Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 21-25

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 21-25 MENDENGAR menyambarnya senjata tajam, tanpa berhenti lagi Hwi Hing terus menarik tangan Li Khik Siu dan dibawa lari masuk ketengah lautan api.
MENDENGAR menyambarnya senjata tajam, tanpa berhenti lagi Hwi Hing terus menarik tangan Li Khik Siu dan dibawa lari masuk ketengah lautan api.
Tanpa kuasa tahu-tahu Li Khik Siu tubuhnya terapung diangkat orang, tentu saja semua perajuritnya berteriak kaget, tapi api menjilat dengan hebatnya, mereka tak berani maju menolongnya.

Tatkala itu Nyo Seng Hiap sudah hantam patah tombak Can Tho Lam dan Wi Jun Hwa juga sudah berhasil me rintangi majunya Li Wan Ci.
Melihat Hwi Hing mendadak menyeret Li Khik Siu ke dalam lautan api, segera para jago Hong Hwa Hwe pun mengarti akan maksudnya, maka be-ramaidua merekapun ikut menerjun masuk, sibongkok Ciang Cin yang per-tamadua melompat kedalam' lingkaran api, menyusul Cio Su Kin juga melesat masuk.
“Sudahlah Cukup, jangan masuk lagi,” demikian Keh Lok mencegah kawahduanya yang lain. Terpaksa mereka hanya. menanti saja diluar lingkaran api.
Ketika perajurit Cing nampak panglima mereka teran Cam bahaya, sesaat mereka menjadi lupa bertempur dengan orang-orang HONG HWA HWE, hanya dengan hati kuatir mereka mengawas gerak-gerik lima orang yang terkurung ditengah lingkaran api itu.
Terlihatlah saat itu Ciang Cin dan Cio Su Kin sudah membangunkan Bun Thay Lay yang bersandar diambang pintu, lalu hendak diajak pergi. Li Khik Siu agaknya sudah tertutuk oleh orang aneh berkedok itu, sebab lemas lunglai sedikitpun tak berkutik.
Sementara itu Can Tho Lam sudah mundur kebelakang dan menjaga dipinggir sumbu pasang bersama seorang Congping yang bertugas disitu, waktu melihat tawanan penting itu segera bakal lolos, tapi panglimanya berada didalam lingkaran api, maka tak berani ia menyulut sumbu, dalam hati ia kelabakan sendiri tanpa berdaya.
Pada waktu ia ragudua itulah, mendadak dari samping sese-orang telah mendorongnya, lalu merebut obor dari tangan satu perajurit terus menyulut sumbu peledak itu. Karuan terkejutnya luar biasa, waktu Tho Lam menegasi, nyata orang itu adalah Hoan Tiong Su.
Jago bayang kari ini tempo hari telah kena dihajar mentahdua oleh jago-jago Hong Hwa Hwe ditelaga Se-ouw hingga bikin malu dirinya dihadapan Sri Baginda, dendam itu selama itu selalu diingatnya, apalagi paman gurunya, Pui Liong Cun juga kena dipotong putus urat pundaknya oleh Bu Tim hingga CaCat untuk selamanya. Kini melihat Bun Thay Lay bakal terlolos, ia tak hiraukan lagi mati-hidupnya Li Khik Siu, seketika ia sulut sumbu obat peledak itu.
Sekejap saja semija orang menyaksikan seutas bunga api telah menyalar pergi dengan amat Cepat-cepat nya, asal ular bunga api itu sudah melingkari api, sudahlah pasti terjadi malapetaka hebat, tidak saja Bun Thay Lay, Li Khik Siu. Liok Hwi Hing, Ciang Ciu dan Cio Su Kin bakal hanCur lebur terledak, bahkan akibat dari obat pasang yang tersim-pan begitu banyak sekali didalam gudang pasti akan ikut meledak hingga rumahdua penduduk sekitarnya tentu tersangkut bahaya.
Karena itu, seketika keadaan menjadi kacau-balau, pasukan Cing be-ramaidua pada menyingkir mundur.
Sedang berbahaya, tiba-tiba terlihat sesosok tubuh orang melompat Cepat-cepat kedalam lingkaran api.
Orang itu berbaju biru panjang , mukanya juga ditutup sepotong kain sutera biru, hanya sepasang matanya terbuka, pada tangannya membawa sebatang rujung, larinya Cepat-cepat luar biasa. Dengan rujung itu ia menyabet dan menyapu serabutan pada sumbu obat peledak yang meletikan bunga api itu, namun sumbu itu masih terus membakar kedepan.
Nampak keadaan genting itu, Tan Keh Lok dan Ji Thian Hong tak hiraukan keselamatan sendiri lagi, berturut-turut me rekapun melompat maju berusaha hendak memotong sumbu api itu.
Kesemua itu terjadi dalam sekejap saja. Ketika melihat usaha mereka tak berhasil, tiba-tiba orang berkedok tadi men jatuhkan diri terus berguling-guling keatas sumbu yang mem-bakar itu, seketika itu badannya mengeluarkan bau yang sangit, sedang seluruh pakaiannya pun terbakar. Tapi sumbu itu berhasil dapat dipadamkan.
Dalam pada itu, ternyata Ciang Cin dan Su Kin telah berhasil membawa keluar Bun Thay Lay. Juga mereka bertiga, terbakar tubuhnya. Kedua saudara Siang itu bergegas-gegas menyambutnya, seraya berseru: “Lekas bergulingdua ketanah,” Ciang Cin dan Su Kin segera lepaskan Bun Thay Lay dari dukungan, lalu di-gulingduakan ketanah. Setelah beberapa kali barulah pakaian Bun Thay Lay yang kemakan api itu menjadi padam. Dan tepat pada waktunya, Lou Ping me nyambut dan membawa pergi suaminya itu.
Sementara itu, Ciang Cin dan Su Kin pun bergulingan ditanah, dan pakaian mereka yang terbakar itupun dapat di-padamkan.
Orang yang berkerudung mukanya itu besar sekali jasanya dalam usaha menolong Bun Thay Lay. Disamping berterima kasih yang tak terhingga, orang-orang HONG HWA HWE pun merasa heran siapakah gerangan orang aneh itu. Pada waktu itu, kedua saudara Siang tampak menerjang kedalam lautan api, untuk menyeret keluar orang bertudung itu yang ternyata saat itu sudah pingsan. Ketiga orang sama terbakar pakaiannya. Setelah kebakaran itu dapat dipadamkan, tampaklah bagaimana kaki tangan dan seluruh tubuh orang aneh itu, sama melepuh.
Setelah melihat Bun Thay Lay sudah dapat diselamatkan, Hwi Hing lalu memanggil Li Khik Siu, dan menerjang keluar. Sekalipun memanggul orang, tapi karena menggunakan ilmu mengentengi tubuh, maka jago tua itu tak banyak sekali menderita luka-luka terbakar.
“Kita sudah berhasil, lekas mundur!” seru Keh Lok.
Seruan itu disambut oleh Bu Tim yang segera memutar pedangnya untuk membuka jalan. Kedua saudara Siang memanggul orang aneh itu, Ciang Cin dan Su Kin memang gul Bun Thay Lay sedang Hwi Hing memanggul Li Khik Siu.
Adalah Wan Ci yang menjadi gelisah sekali, ketika nampak ayahnya digondol orang-orang HONG HWA HWE Dengan menghunus pedang ia memburu, tapi dihadang Jun Hwa dengan sepasang 'siang-kao'nya. Dalam beberapa jurus saja, nona itu kena kesrempet siangkao.
“Lekas pulang, memandang muka suhumu, aku tak mau melukai kau!” kata Jun Hwa.
Sementara itu, pasukan Ceng sama riuh gemuruh ber-sorakdua mengejar. Tapi karena pernah merasakan kelihaian orangs HONG HWA HWE mereka tak berani merangsek dekat.
Ada delapan orang jago bayang kari yang diutus oleh baginda untuk membantu Li Khik Siu. Apabila sampai jenderal itu tertawan dan kena apa-apa, mereka tentu menerima hukuman mati. Dengan sepasang 'poan-koan-pit'nya, Hoan Tiong Su mati-matian mengejar.
Orang she Hoan itulah yang tadi menyulut sumbu dinamit, maka tahulah Keh Lok bahwa orang itu sangat kejani sekali. Karenanya dia tak mau mengampuninya. Begitu me nyerahkan ,leng-bik-kiam' kepada Tio Pan San, ketua HONG HWA HWE itu berkata: “Sam-ko, tolong kau pimpin mundur rombongan kita, aku akan membereskan orang itu dulu!”
Dari dadanya, dia mengeluarkan senjata 'Cu-soh' (rantai mutiara). Juga Ma Tay Thing memberikan 'kiam-tun', pedang bertameng.
“Bagus saudara Ma, banyak sekali merepoti kau saja!” kata Keh Lok.
'Cu-soh' dan 'kiam-tun' ketua HONG HWA HWE itu, selamanya adat lah Sim Hi yang membawakan, karena boCah itu sakit, jadi Ma Tay Thing yang mewakilinya.
Ha,bis itu, sekali mengibas, 5 butir mutiara segera menyam bar kemuka Tiong Su. Si-wi ini bersenjatakan poan-koan-pit, jadi diapun seorang ahli menutuk. Sekalipun bagaimana, diapun melengak ketika nampak senjata yang luar biasa dari ketua HONG HWA HWE itu. Pada setiap batang rantai mutiara, ujungnya terdapat sebuah bola baja, yang dapat dipakai untuk menghantam jalan darah.
“Hoan-toako, bandulan boCah itu lihai sekali. Harap kau hati-hati,” seru Cu Co Im.
Mendengar ketuanya di-kata-katai begitu, gusarlah Tay Thing. Dengan sebatang rujung 'sam-Ciat-kun', dia maju mengemplang kepala Co Im, siapa melengkan kepala sembari balas menghantamkan golok. Begitulah segera terjadi pertempuran antara dua partai yang berjalan dengan seru.
Dengan andalkan kegesitannya dan kemahirannya menotok, Tiong Su berkelahi dengan linCahnya. Sekejab saja sudah berpuluh jurus lewat dan selama itu, diam-diam si-wi itu meng eluh dalam hati. Tidak lagi dia dapat wujudkan lamunannys untuk menang, sedang untuk dapat bertahan lagi, dia sudah akan berSyukur sekali. Dan akhirnya, jalan satuduanya ialah menCari kesempatan untuk lolos. Namun dirinya seolahdua dilihat oleh rantai mutiara orang.
Memang Tan Keh Lok tak ingin memperpanjang tempe lebih lama lagi. 'Cu-soh' diputarnya dalam gerak-gerak yang luar biasa hebatnya. Itulah yang disebut ilmu “Cian-thao-ban-jiu' atau seribu kepala selaksa tangan. Bandulan baja bagaikai hujan derasnya, mengarah jalan darah. Sehingga Tiong Su menjadi kebingungan untuk memelihara gerakannya. Saking gugupnya ia menjadi kalap. Dalam suatu kesempatan, dia menerjang maju terus menusukkan 'poan-koan-pit'-nya kedada lawannya.
Adalah peraturan dalam ilmu silat, jalah “satu dim pendek satu dim berbahayanya.” 'Poan-koan-pit' adalah senjata yang pendek. Kelihaiannya jalah untuk mengambil kemenangan dengan jurus-jurus nya yang berbahaya. Pikir Tiong Su, Tan Keh Lok pasti akan mundur atau sekurang-kurangnyanya menyingkir. Dan ketika itu, dapatlah dia lolos.
Poan-koan-pit itu bergerak keatas dan kebawah, mengarah jalan darah “hian-ki” dan “Hit-Cian” pada dada Keh Lok Tapi diluar dugaan, ketua HONG HWA HWE itu menarik turun tangannya kiri dan 'tun-kiam'-nya menabas kebawah. Pada 'tun' atau perisai itu, ditanCapkan sembilan batang pedang terkait yang tajam.
Tiong Su gelagapan, untuk menarik poan-koan-pitnya sudah tak keburu lagi. Maka begitu sepasang pitnya kebentur dengan kiam-tun, Cepat-cepat a dia tarik pulang. Tapi Keh Lok telah mendahuluinya untuk menyabet dengan Cu-soh, sehingga kedua kaki Tiong Su tergubat. Dan sekali dilontar se kuatduanya, tubuh Tiong Su melayang kedalam lautan api.
Ketua HONG HWA HWE itu terlanyur mengumbar kemarahannya Maka menyusul dengan itu, dia balingkan lagi Cu-sohnya menghantam punggung Co Im.
“Aduh “ jerit Co Im kaget dan kesakitan sekali, karenanya gerakannya pun menjadi lambat. Dengan tak sia-siakan kesempatan, Tay Thing menghantamkan 'sam-Ciat-kun'-nya dan tepat mengenai paha lawannya. Tay Thing gemas sekali akan mulut Co Im yang kurangajar tadi, jadi dia gunakan seluruh tenaganya untuk menghantam. Akibat nya, paha si-wi itu hanCur.
Pada saat itu, rombongan HONG HWA HWE sudah dapat keluar dari pagar tembok. Sedang Pan San yang melindungi dibelakang, tampak berhantam dengan tiga orang jago bayang kari.
“Ayo, mundurlah!” seru Keh Lok ketika menghampiri sembari melambaikan tangan.
Sedang dilain pihak, dalam tiga jurus saja, Wan Ci kelihatan tak dapat bertahan dari serangan 'siang-kao' Jun Hwa. Terpaksa ia mundur. Jun Hwa tak mau mendesak, hanya berputar kekanan dan mengajunkan kepalannya pada seorang si-wi sehingga si-wi itu pesok hidungnya. Dan se Cepat-cepat nya, Jun Hwa sudah merampas sebatang obor, terus menyulut sumbu yang dipadamkan oleh siorang bertudung tadi. Gegap gempitalah kegemparan pasukan Ceng, sedang dalam pada itu, rombongan HONG HWA HWE sudah menyingkir semua, Swi Tay Lim, Cu Wan dan lain-lain. si-wi sedianya akan terus mengejar, tapi tibas dilihatnya asap hitam bergulung-gulung keatas dan sekali sinar api yang terang benderang berkilat, maka terdengarlah suara letusan dahsyat memeCah bumi. Seketika CuaCa menjadi gelap dengan gulungan asap, dan pecahan genteng serta batu beterbangan keseluruh penyuru.
Anakdua tangsi sama mengetahui bahwa itulah obat pasang yang meledak, mereka, burus tengkurap ketanah. Obat pasang didalam gedung berloteng itu, ber-petidua banyak sekalinya maka letusan segera terdengar susul menyusul. Sekalipun orang-orang itu berada ditempat yang jauh jaraknya dengan gedung itu, namun mereka tak sekali-kali berani bangun. Walaupun demikian, tak urung ada berpuluh orang yang kepalanya berdarah ketimpah pecahan batu atau genteng. Hoan Tiong Su, itu si-wi yang kejam, karena dilemparkan kedalam api oleh Keh Lok tadi, sianga tubuhnya sudah hanCur ber-keping-keping kena ledakan obat.
Setelah orang- tangsi itu berani berbangkit lagi, rombongan HONG HWA HWE sudah lenyap dari pemandangan. Swi Tay Lim pimpin pasukan berkuda untuk mengejar kearah tenggara (timur selatan), barat daya dan keempat jurusan lain. Yang pimpin pengejaran kesebelah barat, adalah perwira Can Tho Lam.
Belum lama berjalan, mereka berpapasan dengan Wan Ci yang berjalan kembali sambil menuntun ayahnya. Girang sekali Tho Lam, lalu Buru-buru memberikan kudanya.
Kiranya ketika tahu sang ayah ditawan, tanpa hiraukan apa-apa lagi, Wan Ci nekad mengejar. Rombongan HONG HWA HWE menuju kebarat, karena seorang diri, Wan Ci tak berani terlalu mendekati, hanya menguntit dari kejauhan.
Waktu itu hari belum terang tanah, tetapi ketika rombongan itu sampai dipintu barat, tiba-tiba pintu kota itu terbuka, se-olahdua memberi kesempatan orang-orang itu untuk keluar. Wan Ci memutar kelain jurusan, pada sebuah tempat sepi, ia memanyat keatas. Tapi karena itu, ketika diawasinya lagi, rombongan HONG HWA HWE tadi sudah tak nampak. Hanya bintang pagi menCorong dilangit, sedang ajam jago kedengaran berkokok. Karena bingung dan sedih memikirkan nasib ayahnya, nona itu mendekap mukanya dan menangis.
Tengah dia menangis itu, tiba-tiba ada suara lemah lembut menegurnya: “Wan Ci, aku disini.”
Sukar dilukiskan rasa kegirangan sigadis itu ketika dike tahuinya bahwa orang yang berdiri dibelakangnya itu adalah ayahnya sendiri. Ia loncat menubruk dan merangkul sang ayah.
“Ayah, apa kau tidak terluka?” tanyanya segera.
“Tidak,” sahut orang tua itu.
Wan Ci sesepkan kepalanya kedada sang ayah, dan berbisik menanya: “Bagaimana dengan dia?”
Tapi Khik Siu tak menyahut, hanya gelengkan kepala. Tanpa terasa, Wan Ci kucurkan air mata.
Kiranya sewaktu keluar dari pintu kota dan melihat tak ada yang mengejarnya lagi, rombongan HONG HWA HWE lega hatinya. Berjalan tak berapa lama, mereka sampai ditepi sungai. Disitu sudah tersedia belasan perahu model Siauwhin, yaitu yang dienjot pakai kaki. Ma Sian Kun keluar menyambut, dan dengan gembira orang-orang HONG HWA HWE sama naik kedalam perahu. Waktu itulah Hwi Hing berbisik pada Tan Keh Lok: “Li Khik Siu pernah melepas budi padaku. Bun-suko sudah tertolong, baik kita lepaskan Ciangkun itu.”
Tan Keh Lok setuju. Setelah pengikat Khik Siu dikendorkan, dia diletakkan diatas tepi sungai. “Lekas berlajar, kita menuju ke Kahin dulu!” seru Keh Lok.
Setelah berlajar melalui lima teluk, tiba-tiba Tan Keh Lok i* berseru: “Biluk kebarat ke IkCiu, biar Li Khik Siu t jari kita di Kahin!”
Orang-orang sama tertawa ter-bahakdua. Ber-bulandua jerih payah, baru hari itu mereka betuia bebas hatinya. Bun Thay Lay dirawat dengan penuh sayang oleh isterinya. Setelah borgo lannya dipapas dengan 'leng-bik-kiam', maka iapun lalu mengaso.
“Congthocu, orang berkerudung yang menolong Suko itu luka parah sekali. Baik apa tidak kalau kita buka kerudung mukanya itu,” kata Thian Hong.
Memang semua orang pun heran dan ingin mengetahui siapakah gerangan dia itu.
“Dia pakai kerudung muka, tentu maksudnya supaya orang jangan menampak wajahnya. Kurasa lebih baik kita jangan membukanya,” kata Ciu Tiong Ing yang berhati jujur itu. Sim Hi yang sudah banyak sekali sembuhan itu, menggosokkan obat pada luka-luka siorang aneh itu. Karena sekujur badannya sama melepuh terbakar, orang itu tak bisa tidur dan terusduaan mengerang saja. Sim Hi takut, jangan-jangan orang itu mau meninggal. Karena itu, dia Buru-buru melapor.
Keh Lok bersama beberapa kawan menuju kesudut pe-rahu. Mereka melihat bagaimana laku siorang aneh itu, yang ternyata lukanya itu tidak karuan. Mereka pun berkuatir. Orang berkerudung itu masih terus tak sadarkan diri. Dengan kedua belah tangannya, dia garuki mukanya. Rupanya luka pada bagian itulah yang paling hebat rasa gatalnya. Tiba-tiba tangannya kiri menarik kain kerudung mukanya itu dan berserulah orang-orang HONG HWA HWE dengan kaget sekali: “Sipsute!”
Kiranya orang aneh itu ialah si Kim-tiok-siuCay Ie Hi Tong. Hanya saja kini, selebar mukanya sama melepuh mengandung air. Kalau dulunya muka itu sangat Cakapnya, sekarang betul-betul mengenaskan sekali keadaannya.
Orang-orang HONG HWA HWE sama girang dibalik merasa gegetun sekali. Lou Ping menyeka luka-luka dan kotorandua pada muka Hi Tong, lalu dipakaikan obat seperlunya.
Hatinya merasa pilu sekali, ia tahu anak muda itu berkorban karena Cinta padanya. Besar Cinta kasih anak muda itu, sehingga rela dia membuang jiwa untuk menolong Bun Thay Lay supaya orang yang diCintainya itu jangan bersedih. Sekalipun begitu, sukar rasanya Lou Ping untuk membagi Cintanya.
Masih ingat ia akan kegeloan pemuda itu ketika lari dari Thiat-tan-Hung dulu, untuk itu ia masih mendongkol. Tapi ketika melihat pengorbanan pemuda itu menolong suaminya, berobahlah pandangan Lou Ping. Memang Cinta, telah membikin buta anak muda itu. Kalau ditilik dari luka-lukanya, rasanya Hi Tong sukar tertolong jiwanya. Dan kalau sampai terjadi begitu, getaran asmaranya itu akan tetap tak terbalas. Memikir sampai disitu, Lou Ping termenung.
Setelah berlajar beberapa jam lagi, sampailah mereka di Gihong Ma Sian Kun Buru-buru mengundang tabib pandai untuk mengobati Hi Tong dan Bun Thay Lay. Tentang penyakit Bun Thay Lay, berkatalah tabib itu: “Orang ini hanya menderita luka luar, uratduanya kuat sekali, beberapa bulan lagi dia tentu sudah sembuh.”
“Tapi siaoya ini,” kata pula tabib itu menuding kearah Hi Tong. “Lukanya terbakar hebat sekali. Pertama Coba. kuberinya dua thiap obat pemunah raCun kebakar.”
Dari uCapa,n itu dapatlah diketahui, bahwa tabib itu sudah tak berani memastikan sembuh tidaknya Hi Tong, yang sudah tak berdaya lagi. Ketika tabib itu berangkat pulang, tiba-tiba Bun Thay Lay ber-kaokdua keras: “Tempat apa ini? Mengapa orang-orang banyak sekali berada disini?” Nampak suaminya dapat tersedar, Lou Ping menangis kegirangan.
“Toako, kau sudah tertolong bebas!”
Bun Thay Lay bersenyum dan manggutkan kepala kepada sekalian orang, lalu meremkan mata lagi, dia masih keliwat lemah. Sekarang perhatian oranga HONG HWA HWE beralih menguatir kan keselamatan Hi Tong.
“Tapi mengapa Sipsute ini masuk kedalam tangsi Li Khik Siu?” tanya Ciang Cin heran. “Kalau begitu orang yang menunyukkan jalan di bawah tanah itu, tentu dialah. Tapi karena tidak mengetahui, kita malah sudah memukulnya,” kata Siang He Ci.
“Tapi dia menolong Li Khik Siu, entah apa maksudnya?” tanya Siang Pek Ci.
Tak ada jawaban apa-apa, keCuali saling berisik merundingkan. Hanya Thian Hong seorang yang dapat merabah latar belakangnya. Tapi karena kurang jelas dia tak berani mengutarakan.

Hal yang sebenarnya, adalah sebagai berikut: Ketika pertempuran ditepi Hoaggho tempo hari, Wan Ci telah hilang dari rombongan HONG HWA HWE Kebetulan ia melihat sebuah kereta besar, maka Cepat-cepat ia loncat masuk. Ternyata didalamnya ada beberapa perwira Ceng, siapa Coba menghadang Wan-Ci, tapi dapat dipukul mundur oleh nya. Tanpa menghiraukan apa-apa, nona itu menerjang dengan kalang kabut, entah kemana arahnya. Setelah keretanya jauh, baru dia berhentikan kereta itu dan turun.
Ketika menyingkap tenda kereta dan melongok kedalam, ia agak terperanyat. Karena didalam situ terdapat orang yang pernah dua kali bertemu muka dengannya, jakni Kim-tiok-siuCay Ie Hi Tong.
Hanya saja keadaan orang itu, sakit payah. Waktu disingkap selimutnya, ternyata anak muda itu luka parah. Setelah mengaso sebentar, Wan Ci keprak keledainya lagi. dan tiba dikota Bun Kong. Sebagai seorang sioCia dari seorang pembesar tinggi, ia biasa hidup mewah. Begitu masuk kota, ia lalu memilih sebuah hotel yang besar. Justeru hotel itu adalah milik seorang buaja darat yang bergelar “Tong-li-pi-siang” atau warangan didalam gula, nama yang sebenarnya Tong Liok. Tong Liok pura-pura menyambutnya dengan manis, tapi menaruh keCurigaan kepada tetamunya. Betul juga belakangan dia ketahui bahwa Wan Ci itu seorang gadis yang menyaru sebagai lelaki.
Dia berserikat dengan sinshe Ho Su Peng untuk men Celakakannya. Tapi belum sampai terlaksana, buaja itu telah kena dibereskan oleh Siao-Li-Kui Ciu Ki dirumah pelesiran Waktu itu keadaan Hi Tong sudah sedikit sadar. Karena takut dirembet dengan peristiwa buaja itu, dia ajak Wan Ci melarikan diri.
Begitulah setiba dikota Khay Hong, Wan Ci segera menghadap kekantor bupati dan menerangkan dia adalah putera dari Ciangkun Li Khik Siu dari HangCiu, yang dibegal orang ditengah jalan. Pembesar itu memberikan uang dan kereta, dan begitulah kedua anak muda itu dapat sampai di HangCiu dengan tak kurang suatu apa.
Kepada sang ayah, Wan Ci menerangkan bahwa pemuda kawannya itu mendapat luka karena menolongnya dari tangan perampok. Khik Siu berterima kasih dan suruh Hi Tong beristirahat dalam tangsi serta dipanggilkan sinshe untuk mengobatinya.
Kemudian karena melihat orangnya Cakap dan ilmu ke-pandaiannya tinggi, apalagi pernah menolong puterinya. Ciangkun itu ada ingatan akan mengambil mantu pada Hi Tong. Sedikitpun tak diketahuinya bahwa pemuda yang telah di penujuinya itu, adalah salah satu tokoh yang terpenting dari HONG HWA HWE
Beberapa bulan kemudian, hati Wan Ci tampak risau. Tahu ia bahwa anak muda itu sebenarnya adalah pihak lawan dari ayahnya, tapi apa mau dikata, hati sinona telah punya bayangan dari wajah anak muda itu. Malam ia bermimpi ketika Hi Tong berada di hotel dengan senyumnya yang manis sewaktu menghadapi musuh, dan bagaimana merdu rajuan suling dari anak muda itu. Dan bagaimana selama dalam perjalanan itu, ia rawat luka sianak muda dengan penuh kesajangan. Anehnya, entah pengaruh apa yang menyebabkan ia dapat mengatasi diri untuk tidak mengeluarkan perangainya yang anehdua itu. Sekali-kali ia tak suka sianak muda itu menCelah kelakuannya.
Setelah luka Hi Tong mulai sembuh, orang-orang HONG HWA HWE melaku-kan penyerangan ketangsi. Sewaktu Hi Tong buang jiwa untuk menolong ayahnya, Wan Ci girang bukan buatan. Dikiranya anak muda itu sudah berobah pendiriannya dan berdiri dipihak ayahnya. Tapi lamunannya itu segera dibujar kan dengan adanya kenyataan, ketika Hi Tong menolong Bun Thay Lay, kemudian lalu mengikuti pergi dengan rombongan HONG HWA HWE
Begitulah sekujur tubuh Hi Tong melepuh berair. Duduk maupun dibuat tiduran, rasanya sakit. Ada 4 orang thauwbak yang bergiliran mendukungnya selama berlajar dengan perahu itu. Karena hanya bagian tumit kakinya saja yang tak ter luka, maka ia masih bisa berdiri.
“Kurasa pemerintah tentu takkan tinggal diam dengan tindakan kita ini. Sebaiknya kita Cari daya untuk menjaga diri,” Hwi Hing menyatakan pendapatnya.
“Benar, Suso, Ciang-sipko, kamu bawa delapan orang thauwbak untuk mengantar Bun-suko dan Ie-sipsute kegunung Cian-thian bok,” kata Keh Lok.
Lou Ping dan Ciang Cing mengiakan.
“Karena kehilangan pesakitan penting, baginda tentu akan gerakkan pengejaran besaran, kurasa kalau hanya kalian berdua itu masih kuranglah,” Ciu Tiong Ing memberikan pandangannya.
“Ya, Ciu-Locianpwe benar,” jawab Keh Lok. Tapi belum sampai dia menunyuk siapa orangnya, keburu Thian Hong menyelak :
“Mengapa kita tak mau turut akan tipu dari suhu Tio-samko, biarkan pemerintah Ceng mendapat hidung pan jang .”
Tapi Bu Tim gelengkan kepalanya.
“Suhu Tio-samko itu waktu sudah berusia tinggi, dia sudah undurkan diri, jadi tak apalah kalau pura-pura meninggal. Tapi Sute masih muda, darahnya panas, tentu tak tahan menderita hinaan,” demikian katanya.
Kiranya suhu dari Tio Pan San, Ong Liang Ki, adalah ahli Thay Kek Pai yang kenamaan dari kota TTnCiu. Semasa mudanya pernah bermusuhan dengan jagoan besar dari Shansi yang bernama Seng Kiao. Seng Kiao kena dijatuhkan, dan bersumpah nanti sepuluh tahun lagi akan menuntut balas.
Sepuluh tahun lamanya, Seng Kiao menyiksa diri berguru pada Cabang Houw Jiau Kun, ilmu silat Cakar Harimau, dan tepat pada waktunya ia pergi keselatan menCari Liang Ki.
Sebenarnya ketika itu Ong Liang Ki sudah undurkan diri. Dia sudah tawar akan kebanggaan nama yang kosong. Apalagi tenaganya sudah banyak sekali berkurang, sedang lawan kabarnya sudah mendapat kemajuan pesat sekali, jadi mungkin tak dapat menghadapinya. Karenanya dia gunakan tipu pura-pura mati. Diruangan depan diatur meja sembahjangan dan di letakkannya peti mati.
Mengetahui musuh besarnya sudah menutup mata, Seng Kiao menangis didepan peti mati. Dia tangisi jerih payahnya selama sepuluh tahun itu, kini tak berguna sama sekali. Jadi sakit hati itu tak dapat dilampiaskan.
Habis bersembahyang , dia gunakan jari tangan menggaruk peti mati, sehingga kelima jarinya itu meninggalkan bekas dalamdua pada peti itu. Tio Pan San adalah murid nomor dua. Demi dilihatnya, Seng Kiao begitu kejam menghina seorang mati, timbullah kemarahannya. Dari berCekCok lalu menjadi perkelahian. Tapi Pan San bukan tandingannya Dia kena digaruk rambutnya sampai kepalanya botak separoh.
Tio Pan San mendendam sakit hati. Selanjutnya lalu ber sungguhz meyakinkan ilmu silat Thay Kek Kun. Lima tahun kemudian seperti sang suhu, Pan San gunakan gerak tipu “Ya-ma-hun-Cong” atau kuda Uar membagi bulu suri, suatu tipu yang digunakan oleh gurunya dulu, dan berhasil merobohkan Seng Kiao.
Dan sedari itu, Tio Pan San diangkat sebagai Ciang-bun-jin (ahliwaris) dari Cabang Thay Kek Pai. Tio Pan San memperingatkan kepada murida yang belajar didalam perguruan itu, supaya menyauhkan permusuhan dengan orang, karena ilmu itu tidak ada batasnya. Setiap Cabang mempu nyai ahlidua luar biasa sendiridua, jadi tak boleh terlalu membanggakan diri. Peristiwa itu teruwar luas dikalangan kangouw.
Semua orang-orang HONG HWA HWE pun menyetujui pendapat Bu Tim. Meskipun tipu “pura-pura mati” dapat menyiasati pemerintah Ceng, tapi mengunjuk kan kelemahan. Dapat diduga Bun Thay Lay tentu tak menyetujuinya.
“Congthocu, sudahlah jangan hiraukan aku. Lo-thocu tinggalkan pesan mengenai gerakan besar untuk membangun-kan lagi derajat bangsa Han. Congthocu, kau tentu dapat melakukannya. Sekarang baginda sedang berada di HangCiu, mudah menCarinya,” demikian tiba-tiba Bun Thay Lay berseru.
Keh Lok seperti orang tersedar, maka jawabnya: “Ya, biar kumenghadap pada baginda dan mengatakan bahwa rahasianya telah kita ketahui. Dengan begitu dia tentu akan menganggap orangs HONG HWA HWE ini semua adalah duri perintang baginya, dan harus dihukum mati semua. Jadi dengan demikian dia tidak memusatkan kebenciannya pada Bun-suko seorang saja.”
Mendengar pendapat ketua itu, orang-orang sama bertepuk tangan dengan girang.
“Kiu-te, apakah selama beberapa hari ini di HangCiu diadakan persidangan agung?” tanya Keh Lok.
“Tidak ada. Tapi malam ini akan diadakan pemilihan ratu kembang!” jawab Jun Hwa.
“Ratu kembang? apakah itu?”
“Ah, ratu kembang pelacur, tentunya. Nanti malam di telaga See-ouw ramainya bukan buatan,” kata Jun Hwa dengan ketawa.
“Kita panCing baginda supaya datang ketempat pelesiran. Congthocu, kaupun harus keluar supaya menemui baginda,” kata Thian Hong.
Mendengar tempat pelesir dan sebagainya, Cin Ki kerutkan alisnya kurang senang.
“Huh, makin lama kau ini makin tak karuan. Masa Congthocu kau suruh ketempat pelesiran,” demikian omelnya.
“Ah, hanya perlu menemui baginda saja, tak mengapalah,” jawab Thian Hong.
“Tapi kukuatir, dia tak mudah dipanCing,” kata Keh Lok.
Semua orang terdiam, mengasah otak.
“Kita bekerja tak boleh kepalang tanggung, tawan saja raja itu, paksa dia luluskan permintaan kita, atau habisi saja jiwanya, Coba lihat dia bagaimana,” kata Bu Tim.
Kembali orang-orang sama melengak tak ada yang berani buka suara.
“Dia menangkap Bun-suko, kita balas tangkap dia, kan sudah selajaknya,” kata Keh Lok.
Tahu sang ketua menyetujui usulnya, Bu Tim girang, katanya kepada Thian Hong: “Ayo, kita pergi kesarang pelesir, takut atau tidak?” — Lalu ia melirik pada Ciu Ki, dan lanjutkan kata-katanya: “Aku seorang pertapaan, juga akan pergi. Kalau bisa menawan baginda, pastilah hebat.”
Semua orang ketarik dengan kata-kata tojin itu. Untuk menawan Kian Liong, mungkin tak mudah, tapi mereka tampak bersemangat. Semua mata tertuju pada Thian Hong, untuk menunggu buah pikiran si “Khong Beng” ini. Lama juga dia berpikir, baru berkata: “Ada suatu daya, entah dapat disetujui atau tidak?”
Dan segera dibeberkannya rencananya.
“Bagus, bagus! Tak keCewa kau menjadi 'Bu-Cu-kat'. Andainya tak berhasil, kitapun tak rugi,” seru Hwi Hing memuji.
Ciu Ki tersenyum puas, karena orang memuji tunangan nya.
“Ya, begitulah. Sebaiknya kita lekas bekerja. Suso, Sipkp, pergilah kebarat. Tunggulah kita disana. Gagal atau berhasil, kita nanti bertemu lagi disana,” kata Keh Lok kemudian.
Kalau semua saudara-saudaranya sama gembira, adalah Ciang Cin yang mendongkol, karena tidak bisa ikut. Demikianlah rombongan besar HONG HWA HWE lalu menuju ke HangCiu, sedang Lou Ping dan Ciang Cin mengantar Bun Thay Lay dan Hi Tong beristirahat kegunung Cian Thian Bok.
Dilain pihak mendapat laporan dari Cu Wan dan lain-lain si-wi tentang kegagalannya ditangsi Li Khik Siu, baginda Kian Liong terperanyat. Tapi dia orangnya kuat sekali pe rasaannya, marah atau girang tak kentara. PerCuma saja si-widua itu dihukum, karena toh pesakitan sudah terampas musuh. Malah dia menghibur kawanan si-wi itu.
Hal itu diluar dugaan mereka, sehingga mereka tersipu-sipumenghaturkan terima kasih. Pun idem dengan Li Khik Siu yang datang menghadap. Jenderal itu masih tetap dipakai nya, dengan sjarat dia harus mendirikan pahala guna menebus dosanya itu.
“Lakukan sebisanya, babatlah HONG HWA HWE sampai akarduanya, disinilah nanti kutempatkan kau,” kata Kian Liong.
Waktu itu baginda lagi berada dikantor gubernur Ciat-kang. Jadi maksudnya, kelak kalau berjasa Khik Siu akan diangkat menjadi gubernur propinsi Ciatkang. Mendengar itu hati Khik Siu bergoncang keras, dan Buru-buru menghaturkan terima kasih.
Setelah Khik Siu berlalu, maka Kian Liong kembali pikiri tentang peristiwa Bun Thay Lay itu. Apakah orang itu mengetahui tentang rahasia dirinya? Ditilik dari perCaka pannya rupanya orang she Bun itu masih belum tahu. Tapi kalau melihat perubahan mukanya orang itu mengandung banyak sekali rahasia. Bukankah dia pernah mengatakan, bahwa ada dua buah barang bukti yang berada diluaran? Mungkin hal itu benar, tapi barang apakah itu? Kalau dirinya itu seorang Han, itulah benar. Namun kalau sampai hal itu teruwar, bukankah akan hebat akibatnya?
Demikian Kian Liong timbul tenggelam dalam pikirannya, sewaktu dia berada didalam kamarnya. Makin dipikir, makin murkalah. Karena sebagai yang dipertuan, masa tak dapat menandingi sekelompok kecil gerombolan penyahat. Apalagi rahasianya, berada ditangan mereka, tentu mereka akan lakukan pemerasan hebat.
Saking gemasnya, dia banting sebuah vaas giok hijau kelantai, sehingga hanCur ber-keping-keping. Mendengar itu, kawanan si-wi yang menjaga diluar kamar, sama gemetar ketakutan. Sampaipun rasanya bernapas saja tidak berani. Memang jitu bunyinya ucapan “menghamba pada seorang raja, seperti menghamba pada harimau.”
Tengah keadaan hening luar biasa, tiba-tiba dari luar sajupdua terdengar suara musik yang mengalun merdu dari jauh mendekat, setelah melewati kantor pembesar itu lalu men jauh pula. Dan tak lama kemudian, kembali se-iringduaan penabuh musik itu lewat lagi.
Kaisar Kian Liong adalah satu raja periang, terhadap musik biasanya sangat suka, kini mendengar alunan musik yang begitu merdu meraju kalbu itu, tak tertahan hatinya tergerak, segera ia berteriak memanggil orangnya.
Lalu masuklah seorang menteri, ialah Ho Gun, seorang kepercayaan Kian Liong yang paling belakang ini sangat disayang nya, dasar Ho Gun ini pandai mengambil hati jun jungannya, maka berulang kali ia naik pangkat dan dapat hadiah. Kini mendengar teriakan sang kaisar, maka kawan sejawatnya mendorongnya maju.
“Suara tetabuhan diluar itu permainan apakah itu, Coba kau pergi menanya,” demikian perintah Kian Liong.
Segera keluarlah Ho Gun dengan tugas itu. Tak lama kemudian iapun kembali dan melapor: “Hamba sudah keluai menanya jelas, katanya malam ini semua bunga raja terkemuka dikota HangCiu ini akan berkumpul di Se-ouw untuk memilih apa yang disebut 'Hoa-kok-Cong-goan' (Cong-goan gelar ujian sastra terkemuka dijaman feodal. Disini dapat disebut “ratu kembang”), malahan juga ada Pong-gan, Tam-hoa, Toan-loh (semuanya gelar dibawah Cong-goan) .”
“Kurangajar, masakan namadua kebesaran negara dibuat permainan dan disalahgunakan!” omel Kian Liong sambil tertawa.
Melihat wajah sang junyungan bersenyum, Ho Gun menjadi berani, maju setindak lantas ia bisik-: “Konon katanya 'Ci-tong-su-yan' yang terkenal di HangCiu sini juga akan hadir kesana.”
“Apakah 'Ci-tong-su-yan' itu?” tanya Kian Liong.
“Sebenarnya hamba sendiripun tidak tahu,” sahut Ho Gun. “Tadi sesudah menanya penduduk orang sini, barulah diketahui itu adalah nama empat bunga raja yang paling terkenal. Sekarang di-manaa diseluruh kota orang justeru lagi ramai memperbincang kan siapakah diantara mereka yang bakal terpilih menjadi ,ratu kembang'.” “Kalau ujian Cong-goan negeri aku sendirilah yang me nunyuk, lantas pilihan 'ratu kembang' ini siapakah yang me-nentukan? Masa masih ada seorang raja kembang?” ujar Kian Liong tertawa.
“Biasanya pilihan itu ditentukan oleh para orang-orang terkemuka dikota ini,” kata Ho Gun. “Tampaknya tahun ini terlebih ramai lagi, setiap bunga raja terkenal itu menumpangi sebuah perahu kembang, perahu itu dihias segala macam benda mestika yang diterimanya dari tetamu yang pernah kenal padanya. Masih ada lagi barisandua musik, katanya akan melihat perahu kembang siapa yang paling mewah, kemudian baru ditentukan hasil pilihannya. Iringkan musik yang lewat tadi, kesemuanya menuju ke Se-ouw.”
Kian Liong menjadi terpesona oleh Cerita menterinya itu, segera, ia tanya lagi: “Bilakah mereka mulai permainan itu?”
“Sudah hampir, asal hari sudah gelap, segera disemua perahu kembang terang benderang dengan lampu aneka warna, dan mereka yang akan dipilihpun tibalah,” terangkan Ho Gun. “Jika sekiranya Hongsiang ada minat, bagaimana kalau Coba-coba pergi melihat keramaian itu?”
“Ah, takutnya kalau dibuat kritik orang,” ujar Kian Liong tertawa. “Apa lagi bila diketahui Thayhou (ibusuri), tentu aku bakal mendapat Comelan. Haha!”
“Asal Hongsiang menyaru sebagai penduduk biasa, sekedar menonton keramaian itu, rasanya tiada orang luar bisa tahu,” kata Ho Gun pula.
“Baiklah,” kata Kian Liong akhirnya. “Kau suruh semua tutup mulut, diam-diam kita menonton sebentar lantas kembali.”
Segera Ho Gun melayani Kian Liong mengenakan suatu baju panjang dari sutera dan berdandan sebagai seorang saudagar besar. Ia sendiripun menyamar seperti saudagar biasa, sesudah membawa Pek Cin dan beberapa bayang kari lain, lantas pergilah mereka menuju Se-ouw.
Setiba disana, ternyata sudah ada seorang bayang kari me-nyiapkan sebuah perahu pesiar sedang menanti. Tatkala itu diseluruh telaga di-manadua terdengar suara tetabuhan, lampu ber-kelipdua, pemandangan indah luar biasa.
Ditengah telaga sudah ada lebih dua0 perahu kembang yang terhias indah sekali disinari lampudua yang terang.
Ketika Kian Liong suruh perahu didajung mendekatinya, terlihatlah diantara lampudua berselubung sutera itu semuanya ditisik dengan lukisan dari berbagai macam Cerita kuno, terutama mengenai romanse orangs ternama dahulu. Menyak sikan semuanya itu, diam-diam Kian Liong gegetun akan segala keindahan didaerah Kanglam yang ternyata tak bisa dibandingi daerah utara itu.
Ber-iringdua perahudua pesiar dari kaum pelesiran, mondar mandir ditengah telaga itu. Rupanya mereka tengah memberi nilai akan perahudua Calon ratu.
“He, mengapa mereka hanya melihat perahu bukan orang nya. Apakah 'Cong-goan' itu dinilai dari bagusnya perhiasan perahu?” tanya Kian Liong.
“Biar hamba tanyakan mereka”, jawab Ho Gun.
Tapi baru saja menteri itu akan keluar, tiba-tiba terdengar genderang dipukul, dan seketika itu segala bebunyian menjadi sirap. Menyusul dengan itu melayang lah kembang api keatas udara, terang benderang Cahajanya, kemudian jatuh kedalam telaga.
Bermula yang diluncurkan adalah kembang api yang merupakan tulisan “Negara makmur, rakyat sejahtera,” “Dirgahaju Seri Baginda.” Melihat itu, Kian Liong merasa puas. Menyusul lagi “Beribu bunga merebutkan keCantikan,” “Mengaum-aum sang kumbang mengisap bunga” dan lain-lain istilah kaum pelesiran.
Sehabis kembang api, tetabuhan kembali dibunyikan. Setelah irama “Gembiralah sang burung beterbangan” dilagukan habis, mendadak semua perahudua Calon ratu disingkap tenda lajarnya. Pada setiap perahu tampak duduk seorang wanita Cantik, yang disambut dengan sorakan dari segala penyuru.
Beberapa si-wi menghidangkan arak dan sajuran serta menyilahkan baginda untuk menikmati arak dan pemandangan yang mentajubkan itu. Ber-alundua perahu pesiar baginda itu menghilir, lewat disamping perahudua wanita Cantik itu. Makin sang mata memandang, makin sang hati tergetar. Sudah banyak sekali sekali Kian Liong melihat wanitadua Cantik dalam keraton, tapi sekali ini lainlah halnya.
Air telaga yang putih ke-perakduaan ditimpah Cahaja lampu teng, bau harum semerbak dibawa siliran angin, sungguh membuat hati tersengsam me-layang-layangdilain keinderaan.
Tampak pada setiap perahu mereka, ada sebuah meja yang ditutup dengan kain taplak merah. Entah untuk apa itu. Baru setelah Ho Gun tanya pada tukang perahu, dike tahuinya bahwa sebentar lagi orang-orang yang pesiar di telaga itu akan memberi hadiah yang akan ditaruhnya diatas sutera merah itu. Barang siapa yang menerima hadiah paling banyak sekali dan paling berharga, itulah tandanya yang dipilih sebagai Conggoan atau “ratu keCantikan.”
Bagindapun dilapori tentang hal itu. Dan kini mulailah perahudua pesiar itu menghampiri apa yang disebut “Hi-tong-su-yan” atau 4 ratu yang Cantik. Perahu mereka berlainan dengan perahua lain. Yang sebuah, berbentuk seperti bunga teratai, dikelilingi oleh tengdua yang menyerupai bunga terate. Ada yang merah, putih dengan daunduanya yang rimbun. Wanita yang didalam perahu itu bernama Pian Bun Tay.
Perahu yang kedua, diatasnya berbentuk dua gardu mewah dan agung sekali. Diatasnya gardu itu digubat dengan mutiara dan dituliskan huruf “giok-lip-thing-thing” atau dua gardu kumala berdiri berjajardua. Kiranya wanita yang berada didalam situ juga bernama “dua thing,” jalan Li Siang Thing.
Perahu yang ketiga, merupakan “kong han kiong,” istana dingin. Ditepi perahu itu diberi payangan ramadua dan giok-tho (kelinCi giok) dan ditaburi bunga kwi-hwa. Disitu, duduklah Go Jun Kwan yang berpakaian model kuno, memegang kipas, menyaru seperti dewi Siang Go (dewi penunggu rembulan).
Pada setiap kali melihat perahudua itu, Kian Liong tak putus-putusnya memuji. Ketika mendekati perahu yang keempat, ternyata perahu itu dihias dengan pohon dan bunga tulen, merawan hati sekali. Begitu indah payangannya, sehingga merupakan lukisan pemandangan alam dari seorang pelukis yang ternama. SiCantik yang duduk diperahu itu, mengenakan pakaian serba putih. Sajup- tampak seperti bidadari turun dari kahjangan.
Saat itu siCantik sedang duduk mungkur menghadap ke sebelah sana. Begitu ingin sekali Kian Liong memandang wajah sijelita itu, sehingga dia lalu menyanyikan sebuah pantun dari Cerita “See Siang Ki” yang menegurnya: “Ha, mengapa tak mau menghadap kemari?”
Seperti tertarik besi sembrani, wanita Cantik itu berpaling kebelakang, dan aduh, senyumnya telah membetot hati raja itu.
Kiranya siCantik itu bukan lain ialah penyanyi yang pernah bertemu di Se-ouw tempo hari, jakni Giok-ju-ih. Berbareng itu disebelah perahu teratai itu. Pian Bun Tay kedengaran menyanyi. Suaranya jauh berkumandang kemanadua dan seke jab saja turunlah hujan bingkisan keatas mejanya, penuh ber-tumpukdua.
La Siang Ting tak mau ketinggalan. Tangannya yang halus segera bermain diatas snaar pi-peh (semat jam harpa Tiongkok), merdu mei-aju, ia mengantarkan lagu “Malam purnama musim semi ditengah telaga.”
Sedang Go Jun Kwan pun menyusul dengan serulingnya. Lagunya ialah “Tamu agung berkendaraan naga.” Mendengar itu, Kian Liong segera perintahkan Ho Gun untuk mengha-diahkan sepuluh tail emas.
Ketika perahu- pesiar mengerumuni perahu Giok-ju-ih, siCantik itu sedang memerahkan bibirnya. Pada lain saat, diantar oleh tiupan seruling, iapun menyanyi.
Aman damai, kota siburung hong. Beribu pintu dari pohon hijau. Jalandua penuh dengan bungaduaan, menarik hati sang kelana. Siapakah ber-pasangdua burung seriti itu? Terpisah dari suasana musim semi, jen deladua tertutup awan hijau. Langit nan gemilang, bunga melati mengintip sepanjang dinding, melingkar bagaikan jembatan. Dalam kelapangan hati, minum teh diatas perahu. Sana sini orang menyual kembang, ber-bilukdua dimuara, menancapkan sebatang pohon liu.
“Hebat! Alam pemandangan Kanglam, memang seperti dalam nyanyian itu”, puji Kian Liong dengan elahan napas.
Kiranya nyanyian Giok-ju-ih itu adalah sjair gubahan Khong Siang semasa tahun pertengahan dari baginda Kong Hi. Sembari menyanyi, mata siCantik tak henti^nya melirik kepada Kian Liong. Sjair tadi mengisahkan sewaktu Cay-Cu-houw Pui Ih mengunjungi penyanyi yang tersohor Li Hiang Kun.
Baginda tergerak hatinya, tahulah beliau apa maksud siCantik itu. Kian Liong, tergolong raja yang gemar akan kesusasteraan. Dalam kunjungannya kedaerah selatan ba-nyak kali beliau membuat timpalan sjair (twi-lian). Para menteri selalu memuji akan buah tulisan baginda, tapi beliau menyang sikan apakah pujian mereka itu memang sesungguhnya.
Seketika itu beliau titahkan Ho Gun untuk menghadiahkan Giok-ju-ih sebanyak sekali lima puluh tail emas.
HangCiu terkenal sebagai tempat yang permai. Setiap tahun di adakan pemilihan ratu keCantikan semacam itu, tentu penuh dikunjungi orang dari segala tempat. Boleh dikata seluruh penduduk disekeliling daerah Hang-Ciu sama ber-dujundua kesitu. Terutama para kongcu dan kaum pelesiran. Karenanya, perahudua nona Cantik itu sudah penuh dengan barang bingkisan. Tapi yang terbanyak sekali adalah perahu keempat bunga berjiwa tadi.
Menjelang tengah malam, panica mulai memeriksa pera-hu-perahu itu. Para nonadua Cantik itu sama menunggu dengan hati ber-debardua juga para penonton.
Kian Liong membisiki beberapa patah kata pada Ho Gun, siapa lalu naik sebuah perahu pulang kegedung negara. Tak berapa lama dia kembali dengan membawa sebuah bungkusan besar.
Pemeriksaan sudah selesai, perahudua pengunyung sama mengerumuni perahu panica, untuk mendengarkan hasilnya. Maka berserulah panica mengumumkan hasil pemeriksaan annya: “Perahu yang mendapat bingkisan paling banyak sekali sendiri adalah kepunyaan nona Li Siang Ting!”
Gemuruh suara orang bersorakdua. Dibalik yang ber-tepukdua kegirangan, ada juga yang memakinya. Mungkin kurang puas. Dan tiba-tiba ada seorang berteriak keras-keras: “Tunggu! Kuhadiahkan sepuluh0 tail uang mas pada nona Pian Bun Tay!”
Dan seketika itu hadiah itu diterimakannya.
Tapi lantas ada seorang lagi berseru: “Aku menghadiahkan sepasang gelang giok dan sepuluh butir mutiara pada nona Go Jun Kwan!”
Benar juga dibawah sinar lampu, gelang batu giok pan-Carkan Cahaja ke-hijauduaan warnanya. Sedang mutiara itu besar lagi bundar, harganya terang melebihi sepuluh0 tail uang emas tadi. Semua sama terhening, rata-rata menduga bahwa kedudukan “Cong-goan” kali ini tentu jatuh pada nona Go Jun Kwan.
Sampai sekean saat, tak ada lagi lain orang yang lebih unggul. Maka segera akan diumumkan keangkatan nona Go itu menjadi “Conggoan.” Tapi tiba-tiba Ho Gun berseru: “Loya kami ada sebuntal hadiah untuk nona Giok-ju-ih!”
Dan bungkusan tadi terus diterimakannya.
Ternyata bungkusan itu terisi tiga bundel tulisan. Kata orang itu kepada salah seorang yang berada di situ: “Sdr. Ban Sia, tentunya pengasih ini bukan orang sembarangan, entah apa saja yang diberikannya?”
Lalu disuruhnya orang membuka.
Sedang waktu itu, Kian Liong suruh Ho Gun Cari keterangan tentang siapa-apa yang menjadi panica itu. Sebentar pula Ho Gun sudah kembali dan menghaturkan laporan : “Ketua panica itu adalah seorang sasterawan bernama Wan Bwe dari keluarga Wan Cu Cay. Sedang lain-lainnya adalah orangs terkemuka didaerah Kanglam sini.”
“Memang sudah kudengar, Wan Bwe itu gemar akan ramaidua, ja, memang demikianlah dia,” kata Kian Liong dengan tertawa.
Bundelan kesatu telah dibuka, tapi isinya membikin ter kejut panicadua itu. Itulah sjair gubahan Li Gi San. Orang yang di panggil “Ban Sia” oleh ketua panica tadi sebenarnya bernama Li Oh. Dia juga orang HangCiu situ. Dia jempol dalam hal sjair menyair, dan gubahannya pun terkenal sekali, sehingga menjadi salah suatu keharusan yang dibaCa oleh kaum sasterawan jaman itu.
Menampak buah tulisan penyair Li Gi San itu seketika itu juga Li Oh berseru memuji: “Inilah mustika yang tak tertara harganya!”
Salah seorang Anggota panica lagi, Thio Ik Sin, juga seorang penyair, Buru-buru membuka bundelan yang kedua. Ternyata isinya adalah lembaran panjang dari lukisan Ko Ceng pada ahala Song. Diatasnya terdapat Cap baginda Kian Liong. Melihat itu, Wan Bwe bertanya dengan keheranan. “Sdr. Sim, Ciang toako, Coba lihat dibundelan itu terisi apa lagi?”
Yang dipanggil Sdr. Sim tadi sebenarnya bernama Sim Tek Cian, alias Kui Ih, penyair terbesar dijaman itu. Dengan Wan Bwe orang she Sim itu pernah mendapat gelar Cinsu. Waktu itu terjadi pada tahun keempat dari pemerintahan Kian Liong. Hanya yang satu selagi masih muda tapi yang lainnya sudah berusia tua. Karena sewaktu memperoleh gelar Cin-su, Wan Bwe baru berusia dua4 tahun, sedang Sim Tek Cian sudah berusia lebih dari enam0 tahun. Karena usianya itu,
penduduk Kanglam memberi julukan “Kanglam lo-bing-su,” orang tua pandai dari Kanglam.
Orang she Ciang itu bernama Su Cwan, alias Sin Ik. Dengan Wan Bwe dan Thio Ik Sin dia merupakan tiga se rangkai “Kang-Co-sam-tay-ke,” tiga keluarga sasterawan dari Kanglam.
Kedua orang itu tak dapat menyawab suatu apa, maka Sim Tek Cian mengusulkan supaya diadakan pembicaraan yang lebih mendalam. Pada sebelah kanan dari perahu itu, juga ada dua orang sasterawan terkenal yang diundang oleh Wan Bwe. Yang satu bernama Ki Siao Hong dan satunya bernama The Pan Kiao.
“Menurut pendapatku, dua perangkat tulisan dan lukisan ini sudah merupakan benda yang tak ternilai, sudah teranglah juara jatuh pada Giok-ju-ih,” kata Ki Siao Hong tertawa.
“Dan barang apakah gulungan ketiga itu, marilah kita memeriksanya dahulu,” ujar The Pan Kio.
Waktu gulungan kertas ketiga itu dibuka, ternyata isinya adalah tulisan sajak gubahan Auwyang, Siu yang tersohor, sajak itu ditulis secara polosan sajas tanpa tambahan, tiada tanda tangan penulis, tapi gaja tulisahnya sangat indah.
“Gajanya sudah Cukup, tapi tenag'anya kurang,” ujar The Pan Kio.
“Sssst,” tiba-tiba Sim Tek Cian mendesis. “Tahulah kau ini adalah tulisan pribadi Hongsiang sekarang?”
Semua orang menjadi terkejut tak berani banyak sekali omong lagi. Maka Wan Bwe lantas berteriak memberi keputusan : “Menurut pertimbangan panica dengan buktidua kenyataan, Cong-goan jatuh pada Giok-ju-ih, Pong-gan dimiliki Go Jun Kwan dan “
Seketika bergemuruhlah seluruh telaga Se-ouw itu dengan suara sorakan.
Wan Bwe cs. tahu yang menghadiahi tiga gulung lukisan tadi kalau bukan keluarga kerajaan, tentulah pembesar tinggi yang terkemuka, tapi kapal dimana pemberi hadiah itu berada remangs tak jelas dalam kegelapan, pula kuatir kalau tingkah-laku mereka tentang pemilihan, 'ratu kembang' segala ini kelak bakal mendapat Celahan, terpaksa sebelum puas mereka pesiar lantas barua mendarat pulang.
Selagi Kian Liong juga akan pulang, tiba-tiba terdengar Giok-ju-ih telah menyanyi pula diperahunya. Mendengar suara nyanyian yang meraju kalbu itu, tak tertahan sang kaisar menjadi mabuk. “Coba kau panggil anak dara itu,” katanya pada Ho Gun.
Segera Ho Gun menerima tugas itu, tapi sebelum keluar Kian Liong menambahinya: “Tapi jangan kau terangkan siapa aku!”
“Ya, hamba mengarti,” sahut Ho Gun terus menyeberang keperahunya Giok-ju-ih.
Selang tak lama, kembalilah menteri itu membawa seCarik surat dihaturkan kepada Kian Liong dan lapornya: “Ia menulis ini dan minta diserahkan pada baginda.”
Ketika Kian Liong membaCanya, kiranya itu adalah sebuah sjair yang maksudnya menampik halusan dan bilang besok saja bertemu kembali.
Kian Liong tambah tak tahan oleh kelakuan orang, semakin dingin orang yang diingininya, semakin ia mendesak. Kian Liong seorang kaisar yang tidak kurang beratus selir diista nanya, selira itu berharap bisa berkumpul semalam saja dengan sang junyungan tidaklah mudah. Tapi aneh, kini Kian Liong benar-benar ter-giladua. Agaknya inipun sifat manusia, kalau sudah biasa memerintah menurut sukanya, harini mendadak Giok-ju-ih 'jual-mahal' terhadapnya, hal ini dirasa kannya menjadi serba baru.
Maka katanya lantas pada Pek Cin ketika melihat perahu Giok-ju-ih telah didajung pergi: “Lekas suruh tukang perahu menyusulnya!”
Melihat sang junyungan gugup, lekasan saja semua orang ikut mendajung hingga lambat-laun perahu Giok-ju-ih sudah tersusulnya.
Sambil berdiri didepan perahu, Kian Liong melihat lampudua yang tadinya memenuhi telaga itu kini sudah sirap, bunyi tetabuhan juga sudah lenyap, sebaliknya diperahu Giok-ju-ih malah berkumandang suara nyanyia kecil diselingi suara tertawa orang.
Selagi kedua perahu sudah makin dekat, mendadak tenda jendela perahu kembang itu tersingkap, lalu segulung barang ditimpukan kearah Kian Liong. Lekas-lekas Pek Cin melompat maju menyambuti benda itu. Ternyata barangnya lunak empuk dan bukan senjata rasia, lantas ia serahkan pada Kian Liong.
Waktu Kian Liong periksa, ternyata adalah sepotong handuk merah, pada empat ujung handuk itu saling ikat mem-bungkus dua buah jeruk kuning. Handuk itu halus lagi harum, seketika Kian Liong kesemsem tak terkatakan.
Tak lama lagi, perahu kembang itu sudah menepi, dibawah Cahja lampu terlihatlah Giok-ju-ih mendarat dan naik ke atas sebuah kereta kuda kecil yang sudah menunggu disitu. Betapa tidak membikin sang kaisar lebih ter-giladua ketika Giok-ju-ih akan menurunkan tirai kereta itu, lebih dulu ia telah menoleh dan menyampaikan senyuman menggiurkan kearah Kian Liong.
Disamping kereta kuda itu tadinya ada dua orang dengan memegang obor sedang menunggu, kini obor itu telah dibuang dan kereta itupun menghilanglah dikegelapan.
“Hai, hai, tunggu dulu, tunggu!” segera Ho Gun ber-teriakdua.
Tapi kereta itu tidak pernah berhenti, suara derapan kuda ber-detakdua dan lambat-laun sudah menyauh.
“Lekas Cari kereta!” Cepat-cepat Ho Gun memberi perintah.
Tapi jauh malam ditepi telaga itu kemana harus menCari kereta?
Sebagai pemimpin bayang kari Pek Cin membisiki Swi Tay Lim beberapa kata, lalu pergilah Tay Lim dengan ilmu en tengi tubuh hingga tidak lama sudah melampaui kereta kuda Giok-ju-ih terus membentak kusirnya jalan pelahan-lahan.
Dilain pihak Cu Wan tak lama telah dapatkan juga sebuah kereta, mungkin bolehnya merebut secara paksa dengan mengusir penumpangnya.
Setelah Kian Liong naik keatas kereta, Cu Wan sendiri menjadi kusir, dan para pengawal lain mengikuti dari belakang.
Kereta kuda didepan tadi sudah lambat jalannya dan kereta Kian Liong Cepat-cepat menyusulnya. Pek Cin melihat kereta orang lama-lama menuju kedaerah pusat kota yang ramai penduduknya, ia baru lega karena tak perlu kuatir lagi, ia menduga malam ini pasti Hongsiang akan bermalam dirumah bunga raja itu, tapi kemarinnya terlihat wanita itu bergaul dengan orang-orang Hong Hwa Hwe, mungkin ada tipu muslihat nya, hal ini harus ber-jaga- sebelumnya, maka lekas ia perintahkan Swi Tay Lim pergi minta bala bantuan kemari.
Kereta. Giok-ju-ih; itu sesudah melalui beberapa jaian besar, lalu biluk kedalam sebuah gang dan berhenti didepan sebuah rumah'yang pintunya diCat hitam, seorang lelaki telah turun dari kereta dan mengetok pintu. Segera pula Kian Liong ikut turun, dari keretanya.
Ketika pintu dibuka, keluarlah seorang wanita tua me nyingkap tirai, kereta sambil'berkata: “Ah, kiranya SioCia telah pulang, selamat padamu telah terpilih!”
Ketika Giok-ju-ih turun dari kereta dan melihat Kian Liong sudah berdiri disitu, ia maju memberi hormat dan sapanya: “Ai, kiranya Tong-hong loya sudi datang, banyak sekali-kali terima kasih atas hadiahmu tadi. Marilah lekas masuk sekedar minum teh dulu.”
Kian Liong tertawa dan segera ikut masuk. Karena kuatir ada pembunuh, Cepat-cepat sekali Cu Wan sudah mendahului masuk kedalam rumah.
Dalam rumah itu semerbak wangi dengan dua pohon Kui tumbuh dipe'lataran dalam yang bunganya sedang mekar.
Kian Liong ikut Giok-ju-ih masuk kedalam sebuah kamar, disitu terpasang lilin hingga terang benderang, payangan kamar itu Cukuplah indah. Segera saja pelayan menyediakan daharan terdiri dari delapan porsi dengan macamdua masakan yang lain daripada yang lain seperti Kian Liong biasa merasakan didalam keraton.
Tatkala itu Pek Cin cs. sedang meronda diluar rumah, didalam hanya Ho Gun yang melayani, maka Kian Liong memberi tanda agar menteri itu keluar kamar.
Kemudian pelayan menyuguhkan dua Cawan arak, itu adalah “Siau-hin-Ciu” yang sangat terkenal. Giok-ju-ih sendiri minum dulu seCawan, lalu katanya dengan tertawa menggiurkan: “Tong-hong loya, sungguh aku tidak tahu Cara bagaimana harus berterima, kasih padamu?”
“Kau nyanyilah dulu satu'lagu, Cara bagaimana membalas terima kasih, sebentar laki kita rundingkan,” sahut Kian Liong tertawa sambil menlguk araknya.
Tanpa menampik lantas Giok-ju-ih mengambil sebuah pi-peh dan pelahan-lahan dipenClnya, lalu nyanyilah satu lagu romantis yang menCeritakan tentang kaisar Song Hwi Cong main gila dengan Li Su Su yang dibuat bahan sjair oleh penyair Ciu Bi Seng.
Begitu asjik Kian Liong ber-senangdua didalam kamar bersama Giok-ju-ih sambil minum arak dan mendengarkan nyanyian, sebaliknya Pek Cin cs. yang menjaga diluar sedang sibuk luar biasa.
Tatkala itu panglima HangCiu Li Khik Siu yang dimintai bala bantuan sudah datang membawa sepasukan tentaranya dan mengurung rapat-rapat seluruh gang itu. Perwiradua bawahan Li Khik Siu telah menggeledai setiap rumah penduduk di gang itu, hanya tinggal rumah Giok-ju-ih ini saja yang tak digeledah.
Pek Cin dengan sepuluh orang siwi, tak hentiduanya melakukan perondaan diatas atap, sedang barisan pemanah sudah siap menunggu diempat penyuru, Thiat-ka-kun, pasukan baju besi, sudah siap juga. Dengan penjagaan itu, legalah pe-rasaan Pek Cin dan Khik Siu. Sekalipun orang mempunyai kepandaian menembus langit, rasanya sukarlah untuk masuk kesitu.
Setelah sibuk menjaga, se-malamduaan, sampai terang tanah ternyata tak terjadi apa-apa. Setelah Menjelang pagi, diam-diam Ho Gun menghampiri kamar Giok-ju-ih. Dari seladua jendela, Ho Gun melihat dibawah tempat, tidur ada sepa sang sepatu yang dipakai baginda dan sepasang lagi sepatu kecil bersulam. Keadaan dalam kamar itu masih sunyi. Sam bil leletkan lidah, Ho Gun berjalan pergi.
Tapi tunggu punya tunggu, pagi berganti siang, Siang men-jadi sore, ternyata baginda tak kelihatan bangun. Hal itu membuat Ho' Gun heran dan gelisah. Tidak biasa baginda berbuat begitu. Dihampirinya pintu dan katanya dengan bi sikdua: “Loya, apakah ingin bersantap pagi?”
Sampai diulangi beberapa kali, ternyata tak ada jawaban apa» dari dalam kamar itu. Kaget benar Ho Gun dibuatnya. DiCobanya untuk mendorong daun pintu, tapi ternyata di grendel dari dalam. Kini dia mulai berteriak memanggilnya: “Loya!”
Masih kamar itu hening saja, Ho Gun bertambah Cemas. Untuk membuka pintu, masih tak berani dia. Cepat-cepat dia keluar mendapatkan Lie Khik Siu dan Pek Cin.
“Kita suruh induk semangnya yang mengetok pintu dan antarkan hidangan pagi. Bansweya tentu tak marah,” kata Lie Khik Siu.
Pek Cin setuju, lalu mereka menCari si perempuan yang menjadi induk semang. Tapi jangan lagi dia, sedang se orangpun sudah tak ada dalam rumah pelesiran itu. Karena terkejutnya, mereka memberanikan diri untuk mengetok pintu. Tapi meskipun pintu di-ketokdua makin keras, didalam kamar tetap tak ada penyahutan apa-apa.
“Dobrak saja!” seru Khik Siu.
Sekali ulurkan tangan, Pek Cin bikin pintu itu terbuka, besi gerandelannya putus. Masuk lebih dulu kedalam, segera Ho Gun terus menyingkap kelambu. Tapi hanya bantal dan guling yang berserakan diatas pembaringan, sedang baginda dan Giok-ju-ih tak ada lagi. Saking terkejutnya, Ho Gun pingsan seketika.
Pek Cin lekas-lekas panggil siwi untuk menggeledah rumah itu. Peti, lemari dan lain-lain tempat, semua digeledah. Tapi tetap sia-sia. Kawanan si-wi itu kaget dan ketakutan. Terang penjagaan semalam itu sangatlah rapinya. Sampai seekor burung-gereja terbang saja rasanya takkan terhindar dari pengawasan mereka.

