MENDENGAR menyambarnya senjata
tajam, tanpa berhenti lagi Hwi Hing terus menarik tangan Li Khik Siu dan dibawa
lari masuk ketengah lautan api.
Tanpa kuasa tahu-tahu Li Khik Siu
tubuhnya terapung diangkat orang, tentu saja semua perajuritnya berteriak kaget,
tapi api menjilat dengan hebatnya, mereka tak berani maju menolongnya.
Tatkala itu Nyo Seng Hiap sudah
hantam patah tombak Can Tho Lam dan Wi Jun Hwa juga sudah berhasil me rintangi
majunya Li Wan Ci.
Melihat Hwi Hing mendadak
menyeret Li Khik Siu ke dalam lautan api, segera para jago Hong Hwa Hwe pun
mengarti akan maksudnya, maka be-ramaidua merekapun ikut menerjun masuk,
sibongkok Ciang Cin yang per-tamadua melompat kedalam' lingkaran api, menyusul
Cio Su Kin juga melesat masuk.
“Sudahlah Cukup, jangan masuk
lagi,” demikian Keh Lok mencegah kawahduanya yang lain. Terpaksa mereka hanya.
menanti saja diluar lingkaran api.
Ketika perajurit Cing nampak
panglima mereka teran Cam bahaya, sesaat mereka menjadi lupa bertempur dengan
orang-orang HONG HWA HWE, hanya dengan hati kuatir mereka mengawas gerak-gerik
lima orang yang terkurung ditengah lingkaran api itu.
Terlihatlah saat itu Ciang Cin
dan Cio Su Kin sudah membangunkan Bun Thay Lay yang bersandar diambang pintu,
lalu hendak diajak pergi. Li Khik Siu agaknya sudah tertutuk oleh orang aneh
berkedok itu, sebab lemas lunglai sedikitpun tak berkutik.
Sementara itu Can Tho Lam sudah
mundur kebelakang dan menjaga dipinggir sumbu pasang bersama seorang Congping
yang bertugas disitu, waktu melihat tawanan penting itu segera bakal lolos,
tapi panglimanya berada didalam lingkaran api, maka tak berani ia menyulut
sumbu, dalam hati ia kelabakan sendiri tanpa berdaya.
Pada waktu ia ragudua itulah,
mendadak dari samping sese-orang telah mendorongnya, lalu merebut obor dari
tangan satu perajurit terus menyulut sumbu peledak itu. Karuan terkejutnya luar
biasa, waktu Tho Lam menegasi, nyata orang itu adalah Hoan Tiong Su.
Jago bayang kari ini tempo hari
telah kena dihajar mentahdua oleh jago-jago Hong Hwa Hwe ditelaga Se-ouw hingga
bikin malu dirinya dihadapan Sri Baginda, dendam itu selama itu selalu
diingatnya, apalagi paman gurunya, Pui Liong Cun juga kena dipotong putus urat
pundaknya oleh Bu Tim hingga CaCat untuk selamanya. Kini melihat Bun Thay Lay
bakal terlolos, ia tak hiraukan lagi mati-hidupnya Li Khik Siu, seketika ia
sulut sumbu obat peledak itu.
Sekejap saja semija orang
menyaksikan seutas bunga api telah menyalar pergi dengan amat Cepat-cepat nya,
asal ular bunga api itu sudah melingkari api, sudahlah pasti terjadi malapetaka
hebat, tidak saja Bun Thay Lay, Li Khik Siu. Liok Hwi Hing, Ciang Ciu dan Cio
Su Kin bakal hanCur lebur terledak, bahkan akibat dari obat pasang yang
tersim-pan begitu banyak sekali didalam gudang pasti akan ikut meledak hingga
rumahdua penduduk sekitarnya tentu tersangkut bahaya.
Karena itu, seketika keadaan
menjadi kacau-balau, pasukan Cing be-ramaidua pada menyingkir mundur.
Sedang berbahaya, tiba-tiba
terlihat sesosok tubuh orang melompat Cepat-cepat kedalam lingkaran api.
Orang itu berbaju biru panjang ,
mukanya juga ditutup sepotong kain sutera biru, hanya sepasang matanya terbuka,
pada tangannya membawa sebatang rujung, larinya Cepat-cepat luar biasa. Dengan
rujung itu ia menyabet dan menyapu serabutan pada sumbu obat peledak yang meletikan
bunga api itu, namun sumbu itu masih terus membakar kedepan.
Nampak keadaan genting itu, Tan
Keh Lok dan Ji Thian Hong tak hiraukan keselamatan sendiri lagi, berturut-turut
me rekapun melompat maju berusaha hendak memotong sumbu api itu.
Kesemua itu terjadi dalam sekejap
saja. Ketika melihat usaha mereka tak berhasil, tiba-tiba orang berkedok tadi
men jatuhkan diri terus berguling-guling keatas sumbu yang mem-bakar itu,
seketika itu badannya mengeluarkan bau yang sangit, sedang seluruh pakaiannya
pun terbakar. Tapi sumbu itu berhasil dapat dipadamkan.
Dalam pada itu, ternyata Ciang
Cin dan Su Kin telah berhasil membawa keluar Bun Thay Lay. Juga mereka bertiga,
terbakar tubuhnya. Kedua saudara Siang itu bergegas-gegas menyambutnya, seraya
berseru: “Lekas bergulingdua ketanah,” Ciang Cin dan Su Kin segera lepaskan Bun
Thay Lay dari dukungan, lalu di-gulingduakan ketanah. Setelah beberapa kali
barulah pakaian Bun Thay Lay yang kemakan api itu menjadi padam. Dan tepat pada
waktunya, Lou Ping me nyambut dan membawa pergi suaminya itu.
Sementara itu, Ciang Cin dan Su
Kin pun bergulingan ditanah, dan pakaian mereka yang terbakar itupun dapat
di-padamkan.
Orang yang berkerudung mukanya
itu besar sekali jasanya dalam usaha menolong Bun Thay Lay. Disamping berterima
kasih yang tak terhingga, orang-orang HONG HWA HWE pun merasa heran siapakah
gerangan orang aneh itu. Pada waktu itu, kedua saudara Siang tampak menerjang
kedalam lautan api, untuk menyeret keluar orang bertudung itu yang ternyata
saat itu sudah pingsan. Ketiga orang sama terbakar pakaiannya. Setelah
kebakaran itu dapat dipadamkan, tampaklah bagaimana kaki tangan dan seluruh
tubuh orang aneh itu, sama melepuh.
Setelah melihat Bun Thay Lay
sudah dapat diselamatkan, Hwi Hing lalu memanggil Li Khik Siu, dan menerjang
keluar. Sekalipun memanggul orang, tapi karena menggunakan ilmu mengentengi
tubuh, maka jago tua itu tak banyak sekali menderita luka-luka terbakar.
“Kita sudah berhasil, lekas
mundur!” seru Keh Lok.
Seruan itu disambut oleh Bu Tim
yang segera memutar pedangnya untuk membuka jalan. Kedua saudara Siang
memanggul orang aneh itu, Ciang Cin dan Su Kin memang gul Bun Thay Lay sedang
Hwi Hing memanggul Li Khik Siu.
Adalah Wan Ci yang menjadi
gelisah sekali, ketika nampak ayahnya digondol orang-orang HONG HWA HWE Dengan
menghunus pedang ia memburu, tapi dihadang Jun Hwa dengan sepasang
'siang-kao'nya. Dalam beberapa jurus saja, nona itu kena kesrempet siangkao.
“Lekas pulang, memandang muka
suhumu, aku tak mau melukai kau!” kata Jun Hwa.
Sementara itu, pasukan Ceng sama
riuh gemuruh ber-sorakdua mengejar. Tapi karena pernah merasakan kelihaian
orangs HONG HWA HWE mereka tak berani merangsek dekat.
Ada delapan orang jago bayang
kari yang diutus oleh baginda untuk membantu Li Khik Siu. Apabila sampai
jenderal itu tertawan dan kena apa-apa, mereka tentu menerima hukuman mati.
Dengan sepasang 'poan-koan-pit'nya, Hoan Tiong Su mati-matian mengejar.
Orang she Hoan itulah yang tadi
menyulut sumbu dinamit, maka tahulah Keh Lok bahwa orang itu sangat kejani
sekali. Karenanya dia tak mau mengampuninya. Begitu me nyerahkan
,leng-bik-kiam' kepada Tio Pan San, ketua HONG HWA HWE itu berkata: “Sam-ko,
tolong kau pimpin mundur rombongan kita, aku akan membereskan orang itu dulu!”
Dari dadanya, dia mengeluarkan
senjata 'Cu-soh' (rantai mutiara). Juga Ma Tay Thing memberikan 'kiam-tun',
pedang bertameng.
“Bagus saudara Ma, banyak sekali
merepoti kau saja!” kata Keh Lok.
'Cu-soh' dan 'kiam-tun' ketua
HONG HWA HWE itu, selamanya adat lah Sim Hi yang membawakan, karena boCah itu
sakit, jadi Ma Tay Thing yang mewakilinya.
Ha,bis itu, sekali mengibas, 5
butir mutiara segera menyam bar kemuka Tiong Su. Si-wi ini bersenjatakan
poan-koan-pit, jadi diapun seorang ahli menutuk. Sekalipun bagaimana, diapun
melengak ketika nampak senjata yang luar biasa dari ketua HONG HWA HWE itu.
Pada setiap batang rantai mutiara, ujungnya terdapat sebuah bola baja, yang
dapat dipakai untuk menghantam jalan darah.
“Hoan-toako, bandulan boCah itu
lihai sekali. Harap kau hati-hati,” seru Cu Co Im.
Mendengar ketuanya di-kata-katai
begitu, gusarlah Tay Thing. Dengan sebatang rujung 'sam-Ciat-kun', dia maju
mengemplang kepala Co Im, siapa melengkan kepala sembari balas menghantamkan
golok. Begitulah segera terjadi pertempuran antara dua partai yang berjalan
dengan seru.
Dengan andalkan kegesitannya dan
kemahirannya menotok, Tiong Su berkelahi dengan linCahnya. Sekejab saja sudah
berpuluh jurus lewat dan selama itu, diam-diam si-wi itu meng eluh dalam hati.
Tidak lagi dia dapat wujudkan lamunannys untuk menang, sedang untuk dapat
bertahan lagi, dia sudah akan berSyukur sekali. Dan akhirnya, jalan satuduanya
ialah menCari kesempatan untuk lolos. Namun dirinya seolahdua dilihat oleh
rantai mutiara orang.
Memang Tan Keh Lok tak ingin
memperpanjang tempe lebih lama lagi. 'Cu-soh' diputarnya dalam gerak-gerak yang
luar biasa hebatnya. Itulah yang disebut ilmu “Cian-thao-ban-jiu' atau seribu
kepala selaksa tangan. Bandulan baja bagaikai hujan derasnya, mengarah jalan
darah. Sehingga Tiong Su menjadi kebingungan untuk memelihara gerakannya.
Saking gugupnya ia menjadi kalap. Dalam suatu kesempatan, dia menerjang maju
terus menusukkan 'poan-koan-pit'-nya kedada lawannya.
Adalah peraturan dalam ilmu
silat, jalah “satu dim pendek satu dim berbahayanya.” 'Poan-koan-pit' adalah
senjata yang pendek. Kelihaiannya jalah untuk mengambil kemenangan dengan
jurus-jurus nya yang berbahaya. Pikir Tiong Su, Tan Keh Lok pasti akan mundur
atau sekurang-kurangnyanya menyingkir. Dan ketika itu, dapatlah dia lolos.
Poan-koan-pit itu bergerak keatas
dan kebawah, mengarah jalan darah “hian-ki” dan “Hit-Cian” pada dada Keh Lok
Tapi diluar dugaan, ketua HONG HWA HWE itu menarik turun tangannya kiri dan
'tun-kiam'-nya menabas kebawah. Pada 'tun' atau perisai itu, ditanCapkan
sembilan batang pedang terkait yang tajam.
Tiong Su gelagapan, untuk menarik
poan-koan-pitnya sudah tak keburu lagi. Maka begitu sepasang pitnya kebentur
dengan kiam-tun, Cepat-cepat a dia tarik pulang. Tapi Keh Lok telah
mendahuluinya untuk menyabet dengan Cu-soh, sehingga kedua kaki Tiong Su
tergubat. Dan sekali dilontar se kuatduanya, tubuh Tiong Su melayang kedalam
lautan api.
Ketua HONG HWA HWE itu terlanyur
mengumbar kemarahannya Maka menyusul dengan itu, dia balingkan lagi Cu-sohnya
menghantam punggung Co Im.
“Aduh “ jerit Co Im kaget dan
kesakitan sekali, karenanya gerakannya pun menjadi lambat. Dengan tak
sia-siakan kesempatan, Tay Thing menghantamkan 'sam-Ciat-kun'-nya dan tepat
mengenai paha lawannya. Tay Thing gemas sekali akan mulut Co Im yang kurangajar
tadi, jadi dia gunakan seluruh tenaganya untuk menghantam. Akibat nya, paha
si-wi itu hanCur.
Pada saat itu, rombongan HONG HWA
HWE sudah dapat keluar dari pagar tembok. Sedang Pan San yang melindungi
dibelakang, tampak berhantam dengan tiga orang jago bayang kari.
“Ayo, mundurlah!” seru Keh Lok
ketika menghampiri sembari melambaikan tangan.
Sedang dilain pihak, dalam tiga
jurus saja, Wan Ci kelihatan tak dapat bertahan dari serangan 'siang-kao' Jun
Hwa. Terpaksa ia mundur. Jun Hwa tak mau mendesak, hanya berputar kekanan dan
mengajunkan kepalannya pada seorang si-wi sehingga si-wi itu pesok hidungnya.
Dan se Cepat-cepat nya, Jun Hwa sudah merampas sebatang obor, terus menyulut
sumbu yang dipadamkan oleh siorang bertudung tadi. Gegap gempitalah kegemparan
pasukan Ceng, sedang dalam pada itu, rombongan HONG HWA HWE sudah menyingkir
semua, Swi Tay Lim, Cu Wan dan lain-lain. si-wi sedianya akan terus mengejar,
tapi tibas dilihatnya asap hitam bergulung-gulung keatas dan sekali sinar api
yang terang benderang berkilat, maka terdengarlah suara letusan dahsyat memeCah
bumi. Seketika CuaCa menjadi gelap dengan gulungan asap, dan pecahan genteng
serta batu beterbangan keseluruh penyuru.
Anakdua tangsi sama mengetahui
bahwa itulah obat pasang yang meledak, mereka, burus tengkurap ketanah. Obat
pasang didalam gedung berloteng itu, ber-petidua banyak sekalinya maka letusan
segera terdengar susul menyusul. Sekalipun orang-orang itu berada ditempat yang
jauh jaraknya dengan gedung itu, namun mereka tak sekali-kali berani bangun.
Walaupun demikian, tak urung ada berpuluh orang yang kepalanya berdarah
ketimpah pecahan batu atau genteng. Hoan Tiong Su, itu si-wi yang kejam, karena
dilemparkan kedalam api oleh Keh Lok tadi, sianga tubuhnya sudah hanCur
ber-keping-keping kena ledakan obat.
Setelah orang- tangsi itu berani
berbangkit lagi, rombongan HONG HWA HWE sudah lenyap dari pemandangan. Swi Tay
Lim pimpin pasukan berkuda untuk mengejar kearah tenggara (timur selatan),
barat daya dan keempat jurusan lain. Yang pimpin pengejaran kesebelah barat,
adalah perwira Can Tho Lam.
Belum lama berjalan, mereka
berpapasan dengan Wan Ci yang berjalan kembali sambil menuntun ayahnya. Girang
sekali Tho Lam, lalu Buru-buru memberikan kudanya.
Kiranya ketika tahu sang ayah
ditawan, tanpa hiraukan apa-apa lagi, Wan Ci nekad mengejar. Rombongan HONG HWA
HWE menuju kebarat, karena seorang diri, Wan Ci tak berani terlalu mendekati,
hanya menguntit dari kejauhan.
Waktu itu hari belum terang
tanah, tetapi ketika rombongan itu sampai dipintu barat, tiba-tiba pintu kota
itu terbuka, se-olahdua memberi kesempatan orang-orang itu untuk keluar. Wan Ci
memutar kelain jurusan, pada sebuah tempat sepi, ia memanyat keatas. Tapi
karena itu, ketika diawasinya lagi, rombongan HONG HWA HWE tadi sudah tak
nampak. Hanya bintang pagi menCorong dilangit, sedang ajam jago kedengaran
berkokok. Karena bingung dan sedih memikirkan nasib ayahnya, nona itu mendekap
mukanya dan menangis.
Tengah dia menangis itu,
tiba-tiba ada suara lemah lembut menegurnya: “Wan Ci, aku disini.”
Sukar dilukiskan rasa kegirangan
sigadis itu ketika dike tahuinya bahwa orang yang berdiri dibelakangnya itu
adalah ayahnya sendiri. Ia loncat menubruk dan merangkul sang ayah.
“Ayah, apa kau tidak terluka?”
tanyanya segera.
“Tidak,” sahut orang tua itu.
Wan Ci sesepkan kepalanya kedada
sang ayah, dan berbisik menanya: “Bagaimana dengan dia?”
Tapi Khik Siu tak menyahut, hanya
gelengkan kepala. Tanpa terasa, Wan Ci kucurkan air mata.
Kiranya sewaktu keluar dari pintu
kota dan melihat tak ada yang mengejarnya lagi, rombongan HONG HWA HWE lega
hatinya. Berjalan tak berapa lama, mereka sampai ditepi sungai. Disitu sudah
tersedia belasan perahu model Siauwhin, yaitu yang dienjot pakai kaki. Ma Sian
Kun keluar menyambut, dan dengan gembira orang-orang HONG HWA HWE sama naik
kedalam perahu. Waktu itulah Hwi Hing berbisik pada Tan Keh Lok: “Li Khik Siu
pernah melepas budi padaku. Bun-suko sudah tertolong, baik kita lepaskan
Ciangkun itu.”
Tan Keh Lok setuju. Setelah
pengikat Khik Siu dikendorkan, dia diletakkan diatas tepi sungai. “Lekas
berlajar, kita menuju ke Kahin dulu!” seru Keh Lok.
Setelah berlajar melalui lima
teluk, tiba-tiba Tan Keh Lok i* berseru: “Biluk kebarat ke IkCiu, biar Li Khik
Siu t jari kita di Kahin!”
Orang-orang sama tertawa
ter-bahakdua. Ber-bulandua jerih payah, baru hari itu mereka betuia bebas
hatinya. Bun Thay Lay dirawat dengan penuh sayang oleh isterinya. Setelah borgo
lannya dipapas dengan 'leng-bik-kiam', maka iapun lalu mengaso.
“Congthocu, orang berkerudung
yang menolong Suko itu luka parah sekali. Baik apa tidak kalau kita buka
kerudung mukanya itu,” kata Thian Hong.
Memang semua orang pun heran dan
ingin mengetahui siapakah gerangan dia itu.
“Dia pakai kerudung muka, tentu
maksudnya supaya orang jangan menampak wajahnya. Kurasa lebih baik kita jangan
membukanya,” kata Ciu Tiong Ing yang berhati jujur itu. Sim Hi yang sudah
banyak sekali sembuhan itu, menggosokkan obat pada luka-luka siorang aneh itu.
Karena sekujur badannya sama melepuh terbakar, orang itu tak bisa tidur dan
terusduaan mengerang saja. Sim Hi takut, jangan-jangan orang itu mau meninggal.
Karena itu, dia Buru-buru melapor.
Keh Lok bersama beberapa kawan
menuju kesudut pe-rahu. Mereka melihat bagaimana laku siorang aneh itu, yang
ternyata lukanya itu tidak karuan. Mereka pun berkuatir. Orang berkerudung itu
masih terus tak sadarkan diri. Dengan kedua belah tangannya, dia garuki
mukanya. Rupanya luka pada bagian itulah yang paling hebat rasa gatalnya.
Tiba-tiba tangannya kiri menarik kain kerudung mukanya itu dan berserulah
orang-orang HONG HWA HWE dengan kaget sekali: “Sipsute!”
Kiranya orang aneh itu ialah si
Kim-tiok-siuCay Ie Hi Tong. Hanya saja kini, selebar mukanya sama melepuh
mengandung air. Kalau dulunya muka itu sangat Cakapnya, sekarang betul-betul
mengenaskan sekali keadaannya.
Orang-orang HONG HWA HWE sama
girang dibalik merasa gegetun sekali. Lou Ping menyeka luka-luka dan kotorandua
pada muka Hi Tong, lalu dipakaikan obat seperlunya.
Hatinya merasa pilu sekali, ia
tahu anak muda itu berkorban karena Cinta padanya. Besar Cinta kasih anak muda
itu, sehingga rela dia membuang jiwa untuk menolong Bun Thay Lay supaya orang
yang diCintainya itu jangan bersedih. Sekalipun begitu, sukar rasanya Lou Ping
untuk membagi Cintanya.
Masih ingat ia akan kegeloan
pemuda itu ketika lari dari Thiat-tan-Hung dulu, untuk itu ia masih mendongkol.
Tapi ketika melihat pengorbanan pemuda itu menolong suaminya, berobahlah
pandangan Lou Ping. Memang Cinta, telah membikin buta anak muda itu. Kalau
ditilik dari luka-lukanya, rasanya Hi Tong sukar tertolong jiwanya. Dan kalau
sampai terjadi begitu, getaran asmaranya itu akan tetap tak terbalas. Memikir
sampai disitu, Lou Ping termenung.
Setelah berlajar beberapa jam lagi,
sampailah mereka di Gihong Ma Sian Kun Buru-buru mengundang tabib pandai untuk
mengobati Hi Tong dan Bun Thay Lay. Tentang penyakit Bun Thay Lay, berkatalah
tabib itu: “Orang ini hanya menderita luka luar, uratduanya kuat sekali,
beberapa bulan lagi dia tentu sudah sembuh.”
“Tapi siaoya ini,” kata pula
tabib itu menuding kearah Hi Tong. “Lukanya terbakar hebat sekali. Pertama
Coba. kuberinya dua thiap obat pemunah raCun kebakar.”
Dari uCapa,n itu dapatlah
diketahui, bahwa tabib itu sudah tak berani memastikan sembuh tidaknya Hi Tong,
yang sudah tak berdaya lagi. Ketika tabib itu berangkat pulang, tiba-tiba Bun
Thay Lay ber-kaokdua keras: “Tempat apa ini? Mengapa orang-orang banyak sekali
berada disini?” Nampak suaminya dapat tersedar, Lou Ping menangis kegirangan.
“Toako, kau sudah tertolong
bebas!”
Bun Thay Lay bersenyum dan
manggutkan kepala kepada sekalian orang, lalu meremkan mata lagi, dia masih
keliwat lemah. Sekarang perhatian oranga HONG HWA HWE beralih menguatir kan
keselamatan Hi Tong.
“Tapi mengapa Sipsute ini masuk
kedalam tangsi Li Khik Siu?” tanya Ciang Cin heran. “Kalau begitu orang yang
menunyukkan jalan di bawah tanah itu, tentu dialah. Tapi karena tidak
mengetahui, kita malah sudah memukulnya,” kata Siang He Ci.
“Tapi dia menolong Li Khik Siu,
entah apa maksudnya?” tanya Siang Pek Ci.
Tak ada jawaban apa-apa, keCuali
saling berisik merundingkan. Hanya Thian Hong seorang yang dapat merabah latar
belakangnya. Tapi karena kurang jelas dia tak berani mengutarakan.
Hal yang sebenarnya, adalah
sebagai berikut: Ketika pertempuran ditepi Hoaggho tempo hari, Wan Ci telah
hilang dari rombongan HONG HWA HWE Kebetulan ia melihat sebuah kereta besar,
maka Cepat-cepat ia loncat masuk. Ternyata didalamnya ada beberapa perwira
Ceng, siapa Coba menghadang Wan-Ci, tapi dapat dipukul mundur oleh nya. Tanpa
menghiraukan apa-apa, nona itu menerjang dengan kalang kabut, entah kemana
arahnya. Setelah keretanya jauh, baru dia berhentikan kereta itu dan turun.
Ketika menyingkap tenda kereta
dan melongok kedalam, ia agak terperanyat. Karena didalam situ terdapat orang
yang pernah dua kali bertemu muka dengannya, jakni Kim-tiok-siuCay Ie Hi Tong.
Hanya saja keadaan orang itu,
sakit payah. Waktu disingkap selimutnya, ternyata anak muda itu luka parah.
Setelah mengaso sebentar, Wan Ci keprak keledainya lagi. dan tiba dikota Bun
Kong. Sebagai seorang sioCia dari seorang pembesar tinggi, ia biasa hidup
mewah. Begitu masuk kota, ia lalu memilih sebuah hotel yang besar. Justeru
hotel itu adalah milik seorang buaja darat yang bergelar “Tong-li-pi-siang”
atau warangan didalam gula, nama yang sebenarnya Tong Liok. Tong Liok pura-pura
menyambutnya dengan manis, tapi menaruh keCurigaan kepada tetamunya. Betul juga
belakangan dia ketahui bahwa Wan Ci itu seorang gadis yang menyaru sebagai
lelaki.
Dia berserikat dengan sinshe Ho
Su Peng untuk men Celakakannya. Tapi belum sampai terlaksana, buaja itu telah
kena dibereskan oleh Siao-Li-Kui Ciu Ki dirumah pelesiran Waktu itu keadaan Hi
Tong sudah sedikit sadar. Karena takut dirembet dengan peristiwa buaja itu, dia
ajak Wan Ci melarikan diri.
Begitulah setiba dikota Khay
Hong, Wan Ci segera menghadap kekantor bupati dan menerangkan dia adalah putera
dari Ciangkun Li Khik Siu dari HangCiu, yang dibegal orang ditengah jalan.
Pembesar itu memberikan uang dan kereta, dan begitulah kedua anak muda itu
dapat sampai di HangCiu dengan tak kurang suatu apa.
Kepada sang ayah, Wan Ci
menerangkan bahwa pemuda kawannya itu mendapat luka karena menolongnya dari
tangan perampok. Khik Siu berterima kasih dan suruh Hi Tong beristirahat dalam
tangsi serta dipanggilkan sinshe untuk mengobatinya.
Kemudian karena melihat orangnya
Cakap dan ilmu ke-pandaiannya tinggi, apalagi pernah menolong puterinya.
Ciangkun itu ada ingatan akan mengambil mantu pada Hi Tong. Sedikitpun tak diketahuinya
bahwa pemuda yang telah di penujuinya itu, adalah salah satu tokoh yang
terpenting dari HONG HWA HWE
Beberapa bulan kemudian, hati Wan
Ci tampak risau. Tahu ia bahwa anak muda itu sebenarnya adalah pihak lawan dari
ayahnya, tapi apa mau dikata, hati sinona telah punya bayangan dari wajah anak
muda itu. Malam ia bermimpi ketika Hi Tong berada di hotel dengan senyumnya
yang manis sewaktu menghadapi musuh, dan bagaimana merdu rajuan suling dari
anak muda itu. Dan bagaimana selama dalam perjalanan itu, ia rawat luka sianak
muda dengan penuh kesajangan. Anehnya, entah pengaruh apa yang menyebabkan ia
dapat mengatasi diri untuk tidak mengeluarkan perangainya yang anehdua itu.
Sekali-kali ia tak suka sianak muda itu menCelah kelakuannya.
Setelah luka Hi Tong mulai
sembuh, orang-orang HONG HWA HWE melaku-kan penyerangan ketangsi. Sewaktu Hi
Tong buang jiwa untuk menolong ayahnya, Wan Ci girang bukan buatan. Dikiranya
anak muda itu sudah berobah pendiriannya dan berdiri dipihak ayahnya. Tapi
lamunannya itu segera dibujar kan dengan adanya kenyataan, ketika Hi Tong
menolong Bun Thay Lay, kemudian lalu mengikuti pergi dengan rombongan HONG HWA
HWE
Begitulah sekujur tubuh Hi Tong
melepuh berair. Duduk maupun dibuat tiduran, rasanya sakit. Ada 4 orang
thauwbak yang bergiliran mendukungnya selama berlajar dengan perahu itu. Karena
hanya bagian tumit kakinya saja yang tak ter luka, maka ia masih bisa berdiri.
“Kurasa pemerintah tentu takkan
tinggal diam dengan tindakan kita ini. Sebaiknya kita Cari daya untuk menjaga
diri,” Hwi Hing menyatakan pendapatnya.
“Benar, Suso, Ciang-sipko, kamu
bawa delapan orang thauwbak untuk mengantar Bun-suko dan Ie-sipsute kegunung
Cian-thian bok,” kata Keh Lok.
Lou Ping dan Ciang Cing
mengiakan.
“Karena kehilangan pesakitan
penting, baginda tentu akan gerakkan pengejaran besaran, kurasa kalau hanya
kalian berdua itu masih kuranglah,” Ciu Tiong Ing memberikan pandangannya.
“Ya, Ciu-Locianpwe benar,” jawab
Keh Lok. Tapi belum sampai dia menunyuk siapa orangnya, keburu Thian Hong
menyelak :
“Mengapa kita tak mau turut akan
tipu dari suhu Tio-samko, biarkan pemerintah Ceng mendapat hidung pan jang .”
Tapi Bu Tim gelengkan kepalanya.
“Suhu Tio-samko itu waktu sudah
berusia tinggi, dia sudah undurkan diri, jadi tak apalah kalau pura-pura meninggal.
Tapi Sute masih muda, darahnya panas, tentu tak tahan menderita hinaan,”
demikian katanya.
Kiranya suhu dari Tio Pan San,
Ong Liang Ki, adalah ahli Thay Kek Pai yang kenamaan dari kota TTnCiu. Semasa
mudanya pernah bermusuhan dengan jagoan besar dari Shansi yang bernama Seng
Kiao. Seng Kiao kena dijatuhkan, dan bersumpah nanti sepuluh tahun lagi akan
menuntut balas.
Sepuluh tahun lamanya, Seng Kiao
menyiksa diri berguru pada Cabang Houw Jiau Kun, ilmu silat Cakar Harimau, dan
tepat pada waktunya ia pergi keselatan menCari Liang Ki.
Sebenarnya ketika itu Ong Liang
Ki sudah undurkan diri. Dia sudah tawar akan kebanggaan nama yang kosong.
Apalagi tenaganya sudah banyak sekali berkurang, sedang lawan kabarnya sudah
mendapat kemajuan pesat sekali, jadi mungkin tak dapat menghadapinya. Karenanya
dia gunakan tipu pura-pura mati. Diruangan depan diatur meja sembahjangan dan
di letakkannya peti mati.
Mengetahui musuh besarnya sudah
menutup mata, Seng Kiao menangis didepan peti mati. Dia tangisi jerih payahnya
selama sepuluh tahun itu, kini tak berguna sama sekali. Jadi sakit hati itu tak
dapat dilampiaskan.
Habis bersembahyang , dia gunakan
jari tangan menggaruk peti mati, sehingga kelima jarinya itu meninggalkan bekas
dalamdua pada peti itu. Tio Pan San adalah murid nomor dua. Demi dilihatnya,
Seng Kiao begitu kejam menghina seorang mati, timbullah kemarahannya. Dari
berCekCok lalu menjadi perkelahian. Tapi Pan San bukan tandingannya Dia kena
digaruk rambutnya sampai kepalanya botak separoh.
Tio Pan San mendendam sakit hati.
Selanjutnya lalu ber sungguhz meyakinkan ilmu silat Thay Kek Kun. Lima tahun
kemudian seperti sang suhu, Pan San gunakan gerak tipu “Ya-ma-hun-Cong” atau
kuda Uar membagi bulu suri, suatu tipu yang digunakan oleh gurunya dulu, dan
berhasil merobohkan Seng Kiao.
Dan sedari itu, Tio Pan San
diangkat sebagai Ciang-bun-jin (ahliwaris) dari Cabang Thay Kek Pai. Tio Pan
San memperingatkan kepada murida yang belajar didalam perguruan itu, supaya
menyauhkan permusuhan dengan orang, karena ilmu itu tidak ada batasnya. Setiap
Cabang mempu nyai ahlidua luar biasa sendiridua, jadi tak boleh terlalu
membanggakan diri. Peristiwa itu teruwar luas dikalangan kangouw.
Semua orang-orang HONG HWA HWE
pun menyetujui pendapat Bu Tim. Meskipun tipu “pura-pura mati” dapat menyiasati
pemerintah Ceng, tapi mengunjuk kan kelemahan. Dapat diduga Bun Thay Lay tentu
tak menyetujuinya.
“Congthocu, sudahlah jangan
hiraukan aku. Lo-thocu tinggalkan pesan mengenai gerakan besar untuk
membangun-kan lagi derajat bangsa Han. Congthocu, kau tentu dapat melakukannya.
Sekarang baginda sedang berada di HangCiu, mudah menCarinya,” demikian
tiba-tiba Bun Thay Lay berseru.
Keh Lok seperti orang tersedar,
maka jawabnya: “Ya, biar kumenghadap pada baginda dan mengatakan bahwa
rahasianya telah kita ketahui. Dengan begitu dia tentu akan menganggap orangs
HONG HWA HWE ini semua adalah duri perintang baginya, dan harus dihukum mati
semua. Jadi dengan demikian dia tidak memusatkan kebenciannya pada Bun-suko
seorang saja.”
Mendengar pendapat ketua itu,
orang-orang sama bertepuk tangan dengan girang.
“Kiu-te, apakah selama beberapa
hari ini di HangCiu diadakan persidangan agung?” tanya Keh Lok.
“Tidak ada. Tapi malam ini akan
diadakan pemilihan ratu kembang!” jawab Jun Hwa.
“Ratu kembang? apakah itu?”
“Ah, ratu kembang pelacur,
tentunya. Nanti malam di telaga See-ouw ramainya bukan buatan,” kata Jun Hwa
dengan ketawa.
“Kita panCing baginda supaya
datang ketempat pelesiran. Congthocu, kaupun harus keluar supaya menemui
baginda,” kata Thian Hong.
Mendengar tempat pelesir dan
sebagainya, Cin Ki kerutkan alisnya kurang senang.
“Huh, makin lama kau ini makin
tak karuan. Masa Congthocu kau suruh ketempat pelesiran,” demikian omelnya.
“Ah, hanya perlu menemui baginda
saja, tak mengapalah,” jawab Thian Hong.
“Tapi kukuatir, dia tak mudah
dipanCing,” kata Keh Lok.
Semua orang terdiam, mengasah
otak.
“Kita bekerja tak boleh kepalang
tanggung, tawan saja raja itu, paksa dia luluskan permintaan kita, atau habisi
saja jiwanya, Coba lihat dia bagaimana,” kata Bu Tim.
Kembali orang-orang sama melengak
tak ada yang berani buka suara.
“Dia menangkap Bun-suko, kita
balas tangkap dia, kan sudah selajaknya,” kata Keh Lok.
Tahu sang ketua menyetujui
usulnya, Bu Tim girang, katanya kepada Thian Hong: “Ayo, kita pergi kesarang
pelesir, takut atau tidak?” — Lalu ia melirik pada Ciu Ki, dan lanjutkan
kata-katanya: “Aku seorang pertapaan, juga akan pergi. Kalau bisa menawan
baginda, pastilah hebat.”
Semua orang ketarik dengan
kata-kata tojin itu. Untuk menawan Kian Liong, mungkin tak mudah, tapi mereka
tampak bersemangat. Semua mata tertuju pada Thian Hong, untuk menunggu buah
pikiran si “Khong Beng” ini. Lama juga dia berpikir, baru berkata: “Ada suatu
daya, entah dapat disetujui atau tidak?”
Dan segera dibeberkannya rencananya.
“Bagus, bagus! Tak keCewa kau
menjadi 'Bu-Cu-kat'. Andainya tak berhasil, kitapun tak rugi,” seru Hwi Hing
memuji.
Ciu Ki tersenyum puas, karena
orang memuji tunangan nya.
“Ya, begitulah. Sebaiknya kita
lekas bekerja. Suso, Sipkp, pergilah kebarat. Tunggulah kita disana. Gagal atau
berhasil, kita nanti bertemu lagi disana,” kata Keh Lok kemudian.
Kalau semua saudara-saudaranya
sama gembira, adalah Ciang Cin yang mendongkol, karena tidak bisa ikut.
Demikianlah rombongan besar HONG HWA HWE lalu menuju ke HangCiu, sedang Lou
Ping dan Ciang Cin mengantar Bun Thay Lay dan Hi Tong beristirahat kegunung
Cian Thian Bok.
Dilain pihak mendapat laporan
dari Cu Wan dan lain-lain si-wi tentang kegagalannya ditangsi Li Khik Siu,
baginda Kian Liong terperanyat. Tapi dia orangnya kuat sekali pe rasaannya,
marah atau girang tak kentara. PerCuma saja si-widua itu dihukum, karena toh
pesakitan sudah terampas musuh. Malah dia menghibur kawanan si-wi itu.
Hal itu diluar dugaan mereka,
sehingga mereka tersipu-sipumenghaturkan terima kasih. Pun idem dengan Li Khik
Siu yang datang menghadap. Jenderal itu masih tetap dipakai nya, dengan sjarat
dia harus mendirikan pahala guna menebus dosanya itu.
“Lakukan sebisanya, babatlah HONG
HWA HWE sampai akarduanya, disinilah nanti kutempatkan kau,” kata Kian Liong.
Waktu itu baginda lagi berada
dikantor gubernur Ciat-kang. Jadi maksudnya, kelak kalau berjasa Khik Siu akan
diangkat menjadi gubernur propinsi Ciatkang. Mendengar itu hati Khik Siu
bergoncang keras, dan Buru-buru menghaturkan terima kasih.
Setelah Khik Siu berlalu, maka
Kian Liong kembali pikiri tentang peristiwa Bun Thay Lay itu. Apakah orang itu
mengetahui tentang rahasia dirinya? Ditilik dari perCaka pannya rupanya orang
she Bun itu masih belum tahu. Tapi kalau melihat perubahan mukanya orang itu
mengandung banyak sekali rahasia. Bukankah dia pernah mengatakan, bahwa ada dua
buah barang bukti yang berada diluaran? Mungkin hal itu benar, tapi barang
apakah itu? Kalau dirinya itu seorang Han, itulah benar. Namun kalau sampai hal
itu teruwar, bukankah akan hebat akibatnya?
Demikian Kian Liong timbul
tenggelam dalam pikirannya, sewaktu dia berada didalam kamarnya. Makin dipikir,
makin murkalah. Karena sebagai yang dipertuan, masa tak dapat menandingi
sekelompok kecil gerombolan penyahat. Apalagi rahasianya, berada ditangan
mereka, tentu mereka akan lakukan pemerasan hebat.
Saking gemasnya, dia banting
sebuah vaas giok hijau kelantai, sehingga hanCur ber-keping-keping. Mendengar
itu, kawanan si-wi yang menjaga diluar kamar, sama gemetar ketakutan. Sampaipun
rasanya bernapas saja tidak berani. Memang jitu bunyinya ucapan “menghamba pada
seorang raja, seperti menghamba pada harimau.”
Tengah keadaan hening luar biasa,
tiba-tiba dari luar sajupdua terdengar suara musik yang mengalun merdu dari
jauh mendekat, setelah melewati kantor pembesar itu lalu men jauh pula. Dan tak
lama kemudian, kembali se-iringduaan penabuh musik itu lewat lagi.
Kaisar Kian Liong adalah satu
raja periang, terhadap musik biasanya sangat suka, kini mendengar alunan musik
yang begitu merdu meraju kalbu itu, tak tertahan hatinya tergerak, segera ia
berteriak memanggil orangnya.
Lalu masuklah seorang menteri,
ialah Ho Gun, seorang kepercayaan Kian Liong yang paling belakang ini sangat
disayang nya, dasar Ho Gun ini pandai mengambil hati jun jungannya, maka
berulang kali ia naik pangkat dan dapat hadiah. Kini mendengar teriakan sang
kaisar, maka kawan sejawatnya mendorongnya maju.
“Suara tetabuhan diluar itu
permainan apakah itu, Coba kau pergi menanya,” demikian perintah Kian Liong.
Segera keluarlah Ho Gun dengan
tugas itu. Tak lama kemudian iapun kembali dan melapor: “Hamba sudah keluai
menanya jelas, katanya malam ini semua bunga raja terkemuka dikota HangCiu ini
akan berkumpul di Se-ouw untuk memilih apa yang disebut 'Hoa-kok-Cong-goan'
(Cong-goan gelar ujian sastra terkemuka dijaman feodal. Disini dapat disebut
“ratu kembang”), malahan juga ada Pong-gan, Tam-hoa, Toan-loh (semuanya gelar
dibawah Cong-goan) .”
“Kurangajar, masakan namadua
kebesaran negara dibuat permainan dan disalahgunakan!” omel Kian Liong sambil
tertawa.
Melihat wajah sang junyungan
bersenyum, Ho Gun menjadi berani, maju setindak lantas ia bisik-: “Konon
katanya 'Ci-tong-su-yan' yang terkenal di HangCiu sini juga akan hadir kesana.”
“Apakah 'Ci-tong-su-yan' itu?”
tanya Kian Liong.
“Sebenarnya hamba sendiripun
tidak tahu,” sahut Ho Gun. “Tadi sesudah menanya penduduk orang sini, barulah
diketahui itu adalah nama empat bunga raja yang paling terkenal. Sekarang
di-manaa diseluruh kota orang justeru lagi ramai memperbincang kan siapakah
diantara mereka yang bakal terpilih menjadi ,ratu kembang'.” “Kalau ujian
Cong-goan negeri aku sendirilah yang me nunyuk, lantas pilihan 'ratu kembang'
ini siapakah yang me-nentukan? Masa masih ada seorang raja kembang?” ujar Kian
Liong tertawa.
“Biasanya pilihan itu ditentukan
oleh para orang-orang terkemuka dikota ini,” kata Ho Gun. “Tampaknya tahun ini
terlebih ramai lagi, setiap bunga raja terkenal itu menumpangi sebuah perahu
kembang, perahu itu dihias segala macam benda mestika yang diterimanya dari
tetamu yang pernah kenal padanya. Masih ada lagi barisandua musik, katanya akan
melihat perahu kembang siapa yang paling mewah, kemudian baru ditentukan hasil
pilihannya. Iringkan musik yang lewat tadi, kesemuanya menuju ke Se-ouw.”
Kian Liong menjadi terpesona oleh
Cerita menterinya itu, segera, ia tanya lagi: “Bilakah mereka mulai permainan
itu?”
“Sudah hampir, asal hari sudah
gelap, segera disemua perahu kembang terang benderang dengan lampu aneka warna,
dan mereka yang akan dipilihpun tibalah,” terangkan Ho Gun. “Jika sekiranya
Hongsiang ada minat, bagaimana kalau Coba-coba pergi melihat keramaian itu?”
“Ah, takutnya kalau dibuat kritik
orang,” ujar Kian Liong tertawa. “Apa lagi bila diketahui Thayhou (ibusuri),
tentu aku bakal mendapat Comelan. Haha!”
“Asal Hongsiang menyaru sebagai
penduduk biasa, sekedar menonton keramaian itu, rasanya tiada orang luar bisa
tahu,” kata Ho Gun pula.
“Baiklah,” kata Kian Liong akhirnya.
“Kau suruh semua tutup mulut, diam-diam kita menonton sebentar lantas kembali.”
Segera Ho Gun melayani Kian Liong
mengenakan suatu baju panjang dari sutera dan berdandan sebagai seorang
saudagar besar. Ia sendiripun menyamar seperti saudagar biasa, sesudah membawa
Pek Cin dan beberapa bayang kari lain, lantas pergilah mereka menuju Se-ouw.
Setiba disana, ternyata sudah ada
seorang bayang kari me-nyiapkan sebuah perahu pesiar sedang menanti. Tatkala
itu diseluruh telaga di-manadua terdengar suara tetabuhan, lampu ber-kelipdua,
pemandangan indah luar biasa.
Ditengah telaga sudah ada lebih
dua0 perahu kembang yang terhias indah sekali disinari lampudua yang terang.
Ketika Kian Liong suruh perahu
didajung mendekatinya, terlihatlah diantara lampudua berselubung sutera itu
semuanya ditisik dengan lukisan dari berbagai macam Cerita kuno, terutama
mengenai romanse orangs ternama dahulu. Menyak sikan semuanya itu, diam-diam
Kian Liong gegetun akan segala keindahan didaerah Kanglam yang ternyata tak
bisa dibandingi daerah utara itu.
Ber-iringdua perahudua pesiar
dari kaum pelesiran, mondar mandir ditengah telaga itu. Rupanya mereka tengah
memberi nilai akan perahudua Calon ratu.
“He, mengapa mereka hanya melihat
perahu bukan orang nya. Apakah 'Cong-goan' itu dinilai dari bagusnya perhiasan
perahu?” tanya Kian Liong.
“Biar hamba tanyakan mereka”,
jawab Ho Gun.
Tapi baru saja menteri itu akan
keluar, tiba-tiba terdengar genderang dipukul, dan seketika itu segala
bebunyian menjadi sirap. Menyusul dengan itu melayang lah kembang api keatas
udara, terang benderang Cahajanya, kemudian jatuh kedalam telaga.
Bermula yang diluncurkan adalah
kembang api yang merupakan tulisan “Negara makmur, rakyat sejahtera,”
“Dirgahaju Seri Baginda.” Melihat itu, Kian Liong merasa puas. Menyusul lagi
“Beribu bunga merebutkan keCantikan,” “Mengaum-aum sang kumbang mengisap bunga”
dan lain-lain istilah kaum pelesiran.
Sehabis kembang api, tetabuhan
kembali dibunyikan. Setelah irama “Gembiralah sang burung beterbangan”
dilagukan habis, mendadak semua perahudua Calon ratu disingkap tenda lajarnya.
Pada setiap perahu tampak duduk seorang wanita Cantik, yang disambut dengan
sorakan dari segala penyuru.
Beberapa si-wi menghidangkan arak
dan sajuran serta menyilahkan baginda untuk menikmati arak dan pemandangan yang
mentajubkan itu. Ber-alundua perahu pesiar baginda itu menghilir, lewat
disamping perahudua wanita Cantik itu. Makin sang mata memandang, makin sang
hati tergetar. Sudah banyak sekali sekali Kian Liong melihat wanitadua Cantik
dalam keraton, tapi sekali ini lainlah halnya.
Air telaga yang putih
ke-perakduaan ditimpah Cahaja lampu teng, bau harum semerbak dibawa siliran
angin, sungguh membuat hati tersengsam me-layang-layangdilain keinderaan.
Tampak pada setiap perahu mereka,
ada sebuah meja yang ditutup dengan kain taplak merah. Entah untuk apa itu.
Baru setelah Ho Gun tanya pada tukang perahu, dike tahuinya bahwa sebentar lagi
orang-orang yang pesiar di telaga itu akan memberi hadiah yang akan ditaruhnya
diatas sutera merah itu. Barang siapa yang menerima hadiah paling banyak sekali
dan paling berharga, itulah tandanya yang dipilih sebagai Conggoan atau “ratu
keCantikan.”
Bagindapun dilapori tentang hal
itu. Dan kini mulailah perahudua pesiar itu menghampiri apa yang disebut
“Hi-tong-su-yan” atau 4 ratu yang Cantik. Perahu mereka berlainan dengan
perahua lain. Yang sebuah, berbentuk seperti bunga teratai, dikelilingi oleh
tengdua yang menyerupai bunga terate. Ada yang merah, putih dengan daunduanya
yang rimbun. Wanita yang didalam perahu itu bernama Pian Bun Tay.
Perahu yang kedua, diatasnya
berbentuk dua gardu mewah dan agung sekali. Diatasnya gardu itu digubat dengan
mutiara dan dituliskan huruf “giok-lip-thing-thing” atau dua gardu kumala
berdiri berjajardua. Kiranya wanita yang berada didalam situ juga bernama “dua
thing,” jalan Li Siang Thing.
Perahu yang ketiga, merupakan
“kong han kiong,” istana dingin. Ditepi perahu itu diberi payangan ramadua dan
giok-tho (kelinCi giok) dan ditaburi bunga kwi-hwa. Disitu, duduklah Go Jun
Kwan yang berpakaian model kuno, memegang kipas, menyaru seperti dewi Siang Go
(dewi penunggu rembulan).
Pada setiap kali melihat
perahudua itu, Kian Liong tak putus-putusnya memuji. Ketika mendekati perahu
yang keempat, ternyata perahu itu dihias dengan pohon dan bunga tulen, merawan
hati sekali. Begitu indah payangannya, sehingga merupakan lukisan pemandangan
alam dari seorang pelukis yang ternama. SiCantik yang duduk diperahu itu,
mengenakan pakaian serba putih. Sajup- tampak seperti bidadari turun dari
kahjangan.
Saat itu siCantik sedang duduk
mungkur menghadap ke sebelah sana. Begitu ingin sekali Kian Liong memandang
wajah sijelita itu, sehingga dia lalu menyanyikan sebuah pantun dari Cerita
“See Siang Ki” yang menegurnya: “Ha, mengapa tak mau menghadap kemari?”
Seperti tertarik besi sembrani,
wanita Cantik itu berpaling kebelakang, dan aduh, senyumnya telah membetot hati
raja itu.
