. Pada
suatu ketika penduduk kota katanya berobah menjadi setan. Begitu Cinta mereka
pada kotanya itu, hingga sampai binasa, tetap mereka tak mau meninggalkan. Ada
beberapa orang yang karena tersesat, tanpa sengaja, masuk kedalam kota itu.
Demi melihat sekian banyak sekali harta kekajaan, mereka terpesona berlutut
menghaturkan terima kasih pada Allah. Harta itu diangkut keatas onta, akan
dibawa pulang. Tapi mondar-mandir ke-manadua, mereka tak dapat keluar.”
“Kenapa?” tanya Keh Lok.
“Katanya, rohdua penjaga kota tak
rela, dan menyesatkan mereka. Kalau harta itu ditinggal, mereka bisa keluar
dengan mudah,” sahut Hiang Hiang.
“Ha, rasanya orang yang menemukan
harta karun itu, sukar melepaskannya lagi,” kata Keh Lok.
“Benar, siapa yang tak ngiler
melihat harta karun? Katanya, malah kalau orang berbalik meninggalkan beberapa
tail perak disitu, sumur disitu akan memanCurkan air jer nih untuk mereka
minum,” Ceng Tong ikut menerangkan “Ah, setandua penjaga kota itu rupanya
temaha harta,” Keh Lok tertawa, “Ada banyak sekali sekali penduduk suku kita,
karena terlibat hutang yang tak bisa dibajar, lalu Cobadua menCari tempat itu.
Tapi sekali pergi, mereka tak kembali lagi. Ada suatu kali, serombongan
saudagar telah menolong seorang yang hampir mati kehausan ditengah padang
pasir. Orang itik mengatakan telah berhasil menemukan kota kuno itu, tapi dia
tak dapat keluar dari situ. Dilihatnya dipadang pasir itu ada tapak kaki orang,
mengira kalau itu jejak orang lain yang lewat disitu, ia menurutkan jejak itu.
Tiada tahunya, jejak itu adalah bekas tapak kakinya sendiri. Mondar-mandir
seCara begitu, habislah tenaganya, terus roboh. Rombongan saudagar kafilah itu
minta dia supaya menunjukkan letak kota kuno itu, tapi dia menolak, dengan
alasan, sekalipun nanti seluruh harta karun kota itu diberikan padanya,
sedikitpun dia tak kepingin memasuki kota keramat itu lagi.”
“Wah, benar-benar menakutkan,”
kata Keh Lok.
“Masih ada yang lebih dari itu,”
sambung Hiang Hiang “Ketika seorang diri orang itu, mengitari padang pasir itu,
tiba-tiba seperti ada suara memanggil namanya. Ketika dia
menghampiri, suara itu hilang
lenyap, dan begitulah dia tersesat ditengah padang sahara.”
“Dengan sekonyong-konyong menemu
harta karun besar, karena keliwat girang, mungkin orang menjadi berobah
pikirannya. Apalagi jalanan dipadang pasir itu sukar diturut, jadi mudah
tersesat,” kata Keh Lok. “Tapi asal saja pikirannya dapat bebas dari godaan
harta karun itu, dengan sendirinya tentu jernih dan bisa menCari jalan. Belum
tentu kalau disebabkan gangguan setan.”
“Peta dalam pedang pusaka itu
menunjukkan ada jalan kearah kota kuno itu,” sela Ceng Tong.
“Kita tak berhasrat Cari harta
karun. Kalau berani mengambil, roh penjaga disitu tentu membikin susah kita.
Pedang pusaka ini jauh lebih berguna daripada peta itu. Karena dapat membaCok
putus segala macam senjata musuh,” demikian Hiang Hiang tertawa, lalu menCabut
tiga lembar rambut diletakkan pada mata pedang, katanya pula: “Menurut ayah,
pedang pusaka yang aseli dapat membikin putus rambut yang ditiupkan. Entah ini
bisa atau tidak?”
Ketika ia tiup rambutnya itu,
rambutnya itu putus menjadi enam potong. Seperti tingkah anakdua, Hiang Hiang
ber-tepukdua tangan kegirangan. Juga Ceng Tong akan menCobanya. Diambilnya
saputangan untuk dilolos selembar suteranya, lalu dilempar keatas. Sekali tabas,
benang sutera itu putus. Tanpa merasa, Ciauw Cong dan Sam Mo ikut berseru
memuji.
Diam-diam Ciauw Cong mengeluh,
pedang ‘leng-bik-kiam’ kepunyaannya itu, sekalipun dapat menabas kutung lain
senjata, tapi masih kalah dengan pedang pusaka ditangan ketua HONG HWA HWE,
tentu saja Ciauw Cong dan Sam Mo sangat mengiri sekali.
“Sekalipun pokiam ini sakti, tapi
tak dapat membasmi sekian banyak sekali kawanan serigala. Tak ada gunanya,”
kata Keh Lok mengelah napas.
“Peta ini jelas melukiskan bahwa
kota kuno itu didirikan disekeliling sebuah gunung yang punCaknya menjulang
kelangit. Dan menurut peta, gunung itu terletak tak jauh dari sini, semestinya
bisa terlihat. Heran, mengapa tidak tertampak?” kata Ceng Tong pula pelahan-lahan.
“Ah, tak perlu kau sibukkan.
Taruh kata gunung itu diketemukan, apa gunanya?” ujar Hiang Hiang.
“Kita bisa loloskan diri kesana.
Disitu ada rumah dan “bentengnya!” sahut Ceng Tong.
“Benar!’,’ seru Keh Lok seraya
lonCat berdiri diatas pelana kuda. Ia memandang kearah barat, namun seperti
tadi, tak melihat suatu apapun lagi.
Selama itu, Ciauw Cong dan Sam Mo
terus mengawasi dengan heran. Mereka berempat pun rundingkan Cara lolos dari
situ, tapi tidak memberi hasil. Ketika hari mulai malam, Hiang Hiang membagikan
ransum kering pada semua orang. Mereka bergiliran menjaga.
Pada saat itu, Hiang Hiang
teringat akan anak rusa piaraannya dirumah, entah sudah diberi makan entah
belum. Ia mendongak keatas, pikirannya melayang jauh kerumah.
“Ci, lihatlah itu!” tiba-tiba
Hiang Hiang berteriak seraya menimjuk kelangit.
Ketika Ceng Tong memandangnya,
tampak ditengah udara ada sebuah titik hitam yang diam tak bergerak. Ceng Tong
tanyakan benda apakah itu pada sang adik.
“Itu adalah seekor burung
alap-alap. Tadi kulihat burung itu terbang lewat disini, heran, mengapa bisa
berhenti diatas udara?”
Ceng Tong mengira adiknya salah
lihat tadi, tapi Hiang Hiang tetap berkukuh.
“KALAU bukan burung, titik hitam
itu lalu apa? Namun jika burung mengapa ‘hinggap’ diatas udara. Heran!” Keh Lok
ikut biCara.
Selagi begitu, sekonyong-konyong
titik hitam itu kelihatan bergerak, makin dekat makin besar. Dan benarlah,
benda itu adalah seekor burung alap-alap yang terbang disitu. Melihat itu, Ke7
orang itu masing-masing punya anggapan sendiridua.
“Sayang burung itu terlalu
tinggi. Coba tidak, tentu akan kusabit dengan kim-Ciam (jarum emas), biar mata
ketiga Sam Mo ini terbuka,” pikir Ciauw Cong.
Sebaliknya Sam Mo lagi Cemas,
yangan-yangan burung itu piaraan Thian-san Siang Eng. Kalau sepasang suami
isteri itu datang kembali, Celakalah mereka bertiga.
Hiang Hiang KiongCu yang hatinya
masih putih bersih seperti anak, ia mengiri betapa bahagianya burung itu
terbang diudara bebas. Tidak seperti ia dan keenam orang itu, sedang berkutet
menghadapi kawanan serigala buas.
Tidak demikian dengan Tan Keh Lok
dan Ceng Tong yang rupanya sama pikirannya. Keduanya tengah memeCahkan, apa
sebabnya burung itu tadi dapat hinggap diatas udara
Angin malam berhembus, Hiang
Hiang naikkan tangannya untuk memperbaiki rambutnya yang kusut tertiup angia
itu. Keh Lok mengawasi bagaimana tangan Hiang Hiang yang putih meletak itu
bergerak diantara pakaiannya yang berwarna putih pula.
Tiba-tiba orang muda itu tersedar
dan meneriaki Ceng Tong: “Lihatlah tangan adikmu itu!”
“Asri, tanganmu bagus benar!”
Ceng Tong memuji dengan elahan napas.
“Ya, memang bagus,” Keh Lok
tertawa, “tapi tidakkah kau memahami artinya? Karena tangannya putih, waktu
bergoyang dimuka pakaiannya putih itu, sukar dilihat jelas.”
Ceng Tong tidak menjawab, ia
tidak paham apa yang dimaksudkan Keh Lok.
“Terangnya, burung tadi hinggap
pada sebuah punCak gunung yang berwarna putih!” Keh Lok akhirnya menjelaskan
“Ah, benar, benar! Karena langit
disebelah sana berwarna putih, jadi punCak itu sampai tak kelihatan.” seru Ceng
Tong.
“Ya. Karena burung itu hitam,
jadi kelihatan jelas!” Keh Lok menambahkan.
Kini tahulah Hiang Hiang kemana
tujuannya perCakapan kedua orang itu.
“Tapi bagaimana kita dapat menuju
kekota itu?” tali janya.
Ceng Tong tak menyahut, hanya
dibebernya peta tadi.
“Kita harus bersabar sampai
matahari Condong lagi disebelah barat, kalau betul ada sebuah punCak gunung,
tentu ada bayangannya. Nah, baru kita pelajari lagi perjalanati kekota itu.”
“Tapi sekali-kali kita yangan
unjuk gerakan apa-apa, agar kawanan bangsat itu yangan sampai mencium bau,”
kata Keh Lok.
“Benar, kita pura-pura rundingkan
soal kawanan serigala itu.” Ceng Tong setuju.
Lalu pura-pura Keh Lok menyeret
seekor bangkai serigala. Ketiganya kelihatan sedang memeriksa. Haripun mulai
sore. Benar juga, dipadang pasir situ tampak membujur sebuah ba yangan raksasa.
“Perjalanan kepunCak gunung itu,
masih kira-kira dua5 li”, kata Ceng Tong seraya pura-pura membalik badan
bangkai binatang itu.
Sementara Tan Keh Lokpun
pura-pura memeriksa Cakarnya yang tajam. “Kalau kita punya seekor kuda lagi
disamping kuda putih itu, mungkin kita bisa lolos kesana,” katanya bisik-bisik.
“Coba kau atur supaya mereka mau
lepaskan kita bertiga,” kata Ceng Tong.
Tan Keh Lok mengiakan, ia
pura-pura membelek perut serigala ladi.
“Huh, apanya yang aneh pada
bangkai itu? Tan-tangkeh, apakah kalian sedang rundingkan penguburannya?” Ciauw
Cong mengejek.
“Kami sedang rundingkan Cara
meloloskan diri. Cobalah lihat, perut serigala ini kempes betul-betul,” sahut
Keh Lok.
“Maka kita akan dnyadikan
makanannya,” balas Ciauw Cong.
Sam Mo tertawa geli.
“Begini kelaparan binatang ini
sampai tubuhnya kurus kering. Terang mereka tak mau lepaskan setiap korban yang
bisa dimakannya,” kata pula Keh Lok.
“Memang mereka sangat bertekun
menanti. Setengah harian kau gunakan memeriksa bangkai binatang itu, kiranya
telah mendapat jawaban ‘sepenting’ itu!” ejek Ciauw Cong pula.
“Kukuatir, keCuali Cara ini,
susah kita dapat lolos.” sahut Keh Lok.
Sam Mo serentak lonCat bangun,
untuk mendengarkan dari dekat.
“Daya apakah yang Tan-tangkeh
punyakan?” tanya Ciauw Cong.
“Kita bertahan disini sekarang,
tapi begitu bahan bakar habis, bukankah akan habis juga jiwa kita?” kata Keh
Lok tertawa.
Ciauw Cong dan Sam Mo mengangguk.
“Sebagai orang kangouw, kita
paling menjunjung keadilan dan kebenaran. Rela korbankan diri untuk menolong
orang,” kata Keh Lok pula. “Misalnya keadaan kita pada saat ini. Asal ada salah
seorang yang berani menjual jiwa untuk menobros keluar, tentu kawanan serigala
itu akan mengejarnya. Dengan begitu kita yang enam orang, tentu ada harapan
tertolong.”
“Tapi bagaimana nasib orang itu?”
tanya Ciauw Cong.
“Kalau nasibnya baik, dia tentu
keburu bertemu dengan rombongan penolong. Namun kalau tidak, kebinasaannyapun
takkan sia-sia, karena dapat menolong lain orang. Bukankah itu jauh lebih
berarti daripada mati konyol disini?!” ujar Keh Lok.
“Pendapatmu itu tepat sekali.
Tapi siapa yang sudi melakukannya? Karena sembilan dari 10 bagian, dia tentu
binasa,” It Lui utarakan pikirannya.
“Nah, kita kepingin dengar
pendapat Thing-toako yang lebih sempurna,” sahut Keh Lok. Atas itu, It Lui
menjadi bungkam.
“Bagaimana kalau kita undi saja?
Siapa yang terpilih harus berangkat,” tiba-tiba Haphaptai usul.
Ciauw Cong segera mendapat
pikiran. Dia setuju dengan usul itu.
Sedang maksud Keh Lok tadi, ia
sendirilah yang akan melakukan usaha itu. Dengan begitu dapatlah dia suatu
jalan untuk lolos bersama-sama kedua Cici beradik itu.
Namun untuk tak menerbitkan
keCurigaan orang, Keh Lok setuju juga, katanya: “Kita berlima saja yang
berundi. Kedua nona ini boleh tak usah.”
“Kita toh manusia semua, mengapa
ada perbedaan,” sahut Kim Piauw.
“Kita adalah orang lakidua, tidak
dapat melindungi kedua nona itu saja, sudah malu rasanya. Mengapa kita harus
mengharapkan tenaga mereka untuk menolong kita? Aku lebih suka binasa dimulut
serigala, daripada hidup dan dipandang hina oleh sekalian sahabat kangouw,”
kata Hap-haptai dengan tegas.
“Meski benar lakidua dan
perempuan itu berlainan jenis, tapi jiwa kita toh masing-masing hanya satu.
Kalau diundi, semua harus diundi,” It Lui tunyang pendapat Kim Piauw.
Jadi kini ada dua pendapat. Tan
Keh Lok dan Haphaptai disatu fihak, It Lui dan Kim Piauw dilain fihak.
Sekalipun kedua orang yang belakangan itu bersatu pendapat, tapi pikiran
keduanya berlainan. Dengan tambah dua orang lagi, tentu kans terpilihpun
berkurang, demikian It Lui.
Tidak demikian dengan Kim Piauw.
Dia benci sekali pada Ceng Tong. Kalau nona Cantik itu tak bisa jatuh
ketangannya, biar dimakan serigala saja.
Karena suaranya berimbang, Ciauw
Cong diminta menentukan keputusannya. Ternyata siangdua orang she Thio ini
sudah punya akal. Dia yakin, dirinya tentu tak bakal terpilih. Pikirnya, nona
yang satu (Hiang Hiang), dimaukan oleh baginda, mengapa ia sendiri tak mau yang
lainnya (Ceng Tong)?
Setelah mengambil putusan,
berkatalah ia dengan angkuh-nya: “Taytianghu (lakidua sejati) lebih utamakan
nama kehormatan daripada jiwanya. Aku, Thio Ciauw Cong, adalah seorang lakidua,
mengapa harus tawar menawar dengan wanita?”
It Lui dan Kim Piauw serentak
bungkam. “Baiklah, kita kasih murah pada kedua nona itu,” kata Kim Piauw,
“Ya biarlah. Dan sekarang kasih
aku yang membuat undian itu,” It Luipun menyetujuinya, seraya berjongkok
memungut ranting kayu sebagai alat undi.
“Mungkin kepunyaanku ini lebih
baik,” kata Ciauw Cong sambil mengeluarkan belasan uang tembaga.
Setelah memilih 5 biji, sisanya
dimasukkan lagi kedalam kantongnya, katanya: “Inilah 4 buah Yong-Ceng-po (uang
tembaga pemerintah kaisar Yong Ceng). Dan ini sebuah Sun-ti-po (dari pemerintah
kaisar Sun Ti). Lihatlah, besar kecilnya sama semua bukan?”
It Lui memeriksa dan memang
benar. Dia berkata: “Baik, siapa yang mengambil Sun-ti-po, dialah yang
terpilih.”
“Tepat. Thing-toako, masukkanlah
kedalam kantongmu,” seru Ciauw Cong.