Pek Cin sendiri ikut menggeledah seluruh dinding lamar itu untuk menCari tahu kalaudua ada pintu rahasia. Tapi juga tak memberi hasil apa-apa, tak ada tempat yang menimbulkan keCurigaan mereka.

TAK LAMA kemudian, pemimpin besar gie-lim-kun Hok Gong An dan gubernur Ciatkang sama datang ke situ.

Orang-orang sama berkumpul di tengah ruangan untuk berunding.

Kiranya sambil dengarkan nyanyian Giok-ju-ih tadi, baginda telah menenggak beberapa Cawan arak. Dalam pada itu, agaknya Kian Liong sudah tak sabar lagi. “Apakah loya idinkan aku menamani?” tanya Giok-ju-ih dengan tersenyum manis. Kian Liong mesem dan angguk kepala. Giok-ju-ih mela

jani baginda tukar pakaian, lalu ikut berbaring. Tiba-tiba siCantik berbisik: “Aku akan keluar sebentar, baru nanti temani loya.”

Selama rebah diatas bantal itu, Kian Liong menCium be bauan yang harum wangi. Melayang-layang pikiran raja itu. seperti berada disorga. Tiba dirasakan ranyan bergoyang dan mengira tentulah Giok-ju-ih yang datang, “maka serunya pelan-pelan ; “Kau betul-betul anak nakal, Ayo lekas kesini!”

Kelambu tersingkap dan tersembullah sebuah kepala. Di bawah Cahaja lilin tampak muka orang itu penuh dengan bintikdua, air mukanya keren. Masih Kian Liong kurang per Caja pemandangan sendiri, kucek-kucek matanya beberapa kali. Tapi orang itu sudah lantas tandaskan sebuah badidua kearah tenggorokannya dan bisiknya: “Awas kalau berani menjerit, kutusuk!”

Bujar semangat Kian Liong karena terkejutnya. “Secepat-cepat kilat orang itu menyumpel mulut baginda dengan saputangan, lalu menggulung tubuh baginda dengan selimut, terus dipondongnya keluar.

Kian Liong tak berdaya untuk berteriak atau berontak. Selain rasakan orang membawanya kebawah. Hanya dapat membaui hawa udara sangat lembab. Berselang berapa lama kemudian, beliau rasakan seperti diangkat naik tinggi-tinggi. Baru ia mulai insyap, bahwa orang telah membawanya melalui jalan dibawah tanah, pantas kalau kawanan si-wi itu tak dapat mengetahuinya.

Baru berpikir demikian, terasa tubuh beliau bergoncang , dan roda berputar. Tentu dirinya dibawa dengan kereta, entah kemana. Kegontjangan kereta itu makin terasa, itulah tentu jalanan diluar kota. Setelah berlangsung beberapa lama lagi, kereta itu berhenti. Terasa pula oleh Kian Liong, bahwa orang telah memanggulnya keatas, terus makin me naik keatas, hingga terbit kekuatirannya, apakah sebenarnya tempat yang setinggi itu.

Selagi rasakan terapungs diatas udara itu, tiba-tiba dirinya terasa diletakkan diatas tanah. Tak berani beliau bicara, ia menantikan gelagat dengan tenang. Tapi ternyata tak ada orang yang mengurusnya. Ketika disingkapnya selimut yang menutup kepalanya itu sedikit, ternyata keadaan disitu gelap gulita. Sedang dari kejauhan sana samardua terdengar dam paran ombak. Dan ketika didengari dengan lebih seksama, ternyata ada juga suara pohon Siong ditiup angin dan bunyi lonCeng mengalun. Angin terdengar makin menderu. Kare nanya tempat itu terasa bergoncang , takutlah raja itu. Begitu lepaskan kerudung selimut, beliau terus akan berdiri. Tapi tibas terdengar suara orang berbisik: “Kalau masih sa yang jiwa, harap jangan bergerak.”

AnCaman itu, membuat baginda ketakutan. Setelah lama dalam keadaan begitu, angin kedengaran reda, dan suasana-pun nampak terang. Kini Kian Liong dapatkan dirinya berada disebuah kamar kecil. Dimanakah sekarang baginda berada? Tengah memikir-mikir begitu, tiba-tiba terdengar suara berkerutukan. Setelah didengarkan dengan teliti, ternyata itulah sipenjaga yang sedang makan bakmi. Kalau ditilik dari suaranya, terang ada dua orang. Mereka makan dengan enak, dan makanannya itu menyiarkan bau yang sedap sekali.

Karena semalaman hampir tak tidur, Kian Liong rasakan perutnya lapar. Bau makanan tadi, makin menimbulkan seleranya.

Setelah mereka habis gegares bakmi itu, ada seorang yang mengantarkan semangkok bakmi kepada baginda. Hanya saja mangkok itu diletakkan kira-kira 4 meter jauhnya. Ingin benar Kian Liong dahar makanan itu, tapi karena orang tak mengatakan apas, beliau tak mau menanyakannya.

“Bakmi ini untukmu, jangan kuatir, tak ada raCunnya,” tiba-tiba orang itu berkata.
Girang Kian Liong dibuatnya, dan Buru-buru akan duduk. Tapi tiba-tiba tubuhnya terasa dingin dan Buru-buru sesapkan lagi badan nya kedalam selimut. Kiranya semalam Giok-ju-ih telah membuka semua pakaian raja itu, karenanya mana beliau bisa mengambil bakmi itu?

“He, kenapa kau tak mau, kau kuatir diraCun? Coba lihat kumakannya!” orang itu berkata dengan mendongkol. Sehabis itu, dengan Cepat-cepat semangkok bakmi itu digaresnya habis.

Melihat bagaimana muka orang itu penuh dengan bekas luka-luka yang menakutkan sekali kelihatannya, Kian Liong gentar juga.
“Aku tak berpakaian, harap kau ambilkan seprangkat un-tukku”, katanya kemudian.
Sudah menjadi kebiasaannya sebagai raja, walaupun menggunakan kata-kata “harap” ,tapi nadanya seperti orang memerintah.