Kiranya siCantik itu bukan lain
ialah penyanyi yang pernah bertemu di Se-ouw tempo hari, jakni Giok-ju-ih.
Berbareng itu disebelah perahu teratai itu. Pian Bun Tay kedengaran menyanyi.
Suaranya jauh berkumandang kemanadua dan seke jab saja turunlah hujan bingkisan
keatas mejanya, penuh ber-tumpukdua.
La Siang Ting tak mau
ketinggalan. Tangannya yang halus segera bermain diatas snaar pi-peh (semat jam
harpa Tiongkok), merdu mei-aju, ia mengantarkan lagu “Malam purnama musim semi
ditengah telaga.”
Sedang Go Jun Kwan pun menyusul
dengan serulingnya. Lagunya ialah “Tamu agung berkendaraan naga.” Mendengar
itu, Kian Liong segera perintahkan Ho Gun untuk mengha-diahkan sepuluh tail
emas.
Ketika perahu- pesiar mengerumuni
perahu Giok-ju-ih, siCantik itu sedang memerahkan bibirnya. Pada lain saat,
diantar oleh tiupan seruling, iapun menyanyi.
Aman damai, kota siburung hong.
Beribu pintu dari pohon hijau. Jalandua penuh dengan bungaduaan, menarik hati
sang kelana. Siapakah ber-pasangdua burung seriti itu? Terpisah dari suasana
musim semi, jen deladua tertutup awan hijau. Langit nan gemilang, bunga melati
mengintip sepanjang dinding, melingkar bagaikan jembatan. Dalam kelapangan
hati, minum teh diatas perahu. Sana sini orang menyual kembang, ber-bilukdua
dimuara, menancapkan sebatang pohon liu.
“Hebat! Alam pemandangan Kanglam,
memang seperti dalam nyanyian itu”, puji Kian Liong dengan elahan napas.
Kiranya nyanyian Giok-ju-ih itu
adalah sjair gubahan Khong Siang semasa tahun pertengahan dari baginda Kong Hi.
Sembari menyanyi, mata siCantik tak henti^nya melirik kepada Kian Liong. Sjair
tadi mengisahkan sewaktu Cay-Cu-houw Pui Ih mengunjungi penyanyi yang tersohor
Li Hiang Kun.
Baginda tergerak hatinya, tahulah
beliau apa maksud siCantik itu. Kian Liong, tergolong raja yang gemar akan
kesusasteraan. Dalam kunjungannya kedaerah selatan ba-nyak kali beliau membuat
timpalan sjair (twi-lian). Para menteri selalu memuji akan buah tulisan
baginda, tapi beliau menyang sikan apakah pujian mereka itu memang
sesungguhnya.
Seketika itu beliau titahkan Ho
Gun untuk menghadiahkan Giok-ju-ih sebanyak sekali lima puluh tail emas.
HangCiu terkenal sebagai tempat
yang permai. Setiap tahun di adakan pemilihan ratu keCantikan semacam itu,
tentu penuh dikunjungi orang dari segala tempat. Boleh dikata seluruh penduduk
disekeliling daerah Hang-Ciu sama ber-dujundua kesitu. Terutama para kongcu dan
kaum pelesiran. Karenanya, perahudua nona Cantik itu sudah penuh dengan barang
bingkisan. Tapi yang terbanyak sekali adalah perahu keempat bunga berjiwa tadi.
Menjelang tengah malam, panica
mulai memeriksa pera-hu-perahu itu. Para nonadua Cantik itu sama menunggu
dengan hati ber-debardua juga para penonton.
Kian Liong membisiki beberapa
patah kata pada Ho Gun, siapa lalu naik sebuah perahu pulang kegedung negara.
Tak berapa lama dia kembali dengan membawa sebuah bungkusan besar.
Pemeriksaan sudah selesai,
perahudua pengunyung sama mengerumuni perahu panica, untuk mendengarkan
hasilnya. Maka berserulah panica mengumumkan hasil pemeriksaan annya: “Perahu
yang mendapat bingkisan paling banyak sekali sendiri adalah kepunyaan nona Li
Siang Ting!”
Gemuruh suara orang bersorakdua.
Dibalik yang ber-tepukdua kegirangan, ada juga yang memakinya. Mungkin kurang
puas. Dan tiba-tiba ada seorang berteriak keras-keras: “Tunggu! Kuhadiahkan
sepuluh0 tail uang mas pada nona Pian Bun Tay!”
Dan seketika itu hadiah itu
diterimakannya.
Tapi lantas ada seorang lagi
berseru: “Aku menghadiahkan sepasang gelang giok dan sepuluh butir mutiara pada
nona Go Jun Kwan!”
Benar juga dibawah sinar lampu,
gelang batu giok pan-Carkan Cahaja ke-hijauduaan warnanya. Sedang mutiara itu
besar lagi bundar, harganya terang melebihi sepuluh0 tail uang emas tadi. Semua
sama terhening, rata-rata menduga bahwa kedudukan “Cong-goan” kali ini tentu
jatuh pada nona Go Jun Kwan.
Sampai sekean saat, tak ada lagi
lain orang yang lebih unggul. Maka segera akan diumumkan keangkatan nona Go itu
menjadi “Conggoan.” Tapi tiba-tiba Ho Gun berseru: “Loya kami ada sebuntal
hadiah untuk nona Giok-ju-ih!”
Dan bungkusan tadi terus
diterimakannya.
Ternyata bungkusan itu terisi
tiga bundel tulisan. Kata orang itu kepada salah seorang yang berada di situ:
“Sdr. Ban Sia, tentunya pengasih ini bukan orang sembarangan, entah apa saja
yang diberikannya?”
Lalu disuruhnya orang membuka.
Sedang waktu itu, Kian Liong
suruh Ho Gun Cari keterangan tentang siapa-apa yang menjadi panica itu.
Sebentar pula Ho Gun sudah kembali dan menghaturkan laporan : “Ketua panica itu
adalah seorang sasterawan bernama Wan Bwe dari keluarga Wan Cu Cay. Sedang
lain-lainnya adalah orangs terkemuka didaerah Kanglam sini.”
“Memang sudah kudengar, Wan Bwe
itu gemar akan ramaidua, ja, memang demikianlah dia,” kata Kian Liong dengan
tertawa.
Bundelan kesatu telah dibuka,
tapi isinya membikin ter kejut panicadua itu. Itulah sjair gubahan Li Gi San.
Orang yang di panggil “Ban Sia” oleh ketua panica tadi sebenarnya bernama Li
Oh. Dia juga orang HangCiu situ. Dia jempol dalam hal sjair menyair, dan
gubahannya pun terkenal sekali, sehingga menjadi salah suatu keharusan yang
dibaCa oleh kaum sasterawan jaman itu.
Menampak buah tulisan penyair Li
Gi San itu seketika itu juga Li Oh berseru memuji: “Inilah mustika yang tak
tertara harganya!”
Salah seorang Anggota panica
lagi, Thio Ik Sin, juga seorang penyair, Buru-buru membuka bundelan yang kedua.
Ternyata isinya adalah lembaran panjang dari lukisan Ko Ceng pada ahala Song.
Diatasnya terdapat Cap baginda Kian Liong. Melihat itu, Wan Bwe bertanya dengan
keheranan. “Sdr. Sim, Ciang toako, Coba lihat dibundelan itu terisi apa lagi?”
Yang dipanggil Sdr. Sim tadi
sebenarnya bernama Sim Tek Cian, alias Kui Ih, penyair terbesar dijaman itu.
Dengan Wan Bwe orang she Sim itu pernah mendapat gelar Cinsu. Waktu itu terjadi
pada tahun keempat dari pemerintahan Kian Liong. Hanya yang satu selagi masih
muda tapi yang lainnya sudah berusia tua. Karena sewaktu memperoleh gelar
Cin-su, Wan Bwe baru berusia dua4 tahun, sedang Sim Tek Cian sudah berusia
lebih dari enam0 tahun. Karena usianya itu,
penduduk Kanglam memberi julukan
“Kanglam lo-bing-su,” orang tua pandai dari Kanglam.
Orang she Ciang itu bernama Su
Cwan, alias Sin Ik. Dengan Wan Bwe dan Thio Ik Sin dia merupakan tiga se
rangkai “Kang-Co-sam-tay-ke,” tiga keluarga sasterawan dari Kanglam.
Kedua orang itu tak dapat
menyawab suatu apa, maka Sim Tek Cian mengusulkan supaya diadakan pembicaraan
yang lebih mendalam. Pada sebelah kanan dari perahu itu, juga ada dua orang
sasterawan terkenal yang diundang oleh Wan Bwe. Yang satu bernama Ki Siao Hong
dan satunya bernama The Pan Kiao.
“Menurut pendapatku, dua
perangkat tulisan dan lukisan ini sudah merupakan benda yang tak ternilai,
sudah teranglah juara jatuh pada Giok-ju-ih,” kata Ki Siao Hong tertawa.
“Dan barang apakah gulungan
ketiga itu, marilah kita memeriksanya dahulu,” ujar The Pan Kio.
Waktu gulungan kertas ketiga itu
dibuka, ternyata isinya adalah tulisan sajak gubahan Auwyang, Siu yang
tersohor, sajak itu ditulis secara polosan sajas tanpa tambahan, tiada tanda
tangan penulis, tapi gaja tulisahnya sangat indah.
“Gajanya sudah Cukup, tapi
tenag'anya kurang,” ujar The Pan Kio.
“Sssst,” tiba-tiba Sim Tek Cian
mendesis. “Tahulah kau ini adalah tulisan pribadi Hongsiang sekarang?”
Semua orang menjadi terkejut tak
berani banyak sekali omong lagi. Maka Wan Bwe lantas berteriak memberi
keputusan : “Menurut pertimbangan panica dengan buktidua kenyataan, Cong-goan
jatuh pada Giok-ju-ih, Pong-gan dimiliki Go Jun Kwan dan “
Seketika bergemuruhlah seluruh
telaga Se-ouw itu dengan suara sorakan.
Wan Bwe cs. tahu yang menghadiahi
tiga gulung lukisan tadi kalau bukan keluarga kerajaan, tentulah pembesar
tinggi yang terkemuka, tapi kapal dimana pemberi hadiah itu berada remangs tak
jelas dalam kegelapan, pula kuatir kalau tingkah-laku mereka tentang pemilihan,
'ratu kembang' segala ini kelak bakal mendapat Celahan, terpaksa sebelum puas
mereka pesiar lantas barua mendarat pulang.
Selagi Kian Liong juga akan
pulang, tiba-tiba terdengar Giok-ju-ih telah menyanyi pula diperahunya.
Mendengar suara nyanyian yang meraju kalbu itu, tak tertahan sang kaisar
menjadi mabuk. “Coba kau panggil anak dara itu,” katanya pada Ho Gun.
Segera Ho Gun menerima tugas itu,
tapi sebelum keluar Kian Liong menambahinya: “Tapi jangan kau terangkan siapa
aku!”
“Ya, hamba mengarti,” sahut Ho
Gun terus menyeberang keperahunya Giok-ju-ih.
Selang tak lama, kembalilah
menteri itu membawa seCarik surat dihaturkan kepada Kian Liong dan lapornya:
“Ia menulis ini dan minta diserahkan pada baginda.”
Ketika Kian Liong membaCanya,
kiranya itu adalah sebuah sjair yang maksudnya menampik halusan dan bilang
besok saja bertemu kembali.
Kian Liong tambah tak tahan oleh
kelakuan orang, semakin dingin orang yang diingininya, semakin ia mendesak.
Kian Liong seorang kaisar yang tidak kurang beratus selir diista nanya, selira
itu berharap bisa berkumpul semalam saja dengan sang junyungan tidaklah mudah.
Tapi aneh, kini Kian Liong benar-benar ter-giladua. Agaknya inipun sifat
manusia, kalau sudah biasa memerintah menurut sukanya, harini mendadak
Giok-ju-ih 'jual-mahal' terhadapnya, hal ini dirasa kannya menjadi serba baru.
Maka katanya lantas pada Pek Cin
ketika melihat perahu Giok-ju-ih telah didajung pergi: “Lekas suruh tukang
perahu menyusulnya!”
Melihat sang junyungan gugup,
lekasan saja semua orang ikut mendajung hingga lambat-laun perahu Giok-ju-ih
sudah tersusulnya.
Sambil berdiri didepan perahu,
Kian Liong melihat lampudua yang tadinya memenuhi telaga itu kini sudah sirap,
bunyi tetabuhan juga sudah lenyap, sebaliknya diperahu Giok-ju-ih malah
berkumandang suara nyanyia kecil diselingi suara tertawa orang.
Selagi kedua perahu sudah makin
dekat, mendadak tenda jendela perahu kembang itu tersingkap, lalu segulung
barang ditimpukan kearah Kian Liong. Lekas-lekas Pek Cin melompat maju
menyambuti benda itu. Ternyata barangnya lunak empuk dan bukan senjata rasia,
lantas ia serahkan pada Kian Liong.
Waktu Kian Liong periksa,
ternyata adalah sepotong handuk merah, pada empat ujung handuk itu saling ikat
mem-bungkus dua buah jeruk kuning. Handuk itu halus lagi harum, seketika Kian
Liong kesemsem tak terkatakan.
Tak lama lagi, perahu kembang itu
sudah menepi, dibawah Cahja lampu terlihatlah Giok-ju-ih mendarat dan naik ke
atas sebuah kereta kuda kecil yang sudah menunggu disitu. Betapa tidak membikin
sang kaisar lebih ter-giladua ketika Giok-ju-ih akan menurunkan tirai kereta
itu, lebih dulu ia telah menoleh dan menyampaikan senyuman menggiurkan kearah
Kian Liong.
Disamping kereta kuda itu tadinya
ada dua orang dengan memegang obor sedang menunggu, kini obor itu telah dibuang
dan kereta itupun menghilanglah dikegelapan.
“Hai, hai, tunggu dulu, tunggu!”
segera Ho Gun ber-teriakdua.
Tapi kereta itu tidak pernah
berhenti, suara derapan kuda ber-detakdua dan lambat-laun sudah menyauh.
“Lekas Cari kereta!” Cepat-cepat
Ho Gun memberi perintah.
Tapi jauh malam ditepi telaga itu
kemana harus menCari kereta?
Sebagai pemimpin bayang kari Pek
Cin membisiki Swi Tay Lim beberapa kata, lalu pergilah Tay Lim dengan ilmu en
tengi tubuh hingga tidak lama sudah melampaui kereta kuda Giok-ju-ih terus
membentak kusirnya jalan pelahan-lahan.
Dilain pihak Cu Wan tak lama
telah dapatkan juga sebuah kereta, mungkin bolehnya merebut secara paksa dengan
mengusir penumpangnya.
Setelah Kian Liong naik keatas
kereta, Cu Wan sendiri menjadi kusir, dan para pengawal lain mengikuti dari
belakang.
Kereta kuda didepan tadi sudah
lambat jalannya dan kereta Kian Liong Cepat-cepat menyusulnya. Pek Cin melihat
kereta orang lama-lama menuju kedaerah pusat kota yang ramai penduduknya, ia
baru lega karena tak perlu kuatir lagi, ia menduga malam ini pasti Hongsiang
akan bermalam dirumah bunga raja itu, tapi kemarinnya terlihat wanita itu
bergaul dengan orang-orang Hong Hwa Hwe, mungkin ada tipu muslihat nya, hal ini
harus ber-jaga- sebelumnya, maka lekas ia perintahkan Swi Tay Lim pergi minta
bala bantuan kemari.
Kereta. Giok-ju-ih; itu sesudah
melalui beberapa jaian besar, lalu biluk kedalam sebuah gang dan berhenti
didepan sebuah rumah'yang pintunya diCat hitam, seorang lelaki telah turun dari
kereta dan mengetok pintu. Segera pula Kian Liong ikut turun, dari keretanya.
Ketika pintu dibuka, keluarlah
seorang wanita tua me nyingkap tirai, kereta sambil'berkata: “Ah, kiranya
SioCia telah pulang, selamat padamu telah terpilih!”
Ketika Giok-ju-ih turun dari
kereta dan melihat Kian Liong sudah berdiri disitu, ia maju memberi hormat dan
sapanya: “Ai, kiranya Tong-hong loya sudi datang, banyak sekali-kali terima
kasih atas hadiahmu tadi. Marilah lekas masuk sekedar minum teh dulu.”
Kian Liong tertawa dan segera
ikut masuk. Karena kuatir ada pembunuh, Cepat-cepat sekali Cu Wan sudah
mendahului masuk kedalam rumah.
Dalam rumah itu semerbak wangi
dengan dua pohon Kui tumbuh dipe'lataran dalam yang bunganya sedang mekar.
Kian Liong ikut Giok-ju-ih masuk
kedalam sebuah kamar, disitu terpasang lilin hingga terang benderang, payangan
kamar itu Cukuplah indah. Segera saja pelayan menyediakan daharan terdiri dari
delapan porsi dengan macamdua masakan yang lain daripada yang lain seperti Kian
Liong biasa merasakan didalam keraton.
Tatkala itu Pek Cin cs. sedang
meronda diluar rumah, didalam hanya Ho Gun yang melayani, maka Kian Liong
memberi tanda agar menteri itu keluar kamar.
Kemudian pelayan menyuguhkan dua
Cawan arak, itu adalah “Siau-hin-Ciu” yang sangat terkenal. Giok-ju-ih sendiri
minum dulu seCawan, lalu katanya dengan tertawa menggiurkan: “Tong-hong loya,
sungguh aku tidak tahu Cara bagaimana harus berterima, kasih padamu?”
“Kau nyanyilah dulu satu'lagu,
Cara bagaimana membalas terima kasih, sebentar laki kita rundingkan,” sahut
Kian Liong tertawa sambil menlguk araknya.
Tanpa menampik lantas Giok-ju-ih
mengambil sebuah pi-peh dan pelahan-lahan dipenClnya, lalu nyanyilah satu lagu
romantis yang menCeritakan tentang kaisar Song Hwi Cong main gila dengan Li Su
Su yang dibuat bahan sjair oleh penyair Ciu Bi Seng.
Begitu asjik Kian Liong
ber-senangdua didalam kamar bersama Giok-ju-ih sambil minum arak dan
mendengarkan nyanyian, sebaliknya Pek Cin cs. yang menjaga diluar sedang sibuk
luar biasa.
Tatkala itu panglima HangCiu Li
Khik Siu yang dimintai bala bantuan sudah datang membawa sepasukan tentaranya
dan mengurung rapat-rapat seluruh gang itu. Perwiradua bawahan Li Khik Siu
telah menggeledai setiap rumah penduduk di gang itu, hanya tinggal rumah
Giok-ju-ih ini saja yang tak digeledah.
Pek Cin dengan sepuluh orang
siwi, tak hentiduanya melakukan perondaan diatas atap, sedang barisan pemanah
sudah siap menunggu diempat penyuru, Thiat-ka-kun, pasukan baju besi, sudah
siap juga. Dengan penjagaan itu, legalah pe-rasaan Pek Cin dan Khik Siu.
Sekalipun orang mempunyai kepandaian menembus langit, rasanya sukarlah untuk
masuk kesitu.
Setelah sibuk menjaga,
se-malamduaan, sampai terang tanah ternyata tak terjadi apa-apa. Setelah
Menjelang pagi, diam-diam Ho Gun menghampiri kamar Giok-ju-ih. Dari seladua
jendela, Ho Gun melihat dibawah tempat, tidur ada sepa sang sepatu yang dipakai
baginda dan sepasang lagi sepatu kecil bersulam. Keadaan dalam kamar itu masih
sunyi. Sam bil leletkan lidah, Ho Gun berjalan pergi.
Tapi tunggu punya tunggu, pagi
berganti siang, Siang men-jadi sore, ternyata baginda tak kelihatan bangun. Hal
itu membuat Ho' Gun heran dan gelisah. Tidak biasa baginda berbuat begitu.
Dihampirinya pintu dan katanya dengan bi sikdua: “Loya, apakah ingin bersantap
pagi?”
Sampai diulangi beberapa kali,
ternyata tak ada jawaban apa» dari dalam kamar itu. Kaget benar Ho Gun
dibuatnya. DiCobanya untuk mendorong daun pintu, tapi ternyata di grendel dari
dalam. Kini dia mulai berteriak memanggilnya: “Loya!”
Masih kamar itu hening saja, Ho
Gun bertambah Cemas. Untuk membuka pintu, masih tak berani dia. Cepat-cepat dia
keluar mendapatkan Lie Khik Siu dan Pek Cin.
“Kita suruh induk semangnya yang
mengetok pintu dan antarkan hidangan pagi. Bansweya tentu tak marah,” kata Lie
Khik Siu.
Pek Cin setuju, lalu mereka
menCari si perempuan yang menjadi induk semang. Tapi jangan lagi dia, sedang se
orangpun sudah tak ada dalam rumah pelesiran itu. Karena terkejutnya, mereka
memberanikan diri untuk mengetok pintu. Tapi meskipun pintu di-ketokdua makin
keras, didalam kamar tetap tak ada penyahutan apa-apa.
“Dobrak saja!” seru Khik Siu.
Sekali ulurkan tangan, Pek Cin
bikin pintu itu terbuka, besi gerandelannya putus. Masuk lebih dulu kedalam,
segera Ho Gun terus menyingkap kelambu. Tapi hanya bantal dan guling yang
berserakan diatas pembaringan, sedang baginda dan Giok-ju-ih tak ada lagi.
Saking terkejutnya, Ho Gun pingsan seketika.
Pek Cin lekas-lekas panggil siwi
untuk menggeledah rumah itu. Peti, lemari dan lain-lain tempat, semua
digeledah. Tapi tetap sia-sia. Kawanan si-wi itu kaget dan ketakutan. Terang
penjagaan semalam itu sangatlah rapinya. Sampai seekor burung-gereja terbang
saja rasanya takkan terhindar dari pengawasan mereka.
Pek Cin sendiri ikut menggeledah
seluruh dinding lamar itu untuk menCari tahu kalaudua ada pintu rahasia. Tapi
juga tak memberi hasil apa-apa, tak ada tempat yang menimbulkan keCurigaan
mereka.
TAK LAMA kemudian, pemimpin besar
gie-lim-kun Hok Gong An dan gubernur Ciatkang sama datang ke situ.
Orang-orang sama berkumpul di
tengah ruangan untuk berunding.
Kiranya sambil dengarkan nyanyian
Giok-ju-ih tadi, baginda telah menenggak beberapa Cawan arak. Dalam pada itu,
agaknya Kian Liong sudah tak sabar lagi. “Apakah loya idinkan aku menamani?”
tanya Giok-ju-ih dengan tersenyum manis. Kian Liong mesem dan angguk kepala.
Giok-ju-ih mela
jani baginda tukar pakaian, lalu
ikut berbaring. Tiba-tiba siCantik berbisik: “Aku akan keluar sebentar, baru
nanti temani loya.”
Selama rebah diatas bantal itu,
Kian Liong menCium be bauan yang harum wangi. Melayang-layang pikiran raja itu.
seperti berada disorga. Tiba dirasakan ranyan bergoyang dan mengira tentulah
Giok-ju-ih yang datang, “maka serunya pelan-pelan ; “Kau betul-betul anak
nakal, Ayo lekas kesini!”
Kelambu tersingkap dan
tersembullah sebuah kepala. Di bawah Cahaja lilin tampak muka orang itu penuh
dengan bintikdua, air mukanya keren. Masih Kian Liong kurang per Caja
pemandangan sendiri, kucek-kucek matanya beberapa kali. Tapi orang itu sudah
lantas tandaskan sebuah badidua kearah tenggorokannya dan bisiknya: “Awas kalau
berani menjerit, kutusuk!”
Bujar semangat Kian Liong karena
terkejutnya. “Secepat-cepat kilat orang itu menyumpel mulut baginda dengan
saputangan, lalu menggulung tubuh baginda dengan selimut, terus dipondongnya
keluar.
Kian Liong tak berdaya untuk
berteriak atau berontak. Selain rasakan orang membawanya kebawah. Hanya dapat
membaui hawa udara sangat lembab. Berselang berapa lama kemudian, beliau
rasakan seperti diangkat naik tinggi-tinggi. Baru ia mulai insyap, bahwa orang
telah membawanya melalui jalan dibawah tanah, pantas kalau kawanan si-wi itu
tak dapat mengetahuinya.
Baru berpikir demikian, terasa
tubuh beliau bergoncang , dan roda berputar. Tentu dirinya dibawa dengan
kereta, entah kemana. Kegontjangan kereta itu makin terasa, itulah tentu
jalanan diluar kota. Setelah berlangsung beberapa lama lagi, kereta itu
berhenti. Terasa pula oleh Kian Liong, bahwa orang telah memanggulnya keatas,
terus makin me naik keatas, hingga terbit kekuatirannya, apakah sebenarnya
tempat yang setinggi itu.
Selagi rasakan terapungs diatas
udara itu, tiba-tiba dirinya terasa diletakkan diatas tanah. Tak berani beliau
bicara, ia menantikan gelagat dengan tenang. Tapi ternyata tak ada orang yang
mengurusnya. Ketika disingkapnya selimut yang menutup kepalanya itu sedikit,
ternyata keadaan disitu gelap gulita. Sedang dari kejauhan sana samardua
terdengar dam paran ombak. Dan ketika didengari dengan lebih seksama, ternyata
ada juga suara pohon Siong ditiup angin dan bunyi lonCeng mengalun. Angin
terdengar makin menderu. Kare nanya tempat itu terasa bergoncang , takutlah
raja itu. Begitu lepaskan kerudung selimut, beliau terus akan berdiri. Tapi
tibas terdengar suara orang berbisik: “Kalau masih sa yang jiwa, harap jangan
bergerak.”
AnCaman itu, membuat baginda
ketakutan. Setelah lama dalam keadaan begitu, angin kedengaran reda, dan
suasana-pun nampak terang. Kini Kian Liong dapatkan dirinya berada disebuah
kamar kecil. Dimanakah sekarang baginda berada? Tengah memikir-mikir begitu,
tiba-tiba terdengar suara berkerutukan. Setelah didengarkan dengan teliti,
ternyata itulah sipenjaga yang sedang makan bakmi. Kalau ditilik dari suaranya,
terang ada dua orang. Mereka makan dengan enak, dan makanannya itu menyiarkan
bau yang sedap sekali.
Karena semalaman hampir tak
tidur, Kian Liong rasakan perutnya lapar. Bau makanan tadi, makin menimbulkan
seleranya.
Setelah mereka habis gegares
bakmi itu, ada seorang yang mengantarkan semangkok bakmi kepada baginda. Hanya
saja mangkok itu diletakkan kira-kira 4 meter jauhnya. Ingin benar Kian Liong
dahar makanan itu, tapi karena orang tak mengatakan apas, beliau tak mau
menanyakannya.
“Bakmi ini untukmu, jangan
kuatir, tak ada raCunnya,” tiba-tiba orang itu berkata.
Girang Kian Liong dibuatnya, dan
Buru-buru akan duduk. Tapi tiba-tiba tubuhnya terasa dingin dan Buru-buru
sesapkan lagi badan nya kedalam selimut. Kiranya semalam Giok-ju-ih telah
membuka semua pakaian raja itu, karenanya mana beliau bisa mengambil bakmi itu?
“He, kenapa kau tak mau, kau
kuatir diraCun? Coba lihat kumakannya!” orang itu berkata dengan mendongkol.
Sehabis itu, dengan Cepat-cepat semangkok bakmi itu digaresnya habis.
Melihat bagaimana muka orang itu
penuh dengan bekas luka-luka yang menakutkan sekali kelihatannya, Kian Liong
gentar juga.
“Aku tak berpakaian, harap kau
ambilkan seprangkat un-tukku”, katanya kemudian.
Sudah menjadi kebiasaannya
sebagai raja, walaupun menggunakan kata-kata “harap” ,tapi nadanya seperti
orang memerintah.
“Hm, loCu tak sempat!” Bentak
orang itu yang ternyata bukan lain adalah Kui-kian-Hiu, Cap-ji-long' Ciok Siang
Ing, itu algojo Hong Hwa Hwe Hampir tak ada seorangpun yang tak takut melihat
wajahnya.
Seumur hidup belum pernah Kian
Liong mendapat hinaan begitu, seketika itu gusarlah ia. Tapi mengingat bahwa ji
wanya berada dalam tangan orang-orang itu, beliau tindas pera saannya. Setelah
terhening sejenak, berkatalah beliau : “Apakah kau ini orang Hong Hwa Hwe? Aku
minta bertemu dengan pemimpinmu orang she Tan itu.”
“Bun-suko kita telah kau siksa
setengah mati. Congthocu sedang panggilkan sinshe, tak punya waktu untuk
menemui kau. Kalau keadaan Suko sudah baik, mungkin baru bisa datang”, kata
Siang Ing dengan dingin.
Kian Liong mengeluh, Menanti
orang sampai sembuh, entah harus menunggu sampai berapa lama. Sementara itu
kedengaran yang seorang lagi berkata: “Kalau sampai Suko meninggal, kita mesti
minta ganti jiwa!”
Itulah Nyoo Seng Hiap, si Menara
Besi. Ucapan itu bukan main-main , tapi dimaksudkan dengan sungguh-sungguh.
Baginda terpaksa pura-pura tak mendengarnya.
Begitulah kedua penjaga itu,
saling mengeluarkan isi hatinya, memaki bangsa BoanCiu yang telah menyayah
tanah bangsa Han. Dan bagaimana para pembesar negari mereka itu sama korup,
suka memeras rakyat. Memang sedari kecil, Ciok Siang Ing menderita dibawah
tindasan tuan tanah sehingga begitu rupa dia memaki kaum penindas itu, sampai
Kian Liong melengak dibuatnya.
Tengah hari, tibalah giliran Beng
Kian Hiong dan An Kian Kong yang menjaga disitu. Juga kedua orang itu, sembari
makan sembari tak putus-putusnya mengupas keburukandua pembe-sar negeri yang
rakus, Cara mereka berlaku se-wenangdua dengan segala macam pekakas siksaannya.
Asjik sekali mereka bicarakan itu, dan akhirnya berkatalah Kian Hiong:
“Kelak kalau kita dapat menangkap
segala macam pembesar bedodoran itu, kita akan suruh mereka rasakan juga
siksaan itu”.
“Ya, pertama kita harus tangkap
pemimpin mereka lebih dulu”, Kian Kong menambahkann.
Bagi Kian Liong, sehari itu di
rasakan sebagai setahun lamanya. Malamnya, kedua saudara Siang yang ganti
menjaga. Kedua orang itu membicarakan soal pergolakan dika-langan Kangouw dan
Cara-cara orang kangouw melakukan pembalasan kepada pembesardua negeri.
Misalnya, Ong-sayCu dari Hek-bi-kong telah ditangkap oleh pembesar negeri, tapi
kemudian setelah lolos lalu lakukan pembalasan pada pem-besar disitu dengan
menyiksa hebat. Dan bagaimana si Pek-ma Sun Jit dari Shanse, karena membalaskan
sakit hati kakaknya, telah mengubur hidup-hidup seluruh Anggota keluarga musuhnya.
Dan lain-lain Cerita yang menyeramkan.
Dengan menahan lapar dan rasa
takut, Kian Liong tutupi telinganya agar tidak mendengarnya, namun kata-kata
mereka tak urung dapat juga didengarnya. Malam itu, boleh dikata Kian Liong tak
dapat tidur nyenyak.
Keesokan harinya, datang giliran
Tio Pan San dan Wi Jun Hwa yang menjaga. Kedua orang ini berbeda dengan
kawan-kawannya yang dulu, agaknya lebih ramah dan sabar. Lega hati Kian Liong,
lalu katanya: “Aku minta ketemu dengan ketuamu orang she Tan, harap beritahukan
padanya.”
“Ah, Congthocu sekarang ini belum
sempat, tunggu nanti beberapa hari lagi,” jawab Tio Pan San.
Kian Liong mengeluh lagi. Kalau
harus menunggu sampai beberapa hari lagi, mana beliau dapat tahan.
“Kalau begitu, tolong ambilkan
makanan saja,” katanya.
“Baiklah,” kata Pan San terus
memanggil bujang untuk segera siapkan hidangan. Kian Liong girang dan minta
su-paya diberi pakaian.
“Bansweya (Sri Baginda) minta
pakaian, lekas ambilkan,” kembali Tio Pan San berteriak.
“Kau baik sekali, siapakah namamu?
kelak tentu kuberi hadiah,” kata Kian Liong.
Pan San hanya bersenyum saja.
Tiba-tiba Kian Liong teringat, serunya lantas: “Ah, ja, kau yang gapah melepas
sen jata rahasia itu, bukan?”
Tak lama Kian Hiong datang
membawa seprangkat pakaian dan diletakkannya dimeja. Demi melihatnya, Kian
Liong bersangsi. Itulah pakaian orang Han dari ahala Beng.
“Maaf, disini hanya ada pakaian
begitu, terserah mau dipakai atau tidak?” kata Tio Pan San.
Kian Liong adalah kaisar dinasti
Ceng, masa disuruh pakai pakaian orang Han. Tapi jika tak berpakaian, terang
beliau tak bisa makan, pada hal sehari dua malam beliau sudah tak dahar. Apa
boleh buat, terpaksa dipakainya juga pakaian itu. Sekalipun agak kikuk, tapi
kini tubuhnya berasa hangat juga. Kini beliau bangun dan berjalan kian kemari
dalam ruangan itu.
Ketika menghampiri kejendela
beliau terkejut bukan main. Jauh disebelah bawah sana, tampak sebuah sungai
membentang dan disana sini kelihatan beberapa perahu lajar. Pada kedua tepian
sungai itu, sawahdua terbentang dengan luasnya. Terang bahwa beliau berada
dipunCak sebuah menara yang tinggi. Melihat letak tempatnya itu, teranglah
kalau menara itu berada ditepi sungai. Dan menara begitu, tentulah menara
Liok-hap-tha yang kesohor di HangCiu itu.
Berselang dua jam kemudian, baru
ada orang datang memberitahukan bahwa makanan sudah siap, supaya raja itu turun
kebawah. Kian Liong ikut Tio Pan San dan Jun Hwa kebawah, disitu memang sudah
disiapkan hidangan. Ternyata beberapa orang Hong Hwa Hwe sudah siap pula. Hanya
tinggal tiga buah kursi yang masih kosong. Begitu Kian Liong datang, semua
orang sama berbangkit untuk memberi hormat. Melihat perubahan itu, diam-diam
Kian Liong girang.
“Congthocu bilang bahwa dia
dengan baginda sangat akrab, karenanya dia undang baginda kemari untuk main-main
beberapa hari, agar dia dapat kesempatan untuk makin memesrakan perhubungan.
Tapi berhubung ada suatu keper luan yang mendadak, dia terpaksa pergi dulu dan
suruh kita mewakili untuk menemani baginda. Harap bansweya suka maafkan,” kata
Bu Tim.
Kian Liong hanya keluarkan suara
hidung, tak tahu apa yang hendak dilakukannya. Begitu Bu Tim mempersilakan,
Kian Liong tak mau sungkandua lagi terus duduk dikursi pertama. Diruangan itu
tampak beberapa orang, ada yang gagah bagus, ada yang ' jelek menakutkan,
kesemuanya itu adalah orang-orang kangouw.
Bu Tim mengangkat pofeji arak dan
berkata: “Sekalian saudara-saudara disini adalah bangsa orang kasar, jadi tak
dapat melayani baginda baik-baik , harap baginda jangan ambil marah.”
Tapi begitu dia tuangkan kedalam
sebuah Cawan, segera mukanya berobah, katanya pada sipelayan: “Baginda hanya
minum arak yang nomor satu, mengapa kau hidangkan arak beginian.”
Dan dengan sikap gusar, arak itu
digentakkan kemuka sipelayan.
“Yang ada disini hanyalah arak
itu, kalau minta arak yang nomor satu harus beli dikota dulu,” kata sipelayan
dengan ketakutan.
“Yangan banyak sekali omong,
lekas pergi beli. Arak begini, buat kita kaum rendah masih boleh, tapi mana
baginda mau meminumnya?”
Thian Hong sambuti poCi dari
tangan Bu Tim, lalu di tuangkannya pada Cawan masing-masing saudaranya. Hanya
tinggal Cawan Kian Liong saja yang masih tetap kosong. Akan hal itu, Thian Hong
menghaturkan maaf kepada baginda.
Tak lama kemudian, pelayan datang
dengan membawa 4 talam kuah hangat. Seketika hidung Kian Liong terCium bau
sedap dari hidangan udang goreng, tulang belulang babi kuah, ikan dan panggang
ajam. Tapi tiba-tiba kembali Bu Tim membentak sipelayan: “Siapa yang masak
hidangan ini?” Seorang tukang masak tampil kemuka seraya menyawab: “Hamba.”
“Kau ini macam orang apa. Mengapa
tidak suruh tukang masak istana Thio An-koan untuk memasaknya? Masakan orang
HangCiu sejelek ini, mana baginda sudi dahar?” teriak Bu Tim.
“Ah, masakan ini lumajan juga,
tidak jelek,” Kian Liong menyelak, dan segera dia ulurkan sumpitnya untuk men
jemput.
Liok Hwi Hing yang duduk
disebelah baginda, juga ulurkan sumpitnya seraya berkata: “Sajur begini tak
lajak baginda dahar, jangan-jangan nanti membuat baginda sakit perut.”
Sumpitnya tepat menjepit sumpit
baginda, dan dengan sekali gerakan lwekang, sumpit baginda digenCat patah.
Perbuatan itu dilakukan olah Hwi Hing dengan gerakan yang pelan dan wajahnya
tetap tak berobah, sehingga sekalian orang gagah sama Kagum.
“Sutenya, Thio Ciauw Cong, benar
lihai, tapi dalam hal lwekang rasanya tak nempil dengan suhengnya ini. Memang
Kim-li-Ciam betul-betul tak bernama kosong,” kata Bu Tim dalam hati.
Sementara itu Kian liong jadi
kemekmek maju mundur serba kikuk, hanya selebar wajahnya semerah darah. “Plak”
………. sepasang sumpitnya dibantingnya diatas meja.
Tapi sekalian orang disitu
pura-pura tak melihat, mereka enakdua saling menyilangkan sumpit untuk segera
memulai makan.
“Lekas panggil Thio An-koan untuk
masak daharan bagi baginda, baginda sudah keliwat lapar,” seru Thian Hong pada
sikoki.
Sikoki dengan ketakutan segera
mundur.
Kian Liong Cukup mengerti, bahwa
orang tengah mem permainkannya. Terang kalau beliau lapar, mereka makan sendiri
dengan se-enakduanya, dan tak putus-putus memuji kele zatannya. Mendongkal
sekali beliau, namun tak mau menge luarkannya. Setelah selesai, kembali ada
pelayan yang membawakan teh harum Liong-keng-Ceng.
“Teh ini bagus sekali, rasanya
bagindapun boleh meminum nya,” kata Thian Hong.
Tapi ketika Kian Liong meneguk
dua Cegukan, rasanya perut makin lapar. Sebaliknya Cio Su Kin yang berada di
sebelahnya, tak habis-habis meng-elusdua perutnya yang penuh berisi itu dan
berkata: “Aduh, kenyang nya!”
Baginda adalah seorang yang kuat
menahan perasaan, sekalipun waktu marah, beliau tetap tak berobah wajahnya.
“Kita akan lekas suruh mereka
siapkan hidangan, harap baginda suka tunggu sebentar lagi,” kata Tio Pan San.
Bu Tim juga nampak gusar, karena
pelayandua itu berlaku ajal, ia bilang kalau Congthocu keburu datang dan
mengetahui baginda belum dahar apa-apa, tentu akan kurang senang. Sedang
Thiat-tan Ciu Tiong Ingpun mengomel juga. Namun baginda hanya keluarkan
suaranya yang jengkel.
“Oh, sgbaHknya''aku kekenyang
sudah!” seru Cio Su Kin tiba-tiba”
“Itulah yang dikatakan orang
'yang kekenyangan tak mengerti akan derita silapar! Rakyat yang menderita
kelaparan entah berapa juta banyak sekalinya. Tapi mana orang-orang pemerintah
orang mengerti akan keadaan mereka itu. Karena baginda hari ini pernah
merasakan sendiri betapa tak enaknya orang yang kelaparan itu, mungkin kelak
akan sudi memikirkan nasib rakyat yang lapar itu,” kata Thian Hong.
“Kalau hanya lapar untuk
sehari-hari saja masih tak mengapa. Kan banyak sekali orang yang menderita
kelaparan sampai ber-bulandua,” demikian Siang He Ci menambahkan.
“Ya, kami sendiri kakak beradik
pernah dua bulan hanya makan kulit kayu saja,” Pek Ci turut menimbrung.
Berkata soal perut lapar, memang
orang-orang Hong Hwa Hwe itu adalah terdiri dari orang-orang yang sengsara
semasa kecilnya. Sudah tentu mereka dengan sengit mengeluarkan isi hatinya.
Sana begitu, sini begini, sehingga panas telinga baginda dibuatnya. Tapi karena
penuturan mereka itu berdasarkan pengalaman yang sebenarnya, diam-diam
bagindapun timbul pikiran, bahwa kalau benar demikian nasibnya kaum melarat
itu, memang patut dikasihani.
Tapi karena mereka itu bicara
sebebasnya saja, lama-lama baginda tak tahan, lalu tinggalkan tempat itu dan
menuju keloteng atas.
“Nanti kalau daharan sudah siap,
kita tentu akan mengundang baginda,” kata Thian Hong akhirnya. Tapi baginda
pura-pura tak dengar.
Dua jam kemudian, tiba-tiba Kian
Liong menCium bau ikan kambing bakar, itulah masakan istimewa dari koki istana
si Thio An-koan yang sudah dikenalnya. Sudah tentu baginda heran dibuatnya,
masa koki itu benar-benar bisa didatangkan kemari. Tengah beliau menduga-duga
itu, tampak Thio An-koan muncul disitu sambil menjura: “Silaukan bansweya
dahar.”
“He, bagaimana kau bisa datang
kemari?” tanya Kian Liong.
“Kemarin malam ketika hamba habis
menonton wayang , begitu keluar pintu terus dipapak orang. Dikatakan bahwa
bansweya berada disini dan minta hamba kemari. Sudah tentu hamba senang
sekali.”
Kian Liong hanya angguk kepala
terjjs berjalan kebawalrN»»-Disitu diatas meja telah dihidangkan macamdua
masakan seperti “Ca tahu dari sarang burung dan itik,” “daging kambing,” “bakmi
goreng istimewa,” “Kuah sajur ikan ajam” dan “panggang babi.” Kesemuanya itu
adalah kegemaran Kian Liong. Selain itu masih ada belasan sajur majur lagi.
Kian Liong girang. Ketika Thio
An-koan mengambilkan nasi, tiba-tiba Bu Tim dan Kawan-kawan nya sama datang.
“Silakan baginda dahar,” kata
mereka.
“Mungkin kali ini mereka
sungguh-sungguh akan minta aku dahar,” pikir Kian Liong.
Beliau lalu angkat sumpitnya
untuk menyemput ikan. Tapi tiba-tiba masuklah seorang gadis sekira umur
1delapan tahun dengan menyandung seekor kuCing.
“Ayah, pus ini juga lapar!” kata
sigadis pada Ciu Tiong Ing.
KuCing itupun kelihatannya akan
meronta dari tangan sigadis. Gadis itu adalah Ciu Ki, agak kendorkan tangannya
dan meloncatlah kuCing itu keatas meja, terus tempelkan monCongkan pada dua
buah mangkok sajur. Ciu Ki dan orang-orang sama berteriak untuk menggebahnya.
Ketika hampir tertangkap, tiba-tiba kuCing itu julurkan kakinya terus
meng-geletak diatas meja, sedang dari mulutnya segera muntah kan darah hitam
lalu mati.
Seketika itu wajah Kian Liong
berobah. Thio An-koan bergemeteran saking takutnya dan Buru-buru jatuhkan diri
ber-kui, katanya: “Bansweya mereka telah menaruh raCun jangan didahar!”
Sebaliknya Kian Liong tiba-tiba
tertawa gelakdua.
“Kamu sekalian telah berdosa
besar, mau Coba meraCuni kaisar. Kalau memang mau bunuh, bunuhlah lekas, jangan
pakai raCunduaan!”
Sambil mengucap begitu, baginda
lemparkan kursinya terus berbangkit.
“Apakah baginda tak mau dahar
hidangan ini?” balas bertanya Bu Tim.
“Bangsat, pengeCut, Coba saja kau
mau berbuat apa kepadaku,” menantang Kian Liong. Mengerti akan kejadian
sikuCing tadi, beliau insyap bahwa orang telah inginkan ji wanya, karenanya
beliau umbar kemarahannya.
Mendadak Bu Tim gebrak meja, lalu
berseru keras-keras: “Jiwa seorang lakidua itu bergantung dari nasib. Kalau
baginda tak mau, kita nanti yang makan. Ayo, siapa diantara saudara-saudara
yang bernyali, ikutlah makan dengan aku!”
Diambilnya sumpit terus
dimasukkannya kedalam mangkok yang dimakan oleh kuCing tadi, lalu dimasukkan
kedalam mulutnya. Lain-lain saudaranyapun sama mengambil tempat duduk, dan
serentak berseru: “Kalau mati biarlah mati, tak perlu kita sibuki.”
Dan pada lain saat, tampak suara
keCipan bibir menge nyam hidangan yang lezat itu. Melihat itu, melengaklah Kian
Liong. Dalam waktu yang singkat saja, hidangan itu telah disapu bersih oleh
orang-orang Hong Hwa Hwe tersebut. Mereka ternyata tak kurang suatu apa,
keCuali sama urutdua perutnya karena kekenyahgan.
Kiranya tadi adalah tipu si Thian
Hong saja. Lebih dulu kuCing diberinya obat raCun, sedang hidangan itu
sebenarnya tak ada apa-apanya. Dengan begitu, lagi-lagi Kian Liong yang sudah
siap untuk dahar, kembali digagalkan.
Memang orang-orang Hong Hwa Hwe
masih dendam hati pada Kian Liong, karena baginda itu telah menyiksa Bun Thay
Lay sedemikian rupa, sehingga sekujur badannya luka parah, Lou Ping juga
terluka, Ciu Tiong Ing kehilangan putera, sedangkan Ie Hi Tong jiwanya
terancam. Kesemuanya itu, menimbulkan kemarahan mereka.
Sebenarnya kalau menurut kehendak
kedua saudara Siang, lebih baik raja itu dihabisi saja jiwanya. Tapi Tan Keh
Lok dan Thian Hong dapat menyabarkan mereka. Karena itulah mereka melampiaskan
kemangkelan hati dengan “mengoCok” kaisar itu se-puasduanya.
Hal itu dimaksud untuk membalas
sakit hati, dan kedua kalinya untuk menyatuhkan keangkuhan kaisar itu.
Kalau Kian Liong sedang menahan
lapar sampai dua hari, adalah pada saat itu seluruh pembesar HangCiu sama heboh
tak keruan. Sekalipun lenyapnya kaisar itu sedapat mungkin dirahasiakan, tapi
tak urung seluruh kota menjadi gempar. Semua tempat diseluruh kota di geledah
dengan bengis, ter-utama ditempat pelabuhan, tak seorangpun diperbolehkan
keluar.
Dalam dua hari itu, ribuan orang
yang diCurigai telah ditangkap, sehingga penyara penuh dengan orang tahanan.
Mereka tak tahu sebab apa ditangkap. Pembesar setempat selain memang ketakutan,
juga menggunakan kesempatan baik untuk main tangkap orang-orang hartawan, agar
mereka mau kasih uang tebusan yang besar.
Hok Gong An, Li Khik Siu, Pek Cin
dan lain-lain jago pengawal jadi kalang kabut. Mereka menduga bahwa itu tentu
perbuatan orang- Hong Hwa Hwe Mereka segera kirim pasukan untuk menggeledah
ketempat anggota-anggotaHong Hwa Hwe tetapi semuanya sudah kabur.
Pada hari ketiga, Hok Gong An
kembali bersidang. Apakah lenyapnya baginda itu perlu dilaporkan pada Thay Houw
(ibusuri) dikotaraja, agar kalau sampai terjadi haldua yang tak diinginkan, fihak
istana sudah dapat segera mengangkat seorang raja baru sebagai gantinya Kian
Liong.
Tapi mereka yang hadir tidak
menyetujuinya, karena hal itu berarti, keluarga mereka akan mendapat hukuman
mati semua. Tengah mereka berunding, tiba-tiba tampak Swi Tay Lim mendatangi
dengan wajah puCat. Dia membisiki beberapa patah kata ditelinga Pek Cin, yang
segera berobah wajahnya dan serentak berbangkit katanya: “Masa ada kejadian
itu?”
Hok Gong An Buru-buru menanyakan
apa yang terjadi.
“Enam orang si-wi yang menjaga
kamar tidur bansweya telah kedapatan mati terbunuh,” jawab Swi Tay Lim.
“Ha, Ayo kita periksa, tentu ada
hubungannya dengan lenyapnya bansweya,” kata Hok Gong An.
