Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 36-37 (Tamat)

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 36-37 (Tamat) “KINI KITA harus Cari daya bagaimana bisa terhindar dari pengejaran keempat bangsat itu (Ciauw Cong dan kawan-kawan),” kata Ceng Tong.
“KINI KITA harus Cari daya bagaimana bisa terhindar dari pengejaran keempat bangsat itu (Ciauw Cong dan kawan-kawan),” kata Ceng Tong.

“Bagaimana kalau kita kubur dulu rerongkong Mamir itu?” tanya Keh Lok.

“Bagus, dan sebaliknya Ali pun dikubur didampingnya,” seru Hiang Hiang.

Mereka kembali masuk ke ruangan batu tadi. Ternyata rerongkong Ali hampir rusak. Dibawah rerongkong itu terdapat segulung kertas dari kulit bambu. Tali gulungan itu sudah lapuk, dan sampul kertas-kertasnya telah berantakan. Tapi kertas bambu itu masih dapat dibaca, karena dicat hitam untuk menjaga dimakan anai-anai. Tulisan pada kertasdua itu dalam huruf-huruf Han. Kalimat yang pertama berbunyi:

“Disebabkan utara ada ikan besar, namanya ikan khun.” Demikian bunyi tulisan, terpetik dari kitab Lam Hwa Keng karangan Huang Tse (Cong Cu). Tan Keh Lok sejak kecil sudah paham akan karangan itu. Dia, kira bakal mendapat sesuatu kunCi rahasia, kiranya hanya begitu. Hal mana membuatnya putus asa.

“Apakah itu?” tanya Hiang Hiang yang tak mengerti huruf Han.

“Sebuah kitab kuno bangsa Han. Sekalipun kitab kuno dan sangat berharga sekali, tapi tak berguna untuk kita.”

Dilemparnya bundelan kitab dari bambu itu ke tanah, ternyata dibagian tengahnya samping dari huruf-huruf itu, terdapat guratandua yang merupakan huruf Ui kuno.
Tan Keh Lok kembali memungutnya beberapa, justeru tepat pada bab ketiga dari kitab Huang Tse, jakni “Yang Seng Cu” dan “Pao Ting melepaskan kerbau.”

Huruf-huruf Ui di sebelahnya itu ditanyakannya kepada Hiang Hiang.
“Rahasia menghanCurkan musuh, semua di kitab ini,” sahut Hiang Hiang membaca.
Keh Lok melengak dan menanyakan artinya lebih lanjut.

“Bukankah dalam tulisan Mamir, ada disebut, bahwa Ali telah mendapatkan sebuah kitab orang Han dan dari situ dapat mempelajari Cara bertempur dengan tangan kotong, mungkinkah yang ini?” tanya Ceng Tong.

“Huang Tse mengajari orang supaya menjalankan kebaikan, jauh bedanya dengan pelajaran silat,” tertawa Keh Lok sambil lempar kitab itu lagi dan memungut beberapa tulang terus berjalan keluar.

Ketiga orang itu menanam kedua rangka tulang itu di tepi Telaga Warna.

“Ayo kita keluar. Kuda putih itu seekor Cian-li-ma, entah bisa lolos dari mulut serigala atau tidak,” kata Keh Lok.

“Apakah isi tulisan dari kitab Huang Tse itu?” tiba-tiba Ceng Tong bertanya.
“Mengatakan tentang seseorang tukang jagal kerbau yang tangkas. Gerakan dari bahu dan lengan, maju mundurnya sang kaki dan lutut, suara dari sajatan pisaunya tepat merupakan noot dari sebuah lagu. Gerakannya tak ubah seperti orang menari,” sahut Tan Keh Lok.

“Wah, tentu bagus!” seru Hiang Hiang.

“Kalau berhadapan dengan musuh, bisa berlaku begitu, tentu juga hebat,” kata Ceng Tong.

Mendengar itu, Keh Lok terkesiap merenung. Kitab Huang Tse, sejak dulu sudah dibacanya diluar kepala. Tapi ketika nona yang belum pernah mengetahui sama sekali kitab itu mengemukakan pendapatnya, serasa hatinya menjadl terbuka. Kata-kata yang indah dari kitab Huang Tse itu, seperti mengalir dalam ingatannya...................

"Gerakannya pelahan, sedikit saja pisau digerakkan, selesailah sudah, bagaikan tanah menutup bumi, tegak mengangkat pisau, memandang ke-empat penjuru, lenyaplah segala kesangsian. — Ah, kalau aku bisa berlaku demikian, tanpa melihat lagi, sedikit kugerakkan golok, pasti binasalah bangsat Ciauw Cong itu,” demikian pikirnya merenungkan isi kitab itu.

Nampak perubahan wajah Tan Keh Lok yang bersemangat itu Ceng Tong dan Hiang Hiang menjadi heran. Beberapa saat dipandangnya sikap anak muda itu.

“Tunggulah aku sebentar!” tiba-tiba Keh Lok berseru seraya lari masuk kedalam paseban. Sampai lama sekali, belum tampak dia keluar. Ceng Tong ajak Hiang Hiang menyusul. Di paseban situ, Tan Keh Lok tampak sedang menirukan gerakan tangan dan kaki dari rerangka.

Hiang Hiang Cemas karena mengira pemuda itu menjadi kurang waras. Ia segera berseru memanggilnya. Tapi Keh Lok tak menghiraukan, setelah menari-nari sebentar, dia kembali mengawasi dengan seksama pada sebuah rerangka lainnya.

“Yangan bikin takut orang, kemarilah!” seru Hiang Hiang.

Tan Keh Lok tetap tak mendengarnya. Kembali ia menirukan sikap dan gerakan dari rerangka itu. Ternyata setiap gerakan dari orang muda itu menimbulkan samberan angin keras. Kini sedarlah Ceng Tong bahwa Tan Keh Lok sebenarnya sedang meyakinkan jurus dari semacam ilmu silat.

“Yangan kuatir, dia tak kena apa-apa. Ayo kita tunggu dia diluar,” kata Ceng Tong seraya tarik tangan adiknya.

Ditepi kolam Telaga Warna, kembali Hiang Hiang tanyakan halnya Keh Lok itu kepada sang Cici.

“Mungkin setelah membaca kitab Huang Tse itu, dia mengerti sesuatu jurus ilmu silat yang hebat, maka dia lalu menirukan gerak sikap rerangka itu. Baik kita jangan ganggu padanya,” Ceng Tong memberi penjelasan.

Hiang Hiang dapat dikasih mengerti. Lewat beberapa saat, kembali ia bertanya: “Ci, mengapa kau tak ikut meyakinkan?”

“Huruf-huruf Han dalam kitab itu artinya dalam sekali. Aku tak dapat mengerti. Lagi pula, ilmu yang diyakinkan itu juga dalam, akupun masih belum dapat mengikuti.”

“Oh, kini aku mengertilah!” kata Hiang Hiang “Rerangkadua itu semasa hidupnya mempunyai ilmu silat yang tinggi. Setelah senjatanya disedot jatuh, mereka bertempur dengan tangan kosong melawan anak buah Sanglapa.”

“Benar,” sahut Ceng Tong, “mereka bukan berkepandaian tinggi, tapi hanya menguasai beberapa jurus yang lihai, bila perlu, untuk mati bersama-sama dengan musuh.”

“Ha, mereka orang-orang yang gagah berani......... tapi mengapa ia harus belajar ilmu itu, apakah iapun hendak mengajak mati bersama dengan musuh?”

“Bukan begitu,” jawab Ceng Tong. “Orang yang tinggi ilmunya, tak nanti berlaku nekad begitu. Dia hanya sedang mempelajari sejurus dua jurus yang luar biasa lihainya.”

“Kalau begitu, legalah hatiku,” kata Hiang Hiang. Beberapa saat lagi, ia mengajak Cicinya: “Ci, bagaimana kalau kita berdua mandi dikolam ini?”

“Ah, kau memang anak nakal. Kalau dia keluar, bagaimana kita?”

“Ya, sebenarnya aku kepingin sekali mandi.”

Walaupun mulut mengatakan begitu, Hiang Hiang tak berani mandi, kuatir Tan Keh Lok keburu keluar. Namun sampai sejam lebih, orang muda itu belum juga munCul.
Hiang Hiang lepaskan sepatu, kakinya dimasukkan kedalam air dan kepalanya direbahkan kepangkuan Ceng Tong memandang kelangit yang putih. Tak berapa lama tertidurlah ia.

Kita menengok kini pada Li Wan Ci dan Hi Tong yang pergi menCari Ceng Tong. Tahulah apa maksudnya Thian Hong untuk mengutus mereka berdua itu. Dalam hati sianak muda itu, sekalipun dia merasa berterima kasih atas budi sinona yang telah menolong dan menyintainya itu, tapi selalu dia berusaha untuk menjauhkan diri. Mengapa dia harus berlaku demikian? Ya, mengapa? Anehnya, ia sendiripun tak mengerti sebabnya.

Sepanyang perjalanan itu, Wan Ci selalu mengajaknya berCakap dan tertawa, namun dia selalu bersikap dingin. Wan Ci masgul dan mendongkol. Sewaktu pagi itu ia bangun, diam-diam ia bersembunyi dibalik sebuah bukit pasir. Ingin ia mengetahui, apakah Hi Tong menjadi sibuk karenanya. Tak dinyana, kalau anak muda itu tetap tak menghiraukan. Setelah berkaok-kaok memanggil sinona tak kelihatan, dia terus melanjutkan perjalanannya dengan seorang diri.

Bukan main Cemasnya Wan Ci. Tahulah ia kini, bahwa Sukonya itu tak mempunyai perasaan suatu apa kepadanya. Sampai sekian lama ia menangis sedu sedan. Puas menangis, baru ia menyusul.

“Ah, kau masih dibelakang. Kukira sudah berjalan dulu”, kata Hi Tong dengan singkat.
Terhadap orang yang berhati seperti batu itu, Wan Ci kewalahan betul-betul.

“Kalau dia sampai menghilangkan mukaku, pedang ini akan memberi penyelesaian dileherku,” diam-diam nona itu mengambil ketetapan.

Tengah hari, mereka berjumpa dengan seekor keledai yang kurus kecil. Penunggagnya tengah mengantuk. Orang itu tampaknya aneh. Berpakaian Ui, dibelakang punggungnya menggemblok sebuah wajan baja yang besar, sedang tangannya kanan memegang sebuah ekor keledai. Keledai itu sendiri ternyata tak ada ekornya. Yang lebih aneh lagi, kepala keledai itu memakai sebuah topi pembesar gi-lim-kun, memakai mata perhiasan diujung atas dan ada bulu burungnya. Sipenunggang itu kira-kira berumur 40 tahun lebih dan berewok. Mukanya berseri-seri dan ter-tawadua.
Sikapnya peramah.

Melihat topi keledai itu, kagetlah Hi Tong dan Wan Ci dibuatnya. Itulah topi kebesaran yang dipakai oleh Ciauw Cong, sebagai pembesar dari barisan gi-lim-kun. Tapi mengingat Ciauw Cong kini masih terkepung dimedan Sungai Hitam, Hi Tong mengira, mungkin topi kepunyaan pembesar gi-lim-kun yang lain.

Teringat bagaimana nama Ceng Tong itu dikenal oleh semua orang Ui, bertanyalah Hi Tong kepada orang aneh itu: “Toa-siok (paman), maaf, adakah kau mengetahui Chui-ih-wi-sam berada dimana?”

Orang itu tertawa gelakdua. “Mau apa kau Cari padanya?” balasnya menanya.
“Ada beberapa orang jahat hendak menCelakakan padanya. Kami akan memberitahukan agar ia dapat berjaga-jaga. Kalau kau melihatnya, maukah menyampaikan berita ini?” “Baiklah! Ta,pi penjahat macam apa mereka itu?” “Seorang yang bersenjata 'tok-kak-tong-jin', seorang lagi bersenjata 'lak-houw-jat' dan yang ke tiga seorang Mongol”, sahut Wan Ci.

