Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 26-30

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 26-30 K E T I K A kain penyumbat ditarik Pek Kian, ternyata kain itu adalah sehelai saputangan berkembang milik wanita.
K E T I K A kain penyumbat ditarik Pek Kian, ternyata kain itu adalah sehelai saputangan berkembang milik wanita.

“Lekas bilang dimana kamar SiuCay yang ditahan siang tadi,” Pek Kian menghardik sipenjaga. “Sedikit saja kau berteriak, tentu kubunuh!”

Penjaga itu gemetar saking takutnya. “Di ......... disana ...... kamar ...... nomor ...... tiga ,” katanya terputus-putus.

Sekali tangan Pek Kian diajun, penjaga yang malang na sibnya itu putuslah jiwanya.
“Cepat-cepat , mungkin kita kedahuluan orang,” seru It Lui.
Setiba dikamar tutupan, benar diugra mereka mendengar gerinCing suara besi beradu. Kim Piauw nyalakan api. Seorang berpakaian hitam kelihatan sedang berjongkok disisi Hi Tong.

“Awas, ada orang kemari!” bisik Hi Tong kepada orang itu.
Siorang berbaju hitam tak mempedulikan. Makin keras dia menempa.
“Siapa itu?” tegur It Lui ber-bisik-bisik.
Sipakaian hitam mendadak loncat balik, sebagai jawab an dia menikam dengan pedangnya. Begitu tangkas gerakan nya, sehingga berbareng dengan sinar berkelebat, tahu-tahu ujung pedang sudah didepan mukanya.
It Lui adalah orang kesatu dari Kwantong Liok Mo. Sekalipun badannya gemuk, gerakannya sangat gesit. Senjata orang-orang an berkaki satu, diajun untuk menangkis. Sesaat itu tergetarlah tangan sipakaian hitam, kesemutan dan sakit rasanya. Mengetahui berhadapan dengan lawan yang besar tenaganya, dia tak berani menyerang. Kini dia membaCok Thian Seng, begitu yang tersebut. belakangan ini menghindar ke samping, orang itu terus menobros keluar.
“Yangan mengejar, ambil dia (Hi Tong) lebih penting,” seru Pek Kian.
Karena berisik, seluruh penjaga rumah penyara sama bangun, ketika diketahui ada orang merampok orang tahanan, mereka menjadi kacau.
It Lui menghadang dipintu, tenangdua dia berseru: “Lekas kerjakan, biar aku yang menahan mereka!”
Cepat-cepat Pek Kian dan Kim Piauw mengeluarkan gergaji. Tak berapa lama borgolan kaki dan tangan Hi Tong terputus. Pek Kian menotok jalan darah Hi Tong, lalu bersama Sam Jun menggotongnya keluar. Kawanan penjaga semua dapat dihajar It Lui dengan senjata orang-orang an itu. Mereka jeri, tak berani menyerang maju, hanya ber-teriakdua saja.
Kim Piauw membuka jalan, Thian Po dan Thian Seng yang mengawal dibelakang. Hi Tong dapat digotong keluar
melalui tembok penyara. Tapi diluar ternyata sudah siap menunggu sebuah pasukan besar dari tentara Ceng. Segera mereka maju mengepung.
Kim Piauw, Pek Kian dan Sam Jun melawan kearah tiga jurusan. Mereka segera dapat merobohkan beberapa orang. Tapi karena ditilik oleh pembesarnya, kawanan serdadu itu tak berani mundur.
Selagi suasana begitu gaduh, tiba-tiba dari arah sudut tembok sana, loncat keluar sebuah bayangan hitam, siapa langsung menghampiri Hi Tong. Thian Seng Coba menghadangnya, tapi sekali tangan orang itu mengibas, dada Thian Seng terasa sakit sekali. Entah terkena benda apa, yang nyata, saking sakitnya, dia tak tahan lalu mendumprah jatuh.
Melihat Sutenya terluka, Thian Po kaget. Belum hilang rasa kagetnya, tahu-tahu orang itu sudah menarik Hi Tong, dibawa pergi.
Pek Kian berlaku ajal. Dua ujung tombak musuh hampir menusuk dadanya. Cepat-cepat dia angkat kong-hwannya untuk menangkis. Begitu tombak terdampar keatas, dia maju merapat, sekali konghwan ditangan satunya disabetkan, pundak penyerangnya itu remuk patah. Darah segar menyembur dari mulutnya. Kawannya ngeri, terus angkat kaki seribu.
Sewaktu Pek Kian berpaling, ternyata orang itu telah le nyap bersama Hi Tong. Namun Hi Tong tak mau bergegasdua lari. Lebih dulu dia menggurat beberapa tulisan di tanah. Pek Kian dapat memburunya. Tapi segera disambut dengan baCokan pedang oleh orang itu. Pek Kian tangkis kan konghwannya, tapi gerakan orang itu luar biasa sebat nya, tahu-tahu sudah ganti gerakan lain. Bertempur dua jurus, Hi Tong berhasil merampas seekor kuda dari seorang serdadu.
Sekali Cemplak, dia berseru keras dan menerjang Pek Kian. Pek Kian Buru-buru menyingkir kepinggir. Hi Tong segera samber tubuh orang yang menolongnya tadi keatas kudania. lalu kaburkan diri kearah barat.
Itu waktu It Lui sudah loncat keluar tembok penyara. Demi dilihatnya Hi Tong lolos, dia maki-maki Pek Kian dan kedua muridnya itu sebagai orang yang tak berguna,
“Lekas kejar!” serunya.
Sam Jun dan Thian Po dengan menunjang Thian Seng, mengikuti arah larinya Hi Tong. Dibelakang, mereka dike jar kawanan polisi. Tapi karena mereka sudah terlatih dalam sekejab saja, hamba negeri itu jauh ketinggalan dibelakang. Pun saking jeri, polisidua itu tak berani mendekati, apalagi setelah ketinggalan jauh, mereka lalu kembali.
Selama melakukan pengejaran itu, dapatlah diketahui kepandaian masing-masing orang. It Lui jauh muka. Kim Piauw terpisah tak berapa jauh. Tapi Pek Kian ketinggalan dibelakang. Lebihdua Sam Jun bertiga, jangan ditanya lagi. Memang tak keCewa It Lui menjadi orang kesatu dari Kwan-tong Liok Mo. Sekalipun dia itu hidup mewah, tapi sehari pun tak pernah melalaikan latihannya. Malah makin hari makin sempurna. Dalam hal keCepat-cepat an jalan, dia menye rupai kuda lari pesatnya.
Karena jalan disepanjang lereng gunung tak leluasa, apalagi membonCengkan orang, maka tak berapa lama, It Lui dapat menyusulnya. Tahu dikejar musuh, Hi Tong memilih jalan yang ber-bilukdua. Namun It Lui selalu dapat menyusulnya. Karena gelap, tiba-tiba kuda Hi Tong terperosok kakinya kedalam sebuah liang. Mendeklok dengan kepalanya tersentak kemuka, hingga seperti melempar penumpangnya kebawah.
Dengan berjumpalitan, Hi Tong dapat tanCap kakinya diatas tanah. Orang tadi Coba tarik les kuda supaya berdiri lagi, tapi binatang itu tetap mendumprah ditanah. Ternyata kakinya telah patah. Cepat-cepat orang tadi loncat turun, lalu ajak Hi Tong menyelinap kedalam semakdua pohon. Tak jauh berjalan, mereka menampak sebuah gua kecil. Kesitulah mereka bersembunyi.
“Li-sumoay, kali ini lagi-lagi kaulah yang menolong aku,” Hi Tong mengelah napas.
Kiranya penolongnya itu ialah Li Wan Ci, orang yang selalu menguntit perjalanan Hi Tong, Sewaktu tak kelihatan Hi Tong berada dalam rombongan Tan Keh Lok, nona yang Cerdas itu, segera tahu bahwa Hi Tong tentu mengambil jalan disungai. Menyusur sepanjang pantai, kebetulan ada rombongan perahu tentara yang angkut rangsum, maka dengan selamat tibalah ia dikota BengCin.
Wan Ci masih menyaru sebagai anak lakidua. Dia mampir kesebuah rumah makan untuk Cari keterangan. Sana sini ramai orang membicarakan peristiwa seorang SiuCay berkelahi dengan Sun-taysanyin. Malamnya berkunjunglah ia kepenyara. Penjaga bui yang diringkus itu, dialah yang me lakukannya.
Dapat menolong Hi Tong, adalah suatu kebahagiaan bagi Wan Ci. Walaupun menghadapi bahaya, ia tak gentar. Di suruhnya Hi Tong beristirahat, ia sendiri yang menjaga di mulut gua. Seruling Hi Tong telah dirampas Kim Piauw. Duduk diatas tanah, dia memandang bayangan Wan Ci. Rasa terima kasih memenuhi rongga dadanya.
Saat itu angin dingin mengembus, tubuh Wan Ci agak menggigil, rupanya tak tahan hawa dingin. Hi Tong lepas jubahnya, lalu dipakaikan ketubuh Wan Ci.
Sejak berkenalan dengan Sukonya itu, barulah pertama kali ini Wan Ci menampak sang Suko mengunjuk kan sedikit perhatian padanya. Tanpa terasa ia berpaling dan un-juk senyumannya. Sesaat itu tubuhnya dirasakan hangat.
Baru saja Wan Ci hendak mengucap sesuatu, tiba-tiba terdengar suara mendesing. Sebatang anak panah melayang datang. Wan Ci terbenam dalam kegirangan, lupa ia bahwa bahaya masih tetap menganCam. Sebat sekali Hi Tong dorong tubuh sinona kesamping, dan dengan sebelah tangan yang lain dia sanggapi anak panah itu.
Karena didorong, Wan Ci jorok kedalam, hampir-hampir ia terbentur karang. Tapi secepat-cepat itu juga tangan Hi Tong telah menariknya kembali. Dalam kegelapan, tubuh Wan Ci telah tertarik nampel kedada sianak muda.
Wan Ci menjerit dengan suara tertahan. Merah selebar mukanya. Ia rasakan tubuhnya menjadi hangat, karena da rahnya tersirap.
“Sumoay, awas senjata gelap!” bisik Hi Tong.
Berbareng itu, kembali ada sebuah hui-hong-Ciok (piauw batu berbentuk belalang) melayang masuk. Wan Ci berkelit sambil menyang gapinya.
“Bangsat, lekas keluar! Jangan sampai tuan besar turun tangan!” kedengaran orang berseru diluar gua.
Saat itu, beberapa bayangan mendekati mulut gua. Hi Tong pungut anak panah tadi, terus disambitkan keluar. Terdengar suara seseorang mengerang kesakitan. Itulah Sam Jun yang menerima bagian. Sekalipun sudah diketahui per sembunyiannya, tapi It Lui cs. tak berani terus mendesak. Musuh berada ditempat gelap, sedang mereka ditempat terang, mudah diCelakai. Jalan satuduanya, mereka menghu-jani mulut gua itu dengan berbagai senjata rahasia.
Hi Tong dan Wan Ci rapatkan diri kesisi dinding gua. Tubuh mereka saling merapat satu sama lain. Tak mau mereka tinggal diam, dipungutinya senjata-nyata rahasia yang dilempar musuhnya itu Apabila mereka berani memasuki mulut goa, pasti akan disambutnya dengan hangat.
Menempel pada tubuh Sukonya, walaupun tengah menghadapi bahaya, tapi Wan Ci rasakan saat-saat itulah yang dirasakan paling bahagia dalam hidupnya. Didalam gua ha wanya lembab lagi kotor. Diluar gua musuh siap menerkam nya. Tapi bagi nona itu, kamar yang menyiarkan bau harum dalam gedung panglima, masih kalah bahagianya dengan ruang sempit gua itu.
Sebaliknya Hi Tong waktu itu tengah berpikir keras untuk Cari jalan lolos, tapi tak berhasil. Tahu dia kalau Sumoay nya itu seorang nona yang Cerdas dan banyak sekali akal, maka katanya: “Ah, bagaimana daya kita untuk lolos?”
“Pe*rlu apa sih mesti Capedua. Mereka kan tak dapat me nyerbu masuk,” Wan Ci tertawa.
“Kalau hari sudah terang tanah bagaimana?” Hi Tong kelihatan kuatir.
Mendengar Sukonya kelihatan gugup, tertawalah sinona.
“Baiklah, kupikirkan suatu daya ......... he, awas senjata rahasia!”
Hi Tong Cepat-cepat mundur tubuhnya. Sebuah 'siao-kong-jah' menaiiCap didekat kakinya. Kim Piauw benci tujuh turunan kepada Hi Tong. Setelah berturut-turut menimpuk dua buah siao-kong-jah: dia putar senjata lak-houw-jah-nia, untuk melindungi mukanya, lalu menyerbu kemulut gua.
Melihat musuh akan mengganas itu, Wan Ci kibaskan tiga batang jarum hu-yong-Ciam. Jarum itu halus sekali, pula ditempat yang gelap. Syukur kepandaian Kim Piauw Cukup tinggi, dan kepandaian menimpuk sinona masih belum sempurna, maka Cepat-cepat orang she Ku itu telusupan kepalanya kebelakang. Dua batang mengenai tempat kosong, tapi yang sebatang menyusup pada rambutnya, sedikit mengenai kulit kepalanya.
Meskipun demikian, Cukup membuat Kim Piauw sakit meringis. Teringat bahwa senjata jarum begituan keba nyakan mengandung raCun, dia ber-debardua. Buru-buru dia me nyingkir, lalu menCabutnya. Karena darah pada jarum itu ternyata tidak berwarna hitam, legalah hatinya, karena terang jarum tak beraCun.
It Lui minta lihat jarum itu. Sekali pandang, dia meng gerangdua seperti kebakaran jenggot.
“Batok kepala dari Lo Sam itu, juga terdapat jarum macam ini. Jadi yang membinasakan dia teranglah bangsat ini juga!” demikian teriaknya murka.
Ketika Ciao Bun Ki binasa oleh jarum dari Hwi Hing, tulang rangkanya baru beberapa tahun kemudian diketemu kan dalam lembah gunung. Pada tulang batok kepalanya terdapat beberapa batang jarum tersebut. Itulah karena, sekalipun jarumdua itu sebagian besar sudah diCabut keluar oleh Hwi Cing, tapi yang menyusup kedalam daging sukar diambil.
Kwantong Liok Mo menganggap sakit hati itu sebagai duri dalam daging. Tapi Celakanya, yang dituduh membunuh adalah Hi Tong, baik pada Bun Ki dulu, maupun Kim Piauw yang dilukainya sekarang.
It Lui dan Kim Piauw mengumbar kemarahannya. Mereka menyerang dengan hebat. Namun karena jeri oleh senjata rahasia orang, tak berani mereka terlalu mendekati mulut gua.
“Mengapa kau hendak menyingkir dari aku? Apakah kau merasa sebal padaku?” demikian didalam gua Wan Ci me nanya Hi Tong dengan tertawa.
“Li-sumoay, mengapa kau mengucap begitu ? Nanti kalau sudah lolos dari bahaya ini, kita perCakapkan pula”, kata Hi Tong.
Wan Ci berdiam untuk sekian saat. “Ya, waktu itu ten tunya kau akan tinggalkan pergi lagi,” katanya kemudian.
Hi Tong pun seorang manusia biasa. Dia tergerak hatinya mendengar begitu mengharukan kata-kata sang Sumoay itu. Tiba-tiba sebuah obor dilontarkan dari luar, Hi Tong kemekmek. TarjBak olehnya bagaimana saju muka sinona yang berlinangdua air mata itu.
“Wah, kita akan mati kesesakan napas,” katanya lalu. Habis mengucap, ia maju menginyak obor. Tapi senjata rahasia musuh lebat bagaikan hujan, terpaksa ia mundur lagi. Tidak salah apa yang diduga oleh Wan Ci itu tadi. Pek Kian San dan Thian Po lemparkan berbondong-bondong beberapa ikat rumput, kearah obor.
Asap bergulung-gulung memenuhi gua. Hi Tiong dan Wan Ci berdua, mulai batukdua terhimpit napasnya, obor padam, asap makin tebal. Dalam keadaan itu, Wan Ci Segera mengambil keputusan.
“Yagalah mulut gua!” katanya seraya serahkan pedangnya kepada Hi Tong. Sedang ia sendiri lalu menyingkir kebelakangnya.
Karena mendengar dibelakang ada suara pakaian dikibarduakan, Hi Tong berpaling.
“He, jangan lihat kemari!” bentak Wan Cie. Hati Hi Tong bergoncang hebat. Diantara kepulan asap, dilihatnya Wan Ci sedang membuka pakaiannya. Tapi tak sempat dia memikirkan, karena matanya tak putus-putusnya diganggu asap, hingga mengeluarkan air mata.
Sesaat kemudian, tampak Wan Ci menghampiri dan meminta kembali pedangnya. “Pakailah ini!” serunya sambil lemparkan pakaian wanita itu, kepada sang suheng.
Ingin Hi Tong menanya, tapi keburu dipegat oleh sinona: “Ayo, lekas pakailah!”
Apa boleh buat, Hi Tong memakainya. Setelah itu, sinona menyerahkan pula pedangnya. Pada saat itu, asap menipis. Tapi tiba-tiba kembali ada sebatang obor dilempar masuk. Malah kali ini, lebih besar, sehingga mengeluarkan Cahaja terang.
“Kita terjang keluar berpencaran, sekali-kali jangan ikuti aku,” Pesan Wan Ci, yang tanpa menunggu jawaban lagi, terus menobros keluar gua.
Hi Tong melengak, namun tak sempat ia mencegahnya......
Begituah hampir setengah harian Tari Keh Lok cs. men-Caridua disekitar gua itu, mereka masih nampak adanya asap yang bergulung-gulung ke udara. Mereka makin gelisah menyingkirkan nasib Hi Tong. Saking gemasnya, Bun Thay Lay me remasdua hanCur panah Pek Kian tadi.
“Sipsute Cukup Cerdas, kalau tidak ungkulan, tentu melarikan diri. Kita minta lagi bantuan Siangkwan-toako supaya mengirim beberapa orangnya lagi menCari kabar”, kata Lou Ping.
Siangkwan Ie San setuju, malah terus ajak pulang sekalian tetamunya itu. Setiba di BengCin, Siangkwan Ie San kerahkan semua orang-orang Liong Bun Pang. Asal ada orang asing, harus segera melapor.
Selama itu, Bun Thay Lay yang paling kuatir sendiri Sam pai jauh malam, dia tak mau makan dan tidak tidur Thian Hong Coba memberi nasehat, tapi sia-sia.
Itu waktu, Siangkwan Ie San masuk dengan meng-gelengdua kan kepalanya: “Tidak ada kabar apa-apa”
“Ah, masa dalam beberapa hari tak ada sesuatu yang men Curigakan?” tanya Thian Hong.
Siangkwan Ie San Coba mengingat sejurus, “Oh, ada seorang saudara kita yang melapor, bahwa digereja Po Siang Si disebelah barat kota, tiap hari ada orang ributdua, mau membakar gereja itu, katanya. Tapi kurasa, hal itu tak ada sangkut pautnya dengan Sipsuya”.
Begitu juga pikiran semua orang. Hweshio dan kawanan pengungsi terbit CekCok, itulah hal yang biasa. Mereka tak dapat memikirkan daya apa-apa, keCuali mengambil putusan besok akan keluar dan menCari secara berpencaranya.
Teringat akan besar pengorbanan Hi Tong kepada dirinya, Bun Thay Lay tak dapat memejamkan mata barang sesaat pun jua. Demi dilihatnya isterinya sudah tidur, dia terus bangun dan menyembat senjata, lalu loncat keluar dari jendela.
“Biar bagaimana akan kuCarinya lebih Cermat baru puas hatiku”, pikirnya. Terus dia loncat keatas wuwungan. Keadaan diseputar itu sunyi senyap. Dengan gunakan ilmu
berjalan Cepat-cepat , sekejap saja sudah dia berputar keempat penyuru dari kota BengCin. Tengah dia- masgul, tiba-tiba dili hatnya sebuah bayangan berkelebat lari kearah barat. Tim bul keCurigaannya, segera ia enjot tubuhnya menguntit.
Dari tak berapa jauh, orang itu menepuk tangan. Dimuka sana jauh sekali, didengarnya balasan tepuk tangan. Bun Thay Lay tahu bahwa fihak sana besar jumlahnya, diam-diam ia menguntit dari sebelah belakang. Sampai diluar kota se belah barat, tanahnya lapang. Kuatir diketahui, Bun Thay Lay tak berani dekatdua.
Kira-kira tujuh atau delapan li lagi, orang itu naik keatas karang dari sebuah bukit. DipunCak bukit itu, dari jauh tampak berdiri sebuah rumah. Tahu, sudah tempat yang pasti ditujunya, Bun 'Thay Lay berhenti dan sembunyi dalam sebuah semakdua. Ke tika ditegasinya, rumah itu ternyata sebuah gereja, dimana tiga huruf “Po Siang Si” tertulis dengan nyata.
Bun Thay Lay mengeluh, karena sampai sekian lama dia buangdua waktu, “ternyata hanya mengikuti kawanan pengungsi dan Hweshio saja. Namun sudah terlanyur, tak apalah untuk melihatdua kesana. Mungkin dapat membantu perCede raan mereka. Dia menghampiri kesamping gereja, dari situ terus loncat masuk, melalui jendela langsung menuju ke ruangan besar. Disitu didapatinya seorang Hweshio tengah berjongkok menghadap kearah patung. Nampaknya sedang menyampaikan doa.
Tapi ketika Hweshio itu per-lahandua bangkit dan serentak berpaling, seketika serasa terbanglah semangat Bun Thay Lay.
Kini balik kita tengok keadaan It Lui cs. yang sedang menunggu hasil pembakarannya pada gua tempat bersembunyi Hi Tong. Ketika mendadak dilihatnya ada seorang berjubah panjang dengan muka dibungkus lari keluar dari dalam gua, Buru-buru It Lui menghadangnya.
“Kim-tiok SinCai ada disini, beranikah kau mengejarku ?” seru orang yang berkedok itu.
Bagi It Lui, Kim Piauw dan Pek Kian, tujuan yang utama jalan hendak menangkap dan merobek-robek dada Hi Tong. Tanpa hiraukan orang satunya yang masih berada dalam gua, mereka segera kejar simuka berkedok itu. Ja kinlah mereka, itulah sianak muda tentunya.
Diantara ketiga orang itu, It Lui yang paling Cepat-cepat ilmu nya berlari. Sekejab saja dia sudah berada dibelakang orang itu. 'Tok-ka-tang-jin' sekali diajunkan kemuka dalam gerak “tok-liong-jut-tong”, naga berbisa keluar gua, dia hantam punggung orang itu.
Orang itu melejit kesamping sembari balas menggerakkan tangannya. It Lui Buru-buru mundur, kuatir orang melepas jarum lagi yang lihai itu.
Orang itu bukan lain ialah Wan Ci adanya. Dengan mengenakan jubah sianak muda, dia menobros keluar untuk memikat perhatian musuhduanya. Dengan begitu, dapatlah Hi Tong kesempatan untuk lari. Sinona membekal tiga batang kim-Ciam. Apabila musuh merangsek dekat, akan dihajar nya., Untuk senjata itu, ia boleh merasa berSyukur. Karena It Lui sekalipun berkepandaian tinggi, tapi ditempat gelap seperti waktu itu, dia jeri juga akan jarum yang halus dan tanpa suara apa-apa itu. Karenanya, dia mengejar agak jauh jaraknya.
Kejar punya kejar, sampailah mereka kekota BengCin. Ketika itu sudah terang tanah, banyak sekali sudah orang-orang yang menuju kekota. Nampak ada sebuah hotel yang sudah buka pintu, Buru-buru Wan Ci nyelonong masuk. Seorang pelayan me nyambut, tapi belum dia keburu bertanya, Wan Ci telah mendahului memberikan sepotong perak, katanya: “Lekas kasih aku sebuah kamar.”
Perak itu ada tiga-empat tail beratnya, maka terkanCing lah mulut sipelayan, lalu menunyukkan Wan Ci sebuah kamar kosong.
“Nanti bila ada orang tagih hutang, bilang saja aku tak ada disini,” Wan Ci memesan. “Aku hanya akan tinggal semalam, uang kelebihannya untukmu.”
“Yangan kuatir, aku tukang gebah penagih hutang,” sahut sipelayan.
Baru saja pelayan itu keluar, It Lui cs menobros masuk.
“SiuCay yang masuk kesini tadi berada dimana, kita perlu ketemu,” tanyanya segera.
“SiuCay siapa?” balas tanya pelayan itu.
“Yang masuk kemari tadi,” menegas Pek Kian.
“Pagi ini belum ada orang masuk kehotel, mungkin kau orang tua, salah lihat,” berkeras sipelayan.
Kim Piauw gusar, lalu akan menggaplok mulut pelayan tersebut., tapi Buru-buru diCegah It Lui dengan membisikinya: “Semalam kita habis merampok penyara, tentunya masih menggoncang kan, jangan timbulkan urusan lagi.”
“Baiklah. Kita akan periksa satu persatu kamar hotel ini, nanti akan kita tunyukkan padamu,” kata Pek Kian dengan mendongkol. '
“Aduh, lagakmu begitu garang, agaknya menyerupai sanak raja saja?” mengejek pelayan itu.
Mendengar ributdua itu, sipemilik hotel pun menghampiri. Tapi Kim Piauw sudah tak kuat menahan sabar lagi. Sekali dorong, dia segera menerjang kesebuah kamar. Disitu dia tendang pintu kamar, hingga terpentang. Seorang gemuk gendut berjingkrak bangun dari tempat tidurnya saking kaget. Nampak bukan orang yang diCari; Kim Piauw ter jang lagi pintu kamar disebelahnya. Masih kedengaran, bagaimana sigemuk itu mengumpat maki habis-habisan.
Tengah ramaidua itu, tiba-tiba dari sebuah kamar diberanda timur, seorang nona yang Cantik, muncul keluar. Pek Kian dan Kawan-kawan nya juga melihat sinona, mereka kagumi ke
Cantikannya, tapi sedikitpun tak ada keCurigaan apa-apa terus melanjutkan penggeledahannya.
Dengan tertawa geli. Wan Ci keluar hotel dalam bentuk aslinya, wanita. Sampai dijalan besar, ada beberapa hamba negeri yang mendatangi. Mereka mendapat pengaduan dari sipemilik hotel, untuk menangkap orang yang membuat rusuhdua itu.
Sementara Hi Tong setelah melihat musuhduanya yang tangguh pergi, terus keluar menyerang Sam Jun dan Thian Po serta Thian Sing. Dengan mengeluarkan ilmunya pedang 'jwan-hun-kiam' dari Bu Tong Pai, dalam tiga empat ju rus saja, dia telah dapat menusuk lengan Thian Sing yang memang sudah terluka itu.
Thian Sing mundur beberapa langkah, lobang itu digunakan Hi Tong untuk menerjang keluar. Sam Jun menyapu dengan 'sam-Ciat-kun'-nya, tapi Hi Tong dapat menghindari nya dengan meloncat keatas. Tiba-tiba dia berteriak keras, men juruk jatuh kemuka.
Saking girangnya, Sam Jun dan Thian Po terus akan menubruknya. Tapi sekonyong-konyong Hi Tong membalik badan lalu menawurkan segenggam pasir. Mulut dan mata Sam Jun serta Thian Po, kena tertutup pasir itu. Sam Jun Cu kup berpengalaman, segera dia menggelundung beberapa tindak jauhnya. Tidak demikian dengan Thian Po. Dia masih menyublek sambil meng-usakdua matanya yang kelilipan dengan kedua tangannya.
Hi Tong baCok kaki kiri Thian Sing, terus memutar tu buhnya dan lari. Kiranya pasir yang dilontarkan itu, adalah sisa pembakaran rumput yang dimasukkan kedalam gua oleh It Lui cs. tadi.
Ketika Sam Jun mengusap bersih matanya, hanya kedua Sutit (keponakan murid) yang kedapatan masih disitu, yang satu mengerang, yang lain mengaduh. Sedang Hi Tong sudah tak tampak bayangannya lagi.
Bukan main mendongkolnya Sam Jun. Tapi dia tak dapat berbuat apa-apa, keCuali membebat luka kedua Sutitnya itu, serta menyuruh mereka mengasoh dulu kedalam gua, sedang ia sendiri lalu mengejamja.
Kira-kira berlari tujuh atau delapan li, bukan Hi Tong yang diketemukan, melainkan It Lui bertiga. Malah kini Haphaptai yang dibencinya itu, ikut serta. Selain itu, masih ada lagi seorang yang belum pernah dikenalnya. Orang itu kira-kira berusia 40-an tahun, dipunggungnya menggemblok sebuah thiat-pi-peh (harpa besi). Tindakannya gesit, pertanda seorang yang tinggi silatnya.
Pek Kian Cepat-cepat menanyakan sang Sute yang tampaknya kebingungan itu. Dengan ke-maluduaan, dia tuturkan kejadian tadi. Syukur It Lui cs. pun tidak mendapat hasil apa-apa, jadi tidak dapat saling menjalankan.
Kiranya orang yang membawa thiat-pi-peh itu, adalah Sute dari Ciao Bun Ki, jakni Han Bun Tiong. Di HangCiu dia telah dipale begitu rupa oleh orang-orang HONG HWA HWE, sampai tak tahu dia harus menangis atau tertawa. Wi-tin-ho-siok Ong Hwi Yang minta dia supaya balik bekerja lagi pada Tin Wan piauw kiok, tapi dia menolaknya. Malah dia anyurkan Hwi Yang supaya lekas-lekas tutup perusahaan piauwkioknya itu untuk mengaso kedesa.
Sejak bertempur dengan Thio Ciauw Cong dibukit Pak-kao-nia, ibarat orang mati kembali hidup lagi. Hwi Yang-pun memikir hendak mengundurkan diri, maka dia terima baik usul. Bun Tiong untuk tutup piauwkioknya dan melewatkan hari tuanya pulang kekampung halamannya.
Sepulangnya ke Lokyang, Bun Tiong berkehendak menutup rumah perguruannya, tak mau Campur urusan di kangouw lagi, seperti yang dinasehatkan oleh Tan Keh Lok. Tapi dalam perjalanan pulang itu, ditengah jalan dia ber jumpa dengan Haphaptai. Tak ada keinginannya untuk bertemu dengan sahabatduanya lama dikalangan persilatan lagi, karenanya, dia tundukkan kepala pura-pura tak melihat. Tapi thiat-pi-pehnya, sudah berbicara sendiri. Cepat-cepat Haphaptai mengenalinya.
Berdua segera menCari sebuah hotel. Disitu Bun Tiong Ceritakan tentang kebinasaan Suhengnya. Baru Haphaptai insja.f. bahwa Kim-tiok SiuCay dan H.H.H, itu bukan musuhnya. Dia mendapat kesan baik terhadap Hi Tong, maka Buru-buru diajaknya Bun Tiong untuk menolong anak muda itu.
Sebenarnya tak hendak Bun Tiong Campur urusan itu lagi, tapi Haphaptai mendesaknya, bahwa kalau bukan dia yang menjelaskan, tentu It Lui dan Kim Piauw tak mau sudah. Dan kalau sampai anak muda itu binasa, tentu orang HONG HWA HWE tak mau terima, akibatnya dia (Bun Tiong) sendiripwn akan terembet juga.
Baru saja keduanya memasuki kota BengCin, sebera me reka tampak It Lui bertiga bsr-gegasdua keluar dari hotel sehabis menghajar hamba polisi. Begitulah kelima orang itu telah menCari Sam Jun.
Kini kita tengok Hi Tong. Walaupun dia sudah terlemas dari bahaya, tapi dia merasa Cemas akan keadaan Wan Ci yang dikejar oleh tiga orang yang lihai itu. Dia Coba men Carinya ke-manadua, tapi tak bersua. Ingin dia masuk kikota, tapi teringat bahwa orang-orang negeri banyak sekali yang mengenalinya jadi terpaksa tunggu sampai malam sudah tiba.
Malamnya dia Cari sebuah hotel. Tapi sepand'ang malam itu, tak dapat dia meramkan matanya. Diam-diam dia menyum pahi dirinya, sebagai orang yang tak kenal budi. Dua kali sudah, nona itu menolong jiwanya, tapi sampai saat itu bukan wajah sinona yang membayang i kalbunyi, melainkan gelak ketawa Lau Ping dengan sujen dipipinya yang manis itu selalu terkenang olehnya. Dari jauh, terdengar kentong an dipalu tiga kali, tanda sudah tengah malam.
Selagi dia akan meramkan mata, tiba-tiba dikamar sebelah ada orang memetik pipeh. Hi Tong seorang penggemar musik, Buru-buru dia duduk mendengari. Pi-peh itu dibunyikan begitu pelan, perdengarkan lagu yang menyajat hati. Lewat beberapa saat, kedengaran seorang wanita menyanyi:
(page cut)
Nyanyian indah dengan suara yang merdu. Hi Tong merasa heran, masa dalam hotel yang terpenCil itu, ada orang yang dapat menyanyi sedemikian indahnya.
Tiba-tiba dari kamar sebelah itu juga, kedengaran seorang lelaki batukdua, lalu berkata dengan suara lemah: “Sudahlah jangan menangis, tertawalah, nyanyilah lagi ......... hanya semalam ini saja, hendak kudengar banyak sekali-kali ......... beberapa lagumu lagi.”
Dengar orang bicara dengan lidah Kanglam, dan suara nya terputus-putus, Hi Tong duga tentu orang itu tengah menderita sakit payah. Siwanita kedengaran menelan ludah, tangannya lalu memetik snaar pi-peh, namun tak menyanyi.
“Setelah kumeninggal, baik kau kembali ke HangCiu lagi ......... mohon sama kiu-ya ......... supaya dia merawatmu,” demikian suara silelaki.
Siwanita tak menyahut. Tiba-tiba malah kedengaran menyanyi. Kali ini suaranya sember, sehingga Hi Tong tak dapat dengar jelas. Hanya sehabis itu, wanita itu ter-isakdua mengibakan hati.
Hi Tong menduga mereka tentulah suami isteri, suaminya tengah terserang penyakit berat sang isteri nyanyi untuk menghiburnya. Dia teringat masih membawa kantong uang. Ketika disuluhi dengan lilin, isinya uang emas semua. Itulah Wan Ci yang memberinya. Hi Tong timbul bermaksud akan menyerahkan beberapa biji uang emas tersebut. untuk menolong mereka.
“Ah, aku dapat menolong orang, tapi siapakah yang dapat menolong diriku?” Hi Tong mengelah napas sambil menuju kekamar sebelah dan mengetuk pintunya.
“Maaf, mengganggu kau orang tua, ja, aku tak nyanyi lagi,” sahut suara didalam.
“Harap bukai pintu, aku ada sedikit omongan,” kata Hi Tong.
(Page cut)
jangan mengembara lagi. Nah, selamat malam,” kata Hi Tong terus akan bertindak keluar.
“Siangkong (tuan muda), harap tunggu,” wanita itu tibas berseru.
Hi Tong hentikan langkahnya.
“Mohon tanya nama siangkong yang mulia.”
“Ah, uang yang tak berarti ini, tak perlu kau berterima kasih. Turut tekukan lidahmu, agaknya orang Kanglam. Mengapa bisa berada di TiongCiu sini?”
Wanita itu berpaling kepada silelaki. Nampak keadaannya makin payah, menangislah ia, katanya: “Sebenarnya aku tak berani mengatakan. Tapi menilik dia tak ada harapan lagi, akupun tak ingin hidup juga. Setelah kututurkan, biarlah orang mengetahui boroknya bangsa pembesar.”
“Yadi kau berdua ini juga menjadi korban pembesar negeri?” tanya Hi Tong.
“Dia orang she Ciao. Kami asal HangCiu, masih pernah saudara misan. Sejak kecil kami sudah ditundangkan Tahun yang lalu. dia ditangkap pembesar, dituduh membangkang dalam wajib dinas militer. Karena miskin, kami tak mampu memberi uang sogok, jadi dia terus ditahannya............”
Menutur sampai disini, wanita itu berCuCuran air mata. Sejurus kemudian, baru ia dapat melanjutkan pula: “Aku lemah tak berdaya, terpaksa menjadi penyanyi. Orang biasa memanggil aku 'Giok-ju-ih'.”
Kiranya wanita ini ialah Giok-ju-ih yang pernah diperalat oleh jago-jago HONG HWA HWE untuk menyebak kaisar Kian Liong itu.
Dahulu sewaktu ia dibawa orang-orang HONG HWA HWE untuk menyanyi dihadapan baginda Kian Liong ditelaga Se-ouw itu, Hi Tong tak ikut disitu. Setelah mendapat luka dia beristirahat ke Thian Bok San. Jadi soal pemilihan ratu keCantikan, siasat menyebak kaisar, sedikitpun dia tak mengetahuinya.
“Belakangan aku bertemu dengan seorang Liok-kongcu, disuruh bantu urusannya. Sebagai upah, dia berikan seribu tail perak padaku,” demikian Giok-jwih menutur pula.
“Betul-betul royal sekali dia”, seru Hi Tong memutus pembi Caraan orang.
“Kubermaksud menghadap Ciangkun dalam tentara Ceng, akan menebusnya. Orang menasehati berbahaya kalau seorang wanita mengadakan perjalanan dengan membawa uang sedemikian banyak sekalinya. Tapi ternyata bukan bangsa begal penjamun yang kujumpahkan, melainkan kawanan hamba negeri. Tidak saja uangku dirampas habis, mereka bahkan akan menyerahkan diriku pada Tihu (residen) untuk di jadikan selir.”
“Bangsat!” Hi Tong gebrak meja saking gusarnya. “Kawanan hamba negeri mana itu? Ayo, lekas bilang!”
“Ah, tak perlu kukatakan. Dimanadua sama saja. Malamnya aku melarikan diri, sehingga jatuh kemari. Kebetulan, dia yang dipaksa diangkut untuk berperang kedaerah Hwe, karena kelaparan, juga melarikan diri. Kita beruntung dapat berkumpul. Tapi, ah, hanya untuk berpisah se-lama-lamanya lagi. Dia terlalu payah keadaanya akibat penyiksaan yang hebat...”
Hi Tong merasa kasihan, lalu bertanya kepada orang lakidua itu apakah kekurangan ransum dari tentara Tiau Hui itu hebat sekali.
Tapi orang itu sudah tak dapat mendengar pertanyaannya hanya menuding kearah Giok-ji-ih, dia berkata tersengal-sengal :
“Aku......... aku akan pergi......... moay......... baikkah kau menjaga diri......... nyanyikanlah sebuah lagu lagi............”.
“Baik, engko,” kata Giok-ji-ih dengan suara sember. Di petiknya senar pipeh, namun tenggorokan rasanya terkan Cing. Tampak kepala orang itu menteklok dan napasnyapun berhenti.
Giok-ju-ih letakkan pipehnya. Kini ia tak menangis lagi. Dari bawah bantal diambilnya sebuah bungkusan, lalu dibe rikannya kepada Hi Tong, katanya: “Benda yang didalam ini, katanya amat berharga sekali, tapi akupun tak mengerti. Siangkong adalah seorang pelajar, harap suka meneri manya”.
Dengan heran Hi Tong menyambutinya. Menyusul Giok-ju-ih segera benturkan kepalanya ke ujung pembaringan. Hi Tong Coba iiieuCeg'alinya, tapi terlambat. Seorang wanita muda yang Cantik, kini pecah sebagai ratna.
Hi Tong buka bungkusan itu, ternyata isinya tiga gulung lukisan. Buru-buru dia tulis sepuCuk surat, tinggalkan dua buah uang emas, suruh sipengurus hotel mengurus majata itu, lalu berlalu dari situ.
Tujuan Hi Tong jalah untuk menCari Wan Ci Masih mendenging berkumandang rasanya kata-kata yang tersimpul dalam nyanyian Giok-ju-ih tadi:
(Page cut)
Teringat dia betapa penyanyi yang Cantik itu, sekejab saja sudah kembali pada asalnya: segumpal tanah kuning. Lou Ping, Wan Ci dan lain-lain. wanita Cantik pun akan mengalami nasib serupa. Kelak mereka pun hanya merupakan kumpulan tengkorak dan tulang belulang. Memikir sampai disini, hati nya menjadi tawar akan kesenangan dunia. Pada sebuah pohon yang rindang daunnya, dia berhenti mengasoh. Karena beberapa hari kurang tidur, maka sekejab saja tertidurlah dia.
Hampir pagi, baru dia tersadar. Kini semangatnya dirasakan pulih kembali. Dengan pelan-pelan dia lanjutkan perjala nannya lagi untuk mendaki ke atas sebuah bukit. Disana dia tiba pada sebuah gereja, jakni Po Siang Si.
Masuk kedalam ruangan besar, diatas situ terdapat sebuah patung Budha dengan tangan terkulai dan kepala memandang kebawah. Seakan-akan merasa kasihan atas penderitaan insani dunia. Pada sekitar dindingnya, tampak lukisan dari sang Buddha sedang menolong burungdua dan mengunjuk kan kasih sayang nya kepada binatangdua. Hati Hi Tong tergerak karenanya, lalu masuk kedalam ruangan belakang.
“Kisu (tuan) datang kemari, hendak mempunyai hajat apa?” tanya seorang Hweshio tua yang muncul menyambutnya.
“Cayhe hanya pesiar saja. Lama sudah keangkeran Po Sat disini, Cayhe ingin kunjungi. Apakah kiranya tak mengganggu?” sahut Hi Tong.
Dengan mengucap beberapa patah kata penerimaan, Hweshio silakan Hi Tong masuk kedalam kamar tamu. Seorang Hweshio lain, segera menyuguhkan teh dan kuwihdua. Saking lelahnya, sehabis dahar, Hi Tong tertidur. Kira-kira dua jam kemudian, dia terbangun. Waktu itu sudah tengah hari. Diruangan tengah kedengaran suara bokhi (alat tok-tok kaum paderi) ditabuh oleh para Hweshio yang tengah liam-keng atau bersembayang dan membaCa kitab. Cepat-cepat dia berbangkit untuk melanjutkan perjalanannya menCari Wan Ci. Lantas dia tertarik dengan bungkusan pemberian (Page cut)
Bungkusan pertama, adalah tulisan dari penyair Auwyang Siu. Bungkusan kedua, dua buah sajak dari Li Gi San. Tapi setelah membuka bungkusan yang ketiga, agak terkejutlah dia. Karena itulah lukisan kertas panjang dari Cerita bergambar delapan orang imam dari kerajaan Song. Diatas ujung kertas, tertera stempel “koleksi barangdua berharga dari Kian Liong.”
Lukisan itu menCeritakan, kisah pengembaraan dari delapan tosu. Salah seorang tosu karena mendengarkan lagu nyanyian disebuah Ciu-lauw, telah mendapat penerangan batin. Ingin Hi Tong mengetahui nyanyian apakah yang membuka hati tosu, lalu dibukanya lembaran yang kedua.
“Karena kau tak ada hati, biarlah kuberhenti.” Demikian lagu itu. Tanpa merasa Hi Tong membaCanya keras-keras. Dia terlongong-longong beberapa saat. Berulang-ulang dia m ngulangi sjair itu. Sampai akhirnya, terbukalah hatinya.
Sehari itu, dia tak mau makan dan minum. Beberapa kali Hweshio menengokinya karena mengiranya ia sakit. Selama berbaring ditempat tidurnya, dia rasakan angin seperti Menderu-deru , pepuhunan bagaikan lautan. Hatinyapun bergontjangan tak tenteram. Sampai jauh malam tak dapat dia tidur.
Apa yang telah dialaminya selama duatiga tahun yang lalu, seperti ter-bayang dua kembali: mendapat gelar SiuCay, membunuh musuh, mengembara dikangouw, dan beberapa kali menempuh bahaya. Dia merasa, selama itu hanya kekeCewaan dan penderitaan saja yang diperolehnya. Ada sekilas kegem biraannya, ketika api asmara berkobar terhadap Lou Ping. Namun karena sang pujaan itu tak mau meladeni, dia tak mau sudah. “Ya, karena kau tak berhati, biarlah kuberhenti,” akhirduanya Hi Tong berkata dalam hatinya.
Masih tak dapat tidur, dia duduk lagi dan nyalakan lilin. Tiba-tiba dia melihat diatas meja terdapat sebuah kitab kuno memuat dua4 Cerita pada jaman Thian Tiok (baheula).
Pada salah sebuah Cerita, Hi Tong membaCa bagaimana Dewa telah menganugerahi seorang bidadari yang Cantik kepada Buddha.
“Sesosok kulit terbungkus tulangdua, untuk apa bagiku?” sabda Buddha.
MembaCa sampai disini, kepala Hi Tong berkunang-kunang tak ingat diri. Sampai lama dia baru tersedar lagi, pikirnya:
“Ah, memang tepat sabda Buddha, wanita Cantik hanyalah rangka tulangdua yang terbungkus kulit. Mengapa hatiku terikat?”
Tanpa berpikir lama-lama, dia segera mendapatkan ketua Hweshio untuk minta digunduli rambutnya. Sang Hweshio minta dia timbang masakdua niatannya itu. Tapi Hi Tong tetap ber keras.
Pada hari kedua, diadakan sidang Hweshio. Dihadapan patung Buddha, Tong diCukur rambutnya dan mengucap janji kesetiaannya. Sejak itu dia mendapat gelar Gong Yan Hweshio. Tiap hari dia rajindua liamkeng (membaCa kitab) dan menghafalkan pelajarandua Buddha.
Pada suatuJ pagi, tengah dia asjik liam-keng, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang ber-Cakapdua dalam bahasa kangouw, katanya: “Seluruh kota BengCin sudah kita Cari, tapi tak ada. Heran kemana dia sembunyi?”
Hi Tong terkejut. Suara itu telah dikenalnya.
“Taruh kata harus membongkar BengCin, kita tetap akan menCarinya;” kedengaran lain suara menggeram.
Hi Tong kertek giginya. Tahu dia orang inginkan dirinya. Ternyata orang-orang itu ialah It Lui dan Pek Kian cs. Saat itu mereka berada dibelakang Hi Tong. Hi Tong diam saja.
Kiranya Haphaptai sedang berbantah dengan Kim Piauw. Haphaptai anggap lebih baik berangkat saja kedaerah Hwe untuk lakukan pembalasan pada Hwe Ceng Tong. Tapi Kim Piauw membandel. Biar bagaimana dia akan Cari Hi Tong dulu. Kemudian Pek Kian tanya ketua gereja situ, apakah ada seorang SiuCay bermuka buruk yang datang.
Hweshio yang ditanya melengak. Nampak hal itu, Pek Kian Curiga, terus menobros kedalam untuk menggeledah. Benar juga disebuah kamar, dia ketemukan jubah hitam kepunya an Wan Ci yang dipakai Hi Tong. Pek Kian dengan bengis tanyakan si Hweshio kepala.
“SiuCay itu sudah tak ada lagi. Kalian bakal tak dapat menemukan se-lama-lamanya,” jawab paderi itu.
Dengan mungkur Hi Tong tampak berbangkit. Dengan mengetukdua bok-hi, dia masuk keruangan dalam.
Pek Kian timbul keCurigaannya. Dia memberi isyarat kepada muridnya Thian Po, siapa segera mengikutinya masuk.
“He, hweshio, tunggu! Aku mau bicara,” tegur Thian Po.
Tapi Hi Tong tak menghiraukan, malah perCepat-cepat tindak annya. Thian Po memburu, tangannya kiri akan menyam bret punggung Hi Tong. Terpaksa Hi Tong berkelit, dia gunakan lengan jubahnya untuk menyampok muka penyerang nya. Karena mukanya seperti dikeruduki, Thian Po Cepat-cepat mundur. Namun segera ia rasakan pipinya sakit sekali sampai mendumprah kelantai. Itulah karena dihantam bok-hi oleh Hi Tong.
“O-mi-to-hud! SianCay, SianCay (amin, amin)!” demikian dengan me-mukuldua bok-hi, Hi Tong terus berjalan kebela kang.
Mendengar suara bok-hi makin jauh, sedang Thian Po tak kelihatan muncul, Pek Kian dorong sihweshio tadi ke samping, lalu beramai menobros masuk. Disana didapatinya Thian Po duduk dilantai, sambil meng-usapdua pipinya.
;,Apa-apaan kau duduk saja. Mana Hweshio tadi?” tanya Pek Kian segera.
Thian Po tak dapat bicara. Kepalanya basah dengan keringat. Dia menuding kebelakang: Sam Jun dan Kim Piauw memburu masuk. Tapi disitu, selain hanya ada seorang tukang masak, tak ada lain orang lagi. Pek Kian angkat bangun muridnya dan memeriksa lukanya. Sebuah benyolan biru kehitam-hitaman terdapat dipipinya. Luka itu Cukup berat.
“Hweshio itukah yang melukaimu?” tanya Pek Kian.
Thian Po mengangguk.
“Bagaimana romannya?”
Thian Po membuka muiut, tapi tak dapat mengatakan. Sebabnya, dia memang tak sempat mengawasi wajah sihweshio tadi.
Dilain fihak, It Lui terus menyeret masuk sihweshio kepala. Lihat tangan dan kaki orang menjadi lemas tahulah It Lui hweshio itu tak bisa silat. Bentaknya: “Kemana larinya Hweshio tadi?”
Sihweshio kepala menerangkan, hweshio baru itu dari lain tempat, tak diketahui asal usulnya. Karena berulang-ulang dita nyai tetap tak dapat memberi lain keterangan, It Lui lepaskan dia. Pek Kian anCam mau bakar gereja itu, tapi Hweshio tetap pada keterangannya. It Lui lalu ajak rombongan-nya berlalu.
“Gereja itu agak mencurigakan, nanti malam kita selidiki!” kata It Lui.
Seperginya dari situ, mereka menCari makanan didesa dekat situ. Malamnya mereka datang menyelidiki gereja tersebut., tapi tak mendapat hasil apa-apa. Hari kedua, Haphaptai ulangi pernyataannya supaya lekas pergi kedaerah Hwe saja. Namun Kim Piauw tetap berkeras.
“Kalau malam nanti tetap tak menemukan Hweshio bangsat itu, besok paginya kita berangkat kedaerah Hwe,” katanya.
Begitulah maka ketika malamdua dalam perjalanan mereka kegereja tersebut. Bun Thay Lay menampak beberapa ba jangan hitam, itulah It Lui dan Kawan-kawan nya. Sedang apa yang membuat Bun Thay Lay kaget setengah mati ketika Hweshio itu bangkit dan berpaling, ialah karena muka si Hweshio luar biasa buruknya. Ja; itulah Sipsute Kim-tiok SiuCay Ie Hi Tong yang sedang diCarinya.
Heran Bun Thay Lay dibuatnya. Dia sembunyikan diri di sebuah sudut, untuk nantikan kejadian selanjutnya. Ternyata setelah memberi hormat pada Buddha, Hi Tong menu ju kebelakang arCa terus tak muncul lagi.
Tiba-tiba pada saat itu, terdengar suara gedebukan keras. Pintu ruangan besar didorong orang. Tujuh atau delapan orang menobros masuk.
Hanya satu yang dikenal Bun Thay Lay, jakni Pek Kian. Orang itulah yang menangkapnya di Thiat-tan-Hung dulu. Juga di KengCiu dia telah menghinanya.
“Po Sat maha adil, kini menyuruh dia jatuh ketanganku!” diam-diam Bun Thay Lay menggeram.
Sewaktu masuk tadi, It Lui cs. terang melihat ada ba jangan orang. Tapi kini ternyata hanya lilin-lilin saja yang ber nyala terang, tanpa ada orangnya. It Lui Coba angkat lonCeng gereja yang luar biasa besarnya. Disitu pun takada apa-apanya. Kim Piauw mendongkol dia maki-maki kalang kabut.
Habis memaki, dia hantamkan 'lak-houw-jat'-nya ketubuh patung. “Dung” .........! terdengar suara benturan.
“Dalam patung ini ada sesuatu yang mencurigakan”, seru It Lui sambil loncat menghampiri.
Loncat keatas meja, diapun pakai 'tok-ka-tang-jin'-nya, menghantam pundak kiri patung itu. Tak terkira dahsyatnya hantaman itu, pecah tubuh patung itu. Sekonyongdua sesosok tubuh melesat keluar dari lubang pundak patung itu. Itulah dianya, orang yang diCari.
Tapi begitu kakinya menginyak meja, dia — Hi Tong — lalu loncat kebawah. Kedelapan orang rombongan It Lui, terus bersiap mengepung. Tapi Hi Tong ternyata tidak lari; hanya berlutut dimuka patung tadi. Sedikitpun tak hiraukan musuhduanya. Dengan merangkap kedua tangannya, dia meng uCap doa:
“TeCu (murid) berdosa besar, telah menyebabkan penya-hatdua dari lain golongan masuk kemari dan membikin rusak tubuh Buddha. Harap diberi ampun”.
Heran kedelapan orang itu mendengarnya. Pek Kian tak sabar lagi. Dia jambret lengan kanan Hi Tong, lalu membentak: “Ha, membikin rusak setan apa, lekas jalan!”
Adalah ketika nampak kedatangan rombongan It Lui yang sama membekal senjata itut Hweshiodua dalam gereja itu, sama menyembunyikan diri. Hi Tong mandah saja dan ikut Pek Kian. Thian Seng lari kemuka, membuka pintu ruangan besar.
Ketika pintu terbuka, tahu-tahu ada seorang tegak berdiri disitu. Karena terkejut, orang-orang itu melangkah mundur. Dia si penghadang itu — berpakaian warna kelabu, dengan memakai ikat pinggang. Sepasang matanya bundar besar seperti mata harimau. Sikapnya keren dan gagah.
Paling bergoncang adalah hati Pek Kian. Karena sampai saat itu, dia masih belum tahu kalau Bun Thay Lay sudah dibebaskan.
“Kau ......... Pan-lui .........” Tak dapat dia lampiaskan pertanyaannya, karena tangan Bun Thay Lay sudah menotok pergelangan tangannya, begitu sebat gerakan itu sehingga Pek Kian tak sempat menangkis atau berkelit. Terpaksa dia kendorkan pegangannya. Sebelum dia merasa apa-apa, Hi Tong sudah dijambret oleh Bun Thay Lay. Pek Kian Cepat-cepat loncat kesamping. Baru habis itu, dia rasakan pergelangannya sakit sekali.
It Lui dan lain-lainnya, belum kenai Bun Thay Lay. Tapi demi melihat gerakan yang sedemikian sebatnya, mereka ter Cekat kaget. It Lui anggap se-tidakduanya Pek Kian adalah ahliwaris dari suatu Cabang persilatan. Tak dia sangka, hanya sekali gebrak saja, orang sudah dapat merampas tawanan yang berada dalam tangannya. Karena hal yang tak terduga itu, It Lui tak sempat menolongnya. Tapi diapun terus bertindak Cepat-cepat . Dengan menghunus senjata orang-orang an berkaki satu,” dia menghadang diambang pintu. Perhitung annya, fihaknya berjumlah delapan orang, yang 5 adalah jago-jago Kangouw yang tergolong lihai. Jadi sukarlah rasanya, musuh bisa mengalahkan.
Setelah menarik Hi Tong, Bun Thay Lay melesat keu jung kiri dari ruangan besar itu.
“Apakah kau terluka?” tanyanya kemudian. “Tidak,” sahut Hi Tong.
“Bagus, kita berdua dapat melabrak mereka se-puasduanya!” kata Thay Lay.
Hendak Hi Tong mengatakan sesuatu, tapi Thian Po dan Thian Seng dengan menghunus senjata, sudah menerjang maju. Dari gerakannya, tahulah segera Bun Thay Lay, bahwa kedua penyerangnya ini adalah muriddua Cabang Gian-keh-kun dari TinCiu. Benci kepada sang suhu, Bun Thay Lay tumpahkan kemarahannya pada sang murid. Sekali enjot tubuhnya; dia sudah melesat dibelakang kedua penyerangnya. Kedua orang muda itu Cepat-cepat akan menarik kembali serang annya, tapi tengkuk mereka tahu-tahu sudah disambar tangan musuh.
Sam Jun berada paling dekat. Dengan gerak “naga be raCun keluar dari gua,” dia sabetkan 'sam-Cat-kun'-nya kepunggung Bun Thay Lay. Dengan masih menCengkeram kedua anak muda tadi, sebat sekali Bun Thay Lay berputar kebelakang. Diangkatinya kedua orang muda itu, lalu dibolang-balingkan berputaran. Dia menggerung keras, seperti guntur bergemuruh diudara.
Sam Jun seperti terbang semangatnya. BergemerinCingan 'sam-Ciat-kun'-nya jatuh kelantai. Sekali pula Bun Thay Lay menggerung keras, dengan sekuat-kuatnya dia benturkan kepala kedua anak muda itu satu sama lain. Prukk! Kedua batok kepala muriddua Pek Kian itu hanCur berantakan.
Tak berhenti begitu saja, Bun Thay Lay lalu lemparkan tubuh kedua korbannya itu kearah rombongan musuh. Karuan saja Kim Piauw cs loncat menghindar. Hanya Pek Kian mengingat hubungan guru dan murid menyang gapi tubuh Thian Sing.
Kejadian itu berlangsung secara Cepat-cepat sekali, sehingga Kim Piauw menjadi kemekmek. Dia tak pungut lagi sen jatanya, ataupun berusaha untuk lari. Menyublek seperti patung saja.
Maju selangkah, Bun Thay Lay menggaplokkan sebelah tangannya pula. Sam Jun berusaha menangkis. Krekk......... tulang lengannya patah. Bun Thay Lay menyambret dada Sam Jun. Tapi Sam Jun tidak mandah, dengan ilmu tendangan 'wan-yang-liang-goan-thui' atau ilmu tendangan sepasang kaki secara susul-menyusul, dia tendang dada mu suhnya.
Nyata Sam Jun tak kenal siapa Pan Lui Hiu, si Tangan Bledek itu. Bagaikan kilat Cepat-cepat nya tangan kanan Bun Thay Lay menyawut sebelah kaki Sam Jun terus diangkat keatas, hingga kini kepala Sam Jun terjungkir balik.
Kim Piauw dan Pek Kian Cepat-cepat akan menolongnya. Tapi sekali lagi Bun Thay Lay menggerung, dia sabetkan tubuh Sam Jun pada batu marmer diruangan situ. Sudah tentu hanCur batok kepala Sam Jun.
Gerakan Bun Thay Lay tadi hanya dalam beberapa kejab saja. Karena mestinya tendangan Sam Jun tadi adalah 'lian-goan-thui', menendang berturut-turut dengan sepasang kaki. Tapi siapa tahu. baru sebelah kaki menendang, musuh sudah menyawut dan membantingnya dengan ganas.
Bun Thay Lay umbar kemarahannya, maka dalam sebentar waktu saja dia sudah binasakan tiga orang. Kini dia diserang dari kanan-kiri oleh Kim Piauw dan Pek Kian. Tahu dia, kalau kedua orang ini jauh lebih tangguh dari ketiga korbannya tadi. Mundur kebelakang, dia angkat sebuah hiolouw (tempat dupa) dari marmer terus dilontarkan kepada Kim Piauw.
Hiolouw marmer itu tak kurang dari delapan0 kati beratnya, apalagi dilempar sekuat-kuatnya. Sudah tentu, Kim Piauw tersipudua berkelit kesamping. Celaka adalah It Lui. Dari tadi dia ketutupan tubuh Kim Piauw, jadi tak tahu apa yang melayang . Maka begitu Kim Piau menghindar, tahu-tahu hiolouw sudah didepan mata.
“Lo Toa; awas!” seru Haphaptai.
Karena tak sempat menyingkir, It Lui hantamkan 'tok-kak-tong-jin'-nya. Berbareng dengan suara deburan yang dahsyat, hiolouw itu pecah berantakan.
Saat itu Pek Kian sudah bertempur dengan Bun Thay Lay. Hi Tong tak mau tinggal diam. Dia sembat gada pemukul bedug dan berdiri dibelakang Bun Thay Lay untuk melindunginya. Muka It Lui dan Kim Piauw luka kena pe Cahan hiolouw tadi, karena itu Kim Piauw terus akan menyerang dengan 'lak-houw-jahnya. Tapi gerakan Bun Thay Lay sebat sekali. Menyerang muka Pek Kian, tiba-tiba dia melesat kesamping Haphaptai.
Memang sudah diperhitungkan Bun Thay Lay, masih ada 5 orang musuh yang tangguh. Untuk merebut kemenangan, dia harus merobohkan lagi beberapa musuhnya. Dilihatnya Haphaptai dan Han Bun Tiong berdiri agak jauh. Maka dia melesat kesana dengan tiba-tiba, terus akan menghantam punggung Haphaptai.
Haphaptai mendekkan tubuh, kasih lewat serangan itu. Lalu secepat-cepat kilat, dia ulur tangannya menangkap lengan orang. Melihat gerakan orang Mongol itu gesit sekali, Bun Thay Lay turunkan tangannya tadi kesamping, menyerang leher orang.
Tapi lagi-lagi Haphaptai tundukkan kepalanya, ulur tangannya menangkap lengan penyerangnya. Tahu Bun Thay Lay kalau setiap gerakan musuh itu adalah “kim-na-Hiu,” ilmu menangkap dengan tangan kosong. Tapi anehnya, gerakan itu berbeda dengan jurus-jurus ilmu “eng-jiao-kang,” Cakar garuda.
Memang Haphaptai bermula mendapat pelajaran gumul dari bangsa Mongol. Ilmu itu dia gabung dengan ilmu silat Thong-pi-kun. Dua kali Haphaptai keluarkan ilmunya itu untuk menangkap lengan Bun Thay Lay. Biasanya belum pernah dia gagal. Maka saat itu, karena mengalami kegagalan, dia agak terkejut. Dan ini menyebabkan dia ajal. Tahu-tahu sebuah pukulan musuh menghantam pundaknya.
Juga tak kalah heran adalah Bun Thay Lay. Tangan sakti yang menyebabkan dia memperoleh julukan Pan Lui Hiu — si Tangan Halilintar — itu, ternyata tak dapat merobohkan musuh itu. Kiranya meskipun sudah ber-tahundua Haphaptai mengembara didaerah Liauwtang (Tiongkok timur-laut), Haphaptai tetap tak mau tinggalkan adat orang Mongol. Dia selalu mengenakan baju kaos terbuat dari kulit kerbau.
Tapi Bun Thay Lay mengira kalau Haphaptai mempunyai ilmu istimewa. Tak ia ketahui kalau lawan itu merasa sakit sampai keulu hati. Tiba-tiba orang Mongol itu duduk ditanah, sepasang tangannya menyikap pinggang lawan. Bun Thay Lay tarik tangannya, untuk ditamparkan kekening orang, siapa pun tak mau mandah saja. Sambil egoskan kepala, tangannya menyikap pinggang orang terus diangkat keatas. Itulah salah suatu jurus ilmu bergumul bangsa Mongol yang paling berbahaya.
Ketika Gengis Khan menaklukkan daerah barat sampai ke Eropah, tak pernah dia terkalahkan. Dia taklukkan berpuluh negara besar dan kecil, hanCurkan beratus ribu tentara sekutu dari negaradua di Eropah itu. Begitu patah nyali serdadudua bangsa kulit putih itu, sehingga mereka sudah gemetar kalau mendengar kedatangan tentara Mongol Gengis Khan itu.
Memang kekuatan tentara Raja Diraja dari Mongol itu, terletak pada kesempurnaan organisasi mereka, ilmu memanah dan kepandaian naik kuda. Selain itu, ilmu bergumulnya yang has juga sangat dimalui lawan. Ilmu itu memang merupakan ilmu warisan orang Mongol turun temurun.
Haphaptai telah dapat mewarisi ilmu itu dengan sempurna. Begitu lawan dapat diangkatnya, terus akan dibantingnya ketanah. Tapi sekonyong-konyong tangannya dirasakan kesemutan, begitupun tubuhnya lemas tak bertenaga.
Saat itu, melihat Bun Thay Lay terancam bahaya, Hi Tong terus akan maju menolongnya. Tapi segera ia nampak pemandangan yang aneh. Bun Thay Lay melayang jatuh dengan mengempit Haphaptai, kiranya tadi dia telah totok jalan darah orang Mongol itu, tubuh siapa terus dia kempit.
“Suko, dia seorang sahabat!” Hi Tong berseru dengan Cemas.
Tapi sudah terlanyur. Karena saat itu, Haphaptai sudah dilempar kemuka. Dengan kepala berada disebelah depan, tubuhnya melayang kearah lonCeng besar. It Lui dan Kim Piauw yang berada dimuka pintu, pun sudah merasa tak sempat untuk menolongnya. Mereka hanya mengawasi dengan kesima.
Mendengar teriakan Hi Tong tadi, Bun Thay Lay terkejut. Segera dia enjot tubuh memburu kemuka. Ternyata dia lebih Cepat-cepat dari melayang nya tubuh Haphaptai. Dalam saat-saat yang berbahaya, dia keburu menyambar ujung sepatu Haphaptai, terus ditariknya kebelakang. Tangannya kiri pun di kerjakan untuk menotok jalan darah penyedar dipundak orang, dan serunya: “Ah, kiranya seorang sahabat, maaf !”
Tertolong dari maut, Haphaptai terlongong-longong. Juga It Lui dan Kim Piauw yang sudah akan memburu maju untuk menolong Sutenya itu, batal bergerak. It Lui pimpin Haphaptai kepinggir.
“Awas belakang!” tiba-tiba kedengaran Han Bun Tiong berseru.
Memang Bun Thay Lay rasakan ada angin menyambar dari belakang. Secepat-cepat kilat dia berbalik sembari menyapu dengan kakinya. Pembokongnya, ialah Gian Pek Kian, siapa dengan sepasang 'thiat-hwan' (gelang besi) loncat menghantam bebokong Bun Thay Lay. Tapi karena gerakan lawan demikian sebatnya itu, dia tarik kembali serangannya, akan tetapi thiat-hwan ditangannya kanan sudah terlanyur menyorok kemuka. Sambil menggerung Bun Thay Lay ulurkan tangannya untuk merebut.
Agaknya kedua orang itu merupakan seteru yang saling membenci. Saat itu mereka akan mengadu jiwa betul-betul.
Ruangan yang diterangi dengan Cahaja lilin yang sinarnya samardua, dengan arCa yang telah rompang sebelah lengannya itu, kini menyaksikan pertempuran mati-hidup dari dua musuh kebujutan.
Hi Tong bersandar dipinggir patung. It Lui, Kim Piauw, Haphaptai dan Bun Tiong berdiri dimuka pintu. Didalam ruangan situ terhampar tiga tubuh yang kepalanya pecah. Melihat It Lui dan kedua Sutenya hanya mengawasi dan tak mau membantunya, Pek Kian marah sekali. Dia mainkan senjatanya luar biasa hebatnya.
Pek Kian adalah ahliwaris dari Cabang Gian-keh-kun. Cabang itupun mempunyai ilmu silat istimewa. Terutama dalam permainan 'thiat-hwan' itu, Pek Kian telah meyakin kan berpuluh tahun. Hal mana pun diakui oleh Bun Thay Lay, betapa lihai permainan lawannya itu. Karenanya, dia segera merobah permainan silatnya.
Kini rombongan It Lui itu segera menyaksikan bagaimana pada setiap serangannya, Bun Thay Lay tentu menggerung keras. Suatu waktu menggerung dulu, baru menyerang. Atau menyerang dulu lalu menggerung. Malah ada juga yang menyerang berbareng menggerung. Pokoknya, gerungan itu se-olahdua merupakan pelengkap serangan kepada lawan. Makin seru serangannya, makin dahsyat pula dia menggerung. Pecahlah nyali musuh dibuatnya, siapa makin lama makin terdesak.