Mereka segera menuju kekamar
baginda. Tapi begitu Swi Tay Lim membuka pintu, bau busuk lantas menyerang
hidung. Diatas lantai kamar itu, disana sini terserak enam majat si-wi. Ada
yang matanya melotot keluar, ada yang da danya melesak, keadaannya menyeramkan
sekali. Ketika diperiksa Pek Cin, ternyata keenam si-wi itu adalah jago-jago
pilihan dari istana. Memang diwaktu bersemajam, selalu ada enam orang si-wi
yang menjaga diluar kamar baginda itu. Meskipun baginda lenyap, tapi keenam
pengawal itu masih tetap bergiliran menjaga kamar beliau.
“Keenam orang ini berkepandaian
tangguh semua, tetapi mengapa mereka dapat dibinasakan orang dengan tanpa
mengeluarkan suara apa-apa” tanya Pek Cin.
Pek Cin bungkukkan badan untuk
memeriksa lebih lan jut. Ternyata mereka itu dapat hantaman dari tenaga yang
dahsyat, tetapi ada juga yang telah dihantam dengan po kiam hingga kepalanya
hanCur. Senjata-nyata dari para korban itu ada yang telah dihanCurkan, ada lagi
yang masih belum keburu dilolos keluar. Jadi terang kalau sipembunuh itu
berlaku sebat sekali, sehingga korbandua itu tak sempat membela diri.
“Kamar ini tak Cukup lebar untuk
berkelahi sekian ba nyak orang. Paling banyak sekali sipembunuh itu hanya
berjumlah dua atau tiga orang. Sekali bergerak mereka telah dapat membinasakan
keenam si-wi itu. Mereka kejam sekali, tapi juga membuktikan bagaimana hebatnya
kepandaian mereka itu,” kata Pek Cin.
“Bansweya telah dapat mereka
jebak, mengapa mereka mesti membinasakan keenam saudara ini? Menilik gelagat
nya, sipembunuh dengan orang yang menyebak bansweya itu tentu bukan
segolongan,” kata Li Khik Siu.
“Ya, tetapi mereka tunggal tujuan
jalan akan membunuh bansweya. Karena bansweya tak berada disini, maka keenam
si-wi itulah yang harus membajar jiwa,” kata Hok Gong An.
“Ji-wi benar. Kalau yang membunuh
si-wis ini orang Hong Hwa Hwe maka bansweya tentu jatuh dilain tangan. Tapi
kerumah Giok-ji-ih.
Rumah bunga raja itu, sebenarnya
dijaga pula oleh tentara, tapi ketika itu, satupun tak nampak penjaganya. Rumah
itu tampak sunyidua saja. Dan begitu masuk, kembali tampak majatdua dari dua
orang si-wi dan belasan tentara. Kejam nian pembunuh itu, seorangpun tak
dibiarkan hidup. Ada yang tenggorokannya putus digigit Anjing. Ditilik dari
perawakan dan luka sikorban, Pek Cin menduga keras, bahwa Anjing sipembunuh itu
tentu seekor binatang yang besar sekali. Kalau bukan Anjing dari luar
perbatasan, tentulah semacam serigala dari daerah barat-daya. Apakah mungkin
pembunuh itu berasal dari luar perbatasan atau dari Tiongkok barat-daya?
Demikian Pek Cin Coba mengambil kesimpulan.
Keenam Anjing itu setelah
berputaran diseluruh ruangan Giok-ju-ih lalu men-Cakardua kelantai. Pek Cin
segera me-meriksa lantai itu, tapi tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Namun
Anjingdua itu tetap men-Cakardua dan menggonggong dengan tak hentinya.
Pek Cin suruh seorang serdadu
Coba menCongkel lantai itu. Dan benar juga, baru saja diCongkel sekali dua,
lantai itu terjungkat. Dibawah ternyata ada sebuah papan batu yang besar.
“Congkel lekas!” perintah Pek
Cin.
Begitu papan diCongkel, nampak
sebuah lobang besar.
Anjingdua itu serentak masuk
kedalam. Kini terbukalah mata Pek Cin dan Li Khik Siu, mengapa ribuan tentara
yang menjaga rumah itu tak dapat mengetahui lenyapnya baginda. Kiranya baginda
telah diCulik melalui jalan dibawah tanah itu. Pek Cin dan Khik Siu langsung
pimpin anak buahnya memasuki lobang itu
Kini kita tengok kembali keadaan
Kian Liong yang telah dua hari menahan lapar dipagoda Liok Hap Ta itu. Dia
rasakan tubuhnya lemas. Pada hari ketiga, betul-betul habislah tenaganya.
DiCobanya untuk tidur, tapi tiba-tiba ada seorang ka Cung menghampiri dan
berkata: “Bansweya, siaoya mengundang bansweya untuk bicara.”
Karena girangnya, Kian Liong
timbul pula semangatnya, dan Cepat-cepat berpakaian. Kacung itu, adalah Sim Hi,
yang selain orang Hong Hwa Hwe siapakah yang mempunyai keberanian begini besar?
Sebaliknya kalau bansweeya jatuh ditangan orang Hong Hwa Hwe, pembunuh ini
tentu orang berkepandaian tinggi sekali”, Pek Cin utarakan pendapatnya.
Ketika angin mendesir, kembali
hidung orang-orang disitu sama tertusuk bau yang busuk. Karena tak tahan, Hok
Gong An segera keluar.
“Orang kosen didaerah Kang Lam
sini, hampir kukenal semua. Tapi kalau menurut Cara sipembunuh itu melakukan
pekerjaan, sungguh istimewa sekali. Hm, entah siapakah dia itu!” diam-diam Pek
Cin berkata sendiri.
Berhadapan dengan orang-orang
Hong Hwa Hwe saja sudah kewalahan, apalagi kini mendapat tambahan seorang musuh
baru yang begitu tangguh. Diam^ hati Pek Cin menjadi kunCup.
Dia membungkuk untuk memeriksanya,
dan ternyata pada dada sikorban itu terdapat luka-luka “Cakar-Anjing”. Hal itu
membuat ia heran, lalu minta pada Li Khik Siu menCari pemburu yang memelihara
Anjing.
Orang yang dimaksudkan itu segera
dibawa datang, tiga orang pemburu dengan enam ekor Anjingnya. Dalam pada itu Li
Khik Siu telah mempersiapkan dua ribu tentara untuk menunggu perintah. Pek Cin
suruh Anjingdua itu membaui korbandua tersebut., lalu di suruh melepaskan.
Demikianlah dengan dipelopori oleh pemburu beserta Anjingnya, tentara negeri
itu menuju ketepi telaga Se-ouw. Disama Anjingdua itu mengaumdua kearah
tengahdua telaga.
Mengertilah Pek Cin, bahwa
sipembunuh itu datang bersama dengan Anjingnya juga. Setelah membunuh si-wi dan
tak dapat menemukan kaisar, pembunuh itu suruh Anjingnya menCari jejak baginda.
Setelah membaui sekian lama, Anjing pemburu itu berhasil dapatkan jejak. Dengan
ber jalan menyusur tepian telaga, akhirnya pada sebuah tempat yang beCek,
diketemukan bekas tapak sipembunuh dan Anjingnya.
Anjing itu diseberangkan dari
tempat dimana baginda dibawa naik perahu, sampai ditepi sana, terus berjalan
menuju kedalam kota lagi. Karena dikota penuh dengan orang, Anjing itu berjalan
agak lambat. Sambil berjalan sambil menCiumkan monCongnya ketanah, akhirnya
menuju kerumah Giok-ji-ih.
Rumah bunga raja itu, sebenarnya
dijaga pula oleh tentara, tapi ketika itu, satupun tak nampak penjaganya. Rumah
itu tampak sunyidua saja. Dan begitu masuk, kembali tampak majatdua dari dua
orang si-wi dan belasan tentara. Kejam nian pembunuh itu, seorangpun tak
dibiarkan hidup. Ada yang tenggorokannya putus digigit Anjing. Ditilik dari
perawakan dan luka sikorban, Pek Cin menduga keras, bahwa Anjing sipembunuh itu
tentu seekor binatang yang besar sekali. Kalau bukan Anjing dari luar
perbatasan, tentulah semacam serigala dari daerah barat-daya. Apakah mungkin
pembunuh itu berasal dari luar perbatasan atau dari Tiongkok barat-daya?
Demikian Pek Cin Coba mengambil kesimpulan.
Keenam Anjing itu setelah
berputaran diseluruh ruangan Giok-ju-ih lalu men-Cakar» kelantai. Pek Cin
segera me-meriksa lantai itu, tapi tak ada tandas yang mencurigakan. Namun
Anjingdua itu tetap men-Cakardua dan menggonggong dengan tak hentinya.
Pek Cin suruh seorang serdadu
Coba menCongkel lantai itu. Dan benar juga, baru saja diCongkel sekali dua,
lantai itu terjungkat. Dibawah ternyata ada sebuah papan batu yang besar.
“Congkel lekas!” perintah Pek
Cin.
Begitu papan diCongkel, nampak
sebuah lobang besar.
Anjingdua itu serentak masuk
kedalam. Kini terbukalah mata Pek Cin dan Li Khik Siu, mengapa ribuan tentara
yang menjaga rumah itu tak dapat mengetahui lenyapnya baginda. Kiranya baginda
telah diCulik melalui jalan dibawah tanah itu. Pek Cin dan Khik Siu langsung
pimpin anak buahnya memasuki lobang itu
Kini kita tengok kembali keadaan
Kian Liong yang telah dua hari menahan lapar dipagoda Liok Hap Ta itu. Dia
rasakan tubuhnya lemas. Pada hari ketiga, betul» habislah tena ganya. DiCobanya
untuk tidur, tapi tiba-tiba ada seorang ka Cung menghampiri dan berkata:
“Bansweya, siaoya mengundang bansweya untuk bicara.”
Karena girangnya, Kian Liong
timbul pula semangatnya, dan Cepat-cepat berpakaian. Kacung itu, adalah Sim Hi,
yang setelah dirawat beberapa hari kini sudah sembuh dari luka-luka-nya.
Mendengar baginda dapat ditawan, dia ingin sekali menyaksikan ramaidua. Dia
memasak air untuk melayani baginda berkemas diri. Kaisar itu masih tetap
mengenakan pakaian orang Han dan mengikuti Sim Hi menuju kebawah.
Diloteng setingkat bagian bawah,
Tan Keh Lok sudah siap menyambutnya dengan muka berseri-seri. Begitu baginda
datang, dia Cepat-cepat » memberi hormat. Baginda pun membalasnya dan lalu ikut
masuk kedalam ruangan. Sementara itu, Sim Hi menghidangkan minuman teh.
“Lekas siapkan hidangan!” kata
Keh Lok segera.
Sebuah talam segera dihaturkan
oleh Sim Hi. Selain beberapa kuah sajur, juga terdapat udang, sajur daun terate
dengan ikan ajam dan lain-lain. yang baunya menusuk hidung. Setelah makan
berkatalah Tan Keh Lok : “Karena menengok seorang sahabat yang sakit, maka siaote
tak dapat siangdua menyambut saudara, harap maafkan”.
“Ah, tak apalah,” sahut Kian
Liong.
“Silakan henghay dahar dulu,
nanti siaote ada sedikit pembicaraan kepada hengtay”.
Lapar Kian Liong tak tertahan
lagi rasanya. Sebenarnya beliau berbadan sehat. Ketika berumur duabelas tahun
beliau ikut kakeknya Kaisar Kong Hi berburu, telah dapat memanah seekor
serigala. Sebagai orang yang gemar buge, makannya pun banyak sekali. Dua hari
dua malam tak berkenalan dengan nasi, sungguh membuatnya setengah mati.
Begitu Tan Keh Lok mendahului
makan dengan menyumpit sesuap sajur, Kian Liong terus dahar dengan lahapnya dan
sekejab mata saja habislah hidangan setalam itu.
Pada setiap masakan, Tan Keh Lok
selalu menCiCipinya satu dua sumpitan yang terus dimakannya. Ini untuk
menghilangkan keCurigaan baginda, siapa kini betul-betul tak sungkandua lagi.
Melihat itu, Tari Keh Lok hanya tersenyum saja.
N j aman perasaan kaisar itu,
setelah habis berdahar. Beliau segera meneguk Cawan yang terisi teh, harum dari
Liong-keng. Dan seketika itu tubuhnya dirasakan segar. Setelah mangkokdua
dikemasi, berkata pulalah ketua Hong Hwa Hwe itu me nyuruh Sim Hi sediakan
beberapa macam sajur lagi untuk teman minum arak.
Setelah Sim Hi berlalu, Tan Keh
Lok dorong pintu muka dan katanya: “Mereka berjaga dibawah, rasanya inilah
tempat yang paling sesuai. Tak nanti ada lain orang yang dapat mendengarkan
pembicaraan kita.”
Kian Liong kerutkan kening,
katanya dengan pelan: “Kau tawan aku disini ini, hendak bermaksud apa?”
Tanpa menyahut apa-apa, Tar» Keh
Lok maju dua tindak dan menatap wajah Kian Liong. Kian Liong dapatkan bagaimana
sepasang mata orang muda itu ber-kilatdua seperti merasuk kedalam hati. Tak
tertahan baginda itu berpaling kesebelah. Hening sejenak, tiba-tiba Tan Keh Lok
berkata : “Koko, sampai detik ini apa kau masih belum mengenal aku?”
Lemah lembut nada perkataan itu
ketika pemimpin muda itu mengucapkannya. Namun bagi sang baginda, hal itu
seolah- bunyi halilintar disiang hari, sehingga tanpa merasa, beliau
berjingkrak.
“Apa apa katamu tadi?!” tanyanya
gugup.
Wajah Tan Keh Lok unyuk
kesungguhan, pelan- diulurkan kedua tangannya untuk menyambut tangan baginda
seraya berkata :
“Kita ini kakak beradik, sedarah
sedaging. Koko, tak perlu kau kelabui aku, aku telah mengetahui semuanya.”
Sejak orang-orang Hong Hwa Hwe
dapat membebaskan Bun Thay Lay, insyaplah Kian Liong bahwa rahasianya tentu
bocor. Sekalipun begitu, ketika Tan Keh Lok memanggilnya “koko,” dia masih
melengak terkejut. Lemah lunglai sendi tulangnya, dan tanpa terasa beliau jatuhkan
diri diatas kursi.
“Kau datang ke Hay Ling, kau
anugerahkan gelaran ayah bunda sebagai dewa dan dewi Laut, itulah pertanda kau
masih ingat budi mereka. Coba kau berkaCa pada Cermin ini.”
Habis berkata demikian, Tan Keh
Lok tarik seutas tali yang bergantungan disebelah meja tulis, maka
tersingkaplah lukisan didinding itu. Sebagai gantinya tampak sebuah Cermin
besar.
Kian Liong dapatkan dalam pakaian
orang Han itu, dirinya sedikitpun tak mirip dengan orang Boan. Sedang ketika
mengawasi Tan Keh Lok yang berada disebelahnya itu, kaisar itu mengelah napas
dalam-. Habis itu kembali beliau jatuh-kan diri diatas kursi.
“Koko, karena tidak saling
mengetahui, kita kakak beradik saling bermusuhan. Kalau tulang saling berhantam
dengan dagingnya, ayah-bunda yang sudah beristirahat dialam baka itu tentu
takkan tenang hatinya.”
Kian Liong tetap tak dapat
mengeluarkan kata-kata. Baru setelah berselang beberapa waktu, kedengaran
beliau berkata: “Sebenarnya kubermaksud menempatkan kau dikota raja, tapi kau
sendirilah yang menolaknya.”
Tan Keh Lok memandang kearah
sungai disebelah sana, tanpa menyahut apas.
“Kalau kau merasa belum punya
pengalaman, nanti kusuruh seorang memimpin kau. Mengingat keCerdasanmu, kurasa
kau tentu dapat mengatasinya. Kelak akan kuserahi kau jabatan yang makin
tinggi,” kata Kian Liong pula. “Ini untuk kepentingan negara. Untuk hubungan
kita berdua pun berguna sekali. Mengapa kau tetap menuntut jalan sesat, tidak
setia pada negara, tidak berbakti terhadap orang tua!”
Mendengar itu Tan Keh Lok berpaling
dengan tibas.
“Koko, tidak ada maksudku untuk
menuduh kau put-tiong put-hauw (tidak berbakti). Mengapa kau sebaliknya
mengatakan aku begitu?” tanyanya.
“Hm, adalah kewajiban menteri
untuk bersetia kepada junyungannya. Yang menentang berarti mendurhaka. Aku
adalah seorang junyungan, mengapa kau katakan tidak setia?”
“Terang-terangan kau ini seorang
Han, mengapa takluk pada orang asing, adakah itu setia? Semasa ayah-bunda masih
hidup, kau sudah tidak merawatnya dengan baik-baik . Malah tiap hari ayah harus
menghadap dan berlutut padamu, sedangkan kau anggap sepi saja kesemuanya itu.
Adakah ini berbakti?” Tan Keh Lok mulai mengeluarkan kata-kata tajam demi orang
mendesaknya.
Butir-butir peluh ber-ketesdua
turun dari kepala Kian Liong.
“Aku benar-benar tak
mengetahuinya,” katanya dengan separoh berbisik. “Ketika pemimpinmu, mendiang
Ie Ban Tong masuk kedalam istana, barulah kuketahui semua itu. Namun aku masih
setengah percaya. Hanya saja, menjadi anak orang, lebih baik kalau kita percaya
bahwa hal itu mungkiri terjadi. Berbuat kesalahan karena tak tahu, bukan
berarti put-hauw. Maka akupun memerlukan berkunjung ke Hay Leng juga.”
Sebenarnya ucapan Kian Liong itu
hanya untuk menutupi kesalahannya saja. Waktu itu setelah Ie Ban Tong dan Bun
Thay Lay berhasil menyelundup kedalam istana, dia unyuk-kan surat Tan-hujin
kepada kaisar itu. Surat ila berisi pengakuan apa yang sebenarnya telah
terjadi. Kian Liong sudah delapan bagian mempercayainya. Begitu Ban Tong
berlalu, dia segera menanya keterangan pada Liauw-si, mak inangnya. Liauw-si
terpaksa menuturkan apa yang diketahuinya :
4tujuh Tahun yang lalu, pada
bulan delapan tanggal 1tiga , isteri dari Su-pwelek (pengeran keempat) In Ceng,
telah melahirkan seorang puteri. Berbareng dengan itu, menteri besar Tan
Se-Koan pun mendapat putera. Su-pwelek, pangeran keempat, adalah putera dari
kaisar Kong Hi. Anak kaisar BoanCiu, disebut pwelek. Dia titahkan supaya putera
menteri itu dibawa masuk keraton. Dia kepingin melihatnya, katanya.
Terang tadi yang dibawa masuk,
adalah putera seorang lakidua. Tapi setelah keluar ternyata baji itu telah
bertukar dengan seorang baji perempuan. Tapi Se Koan mengerti bahwa Su-pwe-lek
itu telah sengaja menukarkan bajinya, namun dia tak berani berkata apa-apa,
dikarenakan pengaruh pwelek itu terlampau besarnya.
Kaisar Kong Hi mempunyai belasan
putera, Mereka sama bersaing untuk memperebutkan kedudukan tahta nanti. Kong Hi
gemar akan ilmu pengetahuan Barat. Maka ba nyaklah puteraduanya yang se-olahdua
berlomba untuk mempelajari ilmu itu. Pwelekdua itu telah mempunyai menteri kesa
jangan sendiri. Tak segandua mereka memberi suapan besar pada menteridua itu,
agar memujikan dirinya dihadapan sang ayahandanya. Juga, pangerandua itu
masing-masing memelihara ja goandua silat untuk melindungi diri.
In Ceng mengetahui bahwa
ayahandanya itu masih ragudua menyatuhkan pililian tentang siapa yang bakal
menjadi Calon penggantinya kelak. Diapun tahu pula bahwa diantara saudaranya
itu, misalnya In Teng, In Ki, In Te dan lain-lain. adalah orang-orang yang
kepandaiannya tak disebelah bawahnya. Begitu pula mereka itu mempunyai kekuatan
dan pengaruh besar. Didalam memilih Calon mahkota, kaisar harus, menimbang
dengan Cermat bukan saja keCakapan dan peribadi pangeran itu, tapi pun anaknya
juga, jadi CuCu kaisar itu.
Memilih seorang Calon kaisar,
adalah untuk meletakkan dasar yang kokoh dalam menegakkan negara. Tidak; kalah
sukarnya seperti orang membangun kerajaan. Kalau pangeran yang telah menjadi
kaisar itu wafat, tentulah siCuCu yang menggantikannya. Jadi sekalipun
pwelekdua yang sekarang ini Cerdas, tapi kalau puteranya tolol, pilihan tak
nanti jatuh pada dirinya. Jadi dapat dimengerti bagaimana ke rasnya para pwelek
itu berusaha untuk mendapatkan seorang putera yang Cerdas, sehingga dapat
mengambil hati Kong Hi.
In Ceng sebenarnya sudah
mempunyai seorang putera lakidua sendiri, tetapi anak itu lemah dan bodoh.
Tidak disukai Kong Hi. Dalam satu hal ini, dia menginsyapi kekurang annya.
Karenanya, dia sangat berharap untuk mendapat putera lagi. Tapi apa mau,
isterinya ternyata melahirkan seorang puteri.
Pangeran Boan itu bertekad keras,,
biar bagaimana dia harus bisa menjadi kaisar. Maka ketika didengarnya Tan Se
Koan; berputera seorang lakidua, baji itu telah ditukarkannya.
Diantara pwelekdua, In Ceng
adalah yang paling banyak sekali tipu muslihat, dan kejam hatinya. Tan Se Koan
tak berani berkutik apa-apa. Baji lakidua itu, kemudian menjadi Kian Liong yang
sekarang ini. Memang sejak kecil, dia mengunjuk kan keCerdasan dan
keberaniannya. Dalam umur enam th. dia sudahi dapat membaCa kitab! “Ay Lian
Swat.” Dalam usia sembilan th., terjadilah suatu hal yang sangat kebetulan
sekali, sehingga anak itu telah berhasil merebut hati engkongnya, kaisar Kong
Hi. Dan peristiwa itu, menjadi dasar utama sehingga In Ceng berhasil diangkat
menjadi pengganti kaisar.
Waktu itu Kian Liong masih,
bergelar Po Jin Ong. Dia ikut, kaisar Kong Hi berburu ke Je-hol. Anak buah
pengawal raja, telah mengejai* seekor beruang besar. Beruang itu terpaksa
keluar dari dalam hutan dan menuju kedepan Kong Hi. Sekali lontar tombak
berapi, kepala beruang itu telah terpanggang dan roboh ketanah. Ketika kejadian
itu berlangsung, justeru Po Jin Ong yang berada disebelah Kong Hi dan menaik
seekor kuda kecil, juga kelihatan mengangkat tombaknya kecil, siap untuk
melepaskannya. Dihadapan seekor binatang yang begitu besar, anak itu se
dikitpun tak merasa gentar. Kong Hi senang melihat sikap CuCunya itu, serunya:
“Lontarkan tombakmu itu!”
Kong Hi sayang akan CuCunya itu.
Maksudnya menyuruh anak itu melontarkan tombaknya, adalah akan memberikan
pahala itu kepadanya. Dihadapan para menteri nanti, dia akan mengatakan bahwa
CuCunya itulah yang dapat membinasakan beruang. Dalam usia sembilan th. Po Jin
Ong telah dapat menombak mati seekor beruang, itulah suatu hal yang boleh
dibuat bangga.
Begitulah Po Jin Ong segera turun
dari kudanya dan menghampiri beruang sambil mem-bentaks; “Kubunuh kau, kubunuh
kau!”
Tombak tepat' dilancarkan keperut
beruang, disambut de-ngan sorak sorai oleh para si-wi. Juga Kong Hi meng uruta
jenggotnya sembari bersenyum puas.
Habis menusuk, Po Jin Ong kembali
akan naik kudanya. Tapi ternyata beruang itu belum mati, dan begitu berbangkit,
terus menubruk kepada Kong Hi. Para si-wi menjadi ter kejut, dan Cepat-cepat s
menghujaninya dengan tombak. Seketika itu juga, melayang lah nyawa beruang itu.
Kong Hie-pun bukan kepalang
terkejutnya, katanya kepada sekalian si-wi: “Po Jin Ong betuis mempunyai rejeki
besar. Kalau tadi sewaktu dia masih berdiri disitu, binatang itu. menerkamnya,
pasti dia akan Celaka.”
Sejak itu perhatian Kong Hi ada
pada pangeran Cilik itu yang dianggapnya mempunyai rejeki besar, lagi pula
pandai dalam ilmu silat dan ilmu surat. Dia telah dapat memenangkan hati Kong
Hi.
Kalau kemudian hari In Ceng bisa
naik tahta, dalam banyak sekali hal memang mengandalkan atas rejeki dari anak
yang dipertukarkan dan dianggap sebagai puteranya sendiri itu.
Semasa Yong Ceng (In Ceng)
memerintah, keluarga Tan di Hay Leng itu dianugerahi pangkat dan kemewahan
hidup yang luar biasa. Maksud Yong Ceng, pertama untuk membalas budi, kedua
kalinya agar rahasia itu jangan dibocor kan oleh keluarga Tan itu.
Pertama kali Kian Liong dibawa
kegedung Yong Jin Ong (gelar In Ceng semasa masih menjadi pwelek), terus
menangis tak berhentinya serta tak mau minum susu. Karena kewalahan, akhirnya
isteri In Ceng minta supaya mak inang anak itu, Liauw-si, dibawa masuk
istananya juga. Sejak itu Kian Liong baru mau diam, tidak menangis lagi.
Sungguh tak dinyana, berselang 40
tahun kemudian, Kian Liong telah menanyakan hal itu kepada Liauw-si. Mak inang
itu sebenarnya tak mau mengatakannya, tapi karena takut dan menduga bahwa Kian
Liong sendiri telah mengetahuinya, iapun terpaksa mengatakan dengan sebenarnya.
Liauw-si waktu itu sudah berumur enam0 tahun. Malamnya Kian Liong menyuruh
orang untuk menyirat lehernya, agar rahasia itu jangan sampai bocor.
Maka katas yang diuCapkan
dihadapan Tan Keh Lok itu, telah mengingatkan dia akan budi kebaikan mak inang
itu, yang telah dibalasnya dengan menyirat lehernya itu. Diam-diam hati kaisar
itu menyesal.
“Coba kau lihat sendiri, apakah
dirimu itu mirip dengan seorang Boan. Masa hal itu masih belum meneguhkan ke
percayaanmu,” kata pula Keh Lok.
Kian Liong merenung.
“Kau seorang Han, tanah air
bangsa Han telah dirampas oleh orang asing, dan kaulah yang menjadi raja mereka
itu. Jadi kau memimpin orang asing untuk menindas bangsamu sendiri. Bukankah
hal ini suatu perbuatan 'put-tiong-put-hauw', mengambil jalan yang sesat?”
tanya pula Keh Lok.
Kian Liong tak dapat memberi
jawaban yang tepat, ia hanya berkata: “Aku sekarang telah jatuh kedalam tangan
mu, kalau mau bunuh, bunuhlah. Tak usah banyak sekali bicara lagi.”
“Kita telah membuat janji di Hay
Tong, bahwa kita tak boleh saling menCelakai. Sebagai seorang lakidua, aku tak
boleh menyalahi janji itu. Apalagi setelah kuketahui bahwa kau adalah kakakku
sendiri. Sepuluh tahun lamanya aku tak pernah bertemu dengan darah dagingku.
Kalau saat ini aku bisa berjumpa dengan koko, masa bermaksud akan men
Celakainya,” kata Keh Lok dengan lemah lembut.
Tan Keh Lok , adalah seorang yang
berperasaan halus, penuh emosi. Maka dengan ucapannya itu, diapun menguCur kan
air mata.
“Habis kau maukan aku bagaimana?
Apa kau paksa aku supaya turun tahta?” tanya Kian Liong kemudian.
Tan Keh Lok memesut air matanya,
dan menyahut: “Tidak. Kau tetap menjadi kaisar. Namun bukan kaisar yang
put-tiong dan put-hauw, melainkan seorang junyungan bijak sana yang merintis
negara baru.”
“Perintis negara baru?”
“Ya, benar, menjadi kaisar dari
bangsa Han, bukan kaisar orang Boan!”
Kian Liong berotak Cerdas. Sekali
dengar saja, dia sudah Cukup mengerti kemana ucapan pemimpin Hong Hwa Hwe itu.
“Yadi kau mau suruh aku usir
orang-orang Boan itu?” tanyanya.
“Benar Kau menjadi kaisar yang
mengakui musuh sebagai ayah sendiri, bukankah akan dinista oleh anak CuCu kita.
Mengapa kau tak berusaha untuk merobah keadaan itu dan meletakkan dasar baru
dari pekerjaan besar ber-abaddua kemudian?”
Kian Liong seorang yang ambitius,
temaha jasa. Dengan kata-kata itu, tergeraklah hatinya. Hal itu Tan Keh Lok
dapat mengetahuinya dari perubahan air muka kaisar itu. Tahulah dia, bahwa
kata-katanya telah “termakan” dihati orang. Maka kesempatan itu tak mau
dilewatkan begitu saja, katanya pula :
“Dunia mengetahui bahwa kau
menjadi raja ini, karena meneruskan warisan leluhur saja. Jadi tak mengherankan
dan menimbulkan kekaguman orang. Coba lihatlah orang itu!”
Kian Liong menghampiri kedekat
jendela dan memandang kearah yang ditunyuk Tan Keh Lok. Seorang petani tengah
mengerjakan sawahnya. Hal itu membuat baginda heran.
“Kalau dia kebetulan dilahirkan
digedung Yong Jin Ong, dan kau dilahirkan dalam keluarga petani itu, maka
dialah yang menjadi kaisar sedangkan pada saat ini kau sedang meluku sawah
seperti dia,” kata Keh Lok.
Kian Liong selalu mengira dirinya
memang mempunyai kelebihan dari kebanyak sekalian orang. Tapi ketika mendengar
kata-kata Tan Keh Lok itu, di-pikirs memang beralasan.
“Hidup orang itu tak lamaj Kalau
tak dapat mendirikan suatu perbuatan besar, sekejab saja akan menjadi segun
dukan tanah yang berumput. Kaisardua jaman yang lalu, seperti Han Ko Cou, Tong
Thay Cong, Beng Thay Cou, adalah seorang junyungan yang betul-betul pahlawan
dunia. Gengis Khan dari dinasti Goan, Nurhata, pendiri ahala Ceng, juga dapat
digolongkan rajadua yang gagah. Tapi kalau baginda Han Si Te dan Beng Cong Ceng
itu, adalah rajadua yang hanya menerima warisan saja, jadi tak dapat
digolongkan pada rajadua yang gagah,” demikian Keh Lok teruskan uraiannya.
Setiap patah kata-kata itu
menusuk hati Kian Liong. Sejak mengetahui dirinya seorang Han, beberapa kali
Kian Liong akan keluarkan perintahdua supaya hambadua dan pegawaidua istana
semua memakai pakaian Han. Tapi selalu dihalangi oleh menteri besar LanCu. Maka
diam-diam Kian Liong berpikir, kalau beliau turutkan kemauan Tan Keh Lok untuk
mengenyahkan bangsa Boan dan membangun kembali kerajaan Han, bukankah dia bakal
menjadi ThayCou dari kerajaan yang didirikan oleh keluarga Tan? Tidakkah
nilainya sama dengan Lauw Pang dan Li Si Bin?
Baru beliau akan menyawabnya,
tiba-tiba dari kejauhan ke-dengaran gelombang Anjing menggonggong. Tampak Keh
Lok kerutkan alisnya sembari melongok keluar jendela. Kian Liong ikut melongok.
Tampak dari kejauhan ada empat ekor Anjing besar tengah berlari-lari menuju
kepagoda itu. Dibelakangnya mengikut dua sogok bayangan. Karena gerak an mereka
sedemikian pesatnya, maka tak kelihatan wajah nya yang jelas.
Sekejab saja kedua bayangan dan
empat ekor Anjing itu sudah dekat, dan segera terdengar suara bentakan orang.
Pagoda Liok Hap Ta terdiri dari tiga tingkat. Kian Liong dan Tan Keh Lok ketika
itu berada ditingkat duabelas, jadi jauh dari muka tanah. Apa yang terjadi
dibawah tak dapat didengarnya.
Begitu datang, orang dan
Anjing-anjing itu terus melangkah masuk. Tapi pada lain saat, keempat Anjing
itu lari keluar sembari menggerangdua kesakitan. Lari kesana sini, se-olahdua
akan menghindari sesuatu.
Beng Kian Hiong tampak lari
mengejar dengan peluru nya. Begitu melepas pelordua 'lian-Cu-tan' dan tepat
membuat Anjingdua itu mengaum makin hebat. Tengah Tan Keh Lok merasa heran
dengan kejadian itu, tiba-tiba ada sesosok tubuh melesat keluar dari tengah
pegoda itu. Gerakannya sedemikian pesat, hingga dalam sekejaban mata saja,
busur Kian Hiong sudah terampas, dan menyusul, tengkuk Kian Hiong tertampar
orang.
Karena tak sempat berkelit Kian
Hiong Coba menangkis dengan tangannya. Tetapi orang itu lebih Cepat-cepat . Dia
pakai busur tadi untuk menusuk jalan darah Kian Hiong, siapa seketika itu terus
roboh.
Tanpa menghiraukannya lagi, orang
itu .meneruskan masuk kedalam pagoda.
Dan baru saja orang itu masuk
kepintu, dari dalam pagoda itu segera berkelebat sebuah bayangan, terus men
Celat keluar dan jatuh ditanah tanpa berkutik lagi.
Tan Keh Lok terkejut sekali,
karena sikorban itu adalah An Kian Kong. Dan pada saat itupun terdengar tanda
suitan dari Ma Sian Kun dan Ma Tay Thing dari luar pagoda yang memberitahukan
ada musuh tangguh telah datang.
Sebaliknya Kian Liong bukan
kepalang girangnya. Beliau mengira kalau penolongnya telah datang. Tan Keh Lok
me-ngawasi keempat penyuru, tapi oleh karena sepidua saja, tahulah dia bahwa
musuh yang datang itu hanya dua orang saja. Sekalipun begitu musuh kali ini
sangat lihainya hing ga Ma Sian Kun dan puteranya yang menjaga diluar pagoda
itu sampai tak tahu sebelumnya. Ditilik dari gerakan mereka yang sedemikian
itu, tentulah salah seorang jago yang ter lihai diantara kawanan si-wi.
Dibandingkan dengan Pek Cin, masih lebih tinggi setingkat.
Keempat Anjing mereka itu kembali
menyerbu masuk, disambut dengan teriakan memaki dari seorang wanita muda.
Kembali Anjingdua itu me-lompatdua hebat. Itulah tentu Ciu Ki dan Sim Hi yang
menjaga ditingkat kedua tengah me layani Anjingdua itu.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan
seram dan dari jendela tingkat kedua terlempar keluar dua buah senjata,
sebatang golok pendek dan sebatang joan-pian. Tan Keh Lok menge nalnya
senjata-nyata itu kepunyaan Ciu Ki dan Sim Hi. Hal mana telah membuatnya ia
terkejut, dan diam-diam menguatirkan akan keselamatan kedua kawan itu. Karena
terang, musuh telah dapat merebut senjatanya.
Melihat perubahan air muka Tan
Keh Lok itu, tahulah Kian Liong bahwa fihak ,,penolongnya” telah mendapat
kemenangan. Diam-diam beliau merasa girang. Tapi ketika Tan Keh Lok bersenyum,
beliau Buru-buru melengos kebawah, ternya ta disana seorang gagah yang
bersenjatakan thiat-Ciang (galah besi), telah memutar senjata itu dengan hebat
dan berhasil mengusir keluar keempat Anjing besar itu.
Itulah Cio Su Kin, dibelakang
siapa pun ikut keluar Ciu Ki dan Sim Hi yang lalu menolong Kian Hiong dan Kian
Kong. Empat ekor Anjing itu buas bagai harimau. Salah seekor telah dihantam
sampai putus kakinya oleh Su Kin, namun masih tetap merangsang dengan
sengitnya. Dikepung oleh empat binatang yang buas itu, Su Kin agak kerepotan
juga nampaknya.
Habis membawa masuk Kian Hiong
dan Kian Kong, Sim Hi keluar pula. Dia gunakan puluhan biji batu untuk menimpuk
dan berhasil membuat Anjingdua itu ber-kuikdua kesakitan. Dan disaat itu, Su
Kin hantamkan thiat-Ciangnya. Kini ada seekor yang terlempar keluar.
Ciu Ki pun menyusul keluar. Ia
ber-teriakdua untuk membikin kacau binatangdua itu. Dan ternyata berhasil,
karena binatangdua itu makin gugup. Melihat gelagatnya, dalam beberapa waktu
saja Su Kin pasti dapat menyapu bersih binatangdua itu, andai kata tak terjadi
hal yang mendadak datangnya.
Sekonyong-konyong dari tingkat ke
enam, ada seorang melongokkan kepalanya keluar jendela sembari bersiul keras
sekali. Siulan itu aneh kedengarannya.
Mendengar itu, keempat Anjing itu
segera lari berpencaran keempat penyuru. Karena pintar Caranya menCari jalan
lolos, Su Kin tak berdaya menge jarnya. Hanya yang putus kakinya tadi seekor,
karena lari nya agak lambat Su Kin telah dapat menangkapnya dan diangkatnya
tinggi-tinggi. Anjing itu Coba-coba meronta dengan melolong keras-keras, tapi
pada lain saat Su Kin melemparkannya jauh-jauh maka siraplah lolongnya.
Ciu Ki dan Sim Hi sudah bersiap
pula dengan senjatanya dan menjaga dibawah menara tersebut. Mereka kuatirkan
akan adanya serangan musuh lagi. Sedang disebelah atas, Tan Keh Lok yang
melihat bahwa musuh memberi tanda siulan dari loteng keenam, diam-diam berpikir
dalam hatinya: “Kalau begitu apakah Cap-ji-ko yang menjaga loteng kelima serta
Nyo pat-ko yang menjaga loteng keenam tak dapat menahan mereka?”
Memikir sampai disitu, Keh Lok
mengeluh. Musuh ternyata keliwat tangguh, apalagi dua orang, maka ketua Hong
Hwa Hwe itu segera akan bertindak untuk mengumpulkan empat orang saudaranya dan
menjaga diloteng ke sembilan. Belum sampai dia lakukan rehCananya, tiba-tiba
dari loteng ke tujuh berkelebat sesosok tubuh yang pendek kecil, tapi gesit
gerakannya. Itulah 'Bu Cu-kat' Thian Hong.
Tapi baru saja tubuh Thian Hong
keluar jendela, kakinya kiri telah kena disamber oleh seorang dari dalam. Tan
Keh Lok kaget bukan kepalang. Cepat-cepat dia siapkan tiga butir biji Catur dan
sedianya akan ditimpukkannya. Tapi tiba-tiba Thian Hong berseru dengan keras:
“Lihat piauw!”
Dan membarengi itu, tangannya
kanan bergerak. Sudah tentu orang itu tarik kepalannya kebawah untuk
menhindari. Tapi ternyata itu hanya tipu dari si Bu Cu-kat saja. Karena
ternyata dia tak menimpuk apa-apa. Dan membarengi orang menunduk, dia jejakkan
kakinya untuk berontak. Begitu terlepas, dia pun sudah berdiri diatas wuwungan
dari pagoda.
Tan Keh Lok berada diloteng
ke-duabelas, jadi kini dia dapat melihat jelas musuhnya itu yang ternyata
berpotongan kate, ya, bahkan lebih pendek dari Thian Hong. Berpakaian serba
putih sedang rambutnya sudah ubanan semua. Seorang pe-rempuan tua kiranya!
Benar perempuan itu menggemblok
sebatang pokiam di punggungnya, tapi ia menyerang dengan tangan kosong saja.
Sekali loncat, ia sudah melesat dan berbareng tangannya kembali menerkam Thian
Hong.
Thian Hong sudah tak bersenjata
lagi, mungkin sudah kena berampas oleh perempuan tua itu. Tapi tangannya kiri
masih memegang sebatang tongkat besi, dengan apa dia palangkan kemuka dada,
seraya berseru: “Lihat piauw!”
“Kunyuk, jangan Coba kelabuhi aku
lagi!” nenek itu memaki.
Sembari mulut membentak, tangan
perempuan tua itu su-dah merangsang untuk merampas tongkat. Tapi ternyata ia
salah taksir siasat Bu Cu-kat. Kali ini bukan gertakan kosong. Karena tadi dia
sudah dapat mengambil sepotong genteng, maka lalu ditimpukkan keras-keras.
Untuk berkelit terang sudah tak
keburu, apaboleh buat tangan perempuan tua itu menangkiskan kemuka. Maka
hanCurlah genteng' itu menjadi berkeping-keping. Penjaga dari loteng ke
delapan, kedua saudara Siang, mungkin sedang dirabu oleh musuh yang seorang
lagi,' makanya tak kelihatan mun Cul untuk membantu. Dalam hal kepandaian
silat, Thian Hong terang bukan tandingan siperempuan tua itu, maka dalam
beberapa jurus saja, dia sudah keripuhan dan keluarkan keringat dingin. Hanya
karena mengandalkan kelin-Cahannya saja, masih dapatlah dia memaksakan
tertahan.
Kebetulan pada saat itu, Ciu Ki
mendongak keatas. Melihat bagaimana bakal suaminya itu dalam bahaya, ia gugup
dan teriaknya: “Ayah, lekas bantui dia!”
Ciu Tiong Ing menjaga diloteng ke
sepuluh. Diapun lihat ba-gaimana kedua muridnya tadi, Kian Hiong dan Kian Kong,
dirobohkan musuh. Sedang kini Calon mantunya pun berada dalam bahaya, dia
segera maju kedepan jendela. Sesuai dengan wataknya yang tak mau main
membokong, maka lebih dulu berserulah dia; “Siapa berani mengacau disini?”
Berbareng sepasang 'Thiat-tan
susul menyusul ditimpuk kannya kearah nenek itu.
Tapi belum tiba timpukan
senjatanya itu, tahu-tahu nenek itu sudah melompat pergi secepat-cepat burung,
sekali tangannya menahan emperan, dengan sekali berjumpalitan, orangnya menaik
lagi ketingkat keenam.
Tatkala itu terdengarlah suara
gemerinCing yang ramai, banyak sekali senjata-nyata rasia sebangsa panah,
peluru besi, piau dan lain-lain. jatuh diatas atap tingkat kedelapan. Kiranya
dilepaskan oleh Tio Pan San yang menjaga ditingkat kesembilan yang bermaksud
membantu Thian Hong.
Dan karena mengenai tempat
kosong, kedua Thian-tan yang ditimpukan Ciu Tiong Eng tadi telah patahan kayu
emperan menara itu hingga menerbitkan suara peletak dua kali, Cepat-cepat Thian
Hong dapat menyemput kembali sebuah Thiat-tan, sebuah lainnya ber-putardua
ditalang emperan menara. Tiong Eng melompat turun hendak menyemputnya kembali,
tapi belum lagi kakinya menancap tempat yang dituju, sekonyong-konyong ada
angin pukulan menyamber kedadanya.
Dalam keadaan terapung, Tiong Eng
tak sempat menghindari, ia merasa angin pukulan itu hebat sekali, kalau
menangkis sedang tubuhnya terapung, tentu akan kalah kuat dan terdorong jatuh
kebawah menara. Dalam keadaan kepepet, lekas-lekas Tiong Eng Cabut goloknya
menegak dimuka nya, lalu orangnya bersama senjatanya terus menubruk kedepan
dengan tujuan menerima pukulan orang, tapi lawan pasti akan kena goloknya juga,
dani keduanya pasti akan sama-sama terluka.
Akan tetapi musuh Cukup liCin,
ketika melihat Tiong Eng menubruk maju, sedikit tubuh mengegos, tangan kirinya
terus menarik pergelangan tangan Tiortg Eng yang memegang senjata.
Melihat gerak orang yang
Cepat-cepat lagi lihai, diam-diam Tiong Eng bersuara heran, pikirnya dengan
terkejut: “Siapakah gerangan orang ini?” — Dan bila ia sempat melompat pergi,
sementara dilihatnya Siang-si Hengte sudah melompat keluar dan menempur orang
itu dengan serunya, Perawakan orang itu ternyata tegap luar biasa, kedua
saudara Siang itu sudah tergolong jang kung lenCir, siapa tahu tubuh orang itu
masih lebih tinggi daripada mereka, hidung orang itu besar membetet, mukanya
merah bagai di wenter, kepalanya gundul kelimis tanpa seujung rambutpun.
Melihat wajah orang yang begitu
aneh, sedang ilmu silat nya bagus luar biasa, diam dua Tiong Eng memikir:
“Kenapa tokoh semacam ini juga terima menjadi Anjing pesuru kerajaan Boan?”
Kakek gundul itu terus geraki
kedua telapak tangannya dengan Cepat-cepat dan lihai, tapi kedua saudara Siang keluarkan
ilmu pukulan “Tiat-soa-Cio” mereka melompat kian kemari diatas emper menara
itu.
Nampak Siang-si Hengte berdua
mengerojok satu musuh belum bisa menang, tapi untuk kalah rasanya juga tidak,
Tiong Eng tidak jadi maju membantunya. Tapi bila ia memandang kebawah, seketika
ia terperanyat.
Ternyata ditingkat keenam situ
sinenek tadi sedang me rangsak Ciu Ki hingga terpaksa gadis ini mundur-mundur
terus. Melihat tunangannya tak sanggup melawan, tapi masih me nempur matikan,
kedudukannya sangat berbahaya, Cepat-cepat Thian Hong berseru: “Ki-moay,
mundur, mundur dulu!”
CIU KI menurut, ia putar tubuh
terus pergi, dan sedang nenek itu hendak melompat naik mengejarnya, tahus Ciu
Ki berhenti pula dan mendamperat: “Lothaypo (nenek tua bangka), berani kau
mengejar aku?' Disini ada bala ban tuanku!”
Meski tua, tapi watak nenek itu
ternyata sangat beranga san, demi mendengar katas Ciu Ki, benar-benar ia
mengejar pula.
Ciu Ki tak berani menempurnya,
segera ia putar tubuh berlari. Tiong Eng tidak tinggal diam, dari atas sebuah
Thiat-tan segera ditimpukannya kepunggung nenek itu.
Saat mana nenek itu sudah hampir
dapat menyandak Ciu Ki, selagi tangan diulur hendak menyamberet punggung gadis
itu, mendadak terdengar samberan angin yang keras dari belakang, tak berani ia
meraupnya, melainkan tubuhnya berkelit keluar, karenanya, seluruh tubuhnya
menjadi ter apung diluar atap menara, hanya sebelah kaki kiri yang menyantol
pada ujung emperan saja.
“Trang!” — keras sekali Thian-tan
tadi mengenai atap menara hingga genteng pecah berhamburan. Sungguh tidak
terduga bahwa dengan senjata rasia Ciu Tiong Eng yang sangat diandalkan itu,
tenaga timpukannya besar dan jitu sekali, siapa nyana dengan mudah saja telah
dihindarkan nenek itu dengan ilmu entengi tubuhnya “Han-kang-tok-tio” atau
memanCing sendirian disungai dingin, semacam ilmu kepandaian- yang jarang
terlihat didunia persilatan, karuan Tiong Eng sangat kagum dan diam-diam
berkuatir pula.
Sementara itu sesudah hindarkan
serangan, kembali nenek itu mengudak Ciu Ki lagi. Ketika Tiong Eng melompat
turun ketingkat enam itu dan menghadang ditengah jalan dengan golok melintang,
saat itu CiTi Ki sudah berlari sam pai dibalik menara sana, kedua orang sedang
udakduaan mengi tar menara.
Sejak Ciu Ki bertunangan dengan
Thian Hong, ia menjadi kuatir dirinya yang suka "grusak-grusuk" akan
dipandang rendah oleh bakal suaminya yang terkenal Cerdik pandai itu, maka
segala apa sekarang tak berani lagi terlalu turuti wataknya. Sebab itulah,
ketika Thian Hong menteriak inya mundur, segera ia bertempur sambil mundur
dengan tujuan mengulur tempo.
Saat itu Tiong Eng melompat turun
dan melihat puterinya berlari datang dari balik menara dengan masih diuber
nenek bertangan kosong itu. Tapi dibelakang wanita tua itu ada lagi mengintil
seorang yang mengajun sepasang gaetan menusuk terus kepunggung orang, tapi tak
bisa mengenai, melihat Caranya menolong Ciu Ki dengan gagah berani, ternyata
ialah Kiu-beng-pa-Cu We Jun Hoa, simacan tutul bernyawa sembilan.
Ketika itu Nyo Seng Hiap, Ciok
Siang Ing juga sudah memburu naik dari tingkatan bawah, segera Tiong Eng
mendahului maju, sesudah melewatkan Ciu Ki, goloknya beruntun membaCok dan
membabat dua kali.
Nenek itu tak berani ajal
menghadapi ilmu golok orang yang hebat, ia menyingkir kesamping, dan selagi
hendak Cabut pedangnya, tiba-tiba terdengar sikakek gundul tadi sedang
menteriakinya dibagian atas: “Aku nienyerang kebawah dari atas menara sana, kau
menyerang dari bawah keatas!” — Suaranya begitu garang dan keras bagai genta.
Mendengar itu, sinenek takmau
menempur lama, sekali me loncat, tangan menahan ujung emperan tingkat ketuju,
segera orangnya melompat ketingkat kedelapan. Ditingkat kedelapan ini tiada
yang merintanginya, maka dengan Cara yang sama ia melompat ketingkat kesepuluh.
Ketika dari bawah menyerang
keatas, nenek itu sudah tahu ilmu silat penjaganya satu tingkat lebih hebat
dari tingkat berikutnya, meski serangan golok Ciu Tiong Eng tadi dapat
dihindarkannya, tapi ia sudah kenal ilmu golok keluaran Siau-lim-Pai orang, ia
kuatir kalau dibagian atas terdapat lawan yang lebih lihai, maka dengan penuh
waspada ketika tubuhnya melompat keatas, pedangnya sudah diputarnya dahulu
dengan kencang.
Tiba-tiba saja terasa tangannya
tergetar, pedangnya telah kena ditempel senjata orang dari atas hingga
hampirdua terlepas dari Cekalan.
Nenek itu insaf ketemukan lawan
tangguh, Cepat-cepat pedangnya ia sampok kesamping melepaskan daya melekat
senjata orang, lalu ia melompat kesamping, tapi tahu-tahu ujung pedang musuh
sudah mengarah lagi kemukanya. Dalam keadaan kepepet, nenek itu membarengi
menyerang tiga kali berturut-turut, karena itu, terpaksa orang itu harus tarik
pedangnya dan gunakan tiga tipu gerakan “Thay-kek-kiam-hoat” untuk mematahkan
serangan sinenek.
Ketika nenek itu menegasi,
ternyata lawannya adalah seorang lakidua setengah umur berkumis. “Ha, sayang
dengan kepandaianmu ini!” jengeknya kemudian.
Orang itu bukan lain ialah
Jian-pi-ji-lay Tio Pan San. Karena melihat kesehatan sinenek, iapun lagi
terkejut dan kagum. Namun segera kedua orang saling menubruk maju terus
bergebrak dengan sengitnya.
Melihat kedua orang dibawah itu
terus menerjang keatas, diam-diam Kian Liong bergirang, ia lihat sikap Tan Keh
Lok tenangdua saja anggap sepi, malahan pemuda itu terus seret sebuah kursi
kepinggir jendela untuk menonton pertaru ngan dibawah. Diam-diam Kian Liong
pikir, yang datang menolong padanya melulu dua orang, tentu takkan sanggup
melawan orang-orang Hong Hwa Hwe yang berjumlah banyak sekali.
Selagi ia sebentardua girang dan
lain saat kuatir pula, tiba-tiba dari jauh terdengar suara Anjing menyalak diselingi
suara bentakan-akan orang serta derapan kuda.
Saat itulah terlihat Sim Hi
bergegas-gegas naik keatas dan berkata pada Tan Keh Lok dalam basa rahasia Hong
Hwa Hwe: “Menurut berita pengintai, katanya ada dua ribu tentara negeri sedang
menuju kemenara ini.”
Keh Lok hanya mengangguk, lalu
Sim Hi berlari kebawah lagi.
Kian Liong tak paham apa yang
dikatakan Sim Hi, tapi melihat sikap kacung itu tegang, ia tahu tentu terjadi
sesuatu yang tidak menguntungkan pihak mereka itu. Ketika ia memandang jauh
kedepan, dari rimba yang menghijau rindang sana tiba-tiba muncul sebuah panyi
yang bertuliskan sebuah huruf “Li.” Girang sekali Kian Liong, ia kenal itulah
panyi pertanda Li Khik Siu, tentu panglima itu telah memimpin tentaranya datang
menolong padanya.
Dalam pada itu Keh Lok telah
berdiri sambil melongok keluar jendela dan berseru: ,,Ma-toako, mundurlah
kedalam menara dan siapkan panah!”
Lalu terdengar Ma Sian Kin
menyahut dibawah.
Baru saja habis Keh Lok berseru,
tiba-tiba terlihat sikakek gundul telah melompat naik disusul Siang-si
Siang-hiap dan Ciu Tiong Eng yang terus mengudaknya. Tapi sesudah mengitari
menara, bila pengejar sudah terlalu mendesak, lantas kakek gundul itu membalik
menempurnya, kemudian kalau ada kesempatan, lantas melompat lagi ketingkat lebih
atas.
Disebelah sana sinenek tadi juga
lagi bertempur dengan serunya melawan Tio Pan San, sedangkan sikakek gundul
sudah melompat sampai tingkat yang ke-duabelas.
Melihat datangnya orang, pula
tingkat ke-duabelas itu adalah tempat Kian Liong dikurung, Siang Ho Ci tidak
mengejar lagi, tapi cang keram terbangnya lantas dikeluarkan sambil diajunkan,
lalu mencegah didepan jendela.
Siang Pek Ci dengan sang kaka
adalah saudara kembar, sejak kecil tak pernah berpisah, kedua orang seakan-akan
dua raga satu jiwa, maka demi nampak kaka keluarkan senjata, segera Pek Ci
angkat kedua telapak tangannya berdiri disamping kakanya.
Tak terduga sikakek gundul tidak
mau mendekatinya, sebaliknya terus melompat kepunCak menara.
Karena tak keburu mengejar, Ciu
Tiong Eng melompat masuk menara melalui jendela. Ketika mendadak melihat Tiong
Eng melompat masuk dengan golok terhunus, Kian Liong terkejut. Ia lihat jago
tua itu berlari kedepan tangga yang menembus punCak menara itu menantikan
kedatangan musuh.
Saat itu, Tio Pan San yang
menempur sinenek dengan sama kuatnya sudah berlangsung hingga ratusan jurus.
Diam-diam Pan San merasa heran: “Perempuan ini sudah beruban, kenapa aku tak
mampu menangkan dia?”
Karena tidak sabar lagi, segera
ia bermaksud merogoh senjata rasianya, tapi rangsakan nenek itu ternyata ken
cang sekali, sedikit meleng saja, tahu-tahu lengan bajunya telah kena disobek
pedangnya, walaupun tidak terluka, mau-tak-mau Pan San terkejut juga.
Menyaksikan pertarungan Tio Pan
San dengan nenek itu berlangsung dengan amat serunya, Thian Hong, Seng Hiap,
Jun Hua, Siang Ing dan Ciu Ki yang berdiri disamping semuanya heran. Tapi
mereka Cukup kenal betapa lihainya Tio Pan San sebagai Ciangbunyin atau ketua
Thay-kek-bun sekte selatan, bSik ilmu senjata maupun ilmu pukulan, dikalangan
Kangouw jarang ketemukan tandingan, betapapun nenek itu lihai, pasti Pan San
sanggup melawannya. Pula pertandingan diantara ahli silat paling pantang disela
orang lain, maka semua orang tidak ingin mengembut ma ju. Kini mendadak nampak
lengan baju Tio Pan San tersobek, mereka terkejut, Cepat-cepat Jun Hua ajun
kedua gaetannya hendak menubruk maju.
Tak terduga Pan San sudah
melontarkan sekali tusukan mendesak sinenek terpaksa mundur setindak, habis itu
ia sendiripun melompat kesamping dan katanya: “Kepandaian Lothaythay memang
hebat, silakan naik!”
Melihat itu, Jun Hua menjadi
bingung.
Kiranya sesudah lengan bajunya
sobek oleh senjata orang, sebagai seorang tokoh silat terkemuka, Tio Pan San
tak-mau bertempur lebih lama lagi, ia pikir: “Liok Hwi Hing, Liok-toako menjaga
ditingkat ke-11, biarlah aku melihat ilmu silatnya selama belasan tahun ini
pasti maju sangat pesat, tentu ia sanggup menahan wanita tua ini.” — Nyata
maksudnya memberikan jalan perempuan tua itu keatas jalah sengaja memberi
kesempatan pada Liok Hwi Hing untuk unyukan ketangkasannya.
Melihat Tio Pan San mengalah,
nenek tua itu juga Cukup kenal aturan, ia memberi hormat sambil berkata:
“Maaf!” — Lalu Cepat-cepat melompat keatas.
“Tio-sahCek (paman Tio ketiga),
kau toh belum kalah, kenapa mesti mengalah?” seru Ciu Ki.
“Ilmu pedang wanita ini hebat
sekali, biarlah kita saksikan kepandaian Bu-tong-Pai Liok-toako kita,” sahut
Pan San. Habis ini tiba-tiba ia menyambung: “Eh, nona Ciu, kenapa kau pun
begini sungkandua, memanggil aku SahCek? Hit-te bia sanya memanggil aku Samko.”
“Aku memanggil mengikuti
tingkatan ayah,” sahut Ciu Ki dengan muka jengah.
“Jika begitu, apa kau juga
panggil dia Hit-Cek?” sela Seng Hiap tertawa sembari menunyuk Thian Hong.
“Cis, jangan dia harap?” sahut
Ciu Ki.
Begitulah, karena tahu jumlah
pihaknya banyak sekali, meski tinggi kepandaian musuh, tentu takkan bisa
berbuat apa-apa, maka sembari bergurau, lantas mereka berlari ketingkatan atas
menara.
Tingkatan kesembilan dan
kesepuluh kosong tiada orangnya, tingkat sebelas semua orang menduga tentu Liok
Hwi Hing akan bertanding pedang dengan nenek tua tadi, siapa tahu disitu juga
kosong tanpa seorangpun:
Karuan semua orang kaget,
Cepat-cepat mereka berlari keatas pula, dan ketika akan masuk kedalam,
terdengarlah suara beradunya senjata. Terlihatlah disitu Ciu Tiong Eng dengan
goloknya yang berpunggung tebal lagi menempur sinenek ubanan tadi dengan sengitnya,
yang satu goloknya besar dan tenaganya kuat, yang lain sebat dan gesit, hingga
seketika susah ditentukan mana unggul atau asor.
Keh Lok telah tarik Kian Liong
kesuatu pojokan sambil berduduk diatas suatu dipan menyaksikan pertarungan itu.
Sementara itu Nyo Seng Hiap dan
Ciok Siang Ing sudah menjaga jalan larinya orang, lalu terdengarlah Thian Hong
berseru: “Letakkan senjatamu dan jiwamu kami ampuni!”
Namun nenek itu tidak gentar
meski tahu dirinya sudah terkurung, beruntundua ia masih melontarkan tipudua
serangan lihai.
“Ilmu pedang perempuan tua ini
sangat mirip seseorang, kau bilang betul tidak?” kata Ciu Ki bisik-bisik pada
sang tunangan.
“Ya, benar, akupun lagi heran,”
sahut Thian Hong.
Tiba-tiba nenek itu desak mundur
Tiong Eng, berbareng itu sebuah meja ia tarik merintangi depannya, ia sendiri
berdiri mepet dinding. Ketika Tiong Eng membaCok pula, hampirdua senjatanya
menancap diatas meja, Syukur sempat menarik kembali goloknya.
“Apakah kau ini kaisar? Lekas
bilang!” seru perempuan tua itu mendadak sambil berpaling kearah Kian Liong.
Menyang ka orang datang untuk
menolongnya, Cepat-cepat sekali Kian Liong menyawab: “Ya betul, akulah kaisar,
akulah kaisar! Apakah bala bantuan sudah datang semua?”
Sekonyong-konyong nenek itu
melompat keatas meja, habis itu pedangnya menyurus lempeng kedepan, bagai
burung saja terus menubruk kearah Kian Liong, dengan tipu “peng-bok-ban-li”
atau burung elang menubruk beribu li, segera pedangnya menusuk kedada kaisar
Boan itu.
Serangannya itu Cepat-cepat lagi
ganas, semua orang tadinya menyang ka datangnya adalah untuk menolong Kian
Liong, siapa duga mendadak malah hendak membunuhnya, perubahan diluar dugaan
ini, seketika bikin semua orang menjadi kelabakan.
Meski Tan Keh Lok berdiri
disamping Kian Liong, tapi serangan sinenek terlalu Cepat-cepat , untuk
menangkis juga tak keburu lagi, tanpa pikir kedua jarinya ia membarengi me
nutuk kejalan darah, berbahaya diiga nenek itu, serangan ini adalah tipu yang
tidak-bisa-tidak mesti menghindari. Sebab itu, ketika ujung pedangnya sudah
hampir mengenai dada Kian Liong, mendadak melihat dirinya diserang, terpaksa
sinenek angkat tangan kirinya menangkis dengan gerakan “kim-liong-tam-jiau”
atau naga emas mengulur Cakar, dari bawah keatas, terus hendak memegang tangan
Keh Lok malah.
Itu adalah ilmu Cara menangkap
dan memegang yang paling lihai dari tiga enam jurus “Kim-na-jiu-hoat”, asal
pergelang an tangan Keh Lok kepegang, seketika orangnya akan lumpuh.
Tapi justru pada saat sedikit
sinenek itu membagi per hatiannya, pedang pendek Keh Lok sudah dilolosnya terus
menangkis senjata orang hingga menerbitkan suara nyaring disusul lelatu yang
berCipratan, berbareng itu tangan kirinya tadi membalik terus menghantam kemuka
sinenek.
Tipu Kek Lok berikutnya ini masih
ada sekali tendangan yang disebut “Siang-he-kau-liu” atau silih berganti atas
dan bawah, tapi nenek itu bukanlah sembarangan orang, ia sudah kenal akan tipu
serangan Keh Lok, maka ketika serangan Keh Lok tiba, nenek itu menggeser
kekanan, berbareng pedangnya balas menusuk tenggorokan lawan.
Tak ia duga ilmu pukulan
“Pek-hoa-Ho-kun” Keh Lok setiap gerak serangann berlainan dengan pukulan biasa,
diwaktu nenek itu menggeser kekanan, tahu-tahu tendangan Keh Lok justru datang
dari sebelah kanan, baiknya nenek itupun membarengi menusuk, maka sebelum
tendangan Keh Lok diteruskan, lekas-lekas sudah menarik kembali.
Setelah saling gebrak ini, kedua
pihak sama-sama Curiga dan berbareng melompat mundur. Keh Lok menarik Kian
Liong kebelakangnya, ia sendiri menghadang kedepan, lalu kiong-Hiu menegur: “Lothaythay,
mohon tanya siapa namamu yang terhormat?”
Namun saat itu siperempuan tua
itupun lagi membentak menanya, karena perCampuran suara kedua pihak hingga
masings tak d jelas mendengar apa yang dikatakan.
Sesudah Keh Lok berhenti, kembali
perempuan tua itu mengulangi sekali lagi pertanyaannya: “Pedang pendekmu itu
diperoleh darimana?”
Mendengar orang tidak tanya soal
lain, tapi paling dulu lantas usut asal-usul pedangnya, hal ini benar-benar
diluar dugaan Keh Lok. Maka jawabnya: “Inilah pemberian seorang sahabat.”
“Sahabat siapa? Bukankah kau ini
salah seorang pengawal kaisar? Mengapa 'ia' memberikannya padamu? Pernah apa
kau dengan Thian-ti Koayhiap?” perempuan tua itu menghujani pertanyaan.
“Thian-ti Koayhiap adalah wanpwe
punya suhu,” Tan Keh Lok jawab pertanyaan yang paling belakang itu lebih dulu.
Bahwa siperempuan tua tersebut
akan bunuh baginda, tentulah kaum yang sehaluan dengan Hong Hwa Hwe Melihat
ber-hadapan dengan seorang yang berusia lanjut dan lihai, Tan Keh Lok menyebut
dirinya sebagai “wanpwe” atau anakdua golongan angkatan muda.
Perempuan tua itu perdengarkan
suara dari hidung. “Hm, itulah. Suhumu meskipun beradat aneh, tapi dia seorang
kunCu. Mengapa kau Cemarkan muka suhumu dengan men-jadi Anjing pengikut
pemerintah Ceng?!
Mendengar ketuanya dimaki-maki
se-wenangdua, Seng Hiap marah-marah.
“Ini adalah ketua kami Tan
Congthocu, jangan omong sembarangan saja!” teriaknya.
“Apakah kamu ini orang-orang Hong
Hwa Hwe?” perempuan tua itu terkejut.
“Benar!” jawab Seng Hiap.
“Apa kau sudah takluk pada
Ceng-tiauw?” tanya siperem-puan tua seraya berpaling kepada Tan Keh Lok.
“Hong Hwa Hwe mengabdi kepada
kebenaran dan kesuCian, bagai-mana mau tekuk lutut pada kerajaan asing? Silakan
lothaythay duduk, kita bicara dengan tenang.”
Perempuan tua itu tak mau duduk,
hanya tampaknya agak sabar. Tanyanya pula: “Dari manakah kau peroleh badidua
itu?”
Dua kali sudah perempuan tua itu
menanyakan badidua tadi, Keh Lok sudah dapat merabah sebagian. “Dari seorang
sahabat di daerah Hwe,” sahutnya kemudian.
Pada masa itu, antara kaum lelaki
dan perempuan saling bertukar barang, belum lazim. Sekalipun Keh Lok seorang
gagah yang ada nama, namun dihadapan sekian banyak sekali orang, dia merasa
kikuk untuk menerangkan.
“Apakah kau kenal pada Hui-ih-wi-san?”
tanya siperem puan tua.
Keh Lok hanya anggukkan
kepalanya. Melihat itu, Ciu Ki hilang sabar, lalu menyahut :
“Yang memberi ialah CiCi Hwe Ceng
Tong, apa kau juga mengenalnya? Kalau begitu, kita ini satu kaum!”
“Dia adalah muridku!” sahut
siperempuan tua.
Mendengar itu Keh Lok segera
menjura. “Ah, kiranya yang datang ini adalah Thian San Siang Eng berdua
Cianpwe, kita tidak mengetahuinya, harap dimaafkan.”
Perempuan tua itu tak mau
membalas hormat, hanya mi-ringkan tubuhnya sedikit, artinya ia tak mau menerima
hormat orang. Tanyanya pula: “Kau katakan kita sekaum, tapi mengapa kau
lindungi baginda dan tak biarkan kubu nuhnya saja?”
Melihat sikap orang yang sombong
atas sambutan merendah dari ketuanya itu, Seng Hiap mendongkol sekali.
Tiba-tiba kedua saudara Siang lompat masuk dari luar jendela.
“Baginda adalah kita yang
menangkapnya, kalau nanti diputus mati, kiranya juga tak usah kau yang membunuh
nya,” kata Siang He Ci.
“Heh, jadi raja itu kalian
tangkap?” tanya perempuan tua dengan terkejut.
“Mungkin Locianpwe belum
mengetahui. Memang kitalah yang menawan baginda. Kami kira kalau Locianpwe
berdua tadi adalah si-wi yang akan menolong baginda, jadi saudara-saudara kami
sama menghadangnya; Tapi karena Locianpwe keliwat lihai, mereka tak dapat
menghalangi Locianpwe, sehingga timbul salah paham,” menerangkan Keh Lok.
Sebenarnya orang-orang Hong Hwa
Hwe telah dapat menahan serbuan suami isteri Thian San Siang Eng, sepasang
garuda dari gunung Thian San. Jadi dengan ucapan itu, Keh Lok bermaksud
menyenangkan perasaan orang.
Tiba-tiba perempuan tua itu
tonyolkan dirinya keluar jendela dan berseru keras: “Hai, Tangkeh (disini
dimaksudkan suami), kau turunlah kesini!”
Sampai sekian jurus, tak ada
jawaban apa-apa. Sekonyong-konyong sebuah panah melayang datang. Siperempuan
tua ulurkan tangannya untuk menyang gapi tangkai panah itu, ia berpaling
kedalam, dan lemparkan anak panah keatas meja, seraya berseru dengan ketus:
“Bangsa kurCaCi yang tak boleh di percaya, mengapa lepas anak panah ini!”
“Harap Locianpwe jangan salah
paham. Saudara-saudara kita yang disebelah bawah sama belum mengerti, jadi
berbuat kekeliruan. Biar nanti mereka haturkan maaf pada Locianpwe,” kata Tan
Keh Lok, terus melongok kebawah.
“Orang sendiri, jangan lepas
panah!” — Tapi belum ketua itu berseru habis, sebatang panah kembali melayang .
Waktu itu Keh Lok sudah mengetahui, bahwa ribuan pasukan pemerintah Ceng sudah
mengurung pagoda itu dengan rapat sekali. Jadi setiap ada kepala menonyol
keluar jendela pasti akan dipanah mereka.
“Sam-ko, harap pimpin thauw-bak
menjaga pintu pagoda. Tapi jangan menyerang keluar,” pinta Keh Lok.
Tio Pan San mengiakan, kemudian
berlalu dari situ.
“Yang berada disini ini tentulah
salah seorang dari Thian San Siang Eng, Swat-tiao Kwan-losuhu,” kata Tiong Ing
kemudian. “Maaf, sudah lama aku mengaguminya.”
Memang perempuan tua itu, adalah
Kwan Bing Bwe, isteri dari Tan Ceng Tik silelaki tua gundul tadi. Yang laki
tinggi, isterinya pendek. Yang satu gundul, yang lainnya berambut Orang kangouw
menamakannya “thut-Ciu-swat-tiao,” garuda gundul-elang-putih. Berpuluh tahun
j.l. menyagoi didaerah barat laut. Perangainya juga aneh, kejam dan buas,
sehingga ada orang menamakannya “iblis maut”.
Dengar pernyataan orang, Kwan
Bing Bwe, bersenyum.
“Inilah Thiat-tan Ciu Tiong Ing
Locianpwe”, Tan Keh Lok memperkenalkannya.
“Hm, akupun sudah lama mendengar
namamu,” sahut Kwan Bing Bwe, siapa segera berpaling dan berseru pula:
“Tangkeh, Ayo lekas turun, kau sedang berbuat apa itu?”
Begitu keras dan nyaring suara
jago wanita itu, hingga semua orang sama melengak terkejut.
“Tan-losuhu sedang adu pedang
dengan Bu Tim totiang, mari kita lekas pisahkan mereka,” kata Tiong Ing.
Tan Keh Lok memberi isyarat mata
kepada kedua saudara Siang, siapa dapat mengerti maksud orang dan menjaga pada
baginda. Setelah itu, Keh Lok ajak Kwan Bing Bwe dan lain-lain saudaranya untuk
naik keloteng yang paling atas. Meskipun sudah menginyak titian loteng yang
teratas itu, masih saja orang-orang itu tak dapat mendengar suara apa-apa.
Mereka sama kuatir, karena diketahuinya bahwa kedua orang itu adalah jago-jago
yang lihai sekali, jadi kemungkinan tentu ada salah seorang yang terluka. Hal
itu akan membuat urusan makin runyam.
Kwan Bing Bwe Cukup tahu suaminya
lihai, belum pernah ketemu tandingan. Setiba didalam ruangan, tampak sinar
putih ber-kelebatdua menyilaukan mata. Seluruh ruangan itu terang dengan
kilatan sinar pedang. Kiranya dua sosok bayangan ber-putardua dengan linCahnya,
dan dua bilah pedang saling berkelebat. Sekalipun begitu, deru samberan
anginnya seperti belasan orang yang bertempur.
Itulah Tan Ceng Tik, suami dari
Kwan Bing Bwe, yang tengah bertempur seru dengan Bu Tim. Suatu pertempuran yang
membuat kagum dan tunduk semua orang yang me nyaksikannya, sehingga mereka sama
meleletkan lidah. Setelah berlangsung berpuluh jurus suaminya masih belum
mendapat angin, diam-diam Kwan Bing Bwe terkejut serta ber tanya pada diri
sendiri, mengapa didaerah Kang Lam ada seorang ahli pedang yang sedemikian
tangguhnya itu. Se baliknya, Tan Keh Lok segera berteriak mencegahnya:
“Totiang, kawan sendiri, harap berhenti!”
“Bu Tim angkat pedangnya keatas
untuk lindungi muka serta mundur selangkah. Tapi sedemikian hebat pedang Ceng
Tik melibatnya, sehingga tanpa dirasa, ujung pedangnya, maju menusuk.
Bu Tim berkelit kesamping sambil
balas menusuk. Demikian, keduanya saling berhantam lagi.
“Tangkeh, mereka orang Hong Hwa
Hwe!” seru sinenek tadi.
“Ha?”' seru Ceng Tik agak
terkejut. Dan dalam pada itu, gerakan pedangnya agak diperlambat, tepat pada
waktu itu terdengar samberan “sret.” Lengan bajunya sebelah kanan, kena
tertusuk tembus oleh pedang Bu Tim.
Bu Tim menurut seruan Tan Keh Lok
dan masih berlaku murah, kalau tidak tentu lebih ganas lagi. Sebaliknya, Ceng
Tik murka sekali dibuatnya, bentaknya: “Durjana, lihat pedangku!”
Tiga serangan dia kirim secara
kilat susul menyusul. Bu Tim tak mau mundur setapakpun. Sembari menangkis, dia
balas empat serangan. Dalam sekejap saja, berpuluh ju rus sudah berlangsung.
Ceng Tik gunakan jurus ilmu pedang ,,Sam-hun-kiam” yang lihai dan sukar diduga.
Setiap gerak serangannya, mungkin berisi, mungkin kosong.
Untuk menimpali, Bu Tim keluarkan
“Cui-hun-toh-beng-kiam”, ilmu pedang merampas jiwa. Dalam tujuhdua jurusnya,
.terbagi lagi dalam delapan1 gerak tipu yang ajaib perubahannya.
Baik 'sam-hun-kiam', maupun
'toh-beng-kiam, keduanya adalah Ciptaan dari kedua jago pedang itu sendiri.
Jadi sesuatu yang belum pernah tertampak dikalangan Kangouw. Tampak gerakan
kedua pedang itu lambatdua saja, namun penuh dengan aneka perubahan yang
mendadak.
Pada lain saat, dengan gerak
“ping-ho-gay-tang”, sungai es mulai meleleh, Ceng Tik menabas lengan kanan
lawan nya. Bu Tim bergerak menghindar kesamping, tapi Ceng Tik sudah menyusuli
pula dengan tipu “kabut membubung dite ngah malam,” ujung pedang dari bawah
dikibaskan keatas, sebat luar biasa. Maksudnya untuk membabat lengan lawan nya.
Hebat sekali serangan itu, biar
bagaimana tangguhnya lawan, tak urung tentu termakan. Tapi pada saat itu, Ceng
Tik kaget dan menyesal sendiri. Karena Bu Tim memang hanya berlengan satu.
Sehingga anCaman itu, tak dihiraukan sama sekali oleh Bu Tim.
“Bagus!” seru Bu Tim dan dengan
gerak 'Beng Bo koan theng1- atau Ibu BengCu menyiram kuah, dia tusuk tenggo
roka,: jago Thian San itu.
Yakin sudah Ceng Tik, bahwa
babatannya tadi tentu akan dapat menabas putus lengan lawannya. Dan andaikata
musuh akan Coba menangkis, diapun sudah sedia langkah lagi untuk menyusuli lain
serangan. Tapi dengan terkejut, dia dapatkan babatannya tadi kosong, karena
musuh tak berlengan.
“Ah, tolol benar aku ini. Terang
dia hanya punya satu lengan, mengapa kuserang Cara begitu tadi?!” demikian
pikirnya.
Tapi dia tak mempunyai waktu
untuk merenungkan per-buatannya tadi, karena tahua ujung pedang Bu Tim sudah
menganCam tenggorokannya. Untuk menghindar, terang sudah tak keburu. Dalam
keadaan terancam itu, dia berlaku nekad. Sejalan dengan, gerakan orang, diapun
julurkan pe dangnya untuk membabat. Jadi Dua-duanya tentu berbareng terluka.
Melihat anCaman itu, Bu Tim
bergerak kekanan. Begitu pedangnya ditarik, segera ditangkiskan pedang musuh.
“Trang.” Begitu nyaring kedua pedang itu beradu, berkumandang sampai lama
sekali.
Kedudukan Bu Tim ketika itu
sebelah lututnya ditekuk ke tanah, sembari menahan pedang lawannya. Siapa yang
ken dor, ujung pedang lawan tentu akan membabat tubuh.
Semua orang sama berseru kaget.
Keduanya gunakan lwekang untuk mendesak lawan. Selagi batang pedang sama
tertahan, lama-lama saling masuk kedalam senjata masing-masing. Melihat keadaan
itu, Tan Keh Lok tak mau berajal. Meminta pian dari Seng Hiap, ketua Hong Hwa
Hwe itu terus siap akan ma ju melerai. Tapi baru saja kakinya maju selangkah,
terdengarlah suara seorang tertawa ber-gelakdua: “Ilmu pedang yang bagus!”
Berbareng suara itu, sesosok
bayangan berkelebat turun disusul dengan gemerinCingnya suara senjata beradu.
Pedang Bu Tim dan pedang Ceng Tik, duaanya telah rompang kutung. Dan kedua jago
silat itupun sama lompat mundur. Mereka dapatkan seorang tegak berdiri
di-tengah-tengah gelanggang sambil tertawa nyaring. Sedang pokiam yang dipegang
nya, tampak ber-kilauduaan menyilaukan mata.
Ketika Bu Tim mengetahui bahwa
orang itu adalah Bian-li-Ciam Liok Hwi Hing, diapun diam. Sebaliknya Tan Ceng
Tik dengan masih memegangi separoh batang pedangnya, matanya menjadi merah.
Begitu ajun kakinya dia akan menyerang orang itu.
“Thut-heng, thut-heng, apakah kau
tak kenal dengan Siaote lagi?” kata Hwi Hing dengan tertawa.
Ceng Tik melengak, memandang
tajamdua, kepada Hwi Hing, tibas dia berseru dengan kaget: “Aha, kaulah
Bian-li-Ciam!”
“Itulah siaote,” sahut Hwi Hing.
“Mengapa kau disini?” tanya Ceng
Tik.
Hwi Hing tak menyahut, pedangnya
disarungkan, lalu memutar tubuhnya untuk menjura pada Kwan Bing Bwe, katanya:
“Toasoh, sepuluh th. kita tak berjumpa, rupanya ke pandaianmu makin hebat!”
Kwan Bing Bwe Buru-buru balas
menjura.
Kiranya sewaktu tadi Hwi Hing
menjaga diloteng ke 11, dia ketahui akan datangnya kedua suami isteri Thian-san
Siang Eng itu. Bentuk tubuh kedua jago Thian-san itu memang istimewa, jadi
sekalipun sudah sekean lama tak bertemu, masih juga Hwi Hing dapat mengenalinya
dengan lantas. Bahwa sepasang Garuda dari Thian-san itu adalah orangs gagah
yang mengutamakan keluhuran budi dan tak nanti sudi menjadi budak pemerintah
Ceng, yakinlah sudah Hwi Hing. Tapi mereka datang menyerang pagoda itu untuk
menCari baginda, itulah yang membuat Hwi Hing tak habis mengerti.
Karena sangsi, maka Hwi Hing tak
mau jumpai mereka dan sembunyikan diri. Karena itulah maka loteng kesebelas
tadi kosong. Bagaimana Kwan Bing Bwee akan membunuh Kian Liong dan salah paham
dengan ketua Hong Hwa Hwe yang ber akhir pun diketahui oleh jago Bu Tong Pai
itu. Ketika rombongan orang banyak sekali menuju keloteng ke 1tiga , Hwi Hing
sembunyi di penglari. Dan dengan andalkan ilmunya meng entengi tubuh yang
tinggi, dia merajap keloteng ke 1tiga .
Bagaimana kedua jago silat itu
menguji kepandaiannya, tidaklah sampai membuat Hwi Hing terkejut andaikata
mereka tidak sampai saling labrak dengan adu lwekang itu. Diketahuinya bahwa
kalau sampai berlangsung lama, tentu ada salah seorang yang akan menderita,
maka sekali enjot tubuhnya dia melayang turun dan membabat kedua senjata dari
Bu Tim dan Tan Ceng Tik. Dengan demikian bujarlah pertentangan yang merugikan
itu.
“Hm, Liok-iaote, pedangmu betuis
sebuah pokiam yang jarang terdapat keduanya,” kata Ceng Tik.
Tahulah Hwi Hing bahwa Ceng Tik
itu sekalipun usianya sudah tua, tapi adatnya masih panas. Katanya seraya
tertawa: “Ini kepunyaan lain orang, untuk sementara dititipkan padaku.”
Memang pedang itu, adalah
kepunyaan Thio Ciauw Cong. Seperti kita ketahui, dalam pertempuran silat
dibukit Pat Ko Nia, 'leng-bik-kiam' Ciauw Cong itu telah kena diserobot oleh
Lou Ping, kemudian diserahkan kepada Tan Keh Lok. Ketua Hong Hwa Hwe itu
ternyata seorang muda yang berpikiran luas. Dia tahu bahwa pokiam itu adalah
pedang mustika dari Cabang Bu Tong Pai turun temurun. Karenanya, dia serahkan
kembali pedang itu pada Hwi Hing.
“Beruntung pedang ini bagus,
kalau tidak, dua orang yang berkepandaian begitu tinggi seperti kalian, kalau
saling ber-tempur siapakah yang dapat memisahkannya?” kata pula Hwi Hing.
Ucapan itu telah membuat Bu Tim
dan Ceng Tik men jadi sabar.
“Kalau tidak bertempur tentu
tidak saling kenal. Biarlah aku mengenalkan kalian berdua,” kata Hwi Hing lebih
jauh. Dan habis itu dia mulai perkenalkan sepasang suami isteri gagah itu pada
semua orang-orang Hong Hwa Hwe
“Aku tahu bahwa kalian berdua
menetap dikaki gunung Thian-san untuk menikmati haris tua, tetapi mengapa
tahu-tahu datang ke Kang Lam untuk membunuh baginda?” tanya Hwi Hing.
“Bukankah kalian sudah kenal
dengan muridku Hwee Ceng Tong. Sebab dia, maka sampai timbul urusan ini.
Pemerintah Ceng telah mengirim pasukan untuk memukul daerah Hwe. Ayahnya Ceng
Tong, Bok To Lun melawannya.
Tapi karena kalah jumlah, maka
beberapa kali dia harus menderita kekalahan. Kemudian ransum tentara Ceng telah
dibakar orang ditepi sungai Hoangho.”
Baru saja Kwan Bing Bwe bicara
sampai disitu, Hwi Hing Buru-buru menyelak: “Itulah pekerjaan Enghiongdua dari
Hong Hwa Hwe yang dilakukan untuk membantu perjoangan Bok To Lun loenghiong.”
“Ah, didaerah Hwe, akupun sudah
mendengar hal itu,” sahut Bing Bwe. Memandang kepada Tan Keh Lok, ia berkata
pula: “Ah, makanya ia berikan badidua itu padamu.”
“Sebelum terjadi peristiwa itu,
kita telah bertemu dengan Bok To Lun loenghiong yang hendak merampas kembali
kitab Qurannya. Disitulah kita beruntung dapat membantu sedikit akan kerepotan
Bok loenghiong itu,” jawab Keh Lok.
“Ya, tanpa ransum, tentara Ceng
itu terpaksa mundur. Dan menggunakan kesempatan itu Bok To Lun menyorong kan
perdamaian dengan menghaturkan dua buah vaas giok. Tetapi kurangajar betul
mereka, setelah mendapat ransum, Tiau Hui kembali lakukan penyerangan,” kata
Bing Bwe.
“Memang pembesar pemerintah Ceng-
itu tidak boleh di percaya,” kata Hwi Hing.
“Karena Bok-loenghiong tak dapat
bertahan, rakyat Hwe ditindas sewenangdua oleh tentara Ceng. Sampai disitu,
mereka minta bantuan pada kita. Sebenarnya kita berdua tak mau repoti urusan
begitu,” ujar Bing Bwe.
“Hm, garaduamulah! Tapi sekarang
kau Coba membersihkan diri,” tiba-tiba Ceng Tik memutus pembicaraan isterinya.
“Huh, mengapa aku saja kau Cela?
Kalau melihat tentara Ceng membakari dan menindas rakyat Hwe, tegakah kau
melihatnya saja?” balas isterinya.
Ceng Tik keluarkan suara dari
hidung dan akan menya wabnya lagi. Tapi Hwi Hing segera menyelak sama tengah,
katanya dengan tertawa: “Kalian ini suami isteri sudah kolo tan, mengapa sih
masih seringdua suka setori. Apakah tidak malu kepada orang-orang muda itu?
Toasoh, jangan perdulikan Toako, kau teruskanlah keteranganmu tadi.”
Setelah melerok pada suaminya,
berkatalah Bing Bwe: “Setelah berunding, sebenarnya kita akan bunuh jenderal
mereka, Tiau Hui. Tapi kita pikir lebih lanjut, kalau Ceng-se-tay-Ciangkun itu
dilenyapkan, raja masih bisa mengirim lagi gantinya. Jadi terus menerus
membunuh pun tak berguna, lebih baik kita basmi akarnya, bunuh raja Boan itu.
Begitulah selama tinggalkan
daerah Hwe, disepanjang ja lan kita dapat keterangan bahwa baginda berada di
Kang Lain. Dengan membawa Anjingdua itu, kita berhasil menemukan jejak baginda
di HangCiu. Kiranya kamu orang-orang Hong Hwa Hwe membawa baginda dari jalan
dibawah tanah itu, sehingga kita montang-manting menCarinya.”
“Apa? Hongte ditawan mereka?”
seru Ceng Tik dengan heran.
Hwi Hing tuturkan apa yang telah
terjadi dengan pen Culikan baginda itu.
“Rencana itu memang bagus, tapi
kurang tegas. Mengapa hanya membikin lapar beliau saja? Tabas saja batang
lehernya kan lebih bagus!” kata Ceng Tik.
“Urusan negara masa Cukup dengan
tabasan sebilah pedang saja sudah selesai!” sela Bu Tim dengan suara dingin.
“Totiang, kaupunya ilmu pedang
memang lihai sekali. Tadi kita belum ada kesudahannya. Kalau totiang suka,
bagaimana kita lanjutkan ber-main-main lagi?” kata Ceng Tik dengan gusar.
“Setua kau ini, agaknya masih
kalah luas pandangannya dengan muridmu Hwe Ceng Tong, sigadis itu. Kita kan
orang sendiri, mengapa mesti bertempur lagi?” sahut Bu Tim.
“Tuh, lihat! Kau memang seorang
tua tolol, tapi kau selalu tak mau kukatakan begitu. Coba sekarang lain orang
pun mengatakan kau begitu!” kata Bing Bwe dengan tertawa.
Sampai disitu rupanya kedua suami
isteri itu mulai akan berCeCok lagi.
“Biarlah, anggap saja aku piCik,”
sahut Ceng Tik. Habis itu, dia berpaling kearah Bu Tim, katanya: “Bukan
bertempur mati-matian, tak ada halangan kiranya kalau kita uji permainan pedang
kita bukan? Ilmu pedangmu tadi hebat, ingin aku meminta pengajaran, apakah itu
keliwatan?”
Takut kalau keduanya akan
bertempur lagi dengan akibat meretakkan persahabatan, Buru-buru Hwi Hing Campur
mulut: “Toako, ilmu pedangmu disebut 'Sam-hun-kiam! Sedang ilmu pedang Totiang
dinamakan 'Cui-hun-toh-beng-kiam', keduanya adalah ilmu Ciptaan kalian
sendiri.”
“Ah, belum pasti benar-benar
dapat mengejar roh orang dan merampas jiwanya,” kata Ceng Tik.
Sebenarnya karena memandang muka
Hwi Hing, maulah Bu Tim mengalah. Tapi ternyata Ceng Tik orang tua itu, masih
suka unggul. Kata-katanya itu terang merupakan sindiran, maka panaslah hati Bu
Tim. Sahutnya: “Baiklah kalau begitu, kita main-main lagi. Kalau kalah, aku
takkan menyamah pedang lagi seumur hidupku.”
Mendengar itu, tahulah
orang-orang Hong Hwa Hwe bahwa Bu Tim marah benara. Mereka Coba akan
melerainya.
“Sewaktu kami berangkat dari
daerah Hwe, kami pernah bersumpah, bahwa kalau tidak sampai berhasil membunuh
Hongte, kami takkan kembali kesana. Kalau kamu sekalian tak mengijinkan kami
membunuhnya, sepantasnya harus un juk sedikit kepandaiann sehigga kami puas
betul-betul. Tadi to tiang suka memberi pengajaran, rasanya; tak ada lain hal
yang melebihi itu bagusnya. Kalau kalah, aku rela pulang dan batalkan rencana
pembunuhan tadi,” kata Ceng Tik.
Berbareng dengan kata-katanya,
tahu-tahu dia sudah merampas pedang isterinya. Tapi Tan Keh Lok tampil
selangkah dan menjura dengan hormat sekali, katanya :
“Sekalipun ilmu pedang dari Bu
Tim totiang hebat sekali, tapi dalam hal kemahiran masih kurang dari Locianpwe.
Kita sama-sama sedang' mempunyai tujuan, mengapa harus saling tempur?”
Sengaja Tan Keh Lok berkata
begitu, maksudnya akan meredakan suasana. Tapi sebaliknya Tan Ceng Tik orang
tua itu paling benci dengan segala kata-kata merendah yang kosong, katanya
dengan temberang:
“Tan Congthocu tak usah
sungkandua. Suhumu adalah orang luar biasa. Tak mau Capekan tangan untuk
memberi penga-jaran padaku yang tak punya guna ini. Maka lebih baik kuminta
pengajaran darimu saja. Akan kuminta pengajaran dari Totiang dulu, baru nanti
kepadamu. Bagaimana kalua kau tolong seorang tua seperti aku ini?”
Semua orang sama menganggap bahwa
orang tua itu sukar didekati orang. Mungkin dia punya ganyelan apa-apa terhadap
Thian-ti Koayhiap Wan Su Siau, sehingga bagitu menden damnya. Dan dendaman itu
ditumpahkan kepada muridnya, Tan Keh Lok.
Namun Keh Lok nampaknya berlaku
sabar sekali.
“Aku bukan tandingan dari
Locianpwe. Suhu sering me ngalem pada Thian San Siang Eng. Dia begitu mengagumi
sekali,” katanya merendah.
Mendengar itu, Ceng Tik menuding
pada isterinya dan berkata dengan gusar: “Aha, mungkin mengaguminya, bukan
aku.”
“Dihadapan sekian banyak sekali
orang kau masih mau Cari per-kara?” Kwan Bing Bwe berseru separoh menjerit.
Sepasang suami isteri itu saling
mengunjuk muka Cem berut.
“Thut-heng, bukankah kalian
adalah suami isteri yang hampir berusia enam0 tahun? Urusan itu kan sudah
ber-larutdua dipertengkarkan sampai berpuluh tahun?” Liok Hwi Hing kembali
menyelak.
Wajah Tan Ceng Tik tampak
berobah. Sepasang alisnya tampak menyungkat keatas. Sekali enjot kakinya,
tiba-tiba dia melesat keluar dari jendela. Serunya: “Ajo, imam kecil, kalau
takut keluar bukan seorang gagah!”
Orang-orang Hong Hwa Hwe bukan
main mendongkolnya. Terang ban wa garuda jantan dari Thian San keliwat tak
memandang muka orang.
“Sayang Bun-suko tak berada
disini. Kalau ada, tentu dia sanggup melayani orang itu,” kata Thian Hong.
Kata-kata Thian Hong itu sengaja
untuk membikin panas Bu Tim, siapapun menjadi merah telinganya.
“Sam-te, kasih sebilah pedang
padaku,” kata Bu Tim.
Tio Pan San melambung dari
tingkat bawah, lalu meng-angsurkan pedangnya seraya berbisik: “Totiang, harap
me-mandang muka Bok To Lun dan nona Hwe Ceng Tong.”
Bu Tim anggukkan kepalanya, ia
samber pedang terus loncat keluar.
Begitu nampak ada orang berada
diujung atas pagoda, tentara Ceng segera menyamoutnya dengan hujan anak panah.
“Kita bertanding disebelah bawah
sana, di-tengah-tengah hujan anak nanah itu, bagaimana kau rasa?” tanya Bu Tim.
Ini suatu tantangan yang hebat. Dan Ceng Tik tak mau unyuk kelemahan. “Baik!”
sahutnya.
Sekali dia tendangkah sepasang,,
kakinya, dengan kepala dibawah dan kaki diatas dia melayang turun kebawah, dari
atas Lingkat ke-1tiga melorot turun ketingkat keenam. Sekali tangannya kiri
menyamah atap tingkat keenam, tubuhnya segera menCelat diatas wuwungan tingat
ke-5, dimana dia sudah berdiri jejak lagi.
Riuh rendah tepuk sorak
orang-orang Hong Hwa Hwe melihat pertun jukan yang mengagumkan itu. Sebaliknya,
tentara Ceng disebelah bawah makin seru melepaskan panahnya. Dengan pedangnya,
Ceng Tik menyapu bersih semua panah itu, sembari menantikan kedatangan Bu Tim.
Tampak pada saat itu, Bu Tim
rangkapkan kedua kakinya, sedang tangannya yang tinggal satu itu dilekatkan
pada pa hanya. Bagaikan sebuah tonggak kayu, tubuh Bu Tim lurus melayang
kebawah.
Tentara Ceng sama gempar dengan
teriakannya dan menyingkir. Sampai ditingkat ke enam, tampaknya tubuh Bu Tim
masih terus melayang . Tampaknya akan melorot ketingkat
bawah. Tiba-tiba tangannya itu
dijulurkan kemuka sehingga pedangnya menempel diwuwungan tingkat ke 5. Sekali
tangan ditekankan, pedangnya tadi melengkung seperti ditekuk. Dan begitu tangan
dikendorkan, pedang itu membal serta tubuhnyapun berdiri tegak diatas wuwungan
kelima itu. Itulah suatu ilmu entengi tubuh yang sempurna sekali.
Melihat orang perlihatkan
kepandaiannya yang luar biasa itu, Tan Ceng Tik tak berani berlaku ajal.
Setelah lawan sudah berdiri tegak, diapun segera berseru: “Awas serangan!”
Pedang berkelebat, pundak kiri Bu
Tim terancam. Tentara Ceng mengira bahwa, diantara kedua orang yang sedang
bertempur itu, tentulah orangnya sendiri. Takut akan men Celakakan kawannya,
mereka sama hentikan serangan anak panah.
“Mari kita masing-masing
lemparkan sebatang anak panah, untuk membikin mereka menghujani panah lagi!”
ajak Bu Tim.
“Bagus!” sahut Ceng Tik.
Dari atas wuwungan, keduanya
memungut sebatang anak panah, mereka berdua berhasil melukakan dua orang
tentara Ceng.
Teriakan tentara Ceng kembali
terdengar dengan gem parnya. Menyusul dengan itu, hujan anak panah kembali
menggencar dengan hebatnya.
Tingkat ke-5 itu tak berapa
tingginya, jadi dekat dari tanah. Bu Tim dan Tan Ceng Tik sambil saling labrak
sambil menghindar dari serangan anak panah, dan ada kalanya menyampok panahdua
itu. Dapat dibayang kan bagaimana hebatnya Cara bertanding semacam itu.
Rombongan orang HONG HWA HWE turun keruangan tingkat ke enam untuk menyaksikan
pertandingan yang belum pernah dilihatnya seumur hidup itu.
Kwan Bing Bwe diam-diam kuatir.
Tosu itu luar biasa ilmu nya bermain pedang. Sedang suaminya sudah lanjut
usianya. Mata dan pendengarannya sudah jauh berkurang. Kalau bertempur ditempat
datar, pasti tak mengapa. Tapi mereka bertempur diatas wuwungan pagoda, apalagi
diantara hujan anak panah yang lebat. Sungguh berbahaya sekali. Diam-diam
wanita gagah itu siapkan tiga biji 'thi-lian-Cu' dita ngannya, dan menanti
didekat jendela.
Karena teriakan tentara Ceng yang
gegap gempita, persaudaran Siang yang menjaga baginda Kian Liong diting kat ke
duabelas itu, tak tahan lagi untuk tidak melongok kebawah dari jendela. Sebelum
itu, masing-masing memegang sebelah tangan baginda, untuk mencegah jangan
sampai melarikan diri.
Ketika itu perasaan baginda
diliputi oleh keCemasan. Benar pasukan Ceng sudah datang dan ber-sorakdua
dibawah. Tapi jika orang-orang HONG HWA HWE itu sampai kalah, bukankah ada
kemungkinan, karena malu mereka menjadi marah dan membunuh dirinya.
Hampir seratus jurus, rupanya
masih belum ada kalah atau menang antara Bu Tim lawan Tan Ceng Tik.
“Pertarungan kalian hanya
menguntungkan fihak musuh sa saja. Lebih baik berhentilah!” Tan Keh Lok berseru
keras-keras.
Tapi kedua jago itu sudah
terlanyur bertempur dengan gigih sekali. Jadi tak dapat ditahan rasanya.
“Ilmu pedang tojin ini lihai
sungguh. Rasanya sukar ku tundukkan,” diam-diam Ceng Tik berpikir.
Namun dia wataknya suka menang.
Diam-diam dia geser kedudukan dan sengaja menghadap kesebelan timur, sedang
punggungnya membelakangi tentara Ceng yang berada di sebelah bawah. Suatu
kedudukan yang tak menguntungkan bagi dirinya. Karena dia menghadapi sinar matahari,
maka lebih banyak sekali ia menjadi sasaran hujan panah.
Mengapa dia berbuat begitu, apa
maksudnya?
Tak lain jalah kalau dalam
kedudukan buruk itu, dia masih terus dapat bertempur seri, artinya dia lebih
unggul. Tapi hal itu diketahui juga oleh Bu Tim.
“Kau Cari gebuk sendiri, jangan
salahkan aku tak kenal kasihan,” katanya diam-diam.
Dengan macamdua Cara menyerang
dalam ilmu pedang Cip taannya “Tui-hun-toh-beng-kiam,” Bu Tim merabu kearah
muka dan tenggorokan orang. Ujung pedang ber-kilatdua tertimpah sinar surja,
membuat mata berkunang-kunang.
Baru tiga gebrak menyambuti, Ceng
Tik sudah mengeluh Celaka. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara
menderu-deru . Enam tujuh batang anak panah menyambar datang. Buru-buru
Ceng Tik menurunkan tubuh dan tundukkan
kepalanya. Sambil dengan gerakan “ping-sah-lok-gan,” burung belibis jatuh
dipadang pasir, dia tusuk lengan Bu Tim. Dan karena Ceng Tik mendek, panah itu
langsung menyamber pada tojin itu juga.
Bu Tim sampok panah itu sembari
kasih kerja kakinya untuk menendang jalan darah “thay-yang-hiat” dipelipis
lawannya.
Sungguh sedikitpun jago Thian San
itu tak menyang ka, kalau ilmu tendangan Bu Tim sedemikian lihainya. Dengan
terkejut, dia sedot ambekan, lalu mundur selangkah. Tapi tepat pada saat itu,
sebatang anak panah melayang dengan santernya, tepat mengarah punggungnya.
Ditilik dari gerak panah itu, tentulah dilepas oleh seorang jago lihai dalam
kalangan si-wi. Datangnya luar biasa Cepat-cepat nya.
Dengan mundur selangkah tadi,
Ceng Tik tepat mema pakkan anak panah itu. Tanpa terCegah menjeritlab Kwan Bing
Bwe: “Celaka!”
Akan ditimpuknya dengan
'thi-lian-Cu', terang tak keburu. Juga orang-orang gagah lainnya sama berteriak
kaget. Dalam saat berbahaya itu, tiba-tiba Bu Tim unyukkan permainan yang
lihai, dengan gerakan “lempar garpu kemuka kuda”, po kiamnya dipakai untuk
menimpuk. Pookiam dan panah maut itu berbareng sama jatuh kebawah pagoda.
Ber-angsurdua terdengar helaan
napas lega dari sekalian orang gagah. Tapi baru saja mereka hendak sama
bersorak memuji, tiba-tiba kembali ada serumpun anak panah me nyambar dari
bawah. Karena sudah tak memegang pedang, Bu Tim tak dapat menyampok dan hanya
berkelit menghin darinya saja.
Kwan Bing Bwe timpukkan
thi-lian-Cunya dan berhasil membikin jatuh tiga batang panah. Dalam pada itu,
Ceng Tik pun memutar pedangnya untuk melindungi Bu Tim. Kini pertandingan
menjadi aneh. Dua orang musuh yang bermula saling mengadu jiwa, pada saat itu berbalik
saling tolong menolong. Tentara Ceng dibawah sana sama heran tak habis-habisnya
melihat kejadian itu.
Bahwa dirinya pernah dijatuhkan
oleh Bu Tim dalam pertandingan dihadapan baginda ketika pesiar di Se-ouw tempo
hari, tak pernah dilupakan oleh Pek Cin. Maka sewaktu nampak musuhnya itu tak
bersenjata lagi, si-wi itu terus saja perintah melepaskan anak panah.
Akibatnya, Bu Tim ripuh sekali untuk menghindari kesana sini.
“Yangan kuatir aku yang
menghadangnya!” seru Tan Ceng Tik.
Dan pedang terus akan diputarnya.
Sekonyong-konyong dari jen dela tingkat enam, melesat keluar seorang
kedepannya. Belum kakinya berdiri jejak, tahu-tahu orang itu sudah dapat me
nyang gapi belasan batang anak panah. Dengan tak kurang tangkasnya, orang itu
terus menimpukkan kembali kepada penyerangnya. Begitu gapah dan tangkas dia.
Secepat-cepat ada panah melayang datang terus disanggapinya dan secepat-cepat
itu pula terus diretour kembali. Satu orangnya, namun se-olahdua mempunyai
berpuluh tangan. Sehingga tentara Ceng berhenti memanah dengan mendadak, saking
kesimanya.
“Itulah, rasakan kalau
Jian-pi-ji-lay sudah kerangsokan setan”, seru Seng Hiap.
Jian-pi-ji-lay Tio Pan San hanya
bersenyum saja. Karena tentara Ceng sudah berhenti menghujani panah, dia lalu
ajak Bu Tim dan Ceng Tik naik keatas. Kedatangan mereka, disambut dengan seruan
kagum dari sekalian orang gagah.
Sampai detik itu barulah sepasang
suami isteri dari Thian San itu mau tunduk. Bukan saja karena kepandaian ?uar
biasa dari Tio Pan San, pun karena keperwiraan Bu Tim untuk menolong Ceng Tik
tadi. Selagi orang-orang gagah itu saling mengagumi satu dengan lain, dibawah
sana tentara Ceng kembali ber-sorakdua riuh gemuruh.
“Baik kuminta baginda mengatasi
mereka”, kata Thian Hong, terus naik keloteng atas.
Berselang tak berapa lama, Kian
Liong tampak longokkan diri kejendela loteng ke-tujuh. “Aku berada disini!”
serunya.
Cepat-cepat sekali mata Pek Cin
yang tajam itu mengenalnya, serunya: “Baginda ada diatas pagoda !”
Kata-kata itu berpengaruh sekali.
Perwiradua dan seluruh anak buah tentara Ceng Buru-buru berlutut seraya
serentak berseru : “Banswe !”
“Budakdua yang tak punya muka,”
Tan Ceng Tik mendamprat.
“Aku sedang punya urusan disini,
jangan ribut”, seru Kian Liong.
“Lekas kalian mundur agak jauh
kesana,” titahnya pula.
Lie Khik Sioe perintahkan
pasukannya mundur sampai tiga puluhan tindak.
“Hiet-ko yang perintah baginda,
dan baginda yang perintahkan mereka. Hebat! Lebih bermanfaat daripada kita
menyerbu kebawah. Hongte adalah orang yang diberkahi Allah. Daripada dibunuh
lebih tepat digunakan,” ujar Keh Lok tertawa.
Orang-orang HONG HWA HWE pun sama
ketawa mendengar ucapan pemimpin mereka itu. Melihat tentara Ceng mundur Jun
Hwa tampak diantara barisan mereka itu, ada beberapa orang pemburu dengan
Anjingdua mereka.
“Tadi aku tak mengerti, mengapa
mereka dapat menemukan tempat persembunyian baginda disini, kiranya Anjingdua
itulah yang menunyukkan,” ujarnya.
Habis berkata begitu, Jun Hwa
mengambil busur dan anak panah dari seorang thauwbak, terus melepaskan dua
batang anak panah kebawah. Lolong yang panjang segera terdengar. Dua ekor
Anjing pemburu itu, segera numprah tak berjiwa ditanah.
Makin gemparlah sorak-sorai dari
bawah. Tentara Ceng itu perCepat-cepat langkahnya untuk mundur.
“Liok dan Ciu Locianpwe berdua,
harap temani Tan lo Cianpwe sebentar. Aku akan menuju kesebelah atas untuk
melanjutkan pembicaraan dengan baginda,” kata Keh Lok.
Ketika ketua mereka menuju
keatas, orang-orang HONG HWA HWE sama tegak mengantarkan. Juga Hwi Hing dan
Tiong Ing memberi hormat. Nampak hal itu, Tan Ceng1 Tik dan isterinya merasa
heran. Ketua HONG HWA HWE itu masih muda dan Cakap, tingkah lakunya lemah
lembut. Tapi mengapa orang-orang HONG HWA HWE itu begitu menghormat sekali.
Sampai diloteng ke-tujuh, barulah
kedua saudara Siang dan Thian Hong minta diri. Baginda duduk tepekur diam.
“Orang-orang mu itu hanya temaha
jasa dan kedudukan, bangsa
'kantong nasi dan poCi arak’.
Kalau kau andalkan mereka untuk mendirikan pekerjaan besar, dikuatirkan akan
gagal,” kata Keh Lok dengan tertawa.
“Akupun tahu karena aku telah
berada ditanganmu, maka mereka tak berani turun tangan,” sahut Kian Liong.
“Benarkah itu?” Keh Lok tetap
tertawa. Habis itu dia menepuk tangan, dan muncullah Sim Hi.
“Undanglah Tan Ceng Tik
loenghiong dan Bu Tim totiang kemari!” perintah Keh Lok.
Tak lama kedua jago lihai itu
nampak masuk keruangan itu, disambut Tan Keh Lok dengan kata-katanya: “Baginda
mengatakan bahwa pahlawan dan anak buah tentaranya sangat kuat sekali.
Bagaimana ji-wi Cianpwe rasa?”
Bu Tim dan Ceng Tik berbareng
mendongak keatas dan tertawa keras. Baginda melengak dengan keheranan. Kembali
Keh Lok berkata dengan tertawa. “Setengah hari sudah ji-wi tadi saling ukur
kepandaian. Tanpa sesuatu kesudahan. Nyata sama kuat. Bagaimana kalau kini
ji-wi adu untung saja?” tanyanya.
“Baiklah, tapi bagaimana
Caranya?” tanya kedua jago itu dengan berbareng.
“Kalian masing-masing masuk
kedalam barisan musuh dan harus bunuh seorang perwira. Yang berhasil pulang
lebih dulu, yang dapat membunuh perwira yang lebih tinggi pangkatnya, itu yang
menang!” ujar Keh Lok.
“Totiang, kita pergi sekarang,”
seru Ceng Tik, situa berdarah panas itu.
Dua buah bayangan segera
berkelebat menobros keluar jendela.
“Mari kita saksikan pertandingan
adu untung itu,” ajak Keh Lok.
Bahwa jiwa perwiranya dibuat
pertarohan gila itu, telah membuat gusar baginda, itulah mudah dimengerti. Tapi
raja yang Cerdik itu tahu bahwa pasukan penolong yang datang itu bukan sedikit
jumlahnya. Mereka lengkap pula dengan senjatanya. Sekalipun kedua orang itu
tangguh,- tapi mereka bertangan kosong tak bersenjata. Untuk bisa pulang dengan
selamat saja sudah sukar nampaknya, jangan kata dapat membunuh perwira. Asal
ada salah seorang dari kedua jago itu binasa atau sekurang-kurangnyanya
terluka, akan redalah kebanggaan orang-orang HONG HWA HWE itu. Dan berpikir
sampai disitu, Kian Liong ikuti Keh Lok untuk melongok dari jendela.
Sampai dibawah pagoda, Bu Tim dan
Ceng Tik langsung menuju kearah pasukan Ceng. Tahu Bu Tim bahwa Pek Cin dan
rombongan jago pengawal istana berada disebelah timur. Sedang Li Khik Siu
dengan menunggang seekor kuda putih, tengah memimpin pasukannya disebelah
barat. Dengan Pek Cin, Bu Tim pernah bertempur. Kalau berhadapan dengan dia,
rasanya sukar bisa mendapat kemenangan dengan lekas.
Melihat kedatangan kedua orang
itu, anak buah tentara Ceng segera lepaskan anak panah. Sekonyong-konyong Bu
Tim memutar kesebelah barat dan terus melesat kesitu.
Melihat itu, diam-diam Ceng Tik
girang, pikirnya: “Tanpa senjata, rasanya tojin itu tak berdaya, makanya dia
takut hujan panah.”
Cepat-cepat dia lolos bajunya,
terus diputarnya sambil menyerbu masuk. Pek Cin melejit memapakkan. Baju Ceng
Tik itu dalam sekejab saja, sudah berlobang kena beberapa anak panah. Baju itu
Cepat-cepat dilemparkan kepada Pek Cin.
Pek Cin mendek kebawah, sambil
menyusup kemuka. Lima jarinya bagaikan Cakar besi itu, menerkam kedada orang.
Ceng Tik terkejut. Dia tak sangka kal^au dalam pasukan Ceng, ada seorang jago
yang begitu lihai. Cepat-cepat dia gerakkan tangan kanan dalam “kin-na-hwat”
untuk menangkap tapkan orang. Sedang tangan klrinya yang masih memegangi baju
tadi, disabetkan kepunggung.
Muka belakang diserang, Pek Cin
melejit kesamping kanan. Setelah tenangkan hati, dia Cepat-cepat berputar untuk
menghadangnya lagi.
Melihat bagaimana Ceng Tik
memasuki barisan laksana harimau bersayap, Tan Keh Lok mengira kalau dialah
yang bakal berhasil. Sebaliknya Kian Liong menduga, orang tua itulah yang bakal
Celaka lebih dulu. Tapi ternyata keDua-duanya menduga salah.
Bu Tim yang memilih arah barat
tadi, tiba-tiba gunakan gerakan “burung walet menyusup kebawah air,” dengan
Cepat-cepat terus meluncur kemuka kuda Li Khik Siu. Tentara Ceng ber-sorakdua,
Khik Siu menarik les kudanya, sehingga kuda itu meringkik dan menjejakkan kedua
kaki mukanya keatas. Seorang perwira Siu-pi dan seorang Yu-ki, Cepat-cepat
melindungi jenderal itu.
Tapi sekali tangan kanan Bu Tim
menyikut iga perwira Siu-pi itu, waktu tangannya membalik, golok panjang
perwira itu sudah kena dirampasnya terus dibaCokkan miring dari kanan kekiri,
hingga perwira Yu-ki yang berada disebelah lain terpenggal kepalanya, bahkan
sebagian bahunya pun berpisah dengan tuannya.
Malahan tanpa berganti gerakan
pula, sekalian Bu Tim memutar dari bawah kiri keatas kanan, separoh buah kepala
dari Siu-pi tadipun terbelah jatuh berikut kopiahnya. Ketika Bu Tim ajun
kakinya, buah kepala Yu-ki tadi kena ditendang keudara, lalu golok ditangan
kanannya dibuang untuk me nyamber kepala perwira Siu-pi, habis itu baru
menyambut kepala Yu-ki yang jatuh dari udara itu.
Melihat sekaligus Bu Tim
binasakan dua perwira mereka, karuan serdadu 'Sjeng ketakutan setengah mati,
sekali berteriak, mereka lari sipat-kuping serabutan. Lekas-lekas dua jago
bayang kari memapak maju hendak merintangi Bu Tim.
Tapi melihat maksudnya membunuh
Li Khik Siu sudah tak berhasil lagi, Bu Tim tertawa panjang terus putar balik.
Segera saja kedua jago bayang
kari tadi mengejar. Tapi baru belasan tindak, tiba-tiba Bu Tim berhenti sambil
berpaling. Karena itu, kedua bayang kari itu terperanyat, saking kaget nya yang
satu sampai roboh lemas, yang lainnya buang sen jatanya terus lari.
Melihat itu, Bu Tim ter-bahakdua.
Ia lihat Tan Ceng Tik masih sengit menempur musuh, maka dengan jinying hasil
dua buah kepala perwira musuh tadi, ia kembali dengan langkah pelahan. Maka
bersoraklah para saudara angkatnya yang berada dalam pagoda.
Mendengar suara sorakan, ketika
Ceng Tik menoleh dan melihat Bu Tim sudah berhasil dan kembali dahulu, ia tahu
sekali ini sudah kalah, maka tak mau terlibat bertempur lebih lama, segera ia
menarik diri hendak mundur. Namun dengan gerakan yang gesit Cepat-cepat Pek Cin
terus merangsangnya hingga seketika Ceng Tik susah melepaskan diri.
Jago tua itu menjadi sengit,
kedua kepalan diajun menghujani pukulan pada lawan, hingga Pek Cin terpaksa
harus mundur, kesempatan itu lalu digunakan Ceng Tik untuk mundur pergi.
Pek Cin insaf kepandaian orang
masih diatas dirinya, kalau bertarung lama pasti kalah, maka tak berani ia
mengejar pula.
Tapi baru beberapa langkah Ceng Tik
bertindak, tiba-tiba terdengar suara teriakan bergema keras dibelakangnya, ia
menoleh dan terlihatlah sepasukan musuh berkuda sedang mendatangi dengan
Cepat-cepat , seorang perwira CamCiang memutar goloknya berlari paling depan,
mungkin inilah bala bantuan pasukan Ceng.
Li Khik Siu hendak membentak
mencegah CamCiang itu, tapi sudah tak keburu lagi, sekejap saja CamCianyg itu
sudah menerjang sampai dibelakang Tan Ceng Tik. Jago tua ini tampak seperti
tidak berasa saja, CamCiang itu menjadi girang, goloknya diangkat terus
membacok.
Tapi Ceng Tik tetap melanjutkan
jalannya hingga ba-Cokan CamCiang itu mengenai tempat kosong, kembali
senjatanya diangkat dan membaCok sekuatnya pula. Mendadak Ceng Tik mendekam
ketanah, dan karena terlalu Cepat-cepat CamCiang keprak kudanya hingga binatang,
itu tak keburu ditahan, tapi terus melompat lewat diatas badannya.
“Celaka!” diam-diam Pek Cin
mengeluh.
Betul saja, segera terlihat Tan
Ceng Tik melompat bangun terus mencemplak keatas kuda Camciang tadi, sekali
Camciang itu disodok, kontan orangnya merosot jatuh, tapi sebelah kakinya kena
ditarik oleh Ceng Tik terus diseret sampai masuk kembali kedalam pagoda.
KARUAN pasukan berkuda itu
menjadi kacau, hendak menolong perwira mereka, namun panah segera berhamburan
keluar dari pagoda hingga belasan serdadu berkuda itu terjungkal.
“Yangan kejar, mundur, lekas
mundur!” seru Khik Siu,
Mendengar komando itu, tanpa
diperintah lagi pasukan berkuda itu lantas mundur Cepat-cepat.
Melihat Bu Tim dan Ceng Tik
kembali dengan kemenangan semua, Kian Liong sangat kesal, ia jatuhkan diri
diatas kursinya tanpa bisa buka suara. Kemudian terlihatlah Bu Tim masuk
keruangan itu sambil lemparkan kedua buah kepala “olehdua”nya dengan tertawa.
Sebentar pula Ceng Tik juga sudah kembali dan sedang berteriak diluar: “Aku
berhasil menangkap satu hidup-hidup!” — Lalu CamCiang tadi kelihatan
dikempitnya masuk.
“Sekali ini lagi-lagi kalian
berdua seri,” ujar Keh Lok tertawa, “Totiang pulang dahulu dan berhasil
membunuh dua perwira musuh, tapi Tan-Locianpwe menangkap hidup-hidup satu, pula
pangkatnya lebih tinggi.”
Maka tertawalah ketiga orang
dengan riangnya, hanya Kian Liong yang menyublek sendirian disamping.
“Kau bernama siapa?” tegur Keh
Lok kepada CamCiang yang dibanting diatas lantai itu. “Lekas bilang. Kenapa
tidak lekas menjura pada Hongsiang? Kenapa takut? Segera aku bebaskan kau.”
Tapi CamCiang itu tetap bungkam
tak menyawab. “Manusia tak berguna, jangan bikin malu orang disini, en/ahlah
lekas!” kata Keh Lok pula dengan tertawa.
Akan tetapi masih CamCiang itu
tak bergeming. Ceng Tik menjadi gusar, tengkuk perwira itu diCengkeramnya terus
diangkat. Kiranya CamCiang itu sudah lama mampus, agaknya tenaga Ceng Tik
terlalu besar, hingga dalam kem pitannya tadi jiwa perwira itu telah melayang.
“Kedua Cianpwe tentu sudah Capek,
silakan mengaso kebawah saja,” kata Keh Lok kemudian.
Sesudah depak majat CamCiang itu
kepinggir, lalu Ceng Tik menggandeng tangan Bu Tim turun kebawah.
“Kau sudah ambil keputusan
belum?” tanya Keh Lok kemudian pada Kian Liong sesudah tinggal berduaan.
“Begini banyak sekali bawahanmu
yang pandai, pula aku sudah jatuh ditanganmu, hendak bunuh, boleh lekas kau
bunuh, kenapa banyak sekali bicara?” sahut Kian Liong ketus. “Ah, sayang ,
sayang !” ujar Keh Lok gegetun. “Sayang apa?” tanya Kian Liong.
“Ya, sayang ,” sahut Keh Lok.
“Selamanya aku pandang kau seorang pinter dan berbakat, aku berSyukur
ayah-bunda telah melahirkan seorang putera seperti kau dan akupun punya seorang
kaka baik, siapa tahu ...............”
“Siapa tahu apa?” tukas Kian
Liong.
“Siapa tahu, lahirnya seperti
pandai, batinnya ternyata ber nyali kecil amat,” sahut Keh Lok sesudah memikir
sejenak.
“Dimana letaknya nyaliku yang
kecil?” tanya Kian Liong marah.
“Orang tak takut mati, itulah
urusan paling mudah,” sahut Keh Lok. “Liatlah CamCiang ini, tadi waktu ia
mengudak dengan goloknya, masakan dia takut mati? Tapi kegagahan seorang laki
kasar begini, apa nilainya? Tapi untuk melakukan pekerjaan besar, sebaliknya
susah dilakukan orang yang tidak gagah. Dan dalam dalam hal ini, kau tak
mampu.”
Kian Liong adalah seorang yang
tinggi hati dan suka unggul, maka demi mendengar kata-kata Keh Lok ini,
seketika ia berbangkit, katanya: “Sesuatu pekerjaan besar yang didirikan dan
dilaksanakan dijagat ini, apakah pernah ada berhasil oleh karena dipaksakan
orang?”
“Banyak sekali terjadi,” sahut
Keh Lok. “Dahulu, ketika Tong Ko Cou muladua hendak memberontak, ia ragudua,
setelah pu teranya Li Se Bin mendorongnya barulah berhasil menanam pondamen
dinasti Tong. Song Thay Cou kalau tidak dipaksa mengenakan juba kuning di
Tan-kio, darimana bisa menjadi Cakalbakal dinasti Song? Kedua pendiri keraja an
ini meski jadinya dipaksa oleh putera dan bawahan sendiri, tapi apa yang sudah
terlaksana itu, siapa dari angkatan kemudian yang tidak merasa kagum pada
mereka?”
Kian Liong terdiam, hatinya rada
tertarik.
“Apalagi kau, Koko, bakatmu
melebihi Li Yan (Tong Thay Cou) dan Tio Kong Am (Song Thay Cou) berlipstt
ganda, asal kau berkeputusan pasti membangun kembali negeni Han dan mengubah
hubungan kita dari lawan menjadi kawan, pasti kami seluruhnya tunduk dibawah
pimpinanmu. Aku berani menyamin bahwa mereka pasti tak berani se dikitpun
membantah dan tak menghormat padamu.”
Kini benar-benar hati Kian Liong
tergerak dan ingin Coba-coba, Cuma dalam hati masih meragukan sesuatu yang
susah diutarakan. Namun Keh Lok sudah dapat meraba perasaan orang, katanya
pula:
“Aku yang menjadi adik asal
melihat Koko dapat melaksanakan pekerjaan besar itu, rasaku sudah Cukup puas.
Terhadap segala pangkat dan nama selamanya aku tidak suka, bila nanti sudah
berhasil membantu Koko mengusir bangsa Boan keluar, tatkala mana tentu aku
minta idin padamu agar memberi pesiun kembali kampung halaman untuk melewatkan
penghidupan yang aman tenteram bersama saudara-saudara angkatku yang lain.”
“Itulah mana boleh jadi,” ujar
Kian Liong. “Kalau bisa terlaksana pekerjaan besar itu, politik pemerintahan
umum nya perlu mendapat bantuanmu untuk mengaturnya.”
“Tidak, kita harus berjanji
dahulu, begitu berhasil gerakan kita, kau harus idinkan kami undurkan diri,”
kata Keh Lok pasti. “Harus diketahui, para saudara angkatku itu tidak paham
segala tata-Cara, kalau ada yang menyinggung perasaanmu, malahan akan bikin
hubungan baik kita sebagai yang dipertuan dan persaudaran.”
Mendengar kata-kata Keh Lok
begitu tegas dan pasti, Kian Liong tiba-tiba mentepuk meja dan berkata: “Baik,
kita putuskan beginilah!”
“Kau tidak ragudua lagi?” Keh Lok
menegas dengan girang.
“Tidak,” sahut Kian Liong. “Cumai
aku minta kau lihat kan sesuatu dulu. Mendiang Congthocu kalian Ie Ban Tong ada
beberapa macam barang ditaruh didaerah Hwe, katanya adalah buktidua tentang
asal-usul diriku. Kau harus membawa bendadua itu perlihatkan padaku, sesudah
aku yakin benar-benar aku memang orang Han, tatkala itu baru aku tak” Curiga
dan bekerja sama bikin pergerakan besar bersama kau.”
Mendengar alasan itu memang masuk
diakal, Keh Lok menyawab: “Baiklah, barangdua itu menurut Bun-suko katanya
sangat penting, besok segera aku sendiri berangkat pergi mengambilnya.”
“Ya, sesudah kau kembali, lebih
dulu kau bertugas didalam pasukan Gi-lim-kun, aku angkat kau menjadi komandan
pasukan itu, selang beberapa waktu, lalu angkat kau merangkap sebagai komandan
militer kotaraja,” demikian Kian Liong. “Dan sesudah kekuasaan militer
lambat-laun sudah ditangan bangsa Han kepercayaan kita semua, sampai nanti aku
sudah angkat kau menjadi Peng-poh Siosi (menteri pertahanan), sesudah pasukan
Pat-ki-kun (tentera delapan panyi) kita pecah belah dan pencarkan, lalu kita
bisa bergerak secara serentak.”
Keh Lok sangat girang atas
rencana jang ka panjang itu, sahutnya: “Cara Hongsiang memikir panjang itu,
masakan gerakan kita tidak berhasil?” — Lalu ia berlutut men jura sebagai
seorang hamba. pada junyungannya dan lekas-lekas Kian Liong membangunkannya.
“Dan sekarang biarlah hamba
menghantar Hongsiang kembali,” ujar Keh Lok.
Kian Liong mengangguk tanda
setuju. Lalu Keh Lok tepuk tangan sekali, ia suruh Sim Hi membawakan pakaian
asal Kian Liong dan melayaninya bersalin. “Silakan semua saudara masuk
menghadap Hongsiang,” kata Keh Lok kemudian.
Maka masuklah para pahlawan
memberi hormat.
“Sejak kini kita mendukung
Hongsiang untuk pergerakan besar kita, siapa yang berpikiran serong hingga
membocor kan rahasia ini, terkutuklah dia!” kata Keh Lok pula.
Lalu be-ramaidua mereka bersumpah
darah dengan minum arak. Hanya Tan Ceng Tik dan Kwan Bing Bwe berdua yang tidak
ikut, sebaliknya tersenyum dingin saja disamping.
“Toako, Toaso, marilah kalianpun
ikut menCeguk seCa wan!” kata Liok Hwi Hing.
“Lebih muluk lagi kata-kata
pembesar negeri, selamanya aku tak mau percaya, apalagi yang berkata ialah
kepala dari pembesar negerinya,” ujar Ceng Tik.
“Soal membangun tanah air kita
adalah kewajiban setiap anak CuCu keturunan Ui Te,” sambung Kwan Bing Bwe.
“Asal memang benar-benar rajanya punya hati sungguh-sungguh, dimana memerlukan
tenaga kami suami-isteri, Cukup Tan-Cong-thocu memberi seCarik kertas, kemana
pergi kami suami-isteri tua bangka ini tak nanti menolak. Tapi arak ini, tak
nanti kami meneguk lagi.”
Mendadak Ceng Tik ulur tangannya
menyojoh kedalam dinding, sepotong bata tembok itu kena dikoreknya keluar terus
berseru: “Kalau ada manusia berhati binatang yang membocorkan rahasia, menyual
kawan hingga bikin gagal pergerakan, biarlah ini Contohnya!” — Habis berkata,
sedikit ia gunakan tenaga, batu bata itu sudah diremasnya menjadi bubuk.
Menyaksikan itu, sungguh hati
Kian Liong amat terkejut.
“Meski kedua Cianpwe tidak ikut
angkat sumpah, tentu berjiwa sama juga dengan kita,” kata Keh Lok. “Semua orang
disini adalah kawan berdarah pahlawan, rasanya aku-
pun tak perlu banyak sekali
berpesan, harap saja Hongsiang jangan Curiga dan sangsi dan melupakan janji
hari ini.”
“Kalian tak perlu kuatir,” sahut
Kian Liong.
“Baiklah, biar kita menghantar
Hongsiang keluar,” kata Keh Lok akhirnya.
Segera Jun Hwa mendahului berlari
keluar pagoda dan berteriak: “Ajo, lekas kalian menyambut Hongsiang.”
Mendengar itu, Li Khik Siu dan
Pek Cin masih ragudua, kuatir kalau jago-jago Hong Hwa Hwe itu memakai
muslihat, tapi dengan memimpin pasukan pelahan-lahan mereka mendekati juga, dan
betul saja lantas terlihat Kian Liong berjalan keluar, lekas-lekas mereka mendekam
menyembah diatas tanah.
Pek Cin membawakan seekor kuda
bagus dan melayani Kian Liong naik keatas kuda.
“Aku. lagi minum arak sembari
bersjair disini dengan mereka untuk ketenangan beberapa hari saja, tapi kalian
justru bikin ribut tak keruan mengaCau kesenanganku,” Comel Kian Liong pada Pek
Cin.
“Sungguh hamba berdosa,” sahut
Pek Cin berulang-ulang sambil menjura.
Lalu Kian Liong disongsong
kembali ke HangCiu.
Dan selagi para jago HONG HWA HWE
hendak kembali pagoda Liok-hap-tha lagi, tiba-tiba terdengar Kwan Bing Bwe
bersuit, lalu beberapa ekor Anjing besar tadi kelihatan lari keluar dari dalam
rimba terus meng-gosokdua kepalanya ditubuh Thian-san-siang-eng. Tapi bila
melihat Cio Su Kin, binatangdua itu masih ketakutan sambil meng-geramdua
mengumpet dibelakang kedua majikannya itu.
“Hari ini kami suami-isteri dapat
berkenalan dengan para ksatria daerah Kanglam, pula berjumpa dengan Ciu Tiong
Ing loenghiong yang sudah lama kami kagumi, pula bertemu dengan Liok Hwi Hing
Lauto yang sudah lama berpisah, sungguh kami sangat bergirang,” demikian Tan
Ceng Tik berkata. “Kini kami masih ada sedikit urusan lain, biarlah sekarang
juga kami mohon diri saja.”
“Yauh-jauh kedua Cianpwe bisa
sampai di Kanglam, hendaklah suka tinggal beberapa hari lagi, agar kami bisa
banyak sekali minta petunjukdua,” ujar Keh Lok.
“Masakan kami bisa berlaku
sungkandua padamu,” kata Ceng Tik melotot. “Bu Tim Totiang, kelak kita harus
mengukur kekuatan minunl lagi, Coba siapa lebih lihai.”
“Itulah aku terima menyerah,”
sahut Bu Tim tertawa.
Tiba-tiba Kwan Bing Bwe menarik
Keh Lok kesamping, lalu tanyanya: “Kau sudah menikah belum?”
“Belum,” sahut Keh Lok dengan
wajah merah.
“Sudah tunangan?” tanya Bing Bwe
pula.
“Juga belum,” kata Keh Lok.
Bing Bwe meng-angguk-angguk
sambil tersenyum penuh arti. Tapi mendadak iapun berkata dengan suara bengis:
“Jika kau tak setia dan tak berbudi hingga mengeCewakan orang pemberi pedang
itu, pasti aku nenekdua tua bangka takkan ampuni kau.”
Keh Lok menjadi bingung hingga
tak bisa menyawab.
Disebelah sana Tan Ceng Tik
lantas berteriak: “Ajo, baiknya kita berangkatlah sekarang!”
Dan sesudah memberi hormat pada
semua orang, suami-isteri itu lantas berlalu dengan Anjingdua mereka.
“Kalian hendak kemana, Toako,
Toaso?” seru Hwi Hing.
Tapi keduanya tidak menyawab, dan
sebentar saja ba jangan mereka sudah menghilang didalam rimba, hanya terdengar
suara meng-gongduanya Anjing yang makin menyauh.
“Dumeh tua, sedikitpun tiada tahu
aturan,” kata kedua saudara she Siang mendongkol oleh sikap kedua jago tua dari
Thian-san itu.
“Orang kosen dunia luar, kebanyak
sekalian begitu,” ujar Keh Lok. “Marilah kita bicara lagi kedalam pagoda.”
Dan berkata Keh Lok kemudian
sesudah masuk kembali kedalam Liok-hap-tha: “Aku sudah sanggupkan pada baginda
akan psrgi ketempat Suhu untuk mengambil sedikit barang, kini marilah kita
pergi ke Thian-bok-san dulu untuk menyenguk keadaan luka Suko dan Sipsute,
habis itu baru kita mengatur tugas masing-masing lagi?”
Karena tiada pendapat lain,
segera semua orang ikut berangkat, hanya Ma Sian Kun dan puteranya, Ma Tay
Thing yang kembali ke HangCiu.
Segera para pahlawan itu menuju
kearah barat dengan Cepat-cepat , maka tiada seberapa hari mereka sudah sampai
di kaki gunung Thian-bok itu.
Tatkala itu sudah akhir musim
rontok, pepohonan yang rindang disepanjang gunung berubah warna Coklat
kemerahan, rumput sudah kering. Ketika penjaga mendapat kabar, segera melapor
keatas gunung dan tertampaklah Ciang Cin datang menyambut.
Karena tak melihat Lou Ping, Keh
Lok terkejut, ia kua tir terjadi sesuatu, maka Cepat-cepat tanyanya: “Dimanakah
Suso? Apakah Sipsute baik-baik saja?”
“Sipsute tiada apa-apa,” sahut
Ciang Cin. “Suso sudah pergi dua hari, katanya hendak menCari sesuatu barang
menarik untuk Suko, apakah ditengah jalan kalian tak mempergokinya?”
“Barang apakah?” tanya Keh Lok.
“Akupun tak tahu,” kata Ciang
Cin. “Keadaan Suko beberapa harini sudah baik, sepanjang hari menjadi terlalu
iseng merebah diranjang , maka Suso lantas usul hendak pergi menCarikan barang
permainan. Ja, entah rumah siapa yang bakal sial.”
“Sumoay memang terlaluan, sudah
begitu besar, masih serupa anak kecil saja suka Cari garadua,” ujar Tio Pan San
tertawa. “Kelak kalau sudah melahirkan anak, apakah juga akan menurunkan
keahliannya yang sudah turun te jnurun itu.”
Maka bergelak-tawalah semua
orang.
Kiranya ayah Lou Ping, yaitu
Sin-to Lou Goan Thong, si golok sakti, terkenal ahli mencuri, kepandaiannya
mengge rayang i rumah tinggal orang ini tiada bandingannya dikolong langit. Lou
Ping sendiri sejak kecil suka ikut keluar dengan sang ayah, maka kepandaian kusus
Cara mainkan “tangan panjang “ itu sudah delapan bagian dipelajarinya.
Tempo hari waktu merampas kuda
putih Han Bun Tiong. itu hanya sedikit dari. kepandaiannya saja.
Begitulah sembari bergurau, para
pahlawan terus masuk kesuatu perkampungan yang luas, lebih dulu mereka pergi
menyenguk Bun Thay Lay, tertampak Su-tangkeh atau pemimpin keempat dari HONG
HWA HWE itu lagi merebah keisengan, demi melihat datangnya Kawan-kawan , ia
menjadi kegirangan.
Setelah semua orang sekedar
menCeritakan pengalaman nya, kemudian datang kekamar depan sana untuk menyam
bangi le Hi Tong.
Semua orang ber-indapdua memasuki
kamar Hi Tong, tiba-tiba terdengar suara senggak-sengguk, suara orang menangis
yang pelahan. Ketika Keh Lok menyingkap kelambu, dilihat nya Hi Tong rebah
mungkur menghadap bagian dalam, dari bahunya yang kelihatan ter-gerak-gerak
itu, terang pemuda itu sedang menangis dengan amat pilunya.
Sungguh hal ini sama sekali
diluar dugaan semua orang, para pahlawan itu adalah orang-orang berjiwa besar
dan berhati terbuka, kaum wanitanya seperti Lou Ping dan Ciu Ki saja juga
sangat jarang menangis, kini mendadak melihat Hi Tong menangis sedih, semua
orang sangat heran dan ikut terharu juga.
“Sipsute,” sapa Keh Lok kemudian,
“kami be-ramaidua datang menyambangi kau, bagaimanakah kau? Sakit sekali
lukamu, bukan?”
Hi Tong mengusap air matanya,
lalu sahutnya tanpa membalik tubuh: “Congthocu dan para Koko, banyak sekali
terima kasih atas kesudian kalian datang menyambangi diriku. Lukaku sudah
banyak sekali baik, Cuma mukaku yang terbakar ini telah berubah tidak karuan
macamnya, tak dapat dilihat orang.”
“Ah, Sipsuko,” timbrung Ciu Ki
tiba-tiba dengan tertawa. “Lakidua sejati kenapa takut kebakaran muka? Apakah
kuatir tidak mendapatkan isteri?”
Mendengar Caranya Ciu Ki bicara
tanpa tedeng alingdua, ada yang menekap mulut tertawa tertahan, ada yang terus
bergelak ketawa.
“Ie-sutit,” kata Liok Hwi Hing
kemudian, “mukamu rusak terbakar, sebabnya karena menolong jiwa Bun-suya dan
jiwaku, kejadian ini kalau diketahui kaum ksatria diseluruh jagat, siapa
orangnya yang tidak kagum dan menghormat padamu? Siapa yang takkan bilang kau
seorang gagah perwira yang berbudi? Semakin jelek wajah mu, semakin menghormat
orang lain kepadamu, kenapa kau pikirkan tentang wajahmu.”
“Petua Susiok memang benar,”
sahut Hi Tong. Tapi tak tahan, kembali ia menangis lagi.
Kiranya yang ditangisinya
bukanlah karena mukanya yang Cakap itu rusak terbakar, tapi ada lagi urusan
lain.
Tatkala itu perasaan Hi Tong
kusut luar biasa, sejak berada ditempat istirahat Thian-bok-san ini,
siang-malam Lou Ping selalu datang menyenguk keadaan lukanya. Bun Thay Lay juga
setiap hari datang kekamarnya mengajak mengobrol untuk hilangkan rasa iseng.
Hi Tong sendiri tahu jatuh
Cintanya pada Lou Ping yang sudah bersuami, apalagi saudara angkat sendiri
pula, se sungguhnya sangat tidak patut, tapi masih tetap ia takbisa melupakan,
setiap tengah malam selalu terkenang olehnya wajah sinyonya jelita itu, lalu ia
menderita batin lagi dan sesal tak terhingga.
Ketika dilihatnya setiap kali Lou
Ping, Bun Thay Lay dan Ciang Cin datang menyenguknya, dan wajah mereka selalu
mengunjuk kan rasa terkejut dan belas-kasihan, sebagai seorang Cerdik, Hi Tong
menduga pasti mukanya sendiri sudah terbakar hingga tak keruan rupanya.
Beberapa kali ia berniat mengambil kaCa Cermin, tapi selalu tiada mempunyai
keberanian itu.
Sebenarnya maksud mengorbankan
dirinya menolong Bun Thay Lay untuk membalas kebaikan Lou Ping, sambil
melepaskan diri dari perasaan dosa dalam hatinya itu, siapa tahu justru tidak
jadi mati, hasilnya sebaliknya mukanya yang rusak terbakar. Bila teringat pula
olehnya Cinta Li Wan Ci padanya yang mendalam, sebaliknya ia sendiri tidak
“mampu membalasnya hingga sangat mengeCewakan gadis jelita itu, hal ini
membuatnya kesal dan menyesal pula.
Begitulah, siang dan malam Hi
Tong selalu terombang-ambing oleh macamdua pikiran yang menekan batin itu,
hingga seorang Kim-tiok SiuCay yang tadinya Cakap ganteng, kini tersiksa sampai
kurus kering tak keruan macamnya.
Nampak Hi Tong dalam keadaan
begitu, sekalian sauda ranya sama menuju keruangan tengah untuk berunding.
“Sipsute karena menolong aku,
telah menjadi begitu macam. Dia sebenarnya seorang pemuda yang tampan,
kini..... ah!” demikian kata Bun Thay Lay menyesal.
“Seorang taytianghu (lakidua
sejati) yang berkelana me ngabdi kebajikan, hanya mengutamakan perilaku yang
luhur. Soal tampang, hanya orang-orang yang piCik pandangan saja, yang banyak
sekali memikirkannya. Aku kehilangan sebelah lengan, Ciang-sipte punggungnya
bongkok, kedua saudara Siang wajahnya aneh menakutkan, namun siapa yang berani
menertawakan kita? Apalagi Sipsute pun tak keliwat jelek” kata Bu Tim.
“Ah, dia kan masih berambekan
seperti anak muda, apalagi dalam keadaan sakit. Kelak kalau kita sama menase
hatinya, tentu dia akan terhibur juga. Kini kita harus minum untuk kesehatan
Sute,” seru Tio Pan San.
Orang-orang sama girang dan
thaubak segera diperintahkan untuk menyediakan hidangan yang lengkap dengan
minumannya.
“Sudah waktunya, enCi Ping masih
belum datang, entah ia dapat pulang atau tidak nanti. Ia pergi dengan menaik
kuda putih bukan?” tanya Ciu Ki.
“Tidak. Katanya kuda putih itu
menyolok sekali. Suko dan Sipsute masih belum sembuh, ia tak mau membikin kaget
mereka,” kata Ciang Cin.
Begitulah mereka segera
“mengepung” hidangan yang lezat. Selama itu Tan Keh Lok tampak berunding dengan
Thian Hong. Pada lain saat tampak ketua HONG HWA HWE itu bertepuk tangan
beberapa kali, dan semua orang sama tegak berdiri.
“Liok dan Ciu Locianpwe harap
jangan turut berdiri, lain kali harap jangan peradatan begitu lagi,” kata Keh
Lok demi dilihatnya kedua orang tua itu turut berdiri.
Apa boleh buat, kedua jago tua
itupun lalu duduk kembali, “Kali ini, urusan kita telah dapat berjalan dengan
menyenangkan. Hanya saja, dikemudian hari masih banyak sekali pekerjaan yang
harus kita selesaikan. Sekarang baik ku aturnya,” kata Keh Lok. “Wi-kiuko dan
Cap-ji-long berdua harap berangkat ke Pakkhia untuk melihatdua keadaan di sana,
apakah Hongte betul-betul menjalankan persekutuan kita itu atau mungkin dia
merencanakan siasat untuk menangkap kita orang. Urusan ini maha penting, harap
kalian berdua, berlaku hati-hati.”
Wi Jun Hwa dan Ciok Siang Ing
mengiakan.
“Siang-koko berdua, harap pergi
ke SuHwan dan Hunkwi untuk membuat perserikatan dengan orang-orang gagah
didaerah itu. Nyo-patko supaya mengunjungi daerah Wanlam. Bu Tim totiang
silakan kedaerah Liangouw (Seouw dan Thay-ouw). Cio-sipsamko ke Liang Kwi
(Kwitang dan Kwisay), Tio-sam-ko dan Ma-toako berserta puteranya, ke Ciatkang
dan sekitarnya. Shoatang dan Holam, silakan Liok-Locianpwe yang bertindak.
Wilayah Sepak (barat daya) mohon Ciu-Locianpwe beserta Beng-toako. An-toako dan
nona Ciu yang menggalang persatuan kaum orang gagah disana. Bun-suko dan
I-sipsute tinggal disini untuk berobat dulu dengan meminta Suso dan Ciang-sipko
yang merawatinya. Hit-ko dan Sim Hi ikut aku pergi kedaerah Hwe. Mungkin ada
lain-lain usul?” tanya Keh Lok akhirnya.
“Kita setuju perintah
Cong-thocu,” sahut semua orang dengan serentak.
“Kunjungan saudara-saudara
keberbagai daerah itu bukanlah hendak membuat persiapan untuk bergerak. Tapi
hanya supaya banyak sekali menghubungi orang-orang gagah yang nantinya bakal
menjadi tulang punggung dari gerakan besar kita dikemudian hari. Urusan kita
itu, adalah suatu rahasia negara yang maha penting. Sekalipun kepada isteri
atau sanak saudara, jangan sampai dibocorkan,” kembali ketua HONG HWA HWE itu
memberi penyelasan.
Semua orang berjanji dengan
sepenuh hati.
“Setahun kemudian pada hari ini,
kita bertemu lagi di ibukota. Ketika itu tentunya Suko dan Sipsute sudah
sembuh, nah, itulah saatnya kita dapat bergerak melaksanakan tu juan kita yang
besar itu!”
Habis berkata begitu, ketua HONG
HWA HWE itu bangkit seraya menepuk meja. Diikuti oleh rombongan orang HONG HWA
HWE mereka menuju keruangan tengah untuk mulai “mengepung” hidangan. Semua
orang sama merasa puas dan gembira.
Diantara itu, hanya Ciang Cin
yang tampaknya kurang senang. Karena tadi dia diperintahkan tinggal di Thian
Bok San untuk merawat orang sakit. Hal itu dapat diketahui oleh Bun Thay Lay,
siapa lalu berkata kepada Tan Keh Lok:
“Congthocu, lukaku sudah banyak
sekali sembuh. Juga luka Sipsute meskipun hebat tapi kalau banyak sekali
beristirahat tentulah akan dapat sembuh dengan segera. Kalau dalam satu tahun
itu suruh kita tinggal diam disini, sungguh tawar rasanya. Bagaimana kalau kita
berempat ikut Congthocu kedaerah Hwe sekalian agar hati Ie-sipsute dapat
terhibur?”
“Ya, benar, benar,” seru Ciang
Cin dengan kegirangan.
“Disepanjang perjalanan, kita
tentu menikmati pemandangan alam yang indah permai, hal itu tentu menambah
Cepat-cepat nya persembuhan kita,” kata pula Bun Thay Lay.
“Baiklah kalau begitu, tapi
apakah Sipsute kuat menempuh perjalanan sejauh itu?” tanya Keh Lok.
“Biarkan dia naik kereta untuk
beberapa hari dulu, setelah itu baru nanti naik kuda sendiri!” usul Thay Lay.
Tan Keh Lok setuju. Ciang Cin
dengan berseri-seri Buru-buru masuk memberitahukan Hi Tong.
“Sipsute mufakat,” serunya ketika
keluar lagi.
Tiba-tiba Ciu Tiong Ing menarik
lengan Tan Keh Lok untuk diajak kesamping, katanya: “Congthocu, kini Bun-suya
sudah tertolong. Kau dengan baginda pun telah dapat dipertemukan ikatan
persaudarannya. Kesemuanya berakhir dengan baik. Tapi kalau akan kutambah lagi
dengan suatu kesenangan, apa kau dapat menyetujuinya?”
“Bukankah maksud LoyaCu hendak
melangsungkan per jodohan nona Ciu dengan Hitko?” tanya Keh Lok dengan girang.
“Itulah memang maksudku!”
“Bagus sedangnya sekalian saudara
masih berkumpul disini, kita minum dulu arak untuk kedua pengantin itu. Hanya
sayang karena waktunya keliwat mendesak, jadi kita tak dapat mengundang
lain-lain sahabat guna menambah me riahnya upaCara itu. Hal itu mungkin dibuat
sesalan oleh nona Ciu nanti.”
Ciu Clong Ing tertawa, sahutnya:
“Dengan adanya sekian banyak sekali ejnghiong yang hadir disini, apanya lagi
yang masih mengeCewakan ?”
“Nah, kalau demikian kita pilih
saja hari yang baik,” kata Keh Lok.
“Orang sebangsa kita ini, mana
masih pusingi hari baik atau tidak. Maksudku sekarang juga pernikahan itu agar
dilangsungkan!” sahut Tiong Ing dengan tegas.
Mengartilah ketua HONG HWA HWE
itu bahwa jago tua itu lebih memikirkan kepentingan semua orang daripada
kepentingan peribadinya. Dia tak mau kalau dengan adanya pernikahan itu mesti
mengundurkan lagi keberangkatan orang-orang itu.
Keh Lok setuju dan haturkan
terima kasih atas penghargaan jago Thiat-tan kepada sekalian saudaranya itu.
Lalu dengan ketawa Keh Lok
menghampiri Ciu Ki, ia membungkuk dan berkata: “Nona, selamat!”
Kedua belah pipi Ciu Ki menjadi
merah dibuatnya. “Apa katamu itu?” tanyanya.
“Maksudku akan membahasakan kau
sebagai Hit-so yang resmi!” Keh Lok menggodanya.
“Fui! seorang ketua perkumpulan
masih berkelakuan begitu macam!” Cela sigadis.
“Ah, kau tak percaya?” tanya Keh
Lok, lalu menepuk tangannya.
Suasana perjamuan itu kembali
menjadi hening.