Setelah uang itu dimasukkan, maka
Ciauw Cong lalu bertanya siapa yang harus mengambil lebih dulu. Dia mengawasi
Kim Piauw dan menjadi geli ketika nampak tangannya gemetar.
“Ku-jiko, yangan takut.
Mati-hidup itu sudah takdir Yang Kuasa. Mari aku dulu yang pilih,” kata Ciauw
Cong dengan tertawa.
Tanpa tunggu jawaban, Ciauw Cong
segera masukkan tangannya kedalam kantong. Sekali tangan menjamah, tahulah ia
akan tebal tipisnya mata uang itu.
“Sayang, sayang!” ia tertawa
ketika membuka jarinya untuk diperlihatkan kepada semua orang. Ternyata sebuah
Yong-Ceng-po.
Sekalipun mata uang Yong-Ceng dan
Sun-ti sama besar kecilnya, tapi Sun-ti-po lebih tua seratus tahun. Karenanya agak
tipis. Memang tebal tipisnya mata uang itu, sukar dikenal oleh orang kebanyak
sekalian, tapi tidak demikian dengan Ciauw Cong. Dahulu ketika masih
diperguruan, sebelum meyakinkan ilmu jarum hu-yong-Ciam, lebih dulu dia harus
“berlatih pakai mata uang tembaga. Jadi tangannya sudah keliwat paham menjamah
uang tembaga.
Orang kedua yang mengambil,
adalah Tan Keh Lok, siapapun dapat mengambil juga Yong-Ceng-po.
“Sekarang, Ku-jikolah!” kata
Ciauw Cong.
Mendadak Kim Piauw hunus
lak-houw-jah, dikibaskan dan berkata: “Sun-ti-po itu sengaja dibikin supaya
kita bertiga yang mengambil, ha, akalan busuk!”
“Itu se-matadua mengandalkan
peruntungan masing-masing, bagaimana dikatakan akal busuk?” menegas Ciauw Cong.
“Oho, mata uang itu milikmu, dan
kau pulalah yang pertama mengambil. Siapa mau perCaja kalau kau tak main gila
memberi tanda pada mata uang itu?” sahut Kim Piauw murka.
Merah selebar muka Ciauw Cong
karena geram. “Baik, ambillah uangmu, kita pilih lagi!” katanya kemudian.
“Tidak, kita masing-masing
mengeluarkan sebuah mata uang. Jadi tak ada orang yang bisa menCelakakan
lainnya,” bantah Kim Piauw.
“Baik! Kalau memang mati,
biarlah! Seorang lakidua mengapa begitu rewel!” ejek Ciauw Cong.
Masing-masing kini mengeluarkan
sebuah Yong-Ceng-po, hanya Tan Keh Lok yang kebetulan tak membawa uang. Maka
katanya: “Aku tak membawa uang, Thio-toako, pinjamilah uangmu itu. Aku tak
kuatir kau main gila.”
“Memang Tan-tangkeh berbeda
dengan orang kebanyak sekalian. Nah, saudara-saudara, disini telah ada 4 buah
Yong-Ceng-po. Untuk Sun-ti-po, pakailah ini saja. Ku-lbji, kau setuju apa
tidak?” demikian Ciauw Cong membikin panas hati orang.
“Siapa sudi pakai Sun-ti-po!
Bukankah kau punya Yong-Ceng-po dari tembaga putih? Yang empat lainnya, dari
tembaga kuning. Nah siapa yang memilih tembaga putih, dialah yang terpilih!”
seru Kim Piauw dengan marah.
Sejenak merehung, tertawalah
Ciauw Cong.
“Baiklah, nemua menurutkan kau
seorang!. Memang kemungkinan besar, kaulah yang akan jadi santapan serigala
nanti!” ojeknya.
Sambil berkata, tangan Cauw Cong
memnyat pelan-pelan tembaga putih itu sehingga agak lekuk. Setelah itu lalu
diCampur dengan 4 uang tembaga biasa.
“Kalau pilihan tidak d jatuh
padamu atau aku, kita berdua masih ada lain penyelesaian lagi!” Kiem Piauw
menantang.
“Dengan segala senang hati akan
kupenuhi, sahabat!” sahut Ciauw Cong. Segera kelima buah mata uang Yong Ceng-po
itu dimasukkan kedalam kantong Haphaptai, dan katanya: “Kalian bertiga yang
ambil dulu, baru aku dan akhirnya Tan-tangkeh. Jadi tidak ada mulut usil lagi
yang menuduh aku main gila!”
Pada pikiran Ciauw Cong, dari
sisanya yang dua buah itu, tentu dia akan dapat mengambil yang tembaga kuning.
Dan dia telah memperhitungkan, bahwa Tan Keh Lok tak nanti mau rojokan siapa
yang lebih dulu mengambilnya.
Ketiga Sam Mo menurut.
“Losu, ambillah dulu!” It Loei
minta pada Haphaptai, siapa sebaliknya minta Toakonya itu yang ambil lebih
dahulu.
“Dulu atau belakangan, serupa!”
Ciauw Cong menertawakan.
Melihat sikap orang she Thio yang
tenangdua saja menghadapi kematian, ketiga Sam Mo itu malu hati. Segera
Haphaptai ulurkan tangannya kedalam kantong.
Tiba-tiba kedengaran Ceng Tong
berseru dalam bahasa Mongol: “Yangan ambil yang lekuk!”
Haphaptai melengak dan memang
pertama-tama tangannya menjamah sebuah mata uang yang agak lekuk. Buru-buru dia
Cari lainnya, terus diambilnya keluar. Memang benar, itu yang dari tembaga
merah, bukan yang putih.
Kiranya diantara sekian suku
bangsa didaerah Hwe, ada juga sekelompok suku Mongol. Juga ketika Ceng Tong
pe-Cahkan barisan Tiau Hwi, ia mempunyai beberapa kompi anak orang Mongol.
Karenanya, bisa jugalah nona itu berbahasa Mongol. Tadi dengan matanya yang
lihai, dapat ia ketahui perbuatan Ciauw Cong untuk memnyat matauang, maka ia
tak tega melihat Haphaptai sampai memilih keliru. Diantara Sam Mo itu, orang”
Mongol itulah yang paling lurus hatinya. Beberapa kali, ketika ditawan, Kiem
Piauw hendak mengganggunya, namun setiap kali Haphaptai selalu menentang. Dan
kali ini juga orang Mongol itulah yang membukakan tali ikatannya. Maka dengan
peringatannya itu. Ceng Tong bermaksud untuk membalas budi.
Giliran kedua, jatuh pada Kiem
Piauw. Haphaptai gunakan bahasa rahasia kaum hek-to didaerah Liauwtang, untuk
memperingatinya: “Yangan pegang, lingkaran berputar!”
Artinya: yangan ambil benda yang
lekuk. Kiem Piauw dan It Lui mengawasi Ciauw Cong dengan gusar. Tapi keduanya
berhasil dapat mengambil yang tembaga merah.
Baik Tan Keh Lok maupun Ciauw
Cong, sama mengunjuk keheranan. Bermula Ceng Tong pakai bahasa Mongol, kemudian
Haphaptai gunakan kata-kata rahasia. Sedikitpun mereka tak tahu artinya. Tan
Keh Lok memandang Ceng Tong.
“Yangan ambil uang yang lekuk!”
Hiang Hiang mendahului berseru dalam bahasa Ui.
“Yang tembaga putih sudah
dipenCet lekuk oleh bangsat itu!” Ceng Tong menjelaskan.
Diam- Keh Lok girang. Karena
justeru itulah yang dinantikannya. Mereka bertiga memang akan angkat kaki dari
situ. Terang nanti, orang she Thio itu tentu mengambil yang tembaga (merah).
Dengan alasan undian itu, mereka tentu tak menghalangi kepergian mereka
bertiga.
“Ha, kalau nanti kau berada
didalam perut serigala, yangan sesalkan aku”, sebaliknya Ciauw Cong berpikir
demikian. Dan tangannyapun segera akan diulurkan kekantong Haphaptai.
Pada saat itu Keh Lok perhatikan
bagaimana sinar mata yang ber-apia dari Kim Piauw itu diarahkan kepada Ceng
Tong.
“Ah, kalau mereka berkeras tak
mau lepaskan Cici-beradik itu ikut padaku, Celakalah!” tiba-tiba dia berpikiran
lain.
Tangan Ciauw Cong sudah masuk
kedalam kantong, waktu tiba-* Keh Lok meneriakinya: “Ambillah yang lekuk, dan
tinggalkanlah yang rata untukku!”
Ciauw Cong terkejut, tanpa
merasa, tangannya ditarik keluar iagi.
“Apa yang lekuk, apa yang rata
itu?!” tanyanya berlagak pilon.
“Dalam kantong itu masih
ketinggalan dua buah mata uang. Sebuah telah kau pijet sampai lekuk. Aku maukan
yang masih rata saja!” katanya sembari sebat sekali sang tangan masuk kedalam
kantong Haphaptai dan mengambil keluar sebuah uang tembaga merah. Segera
katanya pula dengan tertaw^: “Aha, kau gali lubang untuk kematianmu sendiri. Sekarang
yang tembaga putih itu, untukmulah!”
Wajah Ciauw Cong puCat lesi,
seketika, diCabutlah pedangnya.
“Telah ditetapkan, aku dulu yang
mengambil. Mengapa kau berani lanCang mendahuluiku?” teriaknya murka.
UCapan itu ditutup dengan sebuah
serangan dalam gerak “jun-hong-ho-liu,” angin Chun menghembus pohon liu, batang
leher Keh Lok teranCam.
Sambil tundukkan kepala, Keh Lok
ulur dua buah jari tangan kanannya untuk menutuk jalan darah “thian-ting-hiat”
disebelah leher orang. Ciauw Cong tak mau menghindar, begitu pedang ditarik
balik terus dipapaskan kejari musuh. Tapi ketua HONG HWA HWE itupun pantang
menghindar. Sebat sekali, tangan dibalik untuk tangkiskan pedang pendeknya
keatas, ‘trangng.........’ pedang Ciauw Cong telah terbabat kutung, membarengi
itu Keh Lok terus jujukan ujung pokiamnya kemuka. Belum lagi ujungnya tiba.
Ciauw Cong sudah rasakan tiupan hawa dingin menyampok mukanya.
Namun Hwe-Chiu-poan-koan itu
lihai sekali. Dalam kekalahan dia tetap berusaha merebut kemenangan. Lima jari
tangannya kiri maju menyukil sepasang mata lawan, hebatnya bukan terkira, Tan
Keh Lok sedikit ajalkan tusukannya, karena gerakkan bahunya menyampok serangan
musuh tadi. Dan sedikit kelambatan ini sudah Cukup memberi kesempatan, pada
Ciauw Cong untuk lonCat mundur tiga tindak.
Menyaksikan perkelahian yang
berlangsung dalam gerakan yang serba Cepat itu, ketiga Sam Mo maupun Ceng Tong
kesima dan kagum.
Keh Lok kembali merangsek maju.
Tapi Ciauw Cong telah mendahuluinya, ia lemparkan kutungan pedangnya yang
tinggal separoh itu kepada Ceng Tong. Dan ternyata tipu itu telah memberi hasil
yang diharapkan. Karena kuatir Ceng Tong yang masih lemah itu tak dapat
menghindar, buru-buru Tan Keh Lok melesat kemuka sinona. Sekali kibaskan
tangan, kutungan pedang Ciauw Cong itu, kena kesampok jatuh ketanah.
Tapi ternyata serangan Ciauw Cong
itu adalah gerak siasat yang disebut “suaranya dari sebelah timur, tapi yang diserang
sebelah barat.” Setelah Keh Lok kena diakali untuk menolong Ceng Tong. Ciauw
Cong melesat kesamping Hiang Hiang terus menangkap kedua tangan nona itu.
“Lekas keluar sana!” bentaknya
sambil berpaling pada Keh Lok, siapa nampak kesima.
“Kalau kau tetap membangkang,
nona ini segera akan kulempar pada serigala!” anCam Ciauw Cong.
AnCaman itu dibuktikan dengan
mengangkat tubuh Hiang Hiang keatas. Sekali ayun, nona itu pasti terlempar
keluar.
Darah didada Keh Lok seakan-akan
mendidih. Seketika ia kemekmek, tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Lekas naiki kudamu menobros
keluar!” Ciauw Cong ulangi anCamannya.
Keh Lok Cukup kenal isi perut
Ciauw Cong, Apa yang dikatakan tentu dikerjakan. Apa boleh buat, kuda putih
segera dituntun keluar.
Kembali tubuh Hiang Hiang diputar
sekali oleh Ciauw Cong, seraya berkata: “Akan kuhitung sampai tiga . Kalau kau
tetap tak mau, akan kulempar tubuh nona ini. Nah, satu......dua.........”
Belum lagi hitungan ketiga
diserukan, tahu-tahu dua ekor kuda meneryang keluar.
Kiranya, selagi mata semua orang
ditujukan pada Tan Keh Lok dan Ciauw Cong, Ceng Tong telah dapat menghampiri
kuda, sembari memutar obor, terus mereka meneryang keluar.
Diantara jeritan kaget dari
ketiga Sara Mo, Tan Keh Lok telah dapat menCengkeram batang leher dari dua ekor
serigala yang saat itu lagi meneryang masuk. Sekali kaki Keh Lok menjepit perut
kuda, binatang sakti itu bebenger keras lalu melonjak keatas. Dan membarengi
itu, dua ekor serigala tadi, ditimpukkan pada Ciauw Cong.
Kesima dengan kesaktian kuda putih
itu, ditambah pula ditimpuk dua ekor serigala, Ciauw Cong lepaskan Hiang Hiang
untuk menghindar kesamping. Tan Keh Lok tak mau kasih hati. Sepasang tang’annya
saling susul-menyusul menawurkan biji Catur pada musuhnya itu. Sedang bijis
Catur itu masih me-layangdua, dia membongkok kebawah untuk sambar pinggang
Hiang Hiang keatas kuda. Dan ketika ujung kakinya menCongkel perut kuda,
binatang itu kembali membubung keatas terus lonCat keluar dari lingkaran api
itu.
Sementara itu Ciauw Cong kibaskan
tangannya, seekor serigala terbalik jungkal, dan sembari bongkokkan badan, dia
memburu maju. Karena dalam keadaan gugup, biji Catur Keh Lok tadi tak ada
sebuahpun yang mengenai, dan sebagaian dapat dibikin jatuh oleh Ciauw Cong.
Begitu dekat, tangan kiri Ciauw
Cong segera membetot ekor kuda itu sekuat-kuatnya supaya tertarik balik kedalam
lingkaran lagi. Tapi ia menjadi kaget tidak kepalang bila ia sendiri rasakan
seperti ditarik pergi sekeras-kerasnya, sehingga sempoyongan hampir terseret
keluar.
Ini disebabkan, pertama kakinya
belum menginjak betul ditanah. Dan kedua, ia salah taksir akan tenaga kekuatan
kuda putih yang sakti luar biasa itu.
Ketika kakinya terangkat, segera
Ciauw Cong malah mau meneruskan dengan berjumpalitan lonCat kepunggung kuda,
untuk merampas Hiang Hiang kembali.
Tapi tiba-tiba dibelakang terasa
ada angin mernyambar. Itulah sabetan pedang dari Tan Keh Lok, yang yakin kali
itu tentu berhasil. Tapi tak disangkanya, jago Bu Tong Pai itu luar biasa
uletnya. Tatkala ujung pedang hampir mengenai, ia jejakkan pula kakinya keatas
untuk berjumpalitan kebelakang. Dan begitu melayang kebawah sebelah kakinya
tepat menginjak diatas kepala seekor serigala. Belum lagi binatang itu sempat
meronta, kaki Ciauw Cong telah dienjot lagi, melayang kembali kedalam lingkaran
api.
Lepas dari serangan jagoan Bu
Tong Pai itu, Tan Keh Lok Cepat keprak kudanya untuk mengejar Ceng Tong yang
sementara itu sudah jauh meneryang kedalam kepungan serigala dengan memutar
obornya.
Sebelum dapat menyusul, tak
sedikit kesibukan Keh Lok menghadapi serangan berpuluh-puluhdua ekor serigala.
Tapi berkat kesaktian pedang pusaka yang luar biasa itu, semua serigala itu
dapat disingkirkan. Ada yang terpotong tenggorok-annya, kutung kakinya dan
putus tubuhnya. Keh Lok sampai heran sendiri, karena binatangdua itu dapat
dibunuhnya semudah orang membelah buah semangka dan mengiris sajuran.
Sekejab saja, keduanya dapat
menobros keluar dari kepungan. Namun kawanan serigala itu tak mau melepaskannya
mentahdua dan terus mengejarnya. Tapi lari kedua ekor kuda itu lebih pesat,
sebentar saja kawanan serigala itu sudah ketinggalan berpuluh-puluhdua li
dibelakang.