KIRANYA ilmu itu adalah keistimewaan dari Bun Thay Lay, disebut “Pi-lik-Ciang”, pukulan hali-lintar. Baik pukulan maupun gerungannya, bagaikan deru angin dan halilintar menyamber. Pek Kian tahu gelagat dia mengakui bukan tandingan lawannya. Sepasang gelang-besi dirangkapnya menjadi satu, lalu mundur selangkah. Tahu dia bahwa musuh tentu maju menyerangnya. Dan dugaan ini tak meleset.

Ketika tangan musuh menyerang, dia segera kaCipkan sepasang thiat-hwannya dengan tipu “pek-yan-kiam-wi” seriti putih menggunting ekor. Dengan gerakan ini ia menduga lengan Bun Thay Lay pasti terkaCip kutung.

Tak dia sangka kalau gerakan tangan orang she Bun itu, luar biasa sebatnya. Sudah terlanyur diulur kemuka, Bun Thay Lay teruskan menotok dada lawan. Pek Kian terkesiap. Dia ketahui bagaimana hebat tenaga lawan. Sekali kena di totok, pasti Celaka. Buru-buru di pakai thiat-hwan kirinya untuk melindungi dadanya sedang thiat-hwan satunya dia hantamkan kepundak lawannya.

Bun Thay Lay menggerung keras. Begitu dia katupkan kelima jarinya, segera dapat manangkap senjata musuh sambil menggeser diri kebelakang lawan. Pek Kian terke jut, tahu-tahu thiat-hwan ditangan kanannya kembali kena dipegang musuh siapa terus menariknya kemuka. Jadi kedua tangan Pek Kian seperti ditelikung kebelakang.

Kalau dia berkukuh pegangi thiat-hwannya, terang kedua tangannya akan patah. Apa boleh buat, dia lepas tangan dan terus lon Cat kemuka tiga tindak, baru berbalik badan. Kini sepasang thiat-hwan itu sudah berada ditangan Bun Thay Lay.

“Kembali padamu!” teriak Bun Thay Lay.

Sepasang thiat-hwan menyambar Pek Kian, kerasnya bukan buatan. Pek Kian tak berani menyang gapi dan hanya Ce pat menghindar kesamping. Berbareng dengan terdengarnya bunyi berkerontangan yang nyaring memekakkan telinga, sepasang thiat-hwan itu nanCap masuk kedalam lonCeng raksasa yang berada diruangan itu. It Lui, Kim Piauw dan lain-lainnya sama berseru kagum.
Pada saat itu, tiba-tiba sepasang mata. Pek Kian kelihatan membalik keatas. Kedua lengannya lurus menyulur kemuka. Tubuhnya kaku bagaikan majat; berloncatan maju kemuka. Gerakannya tak ubah seperti majat hidup. Itulah salah satu ilmu kepandaian dari Gian-keh-kun, yang dia gabung dengan ilmu hypnotis dari seorang ahli sihir TinCiu, bernama Cu Yu Kho.
Matanya ber-sinardua seperti kilat menatap musuh. Kedua tangannya ber-gerak-gerak memukul, sedang kakinya yang kaku itu, berloncatan dengan linCahnya.
Ketika mata Bun Thay Lay bentrok dengan sinar mata lawan, dia rasakan hatinya berguncang keras. Buru-buru dia me nyingkir, terus keluarkan pukulan “pi-lik-Ciang”nya. Kembali orang menyaksikan pertempuran aneh dan menarik. ,;Pi-lik-Ciang” tempur “Kiang-si-kun,” ilmu silat majat hi
dup, suatu ilmu silat yang jarang terdapat didunia persilatan.
Kira-kira sepuluh jurus kemudian, tiba-tiba Bun Thay Lay menggerung dan loncat kesamping. Tampak sepasang mata Pek Kian seperti orang yang mabuk arak, ber-kilatdua mengeluarkan sinar tajam. Tapi pada lain saat, tiba-tiba dia mengeluarkan air mata. Belum lenyap, keheranan orang, atau dia segera menguak keras. Darah segar menyembur dari mulutnya. Tubuhnya tegak kaku, tak ber-gerak-gerak lagi.
Meskipun It Lui cs. adalah orang kangouw yang berpengalaman tapi tak urung tegak juga bulu roma mereka melihat keadaan Pek Kian saat itu. Kini Bun Thay Lay pun tak mau lanjutkari penyerangannya lagi.
^Beruntung atau Celaka, adalah diri sendiri yang mem buatnya. Nah, pergilah!” seru Hi Tong.
Tapi mata Pek Kian tak terkesiap, terus memandang kemuka saja. Tetap ia berdiri kaku.
“Gian-toako, mari kita berlalu,” seru Bun Tiong.
Karena masih menyublek saja, Bun Tiong tarik tangan Pek Kian. Tapi begitu ditarik, dia terjungkal roboh. Ketika dirabah ternyata tubuhnya sudah dingin, jiwanya sudah melayang beberapa saat yang lalu. Kiranya, dia telah mendapat pukulan ,,pi-lik-Ciang,” dipunggung dan didadanya.
Bun Tiong mengelah napas, katanya sembari hormat pada Bun Thay Lay: “Bukankah Su-tiangkeh dari HONG HWA HWE, Pan-lui-Hiu Bun-suya?”
Bun Thay Lay mengangguk.
“Aku adalah Han Bun Tiong.”