“Tadi Ciu-lounghiong berkata
padaku bahwa pada hari dan jam ini bermaksud akan menyodohkan puterinya nona
Ciu. Ki dengan Hit-ko kita. Jadi nanti saudara-saudara akan menikmati juga arak
kebahagiaan dari berdua pengantin !”
Gemuruh tepuk tangan para orang
gagah itu. Mereka segera mengeremuni Ciu Tiong Ing dan Thian Hong untuk memberi
selamat. Karena urusan berjalan dengan sesung guhnya, Ciu Ki seketika itu juga
lari masuk kedalam.
“Sipte, Ayo lekas tarik ia
kembali, jangan perbolehkan pengantin perempuan bersembunyi didalam!” seru Jun
Hwa.
Ciang Cin pura-pura akan
menghadangnya, tapi sinona segera gerakkan tangannya untuk menampar, keruan
saja Ciang
Cin Buru-buru menghindar seraya
berseru dengan tertawa: “Aduh, tolong! pengantin perempuan pukul orang!”
Ciu Ki gelidua Cemberut, terus
lari masuk.
Tengah, para hadirin sama berisik
itu, tiba-tiba Lou Ping masuk dengan membawa sebuah kotak, serunya: “Bagus, semua
sudah datang. He, apa-apaan begini sukaria ini?”
“Tanya sendiri pada Hitko!” balas
Jun Hwa.
“Hitko, ada apa sih?” tanya Lou
Ping.
Thian Hong kemekmek tak dapat
menyahut.
“He, heran mengapa hari ini
Cu-kat Liang menjadi seperti orang tolol?” kata Lou Ping.
Ciong Su Kin yang bersembunyi
dibelakang Thian Hong, tangannya mengepal seperti orang memberi hormat, lalu
katanya :
“Hari ini Cu-kat Liang akan
menjadi raja sehari. Rupanya dia berlagak seperti seorang menantu yang tolol !”
“Astagafirullah!” seru Lou Ping
dengan girang sekali.
“He, benar-benar kau ini aneh,
Su-so, Hietko kawin, masa kau kaget seperti orang disengat kala?” kata Seng
Hiap.
Semua hadirin tertawa gelakdua.
“Kalau siangdua kuketahui hari
ini Hit-ko dan adik Ki hendak menikah, tentu akan kubawakan kambing dan
beberapa barang lain yang berharga. Kini aku tak punya apa-apa untuk dihaturkan
kepada mereka, bukankah ini pantas ku getunkan?”
“Habis, apa saja yang kau bawakan
untuk Suko itu? Bolehlah kita semua melihatnya?”
Sambil tertawa Lou Ping buka
kotak itu. Benda didalam nya, berkilat menyilaukan mata. Itulah sepasang vaas
giok putih yang dihaturkan orang-orang Hwe kepada Kian Liong. Semua orang tentu
saja terkejut dan bertanya.
“Waktu omong-omong dengan suko,
kukatakan bahwa vaas itu luar biasa bagusnya apalagi gambarnya, seorang wanita
yang luar biasa Cantiknya. Tapi suko tidak percaya,” tutur Lou Ping.
“Dan............ suko tentu
bilang: 'tentu kaulah yang lebih Cantik'!” tiba-tiba Thian Hong menyelatuk.
Lou Ping tertawa kecil. Memang
waktu itu suaminya mengatakan begitu.
“Yadi kau ambil ketempat baginda
di HangCiu?” tanya pula Thian Hong.
Lou Ping mengangguk, sahutnya.
“Untuk kuperlihatkan pada suko. Sesudahnya akan diapakan, sudah tentu terserah
kehendak Congthocu. Akan dikembalikan pada CiCi Ceng Tong atau kita simpan
sendiri.”
Ketika memeriksa vaas itu,
betul-betul Bun Thay Lay tak habis-habisnya memuji keCantikan gambar nona itu.
“Betul apa tidak kata-kataku itu?” tanya Lou Ping. Bun Thay Lay tertawa sambil
goyang kan kepalanya. Lou Ping heran, tapi pada lain saat ia teringat akan
ucapan suaminya itu. Mukanya berobah merah.
“Sutemoag, baginda mempunyai
banyak sekali sekali jago-jago yang lihai. Karena vaas itu sangat berharga,
tentu dijaga keras. Tapi bagaimana kau dapat mengambilnya ? Keberanian dan
kepandaianmu itu, orang lelaki sungguh harus mengaku kalah. Aku, sitosu tua
ini, juga mengaku kalah padamu,” kata Bu Tim.
Lou Ping tersenyum puas. Ia
Ceritakan pengalamannya sewaktu masuk kedalam gedung pembesar agung itu, ia
berhasil menangkap dan mengorek keterangan dari seorang thaykam (kebiri) yang
mengurus barang itu. Ia dapat membinasakan Anjing penjaga dengan memberinya
makan bahpau yang diberi raCun dalamnya. Ia berhasil mengelabui si-wi penjaga
dengan meniru bunyi kuCing dan akhirnya berhasil mendapatkan vaas giok itu.
Semua orang mendengarkan dengan
asjik dan kagum.
“Su-naynay”, tiba-tiba Hwi Hing
buka suara. “Dengan mendiang ayahmu, aku menjadi sahabat yang karib sekali.
Mendasarkan umurku yang setua ini, aku hendak bicara padamu, Harap kau jangan
salah paham”.
“Silakan Liok-lopeh memberi
nasehat”, sahut Lou Ping.
“Nyalimu besar dan kaupun Cukup
lihaij. Dengan seorang diri kau mengambil vaas disarang harimau. Tidak seorang
yang tidak merasa kagum. Namun sesuatu urusan itu dapat dinilai penting
tidaknya atau besar kecilnya. Andaikata sepasang vaas itu memang sangat
diperlukan untuk rencana gerakan kita, atau misalnya diperlukan untuk menolong
seorang yang terpitenah, perbuatanmu itu. memang mulia dan pada tempatnya”,
demikian Hwi Hing. “Tapi hal yang sebenarnya, kau hanya main-main secara iseng
dengan Suya, dan kau telah menempuh bahaya yang sedemikian besarnya. Andaikata
sampai terjadi apa-apa, semua saudara kita apakah tidak menjadi ribut? Lebihdua
bagaimana perasaan suamimu itu?!”
Tegoran Hwi Hing itu telah
membuat Lou Ping mandi keringat sembari berulang'- mengiakan saja.
“Malam itu kebetulan baginda
masih kita tawan di Liok Hap Ta. Semua si-wi sibuk menCari jejak baginda, jadi
gedung agung itu boleh dikata kosong tak ada penjagaan yang liliay. Andaikata
orang seperti Kim-kao-thiat-jiau Pek Cin berada disitu, kau tentu menghadapi
bahaya besar!” Hwi Hing melanjutnya tegorannya.
Lou Ping berjanji mengindahkan
peringatan itu. Berpaling kearah Bun Thaij Laij, ia leletkan lidahnya.
“Setelah Suko dapat dibebaskan,
saking girang Suso sampai berbuat haldua yang keliwat berbahaya. Kelak jangan
sekali-kali berbuat lagi”. Tan Keh Lok menengahi.
“Baik, baiklah!” Sahut Lou Ping.
“Nah, sekarang kita ramaidua
bantu Hitko,” kata Keh Lok “Hitko, kini urusan sudah begini mendesak untuk
berbe lanya terang tak dapat. Kau seorang yang banyak sekali akal ren Cana, Ayo
lekas keluarkan akalmu itu supaya lekas beres!”
Semua orang sama tertawa. Thian
Hong karena hatinya penuh dengan berbagai perasaan, juga ikut tertawa. Tapi
kalau orang-orang ketawa karena akan menggodanya, adalah dia sendiri ketawa,
alias meringis.
“Bu-Cu-kat hari ini betul-betul
berobah menjadi seorang tolol. Baiklah aku saja yang wakilkan dia mengaturnya.
Wali dari fihak pengantin perempuan adalah Ciu-loyaCu. Sedang wali dari
pengantin lakidua baiknya Tio-samko saja. Wi-kiuko, lekas pinjam kudanya Suso
untuk membeli barangdua dikota. Beng-toako, kau pergi kepasar untuk belanya
barang-barang perjamuan. Tentang barangdua hadiah kita masing-masing, besok
saja kita susulkan. Nah, bagaimana saudara-saudara, akur?” demikian Keh Lok
mengatur.
Rasanya semua setuju. Hanya Tio
Pan San yang mengusulkan supaya wali mempelai lelaki, baiknya Tan Keh Lok
sendiri, sedang dia nanti yang bakal menjadi “protokol” upaCara perkawinan itu.
Bermula Keh Lok menolak, tapi akhirnya dia mau juga setelah di desak oleh
lain-lain saudaranya.
Petang harinya, semua petugas
yang disuruh berbelanya itu sudah sama pulang. Jun Hwa, orangnya Cekatan. Dia
dapat membeli semua barangdua yang diperlukan. Malah kopiah burung Hong untuk
mempelai perempuan, tak lupa dibelinya juga.
Menyambuti pakaian untuk mempelai
perempuan itu, Lou Ping terus akan masuk untuk merias Ciu Ki. Tiba-tiba dilihat
nya Jun Hwa juga membelikan pupur dan ginCu.
“Wah, Kiuko, benar-benar kau
seorang ahli. Entah nona siapa yang beruntung bakal menjadi isterimu?”
“Ai, Suso, jangan godai aku. Kan
malam ini malam istimewa bagi mempelai nona Ciu Ki, jadi semuaduanya haruslah
ditujukan padanya!” tangkis Jun Hwa.
“Baiklah, kau punya rencana apa?”
tanya Lou Ping.
Dengar orang akan godai
pengantin, Cio Su Kin ikut Campur.
“Suso, bahwa kau telah berhasil
mengambil vaas giok dari penjagadua baginda, kita semua memang kagum. Tapi tadi
Liok-Locianpwe mengatakan, kalau saja beberapa Si wi kelas tinggi berada
disitu, mungkin tak semudah itu hasil pekerjaanmu,” kata Jun Hwa.
“Mencuri itu suatu ilmu adu
kepandaian, bukan adu kekuatan. Sekalipun aku tak dapat melawan mereka, tapi
bukan berarti tak dapat kucuri barang itu,” debat Lou Ping.
“Bagus. Hitko terhitung salah
seorang yang paling Cer dik. Kalau kau dapat mencuri salah satu barangnya, baru
aku mau tunduk betul-betul kepadamu.”
“Apa yang harus kuambil?”
“Heh ............ begitu kedua
mempelai sudah tidur pulas,
Curilah pakaiannya, agar besok
harinya mereka tak dapat bangun keluar kamar,” kata Jun Hwa.
Kontan Ciang Cin berseru setuju.
Tiba-tiba Tio Pan San menghampiri dan menanyakan halnya.
“Ah, urusan ini tak selajaknya
Samko mengetahui,” Su Kin Coba mencegah orang.
Anakdua muda itu kuatir kalau Tio
Pan San sungkan dan diam-diam nanti memberi kisikan pada Thian Hong. Karenanya,
mereka menolak turut Campurnya Samko itu. Apa boleh buat Pan Sanpun mengangkat
pundak dan berlalu.
“Akal itu pernah kita gunakan
terhadap baginda. Suso, soal itu memang pekerjaan yang berat sekali. Kurasa kau
tentu gagal,” kata Seng Hiap.
Lou Ping kerutkan sepasang
alisnya, tanpa menyahut. Ha nya hatinya berpikir bahwa hal itu memang
sungguh-sungguh tak enak baginya. Tapi ketika di-kilidua oleh Seng Hiap,
timbullah keangkuhannya. Katanya: “Kalau aku sampai berhasil me ngambilnya,
bagaimana?”
“Kita ini, Patko, Sipko, Sipjite,
Sipsamte dan aku, ber jumlah 5 orang. Bersedia akan membikinkan perlengkapan
untuk kudamu putih itu yang akan dibuat daripada emas. Modelnya, tanggung, kau
tentu puas,” sahut Jun Hwa.
“Bagus. Untuk bagianku, kalau
sampai gagal, akan kubuatkan sulaman 5 tas berbunga terate, untuk kau berlima
masing-masing setangkai”, sahut Lou Ping.
“Setuju”, seru Seng Hiap dan Jun
Hwa dengan berbareng.
“Ya, tapi tas sulaman terate itu
tak boleh sembarangan macamnya, lho!” kata Su Kin dengan tertawa.
“Fui, pernahkan aku menipu
kalian? Tapi awas, jangan kalian diam-diam kisiki Hit-ko dan isterinya?” kata
Lou Ping.
“Sudah tentu tidak. Kita mandah
kalah pertaruhan itu, supaya dapat menyaksikan leluCon besar!” sahut Seng Hiap.
Habis menetapkan perjanjian itu,
mereka sama bubaran untuk membantu keperluan pernikahan itu. Diam-diam Lou Ping
bertanya pada diri sendiri, Cara bagaimana ia harus melakukan pekerjaan
istimewa itu. Terhadap Ciu Ki sih mudah saja. Tapi berhadapan dengan Thian
Hong, si Cukat Liang alias Khong Bing itu, rasanya ia tak dapat berkutik. Ja,
apa boleh buat, tunggu gelagat saja.
Begitu hari gelap, diruangan
besar segera terang benderang dengan penerangan lilin yang besardua. Thian Hong
dengan berpakaian lengkap tampak berdiri disebelah kiri. Lou Ping papak
menggandeng mempelai perempuan keluar. Tio Pan San membaCakan doa perkawinan,
diikuti kedua pasangan baru itu dengan berlutut sujud pada langit dan bumi.
Juga pada Cousu HONG HWA HWE Baru setelah itu, mereka memberi hormat kepada Ciu
Tiong Ing suami isteri serta
Tan Keh Lok selaku Congthocu. Ciu
Tiong Ing dan Ciu-naynay separoh membalas hormat.
Sebaliknya Tan Keh Lok sama
sekali tak berani menerima penghormatan itu. Dia Buru-buru berlutut untuk
membalas hormat. Berulang-ulang Ciu Tiong Ing menasehati supaya ketua itu
jangan sungkandua.
Kini gilirannya, kedua mempelai
itu memberi hormat kepada semua orang menurut runtunannya. Pertama kepada Liok
Hwi Hing, Bu Tim, Tio Pan San. Sim Hi menuntun Hi Tong keluar untuk duduk
disebuah kursi. Muka Hi Tong masih dibalut dengan kain putih. Juga pemuda itu
menerima penghormatan dari sepasang suami-isteri yang bahagia itu.
Suasana pesta itu betul-betul
meriah sekali. Saking girangnya, Hi Tong menyumbangkan nyanyian suling dalam
lagu “hong-kiu-hong” atau burung hong d jantan berCumbuan dengan burung hong
betina. Melihat Hi Tong tampak gembira, semua orangpun turut girang.
Selesai upaCara, mulailah
hidangan dan arak dikeluarkan. Dengan mengangkat poCi arak, Bu Tim berseru n
jaring: “Malam ini siapa yang tidak minum sampai mabok, tidak boleh tidur”.
Baru saja mulutnnya mengucap,
secepat-cepat killat poCi itu dilemparkan kearah sebuah pohon kwi-hoa yang
tumbuh di tengah-tengah halaman itu.
Serempak dengan melayang nya poCi
itu, Jun Hwa dan Ciang Cin juga melesat keruangan tengah. Sesaat poCi itu
membentur ranting pohon dan jatuh kebawah, Jun Hwa sudah dapat menyang gapinya,
sedang Ciang Cin segera loncat keatas tembok untuk memandang disekeliling
tempat itu. Tapi tak tampak suatu apa.
Mereka kembali dan melapor pada
ketuanya. Keh Lok melarang mereka untuk melanjutkan pengejaran, karena hari itu
adalah hari baik. Begitulah mereka telah meneruskan pesta itu dengan gembira.
“Totiang,” bisik Keh Lok pada Bu
Tim, “akupun melihat juga sebuah bayangan berkelebat diatas pohon itu. Ditilik
dari gerakannya, kepandaiannya sih tidak seberapa.”
Bu Tim angguk kepalanya tanda
sepaham.
“Di Liok Hap Tha, totiang telah
unyuk keangkeran, hingga Thian San Siang Eng tak berani pandang rendah kita
orang. Mari kita hormati Totiang dengan seCawan arak,” kata Keh Lok kemudian.
Semua orang sama berdiri
mengangkat Cawannya.
“Thian San Siang Eng memang tak
bernama kosong. Tan Ceng Tik situa itu, kalau saja masih berusia dua0 tahun,
aku sitosu tua ini tentu bukan tandingannya,” kata Bu Tim dengan tertawa.
“Tapi waktu itu kepandaiannyapun
tidak sehebat dan ulet seperti sekarang,” bantah Tio Pan San.
Pesta itu berjalan dengan
gembira. Ada yang ber-Cakapdua dengan melucu, ada yang bertanding minum arak.
Banyak sekali diantara mereka yang menghibur Ie Hi Tong.
Dalam pada itu, diam-diam Keh Lok
kisiki Sim Hi supaya dengan beberapa thauwbak keluar meronda, jangan sampai
tetamu yang tidak diundang itu sempat melepas api.
Setelah beberapa macam hidangan
beredar, kedua mempelai dibawa keluar untuk memberi selamat dengan arak pada
sekalian hadirin. Ciu Ki seorang nona yang dojan minum, tapi hari itu mamahnya
pesan jangan sekali-kali minum. Maka betapa ingin rasanya ia untuk meminum,
ketika sau daraduanya sama mendesak padanya, namun sedapat mungkin ditahannya.
Karena mendongkol, wajahnya tampak kurang senang.
“Aduh, rupanya pengantin
perempuan sedang marah pada. pengantin lelaki, Hit-ko, Ayo, lekas berlutut
minta ampun,” seru Jun Hwa menggoda.
“Hit-ko, kau berlututlah. Kalau
yang lakidua mau tunduk, tanggung lekas punya anak nanti,” sela Seng Hiap.
Karena tak kuat menahan geli, Ciu
Ki tertawa Cekikikan, sahutnya: “Huh, kau sendiri belum punya anak, bagaimana
bisa ngoCeh tak keruan !”
Semua orang tertawa geli.
Ciu-naynay pun gelengdua kepala nya mengelah napas: “Coba, nona manya begitu
sungguh tak patut menjadi pengantin.”
Dalam pada itu Lou Ping membisiki
Jun Hwa supaya meloloh arak pada Thian Hong agar memudahkan pekerja annya. Jun
Hwa memberi isyarat kepada Su Kin, untuk diajak memberi selamat minum arak pada
Thian Hong.
Melihat kasak-kusuk keduanya itu,
Thian Hong Curiga. Karena sebagai mempelai lelaki tak boleh ia menolak
pemberian selamat, terpaksa Thian Hong menerimanya. Tapi setelah minum
kira-kira sepuluh Cawan, sekonyong-konyong dia terhuyung-huyung dan rebahkan
kepalanya diatas meja. Ciu-naynay sayang kepada anak menantunya, lalu
perintahkan Kian Kong untuk membawanya kekamar tidur.
“Wah, kali ini rupanya kau ada
harapan menang,” diam-diam kata Seng Hiap kepada Lou Ping.
Lou Ping tersenyum. Diambilnya
sebuah poCi dan diisinya penuh dengan arak, lalu dibawanya kekamar Ciu Ki.
“CiCi, kebetulan, aku memang
sedang gelisah,” seru Ciu Ki segera oleh kedatangan Lou Ping.
“Kau tentu haus, minumlah teh
ini,” kata Lou Ping. “Ah, tidak. Aku sedang resah.”
“Tapi teh ini wangi sekali,” kata
Lou Ping pula, sembari angsurkan dimuka Ciu Ki. Bau arak yang wangi itu
mendekap hidung Ciu Ki, siapa menjadi girang sekali dan Buru-buru menyambutinya
terus ditegak habis separoh. “CiCi Ping, kau memang baik sekali kepadaku,” ujar
gadis itu.
Sebenarnya Lou Ping hendak
mempermainkannya, tapi melihat sinona begitu jujur, ia tak tahan sendirinya.
Tapi karena pengantin baru itu seharusnya digoda, maka tak apalah.
“Adik Ki, sebenarnya aku hendak
memberitahukan padamu sesuatu hal yang sangat rahasia. Tapi mengingat kita ini
sudah bersaudara, maka tak apalah, asal kau tidak sesalkan aku.”
“Lekas katakanlah !”
“Apakah ibumu tak pernah
mengatakan, bagaimana nanti setelah kau lepas pakaianmu.”
“Apa? Mamah tidak bilang
apa-apa,” seru Ciu Ki dengan merah mukanya.
“Kuduga tentu beliau sendiripun
tak mengetahuinya,” kata Lou Ping dengan bersungguh-sungguh. “Setelah lakidua
dan perempuan menjadi suami isteri, kalau bukan sisuami yang menang hawanya,
tentulah si-isteri yang menguasainya. Jadi tentu ada salah seorang yang dibawah
pengaruh.”
“Hm, aku tidak ingin menindasnya,
tapi jangan dia ngimpi akan mengendalikan aku,” kata Ciu Ki.
“Ya, namun orang lelaki itu
sifatnya kasar, tidak mengerti perasaan orang perempuan. Ada kalanya, kau susah
untuk memegangnya. Terutama orang sebagai Hit-ko. Dia pintar dan banyak sekali
akal. Dan kau, adik Ki, orangnya tulus. Harus hati-hati terhadapnya.”
Kata-kata itu “termakan” dalam
hatinya Ciu Ki, sekalipun dia sudah menaruh kepercayaan penuh pada bakal
suaminya itu. Memang kalau ditilik suaminya itu terkenal sebagai orang yang
banyak sekali akal, maulah ia percaya keterangan Lou Ping itu.
“Kalau dia sampai menghina aku,
aku tak takut, kita selesaikan dengan golok,” sahut Ciu Ki kemudian.
“Oho, kau tak boleh begitu galak.
Suami isteri harus rukun. Masa akan bertempur mati-matian.”
Ciu Ki hanya tertawa saja.
“Bun-suya jauh lebih lihai dari
aku. Kalau disuruh bertanding, biarpun ada sepuluh aku, rasanya tentu kalah.
Tapi selama itu belum pernah kita berkelahi. Dia selalu turut perkataanku.”
“Tentunya kau ingin menanyakan,
Cara bagaimanakah Caraku itu, bukan?” tanya Lou Ping kemudian.
Ciu Ki kemerah-merahan mukanya
dan anggukkan kepalanya.
“Sebenarnya hal itu tak boleh
kukatakan. Tetapi karena kau yang menanyakan, biarlah kukasih tahu. Tapi
sekali-kali tak boleh kau beritahukan kepada Hit-ko. Beginilah, nanti setelah
Hit-ko tanggalkan pakaiannya, kau harus padamkan
lampu. Bawalah pakaianmu dan
pakaian Hit-ko itu keatas meja,” kata Lou Ping sembari menunyuk kesebuah meja
dimuka jendela. Lalu katanya pula: “Taruhkanlah pakaian Hit-ko dibawah
pakaianmu. Tentu selanjutnya dia akan dengar katamu, tidak berani menghina
padamu.”
“Sungguh?” Ciu Ki menegas dengan
masih bersangsi.
“Mengapa tidak. Mamahmu takut
pada ayahmu bukan ? Nah, itulah karena beliau tidak mengetahui Cara itu.”
Di-pikirdua memang mamahnya agak
takut pada sang ayah. Diam-diam Ciu Ki mau percaya.
“Diwaktu menaruhkan pakaian,
jangan sampai menimbulkan keCurigaannya. Kalau dia sampai tahu, tentu tengah
malam dia akan memindahkan pakaianmu dibawah pakaian nya. Kalau sampai begitu,
wah Celaka!”
Walaupun agak jang gal, tapi
karena hal itu merupakan soal seumur hidupnya, Ciu Ki mau juga menurut. Malah
untuk menambah kepercayaannya, Lou Ping ajarkan juga bagaimana Caranya menjadi
seorang menantu. Dengan muka merah, Ciu Ki merasa berterima kasih kepada Lou
Ping.
Tengah mereka asjik ber-Cakapdua
itu, tiba-tiba diluar pintu tampak sesosok bayangan orang berkelebat, dan
berbareng itu kedengaran Thian Hong mendatangi dengan batukdua. Ciu Ki
bergegas-gegas memburu keluar. Tampak Thian Hong dengan berpakaian pengantin
menentang sebatang tongkat besi, loncat turun dari tembok.
“Bagaimana, apa ada penCuri?”
tanya Ciu Ki segera.
“Tadi kulihat diatas tembok ada
orang mengintip, ketika hendak kutangkap, dia sudah menghilang,” menerangkan
Thian Hong.
Ciu Ki membuka peti pakaiannya,
dan mengambil sebatang goiok. Sebenarnya Ciu-naynay telah suruh puterinya untuk
simpan senjatanya itu diluar kamar, tapi nona bengal itu tidak mau menurut,
senjata itu disimpannya dida-lam peti pakaian. Saat itu ia akan ajak Lou Ping
memeriksa keluar.
“Ah, sudahlah! Kau tinggallah
disini dengan tenang. Bukankah diluar sudah banyak sekali pamandua dan sekalian
saudara yang menjaganya. Masa kuatir penCuri kecil itu menggasak barangduamu”
sahut Lou Ping.
Baru Ciu Ki mau kembali kedalam
kamarnya. sambil menunyuk kepada Thian Hong, berkatalah Lou Ping: “Sudahlah,
kau jangan pura-pura mabuk, biar kutangkap penCuri itu. Kau jaga baik-baik saja
pengantinmu yang baru Ini, jangan sampai dia gunakan senjata.”
Sambil berkata begitu, Lou Ping
samber golok ditangan Thian Hong, siapa dengan girang lalu kembali kedalam
kamarnya sendiri. Betul pada lain saat didengarnya diatas atap rumah ada derap
kaki orang, tapi karena dia percaya akan sekalian saudaranya, maka dia tetap
berlaku tenangdua saja.
“Dengan baginda kita sudah adakan
persetujuan, jadi mustahil kalau beliau sedemikian Cepat-cepat nya melanggar
jan jinya. Dan kalau tilik gerakannya, nyata tetamu yang tidak diundang itu
kepandaiannya tak seberapa lihai. Mungkin seorang sahabat dari kalangn hek-to
yang karena kebetulan lewat didaerah sini dan mengetahui akan adanya pesta
perkawinan ini, lalu datang memberi selamat,” pikir Thian Hong.
Pada saat itu, masuklah Lou Ping,
Jun Hwa, Seng Hiap, Su Kin, Ciang Cin dan beberapa orang lagi- dengan membawa
poCi dan Cawan arak. Berkata mereka dengan berbareng: “Ayo, mempelai lakidua
pura-pura mabuk, harus didenda?”
Apaboleh buat Thian Hong sambuti
pemberian arak mereka, dengan setiap orang, dia minum tiga Cawan. Masih semua
saudaranya itu tak puas, dan hendak melolohnya terus.
“SipenCuri kan belum tertangkap,
lebih baik jangan ke banyak sekalian minum. Jangan sampai kita kena dibobol,”
kata Thian Hong.
“Minumlah dengan sepuasmu saja.
Kita nanti yang bergiliran menjaga.” kata Seng Hiap dengan tertawa keras.
Tengah ramaidua memaksa
sipengantin itu, Ciu Tiong Ing kelihatan datang. Demi dilihatnya Thian Hong
sudah mabuk sehingga omongannya sudah tidak jelas lagi, Buru-buru mertua ini
menengahi minum seCawan pada masing-masing orang. Setelah itu dibawanya Thian
Hong kedalam kamar.
Karena kali ini dilihatnya
betul-betul Thian Hong sudah mabuk, setelah menggoda beberapa waktu pada Ciu
Ki, orang-orang itu lalu pergi.
Setelah berada berduaan dengan
Thian Hong, hati Ciu Ki kebat-kebit rasanya. Begitu Coba memberanikan diri
melihat Thian Hong, ternyata yang tersebut. belakangan ini sudah Celentang
diatas pembaringan dan menggeros.
Teringat akan kata-kata Lou Ping,
pelan-pelan dia menghampiri dan menggerendel palang pintu. Diantara sinar
lilin, tampaklah sang suami itu mukanya merah dan tidur dengan nyenyak sekali.
“He, apa kau sudah tidur?”
tegurnya.
Tapi Thian Hong tak menyahut.
“Ah, kau betul-betul sudah
tertidur,” gumam sigadis agak keCewa.
Setelah melihat kesekeliling situ
tak ada orang lagi, barulah Ciu Ki lepaskan pakaiannya luar, lalu menghampiri
tempat tidur. Sekali dorong, tubuh Thian Hong terguling kesamping, lalu iapun
naik pembaringan. Dengan beranikan diri, Ciu Ki lepaskan sepatu Thian Hong,
begitu pula baju luarnya. Ketika akan mengambil juga pakaiannya dalam, merah
padamlah muka Ciu Ki. Pikirnya: “Bukankah baju luarnya sudah Cukup?”
Begitulah baju luarnya Thian Hong
lantas dibawa turun kebawah jendela dan diletakkannya diatas meja dengan
ditumpangi pakaiannya sendiri. Balik ketempat tidur, ia ambil selimut dan
ditutupkan ketubuh suaminya. Sedang ia sendiri telah mengambil lain selimut dan
membungkus dirinya rapat-rapat, terus tidur.
Berselang berapa lama, Thian Hong
kelihatan membalik tubuhnya. Hal itu membuat Ciu Ki terkejut sekali. Pada saat
itu, kedengaran bunga api lilin meletik. Kuatir kalau Thian Hong mengetahui
perbuatannya tadi, Buru-buru Ciu Ki akan meniup padam lilin itu.
Tapi ketika teringat dirinya
hanya berpakaian dalam dan tidur disamping seorang lakidua untuk pertama
kalinya, ia takut-takut dan malu. Biar bagaimana ia tak berani bangun.
Diam-diam ia memaki dirinya sendiri «tak berguna, keringat membasahi seluruh
tubuhnya. Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba ia memperoleh akal. Ia beset dua
potong kain dari pakaiannya dalam, dipulungnya dan 'dimasukkan kedalam
muluthja. Setelah menjadi basah dan merupakan pulungan bundar, dengan gunakan
kepandaian menimpuk senjata rasia, ia berhasil menimpuk padam sepasang lilin
itu.
Thian Hong masih tidur dengan
pulas. Dia sebenarnya tak seberapa kuat minum arak, karena keliwat dari
takeran, maka dia sampai tidur tak ingat orang. Setiap kali ia membalik tubuh,
Ciu Ki terkejut dan makin ketakutan. Entah berlangsung berapa lama, tiba-tiba
diluar jendela terdengar suara tikus men-CiCit. Dan pada lain saat, kedengaran
suara kuCing meyang -mejong. Menyusul terdeburnya jendela, seekor kuCing telah
meloncat masuk. Binatang itu berkeliaran didalam kamar dan tak bisa keluar
nampaknya. Binatang itu loncat keatas pembaringan dan tidur dibawah kaki Ciu
Ki. Setelah tak ada gangguan suara apa-apa lagi, barulah Ciu Ki pejamkan mata.
Tapi hatinya masih berkutak-kutik tak bisa tidur.
Kira-kira sampai jam tiga pagi,
tiba-tiba daun jendela kedengaran beretak. Ciu Ki mendengarkan dengan penuh
perhatian. Agaknya diluar jendela seperti ada orang bernapas. Dikira nya itulah
tentu saudara-saudaranya yang ingin menggodainya, mau. mencuri dengar
'kejadian' dalam kamar pengantin. Mau ia menegurnya, tapi tiba-tiba tak jadi,
karena waktu itu kedengaran diluar Sim Hi berseru: “Siapa? Jangan bergerak !”
Menyusul dengan itu, terdengar
suara senjata beradu, dan kedengaran juga kedua saudara Siang berseru: “Ha, pen
jahat yang bernyali besar !”
Menyusul sebuah teriakan “aduh”
terdengar. Rupanya kena dihantam oleh kedua saudara Siang itu. Saat itu barulah
Ciu Ki insyap, kalau kedatangan musuh. Ia tersentak bangun terus menyembat
golok. Tapi ketika ia merabah meja hendak mengambil pakaiannya, segera ia
menjerit kaget, karena pakaiandua itu sudah lenyap.
Tanpa pikiran malu lagi, ia tarik
tubuh Thian Hong sambil di-goyang duai dan berseru: “Lekas bangun, lekas bantu
tangkap penCuri. Pakaian kita kena digasak.”
Saking kagetnya, Thian Hong
gelagapan dan hilang ma buknya. Dia rasakan sebuah tangan hangat menariknya.
Bau harum yang memenuhi kamar, telah menyedarkan pikirannya bahwa malam itu
adalah malam pertama dari perkawinannya.
Thian Hong melengak, terus tarik
Ciu Ki kebelakangnya.
Tangannya menyeret sebuah kursi,
siap untuk menyambut kedatangan musuh. Saat itu diatas wuwungan dan
disekeliling situ, terdengar suara tepukan orang.
“Saudara-saudara kita sudah siap
menCegatnya, sipenyahat tentu tak dapat lolos,” bisik Thian Hong.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Ciu
Ki.
“Tepukan tangan itu adalah
pertandaan rahasia dari kaum kita HONG HWA HWE Kini diempat penyuru sudah
dijaga oleh saudara-saudara kita, kita tak usah kuatir lagi,” kata Thian Hong.
Kursi pun dilepaskan, lalu dengan suara lemah lembut ka-tanya pula: “Moaymoay,
aku telah kebanyak sekalian minum, sehingga tertidur pulas, sungguh keterlaluan
...............”.
“Plak ............” golok Ciu Ki
terjatuh ditanah. Kedua anak muda itu terduduk diatas pembaringan. Kepala Ciu
Ki direbahkan didada Thian Hong. Hening seketika.
Tiba-tiba pada lain saat
kedengaran suara Bu Tim memaki: “Penyahat itu sungguh liCin, kemana saja
larinya?”
Diluar jendela tampak api
berkobar, rupanya orang-orang HONG HWA HWE sama nyalakan obor untuk menCari.
Thian Hong suruh isterinya tidur, sementara dia terus keluar. Tapi Ciu Ki
nyatakan ikut. Ketika melangkah keluar, mereka dapatkan pakaiannya terletak
dengan rapih dimuka pintu. Hal mana membuat mereka heran, terutama Ciu Ki.
“Penyahat itu aneh sekali,
mengapa mengembalikan pakaian kita lagi?” kata sigadis.
Beberapa saat Thian Hong tak
dapat menyahut, kemudian dia tanyakan dimana tadi isterinya taruh pakaian itu.
“Kuingat disamping pembaringan,
tapi entahlah, agak lupa aku,” demikian sahut Ciu Ki malu-malu.
Saat itu Lou Ping dan Jun Hwa
dengan membawa obor tampak datang.
“Ha, ha, sipenCuri telah
mengganggu pengantin ini!” Jun Hwa tertawa.
“He, mengapa disini ada setumpuk
pakaian?” seru Lou Ping seperti orang terkejut.
Pecah gelak-tawa Jun Hwa karena
tak tahan gelinya. Thian Hong Cukup Cerdik, sepintas tahulah dia bahwa kedua
orang itu main sandiwara. Namun dia tetap tenang, katanya: “Aku kebanyak
sekalian minum, sampai pakaian diambil penCuripun tidak tahu!”
“Kukuatir bukan sang arak yang
memabukkan orang, tapi orang yang mabuk sendirinya,” kembali Lou Ping tertawa.
Thian Hnog tertawa tak dapat
menyawab.
Kiranya pada tengah malam tadi,
Lou Ping menduga kalau Ciu Ki tentu sudah tidur. Dibukanya jendela, sebelum itu
ia tirukan bunyi tikus dan melempar masuk seekor kuCing. Secepat-cepat jendela
didorong terbuka, secepat-cepat itu pula dia samber pakaian kedua pengantin
itu.
Ketika Seng Hiap mengetahui Lou
Ping betul berhasil mencuri pakaian, dia sangat heran. Lou Ping hanya tertawa
saja. Sewaktu mereka mau masuk tidur, tiba-tiba Sim Hi kedengaran berseru
menegur penyahat. Menggunakan kesempatan itu, Lou Ping bermaksud mengembalikan
pakaian, supaya besok paginya Ciu Ki jangan sampai malu. Tapi ternyata kedua
pengantin itu sudah bangun, jadi pakaian itu diletakkan begitu saja dimuka
pintu, lalu ikut menge jar penyahat.
Sementara itu Keh Lok dan Ciu
Tiong Ing bersama beberapa orang pun kelihatan keluar.
“Sekeliling rumah ini sudah
dijagat rapat, tak nanti dia dapat lolos. Kita periksa setiap kamar,” kata Keh
Lok.
Tapi biarpun diCari ubek-ubekan,
penyahat itu tak nampak bayangannya. Saking mendongkolnya, Bu Tim me-maki-maki
ka lang-kabut.
“Kita tengok kekamar Sipsute
sana!” ajak Thian Hong tiba-tiba.
“Ah, siangdua Congthocu sudah
minta Liok-Locianpwe menjaga kamar Sipsute itu, dan minta Tio-samko menya ga
Bun-suko. Kalau tidak begitu, masa Suso begitu senggang main taruhan dengan
kita?” kata Jun Hwa.
Thian Hong puji keCermatan
Congthocu itu, tapi dia tetap berkeras mengajak tengoki ketempat kedua
saudaranya itu. Akhirnya Keh Lok setuju juga. Mereka lebih dulu menilik Bun Thay
Lay. Tampak kamar itu terang benderang. Bun Thay Lay dan Tio Pan San tengah
bermain Catur. Mereka tak hiraukan ramaidua diluar itu.
Kini semua orang menuju kekamar
Hi Tong. Terlihatlah Liok Hwi Hing duduk diatas titian. Melihat rombongan orang
banyak sekali datang, dia serentak berbangkit dan menyata kan tak ada kejadian
suatu apa. Semua orang menjadi uringduaan dan heran.
Demi mengawasi kesekeliling,
Thian Hong dengan tiba-tiba melihat dari seladua jendela kamar Hi Tong itu,
nampak ada sepelik letikan api yang baru saja padam. Jadi nyata lilin kamar itu
baru saja dimatikan. Dia agak Curiga dan akan melihat Hi Tong.
“DIA sudah tidur nyenyak, maka
aku jaga diluar,” Cegah Hwi Hing.
“Kalau begitu, Ayo kita Cari
kelain tempat lagi,” kata Lou Ping.
“Tidak, lebih baik tengoki
Sip-sUte dulu,” Thian Hong ber keras.
Sambil memegang obor, dia dorong
daun pintu. Kamar tak ada apa-apa yang mencurigakan keCuali tubuh Hi Tong
nampak bergerak diatas pembaringan. Thian Hong Coba sulut lilin dengan obornya,
tapi. taj berhasil. Ketika diambilnya dan diperiksa, ternyata sumbu lilin itu
sudah terputus rata, se-olahdua dipotong. Jadi terang kalau api lilin tadi
tidak ditiup padam, melainkan ditimpuk dengan senjata rahasia. Hati Thian Hong
berCekat dan menghampiri kedekat tempat tidur.
“Sipsute, kau toh tidak
kenapa-apa?” tanyanya.
Agak ke-malasduaan “kelihatan Hi
Tong mengisar tubuhnya, seperti lakunya orang yang gelagapan bangun tidur.
Mukanya masih terbalut kain, sahutnya: “Ah, Hit-ko, bukankah malam ini kau menjadi
pengantin? Mengapa menengoki Siaote?”
Lega hati Thian Hong, demi Hi
Tong tidak kenapa-apa. Dia sulut lilin itu dengan obornya. Ternyata dimana
dinding terlekat sebuah anak panah kecil, ujungnya masih terdapat minyak Ulin.
Diketahuinya bahwa panah kecil
itu adalah milik Hi Tong, senjata yang sering ditiupkan dengan seruling
emasnya. Tak habis dimengerti: mengapa begitu rombongan saudaranya datang, Hi
Tong Buru-buru membunuh lilinnya? Apalagi begitu terburu-buru , sampai tidak
ditiup tapi memadamkan dengan senjata rasia dengan serulingnya ?
Saat itu Tan Keh Lok es. pun
sudah sampai disitu.
“Wah, saudara-saudara semua
datang kemari. Aku tak kenapa-apa, terima kasih atas perhatian
saudara-saudara,” kata Hi Tong.
Thian Hong akan Cabut paku panah
yang menancap di dinding itu, tapi tangannya dijawil Keh Lok, maka tak jadi.
Orang-orang sama mengetahui selimut Hi Tong itu agak menonyol. Selain dia,
tentu dalamnya ada benda lainnya.
“Kalau begitu, harap Sipsute
baik-baik mengasoh,” ujar Keh Lok, seraya mengajak semua orang berlalu. Katanya
lalu kepada Hwi Hing: “Kita masih minta bantuan Liok-loCian-pwe untuk menjaga
disini lagi. Kita akan menyelidiki keluar”.
Setelah semuanya pergi kembali
Hwi Hing duduk diatas titian lagi.
“Undang semua penjaga kemari”,
kata Keh Lok ketika sudah kembali dikamar depan.
Tak berapa lama kedua saudara
Siang, Ciang Cin, Ciok Siang Iing, Cio Su Kin masak. Sedang Tan Keh Lok duduk
diatas pembaringan, semua orang sama mengelilingi. Walau pun merasa heran,
namun mereka tak brani bertanya. Hanya Bu Tim yang tak sabar lagi.
“PenCuri itu terang bersembunyi
didalam selimut Sipsute Siapakah dia itu sebenarnya? Mengapa Sipsute
melindunginya?”
Atas pernyataan Bu Tim itu, semua
orang ikut heran. Hi Tong memang pada waktu akhirdua ini bersikap aneh. Dia
lama juga menyelundup dalam tangsi Li Khik Siu, dan malah pernah menolong
jenderal itu sewaktu terjadi pembakaran tangsi, sewaktu orang-orang HONG HWA
HWE merampok penyara membebaskan Bun Thay Lay. Demikian ramaidua orang-orang
omong ini-itu tentang diri Hi Tong.
“Lebih baik kita beramai tanya
padanya. Kita toh sudah bersumpah sehidup semati, mengapa dia akan mengelabuhi
kita?” kata Ciang Cin.
Semua orang menyetujui.
“Mungkin Sipsute ada apa-apa yang
berat untuk mengatakan nya. Lebih baik dengan pura-pura mengantar makanan, kita
Coba memeriksanya” usul Thian Hong.
Kembali orang-orang sama setuju.
Tampak Ciu Tiong Ing akan ber-kata-kata, tapi tidak jadi. Hanya matanya
memandang kearah Tan Keh Lok.
“Terang kalau orang itu sembunyi
dikamar Sipsute. Kita tak boleh gegabah membikin susah Sipsute. Dia setia
sehidup semati dengan kita semua. Misalnya dia rela korban kan jiwa untuk
menolong Suko. Tentang jiwa Sipsute kita tak sangsi lagi. Kalau kini dia
berbuat begitu, tentulah ada sebabnya. Adanya kuminta Liok-Locianpwe menjaga
disitu, agar orang itu jangan sampai menCelakakan Sipsute. Asal Sipsute tidak
kenapa-apa, kita tak perlu menCari tahu hal itu lebih lanjut, agar jangan
melukai perasaannya”, demikian Keh Lok akhirnya mengutarakan pendapatnya.
Ciu Tiong Ing memuji pikiran
ketua HONG HWA HWE itu.
“Kelak kalau dia mau mengatakan,
tentu dia bilang sendiri. Tak perlu kita usik. Memang sifat anak muda mudah
tersinggung. Mungkin juga urusan peribadi. Asal tak melanggar peraturan partai
saja,” kata Keh Lok lebih lanjut.
Kalau semua orang tunduk dengan
kebijaksanaan pemimpin itu, adalah Thian Hong sendiri yang merasa jengah.
Diam-diam dia mengaku kalah dengan peribadi sang ketua itu.
“Setiap detik dari malam
perkawinan adalah berharga sekali, mengapa kalian berdua masih bergadang
disini,” Lou Ping menggoda Thian Hong dan' Ciu Ki.
Kembali semua orang tertawa ria.
Kini kita tengok keadaan dikamar
Hi Tong. Begitu semua orang sudah berlalu, dia Cepat-cepat turun dari
pembaringan, berdiri disamping meja. Ketika tindakan kaki orang-orang sudah
lenyap, dia nyalakan lilin seraya berkata dengan bisik-bisik : “Mengapa kau kemari?”
Dari dalam selimut timbul sebuah
kepala orang, terus loncat turun duduk ditepi pembaringan. Orang itu kelihatan
tundukkan kepala, dadanya ber-ombakdua, air matanya mengalir. Itulah puteri Li
Khik Siu, atau murid perempuan dari Liok Hwi Hing, Li Wan Ci adanya. Dia
mengenakan pakaian serba hitam sehingga mukanya yang putih itu nampak dengan
jelas. Sepasang tangannya diletakkan diatas pangkuan, tetapi tak berkata-kata,
hanya air matanya yang ber CuCuran membasahi lengannya.
Hi Tong menghela napas.
“Kesungguhan hatimu terhadap
diriku, Cukup kuketahui. Aku bukan kerbau atau kuda yang tak punya perasaan.
Hanya saja kau adalah 'Cian-kim-sioCia' (puteri kesajangan) dari seorang
Ciangkun, sedang aku seorang kelana dari Dunia Persilatan, masa kuherani merusak
hari depanmu?” katanya kemudian.
“Apakah dengan menghilang secara
tiba-tiba itu saja kau rasa sudah berakhir?” tanya Wan Ci dengan sesenggukan.
“Kutahu hal itu tidak pantas.
Namun aku toh seorang yang bernasib malang. Hatiku sudah beku laksana kayu.....
lebih baik kau pulang saja,” ujar Hi Tong.
“Karena menolong sahabat, kau
menjadi fihak lawan ayahku. Hal itu tak dapat kupersalahkan, karena kau men
junyung keutamaan,” kata Wan Ci. “Orang yang serba guna (bun-bu-Cwan-Cay)
seperti dikau ini, mengapa tak mengambil jalan benar, berjoang untuk memperoleh
pangkat kedudukan? Mengapa mesti berkelana dikangouw yang tak keruan itu? Asal
kau mau merobah, ayah tentu.........”
“Kau puteri seorang pembesar,
memang aku tak pantas mendampingimu. Kita kaum HONG HWA HWE menjalankan
kebaikan dan keadilan, menolong yang susah. Kita semua adalah orang lelaki yang
mempunyai ambekan, tak nanti sudi menjadi hamba pemerintah asing?” Hi Tong
marah.
Tahu kalau kelepasan omong, merah
selebar muka Wan Ci. Katanya pula: “Setiap orang mempunyai Citadua sendiri.
Bukan aku hendak memaksamu. Kalau kau senang dalam hal itu, akupun senang juga.
Kuberjanji mendengar kata-kata mu, selanjutnya aku takkan membantu ayah lagi.
Kukira Suhuku pun dapat menjelaskan.”
Kata-kata terakhir itu diuCapkan
agak keras, agar Hwi Hing yang berada diluar kamar itu dapat mendengarnya. Hi
Tong merenung tak menyahut.
“Kau katakan sioCia dari pembesar
itu tidak baik, nah, aku tak mau menjadi sioCia lagi. Kau bilang HONG HWA HWE
itu baik, akupun juga............ ikut padamu,” kata-kata itu diuCapkan Wan Ci
dengan napas yang sesak, dan saking malu serta bingungnya, ia menangis.
“Kalau tiada bantuanmu yang
membawa aku kegedungmu dan mengobatinya, rasanya jiwaku pasti tak tertolong
lagi. Menurut kepantasan, sekalipun badanku hanCur lebur, masih
belum dapat membalas budimu itu.
Tetapi, ah......... sayang .”
“Adakah kau sudah mempunyai
tunangan, sehingga kau pandang diriku begini tak berharga?” Wan Ci bangkit
menegas.
Memang Hi Tong itu aneh. Dia tak
dapat melupakan Lou Ping. Dalam hal paras dan asal usul, Wan Ci tidak dibawah
Lou Ping. Tapi entah bagaimana, dia begitu tawar terhadap nona itu. Sejak
bertemu Hi Tong dirumah penginapan dulu itu, hati Wan Ci mulai tak tenteram. Ia
selalu terkenang akan wajah anak muda dengan seruling emasnya itu.
Ketika kedua kalinya berjumpa
dipenyeberangan Hoangho, ia tampak berobah. Juga ayahnya dapat melihat
perubahan itu dan penuju juga. Siapa nyana dalam pertempuran, anak muda itu
ternyata orang HONG HWA HWE dan ikut kabur.
Wan Ci seperti orang yang
kehilangan semangat. Setiap hari ia berkuda keluar kota, tanpa suatu tujuan.
Khik Siu tahu perasaan puterinya, maka dibiarkan saja sang gadis berbuat begitu
untuk melipur hati.
Hari itu Wan Ci habis pulang
pesiar dari kota sebelah barat. Kebetulan berpapasan dengan Lou Ping yang juga
mau pulang setelah mencuri vaas giok. Tahu kalau Lou Ping adalah orang penting
dari HONG HWA HWE, maka dikuntitnya hingga sampai ke Thian Bok San.
Wan Ci berlaku hati-hati, sedang
Lou Ping tengah dimabuk kegirangan, jadi lengah. Sedikitpun ia tak menaruh
Curiga kalau dikuntit.
Ketika Wan Ci masuk kedalam
rumah, telah dapat diketahui oleh orang-orang HONG HWA HWE, tapi ia beruntung
dapat bersem bunyi. Tengah malam, ia bermaksud menCari tempat Hi Tong, untuk
tumpahkan isi hatinya. Apa lacur, ia keliru mendatangi kamar pengantin baru. Ia
kesomplokan dengan Sim Hi dan Ciang Cin. Dalam perkelahian, pundaknya kiri kena
dihantam Siang He Ci. Sakitnya bukan buatan.
Dengan menahan sakit, ia
sembunyi. Lebih dulu ia lempar beberapa batu kecil kearah lain untuk
membingungkan pe ngejarnya, lalu ia menyelundup keruangan belakang. Disitu ia
berpapasan dengan Suhunya, Hwi Hing, siapa segera menyambret lengannya.
“Suhu!” Wan Ci berseru tertahan
dengan kaget.
“Mengapa kau kemari?!” bentak Hwi
Hing dengan gusar.
“Aku Cari I-suko untuk
menyampaikan beberapa perkataan,” sahut sigadis. Hwi Hing menunyuk kesebuah
kamar disebelah kanan.
Wan Cie segera mengetok daun
pintunya seraya memanggil. Karena suara berisik orang-orang sama menCari
penCuri tadi, Hi Tong pun sudah terjaga. Ia siap dengan kim-tiok atau seruling
emasnya, sandarkan tubuhnya ditepi pembaringan. Betapa kagetnya, sewaktu
kedengaran Wan Ci memanggil. Maka begitu gerendel pintu dibuka, Wan Cipun
menobros masuk.
Bingung juga Hi Tong di buatnya.
Bahwa seorang pemuda dan seorang pemudi berada dalam sebuah kamar adalah kurang
lajak, Cukup diinsyapinya. Baru saja dia sulut lilin untuk menanya, tiba-tiba
kedengaran derap kaki orang-orang sama mendatangi. Karena luka-lukanya, dia
masih belum leluasa ber gerak, terpaksa dia gunakan panah kecil yang ditiupkan
dengan serulingnya untuk memadamkan api.
“Ie-suko, tolonglah aku!” Wan Ci
berbisik separoh meratap, demi Thian Hong dan Kawan-kawan nya mengetok pintu.
Karena kehabisan akal, Hi Tong
suruh Wan Ci menyusup kedalam selimutnya. Demikianlah kejadian tadi. Syukur
atas kebijaksanaan Tan Keh Lok, Wan Ci tidak sampai mendapat malu.
Pada saat Wan Ci mendesak Hi
Tong, adalah pemuda itu sudah mempunyai lain nona yang telah dipenujuinya, Hi
Tong menjadi serba salah. Hendak mengatakan hal yang sebenarnya, malu. Kalau
mau menyawab belum punya, pun salah.
“Begitu mendalam kau Curahkan
perasaanmu, tentunya nona itu sepuluh kali lebih hebat dari aku. Maukah kau me
ngenalkannya padaku?!' Wan Ci terus mendesak.
Saking tak dapat menCari jawaban,
Hi Tong segera menarik kain putih yang membalut mukanya.
“Kini aku telah berubah setan
macam begini, lihatlah jelasdua!” serunya kemudian.
Diantara Cahja lilin, muka Hi
Tong menakutkan sekali tampaknya. Boleh dikata roman yang dulunya Cakap itu,
kini sudah rusak penuh dengan bintikdua merah yang tak keruan macamnya. Saking
kagetnya Wan Ci sampai mundur setindak, sambil mengeluarkan jeritan tertahan.
“Aku seorang Celaka, Hatiku
buruk, kini rupaku pun jelek ............... nah, kau pulanglah!” kata Hi Tong.
Beberapa detik, Wan Ci kehilangan
kesedarannya. Hi Tong tertawa keras-keras.
“Mukaku seburuk iblis ini, tentu
kau tak tahan melihat nya. Li-sioCia, kau tentu sesalkan kedatanganmu malam
ini, bukan? Ha, ha!”
Tingkah pemuda itu tak wajar,
berkata sambil tertawa. Saking takutnya, Wan Ci menjerit terus tutupi mukanya
lari keluar. Hi Tong ketawa sampai sekian lama. ketawa yang penuh mengandung
arti. Dia kutuk peruntungannya yang Celaka itu. Tengkurepkan kepalanya keatas
meja, dia menangis ter-laradua.
Sedari tadi Hwi Hing masih tetap
duduk di-undakduaan. Sekalipun tidak mendengar jelas, dapat juga dia menduga.
Dia mengerti, kalau saat itu menghibur Hi Tong tentu perCuma saja. Sebaliknya
dia mengambil putusan untuk memberitahukan kejadian tadi pada ketua HONG HWA
HWE Sekalipun hal itu kurang baik untuk nama murid perempuannya, tapi dia tak
boleh membuat orang-orang HONG HWA HWE menyesal.
Ketika Hwi Hing datang, Keh Lok
baru saja hendak tidur.
“Congthocu, aku hendak datang
menghaturkan maaf padamu!” kata Hwi Hing.
“Apa? Apa yang terjadi dengan
Ie-sipsute?” tanya Keh Lok dengan kaget.
“Oh, dia tak kurang suatu apa,”
sahut Hwi Hing. “Apa kau tahu siapa yang datang mengaduk malam tadi?”
“Entahlah,” sahut Keh Lok.
“Itu muridku sendiri. Aku seorang
yang tak punya guna, hingga tak dapat mengajar murid. Malam ini adalah hari
perkawinan Hit-ya, sudah tentu kalian dibikin letih semua. Betul-betul aku
bersalah.”
Keh Lok mengerti jelas omongan
orang. Dia diam saja.
“Ia sudah pergi, kelak akan kuCarinya,
kusuruh minta maaf pada kalian disini semua. Sekarang, biarlah aku yang
haturkan maaf dulu.”
Habis berkata, Hwi Hing bangkit
lalu menjura. Keh Lok kaget dan Buru-buru loncat bangun membalas hormat.
“Murid Locianpwe itu sudah
mewarisi kepandaian loCian pwe. Gerakannya menandakan tidak sembarangan,” kata
Keh Lok beberapa saat kemudian.
“Ia anak gelo, suka menempuh
bahaya, menyakitkan hati sahabatnya. Setempo aku menyesal telah terima murid
sema Cam dia.”
“Leng-tho (muridmu) telah
mencapai kesempurnaan dalam ilmu pedang, hanya kurang latihan saja,” Keh Lok me
muji.
“Ah, Congthocu terlalu memuji.”
Hwi Hing kira kalau Keh Lok baru
kenal muridnya malam itu, belum dia tahu bahwa keduanya pernah bertemu di
Se-ouw, malah bertempur juga.
“Apakah leng-tho pernah kedaerah
Hwe?” tanya Keh Lok tiba-tiba.
“Memang sejak kecil ia berada di
Se-pak (barat laut).”
“Oh, kurasa ia bergaul dengan
orang-orang Uigor,” demikian teringat Keh Lok akan ucapan Ceng Tong sewaktu mau
berpisah: “Dia orang bagaimana, kau tanyakan Suhunya saja.”
Beberapa kali hendak Keh Lok
bertanya pada Hwi Hing, tapi karena kuatir disangka bukandua, terpaksa
ditahankan. Kalau malam itu kebetulan Hwi Hing datang sendiri, itulah
kesempatan yang bagus. Benar kelihatannya dia bertanya secara sambil lalu saja.
Tapi dalam hatinya, kebat kebit, hingga tangannya sampai mengeluarkan keringat.
“Oh, itu karena peristiwa merebut
kitab Quran, ia berkenalan dengan orang Ui. Pertama karena salah paham, nona
Hwe Ceng Tong telah bertempur dengan muridku itu. Baru setelah kujelaskan
perhubunganku dengan Thian San Siang Eng (guru Ceng Tong), keduanya menjadi
bersahabat. Keduanya sangat CoCok, seperti orang bersaudara saja,” tutur Hwi
Hing.
Hwie Hing tertawa sambil mengurut
jenggotnya. Ia menyang ka tentunya Tan Keh Lok sudah tahu kalau Wan Ci itu
seorang wanita, jadi selama pembicaraan tadi, dia tak sebutdua tentang
penyaruan Wan Ci sebagai seorang pemuda itu.
Entah apa sebabnya, Keh Tok
kurang senang. Sekalipun air mukanya tak kentara, tapi dia seperti ogah bicara,
bersikap tawar. Hal itu dianggap Hwi Hing bahwa ketua HONG HWA HWE itu masih
marah atas perbuatan Wan Ci malam itu. Mungkin ketua itu merasa kehilangan
muka, mengapa sekian banyak sekali anggota-anggotaHONG HWA HWE yang gagah, tak
mampu menangkap seorang boCah yang tak ternama.
Karena tak tahu kalau Tan Keh Lok
sebetulnya berpikir lain, setelah menyatakan maaf lagi, Hwi Hing akan minta
diri.
“Siaoya, Ie-sipsuya minta
bertemu!” tiba-tiba. Sim Hi berseru dari luar:
Pintu terpentang dan seorang
Congteng menuntun Hi Tong masuk. Nampak Hwi Hing berada disitu, Hi Tong
terkesiap. Dia ambil tempat duduk disebuah kursi dan suruh Congteng keluar.
“Cong-thocu, tadi ada seorang
bersembunyi dalam kamarku. Kau tentu sudah mengetahuinya. Hanya karena tak mau
aku sampai kehilangan muka, kau pura-pura tidak tahu. Sebagai saudara, tentunya
aku sangat berterima kasih padamu. Maka meskipun kau tak tanya, aku
berkewajiban memberitahu kannya,” demikian Hi Tong menutur.
“Kita sudah seperti
sedarah-daging, tak usah sungkan apa-apa,” sahut Keh Lok.
“Orang itu datang hanya
se-matadua akan berurusan dengan aku, jadi tak ada sangkut-pautnya dengan semua
saudara. Tapi kalau dikatakan, hal itu men j angkut nama baik
seseorang..............”
“Kalau begitu, tak usah kau
katakan. Sudahlah, urusan itu tak perlu ditarik panjang lagi. Kau mengasohlah,
Sim Hi, bantulah Sipsuya kembali kekamarnya”, kata Keh Lok.
Hi Tong kira kalau Hwi Hing sudah
mengatakan urusan itu pada Tan Keh Lok, maka diapun terus minta diri, begi
tupun Hwi Hing.
Keesokan harinya, orang-orang
sama memberi selamat pada Ciu Tiong Ing suami isteri, Thian Hong dan Ciu Ki.
Setelah sama berkemasdua maka semua orang lalu saling mefiganibil selamat
berpisah, masing-masing menuju ketempat yang telah di tunyuk oleh ketuanya.
Sebenarnya Tan Keh Lok darl| Ciu
Tiong Ing sama-sama menuju ke daerah barat-laut. Tapi Tiong Ing berpendapat
lain. Berpuluh tahun sudah, dia tak pernah berkunjung keselatan. Kini dia sudah
lanjut usianya, mungkin tak ada kesempatan lagi. Maka mumpung berada didaerah
selatan, dia akan berkunjung kegereja Siao Lim Si di propinsi Hokkian. Akan
disambanginya Suheng dan Suteduanya yang masih berada di tempat perguruan itu.
“Siao Lim Si adalah merupakan
bintang Cemerlang dunia persilatan. Alangkah baiknya kalau Ciu-Locianpwe dapat
mengikat perhubungan dengan mereka. Kelak dalam gerakan kita, kalau fihak Siao
Lim Si suka keluar membantu, itulah suatu berkah besar bagi rakyat semua,” kata
Keh Lok.
Dengan mengajak isteri, kedua
muridnya: Kian Hiong dan Kian Kong, Tiong Ing menuju keselatan. Sebelum
berpisah, Ciu-naynay pesan anak perempuannya, supaya merobah tingkah lakunya
yang jelek, karena kini sudah menjadi isteri orang.
“Tapi bagaimana kalau dia
menghina aku?” tanya Ciu Ki sembari jebikan bibir pada suaminya.
“Kalau kau berlaku baik-baik ,
masa dia mau menghina padamu,” ujar sang ibu.
Sebenarnya ingin Ciu Ki
menanyakan Lou Ping, apakah setelah pakaiannya dipindah dimuka pintu oleh si
“peaCuri” kemaren malam itu, hasiat itu' masih berpengaruh atau tidak. Tapi ia
sungkan. Maka sewaktu kedua orang tuanya akan pergi, Ciu Ki menepes air mata.
“Adikmu itu adathja aleman, suka
sembrono. Kau jangan ladeni. Kalau ia Cari setori, jangan hiraukan, biar besok
aku yang mendampratnya,” pesan Tiong Ing kepada menantu nya.
“Ayah, kau eloni dia, ja? Apa
mesti aku saja yang salah?” Ciu Kiu tidak puas.
Tiong Ing tak mau ladeni. Begitu
naik keatas kuda, dia segera memberi hormat pada Tan Keh Lok dan Bun Thay Lay,
terus menuju keselatan.
Rombongan Keh Lok yang terdiri
dari Bun Thay Lay, Lou Ping, Ciang Cin, Hi Tong, Thian Hong, Ciu Ki dan Sim Hi
menuju keutara. Setelah melalui kotadua Hauw-hong, An-kit, Lok-yang, sampailah
mereka ke Kim-leng. Sewaktu menye berang sungai Hoangho, Bun Thay Lay sudah
sembuh sama sekali, sedang Hi Tong pun sudah banyak sekali baikan.
Makin keutara, hawanya makin
dingin. Pohondua sama laju, menandakan permulaan musim rontok. Hari itu mereka
tiba dikota Khay-hong. Disitu mereka membikin kunjungan kepada
Pian-liang-tayhiap Bwe Liang Bing, seorang gagah budiman. Setelah bermalam
semalam, mereka lanjutkan perjalanan lagi. Bwe Liang Bing memberkahi pakaian
kapas yang tebal. Karena sudah sembuh, Hi Tong dapat naik kuda sendiri.
Begitulah kedelapan orang itu
keprak kudanya disepan jang luar kota. Kuda putih Bun Thay Lay paling istimewa
larinya. Bagaikan angin pesatnya, dia sudah lari mendahului sejarak lima puluh
li. Sampai disebuah kota kecil, dia segera masuk kesebuah rumah makan dan pesan
disediakan hidangan untuk delapan orang. Sambil mengasoh dia pesut keringat dan
debu dimukanya dengan saputangan.
Tiba-tiba disebelah timur rumah
makan tampak ada sebuah bayangan orang berkelebat. Lakunya seperti orang
mengintai. Begitu melihat Bun Thay Lay, terus menyusup balik. Bun Thay Lay
Curiga, tapi dia pura-pura tak mengetahuinya. Malah dia ambil tempat duduk
dengan membelakanginya, dan meminum tehnya.
Berselang berapa lama, baru
kelihatan rombongan Tan Keh Lok datang. Setelah sama berkumpul, Bun Thay Lay
mengi siki Kawan-kawan nya tentang siorang yang mencurigakan tadi. Berpaling
kearah kamar sebelah timur, Thian Hong Cepat-cepat mengetahui bahwa kertas
jendela sebelah sana itu, tampak basah. Sepasang biji mata jelas mengawasi rombongan
Tan Keh Lok itu dengan tajam. Begitu Thian Hong meman dangnya, orang itu
Cepat-cepat menarik diri menghilang.
“Itulah seorang sahabat Kangouw
yang masih hijau, jadi tak tahu aturan. Biarkan saja, nanti tentu ketahuan
juga,” bisik Thian Hong dengan tertawa.
“Orang macam itu, juga ingin
masuk kangouw. Tapi agaknya dia sedang meng-amatduai kita,” kata Lou Ping.
“Coba lihat dia, kalau memang
bermaksud minta derma, nanti kita bantu dia,” Keh Lok menyuruh.
Sim Hi Cepat-cepat bangun menuju
kesebelah ruangan timur.
“Semua air didunia sama
sumbernya, bunga merah (hong hwa) dan daun hijau adalah sekeluarga!” Sim Hi
berteriak sekeras-kerasnya.
Itulah pertandaan kaum HONG HWA
HWE untuk menanyakan kawan. Semua partai dan Cabang persilatan dikangouw, telah
mengeluarkan ikrar saling bantu apabila mendapat kesukaran. Sekalipun bukan
Anggota HONG HWA HWE, asal mengerti tanda itu, harus menyawab, misalnya, kalau
keputusan uang, orang itu bisa menyawab begini: “Siaote adalah dari partai anu,
dibawah ketua anu. Akan minta bantuan pada saudara.”
Tapi ternyata dari kamar itu tak
ada jawaban apa-apa, hingga Sim Hi perlu mengulangi lagi. Tiba-tiba pintu terdorong
terbuka, dan seorang berpakaian hitam muncul. Topinya yang lebar, menutup
hampir separoh mukanya.
“Tolong berikan ini pada
Sip-suya,” kata orang itu seraya angsurkan sebuah gulungan kertas.
Sim Hi Cepat-cepat berikan kertas
itu pada Hi Tong. Ketika dibuka, kertas itu berisi tujuh buah kata: “Tak
menghiraukan ribuan li untuk mengikuti tuan.”
Tulisannya rapih dan bagus.
Tahulah Hi Tong itu dari Wan Ci. Ternyata nona itu diam-diam mengikuti
perjalanannya. Dengan kerutkan jidat, Hi Tong serahkan kertas itu kepada Tan
Keh Lok. Keh Lok tak mengetahui maksudnya. Dia nantikan penyelasan sianak muda.
“Orang itu tak jelas maksudnya,
tentu ia menunggu di jalan yang akan kita lalui. Lebih baik aku ambil jalan air
saja, menghindarinya. Kita nanti berjumpa lagi dikota Tong-kwan,” kata Hi Tong
kemudian.
“Dengan kita berkumpul
bersama-sama , mengapa kau merasa jeri? Biar dia bagaimana lihainya pun, kita
juga akan menempurnya,” Ciang Cin mulai aseran.
“Bukannya takut, tapi aku memang
tak ingin jumpakan dia,” sahut Hi Tong.
“Kita beri hajaran saja, supaya
dia jangan berani menguntit. Siapa sih orang yang tak tahu selatan itu?” Ciang
Cin mendesak.
Hi Tong kewalahan, tak dapat
menyawab. Tahulah Tan Keh Lok bahwa Sipsutenya itu mempunyai suatu rahasia yang
tak leluasa dikatakan.
“Kalau Sipsute menghendaki naik
perahu, baiklah. Tapi harap baik-baik menjaga diri. Ayo, Sim Hi, ikutlah sama
Sip-suya!” kata Keh Lok.
Dimulut kacung itu mengiakan,
tapi hatinya menggerutu. Naik kuda lebih menggembirakan dari pada menyikap diri
dalam perahu. Hi Tong tahu sikap anak itu, dia nyatakan akan pergi sendiri
saja, alasannya dia toh sudah sembuh, tak perlu pembantu.
Dengan diantar oleh rombongannya,
Hi Tong sewa sebuah perahu, menuju ke Tongkwan. Begitupun Tan Keh Lok cs.
melanjutkan perjalanannya lagi dengan kuda. Ciang Cin tak puas dengan sikap Hi
Tong tadi, seperti SiuCay mang kak, katanya.
“Karena mukanya rusak, Sipsute
senantiasa masgul, jadi adatnya pun aneh. Baik kita jangan. bikin keCewa dia,”
kata Lou Ping.
“Tempo dikota Bunkong, kabarnya
dia bergaul dengan seorang nona, tapi entah bagaimana dia lalu pergi ke
Hang-Ciu dengan tiba-tiba,” Ciu Ki tambahkan.
“Dia sih memang begitu, tentu
tersangkut urusan perempuan. Kalau tidak, masa dia mau menyingkir,” kata Ciang
Cin pula.
“Sipte!” bentak Bun Thay Lay
tiba-tiba kurang senang.
Setelah beberapa hari naik
perahu, dan Wan Ci tak kelihatan bayangannya, barulah lega hati Hi Tong. Hari
itu hampir mendekati kota BengCin. CuaCa sudah gelap. Karena ombaknya besar,
tukang perahu tak berani berlajar. Terpaksa perahu berhenti disebuah tempat
yang sunyi.
Malam itu Hi Tong tak dapat tidur
nyenyak. Tampak rembulan bersinar bundar, mengirim Cahajanya kepermuka an air.
Kesemsam dengan pemandangan alam purnama, Hi
Tong bangun. Disembatnya sang
seruling, terus dialunkannya sebuah lagu.
Penderitaan hidupnya selama itu,
diCurahkan dalam rajuan seruling. Makin meniup, makin menggelora.
Tepat sedangnya dia tengah
dilamun lagu. Curahan kal bunya itu, tiba-tiba ada seorang berseru: “Suling
yang merdu!”
Bahna kaget, secepat-cepat itu
suling dilepasnya, lalu Hi Tong berpaling kebelakang.
Dibawah Cahaja rembulan, tampak
tiga orang mendatangi. Begitu dekat, salah seorang lantas berkata: “Kami
kesasar jalan, dalam kebingungan, tergeraklah hati kami mendengar suara merdu
dari seruling saudara itu. Harap jangan kuatir.”
Atas kata-kata orang yang
beraturan itu Hi Tong burus terbangkit dan menyahut: “Dalam belantara yang
sunyi lelap ini, Siaote hiburkan diri meniup seruling. Mungkin tak keruan
lagunya.”
Bertiga orang asing itu, ketarik
dengan kata-kata Hi Tong yang sopan itu. Mereka terus menghampiri.
“Kalau sekiranya suka, silakan
duduk diperahu Siaote ini”, kata Hi Tong.
“Bagus, bagus!” kata orang-orang
itu.
Begitu dekat dipantai, ketiga
orang itu segera enjot tubuhnya, dan dengan lemah gemulai mereka sudah inyak
kan kakinya di atas perahu. Hi Tong terkesiap kaget.
“Terang orang-orang ini pandai
silat. Entah siapa mereka itu. Baik kuberlaku hati-hati”, diam-diam Hi Tong
berkata dalam hati.
Berlaga seperti tak mengetahui
apa-apa, Hi Tong pegang tepi perahu dengan sepasang tangannya, seperti orang
yang ketakutan kalaudua jatuh kedalam air. Orang yang pertama, bertubuh tinggi
besar, memakai jubah kapas, sikapnya seperti seorang hartawan desa.
Orang yang kedua bermuka brewok,
mukanya kehitam-hitaman. Orang yang ketiga, mengenakan pakaian orang Mongol.
Separah tubuhnya diselimuti dengan kain bulu kambing. Gerak annya tangkas dan
gesit sekalli. Ketiganya sama membawa pauwhok dan senjata.
Kuatir kalau serulingnya menarik
perhatian orang, siang Hi Tong sudah menyimpannya. Dia bangunkan tukang perahu,
untuk panasi arak dan sediakan makanan. Sebaliknya situkang perahu menjadi
murang-muring karena tengah malam masa ada orang mertamu. Tapi karena Hi Tong selama
dalam perjalanan itu berlaku royal, apa boleh buat, dia turut saja perintah
penyewanya itu.
“Tengah malam kita mengganggu,
harap maafkan,” si orang tinggi besar berkata.
“Diempat penyuru, semua orang
bersaudara. Mengapa mesti mengucap begitu?” balas Hi Tong.
Tahu kalau Hi Tong suka menyiter
pepatahdua kuno, berta nyalah orang itu pula: “Mohon tanya saudara punya nama?”
“Siaote orang she Ie, nama Bing
Thong, asal dari Kim-leng. Meskipun bernama “thong” (mengetahui), tapi sebe
tulnya bebal, tak punya guna apa-apa. Dalam ujian, telah menemui kegagalan,
sungguh Celaka,” sahut Hi Thong.
“Aha, kiranya seorang SiuCay,
sungguh kita berlaku kurang hormat,” ujar orang-orang itu.
“Sejak gagal ujian, kemalangan
selalu mengejar Siaote. Keluargaku diperas orang, rumah dibakar. Sehingga bukan
saja harta benda ludas, sedang wajahkupun turut rusak begini. Karena terpaksa,
kuingin pergi ketempat seorang keluarga di Kamsiok. Ah, nasib, nasib,” kata Hi
Tong pula.
Kata-kata itu membuat kedua
tetamunya itu ter-longgongdua. Orang yang sikapnya seperti hartawan desa itu,
agaknya pernah bersekolah. Katanya: “Hal itu tak usah terlalu saudara dukakan.”
“Mohon tanya nama yang mulia dari
kalian,” tanya Hi Tong.
“Siaote orang she Thing,” sahut
sihartawan tadi. Menun juk kepada sibrewok katanya pula: “Dan ini she Ku.”
“Ini, she Hap, orang Mongol,”
katanya pula sembari me nunyuk kearah orang yang . berpakaian seperti orang
Mongol tadi.
Kepada mereka bertiga, Hi Tong
satu persatu memberi hormat. Siorang she Thing, agak geli melihat lagak-lagu Hi
Tong yang dikiranya seorang anak sekolahan yang mabuk peradatan. Sebaliknya
mendengar tekukan lidah orang seperti orang dari Liaotang, diam-diam Hi Tong
ingin mengetahui
nya kawan atau lawankah mereka
itu. Kalau mereka itu golongan orang gagah dari kangouw, dapatlah kiranya di
ajak menjadi kawan serekat.
“Tengah malam kalian masih
mengadakan perjalanan, bukankah hal itu berbahaya?” Hi Tong Coba panCing
keterangan.
“Apa yang kau maksudkan dengan
bahaya itu?” tanya siorang she Thing.
“Dijalan banyak sekali gangguan,
banyak sekali penjamun, perampok. Sungguh berbahaya,” kata Hi Tong seraya
meng-gelengduakan kepalanya.
Kini giliran siorang she Ku dan
she Hap, yang tertawa ter-bahakdua. Saat itu, situkang perahu sudah
menghidangkan arak dan sajuran. Tanpa sungkandua lagi, ketiga orang itu segera
dahar hidangan itu.
“Saudara ahli sekali meniup
seruling. Apakah suka memainkan lagi?” tanya siorang she Thing.
Takut kalau serulingnya emas
menarik perhatian orang, Hi Tong menolak dengan halus.
“Kalau begitu, biar aku saja yang
meniupnya,” kata siorang she Hap.
Habis berkata itu, dia mengambil
keluar sebatang tanduk kambing yang tersalut perak. Dengan berdiri, ditiupnya
'seruling' itu. Begitu meraju lagu yang dibawa seruling orang Mongol itu,
sehingga menyajat hati Hi Tong. Itulah lagu “padang rumput tertiup angin,
muncullah binatang yang kugembalakan.” Diam-diam Hi Tong menCatat lagu itu
dalam hatinya.
Habis minum, ketiga orang itu
menghaturkan terima kasih dan minta diri.
“Kalau tidak keberatan, silakan
bermalam dalam perahu ini. Besok saja kalian teruskan perjalanan lagi,” Hi Tong
meminta.
“Terima kasih, baiklah,” sahut
siorang she Thing.
Hi Tong tidur dalam ruang perahu.
Sementara bertiga orang tanpa membuka pakaian lagi, terus baringkan diri
dihaluan perahu. Sesaat kemudian, Hi Tong pura-pura menggeros. Dia Coba akan
mencuri dengar pembicaraan orang.
Maka terdengarlah kata siorang
she Thing tadi: “SiuCay ini meskipun buruk rupanya, tapi hatinya baik.”
“Anggap saja dia mempunyai
peruntungan baik,” kata siorang she Ku.
“Apakah besok kita dapat tiba di
Lokyang?” tanya siorang Mongol.
“Setelah melintasi sungai, kita
Cari kuda. Mungkin bisa,” jawab yang she Thing.
“Hanya yang kvikuatirkan kalau
Han-toako tidak dirumah, kan kita sia-siasaja,” kata si Ku pula.
“Kalau tak dapat menyumpainya,
kita pergi ke Thayouw untuk mengobrak-abrik sarangnya Hong Hwa Hwe,” seru
siorang Mongol.
“Sssttt, jangan keras-keras?” si
Thing mencegahnya.
Bukan main terkejutnya Hi Tong.
Kiranya mereka adalah musuh HONG HWA HWE Yang dimaksud dengan Han-toako itu,
tentu Han Bun Tiong, itu piauwsu dari Tin Wan piauwkiok. Pura-pura dia teruskan
menggeros, sembari pasang telinga lebih tajam.
“HONG HWA HWE mempunyai banyak
sekali jago yang lihai. Lotangkeh mereka sudah meninggal, tapi penggantinya,
Tongthocunya yang baru, kabarnya lihai sekali. Disini bukan daerah Kwan-tang,
Lo Su (keempat), kau jangan bicara sembarangan,” kedengaran lagi si Thing
berkata.
“Kita Kwantang Liok Mo (enam
iblis dari Kwantang) malang melintang didaerah Kwangwa. Orang kangouw mana yang
tidak gentar mendengar nama kita? Tapi sungguh keCewa Lo Sam, Lo Ngo dan Lo
Liok telah dibunuh orang secara menggelap. Kalau dendam ini tak terbalas, kita
bersumpah tak mau jadi orang lagi,” siorang she Ku berkata dengan murkanya.
“Ah, kiranya Keenam Iblis
Kwantang. Sam-mo Ciao Bun Ki telah dibinasakan oleh Liok-supeh. Ngo Mo — iblis
kelima —s Giam Se Gui dan Liok Mo — iblis keenam — Giam Se Ciang, mati dibunuh
orang Ui. Mengapa mereka hendak membalas pada HONG HWA HWE?” tanya Hi Tong pada
dirinya sendiri.
Toa Mo — iblis pertama — dari
Kwantang Liok Mo, adalah orang she Thing tersebut. Namanya It Lui. Dia seorang
hartawan besar dari Liao-tang. Kekajaannya berlimpahdua, karena dia memiliki
kebun kolesom, peternakan dan parit emas.
Iblis nomor dua, adalah seorang
pembega! kuda yang kesohor, jakni siorang she Ku, namanya Kim Piauw, Su Mo —
iblis nomor empat — ialah siorang Mongol itu sendiri. Hap-haytai. Dia kelahiran
Mongolia, mengembara diwilayah Kwantang, juga menjadi pembegal kuda.
Ketika berada di Liaotang, mereka
dengar kabar bahwa sewaktu Ciao Bun Ki diutus menCari seorang Kongiju yang
diCulik oleh HONG HWA HWE, kena dibunuh orang di Siamsay. Peristiwa itu baru
ketahuan setelah berselang beberapa tahun kemudian.
Setelah menerima surat dari Han
Bun Tiong, Sute dari Ciao Bun Ki, ketiga orang itu marah besar. Sengaja mereka
datang dari Liao-tang untuk menCari balas pada HONG HWA HWE Setiba di Pakkhia,
kembali mereka mendapat berita yang makin meledakkan dada mereka bahwa kedua
saudara Giam dibunuh orang. Karena itu, bergegas-gegas ketiganya menuju ke
Lokyang untuk menCari keterangan pada Han Bun Tiong. Secara kebetulan, mereka
berjumpa dengan Hi Tong, yang disangkanya seorang SiuCay lemah itu.
Habis mengobrol, mereka lalu
tidur. Sebaliknya Hi Tong tak tenang, hampir fajar baru dia dapat tidur. Tapi
baru sejenak dia pulas, tiba-tiba sudah dikejutkan dengan suara hiruk-pikuk
orang ber-serudua. Cepat-cepat Hi Tong bangun terus disembatnya kim-tiok, lalu
keluar.
Ternyata ada beratus perahu besar
ber-dujundua mendatangi. Perahu besar yang berada disebelah muka sendiri,
terpan cang sebuah panyi bertuliskan “Ceng-Se-TayCiangkun” itu adalah perahudua
ransum untuk TayCiangkun yang memerangi daerah barat.
Dibelakang perahu besar itu,
mengikut berpuluh-puluhdua perahu kecil. Berisi barangdua rampasan pembesardua
pasukan Ceng disepanjang sungai itu. Melihat gelagat kurang baik, tukang perahu
Hi Tong hendak menyingkir. Tapi secepat-cepat itu tiba-tiba ada enam atau tujuh
orang serdadu Ceng loncat kedalam perahu kecil itu.
Hi Tong masih dapat mengendalikan
diri. Memang bangsa serdadu macam itu tak punya lain guna keCuali menindas
rakyat jelata. Tidak demikian dengan Haphaptai, siorang Mongol. Begitu marah
dia saat itu, hingga akan melabraknya. Tapi It Lui Buru-buru mencegahnya.
Memeriksa kedalam ruang perahu,
kawanan serdadu itu nampak Hi Tong yang dandanannya seperti seorang SiuCay.
Agak berobah sikap serdadudua itu. Mereka menanyakan diri ketiga Kwantang Liok
Mo itu.
“Kita akan ke Lokyang meninyau
famili,” menerangkan It Lui.
“Kamu bertiga duduk diburitan
sana, sebelah sini kosongkan saja,” salah seorang serdadu kedengaran
memerintah.
Dengan mata melotot Haphaptai
maju selangkah, terus akan gerakkan tangannya.
“Lo Su, mau apa kau itu!”
Buru-buru It Lui membentak.
Haphaptai tahan kemarahannya. Dia
bersama Hi Tong menuju kebagian muka.
“Kawanan serdadu itu menghampiri
tepi dek perahu, lalu menyambuti beberapa orang kawannya lagi dari sebuah
perahu lain.
“Gian-loya, perahu ini lebih
bersih, kau orang tua penuju apa tidak?” kedengaran seorang serdadu berseru.
Yang disebut Gian-loya itu,
muncul dari haluan perahu, mengawasi sebentar, lalu berkata: “Ya, inilah !”
Lalu duduklah ia diruangan
perahu. Hi Tong melirik pada Gian-loya tersebut. Seketika hatinya memukul
keras. Kiranya si Gian-loya itu bukan lain adalah Gian Pek Kian, itu piauwsu
yang ikut datang ke Thiat-tan-Hung untuk menangkap Bun Thay Lay dulu. Dia
adalah Ciang-bun-jien dari Cabang persilatan keluarga Gian di TienCiu propinsi
Ouwlam. Se jak sebelah matanya buta termakan panah seruling Hi Tong tempo hari,
baru sekarang sembuh dan muncul lagi. Dia membawa seorang Sute dan dua orang
murid. Kini dia Coba bekerja pada jenderal Tiau Hwi untuk mendirikan jasa.
Sesampai di BengCiu, perahudua
berhenti. It Lui dan kedua Sutenya terus akan naik kedarat. Tapi dilarang oleh
kawanan serdadu itu. Kata mereka, perahudua itu sedang bertugas mengangkut
ransum, jadi penumpangdua tak boleh sembarangan naik turun perahu. Karena kalau
sampai terjadi apa-apa dengan ransum itu, mereka tentu mendapat hukuman potong
kepala.
It Lui berunding dengan kedua
sutenya. Mereka bersepakat, nanti sesudah hari gelap, mereka akan melarikan
diri dengan diam-diam.
Meskipun mata Gian Pek Kian
tinggal satu, tapi luar biasa tajamnya, melihat gerak-gerik Hi Tong, timbullah
ke Curigaannya. Makin mendalam keCurigaannya itu, karena nampak muka anak muda
itu dibalut dengan kain. Pura-pura dia menghampiri buritan perahu, untuk
ber-Cakapdua dengan It Lui. Tiba-tiba tubuhnya miring, seperti terpeleset mau
jatuh. Tangannya ber-gerak-gerak keatas dan sekonyong-konyong terus menya wut
kain pembalut muka Hi Tong, lalu ditariknya. Juteru pada saat itu, karena
mengira orang akan menubruknya, Ku Kiem Piauw ulurkan sebelah tangannya,
menepuk pundak she Gian itu. Keruan saja, yang tersebut belakangan itu
Cepat-cepat tarik mundur tubuhnya, untuk menghindar. Masing-masing mengetahui,
bahwa keduanya mempunyai kepandaian yang tangguh. Mereka (Pek Kian dan Kim
Piauw) saling memandang.
Tapi orang she Gian itu tak
pedulikan Kim Piauw, secepat-cepat kilat dia memandang kemuka Hi Tong. Dia
kaget tak terhingga. Muka yang begitu buruk dan menakutkan itu terang bukan
sipemuda yang telah memanah buta matanya.
“Tadi perahunya oleng, aku
terhujung. Harap maafkan,” katanya sambil menyerahkan kembali kain pembalut itu
kepada sianak muda. Hi Tong menyambutinya tertawa lebar.
“Mukaku begini buruk, tak boleh
dipandang orang. Kau tidak takut bukan?” katanya.
Dengar nada ucapannya, kembali
hati Pek Kian tergon cang . Namun kalau menilik mukanya, dia tak berCuriga
lagi. Berpaling kearah Kim Piauw, berkata dia: “Laohia kiranya seorang sahabat
kangouw, silakan masuk.”
It Lui bertiga tak mau main
sembunyi lagi, lebih dulu dia tanyakan nama orang. Demi diketahuinya mereka
berhadapan dengan Ciang-bun-jin dari Cabang Gian-keh-kun di Tien-Ciu, merekapun
lalu menyebutkan namanya sendiri.
Gian Pek Kian membawa seorang
Sute, Phang Sam Jun namanya, orang dari Gakyang wilayah Ouwlam. Kelima orang
itu bicara dengan uplek sekali. Peristiwa dikalangan persilatan daerah
Kwan-gwa, menjadi bahan pembicaraan mereka. Karena asjiknya, Hi Tong se-olahdua
dilupakan begitu saja.
Dua fihak yang memusuhi kaumnya
saling bertemu, sedang dirinya hanya seorang diri. Hal itu, membuat Hi Tong
kuatir. Sebenarnya sejak mukanya menjadi rusak, Hi Tong menjadi seorang yang
tak pedulian lagi. Tapi ketika kini berhadapan dengan musuhduanya, timbullah
semangatnya lagi. Seorang diri, dia pura-pura hafalkan bahandua ujian SiuCay.
La gaknya seperti seorang pelajar yang ke-giladuaan dengan pe lajaranya.
Suaranya sengaja dibikin se-lantangduanya. Tapi dalam pada itu, dia sebenarnya
sedang pasang telinga, mendengari pembicaraan mereka.
Pek Kian sebal mendengar suara
sisiuCay itu, kini keCu rigaannya makin lenyap. Waktu makan malam, Hie Tong
mengeluarkan arak untuk menjamu mereka. Pek Kian me nguCap beberapa patah kata
terima kasih, dan Hi Tong menyawabnya dengan kata-kata yang halus penuh dengan
ulasan, sehingga membuat mereka tak dapat mengerti artinya. Mereka tak mau
ambil mumet akan si “siuCay” itu, terus melanjutkan pembicaraannya lagi dengan
gembira.
Atas pertanyaan Pek Kian, It Lui
menerangkan bahwa kedatangannya ke Lokyang itu adalah untuk mehinyau sahabat.
Sewaktu pembicaraan beralih tentang keadaan Ca bang persilatan didaerah
selatan, tiba-tiba Haphaptai mengemukakan hal perkumpulan HONG HWA HWE
Demi mendengar itu, wajah Pek
Kian berobah. Kemudian ditanyakannya tokoh HONG HWA HWE yang manakah dikenal
mereka itu. Dengan tenang, It Lui menyahut tak seorangpun yang dikenalnya. Juga
soal pembalasan sakit hati, tidak dise butnya.
Terang kedua fihak, saling
Curiga. Takut mereka kalaudua fihak lawan bicaranya itu mempunyai hubungan baik
dengan kaum HONG HWA HWE Justeru karena saling berprasangka, maka pembicaraan
mereka tak seriang seperti tadi.
Selesai dahar, It Lui bertiga
ajak Hi Tong mengasoh di buritan (bagian muka perahu). Selama tidur itu, Hi
Tong tak mau lepas pakaiannya. Seruling emasnya, disembunyikan dalam bajunya.
Sekira pukul dua malam, tiba-tiba kedengaran Haphaptai berkata: “Toako, Ayo
kita pergi!”
“Sssst, baik, jangan berisik,
nanti membikin bangun Siu Cay itu,” sahut It Lui bisik-.
Ber-indapdua ketiganya bangkit.
Tiba-tiba dihaluan perahu sana terdengar ada orang berjalan, ada pula seorang
yang berbangku. Dan pada lain saat, kedengaran air sungai beriak. Kiranya, ada
orang tengah membasuh tangannya.
It Lui bertiga rebahkan diri
lagi. Berselang beberapa saat, tiba-tiba disebuah perahu didekat situ, terdengar
jeritan orang. Dalam suasana malam yang sunyi itu, jeritan itu sangat
mengerikan.
“Tolong, tolong!” tiba-tiba
kedengaran suara jeritan seorang wanita.
Hi Tong tersirap darahnya. Tahu
dia bahwa disebelah sana, kawanan serdadu itu tentu sedang berbuat haldua yang
tak senonoh. Mau dia seketika itu menolongnya, tapi ketika teringat bahwa
kekuatannya tentara Ceng disitu sangat besar, dan kedua kalinya dia tengah
dikelilingi oleh musuhdua yang tangguh, kalau sampai dirinya ketahuan, tentu
berarti mengundang' bahaya. Dia Coba berusaha untuk menindas hati nu^aninya.
Telinganya ditutupnya rapat-rapat dengan selimut. Namun sesaat itu, kembali
wanita diperahu itu kedengaran berseru dengan meratap: “Cong-ya, berbuatlah
kebaikan, kasihanilah kami orang!”
Menyusul seorang anak kecil
menjerit seraya menangis: “Mamah, mamah!”
Berontaklah hati Hi Tong.
Cepat-cepat dia bangun dan mendengarkan dengan jelas. Ternyata lagi-lagi
perempuan itu tengah meratap-ratap, sedang seorang serdadu Ceng kedengaran
menghardiknya dengan kasar : “Kalau kau tak menurut, anak ini akan ku bunuh
dulu!”
Dalam ratap tangis perempuan itu,
terdengarlah gelak tertawa dari beberapa serdadu. Mungkin sianak kecil tadi
sudah dihabisi nyawanya.
Hi Tong bukan si Kim-tiok-siuCay,
kalau dia tinggal diam saja. Tanpa hiraukan keselamatannya lagi, dia segera me
nuju ketepi perahu. Ternyata
ketiga Kwantong Liok Mo tadipun mendengar juga kejadian tersebut. Malah
Haptaptai segera mengajak Suhengduanya menengok.
“Lo Su, jangan usil. Orang she
Gian dan Sutenya itu pandai ilmu menotok. Kalau mereka sekaum dengan orang HONG
HWA HWE, kita pasti akan ..................”.
Hi Tong tak mau mendengari habis
ucapan mereka itu. Sekali enjot, tubuhnya sudah berada di perahu sebelah sana.
Betapa kaget It Lui bertiga, sukar dilukiskan. Dengan memberi isyarat tangan,
It Lui ajak kedua saudaranya untuk membuntuti gerak-gerik sisiuCay itu.
Juga Pek Kian dan Sam Jun sudah
sedari tadi terbangun. Keduanya pun tak kurang terkejutnya. Dengan me nyembat
senjata, mereka naik keatas dek untuk mengawasi.
Tatkala dibagian belakang perahu
tak ada orangnya, Hi Tong melongok kebawah dari ruangan perahu yang terletak
ditengah itu. Diantara Cahaja lilin yang terang benderang, tujuh “atau delapan
orang serdadu Ceng tengah merejeng dua orang wanita.
Yang seorang berjongkok dilantai
perahu, meratapdua minta dikasihani. Sedang wanita yang satunya tengah
bergemetaran mempeluk seorang anak kecil. Dilantai itu bergelimpangan beberapa
orang lelaki yang sudah menjadi majat. Beberapa tas pakaian berserakdua isinya,
pakaiandua dan uang perak.
Terang kalau kawanan serdadu itu
dengan kedok mengangkut rangsum, ternyata hanya main rampas perahudua orang.
Penumpangnya dibunuh, hartanya dirampas. Kejamnya melebihi kawanan bajak.
Kemarahan Hi Tong sudah sampai
dipunCaknya. Baru dia hendak loncat turun, tiba-tiba dari belakang Haphaptai
kedengaran berkata: “Lotoa, tak dapat aku tinggal diam.”
“Yangan!” bentak It Lui.
Pada saat itu, seorang serdadu
berhasil merebut anak kecil dari pelukan perempuan tadi. Dengan buasnya, anak
itu dibantingnya kelantai............... pecahlah kepala sianak itu.
Dua orang serdadu tertawa buas.
“Biarlah LoCu HONG HWA HWE diatas
menjadi saksi. Hari ini TeCu Ie Hi Tong akan buang jiwa menolong orang. Mohon diberkahi...............”
Demikian mendoa, Hi Tong terus
loncat kedalam ruangan perahu tersebut. Kaki menendang, tangan menotok, kedua
serdadu itu roboh. Marah sekali Hi Tong saat itu. Dia tak mau memberi ampun
lagi. Sedang serdadudua melongongdua kesima sebelah tangan Hi Tong telah dapat
memelintir batang leher seorang serdadu lagi. Begitu siserdadu men jerit
kesakitan, goloknya sudah dirampas Hi Tong, terus dibabatkan pada paha lain
serdadu. Kawan-kawan serdadu itu Coba menyerang, namun Hi Tong sudah terlanyur
melampiaskan kemarahannya.
Benar dalam permainan golok, dia
kurang paham. Tapi kawanan serdadu yang tak berguna itu mana dapat melawan si
Kim-tiok-siuCay. Dalam beberapa gebrak saja, kembali ada dua orang serdadu
roboh, dan seorang yang ditendang mati. Masih tinggal dua serdadu yang masih
hidup, Cepat-cepat loncat lari keluar. Tapi......... Plung.........
plung.........
Dua-duanya disanggapi dengan kaki
Haphaptai, keCemplung kedalam sungai. Hi Tong bangunkan kedua wanita tadi.
“Lekas lari kedaratan sana!”
katanya.
Tapi saking takutnya, kedua
perempuan itu berdiri tegak seperti patung saja. Pada saat itu, dari beberapa
perahu terdengar ada orang menanyakan.
Haphaptai masuk kedalam ruang
perahu tersebut seraya memuji: “SiuCay lihai, bagus, bagus !”
Dia menuju kehaluan, dengan galah
didajungnya perahu itu ketepian. Melihat disekeliling situ penuh dengan
perahudua tentara Ceng, tahulah Hi Tong kalau dengan d jalan diair, tentu sukar
meloloskan diri. Dia harus bertindak Cepat-cepat . Mengempit salah seorang dari
perempuan itu, dia loncat kedarat. Dan tanpa diminta, Haphaptai pun mendukung
yang seorang untuk dibawanya kedarat.
Tatkala itu, serdadudua Ceng yang
berseru menegur tadi, makin menggencar. Kim Piauw sudah siap dengan
'lak-houw-jah' (semacam senjata garpu untuk berburu harimau). Dia berdiri
dipinggiran perahu. Sedang It Lui tampak memegang ujung perahu yang penuh majat
serdadu tadi, dengan kedua tangannya. Sekali berseru, perahu bernoda itu,
terbalik.
Majatdua dan barangdua dalam
perahu itu, berhamburan tenggelam kedalam sungai.
“Orang itu luar biasa tenaganya!”
diam-diam Hi Tong menaruh perhatian.
Sedang serdadudua Ceng itu
ramaidua memeriksa perahu yang terbalik itu, keempat orang tadi melenyapkan
diri dalam kegelapan dengan membawa kedua perempuan yang malang tadi.
Hi Tong lari kedalam sebuah
gerombolan pohon yang lebat dan gelap, setelah dilihatnya tak ada tentara Ceng
menge jar, barulah dia berhenti untuk menanyai perempuan itu, mengapa sampai
jatuh ditangan kawanan serdadu itu.
Semangat perempuan itu belum
kembali. Dengan berlutut, ia menganggukkan kepalanya kepada Hi Tong, tanpa
berkata apa-apa.
“Sekarang kau sudah lolos dari
bahaya. Baik bersembunyi dulu disini. Besok pagi kau boleh berangkat lagi
dengan naik perahuku itu,” kata Hi Tong. Kemudian ia berpaling kebe lakang dan
berseru kepada It Lui bertiga: “Sam-wi toako, banyak sekali terima kasih atas
bantuanmu. Siaote akan minta diri.”
Tanpa menunggu jawaban orang, dia
terus membalik badan akan berlalu. Tapi baru saja melangkah tiga tindak, tiba-tiba
dari tempat gelap disebelah muka ada orang memben tak dengan, suara dingin:
“Ie-sipsuya, jangan ter-gesadua dulu !”
Hi Tong terkesiap mundur
selangkah. Sebuah bayangan hitam muncul. Itulah Gian Pek Kian, musuhnya lama.
Di-belakangnya mengikut Sutenya, Phang Sam Jun. Orang she Phang ini, kedua
tangannya memegang toja 'sam-Ciat-kun'. Dia tegak berdiri mengawasi dengan
tajam, menjaga kalaudua Hi Tong melarikan diri.
Saat itu It Lui bertiga dengan
perempuan tadipun sudah mendatangi. Melihat Gian Pek Kian berada disitu, dia
merasa heran.
“Lain kali saja kita bertemu
lagi!” seru Hi Tong seraya rangkapkan kedua tangan memberi hormat. Habis itu
dia loncat menyelinap diantara It Lui dan Kim Piauw.