Memang, untuk menobros keluar
dari kawanan serigala itu tidak sukar. Hanya saja sukarlah kiranya untuk lolos
betul-betul dari pengejaran binatangdua yang menderita kelaparan
itu. Siang malam, mereka tak
hentiduanya mengejar korbannya itu sehingga kalau tak dapat bertahan, orang
tentu kepayahan dan akhirnya jatuh menjadi mangsa mereka.
Tan Keh Lok bertiga lari.}
kesebelah barat. Tapi didaerah situ, batu-batu pegunungan makin banyak sekali,
jalanan makin berlikudua. Memang untuk menCapai punCak gunung yang menjulang
keatas itu, tak sedekat seperti pandangan sang mata. Kira-kira tengah malam,
baru tampak punCak itu dengan jelas menjulang dihadapan.
“Menurut peta, kota itu didirikan
disekeliling gunung itu yang nampaknya hanya 10an li jauhnya!” Ceng Tong
mengeluh.
Mereka mengaso untuk memberi
minum kudanya. Keh Lok meng-elusdua bulu suri kuda putih itu dengan rasa terima
kasih yang tak terhingga. Kalau tiada bantuan kuda yang sakti itu, taruh kata
dia dapat lolos, tapi Hiang Hiang pasti akan terampas oleh bangsat she Thio
itu.
Beberapa saat kemudian, kedua
kuda itu tampak segar lagi, tapi dalam pada itu lolong serigala kembali
terdengar.
“Mari!” seru Keh Lok seraya naik
keatas kuda Ceng Tong.
Ceng Tong tahu maksud orang muda
itu. Ia segera pondong adiknya untuk bersama naik kuda putih tunggangan Keh Lok
tadi. Kembali mereka teruskan perjalanannya kearah barat.
Malam itu CuaCa terang. Dewi
malam penCarkan Cahajanya yang gilang gemilang. PunCak gunung Pek-giok-nia itu
tampak putih seperti salju.
“Ci, kukira dipunCak gunung tentu
ditinggali oleh para dewa bukan?” kata Hiang Hiang sambil memandang kepunCak
gunung.
Sebelah tangan Ceng Tong memegang
kendali, sedang lain tangannya merangkul adiknya.
“Coba saja kita lihat nanti,
entah dewa entah dewi,” sahutnya dengan tertawa.
Tengah ber-Cakapdua itu, bayangan
dari gunung itu menimpali pada tubuh mereka. Ketiganya mendongak, sama
memandang dengan penuh kekaguman. Sekalipun dekat nampaknya, namun untuk
menCapai kekakinya saja bukan perjalanan yang mudah, karena disitu terdapat
banyak sekali bukitdua dan tanjakan yang Curam. Keadaannya jauh berbeda dengan
padang pasir yang luas bebas.
Disitu terdapat banyak sekali
sekali jalanandua gunung yang sukar didaki. Dan yang paling memusingkan, entah
jalanan mana yang dapat menuju keatas. punCaknya.
“Dengan adanya sekian bjtnyak
jalanan ini, pantas kalau banyak sekali orang yang tersesat,” kata Keh Lok.
“Menurut peta ini,” kata Ceng
Tong sembari membuka pula peta, “jalanan kekota kuno itu adalah
‘kiri-tiga-kanan-dua’.”
“Apa artinya itu?” tanya Keh Lok.
“Disini tak diberi keterangan
apa-apa,’” sahut sigadis.
Saat itu, suara lolong serigala
makin riuh, seperti menjadi kalap.
“Hai, mengapa pinatang itu begitu
Cepat larinya”, Keh Lok terkejut.
Sesaat lagi, alun lolong»
serigala itu kedengaran menyedihkan, sehingga mereka bertiga terCekat hatinya.
“Mereka melolong sedemikian
sedih, karena apa?” tanya Hiang Hiang.
“Ha, mungkin karena perutnya
merintih,” “tertawa Keh Lok.
“Sekarang tepat tengah malam,
mereka berhenti karena akan melolong pada rembulan. Begitu lolong itu sirap,
mereka tentu mengejar lagi. Ayo, kita lekas Cari jalan kedalam gunung,”
menerangkan Ceng Tong.
Disebelah kiri ini ada 5 buah
jalanan. Kalau didalam peta tadi disebut “kiri tiga, kanan dua,” kita ambil
saja jalanan yang nomor tiga ini,” kata Keh Lok.
“Kalau sampai jalanan itu buntu,
mungkin kita tak sempat balik kemari,” kata Ceng Tong.
“Kalau begitu, kita bertiga mati
bersama,” sahut Keh Lok.
“Ya, Cici, mari kita jalan.”
Jalanan nomor tiga itu ternyata
makin kemuka makin sempit. Pada kedua tepinya, adalah batu-batu pegunungan yang
ber-jajardua merupakan dinding. Terang kalau dibuat oleh manusia. Tak berapa
lama, disebelah kanan kembali tertampak tiga buah jalanan.
“Kita ketolongan!” seru Ceng Tong
kegirangan.
Mereka keprak kudanya untuk
mengambil jurusan nomor dua. Ternyata disitu merupakan jalanan yang jarang
didatangi orang. Ada sebagian tempat, penuh ditumbuhi rumput setinggi orang,
ada pula sebagian yang seluruhnya tertutup pasir’. Untuk melalui itu, terpaksa
mereka turun dan menuntun kudanya.
Kira-kira lima-enam li lagi,
disebelah kiri kembali kelihatan tiga buah simpang jalan. Tiba-tiba kedengaran
Hiang Hiang menjerit keras. Kiranya dimulut jalan itu, terdapat setumpuk tulang
belulang. Tan Keh Lok buru-buru memeriksanya dan dapatkan bahwa tulang belulang
itu berasal dari seorang manusia dan seekor onta.
“Dia tentu tersesat tak dapat
keluar dari sini,” katanya.
Kali ini mereka mengambil
persimpangan nomor tiga . Jalanan itu terbentang panyang. Sedang hawapun terasa
makin dingin. Tiba-tiba ditepi jalan, kembali ada setumpuk tulang putih yang
di-seladuanya tampak berkilaudua. Kiranya disitu terdapat banyak sekali batu
mustika yang berharga.
“Orang itu beruntung mendapatkan
banyak sekali sekali barang berharga, tapi Celakalah, dia tak dapat keluar,”
kata Ceng Tong.
“Yang kita ambil adalah jalanan
yang benar, tapi disana sini masih terdapat tulang rerangka. Apalagi pada
jalanan yang keliru, tentu penuh berserakan tulangdua semacam itu,” kata Keh
Lok pula.
“Nanti kalau keluar, kita yangan
membawa barang-barang berharga itu,” ujar Hiang Hiang.
“O, kau takut pada penunggunya
bukan?” Keh Lok menggoda. Namun dia terpaksa mengiakan ketika Hiang Hiang
memintanya lagi.
Setelah malam mereka berjalan
dnyalan yang ber-likudua itu. Menjelang fajar, ketiga orang dan kedua ekor kuda
itu nampak kepayahan. Ceng Tong mengajak mengaso. Tapi Keh Lok usul, nanti saja
kalau sudah ketemukan rumah.
Tak berapa lama, mereka tiba pada
sebuah tanah lapang. Sinar matahari pagi terang benderang kelihatannya. Sebuah
punCak gunung yang putih warnanya, menonjol kelangit. Disebelah mukanya, penuh
dengan deretan perumahan. Se
kalipun rumahdua disitu kelihatan
rusak karena tak terawat, namun bangunannya mewah dan besar. Merupakan bekas
kota yang dahulunya sangat indah megah. Anehnya, dari situ tak kedengaran suatu
suarapun. Ja, sampai suara seekor burungpun tak ada.
Seumur hidup, baru pertama ini
mereka melihat pemandangan yang sedemikian seramnya, hingga tanpa terasa,
mereka tak berani bernapas keras-keras. Setiba disitu, adalah Keh Lok yang
pertama masuk kedalam kota.
Tempat itu kering, tiada
tumbuhduaan yang hidup. Alat perkakas dalam rumah itu, masih utuh, sekalipun
entah sudah berapa lama usianya. Mereka bertiga masuk kedalam sebuah rumah yang
terdekat. Dimana ruangannya Hiang Hiang melihat sepasang sepatu wanita
bersulamkan bunga, yang nampaknya masih segar. Karena ketarik, didekati dan
disentuhnya, tapi bunga itu segera hanCur berobah menjadi abu. Bukan main
terkejutnya Hiang Hiang.
“Sekalipun hujan angin tak dapat
merembes masuk kemari, tapi bahwa segala benda itu masih tetap utuh dalam
usianya beribu tahun, sungguh ajaib sekali,” kata Keh Lok.
Kini mereka menyusur disepanyang
jalan. Ditepi jalan banyak sekali berserakan tulang belulang, golok, tombak dan
lain-lain alat perang.
“Menurut yang kalian Ceritakan
tadi, kota ini teruruk oleh badai pasir. Tapi menurut keadaannya, tidak
begitu,” kata Keh Lok.
“Ya, benar. Tiada tampak bekas
urukan pasir, tapi mirip dengan suasana sehabis perang besar. Seluruh penduduk
dikota ini, habis terbinasa,” kata Ceng Tong.
“Pada sebelah luar dari kota ini,
dibuat ratusan jalanan yang menyesatkan. Siapa saja mudah tersesat. Entah
bagaimana musuh bisa masuk kemari,” bantah Hiang Hiang.
“Ah, tentu ada penghianatan,”
sahut Ceng Tong.
Masuk kedalam sebuah rumah, ia
beber petanya diatas sebuah meja, akan diperiksanya lagi. Tapi begitu
tersentuh, meja itu roboh hanCur karena sudah lapuk.
“Rumahdua disini sudah lapuk
semua. Kendati rumah batu. tapi dikuatirkan tentu akan roboh diteryang kawanan
serigala itu,” kata Ceng Tong sambil pungut peta itu. “Ini pusat kota, sekian
banyak sekali tanda-tanda ini, kebanyak sekalian adalah tempatdua penting.
Bangunannya kebanyak sekalian pun kokohdua. Lebih baik kita kesana,” katanya
pula.
Dengan menurutkan petunjuk pada
peta itu, mereka berjalan lagi Jalanan dalam kota kuno itu, juga ber-bilukdua,
hampir merupakan dalam istana rahasia. Sehingga tanpa peta, mereka pasti akan
tersesat.
Kira-kira setengah jam, sampailah
mereka ketengah kota. sebagaimana diunjuk oleh pertandaan dalam peta. Ketika
diperhatikan, ketiganya mendelu putus asa. Karena itu adalah kaki dari Giok-nia
(punCak putih seperti batu giok warnanya). Sekali-kali tiada istana apa-apa.
Dilihat dari dekat, punCak
Giok-nia luar biasa bagusnya. Seluruhnya tertutup salju putih dan bening
Cahajanya. Kalau ada orang menemu segumpal batu giok, seumur hidup-nya pasti
tak habis dimakan. Tetapi siapa nyana, disitu terdapat gunung batu giok yang
tak terhitung banyak sekalinya.
“Kawanan serigala! Adakah mereka
juga punya peta? Heran!” tiba-tiba Hiang Hiang berteriak demi didengarnya
lolong serigala dari kejauhan.
“Hidung mereka merupakan peta,
karena mereka dapat membaui jejak kita,” menerangkan Keh Lok.
“Ha, tubuhmu mengeluarkan bau
harum. Dengan itulah mereka dapat membaui untuk mengejar kita,” Ceng Tong
menggoda adiknya. Tiba-tiba tangannya menunjuk pada peta, katanya kepada Tan
Keh Lok. “Lihatlah ini! Terang sebuah punCak gunung, mengapa banyak sekali
diCorat-Coret dengan sekian banyak sekali jalanandua”.
Tan Keh Lokpun ikut memeriksa.”
“Apakah punCak itu kosong dan boleh dimasuki?” tanyanya.
“Kalau tidak begitu, apa
lagi......... Sekarang, bagaimana kita dapat memasukinya?” tanya Ceng Tong.
Diperiksanya peta itu sekali lagi
dengan Cermat, lalu dibacanya dalam bahasa Han: “Kalau akan masuk kedalam
keraton, boleh memanjat keatas punCak puhun, berseru tiga kali kepada dewa
penunggu: “Ay-liong-bing-pat-seng!”
“Huh, apa artinya itu?” kata
Hiang Hiang. . “Mungkin suatu tanda rahasia. Tapi mana disini ada puhun?” balas
bertanya Ceng Tong. Sementara itu, lolong serigala makin dekat. Akhirnya
berkatalah ia: “Ayo, kita tak boleh berajal, lekas masuk kedalam rumah!”
Mereka bergegas-gegas lari
kedalam sebuah rumah yang terdekat. Baru saja kaki Keh Lok melangkah dua
tindak, tiba-tiba dilihatnya dibawah situ terdapat sebuah benda yang menonjol,
buru-buru ia membongkok memeriksanya.
“Hola, ada sebuah puhun besar
disini!” serunya.
“Benarlah, puhunnya sudah roboh,
tinggal akarnya yang besar!” kata Hiang Hiang menghampiri.
“Panjatlah kepunCak puhun itu,
berserulah dan keratin itu tentu terbuka............ Kalau begitu, keraton itu
pasti
berada didalam punCak gunung.
Adakah kata-kata itu merupakan kunCi-pembuka, mungkinkah segala doa dan jampe
itu ada?” tanya Ceng Tong.
Hiang Hiang memastikannya, karena
ia paling perCaja akan adanya rohdua dewa. Sebaliknya Tan Keh Lok menerangkan,
bahwa tentu didalam keraton itu ada orangnya, begitu mendengar tanda-rahasia
itu, mereka tentu segera membukainya.
“Masa setelah berabaddua lamanya,
orang itu masih hidup,” bantah Hiang Hiang. Ia mendongak keatas untuk
melihatnya. Tiba-tiba ia berseru: “Mungkin pintu goa itu disini, lihatlah,
diatas itu bukankah ada bekas tapak kaki orang?”
Keh Lok dan Ceng Tongpun segera
dapat melihatnya. Mereka girang.
Keh Lok membekal pedang pusakanya
tadi, terus merajap keatas tembok untuk memeriksanya. Beberapa tombak lagi,
berhasillah dia sampai ditempat bekas tapak kaki itu. Ceng Tong dan Hiang Hiang
bersorak kegirangan.
Keh Lok melambai tangannya, lalu
mulai memeriksa dinding punCak itu. Bekasdua tanda pintu gua, tampak dengan
jelas. Hanya karena saking lamanya, gua itu terpendam pasir. Sembari memegangi
tonjolan pada dinding punCak, dia pakai pedang untuk membersihkan pasirdua itu.
Pecahan batu-batu giok disebelah gua, diCukil dan dilemparkan kebawah. Tak
berapa lama, pekerjaan itu telah menghasilkan sebuah lubang yang Cukup dimasuki
orang. Segera Keh Lok masuk kedalam, diambilnya Cu-soh, lalu di-sambungdua
untuk diturunkan kebawah.
Pertama kali, Ceng Tong ikat
adiknya yang terus diangkat naik oleh Tan Keh Lok. Hampir tiba dimulut gua,
mendadak Hiang Hiang menjerit keras. Buru-buru Keh Lok sambar tubuhnya untuk
diangkat naik.
“Yangan takut!” hibur sipemuda.
“Serigala!” kembali Hiang Hiang
berteriak, wajahnya puCat.
Ketika Keh Lok melongok kebawah,
dilihatnya Ceng Tong sudah bertempur dengan 7 ekor serigala. Kuda putih
meringkik nyaring, menCongklang ber-putardua ditengah ruangan rumah itu.
Tan Keh Lok menjemput beberapa
butir batu giok, terus di-timpukduakan pada kawanan serigala itu. Setelah
binatangdua itu lari, Cu-soh diturunkannya. Ceng Tong masih kuatir tenaganya
belum Cukup kuat untuk memanjat Cu-soh, maka pedang dipindah ketangan kiri,
sedang dengan tangan kanan tali Cu-soh itu diikatkannya pada pinggang.
“Tariklah!” serunya.
Sekali tarik, tubuh Ceng Tong
melambung keatas. Pada saat itu, dua ekor serigala melonCat. Cepat Ceng Tong
ayun pedang, seekor serigala dapat ditusuk jatuh. Tapi yang seekor lagi, telah
berhasil menggigit sepatu Ceng Tong.
Lekas-lekas Ceng Tong meronta
kuatdua, begitu serigala itu ikut terangkat naik, segera dibabatnya hingga
kutung menjadi dua. Namun separoh tubuh bagian muka dari binatang itu, masih
tetap tak mau melepaskan gigitannya dan ikut terangkat naik. Tan Keh Lok
berusaha membuka gigitan serigala itu, tapi sia-sia.
“Terluka?” tanyanya.
“Untung tidak berat!” sahut Ceng
Tong sembari meminjam pedang pusaka, lalu ditabaskan kemonCong serigala. Dua
larik gigi tampak menjepit sepatunya, ada sedikit darah mengalir keluar.
“Ci, kakimu terluka!” seru Hiang
Hiang sambil bantu membuka sepatu dan membalut lukanya.
Tan Keh Lok melengos. Tak berani
dia memandang kaki Ceng Tong yang telanyang itu. Habis membalut, Hiang Hiang
me-maki-maki kawanan serigala itu. Tan Keh Lok dan
Ceng Tong hanya ganda tertawa
saja mendengarnya. Dalam gua itu ternyata gelap gulita. Ceng Tong mengambil
geretan api untuk menyuluhi. Ia melengak, karena tempat itu tingginya tidak
kurang 7 atau delapan belas tombak dari tanah dibawah sana.
“Gua ini lama sekali tak kemasukan
angin, hawanya tentu jahat, tak boleh buru-buru dimasuki.” kata Ceng Tong.
Setelah lewat beberapa lama, Keh
Lok menyatakan biar dia saja yang akan memasukinya lebih dulu.
Hendak Ceng Tong menCegahnya,
tapi Keh Lok berkeras. Segera Cu-soh diikatkan pada sebuah batu, lalu ia
melorot turun. Sampai diujung Cu-soh, ternyata masih ada kira-kira 10 tombak
untuk menCapai tanah. Terpaksa ia lepaskan genggamannya, untuk melayang turun.
Tanah dibawah situ, Cukup keras.
Hendak ia gunakan geretan api untuk menyuluhi, tapi ternyata sudah habis. Dia
kaoki Ceng Tong supaya memberi geretan api. Diantara Cahaja api itu, tampak
olehnya bagaimana empat penjuru dinding tempat itu terbuat dari batu giok putih
yang gemilang. Disitu pun terdapat beberapa meja dan kursi. Dirabanya meja itu,
ternyata masih kokoh. Ini disebabkan karena tertutup rapat, gua itu tak
kemasukan hawa dari luar. Dipotongnya sebuah kaki meja, dibakar untuk digunakan
sebagai obor. Setelah itu dia teriaki kedua Cici-beradik itu supaya turun.
Lebih dulu Ceng Tong suruh
adiknya turun. Ketika akan melunCur kebawah, Hiang Hiang meramkan mata dan
tahu-tahu ia rasakan sepasang tangan yang kuat merajjgkul tubuhnya dan terus
diletakkan ditanah. Setelah itu, lalu Ceng Tong.
Ketika Keh Lok menyanggapi dan
memeluk tubuh sigadis harum itu, merah padamlah selebar mukanya.
Pada saat itu, lolong serigala
sudah hampir tak kedengaran lagi Pada keempat penjuru dinding batu giok itu,
Keh Lok dapat melihat bayangannya sendiri didampingi oleh kedua nona yang
Cantik jelita. Hati pemuda ini diliputi dua macam perasaan, bahagia dan Cemas.
Dengan membekal beberapa potong
kaki kursi lagi, Keh Lok ajak kedua nona itu masuk kedalam sebuah lorong yang
panyang. Sampai diujung lorong, kelihatan ada setumpuk benda mengkilap seperti
emas. Kiranya itu adalah seprangkat pakaian perang yang terbuat dari emas.
Dibawahnya, ada seonggok tulang manusia.
“Semasa hidupnya, orang ini tentu
seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi,” kata Hiang Hiang.
Ceng Tong lihat pada dada
rerongkong orang itu, ada sebuah perisai-dada yang terukir lukisan onta
terbang.
“Mungkin dia seorang raja atau
putera raja. Menurut Cerita, pada jaman dahulu itu hanya rajadualah yang berhak
mengenakan ienCana ‘onta terbang’,” katanya.
“Ah, seperti orang Tionggoan
dengan IenCana ‘liong’nya,” seia Keh Tok.
Dipinjamnya obor dari Hiang Hiang
untuk menyuluhi kalaudua ada pintu atau pesawat rahasianya. Benar juga, diatas
‘kim-kah’ (pakaian perang dari emas) itu ada sebatang kampak panyang, juga
terbuat dari emas, yang tertanCap pada putaran sebuah pintu.
“Pintu!” seru Ceng Tong
kegirangan.
Obor diberikan pada Ceng Tong,
dan Keh Lok lalu Coba menCabut kampak itu. Tapi ternyata kampak itu tertanCap
mati pada daun pintu besi yang sudah karatan. Sia-siasaja dia kerahkan seluruh
tenaganya. Lebih dulu dikoreknya karatan itu, lalu diCoba pula untuk menCabut
kampak itu, namun masih lak berhasil.
“Kalau kampak emas ini benar
senjatanya, nyata tenaga raja itu besar luar biasa sekali,” katanya.
Pintu batu itu, dikanan kirinya
masih ada 4 buah gerendelnya, yang masing-masing diikat dengan rantai. Rantai
diangkat dan grendelnya ditarik, tapi tidak berkutik. DiCobanya lagi mendorong
daun pintu itu sekuat-kuatnya, dan akhirnya jerih payahnya itu berhasil. Pintu
itu berkerotakan, pelahan-lahan terbuka. Kiranya pintu batu itu tebalnya
diantara satu kaki, terbuat dari batu karang.
Dengan obor ditangan kanan dan
pedang ditangan kiri, Keh Lok melangkah masuk. Serentak dia dikagetkan oleh
suara benda retak dibawah kakinya. Itu ternyata seonggok tulangdua. Obor
disuluhkan kesegala sudut, nyata ia tengah berada disebuah lorong yang hanya
tiba Cukup dilalui seorang saja. Disekelilingnya, rerongkong tengkorak
berserakan.
Ceng Tong pinjam obor dari pemuda
itu untuk menyuluhi beiakang pintu. “Lihat!” «erunya tiba-tiba.
Dibelakang daun pintu batu itu
penuh guratan dan bekas baCokan goiok.
“Orang-orang ini memang
dijebloskan disini oleh raja. Mereka rupanya menCoba akan keluar, tapi pintu
batu dan dinding batu giok itu tak dapat ditembus,” kata Keh Lok.
“Sekalipun mereka punya berpuluh
golok, tak nanti dapat membobol pintu semacam ini,” sahut Ceng Tong.
“Dan akhirnya satu demi satu
mereka binasa.”
“Sudah, sudahlah!” buru-buru
Hiang Hiang menCegah karena tak tahan mendengari, rupanya ia menjadi ngeri.
“Tapi anehnya, mengapa raja itu
tetap menunggu diluar pintu dan bersama-sama binasa dengan mereka?” Ceng Tong
ajukan persoalan, seraya mengeluarkan peta. “Disini tertulis: Pada ujung lorong
itu, dimukanya adalah istana.”
Segera mereka terus berjalan,
melalui onggokdua tulang rerongkong dan setelah dua kali membiluk, benar juga
mereka sampai kesebuah ruangan besar. Disitupun penuh dengan rerongkong
manusia, senjatanya berserakan ditanah, seperti habis terjadi pertempuran
besar.
“Ah, mengapa harus berkelahi,
hidup damai dan senang bukankah lebih berbahagia?” kembali Hiang Hiang utarakan
perasaannya.
Masuk kepaseban itu, tiba-tiba
Tan Keh Lok rasakan pedangnya seperti dibetot oleh suatu tenaga yang kuat,
hingga terlepas dan jatuh ketanah. Juga pedang Ceng Tong seperti berontak dari
sarungnya, terus memberosot jatuh.
Kaget mereka dibuatnya. Ketika
Ceng Tong membongkok kebawah untuk memungutnya, mendadak berpuluh-puluhdua
thi-lian-Cu (piauw yang berbentuk seperti biji teratai) keluar dari kantong
berhamburan ketanah.
Makin terkejut ketiganya. Keh Lok
dan Ceng Tong adalah ahli silat, tanpa merasa, mereka lonCat mundur dan
serentak bersiap. Hiang Hiang dnyambretnya supaya berada dibelakang Tan Keh
Lok. Tapi sampai beberapa saat, keadaan masih sunyi saja.
“Kami bertiga melarikan diri dari
kejaran serigala, sedikitpun tak mengandung maksud jelek. Apabila ada
kesalahan, mohon dimaafkan,” seru Keh Lok dalam bahasa Ui.
Tapi sampai sekian lamanya tiada
jawaban apa-apa.
“Silakan tuan rumah suka nampakkan
diri, agar kami bisa menghadap,” kembali Keh Lok berseru.
Dari arah belakang paseban
terdengar suara gemuruh. Bukan jawaban, melainkan kumandang.
Ceng Tong agak tenang, lalu
menghampiri untuk memungut pedangnya. Tapi ternyata senjata itu seperti melekat
ditanah, sekalipun ditarik sekuat-kuatnya, begitu tangan agak kendor, tentu
kembali jatuh tersedot ditanah lagi.
“Ha, gunung ini tanahnya
mengandung magnit,” seru Keh Lok.
“Apa itu gunung magnit?!” tanya
Ceng Tong.
“Semasa kecil pernah kudengar
orang-orang yang pernah mengraungi lautan, diujung utara dunia ada sebuah
gunung magnit dapat menyedot semua besi yang digantung diatas tentu menjurus
keutara. Untuk pelajaran, digunakannya kompas, yang jarumnya selalu menjurus
keselatan. Itulah karena adanya gunung magnit tersebut,” menerangkan Keh Tok.
“Jadi artinya, karena didasar
tempat ini terdapat sebuah bukit magnit, maka senjata kita kena tersedot?” Ceng
Tong menegaskan.
Tan Keh Lok mengiakan dan
mengambil pokiam dan sebuah kaki kursi. Kedua benda itu digenggamnya. Begitu
genggaman itu dibuka, maka pokiam lalu melayang jatuh, sedang kaki kursi tetap
tak bergerak.
“Lihatlah betapa besar tenaga
penarik bukit magnit ini!”
“Lekas, kemarilah!” tiba-tiba
kedengaran Ceng Tong berteriak.
Ketika Keh Lok menghampiri,
dilihatnya Ceng Tong menunjuk pada sebuah rerongkong. Pakaian dan dagingnya
hanCur, tapi rerangkanya masih utuh, tangan kanannya memegang sebuah pedang
yang berwarna putih, seperti sedang menusuk lain rerangka, yang rupanya akan
dibunuhnya.
“Inilah sebilah giok-kiam (pedang
pualam),” Ceng Tong berteriak.
Keh Lok menCabutnya pelan-pelan ,
namun begitu tergoyang, rerangka itu segera menguruk jatuh menjadi tumpukan
tulang.
Pedang dari batu giok (giok kiam)
itu sangat tajam, tak kalah dengan pedang biasa. Namun kalau diadu dengan
logam, terang tentu rusak.
Sedang Tan Keh Lok tengah
terbenam dalam keheranan, adalah Ceng Tong dan Hiang Hiang telah menemukan
banyak sekali sekali macamdua alat- senjata yang terbuat dari giok. Hanya
saclja bentuknya agak berlainan dengan senjatadua yang biasa digunakan oleh
orang-orang biasa. Kembali Tan Keh Lok men-duga- akan kegunaan senjatadua itu.
“Aku tahu!” sekonyong-konyong
Ceng Tong berseru. “Pemilik gunung ini entah karena apa, telah mengadakan
penjagaan yang sedemikian rapihnya!”
“Apa?” lanya Keh Lok.
“Dengan andalkan kesaktian gunung
magnit ini, musuh dapat tersedot senjatanya, setelah itu, orang sebawahannya
diperintahkan pakai senjata dari giok untuk membunuhnya,” menerangkan Ceng
Tong.
“Ya, lihatlah ini! Musuhdua itu
memakai thiat-kah, jadi tambah mudah kesedot, sampai untuk merajap bangun
mereka, tak mampu,” kata Hiang Hiang. Kata-katanya ini diulangkannya kepada
sang Cici. ketika Cici itu masih tak menyahut.
“Masih menjadi pikiranku, mengapa
orang-orang yang memegang senjata giok itupun juga ikut mati disamping
korbannya?” tanya Ceng Tong.
Hiang Hiang tak dapat menyahut,
juga tidak Tan Keh Lok. Sampai disitu, Ceng Tong mengajak memeriksa kebelakang.
“Yangan!” seru Hiang Hiang.
Ceng Tong bermula melengak, tapi
akhirnya dia menghibur sang adik supaya yangan takut.
Dibelakang paseban besar itu,
terdapat sebuah paseban yang agak kecil. Suasana disitu lebih menyeramkan.
Berpuluh-puluh rerongkong memenuhi ruangan. Kebanyak sekalian dalam sikap
seperti orang berdiri. Ada yang memegang senjata, ada yang tangan kosong.
“Yangan sampai menyentuh! Cara
kematian mereka itu, mungkin terdapat sesuatu rahasia,” Keh Lok memperingatkan.
“Dilihat sikapnya, mereka seperti
saling berhantam dengan sengit!” kata Ceng Tong.
“Ya, memang begitulah kalau dua
jago yang sama tang-guhnya saling berhantam, tentu nekad mati bersama-sama.
Tapi sekian banyak sekali orang berlaku seperti itu, sungguh sukar dimengerti,”
jawab Keh Lok.
Masuk kesebelah dalam lagi,
mereka membiluk pada sebuah tikungan, dibukanya sebuah pintu. Tiba-tiba tampak
sinar terang’ benderang menyorot masuk dari tempat berpuluh-puluhdua tombak
tingginya. Ternyata disitu merupakan sebuah ruangan batu, yang sengaja dibuat
di-tengah-tengah gunung Gok-nia-san itu.
Sinar matahari itu tidak langsung
menyorot kebawah, karena lobangdua diatas ruangan itu, ada dua buah lekukan,
sehingga dari bawah, orang tak dapat langsung melihat pada langit diatasnya.
Dalam ruangan batu itu terdapat
tempat tidur, meja. kursi yang kesemuanya dibuat dari bahan batu giok dengan
diukir luar biasa indahnya. Diatas pembaringan itu, membujur sebuah rerongkong.
Pada salah satu ujung kamar itu, ada dua buah rerongkong, satu besar, lainnya kecil.
Kepala rerongkong besar itu terbelah menjadi dua.
Sampai beberapa jurus Tan Keh Lok
bertiga memandangnya. Pada lain saat, obor segera ditiup padam, dan kedua anak
perempuan itu diajaknya mengaso disitu sambil menikmati roti kering dan minum
air.
“Kawanan serigala itu entah masih
tetap menunggui kita diluar entah tidak. Tapi biar bagaimana, lebih baik kita
berhemat dengan air dan makanan,” kata Ceng Tong.
Karena beberapa hari ini, mereka
hampir tak dapat tidur pulas barang sejenak, maka pada saat itu, rasa kantuk
menCengkeram mata, dan sebentar kemudian ketiganya jatuh pulas.
Kini balik menengok pada Ciauw
Cong dan ketiga Sam Mo tadi. Sekalipun hati mereka merasa sayang akan kaburnya
kedua gadis Ui yang Cantik itu, namun sedikitnya mereka merasa Syukur karena
pada saat itu diri mereka sudah terhindar dari kepungan kawanan serigala yang
waktu itu semua sama lari mengejar pada Tan Keh Lok bertiga.
Untuk mengisi sang perut,
diambilnya beberapa ekor serigala yang sudah binasa tadi, dibakar dan
dimakannya. Waktu itu bahan bakar sudah hampir habis. Rupanya It Lui merasa
ogahduaan untuk menCari dahan kayu. Diambilnya kotoran serigala saja untuk
dimasukkan kedalam api. Dalam sekejap saja, membubunglah segumpal asap besar
keudara.
TENGAH memakan daging serigala
itu, tiba-tiba dari arah timur kelihatan debu mengepul. Mengira kalau itu
kawanan serigala yang datang kembali, keempat orang itu tersipu-sipumenCari
kudanya. Kuda ternyata hanya dua ekor, jalah yang dibawa oleh Sam Mo tadi.
Ketika Ciauw Cong menyambuti tali kendali dari salah seekor kuda, Haphaptaipun
melesat tiba dan menjambret tali itu, bentaknya: “Kau mau berbuat apa?”
Ingin Ciauw Cong ayunkan
kepelannya, tapi batal karena dilihatnya It Lui dan Kiem Piauw menghampiri maju
dengan membolang-balingkan senjatanya. Ciauw Cong kini tak punya senjata lagi,
karena pedangnya tadi sudah dibabat kutung oleh pokiam Tan Keh Lok. Dalam
saat-saat yang mendesak, timbullah pikirannya, dia berseru. “Hai, mengapa
gugup, itu bukan serigala!”
Ketika Sam Mo berpaling, dan
melonCatlah Ciauw Cong keatas pelana. Sekali pandang, tahulah dia bahwa
rombongan yang mendatangi itu bukan kawanan serigala melainkan kelompok besar
dari Kambing-kambing. Sebenarnya, tadi dia akan menipu ketiga Sam Mo itu, siapa
tahu, kata-kata yang diuCapkan seCara sembarangan tadi, ternyata benar adanya.
Tanpa sangsidua, dia keprak
kudanya menuju arah gerombolan itu.
“Biar kulihatnya dulu!” serunya.
Kira-kira satu li jauhnya,
seorang penunggang kuda mendatangi dengan kenCangnya. Sekali tarik, penunggang
itu dapat memberhentikan tunggangannya. Diam-diam Ciauw Cong memuji akan
kepandaian menunggang kuda dari orang tersebut. yang ternyata seorang tua
dengan pakaian warna kelabu. Melihat Ciauw Cong berpakaian seperti pembesar militer
Ceng, orang itu menegur dalam bahasa Han: “Kawanan serigala itu menuju kemana?”
Ciauw Cong menunjuk kebarat. Saat
itu, rombongan kambing dan onta sudah mendatangi.
Dibelakangnya tampak seorang tua
mukanya merah dan kepalanya pelontos serta seorang wanita tua. Kambing-kambing
itu sama mengembik ramai sekali. Hendak Ciauw Cong menegur, tapi ketiga Sam Mo
tadi sudah maju menghampiri sambil menuntun kudanya. Demi melihat siorang tua,
bergegas-gegas ketiga orang itu menjalankan penghormatan.
“Ha, kembali kita berjumpa,
kiranya kau orang tua baik-baik sajakah?” sapa Sam Mo.
“Hm, tidak apa-apa,” sahut
siorang tua pakaian kelabu itu, yang bukan lain adalah Thian-ti-koay-hiap Wan
Su Siau.
Kiranya sehabis tinggalkan Tan
Keh Lok dan Hiang Hiang, Thian-san Siang Eng buru-buru kembali menengok
bagaimana nona itu sedang menderita sakit. Dua hari dalam perjalanan,
bertemulah kedua suami isteri itu dengan Thian-ti-koay-hiap.
Untuk tidak menyakiti hati sang
isteri yang diCintainya itu, Tan Ceng Tik sengaja berlaku baik terhadap
Thian-ti-koayhiap, bekas saingannya dalam perCintaan itu. Sudah tentu Koayhiap
merasa heran melihat perubahan sikap dari Ceng Tik itu, apalagi tampak juga
Kwan Bing Bwee hanya tersenyum simpul saja.
“Wan-toako, untuk apakah kau
giring onta dan Kambing-kambing ini?” tanya Ceng Tik.
“Kau telah bikin aku rudin”,
sahut Koayhiap dengan mata meiotot.
“Ha, apa?” tanya Ceng Tik.
“Tempo hari telah kubeli sejumlah
besar onta dan kambing, agar kawanan serigala pengganggu itu dapat masuk
perangkap. Tak tahunya..................”
“Kalau begitu, jadi kebaikan dari
seorang tua seperti aku ini, telah merusakkan usahamu yang besar itu”, Ceng Tik
memotong pembiCaraan orang.
“Apa tidak begitu? Tapi apa
dayaku? Terpaksa kukumpulkan uang lagi untuk membelinya!” sahut Koayhiap.
“Ha, Wan-toako telah rugi berapa,
nanti aku yang menggantinya”, kata Ceng Tik tertawa.
Sejak sang isteri menunjukkan
sikap mencinta, Ceng Tik telah robah sikap garangnnya seperti yang sudahdua.
Dia bertekad akan merebut kasih sang isteri. Karena itulah maka dia bersikap
luar biasa baiknya terhadap Koayhiap.
“Siapa kesudian terima uangmu!”
sahut Koayhiap.
“Nah, kalau begitu, kita tebus
dengan tenaga! Kita akan dengar perintahmu untuk bersama-sama Cari kawanan
serigala itu, bagaimana?”
Mata Koayhiap melirik pada Kwan
Bing Bwe, siapa kelihatan tersenyum sambil mengangguk.
“Baiklah!” akhirnya Koayhiap
menerima.
Demikian mereka bertiga dengan
menggiring rombongan onta dan kambing itu, berusaha untuk menCari jejak kawanan
serigala. Pada hari itu karena menampak ada long-yan (asap dari kotoran
serigala), menduga kalau disitu kawanan serigala sedang mengepung orang,
buru-buru mereka menghampiri. Tidak tahunya, disitu mereka berjumpa dengan
Ciauw Cong dan Sam Mo.
Ciauw Cong belum mengenal siapa
ketiga orang tua yang luar biasa itu, tapi demi melihat sikap Sam Mo yang
begitu menghormat sekali, tahulah dia bahwa mereka tentu bukan sembarang orang.
Setelah memeriksa sebentar tempat
itu, berkatalah Thian-ti-koayhiap: “Kita akan menangkap kawanan serigala, Ayo
kamu ikut!”
Kaget sekali keempat orang itu,
hingga sampai beberapa detik mereka tak dapat menguCap apa-apa. Dalam hati
mereka sama mengira kalau Koayhiap itu seorang tua yang sinting. Sedang untuk
menghindari serbuan kawanan binatang itu saja sudah susah setengah mati,
apalagi untuk menang kapnya.
Karena pernah mendapat
pertolongan dan tahu pula dengan mata kepala sendiri bagaimana lihai
Thian-ti-koayhiap, ketiga Sam Mo itu tak berani banyak sekali rewel.
Tapi tidak demikian dengan Ciauw
Cong, yang terus mengeluarkan suara dari hidung dan katanya: “Aku masih ingin
makan nasi untuk beberapa tahun lagi, maaf, tak dapat mengawani.”
Habis berkata, dia terus memutar
diri akan berlalu.
Ceng Tik murka, terus akan
menjambret pinggangnya sembari membentak: “Jadi kau berani membangkang perintah
Wan-tayhiap? Yangan ngimpi kau bisa bernapas lebih lama lagi?!”
Ciauw Cong kerahkan tenaga
ketangan kanan, dengan gerak “membakar awan menarik rembulan” dia miring
sedikit sembari tabas tangannya Ceng Tik. Ketika hampir mengenai, tiba^
dilihatnya kelima jari Ceng Tik yang tertuju sinar matahari itu, kaku seperti
Cakar garuda. Bukan main terkejutnya, sukar ia bisa berlaku sebat untuk tarik
kembali tangannya, terpaksa ia ganti menghantam lengan orang.
Luput menCengkeram, Ceng Tik
segera robah tangannya menjadi pukulan. Begitu kedua lengan saling beradu,
keduanya sama terkejut dalam hati. Dua-tiga mundur tiga tindak, masing-masing
saling mengagumi tenaga sang lawan.
“Sahabat, silakan memberi tahu
namamu?” tanya Ciauw Cong.
“Siapa sudi menjadi sahabat orang
semacam kau!” memaki Ceng Tik. “Pendek kata, kau turut apa tidak perintah
Wan-tayhiap tadi?”
Dengan ujian tadi, tahulah Ciauw
Cong bahwa kepandaian orang itu berimbang dengan dirinya. Tapi yang membuat dia
heran, mengapa orang itu selalu menyebut siorang tua berpakaian kelabu
“Wan-tayhiap” dengan begitu menghormat sekali. Dia duga, orang tua berpakaian
kelabu itu, tentu seorang istimewa. Tapi siapakah gerangan Wan-tayhiap itu?
Beberapa saat, tak dapat dia
menjawab. Memang banyak sekali kali orang kangouw suka gunakan gertakan kosong,
tapi rupanya tidak kali ini, karena kalau mereka berserekat, terang ia akan
Celaka. Akhirnya ia mengambil putusan.
“Aku yang rendah ini lebih dulu
akan mohon tanya gelaran yang mulia dari Wan-tayhiap, apabila benar seorang
Cianpwe, sudah tentu aku akan menurut,” katanya kemudian.
“Hahaha,” tertawa Koayhiap, “jadi
kau akan menguji seorang tua! Aku siorang tua ini biasanya senantiasa menguji
orang, belum pernah diuji orang. Coba jawab. Tadi kau gunakan ‘ang-hu-tho-gwat’
(membakar awan mendorong rembulan) kemudian berobah ‘swat-jung-lan-kwan’, kalau
aku dari sebelah kiri menyerang dalam gerak ‘sia-san-Cam-houw’ (turun gunung
bunuh harimau), dan dari sebelah kanan menotok jalan darahmu ‘sin-thing-hiat’,
kakiku kanan berbareng lututmu sebelah bawah, bagaimana kau akan
menghadapinya?”
“Kakiku kugerakkan dalam
‘ban-kiong-shia-tiu’ (pentang gendewa memanah meliwis), kedua tangan kugerakkan
dalam ilmu ‘kin-na-hwat’ untuk merangsang mukamu,” demikian jawab Ciauw Cong.
“Menjaga sambil menyerang itulah
Caranya ahli dari Bu Tong Pai,” kata Wan Su Siauw.
Ciauw Cong terkejut, pikirnya:
“Kukatakan sebuah gerakan untuk menjawab pertanyaannya, dan tahulah dia Cabang
perguruanku, sungguh hebat!”
“Ketika di Ouwpak, pernah aku
saling menguji dengan Ma Cin Totiang,” kata pula Wan Su Siauw.
Hati Ciauw Tong tergetar, mukanya
puCat seperti kertas mendengar nama Suhengnya disebut.
Sementara itu terdengar Wan Su
Siau telah menyambung: “Tanganku kanan dengan pukulan Bian-Ciang punya
‘im-Chiu’, kugunakan untuk menangkis seranganmu ‘kin-na’ tadi. Kemudian siku
kiri kuajukan untuk makan dadamu...............”
“Itulah gerakan ‘Ciu Chui’ (siku)
besi dari ilmu silat Tay-ang-kun,” potong Ciauw Cong.
“Benar,” sahut Wan Su Siauw,
“tapi ‘Ciu-Chui’ itu adalah serangan kosong, begitu kau sedot dadamu
kebelakang, segera pukulanku kiri kukirim kemukamu. Itu waktu Ma Cin Totiang
tak keburu berkelit untuk serangan ini. Setelah kita saling tukar menukar
pelajaran sampai sebulan lamanya, baru berpisahan.”
Ciauw Cong berpikir keras, lewat
beberapa saat lagi berkatalah ia: “Kalau perubahan gerakanmu tadi Cepat, sudah
tentu aku tak dapat menghindar. Tapi akan kugunakan gerak ‘wan-yang-thui’ dan
menyerang igamu kiri, hingga kau tak boleh tidak, tentu menarik balik
seranganmu untuk menghindar.”
Wan Su Siauw tertawa lebar-,
katanya: “Gerakanmu itu tepat sekali. Dalam Cabang Bu Tong Pai, mungkin kaulah
orang nomor satu.”
“Dan kulanjutkan pula untuk
menolak jalan darah ‘hian-ki-hiat’ didadamu!” sambung pula Ciauw Cong.
“Bagus! Yang dapat menyerang
‘lemas seperti kapas tapi dahsyat seperti sungai’ itulah seorang ahli yang
jempol. Kubergeser pada kudadua ‘kui-mui’ menyerang kakimu,” seru Wan Su Siauw.
“Aku mundur ke-kudadua ‘song-wi’,
maju lagi ke-kudadua ‘gwan-ong’, menotok jalan darah ‘thian-twan’,” balas Ciauw
Cong.
Mendengar kedua orang itu saling
berdebat dengan kata-kata yang aneh, Kim Piauw dan Haphaptai bingung tak
mengerti. Haphaptai kutik- lengan It Lui meminta penjelasan.
“Bukan kata-kata rahasia,
melainkan ke-enam4 kedudukan dari kudadua ilmu silat dan bagiandua jalan darah
dari tubuh manusia,” menerangkan It Lui. Dengan itu kini mengertilah kedua jago
dari Kwantong tadi.
Memang kedua orang itu, Wan Su
Siauw dan Ciauw Cong, tengah pi-bu dengan mulut. Ada orang rundingkan soal
barisan perang dengan gunakan kertas, tapi pi-bu (adu silat) dengan mulut, baru
pertama kali dijumpainya.
“Aku maju kesebelah kanan
‘beng-ih’, mengambil jalan darah ‘ki-bun’,” berkata pula Wan Su Siauw.
“Aku mundur ke ‘tiong-hu’,
menangkis dengan ilmu silat ‘hong gan Chiu’,” jawab Ciauw Cong.
“Maju ke ‘ki-Ce’, menotok jalan
darah ‘hoan-thiao’, berbareng tangan kiri dirangsangkan pada jalan darah
‘jiok-gwan’.”
Sampai disini, wajah Ciauw Cong
ber-sungguh-sungguh beberapa jurus lagi, barulah ia berkata. “Mundur ke
‘tin-su’, lalu ke ‘hok-wi’ terus ke ‘mo-Ce’.”
“Huh, mengapa dia terus main
mundur,” bisik Haphaptai.
It Lui memberi isyarat dengan
tangan supaya Sutenya itu diam.
Kedua orang itu makin seru
berdebat. Kalau Wan Su Siauw tetap ke-tawadua dengan muka berseri-seri, adalah
Ciauw Cong peluhnya ber-ketesdua mengalir dari keningnya. Ada kalanya untuk
sejurus pukulan saja, dipikirnya sampai sekian lama baru dapat.
“Wah, kalau berkelahi
sungguh-sungguh, mana dia bisa berpikir sampai sekian lama. Sedikit berajal
saja, pasti akan tertutuk oleh musuh,” diam-diam Sam Mo itu berpikir.
Setelah beberapa jurus berdebatan
lagi, berkatalah Ciauw Cong: “Maju ke ‘siao-ju’, untuk pura-pura menjaga bagian
perut.”
“Salah, gerakanmu itu jelek,
tentu kalah,” kata Wan Su Siauw sambil gelengkan kepala.
“Mohon pengajaran!” kata Ciauw
Cong.
“Masuk ke ‘pun-wi’, kaki
menendang jalan darah ‘im-si’ dan menutuk jalan darah ,’hwa-kay’ didada. Kau
pasti tertolong!”
“Memang dalam kata-kata, hal itu
benar. Tapi dalam kedudukan kudadua ‘pun-wi,’ dikuatirkan siku lenganmu takkan
sampai untuk menghantam dadaku,” balas CiaUw Cong.
“Tidak perCaja, boleh Coba!
Hati-hatilah!” seru Wan Su Siauw, terus layangkan kakinya kanan, menendang
jalan darah ‘im-si-hiat’, yaitu yang terletak tiga dim dibawah lutut kaki.
“Bagaimana kau bisa melukai
aku.........?” seru Ciauw Cong dengan membalik tubuh menghindar.
Namun belum sampai Ciauw Cong
mengakhiri ejekannya, tangan Wan Su Siauw diulur untuk menutuk jalan darah
“hwa-kay-hiat” didadanya. Berasa dada sakit, Ciauw Cong terus menerus batuk.
Buru-buru dia tutuk dadanya sebelah kiri, untuk membuka jalan darah, barulah berhenti
batuknya.
“Bagaimana?” tanya Wan Su Siauw.
Tadi semua orang hanya
menyaksikan bagaimana orang she Wan itu hanya sedikit saja bergerak, dan
jarinya telah dapat menutuk jalan darah musuh. Ini membuktikan betapa sempurna
kepand^iannya. Hal itu tefah membuat semua orang berCekat.
Wajah Ciauw Cong masgul, tak
berani dia bersikap membangkang lagi. Katanya: “Aku yang rendah akan menurut
kata-kata Wan-tayhiap!”
“Kepandaianmu tadi, sebenarnya
jarang terdapat dika-langan kangouw. Siapakah kau ini?” tanya Ceng Tik.
..Aku yang rendah adalah Thio
Ciauw Cong, dan mohon tanya akan gelaran yang mulia dari sam-wi.”
“Ah, kiranya Hwe-Chiu-poan-koan.
Wan-toako, dia adalah Sute dari Ma Cin Totiang,” kata Ceng Tik.
Wan Su Siauw anggukkan kepalanya.
“Hm, Suhengnya mungkin tak nempil dia. Ayo, kita berangkat,” katanya terus
keprak kudanya kemuka.
Dalam rombongan onta dan kambing
tadi terdapat juga beberapa ekor kuda. Ciauw Cong dan Haphaptai memilih dua
ekor, terus gabungkan diri dalam rombongan pengikut Wan Su Siauw. Lewat beberapa
saat, bertanyalah Ciauw Cong pada Ceng Tik: “LoyaCu, kawanan serigala
berjum-lah besar, bagaimana akan menangkapnya?”
Pertanyaan semacam itupun ada
pada ketiga Sam Mo, tapi telah keburu didahului oleh Ciauw Cong.
“Lihat saja nanti bagaimana
Wan-tayhiap akan mengurus kawanan binatang itu. Kamu tak usah kuatir!” sahut
Ceng Tik.
Ciauw Cong tak mau banyak sekali
bertanya lagi. Diapun tak mau dikatakan berhati kecil. Sebenarnya Ceng Tik
sendiripun belum tahu bagaimana nanti Wan Su Siauw akan menangkap kawanan
serigala itu. Dia hanya menyahut sekenanya saja. Karena kalau mengingat
bagaimana buas kawanan binatang itu, dalam hati kecilnya iapun agak jeri juga.
Kwan Bing Bwe tahu juga bahwa
suaminya itu sengaja membual, menaikkan harga Thian-ti-koayhiap dimata orang
lain, diam-diam iapun tertawa geli.
Lewat beberapa lama, Wan Su Siauw
kelihatan keprak kudanya kembali dan berkata pada semua orang: “Disini terdapat
kotoran serigala yang masih segar, terang binatang itu belum lama lewat disini.
Mungkin dalam dua0 li lagi, kita dapat menemukannya. Nanti setelah 10 li, harap
kalian semua tukar kuda yang segar!”
Ketika semua orang mengangguk,
kembali Wan Su Siauw berkata: “Kalau nanti bertemu kawanan binatang itu, aku
dulu yang maju, kalian berenam, tiga dikiri, tiga dikanan, supaya menggiring
kawanan onta dan kuda itu ketengah, tapi yangan sekali-kali binatangdua itu
terpenCar, agar kawanan serigala itu tidak ikut terpenCar.”
It Lui orangnya paling Cermat,
hendak dia tanyakan lebih jelas, tapi Wan Su Siauw sudah putar kudanya lari
kemuka. Apa boleh buat, keenam orang itupun mengikutinya. Kira-kira delapan
atau sembilan li lagi, kotoran serigala yang berserakan disepanyang jalan makin
banyak sekali.
“Kawanan serigala itu berada
disebelah depan. Mengapa mereka tak mau keluar mendengar ringkik kuda dan onta
kita ini?” tanya Kwan Bing Bwe.
Ceng Tikpun merasa heran, Lagi
beberapa li, jalanan berganti keadaannya. Kini tampak deretan bukit
mengelilingi sebuah gunung yang punCaknya putih seperti batu giok.
Bagi suami isteri Thian-san Siang
Eng yang sudah lama menetap didaerah padang pasir, tahulah mereka akan dongeng
disekitar gunung Giok-nia itu. PunCaknya yang tertojoh sinar matahari, memberi
pemandangan warna-warni yang indah sekali.
“Kawanan serigala itu masuk
kedalam ‘bi-kiong’ (istana sesat) ini. Yangan turut masuk, karena keluarnya
sangat sukar. Ayo kita Cambuki binatangdua kita itu!” kata Wan Su Siauw.
Dengan naik turunnya Cemetidua
dari ke7 orang itu, hiruk pikuklah suara kuda dan onta. Tak lama kemudian,
benar juga ada seekor serigala lari keluar dari tengah gunung. Wan Su Siauw
mainkan Cambuknya diudara, dan membarengi dengan bunyi Cambuk yang menggeletar
itu dia berteriak keras, terus larikan kudanya kearah selatan. Thian-san Siang
Eng, Ciauw Cong dan ketiga Sam Mo segera halau rombongan onta dan kuda itu
mengikutinya.
Beberapa li kemudian, suara
kawanan serigala yang mengejar terdengar riuh sekali dari sebelah belakang.
Ketika Ceng Tik berpaling, dilihatnya entah berapa puluh ekor serigala dengan mulut
menganga, lari mengejar. Dikepraknya kudanya untuk membarengi Ciauw Cong dan
Sam Mo. Tampak olehnya, bagai mana sekalipun sikap keempat orang itu berlaku
setenang mungkin, namun wajah mereka putih puCat seperti kertas.
Sepasang mata dari Haphaptai seperti
bersorot merah darah. Dia menjerit dan berteriak kalang kabut untuk menghalau
rombongan onta dan kuda itu. Dia asalnya memang seorang pengembala, jadi
mahirlah dia dalam pekerjaan itu. Ada beberapa ekor onta dan kuda yang Coba
merat, tapi dapat dipanggilnya lagi dengan abadua atau dengan Cemetinya.
“Hap-toako, bagus sekali
pekerjaanmu!” Kwan Bing Bwe memuji.
Sekalipun kawanan serigala itu
luar biasa ganasnya, tapi kekuatan larinya tak seberapa. Kira-kira 10an li
jauhnya, mereka sudah jauh ketinggalan dibelakang. Dan 10 li lagi, mereka tak
kelihatan lagi bayangannya. Pada saat itu Wan Su Siauw memerintahkan mengaso.
Buru-buru mereka minum dan makan. Sedang Haphaptai masih berusaha mengumpulkan
binatangduanya.
“Ah, sungguh menyusahkan kau
saja!” kata Wan Su Siauw dengan tertawa.
Pada saat kawanan serigala
datang, rombongan Wan Su Siauw sudah mengaso Cukup. Begitulah dengan kejar
mengejar seCara begitu, mereka berlari sampai ratusan li kesebelah selatan.
Tiba-tiba dari arah muka ada dua orang pemburu bangsa Ui menyambutnya.
“Wan-loyaCu, berhasilkah?”
demikian tanya mereka. “Lekas, lekaslah! Suruh mereka bersiap!” kata Wan Su
Siauw.
Kedua pemburu itu berjalan lebih
dahulu. Melihat disitu sudah ada persiapan, legalah hati Anggota rombongan Wan
Su Siauw itu.
Tak berapa lama lagi, tampak
sebuah benteng pasir. Benteng itu tingginya diantara 4 tombak, bentuknya bulat.
Ketika menghampiri dekat, ternyata pada dinding benteng itu terdapat sebuah
pintu kecil. Kesitulah lebih dulu Wan Su Siauw masuk, diikuti oleh rombongan
onta dan kuda tadi. Ketika rombongan binatang ini hampir masuk semua, kawanan
serigalapun sudah tiba.
Thian-san Siang Eng dan Haphaptai
ikut masuk, tapi begitu sampai diambang pintu, Ciauw Cong merandek. Kendali
kuda ditahannya, lalu dia lonCatkan kudanya keatas dinding dipinggir dan
mengitarinya. Perbuatan itu diturut juga oleh It Lui dan Kim Piauw.
Pada lain saat, berpuluh-puluhdua
ribu ekor serigala itu menyerbu masuk kedalam benteng pasir, untuk menerkam
korbanduanya. Ketika serigala yang paling akhir sudah ikut masuk, tiba-tiba
terdengarlah bunyi terompet tanduk. Dari parit pada dua tepiannya,
sekonyong-konyong beberapa ratus orang Ui tampak munCul. Mereka masing-masing
menggendong sekarung pasir terus dilemparkan kearah pintu benteng. Sekejab pula,
pintu itu tertutup rapat-rapat.
Melihat orang-orang Ui itu sama
bertepuk tangan kegirangan, diam-diam Ciauw Cong bertanya pada diri sendiri,
bagaimana dengan orang-orang tua yang luar biasa tadi. Tapi ketika dilihatnya
orang-orang Ui sama menuju dipunCak tembok benteng, Ciauw Cong turun dari
kudanya terus lari menghampiri. Ternyata disitu, orang-orang Ui itu tengah
menarik Wan Su Siauw berempat dengan tali panyang.
Ketika dia melongok kebawah,
terbanglah semangatnya. Ternyata kota pasir, itu melingkar ratusan tombak
panyangnya. Dinding disekelilingnya, pada bagian dalam nampaknya liCin sekali,
terbuat dari semen. Kawanan serigala yang tengah berpesta pora dengan daging
onta dan kuda itu, ramainya bukan buatan.
Pada saat itu Wan Su Siauw,
Thian-san Siang Eng dan Haphaptai sudah terangkat naik dan sedang berdiri
diatas dinding temboknya. Haphaptai nampaknya girang sekali.
“Kawanan binatang itu
berpuluh-puluhdua tahun merupakan benCana didaerah Thian-san yang sukar di
basmi. Kini Wan-toako telah berhasil mendirikan tiang keamanan untuk beberapa
abad yang akan datang”, kata Ceng Tik.
“Kita disini makan nasi dari
saudara-saudara Ui hingga berpuluh tahun. Biarlah hal ini merupakan sedikit
pernyataan terima kasih kita”, sahut Wan Su Siauw. Selanjutnya iapun kemukakan
juga bantuan keenam kawannya itu.
Menurut perkiraan rakyat Uigor
disitu, setengah bulan kemudian, serigaladua itu pasti sudah mati kelaparan.
Untuk rajakan kemenangan itu, mereka menyanyi dan me-naridua. Ada beberapa
wakilnya yang menghaturkann terima kasih kepada Thian-ti-koayhiap, siapa
bersama Kawan-kawan nya dnyamu dengan hidangan daging kambing dan susu kuda.
Berkata salah seorang wakil dari
orang Ui itu: “Kita disini mengepung kawanan serigala, sedang Chui-ih-wisam di
Sungai Hitam sedang mengepung pasukan Ceng. Kalau urusan disini sudah beres,
kita akan membantu pada nona Chui-ih”.
Tiba-tiba kata orang itu terputus
demi matanya melihat bahwa Ciauw Cong mengenakan pakaian pembesar Ceng itu.
Tapi ia tak berani menanyakannya, karena orang itu (Ciauw Cong) datang bersama
Thian-ti-koay-hiap.
“Wan-toako, aku ada sedikit
urusan yang harus kukatakan padamu. Harap kau yangan marah,” kata Ceng Tik.
“Ha, kini sesudah tua, kau
rupanya belajar main sungkandua,” sahut Koayhiap dengan tertawa.
“Muridmu itu, kelakuannya buruk
sekali! Harus kau didik yang bengis!” ujar Ceng Tik.
“Apa? Kau maksudkan Keh Lok?” Wan
Su Siauw menegas dengan kagetnya.
“Ya!” Lalu Ceng Tik menarik
Koayhiap kesamping, bagaimana perhubungan antara Tan Keh Lok dan Ceng Tong yang
kemudian beralih pada Hiang Hiang itu, dituturkannya.
“Keh Lok seorang yang mengenal
budi, dia pasti takkan melakukan hal itu!” seru Koayhiap ragu-ragu.
“Kesemuanya itu kita saksikan
dengan mata kepala sendiri!” buru-buru Kwan Bing Bwe menyanggapi.
Wan Su Siauw melengak dan baru
mau perCaja. Katanya dengan geram: “Aku telah memberi kesanggupan pada gihunya
(ayah angkat), untuk mengasuhnya. Kalau dia berkelakuan sedemikian rendahnya
itu, pasti aku tak ada muka untuk kelak menemui Sim-toako dialam baka!”
Melihat sikap Koayhiap yang
ber-sungguh-sungguh dan air matanya berlinang-linangkarena putus asa itu,
hendak Kwan Bing Bwe menghiburnya, tapi Koayhiap keburu memberi pernyataan
lagi, katanya: “Kita nanti Cari ketiga orang itu untuk dipadu. Aku pasti takkan
membiarkan dia berlaku begitu keji.”
“Ya, kita berbiCara seCara hati
terbuka yangan mendendam dihati. Sesuatu yang selalu didendam, tidak saja
menCelakakan lain orang, pun menyiksa diri sendiri,” kata Kwan Bing Bwe.
Memang demikian pada hati
sanubari Thian-ti-koayhiap. Berpuluh-puluhdua tahun dia selalu sesali dirinya
mengapa dulu ketika masih muda, dia berlaku begitu Ceroboh sekali, sehingga
dengan gadis yang dikasihinya itu, tidak bisa terangkap jodoh. Sampai pada saat
itu, sekalipun Kwan Bing Bwe itu sudah nenekdua yang berambut putih, namun
dalam mata Wan Su Siauw, ia tetap merupakan seorang gadis Cantik dalam masa
remajanya. Matanya memandang kemuka, merenung jauh sekali. Dengan mengelah
napas dalamdua, akhirnya berkatalah ia :
“Kalau hari ini kita masih bisa
berjumpa, puaslah sudah hatiku. Biarlah -sisa hari tuaku ini dapat kulewatkan
dengan bahagia.”
Mata Kwan Bing Bwe jauh memandang
keCakrawala, diujung padang pasir yang luas bebas itu, sambil berkata dengan
suara tak lampias: “Segala itu memang sudah takdir. Dulu memang sering aku
berduka, tapi kini aku merasa berbahagia,” tangannya dnyambret pada sebuah
kanCing baju Tan Ceng Tik yang kelihatannya sudah kendor, lalu katanya pula:
“Banyak sekali orang yang menginginkan kebahagiaan, mengimpikan sesuatu diatas
awangdua yang tak mungkin diCapai. Tidak sekali mereka menginsyapi, bahwa
mustika kebahagiaan itu sebenarnya sudah berada disampingnya. Kini aku
insyapkan sudah!”
Merah padam selebar muka Ceng
Tik, tanpa merasa ia memandang dengan kasih mesra kepada sang isteri, siapa
kelihatan maju menghampiri pada Wan Su Siauw, katanya :
“Kalau seorang telah menyiksa
diri sendiri sampai Berpuluh-puluh tahun, andaikata dia merasa berdosa, akan
sudah himpaslah dosanya itu. Apalagi memang dia itu sebenarnya tak berdosa. Aku
merasa bahagia, kuharap yanganlah kau menyiksa dirimu lebih lama lagi!”
Tak berani Wan Su Siauw berpaling
memandangnya. Sekonyong-konyong dia lonCat kekudanya.
“Ayo kita Cari mereka!”
teriaknya.
Thian-san Siang Eng segera
mengikutinya.
Kepergian ketiga jago yang kosen
itu, membikin semangat Ciauw Cong timbul lagi. Baginda Kian Liong mengutusnya
untuk menCari Tan Keh Lok dan Hiang Hiang. Kini kedua orang itu entah masih
hidup atau sudah dimakan serigala, perlu diCari tahu untuk dilaporkan kepada baginda.
“Kalau orang she Tan itu sudah
binasa, tak menjadi soal. Tapi apabila dia masih hidup, itulah repot. Karena
ilmu silatnya terpaut tak seberapa dengan aku. Kalau Ceng Tong
membantunya, pasti kalahlah aku.
Lebih baik kuberserikat
dengan ketiga Sam Mo ini,”
pikirnya. Dan segera dia tarik lengan Kim Piauw untuk diajak menyingkir
ketempat yang agak jauh dari situ.
“Ku-jiko, kau masih inginkan
siCantik itu apa tidak?” demikian Ciauw Cong memanCing.
“Kau mau apa?” bentak Kim Piauw
yang mengira orang mau. per-olokduakan padanya.
“Aku mempunyai permusuhan dengan
orang she Tan itu. Hendak kubunuh dia. Kalau kau suka membantu, siCantik itu
bagianmulah!”
Kim Piauw bersangsi, katanya:
“Kukuatir............ mereka bertiga sudah dimakan serigala, dan Toako-pun tidak
mau ikut.”
“Kalau mereka sudah binasa,
kaulah yang tidak punya peruntungan. Tentang Toako-mu, aku yang mengomongi.”
Kim Piauw mengangguk. Hatinya
bersangsi, apakah Toa-konya itu mau diajak, karena dia itu seorang yang tak
gemar paras Cantik.
“Thing-toako, aku akan Cari dan
membikin perhitungan pada orang she Tan itu,” kata Ciauw Cong sembari
menghampiri It Lui: “Kalau kau suka membantu, pedang pusaka itu akan.
kuserahkan padamu!”
Tiada seorang kangouw yang tidak
mengiler untuk memiliki pedang yang sakti itu. Andaikata pemiliknya siorang she
Tan itu sudah dimakan serigala, tentu pedangnya masih. Karena, itu, serta merta
dia setuju.
Ciauw Cong gembira. Dan malah
saat itu It Lui segera ajak Haphaptai pergi. Itu waktu orang Mongol tersebut
sedang pasang omong dengan beberapa orang Ui, mendengar sang Toako memanggil,
ia segera menanyakan akan kemana. “Cari ketua dari HONG HWA HWE itu. Kalau dia
sudah binasa di makan serigala, kita kubur mayatnya, demi persahabatan,” sahut
It Lui.
Sejak berkenalan dengan Ie Hi Tong
dan Tan Keh Lok, Haphaptai merasa suka kepada orang-orang HONG HWA HWE Maka
begitu Toakonya menguCap demikian, ia lantas menurut saja. Begitulah mereka
berempat segera larikan kudanya menuju kesebelah utara.
Kira-kira tengah malam, mereka
berhenti mengaso. Ciauw Cong dan Kim Piauw berkeras ingin jalan terus, terpaksa
It Lui menurut. Tak berselang berapa lama, rembulan bersinar dengan terangnya.
Tiba-tiba ditepi jalan tampak sebuah bayangan berkelebat, lalu menyusup kedalam
sebuah kuburan. Keempat orang itu Curiga, mereka turun dari kudanya dan
menghampiri ketempat kuburan.
“Siapa?” tegur Ciauw Cong.
Selang beberapa saat kemudian,
seorang Ui yang memakai kopiah berkembang, nongol dari lobang kuburan itu,
sambil tertawa Cekikikan, katanya: “Aku adalah orang mati dalam kuburan ini!”
Dia berbiCara dalam bahasa Han,
hingga membuat keempat orang itu berjingkrak kaget.
“Orang mati? Mengapa malamdua
keluar?” bentak Kiem Piauw.
“Cari angin!” sahut orang itu.
“Orang mati Cari angin?” kembali
Kiem Piauw membentak dengan murka.
Orang itu mengangguk dan
menyahut: “Ya, ja, kalian benar, aku salah omong. Maaf, maaf!”
Habis berkata, ia terus menyusup
masuk lagi.
Haphaptai. tertawa gelakdua,
sebaliknya Kiem Piauw makin menjadi marah. Ia segera turun dari tunggangannya
hendak menyeret keluar orang itu. Tapi biar ia sudah ulur tangannya kedalam
liang kuburan itu dan berkutetan bagaimanapun, tetap tak dapat menyeret orang
itu.
“Ku-jiko, yangan pedulikan dia,
Ayo kita berangkat!” seru Ciauw Cong.
Keempat orang itu putar kudanya
akan berlalu, tiba-tiba tampak seekor keledai yang kurus kering tengah makan
rumput dipinggir kuburan itu.
“Ransum kering membosenkan,
daging keledai-bakar rasanya tentu lezat!” seru Kim Piauw kegirangan.
Kembali dia turun dari kudanya,
menuntun tali pengikat keledai itu. Tapi ia segera terkejut geli melihat
binatang itu tak ada ekornya.
“Ha, siapa yang jail memotong
ekor keledai ini?” katanya dengan tertawa.
Belum habis kata-kata itu
diuCapkan, tiba-tiba terdengar suara angin membrebet dan dipunggung keledai itu
sudah ada penunggangnya. Diantara Cahaja rembulan, orang itu bukan lain si
“orang mati” yang menyusup kedalam kuburan tadi. Begitu tangkas gerakannya,
dalam sekejab mata saja, orang itu sudah memberosot keluar dari kuburnya terus
lonCat keatas keledai.
Ciauw Cong dan ketiga Sam Mo itu
adalah jago-jago yang ada nama dalam kalangan persilatan. Tapi tak urung mereka
merasa terkejut melihat ketangkasan gerakan orang itu.
Tahu akan kelihaian orang, mereka
tak berani berlaku sembarangan, dan buru-buru tarik kudanya mundur.
Orang itu tertawa gelakdua,
diambilnya sebuah ekor keledai dari bayunya dan dikibaskannya dua kali, lalu
katanya:
“Ekor keledai ini banyak sekali
debunya, jelek sekali kelihatannya, maka kupotong!”
Ciauw Cong perhatikan orang itu
seperti orang kurang waras ingatannya, kata-katanya setengah ngaCo setengah
genah. Entah dia itu orang dari golongan mana. Hendak Ciauw Cong’ menguji
kepandaian orang itu. Maka begitu kudanya dilarikan kesamping keledai, ia
segera ulurkan sebelah tangannya untuk menepok pundak orang.
Orang itu berkelit, namun tangan
kiri Ciauw Cong sudah lantas merebut ekor keledainya. Dan ketika diperiksanya,
memang benar ekor itu kotor sekali.
Tapi lain saat ia rasakan kepalanya
agak dingin. Ketika tangannya merabah, ternyata topinya sudah hilang. Ketika ia
memandang kedepan, dilihatnya topinya sudah berada dalam tangan siorang aneh
itu yang nampak sedang tertawa.
“Kau ini pembesar tentara Ceng
yang hendak memukul kami bangsa Ui. Topimu ini bagus sekali, ada bulu burung
dan ada bola kaCanya.”
Bukan main kaget dan marahnya
Ciauw Cong. Belasan tahun ia mengangkat diri dikangouw, jarang bertemu dengan
tandingannya. Siapa kira didaerah gurun pasir ini, ia telah bertemu dengan “Wan-tayhiap”
dan kali ini dengan seorang Ui yang aneh. Terang kepandaian orang ini
diatasnya. Dengan gemas ekor keledai tadi ditimpukkannya kedepan. Orang aneh
itu sebat sekali telah menyanggapinya.
Dengan mengosok kedua belah
tinjunya, segera Ciauw Cong lonCat turun dari kudanya seraya memaki: “Kau
siapa. Mari, mari, kita uji kepandaian!”
Tiba-tiba orang itu pasang kopiah
Ciauw Cong keatas kepala keledainya sambil bertepuk tangan dan tertawa lebar:
“Keledai dungu memakai topi pembesar! Keledai dungu memakai topi pembesar!”
Sembari kedua kakinya menjepit
perut keledai, binatang itu segera menCongklang dengan pesatnya. Hendak Ciauw
Cong mengejarnya, tapi keledai itu sudah lari seperti terbang. Dengan geram
Ciauw Cong memungut sebuah batu kecil terus ditimpukkan kepunggung orang.
Batu kecil itu nampaknya sudah
hampir mengenai, namun orang Ui itu tetap tenangdua saja. Ciauw Cong girang,
pikirnya pasti dapat menghajar punggung orang itu.
Tak terduga, segera terdengar
suara “tingng!” yang nyaring.
Batu itu seperti mengenai papan
besi, men-dengungdua tak hentiduanya. Sedang orang Ui itu lantas berkaokdua:
“Aduh, mati wajanku, Celaka, wajanku ini tentu melayang jiwanya!”
Keempat orang- itu saling
berpandangan, sebaliknya orang Ui itu tetap lari terus.
“Dia entah setan dari mana!”
berkata Ciauw Cong setelah berapa saat kemudian.
Ketiga Sam Mo hanya gelengdua
kepala.
“Ayo kita jalan lagi. Tempat ini
rupanya keramat!” kata Ciauw Cong.
Setelah lari beberapa lama,
kembali mereka berempat berhenti mengaso. Keesokan harinya, mereka tiba diluar
‘Kota Sesat’ itu. Karena tak mengetahui akan keadaan kota kuno yang berbahaya
itu, mereka terus saja memasukinya. Sekalipun mereka dapatkan jalanan disitu
penuh dengan persimpangan dan tikungan, namun dengan mengikuti adanya kotoran
serigala disepanyang jalan, dapatlah akhirnya mereka menCapai kekaki gunung
Pek-giok-nia itu. Ketika mendongak keatas, merekapun segera mengetahui akan
lubang gua yang dibuka oleh Tan Keh Lok itu...............
Sementara itu, setelah tidur
hampir setengah malam, Tan Keh Lok rasakan dirinya kembali segar. Ceng Tong dan
Hiang Hiang masih pulas diatas kursi yang terbuat dari batu giok putih. Malah
dalam keheningan malam ditempat yang sedemikian sunyinya itu, dengkur kedua
taCi-beradik itu dapat kedengaran juga. Seluruh ruangan itu, penuh dengan
bebauan yang harum, jakni bebauan yang keluar dari tubuh Hiang Hiang KongCu.
Ber-macamdua pikiran memenuhi
kepala Tan Keh Lok: adakah kawanan serigala itu masih menunggu diluar? Apakah
mereka bertiga bisa terhindar dari bahaya? Seandainya bisa selamat, apakah
kaisar itu masih mau menetapi janjinya?
Tengah ia ber-pikirdua begitu,
tiba-tiba didengarnya Hiang Hiang menggigau, berbiCara dengan riang sekali.
“Ah, mengapa anak ini sedemikian
gembiranya? Kurasa ia sangat yakin- bahwa aku tentu dapat menyelamatkan jiwanya
dan akan mencintainya seumur hidup. Ah, sebenarnya aku ini mencintai yang
mana?” diam-diam Keh Lok berpikir.
“Ah, biar kulihat siapakah yang
sungguh-sungguh Cinta padaku. Kalau aku binasa, Asri tentu ikut mati, sedang
Ceng Tong tidak. Tapi hal itu bukan dikarenakan Asri lebih mencintai aku. Waktu
aku akan pi-bu dengan keempat saudara Holun, Ceng Tonglah yang melarang, sedang
Asri diam-diam saja. Juga ketika aku ketemu dengan Ciauw Cong, Asri hanya
tertawa saja. Dia masih begitu bersifat ke-kanak-kanakkan. Hatinya murni hingga
mencinta seCara membuta saja. Kalau aku jadi dengan Ceng Tong, Asri pasti akan
mereres. Masa aku tak mau membalas Cintanya yang sedemikian tulusnya! itu,”
pikirnya pula. Namun memikir sampai- disini, hatinya sedih.
“Dengan Asri aku telah menyatakan
perasaan hati. Ia Cinta padaku, akupun menyintainya. Sedang pada Ceng Tong
belum pernah kunyatakan suatu apa. Ceng Tong seorang nona gagah dan pandai, aku
menaruh perindahan, bahkan agak jeri padanya. Apa yang ia perintahkan, tentu
aku melakukannya. Tapi Asri, ja, nona itu? Kalau ia maukan aku mati, akupun
rela mati untuknya. Ah, apa kalau begitu aku tak Cinta Ceng Tong? Ehm,
entahlah. Ia seorang nona yang halus perasaannya dan pandai, serta Cinta juga
padaku. Ia sampai tumpahkan darah dan hampir saja binasa, apakah itu bukan
karena aku?”
Yang seorang pantas dihormati dan
diindahkan. Yang lainnya pantas dikasihani dan dikasihi. Sungguh suatu pilihan
yang susah. Justeru pada saat itu sinar rembulan menimpa pada wajah Ceng Tong.
Tampak jelas oleh Keh Lok bagaimana wajah yang aju dari nona itu begitu saju
puCat.
“Sekalipun dengannya aku belum
pernah menyatakan suatu apa, dan sekalipun perasaanku agak gonCang karena
Cemburu dengan Li Wan Ci, tapi kedatanganku kedaerah yang ribuan li
jauhnya-ini, bukankah karena masih mencintainya? Ia memberi sebatang pedang
pendek, apakah hanya sebagai tanda terima ka&ihnya atas bantuanku merebut
kitab suCi itu? Meskipun mulut kita tidak saling biCara, tapi kesemuanya itu
bukankah melebihi seribu kata-kata?” pikirnya. Dan makin jauhlah pikirannya
melayang.
“Menjelang usaha besar
membangunkan kembali kerajaan Han, tentu akan menghadapi kesukarandua yang tak
sedikit. KeCerdasan Ceng Tong dapat melebihi Chit-ko. Kalau sampai ada dia
sebagai tangan kanan, alangkah baiknya............ ah, mungkinkah hati kecilku
merasa jeri kalau mempunyai isteri yang lebih pandai?”
Sampai disini, ia terkejut sendiri.
Tanpa merasa mulutnya berkata pelan-pelan : “Tan Keh Lok, Tan Keh Lok! Mengapa
kau tidak berlapang dada?”
Sesaat kemudian sorot rembulan
beralih kewajah Hiang Hiang.
“Dengan didampingi Hiang Hiang,
perasaanku selalu diliputi oleh kegembiraan saja!”
Demikianlah ketua HONG HWA HWE
itu hampir setengah harian terbenam dalam lamunan, dan tahu-tahu haripun sudah
terang tanah. Tampak Hiang Hiang menguap bangun, seraya bersenyum pada Tan Keh
Lok. Wajahnya tak ubah seperti sekuntum bunga yang baru mekar dipagi hari.
Ketika ia hendak mulai duduk,
tiba-tiba ia berteriak: “Dengarlah!”
Jauh dilorong disebelah atas
sana, terdengar tindakan kaki orang. Aneh, masa ditempat yang sedemikian
rahasia-nya itu, terdapat ora,ngnya. Atau mungkinkah itu rohdua halus penjaga
istana kuno itu?
Jelas kedengaran, tindakan itu
makin lama makin dekat. Baik Keh Lok maupun Hiang Hiang, sama menguCurkan
keringat dingin. Malah Keh Lok terus mengutik lengan Ceng Tong supaya bangun,
lalu diajaknya keluar.
Setiba dipaseban besar, Keh Lok
memungut tiga batang giok kiam untuk diberikan pada kedua nona itu
masing-masing sebatang, katanya dengan berbisik: “Batu giok dapat mengusir
bangsa setan!”
Saat itu tindakan kaki itu sudah
tiba diluar paseban. Tan Keh Lok bertiga segera bersembunyi ditempat yang
gelap. Diantara Cahaja api yang remang-remang, masuklah 4 orang. Dua orang yang
berjalan dimuka memegang obor, ternyata mereka adalah Ciauw Cong dan It Lui.
Ketika mereka melihat dipaseban
itu terdapat banyak sekali rerongkong, mereka berempat hendak melihatnya.
“Begitu masuk, segera senjata mereka sama berkerontangan jatuh ketanah. Hanya
‘tok-kak-tong-jin’ dari It Lui yang masih tergenggam dalam tangannya, tetapi
duabelas buah piauw yang didalam kantongnya, semua sama melonCat keluar.
Tan Keh Lok tak mau sia-siakan
kesempatan yang bagus itu, sedangnya keempat orang itu masih terlongong-longong
kesima, dengan bentakan keras dia melesat keluar dari persembunyiannya, terus
menghantam padam obordua ditangan kedua musuhnya itu. Sehingga kini ruangan
besar itu menjadi gelap gulita.
Dalam kagetnya Ciauw Cong
gerakkan kedua tangannya untuk melindungi diri seraya lompat keluar. Dengan
Cepat Sam Mo itupun mengikutinya. “Bluk......... aduh!”
Entah siapa dari keempat orang
itu yang terbentur kepalanya kepada dinding batu, hingga menjerit kesakitan.
Pada lain saat ketika tindakan
mereka sudah tak kedengaran lagi, tiba-tiba Ceng Tong berseru kaget: “Celaka!
Lekas ubar mereka!”
Tan Keh Lok seperti orang
disadarkan, sebat sekali dia lari mengejar. Tapi sebelum sampai diujung gang
(lorong), terdengarlah suara berkretekan yang keras sekali dan tertutuplah
pintu batu itu.
SeCepat kilat, Keh Lok menobros,
tapi pintu batu itu berat dan tak ada pegangannya. Biar bagaimana, tetap tak
bergeming.
Terpaksa dia balik. Diambilnya
setangkai kayu dan dibakar untuk penyuluh. Pada saat itu Ceng Tong dan Hiang
Hiang mendatangi.
“Habislah riwajat kita!” kata
Ceng Tong dengan wajah putus asa.
Dibelakang daun pintu batu itu
banyak sekali bekasdua baCokan senjata. Disana sini pun terdapat bekasdua
bagaimana kalap ketika orang-orang yang kini sudah menjadi rerongkong itu,
berusaha untuk mendobrak pintu maut itu.
“Ci, yangan takut!” Hiang Hiang
Coba menghiburnya.
“Kita binasa ditempat ini, memang
tiada tersangka”, kata Keh Lok seraya menjemput sebuah tengkorak dan
dikatakannya: “Loheng, kau dapat tiga sahabat baru lagi!”
Hiang Hiang tertawa riang.
Sebaliknya Ceng Tong deliki mata kepada kedua orang itu. “Ayo kita balik
kekamar batu itu lagi supaya bisa menenangkan pikiran!” ajaknya kemudian.
Disitu Ceng Tong bersembahyang,
lalu memeriksa lagi petanya. Pada pikiran Keh Lok hanya ada dua kemungkinan
bisa tertolong. Pertama ada pertolongan dari luar, kedua, Ciauw Cong berbalik
pikiran, datang lagi kesitu untuk menangkapnya.
Tapi rasanya kemungkinandua itu
tipis. Mengingat tempat itu sangat peliknya dan Ciauw Cong baru saja mendapat
rasa kaget. Kebanyak sekalian tentu tak berani datang lagi. “Aku kepingin
menyanyi!” tiba-tiba Hiang Hiang berkata. “Nyanyilah!” sahut Keh Lok.
Dengan duduk bersandar dikursi
giok, Hiang Hiang menyanyi. Tapi Ceng Tong seolahdua tak mau menghiraukan,
menunyang kepala dengan kedua tangan, ia berpikir keras.
“Ci, mengasolah barang sebentar!”
Hiang Hiang berbangkit dari duduknya menghampiri pembaringan batu giok, katanya
kepada rerongkong yang terbaring disitu: “Maaf, berilah tempat sedikit untuk
Ciciku!”
Ketika didorong, rerongkong itu
berkerupukan kesudut tempat tidur.
“Ha, apa ini?” seru Hiang Hiang
terkejut sambil menyjemput sebuah benda gulungan.
Buru-buru Keh Lok dan Ceng Tong
menghampiri. Ternyata gulungan itu sebuah buku dari kulit kambing yang saking
manya, warnanya berobah hitam. Syukur huruf-hurufnya masih dapat dibaca. Karena
huruf-huruf itu dalam bahasa Ui, Ceng Tong yang membacanya.
“Buah tulisan rerongkong itu
ketika mau menutup mata. Ia bernama Mamir,” kata sigadis kemudian.
“Mamir?” tanya Keh Lok dengan
heran.
“Itu berarti ‘Cantik sekali’.
Mungkin semasa hidupnya, ia seorang wanita Cantik,” menerangkan Hiang Hiang.
Ceng Tong membolak-balik lembaran
buku itu serta mempelajari petanya.
“Apakah peta itu me-nyebutdua
tentang jalanan rahasia?” tanya Keh Lok.
“Benar, tapi tak kuketahui
letaknya.”
Keh Lok mengelah napas. Tiba-tiba
ia minta Hiang Hiang baca dan salin isi buku kulit kambing itu.
Hiang Hiang segera memulai:
“Puluhan ribu penduduk kota ini binasa semua. Digunung keramat ini, pasukan
penjaga dan pahlawandua Islam juga binasa. Ali menghadap kehadirat Tuhan. Mamir
ikut serta. Kutulis semua kejadian itu dalam buku ini, agar kelak anak Cucu
baginda sama mengetahui, entah kalah atau menang, kita pejoangdua Islam tetap
bertempur sampai akhir, pantang menyerah!”
“Ha, selain Cantik nona ini gagah
juga,” ujar Keh Lok.
Hiang Hiang melanjutkan: “Raja
yang jahat itu 40 tahun menindas kita. Dia paksa ratusan ribu rakyat untuk
membuat istana keramat ini di-tengah-tengah gunung Sin-nia ini. Banyak sekali
rakyat yang binasa dengan sengsara. Setelah raja gila itu meninggal, puteranya,
Sanglapa, menggantikan. Raja baru ini makin ganas lagi. Barang siapa punya 10
ekor kambing, tiap tahun harus menyerahkan 4 ekor. Punya onta 5 ekor, yang dua
harus disetorkan. Kita rakyat makin melarat. Kambing dan onta kita habis
diambil Sanglapa. Setiap keluarga yang punya anak lakidua yang sehat, punya
anak gadis yang Cantik, semua dimasukkan kedalam istana ini. Yang masuk, akan
tidak keluar lagi se-lama-lamanya. Pahlawandua kita mana mandah dihina begitu?
Selama dua0 tahun, sudah 5 kali pasukan pejoang kita menyerang kota ini, tapi
karena tak paham jalanannya, mereka tak dapat keluar. Dua kali mereka menyerang
Sin-nia ini, entah gunakan siasat apa, Sanglapa telah dapat merampas semua
senjata dan membasminya.”
“Ya, karena dibawah paseban itu
terdapat gunung magnit,” kata Keh Lok.
“Tahun ini aku berusia 1delapan
tahun,” Hiang Hiang lanjutkan bacaannya pula, “ayah dan ibuku dibinasakan oleh
orang-orangnya Sanglapa. Kakakku menjadi pemimpin dari suku Islam. Tahun ini
aku bertemu dengan Ali, seorang gagah dari suku kita. Pernah dengan tangan
kosong, dia dapat membunuh tiga ekor singa. Harimau, serigala dan kawanan
garuda, jeri terhadapnya. Dia seorang yang boleh dibandingkan dengan 10, bahkan
seratus orang. Tubuhnya Cakap, sinar matanya tenang, namun kegagahannya
bagaikan angin badai ditengah padang pasir ..................”
“Aha, nona itu terlalu
berlebih-lebihan memuji kekasihnya,” Keh Lok menyela.
“Mengapa? Masakah didunia tak ada
orang semacam itu?” tanya Hiang Hiang, lalu ia meneruskan membaca : “Ali berunding
dengan kakakku untuk menyerang Kota Tersesat itu. Dia mendapat satu stel buku
dengan tulisan huruf Han. Katanya, setelah setahun mempelajari, kini dia dapat
mengerti ilmu silat. Sekalipun dengan tangan kosong, dia sanggup membunuh
pahlawandua perang dari Sanglapa.
Karenanya, dikumpulkannya lima
puluh0 orang gagah, untuk diberi latihan selama setahun. Kini aku sudah menjadi
kepunyaan Ali. Pertama kali kuberjumpa, aku adalah kepunyaannya. Sejak bertemu
dengan aku, katanya, kali ini tentu akan menang. Sekalipun mereka kini sudah
paham ilmu silat, tapi mereka masih belum mengetahui tentang jalanandua dikota.
musuh itu, lebih- rahasia dari gunung keramat ini. 10 hari, Ali dan kakak
berunding, namun tak berdaya. Setiap orang yang memasuki Kota Tersesat itu, tentu
binasa. ‘Kak, biarkan aku yang pergi’, kataku kepada kakak. Tahu mereka apa
yang kumaksudkan dengan kata-kata itu. Ali, seorang pahlawan gagah, tiba-tiba
menguCurkan air mata. Dengan membawa 100 ekor kambing, delapan0 ekor kuda, aku
mengembala diluar Kota Tersesat itu. Pada hari kedelapan, salah seorang
ponggawa Sanglapa menangkap aku dan menyerahkannya kepada Sanglapa. Setelah
tiga hari tiga malam aku menangis, baru aku menurut padanya. Dia sangat
menyayang padaku. Apa permintaanku, tentu diturutinya.”
Sampai disini, Keh Lok menyatakan
kekagumannya kepada nona itu. Hiang Hiang membaca terus:
“Bermula raja Sanglapa tak
mengijinkan aku keluar dari pintu ini. Tapi dia makin mencintaiku. Setiap hari
pikiranku ada pada rahajatku. Kuterkenang akan kegembiraan mengembala dan
menyanyi. Dan yang paling kurindukan adalah Aliku. Ketika mengetahui makin lama
aku makin kurus, Sanglapa telah tanya padaku. ‘Kuingin jalandua keluar’,
demikian sahutku. Seketika dia menjadi murka dan menampar mukaku. 7 hari aku
tak mau biCara dengannya. Pada hari kedelapan, aku diajaknya keluar jalandua
dikota. Setiap jalanan, kuingat ba’kdua. Sehingga walaupun mataku buta, masih
dapat kukenalnya tidak sampai tersesat. Setengah tahun kemudian, kurasa kakak
dan Ali tentu sudah tak sabar lagi menunggu. Tapi apa boleh buat, karena aku
masih belum tahu akan rahasia dari gunung keramat itu. Sebulan kemudian, aku
mengandung. Itulah anak Sanglapa. Dia girang sekali, sebaliknya setiap hari
kumenangis karena benci. Kembali dia menanyakan apa permintaanku. ‘Aku telah
mengandung, tapi sedikitpun kau tak Cinta padaku’, demikian sahutku. — ‘Apa?
Aku tidak menyintaimu? Masa aku tak menuruti permintaanmu? Kau ingin mutiara
dari dasar laut atau pualam biru dari daerah selatan?’ tanya Sang lapa. — ‘Kata
orang, kau punya ‘Telaga Warna’, orang Cantik yang mandi disitu, makin Cantik.
Sebaliknya orang yang buruk rupanya, makin buruk. — Sanglapa puCat, suaranya
gemetar dan tanyakan siapa yang memberitahukan. Kujustainya, dan mengatakan
kalau kumendapat impian dari penjaga situ. Sebenarnya, aku sendiripun masih
sangsi entah ada atau tiada telaga itu. Hanya dayangdua istana sama mengatakan
begitu. Selama itu, Sanglapa melarang orang pergi kesitu.
‘Mandi sih boleh. Tapi barang
siapa yang melihat telaga itu, harus dipotong lidahnya, agar tidak menguwarkan
Cerita pada, lain orang. Ini, adalah peraturan dari kakek moyang kita’, sahut
Sanglapa. Beberapa kali dia minta agar aku urungkan saja keinginanku itu, namun
aku tetap berkeras hingga akhirnya terpaksa dia membawaku kesana. Untuk pergi
ke Telaga Warna itu, harus melalui jalanan di Sin-nia (gunung keramat). Kubawa
sebilah badi-badi, niatku akan kubunuh dia ditelaga itu. Tapi ternyata senjata
itu jatuh tersedot disitu. Dengan begitu, kuketahui adanya gunung magnit itu.
Setelah mandi, entah apa aku tambah Cantik tidak, tapi nyatanya dia makin
menyintaiku. Sekalipun begitu, lidahku tetap dipotong, supaya tak bisa
memboCorkan rahasia itu. Jadi meskipun kuketahui rahasia itu, tapi tak dapat
kuberitahukan pada kakak dan Ali.
“Siang malam kuberdoa pada Tuhan.
Dan akhirnya Tuhan mengabulkan, Tuhan memberikan otok terang dan Cerdas.
Kuingat, Sanglapa selalu membawa sebuah pedang pendek macam badi-badi. Pedang
itu mempunyai rangka yang menyerupai pedang. Kuminta senjata itu, aku
menggambar peta. dari Kota Tersesat ini. Peta itu kubungkus dalam lilin,
kususupkan dalam rangka pedang bagian dalam. Setelah tiga bulan kumelahirkan,
dia mengajakku berburu. Sewaktu ada kesempatan, kulempar pedang itu keluar kota
ditelaga Thing-pok-ouw. Sepulangnya, kulepaskan beberapa ekor burung alap-alap
yang kakinya kutulisi tiga buah huruf ‘Thing Pok Ouw’.”
Saking asjiknya Ceng Tong melipat
petanya untuk mendengari Cerita yang dibacakan oleh adiknya itu. .
“Ada beberapa ekoi< alap-alap
yang kena dipanah oleh ponggawa Sanglapa. Melihat huruf-huruf pada kaki burung
itu, mereka tak mencurigai apa-apa, karena telaga itu Cukup dikenal oleh vakjat
dipadang pasir. KuperCaja, diantara sekian banyak sekali burung itu, tentu ada
salah seekor yang dapat ditangkap oleh rakyat kita. Kakak dan Ali tentu akan
menyuruh orang untuk mengambil pedang itu didasar telaga, dan tahulah mereka
akan rahasia Kota Tersesat ini. Ah, tak kunyana, 4 hari 4 malam mereka
menjelajahi dasar telaga itu, tak dapat menemukan suatu apa. Mungkin ditemu
oleh penangkap ikan disitu.
“Karena kakak dan Ali tak dapat
menemukan apa-apa, rakyat tak dapat menunggu lebih lama lagi. Mereka lalu
menyerang. Sebagian besar, mereka telah tersesat tak bisa keluar. Kakakku yang
bertenaga besar itu, telah hilang lenyap dikota ajaib itu. Ali bersama beberapa
pahlawannya, telah berhasil menangkap orangnya Sanglapa, terus dipaksanya untuk
menunjukkan jalan. Dipaseban besar, senjata mereka tersedot jatuh, dan
orang-orangnya Sanglapa menyerangnya dengan giok-kiam. Karena Ali telah melatih
pahlawandua dengan ilmu silat, maka dengan tangan kosong, mereka telah dapat
memberi perlawanan dan mati bersama musuh. Nampak ponggawanya binasa semua,
sedang Ali terus mengejar, Sanglapa lari masuk kedalam ruanganku akan mengajak
lari ke Telaga Warna..................”
“Ha, kalau begitu didalam sini
masih ada sebuah Telaga Warna, disitu tentu ada jalanan keluar. Hiang-moay,
teruskan baca!” seru Ceng Tong.
Hiang Hiang tersenyum, ia
meneruskan lagi: “Ali menobros masuk, segera kami saling berpelukan. Dia meraju
dengan kata-kata yang manis, tapi karena lidahku tidak ada lagi, tak dapat
kumenjawab. Namun dia mengerti gerak mulutku. Tiba-tiba Sanglapa yang jahat itu
mengampak dari belakang ..................”
Membaca sampai disini, Hiang
Hiang menjerit dan lemparkan buku itu ketempat tidur. Wajahnya Cemas ketakutan.
Ceng Tong megusapdua bahunya, buku diambilnya terus mengganti baca:
............... Sanglapa yang
jahat itu mengampak dari belakang, dan kepala Aliku terbelah menjadi dua,
darahnya inenyiram tubuhku. Sanglapa mengambil anaknya dari pembaringan,
diserahkan padaku seraya mengajakku lekas-lekas keluar. Tapi kuangkat baji itu
tinggi-tinggi, terus kubanting ketanah dan matilah seketika itu. Sanglapa kaget
melihat aku banting mati anaknya sendiri, dengan murka dia akan menghantam
dengan kampak emasnya. Kuberikan leherku supaya ditabas, tapi dia me>Agelah
napas, tidak jadi, terus lari keluar.
“Ali telah menghadap kehadirai
-Tuhan, akupun akan menyusulnya. Pahlawandua kita berjumlah besar,
orang-orangnya Sanglapa dapat dibasmi dan orang kejam itu tentu tidak dibiarkan
hidup. Dia takkan menindas kaum Islam kita. Anaknya telah kubanting mati, tentu
akan habislah keturunannya. Biarlah rakyat kita hidup tenang. Biarlah
perawandua dapat menyanyi, didalam pelukan kekasihnya. Kakak, Ali dan aku
meninggal, tapi kita telah dapat membasmi raja jahat itu. Istana musuh yang
sedemikian kokohnya itu, akhirnya dapat kita bobol. Semoga Allah melindungi
rahajat kita.”
Ceng Tong, Tan Keh Lok dan Hiang
Hiang ter-menungdua sampai sekian lama. Mereka kagum dan menaruh perindahan
akan perjoangan suCi dari Mamir yang Cantik itu.
“Untuk menolong rahajat, rela ia
meninggalkan kekasih dipotong lidahnya, dan membunuh anak kandungnya sendiri,
demikian terharu, Hiang Hiang berlinang-linangair matanya.
(missing page)
DiCobanya untuk menggeser dan
mendorong, tapi meja itu seperti terpaku pada tanah. Ceng Tong Cepat menyuluhi
kaki meja dengan obor. Kiranya meja itu seluruhnya memang dari batu giok yang
di-ukir merupakan kesatuan bagian dari lantai. Sudah tentu, tak terangkat.
Setengah hari ketiga orang itu
men-Caridua, namun sia-sia. Malah perut mereka yang terasa lapar sekali. Hiang
Hiang membagikan dendeng kambing dan ransum kering. Hari makin siang. Sinar
matahari menimpah ke permukaan meja itu.
“Hai, kiranya meja itu diukir
sedemikian bagusnya”, seru Hiang Hiang tiba-tiba.
Ketika diperiksa, ukirduaan itu
melukiskan sekawanan Onta Terbang. Begitu halus ukiran” itu, hingga kalau tiada
sinar matahari, sukar dilihatnya. Kepala onta itu. tak menempel pada badannya,
masing-masing terpisah kira-kira belasan senti. Karena heran, Hiang” Hiang
me-mutardua meja itu. Karena ternyata meja itu terdiri dari dua belahan yang
bisa digerakkan, gin Hiang Hiang melihat kepala onta itu tersambung dengan
badannya, maka diputarnya. Tapi begitu tepat tersambung, segera terdengar suara
berkreotan dan di-tengah-tengah ranyang batu itu tampak sebuah lubang besar.
Mereka bertiga serentak berteriak
karena terkejut dan girang.
Dengan menenteng obor, Tan Keh
Lok masuk lebih dulu, lalu disusul kedua nona itu. Kira-kira mebiluk lima buah
tikungan, lagi 10an tombak dimuka, tiba-tiba tampak udara terbuka yang terang.
Sebuah tanah datar yang luas!
Tanah datar itu dikelilingi
dengan barisan bukit, seperti sebuah piring. Di tengahdua itu, terdapat sebuah
kolam yang airnya jernih laksana permata hnyau. Ketiga orang itu makin heran.
“Asri, buku itu mengatakan, kalau
orang Cantik mandi di telaga ini akan menjadi makin Cantik. Kau mandilah!” kata
Ceng Tong tertawa.
“Cici yang lebih tua, mandilah
dulu!” sahut Hiang Hiang dengan wajah kemerah-merahan.
“Ah, kalau aku yang mandi, tentu
makin jelek nanti!”
“Ai, Coba kau timbang
perkataannya itu. Cici menggoda aku, dan mengatakan dirinya tidak Cantik,” kata
Hiang Hiang pada Tan Keh Lok.
Keh Lok hanya tersenyum simpul.
“Asri, kau mau mandi apa tidak?”
tanya sang enci pula.
Hiang Hiang gelengkan kepala.
Ceng Tong menghampiri kedekat kolam untuk mengambil air. Airnya sejuk sekali.
Ceng Tong meminumnya seteguk, dan sekujur badannya terasa nyaman. Keh Lok dan
Hiang Hiang pun ikut minum, Mereka melepaskan lelah di tepi kolam.