Tahu kalau orang itu dari Tin Wan piauwkiok, kembali Bun Thay Lay hanya mengangguk. Dulu yang menyergapnya di Thiat tan-Hung adalah Tong Siu Ho dari Tin Wan piauwkiok. Tapi ketika tempur Thio Ciauw Cong di Pak-kao-nia, orang-orang piauwkiok itu berserikat dengan HONG HWA HWE Jadi bagi Bun Thay Lay. Han Bun Tiong itu adalah lawan dan kawan.
Bun Tiong perkenalkan It Lui bertiga. Mereka hanya saling anggukkan kepala, tak bicara apa-apa.
“Mereka bertiga dulunya salah paham terhadap HONG HWA HWE Sekarang telah kuberi penyelasan,” ujar Bun Tiong.
Tetapi Bun Thay Lay bersikap tawar. Tahu bahwa orang masih penasaran kepada Tin Wan piauwkiok, Buru-buru Bun Tiong minta diri. Setelah memberi hormat, dia terus putar tubuhnya berlalu. Hanya Kim Piauw yang masih mendendam pada Hi Tong. Tapi ketika lihat anak muda itu telah gunduli rambutnya masuk hweshio, apalagi melihat kelihaian Bun Thay Lay tadi, dia agak jeri. Ketiga Kwantong Liok Mo itupun juga segera keluar dari ruangan tersebut.
Tiba-tiba Bun Thay Lay melihat dipunggung Kim Piauw terselip kim-tiok Hi Tong, Buru-buru dia maju selangkah seraya berseru: “Ku-laoko, harap tinggalkan seruling saudaraku itu!”
Kim Piauw merandek dan berbalik tubuh, serunya dengan aseran: “Baik, kalau dia mampu, supaya mengambilnya sendiri.”
Kepandaian Kim Piauw memang tak boleh dibuat permainan. Malang melintang didaerah Liauwtang, dia belum pernah ketemu tandingannya. KeCuali pada Toakonya, It Lui, dia tak pandang mata pada semua orang. Apalagi memang dia masih penasaran pada Hi Tong. Dia kibaskan 'lak-houw-jah-nya, siap menyambut musuh.
Bun Thay Lay gusar, ia maju terus akan merangsang senjata orang.
Tiba-tiba Hi Tong melesat di-tengah-tengah, seraya berkata: ,Suko, siaote sudah suCikan diri, tak perlu dengan barang itu. Biarkan dibawa pergi Ku-toako!”
Bun Thay Lay melengak. Dengan keluarkan suara hidung, dia menyingkir kesamping. Kim Piauw pun simpan senjata-nya, terus loncat keluar ruangan.
“Orang she Bun itu garang amat. Apa kau kira kita takut padamu! Biar kutunyukkan kelihaian kita agar matamu terbuka.”
Berpikir demikian, It Lui sudah berada diluar ruangan. Ditengah situ tegak berdiri patung besar. Dimukanya ada lampu. Pada kedua sampingnya, ada 4 patung Tay Kim Kong yang besar. Ada yang tengah bersilat, ada yang pegang pa jung, ada yang memetik pi-peh dan ada yang pegang ular.
It Lui loncat keatas altar patung tersebut, dengan kerahkan tenaganya, dia goyang duakan patungdua malaekat itu.
“Ayo, kita lekas berlalu !” katanya kemudian.
Saat itu Bun Thay Lay dan Hi Tong mendengar diruangan luar ada suara berkretekan dengan gemuruh sekali. Buru-buru mereka memburu keluar. Tampaklah kelima patung itu seperti hidup lagi ber-gerak-gerak maju.
“Celaka!” seru JBun Thay Lay.
Untuk lari masuk keruangan dalam, terang tak keburu. Cepat-cepat dia tarik tangan Hi Tong, sekali enjot, mereka loncat keluar pintu. Baru saja kaki mereka akan mengin jak ketanah, atau segera terdengar suara yang dahsyat sekali dari benda yang roboh. Ternyata kelima patung yang besar dan berat itu, roboh hanCur.
Bun Thay Lay marah sekali. Hendak dia mengejar It Lui berempat. Tapi diCegah Hi Tong.
“Suko, malam ini kau sudah membunuh 4 orang, Cukuplah!”
“Sipsute, mengapa kau menjadi hweshio,” tanya Bun Thay Lay dengan keheranan.
Setelah merobohkan patungdua itu, It Lui ajak saudara-saudara nya lari turun gunung. Tiba-tiba- Kim Piauw merabah ping-gangnya belakang.
“Astaga!” serunya dengan terkejut. Karena kim-tiok dari Hi Tong sudah lenyap.
“Ada apa?” tegur It Lui.
“Bangsat she Bun itu sudah Curi kim-tiok itu !”
Heran dan jeri orang-orang itu dibuatnya. Terang tadi Bun Thay Lay dan sianak muda terpisah jauh, masa masih bisa menggerayang i seruling dipunggung Kim Piauw.
“Lo Ji, sudahlah. Masih hanya' seruling yang diambilnya. Kalau tadi dia hajar punggungmu, mana kau masih bisa bernapas,” kata Haphaptai.
Begitulah berempat orang itu bersepakat akan pergi ke daerah Hwe untuk menCari balas pada Hwe Ceng Tong. Hanya Bun Tong yang menolak. Sampai dikota BengCiu, mereka berpisah. Bun Tiong kembali ke Lokyang mengasingkan diri dari kangouw untuk hidup dalam ketenteraman.
Balik pada pertanyaan Bun Thay Lay tadi, Hi Tong me ngelah napas panjang , katanya: “Suko, maukah kau maafkan diriku?”
“Kita seperti saudara sendiri, tentu kita dapat saling memaafkan.”
“Kalau begitu legalah salah suatu hal yang mengganyel dalam hatiku.”
Dibawah Cahaja rembulan, Bun Thay Lay dapat melihat tegas bagaimana Sipsutenya itu mengenakan jubah hweshio dan merangkapkan kedua tangannya. Jauh bedanya dengan si Kim-tiok SiuCay yang berparas Cakap dan gagah dahulu. Bun Thay Lay merasa iba.
“Sipsute, kita sudah berjanji akan sehidup semati. Silah kan kau katakan.”
Sejak kedua orang tuanya meninggal diCelakai orang, Hi Tong berkelana dikangouw dan kemudian masuk dalam HONG HWA HWE, belum pernah ada orang yang begitu menyayang inya seperti Sukonya itu. Hampir dia tergerak hatinya. Tapi mengingat kini dia sudah suCikan diri, segala hubungan rasa harus ditiadakan.
Dia kuatkan perasaannya, katanya dengan tawar: “Suko, harap kau pulang. Kelak belum tentu kita dapat berjumpa lagi. Kini namaku ialah Gong Yan, jangan sebut aku Sipsute lagi.”
Habis berkata, dia putar tubuhnya terus masuk kedalam gereja. Sampai beberapa saat Bun Thay Lay termangu-mangu. Menilik sikapnya, sukar untuk menasehati Sipsute itu. Ia ambil putusan pulang dan memberitahukan pada Congthocu dan Thian Hong.
Melihat ruangan dalam kalang-kabut, patungdua berantakan, majatdua bergelimpangan, Hi Tong bersujut dihadapan patung mohon ampun. Tiba-tiba didengarnya ada suara berkelotekan, ketika dilihatnya, ternyata kimtioknya terletak dihadapannya. Hi Tong terkejut dan Buru-buru berpaling kebelakang. Astaga ! H Wan Ci, Malah kini ia mengenakan pakaian perempuan Cantik sekali nampaknya. Hanya wajahnya kelihatan saju.
Hi Tong rangkapkan kedua tangannya dan menjura, tapi tak berkata apa-apa. Melihat orang berhati begitu dingin, Wan Ci pun batal untuk berkata, ia numprah kelantai, dan menangis tersedudua.
Setiba Thay Lay dihotel, Lou Ping ternyata sudah siap akan menyusul. Ia sesali suaminya mengapa malamdua keluar sendirian.
,”Aku berhasil jumpahkan Sipsute. Dia sudah jadi Hweshio!”
Lou Ping terkesiap, tanpa terasa air matanya berCuCuran.
Bun Thay Lay mengajaknya lapor pada Tan Keh Lok dan lain-lain saudaranya. Kepada mereka dituturkannya kejadian tadi. Yang paling tak tahan adalah Ciang Cin. Dia loncat berjingkrak. Saat itu juga mereka ramaidua menuju kege reja Po Siang Si.
Tapi tak ada barang seorang hweshio pun yang berada dalam gereja itu. Mereka siangdua sudah sembunyikan diri demi melihat rombongan HONG HWA HWE datang. Lou Ping paling jeli penglihatannya. Ia melihat diatas meja sembahjangan ada sepuCuk surat yang ternyata dari Hi Tong. Buru-buru dibe rikannya kepada Keh Lok.
Surat itu berbunyi bahwa dia (Hi Tong) sudah suCikan diri dan kini mulai keluar mengembara Cari derma, entah kapan kembali. Dia harap agar sekalian saudaranya terus berjoang dalam Citaduanya yang luhur itu, tak usah hiraukan dirinya (Hi Tong). Yang penting, kini Kwantong Liok Mo sedang menuju ke daerah Hwe menCari balas pada Hwe Ceng Tong supaya hati-hati.
Surat itu membuat terharu sekalian orang, lebihdua Lou Ping.
“Huh, apa-apaan dia. Bakar saja gereja ini Coba dia bisa jadi hweshio apa tidak?” Ciang Cin menggeram.
Dan segera dia akan wujudkan perkataannya, tapi diCe gah Lou Ping.
“Kulihat Sipsute masih belum dapat bebaskan dirinya, ra sanya dia tak mungkin jadi hweshio,” kata Thian Hong. “Mengapa?” tanya Bun Thay Lay.
“Pertama, dia masih ingat akan tujuan kita yang besar itu. Kedua, dia mau pungut derma untuk memperbaiki kerusakan gereja ini. Dia orangnya berhati tinggi, tidak mau minta pertolongan orang. Jadi tentu gagal. Rasanya dia tentu gunakan Cara lama 'mengambil' harta benda hartawan jahat.”
Orang-orang ketawa mendengar uraian Thian Hong itu.
“Ah, macam hweshio apa itu.” kata Keh Lok dengan tertawa.
“Sampai diri Hiu-ih-wi-sam Hwe Ceng Tong dia masih pikirkan. Sukar rasanya dia menjadi orang suCi.”
Semua orang sependapat dengan kata-kata Thian Hong ini.
“Kwantong Liok Mo Cukup lihai. Entah dia taruh permusuhan apa dengan Hiu-ih-wi-sam itu?” tanya Bun Thay Lay.
“Ketika nona Ceng Tong tempur Giam Se Ciang (salah seorang Anggota Liok Mo), kita sama menyaksikannya, bagaimana nona gagah itu telah merobohkan lawannya. Tapi andaikan Congthocu tidak keburu turun tangan, mungkin nona itu akan Celaka ditangan orang she Giam itu,” menerangkan Thian Hong.
“Ya, Liok Mo pertama, Thing It Lui itu luar biasa tena ganya dan lihai sekali,” kata Bun Thay Lay.
“Kalau begitu kita harus lekas-lekas berangkat kedaerah Hwe. Paling baik kita dapat susul mereka, setidaknya, kita dapat memperingatkan pada nona Ceng Tong. Setelah urusan kita beres, kita temui Sipsute lagi”, usul Thian Hong.
Semua orang setuju.
“Ingin aku akan mohon bantuan Siangkwan-toako untuk sesuatu hal”, kata Keh Lok kepada Siangkwan Ie San. “Silakan Tan-tangkeh mengatakan”.
“Kumohon Siangkwan-toako suka memberi tiga 000 tail perak pada gereja ini, untuk beaja perbaikan. Kelak Siaote kembalikan uang itu.”
Siangkwan Ie San sanggupi permintaan itu. Setelah itu, Tan Keh Lok ajak rombongannya balik kekota BengCin.
“Kwantong Liok Mo sudah berangkat. Baik kita minta seorang saudara dengan menaik kuda putih Suso, menyusul mereka. Karena dikuatirkan urusan menjadi runyam. Se dangnya Bok To Lun loenghiong sibuk menghadapi serangan pasukan Ceng, jangan-jangan nanti nona Ceng Tong kena di Celakai ketiga musuhnya itu,” kata Thian Hong.
Tan Keh Lok membenarkan dan tampak berpikir.
“Biar aku yang pergi dulu,” Ciang Cin ajukan diri.
“Adatmu gegabah, jangan-jangan membikin onar dijalan,” ujar Thian Hong.
“Tidak, aku berjanji.”
Lou Ping mengerti maksud Thian Hong, katanya: “Kau tidak mengerti bahasa Hwe, tidak leluasa. Kini disana sedang dalam suasana peperangan, bisa terbitkan keCurigaan orang.”
Diantara mereka hanya Tan Keh Lok dan Sim Hi yang pernah tinggal sepuluh tahun didaerah Hwe. Mereka menguasai bahasa Hwe. Terang, tadi Lou Ping menunyuk pada Cong-thocu itu. Tapi yang ditunyuk itu tetap diam saja.
“Siaoya, baik aku saja yang pergi,” tiba-tiba Sim Hi menyetuk.
“Lebih baik kau saja yang pergi, Congthocu. Kau mengerti bahasa Hwe, lagi berilmu tinggi. Kwantong Liok Mo belum mengenalmu. Disana apabila Tiau Hwi belum hentikan penyerangannya, kaupun dapat membantu pihak Bok To Lun loenghiong,” kata Thian Hong.
Tan Keh Lok terhening sampai beberapa saat, baru dia menyetujui. Habis dahar dia Cemplak kuda putih Lou Ping, ambil selamat berpisah terus berangkat.
Yang menjadi pikiran Tan Keh Lok adalah diri Ceng Tong. Dia kuatirkan nasib nona itu jika berhadapan dengan Kwantong Liok Mo. Selama menempuh perjalanan digurun pasir itu dia selalu terbayang diri nona Hwe yang jelita itu. Namun kalau ingat betapa mesra perhubungan sinona dengan “pemuda” she Li itu, dia menjadi tawar. Jangan-jangan hanya seperti orang menepuk dengan sebelah tangan atau tegasnya memikir orang yang tidak mau balas memikirkan dia. Ingin dia melupakannya, namun tak dapat. Kuda putih itu luar biasa Cepat-cepat nya. Bukitdua dan pohondua bagaikan terbang saja lalu disampingnya. Sampai dia kuatir jangan-jangan kuda itu melanggar orang atau terperosok keda lam lubang. Tapi ternyata binatang itu adalah seekor kuda sakti. Begitu pesat larinya, tapi begitu aman dia menCari jalan. Melihat itu legalah hati Keh Lok.
Lari setengah harian, lebih dari 400 li telah ditempuhnya. Karena itu, Kwantong Liok Mo jauh ketinggalan dibela kang. Malamnya dia menginap disebuah hotel. Kini betul-betul dia merasa lega, karena tak nanti Kwantong Liok Mo akan dapat menyusulnya.
Besoknya dia tiba di SouwCiu. Naik kepos tapal batas di Ka-ko-kwan, dia saksikan bagaimana angker dan megahnya Ban Li Tiang Shia (Tembok Panjang ) me-lingkardua diantara padang sahara. Ketika melanjutkan perjalanannya lagi, tampak olehnya diluar perbatasan sana asap dan debu ber terbangan, sehingga Cahaja matahari tampak suram.
Tan Keh Lok tahan lesnya. Dengan pe-lahandua dia kasih lari kudanya, sambil menikmati pemandangan alam didaerah Kwan Gwa (luar perbatasan) situ.
Tengah dia tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba pada seekor onta terdengar seseorang menyanyi: “Siapa yang melalui Ka-ko-kwan, tentu tak putus-putusnya mengeluarkan air mata. Disebelah muka karang, disebelah belakang padang pasir.”
Tan Keh Lok tersenyum. Lesnya dikendorkan, terus men Congklang lagi. Melalui Giok Bun, kemudian An-se dan gurun pasir makin menguning warnanya. Tahulah dia, bahwa kini dia sudah mendekati tapal batas dari pegunungan karang. Makin dekat, makin kelihatan bagaimana pegunungan itu punCaknya terbungkus mega yang tebal. Disitu ada sebuah jalan jakni satuduanya lalu-lintas antara propinsi Kam-siok dengan daerah Hwe di Sinkiang yang dikenal sebagai selat Sing Sing.
Selat itu ber-likudua. Kedua tepiannya batu-batu karang men-julang dengan runCingnya, se-olahdua disisir dengan pisau. Melalui selat itu, Keh Lok menginap disebuah pondok kecil. Keesokannya, dia mulai menanyak pegunungan, Disitu ter nyata merupakan tanah datar yang luas. Sunyi lelap keadaan nya, hanya ada dia seorang. Dalam keadaan begitu, walaupun dia mempunyai kepandaian yang tinggi, tak urung merasa gentar juga. Dalam kebesaran alam dihadapannya itu, dia rasakan betapa kecil dirinya itu.
Sampai dikota Hami, dia terpaksa jalan memutar, karena pe&jagaan disitu terhadap orang-orang yang baru datang, keras sekali. Dia bermalam dipos benteng kedua, kota Ji-poh.
Resoknya, pagidua sekali dia sudah bangun. Hendak diCarinya seorang Hwe, agar dia bisa dibawa ketempat kediaman Ceng Tong. Supaya jangan menimbulkan keCurigaan, dia ganti mengenakan pakaian orang Hwe.
Anehnya, selama melanjutkan perjalanannya itu, tak pernah dia berjumpa dengan seorang Hwe pun juga. Kira nya, dusun mereka kini sudah rata dibakar tentara Ceng dibawah pimpinan panglima Tiau Hwi itu. Jadi orang-orang Hwe itu tentu lari kedaerah padang pasir.
Keh Lok agak resah hatinya. Digurun sahara yang luas bebas itu, tentu sukar untuk menCari tempat kediaman Ceng Tong. Tiba-tiba dia alihkan arah jalannya. Tidak melalui lautan pasir, tapi putar menujU kearah selatan. Tiga hari kemudian, ramsumnya habis. Syukur dia dapat menangkap seekor kambing. Bolehlah, untuk penangsel perut.
Berjalan lagi sekira dua hari, dia bertemu dengan beberapa penggembala. Tapi ternyata mereka itu dari suku Kasak. Mereka hanya dapat memberi keterangan, bahwa karena pasukan besar pemerintah. Ceng datang, rakyat Hwe mengungsi kesebelah barat. Kemana saja perginya, tak mereka ketahui jelas.
Karena tak berdaya menyumpai warga kelompok dari Bok To Lun, Keh Lok berganti menuju kebarat. Tiap hari dia berjalan tujuh ratusan li. Tapi sampai tiga hari, belum juga dia berhasil menemukan jejak mereka.
Hari itu hawa udara luar biasa panasnya. Memang iklim didaerah situ panas dingin silih berganti. Kalau tadinya air perbekalannya sudah akan membeku, kini menjadi Cair pula bahkan berobah makin panas. Karena tak tahan, Keh Lok hendak menCari tempat beristirahat yang teduh. Tapi disekeliling tempat situ, sejauh mata memandang, hanya bukit pasir yang tampak. Dia menuju kebalik bukit dan mengaso. Dari kantong airnya, dia minum tiga teguk, lalu kuda-nya pun diberinya serupa. Dia harus hemat, kalau tidak mau mati kehausan.
Setelah mengaso sekian lama, kembali dia lanjutkan penyelayahannya. Tak lama kiranya, segera mereka orang dan kuda — sudah tampak kepayahan. Tiba-tiba kuda putih tampak dongakkan kepalanya dan meringkik dengan keras nya. Habis itu, berputar diri terus mencongklang kearah selatan.
Tan Keh Lok antepkan kemana saja kuda luar biasa itu akan membawa dirinya. Benar juga, pada lain saat ditengah bukitdua gurun itu tampak tumbuhduaan rumput. Makin kemuka, pasir makin berkurang, sebaliknya, rumput makin lebat. Girang hati Keh Lok tak terkira. Dia tahu kalau disebelah muka sana tentu terdapat sumber air.
Kuda makin pesat larinya. Sesaat kemudian, terdengar bunyi air mengalir. Sebuah anak sungat kecil terbentang dimuka. Airnya jernih sekali. Berhenti ditepinya, kuda itu tak mau terus julurkan mulutnya keair.
“Bagus, kiranya kau dapat menghormat tuanmu. Ayo, kita bersama-sama minum,” kata Keh Lok seraya menepuk kepala kuda itu.
Air itu ternyata sejuk sekali menyamankan perasaan. Selain sejuk juga harum baunya. Tentu berasal dari sumber yang bagus. Kuda itu meringkik dan berjingkrak-jingkrak, rasanya diapun merasa nyaman dan segar. Keh Lok CuCi muka dan kak;nya, begitu pula dia kasih mandi kuda itu. Tiba-tiba tampak olehnya, ada beberapa kuntum bunga turut mengalir. Tan Keh Lok girang, tentu dibagian udik sana, ada orangnya. Cepat-cepat dia naiki kudanya lagi, menyusur kealiran sebelah atas.
Makin keudik, aliran anak sungai itu makin lebar dan besar. Memang demikianlah keadaan sungai digurun pasir. Mak'n kehulu makin mengeCil, karena air banyak sekali diisap pasir. Pada kedua tepiannya, banyak sekali tumbuh pohonduaan. Anak sungai berbiluk melingkari sebuah dataran tinggi, disitulah asalnya, sebuah air terjun yang berperCikan terCurah dari atas laksana mutiara bertebaran.
Kagum dan heran akan pemandangan itu, Keh Lok tuntun kudanya untuk mendaki keatas, akan menyaksikan sebelah atas dari air terjun itu. Setelah menempuh jalan yang berlikudua, kembali dia kesima dengan pemandangan yang disaksikannya.
Sebuah telaga yang dikelilingi dengan pagar pohon siong. Pada ujung sebelah selatannya, kembali terdapat sebuah air terjun yang muntahkan airnya kebawah dengan indahnya. Sekeliling tepi telaga itu, penuh ditumbuhi bunga-bungaan bagaikan saling berkaCa kepermukaan air telaga. Suatu panorama yang sukar dilukiskan keindahannya.
Jauh disebelah sana, adalah sebuah stepa (padang rum put) yang luas, dimana terdapat beberapa ratus ekor kambing tengah berkeliaran. Diujung barat, tegak menjulang sebuah gunung yang punCaknya tertutup awan putih.
Tan Keh Lok kesima dengan pemandangan yang seperti terdapat dalam lukisan itu. Suara burung berkiCau, desir air terjun gemerCik dan riak air telaga mengalun, merupakan sebuah komposisi musik alam yang merdu. Tengah dia terlongong-longong mengawasi ketengah telaga, tiba-tiba ada sebuah lengan manusia yang putih metetak tersembul dari dalam air, disusul dengan sebuah kepala yang basah kujup. Tapi demi melihat Tan Keh Lok, orang itu menjerit kaget terus silam lagi.
Itulah seorang wanita yang luar biasa Cantiknya. Hati Keh Lok memukul keras. Pikirnya: “Apakah bangsa siluman atau jin itu memang ada?”
Dia siapkan tiga butir biji Catur, untuk menghadapi ke-mungkinan yang tak diharap.
Air telaga beriak kearah timur. Tiba-tiba diatara serumpun bunga, kelihatan tersingkap, sebuah wajah muncul. Sepasang matanya yang laksana bintang kejora itu, menatap ke-arah Tan Keh Lok.
Masih anak muda itu mengira, kalau kini dia sedang berhadapan dengan seorang jin. Karena kalau manusia, mustahil begitu luar biasa Cantiknya.
“Kau siapa? Mau apa kemari?” tiba-tiba terdengar suara merdu sijelita.
Bahasanya bahasa Ui. Jelas Keh Lok mendengarnya, tapi dia seperti orang yang tak mengerti bahasa orang, tetap diam terkesiap.
“Pergilah lekas, aku akan berpakaian!” kembali si Cantik bersuara.
Merah selebar muka Keh Lok. Cepat-cepat setelah membalik tubuhnya, dia gunakan ilmu berjalan Cepat-cepat “pat-poh-kam-sian”, menyelinap kedalam belukar.
“Ah, kiranya dia hanya seorang gadis Hwe. Ia sedang mandi, aku tak pantas berada disitu”, katanya sendiri seraya duduk.
Malu akan perbuatannya tadi, dia hendak segera berlalu. Tapi karena gugup tadi, dia lupa membawa kudanya kesitu. Dia bersuit keras, untuk memanggilnya. Kuda itu kedengaran bebenger menyawab, tapi tak mau menghampiri. Heran Keh Lok dibuatnya, karena tak biasa kuda itu membandel begitu.
Selagi Tan Keh Lok tak tahu apa yang akan dilakukannya, tiba-tiba kedengaran siCantik menyanyi dengan suaranya yang merdu:
“Toako yang lalu ditempai ini tadi, kemarilah, Hendak kusampaikan beberapa patah perkataan padamu, Orang sedang mandi masa kau lancang melihat, D jawablah, ajo! Pantas tidak perbuatan itu?”
Nyanyian itu berlagu gembira, tentunya sipenyanyi itu ber nyanyi dengan tertawa.
Mendengar orang hanya memper-olokdua, dan karena kudanya masih tak mau datang, terpaksa Keh Lok menghampiri pelan-pelan ketepi telaga.
Maka tertampaklah seorang gadis yang mengenakan pakaian serba putih, kelihatan duduk dibawah sebuah pohon. Tangannya tengah memegang sebuah sisir, menyisir ram butnya yang terurai diatas bahunya itu. Dari mukanya yang masih tampak ditaburi dengan butir-butir air itu, menandakan ia baru habis mandi. Nampak wajah yang aju itu, kembali hati Tan Keh Lok memukul keras, pikirnya: “Masa didunia ada wanita yang sedemikian Cantiknya?”
Wajar saja “bidadari” itu duduk ditepi telaga. Pakaian nya menyulur kearah air. Seumur hidup haru pertama kali itu Keh Lok merasa kikuk betul-betul. Gadis itu tersenyum, me-lambaikan tangannya agar anak muda itu menghampiri lebih dekat.
“Karena akan menCari air untuk pelepas dahaga, maka tanpa sengaja kudatang kemari. Sungguh tak kuduga telah mengganggu kesenangan nona tadi. Harap maafkan!” kata Keh Lok dalam bahasa Ui. Habis mengucap, dia menjura.
Gadis itu tertawa girang, kembali menyanyi:
“Toako ini berasal dari mana?
Berapa banyak sekalikah gurun dan bukit yang kaulalui? Apakah kau pengembala dipadang rumput? Atau pedagang yang menaik onta.
Orang Hwe memang gemar berpantun kalau ber-Cakapdua. Walaupun ber-tahundua Tan Keh Lok tinggal didaerah gurun, tapi karena dia Curahkan perhatiannya untuk meyakinkan ilmu silat, jadi tak dapat dia belajar Cara mereka ber-Cakapdua dengan bahasa pantun itu. Entah dari kelompok mana gadis itu, maka tak mau dia kasih tahu siapa sebenarnya dirinya itu.
“Aku dari sebelah timur, berdagang onta kedaerah pedalaman sana. Aku sedang menCari seseorang, sukakah nona menunyukkannya?” sahutnya kemudian.
Melihat orang tak bisa berpantun, gadis itu tersenyum. Kini dia mulai bertanya dengan Cara biasa: “Siapakah namamu?”
“Hamid!” Sengaja Keh Lok memakai nama Islam itu, karena itu lazim dipakai oleh kaum lelaki dari suku Uigor. “Bagus! Dan namaku Asihan!”
Juga nama yang disebut gadis itu, banyak sekali digunakan oleh kaum wanita Ui.
“Kau Cari siapa?” tanyanya pula. “Bok To Lun loenghiong!”
“Kau kenal dia? Ada urusan apa dengannya?” tanya gadis itu agak terkejut.
“Ya, aku sudah kenal padanya!” “Benarkah itu?”
“Mengapa tidak? Bahkan akupun sudah kenal pada pu teranya yang bernama Hwe A-in dan nona Hwe Ceng Tong!”
“Dimana kau pernah berjumpa dengan mereka?”
“Ketika mereka merampas pulang kitab SuCi di Kamsiok, kebetulan kita bertemu.”
“Bagus, duduklah. Akan kuambilkan daharan untukmu,” ujar sigadis.
Dengan kaki telanjang , gadis itu lari kedalam semakdua pohon. Tak lama ia keluar dengan membawa sebuah semangka dan semangkuk arak dan susu kuda. Tan Keh Lok menghaturkan terima kasih. Arak itu enak sekali rasanya. Juga semangka itu segar sekali.
“Bilanglah. sejujurnya, mengapa kau Cari Bok-loyaCu itu?” tanya gadis itu.
Dari sebutan yang digunakan, tahulah Keh Lok bahwa gadis itu menghormat sekali pada Bok To Lun. “Apakah nona sekaum dengan Bok-loenghiong?” Gadis itu mengangguk.
“Karena dalam perebutan kitab itu, fihak Bok-loenghicng telah binasakan beberapa piauwsu, maka Kawan-kawan mereka akan menCari balas. Untuk anCaman itulah maka aku Buru-buru akan menemui Bok-loenghiong agar bisa mengadakan persiapan,” tutur Keh Lok.
Gadis itu menaruh perhatian tampaknya, Cepat-cepat ia bertanya: “Apakah mereka itu lihai? Banyak sekalikah jumlahnya?”
“Jumlahnya sih tak seberapa, tapi kabarnya mereka itu lihai sekali. Asal sudah tahu dan bersiap, rasanya tak perlu was-was!” kata Keh Lok.
“Ah, mari kuantar kesana. Tapi masih perjalanan beberapa hari lagi baru sampai,” kata gadis itu dengan lega. Sembari menyisir kunCirnya, kedengaran ia berkata pula: “Kaki tangan bangsa Boan tanpa sebab telah menyerang bangsa kami. Semua orang lelaki sama berperang, tinggal aku dan CiCiku menggembala ternak disini. Karena hari amat panas, tadi kuberbenam ditelaga. Siapa kira, Kalau masih ada kau, seorang lelaki, bersembunyi sini!”
Mendengar sigadis berbicara secara bebas wajar, Tan Keh Lok makin termangudua. Sesaat kemudian, gadis itu meniup terompet tanduk. Beberapa wanita Hwe yang menunggang kuda, lari mendatangi. Gadis itu ber-kata-kata sebentar pada mereka. Wanitadua itu mengawasi kepada Keh Lok dengan herannya.
Gadis itu menuju keperkemahannya. Dari situ ia mengambil bekal ransum kering dan menuntun keluar seekor kuda. Kuda itu seluruhnya berbulu merah. Seekor kuda yang tegap dan pasti hebat larinya.
Keh Lok pun lalu menghampiri kudanya. Kiranya kuda itu ditambat pada sebatang puhun, makanya tadi tak mau dipanggil datang.
“Kudamu itu bagus amat, ajo, kita berangkat!” Sambil berkata, gadis itu loncat kepunggung kudanya. Ia berlaku sebagai penunyuk jalan. Menyusur tepi sungai es, langsung menuju kearah selatan.
“Didaerah Tiongkok, apakah orang Han perlakukan kau baik-baik ?” tanya sigadis.
“Ada yang baik, ada yang jahat. Cuma umumnya banyak sekali yang baik”, sahut Keh Lok.
Hendak Keh Lok mengatakan bahwa dirinya itu sebetulnya orang Han. Tapi melihat sikap gadis yang tak menaruh Cu riga apa-apa, tak dapat dia membuka mulut. Dengan girang Keh Lok menyawab pertanyaan gadis perihal penghidupan orang Han. Ia tertarik mendengarnya. .
Menjelang petang hari, keduanya sampai dilereng sebuah gunung besar. Mendongak keatas, sekonyongdua gadis itu ber tcreak keras. Ketika Tan Keh Lok juga memandang keatas, ternyata pada sebuah karang dilamping gunung itu kelihatan dua tangkai bunga sebesar mangkuk. Bunga itu aneh bentuk nya. Kelopaknya berwarna biru ke-hijauduaan, penuh bertabur kan salju putih yang karena ditimpah sinar matahari terbenam, Cantik sekali kelihatannya!
“Inilah bunga Swat-tiong-lian (terate salju) yang jarang terdapat. Coba bauilah harumnya yang sangat semerbak itu!” kata sigadis.
Jarak karang dengan tanah kira-kira ada duapuluhan tombak, namun harum bunga itu terasa menusuk hidung. Gadis itu menyublek mengawasi saja, rupanya ia berat untuk me-ninggalkan.
“Inginkah kau akan bunga itu?” tanya Keh Lok.
Gadis itu mengelah napas, katanya: “Ah, kita jalan lagi saja. PerCumalah mengharapkan barang yang tak mungkin diCapai.”
Tiba-tiba Keh Lok loncat turun dari tunggangannya, terus melompat keatas batu karang.
“He, apa-apaan kau ini!” seru sigadis dengan terkejut.
Keh Lok tumpahkan perhatiannya Cari jalan menanyak keatas. Tak dia dengarkan seruan sigadis. Thian-ti-koayhiap termasjhur sekali akan ilmunya mengen.engi tubuh. Sedang Sim Hi saja yang hanya belajar sedikit “kulit” dari ilmu tersebut, telah berhasil mengoCok kawanan si-wi pertempuran ditelaga Se-Ouw tempo hari.
Tan Keh Lok adalah satuduanya ahliwaris Thian-ti-koayhiap.
Sudah tentu berpuluh kali lebih lihai dari Sim Hi. Dengan gunakan ilmu “pik-houw-kang” (CeCak merajap), sekejab saja dia sudah merajap belasan tombak, Tapi disebelah atas, bukit karang tertutup salju. Beberapa kali sudah hampir dia terpeleset. Kira-kira jarak satu tombak dari tempat bunga swat-lian itu, ada sebuah gundukan karang menonyol. Risiko gagal dan jatuh tergelinCir, besar sekali.
Tiba-tiba dia mendapat akal. Dikeluarkannya “Cu-soh,” ban dringan mutiaranya, dilontarkan untuk menggaet tonyolan itu. Dengan tangan menarik tali bandringan, dia enjot tubuhnya keatas, tepat disebelah bunga itu.
Bunga itu ternyata menyiarkan bau yang luar biasa harum nya. Dengan hati-hati sekali dipetiknya sepasang swat-lian itu. Sewaktu turun, dia menggelinCir saja, ada kalanya kalau terlalu Cepat-cepat , dia tusukkan pedangnya kesalju untuk menahan. Kira-kira sudah hampir tujuh tombak dari tanah, ia melambung bagaikan burung melayang , tahu-tahu orangnya sudah berdiri tegak dimuka kuda sigadis.
Serta-merta gadis itu segera ulurkan sepasang tangannya yang putih halus. Saat itu, Keh Lok sempat memandang muka sijelita, dan tahu pula bahwa gadis itu menguCurkan air mata. Heran anak muda itu melihatnya, namun dia tak mau bertanya dan terus naik kudanya.
Mereka berjalan lagi. Diam-diam Keh Lok merasa heran mengapa, tanpa sadar, dia lakukan permintaan gadis itu. Berpaling kearah batu karang tadi, dia menjadi bergidik sendiri.
Menjelang petang, mereka mengaso dibawah sebuah batu besar di tepi sungai es. Sigadis nyalakan api, membakar daging kambing kering. Selama makan, keduanya tetap tak ber-kata-kata. Sambil mengawasi sianak muda, gadis itu mejinyingkir jauh kesana untuk menjalankan kewajibannya sembahyang . Selang beberapa saat, ia berbangkit dan menghampiri sianak muda: “Kau tidak takut tergelinCir tadi?”
“Yang kutakutkan bukan tergelinCir, tapi kalau sampai tidak bisa dapatkan bunga yang kau inginkan itu,” sahut Keh Lok.
Gadis itu tersenyum, Diambilnya setangkai swat-lian, laju diberikan kepada Keh Lok, siapa terpaksa tak dapat meno laknya. Kata-kata yang halus dari sijelita, menggenggam suatu perintah yang tak dapat dibantah.
“Kalau sekalian saudara-saudara Hong Hwa Hwe tahu bagaimana aku, seorang Congthocu, menurut saja perintah seorang anak perempuan, entah bagaimana pandangan mereka,” pikir ketua Hong Hwa Hwe itu.
Gadis itu menanyakan adakah sianak muda mengerti ilmu silat. Dengan merendah dijawabnya tidak bisa dan hanya karena andalkan keberaniannya saja.
“Dipadang rumput sini banyak sekali tumbuh beraneka bunga. Aku lebih suka tidak makan daging kambing asal makan kembang,” sinona berkata.
“Apa, makan bunga?” Keh Lok heran.
“Ya, sejak kecil aku biasa memakannya. Bermula ayah dan kakak melarang, tapi kutetap memakannya sewaktu menggembala, akhirnya beliau membiarkan!”
Hendak Keh Lok mengatakan: “Ah, makanya kau seCantik bunga.” Tapi mulutnya serasa terkanCing. Duduk didamping sinona, ia merasakan bebauan yang harum. Terang tadi nona itu habis mandi dan tak pakai minyak wangi apa-apa. Sekalipun minyak wangi, rasanya tak ada yang begitu harumnya.
Keh Lok terbenam dalarri lamunan yang indah. Tiba-tiba dia tersedar akan batasdua perhubungan wanita dan pria, dia me nyingkir agak kesana.
“Mungkin karena suka makan bunga, tubuhku mengeluarkan bau harum. Tidakkah kau menyukainya?”
Ditanya begitu, merah padam selebar muka Keh Lok. Seketika tak dapat dia menyawabnya. Pikirnya, nona itu begitu wajar ke-kanak-kanakan, baik dan tak sungkandua. Maka diapun merobahkan sikapnya, tidak lagi likatdua, tapi ramah sekali.
Sejak tinggalkan rumah, Keh Lok hanya kenal dengan nama berbagai senjata. Permainannya, hanya permainan ilmu silat. Mendengar mulut sinona itu menCeritakan tentang segala sesuatu permainan kanak-kanak, terkenanglah pula dia akari masa kanak-kanaknya. Suatu masa dari dunia yang penuh dengan tawa-gembira.
Malam hari, hawa terasa dingin. Keh Lok kumpulkan rumput dan kulit kayu kering. Dibuatnya api yang besar. Dengan berselimutkan permadani kedua anak muda itu tidur.
Keesokan harinya, mereka lanjutkan perjalanannya. Empat hari menempuh kearah barat, tibalah ia ketepi sungai Tarim. Sorenya dari sebelah selatan gunung, muncul dua serdadu berkuda suku Ui. Nona itu berbicara dengan mereka, siapa setelah memberi hormat terus berlalu.
“Tentara Ceng sudah menduduki Aksu dan sekitarnya, Bok To Lun loenghiong sudah undurkan diri ke Yarkand. Kira-kira seperjalanan sepuluh hari lagi dari sini,” nona Ui itu memberi keterangan seraya menghampiri.
Keh Lok gelisah atas kemenangan pasukan Ceng itu.
“Tentara Ceng berjumlah besar, terpaksa tentara kita mesti mundur kebarat. Agar pengiriman ransum musuh itu kurang lancar.”
Sebenarnya masih saja ketua Hong Hwa Hwe itu kuatirkan nasib nona Ceng Tong. Tapi kini dengan mundurnya seluruh pasukan Hwe kedaerah barat itu, dia lega. Untuk sementara waktu, pasti pasukan Ceng tak dapat mengejarnya. Begitu firman Kian Liong datang pertempuran tentu segera selesai.
Hwe Ceng Tong berada dijarak ribuan li dari daerah Tiongkok, dilindungi oleh seluruh tentaranya. Rasanya sukar rombongan It Lui itu akan dapat menCarinya. Diam-diam hati Keh Lok terhibur, maka mereka melanjutkan perjalanan dengan Cepat-cepat .
Suatu senya ketika matahari akan terbenam tiba-tiba terdengar bunyi berkeresek dari suatu semak belukar. Menyusul, seekor anak rusa lompat keluar. Gadis Ui itu berjingkrak karena terkejut, kemudian tertawa riang, serunya: “Hola, seekor anak rusa!”
Anak rusa itu rupanya baru beberapa waktu dilahirkan. Kecil dan mungil sekali. Sambil berbunyi, binatang itu lompat masuk kedalam belukar lagi. Gadis itu menguntitnya, tapi sekonyong-konyong ia lari kembali, katanya: “Ada orang!”
Ketika Tan Keh Lok membuktikan sendiri, benar juga disana ada 5 orang serdadu Ceng. Mereka sedang ramaidua memotongi daging rusa. Anak rusa tadi berputaran diseke liling induknya itu, sambil tak putus-putusnya mengembik-embik memilukan.
”Setan, rupanya kaupun minta dimakan!” salah seorang serdadu itu memaki. Sambil mengeluarkan busur dan anak panah, dia membidik kearah sianak rusa.
Anak rusa itu seperti tak mengetahui akan bahaya yang menganCamnya. Makin lama malah makin mendekati. Gadis Ui menjerit dan loncat menghadang dimuka anak rusa itu.
“Yangan, jangan dipanah!” demikian teriaknya.
Bukan terhingga kagetnya serdadu itu. Dia membuka ma tanya lebardua, mengawasi insan yang dihadapinya itu. Seorang gadis yang luar biasa Cantiknya. Wajahnya yang gilang gemilang itu, menyebabkan mata siserdadu silau, hingga sampai mundur selangkah. Keempat kawannya tadi pun serentak berdiri.
Berbareng itu, Keh Lok-pun sudah siap disisi sinona, siapa segera membawa anak rusa itu dan di-usapdua kepalanya.
“Indukmu sudah dibinasakan manusia kejam! Ah, sungguh kasihan!” katanya sambil menCiumi anak rusa itu dengan mesranya. Setelah itu, ia delikkan mata kepada serdadudua Ceng, lalu keluar dari semakdua tersebut.
Tampak kelima serdadu itu saling berunding. Tiba-tiba mereka berteriak keras, dan dengan menghunus golok, mereka mengejar. Nona itupun mulai Cepat-cepat kan langkah nya. Pikirnya, sekali dapat berada diatas pelana kudanya, tak nanti serdadudua itu mampu mengejarnya.
Tapi ternyata kelima serdadu itu adalah serdadu pilihan yang menjadi pengawal Ciangkun. Tiau Hwi. Salah seorang pat-Hong memberi abadua. Kelima serdadu itu berpen Caran untuk mengejar.
“Yangan kuatir, biar kubasmi mereka, untuk pemuas hatimu,” kata Keh Lok sambil pegangi tangan si nona.
Benar tadi ia telah saksikan kepandaian sianak muda yang luar biasa. Tapi untuk berhadapan dengan 5 orang serdadu, gadis itu masih sangsi kalau pemuda itu bisa menang. Namun dengan masih membawa anak rusa, nona itu mau juga berada disisi Tan Keh Lok.
“Lekas berikan binatang itu!” bentak seorang serdadu dalam bahasa Ui yang kaku dan lucu.
Sinona memandang Keh Lok, siapa memberi senyuman, dan iapun balas bersenyum.
“Rampaslah lekas-lekas!” seru pat-Hong tadi dengan marah.
Keempat serdadu itu lempar senjatanya, terus menyerbu kemuka. Biasanya kawanan serdadu itu paling gemar meng-ganggu wanita. Tapi anehnya, menghadapi sinona, mereka seperti kena pengaruh tenaga gaib. Tak berani mengarah sigadis, mereka serbu sipemuda.
Sigadis menjerit. Tapi belum sirap jeritannya, tiba-tiba disusul dengan suara gedebukan yang keras. Empat serdadu itu terpental jauh-jauh dan jatuh terhampar tak bisa bangun. Kiranya mereka kena ditutuk Keh Lok.
Melihat gelagat jelek, si pat-Hong lari tunggang langgang.
“He, mari kembali dulu!” seru Keh Lok.
Cepat-cepat Cu-soh (rantai mutiara) melayang , dan leher si pat-Hong terkait, terus terhujungdua kembali, karena ditarik Tan Keh Lok. Gadis itu tertawa geli sambil bertepuk tangan. Keh Lok tarik tangan sinona, diajak duduk disebuah batu besar.
“He, mengapa kamu kemari?” tanya Keh Lok kemudian pada tawanannya itu.
Karena lehernya terjerat, terpaksa si pat-Hong ikut merajap keatas batu. Melihat keempat anak buahnya masih tak berkutik, dia insaf kalau kini sedang berhadapan dengan seorang yang lihai.
Maka Cepat-cepat jawabnya: “Kita adalah anak buah Tiau Hwi Ciangkun yang bertugas mengurus ransum. Karena atasan suruh kami kemari, kitapun menurut saja”.
“Yawab terus terang! Hendak kemana kamu sebenarnya! Ingat, kalau kau bohong, kamu berlima akan kubiarkan mati kehausan digurun sini!”
Mendengar itu, si pat-Hong bergemetar, sahutnya tersipudua: “Sungguh aku tak membohong. Pembesar utus kami berlima keselat Sing Sing untuk menyambut kedatangan seseorang”.
Karena pat-Hong agak sukar menggunakan bahasa Ui, Keh Lok ganti pakai bahasa Han untuk menanyakan siapa orang itu.
“Seorang Thongleng dari barisan Gi-lim-kun!” sahut si pat-Hong dengan bahasa Han pula.
“Siapa namanya? Mari berikan suratnya itu padaku!”
Pat-Hong kelihatan gelisah dan bersangsi.
“Kalau keberatan, biarlah. Kita akan lanjutkan perja lanan lagi”, kata Keh Lok sambil berbangkit.
Wajah pat-Hong itu berobah puCat kuatir ditinggal pergi. Buru-buru dikeluarkannya sepuCuk sampul. Demi mem baCa alamat diatas sampul itu, terperanyatlah Keh Lok. Tulisan itu ternyata berbunyi demikian: “Dihaturkan kepada yang mulia Thio Ciauw Cong Thongleng-tay-jin.”
“Toh sejak pertempuran dibukit Pak Kao Nia, dia diajak pulang oleh Suhengnya, Ma Cin, kegunung. Mengapa kini dia datang kembali kedaerah Hwe sini?” pikir Keh Lok.
Sampul terus dirobeknya. Melihat itu si pat-Hong Buru-buru akan mencegahnya, tapi tak dihiraukan. Surat itu menyata kan kegembiraan Tiau Hwi atas kedatangan Thio Ciauw Cong kedaerah Hwe karena mendapat firman kaisar. Karena urusan ketentaraan tak dapat ditinggal, terpaksa tak dapat menyambutnya sendiri dan hanya mengutus orang bawahan nya saja.
“Mungkin firman yang dibawa Ciauw Cong itu, perintah untuk tarik mundur pasukan Ceng. Baik, tak kuhalanginya,” pikir Keh Lok. Surat diberikannya kembali, keempat serdadu itu ditiam lagi supaya sadar, dan diapun ajak sinona lanjutkan perjalanannya, lagi.
“Kau gagah sekali. Tentunya namamu kesohor, mengapa tak pernah kudengarnya?” tanya gadis itu.
Keh Lok tersenyum, katanya: “Anak rusa itu tentu lapar, berilah makan.”
“Ya, ja, benar!” kata sinona.
Segera dari botol dituangnya susu kuda kedalam telapak tangannya, lalu disuruhnia sianak rusa mendiilatnya. Tangan sinona itu putih kemerah-merahan, bening laksana warna mutiara.
Begitulah enam hari sudah keduanya membuat perjalanan. Pada hari ketujuh kira-kira baru berjalan sejam lamanya, tiba-tiba dari kejauhan tampak gulungan asap membubung tebal.
”Ah, mungkin ada taufan!” kata Keh Lok. “Itu bukan mendung, tapi debu dari bawah,” kata sigadis. “Mengapa sebanyak sekali itu?” “Entahlah, mari kita lihat!”
Kedua kuda dilarikan kencang . Benarkah kiranya, itulah debu tebal yang membubung keatas. Dan berbareng itu, kedengaran juga genderang dipukul riuh sekali. Keh Lok ter kejut. Kuda ditahan Cepat-cepat .
“Pasukan tentara! Itu genderang perang dibunyikan!” seru Keh Lok. “Baik kita menghindari, kedua fihak sedang siapkan pasukannya.”
Kuda dilarikan kearah timur. Tapi tak berapa lama, dilihat nya dari sebelah muka ada sepasukan berkuda mendatangi. GemerinCing thiat-ka (baju besi) jelas terdengar. Sebuah bendera besar tampak diantara kepulan debu. Bendera itu bertuliskan sebuah huruf “Tiau.”
Ketika dipenyeberangan sungai Hoangho, pernah Keh Lok terancam bahaya dengan 'thiat-ka-kun' (pasukan baju besi) itu. Betapa lihainya, tak perlu dijelaskan lagi. Buru-buru dia memberi isyarat, agar sinona memutar haluan keselatan lagi. Syukur kedua ekor kuda itu bukan kuda sembarangan. Se kejab saja mereka sudah jauh dari 'thiat-ka-kun' itu.
“Tentara Ceng ganas sekali. Entah tentara kita dapat melawannya tidak,” kata sinona.
Belum sempat Keh Lok menyawab, tiba-tiba dari sebelah muka kedengaran suara terompet. Menyusul, tampak kelompokdua serdadu berjalan. Genderangpun makin gencar, se-olahdua menggetarkan bumi. Derap berpuluh ribu kaki kuda, memenuhi suasana padang dan gunung.
Lekas Keh Lok tarik sinona, terus dipindahkan keatas kudanya. Dengan menghunus pedang untuk melindungi si juwita, berbisiklah anak muda itu: “Yangan takut!”
Dekat dengan sinona Keh Lok rasakan dirinya me-layang-layangdibuai bau yang semerbak. Sekalipun saat itu berada ditengah kepungan musuh, hatinya tak merasa gentar sedikitpun jua.
Dari' empat penyuru, yang tiga penuh dengan serdadu musuh. Hanya tinggal penyuru barat yang kosong. Kesanalah kedua orang muda itu keprak kudanya. Belum lagi jauh mereka berjalan, kembali disebelah depan ada gerakan rombongan serdadu yang tengah menyusun barisan. Jadi kini, empat penyuru tertutuplah.
Diam-diam ketua Hong Hwa Hwe itu mengeluh dalam hati. Dilarikan kudanya menanyak sebuah tanyakan, untuk menCari lubang kalaudua bisa meloloskan diri. Tapi dia segera menjadi ter longongdua. Empat penyuru terkepung rapat dengan pasukan Ceng yang ber-lapisdua jumlahnya. Pada kedua sayap barisan, adalah pasukan berkuda.
Jauh dimuka pasukan Ceng itu, tampak barisan suku Uigor dengan pakaian seragam yang ber-garisdua itu. Mereka pun merupakan formasi baru sedang mengatur pasukan dan belum mulai bertempur.
Keh Lok berada didaerah kedudukan pasukan Ceng. Pe-mimpin pasukan Ceng, tampak hilir mudik memberi perintah, seluruh anak pasukan itu hening mendengari.
Rupanya beradanya Tan Keh Lok disitu, telah diketahui. Enam serdadu menerima perintah untuk menanyainya.
“Ah, sial benar. Mengapa berada didalam barisan Ceng. Mungkin jiwaku melayang disini,” diam-diam Keh Lok mengeluh.
Namun dia tak mau tunggu nasib. Dengan tangan kanan memutar Cu-soh (bandringan mutiara), dia peCut kudanya keras-kerasdan membentak: “Lari!”
Bagaikan anak panah, kuda putih itu melesat lewat disisi keenam serdadu yang akan datang memeriksa, tapi belum sempat membuka mulutnya itu.
Girang bukan kepalang hati Keh Lok, sayang hanya sebentar. Karena saat itu, kudanya berhenti. Kiranya disebelah muka, barisan Thiat-ka-kun berbaris dengan rapat sekali. Tak mungkin diterobos.
Dengan tabahkan hatinya, Tan Keh Lok putar kudanya, jalan memutar disamping barisan Thiat-ka-kun itu. Ter nyata disitu, semua busur sudah siap terisi anak panah, tombakdua sudah sama diaCungKan keatas. Banyak sekalinya laksana pagar rapat yang tak terhitung jumlahnya.
Tan Keh Lok insyap, sekali mulut sipemimpin barisan memberi perintah, dia dan si nona akan berubah menjadi landak oleh anak panah. Ja, betapa tinggi kepandaiannya, tak nanti dapat keluar dengan selamat.
Dihentikan lari kudanya lalu dijalankannya pe-lahandua. Matanya diarahkan kemuka, tak mau memandany barisan tentara Ceng. Dengan tenang dan tetap, dia berjalan ke muka. Betul-betul dia pertaruhkan jiwanya diujung rambut!
Saat itu matahari tengah Menjelang keluar. Kedua orang muda itu menghadap matahari, berjalan kearah timur. Je las bagaimana seluruh tubuh sigadis Ui itu, tertimpah sinar matahari. Berpuluh-puluhdua pasang mata dari serdadu dan opsir tentara Ceng memandangnya terpesona. Hati mereka ber guncang keras menyaksikan pemandangan yang luar biasa itu. Mereka merasa seperti melihat seorang bidadari turun mandi diliari pagi.
Kalau tadinya hawa membunuh memenuhi suasana barisan itu, kini mereka seperti kena sihir, termangu-mangu dan terpesona. Malah lebih gila lagi, segera terdengar gemerinCing suara tombak dan anak panah dilempar ketanah, susul me nyusul satu demi satu. Perwiradua pun lupa mencegahnya. Mereka hanya terus memandang kedua anak muda tersebut., yang makin lama makin jauh.
Saat itu jenderal Tiau Hwi keluar melakukan inspeksi. Demi dilihatnya pemandangan aneh dari anak pasukannya itu, dia kaget sekali. Cepat-cepat dia akan keluarkan perintah menyerbu, tapi tiba-tiba dari arah barisan musuh, terdengar genderang penghentian perang dibunyikan.
Sebetulnya jenderal itu masih sempat memandang ba jangan tubuh gadis serba putih itu. Dia seor:ng militer, biasanya kasar. Tapi entah apa sebabnya, hatinya terasa lemas, tak ada hasrat sedikitpun untuk mengganggu gadis itu. Juga ketika berpaling kebelakang, dilihatnya para Cong peng, HuCiang (perwiradua tinggi) dan pengawal yang me nyertainya, sama menyimpan senjatanya masing-masing.
“Tarik barisan pulang keperkemahan!” Tiau Hwi memberi aba-aba.
Berpuluh-puluhdua ribu serdadu, pasukan infanteri maupun pasukan berkuda, segera mundur berpuluh li disebelah belakang. Mereka mendirikan perkemahan ditepi sungai Tarim.
Lolos dari bahaya besar, Tan Keh Lok mengelah napas panjang . Seluruh tubuhnya basah mandi keringat. Tapi un tuk keheranannya, nona itu tak berubah apa-apa wajahnya. Seperti tak mengetahui bagaimana runCingnya suasana tadi. Dengan tersenyumdua, gadis itu loncat turun dari kuda Keh Lok, terus Cemplak kuda merah tunggangannya sendiri tadi.
“Disebelah depan ada sepasukan berkuda datang menyam but. Demi melihat sigadis, mereka berseru girang dan loncat turun memberi hormat. Gadis itu berkata bebeberapa patah, dan serdadu bangsa Ui itu kelihatan menghampiri Tan Keh Lok, lalu memberi hormat.
“Hengte tentu lelah. Mogadua Allah memberkahimu,” demikian sambut mereka.
Ketika Tan Keh Lok sedang membalas hormat, gadis Ui tadi terus larikan kudanya masuk kedalam barisan Ui. Ru panya ia mempunyai pengaruh besar dikalangan rakyat Uigor itu. Kemana kuda merah tiba, tentu disitu terdengar sambutan gempar.
Tan Keh Lok dipersilakan mengaso disebuah kamar dalam kubudua barisan Ui. Ketua Hong Hwa Hwe menerangkan kalau dia hendak berjumpa dengan kepala mereka, Bok To Lin.
“Kepala sedang melakukan peperiksaan tentara kita. Se lekasnya beliau pulang, tentu akan kami beritahukan,” kata seorang pemimpin serdadu berkuda tadi.
Karena sangat Cape, apalagi tadi telah mengalami gon tjangan hati, sebentar pula pulaslah sudah ketua Hong Hwa Hwe itu. Berselang beberapa lama kemudian, perwira tadi muncul melapor bahwa kepala suku mereka, malam nanti baru pulang. Dalam kesempatan itu, Keh Lok menanyakan siapakah gadis yang berpakaian serba putih, kawan perjalanannya tadi itu.
Tertawalah perwira itu menyahut: “Selain dia, siapa lagi yang Cantik luar biasa? Nanti malam, kita akan adakan perjamuan besar. Hengte, kaupun harus datang. Tentu disitu kau bisa berjumpa dengan siutiang (kepala suku)”.
Keh Lok kurang puas oleh jawaban yang tak jelas itu, hatinya masgul. Namun dia sungkan untuk menanyakan lebih jauh.
Malamnya, tampak kesibukan dalam kalangan orang-orang Ui itu. Mereka berhias diri dengan pakaian yang indahdua. Berbareng dengan nampaknya rembulan-sisir, genderang dan tetabuhan ramai dibunyikan. Perwira itu datang menyemput Tan Keh Lok.
Disebuah tanah lapang, dinyalakan api unggun besar. Dari empat penyuru, pemuda-muda militer berbondong-bondong mengerumuni.
Disitu sudah ada orang memanggang daging sapi dan kambing, menanak nasi dan memetik rebab. Begitu terompet dibunyikan, serombongan orang keluar dari kubudua besar. Ber jalan dimuka sendiri, adalah Bok To Lun. Puteranya, Hwe A-in, berdiri disampingnya.
Tan Keh Lok hendak menantikan sampai upaCara selesai, baru akan menemui kepala suku itu. Maka dibalikkan ba junya keatas, untuk menutupi separoh mukanya.
Bok To Lun kibaskan tangannya, dan orang-orang segera berlutut untuk sembahyang kepada Allah. Tan Keh Lok ikut serta.
“Para pejoang yang sudah beristeri, harap mengalah se-dikit, menjaga diluar. Biarkan malam ini sdrduamu yang muda-muda ber-senangdua,” seru Bok To Lun. Terompet kembali berbunyi. Tiga regu barisan berjalan keluar, lengkap dengan senjata dan kudanya. Hwe A-in
loncat keatas kuda dan berseru kepada para pemudanya:
“Dengan berkah Allah, semoga malam ini sdrdua puas ber-senangdua!”
“Mogadua Allah melindungi juga kalian yang bertugas menjaga,” seru sekalian pejoangdua muda itu.
Dengan menghunus golok besar, A-in pimpin ketiga regu itu keluar. Diam-diam Keh Lok memuji kerapian disiplin ten tara itu. Saat itu, suara tetabuhan berganti lagu, agak moderat. Pintu kubudua terbuka, regu demi regu penaridua yang terdiri dari muda-mudi, berjalan keluar. Mereka mengenakan pakaian warna-warni dan memakai kopiah benang emas yang Cemerlang. Dengan menyanyi sambil menari, mereka menghampiri api unggun.
Tiba-tiba hati Keh Lok tersentak, ketika terlihat dua orang gadis — yang satu berpakaian warna kuning, dan yang lain warna putih — berjalan kesisi Bok To Lun. Yang berpakaian putih, adalah sinona Cantik kawan perjalanannya itu. Sipakaian kuning, kepalan ja berhias sebatang Hui-ih (bulu burung), adalah Hwe Ceng Tong. Dalam beberapa bulan ini tak bertemu, kini tampaknya nona itu makin elok. Keduanya duduk dikedua sisi Bok To Lun.
“Apakah gadis itu adik perempuan Ceng Tong? Ah, ma kanya kurasa seperti sudah pernah mengenalnya. Kiranya lukisan pada vaas giok itu, dialah orangnya! Ternyata orang nya, lebih Cantik dari gambarnya,” tiba-tiba Keh Lok seperti disadarkan.
Memikir begitu, mukanya merah, hatinya terguncang . Dia mengaku, sejak berjumpa dengan Ceng Tong, hatinya resah. Bibit asmara mulai tumbuh. Tapi mengingat betapa mesra perhubungan sinona dengan 'pemuda' Cakap murid Liok Hwi Hing itu, dia menyang ka nona itu sudah punya pasangan. Dia berusaha keras untuk menindas perasaan as maranya itu.
Pada beberapa hari yang lalu., ketika berjumpa dengan seorang “bidadari,” imannya berguncang . Dendam asmaranya kini berganti dialihkan kepada sinona serba putih itu. Namun sesaat itu, menampak sepasang wanita Cantik itu, hatinya gojah tak keruan.
Sewaktu tetabuhan berhenti, maka berdirilah Bok To Lun. Serunya keras: “Dalam Qur'an ajat kedua fasal 1sembilan0, nabi Muhammad bersabda demikian: “Untuk membela agamamu, berjoanglah melawan musuhduamu.” — Ajat duadua fasal tiga sembilan ber bunyi: “Fihak yang diserang, direlakan membela. Allah akan memberkahinya.” — “Kita diserang musuh, Allah tentu membantu kita.”
Gemuruh sorak sorai semua orang Uigor itu.
“Saudara-saudara sekalian, Ayo sekarang ber-senangdualah sepu asnya!” seru Bok To Lun pula.
Kembali suasana lapangan itu bergema dengan nyanyian dan gelak ketawa. Dalam pada itu, hidangan pun mulai diedarkan. Lezat juga kiranya masakan orang Ui itu. Pera jaan berjalan makin gembira, gadisdua sama menari dengan pemuda pilihannya.
Diasuh dalam keluarga yang keras dalam peraturan, belum pernah Tan Keh Lok menghadiri perajaan dan perja-muan dialam terbuka semacam itu. Tanpa merasa, diapun mengumbar kegembiraannya. Beberapa Cawan arak susu kuda membasahi kerongkongannya. Mukanya mulai merah, hatinya lepas sekali.
Tiba-tiba musik berhenti, lalu berbunyi pula dengan gencar nya. Pasangandua muda-mudi itu segera bubar. Semua hadirin merasa heran, memandang kearah Bok To Uun dan rom bongannya. Pun Tan Keh Lok ikut memandangnya.
Tampak sinona baju putih itu, bangkit dan berjalan turun. Segera terdengar sana sini orang-orang sama berbisik.
Berkata perwira yang menyemput Tan Keh Lok tadi: “Puteri kepala suku kita, Hiang Hiang KiongCu, juga pu nya pilihan. Ha, siapakah gerangan yang beruntung menjadi pasangannya?”