Sekali Sam Jun kibaskan sebelah
tangannya, tojanya 'sam-Ciat-kun' menyapu kaki Hi Tong. Dengan gerak
“Li-yau-liong-bun” atau ikan lele meloncat kegerbang naga, Hi Tong loncat
keatas. Begitu kakinya menginyak tanah lagi, dia enjot tubuhnya melompat pergi
beberapa tombak ja-uhnya.
Karena luput mengenai sasarannya,
sam-Ciat-kun berbalik menyapu paha Kim Piauw. Buru-buru Sam Jun membuangnya
kesamping, terus dijuruskan untuk menotok punggung Hi Tong.
Hi Tong terus maju kemuka untuk
menghindar. Dia tetap tak membalas, hanya menCari lobang meloloskan diri.
Tiba-tiba ada angin menyamber keras, dan diantara kegelapan ada sinar putih
berkelebat. Ternyata dua buah golok mema-paki menabas dari muka. Kiranya itulah
kedua murid dari Pek Kian, yaitu Song Thian Po dan Ka Thian Seng.
Diserang dari tiga jurusan, Hi
Tong tak berdaya menghindar. Terpaksa dia Cabut kim-tioknya untuk menangkis
serangan kedua golok itu.
Sam Jun akan maju menyerang lagi,
tapi tiba-tiba Haphap-tai yang sedari tadi mengawasi dipinggir, membentak
gusar: “Henam, tiga mengerubuti satu, macam aturan apa itu!”
Sam. Jun melengak. Tapi
secepat-cepat kilat, tangan Haphaptai sudah diulur untuk menangkap ujung
sam-Ciat-kun, terus ditariknya. Sam Jun Cepat-cepat menahannya, hingga keduanya
saling tarikduaan.
Sam Jun maju selangkah. Tangan
kiri digeser ketengah batang sam-Ciat-kun. Sedang tangannya kanan dilepaskan,
secepat-cepat kilat diputar menghantam pundak kiri lawan. Itulah salah suatu
jurus permainan sam-Ciat-kun yang berba-haja, namanya — kim liong Pai thauw —
naga mas kibaskan kepala.
Tak sempat menjaga, dalam kegelapan
itu Haphaptai rasakan samberan tongkat. Dia Buru-buru menghindar kesamping dan
......... ujung lain dari sam-Ciat-kun tahu-tahu menghantam pundaknya! Panas
dan sakitnya bukan buatan.
Haphaptai kertek giginya. Dia
desak lawannya. Tiba-tiba ia lepaskan pegangannya seraya mendorongnya. Serta
secepat-cepat itu, tangannya memegang pinggang orang.
“Huh!” ia menggeram. Sekali
diangkat, tubuh Sam Jun yang gemuk itu terus dibanting sekuat-kuatnya! Itulah
salah suatu kepandaian istimewa dari permainan gumul bangsa Mongol. Mata Sam
Jun berkunang-kunang, dia pingsan tan sadar lagi.
“Lo Su, jangan undang bahaya, Ayo
lekas pergi!” seru It Lui kuatir sang Sute keempat itu mengamuk.
“Bagus, kiranya Kwantong Liok Mo
sudah menakluk pada HONG HWA HWE!” teriak Gian Pek Kian.
Ku Kim Piauw marah. “NgaCo, apa
katamu?” bentaknya.
“kalau bukan menakluk pada HONG
HWA HWE, mengapa kau bantu dia, pentolan dari HONG HWA HWE!” sahut Pek Kian.
“Yadi dia orang HONG HWA HWE ?”
menegasi It Lui dengan terkejut.
Tak sempat Pek Kian memberi
penyahutan. Tampak kedua muridnya didesak hebat oleh Hi Tong, segera ia Cabut
sepasang 'kong-hwan' (gelang baja). Tahu-tahu kong-hwan di tangan kiri,
dihantamkan kebebokong Hi Tong. Anak muda ini berputar sambil tusukkan
kim-tioknya kearah jalan darah orang dibagian 'ki-bun-hiat'. Demikian keduanya
segera terlibat dalam pertempuran yang seru.
It Lui berteriak, suruh keduanya
berhenti, tapi mana Pek Kian mau menggubrisnya. Begitu besar sakit hatinya
terhadap anak muda yang telah membikin buta sebelah matanya itu. Sepasang
'kong-hwan'
diputarnya begitu seru. Setiap se
rangannya selalu menCari jalan darah orang yang berbahaya.
It Lui mendongkol. Cepat-cepat
dia Cabut senjatanya dari punggungnya. Senjata itu luar biasa bentuknya,
'tok-ga-tang-jin' namanya. Yaitu orang-orang an tembaga dengan kaki satu.
Begitu dia maju kemuka, begitu dia menghantam. Trangng ............
Dua-duanya, 'kong-hwan' dan
seruling emas kedua orang yang sedang bertempur itu sama terpental. Hi Tong dan
Pek Kian sama rasakan tangannya kesemutan. Diam-diam keduanya kaget Atas
kekuatan yang maha dahsyat dari si Iblis pertama itu.
“Yangan bertempur dulu, dengarkan
bicaraku!” seru It Lui, lalu ia berpaling kepada Hi Tong: “Apakah kau ini orang
H.H.H?”
Hi Tong berpikir, dalam urusan
ini, lari adalah yang paling baik. Tanpa menyahut, dia loncat kearah tempat
yang gelap terus lari.
Yang paling dekat dengan anak
muda itu, adalah Song Thian Po, murid Pek Kian. Dengan menghunus golok, dia
mengejar. Hi Tong berpaling sambil meniup serulingnya. Sebatang panah kecil
tepat menancap dahi Thian Po, siapa sudah tentu menjerit keras karena sakitnya.
It Lui dan Pek Kian juga turut
mengejar. Tapi karena tempatnya gelap, apalagi kuatir kalau orang meniup sen
jata rahasia, mereka tak berani dekatdua.
Makin iama makin jauh Hi Tong
berlari. Selama itu dia masih dapat mendengar It Lui dan Pek Kian ber-Cakapdua.
Pek Kian menerangkan siapa diri Hi Tong itu. Kini keduanya berkeputusan,
menCarinya sampai dapat.
Tanpa terasa, Hi Tong lari kearah
sungai lagi. Terlintas dalam pikirannya, lebih baik dia menggabung diri dalam
rombongan perahu tentara Ceng yang sedang mengantar ransum itu saja. Besok dia
Cari akalan lagi untuk lolos.
Tiba-tiba dia dengar suara
beberapa serdadu Ceng. Buru-buru dia tengkurep dalam semakdua, merajap
pelahan-lahan. Sekonyong-konyong dia mendengar jeritan yang mengibakan dari
seorang perempuan, berCampur dengan suara makian dari seorang serdadu Ceng.
Kiranya itulah kedua wanita yang telah ditolongnya lari itu, kini dapat
ditangkap lagi oleh serdadudua Ceng.
Bagi Hi Tong, keselamatan dirinya
adalah yang paling terutama. Dan terpaksa dia tak hiraukan kedua perempuan itu
lagi. Dia berdiam diri, tak berani terbitkan suara. Tapi jeritan wanita itu
makin lama makin mengerikan. Segetika tergugahlah semangat ksatrianya. Ia
tonyolkan kepalanya keatas, ia melihat seorang serdadu Ceng tengah menyeret
seorang perempuan ketepi sungai. Kedua perempuan itu tak mau jalan. Siserdadu
murka, terus menyeretnya saja.
Hi Tong tak dapat menahan
sabarnya lagi. Serulingnya diarahkan kearah belakang kepala siserdadu. Sekali
ditiup, sebatang panah menyusup kedalam batok kepala, masuk sampai keotak.
Sekali menjerit, serdadu menggeletak tanpa berjiwa lagi.
Sambil menyupit (menulup) tadi,
Hi Tong terus berlon Catan ketepi sungai. Tapi lacur, panah yang ditiupkan itu,
telah menyingkap jejaknya. Baru saja dia menyelinap beberapa tombak jauhnya,
Kim Piauw dapat menghadang dengan serangan 'lak-houw-jak'nya.
Hi Tong keluarkan permainan ilmu
pedang 'jwan-hun-kiam'. Maksudnya, selekasnya dia dapat merobohkan lawan terus
mau lari. Tapi bertempur beberapa jurus, segera dia dapatkan gerakan lawan
sebat dan tangkas sekali. Nyata seorang lawan yang berat.
Malah sembari berkelahi itu,
terus menerus Kim Piauw bersiul keras. Dari arah kejauhan, tampak beberapa
baja-ngan mendatangi. Tak berani Hi Tong bertempur lama-lama. Dia merangsek,
untuk-nantinya mundur. Menerjang kemuka, kedua jari tangannya kiri menotok
jalan darah lawan.
Kim Piauw halangkan
'lak-houw-jah' kemuka dadanya. Tanpa menarik kedua jarinya tadi, Hi Tong loncat
kebe lakang. Tapi baru saja dia dapat lolos, Phang Sam Jun sudah memapaki
dengan sam-Ciat-kunnya. Berbareng itu. It Lui, Pek Kian dengan muridnya, Thian
Seng muncul mengepung dari empat jurusan.
“Ayo, lempar rsenjatamu!” seru It
Lui.
Sebagai jawaban, Hi Tong makin
seru memutar kim-tiok-nya. Dan berselang tak berapa lama, dia dapat menendang
roboh Thian Seng, orang yang paling lemah diantara penge-pungduanya itu. It Lui
penasaran. Senjatanya “orang-orang an berkaki satu” itu dikemplangkan
sekeras-kerasnya kearah kepala Hi Tong.
Tahu bagaimana dahsyat tenaga
orang, Hi Tong tak berani menangkis. Dia melejit kearah Sam Jun. Tapi sekalipun
senjata It Lui itu berat, tapi gerakannya ternyata linCah sekali. Menghantam
luput, Cepat-cepat dia tarik pulang senjatanya. Dengan gerak “menyapu ribuan
lasjkar,” dia hantam bagian pinggang sianak muda.
Hi Tong mendek kebawah. Begitu
senjata musuh yang berat itu sudah melayang diatas kepalanya, dia merangsek
mendekati, lalu tusukkan kim-tioknya pada jalan darah di bagian dada iawannya.
°
It Lui Cepat-cepat angkat
senjatanya keatas, maksudnya akan mementalkan seruling musuh. Tiba-tiba Hi Tong
melambung keatas melalui kepala Thian Po. Melayang turun, dia gunakan lututnya
untuk menggasak punggung Thian Po, siapa sudah tentu terbanting kemuka. Dan
tepat pada saat itu, senjata orangSnya dari It Lui tadi melayang datang.
Kaget adalah Pek Kian.
Cepat-cepat dia jambret lengan mu ridnya (Thian Po), untuk ditarik kesamping
sambil membentak: “Kau mau antar jiwa?!”
“Hebat!” seru It Lui memuji
ketangkasan Hi Tong.
Sedang begitu, disebelah sana Sam
Jun dan Kim Piauw kembali sudah menCegat larinya Hi Tong. Sejak dari .tadi,
Haphaptai, siorang Mongol itu, tetap mengawasi dipinggir tak mau turun
merigerojok. Diam-diam dia symphati dengan Siu Cay muda itu. Dia insaf begitu
banyak sekali senjata orang-orang yang mengerojok itu — termasuk kedua
suhengnya — melayang , pasti anak muda itu akan roboh mandi darah. Dia anggap
saatnya sudah tiba dimana dia harus memberi pertolongan.
“Lo Toa, Lo Ji, mundurlah!” seru
Haphaptai seraya lon Cat kedalam pertempuran.
Atas itu, It Lui dan Kim Piauw
loncat keluar dari kalangan. Adalah pada saat itu, Hi Tong sudah hampir
kehabisan tenaga. Seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Permainan seruling,
sudah tak keruan jurusnya lagi.
Baru saja It Lui dan Kim Piauw
menyingkir, 'kong-hwan' ditangan kanan Pek Kian melibat ujung kim-tiok Hi Tong,
sedang kong-hwan disebelah tangan satunya, dipakai untuk mengemplang batang
seruling. “Trang!” Seruling terpental lepas dari pegangan Hi Tong. Menyusul
sebuah, kong-hwan menghantam ulu hati Hi Tong.
Haphaptai tarik tubuh Hi Tong
kebelakang, berbareng itu dia gunakan Cara bergumul orang Mongol, kakinya kanan
menggaet, tangannya kiri membanting pundak orang. Hi Tong tak kuasa menahan
keseimbangan tubuhnya, terus ngeluruk roboh, diringkus Haphaptai.
Mendongkol karena pernah terima
hajaran, Thian Po dan Thian Seng memburu maju untuk memukul, tapi dibentak
Haphaptai: “Tahan!”
Merobek jubah Hi Tong, Haphaptai
ikat kedua tangan anak muda itu lalu diangkatnya berdiri dan katanya: “Sobat,
kutahu kau ini seorang gagah. Bicaralah dengan terus terang, pasti kita takkan
menyusahkan kau!”
Hie Tong hanya mengerang, tak mau
menyahut.
“Sobat, apa kau ini orang HONG
HWA HWE?” tanya It Lui.
“Aku orang she Ie, nama Hi Tong.
Orang-orang kangouw men juluki diriku Kim-tiok SiuCay. Dalam HONG HWA HWE, aku
menduduki tempat nomor 14,” sahut Hi Tong tak gentar.
“Hm, benar. Pernah aku dengar
namamu itu. Aku akan minta keterangan sedikit padamu,” kata It Lui pula.
“Bukankah kau hendak tanyakan
perihal diri Ciao Bun Ki dan kedua saudara Giam itu?” Hi Tong mendahului
menyahut. “Kukatakan sejujurnya, bukan kaum kita yang membunuhnya.”
“Sekarang sudah tentu kau tak
mengaku!” Gian Pek Kian keluarkan kata-kata menyindir.
Hi Tong murka terus memaki:
“Bangsat mata satu, aku tak bicara denganmu. Matamu yang sebelah memang aku
yang membikin buta, habis kau mau apa? Kalau aku takut padamu, bukan lakidua
namanya!”
Thian Ho kalap, dia membaCok
dengan goloknya. Melihat itu sengaja Haphaptai kendorkan kakinya yang dipakai
men-jepit paha Hi Tong, sehingga kini kaki Hi Tong bebas bergerak. Kepala dia
miringkan kesamping, begitu menghindar baCokan, dia layang kan sebelah kakinya,
menjejak Thian Ho. Jejakan itu tepat mengenakan jalan darah “swan-hiat-hiat”.
Tak ampun lagi, golok Thian Ho terlepas, dan orangnya ngelumpruk jatuh ditanah.
Thian Seng Buru-buru menyang gapi
saudara seperguruannya itu. Melihat Sutitnya (murid keponakan) dibikin malu,
Sam Jun terus datangdua mau memukul Hi Tong.
“Kau mau pukul dia, bagaimana
kalau kulepaskan dia su-puja dapat kau puas berkelahi satu lawan satu”, berkata
Haphaptai.
“Kau lawan aku dulu pun boleh,”
Sam Jun menentang, secepat-cepat itu, dia terus kebaskan sam-Ciat-kunnya,
tongkat tiga rosduaan, lemas seperti pian tapi keras seperti tongkat.
“Oh, kau ingin dibanting lagi
ja?” tanya Haphaptai.
Pek Kiah Cemas kalau kedua orang
itu bentrok. Cepat-cepat dia tarik Sutenya kebelakang, kemudian dia menantikan
ke putusan It Lui.
“Orang-orang kangouw mengatakan
tiga saudara kita itu, kaum HONG HWA HWE yang membunuhnya. Penasaran ada,
awalnya, akibat ada musababnya. Asal kau bicara terus terang, siapa yang
menjadi biangkeladi, siapa yang membunuhnya, kami akan Cari sendiri untuk
membereskan. Tak usah kau kuatir, kami takkan membasmi habis seluruh Anggota
HONG HWA HWE!” demikian It Lui.
“Bahwa hari ini kujatuh
ketanganmu, adalah sudah nasibku. Kalau mau bunuh, bunuhlah lekas. Tak usah
banyak sekali bicara! Kalau kau mengira orang HONG HWA HWE jeri padamu,
betul-betul kau sedang mengimpi,” sahut Hi Tong.
“Kau seorang enghiong, akupun
merasa kagum. Tapi sukalah kau jawab yang benar, siapakah sebenarnya yang
membunuh ketiga saudara kami?” tanya Haphaptai. “Baik, kuhendak bicara
sejujurnya. Siapa yang membunuh ketiga orang itu, aku tahu dengan
sejelasduanya. Tapi yang pasti saja, bukan kaum HONG HWA HWE,” sahut Hi Tong
tegas.
“Nah, bilanglah saja, nanti kau
segera kami lepaskan,” Kim Piauw ikut bicara.
“Aku Ie Hi Tong meskipun orang
yang tak bernama, namun sekali-kali tak jeri pada segala anCamanmu itu. Siapa
pembunuhnya, akan kukatakan, dia pun tak nanti takut padamu. Tapi karena sifat
kau ini akan menggunakan anCa man, aku tak mau mengatakan !”
Kim Piauw getarkan
'lak-nouw-jahnya. Gelang besi pada ujung garpu itu bergerinCingan suaranya.
“Kau mau bilang apa tidak? !”
anCamnya pula.
“Tidak! Kau mau bunuh, silakan
tusukkan senjatamu itu kedadaku. Kaumku dari HONG HWA HWE tentu dapat menuntut
balas dengan tepat, bukan seperti macam kau, siapa musuh mu yang sebenarnya pun
tidak tahu!” Hi Tong balas membentak dengan angkat kepalanya.
Murka orang she Ku itu. Namun dia
hanya dapat meng gabrukduakan senjatanya, sambil mengumpat CaCi. Karena untuk
menghajar orang tawanan itu, terang akan diCegah Haphaptai.
“Kalau kau suka anggap aku
sebagai sahabat, maka silakan memberitahukan padaku,” akhirduanya Haphaptai
berkata,
Tahu Hi Tong, bahwa dari sekian
banyak sekali orang, hanya Haphaptailah yang mengunjuk kelakuan bersahabat.
“Mengapa tak kau tanyakan pada
Han Bun Tiong? Sayang dia tak berada di Lokyang, karena waktu ini sedang ada di
HangCiu bersama Wi-tin-ho-siok Ong Hwi Yang,” kata Hi Tong.
“Benarkah itu?” It Lui menegas.
“Kapan aku pernah berbohong !”
Sudah menjadi orang tawanan,
sikap anak muda itu sebaliknya dari lunak malah makin keras. Haphaptai makin
mengagumi. Dia tarik kedua Suhengnya, It Lui dan Kim Piauw, kesamping untuk
dibisiki. “Terus memaksa anak itu perCuma saja. Baik lepaskan saja.”
“Kalau kita lepas, tidakkah orang
kangouw nanti menge jek bahwa Kwantong Liok Mo tak berani bertentangan dengan
HONG HWA HWE? Turut anggapanku, bereskan saja dia itu!” kata Kim Piauw.
“Bunuh dia, tak mendatangkan
manfaat apa-apa. Kita bawa dia bersama-sama menCari Han Bun Tiong ke HangCiu.
Dalam perjalanan, kita korek keterangannya lagi sampai jelas. Itu waktu kalau
hendak membunuhnya, pun belum terlambat,” usul It Lui.
“Baik, akupun setuju,” kata Kim
Piauw.
Setelah mencapai kata sepakat, It
Lui menghampiri Hi Tong dan katanya: “Kita akan bawa kau ke HangCiu untuk
dipadu dengan Han-toako. Kalau keterangan itu benar, nanti kita lepaskan kau.”
Hi Tong anggukkan kepalanya. Dia
percaya, ditengah jalan nanti tentu ada pertolongan dari saudara-saudaranya.
Paling tidak, dia tentu bisa Cari kesempatan meloloskan diri. It Lui angkat
tangannya memberi hormat pada Gian Pek Kian minta. diri.
“Tunggu!” seru Pek Kian dengan
melangkah maju. “Orang itu adalah kita beramai yang membekuknya. Masa begitu
saja akan kalian bawa pergi ?
“Maksudmu?!” tanya Haphaptai.
Pek Kian tahu selatan. Meskipun
fihaknya berjumlah 4 orang, sedang lawannya berjumlah tiga orang, namun mereka
berkepandaian tinggi. Dia masih bisa mengimbangi, tapi bagaimana dengan Sute
dan kedua muridnya itu? Maka tak mau dia gunakan kekerasan.
“Dia telah memanah buta sebelah
mataku,” katanya memutar. “Pantas kiranya kalau aku minta dibajar dulu dengan
sepasang matanya. Setelah itu, terserah kalau kalian akan membawanya pergi.”
It Lui dan Kim Piauw Condong
dengan permintaan Pek Kian. Memang anak muda itu, hasil tangkapan mereka
bersama. Apalagi orang she Gian itu orang pemerintah, tak usah menambah
permusuhan lagi. Biar saja dia menCukil sepasang mata Hi Tong. Malah dengan
begitu, lebih mudah dibawa, tak kuatir melarikan diri. Keduanya tak menyahut,
tapi juga tak menghalangi.
Segera dua buah jari Pek Kian
bergerak dalam tipu “song-liong-jiang-Cu,” sepasang naga berebut mustika, terus
dijulurkan menusuk mata Hi Tong.
Hi Tong mundur selangkah untuk
menghindar, tapi Kim Piauw dari belakang mendorongnya maju...............
Kini marilah kita tengok
perjalanan rombongan Tan Keh Lok yang berkuda menyusur sepanjang tepi sungai.
Arahnya kesebelaft barat. Sepanjang tepian itu penuh dengan pasir, bekas
dilanda air yang meluap. Diantara endapan pasir Cam pur tanah kuning itu,
terdapat beberapa kerat tulangdua manusia berserakan disana sini. Tentunya,
itulah tulang belulang dari rakyat yang menjadi korban banyir tahunan. Setiap
tahun Hoangho atau sungai Kuning tentu banyir, dan setiap kali itu tentu memakan
ribuan jiwa manusia. Itulah keadaan sungai Kuning semasa pemerintah BoanCeng
berkuasa.
Sehari itu mereka tiba di kota
Tongkwan. Thian Hong dan Ciang Cin berpencaran menCari pertandaan tulisan dari
Hi Tong, tapi tak ketemu. Mereka duga, Hi Tong pasti belum datang. Karena tak
ingin merepotkan Kawan-kawan , rombongan Tan Keh Lok menginap di sebuah hotel.
Sampai tiga hari mereka
menunggTi, tetap Hi Tong tak mun Cul. Kembali Thian Hong dan Ciang Cin menCari
keterangan, ketempatdua pemberhentian perahu disepanjang sungai, tapi tetap tak
ada orang yang pernah melihat kedatangan seorang SiuCay.
Pada hari keempat, mereka
berunding. Masing-masing merasa heran dan kuatir jangan-jangan Hi Tong menemui
bahaya dalam perjalanan. Cabang kaum persilatan yang berkedudukan ditempatdua
pemberhentian perahu dikota Tong-kwan itu jalah dari perkumpulan “Liong Bun
Pang.” Dengan perkumpulan ini, HONG HWA HWE belum pernah berhubungan.
Kuatir Hi Tong bentrok dengan
orang-orang Liong Bun Pang, Thian Hong memerlukan datang mengunjungi ketua
partai tersebut, jakni Siangkwan Ie San.
Menerima karcis nama dari Thian
Hong, segera ketua Liong Bun Pang itu mengetahui bahwa kini dia tengah
kedatangan pemimpin nomor tujuh dari HONG HWA HWE, jalah yang dijuluki orang
kangouw sebagai Bu Cu Kat. Ter-gopohdua dia keluar menyambut dan menanyakan
maksud kedatangan tetamunya itu.
“Lama sudah kita kagumi sepak
terjang yang mulia dari perkumpulan saudara. Sayang karena saudara bergerak di
daerah Kanglam, jadi selama itu kita tak saling berhubungan. Kalau kami
jumpakan Sipsu-tangkeh naik perahu di Hoangho, pasti akan kami sambut dengan
hormat. Baiklah, nanti akan segera kukirim orang untuk menanyakannya,” demikian
Siangkwan Ie San.
Nyata dia buktikan ucapannya.
Dihadapan Thian Hong, dia lalu perintahkan delapan orang untuk menyelidiki
kesepanjang tepian Hoangho. Begitu dapat berjumpa dengan Hi Tong, mereka harus
segera membawanya ke Tongkwan.
Ketua Liong Bun Pang berlaku
lepas tangan, untuk itu Thian Hong haturkan terima kasihnya. Tapi ketika tuan
rumah memintanya menginap dirumahnya, terpaksa Thian Hong menolaknya. Sorenya
Siangkwan Ie San mengadakan kunjungan balasan. Untuk menghindari perhatian
hamba negeri, sengaja Tan Keh Lok tak mau menemuinya. Malam nya, Siangkwan Ie
San mengadakan perjamuan besar untuk menjamu Thian Hong. Semua orang kalangan
persilatan daerah itu, sama diundang juga.
Ternyata kaum persilatan dikota
Tongkwan banyak sekali yang sudah kenal dengan Ciu Tiong Ing. Mengetahui bahwa
Thian Hong adalah anak menantu
dari ketua persilatan daerah Se-pak yang kesohor itu, mereka makin menghormat.
Tapi diantara para undangan itu
ada juga yang kasak-kusuk, Bu Cu Kat yang namanya begitu kesohor dikangouw itu,
kiranya hanya seorang yang pendek kurus lagi lemah nampaknya. Tapi demi
memperhatikan sikap dan gerak-gerik Thian Hong yang keren itu, timbullah
perindahan mereka.
Keesokan harinya, kembali
Siangkwan Ie San datang ke hotel. Dia memberitahu bahwa orang-orang itu tak
berhasil ber jumpa dengan Hi Tong. Tetapi memperoleh juga sedikit pengunyukan.
Buru-buru Thian Hong meminta keterangan.
“Menurut keterangan
saudara-saudara diperairan sungai, karena pemerintah mau mengirim rangsum
berjumlah besar pada pasukannya yang ngeluruk perang kedaerah barat, maka di
sungai penuh dengan perahudua. Mungkin Ie-sip-suya terhalang perjalanannya.”
Lega hati Thian Hong dibuatnya.
Tak lupa ia haturkan terima kasih atas bantuan ketua Liong Bun Pang itu. Ma
lamnya, lagi-lagi Siangkwan Ie San datang kehotel dengan membawa keterangandua
penting. Menurut laporan beberapa orang Liong Bun Pang, pada sepuluh hari jl.
diwarung arak 'Cui Sian Lauw' yang terletak dijalan BengCin, telah terjadi
suatu peristiwa. Seorang yang wajahnya seperti SiuCay telah berkelahi dengan
orang, sehingga warung arak itu morat-marit keadaannya.
“Ha, itu tentu Sipsute kita. Lalu
bagaimana?” tanya Thian Hong dengan kaget.
“Telah kukirim orang untuk Cari
keterangan, tapi belum kembali. Jadi belum diketahui jelas,” sahut Siangkwan Ie
San.
“Banyak sekali terima kasih atas
perhatian saudara Siangkwan itu,” kata Thian Hong. Lalu diperkenalkan kepada
Tari Keh Lok, Bun Thay Lay, Lou Ping, Ciang Cin dan Ciu Ki.
Girang sekali sewaktu mengetahui
bahwa ketua HONG HWA HWE ada datang juga. Kedua ketua partai persilatan itu
saling mengagumi.
“Ie-sipsute orangnya
ber-hati-hati. Tentu tidak karena mabuk. Kalau sampai berkelahi tentu karena
bertemu dengari musuhnya. Baik kita lekas ke BengCin saja”, kata Keh Lok.
“Ya, malam ini juga kita kesana”,
sahut Bun Thay Lay.
“Kalau kalian akan ke Tong-kwan,
aku sebagai tuan rumah, seharusnya mengantarkan,” kata Siangkwan Ie San.
Melihat kesungguhan orang, Keh
Lok tak menolak. Dengan membawa dua orang pembantu, Siangkwan Ie San berkuda
ikut ke BengCin.
Lagi-lagi Bun Thay Lay mendahului
rombongannya. Kuda putih tunggangannya itu telah meninggalkan Kawan-kawan nya
sejauh ratusan li. Tak lama kemudian dia tampak mendatangi balik.
“Telah kuCari keterangan di 'Cui
Sian Lauw', memang benar terjadi hal itu. Lawan Sipsute adalah seorang
hartawan, Sun-taysanyin, begitu panggilannya. Dan beberapa opas dari kantor
kabupaten,” tutur Thay Lay.
“Aneh Sun-taysanyin sudah berusia
enam0 tahun lebih. Orang nya baik, mengapa bisa berkelahi?” ujar Siangkwan Ie
San.
“Lalu bagaimana?” tanya Keh Lok.
“Selanjutnya pemilik warung arak
itu tak mengetahui jelas,” jawab Bun Thay Lay.
Tan Keh Lok ajak rombongan
Cepat-cepat teruskan perja lanannya. Kira-kira dua jam kemudian, sampailah
mereka ke BengCin. Siangkwan Ie San langsung menCari pemilik Cui Sian Lauw.
Tersipu-sipupemilik warung arak itu menyambutnya, karena mengetahui Siangkwan
Ie San adalah ketua Liong Bun Pang. Namun keterangannya, tak ubah seperti yang
diberikan pada Bun Thay Lay itu. Hanya dia juga kasih tunyuk bekasdua senjata
pada langkan dan tembok, akibat perkelahian itu...............
Kini kita kembali pada Hi Tong.
Sewaktu jari Pek Kian akan mengenakan kedua mata Hi Tong, tiba-tiba Haphaptai
tarik baju Pek Kian, terus disentakkan kebelakang se kuatduanya, hingga sampai
terjuntak mundur beberapa meter. Pek Kian bukan seorang yang lemah.
Secepat-cepat kilat dia tebaskah tangannya kebelakang, plak !
Tangan kanan Haphaptai dirasakan
sakit sekali, maka pegangannya Buru-buru dilepaskan. Keduanya serentak
mengambil sikap untuk bertempur, Sam Junpun segera siap dengan sat-Ciat-kun,
dan berdiri disisi Suhengnya.
It Lui kaget. Cepat-cepat dia
loncat ketengah, sambil goyang kan senjatanya berseru: “Kita adalah sahabat
sendiri, jangan berCidera!”
“Kalau kau mau balas sakit hati,
tunggulah sampai urusan kita selesai. Pergilah Cari sendiri, kitapun takkan
membantu siapa-apa. Sekarang ini tak boleh kau berbuat sesukanya,” kata
Haphaptai pada Pek Kian.
It Lui Cukup kenal watak yang
terus terang dari Sutenya itu. Sekali berkata, tak mudah berubah. Meski dia tak
setuju sikap Sutenya itu, tak mau dia unyuk dimuka lain orang demi menghindari
Cemohan orang, kalaudua dikatakan Kwan-tong Liok Mo itu tidak bersatu. Maka
diapun diam saja.
“Baik. Nanti pada suatu hari
pasti akan kuperlihatkan sepasang biji matanya padamu!” kata Pek Kian kemudian.
“Nah, itu bagus. Selamat berjumpa
lagi,” sahut Haphaptai.
Ketiga orang dari Kwantong Liok
Mo itu segera membawa pergi Hi Tong dengan tangan terikat. Pek Kian totok jalan
darah penyedar dari muridnya. Dia tak puas dengan kesudahan itu. Diam-diam dia
ajak Sute dan kedua muridnya menguntit.
Lohor It Lui cs. sampai di
BengCiu. Mereka Cari rumah makan untuk tangsel perut. Rumah makan itu gedungnya
besar dan mewah sekali. Empat huruf “Cui Sian Ciu Lauw,” warung arak dewa
mabuk, menghias papan yang tergantung didepan. Setelah pesan beberapa daharan,
Hi Tong diajaknya makan bersama.
Baru saja menegak beberapa Cawan,
tiba-tiba dari titian loteng terdengar derap kaki orang mendatangi. Beberapa
hamba polisi, tujuh delapan orang jumlahnya, muncul bersama seorang tua yang
berpakaian luar biasa resiknya. Orang tua itu memesan banyak sekali macam
hidangan untuk men jamu orang-orang polisi itu. “Sun-loya,” demikian
orang-orang polisi itu memanggil siorang tua. Luar biasa mereka menghormat dan
merendah. Mungkin orang tua itu adalah hartawan yang kenamaan dari kota itu.
Tak berapa lama, datang lagi 4
orang. Kini wajah Haphaptai berobah. Itulah rombongan Gian Pek Kian berempat.
Hi 'Tong pura-pura tak melihat. Dengan tenang dia menikmati araknya.
“Lo Su, maksud kita masuk kedalam
perbatasan, adalah untuk menCari balas buat Lo Sam. Tapi mengapa kau melindungi
musuh. Kukuatir dialam baka, Lo Sam akan salahkan padamu,” kata It Lui kepada
Haphaptai.
“Apanya yang kulindungi musuh.
Dia seorang lakidua sejati, aku kagum, serta tak idinkan orang bermain Curang.
Kalau nantinya ternyata dia adalah musuh kita yang sebenarnya, akulah yang
per-tamadua akan membunuhnya,” Haphaptai memberi kepastian.
“Dari sini ke HangCiu masih jauh
sekali, mereka .........,” berkata sampai disini Kim Piauw jebikan bibir kearah
rombongan Pek Kian, “seperti Anjing, tetap membuntut saja. Biarkan saja dia
menCukil matanya, mengurangi risiko penjagaan kita.”
Namun orang Mongol itu tetap tak
setuju. Ketiganya mulai berbantahan. Haphaptai terdesak sendirian, kalah suara.
Dia masih sungkan dengan It Lui, sang Toako. Tak mau dia berbantahan lebih lama
lagi.
Dia berbangkit dengan muka
kemerah-merahan. Tanpa memakan daharannya lagi, dia terus langkahkan kaki dan
berlalu. Kim Piauw Buru-buru akan menariknya, tapi sekali tangan Haphaptai
mengibas, dia hampir sempoyongan. Itulah kepandaian istimewa Haphaptai dalam
ilmu bergumul Cara Mongol. Sejak kecil dia gemar belajar permainan itu. Cukup
dengan gerakan tangan se-enaknya, tenaganya luar biasa kuat nya.
“Lo Ji, jangan hiraukan dia.
Emangnya dia beradat kerbau. Kau jaga saja orang ini,” seru It Lui.
Kim Piaw keluarkan sebuah
badidua, disembunyikan dibalik lengannya. Dia membisiki Hi Tong: “Kalau kau
berani lari, akan kuCincang tubuhmu!”
Hi Tong tak ambil pusing. It Lui
menghampiri kemeja Pek Kian, dan menegurnya.
Sepeninggal Haphaptai, Hi Tong
merasa terancam bahaya. Secepat-cepat kilat terkilas dalam pikirannya suatu
akal. Pada saat itu pelayan datang membawa semangkuk besar kuah ikan keluaran
sungai Hoangho yang masih panas sekali. Sambil minum seteguk, berkatalah Kim
Piauw: “Lo Toa, kuah ini sedap sekali, Ayo kita gasak!”
Hi Tong ulur senduknya, turut
menyumput. Tiba-tiba tangannya menyentuh pantat mangkuk, hingga mangkuk itu
terbalik, tepat menyiram muka Kim Piauw. Sudah barang tentu, hidung dan mata
orang she Ku itu seperti tersiram air mendidih. Sakitnya jangan ditanya. Dia
me-ngiangdua kesakitan.
Tanpa tunggu sampai orang sudah
baik lagi, Hi Tong balikkan meja. Seluruh masakan dan mangkuk piring, tumpah
menimpah tubuh Kim Piauw. Karena matanya masih belum dapat melek, keruan saja
Kim Piauw tak dapat menghindar. Seluruh tubuhnya basah kujup disiram kuah
panas.
It Lui dan Pek Kian Buru-buru
menghampiri untuk memberi pertolongan. Tapi kembali Hi Tong jumpalitkan sebuah
meja lagi untuk menghalangi.
Telah diperhitungkan Hi Tong
sekalipun dapat lolos, tak nanti bisa lari jauh, tentu tak urung akan
tertangkap mereka lagi. Jalan satuduanya, dia harus dapat menCari tempat
berlindung, sampai nanti datang pertolongan. Tempat yang paling aman, jakni
dalam rumah penyara negeri.
Keadaan rumah makan itu
hiruk-pikuk tak keruan. Tetamu yang bernyali kecil, siangdua sudah ter-biritdua
panjang kan langkah seribu. Hambadua polisi gunakan rujung besi untuk
menghentikan kerusuhan itu.
Sekonyong-konyong Hi Tong
melayang kemuka si Sun-loya itu. “Plak”, tangannya menampar mulut si Sun-loya.
Hanya ribuan bintang berhamburan yang dilihat oleh Sun-loya, matanya
berkunang-kunang, terus numprah jatuh dilantai. Hi Tong jambak jenggot Loya
itu, lalu diangkat naik. Bukan main terkejutnya kawanan hamba negeri itu. Tersipu-sipumereka
menyerbu untuk menolongnya.
Hi Tong kempit Sun-loya, lalu
lambaikan tangan kearah It Lui, serunya: “Lo Toa, Lo Ji, lekas kemari, aku
memperoleh hasil. Lekas gebah 'Cakar alap-alap' yang menyebalkan itu!”
Polisi mengerti kini. Kiranya
kawanan perusuh itu hendak menCulik Sun-taysanyin.
“Bangsat yang bernyali besar!”
Demikian beberapa hamba negeri itu berseru, Cabut senjatanya masing-masing
terus maju menyerang It Lui.
It Lui tak pandang sebelah mata
pada kawanan polisi itu. Tapi BengCin adalah kota besar. Dalam sekejap saja
pasukan pemerintah dapat didatangkan dengan serentak. Hal itu sangatlah
berbahaya. It Lui mengupat CaCi Hi Tong dengan siasatnya yang licik itu. Dia
Cepat-cepat ajunkan kaki menendang roboh seorang polisi yang akan menyerang dengan
goloknya. Dia tarik Kim Piauw terus diajak lari.
“Kita adalah orang pemerintah,
akan menangkap penya hat!” seru Pek Kian keras-keras.
Tapi dalam suasana sekacau itu,
seruan itu tak kedengaran. Pada lain saat, Sam Jun telah gerakkan
sam-Ciat-kun-nya robohkan seorang polisi. Lain-lain hambanegeri itu terus
ber-suitdua keras, memanggil bantuan.
Suara genderang dibunyikann dari
tempat agak jauh. Barangkali suatu pasukan besar tengah mendatangi.
“Phang-sute, lekas lari!” seru
Pek Kian pada Sutenya.
Suhu dan murid berempat, lari
turun loteng. Kawanan hamba negeri tak dapat menahannya. Hanya ssorang penga
Cau yang dapat dibekuk dan terus dirantainya. Atau lebih tegas memang sengaja
menyerahkan diri, karena dia bukan lain jalah Hi Tong.
Diluar kota BengCin, Pek Kian
berempat menCari tempat yang sunyi. Panjang lebar Sam Jun memaki. Hi Tong,
karena merasa dipedayai mentahdua.
“Kurasa penyara dikota BengCin
itu, tak seberapa ko kohnya. Nanti malam kita satroni kesana. Kita Culik
bangsat itu, lalu kita siksa dia se-puasduanya”, Pek Kian nyatakan pikirannya.
Sam Jun paling jeri terhadap
pembesar negeri. Dengar akan didayak merampok penyara, dia ragu-ragu. Namun
akan membantah Suhengnya, diapun sungkan.
Jam tiga malam, dengan memakai
kedok muka, mereka me nuju kedalam kota. Selama itu Sam Jun selalu berada
dibelakang sendiri. Memang dia sengaja memperlambat ja lannya. Tahu juga Pek
Kian kalau Sutenya itu mau karena terpaksa, diapun tak mau terlalu mendesaknya.
Tatkala mendekati penyara,
sekonyong-konyong ada sebuah bayangan berkelebat. Ternyata seseorang telah
mendahului mereka. Gerakannya gesit sekali.
“Awas, waspadalah!” Pek Kian
peringatkan kedua murid nya. Setelah loncat keatas tembok per.jara dan berjalan
masuk, tiba-tiba ada suara bisik-bisik dari arah belakang: “Saudara Gian-kah
itu?”
Pek Kian putar tubuh
secepat-cepat nya. Kiranya itulah It Lui dan Kim Piauw yang mendatangi.
“Kita bersama datang untuk maksud
yang sama, itulah bagus,” kembali It Lui berkata.
“Yangan biarkan dia enakdua. Kasih
dia tahu rasanya orang disiksa,” ujar Kim Piauw.
Memang pada tempatnya kalau orang
she Ku ini begitu penasaran sekali, karena seluruh air niukanya melepuh
tersiram kuah panas.
“Kita berdua yang melayani
kawanan hamba negeri. Sdr. Gian berempat yang rampas anak keparat itu,” kata It
Lui.
Pek Kian mengiakan, dan mereka
berenam lalu bertindak masuk.
Balik pada Tan Keh Lok dan
Siangkwan Ie San yang menanyakan keterangan pada pemilik rumah makan Cui Sian
Ciu Lauw, ternyata orang itu tak dapat memberikan keterangan apa-apa lagi. Dia
hanya mengetahui sampai pada waktu Hi Tong diborgol dan dibawa pergi polisi.
Mendengar itu, Keh Lok malah
lega. Karena sekalipun mendapat hukuman mati, vonnis dari pemerintah, juga
makan waktu yang lama. Dia mengajak Ie San mengun jungi Sun-tay-sanyin.
Sun-taysanyin adalah hartawan
yang paling kaja dari BengCiu. Sawah, rumahdua miliknya tak terhitung
jumlahnya. Dia kejam sekaker, memeras dan menjadi lintah pengisap darah rakyat.
Banyak sekali nian perbuatannya yang tak kenal perikemanusiaan itu. Setelah
tua, dia berganti siasat. Dia banyak sekali menghamburkan uang supaya mendapat
nama baik. Karena kerojalannya itu, dia digelari orang “Sun tay-sanyin,”
Sun-taijin yang murah hati. Tapi didesanya, orang-orang tetap men julukinya
sebagai “Sun-pok-bi” atau Sun sipemeras.
Mendapat' kunjungan dari
Siangkwan Ie San bersama seorang Kongcu she. Liok (nama samaran Tan Keh Lok),
ber-debardua hati Sun-taysanyin itu. Tapi Cepat-cepat dia ambil putusan. Kalau
ketua Liong Bun Pang itu butuh uang, dia akan memberinya, untuk menghindari
bahaya gangguan. Tapi ternyata. bukan itu yang diminta Ie San. Setelah
berCakapdua sebentar, dia tanyakan soal SuCay yang membuat gaduh di Cui Sian
Ciu Lauw itu.
Sun “tay-sanyin” makin terkejut.
Katanya tersipu-sipu: “Orang yang sudah setua aku ini, sekali-kali tak berani
me nyalahi orang. Kalau ada sahabat Kangouw yang membutuhkan apa-apa, tentu
dengan sekuat-kuatnya akan kubantu,” ujar hartawan itu.
“SiuCay itu masih terhitung sanak
jauh dari Siaote. Entah mengapa bisa berkelahi dengan Sun-loya?” tanya Ie San.
“Benar-benar aku sendiri tidak
mengerti. Melihat sikap mereka, rupaduanya aku akan diCuliknya,” kata orang she
Sun itu. Lebih jauh dia menambahkan pula: “Meskipun diluaran hengte ini ada
sedikit nama, tapi beberapa tahun ini betul-betul payah. Panenan banyak sekali
yang gagal, tapi ongkos-ongkos tetap besar. Makan nganggur, tanpa mendapat
hasil. Sahabatdua Kangouw mengira kalau aku ada uang, tapi hal yang sebenarnya
bukan demikian keadaannya.”
Mendengar orang terusduaan
mengeluh soal uang, Tan Keh Lok kuatir orang menduga keliru maksud
kedatangannya itu. Tentu dikira akan memeras.
“Ie-sipsute mana bisa berserikat
dengan orang akan men Culiknya. Tentu ada sebab lainnya. Dan mengapa polisi
BengCiu dapat menangkap Sipsute, apakah disini ada orang nya yang lihai?”
diam-diam Tan Keh Lok menduga.
“Minta supaya Sun-loya membawa
kita tengok SiuCay itu ke penyara,” katanya kepada Siangkwan Ie San.
“SiuCay itu malamnya telah
dirampas orang dari penyara. Apakah ji-wi tidak mendengarnya,” Buru-buru
siorang she Sun berkata.
Makin heran Tan Keh Lok. Dia
memberi isyarat kepada Siangkwan Ie San untuk pamitan. Diluar tampak banyak
sekali kawanan polisi mondar mandir kian kemari. Kesibukan itu menunyukkan
bahwa keterangan orang she Sun itu tidak justa.
Siangkwan Ie San ajak tetamunya
ketempat salah seorang thauwbak Liong Bun Pang yang tinggal dikota tersebut.
Seorang dikirimnya untuk menCari kabar. Benar juga SiuCay perusuh itu malamnya
dirampas orang dari penyara. Malah kawanan perampas itu melukai beberapa
penjaga penyara.
Keh Lok rundingkan peristiwa aneh
itu dengan Thian Hong. Tapi sampai sekian lama, mereka tak dapat menarik
kesimpulan. Sehabis makan malam, mereka menuju keru mah penyara. Tiba-tiba Lou
Ping berseru girang sembari me nunyuk kearah kaki tembok. Melihat itu semua
orang tampak gembira, keCuali Siangkwan Ie San dan Ciu Ki yang tak tahu
sebabnya.
“Inilah tanda-tanda yang
ditinggalkan Sipsute. Katanya, dia dikejar musuh, dan sekarang lari kearah
barat,” menerangkan Thian Hong.
“Musuh? Tentulah pemuda yang
menguntitnya itu”, kata Ciang Cin.
“Kepandaian orang itu tak nempil
dengan Sipsute, mengapa dia takut? Rasanya ada lain sebab”, jawab Thian Hong.
“Ah, mari kita lekas-lekas susul
dia”, seru Bun Thay Lay.
Berjalan sampai dipinggir kota,
kembali tanda-tanda itu terdapat pada sebuah pohon. Hanya saja kini tulisannya
kacau sekali, terang kalau dalam bahaya. Mereka perCepat-cepat jalan nya. Pada
persilangan jalan yang menyurus kesebuah gunung, diketemukan lagi tanda-tanda
itu. Terang kalau Hi Tong lari kearah gunung.
Bun Thay Lay dan Ciang Cin terus
keprak kudanya kearah gunung. Disepanjang jalan, banyak sekali sekali melihat
tanda-tanda yang ditinggalkan Hi Tong. Tapi makin lama makin tak keruan
tulisannya! Malah ada yang hanya sebuah guratan saja.
Ciang Cin mengerang, makin
Cepat-cepat mencongklang kudanya. Pada sebatang pohon, dia menCabut sebatang
anak panah. Pada saat itu, Bun Thay Lay dan Thian Hong pun sudah tiba! Bagi
keduanya yang sudah lama berkelana di kangouw, tahulah dengan segera, bahwa
panah itu adalah senjata rahasia dari Gian-keh-kun di TinCiu, Ouwlam.
“Oh, jadi yang mengejar Sipsute
itu adalah sibangsat Gian Pek Kian”, kata Bun Thay Lay dengan gusarnya.
Sesaat itu kembali Lou Ping
dimana semakdua menemukan beberapa batang anak panah. Sedang Ciu Ki tiba-tiba
berteriak seraya menunyuk ketanah. Kiranya disitu terdapat CeCeran darah.
Menuruti bekas darah tersebut, melintasi semakdua, tibalah mereka kesebuah gua.
Gua itu kecil lagi sempit, hanya tiba Cukup unntuk dimasuki satu orang.
Dipinggir gua sana-sini bertebaran ber-macamdua senjata rahasia. Anak panah,
piauw, hui-Hui dan lain-lain. Suatu pertanda bagaimana hebat Hi Tong dirabu
musuhduanya. Semua orang sama menguatirkan nasib anak muda itu.
Thian Hong dan Bun Thay Lay
anggap kesemuanya senjata rahasia itu banyak sekali terdapat dikalangan
persilatan. Hanya satu yang agak aneh, jakni yang dinamakan “siao-kong-jah”
semacam piauw kecil berbentuk seperti garpu. Ahli silat yang menggunakan
senjata rahasia itu, jarang ada. Entah siapa orangnya. Menilik macam senjata
rahasia yang terdapat disitu, sekurang-kurangnyanya pengerojok Hi Tong itu ada
lima orang.
Kembali bercerita tentang Hi
Tong, sewaktu It Lui, Kim Piauw dengan rombongan Pek Kian memasuki halaman
ruang penyara, mereka akan Cari seorang penjaga untuk ditanya keterangannya.
Tiba-tiba kaki Thian Po kesandung sesuatu benda, hampir-hampir dia jatuh.
Setelah diperiksanya, ternyata benda itu adalah tubuh seorang penjaga penyara
yang dengan tangan dan kaki terikat, tengkurap dilantai. Mulut nya disumbat
kain, hingga tak dapat ber-kaokdua keCuali matanya saja yang berjelilatan.