“Hm, loCu tak sempat!” Bentak orang itu yang ternyata bukan lain adalah Kui-kian-Hiu, Cap-ji-long' Ciok Siang Ing, itu algojo Hong Hwa Hwe Hampir tak ada seorangpun yang tak takut melihat wajahnya.
Seumur hidup belum pernah Kian Liong mendapat hinaan begitu, seketika itu gusarlah ia. Tapi mengingat bahwa ji wanya berada dalam tangan orang-orang itu, beliau tindas pera saannya. Setelah terhening sejenak, berkatalah beliau : “Apakah kau ini orang Hong Hwa Hwe? Aku minta bertemu dengan pemimpinmu orang she Tan itu.”
“Bun-suko kita telah kau siksa setengah mati. Congthocu sedang panggilkan sinshe, tak punya waktu untuk menemui kau. Kalau keadaan Suko sudah baik, mungkin baru bisa datang”, kata Siang Ing dengan dingin.
Kian Liong mengeluh, Menanti orang sampai sembuh, entah harus menunggu sampai berapa lama. Sementara itu kedengaran yang seorang lagi berkata: “Kalau sampai Suko meninggal, kita mesti minta ganti jiwa!”
Itulah Nyoo Seng Hiap, si Menara Besi. Ucapan itu bukan main-main , tapi dimaksudkan dengan sungguh-sungguh. Baginda terpaksa pura-pura tak mendengarnya.
Begitulah kedua penjaga itu, saling mengeluarkan isi hatinya, memaki bangsa BoanCiu yang telah menyayah tanah bangsa Han. Dan bagaimana para pembesar negari mereka itu sama korup, suka memeras rakyat. Memang sedari kecil, Ciok Siang Ing menderita dibawah tindasan tuan tanah sehingga begitu rupa dia memaki kaum penindas itu, sampai Kian Liong melengak dibuatnya.
Tengah hari, tibalah giliran Beng Kian Hiong dan An Kian Kong yang menjaga disitu. Juga kedua orang itu, sembari makan sembari tak putus-putusnya mengupas keburukandua pembe-sar negeri yang rakus, Cara mereka berlaku se-wenangdua dengan segala macam pekakas siksaannya. Asjik sekali mereka bicarakan itu, dan akhirnya berkatalah Kian Hiong:
“Kelak kalau kita dapat menangkap segala macam pembesar bedodoran itu, kita akan suruh mereka rasakan juga siksaan itu”.
“Ya, pertama kita harus tangkap pemimpin mereka lebih dulu”, Kian Kong menambahkann.
Bagi Kian Liong, sehari itu di rasakan sebagai setahun lamanya. Malamnya, kedua saudara Siang yang ganti menjaga. Kedua orang itu membicarakan soal pergolakan dika-langan Kangouw dan Cara-cara orang kangouw melakukan pembalasan kepada pembesardua negeri. Misalnya, Ong-sayCu dari Hek-bi-kong telah ditangkap oleh pembesar negeri, tapi kemudian setelah lolos lalu lakukan pembalasan pada pem-besar disitu dengan menyiksa hebat. Dan bagaimana si Pek-ma Sun Jit dari Shanse, karena membalaskan sakit hati kakaknya, telah mengubur hidup-hidup seluruh Anggota keluarga musuhnya. Dan lain-lain Cerita yang menyeramkan.
Dengan menahan lapar dan rasa takut, Kian Liong tutupi telinganya agar tidak mendengarnya, namun kata-kata mereka tak urung dapat juga didengarnya. Malam itu, boleh dikata Kian Liong tak dapat tidur nyenyak.
Keesokan harinya, datang giliran Tio Pan San dan Wi Jun Hwa yang menjaga. Kedua orang ini berbeda dengan kawan-kawannya yang dulu, agaknya lebih ramah dan sabar. Lega hati Kian Liong, lalu katanya: “Aku minta ketemu dengan ketuamu orang she Tan, harap beritahukan padanya.”
“Ah, Congthocu sekarang ini belum sempat, tunggu nanti beberapa hari lagi,” jawab Tio Pan San.
Kian Liong mengeluh lagi. Kalau harus menunggu sampai beberapa hari lagi, mana beliau dapat tahan.
“Kalau begitu, tolong ambilkan makanan saja,” katanya.
“Baiklah,” kata Pan San terus memanggil bujang untuk segera siapkan hidangan. Kian Liong girang dan minta su-paya diberi pakaian.
“Bansweya (Sri Baginda) minta pakaian, lekas ambilkan,” kembali Tio Pan San berteriak.
“Kau baik sekali, siapakah namamu? kelak tentu kuberi hadiah,” kata Kian Liong.
Pan San hanya bersenyum saja. Tiba-tiba Kian Liong teringat, serunya lantas: “Ah, ja, kau yang gapah melepas sen jata rahasia itu, bukan?”
Tak lama Kian Hiong datang membawa seprangkat pakaian dan diletakkannya dimeja. Demi melihatnya, Kian Liong bersangsi. Itulah pakaian orang Han dari ahala Beng.
“Maaf, disini hanya ada pakaian begitu, terserah mau dipakai atau tidak?” kata Tio Pan San.
Kian Liong adalah kaisar dinasti Ceng, masa disuruh pakai pakaian orang Han. Tapi jika tak berpakaian, terang beliau tak bisa makan, pada hal sehari dua malam beliau sudah tak dahar. Apa boleh buat, terpaksa dipakainya juga pakaian itu. Sekalipun agak kikuk, tapi kini tubuhnya berasa hangat juga. Kini beliau bangun dan berjalan kian kemari dalam ruangan itu.
Ketika menghampiri kejendela beliau terkejut bukan main. Jauh disebelah bawah sana, tampak sebuah sungai membentang dan disana sini kelihatan beberapa perahu lajar. Pada kedua tepian sungai itu, sawahdua terbentang dengan luasnya. Terang bahwa beliau berada dipunCak sebuah menara yang tinggi. Melihat letak tempatnya itu, teranglah kalau menara itu berada ditepi sungai. Dan menara begitu, tentulah menara Liok-hap-tha yang kesohor di HangCiu itu.
Berselang dua jam kemudian, baru ada orang datang memberitahukan bahwa makanan sudah siap, supaya raja itu turun kebawah. Kian Liong ikut Tio Pan San dan Jun Hwa kebawah, disitu memang sudah disiapkan hidangan. Ternyata beberapa orang Hong Hwa Hwe sudah siap pula. Hanya tinggal tiga buah kursi yang masih kosong. Begitu Kian Liong datang, semua orang sama berbangkit untuk memberi hormat. Melihat perubahan itu, diam-diam Kian Liong girang.
“Congthocu bilang bahwa dia dengan baginda sangat akrab, karenanya dia undang baginda kemari untuk main-main beberapa hari, agar dia dapat kesempatan untuk makin memesrakan perhubungan. Tapi berhubung ada suatu keper luan yang mendadak, dia terpaksa pergi dulu dan suruh kita mewakili untuk menemani baginda. Harap bansweya suka maafkan,” kata Bu Tim.
Kian Liong hanya keluarkan suara hidung, tak tahu apa yang hendak dilakukannya. Begitu Bu Tim mempersilakan, Kian Liong tak mau sungkandua lagi terus duduk dikursi pertama. Diruangan itu tampak beberapa orang, ada yang gagah bagus, ada yang ' jelek menakutkan, kesemuanya itu adalah orang-orang kangouw.
Bu Tim mengangkat pofeji arak dan berkata: “Sekalian saudara-saudara disini adalah bangsa orang kasar, jadi tak dapat melayani baginda baik-baik , harap baginda jangan ambil marah.”
Tapi begitu dia tuangkan kedalam sebuah Cawan, segera mukanya berobah, katanya pada sipelayan: “Baginda hanya minum arak yang nomor satu, mengapa kau hidangkan arak beginian.”
Dan dengan sikap gusar, arak itu digentakkan kemuka sipelayan.
“Yang ada disini hanyalah arak itu, kalau minta arak yang nomor satu harus beli dikota dulu,” kata sipelayan dengan ketakutan.
“Yangan banyak sekali omong, lekas pergi beli. Arak begini, buat kita kaum rendah masih boleh, tapi mana baginda mau meminumnya?”
Thian Hong sambuti poCi dari tangan Bu Tim, lalu di tuangkannya pada Cawan masing-masing saudaranya. Hanya tinggal Cawan Kian Liong saja yang masih tetap kosong. Akan hal itu, Thian Hong menghaturkan maaf kepada baginda.
Tak lama kemudian, pelayan datang dengan membawa 4 talam kuah hangat. Seketika hidung Kian Liong terCium bau sedap dari hidangan udang goreng, tulang belulang babi kuah, ikan dan panggang ajam. Tapi tiba-tiba kembali Bu Tim membentak sipelayan: “Siapa yang masak hidangan ini?” Seorang tukang masak tampil kemuka seraya menyawab: “Hamba.”
“Kau ini macam orang apa. Mengapa tidak suruh tukang masak istana Thio An-koan untuk memasaknya? Masakan orang HangCiu sejelek ini, mana baginda sudi dahar?” teriak Bu Tim.
“Ah, masakan ini lumajan juga, tidak jelek,” Kian Liong menyelak, dan segera dia ulurkan sumpitnya untuk men jemput.
Liok Hwi Hing yang duduk disebelah baginda, juga ulurkan sumpitnya seraya berkata: “Sajur begini tak lajak baginda dahar, jangan-jangan nanti membuat baginda sakit perut.”
Sumpitnya tepat menjepit sumpit baginda, dan dengan sekali gerakan lwekang, sumpit baginda digenCat patah. Perbuatan itu dilakukan olah Hwi Hing dengan gerakan yang pelan dan wajahnya tetap tak berobah, sehingga sekalian orang gagah sama Kagum.
“Sutenya, Thio Ciauw Cong, benar lihai, tapi dalam hal lwekang rasanya tak nempil dengan suhengnya ini. Memang Kim-li-Ciam betul-betul tak bernama kosong,” kata Bu Tim dalam hati.
Sementara itu Kian liong jadi kemekmek maju mundur serba kikuk, hanya selebar wajahnya semerah darah. “Plak” ………. sepasang sumpitnya dibantingnya diatas meja.
Tapi sekalian orang disitu pura-pura tak melihat, mereka enakdua saling menyilangkan sumpit untuk segera memulai makan.
“Lekas panggil Thio An-koan untuk masak daharan bagi baginda, baginda sudah keliwat lapar,” seru Thian Hong pada sikoki.
Sikoki dengan ketakutan segera mundur.
Kian Liong Cukup mengerti, bahwa orang tengah mem permainkannya. Terang kalau beliau lapar, mereka makan sendiri dengan se-enakduanya, dan tak putus-putus memuji kele zatannya. Mendongkal sekali beliau, namun tak mau menge luarkannya. Setelah selesai, kembali ada pelayan yang membawakan teh harum Liong-keng-Ceng.
“Teh ini bagus sekali, rasanya bagindapun boleh meminum nya,” kata Thian Hong.
Tapi ketika Kian Liong meneguk dua Cegukan, rasanya perut makin lapar. Sebaliknya Cio Su Kin yang berada di sebelahnya, tak habis-habis meng-elusdua perutnya yang penuh berisi itu dan berkata: “Aduh, kenyang nya!”
Baginda adalah seorang yang kuat menahan perasaan, sekalipun waktu marah, beliau tetap tak berobah wajahnya.
“Kita akan lekas suruh mereka siapkan hidangan, harap baginda suka tunggu sebentar lagi,” kata Tio Pan San.
Bu Tim juga nampak gusar, karena pelayandua itu berlaku ajal, ia bilang kalau Congthocu keburu datang dan mengetahui baginda belum dahar apa-apa, tentu akan kurang senang. Sedang Thiat-tan Ciu Tiong Ingpun mengomel juga. Namun baginda hanya keluarkan suaranya yang jengkel.
“Oh, sgbaHknya''aku kekenyang sudah!” seru Cio Su Kin tiba-tiba”
“Itulah yang dikatakan orang 'yang kekenyangan tak mengerti akan derita silapar! Rakyat yang menderita kelaparan entah berapa juta banyak sekalinya. Tapi mana orang-orang pemerintah orang mengerti akan keadaan mereka itu. Karena baginda hari ini pernah merasakan sendiri betapa tak enaknya orang yang kelaparan itu, mungkin kelak akan sudi memikirkan nasib rakyat yang lapar itu,” kata Thian Hong.
“Kalau hanya lapar untuk sehari-hari saja masih tak mengapa. Kan banyak sekali orang yang menderita kelaparan sampai ber-bulandua,” demikian Siang He Ci menambahkan.
“Ya, kami sendiri kakak beradik pernah dua bulan hanya makan kulit kayu saja,” Pek Ci turut menimbrung.
Berkata soal perut lapar, memang orang-orang Hong Hwa Hwe itu adalah terdiri dari orang-orang yang sengsara semasa kecilnya. Sudah tentu mereka dengan sengit mengeluarkan isi hatinya. Sana begitu, sini begini, sehingga panas telinga baginda dibuatnya. Tapi karena penuturan mereka itu berdasarkan pengalaman yang sebenarnya, diam-diam bagindapun timbul pikiran, bahwa kalau benar demikian nasibnya kaum melarat itu, memang patut dikasihani.
Tapi karena mereka itu bicara sebebasnya saja, lama-lama baginda tak tahan, lalu tinggalkan tempat itu dan menuju keloteng atas.
“Nanti kalau daharan sudah siap, kita tentu akan mengundang baginda,” kata Thian Hong akhirnya. Tapi baginda pura-pura tak dengar.
Dua jam kemudian, tiba-tiba Kian Liong menCium bau ikan kambing bakar, itulah masakan istimewa dari koki istana si Thio An-koan yang sudah dikenalnya. Sudah tentu baginda heran dibuatnya, masa koki itu benar-benar bisa didatangkan kemari. Tengah beliau menduga-duga itu, tampak Thio An-koan muncul disitu sambil menjura: “Silaukan bansweya dahar.”
“He, bagaimana kau bisa datang kemari?” tanya Kian Liong.
“Kemarin malam ketika hamba habis menonton wayang , begitu keluar pintu terus dipapak orang. Dikatakan bahwa bansweya berada disini dan minta hamba kemari. Sudah tentu hamba senang sekali.”
Kian Liong hanya angguk kepala terjjs berjalan kebawalrN»»-Disitu diatas meja telah dihidangkan macamdua masakan seperti “Ca tahu dari sarang burung dan itik,” “daging kambing,” “bakmi goreng istimewa,” “Kuah sajur ikan ajam” dan “panggang babi.” Kesemuanya itu adalah kegemaran Kian Liong. Selain itu masih ada belasan sajur majur lagi.
Kian Liong girang. Ketika Thio An-koan mengambilkan nasi, tiba-tiba Bu Tim dan Kawan-kawan nya sama datang.
“Silakan baginda dahar,” kata mereka.
“Mungkin kali ini mereka sungguh-sungguh akan minta aku dahar,” pikir Kian Liong.
Beliau lalu angkat sumpitnya untuk menyemput ikan. Tapi tiba-tiba masuklah seorang gadis sekira umur 1delapan tahun dengan menyandung seekor kuCing.
“Ayah, pus ini juga lapar!” kata sigadis pada Ciu Tiong Ing.
KuCing itupun kelihatannya akan meronta dari tangan sigadis. Gadis itu adalah Ciu Ki, agak kendorkan tangannya dan meloncatlah kuCing itu keatas meja, terus tempelkan monCongkan pada dua buah mangkok sajur. Ciu Ki dan orang-orang sama berteriak untuk menggebahnya. Ketika hampir tertangkap, tiba-tiba kuCing itu julurkan kakinya terus meng-geletak diatas meja, sedang dari mulutnya segera muntah kan darah hitam lalu mati.
Seketika itu wajah Kian Liong berobah. Thio An-koan bergemeteran saking takutnya dan Buru-buru jatuhkan diri ber-kui, katanya: “Bansweya mereka telah menaruh raCun jangan didahar!”
Sebaliknya Kian Liong tiba-tiba tertawa gelakdua.
“Kamu sekalian telah berdosa besar, mau Coba meraCuni kaisar. Kalau memang mau bunuh, bunuhlah lekas, jangan pakai raCunduaan!”
Sambil mengucap begitu, baginda lemparkan kursinya terus berbangkit.
“Apakah baginda tak mau dahar hidangan ini?” balas bertanya Bu Tim.
“Bangsat, pengeCut, Coba saja kau mau berbuat apa kepadaku,” menantang Kian Liong. Mengerti akan kejadian sikuCing tadi, beliau insyap bahwa orang telah inginkan ji wanya, karenanya beliau umbar kemarahannya.
Mendadak Bu Tim gebrak meja, lalu berseru keras-keras: “Jiwa seorang lakidua itu bergantung dari nasib. Kalau baginda tak mau, kita nanti yang makan. Ayo, siapa diantara saudara-saudara yang bernyali, ikutlah makan dengan aku!”
Diambilnya sumpit terus dimasukkannya kedalam mangkok yang dimakan oleh kuCing tadi, lalu dimasukkan kedalam mulutnya. Lain-lain saudaranyapun sama mengambil tempat duduk, dan serentak berseru: “Kalau mati biarlah mati, tak perlu kita sibuki.”
Dan pada lain saat, tampak suara keCipan bibir menge nyam hidangan yang lezat itu. Melihat itu, melengaklah Kian Liong. Dalam waktu yang singkat saja, hidangan itu telah disapu bersih oleh orang-orang Hong Hwa Hwe tersebut. Mereka ternyata tak kurang suatu apa, keCuali sama urutdua perutnya karena kekenyahgan.
Kiranya tadi adalah tipu si Thian Hong saja. Lebih dulu kuCing diberinya obat raCun, sedang hidangan itu sebenarnya tak ada apa-apanya. Dengan begitu, lagi-lagi Kian Liong yang sudah siap untuk dahar, kembali digagalkan.
Memang orang-orang Hong Hwa Hwe masih dendam hati pada Kian Liong, karena baginda itu telah menyiksa Bun Thay Lay sedemikian rupa, sehingga sekujur badannya luka parah, Lou Ping juga terluka, Ciu Tiong Ing kehilangan putera, sedangkan Ie Hi Tong jiwanya terancam. Kesemuanya itu, menimbulkan kemarahan mereka.
Sebenarnya kalau menurut kehendak kedua saudara Siang, lebih baik raja itu dihabisi saja jiwanya. Tapi Tan Keh Lok dan Thian Hong dapat menyabarkan mereka. Karena itulah mereka melampiaskan kemangkelan hati dengan “mengoCok” kaisar itu se-puasduanya.
Hal itu dimaksud untuk membalas sakit hati, dan kedua kalinya untuk menyatuhkan keangkuhan kaisar itu.
Kalau Kian Liong sedang menahan lapar sampai dua hari, adalah pada saat itu seluruh pembesar HangCiu sama heboh tak keruan. Sekalipun lenyapnya kaisar itu sedapat mungkin dirahasiakan, tapi tak urung seluruh kota menjadi gempar. Semua tempat diseluruh kota di geledah dengan bengis, ter-utama ditempat pelabuhan, tak seorangpun diperbolehkan keluar.
Dalam dua hari itu, ribuan orang yang diCurigai telah ditangkap, sehingga penyara penuh dengan orang tahanan. Mereka tak tahu sebab apa ditangkap. Pembesar setempat selain memang ketakutan, juga menggunakan kesempatan baik untuk main tangkap orang-orang hartawan, agar mereka mau kasih uang tebusan yang besar.
Hok Gong An, Li Khik Siu, Pek Cin dan lain-lain jago pengawal jadi kalang kabut. Mereka menduga bahwa itu tentu perbuatan orang- Hong Hwa Hwe Mereka segera kirim pasukan untuk menggeledah ketempat anggota-anggotaHong Hwa Hwe tetapi semuanya sudah kabur.
Pada hari ketiga, Hok Gong An kembali bersidang. Apakah lenyapnya baginda itu perlu dilaporkan pada Thay Houw (ibusuri) dikotaraja, agar kalau sampai terjadi haldua yang tak diinginkan, fihak istana sudah dapat segera mengangkat seorang raja baru sebagai gantinya Kian Liong.
Tapi mereka yang hadir tidak menyetujuinya, karena hal itu berarti, keluarga mereka akan mendapat hukuman mati semua. Tengah mereka berunding, tiba-tiba tampak Swi Tay Lim mendatangi dengan wajah puCat. Dia membisiki beberapa patah kata ditelinga Pek Cin, yang segera berobah wajahnya dan serentak berbangkit katanya: “Masa ada kejadian itu?”
Hok Gong An Buru-buru menanyakan apa yang terjadi.
“Enam orang si-wi yang menjaga kamar tidur bansweya telah kedapatan mati terbunuh,” jawab Swi Tay Lim.
“Ha, Ayo kita periksa, tentu ada hubungannya dengan lenyapnya bansweya,” kata Hok Gong An.
Mereka segera menuju kekamar baginda. Tapi begitu Swi Tay Lim membuka pintu, bau busuk lantas menyerang hidung. Diatas lantai kamar itu, disana sini terserak enam majat si-wi. Ada yang matanya melotot keluar, ada yang da danya melesak, keadaannya menyeramkan sekali. Ketika diperiksa Pek Cin, ternyata keenam si-wi itu adalah jago-jago pilihan dari istana. Memang diwaktu bersemajam, selalu ada enam orang si-wi yang menjaga diluar kamar baginda itu. Meskipun baginda lenyap, tapi keenam pengawal itu masih tetap bergiliran menjaga kamar beliau.
“Keenam orang ini berkepandaian tangguh semua, tetapi mengapa mereka dapat dibinasakan orang dengan tanpa mengeluarkan suara apa-apa” tanya Pek Cin.
Pek Cin bungkukkan badan untuk memeriksa lebih lan jut. Ternyata mereka itu dapat hantaman dari tenaga yang dahsyat, tetapi ada juga yang telah dihantam dengan po kiam hingga kepalanya hanCur. Senjata-nyata dari para korban itu ada yang telah dihanCurkan, ada lagi yang masih belum keburu dilolos keluar. Jadi terang kalau sipembunuh itu berlaku sebat sekali, sehingga korbandua itu tak sempat membela diri.
“Kamar ini tak Cukup lebar untuk berkelahi sekian ba nyak orang. Paling banyak sekali sipembunuh itu hanya berjumlah dua atau tiga orang. Sekali bergerak mereka telah dapat membinasakan keenam si-wi itu. Mereka kejam sekali, tapi juga membuktikan bagaimana hebatnya kepandaian mereka itu,” kata Pek Cin.
“Bansweya telah dapat mereka jebak, mengapa mereka mesti membinasakan keenam saudara ini? Menilik gelagat nya, sipembunuh dengan orang yang menyebak bansweya itu tentu bukan segolongan,” kata Li Khik Siu.
“Ya, tetapi mereka tunggal tujuan jalan akan membunuh bansweya. Karena bansweya tak berada disini, maka keenam si-wi itulah yang harus membajar jiwa,” kata Hok Gong An.
“Ji-wi benar. Kalau yang membunuh si-wis ini orang Hong Hwa Hwe maka bansweya tentu jatuh dilain tangan. Tapi kerumah Giok-ji-ih.
Rumah bunga raja itu, sebenarnya dijaga pula oleh tentara, tapi ketika itu, satupun tak nampak penjaganya. Rumah itu tampak sunyidua saja. Dan begitu masuk, kembali tampak majatdua dari dua orang si-wi dan belasan tentara. Kejam nian pembunuh itu, seorangpun tak dibiarkan hidup. Ada yang tenggorokannya putus digigit Anjing. Ditilik dari perawakan dan luka sikorban, Pek Cin menduga keras, bahwa Anjing sipembunuh itu tentu seekor binatang yang besar sekali. Kalau bukan Anjing dari luar perbatasan, tentulah semacam serigala dari daerah barat-daya. Apakah mungkin pembunuh itu berasal dari luar perbatasan atau dari Tiongkok barat-daya? Demikian Pek Cin Coba mengambil kesimpulan.
Keenam Anjing itu setelah berputaran diseluruh ruangan Giok-ju-ih lalu men-Cakardua kelantai. Pek Cin segera me-meriksa lantai itu, tapi tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Namun Anjingdua itu tetap men-Cakardua dan menggonggong dengan tak hentinya.
Pek Cin suruh seorang serdadu Coba menCongkel lantai itu. Dan benar juga, baru saja diCongkel sekali dua, lantai itu terjungkat. Dibawah ternyata ada sebuah papan batu yang besar.
“Congkel lekas!” perintah Pek Cin.
Begitu papan diCongkel, nampak sebuah lobang besar.
Anjingdua itu serentak masuk kedalam. Kini terbukalah mata Pek Cin dan Li Khik Siu, mengapa ribuan tentara yang menjaga rumah itu tak dapat mengetahui lenyapnya baginda. Kiranya baginda telah diCulik melalui jalan dibawah tanah itu. Pek Cin dan Khik Siu langsung pimpin anak buahnya memasuki lobang itu
Kini kita tengok kembali keadaan Kian Liong yang telah dua hari menahan lapar dipagoda Liok Hap Ta itu. Dia rasakan tubuhnya lemas. Pada hari ketiga, betul-betul habislah tenaganya. DiCobanya untuk tidur, tapi tiba-tiba ada seorang ka Cung menghampiri dan berkata: “Bansweya, siaoya mengundang bansweya untuk bicara.”
Karena girangnya, Kian Liong timbul pula semangatnya, dan Cepat-cepat berpakaian. Kacung itu, adalah Sim Hi, yang selain orang Hong Hwa Hwe siapakah yang mempunyai keberanian begini besar? Sebaliknya kalau bansweeya jatuh ditangan orang Hong Hwa Hwe, pembunuh ini tentu orang berkepandaian tinggi sekali”, Pek Cin utarakan pendapatnya.
Ketika angin mendesir, kembali hidung orang-orang disitu sama tertusuk bau yang busuk. Karena tak tahan, Hok Gong An segera keluar.
“Orang kosen didaerah Kang Lam sini, hampir kukenal semua. Tapi kalau menurut Cara sipembunuh itu melakukan pekerjaan, sungguh istimewa sekali. Hm, entah siapakah dia itu!” diam-diam Pek Cin berkata sendiri.
Berhadapan dengan orang-orang Hong Hwa Hwe saja sudah kewalahan, apalagi kini mendapat tambahan seorang musuh baru yang begitu tangguh. Diam^ hati Pek Cin menjadi kunCup.
Dia membungkuk untuk memeriksanya, dan ternyata pada dada sikorban itu terdapat luka-luka “Cakar-Anjing”. Hal itu membuat ia heran, lalu minta pada Li Khik Siu menCari pemburu yang memelihara Anjing.
Orang yang dimaksudkan itu segera dibawa datang, tiga orang pemburu dengan enam ekor Anjingnya. Dalam pada itu Li Khik Siu telah mempersiapkan dua ribu tentara untuk menunggu perintah. Pek Cin suruh Anjingdua itu membaui korbandua tersebut., lalu di suruh melepaskan. Demikianlah dengan dipelopori oleh pemburu beserta Anjingnya, tentara negeri itu menuju ketepi telaga Se-ouw. Disama Anjingdua itu mengaumdua kearah tengahdua telaga.
Mengertilah Pek Cin, bahwa sipembunuh itu datang bersama dengan Anjingnya juga. Setelah membunuh si-wi dan tak dapat menemukan kaisar, pembunuh itu suruh Anjingnya menCari jejak baginda. Setelah membaui sekian lama, Anjing pemburu itu berhasil dapatkan jejak. Dengan ber jalan menyusur tepian telaga, akhirnya pada sebuah tempat yang beCek, diketemukan bekas tapak sipembunuh dan Anjingnya.
Anjing itu diseberangkan dari tempat dimana baginda dibawa naik perahu, sampai ditepi sana, terus berjalan menuju kedalam kota lagi. Karena dikota penuh dengan orang, Anjing itu berjalan agak lambat. Sambil berjalan sambil menCiumkan monCongnya ketanah, akhirnya menuju kerumah Giok-ji-ih.
Rumah bunga raja itu, sebenarnya dijaga pula oleh tentara, tapi ketika itu, satupun tak nampak penjaganya. Rumah itu tampak sunyidua saja. Dan begitu masuk, kembali tampak majatdua dari dua orang si-wi dan belasan tentara. Kejam nian pembunuh itu, seorangpun tak dibiarkan hidup. Ada yang tenggorokannya putus digigit Anjing. Ditilik dari perawakan dan luka sikorban, Pek Cin menduga keras, bahwa Anjing sipembunuh itu tentu seekor binatang yang besar sekali. Kalau bukan Anjing dari luar perbatasan, tentulah semacam serigala dari daerah barat-daya. Apakah mungkin pembunuh itu berasal dari luar perbatasan atau dari Tiongkok barat-daya? Demikian Pek Cin Coba mengambil kesimpulan.
Keenam Anjing itu setelah berputaran diseluruh ruangan Giok-ju-ih lalu men-Cakar» kelantai. Pek Cin segera me-meriksa lantai itu, tapi tak ada tandas yang mencurigakan. Namun Anjingdua itu tetap men-Cakardua dan menggonggong dengan tak hentinya.
Pek Cin suruh seorang serdadu Coba menCongkel lantai itu. Dan benar juga, baru saja diCongkel sekali dua, lantai itu terjungkat. Dibawah ternyata ada sebuah papan batu yang besar.
“Congkel lekas!” perintah Pek Cin.
Begitu papan diCongkel, nampak sebuah lobang besar.
Anjingdua itu serentak masuk kedalam. Kini terbukalah mata Pek Cin dan Li Khik Siu, mengapa ribuan tentara yang menjaga rumah itu tak dapat mengetahui lenyapnya baginda. Kiranya baginda telah diCulik melalui jalan dibawah tanah itu. Pek Cin dan Khik Siu langsung pimpin anak buahnya memasuki lobang itu
Kini kita tengok kembali keadaan Kian Liong yang telah dua hari menahan lapar dipagoda Liok Hap Ta itu. Dia rasakan tubuhnya lemas. Pada hari ketiga, betul» habislah tena ganya. DiCobanya untuk tidur, tapi tiba-tiba ada seorang ka Cung menghampiri dan berkata: “Bansweya, siaoya mengundang bansweya untuk bicara.”
Karena girangnya, Kian Liong timbul pula semangatnya, dan Cepat-cepat berpakaian. Kacung itu, adalah Sim Hi, yang setelah dirawat beberapa hari kini sudah sembuh dari luka-luka-nya. Mendengar baginda dapat ditawan, dia ingin sekali menyaksikan ramaidua. Dia memasak air untuk melayani baginda berkemas diri. Kaisar itu masih tetap mengenakan pakaian orang Han dan mengikuti Sim Hi menuju kebawah.
Diloteng setingkat bagian bawah, Tan Keh Lok sudah siap menyambutnya dengan muka berseri-seri. Begitu baginda datang, dia Cepat-cepat » memberi hormat. Baginda pun membalasnya dan lalu ikut masuk kedalam ruangan. Sementara itu, Sim Hi menghidangkan minuman teh.
“Lekas siapkan hidangan!” kata Keh Lok segera.
Sebuah talam segera dihaturkan oleh Sim Hi. Selain beberapa kuah sajur, juga terdapat udang, sajur daun terate dengan ikan ajam dan lain-lain. yang baunya menusuk hidung. Setelah makan berkatalah Tan Keh Lok : “Karena menengok seorang sahabat yang sakit, maka siaote tak dapat siangdua menyambut saudara, harap maafkan”.
“Ah, tak apalah,” sahut Kian Liong.
“Silakan henghay dahar dulu, nanti siaote ada sedikit pembicaraan kepada hengtay”.
Lapar Kian Liong tak tertahan lagi rasanya. Sebenarnya beliau berbadan sehat. Ketika berumur duabelas tahun beliau ikut kakeknya Kaisar Kong Hi berburu, telah dapat memanah seekor serigala. Sebagai orang yang gemar buge, makannya pun banyak sekali. Dua hari dua malam tak berkenalan dengan nasi, sungguh membuatnya setengah mati.
Begitu Tan Keh Lok mendahului makan dengan menyumpit sesuap sajur, Kian Liong terus dahar dengan lahapnya dan sekejab mata saja habislah hidangan setalam itu.
Pada setiap masakan, Tan Keh Lok selalu menCiCipinya satu dua sumpitan yang terus dimakannya. Ini untuk menghilangkan keCurigaan baginda, siapa kini betul-betul tak sungkandua lagi. Melihat itu, Tari Keh Lok hanya tersenyum saja.
N j aman perasaan kaisar itu, setelah habis berdahar. Beliau segera meneguk Cawan yang terisi teh, harum dari Liong-keng. Dan seketika itu tubuhnya dirasakan segar. Setelah mangkokdua dikemasi, berkata pulalah ketua Hong Hwa Hwe itu me nyuruh Sim Hi sediakan beberapa macam sajur lagi untuk teman minum arak.
Setelah Sim Hi berlalu, Tan Keh Lok dorong pintu muka dan katanya: “Mereka berjaga dibawah, rasanya inilah tempat yang paling sesuai. Tak nanti ada lain orang yang dapat mendengarkan pembicaraan kita.”
Kian Liong kerutkan kening, katanya dengan pelan: “Kau tawan aku disini ini, hendak bermaksud apa?”
Tanpa menyahut apa-apa, Tar» Keh Lok maju dua tindak dan menatap wajah Kian Liong. Kian Liong dapatkan bagaimana sepasang mata orang muda itu ber-kilatdua seperti merasuk kedalam hati. Tak tertahan baginda itu berpaling kesebelah. Hening sejenak, tiba-tiba Tan Keh Lok berkata : “Koko, sampai detik ini apa kau masih belum mengenal aku?”
Lemah lembut nada perkataan itu ketika pemimpin muda itu mengucapkannya. Namun bagi sang baginda, hal itu seolah- bunyi halilintar disiang hari, sehingga tanpa merasa, beliau berjingkrak.
“Apa apa katamu tadi?!” tanyanya gugup.
Wajah Tan Keh Lok unyuk kesungguhan, pelan- diulurkan kedua tangannya untuk menyambut tangan baginda seraya berkata :
“Kita ini kakak beradik, sedarah sedaging. Koko, tak perlu kau kelabui aku, aku telah mengetahui semuanya.”
Sejak orang-orang Hong Hwa Hwe dapat membebaskan Bun Thay Lay, insyaplah Kian Liong bahwa rahasianya tentu bocor. Sekalipun begitu, ketika Tan Keh Lok memanggilnya “koko,” dia masih melengak terkejut. Lemah lunglai sendi tulangnya, dan tanpa terasa beliau jatuhkan diri diatas kursi.
“Kau datang ke Hay Ling, kau anugerahkan gelaran ayah bunda sebagai dewa dan dewi Laut, itulah pertanda kau masih ingat budi mereka. Coba kau berkaCa pada Cermin ini.”
Habis berkata demikian, Tan Keh Lok tarik seutas tali yang bergantungan disebelah meja tulis, maka tersingkaplah lukisan didinding itu. Sebagai gantinya tampak sebuah Cermin besar.
Kian Liong dapatkan dalam pakaian orang Han itu, dirinya sedikitpun tak mirip dengan orang Boan. Sedang ketika mengawasi Tan Keh Lok yang berada disebelahnya itu, kaisar itu mengelah napas dalam-. Habis itu kembali beliau jatuh-kan diri diatas kursi.
“Koko, karena tidak saling mengetahui, kita kakak beradik saling bermusuhan. Kalau tulang saling berhantam dengan dagingnya, ayah-bunda yang sudah beristirahat dialam baka itu tentu takkan tenang hatinya.”
Kian Liong tetap tak dapat mengeluarkan kata-kata. Baru setelah berselang beberapa waktu, kedengaran beliau berkata: “Sebenarnya kubermaksud menempatkan kau dikota raja, tapi kau sendirilah yang menolaknya.”
Tan Keh Lok memandang kearah sungai disebelah sana, tanpa menyahut apas.
“Kalau kau merasa belum punya pengalaman, nanti kusuruh seorang memimpin kau. Mengingat keCerdasanmu, kurasa kau tentu dapat mengatasinya. Kelak akan kuserahi kau jabatan yang makin tinggi,” kata Kian Liong pula. “Ini untuk kepentingan negara. Untuk hubungan kita berdua pun berguna sekali. Mengapa kau tetap menuntut jalan sesat, tidak setia pada negara, tidak berbakti terhadap orang tua!”
Mendengar itu Tan Keh Lok berpaling dengan tibas.
“Koko, tidak ada maksudku untuk menuduh kau put-tiong put-hauw (tidak berbakti). Mengapa kau sebaliknya mengatakan aku begitu?” tanyanya.
“Hm, adalah kewajiban menteri untuk bersetia kepada junyungannya. Yang menentang berarti mendurhaka. Aku adalah seorang junyungan, mengapa kau katakan tidak setia?”
“Terang-terangan kau ini seorang Han, mengapa takluk pada orang asing, adakah itu setia? Semasa ayah-bunda masih hidup, kau sudah tidak merawatnya dengan baik-baik . Malah tiap hari ayah harus menghadap dan berlutut padamu, sedangkan kau anggap sepi saja kesemuanya itu. Adakah ini berbakti?” Tan Keh Lok mulai mengeluarkan kata-kata tajam demi orang mendesaknya.
Butir-butir peluh ber-ketesdua turun dari kepala Kian Liong.
“Aku benar-benar tak mengetahuinya,” katanya dengan separoh berbisik. “Ketika pemimpinmu, mendiang Ie Ban Tong masuk kedalam istana, barulah kuketahui semua itu. Namun aku masih setengah percaya. Hanya saja, menjadi anak orang, lebih baik kalau kita percaya bahwa hal itu mungkiri terjadi. Berbuat kesalahan karena tak tahu, bukan berarti put-hauw. Maka akupun memerlukan berkunjung ke Hay Leng juga.”
Sebenarnya ucapan Kian Liong itu hanya untuk menutupi kesalahannya saja. Waktu itu setelah Ie Ban Tong dan Bun Thay Lay berhasil menyelundup kedalam istana, dia unyuk-kan surat Tan-hujin kepada kaisar itu. Surat ila berisi pengakuan apa yang sebenarnya telah terjadi. Kian Liong sudah delapan bagian mempercayainya. Begitu Ban Tong berlalu, dia segera menanya keterangan pada Liauw-si, mak inangnya. Liauw-si terpaksa menuturkan apa yang diketahuinya :
4tujuh Tahun yang lalu, pada bulan delapan tanggal 1tiga , isteri dari Su-pwelek (pengeran keempat) In Ceng, telah melahirkan seorang puteri. Berbareng dengan itu, menteri besar Tan Se-Koan pun mendapat putera. Su-pwelek, pangeran keempat, adalah putera dari kaisar Kong Hi. Anak kaisar BoanCiu, disebut pwelek. Dia titahkan supaya putera menteri itu dibawa masuk keraton. Dia kepingin melihatnya, katanya.
Terang tadi yang dibawa masuk, adalah putera seorang lakidua. Tapi setelah keluar ternyata baji itu telah bertukar dengan seorang baji perempuan. Tapi Se Koan mengerti bahwa Su-pwe-lek itu telah sengaja menukarkan bajinya, namun dia tak berani berkata apa-apa, dikarenakan pengaruh pwelek itu terlampau besarnya.
Kaisar Kong Hi mempunyai belasan putera, Mereka sama bersaing untuk memperebutkan kedudukan tahta nanti. Kong Hi gemar akan ilmu pengetahuan Barat. Maka ba nyaklah puteraduanya yang se-olahdua berlomba untuk mempelajari ilmu itu. Pwelekdua itu telah mempunyai menteri kesa jangan sendiri. Tak segandua mereka memberi suapan besar pada menteridua itu, agar memujikan dirinya dihadapan sang ayahandanya. Juga, pangerandua itu masing-masing memelihara ja goandua silat untuk melindungi diri.
In Ceng mengetahui bahwa ayahandanya itu masih ragudua menyatuhkan pililian tentang siapa yang bakal menjadi Calon penggantinya kelak. Diapun tahu pula bahwa diantara saudaranya itu, misalnya In Teng, In Ki, In Te dan lain-lain. adalah orang-orang yang kepandaiannya tak disebelah bawahnya. Begitu pula mereka itu mempunyai kekuatan dan pengaruh besar. Didalam memilih Calon mahkota, kaisar harus, menimbang dengan Cermat bukan saja keCakapan dan peribadi pangeran itu, tapi pun anaknya juga, jadi CuCu kaisar itu.
Memilih seorang Calon kaisar, adalah untuk meletakkan dasar yang kokoh dalam menegakkan negara. Tidak; kalah sukarnya seperti orang membangun kerajaan. Kalau pangeran yang telah menjadi kaisar itu wafat, tentulah siCuCu yang menggantikannya. Jadi sekalipun pwelekdua yang sekarang ini Cerdas, tapi kalau puteranya tolol, pilihan tak nanti jatuh pada dirinya. Jadi dapat dimengerti bagaimana ke rasnya para pwelek itu berusaha untuk mendapatkan seorang putera yang Cerdas, sehingga dapat mengambil hati Kong Hi.
In Ceng sebenarnya sudah mempunyai seorang putera lakidua sendiri, tetapi anak itu lemah dan bodoh. Tidak disukai Kong Hi. Dalam satu hal ini, dia menginsyapi kekurang annya. Karenanya, dia sangat berharap untuk mendapat putera lagi. Tapi apa mau, isterinya ternyata melahirkan seorang puteri.
Pangeran Boan itu bertekad keras,, biar bagaimana dia harus bisa menjadi kaisar. Maka ketika didengarnya Tan Se Koan; berputera seorang lakidua, baji itu telah ditukarkannya.
Diantara pwelekdua, In Ceng adalah yang paling banyak sekali tipu muslihat, dan kejam hatinya. Tan Se Koan tak berani berkutik apa-apa. Baji lakidua itu, kemudian menjadi Kian Liong yang sekarang ini. Memang sejak kecil, dia mengunjuk kan keCerdasan dan keberaniannya. Dalam umur enam th. dia sudahi dapat membaCa kitab! “Ay Lian Swat.” Dalam usia sembilan th., terjadilah suatu hal yang sangat kebetulan sekali, sehingga anak itu telah berhasil merebut hati engkongnya, kaisar Kong Hi. Dan peristiwa itu, menjadi dasar utama sehingga In Ceng berhasil diangkat menjadi pengganti kaisar.
Waktu itu Kian Liong masih, bergelar Po Jin Ong. Dia ikut, kaisar Kong Hi berburu ke Je-hol. Anak buah pengawal raja, telah mengejai* seekor beruang besar. Beruang itu terpaksa keluar dari dalam hutan dan menuju kedepan Kong Hi. Sekali lontar tombak berapi, kepala beruang itu telah terpanggang dan roboh ketanah. Ketika kejadian itu berlangsung, justeru Po Jin Ong yang berada disebelah Kong Hi dan menaik seekor kuda kecil, juga kelihatan mengangkat tombaknya kecil, siap untuk melepaskannya. Dihadapan seekor binatang yang begitu besar, anak itu se dikitpun tak merasa gentar. Kong Hi senang melihat sikap CuCunya itu, serunya: “Lontarkan tombakmu itu!”
Kong Hi sayang akan CuCunya itu. Maksudnya menyuruh anak itu melontarkan tombaknya, adalah akan memberikan pahala itu kepadanya. Dihadapan para menteri nanti, dia akan mengatakan bahwa CuCunya itulah yang dapat membinasakan beruang. Dalam usia sembilan th. Po Jin Ong telah dapat menombak mati seekor beruang, itulah suatu hal yang boleh dibuat bangga.
Begitulah Po Jin Ong segera turun dari kudanya dan menghampiri beruang sambil mem-bentaks; “Kubunuh kau, kubunuh kau!”
Tombak tepat' dilancarkan keperut beruang, disambut de-ngan sorak sorai oleh para si-wi. Juga Kong Hi meng uruta jenggotnya sembari bersenyum puas.
Habis menusuk, Po Jin Ong kembali akan naik kudanya. Tapi ternyata beruang itu belum mati, dan begitu berbangkit, terus menubruk kepada Kong Hi. Para si-wi menjadi ter kejut, dan Cepat-cepat s menghujaninya dengan tombak. Seketika itu juga, melayang lah nyawa beruang itu.
Kong Hie-pun bukan kepalang terkejutnya, katanya kepada sekalian si-wi: “Po Jin Ong betuis mempunyai rejeki besar. Kalau tadi sewaktu dia masih berdiri disitu, binatang itu. menerkamnya, pasti dia akan Celaka.”
Sejak itu perhatian Kong Hi ada pada pangeran Cilik itu yang dianggapnya mempunyai rejeki besar, lagi pula pandai dalam ilmu silat dan ilmu surat. Dia telah dapat memenangkan hati Kong Hi.
Kalau kemudian hari In Ceng bisa naik tahta, dalam banyak sekali hal memang mengandalkan atas rejeki dari anak yang dipertukarkan dan dianggap sebagai puteranya sendiri itu.
Semasa Yong Ceng (In Ceng) memerintah, keluarga Tan di Hay Leng itu dianugerahi pangkat dan kemewahan hidup yang luar biasa. Maksud Yong Ceng, pertama untuk membalas budi, kedua kalinya agar rahasia itu jangan dibocor kan oleh keluarga Tan itu.
Pertama kali Kian Liong dibawa kegedung Yong Jin Ong (gelar In Ceng semasa masih menjadi pwelek), terus menangis tak berhentinya serta tak mau minum susu. Karena kewalahan, akhirnya isteri In Ceng minta supaya mak inang anak itu, Liauw-si, dibawa masuk istananya juga. Sejak itu Kian Liong baru mau diam, tidak menangis lagi.
Sungguh tak dinyana, berselang 40 tahun kemudian, Kian Liong telah menanyakan hal itu kepada Liauw-si. Mak inang itu sebenarnya tak mau mengatakannya, tapi karena takut dan menduga bahwa Kian Liong sendiri telah mengetahuinya, iapun terpaksa mengatakan dengan sebenarnya. Liauw-si waktu itu sudah berumur enam0 tahun. Malamnya Kian Liong menyuruh orang untuk menyirat lehernya, agar rahasia itu jangan sampai bocor.
Maka katas yang diuCapkan dihadapan Tan Keh Lok itu, telah mengingatkan dia akan budi kebaikan mak inang itu, yang telah dibalasnya dengan menyirat lehernya itu. Diam-diam hati kaisar itu menyesal.
“Coba kau lihat sendiri, apakah dirimu itu mirip dengan seorang Boan. Masa hal itu masih belum meneguhkan ke percayaanmu,” kata pula Keh Lok.
Kian Liong merenung.
“Kau seorang Han, tanah air bangsa Han telah dirampas oleh orang asing, dan kaulah yang menjadi raja mereka itu. Jadi kau memimpin orang asing untuk menindas bangsamu sendiri. Bukankah hal ini suatu perbuatan 'put-tiong-put-hauw', mengambil jalan yang sesat?” tanya pula Keh Lok.
Kian Liong tak dapat memberi jawaban yang tepat, ia hanya berkata: “Aku sekarang telah jatuh kedalam tangan mu, kalau mau bunuh, bunuhlah. Tak usah banyak sekali bicara lagi.”
“Kita telah membuat janji di Hay Tong, bahwa kita tak boleh saling menCelakai. Sebagai seorang lakidua, aku tak boleh menyalahi janji itu. Apalagi setelah kuketahui bahwa kau adalah kakakku sendiri. Sepuluh tahun lamanya aku tak pernah bertemu dengan darah dagingku. Kalau saat ini aku bisa berjumpa dengan koko, masa bermaksud akan men Celakainya,” kata Keh Lok dengan lemah lembut.
Tan Keh Lok , adalah seorang yang berperasaan halus, penuh emosi. Maka dengan ucapannya itu, diapun menguCur kan air mata.
“Habis kau maukan aku bagaimana? Apa kau paksa aku supaya turun tahta?” tanya Kian Liong kemudian.
Tan Keh Lok memesut air matanya, dan menyahut: “Tidak. Kau tetap menjadi kaisar. Namun bukan kaisar yang put-tiong dan put-hauw, melainkan seorang junyungan bijak sana yang merintis negara baru.”
“Perintis negara baru?”
“Ya, benar, menjadi kaisar dari bangsa Han, bukan kaisar orang Boan!”
Kian Liong berotak Cerdas. Sekali dengar saja, dia sudah Cukup mengerti kemana ucapan pemimpin Hong Hwa Hwe itu.
“Yadi kau mau suruh aku usir orang-orang Boan itu?” tanyanya.
“Benar Kau menjadi kaisar yang mengakui musuh sebagai ayah sendiri, bukankah akan dinista oleh anak CuCu kita. Mengapa kau tak berusaha untuk merobah keadaan itu dan meletakkan dasar baru dari pekerjaan besar ber-abaddua kemudian?”
Kian Liong seorang yang ambitius, temaha jasa. Dengan kata-kata itu, tergeraklah hatinya. Hal itu Tan Keh Lok dapat mengetahuinya dari perubahan air muka kaisar itu. Tahulah dia, bahwa kata-katanya telah “termakan” dihati orang. Maka kesempatan itu tak mau dilewatkan begitu saja, katanya pula :
“Dunia mengetahui bahwa kau menjadi raja ini, karena meneruskan warisan leluhur saja. Jadi tak mengherankan dan menimbulkan kekaguman orang. Coba lihatlah orang itu!”
Kian Liong menghampiri kedekat jendela dan memandang kearah yang ditunyuk Tan Keh Lok. Seorang petani tengah mengerjakan sawahnya. Hal itu membuat baginda heran.
“Kalau dia kebetulan dilahirkan digedung Yong Jin Ong, dan kau dilahirkan dalam keluarga petani itu, maka dialah yang menjadi kaisar sedangkan pada saat ini kau sedang meluku sawah seperti dia,” kata Keh Lok.
Kian Liong selalu mengira dirinya memang mempunyai kelebihan dari kebanyak sekalian orang. Tapi ketika mendengar kata-kata Tan Keh Lok itu, di-pikirs memang beralasan.
“Hidup orang itu tak lamaj Kalau tak dapat mendirikan suatu perbuatan besar, sekejab saja akan menjadi segun dukan tanah yang berumput. Kaisardua jaman yang lalu, seperti Han Ko Cou, Tong Thay Cong, Beng Thay Cou, adalah seorang junyungan yang betul-betul pahlawan dunia. Gengis Khan dari dinasti Goan, Nurhata, pendiri ahala Ceng, juga dapat digolongkan rajadua yang gagah. Tapi kalau baginda Han Si Te dan Beng Cong Ceng itu, adalah rajadua yang hanya menerima warisan saja, jadi tak dapat digolongkan pada rajadua yang gagah,” demikian Keh Lok teruskan uraiannya.

Setiap patah kata-kata itu menusuk hati Kian Liong. Sejak mengetahui dirinya seorang Han, beberapa kali Kian Liong akan keluarkan perintahdua supaya hambadua dan pegawaidua istana semua memakai pakaian Han. Tapi selalu dihalangi oleh menteri besar LanCu. Maka diam-diam Kian Liong berpikir, kalau beliau turutkan kemauan Tan Keh Lok untuk mengenyahkan bangsa Boan dan membangun kembali kerajaan Han, bukankah dia bakal menjadi ThayCou dari kerajaan yang didirikan oleh keluarga Tan? Tidakkah nilainya sama dengan Lauw Pang dan Li Si Bin?

Baru beliau akan menyawabnya, tiba-tiba dari kejauhan ke-dengaran gelombang Anjing menggonggong. Tampak Keh Lok kerutkan alisnya sembari melongok keluar jendela. Kian Liong ikut melongok. Tampak dari kejauhan ada empat ekor Anjing besar tengah berlari-lari menuju kepagoda itu. Dibelakangnya mengikut dua sogok bayangan. Karena gerak an mereka sedemikian pesatnya, maka tak kelihatan wajah nya yang jelas.

Sekejab saja kedua bayangan dan empat ekor Anjing itu sudah dekat, dan segera terdengar suara bentakan orang. Pagoda Liok Hap Ta terdiri dari tiga tingkat. Kian Liong dan Tan Keh Lok ketika itu berada ditingkat duabelas, jadi jauh dari muka tanah. Apa yang terjadi dibawah tak dapat didengarnya.

Begitu datang, orang dan Anjing-anjing itu terus melangkah masuk. Tapi pada lain saat, keempat Anjing itu lari keluar sembari menggerangdua kesakitan. Lari kesana sini, se-olahdua akan menghindari sesuatu.

Beng Kian Hiong tampak lari mengejar dengan peluru nya. Begitu melepas pelordua 'lian-Cu-tan' dan tepat membuat Anjingdua itu mengaum makin hebat. Tengah Tan Keh Lok merasa heran dengan kejadian itu, tiba-tiba ada sesosok tubuh melesat keluar dari tengah pegoda itu. Gerakannya sedemikian pesat, hingga dalam sekejaban mata saja, busur Kian Hiong sudah terampas, dan menyusul, tengkuk Kian Hiong tertampar orang.

Karena tak sempat berkelit Kian Hiong Coba menangkis dengan tangannya. Tetapi orang itu lebih Cepat-cepat . Dia pakai busur tadi untuk menusuk jalan darah Kian Hiong, siapa seketika itu terus roboh.

Tanpa menghiraukannya lagi, orang itu .meneruskan masuk kedalam pagoda.
Dan baru saja orang itu masuk kepintu, dari dalam pagoda itu segera berkelebat sebuah bayangan, terus men Celat keluar dan jatuh ditanah tanpa berkutik lagi.
Tan Keh Lok terkejut sekali, karena sikorban itu adalah An Kian Kong. Dan pada saat itupun terdengar tanda suitan dari Ma Sian Kun dan Ma Tay Thing dari luar pagoda yang memberitahukan ada musuh tangguh telah datang.

Sebaliknya Kian Liong bukan kepalang girangnya. Beliau mengira kalau penolongnya telah datang. Tan Keh Lok me-ngawasi keempat penyuru, tapi oleh karena sepidua saja, tahulah dia bahwa musuh yang datang itu hanya dua orang saja. Sekalipun begitu musuh kali ini sangat lihainya hing ga Ma Sian Kun dan puteranya yang menjaga diluar pagoda itu sampai tak tahu sebelumnya. Ditilik dari gerakan mereka yang sedemikian itu, tentulah salah seorang jago yang ter lihai diantara kawanan si-wi. Dibandingkan dengan Pek Cin, masih lebih tinggi setingkat.

Keempat Anjing mereka itu kembali menyerbu masuk, disambut dengan teriakan memaki dari seorang wanita muda. Kembali Anjingdua itu me-lompatdua hebat. Itulah tentu Ciu Ki dan Sim Hi yang menjaga ditingkat kedua tengah me layani Anjingdua itu.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan seram dan dari jendela tingkat kedua terlempar keluar dua buah senjata, sebatang golok pendek dan sebatang joan-pian. Tan Keh Lok menge nalnya senjata-nyata itu kepunyaan Ciu Ki dan Sim Hi. Hal mana telah membuatnya ia terkejut, dan diam-diam menguatirkan akan keselamatan kedua kawan itu. Karena terang, musuh telah dapat merebut senjatanya.

Melihat perubahan air muka Tan Keh Lok itu, tahulah Kian Liong bahwa fihak ,,penolongnya” telah mendapat kemenangan. Diam-diam beliau merasa girang. Tapi ketika Tan Keh Lok bersenyum, beliau Buru-buru melengos kebawah, ternya ta disana seorang gagah yang bersenjatakan thiat-Ciang (galah besi), telah memutar senjata itu dengan hebat dan berhasil mengusir keluar keempat Anjing besar itu.
Itulah Cio Su Kin, dibelakang siapa pun ikut keluar Ciu Ki dan Sim Hi yang lalu menolong Kian Hiong dan Kian Kong. Empat ekor Anjing itu buas bagai harimau. Salah seekor telah dihantam sampai putus kakinya oleh Su Kin, namun masih tetap merangsang dengan sengitnya. Dikepung oleh empat binatang yang buas itu, Su Kin agak kerepotan juga nampaknya.

Habis membawa masuk Kian Hiong dan Kian Kong, Sim Hi keluar pula. Dia gunakan puluhan biji batu untuk menimpuk dan berhasil membuat Anjingdua itu ber-kuikdua kesakitan. Dan disaat itu, Su Kin hantamkan thiat-Ciangnya. Kini ada seekor yang terlempar keluar.
Ciu Ki pun menyusul keluar. Ia ber-teriakdua untuk membikin kacau binatangdua itu. Dan ternyata berhasil, karena binatangdua itu makin gugup. Melihat gelagatnya, dalam beberapa waktu saja Su Kin pasti dapat menyapu bersih binatangdua itu, andai kata tak terjadi hal yang mendadak datangnya.

Sekonyong-konyong dari tingkat ke enam, ada seorang melongokkan kepalanya keluar jendela sembari bersiul keras sekali. Siulan itu aneh kedengarannya.

Mendengar itu, keempat Anjing itu segera lari berpencaran keempat penyuru. Karena pintar Caranya menCari jalan lolos, Su Kin tak berdaya menge jarnya. Hanya yang putus kakinya tadi seekor, karena lari nya agak lambat Su Kin telah dapat menangkapnya dan diangkatnya tinggi-tinggi. Anjing itu Coba-coba meronta dengan melolong keras-keras, tapi pada lain saat Su Kin melemparkannya jauh-jauh maka siraplah lolongnya.

Ciu Ki dan Sim Hi sudah bersiap pula dengan senjatanya dan menjaga dibawah menara tersebut. Mereka kuatirkan akan adanya serangan musuh lagi. Sedang disebelah atas, Tan Keh Lok yang melihat bahwa musuh memberi tanda siulan dari loteng keenam, diam-diam berpikir dalam hatinya: “Kalau begitu apakah Cap-ji-ko yang menjaga loteng kelima serta Nyo pat-ko yang menjaga loteng keenam tak dapat menahan mereka?”

Memikir sampai disitu, Keh Lok mengeluh. Musuh ternyata keliwat tangguh, apalagi dua orang, maka ketua Hong Hwa Hwe itu segera akan bertindak untuk mengumpulkan empat orang saudaranya dan menjaga diloteng ke sembilan. Belum sampai dia lakukan rehCananya, tiba-tiba dari loteng ke tujuh berkelebat sesosok tubuh yang pendek kecil, tapi gesit gerakannya. Itulah 'Bu Cu-kat' Thian Hong.

Tapi baru saja tubuh Thian Hong keluar jendela, kakinya kiri telah kena disamber oleh seorang dari dalam. Tan Keh Lok kaget bukan kepalang. Cepat-cepat dia siapkan tiga butir biji Catur dan sedianya akan ditimpukkannya. Tapi tiba-tiba Thian Hong berseru dengan keras: “Lihat piauw!”

Dan membarengi itu, tangannya kanan bergerak. Sudah tentu orang itu tarik kepalannya kebawah untuk menhindari. Tapi ternyata itu hanya tipu dari si Bu Cu-kat saja. Karena ternyata dia tak menimpuk apa-apa. Dan membarengi orang menunduk, dia jejakkan kakinya untuk berontak. Begitu terlepas, dia pun sudah berdiri diatas wuwungan dari pagoda.

Tan Keh Lok berada diloteng ke-duabelas, jadi kini dia dapat melihat jelas musuhnya itu yang ternyata berpotongan kate, ya, bahkan lebih pendek dari Thian Hong. Berpakaian serba putih sedang rambutnya sudah ubanan semua. Seorang pe-rempuan tua kiranya!

Benar perempuan itu menggemblok sebatang pokiam di punggungnya, tapi ia menyerang dengan tangan kosong saja. Sekali loncat, ia sudah melesat dan berbareng tangannya kembali menerkam Thian Hong.

Thian Hong sudah tak bersenjata lagi, mungkin sudah kena berampas oleh perempuan tua itu. Tapi tangannya kiri masih memegang sebatang tongkat besi, dengan apa dia palangkan kemuka dada, seraya berseru: “Lihat piauw!”

“Kunyuk, jangan Coba kelabuhi aku lagi!” nenek itu memaki.

Sembari mulut membentak, tangan perempuan tua itu su-dah merangsang untuk merampas tongkat. Tapi ternyata ia salah taksir siasat Bu Cu-kat. Kali ini bukan gertakan kosong. Karena tadi dia sudah dapat mengambil sepotong genteng, maka lalu ditimpukkan keras-keras.

Untuk berkelit terang sudah tak keburu, apaboleh buat tangan perempuan tua itu menangkiskan kemuka. Maka hanCurlah genteng' itu menjadi berkeping-keping. Penjaga dari loteng ke delapan, kedua saudara Siang, mungkin sedang dirabu oleh musuh yang seorang lagi,' makanya tak kelihatan mun Cul untuk membantu. Dalam hal kepandaian silat, Thian Hong terang bukan tandingan siperempuan tua itu, maka dalam beberapa jurus saja, dia sudah keripuhan dan keluarkan keringat dingin. Hanya karena mengandalkan kelin-Cahannya saja, masih dapatlah dia memaksakan tertahan.

Kebetulan pada saat itu, Ciu Ki mendongak keatas. Melihat bagaimana bakal suaminya itu dalam bahaya, ia gugup dan teriaknya: “Ayah, lekas bantui dia!”
Ciu Tiong Ing menjaga diloteng ke sepuluh. Diapun lihat ba-gaimana kedua muridnya tadi, Kian Hiong dan Kian Kong, dirobohkan musuh. Sedang kini Calon mantunya pun berada dalam bahaya, dia segera maju kedepan jendela. Sesuai dengan wataknya yang tak mau main membokong, maka lebih dulu berserulah dia; “Siapa berani mengacau disini?”

Berbareng sepasang 'Thiat-tan susul menyusul ditimpuk kannya kearah nenek itu.
Tapi belum tiba timpukan senjatanya itu, tahu-tahu nenek itu sudah melompat pergi secepat-cepat burung, sekali tangannya menahan emperan, dengan sekali berjumpalitan, orangnya menaik lagi ketingkat keenam.

Tatkala itu terdengarlah suara gemerinCing yang ramai, banyak sekali senjata-nyata rasia sebangsa panah, peluru besi, piau dan lain-lain. jatuh diatas atap tingkat kedelapan. Kiranya dilepaskan oleh Tio Pan San yang menjaga ditingkat kesembilan yang bermaksud membantu Thian Hong.

Dan karena mengenai tempat kosong, kedua Thian-tan yang ditimpukan Ciu Tiong Eng tadi telah patahan kayu emperan menara itu hingga menerbitkan suara peletak dua kali, Cepat-cepat Thian Hong dapat menyemput kembali sebuah Thiat-tan, sebuah lainnya ber-putardua ditalang emperan menara. Tiong Eng melompat turun hendak menyemputnya kembali, tapi belum lagi kakinya menancap tempat yang dituju, sekonyong-konyong ada angin pukulan menyamber kedadanya.

Dalam keadaan terapung, Tiong Eng tak sempat menghindari, ia merasa angin pukulan itu hebat sekali, kalau menangkis sedang tubuhnya terapung, tentu akan kalah kuat dan terdorong jatuh kebawah menara. Dalam keadaan kepepet, lekas-lekas Tiong Eng Cabut goloknya menegak dimuka nya, lalu orangnya bersama senjatanya terus menubruk kedepan dengan tujuan menerima pukulan orang, tapi lawan pasti akan kena goloknya juga, dani keduanya pasti akan sama-sama terluka.

Akan tetapi musuh Cukup liCin, ketika melihat Tiong Eng menubruk maju, sedikit tubuh mengegos, tangan kirinya terus menarik pergelangan tangan Tiortg Eng yang memegang senjata.

Melihat gerak orang yang Cepat-cepat lagi lihai, diam-diam Tiong Eng bersuara heran, pikirnya dengan terkejut: “Siapakah gerangan orang ini?” — Dan bila ia sempat melompat pergi, sementara dilihatnya Siang-si Hengte sudah melompat keluar dan menempur orang itu dengan serunya, Perawakan orang itu ternyata tegap luar biasa, kedua saudara Siang itu sudah tergolong jang kung lenCir, siapa tahu tubuh orang itu masih lebih tinggi daripada mereka, hidung orang itu besar membetet, mukanya merah bagai di wenter, kepalanya gundul kelimis tanpa seujung rambutpun.

Melihat wajah orang yang begitu aneh, sedang ilmu silat nya bagus luar biasa, diam dua Tiong Eng memikir: “Kenapa tokoh semacam ini juga terima menjadi Anjing pesuru kerajaan Boan?”

Kakek gundul itu terus geraki kedua telapak tangannya dengan Cepat-cepat dan lihai, tapi kedua saudara Siang keluarkan ilmu pukulan “Tiat-soa-Cio” mereka melompat kian kemari diatas emper menara itu.

Nampak Siang-si Hengte berdua mengerojok satu musuh belum bisa menang, tapi untuk kalah rasanya juga tidak, Tiong Eng tidak jadi maju membantunya. Tapi bila ia memandang kebawah, seketika ia terperanyat.

Ternyata ditingkat keenam situ sinenek tadi sedang me rangsak Ciu Ki hingga terpaksa gadis ini mundur-mundur terus. Melihat tunangannya tak sanggup melawan, tapi masih me nempur matikan, kedudukannya sangat berbahaya, Cepat-cepat Thian Hong berseru: “Ki-moay, mundur, mundur dulu!”

CIU KI menurut, ia putar tubuh terus pergi, dan sedang nenek itu hendak melompat naik mengejarnya, tahus Ciu Ki berhenti pula dan mendamperat: “Lothaypo (nenek tua bangka), berani kau mengejar aku?' Disini ada bala ban tuanku!”

Meski tua, tapi watak nenek itu ternyata sangat beranga san, demi mendengar katas Ciu Ki, benar-benar ia mengejar pula.

Ciu Ki tak berani menempurnya, segera ia putar tubuh berlari. Tiong Eng tidak tinggal diam, dari atas sebuah Thiat-tan segera ditimpukannya kepunggung nenek itu.

Saat mana nenek itu sudah hampir dapat menyandak Ciu Ki, selagi tangan diulur hendak menyamberet punggung gadis itu, mendadak terdengar samberan angin yang keras dari belakang, tak berani ia meraupnya, melainkan tubuhnya berkelit keluar, karenanya, seluruh tubuhnya menjadi ter apung diluar atap menara, hanya sebelah kaki kiri yang menyantol pada ujung emperan saja.

“Trang!” — keras sekali Thian-tan tadi mengenai atap menara hingga genteng pecah berhamburan. Sungguh tidak terduga bahwa dengan senjata rasia Ciu Tiong Eng yang sangat diandalkan itu, tenaga timpukannya besar dan jitu sekali, siapa nyana dengan mudah saja telah dihindarkan nenek itu dengan ilmu entengi tubuhnya “Han-kang-tok-tio” atau memanCing sendirian disungai dingin, semacam ilmu kepandaian- yang jarang terlihat didunia persilatan, karuan Tiong Eng sangat kagum dan diam-diam berkuatir pula.

Sementara itu sesudah hindarkan serangan, kembali nenek itu mengudak Ciu Ki lagi. Ketika Tiong Eng melompat turun ketingkat enam itu dan menghadang ditengah jalan dengan golok melintang, saat itu CiTi Ki sudah berlari sam pai dibalik menara sana, kedua orang sedang udakduaan mengi tar menara.

Sejak Ciu Ki bertunangan dengan Thian Hong, ia menjadi kuatir dirinya yang suka "grusak-grusuk" akan dipandang rendah oleh bakal suaminya yang terkenal Cerdik pandai itu, maka segala apa sekarang tak berani lagi terlalu turuti wataknya. Sebab itulah, ketika Thian Hong menteriak inya mundur, segera ia bertempur sambil mundur dengan tujuan mengulur tempo.

Saat itu Tiong Eng melompat turun dan melihat puterinya berlari datang dari balik menara dengan masih diuber nenek bertangan kosong itu. Tapi dibelakang wanita tua itu ada lagi mengintil seorang yang mengajun sepasang gaetan menusuk terus kepunggung orang, tapi tak bisa mengenai, melihat Caranya menolong Ciu Ki dengan gagah berani, ternyata ialah Kiu-beng-pa-Cu We Jun Hoa, simacan tutul bernyawa sembilan.

Ketika itu Nyo Seng Hiap, Ciok Siang Ing juga sudah memburu naik dari tingkatan bawah, segera Tiong Eng mendahului maju, sesudah melewatkan Ciu Ki, goloknya beruntun membaCok dan membabat dua kali.

Nenek itu tak berani ajal menghadapi ilmu golok orang yang hebat, ia menyingkir kesamping, dan selagi hendak Cabut pedangnya, tiba-tiba terdengar sikakek gundul tadi sedang menteriakinya dibagian atas: “Aku nienyerang kebawah dari atas menara sana, kau menyerang dari bawah keatas!” — Suaranya begitu garang dan keras bagai genta.

Mendengar itu, sinenek takmau menempur lama, sekali me loncat, tangan menahan ujung emperan tingkat ketuju, segera orangnya melompat ketingkat kedelapan. Ditingkat kedelapan ini tiada yang merintanginya, maka dengan Cara yang sama ia melompat ketingkat kesepuluh.

Ketika dari bawah menyerang keatas, nenek itu sudah tahu ilmu silat penjaganya satu tingkat lebih hebat dari tingkat berikutnya, meski serangan golok Ciu Tiong Eng tadi dapat dihindarkannya, tapi ia sudah kenal ilmu golok keluaran Siau-lim-Pai orang, ia kuatir kalau dibagian atas terdapat lawan yang lebih lihai, maka dengan penuh waspada ketika tubuhnya melompat keatas, pedangnya sudah diputarnya dahulu dengan kencang.

Tiba-tiba saja terasa tangannya tergetar, pedangnya telah kena ditempel senjata orang dari atas hingga hampirdua terlepas dari Cekalan.

Nenek itu insaf ketemukan lawan tangguh, Cepat-cepat pedangnya ia sampok kesamping melepaskan daya melekat senjata orang, lalu ia melompat kesamping, tapi tahu-tahu ujung pedang musuh sudah mengarah lagi kemukanya. Dalam keadaan kepepet, nenek itu membarengi menyerang tiga kali berturut-turut, karena itu, terpaksa orang itu harus tarik pedangnya dan gunakan tiga tipu gerakan “Thay-kek-kiam-hoat” untuk mematahkan serangan sinenek.

Ketika nenek itu menegasi, ternyata lawannya adalah seorang lakidua setengah umur berkumis. “Ha, sayang dengan kepandaianmu ini!” jengeknya kemudian.
Orang itu bukan lain ialah Jian-pi-ji-lay Tio Pan San. Karena melihat kesehatan sinenek, iapun lagi terkejut dan kagum. Namun segera kedua orang saling menubruk maju terus bergebrak dengan sengitnya.

Melihat kedua orang dibawah itu terus menerjang keatas, diam-diam Kian Liong bergirang, ia lihat sikap Tan Keh Lok tenangdua saja anggap sepi, malahan pemuda itu terus seret sebuah kursi kepinggir jendela untuk menonton pertaru ngan dibawah. Diam-diam Kian Liong pikir, yang datang menolong padanya melulu dua orang, tentu takkan sanggup melawan orang-orang Hong Hwa Hwe yang berjumlah banyak sekali.
Selagi ia sebentardua girang dan lain saat kuatir pula, tiba-tiba dari jauh terdengar suara Anjing menyalak diselingi suara bentakan-akan orang serta derapan kuda.

Saat itulah terlihat Sim Hi bergegas-gegas naik keatas dan berkata pada Tan Keh Lok dalam basa rahasia Hong Hwa Hwe: “Menurut berita pengintai, katanya ada dua ribu tentara negeri sedang menuju kemenara ini.”

Keh Lok hanya mengangguk, lalu Sim Hi berlari kebawah lagi.
Kian Liong tak paham apa yang dikatakan Sim Hi, tapi melihat sikap kacung itu tegang, ia tahu tentu terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan pihak mereka itu. Ketika ia memandang jauh kedepan, dari rimba yang menghijau rindang sana tiba-tiba muncul sebuah panyi yang bertuliskan sebuah huruf “Li.” Girang sekali Kian Liong, ia kenal itulah panyi pertanda Li Khik Siu, tentu panglima itu telah memimpin tentaranya datang menolong padanya.
Dalam pada itu Keh Lok telah berdiri sambil melongok keluar jendela dan berseru: ,,Ma-toako, mundurlah kedalam menara dan siapkan panah!”
Lalu terdengar Ma Sian Kin menyahut dibawah.
Baru saja habis Keh Lok berseru, tiba-tiba terlihat sikakek gundul telah melompat naik disusul Siang-si Siang-hiap dan Ciu Tiong Eng yang terus mengudaknya. Tapi sesudah mengitari menara, bila pengejar sudah terlalu mendesak, lantas kakek gundul itu membalik menempurnya, kemudian kalau ada kesempatan, lantas melompat lagi ketingkat lebih atas.
Disebelah sana sinenek tadi juga lagi bertempur dengan serunya melawan Tio Pan San, sedangkan sikakek gundul sudah melompat sampai tingkat yang ke-duabelas.
Melihat datangnya orang, pula tingkat ke-duabelas itu adalah tempat Kian Liong dikurung, Siang Ho Ci tidak mengejar lagi, tapi cang keram terbangnya lantas dikeluarkan sambil diajunkan, lalu mencegah didepan jendela.
Siang Pek Ci dengan sang kaka adalah saudara kembar, sejak kecil tak pernah berpisah, kedua orang seakan-akan dua raga satu jiwa, maka demi nampak kaka keluarkan senjata, segera Pek Ci angkat kedua telapak tangannya berdiri disamping kakanya.
Tak terduga sikakek gundul tidak mau mendekatinya, sebaliknya terus melompat kepunCak menara.
Karena tak keburu mengejar, Ciu Tiong Eng melompat masuk menara melalui jendela. Ketika mendadak melihat Tiong Eng melompat masuk dengan golok terhunus, Kian Liong terkejut. Ia lihat jago tua itu berlari kedepan tangga yang menembus punCak menara itu menantikan kedatangan musuh.
Saat itu, Tio Pan San yang menempur sinenek dengan sama kuatnya sudah berlangsung hingga ratusan jurus. Diam-diam Pan San merasa heran: “Perempuan ini sudah beruban, kenapa aku tak mampu menangkan dia?”
Karena tidak sabar lagi, segera ia bermaksud merogoh senjata rasianya, tapi rangsakan nenek itu ternyata ken cang sekali, sedikit meleng saja, tahu-tahu lengan bajunya telah kena disobek pedangnya, walaupun tidak terluka, mau-tak-mau Pan San terkejut juga.
Menyaksikan pertarungan Tio Pan San dengan nenek itu berlangsung dengan amat serunya, Thian Hong, Seng Hiap, Jun Hua, Siang Ing dan Ciu Ki yang berdiri disamping semuanya heran. Tapi mereka Cukup kenal betapa lihainya Tio Pan San sebagai Ciangbunyin atau ketua Thay-kek-bun sekte selatan, bSik ilmu senjata maupun ilmu pukulan, dikalangan Kangouw jarang ketemukan tandingan, betapapun nenek itu lihai, pasti Pan San sanggup melawannya. Pula pertandingan diantara ahli silat paling pantang disela orang lain, maka semua orang tidak ingin mengembut ma ju. Kini mendadak nampak lengan baju Tio Pan San tersobek, mereka terkejut, Cepat-cepat Jun Hua ajun kedua gaetannya hendak menubruk maju.
Tak terduga Pan San sudah melontarkan sekali tusukan mendesak sinenek terpaksa mundur setindak, habis itu ia sendiripun melompat kesamping dan katanya: “Kepandaian Lothaythay memang hebat, silakan naik!”
Melihat itu, Jun Hua menjadi bingung.
Kiranya sesudah lengan bajunya sobek oleh senjata orang, sebagai seorang tokoh silat terkemuka, Tio Pan San tak-mau bertempur lebih lama lagi, ia pikir: “Liok Hwi Hing, Liok-toako menjaga ditingkat ke-11, biarlah aku melihat ilmu silatnya selama belasan tahun ini pasti maju sangat pesat, tentu ia sanggup menahan wanita tua ini.” — Nyata maksudnya memberikan jalan perempuan tua itu keatas jalah sengaja memberi kesempatan pada Liok Hwi Hing untuk unyukan ketangkasannya.
Melihat Tio Pan San mengalah, nenek tua itu juga Cukup kenal aturan, ia memberi hormat sambil berkata: “Maaf!” — Lalu Cepat-cepat melompat keatas.
“Tio-sahCek (paman Tio ketiga), kau toh belum kalah, kenapa mesti mengalah?” seru Ciu Ki.
“Ilmu pedang wanita ini hebat sekali, biarlah kita saksikan kepandaian Bu-tong-Pai Liok-toako kita,” sahut Pan San. Habis ini tiba-tiba ia menyambung: “Eh, nona Ciu, kenapa kau pun begini sungkandua, memanggil aku SahCek? Hit-te bia sanya memanggil aku Samko.”
“Aku memanggil mengikuti tingkatan ayah,” sahut Ciu Ki dengan muka jengah.
“Jika begitu, apa kau juga panggil dia Hit-Cek?” sela Seng Hiap tertawa sembari menunyuk Thian Hong.
“Cis, jangan dia harap?” sahut Ciu Ki.
Begitulah, karena tahu jumlah pihaknya banyak sekali, meski tinggi kepandaian musuh, tentu takkan bisa berbuat apa-apa, maka sembari bergurau, lantas mereka berlari ketingkatan atas menara.
Tingkatan kesembilan dan kesepuluh kosong tiada orangnya, tingkat sebelas semua orang menduga tentu Liok Hwi Hing akan bertanding pedang dengan nenek tua tadi, siapa tahu disitu juga kosong tanpa seorangpun:
Karuan semua orang kaget, Cepat-cepat mereka berlari keatas pula, dan ketika akan masuk kedalam, terdengarlah suara beradunya senjata. Terlihatlah disitu Ciu Tiong Eng dengan goloknya yang berpunggung tebal lagi menempur sinenek ubanan tadi dengan sengitnya, yang satu goloknya besar dan tenaganya kuat, yang lain sebat dan gesit, hingga seketika susah ditentukan mana unggul atau asor.
Keh Lok telah tarik Kian Liong kesuatu pojokan sambil berduduk diatas suatu dipan menyaksikan pertarungan itu.
Sementara itu Nyo Seng Hiap dan Ciok Siang Ing sudah menjaga jalan larinya orang, lalu terdengarlah Thian Hong berseru: “Letakkan senjatamu dan jiwamu kami ampuni!”
Namun nenek itu tidak gentar meski tahu dirinya sudah terkurung, beruntundua ia masih melontarkan tipudua serangan lihai.
“Ilmu pedang perempuan tua ini sangat mirip seseorang, kau bilang betul tidak?” kata Ciu Ki bisik-bisik pada sang tunangan.
“Ya, benar, akupun lagi heran,” sahut Thian Hong.
Tiba-tiba nenek itu desak mundur Tiong Eng, berbareng itu sebuah meja ia tarik merintangi depannya, ia sendiri berdiri mepet dinding. Ketika Tiong Eng membaCok pula, hampirdua senjatanya menancap diatas meja, Syukur sempat menarik kembali goloknya.
“Apakah kau ini kaisar? Lekas bilang!” seru perempuan tua itu mendadak sambil berpaling kearah Kian Liong.
Menyang ka orang datang untuk menolongnya, Cepat-cepat sekali Kian Liong menyawab: “Ya betul, akulah kaisar, akulah kaisar! Apakah bala bantuan sudah datang semua?”
Sekonyong-konyong nenek itu melompat keatas meja, habis itu pedangnya menyurus lempeng kedepan, bagai burung saja terus menubruk kearah Kian Liong, dengan tipu “peng-bok-ban-li” atau burung elang menubruk beribu li, segera pedangnya menusuk kedada kaisar Boan itu.
Serangannya itu Cepat-cepat lagi ganas, semua orang tadinya menyang ka datangnya adalah untuk menolong Kian Liong, siapa duga mendadak malah hendak membunuhnya, perubahan diluar dugaan ini, seketika bikin semua orang menjadi kelabakan.
Meski Tan Keh Lok berdiri disamping Kian Liong, tapi serangan sinenek terlalu Cepat-cepat , untuk menangkis juga tak keburu lagi, tanpa pikir kedua jarinya ia membarengi me nutuk kejalan darah, berbahaya diiga nenek itu, serangan ini adalah tipu yang tidak-bisa-tidak mesti menghindari. Sebab itu, ketika ujung pedangnya sudah hampir mengenai dada Kian Liong, mendadak melihat dirinya diserang, terpaksa sinenek angkat tangan kirinya menangkis dengan gerakan “kim-liong-tam-jiau” atau naga emas mengulur Cakar, dari bawah keatas, terus hendak memegang tangan Keh Lok malah.
Itu adalah ilmu Cara menangkap dan memegang yang paling lihai dari tiga enam jurus “Kim-na-jiu-hoat”, asal pergelang an tangan Keh Lok kepegang, seketika orangnya akan lumpuh.
Tapi justru pada saat sedikit sinenek itu membagi per hatiannya, pedang pendek Keh Lok sudah dilolosnya terus menangkis senjata orang hingga menerbitkan suara nyaring disusul lelatu yang berCipratan, berbareng itu tangan kirinya tadi membalik terus menghantam kemuka sinenek.
Tipu Kek Lok berikutnya ini masih ada sekali tendangan yang disebut “Siang-he-kau-liu” atau silih berganti atas dan bawah, tapi nenek itu bukanlah sembarangan orang, ia sudah kenal akan tipu serangan Keh Lok, maka ketika serangan Keh Lok tiba, nenek itu menggeser kekanan, berbareng pedangnya balas menusuk tenggorokan lawan.
Tak ia duga ilmu pukulan “Pek-hoa-Ho-kun” Keh Lok setiap gerak serangann berlainan dengan pukulan biasa, diwaktu nenek itu menggeser kekanan, tahu-tahu tendangan Keh Lok justru datang dari sebelah kanan, baiknya nenek itupun membarengi menusuk, maka sebelum tendangan Keh Lok diteruskan, lekas-lekas sudah menarik kembali.
Setelah saling gebrak ini, kedua pihak sama-sama Curiga dan berbareng melompat mundur. Keh Lok menarik Kian Liong kebelakangnya, ia sendiri menghadang kedepan, lalu kiong-Hiu menegur: “Lothaythay, mohon tanya siapa namamu yang terhormat?”
Namun saat itu siperempuan tua itupun lagi membentak menanya, karena perCampuran suara kedua pihak hingga masings tak d jelas mendengar apa yang dikatakan.
Sesudah Keh Lok berhenti, kembali perempuan tua itu mengulangi sekali lagi pertanyaannya: “Pedang pendekmu itu diperoleh darimana?”
Mendengar orang tidak tanya soal lain, tapi paling dulu lantas usut asal-usul pedangnya, hal ini benar-benar diluar dugaan Keh Lok. Maka jawabnya: “Inilah pemberian seorang sahabat.”
“Sahabat siapa? Bukankah kau ini salah seorang pengawal kaisar? Mengapa 'ia' memberikannya padamu? Pernah apa kau dengan Thian-ti Koayhiap?” perempuan tua itu menghujani pertanyaan.
“Thian-ti Koayhiap adalah wanpwe punya suhu,” Tan Keh Lok jawab pertanyaan yang paling belakang itu lebih dulu.
Bahwa siperempuan tua tersebut akan bunuh baginda, tentulah kaum yang sehaluan dengan Hong Hwa Hwe Melihat ber-hadapan dengan seorang yang berusia lanjut dan lihai, Tan Keh Lok menyebut dirinya sebagai “wanpwe” atau anakdua golongan angkatan muda.
Perempuan tua itu perdengarkan suara dari hidung. “Hm, itulah. Suhumu meskipun beradat aneh, tapi dia seorang kunCu. Mengapa kau Cemarkan muka suhumu dengan men-jadi Anjing pengikut pemerintah Ceng?!
Mendengar ketuanya dimaki-maki se-wenangdua, Seng Hiap marah-marah.
“Ini adalah ketua kami Tan Congthocu, jangan omong sembarangan saja!” teriaknya.
“Apakah kamu ini orang-orang Hong Hwa Hwe?” perempuan tua itu terkejut.
“Benar!” jawab Seng Hiap.
“Apa kau sudah takluk pada Ceng-tiauw?” tanya siperem-puan tua seraya berpaling kepada Tan Keh Lok.
“Hong Hwa Hwe mengabdi kepada kebenaran dan kesuCian, bagai-mana mau tekuk lutut pada kerajaan asing? Silakan lothaythay duduk, kita bicara dengan tenang.”
Perempuan tua itu tak mau duduk, hanya tampaknya agak sabar. Tanyanya pula: “Dari manakah kau peroleh badidua itu?”
Dua kali sudah perempuan tua itu menanyakan badidua tadi, Keh Lok sudah dapat merabah sebagian. “Dari seorang sahabat di daerah Hwe,” sahutnya kemudian.
Pada masa itu, antara kaum lelaki dan perempuan saling bertukar barang, belum lazim. Sekalipun Keh Lok seorang gagah yang ada nama, namun dihadapan sekian banyak sekali orang, dia merasa kikuk untuk menerangkan.
“Apakah kau kenal pada Hui-ih-wi-san?” tanya siperem puan tua.
Keh Lok hanya anggukkan kepalanya. Melihat itu, Ciu Ki hilang sabar, lalu menyahut :
“Yang memberi ialah CiCi Hwe Ceng Tong, apa kau juga mengenalnya? Kalau begitu, kita ini satu kaum!”
“Dia adalah muridku!” sahut siperempuan tua.
Mendengar itu Keh Lok segera menjura. “Ah, kiranya yang datang ini adalah Thian San Siang Eng berdua Cianpwe, kita tidak mengetahuinya, harap dimaafkan.”
Perempuan tua itu tak mau membalas hormat, hanya mi-ringkan tubuhnya sedikit, artinya ia tak mau menerima hormat orang. Tanyanya pula: “Kau katakan kita sekaum, tapi mengapa kau lindungi baginda dan tak biarkan kubu nuhnya saja?”
Melihat sikap orang yang sombong atas sambutan merendah dari ketuanya itu, Seng Hiap mendongkol sekali. Tiba-tiba kedua saudara Siang lompat masuk dari luar jendela.
“Baginda adalah kita yang menangkapnya, kalau nanti diputus mati, kiranya juga tak usah kau yang membunuh nya,” kata Siang He Ci.
“Heh, jadi raja itu kalian tangkap?” tanya perempuan tua dengan terkejut.
“Mungkin Locianpwe belum mengetahui. Memang kitalah yang menawan baginda. Kami kira kalau Locianpwe berdua tadi adalah si-wi yang akan menolong baginda, jadi saudara-saudara kami sama menghadangnya; Tapi karena Locianpwe keliwat lihai, mereka tak dapat menghalangi Locianpwe, sehingga timbul salah paham,” menerangkan Keh Lok.
Sebenarnya orang-orang Hong Hwa Hwe telah dapat menahan serbuan suami isteri Thian San Siang Eng, sepasang garuda dari gunung Thian San. Jadi dengan ucapan itu, Keh Lok bermaksud menyenangkan perasaan orang.
Tiba-tiba perempuan tua itu tonyolkan dirinya keluar jendela dan berseru keras: “Hai, Tangkeh (disini dimaksudkan suami), kau turunlah kesini!”
Sampai sekian jurus, tak ada jawaban apa-apa. Sekonyong-konyong sebuah panah melayang datang. Siperempuan tua ulurkan tangannya untuk menyang gapi tangkai panah itu, ia berpaling kedalam, dan lemparkan anak panah keatas meja, seraya berseru dengan ketus: “Bangsa kurCaCi yang tak boleh di percaya, mengapa lepas anak panah ini!”
“Harap Locianpwe jangan salah paham. Saudara-saudara kita yang disebelah bawah sama belum mengerti, jadi berbuat kekeliruan. Biar nanti mereka haturkan maaf pada Locianpwe,” kata Tan Keh Lok, terus melongok kebawah.
“Orang sendiri, jangan lepas panah!” — Tapi belum ketua itu berseru habis, sebatang panah kembali melayang . Waktu itu Keh Lok sudah mengetahui, bahwa ribuan pasukan pemerintah Ceng sudah mengurung pagoda itu dengan rapat sekali. Jadi setiap ada kepala menonyol keluar jendela pasti akan dipanah mereka.
“Sam-ko, harap pimpin thauw-bak menjaga pintu pagoda. Tapi jangan menyerang keluar,” pinta Keh Lok.
Tio Pan San mengiakan, kemudian berlalu dari situ.
“Yang berada disini ini tentulah salah seorang dari Thian San Siang Eng, Swat-tiao Kwan-losuhu,” kata Tiong Ing kemudian. “Maaf, sudah lama aku mengaguminya.”
Memang perempuan tua itu, adalah Kwan Bing Bwe, isteri dari Tan Ceng Tik silelaki tua gundul tadi. Yang laki tinggi, isterinya pendek. Yang satu gundul, yang lainnya berambut Orang kangouw menamakannya “thut-Ciu-swat-tiao,” garuda gundul-elang-putih. Berpuluh tahun j.l. menyagoi didaerah barat laut. Perangainya juga aneh, kejam dan buas, sehingga ada orang menamakannya “iblis maut”.
Dengar pernyataan orang, Kwan Bing Bwe, bersenyum.
“Inilah Thiat-tan Ciu Tiong Ing Locianpwe”, Tan Keh Lok memperkenalkannya.
“Hm, akupun sudah lama mendengar namamu,” sahut Kwan Bing Bwe, siapa segera berpaling dan berseru pula: “Tangkeh, Ayo lekas turun, kau sedang berbuat apa itu?”
Begitu keras dan nyaring suara jago wanita itu, hingga semua orang sama melengak terkejut.
“Tan-losuhu sedang adu pedang dengan Bu Tim totiang, mari kita lekas pisahkan mereka,” kata Tiong Ing.
Tan Keh Lok memberi isyarat mata kepada kedua saudara Siang, siapa dapat mengerti maksud orang dan menjaga pada baginda. Setelah itu, Keh Lok ajak Kwan Bing Bwe dan lain-lain saudaranya untuk naik keloteng yang paling atas. Meskipun sudah menginyak titian loteng yang teratas itu, masih saja orang-orang itu tak dapat mendengar suara apa-apa. Mereka sama kuatir, karena diketahuinya bahwa kedua orang itu adalah jago-jago yang lihai sekali, jadi kemungkinan tentu ada salah seorang yang terluka. Hal itu akan membuat urusan makin runyam.
Kwan Bing Bwe Cukup tahu suaminya lihai, belum pernah ketemu tandingan. Setiba didalam ruangan, tampak sinar putih ber-kelebatdua menyilaukan mata. Seluruh ruangan itu terang dengan kilatan sinar pedang. Kiranya dua sosok bayangan ber-putardua dengan linCahnya, dan dua bilah pedang saling berkelebat. Sekalipun begitu, deru samberan anginnya seperti belasan orang yang bertempur.
Itulah Tan Ceng Tik, suami dari Kwan Bing Bwe, yang tengah bertempur seru dengan Bu Tim. Suatu pertempuran yang membuat kagum dan tunduk semua orang yang me nyaksikannya, sehingga mereka sama meleletkan lidah. Setelah berlangsung berpuluh jurus suaminya masih belum mendapat angin, diam-diam Kwan Bing Bwe terkejut serta ber tanya pada diri sendiri, mengapa didaerah Kang Lam ada seorang ahli pedang yang sedemikian tangguhnya itu. Se baliknya, Tan Keh Lok segera berteriak mencegahnya: “Totiang, kawan sendiri, harap berhenti!”
“Bu Tim angkat pedangnya keatas untuk lindungi muka serta mundur selangkah. Tapi sedemikian hebat pedang Ceng Tik melibatnya, sehingga tanpa dirasa, ujung pedangnya, maju menusuk.
Bu Tim berkelit kesamping sambil balas menusuk. Demikian, keduanya saling berhantam lagi.
“Tangkeh, mereka orang Hong Hwa Hwe!” seru sinenek tadi.
“Ha?”' seru Ceng Tik agak terkejut. Dan dalam pada itu, gerakan pedangnya agak diperlambat, tepat pada waktu itu terdengar samberan “sret.” Lengan bajunya sebelah kanan, kena tertusuk tembus oleh pedang Bu Tim.
Bu Tim menurut seruan Tan Keh Lok dan masih berlaku murah, kalau tidak tentu lebih ganas lagi. Sebaliknya, Ceng Tik murka sekali dibuatnya, bentaknya: “Durjana, lihat pedangku!”
Tiga serangan dia kirim secara kilat susul menyusul. Bu Tim tak mau mundur setapakpun. Sembari menangkis, dia balas empat serangan. Dalam sekejap saja, berpuluh ju rus sudah berlangsung. Ceng Tik gunakan jurus ilmu pedang ,,Sam-hun-kiam” yang lihai dan sukar diduga. Setiap gerak serangannya, mungkin berisi, mungkin kosong.
Untuk menimpali, Bu Tim keluarkan “Cui-hun-toh-beng-kiam”, ilmu pedang merampas jiwa. Dalam tujuhdua jurusnya, .terbagi lagi dalam delapan1 gerak tipu yang ajaib perubahannya.
Baik 'sam-hun-kiam', maupun 'toh-beng-kiam, keduanya adalah Ciptaan dari kedua jago pedang itu sendiri. Jadi sesuatu yang belum pernah tertampak dikalangan Kangouw. Tampak gerakan kedua pedang itu lambatdua saja, namun penuh dengan aneka perubahan yang mendadak.
Pada lain saat, dengan gerak “ping-ho-gay-tang”, sungai es mulai meleleh, Ceng Tik menabas lengan kanan lawan nya. Bu Tim bergerak menghindar kesamping, tapi Ceng Tik sudah menyusuli pula dengan tipu “kabut membubung dite ngah malam,” ujung pedang dari bawah dikibaskan keatas, sebat luar biasa. Maksudnya untuk membabat lengan lawan nya.
Hebat sekali serangan itu, biar bagaimana tangguhnya lawan, tak urung tentu termakan. Tapi pada saat itu, Ceng Tik kaget dan menyesal sendiri. Karena Bu Tim memang hanya berlengan satu. Sehingga anCaman itu, tak dihiraukan sama sekali oleh Bu Tim.
“Bagus!” seru Bu Tim dan dengan gerak 'Beng Bo koan theng1- atau Ibu BengCu menyiram kuah, dia tusuk tenggo roka,: jago Thian San itu.
Yakin sudah Ceng Tik, bahwa babatannya tadi tentu akan dapat menabas putus lengan lawannya. Dan andaikata musuh akan Coba menangkis, diapun sudah sedia langkah lagi untuk menyusuli lain serangan. Tapi dengan terkejut, dia dapatkan babatannya tadi kosong, karena musuh tak berlengan.
“Ah, tolol benar aku ini. Terang dia hanya punya satu lengan, mengapa kuserang Cara begitu tadi?!” demikian pikirnya.
Tapi dia tak mempunyai waktu untuk merenungkan per-buatannya tadi, karena tahua ujung pedang Bu Tim sudah menganCam tenggorokannya. Untuk menghindar, terang sudah tak keburu. Dalam keadaan terancam itu, dia berlaku nekad. Sejalan dengan, gerakan orang, diapun julurkan pe dangnya untuk membabat. Jadi Dua-duanya tentu berbareng terluka.
Melihat anCaman itu, Bu Tim bergerak kekanan. Begitu pedangnya ditarik, segera ditangkiskan pedang musuh. “Trang.” Begitu nyaring kedua pedang itu beradu, berkumandang sampai lama sekali.
Kedudukan Bu Tim ketika itu sebelah lututnya ditekuk ke tanah, sembari menahan pedang lawannya. Siapa yang ken dor, ujung pedang lawan tentu akan membabat tubuh.
Semua orang sama berseru kaget. Keduanya gunakan lwekang untuk mendesak lawan. Selagi batang pedang sama tertahan, lama-lama saling masuk kedalam senjata masing-masing. Melihat keadaan itu, Tan Keh Lok tak mau berajal. Meminta pian dari Seng Hiap, ketua Hong Hwa Hwe itu terus siap akan ma ju melerai. Tapi baru saja kakinya maju selangkah, terdengarlah suara seorang tertawa ber-gelakdua: “Ilmu pedang yang bagus!”
Berbareng suara itu, sesosok bayangan berkelebat turun disusul dengan gemerinCingnya suara senjata beradu. Pedang Bu Tim dan pedang Ceng Tik, duaanya telah rompang kutung. Dan kedua jago silat itupun sama lompat mundur. Mereka dapatkan seorang tegak berdiri di-tengah-tengah gelanggang sambil tertawa nyaring. Sedang pokiam yang dipegang nya, tampak ber-kilauduaan menyilaukan mata.
Ketika Bu Tim mengetahui bahwa orang itu adalah Bian-li-Ciam Liok Hwi Hing, diapun diam. Sebaliknya Tan Ceng Tik dengan masih memegangi separoh batang pedangnya, matanya menjadi merah. Begitu ajun kakinya dia akan menyerang orang itu.
“Thut-heng, thut-heng, apakah kau tak kenal dengan Siaote lagi?” kata Hwi Hing dengan tertawa.
Ceng Tik melengak, memandang tajamdua, kepada Hwi Hing, tibas dia berseru dengan kaget: “Aha, kaulah Bian-li-Ciam!”
“Itulah siaote,” sahut Hwi Hing.
“Mengapa kau disini?” tanya Ceng Tik.
Hwi Hing tak menyahut, pedangnya disarungkan, lalu memutar tubuhnya untuk menjura pada Kwan Bing Bwe, katanya: “Toasoh, sepuluh th. kita tak berjumpa, rupanya ke pandaianmu makin hebat!”
Kwan Bing Bwe Buru-buru balas menjura.
Kiranya sewaktu tadi Hwi Hing menjaga diloteng ke 11, dia ketahui akan datangnya kedua suami isteri Thian-san Siang Eng itu. Bentuk tubuh kedua jago Thian-san itu memang istimewa, jadi sekalipun sudah sekean lama tak bertemu, masih juga Hwi Hing dapat mengenalinya dengan lantas. Bahwa sepasang Garuda dari Thian-san itu adalah orangs gagah yang mengutamakan keluhuran budi dan tak nanti sudi menjadi budak pemerintah Ceng, yakinlah sudah Hwi Hing. Tapi mereka datang menyerang pagoda itu untuk menCari baginda, itulah yang membuat Hwi Hing tak habis mengerti.
Karena sangsi, maka Hwi Hing tak mau jumpai mereka dan sembunyikan diri. Karena itulah maka loteng kesebelas tadi kosong. Bagaimana Kwan Bing Bwee akan membunuh Kian Liong dan salah paham dengan ketua Hong Hwa Hwe yang ber akhir pun diketahui oleh jago Bu Tong Pai itu. Ketika rombongan orang banyak sekali menuju keloteng ke 1tiga , Hwi Hing sembunyi di penglari. Dan dengan andalkan ilmunya meng entengi tubuh yang tinggi, dia merajap keloteng ke 1tiga .
Bagaimana kedua jago silat itu menguji kepandaiannya, tidaklah sampai membuat Hwi Hing terkejut andaikata mereka tidak sampai saling labrak dengan adu lwekang itu. Diketahuinya bahwa kalau sampai berlangsung lama, tentu ada salah seorang yang akan menderita, maka sekali enjot tubuhnya dia melayang turun dan membabat kedua senjata dari Bu Tim dan Tan Ceng Tik. Dengan demikian bujarlah pertentangan yang merugikan itu.
“Hm, Liok-iaote, pedangmu betuis sebuah pokiam yang jarang terdapat keduanya,” kata Ceng Tik.
Tahulah Hwi Hing bahwa Ceng Tik itu sekalipun usianya sudah tua, tapi adatnya masih panas. Katanya seraya tertawa: “Ini kepunyaan lain orang, untuk sementara dititipkan padaku.”
Memang pedang itu, adalah kepunyaan Thio Ciauw Cong. Seperti kita ketahui, dalam pertempuran silat dibukit Pat Ko Nia, 'leng-bik-kiam' Ciauw Cong itu telah kena diserobot oleh Lou Ping, kemudian diserahkan kepada Tan Keh Lok. Ketua Hong Hwa Hwe itu ternyata seorang muda yang berpikiran luas. Dia tahu bahwa pokiam itu adalah pedang mustika dari Cabang Bu Tong Pai turun temurun. Karenanya, dia serahkan kembali pedang itu pada Hwi Hing.
“Beruntung pedang ini bagus, kalau tidak, dua orang yang berkepandaian begitu tinggi seperti kalian, kalau saling ber-tempur siapakah yang dapat memisahkannya?” kata pula Hwi Hing.
Ucapan itu telah membuat Bu Tim dan Ceng Tik men jadi sabar.
“Kalau tidak bertempur tentu tidak saling kenal. Biarlah aku mengenalkan kalian berdua,” kata Hwi Hing lebih jauh. Dan habis itu dia mulai perkenalkan sepasang suami isteri gagah itu pada semua orang-orang Hong Hwa Hwe
“Aku tahu bahwa kalian berdua menetap dikaki gunung Thian-san untuk menikmati haris tua, tetapi mengapa tahu-tahu datang ke Kang Lam untuk membunuh baginda?” tanya Hwi Hing.
“Bukankah kalian sudah kenal dengan muridku Hwee Ceng Tong. Sebab dia, maka sampai timbul urusan ini. Pemerintah Ceng telah mengirim pasukan untuk memukul daerah Hwe. Ayahnya Ceng Tong, Bok To Lun melawannya.
Tapi karena kalah jumlah, maka beberapa kali dia harus menderita kekalahan. Kemudian ransum tentara Ceng telah dibakar orang ditepi sungai Hoangho.”
Baru saja Kwan Bing Bwe bicara sampai disitu, Hwi Hing Buru-buru menyelak: “Itulah pekerjaan Enghiongdua dari Hong Hwa Hwe yang dilakukan untuk membantu perjoangan Bok To Lun loenghiong.”
“Ah, didaerah Hwe, akupun sudah mendengar hal itu,” sahut Bing Bwe. Memandang kepada Tan Keh Lok, ia berkata pula: “Ah, makanya ia berikan badidua itu padamu.”
“Sebelum terjadi peristiwa itu, kita telah bertemu dengan Bok To Lun loenghiong yang hendak merampas kembali kitab Qurannya. Disitulah kita beruntung dapat membantu sedikit akan kerepotan Bok loenghiong itu,” jawab Keh Lok.
“Ya, tanpa ransum, tentara Ceng itu terpaksa mundur. Dan menggunakan kesempatan itu Bok To Lun menyorong kan perdamaian dengan menghaturkan dua buah vaas giok. Tetapi kurangajar betul mereka, setelah mendapat ransum, Tiau Hui kembali lakukan penyerangan,” kata Bing Bwe.
“Memang pembesar pemerintah Ceng- itu tidak boleh di percaya,” kata Hwi Hing.
“Karena Bok-loenghiong tak dapat bertahan, rakyat Hwe ditindas sewenangdua oleh tentara Ceng. Sampai disitu, mereka minta bantuan pada kita. Sebenarnya kita berdua tak mau repoti urusan begitu,” ujar Bing Bwe.
“Hm, garaduamulah! Tapi sekarang kau Coba membersihkan diri,” tiba-tiba Ceng Tik memutus pembicaraan isterinya.
“Huh, mengapa aku saja kau Cela? Kalau melihat tentara Ceng membakari dan menindas rakyat Hwe, tegakah kau melihatnya saja?” balas isterinya.
Ceng Tik keluarkan suara dari hidung dan akan menya wabnya lagi. Tapi Hwi Hing segera menyelak sama tengah, katanya dengan tertawa: “Kalian ini suami isteri sudah kolo tan, mengapa sih masih seringdua suka setori. Apakah tidak malu kepada orang-orang muda itu? Toasoh, jangan perdulikan Toako, kau teruskanlah keteranganmu tadi.”
Setelah melerok pada suaminya, berkatalah Bing Bwe: “Setelah berunding, sebenarnya kita akan bunuh jenderal mereka, Tiau Hui. Tapi kita pikir lebih lanjut, kalau Ceng-se-tay-Ciangkun itu dilenyapkan, raja masih bisa mengirim lagi gantinya. Jadi terus menerus membunuh pun tak berguna, lebih baik kita basmi akarnya, bunuh raja Boan itu.
Begitulah selama tinggalkan daerah Hwe, disepanjang ja lan kita dapat keterangan bahwa baginda berada di Kang Lain. Dengan membawa Anjingdua itu, kita berhasil menemukan jejak baginda di HangCiu. Kiranya kamu orang-orang Hong Hwa Hwe membawa baginda dari jalan dibawah tanah itu, sehingga kita montang-manting menCarinya.”
“Apa? Hongte ditawan mereka?” seru Ceng Tik dengan heran.
Hwi Hing tuturkan apa yang telah terjadi dengan pen Culikan baginda itu.
“Rencana itu memang bagus, tapi kurang tegas. Mengapa hanya membikin lapar beliau saja? Tabas saja batang lehernya kan lebih bagus!” kata Ceng Tik.
“Urusan negara masa Cukup dengan tabasan sebilah pedang saja sudah selesai!” sela Bu Tim dengan suara dingin.
“Totiang, kaupunya ilmu pedang memang lihai sekali. Tadi kita belum ada kesudahannya. Kalau totiang suka, bagaimana kita lanjutkan ber-main-main lagi?” kata Ceng Tik dengan gusar.
“Setua kau ini, agaknya masih kalah luas pandangannya dengan muridmu Hwe Ceng Tong, sigadis itu. Kita kan orang sendiri, mengapa mesti bertempur lagi?” sahut Bu Tim.
“Tuh, lihat! Kau memang seorang tua tolol, tapi kau selalu tak mau kukatakan begitu. Coba sekarang lain orang pun mengatakan kau begitu!” kata Bing Bwe dengan tertawa.
Sampai disitu rupanya kedua suami isteri itu mulai akan berCeCok lagi.
“Biarlah, anggap saja aku piCik,” sahut Ceng Tik. Habis itu, dia berpaling kearah Bu Tim, katanya: “Bukan bertempur mati-matian, tak ada halangan kiranya kalau kita uji permainan pedang kita bukan? Ilmu pedangmu tadi hebat, ingin aku meminta pengajaran, apakah itu keliwatan?”
Takut kalau keduanya akan bertempur lagi dengan akibat meretakkan persahabatan, Buru-buru Hwi Hing Campur mulut: “Toako, ilmu pedangmu disebut 'Sam-hun-kiam! Sedang ilmu pedang Totiang dinamakan 'Cui-hun-toh-beng-kiam', keduanya adalah ilmu Ciptaan kalian sendiri.”
“Ah, belum pasti benar-benar dapat mengejar roh orang dan merampas jiwanya,” kata Ceng Tik.
Sebenarnya karena memandang muka Hwi Hing, maulah Bu Tim mengalah. Tapi ternyata Ceng Tik orang tua itu, masih suka unggul. Kata-katanya itu terang merupakan sindiran, maka panaslah hati Bu Tim. Sahutnya: “Baiklah kalau begitu, kita main-main lagi. Kalau kalah, aku takkan menyamah pedang lagi seumur hidupku.”
Mendengar itu, tahulah orang-orang Hong Hwa Hwe bahwa Bu Tim marah benara. Mereka Coba akan melerainya.
“Sewaktu kami berangkat dari daerah Hwe, kami pernah bersumpah, bahwa kalau tidak sampai berhasil membunuh Hongte, kami takkan kembali kesana. Kalau kamu sekalian tak mengijinkan kami membunuhnya, sepantasnya harus un juk sedikit kepandaiann sehigga kami puas betul-betul. Tadi to tiang suka memberi pengajaran, rasanya; tak ada lain hal yang melebihi itu bagusnya. Kalau kalah, aku rela pulang dan batalkan rencana pembunuhan tadi,” kata Ceng Tik.
Berbareng dengan kata-katanya, tahu-tahu dia sudah merampas pedang isterinya. Tapi Tan Keh Lok tampil selangkah dan menjura dengan hormat sekali, katanya :
“Sekalipun ilmu pedang dari Bu Tim totiang hebat sekali, tapi dalam hal kemahiran masih kurang dari Locianpwe. Kita sama-sama sedang' mempunyai tujuan, mengapa harus saling tempur?”
Sengaja Tan Keh Lok berkata begitu, maksudnya akan meredakan suasana. Tapi sebaliknya Tan Ceng Tik orang tua itu paling benci dengan segala kata-kata merendah yang kosong, katanya dengan temberang:
“Tan Congthocu tak usah sungkandua. Suhumu adalah orang luar biasa. Tak mau Capekan tangan untuk memberi penga-jaran padaku yang tak punya guna ini. Maka lebih baik kuminta pengajaran darimu saja. Akan kuminta pengajaran dari Totiang dulu, baru nanti kepadamu. Bagaimana kalua kau tolong seorang tua seperti aku ini?”
Semua orang sama menganggap bahwa orang tua itu sukar didekati orang. Mungkin dia punya ganyelan apa-apa terhadap Thian-ti Koayhiap Wan Su Siau, sehingga bagitu menden damnya. Dan dendaman itu ditumpahkan kepada muridnya, Tan Keh Lok.
Namun Keh Lok nampaknya berlaku sabar sekali.
“Aku bukan tandingan dari Locianpwe. Suhu sering me ngalem pada Thian San Siang Eng. Dia begitu mengagumi sekali,” katanya merendah.
Mendengar itu, Ceng Tik menuding pada isterinya dan berkata dengan gusar: “Aha, mungkin mengaguminya, bukan aku.”
“Dihadapan sekian banyak sekali orang kau masih mau Cari per-kara?” Kwan Bing Bwe berseru separoh menjerit.
Sepasang suami isteri itu saling mengunjuk muka Cem berut.
“Thut-heng, bukankah kalian adalah suami isteri yang hampir berusia enam0 tahun? Urusan itu kan sudah ber-larutdua dipertengkarkan sampai berpuluh tahun?” Liok Hwi Hing kembali menyelak.
Wajah Tan Ceng Tik tampak berobah. Sepasang alisnya tampak menyungkat keatas. Sekali enjot kakinya, tiba-tiba dia melesat keluar dari jendela. Serunya: “Ajo, imam kecil, kalau takut keluar bukan seorang gagah!”
Orang-orang Hong Hwa Hwe bukan main mendongkolnya. Terang ban wa garuda jantan dari Thian San keliwat tak memandang muka orang.
“Sayang Bun-suko tak berada disini. Kalau ada, tentu dia sanggup melayani orang itu,” kata Thian Hong.
Kata-kata Thian Hong itu sengaja untuk membikin panas Bu Tim, siapapun menjadi merah telinganya.
“Sam-te, kasih sebilah pedang padaku,” kata Bu Tim.
Tio Pan San melambung dari tingkat bawah, lalu meng-angsurkan pedangnya seraya berbisik: “Totiang, harap me-mandang muka Bok To Lun dan nona Hwe Ceng Tong.”
Bu Tim anggukkan kepalanya, ia samber pedang terus loncat keluar.
Begitu nampak ada orang berada diujung atas pagoda, tentara Ceng segera menyamoutnya dengan hujan anak panah.
“Kita bertanding disebelah bawah sana, di-tengah-tengah hujan anak nanah itu, bagaimana kau rasa?” tanya Bu Tim. Ini suatu tantangan yang hebat. Dan Ceng Tik tak mau unyuk kelemahan. “Baik!” sahutnya.
Sekali dia tendangkah sepasang,, kakinya, dengan kepala dibawah dan kaki diatas dia melayang turun kebawah, dari atas Lingkat ke-1tiga melorot turun ketingkat keenam. Sekali tangannya kiri menyamah atap tingkat keenam, tubuhnya segera menCelat diatas wuwungan tingat ke-5, dimana dia sudah berdiri jejak lagi.
Riuh rendah tepuk sorak orang-orang Hong Hwa Hwe melihat pertun jukan yang mengagumkan itu. Sebaliknya, tentara Ceng disebelah bawah makin seru melepaskan panahnya. Dengan pedangnya, Ceng Tik menyapu bersih semua panah itu, sembari menantikan kedatangan Bu Tim.
Tampak pada saat itu, Bu Tim rangkapkan kedua kakinya, sedang tangannya yang tinggal satu itu dilekatkan pada pa hanya. Bagaikan sebuah tonggak kayu, tubuh Bu Tim lurus melayang kebawah.
Tentara Ceng sama gempar dengan teriakannya dan menyingkir. Sampai ditingkat ke enam, tampaknya tubuh Bu Tim masih terus melayang . Tampaknya akan melorot ketingkat
bawah. Tiba-tiba tangannya itu dijulurkan kemuka sehingga pedangnya menempel diwuwungan tingkat ke 5. Sekali tangan ditekankan, pedangnya tadi melengkung seperti ditekuk. Dan begitu tangan dikendorkan, pedang itu membal serta tubuhnyapun berdiri tegak diatas wuwungan kelima itu. Itulah suatu ilmu entengi tubuh yang sempurna sekali.
Melihat orang perlihatkan kepandaiannya yang luar biasa itu, Tan Ceng Tik tak berani berlaku ajal. Setelah lawan sudah berdiri tegak, diapun segera berseru: “Awas serangan!”
Pedang berkelebat, pundak kiri Bu Tim terancam. Tentara Ceng mengira bahwa, diantara kedua orang yang sedang bertempur itu, tentulah orangnya sendiri. Takut akan men Celakakan kawannya, mereka sama hentikan serangan anak panah.
“Mari kita masing-masing lemparkan sebatang anak panah, untuk membikin mereka menghujani panah lagi!” ajak Bu Tim.
“Bagus!” sahut Ceng Tik.
Dari atas wuwungan, keduanya memungut sebatang anak panah, mereka berdua berhasil melukakan dua orang tentara Ceng.
Teriakan tentara Ceng kembali terdengar dengan gem parnya. Menyusul dengan itu, hujan anak panah kembali menggencar dengan hebatnya.
Tingkat ke-5 itu tak berapa tingginya, jadi dekat dari tanah. Bu Tim dan Tan Ceng Tik sambil saling labrak sambil menghindar dari serangan anak panah, dan ada kalanya menyampok panahdua itu. Dapat dibayang kan bagaimana hebatnya Cara bertanding semacam itu. Rombongan orang HONG HWA HWE turun keruangan tingkat ke enam untuk menyaksikan pertandingan yang belum pernah dilihatnya seumur hidup itu.
Kwan Bing Bwe diam-diam kuatir. Tosu itu luar biasa ilmu nya bermain pedang. Sedang suaminya sudah lanjut usianya. Mata dan pendengarannya sudah jauh berkurang. Kalau bertempur ditempat datar, pasti tak mengapa. Tapi mereka bertempur diatas wuwungan pagoda, apalagi diantara hujan anak panah yang lebat. Sungguh berbahaya sekali. Diam-diam wanita gagah itu siapkan tiga biji 'thi-lian-Cu' dita ngannya, dan menanti didekat jendela.
Karena teriakan tentara Ceng yang gegap gempita, persaudaran Siang yang menjaga baginda Kian Liong diting kat ke duabelas itu, tak tahan lagi untuk tidak melongok kebawah dari jendela. Sebelum itu, masing-masing memegang sebelah tangan baginda, untuk mencegah jangan sampai melarikan diri.
Ketika itu perasaan baginda diliputi oleh keCemasan. Benar pasukan Ceng sudah datang dan ber-sorakdua dibawah. Tapi jika orang-orang HONG HWA HWE itu sampai kalah, bukankah ada kemungkinan, karena malu mereka menjadi marah dan membunuh dirinya.
Hampir seratus jurus, rupanya masih belum ada kalah atau menang antara Bu Tim lawan Tan Ceng Tik.
“Pertarungan kalian hanya menguntungkan fihak musuh sa saja. Lebih baik berhentilah!” Tan Keh Lok berseru keras-keras.
Tapi kedua jago itu sudah terlanyur bertempur dengan gigih sekali. Jadi tak dapat ditahan rasanya.
“Ilmu pedang tojin ini lihai sungguh. Rasanya sukar ku tundukkan,” diam-diam Ceng Tik berpikir.
Namun dia wataknya suka menang. Diam-diam dia geser kedudukan dan sengaja menghadap kesebelan timur, sedang punggungnya membelakangi tentara Ceng yang berada di sebelah bawah. Suatu kedudukan yang tak menguntungkan bagi dirinya. Karena dia menghadapi sinar matahari, maka lebih banyak sekali ia menjadi sasaran hujan panah.
Mengapa dia berbuat begitu, apa maksudnya?
Tak lain jalah kalau dalam kedudukan buruk itu, dia masih terus dapat bertempur seri, artinya dia lebih unggul. Tapi hal itu diketahui juga oleh Bu Tim.
“Kau Cari gebuk sendiri, jangan salahkan aku tak kenal kasihan,” katanya diam-diam.
Dengan macamdua Cara menyerang dalam ilmu pedang Cip taannya “Tui-hun-toh-beng-kiam,” Bu Tim merabu kearah muka dan tenggorokan orang. Ujung pedang ber-kilatdua tertimpah sinar surja, membuat mata berkunang-kunang.
Baru tiga gebrak menyambuti, Ceng Tik sudah mengeluh Celaka. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara menderu-deru . Enam tujuh batang anak panah menyambar datang. Buru-buru

Ceng Tik menurunkan tubuh dan tundukkan kepalanya. Sambil dengan gerakan “ping-sah-lok-gan,” burung belibis jatuh dipadang pasir, dia tusuk lengan Bu Tim. Dan karena Ceng Tik mendek, panah itu langsung menyamber pada tojin itu juga.
Bu Tim sampok panah itu sembari kasih kerja kakinya untuk menendang jalan darah “thay-yang-hiat” dipelipis lawannya.
Sungguh sedikitpun jago Thian San itu tak menyang ka, kalau ilmu tendangan Bu Tim sedemikian lihainya. Dengan terkejut, dia sedot ambekan, lalu mundur selangkah. Tapi tepat pada saat itu, sebatang anak panah melayang dengan santernya, tepat mengarah punggungnya. Ditilik dari gerak panah itu, tentulah dilepas oleh seorang jago lihai dalam kalangan si-wi. Datangnya luar biasa Cepat-cepat nya.
Dengan mundur selangkah tadi, Ceng Tik tepat mema pakkan anak panah itu. Tanpa terCegah menjeritlab Kwan Bing Bwe: “Celaka!”
Akan ditimpuknya dengan 'thi-lian-Cu', terang tak keburu. Juga orang-orang gagah lainnya sama berteriak kaget. Dalam saat berbahaya itu, tiba-tiba Bu Tim unyukkan permainan yang lihai, dengan gerakan “lempar garpu kemuka kuda”, po kiamnya dipakai untuk menimpuk. Pookiam dan panah maut itu berbareng sama jatuh kebawah pagoda.
Ber-angsurdua terdengar helaan napas lega dari sekalian orang gagah. Tapi baru saja mereka hendak sama bersorak memuji, tiba-tiba kembali ada serumpun anak panah me nyambar dari bawah. Karena sudah tak memegang pedang, Bu Tim tak dapat menyampok dan hanya berkelit menghin darinya saja.
Kwan Bing Bwe timpukkan thi-lian-Cunya dan berhasil membikin jatuh tiga batang panah. Dalam pada itu, Ceng Tik pun memutar pedangnya untuk melindungi Bu Tim. Kini pertandingan menjadi aneh. Dua orang musuh yang bermula saling mengadu jiwa, pada saat itu berbalik saling tolong menolong. Tentara Ceng dibawah sana sama heran tak habis-habisnya melihat kejadian itu.
Bahwa dirinya pernah dijatuhkan oleh Bu Tim dalam pertandingan dihadapan baginda ketika pesiar di Se-ouw tempo hari, tak pernah dilupakan oleh Pek Cin. Maka sewaktu nampak musuhnya itu tak bersenjata lagi, si-wi itu terus saja perintah melepaskan anak panah. Akibatnya, Bu Tim ripuh sekali untuk menghindari kesana sini.
“Yangan kuatir aku yang menghadangnya!” seru Tan Ceng Tik.
Dan pedang terus akan diputarnya. Sekonyong-konyong dari jen dela tingkat enam, melesat keluar seorang kedepannya. Belum kakinya berdiri jejak, tahu-tahu orang itu sudah dapat me nyang gapi belasan batang anak panah. Dengan tak kurang tangkasnya, orang itu terus menimpukkan kembali kepada penyerangnya. Begitu gapah dan tangkas dia. Secepat-cepat ada panah melayang datang terus disanggapinya dan secepat-cepat itu pula terus diretour kembali. Satu orangnya, namun se-olahdua mempunyai berpuluh tangan. Sehingga tentara Ceng berhenti memanah dengan mendadak, saking kesimanya.
“Itulah, rasakan kalau Jian-pi-ji-lay sudah kerangsokan setan”, seru Seng Hiap.
Jian-pi-ji-lay Tio Pan San hanya bersenyum saja. Karena tentara Ceng sudah berhenti menghujani panah, dia lalu ajak Bu Tim dan Ceng Tik naik keatas. Kedatangan mereka, disambut dengan seruan kagum dari sekalian orang gagah.
Sampai detik itu barulah sepasang suami isteri dari Thian San itu mau tunduk. Bukan saja karena kepandaian ?uar biasa dari Tio Pan San, pun karena keperwiraan Bu Tim untuk menolong Ceng Tik tadi. Selagi orang-orang gagah itu saling mengagumi satu dengan lain, dibawah sana tentara Ceng kembali ber-sorakdua riuh gemuruh.
“Baik kuminta baginda mengatasi mereka”, kata Thian Hong, terus naik keloteng atas.
Berselang tak berapa lama, Kian Liong tampak longokkan diri kejendela loteng ke-tujuh. “Aku berada disini!” serunya.
Cepat-cepat sekali mata Pek Cin yang tajam itu mengenalnya, serunya: “Baginda ada diatas pagoda !”
Kata-kata itu berpengaruh sekali. Perwiradua dan seluruh anak buah tentara Ceng Buru-buru berlutut seraya serentak berseru : “Banswe !”
“Budakdua yang tak punya muka,” Tan Ceng Tik mendamprat.
“Aku sedang punya urusan disini, jangan ribut”, seru Kian Liong.
“Lekas kalian mundur agak jauh kesana,” titahnya pula.
Lie Khik Sioe perintahkan pasukannya mundur sampai tiga puluhan tindak.
“Hiet-ko yang perintah baginda, dan baginda yang perintahkan mereka. Hebat! Lebih bermanfaat daripada kita menyerbu kebawah. Hongte adalah orang yang diberkahi Allah. Daripada dibunuh lebih tepat digunakan,” ujar Keh Lok tertawa.
Orang-orang HONG HWA HWE pun sama ketawa mendengar ucapan pemimpin mereka itu. Melihat tentara Ceng mundur Jun Hwa tampak diantara barisan mereka itu, ada beberapa orang pemburu dengan Anjingdua mereka.
“Tadi aku tak mengerti, mengapa mereka dapat menemukan tempat persembunyian baginda disini, kiranya Anjingdua itulah yang menunyukkan,” ujarnya.
Habis berkata begitu, Jun Hwa mengambil busur dan anak panah dari seorang thauwbak, terus melepaskan dua batang anak panah kebawah. Lolong yang panjang segera terdengar. Dua ekor Anjing pemburu itu, segera numprah tak berjiwa ditanah.
Makin gemparlah sorak-sorai dari bawah. Tentara Ceng itu perCepat-cepat langkahnya untuk mundur.
“Liok dan Ciu Locianpwe berdua, harap temani Tan lo Cianpwe sebentar. Aku akan menuju kesebelah atas untuk melanjutkan pembicaraan dengan baginda,” kata Keh Lok.
Ketika ketua mereka menuju keatas, orang-orang HONG HWA HWE sama tegak mengantarkan. Juga Hwi Hing dan Tiong Ing memberi hormat. Nampak hal itu, Tan Ceng1 Tik dan isterinya merasa heran. Ketua HONG HWA HWE itu masih muda dan Cakap, tingkah lakunya lemah lembut. Tapi mengapa orang-orang HONG HWA HWE itu begitu menghormat sekali.
Sampai diloteng ke-tujuh, barulah kedua saudara Siang dan Thian Hong minta diri. Baginda duduk tepekur diam.
“Orang-orang mu itu hanya temaha jasa dan kedudukan, bangsa
'kantong nasi dan poCi arak’. Kalau kau andalkan mereka untuk mendirikan pekerjaan besar, dikuatirkan akan gagal,” kata Keh Lok dengan tertawa.
“Akupun tahu karena aku telah berada ditanganmu, maka mereka tak berani turun tangan,” sahut Kian Liong.
“Benarkah itu?” Keh Lok tetap tertawa. Habis itu dia menepuk tangan, dan muncullah Sim Hi.
“Undanglah Tan Ceng Tik loenghiong dan Bu Tim totiang kemari!” perintah Keh Lok.
Tak lama kedua jago lihai itu nampak masuk keruangan itu, disambut Tan Keh Lok dengan kata-katanya: “Baginda mengatakan bahwa pahlawan dan anak buah tentaranya sangat kuat sekali. Bagaimana ji-wi Cianpwe rasa?”
Bu Tim dan Ceng Tik berbareng mendongak keatas dan tertawa keras. Baginda melengak dengan keheranan. Kembali Keh Lok berkata dengan tertawa. “Setengah hari sudah ji-wi tadi saling ukur kepandaian. Tanpa sesuatu kesudahan. Nyata sama kuat. Bagaimana kalau kini ji-wi adu untung saja?” tanyanya.
“Baiklah, tapi bagaimana Caranya?” tanya kedua jago itu dengan berbareng.
“Kalian masing-masing masuk kedalam barisan musuh dan harus bunuh seorang perwira. Yang berhasil pulang lebih dulu, yang dapat membunuh perwira yang lebih tinggi pangkatnya, itu yang menang!” ujar Keh Lok.
“Totiang, kita pergi sekarang,” seru Ceng Tik, situa berdarah panas itu.
Dua buah bayangan segera berkelebat menobros keluar jendela.
“Mari kita saksikan pertandingan adu untung itu,” ajak Keh Lok.
Bahwa jiwa perwiranya dibuat pertarohan gila itu, telah membuat gusar baginda, itulah mudah dimengerti. Tapi raja yang Cerdik itu tahu bahwa pasukan penolong yang datang itu bukan sedikit jumlahnya. Mereka lengkap pula dengan senjatanya. Sekalipun kedua orang itu tangguh,- tapi mereka bertangan kosong tak bersenjata. Untuk bisa pulang dengan selamat saja sudah sukar nampaknya, jangan kata dapat membunuh perwira. Asal ada salah seorang dari kedua jago itu binasa atau sekurang-kurangnyanya terluka, akan redalah kebanggaan orang-orang HONG HWA HWE itu. Dan berpikir sampai disitu, Kian Liong ikuti Keh Lok untuk melongok dari jendela.
Sampai dibawah pagoda, Bu Tim dan Ceng Tik langsung menuju kearah pasukan Ceng. Tahu Bu Tim bahwa Pek Cin dan rombongan jago pengawal istana berada disebelah timur. Sedang Li Khik Siu dengan menunggang seekor kuda putih, tengah memimpin pasukannya disebelah barat. Dengan Pek Cin, Bu Tim pernah bertempur. Kalau berhadapan dengan dia, rasanya sukar bisa mendapat kemenangan dengan lekas.
Melihat kedatangan kedua orang itu, anak buah tentara Ceng segera lepaskan anak panah. Sekonyong-konyong Bu Tim memutar kesebelah barat dan terus melesat kesitu.
Melihat itu, diam-diam Ceng Tik girang, pikirnya: “Tanpa senjata, rasanya tojin itu tak berdaya, makanya dia takut hujan panah.”
Cepat-cepat dia lolos bajunya, terus diputarnya sambil menyerbu masuk. Pek Cin melejit memapakkan. Baju Ceng Tik itu dalam sekejab saja, sudah berlobang kena beberapa anak panah. Baju itu Cepat-cepat dilemparkan kepada Pek Cin.
Pek Cin mendek kebawah, sambil menyusup kemuka. Lima jarinya bagaikan Cakar besi itu, menerkam kedada orang. Ceng Tik terkejut. Dia tak sangka kal^au dalam pasukan Ceng, ada seorang jago yang begitu lihai. Cepat-cepat dia gerakkan tangan kanan dalam “kin-na-hwat” untuk menangkap tapkan orang. Sedang tangan klrinya yang masih memegangi baju tadi, disabetkan kepunggung.
Muka belakang diserang, Pek Cin melejit kesamping kanan. Setelah tenangkan hati, dia Cepat-cepat berputar untuk menghadangnya lagi.
Melihat bagaimana Ceng Tik memasuki barisan laksana harimau bersayap, Tan Keh Lok mengira kalau dialah yang bakal berhasil. Sebaliknya Kian Liong menduga, orang tua itulah yang bakal Celaka lebih dulu. Tapi ternyata keDua-duanya menduga salah.
Bu Tim yang memilih arah barat tadi, tiba-tiba gunakan gerakan “burung walet menyusup kebawah air,” dengan Cepat-cepat terus meluncur kemuka kuda Li Khik Siu. Tentara Ceng ber-sorakdua, Khik Siu menarik les kudanya, sehingga kuda itu meringkik dan menjejakkan kedua kaki mukanya keatas. Seorang perwira Siu-pi dan seorang Yu-ki, Cepat-cepat melindungi jenderal itu.
Tapi sekali tangan kanan Bu Tim menyikut iga perwira Siu-pi itu, waktu tangannya membalik, golok panjang perwira itu sudah kena dirampasnya terus dibaCokkan miring dari kanan kekiri, hingga perwira Yu-ki yang berada disebelah lain terpenggal kepalanya, bahkan sebagian bahunya pun berpisah dengan tuannya.
Malahan tanpa berganti gerakan pula, sekalian Bu Tim memutar dari bawah kiri keatas kanan, separoh buah kepala dari Siu-pi tadipun terbelah jatuh berikut kopiahnya. Ketika Bu Tim ajun kakinya, buah kepala Yu-ki tadi kena ditendang keudara, lalu golok ditangan kanannya dibuang untuk me nyamber kepala perwira Siu-pi, habis itu baru menyambut kepala Yu-ki yang jatuh dari udara itu.
Melihat sekaligus Bu Tim binasakan dua perwira mereka, karuan serdadu 'Sjeng ketakutan setengah mati, sekali berteriak, mereka lari sipat-kuping serabutan. Lekas-lekas dua jago bayang kari memapak maju hendak merintangi Bu Tim.
Tapi melihat maksudnya membunuh Li Khik Siu sudah tak berhasil lagi, Bu Tim tertawa panjang terus putar balik.
Segera saja kedua jago bayang kari tadi mengejar. Tapi baru belasan tindak, tiba-tiba Bu Tim berhenti sambil berpaling. Karena itu, kedua bayang kari itu terperanyat, saking kaget nya yang satu sampai roboh lemas, yang lainnya buang sen jatanya terus lari.
Melihat itu, Bu Tim ter-bahakdua. Ia lihat Tan Ceng Tik masih sengit menempur musuh, maka dengan jinying hasil dua buah kepala perwira musuh tadi, ia kembali dengan langkah pelahan. Maka bersoraklah para saudara angkatnya yang berada dalam pagoda.
Mendengar suara sorakan, ketika Ceng Tik menoleh dan melihat Bu Tim sudah berhasil dan kembali dahulu, ia tahu sekali ini sudah kalah, maka tak mau terlibat bertempur lebih lama, segera ia menarik diri hendak mundur. Namun dengan gerakan yang gesit Cepat-cepat Pek Cin terus merangsangnya hingga seketika Ceng Tik susah melepaskan diri.
Jago tua itu menjadi sengit, kedua kepalan diajun menghujani pukulan pada lawan, hingga Pek Cin terpaksa harus mundur, kesempatan itu lalu digunakan Ceng Tik untuk mundur pergi.

Pek Cin insaf kepandaian orang masih diatas dirinya, kalau bertarung lama pasti kalah, maka tak berani ia mengejar pula.

Tapi baru beberapa langkah Ceng Tik bertindak, tiba-tiba terdengar suara teriakan bergema keras dibelakangnya, ia menoleh dan terlihatlah sepasukan musuh berkuda sedang mendatangi dengan Cepat-cepat , seorang perwira CamCiang memutar goloknya berlari paling depan, mungkin inilah bala bantuan pasukan Ceng.

Li Khik Siu hendak membentak mencegah CamCiang itu, tapi sudah tak keburu lagi, sekejap saja CamCianyg itu sudah menerjang sampai dibelakang Tan Ceng Tik. Jago tua ini tampak seperti tidak berasa saja, CamCiang itu menjadi girang, goloknya diangkat terus membacok.

Tapi Ceng Tik tetap melanjutkan jalannya hingga ba-Cokan CamCiang itu mengenai tempat kosong, kembali senjatanya diangkat dan membaCok sekuatnya pula. Mendadak Ceng Tik mendekam ketanah, dan karena terlalu Cepat-cepat CamCiang keprak kudanya hingga binatang, itu tak keburu ditahan, tapi terus melompat lewat diatas badannya.

“Celaka!” diam-diam Pek Cin mengeluh.

Betul saja, segera terlihat Tan Ceng Tik melompat bangun terus mencemplak keatas kuda Camciang tadi, sekali Camciang itu disodok, kontan orangnya merosot jatuh, tapi sebelah kakinya kena ditarik oleh Ceng Tik terus diseret sampai masuk kembali kedalam pagoda.

KARUAN pasukan berkuda itu menjadi kacau, hendak menolong perwira mereka, namun panah segera berhamburan keluar dari pagoda hingga belasan serdadu berkuda itu terjungkal.

“Yangan kejar, mundur, lekas mundur!” seru Khik Siu,

Mendengar komando itu, tanpa diperintah lagi pasukan berkuda itu lantas mundur Cepat-cepat.

Melihat Bu Tim dan Ceng Tik kembali dengan kemenangan semua, Kian Liong sangat kesal, ia jatuhkan diri diatas kursinya tanpa bisa buka suara. Kemudian terlihatlah Bu Tim masuk keruangan itu sambil lemparkan kedua buah kepala “olehdua”nya dengan tertawa. Sebentar pula Ceng Tik juga sudah kembali dan sedang berteriak diluar: “Aku berhasil menangkap satu hidup-hidup!” — Lalu CamCiang tadi kelihatan dikempitnya masuk.

“Sekali ini lagi-lagi kalian berdua seri,” ujar Keh Lok tertawa, “Totiang pulang dahulu dan berhasil membunuh dua perwira musuh, tapi Tan-Locianpwe menangkap hidup-hidup satu, pula pangkatnya lebih tinggi.”

Maka tertawalah ketiga orang dengan riangnya, hanya Kian Liong yang menyublek sendirian disamping.

“Kau bernama siapa?” tegur Keh Lok kepada CamCiang yang dibanting diatas lantai itu. “Lekas bilang. Kenapa tidak lekas menjura pada Hongsiang? Kenapa takut? Segera aku bebaskan kau.”

Tapi CamCiang itu tetap bungkam tak menyawab. “Manusia tak berguna, jangan bikin malu orang disini, en/ahlah lekas!” kata Keh Lok pula dengan tertawa.

Akan tetapi masih CamCiang itu tak bergeming. Ceng Tik menjadi gusar, tengkuk perwira itu diCengkeramnya terus diangkat. Kiranya CamCiang itu sudah lama mampus, agaknya tenaga Ceng Tik terlalu besar, hingga dalam kem pitannya tadi jiwa perwira itu telah melayang.

“Kedua Cianpwe tentu sudah Capek, silakan mengaso kebawah saja,” kata Keh Lok kemudian.

Sesudah depak majat CamCiang itu kepinggir, lalu Ceng Tik menggandeng tangan Bu Tim turun kebawah.

“Kau sudah ambil keputusan belum?” tanya Keh Lok kemudian pada Kian Liong sesudah tinggal berduaan.

“Begini banyak sekali bawahanmu yang pandai, pula aku sudah jatuh ditanganmu, hendak bunuh, boleh lekas kau bunuh, kenapa banyak sekali bicara?” sahut Kian Liong ketus. “Ah, sayang , sayang !” ujar Keh Lok gegetun. “Sayang apa?” tanya Kian Liong.

“Ya, sayang ,” sahut Keh Lok. “Selamanya aku pandang kau seorang pinter dan berbakat, aku berSyukur ayah-bunda telah melahirkan seorang putera seperti kau dan akupun punya seorang kaka baik, siapa tahu ...............”

“Siapa tahu apa?” tukas Kian Liong.

“Siapa tahu, lahirnya seperti pandai, batinnya ternyata ber nyali kecil amat,” sahut Keh Lok sesudah memikir sejenak.

“Dimana letaknya nyaliku yang kecil?” tanya Kian Liong marah.

“Orang tak takut mati, itulah urusan paling mudah,” sahut Keh Lok. “Liatlah CamCiang ini, tadi waktu ia mengudak dengan goloknya, masakan dia takut mati? Tapi kegagahan seorang laki kasar begini, apa nilainya? Tapi untuk melakukan pekerjaan besar, sebaliknya susah dilakukan orang yang tidak gagah. Dan dalam dalam hal ini, kau tak mampu.”

Kian Liong adalah seorang yang tinggi hati dan suka unggul, maka demi mendengar kata-kata Keh Lok ini, seketika ia berbangkit, katanya: “Sesuatu pekerjaan besar yang didirikan dan dilaksanakan dijagat ini, apakah pernah ada berhasil oleh karena dipaksakan orang?”

“Banyak sekali terjadi,” sahut Keh Lok. “Dahulu, ketika Tong Ko Cou muladua hendak memberontak, ia ragudua, setelah pu teranya Li Se Bin mendorongnya barulah berhasil menanam pondamen dinasti Tong. Song Thay Cou kalau tidak dipaksa mengenakan juba kuning di Tan-kio, darimana bisa menjadi Cakalbakal dinasti Song? Kedua pendiri keraja an ini meski jadinya dipaksa oleh putera dan bawahan sendiri, tapi apa yang sudah terlaksana itu, siapa dari angkatan kemudian yang tidak merasa kagum pada mereka?”
Kian Liong terdiam, hatinya rada tertarik.
“Apalagi kau, Koko, bakatmu melebihi Li Yan (Tong Thay Cou) dan Tio Kong Am (Song Thay Cou) berlipstt ganda, asal kau berkeputusan pasti membangun kembali negeni Han dan mengubah hubungan kita dari lawan menjadi kawan, pasti kami seluruhnya tunduk dibawah pimpinanmu. Aku berani menyamin bahwa mereka pasti tak berani se dikitpun membantah dan tak menghormat padamu.”
Kini benar-benar hati Kian Liong tergerak dan ingin Coba-coba, Cuma dalam hati masih meragukan sesuatu yang susah diutarakan. Namun Keh Lok sudah dapat meraba perasaan orang, katanya pula:
“Aku yang menjadi adik asal melihat Koko dapat melaksanakan pekerjaan besar itu, rasaku sudah Cukup puas. Terhadap segala pangkat dan nama selamanya aku tidak suka, bila nanti sudah berhasil membantu Koko mengusir bangsa Boan keluar, tatkala mana tentu aku minta idin padamu agar memberi pesiun kembali kampung halaman untuk melewatkan penghidupan yang aman tenteram bersama saudara-saudara angkatku yang lain.”
“Itulah mana boleh jadi,” ujar Kian Liong. “Kalau bisa terlaksana pekerjaan besar itu, politik pemerintahan umum nya perlu mendapat bantuanmu untuk mengaturnya.”
“Tidak, kita harus berjanji dahulu, begitu berhasil gerakan kita, kau harus idinkan kami undurkan diri,” kata Keh Lok pasti. “Harus diketahui, para saudara angkatku itu tidak paham segala tata-Cara, kalau ada yang menyinggung perasaanmu, malahan akan bikin hubungan baik kita sebagai yang dipertuan dan persaudaran.”
Mendengar kata-kata Keh Lok begitu tegas dan pasti, Kian Liong tiba-tiba mentepuk meja dan berkata: “Baik, kita putuskan beginilah!”
“Kau tidak ragudua lagi?” Keh Lok menegas dengan girang.
“Tidak,” sahut Kian Liong. “Cumai aku minta kau lihat kan sesuatu dulu. Mendiang Congthocu kalian Ie Ban Tong ada beberapa macam barang ditaruh didaerah Hwe, katanya adalah buktidua tentang asal-usul diriku. Kau harus membawa bendadua itu perlihatkan padaku, sesudah aku yakin benar-benar aku memang orang Han, tatkala itu baru aku tak” Curiga dan bekerja sama bikin pergerakan besar bersama kau.”
Mendengar alasan itu memang masuk diakal, Keh Lok menyawab: “Baiklah, barangdua itu menurut Bun-suko katanya sangat penting, besok segera aku sendiri berangkat pergi mengambilnya.”
“Ya, sesudah kau kembali, lebih dulu kau bertugas didalam pasukan Gi-lim-kun, aku angkat kau menjadi komandan pasukan itu, selang beberapa waktu, lalu angkat kau merangkap sebagai komandan militer kotaraja,” demikian Kian Liong. “Dan sesudah kekuasaan militer lambat-laun sudah ditangan bangsa Han kepercayaan kita semua, sampai nanti aku sudah angkat kau menjadi Peng-poh Siosi (menteri pertahanan), sesudah pasukan Pat-ki-kun (tentera delapan panyi) kita pecah belah dan pencarkan, lalu kita bisa bergerak secara serentak.”
Keh Lok sangat girang atas rencana jang ka panjang itu, sahutnya: “Cara Hongsiang memikir panjang itu, masakan gerakan kita tidak berhasil?” — Lalu ia berlutut men jura sebagai seorang hamba. pada junyungannya dan lekas-lekas Kian Liong membangunkannya.
“Dan sekarang biarlah hamba menghantar Hongsiang kembali,” ujar Keh Lok.
Kian Liong mengangguk tanda setuju. Lalu Keh Lok tepuk tangan sekali, ia suruh Sim Hi membawakan pakaian asal Kian Liong dan melayaninya bersalin. “Silakan semua saudara masuk menghadap Hongsiang,” kata Keh Lok kemudian.
Maka masuklah para pahlawan memberi hormat.
“Sejak kini kita mendukung Hongsiang untuk pergerakan besar kita, siapa yang berpikiran serong hingga membocor kan rahasia ini, terkutuklah dia!” kata Keh Lok pula.
Lalu be-ramaidua mereka bersumpah darah dengan minum arak. Hanya Tan Ceng Tik dan Kwan Bing Bwe berdua yang tidak ikut, sebaliknya tersenyum dingin saja disamping.
“Toako, Toaso, marilah kalianpun ikut menCeguk seCa wan!” kata Liok Hwi Hing.
“Lebih muluk lagi kata-kata pembesar negeri, selamanya aku tak mau percaya, apalagi yang berkata ialah kepala dari pembesar negerinya,” ujar Ceng Tik.
“Soal membangun tanah air kita adalah kewajiban setiap anak CuCu keturunan Ui Te,” sambung Kwan Bing Bwe. “Asal memang benar-benar rajanya punya hati sungguh-sungguh, dimana memerlukan tenaga kami suami-isteri, Cukup Tan-Cong-thocu memberi seCarik kertas, kemana pergi kami suami-isteri tua bangka ini tak nanti menolak. Tapi arak ini, tak nanti kami meneguk lagi.”
Mendadak Ceng Tik ulur tangannya menyojoh kedalam dinding, sepotong bata tembok itu kena dikoreknya keluar terus berseru: “Kalau ada manusia berhati binatang yang membocorkan rahasia, menyual kawan hingga bikin gagal pergerakan, biarlah ini Contohnya!” — Habis berkata, sedikit ia gunakan tenaga, batu bata itu sudah diremasnya menjadi bubuk.
Menyaksikan itu, sungguh hati Kian Liong amat terkejut.
“Meski kedua Cianpwe tidak ikut angkat sumpah, tentu berjiwa sama juga dengan kita,” kata Keh Lok. “Semua orang disini adalah kawan berdarah pahlawan, rasanya aku-
pun tak perlu banyak sekali berpesan, harap saja Hongsiang jangan Curiga dan sangsi dan melupakan janji hari ini.”
“Kalian tak perlu kuatir,” sahut Kian Liong.
“Baiklah, biar kita menghantar Hongsiang keluar,” kata Keh Lok akhirnya.
Segera Jun Hwa mendahului berlari keluar pagoda dan berteriak: “Ajo, lekas kalian menyambut Hongsiang.”
Mendengar itu, Li Khik Siu dan Pek Cin masih ragudua, kuatir kalau jago-jago Hong Hwa Hwe itu memakai muslihat, tapi dengan memimpin pasukan pelahan-lahan mereka mendekati juga, dan betul saja lantas terlihat Kian Liong berjalan keluar, lekas-lekas mereka mendekam menyembah diatas tanah.
Pek Cin membawakan seekor kuda bagus dan melayani Kian Liong naik keatas kuda.
“Aku. lagi minum arak sembari bersjair disini dengan mereka untuk ketenangan beberapa hari saja, tapi kalian justru bikin ribut tak keruan mengaCau kesenanganku,” Comel Kian Liong pada Pek Cin.
“Sungguh hamba berdosa,” sahut Pek Cin berulang-ulang sambil menjura.
Lalu Kian Liong disongsong kembali ke HangCiu.
Dan selagi para jago HONG HWA HWE hendak kembali pagoda Liok-hap-tha lagi, tiba-tiba terdengar Kwan Bing Bwe bersuit, lalu beberapa ekor Anjing besar tadi kelihatan lari keluar dari dalam rimba terus meng-gosokdua kepalanya ditubuh Thian-san-siang-eng. Tapi bila melihat Cio Su Kin, binatangdua itu masih ketakutan sambil meng-geramdua mengumpet dibelakang kedua majikannya itu.
“Hari ini kami suami-isteri dapat berkenalan dengan para ksatria daerah Kanglam, pula berjumpa dengan Ciu Tiong Ing loenghiong yang sudah lama kami kagumi, pula bertemu dengan Liok Hwi Hing Lauto yang sudah lama berpisah, sungguh kami sangat bergirang,” demikian Tan Ceng Tik berkata. “Kini kami masih ada sedikit urusan lain, biarlah sekarang juga kami mohon diri saja.”
“Yauh-jauh kedua Cianpwe bisa sampai di Kanglam, hendaklah suka tinggal beberapa hari lagi, agar kami bisa banyak sekali minta petunjukdua,” ujar Keh Lok.
“Masakan kami bisa berlaku sungkandua padamu,” kata Ceng Tik melotot. “Bu Tim Totiang, kelak kita harus mengukur kekuatan minunl lagi, Coba siapa lebih lihai.”
“Itulah aku terima menyerah,” sahut Bu Tim tertawa.
Tiba-tiba Kwan Bing Bwe menarik Keh Lok kesamping, lalu tanyanya: “Kau sudah menikah belum?”
“Belum,” sahut Keh Lok dengan wajah merah.
“Sudah tunangan?” tanya Bing Bwe pula.
“Juga belum,” kata Keh Lok.
Bing Bwe meng-angguk-angguk sambil tersenyum penuh arti. Tapi mendadak iapun berkata dengan suara bengis: “Jika kau tak setia dan tak berbudi hingga mengeCewakan orang pemberi pedang itu, pasti aku nenekdua tua bangka takkan ampuni kau.”
Keh Lok menjadi bingung hingga tak bisa menyawab.
Disebelah sana Tan Ceng Tik lantas berteriak: “Ajo, baiknya kita berangkatlah sekarang!”
Dan sesudah memberi hormat pada semua orang, suami-isteri itu lantas berlalu dengan Anjingdua mereka.
“Kalian hendak kemana, Toako, Toaso?” seru Hwi Hing.
Tapi keduanya tidak menyawab, dan sebentar saja ba jangan mereka sudah menghilang didalam rimba, hanya terdengar suara meng-gongduanya Anjing yang makin menyauh.
“Dumeh tua, sedikitpun tiada tahu aturan,” kata kedua saudara she Siang mendongkol oleh sikap kedua jago tua dari Thian-san itu.
“Orang kosen dunia luar, kebanyak sekalian begitu,” ujar Keh Lok. “Marilah kita bicara lagi kedalam pagoda.”
Dan berkata Keh Lok kemudian sesudah masuk kembali kedalam Liok-hap-tha: “Aku sudah sanggupkan pada baginda akan psrgi ketempat Suhu untuk mengambil sedikit barang, kini marilah kita pergi ke Thian-bok-san dulu untuk menyenguk keadaan luka Suko dan Sipsute, habis itu baru kita mengatur tugas masing-masing lagi?”
Karena tiada pendapat lain, segera semua orang ikut berangkat, hanya Ma Sian Kun dan puteranya, Ma Tay Thing yang kembali ke HangCiu.
Segera para pahlawan itu menuju kearah barat dengan Cepat-cepat , maka tiada seberapa hari mereka sudah sampai di kaki gunung Thian-bok itu.
Tatkala itu sudah akhir musim rontok, pepohonan yang rindang disepanjang gunung berubah warna Coklat kemerahan, rumput sudah kering. Ketika penjaga mendapat kabar, segera melapor keatas gunung dan tertampaklah Ciang Cin datang menyambut.
Karena tak melihat Lou Ping, Keh Lok terkejut, ia kua tir terjadi sesuatu, maka Cepat-cepat tanyanya: “Dimanakah Suso? Apakah Sipsute baik-baik saja?”
“Sipsute tiada apa-apa,” sahut Ciang Cin. “Suso sudah pergi dua hari, katanya hendak menCari sesuatu barang menarik untuk Suko, apakah ditengah jalan kalian tak mempergokinya?”
“Barang apakah?” tanya Keh Lok.
“Akupun tak tahu,” kata Ciang Cin. “Keadaan Suko beberapa harini sudah baik, sepanjang hari menjadi terlalu iseng merebah diranjang , maka Suso lantas usul hendak pergi menCarikan barang permainan. Ja, entah rumah siapa yang bakal sial.”
“Sumoay memang terlaluan, sudah begitu besar, masih serupa anak kecil saja suka Cari garadua,” ujar Tio Pan San tertawa. “Kelak kalau sudah melahirkan anak, apakah juga akan menurunkan keahliannya yang sudah turun te jnurun itu.”
Maka bergelak-tawalah semua orang.
Kiranya ayah Lou Ping, yaitu Sin-to Lou Goan Thong, si golok sakti, terkenal ahli mencuri, kepandaiannya mengge rayang i rumah tinggal orang ini tiada bandingannya dikolong langit. Lou Ping sendiri sejak kecil suka ikut keluar dengan sang ayah, maka kepandaian kusus Cara mainkan “tangan panjang “ itu sudah delapan bagian dipelajarinya.
Tempo hari waktu merampas kuda putih Han Bun Tiong. itu hanya sedikit dari. kepandaiannya saja.
Begitulah sembari bergurau, para pahlawan terus masuk kesuatu perkampungan yang luas, lebih dulu mereka pergi menyenguk Bun Thay Lay, tertampak Su-tangkeh atau pemimpin keempat dari HONG HWA HWE itu lagi merebah keisengan, demi melihat datangnya Kawan-kawan , ia menjadi kegirangan.
Setelah semua orang sekedar menCeritakan pengalaman nya, kemudian datang kekamar depan sana untuk menyam bangi le Hi Tong.
Semua orang ber-indapdua memasuki kamar Hi Tong, tiba-tiba terdengar suara senggak-sengguk, suara orang menangis yang pelahan. Ketika Keh Lok menyingkap kelambu, dilihat nya Hi Tong rebah mungkur menghadap bagian dalam, dari bahunya yang kelihatan ter-gerak-gerak itu, terang pemuda itu sedang menangis dengan amat pilunya.
Sungguh hal ini sama sekali diluar dugaan semua orang, para pahlawan itu adalah orang-orang berjiwa besar dan berhati terbuka, kaum wanitanya seperti Lou Ping dan Ciu Ki saja juga sangat jarang menangis, kini mendadak melihat Hi Tong menangis sedih, semua orang sangat heran dan ikut terharu juga.
“Sipsute,” sapa Keh Lok kemudian, “kami be-ramaidua datang menyambangi kau, bagaimanakah kau? Sakit sekali lukamu, bukan?”
Hi Tong mengusap air matanya, lalu sahutnya tanpa membalik tubuh: “Congthocu dan para Koko, banyak sekali terima kasih atas kesudian kalian datang menyambangi diriku. Lukaku sudah banyak sekali baik, Cuma mukaku yang terbakar ini telah berubah tidak karuan macamnya, tak dapat dilihat orang.”
“Ah, Sipsuko,” timbrung Ciu Ki tiba-tiba dengan tertawa. “Lakidua sejati kenapa takut kebakaran muka? Apakah kuatir tidak mendapatkan isteri?”
Mendengar Caranya Ciu Ki bicara tanpa tedeng alingdua, ada yang menekap mulut tertawa tertahan, ada yang terus bergelak ketawa.
“Ie-sutit,” kata Liok Hwi Hing kemudian, “mukamu rusak terbakar, sebabnya karena menolong jiwa Bun-suya dan jiwaku, kejadian ini kalau diketahui kaum ksatria diseluruh jagat, siapa orangnya yang tidak kagum dan menghormat padamu? Siapa yang takkan bilang kau seorang gagah perwira yang berbudi? Semakin jelek wajah mu, semakin menghormat orang lain kepadamu, kenapa kau pikirkan tentang wajahmu.”
“Petua Susiok memang benar,” sahut Hi Tong. Tapi tak tahan, kembali ia menangis lagi.
Kiranya yang ditangisinya bukanlah karena mukanya yang Cakap itu rusak terbakar, tapi ada lagi urusan lain.
Tatkala itu perasaan Hi Tong kusut luar biasa, sejak berada ditempat istirahat Thian-bok-san ini, siang-malam Lou Ping selalu datang menyenguk keadaan lukanya. Bun Thay Lay juga setiap hari datang kekamarnya mengajak mengobrol untuk hilangkan rasa iseng.
Hi Tong sendiri tahu jatuh Cintanya pada Lou Ping yang sudah bersuami, apalagi saudara angkat sendiri pula, se sungguhnya sangat tidak patut, tapi masih tetap ia takbisa melupakan, setiap tengah malam selalu terkenang olehnya wajah sinyonya jelita itu, lalu ia menderita batin lagi dan sesal tak terhingga.
Ketika dilihatnya setiap kali Lou Ping, Bun Thay Lay dan Ciang Cin datang menyenguknya, dan wajah mereka selalu mengunjuk kan rasa terkejut dan belas-kasihan, sebagai seorang Cerdik, Hi Tong menduga pasti mukanya sendiri sudah terbakar hingga tak keruan rupanya. Beberapa kali ia berniat mengambil kaCa Cermin, tapi selalu tiada mempunyai keberanian itu.
Sebenarnya maksud mengorbankan dirinya menolong Bun Thay Lay untuk membalas kebaikan Lou Ping, sambil melepaskan diri dari perasaan dosa dalam hatinya itu, siapa tahu justru tidak jadi mati, hasilnya sebaliknya mukanya yang rusak terbakar. Bila teringat pula olehnya Cinta Li Wan Ci padanya yang mendalam, sebaliknya ia sendiri tidak “mampu membalasnya hingga sangat mengeCewakan gadis jelita itu, hal ini membuatnya kesal dan menyesal pula.
Begitulah, siang dan malam Hi Tong selalu terombang-ambing oleh macamdua pikiran yang menekan batin itu, hingga seorang Kim-tiok SiuCay yang tadinya Cakap ganteng, kini tersiksa sampai kurus kering tak keruan macamnya.
Nampak Hi Tong dalam keadaan begitu, sekalian sauda ranya sama menuju keruangan tengah untuk berunding.
“Sipsute karena menolong aku, telah menjadi begitu macam. Dia sebenarnya seorang pemuda yang tampan, kini..... ah!” demikian kata Bun Thay Lay menyesal.
“Seorang taytianghu (lakidua sejati) yang berkelana me ngabdi kebajikan, hanya mengutamakan perilaku yang luhur. Soal tampang, hanya orang-orang yang piCik pandangan saja, yang banyak sekali memikirkannya. Aku kehilangan sebelah lengan, Ciang-sipte punggungnya bongkok, kedua saudara Siang wajahnya aneh menakutkan, namun siapa yang berani menertawakan kita? Apalagi Sipsute pun tak keliwat jelek” kata Bu Tim.
“Ah, dia kan masih berambekan seperti anak muda, apalagi dalam keadaan sakit. Kelak kalau kita sama menase hatinya, tentu dia akan terhibur juga. Kini kita harus minum untuk kesehatan Sute,” seru Tio Pan San.
Orang-orang sama girang dan thaubak segera diperintahkan untuk menyediakan hidangan yang lengkap dengan minumannya.
“Sudah waktunya, enCi Ping masih belum datang, entah ia dapat pulang atau tidak nanti. Ia pergi dengan menaik kuda putih bukan?” tanya Ciu Ki.
“Tidak. Katanya kuda putih itu menyolok sekali. Suko dan Sipsute masih belum sembuh, ia tak mau membikin kaget mereka,” kata Ciang Cin.
Begitulah mereka segera “mengepung” hidangan yang lezat. Selama itu Tan Keh Lok tampak berunding dengan Thian Hong. Pada lain saat tampak ketua HONG HWA HWE itu bertepuk tangan beberapa kali, dan semua orang sama tegak berdiri.
“Liok dan Ciu Locianpwe harap jangan turut berdiri, lain kali harap jangan peradatan begitu lagi,” kata Keh Lok demi dilihatnya kedua orang tua itu turut berdiri.
Apa boleh buat, kedua jago tua itupun lalu duduk kembali, “Kali ini, urusan kita telah dapat berjalan dengan menyenangkan. Hanya saja, dikemudian hari masih banyak sekali pekerjaan yang harus kita selesaikan. Sekarang baik ku aturnya,” kata Keh Lok. “Wi-kiuko dan Cap-ji-long berdua harap berangkat ke Pakkhia untuk melihatdua keadaan di sana, apakah Hongte betul-betul menjalankan persekutuan kita itu atau mungkin dia merencanakan siasat untuk menangkap kita orang. Urusan ini maha penting, harap kalian berdua, berlaku hati-hati.”
Wi Jun Hwa dan Ciok Siang Ing mengiakan.
“Siang-koko berdua, harap pergi ke SuHwan dan Hunkwi untuk membuat perserikatan dengan orang-orang gagah didaerah itu. Nyo-patko supaya mengunjungi daerah Wanlam. Bu Tim totiang silakan kedaerah Liangouw (Seouw dan Thay-ouw). Cio-sipsamko ke Liang Kwi (Kwitang dan Kwisay), Tio-sam-ko dan Ma-toako berserta puteranya, ke Ciatkang dan sekitarnya. Shoatang dan Holam, silakan Liok-Locianpwe yang bertindak. Wilayah Sepak (barat daya) mohon Ciu-Locianpwe beserta Beng-toako. An-toako dan nona Ciu yang menggalang persatuan kaum orang gagah disana. Bun-suko dan I-sipsute tinggal disini untuk berobat dulu dengan meminta Suso dan Ciang-sipko yang merawatinya. Hit-ko dan Sim Hi ikut aku pergi kedaerah Hwe. Mungkin ada lain-lain usul?” tanya Keh Lok akhirnya.
“Kita setuju perintah Cong-thocu,” sahut semua orang dengan serentak.
“Kunjungan saudara-saudara keberbagai daerah itu bukanlah hendak membuat persiapan untuk bergerak. Tapi hanya supaya banyak sekali menghubungi orang-orang gagah yang nantinya bakal menjadi tulang punggung dari gerakan besar kita dikemudian hari. Urusan kita itu, adalah suatu rahasia negara yang maha penting. Sekalipun kepada isteri atau sanak saudara, jangan sampai dibocorkan,” kembali ketua HONG HWA HWE itu memberi penyelasan.
Semua orang berjanji dengan sepenuh hati.
“Setahun kemudian pada hari ini, kita bertemu lagi di ibukota. Ketika itu tentunya Suko dan Sipsute sudah sembuh, nah, itulah saatnya kita dapat bergerak melaksanakan tu juan kita yang besar itu!”
Habis berkata begitu, ketua HONG HWA HWE itu bangkit seraya menepuk meja. Diikuti oleh rombongan orang HONG HWA HWE mereka menuju keruangan tengah untuk mulai “mengepung” hidangan. Semua orang sama merasa puas dan gembira.
Diantara itu, hanya Ciang Cin yang tampaknya kurang senang. Karena tadi dia diperintahkan tinggal di Thian Bok San untuk merawat orang sakit. Hal itu dapat diketahui oleh Bun Thay Lay, siapa lalu berkata kepada Tan Keh Lok:
“Congthocu, lukaku sudah banyak sekali sembuh. Juga luka Sipsute meskipun hebat tapi kalau banyak sekali beristirahat tentulah akan dapat sembuh dengan segera. Kalau dalam satu tahun itu suruh kita tinggal diam disini, sungguh tawar rasanya. Bagaimana kalau kita berempat ikut Congthocu kedaerah Hwe sekalian agar hati Ie-sipsute dapat terhibur?”
“Ya, benar, benar,” seru Ciang Cin dengan kegirangan.
“Disepanjang perjalanan, kita tentu menikmati pemandangan alam yang indah permai, hal itu tentu menambah Cepat-cepat nya persembuhan kita,” kata pula Bun Thay Lay.
“Baiklah kalau begitu, tapi apakah Sipsute kuat menempuh perjalanan sejauh itu?” tanya Keh Lok.
“Biarkan dia naik kereta untuk beberapa hari dulu, setelah itu baru nanti naik kuda sendiri!” usul Thay Lay.
Tan Keh Lok setuju. Ciang Cin dengan berseri-seri Buru-buru masuk memberitahukan Hi Tong.
“Sipsute mufakat,” serunya ketika keluar lagi.
Tiba-tiba Ciu Tiong Ing menarik lengan Tan Keh Lok untuk diajak kesamping, katanya: “Congthocu, kini Bun-suya sudah tertolong. Kau dengan baginda pun telah dapat dipertemukan ikatan persaudarannya. Kesemuanya berakhir dengan baik. Tapi kalau akan kutambah lagi dengan suatu kesenangan, apa kau dapat menyetujuinya?”
“Bukankah maksud LoyaCu hendak melangsungkan per jodohan nona Ciu dengan Hitko?” tanya Keh Lok dengan girang.
“Itulah memang maksudku!”
“Bagus sedangnya sekalian saudara masih berkumpul disini, kita minum dulu arak untuk kedua pengantin itu. Hanya sayang karena waktunya keliwat mendesak, jadi kita tak dapat mengundang lain-lain sahabat guna menambah me riahnya upaCara itu. Hal itu mungkin dibuat sesalan oleh nona Ciu nanti.”
Ciu Clong Ing tertawa, sahutnya: “Dengan adanya sekian banyak sekali ejnghiong yang hadir disini, apanya lagi yang masih mengeCewakan ?”
“Nah, kalau demikian kita pilih saja hari yang baik,” kata Keh Lok.
“Orang sebangsa kita ini, mana masih pusingi hari baik atau tidak. Maksudku sekarang juga pernikahan itu agar dilangsungkan!” sahut Tiong Ing dengan tegas.
Mengartilah ketua HONG HWA HWE itu bahwa jago tua itu lebih memikirkan kepentingan semua orang daripada kepentingan peribadinya. Dia tak mau kalau dengan adanya pernikahan itu mesti mengundurkan lagi keberangkatan orang-orang itu.
Keh Lok setuju dan haturkan terima kasih atas penghargaan jago Thiat-tan kepada sekalian saudaranya itu.
Lalu dengan ketawa Keh Lok menghampiri Ciu Ki, ia membungkuk dan berkata: “Nona, selamat!”
Kedua belah pipi Ciu Ki menjadi merah dibuatnya. “Apa katamu itu?” tanyanya.
“Maksudku akan membahasakan kau sebagai Hit-so yang resmi!” Keh Lok menggodanya.
“Fui! seorang ketua perkumpulan masih berkelakuan begitu macam!” Cela sigadis.
“Ah, kau tak percaya?” tanya Keh Lok, lalu menepuk tangannya.
Suasana perjamuan itu kembali menjadi hening.
“Tadi Ciu-lounghiong berkata padaku bahwa pada hari dan jam ini bermaksud akan menyodohkan puterinya nona Ciu. Ki dengan Hit-ko kita. Jadi nanti saudara-saudara akan menikmati juga arak kebahagiaan dari berdua pengantin !”
Gemuruh tepuk tangan para orang gagah itu. Mereka segera mengeremuni Ciu Tiong Ing dan Thian Hong untuk memberi selamat. Karena urusan berjalan dengan sesung guhnya, Ciu Ki seketika itu juga lari masuk kedalam.
“Sipte, Ayo lekas tarik ia kembali, jangan perbolehkan pengantin perempuan bersembunyi didalam!” seru Jun Hwa.
Ciang Cin pura-pura akan menghadangnya, tapi sinona segera gerakkan tangannya untuk menampar, keruan saja Ciang
Cin Buru-buru menghindar seraya berseru dengan tertawa: “Aduh, tolong! pengantin perempuan pukul orang!”
Ciu Ki gelidua Cemberut, terus lari masuk.
Tengah, para hadirin sama berisik itu, tiba-tiba Lou Ping masuk dengan membawa sebuah kotak, serunya: “Bagus, semua sudah datang. He, apa-apaan begini sukaria ini?”
“Tanya sendiri pada Hitko!” balas Jun Hwa.
“Hitko, ada apa sih?” tanya Lou Ping.
Thian Hong kemekmek tak dapat menyahut.
“He, heran mengapa hari ini Cu-kat Liang menjadi seperti orang tolol?” kata Lou Ping.
Ciong Su Kin yang bersembunyi dibelakang Thian Hong, tangannya mengepal seperti orang memberi hormat, lalu katanya :
“Hari ini Cu-kat Liang akan menjadi raja sehari. Rupanya dia berlagak seperti seorang menantu yang tolol !”
“Astagafirullah!” seru Lou Ping dengan girang sekali.
“He, benar-benar kau ini aneh, Su-so, Hietko kawin, masa kau kaget seperti orang disengat kala?” kata Seng Hiap.
Semua hadirin tertawa gelakdua.
“Kalau siangdua kuketahui hari ini Hit-ko dan adik Ki hendak menikah, tentu akan kubawakan kambing dan beberapa barang lain yang berharga. Kini aku tak punya apa-apa untuk dihaturkan kepada mereka, bukankah ini pantas ku getunkan?”
“Habis, apa saja yang kau bawakan untuk Suko itu? Bolehlah kita semua melihatnya?”
Sambil tertawa Lou Ping buka kotak itu. Benda didalam nya, berkilat menyilaukan mata. Itulah sepasang vaas giok putih yang dihaturkan orang-orang Hwe kepada Kian Liong. Semua orang tentu saja terkejut dan bertanya.
“Waktu omong-omong dengan suko, kukatakan bahwa vaas itu luar biasa bagusnya apalagi gambarnya, seorang wanita yang luar biasa Cantiknya. Tapi suko tidak percaya,” tutur Lou Ping.
“Dan............ suko tentu bilang: 'tentu kaulah yang lebih Cantik'!” tiba-tiba Thian Hong menyelatuk.
Lou Ping tertawa kecil. Memang waktu itu suaminya mengatakan begitu.
“Yadi kau ambil ketempat baginda di HangCiu?” tanya pula Thian Hong.
Lou Ping mengangguk, sahutnya. “Untuk kuperlihatkan pada suko. Sesudahnya akan diapakan, sudah tentu terserah kehendak Congthocu. Akan dikembalikan pada CiCi Ceng Tong atau kita simpan sendiri.”
Ketika memeriksa vaas itu, betul-betul Bun Thay Lay tak habis-habisnya memuji keCantikan gambar nona itu. “Betul apa tidak kata-kataku itu?” tanya Lou Ping. Bun Thay Lay tertawa sambil goyang kan kepalanya. Lou Ping heran, tapi pada lain saat ia teringat akan ucapan suaminya itu. Mukanya berobah merah.
“Sutemoag, baginda mempunyai banyak sekali sekali jago-jago yang lihai. Karena vaas itu sangat berharga, tentu dijaga keras. Tapi bagaimana kau dapat mengambilnya ? Keberanian dan kepandaianmu itu, orang lelaki sungguh harus mengaku kalah. Aku, sitosu tua ini, juga mengaku kalah padamu,” kata Bu Tim.
Lou Ping tersenyum puas. Ia Ceritakan pengalamannya sewaktu masuk kedalam gedung pembesar agung itu, ia berhasil menangkap dan mengorek keterangan dari seorang thaykam (kebiri) yang mengurus barang itu. Ia dapat membinasakan Anjing penjaga dengan memberinya makan bahpau yang diberi raCun dalamnya. Ia berhasil mengelabui si-wi penjaga dengan meniru bunyi kuCing dan akhirnya berhasil mendapatkan vaas giok itu.
Semua orang mendengarkan dengan asjik dan kagum.
“Su-naynay”, tiba-tiba Hwi Hing buka suara. “Dengan mendiang ayahmu, aku menjadi sahabat yang karib sekali. Mendasarkan umurku yang setua ini, aku hendak bicara padamu, Harap kau jangan salah paham”.
“Silakan Liok-lopeh memberi nasehat”, sahut Lou Ping.
“Nyalimu besar dan kaupun Cukup lihaij. Dengan seorang diri kau mengambil vaas disarang harimau. Tidak seorang yang tidak merasa kagum. Namun sesuatu urusan itu dapat dinilai penting tidaknya atau besar kecilnya. Andaikata sepasang vaas itu memang sangat diperlukan untuk rencana gerakan kita, atau misalnya diperlukan untuk menolong seorang yang terpitenah, perbuatanmu itu. memang mulia dan pada tempatnya”, demikian Hwi Hing. “Tapi hal yang sebenarnya, kau hanya main-main secara iseng dengan Suya, dan kau telah menempuh bahaya yang sedemikian besarnya. Andaikata sampai terjadi apa-apa, semua saudara kita apakah tidak menjadi ribut? Lebihdua bagaimana perasaan suamimu itu?!”
Tegoran Hwi Hing itu telah membuat Lou Ping mandi keringat sembari berulang'- mengiakan saja.
“Malam itu kebetulan baginda masih kita tawan di Liok Hap Ta. Semua si-wi sibuk menCari jejak baginda, jadi gedung agung itu boleh dikata kosong tak ada penjagaan yang liliay. Andaikata orang seperti Kim-kao-thiat-jiau Pek Cin berada disitu, kau tentu menghadapi bahaya besar!” Hwi Hing melanjutnya tegorannya.
Lou Ping berjanji mengindahkan peringatan itu. Berpaling kearah Bun Thaij Laij, ia leletkan lidahnya.
“Setelah Suko dapat dibebaskan, saking girang Suso sampai berbuat haldua yang keliwat berbahaya. Kelak jangan sekali-kali berbuat lagi”. Tan Keh Lok menengahi.
“Baik, baiklah!” Sahut Lou Ping.
“Nah, sekarang kita ramaidua bantu Hitko,” kata Keh Lok “Hitko, kini urusan sudah begini mendesak untuk berbe lanya terang tak dapat. Kau seorang yang banyak sekali akal ren Cana, Ayo lekas keluarkan akalmu itu supaya lekas beres!”
Semua orang sama tertawa. Thian Hong karena hatinya penuh dengan berbagai perasaan, juga ikut tertawa. Tapi kalau orang-orang ketawa karena akan menggodanya, adalah dia sendiri ketawa, alias meringis.
“Bu-Cu-kat hari ini betul-betul berobah menjadi seorang tolol. Baiklah aku saja yang wakilkan dia mengaturnya. Wali dari fihak pengantin perempuan adalah Ciu-loyaCu. Sedang wali dari pengantin lakidua baiknya Tio-samko saja. Wi-kiuko, lekas pinjam kudanya Suso untuk membeli barangdua dikota. Beng-toako, kau pergi kepasar untuk belanya barang-barang perjamuan. Tentang barangdua hadiah kita masing-masing, besok saja kita susulkan. Nah, bagaimana saudara-saudara, akur?” demikian Keh Lok mengatur.
Rasanya semua setuju. Hanya Tio Pan San yang mengusulkan supaya wali mempelai lelaki, baiknya Tan Keh Lok sendiri, sedang dia nanti yang bakal menjadi “protokol” upaCara perkawinan itu. Bermula Keh Lok menolak, tapi akhirnya dia mau juga setelah di desak oleh lain-lain saudaranya.
Petang harinya, semua petugas yang disuruh berbelanya itu sudah sama pulang. Jun Hwa, orangnya Cekatan. Dia dapat membeli semua barangdua yang diperlukan. Malah kopiah burung Hong untuk mempelai perempuan, tak lupa dibelinya juga.
Menyambuti pakaian untuk mempelai perempuan itu, Lou Ping terus akan masuk untuk merias Ciu Ki. Tiba-tiba dilihat nya Jun Hwa juga membelikan pupur dan ginCu.
“Wah, Kiuko, benar-benar kau seorang ahli. Entah nona siapa yang beruntung bakal menjadi isterimu?”
“Ai, Suso, jangan godai aku. Kan malam ini malam istimewa bagi mempelai nona Ciu Ki, jadi semuaduanya haruslah ditujukan padanya!” tangkis Jun Hwa.
“Baiklah, kau punya rencana apa?” tanya Lou Ping.
Dengar orang akan godai pengantin, Cio Su Kin ikut Campur.
“Suso, bahwa kau telah berhasil mengambil vaas giok dari penjagadua baginda, kita semua memang kagum. Tapi tadi Liok-Locianpwe mengatakan, kalau saja beberapa Si wi kelas tinggi berada disitu, mungkin tak semudah itu hasil pekerjaanmu,” kata Jun Hwa.
“Mencuri itu suatu ilmu adu kepandaian, bukan adu kekuatan. Sekalipun aku tak dapat melawan mereka, tapi bukan berarti tak dapat kucuri barang itu,” debat Lou Ping.
“Bagus. Hitko terhitung salah seorang yang paling Cer dik. Kalau kau dapat mencuri salah satu barangnya, baru aku mau tunduk betul-betul kepadamu.”
“Apa yang harus kuambil?”
“Heh ............ begitu kedua mempelai sudah tidur pulas,
Curilah pakaiannya, agar besok harinya mereka tak dapat bangun keluar kamar,” kata Jun Hwa.
Kontan Ciang Cin berseru setuju. Tiba-tiba Tio Pan San menghampiri dan menanyakan halnya.
“Ah, urusan ini tak selajaknya Samko mengetahui,” Su Kin Coba mencegah orang.
Anakdua muda itu kuatir kalau Tio Pan San sungkan dan diam-diam nanti memberi kisikan pada Thian Hong. Karenanya, mereka menolak turut Campurnya Samko itu. Apa boleh buat Pan Sanpun mengangkat pundak dan berlalu.
“Akal itu pernah kita gunakan terhadap baginda. Suso, soal itu memang pekerjaan yang berat sekali. Kurasa kau tentu gagal,” kata Seng Hiap.
Lou Ping kerutkan sepasang alisnya, tanpa menyahut. Ha nya hatinya berpikir bahwa hal itu memang sungguh-sungguh tak enak baginya. Tapi ketika di-kilidua oleh Seng Hiap, timbullah keangkuhannya. Katanya: “Kalau aku sampai berhasil me ngambilnya, bagaimana?”
“Kita ini, Patko, Sipko, Sipjite, Sipsamte dan aku, ber jumlah 5 orang. Bersedia akan membikinkan perlengkapan untuk kudamu putih itu yang akan dibuat daripada emas. Modelnya, tanggung, kau tentu puas,” sahut Jun Hwa.
“Bagus. Untuk bagianku, kalau sampai gagal, akan kubuatkan sulaman 5 tas berbunga terate, untuk kau berlima masing-masing setangkai”, sahut Lou Ping.
“Setuju”, seru Seng Hiap dan Jun Hwa dengan berbareng.
“Ya, tapi tas sulaman terate itu tak boleh sembarangan macamnya, lho!” kata Su Kin dengan tertawa.
“Fui, pernahkan aku menipu kalian? Tapi awas, jangan kalian diam-diam kisiki Hit-ko dan isterinya?” kata Lou Ping.
“Sudah tentu tidak. Kita mandah kalah pertaruhan itu, supaya dapat menyaksikan leluCon besar!” sahut Seng Hiap.
Habis menetapkan perjanjian itu, mereka sama bubaran untuk membantu keperluan pernikahan itu. Diam-diam Lou Ping bertanya pada diri sendiri, Cara bagaimana ia harus melakukan pekerjaan istimewa itu. Terhadap Ciu Ki sih mudah saja. Tapi berhadapan dengan Thian Hong, si Cukat Liang alias Khong Bing itu, rasanya ia tak dapat berkutik. Ja, apa boleh buat, tunggu gelagat saja.
Begitu hari gelap, diruangan besar segera terang benderang dengan penerangan lilin yang besardua. Thian Hong dengan berpakaian lengkap tampak berdiri disebelah kiri. Lou Ping papak menggandeng mempelai perempuan keluar. Tio Pan San membaCakan doa perkawinan, diikuti kedua pasangan baru itu dengan berlutut sujud pada langit dan bumi. Juga pada Cousu HONG HWA HWE Baru setelah itu, mereka memberi hormat kepada Ciu Tiong Ing suami isteri serta
Tan Keh Lok selaku Congthocu. Ciu Tiong Ing dan Ciu-naynay separoh membalas hormat.
Sebaliknya Tan Keh Lok sama sekali tak berani menerima penghormatan itu. Dia Buru-buru berlutut untuk membalas hormat. Berulang-ulang Ciu Tiong Ing menasehati supaya ketua itu jangan sungkandua.
Kini gilirannya, kedua mempelai itu memberi hormat kepada semua orang menurut runtunannya. Pertama kepada Liok Hwi Hing, Bu Tim, Tio Pan San. Sim Hi menuntun Hi Tong keluar untuk duduk disebuah kursi. Muka Hi Tong masih dibalut dengan kain putih. Juga pemuda itu menerima penghormatan dari sepasang suami-isteri yang bahagia itu.
Suasana pesta itu betul-betul meriah sekali. Saking girangnya, Hi Tong menyumbangkan nyanyian suling dalam lagu “hong-kiu-hong” atau burung hong d jantan berCumbuan dengan burung hong betina. Melihat Hi Tong tampak gembira, semua orangpun turut girang.
Selesai upaCara, mulailah hidangan dan arak dikeluarkan. Dengan mengangkat poCi arak, Bu Tim berseru n jaring: “Malam ini siapa yang tidak minum sampai mabok, tidak boleh tidur”.
Baru saja mulutnnya mengucap, secepat-cepat killat poCi itu dilemparkan kearah sebuah pohon kwi-hoa yang tumbuh di tengah-tengah halaman itu.
Serempak dengan melayang nya poCi itu, Jun Hwa dan Ciang Cin juga melesat keruangan tengah. Sesaat poCi itu membentur ranting pohon dan jatuh kebawah, Jun Hwa sudah dapat menyang gapinya, sedang Ciang Cin segera loncat keatas tembok untuk memandang disekeliling tempat itu. Tapi tak tampak suatu apa.
Mereka kembali dan melapor pada ketuanya. Keh Lok melarang mereka untuk melanjutkan pengejaran, karena hari itu adalah hari baik. Begitulah mereka telah meneruskan pesta itu dengan gembira.
“Totiang,” bisik Keh Lok pada Bu Tim, “akupun melihat juga sebuah bayangan berkelebat diatas pohon itu. Ditilik dari gerakannya, kepandaiannya sih tidak seberapa.”
Bu Tim angguk kepalanya tanda sepaham.
“Di Liok Hap Tha, totiang telah unyuk keangkeran, hingga Thian San Siang Eng tak berani pandang rendah kita orang. Mari kita hormati Totiang dengan seCawan arak,” kata Keh Lok kemudian.
Semua orang sama berdiri mengangkat Cawannya.
“Thian San Siang Eng memang tak bernama kosong. Tan Ceng Tik situa itu, kalau saja masih berusia dua0 tahun, aku sitosu tua ini tentu bukan tandingannya,” kata Bu Tim dengan tertawa.
“Tapi waktu itu kepandaiannyapun tidak sehebat dan ulet seperti sekarang,” bantah Tio Pan San.
Pesta itu berjalan dengan gembira. Ada yang ber-Cakapdua dengan melucu, ada yang bertanding minum arak. Banyak sekali diantara mereka yang menghibur Ie Hi Tong.
Dalam pada itu, diam-diam Keh Lok kisiki Sim Hi supaya dengan beberapa thauwbak keluar meronda, jangan sampai tetamu yang tidak diundang itu sempat melepas api.
Setelah beberapa macam hidangan beredar, kedua mempelai dibawa keluar untuk memberi selamat dengan arak pada sekalian hadirin. Ciu Ki seorang nona yang dojan minum, tapi hari itu mamahnya pesan jangan sekali-kali minum. Maka betapa ingin rasanya ia untuk meminum, ketika sau daraduanya sama mendesak padanya, namun sedapat mungkin ditahannya. Karena mendongkol, wajahnya tampak kurang senang.
“Aduh, rupanya pengantin perempuan sedang marah pada. pengantin lelaki, Hit-ko, Ayo, lekas berlutut minta ampun,” seru Jun Hwa menggoda.
“Hit-ko, kau berlututlah. Kalau yang lakidua mau tunduk, tanggung lekas punya anak nanti,” sela Seng Hiap.
Karena tak kuat menahan geli, Ciu Ki tertawa Cekikikan, sahutnya: “Huh, kau sendiri belum punya anak, bagaimana bisa ngoCeh tak keruan !”
Semua orang tertawa geli. Ciu-naynay pun gelengdua kepala nya mengelah napas: “Coba, nona manya begitu sungguh tak patut menjadi pengantin.”
Dalam pada itu Lou Ping membisiki Jun Hwa supaya meloloh arak pada Thian Hong agar memudahkan pekerja annya. Jun Hwa memberi isyarat kepada Su Kin, untuk diajak memberi selamat minum arak pada Thian Hong.
Melihat kasak-kusuk keduanya itu, Thian Hong Curiga. Karena sebagai mempelai lelaki tak boleh ia menolak pemberian selamat, terpaksa Thian Hong menerimanya. Tapi setelah minum kira-kira sepuluh Cawan, sekonyong-konyong dia terhuyung-huyung dan rebahkan kepalanya diatas meja. Ciu-naynay sayang kepada anak menantunya, lalu perintahkan Kian Kong untuk membawanya kekamar tidur.
“Wah, kali ini rupanya kau ada harapan menang,” diam-diam kata Seng Hiap kepada Lou Ping.
Lou Ping tersenyum. Diambilnya sebuah poCi dan diisinya penuh dengan arak, lalu dibawanya kekamar Ciu Ki.
“CiCi, kebetulan, aku memang sedang gelisah,” seru Ciu Ki segera oleh kedatangan Lou Ping.
“Kau tentu haus, minumlah teh ini,” kata Lou Ping. “Ah, tidak. Aku sedang resah.”
“Tapi teh ini wangi sekali,” kata Lou Ping pula, sembari angsurkan dimuka Ciu Ki. Bau arak yang wangi itu mendekap hidung Ciu Ki, siapa menjadi girang sekali dan Buru-buru menyambutinya terus ditegak habis separoh. “CiCi Ping, kau memang baik sekali kepadaku,” ujar gadis itu.
Sebenarnya Lou Ping hendak mempermainkannya, tapi melihat sinona begitu jujur, ia tak tahan sendirinya. Tapi karena pengantin baru itu seharusnya digoda, maka tak apalah.
“Adik Ki, sebenarnya aku hendak memberitahukan padamu sesuatu hal yang sangat rahasia. Tapi mengingat kita ini sudah bersaudara, maka tak apalah, asal kau tidak sesalkan aku.”
“Lekas katakanlah !”
“Apakah ibumu tak pernah mengatakan, bagaimana nanti setelah kau lepas pakaianmu.”
“Apa? Mamah tidak bilang apa-apa,” seru Ciu Ki dengan merah mukanya.
“Kuduga tentu beliau sendiripun tak mengetahuinya,” kata Lou Ping dengan bersungguh-sungguh. “Setelah lakidua dan perempuan menjadi suami isteri, kalau bukan sisuami yang menang hawanya, tentulah si-isteri yang menguasainya. Jadi tentu ada salah seorang yang dibawah pengaruh.”
“Hm, aku tidak ingin menindasnya, tapi jangan dia ngimpi akan mengendalikan aku,” kata Ciu Ki.
“Ya, namun orang lelaki itu sifatnya kasar, tidak mengerti perasaan orang perempuan. Ada kalanya, kau susah untuk memegangnya. Terutama orang sebagai Hit-ko. Dia pintar dan banyak sekali akal. Dan kau, adik Ki, orangnya tulus. Harus hati-hati terhadapnya.”
Kata-kata itu “termakan” dalam hatinya Ciu Ki, sekalipun dia sudah menaruh kepercayaan penuh pada bakal suaminya itu. Memang kalau ditilik suaminya itu terkenal sebagai orang yang banyak sekali akal, maulah ia percaya keterangan Lou Ping itu.
“Kalau dia sampai menghina aku, aku tak takut, kita selesaikan dengan golok,” sahut Ciu Ki kemudian.
“Oho, kau tak boleh begitu galak. Suami isteri harus rukun. Masa akan bertempur mati-matian.”
Ciu Ki hanya tertawa saja.
“Bun-suya jauh lebih lihai dari aku. Kalau disuruh bertanding, biarpun ada sepuluh aku, rasanya tentu kalah. Tapi selama itu belum pernah kita berkelahi. Dia selalu turut perkataanku.”
“Tentunya kau ingin menanyakan, Cara bagaimanakah Caraku itu, bukan?” tanya Lou Ping kemudian.
Ciu Ki kemerah-merahan mukanya dan anggukkan kepalanya.
“Sebenarnya hal itu tak boleh kukatakan. Tetapi karena kau yang menanyakan, biarlah kukasih tahu. Tapi sekali-kali tak boleh kau beritahukan kepada Hit-ko. Beginilah, nanti setelah Hit-ko tanggalkan pakaiannya, kau harus padamkan
lampu. Bawalah pakaianmu dan pakaian Hit-ko itu keatas meja,” kata Lou Ping sembari menunyuk kesebuah meja dimuka jendela. Lalu katanya pula: “Taruhkanlah pakaian Hit-ko dibawah pakaianmu. Tentu selanjutnya dia akan dengar katamu, tidak berani menghina padamu.”
“Sungguh?” Ciu Ki menegas dengan masih bersangsi.
“Mengapa tidak. Mamahmu takut pada ayahmu bukan ? Nah, itulah karena beliau tidak mengetahui Cara itu.”
Di-pikirdua memang mamahnya agak takut pada sang ayah. Diam-diam Ciu Ki mau percaya.
“Diwaktu menaruhkan pakaian, jangan sampai menimbulkan keCurigaannya. Kalau dia sampai tahu, tentu tengah malam dia akan memindahkan pakaianmu dibawah pakaian nya. Kalau sampai begitu, wah Celaka!”
Walaupun agak jang gal, tapi karena hal itu merupakan soal seumur hidupnya, Ciu Ki mau juga menurut. Malah untuk menambah kepercayaannya, Lou Ping ajarkan juga bagaimana Caranya menjadi seorang menantu. Dengan muka merah, Ciu Ki merasa berterima kasih kepada Lou Ping.
Tengah mereka asjik ber-Cakapdua itu, tiba-tiba diluar pintu tampak sesosok bayangan orang berkelebat, dan berbareng itu kedengaran Thian Hong mendatangi dengan batukdua. Ciu Ki bergegas-gegas memburu keluar. Tampak Thian Hong dengan berpakaian pengantin menentang sebatang tongkat besi, loncat turun dari tembok.
“Bagaimana, apa ada penCuri?” tanya Ciu Ki segera.
“Tadi kulihat diatas tembok ada orang mengintip, ketika hendak kutangkap, dia sudah menghilang,” menerangkan Thian Hong.
Ciu Ki membuka peti pakaiannya, dan mengambil sebatang goiok. Sebenarnya Ciu-naynay telah suruh puterinya untuk simpan senjatanya itu diluar kamar, tapi nona bengal itu tidak mau menurut, senjata itu disimpannya dida-lam peti pakaian. Saat itu ia akan ajak Lou Ping memeriksa keluar.
“Ah, sudahlah! Kau tinggallah disini dengan tenang. Bukankah diluar sudah banyak sekali pamandua dan sekalian saudara yang menjaganya. Masa kuatir penCuri kecil itu menggasak barangduamu” sahut Lou Ping.
Baru Ciu Ki mau kembali kedalam kamarnya. sambil menunyuk kepada Thian Hong, berkatalah Lou Ping: “Sudahlah, kau jangan pura-pura mabuk, biar kutangkap penCuri itu. Kau jaga baik-baik saja pengantinmu yang baru Ini, jangan sampai dia gunakan senjata.”
Sambil berkata begitu, Lou Ping samber golok ditangan Thian Hong, siapa dengan girang lalu kembali kedalam kamarnya sendiri. Betul pada lain saat didengarnya diatas atap rumah ada derap kaki orang, tapi karena dia percaya akan sekalian saudaranya, maka dia tetap berlaku tenangdua saja.
“Dengan baginda kita sudah adakan persetujuan, jadi mustahil kalau beliau sedemikian Cepat-cepat nya melanggar jan jinya. Dan kalau tilik gerakannya, nyata tetamu yang tidak diundang itu kepandaiannya tak seberapa lihai. Mungkin seorang sahabat dari kalangn hek-to yang karena kebetulan lewat didaerah sini dan mengetahui akan adanya pesta perkawinan ini, lalu datang memberi selamat,” pikir Thian Hong.
Pada saat itu, masuklah Lou Ping, Jun Hwa, Seng Hiap, Su Kin, Ciang Cin dan beberapa orang lagi- dengan membawa poCi dan Cawan arak. Berkata mereka dengan berbareng: “Ayo, mempelai lakidua pura-pura mabuk, harus didenda?”
Apaboleh buat Thian Hong sambuti pemberian arak mereka, dengan setiap orang, dia minum tiga Cawan. Masih semua saudaranya itu tak puas, dan hendak melolohnya terus.
“SipenCuri kan belum tertangkap, lebih baik jangan ke banyak sekalian minum. Jangan sampai kita kena dibobol,” kata Thian Hong.
“Minumlah dengan sepuasmu saja. Kita nanti yang bergiliran menjaga.” kata Seng Hiap dengan tertawa keras.
Tengah ramaidua memaksa sipengantin itu, Ciu Tiong Ing kelihatan datang. Demi dilihatnya Thian Hong sudah mabuk sehingga omongannya sudah tidak jelas lagi, Buru-buru mertua ini menengahi minum seCawan pada masing-masing orang. Setelah itu dibawanya Thian Hong kedalam kamar.
Karena kali ini dilihatnya betul-betul Thian Hong sudah mabuk, setelah menggoda beberapa waktu pada Ciu Ki, orang-orang itu lalu pergi.
Setelah berada berduaan dengan Thian Hong, hati Ciu Ki kebat-kebit rasanya. Begitu Coba memberanikan diri melihat Thian Hong, ternyata yang tersebut. belakangan ini sudah Celentang diatas pembaringan dan menggeros.
Teringat akan kata-kata Lou Ping, pelan-pelan dia menghampiri dan menggerendel palang pintu. Diantara sinar lilin, tampaklah sang suami itu mukanya merah dan tidur dengan nyenyak sekali.
“He, apa kau sudah tidur?” tegurnya.
Tapi Thian Hong tak menyahut.
“Ah, kau betul-betul sudah tertidur,” gumam sigadis agak keCewa.
Setelah melihat kesekeliling situ tak ada orang lagi, barulah Ciu Ki lepaskan pakaiannya luar, lalu menghampiri tempat tidur. Sekali dorong, tubuh Thian Hong terguling kesamping, lalu iapun naik pembaringan. Dengan beranikan diri, Ciu Ki lepaskan sepatu Thian Hong, begitu pula baju luarnya. Ketika akan mengambil juga pakaiannya dalam, merah padamlah muka Ciu Ki. Pikirnya: “Bukankah baju luarnya sudah Cukup?”
Begitulah baju luarnya Thian Hong lantas dibawa turun kebawah jendela dan diletakkannya diatas meja dengan ditumpangi pakaiannya sendiri. Balik ketempat tidur, ia ambil selimut dan ditutupkan ketubuh suaminya. Sedang ia sendiri telah mengambil lain selimut dan membungkus dirinya rapat-rapat, terus tidur.
Berselang berapa lama, Thian Hong kelihatan membalik tubuhnya. Hal itu membuat Ciu Ki terkejut sekali. Pada saat itu, kedengaran bunga api lilin meletik. Kuatir kalau Thian Hong mengetahui perbuatannya tadi, Buru-buru Ciu Ki akan meniup padam lilin itu.
Tapi ketika teringat dirinya hanya berpakaian dalam dan tidur disamping seorang lakidua untuk pertama kalinya, ia takut-takut dan malu. Biar bagaimana ia tak berani bangun. Diam-diam ia memaki dirinya sendiri «tak berguna, keringat membasahi seluruh tubuhnya. Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba ia memperoleh akal. Ia beset dua potong kain dari pakaiannya dalam, dipulungnya dan 'dimasukkan kedalam muluthja. Setelah menjadi basah dan merupakan pulungan bundar, dengan gunakan kepandaian menimpuk senjata rasia, ia berhasil menimpuk padam sepasang lilin itu.
Thian Hong masih tidur dengan pulas. Dia sebenarnya tak seberapa kuat minum arak, karena keliwat dari takeran, maka dia sampai tidur tak ingat orang. Setiap kali ia membalik tubuh, Ciu Ki terkejut dan makin ketakutan. Entah berlangsung berapa lama, tiba-tiba diluar jendela terdengar suara tikus men-CiCit. Dan pada lain saat, kedengaran suara kuCing meyang -mejong. Menyusul terdeburnya jendela, seekor kuCing telah meloncat masuk. Binatang itu berkeliaran didalam kamar dan tak bisa keluar nampaknya. Binatang itu loncat keatas pembaringan dan tidur dibawah kaki Ciu Ki. Setelah tak ada gangguan suara apa-apa lagi, barulah Ciu Ki pejamkan mata. Tapi hatinya masih berkutak-kutik tak bisa tidur.
Kira-kira sampai jam tiga pagi, tiba-tiba daun jendela kedengaran beretak. Ciu Ki mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya diluar jendela seperti ada orang bernapas. Dikira nya itulah tentu saudara-saudaranya yang ingin menggodainya, mau. mencuri dengar 'kejadian' dalam kamar pengantin. Mau ia menegurnya, tapi tiba-tiba tak jadi, karena waktu itu kedengaran diluar Sim Hi berseru: “Siapa? Jangan bergerak !”
Menyusul dengan itu, terdengar suara senjata beradu, dan kedengaran juga kedua saudara Siang berseru: “Ha, pen jahat yang bernyali besar !”
Menyusul sebuah teriakan “aduh” terdengar. Rupanya kena dihantam oleh kedua saudara Siang itu. Saat itu barulah Ciu Ki insyap, kalau kedatangan musuh. Ia tersentak bangun terus menyembat golok. Tapi ketika ia merabah meja hendak mengambil pakaiannya, segera ia menjerit kaget, karena pakaiandua itu sudah lenyap.
Tanpa pikiran malu lagi, ia tarik tubuh Thian Hong sambil di-goyang duai dan berseru: “Lekas bangun, lekas bantu tangkap penCuri. Pakaian kita kena digasak.”
Saking kagetnya, Thian Hong gelagapan dan hilang ma buknya. Dia rasakan sebuah tangan hangat menariknya. Bau harum yang memenuhi kamar, telah menyedarkan pikirannya bahwa malam itu adalah malam pertama dari perkawinannya.
Thian Hong melengak, terus tarik Ciu Ki kebelakangnya.

Tangannya menyeret sebuah kursi, siap untuk menyambut kedatangan musuh. Saat itu diatas wuwungan dan disekeliling situ, terdengar suara tepukan orang.
“Saudara-saudara kita sudah siap menCegatnya, sipenyahat tentu tak dapat lolos,” bisik Thian Hong.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Ciu Ki.

“Tepukan tangan itu adalah pertandaan rahasia dari kaum kita HONG HWA HWE Kini diempat penyuru sudah dijaga oleh saudara-saudara kita, kita tak usah kuatir lagi,” kata Thian Hong. Kursi pun dilepaskan, lalu dengan suara lemah lembut ka-tanya pula: “Moaymoay, aku telah kebanyak sekalian minum, sehingga tertidur pulas, sungguh keterlaluan ...............”.

“Plak ............” golok Ciu Ki terjatuh ditanah. Kedua anak muda itu terduduk diatas pembaringan. Kepala Ciu Ki direbahkan didada Thian Hong. Hening seketika.

Tiba-tiba pada lain saat kedengaran suara Bu Tim memaki: “Penyahat itu sungguh liCin, kemana saja larinya?”

Diluar jendela tampak api berkobar, rupanya orang-orang HONG HWA HWE sama nyalakan obor untuk menCari. Thian Hong suruh isterinya tidur, sementara dia terus keluar. Tapi Ciu Ki nyatakan ikut. Ketika melangkah keluar, mereka dapatkan pakaiannya terletak dengan rapih dimuka pintu. Hal mana membuat mereka heran, terutama Ciu Ki.

“Penyahat itu aneh sekali, mengapa mengembalikan pakaian kita lagi?” kata sigadis.
Beberapa saat Thian Hong tak dapat menyahut, kemudian dia tanyakan dimana tadi isterinya taruh pakaian itu.

“Kuingat disamping pembaringan, tapi entahlah, agak lupa aku,” demikian sahut Ciu Ki malu-malu.

Saat itu Lou Ping dan Jun Hwa dengan membawa obor tampak datang.

“Ha, ha, sipenCuri telah mengganggu pengantin ini!” Jun Hwa tertawa.

“He, mengapa disini ada setumpuk pakaian?” seru Lou Ping seperti orang terkejut.
Pecah gelak-tawa Jun Hwa karena tak tahan gelinya. Thian Hong Cukup Cerdik, sepintas tahulah dia bahwa kedua orang itu main sandiwara. Namun dia tetap tenang, katanya: “Aku kebanyak sekalian minum, sampai pakaian diambil penCuripun tidak tahu!”

“Kukuatir bukan sang arak yang memabukkan orang, tapi orang yang mabuk sendirinya,” kembali Lou Ping tertawa.

Thian Hnog tertawa tak dapat menyawab.

Kiranya pada tengah malam tadi, Lou Ping menduga kalau Ciu Ki tentu sudah tidur. Dibukanya jendela, sebelum itu ia tirukan bunyi tikus dan melempar masuk seekor kuCing. Secepat-cepat jendela didorong terbuka, secepat-cepat itu pula dia samber pakaian kedua pengantin itu.

Ketika Seng Hiap mengetahui Lou Ping betul berhasil mencuri pakaian, dia sangat heran. Lou Ping hanya tertawa saja. Sewaktu mereka mau masuk tidur, tiba-tiba Sim Hi kedengaran berseru menegur penyahat. Menggunakan kesempatan itu, Lou Ping bermaksud mengembalikan pakaian, supaya besok paginya Ciu Ki jangan sampai malu. Tapi ternyata kedua pengantin itu sudah bangun, jadi pakaian itu diletakkan begitu saja dimuka pintu, lalu ikut menge jar penyahat.

Sementara itu Keh Lok dan Ciu Tiong Ing bersama beberapa orang pun kelihatan keluar.

“Sekeliling rumah ini sudah dijagat rapat, tak nanti dia dapat lolos. Kita periksa setiap kamar,” kata Keh Lok.

Tapi biarpun diCari ubek-ubekan, penyahat itu tak nampak bayangannya. Saking mendongkolnya, Bu Tim me-maki-maki ka lang-kabut.

“Kita tengok kekamar Sipsute sana!” ajak Thian Hong tiba-tiba.

“Ah, siangdua Congthocu sudah minta Liok-Locianpwe menjaga kamar Sipsute itu, dan minta Tio-samko menya ga Bun-suko. Kalau tidak begitu, masa Suso begitu senggang main taruhan dengan kita?” kata Jun Hwa.

Thian Hong puji keCermatan Congthocu itu, tapi dia tetap berkeras mengajak tengoki ketempat kedua saudaranya itu. Akhirnya Keh Lok setuju juga. Mereka lebih dulu menilik Bun Thay Lay. Tampak kamar itu terang benderang. Bun Thay Lay dan Tio Pan San tengah bermain Catur. Mereka tak hiraukan ramaidua diluar itu.

Kini semua orang menuju kekamar Hi Tong. Terlihatlah Liok Hwi Hing duduk diatas titian. Melihat rombongan orang banyak sekali datang, dia serentak berbangkit dan menyata kan tak ada kejadian suatu apa. Semua orang menjadi uringduaan dan heran.

Demi mengawasi kesekeliling, Thian Hong dengan tiba-tiba melihat dari seladua jendela kamar Hi Tong itu, nampak ada sepelik letikan api yang baru saja padam. Jadi nyata lilin kamar itu baru saja dimatikan. Dia agak Curiga dan akan melihat Hi Tong.

“DIA sudah tidur nyenyak, maka aku jaga diluar,” Cegah Hwi Hing.
“Kalau begitu, Ayo kita Cari kelain tempat lagi,” kata Lou Ping.
“Tidak, lebih baik tengoki Sip-sUte dulu,” Thian Hong ber keras.
Sambil memegang obor, dia dorong daun pintu. Kamar tak ada apa-apa yang mencurigakan keCuali tubuh Hi Tong nampak bergerak diatas pembaringan. Thian Hong Coba sulut lilin dengan obornya, tapi. taj berhasil. Ketika diambilnya dan diperiksa, ternyata sumbu lilin itu sudah terputus rata, se-olahdua dipotong. Jadi terang kalau api lilin tadi tidak ditiup padam, melainkan ditimpuk dengan senjata rahasia. Hati Thian Hong berCekat dan menghampiri kedekat tempat tidur.
“Sipsute, kau toh tidak kenapa-apa?” tanyanya.
Agak ke-malasduaan “kelihatan Hi Tong mengisar tubuhnya, seperti lakunya orang yang gelagapan bangun tidur. Mukanya masih terbalut kain, sahutnya: “Ah, Hit-ko, bukankah malam ini kau menjadi pengantin? Mengapa menengoki Siaote?”
Lega hati Thian Hong, demi Hi Tong tidak kenapa-apa. Dia sulut lilin itu dengan obornya. Ternyata dimana dinding terlekat sebuah anak panah kecil, ujungnya masih terdapat minyak Ulin.
Diketahuinya bahwa panah kecil itu adalah milik Hi Tong, senjata yang sering ditiupkan dengan seruling emasnya. Tak habis dimengerti: mengapa begitu rombongan saudaranya datang, Hi Tong Buru-buru membunuh lilinnya? Apalagi begitu terburu-buru , sampai tidak ditiup tapi memadamkan dengan senjata rasia dengan serulingnya ?
Saat itu Tan Keh Lok es. pun sudah sampai disitu.
“Wah, saudara-saudara semua datang kemari. Aku tak kenapa-apa, terima kasih atas perhatian saudara-saudara,” kata Hi Tong.
Thian Hong akan Cabut paku panah yang menancap di dinding itu, tapi tangannya dijawil Keh Lok, maka tak jadi. Orang-orang sama mengetahui selimut Hi Tong itu agak menonyol. Selain dia, tentu dalamnya ada benda lainnya.
“Kalau begitu, harap Sipsute baik-baik mengasoh,” ujar Keh Lok, seraya mengajak semua orang berlalu. Katanya lalu kepada Hwi Hing: “Kita masih minta bantuan Liok-loCian-pwe untuk menjaga disini lagi. Kita akan menyelidiki keluar”.
Setelah semuanya pergi kembali Hwi Hing duduk diatas titian lagi.
“Undang semua penjaga kemari”, kata Keh Lok ketika sudah kembali dikamar depan.
Tak berapa lama kedua saudara Siang, Ciang Cin, Ciok Siang Iing, Cio Su Kin masak. Sedang Tan Keh Lok duduk diatas pembaringan, semua orang sama mengelilingi. Walau pun merasa heran, namun mereka tak brani bertanya. Hanya Bu Tim yang tak sabar lagi.
“PenCuri itu terang bersembunyi didalam selimut Sipsute Siapakah dia itu sebenarnya? Mengapa Sipsute melindunginya?”
Atas pernyataan Bu Tim itu, semua orang ikut heran. Hi Tong memang pada waktu akhirdua ini bersikap aneh. Dia lama juga menyelundup dalam tangsi Li Khik Siu, dan malah pernah menolong jenderal itu sewaktu terjadi pembakaran tangsi, sewaktu orang-orang HONG HWA HWE merampok penyara membebaskan Bun Thay Lay. Demikian ramaidua orang-orang omong ini-itu tentang diri Hi Tong.
“Lebih baik kita beramai tanya padanya. Kita toh sudah bersumpah sehidup semati, mengapa dia akan mengelabuhi kita?” kata Ciang Cin.
Semua orang menyetujui.
“Mungkin Sipsute ada apa-apa yang berat untuk mengatakan nya. Lebih baik dengan pura-pura mengantar makanan, kita Coba memeriksanya” usul Thian Hong.
Kembali orang-orang sama setuju. Tampak Ciu Tiong Ing akan ber-kata-kata, tapi tidak jadi. Hanya matanya memandang kearah Tan Keh Lok.
“Terang kalau orang itu sembunyi dikamar Sipsute. Kita tak boleh gegabah membikin susah Sipsute. Dia setia sehidup semati dengan kita semua. Misalnya dia rela korban kan jiwa untuk menolong Suko. Tentang jiwa Sipsute kita tak sangsi lagi. Kalau kini dia berbuat begitu, tentulah ada sebabnya. Adanya kuminta Liok-Locianpwe menjaga disitu, agar orang itu jangan sampai menCelakakan Sipsute. Asal Sipsute tidak kenapa-apa, kita tak perlu menCari tahu hal itu lebih lanjut, agar jangan melukai perasaannya”, demikian Keh Lok akhirnya mengutarakan pendapatnya.
Ciu Tiong Ing memuji pikiran ketua HONG HWA HWE itu.
“Kelak kalau dia mau mengatakan, tentu dia bilang sendiri. Tak perlu kita usik. Memang sifat anak muda mudah tersinggung. Mungkin juga urusan peribadi. Asal tak melanggar peraturan partai saja,” kata Keh Lok lebih lanjut.
Kalau semua orang tunduk dengan kebijaksanaan pemimpin itu, adalah Thian Hong sendiri yang merasa jengah. Diam-diam dia mengaku kalah dengan peribadi sang ketua itu.
“Setiap detik dari malam perkawinan adalah berharga sekali, mengapa kalian berdua masih bergadang disini,” Lou Ping menggoda Thian Hong dan' Ciu Ki.
Kembali semua orang tertawa ria.
Kini kita tengok keadaan dikamar Hi Tong. Begitu semua orang sudah berlalu, dia Cepat-cepat turun dari pembaringan, berdiri disamping meja. Ketika tindakan kaki orang-orang sudah lenyap, dia nyalakan lilin seraya berkata dengan bisik-bisik : “Mengapa kau kemari?”
Dari dalam selimut timbul sebuah kepala orang, terus loncat turun duduk ditepi pembaringan. Orang itu kelihatan tundukkan kepala, dadanya ber-ombakdua, air matanya mengalir. Itulah puteri Li Khik Siu, atau murid perempuan dari Liok Hwi Hing, Li Wan Ci adanya. Dia mengenakan pakaian serba hitam sehingga mukanya yang putih itu nampak dengan jelas. Sepasang tangannya diletakkan diatas pangkuan, tetapi tak berkata-kata, hanya air matanya yang ber CuCuran membasahi lengannya.
Hi Tong menghela napas.
“Kesungguhan hatimu terhadap diriku, Cukup kuketahui. Aku bukan kerbau atau kuda yang tak punya perasaan. Hanya saja kau adalah 'Cian-kim-sioCia' (puteri kesajangan) dari seorang Ciangkun, sedang aku seorang kelana dari Dunia Persilatan, masa kuherani merusak hari depanmu?” katanya kemudian.
“Apakah dengan menghilang secara tiba-tiba itu saja kau rasa sudah berakhir?” tanya Wan Ci dengan sesenggukan.
“Kutahu hal itu tidak pantas. Namun aku toh seorang yang bernasib malang. Hatiku sudah beku laksana kayu..... lebih baik kau pulang saja,” ujar Hi Tong.
“Karena menolong sahabat, kau menjadi fihak lawan ayahku. Hal itu tak dapat kupersalahkan, karena kau men junyung keutamaan,” kata Wan Ci. “Orang yang serba guna (bun-bu-Cwan-Cay) seperti dikau ini, mengapa tak mengambil jalan benar, berjoang untuk memperoleh pangkat kedudukan? Mengapa mesti berkelana dikangouw yang tak keruan itu? Asal kau mau merobah, ayah tentu.........”
“Kau puteri seorang pembesar, memang aku tak pantas mendampingimu. Kita kaum HONG HWA HWE menjalankan kebaikan dan keadilan, menolong yang susah. Kita semua adalah orang lelaki yang mempunyai ambekan, tak nanti sudi menjadi hamba pemerintah asing?” Hi Tong marah.
Tahu kalau kelepasan omong, merah selebar muka Wan Ci. Katanya pula: “Setiap orang mempunyai Citadua sendiri. Bukan aku hendak memaksamu. Kalau kau senang dalam hal itu, akupun senang juga. Kuberjanji mendengar kata-kata mu, selanjutnya aku takkan membantu ayah lagi. Kukira Suhuku pun dapat menjelaskan.”
Kata-kata terakhir itu diuCapkan agak keras, agar Hwi Hing yang berada diluar kamar itu dapat mendengarnya. Hi Tong merenung tak menyahut.
“Kau katakan sioCia dari pembesar itu tidak baik, nah, aku tak mau menjadi sioCia lagi. Kau bilang HONG HWA HWE itu baik, akupun juga............ ikut padamu,” kata-kata itu diuCapkan Wan Ci dengan napas yang sesak, dan saking malu serta bingungnya, ia menangis.
“Kalau tiada bantuanmu yang membawa aku kegedungmu dan mengobatinya, rasanya jiwaku pasti tak tertolong lagi. Menurut kepantasan, sekalipun badanku hanCur lebur, masih
belum dapat membalas budimu itu. Tetapi, ah......... sayang .”
“Adakah kau sudah mempunyai tunangan, sehingga kau pandang diriku begini tak berharga?” Wan Ci bangkit menegas.
Memang Hi Tong itu aneh. Dia tak dapat melupakan Lou Ping. Dalam hal paras dan asal usul, Wan Ci tidak dibawah Lou Ping. Tapi entah bagaimana, dia begitu tawar terhadap nona itu. Sejak bertemu Hi Tong dirumah penginapan dulu itu, hati Wan Ci mulai tak tenteram. Ia selalu terkenang akan wajah anak muda dengan seruling emasnya itu.
Ketika kedua kalinya berjumpa dipenyeberangan Hoangho, ia tampak berobah. Juga ayahnya dapat melihat perubahan itu dan penuju juga. Siapa nyana dalam pertempuran, anak muda itu ternyata orang HONG HWA HWE dan ikut kabur.
Wan Ci seperti orang yang kehilangan semangat. Setiap hari ia berkuda keluar kota, tanpa suatu tujuan. Khik Siu tahu perasaan puterinya, maka dibiarkan saja sang gadis berbuat begitu untuk melipur hati.
Hari itu Wan Ci habis pulang pesiar dari kota sebelah barat. Kebetulan berpapasan dengan Lou Ping yang juga mau pulang setelah mencuri vaas giok. Tahu kalau Lou Ping adalah orang penting dari HONG HWA HWE, maka dikuntitnya hingga sampai ke Thian Bok San.
Wan Ci berlaku hati-hati, sedang Lou Ping tengah dimabuk kegirangan, jadi lengah. Sedikitpun ia tak menaruh Curiga kalau dikuntit.
Ketika Wan Ci masuk kedalam rumah, telah dapat diketahui oleh orang-orang HONG HWA HWE, tapi ia beruntung dapat bersem bunyi. Tengah malam, ia bermaksud menCari tempat Hi Tong, untuk tumpahkan isi hatinya. Apa lacur, ia keliru mendatangi kamar pengantin baru. Ia kesomplokan dengan Sim Hi dan Ciang Cin. Dalam perkelahian, pundaknya kiri kena dihantam Siang He Ci. Sakitnya bukan buatan.
Dengan menahan sakit, ia sembunyi. Lebih dulu ia lempar beberapa batu kecil kearah lain untuk membingungkan pe ngejarnya, lalu ia menyelundup keruangan belakang. Disitu ia berpapasan dengan Suhunya, Hwi Hing, siapa segera menyambret lengannya.
“Suhu!” Wan Ci berseru tertahan dengan kaget.
“Mengapa kau kemari?!” bentak Hwi Hing dengan gusar.
“Aku Cari I-suko untuk menyampaikan beberapa perkataan,” sahut sigadis. Hwi Hing menunyuk kesebuah kamar disebelah kanan.
Wan Cie segera mengetok daun pintunya seraya memanggil. Karena suara berisik orang-orang sama menCari penCuri tadi, Hi Tong pun sudah terjaga. Ia siap dengan kim-tiok atau seruling emasnya, sandarkan tubuhnya ditepi pembaringan. Betapa kagetnya, sewaktu kedengaran Wan Ci memanggil. Maka begitu gerendel pintu dibuka, Wan Cipun menobros masuk.
Bingung juga Hi Tong di buatnya. Bahwa seorang pemuda dan seorang pemudi berada dalam sebuah kamar adalah kurang lajak, Cukup diinsyapinya. Baru saja dia sulut lilin untuk menanya, tiba-tiba kedengaran derap kaki orang-orang sama mendatangi. Karena luka-lukanya, dia masih belum leluasa ber gerak, terpaksa dia gunakan panah kecil yang ditiupkan dengan serulingnya untuk memadamkan api.
“Ie-suko, tolonglah aku!” Wan Ci berbisik separoh meratap, demi Thian Hong dan Kawan-kawan nya mengetok pintu.
Karena kehabisan akal, Hi Tong suruh Wan Ci menyusup kedalam selimutnya. Demikianlah kejadian tadi. Syukur atas kebijaksanaan Tan Keh Lok, Wan Ci tidak sampai mendapat malu.
Pada saat Wan Ci mendesak Hi Tong, adalah pemuda itu sudah mempunyai lain nona yang telah dipenujuinya, Hi Tong menjadi serba salah. Hendak mengatakan hal yang sebenarnya, malu. Kalau mau menyawab belum punya, pun salah.
“Begitu mendalam kau Curahkan perasaanmu, tentunya nona itu sepuluh kali lebih hebat dari aku. Maukah kau me ngenalkannya padaku?!' Wan Ci terus mendesak.
Saking tak dapat menCari jawaban, Hi Tong segera menarik kain putih yang membalut mukanya.
“Kini aku telah berubah setan macam begini, lihatlah jelasdua!” serunya kemudian.
Diantara Cahja lilin, muka Hi Tong menakutkan sekali tampaknya. Boleh dikata roman yang dulunya Cakap itu, kini sudah rusak penuh dengan bintikdua merah yang tak keruan macamnya. Saking kagetnya Wan Ci sampai mundur setindak, sambil mengeluarkan jeritan tertahan.
“Aku seorang Celaka, Hatiku buruk, kini rupaku pun jelek ............... nah, kau pulanglah!” kata Hi Tong.
Beberapa detik, Wan Ci kehilangan kesedarannya. Hi Tong tertawa keras-keras.
“Mukaku seburuk iblis ini, tentu kau tak tahan melihat nya. Li-sioCia, kau tentu sesalkan kedatanganmu malam ini, bukan? Ha, ha!”
Tingkah pemuda itu tak wajar, berkata sambil tertawa. Saking takutnya, Wan Ci menjerit terus tutupi mukanya lari keluar. Hi Tong ketawa sampai sekian lama. ketawa yang penuh mengandung arti. Dia kutuk peruntungannya yang Celaka itu. Tengkurepkan kepalanya keatas meja, dia menangis ter-laradua.
Sedari tadi Hwi Hing masih tetap duduk di-undakduaan. Sekalipun tidak mendengar jelas, dapat juga dia menduga. Dia mengerti, kalau saat itu menghibur Hi Tong tentu perCuma saja. Sebaliknya dia mengambil putusan untuk memberitahukan kejadian tadi pada ketua HONG HWA HWE Sekalipun hal itu kurang baik untuk nama murid perempuannya, tapi dia tak boleh membuat orang-orang HONG HWA HWE menyesal.
Ketika Hwi Hing datang, Keh Lok baru saja hendak tidur.
“Congthocu, aku hendak datang menghaturkan maaf padamu!” kata Hwi Hing.
“Apa? Apa yang terjadi dengan Ie-sipsute?” tanya Keh Lok dengan kaget.
“Oh, dia tak kurang suatu apa,” sahut Hwi Hing. “Apa kau tahu siapa yang datang mengaduk malam tadi?”
“Entahlah,” sahut Keh Lok.
“Itu muridku sendiri. Aku seorang yang tak punya guna, hingga tak dapat mengajar murid. Malam ini adalah hari perkawinan Hit-ya, sudah tentu kalian dibikin letih semua. Betul-betul aku bersalah.”
Keh Lok mengerti jelas omongan orang. Dia diam saja.
“Ia sudah pergi, kelak akan kuCarinya, kusuruh minta maaf pada kalian disini semua. Sekarang, biarlah aku yang haturkan maaf dulu.”
Habis berkata, Hwi Hing bangkit lalu menjura. Keh Lok kaget dan Buru-buru loncat bangun membalas hormat.
“Murid Locianpwe itu sudah mewarisi kepandaian loCian pwe. Gerakannya menandakan tidak sembarangan,” kata Keh Lok beberapa saat kemudian.
“Ia anak gelo, suka menempuh bahaya, menyakitkan hati sahabatnya. Setempo aku menyesal telah terima murid sema Cam dia.”
“Leng-tho (muridmu) telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu pedang, hanya kurang latihan saja,” Keh Lok me muji.
“Ah, Congthocu terlalu memuji.”
Hwi Hing kira kalau Keh Lok baru kenal muridnya malam itu, belum dia tahu bahwa keduanya pernah bertemu di Se-ouw, malah bertempur juga.
“Apakah leng-tho pernah kedaerah Hwe?” tanya Keh Lok tiba-tiba.
“Memang sejak kecil ia berada di Se-pak (barat laut).”
“Oh, kurasa ia bergaul dengan orang-orang Uigor,” demikian teringat Keh Lok akan ucapan Ceng Tong sewaktu mau berpisah: “Dia orang bagaimana, kau tanyakan Suhunya saja.”
Beberapa kali hendak Keh Lok bertanya pada Hwi Hing, tapi karena kuatir disangka bukandua, terpaksa ditahankan. Kalau malam itu kebetulan Hwi Hing datang sendiri, itulah kesempatan yang bagus. Benar kelihatannya dia bertanya secara sambil lalu saja. Tapi dalam hatinya, kebat kebit, hingga tangannya sampai mengeluarkan keringat.
“Oh, itu karena peristiwa merebut kitab Quran, ia berkenalan dengan orang Ui. Pertama karena salah paham, nona Hwe Ceng Tong telah bertempur dengan muridku itu. Baru setelah kujelaskan perhubunganku dengan Thian San Siang Eng (guru Ceng Tong), keduanya menjadi bersahabat. Keduanya sangat CoCok, seperti orang bersaudara saja,” tutur Hwi Hing.
Hwie Hing tertawa sambil mengurut jenggotnya. Ia menyang ka tentunya Tan Keh Lok sudah tahu kalau Wan Ci itu seorang wanita, jadi selama pembicaraan tadi, dia tak sebutdua tentang penyaruan Wan Ci sebagai seorang pemuda itu.
Entah apa sebabnya, Keh Tok kurang senang. Sekalipun air mukanya tak kentara, tapi dia seperti ogah bicara, bersikap tawar. Hal itu dianggap Hwi Hing bahwa ketua HONG HWA HWE itu masih marah atas perbuatan Wan Ci malam itu. Mungkin ketua itu merasa kehilangan muka, mengapa sekian banyak sekali anggota-anggotaHONG HWA HWE yang gagah, tak mampu menangkap seorang boCah yang tak ternama.
Karena tak tahu kalau Tan Keh Lok sebetulnya berpikir lain, setelah menyatakan maaf lagi, Hwi Hing akan minta diri.
“Siaoya, Ie-sipsuya minta bertemu!” tiba-tiba. Sim Hi berseru dari luar:
Pintu terpentang dan seorang Congteng menuntun Hi Tong masuk. Nampak Hwi Hing berada disitu, Hi Tong terkesiap. Dia ambil tempat duduk disebuah kursi dan suruh Congteng keluar.
“Cong-thocu, tadi ada seorang bersembunyi dalam kamarku. Kau tentu sudah mengetahuinya. Hanya karena tak mau aku sampai kehilangan muka, kau pura-pura tidak tahu. Sebagai saudara, tentunya aku sangat berterima kasih padamu. Maka meskipun kau tak tanya, aku berkewajiban memberitahu kannya,” demikian Hi Tong menutur.
“Kita sudah seperti sedarah-daging, tak usah sungkan apa-apa,” sahut Keh Lok.
“Orang itu datang hanya se-matadua akan berurusan dengan aku, jadi tak ada sangkut-pautnya dengan semua saudara. Tapi kalau dikatakan, hal itu men j angkut nama baik seseorang..............”
“Kalau begitu, tak usah kau katakan. Sudahlah, urusan itu tak perlu ditarik panjang lagi. Kau mengasohlah, Sim Hi, bantulah Sipsuya kembali kekamarnya”, kata Keh Lok.
Hi Tong kira kalau Hwi Hing sudah mengatakan urusan itu pada Tan Keh Lok, maka diapun terus minta diri, begi tupun Hwi Hing.
Keesokan harinya, orang-orang sama memberi selamat pada Ciu Tiong Ing suami isteri, Thian Hong dan Ciu Ki. Setelah sama berkemasdua maka semua orang lalu saling mefiganibil selamat berpisah, masing-masing menuju ketempat yang telah di tunyuk oleh ketuanya.
Sebenarnya Tan Keh Lok darl| Ciu Tiong Ing sama-sama menuju ke daerah barat-laut. Tapi Tiong Ing berpendapat lain. Berpuluh tahun sudah, dia tak pernah berkunjung keselatan. Kini dia sudah lanjut usianya, mungkin tak ada kesempatan lagi. Maka mumpung berada didaerah selatan, dia akan berkunjung kegereja Siao Lim Si di propinsi Hokkian. Akan disambanginya Suheng dan Suteduanya yang masih berada di tempat perguruan itu.
“Siao Lim Si adalah merupakan bintang Cemerlang dunia persilatan. Alangkah baiknya kalau Ciu-Locianpwe dapat mengikat perhubungan dengan mereka. Kelak dalam gerakan kita, kalau fihak Siao Lim Si suka keluar membantu, itulah suatu berkah besar bagi rakyat semua,” kata Keh Lok.
Dengan mengajak isteri, kedua muridnya: Kian Hiong dan Kian Kong, Tiong Ing menuju keselatan. Sebelum berpisah, Ciu-naynay pesan anak perempuannya, supaya merobah tingkah lakunya yang jelek, karena kini sudah menjadi isteri orang.
“Tapi bagaimana kalau dia menghina aku?” tanya Ciu Ki sembari jebikan bibir pada suaminya.
“Kalau kau berlaku baik-baik , masa dia mau menghina padamu,” ujar sang ibu.
Sebenarnya ingin Ciu Ki menanyakan Lou Ping, apakah setelah pakaiannya dipindah dimuka pintu oleh si “peaCuri” kemaren malam itu, hasiat itu' masih berpengaruh atau tidak. Tapi ia sungkan. Maka sewaktu kedua orang tuanya akan pergi, Ciu Ki menepes air mata.
“Adikmu itu adathja aleman, suka sembrono. Kau jangan ladeni. Kalau ia Cari setori, jangan hiraukan, biar besok aku yang mendampratnya,” pesan Tiong Ing kepada menantu nya.
“Ayah, kau eloni dia, ja? Apa mesti aku saja yang salah?” Ciu Kiu tidak puas.
Tiong Ing tak mau ladeni. Begitu naik keatas kuda, dia segera memberi hormat pada Tan Keh Lok dan Bun Thay Lay, terus menuju keselatan.
Rombongan Keh Lok yang terdiri dari Bun Thay Lay, Lou Ping, Ciang Cin, Hi Tong, Thian Hong, Ciu Ki dan Sim Hi menuju keutara. Setelah melalui kotadua Hauw-hong, An-kit, Lok-yang, sampailah mereka ke Kim-leng. Sewaktu menye berang sungai Hoangho, Bun Thay Lay sudah sembuh sama sekali, sedang Hi Tong pun sudah banyak sekali baikan.
Makin keutara, hawanya makin dingin. Pohondua sama laju, menandakan permulaan musim rontok. Hari itu mereka tiba dikota Khay-hong. Disitu mereka membikin kunjungan kepada Pian-liang-tayhiap Bwe Liang Bing, seorang gagah budiman. Setelah bermalam semalam, mereka lanjutkan perjalanan lagi. Bwe Liang Bing memberkahi pakaian kapas yang tebal. Karena sudah sembuh, Hi Tong dapat naik kuda sendiri.
Begitulah kedelapan orang itu keprak kudanya disepan jang luar kota. Kuda putih Bun Thay Lay paling istimewa larinya. Bagaikan angin pesatnya, dia sudah lari mendahului sejarak lima puluh li. Sampai disebuah kota kecil, dia segera masuk kesebuah rumah makan dan pesan disediakan hidangan untuk delapan orang. Sambil mengasoh dia pesut keringat dan debu dimukanya dengan saputangan.
Tiba-tiba disebelah timur rumah makan tampak ada sebuah bayangan orang berkelebat. Lakunya seperti orang mengintai. Begitu melihat Bun Thay Lay, terus menyusup balik. Bun Thay Lay Curiga, tapi dia pura-pura tak mengetahuinya. Malah dia ambil tempat duduk dengan membelakanginya, dan meminum tehnya.
Berselang berapa lama, baru kelihatan rombongan Tan Keh Lok datang. Setelah sama berkumpul, Bun Thay Lay mengi siki Kawan-kawan nya tentang siorang yang mencurigakan tadi. Berpaling kearah kamar sebelah timur, Thian Hong Cepat-cepat mengetahui bahwa kertas jendela sebelah sana itu, tampak basah. Sepasang biji mata jelas mengawasi rombongan Tan Keh Lok itu dengan tajam. Begitu Thian Hong meman dangnya, orang itu Cepat-cepat menarik diri menghilang.
“Itulah seorang sahabat Kangouw yang masih hijau, jadi tak tahu aturan. Biarkan saja, nanti tentu ketahuan juga,” bisik Thian Hong dengan tertawa.
“Orang macam itu, juga ingin masuk kangouw. Tapi agaknya dia sedang meng-amatduai kita,” kata Lou Ping.
“Coba lihat dia, kalau memang bermaksud minta derma, nanti kita bantu dia,” Keh Lok menyuruh.
Sim Hi Cepat-cepat bangun menuju kesebelah ruangan timur.
“Semua air didunia sama sumbernya, bunga merah (hong hwa) dan daun hijau adalah sekeluarga!” Sim Hi berteriak sekeras-kerasnya.
Itulah pertandaan kaum HONG HWA HWE untuk menanyakan kawan. Semua partai dan Cabang persilatan dikangouw, telah mengeluarkan ikrar saling bantu apabila mendapat kesukaran. Sekalipun bukan Anggota HONG HWA HWE, asal mengerti tanda itu, harus menyawab, misalnya, kalau keputusan uang, orang itu bisa menyawab begini: “Siaote adalah dari partai anu, dibawah ketua anu. Akan minta bantuan pada saudara.”
Tapi ternyata dari kamar itu tak ada jawaban apa-apa, hingga Sim Hi perlu mengulangi lagi. Tiba-tiba pintu terdorong terbuka, dan seorang berpakaian hitam muncul. Topinya yang lebar, menutup hampir separoh mukanya.
“Tolong berikan ini pada Sip-suya,” kata orang itu seraya angsurkan sebuah gulungan kertas.
Sim Hi Cepat-cepat berikan kertas itu pada Hi Tong. Ketika dibuka, kertas itu berisi tujuh buah kata: “Tak menghiraukan ribuan li untuk mengikuti tuan.”
Tulisannya rapih dan bagus. Tahulah Hi Tong itu dari Wan Ci. Ternyata nona itu diam-diam mengikuti perjalanannya. Dengan kerutkan jidat, Hi Tong serahkan kertas itu kepada Tan Keh Lok. Keh Lok tak mengetahui maksudnya. Dia nantikan penyelasan sianak muda.
“Orang itu tak jelas maksudnya, tentu ia menunggu di jalan yang akan kita lalui. Lebih baik aku ambil jalan air saja, menghindarinya. Kita nanti berjumpa lagi dikota Tong-kwan,” kata Hi Tong kemudian.
“Dengan kita berkumpul bersama-sama , mengapa kau merasa jeri? Biar dia bagaimana lihainya pun, kita juga akan menempurnya,” Ciang Cin mulai aseran.
“Bukannya takut, tapi aku memang tak ingin jumpakan dia,” sahut Hi Tong.
“Kita beri hajaran saja, supaya dia jangan berani menguntit. Siapa sih orang yang tak tahu selatan itu?” Ciang Cin mendesak.
Hi Tong kewalahan, tak dapat menyawab. Tahulah Tan Keh Lok bahwa Sipsutenya itu mempunyai suatu rahasia yang tak leluasa dikatakan.
“Kalau Sipsute menghendaki naik perahu, baiklah. Tapi harap baik-baik menjaga diri. Ayo, Sim Hi, ikutlah sama Sip-suya!” kata Keh Lok.
Dimulut kacung itu mengiakan, tapi hatinya menggerutu. Naik kuda lebih menggembirakan dari pada menyikap diri dalam perahu. Hi Tong tahu sikap anak itu, dia nyatakan akan pergi sendiri saja, alasannya dia toh sudah sembuh, tak perlu pembantu.
Dengan diantar oleh rombongannya, Hi Tong sewa sebuah perahu, menuju ke Tongkwan. Begitupun Tan Keh Lok cs. melanjutkan perjalanannya lagi dengan kuda. Ciang Cin tak puas dengan sikap Hi Tong tadi, seperti SiuCay mang kak, katanya.
“Karena mukanya rusak, Sipsute senantiasa masgul, jadi adatnya pun aneh. Baik kita jangan. bikin keCewa dia,” kata Lou Ping.
“Tempo dikota Bunkong, kabarnya dia bergaul dengan seorang nona, tapi entah bagaimana dia lalu pergi ke Hang-Ciu dengan tiba-tiba,” Ciu Ki tambahkan.
“Dia sih memang begitu, tentu tersangkut urusan perempuan. Kalau tidak, masa dia mau menyingkir,” kata Ciang Cin pula.
“Sipte!” bentak Bun Thay Lay tiba-tiba kurang senang.
Setelah beberapa hari naik perahu, dan Wan Ci tak kelihatan bayangannya, barulah lega hati Hi Tong. Hari itu hampir mendekati kota BengCin. CuaCa sudah gelap. Karena ombaknya besar, tukang perahu tak berani berlajar. Terpaksa perahu berhenti disebuah tempat yang sunyi.
Malam itu Hi Tong tak dapat tidur nyenyak. Tampak rembulan bersinar bundar, mengirim Cahajanya kepermuka an air. Kesemsam dengan pemandangan alam purnama, Hi
Tong bangun. Disembatnya sang seruling, terus dialunkannya sebuah lagu.
Penderitaan hidupnya selama itu, diCurahkan dalam rajuan seruling. Makin meniup, makin menggelora.
Tepat sedangnya dia tengah dilamun lagu. Curahan kal bunya itu, tiba-tiba ada seorang berseru: “Suling yang merdu!”
Bahna kaget, secepat-cepat itu suling dilepasnya, lalu Hi Tong berpaling kebelakang.
Dibawah Cahaja rembulan, tampak tiga orang mendatangi. Begitu dekat, salah seorang lantas berkata: “Kami kesasar jalan, dalam kebingungan, tergeraklah hati kami mendengar suara merdu dari seruling saudara itu. Harap jangan kuatir.”
Atas kata-kata orang yang beraturan itu Hi Tong burus terbangkit dan menyahut: “Dalam belantara yang sunyi lelap ini, Siaote hiburkan diri meniup seruling. Mungkin tak keruan lagunya.”
Bertiga orang asing itu, ketarik dengan kata-kata Hi Tong yang sopan itu. Mereka terus menghampiri.
“Kalau sekiranya suka, silakan duduk diperahu Siaote ini”, kata Hi Tong.
“Bagus, bagus!” kata orang-orang itu.
Begitu dekat dipantai, ketiga orang itu segera enjot tubuhnya, dan dengan lemah gemulai mereka sudah inyak kan kakinya di atas perahu. Hi Tong terkesiap kaget.
“Terang orang-orang ini pandai silat. Entah siapa mereka itu. Baik kuberlaku hati-hati”, diam-diam Hi Tong berkata dalam hati.
Berlaga seperti tak mengetahui apa-apa, Hi Tong pegang tepi perahu dengan sepasang tangannya, seperti orang yang ketakutan kalaudua jatuh kedalam air. Orang yang pertama, bertubuh tinggi besar, memakai jubah kapas, sikapnya seperti seorang hartawan desa.
Orang yang kedua bermuka brewok, mukanya kehitam-hitaman. Orang yang ketiga, mengenakan pakaian orang Mongol. Separah tubuhnya diselimuti dengan kain bulu kambing. Gerak annya tangkas dan gesit sekalli. Ketiganya sama membawa pauwhok dan senjata.
Kuatir kalau serulingnya menarik perhatian orang, siang Hi Tong sudah menyimpannya. Dia bangunkan tukang perahu, untuk panasi arak dan sediakan makanan. Sebaliknya situkang perahu menjadi murang-muring karena tengah malam masa ada orang mertamu. Tapi karena Hi Tong selama dalam perjalanan itu berlaku royal, apa boleh buat, dia turut saja perintah penyewanya itu.
“Tengah malam kita mengganggu, harap maafkan,” si orang tinggi besar berkata.
“Diempat penyuru, semua orang bersaudara. Mengapa mesti mengucap begitu?” balas Hi Tong.
Tahu kalau Hi Tong suka menyiter pepatahdua kuno, berta nyalah orang itu pula: “Mohon tanya saudara punya nama?”
“Siaote orang she Ie, nama Bing Thong, asal dari Kim-leng. Meskipun bernama “thong” (mengetahui), tapi sebe tulnya bebal, tak punya guna apa-apa. Dalam ujian, telah menemui kegagalan, sungguh Celaka,” sahut Hi Thong.
“Aha, kiranya seorang SiuCay, sungguh kita berlaku kurang hormat,” ujar orang-orang itu.
“Sejak gagal ujian, kemalangan selalu mengejar Siaote. Keluargaku diperas orang, rumah dibakar. Sehingga bukan saja harta benda ludas, sedang wajahkupun turut rusak begini. Karena terpaksa, kuingin pergi ketempat seorang keluarga di Kamsiok. Ah, nasib, nasib,” kata Hi Tong pula.
Kata-kata itu membuat kedua tetamunya itu ter-longgongdua. Orang yang sikapnya seperti hartawan desa itu, agaknya pernah bersekolah. Katanya: “Hal itu tak usah terlalu saudara dukakan.”
“Mohon tanya nama yang mulia dari kalian,” tanya Hi Tong.
“Siaote orang she Thing,” sahut sihartawan tadi. Menun juk kepada sibrewok katanya pula: “Dan ini she Ku.”
“Ini, she Hap, orang Mongol,” katanya pula sembari me nunyuk kearah orang yang . berpakaian seperti orang Mongol tadi.
Kepada mereka bertiga, Hi Tong satu persatu memberi hormat. Siorang she Thing, agak geli melihat lagak-lagu Hi Tong yang dikiranya seorang anak sekolahan yang mabuk peradatan. Sebaliknya mendengar tekukan lidah orang seperti orang dari Liaotang, diam-diam Hi Tong ingin mengetahui
nya kawan atau lawankah mereka itu. Kalau mereka itu golongan orang gagah dari kangouw, dapatlah kiranya di ajak menjadi kawan serekat.
“Tengah malam kalian masih mengadakan perjalanan, bukankah hal itu berbahaya?” Hi Tong Coba panCing keterangan.
“Apa yang kau maksudkan dengan bahaya itu?” tanya siorang she Thing.
“Dijalan banyak sekali gangguan, banyak sekali penjamun, perampok. Sungguh berbahaya,” kata Hi Tong seraya meng-gelengduakan kepalanya.
Kini giliran siorang she Ku dan she Hap, yang tertawa ter-bahakdua. Saat itu, situkang perahu sudah menghidangkan arak dan sajuran. Tanpa sungkandua lagi, ketiga orang itu segera dahar hidangan itu.
“Saudara ahli sekali meniup seruling. Apakah suka memainkan lagi?” tanya siorang she Thing.
Takut kalau serulingnya emas menarik perhatian orang, Hi Tong menolak dengan halus.
“Kalau begitu, biar aku saja yang meniupnya,” kata siorang she Hap.
Habis berkata itu, dia mengambil keluar sebatang tanduk kambing yang tersalut perak. Dengan berdiri, ditiupnya 'seruling' itu. Begitu meraju lagu yang dibawa seruling orang Mongol itu, sehingga menyajat hati Hi Tong. Itulah lagu “padang rumput tertiup angin, muncullah binatang yang kugembalakan.” Diam-diam Hi Tong menCatat lagu itu dalam hatinya.
Habis minum, ketiga orang itu menghaturkan terima kasih dan minta diri.
“Kalau tidak keberatan, silakan bermalam dalam perahu ini. Besok saja kalian teruskan perjalanan lagi,” Hi Tong meminta.
“Terima kasih, baiklah,” sahut siorang she Thing.
Hi Tong tidur dalam ruang perahu. Sementara bertiga orang tanpa membuka pakaian lagi, terus baringkan diri dihaluan perahu. Sesaat kemudian, Hi Tong pura-pura menggeros. Dia Coba akan mencuri dengar pembicaraan orang.
Maka terdengarlah kata siorang she Thing tadi: “SiuCay ini meskipun buruk rupanya, tapi hatinya baik.”
“Anggap saja dia mempunyai peruntungan baik,” kata siorang she Ku.
“Apakah besok kita dapat tiba di Lokyang?” tanya siorang Mongol.
“Setelah melintasi sungai, kita Cari kuda. Mungkin bisa,” jawab yang she Thing.
“Hanya yang kvikuatirkan kalau Han-toako tidak dirumah, kan kita sia-siasaja,” kata si Ku pula.
“Kalau tak dapat menyumpainya, kita pergi ke Thayouw untuk mengobrak-abrik sarangnya Hong Hwa Hwe,” seru siorang Mongol.
“Sssttt, jangan keras-keras?” si Thing mencegahnya.
Bukan main terkejutnya Hi Tong. Kiranya mereka adalah musuh HONG HWA HWE Yang dimaksud dengan Han-toako itu, tentu Han Bun Tiong, itu piauwsu dari Tin Wan piauwkiok. Pura-pura dia teruskan menggeros, sembari pasang telinga lebih tajam.
“HONG HWA HWE mempunyai banyak sekali jago yang lihai. Lotangkeh mereka sudah meninggal, tapi penggantinya, Tongthocunya yang baru, kabarnya lihai sekali. Disini bukan daerah Kwan-tang, Lo Su (keempat), kau jangan bicara sembarangan,” kedengaran lagi si Thing berkata.
“Kita Kwantang Liok Mo (enam iblis dari Kwantang) malang melintang didaerah Kwangwa. Orang kangouw mana yang tidak gentar mendengar nama kita? Tapi sungguh keCewa Lo Sam, Lo Ngo dan Lo Liok telah dibunuh orang secara menggelap. Kalau dendam ini tak terbalas, kita bersumpah tak mau jadi orang lagi,” siorang she Ku berkata dengan murkanya.
“Ah, kiranya Keenam Iblis Kwantang. Sam-mo Ciao Bun Ki telah dibinasakan oleh Liok-supeh. Ngo Mo — iblis kelima —s Giam Se Gui dan Liok Mo — iblis keenam — Giam Se Ciang, mati dibunuh orang Ui. Mengapa mereka hendak membalas pada HONG HWA HWE?” tanya Hi Tong pada dirinya sendiri.
Toa Mo — iblis pertama — dari Kwantang Liok Mo, adalah orang she Thing tersebut. Namanya It Lui. Dia seorang hartawan besar dari Liao-tang. Kekajaannya berlimpahdua, karena dia memiliki kebun kolesom, peternakan dan parit emas.
Iblis nomor dua, adalah seorang pembega! kuda yang kesohor, jakni siorang she Ku, namanya Kim Piauw, Su Mo — iblis nomor empat — ialah siorang Mongol itu sendiri. Hap-haytai. Dia kelahiran Mongolia, mengembara diwilayah Kwantang, juga menjadi pembegal kuda.
Ketika berada di Liaotang, mereka dengar kabar bahwa sewaktu Ciao Bun Ki diutus menCari seorang Kongiju yang diCulik oleh HONG HWA HWE, kena dibunuh orang di Siamsay. Peristiwa itu baru ketahuan setelah berselang beberapa tahun kemudian.
Setelah menerima surat dari Han Bun Tiong, Sute dari Ciao Bun Ki, ketiga orang itu marah besar. Sengaja mereka datang dari Liao-tang untuk menCari balas pada HONG HWA HWE Setiba di Pakkhia, kembali mereka mendapat berita yang makin meledakkan dada mereka bahwa kedua saudara Giam dibunuh orang. Karena itu, bergegas-gegas ketiganya menuju ke Lokyang untuk menCari keterangan pada Han Bun Tiong. Secara kebetulan, mereka berjumpa dengan Hi Tong, yang disangkanya seorang SiuCay lemah itu.
Habis mengobrol, mereka lalu tidur. Sebaliknya Hi Tong tak tenang, hampir fajar baru dia dapat tidur. Tapi baru sejenak dia pulas, tiba-tiba sudah dikejutkan dengan suara hiruk-pikuk orang ber-serudua. Cepat-cepat Hi Tong bangun terus disembatnya kim-tiok, lalu keluar.
Ternyata ada beratus perahu besar ber-dujundua mendatangi. Perahu besar yang berada disebelah muka sendiri, terpan cang sebuah panyi bertuliskan “Ceng-Se-TayCiangkun” itu adalah perahudua ransum untuk TayCiangkun yang memerangi daerah barat.
Dibelakang perahu besar itu, mengikut berpuluh-puluhdua perahu kecil. Berisi barangdua rampasan pembesardua pasukan Ceng disepanjang sungai itu. Melihat gelagat kurang baik, tukang perahu Hi Tong hendak menyingkir. Tapi secepat-cepat itu tiba-tiba ada enam atau tujuh orang serdadu Ceng loncat kedalam perahu kecil itu.
Hi Tong masih dapat mengendalikan diri. Memang bangsa serdadu macam itu tak punya lain guna keCuali menindas rakyat jelata. Tidak demikian dengan Haphaptai, siorang Mongol. Begitu marah dia saat itu, hingga akan melabraknya. Tapi It Lui Buru-buru mencegahnya.
Memeriksa kedalam ruang perahu, kawanan serdadu itu nampak Hi Tong yang dandanannya seperti seorang SiuCay. Agak berobah sikap serdadudua itu. Mereka menanyakan diri ketiga Kwantang Liok Mo itu.
“Kita akan ke Lokyang meninyau famili,” menerangkan It Lui.
“Kamu bertiga duduk diburitan sana, sebelah sini kosongkan saja,” salah seorang serdadu kedengaran memerintah.
Dengan mata melotot Haphaptai maju selangkah, terus akan gerakkan tangannya.
“Lo Su, mau apa kau itu!” Buru-buru It Lui membentak.
Haphaptai tahan kemarahannya. Dia bersama Hi Tong menuju kebagian muka.
“Kawanan serdadu itu menghampiri tepi dek perahu, lalu menyambuti beberapa orang kawannya lagi dari sebuah perahu lain.
“Gian-loya, perahu ini lebih bersih, kau orang tua penuju apa tidak?” kedengaran seorang serdadu berseru.
Yang disebut Gian-loya itu, muncul dari haluan perahu, mengawasi sebentar, lalu berkata: “Ya, inilah !”
Lalu duduklah ia diruangan perahu. Hi Tong melirik pada Gian-loya tersebut. Seketika hatinya memukul keras. Kiranya si Gian-loya itu bukan lain adalah Gian Pek Kian, itu piauwsu yang ikut datang ke Thiat-tan-Hung untuk menangkap Bun Thay Lay dulu. Dia adalah Ciang-bun-jien dari Cabang persilatan keluarga Gian di TienCiu propinsi Ouwlam. Se jak sebelah matanya buta termakan panah seruling Hi Tong tempo hari, baru sekarang sembuh dan muncul lagi. Dia membawa seorang Sute dan dua orang murid. Kini dia Coba bekerja pada jenderal Tiau Hwi untuk mendirikan jasa.
Sesampai di BengCiu, perahudua berhenti. It Lui dan kedua Sutenya terus akan naik kedarat. Tapi dilarang oleh kawanan serdadu itu. Kata mereka, perahudua itu sedang bertugas mengangkut ransum, jadi penumpangdua tak boleh sembarangan naik turun perahu. Karena kalau sampai terjadi apa-apa dengan ransum itu, mereka tentu mendapat hukuman potong kepala.
It Lui berunding dengan kedua sutenya. Mereka bersepakat, nanti sesudah hari gelap, mereka akan melarikan diri dengan diam-diam.
Meskipun mata Gian Pek Kian tinggal satu, tapi luar biasa tajamnya, melihat gerak-gerik Hi Tong, timbullah ke Curigaannya. Makin mendalam keCurigaannya itu, karena nampak muka anak muda itu dibalut dengan kain. Pura-pura dia menghampiri buritan perahu, untuk ber-Cakapdua dengan It Lui. Tiba-tiba tubuhnya miring, seperti terpeleset mau jatuh. Tangannya ber-gerak-gerak keatas dan sekonyong-konyong terus menya wut kain pembalut muka Hi Tong, lalu ditariknya. Juteru pada saat itu, karena mengira orang akan menubruknya, Ku Kiem Piauw ulurkan sebelah tangannya, menepuk pundak she Gian itu. Keruan saja, yang tersebut belakangan itu Cepat-cepat tarik mundur tubuhnya, untuk menghindar. Masing-masing mengetahui, bahwa keduanya mempunyai kepandaian yang tangguh. Mereka (Pek Kian dan Kim Piauw) saling memandang.
Tapi orang she Gian itu tak pedulikan Kim Piauw, secepat-cepat kilat dia memandang kemuka Hi Tong. Dia kaget tak terhingga. Muka yang begitu buruk dan menakutkan itu terang bukan sipemuda yang telah memanah buta matanya.
“Tadi perahunya oleng, aku terhujung. Harap maafkan,” katanya sambil menyerahkan kembali kain pembalut itu kepada sianak muda. Hi Tong menyambutinya tertawa lebar.
“Mukaku begini buruk, tak boleh dipandang orang. Kau tidak takut bukan?” katanya.
Dengar nada ucapannya, kembali hati Pek Kian tergon cang . Namun kalau menilik mukanya, dia tak berCuriga lagi. Berpaling kearah Kim Piauw, berkata dia: “Laohia kiranya seorang sahabat kangouw, silakan masuk.”
It Lui bertiga tak mau main sembunyi lagi, lebih dulu dia tanyakan nama orang. Demi diketahuinya mereka berhadapan dengan Ciang-bun-jin dari Cabang Gian-keh-kun di Tien-Ciu, merekapun lalu menyebutkan namanya sendiri.
Gian Pek Kian membawa seorang Sute, Phang Sam Jun namanya, orang dari Gakyang wilayah Ouwlam. Kelima orang itu bicara dengan uplek sekali. Peristiwa dikalangan persilatan daerah Kwan-gwa, menjadi bahan pembicaraan mereka. Karena asjiknya, Hi Tong se-olahdua dilupakan begitu saja.
Dua fihak yang memusuhi kaumnya saling bertemu, sedang dirinya hanya seorang diri. Hal itu, membuat Hi Tong kuatir. Sebenarnya sejak mukanya menjadi rusak, Hi Tong menjadi seorang yang tak pedulian lagi. Tapi ketika kini berhadapan dengan musuhduanya, timbullah semangatnya lagi. Seorang diri, dia pura-pura hafalkan bahandua ujian SiuCay. La gaknya seperti seorang pelajar yang ke-giladuaan dengan pe lajaranya. Suaranya sengaja dibikin se-lantangduanya. Tapi dalam pada itu, dia sebenarnya sedang pasang telinga, mendengari pembicaraan mereka.
Pek Kian sebal mendengar suara sisiuCay itu, kini keCu rigaannya makin lenyap. Waktu makan malam, Hie Tong mengeluarkan arak untuk menjamu mereka. Pek Kian me nguCap beberapa patah kata terima kasih, dan Hi Tong menyawabnya dengan kata-kata yang halus penuh dengan ulasan, sehingga membuat mereka tak dapat mengerti artinya. Mereka tak mau ambil mumet akan si “siuCay” itu, terus melanjutkan pembicaraannya lagi dengan gembira.
Atas pertanyaan Pek Kian, It Lui menerangkan bahwa kedatangannya ke Lokyang itu adalah untuk mehinyau sahabat. Sewaktu pembicaraan beralih tentang keadaan Ca bang persilatan didaerah selatan, tiba-tiba Haphaptai mengemukakan hal perkumpulan HONG HWA HWE
Demi mendengar itu, wajah Pek Kian berobah. Kemudian ditanyakannya tokoh HONG HWA HWE yang manakah dikenal mereka itu. Dengan tenang, It Lui menyahut tak seorangpun yang dikenalnya. Juga soal pembalasan sakit hati, tidak dise butnya.
Terang kedua fihak, saling Curiga. Takut mereka kalaudua fihak lawan bicaranya itu mempunyai hubungan baik dengan kaum HONG HWA HWE Justeru karena saling berprasangka, maka pembicaraan mereka tak seriang seperti tadi.
Selesai dahar, It Lui bertiga ajak Hi Tong mengasoh di buritan (bagian muka perahu). Selama tidur itu, Hi Tong tak mau lepas pakaiannya. Seruling emasnya, disembunyikan dalam bajunya. Sekira pukul dua malam, tiba-tiba kedengaran Haphaptai berkata: “Toako, Ayo kita pergi!”
“Sssst, baik, jangan berisik, nanti membikin bangun Siu Cay itu,” sahut It Lui bisik-.
Ber-indapdua ketiganya bangkit. Tiba-tiba dihaluan perahu sana terdengar ada orang berjalan, ada pula seorang yang berbangku. Dan pada lain saat, kedengaran air sungai beriak. Kiranya, ada orang tengah membasuh tangannya.
It Lui bertiga rebahkan diri lagi. Berselang beberapa saat, tiba-tiba disebuah perahu didekat situ, terdengar jeritan orang. Dalam suasana malam yang sunyi itu, jeritan itu sangat mengerikan.
“Tolong, tolong!” tiba-tiba kedengaran suara jeritan seorang wanita.
Hi Tong tersirap darahnya. Tahu dia bahwa disebelah sana, kawanan serdadu itu tentu sedang berbuat haldua yang tak senonoh. Mau dia seketika itu menolongnya, tapi ketika teringat bahwa kekuatannya tentara Ceng disitu sangat besar, dan kedua kalinya dia tengah dikelilingi oleh musuhdua yang tangguh, kalau sampai dirinya ketahuan, tentu berarti mengundang' bahaya. Dia Coba berusaha untuk menindas hati nu^aninya. Telinganya ditutupnya rapat-rapat dengan selimut. Namun sesaat itu, kembali wanita diperahu itu kedengaran berseru dengan meratap: “Cong-ya, berbuatlah kebaikan, kasihanilah kami orang!”
Menyusul seorang anak kecil menjerit seraya menangis: “Mamah, mamah!”
Berontaklah hati Hi Tong. Cepat-cepat dia bangun dan mendengarkan dengan jelas. Ternyata lagi-lagi perempuan itu tengah meratap-ratap, sedang seorang serdadu Ceng kedengaran menghardiknya dengan kasar : “Kalau kau tak menurut, anak ini akan ku bunuh dulu!”
Dalam ratap tangis perempuan itu, terdengarlah gelak tertawa dari beberapa serdadu. Mungkin sianak kecil tadi sudah dihabisi nyawanya.
Hi Tong bukan si Kim-tiok-siuCay, kalau dia tinggal diam saja. Tanpa hiraukan keselamatannya lagi, dia segera me
nuju ketepi perahu. Ternyata ketiga Kwantong Liok Mo tadipun mendengar juga kejadian tersebut. Malah Haptaptai segera mengajak Suhengduanya menengok.
“Lo Su, jangan usil. Orang she Gian dan Sutenya itu pandai ilmu menotok. Kalau mereka sekaum dengan orang HONG HWA HWE, kita pasti akan ..................”.
Hi Tong tak mau mendengari habis ucapan mereka itu. Sekali enjot, tubuhnya sudah berada di perahu sebelah sana. Betapa kaget It Lui bertiga, sukar dilukiskan. Dengan memberi isyarat tangan, It Lui ajak kedua saudaranya untuk membuntuti gerak-gerik sisiuCay itu.
Juga Pek Kian dan Sam Jun sudah sedari tadi terbangun. Keduanya pun tak kurang terkejutnya. Dengan me nyembat senjata, mereka naik keatas dek untuk mengawasi.
Tatkala dibagian belakang perahu tak ada orangnya, Hi Tong melongok kebawah dari ruangan perahu yang terletak ditengah itu. Diantara Cahaja lilin yang terang benderang, tujuh “atau delapan orang serdadu Ceng tengah merejeng dua orang wanita.
Yang seorang berjongkok dilantai perahu, meratapdua minta dikasihani. Sedang wanita yang satunya tengah bergemetaran mempeluk seorang anak kecil. Dilantai itu bergelimpangan beberapa orang lelaki yang sudah menjadi majat. Beberapa tas pakaian berserakdua isinya, pakaiandua dan uang perak.
Terang kalau kawanan serdadu itu dengan kedok mengangkut rangsum, ternyata hanya main rampas perahudua orang. Penumpangnya dibunuh, hartanya dirampas. Kejamnya melebihi kawanan bajak.
Kemarahan Hi Tong sudah sampai dipunCaknya. Baru dia hendak loncat turun, tiba-tiba dari belakang Haphaptai kedengaran berkata: “Lotoa, tak dapat aku tinggal diam.”
“Yangan!” bentak It Lui.
Pada saat itu, seorang serdadu berhasil merebut anak kecil dari pelukan perempuan tadi. Dengan buasnya, anak itu dibantingnya kelantai............... pecahlah kepala sianak itu.
Dua orang serdadu tertawa buas.
“Biarlah LoCu HONG HWA HWE diatas menjadi saksi. Hari ini TeCu Ie Hi Tong akan buang jiwa menolong orang. Mohon diberkahi...............”
Demikian mendoa, Hi Tong terus loncat kedalam ruangan perahu tersebut. Kaki menendang, tangan menotok, kedua serdadu itu roboh. Marah sekali Hi Tong saat itu. Dia tak mau memberi ampun lagi. Sedang serdadudua melongongdua kesima sebelah tangan Hi Tong telah dapat memelintir batang leher seorang serdadu lagi. Begitu siserdadu men jerit kesakitan, goloknya sudah dirampas Hi Tong, terus dibabatkan pada paha lain serdadu. Kawan-kawan serdadu itu Coba menyerang, namun Hi Tong sudah terlanyur melampiaskan kemarahannya.
Benar dalam permainan golok, dia kurang paham. Tapi kawanan serdadu yang tak berguna itu mana dapat melawan si Kim-tiok-siuCay. Dalam beberapa gebrak saja, kembali ada dua orang serdadu roboh, dan seorang yang ditendang mati. Masih tinggal dua serdadu yang masih hidup, Cepat-cepat loncat lari keluar. Tapi......... Plung......... plung.........
Dua-duanya disanggapi dengan kaki Haphaptai, keCemplung kedalam sungai. Hi Tong bangunkan kedua wanita tadi.
“Lekas lari kedaratan sana!” katanya.
Tapi saking takutnya, kedua perempuan itu berdiri tegak seperti patung saja. Pada saat itu, dari beberapa perahu terdengar ada orang menanyakan.
Haphaptai masuk kedalam ruang perahu tersebut seraya memuji: “SiuCay lihai, bagus, bagus !”
Dia menuju kehaluan, dengan galah didajungnya perahu itu ketepian. Melihat disekeliling situ penuh dengan perahudua tentara Ceng, tahulah Hi Tong kalau dengan d jalan diair, tentu sukar meloloskan diri. Dia harus bertindak Cepat-cepat . Mengempit salah seorang dari perempuan itu, dia loncat kedarat. Dan tanpa diminta, Haphaptai pun mendukung yang seorang untuk dibawanya kedarat.
Tatkala itu, serdadudua Ceng yang berseru menegur tadi, makin menggencar. Kim Piauw sudah siap dengan 'lak-houw-jah' (semacam senjata garpu untuk berburu harimau). Dia berdiri dipinggiran perahu. Sedang It Lui tampak memegang ujung perahu yang penuh majat serdadu tadi, dengan kedua tangannya. Sekali berseru, perahu bernoda itu, terbalik.
Majatdua dan barangdua dalam perahu itu, berhamburan tenggelam kedalam sungai.
“Orang itu luar biasa tenaganya!” diam-diam Hi Tong menaruh perhatian.
Sedang serdadudua Ceng itu ramaidua memeriksa perahu yang terbalik itu, keempat orang tadi melenyapkan diri dalam kegelapan dengan membawa kedua perempuan yang malang tadi.
Hi Tong lari kedalam sebuah gerombolan pohon yang lebat dan gelap, setelah dilihatnya tak ada tentara Ceng menge jar, barulah dia berhenti untuk menanyai perempuan itu, mengapa sampai jatuh ditangan kawanan serdadu itu.
Semangat perempuan itu belum kembali. Dengan berlutut, ia menganggukkan kepalanya kepada Hi Tong, tanpa berkata apa-apa.
“Sekarang kau sudah lolos dari bahaya. Baik bersembunyi dulu disini. Besok pagi kau boleh berangkat lagi dengan naik perahuku itu,” kata Hi Tong. Kemudian ia berpaling kebe lakang dan berseru kepada It Lui bertiga: “Sam-wi toako, banyak sekali terima kasih atas bantuanmu. Siaote akan minta diri.”
Tanpa menunggu jawaban orang, dia terus membalik badan akan berlalu. Tapi baru saja melangkah tiga tindak, tiba-tiba dari tempat gelap disebelah muka ada orang memben tak dengan, suara dingin: “Ie-sipsuya, jangan ter-gesadua dulu !”
Hi Tong terkesiap mundur selangkah. Sebuah bayangan hitam muncul. Itulah Gian Pek Kian, musuhnya lama. Di-belakangnya mengikut Sutenya, Phang Sam Jun. Orang she Phang ini, kedua tangannya memegang toja 'sam-Ciat-kun'. Dia tegak berdiri mengawasi dengan tajam, menjaga kalaudua Hi Tong melarikan diri.
Saat itu It Lui bertiga dengan perempuan tadipun sudah mendatangi. Melihat Gian Pek Kian berada disitu, dia merasa heran.
“Lain kali saja kita bertemu lagi!” seru Hi Tong seraya rangkapkan kedua tangan memberi hormat. Habis itu dia loncat menyelinap diantara It Lui dan Kim Piauw.
Sekali Sam Jun kibaskan sebelah tangannya, tojanya 'sam-Ciat-kun' menyapu kaki Hi Tong. Dengan gerak “Li-yau-liong-bun” atau ikan lele meloncat kegerbang naga, Hi Tong loncat keatas. Begitu kakinya menginyak tanah lagi, dia enjot tubuhnya melompat pergi beberapa tombak ja-uhnya.
Karena luput mengenai sasarannya, sam-Ciat-kun berbalik menyapu paha Kim Piauw. Buru-buru Sam Jun membuangnya kesamping, terus dijuruskan untuk menotok punggung Hi Tong.
Hi Tong terus maju kemuka untuk menghindar. Dia tetap tak membalas, hanya menCari lobang meloloskan diri. Tiba-tiba ada angin menyamber keras, dan diantara kegelapan ada sinar putih berkelebat. Ternyata dua buah golok mema-paki menabas dari muka. Kiranya itulah kedua murid dari Pek Kian, yaitu Song Thian Po dan Ka Thian Seng.
Diserang dari tiga jurusan, Hi Tong tak berdaya menghindar. Terpaksa dia Cabut kim-tioknya untuk menangkis serangan kedua golok itu.
Sam Jun akan maju menyerang lagi, tapi tiba-tiba Haphap-tai yang sedari tadi mengawasi dipinggir, membentak gusar: “Henam, tiga mengerubuti satu, macam aturan apa itu!”
Sam. Jun melengak. Tapi secepat-cepat kilat, tangan Haphaptai sudah diulur untuk menangkap ujung sam-Ciat-kun, terus ditariknya. Sam Jun Cepat-cepat menahannya, hingga keduanya saling tarikduaan.
Sam Jun maju selangkah. Tangan kiri digeser ketengah batang sam-Ciat-kun. Sedang tangannya kanan dilepaskan, secepat-cepat kilat diputar menghantam pundak kiri lawan. Itulah salah suatu jurus permainan sam-Ciat-kun yang berba-haja, namanya — kim liong Pai thauw — naga mas kibaskan kepala.
Tak sempat menjaga, dalam kegelapan itu Haphaptai rasakan samberan tongkat. Dia Buru-buru menghindar kesamping dan ......... ujung lain dari sam-Ciat-kun tahu-tahu menghantam pundaknya! Panas dan sakitnya bukan buatan.
Haphaptai kertek giginya. Dia desak lawannya. Tiba-tiba ia lepaskan pegangannya seraya mendorongnya. Serta secepat-cepat itu, tangannya memegang pinggang orang.
“Huh!” ia menggeram. Sekali diangkat, tubuh Sam Jun yang gemuk itu terus dibanting sekuat-kuatnya! Itulah salah suatu kepandaian istimewa dari permainan gumul bangsa Mongol. Mata Sam Jun berkunang-kunang, dia pingsan tan sadar lagi.
“Lo Su, jangan undang bahaya, Ayo lekas pergi!” seru It Lui kuatir sang Sute keempat itu mengamuk.
“Bagus, kiranya Kwantong Liok Mo sudah menakluk pada HONG HWA HWE!” teriak Gian Pek Kian.
Ku Kim Piauw marah. “NgaCo, apa katamu?” bentaknya.
“kalau bukan menakluk pada HONG HWA HWE, mengapa kau bantu dia, pentolan dari HONG HWA HWE!” sahut Pek Kian.
“Yadi dia orang HONG HWA HWE ?” menegasi It Lui dengan terkejut.
Tak sempat Pek Kian memberi penyahutan. Tampak kedua muridnya didesak hebat oleh Hi Tong, segera ia Cabut sepasang 'kong-hwan' (gelang baja). Tahu-tahu kong-hwan di tangan kiri, dihantamkan kebebokong Hi Tong. Anak muda ini berputar sambil tusukkan kim-tioknya kearah jalan darah orang dibagian 'ki-bun-hiat'. Demikian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang seru.
It Lui berteriak, suruh keduanya berhenti, tapi mana Pek Kian mau menggubrisnya. Begitu besar sakit hatinya terhadap anak muda yang telah membikin buta sebelah matanya itu. Sepasang 'kong-hwan'
diputarnya begitu seru. Setiap se rangannya selalu menCari jalan darah orang yang berbahaya.
It Lui mendongkol. Cepat-cepat dia Cabut senjatanya dari punggungnya. Senjata itu luar biasa bentuknya, 'tok-ga-tang-jin' namanya. Yaitu orang-orang an tembaga dengan kaki satu. Begitu dia maju kemuka, begitu dia menghantam. Trangng ............
Dua-duanya, 'kong-hwan' dan seruling emas kedua orang yang sedang bertempur itu sama terpental. Hi Tong dan Pek Kian sama rasakan tangannya kesemutan. Diam-diam keduanya kaget Atas kekuatan yang maha dahsyat dari si Iblis pertama itu.
“Yangan bertempur dulu, dengarkan bicaraku!” seru It Lui, lalu ia berpaling kepada Hi Tong: “Apakah kau ini orang H.H.H?”
Hi Tong berpikir, dalam urusan ini, lari adalah yang paling baik. Tanpa menyahut, dia loncat kearah tempat yang gelap terus lari.
Yang paling dekat dengan anak muda itu, adalah Song Thian Po, murid Pek Kian. Dengan menghunus golok, dia mengejar. Hi Tong berpaling sambil meniup serulingnya. Sebatang panah kecil tepat menancap dahi Thian Po, siapa sudah tentu menjerit keras karena sakitnya.
It Lui dan Pek Kian juga turut mengejar. Tapi karena tempatnya gelap, apalagi kuatir kalau orang meniup sen jata rahasia, mereka tak berani dekatdua.
Makin iama makin jauh Hi Tong berlari. Selama itu dia masih dapat mendengar It Lui dan Pek Kian ber-Cakapdua. Pek Kian menerangkan siapa diri Hi Tong itu. Kini keduanya berkeputusan, menCarinya sampai dapat.
Tanpa terasa, Hi Tong lari kearah sungai lagi. Terlintas dalam pikirannya, lebih baik dia menggabung diri dalam rombongan perahu tentara Ceng yang sedang mengantar ransum itu saja. Besok dia Cari akalan lagi untuk lolos.
Tiba-tiba dia dengar suara beberapa serdadu Ceng. Buru-buru dia tengkurep dalam semakdua, merajap pelahan-lahan. Sekonyong-konyong dia mendengar jeritan yang mengibakan dari seorang perempuan, berCampur dengan suara makian dari seorang serdadu Ceng. Kiranya itulah kedua wanita yang telah ditolongnya lari itu, kini dapat ditangkap lagi oleh serdadudua Ceng.
Bagi Hi Tong, keselamatan dirinya adalah yang paling terutama. Dan terpaksa dia tak hiraukan kedua perempuan itu lagi. Dia berdiam diri, tak berani terbitkan suara. Tapi jeritan wanita itu makin lama makin mengerikan. Segetika tergugahlah semangat ksatrianya. Ia tonyolkan kepalanya keatas, ia melihat seorang serdadu Ceng tengah menyeret seorang perempuan ketepi sungai. Kedua perempuan itu tak mau jalan. Siserdadu murka, terus menyeretnya saja.
Hi Tong tak dapat menahan sabarnya lagi. Serulingnya diarahkan kearah belakang kepala siserdadu. Sekali ditiup, sebatang panah menyusup kedalam batok kepala, masuk sampai keotak. Sekali menjerit, serdadu menggeletak tanpa berjiwa lagi.
Sambil menyupit (menulup) tadi, Hi Tong terus berlon Catan ketepi sungai. Tapi lacur, panah yang ditiupkan itu, telah menyingkap jejaknya. Baru saja dia menyelinap beberapa tombak jauhnya, Kim Piauw dapat menghadang dengan serangan 'lak-houw-jak'nya.
Hi Tong keluarkan permainan ilmu pedang 'jwan-hun-kiam'. Maksudnya, selekasnya dia dapat merobohkan lawan terus mau lari. Tapi bertempur beberapa jurus, segera dia dapatkan gerakan lawan sebat dan tangkas sekali. Nyata seorang lawan yang berat.
Malah sembari berkelahi itu, terus menerus Kim Piauw bersiul keras. Dari arah kejauhan, tampak beberapa baja-ngan mendatangi. Tak berani Hi Tong bertempur lama-lama. Dia merangsek, untuk-nantinya mundur. Menerjang kemuka, kedua jari tangannya kiri menotok jalan darah lawan.
Kim Piauw halangkan 'lak-houw-jah' kemuka dadanya. Tanpa menarik kedua jarinya tadi, Hi Tong loncat kebe lakang. Tapi baru saja dia dapat lolos, Phang Sam Jun sudah memapaki dengan sam-Ciat-kunnya. Berbareng itu. It Lui, Pek Kian dengan muridnya, Thian Seng muncul mengepung dari empat jurusan.
“Ayo, lempar rsenjatamu!” seru It Lui.
Sebagai jawaban, Hi Tong makin seru memutar kim-tiok-nya. Dan berselang tak berapa lama, dia dapat menendang roboh Thian Seng, orang yang paling lemah diantara penge-pungduanya itu. It Lui penasaran. Senjatanya “orang-orang an berkaki satu” itu dikemplangkan sekeras-kerasnya kearah kepala Hi Tong.
Tahu bagaimana dahsyat tenaga orang, Hi Tong tak berani menangkis. Dia melejit kearah Sam Jun. Tapi sekalipun senjata It Lui itu berat, tapi gerakannya ternyata linCah sekali. Menghantam luput, Cepat-cepat dia tarik pulang senjatanya. Dengan gerak “menyapu ribuan lasjkar,” dia hantam bagian pinggang sianak muda.
Hi Tong mendek kebawah. Begitu senjata musuh yang berat itu sudah melayang diatas kepalanya, dia merangsek mendekati, lalu tusukkan kim-tioknya pada jalan darah di bagian dada iawannya. °
It Lui Cepat-cepat angkat senjatanya keatas, maksudnya akan mementalkan seruling musuh. Tiba-tiba Hi Tong melambung keatas melalui kepala Thian Po. Melayang turun, dia gunakan lututnya untuk menggasak punggung Thian Po, siapa sudah tentu terbanting kemuka. Dan tepat pada saat itu, senjata orangSnya dari It Lui tadi melayang datang.
Kaget adalah Pek Kian. Cepat-cepat dia jambret lengan mu ridnya (Thian Po), untuk ditarik kesamping sambil membentak: “Kau mau antar jiwa?!”
“Hebat!” seru It Lui memuji ketangkasan Hi Tong.
Sedang begitu, disebelah sana Sam Jun dan Kim Piauw kembali sudah menCegat larinya Hi Tong. Sejak dari .tadi, Haphaptai, siorang Mongol itu, tetap mengawasi dipinggir tak mau turun merigerojok. Diam-diam dia symphati dengan Siu Cay muda itu. Dia insaf begitu banyak sekali senjata orang-orang yang mengerojok itu — termasuk kedua suhengnya — melayang , pasti anak muda itu akan roboh mandi darah. Dia anggap saatnya sudah tiba dimana dia harus memberi pertolongan.
“Lo Toa, Lo Ji, mundurlah!” seru Haphaptai seraya lon Cat kedalam pertempuran.
Atas itu, It Lui dan Kim Piauw loncat keluar dari kalangan. Adalah pada saat itu, Hi Tong sudah hampir kehabisan tenaga. Seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Permainan seruling, sudah tak keruan jurusnya lagi.
Baru saja It Lui dan Kim Piauw menyingkir, 'kong-hwan' ditangan kanan Pek Kian melibat ujung kim-tiok Hi Tong, sedang kong-hwan disebelah tangan satunya, dipakai untuk mengemplang batang seruling. “Trang!” Seruling terpental lepas dari pegangan Hi Tong. Menyusul sebuah, kong-hwan menghantam ulu hati Hi Tong.
Haphaptai tarik tubuh Hi Tong kebelakang, berbareng itu dia gunakan Cara bergumul orang Mongol, kakinya kanan menggaet, tangannya kiri membanting pundak orang. Hi Tong tak kuasa menahan keseimbangan tubuhnya, terus ngeluruk roboh, diringkus Haphaptai.
Mendongkol karena pernah terima hajaran, Thian Po dan Thian Seng memburu maju untuk memukul, tapi dibentak Haphaptai: “Tahan!”
Merobek jubah Hi Tong, Haphaptai ikat kedua tangan anak muda itu lalu diangkatnya berdiri dan katanya: “Sobat, kutahu kau ini seorang gagah. Bicaralah dengan terus terang, pasti kita takkan menyusahkan kau!”
Hie Tong hanya mengerang, tak mau menyahut.
“Sobat, apa kau ini orang HONG HWA HWE?” tanya It Lui.
“Aku orang she Ie, nama Hi Tong. Orang-orang kangouw men juluki diriku Kim-tiok SiuCay. Dalam HONG HWA HWE, aku menduduki tempat nomor 14,” sahut Hi Tong tak gentar.
“Hm, benar. Pernah aku dengar namamu itu. Aku akan minta keterangan sedikit padamu,” kata It Lui pula.
“Bukankah kau hendak tanyakan perihal diri Ciao Bun Ki dan kedua saudara Giam itu?” Hi Tong mendahului menyahut. “Kukatakan sejujurnya, bukan kaum kita yang membunuhnya.”
“Sekarang sudah tentu kau tak mengaku!” Gian Pek Kian keluarkan kata-kata menyindir.
Hi Tong murka terus memaki: “Bangsat mata satu, aku tak bicara denganmu. Matamu yang sebelah memang aku yang membikin buta, habis kau mau apa? Kalau aku takut padamu, bukan lakidua namanya!”
Thian Ho kalap, dia membaCok dengan goloknya. Melihat itu sengaja Haphaptai kendorkan kakinya yang dipakai men-jepit paha Hi Tong, sehingga kini kaki Hi Tong bebas bergerak. Kepala dia miringkan kesamping, begitu menghindar baCokan, dia layang kan sebelah kakinya, menjejak Thian Ho. Jejakan itu tepat mengenakan jalan darah “swan-hiat-hiat”. Tak ampun lagi, golok Thian Ho terlepas, dan orangnya ngelumpruk jatuh ditanah.
Thian Seng Buru-buru menyang gapi saudara seperguruannya itu. Melihat Sutitnya (murid keponakan) dibikin malu, Sam Jun terus datangdua mau memukul Hi Tong.
“Kau mau pukul dia, bagaimana kalau kulepaskan dia su-puja dapat kau puas berkelahi satu lawan satu”, berkata Haphaptai.
“Kau lawan aku dulu pun boleh,” Sam Jun menentang, secepat-cepat itu, dia terus kebaskan sam-Ciat-kunnya, tongkat tiga rosduaan, lemas seperti pian tapi keras seperti tongkat.
“Oh, kau ingin dibanting lagi ja?” tanya Haphaptai.
Pek Kiah Cemas kalau kedua orang itu bentrok. Cepat-cepat dia tarik Sutenya kebelakang, kemudian dia menantikan ke putusan It Lui.
“Orang-orang kangouw mengatakan tiga saudara kita itu, kaum HONG HWA HWE yang membunuhnya. Penasaran ada, awalnya, akibat ada musababnya. Asal kau bicara terus terang, siapa yang menjadi biangkeladi, siapa yang membunuhnya, kami akan Cari sendiri untuk membereskan. Tak usah kau kuatir, kami takkan membasmi habis seluruh Anggota HONG HWA HWE!” demikian It Lui.
“Bahwa hari ini kujatuh ketanganmu, adalah sudah nasibku. Kalau mau bunuh, bunuhlah lekas. Tak usah banyak sekali bicara! Kalau kau mengira orang HONG HWA HWE jeri padamu, betul-betul kau sedang mengimpi,” sahut Hi Tong.
“Kau seorang enghiong, akupun merasa kagum. Tapi sukalah kau jawab yang benar, siapakah sebenarnya yang membunuh ketiga saudara kami?” tanya Haphaptai. “Baik, kuhendak bicara sejujurnya. Siapa yang membunuh ketiga orang itu, aku tahu dengan sejelasduanya. Tapi yang pasti saja, bukan kaum HONG HWA HWE,” sahut Hi Tong tegas.
“Nah, bilanglah saja, nanti kau segera kami lepaskan,” Kim Piauw ikut bicara.
“Aku Ie Hi Tong meskipun orang yang tak bernama, namun sekali-kali tak jeri pada segala anCamanmu itu. Siapa pembunuhnya, akan kukatakan, dia pun tak nanti takut padamu. Tapi karena sifat kau ini akan menggunakan anCa man, aku tak mau mengatakan !”
Kim Piauw getarkan 'lak-nouw-jahnya. Gelang besi pada ujung garpu itu bergerinCingan suaranya.
“Kau mau bilang apa tidak? !” anCamnya pula.
“Tidak! Kau mau bunuh, silakan tusukkan senjatamu itu kedadaku. Kaumku dari HONG HWA HWE tentu dapat menuntut balas dengan tepat, bukan seperti macam kau, siapa musuh mu yang sebenarnya pun tidak tahu!” Hi Tong balas membentak dengan angkat kepalanya.
Murka orang she Ku itu. Namun dia hanya dapat meng gabrukduakan senjatanya, sambil mengumpat CaCi. Karena untuk menghajar orang tawanan itu, terang akan diCegah Haphaptai.
“Kalau kau suka anggap aku sebagai sahabat, maka silakan memberitahukan padaku,” akhirduanya Haphaptai berkata,
Tahu Hi Tong, bahwa dari sekian banyak sekali orang, hanya Haphaptailah yang mengunjuk kelakuan bersahabat.
“Mengapa tak kau tanyakan pada Han Bun Tiong? Sayang dia tak berada di Lokyang, karena waktu ini sedang ada di HangCiu bersama Wi-tin-ho-siok Ong Hwi Yang,” kata Hi Tong.
“Benarkah itu?” It Lui menegas. “Kapan aku pernah berbohong !”
Sudah menjadi orang tawanan, sikap anak muda itu sebaliknya dari lunak malah makin keras. Haphaptai makin mengagumi. Dia tarik kedua Suhengnya, It Lui dan Kim Piauw, kesamping untuk dibisiki. “Terus memaksa anak itu perCuma saja. Baik lepaskan saja.”
“Kalau kita lepas, tidakkah orang kangouw nanti menge jek bahwa Kwantong Liok Mo tak berani bertentangan dengan HONG HWA HWE? Turut anggapanku, bereskan saja dia itu!” kata Kim Piauw.
“Bunuh dia, tak mendatangkan manfaat apa-apa. Kita bawa dia bersama-sama menCari Han Bun Tiong ke HangCiu. Dalam perjalanan, kita korek keterangannya lagi sampai jelas. Itu waktu kalau hendak membunuhnya, pun belum terlambat,” usul It Lui.
“Baik, akupun setuju,” kata Kim Piauw.
Setelah mencapai kata sepakat, It Lui menghampiri Hi Tong dan katanya: “Kita akan bawa kau ke HangCiu untuk dipadu dengan Han-toako. Kalau keterangan itu benar, nanti kita lepaskan kau.”
Hi Tong anggukkan kepalanya. Dia percaya, ditengah jalan nanti tentu ada pertolongan dari saudara-saudaranya. Paling tidak, dia tentu bisa Cari kesempatan meloloskan diri. It Lui angkat tangannya memberi hormat pada Gian Pek Kian minta. diri.
“Tunggu!” seru Pek Kian dengan melangkah maju. “Orang itu adalah kita beramai yang membekuknya. Masa begitu saja akan kalian bawa pergi ?
“Maksudmu?!” tanya Haphaptai.
Pek Kian tahu selatan. Meskipun fihaknya berjumlah 4 orang, sedang lawannya berjumlah tiga orang, namun mereka berkepandaian tinggi. Dia masih bisa mengimbangi, tapi bagaimana dengan Sute dan kedua muridnya itu? Maka tak mau dia gunakan kekerasan.
“Dia telah memanah buta sebelah mataku,” katanya memutar. “Pantas kiranya kalau aku minta dibajar dulu dengan sepasang matanya. Setelah itu, terserah kalau kalian akan membawanya pergi.”
It Lui dan Kim Piauw Condong dengan permintaan Pek Kian. Memang anak muda itu, hasil tangkapan mereka bersama. Apalagi orang she Gian itu orang pemerintah, tak usah menambah permusuhan lagi. Biar saja dia menCukil sepasang mata Hi Tong. Malah dengan begitu, lebih mudah dibawa, tak kuatir melarikan diri. Keduanya tak menyahut, tapi juga tak menghalangi.
Segera dua buah jari Pek Kian bergerak dalam tipu “song-liong-jiang-Cu,” sepasang naga berebut mustika, terus dijulurkan menusuk mata Hi Tong.
Hi Tong mundur selangkah untuk menghindar, tapi Kim Piauw dari belakang mendorongnya maju...............
Kini marilah kita tengok perjalanan rombongan Tan Keh Lok yang berkuda menyusur sepanjang tepi sungai. Arahnya kesebelaft barat. Sepanjang tepian itu penuh dengan pasir, bekas dilanda air yang meluap. Diantara endapan pasir Cam pur tanah kuning itu, terdapat beberapa kerat tulangdua manusia berserakan disana sini. Tentunya, itulah tulang belulang dari rakyat yang menjadi korban banyir tahunan. Setiap tahun Hoangho atau sungai Kuning tentu banyir, dan setiap kali itu tentu memakan ribuan jiwa manusia. Itulah keadaan sungai Kuning semasa pemerintah BoanCeng berkuasa.
Sehari itu mereka tiba di kota Tongkwan. Thian Hong dan Ciang Cin berpencaran menCari pertandaan tulisan dari Hi Tong, tapi tak ketemu. Mereka duga, Hi Tong pasti belum datang. Karena tak ingin merepotkan Kawan-kawan , rombongan Tan Keh Lok menginap di sebuah hotel.
Sampai tiga hari mereka menunggTi, tetap Hi Tong tak mun Cul. Kembali Thian Hong dan Ciang Cin menCari keterangan, ketempatdua pemberhentian perahu disepanjang sungai, tapi tetap tak ada orang yang pernah melihat kedatangan seorang SiuCay.
Pada hari keempat, mereka berunding. Masing-masing merasa heran dan kuatir jangan-jangan Hi Tong menemui bahaya dalam perjalanan. Cabang kaum persilatan yang berkedudukan ditempatdua pemberhentian perahu dikota Tong-kwan itu jalah dari perkumpulan “Liong Bun Pang.” Dengan perkumpulan ini, HONG HWA HWE belum pernah berhubungan.
Kuatir Hi Tong bentrok dengan orang-orang Liong Bun Pang, Thian Hong memerlukan datang mengunjungi ketua partai tersebut, jakni Siangkwan Ie San.
Menerima karcis nama dari Thian Hong, segera ketua Liong Bun Pang itu mengetahui bahwa kini dia tengah kedatangan pemimpin nomor tujuh dari HONG HWA HWE, jalah yang dijuluki orang kangouw sebagai Bu Cu Kat. Ter-gopohdua dia keluar menyambut dan menanyakan maksud kedatangan tetamunya itu.
“Lama sudah kita kagumi sepak terjang yang mulia dari perkumpulan saudara. Sayang karena saudara bergerak di daerah Kanglam, jadi selama itu kita tak saling berhubungan. Kalau kami jumpakan Sipsu-tangkeh naik perahu di Hoangho, pasti akan kami sambut dengan hormat. Baiklah, nanti akan segera kukirim orang untuk menanyakannya,” demikian Siangkwan Ie San.
Nyata dia buktikan ucapannya. Dihadapan Thian Hong, dia lalu perintahkan delapan orang untuk menyelidiki kesepanjang tepian Hoangho. Begitu dapat berjumpa dengan Hi Tong, mereka harus segera membawanya ke Tongkwan.
Ketua Liong Bun Pang berlaku lepas tangan, untuk itu Thian Hong haturkan terima kasihnya. Tapi ketika tuan rumah memintanya menginap dirumahnya, terpaksa Thian Hong menolaknya. Sorenya Siangkwan Ie San mengadakan kunjungan balasan. Untuk menghindari perhatian hamba negeri, sengaja Tan Keh Lok tak mau menemuinya. Malam nya, Siangkwan Ie San mengadakan perjamuan besar untuk menjamu Thian Hong. Semua orang kalangan persilatan daerah itu, sama diundang juga.
Ternyata kaum persilatan dikota Tongkwan banyak sekali yang sudah kenal dengan Ciu Tiong Ing. Mengetahui bahwa
Thian Hong adalah anak menantu dari ketua persilatan daerah Se-pak yang kesohor itu, mereka makin menghormat.
Tapi diantara para undangan itu ada juga yang kasak-kusuk, Bu Cu Kat yang namanya begitu kesohor dikangouw itu, kiranya hanya seorang yang pendek kurus lagi lemah nampaknya. Tapi demi memperhatikan sikap dan gerak-gerik Thian Hong yang keren itu, timbullah perindahan mereka.
Keesokan harinya, kembali Siangkwan Ie San datang ke hotel. Dia memberitahu bahwa orang-orang itu tak berhasil ber jumpa dengan Hi Tong. Tetapi memperoleh juga sedikit pengunyukan. Buru-buru Thian Hong meminta keterangan.
“Menurut keterangan saudara-saudara diperairan sungai, karena pemerintah mau mengirim rangsum berjumlah besar pada pasukannya yang ngeluruk perang kedaerah barat, maka di sungai penuh dengan perahudua. Mungkin Ie-sip-suya terhalang perjalanannya.”
Lega hati Thian Hong dibuatnya. Tak lupa ia haturkan terima kasih atas bantuan ketua Liong Bun Pang itu. Ma lamnya, lagi-lagi Siangkwan Ie San datang kehotel dengan membawa keterangandua penting. Menurut laporan beberapa orang Liong Bun Pang, pada sepuluh hari jl. diwarung arak 'Cui Sian Lauw' yang terletak dijalan BengCin, telah terjadi suatu peristiwa. Seorang yang wajahnya seperti SiuCay telah berkelahi dengan orang, sehingga warung arak itu morat-marit keadaannya.
“Ha, itu tentu Sipsute kita. Lalu bagaimana?” tanya Thian Hong dengan kaget.
“Telah kukirim orang untuk Cari keterangan, tapi belum kembali. Jadi belum diketahui jelas,” sahut Siangkwan Ie San.
“Banyak sekali terima kasih atas perhatian saudara Siangkwan itu,” kata Thian Hong. Lalu diperkenalkan kepada Tari Keh Lok, Bun Thay Lay, Lou Ping, Ciang Cin dan Ciu Ki.
Girang sekali sewaktu mengetahui bahwa ketua HONG HWA HWE ada datang juga. Kedua ketua partai persilatan itu saling mengagumi.
“Ie-sipsute orangnya ber-hati-hati. Tentu tidak karena mabuk. Kalau sampai berkelahi tentu karena bertemu dengari musuhnya. Baik kita lekas ke BengCin saja”, kata Keh Lok.
“Ya, malam ini juga kita kesana”, sahut Bun Thay Lay.
“Kalau kalian akan ke Tong-kwan, aku sebagai tuan rumah, seharusnya mengantarkan,” kata Siangkwan Ie San.
Melihat kesungguhan orang, Keh Lok tak menolak. Dengan membawa dua orang pembantu, Siangkwan Ie San berkuda ikut ke BengCin.
Lagi-lagi Bun Thay Lay mendahului rombongannya. Kuda putih tunggangannya itu telah meninggalkan Kawan-kawan nya sejauh ratusan li. Tak lama kemudian dia tampak mendatangi balik.
“Telah kuCari keterangan di 'Cui Sian Lauw', memang benar terjadi hal itu. Lawan Sipsute adalah seorang hartawan, Sun-taysanyin, begitu panggilannya. Dan beberapa opas dari kantor kabupaten,” tutur Thay Lay.
“Aneh Sun-taysanyin sudah berusia enam0 tahun lebih. Orang nya baik, mengapa bisa berkelahi?” ujar Siangkwan Ie San.
“Lalu bagaimana?” tanya Keh Lok.
“Selanjutnya pemilik warung arak itu tak mengetahui jelas,” jawab Bun Thay Lay.
Tan Keh Lok ajak rombongan Cepat-cepat teruskan perja lanannya. Kira-kira dua jam kemudian, sampailah mereka ke BengCin. Siangkwan Ie San langsung menCari pemilik Cui Sian Lauw. Tersipu-sipupemilik warung arak itu menyambutnya, karena mengetahui Siangkwan Ie San adalah ketua Liong Bun Pang. Namun keterangannya, tak ubah seperti yang diberikan pada Bun Thay Lay itu. Hanya dia juga kasih tunyuk bekasdua senjata pada langkan dan tembok, akibat perkelahian itu...............
Kini kita kembali pada Hi Tong. Sewaktu jari Pek Kian akan mengenakan kedua mata Hi Tong, tiba-tiba Haphaptai tarik baju Pek Kian, terus disentakkan kebelakang se kuatduanya, hingga sampai terjuntak mundur beberapa meter. Pek Kian bukan seorang yang lemah. Secepat-cepat kilat dia tebaskah tangannya kebelakang, plak !
Tangan kanan Haphaptai dirasakan sakit sekali, maka pegangannya Buru-buru dilepaskan. Keduanya serentak mengambil sikap untuk bertempur, Sam Junpun segera siap dengan sat-Ciat-kun, dan berdiri disisi Suhengnya.
It Lui kaget. Cepat-cepat dia loncat ketengah, sambil goyang kan senjatanya berseru: “Kita adalah sahabat sendiri, jangan berCidera!”
“Kalau kau mau balas sakit hati, tunggulah sampai urusan kita selesai. Pergilah Cari sendiri, kitapun takkan membantu siapa-apa. Sekarang ini tak boleh kau berbuat sesukanya,” kata Haphaptai pada Pek Kian.
It Lui Cukup kenal watak yang terus terang dari Sutenya itu. Sekali berkata, tak mudah berubah. Meski dia tak setuju sikap Sutenya itu, tak mau dia unyuk dimuka lain orang demi menghindari Cemohan orang, kalaudua dikatakan Kwan-tong Liok Mo itu tidak bersatu. Maka diapun diam saja.
“Baik. Nanti pada suatu hari pasti akan kuperlihatkan sepasang biji matanya padamu!” kata Pek Kian kemudian.
“Nah, itu bagus. Selamat berjumpa lagi,” sahut Haphaptai.
Ketiga orang dari Kwantong Liok Mo itu segera membawa pergi Hi Tong dengan tangan terikat. Pek Kian totok jalan darah penyedar dari muridnya. Dia tak puas dengan kesudahan itu. Diam-diam dia ajak Sute dan kedua muridnya menguntit.
Lohor It Lui cs. sampai di BengCiu. Mereka Cari rumah makan untuk tangsel perut. Rumah makan itu gedungnya besar dan mewah sekali. Empat huruf “Cui Sian Ciu Lauw,” warung arak dewa mabuk, menghias papan yang tergantung didepan. Setelah pesan beberapa daharan, Hi Tong diajaknya makan bersama.
Baru saja menegak beberapa Cawan, tiba-tiba dari titian loteng terdengar derap kaki orang mendatangi. Beberapa hamba polisi, tujuh delapan orang jumlahnya, muncul bersama seorang tua yang berpakaian luar biasa resiknya. Orang tua itu memesan banyak sekali macam hidangan untuk men jamu orang-orang polisi itu. “Sun-loya,” demikian orang-orang polisi itu memanggil siorang tua. Luar biasa mereka menghormat dan merendah. Mungkin orang tua itu adalah hartawan yang kenamaan dari kota itu.
Tak berapa lama, datang lagi 4 orang. Kini wajah Haphaptai berobah. Itulah rombongan Gian Pek Kian berempat. Hi 'Tong pura-pura tak melihat. Dengan tenang dia menikmati araknya.
“Lo Su, maksud kita masuk kedalam perbatasan, adalah untuk menCari balas buat Lo Sam. Tapi mengapa kau melindungi musuh. Kukuatir dialam baka, Lo Sam akan salahkan padamu,” kata It Lui kepada Haphaptai.
“Apanya yang kulindungi musuh. Dia seorang lakidua sejati, aku kagum, serta tak idinkan orang bermain Curang. Kalau nantinya ternyata dia adalah musuh kita yang sebenarnya, akulah yang per-tamadua akan membunuhnya,” Haphaptai memberi kepastian.
“Dari sini ke HangCiu masih jauh sekali, mereka .........,” berkata sampai disini Kim Piauw jebikan bibir kearah rombongan Pek Kian, “seperti Anjing, tetap membuntut saja. Biarkan saja dia menCukil matanya, mengurangi risiko penjagaan kita.”
Namun orang Mongol itu tetap tak setuju. Ketiganya mulai berbantahan. Haphaptai terdesak sendirian, kalah suara. Dia masih sungkan dengan It Lui, sang Toako. Tak mau dia berbantahan lebih lama lagi.
Dia berbangkit dengan muka kemerah-merahan. Tanpa memakan daharannya lagi, dia terus langkahkan kaki dan berlalu. Kim Piauw Buru-buru akan menariknya, tapi sekali tangan Haphaptai mengibas, dia hampir sempoyongan. Itulah kepandaian istimewa Haphaptai dalam ilmu bergumul Cara Mongol. Sejak kecil dia gemar belajar permainan itu. Cukup dengan gerakan tangan se-enaknya, tenaganya luar biasa kuat nya.
“Lo Ji, jangan hiraukan dia. Emangnya dia beradat kerbau. Kau jaga saja orang ini,” seru It Lui.
Kim Piaw keluarkan sebuah badidua, disembunyikan dibalik lengannya. Dia membisiki Hi Tong: “Kalau kau berani lari, akan kuCincang tubuhmu!”
Hi Tong tak ambil pusing. It Lui menghampiri kemeja Pek Kian, dan menegurnya.
Sepeninggal Haphaptai, Hi Tong merasa terancam bahaya. Secepat-cepat kilat terkilas dalam pikirannya suatu akal. Pada saat itu pelayan datang membawa semangkuk besar kuah ikan keluaran sungai Hoangho yang masih panas sekali. Sambil minum seteguk, berkatalah Kim Piauw: “Lo Toa, kuah ini sedap sekali, Ayo kita gasak!”
Hi Tong ulur senduknya, turut menyumput. Tiba-tiba tangannya menyentuh pantat mangkuk, hingga mangkuk itu terbalik, tepat menyiram muka Kim Piauw. Sudah barang tentu, hidung dan mata orang she Ku itu seperti tersiram air mendidih. Sakitnya jangan ditanya. Dia me-ngiangdua kesakitan.
Tanpa tunggu sampai orang sudah baik lagi, Hi Tong balikkan meja. Seluruh masakan dan mangkuk piring, tumpah menimpah tubuh Kim Piauw. Karena matanya masih belum dapat melek, keruan saja Kim Piauw tak dapat menghindar. Seluruh tubuhnya basah kujup disiram kuah panas.
It Lui dan Pek Kian Buru-buru menghampiri untuk memberi pertolongan. Tapi kembali Hi Tong jumpalitkan sebuah meja lagi untuk menghalangi.
Telah diperhitungkan Hi Tong sekalipun dapat lolos, tak nanti bisa lari jauh, tentu tak urung akan tertangkap mereka lagi. Jalan satuduanya, dia harus dapat menCari tempat berlindung, sampai nanti datang pertolongan. Tempat yang paling aman, jakni dalam rumah penyara negeri.
Keadaan rumah makan itu hiruk-pikuk tak keruan. Tetamu yang bernyali kecil, siangdua sudah ter-biritdua panjang kan langkah seribu. Hambadua polisi gunakan rujung besi untuk menghentikan kerusuhan itu.
Sekonyong-konyong Hi Tong melayang kemuka si Sun-loya itu. “Plak”, tangannya menampar mulut si Sun-loya. Hanya ribuan bintang berhamburan yang dilihat oleh Sun-loya, matanya berkunang-kunang, terus numprah jatuh dilantai. Hi Tong jambak jenggot Loya itu, lalu diangkat naik. Bukan main terkejutnya kawanan hamba negeri itu. Tersipu-sipumereka menyerbu untuk menolongnya.
Hi Tong kempit Sun-loya, lalu lambaikan tangan kearah It Lui, serunya: “Lo Toa, Lo Ji, lekas kemari, aku memperoleh hasil. Lekas gebah 'Cakar alap-alap' yang menyebalkan itu!”
Polisi mengerti kini. Kiranya kawanan perusuh itu hendak menCulik Sun-taysanyin.
“Bangsat yang bernyali besar!” Demikian beberapa hamba negeri itu berseru, Cabut senjatanya masing-masing terus maju menyerang It Lui.
It Lui tak pandang sebelah mata pada kawanan polisi itu. Tapi BengCin adalah kota besar. Dalam sekejap saja pasukan pemerintah dapat didatangkan dengan serentak. Hal itu sangatlah berbahaya. It Lui mengupat CaCi Hi Tong dengan siasatnya yang licik itu. Dia Cepat-cepat ajunkan kaki menendang roboh seorang polisi yang akan menyerang dengan goloknya. Dia tarik Kim Piauw terus diajak lari.
“Kita adalah orang pemerintah, akan menangkap penya hat!” seru Pek Kian keras-keras.
Tapi dalam suasana sekacau itu, seruan itu tak kedengaran. Pada lain saat, Sam Jun telah gerakkan sam-Ciat-kun-nya robohkan seorang polisi. Lain-lain hambanegeri itu terus ber-suitdua keras, memanggil bantuan.
Suara genderang dibunyikann dari tempat agak jauh. Barangkali suatu pasukan besar tengah mendatangi.
“Phang-sute, lekas lari!” seru Pek Kian pada Sutenya.
Suhu dan murid berempat, lari turun loteng. Kawanan hamba negeri tak dapat menahannya. Hanya ssorang penga Cau yang dapat dibekuk dan terus dirantainya. Atau lebih tegas memang sengaja menyerahkan diri, karena dia bukan lain jalah Hi Tong.
Diluar kota BengCin, Pek Kian berempat menCari tempat yang sunyi. Panjang lebar Sam Jun memaki. Hi Tong, karena merasa dipedayai mentahdua.
“Kurasa penyara dikota BengCin itu, tak seberapa ko kohnya. Nanti malam kita satroni kesana. Kita Culik bangsat itu, lalu kita siksa dia se-puasduanya”, Pek Kian nyatakan pikirannya.
Sam Jun paling jeri terhadap pembesar negeri. Dengar akan didayak merampok penyara, dia ragu-ragu. Namun akan membantah Suhengnya, diapun sungkan.
Jam tiga malam, dengan memakai kedok muka, mereka me nuju kedalam kota. Selama itu Sam Jun selalu berada dibelakang sendiri. Memang dia sengaja memperlambat ja lannya. Tahu juga Pek Kian kalau Sutenya itu mau karena terpaksa, diapun tak mau terlalu mendesaknya.
Tatkala mendekati penyara, sekonyong-konyong ada sebuah bayangan berkelebat. Ternyata seseorang telah mendahului mereka. Gerakannya gesit sekali.
“Awas, waspadalah!” Pek Kian peringatkan kedua murid nya. Setelah loncat keatas tembok per.jara dan berjalan masuk, tiba-tiba ada suara bisik-bisik dari arah belakang: “Saudara Gian-kah itu?”
Pek Kian putar tubuh secepat-cepat nya. Kiranya itulah It Lui dan Kim Piauw yang mendatangi.
“Kita bersama datang untuk maksud yang sama, itulah bagus,” kembali It Lui berkata.
“Yangan biarkan dia enakdua. Kasih dia tahu rasanya orang disiksa,” ujar Kim Piauw.
Memang pada tempatnya kalau orang she Ku ini begitu penasaran sekali, karena seluruh air niukanya melepuh tersiram kuah panas.
“Kita berdua yang melayani kawanan hamba negeri. Sdr. Gian berempat yang rampas anak keparat itu,” kata It Lui.
Pek Kian mengiakan, dan mereka berenam lalu bertindak masuk.
Balik pada Tan Keh Lok dan Siangkwan Ie San yang menanyakan keterangan pada pemilik rumah makan Cui Sian Ciu Lauw, ternyata orang itu tak dapat memberikan keterangan apa-apa lagi. Dia hanya mengetahui sampai pada waktu Hi Tong diborgol dan dibawa pergi polisi.
Mendengar itu, Keh Lok malah lega. Karena sekalipun mendapat hukuman mati, vonnis dari pemerintah, juga makan waktu yang lama. Dia mengajak Ie San mengun jungi Sun-tay-sanyin.
Sun-taysanyin adalah hartawan yang paling kaja dari BengCiu. Sawah, rumahdua miliknya tak terhitung jumlahnya. Dia kejam sekaker, memeras dan menjadi lintah pengisap darah rakyat. Banyak sekali nian perbuatannya yang tak kenal perikemanusiaan itu. Setelah tua, dia berganti siasat. Dia banyak sekali menghamburkan uang supaya mendapat nama baik. Karena kerojalannya itu, dia digelari orang “Sun tay-sanyin,” Sun-taijin yang murah hati. Tapi didesanya, orang-orang tetap men julukinya sebagai “Sun-pok-bi” atau Sun sipemeras.
Mendapat' kunjungan dari Siangkwan Ie San bersama seorang Kongcu she. Liok (nama samaran Tan Keh Lok), ber-debardua hati Sun-taysanyin itu. Tapi Cepat-cepat dia ambil putusan. Kalau ketua Liong Bun Pang itu butuh uang, dia akan memberinya, untuk menghindari bahaya gangguan. Tapi ternyata. bukan itu yang diminta Ie San. Setelah berCakapdua sebentar, dia tanyakan soal SuCay yang membuat gaduh di Cui Sian Ciu Lauw itu.
Sun “tay-sanyin” makin terkejut. Katanya tersipu-sipu: “Orang yang sudah setua aku ini, sekali-kali tak berani me nyalahi orang. Kalau ada sahabat Kangouw yang membutuhkan apa-apa, tentu dengan sekuat-kuatnya akan kubantu,” ujar hartawan itu.
“SiuCay itu masih terhitung sanak jauh dari Siaote. Entah mengapa bisa berkelahi dengan Sun-loya?” tanya Ie San.
“Benar-benar aku sendiri tidak mengerti. Melihat sikap mereka, rupaduanya aku akan diCuliknya,” kata orang she Sun itu. Lebih jauh dia menambahkan pula: “Meskipun diluaran hengte ini ada sedikit nama, tapi beberapa tahun ini betul-betul payah. Panenan banyak sekali yang gagal, tapi ongkos-ongkos tetap besar. Makan nganggur, tanpa mendapat hasil. Sahabatdua Kangouw mengira kalau aku ada uang, tapi hal yang sebenarnya bukan demikian keadaannya.”
Mendengar orang terusduaan mengeluh soal uang, Tan Keh Lok kuatir orang menduga keliru maksud kedatangannya itu. Tentu dikira akan memeras.
“Ie-sipsute mana bisa berserikat dengan orang akan men Culiknya. Tentu ada sebab lainnya. Dan mengapa polisi BengCiu dapat menangkap Sipsute, apakah disini ada orang nya yang lihai?” diam-diam Tan Keh Lok menduga.
“Minta supaya Sun-loya membawa kita tengok SiuCay itu ke penyara,” katanya kepada Siangkwan Ie San.
“SiuCay itu malamnya telah dirampas orang dari penyara. Apakah ji-wi tidak mendengarnya,” Buru-buru siorang she Sun berkata.
Makin heran Tan Keh Lok. Dia memberi isyarat kepada Siangkwan Ie San untuk pamitan. Diluar tampak banyak sekali kawanan polisi mondar mandir kian kemari. Kesibukan itu menunyukkan bahwa keterangan orang she Sun itu tidak justa.
Siangkwan Ie San ajak tetamunya ketempat salah seorang thauwbak Liong Bun Pang yang tinggal dikota tersebut. Seorang dikirimnya untuk menCari kabar. Benar juga SiuCay perusuh itu malamnya dirampas orang dari penyara. Malah kawanan perampas itu melukai beberapa penjaga penyara.
Keh Lok rundingkan peristiwa aneh itu dengan Thian Hong. Tapi sampai sekian lama, mereka tak dapat menarik kesimpulan. Sehabis makan malam, mereka menuju keru mah penyara. Tiba-tiba Lou Ping berseru girang sembari me nunyuk kearah kaki tembok. Melihat itu semua orang tampak gembira, keCuali Siangkwan Ie San dan Ciu Ki yang tak tahu sebabnya.
“Inilah tanda-tanda yang ditinggalkan Sipsute. Katanya, dia dikejar musuh, dan sekarang lari kearah barat,” menerangkan Thian Hong.
“Musuh? Tentulah pemuda yang menguntitnya itu”, kata Ciang Cin.
“Kepandaian orang itu tak nempil dengan Sipsute, mengapa dia takut? Rasanya ada lain sebab”, jawab Thian Hong.
“Ah, mari kita lekas-lekas susul dia”, seru Bun Thay Lay.
Berjalan sampai dipinggir kota, kembali tanda-tanda itu terdapat pada sebuah pohon. Hanya saja kini tulisannya kacau sekali, terang kalau dalam bahaya. Mereka perCepat-cepat jalan nya. Pada persilangan jalan yang menyurus kesebuah gunung, diketemukan lagi tanda-tanda itu. Terang kalau Hi Tong lari kearah gunung.
Bun Thay Lay dan Ciang Cin terus keprak kudanya kearah gunung. Disepanjang jalan, banyak sekali sekali melihat tanda-tanda yang ditinggalkan Hi Tong. Tapi makin lama makin tak keruan tulisannya! Malah ada yang hanya sebuah guratan saja.
Ciang Cin mengerang, makin Cepat-cepat mencongklang kudanya. Pada sebatang pohon, dia menCabut sebatang anak panah. Pada saat itu, Bun Thay Lay dan Thian Hong pun sudah tiba! Bagi keduanya yang sudah lama berkelana di kangouw, tahulah dengan segera, bahwa panah itu adalah senjata rahasia dari Gian-keh-kun di TinCiu, Ouwlam.
“Oh, jadi yang mengejar Sipsute itu adalah sibangsat Gian Pek Kian”, kata Bun Thay Lay dengan gusarnya.
Sesaat itu kembali Lou Ping dimana semakdua menemukan beberapa batang anak panah. Sedang Ciu Ki tiba-tiba berteriak seraya menunyuk ketanah. Kiranya disitu terdapat CeCeran darah. Menuruti bekas darah tersebut, melintasi semakdua, tibalah mereka kesebuah gua. Gua itu kecil lagi sempit, hanya tiba Cukup unntuk dimasuki satu orang. Dipinggir gua sana-sini bertebaran ber-macamdua senjata rahasia. Anak panah, piauw, hui-Hui dan lain-lain. Suatu pertanda bagaimana hebat Hi Tong dirabu musuhduanya. Semua orang sama menguatirkan nasib anak muda itu.
Thian Hong dan Bun Thay Lay anggap kesemuanya senjata rahasia itu banyak sekali terdapat dikalangan persilatan. Hanya satu yang agak aneh, jakni yang dinamakan “siao-kong-jah” semacam piauw kecil berbentuk seperti garpu. Ahli silat yang menggunakan senjata rahasia itu, jarang ada. Entah siapa orangnya. Menilik macam senjata rahasia yang terdapat disitu, sekurang-kurangnyanya pengerojok Hi Tong itu ada lima orang.

Kembali bercerita tentang Hi Tong, sewaktu It Lui, Kim Piauw dengan rombongan Pek Kian memasuki halaman ruang penyara, mereka akan Cari seorang penjaga untuk ditanya keterangannya. Tiba-tiba kaki Thian Po kesandung sesuatu benda, hampir-hampir dia jatuh. Setelah diperiksanya, ternyata benda itu adalah tubuh seorang penjaga penyara yang dengan tangan dan kaki terikat, tengkurap dilantai. Mulut nya disumbat kain, hingga tak dapat ber-kaokdua keCuali matanya saja yang berjelilatan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar