DENGAN ucapan itu dia mau
artikan “
“Bukti kedosaanmu sudah
ditangan kita, sekalipun kau bunuh kita berdua, juga sia-sia saja.”
Justeru dalam saat yang tegang
itu, dari luar pintu Lou Ping menyerang dengan huito kearah Siu Ho. Sekalipun
Tiong Ing amat benCi Siu Ho, tapi dia tak mau orang itu sampai binasa
dirumahnya. Tanpa mengetahui dulu siapa penyerangnya, Tiong Ing perlu menolong
jiwa orang itu. Hampir bersamaan waktunya, thiat-tan ditimpukkannya, tepat
mengenai tangkainya. Meskipun huito itu agak membeluk jalannya, tapi ujungnya
tetap menyasar kebahu kiri Siu Ho.
Sebaliknya, karena nampak
orang melindungi musuhnya, memakilah Lou Ping dengan lantangnya :
“Bagus kau, bangsat tua yang
sudah menganiaya suamiku. Mari kau bunuhlah aku sekali!”
Dengan berpintjangan, Lou Ping
menobros masuk terus menyerang Tiong Ing dengan sepasang wan-yang-tonya. Karena
tak memegang senjata, Tiong Ing sembat sebuah kursi untuk menangkisnya,
katanya:
“Sabarlah, kita bicara dengan
pelan-pelan dulu!”
Lou Ping sudah bertekad untuk
mengadu jiwa. Dengan tak hiraukan omongan. Orang, ia segera menyerang gencar
dengan ilmu golok warisan ayahnya. Sepasang goloknya merangsang dalam
jurus-jurus serangan hebat. Tiong Ing insyap bahwa orang-orang HONG HWA HWE
menuduh dia menyual Bun Thay Lay. Untuk itu dia berusaha akan menyelaskan,
karenanya dia tak mau balas menyerang dan hanya main mundur saja.
Lou Ping makin gencar
memainkan sepasang goloknya, dan pada saat itu Tiong Ing sudah terdesak sampai
keujung tembok. Selagi dia dalam keadaan yang beru saja itu, tiba-tiba Lou Ping
merasa ada sambaran angin memukul dari arah belakang. Cepat-cepat ia bungkukkan
tubuh seraja sabetkan sebelah goloknya kebelakang kepala.
Menyusul dengan itu, kembali
ada angin menyambar, maka Buru-buru Lou Ping gerak kan goloknya yang panyang
untuk membabat kaki orang. Begitu orang itu loncat mundur, Lou Ping terus
berputar badan. Ternyata penyerangnya itu ialah puterinya Ciu Tiong Ing.
”Kau seorang perempuan yang
tak tahu membalas kebaik an. Dengan baik-baik kutolong kau, tetapi berbalik kau
akan membunuh ayahku!” demikian damperat Ciu Ki pada Lou Ping.
”Kau orang Thiat-tan-Chung
hanya berkedok kebaikan palsu. Suamiku telah kau aniaya. Kau minggirlah, aku
tak kan mengganggumu!” kata Lou Ping, siapa lalu berpaling kearah Tiong Ing dan
terus menyerangnya lagi.
Tiong Ing angkat kursi untuk
menangkis, maka Buru-buru Lou Ping menarik pulang senjatanya. Menyusul dengan
itu ia menyerang lagi tiga jurus serangan berantai. Tiong Ing berkelit kian
kemari dan ber-ulangdua berseru supaya Lou Ping berhenti menyerang. Ciu Ki
menjadi gusar terus maju menghadang Lou Ping. Dan kini keduanya saling
bertempur dengan seru!.
Dalam hal pengalaman, Lou Ping
lebih atas dari Ciu Ki. Tapi karena ia terluka tambahan pula pikirannya kusut,
maka setelah bertempur sampai tujuh atau delapan jurus. Lou Ping mulai keteter.
”Berhenti!” seru Tiong Ing
tiba-tiba .”
Tetapi. kedua orang yang
tengah bertempur itu tak meng hiraukan seruan itu, sementara itu Ban Khing Lan
Buru-buru menolong Cabutkan huito yang menancap dibahu Siu Ho dan dibalutnya.
Keduanya juga menyaksikan pertempuran antara kedua jago betina itu.
Karena puterinya tak dengar
kata, marahlah Tiong Ing. Diangkatnya kursi terus akan dihantamkan ketengah
untuk memisah, tetapi tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan menyusul sebuah
bayangan bundar menobros masuk. Dengan bersenjatakan sepasang kampak, seorang
kate tahu-tahu terus menghantam Ciu Ki dengan sehebat-hebatnya.
Ciu Ki loncat menghindar, lalu
dengan gerakan “sin-liong-to-ka” naga sakti mengibas sisik, ia balas menabas
pundak orang. Namun orang itu tinggal diam saja. Dia hanya pakai tangkai kampak
untuk menangkis. "Trang.” Ben turan itu menggetarkan tangan Ciu Ki, malah
begitu keras sampai kesemutan rasanya dan goloknya terlepas.
Dengan sebat, Ciu Ki loncat
mundur dua tindak. Dibawah sinar lilin yang menerangi ruangan tersebut.,
dilihatnya sang lawan itu adalah seorang bongkok yang aneh sekali potongan
tubuhnya. Si Bongkok tak mau mengejarnya, hanya memandang kearah Lou Ping. Demi
melihat kesajangannya, hati Lou Ping bukan buatan girangnya, serunya :
“Sip-ko!”
”Su-ko dimana?” balas menanya
si Bongkok.
Lou Ping menunyuk pada Tong
Siu Ho bertiga, lalu berseru : “Dia dianiaya oleh orang-orang ini. Sip-ko
(kakak kesepuluh), kau balaskanlah sakit hatinya!”
Mendengar itu, dengan tanpa
tanya apa-apa, si Bongkok Ciang Cin terus menyerang
Tiong Ing, siapa karena tak
membekal senjata apa-apa, terus loncat keatas meja dan berseru :
“Berhenti dulu!”
Tapi Ciang Cin menyusuli lagi
membabat kaki Tiong Ing. Apa boleh buat, Tiong Ing terpaksa loncat kebawah
lagi. Karena si Bongkok menghantam dengan sekuat-kuatnya, maka kampaknya itu
menancap beberapa dim kedalam meja, dan untuk sesaat sukar untuk ditariknya.
Adalah pada saat itu, Kian
Hiong dan Kian Kong yang mendapat laporan, segera bergegas datang. Kian Kong
lalu mengangsurkan senjatanya kim-pui toa-to pada sang suhu. Juga nona Ciu Ki
yang beradat berangasan, nampak Lou Ping dan si Bongkok begitu kurang ajar,
segera berseru :
“Beng toako, An samko, jangan
kasih lepas kawanan berandal yang mengaCau Thiat-tan-Chung ini.”
Bertiga mereka segera menyerang
pada Ciang Cin. Si Bongkok tidak gentar, tiba-tiba iapun berteriak :
“Ayo, Chit-ko, lekas kau
keluar menemui suko. Kalau masih ayal-ayalan, akan kudamprat leluhurmu!”
Kiranya bersama Bu-Cu-kat Ji
Thian Hong, Ciang Cin terus menempuh perjalanan siang malam untuk lekas-lekas
menuju ke Thiat-tan-Chung. Ketika sampai di Thiat-tan-Chung, hari sudah malam.
Thian Hong sebenarnya akan menyerahkan karcis nama untuk minta bertemu dengan
Ciu Tiong Ing. Tetapi si Bongkok tanpa bilang apa-apa, terus menobros masuk
saja. Apa boleh buat, Thian Hong terpaksa mengikutinya. Dan ketika dia baru
sampai, tahu-tahu si Bangkok sudah bertempur dengan Ciu Ki, Kian Hiong dan Kian
Kong. Maka ketika si Bongkok menereakinya, dia Buru-buru menghampiri kesamping
Lou Ping.
Saat itu Lou Ping dengan napas
tersengal-sengal memutar sepasang goloknya terus akan menyerang Tiong Ing.
Begitu melihat Thian Hong, ia menjadi girang sekali.
Dengan adanya kursi itu
disitu, tentu bereslah urusannya. Menuding pada Tong Siu Ho dan Ban Khing Lan,
segera ia berseru :
“Merekalah yang mencelakakan
suko”
Biasanya Thian Hong selalu
bersikap hati-hati. Tapi kali ini karena mendengar sukonya dianiaya orang,
tanpa berpikir panyang lagi dia terus menyerang Siu Ho dengan senjatanya.
Bagi Siu Ho dan Ban Khing Lan
sebenarnya sangat girang melihat orang HONG HWA HWE bertempur dengan orang
Thiat-tan-Chung. Mereka memperhitungkan orang HONG HWA HWE yang hanya tiga
orang itu, tentu akan kalah. Dan pada saatnya mereka baru akan turun tangan
untuk membekuknya, untuk menCari pahala.
Malah Siu Ho tetap merindukan
Lou Ping, dan selama itu dia awasi dengan mata tak terkesiap. Maka dia begitu
gelagapan, ketika Thian Hong loncat membacok. Syukur dia masih bisa berlaku
sebat untuk menangkis dengan goloknya.
Perawakan Thian Hong yang
pendek kecil itu, sembabat sekali dengan Siu Ho. Tapi dalam buge, Thian Hong
lebih unggul. Beberapa kali Siu Ho terpaksa mundur saja. Malah dilain saat,
tangan kiri Thian Hong yang pegang tongkat besi dikibaskan keluar, menyusul
tangan kanan yang memegang golok ditikamkan ke lawan. Siu Ho Buru-buru berkelit
ke kiri. Tapi dia hanya memperhatikan serangan disebelah atas dan lupa menyaga
serangan musuh yang menikam dari bawah. Maka sekali pahanya termakan golok,
piauwsu itu segera berguling-guling ketanah.
Ketika Thian Hong akan
menyusulkan tongkatnya, tiba-tiba terasa ada angin menyambar punggungnya.
Karena tak ke buru memutar diri, dia terus inyak dada Siu Ho untuk loncat
kemuka. Dan secepat-cepat kilat dia memutar badan, untuk menangkis senjata Ban
Khing Lan yang hendak membokong tadi.
Dengan sepasang senjata
ping-thi-tiam-kong-jwan (semaCam golok runCing) dikotaraja pernah Khing Lan
jatuhkan sepuluh orang lebih jago-jago silat yang ternama. Dengan keangkeran
itulah dia baru dapat menyabat Cong-kauw-sip dari The-ong-hu (istana pangeran
The). Senjata itu dia jakinkan selama dua tahun. The jin-ong karena akan
mengangkat dia ke kedudukan yang lebih tinggi, lalu titahkan dia mengawani
Ciauw Cong, agar bisa mendirikan pahala.
Dengan Thian Hong, dia menemui
perlawanan yang seru. Meski sudah puluhan jurus, belum ada yang menang dan ka
lah. Khing Lan makin bernapsu. Kalau sampai tak dapat mengalahkan si kate itu,
dia pasti akan ditertawakan oleh Siu Ho. Maka segera dengan gerak “khong jiok
gay ping”; burung gereja pentang sajap, dia tikam Thian Hong dengan bernapsu
sekali.
Thian Hong menghadangkan
tongkatnya besi, sedang golok dia tabaskan kemuka lawan. Dengan thi-jwan
ditangan kanan, Khing Lan menangkis, diteruskan memapas kepala. Kalau Thian
Hong tak keburu menarik kepalanya kebelakang, pasti akan tepapas, karena ujung
thi-jwan itu hanya terpisah satu dim dengan kepalanya. Diam-diam Thian Hong me
ngakui akan kelihaian sang musuh. Kini dia berganti Cara nya bertempur. Karena
tubuhnya pendek, maka dia tujukan serangannya kekaki lawan. Golok dan tongkat
dirangkapkan kebawah untuk memotong kedua paha orang.
Khing Lan menegakkan sepasang
thi-jwannya untuk me lindungi sang kaki. Tetapi tak disangkanya, serangan Thian
Hong itu hanya kosong belaka. Betul golok masih diteruskan menabas, tetapi
tongkat Cepat-cepat berganti arah, lurus menotok muka lawan. Betul? Khing Lan
tak berdaya lagi untuk menangkis, maka terpaksa dia
gunakair gerak “thiat pian
kiao” jembatan gantung, untuk buang dirinya kebelakang.
Benar dia dapat lolos dari
bahaja, tapi keringat dingin membasahi sekujur badannya. Dan bertempur lagi
dalam beberapa jurus, dia merasa kewalahan.
Dilain partai, Ciang Cin
berkelahi seperti seekor kerbau mengamuk.
”Kian Kong, Cepat-cepat kau
tutup pintu desa, wftenyaga ja ngan ada musuh yang bisa masuk,” seru Kian
Hiong.
Namun sepasang kampak Ciang
Cin makin gencar, hingga untuk beberapa saat itu Kian Kong tak dapat lepas
keluar gelanggang, Melihat itu berserulah Ciu Ki :
“An-jiko, lekas kau pergi,
biar sibongkok ini aku yang melayani!”
Dikatakan „bongkok,” hinaan
yang paling dikutuknya se umur hidup itu, meluaplah dada Ciang Cin. Dia mengge
rung dan mengerang. Ciu Ki dan Kian Hiong perhebat serangannya, maka dapatlah
Kian Kong loncat keluar.
”Semua harap berhenti dulu, dengarlah
penyelasan lohu ini,” tiba- Tiong Ing berseru.
Kiang Hiong dan Ciu Ki
menaati, terus mundur beberapa tindak. Begitupun Thian Hong juga mundur, dan
serunya :
”Ciang sipte, berhentilah.
Dengarkan penyelasannya.”
Tetapi si Bongkok tak ambil
perduli, terus menyerang saja. Ketika Thian Hong akan maju menCegahnya,
tiba-tiba Ban Khing Lan menghantam punggungnya dengan thi-jwan. Karena tak
menyangka. Thian Hong tak keburu menyaganya. Cepat-cepat dia tarik badannya,
tetapi bahunya terhantam, hingga sampai dia terhuyung-huyung. Serunya dengan
penuh ke marahan :
”Bagus, kamu orang-orang
Thiat-tan-Chung memang banyak-banyak tipu muslihat.
Dia salah sangka, mengira Ban
Khing Lan itu orang Thiat-tan-Chung. Biasanya dia itu tenang orangnya. Tapi
dibokong begitu, dia marah betul-betul. Bahunya yang sebelah kiri karena
terluka, dia tak dapat mainkan tongkatnya besi lagi. Dengan hanya memakai sebatang
golok di tangan kanan, dia serang Ban Khing Lan. Walaupun lengkapnya harus
memakai tongkat, namun dia tetap gunakan ilmu golok „ngo-houw-toan-bun-to.”
Tetapi gerakannya kurang linCah, karena luka dibahunya itu sangat mengganggu
sekali.
Disebelah sana Ciang Cin masih
mengamuk, adalah Siu Ho yang enakdua berdiri agak jauh. Dengan mulut
berkemak-kemik tak lampias, dia tudingdua kearah Lou Ping. Karena huitonya
hanya tinggal sebatang, Lou Ping tak mau sembarangan melepas. Dia Cuma
mengangkat goloknya untuk mengejar Siu Ho, siapa berlari-lari memutari meja
seperti lakunya anak main godak.
“Kau jangan keliwat galak,
suamimu kan sudah mening gal, lebih baik kau menikah dengan Tong-toaya ini
saja,” serunya sembari berlarian.
Hati Lou Ping memang sudah
gelap, mendengar kata-kata Siu Ho itu, ia kira suaminya betul-betul sudah
meninggal. Seketika itu pandangannya terasa gelap, kepalanya berat terus roboh
tak ingat orang. Melihat itu, tersipu-sipu. Siu Ho lari menolong nya. Tapi kini
Ciu Tiong Ing sudah tak kuasa menahan kemarahannya lagi. Dengan kim-pui toa-to,
dia juga berlari memburu kearah Lou Ping. Maksudnya akan menghajar Siu Ho yang
kurang ajar itu.
Tetapi kalau memang sudah
seperti digaris, maka kesala han faham itu makin menjadi-jadi. Justeru pada
saat itu, menobroslah seseorang kedalam ruangan itu dengan berseru keras-keras.
“Kau berani melukai suso-ku
mari kita mengadu jiwa.” Dengan sepasang siang-kao (gaetan) orang itu menyerang
Tiong Ing dari dua jurusan, kearah tenggorokan dan ke bawah perut. Nampak wajah
gagah, perwira dari orang itu, dan gerakannya begitu linCah sekali, Tiong Ing
merasa segan. Dia hanya menangkis pelan-pelan sambil mundur setindak katanya :
"Saudara ini siapa, harap suka beritahukan nama dulu!”
Orang itu tak mau menyawab dan
hanya membongkokkan badan untuk memeriksa Lou Ping yang wajahnya puCat seperti
kertas itu. Ketika dirasakan hidung Lou Ping masih mengeluarkan napas.
Cepat-cepat didorongnya keatas kursi, sedang wan-yang-to diletakkan disisinya.
Melihat orang-orang yang
bertempur itu makin seru dengan tak menghiraukan permintaannya, Tiong Ing
marah. Tapi pada saat itu, dari luar terdengar seseorang bertereak keras
sekali. Menyusul itu terdengar gemerenCingnya suara senjata ber adu. Tak lama
kemudian, munCullah An Kian Kong dengan menderita kekalahan, dikejar oleh
seseorang.
Segera Tiong Ing mengetahui
bahwa orang itu bertubuh gemuk dan tinggi. Tangannya memegang sebatang pian
yang beratnya tak kurang dari tiga 0 kati. Kian Kong ternyata tak berani saling
berhantam senjata dengan orang itu.
”Pat-te, kiu-te. Kalau hari
ini kita tak basmi orang-orang Thiat-tan-Chung, sungguh tak legah sekali,”
Thian Hong berseru kepada sigemuk itu.
Orang itu bernama Thiat-tha
Nyo Seng Hian, orang nomor delapan dalam HONG HWA HWE Sedang yang sikapnya
gagah tadi ialah Kim-paoCu Wi Jun Hwa, menempati kedudukan nomor sembilan. Meng
hadapi setiap pertempuran, terutama dengan tentara negeri, Jun Hwalah yang
selalu paling berani sendiri se-olahdua akan menantang maut. Tapi anehnya,
selama itu belum pernah dia mendapat luka berat, hingga Kawan-kawan nya
mendiuluki dia “Kim-pa-Cu” atau macan tutul bernyawa sembilan.
Kedua orang itu, aclalah
bantuan HONG HWA HWE dari gelombang kedua. Sampai di Thiat-tan-Chung, sudah
hampir tengah malam. Mereka segera nampak, pintu Thiat-tan-Chun terang
benderang dengan kawanan Cengteng yang membawa obor dan senjata, seakan-akan
menghadapi musuh besar. Segera Jun Hwa maju berseru :
”Orang she Nyo dan she Wi dari
HONG HWA HWE akan mohon meng hadap pada Ciu loenghiong, harap saudaraa suku
tolong melaporkannya.”
Mendengar bala bantuan HONG
HWA HWE datang, sedang didalam pertempuran sedang berlangsung dengan hebatnya,
An Kian Kong tak mau kasih mereka masuk, perintahnya malah ke pada para
Cengteng : “Lepas panah!”
Kira-kira duapuluhan Centeng
segera pentang busur dan se ketika itu segunduk panah muntah keluar. Dengan
gusar, Jun Hwa dan Seng Hiap putar senjatanya untuk menangkis. Malah Jun Hwa
angot penyakitnya, terus menyerbu kearah hujan panah itu.
Melihat Caranya dia terdyang
ba haja, Centeng-centeng itu ketakutan sendiri. Yang tak keburu menyingkir,
kena keterjang .
Juga Nyo Seng Hiap ikut
menerdyang , tapi dihadang Kian Kong dengan goloknya. Seng Hiap bertubuh tinggi
besar, bertenaga kuat sekali. Gerakan piannya, terbitkan deru angin yang keras.
Kian Kong tak berani menangkis dan hanya loncat menghindar. Setelah ada
kesempatan, baru dia kirim baCokan. Sekalipun Seng Hiap berbadan gemuk, tapi
gerak annya tetap gesit. Dengan gerak “membabat ribuan serdadu” dia menyabet
sekuat-kuatnya. “Trang,” demikian golok dan pian saling beradu dan Kian Kong
segera rasakan tangannya ke semutan sakit sekali. Goloknya terpental keatas.
Seng Hiap memang tak berniat
mengambil jiwanya, maka setelah lawan lari, tak dikejarnya dan hanya loncat
dari tembok desa terus masuk kedalam Thiat-tan-Chung. Karena tak kenal jalanan,
sedang hari amat gelap, telah menyem patkan Kian Kong mengambil goloknya lalu
menghadangnya lagi. Kini pemuda itu berkelahi dengan hati-hati, namun dalam
beberapa gebrak saja, lagi-lagi gigir goloknya telah kena disabet pian Seng
Hiap, sampai bengkok.
Begitu sembari memberl
perlawanan, Kian Kong terus mundur sampai keruangan tengah. Ketika Seng Hiap
mengi rim sabetan kearah muka, Kian Kong tarik kepalanya ke belakang, lalu
mengangkat sebuah meja untuk ditangkiskan. Sebelah ujung meja segera terpapas
kutung, ber-keping-keping bertebaran. Melihat itu Ciu Tiong Ing leletkan
lidahnya dan diam-diam memuji akan kelihaian jagos HONG HWA HWE Dan pada saat
itu Kian Kong sudah mandi keringat, beberapa jurus lagi tentu berbahaja
jiwanya. Maka bertereaklah Tiong Ing se kuatduanya :
“Para enghiong dari HONG HWA
HWE, dengarlah lohu akan bicara.”
Jun Hwa dan Seng Hiap segera
berhenti, malah Jun Hwa memperingatkan Thian Hong yang waktu itu tengah
bertempur dengan Ban Khing Lan, supaya berhenti juga. Tapi Thian Hong malah
bertereak keras-keras:
“Awas, jangan kena ditipu!”
Belum ucapan itu selesai, Ban
Khing Lan benar menyerang lagi. Kuku garuda kuatir kalau nanti fihak
Thiat-tan-Chung bergabung dengan orange HONG HWA HWE Karena itu, dia tak mau
kasih kesempatan untuk mereka berbicara. Namun Jun Hwa ternyata sudah
berjagadua. Tak mau dia mundur meng hindar, sebaliknya malah menyambutnya
dengan serangan juga. Melihat itu Khing Lan kaget. Nyata musuh tak hirau kan
jiwa. Dan Buru-buru dia tarik kembali piannya.
Saat itu setelah menolong Lou
Ping hingga tersedar lagi, memakilah Thian Hong dengan gusarnya :
“Kalangan kangouw sama memuji
kau sebagai orang yang sangat berbudi tinggi, tak tahunya kalau seorang licik
yang sombong. Kau atur tipu daya yang rendah, adakah itu perbuatan seorang
enghiong?!”
Tahu juga Tiong Ing bahwa
mereka salah paham, namun dia marah juga dimaki begitu, teriaknya tak tahan :
“Kau orang-orang HONG HWA HWE,
terlalu menghina orang!”
Dia singkap jubahnya dan
menyerukan sang murid supaya mundur.
“Kian Kong mundurlah, biar aku
siorang tua meminta pengajaran dari para orang gagah yang ternama itu,”
demikian teriaknya.
Setelah Kian Kong mundur,
Tiong Ing maju dengan me megang golok, katanya : “Saudara yang ini siapa?”
Nampak yang tampil kemuka
seorang tua berjanggut putih, Seng Hiap Buru-buru rangkapkan kedua tangan
memberi hormat sambil berkata :
“Aku yang rendah ini ialah
Thiat-tha Nyo Seng Hiap,”
”Pat-ko, tak usah kau terlalu
merendah, situa inilah yang menipu suko,” demikian sekonyong-konyong Lou Ping
berseru.
Mendengar keterangan itu,
kagetlah Seng Hiap dan Jun Hwa berdua. Malah setelah dapat mendesak Ban Khing Lan
mundur, Jun Hwa berputar badan terus menyerang Tiong Ing. Sepasang gaetan
bagaikan angin menyerang perut orang.
Dengan kerahkan lwekang, Tiong
Ing tanCapkan goloknya kebawah untuk menangkis, maka memballah gaetan Wi Jun
Hwa. Bahwa buge lawan memang tangguh sudah diketahui oleh Jun Hwa. Tidak
mundur, tapi dia malah menyerbu.
Sedang Ciang Cin yang
dikerojok Kian Hiong dan Ciu Ki, masih bertarung dengan gigihnya. Dengan napas
ter engahs, Kian Kong akan membantunya. Jadi kini si Bongkok dikerubuti tiga.
Sementara itu, Seng Hiap mendapat lawan Ban Khing Lan.
Dalam partai sana, ternyata
beberapa kali Tiong Ing mem beri kelonggaran, tapi rupanya Jun Hwa tak
mengetahui dan tetap tak mau mundur. Golok Tiong Ing dibolang-baling kan dengan
sebatnya, maka terpentallah gaetan Jun Hwa yang sebelah kiri.
Melihat bagaimana hebat
permainan golok jago Thiat-tan-Chung itu, tahulah Thian Hong bahwa dia harus
lekas-lekas bantu Jun Hwa. Namun sekalipun Tiong Ing orangnya tua, tapi dia
tetap tak kalah menghadapi dua jago HONG HWA HWE itu. Malah kini golok
diputarnya sedemikian santernya, hingga badannya seperti ditutup dengan
gulungan sinar putih, makin lama, makin gagah orang tua itu. Menampak fihaknya
masih belum menang, berserulah Thian Hong keras-keras:
“Ngo-ko, liok-ko, bagus kau
orang pun sudah datang, lekas lepas api. Bakar saja Thiat-tan-Chung ini, urusan
belakang!”
Ini sebetulnya adalah siasat
dari sikanCil Thian Hong, untuk memeCah pikiran lawan. Sebenarnya ngo-ko dan
liok-ko dari HONG HWA HWE jakni Siang He Ci dan Siang Pek Ci belum datang
kesitu. Kedua saudara ini masih menyalankan perin tah Cong-tho-Cu ke Thio-ke-po
untuk mengawasi gerak-gerik kawanan kuku garuda dikota raja.
Tipu seruan itu ternyata
berhasil. Oranga Thiat-tan-Chung sama terkejut. Malah karena berajal, Tiong Ing
hampira termakan gaetan Wi Jun Hwa. Setelah semangatnya kem bali, Tiong Ing
lancarkan serangan golok “sam-nyo-gay-thay” tiga ekor kambing menerdyang
gunung. Serangan berantai dari tiga jurus itu, dapat memaksa Thian Hong dan Jun
Hwa mundur beberapa langkah. Menggunakan kesempatan itu, Tiong Ing enyot
tubuhnya keambang ruangan, maksudnya akan Cegat musuh yang hendak melepas api.
Namun bagaikan bayangan, Jun
Hwa tetap membayang i nya. Orangnya belum sampai, gaetannya sudah tiba, menusuk
Tiong Ing. Tiong Ing memutar toa-tonya. Begitu sepasang gaetan lawan membal,
dia teruskan membaCok. Malah bukan begitu saja. Kaki kanan jago tua ini
disapukan berbareng tangan kirinya menyotos. Wi Jun Hwa Buru-buru loncat ke
samping. Tapi tangan kiri Tiong Ing dijulurkan menyadl kuku alapdua, untuk
dipukulkan kebahu lawan. Gerakan ini dinamai “sam-hap,” salah sebuah jurus
istimewa dari pukulan “ji long tam san” atau Ji-long menyelidiki gunung, salah
satu tipu dari Siao Dim Pai.
Tadi Jun Hwa hanya pusatkan
perhatian pada ilmu golok lawan, dan lengahlah dia bahwa musuh
sekonyong-konyong menyusuli pukulan tangan kosong. Menghadapi serangan golok,
kaki dan pukulan tangan, benardua Jun Hwa keripuhan. Yang dua masih dapat dia
hindari, tapi yang ketiga dia kewalahan. Seketika dirasakan sebelah bahunya itu
seperti tertimpa mar-til. Itu saja Tiong Ing masih berlaku murah, hanya
menggunakan seperempat tenaganya, kalau tidak, tentu si Kim-pa-Cu itu terluka
berat. Namun sekalipun demikian, tak urung Jun Hwa sempojongan beberapa tindak.
Kiranya orang she Wi ini
betul-betul bandel. Belum sang kaki berdiri jejak, sudah dienyotkan lagi
kemuka, berbareng dalam gerak “burung hong memutari sarang” sepasang gaetannya
merangsang tubuh Tiong Ing. Nampak serangan itu, marahlah Tiong Ing, serunya :
”Engko kecil, padamu aku tak
punya hutang dendam seperti membunuh ayah atau merebut isteri, mengapa kau
begini bernapsu? Aku sudah berlaku murah, kau seharusnya mengerti!”
“Kau telah membunuh soeko
sekalipun aku tak dapat menang, tapi kau tahu tidak, aku ini ialah Kiu-beng
Kim-pa-Cu (si macan tutul yang punya sembilan nyawa)?” demikian Jun Hwa
menyahut berbareng menyerang.
Melihat orang tak tahu diri,
Tiong Ing mendongkol hatinya. Tapi kalau lihat kegagahan orang, dia merasa
sayang juga, katanya pula :
“Selama lohu hidup hampir enam
tahun ini, belum pernah melihat setan yang tak sayang jiwanya semacam kau ini!”
“Makanya hari ini kau disuruh
melihatnya!” jawab Jun Hwa.
Berbareng gaetan menusuk,
golok Thian Hong pun me nabas. Mendadak Tiong Ing apungkan diri keatas,
toatonya dibarengkan membabat senjata lawan. Mata golok, mema-pas kedalam,
sikutnya berbareng menyodok, tepat mengenai tulang rusuk lawan. Inilah jurus
ilmu silat Siao Lim Pai yang disebut “Lui-he-Ciu.” Kalau dengan sepenuh tenaga,
patahlah tulang rusuk orang.
Sekalipun begitu, Jun Hwa
keluarkan keluhan sakit, terus jongkok kebawah.
“Kiu-te, kau mundurlah” seru
Thian Hong.
Jun Hwa paksakan berbangkit
lagi, dengan mendeliki Tiong Ing, dia angkat sepasang gaetan untuk menyerang
lagi.
"Kau ini betuia tak patut
dikasihani!” bentak Tiong Ing.
”Lekas lepaskan api,
Cap-ji-long, kau jaga pintu bela kang, jangan kasih orang lolos!” tereak Thian
Hong dengan keras.
Demi tereakan itu, guntyang
lah pikiran Ciu Ki, dia tak mau melajani si Bongkok lagi dan pikirnya akan
membunuh biangkeladi dari kerusuhan ini. Dengan segera dia menyerang Lou Ping.
Sejak mendengar suaminya
binasa teraniaya, dengan sa dar tak sadar Lou Ping duduk dikursi. Bagaimana
hiruk pikuk orang-orang bertempur didalam ruangan besar, baginya hanya seperti
melihat bayangandua berkelebat kian kemari. Pi-kirannya kosong sama sekali, tak
tahu apa yang sedang berlangsung disekitarnya situ.
Dan ketika golok Ciu Ki
melayang tiba, Lou Ping hanya memandangnya dengan tersenyum simpul saja.
Wajahnya seperti orang menangis urung. Melihat wajah yang demikian sajunya,
batallah Ciu Ki menyerang. Ia ambil sepasang golok wan-yang:to, lalu
diangsurkan kepada Lou Ping dan katanya:
”Ayo kita bertempur!” Dengan
acuh tak acuh, Lou Ping menyambuti senjata nya. Dan Ciu Ki Cobadua membaCoknya
pelan-pelan , untuk menge tahui apakah nyonya itu menangkis apa tidak. Kembali
Lou Ping tertawa, dengan sembarangan saja ia gunakan golok pendek ditangan
kanannya untuk menangkis, sedang goloknya panyang dibuat balas menusuk. Melihat
itu Ciu Ki mengelah napas legah, serunya : “Nah, begitu, Ayo kau berdirilah!”
Lou Ping menurut, tetapi luka
dipahanya itu memaksa dia harus duduk lagi. Demikian maka yang satu duduk dan
pi kirannya kosong, sedang yang satunya berdiri dan bernapsu sikapnya, segera
adu senjata. Baru beberapa jurus, ber teriaklah Ciu Ki tak sabar : “Ayo, yang
keras! Siapa yang akan bermain-main denganmu?”
Dia jengkel melihat sikap
orang yang acuh tak acuh itu. Dengan orang begitu, ia tak sudi bertempur. Dan
pada saat itulah dia dengar tereakan Thian Hong untuk melepas api, maka nona
itu segera tinggalkan Lou Ping terus lari keluar.
Baru saja melangkah keambang
pintu, diluar sudah ada orang yang membentaknya :
“Hem, mau lolos ja?”
Dengan kaget, Ciu Ki loncat
balik kebelakang. Diantara sinar lilin, ternyata ada dua orang tengah mengadang
dimulut pintu. Orang yang membentak itu, mukanya putih seperti salju, sinar
sepasang matanya seram seperti iblis. Ciu Ki hendak mengawasi orang yang
satunya, tapi ia merasa aneh, sinar mata iblis itu, seakan-akan mempunyai
pengaruh besar sekali, hingga ia tak berani mengalihkan pandangannya. Tanpa
terasa, ia memaki : “Huh, setan getajangan!”
Tak terduga orang itu menyawab
dengan dingin : „Benar, aku inilah Kui Kian Chiu!”
Selama ini Ciu Ki tak takut
pada siapapun, tetapi mendengar suara orang yang begitu dingin menyeramkan,
betul-betul ia sampai bergidik, tapi ia Coba tabahkan diri dan mem bentak :
“Apa kau kira aku takut padamu?”
Ucapan itu untuk menutupi
kejerihannya. Dan berbareng mulut mengucap, tangan mengajun kan golok kearah
kepala orang. Dengan sikap yang dingin, orang itu menangkis dengan goloknya.
Sepasang matanya tetap menatap sinona dengan tajamnya. Ternyata gerakan orang
yang le mah, adalah gerakan seorang achli lwekang. Diam-diam Ciu Ki berCekat
hatinya. Ia paksakan lagi, untuk menabas.
Orang itu benarlah algojo HONG
HWA HWE yang bernama Kui-kian-Chiu Cap-ji-long Ciok Siang Ing. Dia sebenarnya murid
Cabang Pat Kwa Bun. Setelah masuk HONG HWA HWE, sering ia minta pelajaran silat
pada sam-tang-keh Tio Pan San. Pan San ajarkan ilmu golok Thay Kek padanya.
Namanya saja persaudaraan angkat, tapi sebenarnya mereka berdua itu adalah guru
dan murid.
Dengan ketenangan dan
kelemahan gerak Thay Kek, segera Kui-kian-Chiu dapat menguasai permainan lawan.
Sedang dilain partai, Kian Hiong dan Kian Kong rasanya tak ungkulan lagi
melawan si Bongkok Ciang Cin. Juga permainan sepasang ping-thi-tian-kong-jwan
dari Ban Khing Lan telah dipatahkan oleh pian Seng Hiap. Orang she Ban ini tak
berani bertempur lagi, dan hanya ber-putardua diseke liling meja sembari
memper-olokdua lawan yang berbadan gemuk, tak bisa mengejarnya. Sedang si Tong
Siu Ho entah lari kemana, Pihak Thian-tan-Chung hanya Tiong Ing-lah yang berada
diatas angin menghadapi Thian Hong dan Jun Hwa. Pikir Tiong Ing, setelah dapat
menundukkan kedua lawannya itu, dia baru akan jelaskan duduknya perkara.
Demikianlah golok dimainkannya
makin gencar, hingga kedua anak muda itu terpaksa mesti main mundur-mundur
saja. Selagi begitu, tiba-tiba tampak seorang melesat maju, dengan sekali
teriak: “Mari aku saja yang temani kau main-main !”
Tahu-tahu senjatanya sebatang
gajuh besi terus menghantam. Senjatanya sebilah kajuh besi, tapi gerakannya
“Lou Ti Sim mengamuk dengan tongkatnya”. Jadi thiat-Ciang dipakai seperti
tongkat. Dalam tipu “Chin Ong pian Ciok” Chin Ong menghajar batu, thiat-Ciang
itu dari belakang punggungnya sendiri terus menghantam pundak lawan, hebatnya
bukan buatan.
Melihat tenaga orang sangat
besar, Tiong Ing mengegos kekiri, dari situ dia balas membaCok. Orang itu
Buru-buru me megang thiat-Ciang dengan kedua tangan untuk dipalang kan dan
terus disapukan. Itulah jurus “kim Coa kiam gwat” ular mas memotong rembulan,
Cepat-cepat dan keras sekali.
Ciu Tiong Ing adalah murid
Siao Lim Pai. Dia kenal serangan lawan itu, ia miringkan tubuh untuk berkelit,
dan nampak alisnya dikerutkan, seperti orang yang tengah me mikir sesuatu.
Sambil bertempur, dia terus mundur-mundur, tapi sikap kakinya tak berobah. Pada
saat itu tampak Ban Khing Lan lari menghampiri. tiba-tiba secepat-cepat kilat,
Tiong Ing mem balik tangan, membaCok kepala Khing Lan.
Kiranya tahulah Tiong Ing,
bahwa salah faham orang-orang HONG HWA HWE tidak bisa diterangkan karena selalu
digagalkan Ban Khing Lan. Terhadap kedua kuku garuda jg akan memeras uangnya
itu, Tiong Ing memang marah betul. Tapi kalau mesti bertentangan dengan orang-orang
pemerintah, itulah berba haja. Berpuluh tahun dia hidup dengan tenang dan
bahagia, sekali bentrok tentu hanCur berantakan. Tiong Ing seorang tuan tanah
yang kaja. Dua puluh tahun dia berusaha keras dan berhasil mengumpulkan harta.
Sawah dan ladangnya sangat banyak sekali. Sudah tentu, sedapat mungkin dia tak
mau berbuat kesalahan pada Ban Khing Lan.
Disamping itu, untuk HONG HWA
HWE dia telah bunuh anaknya sendiri, tetapi ternyata mereka tak kenal adat,
sekurang-kurangnya menghormatinya sebagai orang yang lebih tua. Kalau dia mau,
dengan segera dapat dia pecundangi mereka, baru nanti memberi penyelasan. Tapi
ternyata orang-orang HONG HWA HWE makin lama makin banyak-banyak, dan
pertempuran makin berkobar hebat. Kalau diteruskan, tentu akan ada korban yang
jatuh. Dan salah faham itu tentu berobah menjadi permusuhan benardua- Kini jago
tua itu berkeputusan, untuk membasmi biangkeladinya yaitu Ban Khing Lan, baru
nanti semuanya beres.
Disabet golok besar dari Ciu
Tiong Ing, terbanglah semangat Ban Khing Lan. Cepat-cepat dia mundur selangkah,
tapi dalam pada itu Seng Hiap sudah memburu dari belakang. Orang she Ban itu,
Cepat-cepat enyot tubuhnya keatas meja, lalu berseru keras-keras:
“Bun Thay Lay Sudah kita
tangkap, tentu pemerintah sedikitnya akan memberi hadiah selaksa tail perak,
kau akan bunuh aku untuk mengkangkangi sendiri hadiah itu?”
Ban Khing Lan memang liCin.
Dia Cukup faham akan maksud Ciu Tiong Ing. Karena itu, dia tetap akan adu
orang-orang Thiat tan-thjung dengan orang-orang HONG HWA HWE dan dilepas kannya
lidah beraCun itu.
Tadi sewaktu Tiong Ing
membaCok Khing Lan, orang-orang tertegun sejenak dan berhenti berkelahi. Tapi
ketika men ngar kata-kata Ban Khing Lan, dalam suasana yang penuh dengan hawa
pembunuhan itu, mereka tak dapat berpikir dengan dingin. Dengan mengerang, si
Bongkok Ciang Cin mengampak Tiong Ing lagi.
Sesak napasnya Tiong Ing
rasanya, karena murka. Namun dia tak berdaya untuk menyelaskan, dan terpaksa
mengang kat golok untuk menangkisnya.' Adalah Thian Hong yang masih-bisa
berpikir jernih. Dia tahu bagaimana dalam per tempuran tadi Tiong Ing selalu
berlaku murah, dia duga tentu ada sebab-sebabnya, maka Cepat-cepat ia berseru:
“Kiu-te jangan bertindak
sembarangan!”
Namun napsu membunuh sudah
menguasai diri si Bongkok, hingga tak didengarnya seruan itu.
Orang yang menggunakan
thiat-Ciang (kajuh besi) adalah Thong-tauw-ngo-hi Ciang Su Kin. Dengan
thiat-Ciangnya itu dia sabet pinggang Tiong Ing, siapa Buru-buru miringkan
tubuh untuk berkelit. Tapi pada saat itu, dari arah belakang Seng Hiap
melepaskan kong-pian untuk memukul pundaknya.
Merasa ada samberan angin dari
belakang, Tiong Ing putar goloknya untuk menangkis, dan begitu berbenturan,
lengan keduanya sama-sama terasa kesemutan. Nyo Seng Hiap, Ciang Cin dan Ciang
Su Kin adalah HONG HWA HWE punya “tiga samson” tenaganya luar biasa kuatnya.
Waktu Tiong Ing berbenturan
senjata lagi dengan Ciang Cin, untuk kedua kalinya, tangannya merasa kesemutan.
Dan pada saat itu, thiat Ciang Ciang Su Kin pun menghan tam golok Tiong Ing,
tak ampun lagi golok jago Thiat-tan-Chung terpental dari tangannya, melesat
keatas menancap pada tiang penglari dan ter-katungdua disitu.
Kian Hiong/Kian Kong berdua
sangat terkejut ketika nampak senjata suhunya terlepas. Serentak mereka akan
membantunya, tapi Cepat-cepat dihadang oleh Wi Jun Hwa dengan sepasang
gaetannya.
Jago Siao Lim Pai itu tak
gugup sekalipun goloknya sudah terlepas. Sebat luar biasa dia melesat kearah
Seng Hiap. Dengan gerak “kiong-Cian-jong-kun” busur terbentur kepalan, tangan
kiri menyawut tangkai pian, sedang tangan kanan membarengi dengan sebuah
jotosan kedada Seng Hiap.
Sudah tentu Seng Hiap
gelagapan atas kesebatan jago tua itu. Dalam gugupnya dia gunakan ilmu “tangan
kosong merebut senjata,” untuk merebut kembali kong-piannya. Dengan kedua
tangan dia kerahkan tenaganya untuk mem betot, dan akan berhasil. Tapi dadanya
tak keburu dijaga, dan “bluk” pukulan Tiong Ing menimpahnya.
Kiranya Seng Hiap sangat
andalkan akan ilmu thiat-poh-san (weduk) yang telah dijakinkan dengan sempurna.
Sekalipun tidak mempan dengan tombak atau golok, apalagi kalau senjata biasa,
kebanyak-banyakan tentu takkan mempan. Gelarannya “thiat-tha” itu berarti dia
seumpama menara besi kokohnya.
Tenaga pukulan Tiong Ing
adalah laksana palu yang dapat meremukkan kepala kerbau. Dia kaget bukan
terkira, se waktu melihat Seng Hiap tak kurang suatu apa. Walaupun sebenarnya,
sakitnya terasa disunsum dan jantung. Dia burus sedot ambekannya, untuk menahan
sakit. Berbareng itu dia membetot kongpian yang masih dipegang Tiong Ing dengan
sekuat tenaganya. Sedang Tiong Ing pun tak kurang eratnya menarik. Hingga
sesaat itu, terjadilah tarik me narik.
Selagi begitu, Ciang Cin dan
Ciang Su Kin berbareng ajunkan senjatanya kepada Tiong Ing. Dalam saatdua yang
berbahaja itu, Tiong Ing segera lepaskan pegangannya, serta dengan sebat
tangannya kanan mengangkat meja terus dilemparkan kearah Ciang Cin dan Su Kin.
Dan menyusul dengan itu, Kian Hiong loncat kepinggir untuk lepaskan bcberapa
pelor, maksudnya untuk menahan kedua lawan yang mengancara suhunya itu.
Begitu dilemparkan, lilin
diatasnya segera padam. Seketika itu timbullah suatu pikiran pada Kian Hiong.
Berturut-turut dia lepaskan pelor untuk membunuh mati semua penerangan lilin
diruangan itu, hingga keadaan disitu menjadi gelap gulita.
Semua orang yang bertempur
menjadi gelagapan, lalu sama-sama mundur kebelakang. Seluruh pertempuran
berhenti semua.
Sampaipun untuk bernapas,
mereka sama tak berani, takut ketahuan musuh. Selagi dalam kesunyian suasana
yang tegang itu, tiba-tiba dari luar ruangan terdengar Inagkah kaki orang
mendatangi, dan ketika pintu terbuka, masuklah seorang yang membawa obor.
Dandanan orang itu seperti anak seko lahan, sebelah tangannya yang satu
memegang sebatang suling. Begitu masuk dia terus berdiri tegak disamping dan
mengangkat obornya tinggi dua. Diantara sinar obor, masuklah tiga orang pula.
Seorang tojin, menggemblok pookiam, lengan bajunya yang sebelah kiri diselipkan
pada pinggang nya. Ternyata dia hanya berlengan satu. Yang seorang lagi
mengenakan jubah tipis, wajahnya berseri-seri seperti batu giok, dandanan dan
sikapnya seperti kongcu. Dibelakangnya mengikut seorang boCah dari belasan
tahun umurnya.
Keempat orang itu yaitu
Kim-tiok siuCay Ie Hi Tong, Cwi-hun toh-beng-kiam Bu Tim tojin dan Cong-thocu
(ketua umum) yang baru dari HONG HWA HWE ialah Tan Keh Lok. BoCah itu adalah
pelajannya. Saat itu Thian Hong berbisik kepada Wi Jun Hwa :
“Awas, jagalah jangan sampai
orang-orang Thiat-tan-Chung bisa ada yang lolos.”
Keduanya melingkar kebelakang
Tiong Ing dan orang-orang Thiat-tan-Chung. Kian Kong tahu maksud musuhnya itu,
dengan gusar dia maju selangkah, untuk menegurnya tapi Buru-buru diCegah suhunya
dengan berbisik :
”Jangan bersuara, lihat apa
mereka kata.”
Saat itu tampak I Hi Tong
membawa dua lembar karcis, maju kehadapan ketua Thiat-tan-Chung, setelah
memberi hormat lalu berseru :
”Cong-thocu HONG HWA HWE Tan
Keh Lok dan ji-tangkeh Bu Tim tojin akan mohon bertemu dengan Ciu loenghiong
dari Thiat-tan-Chung”.
Kian Hiong maju menyambutinya
untuk diserahkan pada suhunya. Melihat surat itu ditulis dengan kata-kata
merendah a.l. Tan Keh Lok dan Bu Tim membahasakan diri seba gai orang tingkatan
bawah, Tiong Ing Buru-buru rangkap kedua tangan memberi hormat seraja berkata :
”Kunyungan tamudua yang
terhormat kedesa ini, menyesal jauh.dua tak dapat kusambut. Mari silahkan
duduk.”
Tiong Ing perintah orang-orang
nya supaya mengatur lagi meja kursi dalam ruangan itu yang sama sungsal sumbal
tak ke ruan. Demikianlah setelah sudah rapih dan lilin-lilin pun dinya lakan
kedua fihak segera ambil tempat duduk masing-masing. Pada rentetan fihak tamu
tampak duduk menurut urutduaan kedu dukannya: Tan Keh Lok, Bu Tim, Ji Thian
Hong, Nyo Seng Hiap, Wi Jun Hwa, Ciang Cin, Lou Ping, Ciok Siang Ing', Ciang Su
Kin, Ie Hi Tong. Dan Sim Hi, itu pelajan Tan Keh Lok, berdiri dibelakang
tuannya.
Pada saat itu Hi Tong
mengerlingkan matanya kearah Lou Ping, siapa nampak kepuCatduaan wajahnya. Dia
menduga-duga adakah kejadian malam itu, sudah diketahui oleh Ciok Siang Ing.
Dia lihat roman algojo ini begitu keren sekali.
Kiranya setelah Lou Ping berlalu,
Hi Tong seperti orang yang kehilangan semangat dan Cemas. Hampir dua hari dia
ubek-ubekan disitu untuk menCari Lou Ping. Kalau sampai bertemu musuh, tentu
berbahajalah Lou Ping, karena pahanya masih luka. Maksudnya dia akan memberi
perlindungan secara bersembunyi. Namun sia-sialah dia menCarinya itu, karena
Lou Ping waktu itu sudah berada di Thiat-tan-Chung.
Pada malam ketiga, bukan Lou
Ping yang dijumpainya melainkan Cong-thocu Tan Keh Lok dan ji-tangkeh Bu Tim
tojin. Segera kedua pemimpin HONG HWA HWE menjadi sangat gu sar, ketika
diberitahukan bahwa Bun Thay Lay telah “di jual” oleh orang-orang
Thiat-tan-Chung. Berkata sang Cong-thocu ;
"Sekalian heng-te kita
sudah menuju Thiat-tan-Chung, siapa tahu mereka bakal tertipu oleh Ciu Tiong
Ing. Seba-liknya kita pergi kesana dulu, baru nanti kita tolong Bun suko.”
Bu Tim setuju. Mereka tiba di
Thiat-tan-Chung justeru diruangan itu sedang dilakukan pertempuran sengit dan
te-pat Kian Hiong lepaskan pelor mem-bunuhduai lilin. Maka Hi Tong segera
nyalakan obor.
Begitulah difihak tuan rumah,
duduklah Ciu Tiong Ing, Beng Kian Hiong, An Kian Kong dan Ciu Ki. Melihat
ge-lagatnya kedua fihak akan mendapat penyelesaian, diam- Ban Khing Lan
menyelinap kepintu. Tapi ketika dia akan nyelo-nong keluar, Thian Hong loncat
kemulut pintu menghadang-nya, katanya :
“Jangan pergi dulu, kita
bicara secara terang.”
Melihat fihak lawan berjumlah
besar, dia tak berani menentang dan terpaksa balik kembali. Setelah kedua fihak
sama memperkenalkan nama, tahulah tuan rumah bahwa tetamunya itu adalah
orang-orang kenamaan dalam kalangan liok-lim. Tapi diam-diam jago tua itu
merasa heran nampak Cong-thocu mereka yang masih begitu muda, dan yang lebih
mirip dengan seorang kongcu dari pada seorang pemimpin besar yang anggotanya
semua jago-jago kangouw yang gagah. Orang-orang HONG HWA HWE tampak menghormat
sekali pada Cong-thocu muda itu, hingga diam-diam Tiong Ing menjadi tak habis
mengerti.
Sebaliknya nampak orang
senantiasa mengawasi saja, dikiranya akan menaksir kepandaiannya, maka marahlah
Cong-tho-Cu itu, katanya dengan dingin :
“Karena bertempur dengan kuku
garuda dan mendapat luka-luka berat, su-tang-keh Pan Lui Chiu Bun Thay Lay
terpaksa datang meneduh kemari. Demi persahabatan kaum bu-lim, Ciu locianpwe
teiah begitu baik untuk memberi pertolongan. maka dari HONG HWA HWE disini aku
haturkan terima kasih.”
Sembari berkata begitu, dia
berbangkit untuk menyura. Ciu Tiong Ing tersipu-sipu membalas hormat, dan
diam-diam dia kagum atas ketajaman ucapan anak muda itu, yang nyata-nyata menyewernya
secara halus. Dilain fihak Bu Tim dan Hi
Tong pun sangat kagum dan
diam-diam merasa girang bahwa kini HONG HWA HWE betul-betul mempunyai seorang
pemimpin yang ber kewibawaan dan luas pandangannya.
Tidak demikian dengan si
Bongkok Ciang Cin yang tak mengetahui arti sebenarnya dari ucapan sang thocu,
maka berserulah dia keras-keras:
“Cong-thocu, situa itulah yang
menCelakai Bun suko!”
Wi Jun Hwa yang duduk
disisihnya Buru-buru menarik bajunya dan melarangnya jangan mengaCau
pembicaraan. Tan Keh Lok seperti tak mendengarnya, dan dengan sopan san tun
berkata lagi:
“Bahwa pada tengah malam buta
saudara-saudara kita telah me ngunyungi tempat locianpwe, adalah memang tak
pantas, harap locianpwe suka maafkan. Itulah disebabkan karena kita mendapat
kabar Bun suko mendapat kesukaran dan Buru-buru akan menyemputnya. Dan entah
bagaimana keadaan penyakit Bun suko itu, mungkin locianpwe sudah panggilkan
sinshe, mohon locianpwe suka bawa kita orang kepadanya.”
Habis mengucap begitu,
pemimpin muda itu berbangkit, dan seluruh rombongan HONG HWA HWE pun ikut
berbangkit. Seketika itu Ciu Tiong Ing kemekmek, tak dapat memberi penyahutan.
Disaat itulah Lou Ping berseru dengan nyaring :
”Suko telah dibinasakan
mereka, Cong-thocu, kita minta orang tua itu mengganti jiwanya.”
Ciang Cin, Nyo Seng Hiap, Wi
Jun Hwa dan lain-lainnya serentak menggerung, dengan melolos senjata
masing-masing, mereka menghampiri kemulta. Dengan tabah Beng Kian Hiong pun
berdiri lalu berkata :
“Bun-ya datang kemari, memang
ada soalnya”
”Nah, kalau begitu harap
Beng-ya antarkan kita kepadanya.” Thian Hong memutus omongan orang.
“Ketika Bun-ya, Bun naynay dan
Ie-ya ini datang kemari, lo-ChungCu kita sedang tak berada dirumah. Akulah yang
menyuruh orang mengundang sinshe ke Thioke-poh, hal ini Bun naynay dan Ie-ya
tentu mengetahuinya. Kemudian da tanglah petugas-petugas pemerintah. Kami
merasa malu tak dapat melindungi sehingga Bun-ya sampai tertangkap. Tan
tangkeh, kalau menganggap kita kurang sempurna memberi penyambutan, memang kita
akui. Kalau mau bunuh, bunuh lah. Aku orang she Beng jika sampai jerih, bukan
seorang hohan. Tetapi kalau sekalian tangkeh menuduh loChungCu kami menyual
sahabat, itulah kurang pantas!”
Lou Ping- serentak maju
kemuka, seraja menuding ia memaki :
”Orang she Beng, kau masih tak
malu menyebut hohan. Coba jawablah, kau suruh kita sembunyi dalam gowa yang
demikian rapatnya, kalau sebelumnya tidak ada perjanyian, masa mereka bisa
mengetahui persembunyian kita?
Disemprot begitu, Kian Hiong
tak dapat menyawab. Per istiwa Ciu Ing Kiat kena dipikat untuk menyual rahasia,
orang-orang Thiat-tan-Chung merasa malu semua. Biar bagaimana takkan
diCeritakan pada orang luar. Maka berkatalah Bu Tim pada Ciu Tiong- Ing :
“Waktu peristiwa itu terjadi
mungkin benardua Ciu lochungcu tak berada dirumah. Tetapi kata orang „naga
harus punya kepala, orang punya pemimpin.” Soal kejadian di Thiat-tan-Chung
kita hanya dapat meminta pertanggungan jawab loChungCu saja, maka sukalah
memberi jawaban.”
Tiba-tiba Ban Khing Lan yang
bersembunyi dipinggir berseru dengan lantang :
“Anaknyalah yang membuka
rahasia itu, mengapa dia tak mau serahkan anaknya itu pada kau orang?”
”Ciu locianpwe, benarkah itu?”
tanya Tan Keh Lok sambil melangkah setindak lagi.
Ciu Tiong Ing orangnya jujur,
sekali-kali tak mau omong justa. Dia anggukkan kepalanya. Sesaat itu
terdengarlah suara berisik dari orang-orang HONG HWA HWE, dan mereka makin mera
pat, sambil menantikan tindakan sang! thocu lebih lanyut.
Tan Keh Lok palingkan
pandangannya kearah Ban Khing Lan, tanyanya dengan keren:
“Siapakah dia, belum sempat
menanyakan gelaran saudara?”
“Dia adalah salah seorang
kawanan kuku garuda yang telah menangkap Bun suko!” menyelutuk Lou Ping.
Tanpa mengucap apa-apa, dengan
tenang ketua HONG HWA HWE itu maju kemuka Ban Khing Lan dan tiba-tiba dia
ulurkan tangan merampas kong-jwan orang she Ban itu, terus dilemparnya.
Dan tak kurang sebatnya,
tahu-tahu kedua tangan anggauta kuku garuda itu telah ditelikung kebelakang
punggungnya, kemu dian Cukup dipegangi dengan tangannya kiri saja.
“Aduh, aduh!” Khing Lan
mengerung kesakitan, tapi dia tak berdaya untuk berontak lagi.
Gerakan Tan Keh Lok itu luar
biasa sebatnya, sehingga orang-orang tak dapat mengetahui gerakan apakah yang
diguna kan tadi. Ban Khing Lan bukan sembarang jago, bugenya lihai sekali. Hal
ini disaksikan oleh orang-orang HONG HWA HWE sendiri. Tapi kini ditelikung oleh
pemimpin muda itu, dia tak dapat berkutik sama sekali. Hal itu bukan saja
menajubkan orang-orang Thiat-tan-Chung, sekalipun orang-orang HONG HWA HWE
sendiri sama kemekmek dan terkejut. Karena selama ini hanya di ketahui bahwa
Cong-thocunya itu adalah achliwaris satuanya dari Thian Ti koayhiap, tapi
bugenya sebegitu jauh, belum pernah mereka lihat dengan mata kepala sendiri.
“Dimana kau bawa Bun suya?”
bentak Tan Keh Lok.
Ban Khing Lan membisu, malah
mengunyukkan sikap yang sombong, Tan Keh Lok totokkan jarinya kearah orang,
seraja bentaknya :
”Kau bilang tidak?”
Ban Khing Lan mengeluh
kesakitan, dan menyerit :
„Kau hendak menyiksa orang
Cara begini, bukanlah laku seorang hohan kalau mau bunuh, bunuhlah”
Ucapan itu terhenti dengan
berketesnya butir-butir keringat dari atas kepalanya, ketika Tan Keh Lok
kembali menotok jalan darah "jwan-ma-hiat.” Kali ini Ban Khing Lan
betul-betul tak dapat bertahan lagi, lalu bisiknya dengan lemah :
“Aku bilang ……… aku bilang.”
Waktu Tan kembali menotok
„khi-ie-hiat”-nya, meluncur kan beberapa patah kata dari mulut Khing Lan :
„Kalau ingin menolong dia, harus pergi ke Pakkhia.”
“Dia belum binasa,” seru Lou
Ping dengan menahan napas.
”Sudah tentu belum, dia kan
pesakitan penting, siapa yang berani membunuhnya!” sahut siorang she Ban.
“Omonganmu ini boleh
dipercaya?” kembali Lou Ping menegasi.
“Masa aku berani menyustaimu.”
Karena dihadapi oleh rasa
girang yang meluap-luap, Lou Ping roboh tak ingat diri. Hi Tong segera ulurkan
tangan hendak membangunkannya, tapi seCepat-cepat itu pula dia tarik kembali
sang tangan. Adalah si Bongkok yang Buru-buru memapahnya seraja berseru :
“Suso, kau kenapa?”
Disamping itu dia melirik
kearah Hi Tong, karena merasa heran atas kelakuannya barusan. Berbareng pada
saat itu Tan Keh Lok perintahkan pada pelajannya untuk mengikat Ban Khing Lan.
“Saudara-saudara sekalian,
yang terpenting kita tolong Bun suko dulu. Perhitungan disini besok kita
bereskan lagi.”
Semua orang-orang HONG HWA HWE
nyatakan setuju. Pada waktu itu Lou Ping yang sudah tersedar dan duduk dikursi,
sampai kucurkan air mata karena girangnya. Tan Keh Lok lalu tinggalkan tempat
itu. Ciang Cin tetap memapah Lou Ping yang masih pintyang itu. Ketika berada
diluar, Cong-tho-Cu itu mengangkat tangan lagi dan berkata pada tuan rumah :
“Maaf, banyak-banyak membikin
repot. Budi tentu terbalas dan takkan kami lupakan. Kelak kita berjumpa lagi.”
“Hem,” demikian Tiong Ing
perdengarkan suara hidung. Dia tahu sehabis menolong Bun Thay Lay, orang-orang
HONG HWA HWE itu pasti akan datang membikin perhitungan lagi.
”Kalau kauorang tetap buta
dengan kenyataan, akupun tak jerih,” demikian pikirnya.
“Habis menolong Bun suko,
akulah Ciang bongkok, yang pertama-tama akan minta pengajaran dari enghiong
hohan Thiat-tan-Chung ini,” seru Ciang Cin.
“Dengan kawanan anying atau
beruang saja masih kalah tingkatannya, maCam apa disebut enghiong!” seru Seng Hiap.
Mendengar itu marahlah Ciu Ki,
puteri Tiong Ing, serunya : „Kau maki siapa?”
“Kumaki orang tua yang tak
punya perikemanusiaan dan yang tak becus urus rumah tangganya,” balas Seng Hiap
tak kurang sengitnya.
Kiranya meskipun si „menara
besi” ini mempunyai ilmu thiat-pohsan, namun jotosan Tiong Ing yang kena
dadanya tadi, sakitnya bukan kepalang. Tambahan lagi Bun Thay Lay ternyata
“dijual” oleh putera musuhnya itu makin meluaplah kebenCiannya dan mendamprat sekena-kenanya.
Ciu Ki yang beradat berangasan
itu segera melangkah maju dan balas mendampratnya :
”Telur busuk macam kau, berani
menista ayahku!”
“Hah! Budak perempuan ini!”
bentak Seng Hiap seraja berlalu, karena dia paling benci bertengkar dengan
orang perempuan.
Karuan Ciu Ki makin berkobar
amarahnya, masa ia disa makan seperti budak hina. Memburu maju, berserulah ia :
“Kau mau apa?!”
“Panggil kakamu, katakan aku
Thiat-tah Nyo Seng Hiap mau bertemu!”
“Ha, kakaku?” balas Ciu Ki
dengan heran.
“Ada soal jual sahabat, akan
ada juga soal minta bertemu sahabat. Kokomu kan sudah menyual Bun suko, habis
dia bersembunyi dimana?” Wi Jun Hwa ikut mengomong.
Ciu Ki tetap tak mengerti
maksud orang, karena ia tak merasa punya koko. Sebaliknya Kian Hiong segera mengeta
hui bahwa karena mendengar kata beracun dari Ban Khing Lan, oranga HONG HWA HWE
itu telah salah faham. Karena keadaan sudah memaksa, maka Kian Hiong bertekad
akan mewakili suhunya, dan berserulah dia keras-keras:
“Liatwi kalau masih ada
perkataan apa-apa, silahkan nyata kan sekarang, agar besok tak usah merepotkan
liatwi untuk berkunyung kemari lagi!”
“Kita akan minta berjumpa
dengan koko dari nona ini,” Ciang Cin ikut bicara.
“Kau, si bongkok ini, sudah
edan barangkali. Mana aku punya koko?” Ciu Ki mendamprat dengan sengit.
Dikatakan “bongkok” begitu,
Ciang Cin menggerung, terus ulurkan sepasang tangan
Cakar garuda untuk meraum muka
sinona. Ciu Ki Cepat-cepat menabas dengan goloknya dan peCahlah pertempuran.
Ciang Cin dengan ilmu silat tangan kosong “lin-na-kang” melajani Ciu Ki yang
memainkan golok.
Juga Wi Jun Hwa kibaskan
siang-kaonya, sambil berseru :
”Beng-ya, mari kita main-main
sebentar!”
“Silahkan Wi-ya mulai lebih
dulu!” sahut Kian Hiong.
Menyusul dengan itu, disana
Ciang Su Kin pun mulai bertempur dengan Kian Kong.
”Kalau kawanan penyual teman
ini tetap merintangi, kita bakar saja rumahnya ini!” tereak Seng Hiap.
Pertempuran makin seru, disana
sini terdengar gemeren Cingnya senjata beradu. Melihat itu tak kuasalah Ciu
Tiong Ing menahan hatinya katanya pada pemimpin HONG HWA HWE :
“Bagus, HONG HWA HWE hanya
pandai gunakan lidah melukai hati orang dan mengandalkan jumlah besar untuk
menindas.”
Seketika itu bersuitlah Tan
Keh Lok keras-kerasseraja mene puk tangan dua kali. Tiba-tiba pertempuran
berhenti, dan orang HONG HWA HWE mundur berdiri dibelakang pemimpinnya.
Berkatalah Tan Keh Lok :
”Ciu loenghiong memaki kita
andalkan jumlah banyak-banyak untuk menCari kemenangan. Aku yang rendah ini
seorang diri akan mohon pengajaran loenghiong!”
“Itulah bagus,” sahut Tiong
Ing. “Tadi kita sangat meng agumi gerakan Tan tangkeh, dan mengakui bahwa sifat
eng-hiong itu sudah kentara sedari masih berusia muda. Lohu ingin sekali
menerima pelajaran. Entah tangkeh mau ber main-main dengan senjata atau tangan;
kosong saja?”
”Golok kan sudah menancap di
penglari, bagaimana mau bertanding dengan senjata,” Ciok Siang Ing berkata
dengan tajam. Dan memang ucapan itu telah memerahkan telinga Tiong Ing.
Semua kepala sama mendongak
keatas penglari, memang benar disitu tertanCap sebatang kim-pwe toa-to.
Tiba-tiba ada sebuah bayangan mengapung keatas.
Dengan sebelah tangan memegang
tiang bandar, sebelah tangan satunya menCabut golok itu. Dan enteng laksana
kapas, bayangan itu melayang turun lagi, terus menghampiri dihadapan Tiong Ing
dan me nekuk separoh lututnya seraja mengangsur senjata itu keatas kepalanya,
katanya :
”Ciu lo-thay-ya, inilah
golokmu.”
Melihat bayangan itu ternyata
Sim Hi, pelajan Tan Keh Lok, orang-orang sama terkesiap. Tidak dikira kalau
boCah yang masih begitu hijau, ilmunya mengentengi tubuh sudah se demikian
lihainya.
Diunyuki permainan begitu,
Tiong Ing makin merah wa jahnya. Dia hanya perdengarkan suara “hm,” tanpa
menghiraukan Sim Hi, dia berkata pula pada ketua HONG HWA HWE :
”Tan tangkeh silahkan memakai
senjata, lohu akan melayani dengan tangan kosong saja.”
Waktu itu Kian Hiong
Cepat-cepat menyambuti golok yang diangsurkan oleh Sim Hi, lalu membisiki
suhunya :
“Suhu tak boleh menuruti
kemarahan, pakailah senjata untuk tempur dia.”
Kiranya Kian Hiong kuatir
betul-betul suhunya akan melajani senjata musuh dengan tangan kosong, itu tentu
berarti rugikan namanya. Pada saat itu Sim Hi, sudah mengambil keluar senjata,
terus diangsurkan pada majikannya.
”Cong-thocu, dia mau adu
tangan kosong, baik thocu juga pakai tangan kosong untuk mengalahkannya,” bisik
Thian Hong.
Ternyata dia ini beranggapan
lain. Bahwa tanda-tanda mengun jukkan kalau Ciu Tiong Ing itu lebih bersikap
bersahabat daripada bermusuhan terhadap HONG HWA HWE Sekali gunakan sen-jata,
tentu bakal ada yang mati atau terluka. Rasanya dengan tangan kosong lebih
sesuai.
Kedua kalinya, dia pernah
rasakan kelihaian permainan golok Tiong Ing, yang meskipun dikerojok bersama Wi
Jun Hwa, tetap tak terkalahkan. Apalagi dia tak ketahui ba gaimanakah ilmu
senjata dari Cong-thocunya. Tadi yang disaksikannya ialah gerakan tangan Tan
Keh Lok sewaktu menelikung Ban Khing Lan, memang lihai dan sebat sekali. Jadi
terang, kalau ilmu silat tangan kosong dari pemim pinnya itu sangat lihai.
Dengan berkelahi tangan kosong, dia bermaksud agar Cong-thocu bisa merebut
kemenangan.
Tan Keh Lok menyetujui anyuran
Thian Hong, dan katanya pada tuan rumah sembari tak ketinggalan merangkap kedua
tangannya :
”Aku yang rendah akan mohon
beberapa jurus gerakan tangan kosong dari Ciu lo-eng-hiong. Harap lo-enghiong
berlaku murah.”
“Ah, Tan tangkeh terlalu
merendah”, sahut Tiong Ing.
Ciu Ki tampil kemuka untuk
bantu meloloskan jubah ayahnya, sambil membisikinya :
“BoCah itu mahir tiam-hiat,
harap ayah berlaku hati-hati.”
Nona ini kelihatan marong
wajahnya. Sebenarnya ia di liputi kemarahan hebat, hanya musuh berjumlah
banyak-banyak, dan rata-rata mereka bugenya lihai-lihai. ia pun menginsyapi gen
tingnya suasana saat itu.
“Kalau sampai terjadi apa-apa
atas diriku, pergilah kau pada Kho sioksiok-mu di Lan Ciu. Dikemudian hari
jangan sekali-' kau terbitkan onar lagi.” Tiong Ing memberi pesanan pada
puterinya dengan suara bisik-bisik.
Dengan hati berat, Ciu Ki
angguk-anggukkan kepalanya. Kala itu Song San Beng sudah perintahkan kawanan
Congteng untuk menyingkirkan meja dan kursi-kursi di ruangan itu, sehingga kini
merupakan sebuah ruangan kosong yang luas. Pada empat penyuru, dipasanglah
lilin-lilin besar yang menyinari ruangan itu dengan terang sekali.
Ciu Tiong Ing tampak tampil
ditengah-tengah, merangkap kedua tangannya, dia berkata :
”Harap silahkan memulai.”
Dengan tiada menukar jubahnya
yang panyang , Tan Keh Lok dengan tenang menghampiri ditengah-tengah. Sembari
meme gang kipas yang terus dikipas-kipaskannya, katanya dengan lan tang: “Aku
yang rendah ini kalau sampai kalah, tentu akan mengundang semua Cianpwe dari
kalangan persilatan daerah barat utara sini untuk menyaksikan penghaturan maaf
kita kepada loenghiong. Dan selanyutnya anggota-anggota HONG HWA HWE tak kan
menginyak didaerah Kamsiok sini.”
“ucapan Tan tangkeh ini
terlalu berat,” jawab Tiong Ing.
Tan Keh Lok mengangkat
alisnya, lalu bertanya :
“Tetapi sebaliknya kalau
lo-Cianpwe yang “salah tangan,” lalu bagaimana?”
Jago Thiat-tan-Chung itu
dangakkan kepalanya seraja tertawa. Dengan menguruti jenggotnya dia menyahut :
“Seluruh penghuni Thiat-tan-Chung, tua muda, bersedia serahkan jiwa pada Hong
Hwa Hwe!”
"HONG HWA HWE meskipun
hanya sebuah perkumpulan kecil yang tak berarti, tapi dapat juga membedakan
budi dengan ke jahatan. Bagaimana kita disuruh membunuh orang-orang yang tak
ikut berdosa? Kalau aku beruntung dalam pertandingan ini, kita akan berlaku
kurang ajar untuk minta agar locianpwe suka serahkan putera locianpwe yang
memboCor kan tempat persembunyian Bun suko itu. Kalau kelak Bun suko dapat kita
tolong dengan selamat, aku menyamin tak kan mengganggu seujung rambutnya dan
akan mengantar kan kembali kesini. Tetapi kalau sampai Bun suko kena apa-apa
maaf, kita terpaksa suruh dia mengganti jiwa,” demikian kata Keh Lok.
Mendengar disebut-sebutnya
sang putera, teringatlah Tiong Ing akan kecintaan ayah dan anak, dan tak terasa
matanya mengembeng air mata. Tapi pada lain saat sambil mengulap mukanya, dia
berkata :
“Sudah jangan banyak-banyak
berkata, silahkan mulai!”
Tan Keh Lok selipkan kipasnya
kedalam dada, berdiri te gak dia rangkap kedua tangan dan berkata: “Silahkan!”
Semua mata mengawasi pemimpin
muda itu dengan tak terkesiap. Diam-diam mereka kagum atas sikapnya yang agung
perbawa itu. Ciu Tiong Ing menaati peraturan Siao Lim Pai, tangan kiri dibuka,
tangan kanan mengepal. Dia tahu sebagai angkatan muda, ketua HONG HWA HWE itu
pasti tak mau menyerang dulu. Maka diapun tak mau tunggu lama-lama lagi, terus
menyerang muka sitetamu dengan gerak “Co Cwan hoa Chiu.” Pukulan itu luar biasa
kerasnya, kepalan belum tiba anginnya sudah menampar muka.
Tan Keh Lok bergerak dengan
“han kee poh,” tangan kanan menyampok pukulan Tiong Ing, berbareng tangan
kirinya menyikut lambung orang. Pukulan ini adalah ilmu silat Siao Lim yang
disebut "tan hong tiao yang” burung hong meng hadap matahari.
Gerakan itu membuat kesima
semua orang. Mereka sama tak mengira kalau pemimpinnya itupun dapat gunakan
ilmu silat Siao Lim Pai untuk lajani ilmu silat dari Cabang Siao Lim yang
diyakinkannya berpuluh tahun itu. Sampaipun Ciu Tiong Ing sendiri merasa heran.
DEMIKIAN jurus demi jurus. Tan
Keh Lot berkelahi dengan ilmu silat Siao Lim Pai yang dimainkannya dengan mahir
sekali. Sehingga walaupun namanya bertempur, tapi nyatanya mereka itu seperti
orang berlatih karena gerakan masing-masing sama sumbernya.
Lebih sepuluh jurus telah
berlangsung, tapi masih belum ada yang terdesak. Ciu Tiong Ing adalah seorang
jago Siao Lim Pai yang telah mencapai punCaknya kesempurnaan. Gerak kaki dan
tangannya, senantiasa mengeluarkan deru samberan angin. Ke lebihan ilmu silat
Siao Lim Pai, adalah dalam hal kesebatan. Demikianlah Tiong Ing makin lama
makin gesit.
Pada saat itu dia bersilat
dengan gerakan “jong-siao lim” yang terdiri dari tiga tujuh jurus. Baru sampai
separoh, Tan Keh Lok segera terdesak. Selagi begitu Tiong Ing berseru keras
sembari memutar tubuhnya kekiri, dari situ dengan gerak secepat-cepat bintang
jatuh, dia rangsang lawannya. Tan Keh Lok buru- mundur selangkah, namun biar
bagaimana, orang-orang Hong Hwa Hwe sama mengeluarkan jeritan tertahan, karena
hampirs saja pemimpin muda itu tak dapat loloskati diri.
Kini Tan Keh Lok tidak lagi
gunakan Siao Lim Kun, tap”! berganti dengan “ngo-heng-lian-hoan-kun” juga salah
suatu ilmu silat yang lihai dari; Siao Lim Pai. Dalam salah satu jurusnya yang
dinamakan “oh-liang-jay-kwa” naga hitam menyambar semangka, dia hajar dada
orang.
”Bagus!” seru Ciu Tiong Ing
sembari masih tetap gunakan jurus ilmu silat Siao Lim Kun untuk memusnahkan serangan.
Setelah lewat beberapa jurus,
mendadak Tan Keh Lok ganti menyerang dengan “pat-kwan-yu-sim-Ciang,” menyerang
sana-sini sambil ber-putardua. Karena jubahnya berge rombongan, maka diantara
sinar lilin, tampaknya seperti sepuluh buah bayangan yang mengitari lawan.
Ciu Tiong Ing Cukup
berpengalaman, dengan tenang dia sambut setiap serangan, hingga lawan tak dapat
berbuat banyak-banyak. Ketika Ciu Tiong Ing kirim sebuah serangan lagi, Tan Keh
Lok gunakan lweekang untuk pegang tangan orang. Gerakan itu adalah dari ilmu
silat Thay Kek Kun yang disebut “ji hong si pit”.
Tan Keh Lok bergerak dalam
gerakan Thay Kek Kun, de ngan ketenangan melajani kekerasan, dengan kelemahan
me nundukkan kekuatan. Dia halau setiap serangan, dia enyahkan setiap tipu
gerakan. Pada waktu itulah mata semua orang baru sama terbuka dengan penuh
kekaguman. Sejak dulu ilmu silat Thay Kek Pai mempunyai sifata keistimewaan
sendiri, dan sedikit saja yang dapat memiliki sempurna. Sekalipun muda usia
ketua HONG HWA HWE itu, tetapi ternyata dia mempunyai ilmu gwakang dan lwekang
yang sempurna. Suatu hal yang jarang terdapat dikalangan kangouw.
Thiat-tan Ciu Tiong Ing, jago
Siao Lim yang kawakan itu, terpaksa harus melajani dengan hati-hati. Memang
nampak nya gerakan kedua lawan itu lambat, tapi dimata achli silat, pertempuran
itu lebih dahsyat dari semula. Sampai pada jurus kedua, keduanya masih belum
mengunyukkan mana yang lemah.
Tiba-tiba Tan Keh Lok berganti
Caranya berkelahi. Kini dia gunakan ilmu silat Tiang Kun dari kaum Bu Tong Pai,
se bentar pula dengan ilmu silat “toa-lin-na-hwat” yang terdiri dari tiga enam
jurus, lalu dengan “hun-Ciat-Cho-kut-Chiu” dan lain saat lagi dengan ilmu silat
Gak-ke san-Chiu.
Baik kawan maupun lawan sama
terpesona, tak habis-habisnya mengagumi. Bahwasanya pemimpin muda dari HONG HWA
HWE itu kaja dengan pelbagai ragam ilmu silat, yang kesemuanya sukar dan jarang
dapat dijakinkan. Dan mereka sama me nantikan dengan perhatian, ilmu silat apa
lagi yang akan dikeluarkannya.
Ciu Tiong Ing tetap bertekun
menggunaklm ilmu silat Siao Lim Kun, dan nampaknya dia tak jsatfhpai keteter.
Ber puluh tahun berkelana dikalangan Sungai Telaga, jenis ragam ilmu silat dari
Cabang apa saja telah diketahui dan dijumpainya. Sekalipun achli yang mahir
dengan berbagai ilmu silat seperti Tan Ken Lok tersebut belum p'ernah di
lihatnya, tapi dengan mengandal pada Siao Lim Kun, dia dapat melajaninya dengan
tak sampai kewalahan.
Suatu saat, jago Siao Lim Pai
itu tiba-tiba melangkah se tindak, sebat luar biasa, dia kirim pukulan kiri
kekaki lawan. Dan selagi anak muda itu akan menarik tubuh, tahu-tahu lawan
telah gunakan gerakan “li-hi-bak-thing” ikan lehi menggoyang angsan, „
“Rett” tahu-tahu jubah Tan Keh
Lok pada bagian dada telah rowak seperti terbeset.
“Maaf!” seru Ciu Tiong Ing.
Muka Tan Keh, Lok merah padam.
Cepat-cepat kedua jarinya akan menotok jalan darah “jwan-ma-hiat” dari lawan,
namun lawan telah bersiap, maka keduanya terlibat lagi dalam pertempuran yang
gigih.
Kembali pada saat itu
orang-orang sama ke-heranduaan lagi. Karena mereka tak tahu ilmu silat apa yang
digunakan oleh ketua muda itu, ilmu „Toa-kim-na-Chiu” dicampur dengan tiamhiat
(totokan). Tangan kiri bergerak dalam “Cat-kun,” tapi tangan kanannya bergerak
dalam “Bian-Ciang” pukulan kapas. Gerak serangannya seperti “pat-kwa-Ciang,”
tapi gerak penyagaannya seperti Thay Kek Kun. Gerak ragamnya, seperti tak
keruan, kaCau balau, sehingga mata orange yang mengikutinya sama
berkunang-kunang.
Kiranya ilmu silat itu adalah
Ciptaan dari Thian Ti koay-hiap, Wan Su Siao, yang disebut “peh-hoa-jo-kun”
ilmu silat ratusan bunga. Thian Ti Koayhiap sejak muda gemar belajar buge. Dia
merantau jauh sekali untuk mengunyungi dan berguru pada gurudua yang ternama,
sehingga mahirlah dia akan peibagai Cabang ilmu silat. Setelah itu dia menetap
didaerah Sinkiang, untuk menyembunyikan diri.
Disitulah dia mulai mejakinkan
ilmunya, mengambil kele bihan dari sesuatu Cabang ilmu silat, mehtyang kok
sana-sini dan achirnya terCiptalah “peh-hoa-jo-kun”-nya itu. Ilmu silat ini
bukan saja sukar diduga” tapi juga mempunyai keistimewaan sendiri, yaitu yang
terletak pada gerakan “jo” salah. Benar jurus- gerakannya hampir serupa dengan
apa yang terdapat dalam Cabang ilmu silat yang terdapat di kalangan kangouw,
tetapi sebenarnya tidak sama. Bermula lawan tentu mengira bahwa serangannya itu
adalah tipuan, tetapi dia nanti akan menjadi kaget setelah menangkis dan
dapatkan bahwa serangan itu bukan seperti yang diduganya.
Untuk mejakinkan ilmu silat
luar biasa ini, orang harus mahir dalam ilmu gwakang dan lwekang, kim-na-kang,
tiamhiat dan ilmu mengentengi tubuh. Sejak Thian Ti koay-hiap Ciptakan ilmu
tersebut, dia sendiri belum pernah meng gunakannya. Dan murid tunggal satu-nya,
ialah Tan Ken Lok ini.
Begitu Tan Keh Lok keluarkan
“peh-hoa-jo-kun”-nya, orang- sama menyaksikan perobahan pada jalannya
per-tempuran itu. Dengan sepasang tangannya, Ciu Tiong Ing berusaha untuk
menangkis dan melindungi mukanya. Dan sembari begitu, dia terus mundur-mundur
saja. Dia bingung untuk menduga gerak serangan anak muda itu. Bukan saja
gerakannya aneh, pun pukulannya, totokan jarinya, mengandung jurus'dua dari
ilmu golok dan pedang. Betul-betul dia gelagapan.
Ketika melihat ayahnya
terdesak kalah, Ciu Ki sibuk seka li, lalu berseru keras:
“Ilmu silat apa yang kau
keluarkan itu? Sungguh gila! Katanya adu silat, mengapa kau gunakan pukulan
yang tak keruan maCamnya itu?”
Baru saja dia berseru begitu,
dari luar ruangan masuk lah dua orang sambil bertereak: “Tahan!”
Ternyata mereka, bukan lain
adalah Liok Hwi Ching dan Tio Pan. San. Tapi justeru orange Hong Hwa Hwe akan
membuka mulut kepada kedua orang ini, tiba-tiba terdengarlah dari arah luar
seorang berseru dengan keras sekali:
„Api.. ada api! Lekas padamkan
kebakaran!” Dan berbareng dengan tereakan itu, api sudah menyilat masuk ke
ruangan itu.
Ketika itu Tiong Ing sedang
dirangsek oleh Tan Keh Lok, begitu mendengar tereakan rumah dan seluruh isinya
dima kan api, dia terkesiap juga dan untuk sesaat pikirannya bujar memikirkan
hal itu. Cukup sesaat saja, sekonyong-konyong paha kirinya terasa kesemutan,
dan dia merasa kakinya le mas. Ternyata “hu hi hiat” atau jalan darah
dipahanya, telah kena tertotok orang. Ciu Tiong Ing, jago tua yang telah
berpuluh tahun malang melintang dikalangan Sungai Telaga dengan belum pernah
dijatuhkan orang itu, kini sempojongan akan roboh kebelakang.
“Ayah!” demikian dengan
Cepat-cepat Ciu Ki memburu untuk memapahnya, sembari melintangkan goloknya
untuk melin dungi sang ayah, bilamana musuh akan menyerangnya lagi.
Tapi sebaliknya Tan Keh Lok
tak mau memburu, dia ha nya mundur selangkah, seraja berkata:
“Bagaimana kata Ciu loenghiong
sekarang?”
„Baik, aku mengaku kalah.
Anakku kuserahkan, mari ikut aku”, balas Tiong Ing dengan murkanya.
Dengan dipapah oleh puterinya,
Tiong Ing menuju keluar ruangan.
Tan Keh Lok, Liok Hwi Ching
dan sekalian orange HONG HWA HWE sama mengikuti Tiong Ing. Melintasi dua buah
ruangan, tampaklah api makin besar. Dalam malam yang gelap gulita, api itu
menyulang keydara, merah marong diantara kabut asap yang ber-gumpaldua memenuhi
angkasa itu. Beng Kian Hiong, An Kian Kong dan Song San Beng siangdua sudah me
ngepalai kawanan Congteng untuk memadamkan api.
„Saudara-saudara, kita bantu
memadamkan api dulu!” kedengar an Ji Thian Hong mengajak Kawan-kawan nya.
“Hem, kau yang suruh orang
melepas api, sekarang pura-pura mau menjadi orang baik-baik , ja?” Ciu Ki
mendamprat.
Tadi iapun mendengar, Thian
Honglah biangkeladi yang memerintahkan membakar, mengingat itu, dengan tanpa
hiraukan musuh berjumlah besar ia angkat goloknya untuk monyerang orang itu.
Thian Hong biirudua menyingkir. Ciu Ki makin kalap, dan terus akan mengubernya.
Tapi telah diha dang Tio Pan San yang memberi nasehat untuk berlaku tenang
dulu. Sekalipun Ciu Ki ber-jingkrakdua meronta-ronta, tapi dengan hanya
menyempitkan tangan pada gigir golok, Pan San telah membuatnya tak berdaya.
Tiong Ing tak hiraukan hal itu
dan terus melangkah ke belakang. Orang-orang HONG HWA HWE menjadi terkesiap,
ketika menge tahui bahwa ruang itu adalah tempat lingtong (ruangan je nazah).
Dua batang lilin putih, menyinarkan Cahajanya yang pudar, hingga keadaan
ruangan itu sangat menyeramkan sekali. Begitu Tiong Ing menyingkap kain
selubung putih, maka tampaklah sebuah peti mati yang hitam warnanya. Tutup peti
itu ternyata masih belum dipaku. Kiranya sete lah puteranya meninggal, karena
Ciu Ki masih belum pu lang, maka Tiong Ing belum mau menutup peti itu dulu,
agar nanti. Ciu Ki dapat kesempatan untuk melihat adiknya untuk yang
penghabisan kali.
“Bahwa anakku telah
memboCorkan tempat persembunyian Bunya, itu meniang benar. Dan kini kau orang
akan mem bawa anak itu, baiklah, mari ambillah dia!” demikian kata Tiong In°;
dengan suara tak lancar.
Nyata jago tua Itu masih
terkenang akan putera yang dikasihinya itu. Menampak seorang jenazah anak kecil
ter hampar didalam peti mati, orang-orang HONG HWA HWE itu tak habis herannya.
Maka berserulah Ciu Ki:
„Adikku adalah seorang anak
yang baru berusia sepuluh tahun. Dia sebetulnya belum mengerti apas dan telah
menunyuk kan tempat persembunyian orang she Bun itu. Ketika ayah pulang, dia
begitu murka dan sampai tegah untuk membu nuh dengan tangannya sendiri. Karena
inilah maka sampai ibuku marah dan meninggalkan rumah. Bukankah ini meng
girangkan hati kalian? Kalau masih belum puas, Ayo orang HONG HWA HWE, bunuhlah
kita, ayah dan anak berdua, Ayo!”
Seketika itu orange HONG HWA
HWE sangat menyesal sekali, alas perbuatan mereka terhadap orang tua Ciu Tiong
Ing yang ternyata seorang perwira yang menyunyung tinggi rasa ke adilan dan
peri kebajikan itu. Rasa sesal, terharu dan menghormat itu, memenuhi dada
setiap orang HONG HWA HWE, se hingga ruangan itu seketika menjadi sunyi senyap.
Si Bongkok Ciang Ciu adalah
orang pertama yang meng unyukkan ketulusan hatinya. Melangkah kemuka, dia
segera menyura dihadapan Ciu Tiong Ing, seraja berkata:
„L.oya, tadi telah bersalah
besar terhadapmu, aku Ciang”
Bongkok, dengan ini meminta
maaf se-besarduanya.
Habis berbuat begitu, kembali
dia menghadap kearah nona Ciu Ki untuk menyura dan berkata pula:
„Nona, maafkanlah aku.
Seterusnya panggillah aku „bong-kok” sekehendak hatimu, tak sekali-kali aku
berani marah.”
Mendengar itu, Ciu Kie tertawa
urung.
Pada saat itu ber-turutdua Tan
Keh Lok, orang yang pernah memaki orang tua itu jakni Lou Ping, Nyo Seng Hiap,
Chi Thian Hong dan lain-lain orang HONG HWA HWE, sama datang menyura untuk
menghaturkan maaf pada Tiong Ing. Jago tua yang keras hati ini
tersipu-sipumembalasnya. Berkata pemimpin HONG HWA HWE:
„Kebajikkan yang Ciu
loenghiong tumpahkan pada HONG HWA HWE, akan kita ukir sampai mati.
Saudara-saudara sekalian, kita perlu lekas padamkan api, Ayo lekas bertindak!”
Mereka serentak menyingsingkan
lengan baju. Tapi ternyata api berkobar dengan hebatnya, sehingga langit
seperti dibakar warnanya. Gentengdua berguguran ketanah, belandar dan penglari
roboh disana sini, gegap gempita dihimpit dengan tereakan kawanan Conteng yang
riuh itu.
Propinsi Anse, terkenal daerah
“sarang” angin. Setahun penuh, tak ada seharipun yang tak berangin. Angin bukan
sembarang angin, tapi angin besar yang kiiat sekali. Diki pasi oleh sang angin,
tambahan lagi air sangat sukarnya, maka api itu rasanya susah untuk dipadamkan.
Thiat-tan-Chung yang megah luas itu, sebentar lagi akan menjadi tumpukan puing
rata dengan tanah.
Adalah dalam keadaan begitu,
Ciu Tiong Ing tetap meme gang peti mati puteranya, sikapnya seperti orang yang
tak sadar. Api sudali menyilat masuk kedalam ruangan, sedang Wi Jun Hwa, Ciok
Siang Ing, Cio Su Kin dan lain-lain.-nya sama berusaha untuk memadamkannya.
Nampak ayahnya seperti orang
yang kehilangan semangat itu, berserulah Ciu Ki:
„Ayah, Ayo kita keluar dari
sini!”
Ciu Tiong Ing tak mengacuhkan,
dia hanya memandang dengan tak terkesiap pada peti mati puteranya. Tahulah kini
orange itu, bahwa ayah yang sengsara itu tak tegah untuk lepaskan peti mati
jenazah puteranya itu dimakan api. Tiba-tiba Ciang Bongkok membungkukkan
badannya dan berseru pada Seng Hiap:
“Pat-ko, kau letakkan peti
keatas punggungku sini!”
Seng Hiap menurut, begitu peti
diang-kat terus ditumpang kan keatas punggung si Bongkok siapa terus
mendukungnya keluar. Dengan dipapah puterinya, Tiong Ing berjalan keluar
diikuti oleh rombongan HONG HWA HWE Mereka beristirahat disebuah lapangan
diluar Chung. Tak berselang berapa lama, ter dengarlah suara gemuruh keras dari
tiang penglari wuwung an rumah yang jatuh ketanah. Karena tak berdaya untuk
memadamkan api, sekalian orang sama berkerumun disebelah Tiong Ing.
„Astaga! kuku garuda itu masih
didalam sana!” tiba-tiba Sim Hi bertereak dengan kaget. Dan dia terus loncat
akan menolongnya, tapi diCegah oleh orang banyak-banyak.
„Orang yang banyak-banyak
dosanya itu, biarkan saja terbakar hangus disitu,” seru Ciok Siang Ing.
„Sayang , orang piauwkok itu
diberi kemurahan,” tiba-tiba Lou Ping bertereak.
„Siapa. dianya?” tanya Tan Keh
Lok.
Lou Ping Ceritakan halnya Tong
Siu Ho, si Cumi-cumi itu. Juga Kian Hiong menuturkan tentang kedatangan orang
itu untuk menyelidiki Thiat-tan-Chung.
“Benar, tentu dialah yang melepas
api!” kata Thian Hong.
Semua orartg pun menduga,
tentu perbuatan orang she Tong itu. Pada suatu kesempatan Thian Hong
mengerlingkan matanya kearah Ciu Ki, siapa juga justeru melirik Thian Hong.
Maka bertemulah sinar dari ke-empat mata! Buru-buru keduanya membuang muka
karena jengah.
„Kita harus tangkap orang
itu,” Tan Keh Lok nyatakan pikiran, lalu memerintah:
“Chi jit-ko, Nyo patko, Wi
kiuko, Ciang sipko, kauorang berempat leicas peCahkan diri menuju keempat
jurusan. Dapat menawan atau tidak, dalam satu jam harap sudah kembali lagi
kemari!”
Keempat orang itu
bergegas-gegas menyalankan perintah Sedang disebelah sini, tampak Liok Hwi
Ching pasang omong dengan Ciu Tiong Ing. Mereka sama mengagumi satu sama lain.
Pada saat itu kembali Tan Keh Lok meng haturkan maaf pada Ciu Tiong Ing seraja
berkata:
„Karena HONG HWA HWE maka
loenghiong sampai mengalami ke adaan begini. Budi loenghiong akan kami balas
sekuat usaha kami. Tentu kita Cari Ciu lothaythay supaya dapat kembali pada
loenghiong. Thiat-tan-Chung sudah menjadi abu, H.H H. yang akan membangunnya.
Kerugian dari sekalian saudaraa Cengteng, HONG HWA HWE yang mengganti. Harap
semuanya jangan kuatir.”
Nampak Thiat-tan-Chung menjadi
abu, Tiong Ing meng elah napas. Berpuluhdua tahun membangun, habis dalam se malam.
Tetapi mendengar ucapan pemimpin HONG HWA HWE itu, Buru-buru dia menyahut.
“Jangan Tan tangkeh mengucap
begitu. Harta benda adalah barang titipan. Kalau kau tetap beranggapan begitu,
sama saja artinya dengan menghina aku, tidak mau meng anggap aku sebagai
sahabat,” demikian katanya.
Ciu Tiong Ing paling gemar
bergaul. Dia saksikan bagai mana tadi orang-orang HONG HWA HWE matiduaan
berusaha menolong api, dan bagaimana sikap mereka yang begitu mengindahkan
padanya, diam-diam hatinya terhibur. Sekalipun Thiat-tan-Chung musna, tapi dia
dapatkan pengganti yang berharga: tali per sahabatan dengan begitu
banyak-banyak orang gagah.
Setelah diadakan pemeriksaan,
selain hanya kira-kira sepululian prang yang luka terbakar, yang mati atau luka
berat saja tidak ada. Ketika kemudian Song San Beng sampaikan kata-kata
pemimpin HONG HWA HWE itu pada sekalian Cengteng, mereka menjadi terhibur juga.
Selagi orang masih sibuk,
datanglah Wi Jun Hwa dan Ciang Bongkok melapor pada Tan Keh Lok bahwa Tong Siu
Ho tak dapat diketemukan sekalipun sudah diCari sampai enam atau tujuh li
jauhnya, Tidak berapa lama, Thian Hong dan Seng Hiap pun munCul, dengan tangan
kosong juga.
“Tidak apa, dia. kan orangnya
Tin Wan piauwkok, biarkan dulu besok kita urusi lagi,” habis berkata begitu Tan
Keh Lok berpaling kearah Tiong Ing, katanya:
„Ciu locianpwe, untuk
sementara ini sekalian Cengteng itu akan disuruh kemana?'''
„Soal ini, besok pagi sesudah
keadaan tenang, kita pikir kan lagi,” kata siorang tua.
„Siaotit ada usul, harap
ioCianpwe suka pertimbangkan,” tiba-tiba Thian Hong menyelak.
„Jit-ko kita ini terkenal
sebagai Bu Cu Kat, dia banyak-banyak sekali akalnya,” kata” Tan Keh Lok
setengah bersendagurau.
Melirik pada Thian Hong, nona
Ciu Ki perdengarkan suara hidung, lalu berkata pada Kian Hiong:
“Beng toako dengarlah, ada
orang yang melebihi hebatnya dari Cu Kat Liang, banyak-banyak akal, pun bisa
buge!”
Kian Hiong hanya tersenyum,
maka berkatalah Tiong Ing: “Ji-ya, Coba kau bilanglah.”
„Kukira setelah orang she Tong
itu melarikan diri dan orang she Ban itu tak kelihatan kembali, kawanan kuku
garuda itu pasti akan melapor pada pembesar negeri. Me nurut pendapatku, lebih
baik orang-orang Thiat-tan-Chung ini menuju ke barat saja, untuk menantikan
suasana kalau sudah agak reda. Kalau kita ketimur menuju kota Ti Kim Wi,
rasanya kurang leluasa.”
Tiong Ing setuju, katanya:
“Benar, lotit memang tak ke Cewa sebagai Bu Cu Kat. Besok kita berangkat ke
Anse. Disana aku punya sahabat yang rasanya takkan keberatan menerima kita
untuk beberapa hari saja.”
Mendengar ayahnya malah memuji
Thian Hong, Ciu Ki mendelu hatinya. Walaupun sekarang sudah nyata bahwa Thian
Hong bukan yang membakar Thiat-tan-Chung, tapi entah bagaimana, ia benCi pada
orang itu. Makin melihat, makin muak rasanya.
Setelah mengumpulkan semua
Cengteng dan keluarganya yang berjumlah enamdua orang itu, maka Tan Keh Lok
menyerah kan sepuCuk surat pada Song San Beng seraja berkata:
„Kali ini saudara-saudara
menderita kerugian besar, untuk itu aku merasa menyesal sekali. Untuk menetap
di Anse, tentunya saudara-saudara semua memerlukan ongkos, maka dengan ini suka
lah kiranya mcnerima sedikit pemberian yang tak bcrarti ini.”
Begitu melihat surat itu,
terkejutlah Song San Beng, se hingga untuk sesaat dia tak dapat berkata
apa-apa. Kian Hiong mendekatinya, dan tampak olehnya pada surat itu terdapat
tulisan yang berbunyi. „Dengan surat ini harap diberikan sepuluh ribu tail
perak”. Dibawah tulisan itu, terdapat tanda tangan yang bagus, entah apa
bunyinya.
“Tan tangkeh, kebaikanmu itu
kita terima dengan senang hati, tapi uang yang begini banyak-banyak, menyesal
kami tak dapat menerimanya,” kata Kian Hiong.
„Setiba di Anse harap Song-ya
pergi kekuil Giok Hi To Kwan untuk mengambil uang tersebut. Untuk keluarga
Beng-ya dan An-ya masing- harap diserahkan seribu tail. Song-ya sendiri harap
mengambil 500 tail. Sedang untuk enamdua saudara itu, masing-masing supaya
diberi seratus tail. Selebihnya silahkan pakai untuk ongkos jalan,” menerangkan
Tan Keh Lok.
Bermula Beng Kian Hiong mau
menolak, tapi telah dide sak oleh anak muda pemimpin itu. Kian Hiong memandang
kearah suhunya, akan minta pertimbangan. Sifat Ciu Tiong Ing adalah tangan
terbuka. Dia paling benCi orang yang main sungkanduaan, maka katanya:
„Karena itu sudah menjadi
kehendak Tan tangkeh, kau terima saja dan lekas haturkan terima kasih.”
Apa boleh buat mereka
Cepat-cepat haturkan terima kasih. Adanya Tan Keh Lok tak menghaturkan apa-apa
pada Ciu Tiong Ing dan puterinya, karena sangat menghargainya. Untuk Itu
legahlah hati jago tua itu.
“Tan tangkeh, betul-betul kau
mengliargai mukanya seorang tua ini,” kata Tiong Ing seraja menepuk bahu ketua
HONG HWA HWE itu.
Tiong Ing titahkan San Beng segera
ajak rombongannya berangkat ke Anse untuk meneduh ketempat kediaman Go tay
koan-jin dulu. Kelak setelah urusannya selesai, mereka akan dipanggil lagi.
“Ayah, jadi kita tak ikut
pergi ke Anse?” tanya sang puteri.
“Mana bisa, Bun suya
tertangkap ditempat kita, bukankah kita ikut bertanggung jawab untuk
monolongnya?” Mendengar maksud ayahnya akan ikut membebaskan Bun Thay Lay,
giranglah hati Ciu Ki, Kian Hiong dan Kian Kong.
“Maksud mulia dari Ciu
locianpwe, sangat kita jun jung dengan rasa terima kasih yang se-besarduanya,”
demikian Tan Keh Lok Buru-buru menyang gapi. “Tapi menolong Bun suko itu adalah
soal pembunuhan dan perlawanan pada kekuasa an pemerintahan. Liatwi sekalian
adalah rakjat baik-baik yang hidup dengan tentram, jauh berbeda dengan orang-orang
peran taUan kangouw seperti kita orang ini. Bukankah hal itu sangat tak
leluasanya?” Kita hanya akan mohon petunyuk dan renCana dari Ciu lo Cianpwe
saja. Tentang membasmi kawanan kuku garuda, menolong Bun suko, biarlah kita
sendiri saja yang mengerjakannya.”
Thiat-tan Ciu Tiong Ing
mengelus mengurut jenggotnya, lalu katanya.
“Tan tangkeh, kau tak perlu
kuatir akan merembetdua kita orang. Kalau kau menolak kehendakku yang akan
menolong
seorang sahabat itu, artinya
kau menganggap sepi padaku!”
“Ciu loenghiong adalah seorang
lelaki yang mulia ambe kannya. Semua orang kangouw sama mengetahui dan meng
hormatinya,” Liok Hwi Ching ikut menimbrung.” Andai kata dia bukan seorang
begitu, aku yang belum mengenalnya tentu tak berani gegabah menyuruh Bun su-ya
meneduh ke tempat kediaman beiiau!”
Tan Keh Lok termenung sejenak,
lalu katanya:
“Begitu tinggi keluhuran budi
Ciu loenghiong, kita seluruh anggauta HONG HWA HWE takkan lupa sampai mati.”
Malah Lou Ping seketika itu
maju menghampiri dan ber lutut dihadapan Ciu Tiong Ing, katanya dengan serta
merta:
„Loya rela membantu, aku atas
nama keluarga Bun dengan ini haturkan beribu terima kasih.”
“Bun naynay, kau legahkan
hatimu. Kalau tak dapat me
nolong Bun suya aku bersumpah
tak mau jadi orang lagi,” kata Tiong Ing seraja tersipu-sipumengangkat nyonya
muda itu bangun. Habis itu dia minta pada Tan Keh Lok supaya lekas mengeiuarkan
perintah untuk berangkat.
Dengan ucapan merendah, Tan
Keh Lok minta lagi agar Tiong Ing dan Hwi Ching, dua jago tua itu, memberi
petunyuk, Sudah barang tentu Hwi Ching menolak dan minta agar ketua itu sendiri
yang mengeluarkan perintah sendiri dengan segera.
„ Kalau begitu baiklah”,
demikian aehirSnya Tan-Keh Lok berkata.
„Saudara-saudara sekalian,
lebih dulu kita bersembahyang pada Hong Hwa loCu kita!” seru Tan Keh Lok pada
orang-orang nya.
Dia suruh ambilkan sebuah
pakaian baru, untuk ganti pa kaiannya yang telah robek didada itu, setelah itu
dia pimpin saudara-saudaranya untuk bersujud menghadap kearah selatan. Mereka
memberi hormat (Paikui). sampai tiga kali. Selesai itu, baru pemimpin muda itu
memberikan perintahnya. Apr yang membakar Thiat-tan-Chung sudah padam, hanya
sana sini terdengar suara kretekan tangkaidua potongan kaju yang masih dimakan
lelatu. Dengan chidmat, sekalian orang-orang HONG HWA HWE itu mendengari
perintah ketuanya:
Pertama: Sebagai pelopor
dimuka, ialah Kim-tiok siuCay, Ie Hi Tong dan SeChwan Siang hiap Siang He Ci
dan Siang, Pek Ci sebagai penghubung untuk memberi warta tentang keadaan Bun
Thay Lay.
Rombongan kedua terdiri dari:
Cian-pek ''Ji-lay Tib Pan San sebagai pemimpin dengan anggautanya: Sipemberani
Ciang Cin, Kui-kiam-Chiu Ciok Siang Ing.
Rombongan ketiga, pemimpinnya:
Cui-hun-to-bing-kiam Bu Tim tojin dengan anggauta: Thiat-ta Nyo Seng Hiap,
Thong thao-ngo-hie Ciang Su Kin.
Rombongan keempat dipimpin
sendiri oleh Tan Keh Lok dengan anggauta: Kiu-beng kim-pao-Cu Wi Jun Hwa, clan
sikaCung Sim Hi.
Rombongan kelima dipimpin:
Bian-li-Ciam Liok Hwie Ching dengan anggauta: Sin-tan-Cu Beng Kian Hiong,
Tok-ka-houw An Kian Kong.
Rombongan keenam dipimpin:
Thiat-tan Ciu Tiong Ing, dengan anggauta: Kio Li-kui Ciu Ki, Bu-Cu-kat Chi
Thian Hong dan Wan-yang-to Lou Ping.
“Ie su-sip-te, harap segera
berangkat. Saudara lain-lainnya supaya mengasoh lebih dulu. Besok kita
berangkat ke Thio-ke-poh, lalu berpenCaran kita memasuki Kao-ko-kwan untuk
mengadakan rapat lagi,” demikian Keh Lok achirnya.
Dan setelah memberi hormat
kepada sekalian; saudara, berangkatlah Ie Hi Tong dengan rombongannya. Baru
saja kudanya berjalan beberapa langkah, dia berpaling kearah Lou Ping, siapa
kelihatan menundukkan kepalanya. Rupanya nyonya muda itu sedang terbenam dalam
renungan lain, sedikitpun tak mengacuhkan akan keberangkatan Hi Tong itu. Anak
muda itu mengelah napas panyang , terus mengeprak kudanya berlari dengan
kentyang .
Masing-masing orang lalu
menCari tempat, untuk mengasoh.
„Chi jit-ko, kita telah
membuat Ciu loenghiong menjadi berantakan rumah tangganya. Kepergian kita untuk
menolong suko kali ini, harap kau taroh perhatian, agar supaya pembesardua
negeri jangan sampai mengetahui tentang ikut nya loenghiong itu dalam
rombong'an kita ini. Selain itu, suso telah terluka, untuk kepentingan suko, ia
tentu akan ber tempur matiduaan nanti. Inipun harap kau berdaya untuk
menCegahnya. Sebaiknya rombongan jit-ko ini jangan berjalan dengan Cepat-cepat,
kalau bisa supaya jangan sampai ikut bertempur,” kata pula Keh Lok.
Chi Thian Hong menyatakan akan
memperhatikart nasehat ketuanya itu.
Baru saja mereka tidur dua
jam, hari sudah terang tanah. Cian-pik ji-lay Tio Pan San segera pimpin
rombongannya berangkat.
„Sip-ko, jangan kau terbitkan
onar dijalan, jangan banyak-banyak minum arak,” Lou Ping memesan Ciang Bongkok.
„Suso, harap jangan kuatir.
Sebelum suko tertolong, aku tak mau menenggak setetes arakpun juga,” sahut si
Bongkok.
Si Bongkok Ciang Cin itu
kiranya seorang setan arak. Begitu masuk, dia sering gegeran dengan orang.
Tetapi bila perlu, diapun dapat menCegah minum. Inilah kelebihan dia.
Beberapa waktu kemudian,
rombongandua dari Bu Tim tojin, Tan Keh Lok dan Liok Hwi Ching ber-turutdua
berangkat. Yang terachir, barulah rombongan Ciu Tiong Ing. Setiba di
Thio-ke-po, penduduk disitu sudah mendengar berita kebaka ran di
Thiat-tan-Chung, dan ber-dujundualah mereka datang menghibur Ciu Tiong Ing,
Sampai ditempat ini Ciu Tiong Jng berpisahan dengan Song San Beng yang
disuruhnya me mimpin rombongan Cengteng pergi ke Anse. Sedang jago tua itu terus
melanyutkan perjalanannya ke timur.
Disepanyang jalan, Ciu Ki
tetap ributs bertentangan dengan Thian Hong saja. Dimata gadis berangasan itu,
segala gerak-gerik Thian Hong itu serba salah. Sekalipun ayahnya ber-ulangdua
mendampratnya, Lou Ping juga ber-kalidua menasehatnya, malah Thian Hong
sendiripun suka mengalah, namun anak itu tetap memusuhinya saja. Lama-lama
Thian Hong jengkel juga, pikirnya:
„Hanya karena memandang muka
ayahmu, maka aku mau mengalah, masa aku sungguh-sungguh jerih padamu? Di kalangan
kangouw,- enghiong mana yang tak mengindahkan aku, Bu Cu Kat ini? Dasar sial,
kini aku mesti menelan rongrongan seorang budak semaCam dia!”
Sengaja dia memperlambat
kudanya, hingga berada di belakang mereka. Rupanya dia mendongkol, dan tak mau
bicara. Kalau menginap dirumah penginapan, sehabis makan dia terus masuk tidur.
Tak mau dia pasang omong dengan mereka. Begitulah pada hari yang ketiga,
rombongan Ciu Tiong Ing ini sudah melalui kota Ka-ko-kwan.
Nampak puterinya tak mau
mendengar kata itu, beberapa kali Tiong Ing telah memberi dampratan. Betul saat
itu dihadapan sang ayah, Ciu Ki berjanyi menurut, tapi begitu kelihatan Thian
Hong, kumatlah penyakitnya untuk meng ajaknya bersetori pula. Diam-diam Tiong
Ing terkenang akan isterinya. Apabila ia itu disini, pasti akan dapat mengajar
adat pada puterinya yang bengal itu. Tetapi kini dimanakah sang isteri itu,
diapun tak mengetahuinya.
Memikir sampai disini, jago
tua itu berduka hatinya. Tambahan pula tampak bagaimana Thian Hong berada di
sebelah belakang dengan sikap yang mengunyuk kejeng kelan itu, dia makin tak
enak hatinya.
Malam itu sampailah mereka di
SouwCiu, lalu menCari rumah penginapan yang terletak didekat pintu kota sebelah
timur. Thian Hong kelihatan pergi dan tak lama lagi dia kembali, lalu berkata
kepada Ciu Tiong Ing dan Lou Ping:
„Ie sipsu-ko belum dapat
menCium jejak Bun suko, juga belum bercljumpa dengan Sejwan Sianghiap.”
„Bagaimana kau bisa tahu?
Jangan ngelantur, ja!” Ciu Ki tahu-tahu sudah memutus keterangan orang.
Thian Hong tak mau menyawab,
hanya melirik dengan ekor matanya kearah gadis yang dibenCinya.
„Daerah sini terkenal dengan
araknya yang kesohor. Ayo, jit-ya pergi dengan aku ke warung arak Heng Hwa Lauw
diseberang jalan sana untuk minum,” kata Tiong Ing.
“Baiklah, locianpwe,” sahut
Thian Hong.
“Ayah, aku ikut!” seru Ciu Ki
tak mau ketinggalan.
Thian Hong ketawa.
“Apa maCam, ketawa! Masa aku
tak boleh ikut?” Ciu Ki iototkan matanya.
Thian Hong melengoskan
kepalanya, seperti tak dengar apa-apa:
“Ki moaymoy, kita sama- pergi
dah! Siapa yang tak mem bolehkan orang perempuan minum ar.ak di Ciulauw?” kata
Lou Ping dengan tertawa.
Ciu Tiong Ing ternyata seorang
ayah yang berpandangan bebas, dia tak melarang puterinya. Begitulah keempat
orang itu terus menuju ke Heng Hwa Lauw dan memesan bebe beberapa hidangan dan
arak. Air sumber di Souw-Ciu dengan apa arakdua itu dimasaknya, ternyata sangat
jernih sekali. Karena itu, untuk daerah barat utara, arak SouwCiu kesohor
lezatnya. Begitu menCiCipi, mereka segera menga kui akan kehebatanya arak
disitu. Pelajan kembali menghi dangkan nampan bakpja keluaran SouwCiu yang
kenamaan itu. Pia itu empuknya seperti kapas, putih meletak meng giurkan
selera. Selama makan pia itu, tak putus-putusnya mulut Ciu Ki me-mujidua
kelezatannya. Karena diwarung situ banyak-banyak orang, mereka tak mau
menyinggung urusari Bun Thay Lay. Hanya pemandangan alam “sepanyang tempat yang
telah dlaluinya itulah yang dijadikan bahan omong-omong mereka. Tiba-tiba Ciu
Tiong Ing berkata pada Thian Hong:
“Pemimpin HONG HWA HWE Tan
tangkeh itu masih begitu muda usianya, mirip dengan seorang kongcu, tetapi dia
paham dengan “ilmu silat berbagai Cabang, sungguh jarang terdapat. Ketika
bertanding . dengan aku tempo hari itu, pada saatdua terachir dia gunakan ilmu
silat yang luar biasa aneh nya, entah apa itu namanya. Adalah Chi-ya
mengetahuinya?”
Sebenarnya Ciu Ki pun sudah
lama menyimpan pertanyaan itu, maka dia menaroh perhatian besar untuk
jawabannya.
„Sebenarnya akupun baru
pertama kali itu berjumpa dengan Tan tangkeh Kecil, mendiang le lotangkeh telah
meng antarkannya ke gunung Thian San untuk belajar silat pada Thian Ti koayhiap
disana. Ilmu silat itu, kurasa adalah Cip taan dari koayhiap sendiri,”
menerangkan Thian Hong.
„Hong Hwa Hwe yang pamornya
begitu kesohor didaerah Kang-lam, pemimpinnya seorang kongcu, bermula aku tak
percaya. Tapi belakangan setelah mengenalnya baik dalam perCakapan maupun
pertempuran, barulah kuketahui bahwa selain bugenya tinggi, juga pengetahuannya
luas sekali. Seorang pemimpin yang tepat dan Cakap. Memang orang tak boleh
diukur dari usianya.”
Mendengar jago tua itu tak
habis-habisnya memuji ketuanya, Thian Hong dan Lou Ping merasa girang.
Begitulah mereka #a|fang omong dan minum arak dengan gembira sekali. Hanya Lou
Ping begitu terkenang akan nasib suaminya yang belum ada ketentuannya itu,
nampaknya selalu berduka saja.
“Dalam beberapa tahun ini,
banyak-banyak sekali jago-jago baru yang munCul dikalangan persilatan. Dengan
begitu akan tetaplah bersemarak keharuman Sungai Telaga, patah tumbuh hilang
berganti. Hilang yang tuadua, yang mudadua tetap tampil meng g'anti. Misalnya
seperti kau sendiri, laote, yang paham bun dan bu itu, memang jarang terdapat
di kangouw. Maka harap kau jangan sia-siakan bakatmu itu, untuk melakukan suatu
pekerjaan besar”, kata Tiong Ing lebih jauh.
Thian Hong
tersipu-sipumeng-iakan dan haturkan terima kasih. Sebenarnya jawaban “ja” dari
Thian Hong diperun tukkan anyuran Tiong Ing supaya „melakukan pekerjaan besar”
itu. Tak tahunya, Ciu Ki telah menduga salah. Dengan perdengarkan suara ejekan
dari hidung menggerutu lah si-Centil itu:
„Huh, dipuji orang, masa ja,
ja” saja!”
Setelah meminum seCawan lagi,
kembali Tiong Ing berkata:
„Konon kudengar mendiang Ie
lotangkeh itu adalah seorang achli Siao Lim Pai yang jempolan, dengan begitu
sama de ngan kaumku. Scbenarnya telah lama aku berhasrat mengun jungi untuk
berkenalan. Namirn karena dia tinggal di Kanglam dan aku berada didaerah barat
utara, maka be lumlah dapat kulaksanakan. Dan harapanku itu kini tak mungkin
terpenuhkan lagi, setelah beliau meninggal itu. Be berapa kali kuberusaha untuk
menyelidiki sumber kaum lotangkeh itu, tapi selalu gagal saja.”
“Semasa hidupnya marhum Ie
lotangkeh tak pernah me nyebut asal kaumnya, baru setelah beliau akan menutup
mata, menerangkan bahwa dulu dia belajar buge digereja Siao Lim Si di Hokkian,”
jawab Thian Hong.
“Akupun seorang murid Siao Lim
Si juga,” kata Tiong Ing seraja mengangkat Cawannya. Dia kerutkan jidatnya
sejcnak, lalu bertanya lagi:
“Almarhum itu punya Ciridua
apa pada mukanya?”
“Sampai pada usia enam0 tahun,
marhum masih kelihatan ga gah. Hanya pada ujung keningnya sebelah kanan terdapat
sebuah bekas luka besar, hingga alisnya sebelah kanan tidak ada lagi.”
Mendengar penuturan Thian Hong
itu, sekonyong-konyong Cawan arak Ciu Tiong Ing terlepas jatuh kelantai, dan
jago tua itu kelihatan menguCurkan air mata. Katanya dengan suara sember:
“Oh, suheng, suheng. Memang
sudah kuduga tentu kau, tetapi rupanya kau me-nyiaduakan jerih payahku.”
Melihat perobahan dan sikap
Tiong Ing yang luar biasa itu, Thian Hong sangat terkejut.
“Laote, Bun naynay, apakah kau
orang tahu bahwa Ie lotangkeh-mu itu bukan orang she Ie?” tanya Tiong Ing ke
mudian.
“Ja, dia orang she Sim,” sahut
Thian Hong. Kembali Tiong Ing keluarkan seruan tertahan, katanya: „Benar, dia
memang she Sim. Namanya sebenarnya jalah Sim Ju Ko, dia adalah suhengku.
Hubungan kita, suheng dan sute berdua, sangat mesra sekali. Apalagi dikemudian
hari karena melanggar peraturan, dia telah diusir oleh suhu. Sejak itu aku tak
mendengar lagi tentan'g beritanya. Kese luruh polosok Sungai Telaga
kumenCarinya, tapi tetap tak ada orang yang mengetahulnya. Kukira karena putus
asa, dia tentu menyembunyikan diri. Tak tahunya kalau dia sudah merobah she dan
namanya dan telah mendirikan suatu ge rakan yang begitu mulia tujuannya itu.
Dulu pernah kude ngar bahwa ketua dari HONG HWA HWE itu orang dari golongan
Siao Lim Pai, untuk membuktikan prasangkaku, maka kutulis sepuCuk surat.
padanya. Tapi dengan katas yang sungkan, dia telah membalas suratku itu dengan
sikap seperti mem perlakukan seorang yang baru dikenalnya. Karena kukenal sifat
suhengku yang jujur dan sayang padaku itu, aegera kupercaya bahwa dengan
jawaban itu, teranglah bahwa ketua HONG HWA HWE itu bukan suheng. Dan
karenanya, tak kuse lidiki lebih jauh. Oh, suheng, mengapa kau perlakukan
sutemu ini begitu dingin?”
Sampai disitu kembali nampak
Tiong Iftg berduka, lalu katanya pula:
“Kalau siangdua kuketahui dia,
tentu biar bagaimana ku periukan berkunyung ke Kanglam. Kini orangnya sudah me
ngasoh kealam baka, dan harapanku untuk menyumpainya takkan terlaksana
se-lama-lamanya.”
„Ie lotangkeh berbuat begitu,
tentu ada sebabhja. Dia paling gemar bergaul, kalau sampai dia tak mau kenal lo
Cianpwe, tentulah bukan sewajarnya,” kata Thian Hong.
“Huh, orange HONG HWA HWE itu,
paling suka memandang sebelah mata pada orang, jangan kata dalam hatinya. CiCi
Ping, aku tak mengatakan kau lho,” tiba-tiba Ciu Ki menyelak.
Thian Hong tak
menghiraukannya.
“Sewaktu meninggal, dia
herpesan apa?” tanya Tiong Ing.
„Disini banyak-banyak orang,
dan penurunan itu panyang sekali. Baik malam nanti kita lanyutkan perjalanan,
dan memilih suatu tempat sepi yang CoCok untuk kita pasang omong lagi. Aku
sendiripun mempunyai beberapa soal, karena Ciu locianpwe adalah sute dari Ie
lotangkeh tentunya mengeta hui juga riwajat semasa mudanya. Aku akan mohon
beberapa pengunyukan dari locianpwe,” kata Thian Hong.
Ciu Tiong Ing setuju, lalu
menyuruh pelajan membikin perhitungan.
“Harap tunggu sebentar, aku
akan turun kebawah dulu,” kata Thian Hong.
“Laote, akulah yang menjadi
tuan rumah, tak usah kau yang bajar,” sera Tiong Ing.
“Baik,” jawab Thian Hong terus
turun kebawah loteng.
“Hem, sikunyuk jual lagak!”
Ciu Ki tak kuat untuk tak memberi komentar.
“Anak perempuan tak boleh
sembarangan bicara!” damprat ayahnya.
“Ki moaymoay,” kata Lou Ping.
„Jit-ko kita itu orang yang paling banyak-banyak akal, kau Cari urusan dengan
dia, hati-hati lah tentu dia akan membalas kau.”
“Seorang lakidua yang lebih
kate dari aku, masa mesti dibuat jerih!” sahut sigadis.
Ciu Tiong Ing akan
mendampratnya lagi, tapi segera tak jadi sebab dengan suara tindakan kaki.
Itulah Thian Hong yang segera mengajak mereka berangkat lagi. Begitu sete lah
mengambil baranga bekalannya, ke-empat orang itu me neruskan perjalanannya
lagi. Untung pintu kota masih belum keburu ditutup.
Sekejap saja mereka berempat
telah melalui tiga 0 lie, dan Ciu Tiong Ing lalu ajak rombongannya untuk
mengasoh dibawah gerombolan puhun yang tumbuh ditepi jalan. Kala itu, keadaan
disitu sunyi senyap. Tapi ketika Thian Hong akan membuka mulut, tiba-tiba jauh
dari arah sebelah sana, terdengar suara seperti bunyi telapak kuda. Cepat-cepat
a dia tem pelkan kupingnya ketanah, lalu katanya:
“Ada tiga ekor kuda, lari
menghampiri kemari.”
Atas isjarat Tiong Ing, mereka
segera membawa kudanya bersembunyi dibalik batu besar. Tidak berselang berapa
lama, betul juga ada tiga ekor penunggang kuda lalu disitu untuk menuju kearah
timur. Diantara sinar rembulan, tampak ke tiga penunggang kuda itu memakai ikat
kepala putih dan jubah berkembang, dan danannya menyerupai orang Wi. Pada kuda
masing-masing terselip golok.
Setelah mereka lenyap dari
pemandangan, barulah Tiong Ing mengajak duduk ditempatnya tadi. Bahwa selama
mereka meninggalkan Thiat-tan-Chung boleh dikata siang ma lam terus berjalan,
hingga tak ada waktu untuk ber-Cakapdua. Maka kesempatan ini digunakan oleh
Tiong Ing untuk me nanyakan pada Lou Ping mengapa Bun Thay Lay sampai bisa
ditangkap oleh pemerintah Ceng Tiauw. Segera Lou
Ping memberi keterangan sbb.:
“Perkumpulan kita HONG HWA HWE
merupakan duri dimata peme rintah Ceng, itulah sudah terang. Tetapi anehnya,
kali ini mereka telah mengirimkan banyak-banyak sekali jagoanya yang ber
kepandaian tinggi untuk menangkap sampai dapat pada Bun suko. Dan hal itu
merupakan lain perkara lagi. Kira-kira pada pertengahan bulan jl., Ie lotangkeh
buru~> datang ke Pak khia dengan mengajak kita berdua suami isteri. Sampai
di kota raja tersebut., diam-diam lotangkeh suruh kita untuk menyelun dup
keistana untuk menemui kaisar Kian Liong. Sudah barang tentu kita terkejut dan
menanyakan keperluannya. Namun lotangkeh tak mau menerangkannya. Lalu suko men
jelaskan, bahwa hongte itu sangat galak sekali, sebaiknya undang juga Bu Tim
totiang, Tio samko, SeChwan Siang-hiap dan lain-lain datang ke Pakkhia untuk
ber-sama-sama memasuki ista na. Pula mengundang Chit-ko (Thian Hong) supaya
merenCanakan penyerbuan itu.”
Mendengar itu, Ciu Ki melirik
pada Thian Hong dan berkata dalam hati:
„Huh, masa orange begitu
banyak-banyaknya, sama membutuhkan kepandaian sikate ini?”
“Pendapat suya itu memang tak
salah,” demikian Tiong Ing berkata.
“Ja, tapi Ie lotangkeh
menerangkan bahwa urusan menemui Kian Liong kali ini sangat penting sekali
artinya. Kalau terlalu banyak-banyak yang masuk istana, salaha menerbitkan
salah faham hebat. Suko tak berani membantahnya lagi. Begitulah malam itu kita berdua
memasuki istana. Suko yang terus menyelinap kedalam dan aku yang menyaga
diluar. Saat itu kita sangat gelisah sekali. Kira-kira dua jam kemudian suko
munCul kembali, dan kami terus pulang dengan selamat. Ke esokan harinya kami
tinggalkan Pakkhia menuju ke Kang lam. Ditengah jalan, diams kutanyakan suko
tentang perter muannya dengan baginda Kian Liong. Menurut suko, dia telah
berhasil menghadap baginda, tetapi karena soal itu adalah soal yang maha
penting yaitu gerakan untuk mero bohkan pe merintah Boan Ceng, maka dia tak mau
menerangkan lebih jauh padaku. Hal itu bukan karena ia tak mempercayai diriku,
tapi ia kuatir nanti malah membahajakan diriku saja, maka akupun tak mau
mendesaknya.”
“Tanggung jawab suheng memang
besar sekali,” seru Tiong Ing.
“Setiba di Kanglam, kita lalu
berpisahan. Kami kembali ke Thayouw, dan lotangkeh pergi ke HangCiu,” kembali
Lou Ping melanyutkan keterangannya.
“Sampai berpuluh tahun, dia
tak dapat melupakan ke nangannya,” seru Tiong Ing mengelah napas.
“Kenangan apa sih?” timbrung
Ciu Ki.
“Mana kau tahu?” sahut sang
ayah.
“Justeru karena itulah aku
bertanya,” si Centil menyang gapi.
Tiong Ing tak hiraukan.
Melihat itu Thian Hong meri ngis ewah, keruan saja Ciu Ki mendongkol
ke-maluduaan.
Sejak dia kembali dari
HangCiu, sikapnya berobah sekali. Kelihatannya dia berobah lebih tua sepuluh
tahun. Sepanyang hari dia tak mau bicara. Dan lewat beberapa hari kemudian lalu
jatuh sakit. Kata suko. karena orang yang diCintai lotangkeh meninggal dunia,
maka dia sangat berduka sekali ..............”
Mengucap sampai disini, Lou
Ping dan Thian Hong sama menguCurkan air mata, juga Ciu Tiong Ing tampak ber
linangdua. Mengulap air matanya, Lou Ping berkata:
“Sebelum menutup mata,
lotangkeh telah panggil hiangCu dari Iwe-sam-tong dan gway-sam-tong, dan
meninggalkan pesanan supaya Siaothocu (Tan Keh Lok) yang harus menggantikan
kedudukannya. Ditandaskannya, bahwa disitu lah letak bangunnya kembali kerajaan
Han.”
“Saothocu membahasakan apa
dengan kau orang punya lotangkeh itu?” tanya Ciu Tiong Ing.
“Dia adalah anak angkat
lotangkeh. Siaothocu adalah pute ra dari Tan Siang Kok di Hayling. Dalam usia
15 tahun, saothocu telah lulus dalam ujian kiatgoan. Tak lama ke mudian,
lotiangke membawanya keluar dan mengirimkannya ke Hwe Poh untuk belajar buge pada
Thian Ti koayhiap. Urusan ini, boleh dikata semua orang kangouw sama me
ngetahuinya. Tentang bagaimana seorang kongcu dari ge dung Caysiang bisa
mempunyai ayah angkat seorang bulim, kita sendiri tak mengetahuinya.”
„Mungkin Bun suya
mengetahuinya,” kata Tiong Ing. “Rupanya diapun tak tahu,” sahut Lou Ping.
„Ketika akan menut.up mata nampak lotangkeh mempunyai suatu rahasia besar dan
minta bertemu dengan siaothocu. Tapi karena perjalanan begitu jauh, maka telah
tak keburu lagi. Da-lam pesanannya lotangkeh minta supaya ketua dan waktu ketua
dari keenam tong (daerah) supaya menyemput saothocu untuk merundingkan gerakan
besar. Disamping itu, lotang-keh diam-diam bisiki suko supaya lekas-lekas
menemui saothocu sen diri untuk menyampaikan pesan rahasianya. Tapi apa laCur,
ditengah perjalanan suko mesti menghadapi benCana begini ” Sampai disini, suara
Lou Ping menjadi sember, tapi ia paksakan berkata lagi:
“Kalau sampai suko kena
apa-apa pesan lotangkeh tentu takkan ada lain orang yang meneruskannya.”
“CiCi Ping, kau jangan
bersedih. Kita tentu dapat me nyelamatkan suya,” seru Ciu Ki menghiburnya.
Lou Ping Buru-buru tarik
tangan Ciu Ki, dan paksakan bersenyum dengan saju.
„Bagaimana Bun suya bisa
terluka?” tanya Tiong Ing pula „Kita orang ber-gantidua secara bergelombang
menuju ke perbatasan sebelah barat utara untuk menyambut saothocu. Kita berdua
suami isteri, jatuh pada gelombang yang paling achir. Setiba di SouwCiu,
sekonyong-konyong ada delapan orang pahlawan kelas satu (si wi) yang menCari
kita dirumah penginapan. Mereka mengatakan membawa titah dari baginda agar kita
lekas menghadap ke Pakkhia. Suko menyawab, bahwa nanti setelah menyambut
saothocu, barn nanti akan pergi kekota raja. Dengan kata-kata halus, kedelapan
siwi itu menasehati agar suko lebih meng'utamakan firman keizer daripada uru
san partai. Namun suko tetap membantahnya. Demikianlah karena sama-sama
kerasnya, pertempuran tak dapat dihindari lagi.
Kedelapan siwi itu adalah
pahlawandua pilihan dari istana. Dengan tertentu, kita makin terdesak. Suko
umbar kema rahannya. Dengan bernapsu dia telah dapat merobohkan dua orang siwi.
Malah saking gemasnya dia pukul binasa yang tiga orang. Sedang yang dua lainnya
telah kena hui to-ku. Karena melihat gelagat tak baik, salah seorang dari
mereka segera kaburkan diri. Sekalipun kita berhasil dapat menghalau mereka,
tapi suko juga mendapat beberapa luka yang ber bahaja. Karena selama
pertempuran itu, dia selalu berada dimukaku, sehingga dengan begitu, sedikitpun
aku tak sampai terluka.”