KEHADIRAN puteri kesayangan Bok To Lun pada perajaan itu, sungguh diluar dugaan. Apalagi iapun ikut serta meng unyukkan pemuda pilihannya. Saking girang, rakyat Ui di situ sama terharu. Mereka menantikan dengan penuh perhatian. Juga Hwe Ceng Tong yang tak mengetahui adik-nya sudah punya pilihan, menjadi kaget dan girang..
Sebenarnya adik Ceng Tong, sigadis baju putih itu, bernama Asri. Usianya baru 1delapan tahun. Karena keCantikannya tak ada keduanya diempat penyuru, dan pula tubuhnya me nyiarkan bau harum, maka rakyat menyebutnya “Hiang Hiang KiongCu” atau Puteri Harum.
Pemuda-muda suku Ui taruh perindahan besar pada puteri itu. Justeru karena itu, tak ada seorangpun yang berani me-numpahkan perasaannya. Kalau saat itu, Hiang Hiang turun menari, itulah suatu peristiwa yang luar biasa.
Lemah gemulai Hiang Hiang KiongCu memutar beberapa kali, kemudian pelan-pelan mengitari kalangan itu. Mulutnya me nyanyi pe-lahandua:
“Siapa dia yang memetikkah swat-tiong-lian untukku, silakan tampil kemari! Siapa yang menolong jiiva anak rusa-ku, kaulah aku tengah menanti.”
Mendengar itu, telinga Keh Lok terasa me-ngiangdua. Sesaat semangatnya terasa me-layang dua. Sekonyong-konyong sebuah tangan yang lunak bagai beludru, menempel dibahunya. Dan sesosok tubuh membungkuk, menarik tangannya. Seperti boneka tak bernyawa, Tan Keh Lok menurut saja untuk berdiri.
Gegap gempita para hadirin bersorak-sorai. Dengan me nyanyi nyaring, sekalian muda-mudi itu segera mengerumuni, menghaturkan selamat. Walaupun dalam pernikahan, siorang tua yang berhak memutuskan, tapi orang Uigor agak longgar dalam memilih jodoh sendiri, kalau dibanding dengan adat istiadat, bangsa Han yang keliwat kolot malah.
Pesta malam itu menurut kebiasaan suku Uigor adalah pesta bebas. Konon menurut dongeng, adalah tempat dimana muda-mudi boleh menumpahkan perasaannya. Maka demi dilihatnya Hiang Hiang KiongCu menggandeng tangan Tan Keh Lok keluar, mereka segera merubungnya.
Masih Bok To Lun dan Hwe Ceng Tong mengira, pilihan Hiang Hiang itu adalah seorang pemuda Ui kebanyak sekalian. Maklumlah, mereka belum sempat melihat roman Tan Keh Lok dengan jelas. Hendak keduanya menghampiri menyam butnya, tapi tiba-tiba terdengar terompet berbunyi tiga kali. Itulah tanda bahaya. Karenanya, semua orang segera duduk kembali ditempat masing-masing.
Bok To Lun dan Ceng Tong batal menyambut, lalu duduk kembali ditempatnya semula. Masih memegang tangan Tan Keh Lok, Hiang Hiang KiongCu mengajaknya duduk dibe lakang rombongan orang-orang itu. Karena tubuh sinona agak merapat kedadanya, segera hidung Keh Lok membau bebauan yang semerbak. Tak tahu dia bagaimana sebenarnya, sedang mengimpi atau sadar.
Suasana pesta itu berobah. Semua orang menunggu dengan berdebardua apa yang akan terjadi. Kaum mudanya sama menghunus goloknya, siap maju perang. Sesaat kemudian, dua penunggang kuda lari kehadapan Bok To Lun.
“Ciangkun Tiau Hwi dari tentara Ceng, mengirim utusan untuk menghadap,” demikian lapornya.
“Bawa mereka kemari,” sahut Bok To Lun.
Setelah berlalu, tak berapa lama, datang pula kedua pe-nunggang kuda itu. Dibelakangnya mengikut 5 orang asing. Hampir dekat, mereka turun dari kuda lalu berjalan masuk kedalam lapangan. Kelima orang asing itu, adalah rombongan utusan fihak Ceng. Siutusan sendiri bertubuh kekar, gerak annya gesit. Sementara yang empat, adalah pengawalnya.
Perawakan mereka berempat itu sangat mengejutkan orang. Rata-rata lebih dua meter tingginya, tubuhnya kokoh berisi. Betul-betul “raksasa” yang jarang terdapat. Entah dari mana Tiau Hwi mendapatkannya.
Dihadapan Bok To Lun, utusan itu memberi hormat.
“Adakah kau ini kepala suku?” tanyanya dengan Cong-kak.
Tanpa sebab menyerang daerah Hwe, membunuh dan mem-bakar, semua itu menyebabkan kebencian yang meluap suku Ui terhadap bangsa Boan. Maka dengan keCongkakan si utusan itu, beberapa pemuda Ui serentak menCabut goloknya.
Tapi utusan itu tak menghiraukan, katanya pula: “Aku membawa titah dari Tiau-tayCiangkun, untuk menyampai kan surat permakluman perang. Kalau kau tahu selatan, menyerah, Tiau-tayCiangkun mau mengampuni jiwamu. Tapi kalau tidak, nanti dalam pertempuran, kalau orang-orang mu sampai habis binasa, jangan kau sesalkan!”
Utusan itu berbahasa. Uigor, maka semua orang Ui serentak berjingkrak. Bok To Lun Buru-buru lambaikan tangannya untuk menenangkan rakyatnya itu.
Setelah suasana reda, baru dia berkata: “Tanpa suatu alasan, fihakmu menyerang dan merampas harta benda kami. Allah yang berada di atas, tentu akan menghukum perbuatan yang terkutuk itu. Berperang, kamipun siap. Kami takkan menyerah sampai titik darah yang penghabisan”.
“Ya, kalau menghendaki perang, kltapun sedia. Kita takkan menyerah sampai titik darah yang penghabisan”, orang-orang Ui sama aCungkan goloknya, mengulang pernyataan kepala suku. Ditimpa Cahaja rembulan, golokdua itu tampak ber-kilat. Setiap orang bersikap keren sekali. Tahu mereka, bahwa pasukan Ceng berjumlah besar sekali. Kebanyak sekalian tentu tak bisa menang. Namun turun temurun orang Ui itu memeluk agama Islam, mereka Cinta pada kebebasan tak mau diperbudak.
Siutusan jebikan bibirnya, katanya: “Baik, biar lusa kau orang akan menjadi majat!”
Dan untuk mengunjuk kesungguhan kata-kata itu, siutusan itu meludah. Hal itu suatu penghinaan besar. Kontan tiga orang pemuda Ui loncat kemuka, serunya: “Hari ini kita hormati dirimu sebagai utusan. Pulanglah! Tapi kalau lusa kita berjumpa dimedan perang, tak hendak kita berlaku sungkandua lagi”.
Utusan itu jebikan bibir. Keempat pengawal raksasa itu maju, terus mendorong kawanan pemuda itu, kemudian ber-baris melingkar untuk lindungi pemimpinnya.
“Pui, orang-orang semacam kamu yang tak berguna. Kali ini biar kamu lihat lihainya orang Boan!” seru si utusan dengan jumawa. Habis itu dia menepuk tangan, memberi isyarat pada pengawalnya itu.
Salah seorang 'raksasa' itu memandang Celingukan. Dili hatnya seekor onta tertambat pada sebuah pohon yang. Menghampiri puhun itu, dia segera memeluk batang pohon itu.
“Terangkatlah!” serunya keras-kerasseraya menggoyang duakannya. Pohon yang tua itu, roboh terangkat keakarnya.
Semua orang sama terkejut. Sungguh hebat kekuatan 'raksasa' itu. Sekali tarik, tali pengikat onta itu putus, me nyusul sebelah kaki si raksasa mendupak bebokong si onta Biasanya onta adalah binatang yang lambat jalannya, tapi kali ini karena kesakitan, dia mencongklang seperti kuda pesatnya.
Ada kira-kira belasan tombak jauhnya, seorang raksasa yang lain tiba-tiba maju memburu. Orang itu badannya besar, tapi gerakannya luar biasa tangkasnya. Sekejab saja, dia sudah dapat menyusul terus menarik keempat kaki binatang itu, terus diangkat naik. Dengan memanggul onta yang beratnya beratus kati, raksasa itu lari balik. Diletakkan onta itu ke pinggir api unggun. Dan dia tegak leher dengan angkuhnya.
“Hm,” raksasa ketiga perdengarkan suara dari hidung. Begitu melangkah setindak, dia hantam kepala si onta dengan tinyunya yang besar. Binatang yang besar itu, terhuyung-huyung terus roboh.
Menyusul raksasa yang keempat itu menangkap kedua kaki si onta, diangkat tinggi-tinggi, ber-putardua beberapa kali, dengan berseru keras terus dilontarkan sampai tujuh delapan tombak jauhnya.
Kiranya keempat raksasa itu adalah bersudara yang bernama Holun Toa Houw, Ho-lun Ji Houw, Ho-lun Sam Houw dan Holun Si Houw. Asalnya dari Lingko-tha wilayah Liauw-tang. Ayahnya seorang pemburu. Sejak kecil keempat saudara itu ikut berburu harimau digunung Tiang-pek-san. Tu buhnya tinggi besar, tenaganya luar biasa. Sayang nya mereka itu agak tolol. Makannya pun luar biasa juga. Maka dengan berburu saja, tak Cukup dimakan.
Pada suatu hari Tiau Hwie berburu digunung Tiang-pek-san. Melihat bagaimana luar biasanya keempat saudara itu, lalu diterimanya menjadi pengawal peribadi. Kali ini, Tiau Hwi kirim mereka berempat menyertai utusannya untuk me-mamerkan “gertakan” pada fihak Ui, agar mereka jeri dan menakluk.
Memang orang-orang Ui itu menjadi terkesiap demi menyaksi kan “pameran kekuatan” yang belum pernah dilihatnya. Na-mun mereka tak mau unyuk kelemahan. Beberapa orang kuat dari suku Ui serentak berdiri dan berseru: “Seekor onta tak berdosa apa-apa, masa kau - bunuh. Apa kau tak ke-nal peri-kemanusiaan?”
Utusan itu tertawa dingin dan Cebikan bibir. Orang-orang Ui makin marah. Sana sini sama berisik. Suasana makin tegang. Rupanya orang-orang Ui itu akan menyerang. Melihat itu siutusan menjadi kuatir.
“Kamu banyak sekali, akan menindas yang lemah. Adakah itu pantas?” jengeknya segera.
Lekas-lekas Bok To Lun Cegah orang-orang nya, katanya: Kau ada-lah seorang utusan, mengapa se-wenangdua membunuh ternak kami? Sungguh tak kenal adat. Andaikata kau bukan seorang utusan, hm, tahu sendiri. Nah, pergilah.”
“Kau kira kami bangsa Boan takut segala macam an Caman? Kalau kau ada surat balasan, berikan saja padaku. Kupercaya, tak nanti ada seorang dari fihakmu yang berani menghadap Tiau-Ciangkun,” kata si utusan.
Ucapan itu kembali menerbitkan kegaduhan orang-orang Ui, saking marahnya. Tiba-tiba nona Ceng Tong bangkit.
“Kau katakan fihak kami tiada yang berani menemui panglimamu itu. Hm, ngaCo! Setiap orang kami berani. Ja ngan kata yang lelaki, wanita pun berani!”
Si utusan melengak, tapi pada lain saat dia tertawa keras, serunya: “Perempuan? Melihat barisan saja, kaum lemah itu tentu sudah kaku!”
“NgaCo! D jangan keliwat menghina. Kami segera kirim orang pergi bersama kau. Orang semacam itu, disini sampai ber-lebih.dua. Kau pilih sendiri yang mana orangnya, agar terbuka matamu bagaimana sikap seorang murid Nabi Muhammad itu!”
Pernyataan itu mendapat sambutan hangat dari semua orang. Kawanan muda mudi ber-teriakdua: “Ayo, tunyuklah! Siapa saja tentu sedia pergi!”
“Baik!” sahut si utusan dengan gemas.
Hendak diCa'rinya seorang wanita yang terCantik yang paling lemah tubuhnya. Biar nantinya menangis ketakutan, sehingga orang-orang Ui itu mendapat 'hidung-panjang '. Matanya jelilatan mengitari rombongan muda mudi. Tiba-tiba matanya berCahaja, lalu menghampiri Hiang Hiang KiongCu.
“Inilah dianya yang pergi!” katanya segera.
Hiang Hiang Kiongiju memandang tajam kearah si utusan, sembari berbangkit dengan tenang, katanya: “Untuk kepentingan sdr.dua dari bangsaku, kemanapun aku tak jerih. Allah tentu menyertai daku.”
Si utusan terkesiap. Gadis yang tadi kelihatannya lemah dan pemaluan, kini tegak berdiri dengan sikap yang agung gagah. Tanpa merasa si utusan tundukkan kepala. Diam-diam dia menyesel.
Melihat peristiwa itu, Bok To Lun dan Ceng Tong terke jut. Mereka kuatirkan keselamatan puterinya itu. Lebihdua Ceng Tong yang sangat menyayang adiknya, sebab. Hiang Hiang tak mengerti ilmu silat sama sekali. Jika masuk ke dalam sarang macan, terang akan menghadapi bahaya.
“Dia adikku, biar aku yang mewakilinya!” kata Ceng Tong segera.
“Memang kutahu, lidah perempuan itu tak dapat diperCa ja. Bilang saja 'takut', habis perkara! Perang atau menak luk, biar kubawa saja surat-balasannya,” ejek si utusan.
“Kau keliwat kurang ajar! Kelak dalam pertempuran kalau kita berjumpa, jangan kau lari. Buktikan sendiri, wanita itu kaum yang lemah bukan!” Ceng Tong mendam prat.
“Berhadapan dengan wanita Cantik seperti kau ini, sudah tentu tanganku berat mengangkat senjata!” demikian dengan keliCinan lidah si utusan, hanya makin meluapkan ke bencian orang-orang Ui itu saja.
“CiCi, lepaskan aku pergi, aku tak gentar,” meminta Hiang Hiang pada enCinya.
Sembari berkata begitu, ia membungkuk untuk mengangkat bangun tangan Tan Keh Lok. “Dialah yang akan menyer taiku!” katanya pula dengan bangga.
Demi melihat jelas Tan Keh Lok, tersiraplah darah di dada Ceng Tong. Sampai beberapa saat, tak dapat “Ia berkata apa-apa.
Keh Lok bersenyum dan memberi isyarat supaya nona itu pura-pura jangan mengenalnya. Kemudian dia berputar menghadapi utusan tadi, katanya: “Kaum kita paling mengutamakan rasa setia kawan, maka akan kukawani nona ini menghadapi Tiau-Ciangkun-mu! Sebenarnya keempat penga walmu inipun tak punya guna apa-apa.”
“Hee, onta dapat mengangkut ribuan kati, sedang orang hanya dapat mengangkat ratusan kati. Namun anehnya, orang yang pantas naik onta atau onta yang naik orang?” tertawa Hiang Hiang KiongCu.
Semua orangpun sama riuh bergelak-tawa geli.
“Mereka menertawai apa?” tanya Tay Houw pada si utusan.
“Menertawai kalian berempat. Meskipun bertubuh tinggi besar, bertenaga kuat, tapi tak berguna apa-apa!” utusan itu menerangkan.
Tay Houw menggeram karena gusarnya. Teriaknya nya-ringdua: “Siapa yang berani bertanding dengan aku?”
“Dan apa kegunaanmu, he, orang muda,” kata si utusan pada Tan Keh Lok. “Sepuluh orang macam kau, mungkin masih tak mampu tandingi kekuatan mereka seorang.”
Keh Lok tahu apa yang harus dilakukan. Kalau nyali rom-bongan utusan itu tidak dipatahkan, mungkin nanti diper kemahan jenderal Boan itu, Hiang Hiang KiongCu akan mengalami gangguan. Maka dia maju kemuka.
“Aku adalah orang Ui yang paling tak punya guna sendiri.
Tapi masih lebih berguna daripada bangsa Boan semacam kamu orang ini. Mari, suruhlah keempat 'tonggak bernya wa' itu maju,” tantangnya segera.
Pada saat itu Bok To Lun pun sudah mengetahui kehadiran ketua Hong Hwa Hwe itu. Kaget terCampur girang, dia berseru kepada puterinya yang sulung: “Ceng-ji, lihatlah siapa itu!”
Namun Ceng Tong tak kedengaran menyahut. Ketika Bok To Lun berpaling, dilihatnya mata puterinya itu mengem beng air mata, bibirnya gemetar. Teringat orang tua itu akan sesuatu. Tiba-tiba liatinya berduka: “Kedua gadis itu, adalah puteri yang sangat disayang inya. Mengapa justeru sama menCintai anak muda itu. Dan bagaimana dia bisa berkenalan dengan puterinya yang bungsu itu?”
Lama nian kepala suku itu tak dapat menCari pemeCa-han soal yang memusingkan itu. Dan kini, tampak Keh Lok mau bertanding dengan keempat raksasa itu, makin gundahlah pikirannya.
Untuk pertama kali, rakyat Uigor dapat menyaksikan pemuda pilihan puteri kepala suku mereka. Perawakannya nampak lemah, wajahnya seperti sebuah lukisan. Berdiri disamping si utusan, dia hanya sampai pundak tingginya. Apalagi dibanding dengan keempat raksasa itu, nyata benar bedanya seperti anak kecil dengan orang dewasa. Orang Ui kagum akan keberanian anak muda itu, namun kuatir mereka, kalau dia bukan tandingan raksasadua itu.
Orang-orang Ui itu timbul sympathinya. Ada beberapa orang kuat segera tampil kemuka mau mewakili Tan Keh Lok. Tapi ditolaknya. Kat*nya: “Tak usah saudara-saudara Capedua, biar aku yang menCobanya dulu!”
Tan Keh Lok keliwat memandang rendah sekawanan raksasa itu. Ketika si utusan menerangkannya, keempat raksasa itu terus melangkah maju menerkam dengan bernapsu sekali. Namun Keh Lok tampaknya tenangdua saja. Malah pada saat itu, si utusan Buru-buru mencegahnya.
“Karena anak muda itu berkeras maju, maka kalau sampai nanti terluka, jangan sesalkan orang. Dan lagi Caranya pi-bu (bertanding) harus satu lawan satu, lain orang tak boleh membantu,” kata si utusan pada Bok To Lun.
Kiranya si utusan itu keliwat yakin akan menang. Untuk menjaga jangan sampai terjadi pengerojokan apabila sampai sianak muda tewas, utusan tersebut mengikat janji dulu. Belum lagi Bok To Lun membuka mulut, Tan Keh Lok sudah mendahuluinya: “Seorang lawan seorang kurang ramai. Suruhlah keempat 'tonggak berjiwa' itu maju serentak.” “Dan fihakmu keluar berapa orang?” tanya si utusan pula. “Berapa orang? Sudah tentu hanya aku seorang saja!” sahut Keh Lok.
Semua orang menjadi gelisah. Mereka anggap sianak muda itu hanya turuti darah panas saja.
“Hm, orang Ui betul lihai, ja? Tay Houw, kau maju dulu!” kata utusan itu. Tay Houw maju dengan segera.
“Kau mau secara kasaran atau bertanding secara habisan?” tanya si utusan.
“Apa maksudmu?” balas tanya Keh Lok.
“Kalau halusan, jakni: kau pukul sekali, dia pun balas pukul sekali. Orang tak diperbolehkan menangkis atau menghindar. Siapa yang roboh, dianggap kalah. Sedang yang dimaksud dengan secara kasaran jalah berkelahi secara bebas.”
“Ah, kalau hanya memukul seorang, rasanya tak Cukup. Biar empat orang sekali, kupukulnya,” kata Tan Keh Lok.
“Kalau menilik sikapnya, terang dia bukan orang gila. Tentu dia punya siasat lain,” diam-diam kata si utusan dalam hatinya.
“Asal kau dapat menangkan seorang, mereka berempat tentu akan maju menyerang. Seorang saja rasanya kau tentu 'kenyang '. Jangan terburu napsu!” katanya kemudian.
Keh Lok tertawa, sahutnya. “Baiklah, secara bun atau bu (halusan atau kasaran) kuserahkan!”
“Bertanding kuatduaan saja. Bu bisa merusak perhubungan, baik bun saja.” Dibalik kata-katanya yang sungkan ini, sebenar nya utusan itu punya maksud tertentu. Ditilik dari perawak annya, tentu sianak muda gesit sekali gerakannya. Karena itu, dia memilih Cara bun atau halusan saja.
“Pakai Cara Bun, rasanya dia takkan lolos,” pikir si utusan.
Juga Tay Houw segera lolos bajunya bersiap. Tubuhnya yang kokoh kekar itu, penuh dilingkari ototdua yang kuat. Laksana sebatang pohon besar. Tinyunya sebesar mangkok, seberat palu besi. Kalau seekor onta yang begitu besar telah tak kuat menerima pukulannya, bagaimana jadinya dengan seorang anak muda yang bertubuh lemah itu.
Bok To Lun dan Ceng Tong maju menghampiri lebih dekat. Ceng Tong mencuri lihat wajah adiknya, siapa tam paknya tenangdua saja memandang Keh Lok dengan sorot mata yang penuh kasih. Sedikit pun nona itu tak kelihatan kuatir.
Ceng Tong mengelah napas, mengira kalau sang adik tak mengerti apa artinya bahaya yang bakal menganCam. Tapi ketika Ceng Tong berpaling kearah Keh Lok, juga sianak muda itu tenangdua saja nampaknya.
“Mari kita undi, siapa yang memukul dulu,” kedengaran si utusan berkata.
“Kau adalah tetamu, silakan suruh dia memukul dulu,” sahut Keh Lok.
Ceng Tong kaget dan Buru-buru menumpangi: “Yangan sungkandua, baik diundi saja.”
Ceng Tong tahu bahwa dengan kepandaian Keh Lok yang lihai itu, kalau secara bu-pi, pasti takkan kalah. Tapi dengan Cara tukar menukar pukulan secara itu, dia kuatir kalau sianak muda tak sanggup menahannya. Maka mau ia melihat, agar sianak muda itu yang menerima kesempatan dulu, mungkin bisa menang.
Tan Keh Lok bersenyum terima kasih kepada Ceng Tong. Namun kakinya tetap melangkah maju seraya membusungkan dadanya.
“Pukullah!” katanya.
Saat itu si utusan minta supaya Ceng Tong datang ke padanya. “Kita berdua akan mengawasi siapa-apa saja yang menggeser kaki atau menangkis, berkelit dan mundur, dialah yang kalah!” katanya.
Ceng Tong maju menghampiri. Lewat disisi sianak muda ia bisik-bisik: “Yangan lanjutkan pertandingan ini, kita Cari lain akal mengalahkan mereka!”
“Yangan kuatir!” sahut Tan Keh Lok berbisik pula.
Ceng Tong putus asa, terpaksa ia berdiri disisi si utusan menjadi wasit. Kini Tan Keh Lok sudah berhadapan dengan Tay Houw. Keduanya begitu dekat sekali, bisa saling memukul tanpa ajukan langkah. Suasana hening tegang. Seluruh mata diarahkan kepada kedua orang itu.
Berserulah si utusan dengan keras: “Yago dari fihak Boan akan memukul lebih dulu setelah itu baru jago fihak Ui balas memukul. Kalau tidak kejadian apa-apa, fihak Boan boleh memukul lagi dan setelah itu, fihak Ui pun balas memukul lagi.”
Ceng Tong anggap hal itu kurang adil, ia memperotes:
“Babak pertama fihakmu boleh memukul dulu. Tapi untuk babak kedua, seharusnya fihak kita yang memukul dulu.
Belum lagi si utusan menyahut, Keh Lok sudah mendahu luinya: “Mereka adalah tetamu, kita harus mengalah.”
T,Oho, kau betul-betul berhati jantan!” si utusan bersenyum puas. Kemudian dengan girang dia berseru nyaring memberi abadua: “Siap, fihak Boan boleh mulai melakukan pukulan pertama!”
Sebagai sambutan, segera terdengar deru mulut si Tay Houw mengeluarkan napas, berbareng tulangdua berkereotan. Dia sedang memusatkan seluruh kekuatannya. Tiba-tiba dadanya disedot kedalam, dan tampaklah ototdua lengan kanannya menjadi sebesar kelapa.
Keempat raksasa itu saudara sekandung. Diwaktu melahirkan mereka, ibunya sangat menderita sekali. Sehingga setelah yang keempat, Soe Houw lahir, ibu itu meninggal dunia karena kehabisan darah. Karena miskin, ayahnya tak mampu Carikan pengasuh. Kebetulan kedengaran ada seekor harimau mengaum-aum didalam hutan. Kiranya itulah seekor induk harimau masuk kedalam lubang perangkap.
Dengan bantuan beberapa kawan, diikatnya induk harimau itu yang juga baru melahirkan tiga ekor anak harimau. Dia mendapat pikiran. Anak harimau dibunuh, dan induknya dipelihara. Tiap hari diberinya makan dengan binatang hasil pem buruannya, air susu induk harimau, diambil untuk diberikan kepada keempat puteranya: itu. Karena dibesarkan dengan susu harimau, anakdua itu luar biasa kekuatannya. Kalau ke luar berburu, tak pernah mereka membawa senjata. Kalau ketemu binatang, Cukup dikejarnya terus dipuntir lehernya, dibantingnya pada batu hingga binasa. Demikianlah keempat Houw (macan) itu.
Saat itu, kelihatan Tan Keh Lok tak bergeming. Malah tubuhnya agak diajukan sedikit, katanya dengan tertawa: “Silakan!”
Ada beberapa pemuda Ui, ketika melihat bagaimana dah sjat sikap Tay Houw, sudah lantas kuatir kalaudua Tan Keh Lok akan remuk tulangduanya. Karenanya, mereka segera berbaris dibelakang anak muda itu, siap menyambut apabila sampai tersungkur kebelakang.
Bok To Lun dan Ceng Tong bersembahyang pada Allah. Tapi kebalikannya, Hiang Hiang Kiongiju, tampak tenangdua saja. Ia sudah taruh kepercayaan penuh pada sianak muda. Kalau Keh Lok tampak tak jeri pasti tak berbahaya, demikian pikirnya.
Maka terdengarlah Tay Houw menggereng sekali, berbareng pukulannya dihantamkan sekuat-kuatnya kepada sianak muda. Santer dan dahsyat bukan kepalang.
Semua orang mengeluarkan jeritan tertahan. Mereka kira, dada Tan Keh Lok melesek kedalam. Tak tahu mereka, kalau sebetulnya Tan Keh Lok sedang gunakan Iwekang didadanya, untuk menyedot napas. Karena itu, pukulan tadi jatuh tanpa bersuara, se-olahdua mengenai segumpal kapas. Karena sebenarnya, tinyu itu belum kena pada sasarannya. Kira-kira masih kurang setengah dim.
Ingin benar Tay Houw mendesakkan kepalannya kedada orang, namun bagaimana dia kerahkah tenaganya, tetap tak mampu. Seakan-akan ada daya penolak yang hebat. Saking he rannya, dia kesima sampai beberapa saat.
“Cukup?” tanya Keh Lok tertawa.
Muka Tay Houw merah padam. Buru-buru dia tarik pulang kepalannya. Kesudahan itu, membikin orang-orang tak habis me-ngerti. Terang tadi pukulan Tay Houw mengenai, tapi mengapa seperti tak terjadi apa-apa. Hanya Bok To Lun dan Ceng Tong yang mengetahuinya.
Kiranya lwekang Tan Keh Lok sudah mencapai kesem purnaannya. Seluruh tulangdua tubuhnya dapat digerakkan dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Dia telah dapat menguasai sari pokok pelajaran Thay Kek Kun. Hal itu membangkitkan rasa kagum Bok To Lun dan puterinya. Juga si utusan itupun kaget bukan kepalang.
Tan Keh Lok masih ter-senyumdua kini tiba gilirannya. Tanpa mengambil sikap, dia seenaknya saja menyulurkan jo tosannya. “Bluk!”
Dia gunakan apa yang dinamakan ilmu pukulan berat. Benar Tay Houw tak merasa sakit didadanya, tapi dia rasakan seperti ada tenaga dihsjat mendorongnya kebelakang. Tahu dia, selangkah saja mundur, dia dianggap kalah. Kuatdua dia berusaha kerahkan tenaganya untuk menahan posisi kakinya, hingga seperti orang mendesak kemuka.
Tiba-tiba secepat-cepat melepas pukulannya tadi, secepat-cepat itu pula Tan Keh Lok tarik pulang tangannya. Dalam keadaan begitu, sudah tentu Tay Houw menyorok kemuka. Hendak dia menarik badannya, tapi tak kuasa.Ketika Tan Keh Lok miringkan tubuhnya berkelit, maka terdengarlah suara benda berat jatuh, disusul dengan debu tanah bertebaran. Tubuh sirak-sasa Tay Houw meluncur jatuh kemuka.
Sesaat orang-orang sama terlongong-longong. Tapi pada lain saat, segera terdengar tepuk tangan dan sorak sorai yang gemuruh.
Kalau Tan Keh Lok dapat memukul si raksasa jatuh Ce lentang, itu Cukup mengherankan orang. Tapi kini, bukan jatuh Celentang melainkan jatuh tersungkur kemuka. Hal itu tentu saja membuat gempar suasana penonton.
Si utusan Buru-buru angkat bangun Tay Houw, muka siapa sudah berlumuran darah dan mengeluh kesakitan. Ternyata dua buah giginya telah patah.
Melihat saudaranya terluka, Ji Houw, Sam Houw dan Su Houw menggerung dan serempak menyerbu Tan Keh Lok. Juga Tay Houw, setelah berkurang sakitnya, turut menye rang lagi. Hal itu membuat kaget orang-orang Ui. Mereka sama maju membantu. Keadaan menjadi gaduh.
Dalam kekalutan itu, tiba-tiba ada dua sosok bayangan melesat loncat melalui kepala rombongan orang-orang itu. Dan saat itu, orang-orang tak melihat dimana adanya Tan Keh Lok dan Ceng Tong. Juga keempat raksasa itu, dengan lenyapnya sianak muda, tertegun ditempatnya itu.
“Mundur semua!” tiba-tiba terdengar seorang wanita memerintah.
Orang-orang Cukup mengenal suara itu. Mereka taat.
“Telah kukatakan, kalian berempat boleh maju berbareng. Nah, marilah!” Tan Keh Lok muncul kembali menghampiri keempat raksasa.
Yang pertama adalah Tay Houw yang segera menyerang kearah kepala orang. Keh Lok gerakkan tubuhnya, melejit kebelakang lawan. Dengan gerak “pi-jong-thui-gwat” tutup jendela mendorong rembulan, dia dorong punggung Tay Houw.
Tay Houw terhuyung-huyung hampir menubruk Ji Houw. Su Houw gunakan sikutnya, menghantam pelipis Tan Keh Lok, Siapa telah menyelundup kebawah ketiak penyerangnya dan mengitiknya. Su Houw kaget kepitkan ketiaknya, me-rontadua tertawa ter-bahakdua.
Tidak kira, sebesar raksasa itu orangnya, tapi penggeli tak tahan nyeri. Semua orang tertawa melihat pertunyukan yang lucu itu.
“Hai, kili dia lagi!” seru Hiang Hiang KiongCu menjadi senang.
Tan Keh Lok menurut. Kembali dia kitikdua perut si raksasa, siapa karena geli sampai numprah berjongkok. Sepasang tinyunya menghantam kesana kemari, namun secara mem babi buta saja.
“Awas, belakang!” tiba-tiba Ceng Tong berseru.
Memang sebelumnya pun Tan Keh Lok sudah merasa ada samberan pukulan dari belakang. Sekali enjot, tubuhnya melambung keatas. Sudah tentu pukulan Ji Houw mengenai angin. Berbareng itu, Su Houw menyerang dengan kalap. Jatuhnya tepat mengenai tinyu Ji Houw tadi.
Tangan keduanya sama bergetar. Keduanya pun masing-masing loncat kebelakang, menggerung-gerung seperti orang kebakaran jenggot. Dengan geram, mereka memutar badan, menyerbu lagi dengan kalap.
Tan Keh Lok gunakan “pat-kwa-yu-sim-Ciang,” ilmu berkelahi secara loncat sana sini. Bagaikan kupudua diantara seladua kembang, Tan Keh Lok melejat-lejit dalam hujan pukulan delapan buah tinyu. Tak sekali dia sampai tersentuh tubuhnya.
Beberapa kali orang-orang Ui itu menjadi kaget, apabila nampak tinyu si raksasa hampir mengenai sianak muda. Tapi setiap kali itu, mereka keCele. Gerak sianak muda liCin bagai belut. Lama-lama orang-orang Ui itu percaya, tak nanti sianak muda kena pukulan.
Malah pada lain saat, terdengar suara “bret” yang pan jang dan nyaring. Kiranya baju Ji Houw tahu-tahu sudah robek. Kembali orang-orang sama riuh tertawa.
“Tahan, jangan berkelahi terus!” tiba-tiba si utusan berseru.
Tapi keempat raksasa itu sudah seperti kemasukan setan. Tak mungkin mereka mau berhenti. Tay Houw tiba-tiba bersuit keras, terus melambung. Seperti burung elang yang buas, dia menerjang sianak muda. Berbareng itu, Ji Houw, Sam Houw dan Su Houw menyergap dari belakang. Hendak mereka hadang sianak muda andai kata dia mau lolos kebelakang.
Itulah Cara mereka kalau melakukan pemburuan. Karena tak dapat mengalahkan sianak muda, mereka gunakan Cara itu. Orang-orang Ui yang menyaksikan menjadi kaget. Lebihdua para wanitanya, belum-belum sudah sama menjerit.
Memang untuk menghindari terjangan Tay Houw, sedia nya Tan Keh Lok akan melejit kebelakang. Tapi demi dari sinar api dilihatnya tiga sosok bayangan sedang mengulur tangan dari sebelah belakang, dia tak jadi. Begitu tangan Tay Houw tiba, dia Cepat-cepat mendek kebawah. Kemudian sebat luar biasa, tiba-tiba dia tangkap pinggang si raksasa terus di gentakkan kebelakang. Dan secepat-cepat si raksasa menyungkel, secepat-cepat itu pula, tangan Tan Keh Lok menyawut kakinya lalu dilemparkan keras-keras.
“Bum!” Demikian hebat suaranya, ketika tubuh yang tinggi besar itu, jatuh ketanah. Celakanya, raksasa kesatu itu, jatuhnya sang kepala dibawah, kakinya diatas. Dan jatuh nya pun tepat masuk kedalam sebuah lubang. Kiranya lubang itu, adalah bekas lubang dari pohon yang yang diCabut se akarduanya oleh Tay Houw tadi.
Karena pohon besar, lubangnya pun besar lagi dalam, kepala Tay Houw masuk sampai kebatas pinggang. Sepasang kakinya diatas merontadua. Namun tak dapat dia keluar.
Su Houw, dengan menggerung keras, menerjang . Tapi Tan Keh Lok kembali melejit seperti main godak. Tiba-tiba dia berhenti lari, melihat itu, Su Houw Cepat-cepat kirim sebuah ten-dangan kearah dada. Keh Lok megos kesamping, terus ber-gerak: tangan kanan menyambret Celana, tangan kiri menerkam punggung. Dengan meminyam tenaga tendangan tadi, dia ajunkan tubuh Su Houw keatas.
Seperti melayang diudara, Su Houw berontak-rontak diatas, mulutnya men-jeritdua, takutnya setengah mati. “Bum!” Aneh, dia merasa jatuh diatas benda yang lunak. Ketika dengan Cepat-cepat dia bangun, ternyata tadi dia jatuh terduduk diatas bangkai onta tadi.
Memang Tan Keh Lok ingin orang merasakan apa yang diperbuatnya tadi. Yang melempar onta, adalah Su Houw, dan kini dialah yang dilempar seperti onta itu. Sebenarnya, ke-kuatan Keh Lok tak melebihi si raksasa. Tapi mengapa dia dapat melempar si raksasa itu, ialah karena dia gunakan ilmu “dua tail mengangkat ribuan kati.” Atau meminyam tenaga orang yang menyerangnya itu sendiri.
Sesaat Su Houw dilempar, Ji Houw dan Sam Houw me-nubruk maju berbareng. Ji Houw gunakan kepalanya untuk menyeruduk. Sekali kena, pasti roboh. Demikian pikirnya. Sementara, Sam Houw angkat kedua tangannya. Maksudnya akan menabok kepala lawan.
Tan Keh Lok tinggal tenang. Begitu kedua serangan datang, tiba-tiba dia enjot tubuhnya, melayang miring. Karena baru pada jarak yang sangat dekat dia menghindar, karuan saja kedua raksasa itu tak keburu tarik pulang tangannya masing-masing. Akibatnya, kepala Ji Houw menyeruduk perut Sam Houw, sedang sepasang tangan Sam Houw menghantam punggung Ji Houw. Dua-duanya roboh.
Selagi mata keduanya masih berkunang-kunang, Tan Keh Lok loncat menghampiri. Rambut kedua raksasa itu diikat satu sama lain, kemudian dia balik kesamping Hiang Hiang Kongcu. Saking gelinya, sijelita sampai merasa kaku perutnya. Juga orang-orang Ui sama ber-gelakdua.
Su Houw yang hanya dilempar keatas punggung onta, Cepat-cepat bangun untuk menolong Tay Houw dari dalam lubang. Lucu adalah Ji Houw dan Sam Houw. Tak tahu kalau rambutnya diikat, keduanya merontadua dan bergulung-gulung ditanah.
Buru-buru si utusan maju menolongnya. Tapi karena merontadua, rambut itu menjadi kencang ikatannya. Sampai sekian lama baru si utusan dapat membukanya. Keempat raksasa itu mengawasi orang muda lawannya itu, dengan melongo. Tidak mereka mendongkol lagi, tapi merasa kagum. Kiranya mereka berempat itu berhati polos dan jujur.
Toa Houw pertama-tama yang maju, seraya unyukkan jempol. “Kau sungguh hebat, aku Toa Houw kagum padamu!”
Habis mengucap, dia berlutut memberi hormat. Ketiga adiknya pun mengikuti perbuatannya. Buru-buru Tan Keh Lok berlutut membalas hormat. Dia puas akan sikap yang polos dari keempat raksasa itu. Setelah bangun, Tan Keh Lok haturkan maaf. Girang hati ke-empat orang itu. Sekonyong-konyong, Su Houw lari memanggul bangkai onta.
Sementara Sam Houw menuntun 4 ekor kuda mereka kemuka Bok To Lun, katanya: “Ontamu telah kumatikan, maaf. Empat kuda kami ini untuk penggantinya!”
Tapi Bok To Lun menolak penggantian itu.
“Ayo, kita pulang!” seru siutusan seperti semut diatas kuali panas. Dia Cemplak kudanya. Namun masih penasaran dan bertanya pula pada Hiang Hiang KiongCu: “Apa kau berani pergi sungguh-sungguh?!”
“Baik, sekarang juga aku akan kemarkasmu”, sahut Hiang Hiang terus minta ayahnya terimakan surat balasannya.
Bok To Lun berajal. Menurut aturan, urusan ketentaraan ada tanggung jawab orang lakidua. Tapi karena utusan Boan itu sengaja membikin panas hati agar Hiang Hiang mau pergi, maka untuk menutupi muka bangsanya, Bok To Lun menggape Tan Keh Lok. Dengan digandeng tangannya, dia ajak sianak muda masuk kedalam perkemahannya. Sementara Ceng Tong dan Hiang Hiang mengikuti dari belakang.
“Tan-Congthocu, angin manakah yang meniup kau kema ri?” seru Bok To Lun seraya memeluk ketua Hong Hwa Hwe itu.
“Ketika akan ke Thian San, aku mendengar kabar penting, maka Buru-buru akan kusampaikan kemari. Ditengah ja lan kuberjumpa dengan ji-sioCia,” jawab Keh Lok.
Mendengar sang ayah membahasakan “Congthocu” pada pemuda itu, Hiang Hiang KiongCu melongo.
“Ah, harap kau maafkan. Ada sesuatu hal yang belum ku-beritahukan padamu. Aku ini sebenarnya orang Han,” Buru-buru Keh Lok menerangkan pada puteri Cantik itu.
“Ya, Tan-Cengthocu ini, adalah tuan penolong dari rakyat kita. Dialah yang bantu merampaskan pulang kitab suCi kita. Dialah yang menolong jiwa CiCimu. Dan dialah pula yang membakar ransum Tiau Hwi, sehingga kita dapat menahan serangan tentara Boan. Berbicara tentang kebaikannya, sungguh tak habis-habisnya,” menambahi Bok To Lun.
Tan Keh Lok merendah untuk pujiduaan itu.
“Ha, dengan tak mengatakan dirimu yang sebenarnya itu, kau tak mau tonyolkan budi kebaikanmu itu. Sudah tentu tak pantas kusesalkan kau,” Hiang Hiang tertawa.
“Utusan fihak Boan itu keliwat sombong. Beruntung Cong-thocu dapat memberi pelajaran padanya. Oh, ja, bagaimana pendapatmu, Congthocu, tentang undangannya kepada Asri itu?” tanya Bok To Lun.
Tan Keh Lok anggap itu urusan besar dari kaum Ui, tak pantas dia turut Campur. Hanya Cukup kalau dia bantu se kuatduanya saja.
“Aku baru datang dari tempat jauh, sangat asing dengan keadaan disini. Kalau Bok-loeng-hiong anggap harus pergi, aku bersedia mengantarkannya. Kalau tidak, kita bisa Cari lain daya lagi.”
Hiang Hiang KiongCu yang muda usia dan nampaknya sangat lemah lembut itu, ternyata bisa juga bersikap keras.
“Ayah, untuk kepentingan rakyat tiap hari kau dan CiCi memeras otak dan masih pula mengadu jiwa dimedan perang. Aku sesalkan diriku yang tak berguna ini, tak dapat membantu apa-apa. Kalau kini aku menjadi utusan, kiranya lebih dari pantas. Kalau tidak pergi, 'kan nanti kita ditertawai mereka!” kata Hiang Hiang.
“Moaymoay, aku kuatir fihak Boan akan menyulitkan di rimul” kata Ceng Tong.
..Tapi kau sendiri setiap hari keluar perang, tidakkah itu berbahaya? Kalau aku satu kali saja menempuh bahaya, rasanya tak mengapalah. Dia Cukup lihai, hatiku tenang pergi bersamanya. CiCi, sedikitpun aku tak takut!” ujar Hiang Hiang.
Melihat sang adik begitu mesra rasa kasihnya kepada Tan Keh Lok, gundahlah hati Ceng Tong.
“Baik, ayah, biarlah dia pergi,” katanya kemudian.
“Baik, Congthocu. Anakku tolong titip,” akhirnya Bok To Lun berkata.
Tan Keh Lok merah mukanya. Sepasang mata yang laksana kaCa beningnya dari Hiang Hiang, bermain kearah Keh Lok. Sebaliknya, Ceng Tong Buru-buru melengos.
Bok To Lun siapkan surat balasan. Dalam surat itu hanya tertulis delapan buah kata-kata “menentang kelaliman, sedia berperang. Allah tentu membantu kita.”
Tah Keh Lok setuju sekali dengan bunyi balasan itu. Ringkas tegas. Surat itu diserahkan pada Hiang Hiang. Bok To Lun menCium dahinya dan memberi doa.
“Moaymoay, semoga Allah menyertaimu. Lekaslah kembali lagi,” kata Ceng Tong.
Keempat orang itu keluar lagi dari perkemahannya. Bok To Lun perintahkan membuka perjamuan untuk utusan Boan beserta pengikutnya. Sehabis itu, seorang serdadu membawakan kuda untuk Hiang Hiang KiongCu dan Tan Keh Lok.
Sesaat kemudian, dengan diiringi bunyi musik dan tepuk tangan riuh, maka bertolaklah si utusan dengan keempat pengawalnya. Hiang Hiang dan Tan Keh Lok mengikut dari belakang. Ceng Tong mengantarkan bayangan ketujuh orang itu dengan pandangan yang sukar dijajaki artinya.
“Ceng-ji, adikmu sungguh berani,” kata sang ayah.
Ceng Tong anggukkan kepala. Tiba-tiba ia tutup mukanya dengan kedua tangan, lalu lari masuk kedalam perkemahan.
Melihat itu, diam-diam Bok To Lun menghela napas.
DiCeritakan setelah berjalan setengah malam, waktu fajar, sampailah Hiang Hiang dan Tan Keh Lok kemarkas Ceng. Si utusan persilakan kedua anak muda itu beristirahat disebuah kemah karena dia akan menghadap pada Tiau-Ciangkun.
“SiaoCiang telah menyerahkan surat TayCiangkun pada kepala suku Ui. Mereka sangat biadab tidak mau menakluk. Malah kini mengirim orang untuk menyampaikan balasan,” kata si utusan ketika menghadap Tiau Hwi.
Tiau Hwi perdengarkan suara dihidung. “Hm, mereka belum insyap kematiannya!”
Segera dia perintah untuk mengadakan persidangan. Be-gitu terompet dibunyikan, maka bersiaplah semua Cong-peng, huCiang, somCiang dan siupi menghadap Tiau Hwi. Pertama diundang masuk pembesar pasukan Gi-lim-kun yang datang membawa firman baginda. Kemudian dia titahkan seribu pasukan thiat-ka (baju besi) berbaris menjadi dua larik. Masing-masing siap dengan senjata lengkap. Sehingga suasana dalam markas besar itu kelihatan garang sekali. Setelah itu, baru disuruhnya utusan Ui menghadap.
Diiring oleh orang yang dikasihinya, Hiang Hiang KiongCu berjalan masuk diantara dua lapisan pagar golok. Ia tersenyum-senyum, tak takut. Bahkan utusan fihak Ui adalah sepasang orang muda yang kemaren melalui barisannya, telah membuat heran semua anak buah tentara Ceng itu.
Langsung tiba dihadapan Tiau Hwi, Hiang Hiang KiongCu memberi hormat, lalu menyerahkan surat-balasan dari ayah nya.. Seorang pengawal maju menyambuti. Tapi begitu dekat, hidungnya segera membaui bebauan yang luar biasa harumnya. Cepat-cepat dia tundukkan kepala, tak berani meman-dang kemuka. Ketika mengulurkan tangan akan menyam butinya, matanya segera menjadi pudar demi melihat kulit tangan yang bening laksana batu giok putih, dan jaridua yang bagaikan bulu landak itu. Hatinya berguncang keras, tanpa merasa, dia termangu-mangu seperti terpaku.
“Bawa kemari!” bentak Tiau Hwi dengan keras.
Seperti digujur air dingin, pengawal itu gelagapan, ham-pirdua saja mau terpeleset jatuh. Hiang Hiang segera kasih-kan surat itu kedalam tangan sipengawal, sembari unyuk senyuman. Kembali orang itu ter-longong memandangnya.
Hiang Hiang menunyuk kearah Tiau Hwi, kemudian men-dorong pelahan-lahan pengawal itu. Setelah itu, barulah si pengawal membawa surat kepada Ciangkunnya. Melihat tingkah orangnya itu, Tiau Hwi marah sekali.
“Seret dia keluar, potong lehernya!” bentaknya keras-keras.
Beberapa perwira maju menyeretnya keluar. Pada lain saat mereka masuk menghaturkan sebuah nampan yang terisi kepala sipengawal tadi.
“Pancang kepala itu diatas tiang!” perintah Tiau Hwi.
Hiang Hiang KiongCu anggap, karena dialah maka sipengawal dihukum mati. Maka ketika perwira itu akan membawa keluar nampan, Buru-buru Hiang Hiang menyambutinya. Dipandangnya kepala pengawal yang bernasib malang itu. Beberapa butir air mata menetes turun diatasnya.
Suasana yang merawankan itu, mempengaruhi sidang itu. Banyak sekali perwiradua yang kesengsam.
“Asal kepalaku disiram air matanya, rasanya rela aku binasa,” pikir mereka.
Tiau Hwi makin gusar. Akan dia damprat perwiradua yang telah runtuh imannya itu. Tapi Baru dia akan membuka mulut, tiba-tiba kedengaran si perwira yang menabas leher sipengawal itu, berseru keras-keras:
“Aku bersalah, keliru membunuh. Sudahlah jangan me-nangis!”
Kata-kata itu ditujukan untuk menghibur sijelita. Malah tidak hanya kata-kata saja, karena pada saat itu, perwira tersebut. Cabut goloknya untuk terus disabetkan kelehernya sendiri. Seketika itu, dia roboh tak bernyawa.
Suasana makin gempar. Hiang Hiang KiongCu makin bersedih.
“Ah, anak ini masih suka menangis, tak surup menjadi utusan,” kata Keh Lok dalam hati. Lalu dielus-elusnya dan di hiburnya.
Sebagai panglima perang, Tiau Hwi berhati besi. Tapi dia sendiri heran, mengapa diapun terharu mendengar tangis nona itu. Lekas dia perintahkan supaya kedua korban itu dikubur baik-baik .
Ketika membaCa surat Bok To Lun yang berisi delapan buah kata-kata itu, dia perdengarkan suara hidung. Katanya kemudian. “Baik, lusa kita adakan pertempuran yang menentukan, Sekarang kamu berdua boleh pulang.”
Tiba-tiba pembesar yang membawa, firman kaisar tadi menye lak: “Tiau-taijin, yang dimaukan baginda mungkin anak perempuan ini!”
Kata-kata itu diuCapkan dengan pelahan sekali, tapi bagi telinga seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, terdengar d jelas. Perhatian Tan Keh Lok hanya ditumpahkan pada Hiang Hiang KiongCu. Makanya sedari tadi, dia tak perhatikan semua orang yang hadir disitu. Mendengar nada suara orang tadi, dia merasa seperti sudah kenal. Cepat-cepat dia do ngakkan kepala. Hatinya terkesiap. Pembesar tersebut. bukan lain adalah Thio Ciauw Cong. Kebalikannya, Ciauw Cong pun segera mengenalinya. Dia heran, mengapa pemimpin Hong Hwa Hwe itu mengenakan pakaian orang Ui.
Dua-duanya saling pandang. Masing-' tak menyang ka kalau bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu. Tan Keh Lok Cepat-cepat tarik tangan Hiang Hiang untuk diajak keluar. Tapi Ciauw Cong sudah mendahului berbangkit. Belum lagi orangnya datang, angin pukulannya sudah menyambar.
Dengan tangan kiri memegang pinggang si nona, tangan kanan ketua Hong Hwa Hwe dikibaskan untuk menangkis, sedang kakinya tak berhenti melangkah keluar. Ciauw Cong bergerak Cepat-cepat , sebat sekali dia sudah memburu keluar juga.
Terhadap Hiang Hiang KiongCu, semua perwira sama ke pinCut. Terang tadi sang Ciangkun sudah suruh kedua utusan itu berlalu. Mengapa kini pembesar Gi-lim-kun akan menghadangnya. Dengan anggapan itu, tak seorangpun dari perwiradua itu mau membantunya.
Sembari memegang si nona, Keh Lok Cepat-cepat kan langkah nya. Ketika hanya tinggal dua langkah dari tempat kudanya, tiba-tiba Ciauw Cong sudah berada dimuka situ.
“Tan-CongihoCu, beruntung kita berjumpa disini”, kata nya sambil tertawa dingin.
Keh Lok terkejut. Diam-diam dia siapkan enam buah biji Catur. Dengan timpukan “boan thian hoa-ih” hujan diCurahkan dari langit, dia lontarkan keenam biji Catur itu kearah kepala, dada dan kaki orang, masing-masing pada jalan darah.
“Akan kuhadang dia, lekas kau kaburkan kudamu dulu”, Keh Lok bisik-bisik pada Hiang Hiang.
“Tidak. Tunggu sampai kau sudah robohkan dia, kita pergi bersama”, sahut Kiongiju itu.
Sudah tak sempat lagi Keh Lok hendak memberitahukan si nona bagaimana lihainya orang she Thio itu. Yang nyata saja, semua biji Catur tadi, satupun tak ada yang menge nainya. Cepat-cepat dia pandang sinona, terus dinaikkan keatas kuda.
Segera Ciauw Cong menguber terus menghantam.
Keh Lok tak mau terlibat dalam pertempuran. Sebat luar biasa, dia menyusup kebawah perut kuda putihnya. Ciauw Cong tarik pulang tenaga pukulannya. Dari memukul, dia berganti memegang badan kuda dan ajunkan kaki menendang lawan.
Saat itu Keh Lok sedang berada dibawah perut kuda. Untuk berputar menangkis, terang tak leluasa. Sedang tendangan Ciauw Cong itu secepat-cepat kilat datangnya. Dia gugup, tapi justeru karena itu, timbullah pikirannya dengan tiba-tiba. Cepat-cepat dia angkat perut kuda itu. Karena kaget, kuda itu menyepak kebelakang. Untuk menghindari, terpaksa Ciauw Cong loncat mundur.
Kesempatan itu dipergunakan se-baik-baik nya oleh Tan Keh Lok, siapa terus loncat keatas kuda dan berseru pada Hiang Hiang: “Lekas kabur!”
Hiang Hiang KiongCu menurut. Juteru ia hendak keprak kudanya, tiba-tiba Ciauw Cong sudah melesat kearah sinona.
Keh Lok terkejut. Dia enjot panyatan kuda, tubuhnya menCelat keatas. Ketika itu justeru tepat pada saat Ciauw Cong juga enjot tubuhnya kemuka. Keduanya kini akan berbenturan di udara.
Tahu Keh Lok bahwa kepandaiannya kalah dengan musuh. Benturan itu, tentu merugikan dirinya, maka Cepat-cepat dia Cabut badidua pemberian Ceng Tong, terus ditusukkannya. Tampak orang akan mengadu jiwa, Ciauw Cong tak mau melaja ni, dan hanya gunakan tangan kiri untuk menangkap lengan orang yang memegang badidua itu. Dalam keadaan itulah keduanya kini sama-sama jatuh kebawah.
Ciauw Cong mengirim pukulan dengan tangan kanan. Tapi dengan gunakan ilmi^ istimewa dari gurunya, yang disebut “balikkan lengan mengait rantai,” Tan Keh Lok berhasil menangkap tangan kanan lawan. Demikianlah keduanya seperti orang bergumul, saling menCengkeram, siapa lemah tentu termakan badidua.
Juga saat itu Tiau Hwi telah perintah melakukan penang-kapan, dan kawanan perwira pun sudah keluar memburu Hanya keempat raksasa persaudaran Holun yang mempu nyai pikiran lain.
“Sewaktu kita kesana, mereka bersikap baik dan sungkan. Tapi kini mereka kemari, mengapa fihak kita tidak mau unyuk kesungkanan?” pikir mereka.
Nyata meresap sekali rasa kagum keempat raksasa itu terhadap Tan'Keh Lok. Tanpa bersepakat dulu, mereka lari menghampiri.
“Ah, naasku tiba!” mengeluh Keh Lok. Dia kira, keempat orang itu pasti akan menangkapnya.
Diluar dugaan, keempat raksasa itu menyikap Ciauw Cong.
“Pergilah lekas!” seru mereka.
Silat Ciauw Cong memang tinggi, ini tak perlu disangsikan. Tapi' saat itu dia sedang adu tenaga dengan seorang jago sebagai Tan Keh Lok, jadi dia harus kerahkan seluruh lwekangnya. Maka begitu direjeng oleh keempat raksasa, dia tak berdaya menangkis atau menghindar lagi. Dan disikep dengan tenaga ribuan kati itu, betul-betul dia tak dapat berkutik lagi.
“Kalau detik ini kuhabisi jiwamu, bukan lakunya seorang taytianghu (gentlemen). Nah, kuampuni lagi sekali,” seru Keh Lok dengan loncat menyingkir, terus naik keatas kuda.
Ciauw Cong tak dapat berbuat apa-apa, keCuali mengawasi kedua orang muda itu dengan mata melotot.
Kuda kedua orang muda itu luar biasa pesatnya. Sekejab saja, mereka telah melalui pos penjagaan. Maka ketika pasukan Ceng yang dititahkan Tiau Hwi mengejar, mereka berdua sudah jauh.
Mengalami pertempuran tadi, nampaknya Keh Lok Cape sekali. Maka tak berapa lama kemudian, dia merasa tak kuat lagi. Melihat orang yang dikasihi dalam keadaan demikian Cape dan tangannyaj matang biru — Hiang Hiang iba hatinya.
“Mereka tak nanti dapat mengejar kita, baik kita beristirahat dulu,” katanya.
Keh Lok menurut. Tapi begitu turun, saking kepayahan, dia segera roboh, napasnya memburu. Hiang Hiang pakai susu kambing, untuk membasuh luka-luka ditangan sianak muda. Begitulah setelah mengasoh sebentar, keduanya akan mene-ruskan perjalanannya lagi. Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar derap kuda mencongklang datang. Riuh gemuruh pekik para penunggangnya, yang diduga ada berpuluh orang.
Saking gugupnya, Hiang Hiang tak sempat menyimpan kantong susunya. Loncat keatas kuda, terus mencongklang keras-keras. Bersiar-siur deru anak panah menyambar, tapi dengan tangkasnya, Tan Keh Lok dapat menyang gapi dan menolak nya. Karena perhatiannya ditumpahkan kearah serangan anak panah, agak terhambat Keh Lok melarikan kudanya. Lama-lama diapun merasa Cape lagi. Justeru pada saat itu, dari arah muka tampak debu mengepul. Lagi-lagi muncul sebuah pasukan berkuda.
Keh Lok mengeluh. Dia kempitkan kedua kakinya keras-keras, dan berlarilah kuda putih secepat-cepat anak panah. Sekejab saja dia sudah dapat menyusul Hiang Hiang' KiongCu.
“Ikut aku menerobos!” serunya.
Kuda putih kembali melesat kemuka. Ketika dekat dengan pasukan berkuda dimuka, ternyata mereka hanya terdiri dari tujuh atau delapan orang saja. Diam-diam Tan Keh Lok girang dalam hatinya. Dia tahan lesnya, menunggu sinona. Setiba sinona disitu, rombongan berkuda dari arah muka itupun sudah mendekati. Tan Keh Lok keluarkan bandringan mutiara, terus akan menerjang kemuka.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka, yang berjalan paling depan loncat turun dari kudanya dan berseru keras: “Cong-ihoCu?!”
Dalam kepulan debu yang tebal, tampak orang itu bersen jata sepasang kampak. Sedang orangnya sendiri bertubuh kate dan bungkuk. Girang Tan Keh Lok tak terhingga.
“Ciang-sipko, lekas kemarilah!” Belum habis suara uCa pah itu berkumandang, kembali terdengar suara anak panah pasukan Ceng yang mengejar tadi, Menderu-deru . Ciang Cin dengan tangkas loncat keatas kudanya.
“Ada pasukan musuh mengejar aku dari sebelah belakang, kau tolongi tahan mereka!” seru Tan Keh Lok.
Sambil mengia, si Bongkok keprak kudanya. Baru dia sampai kedekat Congthocunya, kembali ada seorang penunggang kuda lari kemuka, terus mengamuk kedalam barisan Ceng. Seperti lakunya banteng terluka, orang itu mengamuk dengan hebatnya. Dia bukan lain ialah Kiu-beng-kim-pa-Cu Wi Jun Hwa.
Keheranan Tan Keh Lok makin menjadi . Malah dilihatnya Bun Thay Lay, Lou Ping, Thian Hong dan isterinya, memburu datang.
“Congthocu, kau baik-baik sajakah?”
Tegur orang-orang Hong Hwa Hwe itu ketika lalu disisi ketuanya. Tapi mereka tak berhenti, dan terus menerjang kedalam pasukan Ceng. Pada lain saat, muncullah Sim Hi. Dia bergegas-gegas turun dari kudanya dan menjura kepada Tan Keh Lok.
“Saoya, kita sudah datang.”
“Tapi mengapa Wi-kiuko pun kemari?”
Belum pertanyaan itu terjawab kembali ada seorang pe-nunggang kuda lari disisi Tan Keh Lok, terus menyerbu kearah pasukan Ceng. Orang itu berpakaian warna kelabu, mukanya dikerudungi. Yang menarik perhatian, kepalanya gundul, memegang sebatang kim-tiok.
“He, bukankah Sipsute?” tegur Tan Keh Lok.
“Kau baik-baik , Congthocu?” tanya orang itu dari kejauhan.
Pada saat hweshio itu yang ; bukan lain Hi Tong adanya, menyerbu datang, Bun Thay Lay dan Kawan-kawan nya sudah dapat memukul mundur pasukan perintis dari barisan Ceng. Tapi sekonyong-konyong dari arah belakang, tampak debu mengepul.
Kembali sebuah pasukan musuh yang besar datang!
Buru-buru Bun Thay Lay dan Kawan-kawan nya balik ketempat ketuanya.
“Kearah mana kita harus lari?” tanya Bun Thay Lay.
Tahu Keh Lok bahwa puluhan ribu tentara berkuda musuh sedang mendatangi dengan dahsyatnya. Dan tahu pula dia, bahwa induk pasukan tentara Ui berada disebelah barat. Kalau diapun lari kebarat, dikuatirkan fihak Ui belum siap.
Tentu akan menderita kekalahan. Karenanya, dia ambil putusan lari kesebelan selatan.
Kira-kira beberapa li jauhnya, musuh masih memburu. Hal itu tak membikin Cemas mereka, karena yakin bahwa kuda tunggangannya itu semua adalah kuda yang baik. Karenanya, makin lama jarak mereka pun makin jauh dengan penge jarnya. Hanya saja, padang pasir adalah sebuah tempat yang lepas bebas, tak ada pepuhunannya, jadi mereka masih tetap dapat dilihat oleh musuh.
Diam-diam Tan Keh Lok menertawakan Tiau Hwi yang sudah kerahkan pasukannya untuk mengejar dia, suatu hal yang tak berarti. Tapi sekilas dia teringat akan kata-kata Ciauw Cong kepada jenderal itu: “Mungkin inilah wanita yang dikehendaki oleh baginda.”
Tengah dia merenung begitu, tiba-tiba ada pula sepasukan musuh yang muncul dari sebelah selatan. Hal ini membikin terkejut rombongan Hong Hwa Hwe itu. Mereka hentikan kudanya.
“Cepat-cepat bikin lubang perlindungan. Malam baru kita boleh berjalan lagi,” kata Thian Hong.
Semua orang bekerja segera. Ada yang pakai senjata, ada pula yang gunakan tangannya untuk membuat sebuah lubang. Selesai itu, Lou Ping minta Hiang Hiang segera ber sembunyi lebih dulu. Tapi. karena Hiang Hiang tak mengerti bahasa Han, dia hanya tersenyum saja.
Saat itu hujan anak panah mulai turun. Lou Ping Cepat-cepat memondong Hiang Hiang untuk diajak masuk kedalam lubang, baru kemudian orang-orang lain menyusulnya.
Segera Bun Thay Lay, Ciang Cin, Thian Hong dan Hi Tong menyambit kembali panahdua musuh itu hingga beberapa perwira Ceng, segera roboh.
Kalau Bun Thay Lay, Thian Hong dan Hi Tong adalah ahlidua melepas panah yang gapah, adalah tidak demikian dengan si Bongkok. Beberapa kali anak panah dilepaskan, tapi satupun tak ada yang mengenai. Karena jengkelnya, dia lempar busurnya, loncat keatas terus mengamuk dengan sepasang kampaknya. Melihat itu Ciu Ki Buru-buru menyambret nya. “Kau mau antar kematian?”
Lou Ping tersenyum puas. Kini nyata Ciu Ki sudah bero bah. Dapat ia melupakan permusuhannya lama dengan si
Bongkok. Diam-diam dia puji Thian Hong yang dapat mendidik isterinya itu. Tapi saking gelinya, Lou Ping sampai tertawa.
“Bukankah perkataanku tadi benar?! tanya Ciu Ki melirik kearah Lou Ping.
“Ya, ja,” sahut Lou Ping dengan tertawa.
Jun Hwa pungut busur yang dilemparkan Cian Cin tadi, dan dilain saat dia berhasil merobohkan enam orang lagi. Sim Hi bertepuk memujinya. Selagi begitu, serombongan pasukan Ceng menyerbu kearah lubang persembunyian orang-orang Hong Hwa Hwe itu.
Sekali tangan Bun Thay Lay bergerak, pat-Hong (pemimpin) rombongan pasukan itu terjungkel roboh. Melihat itu, anak buahnya sama ketakutan dan lari menyingkir.
Ja, memang pasukan pengejar itu, telah dapat tersapu mundur. Tapi dari empat penyuru, tampak ribuan tentara berkuda yang rapat seperti pagar. Dan sesaat kemudian, anak panah turun sebagai hujan lebat. Dengan memutar kampak, Ciang Cin berusaha untuk menyingkirkan. “Lubang ini Cukup dalam, Ayo kita gali pinggirnya,” seru Thian Hong.
Lapisan tanah dipadang pasir, yang atas adalah pasir. Ta pi kalau sudah dikeruk kira-kira tujuh atau delapan meter, bisa terdapat tanahnya yang keras. Tan Keh Lok, Lou Ping, Ciu Ki, Sim Thay dan Hiang Hiang serempak bekerja. Tanahdua itu, di jajar disekeliling lubang itu, diperuntukkan dinding penahan panah. Kini legalah hati mereka, karena yakin panah musuh tak nanti dapat mengenainya. Hanya tunggu setelah malam hari, mereka akan menerobos keluar. Selama itu, dua kali sudah kelompokdua pasukan Ceng Coba mendekati tempat mereka, tapi dapat dihajar oleh Bun Thay Lay. Loncat keatas, si Bongkok terus memutar kampaknya, di ikuti oleh Sim Hi. Anak itu berhasil mengambil beberapa
buah busur dan sebongkok besar anak panah dari majatdua serdadu Ceng yang terhampar disekitar situ. Pada saat itu, Tan Keh Lok baru sempat memperkenalkan Hiang Hiang KiongCu pada sekalian saudaranya. Orang-orang sama kagum atas keCantikan yang tiada taranya dari adik Hwe Ceng Tong itu. Sayang nya, gadis itu tak mengerti bahasa Han, jadi tak dapat diajak ber-Cakapdua.
Terutama Lou Ping lekas benar merasa suka. Seketika itu juga, dia ajarkan bahasa Han pada sinona. Ternyata Hiang Hiang itu berotak Cerdas, dalam waktu yang singkat ia telah dapat menguasai beberapa patah kata-kata bahasa Han.
Setelah mengaso Cukup lama, Keh Lok merasa segar kembali. Diam-diam dia mengalem kelihaian Ciauw Cong, karena hanya sebentar saja saling dorong mengadu lwekang dengannya, ternyata dia merasa keCapean, sehingga rasanya tangan tak dapat digerakkan untuk menggunakan busur.
“Wi-kiuko, mengapa kaupun datang kemari?” tanyanya kemudian.
Jun Hwa loncat turun kedalam lubang.
“Apakah semangatmu sudah baik kembali, Congthocu? Dapatkah kuberitahukan sekarang?” tanyanya.
Keh Lok mengiakan. Maka lebih dulu Jun Hwa berseru keras-keraskepada orang-orang yang berada diatas, jakni: Bun Thay Lay, Ciang Cin, Hi Tong dan Sim Hi, supaya tetap waspada akan serbuan musuh, setelah itu baru dia mulai menutur:
“Setelah kau tugaskan aku bersama Capji-te ke Pakkhia untuk mengawasi gerak gerik fihak kerajaan, ternyata di sana tak terjadi suatu apa. Pada hari ketiga, kita kebetulan melihat Ciauw Cong bersama Suhengnya, Ma Cin totiang berjalan lewat.”
“Orang she Thio itu sudah kita serahkan kedalam pengurusan Suhengnya. Tapi mengapa dia bisa keluar lagi. Kira-nya dia pergi ke Pakkhia,” kata Tan Keh Lok.
“Apakah kau berjumpa dengan dia disini, Congthocu?” tanya Thian Hong.
“Tadi baru saja aku berhantam dengan dia. Memang lihai dia,” kata Keh Lok.

“KITAPUN merasa heran juga,” meneruskan Jun Hwa. “Dan sepanjang jalan kedua Sute dan Suheng itu seperti
bertengkar nampaknya, hingga mereka tak melihat kita orang. Saat itu timbul dalam pikiranku: adakah Ma-totiang dan Sutenya itu hendak mengelabui kita orang? Kami pasang mata betul-betul dan tahu mereka masuk kedalam sebuah rumah yang pintunya diCat merah. Sampai malam kami tunggu, tetap mereka belum kelihatan keluar. Karena yakin keduanya tentu bermalam dirumah itu, maka kuajak Capji te berlalu dulu, dan malamnya kita selidiki kesana lagi.”
“Sekira pukul dua malam, kami masuk kedalam hotel itu,” demikian Jun Hwa lanjutkan Ceritanya. “Kami Cukup tahu bagaimana lihai kedua orang itu. Sedang hanya Ciauw Cong seorang, kami berdua tak sanggup melawannya, apalagi ada suhengnya. Dari itu kami berlaku luar biasa hati-hati, sampai bernapaspun tak berani kami merajap dan berhenti diatas ruangan besar. Sampai beberapa lamanya, tiba-tiba terdengar suara seseorang. Buru-buru kami menghampiri dan mengintip dari seladua jendela. Kiranya bangsat itu tengah berduaan dengan Ma-totiang. Ma-totiang sedang berbaring ditempat tidur, sedang bangsat itu berjalan mondar-mandir. Agaknya mereka sedang bertengkar keras. Kami tak berani lama-lama mengintip, dan hanya tempelkan telinga mendengari pembi Caraan mereka. Ternyata bangsat she Thio itu telah menipu Suhengnya. Dia bilang akan kekota raja dan akan mengurus uangnya dulu, baru nanti akan ikut sang Suheng kembali ke Ouwpak. Setiba di Pakkhia, beberapa hari kemudian, kaisar pun kembali kekotaraja.”
Mendengar itu, tampak Tan Keh Lok mengelah napas.
“Menurut Ciauw Cong,” demikian Jun Hwa berkata pula, “kaisar telah memberikan dia sebuah firman, agar dia pergi kedaerah Hwe mengurus suatu tugas penting.”
“Apa itu?” sela Keh Lok.
“Tak diterangkannya jelas. Hanya seperti disuruh menCari seseorang,” jawab Jun Hwa.
Kening Tan Keh Lok mengerut, ia melirik kearah Hiang Hiang KiongCu.
“Ma-totiang nampak gemas, dia menghendaki supaya Ciauw Cong minta lepas dari jabatannya dengan segera. Tapi bangsat itu memberi alasan, kaisar pasti akan gusar kalau dia berani membangkang firman itu. Begitulah perdebatan makin sengit. Saking gusarnya, Ma-totiang tak dapat menguasai dirinya lagi. Dia loncat dari pembaringan dan serunya lantangdua: “Bagaimanakah pertanggungan jawabku dihadapan sahabatdua Hong Hwa Hwe nanti?” — Ciauw Cong men jawab: 'Terhadap gerombolan pemberontak semacam itu, mengapa Suheng mau berlaku sungkandua?' — Mendadak terdengar 'Creng'. Karena kuduga Ma-totiang menCabut pokiamnya, maka Buru-buru kumengintipnya lagi. Memang benar, saat itu Ma-totiang tengah menyoren pedang, rnukanya tampak bengis sekali, dan memakinya: 'Kau masih ingat atau tidak, apapesan Suhu? Bukan saja kau murtad membelakangi titah Suhu, tapi pun menyual diri pada pemerintah Boan, menjadi kaki tangannya. Sungguh hina dina! Mari, kau adu jiwa dulu dengan aku!? — Itu waktu Cap-ji-te unyukkan jempolnya padaku, dia puji keperwiraan Ma totiang. Tampak Ciauw Cong mengalah. Dia mengelah napas, katanya: 'Kalau Suheng ingin begitu, baiklah, besok aku ikut Suheng ke Ouwpak'. — Lalu Ma-totiang simpan senjatanya, setelah mengucap beberapa kata-kata untuk menghibur hati Sutenya, dia kembali tidur. Bangsat she Thio itu tetap duduk disebuah kursi. Nyata air rnukanya bermuram durja. Tapi pada lain saat, mendadak berobah beringas, penuh dengan hawa membunuh. Begitulah sampai sekian lama, wajahnya selalu berubah, sebentar tenang sebentar beringas. Yang nyata, seluruh tubuhnya senantiasa gemetar. Kami berdua ambil putusan akan menunggu sampai dia sudah tidur, baru berlalu, agar jangan sampai ketahuan. — Tapi hampir sejam, tak hendak bangsat itu tidur. Beberapa kali dia berbangkit, tapi selalu duduk lagi. Hampir tak tahan kami menungguinya, namun kami tetap tak berani bergerak.
“Beberapa waktu kemudian, kelihatan sepasang alis bangsat itu tegak keatas, giginya dikatupkan keras-keras. 'Toa-suheng!' tiba-tiba dia kedengaran berkata pelan-pelan . — Tapi rupanya Ma-totiang sudah pulas tidur, karena kedengaran menggeros pelan-pelan . Ciauw Cong berbangkit dan ber-indapdua menghampiri kearah pembaringan.”
Baru saja Jun Hwa berCerita sampai disini, maka men jeritlah Hiang Hiang KiongCu. Memang Cara Jun Hwa membawakan Ceritanya, penuh dengan ketegangan yang seram. Sekalipun puteri Ui itu tak mengerti bahasa Han, tapi perasaannya luar biasa tajamnya. Ia menubruk Tan Keh Lok, untuk menempelkan tubuhnya pada orang muda itu.
Setelah tenang, Jun Hwa akan melanjutkan lagi. Tapi tiba-tiba dari sebelah atas, kedengaran Ciang Cin me-maki-maki:
“Kawanan Anjing, betul-betul licik!”
Keh Lok dan Thian Hong Cepat-cepat loncat keatas.; Tampak diempat penyuru, api menyala-nyala.
“Biar, digurun sini tak banyak sekali pepohonannya. Sebentar lagi, mereka tentu sudah kehabisan kayu bakar,” kata Thian Hong.
Habis berkata begitu, dia ajak Congthocunya kembali kebawah dan minta Jun Hwa lanjutkan penuturannya.
“Melihat gerak geriknya, kami merasa Curiga. Tentu akan terjadi haldua yang luar biasa,” demikian Jun Hwa menyam-bung. “Dan ternyata memang benarlah! Setiba didekat pembaringan, tiba-tiba dia menubruk kemuka dan secepat-cepat itu pula terus loncat kebelakang. 'Aduh', sesaat itu terdengar Ma-totiang mengeluarkan jeritan yang mengerikan sekali. Dia loncat dari pembaringan. Selebar rnukanya berlumuran darah. Yang paling mengerikan, kedua kelopak matanya ternyata sudah Complong. Sepasang biji matanya telah diCukil oleh sang Sute yang berhati serigala itu!”
Sampai disitu, tiba-tiba Keh Lok berjingkrak, tangannya meninyu dinding lubang, hingga pasir dan tanah gempal bertebaran.
“Kalau bangsat itu tidak diCincang , aku bersumpah tak mau jadi orang!” teriaknya dengan mengretek gigi.
Sekalipun Thian Hong yang sudah lebih dulu mendengarkan Cerita itu dari Jun Hwa, pun saat itu masih meluap ama rahnya.
Malah yang menCeritakan sendiri, Jun Hwa, saking gemasnya tanpa merasa telah me-remasdua tangkai Siang-kao yang dipegangnya hingga berbunyi berkeretekan.
“Ma-totiang tak mengucap apa-apa, setindak demi setindak dia hampiri Ciauw Cong. Sikapnya menakutkan sekali.”
demikian Jun Hwa menyambung lagi. “Dan sekonyong-konyong dia ajun sebelah kakinya, bluk ! Kasihan, bukan sang Sute yang kena, melainkan pembaringan yang terbuat dari batu itu rompal separoh. Siangdua Ciauw Cong sudah loncat menghindar. Diapun nampak kaget akan ilmu tendangan sang Suheng yang sedemikian dahsyatnya itu. Buru-buru dia berusaha akan lolos dari pintu. Tapi ternyata Ma-totiang Cerdik.
Lebih dulu, dia menghadang ditengahdua pintu, dan memasang pendengarannya hingga Ciauw Cong mati kutu. 'Ha-ha!' tiba-tiba kedengaran dia tertawa keras. Menuruti arah suara tertawa itu, Ma-totiang menerjang dengan mengirim tendangannya yang lihai lagi. Tapi ternyata Ciauw Cong itu, benar-benar manusia serigala. Sengaja dia pikat supaya sang Suheng menendangnya. Dan sebelum itu, dia sudah tanCapkan pedang didepannya. Maka tak ampun lagi, kaki Totiang telah menendang mata pedang itu dan putuslah sebelah kakinya itu!”
Lou Ping menangis ter-isakdua, sementara Ciu Ki berkere tekan giginya dan berulang-ulang hantamkan goloknya kedinding lubang.
“Saat itu aku dan Capji-te tak kuat lagi mengawasi saja,” kembali Jun Hwa melanjutkan. “Kami terobos jen dela terus menerjang bangsat itu. Memang kami bukan tandingannya, namun karena kami sangat kalap dan lagi kuatir kalau kita masih membawa beberapa kawan lagi, setelah beberapa jurus, dia terus kabur. Kami uber dia, tapi dia telah berhasil melukai Capji-te dengan jarum 'hu-yong-Ciam', Buru-buru kutuntunnya kedalam rumah. Bermula hendak kuberikan Totiang obat penCegah pendarahan. Tapi ternyata setelah meninggalkan pesan beberapa patah kata, beliau benturkan diri pada tembok hingga binasa!”
“Apa pesannya itu?” tanya Tan Keh Lok.
“Totiang berkata: 'Liok-sute dan Hi Tong, balaskanlah sakit hatiku ini!' — Itu waktu karena ada orang datang menanyakan, Buru-buru kubawa Capji-te pulang kerumah penginapan. Keesokan harinya, ketika kudatang kesana, mereka telah mengubur jenazah Totiang. Capji-te ternyata telah terkena 5 buah 'hu-yong-Ciam', Syukur jarumdua itu dapat kukeluarkan dengan besi sembrani. Kini dia masih mengaso dirumah penginapan di Pakkhia.
“Turut kata Ciauw Cong, dia diutus kaisar kedaerah Hwe untuk mendapatkan seseorang, timbullah dugaanku: jangan-jangan akan menCari Suhu dari Congthocu, Wan-Locianpwe? Karena aku teringat akan keteranganmu dulu, dua macam benda penting yang menyang kut rahasia diri kaisar itu berada ditangan Wan-Locianpwe. Untuk itulah, Congthocu, aku segera bergegas-gegas menuju kemari. Setiba di Holam aku berkunjung pada ketua Liong Bun Pang, karena kudengar kau pernah menyumpai Siangkwan-toako itu. Disana kebetulan aku berjumpa dengan rombongan Bun-suko dan Ji-Hitko. Lalu kami pergi mendapatkan Ie-sipsute. Mendengar kebinasaan Suhunya, Ma-totiang, Ie-sipsute berduka sekali.
Begitulah kami beramai segera menyusul kemari. Tak kuduga, kalau kita dapat berjumpa ditempat begini,” Jun Hwa mengakhiri penuturannya.
“Bagaimana luka Capji-long itu?” Keh Lok menegas.
“Lukarija Cukup berat, untungnya tidak sampai mengenai bagian yang berbahaya!”
Juga Tan Keh Lok lalu tuturkan pertarungannya dengan Ciauw Cong tadi. Saat itu, hawa malam makin terasa dingin. Orang-orang itu hampir tak tahan. Awan dilangit, tampak ber-lapisdua saling merapat.
“Ah, salju akan turun!” tiba-tiba Hiang Hiang KiongCu berseru.
Nampaknya ia merasa dingin, maka makin menempel rapat-rapat pada Tan Keh Lol?. Entah apa sebabnya, mendadak Ciu Ki timbul perasaan antipati terhadap nona Ui itu.
“Apa katanya?” tanyanya.
Keh Lok agak heran, mengapa Ciu Ki bersikap garang kepada Hiang Hiang. Maka segera diterangkan apa maksud kata-kata sinona itu.
“Huh, darimana dia tahu!” kata isteri Thian Hong itu. Dan tak lama pula, dia berpaling memandang Keh Lok, katanya: “Congthocu, katakanlah terus terang! Sebenarnya kau ini suka sama CiCi Ceng Tong, atau pada dia?”
Keh Lok melengak, tak bisa memberi jawaban sampai beberapa saat. Dia tak duga akan ditanya begitu. Buru-buru Thian Hong jawil ujung baju isterinya, agar jangan ungkatdua soal itu.
“Kau berani larang aku? CiCi Hwe seorang yang berbudi. Aku tak rela orang mempermainkannya!” bentak Ciu Ki pada sang suami.
“Kapan aku mempermainkannya?” tanya Keh Lok didalam hati. Tapi dia Cukup ketahui perangai Ciu Ki yang polos itu, dan se-galaduanya mau minta penyelasan dengan segera.
“Kepandaian nona Hwe tinggi, orangnya pun baik. Kita semua taruh perindahan tinggi padanya,” katanya kemudian. “Habis, mengapa begitu lihat adiknya Cantik, kau lantas lupakan padanya?!” tanpa tedeng alingdua lagi Ciu Ki menyem protnya.
Merah padam selebar muka ketua Hong Hwa Hwe itu.
“Congthocu sama seperti kita orang, hanya baru bertemu muka sekali padanya dan belum lama mengenal. Jadi tak lebih dan tak kurang hanya sebagai kawan biasa,” Lou Ping menengahi pembicaraan.
Tapi sinyonya galak itu makin penasaran.
“CiCi Ping, mengapa kau bantu fihaknya? Sekalipun dia itu seorang Congthocu, pun aku akan minta penyelasan.”
Selama itu, Hiang Hiang tampak mendengari kesemua pembicaraan dan sikap orang yang mengotot itu.
Dalam keadaan itu, terpaksa Keh Lok memberi penyelasan: “Ia siangdua sudah mempunyai orang yang dipenujui. Taruh kata aku menaruh hati padanya, tidakkah itu akan sia-siasaja?”
Ciu Ki melengak. “Benarkah itu?” tegasnya.
“Masa aku berjusta padamu,” sahut Keh Lok.
“Kalau begitu, lain halnya. Aku tadi salah paham, harap kau jangan taruh dihati.”
Semua orang merasa suka dan puji akan sikap yang terus terang dari isteri Thian Hong itu. Mau mengoreksi tapipun bersedia menerima koreksi. Kalau tadinya dia memusuhi Hiang Hiang KiongCu, kini berbalik merasa suka dan segera menggandeng tangannya. Ketika ia mendongak, tiba-tiba berseru girang: “Omonganmu tadi benar, memang turun salju.”
Mendengar itu, Keh Lok loncat berbangkit, serunya: “Ayo, kita menyerbu.!”
Yang pertama menyambut seruan itu, adalah si Bongkok, siapa terus maju kemuka. Pasukan Ceng segera menyam butnya dengan anak panah. Jun Hwa dan Bun Thay Lay berada fdisebelah muka untuk menyapu hujan panah itu untuk memberi kesempatan agar saudara-saudaranya dapat menaikkan kudanya dari lubang.
Fihak musuh pun telah mengetahui gerak-gerik orang-orang Hong Hwa Hwe itu. Dengan bersorak gemuruh, mereka merubung maju.
Orang-orang Hong Hwa Hwe pada saat itu sudah loncat keatas kudanya. Jun Hwa keprak kudanya membuka jalan. Tapi baru kira-kira tiga tombak jauhnya, tiba-tiba dia menjerit roboh.
Bun Thay Lay terkejut, terus keprak kudanya menghampiri. Tapi kudanya pun segera roboh kena panah. Beruntung dia dapat loncat kedekat Jun Hwa, siapa itu wak-tupun sudah bangkit.
“Kudaku tadi terpanah, tapi aku sendiri tak kena apa-apa”, kata Jun Hwa.
Berbareng itu, Ciang Cin dan Lou Ping pun telah datang. Sekali tarik, masing-masing menaikkan Thay Lay dan Jun Hwa keatas kudanya. Tapi pada saat itu, dari belakang terdengar Thian Hong berseru: “Yangan bergerak, nanti kupondong!”
Lou Ping kaget, ia menoleh kebelakang, dilihatnya dian tara hujan salju itu, Thian Hong tengah memondong sang isteri keatas kuda. Tampaknya nyonya itu terluka. Hi Tong menjaga disampingnya dengan memutar kim-tiok.
Tak berselang berapa lama, kuda Sim Hi dan Ciang Cin pun roboh terpanah.
“Balik, balik!” seru Keh Lok.
Apa boleh buat, semua orang sama menyelusup kedalam lubang perlindungan lagi. Secepat-cepat itu, Bun Thay Lay, Hi Tong dan Jun Hwa kerjakan busurnya untuk menghan Curkan pasukan musuh yang mengejar datang.
PerCobaan mereka untuk lolos, gagal. Malah pundak Ciu Ki kena panah. Empat ekor kuda, mati terpanah. Tanpa kuda, rasanya sukar untuk melarikan diri ditengah padang pasir yang luas itu. Hal mana Cukup diinsyapi oleh orang-orang Hong Hwa Hwe itu. Mereka tampaknya Cemas.
Thian Hong segera Cabut panah dipundak isterinya. Meskipun banyak sekali mengeluarkan darah, tapi untung tak berba haja. Hiang Hiang KiongCu robek bajunya. lalu balut luka itu dengan hati-hati.
“Ah, kalau sampai tidak ada bantuan, kita tentu binasa disini,” Lou Ping mengelah napas.
“Rasanya kalau sampai begitu lama Congthocu dan pu terinya tidak kelihatan balik, Bok-loenghiong tentu akan kirim pasukan,” kata Thian Hong.
“Ya, aku percaya dia tentu sudah mengirim pasukan itu. Hanya tadi kita mengambil jalan kearah selatan, apalagi jaraknya sudah sedemikian jauh, mungkin seketika pasukan itu tak dapat mengetahuinya,” kata Keh Lok.
“Kalau begitu, jalan satuduanya, kita harus mengutus orang untuk minta bantuan,” kata Thian Hong.
“Kasih aku yang pergi!” Sim Hi berseru dengan serentak.
“Baiklah!” sahut Keh Lok setelah berpikir sejenak.
Sim Hi keluarkan kertas dan alat tulis. Segera Keh Lok minta Hiang Hiang tulis surat minta bantuan. Selagi begitu, diam-diam Thian Hong merajap keluar dari lubang. Dia menyeret seorang majat serdadu Ceng, lalu dilucuti pakaiannya dan dipakaikan pada Sim Hi.
“Segera setelah kau dapat menobros keluar, pakaian ini harus kau lepas, agar tidak menerbitkan salah paham orang-orang Ui,” pesan Thian Hong.
“Dan naiklah kuda putih dari Su-naynay. Kita nanti akan adakan serangan lagi kejurusan timur, dan kau harus lekas-lekas lolos kejurusan barat,” kata Keh Lok.
Sambil ber-sorakdua, kembali orang-orang Hong Hwa Hwe itu menobros keluar. Dan lagi-lagi pasukan Ceng menghujani panah. Melihat musuh menumpahkan perhatiannya kesebelah timur, Sim Hi Cepat-cepat menuntun kuda putih. Muda usianya, tapi anak itu banyak sekali akal. Tak mau dia naik diatas pelana, hanya menggelantung dibawah perut kuda, dengan kedua kakinya di jepitkan kepada binatang itu. Kuda putih itu segera melesat kearah barat. Sebagian dari anak buah tentara Ceng Coba menghujani panah, tapi sia-sia.
Ber-tahundua lamanya, Keh Lok memperlakukan kacung itu sebagai saudaranya sendiri. Demi melihat boCah yang masih berusia belasan tahun itu, menempuh bahaya untuk Cari bantuan, hatinya serasa terharu.
Setelah Sim Hi sudah jauh, barulah orang-orang itu balik lagi kedalam lubang persembunyiannya. Bagaimana: kuda putih telah selamat keluar dari kepungan musuh, telah membuat mereka terharu gembira. Keh Lok minta Thian Hong dan Jun Hwa mengaplus Bun Thay Lay dan Hi Tong berjaga diatas.
Bun Thay Lay masih nampak bersemangat. Turun kebawah, dia nyanyikan lagu rakyat tani didaerah Kanglam. Sedang isterinya, menyambut pula dengan nyanyian.
Berkata Hiang Hiang KiongCu kepada Keh Lok: “Kukira kamu orang Han tak pandai menyanyi. Tak kira kalau dapat menyanyi begitu bagus. Apa sih nyanyiannya itu?”
Demi mendengar penyelasan tentang arti nyanyian itu, Hiang Hiang bertepuk tangan memuji. Diapun Coba menirukan nyanyian itu. Saat itu, salju makin tebal dibumi. Se jauh pemandangan mata, hanya selembar bumi yang diselimuti oleh salju putih.
Syukur karena didalam lubang banyak sekali orangnya, hawanya pun hangat. Apalagi pasirnya kering, Cepat-cepat menghisap air. Hampir dekat fajar rupanya musuh tak sabar lagi. Mereka kembali mengadakan serbuan.
Bun Thay Lay cs. kembali menyapu dengan anak panah. Hasilnya, berpuluh-puluhdua orang terhampar dan kemajuan mereka tertahan Tapi rupanya ada dua-tiga puluh orang yang nekad menghampiri kedekat lubang.
Bun Thay Lay dan Kawan-kawan nya loncat keatas untuk me nyambutnya. Setelah dapat membunuh belasan orang, barulah sisanya sama mundur. Kembali kedalam lubang, Keh Lok dapatkan Hiang Hiang sudah pulas. Rambut dan pundaknya penuh dengan salju, sementara mukanya penuh dengan te tesan salju yang menCair.
“Ha, anak ini betul-betul tak menghiraukan apa-apa,” Lou Ping tertawa.
Sebaliknya Thian Hong menyatakan kesalnya, mengapa sampai begitu lama bala bantuan belum datang.
“Entah Sim Hi mendapat halangan tidak diperjalanaii,” kata Bun Thay Lay.
“Bukan itu yang kukuatirkan, melainkan lain sebab,” sahut Thian Hong,
“Apa itu? Mengapa kau tak berterus terang mengatakan?” sela Ciu Ki.
“Urusan ketentaraan fihak Ui, siapakah yang mengurus nya? Bok-loenghiong atau nona Hwe?” tanya Thian Hong pada Tan Keh Lok.
“Kurasa keduanya. Segala tindakan, Bok-loenghiong tentu mengajak berunding dengan puterinya itu,” jawab yang di tanya.
“Ah kalau nona Ceng Tong tak mau kirim bantuan, ja ngan harap kita dapat kembali ke Kanglam,” kata Thian Hong.
Semua orang tahu arti ucapannya itu. Mereka merenung diam. Tapi tidak demikian dengan Ciu Ki, ia loncat bangun dan menegasi: “Hitko, mengapa kau pandang CiCi Ceng Tong semacam begitu? Taruh kata dia irihati pada adik nya, tak nanti dia tega untuk tidak menolong orang yang dikasihinya!”
“Kalau wanita sudah Cemburu, segala apa mungkin dilakukan!” ujar Thian Hong.
Karuan Ciu Ki berjingkrak, ia ber-kaokdua seperti orang kalap, sehingga membuat Hiang Hiang bangun. Tapi nona itu tidak marah, melainkan mengawasinya dengan tersenyum.
Semua orang yang berada disitu, memang hanya sekali bertemu dengan Hwe Ceng Tong. Sekalipun mereka mendapat kesan yang baik terhadap nona itu, tapi bagaimana peribadinya, mereka belum jelas. Maka ketika mendengar ucapan Thian Hong tadi, merekapun menganggapnya benar. Hanya Ciu Ki seorang, yang keras-kerasmenentang, karena tak percaya.
Kini kita tengok perjalanan Sim Hi. Setelah berhasil lolos, dia segera tanggalkan pakaian serdadu Ceng yang dikenakan itu. dan menurutkan petunjuk Tan Keh Lok, dia langsung menuju kekubu pasukan Ui.
Memang sebenarnya, Bok To Lun sudah akan mengirim pasukan untuk menCari puteri dan ketua Hong Hwa Hwe itu. Tapi karena untuk mendapatkan jejak dua orang digurun yang sedemikian luas itu, bukan suatu hal yang mudah, maka dia menjadi Cemas. Maka begitu tampak Sim Hi datang mengantarkan surat, dia bukan main senangnya.
Bok To Lun segera perintah mempersiapkan pasukan. Se-mentara Ceng Tong bertanya kepada Sim Hi berapakah d jumlah musuh yang mengepung Kawan-kawan nya itu.
“Rasanya empat lima ribu orang,” sahut Sim Hi.
Ceng Tong mengasah otak, dengan mondar-mandir dida lam kubunya itu. Pada lain saat, kedengaran terompet dibu nyikan, tanda pasukannya sudah siap sedia. Bok To Lun pun segera akan keluar untuk memimpinnya.
Tapi dengan menggigit bibirnya, Ceng Tong tiba-tiba mencegah: “Ayah, jangan!”
Bok To Lun melengak dan berpaling. Dia kesima sampai sekian saat. “Apa katamu?” tanyanya heran.
“Kita tak bisa menolongnya,” ujar sigadis.
Muka Bok To Lun merah padam karena marah. Tapi sesaat kemudian, dia teringat akan keCerdasan puterinya itu, siapa tahu ia mempunyai alasan kuat.
“Mengapa?” tanyanya kemudian.
“Tiau Hwi bukan panglima sembarangan. Dia pandai gunakan tentaranya. Tak mungkin hanya karena akan menawan kedua utusan kita, dia sampai kerahkan sekian banyak sekali tentaranya. Tentu dia ada siasat lain.”
“Taruhkata benar ada siasat, apakah kau biarkan saja adikmu dan Kawan-kawan dari Hong Hwa Hwe itu dibasmi oleh fihak Ceng?” debat sang ayah.
Ceng Tong tundukkan kepadanya. Lama ia tak menyahut.
“Kalau kita pergi menolong, kukuatir, bukan saja akan sia-sia, pun malah akan mengorbankan be-ribudua jiwa tentara kita”, akhirduanya ia menerangkan.
Bok To Lun tak kuasa menahan napsunya. Dia menepuk pahanya keras-keras.
“Yangan kata adikmu itu adalah darah daging keluarga kita sendiri. Sedang terhadap Tan-Congthocu dan sahabatdua Hong Hwa Hwe itu saja, yang telah banyak sekali melepas budi pada kita, andaikata kita sampai berkorban jiwa, rasanya juga lebih dari pantas. Kau……. Kau………..”
Mengira sang puteri tidak tahu membalas budi, hati pemimpin Ui itu bergolak. Gusar dan sedih.
“Ayah, kau dengarlah dulu perkataanku. Bukan saja kita harus menolong mereka, tapi mungkinpun bisa memperoleh kemenangan besar”, kata Ceng Tong.
“Anak baik, mengapa sejak tadi tak mengatakan begitu? Bagaimana Caranya, aku menurut saja,” Bok To Lun girang sekali.
“Ayah, apa kau sungguh-sungguh menurut?”
“Tadi saking keburu napsu, aku kelepasan omong, jangan kau taruh dihati. Apa maksudmu, bilanglah!”
“Serahkan lengCi (panah tanda kuasa) padaku. Kali ini biar aku yang memimpin tentara kita,” kata Ceng Tong dengan tegas.
Bok To Lun lama bersangsi, tapi akhirnya dia menerima baik. Dia serahkan lengki (bendera perang) dan lengCi (perintah) pada puterinya.
Dengan berlutut Ceng Tong menyambutinya. Setelah ber sembahyang kepada Allah, ia berkata pula: “Nah, kau dan kokopun harus turut perintahku.”
“Asal kau tolong mereka, dan pukul mundur musuh, apa saja perintahmu, aku sanggup melakukan,” sahut Bok To Lun.
“Bagus, ucapan itu menjadi janji,” kata sigadis akhirnya.
Ia ajak ayahnya keluar. Diluar kubu, pasukannya sudah siap dalam dua barisan. Berkatalah Bok To Lun keras-keras: “Hari ini kita akan bertempur mati-matian dengan orang Boan. Kali ini pimpinan ketentaraan kuserahkan pada puteriku Ceng Tong!”
Anakbuah pasukan Ui mengaCungkan golok seraya berseru lantangdua: “Semoga Allah memberkahi Hui-ih-ui-sam. Semoga Allah menuntun kita kearah kemenangan.”
Tak terduga Ceng Tong segera kebaskan leng-ki dan berkata: “Bagus, kini kamu boleh pulang beristirahat!”
Karena itu, semua pemimpin barisan memerintahkan anak buahnya bubar.
Bukan main meluapnya perasaan Bok To Lun, hingga dia tak dapat mengucap apa-apa. Kembali kedalam buku, Sim Hi jatuhkan diri berlutut dihadapan Ceng Tong dan menangis.
“Kouwnio (nona), kalau kau tak mau kirim bantuan, Kongcuku tentu binasa,” ratap kacung itu.
“Bangunlah, aku toh tidak mengatakan tidak mau menolong,” kata sigadis.
“Rombongan Kongcu hanya berjumlah sembilan orang. Dianta ranya adalah adik nona sendiri yang tak mengerti ilmu silat. Ji-naynaypun terluka. Musuh berjumlah ribuan, sedikit saja bantuan terlambat datangnya, mereka tentu tentu “ demikian tutur Sim Hi terputus-putus.
“Apakah barisan thiat-ka musuh juga ikut menyerang?” tanya sigadis.
“Itu waktu belum, tapi mungkin pada saat ini sudah. Mereka memakai baju besi, tak tembus dipanah, tentu Celakalah kita.”
Makin teringat, makin ketakutan dan makin keraslah Sim Hi menangis. Ceng Tong kerutkan jidatnya. Ketika Bok To Lun hendak bicara, tiba-tiba puteranya, Ah In, menerobos masuk memberi laporan: “Penjaga mengatakan, ada belasan serdadu musuh mengadakan pengintaian disebelah gunung.”
“Bagus!” teriak Ceng Tong dengan girang. “Koko, bawalah seratus serdadu, pergi kebelakang mereka dengan diam-diam.”
“Mengapa hanya sepuluh0 orang?!” tanya Ah In.
“Aku minta supaya dapat menyergap beberapa orang di antaranya, jangan membinasakan mereka!” sahut sigadis.
Hwe Ah In menerima titah, terus pergi.
“Kita perlu menolong Asri dan sahabatdua Hong Hwa Hwe Mengapa mengurusi beberapa orang serdadu musuh,” tanya Bok To Lun.
“Ayah, bukankah kali ini kau sudah menyetujui aku yang memegang pimpinan?!”
Bok To Lun ingat hal itu, namun dia tak tega melihat Sim Hi menggerung-gerung tak mau berhenti itu. Diam-diam dia kagum atas kesetiaan boCah itu. Namun dia tak tahu harus berbuat bagaimana.
Tak berapa lama kemudian, Ah In masuk kembali dengan sepuluh tawanan serdadu Ceng.
“Tiga mati, dua melarikan diri dan sisanya dapat kita tangkap hidup-hidup,” katanya.
“Bagus!” Ceng Tong memuji.
Salah seorang dari tawanan serdadu itu, rupanya yang menjadi pemimpin, bukan lain adalah utusan yang pernah datang dulu itu. Dia bangsa Boan, bernama Horta. Sikapnya masih tetap sombong.
“Dulu sebagai utusan,” kata Bok To Lun seraya maju selangkah, “kami perlakukan kau baik-baik . Tapi kini, puteriku
sebagai utusan kami juga, mengapa kalian kepung tanpa sebab?”
“Huh, baik? Jadi dengan memborgol tanganku, kau anggap memperlakukan kami dengan baik?” kata Horta.
“Sebagai utusan, kau adalah tetamu yang terhormat. Tetapi dengan mengintai keadaan kami, kau adalah matadua jahat. Mengapa kau minta diperlakukan baik?!”
“Siapa bilang kami melakukan matadua? Macam tentaramu yang hanya berjumlah sekian ini, mengapa perlu di-mataduai? Aku datang untuk menyerahkan surat!” sahut Horta.
Segera Ceng Tong perintahkan untuk membuka ikatan Horta, siapa lalu menerimakan surat itu. Surat itu ternyata dari Tiau Hwi yang mengatakan bahwa utusan dari fihak Ui kini telah terkepung dan segera akan tertangkap. Maka diminta supaya Bok To Lun dan seluruh angkatan perangnya menakluk.
“Fui! Ada atau tidak surat ini, sama saja. Kau jangan Coba kelabui kami. Terang kalau Tiau Hwi suruh kau mematadua!, untuk menjaga kemungkinan bila kau sampai tertangkap, sengaja dia bikin surat ini. Kalau tertangkap, kau lantas bisa mengaku sebagai utusan. Coba kau jawab, kalau kau memang menjadi utusan, mengapa kau tidak datang secara terang-terangan seperti tempo hari itu?” semprot Bok To Lun.
Ditelanjang i begitu, Horta tak dapat menyahut, hanya tertawa tawar.
“Gusur dia!” perintah Bok To Lun.
Beberapa perwira Ui segera menggusurnya pergi. “Ayah, kau menduga tepat. Hanya surat ini, memang mengandung maksud lain lagi,” kata Ceng Tong. “Apa itu?” tanya sang ayah.
“Tiau Hwi kuatir kalau kita tak mengetahui tentang peristiwa itu, maka dia sengaja memberi kabar, agar kita kirim pasukan penolong.”
“Ha, dia begitu baik, aku tak percaya!”
“Memang, kalau kita kirim pasukan, itu artinya kita masuk kedalam perangkapnya!”
Bok To Lun termenung.
“Ayah, bukankah kau masih ingat akan alat kita untuk menangkap serigala kuning? Alat itu mempunyai sebuah kait yang ditaruh sepotong daging. Sekali serigala menggigit daging itu, maka alat itu akan bergoncang , dan tertangkaplah binatang itu. Nah, Tiau Hwipun berkehendak menjadi kan kita seperti serigala. Daging umpannya, ialah adik Hiang Hiang. Ditempat seluas padang pasir itu, sangatlah berbahaya. Betapapun gagahnya orang-orang HONG HWA HWE, sukar kiranya menahan arus serangan empat-lima ribu pasukan berkuda. Itulah disebabkan Tiau Hwi sengaja tak mau mengadakan serangan sungguh-sungguh.”
Bok To Lun anggukkan kepalanya tanda benar.
“Tadi sahabat kecil kita mengatakan, kalau pasukan thiat-kah musuh belum keluar. Coba ayah pikir, kemana saja mereka itu?” tanya pula Ceng Tong.
Tanpa tunggu jawaban, nona itu segera berjongkok di tanah dan gunakan lengki, untuk membuat sebuah lingkaran.
“Ini daging pengumpan misalnya,” katanya dikedua sisi lingkaran itu digariskan dua buah garis. “Dan ini, pasukan tHiat-kah-kun musuh, atau alat perangkapnya. Kalau kita menolong dari sini, kedua pasukan thiat-kah itu akan men jepit dari dua arah. Coba pikirkan, apakah kita masih bias hidup?”
Bok To Lun kemekmek. Dia berpaling mengawasi Sim Hi.
“Sebenarnya aku menaruh keCurigaan, jangan-jangan mereka memang sengaja kasih lolos sahabat kecil itu. Kalau tidak, masa dia begitu gampang lolos dari kepungan yang kokoh itu? Dan kini setelah kita ketahui surat yang dibawa utusan tadi, kiranya dugaanku tadi tak perlu disangsikan lagi!”
Tiba-tiba Bok To Lun berjingkrak, serunya: “Ceng-ji, du gaanmu itu memang tak salah. Tapi aku tak tegah dengan adikmu dan tak nanti biarkan sahabatdua kita dari HONG HWA HWE itu terancam bahaya!”
Ceng Tong Cukup mengetahui betapa sang ayah itu sangat memanyakan adiknya, apalagi kini terikat kewajiban budi dengan orang-orang HONG HWA HWE Iapun memang sudah mempunyai ren Cana, lalu membisikkan beberapa patahkata kepada pengawal didekatnya.
Pengawal itu Cepat-cepat menuju kekubu dimana Horta ditawan. Penjaga kubu itu diajak oleh sipengawal kesebuah tempat disebelah, katanya: “Bangsat itu liCin sekali, maka Hui-ih-wi-sam titahkan kau supaya memindahkannya kede kat kubu besar dan dijaga keras supaya jangan sampai lari!”
Penjaga itu mengiakan. Melihat dirinya dipindah, Horta tersenyum. Diam-diam dia pikirkan daya untuk lolos. Tiba-tiba dia mendengar Bok To Lun dan Ceng Tong yang berada dikubu besar disebelah situ, saling berCekCok keras. Buru-buru dia pasang telinga mendengarkan.
“Kau katakan Tiau Hwi akan menyebak kita, dan ren Cananya itu telah kau ketahui. Nah, kalau begitu kita serang dari sebelah pinggir, agar mereka tak dapat saling membantu,” kedengaran Bok To Lun berkata.
“Mereka mempunyai empatpuluh ribu serdadu, sedang kita hanya berjumlah sedikit. Kalau bertempur secara masaal, kita tentu kalah,” jawab Ceng Tong.
“Ha, jadi maksudmu akan membiarkan adikmu dan beberapa sahabat itu mati konyol?!” seru Bok To Lun dengan gusarnya.
Ceng Tong tak mau meladeni.
“Kalau mesti binasa, biarlah kita binasa semua!” kata pula Bok To Lun dengan sengit.
Mendengar pembicaraan itu, diam-diam Horta berpikir: “Lihai juga nona Ui itu, rencana Tiau Ciangkun dapat diketahui nya. Tapi mungkin karena tidak sabar, mereka tetap akan menerjang bahaya mengirim bala bantuan.”
Dilain fihak, rupanya melihat Ceng Tong seperti tak mau mengirim bantuan, Sim Hi menjadi ketakutan. Buru-buru dia berlutut dan berkata dengan menangis: “Kalau Kongcuku pernah berbuat kesalahan kepada nona, sukalah kau mengampuni. Kalau dia nanti sudah dibebaskan, tentu akan ku mintanya supaya menghaturkan maaf kepadamu. Kalau nona melepas budi pertolongan, Kongcu tentu takkan melupakan se-lama-lamanya.”
Agaknya menyang ka boCah itu menduga jelek padanya, Ceng Tong kerutkan alis, dan membentaknya dengan gusar: “Yangan omong tak keruan!”
Sim Hi loncat bangun saking terkejutnya.
“Begini busuk hati nona, baiklah, biar aku pergi dan mati bersama-sama dengan Kongcu.”
Dengan masih sesenggukan, lalu anak itu Cemplak kuda nya terus dilarikan.
“Kalau kita tak kirim bantuan, sungguh kita malu hati terhadap boCah itu. Sekalipun mesti menerjang gunung golok, lautan api, kita tetap pergi. Mati untuk peri-keba jikan, adalah mati sahid!” demikian terdengar seru Bok To Lun pula makin sengit.
,,Ayah, pelan sedikit. Utusan orang Boan itu, berada di dekat sini,” Ceng Tong menyabarkan ayahnya.
“Habis, bagaimana maksudmu?” tanya Bok To Lun dengan agak tenang.
Ceng Tong berpikir sejenak.
“Baiklah, kita segera menyusulkan bala bantuan,” kata si gadis akhirnya.
Pengawal segera dititahkan memukul genderang. Para pemimpin barisan, satu demi satu masuk kedalam kubu besar. Horta sementara itu, pura-pura menggeros. Ketika penjaga memanggilnya, dia pura-pura tak menyawab.
Pada lain saat, dia mendengar Ceng Tong mengeluarkan titah: “Hiang Hiang KiongCu dan beberapa sahabat HONG HWA HWE dikepung musuh, kita harus menolong dengan segera. Tapi karetaa pasukan kita hanya sedikit, maka kalian harus hati-hati, jangan sampai kena terkepung. Begitu dapat menolongnya, harus Cepat-cepat kembali. Kita bagi pasukan kita menjadi dua, yang separoh menolong, yang separoh menunggu kira-kira pada jarak sepuluh li, untuk menyambutinya.”
Para pemimpin barisan itu serempak mengiakan.
“Pasukan yang menolong, pun dipecah menjadi dua. Kompi kesatu, terdiri dari seribu orang, membawa bendera merah. Dibawah pimpinan sdr. Jasman. Pasukan ini, menye rang masuk dari sebelah utara. Kompi kedua dengan bendera putih, pun terdiri dari seribu orang, dipimpin oleh sdr. Utiali Khan, menyerang dari sebelah selatan. Aku bersama LoyaCu (Bok To Lun) masing-masing memimpin seribu serdadu, akan bertugas menyambutnya,” kedengaran Ceng Tong memberi perintah pula.
Mendengar itu, rupanya Bok To Lun akan berkata sesuatu, tapi tidak jadi.
Sementara itu, diam-diam Horta berpikir: “Oh, kiranya tentara Ui hanya berjumlah empat ribu. Tiau-Ciangkun mengiranya ada 15 ribuan, maka dia begitu hati-hati mengatur pasukannya.”
Memikir begitu, kembali kedengaran Ceng Tong berkata:
“Nah, sekarang sdr.dua boleh kembali ketempat masing-masing. Sehabis makan, kita nanti berangkat!”
Setelah para pemimpin barisan berlalu, Bok To Lun me nanyakan, mengapa Ceng Tong hanya mengeluarkan begitu sedikit anak tentaranya.
“Kalau kita kerahkan semua empat ribu orang, tentu bakal tak ada yang menyambutnya, kan berabe nanti. Astaga! Jangan-jangan pembicaraan kita tadi didengar oleh utusan itu. Coba kulihat dia!”
Horta kaget, Buru-buru itu menggeros lagi.
Tak lama kemudian, Ceng Tong masuk dan memakinya: “Huh, dia tidur seperti babi saja!”
Untuk membuktikan, ditendangnya tubuh Horta. Horta menggulet dan menguap. Pelan-pelan dia membuka matanya.
Ceng Tong kembali memberi sebuah tendangan, sambil
bentaknya: “Sudah tidur Cukup apa belum?” Horta ionCat bangun.
“Aku sudah jatuh ketanganmu, kalau mau bunuh, bunuhlah. Tapi jangan terlalu menghina!”
Ucapan garang dari orang Boan yang licik itu, bukan karena dia tak takut mati. Tapi disebabkan dia Cukup kenal akan watak orang Ui yang menaruh penghargaan terhadap bangsa ksatria. Makin menunyukkan keberanian mati, tentu makin dianggap sebagai orang perwira. Maka dia terus bersikap keras.
“Hm, kau masih berlagak gagah, ja?” kata Ceng Tong. “Kalau benar kau ada kepandaian, mengapa sampai bisa tertangkap?”
“Kita berjumlah sedikit, terpaksa menyerah kepada orang-orang mu yang berjumlah banyak sekali. Wajar bukan? Tapi kalau satu lawan satu, kiranya diantara orang-orang mu itu tentu tak ada yang sanggup menandingi aku.”
“Huh, jangan pentang mulut lebar. Tak usah jauh-jauh, kalau kau bisa menangkan aku, nanti kulepaskan,” kata Ceng Tong.
“Ucapan seorang kunCu (gentlemen), seperti larinya seekor kuda. Apa omongmu itu dapat diturut?” Horta menegas.
“Tapi apa katamu kalau kau kalah?” balas bertanya Ceng Tong.
Horta tak lekas memberi penyahutan, hanya merenung: “Seorang nona yang sedemikian Cantiknya, masa bisa mela wan aku. Baiklah ku-uCapkan beberapa janji yang enak kedengarannya.”
“Dipanggal batang leherku, atau dikubur hidup-hidupan, aku takkan penasaran,” katanya kemudian.
“Baik, mari kita keluar kesana untuk menetapkan siapa kalah dan siapa menang,” kata Ceng Tong terus melangkah keluar diikuti Horta.
Melihat tingkah puterinya itu, Bok To Lun kerutkan ji datnya. Dia heran mengapa Ceng Tong berbuat hal yang aneh begitu. Dalam ketegangan urusan ketentaraan sebagai saat itu, masa ia mau meladeni urusan tetek-bengek. Namun dia tak keburu mencegah, dan terpaksa mengikut keluar.
Anak pasukan Ui sewaktu mendengar nona pemimpin mereka akan pi-bu (bertanding silat) dengan utusan Boan, sama berkerumun menyaksikan. Saat itu salju turun dengan lebat dan anginpun menderu-deru .
Berdiri disebelah kiri, Ceng Tong siap dengan pedang, katanya: “Kau mau pakai senjata apa?”
“Golok!” sahut Horta.
Atas isyarat Ceng Tong, seorang Ui membawakan beberapa batang golok. Horta memilih sebatang yang paling berat. Untuk menCobanya, dia membolang balingkan kian kemari, hingga mengeluarkan samberan angin yang keras.
“Kau adalah fihak tetamu, silakan menyerang dulu!” kata Ceng Tong.
Sekali melesat maju, tanpa sungkandua lagi, Horta mem baCok. Belum sampai ditempat sasarannya, tiba-tiba merobah dengan menabas. Ceng Tong gerakkan pedangnya menangkis. Tapi tabasan Horta itu hanya serangan tipu, karena tiba-tiba ditariknya pulang sambil meloncat menyingkir.
Terang dia mau menunyukkan sikap mengalah. Sebagai tetamu menghormat tuan rumah. Lakidua tak boleh menghina wanita. Tapi disamping itu, dia memang harus menyingkir, karena kalah posisi.
“Tak usah main sungkandua!” seru Ceng Tong.
Menyusul nona itu gerakkan pedangnya dalam tipu “gunung salju tiba-tiba meletus,” dari samping menusuk paha kiri lawan. Horta menghantamkan goloknya kearah batang pedang itu. Tapi Ceng Tong Buru-buru menarik pulang pedangnya, sembari ber-putardua. Tahu-tahu ujung pedangnya menyambar punggung orang.
“Bagus!” puji Horta.
Tak hendak dia berputar diri, Cukup tangannya dikibaskan kebelakang, kembali goloknya akan menabas batang senjata sinona.
Horta adalah murid dari t j abang Tiang Pek Pai di Liauw-tang. Gerakannya sebat, ilmunya golok lihai sekali. Melihat kelihaian sinona bermain pedang, iapun tak berani ajal. Seluruh kepandaiannya dikeluarkan,
Demikianlah keduanya bertempur dengan hebat. Sampai jurus ke-delapan0, belum nampak siapa yang lebih unggul. Lewat tiga 0 jurus lagi, gerakan Ceng Tong kelihatan agak lambat. Tangan kirinya beberapa kali dipakai menghapus keringatnya. Dengan gerak “angin dan pasir menutup matahari,” ia memapas pundak kiri Horta.
Horta, menangkis, ‘trang’, sesaat kedua senjata beradu, pedang Ceng Tong terlempar dari tangannya. Orang-orang Ui serempak berseru kaget.
Tapi kedua orang itu masing-masing loncat tiga tindak kebelakang. Horta tegakkan goloknya, mukanya berseri-seri, Ceng Tong mengelah napas, ia berkata: “Ah, ilmu golokmu benar-benar lihai. Janji telah kunCapkan, sekarang kau boleh bebas!”
Dan berpaling kepada pengawalnya, Ceng Tong perintahkan supaya kuda dari siutusan itu, dikembalikan.
Bergegas-gegas Horta memberi hormat terus akan Cemplak kudanya, tapi tiba-tiba Ceng Tong mencegahnya: “Tunggu!”
Dengan sebelah kaki dipanyatkan pada pelana kuda, dan kaki yang satu masih menginyak tanah, Horta siap menunggu.
“Kalau sudah pulang, keadaan ketentaraan disini, jangan sekali kau katakan pada lain orang. Lebih dulu, berikanlah sumpahmu, baru nanti kulepaskan.”
“Ah, apa gunanya sumpah? Biar kubikin senang hatinya,” pikir Horta, maka iapun berkata: “Baik. Kalau sampai aku bocorkan keadaan tentaramu, biarlah langit dan bumi me numpasnya!”
“Kau pergilah dengan bebas!” seru Ceng Tong. Dan Hortapun segera keprak kudanya.
Dari wajahnya yang merah padam, nampak Ceng Tong sangat payah. Balik kedalam kubu, ia tengkurapkan kepala nya diatas meja, napasnya tersengaldua.
Melihat itu Bok To Lun Cepat-cepat menegurnya: “Kau banyak sekali keluarkan tenaga hanya untuk mengalah pada bangsat itu. Supaya lain orang tak mengetahui, kau pura-pura menjadi ke payahan begini rupa. Mengapa? Supaya dia pulang melapor, supaya mereka ketahui bagaimana kita kirim bala bantuan dan supaya adikmu tidak dapat kita tolong?”
“Benar, memang sengaja kuberlaku kalah, memang se-ngaja supaya dia melapor, dan memang sengaja supaya musuh tahu bagaimana kita akan kirim bantuan. Tapi, pasukan apa yang kita nanti kirim......... tidak seperti itu.”
Bicara sampai disini, Ceng Tong masih tersengal-sengal. Kira nya kepandaian Horta itu, bukannya lemah. Untuk menun dukkannya, bagi Ceng Tong memang mudah. Tapi untuk ber-pura-pura kalah, dengan musuh betul-betul tak mengetahui, benar-benar bukan pekerjaan ringan. Oleh karenanya, ia menjadi ke payahan begitu rupa.
“Benarkah kata-katamu itu?” menegas Bok To Lun.
“Oh, ayah, jadi kaupun menyang sikan diriku?”
Melihat puterinya berlinang-linangair mata itu, Bok To Lun tidak tegah.
“Baiklah, terserah padamu,” katanya kemudian.
Ceng Tong segera perintahkan pukul genderang. Dan sekejab pula, para pemimpin barisan masuk. Ceng Tong mengambil tempat duduk, di-apitdua oleh ayah dan kokonya yang sama berdiri. Diluar, s.alju makin lebat. Kembali Bok To Lun terkenang akan puterinya yang kecil, yang kalau tidak kelaparan tentunya kedinginan.
“Pemimpin regu kesatu dari barisan Ang Ki, lekaslah berangkat dan siapkan bayhok (barisan pendam) disebelah timur dari tebat lumpur yang luas disebelah timur Gobi. Regu kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam, lekas siapkan seluruh rakyat tani dan penggembala. Nanti didekat tebat lumpur itu harus begini,” Ceng Tong keluarkan titah sambil memegang lengCi.
Dengan masing-masing membawa seribu anak buah, berangkatlah keenam pemimpin regu itu. Sebaliknya, Bok To Lun tidak puas melihat sang puteri kerahkan sekian banyak sekali orang itu, hanya untuk mengerjakan pembangunan, bukan untuk menolong yang terkepung.
“Pemimpindua dari regu kesatu, kedua, dan ketiga dari pasukan Pek Ki, kalian menuju kekota Yalkand dan pada kedua tepian sungai Hitam harus melakukan begini.........”, seru Ceng Tong pula. “Dan pemimpin regu pertama dari pasukan Hek Ki, serta pemimpin dari regu Kazak, kalian nanti harus berbuat begini diatas gunung ditepi Sungai Hitam. Dan pemimpin barisan Mongol, harap berpusat digu-nung Ingkiban, dan bertindak begini!”
Setelah para pemimpin regudua barisan itu berlalu, berkatalah Ceng Tong kepada ayahnya:
“Yah, kau menjadi pemimpin dari barisan Ang Ki yang menuju ketimur. Dan kau, koko, sebagai puCuk pimpinan dari pasukan Pek Ki, Hek Ki, Kazak dan Mongol yang menuju kearah barat tadi. Aku pegang pimpinan regu kedua dari pasukan Hek Ki yang akan memberikan komando. Ren Cana kita adalah begini...............”.
Baru hendak ia menjelaskan, tiba-tiba Bok To Lun» berjing krak, serunya: “Dan siapa yang bertugas menolongnya?”
Ceng Tong tak mau meladeni pertanyaan ayahnya, ia terus mengeluarkan perintah lagi: “Dan Regu ketiga dari pasukan Hek Ki, kalianlah yang harus menyerbu dari sebelah timur. Regu ke-4 dari Hek Ki, kalian menyerbu dari d jurusan barat. Kalau nanti berhadapan dengan tentara Ceng harus begini. Lebih dulu kalian harus bertukaran kuda dengan anak buah pasukan Ang Ki. Pilihlah kuda yang terbagus, jangan sampai ada seekorpun yang jelek”.
Kedua pemimpin regu itupun segera berlalu.
“Ha, kau telah kerahkan1 1tiga ribu tentara kita untuk pe kerjaan yang tidak berarti. Sedang yang ditugaskan untuk menolong, hanya dua ribu orang. Itupun terdiri dari orang-orang tua dan anakdua. Apakah maksudmu?” lagi-lagi Bok To Lun me nyelatuk dengan sengit.
Kiranya, dalam ketenteraan orang Ui, pasukan Ang Ki (bendera merah) dan Pek Ki (bendera putih), adalah tentara pilihan. Pasukan Hek Ki (bendera hitam), agak berkurang daya tempurnya. Sedang regunya ke-tiga dan ke-4, terdiri dari orang-orang tua dan anakdua yang belum dewasa. Sudah tentu lemah. Dan memang bisanya, mereka hanya ditugaskan sebagai penjaga dan urusan pengangkutan. Jarang sekali disuruh maju kemedan pertempuran.
Rupanya Ah In, juga terpengaruh dengan kata-kata ayahnya tadi. Biasanya dia paling menurut dan kagum pada adiknya itu, tapi saat itu, iapun menjadi sangsi, “Rencanaku adalah ............”, tapi belum lagi Ceng Tong sempat menjelaskan, menCetuslah kemarahan Bok To Lun. “Aku tak percaya kata-katamu lagi!” demikian teriak orang tua itu dengan keras. “Kutahu kau suka pada Tan-kongcu, tapi dia sebaliknya Cinta pada adikmu. Untuk itulah maka kau bermaksud membiarkan mereka mati. Ha, kejam sekali hatimu!”
Penuh sesak dada Ceng Tong menahan perasaan hatinya. Tangan dan kakinya serasa menjadi dingin, hampir-hampir jatuh pingsan ia.
Memang kata-kata sang ayah itu agak keterlaluan. Tanpa dipikir lebihjauh, terus dia mengeluarkan kata-kata yang begitu menusuk hati sang puteri.
Tapi pada lain saat, orang tua itupun jernih kembali pi kirannya. Sesaat dia tampak bingung. Habis itu, dia segera menghampiri kudanya.
“Biarlah aku binasa bersama Asri!” serunya tiba-tiba sambil me-mutardua goloknya diatas kuda, lalu sambungnya pula: “Regu ke-tiga dan ke-4 dari Hek Ki, mari ikut aku!”
Saat itu, kedua regu barisan itu sudah selesai menukar kuda. Mereka segera mengikut Bok To Lun. Di-tengah-tengah hu jan salju dan deru angin, berangkatlah kedua regu itu.
Melihat wajah Ceng Tong puCat, Ah In merasa kasihan. Dia menghiburnya: “Moaymoay, ayah sedang kalut pikiran nya, sehingga tak tahu apa yang diuCapkan itu. Harap kau jangan taruh dihati.”
Sampai sekian lama Ceng Tong termenung tak dapat memberi jawaban. Kemudian berkatalah ia: “Koko, pimpinlah pasukan Ang Ki yang berada disebelah timur. Aku akan menyambut ayah.”
“Tapi kau begitu lelah, baik mengaso dulu. Biar aku sa ja yang menyambutnya.”
“Tidak, aku saja” seru Ceng Tong tetap.
Begitulah nona itu segera pimpin regu kedua dari Hek Ki. Dengan begitu, yang masih tinggal diperkubuan orang Ui, hanyalah kira-kira tiga 00 orang. Mereka adalah serdadudua yang terluka. Limabelas ribu orang Ui, dikerahkan kemedan pertempuran pemua,
Baik menengok pada Sim Hi, boCah itu larikan kudanya keras-kerasuntuk kembali pada rombongan Tan Keh Lok. Meno bros dalam daerah pengepungan, ternyata tentara Ceng itu seperti membiarkan saja. Hanya beberapa puluh anak panah yang dilepaskan, dan ini sudah tentu dapat dihindari Sim Hi. Ketika dekat tiba ditempat rombongan, Ciang Cin segera menyambutnya dengan gembira.
“Sim Hi, kau sudah kembali?” teriak sibongkok itu. Tapi boCah itu tak menyahut. Begitu turun dari kuda, dia telah tuntun binatang itu masuk kedalam lubang perlindungan. Ramaidua orang-orang itu menanyakan, tapi Sim Hi segera numprah ditanah dan menangis keras-keras.
“Yangan nangis, sudahlah, bagaimana?!” tanya Ciu Ki.
“Ah, apa yang harus ditanyakan padanya. Hwe Ceng Tong tentu tak mau mengirim pasukan,” kata Thian Hong.
“Ya, aku sudah berlutut dihadapannya dan menjura ...... dengan sangat mintadua ......... tapi sebaliknya, ia mendamprat aku ............”
Kata Sim Hi itu terputus-putus karena sesenggukan. Dan habis itu, kembali dia menangis gerungdua. Semua orang terpaku diam.
Melihat itu, Hiang Hiang KiongCu segera menanyakan pada Tan Keh Lok, tapi yang belakangan ini karena tidak menginginkan Hiang Hiang berduka, ia memberi penyelas an lain, katanya: “Tadi dia sudah keluar, tapi sampai setengah hari, tak bisa menembus kepungan musuh.”
Hiang Hiang menjadi kasihan, lalu diambilnya saputa ngannya diberikan pada Sim Hi, siapa terus menyambutinya. Tapi ketika akan dipakainya untuk mengusap, tiba-tiba dia endus bebauan yang sangat harum. Tak berani dia memakainya. Buru-buru ia pakai lengan bajunya, mengusap air mata dan ingusnya. Setelah itu, saputangan tadi dikembalikan pada yang punya.
“Kita terkepung tak dapat keluar, Suko, bagaimana pen dapatmu?” tanya Thian Hong kemudian pada Bun Thay Lay. Thay Lay heran mengapa “Khong Beng” itu tanya pen-
dapat padanya, bukan pada Tan Keh Lok. Tapi setelah merenung sebentar, tahulah ia apa maksud Thian Hong itu. Sahutnya: “Congthocu, kau bawalah nona ini naik kuda putih dan lekaslah menobros keluar!”
“Hanya kita berdua?” menegas Keh Lok.
“Benar! Untuk keluar semua, terang tak mungkin. Kau mempunyai tugas besar. Selain saudara-saudara dari HONG HWA HWE memerlukan pimpinanmu, pun tugas membangunkan rakyat Han, terletak dipundakmu,” sahut Thay Lay.
“Asal kau dapat lolos, kita akan mati dengan meram,” ramaidua Jun Hwa, Hi Tong dan Ciu Ki ikut berkata.
“Kalau sdr.dua binasa, masakah aku saja yang hidup?” kata Keh Lok dengan bersemangat.
“Congthocu, keadaan sudah keliwat mendesak. Kalau kau tidak mau, maafkan, kita akan memaksamu,” kata Thian Hong.
Keh Lok merenung sejurus, laki mengiakan. Kuda putih dituntunnya keluar. Setelah memberi hormat pada sekalian orang, dia segera pondong Hiang Hiang keatas kuda.
Bahwa saat itu adalah saat mati atau hidup, tahulah semua orang. Hati masing-masing penuh dengan perasaan terharu. Malah Lou Ping, sudah kucurkan air mata. Tapi sebaliknya, seperti tak menghiraukan apa-apa, Keh Lok terus keprak kudanya.
Masih orang-orang HONG HWA HWE itu menaruh kekuatiran, jangan-jangan Congthocu mereka tak berhasil menembus kepungan musuh. Karenanya, mereka sama Cemas. Untuk menghibur, berserulah Bun Thay Lay keras-keras: “Kita disini, termasuk Congthocu dan nona Ui itu, berjumlah sepuluh orang. Kini sudah berhasil membunuh tujuh delapan puluh orang. Saudara-saudara, berapa lagi yang harus kita bunuh sebelum kita meninggal?”
“Paling sedikit harus sepuluh0 orang!” sahut Lou Ping.
“Ah, tentara Ceng itu keliwat jahat, kalau sudah membunuh tiga 00 orang, baru puaslah kita,” seru Ciu Ki.
“Baik, mari kita mulai menghitungnya,” kata Bun Thay Lay.
“Aku menghendaki lima puluh0!” tiba-tiba Ciang Cin turut mengeluarkan suara.
Juga Jun Hwa yang tengah menjaga diatas, ikut berpaling dan berseru: “Kini kita tinggal delapan orang. Harga dari seorang enghiong HONG HWA HWE, harus sama dengan sepuluh0 serdadu Ceng. Buktikanlah!”
Justeru saat itu, ada tiga orang serdadu musuh tengah merajap mendatangi. Jun Hwa Cepat-cepat pentang busurnya, dan berhamburlah tiga batang anak panah.
“Satu, dua, tiga! Bagus Kiuya, bagus!” seru Sim Hi meng hitungnya.
“Begitulah! Untuk membinasakan kita, bukanlah hal yang mudah, harus musuh tukar delapan00 d jiwa serdadu,” demikian Hi Tong ikut berkata dengan bersemangat.
“Wah, makin berat sjaratnya. Kalau sampai tidak sejumlah itu, bukankah kita akan mati tak rela?” kata Thian Hong
“Kalau begitu, minta saja supaya Siang-ngoko dan liok-ko terlambat sedikit datangnya”, tertawa Lou Ping.
Mendengar omongan itu semua orang tertawa geli. Kira-nya Siang He Ci dan Siang Pek Ci itu mempunyai gelaran Hek Bu Siang dan Pek Bu Biang atau setandua gentajangan hitam dan putih. Menurut Cerita, kalau orang mati, setandua itulah yang menawan nyawa.
Dalam menghadapi maut itu, kedelapan orang itu masih tetap gembira. Sebenarnya Sim Hi merasa takut, tapi demi dilihatnya sekalian sama berCanda, iapun bersemangat, pi kirnya: “Kongcu adalah seorang enghiong sejati. Tak boleh aku membikin malu padanya.”
Ciang Bongkok ter-tawadua seperti orang gendeng. Dengan berjumpalitan dia berteriak: “Ha, hari ini aku hendak bertamasja kesjorga. Biarlah kuCari pengiring delapan00 orang dulu!”
Tiba-tiba disebelah atas, Jun Hwa menegur dengan bengis: “Siapa itu?!”
“Mengapa tak bulatkan saja jumlahnya menjadi sepuluh00?” sahut satu suara.
“Astaga! Kau, Congthocu, mengapa balik?!” tanya Jun Hwa dengan kaget.
Loncat kedalam lubang, berkatalah Tan Keh Lok dengan tertawa: “Setelah kuantarkan ia, sudah tentu aku harus kembali kemari. Bukankah dahulu waktu Lauw Pi, Kwan Kong dan Thio Hwi telah mengangkat sumpah akan mati pada hari, bulan dan tahun yang sama? Sayang mereka tak dapat laksanakan sumpah itu. Sebaliknya kita, sembilan persaudaran ini, akan dapat mewujudkan sumpah kita.”
Melihat sang ketua berkeras begitu, semua orangpun tak dapat berbuat apa-apa. Karena perCuma saja akan membujuknya, maka merekapun berseru dengan girang: “Bagus, kita akan mati pada hari, bulan dan tahun yang sama. Bahagialah kematian itu!”
“Sim Hi, saudara yang baik! Mulai sekarang jangan kau panggil aku Siaoya lagi. Kau adalah Capgo-te kita!” kata Keh Lok.
“Tepat sekali!” sahut sekalian orang.
Sim Hi terharu sekali. Dia menangis tersedu-sedu.
Salju dalam lubang itu menebal sampai beberapa dim. Sambil membuanginya keluar, jago HONG HWA HWE itu tetap ber Canda.
“Wah, kalau saat ini ada arak, betapakah bahagianya!” kata Thian Hong.
“He, kau mau menggoda aku, ja?” teriak Ciu Ki dengan mata melotot.
Semua orang tertawa.
Hi Tong tampak melonggong. Tiba-tiba dia berkata kepada Bun Thay Lay: “Suko, aku mempunyai suatu urusan yang menyakiti hatimu. Tak dapat kubawa hal itu sampai meninggal!”
“Apa?” tanya Bun Thay Lay.
Tanpa tedeng alingdua lagi, Hi Tong segera tuturkan per buatannya yang kurang senonoh terhadap Lou Ping ketika lolos dari Thiat-tan-Hung dulu itu.
“Untuk menebus kesalahanku itu, aku masuk menjadi hweshio. Suko, sukalah kiranya kau memaafkan?” akhirnya ia bertanya.
Tertawalah Bun Thay Lay keras-keras.
“Sipsute, kau kira aku tak ketahui hal itu? Bukankah aku tetap memperlakukan kau tanpa ada perubahan apa-apa? En somu tidak bilang apa-apa, tapi akupun dapat mengetahuinya sendiri. Bahwa orang muda itu sering menurutkan hatinya berbuat kesalahan, itu Cukup kumaklumi. Karenanya, siangdua aku sudah memaafkan padamu, mengapa perlu kau minta maaf lagi?” demikian sahutnya.
Mendengar hati yang jantan dari Pan Lui Hiu itu, kagumlah semua orang. Tapi sebaliknya, Hi Tong sendiri, merasa malu dan amat terharu.
“Sipsute, yang lalu biarlah lalu, tak usah kau diungkit-ungkit lagi. Tapi ada suatu hal yang membikin aku tak senang,” kata Lou Ping dengan tertawa.
Hi Tong melengak, bertanya ia dengan berbisik: “Apakah itu?”
“Kau adalah seorang hweshio, kalau pulang, tentu Ji Lay Hud akan menyambut ke Gembira Loka. Sebaliknya, kita berdelapan ini, akan ditahan ditempat Siang-ngoko dan liok-ko. Hal ini, bukankah menjalani sumpah persaudaran kita: senang sama-sama dirasakan, susah sama diderita!” ujar Lou Ping.
Kembali menCetuslah gelak tertawa orang-orang itu.
Hi Tong serentak menCopot jubah suCinya, katanya tertawa: “Bahwa hari ini aku telah membunuh jiwa, adalah melanggar pantangan. Buddha yang maha murah, mulai saat ini TeCu akan lepaskan pertapaan, rela bersama-sama sekalian saudara dineraka, tak ingin menikmati kesenangan seorang diri di Gembira Loka!”
Semua orang bertepuk tangan memuji.
Tepat dengan tepukan itu, Jun Hwa dan Sim Hi berteriak. Ramaidua orang HONG HWA HWE itu naik keatas. Dibawah sinar rembulan yang menaungi hujan salju, tampak seorang berpakaian putih menuntun seekor kuda putih tengah mendatangi. Dia bagaikan dewa sedang melayang dimega putih.
Pertama, adalah Tan Keh Lok yang menjadi terperanyat. Buru-buru dia lari menyambutnya.
“He, mengapa kau tinggalkan aku seorang diri?” tanya orang itu yang bukan lain adalah Hiang Hiang KiongCu.
“Aku ingin supaya kau pulang, karena aku bersama beberapa saudara ini tengah menunggui maut!” kata Keh Lok membanting kaki.
Hiang Hiang KiongCu kucurkan air mata.
“Kalau kau binasa, apakah aku suka hidup lagi? Tidakkah kau mengetahui isi hatiku?” katanya saju.
Tan Keh Lok tersentak.
“Baik, mari kita ber-sama-sama pulang!” katanya kemudian. Dan Hiang Hiang dituntunnya masuk kedalam lubang lagi. “Lekas! Mereka akan menghujani panah!” seru Jun Hwa.

SETIAP Hiang Hiang menyanyikan satu bait, Keh Lok lalu menterjemahkannya. Memangnya ia seorang sastrawan, karenanya, dapatlah dia memilih kata-kata yang indah. Sehingga nyanyian itu bagus sekali maksudnya.

Tentang arti daripada nyanyian Hiang Hiang itu, ada sebuah Cerita begini:

Dikerajaan Khuyan, raja mempunyai seorang puteri Cantik yang diberi nama Yohana. Puteri ini sejak kecil, sudah mengikat janji dengan Tahir, putera perdana menteri. Belakangan karena perdana menteri itu difitenah, dia Hwa.

UNTUNG kedua orang muda itu sudah berada didekat lubang, karena pada saat itu, tentara Ceng kembali meng hujani panah.

“CongthoCu, sebenarnya hendak kupersalahkan kau, tapi ternyata aku yang salah,” kata Ciu Ki.

“Tidak kunyana enci Ceng Tong sedemikian kejam hatinya, dan tak kuduga pula, adiknya begini mengasihimu! Yangan kata ia seCantik bidadari, sekalipun jelek bagai iblis, kalau hati budinya sedemikian tulusnya, tentu aku Cinta padanya,” ujar Ciu Ki.
Tan Keh Lok tertawa. Ada sahabat, ada kekasih, sekalipun mati, puaslah.

“Oho makanya kau begitu menyintai Chit-ko, kiranya dia itu berhati baiklah!” Lou Ping menggoda.

“Memang. Biarpun rupanya jelek, tapi hati budinya baik,” sahut Ciu Ki.

Dipuji sang isteri dihadapan orang banyak sekali Thian Hong puas hatinya.

Mengetahui keadaan semua orang sudah putus harapan, Hiang Hiang KiongCu menyatakan akan menyanyi untuk menghibur semua orang, Keh Lok segera bilang setuju, maka menyanyilah puteri Ui itu dengan suaranya yang merdu:

“Thiat-hun-kwan ditepi sungai Merak, pohon-pohon Mu pada kedua tepiannya menjulur kepermukaan air. Diatas punCak gunung nan tinggi, terdapat sebuah kuburan, ah, disitulah kuburan Tahir dan Yohana.”

dihukum mati oleh raja. Selanjutnya raja melarang pu terinya menikah dengan Tahir. Maksudnya, akan dinikahkan dengan ksatria hitam, putera dari dorna yang memfitenah ayah Tahir, dan yang kini dijadikan P.M. baru. Untuk men jauhkan hubungan dengan puterinya, Tahir dimasukkan kedalam peti dan dihanyutkan di Khong-jiok-ho atau sungai Merak. Beruntung peti itu dapat ditemu oleh puteri dari raja negeri tetangga yang kebetulan sedang pesiar dengan perahu.

Oleh raja disitu, karena Tahir ternyata seorang pemuda yang gagah dan pintar, ia akan dipungut jadi mantu raja. Selanjutnya akan dinobatkan menjadi raja untuk meng gantikannya. Tapi ternyata Tahir menolak.
“Harta benda, tahta kerajaan ditambah pula dengan puterimu, masih tak nempil dengan ujung jari dari Yohana,” demikian kata Tahir.
Raja menjadi gusar, Tahir dipenjarakan. Tapi untung, dia dapat melarikan diri dan kembali kedalam negeri asalnya. Pada waktu itu, karena sangat merindukan sang kekasih, Yohana jatuh sakit. Ayahnya membuat surat palsu dari Tahir untuk menghiburnya. Dan betul juga, Yohana sembuh. Tapi kembali ayahnya memaksanya untuk menikah dengan Hek Enghiong atau ksatria hitam.
Rakyat ternyata sangat mencintai puteri itu. Mereka mengirim hadiah pemberian selamat, sebuah peti besar. Dengan berlinang-linangair mata Yohana membukanya. Ternyata isinya bukan lain adalah Tahir...............”
Menyanyi sampai bagian ini, Hiang Hiang terpaksa berhenti, karena Lou Ping dan Ciu Ki menyela bertepuk tangan. Kemudian ia melanjutkannya lagi:
“Hek Enghiong menobros masuk. Timbullah pertarungan pedang antara Tahir dengan Hek Enghiong, dengan berakhir yang belakangan menemui ajalnya. Tapi Tahirpun ditangkap oleh raja dan dihukum jiret leher. Puteri Coba mintakan ampun, tapi raja yang sedang gusar itu, segera membunuh puterinya itu. Rakyat berpawai menggotong jenazah kedua pasangan setia itu, dengan me-nyanyidua sepanyang jalan.”
Hiang Hiang menirukan nyanyian penguburan itu dengan nada yang mengharukan sekali. Sekalipun Lou Ping dan Ciu Ki tak tahu maksudnya, namun mereka pun kuCurkan air mata saking terharu.
Suasana hening sesaat. Tiba-tiba Jun Hwa tertawa keras dan berteriak: “Kawan-kawan , lihatlah kemari!”
Ketika sudah diatas, semua orang sama melihat bagaimana enam-tujuh serdadu Ceng ber-kaokdua, tapi tak dapat bergerak. Kiranya kawanan serdadu itu menyelinap hendak membokong. Hal itu diketahui oleh Jun Hwa, namun dibiarkan dulu sampai dekat, baru akan dihajar. Tapi setelah mereka mendengar suara nyanyian Hiang Hiang KiongCu, hati mereka tergonCang tak tenteram. Mereka tengkurep untuk mendengarkannya.
Dalam hujan salju sedemikian itu, sekejap saja, badan mereka, telah terpendam salju. Nyanyian selesai, mereka menCoba untuk bangkit, tapi ternyata sukar. Karena hawa keliwat dingin, tak lama kemudian kawanan serdadu itu, mati kaku terbenam salju.
Juga rombongan orangdua HONG HWA HWE itu hampir tak kuat menahan dingin. Sim Hi mengambil sebongkok anak panah, lalu dibakar untuk pemanas badan. Lou Ping mengawasi Hiang Hiang KiongCu dengan terkesima...............
Kembali pada kejadian sewaktu Ciauw Cong disekap oleh keempat raksasa persaudaran Ho Lun. Andaikata Tiau Hwi tidak keluar, tentu masih belum dilepaskan.
Saking gusarnya, begitu lepas, Ciauw Cong segera menghantam Ji Houw. Hampir siraksasa kedua itu pingsan, karena separoh giginya rompal. Keempat saudara itu marah dan serentak menyerbu maju pula. Tiau Hwi mendamprat nya, baru mereka mundur.
“Tiau-Ciangkun, baginda mengutus aku kemari untuk dua perkara. Pertama untuk membawa gadis itu kekotaraja,” kata Ciauw Cong segera.
“Thio-tayjin belum pernah kemari, mengapa mengenal nya?” sahut Tiau Hwi.
“Orang Ui telah mengirim sepasang vaas giok selaku minta damai. Hok-thongleng perlihatkan benda itu padaku, maka kudapat mengenalnya,” tutur Ciauw Cong.
Tiau Hwi mengelah napas.
“Orang lakidua pengawalnya tadi, bukannya orang Ui. Dialah benggolan dari perkumpulan HONG HWA HWE” kata Ciauw Cong pula.
“Apa? Mengapa dia kemari?” tanya Tiau Hwi kaget.
“Baginda menyuruhnya ambil beberapa barang. Dan aku ditugaskan, begitu dia sudah ditengah perjalanan, supaya membunuhnya. Karena baginda kuatir barang itu betul-betul ada padanya. Kini kedua orang itu sudah lolos, sungguh sayang sekali,” Ciauw Cong tepukdua pahanya dan mengelah napas.
“Ah, Thio-tayjin tak perlu gegetun. Untuk kedua utusan itu, telah kusiapkan jaringan. Akan kujadikan mereka berdua sebagai umpan, untuk menjaring ‘ikan besar’. Kalau baginda menghendaki keduanya, itulah bagus, sekali tepuk dua lalat,” kata Tiau Hwi dengan tertawa.
“He, bilanglah pada Tek-Ciangkun, tak boleh membunuh kedua utusan itu. Dan sekarang ‘thiat-kah-kun’ boleh keluar, sembunyi dikedua samping,” perintah Tiau Hwi pada seorang pengawalnya.
Pengawal itu melakukan dengan segera.
“Karena kedua utusan itu orangdua penting, fihak Ui tentu akan kirim balabantuan. Begitu mereka datang, pasukanku ‘thiat-kah-kun’ akan menjepitnya begini!” kata Tiau Hwi sembari kedua tangannya menCakup ketengah. “Masakan mereka masih bisa bernyawa?” katanya menambahkan dengan tertawa.
“Aha, Ciangkun pandai sekali menggunakan siasat. Maka tak heran kalau baginda menaruh keperCajaan besar pada Ciangkun. Untuk setiap tugas yang penting, tentu Ciangkun yang diserahi,” kata Ciauw Cong.
Tiau Hwi gembira puas. Tertawalah dia dengan ter-kekehdua: “Selama ini, orang Ui memang liCin. Sengaja mereka main ulur waktu. Tapi kali ini, begitu induk kekuatannya hanCur, sisanya mudahlah.”
“Untuk jasa besar itu, kedudukan raja muda, kiranya bukan barang yang mustahil bagi Ciangkun,” Ciauw Cong memuji.
“Tayjin legakan hati saja. Aku tentu tak lupa akan jasa tayjin,” jawab Tiau Hwi.
Kembali Tiau Hwi titahkan orangnya supaya mengatur persiapan yang perlu. Kali ini, dia kerahkan tigapuluh ribu tentara pilihan, sekali gebrak akan menghanCurkan induk pasukan Uigor.
Kini kita tinggalkan kedua pembesar Ceng yang tengah di mabuk hajal kemenangan besar itu, untuk menengok keadaan Tan Keh Lok dan Kawan-kawan nya. Dengan melawan hawa yang menggigit tulang, mereka menjaga semalam suntuk.
Keesokan harinya, hawa kembali hangat, sekalipun salju masih turun.
Kata Thian Hong: “Mari kita naik keatas, mungkin musuh akan menyerang lagi.”
Selain Hiang Hiang, kesembilan orang gagah itu, siap dengan busurnya. Udarapun makin terang. Tapi ternyata pihak Ceng hanya melepas beberapa anak panah, dan tidak melakukan gerakan apa-apa.
Tiba-tiba teringatlah Thian Hong akan sesuatu. Burudua dia tanya Sim Hi: “Apa saja yang ditanyakan nona Ceng Tong padamu?”
“Ia bertanya, berapa jumlah musuh yang mengepung kita. Pula ditanyakan, apakah pasukan thiat-kah-kun musuh keluar tidak?”
“Bagus, kita ketolongan!” tiba-tiba Thian Hong berteriak kegirangan.
Kawan-kawan nya memandangnya dengan heran.
“Ah, aku memang orang bodoh, kenapa menduga jelek pada nona Ceng Tong. Ia ternyata lebih Cerdik dari aku,” kata Thian Hong sendiri.
“Jelaskanlah!” bentak Ciu Ki karena mendongkol.
“Kalau pasukan thiat-kah menyerbu kemari, apakah kita bisa hidup?” tanya Thian Hong.
“Ya, aneh juga, kenapa musuh tidak menyerang?” jawab Ciu Ki.
“Sekalipun tidak usah thiat-kah-kun, kalau sekarang pasukan musuh yang berjumlah ribuan itu menyerbu, apakah kita kesembilan orang ini bisa bertahan?” kembali Thian Hong bertanya.
“Ya, benar. Mereka sengaja belum mau menyerang, agar fihak Ui kirim bantuan. Tapi nona Ceng Tong sudah dapat mencium bau, maka ia tak mau masuk perangkap” sela Keh Lok tiba-tiba.
“Dan kalau tak masuk perangkap, kita kan Celaka?” kata Ciang Cin.
“Tidak!’Ia tentu punya daya lain”, sahut Keh Lok.
“Nah, memangnya aku tak perCaja CiCi Ceng Tong begitu jahat”, Ciu Ki tertawa.
Dengan lega hati, orangdua itu masuk kembali kedalam lubang. Hanya Hi Tong dan Sim Hi yang masih menjaga diatas.
Kini diCeritakan halnya Horta, utusan orang Boan itu, sudah tiba dan menghadap Tiau Hwi. Melawan janjinya pada Ceng Tong, dia tuturkan keadaan tentara Ui semua. Akhirnya, bagaimana dia kalahkan Ceng Tong, pun tak lupa ditonjolkan.
“Bagus, kali ini besar jasamu,” Tiau Hwi memujinya.
Namun Ciauw Cong ternyata berpandangan lain, tiba-tiba ia melangkah maju, terus memegang tangan kanan Horta, katanya: “Selamat, Ho-tayjin!”
Seketika wajah Horta berobah meringis kesakitan. Burudua dia tabaskan tangan kirinya pada tangan Ciauw Cong.
Ciauw Cong Cepat gentak tangan Horta kebelakang, maka terhuyung-huyunglah orang Boan itu sampai delapan tindak jauh nya. Kalau dia terlambat pasang kudadua, tentu ia sudah mencium tanah.
Horta terkejut berbareng gusar. Sekali Cabut, ia siap dengan goloknya. Namun ia tak berani bergerak sembarang an, dan mengawasi isyarat Tiau Hwi. Juga Ciangkun ini tak kurang kagetnya. Sedikitpun dia tak mengerti maksud Ciauw Cong.
Tiba-tiba Ciauw Cong menghampiri Horta dan serunya: “Harap Ho-tayjin yangan marah!”
Kemudian berpaling kearah Siu Hwi, dia menerangkan: “Tiau-Ciangkun, kukuatir laporan Ho-tayjin itu palsu!”
Horta bukan kepalang marahnya, teriaknya keras-keras: “Aku sudah teken mati ikut pada Ciangkun. Kau ini orang ma Cam apa, berani omong tak keruan!”
“Memang aku tak berani menuduh Ho-tayjin melapor palsu. Yang kumaksudkan, orang Ui itu menyelomoti Tayjin dengan keterangan buatan,” kata Ciauw Cong.
“Bagaimana Thio-tayjin mengetahuinya?” tanya Tiau Hwi.
“Tadi Ho-tayjin mengatakan, dia dapat tundukkan Hwe Ceng Tong. Nona itu, benar aku belum pernah berhadapan. Tapi ia adalah murid dari ‘Thian-san Siang Eng’, tentunya lihai. Dari keterangan sahabat kalangan piauwkiok, Giam Se Ciang, itu iblis no. enam dari Kwantong Liok Mo telah binasa ditangannya. Dengan orang she Giam, pernah aku bertemu di Pakkhia. Bukan hendak meremehkan, tapi kepandaian Giam Se Ciang itu ada lebih tinggi dari Ho-tayjin ini!”
“Oh, jadi Tayjin tadi telah menjajalnya!” kata Tiau Hwi.
“Sukalah Ciangkun memaafkan kelanCanganku tadi,” sahut Ciauw Cong.
“Meskipun kepandaianku Cetek, tapi masa tak dapat mengatasi anak perempuan semaCam dia? Taruh kata ia pura-pura kalah, masa aku tidak mengetahuinya,” teriak Horta marah-marah.
Ciauw Cong tak mau meladeni. Tapi diam-diam dia berkata dalam hati: “Memang orang semaCam kau Ini, mungkin kena dikelabuhi”.
“Ia sengaja melepaskannya, apa maksudnya? Ha, tentu supaya aku mengetahui Cara ia mengatur bala bantuan. Hm, ia kirim dua ribu pasukan penolong, dan dua ribu tentara yang menyambutnya”.
Demikian Tiau Hwi berkata seorang diri. Dia berjalan kian kemari, memikirkan jawabannya. Tak lama kemudian, kedengaran dia berkata: “Kalau itu benar suatu siasat, ia tentu tidak hanya kirim dua ribu orang. Ia maukan aku nanti hanya sediakan tiga-empat ribu tentara untuk menyambutnya. Hal yang sebenarnya, ia akan kirim lima-enam ribu tentara, mungkin malah tujuh-delapan ribu, untuk meng hanCurkan pasukanku”.
“Pandangan Tiau-Ciangkun luas sekali. Memangnya tentu begitu”, kata Ciauw Cong.
“Tapi sekalipun mereka datang semua, paling banyak sekali hanya lima atau enambelas ribu orang. Dengan pasukan empatpuluh ribu serdaduku mudahlah kita menCari kemenangan.”
Habis berkata begitu, Tiau Hwi suruh Horta perintahkan agar ‘thiat-kah-kun’, juga dikeluarkan.
“Bahwa untuk merebut kemenangan, adalah sudah pasti. Cuma saja kuharap dalam kekaCauan nanti, yanganlah kedua orang yang dikehendaki baginda itu sampai binasa atau iolos. Baginda tentu akan murka sekali jika itu ter jadi”, ujar Ciauw Cong.
“Lalu bagaimana pendapat Thio-tayjin?” tanya Tiau Hwi.
“Menurut pendapatku, lebih baik sekarang tangkap dulu orangdua itu dan dibawa kemari. Tapi biarlah pasukan tetap pura-pura mengepung, agar orangdua Ui mau datang,” kata Ciauw Cong.
“Baiklah, Tayjin boleh bawa lima puluh0 thiat-kah-kun kesana,” segera Tiau Hwi mengatur.
“Mereka hanya sembilan orang rasanya bawa sepuluh0 orang saja Cukuplah!”
Segera Tiau Hwi keluarkan lengCi, dan berangkatlah Ciauw Cong kesana.
Sampai didekat lubang, belasan anak panah segera me nyambutnya. Tiga serdadu thiat-kah kena terpanah muka nya, terus terjungkal dari kudanya. Ciauw Cong berteriak keras-keraspimpin penyerangan.
“He, thiat-kah-kun datang! Apa aku keliru menduga?” kata Thian Hong.
“Ya, bangsat Ciauw Cong yang memimpinnya!” tiba-tiba Jun Hwa berseru.
Teringat akan kematian ngenas dari Suhunya, mata Hi Tong ber-apidua. Serentak lonCat keatas, dia terus serang Ciauw Cong dengan kim-tioknya.
Bukan main terperanjatnya Ciauw Cong. Sampai sekian saat, dia termangu-mangu mengawasi sipenyerangnya, seorang hweshio bermuka jelek yang bergaja aliran Bu Tong Pai.
Menyusul, Jun Hwa ikut menyerang dengan sepasang siangkaonya. Baru kini Ciauw Cong layani kedua anak muda itu.
Ditilik dari ilmu silat, Ciauw Cong jauh lebih kuat. Namun disebabkan kenekadan kedua lawannya itu, lebihdua Hi Tong yang bertekad bulat akan membalaskan sakit hati su hunya, maka pertempuran menjadi berimbang.
Saat itu, Berpuluh-puluh serdadu thiat-kah, sudah ikut menyerbu. Keh Lok, Bun Thay Lay, Thian Hong, Ciang Cin, Lou Ping dan Sim Hi lonCat keluar menyambutnya.
Sepasang kampak si Bongkok Ciang Cin, meneryang dengan serunya, tapi pakaian baju dari pasukan thiat-kah itu tidak tertembuskan. Malah hampir saja dia sendiri kena tertusuk tombak musuh.
Tidak banyak sekali berbeda, adalah Lou Ping, Sim Hi dan Thian Hong. Betapa hebat mereka mengamuk, tapi seorangpun tak dapat melukai musuhnya.
Juga tabasan dari Bun Thay Lay, terpental balik. Saking gemasnya, dia lempar senjatanya, terus menyerang dengan tangan kosong. Seorang serdadu thiat-kah Coba menusuk dengan tombaknya, tapi kena ditarik oleh Bun Thay Lay, terus dibetotnya. Begitu terampas, dia terus sodokkan ujung gagang tombak kemuka lawan. Hebat! Senjata itu berba lik makan tuan, menyusup masuk kedalam otak.
“Awas, belakang!” tiba-tiba Lou Ping menjerit.
Bun Thay Lay tidak gugup. Memang dia berasa ada sam beran angin dari belakang. SeCepat kilat, tangannya kiri dikaitkan kebelakang, dan tombak dari sipenyerang itu ter-kempit dalam ketiaknya. Sedang sebelah tangannya lagi, menarik tombak yang masuk kedalam muka korbannya tadi, untuk kemudian berputar kebelakang terus melemparkan tombak itu kemuka sipenyerangnya yang baru itu. Kembali sebuah pemandangan yang mengerikan! Ujung tombak, masuk kedalam mulut, keluar dari tengkuk belakang.
Demikianlah kalau Pan-lui-Chui, sedang mengganas. Kini dia gunakan sepasang tombak untuk mengamuk lagi. Dalam sekejab saja, sudah ada sembilan orang serdadu thiat-kah yang termakan mukanya.
Tan Keh Lok tidak membekal senjata, keCuali dua batang Cambuk kuda.
“Sim Hi, Ciang-sipte, ikutlah aku!” teriaknya.
Tapi ajakannya itu, disambut dengan tusukan tombak dari seorang serdadu thiat-kah. Tan Keh Lok egoskan tubuh,
menghindar. Cambuk ditangan kiri disabetkan untuk meng gubat kedua kaki siserdadu. Sekali tarik, terpelantinglah serdadu itu.
“Sim Hi bukalah topinya!” seru Keh Lok.
Topi dan pakaian serdadu itu terbuat daripada besi baja, dan berat sekali. Maka begitu jatuh, sukarlah serdadu itu akan berbangkit. Sim Hi sangat linCah. Sekejab saja dia sudah loloskan topi baja siserdadu. Dan sekali si bongkok mengajun kampaknya, hanCurlah kepalanya.
Demikianlah tiga serangkai itu, berkelahi dengan Caranya yang istimewa. Tan Keh Lok yang mainkan Cambuk menggantol kaki, Sim Hi yang melolos topi dan si Bongkok yang menghabiskan jiwanya. Juga Cara ini sangat berhasil. Delapan atau sembilan serdadu dapat dibinasakan dalam sekejab.
Sisa dari kawanan serdadu thiat-kah itu, Copot nyalinya. Diamuk oleh Bun Thay Lay dan dijirat Tan Keh Lok, mereka berteriak sembari mundur.
Adalah disaat itu Jun Hwa dan Hi Tong sudah kewalahan menghadapi permainan ‘jwan-hun-kiam’ dari Ciauw Cong. Burudua Thian Hong maju membantu. Melihat anak buahnya lari semua Ciauw Cong perhebat desakan. Begitu ketiga lawannya mundur, iapun lalu tinggalkan mereka.
Bun Thay Lay hendak mengejar, tapi disambut dengan hujan panah oleh pasukan Ceng.
“Lekas kemari!” tiba-tiba Lou Ping berteriak dengan kuatir terus lonCat masuk kedalam lubang. Kawan-kawan nyapun segera mengikut.
Ternyata disitu Ciu Ki tengah mengadu jiwa dengan 4 orang serdadu. Nampaknya sangat keripuhan sekali. Ram butnya terurai, mukanya berlepotan darah dan lumpur. Disaat Kawan-kawan nya bertempur dengan serdadu thiat-kah tadi, diam-diam keempat serdadu Ceng itu menyelinap masuk kedalam lubang. Karena sempit, serdadudua tidak dapat menggunakan tombak, dan hanya pakai golok.
Gusarnya orangdua HONG HWA HWE itu tak terkira. Mereka berbareng menyerbu. Lou Ping dapat menikam seorang, Jun Hwa seorang, sedang Bun Thay Lay dapat menerkam dua orang.
Terus dibenturkan kepalanya satu sama lain, hingga peCah.
Thian Hong burudua menolong isterinya. Ternyata Ciu Ki mendapat luka lagi dua kali, ditangan dan pundaknya. Hiang Hiang KiongCu robek pakaiannya buat balut luka itu.
“Tiau Hwi mengurung kita disini, supaya fihak Ui kirim bantuan. Ini tentu garadua Ciauw Cong, maka mereka akan menangkap kita,” kata Thian Hong.
“Tadi dia mundur tentu masih penasaran. Rasanya akan membawa anak buahnya datang lagi,” ujar Keh Lok.
“Mari kita gali lagi lubang perangkap, untuk tangkap bangsat itu,” usul Thian Hong.
Untuk membekuk Ciauw Cong, adalah menjadi idamduaan setiap Anggota HONG HWA HWE Menuruti petunjuk Thian Hong, mereka membuat sebuah lubang disebelah utara. Diatasnya, bertutupkan salju setebal setengah meter, tapi didalamnya merupakan lubang. Sedikitpun tak kelihatan.
“Kalau bangsat itu munCul lagi, CongthoCu harus me mikatnya supaya datang kemari,” pesan, Thian Hong.
Tepat pada waktu itu, Ciauw Cong benar-benar datang dengan sepasukan serdadu thiat-kah-kun lagi. Karena bermula dia sudah omong besar pada Tiau Hwi hanya akan membawa seratus orang, maka apa boleh buat, kini dia hanya, kumpulkan lagi sisa anak buahnya itu, terdiri dari beberapa puluh orang saja. Mereka kini memakai perisai.
Berturut-turut Jun Hwa lepaskan anak panah, semua kena ditahan perisai mereka. Maka dengan tertentu, kini mereka dapat tiba, dimuka lubang.
Tiba-tiba Tan Keh Lok lonCat keluar, serunya pada Ciauw Cong: “Mari kita putuskan, siapa yang kalah dan menang.”
Melihat ketua HONG HWA HWE itu tak membekal senjata, Ciauw Cong lalu lempar senjatanya.
“Baik. Hari ini kita selesaikan benar-benar!” sahutnya.
Demikianlah keduanya segera bertarung dengan tangan kosong. Tan Keh Lok keluarkan ilmu silatnya “peh-hoa-joh-kun.” Sedang Ciauw Cong gunakan ilmu silat tangan kosong dari Bu Tong Pai yang lihai, jakni “bu-kek-hian-kong-kun.”
Bun Thay Lay, Thian Hong, Ciang Cin, Jun Hwa, Hi Tong dan Sim Hi berenam lonCat keluar. Pertempuran segera peCah dengan hebat. Tan Keh Lok terus main mundur-mundur. Pelan tapi tentu, dia mendekati lubang dibawah salju. Dua langkah lagi, Ciauw Cong pasti akan terperosok masuk.
Dalam saat yang genting itu, tiba-tiba ada seorang serdadu thiat-kah menyerbu. Cepat menginjak diatas salju tadi, menjeritlah dia keras-kerasterus terperosok masuk. Hanya je ritan seram yang terdengar. Orangdua menduga, tentulah itu Lou Ping yang tengah menghabiskan jiwa siserdadu. Memang nyonya itulah yang siap menunggu dibawah.
Ciauw Cong terkesiap. Sebaliknya kini Tan Keh Lok berlaku nekad. Dia maju menubruk lawannya, menyikapnya keras-kerasuntuk didorong kedepan. Tapi orang she Thio itu sudah pasang kudadua, kokoh bagaikan terpaku ditanah. Dia gunakan tenaganya berbalik mendorong. Begitulah Dua-duanya, sama berkutetan. Yang satu tak dapat lolos, sedang yang lain tak dapat mendorongnya.
Tiba-tiba ada dua orang serdadu thiat-kah menusukkan tom baknya kepada Tan Keh Lok. Thian Hong terkejut. Cepat dia lonCat maju. Dengan tongkat dia tolak ujung tombak, kemudian dia dorong Keh Lok dan Ciauw Cong yang saling gumul itu kedalam lubang. Ketika kedua serdadu itu tusukkan lagi tombaknya, dia lalu menghindar dengan bergelundungan.
Jatuh kedalam lubang perangkap, kedua orang itu, Keh Lok dan Ciauw Cong, sama terlepas. Lou Ping Cepat menghantam dengan goloknya, tapi dengan lihainya Ciauw Cong dapat merebut senjata itu. Pikirnya, hendak dia hantam nyonya itu, tapi sebuah tendangan yang dilunCurkan dari belakang oleh Tan Keh Lok, membuatnya batal.
Kini dia berbalik menyerang Keh Lok, siapa sembari mengegos kesamping, lalu menotok jalan darah “im-si-hiat” dipaha lawan. Ciauw Cong Cepat tarik kakinya.
“Sret, sret, sret!” Tiga kali beruntun Lou Ping lepaskan hui-to, golok terbang. Karena sempitnya, orang tak dapat bergerak dengan leluasa. Tapi dalam saat-saat berbahayanya itu, Ciauw Cong dengan gapah sekali dapat menghindari ketiga golok terbang itu.
“CongthoCu, sambutilah golok ini!” Lou Ping berseru, sembari lempar golok pada Tan Keh Lok.
Dengan gunakan ilmu golok “kim-kong-hok-houw-to-hwat,” Keh Lok tempur Ciauw Cong yang bersenjatakan golok pendek bolehnya merebut dari Lou Ping tadi.
Memang kepandaian ketua HONG HWA HWE itu, beraneka ragam. Dia dapat gunakan segala maCam senjata. Tidak demikian dengan Ciauw Cong. Dia ini hanya tumpahkan keyakinan nya pada ilmu pedang. Maka dalam hal adu senjata, dia agak kurang leluasa.
Baru belasan jurus, beberapa kali Ciauw Cong hampir kena, andaikata dia tak pakai tangannya kiri untuk membantu dalam ilmu silat tangan kosong.
Sebaliknya, Lou Ping diam-diam menjadi girang. Sepasang golok “Wan-yang-to”-nya itu belum pernah lolos dari tangannya. Kini masing-masing dipakai oleh dua jago. Kalau dulu, ia anggap sepasang goloknya, satu panyang satu pendek, itu samadua lihai kegunaannya, sekarang baru tahulah ia, bahwa yang panyang itu ternyata lebih lihai dari yang pendek.
Ciu Ki siap dengan golok untuk melindungi Hiang Hiang KiongCu, yangan sampai Ciauw Cong nanti main gila.
Mendadak Ciauw Cong lemparkan golok pendek yang dipegangnya itu keatas, lalu serunya: “Mari kulayani kau dengan tangan kosong!” — Habis itu, tangan kanan, tangan kiri, susul menyusul merabu diantara gemerlapnya golok Tan Keh Lok.
“Sambut golok ini!” seru Keh Lok sambil lemparkan kembali golok kepada Lou Ping.
Berbareng itu, tangan kirinya menyerang dan menotok jalan darah “jiok-ti-hiat.” Gerakan dalam lubang sesempit itu, sangat terpanCang. Yangan kata hendak lonCat kian kemari, atau maju mundur. Maka kedua lawan itu, tumpahkan seluruh kepandaiannya. Mereka tak berani berlaku ajal. Justeru itu, dalam beberapa puluh jurus kemudian lantas dapat diketahui yang unggul dan yang kalah.
“Peh-hoa-joh-kun” dari Tan Keh Lok memang hebat. Tapi tak urung masih kalah sempurna keyakinannya dengan
Ciauw Cong, begitu pula kalah tenaga. Dengan berlalunya sang waktu lebih lama, makin tampak dia tak dapat bertahan lebih lama.
Lou Ping Cemas. Hendak ia turun tangan membantu, tapi sukar untuknya melihat kesempatan yang baik, karena asjik dan Cepatnya pertempuran itu. Kini makin nyata. Tan Keh Lok dibawah angin.
Tiba-tiba Ciauw Cong kirim sebuah tendangan. Begitu lawan miring kekiri, dia susuli dengan tonjokan tangan kiri. He batnya tonjokan itu bukan main, hingga menerbitkan sam beran angin keras.
Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba disebelah atas ada orang berseru: “Awas thiat-tan!”
Ciauw Cong kaget, ia menarik balik tangannya dan burudua dekap kepalanya. Benar juga, sebuah benda bundar melayang datang. Ciauw Cong pernah rasakan betapa ngerinya thiat-tan itu, dia menjadi berCekat dan diam-diam berpikir: “Mengapa situa itu datang? Dari sebelah atas, tentu hebat sekali timpukannya itu.”
Dia telah ambil putusan, tak mau menyambuti atau menghindar. Sekali enjot, dia melesat tinggi keatas. “Bum”......
demikian suara thiat-tan menghantam lubang. Dan menyusul itu, Thian Hong lonCat kedalam lubang.
Kiranya sejak Ciu Tiong Ing bermenantukan Thian Hong, dia turunkan ilmunya thiat-tan pada sang menantu. Thian Hongpun mejakirikannya dengan sungguh-sungguh. Dan kali inilah untuk pertama kalinya dia menCoba kepandaian itu. Malah disertai meniru bentakan dari mertuanya. Benar timpukannya itu tak berhasil, namun sedikitnya dapat membikin kaget Ciauw Cong.
Ciauw Cong menyusuli lagi dengan sebuah enjotan, terus lonCat keatas. Tapi baru kakinya menginjak tanah, sebuah samberan dan pukulan yang luar biasa dahsyatnya, menyerang. Belum pernah, dia bertemu dengan pukulan sehebat itu. Cepat dia angkat tangan kanan, dan berhasil menangkisnya, tapi dengan berbuat begitu, dia kembali harus lonCat lagi masuk kedalam lubang.
“Siapa dia? Kepandaiannya tidak dibawahku,” pikirnya dengan kerkejut.
Baru kakinya menginjak dibawah, seseorang telah me nyusul dan membentaknya dengan suara menggeledek: “Penghianat busuk, masih kenal aku tidak?”
Seorang yang bertubuh tinggi besar, sikapnya gagah perkasa, berdiri dihadapannya. Itulah Pan-lui-Chiu Bun Thay Lay.
Jun Hwa, Ciang Cin, Hi Tong dan Sim Hi setelah dapat memukul bujar pasukan thiat-kah, lalu ikut melonCat masuk. Kini, Bun Thay Lay berhadapan muka dengan musuhnya besar. Disekelilingnya, adalah Tan Keh Lok dan Kawan-kawan nya.
Teringat akan sakit hatinya di Thiat-tan-Chung, dan pen-deritaannya selama ini, alis Bun Thay Lay terangkat naik, matanya ber-apidua, gerungannya makin dahsyat. Sekali gerak, dia terus gunakan ilmunya istimewa “pi-lik-Ciang” atau pukulan geledek.
Ilmu pukulan itu Menderu-deru bagaikan kilat menyambar. Hawanya sedemikian rupa seramnya. Se-olahdua ditempat sesempit itu, dia akan adu jiwa, mati atau hidup. Pertempuran ini, jauh lebih dahsyat dari Tan Keh Lok tadi. Baik Ciauw Cong, maupun Bun Thay Lay, samadua keluarkan ilmunya yang paling ganas sendiri.
Melihat sikap Bun Thay Lay yang sedemikian seramnya itu, Hiang Hiang menjadi ketakutan. Keh Lok menghampiri dan memegang tangannya, sembari tertawa. Hiang Hiang mengawasi sianak muda, seperti hendak menanyakan apakah Keh Lok berasa Cape. Tapi Keh Lok gelengkan kepalanya. Dengan lengan baju, Hiang Hiang usap peluh dan kotoran dimuka pemuda ini.
Tan Keh Lok siapkan tiga biji Catur. Sewaktu Bun Thay Lay dalam bahaya, segera akan ditolongnya. Menggenggam biji Catur, teringatlah Keh Lok akan permainan yang digemari itu, pikirnya: “Sungguh seperti dalam posisi Catur yang ruwet. Ditengah, Bun-suko bertempur dengan Ciauw Cong. Diluarnya, kita mengepung. Tapi kitapun dikepung oleh pasukan Ceng. Dan diluar kepungan itu, nona Ceng Tong tengah berdaya untuk menobros masuk. Masih diluar lagi, induk pasukan Ceng menyusun kepungannya yang kuat pula. Dalam permainan ini, sekali salah jalan, habislah riwajatnya.”
Orangdua HONG HWA HWE itu Cukup paham, bahwa Bun Thay Lay akan menCari balas. Karenanya mereka tak mau ikut turun tangan, hanya mengawasi dipinggir dan menjaga yangan sampai Ciauw Cong bisa lolos.
Mereka Cukup perCaja akan kelihaian Sukonya itu. Sekalipun tak menang, tapi pasti tak nanti terkalahkan. Demikianlah pertempuran itu berjalan dengan gigih sekali. Laksana gelombang ombak dilaut mendampar batu karang. Betapapun hebat sang ombak mendampar, batu itu tetap tangguh.
Demikian pertempuran itu. Betapa hebat Bun Thay Lay menggempur, Ciauw Cong tetap tak bergeming seperti karang. Entah bagaimana kesudahannya nanti. Dalam pada itu, pasukan Ceng makin mengepung rapat-rapat. Keh Lok mengerti, bahwa lebih dulu bangsat itu harus lekas dibereskan, baru nanti dapat mengalihkan perhatian untuk menahan musuh.
Teringat dia akan sebuah Corak permainan Catur. Dalam keadaan terjepit, harus dapat bertahan dengan gigih sampai nanti bantuan datang. Timbullah pikirannya: “Lain orang membantu, mungkin Suko kurang senang. Tapi kalau Suso yang turun tangan, dia tentu tak marah.”
Cepat dia beri isyarat pada Lou Ping, siapa terus akan melepas huito. Tapi karena rapatnya mereka yang berkelahi itu, ia tak berani menimpuk, kuatir mengenai suaminya sendiri.
“CongthoCu, kau turun tanganlah. Aku tak bisa!” serunya.
Tiga buah biji Catur Keh Lok segera melayang menCari jalan darah. Ciauw Cong keripuhan menghindar. Dan kesempatan ini, digunakan Bun Thay Lay untuk menghantam sang lawan. Pada saat pukulan itu akan mengenai sasaran nya, tiba-tiba disebelah atas terdengar suara sorakan riuh, derap kaki kuda dan gemerinCing pedang beradu.
“Tan-kongCu, Asri, kalian dimana?” sekonyong-konyong seorang lonCat kepinggir lubang sambil berseru.
^,Ayah, ayah, kita berada disini!” teriak Hiang” Hiang.
“Balabantuan datang! Saudara-saudara mari kita naik, dan bunuh dulu bangsat ini,” seru Keh Lok segera. Dan semua orang serentak menyerang Ciauw Cong.
Ciauw Cong tahu, biar bagaimana dia pasti tak dapat menangkis sekian banyak sekali senjata. SeCepat kilat, dia mendapat akal. Dengan kedua tangan, dia hantamkan kearah punggung Hiang Hiang.
Semua orang kaget dan Cemas. Serempak mereka maju menolong. Tapi ternyata serangan Ciauw Cong itu hanya sebuah tipu pukulan yang disebut: “suaranya disebelah timur tapi yang dipukul sebelah barat.” Tiba-tiba dia tarik kembali pukulannya. Tangannya kanan menjumput segenggam pasir terus dilontarkan. Mata sekalian orang menjadi pudar, tahu-tahu Ciauw Cong lonCat keatas.
“Hmm!” tiba-tiba ia menggerung tertahan. Betisnya kena ditimpuk thiat-tan oleh Thian Hong. Tapi dengan kretek gigi, dia berhasil juga untuk lolos.
Rombongan orang HONG HWA HWE lonCat mengudaknya. Disitu Bok To Lun tengah memutar golok menyerang musuh, diikuti oleh anak buahnya. Pihak Ceng pun keprak kudanya menyambutnya. Kesitulah Ciauw Cong menyusup, terus menghilang.
Bun Thay Lay dapat merampas sebatang tombak. LonCat keatas kuda putih, dia maju menyerbu. Tapi Lou. Ping burudua menCegahnya.
Anak tentara Ui terlatih bagus. Sekalipun daya tempur dari pasukan Hek Ki itu agak kurang. Tapi karena mereka yakin, bahwa pertempuran kali ini untuk membela tanah airnya, maka mereka berkelahi dengan semangat me-nyaladua.
Nampak ayahnya datang, muka dan kumis siapa penuh dengan darah, burudua Hiang Hiang lari mendapatkannya terus susupkan kepalanya kedada sang ayah.
“Ayah!” panggil sigadis dengan terharu.
Bok To Lun memeluknya, dan meng-usapdua kepala sang anak.
“Anak, yangan takut. Ayah datang menolongmu!” kata orangtua itu.
Thian Hong berdiri keatas punggung kudanya, ia menengok keadaan diseluruh penjuru. Tampak disebelah timur sana, debu mengepul tinggi ditanah bersalju debu bisa mengepul, suatu tanda disitu tentu bersembunyi pasukan musuh.
“Bok-loenghiong, mari lekas mundur keatas sebuah tanah tinggi disebelah barat,” seru Thian Hong segera.
Tahu Bok To Lun, bahwa Thian Hong itu Cerdas sekali. Dulu merampas Quran, adalah dia yang merenCanakan. Dari itu pemimpin suku Ui itu sangat memperCajainya. Terus dia perintahkan pasukannya menuju kebarat. Tentara Ceng mengejarnya. Tiba-tiba disegelah barat sana, ada lagi sebuah rerotan pasukan berkuda yang datang menyerang, hingga pasukan Bok To Lun terkepung ditengahdua.
Bok To Lun dengan Bun Thay Lay keprak kudanya untuk menobros, tapi terpaksa kembali karena dihujani panah oleh musuh.
“Ah, ternyata Ceng-ji benar. Aku sendiri yang tolol meta nyalahkannya. Kini ia tentu menyesali aku,” pikir Bok To Lun.
Lekas-lekas Thian Hong ajak rombongannya naik keatas bukit pasir, dan mengadakan penjagaan sekuat-kuatnya sampai bala bantuan datang. Rupanya mereka mendapat posisi yang baik sekali. Beberapa kali, musuh dapat dipukul mundur.
Bok To Lun bagiduakan ransum kering pada rombongan tamunya. Tepat pada saat itu, mereka memang sudah kehabisan makanan. Dan sehabis dahar, semangatnya menjadi segar lagi.
Kini balik kita menengok keadaan Ceng Tong yang membawa pasukannya. Kira-kira belasan li dari tempat musuh, ia perintahkan berhenti. Itu waktu tengah hari. Para pemimpin barisan dan kurir berkuda sama memberi laporan.
“Selokandua ditepi tebat berlumpur telah siap digali,” lapor pemimpin Ang Ki atau pasukan bendera merah.
“Semua penduduk kota Yarkand sudah diungsikan. Tempat persembunyian sudah ditutup dengan kayu bakar dan minyak,” lapor pemimpin kompi kesatu dari Pek Ki.
“Dan semua sumurdua didalam kota tersebut, telah dimasuki raCun,” kata pemimpin kompi 1tiga dari pasukan tersebut.
Pemimpin pasukan Kazak dan Mongolpun melapor tentang pekerjaan mereka. Semuanya telah selesai menurut titah Ceng Tong.
“Bagus, saudara-saudara telah Cape semua. Sekarang kita bermarkas disebelah timur dari tebat lumpur itu,” kata Ceng Tong yang terus mengeluarkan lengCi: “Dan kini pemimpin kompi II dari Ang Ki bawalah lima puluh0 orang untuk menjaga tepi selatan dari sungai Hitam. Usahakan yangan sampai tentara musuh dapat menyeberang. Paling sedikit, mereka menyerang dengan sepuluh ribu serdadu. Yangan lawan mati-matian, Cukup kalau dapat mengulur waktu. Kalau sampai ada seorangpun serdadu musuh yang dapat menyeberangi sungai, yangan kau menghadap aku lagi.”
Pemimpin itu segera berlalu.
“Pemimpin kompi I dari Pek Ki, bawalah anak buahmu. Pikatlah supaya musuh mengejarmu kearah barat. Kau harus berpura-pura kalah, lari terus kegurun besar, makin jauh makin bagus,” atur Ceng Tong pula.
Tapi Kipanya pemimpin itu wataknya suka menang, dia tak senang diperintah supaya kalah.
“Kita orang Ui hanya tahu menang. Aku tak biasa ‘kalah’,” serunya.
“Ini perintahku.” Disepanyang jalan, kau lemparkan empat ribu ekor kerbau dan sapi yang kau bawa itu, agar mereka terpikat dan merampasnya,” kata Ceng Tong.
“Mengapa ternak diserahkan musuh? Aku menolak!”
Mulut Ceng Tong dikatupkan kenCangdua, dengan keren ia menegaskan: “Jadi kau membangkang?”
Pemimpin itu kibaskan goloknya, berseru keras: “Perintahmu untuk menangkan peperangan, aku turut. Untuk suruh aku kalah, aku Tegas-tegas menolaknya.”
“Akan kubawa kalian kearah kemenangan. Kau hanya pura-pura kalah dulu, baru nanti berbalik menyerang lagi,” ujar sigadis.
Merah mata pemimpin kompi itu, karena beringas.
“Sedang ayahmu sendiripun tak dapat memperCajai kata-kata-mu, mengapa kau akan Coba menipu aku? Kau kira aku tak tahu isi hatimu?” teriaknya sengit.
“Tangkap dia!” seru Ceng Tong pada pengawal didekatnya,
Empat orang pengawal segera meringkus hulubalang itu, siapa hanya tertawa tawar saja, tak mau melawan.
“Bahwa orang Ceng akan menyerang wilayah kita, harus- (
lah kita bersatu padu dulu, baru dapat menCapai kemenangan. Nah, kau turut perintahku apa tidak?”
“Aku tetap tidak mau. Coba kau akan berbuat apa padaku?”
“Tabas kepalanya!” bentak Ceng Tong tegas.
Tadi hulubalang itu bersikap Congkak, karena mengira Ceng Tong pasti tak berani menghukumnya. Maka demi didengar keputusan itu, mukanya lantas berobah puCat seperti kertas. Pengawal itu Cepatdua lakukan titah Ceng Tong, dan menggelindinglah kepala hulubalang yang membangkang itu. Ceng Tong suruh pertunjukkan kepala itu kepada semua pemimpin barisan. Dan merekapun menjadi patuh karena takut.
Oleh Ceng Tong segera wakil pemimpin kompi kesatu dari pasukan Pek Ki diangkat menjadi penggantinya. Ditugaskan memikat musuh supaya( mengejarnya kearah gurun. Kalau nanti ada pertandaan asap dari sebelah timur, harus lekas kembali dengan ambil jalan memutar. Pemimpin baru itu segera berangkat.
Selesai memberi perintah, seorang diri Ceng Tong kaburkan kudanya keparat. Tiba-tiba dia turun, terus berlutut. Kedua belah pipinya basah dengan air mata. Dengan suara lemah ia bersembahyang: “O, Allah Yang Maha Kuasa, hamba mohon berkah dituntun kearah kemenangan. Ayah, saudara, sampaipun ponggawa perang, tak memperCajai hamba lagi.
Demi memelihara peraturan pasukan, terpaksa hamba membunuh orang. “O, Allah, limpahkanlah berkatMu, agar kami menang, agar ayah dan adik hamba kembali dengan tak kurang suatu apa. Kalau mereka ditakdirkan binasa, mohon hamba saja yang menggantikannya. Tak akan hamba bermohon apa-apa lagi, biarlah Tan-kongCu dan adik hamba saling berbaik. Kau karuniakan mahkota keCantikan pada Asri, tentu ber-lebihduaan pula kasihMu padanya. Kumohon kasihMu itu selalu dilimpahkan padanya”.
Habis mendoa, Ceng Tong lonCat keatas kuda. Memutar kembali kudanya, ia menCabut pedang seraya berteriak: “Kompi kesatu dan kedua dari pasukan Hek Ki, ikutlah aku. Lain-lainnya kembali kepos masing-masing!”
Kita tengok lagi keadaan Bok To Lun dan rombongan Tan Keh Lok. Lewat tengah hari, tiba-tiba di belakang barisan musuh timbul kekaCauan. Sebuah pasukan meneryangnya datang dengan hebat. Dibawah hujan salju, tampak pemim pin pasukan itu, seorang yang berpakaan warga kuning, dengan memutar golok panyang. Sebatang bulu burung yang berwarna hijau kebiruduaan nampak ber-goyangdua terCantum diatas kepalanya. Itulah Chui-ih-wi-sam Hwe Ceng Tong yang gagah perkasa.
“Ayo, kita menyerbu, sdr.dua!” seru Thian Hong. Bagaikan gelombang, pasukan Ui yang dipimpin oleh orangdua gagah HONG HWA HWE menyerbu kebawah dari dua jurusan. Tentara Ceng tak kuasa menahannya. Maka terbukalah jalan dimana keempat pasukan Ui — dua dari Bok To Lun dan dua dari Ceng Tong — dapat bergabung. Hiang Hiang KiongCu ajukan kudanya, kemudian saling berpelukan dengan sang enci.
Ceng Tong menarik tangan adiknya, seraya memberi perintah: “Sdr. pemimpin kompi tiga dari Hek Ki, lekas bawa anak buahmu mundur kebarat, bergabung dengan kompi I dari Pek Ki. Turutlah perintahnya!”
Pemimpin itu Cepat melakukan perintah. Kuda dari anak buah kompi itu semuanya pilihan. Tampak dari jauh sebuah bendera kuning ber-kibardua. Itulah pasukan pilihan Wi Ki atau panji kuning dari tentara Ceng sudah mengejarnya.
“Bagus!” seru Ceng Tong ke girangan. “Sdr. pemimpin kompi I pasukan Hek Ki, mundurlah ke kota Yarkand. Turut perintah kokoku. Kompi II Hek Ki, kau mundur ketepi selatan sungai Hitam. Disana sudah siap menyambut kompi II pasukan Ang Ki kita. Dengarlah perintahnya!”
Kembali kedua pemimpin kompi itu berangkat. Kini tampak pasukan Ceng dari Pek Ki (bendera putih) yang mengejarnya.
“Saudara-saudara, mari kita menyerbu ketimur!” seru Ceng Tong. Tigaratus anak buah tentara Ui, mengawal nona pemimpin mereka, segera membuka jalan. Bok To Lun, Hiang Hiang dan Tan Keh Lok berserta rombongannya bergabung dalam kompi 4 pasukan Hek Ki, terus ikut meneryang kearah timur.
Tiau Hwi Cepat titahkan kedua sayapnya — pasukan thiat-kah — menghadangnya. Yang ini adalah pasukan pilihan dari Lam Ki (pasukan biru) mereka. Pemimpin dan wakilnya sama bersenjatakan tombak berkait.
Pasukan Ui tadi segera tampak terCeCer. Mereka bertempur sembari lari. Sekejab saja, beberapa ratus tentara Ui terkepung, pasukan Thiat-kah itu bersuka ria membasminya. Tiau Hwi girang sekali. Menunjuk pada panji bulan sabit, disebelah Ceng Tong, dia berseru: “Siapa dapat merampas panji bulan sabit itu, mendapat hadiah seribu tail perak!”
Be-rebutduaan anak buah .thiat-kah-kun merangsek maju. Mereka mengejar kearah gurun raja.
Karena anak buah kompi 4 dari pasukan Hek Ki suku Uigor itu berkuda bagusdua, dalam beberapa waktu, thiat-kah-kun tak dapat mengejar. Mereka mengejar sampai tiga-empatpuluh li. Diantara beberapa anak buah kompi 4 Hek Ki itu, ada, yang terCeCer ketinggalan. Mereka memberi perlawanan seru, tapi tak urung dapat dibunuh oleh thiat-kah-kun.
Tapi setiap serdadu Ui yang dibunuh itu, kalau bukan orang tua tentu masih kanak-kanak. Melihat itu, Tiau Hwi menjadi girang.
“Aha, pemimpin mereka itu tidak dikawal oleh barisan istimewa! Ayo, kejar terus!” serunya.
Lewat beberapa li lagi, keadaan pasukan Ui makin kaCau. Yang tamnak, hanya panji bulan sabit ber-kibardua diatas sebuah bukit.
Kuda Tiau Hwi juga seekor kuda pilihan. Dengan memutar golok besar, dia keprak mendahului untuk mengejarnya. Tamoaklah rombongan Ceng Tong itu turun dari atas bukit.
Setiba, dipunCak bukit, Tiau Hwi segera bujar semangat nya, Disitu bukan pasukan panji bulan sabit yang didapati nya, melainkan suatu pasukan yang berbaris rapih dan angker.
Disitu yang berkibar, adalah panji Merah (Ang Ki), “Sungguh Cerdik sekali orang Ui itu. Kiranya mereka sudah sediakan bay-hok disini!” pikir jenderal Ceng itu.
Ketika ia memandang kesebelah utara, tampak sepasukan bendera putih (Pek Ki) tengah mendatangi.
“Lekas mundur, pasukan belakang menjadi pasukan di muka!” seru Tiau Hwi dengan gugup.
Begitu perintah dikeluarkan, pasukan Ceng menjadi kaCau. Kini keadaan berbalik. Tentara Ui bagaikan semut maju mengejar. Benar semula tentara Ceng lebih besar jumlahnya dari pada fihak Ui, tapi oleh karena kini pasukan Tiau Hwi itu terpencil, kurang lebih hanya sepuluh ribu orang, maka mereka tak ungkulan melawan induk pasukan Ui yang berpusat ditempat itu.
Saat itu, kedua pasukan pilihan dari fihak Ui dari sebelah barat sudah mulai meneryang. Jadi kini Tiau Hwi terkepung dari tiga jurusan, barat, selatan dan utara. Hanya disebelah timur yang masih terdapat lubang. Melihat itu Tiau Hwi Cepat perintahkan pasukannya meneryang kearah itu. Dia sendiri pimpin penjagaan dibelakang. Makin ketiga pasukan Ui itu mendekati, makin ributlah pasukan Ceng itu mundur kesebelah timur.
Di-tengah-tengah kepanikan itu, tiba-tiba ada seorang serdadu kuda maju kemuka Tiau Hwi dengan berteriak keras-keras: “Tay-Ciangkun, Celaka, disebelah depan sana adalah lautan pasir dan tebat lumpur!”
Lautan pasir endap dari gurun Mongolia, adalah luas dan hebat. Itu waktu sudah ada seribu serdadu thiat-kah yang tengah berkutetan didalam endapan. Makin lama, mereka makin melesak kedalam.
Lautan pastt endap itu terjadi karena dulu sungai dari daerah padang pasir situ tak dapat mengalir kedalam laut. Air itu merembes masuk dalam pasir, dan jadilah sebuah lautan pasir yang mengendap. Luas ‘gurun lumpur’ itu tak kurang dari sepuluh mil persegi. Dimusim salju, permukaannya tertutup salju, sehingga tak kelihatan. Disinilah Ceng Tong memusatkan bayhok. Sudah tentu bagi seorang jenderal yang temaha kemenangan semaCam Tiau Hwi itu tak dapat mengetahuinya,
Ketika Ceng Tong dan rombongannya mengawasi dari punCak bukit, mereka dapatkan bagaimana serdadudua Ceng yang melesak terbenam dalam pasir endap itu makin banyak sekali jumlahnya. Ada juga tentara Ceng itu Coba menerobos keluar, tapi disekitar tempat itu penuh dipasangi dengan lubangdua perangkap oleh fihak orang Uigor.
Begitulah anak buah thiat-kah-kun itu digenCet dari tiga jurusan. Hasilnya, mereka saling injak diantara kawan sendiri. Dan tanpa menginsafi, mereka banyak sekali yang lari ke jurusan daerah pasir endap. Sekali injak, kakinya melesak sebatas lutut. Makin bergerak, makin melesak kedalam. Pinggang mereka mulai melesak, maka terdengarlah ribuan serdadu Ceng itu ber-teriakdua dengan ngeri. Dan ini justeru memperCepat melesaknya sang tubuh. Tahu-tahu sudah sampai sebatas mulut, dan pada lain saat, berbareng dengan sirapnya teriakan, kepala mereka pun hilang ditelan pasir. Paling belakang, masih kedua belah tangan mereka ber-gerak-gerak, tapi sekejab saja sudah lenyap; sama sekali.
Sepuluh ribu tentara Ui, dengan memegang perisai dan golok, mengawasinya disebelah luar dari lubang perangkap itu. Sedang dua pasukan pilihannya lanjutkan pembasmian nya lagi kepada sisa thiat-kah-kun yang belum keburu mendekati pasir endap. Demikianlah dalam waktu yang tak lama, sepuluh ribu thiat-kah-kun didesak lari dan kelelap dalam lautan pasir endap.
Untunglah Tiau Hwi, itu jenderal besar dari pasukan Ceng, dengan dikawal oleh seratusan pengawalnya, berhasil lolos dari sebuah jalan kecil.
Melihat be-ribudua serdadu dan kuda, mati kelelap dalam lumpur pasir, Hiang Hiang menangis tersedudua. Ia palingkan kepalanya, karena tak tahan melihatnya. Sebaliknya Bok To Lun sangat gembira, katanya pada Ceng Tong: “Ceng-ji, tadi aku telah kesalahan omong, yangan kau taruh dihati. Memang perangaiku berangasan, ayah yang bersalah.”
Ceng Tong menggigit bibir, tak menyahut.
Tiba-tiba Sim Hi merajap datang, katanya dengan serta merta: “Aku sikecil ini memang kurang ajar, sehingga tak mengetahui akan siasat nona yang lihai ini. Mohon nona tidak mendendam dihati.”
Tapi sekali Ceng Tong peCut kudanya, ia tinggalkan kaCung itu yang masih berdiri kesima ditempatnya.
“Sudahlah,” Ciang Cin tertawa. “Tunggu nanti Cong-thoCu mintakan ampun untukmu!” Begitulah si Bongkok menari-nari, dan tertawa lebar, katanya pula: “Sungguh aku tak habis mengerti, mengapa ia tak menggiring seluruh tentara musuh kedalam laut pasir endap itu!”
“Kita sekarang menang jurnlah,” kata Thian Hong, “mudahlah untuk melakukan itu. Tapi kalau belum-belum seluruh pasukan Ceng itu dimasukkan kemari, andai kata mereka nekad meneryang keluar, tentu kita tak dapat menahannya, bukan?”
“Betul. Tadi kita malah menduga jelek pada nona pandai itu,” sahut Ciang Cin.
Saat itu tak terdengar lagi suara apa-apa dari serdadu musuh. Nyata mereka sudah hilang tenggelam semua.
“Semua pasukan menuju kebarat, berkumpul ditepi sebelah selatan Sungai Hitam,” Ceng Tong kembali keluarkan perintah.
Dibawah pemimpin masing-masing, pasukan besar Ui itu mulai bergerak. Selama dalam perjalanan, Bok To Lun dan Tan Keh Lok saling tanyakan keadaan masing-masing. Berat nian hati kepala suku itu memikirkan kedua puterinya. KeDua-duanya, adalah buah kesayangannya. Kini keduanya nampaknya samadua jatuh hati pada pemuda Han itu.
Benar menurut peraturan agama Islam, seorang lakidua boleh beristeri sampai 4 orang wanita. Tapi orang muda itu bukan orang Islam. Entah bagaimana nanti jadinya.
“Biar nanti dipikirkan lagi setelah musuh dapat dikalahkan. Ceng-ji Cerdas tangkas. Asri halus budi pekertinya. Keduanya saling menyayang. Ah, tentu dapat dipeCahkan soal itu.” pikir orang tua itu.
Petang hari, pasukan besar itu tiba ditempat yang ditu junya. Sekonyong-konyong ada seorang serdadu barisan berkuda bergegas-gegas menghadap Ceng Tong.
“Pasukan musuh menyerang kita dengan hebat. Pemimpin kompi dua dari pasukan Ang Ki kita, sudah terbunuh. Pemimpin kompi dua dari pasukan Hek Ki, luka parah, anak buah kedua kompi itu, teranCam kemusnaan,” demikian laporan nya:
“Suruh wakildua pemimpin kedua kompi itu mengambil alih pimpinan. Tidak boleh mundur barang setapakpun juga,” seru Ceng Tong.
Serdadu berkuda itu Cepat berlalu.
“Kita kirim tidak bala bantuan kesana?” tanya Bok To Lun.
“Tidak!” sahut Ceng Tong dengan ringkas. Ia berpaling kesamping, dan memerintahkan pengawalnya: “Suruh semua pasukan kita ini beristirahat. Awas, yangan membuat api unggun. Boleh makan ransum keringnya!”
Pasukan besar yang terdiri dari sepuluh ribu jiwa lebih itu, segera beristirahat. Jauh disana terdengar deru air Sungai Hitam.
Kembali ada seorang pembawa warta, datang bergegasdua: “Wakil pemimpin dari kompi dua pasukan Hek Ki tadi sudah gugur pula. Anak buah kita tak dapat bertahan lagi!”
“Saudara pemimpin kompi tiga dari pasukan Ang Ki, pergilah bantu mereka. Pimpinan seluruh pasukan disana, kaulah yang pegang!” titah Ceng Tong.
Dengan memutar senjatanya, hulubalang yang ditunjuk itu segera berangkat.
“Nona Ceng Tong, bolehkah aku turut menyerbu?” teriak Ciang Cin.
“Tadi kalian keliwat lelah, baik mengaso lagi sebentar.”
Melihat sikap angker dari sinona sebagai komandan pasukan besar itu, Ciang Cin tak berani banyak sekali CingCong lagi.
Belum selang lama kompi tiga pasukan Ang Ki tadi berlalu, segera terdengar teriakan gemuruh. Tentu mereka sudah terlibat dalam pertempuran dengan tentara Ceng.
Setelah semangat seluruh anak buahnya segar kembali, Ceng Tong kembali. peCah barisannya. Semua kompi dari pasukan Ang Ki, harus mempersiapkan bayhok dibelakang bukit sebelah timur. Sedang barisan Pek Ki suku Kazak dan semua pasukan dari Mongolia, harus menyiapkan bayhok disebelah barat.
“Ayo kita maju lagi,” seru Ceng Tong sambil angkat pedangnya.
Makin kemuka, makin kedengaran dengan jelas, jerit teriak serdadudua yang tengah mengadu jiwa itu. Apabila malam sudah tiba, tampak anak buah fihak Ui menjaga dengan mati-matian beberapa buah jembatan kayu dihulu sungai. Tiba-tiba Ceng Tong perintahkan mereka mundur, dan ribuan tentara Ceng menobros melalui jembatan itu.
Setelah separoh lebih serdadu Ceng melalui jembatan, berserulah Ceng Tong keras-keras: “Tarik papan jembatan!.”
Berpuluh ribu tentara Ui itu, sama sembunyi dibawah tapian sungai. Jembatan tadi bermula sudah dikendorkan, dan diikatkan pada ratusan kuda dengan tali besar. Sekali abadua keluar, maka ratusan ekor kuda itu lari kemuka dan terdengarlah bunyi keretekan yang keras. Jembatan putus. Beberapa puluh serdadu thiat-kah yang sedang berada di tengah jembatan itu, sama keCebur dalam sungai semua. Dan nyatalah pasukan Ceng itu terputus dua. Satu ditepi sini sebagaian ditepi sana. Mereka hanya dapat saling pandang, tak dapat saling memberi bantuan apa-apa.
Ceng Tong kibaskan bendera perintahnya, dan keluarlah barisan bayhok meneryangnya. Tapi tentara Ceng ternyata terlatih baik. Sekalipun dalam kekaCauan, masih mereka patuh akan perintah pemimpinnya. Segera mereka berkumpul dalam formasi yang teratur.
Kira-kira masih berapa ratus tindak dari musuh, tiba-tiba tentara Ui berhenti. Sekali lagi Ceng Tong kibaskan benderanya. Dan, ‘bum, bum’, sana sini kedengaran bunyi letusan menggelegar, disusul dengan kepulan asap hitam bergulung-gulung.
Bumi yang dipijak oleh tentara Ceng itu, ternyata di pendami obat pasang. Maka dapat dibayangkan betapa kaget dan hebat keadaan mereka. Potongan kaki dan gumpalan daging berterbangan ke-manadua. Suasana menjadi panik. Berbareng itu, pasukan Ui meng’hujani panah. Karena tak dapat maju, mereka mundur saling injak sendiri, dan keCebur kedalam sungai.
Pakaian thiat-kah mereka, berat sekali. Sekali keCemplung air, terus ambles. Sisanya sudah tak keruan lagi keadaannya, dan dalam sebentar waktu saja dapat dibasmi oleh fihak Ui. Tepi sungai yang bertutupkan salju putih itu, penuh bertebaran majat serdadu. Pasukan Ceng disebelah tepian sana, ketakutan setengah mati. Mereka berbondong-bondong mundur kedalam kota Yarkand.
“Lintasi sungai, kejar terus!” perintah Ceng Tong.
Dengan gunakan perahudua, induk pasukan Ui lakukan pe ngejaran kekota Yarkand.
“Hebat sekali nona Ui itu mengatur tentara. Rasanya aku tak nempil seujung rambutpun dengannya,” kata Thian Hong.
Keh Lok diam-diam pun kagum.
Penduduk kota Yarkand siangdua sudah diperintahkan mengungsi. Yang jaga disitu adalah anak buah Hwe Ah In. Dia pura-pura mengadakan perlawanan. Habis itu, dia lalu mundur. Tak lama, pasukan Ceng dari bendera Kuning yang dikaCip dan dibinasakan hampir separoh oleh tentara Ui tadi, pun tiba dari pengundurannya di Sungai Hitam. Begitu pun kedua pasukan Ceng itu, kini bergabung. Juga jenderal mereka, Tiau Hwi, tak lamapun datang dengan para pengawalnya.
Demi mendengar kekalahan yang* diderita oleh pasukannya di Sungai Hitam tadi, Tiau Hwi marah besar. Justeru pada saat itu, seorang ponggawa datang melapor, bahwa beberapa ratus serdadu Ceng yang minum air sumur, telah sama mati seperti kena raCun.
Tiau Hwi titahkan sekelompok regu mengambil air diluar kota. Habis itu, hendak ia mengaso. Tapi segera dia menjadi kaget, demi nampak langit berwarna kemerahduaan. Seluruh kota kelihatan terang benderang.
Seorang pengawal masuk bergegasdua, mengatakan bahwa empat penjuru kota Yarkand diamuk api.
Kiranya didaerah Hwe, banyak sekali menghasilkan tambang minyak. Dibeberapa tempat, terdapat sumber minyak yang kaja. Dalam perintahnya dulu, Ceng Tong suruh setiap penduduk supaya menyimpan minyak dirumah masing-masing, sebelum mereka mengungsi. Maka dengan gunakan bayhok yang terdiri dari sedikit orang saja, dapatlah Ceng Tong melaksanakan renCananya, membakar tentara Ceng.
Dibawah lindungan pengawalnya, Tiau Hwi menobros. Dalam kekalutan itu, pasukan pengawal peribadi tersebut, membuka jalan darah untuk menyelamatkan sang Ciangkun. Mereka menuju kepintu barat. Sepasukan besar serdadu thiat-kah memapaki, dan melapor bahwa orang Ui telah menutup pintu barat. Sukar menobrosnya.
Tiau Hwi beralih tujuan kearah timur. Api makin hebat. Terbakar api baju thiat-kah itu menjadi panas. Saking tak tahan serdadudua itu buang pakaian thiat-kahnya, untuk lari tunggang langgang.
Anak buah pasukan Ui yang berada dikota itu ber-sorakdua riuh rendah. Dalam kekalutan itu ada sebuah kelompok kecil dari beberapa serdadu Ceng, menghampiri Tiau Hwi.
“Mana TayCiangkun?” teriak mereka.
“Disihi!” sahut pengawal Tiau Hwi.
Seorang segera tampil kemuka dengan tangkasnya. Itulah Horta.
“TayCiangkun, yang berada dipintu timur agak sedikit, kita teryang kesana,” katanya pada Tiau Hwi.
Dalam keadaan sedemikian berbahaya itu, Tiau Hwi masih bisa berlaku tenang. Dengan sisa pasukannya yang luka-luka itu dia menuju kepintu kota sebelah timur.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar