K E T I K A kain penyumbat
ditarik Pek Kian, ternyata kain itu adalah sehelai saputangan berkembang milik
wanita.
“Lekas bilang dimana kamar SiuCay
yang ditahan siang tadi,” Pek Kian menghardik sipenjaga. “Sedikit saja kau
berteriak, tentu kubunuh!”
Penjaga itu gemetar saking
takutnya. “Di ......... disana ...... kamar ...... nomor ...... tiga ,” katanya
terputus-putus.
Sekali tangan Pek Kian diajun,
penjaga yang malang na sibnya itu putuslah jiwanya.
“Cepat-cepat , mungkin kita
kedahuluan orang,” seru It Lui.
Setiba dikamar tutupan, benar
diugra mereka mendengar gerinCing suara besi beradu. Kim Piauw nyalakan api.
Seorang berpakaian hitam kelihatan sedang berjongkok disisi Hi Tong.
“Awas, ada orang kemari!” bisik
Hi Tong kepada orang itu.
Siorang berbaju hitam tak
mempedulikan. Makin keras dia menempa.
“Siapa itu?” tegur It Lui
ber-bisik-bisik.
Sipakaian hitam mendadak loncat
balik, sebagai jawab an dia menikam dengan pedangnya. Begitu tangkas gerakan
nya, sehingga berbareng dengan sinar berkelebat, tahu-tahu ujung pedang sudah
didepan mukanya.
It Lui adalah orang kesatu dari
Kwantong Liok Mo. Sekalipun badannya gemuk, gerakannya sangat gesit. Senjata
orang-orang an berkaki satu, diajun untuk menangkis. Sesaat itu tergetarlah
tangan sipakaian hitam, kesemutan dan sakit rasanya. Mengetahui berhadapan
dengan lawan yang besar tenaganya, dia tak berani menyerang. Kini dia membaCok
Thian Seng, begitu yang tersebut. belakangan ini menghindar ke samping, orang
itu terus menobros keluar.
“Yangan mengejar, ambil dia (Hi
Tong) lebih penting,” seru Pek Kian.
Karena berisik, seluruh penjaga
rumah penyara sama bangun, ketika diketahui ada orang merampok orang tahanan,
mereka menjadi kacau.
It Lui menghadang dipintu,
tenangdua dia berseru: “Lekas kerjakan, biar aku yang menahan mereka!”
Cepat-cepat Pek Kian dan Kim
Piauw mengeluarkan gergaji. Tak berapa lama borgolan kaki dan tangan Hi Tong
terputus. Pek Kian menotok jalan darah Hi Tong, lalu bersama Sam Jun
menggotongnya keluar. Kawanan penjaga semua dapat dihajar It Lui dengan senjata
orang-orang an itu. Mereka jeri, tak berani menyerang maju, hanya ber-teriakdua
saja.
Kim Piauw membuka jalan, Thian Po
dan Thian Seng yang mengawal dibelakang. Hi Tong dapat digotong keluar
melalui tembok penyara. Tapi
diluar ternyata sudah siap menunggu sebuah pasukan besar dari tentara Ceng.
Segera mereka maju mengepung.
Kim Piauw, Pek Kian dan Sam Jun
melawan kearah tiga jurusan. Mereka segera dapat merobohkan beberapa orang.
Tapi karena ditilik oleh pembesarnya, kawanan serdadu itu tak berani mundur.
Selagi suasana begitu gaduh,
tiba-tiba dari arah sudut tembok sana, loncat keluar sebuah bayangan hitam,
siapa langsung menghampiri Hi Tong. Thian Seng Coba menghadangnya, tapi sekali
tangan orang itu mengibas, dada Thian Seng terasa sakit sekali. Entah terkena
benda apa, yang nyata, saking sakitnya, dia tak tahan lalu mendumprah jatuh.
Melihat Sutenya terluka, Thian Po
kaget. Belum hilang rasa kagetnya, tahu-tahu orang itu sudah menarik Hi Tong,
dibawa pergi.
Pek Kian berlaku ajal. Dua ujung
tombak musuh hampir menusuk dadanya. Cepat-cepat dia angkat kong-hwannya untuk
menangkis. Begitu tombak terdampar keatas, dia maju merapat, sekali konghwan
ditangan satunya disabetkan, pundak penyerangnya itu remuk patah. Darah segar
menyembur dari mulutnya. Kawannya ngeri, terus angkat kaki seribu.
Sewaktu Pek Kian berpaling,
ternyata orang itu telah le nyap bersama Hi Tong. Namun Hi Tong tak mau
bergegasdua lari. Lebih dulu dia menggurat beberapa tulisan di tanah. Pek Kian
dapat memburunya. Tapi segera disambut dengan baCokan pedang oleh orang itu.
Pek Kian tangkis kan konghwannya, tapi gerakan orang itu luar biasa sebat nya,
tahu-tahu sudah ganti gerakan lain. Bertempur dua jurus, Hi Tong berhasil
merampas seekor kuda dari seorang serdadu.
Sekali Cemplak, dia berseru keras
dan menerjang Pek Kian. Pek Kian Buru-buru menyingkir kepinggir. Hi Tong segera
samber tubuh orang yang menolongnya tadi keatas kudania. lalu kaburkan diri
kearah barat.
Itu waktu It Lui sudah loncat
keluar tembok penyara. Demi dilihatnya Hi Tong lolos, dia maki-maki Pek Kian dan
kedua muridnya itu sebagai orang yang tak berguna,
“Lekas kejar!” serunya.
Sam Jun dan Thian Po dengan
menunjang Thian Seng, mengikuti arah larinya Hi Tong. Dibelakang, mereka dike
jar kawanan polisi. Tapi karena mereka sudah terlatih dalam sekejab saja, hamba
negeri itu jauh ketinggalan dibelakang. Pun saking jeri, polisidua itu tak
berani mendekati, apalagi setelah ketinggalan jauh, mereka lalu kembali.
Selama melakukan pengejaran itu,
dapatlah diketahui kepandaian masing-masing orang. It Lui jauh muka. Kim Piauw
terpisah tak berapa jauh. Tapi Pek Kian ketinggalan dibelakang. Lebihdua Sam
Jun bertiga, jangan ditanya lagi. Memang tak keCewa It Lui menjadi orang kesatu
dari Kwan-tong Liok Mo. Sekalipun dia itu hidup mewah, tapi sehari pun tak
pernah melalaikan latihannya. Malah makin hari makin sempurna. Dalam hal
keCepat-cepat an jalan, dia menye rupai kuda lari pesatnya.
Karena jalan disepanjang lereng
gunung tak leluasa, apalagi membonCengkan orang, maka tak berapa lama, It Lui
dapat menyusulnya. Tahu dikejar musuh, Hi Tong memilih jalan yang ber-bilukdua.
Namun It Lui selalu dapat menyusulnya. Karena gelap, tiba-tiba kuda Hi Tong
terperosok kakinya kedalam sebuah liang. Mendeklok dengan kepalanya tersentak
kemuka, hingga seperti melempar penumpangnya kebawah.
Dengan berjumpalitan, Hi Tong
dapat tanCap kakinya diatas tanah. Orang tadi Coba tarik les kuda supaya
berdiri lagi, tapi binatang itu tetap mendumprah ditanah. Ternyata kakinya
telah patah. Cepat-cepat orang tadi loncat turun, lalu ajak Hi Tong menyelinap
kedalam semakdua pohon. Tak jauh berjalan, mereka menampak sebuah gua kecil.
Kesitulah mereka bersembunyi.
“Li-sumoay, kali ini lagi-lagi
kaulah yang menolong aku,” Hi Tong mengelah napas.
Kiranya penolongnya itu ialah Li
Wan Ci, orang yang selalu menguntit perjalanan Hi Tong, Sewaktu tak kelihatan
Hi Tong berada dalam rombongan Tan Keh Lok, nona yang Cerdas itu, segera tahu
bahwa Hi Tong tentu mengambil jalan disungai. Menyusur sepanjang pantai,
kebetulan ada rombongan perahu tentara yang angkut rangsum, maka dengan selamat
tibalah ia dikota BengCin.
Wan Ci masih menyaru sebagai anak
lakidua. Dia mampir kesebuah rumah makan untuk Cari keterangan. Sana sini ramai
orang membicarakan peristiwa seorang SiuCay berkelahi dengan Sun-taysanyin.
Malamnya berkunjunglah ia kepenyara. Penjaga bui yang diringkus itu, dialah
yang me lakukannya.
Dapat menolong Hi Tong, adalah
suatu kebahagiaan bagi Wan Ci. Walaupun menghadapi bahaya, ia tak gentar. Di
suruhnya Hi Tong beristirahat, ia sendiri yang menjaga di mulut gua. Seruling
Hi Tong telah dirampas Kim Piauw. Duduk diatas tanah, dia memandang bayangan
Wan Ci. Rasa terima kasih memenuhi rongga dadanya.
Saat itu angin dingin mengembus,
tubuh Wan Ci agak menggigil, rupanya tak tahan hawa dingin. Hi Tong lepas
jubahnya, lalu dipakaikan ketubuh Wan Ci.
Sejak berkenalan dengan Sukonya
itu, barulah pertama kali ini Wan Ci menampak sang Suko mengunjuk kan sedikit
perhatian padanya. Tanpa terasa ia berpaling dan un-juk senyumannya. Sesaat itu
tubuhnya dirasakan hangat.
Baru saja Wan Ci hendak mengucap
sesuatu, tiba-tiba terdengar suara mendesing. Sebatang anak panah melayang
datang. Wan Ci terbenam dalam kegirangan, lupa ia bahwa bahaya masih tetap
menganCam. Sebat sekali Hi Tong dorong tubuh sinona kesamping, dan dengan sebelah
tangan yang lain dia sanggapi anak panah itu.
Karena didorong, Wan Ci jorok
kedalam, hampir-hampir ia terbentur karang. Tapi secepat-cepat itu juga tangan
Hi Tong telah menariknya kembali. Dalam kegelapan, tubuh Wan Ci telah tertarik
nampel kedada sianak muda.
Wan Ci menjerit dengan suara
tertahan. Merah selebar mukanya. Ia rasakan tubuhnya menjadi hangat, karena da
rahnya tersirap.
“Sumoay, awas senjata gelap!”
bisik Hi Tong.
Berbareng itu, kembali ada sebuah
hui-hong-Ciok (piauw batu berbentuk belalang) melayang masuk. Wan Ci berkelit
sambil menyang gapinya.
“Bangsat, lekas keluar! Jangan
sampai tuan besar turun tangan!” kedengaran orang berseru diluar gua.
Saat itu, beberapa bayangan
mendekati mulut gua. Hi Tong pungut anak panah tadi, terus disambitkan keluar.
Terdengar suara seseorang mengerang kesakitan. Itulah Sam Jun yang menerima
bagian. Sekalipun sudah diketahui per sembunyiannya, tapi It Lui cs. tak berani
terus mendesak. Musuh berada ditempat gelap, sedang mereka ditempat terang,
mudah diCelakai. Jalan satuduanya, mereka menghu-jani mulut gua itu dengan
berbagai senjata rahasia.
Hi Tong dan Wan Ci rapatkan diri
kesisi dinding gua. Tubuh mereka saling merapat satu sama lain. Tak mau mereka
tinggal diam, dipungutinya senjata-nyata rahasia yang dilempar musuhnya itu
Apabila mereka berani memasuki mulut goa, pasti akan disambutnya dengan hangat.
Menempel pada tubuh Sukonya,
walaupun tengah menghadapi bahaya, tapi Wan Ci rasakan saat-saat itulah yang
dirasakan paling bahagia dalam hidupnya. Didalam gua ha wanya lembab lagi
kotor. Diluar gua musuh siap menerkam nya. Tapi bagi nona itu, kamar yang
menyiarkan bau harum dalam gedung panglima, masih kalah bahagianya dengan ruang
sempit gua itu.
Sebaliknya Hi Tong waktu itu
tengah berpikir keras untuk Cari jalan lolos, tapi tak berhasil. Tahu dia kalau
Sumoay nya itu seorang nona yang Cerdas dan banyak sekali akal, maka katanya:
“Ah, bagaimana daya kita untuk lolos?”
“Pe*rlu apa sih mesti Capedua.
Mereka kan tak dapat me nyerbu masuk,” Wan Ci tertawa.
“Kalau hari sudah terang tanah
bagaimana?” Hi Tong kelihatan kuatir.
Mendengar Sukonya kelihatan
gugup, tertawalah sinona.
“Baiklah, kupikirkan suatu daya
......... he, awas senjata rahasia!”
Hi Tong Cepat-cepat mundur
tubuhnya. Sebuah 'siao-kong-jah' menaiiCap didekat kakinya. Kim Piauw benci
tujuh turunan kepada Hi Tong. Setelah berturut-turut menimpuk dua buah
siao-kong-jah: dia putar senjata lak-houw-jah-nia, untuk melindungi mukanya,
lalu menyerbu kemulut gua.
Melihat musuh akan mengganas itu,
Wan Ci kibaskan tiga batang jarum hu-yong-Ciam. Jarum itu halus sekali, pula
ditempat yang gelap. Syukur kepandaian Kim Piauw Cukup tinggi, dan kepandaian
menimpuk sinona masih belum sempurna, maka Cepat-cepat orang she Ku itu
telusupan kepalanya kebelakang. Dua batang mengenai tempat kosong, tapi yang
sebatang menyusup pada rambutnya, sedikit mengenai kulit kepalanya.
Meskipun demikian, Cukup membuat
Kim Piauw sakit meringis. Teringat bahwa senjata jarum begituan keba nyakan
mengandung raCun, dia ber-debardua. Buru-buru dia me nyingkir, lalu
menCabutnya. Karena darah pada jarum itu ternyata tidak berwarna hitam, legalah
hatinya, karena terang jarum tak beraCun.
It Lui minta lihat jarum itu.
Sekali pandang, dia meng gerangdua seperti kebakaran jenggot.
“Batok kepala dari Lo Sam itu,
juga terdapat jarum macam ini. Jadi yang membinasakan dia teranglah bangsat ini
juga!” demikian teriaknya murka.
Ketika Ciao Bun Ki binasa oleh
jarum dari Hwi Hing, tulang rangkanya baru beberapa tahun kemudian diketemu kan
dalam lembah gunung. Pada tulang batok kepalanya terdapat beberapa batang jarum
tersebut. Itulah karena, sekalipun jarumdua itu sebagian besar sudah diCabut
keluar oleh Hwi Cing, tapi yang menyusup kedalam daging sukar diambil.
Kwantong Liok Mo menganggap sakit
hati itu sebagai duri dalam daging. Tapi Celakanya, yang dituduh membunuh
adalah Hi Tong, baik pada Bun Ki dulu, maupun Kim Piauw yang dilukainya
sekarang.
It Lui dan Kim Piauw mengumbar
kemarahannya. Mereka menyerang dengan hebat. Namun karena jeri oleh senjata
rahasia orang, tak berani mereka terlalu mendekati mulut gua.
“Mengapa kau hendak menyingkir
dari aku? Apakah kau merasa sebal padaku?” demikian didalam gua Wan Ci me nanya
Hi Tong dengan tertawa.
“Li-sumoay, mengapa kau mengucap
begitu ? Nanti kalau sudah lolos dari bahaya ini, kita perCakapkan pula”, kata
Hi Tong.
Wan Ci berdiam untuk sekian saat.
“Ya, waktu itu ten tunya kau akan tinggalkan pergi lagi,” katanya kemudian.
Hi Tong pun seorang manusia
biasa. Dia tergerak hatinya mendengar begitu mengharukan kata-kata sang Sumoay
itu. Tiba-tiba sebuah obor dilontarkan dari luar, Hi Tong kemekmek. TarjBak
olehnya bagaimana saju muka sinona yang berlinangdua air mata itu.
“Wah, kita akan mati kesesakan
napas,” katanya lalu. Habis mengucap, ia maju menginyak obor. Tapi senjata
rahasia musuh lebat bagaikan hujan, terpaksa ia mundur lagi. Tidak salah apa
yang diduga oleh Wan Ci itu tadi. Pek Kian San dan Thian Po lemparkan berbondong-bondong
beberapa ikat rumput, kearah obor.
Asap bergulung-gulung memenuhi
gua. Hi Tiong dan Wan Ci berdua, mulai batukdua terhimpit napasnya, obor padam,
asap makin tebal. Dalam keadaan itu, Wan Ci Segera mengambil keputusan.
“Yagalah mulut gua!” katanya
seraya serahkan pedangnya kepada Hi Tong. Sedang ia sendiri lalu menyingkir
kebelakangnya.
Karena mendengar dibelakang ada
suara pakaian dikibarduakan, Hi Tong berpaling.
“He, jangan lihat kemari!” bentak
Wan Cie. Hati Hi Tong bergoncang hebat. Diantara kepulan asap, dilihatnya Wan
Ci sedang membuka pakaiannya. Tapi tak sempat dia memikirkan, karena matanya
tak putus-putusnya diganggu asap, hingga mengeluarkan air mata.
Sesaat kemudian, tampak Wan Ci
menghampiri dan meminta kembali pedangnya. “Pakailah ini!” serunya sambil
lemparkan pakaian wanita itu, kepada sang suheng.
Ingin Hi Tong menanya, tapi
keburu dipegat oleh sinona: “Ayo, lekas pakailah!”
Apa boleh buat, Hi Tong
memakainya. Setelah itu, sinona menyerahkan pula pedangnya. Pada saat itu, asap
menipis. Tapi tiba-tiba kembali ada sebatang obor dilempar masuk. Malah kali
ini, lebih besar, sehingga mengeluarkan Cahaja terang.
“Kita terjang keluar berpencaran,
sekali-kali jangan ikuti aku,” Pesan Wan Ci, yang tanpa menunggu jawaban lagi,
terus menobros keluar gua.
Hi Tong melengak, namun tak
sempat ia mencegahnya......
Begituah hampir setengah harian
Tari Keh Lok cs. men-Caridua disekitar gua itu, mereka masih nampak adanya asap
yang bergulung-gulung ke udara. Mereka makin gelisah menyingkirkan nasib Hi
Tong. Saking gemasnya, Bun Thay Lay me remasdua hanCur panah Pek Kian tadi.
“Sipsute Cukup Cerdas, kalau
tidak ungkulan, tentu melarikan diri. Kita minta lagi bantuan Siangkwan-toako
supaya mengirim beberapa orangnya lagi menCari kabar”, kata Lou Ping.
Siangkwan Ie San setuju, malah
terus ajak pulang sekalian tetamunya itu. Setiba di BengCin, Siangkwan Ie San
kerahkan semua orang-orang Liong Bun Pang. Asal ada orang asing, harus segera
melapor.
Selama itu, Bun Thay Lay yang
paling kuatir sendiri Sam pai jauh malam, dia tak mau makan dan tidak tidur
Thian Hong Coba memberi nasehat, tapi sia-sia.
Itu waktu, Siangkwan Ie San masuk
dengan meng-gelengdua kan kepalanya: “Tidak ada kabar apa-apa”
“Ah, masa dalam beberapa hari tak
ada sesuatu yang men Curigakan?” tanya Thian Hong.
Siangkwan Ie San Coba mengingat
sejurus, “Oh, ada seorang saudara kita yang melapor, bahwa digereja Po Siang Si
disebelah barat kota, tiap hari ada orang ributdua, mau membakar gereja itu,
katanya. Tapi kurasa, hal itu tak ada sangkut pautnya dengan Sipsuya”.
Begitu juga pikiran semua orang.
Hweshio dan kawanan pengungsi terbit CekCok, itulah hal yang biasa. Mereka tak
dapat memikirkan daya apa-apa, keCuali mengambil putusan besok akan keluar dan
menCari secara berpencaranya.
Teringat akan besar pengorbanan
Hi Tong kepada dirinya, Bun Thay Lay tak dapat memejamkan mata barang sesaat
pun jua. Demi dilihatnya isterinya sudah tidur, dia terus bangun dan menyembat
senjata, lalu loncat keluar dari jendela.
“Biar bagaimana akan kuCarinya
lebih Cermat baru puas hatiku”, pikirnya. Terus dia loncat keatas wuwungan.
Keadaan diseputar itu sunyi senyap. Dengan gunakan ilmu
berjalan Cepat-cepat , sekejap
saja sudah dia berputar keempat penyuru dari kota BengCin. Tengah dia- masgul,
tiba-tiba dili hatnya sebuah bayangan berkelebat lari kearah barat. Tim bul
keCurigaannya, segera ia enjot tubuhnya menguntit.
Dari tak berapa jauh, orang itu
menepuk tangan. Dimuka sana jauh sekali, didengarnya balasan tepuk tangan. Bun
Thay Lay tahu bahwa fihak sana besar jumlahnya, diam-diam ia menguntit dari
sebelah belakang. Sampai diluar kota se belah barat, tanahnya lapang. Kuatir
diketahui, Bun Thay Lay tak berani dekatdua.
Kira-kira tujuh atau delapan li
lagi, orang itu naik keatas karang dari sebuah bukit. DipunCak bukit itu, dari
jauh tampak berdiri sebuah rumah. Tahu, sudah tempat yang pasti ditujunya, Bun
'Thay Lay berhenti dan sembunyi dalam sebuah semakdua. Ke tika ditegasinya,
rumah itu ternyata sebuah gereja, dimana tiga huruf “Po Siang Si” tertulis
dengan nyata.
Bun Thay Lay mengeluh, karena
sampai sekian lama dia buangdua waktu, “ternyata hanya mengikuti kawanan
pengungsi dan Hweshio saja. Namun sudah terlanyur, tak apalah untuk melihatdua
kesana. Mungkin dapat membantu perCede raan mereka. Dia menghampiri kesamping
gereja, dari situ terus loncat masuk, melalui jendela langsung menuju ke
ruangan besar. Disitu didapatinya seorang Hweshio tengah berjongkok menghadap
kearah patung. Nampaknya sedang menyampaikan doa.
Tapi ketika Hweshio itu
per-lahandua bangkit dan serentak berpaling, seketika serasa terbanglah
semangat Bun Thay Lay.
Kini balik kita tengok keadaan It
Lui cs. yang sedang menunggu hasil pembakarannya pada gua tempat bersembunyi Hi
Tong. Ketika mendadak dilihatnya ada seorang berjubah panjang dengan muka
dibungkus lari keluar dari dalam gua, Buru-buru It Lui menghadangnya.
“Kim-tiok SinCai ada disini,
beranikah kau mengejarku ?” seru orang yang berkedok itu.
Bagi It Lui, Kim Piauw dan Pek
Kian, tujuan yang utama jalan hendak menangkap dan merobek-robek dada Hi Tong.
Tanpa hiraukan orang satunya yang masih berada dalam gua, mereka segera kejar
simuka berkedok itu. Ja kinlah mereka, itulah sianak muda tentunya.
Diantara ketiga orang itu, It Lui
yang paling Cepat-cepat ilmu nya berlari. Sekejab saja dia sudah berada
dibelakang orang itu. 'Tok-ka-tang-jin' sekali diajunkan kemuka dalam gerak
“tok-liong-jut-tong”, naga berbisa keluar gua, dia hantam punggung orang itu.
Orang itu melejit kesamping
sembari balas menggerakkan tangannya. It Lui Buru-buru mundur, kuatir orang
melepas jarum lagi yang lihai itu.
Orang itu bukan lain ialah Wan Ci
adanya. Dengan mengenakan jubah sianak muda, dia menobros keluar untuk memikat
perhatian musuhduanya. Dengan begitu, dapatlah Hi Tong kesempatan untuk lari.
Sinona membekal tiga batang kim-Ciam. Apabila musuh merangsek dekat, akan
dihajar nya., Untuk senjata itu, ia boleh merasa berSyukur. Karena It Lui sekalipun
berkepandaian tinggi, tapi ditempat gelap seperti waktu itu, dia jeri juga akan
jarum yang halus dan tanpa suara apa-apa itu. Karenanya, dia mengejar agak jauh
jaraknya.
Kejar punya kejar, sampailah
mereka kekota BengCin. Ketika itu sudah terang tanah, banyak sekali sudah
orang-orang yang menuju kekota. Nampak ada sebuah hotel yang sudah buka pintu,
Buru-buru Wan Ci nyelonong masuk. Seorang pelayan me nyambut, tapi belum dia
keburu bertanya, Wan Ci telah mendahului memberikan sepotong perak, katanya:
“Lekas kasih aku sebuah kamar.”
Perak itu ada tiga-empat tail
beratnya, maka terkanCing lah mulut sipelayan, lalu menunyukkan Wan Ci sebuah
kamar kosong.
“Nanti bila ada orang tagih
hutang, bilang saja aku tak ada disini,” Wan Ci memesan. “Aku hanya akan
tinggal semalam, uang kelebihannya untukmu.”
“Yangan kuatir, aku tukang gebah
penagih hutang,” sahut sipelayan.
Baru saja pelayan itu keluar, It
Lui cs menobros masuk.
“SiuCay yang masuk kesini tadi
berada dimana, kita perlu ketemu,” tanyanya segera.
“SiuCay siapa?” balas tanya
pelayan itu.
“Yang masuk kemari tadi,” menegas
Pek Kian.
“Pagi ini belum ada orang masuk
kehotel, mungkin kau orang tua, salah lihat,” berkeras sipelayan.
Kim Piauw gusar, lalu akan
menggaplok mulut pelayan tersebut., tapi Buru-buru diCegah It Lui dengan
membisikinya: “Semalam kita habis merampok penyara, tentunya masih menggoncang
kan, jangan timbulkan urusan lagi.”
“Baiklah. Kita akan periksa satu
persatu kamar hotel ini, nanti akan kita tunyukkan padamu,” kata Pek Kian
dengan mendongkol. '
“Aduh, lagakmu begitu garang,
agaknya menyerupai sanak raja saja?” mengejek pelayan itu.
Mendengar ributdua itu, sipemilik
hotel pun menghampiri. Tapi Kim Piauw sudah tak kuat menahan sabar lagi. Sekali
dorong, dia segera menerjang kesebuah kamar. Disitu dia tendang pintu kamar,
hingga terpentang. Seorang gemuk gendut berjingkrak bangun dari tempat tidurnya
saking kaget. Nampak bukan orang yang diCari; Kim Piauw ter jang lagi pintu
kamar disebelahnya. Masih kedengaran, bagaimana sigemuk itu mengumpat maki
habis-habisan.
Tengah ramaidua itu, tiba-tiba
dari sebuah kamar diberanda timur, seorang nona yang Cantik, muncul keluar. Pek
Kian dan Kawan-kawan nya juga melihat sinona, mereka kagumi ke
Cantikannya, tapi sedikitpun tak
ada keCurigaan apa-apa terus melanjutkan penggeledahannya.
Dengan tertawa geli. Wan Ci
keluar hotel dalam bentuk aslinya, wanita. Sampai dijalan besar, ada beberapa
hamba negeri yang mendatangi. Mereka mendapat pengaduan dari sipemilik hotel,
untuk menangkap orang yang membuat rusuhdua itu.
Sementara Hi Tong setelah melihat
musuhduanya yang tangguh pergi, terus keluar menyerang Sam Jun dan Thian Po
serta Thian Sing. Dengan mengeluarkan ilmunya pedang 'jwan-hun-kiam' dari Bu
Tong Pai, dalam tiga empat ju rus saja, dia telah dapat menusuk lengan Thian
Sing yang memang sudah terluka itu.
Thian Sing mundur beberapa
langkah, lobang itu digunakan Hi Tong untuk menerjang keluar. Sam Jun menyapu
dengan 'sam-Ciat-kun'-nya, tapi Hi Tong dapat menghindari nya dengan meloncat
keatas. Tiba-tiba dia berteriak keras, men juruk jatuh kemuka.
Saking girangnya, Sam Jun dan
Thian Po terus akan menubruknya. Tapi sekonyong-konyong Hi Tong membalik badan
lalu menawurkan segenggam pasir. Mulut dan mata Sam Jun serta Thian Po, kena
tertutup pasir itu. Sam Jun Cu kup berpengalaman, segera dia menggelundung
beberapa tindak jauhnya. Tidak demikian dengan Thian Po. Dia masih menyublek
sambil meng-usakdua matanya yang kelilipan dengan kedua tangannya.
Hi Tong baCok kaki kiri Thian
Sing, terus memutar tu buhnya dan lari. Kiranya pasir yang dilontarkan itu,
adalah sisa pembakaran rumput yang dimasukkan kedalam gua oleh It Lui cs. tadi.
Ketika Sam Jun mengusap bersih
matanya, hanya kedua Sutit (keponakan murid) yang kedapatan masih disitu, yang
satu mengerang, yang lain mengaduh. Sedang Hi Tong sudah tak tampak bayangannya
lagi.
Bukan main mendongkolnya Sam Jun.
Tapi dia tak dapat berbuat apa-apa, keCuali membebat luka kedua Sutitnya itu,
serta menyuruh mereka mengasoh dulu kedalam gua, sedang ia sendiri lalu mengejamja.
Kira-kira berlari tujuh atau
delapan li, bukan Hi Tong yang diketemukan, melainkan It Lui bertiga. Malah
kini Haphaptai yang dibencinya itu, ikut serta. Selain itu, masih ada lagi
seorang yang belum pernah dikenalnya. Orang itu kira-kira berusia 40-an tahun,
dipunggungnya menggemblok sebuah thiat-pi-peh (harpa besi). Tindakannya gesit,
pertanda seorang yang tinggi silatnya.
Pek Kian Cepat-cepat menanyakan
sang Sute yang tampaknya kebingungan itu. Dengan ke-maluduaan, dia tuturkan
kejadian tadi. Syukur It Lui cs. pun tidak mendapat hasil apa-apa, jadi tidak
dapat saling menjalankan.
Kiranya orang yang membawa
thiat-pi-peh itu, adalah Sute dari Ciao Bun Ki, jakni Han Bun Tiong. Di HangCiu
dia telah dipale begitu rupa oleh orang-orang HONG HWA HWE, sampai tak tahu dia
harus menangis atau tertawa. Wi-tin-ho-siok Ong Hwi Yang minta dia supaya balik
bekerja lagi pada Tin Wan piauw kiok, tapi dia menolaknya. Malah dia anyurkan
Hwi Yang supaya lekas-lekas tutup perusahaan piauwkioknya itu untuk mengaso
kedesa.
Sejak bertempur dengan Thio Ciauw
Cong dibukit Pak-kao-nia, ibarat orang mati kembali hidup lagi. Hwi Yang-pun
memikir hendak mengundurkan diri, maka dia terima baik usul. Bun Tiong untuk
tutup piauwkioknya dan melewatkan hari tuanya pulang kekampung halamannya.
Sepulangnya ke Lokyang, Bun Tiong
berkehendak menutup rumah perguruannya, tak mau Campur urusan di kangouw lagi,
seperti yang dinasehatkan oleh Tan Keh Lok. Tapi dalam perjalanan pulang itu,
ditengah jalan dia ber jumpa dengan Haphaptai. Tak ada keinginannya untuk
bertemu dengan sahabatduanya lama dikalangan persilatan lagi, karenanya, dia
tundukkan kepala pura-pura tak melihat. Tapi thiat-pi-pehnya, sudah berbicara
sendiri. Cepat-cepat Haphaptai mengenalinya.
Berdua segera menCari sebuah
hotel. Disitu Bun Tiong Ceritakan tentang kebinasaan Suhengnya. Baru Haphaptai
insja.f. bahwa Kim-tiok SiuCay dan H.H.H, itu bukan musuhnya. Dia mendapat
kesan baik terhadap Hi Tong, maka Buru-buru diajaknya Bun Tiong untuk menolong
anak muda itu.
Sebenarnya tak hendak Bun Tiong
Campur urusan itu lagi, tapi Haphaptai mendesaknya, bahwa kalau bukan dia yang
menjelaskan, tentu It Lui dan Kim Piauw tak mau sudah. Dan kalau sampai anak
muda itu binasa, tentu orang HONG HWA HWE tak mau terima, akibatnya dia (Bun
Tiong) sendiripwn akan terembet juga.
Baru saja keduanya memasuki kota
BengCin, sebera me reka tampak It Lui bertiga bsr-gegasdua keluar dari hotel
sehabis menghajar hamba polisi. Begitulah kelima orang itu telah menCari Sam
Jun.
Kini kita tengok Hi Tong.
Walaupun dia sudah terlemas dari bahaya, tapi dia merasa Cemas akan keadaan Wan
Ci yang dikejar oleh tiga orang yang lihai itu. Dia Coba men Carinya
ke-manadua, tapi tak bersua. Ingin dia masuk kikota, tapi teringat bahwa
orang-orang negeri banyak sekali yang mengenalinya jadi terpaksa tunggu sampai
malam sudah tiba.
Malamnya dia Cari sebuah hotel.
Tapi sepand'ang malam itu, tak dapat dia meramkan matanya. Diam-diam dia menyum
pahi dirinya, sebagai orang yang tak kenal budi. Dua kali sudah, nona itu
menolong jiwanya, tapi sampai saat itu bukan wajah sinona yang membayang i
kalbunyi, melainkan gelak ketawa Lau Ping dengan sujen dipipinya yang manis itu
selalu terkenang olehnya. Dari jauh, terdengar kentong an dipalu tiga kali,
tanda sudah tengah malam.
Selagi dia akan meramkan mata,
tiba-tiba dikamar sebelah ada orang memetik pipeh. Hi Tong seorang penggemar
musik, Buru-buru dia duduk mendengari. Pi-peh itu dibunyikan begitu pelan,
perdengarkan lagu yang menyajat hati. Lewat beberapa saat, kedengaran seorang
wanita menyanyi:
(page cut)
Nyanyian indah dengan suara yang
merdu. Hi Tong merasa heran, masa dalam hotel yang terpenCil itu, ada orang
yang dapat menyanyi sedemikian indahnya.
Tiba-tiba dari kamar sebelah itu
juga, kedengaran seorang lelaki batukdua, lalu berkata dengan suara lemah:
“Sudahlah jangan menangis, tertawalah, nyanyilah lagi ......... hanya semalam
ini saja, hendak kudengar banyak sekali-kali ......... beberapa lagumu lagi.”
Dengar orang bicara dengan lidah
Kanglam, dan suara nya terputus-putus, Hi Tong duga tentu orang itu tengah
menderita sakit payah. Siwanita kedengaran menelan ludah, tangannya lalu
memetik snaar pi-peh, namun tak menyanyi.
“Setelah kumeninggal, baik kau
kembali ke HangCiu lagi ......... mohon sama kiu-ya ......... supaya dia
merawatmu,” demikian suara silelaki.
Siwanita tak menyahut. Tiba-tiba
malah kedengaran menyanyi. Kali ini suaranya sember, sehingga Hi Tong tak dapat
dengar jelas. Hanya sehabis itu, wanita itu ter-isakdua mengibakan hati.
Hi Tong menduga mereka tentulah
suami isteri, suaminya tengah terserang penyakit berat sang isteri nyanyi untuk
menghiburnya. Dia teringat masih membawa kantong uang. Ketika disuluhi dengan
lilin, isinya uang emas semua. Itulah Wan Ci yang memberinya. Hi Tong timbul
bermaksud akan menyerahkan beberapa biji uang emas tersebut. untuk menolong
mereka.
“Ah, aku dapat menolong orang,
tapi siapakah yang dapat menolong diriku?” Hi Tong mengelah napas sambil menuju
kekamar sebelah dan mengetuk pintunya.
“Maaf, mengganggu kau orang tua,
ja, aku tak nyanyi lagi,” sahut suara didalam.
“Harap bukai pintu, aku ada
sedikit omongan,” kata Hi Tong.
(Page cut)
jangan mengembara lagi. Nah,
selamat malam,” kata Hi Tong terus akan bertindak keluar.
“Siangkong (tuan muda), harap
tunggu,” wanita itu tibas berseru.
Hi Tong hentikan langkahnya.
“Mohon tanya nama siangkong yang
mulia.”
“Ah, uang yang tak berarti ini,
tak perlu kau berterima kasih. Turut tekukan lidahmu, agaknya orang Kanglam.
Mengapa bisa berada di TiongCiu sini?”
Wanita itu berpaling kepada
silelaki. Nampak keadaannya makin payah, menangislah ia, katanya: “Sebenarnya
aku tak berani mengatakan. Tapi menilik dia tak ada harapan lagi, akupun tak
ingin hidup juga. Setelah kututurkan, biarlah orang mengetahui boroknya bangsa
pembesar.”
“Yadi kau berdua ini juga menjadi
korban pembesar negeri?” tanya Hi Tong.
“Dia orang she Ciao. Kami asal
HangCiu, masih pernah saudara misan. Sejak kecil kami sudah ditundangkan Tahun
yang lalu. dia ditangkap pembesar, dituduh membangkang dalam wajib dinas
militer. Karena miskin, kami tak mampu memberi uang sogok, jadi dia terus
ditahannya............”
Menutur sampai disini, wanita itu
berCuCuran air mata. Sejurus kemudian, baru ia dapat melanjutkan pula: “Aku
lemah tak berdaya, terpaksa menjadi penyanyi. Orang biasa memanggil aku
'Giok-ju-ih'.”
Kiranya wanita ini ialah
Giok-ju-ih yang pernah diperalat oleh jago-jago HONG HWA HWE untuk menyebak
kaisar Kian Liong itu.
Dahulu sewaktu ia dibawa orang-orang
HONG HWA HWE untuk menyanyi dihadapan baginda Kian Liong ditelaga Se-ouw itu,
Hi Tong tak ikut disitu. Setelah mendapat luka dia beristirahat ke Thian Bok
San. Jadi soal pemilihan ratu keCantikan, siasat menyebak kaisar, sedikitpun
dia tak mengetahuinya.
“Belakangan aku bertemu dengan
seorang Liok-kongcu, disuruh bantu urusannya. Sebagai upah, dia berikan seribu
tail perak padaku,” demikian Giok-jwih menutur pula.
“Betul-betul royal sekali dia”,
seru Hi Tong memutus pembi Caraan orang.
“Kubermaksud menghadap Ciangkun
dalam tentara Ceng, akan menebusnya. Orang menasehati berbahaya kalau seorang
wanita mengadakan perjalanan dengan membawa uang sedemikian banyak sekalinya.
Tapi ternyata bukan bangsa begal penjamun yang kujumpahkan, melainkan kawanan
hamba negeri. Tidak saja uangku dirampas habis, mereka bahkan akan menyerahkan
diriku pada Tihu (residen) untuk di jadikan selir.”
“Bangsat!” Hi Tong gebrak meja
saking gusarnya. “Kawanan hamba negeri mana itu? Ayo, lekas bilang!”
“Ah, tak perlu kukatakan. Dimanadua
sama saja. Malamnya aku melarikan diri, sehingga jatuh kemari. Kebetulan, dia
yang dipaksa diangkut untuk berperang kedaerah Hwe, karena kelaparan, juga
melarikan diri. Kita beruntung dapat berkumpul. Tapi, ah, hanya untuk berpisah
se-lama-lamanya lagi. Dia terlalu payah keadaanya akibat penyiksaan yang
hebat...”
Hi Tong merasa kasihan, lalu
bertanya kepada orang lakidua itu apakah kekurangan ransum dari tentara Tiau
Hui itu hebat sekali.
Tapi orang itu sudah tak dapat
mendengar pertanyaannya hanya menuding kearah Giok-ji-ih, dia berkata
tersengal-sengal :
“Aku......... aku akan
pergi......... moay......... baikkah kau menjaga diri......... nyanyikanlah
sebuah lagu lagi............”.
“Baik, engko,” kata Giok-ji-ih
dengan suara sember. Di petiknya senar pipeh, namun tenggorokan rasanya terkan
Cing. Tampak kepala orang itu menteklok dan napasnyapun berhenti.
Giok-ju-ih letakkan pipehnya.
Kini ia tak menangis lagi. Dari bawah bantal diambilnya sebuah bungkusan, lalu
dibe rikannya kepada Hi Tong, katanya: “Benda yang didalam ini, katanya amat
berharga sekali, tapi akupun tak mengerti. Siangkong adalah seorang pelajar,
harap suka meneri manya”.
Dengan heran Hi Tong
menyambutinya. Menyusul Giok-ju-ih segera benturkan kepalanya ke ujung
pembaringan. Hi Tong Coba iiieuCeg'alinya, tapi terlambat. Seorang wanita muda
yang Cantik, kini pecah sebagai ratna.
Hi Tong buka bungkusan itu,
ternyata isinya tiga gulung lukisan. Buru-buru dia tulis sepuCuk surat,
tinggalkan dua buah uang emas, suruh sipengurus hotel mengurus majata itu, lalu
berlalu dari situ.
Tujuan Hi Tong jalah untuk
menCari Wan Ci Masih mendenging berkumandang rasanya kata-kata yang tersimpul
dalam nyanyian Giok-ju-ih tadi:
(Page cut)
Teringat dia betapa penyanyi yang
Cantik itu, sekejab saja sudah kembali pada asalnya: segumpal tanah kuning. Lou
Ping, Wan Ci dan lain-lain. wanita Cantik pun akan mengalami nasib serupa.
Kelak mereka pun hanya merupakan kumpulan tengkorak dan tulang belulang.
Memikir sampai disini, hati nya menjadi tawar akan kesenangan dunia. Pada
sebuah pohon yang rindang daunnya, dia berhenti mengasoh. Karena beberapa hari
kurang tidur, maka sekejab saja tertidurlah dia.
Hampir pagi, baru dia tersadar.
Kini semangatnya dirasakan pulih kembali. Dengan pelan-pelan dia lanjutkan
perjala nannya lagi untuk mendaki ke atas sebuah bukit. Disana dia tiba pada
sebuah gereja, jakni Po Siang Si.
Masuk kedalam ruangan besar,
diatas situ terdapat sebuah patung Budha dengan tangan terkulai dan kepala
memandang kebawah. Seakan-akan merasa kasihan atas penderitaan insani dunia.
Pada sekitar dindingnya, tampak lukisan dari sang Buddha sedang menolong
burungdua dan mengunjuk kan kasih sayang nya kepada binatangdua. Hati Hi Tong
tergerak karenanya, lalu masuk kedalam ruangan belakang.
“Kisu (tuan) datang kemari,
hendak mempunyai hajat apa?” tanya seorang Hweshio tua yang muncul
menyambutnya.
“Cayhe hanya pesiar saja. Lama
sudah keangkeran Po Sat disini, Cayhe ingin kunjungi. Apakah kiranya tak
mengganggu?” sahut Hi Tong.
Dengan mengucap beberapa patah
kata penerimaan, Hweshio silakan Hi Tong masuk kedalam kamar tamu. Seorang
Hweshio lain, segera menyuguhkan teh dan kuwihdua. Saking lelahnya, sehabis
dahar, Hi Tong tertidur. Kira-kira dua jam kemudian, dia terbangun. Waktu itu
sudah tengah hari. Diruangan tengah kedengaran suara bokhi (alat tok-tok kaum
paderi) ditabuh oleh para Hweshio yang tengah liam-keng atau bersembayang dan
membaCa kitab. Cepat-cepat dia berbangkit untuk melanjutkan perjalanannya
menCari Wan Ci. Lantas dia tertarik dengan bungkusan pemberian (Page cut)
Bungkusan pertama, adalah tulisan
dari penyair Auwyang Siu. Bungkusan kedua, dua buah sajak dari Li Gi San. Tapi
setelah membuka bungkusan yang ketiga, agak terkejutlah dia. Karena itulah
lukisan kertas panjang dari Cerita bergambar delapan orang imam dari kerajaan
Song. Diatas ujung kertas, tertera stempel “koleksi barangdua berharga dari
Kian Liong.”
Lukisan itu menCeritakan, kisah
pengembaraan dari delapan tosu. Salah seorang tosu karena mendengarkan lagu
nyanyian disebuah Ciu-lauw, telah mendapat penerangan batin. Ingin Hi Tong
mengetahui nyanyian apakah yang membuka hati tosu, lalu dibukanya lembaran yang
kedua.
“Karena kau tak ada hati, biarlah
kuberhenti.” Demikian lagu itu. Tanpa merasa Hi Tong membaCanya keras-keras.
Dia terlongong-longong beberapa saat. Berulang-ulang dia m ngulangi sjair itu.
Sampai akhirnya, terbukalah hatinya.
Sehari itu, dia tak mau makan dan
minum. Beberapa kali Hweshio menengokinya karena mengiranya ia sakit. Selama
berbaring ditempat tidurnya, dia rasakan angin seperti Menderu-deru , pepuhunan
bagaikan lautan. Hatinyapun bergontjangan tak tenteram. Sampai jauh malam tak
dapat dia tidur.
Apa yang telah dialaminya selama
duatiga tahun yang lalu, seperti ter-bayang dua kembali: mendapat gelar SiuCay,
membunuh musuh, mengembara dikangouw, dan beberapa kali menempuh bahaya. Dia
merasa, selama itu hanya kekeCewaan dan penderitaan saja yang diperolehnya. Ada
sekilas kegem biraannya, ketika api asmara berkobar terhadap Lou Ping. Namun
karena sang pujaan itu tak mau meladeni, dia tak mau sudah. “Ya, karena kau tak
berhati, biarlah kuberhenti,” akhirduanya Hi Tong berkata dalam hatinya.
Masih tak dapat tidur, dia duduk
lagi dan nyalakan lilin. Tiba-tiba dia melihat diatas meja terdapat sebuah
kitab kuno memuat dua4 Cerita pada jaman Thian Tiok (baheula).
Pada salah sebuah Cerita, Hi Tong
membaCa bagaimana Dewa telah menganugerahi seorang bidadari yang Cantik kepada
Buddha.
“Sesosok kulit terbungkus
tulangdua, untuk apa bagiku?” sabda Buddha.
MembaCa sampai disini, kepala Hi
Tong berkunang-kunang tak ingat diri. Sampai lama dia baru tersedar lagi,
pikirnya:
“Ah, memang tepat sabda Buddha,
wanita Cantik hanyalah rangka tulangdua yang terbungkus kulit. Mengapa hatiku
terikat?”
Tanpa berpikir lama-lama, dia
segera mendapatkan ketua Hweshio untuk minta digunduli rambutnya. Sang Hweshio
minta dia timbang masakdua niatannya itu. Tapi Hi Tong tetap ber keras.
Pada hari kedua, diadakan sidang
Hweshio. Dihadapan patung Buddha, Tong diCukur rambutnya dan mengucap janji
kesetiaannya. Sejak itu dia mendapat gelar Gong Yan Hweshio. Tiap hari dia
rajindua liamkeng (membaCa kitab) dan menghafalkan pelajarandua Buddha.
Pada suatuJ pagi, tengah dia
asjik liam-keng, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang
ber-Cakapdua dalam bahasa kangouw, katanya: “Seluruh kota BengCin sudah kita
Cari, tapi tak ada. Heran kemana dia sembunyi?”
Hi Tong terkejut. Suara itu telah
dikenalnya.
“Taruh kata harus membongkar
BengCin, kita tetap akan menCarinya;” kedengaran lain suara menggeram.
Hi Tong kertek giginya. Tahu dia
orang inginkan dirinya. Ternyata orang-orang itu ialah It Lui dan Pek Kian cs.
Saat itu mereka berada dibelakang Hi Tong. Hi Tong diam saja.
Kiranya Haphaptai sedang
berbantah dengan Kim Piauw. Haphaptai anggap lebih baik berangkat saja kedaerah
Hwe untuk lakukan pembalasan pada Hwe Ceng Tong. Tapi Kim Piauw membandel. Biar
bagaimana dia akan Cari Hi Tong dulu. Kemudian Pek Kian tanya ketua gereja
situ, apakah ada seorang SiuCay bermuka buruk yang datang.
Hweshio yang ditanya melengak.
Nampak hal itu, Pek Kian Curiga, terus menobros kedalam untuk menggeledah.
Benar juga disebuah kamar, dia ketemukan jubah hitam kepunya an Wan Ci yang
dipakai Hi Tong. Pek Kian dengan bengis tanyakan si Hweshio kepala.
“SiuCay itu sudah tak ada lagi.
Kalian bakal tak dapat menemukan se-lama-lamanya,” jawab paderi itu.
Dengan mungkur Hi Tong tampak
berbangkit. Dengan mengetukdua bok-hi, dia masuk keruangan dalam.
Pek Kian timbul keCurigaannya.
Dia memberi isyarat kepada muridnya Thian Po, siapa segera mengikutinya masuk.
“He, hweshio, tunggu! Aku mau
bicara,” tegur Thian Po.
Tapi Hi Tong tak menghiraukan,
malah perCepat-cepat tindak annya. Thian Po memburu, tangannya kiri akan menyam
bret punggung Hi Tong. Terpaksa Hi Tong berkelit, dia gunakan lengan jubahnya
untuk menyampok muka penyerang nya. Karena mukanya seperti dikeruduki, Thian Po
Cepat-cepat mundur. Namun segera ia rasakan pipinya sakit sekali sampai
mendumprah kelantai. Itulah karena dihantam bok-hi oleh Hi Tong.
“O-mi-to-hud! SianCay, SianCay
(amin, amin)!” demikian dengan me-mukuldua bok-hi, Hi Tong terus berjalan
kebela kang.
Mendengar suara bok-hi makin
jauh, sedang Thian Po tak kelihatan muncul, Pek Kian dorong sihweshio tadi ke
samping, lalu beramai menobros masuk. Disana didapatinya Thian Po duduk
dilantai, sambil meng-usapdua pipinya.
;,Apa-apaan kau duduk saja. Mana
Hweshio tadi?” tanya Pek Kian segera.
Thian Po tak dapat bicara.
Kepalanya basah dengan keringat. Dia menuding kebelakang: Sam Jun dan Kim Piauw
memburu masuk. Tapi disitu, selain hanya ada seorang tukang masak, tak ada lain
orang lagi. Pek Kian angkat bangun muridnya dan memeriksa lukanya. Sebuah
benyolan biru kehitam-hitaman terdapat dipipinya. Luka itu Cukup berat.
“Hweshio itukah yang melukaimu?”
tanya Pek Kian.
Thian Po mengangguk.
“Bagaimana romannya?”
Thian Po membuka muiut, tapi tak
dapat mengatakan. Sebabnya, dia memang tak sempat mengawasi wajah sihweshio
tadi.
Dilain fihak, It Lui terus
menyeret masuk sihweshio kepala. Lihat tangan dan kaki orang menjadi lemas
tahulah It Lui hweshio itu tak bisa silat. Bentaknya: “Kemana larinya Hweshio
tadi?”
Sihweshio kepala menerangkan,
hweshio baru itu dari lain tempat, tak diketahui asal usulnya. Karena
berulang-ulang dita nyai tetap tak dapat memberi lain keterangan, It Lui
lepaskan dia. Pek Kian anCam mau bakar gereja itu, tapi Hweshio tetap pada
keterangannya. It Lui lalu ajak rombongan-nya berlalu.
“Gereja itu agak mencurigakan,
nanti malam kita selidiki!” kata It Lui.
Seperginya dari situ, mereka
menCari makanan didesa dekat situ. Malamnya mereka datang menyelidiki gereja
tersebut., tapi tak mendapat hasil apa-apa. Hari kedua, Haphaptai ulangi
pernyataannya supaya lekas pergi kedaerah Hwe saja. Namun Kim Piauw tetap
berkeras.
“Kalau malam nanti tetap tak
menemukan Hweshio bangsat itu, besok paginya kita berangkat kedaerah Hwe,”
katanya.
Begitulah maka ketika malamdua
dalam perjalanan mereka kegereja tersebut. Bun Thay Lay menampak beberapa ba
jangan hitam, itulah It Lui dan Kawan-kawan nya. Sedang apa yang membuat Bun
Thay Lay kaget setengah mati ketika Hweshio itu bangkit dan berpaling, ialah karena
muka si Hweshio luar biasa buruknya. Ja; itulah Sipsute Kim-tiok SiuCay Ie Hi
Tong yang sedang diCarinya.
Heran Bun Thay Lay dibuatnya. Dia
sembunyikan diri di sebuah sudut, untuk nantikan kejadian selanjutnya. Ternyata
setelah memberi hormat pada Buddha, Hi Tong menu ju kebelakang arCa terus tak
muncul lagi.
Tiba-tiba pada saat itu,
terdengar suara gedebukan keras. Pintu ruangan besar didorong orang. Tujuh atau
delapan orang menobros masuk.
Hanya satu yang dikenal Bun Thay
Lay, jakni Pek Kian. Orang itulah yang menangkapnya di Thiat-tan-Hung dulu.
Juga di KengCiu dia telah menghinanya.
“Po Sat maha adil, kini menyuruh
dia jatuh ketanganku!” diam-diam Bun Thay Lay menggeram.
Sewaktu masuk tadi, It Lui cs.
terang melihat ada ba jangan orang. Tapi kini ternyata hanya lilin-lilin saja
yang ber nyala terang, tanpa ada orangnya. It Lui Coba angkat lonCeng gereja
yang luar biasa besarnya. Disitu pun takada apa-apanya. Kim Piauw mendongkol
dia maki-maki kalang kabut.
Habis memaki, dia hantamkan
'lak-houw-jat'-nya ketubuh patung. “Dung” .........! terdengar suara benturan.
“Dalam patung ini ada sesuatu
yang mencurigakan”, seru It Lui sambil loncat menghampiri.
Loncat keatas meja, diapun pakai
'tok-ka-tang-jin'-nya, menghantam pundak kiri patung itu. Tak terkira dahsyatnya
hantaman itu, pecah tubuh patung itu. Sekonyongdua sesosok tubuh melesat keluar
dari lubang pundak patung itu. Itulah dianya, orang yang diCari.
Tapi begitu kakinya menginyak
meja, dia — Hi Tong — lalu loncat kebawah. Kedelapan orang rombongan It Lui,
terus bersiap mengepung. Tapi Hi Tong ternyata tidak lari; hanya berlutut
dimuka patung tadi. Sedikitpun tak hiraukan musuhduanya. Dengan merangkap kedua
tangannya, dia meng uCap doa:
“TeCu (murid) berdosa besar,
telah menyebabkan penya-hatdua dari lain golongan masuk kemari dan membikin
rusak tubuh Buddha. Harap diberi ampun”.
Heran kedelapan orang itu
mendengarnya. Pek Kian tak sabar lagi. Dia jambret lengan kanan Hi Tong, lalu
membentak: “Ha, membikin rusak setan apa, lekas jalan!”
Adalah ketika nampak kedatangan
rombongan It Lui yang sama membekal senjata itut Hweshiodua dalam gereja itu,
sama menyembunyikan diri. Hi Tong mandah saja dan ikut Pek Kian. Thian Seng
lari kemuka, membuka pintu ruangan besar.
Ketika pintu terbuka, tahu-tahu
ada seorang tegak berdiri disitu. Karena terkejut, orang-orang itu melangkah
mundur. Dia si penghadang itu — berpakaian warna kelabu, dengan memakai ikat
pinggang. Sepasang matanya bundar besar seperti mata harimau. Sikapnya keren
dan gagah.
Paling bergoncang adalah hati Pek
Kian. Karena sampai saat itu, dia masih belum tahu kalau Bun Thay Lay sudah
dibebaskan.
“Kau ......... Pan-lui .........”
Tak dapat dia lampiaskan pertanyaannya, karena tangan Bun Thay Lay sudah
menotok pergelangan tangannya, begitu sebat gerakan itu sehingga Pek Kian tak
sempat menangkis atau berkelit. Terpaksa dia kendorkan pegangannya. Sebelum dia
merasa apa-apa, Hi Tong sudah dijambret oleh Bun Thay Lay. Pek Kian Cepat-cepat
loncat kesamping. Baru habis itu, dia rasakan pergelangannya sakit sekali.
It Lui dan lain-lainnya, belum
kenai Bun Thay Lay. Tapi demi melihat gerakan yang sedemikian sebatnya, mereka
ter Cekat kaget. It Lui anggap se-tidakduanya Pek Kian adalah ahliwaris dari
suatu Cabang persilatan. Tak dia sangka, hanya sekali gebrak saja, orang sudah
dapat merampas tawanan yang berada dalam tangannya. Karena hal yang tak terduga
itu, It Lui tak sempat menolongnya. Tapi diapun terus bertindak Cepat-cepat .
Dengan menghunus senjata orang-orang an berkaki satu,” dia menghadang diambang
pintu. Perhitung annya, fihaknya berjumlah delapan orang, yang 5 adalah
jago-jago Kangouw yang tergolong lihai. Jadi sukarlah rasanya, musuh bisa
mengalahkan.
Setelah menarik Hi Tong, Bun Thay
Lay melesat keu jung kiri dari ruangan besar itu.
“Apakah kau terluka?” tanyanya
kemudian. “Tidak,” sahut Hi Tong.
“Bagus, kita berdua dapat
melabrak mereka se-puasduanya!” kata Thay Lay.
Hendak Hi Tong mengatakan
sesuatu, tapi Thian Po dan Thian Seng dengan menghunus senjata, sudah menerjang
maju. Dari gerakannya, tahulah segera Bun Thay Lay, bahwa kedua penyerangnya
ini adalah muriddua Cabang Gian-keh-kun dari TinCiu. Benci kepada sang suhu,
Bun Thay Lay tumpahkan kemarahannya pada sang murid. Sekali enjot tubuhnya; dia
sudah melesat dibelakang kedua penyerangnya. Kedua orang muda itu Cepat-cepat
akan menarik kembali serang annya, tapi tengkuk mereka tahu-tahu sudah disambar
tangan musuh.
Sam Jun berada paling dekat.
Dengan gerak “naga be raCun keluar dari gua,” dia sabetkan 'sam-Cat-kun'-nya
kepunggung Bun Thay Lay. Dengan masih menCengkeram kedua anak muda tadi, sebat
sekali Bun Thay Lay berputar kebelakang. Diangkatinya kedua orang muda itu,
lalu dibolang-balingkan berputaran. Dia menggerung keras, seperti guntur
bergemuruh diudara.
Sam Jun seperti terbang
semangatnya. BergemerinCingan 'sam-Ciat-kun'-nya jatuh kelantai. Sekali pula
Bun Thay Lay menggerung keras, dengan sekuat-kuatnya dia benturkan kepala kedua
anak muda itu satu sama lain. Prukk! Kedua batok kepala muriddua Pek Kian itu
hanCur berantakan.
Tak berhenti begitu saja, Bun
Thay Lay lalu lemparkan tubuh kedua korbannya itu kearah rombongan musuh.
Karuan saja Kim Piauw cs loncat menghindar. Hanya Pek Kian mengingat hubungan
guru dan murid menyang gapi tubuh Thian Sing.
Kejadian itu berlangsung secara
Cepat-cepat sekali, sehingga Kim Piauw menjadi kemekmek. Dia tak pungut lagi
sen jatanya, ataupun berusaha untuk lari. Menyublek seperti patung saja.
Maju selangkah, Bun Thay Lay
menggaplokkan sebelah tangannya pula. Sam Jun berusaha menangkis. Krekk.........
tulang lengannya patah. Bun Thay Lay menyambret dada Sam Jun. Tapi Sam Jun
tidak mandah, dengan ilmu tendangan 'wan-yang-liang-goan-thui' atau ilmu
tendangan sepasang kaki secara susul-menyusul, dia tendang dada mu suhnya.
Nyata Sam Jun tak kenal siapa Pan
Lui Hiu, si Tangan Bledek itu. Bagaikan kilat Cepat-cepat nya tangan kanan Bun
Thay Lay menyawut sebelah kaki Sam Jun terus diangkat keatas, hingga kini
kepala Sam Jun terjungkir balik.
Kim Piauw dan Pek Kian
Cepat-cepat akan menolongnya. Tapi sekali lagi Bun Thay Lay menggerung, dia
sabetkan tubuh Sam Jun pada batu marmer diruangan situ. Sudah tentu hanCur
batok kepala Sam Jun.
Gerakan Bun Thay Lay tadi hanya
dalam beberapa kejab saja. Karena mestinya tendangan Sam Jun tadi adalah
'lian-goan-thui', menendang berturut-turut dengan sepasang kaki. Tapi siapa
tahu. baru sebelah kaki menendang, musuh sudah menyawut dan membantingnya
dengan ganas.
Bun Thay Lay umbar kemarahannya,
maka dalam sebentar waktu saja dia sudah binasakan tiga orang. Kini dia diserang
dari kanan-kiri oleh Kim Piauw dan Pek Kian. Tahu dia, kalau kedua orang ini
jauh lebih tangguh dari ketiga korbannya tadi. Mundur kebelakang, dia angkat
sebuah hiolouw (tempat dupa) dari marmer terus dilontarkan kepada Kim Piauw.
Hiolouw marmer itu tak kurang
dari delapan0 kati beratnya, apalagi dilempar sekuat-kuatnya. Sudah tentu, Kim
Piauw tersipudua berkelit kesamping. Celaka adalah It Lui. Dari tadi dia
ketutupan tubuh Kim Piauw, jadi tak tahu apa yang melayang . Maka begitu Kim
Piau menghindar, tahu-tahu hiolouw sudah didepan mata.
“Lo Toa; awas!” seru Haphaptai.
Karena tak sempat menyingkir, It
Lui hantamkan 'tok-kak-tong-jin'-nya. Berbareng dengan suara deburan yang
dahsyat, hiolouw itu pecah berantakan.
Saat itu Pek Kian sudah bertempur
dengan Bun Thay Lay. Hi Tong tak mau tinggal diam. Dia sembat gada pemukul
bedug dan berdiri dibelakang Bun Thay Lay untuk melindunginya. Muka It Lui dan
Kim Piauw luka kena pe Cahan hiolouw tadi, karena itu Kim Piauw terus akan
menyerang dengan 'lak-houw-jahnya. Tapi gerakan Bun Thay Lay sebat sekali.
Menyerang muka Pek Kian, tiba-tiba dia melesat kesamping Haphaptai.
Memang sudah diperhitungkan Bun
Thay Lay, masih ada 5 orang musuh yang tangguh. Untuk merebut kemenangan, dia
harus merobohkan lagi beberapa musuhnya. Dilihatnya Haphaptai dan Han Bun Tiong
berdiri agak jauh. Maka dia melesat kesana dengan tiba-tiba, terus akan
menghantam punggung Haphaptai.
Haphaptai mendekkan tubuh, kasih
lewat serangan itu. Lalu secepat-cepat kilat, dia ulur tangannya menangkap
lengan orang. Melihat gerakan orang Mongol itu gesit sekali, Bun Thay Lay
turunkan tangannya tadi kesamping, menyerang leher orang.
Tapi lagi-lagi Haphaptai
tundukkan kepalanya, ulur tangannya menangkap lengan penyerangnya. Tahu Bun
Thay Lay kalau setiap gerakan musuh itu adalah “kim-na-Hiu,” ilmu menangkap
dengan tangan kosong. Tapi anehnya, gerakan itu berbeda dengan jurus-jurus ilmu
“eng-jiao-kang,” Cakar garuda.
Memang Haphaptai bermula mendapat
pelajaran gumul dari bangsa Mongol. Ilmu itu dia gabung dengan ilmu silat
Thong-pi-kun. Dua kali Haphaptai keluarkan ilmunya itu untuk menangkap lengan
Bun Thay Lay. Biasanya belum pernah dia gagal. Maka saat itu, karena mengalami
kegagalan, dia agak terkejut. Dan ini menyebabkan dia ajal. Tahu-tahu sebuah
pukulan musuh menghantam pundaknya.
Juga tak kalah heran adalah Bun
Thay Lay. Tangan sakti yang menyebabkan dia memperoleh julukan Pan Lui Hiu — si
Tangan Halilintar — itu, ternyata tak dapat merobohkan musuh itu. Kiranya
meskipun sudah ber-tahundua Haphaptai mengembara didaerah Liauwtang (Tiongkok
timur-laut), Haphaptai tetap tak mau tinggalkan adat orang Mongol. Dia selalu
mengenakan baju kaos terbuat dari kulit kerbau.
Tapi Bun Thay Lay mengira kalau
Haphaptai mempunyai ilmu istimewa. Tak ia ketahui kalau lawan itu merasa sakit
sampai keulu hati. Tiba-tiba orang Mongol itu duduk ditanah, sepasang tangannya
menyikap pinggang lawan. Bun Thay Lay tarik tangannya, untuk ditamparkan
kekening orang, siapa pun tak mau mandah saja. Sambil egoskan kepala, tangannya
menyikap pinggang orang terus diangkat keatas. Itulah salah suatu jurus ilmu
bergumul bangsa Mongol yang paling berbahaya.
Ketika Gengis Khan menaklukkan
daerah barat sampai ke Eropah, tak pernah dia terkalahkan. Dia taklukkan
berpuluh negara besar dan kecil, hanCurkan beratus ribu tentara sekutu dari
negaradua di Eropah itu. Begitu patah nyali serdadudua bangsa kulit putih itu,
sehingga mereka sudah gemetar kalau mendengar kedatangan tentara Mongol Gengis
Khan itu.
Memang kekuatan tentara Raja
Diraja dari Mongol itu, terletak pada kesempurnaan organisasi mereka, ilmu
memanah dan kepandaian naik kuda. Selain itu, ilmu bergumulnya yang has juga
sangat dimalui lawan. Ilmu itu memang merupakan ilmu warisan orang Mongol turun
temurun.
Haphaptai telah dapat mewarisi
ilmu itu dengan sempurna. Begitu lawan dapat diangkatnya, terus akan
dibantingnya ketanah. Tapi sekonyong-konyong tangannya dirasakan kesemutan,
begitupun tubuhnya lemas tak bertenaga.
Saat itu, melihat Bun Thay Lay
terancam bahaya, Hi Tong terus akan maju menolongnya. Tapi segera ia nampak
pemandangan yang aneh. Bun Thay Lay melayang jatuh dengan mengempit Haphaptai,
kiranya tadi dia telah totok jalan darah orang Mongol itu, tubuh siapa terus
dia kempit.
“Suko, dia seorang sahabat!” Hi
Tong berseru dengan Cemas.
Tapi sudah terlanyur. Karena saat
itu, Haphaptai sudah dilempar kemuka. Dengan kepala berada disebelah depan, tubuhnya
melayang kearah lonCeng besar. It Lui dan Kim Piauw yang berada dimuka pintu,
pun sudah merasa tak sempat untuk menolongnya. Mereka hanya mengawasi dengan
kesima.
Mendengar teriakan Hi Tong tadi,
Bun Thay Lay terkejut. Segera dia enjot tubuh memburu kemuka. Ternyata dia
lebih Cepat-cepat dari melayang nya tubuh Haphaptai. Dalam saat-saat yang
berbahaya, dia keburu menyambar ujung sepatu Haphaptai, terus ditariknya
kebelakang. Tangannya kiri pun di kerjakan untuk menotok jalan darah penyedar
dipundak orang, dan serunya: “Ah, kiranya seorang sahabat, maaf !”
Tertolong dari maut, Haphaptai
terlongong-longong. Juga It Lui dan Kim Piauw yang sudah akan memburu maju
untuk menolong Sutenya itu, batal bergerak. It Lui pimpin Haphaptai kepinggir.
“Awas belakang!” tiba-tiba
kedengaran Han Bun Tiong berseru.
Memang Bun Thay Lay rasakan ada
angin menyambar dari belakang. Secepat-cepat kilat dia berbalik sembari menyapu
dengan kakinya. Pembokongnya, ialah Gian Pek Kian, siapa dengan sepasang
'thiat-hwan' (gelang besi) loncat menghantam bebokong Bun Thay Lay. Tapi karena
gerakan lawan demikian sebatnya itu, dia tarik kembali serangannya, akan tetapi
thiat-hwan ditangannya kanan sudah terlanyur menyorok kemuka. Sambil menggerung
Bun Thay Lay ulurkan tangannya untuk merebut.
Agaknya kedua orang itu merupakan
seteru yang saling membenci. Saat itu mereka akan mengadu jiwa betul-betul.
Ruangan yang diterangi dengan
Cahaja lilin yang sinarnya samardua, dengan arCa yang telah rompang sebelah
lengannya itu, kini menyaksikan pertempuran mati-hidup dari dua musuh
kebujutan.
Hi Tong bersandar dipinggir
patung. It Lui, Kim Piauw, Haphaptai dan Bun Tiong berdiri dimuka pintu.
Didalam ruangan situ terhampar tiga tubuh yang kepalanya pecah. Melihat It Lui
dan kedua Sutenya hanya mengawasi dan tak mau membantunya, Pek Kian marah
sekali. Dia mainkan senjatanya luar biasa hebatnya.
Pek Kian adalah ahliwaris dari
Cabang Gian-keh-kun. Cabang itupun mempunyai ilmu silat istimewa. Terutama
dalam permainan 'thiat-hwan' itu, Pek Kian telah meyakin kan berpuluh tahun.
Hal mana pun diakui oleh Bun Thay Lay, betapa lihai permainan lawannya itu.
Karenanya, dia segera merobah permainan silatnya.
Kini rombongan It Lui itu segera
menyaksikan bagaimana pada setiap serangannya, Bun Thay Lay tentu menggerung
keras. Suatu waktu menggerung dulu, baru menyerang. Atau menyerang dulu lalu
menggerung. Malah ada juga yang menyerang berbareng menggerung. Pokoknya,
gerungan itu se-olahdua merupakan pelengkap serangan kepada lawan. Makin seru
serangannya, makin dahsyat pula dia menggerung. Pecahlah nyali musuh dibuatnya,
siapa makin lama makin terdesak.
KIRANYA ilmu itu adalah
keistimewaan dari Bun Thay Lay, disebut “Pi-lik-Ciang”, pukulan hali-lintar.
Baik pukulan maupun gerungannya, bagaikan deru angin dan halilintar menyamber.
Pek Kian tahu gelagat dia mengakui bukan tandingan lawannya. Sepasang
gelang-besi dirangkapnya menjadi satu, lalu mundur selangkah. Tahu dia bahwa
musuh tentu maju menyerangnya. Dan dugaan ini tak meleset.
Ketika tangan musuh menyerang,
dia segera kaCipkan sepasang thiat-hwannya dengan tipu “pek-yan-kiam-wi” seriti
putih menggunting ekor. Dengan gerakan ini ia menduga lengan Bun Thay Lay pasti
terkaCip kutung.
Tak dia sangka kalau gerakan
tangan orang she Bun itu, luar biasa sebatnya. Sudah terlanyur diulur kemuka,
Bun Thay Lay teruskan menotok dada lawan. Pek Kian terkesiap. Dia ketahui bagaimana
hebat tenaga lawan. Sekali kena di totok, pasti Celaka. Buru-buru di pakai
thiat-hwan kirinya untuk melindungi dadanya sedang thiat-hwan satunya dia
hantamkan kepundak lawannya.
Bun Thay Lay menggerung keras.
Begitu dia katupkan kelima jarinya, segera dapat manangkap senjata musuh sambil
menggeser diri kebelakang lawan. Pek Kian terke jut, tahu-tahu thiat-hwan
ditangan kanannya kembali kena dipegang musuh siapa terus menariknya kemuka.
Jadi kedua tangan Pek Kian seperti ditelikung kebelakang.
Kalau dia berkukuh pegangi
thiat-hwannya, terang kedua tangannya akan patah. Apa boleh buat, dia lepas
tangan dan terus lon Cat kemuka tiga tindak, baru berbalik badan. Kini sepasang
thiat-hwan itu sudah berada ditangan Bun Thay Lay.
“Kembali padamu!” teriak Bun Thay
Lay.
Sepasang thiat-hwan menyambar Pek
Kian, kerasnya bukan buatan. Pek Kian tak berani menyang gapi dan hanya Ce pat
menghindar kesamping. Berbareng dengan terdengarnya bunyi berkerontangan yang
nyaring memekakkan telinga, sepasang thiat-hwan itu nanCap masuk kedalam
lonCeng raksasa yang berada diruangan itu. It Lui, Kim Piauw dan lain-lainnya
sama berseru kagum.
Pada saat itu, tiba-tiba sepasang
mata. Pek Kian kelihatan membalik keatas. Kedua lengannya lurus menyulur
kemuka. Tubuhnya kaku bagaikan majat; berloncatan maju kemuka. Gerakannya tak
ubah seperti majat hidup. Itulah salah satu ilmu kepandaian dari Gian-keh-kun,
yang dia gabung dengan ilmu hypnotis dari seorang ahli sihir TinCiu, bernama Cu
Yu Kho.
Matanya ber-sinardua seperti
kilat menatap musuh. Kedua tangannya ber-gerak-gerak memukul, sedang kakinya
yang kaku itu, berloncatan dengan linCahnya.
Ketika mata Bun Thay Lay bentrok
dengan sinar mata lawan, dia rasakan hatinya berguncang keras. Buru-buru dia me
nyingkir, terus keluarkan pukulan “pi-lik-Ciang”nya. Kembali orang menyaksikan
pertempuran aneh dan menarik. ,;Pi-lik-Ciang” tempur “Kiang-si-kun,” ilmu silat
majat hi
dup, suatu ilmu silat yang jarang
terdapat didunia persilatan.
Kira-kira sepuluh jurus kemudian,
tiba-tiba Bun Thay Lay menggerung dan loncat kesamping. Tampak sepasang mata
Pek Kian seperti orang yang mabuk arak, ber-kilatdua mengeluarkan sinar tajam.
Tapi pada lain saat, tiba-tiba dia mengeluarkan air mata. Belum lenyap,
keheranan orang, atau dia segera menguak keras. Darah segar menyembur dari
mulutnya. Tubuhnya tegak kaku, tak ber-gerak-gerak lagi.
Meskipun It Lui cs. adalah orang
kangouw yang berpengalaman tapi tak urung tegak juga bulu roma mereka melihat
keadaan Pek Kian saat itu. Kini Bun Thay Lay pun tak mau lanjutkari
penyerangannya lagi.
^Beruntung atau Celaka, adalah
diri sendiri yang mem buatnya. Nah, pergilah!” seru Hi Tong.
Tapi mata Pek Kian tak terkesiap,
terus memandang kemuka saja. Tetap ia berdiri kaku.
“Gian-toako, mari kita berlalu,”
seru Bun Tiong.
Karena masih menyublek saja, Bun
Tiong tarik tangan Pek Kian. Tapi begitu ditarik, dia terjungkal roboh. Ketika
dirabah ternyata tubuhnya sudah dingin, jiwanya sudah melayang beberapa saat yang
lalu. Kiranya, dia telah mendapat pukulan ,,pi-lik-Ciang,” dipunggung dan
didadanya.
Bun Tiong mengelah napas, katanya
sembari hormat pada Bun Thay Lay: “Bukankah Su-tiangkeh dari HONG HWA HWE,
Pan-lui-Hiu Bun-suya?”
Bun Thay Lay mengangguk.
“Aku adalah Han Bun Tiong.”
Tahu kalau orang itu dari Tin Wan
piauwkiok, kembali Bun Thay Lay hanya mengangguk. Dulu yang menyergapnya di
Thiat tan-Hung adalah Tong Siu Ho dari Tin Wan piauwkiok. Tapi ketika tempur
Thio Ciauw Cong di Pak-kao-nia, orang-orang piauwkiok itu berserikat dengan
HONG HWA HWE Jadi bagi Bun Thay Lay. Han Bun Tiong itu adalah lawan dan kawan.
Bun Tiong perkenalkan It Lui
bertiga. Mereka hanya saling anggukkan kepala, tak bicara apa-apa.
“Mereka bertiga dulunya salah
paham terhadap HONG HWA HWE Sekarang telah kuberi penyelasan,” ujar Bun Tiong.
Tetapi Bun Thay Lay bersikap
tawar. Tahu bahwa orang masih penasaran kepada Tin Wan piauwkiok, Buru-buru Bun
Tiong minta diri. Setelah memberi hormat, dia terus putar tubuhnya berlalu.
Hanya Kim Piauw yang masih mendendam pada Hi Tong. Tapi ketika lihat anak muda
itu telah gunduli rambutnya masuk hweshio, apalagi melihat kelihaian Bun Thay
Lay tadi, dia agak jeri. Ketiga Kwantong Liok Mo itupun juga segera keluar dari
ruangan tersebut.
Tiba-tiba Bun Thay Lay melihat
dipunggung Kim Piauw terselip kim-tiok Hi Tong, Buru-buru dia maju selangkah
seraya berseru: “Ku-laoko, harap tinggalkan seruling saudaraku itu!”
Kim Piauw merandek dan berbalik
tubuh, serunya dengan aseran: “Baik, kalau dia mampu, supaya mengambilnya
sendiri.”
Kepandaian Kim Piauw memang tak
boleh dibuat permainan. Malang melintang didaerah Liauwtang, dia belum pernah
ketemu tandingannya. KeCuali pada Toakonya, It Lui, dia tak pandang mata pada
semua orang. Apalagi memang dia masih penasaran pada Hi Tong. Dia kibaskan
'lak-houw-jah-nya, siap menyambut musuh.
Bun Thay Lay gusar, ia maju terus
akan merangsang senjata orang.
Tiba-tiba Hi Tong melesat
di-tengah-tengah, seraya berkata: ,Suko, siaote sudah suCikan diri, tak perlu
dengan barang itu. Biarkan dibawa pergi Ku-toako!”
Bun Thay Lay melengak. Dengan
keluarkan suara hidung, dia menyingkir kesamping. Kim Piauw pun simpan senjata-nya,
terus loncat keluar ruangan.
“Orang she Bun itu garang amat.
Apa kau kira kita takut padamu! Biar kutunyukkan kelihaian kita agar matamu
terbuka.”
Berpikir demikian, It Lui sudah
berada diluar ruangan. Ditengah situ tegak berdiri patung besar. Dimukanya ada
lampu. Pada kedua sampingnya, ada 4 patung Tay Kim Kong yang besar. Ada yang
tengah bersilat, ada yang pegang pa jung, ada yang memetik pi-peh dan ada yang
pegang ular.
It Lui loncat keatas altar patung
tersebut, dengan kerahkan tenaganya, dia goyang duakan patungdua malaekat itu.
“Ayo, kita lekas berlalu !”
katanya kemudian.
Saat itu Bun Thay Lay dan Hi Tong
mendengar diruangan luar ada suara berkretekan dengan gemuruh sekali. Buru-buru
mereka memburu keluar. Tampaklah kelima patung itu seperti hidup lagi
ber-gerak-gerak maju.
“Celaka!” seru JBun Thay Lay.
Untuk lari masuk keruangan dalam,
terang tak keburu. Cepat-cepat dia tarik tangan Hi Tong, sekali enjot, mereka
loncat keluar pintu. Baru saja kaki mereka akan mengin jak ketanah, atau segera
terdengar suara yang dahsyat sekali dari benda yang roboh. Ternyata kelima
patung yang besar dan berat itu, roboh hanCur.
Bun Thay Lay marah sekali. Hendak
dia mengejar It Lui berempat. Tapi diCegah Hi Tong.
“Suko, malam ini kau sudah
membunuh 4 orang, Cukuplah!”
“Sipsute, mengapa kau menjadi
hweshio,” tanya Bun Thay Lay dengan keheranan.
Setelah merobohkan patungdua itu,
It Lui ajak saudara-saudara nya lari turun gunung. Tiba-tiba- Kim Piauw merabah
ping-gangnya belakang.
“Astaga!” serunya dengan terkejut.
Karena kim-tiok dari Hi Tong sudah lenyap.
“Ada apa?” tegur It Lui.
“Bangsat she Bun itu sudah Curi
kim-tiok itu !”
Heran dan jeri orang-orang itu
dibuatnya. Terang tadi Bun Thay Lay dan sianak muda terpisah jauh, masa masih
bisa menggerayang i seruling dipunggung Kim Piauw.
“Lo Ji, sudahlah. Masih hanya'
seruling yang diambilnya. Kalau tadi dia hajar punggungmu, mana kau masih bisa
bernapas,” kata Haphaptai.
Begitulah berempat orang itu
bersepakat akan pergi ke daerah Hwe untuk menCari balas pada Hwe Ceng Tong.
Hanya Bun Tong yang menolak. Sampai dikota BengCiu, mereka berpisah. Bun Tiong
kembali ke Lokyang mengasingkan diri dari kangouw untuk hidup dalam
ketenteraman.
Balik pada pertanyaan Bun Thay
Lay tadi, Hi Tong me ngelah napas panjang , katanya: “Suko, maukah kau maafkan
diriku?”
“Kita seperti saudara sendiri,
tentu kita dapat saling memaafkan.”
“Kalau begitu legalah salah suatu
hal yang mengganyel dalam hatiku.”
Dibawah Cahaja rembulan, Bun Thay
Lay dapat melihat tegas bagaimana Sipsutenya itu mengenakan jubah hweshio dan
merangkapkan kedua tangannya. Jauh bedanya dengan si Kim-tiok SiuCay yang
berparas Cakap dan gagah dahulu. Bun Thay Lay merasa iba.
“Sipsute, kita sudah berjanji
akan sehidup semati. Silah kan kau katakan.”
Sejak kedua orang tuanya
meninggal diCelakai orang, Hi Tong berkelana dikangouw dan kemudian masuk dalam
HONG HWA HWE, belum pernah ada orang yang begitu menyayang inya seperti Sukonya
itu. Hampir dia tergerak hatinya. Tapi mengingat kini dia sudah suCikan diri,
segala hubungan rasa harus ditiadakan.
Dia kuatkan perasaannya, katanya
dengan tawar: “Suko, harap kau pulang. Kelak belum tentu kita dapat berjumpa
lagi. Kini namaku ialah Gong Yan, jangan sebut aku Sipsute lagi.”
Habis berkata, dia putar tubuhnya
terus masuk kedalam gereja. Sampai beberapa saat Bun Thay Lay termangu-mangu.
Menilik sikapnya, sukar untuk menasehati Sipsute itu. Ia ambil putusan pulang
dan memberitahukan pada Congthocu dan Thian Hong.
Melihat ruangan dalam
kalang-kabut, patungdua berantakan, majatdua bergelimpangan, Hi Tong bersujut
dihadapan patung mohon ampun. Tiba-tiba didengarnya ada suara berkelotekan,
ketika dilihatnya, ternyata kimtioknya terletak dihadapannya. Hi Tong terkejut
dan Buru-buru berpaling kebelakang. Astaga ! H Wan Ci, Malah kini ia mengenakan
pakaian perempuan Cantik sekali nampaknya. Hanya wajahnya kelihatan saju.
Hi Tong rangkapkan kedua
tangannya dan menjura, tapi tak berkata apa-apa. Melihat orang berhati begitu
dingin, Wan Ci pun batal untuk berkata, ia numprah kelantai, dan menangis
tersedudua.
Setiba Thay Lay dihotel, Lou Ping
ternyata sudah siap akan menyusul. Ia sesali suaminya mengapa malamdua keluar
sendirian.
,”Aku berhasil jumpahkan Sipsute.
Dia sudah jadi Hweshio!”
Lou Ping terkesiap, tanpa terasa
air matanya berCuCuran.
Bun Thay Lay mengajaknya lapor
pada Tan Keh Lok dan lain-lain saudaranya. Kepada mereka dituturkannya kejadian
tadi. Yang paling tak tahan adalah Ciang Cin. Dia loncat berjingkrak. Saat itu
juga mereka ramaidua menuju kege reja Po Siang Si.
Tapi tak ada barang seorang
hweshio pun yang berada dalam gereja itu. Mereka siangdua sudah sembunyikan
diri demi melihat rombongan HONG HWA HWE datang. Lou Ping paling jeli
penglihatannya. Ia melihat diatas meja sembahjangan ada sepuCuk surat yang
ternyata dari Hi Tong. Buru-buru dibe rikannya kepada Keh Lok.
Surat itu berbunyi bahwa dia (Hi
Tong) sudah suCikan diri dan kini mulai keluar mengembara Cari derma, entah
kapan kembali. Dia harap agar sekalian saudaranya terus berjoang dalam
Citaduanya yang luhur itu, tak usah hiraukan dirinya (Hi Tong). Yang penting,
kini Kwantong Liok Mo sedang menuju ke daerah Hwe menCari balas pada Hwe Ceng
Tong supaya hati-hati.
Surat itu membuat terharu
sekalian orang, lebihdua Lou Ping.
“Huh, apa-apaan dia. Bakar saja
gereja ini Coba dia bisa jadi hweshio apa tidak?” Ciang Cin menggeram.
Dan segera dia akan wujudkan
perkataannya, tapi diCe gah Lou Ping.
“Kulihat Sipsute masih belum
dapat bebaskan dirinya, ra sanya dia tak mungkin jadi hweshio,” kata Thian
Hong. “Mengapa?” tanya Bun Thay Lay.
“Pertama, dia masih ingat akan
tujuan kita yang besar itu. Kedua, dia mau pungut derma untuk memperbaiki
kerusakan gereja ini. Dia orangnya berhati tinggi, tidak mau minta pertolongan
orang. Jadi tentu gagal. Rasanya dia tentu gunakan Cara lama 'mengambil' harta
benda hartawan jahat.”
Orang-orang ketawa mendengar
uraian Thian Hong itu.
“Ah, macam hweshio apa itu.” kata
Keh Lok dengan tertawa.
“Sampai diri Hiu-ih-wi-sam Hwe
Ceng Tong dia masih pikirkan. Sukar rasanya dia menjadi orang suCi.”
Semua orang sependapat dengan
kata-kata Thian Hong ini.
“Kwantong Liok Mo Cukup lihai.
Entah dia taruh permusuhan apa dengan Hiu-ih-wi-sam itu?” tanya Bun Thay Lay.
“Ketika nona Ceng Tong tempur
Giam Se Ciang (salah seorang Anggota Liok Mo), kita sama menyaksikannya, bagaimana
nona gagah itu telah merobohkan lawannya. Tapi andaikan Congthocu tidak keburu
turun tangan, mungkin nona itu akan Celaka ditangan orang she Giam itu,”
menerangkan Thian Hong.
“Ya, Liok Mo pertama, Thing It
Lui itu luar biasa tena ganya dan lihai sekali,” kata Bun Thay Lay.
“Kalau begitu kita harus
lekas-lekas berangkat kedaerah Hwe. Paling baik kita dapat susul mereka,
setidaknya, kita dapat memperingatkan pada nona Ceng Tong. Setelah urusan kita
beres, kita temui Sipsute lagi”, usul Thian Hong.
Semua orang setuju.
“Ingin aku akan mohon bantuan
Siangkwan-toako untuk sesuatu hal”, kata Keh Lok kepada Siangkwan Ie San.
“Silakan Tan-tangkeh mengatakan”.
“Kumohon Siangkwan-toako suka
memberi tiga 000 tail perak pada gereja ini, untuk beaja perbaikan. Kelak
Siaote kembalikan uang itu.”
Siangkwan Ie San sanggupi
permintaan itu. Setelah itu, Tan Keh Lok ajak rombongannya balik kekota
BengCin.
“Kwantong Liok Mo sudah
berangkat. Baik kita minta seorang saudara dengan menaik kuda putih Suso,
menyusul mereka. Karena dikuatirkan urusan menjadi runyam. Se dangnya Bok To
Lun loenghiong sibuk menghadapi serangan pasukan Ceng, jangan-jangan nanti nona
Ceng Tong kena di Celakai ketiga musuhnya itu,” kata Thian Hong.
Tan Keh Lok membenarkan dan
tampak berpikir.
“Biar aku yang pergi dulu,” Ciang
Cin ajukan diri.
“Adatmu gegabah, jangan-jangan
membikin onar dijalan,” ujar Thian Hong.
“Tidak, aku berjanji.”
Lou Ping mengerti maksud Thian
Hong, katanya: “Kau tidak mengerti bahasa Hwe, tidak leluasa. Kini disana
sedang dalam suasana peperangan, bisa terbitkan keCurigaan orang.”
Diantara mereka hanya Tan Keh Lok
dan Sim Hi yang pernah tinggal sepuluh tahun didaerah Hwe. Mereka menguasai
bahasa Hwe. Terang, tadi Lou Ping menunyuk pada Cong-thocu itu. Tapi yang
ditunyuk itu tetap diam saja.
“Siaoya, baik aku saja yang
pergi,” tiba-tiba Sim Hi menyetuk.
“Lebih baik kau saja yang pergi,
Congthocu. Kau mengerti bahasa Hwe, lagi berilmu tinggi. Kwantong Liok Mo belum
mengenalmu. Disana apabila Tiau Hwi belum hentikan penyerangannya, kaupun dapat
membantu pihak Bok To Lun loenghiong,” kata Thian Hong.
Tan Keh Lok terhening sampai
beberapa saat, baru dia menyetujui. Habis dahar dia Cemplak kuda putih Lou
Ping, ambil selamat berpisah terus berangkat.
Yang menjadi pikiran Tan Keh Lok
adalah diri Ceng Tong. Dia kuatirkan nasib nona itu jika berhadapan dengan
Kwantong Liok Mo. Selama menempuh perjalanan digurun pasir itu dia selalu
terbayang diri nona Hwe yang jelita itu. Namun kalau ingat betapa mesra
perhubungan sinona dengan “pemuda” she Li itu, dia menjadi tawar. Jangan-jangan
hanya seperti orang menepuk dengan sebelah tangan atau tegasnya memikir orang
yang tidak mau balas memikirkan dia. Ingin dia melupakannya, namun tak dapat.
Kuda putih itu luar biasa Cepat-cepat nya. Bukitdua dan pohondua bagaikan
terbang saja lalu disampingnya. Sampai dia kuatir jangan-jangan kuda itu
melanggar orang atau terperosok keda lam lubang. Tapi ternyata binatang itu
adalah seekor kuda sakti. Begitu pesat larinya, tapi begitu aman dia menCari
jalan. Melihat itu legalah hati Keh Lok.
Lari setengah harian, lebih dari
400 li telah ditempuhnya. Karena itu, Kwantong Liok Mo jauh ketinggalan dibela
kang. Malamnya dia menginap disebuah hotel. Kini betul-betul dia merasa lega,
karena tak nanti Kwantong Liok Mo akan dapat menyusulnya.
Besoknya dia tiba di SouwCiu.
Naik kepos tapal batas di Ka-ko-kwan, dia saksikan bagaimana angker dan
megahnya Ban Li Tiang Shia (Tembok Panjang ) me-lingkardua diantara padang
sahara. Ketika melanjutkan perjalanannya lagi, tampak olehnya diluar perbatasan
sana asap dan debu ber terbangan, sehingga Cahaja matahari tampak suram.
Tan Keh Lok tahan lesnya. Dengan
pe-lahandua dia kasih lari kudanya, sambil menikmati pemandangan alam didaerah
Kwan Gwa (luar perbatasan) situ.
Tengah dia tenggelam dalam
lamunannya, tiba-tiba pada seekor onta terdengar seseorang menyanyi: “Siapa
yang melalui Ka-ko-kwan, tentu tak putus-putusnya mengeluarkan air mata.
Disebelah muka karang, disebelah belakang padang pasir.”
Tan Keh Lok tersenyum. Lesnya
dikendorkan, terus men Congklang lagi. Melalui Giok Bun, kemudian An-se dan
gurun pasir makin menguning warnanya. Tahulah dia, bahwa kini dia sudah
mendekati tapal batas dari pegunungan karang. Makin dekat, makin kelihatan
bagaimana pegunungan itu punCaknya terbungkus mega yang tebal. Disitu ada
sebuah jalan jakni satuduanya lalu-lintas antara propinsi Kam-siok dengan
daerah Hwe di Sinkiang yang dikenal sebagai selat Sing Sing.
Selat itu ber-likudua. Kedua
tepiannya batu-batu karang men-julang dengan runCingnya, se-olahdua disisir
dengan pisau. Melalui selat itu, Keh Lok menginap disebuah pondok kecil.
Keesokannya, dia mulai menanyak pegunungan, Disitu ter nyata merupakan tanah
datar yang luas. Sunyi lelap keadaan nya, hanya ada dia seorang. Dalam keadaan
begitu, walaupun dia mempunyai kepandaian yang tinggi, tak urung merasa gentar
juga. Dalam kebesaran alam dihadapannya itu, dia rasakan betapa kecil dirinya
itu.
Sampai dikota Hami, dia terpaksa
jalan memutar, karena pe&jagaan disitu terhadap orang-orang yang baru
datang, keras sekali. Dia bermalam dipos benteng kedua, kota Ji-poh.
Resoknya, pagidua sekali dia
sudah bangun. Hendak diCarinya seorang Hwe, agar dia bisa dibawa ketempat
kediaman Ceng Tong. Supaya jangan menimbulkan keCurigaan, dia ganti mengenakan
pakaian orang Hwe.
Anehnya, selama melanjutkan
perjalanannya itu, tak pernah dia berjumpa dengan seorang Hwe pun juga. Kira
nya, dusun mereka kini sudah rata dibakar tentara Ceng dibawah pimpinan
panglima Tiau Hwi itu. Jadi orang-orang Hwe itu tentu lari kedaerah padang
pasir.
Keh Lok agak resah hatinya.
Digurun sahara yang luas bebas itu, tentu sukar untuk menCari tempat kediaman
Ceng Tong. Tiba-tiba dia alihkan arah jalannya. Tidak melalui lautan pasir,
tapi putar menujU kearah selatan. Tiga hari kemudian, ramsumnya habis. Syukur
dia dapat menangkap seekor kambing. Bolehlah, untuk penangsel perut.
Berjalan lagi sekira dua hari,
dia bertemu dengan beberapa penggembala. Tapi ternyata mereka itu dari suku
Kasak. Mereka hanya dapat memberi keterangan, bahwa karena pasukan besar
pemerintah. Ceng datang, rakyat Hwe mengungsi kesebelah barat. Kemana saja
perginya, tak mereka ketahui jelas.
Karena tak berdaya menyumpai
warga kelompok dari Bok To Lun, Keh Lok berganti menuju kebarat. Tiap hari dia
berjalan tujuh ratusan li. Tapi sampai tiga hari, belum juga dia berhasil
menemukan jejak mereka.
Hari itu hawa udara luar biasa
panasnya. Memang iklim didaerah situ panas dingin silih berganti. Kalau tadinya
air perbekalannya sudah akan membeku, kini menjadi Cair pula bahkan berobah
makin panas. Karena tak tahan, Keh Lok hendak menCari tempat beristirahat yang
teduh. Tapi disekeliling tempat situ, sejauh mata memandang, hanya bukit pasir
yang tampak. Dia menuju kebalik bukit dan mengaso. Dari kantong airnya, dia
minum tiga teguk, lalu kuda-nya pun diberinya serupa. Dia harus hemat, kalau
tidak mau mati kehausan.
Setelah mengaso sekian lama,
kembali dia lanjutkan penyelayahannya. Tak lama kiranya, segera mereka orang
dan kuda — sudah tampak kepayahan. Tiba-tiba kuda putih tampak dongakkan
kepalanya dan meringkik dengan keras nya. Habis itu, berputar diri terus
mencongklang kearah selatan.
Tan Keh Lok antepkan kemana saja
kuda luar biasa itu akan membawa dirinya. Benar juga, pada lain saat ditengah
bukitdua gurun itu tampak tumbuhduaan rumput. Makin kemuka, pasir makin
berkurang, sebaliknya, rumput makin lebat. Girang hati Keh Lok tak terkira. Dia
tahu kalau disebelah muka sana tentu terdapat sumber air.
Kuda makin pesat larinya. Sesaat
kemudian, terdengar bunyi air mengalir. Sebuah anak sungat kecil terbentang
dimuka. Airnya jernih sekali. Berhenti ditepinya, kuda itu tak mau terus
julurkan mulutnya keair.
“Bagus, kiranya kau dapat
menghormat tuanmu. Ayo, kita bersama-sama minum,” kata Keh Lok seraya menepuk
kepala kuda itu.
Air itu ternyata sejuk sekali
menyamankan perasaan. Selain sejuk juga harum baunya. Tentu berasal dari sumber
yang bagus. Kuda itu meringkik dan berjingkrak-jingkrak, rasanya diapun merasa
nyaman dan segar. Keh Lok CuCi muka dan kak;nya, begitu pula dia kasih mandi
kuda itu. Tiba-tiba tampak olehnya, ada beberapa kuntum bunga turut mengalir.
Tan Keh Lok girang, tentu dibagian udik sana, ada orangnya. Cepat-cepat dia
naiki kudanya lagi, menyusur kealiran sebelah atas.
Makin keudik, aliran anak sungai
itu makin lebar dan besar. Memang demikianlah keadaan sungai digurun pasir.
Mak'n kehulu makin mengeCil, karena air banyak sekali diisap pasir. Pada kedua
tepiannya, banyak sekali tumbuh pohonduaan. Anak sungai berbiluk melingkari
sebuah dataran tinggi, disitulah asalnya, sebuah air terjun yang berperCikan
terCurah dari atas laksana mutiara bertebaran.
Kagum dan heran akan pemandangan
itu, Keh Lok tuntun kudanya untuk mendaki keatas, akan menyaksikan sebelah atas
dari air terjun itu. Setelah menempuh jalan yang berlikudua, kembali dia kesima
dengan pemandangan yang disaksikannya.
Sebuah telaga yang dikelilingi
dengan pagar pohon siong. Pada ujung sebelah selatannya, kembali terdapat
sebuah air terjun yang muntahkan airnya kebawah dengan indahnya. Sekeliling
tepi telaga itu, penuh ditumbuhi bunga-bungaan bagaikan saling berkaCa kepermukaan
air telaga. Suatu panorama yang sukar dilukiskan keindahannya.
Jauh disebelah sana, adalah
sebuah stepa (padang rum put) yang luas, dimana terdapat beberapa ratus ekor
kambing tengah berkeliaran. Diujung barat, tegak menjulang sebuah gunung yang
punCaknya tertutup awan putih.
Tan Keh Lok kesima dengan
pemandangan yang seperti terdapat dalam lukisan itu. Suara burung berkiCau,
desir air terjun gemerCik dan riak air telaga mengalun, merupakan sebuah
komposisi musik alam yang merdu. Tengah dia terlongong-longong mengawasi
ketengah telaga, tiba-tiba ada sebuah lengan manusia yang putih metetak
tersembul dari dalam air, disusul dengan sebuah kepala yang basah kujup. Tapi
demi melihat Tan Keh Lok, orang itu menjerit kaget terus silam lagi.
Itulah seorang wanita yang luar
biasa Cantiknya. Hati Keh Lok memukul keras. Pikirnya: “Apakah bangsa siluman
atau jin itu memang ada?”
Dia siapkan tiga butir biji
Catur, untuk menghadapi ke-mungkinan yang tak diharap.
Air telaga beriak kearah timur.
Tiba-tiba diatara serumpun bunga, kelihatan tersingkap, sebuah wajah muncul.
Sepasang matanya yang laksana bintang kejora itu, menatap ke-arah Tan Keh Lok.
Masih anak muda itu mengira,
kalau kini dia sedang berhadapan dengan seorang jin. Karena kalau manusia,
mustahil begitu luar biasa Cantiknya.
“Kau siapa? Mau apa kemari?”
tiba-tiba terdengar suara merdu sijelita.
Bahasanya bahasa Ui. Jelas Keh
Lok mendengarnya, tapi dia seperti orang yang tak mengerti bahasa orang, tetap
diam terkesiap.
“Pergilah lekas, aku akan
berpakaian!” kembali si Cantik bersuara.
Merah selebar muka Keh Lok.
Cepat-cepat setelah membalik tubuhnya, dia gunakan ilmu berjalan Cepat-cepat
“pat-poh-kam-sian”, menyelinap kedalam belukar.
“Ah, kiranya dia hanya seorang
gadis Hwe. Ia sedang mandi, aku tak pantas berada disitu”, katanya sendiri
seraya duduk.
Malu akan perbuatannya tadi, dia
hendak segera berlalu. Tapi karena gugup tadi, dia lupa membawa kudanya kesitu.
Dia bersuit keras, untuk memanggilnya. Kuda itu kedengaran bebenger menyawab,
tapi tak mau menghampiri. Heran Keh Lok dibuatnya, karena tak biasa kuda itu
membandel begitu.
Selagi Tan Keh Lok tak tahu apa
yang akan dilakukannya, tiba-tiba kedengaran siCantik menyanyi dengan suaranya
yang merdu:
“Toako yang lalu ditempai ini
tadi, kemarilah, Hendak kusampaikan beberapa patah perkataan padamu, Orang
sedang mandi masa kau lancang melihat, D jawablah, ajo! Pantas tidak perbuatan
itu?”
Nyanyian itu berlagu gembira,
tentunya sipenyanyi itu ber nyanyi dengan tertawa.
Mendengar orang hanya
memper-olokdua, dan karena kudanya masih tak mau datang, terpaksa Keh Lok
menghampiri pelan-pelan ketepi telaga.
Maka tertampaklah seorang gadis
yang mengenakan pakaian serba putih, kelihatan duduk dibawah sebuah pohon. Tangannya
tengah memegang sebuah sisir, menyisir ram butnya yang terurai diatas bahunya
itu. Dari mukanya yang masih tampak ditaburi dengan butir-butir air itu,
menandakan ia baru habis mandi. Nampak wajah yang aju itu, kembali hati Tan Keh
Lok memukul keras, pikirnya: “Masa didunia ada wanita yang sedemikian
Cantiknya?”
Wajar saja “bidadari” itu duduk
ditepi telaga. Pakaian nya menyulur kearah air. Seumur hidup haru pertama kali
itu Keh Lok merasa kikuk betul-betul. Gadis itu tersenyum, me-lambaikan
tangannya agar anak muda itu menghampiri lebih dekat.
“Karena akan menCari air untuk
pelepas dahaga, maka tanpa sengaja kudatang kemari. Sungguh tak kuduga telah
mengganggu kesenangan nona tadi. Harap maafkan!” kata Keh Lok dalam bahasa Ui.
Habis mengucap, dia menjura.
Gadis itu tertawa girang, kembali
menyanyi:
“Toako ini berasal dari mana?
Berapa banyak sekalikah gurun dan
bukit yang kaulalui? Apakah kau pengembala dipadang rumput? Atau pedagang yang
menaik onta.
Orang Hwe memang gemar berpantun
kalau ber-Cakapdua. Walaupun ber-tahundua Tan Keh Lok tinggal didaerah gurun,
tapi karena dia Curahkan perhatiannya untuk meyakinkan ilmu silat, jadi tak
dapat dia belajar Cara mereka ber-Cakapdua dengan bahasa pantun itu. Entah dari
kelompok mana gadis itu, maka tak mau dia kasih tahu siapa sebenarnya dirinya
itu.
“Aku dari sebelah timur,
berdagang onta kedaerah pedalaman sana. Aku sedang menCari seseorang, sukakah
nona menunyukkannya?” sahutnya kemudian.
Melihat orang tak bisa berpantun,
gadis itu tersenyum. Kini dia mulai bertanya dengan Cara biasa: “Siapakah
namamu?”
“Hamid!” Sengaja Keh Lok memakai
nama Islam itu, karena itu lazim dipakai oleh kaum lelaki dari suku Uigor.
“Bagus! Dan namaku Asihan!”
Juga nama yang disebut gadis itu,
banyak sekali digunakan oleh kaum wanita Ui.
“Kau Cari siapa?” tanyanya pula.
“Bok To Lun loenghiong!”
“Kau kenal dia? Ada urusan apa
dengannya?” tanya gadis itu agak terkejut.
“Ya, aku sudah kenal padanya!”
“Benarkah itu?”
“Mengapa tidak? Bahkan akupun
sudah kenal pada pu teranya yang bernama Hwe A-in dan nona Hwe Ceng Tong!”
“Dimana kau pernah berjumpa
dengan mereka?”
“Ketika mereka merampas pulang
kitab SuCi di Kamsiok, kebetulan kita bertemu.”
“Bagus, duduklah. Akan kuambilkan
daharan untukmu,” ujar sigadis.
Dengan kaki telanjang , gadis itu
lari kedalam semakdua pohon. Tak lama ia keluar dengan membawa sebuah semangka
dan semangkuk arak dan susu kuda. Tan Keh Lok menghaturkan terima kasih. Arak
itu enak sekali rasanya. Juga semangka itu segar sekali.
“Bilanglah. sejujurnya, mengapa
kau Cari Bok-loyaCu itu?” tanya gadis itu.
Dari sebutan yang digunakan,
tahulah Keh Lok bahwa gadis itu menghormat sekali pada Bok To Lun. “Apakah nona
sekaum dengan Bok-loenghiong?” Gadis itu mengangguk.
“Karena dalam perebutan kitab
itu, fihak Bok-loenghicng telah binasakan beberapa piauwsu, maka Kawan-kawan
mereka akan menCari balas. Untuk anCaman itulah maka aku Buru-buru akan menemui
Bok-loenghiong agar bisa mengadakan persiapan,” tutur Keh Lok.
Gadis itu menaruh perhatian tampaknya,
Cepat-cepat ia bertanya: “Apakah mereka itu lihai? Banyak sekalikah jumlahnya?”
“Jumlahnya sih tak seberapa, tapi
kabarnya mereka itu lihai sekali. Asal sudah tahu dan bersiap, rasanya tak
perlu was-was!” kata Keh Lok.
“Ah, mari kuantar kesana. Tapi masih
perjalanan beberapa hari lagi baru sampai,” kata gadis itu dengan lega. Sembari
menyisir kunCirnya, kedengaran ia berkata pula: “Kaki tangan bangsa Boan tanpa
sebab telah menyerang bangsa kami. Semua orang lelaki sama berperang, tinggal
aku dan CiCiku menggembala ternak disini. Karena hari amat panas, tadi
kuberbenam ditelaga. Siapa kira, Kalau masih ada kau, seorang lelaki,
bersembunyi sini!”
Mendengar sigadis berbicara
secara bebas wajar, Tan Keh Lok makin termangudua. Sesaat kemudian, gadis itu
meniup terompet tanduk. Beberapa wanita Hwe yang menunggang kuda, lari
mendatangi. Gadis itu ber-kata-kata sebentar pada mereka. Wanitadua itu
mengawasi kepada Keh Lok dengan herannya.
Gadis itu menuju keperkemahannya.
Dari situ ia mengambil bekal ransum kering dan menuntun keluar seekor kuda.
Kuda itu seluruhnya berbulu merah. Seekor kuda yang tegap dan pasti hebat
larinya.
Keh Lok pun lalu menghampiri
kudanya. Kiranya kuda itu ditambat pada sebatang puhun, makanya tadi tak mau
dipanggil datang.
“Kudamu itu bagus amat, ajo, kita
berangkat!” Sambil berkata, gadis itu loncat kepunggung kudanya. Ia berlaku
sebagai penunyuk jalan. Menyusur tepi sungai es, langsung menuju kearah
selatan.
“Didaerah Tiongkok, apakah orang
Han perlakukan kau baik-baik ?” tanya sigadis.
“Ada yang baik, ada yang jahat.
Cuma umumnya banyak sekali yang baik”, sahut Keh Lok.
Hendak Keh Lok mengatakan bahwa
dirinya itu sebetulnya orang Han. Tapi melihat sikap gadis yang tak menaruh Cu
riga apa-apa, tak dapat dia membuka mulut. Dengan girang Keh Lok menyawab
pertanyaan gadis perihal penghidupan orang Han. Ia tertarik mendengarnya. .
Menjelang petang hari, keduanya
sampai dilereng sebuah gunung besar. Mendongak keatas, sekonyongdua gadis itu
ber tcreak keras. Ketika Tan Keh Lok juga memandang keatas, ternyata pada
sebuah karang dilamping gunung itu kelihatan dua tangkai bunga sebesar mangkuk.
Bunga itu aneh bentuk nya. Kelopaknya berwarna biru ke-hijauduaan, penuh
bertabur kan salju putih yang karena ditimpah sinar matahari terbenam, Cantik
sekali kelihatannya!
“Inilah bunga Swat-tiong-lian
(terate salju) yang jarang terdapat. Coba bauilah harumnya yang sangat semerbak
itu!” kata sigadis.
Jarak karang dengan tanah
kira-kira ada duapuluhan tombak, namun harum bunga itu terasa menusuk hidung.
Gadis itu menyublek mengawasi saja, rupanya ia berat untuk me-ninggalkan.
“Inginkah kau akan bunga itu?”
tanya Keh Lok.
Gadis itu mengelah napas,
katanya: “Ah, kita jalan lagi saja. PerCumalah mengharapkan barang yang tak
mungkin diCapai.”
Tiba-tiba Keh Lok loncat turun
dari tunggangannya, terus melompat keatas batu karang.
“He, apa-apaan kau ini!” seru
sigadis dengan terkejut.
Keh Lok tumpahkan perhatiannya
Cari jalan menanyak keatas. Tak dia dengarkan seruan sigadis. Thian-ti-koayhiap
termasjhur sekali akan ilmunya mengen.engi tubuh. Sedang Sim Hi saja yang hanya
belajar sedikit “kulit” dari ilmu tersebut, telah berhasil mengoCok kawanan
si-wi pertempuran ditelaga Se-Ouw tempo hari.
Tan Keh Lok adalah satuduanya
ahliwaris Thian-ti-koayhiap.
Sudah tentu berpuluh kali lebih
lihai dari Sim Hi. Dengan gunakan ilmu “pik-houw-kang” (CeCak merajap), sekejab
saja dia sudah merajap belasan tombak, Tapi disebelah atas, bukit karang
tertutup salju. Beberapa kali sudah hampir dia terpeleset. Kira-kira jarak satu
tombak dari tempat bunga swat-lian itu, ada sebuah gundukan karang menonyol.
Risiko gagal dan jatuh tergelinCir, besar sekali.
Tiba-tiba dia mendapat akal.
Dikeluarkannya “Cu-soh,” ban dringan mutiaranya, dilontarkan untuk menggaet
tonyolan itu. Dengan tangan menarik tali bandringan, dia enjot tubuhnya keatas,
tepat disebelah bunga itu.
Bunga itu ternyata menyiarkan bau
yang luar biasa harum nya. Dengan hati-hati sekali dipetiknya sepasang
swat-lian itu. Sewaktu turun, dia menggelinCir saja, ada kalanya kalau terlalu Cepat-cepat
, dia tusukkan pedangnya kesalju untuk menahan. Kira-kira sudah hampir tujuh
tombak dari tanah, ia melambung bagaikan burung melayang , tahu-tahu orangnya
sudah berdiri tegak dimuka kuda sigadis.
Serta-merta gadis itu segera
ulurkan sepasang tangannya yang putih halus. Saat itu, Keh Lok sempat memandang
muka sijelita, dan tahu pula bahwa gadis itu menguCurkan air mata. Heran anak
muda itu melihatnya, namun dia tak mau bertanya dan terus naik kudanya.
Mereka berjalan lagi. Diam-diam
Keh Lok merasa heran mengapa, tanpa sadar, dia lakukan permintaan gadis itu.
Berpaling kearah batu karang tadi, dia menjadi bergidik sendiri.
Menjelang petang, mereka mengaso
dibawah sebuah batu besar di tepi sungai es. Sigadis nyalakan api, membakar
daging kambing kering. Selama makan, keduanya tetap tak ber-kata-kata. Sambil
mengawasi sianak muda, gadis itu mejinyingkir jauh kesana untuk menjalankan
kewajibannya sembahyang . Selang beberapa saat, ia berbangkit dan menghampiri
sianak muda: “Kau tidak takut tergelinCir tadi?”
“Yang kutakutkan bukan
tergelinCir, tapi kalau sampai tidak bisa dapatkan bunga yang kau inginkan
itu,” sahut Keh Lok.
Gadis itu tersenyum, Diambilnya
setangkai swat-lian, laju diberikan kepada Keh Lok, siapa terpaksa tak dapat
meno laknya. Kata-kata yang halus dari sijelita, menggenggam suatu perintah
yang tak dapat dibantah.
“Kalau sekalian saudara-saudara
Hong Hwa Hwe tahu bagaimana aku, seorang Congthocu, menurut saja perintah
seorang anak perempuan, entah bagaimana pandangan mereka,” pikir ketua Hong Hwa
Hwe itu.
Gadis itu menanyakan adakah
sianak muda mengerti ilmu silat. Dengan merendah dijawabnya tidak bisa dan
hanya karena andalkan keberaniannya saja.
“Dipadang rumput sini banyak
sekali tumbuh beraneka bunga. Aku lebih suka tidak makan daging kambing asal
makan kembang,” sinona berkata.
“Apa, makan bunga?” Keh Lok
heran.
“Ya, sejak kecil aku biasa
memakannya. Bermula ayah dan kakak melarang, tapi kutetap memakannya sewaktu
menggembala, akhirnya beliau membiarkan!”
Hendak Keh Lok mengatakan: “Ah,
makanya kau seCantik bunga.” Tapi mulutnya serasa terkanCing. Duduk didamping
sinona, ia merasakan bebauan yang harum. Terang tadi nona itu habis mandi dan
tak pakai minyak wangi apa-apa. Sekalipun minyak wangi, rasanya tak ada yang
begitu harumnya.
Keh Lok terbenam dalarri lamunan
yang indah. Tiba-tiba dia tersedar akan batasdua perhubungan wanita dan pria,
dia me nyingkir agak kesana.
“Mungkin karena suka makan bunga,
tubuhku mengeluarkan bau harum. Tidakkah kau menyukainya?”
Ditanya begitu, merah padam
selebar muka Keh Lok. Seketika tak dapat dia menyawabnya. Pikirnya, nona itu
begitu wajar ke-kanak-kanakan, baik dan tak sungkandua. Maka diapun merobahkan
sikapnya, tidak lagi likatdua, tapi ramah sekali.
Sejak tinggalkan rumah, Keh Lok
hanya kenal dengan nama berbagai senjata. Permainannya, hanya permainan ilmu
silat. Mendengar mulut sinona itu menCeritakan tentang segala sesuatu permainan
kanak-kanak, terkenanglah pula dia akari masa kanak-kanaknya. Suatu masa dari
dunia yang penuh dengan tawa-gembira.
Malam hari, hawa terasa dingin.
Keh Lok kumpulkan rumput dan kulit kayu kering. Dibuatnya api yang besar.
Dengan berselimutkan permadani kedua anak muda itu tidur.
Keesokan harinya, mereka
lanjutkan perjalanannya. Empat hari menempuh kearah barat, tibalah ia ketepi
sungai Tarim. Sorenya dari sebelah selatan gunung, muncul dua serdadu berkuda
suku Ui. Nona itu berbicara dengan mereka, siapa setelah memberi hormat terus
berlalu.
“Tentara Ceng sudah menduduki
Aksu dan sekitarnya, Bok To Lun loenghiong sudah undurkan diri ke Yarkand.
Kira-kira seperjalanan sepuluh hari lagi dari sini,” nona Ui itu memberi
keterangan seraya menghampiri.
Keh Lok gelisah atas kemenangan
pasukan Ceng itu.
“Tentara Ceng berjumlah besar, terpaksa
tentara kita mesti mundur kebarat. Agar pengiriman ransum musuh itu kurang
lancar.”
Sebenarnya masih saja ketua Hong
Hwa Hwe itu kuatirkan nasib nona Ceng Tong. Tapi kini dengan mundurnya seluruh
pasukan Hwe kedaerah barat itu, dia lega. Untuk sementara waktu, pasti pasukan
Ceng tak dapat mengejarnya. Begitu firman Kian Liong datang pertempuran tentu
segera selesai.
Hwe Ceng Tong berada dijarak
ribuan li dari daerah Tiongkok, dilindungi oleh seluruh tentaranya. Rasanya
sukar rombongan It Lui itu akan dapat menCarinya. Diam-diam hati Keh Lok
terhibur, maka mereka melanjutkan perjalanan dengan Cepat-cepat .
Suatu senya ketika matahari akan
terbenam tiba-tiba terdengar bunyi berkeresek dari suatu semak belukar.
Menyusul, seekor anak rusa lompat keluar. Gadis Ui itu berjingkrak karena
terkejut, kemudian tertawa riang, serunya: “Hola, seekor anak rusa!”
Anak rusa itu rupanya baru
beberapa waktu dilahirkan. Kecil dan mungil sekali. Sambil berbunyi, binatang
itu lompat masuk kedalam belukar lagi. Gadis itu menguntitnya, tapi
sekonyong-konyong ia lari kembali, katanya: “Ada orang!”
Ketika Tan Keh Lok membuktikan
sendiri, benar juga disana ada 5 orang serdadu Ceng. Mereka sedang ramaidua
memotongi daging rusa. Anak rusa tadi berputaran diseke liling induknya itu,
sambil tak putus-putusnya mengembik-embik memilukan.
”Setan, rupanya kaupun minta
dimakan!” salah seorang serdadu itu memaki. Sambil mengeluarkan busur dan anak
panah, dia membidik kearah sianak rusa.
Anak rusa itu seperti tak
mengetahui akan bahaya yang menganCamnya. Makin lama malah makin mendekati.
Gadis Ui menjerit dan loncat menghadang dimuka anak rusa itu.
“Yangan, jangan dipanah!”
demikian teriaknya.
Bukan terhingga kagetnya serdadu
itu. Dia membuka ma tanya lebardua, mengawasi insan yang dihadapinya itu.
Seorang gadis yang luar biasa Cantiknya. Wajahnya yang gilang gemilang itu,
menyebabkan mata siserdadu silau, hingga sampai mundur selangkah. Keempat
kawannya tadi pun serentak berdiri.
Berbareng itu, Keh Lok-pun sudah
siap disisi sinona, siapa segera membawa anak rusa itu dan di-usapdua
kepalanya.
“Indukmu sudah dibinasakan
manusia kejam! Ah, sungguh kasihan!” katanya sambil menCiumi anak rusa itu
dengan mesranya. Setelah itu, ia delikkan mata kepada serdadudua Ceng, lalu
keluar dari semakdua tersebut.
Tampak kelima serdadu itu saling
berunding. Tiba-tiba mereka berteriak keras, dan dengan menghunus golok, mereka
mengejar. Nona itupun mulai Cepat-cepat kan langkah nya. Pikirnya, sekali dapat
berada diatas pelana kudanya, tak nanti serdadudua itu mampu mengejarnya.
Tapi ternyata kelima serdadu itu
adalah serdadu pilihan yang menjadi pengawal Ciangkun. Tiau Hwi. Salah seorang
pat-Hong memberi abadua. Kelima serdadu itu berpen Caran untuk mengejar.
“Yangan kuatir, biar kubasmi
mereka, untuk pemuas hatimu,” kata Keh Lok sambil pegangi tangan si nona.
Benar tadi ia telah saksikan
kepandaian sianak muda yang luar biasa. Tapi untuk berhadapan dengan 5 orang
serdadu, gadis itu masih sangsi kalau pemuda itu bisa menang. Namun dengan
masih membawa anak rusa, nona itu mau juga berada disisi Tan Keh Lok.
“Lekas berikan binatang itu!”
bentak seorang serdadu dalam bahasa Ui yang kaku dan lucu.
Sinona memandang Keh Lok, siapa
memberi senyuman, dan iapun balas bersenyum.
“Rampaslah lekas-lekas!” seru
pat-Hong tadi dengan marah.
Keempat serdadu itu lempar
senjatanya, terus menyerbu kemuka. Biasanya kawanan serdadu itu paling gemar
meng-ganggu wanita. Tapi anehnya, menghadapi sinona, mereka seperti kena
pengaruh tenaga gaib. Tak berani mengarah sigadis, mereka serbu sipemuda.
Sigadis menjerit. Tapi belum
sirap jeritannya, tiba-tiba disusul dengan suara gedebukan yang keras. Empat
serdadu itu terpental jauh-jauh dan jatuh terhampar tak bisa bangun. Kiranya
mereka kena ditutuk Keh Lok.
Melihat gelagat jelek, si
pat-Hong lari tunggang langgang.
“He, mari kembali dulu!” seru Keh
Lok.
Cepat-cepat Cu-soh (rantai
mutiara) melayang , dan leher si pat-Hong terkait, terus terhujungdua kembali,
karena ditarik Tan Keh Lok. Gadis itu tertawa geli sambil bertepuk tangan. Keh
Lok tarik tangan sinona, diajak duduk disebuah batu besar.
“He, mengapa kamu kemari?” tanya
Keh Lok kemudian pada tawanannya itu.
Karena lehernya terjerat,
terpaksa si pat-Hong ikut merajap keatas batu. Melihat keempat anak buahnya
masih tak berkutik, dia insaf kalau kini sedang berhadapan dengan seorang yang
lihai.
Maka Cepat-cepat jawabnya: “Kita
adalah anak buah Tiau Hwi Ciangkun yang bertugas mengurus ransum. Karena atasan
suruh kami kemari, kitapun menurut saja”.
“Yawab terus terang! Hendak
kemana kamu sebenarnya! Ingat, kalau kau bohong, kamu berlima akan kubiarkan
mati kehausan digurun sini!”
Mendengar itu, si pat-Hong
bergemetar, sahutnya tersipudua: “Sungguh aku tak membohong. Pembesar utus kami
berlima keselat Sing Sing untuk menyambut kedatangan seseorang”.
Karena pat-Hong agak sukar
menggunakan bahasa Ui, Keh Lok ganti pakai bahasa Han untuk menanyakan siapa
orang itu.
“Seorang Thongleng dari barisan
Gi-lim-kun!” sahut si pat-Hong dengan bahasa Han pula.
“Siapa namanya? Mari berikan
suratnya itu padaku!”
Pat-Hong kelihatan gelisah dan
bersangsi.
“Kalau keberatan, biarlah. Kita
akan lanjutkan perja lanan lagi”, kata Keh Lok sambil berbangkit.
Wajah pat-Hong itu berobah puCat
kuatir ditinggal pergi. Buru-buru dikeluarkannya sepuCuk sampul. Demi mem baCa
alamat diatas sampul itu, terperanyatlah Keh Lok. Tulisan itu ternyata berbunyi
demikian: “Dihaturkan kepada yang mulia Thio Ciauw Cong Thongleng-tay-jin.”
“Toh sejak pertempuran dibukit
Pak Kao Nia, dia diajak pulang oleh Suhengnya, Ma Cin, kegunung. Mengapa kini
dia datang kembali kedaerah Hwe sini?” pikir Keh Lok.
Sampul terus dirobeknya. Melihat
itu si pat-Hong Buru-buru akan mencegahnya, tapi tak dihiraukan. Surat itu
menyata kan kegembiraan Tiau Hwi atas kedatangan Thio Ciauw Cong kedaerah Hwe
karena mendapat firman kaisar. Karena urusan ketentaraan tak dapat ditinggal,
terpaksa tak dapat menyambutnya sendiri dan hanya mengutus orang bawahan nya
saja.
“Mungkin firman yang dibawa Ciauw
Cong itu, perintah untuk tarik mundur pasukan Ceng. Baik, tak kuhalanginya,”
pikir Keh Lok. Surat diberikannya kembali, keempat serdadu itu ditiam lagi
supaya sadar, dan diapun ajak sinona lanjutkan perjalanannya, lagi.
“Kau gagah sekali. Tentunya
namamu kesohor, mengapa tak pernah kudengarnya?” tanya gadis itu.
Keh Lok tersenyum, katanya: “Anak
rusa itu tentu lapar, berilah makan.”
“Ya, ja, benar!” kata sinona.
Segera dari botol dituangnya susu
kuda kedalam telapak tangannya, lalu disuruhnia sianak rusa mendiilatnya.
Tangan sinona itu putih kemerah-merahan, bening laksana warna mutiara.
Begitulah enam hari sudah
keduanya membuat perjalanan. Pada hari ketujuh kira-kira baru berjalan sejam
lamanya, tiba-tiba dari kejauhan tampak gulungan asap membubung tebal.
”Ah, mungkin ada taufan!” kata
Keh Lok. “Itu bukan mendung, tapi debu dari bawah,” kata sigadis. “Mengapa
sebanyak sekali itu?” “Entahlah, mari kita lihat!”
Kedua kuda dilarikan kencang .
Benarkah kiranya, itulah debu tebal yang membubung keatas. Dan berbareng itu,
kedengaran juga genderang dipukul riuh sekali. Keh Lok ter kejut. Kuda ditahan
Cepat-cepat .
“Pasukan tentara! Itu genderang
perang dibunyikan!” seru Keh Lok. “Baik kita menghindari, kedua fihak sedang
siapkan pasukannya.”
Kuda dilarikan kearah timur. Tapi
tak berapa lama, dilihat nya dari sebelah muka ada sepasukan berkuda mendatangi.
GemerinCing thiat-ka (baju besi) jelas terdengar. Sebuah bendera besar tampak
diantara kepulan debu. Bendera itu bertuliskan sebuah huruf “Tiau.”
Ketika dipenyeberangan sungai
Hoangho, pernah Keh Lok terancam bahaya dengan 'thiat-ka-kun' (pasukan baju
besi) itu. Betapa lihainya, tak perlu dijelaskan lagi. Buru-buru dia memberi
isyarat, agar sinona memutar haluan keselatan lagi. Syukur kedua ekor kuda itu
bukan kuda sembarangan. Se kejab saja mereka sudah jauh dari 'thiat-ka-kun'
itu.
“Tentara Ceng ganas sekali. Entah
tentara kita dapat melawannya tidak,” kata sinona.
Belum sempat Keh Lok menyawab,
tiba-tiba dari sebelah muka kedengaran suara terompet. Menyusul, tampak
kelompokdua serdadu berjalan. Genderangpun makin gencar, se-olahdua
menggetarkan bumi. Derap berpuluh ribu kaki kuda, memenuhi suasana padang dan
gunung.
Lekas Keh Lok tarik sinona, terus
dipindahkan keatas kudanya. Dengan menghunus pedang untuk melindungi si juwita,
berbisiklah anak muda itu: “Yangan takut!”
Dekat dengan sinona Keh Lok
rasakan dirinya me-layang-layangdibuai bau yang semerbak. Sekalipun saat itu
berada ditengah kepungan musuh, hatinya tak merasa gentar sedikitpun jua.
Dari' empat penyuru, yang tiga
penuh dengan serdadu musuh. Hanya tinggal penyuru barat yang kosong. Kesanalah
kedua orang muda itu keprak kudanya. Belum lagi jauh mereka berjalan, kembali
disebelah depan ada gerakan rombongan serdadu yang tengah menyusun barisan.
Jadi kini, empat penyuru tertutuplah.
Diam-diam ketua Hong Hwa Hwe itu
mengeluh dalam hati. Dilarikan kudanya menanyak sebuah tanyakan, untuk menCari
lubang kalaudua bisa meloloskan diri. Tapi dia segera menjadi ter longongdua.
Empat penyuru terkepung rapat dengan pasukan Ceng yang ber-lapisdua jumlahnya.
Pada kedua sayap barisan, adalah pasukan berkuda.
Jauh dimuka pasukan Ceng itu,
tampak barisan suku Uigor dengan pakaian seragam yang ber-garisdua itu. Mereka
pun merupakan formasi baru sedang mengatur pasukan dan belum mulai bertempur.
Keh Lok berada didaerah kedudukan
pasukan Ceng. Pe-mimpin pasukan Ceng, tampak hilir mudik memberi perintah,
seluruh anak pasukan itu hening mendengari.
Rupanya beradanya Tan Keh Lok
disitu, telah diketahui. Enam serdadu menerima perintah untuk menanyainya.
“Ah, sial benar. Mengapa berada
didalam barisan Ceng. Mungkin jiwaku melayang disini,” diam-diam Keh Lok
mengeluh.
Namun dia tak mau tunggu nasib.
Dengan tangan kanan memutar Cu-soh (bandringan mutiara), dia peCut kudanya
keras-kerasdan membentak: “Lari!”
Bagaikan anak panah, kuda putih
itu melesat lewat disisi keenam serdadu yang akan datang memeriksa, tapi belum
sempat membuka mulutnya itu.
Girang bukan kepalang hati Keh
Lok, sayang hanya sebentar. Karena saat itu, kudanya berhenti. Kiranya
disebelah muka, barisan Thiat-ka-kun berbaris dengan rapat sekali. Tak mungkin
diterobos.
Dengan tabahkan hatinya, Tan Keh
Lok putar kudanya, jalan memutar disamping barisan Thiat-ka-kun itu. Ter nyata
disitu, semua busur sudah siap terisi anak panah, tombakdua sudah sama
diaCungKan keatas. Banyak sekalinya laksana pagar rapat yang tak terhitung
jumlahnya.
Tan Keh Lok insyap, sekali mulut
sipemimpin barisan memberi perintah, dia dan si nona akan berubah menjadi
landak oleh anak panah. Ja, betapa tinggi kepandaiannya, tak nanti dapat keluar
dengan selamat.
Dihentikan lari kudanya lalu
dijalankannya pe-lahandua. Matanya diarahkan kemuka, tak mau memandany barisan
tentara Ceng. Dengan tenang dan tetap, dia berjalan ke muka. Betul-betul dia
pertaruhkan jiwanya diujung rambut!
Saat itu matahari tengah
Menjelang keluar. Kedua orang muda itu menghadap matahari, berjalan kearah
timur. Je las bagaimana seluruh tubuh sigadis Ui itu, tertimpah sinar matahari.
Berpuluh-puluhdua pasang mata dari serdadu dan opsir tentara Ceng memandangnya
terpesona. Hati mereka ber guncang keras menyaksikan pemandangan yang luar
biasa itu. Mereka merasa seperti melihat seorang bidadari turun mandi diliari
pagi.
Kalau tadinya hawa membunuh
memenuhi suasana barisan itu, kini mereka seperti kena sihir, termangu-mangu
dan terpesona. Malah lebih gila lagi, segera terdengar gemerinCing suara tombak
dan anak panah dilempar ketanah, susul me nyusul satu demi satu. Perwiradua pun
lupa mencegahnya. Mereka hanya terus memandang kedua anak muda tersebut., yang
makin lama makin jauh.
Saat itu jenderal Tiau Hwi keluar
melakukan inspeksi. Demi dilihatnya pemandangan aneh dari anak pasukannya itu,
dia kaget sekali. Cepat-cepat dia akan keluarkan perintah menyerbu, tapi
tiba-tiba dari arah barisan musuh, terdengar genderang penghentian perang
dibunyikan.
Sebetulnya jenderal itu masih
sempat memandang ba jangan tubuh gadis serba putih itu. Dia seor:ng militer,
biasanya kasar. Tapi entah apa sebabnya, hatinya terasa lemas, tak ada hasrat
sedikitpun untuk mengganggu gadis itu. Juga ketika berpaling kebelakang,
dilihatnya para Cong peng, HuCiang (perwiradua tinggi) dan pengawal yang me
nyertainya, sama menyimpan senjatanya masing-masing.
“Tarik barisan pulang
keperkemahan!” Tiau Hwi memberi aba-aba.
Berpuluh-puluhdua ribu serdadu,
pasukan infanteri maupun pasukan berkuda, segera mundur berpuluh li disebelah
belakang. Mereka mendirikan perkemahan ditepi sungai Tarim.
Lolos dari bahaya besar, Tan Keh
Lok mengelah napas panjang . Seluruh tubuhnya basah mandi keringat. Tapi un tuk
keheranannya, nona itu tak berubah apa-apa wajahnya. Seperti tak mengetahui
bagaimana runCingnya suasana tadi. Dengan tersenyumdua, gadis itu loncat turun
dari kuda Keh Lok, terus Cemplak kuda merah tunggangannya sendiri tadi.
“Disebelah depan ada sepasukan
berkuda datang menyam but. Demi melihat sigadis, mereka berseru girang dan
loncat turun memberi hormat. Gadis itu berkata bebeberapa patah, dan serdadu
bangsa Ui itu kelihatan menghampiri Tan Keh Lok, lalu memberi hormat.
“Hengte tentu lelah. Mogadua
Allah memberkahimu,” demikian sambut mereka.
Ketika Tan Keh Lok sedang
membalas hormat, gadis Ui tadi terus larikan kudanya masuk kedalam barisan Ui.
Ru panya ia mempunyai pengaruh besar dikalangan rakyat Uigor itu. Kemana kuda
merah tiba, tentu disitu terdengar sambutan gempar.
Tan Keh Lok dipersilakan mengaso
disebuah kamar dalam kubudua barisan Ui. Ketua Hong Hwa Hwe menerangkan kalau
dia hendak berjumpa dengan kepala mereka, Bok To Lin.
“Kepala sedang melakukan
peperiksaan tentara kita. Se lekasnya beliau pulang, tentu akan kami
beritahukan,” kata seorang pemimpin serdadu berkuda tadi.
Karena sangat Cape, apalagi tadi
telah mengalami gon tjangan hati, sebentar pula pulaslah sudah ketua Hong Hwa
Hwe itu. Berselang beberapa lama kemudian, perwira tadi muncul melapor bahwa
kepala suku mereka, malam nanti baru pulang. Dalam kesempatan itu, Keh Lok
menanyakan siapakah gadis yang berpakaian serba putih, kawan perjalanannya tadi
itu.
Tertawalah perwira itu menyahut:
“Selain dia, siapa lagi yang Cantik luar biasa? Nanti malam, kita akan adakan
perjamuan besar. Hengte, kaupun harus datang. Tentu disitu kau bisa berjumpa
dengan siutiang (kepala suku)”.
Keh Lok kurang puas oleh jawaban
yang tak jelas itu, hatinya masgul. Namun dia sungkan untuk menanyakan lebih
jauh.
Malamnya, tampak kesibukan dalam
kalangan orang-orang Ui itu. Mereka berhias diri dengan pakaian yang indahdua.
Berbareng dengan nampaknya rembulan-sisir, genderang dan tetabuhan ramai
dibunyikan. Perwira itu datang menyemput Tan Keh Lok.
Disebuah tanah lapang, dinyalakan
api unggun besar. Dari empat penyuru, pemuda-muda militer berbondong-bondong
mengerumuni.
Disitu sudah ada orang memanggang
daging sapi dan kambing, menanak nasi dan memetik rebab. Begitu terompet
dibunyikan, serombongan orang keluar dari kubudua besar. Ber jalan dimuka
sendiri, adalah Bok To Lun. Puteranya, Hwe A-in, berdiri disampingnya.
Tan Keh Lok hendak menantikan
sampai upaCara selesai, baru akan menemui kepala suku itu. Maka dibalikkan ba
junya keatas, untuk menutupi separoh mukanya.
Bok To Lun kibaskan tangannya,
dan orang-orang segera berlutut untuk sembahyang kepada Allah. Tan Keh Lok ikut
serta.
“Para pejoang yang sudah
beristeri, harap mengalah se-dikit, menjaga diluar. Biarkan malam ini sdrduamu
yang muda-muda ber-senangdua,” seru Bok To Lun. Terompet kembali berbunyi. Tiga
regu barisan berjalan keluar, lengkap dengan senjata dan kudanya. Hwe A-in
loncat keatas kuda dan berseru
kepada para pemudanya:
“Dengan berkah Allah, semoga
malam ini sdrdua puas ber-senangdua!”
“Mogadua Allah melindungi juga
kalian yang bertugas menjaga,” seru sekalian pejoangdua muda itu.
Dengan menghunus golok besar,
A-in pimpin ketiga regu itu keluar. Diam-diam Keh Lok memuji kerapian disiplin
ten tara itu. Saat itu, suara tetabuhan berganti lagu, agak moderat. Pintu
kubudua terbuka, regu demi regu penaridua yang terdiri dari muda-mudi, berjalan
keluar. Mereka mengenakan pakaian warna-warni dan memakai kopiah benang emas
yang Cemerlang. Dengan menyanyi sambil menari, mereka menghampiri api unggun.
Tiba-tiba hati Keh Lok tersentak,
ketika terlihat dua orang gadis — yang satu berpakaian warna kuning, dan yang
lain warna putih — berjalan kesisi Bok To Lun. Yang berpakaian putih, adalah
sinona Cantik kawan perjalanannya itu. Sipakaian kuning, kepalan ja berhias
sebatang Hui-ih (bulu burung), adalah Hwe Ceng Tong. Dalam beberapa bulan ini
tak bertemu, kini tampaknya nona itu makin elok. Keduanya duduk dikedua sisi
Bok To Lun.
“Apakah gadis itu adik perempuan
Ceng Tong? Ah, ma kanya kurasa seperti sudah pernah mengenalnya. Kiranya
lukisan pada vaas giok itu, dialah orangnya! Ternyata orang nya, lebih Cantik
dari gambarnya,” tiba-tiba Keh Lok seperti disadarkan.
Memikir begitu, mukanya merah,
hatinya terguncang . Dia mengaku, sejak berjumpa dengan Ceng Tong, hatinya
resah. Bibit asmara mulai tumbuh. Tapi mengingat betapa mesra perhubungan
sinona dengan 'pemuda' Cakap murid Liok Hwi Hing itu, dia menyang ka nona itu
sudah punya pasangan. Dia berusaha keras untuk menindas perasaan as maranya itu.
Pada beberapa hari yang lalu.,
ketika berjumpa dengan seorang “bidadari,” imannya berguncang . Dendam
asmaranya kini berganti dialihkan kepada sinona serba putih itu. Namun sesaat
itu, menampak sepasang wanita Cantik itu, hatinya gojah tak keruan.
Sewaktu tetabuhan berhenti, maka
berdirilah Bok To Lun. Serunya keras: “Dalam Qur'an ajat kedua fasal
1sembilan0, nabi Muhammad bersabda demikian: “Untuk membela agamamu,
berjoanglah melawan musuhduamu.” — Ajat duadua fasal tiga sembilan ber bunyi:
“Fihak yang diserang, direlakan membela. Allah akan memberkahinya.” — “Kita
diserang musuh, Allah tentu membantu kita.”
Gemuruh sorak sorai semua orang
Uigor itu.
“Saudara-saudara sekalian, Ayo
sekarang ber-senangdualah sepu asnya!” seru Bok To Lun pula.
Kembali suasana lapangan itu
bergema dengan nyanyian dan gelak ketawa. Dalam pada itu, hidangan pun mulai
diedarkan. Lezat juga kiranya masakan orang Ui itu. Pera jaan berjalan makin
gembira, gadisdua sama menari dengan pemuda pilihannya.
Diasuh dalam keluarga yang keras
dalam peraturan, belum pernah Tan Keh Lok menghadiri perajaan dan perja-muan
dialam terbuka semacam itu. Tanpa merasa, diapun mengumbar kegembiraannya.
Beberapa Cawan arak susu kuda membasahi kerongkongannya. Mukanya mulai merah,
hatinya lepas sekali.
Tiba-tiba musik berhenti, lalu
berbunyi pula dengan gencar nya. Pasangandua muda-mudi itu segera bubar. Semua
hadirin merasa heran, memandang kearah Bok To Uun dan rom bongannya. Pun Tan
Keh Lok ikut memandangnya.
Tampak sinona baju putih itu,
bangkit dan berjalan turun. Segera terdengar sana sini orang-orang sama
berbisik.
Berkata perwira yang menyemput
Tan Keh Lok tadi: “Puteri kepala suku kita, Hiang Hiang KiongCu, juga pu nya
pilihan. Ha, siapakah gerangan yang beruntung menjadi pasangannya?”
KEHADIRAN puteri kesayangan Bok
To Lun pada perajaan itu, sungguh diluar dugaan. Apalagi iapun ikut serta meng
unyukkan pemuda pilihannya. Saking girang, rakyat Ui di situ sama terharu.
Mereka menantikan dengan penuh perhatian. Juga Hwe Ceng Tong yang tak
mengetahui adik-nya sudah punya pilihan, menjadi kaget dan girang..
Sebenarnya adik Ceng Tong,
sigadis baju putih itu, bernama Asri. Usianya baru 1delapan tahun. Karena
keCantikannya tak ada keduanya diempat penyuru, dan pula tubuhnya me nyiarkan
bau harum, maka rakyat menyebutnya “Hiang Hiang KiongCu” atau Puteri Harum.
Pemuda-muda suku Ui taruh
perindahan besar pada puteri itu. Justeru karena itu, tak ada seorangpun yang
berani me-numpahkan perasaannya. Kalau saat itu, Hiang Hiang turun menari,
itulah suatu peristiwa yang luar biasa.
Lemah gemulai Hiang Hiang KiongCu
memutar beberapa kali, kemudian pelan-pelan mengitari kalangan itu. Mulutnya me
nyanyi pe-lahandua:
“Siapa dia yang memetikkah
swat-tiong-lian untukku, silakan tampil kemari! Siapa yang menolong jiiva anak
rusa-ku, kaulah aku tengah menanti.”
Mendengar itu, telinga Keh Lok
terasa me-ngiangdua. Sesaat semangatnya terasa me-layang dua. Sekonyong-konyong
sebuah tangan yang lunak bagai beludru, menempel dibahunya. Dan sesosok tubuh
membungkuk, menarik tangannya. Seperti boneka tak bernyawa, Tan Keh Lok menurut
saja untuk berdiri.
Gegap gempita para hadirin bersorak-sorai.
Dengan me nyanyi nyaring, sekalian muda-mudi itu segera mengerumuni,
menghaturkan selamat. Walaupun dalam pernikahan, siorang tua yang berhak
memutuskan, tapi orang Uigor agak longgar dalam memilih jodoh sendiri, kalau
dibanding dengan adat istiadat, bangsa Han yang keliwat kolot malah.
Pesta malam itu menurut kebiasaan
suku Uigor adalah pesta bebas. Konon menurut dongeng, adalah tempat dimana
muda-mudi boleh menumpahkan perasaannya. Maka demi dilihatnya Hiang Hiang
KiongCu menggandeng tangan Tan Keh Lok keluar, mereka segera merubungnya.
Masih Bok To Lun dan Hwe Ceng
Tong mengira, pilihan Hiang Hiang itu adalah seorang pemuda Ui kebanyak
sekalian. Maklumlah, mereka belum sempat melihat roman Tan Keh Lok dengan
jelas. Hendak keduanya menghampiri menyam butnya, tapi tiba-tiba terdengar
terompet berbunyi tiga kali. Itulah tanda bahaya. Karenanya, semua orang segera
duduk kembali ditempat masing-masing.
Bok To Lun dan Ceng Tong batal
menyambut, lalu duduk kembali ditempatnya semula. Masih memegang tangan Tan Keh
Lok, Hiang Hiang KiongCu mengajaknya duduk dibe lakang rombongan orang-orang
itu. Karena tubuh sinona agak merapat kedadanya, segera hidung Keh Lok membau
bebauan yang semerbak. Tak tahu dia bagaimana sebenarnya, sedang mengimpi atau
sadar.
Suasana pesta itu berobah. Semua
orang menunggu dengan berdebardua apa yang akan terjadi. Kaum mudanya sama
menghunus goloknya, siap maju perang. Sesaat kemudian, dua penunggang kuda lari
kehadapan Bok To Lun.
“Ciangkun Tiau Hwi dari tentara
Ceng, mengirim utusan untuk menghadap,” demikian lapornya.
“Bawa mereka kemari,” sahut Bok
To Lun.
Setelah berlalu, tak berapa lama,
datang pula kedua pe-nunggang kuda itu. Dibelakangnya mengikut 5 orang asing.
Hampir dekat, mereka turun dari kuda lalu berjalan masuk kedalam lapangan.
Kelima orang asing itu, adalah rombongan utusan fihak Ceng. Siutusan sendiri
bertubuh kekar, gerak annya gesit. Sementara yang empat, adalah pengawalnya.
Perawakan mereka berempat itu
sangat mengejutkan orang. Rata-rata lebih dua meter tingginya, tubuhnya kokoh
berisi. Betul-betul “raksasa” yang jarang terdapat. Entah dari mana Tiau Hwi
mendapatkannya.
Dihadapan Bok To Lun, utusan itu
memberi hormat.
“Adakah kau ini kepala suku?”
tanyanya dengan Cong-kak.
Tanpa sebab menyerang daerah Hwe,
membunuh dan mem-bakar, semua itu menyebabkan kebencian yang meluap suku Ui
terhadap bangsa Boan. Maka dengan keCongkakan si utusan itu, beberapa pemuda Ui
serentak menCabut goloknya.
Tapi utusan itu tak menghiraukan,
katanya pula: “Aku membawa titah dari Tiau-tayCiangkun, untuk menyampai kan
surat permakluman perang. Kalau kau tahu selatan, menyerah, Tiau-tayCiangkun
mau mengampuni jiwamu. Tapi kalau tidak, nanti dalam pertempuran, kalau
orang-orang mu sampai habis binasa, jangan kau sesalkan!”
Utusan itu berbahasa. Uigor, maka
semua orang Ui serentak berjingkrak. Bok To Lun Buru-buru lambaikan tangannya
untuk menenangkan rakyatnya itu.
Setelah suasana reda, baru dia
berkata: “Tanpa suatu alasan, fihakmu menyerang dan merampas harta benda kami.
Allah yang berada di atas, tentu akan menghukum perbuatan yang terkutuk itu.
Berperang, kamipun siap. Kami takkan menyerah sampai titik darah yang
penghabisan”.
“Ya, kalau menghendaki perang,
kltapun sedia. Kita takkan menyerah sampai titik darah yang penghabisan”, orang-orang
Ui sama aCungkan goloknya, mengulang pernyataan kepala suku. Ditimpa Cahaja
rembulan, golokdua itu tampak ber-kilat. Setiap orang bersikap keren sekali.
Tahu mereka, bahwa pasukan Ceng berjumlah besar sekali. Kebanyak sekalian tentu
tak bisa menang. Namun turun temurun orang Ui itu memeluk agama Islam, mereka
Cinta pada kebebasan tak mau diperbudak.
Siutusan jebikan bibirnya,
katanya: “Baik, biar lusa kau orang akan menjadi majat!”
Dan untuk mengunjuk kesungguhan
kata-kata itu, siutusan itu meludah. Hal itu suatu penghinaan besar. Kontan
tiga orang pemuda Ui loncat kemuka, serunya: “Hari ini kita hormati dirimu
sebagai utusan. Pulanglah! Tapi kalau lusa kita berjumpa dimedan perang, tak
hendak kita berlaku sungkandua lagi”.
Utusan itu jebikan bibir. Keempat
pengawal raksasa itu maju, terus mendorong kawanan pemuda itu, kemudian
ber-baris melingkar untuk lindungi pemimpinnya.
“Pui, orang-orang semacam kamu
yang tak berguna. Kali ini biar kamu lihat lihainya orang Boan!” seru si utusan
dengan jumawa. Habis itu dia menepuk tangan, memberi isyarat pada pengawalnya
itu.
Salah seorang 'raksasa' itu
memandang Celingukan. Dili hatnya seekor onta tertambat pada sebuah pohon yang.
Menghampiri puhun itu, dia segera memeluk batang pohon itu.
“Terangkatlah!” serunya
keras-kerasseraya menggoyang duakannya. Pohon yang tua itu, roboh terangkat
keakarnya.
Semua orang sama terkejut.
Sungguh hebat kekuatan 'raksasa' itu. Sekali tarik, tali pengikat onta itu
putus, me nyusul sebelah kaki si raksasa mendupak bebokong si onta Biasanya
onta adalah binatang yang lambat jalannya, tapi kali ini karena kesakitan, dia
mencongklang seperti kuda pesatnya.
Ada kira-kira belasan tombak
jauhnya, seorang raksasa yang lain tiba-tiba maju memburu. Orang itu badannya
besar, tapi gerakannya luar biasa tangkasnya. Sekejab saja, dia sudah dapat
menyusul terus menarik keempat kaki binatang itu, terus diangkat naik. Dengan
memanggul onta yang beratnya beratus kati, raksasa itu lari balik. Diletakkan
onta itu ke pinggir api unggun. Dan dia tegak leher dengan angkuhnya.
“Hm,” raksasa ketiga perdengarkan
suara dari hidung. Begitu melangkah setindak, dia hantam kepala si onta dengan
tinyunya yang besar. Binatang yang besar itu, terhuyung-huyung terus roboh.
Menyusul raksasa yang keempat itu
menangkap kedua kaki si onta, diangkat tinggi-tinggi, ber-putardua beberapa
kali, dengan berseru keras terus dilontarkan sampai tujuh delapan tombak
jauhnya.
Kiranya keempat raksasa itu
adalah bersudara yang bernama Holun Toa Houw, Ho-lun Ji Houw, Ho-lun Sam Houw
dan Holun Si Houw. Asalnya dari Lingko-tha wilayah Liauw-tang. Ayahnya seorang
pemburu. Sejak kecil keempat saudara itu ikut berburu harimau digunung
Tiang-pek-san. Tu buhnya tinggi besar, tenaganya luar biasa. Sayang nya mereka
itu agak tolol. Makannya pun luar biasa juga. Maka dengan berburu saja, tak
Cukup dimakan.
Pada suatu hari Tiau Hwie berburu
digunung Tiang-pek-san. Melihat bagaimana luar biasanya keempat saudara itu,
lalu diterimanya menjadi pengawal peribadi. Kali ini, Tiau Hwi kirim mereka
berempat menyertai utusannya untuk me-mamerkan “gertakan” pada fihak Ui, agar
mereka jeri dan menakluk.
Memang orang-orang Ui itu menjadi
terkesiap demi menyaksi kan “pameran kekuatan” yang belum pernah dilihatnya.
Na-mun mereka tak mau unyuk kelemahan. Beberapa orang kuat dari suku Ui
serentak berdiri dan berseru: “Seekor onta tak berdosa apa-apa, masa kau -
bunuh. Apa kau tak ke-nal peri-kemanusiaan?”
Utusan itu tertawa dingin dan
Cebikan bibir. Orang-orang Ui makin marah. Sana sini sama berisik. Suasana
makin tegang. Rupanya orang-orang Ui itu akan menyerang. Melihat itu siutusan
menjadi kuatir.
“Kamu banyak sekali, akan
menindas yang lemah. Adakah itu pantas?” jengeknya segera.
Lekas-lekas Bok To Lun Cegah
orang-orang nya, katanya: Kau ada-lah seorang utusan, mengapa se-wenangdua
membunuh ternak kami? Sungguh tak kenal adat. Andaikata kau bukan seorang
utusan, hm, tahu sendiri. Nah, pergilah.”
“Kau kira kami bangsa Boan takut
segala macam an Caman? Kalau kau ada surat balasan, berikan saja padaku.
Kupercaya, tak nanti ada seorang dari fihakmu yang berani menghadap
Tiau-Ciangkun,” kata si utusan.
Ucapan itu kembali menerbitkan
kegaduhan orang-orang Ui, saking marahnya. Tiba-tiba nona Ceng Tong bangkit.
“Kau katakan fihak kami tiada
yang berani menemui panglimamu itu. Hm, ngaCo! Setiap orang kami berani. Ja
ngan kata yang lelaki, wanita pun berani!”
Si utusan melengak, tapi pada
lain saat dia tertawa keras, serunya: “Perempuan? Melihat barisan saja, kaum
lemah itu tentu sudah kaku!”
“NgaCo! D jangan keliwat
menghina. Kami segera kirim orang pergi bersama kau. Orang semacam itu, disini
sampai ber-lebih.dua. Kau pilih sendiri yang mana orangnya, agar terbuka matamu
bagaimana sikap seorang murid Nabi Muhammad itu!”
Pernyataan itu mendapat sambutan
hangat dari semua orang. Kawanan muda mudi ber-teriakdua: “Ayo, tunyuklah!
Siapa saja tentu sedia pergi!”
“Baik!” sahut si utusan dengan
gemas.
Hendak diCa'rinya seorang wanita
yang terCantik yang paling lemah tubuhnya. Biar nantinya menangis ketakutan,
sehingga orang-orang Ui itu mendapat 'hidung-panjang '. Matanya jelilatan
mengitari rombongan muda mudi. Tiba-tiba matanya berCahaja, lalu menghampiri
Hiang Hiang KiongCu.
“Inilah dianya yang pergi!”
katanya segera.
Hiang Hiang Kiongiju memandang
tajam kearah si utusan, sembari berbangkit dengan tenang, katanya: “Untuk
kepentingan sdr.dua dari bangsaku, kemanapun aku tak jerih. Allah tentu
menyertai daku.”
Si utusan terkesiap. Gadis yang
tadi kelihatannya lemah dan pemaluan, kini tegak berdiri dengan sikap yang
agung gagah. Tanpa merasa si utusan tundukkan kepala. Diam-diam dia menyesel.
Melihat peristiwa itu, Bok To Lun
dan Ceng Tong terke jut. Mereka kuatirkan keselamatan puterinya itu. Lebihdua
Ceng Tong yang sangat menyayang adiknya, sebab. Hiang Hiang tak mengerti ilmu
silat sama sekali. Jika masuk ke dalam sarang macan, terang akan menghadapi
bahaya.
“Dia adikku, biar aku yang
mewakilinya!” kata Ceng Tong segera.
“Memang kutahu, lidah perempuan
itu tak dapat diperCa ja. Bilang saja 'takut', habis perkara! Perang atau menak
luk, biar kubawa saja surat-balasannya,” ejek si utusan.
“Kau keliwat kurang ajar! Kelak
dalam pertempuran kalau kita berjumpa, jangan kau lari. Buktikan sendiri,
wanita itu kaum yang lemah bukan!” Ceng Tong mendam prat.
“Berhadapan dengan wanita Cantik
seperti kau ini, sudah tentu tanganku berat mengangkat senjata!” demikian
dengan keliCinan lidah si utusan, hanya makin meluapkan ke bencian orang-orang
Ui itu saja.
“CiCi, lepaskan aku pergi, aku
tak gentar,” meminta Hiang Hiang pada enCinya.
Sembari berkata begitu, ia
membungkuk untuk mengangkat bangun tangan Tan Keh Lok. “Dialah yang akan menyer
taiku!” katanya pula dengan bangga.
Demi melihat jelas Tan Keh Lok,
tersiraplah darah di dada Ceng Tong. Sampai beberapa saat, tak dapat “Ia
berkata apa-apa.
Keh Lok bersenyum dan memberi
isyarat supaya nona itu pura-pura jangan mengenalnya. Kemudian dia berputar
menghadapi utusan tadi, katanya: “Kaum kita paling mengutamakan rasa setia
kawan, maka akan kukawani nona ini menghadapi Tiau-Ciangkun-mu! Sebenarnya keempat
penga walmu inipun tak punya guna apa-apa.”
“Hee, onta dapat mengangkut
ribuan kati, sedang orang hanya dapat mengangkat ratusan kati. Namun anehnya,
orang yang pantas naik onta atau onta yang naik orang?” tertawa Hiang Hiang
KiongCu.
Semua orangpun sama riuh
bergelak-tawa geli.
“Mereka menertawai apa?” tanya
Tay Houw pada si utusan.
“Menertawai kalian berempat.
Meskipun bertubuh tinggi besar, bertenaga kuat, tapi tak berguna apa-apa!”
utusan itu menerangkan.
Tay Houw menggeram karena
gusarnya. Teriaknya nya-ringdua: “Siapa yang berani bertanding dengan aku?”
“Dan apa kegunaanmu, he, orang
muda,” kata si utusan pada Tan Keh Lok. “Sepuluh orang macam kau, mungkin masih
tak mampu tandingi kekuatan mereka seorang.”
Keh Lok tahu apa yang harus
dilakukan. Kalau nyali rom-bongan utusan itu tidak dipatahkan, mungkin nanti
diper kemahan jenderal Boan itu, Hiang Hiang KiongCu akan mengalami gangguan.
Maka dia maju kemuka.
“Aku adalah orang Ui yang paling
tak punya guna sendiri.
Tapi masih lebih berguna daripada
bangsa Boan semacam kamu orang ini. Mari, suruhlah keempat 'tonggak bernya wa'
itu maju,” tantangnya segera.
Pada saat itu Bok To Lun pun
sudah mengetahui kehadiran ketua Hong Hwa Hwe itu. Kaget terCampur girang, dia
berseru kepada puterinya yang sulung: “Ceng-ji, lihatlah siapa itu!”
Namun Ceng Tong tak kedengaran
menyahut. Ketika Bok To Lun berpaling, dilihatnya mata puterinya itu mengem
beng air mata, bibirnya gemetar. Teringat orang tua itu akan sesuatu. Tiba-tiba
liatinya berduka: “Kedua gadis itu, adalah puteri yang sangat disayang inya.
Mengapa justeru sama menCintai anak muda itu. Dan bagaimana dia bisa berkenalan
dengan puterinya yang bungsu itu?”
Lama nian kepala suku itu tak
dapat menCari pemeCa-han soal yang memusingkan itu. Dan kini, tampak Keh Lok
mau bertanding dengan keempat raksasa itu, makin gundahlah pikirannya.
Untuk pertama kali, rakyat Uigor
dapat menyaksikan pemuda pilihan puteri kepala suku mereka. Perawakannya nampak
lemah, wajahnya seperti sebuah lukisan. Berdiri disamping si utusan, dia hanya
sampai pundak tingginya. Apalagi dibanding dengan keempat raksasa itu, nyata
benar bedanya seperti anak kecil dengan orang dewasa. Orang Ui kagum akan
keberanian anak muda itu, namun kuatir mereka, kalau dia bukan tandingan
raksasadua itu.
Orang-orang Ui itu timbul
sympathinya. Ada beberapa orang kuat segera tampil kemuka mau mewakili Tan Keh
Lok. Tapi ditolaknya. Kat*nya: “Tak usah saudara-saudara Capedua, biar aku yang
menCobanya dulu!”
Tan Keh Lok keliwat memandang
rendah sekawanan raksasa itu. Ketika si utusan menerangkannya, keempat raksasa
itu terus melangkah maju menerkam dengan bernapsu sekali. Namun Keh Lok
tampaknya tenangdua saja. Malah pada saat itu, si utusan Buru-buru mencegahnya.
“Karena anak muda itu berkeras
maju, maka kalau sampai nanti terluka, jangan sesalkan orang. Dan lagi Caranya
pi-bu (bertanding) harus satu lawan satu, lain orang tak boleh membantu,” kata
si utusan pada Bok To Lun.
Kiranya si utusan itu keliwat
yakin akan menang. Untuk menjaga jangan sampai terjadi pengerojokan apabila
sampai sianak muda tewas, utusan tersebut mengikat janji dulu. Belum lagi Bok
To Lun membuka mulut, Tan Keh Lok sudah mendahuluinya: “Seorang lawan seorang
kurang ramai. Suruhlah keempat 'tonggak berjiwa' itu maju serentak.” “Dan
fihakmu keluar berapa orang?” tanya si utusan pula. “Berapa orang? Sudah tentu
hanya aku seorang saja!” sahut Keh Lok.
Semua orang menjadi gelisah.
Mereka anggap sianak muda itu hanya turuti darah panas saja.
“Hm, orang Ui betul lihai, ja?
Tay Houw, kau maju dulu!” kata utusan itu. Tay Houw maju dengan segera.
“Kau mau secara kasaran atau
bertanding secara habisan?” tanya si utusan.
“Apa maksudmu?” balas tanya Keh
Lok.
“Kalau halusan, jakni: kau pukul
sekali, dia pun balas pukul sekali. Orang tak diperbolehkan menangkis atau
menghindar. Siapa yang roboh, dianggap kalah. Sedang yang dimaksud dengan
secara kasaran jalah berkelahi secara bebas.”
“Ah, kalau hanya memukul seorang,
rasanya tak Cukup. Biar empat orang sekali, kupukulnya,” kata Tan Keh Lok.
“Kalau menilik sikapnya, terang
dia bukan orang gila. Tentu dia punya siasat lain,” diam-diam kata si utusan
dalam hatinya.
“Asal kau dapat menangkan
seorang, mereka berempat tentu akan maju menyerang. Seorang saja rasanya kau
tentu 'kenyang '. Jangan terburu napsu!” katanya kemudian.
Keh Lok tertawa, sahutnya.
“Baiklah, secara bun atau bu (halusan atau kasaran) kuserahkan!”
“Bertanding kuatduaan saja. Bu
bisa merusak perhubungan, baik bun saja.” Dibalik kata-katanya yang sungkan
ini, sebenar nya utusan itu punya maksud tertentu. Ditilik dari perawak annya,
tentu sianak muda gesit sekali gerakannya. Karena itu, dia memilih Cara bun
atau halusan saja.
“Pakai Cara Bun, rasanya dia
takkan lolos,” pikir si utusan.
Juga Tay Houw segera lolos
bajunya bersiap. Tubuhnya yang kokoh kekar itu, penuh dilingkari ototdua yang
kuat. Laksana sebatang pohon besar. Tinyunya sebesar mangkok, seberat palu
besi. Kalau seekor onta yang begitu besar telah tak kuat menerima pukulannya,
bagaimana jadinya dengan seorang anak muda yang bertubuh lemah itu.
Bok To Lun dan Ceng Tong maju
menghampiri lebih dekat. Ceng Tong mencuri lihat wajah adiknya, siapa tam
paknya tenangdua saja memandang Keh Lok dengan sorot mata yang penuh kasih.
Sedikit pun nona itu tak kelihatan kuatir.
Ceng Tong mengelah napas, mengira
kalau sang adik tak mengerti apa artinya bahaya yang bakal menganCam. Tapi
ketika Ceng Tong berpaling kearah Keh Lok, juga sianak muda itu tenangdua saja
nampaknya.
“Mari kita undi, siapa yang
memukul dulu,” kedengaran si utusan berkata.
“Kau adalah tetamu, silakan suruh
dia memukul dulu,” sahut Keh Lok.
Ceng Tong kaget dan Buru-buru
menumpangi: “Yangan sungkandua, baik diundi saja.”
Ceng Tong tahu bahwa dengan
kepandaian Keh Lok yang lihai itu, kalau secara bu-pi, pasti takkan kalah. Tapi
dengan Cara tukar menukar pukulan secara itu, dia kuatir kalau sianak muda tak
sanggup menahannya. Maka mau ia melihat, agar sianak muda itu yang menerima
kesempatan dulu, mungkin bisa menang.
Tan Keh Lok bersenyum terima
kasih kepada Ceng Tong. Namun kakinya tetap melangkah maju seraya membusungkan
dadanya.
“Pukullah!” katanya.
Saat itu si utusan minta supaya
Ceng Tong datang ke padanya. “Kita berdua akan mengawasi siapa-apa saja yang
menggeser kaki atau menangkis, berkelit dan mundur, dialah yang kalah!”
katanya.
Ceng Tong maju menghampiri. Lewat
disisi sianak muda ia bisik-bisik: “Yangan lanjutkan pertandingan ini, kita
Cari lain akal mengalahkan mereka!”
“Yangan kuatir!” sahut Tan Keh
Lok berbisik pula.
Ceng Tong putus asa, terpaksa ia
berdiri disisi si utusan menjadi wasit. Kini Tan Keh Lok sudah berhadapan
dengan Tay Houw. Keduanya begitu dekat sekali, bisa saling memukul tanpa ajukan
langkah. Suasana hening tegang. Seluruh mata diarahkan kepada kedua orang itu.
Berserulah si utusan dengan
keras: “Yago dari fihak Boan akan memukul lebih dulu setelah itu baru jago
fihak Ui balas memukul. Kalau tidak kejadian apa-apa, fihak Boan boleh memukul
lagi dan setelah itu, fihak Ui pun balas memukul lagi.”
Ceng Tong anggap hal itu kurang
adil, ia memperotes:
“Babak pertama fihakmu boleh
memukul dulu. Tapi untuk babak kedua, seharusnya fihak kita yang memukul dulu.
Belum lagi si utusan menyahut,
Keh Lok sudah mendahu luinya: “Mereka adalah tetamu, kita harus mengalah.”
T,Oho, kau betul-betul berhati
jantan!” si utusan bersenyum puas. Kemudian dengan girang dia berseru nyaring
memberi abadua: “Siap, fihak Boan boleh mulai melakukan pukulan pertama!”
Sebagai sambutan, segera
terdengar deru mulut si Tay Houw mengeluarkan napas, berbareng tulangdua
berkereotan. Dia sedang memusatkan seluruh kekuatannya. Tiba-tiba dadanya
disedot kedalam, dan tampaklah ototdua lengan kanannya menjadi sebesar kelapa.
Keempat raksasa itu saudara
sekandung. Diwaktu melahirkan mereka, ibunya sangat menderita sekali. Sehingga
setelah yang keempat, Soe Houw lahir, ibu itu meninggal dunia karena kehabisan
darah. Karena miskin, ayahnya tak mampu Carikan pengasuh. Kebetulan kedengaran
ada seekor harimau mengaum-aum didalam hutan. Kiranya itulah seekor induk
harimau masuk kedalam lubang perangkap.
Dengan bantuan beberapa kawan,
diikatnya induk harimau itu yang juga baru melahirkan tiga ekor anak harimau.
Dia mendapat pikiran. Anak harimau dibunuh, dan induknya dipelihara. Tiap hari
diberinya makan dengan binatang hasil pem buruannya, air susu induk harimau,
diambil untuk diberikan kepada keempat puteranya: itu. Karena dibesarkan dengan
susu harimau, anakdua itu luar biasa kekuatannya. Kalau ke luar berburu, tak
pernah mereka membawa senjata. Kalau ketemu binatang, Cukup dikejarnya terus
dipuntir lehernya, dibantingnya pada batu hingga binasa. Demikianlah keempat
Houw (macan) itu.
Saat itu, kelihatan Tan Keh Lok
tak bergeming. Malah tubuhnya agak diajukan sedikit, katanya dengan tertawa:
“Silakan!”
Ada beberapa pemuda Ui, ketika
melihat bagaimana dah sjat sikap Tay Houw, sudah lantas kuatir kalaudua Tan Keh
Lok akan remuk tulangduanya. Karenanya, mereka segera berbaris dibelakang anak
muda itu, siap menyambut apabila sampai tersungkur kebelakang.
Bok To Lun dan Ceng Tong
bersembahyang pada Allah. Tapi kebalikannya, Hiang Hiang Kiongiju, tampak
tenangdua saja. Ia sudah taruh kepercayaan penuh pada sianak muda. Kalau Keh
Lok tampak tak jeri pasti tak berbahaya, demikian pikirnya.
Maka terdengarlah Tay Houw
menggereng sekali, berbareng pukulannya dihantamkan sekuat-kuatnya kepada
sianak muda. Santer dan dahsyat bukan kepalang.
Semua orang mengeluarkan jeritan
tertahan. Mereka kira, dada Tan Keh Lok melesek kedalam. Tak tahu mereka, kalau
sebetulnya Tan Keh Lok sedang gunakan Iwekang didadanya, untuk menyedot napas.
Karena itu, pukulan tadi jatuh tanpa bersuara, se-olahdua mengenai segumpal
kapas. Karena sebenarnya, tinyu itu belum kena pada sasarannya. Kira-kira masih
kurang setengah dim.
Ingin benar Tay Houw mendesakkan
kepalannya kedada orang, namun bagaimana dia kerahkah tenaganya, tetap tak
mampu. Seakan-akan ada daya penolak yang hebat. Saking he rannya, dia kesima
sampai beberapa saat.
“Cukup?” tanya Keh Lok tertawa.
Muka Tay Houw merah padam.
Buru-buru dia tarik pulang kepalannya. Kesudahan itu, membikin orang-orang tak
habis me-ngerti. Terang tadi pukulan Tay Houw mengenai, tapi mengapa seperti
tak terjadi apa-apa. Hanya Bok To Lun dan Ceng Tong yang mengetahuinya.
Kiranya lwekang Tan Keh Lok sudah
mencapai kesem purnaannya. Seluruh tulangdua tubuhnya dapat digerakkan dalam
keadaan yang bagaimanapun juga. Dia telah dapat menguasai sari pokok pelajaran
Thay Kek Kun. Hal itu membangkitkan rasa kagum Bok To Lun dan puterinya. Juga
si utusan itupun kaget bukan kepalang.
Tan Keh Lok masih ter-senyumdua
kini tiba gilirannya. Tanpa mengambil sikap, dia seenaknya saja menyulurkan jo
tosannya. “Bluk!”
Dia gunakan apa yang dinamakan
ilmu pukulan berat. Benar Tay Houw tak merasa sakit didadanya, tapi dia rasakan
seperti ada tenaga dihsjat mendorongnya kebelakang. Tahu dia, selangkah saja
mundur, dia dianggap kalah. Kuatdua dia berusaha kerahkan tenaganya untuk
menahan posisi kakinya, hingga seperti orang mendesak kemuka.
Tiba-tiba secepat-cepat melepas
pukulannya tadi, secepat-cepat itu pula Tan Keh Lok tarik pulang tangannya.
Dalam keadaan begitu, sudah tentu Tay Houw menyorok kemuka. Hendak dia menarik
badannya, tapi tak kuasa.Ketika Tan Keh Lok miringkan tubuhnya berkelit, maka
terdengarlah suara benda berat jatuh, disusul dengan debu tanah bertebaran.
Tubuh sirak-sasa Tay Houw meluncur jatuh kemuka.
Sesaat orang-orang sama
terlongong-longong. Tapi pada lain saat, segera terdengar tepuk tangan dan
sorak sorai yang gemuruh.
Kalau Tan Keh Lok dapat memukul
si raksasa jatuh Ce lentang, itu Cukup mengherankan orang. Tapi kini, bukan
jatuh Celentang melainkan jatuh tersungkur kemuka. Hal itu tentu saja membuat
gempar suasana penonton.
Si utusan Buru-buru angkat bangun
Tay Houw, muka siapa sudah berlumuran darah dan mengeluh kesakitan. Ternyata
dua buah giginya telah patah.
Melihat saudaranya terluka, Ji
Houw, Sam Houw dan Su Houw menggerung dan serempak menyerbu Tan Keh Lok. Juga
Tay Houw, setelah berkurang sakitnya, turut menye rang lagi. Hal itu membuat
kaget orang-orang Ui. Mereka sama maju membantu. Keadaan menjadi gaduh.
Dalam kekalutan itu, tiba-tiba
ada dua sosok bayangan melesat loncat melalui kepala rombongan orang-orang itu.
Dan saat itu, orang-orang tak melihat dimana adanya Tan Keh Lok dan Ceng Tong.
Juga keempat raksasa itu, dengan lenyapnya sianak muda, tertegun ditempatnya
itu.
“Mundur semua!” tiba-tiba
terdengar seorang wanita memerintah.
Orang-orang Cukup mengenal suara
itu. Mereka taat.
“Telah kukatakan, kalian berempat
boleh maju berbareng. Nah, marilah!” Tan Keh Lok muncul kembali menghampiri
keempat raksasa.
Yang pertama adalah Tay Houw yang
segera menyerang kearah kepala orang. Keh Lok gerakkan tubuhnya, melejit
kebelakang lawan. Dengan gerak “pi-jong-thui-gwat” tutup jendela mendorong
rembulan, dia dorong punggung Tay Houw.
Tay Houw terhuyung-huyung hampir
menubruk Ji Houw. Su Houw gunakan sikutnya, menghantam pelipis Tan Keh Lok,
Siapa telah menyelundup kebawah ketiak penyerangnya dan mengitiknya. Su Houw
kaget kepitkan ketiaknya, me-rontadua tertawa ter-bahakdua.
Tidak kira, sebesar raksasa itu
orangnya, tapi penggeli tak tahan nyeri. Semua orang tertawa melihat
pertunyukan yang lucu itu.
“Hai, kili dia lagi!” seru Hiang
Hiang KiongCu menjadi senang.
Tan Keh Lok menurut. Kembali dia
kitikdua perut si raksasa, siapa karena geli sampai numprah berjongkok.
Sepasang tinyunya menghantam kesana kemari, namun secara mem babi buta saja.
“Awas, belakang!” tiba-tiba Ceng
Tong berseru.
Memang sebelumnya pun Tan Keh Lok
sudah merasa ada samberan pukulan dari belakang. Sekali enjot, tubuhnya
melambung keatas. Sudah tentu pukulan Ji Houw mengenai angin. Berbareng itu, Su
Houw menyerang dengan kalap. Jatuhnya tepat mengenai tinyu Ji Houw tadi.
Tangan keduanya sama bergetar.
Keduanya pun masing-masing loncat kebelakang, menggerung-gerung seperti orang
kebakaran jenggot. Dengan geram, mereka memutar badan, menyerbu lagi dengan
kalap.
Tan Keh Lok gunakan
“pat-kwa-yu-sim-Ciang,” ilmu berkelahi secara loncat sana sini. Bagaikan
kupudua diantara seladua kembang, Tan Keh Lok melejat-lejit dalam hujan pukulan
delapan buah tinyu. Tak sekali dia sampai tersentuh tubuhnya.
Beberapa kali orang-orang Ui itu
menjadi kaget, apabila nampak tinyu si raksasa hampir mengenai sianak muda.
Tapi setiap kali itu, mereka keCele. Gerak sianak muda liCin bagai belut.
Lama-lama orang-orang Ui itu percaya, tak nanti sianak muda kena pukulan.
Malah pada lain saat, terdengar
suara “bret” yang pan jang dan nyaring. Kiranya baju Ji Houw tahu-tahu sudah
robek. Kembali orang-orang sama riuh tertawa.
“Tahan, jangan berkelahi terus!”
tiba-tiba si utusan berseru.
Tapi keempat raksasa itu sudah
seperti kemasukan setan. Tak mungkin mereka mau berhenti. Tay Houw tiba-tiba
bersuit keras, terus melambung. Seperti burung elang yang buas, dia menerjang
sianak muda. Berbareng itu, Ji Houw, Sam Houw dan Su Houw menyergap dari
belakang. Hendak mereka hadang sianak muda andai kata dia mau lolos kebelakang.
Itulah Cara mereka kalau
melakukan pemburuan. Karena tak dapat mengalahkan sianak muda, mereka gunakan
Cara itu. Orang-orang Ui yang menyaksikan menjadi kaget. Lebihdua para
wanitanya, belum-belum sudah sama menjerit.
Memang untuk menghindari
terjangan Tay Houw, sedia nya Tan Keh Lok akan melejit kebelakang. Tapi demi
dari sinar api dilihatnya tiga sosok bayangan sedang mengulur tangan dari
sebelah belakang, dia tak jadi. Begitu tangan Tay Houw tiba, dia Cepat-cepat
mendek kebawah. Kemudian sebat luar biasa, tiba-tiba dia tangkap pinggang si
raksasa terus di gentakkan kebelakang. Dan secepat-cepat si raksasa menyungkel,
secepat-cepat itu pula, tangan Tan Keh Lok menyawut kakinya lalu dilemparkan
keras-keras.
“Bum!” Demikian hebat suaranya,
ketika tubuh yang tinggi besar itu, jatuh ketanah. Celakanya, raksasa kesatu
itu, jatuhnya sang kepala dibawah, kakinya diatas. Dan jatuh nya pun tepat
masuk kedalam sebuah lubang. Kiranya lubang itu, adalah bekas lubang dari pohon
yang yang diCabut se akarduanya oleh Tay Houw tadi.
Karena pohon besar, lubangnya pun
besar lagi dalam, kepala Tay Houw masuk sampai kebatas pinggang. Sepasang
kakinya diatas merontadua. Namun tak dapat dia keluar.
Su Houw, dengan menggerung keras,
menerjang . Tapi Tan Keh Lok kembali melejit seperti main godak. Tiba-tiba dia
berhenti lari, melihat itu, Su Houw Cepat-cepat kirim sebuah ten-dangan kearah
dada. Keh Lok megos kesamping, terus ber-gerak: tangan kanan menyambret Celana,
tangan kiri menerkam punggung. Dengan meminyam tenaga tendangan tadi, dia
ajunkan tubuh Su Houw keatas.
Seperti melayang diudara, Su Houw
berontak-rontak diatas, mulutnya men-jeritdua, takutnya setengah mati. “Bum!”
Aneh, dia merasa jatuh diatas benda yang lunak. Ketika dengan Cepat-cepat dia
bangun, ternyata tadi dia jatuh terduduk diatas bangkai onta tadi.
Memang Tan Keh Lok ingin orang
merasakan apa yang diperbuatnya tadi. Yang melempar onta, adalah Su Houw, dan
kini dialah yang dilempar seperti onta itu. Sebenarnya, ke-kuatan Keh Lok tak
melebihi si raksasa. Tapi mengapa dia dapat melempar si raksasa itu, ialah
karena dia gunakan ilmu “dua tail mengangkat ribuan kati.” Atau meminyam tenaga
orang yang menyerangnya itu sendiri.
Sesaat Su Houw dilempar, Ji Houw
dan Sam Houw me-nubruk maju berbareng. Ji Houw gunakan kepalanya untuk
menyeruduk. Sekali kena, pasti roboh. Demikian pikirnya. Sementara, Sam Houw
angkat kedua tangannya. Maksudnya akan menabok kepala lawan.
Tan Keh Lok tinggal tenang.
Begitu kedua serangan datang, tiba-tiba dia enjot tubuhnya, melayang miring.
Karena baru pada jarak yang sangat dekat dia menghindar, karuan saja kedua
raksasa itu tak keburu tarik pulang tangannya masing-masing. Akibatnya, kepala
Ji Houw menyeruduk perut Sam Houw, sedang sepasang tangan Sam Houw menghantam
punggung Ji Houw. Dua-duanya roboh.
Selagi mata keduanya masih
berkunang-kunang, Tan Keh Lok loncat menghampiri. Rambut kedua raksasa itu
diikat satu sama lain, kemudian dia balik kesamping Hiang Hiang Kongcu. Saking
gelinya, sijelita sampai merasa kaku perutnya. Juga orang-orang Ui sama
ber-gelakdua.
Su Houw yang hanya dilempar
keatas punggung onta, Cepat-cepat bangun untuk menolong Tay Houw dari dalam
lubang. Lucu adalah Ji Houw dan Sam Houw. Tak tahu kalau rambutnya diikat,
keduanya merontadua dan bergulung-gulung ditanah.
Buru-buru si utusan maju
menolongnya. Tapi karena merontadua, rambut itu menjadi kencang ikatannya.
Sampai sekian lama baru si utusan dapat membukanya. Keempat raksasa itu
mengawasi orang muda lawannya itu, dengan melongo. Tidak mereka mendongkol
lagi, tapi merasa kagum. Kiranya mereka berempat itu berhati polos dan jujur.
Toa Houw pertama-tama yang maju,
seraya unyukkan jempol. “Kau sungguh hebat, aku Toa Houw kagum padamu!”
Habis mengucap, dia berlutut
memberi hormat. Ketiga adiknya pun mengikuti perbuatannya. Buru-buru Tan Keh
Lok berlutut membalas hormat. Dia puas akan sikap yang polos dari keempat
raksasa itu. Setelah bangun, Tan Keh Lok haturkan maaf. Girang hati ke-empat
orang itu. Sekonyong-konyong, Su Houw lari memanggul bangkai onta.
Sementara Sam Houw menuntun 4
ekor kuda mereka kemuka Bok To Lun, katanya: “Ontamu telah kumatikan, maaf.
Empat kuda kami ini untuk penggantinya!”
Tapi Bok To Lun menolak
penggantian itu.
“Ayo, kita pulang!” seru siutusan
seperti semut diatas kuali panas. Dia Cemplak kudanya. Namun masih penasaran
dan bertanya pula pada Hiang Hiang KiongCu: “Apa kau berani pergi
sungguh-sungguh?!”
“Baik, sekarang juga aku akan
kemarkasmu”, sahut Hiang Hiang terus minta ayahnya terimakan surat balasannya.
Bok To Lun berajal. Menurut
aturan, urusan ketentaraan ada tanggung jawab orang lakidua. Tapi karena utusan
Boan itu sengaja membikin panas hati agar Hiang Hiang mau pergi, maka untuk
menutupi muka bangsanya, Bok To Lun menggape Tan Keh Lok. Dengan digandeng
tangannya, dia ajak sianak muda masuk kedalam perkemahannya. Sementara Ceng
Tong dan Hiang Hiang mengikuti dari belakang.
“Tan-Congthocu, angin manakah
yang meniup kau kema ri?” seru Bok To Lun seraya memeluk ketua Hong Hwa Hwe
itu.
“Ketika akan ke Thian San, aku
mendengar kabar penting, maka Buru-buru akan kusampaikan kemari. Ditengah ja
lan kuberjumpa dengan ji-sioCia,” jawab Keh Lok.
Mendengar sang ayah membahasakan
“Congthocu” pada pemuda itu, Hiang Hiang KiongCu melongo.
“Ah, harap kau maafkan. Ada
sesuatu hal yang belum ku-beritahukan padamu. Aku ini sebenarnya orang Han,”
Buru-buru Keh Lok menerangkan pada puteri Cantik itu.
“Ya, Tan-Cengthocu ini, adalah
tuan penolong dari rakyat kita. Dialah yang bantu merampaskan pulang kitab suCi
kita. Dialah yang menolong jiwa CiCimu. Dan dialah pula yang membakar ransum
Tiau Hwi, sehingga kita dapat menahan serangan tentara Boan. Berbicara tentang
kebaikannya, sungguh tak habis-habisnya,” menambahi Bok To Lun.
Tan Keh Lok merendah untuk
pujiduaan itu.
“Ha, dengan tak mengatakan dirimu
yang sebenarnya itu, kau tak mau tonyolkan budi kebaikanmu itu. Sudah tentu tak
pantas kusesalkan kau,” Hiang Hiang tertawa.
“Utusan fihak Boan itu keliwat
sombong. Beruntung Cong-thocu dapat memberi pelajaran padanya. Oh, ja,
bagaimana pendapatmu, Congthocu, tentang undangannya kepada Asri itu?” tanya
Bok To Lun.
Tan Keh Lok anggap itu urusan
besar dari kaum Ui, tak pantas dia turut Campur. Hanya Cukup kalau dia bantu se
kuatduanya saja.
“Aku baru datang dari tempat
jauh, sangat asing dengan keadaan disini. Kalau Bok-loeng-hiong anggap harus
pergi, aku bersedia mengantarkannya. Kalau tidak, kita bisa Cari lain daya
lagi.”
Hiang Hiang KiongCu yang muda
usia dan nampaknya sangat lemah lembut itu, ternyata bisa juga bersikap keras.
“Ayah, untuk kepentingan rakyat
tiap hari kau dan CiCi memeras otak dan masih pula mengadu jiwa dimedan perang.
Aku sesalkan diriku yang tak berguna ini, tak dapat membantu apa-apa. Kalau
kini aku menjadi utusan, kiranya lebih dari pantas. Kalau tidak pergi, 'kan
nanti kita ditertawai mereka!” kata Hiang Hiang.
“Moaymoay, aku kuatir fihak Boan
akan menyulitkan di rimul” kata Ceng Tong.
..Tapi kau sendiri setiap hari
keluar perang, tidakkah itu berbahaya? Kalau aku satu kali saja menempuh
bahaya, rasanya tak mengapalah. Dia Cukup lihai, hatiku tenang pergi
bersamanya. CiCi, sedikitpun aku tak takut!” ujar Hiang Hiang.
Melihat sang adik begitu mesra
rasa kasihnya kepada Tan Keh Lok, gundahlah hati Ceng Tong.
“Baik, ayah, biarlah dia pergi,”
katanya kemudian.
“Baik, Congthocu. Anakku tolong
titip,” akhirnya Bok To Lun berkata.
Tan Keh Lok merah mukanya.
Sepasang mata yang laksana kaCa beningnya dari Hiang Hiang, bermain kearah Keh
Lok. Sebaliknya, Ceng Tong Buru-buru melengos.
Bok To Lun siapkan surat balasan.
Dalam surat itu hanya tertulis delapan buah kata-kata “menentang kelaliman,
sedia berperang. Allah tentu membantu kita.”
Tah Keh Lok setuju sekali dengan
bunyi balasan itu. Ringkas tegas. Surat itu diserahkan pada Hiang Hiang. Bok To
Lun menCium dahinya dan memberi doa.
“Moaymoay, semoga Allah
menyertaimu. Lekaslah kembali lagi,” kata Ceng Tong.
Keempat orang itu keluar lagi
dari perkemahannya. Bok To Lun perintahkan membuka perjamuan untuk utusan Boan
beserta pengikutnya. Sehabis itu, seorang serdadu membawakan kuda untuk Hiang
Hiang KiongCu dan Tan Keh Lok.
Sesaat kemudian, dengan diiringi
bunyi musik dan tepuk tangan riuh, maka bertolaklah si utusan dengan keempat
pengawalnya. Hiang Hiang dan Tan Keh Lok mengikut dari belakang. Ceng Tong
mengantarkan bayangan ketujuh orang itu dengan pandangan yang sukar dijajaki
artinya.
“Ceng-ji, adikmu sungguh berani,”
kata sang ayah.
Ceng Tong anggukkan kepala.
Tiba-tiba ia tutup mukanya dengan kedua tangan, lalu lari masuk kedalam
perkemahan.
Melihat itu, diam-diam Bok To Lun
menghela napas.
DiCeritakan setelah berjalan
setengah malam, waktu fajar, sampailah Hiang Hiang dan Tan Keh Lok kemarkas
Ceng. Si utusan persilakan kedua anak muda itu beristirahat disebuah kemah karena
dia akan menghadap pada Tiau-Ciangkun.
“SiaoCiang telah menyerahkan
surat TayCiangkun pada kepala suku Ui. Mereka sangat biadab tidak mau menakluk.
Malah kini mengirim orang untuk menyampaikan balasan,” kata si utusan ketika
menghadap Tiau Hwi.
Tiau Hwi perdengarkan suara
dihidung. “Hm, mereka belum insyap kematiannya!”
Segera dia perintah untuk
mengadakan persidangan. Be-gitu terompet dibunyikan, maka bersiaplah semua
Cong-peng, huCiang, somCiang dan siupi menghadap Tiau Hwi. Pertama diundang
masuk pembesar pasukan Gi-lim-kun yang datang membawa firman baginda. Kemudian
dia titahkan seribu pasukan thiat-ka (baju besi) berbaris menjadi dua larik.
Masing-masing siap dengan senjata lengkap. Sehingga suasana dalam markas besar
itu kelihatan garang sekali. Setelah itu, baru disuruhnya utusan Ui menghadap.
Diiring oleh orang yang
dikasihinya, Hiang Hiang KiongCu berjalan masuk diantara dua lapisan pagar
golok. Ia tersenyum-senyum, tak takut. Bahkan utusan fihak Ui adalah sepasang
orang muda yang kemaren melalui barisannya, telah membuat heran semua anak buah
tentara Ceng itu.
Langsung tiba dihadapan Tiau Hwi,
Hiang Hiang KiongCu memberi hormat, lalu menyerahkan surat-balasan dari ayah
nya.. Seorang pengawal maju menyambuti. Tapi begitu dekat, hidungnya segera
membaui bebauan yang luar biasa harumnya. Cepat-cepat dia tundukkan kepala, tak
berani meman-dang kemuka. Ketika mengulurkan tangan akan menyam butinya,
matanya segera menjadi pudar demi melihat kulit tangan yang bening laksana batu
giok putih, dan jaridua yang bagaikan bulu landak itu. Hatinya berguncang
keras, tanpa merasa, dia termangu-mangu seperti terpaku.
“Bawa kemari!” bentak Tiau Hwi
dengan keras.
Seperti digujur air dingin,
pengawal itu gelagapan, ham-pirdua saja mau terpeleset jatuh. Hiang Hiang
segera kasih-kan surat itu kedalam tangan sipengawal, sembari unyuk senyuman.
Kembali orang itu ter-longong memandangnya.
Hiang Hiang menunyuk kearah Tiau
Hwi, kemudian men-dorong pelahan-lahan pengawal itu. Setelah itu, barulah si
pengawal membawa surat kepada Ciangkunnya. Melihat tingkah orangnya itu, Tiau
Hwi marah sekali.
“Seret dia keluar, potong
lehernya!” bentaknya keras-keras.
Beberapa perwira maju menyeretnya
keluar. Pada lain saat mereka masuk menghaturkan sebuah nampan yang terisi
kepala sipengawal tadi.
“Pancang kepala itu diatas
tiang!” perintah Tiau Hwi.
Hiang Hiang KiongCu anggap,
karena dialah maka sipengawal dihukum mati. Maka ketika perwira itu akan
membawa keluar nampan, Buru-buru Hiang Hiang menyambutinya. Dipandangnya kepala
pengawal yang bernasib malang itu. Beberapa butir air mata menetes turun
diatasnya.
Suasana yang merawankan itu,
mempengaruhi sidang itu. Banyak sekali perwiradua yang kesengsam.
“Asal kepalaku disiram air
matanya, rasanya rela aku binasa,” pikir mereka.
Tiau Hwi makin gusar. Akan dia
damprat perwiradua yang telah runtuh imannya itu. Tapi Baru dia akan membuka
mulut, tiba-tiba kedengaran si perwira yang menabas leher sipengawal itu,
berseru keras-keras:
“Aku bersalah, keliru membunuh.
Sudahlah jangan me-nangis!”
Kata-kata itu ditujukan untuk
menghibur sijelita. Malah tidak hanya kata-kata saja, karena pada saat itu,
perwira tersebut. Cabut goloknya untuk terus disabetkan kelehernya sendiri.
Seketika itu, dia roboh tak bernyawa.
Suasana makin gempar. Hiang Hiang
KiongCu makin bersedih.
“Ah, anak ini masih suka
menangis, tak surup menjadi utusan,” kata Keh Lok dalam hati. Lalu
dielus-elusnya dan di hiburnya.
Sebagai panglima perang, Tiau Hwi
berhati besi. Tapi dia sendiri heran, mengapa diapun terharu mendengar tangis
nona itu. Lekas dia perintahkan supaya kedua korban itu dikubur baik-baik .
Ketika membaCa surat Bok To Lun
yang berisi delapan buah kata-kata itu, dia perdengarkan suara hidung. Katanya
kemudian. “Baik, lusa kita adakan pertempuran yang menentukan, Sekarang kamu
berdua boleh pulang.”
Tiba-tiba pembesar yang membawa,
firman kaisar tadi menye lak: “Tiau-taijin, yang dimaukan baginda mungkin anak
perempuan ini!”
Kata-kata itu diuCapkan dengan
pelahan sekali, tapi bagi telinga seorang yang mempunyai kepandaian tinggi,
terdengar d jelas. Perhatian Tan Keh Lok hanya ditumpahkan pada Hiang Hiang
KiongCu. Makanya sedari tadi, dia tak perhatikan semua orang yang hadir disitu.
Mendengar nada suara orang tadi, dia merasa seperti sudah kenal. Cepat-cepat
dia do ngakkan kepala. Hatinya terkesiap. Pembesar tersebut. bukan lain adalah
Thio Ciauw Cong. Kebalikannya, Ciauw Cong pun segera mengenalinya. Dia heran,
mengapa pemimpin Hong Hwa Hwe itu mengenakan pakaian orang Ui.
Dua-duanya saling pandang.
Masing-' tak menyang ka kalau bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu. Tan Keh
Lok Cepat-cepat tarik tangan Hiang Hiang untuk diajak keluar. Tapi Ciauw Cong
sudah mendahului berbangkit. Belum lagi orangnya datang, angin pukulannya sudah
menyambar.
Dengan tangan kiri memegang pinggang
si nona, tangan kanan ketua Hong Hwa Hwe dikibaskan untuk menangkis, sedang
kakinya tak berhenti melangkah keluar. Ciauw Cong bergerak Cepat-cepat , sebat
sekali dia sudah memburu keluar juga.
Terhadap Hiang Hiang KiongCu,
semua perwira sama ke pinCut. Terang tadi sang Ciangkun sudah suruh kedua
utusan itu berlalu. Mengapa kini pembesar Gi-lim-kun akan menghadangnya. Dengan
anggapan itu, tak seorangpun dari perwiradua itu mau membantunya.
Sembari memegang si nona, Keh Lok
Cepat-cepat kan langkah nya. Ketika hanya tinggal dua langkah dari tempat
kudanya, tiba-tiba Ciauw Cong sudah berada dimuka situ.
“Tan-CongihoCu, beruntung kita
berjumpa disini”, kata nya sambil tertawa dingin.
Keh Lok terkejut. Diam-diam dia
siapkan enam buah biji Catur. Dengan timpukan “boan thian hoa-ih” hujan
diCurahkan dari langit, dia lontarkan keenam biji Catur itu kearah kepala, dada
dan kaki orang, masing-masing pada jalan darah.
“Akan kuhadang dia, lekas kau
kaburkan kudamu dulu”, Keh Lok bisik-bisik pada Hiang Hiang.
“Tidak. Tunggu sampai kau sudah
robohkan dia, kita pergi bersama”, sahut Kiongiju itu.
Sudah tak sempat lagi Keh Lok
hendak memberitahukan si nona bagaimana lihainya orang she Thio itu. Yang nyata
saja, semua biji Catur tadi, satupun tak ada yang menge nainya. Cepat-cepat dia
pandang sinona, terus dinaikkan keatas kuda.
Segera Ciauw Cong menguber terus
menghantam.
Keh Lok tak mau terlibat dalam
pertempuran. Sebat luar biasa, dia menyusup kebawah perut kuda putihnya. Ciauw
Cong tarik pulang tenaga pukulannya. Dari memukul, dia berganti memegang badan
kuda dan ajunkan kaki menendang lawan.
Saat itu Keh Lok sedang berada
dibawah perut kuda. Untuk berputar menangkis, terang tak leluasa. Sedang
tendangan Ciauw Cong itu secepat-cepat kilat datangnya. Dia gugup, tapi justeru
karena itu, timbullah pikirannya dengan tiba-tiba. Cepat-cepat dia angkat perut
kuda itu. Karena kaget, kuda itu menyepak kebelakang. Untuk menghindari,
terpaksa Ciauw Cong loncat mundur.
Kesempatan itu dipergunakan
se-baik-baik nya oleh Tan Keh Lok, siapa terus loncat keatas kuda dan berseru
pada Hiang Hiang: “Lekas kabur!”
Hiang Hiang KiongCu menurut.
Juteru ia hendak keprak kudanya, tiba-tiba Ciauw Cong sudah melesat kearah
sinona.
Keh Lok terkejut. Dia enjot
panyatan kuda, tubuhnya menCelat keatas. Ketika itu justeru tepat pada saat
Ciauw Cong juga enjot tubuhnya kemuka. Keduanya kini akan berbenturan di udara.
Tahu Keh Lok bahwa kepandaiannya
kalah dengan musuh. Benturan itu, tentu merugikan dirinya, maka Cepat-cepat dia
Cabut badidua pemberian Ceng Tong, terus ditusukkannya. Tampak orang akan
mengadu jiwa, Ciauw Cong tak mau melaja ni, dan hanya gunakan tangan kiri untuk
menangkap lengan orang yang memegang badidua itu. Dalam keadaan itulah keduanya
kini sama-sama jatuh kebawah.
Ciauw Cong mengirim pukulan
dengan tangan kanan. Tapi dengan gunakan ilmi^ istimewa dari gurunya, yang
disebut “balikkan lengan mengait rantai,” Tan Keh Lok berhasil menangkap tangan
kanan lawan. Demikianlah keduanya seperti orang bergumul, saling menCengkeram,
siapa lemah tentu termakan badidua.
Juga saat itu Tiau Hwi telah
perintah melakukan penang-kapan, dan kawanan perwira pun sudah keluar memburu
Hanya keempat raksasa persaudaran Holun yang mempu nyai pikiran lain.
“Sewaktu kita kesana, mereka
bersikap baik dan sungkan. Tapi kini mereka kemari, mengapa fihak kita tidak
mau unyuk kesungkanan?” pikir mereka.
Nyata meresap sekali rasa kagum
keempat raksasa itu terhadap Tan'Keh Lok. Tanpa bersepakat dulu, mereka lari
menghampiri.
“Ah, naasku tiba!” mengeluh Keh
Lok. Dia kira, keempat orang itu pasti akan menangkapnya.
Diluar dugaan, keempat raksasa
itu menyikap Ciauw Cong.
“Pergilah lekas!” seru mereka.
Silat Ciauw Cong memang tinggi,
ini tak perlu disangsikan. Tapi' saat itu dia sedang adu tenaga dengan seorang
jago sebagai Tan Keh Lok, jadi dia harus kerahkan seluruh lwekangnya. Maka
begitu direjeng oleh keempat raksasa, dia tak berdaya menangkis atau menghindar
lagi. Dan disikep dengan tenaga ribuan kati itu, betul-betul dia tak dapat
berkutik lagi.
“Kalau detik ini kuhabisi jiwamu,
bukan lakunya seorang taytianghu (gentlemen). Nah, kuampuni lagi sekali,” seru
Keh Lok dengan loncat menyingkir, terus naik keatas kuda.
Ciauw Cong tak dapat berbuat
apa-apa, keCuali mengawasi kedua orang muda itu dengan mata melotot.
Kuda kedua orang muda itu luar
biasa pesatnya. Sekejab saja, mereka telah melalui pos penjagaan. Maka ketika
pasukan Ceng yang dititahkan Tiau Hwi mengejar, mereka berdua sudah jauh.
Mengalami pertempuran tadi,
nampaknya Keh Lok Cape sekali. Maka tak berapa lama kemudian, dia merasa tak
kuat lagi. Melihat orang yang dikasihi dalam keadaan demikian Cape dan
tangannyaj matang biru — Hiang Hiang iba hatinya.
“Mereka tak nanti dapat mengejar
kita, baik kita beristirahat dulu,” katanya.
Keh Lok menurut. Tapi begitu
turun, saking kepayahan, dia segera roboh, napasnya memburu. Hiang Hiang pakai
susu kambing, untuk membasuh luka-luka ditangan sianak muda. Begitulah setelah
mengasoh sebentar, keduanya akan mene-ruskan perjalanannya lagi. Tiba-tiba dari
arah belakang, terdengar derap kuda mencongklang datang. Riuh gemuruh pekik
para penunggangnya, yang diduga ada berpuluh orang.
Saking gugupnya, Hiang Hiang tak
sempat menyimpan kantong susunya. Loncat keatas kuda, terus mencongklang
keras-keras. Bersiar-siur deru anak panah menyambar, tapi dengan tangkasnya,
Tan Keh Lok dapat menyang gapi dan menolak nya. Karena perhatiannya ditumpahkan
kearah serangan anak panah, agak terhambat Keh Lok melarikan kudanya. Lama-lama
diapun merasa Cape lagi. Justeru pada saat itu, dari arah muka tampak debu
mengepul. Lagi-lagi muncul sebuah pasukan berkuda.
Keh Lok mengeluh. Dia kempitkan
kedua kakinya keras-keras, dan berlarilah kuda putih secepat-cepat anak panah.
Sekejab saja dia sudah dapat menyusul Hiang Hiang' KiongCu.
“Ikut aku menerobos!” serunya.
Kuda putih kembali melesat
kemuka. Ketika dekat dengan pasukan berkuda dimuka, ternyata mereka hanya
terdiri dari tujuh atau delapan orang saja. Diam-diam Tan Keh Lok girang dalam
hatinya. Dia tahan lesnya, menunggu sinona. Setiba sinona disitu, rombongan
berkuda dari arah muka itupun sudah mendekati. Tan Keh Lok keluarkan bandringan
mutiara, terus akan menerjang kemuka.
Tiba-tiba salah seorang dari
mereka, yang berjalan paling depan loncat turun dari kudanya dan berseru keras:
“Cong-ihoCu?!”
Dalam kepulan debu yang tebal,
tampak orang itu bersen jata sepasang kampak. Sedang orangnya sendiri bertubuh
kate dan bungkuk. Girang Tan Keh Lok tak terhingga.
“Ciang-sipko, lekas kemarilah!”
Belum habis suara uCa pah itu berkumandang, kembali terdengar suara anak panah
pasukan Ceng yang mengejar tadi, Menderu-deru . Ciang Cin dengan tangkas loncat
keatas kudanya.
“Ada pasukan musuh mengejar aku
dari sebelah belakang, kau tolongi tahan mereka!” seru Tan Keh Lok.
Sambil mengia, si Bongkok keprak
kudanya. Baru dia sampai kedekat Congthocunya, kembali ada seorang penunggang
kuda lari kemuka, terus mengamuk kedalam barisan Ceng. Seperti lakunya banteng
terluka, orang itu mengamuk dengan hebatnya. Dia bukan lain ialah
Kiu-beng-kim-pa-Cu Wi Jun Hwa.
Keheranan Tan Keh Lok makin
menjadi . Malah dilihatnya Bun Thay Lay, Lou Ping, Thian Hong dan isterinya,
memburu datang.
“Congthocu, kau baik-baik sajakah?”
Tegur orang-orang Hong Hwa Hwe
itu ketika lalu disisi ketuanya. Tapi mereka tak berhenti, dan terus menerjang
kedalam pasukan Ceng. Pada lain saat, muncullah Sim Hi. Dia bergegas-gegas
turun dari kudanya dan menjura kepada Tan Keh Lok.
“Saoya, kita sudah datang.”
“Tapi mengapa Wi-kiuko pun
kemari?”
Belum pertanyaan itu terjawab
kembali ada seorang pe-nunggang kuda lari disisi Tan Keh Lok, terus menyerbu
kearah pasukan Ceng. Orang itu berpakaian warna kelabu, mukanya dikerudungi.
Yang menarik perhatian, kepalanya gundul, memegang sebatang kim-tiok.
“He, bukankah Sipsute?” tegur Tan
Keh Lok.
“Kau baik-baik , Congthocu?”
tanya orang itu dari kejauhan.
Pada saat hweshio itu yang ;
bukan lain Hi Tong adanya, menyerbu datang, Bun Thay Lay dan Kawan-kawan nya sudah
dapat memukul mundur pasukan perintis dari barisan Ceng. Tapi sekonyong-konyong
dari arah belakang, tampak debu mengepul.
Kembali sebuah pasukan musuh yang
besar datang!
Buru-buru Bun Thay Lay dan
Kawan-kawan nya balik ketempat ketuanya.
“Kearah mana kita harus lari?”
tanya Bun Thay Lay.
Tahu Keh Lok bahwa puluhan ribu
tentara berkuda musuh sedang mendatangi dengan dahsyatnya. Dan tahu pula dia,
bahwa induk pasukan tentara Ui berada disebelah barat. Kalau diapun lari
kebarat, dikuatirkan fihak Ui belum siap.
Tentu akan menderita kekalahan.
Karenanya, dia ambil putusan lari kesebelan selatan.
Kira-kira beberapa li jauhnya,
musuh masih memburu. Hal itu tak membikin Cemas mereka, karena yakin bahwa kuda
tunggangannya itu semua adalah kuda yang baik. Karenanya, makin lama jarak
mereka pun makin jauh dengan penge jarnya. Hanya saja, padang pasir adalah
sebuah tempat yang lepas bebas, tak ada pepuhunannya, jadi mereka masih tetap
dapat dilihat oleh musuh.
Diam-diam Tan Keh Lok
menertawakan Tiau Hwi yang sudah kerahkan pasukannya untuk mengejar dia, suatu
hal yang tak berarti. Tapi sekilas dia teringat akan kata-kata Ciauw Cong
kepada jenderal itu: “Mungkin inilah wanita yang dikehendaki oleh baginda.”
Tengah dia merenung begitu,
tiba-tiba ada pula sepasukan musuh yang muncul dari sebelah selatan. Hal ini
membikin terkejut rombongan Hong Hwa Hwe itu. Mereka hentikan kudanya.
“Cepat-cepat bikin lubang
perlindungan. Malam baru kita boleh berjalan lagi,” kata Thian Hong.
Semua orang bekerja segera. Ada
yang pakai senjata, ada pula yang gunakan tangannya untuk membuat sebuah
lubang. Selesai itu, Lou Ping minta Hiang Hiang segera ber sembunyi lebih dulu.
Tapi. karena Hiang Hiang tak mengerti bahasa Han, dia hanya tersenyum saja.
Saat itu hujan anak panah mulai
turun. Lou Ping Cepat-cepat memondong Hiang Hiang untuk diajak masuk kedalam
lubang, baru kemudian orang-orang lain menyusulnya.
Segera Bun Thay Lay, Ciang Cin,
Thian Hong dan Hi Tong menyambit kembali panahdua musuh itu hingga beberapa
perwira Ceng, segera roboh.
Kalau Bun Thay Lay, Thian Hong
dan Hi Tong adalah ahlidua melepas panah yang gapah, adalah tidak demikian
dengan si Bongkok. Beberapa kali anak panah dilepaskan, tapi satupun tak ada
yang mengenai. Karena jengkelnya, dia lempar busurnya, loncat keatas terus
mengamuk dengan sepasang kampaknya. Melihat itu Ciu Ki Buru-buru menyambret
nya. “Kau mau antar kematian?”
Lou Ping tersenyum puas. Kini
nyata Ciu Ki sudah bero bah. Dapat ia melupakan permusuhannya lama dengan si
Bongkok. Diam-diam dia puji Thian
Hong yang dapat mendidik isterinya itu. Tapi saking gelinya, Lou Ping sampai
tertawa.
“Bukankah perkataanku tadi
benar?! tanya Ciu Ki melirik kearah Lou Ping.
“Ya, ja,” sahut Lou Ping dengan
tertawa.
Jun Hwa pungut busur yang
dilemparkan Cian Cin tadi, dan dilain saat dia berhasil merobohkan enam orang
lagi. Sim Hi bertepuk memujinya. Selagi begitu, serombongan pasukan Ceng
menyerbu kearah lubang persembunyian orang-orang Hong Hwa Hwe itu.
Sekali tangan Bun Thay Lay
bergerak, pat-Hong (pemimpin) rombongan pasukan itu terjungkel roboh. Melihat
itu, anak buahnya sama ketakutan dan lari menyingkir.
Ja, memang pasukan pengejar itu,
telah dapat tersapu mundur. Tapi dari empat penyuru, tampak ribuan tentara
berkuda yang rapat seperti pagar. Dan sesaat kemudian, anak panah turun sebagai
hujan lebat. Dengan memutar kampak, Ciang Cin berusaha untuk menyingkirkan.
“Lubang ini Cukup dalam, Ayo kita gali pinggirnya,” seru Thian Hong.
Lapisan tanah dipadang pasir,
yang atas adalah pasir. Ta pi kalau sudah dikeruk kira-kira tujuh atau delapan
meter, bisa terdapat tanahnya yang keras. Tan Keh Lok, Lou Ping, Ciu Ki, Sim
Thay dan Hiang Hiang serempak bekerja. Tanahdua itu, di jajar disekeliling
lubang itu, diperuntukkan dinding penahan panah. Kini legalah hati mereka,
karena yakin panah musuh tak nanti dapat mengenainya. Hanya tunggu setelah
malam hari, mereka akan menerobos keluar. Selama itu, dua kali sudah
kelompokdua pasukan Ceng Coba mendekati tempat mereka, tapi dapat dihajar oleh
Bun Thay Lay. Loncat keatas, si Bongkok terus memutar kampaknya, di ikuti oleh
Sim Hi. Anak itu berhasil mengambil beberapa
buah busur dan sebongkok besar
anak panah dari majatdua serdadu Ceng yang terhampar disekitar situ. Pada saat
itu, Tan Keh Lok baru sempat memperkenalkan Hiang Hiang KiongCu pada sekalian
saudaranya. Orang-orang sama kagum atas keCantikan yang tiada taranya dari adik
Hwe Ceng Tong itu. Sayang nya, gadis itu tak mengerti bahasa Han, jadi tak
dapat diajak ber-Cakapdua.
Terutama Lou Ping lekas benar
merasa suka. Seketika itu juga, dia ajarkan bahasa Han pada sinona. Ternyata
Hiang Hiang itu berotak Cerdas, dalam waktu yang singkat ia telah dapat
menguasai beberapa patah kata-kata bahasa Han.
Setelah mengaso Cukup lama, Keh
Lok merasa segar kembali. Diam-diam dia mengalem kelihaian Ciauw Cong, karena
hanya sebentar saja saling dorong mengadu lwekang dengannya, ternyata dia
merasa keCapean, sehingga rasanya tangan tak dapat digerakkan untuk menggunakan
busur.
“Wi-kiuko, mengapa kaupun datang
kemari?” tanyanya kemudian.
Jun Hwa loncat turun kedalam
lubang.
“Apakah semangatmu sudah baik
kembali, Congthocu? Dapatkah kuberitahukan sekarang?” tanyanya.
Keh Lok mengiakan. Maka lebih
dulu Jun Hwa berseru keras-keraskepada orang-orang yang berada diatas, jakni:
Bun Thay Lay, Ciang Cin, Hi Tong dan Sim Hi, supaya tetap waspada akan serbuan
musuh, setelah itu baru dia mulai menutur:
“Setelah kau tugaskan aku bersama
Capji-te ke Pakkhia untuk mengawasi gerak gerik fihak kerajaan, ternyata di
sana tak terjadi suatu apa. Pada hari ketiga, kita kebetulan melihat Ciauw Cong
bersama Suhengnya, Ma Cin totiang berjalan lewat.”
“Orang she Thio itu sudah kita
serahkan kedalam pengurusan Suhengnya. Tapi mengapa dia bisa keluar lagi.
Kira-nya dia pergi ke Pakkhia,” kata Tan Keh Lok.
“Apakah kau berjumpa dengan dia
disini, Congthocu?” tanya Thian Hong.
“Tadi baru saja aku berhantam
dengan dia. Memang lihai dia,” kata Keh Lok.
“KITAPUN merasa heran juga,”
meneruskan Jun Hwa. “Dan sepanjang jalan kedua Sute dan Suheng itu seperti
bertengkar nampaknya, hingga
mereka tak melihat kita orang. Saat itu timbul dalam pikiranku: adakah
Ma-totiang dan Sutenya itu hendak mengelabui kita orang? Kami pasang mata
betul-betul dan tahu mereka masuk kedalam sebuah rumah yang pintunya diCat
merah. Sampai malam kami tunggu, tetap mereka belum kelihatan keluar. Karena
yakin keduanya tentu bermalam dirumah itu, maka kuajak Capji te berlalu dulu,
dan malamnya kita selidiki kesana lagi.”
“Sekira pukul dua malam, kami
masuk kedalam hotel itu,” demikian Jun Hwa lanjutkan Ceritanya. “Kami Cukup
tahu bagaimana lihai kedua orang itu. Sedang hanya Ciauw Cong seorang, kami
berdua tak sanggup melawannya, apalagi ada suhengnya. Dari itu kami berlaku
luar biasa hati-hati, sampai bernapaspun tak berani kami merajap dan berhenti
diatas ruangan besar. Sampai beberapa lamanya, tiba-tiba terdengar suara
seseorang. Buru-buru kami menghampiri dan mengintip dari seladua jendela.
Kiranya bangsat itu tengah berduaan dengan Ma-totiang. Ma-totiang sedang
berbaring ditempat tidur, sedang bangsat itu berjalan mondar-mandir. Agaknya
mereka sedang bertengkar keras. Kami tak berani lama-lama mengintip, dan hanya
tempelkan telinga mendengari pembi Caraan mereka. Ternyata bangsat she Thio itu
telah menipu Suhengnya. Dia bilang akan kekota raja dan akan mengurus uangnya
dulu, baru nanti akan ikut sang Suheng kembali ke Ouwpak. Setiba di Pakkhia,
beberapa hari kemudian, kaisar pun kembali kekotaraja.”
Mendengar itu, tampak Tan Keh Lok
mengelah napas.
“Menurut Ciauw Cong,” demikian
Jun Hwa berkata pula, “kaisar telah memberikan dia sebuah firman, agar dia
pergi kedaerah Hwe mengurus suatu tugas penting.”
“Apa itu?” sela Keh Lok.
“Tak diterangkannya jelas. Hanya
seperti disuruh menCari seseorang,” jawab Jun Hwa.
Kening Tan Keh Lok mengerut, ia
melirik kearah Hiang Hiang KiongCu.
“Ma-totiang nampak gemas, dia
menghendaki supaya Ciauw Cong minta lepas dari jabatannya dengan segera. Tapi
bangsat itu memberi alasan, kaisar pasti akan gusar kalau dia berani
membangkang firman itu. Begitulah perdebatan makin sengit. Saking gusarnya,
Ma-totiang tak dapat menguasai dirinya lagi. Dia loncat dari pembaringan dan
serunya lantangdua: “Bagaimanakah pertanggungan jawabku dihadapan sahabatdua
Hong Hwa Hwe nanti?” — Ciauw Cong men jawab: 'Terhadap gerombolan pemberontak
semacam itu, mengapa Suheng mau berlaku sungkandua?' — Mendadak terdengar
'Creng'. Karena kuduga Ma-totiang menCabut pokiamnya, maka Buru-buru
kumengintipnya lagi. Memang benar, saat itu Ma-totiang tengah menyoren pedang,
rnukanya tampak bengis sekali, dan memakinya: 'Kau masih ingat atau tidak,
apapesan Suhu? Bukan saja kau murtad membelakangi titah Suhu, tapi pun menyual
diri pada pemerintah Boan, menjadi kaki tangannya. Sungguh hina dina! Mari, kau
adu jiwa dulu dengan aku!? — Itu waktu Cap-ji-te unyukkan jempolnya padaku, dia
puji keperwiraan Ma totiang. Tampak Ciauw Cong mengalah. Dia mengelah napas,
katanya: 'Kalau Suheng ingin begitu, baiklah, besok aku ikut Suheng ke Ouwpak'.
— Lalu Ma-totiang simpan senjatanya, setelah mengucap beberapa kata-kata untuk
menghibur hati Sutenya, dia kembali tidur. Bangsat she Thio itu tetap duduk
disebuah kursi. Nyata air rnukanya bermuram durja. Tapi pada lain saat,
mendadak berobah beringas, penuh dengan hawa membunuh. Begitulah sampai sekian
lama, wajahnya selalu berubah, sebentar tenang sebentar beringas. Yang nyata,
seluruh tubuhnya senantiasa gemetar. Kami berdua ambil putusan akan menunggu
sampai dia sudah tidur, baru berlalu, agar jangan sampai ketahuan. — Tapi
hampir sejam, tak hendak bangsat itu tidur. Beberapa kali dia berbangkit, tapi
selalu duduk lagi. Hampir tak tahan kami menungguinya, namun kami tetap tak
berani bergerak.
“Beberapa waktu kemudian,
kelihatan sepasang alis bangsat itu tegak keatas, giginya dikatupkan
keras-keras. 'Toa-suheng!' tiba-tiba dia kedengaran berkata pelan-pelan . —
Tapi rupanya Ma-totiang sudah pulas tidur, karena kedengaran menggeros
pelan-pelan . Ciauw Cong berbangkit dan ber-indapdua menghampiri kearah
pembaringan.”
Baru saja Jun Hwa berCerita
sampai disini, maka men jeritlah Hiang Hiang KiongCu. Memang Cara Jun Hwa
membawakan Ceritanya, penuh dengan ketegangan yang seram. Sekalipun puteri Ui
itu tak mengerti bahasa Han, tapi perasaannya luar biasa tajamnya. Ia menubruk
Tan Keh Lok, untuk menempelkan tubuhnya pada orang muda itu.
Setelah tenang, Jun Hwa akan
melanjutkan lagi. Tapi tiba-tiba dari sebelah atas, kedengaran Ciang Cin
me-maki-maki:
“Kawanan Anjing, betul-betul
licik!”
Keh Lok dan Thian Hong
Cepat-cepat loncat keatas.; Tampak diempat penyuru, api menyala-nyala.
“Biar, digurun sini tak banyak
sekali pepohonannya. Sebentar lagi, mereka tentu sudah kehabisan kayu bakar,”
kata Thian Hong.
Habis berkata begitu, dia ajak
Congthocunya kembali kebawah dan minta Jun Hwa lanjutkan penuturannya.
“Melihat gerak geriknya, kami
merasa Curiga. Tentu akan terjadi haldua yang luar biasa,” demikian Jun Hwa
menyam-bung. “Dan ternyata memang benarlah! Setiba didekat pembaringan,
tiba-tiba dia menubruk kemuka dan secepat-cepat itu pula terus loncat
kebelakang. 'Aduh', sesaat itu terdengar Ma-totiang mengeluarkan jeritan yang
mengerikan sekali. Dia loncat dari pembaringan. Selebar rnukanya berlumuran
darah. Yang paling mengerikan, kedua kelopak matanya ternyata sudah Complong.
Sepasang biji matanya telah diCukil oleh sang Sute yang berhati serigala itu!”
Sampai disitu, tiba-tiba Keh Lok
berjingkrak, tangannya meninyu dinding lubang, hingga pasir dan tanah gempal
bertebaran.
“Kalau bangsat itu tidak
diCincang , aku bersumpah tak mau jadi orang!” teriaknya dengan mengretek gigi.
Sekalipun Thian Hong yang sudah
lebih dulu mendengarkan Cerita itu dari Jun Hwa, pun saat itu masih meluap ama
rahnya.
Malah yang menCeritakan sendiri,
Jun Hwa, saking gemasnya tanpa merasa telah me-remasdua tangkai Siang-kao yang
dipegangnya hingga berbunyi berkeretekan.
“Ma-totiang tak mengucap apa-apa,
setindak demi setindak dia hampiri Ciauw Cong. Sikapnya menakutkan sekali.”
demikian Jun Hwa menyambung lagi.
“Dan sekonyong-konyong dia ajun sebelah kakinya, bluk ! Kasihan, bukan sang
Sute yang kena, melainkan pembaringan yang terbuat dari batu itu rompal
separoh. Siangdua Ciauw Cong sudah loncat menghindar. Diapun nampak kaget akan
ilmu tendangan sang Suheng yang sedemikian dahsyatnya itu. Buru-buru dia
berusaha akan lolos dari pintu. Tapi ternyata Ma-totiang Cerdik.
Lebih dulu, dia menghadang
ditengahdua pintu, dan memasang pendengarannya hingga Ciauw Cong mati kutu.
'Ha-ha!' tiba-tiba kedengaran dia tertawa keras. Menuruti arah suara tertawa
itu, Ma-totiang menerjang dengan mengirim tendangannya yang lihai lagi. Tapi
ternyata Ciauw Cong itu, benar-benar manusia serigala. Sengaja dia pikat supaya
sang Suheng menendangnya. Dan sebelum itu, dia sudah tanCapkan pedang
didepannya. Maka tak ampun lagi, kaki Totiang telah menendang mata pedang itu
dan putuslah sebelah kakinya itu!”
Lou Ping menangis ter-isakdua,
sementara Ciu Ki berkere tekan giginya dan berulang-ulang hantamkan goloknya
kedinding lubang.
“Saat itu aku dan Capji-te tak
kuat lagi mengawasi saja,” kembali Jun Hwa melanjutkan. “Kami terobos jen dela
terus menerjang bangsat itu. Memang kami bukan tandingannya, namun karena kami
sangat kalap dan lagi kuatir kalau kita masih membawa beberapa kawan lagi,
setelah beberapa jurus, dia terus kabur. Kami uber dia, tapi dia telah berhasil
melukai Capji-te dengan jarum 'hu-yong-Ciam', Buru-buru kutuntunnya kedalam
rumah. Bermula hendak kuberikan Totiang obat penCegah pendarahan. Tapi ternyata
setelah meninggalkan pesan beberapa patah kata, beliau benturkan diri pada
tembok hingga binasa!”
“Apa pesannya itu?” tanya Tan Keh
Lok.
“Totiang berkata: 'Liok-sute dan
Hi Tong, balaskanlah sakit hatiku ini!' — Itu waktu karena ada orang datang
menanyakan, Buru-buru kubawa Capji-te pulang kerumah penginapan. Keesokan
harinya, ketika kudatang kesana, mereka telah mengubur jenazah Totiang.
Capji-te ternyata telah terkena 5 buah 'hu-yong-Ciam', Syukur jarumdua itu
dapat kukeluarkan dengan besi sembrani. Kini dia masih mengaso dirumah
penginapan di Pakkhia.
“Turut kata Ciauw Cong, dia
diutus kaisar kedaerah Hwe untuk mendapatkan seseorang, timbullah dugaanku:
jangan-jangan akan menCari Suhu dari Congthocu, Wan-Locianpwe? Karena aku
teringat akan keteranganmu dulu, dua macam benda penting yang menyang kut
rahasia diri kaisar itu berada ditangan Wan-Locianpwe. Untuk itulah, Congthocu,
aku segera bergegas-gegas menuju kemari. Setiba di Holam aku berkunjung pada
ketua Liong Bun Pang, karena kudengar kau pernah menyumpai Siangkwan-toako itu.
Disana kebetulan aku berjumpa dengan rombongan Bun-suko dan Ji-Hitko. Lalu kami
pergi mendapatkan Ie-sipsute. Mendengar kebinasaan Suhunya, Ma-totiang,
Ie-sipsute berduka sekali.
Begitulah kami beramai segera
menyusul kemari. Tak kuduga, kalau kita dapat berjumpa ditempat begini,” Jun
Hwa mengakhiri penuturannya.
“Bagaimana luka Capji-long itu?”
Keh Lok menegas.
“Lukarija Cukup berat, untungnya
tidak sampai mengenai bagian yang berbahaya!”
Juga Tan Keh Lok lalu tuturkan
pertarungannya dengan Ciauw Cong tadi. Saat itu, hawa malam makin terasa
dingin. Orang-orang itu hampir tak tahan. Awan dilangit, tampak ber-lapisdua
saling merapat.
“Ah, salju akan turun!” tiba-tiba
Hiang Hiang KiongCu berseru.
Nampaknya ia merasa dingin, maka
makin menempel rapat-rapat pada Tan Keh Lol?. Entah apa sebabnya, mendadak Ciu
Ki timbul perasaan antipati terhadap nona Ui itu.
“Apa katanya?” tanyanya.
Keh Lok agak heran, mengapa Ciu
Ki bersikap garang kepada Hiang Hiang. Maka segera diterangkan apa maksud
kata-kata sinona itu.
“Huh, darimana dia tahu!” kata
isteri Thian Hong itu. Dan tak lama pula, dia berpaling memandang Keh Lok,
katanya: “Congthocu, katakanlah terus terang! Sebenarnya kau ini suka sama CiCi
Ceng Tong, atau pada dia?”
Keh Lok melengak, tak bisa
memberi jawaban sampai beberapa saat. Dia tak duga akan ditanya begitu.
Buru-buru Thian Hong jawil ujung baju isterinya, agar jangan ungkatdua soal
itu.
“Kau berani larang aku? CiCi Hwe
seorang yang berbudi. Aku tak rela orang mempermainkannya!” bentak Ciu Ki pada
sang suami.
“Kapan aku mempermainkannya?”
tanya Keh Lok didalam hati. Tapi dia Cukup ketahui perangai Ciu Ki yang polos
itu, dan se-galaduanya mau minta penyelasan dengan segera.
“Kepandaian nona Hwe tinggi,
orangnya pun baik. Kita semua taruh perindahan tinggi padanya,” katanya
kemudian. “Habis, mengapa begitu lihat adiknya Cantik, kau lantas lupakan
padanya?!” tanpa tedeng alingdua lagi Ciu Ki menyem protnya.
Merah padam selebar muka ketua
Hong Hwa Hwe itu.
“Congthocu sama seperti kita
orang, hanya baru bertemu muka sekali padanya dan belum lama mengenal. Jadi tak
lebih dan tak kurang hanya sebagai kawan biasa,” Lou Ping menengahi
pembicaraan.
Tapi sinyonya galak itu makin
penasaran.
“CiCi Ping, mengapa kau bantu
fihaknya? Sekalipun dia itu seorang Congthocu, pun aku akan minta penyelasan.”
Selama itu, Hiang Hiang tampak
mendengari kesemua pembicaraan dan sikap orang yang mengotot itu.
Dalam keadaan itu, terpaksa Keh
Lok memberi penyelasan: “Ia siangdua sudah mempunyai orang yang dipenujui.
Taruh kata aku menaruh hati padanya, tidakkah itu akan sia-siasaja?”
Ciu Ki melengak. “Benarkah itu?”
tegasnya.
“Masa aku berjusta padamu,” sahut
Keh Lok.
“Kalau begitu, lain halnya. Aku
tadi salah paham, harap kau jangan taruh dihati.”
Semua orang merasa suka dan puji
akan sikap yang terus terang dari isteri Thian Hong itu. Mau mengoreksi tapipun
bersedia menerima koreksi. Kalau tadinya dia memusuhi Hiang Hiang KiongCu, kini
berbalik merasa suka dan segera menggandeng tangannya. Ketika ia mendongak,
tiba-tiba berseru girang: “Omonganmu tadi benar, memang turun salju.”
Mendengar itu, Keh Lok loncat
berbangkit, serunya: “Ayo, kita menyerbu.!”
Yang pertama menyambut seruan
itu, adalah si Bongkok, siapa terus maju kemuka. Pasukan Ceng segera menyam
butnya dengan anak panah. Jun Hwa dan Bun Thay Lay berada fdisebelah muka untuk
menyapu hujan panah itu untuk memberi kesempatan agar saudara-saudaranya dapat
menaikkan kudanya dari lubang.
Fihak musuh pun telah mengetahui
gerak-gerik orang-orang Hong Hwa Hwe itu. Dengan bersorak gemuruh, mereka
merubung maju.
Orang-orang Hong Hwa Hwe pada
saat itu sudah loncat keatas kudanya. Jun Hwa keprak kudanya membuka jalan.
Tapi baru kira-kira tiga tombak jauhnya, tiba-tiba dia menjerit roboh.
Bun Thay Lay terkejut, terus
keprak kudanya menghampiri. Tapi kudanya pun segera roboh kena panah. Beruntung
dia dapat loncat kedekat Jun Hwa, siapa itu wak-tupun sudah bangkit.
“Kudaku tadi terpanah, tapi aku
sendiri tak kena apa-apa”, kata Jun Hwa.
Berbareng itu, Ciang Cin dan Lou
Ping pun telah datang. Sekali tarik, masing-masing menaikkan Thay Lay dan Jun
Hwa keatas kudanya. Tapi pada saat itu, dari belakang terdengar Thian Hong
berseru: “Yangan bergerak, nanti kupondong!”
Lou Ping kaget, ia menoleh
kebelakang, dilihatnya dian tara hujan salju itu, Thian Hong tengah memondong
sang isteri keatas kuda. Tampaknya nyonya itu terluka. Hi Tong menjaga
disampingnya dengan memutar kim-tiok.
Tak berselang berapa lama, kuda
Sim Hi dan Ciang Cin pun roboh terpanah.
“Balik, balik!” seru Keh Lok.
Apa boleh buat, semua orang sama
menyelusup kedalam lubang perlindungan lagi. Secepat-cepat itu, Bun Thay Lay,
Hi Tong dan Jun Hwa kerjakan busurnya untuk menghan Curkan pasukan musuh yang
mengejar datang.
PerCobaan mereka untuk lolos,
gagal. Malah pundak Ciu Ki kena panah. Empat ekor kuda, mati terpanah. Tanpa
kuda, rasanya sukar untuk melarikan diri ditengah padang pasir yang luas itu.
Hal mana Cukup diinsyapi oleh orang-orang Hong Hwa Hwe itu. Mereka tampaknya
Cemas.
Thian Hong segera Cabut panah
dipundak isterinya. Meskipun banyak sekali mengeluarkan darah, tapi untung tak
berba haja. Hiang Hiang KiongCu robek bajunya. lalu balut luka itu dengan
hati-hati.
“Ah, kalau sampai tidak ada
bantuan, kita tentu binasa disini,” Lou Ping mengelah napas.
“Rasanya kalau sampai begitu lama
Congthocu dan pu terinya tidak kelihatan balik, Bok-loenghiong tentu akan kirim
pasukan,” kata Thian Hong.
“Ya, aku percaya dia tentu sudah
mengirim pasukan itu. Hanya tadi kita mengambil jalan kearah selatan, apalagi
jaraknya sudah sedemikian jauh, mungkin seketika pasukan itu tak dapat
mengetahuinya,” kata Keh Lok.
“Kalau begitu, jalan satuduanya,
kita harus mengutus orang untuk minta bantuan,” kata Thian Hong.
“Kasih aku yang pergi!” Sim Hi
berseru dengan serentak.
“Baiklah!” sahut Keh Lok setelah
berpikir sejenak.
Sim Hi keluarkan kertas dan alat
tulis. Segera Keh Lok minta Hiang Hiang tulis surat minta bantuan. Selagi
begitu, diam-diam Thian Hong merajap keluar dari lubang. Dia menyeret seorang
majat serdadu Ceng, lalu dilucuti pakaiannya dan dipakaikan pada Sim Hi.
“Segera setelah kau dapat
menobros keluar, pakaian ini harus kau lepas, agar tidak menerbitkan salah
paham orang-orang Ui,” pesan Thian Hong.
“Dan naiklah kuda putih dari
Su-naynay. Kita nanti akan adakan serangan lagi kejurusan timur, dan kau harus
lekas-lekas lolos kejurusan barat,” kata Keh Lok.
Sambil ber-sorakdua, kembali
orang-orang Hong Hwa Hwe itu menobros keluar. Dan lagi-lagi pasukan Ceng
menghujani panah. Melihat musuh menumpahkan perhatiannya kesebelah timur, Sim
Hi Cepat-cepat menuntun kuda putih. Muda usianya, tapi anak itu banyak sekali
akal. Tak mau dia naik diatas pelana, hanya menggelantung dibawah perut kuda,
dengan kedua kakinya di jepitkan kepada binatang itu. Kuda putih itu segera
melesat kearah barat. Sebagian dari anak buah tentara Ceng Coba menghujani
panah, tapi sia-sia.
Ber-tahundua lamanya, Keh Lok
memperlakukan kacung itu sebagai saudaranya sendiri. Demi melihat boCah yang
masih berusia belasan tahun itu, menempuh bahaya untuk Cari bantuan, hatinya
serasa terharu.
Setelah Sim Hi sudah jauh,
barulah orang-orang itu balik lagi kedalam lubang persembunyiannya. Bagaimana:
kuda putih telah selamat keluar dari kepungan musuh, telah membuat mereka
terharu gembira. Keh Lok minta Thian Hong dan Jun Hwa mengaplus Bun Thay Lay
dan Hi Tong berjaga diatas.
Bun Thay Lay masih nampak
bersemangat. Turun kebawah, dia nyanyikan lagu rakyat tani didaerah Kanglam.
Sedang isterinya, menyambut pula dengan nyanyian.
Berkata Hiang Hiang KiongCu
kepada Keh Lok: “Kukira kamu orang Han tak pandai menyanyi. Tak kira kalau
dapat menyanyi begitu bagus. Apa sih nyanyiannya itu?”
Demi mendengar penyelasan tentang
arti nyanyian itu, Hiang Hiang bertepuk tangan memuji. Diapun Coba menirukan
nyanyian itu. Saat itu, salju makin tebal dibumi. Se jauh pemandangan mata,
hanya selembar bumi yang diselimuti oleh salju putih.
Syukur karena didalam lubang
banyak sekali orangnya, hawanya pun hangat. Apalagi pasirnya kering,
Cepat-cepat menghisap air. Hampir dekat fajar rupanya musuh tak sabar lagi.
Mereka kembali mengadakan serbuan.
Bun Thay Lay cs. kembali menyapu
dengan anak panah. Hasilnya, berpuluh-puluhdua orang terhampar dan kemajuan
mereka tertahan Tapi rupanya ada dua-tiga puluh orang yang nekad menghampiri
kedekat lubang.
Bun Thay Lay dan Kawan-kawan nya
loncat keatas untuk me nyambutnya. Setelah dapat membunuh belasan orang,
barulah sisanya sama mundur. Kembali kedalam lubang, Keh Lok dapatkan Hiang
Hiang sudah pulas. Rambut dan pundaknya penuh dengan salju, sementara mukanya
penuh dengan te tesan salju yang menCair.
“Ha, anak ini betul-betul tak
menghiraukan apa-apa,” Lou Ping tertawa.
Sebaliknya Thian Hong menyatakan
kesalnya, mengapa sampai begitu lama bala bantuan belum datang.
“Entah Sim Hi mendapat halangan
tidak diperjalanaii,” kata Bun Thay Lay.
“Bukan itu yang kukuatirkan,
melainkan lain sebab,” sahut Thian Hong,
“Apa itu? Mengapa kau tak
berterus terang mengatakan?” sela Ciu Ki.
“Urusan ketentaraan fihak Ui,
siapakah yang mengurus nya? Bok-loenghiong atau nona Hwe?” tanya Thian Hong
pada Tan Keh Lok.
“Kurasa keduanya. Segala
tindakan, Bok-loenghiong tentu mengajak berunding dengan puterinya itu,” jawab
yang di tanya.
“Ah kalau nona Ceng Tong tak mau
kirim bantuan, ja ngan harap kita dapat kembali ke Kanglam,” kata Thian Hong.
Semua orang tahu arti ucapannya
itu. Mereka merenung diam. Tapi tidak demikian dengan Ciu Ki, ia loncat bangun
dan menegasi: “Hitko, mengapa kau pandang CiCi Ceng Tong semacam begitu? Taruh
kata dia irihati pada adik nya, tak nanti dia tega untuk tidak menolong orang
yang dikasihinya!”
“Kalau wanita sudah Cemburu,
segala apa mungkin dilakukan!” ujar Thian Hong.
Karuan Ciu Ki berjingkrak, ia
ber-kaokdua seperti orang kalap, sehingga membuat Hiang Hiang bangun. Tapi nona
itu tidak marah, melainkan mengawasinya dengan tersenyum.
Semua orang yang berada disitu,
memang hanya sekali bertemu dengan Hwe Ceng Tong. Sekalipun mereka mendapat
kesan yang baik terhadap nona itu, tapi bagaimana peribadinya, mereka belum
jelas. Maka ketika mendengar ucapan Thian Hong tadi, merekapun menganggapnya
benar. Hanya Ciu Ki seorang, yang keras-kerasmenentang, karena tak percaya.
Kini kita tengok perjalanan Sim
Hi. Setelah berhasil lolos, dia segera tanggalkan pakaian serdadu Ceng yang
dikenakan itu. dan menurutkan petunjuk Tan Keh Lok, dia langsung menuju kekubu
pasukan Ui.
Memang sebenarnya, Bok To Lun
sudah akan mengirim pasukan untuk menCari puteri dan ketua Hong Hwa Hwe itu.
Tapi karena untuk mendapatkan jejak dua orang digurun yang sedemikian luas itu,
bukan suatu hal yang mudah, maka dia menjadi Cemas. Maka begitu tampak Sim Hi
datang mengantarkan surat, dia bukan main senangnya.
Bok To Lun segera perintah
mempersiapkan pasukan. Se-mentara Ceng Tong bertanya kepada Sim Hi berapakah d
jumlah musuh yang mengepung Kawan-kawan nya itu.
“Rasanya empat lima ribu orang,”
sahut Sim Hi.
Ceng Tong mengasah otak, dengan
mondar-mandir dida lam kubunya itu. Pada lain saat, kedengaran terompet dibu
nyikan, tanda pasukannya sudah siap sedia. Bok To Lun pun segera akan keluar
untuk memimpinnya.
Tapi dengan menggigit bibirnya,
Ceng Tong tiba-tiba mencegah: “Ayah, jangan!”
Bok To Lun melengak dan
berpaling. Dia kesima sampai sekian saat. “Apa katamu?” tanyanya heran.
“Kita tak bisa menolongnya,” ujar
sigadis.
Muka Bok To Lun merah padam
karena marah. Tapi sesaat kemudian, dia teringat akan keCerdasan puterinya itu,
siapa tahu ia mempunyai alasan kuat.
“Mengapa?” tanyanya kemudian.
“Tiau Hwi bukan panglima
sembarangan. Dia pandai gunakan tentaranya. Tak mungkin hanya karena akan
menawan kedua utusan kita, dia sampai kerahkan sekian banyak sekali tentaranya.
Tentu dia ada siasat lain.”
“Taruhkata benar ada siasat,
apakah kau biarkan saja adikmu dan Kawan-kawan dari Hong Hwa Hwe itu dibasmi
oleh fihak Ceng?” debat sang ayah.
Ceng Tong tundukkan kepadanya.
Lama ia tak menyahut.
“Kalau kita pergi menolong,
kukuatir, bukan saja akan sia-sia, pun malah akan mengorbankan be-ribudua jiwa
tentara kita”, akhirduanya ia menerangkan.
Bok To Lun tak kuasa menahan
napsunya. Dia menepuk pahanya keras-keras.
“Yangan kata adikmu itu adalah
darah daging keluarga kita sendiri. Sedang terhadap Tan-Congthocu dan
sahabatdua Hong Hwa Hwe itu saja, yang telah banyak sekali melepas budi pada
kita, andaikata kita sampai berkorban jiwa, rasanya juga lebih dari pantas.
Kau……. Kau………..”
Mengira sang puteri tidak tahu
membalas budi, hati pemimpin Ui itu bergolak. Gusar dan sedih.
“Ayah, kau dengarlah dulu
perkataanku. Bukan saja kita harus menolong mereka, tapi mungkinpun bisa
memperoleh kemenangan besar”, kata Ceng Tong.
“Anak baik, mengapa sejak tadi
tak mengatakan begitu? Bagaimana Caranya, aku menurut saja,” Bok To Lun girang
sekali.
“Ayah, apa kau sungguh-sungguh
menurut?”
“Tadi saking keburu napsu, aku
kelepasan omong, jangan kau taruh dihati. Apa maksudmu, bilanglah!”
“Serahkan lengCi (panah tanda
kuasa) padaku. Kali ini biar aku yang memimpin tentara kita,” kata Ceng Tong
dengan tegas.
Bok To Lun lama bersangsi, tapi
akhirnya dia menerima baik. Dia serahkan lengki (bendera perang) dan lengCi
(perintah) pada puterinya.
Dengan berlutut Ceng Tong
menyambutinya. Setelah ber sembahyang kepada Allah, ia berkata pula: “Nah, kau
dan kokopun harus turut perintahku.”
“Asal kau tolong mereka, dan
pukul mundur musuh, apa saja perintahmu, aku sanggup melakukan,” sahut Bok To
Lun.
“Bagus, ucapan itu menjadi
janji,” kata sigadis akhirnya.
Ia ajak ayahnya keluar. Diluar
kubu, pasukannya sudah siap dalam dua barisan. Berkatalah Bok To Lun
keras-keras: “Hari ini kita akan bertempur mati-matian dengan orang Boan. Kali
ini pimpinan ketentaraan kuserahkan pada puteriku Ceng Tong!”
Anakbuah pasukan Ui mengaCungkan
golok seraya berseru lantangdua: “Semoga Allah memberkahi Hui-ih-ui-sam. Semoga
Allah menuntun kita kearah kemenangan.”
Tak terduga Ceng Tong segera
kebaskan leng-ki dan berkata: “Bagus, kini kamu boleh pulang beristirahat!”
Karena itu, semua pemimpin
barisan memerintahkan anak buahnya bubar.
Bukan main meluapnya perasaan Bok
To Lun, hingga dia tak dapat mengucap apa-apa. Kembali kedalam buku, Sim Hi
jatuhkan diri berlutut dihadapan Ceng Tong dan menangis.
“Kouwnio (nona), kalau kau tak
mau kirim bantuan, Kongcuku tentu binasa,” ratap kacung itu.
“Bangunlah, aku toh tidak
mengatakan tidak mau menolong,” kata sigadis.
“Rombongan Kongcu hanya berjumlah
sembilan orang. Dianta ranya adalah adik nona sendiri yang tak mengerti ilmu
silat. Ji-naynaypun terluka. Musuh berjumlah ribuan, sedikit saja bantuan terlambat
datangnya, mereka tentu tentu “ demikian tutur Sim Hi terputus-putus.
“Apakah barisan thiat-ka musuh
juga ikut menyerang?” tanya sigadis.
“Itu waktu belum, tapi mungkin
pada saat ini sudah. Mereka memakai baju besi, tak tembus dipanah, tentu
Celakalah kita.”
Makin teringat, makin ketakutan
dan makin keraslah Sim Hi menangis. Ceng Tong kerutkan jidatnya. Ketika Bok To
Lun hendak bicara, tiba-tiba puteranya, Ah In, menerobos masuk memberi laporan:
“Penjaga mengatakan, ada belasan serdadu musuh mengadakan pengintaian disebelah
gunung.”
“Bagus!” teriak Ceng Tong dengan
girang. “Koko, bawalah seratus serdadu, pergi kebelakang mereka dengan
diam-diam.”
“Mengapa hanya sepuluh0 orang?!”
tanya Ah In.
“Aku minta supaya dapat menyergap
beberapa orang di antaranya, jangan membinasakan mereka!” sahut sigadis.
Hwe Ah In menerima titah, terus
pergi.
“Kita perlu menolong Asri dan
sahabatdua Hong Hwa Hwe Mengapa mengurusi beberapa orang serdadu musuh,” tanya
Bok To Lun.
“Ayah, bukankah kali ini kau
sudah menyetujui aku yang memegang pimpinan?!”
Bok To Lun ingat hal itu, namun
dia tak tega melihat Sim Hi menggerung-gerung tak mau berhenti itu. Diam-diam
dia kagum atas kesetiaan boCah itu. Namun dia tak tahu harus berbuat bagaimana.
Tak berapa lama kemudian, Ah In
masuk kembali dengan sepuluh tawanan serdadu Ceng.
“Tiga mati, dua melarikan diri
dan sisanya dapat kita tangkap hidup-hidup,” katanya.
“Bagus!” Ceng Tong memuji.
Salah seorang dari tawanan
serdadu itu, rupanya yang menjadi pemimpin, bukan lain adalah utusan yang pernah
datang dulu itu. Dia bangsa Boan, bernama Horta. Sikapnya masih tetap sombong.
“Dulu sebagai utusan,” kata Bok
To Lun seraya maju selangkah, “kami perlakukan kau baik-baik . Tapi kini,
puteriku
sebagai utusan kami juga, mengapa
kalian kepung tanpa sebab?”
“Huh, baik? Jadi dengan memborgol
tanganku, kau anggap memperlakukan kami dengan baik?” kata Horta.
“Sebagai utusan, kau adalah
tetamu yang terhormat. Tetapi dengan mengintai keadaan kami, kau adalah matadua
jahat. Mengapa kau minta diperlakukan baik?!”
“Siapa bilang kami melakukan
matadua? Macam tentaramu yang hanya berjumlah sekian ini, mengapa perlu di-mataduai?
Aku datang untuk menyerahkan surat!” sahut Horta.
Segera Ceng Tong perintahkan
untuk membuka ikatan Horta, siapa lalu menerimakan surat itu. Surat itu
ternyata dari Tiau Hwi yang mengatakan bahwa utusan dari fihak Ui kini telah
terkepung dan segera akan tertangkap. Maka diminta supaya Bok To Lun dan
seluruh angkatan perangnya menakluk.
“Fui! Ada atau tidak surat ini,
sama saja. Kau jangan Coba kelabui kami. Terang kalau Tiau Hwi suruh kau
mematadua!, untuk menjaga kemungkinan bila kau sampai tertangkap, sengaja dia
bikin surat ini. Kalau tertangkap, kau lantas bisa mengaku sebagai utusan. Coba
kau jawab, kalau kau memang menjadi utusan, mengapa kau tidak datang secara
terang-terangan seperti tempo hari itu?” semprot Bok To Lun.
Ditelanjang i begitu, Horta tak
dapat menyahut, hanya tertawa tawar.
“Gusur dia!” perintah Bok To Lun.
Beberapa perwira Ui segera
menggusurnya pergi. “Ayah, kau menduga tepat. Hanya surat ini, memang
mengandung maksud lain lagi,” kata Ceng Tong. “Apa itu?” tanya sang ayah.
“Tiau Hwi kuatir kalau kita tak
mengetahui tentang peristiwa itu, maka dia sengaja memberi kabar, agar kita
kirim pasukan penolong.”
“Ha, dia begitu baik, aku tak
percaya!”
“Memang, kalau kita kirim
pasukan, itu artinya kita masuk kedalam perangkapnya!”
Bok To Lun termenung.
“Ayah, bukankah kau masih ingat
akan alat kita untuk menangkap serigala kuning? Alat itu mempunyai sebuah kait
yang ditaruh sepotong daging. Sekali serigala menggigit daging itu, maka alat
itu akan bergoncang , dan tertangkaplah binatang itu. Nah, Tiau Hwipun
berkehendak menjadi kan kita seperti serigala. Daging umpannya, ialah adik
Hiang Hiang. Ditempat seluas padang pasir itu, sangatlah berbahaya. Betapapun
gagahnya orang-orang HONG HWA HWE, sukar kiranya menahan arus serangan empat-lima
ribu pasukan berkuda. Itulah disebabkan Tiau Hwi sengaja tak mau mengadakan
serangan sungguh-sungguh.”
Bok To Lun anggukkan kepalanya
tanda benar.
“Tadi sahabat kecil kita
mengatakan, kalau pasukan thiat-kah musuh belum keluar. Coba ayah pikir, kemana
saja mereka itu?” tanya pula Ceng Tong.
Tanpa tunggu jawaban, nona itu
segera berjongkok di tanah dan gunakan lengki, untuk membuat sebuah lingkaran.
“Ini daging pengumpan misalnya,”
katanya dikedua sisi lingkaran itu digariskan dua buah garis. “Dan ini, pasukan
tHiat-kah-kun musuh, atau alat perangkapnya. Kalau kita menolong dari sini,
kedua pasukan thiat-kah itu akan men jepit dari dua arah. Coba pikirkan, apakah
kita masih bias hidup?”
Bok To Lun kemekmek. Dia
berpaling mengawasi Sim Hi.
“Sebenarnya aku menaruh
keCurigaan, jangan-jangan mereka memang sengaja kasih lolos sahabat kecil itu.
Kalau tidak, masa dia begitu gampang lolos dari kepungan yang kokoh itu? Dan
kini setelah kita ketahui surat yang dibawa utusan tadi, kiranya dugaanku tadi
tak perlu disangsikan lagi!”
Tiba-tiba Bok To Lun berjingkrak,
serunya: “Ceng-ji, du gaanmu itu memang tak salah. Tapi aku tak tegah dengan
adikmu dan tak nanti biarkan sahabatdua kita dari HONG HWA HWE itu terancam
bahaya!”
Ceng Tong Cukup mengetahui betapa
sang ayah itu sangat memanyakan adiknya, apalagi kini terikat kewajiban budi
dengan orang-orang HONG HWA HWE Iapun memang sudah mempunyai ren Cana, lalu
membisikkan beberapa patahkata kepada pengawal didekatnya.
Pengawal itu Cepat-cepat menuju
kekubu dimana Horta ditawan. Penjaga kubu itu diajak oleh sipengawal kesebuah
tempat disebelah, katanya: “Bangsat itu liCin sekali, maka Hui-ih-wi-sam
titahkan kau supaya memindahkannya kede kat kubu besar dan dijaga keras supaya
jangan sampai lari!”
Penjaga itu mengiakan. Melihat
dirinya dipindah, Horta tersenyum. Diam-diam dia pikirkan daya untuk lolos.
Tiba-tiba dia mendengar Bok To Lun dan Ceng Tong yang berada dikubu besar
disebelah situ, saling berCekCok keras. Buru-buru dia pasang telinga
mendengarkan.
“Kau katakan Tiau Hwi akan
menyebak kita, dan ren Cananya itu telah kau ketahui. Nah, kalau begitu kita
serang dari sebelah pinggir, agar mereka tak dapat saling membantu,” kedengaran
Bok To Lun berkata.
“Mereka mempunyai empatpuluh ribu
serdadu, sedang kita hanya berjumlah sedikit. Kalau bertempur secara masaal,
kita tentu kalah,” jawab Ceng Tong.
“Ha, jadi maksudmu akan
membiarkan adikmu dan beberapa sahabat itu mati konyol?!” seru Bok To Lun
dengan gusarnya.
Ceng Tong tak mau meladeni.
“Kalau mesti binasa, biarlah kita
binasa semua!” kata pula Bok To Lun dengan sengit.
Mendengar pembicaraan itu,
diam-diam Horta berpikir: “Lihai juga nona Ui itu, rencana Tiau Ciangkun dapat
diketahui nya. Tapi mungkin karena tidak sabar, mereka tetap akan menerjang
bahaya mengirim bala bantuan.”
Dilain fihak, rupanya melihat
Ceng Tong seperti tak mau mengirim bantuan, Sim Hi menjadi ketakutan. Buru-buru
dia berlutut dan berkata dengan menangis: “Kalau Kongcuku pernah berbuat
kesalahan kepada nona, sukalah kau mengampuni. Kalau dia nanti sudah dibebaskan,
tentu akan ku mintanya supaya menghaturkan maaf kepadamu. Kalau nona melepas
budi pertolongan, Kongcu tentu takkan melupakan se-lama-lamanya.”
Agaknya menyang ka boCah itu
menduga jelek padanya, Ceng Tong kerutkan alis, dan membentaknya dengan gusar:
“Yangan omong tak keruan!”
Sim Hi loncat bangun saking
terkejutnya.
“Begini busuk hati nona, baiklah,
biar aku pergi dan mati bersama-sama dengan Kongcu.”
Dengan masih sesenggukan, lalu
anak itu Cemplak kuda nya terus dilarikan.
“Kalau kita tak kirim bantuan,
sungguh kita malu hati terhadap boCah itu. Sekalipun mesti menerjang gunung
golok, lautan api, kita tetap pergi. Mati untuk peri-keba jikan, adalah mati
sahid!” demikian terdengar seru Bok To Lun pula makin sengit.
,,Ayah, pelan sedikit. Utusan
orang Boan itu, berada di dekat sini,” Ceng Tong menyabarkan ayahnya.
“Habis, bagaimana maksudmu?”
tanya Bok To Lun dengan agak tenang.
Ceng Tong berpikir sejenak.
“Baiklah, kita segera menyusulkan
bala bantuan,” kata si gadis akhirnya.
Pengawal segera dititahkan
memukul genderang. Para pemimpin barisan, satu demi satu masuk kedalam kubu
besar. Horta sementara itu, pura-pura menggeros. Ketika penjaga memanggilnya,
dia pura-pura tak menyawab.
Pada lain saat, dia mendengar
Ceng Tong mengeluarkan titah: “Hiang Hiang KiongCu dan beberapa sahabat HONG
HWA HWE dikepung musuh, kita harus menolong dengan segera. Tapi karetaa pasukan
kita hanya sedikit, maka kalian harus hati-hati, jangan sampai kena terkepung.
Begitu dapat menolongnya, harus Cepat-cepat kembali. Kita bagi pasukan kita
menjadi dua, yang separoh menolong, yang separoh menunggu kira-kira pada jarak
sepuluh li, untuk menyambutinya.”
Para pemimpin barisan itu
serempak mengiakan.
“Pasukan yang menolong, pun
dipecah menjadi dua. Kompi kesatu, terdiri dari seribu orang, membawa bendera
merah. Dibawah pimpinan sdr. Jasman. Pasukan ini, menye rang masuk dari sebelah
utara. Kompi kedua dengan bendera putih, pun terdiri dari seribu orang,
dipimpin oleh sdr. Utiali Khan, menyerang dari sebelah selatan. Aku bersama LoyaCu
(Bok To Lun) masing-masing memimpin seribu serdadu, akan bertugas
menyambutnya,” kedengaran Ceng Tong memberi perintah pula.
Mendengar itu, rupanya Bok To Lun
akan berkata sesuatu, tapi tidak jadi.
Sementara itu, diam-diam Horta
berpikir: “Oh, kiranya tentara Ui hanya berjumlah empat ribu. Tiau-Ciangkun
mengiranya ada 15 ribuan, maka dia begitu hati-hati mengatur pasukannya.”
Memikir begitu, kembali
kedengaran Ceng Tong berkata:
“Nah, sekarang sdr.dua boleh
kembali ketempat masing-masing. Sehabis makan, kita nanti berangkat!”
Setelah para pemimpin barisan
berlalu, Bok To Lun me nanyakan, mengapa Ceng Tong hanya mengeluarkan begitu
sedikit anak tentaranya.
“Kalau kita kerahkan semua empat
ribu orang, tentu bakal tak ada yang menyambutnya, kan berabe nanti. Astaga!
Jangan-jangan pembicaraan kita tadi didengar oleh utusan itu. Coba kulihat
dia!”
Horta kaget, Buru-buru itu
menggeros lagi.
Tak lama kemudian, Ceng Tong
masuk dan memakinya: “Huh, dia tidur seperti babi saja!”
Untuk membuktikan, ditendangnya
tubuh Horta. Horta menggulet dan menguap. Pelan-pelan dia membuka matanya.
Ceng Tong kembali memberi sebuah
tendangan, sambil
bentaknya: “Sudah tidur Cukup apa
belum?” Horta ionCat bangun.
“Aku sudah jatuh ketanganmu,
kalau mau bunuh, bunuhlah. Tapi jangan terlalu menghina!”
Ucapan garang dari orang Boan
yang licik itu, bukan karena dia tak takut mati. Tapi disebabkan dia Cukup
kenal akan watak orang Ui yang menaruh penghargaan terhadap bangsa ksatria.
Makin menunyukkan keberanian mati, tentu makin dianggap sebagai orang perwira.
Maka dia terus bersikap keras.
“Hm, kau masih berlagak gagah,
ja?” kata Ceng Tong. “Kalau benar kau ada kepandaian, mengapa sampai bisa
tertangkap?”
“Kita berjumlah sedikit, terpaksa
menyerah kepada orang-orang mu yang berjumlah banyak sekali. Wajar bukan? Tapi
kalau satu lawan satu, kiranya diantara orang-orang mu itu tentu tak ada yang
sanggup menandingi aku.”
“Huh, jangan pentang mulut lebar.
Tak usah jauh-jauh, kalau kau bisa menangkan aku, nanti kulepaskan,” kata Ceng
Tong.
“Ucapan seorang kunCu
(gentlemen), seperti larinya seekor kuda. Apa omongmu itu dapat diturut?” Horta
menegas.
“Tapi apa katamu kalau kau
kalah?” balas bertanya Ceng Tong.
Horta tak lekas memberi
penyahutan, hanya merenung: “Seorang nona yang sedemikian Cantiknya, masa bisa
mela wan aku. Baiklah ku-uCapkan beberapa janji yang enak kedengarannya.”
“Dipanggal batang leherku, atau
dikubur hidup-hidupan, aku takkan penasaran,” katanya kemudian.
“Baik, mari kita keluar kesana
untuk menetapkan siapa kalah dan siapa menang,” kata Ceng Tong terus melangkah
keluar diikuti Horta.
Melihat tingkah puterinya itu,
Bok To Lun kerutkan ji datnya. Dia heran mengapa Ceng Tong berbuat hal yang
aneh begitu. Dalam ketegangan urusan ketentaraan sebagai saat itu, masa ia mau
meladeni urusan tetek-bengek. Namun dia tak keburu mencegah, dan terpaksa
mengikut keluar.
Anak pasukan Ui sewaktu mendengar
nona pemimpin mereka akan pi-bu (bertanding silat) dengan utusan Boan, sama
berkerumun menyaksikan. Saat itu salju turun dengan lebat dan anginpun
menderu-deru .
Berdiri disebelah kiri, Ceng Tong
siap dengan pedang, katanya: “Kau mau pakai senjata apa?”
“Golok!” sahut Horta.
Atas isyarat Ceng Tong, seorang
Ui membawakan beberapa batang golok. Horta memilih sebatang yang paling berat.
Untuk menCobanya, dia membolang balingkan kian kemari, hingga mengeluarkan
samberan angin yang keras.
“Kau adalah fihak tetamu, silakan
menyerang dulu!” kata Ceng Tong.
Sekali melesat maju, tanpa
sungkandua lagi, Horta mem baCok. Belum sampai ditempat sasarannya, tiba-tiba
merobah dengan menabas. Ceng Tong gerakkan pedangnya menangkis. Tapi tabasan
Horta itu hanya serangan tipu, karena tiba-tiba ditariknya pulang sambil
meloncat menyingkir.
Terang dia mau menunyukkan sikap
mengalah. Sebagai tetamu menghormat tuan rumah. Lakidua tak boleh menghina
wanita. Tapi disamping itu, dia memang harus menyingkir, karena kalah posisi.
“Tak usah main sungkandua!” seru
Ceng Tong.
Menyusul nona itu gerakkan
pedangnya dalam tipu “gunung salju tiba-tiba meletus,” dari samping menusuk
paha kiri lawan. Horta menghantamkan goloknya kearah batang pedang itu. Tapi
Ceng Tong Buru-buru menarik pulang pedangnya, sembari ber-putardua. Tahu-tahu
ujung pedangnya menyambar punggung orang.
“Bagus!” puji Horta.
Tak hendak dia berputar diri, Cukup
tangannya dikibaskan kebelakang, kembali goloknya akan menabas batang senjata
sinona.
Horta adalah murid dari t j abang
Tiang Pek Pai di Liauw-tang. Gerakannya sebat, ilmunya golok lihai sekali.
Melihat kelihaian sinona bermain pedang, iapun tak berani ajal. Seluruh
kepandaiannya dikeluarkan,
Demikianlah keduanya bertempur
dengan hebat. Sampai jurus ke-delapan0, belum nampak siapa yang lebih unggul.
Lewat tiga 0 jurus lagi, gerakan Ceng Tong kelihatan agak lambat. Tangan
kirinya beberapa kali dipakai menghapus keringatnya. Dengan gerak “angin dan
pasir menutup matahari,” ia memapas pundak kiri Horta.
Horta, menangkis, ‘trang’, sesaat
kedua senjata beradu, pedang Ceng Tong terlempar dari tangannya. Orang-orang Ui
serempak berseru kaget.
Tapi kedua orang itu
masing-masing loncat tiga tindak kebelakang. Horta tegakkan goloknya, mukanya
berseri-seri, Ceng Tong mengelah napas, ia berkata: “Ah, ilmu golokmu
benar-benar lihai. Janji telah kunCapkan, sekarang kau boleh bebas!”
Dan berpaling kepada pengawalnya,
Ceng Tong perintahkan supaya kuda dari siutusan itu, dikembalikan.
Bergegas-gegas Horta memberi
hormat terus akan Cemplak kudanya, tapi tiba-tiba Ceng Tong mencegahnya:
“Tunggu!”
Dengan sebelah kaki dipanyatkan
pada pelana kuda, dan kaki yang satu masih menginyak tanah, Horta siap
menunggu.
“Kalau sudah pulang, keadaan
ketentaraan disini, jangan sekali kau katakan pada lain orang. Lebih dulu,
berikanlah sumpahmu, baru nanti kulepaskan.”
“Ah, apa gunanya sumpah? Biar
kubikin senang hatinya,” pikir Horta, maka iapun berkata: “Baik. Kalau sampai
aku bocorkan keadaan tentaramu, biarlah langit dan bumi me numpasnya!”
“Kau pergilah dengan bebas!” seru
Ceng Tong. Dan Hortapun segera keprak kudanya.
Dari wajahnya yang merah padam,
nampak Ceng Tong sangat payah. Balik kedalam kubu, ia tengkurapkan kepala nya
diatas meja, napasnya tersengaldua.
Melihat itu Bok To Lun
Cepat-cepat menegurnya: “Kau banyak sekali keluarkan tenaga hanya untuk
mengalah pada bangsat itu. Supaya lain orang tak mengetahui, kau pura-pura
menjadi ke payahan begini rupa. Mengapa? Supaya dia pulang melapor, supaya
mereka ketahui bagaimana kita kirim bala bantuan dan supaya adikmu tidak dapat
kita tolong?”
“Benar, memang sengaja kuberlaku
kalah, memang se-ngaja supaya dia melapor, dan memang sengaja supaya musuh tahu
bagaimana kita akan kirim bantuan. Tapi, pasukan apa yang kita nanti
kirim......... tidak seperti itu.”
Bicara sampai disini, Ceng Tong
masih tersengal-sengal. Kira nya kepandaian Horta itu, bukannya lemah. Untuk
menun dukkannya, bagi Ceng Tong memang mudah. Tapi untuk ber-pura-pura kalah,
dengan musuh betul-betul tak mengetahui, benar-benar bukan pekerjaan ringan.
Oleh karenanya, ia menjadi ke payahan begitu rupa.
“Benarkah kata-katamu itu?”
menegas Bok To Lun.
“Oh, ayah, jadi kaupun menyang
sikan diriku?”
Melihat puterinya
berlinang-linangair mata itu, Bok To Lun tidak tegah.
“Baiklah, terserah padamu,”
katanya kemudian.
Ceng Tong segera perintahkan
pukul genderang. Dan sekejab pula, para pemimpin barisan masuk. Ceng Tong
mengambil tempat duduk, di-apitdua oleh ayah dan kokonya yang sama berdiri.
Diluar, s.alju makin lebat. Kembali Bok To Lun terkenang akan puterinya yang
kecil, yang kalau tidak kelaparan tentunya kedinginan.
“Pemimpin regu kesatu dari
barisan Ang Ki, lekaslah berangkat dan siapkan bayhok (barisan pendam)
disebelah timur dari tebat lumpur yang luas disebelah timur Gobi. Regu kedua,
ketiga, keempat, kelima dan keenam, lekas siapkan seluruh rakyat tani dan
penggembala. Nanti didekat tebat lumpur itu harus begini,” Ceng Tong keluarkan
titah sambil memegang lengCi.
Dengan masing-masing membawa
seribu anak buah, berangkatlah keenam pemimpin regu itu. Sebaliknya, Bok To Lun
tidak puas melihat sang puteri kerahkan sekian banyak sekali orang itu, hanya
untuk mengerjakan pembangunan, bukan untuk menolong yang terkepung.
“Pemimpindua dari regu kesatu,
kedua, dan ketiga dari pasukan Pek Ki, kalian menuju kekota Yalkand dan pada
kedua tepian sungai Hitam harus melakukan begini.........”, seru Ceng Tong
pula. “Dan pemimpin regu pertama dari pasukan Hek Ki, serta pemimpin dari regu
Kazak, kalian nanti harus berbuat begini diatas gunung ditepi Sungai Hitam. Dan
pemimpin barisan Mongol, harap berpusat digu-nung Ingkiban, dan bertindak
begini!”
Setelah para pemimpin regudua
barisan itu berlalu, berkatalah Ceng Tong kepada ayahnya:
“Yah, kau menjadi pemimpin dari
barisan Ang Ki yang menuju ketimur. Dan kau, koko, sebagai puCuk pimpinan dari
pasukan Pek Ki, Hek Ki, Kazak dan Mongol yang menuju kearah barat tadi. Aku
pegang pimpinan regu kedua dari pasukan Hek Ki yang akan memberikan komando.
Ren Cana kita adalah begini...............”.
Baru hendak ia menjelaskan,
tiba-tiba Bok To Lun» berjing krak, serunya: “Dan siapa yang bertugas
menolongnya?”
Ceng Tong tak mau meladeni
pertanyaan ayahnya, ia terus mengeluarkan perintah lagi: “Dan Regu ketiga dari
pasukan Hek Ki, kalianlah yang harus menyerbu dari sebelah timur. Regu ke-4
dari Hek Ki, kalian menyerbu dari d jurusan barat. Kalau nanti berhadapan
dengan tentara Ceng harus begini. Lebih dulu kalian harus bertukaran kuda
dengan anak buah pasukan Ang Ki. Pilihlah kuda yang terbagus, jangan sampai ada
seekorpun yang jelek”.
Kedua pemimpin regu itupun segera
berlalu.
“Ha, kau telah kerahkan1 1tiga
ribu tentara kita untuk pe kerjaan yang tidak berarti. Sedang yang ditugaskan
untuk menolong, hanya dua ribu orang. Itupun terdiri dari orang-orang tua dan
anakdua. Apakah maksudmu?” lagi-lagi Bok To Lun me nyelatuk dengan sengit.
Kiranya, dalam ketenteraan orang
Ui, pasukan Ang Ki (bendera merah) dan Pek Ki (bendera putih), adalah tentara
pilihan. Pasukan Hek Ki (bendera hitam), agak berkurang daya tempurnya. Sedang
regunya ke-tiga dan ke-4, terdiri dari orang-orang tua dan anakdua yang belum
dewasa. Sudah tentu lemah. Dan memang bisanya, mereka hanya ditugaskan sebagai
penjaga dan urusan pengangkutan. Jarang sekali disuruh maju kemedan pertempuran.
Rupanya Ah In, juga terpengaruh
dengan kata-kata ayahnya tadi. Biasanya dia paling menurut dan kagum pada
adiknya itu, tapi saat itu, iapun menjadi sangsi, “Rencanaku adalah
............”, tapi belum lagi Ceng Tong sempat menjelaskan, menCetuslah
kemarahan Bok To Lun. “Aku tak percaya kata-katamu lagi!” demikian teriak orang
tua itu dengan keras. “Kutahu kau suka pada Tan-kongcu, tapi dia sebaliknya
Cinta pada adikmu. Untuk itulah maka kau bermaksud membiarkan mereka mati. Ha,
kejam sekali hatimu!”
Penuh sesak dada Ceng Tong
menahan perasaan hatinya. Tangan dan kakinya serasa menjadi dingin,
hampir-hampir jatuh pingsan ia.
Memang kata-kata sang ayah itu
agak keterlaluan. Tanpa dipikir lebihjauh, terus dia mengeluarkan kata-kata
yang begitu menusuk hati sang puteri.
Tapi pada lain saat, orang tua
itupun jernih kembali pi kirannya. Sesaat dia tampak bingung. Habis itu, dia
segera menghampiri kudanya.
“Biarlah aku binasa bersama
Asri!” serunya tiba-tiba sambil me-mutardua goloknya diatas kuda, lalu sambungnya
pula: “Regu ke-tiga dan ke-4 dari Hek Ki, mari ikut aku!”
Saat itu, kedua regu barisan itu
sudah selesai menukar kuda. Mereka segera mengikut Bok To Lun. Di-tengah-tengah
hu jan salju dan deru angin, berangkatlah kedua regu itu.
Melihat wajah Ceng Tong puCat, Ah
In merasa kasihan. Dia menghiburnya: “Moaymoay, ayah sedang kalut pikiran nya,
sehingga tak tahu apa yang diuCapkan itu. Harap kau jangan taruh dihati.”
Sampai sekian lama Ceng Tong
termenung tak dapat memberi jawaban. Kemudian berkatalah ia: “Koko, pimpinlah
pasukan Ang Ki yang berada disebelah timur. Aku akan menyambut ayah.”
“Tapi kau begitu lelah, baik
mengaso dulu. Biar aku sa ja yang menyambutnya.”
“Tidak, aku saja” seru Ceng Tong
tetap.
Begitulah nona itu segera pimpin
regu kedua dari Hek Ki. Dengan begitu, yang masih tinggal diperkubuan orang Ui,
hanyalah kira-kira tiga 00 orang. Mereka adalah serdadudua yang terluka.
Limabelas ribu orang Ui, dikerahkan kemedan pertempuran pemua,
Baik menengok pada Sim Hi, boCah
itu larikan kudanya keras-kerasuntuk kembali pada rombongan Tan Keh Lok. Meno
bros dalam daerah pengepungan, ternyata tentara Ceng itu seperti membiarkan
saja. Hanya beberapa puluh anak panah yang dilepaskan, dan ini sudah tentu
dapat dihindari Sim Hi. Ketika dekat tiba ditempat rombongan, Ciang Cin segera
menyambutnya dengan gembira.
“Sim Hi, kau sudah kembali?”
teriak sibongkok itu. Tapi boCah itu tak menyahut. Begitu turun dari kuda, dia
telah tuntun binatang itu masuk kedalam lubang perlindungan. Ramaidua
orang-orang itu menanyakan, tapi Sim Hi segera numprah ditanah dan menangis
keras-keras.
“Yangan nangis, sudahlah,
bagaimana?!” tanya Ciu Ki.
“Ah, apa yang harus ditanyakan
padanya. Hwe Ceng Tong tentu tak mau mengirim pasukan,” kata Thian Hong.
“Ya, aku sudah berlutut
dihadapannya dan menjura ...... dengan sangat mintadua ......... tapi
sebaliknya, ia mendamprat aku ............”
Kata Sim Hi itu terputus-putus
karena sesenggukan. Dan habis itu, kembali dia menangis gerungdua. Semua orang
terpaku diam.
Melihat itu, Hiang Hiang KiongCu
segera menanyakan pada Tan Keh Lok, tapi yang belakangan ini karena tidak
menginginkan Hiang Hiang berduka, ia memberi penyelas an lain, katanya: “Tadi
dia sudah keluar, tapi sampai setengah hari, tak bisa menembus kepungan musuh.”
Hiang Hiang menjadi kasihan, lalu
diambilnya saputa ngannya diberikan pada Sim Hi, siapa terus menyambutinya.
Tapi ketika akan dipakainya untuk mengusap, tiba-tiba dia endus bebauan yang
sangat harum. Tak berani dia memakainya. Buru-buru ia pakai lengan bajunya,
mengusap air mata dan ingusnya. Setelah itu, saputangan tadi dikembalikan pada
yang punya.
“Kita terkepung tak dapat keluar,
Suko, bagaimana pen dapatmu?” tanya Thian Hong kemudian pada Bun Thay Lay. Thay
Lay heran mengapa “Khong Beng” itu tanya pen-
dapat padanya, bukan pada Tan Keh
Lok. Tapi setelah merenung sebentar, tahulah ia apa maksud Thian Hong itu.
Sahutnya: “Congthocu, kau bawalah nona ini naik kuda putih dan lekaslah
menobros keluar!”
“Hanya kita berdua?” menegas Keh
Lok.
“Benar! Untuk keluar semua,
terang tak mungkin. Kau mempunyai tugas besar. Selain saudara-saudara dari HONG
HWA HWE memerlukan pimpinanmu, pun tugas membangunkan rakyat Han, terletak
dipundakmu,” sahut Thay Lay.
“Asal kau dapat lolos, kita akan
mati dengan meram,” ramaidua Jun Hwa, Hi Tong dan Ciu Ki ikut berkata.
“Kalau sdr.dua binasa, masakah
aku saja yang hidup?” kata Keh Lok dengan bersemangat.
“Congthocu, keadaan sudah keliwat
mendesak. Kalau kau tidak mau, maafkan, kita akan memaksamu,” kata Thian Hong.
Keh Lok merenung sejurus, laki
mengiakan. Kuda putih dituntunnya keluar. Setelah memberi hormat pada sekalian
orang, dia segera pondong Hiang Hiang keatas kuda.
Bahwa saat itu adalah saat mati
atau hidup, tahulah semua orang. Hati masing-masing penuh dengan perasaan
terharu. Malah Lou Ping, sudah kucurkan air mata. Tapi sebaliknya, seperti tak
menghiraukan apa-apa, Keh Lok terus keprak kudanya.
Masih orang-orang HONG HWA HWE
itu menaruh kekuatiran, jangan-jangan Congthocu mereka tak berhasil menembus
kepungan musuh. Karenanya, mereka sama Cemas. Untuk menghibur, berserulah Bun
Thay Lay keras-keras: “Kita disini, termasuk Congthocu dan nona Ui itu,
berjumlah sepuluh orang. Kini sudah berhasil membunuh tujuh delapan puluh
orang. Saudara-saudara, berapa lagi yang harus kita bunuh sebelum kita
meninggal?”
“Paling sedikit harus sepuluh0
orang!” sahut Lou Ping.
“Ah, tentara Ceng itu keliwat
jahat, kalau sudah membunuh tiga 00 orang, baru puaslah kita,” seru Ciu Ki.
“Baik, mari kita mulai menghitungnya,”
kata Bun Thay Lay.
“Aku menghendaki lima puluh0!”
tiba-tiba Ciang Cin turut mengeluarkan suara.
Juga Jun Hwa yang tengah menjaga
diatas, ikut berpaling dan berseru: “Kini kita tinggal delapan orang. Harga
dari seorang enghiong HONG HWA HWE, harus sama dengan sepuluh0 serdadu Ceng.
Buktikanlah!”
Justeru saat itu, ada tiga orang
serdadu musuh tengah merajap mendatangi. Jun Hwa Cepat-cepat pentang busurnya,
dan berhamburlah tiga batang anak panah.
“Satu, dua, tiga! Bagus Kiuya,
bagus!” seru Sim Hi meng hitungnya.
“Begitulah! Untuk membinasakan
kita, bukanlah hal yang mudah, harus musuh tukar delapan00 d jiwa serdadu,”
demikian Hi Tong ikut berkata dengan bersemangat.
“Wah, makin berat sjaratnya.
Kalau sampai tidak sejumlah itu, bukankah kita akan mati tak rela?” kata Thian
Hong
“Kalau begitu, minta saja supaya
Siang-ngoko dan liok-ko terlambat sedikit datangnya”, tertawa Lou Ping.
Mendengar omongan itu semua orang
tertawa geli. Kira-nya Siang He Ci dan Siang Pek Ci itu mempunyai gelaran Hek
Bu Siang dan Pek Bu Biang atau setandua gentajangan hitam dan putih. Menurut
Cerita, kalau orang mati, setandua itulah yang menawan nyawa.
Dalam menghadapi maut itu,
kedelapan orang itu masih tetap gembira. Sebenarnya Sim Hi merasa takut, tapi
demi dilihatnya sekalian sama berCanda, iapun bersemangat, pi kirnya: “Kongcu
adalah seorang enghiong sejati. Tak boleh aku membikin malu padanya.”
Ciang Bongkok ter-tawadua seperti
orang gendeng. Dengan berjumpalitan dia berteriak: “Ha, hari ini aku hendak
bertamasja kesjorga. Biarlah kuCari pengiring delapan00 orang dulu!”
Tiba-tiba disebelah atas, Jun Hwa
menegur dengan bengis: “Siapa itu?!”
“Mengapa tak bulatkan saja
jumlahnya menjadi sepuluh00?” sahut satu suara.
“Astaga! Kau, Congthocu, mengapa
balik?!” tanya Jun Hwa dengan kaget.
Loncat kedalam lubang, berkatalah
Tan Keh Lok dengan tertawa: “Setelah kuantarkan ia, sudah tentu aku harus
kembali kemari. Bukankah dahulu waktu Lauw Pi, Kwan Kong dan Thio Hwi telah
mengangkat sumpah akan mati pada hari, bulan dan tahun yang sama? Sayang mereka
tak dapat laksanakan sumpah itu. Sebaliknya kita, sembilan persaudaran ini,
akan dapat mewujudkan sumpah kita.”
Melihat sang ketua berkeras
begitu, semua orangpun tak dapat berbuat apa-apa. Karena perCuma saja akan
membujuknya, maka merekapun berseru dengan girang: “Bagus, kita akan mati pada
hari, bulan dan tahun yang sama. Bahagialah kematian itu!”
“Sim Hi, saudara yang baik! Mulai
sekarang jangan kau panggil aku Siaoya lagi. Kau adalah Capgo-te kita!” kata
Keh Lok.
“Tepat sekali!” sahut sekalian
orang.
Sim Hi terharu sekali. Dia
menangis tersedu-sedu.
Salju dalam lubang itu menebal
sampai beberapa dim. Sambil membuanginya keluar, jago HONG HWA HWE itu tetap
ber Canda.
“Wah, kalau saat ini ada arak,
betapakah bahagianya!” kata Thian Hong.
“He, kau mau menggoda aku, ja?”
teriak Ciu Ki dengan mata melotot.
Semua orang tertawa.
Hi Tong tampak melonggong.
Tiba-tiba dia berkata kepada Bun Thay Lay: “Suko, aku mempunyai suatu urusan
yang menyakiti hatimu. Tak dapat kubawa hal itu sampai meninggal!”
“Apa?” tanya Bun Thay Lay.
Tanpa tedeng alingdua lagi, Hi
Tong segera tuturkan per buatannya yang kurang senonoh terhadap Lou Ping ketika
lolos dari Thiat-tan-Hung dulu itu.
“Untuk menebus kesalahanku itu,
aku masuk menjadi hweshio. Suko, sukalah kiranya kau memaafkan?” akhirnya ia
bertanya.
Tertawalah Bun Thay Lay
keras-keras.
“Sipsute, kau kira aku tak
ketahui hal itu? Bukankah aku tetap memperlakukan kau tanpa ada perubahan
apa-apa? En somu tidak bilang apa-apa, tapi akupun dapat mengetahuinya sendiri.
Bahwa orang muda itu sering menurutkan hatinya berbuat kesalahan, itu Cukup
kumaklumi. Karenanya, siangdua aku sudah memaafkan padamu, mengapa perlu kau
minta maaf lagi?” demikian sahutnya.
Mendengar hati yang jantan dari
Pan Lui Hiu itu, kagumlah semua orang. Tapi sebaliknya, Hi Tong sendiri, merasa
malu dan amat terharu.
“Sipsute, yang lalu biarlah lalu,
tak usah kau diungkit-ungkit lagi. Tapi ada suatu hal yang membikin aku tak
senang,” kata Lou Ping dengan tertawa.
Hi Tong melengak, bertanya ia
dengan berbisik: “Apakah itu?”
“Kau adalah seorang hweshio,
kalau pulang, tentu Ji Lay Hud akan menyambut ke Gembira Loka. Sebaliknya, kita
berdelapan ini, akan ditahan ditempat Siang-ngoko dan liok-ko. Hal ini,
bukankah menjalani sumpah persaudaran kita: senang sama-sama dirasakan, susah
sama diderita!” ujar Lou Ping.
Kembali menCetuslah gelak tertawa
orang-orang itu.
Hi Tong serentak menCopot jubah
suCinya, katanya tertawa: “Bahwa hari ini aku telah membunuh jiwa, adalah
melanggar pantangan. Buddha yang maha murah, mulai saat ini TeCu akan lepaskan
pertapaan, rela bersama-sama sekalian saudara dineraka, tak ingin menikmati
kesenangan seorang diri di Gembira Loka!”
Semua orang bertepuk tangan
memuji.
Tepat dengan tepukan itu, Jun Hwa
dan Sim Hi berteriak. Ramaidua orang HONG HWA HWE itu naik keatas. Dibawah
sinar rembulan yang menaungi hujan salju, tampak seorang berpakaian putih
menuntun seekor kuda putih tengah mendatangi. Dia bagaikan dewa sedang melayang
dimega putih.
Pertama, adalah Tan Keh Lok yang
menjadi terperanyat. Buru-buru dia lari menyambutnya.
“He, mengapa kau tinggalkan aku
seorang diri?” tanya orang itu yang bukan lain adalah Hiang Hiang KiongCu.
“Aku ingin supaya kau pulang,
karena aku bersama beberapa saudara ini tengah menunggui maut!” kata Keh Lok
membanting kaki.
Hiang Hiang KiongCu kucurkan air
mata.
“Kalau kau binasa, apakah aku
suka hidup lagi? Tidakkah kau mengetahui isi hatiku?” katanya saju.
Tan Keh Lok tersentak.
“Baik, mari kita ber-sama-sama
pulang!” katanya kemudian. Dan Hiang Hiang dituntunnya masuk kedalam lubang
lagi. “Lekas! Mereka akan menghujani panah!” seru Jun Hwa.
SETIAP Hiang Hiang menyanyikan
satu bait, Keh Lok lalu menterjemahkannya. Memangnya ia seorang sastrawan,
karenanya, dapatlah dia memilih kata-kata yang indah. Sehingga nyanyian itu
bagus sekali maksudnya.
Tentang arti daripada nyanyian
Hiang Hiang itu, ada sebuah Cerita begini:
Dikerajaan Khuyan, raja mempunyai
seorang puteri Cantik yang diberi nama Yohana. Puteri ini sejak kecil, sudah
mengikat janji dengan Tahir, putera perdana menteri. Belakangan karena perdana
menteri itu difitenah, dia Hwa.
UNTUNG kedua orang muda itu sudah
berada didekat lubang, karena pada saat itu, tentara Ceng kembali meng hujani
panah.
“CongthoCu, sebenarnya hendak
kupersalahkan kau, tapi ternyata aku yang salah,” kata Ciu Ki.
“Tidak kunyana enci Ceng Tong
sedemikian kejam hatinya, dan tak kuduga pula, adiknya begini mengasihimu!
Yangan kata ia seCantik bidadari, sekalipun jelek bagai iblis, kalau hati
budinya sedemikian tulusnya, tentu aku Cinta padanya,” ujar Ciu Ki.
Tan Keh Lok tertawa. Ada sahabat,
ada kekasih, sekalipun mati, puaslah.
“Oho makanya kau begitu menyintai
Chit-ko, kiranya dia itu berhati baiklah!” Lou Ping menggoda.
“Memang. Biarpun rupanya jelek,
tapi hati budinya baik,” sahut Ciu Ki.
Dipuji sang isteri dihadapan
orang banyak sekali Thian Hong puas hatinya.
Mengetahui keadaan semua orang
sudah putus harapan, Hiang Hiang KiongCu menyatakan akan menyanyi untuk
menghibur semua orang, Keh Lok segera bilang setuju, maka menyanyilah puteri Ui
itu dengan suaranya yang merdu:
“Thiat-hun-kwan ditepi sungai
Merak, pohon-pohon Mu pada kedua tepiannya menjulur kepermukaan air. Diatas
punCak gunung nan tinggi, terdapat sebuah kuburan, ah, disitulah kuburan Tahir
dan Yohana.”
dihukum mati oleh raja.
Selanjutnya raja melarang pu terinya menikah dengan Tahir. Maksudnya, akan
dinikahkan dengan ksatria hitam, putera dari dorna yang memfitenah ayah Tahir,
dan yang kini dijadikan P.M. baru. Untuk men jauhkan hubungan dengan puterinya,
Tahir dimasukkan kedalam peti dan dihanyutkan di Khong-jiok-ho atau sungai
Merak. Beruntung peti itu dapat ditemu oleh puteri dari raja negeri tetangga
yang kebetulan sedang pesiar dengan perahu.
Oleh raja disitu, karena Tahir
ternyata seorang pemuda yang gagah dan pintar, ia akan dipungut jadi mantu
raja. Selanjutnya akan dinobatkan menjadi raja untuk meng gantikannya. Tapi
ternyata Tahir menolak.
“Harta benda, tahta kerajaan
ditambah pula dengan puterimu, masih tak nempil dengan ujung jari dari Yohana,”
demikian kata Tahir.
Raja menjadi gusar, Tahir
dipenjarakan. Tapi untung, dia dapat melarikan diri dan kembali kedalam negeri
asalnya. Pada waktu itu, karena sangat merindukan sang kekasih, Yohana jatuh
sakit. Ayahnya membuat surat palsu dari Tahir untuk menghiburnya. Dan betul
juga, Yohana sembuh. Tapi kembali ayahnya memaksanya untuk menikah dengan Hek
Enghiong atau ksatria hitam.
Rakyat ternyata sangat mencintai
puteri itu. Mereka mengirim hadiah pemberian selamat, sebuah peti besar. Dengan
berlinang-linangair mata Yohana membukanya. Ternyata isinya bukan lain adalah
Tahir...............”
Menyanyi sampai bagian ini, Hiang
Hiang terpaksa berhenti, karena Lou Ping dan Ciu Ki menyela bertepuk tangan.
Kemudian ia melanjutkannya lagi:
“Hek Enghiong menobros masuk.
Timbullah pertarungan pedang antara Tahir dengan Hek Enghiong, dengan berakhir
yang belakangan menemui ajalnya. Tapi Tahirpun ditangkap oleh raja dan dihukum
jiret leher. Puteri Coba mintakan ampun, tapi raja yang sedang gusar itu,
segera membunuh puterinya itu. Rakyat berpawai menggotong jenazah kedua
pasangan setia itu, dengan me-nyanyidua sepanyang jalan.”
Hiang Hiang menirukan nyanyian
penguburan itu dengan nada yang mengharukan sekali. Sekalipun Lou Ping dan Ciu
Ki tak tahu maksudnya, namun mereka pun kuCurkan air mata saking terharu.
Suasana hening sesaat. Tiba-tiba
Jun Hwa tertawa keras dan berteriak: “Kawan-kawan , lihatlah kemari!”
Ketika sudah diatas, semua orang
sama melihat bagaimana enam-tujuh serdadu Ceng ber-kaokdua, tapi tak dapat
bergerak. Kiranya kawanan serdadu itu menyelinap hendak membokong. Hal itu
diketahui oleh Jun Hwa, namun dibiarkan dulu sampai dekat, baru akan dihajar.
Tapi setelah mereka mendengar suara nyanyian Hiang Hiang KiongCu, hati mereka
tergonCang tak tenteram. Mereka tengkurep untuk mendengarkannya.
Dalam hujan salju sedemikian itu,
sekejap saja, badan mereka, telah terpendam salju. Nyanyian selesai, mereka
menCoba untuk bangkit, tapi ternyata sukar. Karena hawa keliwat dingin, tak
lama kemudian kawanan serdadu itu, mati kaku terbenam salju.
Juga rombongan orangdua HONG HWA
HWE itu hampir tak kuat menahan dingin. Sim Hi mengambil sebongkok anak panah,
lalu dibakar untuk pemanas badan. Lou Ping mengawasi Hiang Hiang KiongCu dengan
terkesima...............
Kembali pada kejadian sewaktu
Ciauw Cong disekap oleh keempat raksasa persaudaran Ho Lun. Andaikata Tiau Hwi
tidak keluar, tentu masih belum dilepaskan.
Saking gusarnya, begitu lepas,
Ciauw Cong segera menghantam Ji Houw. Hampir siraksasa kedua itu pingsan,
karena separoh giginya rompal. Keempat saudara itu marah dan serentak menyerbu
maju pula. Tiau Hwi mendamprat nya, baru mereka mundur.
“Tiau-Ciangkun, baginda mengutus
aku kemari untuk dua perkara. Pertama untuk membawa gadis itu kekotaraja,” kata
Ciauw Cong segera.
“Thio-tayjin belum pernah kemari,
mengapa mengenal nya?” sahut Tiau Hwi.
“Orang Ui telah mengirim sepasang
vaas giok selaku minta damai. Hok-thongleng perlihatkan benda itu padaku, maka
kudapat mengenalnya,” tutur Ciauw Cong.
Tiau Hwi mengelah napas.
“Orang lakidua pengawalnya tadi,
bukannya orang Ui. Dialah benggolan dari perkumpulan HONG HWA HWE” kata Ciauw
Cong pula.
“Apa? Mengapa dia kemari?” tanya
Tiau Hwi kaget.
“Baginda menyuruhnya ambil
beberapa barang. Dan aku ditugaskan, begitu dia sudah ditengah perjalanan,
supaya membunuhnya. Karena baginda kuatir barang itu betul-betul ada padanya.
Kini kedua orang itu sudah lolos, sungguh sayang sekali,” Ciauw Cong tepukdua
pahanya dan mengelah napas.
“Ah, Thio-tayjin tak perlu
gegetun. Untuk kedua utusan itu, telah kusiapkan jaringan. Akan kujadikan
mereka berdua sebagai umpan, untuk menjaring ‘ikan besar’. Kalau baginda
menghendaki keduanya, itulah bagus, sekali tepuk dua lalat,” kata Tiau Hwi
dengan tertawa.
“He, bilanglah pada Tek-Ciangkun,
tak boleh membunuh kedua utusan itu. Dan sekarang ‘thiat-kah-kun’ boleh keluar,
sembunyi dikedua samping,” perintah Tiau Hwi pada seorang pengawalnya.
Pengawal itu melakukan dengan
segera.
“Karena kedua utusan itu orangdua
penting, fihak Ui tentu akan kirim balabantuan. Begitu mereka datang, pasukanku
‘thiat-kah-kun’ akan menjepitnya begini!” kata Tiau Hwi sembari kedua tangannya
menCakup ketengah. “Masakan mereka masih bisa bernyawa?” katanya menambahkan
dengan tertawa.
“Aha, Ciangkun pandai sekali
menggunakan siasat. Maka tak heran kalau baginda menaruh keperCajaan besar pada
Ciangkun. Untuk setiap tugas yang penting, tentu Ciangkun yang diserahi,” kata
Ciauw Cong.
Tiau Hwi gembira puas. Tertawalah
dia dengan ter-kekehdua: “Selama ini, orang Ui memang liCin. Sengaja mereka
main ulur waktu. Tapi kali ini, begitu induk kekuatannya hanCur, sisanya
mudahlah.”
“Untuk jasa besar itu, kedudukan
raja muda, kiranya bukan barang yang mustahil bagi Ciangkun,” Ciauw Cong
memuji.
“Tayjin legakan hati saja. Aku
tentu tak lupa akan jasa tayjin,” jawab Tiau Hwi.
Kembali Tiau Hwi titahkan
orangnya supaya mengatur persiapan yang perlu. Kali ini, dia kerahkan tigapuluh
ribu tentara pilihan, sekali gebrak akan menghanCurkan induk pasukan Uigor.
Kini kita tinggalkan kedua
pembesar Ceng yang tengah di mabuk hajal kemenangan besar itu, untuk menengok
keadaan Tan Keh Lok dan Kawan-kawan nya. Dengan melawan hawa yang menggigit
tulang, mereka menjaga semalam suntuk.
Keesokan harinya, hawa kembali
hangat, sekalipun salju masih turun.
Kata Thian Hong: “Mari kita naik
keatas, mungkin musuh akan menyerang lagi.”
Selain Hiang Hiang, kesembilan
orang gagah itu, siap dengan busurnya. Udarapun makin terang. Tapi ternyata
pihak Ceng hanya melepas beberapa anak panah, dan tidak melakukan gerakan
apa-apa.
Tiba-tiba teringatlah Thian Hong
akan sesuatu. Burudua dia tanya Sim Hi: “Apa saja yang ditanyakan nona Ceng
Tong padamu?”
“Ia bertanya, berapa jumlah musuh
yang mengepung kita. Pula ditanyakan, apakah pasukan thiat-kah-kun musuh keluar
tidak?”
“Bagus, kita ketolongan!”
tiba-tiba Thian Hong berteriak kegirangan.
Kawan-kawan nya memandangnya
dengan heran.
“Ah, aku memang orang bodoh,
kenapa menduga jelek pada nona Ceng Tong. Ia ternyata lebih Cerdik dari aku,”
kata Thian Hong sendiri.
“Jelaskanlah!” bentak Ciu Ki karena
mendongkol.
“Kalau pasukan thiat-kah menyerbu
kemari, apakah kita bisa hidup?” tanya Thian Hong.
“Ya, aneh juga, kenapa musuh
tidak menyerang?” jawab Ciu Ki.
“Sekalipun tidak usah
thiat-kah-kun, kalau sekarang pasukan musuh yang berjumlah ribuan itu menyerbu,
apakah kita kesembilan orang ini bisa bertahan?” kembali Thian Hong bertanya.
“Ya, benar. Mereka sengaja belum
mau menyerang, agar fihak Ui kirim bantuan. Tapi nona Ceng Tong sudah dapat
mencium bau, maka ia tak mau masuk perangkap” sela Keh Lok tiba-tiba.
“Dan kalau tak masuk perangkap,
kita kan Celaka?” kata Ciang Cin.
“Tidak!’Ia tentu punya daya
lain”, sahut Keh Lok.
“Nah, memangnya aku tak perCaja
CiCi Ceng Tong begitu jahat”, Ciu Ki tertawa.
Dengan lega hati, orangdua itu
masuk kembali kedalam lubang. Hanya Hi Tong dan Sim Hi yang masih menjaga
diatas.
Kini diCeritakan halnya Horta,
utusan orang Boan itu, sudah tiba dan menghadap Tiau Hwi. Melawan janjinya pada
Ceng Tong, dia tuturkan keadaan tentara Ui semua. Akhirnya, bagaimana dia
kalahkan Ceng Tong, pun tak lupa ditonjolkan.
“Bagus, kali ini besar jasamu,”
Tiau Hwi memujinya.
Namun Ciauw Cong ternyata
berpandangan lain, tiba-tiba ia melangkah maju, terus memegang tangan kanan
Horta, katanya: “Selamat, Ho-tayjin!”
Seketika wajah Horta berobah
meringis kesakitan. Burudua dia tabaskan tangan kirinya pada tangan Ciauw Cong.
Ciauw Cong Cepat gentak tangan
Horta kebelakang, maka terhuyung-huyunglah orang Boan itu sampai delapan tindak
jauh nya. Kalau dia terlambat pasang kudadua, tentu ia sudah mencium tanah.
Horta terkejut berbareng gusar.
Sekali Cabut, ia siap dengan goloknya. Namun ia tak berani bergerak sembarang
an, dan mengawasi isyarat Tiau Hwi. Juga Ciangkun ini tak kurang kagetnya.
Sedikitpun dia tak mengerti maksud Ciauw Cong.
Tiba-tiba Ciauw Cong menghampiri
Horta dan serunya: “Harap Ho-tayjin yangan marah!”
Kemudian berpaling kearah Siu
Hwi, dia menerangkan: “Tiau-Ciangkun, kukuatir laporan Ho-tayjin itu palsu!”
Horta bukan kepalang marahnya,
teriaknya keras-keras: “Aku sudah teken mati ikut pada Ciangkun. Kau ini orang
ma Cam apa, berani omong tak keruan!”
“Memang aku tak berani menuduh
Ho-tayjin melapor palsu. Yang kumaksudkan, orang Ui itu menyelomoti Tayjin
dengan keterangan buatan,” kata Ciauw Cong.
“Bagaimana Thio-tayjin
mengetahuinya?” tanya Tiau Hwi.
“Tadi Ho-tayjin mengatakan, dia
dapat tundukkan Hwe Ceng Tong. Nona itu, benar aku belum pernah berhadapan.
Tapi ia adalah murid dari ‘Thian-san Siang Eng’, tentunya lihai. Dari keterangan
sahabat kalangan piauwkiok, Giam Se Ciang, itu iblis no. enam dari Kwantong
Liok Mo telah binasa ditangannya. Dengan orang she Giam, pernah aku bertemu di
Pakkhia. Bukan hendak meremehkan, tapi kepandaian Giam Se Ciang itu ada lebih
tinggi dari Ho-tayjin ini!”
“Oh, jadi Tayjin tadi telah
menjajalnya!” kata Tiau Hwi.
“Sukalah Ciangkun memaafkan
kelanCanganku tadi,” sahut Ciauw Cong.
“Meskipun kepandaianku Cetek,
tapi masa tak dapat mengatasi anak perempuan semaCam dia? Taruh kata ia
pura-pura kalah, masa aku tidak mengetahuinya,” teriak Horta marah-marah.
Ciauw Cong tak mau meladeni. Tapi
diam-diam dia berkata dalam hati: “Memang orang semaCam kau Ini, mungkin kena
dikelabuhi”.
“Ia sengaja melepaskannya, apa
maksudnya? Ha, tentu supaya aku mengetahui Cara ia mengatur bala bantuan. Hm,
ia kirim dua ribu pasukan penolong, dan dua ribu tentara yang menyambutnya”.
Demikian Tiau Hwi berkata seorang
diri. Dia berjalan kian kemari, memikirkan jawabannya. Tak lama kemudian,
kedengaran dia berkata: “Kalau itu benar suatu siasat, ia tentu tidak hanya
kirim dua ribu orang. Ia maukan aku nanti hanya sediakan tiga-empat ribu
tentara untuk menyambutnya. Hal yang sebenarnya, ia akan kirim lima-enam ribu
tentara, mungkin malah tujuh-delapan ribu, untuk meng hanCurkan pasukanku”.
“Pandangan Tiau-Ciangkun luas
sekali. Memangnya tentu begitu”, kata Ciauw Cong.
“Tapi sekalipun mereka datang
semua, paling banyak sekali hanya lima atau enambelas ribu orang. Dengan
pasukan empatpuluh ribu serdaduku mudahlah kita menCari kemenangan.”
Habis berkata begitu, Tiau Hwi
suruh Horta perintahkan agar ‘thiat-kah-kun’, juga dikeluarkan.
“Bahwa untuk merebut kemenangan,
adalah sudah pasti. Cuma saja kuharap dalam kekaCauan nanti, yanganlah kedua
orang yang dikehendaki baginda itu sampai binasa atau iolos. Baginda tentu akan
murka sekali jika itu ter jadi”, ujar Ciauw Cong.
“Lalu bagaimana pendapat
Thio-tayjin?” tanya Tiau Hwi.
“Menurut pendapatku, lebih baik
sekarang tangkap dulu orangdua itu dan dibawa kemari. Tapi biarlah pasukan
tetap pura-pura mengepung, agar orangdua Ui mau datang,” kata Ciauw Cong.
“Baiklah, Tayjin boleh bawa lima
puluh0 thiat-kah-kun kesana,” segera Tiau Hwi mengatur.
“Mereka hanya sembilan orang
rasanya bawa sepuluh0 orang saja Cukuplah!”
Segera Tiau Hwi keluarkan lengCi,
dan berangkatlah Ciauw Cong kesana.
Sampai didekat lubang, belasan
anak panah segera me nyambutnya. Tiga serdadu thiat-kah kena terpanah muka nya,
terus terjungkal dari kudanya. Ciauw Cong berteriak keras-keraspimpin penyerangan.
“He, thiat-kah-kun datang! Apa
aku keliru menduga?” kata Thian Hong.
“Ya, bangsat Ciauw Cong yang
memimpinnya!” tiba-tiba Jun Hwa berseru.
Teringat akan kematian ngenas
dari Suhunya, mata Hi Tong ber-apidua. Serentak lonCat keatas, dia terus serang
Ciauw Cong dengan kim-tioknya.
Bukan main terperanjatnya Ciauw
Cong. Sampai sekian saat, dia termangu-mangu mengawasi sipenyerangnya, seorang
hweshio bermuka jelek yang bergaja aliran Bu Tong Pai.
Menyusul, Jun Hwa ikut menyerang
dengan sepasang siangkaonya. Baru kini Ciauw Cong layani kedua anak muda itu.
Ditilik dari ilmu silat, Ciauw
Cong jauh lebih kuat. Namun disebabkan kenekadan kedua lawannya itu, lebihdua
Hi Tong yang bertekad bulat akan membalaskan sakit hati su hunya, maka
pertempuran menjadi berimbang.
Saat itu, Berpuluh-puluh serdadu
thiat-kah, sudah ikut menyerbu. Keh Lok, Bun Thay Lay, Thian Hong, Ciang Cin,
Lou Ping dan Sim Hi lonCat keluar menyambutnya.
Sepasang kampak si Bongkok Ciang
Cin, meneryang dengan serunya, tapi pakaian baju dari pasukan thiat-kah itu
tidak tertembuskan. Malah hampir saja dia sendiri kena tertusuk tombak musuh.
Tidak banyak sekali berbeda,
adalah Lou Ping, Sim Hi dan Thian Hong. Betapa hebat mereka mengamuk, tapi
seorangpun tak dapat melukai musuhnya.
Juga tabasan dari Bun Thay Lay,
terpental balik. Saking gemasnya, dia lempar senjatanya, terus menyerang dengan
tangan kosong. Seorang serdadu thiat-kah Coba menusuk dengan tombaknya, tapi
kena ditarik oleh Bun Thay Lay, terus dibetotnya. Begitu terampas, dia terus
sodokkan ujung gagang tombak kemuka lawan. Hebat! Senjata itu berba lik makan
tuan, menyusup masuk kedalam otak.
“Awas, belakang!” tiba-tiba Lou
Ping menjerit.
Bun Thay Lay tidak gugup. Memang
dia berasa ada sam beran angin dari belakang. SeCepat kilat, tangannya kiri
dikaitkan kebelakang, dan tombak dari sipenyerang itu ter-kempit dalam
ketiaknya. Sedang sebelah tangannya lagi, menarik tombak yang masuk kedalam
muka korbannya tadi, untuk kemudian berputar kebelakang terus melemparkan
tombak itu kemuka sipenyerangnya yang baru itu. Kembali sebuah pemandangan yang
mengerikan! Ujung tombak, masuk kedalam mulut, keluar dari tengkuk belakang.
Demikianlah kalau Pan-lui-Chui,
sedang mengganas. Kini dia gunakan sepasang tombak untuk mengamuk lagi. Dalam
sekejab saja, sudah ada sembilan orang serdadu thiat-kah yang termakan mukanya.
Tan Keh Lok tidak membekal
senjata, keCuali dua batang Cambuk kuda.
“Sim Hi, Ciang-sipte, ikutlah
aku!” teriaknya.
Tapi ajakannya itu, disambut
dengan tusukan tombak dari seorang serdadu thiat-kah. Tan Keh Lok egoskan
tubuh,
menghindar. Cambuk ditangan kiri
disabetkan untuk meng gubat kedua kaki siserdadu. Sekali tarik, terpelantinglah
serdadu itu.
“Sim Hi bukalah topinya!” seru
Keh Lok.
Topi dan pakaian serdadu itu
terbuat daripada besi baja, dan berat sekali. Maka begitu jatuh, sukarlah
serdadu itu akan berbangkit. Sim Hi sangat linCah. Sekejab saja dia sudah
loloskan topi baja siserdadu. Dan sekali si bongkok mengajun kampaknya,
hanCurlah kepalanya.
Demikianlah tiga serangkai itu,
berkelahi dengan Caranya yang istimewa. Tan Keh Lok yang mainkan Cambuk
menggantol kaki, Sim Hi yang melolos topi dan si Bongkok yang menghabiskan
jiwanya. Juga Cara ini sangat berhasil. Delapan atau sembilan serdadu dapat
dibinasakan dalam sekejab.
Sisa dari kawanan serdadu
thiat-kah itu, Copot nyalinya. Diamuk oleh Bun Thay Lay dan dijirat Tan Keh
Lok, mereka berteriak sembari mundur.
Adalah disaat itu Jun Hwa dan Hi
Tong sudah kewalahan menghadapi permainan ‘jwan-hun-kiam’ dari Ciauw Cong.
Burudua Thian Hong maju membantu. Melihat anak buahnya lari semua Ciauw Cong
perhebat desakan. Begitu ketiga lawannya mundur, iapun lalu tinggalkan mereka.
Bun Thay Lay hendak mengejar,
tapi disambut dengan hujan panah oleh pasukan Ceng.
“Lekas kemari!” tiba-tiba Lou
Ping berteriak dengan kuatir terus lonCat masuk kedalam lubang. Kawan-kawan
nyapun segera mengikut.
Ternyata disitu Ciu Ki tengah
mengadu jiwa dengan 4 orang serdadu. Nampaknya sangat keripuhan sekali. Ram
butnya terurai, mukanya berlepotan darah dan lumpur. Disaat Kawan-kawan nya
bertempur dengan serdadu thiat-kah tadi, diam-diam keempat serdadu Ceng itu
menyelinap masuk kedalam lubang. Karena sempit, serdadudua tidak dapat
menggunakan tombak, dan hanya pakai golok.
Gusarnya orangdua HONG HWA HWE
itu tak terkira. Mereka berbareng menyerbu. Lou Ping dapat menikam seorang, Jun
Hwa seorang, sedang Bun Thay Lay dapat menerkam dua orang.
Terus dibenturkan kepalanya satu
sama lain, hingga peCah.
Thian Hong burudua menolong
isterinya. Ternyata Ciu Ki mendapat luka lagi dua kali, ditangan dan pundaknya.
Hiang Hiang KiongCu robek pakaiannya buat balut luka itu.
“Tiau Hwi mengurung kita disini,
supaya fihak Ui kirim bantuan. Ini tentu garadua Ciauw Cong, maka mereka akan
menangkap kita,” kata Thian Hong.
“Tadi dia mundur tentu masih
penasaran. Rasanya akan membawa anak buahnya datang lagi,” ujar Keh Lok.
“Mari kita gali lagi lubang
perangkap, untuk tangkap bangsat itu,” usul Thian Hong.
Untuk membekuk Ciauw Cong, adalah
menjadi idamduaan setiap Anggota HONG HWA HWE Menuruti petunjuk Thian Hong,
mereka membuat sebuah lubang disebelah utara. Diatasnya, bertutupkan salju
setebal setengah meter, tapi didalamnya merupakan lubang. Sedikitpun tak
kelihatan.
“Kalau bangsat itu munCul lagi,
CongthoCu harus me mikatnya supaya datang kemari,” pesan, Thian Hong.
Tepat pada waktu itu, Ciauw Cong
benar-benar datang dengan sepasukan serdadu thiat-kah-kun lagi. Karena bermula
dia sudah omong besar pada Tiau Hwi hanya akan membawa seratus orang, maka apa
boleh buat, kini dia hanya, kumpulkan lagi sisa anak buahnya itu, terdiri dari
beberapa puluh orang saja. Mereka kini memakai perisai.
Berturut-turut Jun Hwa lepaskan
anak panah, semua kena ditahan perisai mereka. Maka dengan tertentu, kini
mereka dapat tiba, dimuka lubang.
Tiba-tiba Tan Keh Lok lonCat
keluar, serunya pada Ciauw Cong: “Mari kita putuskan, siapa yang kalah dan
menang.”
Melihat ketua HONG HWA HWE itu
tak membekal senjata, Ciauw Cong lalu lempar senjatanya.
“Baik. Hari ini kita selesaikan
benar-benar!” sahutnya.
Demikianlah keduanya segera
bertarung dengan tangan kosong. Tan Keh Lok keluarkan ilmu silatnya
“peh-hoa-joh-kun.” Sedang Ciauw Cong gunakan ilmu silat tangan kosong dari Bu
Tong Pai yang lihai, jakni “bu-kek-hian-kong-kun.”
Bun Thay Lay, Thian Hong, Ciang
Cin, Jun Hwa, Hi Tong dan Sim Hi berenam lonCat keluar. Pertempuran segera
peCah dengan hebat. Tan Keh Lok terus main mundur-mundur. Pelan tapi tentu, dia
mendekati lubang dibawah salju. Dua langkah lagi, Ciauw Cong pasti akan
terperosok masuk.
Dalam saat yang genting itu,
tiba-tiba ada seorang serdadu thiat-kah menyerbu. Cepat menginjak diatas salju
tadi, menjeritlah dia keras-kerasterus terperosok masuk. Hanya je ritan seram
yang terdengar. Orangdua menduga, tentulah itu Lou Ping yang tengah
menghabiskan jiwa siserdadu. Memang nyonya itulah yang siap menunggu dibawah.
Ciauw Cong terkesiap. Sebaliknya
kini Tan Keh Lok berlaku nekad. Dia maju menubruk lawannya, menyikapnya
keras-kerasuntuk didorong kedepan. Tapi orang she Thio itu sudah pasang
kudadua, kokoh bagaikan terpaku ditanah. Dia gunakan tenaganya berbalik
mendorong. Begitulah Dua-duanya, sama berkutetan. Yang satu tak dapat lolos,
sedang yang lain tak dapat mendorongnya.
Tiba-tiba ada dua orang serdadu
thiat-kah menusukkan tom baknya kepada Tan Keh Lok. Thian Hong terkejut. Cepat
dia lonCat maju. Dengan tongkat dia tolak ujung tombak, kemudian dia dorong Keh
Lok dan Ciauw Cong yang saling gumul itu kedalam lubang. Ketika kedua serdadu
itu tusukkan lagi tombaknya, dia lalu menghindar dengan bergelundungan.
Jatuh kedalam lubang perangkap,
kedua orang itu, Keh Lok dan Ciauw Cong, sama terlepas. Lou Ping Cepat
menghantam dengan goloknya, tapi dengan lihainya Ciauw Cong dapat merebut
senjata itu. Pikirnya, hendak dia hantam nyonya itu, tapi sebuah tendangan yang
dilunCurkan dari belakang oleh Tan Keh Lok, membuatnya batal.
Kini dia berbalik menyerang Keh
Lok, siapa sembari mengegos kesamping, lalu menotok jalan darah “im-si-hiat”
dipaha lawan. Ciauw Cong Cepat tarik kakinya.
“Sret, sret, sret!” Tiga kali
beruntun Lou Ping lepaskan hui-to, golok terbang. Karena sempitnya, orang tak
dapat bergerak dengan leluasa. Tapi dalam saat-saat berbahayanya itu, Ciauw
Cong dengan gapah sekali dapat menghindari ketiga golok terbang itu.
“CongthoCu, sambutilah golok
ini!” Lou Ping berseru, sembari lempar golok pada Tan Keh Lok.
Dengan gunakan ilmu golok
“kim-kong-hok-houw-to-hwat,” Keh Lok tempur Ciauw Cong yang bersenjatakan golok
pendek bolehnya merebut dari Lou Ping tadi.
Memang kepandaian ketua HONG HWA
HWE itu, beraneka ragam. Dia dapat gunakan segala maCam senjata. Tidak demikian
dengan Ciauw Cong. Dia ini hanya tumpahkan keyakinan nya pada ilmu pedang. Maka
dalam hal adu senjata, dia agak kurang leluasa.
Baru belasan jurus, beberapa kali
Ciauw Cong hampir kena, andaikata dia tak pakai tangannya kiri untuk membantu
dalam ilmu silat tangan kosong.
Sebaliknya, Lou Ping diam-diam
menjadi girang. Sepasang golok “Wan-yang-to”-nya itu belum pernah lolos dari
tangannya. Kini masing-masing dipakai oleh dua jago. Kalau dulu, ia anggap
sepasang goloknya, satu panyang satu pendek, itu samadua lihai kegunaannya,
sekarang baru tahulah ia, bahwa yang panyang itu ternyata lebih lihai dari yang
pendek.
Ciu Ki siap dengan golok untuk
melindungi Hiang Hiang KiongCu, yangan sampai Ciauw Cong nanti main gila.
Mendadak Ciauw Cong lemparkan
golok pendek yang dipegangnya itu keatas, lalu serunya: “Mari kulayani kau
dengan tangan kosong!” — Habis itu, tangan kanan, tangan kiri, susul menyusul
merabu diantara gemerlapnya golok Tan Keh Lok.
“Sambut golok ini!” seru Keh Lok
sambil lemparkan kembali golok kepada Lou Ping.
Berbareng itu, tangan kirinya
menyerang dan menotok jalan darah “jiok-ti-hiat.” Gerakan dalam lubang sesempit
itu, sangat terpanCang. Yangan kata hendak lonCat kian kemari, atau maju
mundur. Maka kedua lawan itu, tumpahkan seluruh kepandaiannya. Mereka tak
berani berlaku ajal. Justeru itu, dalam beberapa puluh jurus kemudian lantas
dapat diketahui yang unggul dan yang kalah.
“Peh-hoa-joh-kun” dari Tan Keh
Lok memang hebat. Tapi tak urung masih kalah sempurna keyakinannya dengan
Ciauw Cong, begitu pula kalah
tenaga. Dengan berlalunya sang waktu lebih lama, makin tampak dia tak dapat
bertahan lebih lama.
Lou Ping Cemas. Hendak ia turun
tangan membantu, tapi sukar untuknya melihat kesempatan yang baik, karena asjik
dan Cepatnya pertempuran itu. Kini makin nyata. Tan Keh Lok dibawah angin.
Tiba-tiba Ciauw Cong kirim sebuah
tendangan. Begitu lawan miring kekiri, dia susuli dengan tonjokan tangan kiri.
He batnya tonjokan itu bukan main, hingga menerbitkan sam beran angin keras.
Dalam keadaan yang gawat itu,
tiba-tiba disebelah atas ada orang berseru: “Awas thiat-tan!”
Ciauw Cong kaget, ia menarik
balik tangannya dan burudua dekap kepalanya. Benar juga, sebuah benda bundar
melayang datang. Ciauw Cong pernah rasakan betapa ngerinya thiat-tan itu, dia
menjadi berCekat dan diam-diam berpikir: “Mengapa situa itu datang? Dari
sebelah atas, tentu hebat sekali timpukannya itu.”
Dia telah ambil putusan, tak mau
menyambuti atau menghindar. Sekali enjot, dia melesat tinggi keatas.
“Bum”......
demikian suara thiat-tan
menghantam lubang. Dan menyusul itu, Thian Hong lonCat kedalam lubang.
Kiranya sejak Ciu Tiong Ing
bermenantukan Thian Hong, dia turunkan ilmunya thiat-tan pada sang menantu.
Thian Hongpun mejakirikannya dengan sungguh-sungguh. Dan kali inilah untuk
pertama kalinya dia menCoba kepandaian itu. Malah disertai meniru bentakan dari
mertuanya. Benar timpukannya itu tak berhasil, namun sedikitnya dapat membikin
kaget Ciauw Cong.
Ciauw Cong menyusuli lagi dengan
sebuah enjotan, terus lonCat keatas. Tapi baru kakinya menginjak tanah, sebuah
samberan dan pukulan yang luar biasa dahsyatnya, menyerang. Belum pernah, dia
bertemu dengan pukulan sehebat itu. Cepat dia angkat tangan kanan, dan berhasil
menangkisnya, tapi dengan berbuat begitu, dia kembali harus lonCat lagi masuk
kedalam lubang.
“Siapa dia? Kepandaiannya tidak
dibawahku,” pikirnya dengan kerkejut.
Baru kakinya menginjak dibawah,
seseorang telah me nyusul dan membentaknya dengan suara menggeledek:
“Penghianat busuk, masih kenal aku tidak?”
Seorang yang bertubuh tinggi
besar, sikapnya gagah perkasa, berdiri dihadapannya. Itulah Pan-lui-Chiu Bun
Thay Lay.
Jun Hwa, Ciang Cin, Hi Tong dan
Sim Hi setelah dapat memukul bujar pasukan thiat-kah, lalu ikut melonCat masuk.
Kini, Bun Thay Lay berhadapan muka dengan musuhnya besar. Disekelilingnya,
adalah Tan Keh Lok dan Kawan-kawan nya.
Teringat akan sakit hatinya di
Thiat-tan-Chung, dan pen-deritaannya selama ini, alis Bun Thay Lay terangkat
naik, matanya ber-apidua, gerungannya makin dahsyat. Sekali gerak, dia terus
gunakan ilmunya istimewa “pi-lik-Ciang” atau pukulan geledek.
Ilmu pukulan itu Menderu-deru
bagaikan kilat menyambar. Hawanya sedemikian rupa seramnya. Se-olahdua ditempat
sesempit itu, dia akan adu jiwa, mati atau hidup. Pertempuran ini, jauh lebih
dahsyat dari Tan Keh Lok tadi. Baik Ciauw Cong, maupun Bun Thay Lay, samadua
keluarkan ilmunya yang paling ganas sendiri.
Melihat sikap Bun Thay Lay yang
sedemikian seramnya itu, Hiang Hiang menjadi ketakutan. Keh Lok menghampiri dan
memegang tangannya, sembari tertawa. Hiang Hiang mengawasi sianak muda, seperti
hendak menanyakan apakah Keh Lok berasa Cape. Tapi Keh Lok gelengkan kepalanya.
Dengan lengan baju, Hiang Hiang usap peluh dan kotoran dimuka pemuda ini.
Tan Keh Lok siapkan tiga biji
Catur. Sewaktu Bun Thay Lay dalam bahaya, segera akan ditolongnya. Menggenggam
biji Catur, teringatlah Keh Lok akan permainan yang digemari itu, pikirnya: “Sungguh
seperti dalam posisi Catur yang ruwet. Ditengah, Bun-suko bertempur dengan
Ciauw Cong. Diluarnya, kita mengepung. Tapi kitapun dikepung oleh pasukan Ceng.
Dan diluar kepungan itu, nona Ceng Tong tengah berdaya untuk menobros masuk.
Masih diluar lagi, induk pasukan Ceng menyusun kepungannya yang kuat pula.
Dalam permainan ini, sekali salah jalan, habislah riwajatnya.”
Orangdua HONG HWA HWE itu Cukup
paham, bahwa Bun Thay Lay akan menCari balas. Karenanya mereka tak mau ikut
turun tangan, hanya mengawasi dipinggir dan menjaga yangan sampai Ciauw Cong
bisa lolos.
Mereka Cukup perCaja akan
kelihaian Sukonya itu. Sekalipun tak menang, tapi pasti tak nanti terkalahkan.
Demikianlah pertempuran itu berjalan dengan gigih sekali. Laksana gelombang
ombak dilaut mendampar batu karang. Betapapun hebat sang ombak mendampar, batu
itu tetap tangguh.
Demikian pertempuran itu. Betapa
hebat Bun Thay Lay menggempur, Ciauw Cong tetap tak bergeming seperti karang.
Entah bagaimana kesudahannya nanti. Dalam pada itu, pasukan Ceng makin
mengepung rapat-rapat. Keh Lok mengerti, bahwa lebih dulu bangsat itu harus
lekas dibereskan, baru nanti dapat mengalihkan perhatian untuk menahan musuh.
Teringat dia akan sebuah Corak
permainan Catur. Dalam keadaan terjepit, harus dapat bertahan dengan gigih
sampai nanti bantuan datang. Timbullah pikirannya: “Lain orang membantu,
mungkin Suko kurang senang. Tapi kalau Suso yang turun tangan, dia tentu tak
marah.”
Cepat dia beri isyarat pada Lou
Ping, siapa terus akan melepas huito. Tapi karena rapatnya mereka yang
berkelahi itu, ia tak berani menimpuk, kuatir mengenai suaminya sendiri.
“CongthoCu, kau turun tanganlah.
Aku tak bisa!” serunya.
Tiga buah biji Catur Keh Lok
segera melayang menCari jalan darah. Ciauw Cong keripuhan menghindar. Dan kesempatan
ini, digunakan Bun Thay Lay untuk menghantam sang lawan. Pada saat pukulan itu
akan mengenai sasaran nya, tiba-tiba disebelah atas terdengar suara sorakan
riuh, derap kaki kuda dan gemerinCing pedang beradu.
“Tan-kongCu, Asri, kalian
dimana?” sekonyong-konyong seorang lonCat kepinggir lubang sambil berseru.
^,Ayah, ayah, kita berada
disini!” teriak Hiang” Hiang.
“Balabantuan datang!
Saudara-saudara mari kita naik, dan bunuh dulu bangsat ini,” seru Keh Lok
segera. Dan semua orang serentak menyerang Ciauw Cong.
Ciauw Cong tahu, biar bagaimana
dia pasti tak dapat menangkis sekian banyak sekali senjata. SeCepat kilat, dia
mendapat akal. Dengan kedua tangan, dia hantamkan kearah punggung Hiang Hiang.
Semua orang kaget dan Cemas.
Serempak mereka maju menolong. Tapi ternyata serangan Ciauw Cong itu hanya
sebuah tipu pukulan yang disebut: “suaranya disebelah timur tapi yang dipukul
sebelah barat.” Tiba-tiba dia tarik kembali pukulannya. Tangannya kanan menjumput
segenggam pasir terus dilontarkan. Mata sekalian orang menjadi pudar, tahu-tahu
Ciauw Cong lonCat keatas.
“Hmm!” tiba-tiba ia menggerung
tertahan. Betisnya kena ditimpuk thiat-tan oleh Thian Hong. Tapi dengan kretek
gigi, dia berhasil juga untuk lolos.
Rombongan orang HONG HWA HWE
lonCat mengudaknya. Disitu Bok To Lun tengah memutar golok menyerang musuh,
diikuti oleh anak buahnya. Pihak Ceng pun keprak kudanya menyambutnya.
Kesitulah Ciauw Cong menyusup, terus menghilang.
Bun Thay Lay dapat merampas
sebatang tombak. LonCat keatas kuda putih, dia maju menyerbu. Tapi Lou. Ping
burudua menCegahnya.
Anak tentara Ui terlatih bagus.
Sekalipun daya tempur dari pasukan Hek Ki itu agak kurang. Tapi karena mereka
yakin, bahwa pertempuran kali ini untuk membela tanah airnya, maka mereka
berkelahi dengan semangat me-nyaladua.
Nampak ayahnya datang, muka dan
kumis siapa penuh dengan darah, burudua Hiang Hiang lari mendapatkannya terus
susupkan kepalanya kedada sang ayah.
“Ayah!” panggil sigadis dengan
terharu.
Bok To Lun memeluknya, dan
meng-usapdua kepala sang anak.
“Anak, yangan takut. Ayah datang
menolongmu!” kata orangtua itu.
Thian Hong berdiri keatas
punggung kudanya, ia menengok keadaan diseluruh penjuru. Tampak disebelah timur
sana, debu mengepul tinggi ditanah bersalju debu bisa mengepul, suatu tanda
disitu tentu bersembunyi pasukan musuh.
“Bok-loenghiong, mari lekas
mundur keatas sebuah tanah tinggi disebelah barat,” seru Thian Hong segera.
Tahu Bok To Lun, bahwa Thian Hong
itu Cerdas sekali. Dulu merampas Quran, adalah dia yang merenCanakan. Dari itu
pemimpin suku Ui itu sangat memperCajainya. Terus dia perintahkan pasukannya
menuju kebarat. Tentara Ceng mengejarnya. Tiba-tiba disegelah barat sana, ada
lagi sebuah rerotan pasukan berkuda yang datang menyerang, hingga pasukan Bok
To Lun terkepung ditengahdua.
Bok To Lun dengan Bun Thay Lay
keprak kudanya untuk menobros, tapi terpaksa kembali karena dihujani panah oleh
musuh.
“Ah, ternyata Ceng-ji benar. Aku
sendiri yang tolol meta nyalahkannya. Kini ia tentu menyesali aku,” pikir Bok
To Lun.
Lekas-lekas Thian Hong ajak
rombongannya naik keatas bukit pasir, dan mengadakan penjagaan sekuat-kuatnya
sampai bala bantuan datang. Rupanya mereka mendapat posisi yang baik sekali.
Beberapa kali, musuh dapat dipukul mundur.
Bok To Lun bagiduakan ransum
kering pada rombongan tamunya. Tepat pada saat itu, mereka memang sudah
kehabisan makanan. Dan sehabis dahar, semangatnya menjadi segar lagi.
Kini balik kita menengok keadaan
Ceng Tong yang membawa pasukannya. Kira-kira belasan li dari tempat musuh, ia
perintahkan berhenti. Itu waktu tengah hari. Para pemimpin barisan dan kurir
berkuda sama memberi laporan.
“Selokandua ditepi tebat
berlumpur telah siap digali,” lapor pemimpin Ang Ki atau pasukan bendera merah.
“Semua penduduk kota Yarkand
sudah diungsikan. Tempat persembunyian sudah ditutup dengan kayu bakar dan
minyak,” lapor pemimpin kompi kesatu dari Pek Ki.
“Dan semua sumurdua didalam kota
tersebut, telah dimasuki raCun,” kata pemimpin kompi 1tiga dari pasukan
tersebut.
Pemimpin pasukan Kazak dan
Mongolpun melapor tentang pekerjaan mereka. Semuanya telah selesai menurut
titah Ceng Tong.
“Bagus, saudara-saudara telah
Cape semua. Sekarang kita bermarkas disebelah timur dari tebat lumpur itu,”
kata Ceng Tong yang terus mengeluarkan lengCi: “Dan kini pemimpin kompi II dari
Ang Ki bawalah lima puluh0 orang untuk menjaga tepi selatan dari sungai Hitam.
Usahakan yangan sampai tentara musuh dapat menyeberang. Paling sedikit, mereka
menyerang dengan sepuluh ribu serdadu. Yangan lawan mati-matian, Cukup kalau
dapat mengulur waktu. Kalau sampai ada seorangpun serdadu musuh yang dapat
menyeberangi sungai, yangan kau menghadap aku lagi.”
Pemimpin itu segera berlalu.
“Pemimpin kompi I dari Pek Ki,
bawalah anak buahmu. Pikatlah supaya musuh mengejarmu kearah barat. Kau harus
berpura-pura kalah, lari terus kegurun besar, makin jauh makin bagus,” atur
Ceng Tong pula.
Tapi Kipanya pemimpin itu
wataknya suka menang, dia tak senang diperintah supaya kalah.
“Kita orang Ui hanya tahu menang.
Aku tak biasa ‘kalah’,” serunya.
“Ini perintahku.” Disepanyang
jalan, kau lemparkan empat ribu ekor kerbau dan sapi yang kau bawa itu, agar
mereka terpikat dan merampasnya,” kata Ceng Tong.
“Mengapa ternak diserahkan musuh?
Aku menolak!”
Mulut Ceng Tong dikatupkan
kenCangdua, dengan keren ia menegaskan: “Jadi kau membangkang?”
Pemimpin itu kibaskan goloknya,
berseru keras: “Perintahmu untuk menangkan peperangan, aku turut. Untuk suruh
aku kalah, aku Tegas-tegas menolaknya.”
“Akan kubawa kalian kearah
kemenangan. Kau hanya pura-pura kalah dulu, baru nanti berbalik menyerang
lagi,” ujar sigadis.
Merah mata pemimpin kompi itu,
karena beringas.
“Sedang ayahmu sendiripun tak
dapat memperCajai kata-kata-mu, mengapa kau akan Coba menipu aku? Kau kira aku
tak tahu isi hatimu?” teriaknya sengit.
“Tangkap dia!” seru Ceng Tong
pada pengawal didekatnya,
Empat orang pengawal segera
meringkus hulubalang itu, siapa hanya tertawa tawar saja, tak mau melawan.
“Bahwa orang Ceng akan menyerang
wilayah kita, harus- (
lah kita bersatu padu dulu, baru
dapat menCapai kemenangan. Nah, kau turut perintahku apa tidak?”
“Aku tetap tidak mau. Coba kau
akan berbuat apa padaku?”
“Tabas kepalanya!” bentak Ceng
Tong tegas.
Tadi hulubalang itu bersikap
Congkak, karena mengira Ceng Tong pasti tak berani menghukumnya. Maka demi
didengar keputusan itu, mukanya lantas berobah puCat seperti kertas. Pengawal
itu Cepatdua lakukan titah Ceng Tong, dan menggelindinglah kepala hulubalang
yang membangkang itu. Ceng Tong suruh pertunjukkan kepala itu kepada semua
pemimpin barisan. Dan merekapun menjadi patuh karena takut.
Oleh Ceng Tong segera wakil
pemimpin kompi kesatu dari pasukan Pek Ki diangkat menjadi penggantinya.
Ditugaskan memikat musuh supaya( mengejarnya kearah gurun. Kalau nanti ada
pertandaan asap dari sebelah timur, harus lekas kembali dengan ambil jalan
memutar. Pemimpin baru itu segera berangkat.
Selesai memberi perintah, seorang
diri Ceng Tong kaburkan kudanya keparat. Tiba-tiba dia turun, terus berlutut.
Kedua belah pipinya basah dengan air mata. Dengan suara lemah ia bersembahyang:
“O, Allah Yang Maha Kuasa, hamba mohon berkah dituntun kearah kemenangan. Ayah,
saudara, sampaipun ponggawa perang, tak memperCajai hamba lagi.
Demi memelihara peraturan
pasukan, terpaksa hamba membunuh orang. “O, Allah, limpahkanlah berkatMu, agar
kami menang, agar ayah dan adik hamba kembali dengan tak kurang suatu apa.
Kalau mereka ditakdirkan binasa, mohon hamba saja yang menggantikannya. Tak
akan hamba bermohon apa-apa lagi, biarlah Tan-kongCu dan adik hamba saling
berbaik. Kau karuniakan mahkota keCantikan pada Asri, tentu ber-lebihduaan pula
kasihMu padanya. Kumohon kasihMu itu selalu dilimpahkan padanya”.
Habis mendoa, Ceng Tong lonCat
keatas kuda. Memutar kembali kudanya, ia menCabut pedang seraya berteriak:
“Kompi kesatu dan kedua dari pasukan Hek Ki, ikutlah aku. Lain-lainnya kembali
kepos masing-masing!”
Kita tengok lagi keadaan Bok To
Lun dan rombongan Tan Keh Lok. Lewat tengah hari, tiba-tiba di belakang barisan
musuh timbul kekaCauan. Sebuah pasukan meneryangnya datang dengan hebat.
Dibawah hujan salju, tampak pemim pin pasukan itu, seorang yang berpakaan warga
kuning, dengan memutar golok panyang. Sebatang bulu burung yang berwarna hijau
kebiruduaan nampak ber-goyangdua terCantum diatas kepalanya. Itulah
Chui-ih-wi-sam Hwe Ceng Tong yang gagah perkasa.
“Ayo, kita menyerbu, sdr.dua!”
seru Thian Hong. Bagaikan gelombang, pasukan Ui yang dipimpin oleh orangdua
gagah HONG HWA HWE menyerbu kebawah dari dua jurusan. Tentara Ceng tak kuasa
menahannya. Maka terbukalah jalan dimana keempat pasukan Ui — dua dari Bok To
Lun dan dua dari Ceng Tong — dapat bergabung. Hiang Hiang KiongCu ajukan
kudanya, kemudian saling berpelukan dengan sang enci.
Ceng Tong menarik tangan adiknya,
seraya memberi perintah: “Sdr. pemimpin kompi tiga dari Hek Ki, lekas bawa anak
buahmu mundur kebarat, bergabung dengan kompi I dari Pek Ki. Turutlah
perintahnya!”
Pemimpin itu Cepat melakukan
perintah. Kuda dari anak buah kompi itu semuanya pilihan. Tampak dari jauh
sebuah bendera kuning ber-kibardua. Itulah pasukan pilihan Wi Ki atau panji
kuning dari tentara Ceng sudah mengejarnya.
“Bagus!” seru Ceng Tong ke
girangan. “Sdr. pemimpin kompi I pasukan Hek Ki, mundurlah ke kota Yarkand.
Turut perintah kokoku. Kompi II Hek Ki, kau mundur ketepi selatan sungai Hitam.
Disana sudah siap menyambut kompi II pasukan Ang Ki kita. Dengarlah
perintahnya!”
Kembali kedua pemimpin kompi itu
berangkat. Kini tampak pasukan Ceng dari Pek Ki (bendera putih) yang
mengejarnya.
“Saudara-saudara, mari kita
menyerbu ketimur!” seru Ceng Tong. Tigaratus anak buah tentara Ui, mengawal
nona pemimpin mereka, segera membuka jalan. Bok To Lun, Hiang Hiang dan Tan Keh
Lok berserta rombongannya bergabung dalam kompi 4 pasukan Hek Ki, terus ikut
meneryang kearah timur.
Tiau Hwi Cepat titahkan kedua
sayapnya — pasukan thiat-kah — menghadangnya. Yang ini adalah pasukan pilihan
dari Lam Ki (pasukan biru) mereka. Pemimpin dan wakilnya sama bersenjatakan
tombak berkait.
Pasukan Ui tadi segera tampak
terCeCer. Mereka bertempur sembari lari. Sekejab saja, beberapa ratus tentara
Ui terkepung, pasukan Thiat-kah itu bersuka ria membasminya. Tiau Hwi girang
sekali. Menunjuk pada panji bulan sabit, disebelah Ceng Tong, dia berseru:
“Siapa dapat merampas panji bulan sabit itu, mendapat hadiah seribu tail
perak!”
Be-rebutduaan anak buah
.thiat-kah-kun merangsek maju. Mereka mengejar kearah gurun raja.
Karena anak buah kompi 4 dari
pasukan Hek Ki suku Uigor itu berkuda bagusdua, dalam beberapa waktu,
thiat-kah-kun tak dapat mengejar. Mereka mengejar sampai tiga-empatpuluh li.
Diantara beberapa anak buah kompi 4 Hek Ki itu, ada, yang terCeCer ketinggalan.
Mereka memberi perlawanan seru, tapi tak urung dapat dibunuh oleh
thiat-kah-kun.
Tapi setiap serdadu Ui yang dibunuh
itu, kalau bukan orang tua tentu masih kanak-kanak. Melihat itu, Tiau Hwi
menjadi girang.
“Aha, pemimpin mereka itu tidak
dikawal oleh barisan istimewa! Ayo, kejar terus!” serunya.
Lewat beberapa li lagi, keadaan
pasukan Ui makin kaCau. Yang tamnak, hanya panji bulan sabit ber-kibardua
diatas sebuah bukit.
Kuda Tiau Hwi juga seekor kuda
pilihan. Dengan memutar golok besar, dia keprak mendahului untuk mengejarnya.
Tamoaklah rombongan Ceng Tong itu turun dari atas bukit.
Setiba, dipunCak bukit, Tiau Hwi
segera bujar semangat nya, Disitu bukan pasukan panji bulan sabit yang didapati
nya, melainkan suatu pasukan yang berbaris rapih dan angker.
Disitu yang berkibar, adalah
panji Merah (Ang Ki), “Sungguh Cerdik sekali orang Ui itu. Kiranya mereka sudah
sediakan bay-hok disini!” pikir jenderal Ceng itu.
Ketika ia memandang kesebelah
utara, tampak sepasukan bendera putih (Pek Ki) tengah mendatangi.
“Lekas mundur, pasukan belakang
menjadi pasukan di muka!” seru Tiau Hwi dengan gugup.
Begitu perintah dikeluarkan,
pasukan Ceng menjadi kaCau. Kini keadaan berbalik. Tentara Ui bagaikan semut
maju mengejar. Benar semula tentara Ceng lebih besar jumlahnya dari pada fihak
Ui, tapi oleh karena kini pasukan Tiau Hwi itu terpencil, kurang lebih hanya
sepuluh ribu orang, maka mereka tak ungkulan melawan induk pasukan Ui yang
berpusat ditempat itu.
Saat itu, kedua pasukan pilihan
dari fihak Ui dari sebelah barat sudah mulai meneryang. Jadi kini Tiau Hwi
terkepung dari tiga jurusan, barat, selatan dan utara. Hanya disebelah timur
yang masih terdapat lubang. Melihat itu Tiau Hwi Cepat perintahkan pasukannya
meneryang kearah itu. Dia sendiri pimpin penjagaan dibelakang. Makin ketiga
pasukan Ui itu mendekati, makin ributlah pasukan Ceng itu mundur kesebelah
timur.
Di-tengah-tengah kepanikan itu,
tiba-tiba ada seorang serdadu kuda maju kemuka Tiau Hwi dengan berteriak
keras-keras: “Tay-Ciangkun, Celaka, disebelah depan sana adalah lautan pasir
dan tebat lumpur!”
Lautan pasir endap dari gurun
Mongolia, adalah luas dan hebat. Itu waktu sudah ada seribu serdadu thiat-kah
yang tengah berkutetan didalam endapan. Makin lama, mereka makin melesak
kedalam.
Lautan pastt endap itu terjadi
karena dulu sungai dari daerah padang pasir situ tak dapat mengalir kedalam
laut. Air itu merembes masuk dalam pasir, dan jadilah sebuah lautan pasir yang
mengendap. Luas ‘gurun lumpur’ itu tak kurang dari sepuluh mil persegi. Dimusim
salju, permukaannya tertutup salju, sehingga tak kelihatan. Disinilah Ceng Tong
memusatkan bayhok. Sudah tentu bagi seorang jenderal yang temaha kemenangan
semaCam Tiau Hwi itu tak dapat mengetahuinya,
Ketika Ceng Tong dan rombongannya
mengawasi dari punCak bukit, mereka dapatkan bagaimana serdadudua Ceng yang
melesak terbenam dalam pasir endap itu makin banyak sekali jumlahnya. Ada juga
tentara Ceng itu Coba menerobos keluar, tapi disekitar tempat itu penuh
dipasangi dengan lubangdua perangkap oleh fihak orang Uigor.
Begitulah anak buah thiat-kah-kun
itu digenCet dari tiga jurusan. Hasilnya, mereka saling injak diantara kawan
sendiri. Dan tanpa menginsafi, mereka banyak sekali yang lari ke jurusan daerah
pasir endap. Sekali injak, kakinya melesak sebatas lutut. Makin bergerak, makin
melesak kedalam. Pinggang mereka mulai melesak, maka terdengarlah ribuan
serdadu Ceng itu ber-teriakdua dengan ngeri. Dan ini justeru memperCepat
melesaknya sang tubuh. Tahu-tahu sudah sampai sebatas mulut, dan pada lain
saat, berbareng dengan sirapnya teriakan, kepala mereka pun hilang ditelan
pasir. Paling belakang, masih kedua belah tangan mereka ber-gerak-gerak, tapi
sekejab saja sudah lenyap; sama sekali.
Sepuluh ribu tentara Ui, dengan
memegang perisai dan golok, mengawasinya disebelah luar dari lubang perangkap
itu. Sedang dua pasukan pilihannya lanjutkan pembasmian nya lagi kepada sisa
thiat-kah-kun yang belum keburu mendekati pasir endap. Demikianlah dalam waktu
yang tak lama, sepuluh ribu thiat-kah-kun didesak lari dan kelelap dalam lautan
pasir endap.
Untunglah Tiau Hwi, itu jenderal
besar dari pasukan Ceng, dengan dikawal oleh seratusan pengawalnya, berhasil
lolos dari sebuah jalan kecil.
Melihat be-ribudua serdadu dan
kuda, mati kelelap dalam lumpur pasir, Hiang Hiang menangis tersedudua. Ia
palingkan kepalanya, karena tak tahan melihatnya. Sebaliknya Bok To Lun sangat
gembira, katanya pada Ceng Tong: “Ceng-ji, tadi aku telah kesalahan omong,
yangan kau taruh dihati. Memang perangaiku berangasan, ayah yang bersalah.”
Ceng Tong menggigit bibir, tak
menyahut.
Tiba-tiba Sim Hi merajap datang,
katanya dengan serta merta: “Aku sikecil ini memang kurang ajar, sehingga tak
mengetahui akan siasat nona yang lihai ini. Mohon nona tidak mendendam dihati.”
Tapi sekali Ceng Tong peCut
kudanya, ia tinggalkan kaCung itu yang masih berdiri kesima ditempatnya.
“Sudahlah,” Ciang Cin tertawa.
“Tunggu nanti Cong-thoCu mintakan ampun untukmu!” Begitulah si Bongkok
menari-nari, dan tertawa lebar, katanya pula: “Sungguh aku tak habis mengerti,
mengapa ia tak menggiring seluruh tentara musuh kedalam laut pasir endap itu!”
“Kita sekarang menang jurnlah,”
kata Thian Hong, “mudahlah untuk melakukan itu. Tapi kalau belum-belum seluruh
pasukan Ceng itu dimasukkan kemari, andai kata mereka nekad meneryang keluar,
tentu kita tak dapat menahannya, bukan?”
“Betul. Tadi kita malah menduga
jelek pada nona pandai itu,” sahut Ciang Cin.
Saat itu tak terdengar lagi suara
apa-apa dari serdadu musuh. Nyata mereka sudah hilang tenggelam semua.
“Semua pasukan menuju kebarat,
berkumpul ditepi sebelah selatan Sungai Hitam,” Ceng Tong kembali keluarkan
perintah.
Dibawah pemimpin masing-masing,
pasukan besar Ui itu mulai bergerak. Selama dalam perjalanan, Bok To Lun dan
Tan Keh Lok saling tanyakan keadaan masing-masing. Berat nian hati kepala suku
itu memikirkan kedua puterinya. KeDua-duanya, adalah buah kesayangannya. Kini
keduanya nampaknya samadua jatuh hati pada pemuda Han itu.
Benar menurut peraturan agama
Islam, seorang lakidua boleh beristeri sampai 4 orang wanita. Tapi orang muda
itu bukan orang Islam. Entah bagaimana nanti jadinya.
“Biar nanti dipikirkan lagi
setelah musuh dapat dikalahkan. Ceng-ji Cerdas tangkas. Asri halus budi
pekertinya. Keduanya saling menyayang. Ah, tentu dapat dipeCahkan soal itu.”
pikir orang tua itu.
Petang hari, pasukan besar itu
tiba ditempat yang ditu junya. Sekonyong-konyong ada seorang serdadu barisan
berkuda bergegas-gegas menghadap Ceng Tong.
“Pasukan musuh menyerang kita
dengan hebat. Pemimpin kompi dua dari pasukan Ang Ki kita, sudah terbunuh.
Pemimpin kompi dua dari pasukan Hek Ki, luka parah, anak buah kedua kompi itu,
teranCam kemusnaan,” demikian laporan nya:
“Suruh wakildua pemimpin kedua
kompi itu mengambil alih pimpinan. Tidak boleh mundur barang setapakpun juga,”
seru Ceng Tong.
Serdadu berkuda itu Cepat
berlalu.
“Kita kirim tidak bala bantuan
kesana?” tanya Bok To Lun.
“Tidak!” sahut Ceng Tong dengan
ringkas. Ia berpaling kesamping, dan memerintahkan pengawalnya: “Suruh semua
pasukan kita ini beristirahat. Awas, yangan membuat api unggun. Boleh makan
ransum keringnya!”
Pasukan besar yang terdiri dari
sepuluh ribu jiwa lebih itu, segera beristirahat. Jauh disana terdengar deru
air Sungai Hitam.
Kembali ada seorang pembawa
warta, datang bergegasdua: “Wakil pemimpin dari kompi dua pasukan Hek Ki tadi
sudah gugur pula. Anak buah kita tak dapat bertahan lagi!”
“Saudara pemimpin kompi tiga dari
pasukan Ang Ki, pergilah bantu mereka. Pimpinan seluruh pasukan disana, kaulah
yang pegang!” titah Ceng Tong.
Dengan memutar senjatanya,
hulubalang yang ditunjuk itu segera berangkat.
“Nona Ceng Tong, bolehkah aku
turut menyerbu?” teriak Ciang Cin.
“Tadi kalian keliwat lelah, baik
mengaso lagi sebentar.”
Melihat sikap angker dari sinona
sebagai komandan pasukan besar itu, Ciang Cin tak berani banyak sekali CingCong
lagi.
Belum selang lama kompi tiga
pasukan Ang Ki tadi berlalu, segera terdengar teriakan gemuruh. Tentu mereka
sudah terlibat dalam pertempuran dengan tentara Ceng.
Setelah semangat seluruh anak
buahnya segar kembali, Ceng Tong kembali. peCah barisannya. Semua kompi dari pasukan
Ang Ki, harus mempersiapkan bayhok dibelakang bukit sebelah timur. Sedang
barisan Pek Ki suku Kazak dan semua pasukan dari Mongolia, harus menyiapkan
bayhok disebelah barat.
“Ayo kita maju lagi,” seru Ceng
Tong sambil angkat pedangnya.
Makin kemuka, makin kedengaran
dengan jelas, jerit teriak serdadudua yang tengah mengadu jiwa itu. Apabila
malam sudah tiba, tampak anak buah fihak Ui menjaga dengan mati-matian beberapa
buah jembatan kayu dihulu sungai. Tiba-tiba Ceng Tong perintahkan mereka mundur,
dan ribuan tentara Ceng menobros melalui jembatan itu.
Setelah separoh lebih serdadu
Ceng melalui jembatan, berserulah Ceng Tong keras-keras: “Tarik papan
jembatan!.”
Berpuluh ribu tentara Ui itu,
sama sembunyi dibawah tapian sungai. Jembatan tadi bermula sudah dikendorkan,
dan diikatkan pada ratusan kuda dengan tali besar. Sekali abadua keluar, maka
ratusan ekor kuda itu lari kemuka dan terdengarlah bunyi keretekan yang keras.
Jembatan putus. Beberapa puluh serdadu thiat-kah yang sedang berada di tengah jembatan
itu, sama keCebur dalam sungai semua. Dan nyatalah pasukan Ceng itu terputus
dua. Satu ditepi sini sebagaian ditepi sana. Mereka hanya dapat saling pandang,
tak dapat saling memberi bantuan apa-apa.
Ceng Tong kibaskan bendera
perintahnya, dan keluarlah barisan bayhok meneryangnya. Tapi tentara Ceng
ternyata terlatih baik. Sekalipun dalam kekaCauan, masih mereka patuh akan
perintah pemimpinnya. Segera mereka berkumpul dalam formasi yang teratur.
Kira-kira masih berapa ratus
tindak dari musuh, tiba-tiba tentara Ui berhenti. Sekali lagi Ceng Tong
kibaskan benderanya. Dan, ‘bum, bum’, sana sini kedengaran bunyi letusan
menggelegar, disusul dengan kepulan asap hitam bergulung-gulung.
Bumi yang dipijak oleh tentara
Ceng itu, ternyata di pendami obat pasang. Maka dapat dibayangkan betapa kaget
dan hebat keadaan mereka. Potongan kaki dan gumpalan daging berterbangan
ke-manadua. Suasana menjadi panik. Berbareng itu, pasukan Ui meng’hujani panah.
Karena tak dapat maju, mereka mundur saling injak sendiri, dan keCebur kedalam
sungai.
Pakaian thiat-kah mereka, berat
sekali. Sekali keCemplung air, terus ambles. Sisanya sudah tak keruan lagi
keadaannya, dan dalam sebentar waktu saja dapat dibasmi oleh fihak Ui. Tepi
sungai yang bertutupkan salju putih itu, penuh bertebaran majat serdadu.
Pasukan Ceng disebelah tepian sana, ketakutan setengah mati. Mereka
berbondong-bondong mundur kedalam kota Yarkand.
“Lintasi sungai, kejar terus!”
perintah Ceng Tong.
Dengan gunakan perahudua, induk
pasukan Ui lakukan pe ngejaran kekota Yarkand.
“Hebat sekali nona Ui itu
mengatur tentara. Rasanya aku tak nempil seujung rambutpun dengannya,” kata
Thian Hong.
Keh Lok diam-diam pun kagum.
Penduduk kota Yarkand siangdua
sudah diperintahkan mengungsi. Yang jaga disitu adalah anak buah Hwe Ah In. Dia
pura-pura mengadakan perlawanan. Habis itu, dia lalu mundur. Tak lama, pasukan
Ceng dari bendera Kuning yang dikaCip dan dibinasakan hampir separoh oleh
tentara Ui tadi, pun tiba dari pengundurannya di Sungai Hitam. Begitu pun kedua
pasukan Ceng itu, kini bergabung. Juga jenderal mereka, Tiau Hwi, tak lamapun
datang dengan para pengawalnya.
Demi mendengar kekalahan yang*
diderita oleh pasukannya di Sungai Hitam tadi, Tiau Hwi marah besar. Justeru
pada saat itu, seorang ponggawa datang melapor, bahwa beberapa ratus serdadu
Ceng yang minum air sumur, telah sama mati seperti kena raCun.
Tiau Hwi titahkan sekelompok regu
mengambil air diluar kota. Habis itu, hendak ia mengaso. Tapi segera dia
menjadi kaget, demi nampak langit berwarna kemerahduaan. Seluruh kota kelihatan
terang benderang.
Seorang pengawal masuk
bergegasdua, mengatakan bahwa empat penjuru kota Yarkand diamuk api.
Kiranya didaerah Hwe, banyak
sekali menghasilkan tambang minyak. Dibeberapa tempat, terdapat sumber minyak
yang kaja. Dalam perintahnya dulu, Ceng Tong suruh setiap penduduk supaya
menyimpan minyak dirumah masing-masing, sebelum mereka mengungsi. Maka dengan
gunakan bayhok yang terdiri dari sedikit orang saja, dapatlah Ceng Tong
melaksanakan renCananya, membakar tentara Ceng.
Dibawah lindungan pengawalnya,
Tiau Hwi menobros. Dalam kekalutan itu, pasukan pengawal peribadi tersebut,
membuka jalan darah untuk menyelamatkan sang Ciangkun. Mereka menuju kepintu
barat. Sepasukan besar serdadu thiat-kah memapaki, dan melapor bahwa orang Ui
telah menutup pintu barat. Sukar menobrosnya.
Tiau Hwi beralih tujuan kearah
timur. Api makin hebat. Terbakar api baju thiat-kah itu menjadi panas. Saking
tak tahan serdadudua itu buang pakaian thiat-kahnya, untuk lari tunggang
langgang.
Anak buah pasukan Ui yang berada
dikota itu ber-sorakdua riuh rendah. Dalam kekalutan itu ada sebuah kelompok
kecil dari beberapa serdadu Ceng, menghampiri Tiau Hwi.
“Mana TayCiangkun?” teriak
mereka.
“Disihi!” sahut pengawal Tiau
Hwi.
Seorang segera tampil kemuka dengan
tangkasnya. Itulah Horta.
“TayCiangkun, yang berada dipintu
timur agak sedikit, kita teryang kesana,” katanya pada Tiau Hwi.
Dalam keadaan sedemikian
berbahaya itu, Tiau Hwi masih bisa berlaku tenang. Dengan sisa pasukannya yang
luka-luka itu dia menuju kepintu kota sebelah timur.