Ciu Ki terlongong-longong
mendengari bagaimana Lou Ping menuturkan dengan gaja periuh bersemangat tentang
kega gahan suaminya melawan kedelapan siwi itu. Setelah berhenti sejenak, Lou
Ping meneruskan penuturannya lagi:
“Karena tak dapat tinggal lama-
di SouwCiu, kita terus menuju ke Ka Ko Kwan. Sebenarnya sampai di Thio-ke-po
saja suko sudah tak kuat meneruskan perjalanan lagi, dan terpaksa menginap
dihotel untuk merawat luka-nya. Apa yang kita harapkan jalah solekasnya
saothocu dan rom bongan saudara- kita sudah dapat kembali dan melalui tempat
situ. Tapi diluar dugaan, kawanan kuku garuda dari Pakkhia dan LanCiu terus
mengejar kami. Dan bagaimana kelanyutannya, kukira kauorang sudah dapat
mengetahui sendiri.”
“Kian Liong loji mengapa
begitu takut dan benCi suko. Kalau begitu keselamatan suko untuk sementara
tentu ter jamin, kuku garuda itu takkan berani mengganggu seorang tawanan yang
' begitu penting sebagai dia,” kata Thian Hong.
“Pikiranmu itu benar, laote,”
sahut Tiong Ing.
“Mengapa daripada lekas- pergi
ke Thio-ke-po untuk me numpas kawanan kuku garuda dan menolong Bun-ya kauorang
malah menuju ke Thiat-tan-Chung untuk mengumbar tangan jahatt” tiba- Ciu Ki
menyelak.
Ciu Ki masih ingat peristiwa
pambakaran rumahnya, karena garadua HONG HWA HWE itu. Dalam kesempatan itu, dia
sem prot Thian Hong, orang yang dulu menyuruh lepaskan api itu.
“Budak perempuan, jangan omong
sembarangan!” bentak ayahnya.
Thian Hong tetap tulikan
telinga dan lanyutkan penuturannya:
„Karena saothocu main sungkan
tak mau terima keang katannya sebagai Congthocu, maka mereka sampai terlam bat
beberapa hari belum ada keputusannya. Dan lagi kita tak menyang ka kalau orang
berani menepuk lalat dimulut sepasang suami isteri harimau seperti suko dan
suso yang lihai bugenya itu.”
„Kau digelari orang sebagai Bu
Cu-kat, mengapa tak beCus menduganya?” kembali Ciu Ki menyentil.
Karena sungkan dengan sang
ayah, Thian Hong tak dapat melampiaskan kemendongkolannya kepada gadis yang
genit itu. Palingdua dia bungkem dengan unyuk muka keCut.
“Kalau jit-ya ini sudah bisa
menduganya, kita kan tak bisa berkenalan dengan saudara-saudara dari HONG HWA
HWE Terutama dengan seorang bun-bu-Coan-Cay (pandai ilmu surat dan buge)
sebagai Tan tangkeh itu,” Buru-buru Tiong Ing menutupi kesungkanan Thian Hong.
Berpaling kearah Lou Ping dia bertanya pula:
„Siapakah pasangan Tan tangkeh
itu? Puteri atau sioCia keluarga bangsawan atau lihiap dari kalangan
persilatan?” “Tan tangkeh belum punya pilihan!” sahut Lou Ping. Ciu Tiong Ing
termenung sesaat.
“Ciu locianpwe, kapankah kita
minum arak-kebahagiaan dari adik Ki?” tanya Lou Ping dengan tertawa.
Tertawalah Tiong Ing mendengar
itu, katanya:
„Budak itu tolol dan lantyang
, siapa yang sudi? Kalau dia mendapat pasangan orang tua saja sudah untunglah!”
Maka tertawalah Lou Ping.
“Tunggu saja setelah nanti
urusan menolong suko selesai, tentu akan kuajak suko untuk menCarikan pasangan
buat adik Ki. Tanggung kauorang tua tentu puas.”
“Kalau kauorang terus omongi
diriku, aku akan berjalan dulu sendiri,” anCam Ciu Ki.
Semua yang mendengarnya sama
tersenyum. Malah karena tak tertahan, Thian Hong tertawa gelakdua. Sudah barang
tentu Ciu Ki menjadi marah.
„Kau tertawai siapa?”
bentaknya.
„Aku tertawa pakai mulutku
sendiri, ada sangkutan apa denganmu?” balas Thian Hong.
Ciu Ki orangnya paling suka
berterus terang, dia tak bisa simpan ganyelan dalam hatinya, lalu sahutnya
pula:
„Hm, apa aku tak mengerti
ketawamu itu? Kau orang bermaksud jodohkan aku pada Tan Ken Lok. Dia kan kongcu
seorang sinsiang, tidak setimpal dapat aku? Kou orang-orang HONG HWA HWE begitu
me-nyanyungdua dia seperti anak mas, aku tak ambil pusing. Ketika bertempur
dengan ayah, dia pura-pura sungkan, tapi sebenarnya dia jahat sekali. Biar aku
tak kawin seumur hidup, daripada dapat suami orang yang banyak-banyak tipu
muslihatnya itu!”
Tiong Ing marah disamping
merasa geli juga. Dia Coba menCegah, tapi puterinya tak mau hiraukan, dan
berham buranlah kata-kata itu dari mulutnya.
“Sudahlah, sudah. Kelak suami
adik Ki tentu seorang ho han yang jujur dan pandai bicara, bagaimana, puaskah
kau locianpwe,” tanya Lou Ping menggoda Tiong Ing.
“Budak tolol, apa tak malu diketawai
Chit-ya? Ha, sudahlah mari kita tidur, besok kita berangkat pagidua,” kata
Tiong Ing.
Demikianlah mereka berempat
segera mengambil selimut dan tidur dibawah puhun besar situ.
“Ayah, apa kau membekal
makanan? Aku lapar sekali,” i.ibadua Ciu Ki berbisik.
“Tidak bawa. Kau lekas
tidurlah, besok kita berangkat pagian dan singgah di Song-king,” jawab Tiong
Ing.
Tak berapa lama, menggeroslah
sudah orang tua itu dengan nyenyaknya. Sebaliknya, karena lapar Ciu Ki masih
bergulak-gulik tak dapat tidur. Menoleh pada Lou Ping, pun orang itu sudah
pulas. Tiba-tiba dilihatnya Thian Hong bangun, dan diam-diam kelihatan
menghampiri ketempat kudanya. Heran Ciu Ki dibuatnya, dan diam-diam dia
mengawasi perbuatan si kate;tu.
Karena gelap, tak dapat
dilihatnya dengan jelas apa yang dikerjakan Bu Cu-kat, hanya samara seperti dia
itu mengambil pauwhok dari atas kudanya. Dan ketika duduk kembali, dia pakai
selimut untuk menutupi badan, dengan sedapnya dia berkemak-kemik mengunyah
sesuatu.
Meiihat Itu, dengan gemas Ciu
Ki balikkan tubuh meng hadap kearah lain. Tak sudi ia melihatnya. Tapi Thian
Hong betul-betul menyengkelkan. Tidak saja dia sengaja mengunyah dengan makin
kerasnya, tapi juga tak putus-putusnya sang mulut ber-keCapdua memuji kelezatan
makanannya itu.
Karena tak tertahan lagi, Ciu
Ki Cobadua menCuri lihat makanan apa yang dikunyah sikate itu. Kalau ia tidak
ber buat begitu itu sih malah baik. Tapi begitu dia Cobadua meng intainya, maka
tak tertahan lagilah air liurnya mengalir. Rasa laparnya makin menagih dengan hebatnya.
Kiranya tangan sikate itu
tengah memegang sebuah ben da putihdua dan disampingnya masih ada setumpuk
lagi. Tak salah lagi, itulah bakpia dari SouwCiu yang luar biasa lezatnya.
Kiranya sewaktu Thian Hong pamitan turun dari loteng Heng Hoa Lauw kemaren itu
perlunya akan beli pia itu.
Karena. biasanya selalu
mengajak setori saja, maka se kalipun sangat kepingin, tapi Ciu Ki tak berani
meminta nya. Paling banyak-banyak ia hanya meng-harapdua supaya Thian Hong itu
lekas tidur, baru nanti pianya dapat digasak. Syukur kalau ia sendiri bisa
iekasdua tidur. Tapi kejadiannya malah sebaliknya. Tiba-tiba hidungnya
tersampok dengan bau arak yang mar biasa harumnya, dan menyusul terdengar
berkeru Cukan arak turun ditenggorokan Thian Hong, disela dengan elahan napas
kepuasan.
Serasa tak tertahan lagi, maka
berserulah Ciu Ki dengan uringduaan: “Setan apa malamdua buta menenggak arak
itu? Ayo jangan mabukduaan disini!”
“Boleh, boleh “ sahut Thian
Hong sambil meletakkan guCi araknya, terus menggelundung tidur.
Tapi Bu Cu-kiat itu memang
tukang mengili hati orang. Sengaja guCi itu tak disumpalnya dan ditarohkan
disisih kepalanya. Sudah tentu baunya terbawa angin ke-manadua. Sewaktu
diwarung arak Hong Hoa Lauw kemaren, tahulah dia bahwa Ciu Ki seorang nona yang
dojan minum, maka sengaja dia mempermainkannya begitu.
Ciu Ki ketika itu betul-betul
mati kutunya, matanya merem melek tak bisa tidur. Untuk mendamprat, tak ada
alasan nya. Tapi kalau disuruh diam saja, betul-betul tak kuat hatinya. Kembali
ia balikkan muka kesebelah sana, mata dan hidungnya ditekap dengan selimut.
Tapi dia tak dapat lama-lama berbuat begitu, karena lekas juga ia merasa engap.
Maka kembali ia berbalik lagi. Tiba-tiba diantara sinar rembulan dilihatnya
sepasang gembolan yang terletak disebelah ayahnya, berkeredepan mengeluarkan
Cahaja.
SeCepat-cepat kilat timbullah
suatu pikiran dalam hati sinona. Cepat-cepat ia ulurkan tangan menyemput sebuah
gembolan, terus ditimpukkan kearah guCi arak Thian Hong. „Prukk... guCi peCah
berantakan dan arak menyiram basah selimut Thian Hong.
Namun Thian Hong rupanya sudah
tidur pulas, dan tak menghiraukannya. Karena melihat ayahnya masih menggeros
dan Lou Ping pun tak ada suaranya, maka Ciu Ki lalu me rangkak untuk mengambil
kembali gembolan tadi. Tapi begitu tangannya diulur, tiba-tiba Thian Hong
membalikkan badannya, sehingga gembolan itu tertindih dibawahnya, dan berbareng
itu dia menggeros keras-keras.
Bukan main terkejutnya Ciu Ki.
Cepat-cepat ia tarik tangannya. Bagaimana bebasnya ia bergaul, namun ia tetap
seorang sioCia yang tak dapat melepaskan rasa malunya. Untuk merogoh gembolan
yang tertindih badan Thian Hong itu, rasanya masih belum sampai hatinya. Namun
kalau tak diambil, tentu sikate akan bawa gembolan itu untuk diadu kan pada
sang ayah, dari siapa tentu ia akan didamprat. Apaboleh buat dia lebih suka
dimaki sang ayah daripada mesti menyentuh badan orang yang dibenCinya itu, maka
ia terus balik tidur ketempatnya lagi. Tapi pada saat itu, tiba-tiba
didengarnya Lou Ping tertawa. Seketika itu merah padam lah wajah Ciu Ki,
sehingga tengkuknya dirasakan panas. Karena ia rasa Lou Ping tentu mengetahui
perbuatannya menghampiri tempat Thian Hong tadi. Karena bingung me mikirkan,
semalam itu hampir ia tak dapat pulas tidurnya.
Keesokan harinya, pagidua
sekali sebenarnya Ciu Ki sudah bangun, tapi dia diam saja membungkus diri dalam
selimut. Begitu terang tanah, Ciu Tiong Ing dan Lou Ping bangun, dan sebentar
pula Thian Hong-.
Tapi tiba-tiba pemuda itu
ber-teriak: “Ai, ai, benda keras apa yang tertindih dibawahku ini?”
Mendengar itu, Buru-buru Ciu
Ki sesapkan kepalanya kedalam selimut lagi.
“Ah, Ciu loya, gembolanmu
menggelinding kemari! Wah, Celaka! guCi arakku tersampok peCah! Benarlah, tentu
sikunyuk kecil diatas gunung karena membau arak lalu tu
run kemari. Dan sewaktu
melihat gembolan loya, lalu dibuat main-main . Karena kurang hati-hati, sampai
menyatuhi guCi arak. Kunyuk itu betul-betul kurang ajar!” kembali Thian Hong
menggerutu seterigah memaki.
„Hahaha, laote memang suka
meluCu. Mana di tempat ini ada monyet,” kata Tiong Ing dengan ketawa.
„Kalau bukan kera, tentulah
perbuatan bidadari dari kahijangan,” Lou Ping menimbrung.
Keduanya sama-sama tertawa.
Mendengar mereka tak sing gungdua peristiwa semalam, legahlah hati Ciu Ki,
namun ia benCi pada Thian Hong yang mengatakan ia seekor kunyuk. Ditengah jalan
Thian Hong membagikan pianya pada ka wanduanya, tapi Ciu Ki menolak. Setiba
dikota Song King, mereka singgah kesebuah rumah makan untuk tangsel perut.
Sekeluarnya dari kota
tersebut, Thian Hong dan Lou Ping tiba-tiba menghampiri kaki tembok dari sebuah
rumah. Ketika Ciu Ki ikutduaan mengawasinya, ternyata disitu terdapat Co retan
hurufdua dan gambar orang-orang an, persis tulisan kanakdua. Selagi Ciu Ki
ke-heranduaan, berkatalah Lou Ping:
“SeChwan Sianghiap telah dapat
menemukan jejak suko. Ini dia tinggalan tulisannya!”
„Bagaimana kau tahu, apa sih
artinya Corat-Coret itu?” tanya Ciu Ki.
„Inilah tanda rahasia dari
HONG HWA HWE untuk sesuatu pemberi taan, dan itulah tulisan SeChwan Sianghiap,”
kata Lou Ping seraja pakai kakinya untuk menghapus tulisan itu.
Demikianlah dengan semangat
ber-nyaladua, keempat orang itu segera meneruskan perjalanannya lagi. Terutama
Lou Ping berCahaja wajahnya. Setelah menempuh kira-kira 50 li mereka berhenti
untuk mengasohkan kuda, lalu kembali meneruskan lagi. Keesokan harinya dimana
jembatan Chit-to-kauw, kembali mereka dapatkan pertandaan dari Ie Hi Tong yang
mengatakan sudah dapat menggabung lagi dengan SeChwan Sianghiap.
Setelah dirawat beberapa hari,
luka Lou Ping sudah boleh dikata sembuh. Sekalipun masih belum seperti biasa
jalan nya, tapi sudah tak memerlukan tongkat lagi. Memikir tak lama lagi akan
sudah berjumpa dengan suaminya, rasanya Lou Ping sudah mau meloncat hatinya. Ia
larikan kuda untuk menCongklang kemuka lebih dulu.
MENYELANG petang, mereka sudah
sampai ke Liu-Cwan-Cu. Lou Ping maunya akan terus, tapi Thian Hong yang ingat
akan pesan sang ketua, Buru-buru menCegahnya dengan alasan kudanya akan menjadi
kepayahan nanti. Lou Ping menuruti, dan malam itu mereka menginap disebuah
hotel. Semalam itu, Lou Ping bergulak-gulik tak bisa tidur, sedang hujan
rintikdua membasahi bumi.
Terkenang ia akan peristiwa
malam ketiga dari perkawi nannya dengan Bun Thay Lay, dia dititahkan Ie
lotangkeh pergi kekota Kahin untuk menolong seorang janda yang hendak
diCemarkan oleh seorang tuan tanah. Setelah ber hasil, pada tengah malam itu
mereka meneduh diatas paseban Jan Oe Lauw di telaga Lam-ouw, minum arak sambil
menik mati turunnya sang hujan. Pada saat itu, sembari memimin tangan isterinya
yang baru dikawin itu, Bun Thay Lay me nyanyi dengan gembira. Saatdua itulah
yang memenuhi lubuk kenangan sinyonya muda itu. Tiba.” tergerak pikiran Lou
Ping.
“Karena sungkan menemani
keluarga Ciu anak dan ayah berdua, maka Chit-ko tak mau Cepat-cepat meneruskan
perjalanan. Kalau begitu, mengapa aku tak mau berangkat dulu sendiri?” demikian
ia membatin.
Keinginan itu menguasai
hatinya, terus serentak ia bangun mengemasi senjata dan bekalnya, lalu
menuliskan tanda-tanda tulisan diatas meja untuk Thian Hong, menerangkan meng
apa ia berangkat lebih dulu, sekalian supaya dimintakan maaf pada Ciu Tiong Ing
dan puterinya.
Karena kuatir membangunkan
mereka, Lou Ping meng ambil jalan loncat dari jendela, terus melepaskan kudanya,
mengenakan baju hujan dan melarikannya dengan pesatnya.
Menyelang fajar, sampailah ia
ke Tin-bin dan mengasoh sebentar. Kudanya betul-betul kelihatan lelah sekali,
apa boleh buat ia menunggu sampai setengah jam. Setelah kira-kira berlari tiga
empat puluh li lagi, tiba-tiba kudanya mendeklok ketanah. Dengan wasdua Lou
Ping Buru-buru menarik kendalinya, Syukur kudanya itu tak jatuh, namun
sekalipun begitu, ta hulah ia bahwa kudanya itu sudah tak dapat disuruh berlari
lagi, atau tentu akan mati kelelahan. Apa boleh buat, ter paksa Lou Ping
menyalankan binatang itu dengan pelahandua sekali.
Belum berapa jauh berjalan,
tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kuda yang menghampiri dengan
pesatnya. Dan pada lain saat seekor kuda putih menCongklang disisih nya, pesat
memberosot kemuka. Karena larinya seCepat-cepat angin, Lou Ping sampai tak
dapat mengawasi dengan jelas, orang maCam bagaimanakah sipenunggang itu. Belum
habis Lou Ping ter-herandua, kuda putih itu sudah lenyap dari pe mandangan.
Karena kudanya sudah kuat
lagi, maka kembali dilarikan nya. Tiba disebuah dusun, dilihatnya pada muka
sebuah rumah tertambat seekor kuda yang bulunya putih meletak seperti salju.
Ditiup angin silir-'; suri kuda itu membelaia, betuia seekor kuda yang luar
biasa bagus dan garangnya. Se-konyonga kuda itu bebenger keras sekali, hingga
kudanya Lou Ping sampai berjingkrak mundur. Tak salah lagi, itulah kuda yang
lari pesat melaluinya tadi. Disebelahnya tampak seorang lelaki tengah menyikat
bulunya.
“Kalau kudapat naiki kuda luar
biasa itu, tentu akan dapat kususul suko dengan segera. Kuda sebagus itu, tentu
pemi liknya tak mau menyualnya. Sebaiknya kuCemplak saja, tanpa bilangdua.
Namun orang yang memiliki seekor kuda seperti itu, tentu mempunyai kepandaian
buge yang tinggi.”
Demikian Lou Ping me-nimbanga
dalam hatinya. Karena sejak kecil ia ikut ayahnya — Lou Gwan Thong si Golok
Sakti — berkelana dikalangan Sungai Telaga, maka segala Caradua untuk
nielakukan perampasan, ia sampai faham. Begitu mengambil keputusan, segera ia mengambil
sumbu dari dalam tasnya, lalu disulutnya dengan batu api yang dititiknya dengan
besi. Habis itu ia keprak sang kuda memburu kearah kuda putih yang di-inCarnya
itu.
Begitu hampir dekat, dia
sabitkan sebatang hui-to, golok terbang kearah tiang kaju dimana tali les kuda
putih itu ditambatkan. Berbareng dengan putusnya tali les itu, kuda Lou Pingpun
sudah berada disamping sikuda putih.
Sebat luar biasa, wanita
puteri begal tunggal Lou Gwan Thong yang termashur itu, sumpalkan sumbu
ketelinga kudanya sendiri, begitu mcnyabet dengan tali les, dia barengi gunakan
gerakan “Cian-liong-seng-thian” naga menCelat keatas udara, ia buang tubuhnya
keatas pelana sikuda putih. Karena terkejut, kuda putih itu membinal dan
bebenger keras sekali. Sekali kaki menyejak, bagaikan anak panah terlepas dari
busur, menCongklanglah kuda luar biasa itu dengan pesatnya.
Cara puteri Lou Gwan Thong
menCuri kuda itu, luar biasa sebatnya dan gapahnya. Sehingga karena kesima, si
pemilik itu hanya terlongong-longong mengawasi saja. Baru setelah tersedar apa
yang telah terjadi, dia sibuk tak ke ruan dan Buru-buru mengejarnya. Tapi
sungguh sial. Kuda Lou Ping yang ditinggalkan itu tadi, karena telinganya
terbakar dengan api sumbudua, segera ber-jingkrakdua tak keruan, me nyepak
kesana, menggigit kemari. Sehingga untuk beberapa saat tertahanlah sipemilik
kuda putih itu, tak dapat mengejarnya.
Tapi orang itupun lihai juga,
sekali enyot dia apung kan tubuhnya melompati kuda binal itu, terus lari
mengejar lagi. Meiihat dirinya dikejar, Lou Ping yang sudah lari jauh itu
segera tahan kudanya, dirogohnya sebuah uang mas, begitu dilemparkan kearah
sipengejar, ia bertereak dengan keras sekali:
“Kita tukar tambah binatang
tunggangan. Kudamu lebih bagus, uang mas ini selaku tambahanku!”
Orang itu menyerit dan memaki
dengan kalap, terus mengejar sekuat-kuatnya. Lou Ping tertawa geli. Begitu ke
dua kakinya menyepit keras-keras, kuda putih itu melesat lagi seperti anak
panah. Dan sekali melesat, sudah berpuluh tombak jauhnya. Yang dirasakan Lou
Ping, hanyalah angin yang men-deru-deru disamping telinganya, puhundua sebaris
demi sebaris lalu disisihnya, dusun dan perkampungan silih ber ganti
dijelayahinya. Sekalipun sudah lari beberapa jam, sedikitpun kuda itu tak
kelihatan lelah, dan tetap seperti terbang larinya.
Ketika tiba disebuah kota,
berhentilah Lou Ping pada sebuah rumah makan. Setelah ditanyakan, barulah
diketa huinya bahwa kota itu disebut Sat King, kira-kira sepuluh0 lie jaraknya
terpisah dari dusun dimana ia berhasil menCuri kuda itu.
Lou Ping sayang sekali dengan
kuda sakti itu. Diberinya sendiri kuda itu makan rumput, sembari mem-belaidua
bulu surinya. Tiba-tiba disisih pelana situ tampak sebuah kantong kain. Tadi
karena ter-Buru-buru , ia tak dapat mengetahuinya. Ketika diambil, kantong itu
ternyata amat berat isinya. Dan setelah dibuka, ternyata berisi sebuah senjata
pie-peh besi. Diam-diam Lou Ping terkejut.
„Kiranya kuda itu milik
keluarga Han dari kota Lokyang yang bergelar Thiat-pie-peh-Chiu itu. Mungkin
akan ada buntutnya dibelakang hari.”
Begitu berkata Lou Ping pada
dirinya sendiri. Selain senjata tersebut., terdapat juga dua tiga puluh tail
perak dan sepuCuk surat. Sampul surat itu dituliskan beberapa huruf dan
berbunyi: „Harap diterima sendiri oleh Han Bun Tiong toaya. — Dari orang she Ong.”
Karena ternyata sampul itu
sudah terobek, maka tak kepalang tanggung, Lou Ping lalu mengambil keluar surat
didalamnya. Pertama kali melihat nama sipengirim ternyata adalah „Hwi Yang,”
agak terkesiaplah Lou Ping. Tapi di lain saat, ia merasa girang, karena tahulah
ia sekarang bahwa keluarga pemilik kuda putih itu ternyata punya hubungan
dengan Ong Hwi Yang, itu pemilik dari Tin Wan piauwkok, piauwkok yang justeru
akan diCarinya itu. Diam-diam ia me nyesal, mengapa mesti memberi pengganti
sebiji uang mas pada orang yang menjadi kawan musuhnya itu.
Surat itu berbunyi, minta
supaya Han Bun Tiong lekas pulang karena persaudaraan orang she Giam minta
bertemu. Agar supaya lekas Bun Tiong dapat tiba kekota raja, maka dia (Ong Hwi
Yang) istimewa mengantar seekor kuda sakti. Selain untuk tugas melindungi
angkutan barangdua berharga, juga ada urusan dagang yang penting sekali, agar
Bun Tiong sendiri yang mengantarnya ke Kanglam. Tentang benar tidaknya Ciao Bun
Ki dibinasakan orang-orang Hong Hwa Hwe, baik dipertangguhkan untuk diselidiki
lagi lain waktu.”
Demikian maksud surat itu,
maka berpikirlah Lou Ping: “Ciao Bun Ki adalah murid dari keluarga Han si Thiat
pi-peh dari Lok-yang. Dikalangan kangouw keras tersiar omongan, bahwa dia
terbunuh oleh kaum kita. Tapi hal itu tak benar adanya. Dan untuk menghilangkan
salah faham, CongthorigCu telah mengutus sip-su-te (I Hi Tong) pergi pada
keluarga Han di Lokyang untuk menyelaskannya. Barang penting apakah yang
dikawal Tiri Wan piauwkok ke Kanglam itu ? Baiklah” setelah nanti suko bebas
akan ku ajaknya untuk membuat perhitungan pada orang-orang piauwkok tersebut.
yang telah bantu menangkap suko.”
Girang dengan apa yang
diketahuinya waktu itu, Lou Ping bisa makan lebih banyak-banyak. Ketika
melanyutkan perjalanan nya lagi, ternyata hujan masih belum reda. Rupanya kuda
itu mengerti apa yang dibisikkan oleh Lou Ping tadi. Karena kini dia makin
Cepat-cepat larinya serta tak sebinal tadi. Dalam sekejap saja entah sudah
berapa banyak-banyaknya penunggang kuda lain dan keretadua yang telah
dilampauinya. Sehingga Lou Ping sendiri berbalik merasa kuatir, salahdua bisa
kesasar jalan nanti.
Ketika akan ditahannya sang
kuda agar agak pelahan sedikit, sekonyong-konyong ada seseorang loncat ketengah
jalan untuk menghadang, sembari mengangkat tangannya keatas kepala. Karena
kaget, kuda itu sampai berjingkrak mundur. Belum keburu Lou Ping akan menegurnya,
orang itu menghampiri seraja memberi hormat, katanya :
„Bun su-naynay, Siaoya berada
disini !”
Kiranya penghadang itu ialah
Sim Hi, kaCungnya Tan Keh Lok. Dengan girang sekali, Lou Ping Buru-buru loncat
dari atas kudanya. Dan Cepat-cepat sekali anak itu menyang gapi les kuda putih
tersebut., terus dituntunnya seraja memuji :
“Dimana Bun su-naynay dapat
beli kuda yang begini bagus ? Tadi masih jauh kulihat kau mendatangi, tapi
sekejap saja sudah sampai disini dan hampir saja ku tak dapat menghadangmu.”
Lou Ping hanya tersenyum saja,
sebaliknya menyawab pertanyaan orang, ia malah berbalik bertanya :
„Apa sudah ada berita tentang
Bun suya?”
„Siang ngoya dan Siang liokya
menerangkan sudah melihat Bun suya. Mereka sama berada didalam,” kata Sim Hi
seraja membawa Lou Ping kesebuah kuil rusak yang berada ditepi jalan situ.
Lou Ping tak sabaran lagi. Ia
serahkan kudanya pada Sim Hi, dan terus berlari masuk. Tampak diruangan dalam
sudah berkumpul Tan Keh Lok, Bu Tim, Thio Pan San, kedua saudara Siang dan beberapa
saudara lagi. Waktu melihat Lou Ping, mereka sama berbangkit. Menghadap pada
sang ketua, Lou Ping menerangkan bahwa karena tak dapat menahan hatinya maka ia
berangkat lebih dulu. Untuk itu, ia minta maaf.
„Karena keliwat memikiri suko,
tindakan suso itu dapat dimengerti. Sekalipun begitu, suso tetap bersalah tak
menurut perintah pimpinan. Untuk itu, biarlah setelah nanti selesai menolong
suko, kita putuskan hukumannya. Ciok sipji-ko, harap kau Catat dulu,” kata Keh
Lok.
Lou Ping berkata dalam
hatinya, asal suko dapat tertolong, hukuman apa saja yang akan di terimanya, ia
rela. Lalu tanyanya pada kedua saudara Siang :
„Ngoko dan liokko, adakah kau
melihat suko ? Bagaimana dia?”
„Kemaren di Song King kita
berdua telah berhasil menge jar rombongan kuku garuda yang membawa suko. Karena
jumlah mereka banyak-banyak, kita kuatir keprak rumput membikin kaget ular,
jadi tak turun tangan dulu. Malamnya dari jendela kami dapat melihat suko tidur
dengan enaknya. Dia tak melihat kita. Karena penyagaan sangat kerasnya, maka
terpaksa kita tak berani berbuat apa-apa,” menerangkan Siang He Ci.
„Kawanan kuku garuda itu
bersatu; dengan piauwsu dari Tin Wan piauwkok. Turut penglihatanku, yang
bugenya tinggi tidak kurang dari sepuluh orang,” Siang Pek Ci menambahkan
keterangan saudaranya.
Setelah kedua saudara Siang
atau SeCwan Sianghiap itu habis berkata, tiba-tiba masuklah Ie Hi Tong kedalam
ruangan itu, siapa begitu nampak. Lou Ping segera menegor dengan kaget.
„Rombongan orang Wi itu telah
berkemah ditepi sungai sebelah depan sana. Para penyaganya bersenjata lengkap
Sebaiknya nanti malam saja kita lakukan pengintipan lagi,” kata Tan Keh Lok.
Sekonyong-konyong diluar
terdengar gemuruh derap kuda berlari dan berbenger. Ternyata ada sebuah
rombongan penunggang kuda lewat disitu.
Tak lama kemudian masuklah Sim
Hi memberi lapor : “Barusan saja lewat iringkan kereta besar dibawah pimpinan
seorang perwira beserta dua puluhan perajurit.”
Habis melapor, kembali, kaCung
itu keluar kelenteng untuk pasang mata pula.
“Dari sini ketimur sedikit
sekali penduduknya, tepat sekali untuk pekerjaan kita,” demikian Keh Lok
berunding dengan para kawan. “Cuma pasukan tentara ini dan rombongan orang
Uigor itu entah orang-orang maCam apa, diwaktu kita turun tangan menolong Suko,
boleh jadi mereka akan ikut Campur tangan, inilah perlu kita ber-jagadua
sebelum nya.”
Semua orang menyatakan benar
atas pendapat pemimpin muda itu. Kata Bu Tim Tojin : “Liok Hwi Ching,
Liok-locianpwe selalu bilang adik-gurunya Thio Ciau Cong betapa hebat, betapa
lihai, dikalangan kongouw kita juga sudah lama mendengar nama besarnya
'Hwe-jiu-boan-koan,' sekali ini yang menawan Bun-sute juga dia yang memimpin,
kesempatan ini bagus sekali, biarlah aku Bu Tim Tojin Cobadua menempurnya.”
“Ja, Totiang punya tujuhdua
jurus Tui-hun-toat-beng-kiam' tiada bandingannya dijagat, harini jangan
sekalidua lepaskan biangkeladinya si Thio Ciau Cong ini,” kata Keh Lok.
“Meski Liok Hwi Ching,
Liok-toako sudah putuskan hu-bungan dengan adik-gurunya itu,” demikian Tio Pan
San ikut bicara, “tapi ia orang paling setia dan berbudi, baik nya ia masih
belum tiba disini, kalau tidak, dihadapannya terangduaan kita membunuh Sutenya
(adik-gurunya), rasanya agak kurang leluasa juga.”
“Kalau begitu, tidakkah lebih
baik lekas-lekas kita berangkat, kira-kira besok pagi kita sudah dapat menCapai
Suko,” sela Siang He Ci.
“Baiklah,” sahut Keh Lok.
“Nah, Goko dan Lakko (kaka kelima dan keenam), silahkan kau menyelaskan
bagaimana maCamnya kawanan Cakar-alapdua (maksudnya kaki tangan pemerintah) dan
rombongan Piauthaudua itu, agar besok bila kita turun tangan sudah ada renCana
yang baik.”
Memangnya kedua saudara Siang
itu sudah menguntit kawanan pembesar negeri dan orang-orang Piauhang itu,
seluk-beluknya sudah Cukup terang diselidikinya, maka mereka pun menuturkan
dengan jelas, bahkan ditambahkannya:
„Kalau malam Suko tidur
bersama serumah dengan kawanan Cakar-alapdua itu dan siang harinya duduk
didalam kereta besar, kaki dan tangannya diborgol. Kain tirai keretanya ditutup
rapatdua hingga orang luar pasti tak tahu didalam ke reta itu berduduk tawanan
penting. Diwaktu kereta berjalan selalu ada dua Cakar-alapdua yang mengawal
dikanan-kiri de ngan menunggang kuda, penyagaan keras sekali.”
“Dan maCam apakah Thio Ciau
Cong itu ?” tanya Bu Tim.
“Ia berusia sepuluh-an, perawakannya
tegap dan berjenggot pendekdua,” kata Siang Pek Ci.
„Tapi, Totiang,” sela Siang He
Ci tiba-tiba , „harus kita janyi dulu, kami bersaudara bila kepergok dengan
'kuradua' (istilah olokdua orang SuCwan, karena kedua saudara Siang adalah
orang daerah itu) itu lantas melabraknya dahulu, jangan kau nanti omeli kami
berebutan dengan kau.”
“Haha, rupanya sudah lama tak
ketemukan tanding, tangan sudah gatel barangkali ?” sahut Bu Tim tertawa. “Dan
kau Samte (adik ketiga), Thay-kek-jiu kepandaian-mu sibudha bertangan seribu
ini apakah tidak ingin Cari 'pasaran' juga?”
„Ah, biar si Thio Ciau Cong
ini aku serahkan pada kalian saja, tak mau aku merebutnya,” sahut Tio Pan San.
Begitulah jago-jago Hong Hwa
Hwe itu berunding dengan gosokdua tangan dan mengepal penuh semangat, setelah
mereka isi perut sekedarnya dengan rangsum kering yang ada, segera pula mereka
minta Tan Keh Lok memberi perintah.
Memangnya Keh Lok sudah
siapkan renCananya, maka berkatalah ia: „Rombongan orang Uigor itu belum pasti
ada hubungannya dengan rombongan hamba negeri itu,” maka kita mendahului mereka
saja, asal Suko sudah berhasil kita tolong, kitapun tak perlu urus mereka. Maka
Ie-Capsite, kaupun tak perlu menyelidiki lagi, kau dan Cio-Capsahko besok
melulu bertugas menCegat perwira itu bersama dua0-an perajuritnya itu, asal
mereka dirintangi tak dapat mengganggu kita sudah Cukup, jangan banyak-banyak
menewaskan d jiwa orang.”
Perintah pertama ini segera
diterima baik oleh Cio Su Kin dan Ie Hi Tong.
Lalu Keh Lok melanyutkan: „Dan
kau, We-kiuko dan Ciok-Capjiko, kalian berdua segera berangkat mendahului
kawanan Cakar-alapdua itu, besok pagidua menyaga dimulut selat bukit sana, biar
siapapun yang datang dari arah timur atau barat, semuanya harus ditahan. Yang -
paling penting jalah jangan sampai kawanan Cakar-alapdua itu lolos lewat selat,
bukit itu.”
Perintah inipun diterima dengan
baik oleh We Jun Hwa dan Ciok Siang Ing, segera mereka keluar dan Cemplak kuda
terus berangkat menunaikan tugasnya.
„Bu Tim Totiang, Siang-goko
dan liokko, kalian bertiga kusua melajani hambadua negeri,” kata pula Keh Lok.
„Dan Tio-samko dan Nyo-patko kalian berdua melajani orang-orang Piauhang. Suso
dan Sim Hi mengarah kereta yang ditumpangi Suko, aku sendiri berada ditengah
melihat gelagat, dimana kurang lancar, segera aku membantu kesana.”
Pembagian tugas itu telah
diterima baik oleh semua orang. Tak terduga mendadak terdengar Ciang Cin
ber-kaokdua.
„Hai, hai, Congthocu, lalu apa
yang kulakukan? Kau telah lupakan diriku!” demikian teriaknya.
„Tidak lupa, tapi justru ada
tugas penting perlu minta Sipko yang melakukan, Cuma entah Sipko sanggup
memikul resiko tidak?” sahut Keh Lok tersenyum.
„Asal kau perintah saja,
masakan aku Ciang Bongkok orang takut mati?” teriak Ciang Cin bersemangat.
„Mana bisa aku bilang kau
takut,” sahut Keh Lok, „hanya aku kuatir kau mabuk arak dan umbar napsumu
hingga bikin runyum pekerjaan kita.”
„Katakan, lekas katakan,
setetes arak saja bila aku me neguknya, biar selanyutnya para saudara memandang
hina padaku,” teriak Ciang Cin lagi tak sabar,
„Itulah bagus,” kata Keh Lok.
„Sekarang ada tiga tugas yang perlu Sipko memikulnya seorang diri. Pertama, kau
tinggal menyaga disini, kalau ada hamba negeri atau pasukan tentara yang menuju
ketimur, semuanya harus kau tahan ; kedua, nanti kalau Liok (Hwi Ching) dan Ciu
(Tiong Ing) kedua Cianpwe tiba, hendaklah lekas kau minta mereka menyusul
membantu menempur musuh ; ketiga, begitu kita sudah dapat menolong Suko, kau
dan Suso yang akan mengawalnya kedaerah Hwe ketempat guruku Thian-ti-koay-hiap
untuk merawat lukanya, selama masih didaerah Kamsiok kita melindunginya sepenuh
tenaga, tapi bila sudah lewat Sing-sing-kiap (nama sebuah selat bukit yang
berbahaja), kita beramai lantas putar kembali kemarkas besar didaerah Kanglam,
dan kewajiban selanyutnya adalah kau yang harus memikul seluruhnya.”
Begitulah setiap Keh Lok
mengucapkan sepatahkata, segera Ciang Cin mengia sekali penuh girang, terus
menerus ia menyatakan baik tugasdua itu.
Setelah selesai membagi tugas,
segera semua orang keluar kelenteng dan Cemlak keatas kuda sambil memberi tanda
perpisahan dengan Ciang Cin.
Ketika semua orang melihat
kuda putih Lou Ping yang bagus itu, kesemuanya tiada henti-nya memuji. Karena
itu diam-diam Lou Ping berpikir : “Seharusnya kuda ini mesti dihadiahkan pada
Congthocu, tapi engkoku itu (maksudnya suaminya, Bun Thay Lay) sudah terlalu
banyak-banyak menderita, nanti kalau dia sudah dapat tertolong, kuda ini akan
kuberikan padanya saja, biar dia menjadi girang.”
Dalam pada itu Keh Lok telah
tanya Ie Hi Tong : “Di-manakah orang-orang Uigor itu berkemah ? Marilah kita
memutar pergi melihatnya.”
Segera Hi Tong menunyukkan
jalan menuju ketepi sungai, tapi setiba disana, yang tertampak hanya tanah
lapang yang sunyi senyap, mana lagi ada perkemahan dan bayangan orang ? Yang
ada tinggal kotorandua kuda dan onta yang memenuhi tanah saja.
Hi Tong turun dari. kuda dan
memeriksa kering dan ba-sahnya kotorandua binatang itu, lalu katanya: “Mereka
berangkat kira-kira sejam yang lalu.”
Semua orang' menjadi heran dan
merasa tindak-tanduk orang-orang Uigor itu rada aneh dan penuh rahasia, susah
diraba untuk apakah tujuan mereka.
“Marilah kita berangkat !”
ajak Keh Lok kemudian.
Maka Cepat-cepat sekali mereka
keprak kuda, ditengah malam buta yang sunyi, hanya terdengar suara derapan kuda
yang ber-detaka.
Karena kuda putih Lou Ping
terlalu Cepat-cepat larinya, maka setiap kali ia harus menunggu kawannya agar
tidak ketinggalan jauh. Ketika fajar sudah menyingsing, sampailah mereka ditepi
sebuah sungai kecil.
“Para saudara, biarlah
binatangdua tunggangan kita minum air dulu untuk memulihkan tenaga, lewat sejam
lagi kukira sudah dapat menCapai kereta tawanan Suko,” demikian kata Keh Lok.
Mendengar selekasnya akan bisa
bertemu dengan suami nya, seketika darah ditubuh Lou Ping seakan-akan mengalir
terlebih santer, jantung memukul keras, wajah bersemu merah.
Waktu Hi Tong melirik orang
dan nampak parasnya yang Cemasdua Cantik itu, sung'guh susah dilukiskan
perasaan apa yang dirasakannya saat itu, maka per-lahandua ia mendekati Lou
Ping dan memanggilnya lirih : “Suso !”
“Ehm ?” sahut Lou Ping.
“Sekalipun jiwaku harus
melayang , pasti aku akan mem-bebaskan Suko kepadamu,” kata Hi Tong parau.
Lou Ping tersenyum, lalu
dengan menghela napas pelahan ia berkata: „Ja beginilah baru benardua saudaraku
yang baik !”
Seketika pilu rasa hati Hi
Tong hingga hampirdua saja meneteskan air mata, lekas-lekas ia melengos kearah
lain.
„Suso,” kata Keh Lok tiba-tiba
, „pinyamkanlah kudamu itu kepada Sim Hi, biar dia menyusul kedepan dahulu
untuk menyelidiki jejak Cakar-alapdua dan kemudian balik memberi kabar pada kita.”
Mendengar dapat menunggang
kuda putih milik Lou Ping itu, alangkah girangnya Sim Hi, segera ia mendekati.
Lou Ping dan menanya: „Ja,. Bun-naynay (nyonya Bun), bolehkah kau?”
„Kajak anak kecil, kenapa
tidak boleh?” sahut Lou Ping tertawa.
Mendengar itu, tanpa bertanya
lagi segera Sim Hi Cem plak kuda putih itu terus berlari pergi seCepat-cepat
terbang.
Setelah menunggu kuda mereka
Cukup meminum air, ke-mudian merekapun melanyutkan perjalanan dengan
Cepat-cepat . Tak lama, CuaCa sudah terang benderang, dari jauh kelihatan Sim
Hi telah kembali dengan kuda putihnya.
„Lekas, kawanan Cakar-alapdua
itu tak jauh didepan, marilah lekas mengejarnya!” demikian kaCung itu
berteriak-' dari jauh.
Mendengar laporan itu, sungguh
girang sekali semua orang, mereka keprak kuda mengudak lagi sepenuh tenaga.
Ketika Sim Hi menukar kembali
kuda putih itu kepada Lou Ping, nyonya jelita ini tanya padanya: „Apakah kau
telah melihat kereta yang ditumpangi Suya (tuan keempat)?”
„Ja, ja, sudah melihatnya,”
sahut Sim Hi sambil mengangguk-angguk. „Ketika aku ingin melihatnya lebih jelas
dan Coba mendekati kereta besar itu, tapi orang-orang Piauhang yang mengawal
disamping kereta itu dengan bengis lantas angkat golok menganCam sambil menCuCi
maki padaku.”
„Biarlah, sebentar pasti mereka
akan me-nyembahdua dan menyebut kau tuan muda dan nenek-moyang kecil padamu,”
ujar Lou Ping tertawa.
Lalu seCepat-cepat kilat
merekapun menguber terlebih Cepat-cepat lagi.
Setelah mengejar 5-enam li
pula, lapatdua kelihatan didepan ada sepasukan orang yang makin lama makin
dekat, dan achirnya tertampak jelas adalah seregu tentara yang mengawal sebuah
kafilah.
„Mengejar lagi enam-tujuh li
lantas kawanan Cakar-alapdua dan orang-orang Piauhang itu,” demikian kata Sim
Hi pada majikan nya, Tan Keh Lok.
Ketika semua orang keprak kuda
melampaui kafilah itu, begitu Keh Lok memberi tanda, segera Cio Su Kin dan Ie
Hi Tong berdua memutar kuda mereka terus menghadang ditengah jalan, sedang yang
lain-lain meneruskan pengejaran mereka kedepan dengan Cepat-cepat .
Setelah pasukan tentara itu
sudah dekat, diatas kudanya Hi Tong lantas memberi hormat, katanya dengan
sopan-santun sebagai seorang SiuCay: „Kalian tentunya sudah Capek lelah,
pemandangan disini indah permai, marilah kita dudukdua dulu sambil
meng-obroldua saja?”
Tapi seorang perajurit tentara
Cing yang paling depan lantas membentaknya: „Lekas minggir, kau tahu tidak ini
adalah keluarga Li-Ciangkun?”
„O, kiranya keluarga pembesar?
Kalau begitu lebihdua harus mengaso dulu,” sahut Hi Tong. „Didepan sana ada dua
setan gantung hitam-putih, jangandua nanti malah bikin kaget para nona dan
nyonya.”
„NgaCo-belo,” damperat seorang
perajurit lain sambil ajun peCutnya terus menyabet. „Kau SiuCay berbau keCut
ini jangan main gila disini !”
Namun dengan ketawadua Hi Tong
berkelit, lalu katanya pula: „Ah, jangan pukul dulu. Kata pribahasa: Seorang
jantan pakai mulut tidak pakai tangan. Tapi kau telah gunakan peCut kuda
semaunya, inilah bukan perbuatan seorang jantan !”
Sementara itu perwira yang
memimpin kafilah itu ketika melihat didepan ada orang menghadang, Cepat-cepat
sekali telah keprak kuda maju membentak.
Tapi dengan tertawa Hi Tong
memberi hormat lagi, lalu tanyanya: „Siapakah nama paduka tuan yang mulia,
dimana kah kediamannya?”
Nampak keadaan Ie Hi Tong dan
Cio Su Kin agak men Curigakan,maka perwira itu menjadi ragudua dan tidak lantas
menyawab.
Dalam pada itu Hi Tong telah
keluarkan seruling emasnya, katanya pula: „Aku yang rendah sedikit mempelajari
seni suara, tapi seringkah gegetun belum ketemukan kawan yang paham kepandaianku,
kini melihat paduka tuan lain dari yang lain, maukah silahkan turun kuda dulu
buat mendengarkan satu lagu sulingku untuk pelipur lara dalam perja-lanan?”
Kiranya perwira itu adalah Can
Tho Lam yang mengawal keluarga Li Khik Siu kedaerah Kanglam itu, Ketika dilihat
nya seruling emas orang, sungguh terkejutnya tidak kepalang. Meski ia tidak
menyaksikan sendiri waktu Hi Tong bertempur melawan petugas-petugas negeri di
Tio-keh-po tempo hari, tapi kemudian iapun mendengar Cerita dari perajuritnya
serta pelajan hotel hingga mengetahui „bandit” yang melawan dan bahkan membunuh
petugas negeri itu adalah' seorang muda ganteng dan membawa seruling emas. Kini
kepergok di tengah jalan, entah apa maksud tujuannya, tapi bila melihat lawan
hanya berdua orang saja, dalam hati dengan sendirinya tak begitu gentar.
Karena itu, segera Can Tho Lam
membentak: „Kita 'air sungai tak mengairi sumur (maksudnya tiada permusuhan dan
sangkutpaut), baiknya ambillah jalan sendiridua dan lekaslah minggir saja !”
„Nanti dulu,” jawab Hi Tong.
„Aku ada sepuluh lagu merdu yang sudah lama tak ditiup, harini bisa bertemu
orang agung, tanpa merasa menjadi getol, maka terpaksa biar aku pertun jukkan
sebisanya. Untuk memberi jalan tidaklah susah, asal sepuluh laguku sudah
selesai ditiup, dengan sendirinya aku menghantar selamat jalan paduka tuan.”
Habis berkata, tanpa menunggu
jawaban orang, segera Hi Tong angkat serulingnya kebibir terus ditiupnya
keras-keras.
Can Tho Lam mengarti urusan
harini tak mungkin disele-saikan begitu saja, maka iapun tak sabar, begitu
tombak nya diangkat, dengan gerakan „oh-liong-jut-tong”“ atau naga hitam keluar
dari liang, mendadak ia menusuk keulu hati Hi Tong.
Ternyata serangan itu sama
sekali tak diperduli oleh SiuCay berseruling emas itu, ia masih terus meniup
sulingnya se enaknya saja, ia menunggu setelah ujung tombak itu sudah mendekat
baru mendadak tangan kirinya menyamber gagang tombak musuh, menyusul seruling
emas ditangan kanan menghantam sekeras-kerasnya ketengah gagang tombak hingga
seketika senjata itu patah menjadi dua,
Terkejut sekali Can Tho Lam,
Cepat-cepat ia tarik kudanya mundur beberapa langkah, lalu dari seorang
perajuritnya disambernya sebilah golok untuk kemudian merangsang maju lagi.
Tapi setelah tujuh-delapan
jurus, kembali Hi Tong dapatkan ke-sempatan menutuk dilengan kanannya hingga
lagi-lagi senjata Can Tho Lam terlepas dari tangan.
“Nah, sepuluh laguku harini
sudah pasti kau mendengar nya,” demikian kata Hi Tong sambil tertawa. Lalu
seruling diangkatnya dan ditiupnya lagi.
Gugup dan gusar Can Tho Lam
dua kali keCundang, ia masih takmau terima, tiba-tiba ia memberi tanda sambil
berteriak : “Maju semua, tangkap dulu keparat ini !”
Mendengar perintah atasannya itu,
mau-tak-mau para pe-rajurit itu menyerbu maju.
Namun Cio Su Kin sudah siap,
sekali ia lompat turun dari kudanya dan menghadang kedepan, ketika gajuh besi
nya diajun, dengan gerak tipu “boat-Chau-sun-Coa” atau menyingkap rumput
menCari ular, penggajuhnya menyabet pelahan kaki seorang perajurit paling
depan, tanpa ampun lagi perajurit itu menyerit dan jatuh terjengkang dia tas
sajap penggajuh Cio Su Kin itu. Apabila lain saat Su Kin mendadak ajun
senjatanya keatas keras-keras, bagai layang-layangyang putus benangnya
perajurit itu tahu-tahu terbang keangkasa, saking takutnya hingga perajurit itu
ber-teriakdua minta tolong dan kemudian jatuh kedalam rombongan Kawan-kawan
nya.
Waktu Cio Su Kin memburu maju
pula, idem dito seperti tadi, seperti sekop saja serdadudua Cing itu satu
persatu kena disekop keudara oleh penggajuh besinya.
Karuan saja serdadudua yang
berada dibagian belakang sama ketakutan, sekali menyerit, seketika mereka putar
tubuh terus angkat langkah seribu alias lari ter-biritdua. Meski Can Tho Lam
Coba menCegah kekaCauan itu dengan ajun peCut kudanya menyabet serabutan, namun
suasana sudah takbisa dikuasai lagi.
Sedang Cio Su Kin merasa
kesenangan akan permainan “sekop” itu. tiba-tiba tirai pintu kereta besar
didepannya tersingkap, menyusul sesosok awan merah tahu-tahu menubruk datang,
berbareng sebilah pedang mengkilap telah menusuk kedadanya.
Namun Su Kin sempat gunakan
gerakan “to-poat-sui-yang” atau membubut pohon Yang roboh, ujung gagang
penggajuhnya mendadak dibalik untuk memukul batang pedang orang. Tapi lawannya
ternyata juga tidak lemah, belum sampai kebentur, orang itu sudah merubah
serangan dan ganti menusuk kaki Su Kin.
Ketika sedikit Su Kin geser
kaki dan gajuhnya terus me nyerampang dari samping, karena tahu tenaga Su Kin
terlalu besar, orang itu tak berani menangkisnya, hanya melompat pergi beberapa
tindak.
Waktu Su Kin menegasi,
ternyata orang itu adalah seorang gadis berbaju merah. Dasar Su Kin bertabiat
tidak suka banyak-banyak bicara, maka tanpa bersuara kembali ia putar gajuhnya menempur
sigadis pula. Tapi setelah saling gebrak beberapa jurus lagi dan melihat ilmu
pedang orang sangat bagus, diam-diam Su Kin merasa heran.
Kalau Su Km heran, maka Hi
Tong yang menyaksikan di samping juga terkesima. Tatkala itu ia sudah lupa
meniup serulingnya lagi melainkan memperhatikan terus ilmu pedang sigadis itu,
ternyata gadis itu mainkan pedangnya sedemikian rupa hingga sinar putih
gulung-gemulung sambung menyam bung tak pernah putus, segera juga Hi Tong dapat
menge nalinya ilmu pedang sigadis ternyata adalah „Ju-hun-kiam-hoat” dari
perguruan sendiri.
Melihat pertarungan itu masih
terus berlangsung dengan serunya, ilmu pedang sigadis sangat bagus, sebaliknya
tenaga Cio Su Kin besar, hingga seketika susah dibedakan mana bakal unggul atau
asor. Maka mendadak Hi Tong melompat maju, ketika seruling emasnya ia
tangkiskan ke-tengahdua kedua senjata yang sedang bertanding itu, berbareng
iapun berseru: „Berhenti !”
Gadis itu dan Cio Su Kin
sama-sama mundur selangkah, dalam pada itu setelah menukar lagi senjata
tombaknya, Can Tho Lam telah keprak kuda maju lagi hendak membantu sigadis,
sedang perajuritdua Cing itu sama berteriakdua dikejauhan memberi semangat pada
pemimpinnya. Namun tiba-tiba gadis itu memberi tanda agar Can Tho Lam mundur
saja.
„Numpang tanya siapakah nama
nona yang mulia? Dan siapakah gurumu?” demikian Hi Tong lantas menanya.
Gadis itu tertawa.
„Kau tanya, tapi aku justru
takmau bilang,” sahutnya kemudian. „Sebaliknya aku tahu kau adalah
Kim-tiok-siuCay le Hi Tong, Hi artinya ikan, ikannya dari ikan menggeragap ikan
diair keruh, dan Tong artinya sama, samanya dari sama-sama sebagai jantan. Kau
menduduki kursi ke-14 dalam Hong Hwa Hwe, betul tidak?”
Terkejut sekali Hi Tong dan Su
Kin demi mendengar kata-kata orang yang luCudua benar itu hingga seketika
mereka saling pandang tak bisa buka suara. Lebihdua Hi Tong tertegun oleh
karena kata-kata sigadis tadi ternyata menirukan Caranya mem-perkenalkan diri
tempo menempur musuh dihotel itu.
Dilain pihak Can Tho Lam juga
tidak habis mengerti ketika menyaksikan gadis itu tiba-tiba berbicara dengan
kawanan „bandit” itu dengan senyum-simpul tanpa takut.
Begitulah sedang tiga lakidua
dengan heran memandangi seorang gadis yang bermuka berseri-seri, dan seketika
bingung entah apa yang harus dibicarakan, tiba-tiba terdengarlah suara derapan
kuda yang riuh ramai, perajuritdua Cing itu tertampak sama minggir memberi
jalan, lalu enam penunggang kuda telah menyusul datang dari arah belakang
dengan Cepat-cepat . Orang yang berada paling depan itu berwajah kurus, rambut
penuh beruban, nyata ialah tokoh terkemuka Bu-tong-Pai, Liok Hwi Ching adanya.
Tanpa berjanyi Hi Tong dan
sigadis tadi ber-sama-sama telah memapak maju, yang satu terdengar memanggil
Hwi Ching dengan 'Susiok' (paman guru), sebaliknya yang lain memanggil 'Suhu'
(guru), lalu sama-sama melompat turun dari kuda untuk memberi hormat.
„Wan Ci, kenapa kau berada
bersama Ie-suheng dan Cio-toako disini?” tanya Hwi Ching kemudian.
Nyata gadis tadi bukan lain
adalah Li Wan Ci, itu murid perempuan Hwi Ching yang nakal dan jail.
“Habis, Ie-suheng memaksa
orang harus mendengar tiupan serulingnya, aku tak suka mendengarnya, lalu ia
merintangi tak boleh lewat,” demikian sahut sigadis. “Sekarang, Suhu, kau saja
yang menimbang siapa yang salah dalam hal ini.”
Tentang Liok Hwi Ching
menghajar petugas negeri di hotel tempo hari, Can Tho Lam sudah mengetahuinya
juga, kini melihat orang mendadak munCul berombongan, hati perwira itu menjadi
kebat-kebit tak tenteram.
Kelima orang yang ikut
dibelakang Hwi Ching itu ialah Ciu Tiong Ing, Ciu Ki, Ji Thian Hong, Beng Kian
Hiong dan An Kian Kong.
Hari itu ketika diam-diam Lou
Ping tinggal pergi tengah malam, besok paginya ketika Ciu Ki sudah bangun,
gadis ini menjadi kurang senang. “Hm, kalian orang-orang Hong Hwa Hwe suka
pandang rendah orang lain, kenapa kau tidak ikut pergi bersama kau punya Suso
(kaka ipar perempuan keempat) saja ?” demikian gadis itu mengomel.
Karena itu Thian Hong memberi
penyelasan sebisanya dan meminta maaf kepada ayah dan gadis she Ciu itu.
“Ja, Cinta suami-isteri mereka
yang masih muda, sudah tentu ingin sekali bisa lekas-lekas bersua kembali,
kalau ia berangkat lebih dulu, itupun sudah jamak saja,” ujar Tiong Ing. Habis
ini ia berpaling pada gadisnya dan men Celahnya : “Dan kau perlu apa harus
muringdua?”
“Seorang diri Suso telah
berangkat, ia sudah saling kenal dengan kawanan Cakar-alapdua, jangandua akan
terjadi lagi sesuatu,” kata Thian Hong.
“Ja, tidak salah, maka paling
baik kalau kita menyusulnya lekas,” sahut Tiong Ing. “Tan-tangkeh suruh aku
memimpin regu ini, apabila terjadi apa-apa atas dirinya (maksudnya Lou Ping),
sungguh mukaku ini nanti entah harus ditaruh di mana?”
Maka mereka bertiga segera
larikan kuda seCepat-cepat terbang, sore hari itu juga mereka sudah bisa
menyusul Liok Hwi Ching. Karena kuatir atas diri Lou Ping, maka berenam mereka
menempuh perjalanan seCepat-cepat mungkin tanpa banyak-banyak buang tempo
ditengah jalan, sebab itu tak lama rombongan Tan Keh Lok berlalu, segera juga
mereka sudah bertemu dengan Ciang Cin yang bertugas menyaga ditempatnya itu,
dan ketika mendengar bahwa Bun Thay Lay berada tidak jauh didepan,
seCepat-cepat angin segera merekapun menguber terus.
Begitulah, ketika Hi Tong
mendengar Wan Ci mengadu biru malah pada Liok Hwi Ching, mau-tak-mau wajahnya
menjadi panas rasanya, pikirnya : “Aku merintangi orang mendengar serulingku,
itu memang benar, tapi bilakah pernah aku memaksa kau sinona besar ini?”
Dilain pihak ketika Ciu Ki
mendengar pengaduan Wan Ci tadi, dengan sengit ia melotot pula kearah Ji Thian
Hong, dalam hati iapun berkata : “Hm, memangnya ada berapa orang baik-baik
didalam Hong Hwa Hwe kalian?
Kemudian Hwi Ching telah
berkata pada Wan Ci: “Urusan didepan nanti sangat berbahaja, baiknya kalian tinggal
sementara disini jangan sampai mengagetkan Thay-thay (nyonya besar). Bila
urusanku sudah selesai, dengan sendirinya aku akan datang menCari kau.”
Mendengar didepan nanti bakal
ada ramaidua, tapi sang Suhu tak perkenankan dia ikut perdi, maka mulut Wan Ci
yang mungil menyengkit, tanpa menyawab. Namun Hwi Ching pun tak
menghiraukannya, ia ajak semua orang mengudak pula terlebih Cepat-cepat .
Kembali mengenai Keh Lok tadi,
ia memimpin rombong annya mengejar terus kedepan, setelah 4 - 5 li lagi,
lapatdua kelihatan iringduaan orang didepan terbaris menjadi satu garis lurus
sedang menyelayahi gurun Gobi yang luas.
Segera dengan pedang terhunus
Bu Tim Tojin mendahului menguber kedepan sambil berteriak : “Ayo, kejar
Cepat-cepat !”
Setelah lebih satu li lagi, bangun
tubuh orang-orang didepan makin lama makin nyata, tiba-tiba Lou Ping keprak
kuda terus menyerobot maju, hanya sekejap saja musuh disusulnya. Dengan golok
kembar ditangan, ia bermaksud melampaui musuh dulu untuk kemudian baru putar
balik menCegat.
Tak terduga mendadak didepan
sana riuh ramai orang ber-teriakdua, beberapa puluh ekor onta dan kuda telah me
nerdyang datang dari arah timur kebarat.
Karena tak menduga-duga,
lekas-lekas Lou Ping tahan kudanya dengan maksud melihat kawan atau lawan
kafilah yang me nerdyang datang ini.
Sementara itu iringduaan
petugas negeri itupun sudah berhenti dan ada orang sedang mem-bentakdua
menegur. Tapi barisan penerdyang itu makin depat makin Cepat-cepat , senjata
gemilapan ditangan penunggangdua kuda itu segera menyerbu kedalam pasukan
tentara itu hingga terjadilah pertempuran gaduh.
Lou Ping menjadi heran sekali,
ia tidak mengerti dari mana datangnya bala bantuan itu.
Sementara itu Tan Keh Lok dan
lain-lain sudah menyusul datang juga, be-ramaidua mereka maju lebih dekat untuk
menyaksikan pertempuran sengit itu.
Sekonyong-konyong dari depan
sana seorang penunggang kuda mendatangi dengan Cepat-cepat , setelah melingkari
medan per-tempuran kedua pihak itu, orang itu terus menuju kearah jago-jago
Hong Hwa Hwe ini. Setelah dekat, achirnya semua orang dapat mengenalinya bukan
lain ialah Kiu-beng-kim-pa-Cu, We Jun Hwa, simacan tutul bernyawa sembilan itu.
Setelah sampai dihadapan Keh
Lok, segera Jun Hwa berseru : “Congthocu, bersama Cap-ji-long aku menyaga
dimulut selat bukit sana, tapi telah diterdyang orang-orang Uigor ini, kami
berdua tak mampu menahannya, terpaksa aku memburu datang memberi lapor, siapa
tahu mereka malah sudah saling gebrak dengan kawanan Cakar-alapdua itu, inilah
sungguh aneh sekali!”
“Bu Tim Totiang, Tio-samko dan
Siang-si Siang-hiap (kedua pendekar she Siang),” demikian Keh Lok segera
mengatur siasat, “kalian berempat lekas menyerbu kesana merampas dahulu kereta
tawanan Bun-suko itu, yang lain-lain jangan turun tangan dulu, biar kita lihat
gelagat saja.”
Sekali mengia, Bu Tim Tojin
berempat terus keprak kuda mengerbu kedepan.
“Kawan dari golongan mana ?”
bentak dua opas ketika melihat datangnya empat orang itu.
Namun Tio Pan San menyawabnya
segera dengan dua buah pisau seCepat-cepat kilat, yang satu menembusi
tenggorokan dan yang lain menancap diperut, kedua opas itu seketika kena
dibereskan.
Tio Pan San berjuluk
“Jian-pi-ji-lay” atau sibudha bertangan seribu, sebab biasanya mukanya
berseri-seri selalu, wajahnya welas-asih dan hatinya lemah, sebaliknya tubuh-nya
penuh membawa senjata-nyata rasia seperti piau, anak panah, batu sambitan dan
peluru besi dan maCamdua lagi, Cepat-cepat dan jitu sambitannya hingga orang
susah mengarti Cara bagaimana sepasang tangannya itu sekaligus bisa menggunakan
senjata-nyata rasia yang begitu banyak-banyak.
Setelah empat orang itu
menerdyang sampai mendekati kereta besar, dari depan tiba-tiba seorang Uigor
yang pakai ubeldua kepala telah menusuk dengan tombaknya. Namun se dikit
mengegos, Bu Tim tidak balas menyerang, melainkan terus menerdyang lebih dekat
kereta besar sasaran mereka. Ketika seorang Plauwsu angkat goloknya membaCok,
sekali Bu Tim menangkis, seCepat-cepat kilat pedangnya terus me motong kebawah
hingga empat jari Piauwsu itu tertabas putus, saking sakitnya hingga Piauwsu
itu terjungkir jatuh dari kudanya.
Pada saat itu juga Bu Tim
mendengar samberan angin dari belakang, ia tahu ada musuh membokong, tanpa
berpaling lagi ia ajun pedangnya dari bawah keatas, tahu-tahu pedangnya melalui
bawah bahu musuh terus menerabas keluar dari pundak kanan, nyata opas yang
membokong itu telah terpapas sebelah lengannya mulai dari bahu sampai dipundak,
bahkan sebagian kepalanya pun terkupas, hingga darah munCrat bagai air leding.
Cara Bu Tim menghajar musuh
itu disaksikan dengan jelas oleh kedua saudara Siang dan Tio Pan San dari
belakang, mereka sama memuji atas ketangkasan imam berlengan satu yang lihai
itu.
Begitu juga, ketika
orang-orang Piauhang melihat ilmu pedang Bu Tim mengejutkan, belum sampai
bergebrak dua kawan dipihaknya sudah melayang jiwanya, keruan nyali mereka
peCah hingga be-ramaidua ber-teriakdua : “Angin ken tyang , lari !”
Tiba-tiba seorang Piauwsu yang
bertubuh kurus kecil telah membilukkan kereta besar, sekali peCutnya bekerja,
kereta keledai telah dilarikan Cepat-cepat.
Tatkala itu kedua pendekar
Siang dengan senjata Cakar-terbang mereka sudah saling gebrak melawan
tujuh-delapan orng Uigor yang maju merintanginya. Sedang Tio Pan San ketika
kereta besar dibilukkan hendak lari, segera bersama Bu Tim Tojin mereka
mengudak.
Setelah rada dekat, Pan San
mengeluarkan sebutir batu “Hui-hong-Ciok,” batu belalang terbang, Cepat-cepat
sekali ia sambitkan kebelakang kepala Piauwsu itu hingga tepat
mengenai sasaran dan darah
berCipratan, saking sakitnya orang itu ber-kaokdua, tapi banyak-banyak juga
akal liCik Piauwsu itu, tiba-tiba ia keluarkan sebilah hadidua terus
ditanCapkan sekuat-kuatnya kepantat keledai, karena kesakitan, karuan binatang
itu berlari kesetanan.
Pan San menjadi gusar, ia
peCut kudanya lebih ken tyang , mendadak ia enyot tubuh terus menubruk
kebebokong kuda tunggang Piauwsu itu, dan baru saja duduk diatas kuda,
berbareng tangan kanannya sudah pegang per gelangan tangan Piauwsu itu terus
diangkat keatas, la ajundua dulu tubuh orang diudara, lalu dilemparkan
sekuatnya ke arah kereta keledai yang masih berlari Cepat-cepat didepan itu.
Dengan tepat Piauwsu itu jatuh
diatas kepala keledai penarik kereta itu, begitu jatuh, secara matiduaan ia
merangkul kentyang dua kepala binatang itu. Karena kaget, pula matanya tertutup
oleh rangkulan si Piauwsu, keledai itu berjingkrakdua dan me-rontadua terus
membalik arah malah.
Dengan Cepat-cepat Bu Tim dan
Pan San seg'erapun sudah datang hingga keledai itu dapat diberhentikan. Waktu
Pan San ulur tangannya menarik punggung Piauwsu itu, dengan keras ia banting
orang ketepi jalan.
„Sam-te gunakan orang sebagai
senjata, sungguh hebat Caramu ini!” demikian Bu Tim memuji.
Waktu Tio Pan San menarik
tirai kereta dan melongak kedalam, namun keadaan dalam kereta ternyata gelap
gelita tak terang, hanya lapatdua seperti ada seorang yang merebah didalam
dengan tubuh berselimut.
„Su-te (adik keempat), benar
kau bukan? Kami telah da tang menolong kau!” segera Pan San berseru.
Tapi orang itu hanya bersuara
lemah sekali, habis itu tak kedengaran apa-apa lagi.
„Kau hantar kembali Su-te
dulu, biar aku yang menCari Thio Ciau Cong untuk bikin perhitungan,” kata Bu
Tim. Habis ini ia keprak kuda menerdyang lagi kemedan pertempuran.
Muladua orang-orang Piauhang
melarikan diri kearah timur, tapi ketika melihat Bu Tim menerdyang datang lagi,
dengan ber-teriakdua mereka putar haluan kabur kebarat.
Thio Ciau Cong, wahai Thio
Ciau Cong! Dimanakah kau keparat ini, kenapa tidak lekas unyuk diri!” segera Bu
Tim ber-teriakdua menantang.
Tapi meski diulangi lagi,
masih belum ada juga orang menyahut. Maka kembali ia menerdyang kearah
gerombolan musuh.
Melihat Bu Tim mengudak datang
lagi, para Piauwsu dan hambadua negeri menjadi ketakutan tidak kepalang hingga
semangat seakan-akan terbang ke-awangdua, mereka ber-teriakdua terus lari
sipat-kuping tunggang-langgang.
Dilain pihak para jago menjadi
girang ketika melihat Tio Pan San membawa kembali kereta besar yang mereka arah
itu, be-ramaidua mereka memapaknya. Dengan tak sabar Lou Ping telah mendahului
kehadapan kereta itu, ia melom-pat turun dari kudanya terus menyingkap tirai
kereta.
„Toako!” serunya dengan suara
ter-putus-putus.
Tapi ternyata tiada sahutan
orang didalam kereta. Kaget luar biasa Lou Ping, tanpa pikir lagi ia menerobos
kedalam kereta terus menarik selimut yang menutupi sesosok tubuh orang itu.
Sementara itu para jago Hong
Hwa Hwe yang lainpun sudah datang, mereka sama melompat turun dari kuda terus
merubung maju hendak melihat keadaan Bun Thay Lay yang mereka rindukan itu.
Disebelah sana kedua pendekar
Siang melihat kereta tawanan sudah dapat mereka rampas, tentu saja mereka tak
sabar lagi menempur terus orang-orang Uigor yang tak jelas asal-usulnya itu,
sekali kedua saudara Siang itu bersuit, Cakar-terbang mereka diajun memaksa
orang-orang Ui itu mundur, lalu mereka putarkuda terus kabur pergi.
Orang-orang Uigor itu rupanya
melulu bertugas merintangi orang yang bermaksud mendekati saja, maka ketika
melihat kedua saudara Siang itu undurkan diri, sama sekali mereka tidak
mengejar, melainkan terus ikut menerdyang ketengah medan pertempuran yang masih
berlangsung dengan serunya itu.
Tatkala itu Bu Tim Tojin masih
menerdyang kesana kemari, seorang kusir kereta yang lambat larikan diri kembali
telah kena dibaCoknya hingga terguling. Bu Tim tak berniat membunuhnya, maka ia
tarik tali kendali kuda melompati tubuh orang terus ber-teriakdua menantang
pula: „Ayo, Hwe-jiu-boan-koan, dimana kau, pengeCut, kenapa tidak lekas keluar
!”
Hwe-Chiu poan-koan adalah
gelaran Thio Ciauw Cong. Tapi yang munCul bukan dia, melainkan seorang Wi yang
tinggi besar, bermuka brewok. „Imam liar darimanakah berani mengaduk disini!”
demikian segera orang itu membentak.
Tanpa menyawab, pedang Bu Tim
berkelebat menyabet nya. Untung orang Wi itu sebat menangkis. Tapi sebelum dia
keburu menarik kembali goloknya, Bu Tim susuli sabetan kearah kanan dan kiri,
Cepat-cepat nya bukan terkira. Karena tak sempat menangkis, orang Wi itu
jepitkan kaki keperut kuda, sudah itu tubuhnya ia buang kebawah untuk menyusup
kebawah perut kuda. Dengan Cara berjum palitan melalui perut tunggangannya itu,
barulah dia berhasil lolos dari tabasan Bu Tim. Namun tak urung dia kucurkan
keringat dingin, dan dengan andalkan kepandai annya berkuda, orang Wi itu
larikan kudanya dengan dia sendiri masih menggelantung dibawah perut si kuda.
„Kau dapat menghindari tiga
tabasanku, betul-betul seorang hohan. Akupun tak mau mengambil jiwamu lagi”,
kata Bu Tim dengan tertawa. Dan dia kembali menyerbu kearah rombongan lain.
Ketika SeChwan Sianghiap tadi
mengantar kereta menuju kesebelah barat, mereka nampak dari arah muka ada
kira-kira delapan penunggang kuda menghampiri. Itulah rombongan Ciu Tiong Ing
dan Liok Hwi Ching. Tapi belum lagi mereka mendekati kereta besar, Lou Ping
telah menyeret keluar orang yang berselimut dalam kereta itu tadi, terus
dilemparkan kebawah, lalu terdengar nyonya itu membentak:
„Pan-lui-Chui Bun toaya
dimana?”
Dan belum habis kata-kata
diuCapkan, nyonya itu sudah ber CuCuran air mata. Ketika orang Hong Hwa Hwe
sama memeriksanya, ternyata orang itu adalah seorang lagi-lagi setengah tua
yang mukanya kurus. Tangannya kanan dibalut dan digantung pada lehernya.
Lou Ping segera mengenalnya
sebagai kepala polisi Pak khia yang terkenal yaitu Go Kok Tong, itu orang yang
telah ditabas putus sebelah lengannya oleh Bun Thay Lay sewaktu pertempuran di
“Thio-ke-poh dulu itu.
Lou Ping segera mendupaknya,
maksudnya akan mena-nyakan keterangan, namun karena terlalu menahan perasaan
gusar dan Cemas, ia sampai tak dapat mengucap apa-apa. Sebaliknya begitu
menusukkan gaetannya pada paha Go Kok Tong, Wi Jun Hwa segera membentak dengan
bengis nya: „Dimana Bun-ya? Kalau kau membisu, akan kutabas kakimu ini!”
„Thio Ciauw Cong, sibangsat
itu, sudah membawanya jauh sekali,” jawab kepala polisi itu dengan gemasnya.
„Ia suruh aku tinggal dalam kereta ini, kukira kalau dia bermaksud baik suruh
aku beristirahat dulu. Tidak tahu nya manusia liCik itu menggunakan tipu
'kim-sian-toat-kak' (tonggeret bertukar kulit). Aku dijadikan korban untuk dia
yang akan menerima pahala dikotaraja. Bangsat, Coba lihat saja, dia bisa
selamat atau tidak nanti !”
Demikian kepala polisi itu
menyumpahi dan memaki kalang kabut.
Pada saat itu, rombongandua
Hong Hwa Hwe sudah tiba semua, maka berserulah Tan Keh Lok :
„Tangkap semua kuku garuda dan
orang-orang piauwkok, jangan ada satu yang bisa lolos. Mari kita kaCip mereka
dari dua jurusan.”
Begitulah Tan Keh Lok dengan Thio
Pan San, Siang-si Song-hiap, Nyo Seng Hiap, Wi Jun Hwa, Cio Su Kin dan Sim Hi,
menerdyang dari jurusan selatan. Sedang Ciu Tiong Ing bersama Liok Hwi Ching,
Ji Thian Hong, Lou Ping, Ie Hi Tong, Ciu Ki, Beng Kian Hiong dan An Kian Kong,
menyerbu dari jurusan utara. Bagaikan jepitan besi, rombongan Hong Hwa Hwe itu
segera mengepung kawanan kuku garuda, piauwsu dan orang-orang Wi.
Selagi orang-orang Wi itu
tengah bertempur seru dengan orang-orang piauwkok, tiba-tiba Thio Pan San
beberapa kali mengibas kibaskan kedua tangannya. Seketika itu dua orang kaki
tangan pemerintah terjungkal dari kudanya. Kini tahulah orang-orang Wi itu,
siapa lawan siapa kawan. Mereka sama ber tereakdua kegirangan. Malah orang Wi
brewok yang pernah tempui Bu Tim itu tadi, majukan kudanya untuk mendekati
rombongan Hong Hwa Hwe, lalu serunya :
„Entah rombongan enghiong mana
yang datang membantu ini. Disini Cayhe (aku yang rendah) menghaturkan maaf dan
terima kasih.”
Habis mengucap, dia angkat
tinggi goloknya selaku memberi hormat. Tan Keh Lok Buru-buru merangkap tangan
untuk balas menghormat, katanya :
„Saudara-saudara, mari kita
ber-sama-sama menggempur musuh !” Kini dengan turunnya komando sang pemimpin,
majulah orang-orang Hong Hwa Hwe dengan serentak. Karena beberapa kawan yang diandali
sudah banyak-banyak yang binasa, maka dengan serta merta orang-orang negeri dan
piauwsudua itu sama menyura minta diampuni jiwanya sambil tiada hentinya
memanggil: „Yaya, CouwCong” atau kakek moyang .
Demikian riuh rendah mereka
meratap membahasakan dengan pelbagai sebutan yang menyunyung sekali.
„Bun naynay,” tiba-tiba Sim Hi
berseru girang kepada Lou Ping, „mereka benardua telah memanggil kakek moyang
padaku seperti katamu tadi.”
Saat itu hati Lou Ping risah
tak keruan, kata-kata si-kaCung itu sedikitpun tak didengarnya.
Di-tengah-tengah suasana yang
kaCau itu, sekonyong-konyong Bu Tim lari keluar dari gundukan orang-orang ,
terus bertereak keras-keras: „Hai, mari kauorang datang kemari. Lihat betapa
bagus permainan pedang anak perempuan itu !”
Semua anggauta Hong Hwa Hwe
telah sama mengetahui bahwa ilmu pedang toh-beng-kiam-hoat imam itu jarang ada
la wannya. Orang-orang dikalangan Rimba persilatan yang dapat menangkis tiga
sabetan pedangnya itu, jarang sekali. Kini dia sendiri sampai keluarkan pujian
ilmu pedang orang lain, dan terutama adalah seorang gadis.
Mereka kaget dan dengan penuh
keheranan sama datang untuk melihatnya. Orang Wi brewok itu mengucap beberapa
patah perkataan Wi, maka rombongan orang-orang Wi itu sama menyingkir ketepi,
hingga bersama orang-orang Hong Hwa Hwe kini merupakan sebuah lingkaran.
„Cbng-thocu, Thio Ciauw Cong tak berada disini. Orang yang memainkan roda
ngo-heng-lun itu boleh juga tampak nya,” kata Bu Tim pada Tan Keh Lok.
Ketua Hong Hwa Hwe itu juga
datang melihat. Cerita disitu ada seorang nona berbaju kuning tengah bertempur
seru de ngan seorang lakidua kate.
„Nona itu bernama Hwe Ceng
Tong, murid dari Thian-san Siang Eng,” demikian Hwi Ching mendekati Tan Keh Lok
seraja memberi keterangan. „Dan si kate yang memegang ngo-heng-lun itu adalah
Giam Se Ciang, salah seorang dari Kwantong Liok Mo.”
Tergerak hati Tan Keh Lok
mendengarnya. Thian-san Siang Eng, sepasang burung_ elang dari Thiansan, adalah
sepasang suami isteri Tut-Ciu Tan Ceng Tik dan Swat-tiau Kwan Bing Bwe. Mereka
adalah angkatan tua dari kalangan persilatan didaerah Hwi. Dengan gurunya,
Thian Ti koay-hiap mereka tak berhubungan, sekalipun tidak bermusuhan tapi
kedua fihak sedapat mungkin tak mau berjumpa.
Tan Keh Lok dengar bahwa Thian
San Pai punya ilmu pedang sam-hunkiam sangat istimewa sekali. Maka kali ini dia
perhatikan sekali permainan nona itu. Memang ternyata gerak serangan sinona itu
luar biasa serunya, sehingga orang she Giam itu harus melajani matiduaan.
Sedang dalam pada itu orang-orang Wi bersorak sorai untuk membantu semangat
sinona. Malah ada beberapa orang yang nampak ma ju menghampiri dan siap akan
turut bertempur.
„Tahan, aku hendak bicara!”
tiba-tiba orang she Giam itu bertereak seraja mundur selangkah.
Rombongan orang Wi makin rapat
menghampiri. Dengan menghunus senjata, mereka siap akan menyerbu. Cepat-cepat
sekali Giam Se Ciang pindahkan sepasang senjatanya keta ngan kiri, dan
tangannya kanan sebat sekali menarik sebuah buntalan dari belakang punggungnya.
Dengan mengangkat tinggi-tinggi senjatanya dia bertereak :
„Kalau kaurang memaksa
andalkan jumlah besar untuk menindas aku, bungkusan ini akan kurusakkan !”
Mendengar itu terkejutlah
orang-orang Wi itu. Serentak mereka mundur beberapa tindak. Rupanya insaf bahwa
dirinya susah lolos dalam kepungan orang-orang Wi dan Hong Hwa Hwe yang
sedemikian kuatnya, maka Se Ciang hendak Cari akalan. Maka katanya lagi :
„Kauorang berjumlah besar,
tentu mudahlah untuk membunuh aku. Tetapi aku, orang she Giam, pun berhati
baja. Jangan harap kauorang bisa menCapai maksudmu. KeCua-li kalau mau
bertanding satu lawan satu, kalau aku sampai kalah, baru dengan suka rela
kuserahkan pauwhok ini. Kalau tidak dengan Cara begitu, aku siap untuk hanCur
binasa ber-sama-sama dengan bungkusan ini. Nah, kauorang boleh pikirdua lagi.”
Kiao Li-kui Ciu Ki adalah
orang pertama yang merasa panas telinganya, tanpa tunggu lagi, ia loncat
kedalam kalangan seraja berseru : „Baiklah, aku yang menantang dulu !”
Habis itu dengan putar
goloknya, nona berangasan itu akan maju menyerang, tapi ayahnya Buru-buru
menariknya kembali dan katanya: „Disini berkumpul banyak-banyak Cianpwedua yang
gagah perkasa, mengapa kau mau perlihatkan ketololanmu ?”
Sementara itu sinona baju
kuning melambaikan tangan nya kepada Ciu Ki dan serunya: „Biar aku dulu yang
melajani, kalau gagal, barulah CiCi bantu”.
„Jangan kuatir. Kulihat kau
ini orang yang baik, tentu aku suka membantumu”, jawab Ciu Ki dengan gagahnya.
“Hm, budak tolol. Ia bugenya
lebih tinggi dari kau, apa-apaan kau mau bantu dia”, ayahnya menegur dengan
bisik-bisik.
„Apa dia tak mau kubantu?”
bantah sinona yang bandel itu.
„Pauwhok yang berada ditangan
piauwsu she Giam itu berisi kitab suCi dari orang-orang Wi, maka nona itu tentu
akan merebutnya dengan tangannya sendiri”, menerangkan Liok Hwi Ching.
Baru setelah mendengar itu,
Ciu Ki mengerti dan mau diam.
„Siapa yang hendak maju dulu.
Nah sudah dirunding belum”, kata Giam Se Ciang dengan Congkak.
„Biarlah aku lagi yang
melajanimu!” seru Hwe Ceng Tong.
„Kalau kau kalah apa
perjanyiannya”!
„Kalah menang, kau harus
tinggalkan kitab itu disini. Kalau menang, kau boleh pergi. Tetapi kalau kalah,
nah tinggallah saja disini dengan kitab itu!” jawab sigadis.
Dengan ucapan itu, Ceng Tong
terus mulai menyerang. Giam Se Ciang mengeluarkan ilmu permainan roda yang
disebut ngo-heng pat-kwa, terdiri dari enam4 jurus. Kembali orang disuguhkan
pertandingan senjata yang seru dan menarik.
Tan Keh Lok melambaikan tangan
memanggil Hi Tong datang, katanya :
„Sipsu-te, kau lekas-lekas
berangkat untuk memburu jejak suko. Kita nanti menyusul.”
Hi Tong Buru-buru keluar dari
situ untuk naik kudanya. Tapi ketika berpaling dia menampak Lou Ping tengah
tundukkan kepala seperti orang ngelamun. Sedianya Hi Tong akan meng hampirinya
untuk menghibur, tapi pada lain saat, dia keprak kudanya terus kabur.
Sementara itu dalam
pertandingan seru itu betul-betul permainan sam-hun-kiam nona Ceng Tong itu
luar biasa sebat-nya. Belum ujung pedang menusuk datang, sudah ditarik dan
diganti serang'an lagi. Demikian terjadi pada tiapdua gerak serangannya.
Beberapa kali Giam Se Ciang berusaha untuk menyampok pedang sinona, tapi selalu
tak berhasil.
Bu Tim, Liok Hwi Ching, Tio
Pan San adalah achlidua pedang yang kenamaan. Kini mereka mengawasi seraja tak
putus-putusnya memberi komentar.
“SERANGAN kearah pundak lawan
tadi, Cepat-cepat nya sudah Cukup, hanya kurang tepat,” kata Bu Tim.
„Tentunya dia tak dapat
menyamai kesempurnaan permainanmu. Tapi waktu kau masih berumur seperti dia,
apa juga sudah seperti dia lihainya?” tanya Tio Pan San dengan tertawa.
„Nona itu betul-betul
mempunyai gaja penarik, sehingga menawan symphati orang-orang ,” Bu Tim juga
ketawa.
Memang kata-kata tojih itu
tepat. Karena Tan Keh Lok sendiri, setelah menyaksikan permainan orang, segera
tertarik dan mengaguminya. Tampak olehnya, meskipun nona itu dahinya berketesan
kerirgat, namun semahgatnya masih tetap gagah, gerak kaki dan tangannya masih
tetap teratur seperti biasa.
Tiba-tiba Ceng1 Tong merobah
permainannya. Kini ia menye rang dengan gerak „hay-si-Cin-lou” yaitu salah satu
ilmu pedang Thian San Pai yang lihai sekali. Gerak serangannya, sukar diduga.
Hingga kembali orang-orang sama kagum dibuatnya. Selagi mereka terbenam dalam
keasjikannya, tiba-tiba pedang sinona berkelebat laksana kilat Cepat-cepat nya
menikam pundak lawan. Karena terkejut dengan tikaman yang tepat mengenai
pundaknya itu, Giam Se Ciang menyerit keras seraja loncat mumbul, dan menCelat
beberapa tindak kebelakang. Serunya: „Aku mengaku kalah, kitab ini kukembalikan
padamu!”
Terus dia ambil pauwhok yang
terbungkus kain merah itu. Dengan kegirangan luar biasa, Ceng Tong tampil
kemuka untuk menerima kitab Alqur'an yang dipandang sebagai kitab suCi suku
bangsanya itu dari tangan orang.
Siapa duga mendadak Se Ciang
menarik muka terus membentak: „Nih, ambil!” — Berbareng itu tangannya yang lain
tahu-tahu mengajun, tiga buah senjata rasia „hui-Cui” atau bor terbang
seCepat-cepat kilat menyamber kedada Ceng Tong-.
Menghadapi kejadian yang sama
sekali tak ter-sangkadua itu, untuk hindarkan diri rasanya terlalu susah,
baiknya Ceng Tong masih sanggup mendojongkan tubuhnya kebelakang dengan gaja
„thi-pan-ki” atau jembatan papan besi, tubuhnya seakan-akan melengkung terbalik
kebelakang, dengan demikian ketiga bor itu menyamber lewat semua diatas
mukanya.
Namun Giam Se Ciang tidak
berhenti begitu saja, baru tiga buah bor pertama dihamburkan, menyusul tiga
buah bor yang lain sudah ditimpukkan lagi.
Tatkala itu Ceng Tong sedang
berdojong kebelakang, tampaknya pasti akan tertimpa bahaja, menyaksikan itu,
para orang Wigor sangat kuatir dan gusar pula atas kekejian musuh, maka
be-ramaidua mereka telah mehjerbu maju.
Dalam pada itu bila Ceng Tong
telah menegak kembali, tiba-tiba didengarnya suara „Creng-Creng-Creng” tiga
kali, ketiga buah bor tadi sudah jatuh ketanah seperti kena dihantam senjata
rasia apa-apa dan jatuhnya tepat ditepi kaki Ceng Tong, gadis ini berkeringat
dingin bila tahu bahaja apa yang tadi menganCam dirinya. Cepat-cepat sekali ia
hunus pedangnya, sementara itu Giam Se Ciang sudah merangsang maju bagai kerbau
gila dan senjata rodanya terus menghantam.
Karena tak sempat ganti
gerakan lagi, terpaksa Ceng Tong angkat pedang menangkis, maka saling beradulah
kedua senjata itu, sebuah roda tajam menindih kuatdua dari atas dan pedang
menyang gah keras-kerasdari bawah hingga seketika keadaan menjadi saling tahan.
Lama-lama tenaga Se Ciang yang
lebih besar, achirnya rodanya „Ngo-heng-lun” sudah menindih turun mendekati
kepala sigadis.
Nampak berbahaja, selagi para
ksatria hendak maju menolong, sekonyong-konyong tangan kiri Ceng Tong menCabut
keluar sebilah pedang pendek yang bersinar menyilaukan dari ping gangnya,
seCepat-cepat kilat pula ia tubleskan senjata itu keperut Giam Se Ciang.
Tanpa ampun lagi Se Ciang
menyerit keras, kontan pula orangnya roboh kebelakang.
Melihat keCekatan sigadis,
kembali semua orang berbareng bersorak memuji.
Dilain saat, Ceng Tong
Cepat-cepat melolos pauhok merah yang menggamblok dibelakang punggung Giam Se
Ciang. Dalam pada itu, sibrewok pun juga mendatangi, seraja katanya: „Bagus,
nak!”
Ceng Tong segera angsurkan
pauwhok kepadanya, dengan menyungging senyuman yang manis, ia berseru dengan
serta merta: „Ayah!”
Memang sibrewok itu adalah
ayah Hwe Ceng Tong, jakni Bok To Lun. Dengan chidmat, dia angsurkan kedua
tangan untuk menyambutinya. Sementara itu, Ceng Tong menCabut lagi badidua yang
nanCap di tubuh Giam Se Ciang. Dalam pada itu satu anak lelaki kira-kira
berumur 15 tahun loncat turun dari kuda terus lari ketengah lapangan. Dia
Cepat-cepat memungut tiga buah benda berwarna putih yang bundar bentuknya,
terus diserahkan pada seorang muda, siapa lalu memasukkan kedalam kantongnya.
„Kiranya yang melepas senjata
rahasia untuk memunahkan huiCui dari orang she Giam tadi, dialah orangnya!”
pikir Ceng Tong.
Tersurung oleh suatu perasaan
yang aneh, ia melirik ke-arah penolongnya. Tampak olehnya, bagaimana wajah
orang itu berseridua bagaikan batu giok. Sepasang matanya ber-sinardua bagaikan
bulan purnama. Mengenakan pakaian yang longgar dan tangannya menenteng sebatang
kipas. Begitu Cakap dan agung nampaknya.
Kebetulan anak muda itupun
mengawasi kearahnya, maka terbentrok sinar mata keduanya.. Sianak muda nampak
ber senyum padanya dan dengan ke-merahduaan Ceng Tong tundukkan kepalanya,
terus lari mengikut ayahnya. Kepada sang ayah ia membisiki bebrapa patah
perkataaan, dan ayah nya itu nampak menganggukkan kepalanya.
Bok To Lun maju menghampiri
kuda pemuda tersebut, lalu menyura dihadapannya. Pemuda itu Buru-buru loncat
turun dari tunggangannya, terus tersipu-sipumembalas hormat.
„Atas budi kongcu yang telah
menyelamatkan jiwa anakku, aku haturkan beribu terima kasih. Mohon tanya,
siapakah nama kongcu yang mulia ?” Tanya Bok To Lun.
„Aku yang rendah ini orang she
Tan nama Keh Lok. Salah seorang saudara kita telah ditangkap oleh kawanan kuku
garuda dan orang-orang piauwsu itu, maka kita beramai datang menolongnya.
Tetapi sayang nya, kita masih belum berhasil. Kitab pusaka dari rakjat tuan
kini telah dapat terampas kembali. Untuk itu aku turut bergirang dan haturkan
selamat.”
Pemuda itu memang bukan lain
adalah ketua dari Hong Hwa Hwe Bok To Lun panggil putera puterinya datang dan
disuruhkannya menghaturkan terima kasih pada sang penolong. Begitu dekat, agak
heran Tan Keh Lok memikirkannya. Kalau sang kakak, Hwe A In bertelinga lebar,
muka penuh brewok, adalah adiknya, Hwe Ceng Tong, begitu manis sikapnya.
Wajahnya laksana bunga yang sedang mekar di musim semi, Cantik berseri-seri
bagaikan embun pagi. Kalau tadi dari jarak agak jauh, Tan Keh Lok mengagumi per
mainannya pedang, kini setelah saling berdekatan semangat anak muda itu seperti
dibetot melihat keCantikan yang wajar dari nona itu. Sehingga untuk sesaat itu,
dia kesima terlongong-longong.
„Jika tadi bukan siangkong (tuan)
yang menolong, tentu jiwaku sudah lenyap. Budi siangkong itu, akan terukir
dalam hatiku se-lama-lamanya,” demikian sigadis.
„Ah” Tan Keh Lok seperti orang
yang dibangunkan dari tidurnya. „Telah lama kudengar 'sam-hun-kiam' dari Cabang
Thian San Pai sangat sempurnanya. Tadi setelah kusaksikan sendiri betapa ilmu
itu nona mainkan, betul-betul hebat tak tertara. Tadi Cayhe telah kelepasan
tangan jail, untuk itu sudah merasa berSyukur kalau nona tak marah, mengapa
malah nona berlaku sungkan menghaturkan terima kasih?”
Ciu Ki, si nona berangasan
itu, merasa sebal mendengar keduaa orang muda itu begitu saling bersungkan.
„Ilmu pedangmu memang lebih
hebat dari aku, tapi ada satu hal yang akan kuajarkan padamu,” Ciu Ki memotong
pembicaraan orang.
„Harap CiCi memberi petunyuk,”
sahut Ceng Tong.
„Yang bertempur dengan kau
tadi orangnya liCin. Kau terlalu percaya padanya hingga hampir terpedaya.
Memang kebanyak-banyakan orang lelaki itu banyak-banyak akal muslihatnya, lain
kali haruslah kau ber-hati-hati terhadap mereka,” demikian kata Ciu Ki.
„CiCi benar. Kalau bukan Tan
kongcu yang menolong, tentu jiwaku sudah melayang ,” ujarCeng Tong.
„Apa sih Tan kongcu itu ? Oh,
kau maksudkan dia. Dia adalah Congthocu Hong Hwa Hwe — O, ja, Tan .... Tan
toako, tadi senjata apa yang kau gunakan untuk memukul huiCui orang itu. Mana
kasih lihat padaku,” tanya Ciu Ki kepada Tan Keh Lok.
„Ini sebenarnya hanya bijidua
Catur,” kata Keh Lok seraja mengeluarkan dua biji Catur dari kantongnya.
„Timpukanku jelek sekali, harap nona Ciu jangan menertawakannya.”
„Siapa yang menertawai kau ?
Permainanmu bagus sekali. Selama dalam perjalanan, ayah tak sudahduanya memuji
padamu. Kiranya ada beberapa bagian ucapannya itu benar,” sahut Ciu Ki.
Ketika mendengar anak muda itu
adalah Cong-thocu dari sebuah perkumpulan, heranlah Ceng Tong. Ia kelihatan
ber-bisik-bisik pada ayahnya, siapa beberapa kali meng-ia-kannya.
Pada waktu orang-orang Hong
Hwa Hwe sudah membereskan hambadua negeri dan orang-orang piauwkiok. Yang
menyerah dikumpulkan, yang mati dikuburkan dan yang luka-luka diberinya obat,
antara nya piauwsu yang dipapas kutung sebelah tangannya oleh Bu Tim, jakni Chi
Ceng Lun. Lain piauwsu yang dibinasakan dengan panah tangan oleh Thio Pan San,
jakni Te Ing Bing. Dan yang dilempar oleh Pan San jakni Tong Siu Ho entah
kemana lenyapnya.
Kali ini Tin Wan piawkok
menderita kerugian kehilangan dua orang piauwsu yang binasa dan dua yang
luka-luka. Pembesardua Pembesardua polisi dari Pakkhia dan Thian-Cin ada tujuh
atau delapan yang meninggal dan terluka.
Saat itu Bok To Lun
menghampiri Tan Keh Lok seraja berkata:
„Berkat bantuan Congwi eng
hiong sekalian, tugas berat kita telah selesai. Menurut keterangan kongcu,
masih ada seorang eng hiong yang belum tertolong. Aku bermaksud suruh putera
dan puteriku serta beberapa orangku untuk membantu kongcu. Terserah apa saja
yang kongcu akan suruh mereka kerjakan. Hanya saja kepandaian mereka itu masih
rendah, entah kongcu suka meluluskan tidak?”
„Sungguh kita merasa berterima
kasih sekali,” seru Tan Keh Lok dengan gembira. Lalu dia perkenalkan mereka
pada sekalian saudara-saudaranya.
„Ilmu pedang totiang hebat
bukan buatan. Seumur hidup belum pernah kuberjumpah dengan keduanya. Masih
untung,
tadi totiang berlaku murah,
kalau tidak ha, “ kata Bok To Lun pada Bu Tim.
„Sungguh tadi aku berlaku
kurang ajar, harap dimaafkan,” sahut Bu Tim meminta maaf.
Orang Wi paling mengindahkan
sama orang-orang gagah. Sewaktu mengetahui bagaimana kelihaian Bu Tim, Tio Pan
San, Tan Keh Lok, SeChwan Siang Hiap dan lain-lain.-nya, mereka sama kagum dan
berebutan memberi hormat pada orang-orang gagah itu.
Sedang mereka berbicara,
tiba-tiba dari arah barat terdengar suara derapan kuda yang riuh, ketika semua
orang menoleh, maka tertampaklah seorang sedang mendatangi dengan Ce pat,
sesudah dekat, Cepat-cepat sekali orang itu melompat turun dari kuda dan
ternyata adalah satu pemuda rupawan.
„Suhu!” tiba-tiba pemuda itu
menyapa Liok Hwi Ching. Nyata ia adalah Li Wan Ci yang kini telah menyamar
sebagai lelaki pula.
Wan Ci memandang sekitarnya,
Ie Hi Tong tak dilihatnya, tapi Hwe Ceng Tong dapat dilihatnya, maka
Cepat-cepat ia berlari mendekati gadis itu sambil memegang kentyang tangan
orang dengan mesra. „Kemana kau telah pergi malam itu? Sungguh bikin aku
menjadi kuatir! Kitab suCi itu sudah dapat direbut kembali belum?” demikian
serentetan perta nyaan Wan Ci.
„Baru saja dapat direbut
kembali, lihatlah itu!” sahut” Ceng Tong gembira sambil menunyuk kepada
buntalan merah diatas punggung sang kaka.
Melihat itu, Wan Ci merenung
sejenak, tiba-tiba katanya:
„Kau telah membuka dan
memeriksanya belum? Apakah kitab itu benardua berada didalamnya?”
„Kami ingin berdoa dulu kepada
Allah untuk berterima kasih kepada kebesaranNya, habis itu baru membuka kitab
suCi itu,” sahut Ceng Tong.
„Tapi, menurut aku, paling
baik membuka dan memeriksanya dulu,” ujar Wan Ci.
Mendengar kata-kata sigadis
ini, Bok Tok Lun menjadi ragudua, lekas-lekas ia buka buntalan merah itu dan
memeriksanya, tapi ia menjadi melongo, karena isinya hanya setumpukan kertas
rosokan saja dan sekalidua bukan kitab suCi Alkur'an yang mereka agungkan itu.
Melihat itu, para orang Uigor
itu menjadi gusar hingga mengumpat habis-habisan keliCikan musuh.
Begitu pula Hwe A In segera
tarik seorang kusir Piau-hang yang masih meringkuk diatas tanah, lebih dulu ia
persen orang sekali tempilingan, habis itu baru ia membentak: „Kemana kitab itu
telah dilarikan?'' Bilang, lekas bilang!”
Karuan kusir itu kesakitan
sambil memegang mukanya hingga seketika susah menyawab.
„Katakan, lekas,” Bok Tok Lun
ikut membentak sambil angkat goloknya. „Tak mengaku terus terang, biar aku
penggal dulu kepalamu!”
„Am…… ampun, bu…… bukan aku,
tapi perbuatan ka…… kawanan piauthau itu, aku sen…….. sendiri tidak tahu
soalnya,” demikian kusir itu menyawab dengan ketakutan sambil menunyuk kearah
Chi Cing Lun yang masih menggeletak itu.
Segera juga Ho A In menyeret
bangun Chi Cing Lun dan membentak gusar: „Kawan, katakan saja, kau ingin hidup
atau mati?”
Namun Chi Cing Lun ternyata
Cukup bandel, bukannya menyawab, tapi ia malah pejamkan mata tak menggubris.
Tentu saja Ho A In menjadi murka, ia angkat bogem nya dan segera hendak gebuk
orang pula. Baiknya Ceng Tong telah menarik baju sang kaka pelahan, hingga
kepalan A In yang sudah diangkat itu pelahandua diturunkan kembali.
Ternyata meski tabiat Ho A In
ini kasar dan berangasan, tapi terhadap dua adik perempuannya ia paling
menghormat dan menCintai. Adik perempuan yang besar jalah Ceng Tong, sedang
adik perempuan kedua bernama Kasri yang berparas Cantik molek tiada taranya,
digurun pasir orang menyebutnya „Hiang Hiang Kongcu” atau si Puteri Harum. Ia
tak bisa silat, maka urusan perebutan kitab suCi ini ia tidak ikut datang.
Begitulah, maka Ceng Tong lalu
tanya Wan Ci: „Dari mana kau bisa mengetahui isi buntalan itu bukan kitab
suCi?”
„Aku pernah mengapusi mereka,
maka aku pikir tentunya merekapun bisa meniru,” sahut Wan Ci dengan tertawa.
Kemudian Bok Tok Lun membentak
Ci Cing Lun pula agar mengaku, namun tetap Cing Lun bilang kitab suCi itu sudah
digondol pergi oleh salah seorang Piausu yang lain.
Bok Tok Lun masih sangsidua
atas pengakuan orang, segera ia perintahkan bawahannya menggeledahi semua
kereta dan muatannya, namun sedikitpun tak tertampak bayangan kitab yang diCari
itu, ia kualir kitab suCi telah dirusak musuh, maka keningnya terkerut rapat,
suatu tanda sangat masgul.
Disebelah sana Li Wan Ci lagi
menanyai keadaan sang Suhu semenyak berpisah. Kata Hwi Ching: „Urusan itu kelak
akan kuCeritakan, kini lekasan kau kembali saja, nanti ibumu akan berkuatir
lagi atas dirimu, dan tentang kejadian disini ini sekalidua jangan kau
Ceritakan pada orang lain.”
„Sudah tentu aku takkan
Ceritakan, Suhu, apa kau kira aku masih anak kecil yang tak mengarti apa-apa?”
demikian sahut sigadis secara aleman. „Dan siapakah orang-orang ini, Suhu,
kenapa tak kau perkenalkan padaku?”
„Aku kira tak usah saja,
lekasan kau kembali saja,” kata Hwi Ching setelah berpikir. Nyata ia pikir Wan
Ci adalah puteri seorang panglima dan tentunya tidak CoCok tindak tanduknya
dengan para pahlawandua terpendam ini, maka tak perlu mereka berkenalan.
Sebaliknya Wan Ci ternyata
lantas ngambek, mulutnya yang mungil menyengkit, lalu katanya pula dengan
aleman:
Suhu tak sukai murid sendiri
dan terima lebih suka pada seorang Sutit yang disebut Kim-tiok-siuCay segala.
Baiklah, Suhu, sekarang aku pergilah!” — Habis berkata, ia menyura sekali, lalu
Cemplak kudanya untuk pergi, ketika kudanya melalui samping Hwe Ceng Tong,
tiba-tiba Wan Ci membungkuk merangkul dipundak Ceng Tong dan dengan bisik-bisik
omong beberapa patah-kata padanya. Karena itu terlihat Ceng Tong tertawa ngikik
sekali, lalu Wan Ci me meCut kudanya terus kabur kebarat.
Kesemua itu telah disaksikan
sendiri oleh Tan Keh Lok, ketika dilihatnya pemuda rupawan itu berhubungan
begitu rapat dengan Ceng Tong, entah mengapa, dalam hatinya timbul semaCam
perasaan yang susah dilukiskan, karena itu ia hanya terkesima saja.
„Congthocu,” tiba-tiba Thian
Hong mendekatinya, „bukankah kita harus merundingkan Cara bagaimana harus
menolong Suko?”
Karena teguran itu, barulah
Keh Lok terkejut, lekas-lekas ia tenangkan diri dan menyahut: „Ja, ja, benar.
Sim Hi, lekasan kau gunakan kuda putihnya Bun-sunaynay pergi mengundang kembali
Ciang-sipya.”
Perintah itu diterima Sim Hi
yang terus berangkat pergi.
Lalu Keh Lok membagi tugas
pula: „We-kiuko, kau pergi kemulut selat bukit itu untuk bergabung dengan
Cap-ji-long, Coba selidiki pula sekitar sana dan laporkanlah kesini malam nanti.”
Segera We Jun Hwa pun
berangkat menunaikan tugas.
„Dan malam ini biarlah kita
bermalam terbuka saja disini buat menunggu berita yang mereka bawa kembali,
besok pagidua kita meneruskan pengejaran lagi,” kata Keh Lok achirnya kepada
semua orang.
Karena sehari penuh mereka
bikin perjalanan, ditambah pertempuran hampir setengah hari, mereka menjadi
sangat lelah dan lapar. Disebelah sana segera Bok Tok Lun memerintahkan
beberapa orang Uigor memindahkan beberapa tenda dan dipasang ditepi jalan, dari
tenda itu dibagi beberapa buah untuk perkemahan jago-jago Hong Hwa Hwe itu,
kemudian mereka menghantarkan lagi dagingdua sampi dan kambing yang sudah
mereka masak.
Sehabis dahar, Tan Keh Lok
menghadapkan Go Kok Tong pula untuk ditanyai. Tapi masih tiada habis-habisnya
Go Kok Tong menCaCi maki Thio Ciau Cong, ia bilang kereta itu sela manya
dipakai Bun Thay Lay, belakangan mungkin Thio Ciau Cong mengetahui jejak musuh
yang selalu menguntit dan bermaksud merampas kereta itu, maka disuruhnya
menggantikan duduk didalam kereta sebagai jebakan. Lebih dari itu ia tak tahu.
Waktu Keh Lok mendatangkan Ci
Cing Lun dan didesak nya pula agar mengaku, tapi masih tetap tanpa hasil
sedikit pun.
Setelah tawanandua itu digusur
pergi lagi ketempat tahanan, kemudian Thian Hong, itu Khong Beng dari Hong Hwa
Hwe, lantas berunding pada Keh Lok. „Congthocu,” katanya, „manusia she Ci itu
bersinar mata menCurigakan, sikapnya pun kelihatan liCik, aku kira biar malam
nanti kita men Cobadua padanya.”
„Baik!” sahut Keh Lok, akur.
Habis itu dengan suara pelahan
merekapun berunding renCana yang harus dijalankan.
Sampai hari sudah gelap,
ternyata We Jun Hwa dan Ciok Siang Ing berdua tiada satupun yang kembali
melapor, karuan semua orang menjadi kuatir.
„Besar kemungkinan mereka
telah mendapatkan jejak-nya Suko, maka telah menguntit terus, ini malah suatu
tanda baik,” demikian pendapat si Khong Beng.
Karena itu, para jago-jago itu
sama mengangguk membenarkan. Setelah mengobrol tak lama lagi, kemudian
merekapun tidur diatas tanah dalam perkemahan itu. Orang-orang dari Tin Wan
Piaukiok dan hambadua negeri yang tertawan itu telah diikat semua tangan-kaki
mereka dan ditidurkan diluar kemah, setengah malam pertama dijaga Cio Su Kin,
dan setengah malam kedua Thian Hong yang dinas menyaga.
Setelah sang dewi malam sudah
menggeser sampai di-tengah-tengah Cakrawala, telah tiba waktunya Thian Hong
yang berjaga, maka Khong Beng dari Hong Hwa Hwe ini telah keluar menggantikan
Su Kin, ia sendiri setelah mengontrol sekeliling perkemahan mereka, lalu ia
berduduk ditempatnya sambil membelebat tubuhnya dengan sehelai selimut.
Kebetulan sekali Ci Cing Lun
merebah disamping Thian Hong, tadi ketika Thian Hong hendak berduduk, entah
seng-aja entah tidak, pahanya telah kena diinyak dan karena sakit, Cing Lun
jadi tersadar.
Selagi Cing Lun lajapdua
hendak terpulas pula, tiba-tiba dide-ngarnya Thian Hong sudah mulai menggeros,
tampaknya sudah tertidur nyenyak. Ia menjadi girang, ia Coba geraki kedua
tangannya, ternyata tali pengikatnya tidak begitu ken tyang , maka setelah dipentang
dan meronta beberapa kali, achirnya kedua tangannya sudah terlepas.
Dengan hati-hati ia berdiam
sejenak, bahkan bernapas pun sementara ditahan, ketika suara gerosan Thing Hong
ter-nyata makin keras, tidurnya bertambah nyenyak, pe-lahandua Cing Lun membuka
lagi tali pengikat kakinya, setelah da-rah anggotadua badannya itu sudah
berjalan lancar, pelahandua dan hati-hati sekali ia berdiri, lalu selangkah
demi selangkah ia berjalan pergi secara ber-indapdua.
Sampai dibelakang kemah, Cing
Lun melepaskan tambatan seekor kuda, lalu dengan ber-jinyitdua ia jalan kejalan
besar, ia pasang kuping, namun keadaan sekiling sunyi senyap, diam-diam ia
bergirang, sebab kaburnya ini tiada orang yang mengetahui, dengan pelahan ia
tutun kudanya mendekati kereta besar yang pernah ditumpangi Go Kok Tong itu.
Keadaan kereta itu sudah jungkir balik ditanah, keledai penariknya sudah
dilepas orang.
Pada saat itu juga, dari salah
satu kemah tiba-tiba melesat keluar suatu bayangan orang dan dengan diam-diam
menguntit, ia bukan lain adalah si Li Kui wanita, Ciu Ki adanya.
Ciu Ki tidur sekemah bersama
Ceng Tong dan Lou Ping, kedua orang yang belakangan ini karena masing-masing pu
nya pikiran, maka gulang-guling masih takbisa pulas. Ciu Ki yang tertidur lebih
dulu telah mimpi seakan-akan dirinya terjeblos masuk suatu lobang jebakan dan
dengan susah payah ada orang menariknya keatas, waktu ia tegasi, ter-nyata
penolong itu adalah Ji Thian Hong, ia menjadi ma rah terus ribut mulut padanya,
tapi karena ributdua itu iapun tersadar dari impiannya.
Dan begitu ia mendusin, segera
didengarnya diluar kemah ada suara berjalannya orang dan kuda, waktu ia
mengintip, dilihatnya Ci Cing Lun yang lagi hendak kabur. Lekasan saja ia
samber goloknya terus mengejar keluar kemah.
Setelah beberapa langkah ia
mengudak dan pikirnya hendak berteriak, sekonyong-konyong dari belakang
seseorang telah menubruk datang terus menekap kentyang dua mulutnya yang sudah
mulai terpentang itu.
Terkejut sekali Ciu Ki, kontan
juga ia baliki goloknya terus membabat kebelakang, tapi orang itu sangat
Cepat-cepat , tahu-tahu pergelangan tangannya sudah terpegang hingga sen
jatanya dapat ditahan kembali.
“Jangan bersuara, nona Ciu,
aku adanya!” demikian seru orang itu dengan suara tertahan.
Mendengar itu adalah suaranya
Thian Hong, goloknya tak jadi dipakai, tapi kepalan kiri sigadis masih
dipukulkan juga hingga dengan tepat sekali mengenai dada kanan Thian Hong.
Karena pukulan itu,
setengahnya memang sangat sakit, tapi setengahnya pura-pura juga, terus Thian
Hong jatuhkan diri kebelakang. Karuan Ciu Ki berbalik kaget, lekas-lekas ia
berjongkok dan menanya dengan suara pelahan : “He, gi mana keadaanmu ? Habis,
siapa suruh kau tekap mulutku ? Ada orang hendak kabur apa kau tak melihatnya?”
“Ja, ja, jangan bersuara, kita
ikuti dia,” sahut Thian Hong lirih.
Segera mereka merangkakdua dan
pelahandua menggeser ma ju. Sementara itu terlihat Ci Cing Lun lagi membongkar
bantal dudukan kereta besar itu hingga terdengar suara gemelutak dua kali
seperti suara papan yang dijugil, lalu dari bawah papan dikeluarkannya sebuah
kotak kaju terus dimasukkan kedalam bajunya.
Tapi selagi Cing Lun hendak
Cemplak keatas kudanya, Cepat-cepat sekali Thian Hong telah mendorong Ciu Ki
sambil berteriak : “Lekas Cegat dia !”
Gadis itupun sebat luar biasa,
sekali enyot tubuh, segera orangnya melesat kedepan.
Mendengar suara orang, Cing
Lun menjadi kaget, baru saja sebelah kakinya menginyak pelana kuda dan tubuhnya
belum sempat Cemplak keatas, sebelah kakinya yang lain ia gunakan lebih dulu
untuk mendepak bebokong kuda-nya, karena kesakitan, binatang itu meringkik
sekali terus raembudal beberapa tombak kedepan.
Tentu saja Ciu Ki tak mau
lepaskan, ia mengudak se Cepat-cepat angin, tatkala itu Cing Lun sudah baliki
tubuhnya keatas punggung kudanya, melihat sigadis mengejar, tiba-tiba ia ajun
tangannya sambil membentak: „Awas, piau !”
Karena itu Ciu Ki rada
terganggu larinya karena harus ber-jagadua bila senjata rasia musuh menyamber
datang; tak terduga bentakan Ci Cing Lun itu hanya gertak sambel saja,
hakibatnya semua senjatanya pada waktu tertawan sudah diluCuti semua. Dan sebab
Ciu Ki tertegun sejenak, maka Cing Lun telah larikan kudanya lebih jauh lagi.
Karuan Ciu Ki menjadi gugup
karena terang tak mampu memburu lagi dan musuh segera akan lolos. Begitu pula
saking senang rupanya, Ci Cing Lun telah ketawa ter-bahakdua. Siapa duga, belum
lenyap suara tertawanya, tahu-tahu Ci Cing Lun terjungkir jatuh dari kudanya.
Terkejut terCampur girang Ciu
Ki melihat kejadian itu, Cepat-cepat ia memburu maju terus menginyakkan sebelah
kakinya digigir Ci Cing Lun, dengan ujung goloknya ia tatapi punggungnya.
Sementara itu Thian Hong pun
sudah menyusul tiba. „Coba kau periksalah apa isinya kotak didalam bajunya
itu,” demikian katanya pada sigadis.
Segera Ciu Ki merogoh keluar
kotak kaju itu dari baju orang, waktu ia buka, ternyata isinya penuh bertumpuk
ber-lapisdua kulit domba seperti dijilid menjadi suatu kitab, ia balikdua
halaman kulit domba itu dibawah sinar bulan yang Cukup terang, ternyata tulisan
didalamnya sangat aneh, se hurufpun tak dikenalnya.
„Lagi-lagi tulisan anehdua
dari Hong Hwa Hwe kalian, aku tak mengarti, nih, lihat sendiri,” demikian kata
Ciu Ki kemudian sembari melemparkan kitab itu ke-arah Thian Hong.
Waktu Thian Hong menyang gapi
dan sesudah diperiksa, segera ia berkata dengan girang: „Wah, nona Ciu, sekali
ini jasamu sungguh tidak kecil, kitab ini besar mungkin adalah Alqur'an milik
orang-orang Uigor itu, lekas kita pergi menCari Congthocu.”
Tapi baru mereka membalik
tubuh, tahu-tahu Tan Keh Lok sudah kelihatan mendatangi.
„He, Tan-toako, kenapa kaupun
sudah datang?” tegur sigadis heran. „Lihatlah kau, lekas, kitab apakah ini?”
Segera juga Thian Hong
angsurkan kotak kaju, setelah Keh Lok memeriksanya, katanya kemudian: „Ini
sembilan bagian adalah kitab Alqur'an itu. Beruntung kau berhasil menCegat
larinya musuh, sungguh kami berpuluh orang lakidua tak bisa menempili kau
sedikitpun.”
Mendengar Thian Hong dan ketua
Hong Hwa Hwe itu sama-sama me muji, besarlah hati Ciu Ki. Ingin ia menyawab
dengan kata-kata merendah, tapi tak tahu bagaimana mesti mengucap kannya. Tak
berselang berapa lama, bertanyalah ia pada Thian Hong: „Sakit tidak tadi itu?”
— Ia maksudkan puku lannya tadi.
„Nona benardua kuat!” sahut
Thian Hong dengan tertawa.
„Salahmu sendiri,” kata Ciu
Ki. Habis itu dia angkat kakinya dan suruh Ceng Lun bangun, tapi piauwsu ini
ternyata tak berani berkutik. Karena mendongkol, Ciu Ki mendupak nya lagi,
namun dia tetap tak mau berg-erak.
Dengan tersenyum Tan Keh Lok
membungkuk dan pijitdua paha orang seraja memerintahkannya bangun. Baru setelah
itu sipiauwsu tersebut bisa merangkak berdiri. Kini baru mengertilah Ciu Ki,
lalu dipungutnya sebuah biji Catur dan dengan merengut diserahkan pada Tan Keh
Lok.
„Ini biji Caturmu. Memang
siapa yang tak tahu kelihai-anmu menimpuk jalan darah dengan biji Catur. Hem,
mentangdua bisa mengelabui orang saja. Memang orang-orang Hong Hwa Hwe itu
bukan orang baik-baik ,” demikian ia mengomel.
Buru-buru Tan Keh Lok
menyelaskan bahwa yang berjasa tetap sinona yang telah dapat merintangi
sipiauwsu.
„Kalau dia tak gugup karena
kau kejar, tentu dia bisa menghindari timpukanku,” ujar ketua Hong Hwa Hwe itu.
Dasar aleman, Ciu Ki puas
hatinya. Dalam pada itu ia minta Thian Hong peristiwa pemukulannya tadi jangan
diberitahukan pada ayahnya.
„Apa halangannya kalau dikasih
tahu?” kata sipemuda.
„Awas, kalau berani begitu,
selamanya aku tak bicara lagi padamu!” anCam sigadis.
Thian Hong hanya meringis.
Begitulah Ceng Lun segera digusur untuk diserahkan pada Bok To Lun. Kepala
orang Wi ini menjadi sangat kegirangan, karena kitab suCi mereka telah dapat
diketemukan kembali. Seluruh orang-orang Wi itu sama berlutut untuk
menghaturkan terima kasih pada Tan Keh Lok.
„Yang berjasa mendapatkan
kembali kitab itu, adalah nona Ciu Ki. Kita tak berani terima penghargaan yang
begitu besar dari lotiang. Karenanya harap loenghiong suka ajak kembali putera
dan puterimu, maaf, kami tak berani menerima pernyataan bantuan loenghiong
itu.”
Ucapan ini telah membikin
kaget Bok To Lun dan kedua anaknya. Karena maksudnya yang baik mengapa telah
diterima salah oleh ketua Hong Hwa Hwe itu. Berulangdua Bok To Lun mendesaknya,
tetapi Tan Keh Lok tetap menolaknya. Melihat itu Ceng Tong memberi isjarat pada
ayahnya, tak usah mendesaknya lagi karena orang itu tetap tak mau.
Ketika kembali kedalam
rombongannya, Thian Hong memberitahukan pada Ciu Tiong Ing, bahwa kali ini Ciu
Ki sangat berjasa dapat merampas kembali kitab Qur'an. Tiong Ing girang hatinya
dan memandang pada puterinya dengan penuh kebanggaan. Tetapi tiba-tiba Thian
Hong men jerit kesakitan.
„Ada apa laote?” tanya Tiong
Ing.
„Anu, tadi aku telah dipukul
orang,” sahut sipemuda.
„Siapa yang memukul dan
bagaimana, apa terluka?” tanya Tiong Ing pula kuatir.
„Tidak luka, tapi Cukup sakit
juga. Siapa lagi kalau bukan perbuatan telur busuk itu. Dia memang kejam sekali
tangannya,” sahut Thian Hong lagi.
Tiong Ing dan lain-lain'
kawannya mengira bahwa si „telur busuk” itu, tentu Ceng Lun. Maka Seng Hiap
segera menghampiri terus menCekek leher baju sipiauwsu, bentaknya :
„Jadi kau masih berani memukul
orang?”
„Au…… Oh, bukan akulah!”
teriak piauwsu itu.
Buru-buru Thian Hong
menCegahnya: „Pat-te, sudahlah, orang yang berbuat tentunya merasa sendiri.”
Dengan gemas, Ciu Ki melirik
pada Thian Hong, katanya dalam hati: ,,Hm, sikate kembali ber-belitdua untuk
memaki aku.”
Begitulah keesokan hari,
rombongan orang Wi telah minta diri pada orang-orang Hong Hwa Hwe untuk pulang
ketempatnya. Perpisahan itu dirasakan berat oleh kedua fihak. Malah dengan
memimpin tangan Ceng Tong, Ciu Ki menghampiri Tan Keh Lok seraja berkata :
„Nona itu orangnya Cantik dan
bugenya lihai. Ia mau membantu, mengapa kau tampik?”
Tan Keh Lok tak dapat menyawab
apa-apa.
„Tan kongcu tak mau kita orang
sampai dapat bahaja. Dia memang bermaksud baik. Apalagi kita memang sudah rindu
dengan ibu dan adik dirumah dan ingin selekasnya pulang. CiCi Ciu, sampai
berjumpa lagi!” kata Ceng Tong sembari melambaikan tangan dan terus pergi.
„Tuh, karena kau menampik,
maka ia sampai menguCur kan air mata. Kau memang suka pandang sebelah mata pada
lain orang. Kau bikin sakit hatinya.” kata Ciu Ki.
Tan Keh Lok terlongong-longong
tak dapat menyahut. Hanya matanya tetap tak terkesiap memandang bayangan sinona
gagah itu.
Setelah agak jauh, tiba-tiba
Ceng Tong memutar kudanya kembali. Dan ketika nampak Tan Keh Lok masih
terlongong-longong mengawasinya, sembari menggigit bibir Ceng Tong melambaikan
tangannya.
Melihat itu, seperti
terbanglah semangat Tan Keh Lok. Tanpa disadarinya, dia maju menghampiri. Ceng
Tongpun Buru-buru loncat turun dari kudanya. Dan untuk sesaat itu mereka saling
berhadapan muka dengan pandangan yang berarti. KeDua-duanya tak dapat mengucap
apa-apa.
„Kongcu telah menolong jiwaku,
pun kitab suCi itu adalah kongcu yang bantu mendapatkannya kembali. Maka
sekalipun bagaimana kongcu memperlakukan diriku, aku tetap tak sakit hati,”
kata Ceng Tong achirduanya. Sembari berkata begitu ia loloskan sebatang pedang
pendek dari pinggangnya dan katanya lagi :
„Pedang ini adalah pemberian
suhuku. Menurut kata beliau, dalam pedang ini tersimpan sebuah rahasia yang
besar. Beratus tahun pedang ini pindah dari satu kelain tangan, tetapi tak ada
orang yang dapat memeCahkan rahasia itu. Kita berpisah, entah kapan bertemu
lagi. Pedang ini kuharap kongcu suka menerimanya. Kongcu adalah seorang
budiman, mungkin dapat memeCahkan rahasia itu.”
„Pedang ini adalah sebuah
pusaka, sebenarnya aku tak berani menerimanya. Namun untuk menghormat kehendak
nona, terpaksalah kuterima dengan rendah hati,” kata Tan Keh Lok.
Nampak Tan Keh Lok berkata
dengan suara sember dan wajah yang saju, setelah merenung sejenak, berkatalah
Ceng Tong pula :
„Aku tahu mengapa kau tak
ijinkan aku ikut bantu menolong Bun suya. Bukanlah karena kemaren kau melihat
aku berCakapdua dengan seorang pemuda begitu asjiknya, maka kini kau meremehkan
diriku begitu rupa? Anak muda itu adalah murid dari Liok Hwi Ching locianpwe,
kau tanya saja pada Liok locianpwe siapa dan bagaimana anak muda itu orangnya.
Sampai disitu Coba kau renungkan apakah aku ini betul-betul seorang gadis yang
tak tahu harga diri !”
Habis berkata begitu, Ceng
Tong keprak kudanya untuk menyusul rombongannya. Baru setelah bayangan sinona
lenyap kedalam rombongan orang-orang Wi, tersedarlah Tan Keh Lok dari
kesimanya. Diapun Buru-buru berlalu, maksudnya akan me nanyakan keterangan
sinona itu pada Liok Hwi Ching. Tapi pada saat itu, tiba-tiba dilihatnya ada,
seorang penunggang kuda mendatangi.
„Siaoya, Ciang-sipya sudah
datang. Dia membawa seorang tawanan!” demikian teriak orang itu yang ternyata
Sim Hi adanya.
„Menawan siapa?” tanya Tan Keh
Lok.
„Sesampai dikuil itu, kulihat
Ciang-sipya sedang CeCok ramai dengan seorang. Begitu melihat aku berkuda
putih, orang itu katakan akulah sipenCuri kudanya. dan terus mem baCok. Kami
berdua lalu mengerojoknya. Orang itu sebenarnya lihai sekali, tapi aku
menggunakan sedikit tipu dan achirnya kami dapat merobohkannya.”
„Tipu apa yang kau lakukan?”
tanya Keh Lok.
„Aku tawur matanya dengan
pasir, hingga sipya mudah membekuknya!” sahut Sim Hi.
Tan Keh Lok menanyakan nama
orang tangkapan itu, tapi Ciang Bongkok keburu sudah datang sembari menurunkan
seseorang dari kudanya. Kaki dan tangannya diikat dengan tambang. Kiranya orang
itu ialah Han Bun Tiong, orang yang kudanya diCuri oleh Lou Ping tempo hari
itu.
Tan Keh Lok Buru-buru
perintahkan Sim Hi lepaskan ikatannya, dan meminta maaf kepada orang she Han
itu, kemudian dipersilahkan untuk mengasoh kedalam tendanya. Belum berapa lama
duduk disitu, tampaklah Lou Ping masuk. Dan sekonyong-konyong berbangkit orang
she Han itu, terus memaki kalang kabut :
„Kaulah perempuan bangsat yang
Curi kudaku, terang bahwa kau orang disini ini memang komplotan jahat !”
„Kau Han Bun Tiong toaya bukan
? Nah, kita saling tukar kuda dan aku menambahi uang, jadi berarti kau sudah
untung, mengapa marah-marah lagi ?” enak saja Lou Ping menyahutnya.
Atas pertanyaan Tan Keh Lok,
Lou Ping lalu Ceritakan tentang halnya tukar menukar kuda putih itu dulu.
Sekalian orang-orang sama geli mendengarnya. Maka berkatalah Keh Lok kemudian:
„Sudahlah, harap suso kembalikan kuda itu pada Han-ya, dan Han-ya tak perlu
mengembalikan uang itu. Bagaimana luka dipaha Han-ya? Ayo, Sim Hi, lekas kau
ambilkan obat untuk Han-ya itu !”
Bun Tiong berkurang amarahnya
dan akan menyatakan terima kasihnya, tapi tiba-tiba Lou Ping menyelak:
„Congthocu, aku tak setuju! Dia itu siapa kau tahu? Dia adalah orang dari Tin
Wan piauwkiok !”
„Masa ja ?” tanya Tan Keh Lok
dengan terkejut.
Lou Ping segera serahkan surat
Ong Hwi Yang, pemilik Tin Wan Piauwkiok, kepada sang Congthocu. Sebaliknya dari
yang diharap, Tan Keh Lok hanya Cukup sekali membuka, lalu melihatnya lagi dan
diserahkan pada Bun Tiong, kata tak ada sangkut pautnya dengan Hong Hwa Hwe”
Mendengar itu, melengaklah
sekalian orang. Dengan ber bangkit dan tegak berdiri, Liok Hwi Ching menuturkan
apa yang telah terjadi ketika itu. Sebagai reaksi, berisiklah suasana dalam
tenda, itu dengan kutuk makian dari orang-orang Hong Hwa Hwe kepada alamat Ciao
Bun Ki. Hanya Han Bun Tiong yang sebentardua berobah wajahnya, serta tak dapat
mengucap apa-apa.
Sementara itu Liok Hwi Ching
melanyutkan lagi: „Dan kalau Han-ya berkeras akan membalas sakit hati suhengmu,
sekarangpun aku bersedia untuk menemani. Sekali lagi kutandaskan, bahwa soal
ini tidak ada sangkutan apa-apa dengan Hong Hwa Hwe Jika orang-orang Hong Hwa
Hwe nanti sampai ada yang membantu, itu berarti menghina padaku.”
Habis berkata begitu, Hwi
Ching berpaling kearah Lou Ping, untuk minta senjata Han Bun Tiong. Begitu
thiat-pi-peh Bun Tiong diterima oleh jago tua itu, maka ber-katalah dia :
„Ketika Han Ngo Nio
menCiptakan ilmu Thiat-pi-peh, namanya sangat semerbak dikalangan Persilatan.
Dia dianggap sebagai seorang pendekar wanita. Tetapi kini, haa “
Sembari mengelah napas, Hwi
Ching kerahkan lwekang kearah tangannya. Sekali badan pi-peh itu dipijitnya,
seketika itu juga berobah menjadi sebuah papan besi yang gepeng.
„Kita kaum persilatan, kalau
tak mengabdi kepada tanah air atau sekurang-kurangnyanya melakukan perbuatan
yang mulia, bukankah sia-siasaja segala ilmu kepandaiannya itu?” kata Hwi Ching
pula ber-apidua. „Kalau kesemuanya tak dapat dilakukan, nah lebih baik
sembunyikan diri menjadi rakjat yang baik. Hm, aku paling benCi pada kawanan
kuku garuda, kaki tangan piauwkiok yang mengantar barang-barang ha-ram pada
pembesar-' rakus. Bila orang yang bermodal ilmu silat terima menjadi budak dari
kawanan pembesar yang menindas rakjat, kalau ketemu aku, hem, sekalipun aku,
Liok Hwi Ching, usiaku sudah mendekati lubang kubur, tapi aku akan gunakan
haridua sisa hidupku itu, untuk membasmi mereka !”
Hwi Ching tampaknya sangat
angker sekali. Darah mu danya kembali mengalir memenuhi semangatnya. Dan dalam
dia ber-kata-kata itu, tangannya tetap „mengerjai” thiat-pi-peh itu. Maka
begitu ucapannya habis, thiat-pi-peh itu sudah menjadi semaCam thiat-hoan,
gelangan besi.
Ucapan jago tua itu, telah
merasuk kedalam sanubari Bun Tiong. Selama ini, belum pernah dia bertemu dengan
lawan yang dapat menandingi bugenya. Tapi sekali ini saja, dia telah mendapat
hajaran ber-turutdua. Dari Lou Ping Ciang Bongkok, Sim Hi dan kini dengan mata
kepala sendiri dia saksikan bagaimana Hwi Ching telah memijit mijit gepeng
senjatanya yang sangat diandalkan itu, seperti orang yang memenCet tanah liat
(lempung) saja. Sampai saat itu, barulah dia betul-betul merasa tunduk dan
jerih.
Sebaliknya Ciang Su Kin,
terkilik hatinya. Dia sambuti thiat-hoan itu, lalu di pijitdua dan ditariknya
hingga menjadi sebatang tongkat. Sebelah ujungnya disodorkan kehadapan Seng
Hiap.
„Eh, kau mau adu kekuatan
dengan aku?” tanya Seng Hiap.
Begitu Su Kin mengangguk, Seng
Hiap terus pegang tongkat itu dan mulailah keduanya saling tarikduaan. Ternyata
keduanya sama unggulnya, dan yang nyata, tongkat itu makin lama makin panyang .
Orang-orang yang menyaksikan sama kagum.
„Ah, sudahlah. Koko berdua
sama kuatnya. Mari berikan pi-peh itu padaku !” kata Tan Keh Lok, melerai kedua
orang tersebut.
Ciu Ki dan Lou Ki merasa geli
dan tertawa, ketika ketua itu masih menyebut tongkat itu, dengan „pi-peh.”
„Totiang, Ciu locianpwe, Siang
ngo-ko, kauorang bertiga harap berada disebelah sini,” kata Tan Keh Lok setelah
menerima tongkat. „Dan kau Tio samko, Siang liok-ko bersama aku disisih sana.
Mari kitaorang ber-main-main .”
Ciu Tiong Ing dengan tertawa
menurut. Jadi kedua ujung tongkat itu kini dipegangi masing-masing oleh
tiga-orang.
„Mereka berdua telah menarik
besi sampai panyang , kini kita bikin pendek lagi seperti semula,” kata Keh Lok
pula.
„Nah, satu, dua, tiga !”
Begitu mendorong, maka besi
itu menjadi pendek lagi. Orang-orang yang melihatnya ramai ber-sorakdua.
„Sudahlah, Cukup. Inilah yang
dikatakan diatas langit masih ada langit'. Aku, Han Bun Tiong, kalau hari ini
ma-
sih hidup besok aku akan
pulang kekandang- untuk bertani saja,” demikian Han Bun Tiong sambil menghela
napas. Setelah diperintahkan sang ketua, berhentilah kelima
orang itu yang sedang
„dolanan” itu. „Kita telah merusak senjata sdr. Han, harap sdr. maaf kan,” kata
Tan Keh Lok.
Karena sedang menguCurkan
keringat, Bun Tiong tak dapat menyahut apa-apa maka berkatalah ketua Hong Hwa
Hwe itu pula: „Aku yang rendah ini akan omong beberapa patah padamu entah sdr.
suka mendengarkan entah tidak ?
Setelah Bun Tiong mengiakan,
berkatalah pula Tan Keh Lok: „Sedari dulu, orang yang penasaran itu mudah
diberi mengerti, tapi sukar diajak damai. Suheng Han-ya itu me-
mang Cari kematiannya sendiri.
Jadi Liok Cianpwe itu tak bersalah. Dengan memandang mukaku harap Han-ya tak
mengganyel pada Liok locianpwe dan selanyutnya men jadi sahabat saja.”
„Jadi jiwa suhengku itu
dikorbankan begitu saja ?” seru Bun Tiong dengan geramnya.
„Sebenarnya tugas Ciao sam-ya
itu adalah untuk men Cari aku. Maka aku akan menulis surat mengabari saudaraku
dirumah. Harap Han-ya katakan saja bahwa Ciao samya telah berhasil menemui aku.
Tetapi sepulangnya, ditengah jalan Ciao samya telah dibunuh orang, Dari agar
samya tetap terima hadiah yang sudah dijanyikan itu. Bun Tiong berdiam diri,
agaknya tak puas dia. „Namun Han-ya berkeras untuk menuntut balas, baiklah aku
yang akan mengawani Han-ya bermain beberapa jurus ilmu 'thiat.pi-peh,” kata Keh
Lok. Dan sekali tangannya di ajun, tahu-tahu 'pi-peh' yang dipegangnya tadi
masuk menancap kedalam tanah.
„Orang she Han itu insaf kalau
dia sekalidua takkan lolos dari orang-orang Hong Hwa Hwe yang rata-rata bugenya
tinggi-tinggi itu. Maka katanya: „Kalau begitu, silahkan kongcu mengatakannya.”
„Nah, beginilah baru bisa
disebut ksatria sejati,” ujar Keh Lok. Lalu ia suruh Sim Hi mengambilkan
alatdua tulis dan sekejap saja sepuCuk surat telah diselesaikannya terus
diserahkan pada Han Bun Tiong.
„Sebenarnya Ong-Congpiauthay
suruh aku membantunya menghantar suatu barang kawalannya ke Pakkhia, dari Pak
khia kemudian akan mengawal pula barangdua mestika berharga hadiah kerajaan
kekediaman kongcu di Kanglam,” de demikian kata Bun Tiong. „Tapi hari ini
setelah saksikan kepandaian sakti kalian, ha, sedikit kepandaianku ini benardua
main kaju dirumah tukang mebel. Untuk mana, harta mestika yang akan dihantar
kekediaman kongcu itu, siapa lagi yang berani menginCarnya sekejap? Maka
sekarang juga biarlah aku mohon diri.”
Mendengar ini Keh Lok menjadi
ketarik. „O, apakah Han-ya sedianya akan mengawal barang kerumahku?” tanya-nya
segera.
„Menurut keterangan Piauwkiok
yang disampaikan padaku,” demikian Bun Tiong menutur, „katanya Hongsiang telah
hadiahi banyak-banyak sekali bendadua mestika kerumah kongcu dan piauwkiok kami
yang disuruh mengawalnya kekanglam. Tapi harini aku terjungkal disini, mana aku
ada muka lagi menCari sesuap nasi dikalangan bu-lim, biarlah sesudah keluarga
Ciao-suheng sudah kubereskan, segera aku pulang kekampung untuk bertani dan tak
berkeCimpung didunia kangouw lagi.”
„Han-ya suka dengar nasehat
dari Liok locianpwe itulah baik sekali. Ayo, Siem Hi, kau undang keluar
beberapa kawan itu untuk bertemu dengan Han-ya,” kata Keh Lok.
Segera Sim Hi membawa masuk Ci
Ceng Lun dan beberapa orang dari Tin Wan piauwkiok yang mereka tawan itu. Dan
begitu berhadapan dengan Bun Tiong, mereka sama pandang memandang.
„Dengan memandang muka Han-ya,
harap Han-ya sekalian ajak mereka pergi. Cuma saja, apabila kelak mereka masih
melakukan haldua yang tidak baik, harap Han-ya maafkan kalau kami tak berlaku”
sungkan lagi,” kata Keh Lok achirnya.
Bun Tiong hanya dapat
menghaturkan terima kasih saja, tanpa berkata lain-lainnya. Tan Keh Lok minta
mereka tinggal lagi sehari disitu, sedang dia segera ajak rombongannya
berangkat.
D! tengah perjalanan, Hwi
Ching pikir mungkin sekali orang-orang piauwkiok itu akan mengadakan pembalasan
terhadap rombongannya muridnya, Li Wan Ci. Untuk menyaga kemungkinan itu, ia
katakan pada Keh Lok bahwa ia akan berjalan dibelakang saja.
Demikianlah Hwi Ching segera
putar kudanya untuk kembali kearah barat. Sedang Tan Keh Lok rupanya tak sempat
menanyakan tentang diri dari murid Hwi Ching, seperti yang dikatakan oleh Ceng
Tong itu, maka ia sangat masgul.
Kembali berCerita tentang Ie
Hi Tong. Pemuda ini diperintahkan menyelidiki jejak rombongannya Bun Thay Lay,
sepanyang jalan ia menyelidiki secara diam-diam, tapi sedikit pun tak diperoleh
tanda-tanda, sampai achirnya. tibalah ia dikota KengCiu yang terhitung suatu
kota besar yang ramai subur dipropinsi Kamsiok.
Setelah mendapatkan hotel, Hi
Tong melanCong kebagian kota lain dan masuk kesuatu kedai arak untuk minum
sendirian, saking sepinya, ia menjadi sesalkan naslbnya sendiri, teringat
olehnya suara dan wajah Lou Ping yang menggiurkan, pikirannya menjadi bergolak.
Perasaan rindunya ini sudahlah terang tiada harapan dan sekalidua tidak patut
me mikirkannya lagi, namun aneh, entah mengapa selalu tak bisa dilupakannya.
Ketika dilihatnya didinding
rumah minum itu penuh Corat-Coret orang-orang yang pernah berkunyung kesini,
tiba-tiba kesukaannya bersjair pun timbul, ia suruh pelajan menye diakan
alatdua tulis, ia menuliskan sebuah sajak diatas dinding itu sebagai pelepas
masgulnya.
Setelah beberapa Cawan arak
mengalir pula kedalam perutnya, rasa keselnya menjadi ber-tambahdua,
ber-ulangdua iapun bersanyak .lagi selaku seorang SiuCay, dan sesudah puas,
selagi ia hendak membajar buat pergi, tiba-tiba didengar nya suara tangga
loteng berdetak dan dua orang telah naik keatas.
Mata Hi Tong Cukup tajam,
sekilas saja dapat dikenali orang yang berada didepan itu seperti pernah
dilihat nya entah dimana, maka lekas-lekas ia melengos kejurusan lain, baru
saja berpaling, segera juga teringat olehnya bahwa orang itu adalah petugas
negeri yang pernah saling gebrak di Thiat-tan-Chung tempo hari.
Beruntung orang itu lagi asjik
mengobrol dengan kawan nya hingga Hi Tong tak dilihatnya.
Sesudah berada diatas loteng,
kedua orang itu memandang sekeliling ruangan dulu, lalu memilih suatu tempat
yang berdekatan dengan jendela, dan tepat berdampingan dengan mejanya Hi Tong.
SiuCay berseruling emas itu
Cukup Cerdik, ia mendekap diatas meja pura-pura mabuk, waktu pelajan menegurnya
iapun pura-pura tak sadar dan tak menyawabnya.
Kedua orang itu muladua pasang
omong sedikit haldua yang tak penting, kemudian seorang telah berkata :
“Swi-toako, kali ini kalian berhasil menawan buronan penting, sungguh jasa
kalian tidak kecil, entah nanti hadiah apa yang Hong-siang (baginda) akan
berikan padamu.”
“Ah, hadiah apa saja aku tak
pikir lagi, yang kuharap asal tawanan itu bisa dihantar sampai HangCiu dengan
selamat,” demikian orang she Swi itu menyawab. “Pikir saja, kami berdelapan
jago pengawal tinggalkan kotaraja, tapi kini hanya ketinggalan aku seorang diri
yang kembali, pertarungan disana tempo hari, sungguh, bukan aku senga ja
membesarkan orang dan menurunkan pamor sendiri, tapi kalau aku ingat apa yang
terjadi itu benardua masih ngeri dan mengkirik !”
“Tapi sekarang kalian berada
bersama Thio-taijin, tentu takkan terjadi apa-apa lagi,” ujar orang yang
duluan.
“Ja, benar juga, tapi karena
itu pula, jasa ini telah jatuh ditangan orang-orang Gi-lim-kun (pasukan
kotaraja), dan kita jago-jago pengawal yang telah kehilangan muka,” de mikian
sahut orang she Swi. “Eh, Lau Cu, tawanan ini kenapa tak digiring ke Pakkhia,
tapi digusur ke HangCiu untuk apakah?”
„Hal ini kebetulan aku tahu,”
sahut orang she Cu itu bisik-bisik. „EnCi-ku ada didalam istananya menteri
Lauw, hal ini kau sudah tahu bukan? Dari kabar yang dia kirim padaku, katanya
Hongsiang segera, akan berangkat ke Kanglam (daerah selatan). Kini tawanan itu
dikirim ke HangCu, mungkin Hongsiang sendirilah yang akan memeriksanya nanti.”
„O, jika begitu, kalian
berenam ter-gesadua datang dari ibukota, apakah perlunya untuk menyampaikan
titah?” tanya orang she Swi itu sambil meneguk araknya.
„Ja, dan sekalian membantu
kalian,” sahut siorang she Cu. „Pengaruh Hong Hwa Hwe didaerah Kanglam terlalu
besar, tak boleh tidak kita harus berlaku waspada.”
Mendengar sampai disini,
diam-diam Hi Tong berSyukur. Sungguh kalau bukan kebetulan dapat didengarnya,
maka bila Bun-suko oleh mereka diam-diam digiring kedaerah Kanglam, bukankah
para kawan akan keCele karena semuanya menuju ke Pakkhia, dan hal itu bukankah
menjadi runyam malah.
Dalam pada itu didengarnya
jago pengawal she Cu tadi telah berkata pula: „Swi-toako, sebenarnya dosa
apakah buronan itu hingga Hongsiang sendiri yang akan memeriksanya?”
„Itu. akupun tidak tahu,”
sahut siorang she Swi. „Tapi menurut perintah atasan, bila sampai tak berhasil
menawan nya, sekembali kami kekotaraja pasti akan dihukum peCat, bahkan buah
kepala dapat dipertahankan tidak masih susah diduga. Ha, apa kau kira menCari
sesuap nasi sebagai Si-wi (jago pengawal keraton) itu mudah diperoleh?”
„Tapi yang sudah terang
Swi-toako telah berdirikan pahala, biarlah aku memberi selamat tiga Cawan arak
dahulu,” ujar siorang she Cu dengan tertawa.
Habis itu kedua orang itu
saling suguh-menyuguh dengan riangnya. Obrol punya obrol, sampai achirnya
Cerita mereka pun beralih mengenai soal perempuan, katanya wanita utara lebih
Cantik dan yang lain bilang gadis diselatan lebih manis.
Sesudah kenyang dan setengah
mabuk, kemudian orang she Swi itu menyelesaikan rekening untuk pergi, sebelum
melangkah pergi, ketika melihat Ie Hi Tong mendekap diatas meja, maka dengan
tertawa ia telah meng-olokdua: „Ha, orang sekolahan apa gunanya, baru tiga
Cawan masuk perut sudah sekarat seperti babi mampus !”
Hi Tong tak menggubris, ia
tetap pura-pura mabuk, ia tunggu sesudah orang pergi, lekas-lekas iapun
letakkan sepotong uang perak diatas meja terus ikut turun dari loteng kedai
arak itu, dari jauh ia kintil kedua orang tadi, ia lihat mereka terus masuk
kekeresidenan KengCiu, untuk selanyutnya tak kelihatan keluar lagi.
Hi Tong menduga tentu mereka
berdiam digedung pembesar itu, ia kembali kekamar hotelnya, ia mengaso untuk kumpulkan
tenaga. Setelah tengah malam, ia tukar pakaian peranti jalan malam, seruling
emasnya pun tak ketinggalan, lalu. diam-diam ia melintasi jendela terus menuju
kerumah pembesar itu.
Sesudah sampai dibelakang
keresidenan, ia melompati pagar tembok, sekitarnya gelap gelita, hanya dari
jendela diruangan sebelah timur tertampak ada Cahaja pelita. Dengan
ber-jinyitdua ia mendekatinya, waktu ia mendengarkan, ternyata ada suara orang
berbicara didalam. Pelahandua ia basahi kertas yang menutupi jendela (karena
hawa dingin, dimusim dingin di Tiongkok umumnya menempelkan kertas sebangsa
kertas lajangan diruji jendela untuk menolak hawa dingin — Gan KL.) hingga
berwujut suatu lobang kecil.
Apabila ia Coba mengintip,
maka ia menjadi terkejut. Ternyata didalam ruangan itu penuh berduduk
orang-orang , Thio Ciau Cong duduk di-tengah-tengah dan dikedua sisinya adalah
kawanan Si-wi dan opasdua setempat, satu orang yang berdiri dengan mungkur lagi
mendamperat habis-habisan, menilik suara nya, terang ialah Bun Thay Lay.
Hi Tong Cukup kenal bahaja
karena yang berada didalam itu adalah tokohdua Kangouw semua, maka tak berani
ia mengintip lebih lama, ia mendekam kebawah untuk mendengarkan dengan Cermat.
Ia dengar Bun Thay Lay sedang mendamperat : “Hm, kalian sebangsa budakdua yang
terima menjadi anying alapdua bangsa asing ini, meski Bun-toaya harini jatuh
ditanganmu, namun pasti ada orang yang bakal balaskan sakit hatiku, kelak
biarlah dilihat manusia-siaberhati binatang seperti kalian ini bagaimana
achirnya !”
Kemudian terdengar seorang
buka suara dengan berat dan dingin, katanya: “Bagus CaCi makimu ! Kau adalah
Pan-lui-Chiu (tangan geledek), telapak tanganku sudah tentu tak selihai kau,
tapi harini biar kau mengiCipi juga rasa nya tanganku !”
Mendengar lagu perkataan
orang, diam-diam Hi Tong berkua tir, pikirnya : “Suko mungkin akan dihina
orang. Ia adalah orang yang paling dihormat dan diCintai Suso, mana boleh ia
dihinakan segala manusia rendah?”
Karena itu, lekas-lekas ia
mengintip lagi melalui lobang tadi, ia lihat seorang lakidua yang bertubuh
kurus dyang kung dan mengenakan baju hijau panyang telah angkat telapak
tangannya dan mendekati Bun Thay Lay.
Kedua tangan Thay Lay
diringkus, dengan sendirinya tak bisa berkutik, saking murkanya hanya giginya
yang keretak-keretuk tergigit.
Dan selagi orang itu angkat
tangannya hendak dihantamkan, tanpa ajal lagi Hi Tong masukkan seruling emasnya
kelobang tadi terus ditiup, segera sebuah anak panah se Cepat-cepat terbang
menyamber kedepan dan dengan tepat me nanCap dimata kiri orang itu.
Kiranya orang itu bukan lain
ialah Ciangbunyin (ketua) dari Gian-keh-khn di SinCiu, Gian Pek Kian adanya.
Karena lobang mata kirinya
terkena panah, saking sakit nya hingga Gian Pek Kian berguling-guling dilantai.
Sementara itu seluruh ruangan menjadi kaCau, kembali sebuah panah Hi Tong
menancap pula dipipi kanan seorang Si-wi, menyu sul mana kaki Hi Tong melayang
, pintu ruangan itu dide paknya terpentang dan orangnya terus menyerbu kedalam.
„Kawanan Cakar-alapdua jangan
mentangdua, nih, datanglah jago Hong Hwa Hwe buat menolong kawan!” demikian Hi
Tong membarengi membentak dan kontan serulingnya sudah tutuk roboh seorang opas
yang berdiri disamping Bun Thay Lay. SeCepat-cepat kilat pula SiuCay
berseruling emas itu lorot belatinya yang terselit dipinggangnya, ia tabas
putus semua tali pengikat saudara angkat itu.
Dalam keadaan kaCau balau itu,
Thio Ciau Cong sudah banyak-banyak berpengalaman, ia tidak menjadi gugup, iapun
tak urus Bun Thay Lay dan Ie Hi Tong, tapi dengan pedang terhunus ia berdiri
diambang pintu ruangan itu untuk menahan larinya tawanan sekalian menahan musuh
dari luar bila ada.
DALAM pada itu karena sudah
terlepas tali pengikatnya, semangat Bun Thay Lay menjadi terbangkit, saat itu
seorang jago pengawal keraton lagi menubruk kearahnya, sedikit Thay Lay
meng'egos, berbareng tangan kirinya membalik menggablok keiga kanan orang, maka
terdengarlah suara „kraak,” dua tulang iga orang itu telah patah dihantam.
Melihat betapa lihainya Bun
Thay Lay, para jago-jago pengawal yang lain menjadi jeri tak berani maju.
„Suko, lekas kita terdyang
keluar!” seru Hi Tong.
„Apakah para saudara sudah
datang semua?” tanya Thay Lay.
„Belum, hanya Siaote seorang
diri,” sahut Hi Tong.
Thay Lay tak berkata lagi, ia
hanya mengangguk. Luka dilengan kanan dari pahanya ternyata masih parah dan
gerak-geriknya belum leluasa, terpaksa dengan bersandaran Hi Tong mereka
berjalan menuju kepintu ruangan itu. Ketika 4-5 jago pengawal Coba merangsak
maju, namun kesemuanya dapat ditahan oleh seruling emas Hi Tong.
Setelah dekat pintu keluar,
nmun Ciau Cong sudah memapak maju. “Tinggal saja disini!” bentaknya segera
sambil pedangnya terus menusuk keperutnya Bun Thay Lay.
Karena gerak-geriknya masih
kaku, Thay Lay tak sempat menghindari, terpaksa iapun membarengi menyerang,
dengan kedua jari tangan kiri seCepat-cepat kilat ia tutuk kedua mata musuh
dengan tipu „ji-liong-jio-Cu” atau dua naga berebut mestika.
Karena itu, terpaksa Ciau Cong
menarik kembali sen jatanya untuk menangkis, dan mau-tak-mau iapun memuji;
„Bagus !”
Begitulah, kedua orang itu
sama Cepat-cepat dan sama tangkas nya hingga sekejap saja mereka sudah saling
gebrak tujuh-delapan jurus. Tapi Bun Thay Lay hanya menggunakan sebelah tangan
saja, jakni tangan kiri, gerak-gerik kakinya pun tak bebas, dengan sendirinya
achirnya ia menjadi payah, maka setelah beberapa jurus lagi, ia telah kena
digeblak sekali pundaknya oleh Thio Ciau Cong hingga tak bisa berdiri tegak
lagi, ia jatuh terduduk,
Dilain pihak, sambil menempur
musuh Hi Tong sembari memikir juga: „Hidupku seterusnya hanya akan menderita
saja, harini biar aku, korbankan jiwaku untuk menolong keluar Suko, dengan
meminyam tangan Cakar-alapdua ini untuk menghabiskan sisa hidupku, dengan
begitu agar Suso tahu bahwa aku Ie Hi Tong bukanlah manusia yang tak berbudi.
Kalau aku korbankan jiwa untuk kebahagiaannya, rasanya matipun tidak Cumadua !”
Nyata karena Cinta sepihak,
daripada terus menderita batin, dalam keadaan begini Hi Tong menjadi nekad.
Maka setelah ambil keputusan
itu, saat itu dilihatnya Bun Thay Lay jatuh terpukul oleh Ciau Cong, tanpa
pikir lagi Hi Tong baliki serulingnya terus menghantam, serangan ini membikin
Ciau Cong mau-tak-mau harus menangkisnya.
Dengan begitu keadaan Bun Thay
Lay jadi sedikit longgar Hingga ia sempat meronta bangun lagi, mendadak ia
baliki tubuh terus menggertak, karena suara geledek itu, para jago pengawal dan
opasdua itu menjadi tertegun hingga tanpa merasa mundur beberapa tindak.
„Suko, lekas kau lari!” teriak
Hi Tong sambil seruling emasnya berputar kentyang , sama sekali ia tak
menangkis atau menghiraukan serangan lawan, tapi selalu ia menginCar dan
menyerang tempatdua berbahaja musuh.
Karena kenekadan pemuda ini,
seketika Thio Ciau Cong menjadi kewalahan malah hingga terpaksa ia terdesak
mundur beberapa tindak.
Melihat ada lowongan,
Cepat-cepat sekali Bun Thay Lay me nyelinap keluar ruangan itu meninggalkan
para Si-wi yang ber-teriakdua terperanyat karena tawanan penting berhasil lari.
Sementara itu Hi Tong yang
bertahan matiduaan diambang pintu, pada tubuhnya ber-ulangdua sudah terkena dua
tusukan Ciau Cong, tapi pemuda itu masih tetap tak hiraukan diri sendiri,
melainkan masih melontarkan tipudua serangan yang mematikan.
“He, apa kau sudah bosen hidup
? Siapa yang mengajar kan pertempuran Cara begini? bentak Ciau Cong tak sabar.
“Hm, memang aku tak ingin
hidup lagi, paling baik kalau kau bisa membunuh aku!” sahut Hi Tong tertawa
pedih.
Dan setelah beberapa jurus
pula, kembali lengan kanan Hi Tong terluka, namun ia gantikan tangan kiri yang
memainkan seruling dan sedengkalpun masih tak mau mundur.
Tatkala itu para Si-wi
ber-ramaidua sudah merubung maju juga, tiba-tiba Hi Tong menubruk pada seorang
yang berada paling depan, ketika jago pengawal itu memapak dengan sekali
baCokan, ternyata Hi Tong sama sekali tak menghiraukan, sebaliknya serulingnya
ditutukan keras-keraskedada orang itu, tanpa ampun lagi jago pengawal itu roboh
terguling, tapi berbareng itu pundak kiri Hi Tong juga kena dibaCok.
Bagai banteng ketataon dan
seluruh tubuh berlepotan darah, Hi Tong terus ajun serulingnya melabrak musuh
dengan sengit, dibawah sinar pedang dan bayangan golok yang sam ber-menyamber,
kembali terdengar lagi suara seperti periuk peCah, ternyata batok kepala
seorang jago pengawal lain telah remuk dihantam serulingnya.
Tapi makin lama lingkaran
kepungan para Si-wi itu makin Ciut, dibawah hujan senjata yang gaduh itu,
lagi-lagi paha Hi Tong telah kena dihantam toja musuh, karena ini, tak sanggup
lagi ia bertahan, ia teruling. Namun begitu, ia tak menjadi gentar, tiba-tiba
seruling emasnya dibuangnya sambil tertawa panyang , lalu ia pejamkan mata
untuk menantikan ajalnya. Tapi karena berhentinya ini, seketika pula orangnya
lantas jatuh pingsan.
Pada saat itulah, mendadak
diluar pintu ruangan itu terdengar bentakan orang yang keras : “Tahan !”
Waktu semua orang menoleh,
ternyata orang itu adalah Bun Thay Lay yang lagi berjalan masuk kembali
pelahandua, sikapnya gagah berwibawa, sinar matanya tajam, tapi tiada seorang
lain yang dipandangnya sekejap, melainkan terus mendekati Ie Hi Tong yang menggeletak
dilantai dengan berlumuran darah itu.
Apabila diperiksanya luka Hi
Tong yang parah, tak tahan lagi jago Hong Hwa Hwe yang perkasa itu menCuCurkan
air mata terharu. Ia Coba memeriksa pernapasan Hi Tong yang ternyata masih
baik-baik , barulah ia rada lega, ia ulur tangan kirinya untuk membangunkan Hi
Tong, tiba-tiba ia berpaling terus membentak pula : “Lekas ambilkan obat luka
untuknya ?”
Dibawah pengaruh Bun Thay Lay
yang berwibawa, betul juga ada orang yang telah pergi mengambilkan obat luka.
Dengan mata kepada sendiri
Thay Lay saksikan mereka membalut luka Hi Tong serta digotong masuk ruangan
dalam, kemudian barulah ia mungkur sambil ulurkan kedua tangannya dan berkata :
“Nah, sekarang kalian ikatlah !”
Para Si-wi itu masih ragudua,
tapi sesudah diberi tanda oleh Thio Ciau Cong, kemudian seorang diantaranya
mendekati Bun Thay Lay.
„Takut apa ? Kalau aku maukan
jiwamu, sejak tadidua sudah beres, masa perlu aku harus membohongi dulu? seru
Bun Thay Lay melihat sikap orang yang sangsidua itu.
Baru setelah melihat tangan
Bun Thay Lay betul-betul tak mau bergerak, siwi tersebut. terus memborgolnya
dan membawa nya kedalam kamar tutupan lagi.
Malam itu Ciauw Cong keluarkan
perintah, bahwa ke jadian tadi tidak boleh diuwarkan ke-manadua. Siapa yang
melanggar, akan dihukum berat.
Esok harinya, Ciauw Cong
sendiri pergi melihat Ie Hi Tong, ia lihat pemuda itu masih tidur dengan
nyenyaknya, sesudah menanya kaCung yang melajani, barulah diketahui obat dari
sinshe telah diseduh dan diminumkan Hi Tong.
Sore harinya Hi Tong tampak
agar segar, Ciauw Cong lantas tanya padanya: „Gurumu she Liok atau she Ma?”
„Guruku yang berbudi itu ialah
'Cian-li-tok-hing-kiap' she Ma dan bernama Cin,” sahut Hi Tong.
„Betullah kalau begitu, aku
adalah susiokmu Thio Ciauw
Cong,” kata Ciauw Cong.
Hi Tong sedikit mengangguk
tanda mengarti.
„Apakah kau anggota Hong Hwa
Hwe?” tanya Ciauw Cong pula.
Kembali Hi Tong angguk-angguk.
„Ai, seorang baik-baik begini,
kenapa bisa tersesat begitu jauh,” ujar Ciauw Cong sambil menghela napas.
„Pernah apakah Bun Thay Lay dengan kau? Kenapa kau ingin me nolongnya tanpa
pikirkan jiwanya?”
Hi Tong pejamkan mata tak
menyawab. Lewat sejenak, barulah ia berkata: „Dan achirnya ia dapat kutolong
juga, kini matipun aku rela.”
„Hm,” jengek Ciauw Cong
mendadak, „dibawah tanganku kau pikir bisa menolong orang sesukamu?”
Terkejut Hi Tong oleh jawaban
itu. „Jadi ia tidak berhasil larikan diri?” ia menegas.
„Ia bisa larikan diri? Ha,
jangan kau mimpi!” sahut Ciauw Cong. Lalu ia berusaha menanya terus, tapi Hi
Tong telah pejamkan matanya lagi tak menggubrisnya pula, bahkan tidak antara
lama pemuda itu terdengar mendengkur.
Ciauw Cong tersenyum
kewalahan. „Sungguh satu pemuda yang keras kepala,” katanya. Lalu iapun pergi.”
Setiba dikamar sebelah, Ciauw
Cong ajak Swi Tay Lim, Gian Pek Kian, Seng Hing dan beberapa siwi dari Pakkhia
a.l. Cu Co Im, sama-sama berunding. Setelah memberi perintah seperlunya,
masing-masing disuruh mengasoh.
Sehabis makan malam, kembali
mereka pura-pura memeriksa Bun Thay Lay, yang dibawanya kesuatu ruangan.
Ruangan itu diterangi dengan lilin-lilin yang besar dan terang Cahajanya.
Kemaren malam, sebenarnya Ciauw Cong akan melakukan peperiksaan sungguh-sungguh
pada Bun Thay Lay, tapi telah di-adukdua oleh Hi Tong.
Malam ini, dia akan melakukan
peperiksaan pura-pura, dan sebelum itu, dia telah siapkan bayhok (barisan
pendam) lengkap dengan anak panahnya. Begitu orang-orang Hong Hwa Hwe datang
menolong, mereka tentu disambut dengan hangat. Tapi se malamduaan itu, tak ada
suatu bayanganpun yang kelihatan datang.
Pada hari kedua pagidua
sekali, seorang serdadu melaporkan bahwa Hoangho (Sungai' Kuning) telah banyir.
Air meluapdua sampai tinggi. Ciauw Cong segera titahkan anak buahnya supaya
lekas berangkat. Bun Thay Lay dan Hi Tong dimasukkan kedalam dua buah kereta
besar.
Tapi baru saja rombongan akan
berangkat, datanglah Go Kok Tong, Ci Ceng Lun, Han Bun Tiong dan rombongannya.
Atas pertanyaan Ciauw Cong, Go Kok Tong dengan geramnya menuturkan apa yang
telah dialami dari orang-orang Hong Hwa Hwe
„Giam liokya bugenya lihai,
bagaimana bisa terbinasa dalam tangan seorang gadis. Sungguh mengherankan,”
kata Ciauw Cong.
Mendapat laporan dari Go Kok
Tong bahwa buge dari setiap orang Hong Hwa Hwe itu lihai-lihai, tambahkan pula
mendapat bantuan dari rombongan orang Wi, maka ber-pikirdualah Ciauw Cong.
Achirnya dia minta bantuan pada Congpeng (pembesar militer) dari KengCiu
sebanyak-banyak 400 orang tentara pilihan guna memperkuat pengawalan orang
tangkapan yang penting itu. Congpeng Buru-buru siapkan jumlah tersebut. Dia
perintahkan hu-Ciang Co Ling dan somCiang Peng Bong Sian untuk memimpin barisan
pilihan itu.
Sampai dikota Song-keng,
mereka mengasoh. Keesokan harinya setelah meninggalkan kota sekira dua atau
tiga puluh li, mereka melihat ada dua orang lelaki yang buka baju sedang duduk
mengasoh dibawah pohon. Didekat mereka tertambat pada dahan puhun, ada dua ekor
kuda yang bagus. Dua orang serdadu Ceng rupanya menjadi ketarik, maka mereka
lantas Caridua perkara dan menghampiri seraja membentak: „He, kudadua ini asal
Curian dari mana?”
„Kami adalah rahajat yang taat
pada undangdua, mana kami mau menCuri,” jawab salah seorang dari mereka yang
bermuka, tampan seraja tertawa.
„Kita sangat Cape, pinyamilah
kudamu itu,” kata salah seorang tentara, Ceng tersebut.
„Tentu takkan membikin Celaka
kudamu, jangan kuatir,” temannya menambahi.
„Baik, kalau Cong-ya suka
menunggangnya, tentu saja boleh,” sahut orang tadi.
Lalu mereka melepaskan
tambatan kuda dan berkata pula: „Cong-ya, hati-hatilah, jangan sampai dilempar
jatuh !”
„Masa naik kuda saja bisa
jatuh, jangan bicara sem barangan,” kata serdadu yang satunya.
Dengan langkah lebar kedua
serdadu itu menghampiri untuk pegang tali les. Tapi sekonyongdua pantat salah
seorang serdadu itu ditendang orang, sedang muka kawannya pun ditampar orang.
Dan pada lain saat kedua serdadu itu dilontarkan kejalanan. Maka gaduhlah
kalangan tentara Ceng itu.
Kedua orang aneh itu
menCemplak kudanya terus menghampiri kearah kereta besar. Malah salah seorang
diantara nya yang bermuka Codet pakai sebelah tangan untuk me nyingkap tenda
kereta, terus dipotongnya dengan goloknya sambil berseru: „Apakah Suko ada
didalam?”
„Ah, Cap-ji-long !” demikian
sahutan dari dalam kereta
„Suko, kami pergi dulu, kau
jangan kuatir, Kawan-kawan kita sudah sampai disini,” demikian seru orang itu
pula.
Suara sahutan dari dalam
kereta itu sudah diputus dengan suara beradunya senjata diluar kereta. Orang
yang barusan berkata itu diserang oleh dua musuh yaitu Seng Hing dan Co Leng
dan pasukan Ceng pun menyerbu datang. Tapi setelah dapat menangkis mundur,
kedua orang itu terus keprak kudanya melarikan diri.
Malam itu rombongan Ciauw Cong
bermalam di Kengsui. Keesokan harinya, pagidua sekali tiba-tiba terjadi
kegaduhan dalam rombongan tentara itu. Pemimpinnya, Co Ling dan Peng Bong Sian
Buru-buru keluar memeriksa. Dan betapakah terkejutnya demi melihat ada
sepuluhan lebih serdadu yang berlumuran darah menjadi majat ditempat tidurnya.
Entah siapa yang membunuhnya.
Begitulah dengan berlaku
hati-hati sekali, mereka meneruskan lagi perjalanannya,, dan malamnya bermalam
di HengCiok, sebuah kota besar. Tiga buah hotel disewanya, masih belum Cukup
dan meminyam lagi beberapa rumah penduduk. Tengah malam tiba-tiba timbul
kebakaran. Ciauw Cong perintahkan semua si-wi supaya tetap menyaga kedua orang
tawanannya, jangan sampai tertipu musuh. Api itu makin besar dan tiba-tiba
datanglah Co Leng melapor.
„Ada kawanan perampok, anak
buah kita sudah bertempur dengan mereka !”
Tapi dengan tenang Ciauwj Cong
minta supaya ia (Co Ling) saja yang keluar memimpin perlawanan, karena semua
si-wi tetap menyaga orang tawanan. Hanya disuruhnya Swi Tay Lim dan Cu Co Im
berdua supaya menyaga diatas rumah itu. Setelah berselang beberapa lama, hiruk
pikuk itu, menjadi sirap lagi.
Co Ling melapor bahwa kawanan
rampok itu memakai tutup muka. Mereka tidak merampas uang, tapi hanya mau
membunuh anak buah saja, dan memang kesudahannya ada enam atau tujuh puluh
serdadu luka-luka dan meninggal. Dengan adanya gangguan itu, Ciauw Cong tunda
keberang katannya sampai besok.
Dalam penyalanan pada besok
paginya, pemandangan alam sepanyang yang dilaluinya, sangat indah. Ternyata
jalanan itu berada di-tengah-tengah dua buah bukit dan jalanan dimuka me-lingkardua
seperti ular yang panyang .
Tiba-tiba dari atas bukit
disebelah muka, kelihatan ada seorang penunggang kuda membalap turun dan ketika
hampir dekat dia bertereakdua.
„He dengarlah ! Jangan
lanyutkan perjalananmu, disi ni ada siluman jahat. Ayo, balik saja, biar
selamat !”
Orang itu berpakaian baju kain
kasar, pinggangnya dilihat dengan tali rumput, mukanya kuning, alisnya berdiri.
Sungguh wajah yang menyeramkan pandangan mata. Sehabis bertereak begitu, dia
turun bukit, terus menyelinap disisih rombongan tentara negeri.
Ketika orang itu sudah pergi,
tiba-tiba dibarisan belakang, ada seorang serdadu Ceng yang menyerit dengan
keras, roboh ditanah terus mati. Rombongan pasukan itu, terke jut dan sama
mengerumuninya, tapi ternyata sikorban tersebut. tak mendapat luka suatu apa.
Karuan saja, mereka ketakutan setengah mati.
Setelah berjalan kembali,
lagi-lagi sipenunggang kuda tadi munCul, dan bertereak pula dengan keras :
„He, dengarkan Kawan-kawan ,
kau orang bakal berhadapan dengan siluman jahat, mengapa tak mau kembali saja ?
Percayalah nyawamu semua pasti diCabut.”
Seruan ini betul-betul membawa
pengaruh. Terutama bagi serdadudua yang sama terkejut, mengapa orang itu
kembali munCul dari arah muka, sedang tadi sudah pergi kebela kang. Bukit
disitu, tak ada lain jalanannya, tambahan pula mengapa begitu Cepat-cepat dia
sudah berada disebelah muka lagi.
Ketika orang itu turun bukit
lagi, serdadudua sama me nyingkir jauh-jauh. Tidak demikian dengan Cu Co Im,
sang pemimpin. Begitu orang itu berada dekat, dia segera hadangkan goloknya
untuk menCegat :
„Sahabat, berhentilah !”
Orang itu seperti tak
menghiraukan. Dengan enak saja dia ajunkan tangannya kanan untuk menggaplok
pundak Co Im. Cepat-cepat Co Im tangkiskan goloknya, tapi seperti terbentur
dengan benda keras, goloknya itu terpental jatuh. Dan orang itu seperti tak
terjadi apa-apa, terus larikan kudanya. Ketika orang itu sudah melalui
rombongan tentara negeri, maka kembali ada seorang serdadu yang menyerit hebat
dan roboh binasa.
Sekarang betul-betul keadaan
rombongan serdadu itu menjadi panik. Ciauw Cong perintah sekalian si-wi untuk
menyaga kereta tawanan, dan dia sendiri lalu pergi me meriksanya.
„Thio taijin, orang itu
manusia atau setan?” tanya Co Im sembari me-mijatdua luka dipundaknya.
Melihat wajah Co Im menjadi
puCat, Ciauw Cong lantas menyuruhnya buka baju, ternyata pada pundaknya
terdapat luka sebesar telur itik. Ciauw Cong kerutkan ji datnya, diambilnya
sebungkus obat lalu disuruhnya minum. Dia perintah seorang serdadu untuk
memeriksa tubuh ka wannya yang binasa itu, betul juga pada badannya terdapat
luka sebesar telur itik. Nyatalah itu bekas sidik dari kelima jari.
Ciauw Cong suruh mengubur
majatdua sikorban itu, tetapi tak seorangpun yang berani. Apa boleh buat dia
perintahkan semua pasukan untuk bantu ramaidua menguburnya.
„Thio taijin, manusia itu
betul-betul mengherankan. Dia menuju kemuka, tapi begitu Cepat-cepat dia sudah
berada dibe lakang lagi” sampaidua Swi Tay Lim utarakan kekuatirannya.
Ciauw Cong juga tak bisa
menyawab apa-apa. Setelah berpikir sejenak, barulah dia dapat berkata :
„Sdr. Cu, kedua orang serdadu
itu terang terbinasa oleh pukulan 'hek-soa-Ciang' (pukulan pasir hitam).
Orang-orang kan-gouw yang achli dalam ilmu pukulan itu, sedikit sekali jum
lahnya, masa aku tak kenal?”
„Berbicara tentang
'hek-soa-Ciang' kiranya hanyalah Hui Lo tojin yang paling menyagoi. Tapi dia
kini sudah menutup mata. Apakah tadi itu roch tojin tersebut ?” tanya Swi Tay
Lim.
„Ah, betullah !” seru Ciauw
Cong dengan tepukdua paha-nya. „Dialah murid Hui Lo tojin itu. Orang biasa
gelarkan mereka Hek Bu Siang dan Pek Bu Siang. Jadi kedua sau dara kembar
itulah yang menyaru sebagai setan pengganggu.”
Semua si-wi yang mendengar
disebutnya kedua persaudaraan tersebut., atau yang kita kenal sebagai SeeChwan
Sianghiap, menjadi keder hatinya. Tapi untuk jangan mengunyuk kan kelemahan,
mereka pura-pura berlaku tenang.
Ketika malam itu mereka
bermalam di Hek-siong-poh, Co Ling litahkan supaya diadakan penyagaan ronda
yang kuat. Tapi keesokan harinya, para peronda itu, tidak kelihatan munCul.
Ketika disuruh periksa, ternyata perondadua itu sudah sama menggeletak tak
bernyawa lagi. Pada setiap tubuh si korban, ditempeli selembar uang- kertas
sembayangan.
Kini peCahlah semangat pasukan
negeri itu Malah ada sepuluh orang lebih serdadu yang diam-diam melarikan diri.
Hari itu rombongan Ciauw Cong
sampai kepunCak Oh-kiaonia. Inilah punCak bukit yang kesohor paling berbahaja
didaerah Kam Keng. Waktu itu justeru bulan sembilan, maka udarapun mulai turun
salju. Ketika melintasi bukit tersebut, terpaksa serdadudua itu harus berjalan
dengan saling tarik tangan, karena kuatir tergelinCir jatuh kedalam ju rang
yang sangat Curam.
Justeru selagi orang tengah
memusatkan perhatiannya untuk berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba dari arah
muka terdengar suara Cuwat-Cuwit, dan dilain saat lalu berobah menjadi suitan
yang nyaring dan panyang , berkumandang jauh di-lembahdua dan bikin bulu roma
orang berdiri. Men-dengar itu sekalian serdadu sama merandek.
„Ayo, kemarilah kalau mau
bertemu dengan malaekat elmaut. Kalau mau hidup kembalilah!” demikian
ber-ulangdua terdengar suara teriakan orang.
Peng Bong Sian segera pimpin
beberapa orang, untuk maju menerdyang dengan berjalan kaki. Baru saja mem biluk
disebuah tikungan, sebuah anak panah telah menancap didada seorang serdadu,
siapa segera menyerit dan terjungkal kedalam jurang. Peng Bong Sian gemas,
untuk membikin besar hati anak buahnya, dia maju kedepan. Tapi bukan dia, hanya
tiga orang anak buahnya yang kembali „termakan” oleh anak panah.
Ketika pasukan itu merandek,
munCullah satu orang dari lamping bukit, dengan suaranya yang menyeramkan orang
itu berteriak :
„Yang maju akan bertemu dengan
elmaut, yang mundur akan selamat !”
Tidak tunggu lagi, berlarilah
sekalian serdadu itu berebut duluan. Peng Bong Sian murka, terus menyabet roboh
seorang anak buahnya sendiri. Dengan begitu, suasana dapat diatasi lagi. Tapi
yang sudah ketlanyur melarikan diri, kira-kira enam tujuh puluh orang itu,
sudah tak nampak bayangantija lagi.
„Kau orang jagalah kereta
tawanan itu, biar kutemui kedua persaudaraan Siang itu,” kata Ciauw Cong pada
Swi Tay Lim.
„Apakah disitu Siang-si
Sianghiap? Disini aku Thio Ciaw Cong memberi hormat,” kata Ciauw Cong setelah
maju kemuka.
„Wah, harini rupanya Siang-kui
(setan kembar) akan bertemu dengan Poan-koan (gelaran Ciauw Cong)!” sahut orang
itu dengan tertawa dingin.
Dan dengan ucapan itu, tangan
kanan orang telab me nyambar. Karena keadaan tempat itu sempit sekali, tak ada
jalan untuk Ciauw Cong berkelit. Terpaksa dia kerahkan lwekang untuk menyambut
dengan tangan kiri. Dan berbareng itu, tangannya kanan menyulur kemuka untuk
menampar.
Orang itupun tak tinggal diam,
tangannya kiri diulurkan untuk menangkis. Jadi kini dua pasang tangan saling
ber bentur. Tapi Ciauw Cong dapat berlaku sebat. Dia robah gerakannya dengan
Cepat-cepat untuk menyapu paha kiri lawannya.
Karena tak keburu menghindar,
orang itu berlaku nekad. Dia rangkapkan kedua tangannya untuk ditotokkan kedua
belah jalan darah „thay-yang-hiat.” Dengan miringkan tubuh Ciauw Cong maju dua
tindak. Dan orang itupun juga miringkan tubuhnya maju menyerang. Demikian
keduanya saling menerdyang . Malah saking dahsyatnya, begitu kepelan berbentur,
keduanya sama terpental beberapa kaki kebela kang. Hanya kini kedudukannya
berobah. Ciauw Cong beralih kesebelah timur, sedang orang itu berada disebelah
barat.
Selagi begitu, tiba-tiba Peng
Bong Sian pentang busurnya ke-arah orang itu. Tapi dia ternyata lihai sekali.
Tangan kirinya menangkis serangan Ciauw Cong, tangannya kanan men jumput ujung
panah gelap itu. Dan menggunakan kesempatan kosong itu dia Cepat-cepat -'
berpaling kebelakang untuk menimpuk kembali panah itu. Peng Bong Sian dapat
menghindari dengan tundukkan kepalanya, tapi seorang serdadu dibelakangnya
telah menyerit roboh.
„Siang-si Siang-hiap,
betul-betul tak bernama kosong,” memu ji Ciauw Cong.
Belum lama ucapan itu
dikeluarkan, Ciauw Cong rasakan ada angin menyambar dari arah belakang. Dan
ketika dikelit, ternyata munCul pula seorang kurus berparas kuning, yang mirip
dengan orang satunya tadi. Serangannya pun tak kalah serunya. Kini Ciauw Cong
dikerojok dua, dari muka dan belakang.
Ngeri orang melihat ketiga
orang itu bertempur. Karena pada jalanan yang sesempit itu, sekali salah
gerakannya, pasti akan terpelanting jatuh kcdalam jurang yang sangat tebing
itu. Sekalipun Seng Hing dan Co Im membawa dua ratusan serdadu, tapi mereka tak
dapat memberi bantuan apa-apa pada Ciauw Cong. Paling banyak-banyak serdadudua
itu hanya dikerahkan untuk ber-sorakdua membantu keangkeran.
Setelah berpuluh jurus liwat,
sekonyong-konyong salah seorang lawan miringkan bahunya untuk bentur Ciauw
Cong, siapa Cepat-cepat mundur selangkah. Melihat itu orang yang satunya
Cepat-cepat menghantamnya. Dan berbareng itu, yang lainnya pun mengirim
tendangan. Jadi yang satu mendorong yang lain menendang, maka Ciauw Cong
teranCam terpental kedalam jurang.
Untuk menghindari tendangan,
Ciauw Cong mundur selangkah, dengan begitu kakinya yang sebelah sudah tak
menginyak batu karang lagi dan tergantung diatas jurang. Sekalian serdadu sudah
sama menyerit ketakutan.
Dalam pada itu, lawan yang
seorang tadi, pukulannya sudah menyamber datang. Bagi Ciauw Cong kini tak ada
jalan lolos lagi. Dalam keadaan terdesak, sering orang timbul dayanya. Demikian
pula Ciauw Cong. Dengan gunakan „kin-na-hoat,” ilmu menangkap senjata musuh
dengan tangan kosong, dia Cepat-cepat menyawut pergelangan tangan mu suhnya,
terus diangkatnya.
Orang itu berusaha untuk
pegang pergelangan tangan Ciauw Cong, tapi karena tubuhnya mengapung diudara,
maka kekuatannya berkurang, dan dapatlah dia dilemparkan oleh Ciauw Cong
kedalam jurang. Melihat itu, gemuruhlah sorak sorai sekalian serdadu.
Orang itu, yang ternyata
adalah Siang He Ci, tidak menjadi gugup. Ditengah udara dia tendangkan kakinya
keatas untuk berjumpalitan. Dan dalam pada itu, dia segera keluarkan alatnya
„hui-Cao” dikibaskan keatas. Hui-Cao, atau Cakar terbang, adalah semaCam
Cengkeram panyang bertali dan gunanya untuk mengait.
Begitu saudaranya mengeluarkan
hui-Cao, Siang Pek Ci-pun segera mengeluarkan juga, lalu dibandringkan kebawah.
Dan begitu kedua hui-Cao berkaitan, maka dengan Cepat-cepat Siang Pek Ci
menariknya keatas. Dengan demikian tak sampailah Siang He Ci jatuh kedalam
jurang yang Curam itu.
,,Hwe-jiu-poan-koan memang
benardua lihai, sungguh aku merasa kagumi!” kata Siang Pek Ci seraja merangkap
kedua tangannya. memberi hormat. Dan tanpa menunggu penyahutan orang, dia
segera mengajak kandanya untuk berlalu.
Semua serdadu sama berisik
membicarakan pertempuran yang seru itu. Ada yang memuji kelihaian Ciauw Cong,
ada yang menyayang kan mengapa tak lemparkan saja orang sho Siang itu kejurang.
„Buge Thio taijin sungguh
hebat sekali,” seru Swi Tay Lim seraja menghampiri. „Apakah taijin tak
terluka?”
Ciauw Cong tak menyahut dan
Coba mengatur napasnya dulu. Dan baru berselang beberapa saat, dia berkata:
„Tidak apa-apa.”
Tapi ketika memeriksa
pergelangan tangannya dia menjadi terkejut. Disitu terdapat bekas Cap lima jari
yang ke-merahduaan seperti terbakar kelihatannya.
Begitulah setelah melalui
pegunungan Oh-kiao-nia, mereka a,kan masuk wilayah Bun-lan. Kuatir dengan
rintangandua musuh, Ciauw Cong tak mau ambil jalan besar, tapi berputar melalui
jalan kecil. Sebenarnya Co Ling sudah mempunyai renCana bagaimana untuk menghadapi
kawanan penggang gunya, tapi karena Ciauw Cong sudah memutuskan renCana begitu,
apaboleh buat dia menurut saja.
Ketika mendeka,ti tepi sungai
Hong-ho, dari jauh sudah terdengar suara ombak yang gemuruh, setelah agak lama
pula, barulah tiba sampai di Angsia, suatu tempat penyebe rangan. Tatkala itu
hari sudah petang, hari sudah remang-remang, hanya air sungai yang mengalir
santar ketimur itu bergemuruh men-dampardua tepi, air sungai yang butek itu
bagai air mendidih yang bergulung-gulung gemulung.
“Malam ini juga kita harus
menyeberang, melihat keadaan sungai yang berbahaja, sedikit tertahan mungkin
bisa runyam,” demikian kata Thio Ciau Cong pada pengiringnya.
Lalu ia perintahkan
perajuritnya pergi menCari kapal tambangan, tapi sudah diCari setengah harian
tiada suatu pun yang didapatkan, sementara itu hari sudah gelap.
Selagi Ciau Cong merasa gopoh,
tiba-tiba dari hulu sungai sana bagai panah Cepat-cepat nya sedang melunCur
datang dua perahu. Tentu saja Ciau Cong- menjadi girang, segera perajurit-'nya ber-teriakdua
dan kedua perahu itupun pelahandua mentepi.
“Hai, tukang perahu, lekas kau
menyeberangkan kami, nanti dihadiahi banyak-banyakdua,” segera Peng Bong Sian
berteriak dulu.
Maka terlihatlah dari bagian
belakang salah satu perahu itu berdiri seorang lakidua kekar sambil memberi
tanda dengan tangannya.
“Eh, apa kau bisu?” tanya Peng
Bong Sian mendongkol.
“Tiunama, mau naik lekas naik,
tak mau naik bilang tak naik, peduli apa kau banyak-banyak bicara,” demikian
terdengar orang itu menyahut.
Ternyata orang itu telah
memaki dengan “Tiunama” dan kata-kata Kongfu lain yang susah dimengarti,
agaknya tukang perahu itu adalah orang Kongfu.
Karena itu, Bong Sian tak
mengurusnya lagi, ia minta Ciau Cong dan para Si-wi mengiringi dua kereta besar
itu naik keatas kapal dulu.
Tapi ketika Ciau Cong
mengamat-amati situkang perahu itu, ia lihat kepala orang gundul botak tiada
seberapa rambutnya, urat daging lengannya kentyang kuat dengan spir-nya yang
menonyol, suatu tanda tenaganya pasti besar luar biasa, malahan penggajuh yang
dipegangnya itu tertampak hitam antap seperti bukan terbuat dari kaju. Seketika
pikirannya tergerak, ia sendiri tak bisa berenang, hal ini ia harus hati-hati
jangan sampai terpedaya.
Sebab itu, maka katanya
kemudian pada Bong Sian : “Peng-taijin, silahkan kau saja naik dulu dengan dua0
pe-rajuritmu.”
Bong Sian mengia, terus naik
keatas perahu yang sudah menunggu. Begitu pula perahu yang lain juga ditumpangi
beberapa puluh perajurit, tukang perahu sebelah sana menutupi separoh wajahnya
dengan sebuah Caping, maka tak jelas air mukanya.
Ketika kedua perahu itu sudah
bergerak, saking santarnya air sungai, perahudua itu didajung dulu kehulu
sungai, setelah belasan tombak baru kemudian ganti haluan ketengah sungai.
Ternyata kedua tukang perahu
itu sangat mahir, dengan selamat beberapa puluh perajurit itu sudah mereka
seberangkan dan kembali datang buat menyeberangkan yang lain.
Sekali ini adalah gilirannya
Cho Ling yang pimpin pera juritnya naik keatas perahu. Tapi baru saja perahudua
itu berpisah dari gilidua, tiba-tiba dari belakang sana terdengar suara suitan
panyang , lalu sahut-menyahut disana sini.
Lekas-lekas Thio Ciau Cong
memerintahkan perajuritnya tersebar dan mengitari kereta besar
di-tengah-tengah, busur panah mereka siapkan untuk menyaga segala kemungkinan.
Tatkala itu bulan baru mulai
menongol, maka terlihatlah dari arahdua timur, barat dan utara munCul belasan
penunggang kuda secara terpenCar.
“Ada apa? segera Ciau Cong
kaprak kudanya memapak sambil membentak.
Pendatangdua itu lantas berjajar
lurus dan pelahandua mendekat, seorang diantaranya lalu tampil kemuka, pada
tangannya tidak terdapat senjata, hanya sebuah kipas lempit putih kelihatan
dikibasnya pelahandua. “Apakah yang berhadapan inilah Hwe-Chiu-poan-koan Thio
Ciau Cong?” ta nyanya segera.
“Ja, betul Cayhe (aku yang
rendah) adanya,” sahut Ciau Cong. “Dan tuan siapa ?”
“Haha, Suko kami berkat
penghantaran kalian sampai di sini, kini tak berani bikin sibuk lebih lama
lagi, maka se ngaja datang buat menyambutnya,” demikian kata orang itu tanpa
menyawab.
“O, kalian adalah orang Hong
Hwa Hwe?” tanya Ciau Cong pula.
“Dikalangan kangouw orang
bilang ilmu silat Hwe-Chiu-poan-koan tiada taranya, siapa tahu pandai juga
menduga sesuatu seperti dewa,” sahut orang itu tertawa. “Ja, memang kami orang
Hong Hwa Hwe !”
Habis berkata, tiba-tiba orang
itu bersuit panyang dengan keras sekali, karena tak menduga-duga hingga Ciau
Cong pun dibikin kaget. Dan karena suitan itu, segera terdengar tukangdua
perahu tadipun membalasnya dengan sekali suitan.
Cho Ling yang berduduk didalam
perahu itu, ketika melihat ditepi sana kedatangan musuh, memangnya hatinya lagi
kebat-kebit tak . tenteram, tiba-tiba didengarnya pula situ kang perahu bersuit
panyang , karuan wajahnya semakin puCat bagai majat.
Mendadak tukang perahu itu
palangkan penggajuhnya hingga lajunya perahu tertahan, lalu katanya dalam
bahasa Kongfu : “Nah, saudara-saudara yang baik, aku kira paling selamat
lekasan masuk air saja.”
Sudah tentu Cho Ling tak paham
akan bahasa Kwitang orang, hanya matanya terpentang lebardua sambil ter-nganga.
Sementara itu didengarnya pula
suara nyanyian nyaring merdu dari situkang perahu yang sana, begini lagunya :
Sejak kecil Thayouw tempat
beta dibesarkan, bunuh orang berapa banyak-banyak selamamja tak sungkan; Golok
membaCok pembesar korup pasti terbasmi, perahu terguling perajurit Cing masuk
sungai!
Mendengar nyanyian itu, karuan
hati Cho Ling semakin ketakutan.
Apabila kemudian suara
nyanyian itu berhenti, segera terdengar situkang perahu itu berseru :
“Capsahte, Ayolah turun tangan !”
Lalu situkang perahu yang
ditumpanginya ini memberi sahutan sekali dalam basa Kongfu.
Meski dalam ketakutan, namun
Cho Ling masih Coba angkat tombaknya terus menyerang situkang perahu lebih
dulu. Namun Cepat-cepat sekali tukang perahu itu sudah melompat kedalam sungai,
begitu pula tukang perahu sebelah sa napun melompat kedalam air, hingga karena
kehilangan sipengemudi, kedua perahu itu terus ber-putardua ditengah sungai.
Karuan Cho Ling dan perajuritdua Cing itu ber-teriakdua ketakutan.
Disebelah sana hambadua negeri
yang berada didaratan itu ada yang lagi ber-jagadua atas serbuan musuh, ada
pula yang tak tahan menyaksikan suara teriakan didalam perahu yang
ter-dampardua ditengah sungai yang keras arusnya itu, kedua perahu itu
kelihatan bergontyang beberapa kali lagi, lalu mendadak terbalik, dalam keadaan
panik dengan suara je ritan penumpangduanya itu, tiada ampun lagi pembesar dan perajuritdua
itu sudah terCemplung semua dan terhanyut arus sungai.
Sebaliknya kedua tukang perahu
tadi ternyata sangat mahir berenang, tiada seberapa lama mereka sudah berada
ditepi sungai lagi. Tapi karena santarnya arus air, ketika mendarat kedua
tukang perahu itu sudah berada dijarak ratusan tombak dibawah hulu sungai sana,
segera perajuritdua Cing didaratan itu menghamburkan panah, tapi karena
jaraknya sudah jauh, pula dimalam gelap gelita, sasaran tak terang, tentu saja
tiada yang kena.
Namun aneh juga, kedua tukang
perahu itu bukannya larikan diri, tapi malah memapak menuju kepasukan tentara
Cing itu.
Dalam pada itu diam-diam Thio
Cian Cong lagi berSyukur, tadi kalau bukan dirinya berlaku waspada, pasti
sekarang sudah menjadi setan didalam sungai. Lekas-lekas ia tenangkan diri,
lalu dengan suara keras ia membentak orang tadi : “Ha, kalian sepundyang jalan
terus membunuh perajuritdua dan pembesar negeri, dosamu itu sekalidua tak bisa
diampuni, kini kedatanganmu malah kebetulan. Nah, katakan dulu, siapakah kau
dalam Hong Hwa Hwe ?”
“Tak perlu kau tanya padaku,”
sahut orang itu tertawa, “bila kau kenal senjataku, dengan sendirinya kau tahu
siapa aku.” — Habis berkata, enteng sekali ia telah melompat turun dari
kudanya, lalu serunya : “Sim Hi, mana, ambilkan kesini !”
Segera Sim Hi membuka
buntalannya dan menyodorkan dua maCam senjata ketangan ketua umum Hong Hwa Hwe,
yaitu Tan Keh Lok.
Thio Ciau Cong segerapun
melompat turun dari kudanya sambil lolos pedangnya, ia mendekati orang beberapa
tindak dan selagi ingin menegasi wajah lawan itu, tiba-tiba dari be-lakangnya
menyerobot maju satu orang.
“Thio-taijin, biar aku saja
yang membereskan dia,” de mikian kata orang itu.
Ternyata orang itu adalah jago
pengawal Cu Co Im. Kebetulan, pikir Ciau Cong, biar orang dipakai perCobaan
dulu baru kemudian ia maju sendiri. Maka ia lantas mun dur lagi sambil berkata
: “Baiklah, Cuma harus ber-hati-hati.”
Segera pula Cu Co Im itu maju
lebih dekat terus membentak : “Hai, kawanan berandal, besar amat nyalimu berani
merampas tawann kerajaan, terimalah golokku ini !” — Berbareng itu goloknya
lantas membaCok keatas kepala Keh Lok.
Dengan sendirinya Keh Lok
angkat senjata ditangan ki-rinya untuk menangkas.
Dibawah sinar bulan, Cu Co Im
dapat melihat bentuk senjata yang dipakai lawannya sangat aneh, jakni sebuah
tameng, tapi diatas tameng itu tumbuh sembilan buah paku berkait tajam, asal
goloknya kebentur tameng itu, pasti akan terkait tak terlepas. Karena itu, ia
menjadi kaget, lekas-lekas ia tarik kembali goloknya.
Namun tameng yang digunakan
Tan Keh Lok itu dapat digunakan untuk menangkis serta untuk menyerang, ketika
orang tarik kembali senjatanya, sekalian ia membarengi menekan kebawah.
Cepat-cepat Cu Co Im ajun
goloknya kesamping buat memotong bahu kiri lawan. Namun Keh Lok telah baliki
tameng nya lagi buat mengkait terus menyojoh kedepan. Karena itu terpaksa Cu Co
Im mundur dua tindak.
Tak terduga, mendadak tangan
kanan Keh Lok mengajun, tahu-tahu lima utas tali telah menyamber kedepan,
disetiap ujung tali itu terikat sebuah bola baja yang kusus digunakan peranti
menutuk tiga enam jalan darah utama ditubuh orang.
Terkejut luar biasa Cu Co Im
melihat senjata hebat itu, ia, kenal bahaja apa yang menganCam, lekasan saja ia
meloncat pergi, siapa duga ujung tali orang seperti bermata saja, tahu-tahu
pungg'ungnya terasa pegal, jalan darah „Ci-tong-hiat” dipunggungnya ternyata
sudah kena tertutuk, diam-diam Cu Im mengeluh, namun sudah terlambat, kedua
kakinya sudah tergubet oleh tali orang.
Apabila Keh Lok menarik
talinya terus diangkat dan dilepaskan pula, maka. tak ampun lagi tubuh Cu Co Im
seperti didorong saja terus membentur kesebuah batu Cadas dan tampaknya segera
bakal kepala peCah dan otak berantakan.
Melihat gerakan musuh diwaktu
melompat turun dari kuda tadi, Thio Ciau Cong sudah tahu sebelumnya bahwa Cu Co
Im jauh bukan tandingan lawannya, ia saksikan pertarungan yang hanya makan
waktu dua-tiga jurus itu lantas Co Im terlempar akan membentur batu, maka tanpa
pikir lagi ia melesat maju terus menghadang didepan batu Cadas itu, sekali ia
ulur tangan, Cepat-cepat kunCir Cu Co Im kena ditariknya terus diangkat, lalu
ia tepuk „tan-tian-hiat” dadanya buat melepaskan tutukan musuh tadi.
„Saudara Cu, baiknya kau
mengaso saja dulu,” demikian kata Ciau Cong kemudian.
Namun saking ketakutan dan
sudah peCah nyalinya, maka' Cu Co Im hanya terCengang tak sanggup menyawab.
Sementara itu sambil menghunus
pedang pusakanya 'ih pek-kiam' lantas Thio Ciau Cong melompat kehadapan Tan Keh
Lok. „Usiamu semudah ini, tapi sudah memiliki kepandaian bagus. Hai, anak muda,
siapakah gurumu?” segera ia menegur.
„Huh, mentangdua lebih tua,
tanya orang semaunya!” tiba-tiba Sim Hi menyela sebelum Keh Lok menyawab. „Dan
kau sendiri, siapa gurumu?”
Tentu saja Ciau Cong menjadi
gusar. „Anak benal kurangajar, berani kau ngaCo-belo,” damperatnya kontan.
„Ah, tentunya kau marah karena
kau tak kenal senjata KonCu kami bukan?” ejek Sim Hi tiba-tiba . „Baiklah, asal
kau menyura tiga kali padaku, segera juga aku beritahu-kan padamu.”
Namun Ciau Cong tak
menggubrisnya lagi, sekali pe dangnya bergerak, Cepat-cepat sekali ia menusuk
kebahu kanan Tan Keh Lok.
Tetapi tali ditangan kanan Keh
Lok tiba-tiba diajun keatas terus melilit dibatang pedang musuh, berbareng
tameng ditangan kiri didorong kedepan buat menghantam muka Thio Ciau Cong.
Dan begitulah segera Ciau Cong
keluarkan „Ju-hun-kiam-hoat” yang hebat dari penguruannya untuk menempur
senjata-nyata aneh Tan Keh Lok dengan sengit.
Sementara itu kedua tukang
perahu tadi sudah berlari sampai didepari perajuritdua Cing, segera hambadua
negeri itupun menghamburkan anak panah lagi, namun dapat disam pok jatuh oleh
kedua orang itu. Kiranya mereka bukan lain jalah 'Tang-thau-gok-hi' Cio Su Kin,
sibuaja berkepala tembaga, dan dibelakangnya itu yang telah menCopot Caping
serta mantelnya hingga kelihatan pakaian renangnya yang hitam mulus, kedua
tangannya mengunus sepasang golok, nyata ialah 'Wan-yang-to' Lou Ping, sigolok
kembar
Tatkala itu Cio Su Kin telah
putar penggajuh besinya menyerbu kedalam pasukan musuh, dua perajurit paling
depan telah kena dikeperuk olehnya hingga batok kepalanya peCah berantakan,
karuan yang lain-lain sama ketakutan hingga lari menyingkir.
Dengan Cepat-cepat pula Lou
Ping mengikut dibelakang ka wannya terus menerdyang sampai disamping kereta
besar.
Seng Hing yang berjaga tidak
jauh disitu, dengan senjata tojanya „Ce-bi-kun” segera menghadang maju dan
menempur Cio Su Kin. Sebaliknya Lou Ping telah berlari kesebuah kereta besar
itu terus menarik tirai penutupnya sambil berteriak menanya : “Toako, apakah
kau berada didalam ?”
Tak terduga yang berada
didalam kereta itu adalah Ie Hi Tong yang luka parah itu, ketika dalam keadaan
sadar-tak-sadar pemuda itu mendengar suaranya Lou Ping, ia me nyang ka dirinya
sedang berada dalam mimpi, tapi mengira pula dirinya sudah mati dan berjumpa
dengan Lou Ping diacherat, maka dengan girang ia menyawab : “Ah, kau pun sudah
datang?”
Sebaliknya dalam keadaan
Buru-buru Lou Ping mendengar bukan suara sang suami, meski suara orang itu
Cukup dikenalnya, namun tak sempat dipikir pula, Cepat-cepat ia berlari
mendekati kereta yang kedua.
Dan selagi ia hendak
menyingkap tirai kereta buat meli hatnya, sekonyong-konyong sebuah senjata
“Ku-gi-to,” sejenis golok yang bergigi seperti gergaji, telah membabatnya.
Namun Lou Ping sempat menangkis dengan golok kanan, berbareng golok ditangan
kiri kontan balas menyerang dua kali susul-menyusul kepundak kanan dan paha
kiri musuh.
To-hoat atau ilmu golok Lou
Ping ini menurut Cerita di turun dari Han Se Tiong, itu panglima terkenal
dijamannya Gak Hui diahala Song, diwaktu Han Se Tiong menggempur tentara Kim,
ia gunakan senjata golok panyang ditangan kanan yang bernama “Toa-Che” atau
sihijau tua, dan golok pendek ditangan kiri yang bernama “Sio-Che” atau sihijau
muda, dengan sepasang golok itu entah berapa, ba nyak tentara Kim yang tewas
ditangannya.
Dan Lou Ping ternyata kidal,
jakni tangan kiri lebih bebas dari tangan kanan, maka ayahnya Sin-to, sigolok
sakti, Lou Goan-thong telah tyang kok ilmu golok itu dan diajarkan pada
puterinya yang tunggal ini, maka golok ditangan kanan Lou Ping hanya memainkan
jurus-jurus ilmu golok yang biasa saja, tapi golok pendek ditangan kiri dapat
berubah tiada habis-habisnya hingga merupakan suatu keahlian tersendiri didunia
persilatan.
Dalam pada itu dibawah sinar
bulan bila Lou Ping mengenali musuhnya itu adalah satu diantara delapan jago
pengawal yang pernah mengembut dan menangkap suami nya di LanCiu tempo hari,
tak tertahan lagi ia menjadi murka hingga serangan-'nya bertambah gencar.
Kiranya penyerang dengan
“Ku-gi-to” itu ialah Swi Tay Lim, ia sudah kenal betapa lihainya 'hui-to' atau
pisau terbang sinyonya jelita ini, maka ia putar senjatanya sedemikian
Cepat-cepat nya agar Lou Ping tak sempat melepaskan senjata rasianya itu.
Tak lama pula, ada dua jago
pengawal lain telah memburu datang membantu, begitu pula pasukan tentara itupun
lantas merubung maju hingga Cio Su Kin dan Lou Ping terkepung rapat.
Sekonyongdua terdengar suitan,
dan dari arah timur serta utara menyerbulah sekawanan penunggang kuda kearah
itu. Yang dimuka sendiri adalah Wi Jun Hwa, lalu dibelakang nya Ciang Bongkok,
Nyo Seng Hiap dan Ciu Ki. Dibawah hujan panah dari tentara Ceng, Jun Hwa tampak
memutar sepasang siangkao (gaetan) untuk melindungi Kawan-kawan nya. Tapi sebatang
anak panah telah menyusup tepat dileher kudanya hingga seketika binatang itu
binal dan menendang se orang serdadu. Dengan sebat, Jun Hwa loncat turun terus
menerdyang .
„Aduh, aduh “ demikian suara
jeritan ber-ulangdua.
Dua orang serdadu menyerit dan
roboh. Habis itu, Jun Hwa langsung meny erang Swi Taij Lim, siapa terpaksa
tarik serangannya pada Lou Ping dan terus menangkis lawannya yang baru itu.
Dalam pada itu si Bongkok, ,Seng Hiap dan Ciu Ki telah amuk habis-habisan
rombongan tentara itu hingga lari pontang panting.
Pertempuran dalam gegap
gempita itu, tiba-tiba tampak sebuah tongkat 'Ce-bi-kun' melayang ke udara.
Itulah senjata nya Seng Hing, salah seorang si-wi yang ditugaskan membantu
Ciauw Cong. Karena ingin menyudahi pertempurannya de-ngan si-wi tersebut, Cio
Su Kin telah menangkis sekuat-kuatnya, dan kesudahannya senjata pahlawan istana
itu terlempar keudara, sedang orangnya pun terus angkat langkah panyang !
Si-wi yang menjadi lawan Lou
Ping pun telah mendapat dua luka, darah membasahi seluruh tubuhnya, namun dia
tetap berkelahi. Tiba-' dia rasakan ada angin menyambar dari belakang. Ketika
dia berputar kebelakang, tahu-tahu sebatang kong-pian sudah meng-anCam mukanya.
Buru-buru dia menangkis dengan goloknya, tapi gempuran kong-pian begitu dahsyatnya
hingga goloknya terlempar lepas dari tangannya. Dengan sebat, dia lemparkan
tubuh untuk bergelundungan ditanah, tapi tak urung punggungnya kena didupak
kaki lawannya.
Begitu bebas, Lou Ping kembali
menyerbu kearah kereta yang nomor dua, terus disingkap tendanya dan melongok
kedalam.
„Siapa?” tanya suara dari
dalam kereta itu.
Sungguh suara itu terasa
begitu merdu merasuk kedalam kalbu Lou Ping.
Dengan serta merta ia loncat
masuk dan mendekap orang didalam itu yang memang nyata adalah Bun Thay Lay. Nyonya
muda yang gagah itu, menangis tersedu-sedu karena girang dan terharu. Bun Thay
Lay pun terharu kegirangan, hanya karena tangan dan kakinya diborgol dia tak
dapat berbuat apa-apa.
Di-tengah-tengah pertempuran
berdarah itu, sepasang suami isteri itu tak menghiraukan apa-apa keCuali hanya
menumpahkan perasaan masing-masing.
„Suko, kita antar kau pulang!”
tiba-tiba berbareng dengan gontyang nya kereta, Ciang Bongkok melompat kedalam
dan terus duduk ditempat kusir. Dan kereta segera akan dilarikan kejurusan
utara.
Beberapa si-wi dengan nekad
Coba akan menyerbunya, tapi dihadang oleh Seng Hiap, Jun Hwa, Su Kin dan, Ciu
Ki berempat. Apa boleh buat, kawanan si-wi itu mundur, lalu perintahkan barisan
serdadu untuk melepas panah.
Karena malam gelap, sebatang
anak panah berhasil me nanCap dipundak Seng Hiap yang segera menyerit
kesakitan.
„Pat-ko, kau bagaimana?” tanya
Jun Hwa.
Dengan digigit pakai gigi,
panah itu telah diCabutnya sendiri. Lalu Su Kin menggerung keras-keras:
„Akan kubasmi kawanan budak
itu !”
Tanpa hiraukan lukanya, dia
terdyang kawanan serdadu itu. Jun Hwa pun ikutduaan mengamuk, hingga dalam
beberapa saat ada tujuh delapna serdadu yang roboh. Lain-lainnya terus
melarikan diri, dikejar oleh kedua orang Hong Hwa Hwe tersebut. Sedang dari
arah sana, Beng Kian Hiong dan An Kian Kong sudah siap menyambutnya. Sekali
lepas pelurunya, Kian Hiong telah berhasil merobohkan beberapa orang, ada yang
matanya luka, hidungnya bengkok dan lain-lain. Keadaan makin gaduh tak karuan.
Su Kin dan Ciu Ki melindungi
kereta, sedang Ciang Bongkok menghentikan kereta itu pada sebuah tanyakan untuk
melihat pertempuran antara ketuanya dengan pemimpin kawanan kuku garuda.
„Bagaimana pertempuran itu?”
tanya Thay Lay.
„Congthocu sedang tempur Ciauw
Cong,” sahut Lou Ping.
„Apa, Congthocu?” menegasi
suaminya.
„Kau tak tahu, bahwa siaothocu
sekarang sudah menjadi Congthocu kita,” sahut sang isteri.
„Bagus kalau begitu. Manusia
Thio Ciauw Cong itu sangat lihai, jangan sampai Congthocu kena apa-apa dengan
dia,” kata pula Thay Lay dengan, kuatir.
Lou Ping melongok keluar dari
tenda untuk melihat ja lannya pertempuran.
„Apa thocu sanggup
melajaninya?” kembali Bun Thay Lay utarakan kekuatirannya.
„Senjata dari Cong-thocu1
lihai sekali. Tangan kiri memegang tun-Pai (perisai atau tameng), dan yang
kanan lima utas tali yang berujung bola baja. Coba dengarlah bagaimana bola itu
Menderu-deru suara samberannya.”
„Apa, ujungnya diikat dengan
bola baja? Jadi dia bisa pakai tali untuk menotok jala.n darah?” menegasi Bun
Thay Lay.
„Ha, Ciauw Cong kini dikepung
oleh kelima tali Congthocu!” seru Lou Ping.
„Apakah tenaga thocu Cukup
kuat?” tanya suaminya. „Rupanya samberan talinya sudah mulai pelahan.”
Lou Ping tak menyahut,
tiba-tiba ia berjingkrak dan berseru keras: „Bagus, pedang Ciauw Cong terkait
oleh tun-Pai, bagus, bagus, sabetan tali kali ini tentu berhasil. Aja, Celaka
!”
„Bagaimana?” sela Thay Lay.
„Pedang orang itu ternyata
sebuah pokiam. Dua buah gaetan dari tun-Pai itu telah terpapas kutung. Ah,
Celaka talipun tersabet kutung bagus, hai, serangan itu luput. Celaka, gaetan
kembali putus, kini Cong-thocu pakai tangan kosong untuk melajaninya, wah,
manusia itu kejam sekali. Bagus, kini Bu Tim totiang maju. Cong-thocu mundur.”
Mendengar itu legahlah hati
Bun Thay Lay. Dia tahu bahwa tojin itu ilmu pedangnya lihai sekali. Selama
mendengari keterangan jalannya pertempuran itu tadi, Bun Thay Lay sampai
mengeluarkan keringat dingin karena menguatirkan keselamatan pemimpinnya.
Pada lain saat terdengarlah
suara tereakan yang mengagetkan dari orang banyak-banyak, maka bertanyalah Bun
Thay Lay pada isterinya.
„Totiang mengeluarkan ilmu
permainannya Tui-hun to-beng-kiam, santernya bukan main, Ciauw Cong selalu main
mundur-mundur saja,” kata Lou Ping.
„Coba lihatlah,, apakah
kakinya itu masih menginyak pada langkah pat-kwa?”
„Ah, dia melangkah ke kian-wi,
kini ke kian-kiong lalu menginyak Cin-wi, benarlah, bagaimana kau bisa menge
tahuinya?” tanya Lou Ping dengan heran.
„Manusia itu bugenya tangguh
sekali, kujakin dia tentu bukan mundur sewajarnya. Dalam salah satu jurus ilmu
pedang kaum Bu Tong Pai ada yang di gunakan untuk melelahkan tenaga musuh
dengan main mundur-mundur setelah itu baru balas menyerang. Sekarang dia tentu
akan menginyak kelangkah pat-kwa, sayang , sayang !”
„Sayang apa?” tanya sang isteri.
„Sayang aku tak dapat
menyaksikan. Orang yang bisa men jalankan ilmu pedang itu, tentu sempurna
sekali kepandaian nya. Dmu itu baru dikeluarkan bila betul-betul bertanding
dengan musuh yang tangguh. Pertempuran seperti itu, jarang sekali kita bisa menyaksikannya.”
„Totiang kini gunakan ilmu
tendangan lian-hoan-bi-jong-thui yang lihai tak tertara, koko!” tiba-tiba Lou
Ping berseru.
„Ja, karena dia kekurangan
sebelah tangan, maka dia jakinkan kakinya dengan sempurna untuk menutup
kekurangan itu. Kuingat, ketika bertempur dengan kaum Ceng Ki Pang, diapun
gunakan ilmu tendangan itu untuk menga lahkannya,” kata Bun Thay Lay.
Kiranya semasa mudanya Bu Tim
Tojin telah penuh berkeCimpung dalam pertempuran. Banyak-banyaklah sudah dia
melakukan gerakan besar. Bugenya lihai, ambeknya tinggi. Kawanan pembesar
betul-betul tobat terhadapnya. Tetapi ketika pada suatu hari dia berjumpa dengan
seorang gadis dari keluarga seorang pembesar, entah apa sebabnya, dia telah
jatuh hati. Gadis itu sebenarnya tak mau membalas Cinta nya, tapi karena
mendapat anyuran ayahnya, ia pura-pura mau menerima kunyungan Bu Tim pada suatu
malam.
„Kau sebenarnya tak
sungguh-sungguh menyintai aku,” demikian gadis itu mainkan aksinya.
DiCengkeram oleh asmara yang
ber-kobardua, Bu Tim bersumpah kerak-keruk. Gadis itu tetap tertawa :
„Kaum lelaki itu, memang mudah
saja mengucapkan sumpah. Kalau kau betul-betul Cinta padaku, kau kutungilah
sebelah tanganmu.”
Tanpa berpikir panyang ,
pemuda yang dimabuk asmara itu, segera menCabut pedang dan menabas kutung
lengan kirinya. Berbareng pada saat itu, keluarlah barisan bayhok kawanan
polisi, untuk merejengnya. Karena sakitnya, Boe Tim pingsan tak sadarkan diri,
dan dengan mudah dapatlah dia ditawan.' Boe Tim di jatuhi hukuman panggal
kepala.
Ketika saudara seperguruannya
mengetahui, mereka ber sarekat dengan orang-orang gagah untuk merampok penyara
dan menolongnya. Juga sigadis sekeluarga ditawan untuk menunggu putusan Bu Tim.
Orang menduga Bu Tim tentu akan bunuh mati mereka atau tetap akan
memperisterikan gadis tersebut. Tapi ternyata tidak demikian. Melihat wajah
gadis yang diCintainya itu, hati Boe Tim luluh. Disuruhnya melepaskan gadis dan
keluarganya semua, dan dia dengan diam-diam pergi dari kota kediamannya itu, ia
mengasingkan diri dan tirakat menjadi imam.
Sekalipun sudah menyuCikan
diri, namun adatnya masih belum berobah. Karena itu dia diminta menjadi
pembantu dari Ie Ban Thing yang waktu itu mulai mendirikan Hong Hwa Hwe
Pada suatu ketika Hong Hwa Hwe
telah bentrok dengan Ceng Ki Pang. Dan kedua fihak sama-sama setuju menCari
penye lesaian dengan adu silat. Kaum Ceng Ki Pang mengejek Bu Tim hanya
bertangan satu. Karena marahnya, Bu Tim sumbar minta dikerojok. Dan benar,
malah dengan mengikat tangannya yang tinggal satu itu dengan tali dia gunakan
ilmu tendangan 'lian-hoan-bi-jong-tui' yang lihai itu untuk merobohkan beberapa
jago fihak musuhnya. Melihat itu fihak Ceng Ki Pang merasa kagum dan menyatakan
menggabung dalam Hong Hwa Hwe Thiat-tha Nyoo Seng Hiap sebenarnya dulu adalah
orang Ceng Ki Pang. Di Hong Hwa Hwe kini dia menduduki kursi no. delapan.
Baiklah hal itu kita
tinggalkan dulu dan menenengok keadaan Lou Ping yang menjadi juru bicara untuk
suami nya mengenai jalannya pertempuran itu. Katanya :
„Tindakan kaki Ciauw Cong kini
agak kalut melajani tendangan totiang. Sekarang dia sudah menginyak jalan
pat-kwa”.
„Bagus, dia belum pernah
bertemu dengan tandingannya.
Kali ini tentu Ciauw Cong
mengetahui sampai dimana-mana kelihaian orang-orang Hong Hwa Hwe kita.” kata
Thay Lay.
Tapi pujian itu telah dijawab
dengan tefeakan : „Celaka” dari Lou Ping, sudah tentu Bun Thay Lay kaget dan
Buru-buru menanyakannya.
„Totiang telah sibuk berkelit
kesana sini, orang itu entah sedang melepas senjata rahasia apa, rupanya sangat
kecil sekali!” sahut sang isteri.
Bun Thay Lay pusatkan
perhatiannya untuk mendengarkah dan ternyata suara yang bersiutan itu lemah
sekali kedengarannya.
„Ah, itulah jarum hu-yong-Ciam
dari Bu Tong Pai yang paling lihai !” tiba-tiba serunya.
Dalam pada itu, karena
berhenti ditanyakan, maka kereta itu mundur beberapa tombak kebelakang.
Kemudian lagi-lagi Lou Ping berkata :
„Totiang telah memutar
pedangnya bagaikan kitiran Ce-patnya. Jarumdua itu satupun tak ada yang
mengenai. Kini keduanya bertempur lagi, dan kembali totiang menang angin. Tapi
Ciauw Cong sangat kuat dalam pemaelaan.”
Bun Thay Lay segera minta
isterinya membuka tali ikatan kaki dan tangannya. Karena itu barulah Lou Ping
ingat, lekas-lekas ia melakukan apa yang diminta. Tiba-tiba diluar terdengar
suara gemerentyang yang keras sekali, maka Buru-buru Lou Ping melongok keluar.
„Wah, Celaka, pedang totiang
telah dipatahkan. Orang she Thio itu betul-betul lihai. Eh, koko, aku telah
memperoleh seekor kuda bagus untukmu,” dalam suasana yang mendesak itu
tiba-tiba ia teringat akan kuda putihnya.
„Ah, salah, mengapa harus
ter-Buru-buru . Coba kau lihat lagi totiang”, kata Bun Thay Lay dengan
tersenyum.
„Kali ini totiang berhasil
menendang paha lawan, dan orang itu mundur beberapa tindak dan kini Tio samko
yang melajani”.
„Totiang sekalipun sudah
menjadi orang beribadat, tapi adatnya masih suka umbar kemarahan dengan
memaki-maki. Kau tuntun aku keluar, kuduga Tio samko tentu akan adu senjata
rahasia dengan Ciauw Cong”.
Lou Ping sedianya akan
menuntunnya tapi terjata luka dipaha dan lengan suaminya itu begitu hebat,
hingga dia sampai menyerit ketika akan berbangkit. Lou Ping minta suaminya
supaya mengasoh didalam kereta itu saja, biar ia yang menyampaikan tentang
jalannya pertempuran itu.
Bun Thay Lay pernah mejakinkan
„am ki thing hong sut”, mendengarkan samberan angin dari senjata rahasia. Maka
begitu ada semaCam bunyi menderu lantas dia mengatakan bahwa itulah „siu-Cian”
(panah kecil) dan lain saat ia berseru : „Ah, itulah hui-hong-Ciok (batu
belalang terbang).”
„Bukan, tadi dia menyambuti
semua senjata rahasia yang dilepaskan oleh Tio samko, dan kini dia mengemba
likannya. Ah, samko betul-betul mempunyai seribu tangan, bagaimana dalam
sekejap saja dia bisa sambitkan sekean banyak-banyak senjata rahasia. Ha,
betul-betul seperti hujan, kasihan, lebih baik orang she Thio lari sembunyi
saja,” demikian Lou Ping.
Selama memberi komentar itu,
Bun Thay Lay menampak bagaimana aju dan menarik wajah isterinya itu, dan tanpa
terasa hatinya bergontyang keras. Sampaidua dia terlunCur untuk memanggilnya.
Dengan bersenyum manis, Lou Ping berpaling kearah suaminya.
Sedang pada saat itu, Tio Pan
San telah mengeluarkan senjata simpanannya, jakni yang satu disebut
„hui-liong-pik” dan yang lain „hui-yan-gin.” Dia arah lawannya dengan
mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Tio Pan San adalah orang UnCiu
dari wilayah Ciatkang. Semasa kecilnya dia pernah ikut ayahnya untuk berdagang
ke Lam Yang, Didaerah Lam Yang itu dia merasa ketarik dengan semaCam senjata
karet dari penduduk peribumi yang kalau dilemparkan bisa kembali sendiri. Pan
San adalah murid dari Thay Kek Bun, keistimewaannya terletak dalam soal senjata
rahasia.
Kesan dari senjata penduduk
Lam Yang itu, telah mendorongnya untuk menCiptakan semaCam senjata yang
disebutnya „hui-liong-pik” atau naga melilit. Dan „hui-yan-gin” atau burung
walet perak itu, adalah juga dari hasil pejakinannya yang mendalam.