“Ya, mereka bertiga memang jahat, mereka pernah kepingin makan keledaiku ini, tapi sebaliknya mereka kehilangan topinya,” orang Ui yang aneh itu mengangguk-angguk.
Hi Tong dan Wan Ci saling berpandangan. Kata Hi Tong: “Siapakah kawannya lagi?”

“Ialah sipemakai topi pembesar ini. Tapi siapakah kalian ini?” tanya orang itu.

“Kami adalah sahabat dari Bok To Lun loenhiong. Dimanakah ketiga penjahat itu?
jangan kasih mereka sampai bertemu dengan Chui-ih-wi-sam,” sahut Hi Tong.

“Kabarnya nona Ceng Tong itu lihai juga. Kalau mereka gagal makan keledaiku ini, tentu perutnya lapar. Dan kalau mereka sampai makan nona itu,'itulah hebat,” kata orang itu pula.

Diam-diam Wan Ci timbul pikirannya. Tahu ia bahwa ketiga Sam Mo adalah orang-orang yang gagah tapi kosong otaknya. “Aku akan berdaya untuk membereskan mereka, agar Suko-ku yang tak memandang sebelah mata padaku ini kenal akan kelihaianku,” demikian katanya dalam hati.

“Mereka dimana, tolong antar kami kesana, nanti kuberi sekeping perak,” katanya kemudian.

”Perak aku tak dojan. Tapi biarlah kutanyakan pada keledaiku, ini mau pergi atau tidak,” sahut orang aneh itu. Mulutnya ditempelkan ketelinga keledai, Cuwat-Cuwit omong-omong sebentar, kemudian dia tempelkan telinga kemulut keledai, seperti mendengari dengan sungguh-sungguh seraya berulang-ulang mengangguk-angguk.
Melihat sikap orang yang aneh itu, diam-diam kedua anak muda itu menjadi geli.
Sementara itu tampak orang itu mengangkat alisnya dan berkata: “Setelah memakai topi pembesar, rupanya keledaiku ini menjadi Congkak. Dia memandang rendah pada kuda tungganganmu, tak mau jalan bersama-sama, takut kehilangan muka, merendahkan harga dirinya.”

Hi Tong melengak, pikirnya: “Kelakuan orang ini aneh sekali, kata-katanya mengandung arti yang dalam. Dia memaki orang-orang yang tak kenal selatan. Adakah dia itu seorang luar biasa yang menyembunyikan diri?”

Sebaliknya Wan Ci yang melihat keledai itu kurus, lagi pinCang serta kotor, toh masih berlagak, tak tahan lagi ketawa lebar-lebar.

“Ha, kau tak percaya? Coba mari keledaiku ini kuadu dengan kudamu,” kata orang itu.
Kuda yang dinaiki Wan Ci dan Hi Tong itu, adalah pemberian dari Bok To Lun, jadi bukan sembarang kuda.

Mendengar orang mau adu lari dengan keledai yang kurus dan pinCang itu, segera Wan Ci menyanggupi: “Baik, jika nanti kami yang menang, kau harus bawa kami kepada ketiga penjahat itu.”

“Empat, bukan tiga. Tapi kalau kau kalah?” sahut orang itu.

“Terserah apa katamu!” sahut Wan Ci. “Kau harus menCuCi keledai ini bersihdua, biar dia unjuk tampang.”

“Baik, jadilah. Bagaimana Cara adunya?”

“Kau menghendaki Cara bagaimana, aku menurut!”

Melihat orang berbiCara dengan nada yang tetap seakan-akan merasa pasti akan menang, Wan Ci lalu berpikir, apakah betul-betul keledai pinCang itu kenCang larinya. Tapi dia segera ketawa: “Apa yang kau pegang itu?”

“Buntut keledai,” sahut siorang aneh itu sambil mengangkat benda. itu. “Setelah memakai topi kebesaran, sedikit saja ekornya kotor, dia tak mau memakainya.”
Mendengar kata-kata orang itu selalu mengandung arti sindiran yang dalam, makin menaruh perindahanlah Hi Tong. Dia memberi isyarat dengan mata kepada Wan Ci, supaya berhati-hati.

“Coba kulihat,” kata Wan Ci. Dan ketika orang aneh itu mengangsurkan, ia segera menyambutinya dan membuatnya main-main . Lalu ia menunjuk pada sebuah bukit yang berada ditempat jauh dan berkata: “Kita lari kebukit itu. Kalau kau yang sampai lebih dulu, kau yang menang. Jika aku yang tiba dulu, aku yang menang.”
“Bagus. Keledai yang tiba lebih dulu, berarti aku yang menang. Kuda yang sampai lebih dulu, kaulah yang menang,” sahut orang itu.

Wan Ci minta Hi Tong pergi kebukit itu lebih dahulu, untuk menjadi jurinya.
“Ayo, kita mulai!” seru Wan Ci terus Cambuk kudanya menyongklang dengan pesatnya. Sekira puluhan tombak jauhnya, ia menoleh kebelakang la lihat keledai itu berdingklangan jauh ketinggalan dibelakang. Wan Ci tertawa gelakdua, makin memperkeras Congklang kudanya.

Tiba-tiba sebuah bayangan hitam berklebat disampingnya. Begitu diawasinya, ternyata siorang aneh itu tengah berlarian dengan memanggul keledainya. Larinya pesat seperti angin puyuh.

Saking kagetnya, hampir saja Wan Ci jatuh dari kudanya. Ia Cambuk sang kuda keras-kerasnamun orang itu tetap seperti angin Cepatnya berada dimuka. Tak berapa lama, keduanya sampailah kebukit. Kesudahannya, keledai yang naik orang itu lebih dahulu datang dari orang yang naik kuda. Tapi ketika hampir mendekati garis terakhir, tiba-tiba Wan Ci lemparkan buntut keledai itu jauh-jauh kebelakang, seraya berseru keras-keras: “Kudalah yang tiba lebih dahulu!”

Baik orang itu, maupun Hi Tong sendiri menjadi heran. Terang keledai yang datang lebih dulu mengapa Wan Ci mengatakan kudanya yang menang?

“Hai, nona besar, bukankah kita telah berjanji: 'keledai yang tiba lebih dulu, aku menang. Kuda yang datang lebih dulu, kau menang'. Bukankah begitu?”

Sembari menyingkap rambutnya yang terurai tertiup angin, Wan Ci menjawab:

“Benar!”

“Tidak perduli, keledai yang naik aku, atau aku yang naik keledai, pokoknya keledai itu sampai lebih dulu disini. Ketahuilah, dia memakai topi pembesar. Kalau keledai dungu menjadi pembesar, tentu boleh naik diatas kepala orang.”

“Telah kita berjanji dimuka: keledai datang lebih dulu, kau menang. Kuda datang lebih dulu, aku menang, bukan?” tanya Wan Ci mengulangi.

“Benar!”

“Dan tidak kita' sebutkan, bahwa keledai yang tidak lengkap sampainya juga dianggap menang. Bukankah begitu?”

Orang itu mengurut jenggotnya. “Sungguh pikiranku menjadi kacau. Apakah yang kau artikan dengan 'keledai tidak lengkap' itu?”

Wan Ci menunjuk buntut keledai yang dilemparkan jauh-jauh itu, katanya: “Kudaku datang dengan lengkap. Sedang keledaimu kurang sedikit, ekornya masih ketinggalan dibelakang!”

Orang itu kesima, tapi segera ia tertawa gelakdua, katanya: “Benar, benar! Kaulah yang menang. Akan kubawa kalian kepada ketiga telur busuk itu.” Habis itu buntut keledai dipungutnya, katanya kepada sang keledai: “Keledai dungu, yangan karena kau telah memakai kopiah pembesar, lalu kau buang ekormu yang kotor itu!
Ketahuilah bahwa orang tetap tak dapat melupakan kau!”

Lalu ia Cemplak keledainya dan kembali berkata: “Keledai tolol, belum lama kau naik orang- tapi kembali orang menaiki kau lagi!”

Sekalipun keledai itu hanya beberapa puluh kati beratnya, tak lebih berat dari seekor anjing besar, tapi memanggul dan dapat berlari sedemikian pesatnya, terang bukan seorang ahli silat sembarangan.

Hi Tong buru-buru menjura dan katanya: “Sumoayku ini nakal sekali, yangan loCianpwe ladeni ia. Harap loCianpwe memberi sedikit petunjuk saja, biar wan-pwe sendiri yang menCarinya. Wanpwe tak berani mengganggu pada loCianpwe”.

“Aku kalah, mengapa ingkar?” orang itu tertawa. Begitu dia putar kepala keledainya, segera berseru pula: “Ayo ikut aku!”

Melihat orang mau membawanya, Hi Tong girang sekali.

Tahu dia bahwa ketiga Sam Mo itu tangguhdua, kalau kesamplokan ditengah padang pasir tentu berbahaya. Dengan ada orang Ui berjenggot ini, ia tenteram. Demikianlah ketiganya berjalan dengan pelahan-lahan. Ketika Hi Tong tanyakan she dan namanya, orang aneh itu hanya mernyawab seperti orang bersenda gurau saja. Tapi setiap kata-katanya, selalu mengandung arti yang dalam. Sampai Wan Ci sendiri pun terpaksa mengangguk.

Keledai pinCang itu lambat sekali jalannya. Hampir setengah hari, baru dapat tiga 0 li. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara kelontangan. Thian Hong dan Ciu Ki lari menghampiri. Hi Tong memperkenalkannya kepada orang aneh itu. Thian Hong buru-buru turun memberi hormat.
Tapi orang itu tak mau membalas, hanya tertawa: “Isterimu sudah seharusnya beristirahat, mengapa kau ajak kemanadua?”
Thian Hong kemekmek, sebaliknya Ciu Ki merah padam mukanya, ia menCambuk kuda dan lari lebih dulu.
Orang Ui itu kenal baik sekali akan jalandua dan tempatdua dlpadang sahara itu. Petang harinya ia mengajak sekalian orang kesebuah dusun. Ketika hampir dekat, banyak sekali sekali ajam dan anjing lari serabutan. Itulah disebabkan ada sebuah pasukan besar dari tentara Ceng yang baru saja tiba disitu. Penduduk suku Ui sama mengungsi dengan anak isterinya.
“Sebagian besar tentara musuh telah dibasmi, sisanya yang luka-luka pun sudah terkepung, mengapa masih ada lagi,” tanya Hi Tong dengan heran.
Tepat pada saat itu, disebelah muka ada duapuluhan orang Ui lari dikSjar oleh belasan serdadu Ceng.
Orang-orang itu adalah pengungsidua. Demi melihat si berewok, jakni sipenunggang keledai itu, mereka sangat girang. Serunya: “Nasrudin Affandi, tolonglah kami!”
Thian Hong tak mengerti apa maksud jeritan orang-orang itu, keCuali kata-kata “Nasrudin Affandi” itu. Dia duga, tentulah nama orang berjenggot itu.
“Ayo kita lari!” seru Affandi terus larikan keledainya ketengah gurun.
Pengungsidua itu mengikutinya, dan serdadudua Ceng itupun tetap mengejarnya. Tak berapa lama, mereka sudah terpisah jauh dari dusun itu. Selama itu, ada beberapa wanita Ui yang ketinggalan dan tertangkap oleh kawanan serdadu Ceng. Melihat itu, Ciu Ki tak kuat menahan marahnya, memutar kudanya ia terus menyerang. Seorang serdadu segera terpapas kutung kepalanya. Kawan-kawan nya segera maju mengepung, tapi Thian Hong, Hi Tong dan Wan Ci keburu datang menolong.
Sekonyong-konyong Ciu Ki rasakan dadanya sesak, matanya berkunang-kunang.
Melihat orang simpan golok dan meng-urutdua dada, ssorang serdadu Cepat-cepat maju menyerang. Rasa muak makin menghebat, dan sekali muntah, ludah terCampur kotoran keluar dari mulut Ciu Ki tepat menyemprot kemuka siserdadu.
Selagi serdadu itu sibuk menghapus kotoran, Ciu Ki telah menabasnya hingga binasa. Tapi karena menggunakan kekuatan, tubuhnya kelihatan sempoyongan. Buru-buru Thian Hong menyanggapi dan menanyakannya.
Pada saat itu, Hi Tong dan Wan Ci pun telah dapat membunuh dua tiga musuh. Sisanya, lari ketakutan. Tampak Affandi mengangkat wajan besinya, diputardua terus ditutupkan keatas kepala seorang serdadu seraya berseru: “Dibawah wajan ini ada semangka busuk!”
Dan sekali Wan Ci menusuk, karena kepala tertutup, habislah nyawa serdadu itu.
Kembali Affandi mengangkat wajannya, dan kembali ditutupkannya kepada lain serdadu. Wan Cipun lagi-lagi tinggal menusuk saja. Entah orang Ui itu pakai ilmu apa, tapi sekali menutup; serdadudua itu tak berdaya menghindar.
Demikianlah, kerja sama antara Affandi dan Wan Ci itu, telah berhasil membasmi bersih belasan serdadu. Bukan main girangnya Wan Ci.
“Paman berewok, wajanmu hebat benar!” katanya.
“Ya, pisau pemotong sajurmu, juga boleh,” sahut Affandi tertawa.
Wan Ci melengak. Baru ia mengerti, kalau yang dikatakan “pisau pemotong sajor” itu adalah pokiamnya.
Thian Hong dapat menawan seorang serdadu dan mengompes keterangan. Serdadu itu ketakutan setengah mati lalu menerangkan bahwa dia adalah Anggota pasukan balabantuan untuk Tiau Hwi. Thian Hong suruh dua orang pengungsi yang berbadan sehat, supaya lekas-lekas kekota Yarkand untuk memberitahukan hal itu kepada Bok To Lun, agar dapat ber-siapdua.
“Enyahlah!” bentak Thian Hong sembari mendupak serdadu itu hingga bergelundungan beberapa meter, terus melarikan diri. Setelah itu, Thian Hong lalu menghampiri sang isteri untuk menanyakan keadaannya.
Ciu Ki kemerah-merahan mukanya, ia melengos tak mau menjawab.
“Kerbau betina akan melahirkan anak kerbau, kerbau jantan yang sedang makan rumput itu pasti senang sekali. Tapi ada beberapa keledai dungu yang makan nasi, sedikitpun tak mengerti,” kembali Affandi mengoCeh luCu.
Tiba-tiba Thian Hong kegirangan, mukanya berseri-seri tertawa, tanyanya: “LoCianpwe bagaimana bisa mengetahui?”
“Heran, sikerbau betina hendak melahirkan anak kerbau, kerbau jantan tak tahu, sebaliknya keledai bisa tahu,” tertawa Affandi.
OCehan yang luCu itu, membuat semua orang tertawa geli. Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya lagi. Menjelang petang hari, mereka mendirikan kemah. Dalam pada itu, Thian Hong menanyakan lebih jelas kepada isterinya.
“Seekor kerbau dungu, masa bisa tahu?” Ciu Ki menggoda. “Kalau dia seorang anak lelaki, harus she Ciu. Ayah dan ibu tentu girang sekali. Ha, sekali-kali yangan sampai menurunkan sifat aneh seperti kau.”
Thian Hong nasehati sang isteri supaya menjaga diri baik-baik .
Keesokan harinya Affandi berkata kepada Thian Hong: “Sekira tiga 0 li lagi, adalah rumah tinggalku. Ada seorang isteriku yang Cantik disana..................”
“Benarkah itu? Aku harus menemuinya. Bagaimana ia bisa menyukai seorang berewok seperti kau?” Wan Ci memutus.
“Ha, ha, itulah rahasia!” Affandi tertawa. “Tak baik kalau isterimu berkuda ikut dalam perjalanan, lebih baik mengasoh dirumahku. Nanti kalau sudah dapat membekuk ketiga telur busuk itu, kita jemput dia,” kata pula Affandi kepada Thian Hong.
Thian Hong haturkan terima kasih. Sedianya Ciu Ki tak mau, tapi mengingat kedua engkoh dan seorang adik lelakinya meninggal semua dan kini anak yang dikandungnya itu bakal memakai she keluarganya, terpaksa ia menurut.
Dimuka rumahnya, Affandi mengetukdua wajannya hingga kedengaran suara berkerontangan yang nyaring. Pada lain saat, munCullah seorang wanita kira-kira berumur tiga 0 tahun. Rupanya benar-benar Cantik sekali, kulitannya putih dan halus.
Demi melihat Affandi, girangnya bukan kepalang. Tapi mulutnya tak hentiduanya memaki: “Ha, Berewok, kau ngelajap kemana? Mengapa baru sekarang ingat pulang, apa kau masih ingat padaku?”
“Sudahlah, yangan ributdua. Apakah sekarang ini saja tidak pulang? Lekas sediakan makanan. Kaupunya pak Jenggot ini sudah lapar sekali!” sahut si berewok.
“Lihatlah, wajah yang sedemikian Cantik ini, masa belum kenyang bagimu?” sahut isteri Affandi.
“Benar. Wajahmu yang Cantik ini, adalah sajur majur. Tapi jika harus dimakan dengan roti, tentu lebih Cantik lagi.”
Isteri Affandi menjiwir telinga suaminya, ia berkata: “Tak kuijinkan kau pergi lagi!”
Terus wanita itu lari masuk, kemudian keluar lagi membawa macamdua roti dan kuwehdua, buah semangka, madu dan daging kambing. Tengah mereka sama makan, diluar terdengar suara hiruk-pikuk, dan masuklah sekawanan orang
Ui. Mereka saling berebutan melaporkan halnya masings kepada Affandi. Dengan tertawadua, Affandi melerai perCideraan mereka. Dan orang-orang itu pergi dengan puas.
Baru saja mereka berlalu, kembali ada masuk dua orang, seorang anakdua dan seorang tukang pengangkut.
“Nasrudin, Oh-loya mengatakan, wajannya yang kau pinjam itu harus dikembalikan,” kata sianak.
Affandi memandang Ciu Ki sekejap, lalu katanya seraya. tertawa: “Bilanglah pada Oh-loya, wajannya, sedang mengandung, dan tak lama akan melahirkan anak. Sekarang tak boleh banyak sekali bergerak.” Anak itu melongo heran, tapi terus berlalu pergi.
“Mau apa kau Cari aku,” kini Affandi bertanya pada si tukang pengangkut.
“Tahun lalu aku makan seekor ajam disebuah hotel disini,” jawab orang itu. “Selesai, makan kuminta sipengurus membuka rekening. Tapi orang itu menjawab lain kali saja, tak perlu terburu-buru. Kukira pengurus itu seorang baik-baik , kuhaturkan terima kasih padanya. Dua bulan kemudian kudatang akan membajar. Dia menghitung jari, dan mulutnya tak hentiduanya menyebut jumlah, seakan-akan rekening itu tak terhitung banyak sekalinya. 'Berapakah harga ajammu itu, bilanglah!' kuberseru. — Pengurus itu memberi isyarat dengan tangan, supaya aku yangan mengganggunya.”
“Harga seekor ajam, taruh kata yang paling besar dan gemuk sendiri, paling banyak sekali hanya seratus uang tembaga!” isteri Affandi menyelak.
“Begitulah memang dugaanku,” kata si tukang pengangkut itu. “Tapi ternyata setelah menghitungdua hampir setengah hari, pengurus itu berseru: 'Duabelas tail perak' '.”
“Astaga!” isteri Affandi menepuk tangan karena terkejut. “Mengapa semahal itu? Duabelas tail perak dapat dibelikan beberapa ratus ekor ajam!”
“Memang telah kukatakan begitu kepada sipengurus hotel. Tapi apa jawabnya? Ia berkata: 'Tak salah barang sedikitpun. Coba kau hitung: Andaikata ajamku tak kau makan, dia tentu sudah bertelur. Dan telurdua itu tentu akan menetas anak ajam. Kalau anak-ajamdua itu besar, tentu akan bertelur lagi dan begitu seterusnya! Masih ber-macamdua kata-kata pengurus itu. 'Duabelas tail perak masih! murah!' katanya paling akhir.
“Sudah tentu aku tak sudi digorok begitu. Dia seret aku ketempat hartawan Oh-loya minta keadilan. Habis mendengar laporan sipengurus, Oh-loya minta supaya aku lekas-lekas membajar. Katanya: Kalau aku berani main ajalduaan, begitu telurdua itu menetas, pasti lebih besar lagi jumlah utang yang aku harus bajar. “Nasrudin, tolonglah kau adili urusan ini..........”
Baru ia berkata sampai disini, anak kecil suruhan Oh-loya tadi datang kembali, katanya: “Oh-loya bilang mustahil wajannya bisa mengandung, dia tak perCaja dan minta supaya barang- itu lekas-lekas dikembalikan!”
Affandi menuju kedapur, ia mengambil sebuah wajan kecil dan diberikan pada sianak.
“Apa ini bukan anak wajan? Berikanlah ini pada Oh-loya!” katanya.
Dengan setengah kurang perCaja, anak itu membawa pergi anak wajan itu.
“Malam ini mintalah Oh-loya adakan sidang terbuka,” kata Affandi kepada si tukang tadi.
“Kalau aku kalah, bukankah malah akan mengganti dua4 tail perak?”
“Yangan kuatir, tak nanti kau kalah!”
Orang itu menghaturkan terima kasih dan minta diri. Tiba-tiba Affandi memandang keatas wuwungan rumah, mulutnya berkemak-kemik.
“Apa kau sudah kenyang?” tanya sang isteri.
Affandi tak menghiraukan.
“Hampir setengah bulan tak pulang, sekali pulang yang disibuki urusan lain orang. Belum pesanan orang dikerjakan, terus bergegas-gegas mau pergi lagi,” isterinya mengomel. Lalu diambilnya tiga uang tembaga dan sebuah mangkok, diberikan pada Affandi, katanya: “Belikan aku semangkok minyak, yangan bikin kapiran.”
Affandi menurut. Dalam hati Wan Ci timbul rasa kagum dan heran akan jiwa Affandi yang suka menolong kesukaran orang.
“Aku ikut, paman berewok!” serunya.
Dengan memegang mangkuk dan uang, Affandi menggrendeng sambil berjalan: “Seekor induk ajam bertelur beberapa butir, menetas jadi beberapa ekor anak ajam. Anak ajam menjadi besar dan bertelur pula. Ah, bagaimana Cara menghitung harganya?”
Tiba diwarung, uang Affandi letakkan dia tas meja, dan mangkuk diangsurkan. Si penjual segera menuangkan minyak. Ternyata mangkuk itu tidak muat.
“Kak Nasrudin, sisa .minyak ini dituang dimana?” tanya sipenjual.
“Setelah bertelur, kembali. menetas anak.ajam lagi.........” demikian Affandi menggumam sambil niembalik mangkuk tanpa pikir hingga minyak d.idalamnya tumpah.
“Tuangkan dilekukan bawah ini,” serunya sambil menunjuk kebawah mangkuk.
Melihat itu Wan Ci tertawa keras, namun Affandi tak menghiraukan. “Tuangkan disini!” katanya pula.
Sipenjual segera menuangkan sisa minyak yang tinggal sedikit itu. Setiba dirumah, sang isteri heran.
“Hai, tiga uang tembaga masa hanya dapat minyak sebegini? Kita ada tetamu dan perlu menggoreng kuwehdua yang banyak sekali,” tanya isterinya.
“Tidak hanya ini, disebelah sini masih ada,” kata Affandi sambil membalik mangkuknya. Dan sisa minyak itu jadi tumpah lagi dan kosonglah isi mangkuk itu.
Isterinya mendongkol dan geli. Buru'dua dipesutnya badan suar minya yang ketumpahan minyak itu. Tiba-tiba: “Cup”, Affandi mencium muka sang isteri.
“Carilah akal! Lekas gorengkan kuweh!” katanya.
“Minyaknya” tanya si isteri.
“Minyak? Bukankah aku barusan dari warung membeli semangkuk minyak?”
Tapi serta teringat akan kebodohannya tadi, Affandi tertawa ter-gelakdua. Begitu samber mangkuk, dia berlari-lari membeli lagi ke warung.
Tak berapa lama, si tukang tadi munCul lagi, katanya: “Paman Nasrudin, Oh-loya telah memanggil persidangan besar, harap kau lekas kesana.”
“Aku masih ada, urusan, sebentar lagi,” sahut Affandi.
Orang itu gugup sekali, beberapa kali dia keluar masuk kedalam rumah Affandi, untuk mendesaknya. Kini baru Affandi terpaksa menurut. Thian Hong dan Kawan-kawan nya ikut pergi untuk menyaksikan sidang itu.
Dipusat kota sudah berkumpul 7 delapan ratus orang. Di-tengah-tengah itu duduk seorang gemuk yang berpakaian jubah sutera kembang. Mungkin itulah dia yang disebut Oh-loya. Nampaknya mereka sudah lama menantikan Affandi.
“Affandi, orang itu mengatakan kau akan jadi pembelanya, mengapa baru sekarang kau datang?” tanya Oh-loya.
Affandi memberi hormat lalu jawabnya: “Maaf, karena ada urusan penting, aku sampai terlambat.”
“Apa betul ada lain urusan yang lebih penting dari pengadilan ini?”
“Tentu. Coba pikirkan, besok pagi aku hendak tanam gandum. Tapi bibit gandum masih belum matang. Kubakar tiga taker gandum, lalu kumakan, maka kudatang terlambat,” kata Affandi dengan, berulang-ulang memberi hormat.
“NgaCo-belo!” seru Oh-loya dan sipengurus rumah penginapan itu. “Gandum sudah dimakan, mana “bisa ditanam! Orang gila semacam kau, mengapa jadi pembela!”
Semua orang yang hadir disitupun tertawa. Namun Affandi hanya meng-urutdua jenggotnya dan tersenyum.
Setelah suara tertawa reda, berkatalah Affandi: “Benar, “benar! Lalu ajam yang sudah dimakan orang, dari mana bisa bertelur?!”
Riuh rendah tampik sorak para hadirin. Affandi dipanggul beramaidua dan di-eludua orang banyak sekali. Akhirnya Oh-loya mengeluarkan putusan: “Seekor ajam yang dimakan orang itu, Cukup dibajar 100 uang tembaga!”
Bukan main girangnya orang tadi. Sebongkok uang tembaga segera diserahkan kepada sipengurus hotel. “Kelak aku tak' berani lagi makan ajammu!” serunya sambil tertawa.
Terpaksa sipengurus hotel mengambil uang itu, terus berlalu. Semua penduduk yang hadir dalam sidang itu, mengiringkan dibelakangnya seraya memper-olokdua dan memakinya. Malah ada beberapa anak nakal melemparkan batu kepung gurig pengurus hotel itu.
“Sekarang wajanku yang kau pinjam itu melahirkan sebuah anak wajan elok”, kata Oh-loya pula seraya menghampiri Affandi. “Dan kapan dia melahirkan yang kedua kalinya?”
Tiba-tiba Affandi kerutkan dahinya, dan berkata dengan sedih: “Wah, Oh-loya, maaf, wajanmu telah meninggal dunia!” . “NgaCo, wajan bisa mati?” sentak Oh-loya “Mengapa tidak? Kalau dia bisa beranak, tentu bisa mati juga,” sahut Affandi dengan sabar.
“Penipu, kau mau mengelapkan wajanku!” kata Oh-loya. “Baik, mari kita timbang”, Affandi juga mulai berteriak.
Teringat oleh Oh-loya, ia sendiri serakah dan mau menerima anak wajan. Hal itu, kalau sampai diketahui orang, alangkah malunya. Maka seperti “sigagu makan empedu,” atau orang yang tak dapat menyatakan penderitaannya, akhirnya Oh-loya melambaikan tangan, terus menyelinap pergi diantara orang banyak sekali.
Setelah dapat mengingusi sihartawan Oh-loya yang suka menindas simiskin itu. Affandi girang bukan buatan. Mendongak keatas dia tertawa ter-bahakdua.
Selagi begitu, kedengaran sebuah suara memanggilnya: “Hai, Berewok, kau membikin onar apa disitu?”
Ketika Affandi berpaling, dia girang sekali, karena orang itu bukan lain adalah Thian-ti-koay-hiap Wan Su Siau.
Kedua orang aneh itu, yang satu tinggal disebelah selatan dan lainnya disebelah utara, adalah orang-orang gagah yang menjalankan peri-kebajikan, menolong yang lemah dan menindas yang jahat. Keduanya mempunyai ilmu silat yang luar biasa, dan samadua saling mengindahkan. Buru-buru Affandi memegang tangan Koayhiap, seraya tertawa. “Ha, ha, kau siorang tua ini, Ayo, kepondokku untuk menengok isteriku”.
“Apanya yang mengherankan pada isterimu, mengapa selalu kau buat buah tutur saja?”
Kata-kata Koayhiap tak dapat dilanjutkan karena keburu Thian Hong dan Hi Tong datang memberi hormat. Kedua erang ini pernah melihat Tan Keh Lok main Catur dengan orang tua ini digereja Giok Hi To Wan dulu, maka tahulah mereka bahwa dia adalah Suhu dari TiongthoCu-nya.
“Sudahlah sudah, aku bukan Suhumu, mengapa kalian menjuradua begitu? Dan dimana Keh Lok?”
“Tan-CongthoCu berangkat lebih dulu dari kita......... ai, Tan loyaCu dan Lothaythay juga datang!” seru Thian Hong. lalu memberi hormat pada Thiansan Siang Eeng yang berada dibelakang Koayhiap. Tapi ia segera menjadi kaget demi dilihatnya Kwan Bing Bwe menuntun kuda putih tunggangan Tan Keh Lok. Tanpa sungkandua iapun menanyakannya.
“Kudapatkan kuda putih kepunyaan CongthoCumu ini Q
sedang berlari-lari dipadang pasir. Kami bersusah payah mengejar baru dapat menangkapnya”, sahut Kwan Bing Bwe.
“Ha, apa Tan-CongthoCu dalam bahaya?” tanya Thian Hong dengan kaget.
Lebih dulu rombongan orang-orang itu menuju kerumah Affandi, setelah selesai dahar segera mereka pergi pula dan Ciu Ki ditinggal disitu.
Melihat baru setengah hari suaminya datang dan segera akan pergi lagi, isteri Affandi menjeritdua dan menangis seraya memegang jenggot sang suami. Affandi menghiburinya, namun ia tetap me-ngiangdua.
“Kau minta jenggotku ini? Baiklah!” seru Affandi sambil tiba-tiba menCabut belasan utas jenggotnya, disesapkan ke-dalam tangan sang isteri terus melesat keluar.
Sambil menunggangi keledai pinCang yang besarnya tak melebihi seekor anjing besar kepunyaan Affandi itu, kedua kaki Affandi seperti jujul sampai ketanah. Tampaknya keledai itu seperti berkaki enam.
“Hai, Berewok, apa yang kau tunggangi itu? KuCing atau tikus?” tanya Koayhiap dengan tertawa.
“Masakah ada tikus sebesar ini?” sahut Affandi.
“Mungkin tikus besar”, seru Koayhiap.
Demikianlah sambil berCanda, mereka menuju kesebelah r
barat. Wan Ci yang naik kuda putih kepunyaan Lou Ping itu, dapat berjalan pesat dan berada disebelah depan.
Sampai hari sudah sore, ternyata mereka baru berjalan tigapuluhan li, hal ini membuat mereka gelisah. “LoCianpwe, CongthdCu kami mungkin dalam bahaya, kami terpaksa akan berjalan lebih dulu,” aehirnya Thian Hong berkata kepada Affandi, karena tak sabar melihat jalannya keledai yang menggeremet seperti semut itu,
“Baik, baik, sesampai dikota sebelah muka sana, akan kubeli seekor keledai yang berguna. Keledai bodoh ini tak berguna, tapi dia senantiasa menganggap dirinya jempol sendiri,” sahut Affandi. Tapi ternyata begitu keledai dike-prak, binatang itu terus lari menyusul Wan Ci. Tinggi keledai itu hanya separohnya kuda putih.
“Nona, seharian ini mengapa kau kelihatan bermuram durja saja?” tanyanya kepada Wan Ci.
Tiba-tiba teringat oleh Wan Ci, sekalipun orang ini luar biasa kata-katanya seperti orang sinting, tapi mengandung arti yang dalam. Setiap ada orang Ui mendapat kesukaran, mereka tentu datang meminta pertolongan padanya. Maka berkatalah nona itu: “Paman Jenggot, terhadap orang yang tak kenal budi, kau akan bertindak bagaimana?”
“Akan kukerudungi dengan wajanku ini, dan kaulah yang menusuknya.”
“Bukan begitu,” sahut Wan Ci sambil gelengkan kepalanya. “Misalnya orang itu adalah orang............ orang yang paling akrab denganmu. Makin kau berlaku baik kepadanya, makin dia unjuk tingkah seperti keledai.”
Affandi tertawa mengurut jenggotnya. Segera dia dapat menangkap maksud sinona itu, katanya: “Setiap hari kumenunggang keledai, jadi tahulah aku akan watak keledai. Ja, memang ada Caranya, hanya saja tak boleh Cara itu sembarangan kuajarkan padamu.”
Wan Ci tertawa riang, .lalu membujuk dengan lemah lembut: “Paman Jenggot, apa sjaratnya agar kau mau mengajarkan?”
“Harus melalui perlombaan lagi, kalau kau menang baru kuajarkan.”
“Baik, kita berlomba lari lagilah,” kata Wan Ci tertawadua.
“Lain macam perlombaan saja, lomba lari sekali ini kau tentu kalah,” kata Affandi seraya mengeluarkan buntut keledainya, “karena sekarang aku pasti tak dapat kau akali.”
“Kalau tak perCaja, mari kita boleh Coba lagi,” Wan Ci membandel.
“Baik, akan kulihat kaupunya ilmu apa lagi.” Affandi menunjuk pada sebuah desa yang berada disebelah muka, lalu katanya: “Siapa yang menCapai dirumah pertama, dia yang menang!”
“Baik, Paman Jenggot, kau tentu kalah lagi!” seru sigadis.
Dan sekali kaki Wan Ci. dikempitkan, kuda putih itu melesat kemuka seperti anak panah pesatnya. Pada lain saat, Affandipun segera 1 memanggil keledainya, terus menyusul. Kuda putih itu adalah seekor kuda sakti yang tak ada taranya. Larinya benar-benar seperti kilat, maka sekalipun ilmu mengentengi tubuh dari Affandi itu sudah sempurna sekali, namun tetap tak dapat nienyusulnya. Baru dia berlari setengah perjalanan. kuda putih itu sudah sampai didusun itu.
“Ha, kembali aku diakali nona kecil itu. Kutahu kuda putih itu kuda sakti, tapi tak mengira kalau larinya sedemikian pesatnya,” kata Affandi dengan tertawa.
Thiansan Siang Eng terkesiap menyaksikan itu. Memanggul seekor keledai, itu masih tak mengherankan. Tapi bagaimana orang Ui itu seperti orang terbang larinya, sungguh membuat mereka tunduk. Jika bukan kuda putih itu, pasti akan terkalahkan.
Tepat pada saat itu, kuda putih kedengaran bebenger keras serta kakinya depan melonjakdua keatas. Wan Ci Coba menahan lesnya, tapi tak kuat. Dalam sekejap saja, kuda putih itu sudah menCongklang keluar dari desa itu. Hal itu telah membuat Cemas semua orang yang segera sama mengejarnya.
Kuda putih itu menCongklang pesat kearah padang pasir. Dia lari menuju kearah beberapa orang, dan tiba-tiba berhenti. Wan Ci turun dan berbiCara dengan mereka. Thian Hong cs yang menyusul dari belakang itu, tak dapat melihat jelas siapakah orang-orang itu. Tapi segera kuda putih itu kelihatan lari balik, begitu dekat, barulah Thian Hong mengetahui bahwa penunggangnya sudah berganti dengan Lou Ping. Dan malah dibelakangnya, tampak pula Bun Thay Lay, Jun Hwa, Ciang Cin dan Sim Hi. Sementara yang paling belakang sendiri, ada seorang penunggang yang rambutnya sudah putih, menggendong pedang, dan sedang memimpin Wan Ci dan ber-Cakapdua dengan asjiknya. Kiranya, dia adalah Liok Hwi Ching.
Hi Tong buru-buru menghampiri Hwi Ching dan menjura: “Susiok!” serunya terus menangis dengan sedihnya.
Hwi Ching mengangkatnya bangun, ia, sendiripun menguCurkan air mata.
“Telah kudengar akan perihal suhumu, maka bergegas-gegas kususul kemari. Ditengah'jalan kubertemu dengan Bun-suya yang kebetulan pun akan menangkap bangsat itu............ sudahlah, kita tentu dapat membalaskan sakit hati suhumu!” menghibur Hwi Ching” dengan tak lampias.
Thian Hong dan lain-lainnya pun menghiburi, baru Hi Tong menjadi tenang.
Dengan adanya sekian banyak sekali jago-jago yang kosen itu, Ciauw Cong pasti tak dapat lolos. Hanya yang menjadi pikiran mereka adalah keadaan Tan Keh Lok dan Ceng Tong yang masih belum diketahui itu.
Setiba didusun itu, mereka mengaso. Affandi betul juga membeli lagi seekor keledai, selama itu diam-diam Wan Ci mengikutinya. Affandi seperti tak menghiraukan, dibelinya seekor keledai yang dua kali gemuknya dari keledainya yang lama, lalu keledai kerdil itu dijualnya.
“Kopiah pembesar telah menyilaukan keledai dungu ini, maka takkan kubiarkan dia memakainya lagi,” katanya sembari membanting kopiah milik Thio Ciauw Cong itu Setanah dan di-injakduanya sampai rusak.
Setelah Affandi membajar harganya, Wan Ci bantu menuntun keledai itu.
“Dulu kupelihara seekor keledai,” demikian Affandi ber Cerita, “wataknya bengal tak mau tunduk pada orang. Kusuruh jalan, dia berdiri. Kalau kusuruh berdiri, dia berputardua. Pada suatu hari, kusuruh dia menarik pedati kepeng gilingan yang letaknya tak jauh, tapi entah apa sebabnya, dia membangkang. Makin kupaksa, makin dia berkeras membelot, tidak maju malah mundur. Aku menjadi serba salah, mau meng-elusdua atau menghajarnya. Coba kau terka, apa dayaku?” tanya Affandi.
Tahu Wan Ci bahwa orang Ui itu tengah berCangkeriman dengan kata-kata kiasan. Maka ia mendengarinya dengan teliti, tak berani tertawa.
“Kau orang tua, tentu punya akal,” demikian jawabnya.
“Waduh, kalau nona besar pingin menjadi menantu, apa saja tentu mau melakukan. Dulu memanggil aku 'Paman Jenggot', kini panggil 'kau orang tua'.”
Selebar muka Wan Ci menjadi merah jengah.
“Aku bertanya tentang keledaimu,” katanya kikuk.
“Baiklah. Kemudian kumenCari akal, dan berhasillah! Kutarik keledai itu berputar kearah belakang. Penggilingan disebelah timur, kuhadapkan keledai itu kebarat, lalu kumaju menCambuknya. Keledai itu membangkang dan malah setindak demi setindak mundur, dan mundur hingga sampai ketempat penggilingan itu.”
Wan Ci mendengarkan dengan asjiknya, mulutnya berkemak kemik: “Kau suruh dia ketimur, dia senantiasa menuju kebarat .................. kalau begitu, suruhlah dia menuju kebarat.”
“Bagus, memang begitu,” kata Affandi sembari unjuk jempolnya. “Kemudian, aku mendapat akal baru.”
“Bagaimana?” buru-buru Wan Ci bertanya.
“Kuikatkan sebuah lobak pada ujung peCut, dan kupasang disebelah mukanya. Karena ingin memakannya, keledai itu terus maju sampai berpuluh-puluhdua li. Sampai ditempat yang kukehendaki, baru kuberikan lobak itu padanya.”
Seketika itu tersedarlah Wan Ci. Ia tertawa.
“Terima kasih kau orang tua memberi pengajaran padaku.”
“Sekarang t jarilah lobak pengumpan itu!” tertawa Affandi.
Wan Ci merenung dalam hati. “Apakah yang paling dikangeni oleh Ie suko itu? Tadi waktu ketemu Suhu, dia menangis sedih, kalau begitu, membunuh Ciauw Cong itu merupakan hal yang mutlak baginya. Aku harus menCari akal untuk itu.”
“Ah, tapi Ciauw Cong sedemikian tangguhnya, mana aku bisa membunuhnya? Dan lagi, andaikata bisa, paling banyak sekali Suko tentu hanya menghaturkan terima kasih saja. Tak nanti dia seperti keledai yang mengejar lobak itu,” tiba-tiba hatinya membantah. “Semasa kecil, pernah kulihat anak dari pelayanku ber-main-main boneka. Kumintanya, tapi sampai kumenangispun dia tak mau memberikan. Kata-kata paman Jenggot ini memang benar, makin kudekati, makin dia men-jauhi. Kalau begitu, biarlah aku bersikap dingin saja. Nanti kalau ia menganggap perlu padaku, tentu ia akan datang me-mintadua sendiri padaku. Coba, keledai itu masih segan pergi ketempat penggilingan atau tidak?”
Dengan keputusan itu, sepanyang jalan Wan Ci kini bersikap dingin kepada Hi Tong. Hal itu telah membuat Lou. Ping dan Thian Hong heran. Tapi sebaliknya Affandi ter-senyumdua mengurut jenggotnya.
Perjalanan sehari itu, telah membawa rombongan mereka kegunung Pek-giok-nia. Kuda putih itu nyata masih jeri dengan serigala. Setiba dipersimpangan jalan masuk kedalam kota kuno, binatang itu berhenti. Berulang-ulang Lou Ping roe-nepukduanya, tapi kuda itu tetap tak mau jalan.
“Kawanan serigala itu pernah masuk kemari, kita ikuti bekas kotorannya masuk kedalamnya,” kata Koayhiap.
Setelah berlika-liku sampai setengah harian, tiba-tiba kuda putih yang berada paling belakang sendiri, meringkik keras. Dan seketika itu, terdengarlah suara tindakan kaki orang. Pada sebuah tikungan, munCullah empat orang. Orang yang dimuka sendiri, adalah Hwe-Chiu-poan-koan Thio Ciauw Cong.
Segera Thian Hong bersuit, suruh Jun Hwa, Ciang Cin dan Sim Hi berpenCar, untuk menghadang dibelakang Ciauw Cong. Sebaliknya demi melihat rombongan orang-orang gagah itu, bukan kepalang kagetnya Ciauw Cong. Terutama, ketika melihat Liok Hwi Ching, Suhengnya, ikut serta, ia takut bagaikan melihat setan, wajannya pilas seketika dan keningnya mengalirkan keringat dingin.
Sementara itu dengan kim-tioknya, terus saja Hi Tong hendak meneryang, tapi dnyambret kebelakang oleh Koayhiap.
“Ketika bertemu padamu beberapa waktu yang lalu, kuanggap kau seorang jago lihai dari Bu Tong Pai, tak taliunya kalau bangsa bajingan, sehingga Suheng sendiri tegah kau membunuhnya. Rupanya kau ingin hidup senang sendiri!” dengan keren Thian-ti-koayhiap memaki.
Melihat bahwa dalam rombongan musuh itu, sekurangduanya ada 5 orang yang kepandaiannya sama dengan dirinya, sedang ada lagi seorang yang diatas tingkatannya, gentarlah Ciauw Cong. Tapi dia masih tak mau unjuk kejerian, katanya: “Fihakku hanya 4 orang, kamu andalkan jumlah banyak sekali untuk merebut kemenangan. Aku Thio Ciauw Cong, sekalipun nanti binasa, takkan malu rasanya!”
Thian-ti-koayhiap murka, pikirnya: “Kawannya yang tiga itu, juga tergolong keras-keras. Kalau mereka berempat maju mengerubuti, aku pasti tak dapat melayanni. Tapi ada Jenggot Panyang, tak apalah.”
Maka katanya lantas: “Hm, ketika aku berusia tiga 0 tahun, dapat aku melayani orang dengan berimbang. Tapi setelah lewat usia itu, tak pernah'aku bertanding satu lawan satu. Tantangan inipun tak terkeCuali berlaku untuk bangsa bebodoran semacam kau. Kau berempat boleh maju berbareng, aku bersama saudara Jenggot ini akan melayaninya. Asal kau berempat dapat melawan, tak usah menang, Cu-kup berimbang saja, akan kulepaskan kauorang. Nah, bagaimana?”
Ciauw Cong memandang tajamdua pada Affandi. Ia lihat orang Ui ini wajannya hitam, segompjok brewoknya menutupi hampir separoh mukanya dan kalau ketawa matanya berobah menjadi dua larik sinar, nampaknya seperti orang biasa yang tak punya kepandaian apa-apa. Maka berpikirlah ia:
“Orang she Wan ini berkepandaian jauh diatasku. Tapi masa masih ada orang lihai yang kedua lagi? Kalau salah seorang dari Kwantong Sam Mo itu mau membantuku, aku dapat melayani siorang she Wan. Sedang yang dua orang lagi bisa meladeni orang Ui itu. Ah, bolehlah.”
Memang Ciauw Cong tak ada pilihan lain, keCuali berbuat begitu. Maka berkatalah dia: “Kalau begitu, baiklah diCoba. Harap Wan............ Wan-tayhiap berlaku murah.”
“Tanganku tak1 mau disuruh berlaku murah!” jawab Koayhiap dengan bengis.
“Ayo Berewok, dimuka sekian banyak sekali sahabatdua baru, yangan sampai kita membikin keCewa mereka,” serunya pada Affandi.
“Aku seorang dusun tua, melihat bangsa pembesar agak merasa jeri, kuatir mengeCewakan,” sahut Affandi, dan entah bagaimana dia bergerak, tahu-tahu sudah turun dari keledainya.
Melihat gerakannya itu, tiba-tiba teringatlah Ciauw Coug akan siorang aneh yang menyaru menjadi orang mati dikuburan tempo hari. Serasa berCekatlah hatinya.
“Ayo, kamu berempat segera maju. Supaya ber-hati-hati, yangan pikirkan untuk lari, karena ditanganku, orang tak nanti bisa lolos,” seru Koayhiap.
Haphaptai maju selangkah dan memberi hormat, katanya: “Wan-tayhiap telah melepas budi menolong jiwa kami bertiga saudara. Sekali-kali kami tak mau berkelahi dengan kau orang tu,a. Apa lagi dengan orang she Thio itu, kamipun. baru berkenalan saja, sedikitpun tak ada hubungan apa-apa. Kami tak mau membantunya.”
Kembali Haphaptai menjura, lalu undurkan diri berja jar dengan kedua saudaranya. Sikapnya hanya sebagai penonton belaka.
“Ah, mereka tak mau,” Koayhiap kerutkan keningnya. “Jadi hanya. kau seorang, bagaimana ini? Aku telah bersumpah dihadapan Cusouwya, sekali-kali tak mau bertempur melawan satu orang. Hai, berewok, terpaksa ku-akan minta kau saja yang main-main .”

Affandi mengambil wajan dibelakangnya, ia tertawa. “Baik, baik.baik,” katanya.
Dan ucjapan itu ditutup dengan suara menderu dari wajan yang akan dikerudungkan diatas kepala Ciauw Cong, siapa buru-buru menghindar kesamping seraya mengawasi senjata aneh yang dipakai penyerangnya itu. Benda itu hitam bundar, jeglong kedalam. Bagian jeglongannya itu penuh dengan hangus hitam, mirip dengan wajan.
“Ha, kau tentu berpikir: apakah ini? Mengapa mirip wajan? — Nah, biar kuberitahukan, memang ini wajan. Kamu tentara Ceng, tanpa suatu alasan apa-apa mengaduk kedaerah Ui sini, hingga merusakkan tak sedikit wajan, dan menyebabkan kami orang Ui tak bisa makan nasi. Nah, sekarang wajan ini akan menghajar tentara Ceng itu!”
/>Berbareng dengan uCapan itu, kembali wajan melayang keatas kepala Ciauw Cong.
Dengan gerak “sian-ho-liang-ki,” burung ho pentang sayap, Ciauw Cong megos sembari balas menyerang puifidak Affandi.
Cepat Affandi mendek sedikit, sembari tangannya kiri digosokkan kepantat wajan, terus diulapkan kemuka Ciauw Cong.
Sejak keluar dari perguruan, banyak sekali kali Ciauw Cong bertempur dengan musuh, tapi sebegitu jauh, dia belum pernah bertempur dengan orang yang begitu aneh biCaranya, ^
aneh pula gerakannya. Karena dengan tangan kanan menenteng wajan dan tangan kiri merabu angus wajan, orang Ui itu ber-gerak-gerak seperti orang sempoyongan, sedikicpun tak mirip dengan gerakan ilmu silat. Namun sekalipurt begitu, setiap serangannya yang berbahaya selalu dapat dihindari dengan mudah oleh orang Ui tersebut.
Dari kagum, Ciauw Cong menjadi gusar. Segera dia keluarkan ilmu silat Bu Kek Hian Kang Kun, sebuah ilmu silat yang paling dibuat andalan oleh kaum Bu Tong Pai. Dengan ilmu pukulan itu, seluruh jalan darah ditubuhnya, tertutup semua, sehingga air hujanpun tak dapat menembus.
Tempat pertempuran itu sangat sempit, tanahnyapun dari batu-batu padas yang runCingdua, sedang kedua orang itu serangmenyerang dengan ganasnya.
“Ah, bangsat! Dengan kepandaian itu sebenarnya kau tergolong jago lihai yang jarang ada tandingannya dika-langan kangouw. Tapi sayang hatimu begitu jahat!” diam-diam Koayhiap menghela napas.
“Kiu-ya, pak Jenggot itu gunakan ilmu silat apa?” tanya Sim Hi pada Jun Hwa.
Jun Hwa menggelengkan kepala tanda tak tahu. Juga Thiansan Siang Eng dan Liok Hwi Chingpun tak kenal termasuk golongan mana ilmu silat Affandi itu. Tapi mereka sangat mengaguminya.
Pada. lain saat, tiba-tiba kaki kiri Affandi terangkat naik, wajannya menyerang kemuka, sehingga karena tak dapat menghindar, Ciauw Cong menyusup dari bawah wajan. Tapi diluar dugaan, tangan kiri Affandi diulurkan menjaga dibelakang pantat wajan. Ketika hal itu diketahui oleh Ciauw Cong, ternyata sudah terlambat. Tapi dia masih akan gunakan gerak “Cong-thian-bao” atau meriam menembak keudara, dengan menghantamkan tangan kirinya ke wajan.
“Aha, alat pemakan; nasi, yangan dirusakkan!” seru Affandi seraya angkat wajannya keatas. Membarengi mana, tangannya merabu kemuka Ciauw Cong, hingga seketika itu muka Ciauw Cong mendapat Cap 5 jari angus.
Habis itu, keduanya saling lonCat terpenCar.
“Ayo, mari main-main lagi, 'kan belum tahu siapa yang kalah,” seru Affandi.
Ciauw Cong tak mau bergerak. Hanya matanya mengawasi wajan Affandi.
“Ai, ja, kau tak bersenjata, tentu kau tak mau mengaku kalah,” kembali Affandi berseru, lalu ia berpaling pada Wan Ci. “Nona, pinjamkanlah pisau pemotong sajurmu itu kepada si 'lobak' ini!”
Tadi sengaja Wan Ci menyaksikan dari dekat, ia tunggu begitu Affandi mengkerukup kepala Ciauw Cong, ia segera akan maju menabas. Tapi orang Ui aneh itu telah menelanyangi maksudnya. Sudah tentu mukanya merah.
Sementara, lain-lainnya pun menganggap Affandi itu suka omong ngelantur. Misalnya, dia namakan Ciauw Cong sebagai “lobak.” Tapi mereka sama sekali tak kira, kalau kata-kata itu. terselip urusan seorang anak dara.
Melihat Wan Ci menjublek, Affandi tempelkan mulutnya kedekat sinona, dan berbisik: “Pinjamkanlah pisau sajurmu itu. padanya, aku masih dapat mengatasi!”
Wan Ci mengangguk segera serunya: “Ini pedang, sambutilah!”
Sekali ulur sebelah tangan, jari Ciauw Cong telah menjepit tangkai pedang itu. Sekonyong-konyong dia membalik badan, sekali tangannya mengibas, serumpun hu-yong-Ciam melayang kearah Jun Hwa, Thian Hong dan Sim Hi.
Tahu kelihaian jarum itu, ketiga orang tersebut buru-buru tengkurepkan tubuhnya. Tapi berbareng itu, diatas kepala mereka terasa ada angin menyambar dan tahu-tahu Ciauw Cong sudah melesat lolos. Dia lonCat kesamping Haphaptai, terus pegang lengan kanannya seraya menyentak: “Lekas lari!” Karena dipegang bagian jalan darahnya, seketika itu Haphaptai tak berdaya dan dapat diseretnya.
Tanpa berpikir panyang lagi, It Kui dan Kim Piauw lon-¦ Cat mengikuti. Dan bila Thian Hong bertiga dapat berdiri tegak lagi, Ciauw Cong berempat sudah menghilang diti-W kungan, tapi ternyata Thian-ti-koayhiap dan Affandi telah begitu murka sekali. Sekali tubuh mereka bergerak, bagaikan dua burung besar, mereka melayang lewat diatas kepala Thian Hong es.
Luar biasa sebatnya adalah gerakan Koayhiap, belum kakinya menginjak tanah, tangannya sudah dapat memegang tengkuk It Lui, dan tubuh yang gemuk itu segera terangkat naik. Jago pertama dari Kwantong Liok Mo itu tidak mengetahui siapakah yang menCekik lehernya itu. Yang diketahuinya hanya tubuhnya mendadak terasa terangkat. Tanpa berdaya ia merontadua.
Dalam kagetnya, ia buru-buru hantamkan tok-kak-tang-jin-nya kebelakang. Hasilnya, malah lebih tiel”ka lagi. Karena tiba-tiba dia berasa dilempar oleh suatu tenaga yang luar biasa dahsyatnya, Menyusul itu, terdengarlah suara jeritan ngeri, batok kepala It Lui p.eCah menumbuk batu Cadas.
Thian-ti-koayhiap tak mau berhenti sampai disitu dan terus mengejar. Membiluk ditikungan, dihadapannya terbentang sebuah pertiga-jalan. Tak tahu Ciauw Cong mengambil jalan yang mana, ia menunjuk kearah kiri seraya berseru: “Berewok, kau kejar dari sini!”
Dan menunjuk kearah kanan, ia berseru pula pada Thian-san Siang Eng: “Kalian berdua mengejar dari situ!”
Habis itu, ia sendiri lalu bergerak Cepat dnyalan yang tengah. Tapi hanya sekejap saja keempat orang itu munCul balik lagi kesitu. Ternyata semua sama keterangannya, ketika membiluk sebuah tikungan, kembali mereka, masing-masing menghadapi sebuah perempatan, sehingga sukar untuk melanjutkan pengejarannya.
Setelah memeriksa dengan teliti, berkatalah Thian Hong: Pada kotoran serigala ini ada dua buah tapak orang. Mereka tentu menurutkan kotoran ini untuk masuk kesana.”
Koayhiap membenarkan dan ajak mereka mengejar lagi. Setelah ber-bilukdua beberapa kali, akhirnya mereka sampai dimuka Pek-giok-nia. Namun jejak Ciauw Cong bertiga tetap tak kelihatan.
Ramaidua mereka memeriksa rumahdua disitu. Tak berselang” berapa lama, Thian Hong berhasil menemukan mulut gua yang menuju keperut gunung. Thian-ti-koayhiap dan Tan Ceng Tik, yang satu berilmu tinggi dan yang lain beradat keras, terus saja lonCat keatas.
Liok Hwi Ching, Bun Thay Lay, Kwan Bing Bwe dan iainduanya pun menyusul. Yang ilmunya entengi tubuh masih kurang, ditarik dengan tali oleh Hwi Ching dan Kwan Bing Bwe.
Ketika yang terakhir tiba gilirannya. Sim Hi, berkatalah Affandi deng-an tertawa. “Adik Cilik, akan kuCoba bagaimana nyalimu!”
Sambil berkata, tangan orang Ui yang aneh itu lantas memegang punggung Sim Hi, terus dilemparkan keatas pada mulut gua: “Sambutilah!”
Diatas, Bun Thay Lay segera menyambutinya. Affandi lonCat menyusul. Saat itu Koayhiap dan Ceng Tik tengah kerahkan tenaga untuk mendorong pintu batu. Pintu itu menjeplak terbuka kesebelah dalam. Ternyata pintu itu memang sengaja dibikin begitu, masuk mudah keluarnya susah. Cukup dihadang beberapa orang saja, tak nanti orang yang sudah berada didalam, sekalipun sebuah pasukan besar, dapat keluar dari pintu batu itu.
Kiranya, ketika rajanya mendirikan istananya diperut gunung itu, untuk penjagaannya dibuatnya begitu banyak sekali jalanandua, sehingga musuh pasti tersesat. Tapi raja yang kejam itu tetap merasa kuatir, kalaudua ada orang dalam yang memberontak, karenanya dibuatlah pintu batu yang bukannya menjeplak kesebelah dalam. Itulah rahasia kegunaan pintu batu tersebut.
Dengan dipimpin Koayhiap yang berjalah disebelah depan, rombongan orang itu menyusup kedalam. Thian Hong me
motes kaki meja untuk dnyadikan obor. Setiap orang diberinya sebuah. Sampai dipaseban besar, senjata mereka telah tersedot jatuh, hingga mereka kaget. Hanya Affandi yang bisa berlaku Cekatan, wajan buru-buru ditekamnya kenCangdua hingga tak sampai jatuh pecah.
Karena perhatian hanya ditujukan pada Ciauw Cong, mereka tak menghiraukan kejadian tersebut. Dengan gunakan tenaga, mereka memungut senjatanya lalu masuk kedalam mangan tidur. Disebelah pembaringan, mereka melihat juga lobang ditanah itu, lobang mana pun segera dimasukinya.
Selama menyusur didalam lobang itu, mereka tak berani mengeluarkan suara apa-apa. Tiba-tiba disebelah depan, tampak terang benderang. Disanalah Telaga Warna itu. Disitu kelihatan berdiri enam orang, sebelah telaga sana berdiri Tan Keh Lok, Ceng Tong dan Hiang Hiang. Sedang disebelah sininya adalah Ciauw Cong, Kim Piauw dan Haphaptai. Bukan kepalang girangnya rombongan Koayhiap itu.
“Siaoya, siaoya, kita beramai datang!” seru Sim Hi dengan girang.
Kiranya sesudah bertanding dengan Affandi tadi, tahulah Ciauw Cong bahwa kini dia berhadapan dengan seorang yang berkepandaian luar biasa. Dia merasa tak ungkulan melayani, maka timbullah akal busuknya. Dengan mengandal jalanan disitu yang sangat menyesatkan itu, dia terus merat. Pikirnya: “Jalan lolos satuduanya, adalah mengulangi kejadian dipenyeberangan sungai Hoangho ketika bertempur dengan orang-orang HONG HWA HWE itu. Itu waktu walaupun dirinya terluka berat, tapi dia berhasil menawan Bun Thay Lay sebagai barang tanggungan, sehingga sekalipun fihak musuh terdiri dari jago-jago lihai seperti Bu Tim, Liok Hwi Ching. Tio Pan San, Tan Keh Lok, Ciu Tiong Ing, kedua saudara Siang dan lain-lain-nya, tapi mereka telah dibikin tak berdaya dan terpaksa memberi lolos padanya.
Untuk mengulangi hal itu, ia harus menCari Tan Keh Lok dan Ceng Tong sebagai jaminan. Dan ini ia akan melaku-kannya, sekalipun kedua orang itu berada diperut gunung yang penuh rahasia itu. Sekali Tan Keh Lok dapat diringkus, Cukup dengari memalangkan pedang kelehernya, ia pasti dapat berlalu dengan lenggang-kangkung. Tahu kalau seorang diri tak nanti dapat menundukkan Tan Keh Lok dengan Ceng Tong, karenanya ia mengajak ketiga Sam Mo. Tak diduganya sama sekali, kalau perbuatannya itu telah mengakibatkan tewasnya It Lui.
Pada saat Ciauw Cong bertiga masuk, Keh Lok telah selesai berlatih ilmu pukulan dan akan menghimpiti kedua taCi beradik itu untuk diajak menCari jalan keluar dari tempat itu. SeCara kebetulan Ciauw Cong telah melihat lobang disamping pembaringan dan memasukinya. Maka munCulnya Ciauw Cong bertiga disitu telah membuat terkejut Tan Keh Lok; siapa buru-buru menarik Hiang Hiang dan Ceng Tong ketepi sebelah sana.
Ciauw Cong dan Kim Piauw terus berpenCar mengejar dari dua jurusan. Tapi Haphaptai segera menentang perbuatan Kim Piauw itu. Dengan mata mendelik, ia mendamperat kawannya: Belum kita tahu bagaimana nasib Lo Toa. kau sebaliknya akan berserikat dengan lain orang untuk menguber wanita. Ayo, kita lekas pergi Cari Lo Toa saja!”
Tapi rupanya Kim Piauw membantah. Sedang kedua orang itu t jet jok sendiri, Koayhiap dan rombongannya munCul. Per-tamadua adalah orang-orang HONG HWA HWE itu yang segera mendapatkan sang CongihoCu. Tapi tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki yang sangat ter-buru-buru kelihatannya. Itulah Ceng Tik dan Kwan Bing Bwe yang mendahului maju.
“Ceng-ji, kau bagaimana? seru Kwan Bing Bwe.
“Suhu, Sukong, aku baik-baik saja. Tolong bunuhlah kedua penjahat ini,” sahut Ceng Tong dengan terharu seraya menunjuk pada Kiria Piauw dan Haphaptai.
Memang Ceng Tong sebenarnya tak bermusuhan dengan Ciauw Cong. Yang1 dibencinya setengah mati, adalah Sam Mo yang terus menerus mengejarnya itu. Lebihdua kepada Kim Piauw yang kurangajar itu.
Ceng Tik pernah tempur ketiga Sam Mo, karena berkelahi “dengan tangan kosong, hampir-hampir ia sendiri mengalami kerugian. Kini tanpa ajal lagi, ia lolos pedang terus menikam pundak Kim Piauw, siapa segera melawan dengan lak-houw-jahnya. Sedang dilain fihak, Kwan Bing Bwe pun sudah bertempur dengan Haphaptai.
Orang-orang HONG HWA HWE lainnya segera menghunus senjatanya maju menghampiri dan mata terus mengawasi pada musuh besar, Ciauw Cong. Hanya Koayhiap dan Hiang Hiang yang tak bersenjata. Wan Ci meskipun sudah serahkan pokiamnya pada Ciauw Cong, tapi Suhunya (Hwi Ching) berikan lagi sebuah pedang pusaka. Malah pedang itu pedang Leng-bik-kiam milik Ciauw Cong yang telah dirampasnya ketika pertempuran dibukit Pak-kao-nia di HangCiu tempo hari.
Hwi Ching sendiri tetap memakai pedangnya, pek-hong-kiam. Sambil mengawasi jalannya pertempuran, ia tetap arahkan perhatiannya pada gerak-gerik Ciauw Cong.
Kim Piauw dan Haphaptai mati-matian mengadu jiwa untuk bertempur. Tapi pada jurus keduapuluh permainan samhun-kiam dari kedua suami «isteri itu kelihatan makin genCar, hingga kedua Sam Mo itu menjadi keripuhan sekali. Kini mereka hanya dapat bertahan diri, tak dapat balas menyerang.
Tiba-tiba diantara kiblat pedang yang berkilat-kilat itu, Ceng Tik menggerung keras dan merangsang mati-matian. Kim Piauw menjadi nekad hingga matanya merah seakan-akan berdarah. Ceng Tik susuli lagi dengan tusukan kekaki lawan, siapa ketika Coba menghindar kesamping, telah menyusuli pula dengan sebuah tendangan. “Blung”............... Kim Piauw terjungkal kedalam kolam, air mana segera berobah menjadi merah warnanya.
Disanapun Haphaptai telah dilihat dengan sinar pedang Kwan Bing Bwe. Ketika sepasang suami isteri dari Thian-san itu mengaduk dipagoda Liok Hap Ta di Hangijiu tempo hari, kebetulan Thay Lay dan Hi Tong masih beristirahat karena sakit digunung Thian Bok San. Jadi mereka tak menyaksikan kepandaian Thian-san Siang Eng itu.
Maka demi tampak oleh mereka, bagaimana seorang wanita yang sudah ubanan itu mempunyai ilmu pedang yang sedemikian lihainya, hingga lekas juga seorang pria gagah semacam Haphaptai itu akan kehilangan nyawanya, timbullah rasa kagum mereka melihat itu.
Hi Tong menjadi sibuk. Dia teringat bahwa orang Mongol itu sudah beberapa kali melepas budi padanya, maka Cepat-cepat ia memberi keterangan pada Susioknya (Hwi Ching), katanya: “Susiok, dia bukan orang jahat, tolonglah dia!”
Hwi Ching mengangguk. Justeru pada saat itu, Kwan Bing Bwe sedang melanCarkan serangan yang ganas. Menusuk kaki, kesebelah kiri dan kanan tubuh, hingga kepala Haphaptai mandi keringat dan terusduaan mundur.
Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba Hwi Ching melesat maju, “trangng............” pek liong-kiam telah beradu dan menghadang tusukan Kwan Bing Bwe yang mematikan itu.
“Toaso, orang ini tidak jahat, ampunilah dia!” seru Hwi Ching.
Melihat Hwi Ching sudah membuka mulut, Kwan Bing Bwe tak mau menghilangkan muka orang dan terpaksa menyimpan pedangnya.
Hwi Ching berpaling dan dapatkan Haphaptai tersengal-sengal napasnya. Karena keliwat banyak sekali gunakan tenaga, tubuh jago Mongol itu agak terhujungdua.
“Lekas haturkan terima kasih pada Kwan-tayhiap yang mengampuni jiwamu,” seru Hwi Ching padanya.
Diluar dugaan, Haphaptai itu seorang lelaki sejati. Dia sangat menjunjung setia kawan. Bahwa dari keenam Liok Mo hanya ia sendiri yang masih hidup, ia malu untuk hidup. Golok diangkat dan segera berseru nyaring: “Mengapa kuharus minta belas kasihannya!”
UCapan itu dibarengi dengan gerakan hendak merangsang maju lagi. Tapi segera terdengar suara kerupjukan dari dalam kolam, dan munCullah Kim Piauw yang pelan-pelan berenang ketepi. Haphaptai Cepat-cepat lempar goloknya, untuk menolongi. Ternyata Kim Piauw luka parah dan terminum; banyak sekali air. Seolahdua tak menghiraukan orang-orang disekitarnya, Haphaptai mengurutdua dada saudaranya itu. Tiba-tiba Ceng Tong memburu datang.
“Bangsat busuk!” damprat sigadis terus menikam.
Melihat itu, saking gugupnya Haphaptai menangkis dengan tangannya. Ketika melihat pedang si nona hampir mengenai lengannya, tiba-tiba teringatlah Koayhiap akan jasa orang Mongol itu membantu menghalau kawanan serigala tempo hari. Buru-buru dijumputnya sebuah batu kerikil lalu ditimpukkan. Berbareng dengan suara mendering, tangan Ceng Tong tergetar kesemutan dan jatuhlah pedangnya. Nona itu terkesiap tak habis mengerti.
“Bereskan dulu bangsat she Thio itu, kedua orang ini tak nanti bisa lolos,” seru Koayhiap.
Kini Ciauw Cong terkepung. Dihadapannya adalah orang besi seperti Bun Thay Lay, Affandi, Tan Keh Lok, Liok Hwi Ching dan Thian-ti-koayhiap. Harapan untuk lolos, seperti awan tertiup angin. Dengan mengelah napas putus asa, ia terus akan nekad mengadu jiwa.
Tiba-tiba dari belakang Hwi Ching berkelebat keluar sebuah bayangan. Muka orang ini putih meletak, matanya indah bening seperti sebuah lukisan. Ia bukan lain ialah puteri Li Khik Siu dari Hangijiu, jakni Li Wan Ci.
Dengan menghunus pedang, nona itu meneryang dan memaki: “Kau ini betul-betul bangsat busuk!”
Dan sebelum orang-orang dapat berbuat apa-apa, Wan Ci sudah lompat kemuka Ciauw Cong dan tiba-tiba berbisik: “Kudatang menolongmu!”
Berbareng itu pedangnya menyambardua. Ciauw Cong berkelit seraya bingung akan maksud sinona. Tiba-tiba Wan Ci pura-pura tergelinCir, terus sempoyongan maju lagi dan kembali berbisik: “Lekas ringkus aku!”
Ciauw Cong seperti disedarkan. Begitu tangannya kanan menangkis, tangannya kiri sebat menangkap lengan sinona.
“Trang!” Pedangnya ternyata terbabat kutung. Untuk kekagetannya, dilihatnya pedang yang dipakai sinona itu ternyaja adalah pedang leng-bik-kiam miliknya! Karuan bukan main tambah giranghja.
Tepat pada saat itu, Bun Thay Lay, Hi Tong, Jun Hwa dan Tan Ceng Tik berbareng maju hendak menolongi sinona. Tapi Ciauw Cong dengan sebatnya telah merampas leng-bik-kiam, segera memutar dengan serunya. Kim-tiok dan Siangkao senjata lawan terbabat kutung. Sedang Bun Thay Lay dan Ceng Tik buru-buru menarik senjatanya, hingga, tak sampai terbabat.
Segera Ciauw Cong tandaskan leng-bik-kiam kepungan Wan Ci dan serunya menganCam: “Setindak kamu maju, segera, kuhabisi nyawanya. Lekas berikan jalan padaku!”
Perubahan itu sungguh diluar dugaan orang-orang. Pada detikdua Ciauw Cong akan sudah dapat diringkus, tak terduga Wan Ci datang mengaduk. Semua orang salah duga dan sesalkan nona itu yang dikiranya termaha jasa, tapi sebaliknya merusak renCana serta menjadi barang tanggungan si sangsat.
Wan Ci pura-pura menggelandot dibahu Ciauw Cong sehingga sepintas pandang, ia seperti kena ditutuk Ciauw Cong, lemas tak bertenaga. Sebaliknya Ciauw Cong dapat angin. Dilihatnya orang-orang sama melonyo, tak berani menyerang. Hendak ia pikirkan jalan untuk lolos atau Wan Ci kembali berbisik pelan-pelan didekat telinganya: “Kembali kedalam perut gunung lagi!”
Ciauw Cong anggap jalan itu yang terbaik, ia terus langkahkah kaki kedalam terowongan dibawah tanah.
Koayhiap dan Ceng Tik seperti “semut dipanggang diatas wajan.” Bagaimana marahnya, yangan ditanya lagi. Koayhiap memungut sebuah kerikil sedang Ceng Tik mengeluarkan tiga batang po-thi-Cu dan serentak ditimpukkan kebelakang Ciauw Cong. Tapi jago Bu Tong Pai ini Cepat mendekkan badan, sembari Cepatkan langkahnya masuk kedalam terowongan.
“Aduh!” tiba-tiba kedengaran Wan Ci pura-pura menjerit.
Hal ini membuat Hwi Ching sibuk bukan kepalang.
“Yangan mengejar, kita Cari lain jalan!” serunya. Dia sungguh-sungguh berkuatir kalau Ciauw Cong menjadi hilap dan melukai murid kesayangannya itu.
Cepat semua orang masuk kedalam terowongan untuk mengikuti jejak Ciauw Cong. Tinggal Ceng Tong seorang diri, sambil menyoren pedang mengawasi dengan mata melotot pada Kim Piauw. Haphaptai asik membalut luka saudaranya, sedikitpun ia tak menghiraukan akan segala kejadian disekelilingnya tadi.
Kuatir Ceng Tong kena apa-apa, sampai dimulut terowongan Tan Keh Lok merandek, katanya kepada Hiang Hiang: “Kita turut menunggu disini saja menemani Cicimu.”
Hiang Hiang setuju dan keduanya balik menghampiri Ceng Tong.
Sementara itu dengan menyeret Wan Ci, Ciauw Cong lari dengan kenCangnya. Sedang rombongan orang-orang tadi, hanya
mengikuti dari belakang, tak berani terlalu merangsek. Lorong terowongan itu penuh berliku-liku, sehingga tak dapat melepas senjata rahasia. Habis menyusur lorong, segera akan tiba keluar, dan akan dapatlah Ciauw Cong melintasi pintu batu. Ini berarti, loloslah sudah.
Koayhiap Cepat akan bertindak. Tapi ketika baru saja ia akan melesat untuk menyerang belakang orang, tiba-tiba di-tempat yang gelap itu ia mendengar suara mengaum beberapa kali. Tahu kalau musuh melepas senjata rahasia Koayhiap buru-buru menempel badan didinding terowongan seraya berseru: “Hai, Berewok, wajanmu!”
Sebat sekali Affandi sudah melangkah maju dengan menghadangkan wajan .kemuka. Segera terdengar suara ber-deringdua dipantat wajan. Itulah berpuluh-puluhdua batang jarum hu-yong-Ciam yang dilepas Ciauw Cong.
“Haha, enak hidangan jarum emas goreng!” Affandi berkaokdua.
Tapi kelambatan beberapa detik karena berhenti mengejar itu telah memberi kesempatan pada Ciauw Cong dan Wan Ci untuk menerobos kedalam pintu batu, yang terus ditutup sekuat-kuatnya. Koayhiap dan Ceng Tik memburu untuk mendobrak pintu, tapi ternyata pintu yang menutup terowongan itu adalah bagian dalam, jadi sangat liCin sekali, tiada pegangannya barang sebuah pun. Kedua jago tua itu adalah orang-orang yang berangasan, sudah tentu mulutnya tak hentiduanya memaki kalang kabut.
Sementara itu, setelah berada diluar pintu, Ciauw Cong segera memantek lubang tarikan pintu dengan lonjoran emas. Habis itu ia mengelah napas lega, katanya: “Terima kasih atas pertolongan Li-sioCia!”
“Ayahku dan Thio-susiok adalah samadua pembesar kerajaan yang sedang menjalankan tugas. Sudah selajaknya kumenolong,” sahut Wan Ci tertawa.
“Kuharap Li-Ciangkun dan Li-thaythay tak kurang suatu apa,” kata Ciauw Cong lalu menjalankan penghormatan seperti lajaknya kepada keluarga pembesar tinggi.
“Kau adalah Susiok (paman guru), tak pantas kumenerima kehormatan begitu. Sebaiknya kita Cari jalan lolos. Suhu tentu mengerti akan perbuatanku ini, kalau sampai kena ketangkap, aku pasti dibunuhnya.”
“Kini mereka berjumlah besar. Kita harus lekas-lekas tinggalkan tempat ini, mengundang Kawan-kawan yang lihai, baru menangkap mereka lagi,” kata Ciauw Cong.
“Saat ini mereka tentu balik ke tepi kolam akan memutar untuk mengejar kemari. Thio-susiok, Carilah akal, lekas Didaerah padang pasir sini, tak mudahlah untuk meloloskan diri.”
Memang ilmu silat Ciauw Cong itu tinggi, tapi dalam hai tipu siasat, dia kurang pandai. Maka sesaat itu tampak ia mengerutkan keningnya, namun tak dapat segera menemukan akal. Sebaliknya Wan Ci pura-pura Cemas, tengkurap pada sebuah batu dan menangis.
“Li-sioCia, yangan takut, kita tentu dapat lolos,” menghibur Ciauw Cong.
“Sekalipun andaikata kita bisa keluar dari kota tersesat ini, tapi dalam sehari dua hari, mereka tentu sudah dapat menyusulnya. O, mak, uh, uh ............... mak!”
Dengan ditangisi begitu rupa, bukan main sibuknya Ciauw Cong. Berulang-ulang ia meng-gosokdua kepelannya, tapi tetap tak berdaya. Tiba-tiba tangisan Wan Ci tadi berobah menjadi gelak tertawa, katanya: “Sewaktu kecil apa kau tak pernah main godak?”
Sejak berumur 5 th. ayah Ciauw Cong sudah meninggal dan ikut sang Suhu belajar silat. Ma Cin dan Liok Hwi Ching jauh lebih tua beberapa tahun dari dia. Oleh karena itulah, ia tak pernah mengeCap kesenangan permainan kanak-kanak. Terpaksa dia gelengkan kepalanya.
“Jalanandua di Kota tersesat ini luar biasa ruwetnya. Kita t jari tempat bersembunyi, kira-kira bersembunyi tiga-empat hari Mereka tentu mengira kita sudah berlalu dari sini dan tentu akan pergi mengejar. Pada waktu itu, barulah kita keluar.”
Ciauw Cong ulurkan jempol jarinya dan memuji: “Ya, ja, Li-sioCia, kau betul Cerdik sekali!” — Tapi ia meran-dek dan katanya pula: “Tapi kita tak bawa ransum, selama tiga-empat hari...............”
“Diatas punggung kuda itu ada ransum dan, air,” buru-buru Wan Ci menyanggapi kekuatiran Ciauw Cong dengan menunjuk kearah kudanya.
“Bagus, mari lekas sembunyi!” seru Ciauw Cong dengan girang.
Begitulah keduanya terus lonCat turun dan dengan naik dua ekor kuda, mereka berlari keluar. Tiba dipersimpangan jalan Wan Ci berkata: “Coba lihatlah bekas kotoran serigala ini. Jalan keluar sebenarnya kearah kiri, tapi sebaiknya kita ambil jalanan yang disebelah kanan saja......”
Baru ia berkata, tiba-tiba ekor kudanya menjengat keatas, karena binatang itu mau buang kotoran. Buru-buru Wan Ci ambil ransum dan kantong air dipunggung kuda, dan tuntun kedua ekor kuda itu untuk menghadap kejurusan kiri. Begitu tangannya mengibas Cambuk, kedua binatang itu menCongklang dengan pesatnya kedepan.
“Mengapa?” tanya Ciauw Cong karena heran. “Jika mereka menyusul kemari dani melihat tapak kuda serta kotoran yang masih segar ini menuju kearah kiri, tak dapat tidak, mereka tentu mengejar kesana,” sahut Wan Ci tertawa.
“Hai, siasat ini hebat benar!” Ciauw Cong memuji kegirangan.
Ciauw Cong dan Wan Ci segera menyusup masuk. Pada setiap tikungan, setiap pertigan, Wan Ci senantiasa meletakkan tiga buah kerikil ditempat yang agak tak menyolok. Kerikildua itu ditumpuknya merupakan sebuah pertandaan rahasia.
Ciauw Cong anggap perbuatan Wan Ci itu bnyak sekali. Kalau tidak, mereka pasti teranCam kesesatan jalan. Kira-kira setengah harian kemudian, jalanan makin rumit dan berbahaya. Entah sudah berapa banyak sekali tikungan dan pertigaan yang dilaluinya. Mendekat petang, Wan Ci mengajak berhenti, untuk beristirahat dan menangsel perut.
“Tadi kuda yang seekor tak kita muati makanan dan air, sayang benar,” kata Ciauw Cong.
“Tak apalah, asal kita Cukup menghemat,” sahut Wan Ci lalu menarahkan kantong makanan dan minuman kedekat Ciauw Cong seraya berkata: “Harap jaga baik-baik , inilah jiwa kita!”
Habis menguCap, sinona lalu menyingkir agak jauh untuk menCari tempat yang agak bersih dibuat tidur.
Tengah malam, Ciauw Cong lonCat bangun karena kaget mendengar Wan Ci menjerit. Buru-buru dihampirinya, dan sinona tampak menuding kearah sana: “Lekas, ada seekor serigala besar!”
Dengan menghunus pokiam, Ciauw Cong sebat memburu. Tapi dua buah tikungan sudah dia membiluk, namun tak ada jejak seekor serigalapun. Takut tersesat, dia tak berani mengejar, dan balik ketempatnya tadi. Tapi disitu, tak didapatinya Wan Ci.
“Li-sioCia!” serunya, nyaringdua.
Pada lain saat, ia begitu terkejut demi dilihatnya ditanah situ basah semua, sedang kantong air kelihatan numplek. Buru-buru dipungutnya, dan didapatinya kantong itu hanya masih ketinggalan air sedikit sekali. Suatu hal yang menCemaskan hatinya.
Tengah ia masgul, tiba-tiba Wan Ci munCul dari jalanan gunung disana, serunya: “Disana tadi ada seekor serigala menobros kemari untuk merampas air!”
Sinona duduk numprah ditanah, mukanya muram seperti hendak menangis.
“Karena, kita tak punya air, tak dapat kita tinggal lama-lama disini. Besok kita harus nekad tinggalkan tempat ini,” kata Ciauw Cong.
“Biar aku sendiri Cobadua menyelidiki, tunggulah kau disini,” kata Wan Ci kemudian seraya terus berbangkit.
“Sebaiknya kita pergi berdua,” kata Ciauw Cong.
“Yangan! Kalau kesamplokan dengan mereka, apa kau kira masih bisa hidup? Kalau aku lain soal lagi,” bantah sinona.
Ciauw Cong anggap omongan sinona benar. Maka dia terpaksa tinggal dan hanya pesan supaya sinona berhati-hati.
“Em, pinjamkan pokiammu padaku!” pinta Wan Ci.
Tanpa Curiga, Ciauw Cong serahkan leng-bik-kiam-nya.
Ketika itu bulan remang-remang, dengan menurutkan batu-batu kerikil pertandaannya, Wan Ci berjalan keluar. Setiap kali tiba dipertiga jalan, ditumpuknya sebuah batu pertandaan baru, sedang batu yang lama, diurukinya dengan pasir. Andaikata Ciauw Cong menyusul, dia pasti akan bingung, dan tak nanti mampu keluar dari situ. Diam-diam nona nakal itu tertawa, karena ialah sendiri yang sebetulnya mengatakan ada. serigala dan menumpahkan kantong air dan Ciauw Cong sudah sedemikian perCaja seperti “kerbau terCoCok hidungnya.” Sampai leng-bik-kiam pun diserahkannya kembali.
Dekat fajar, ia sudah berada dnyalan yang benar. Diujung tikungan sana, ia dengar orang sedang memaki-maki. “Lihat saja, masa aku tak dapat meremukkan tulangnya dan membeset kulitnya!” demikian terdengar seorang sedang mengomel.
“Ya, untuk meremuk tulang dan membeset kulit, juga harus dapat menCarinya sampai dapat,” kata seorang lagi dengan tertawa.
“Aduh!” tiba-tiba Wan Ci menjerit dan lalu pura-pura jatuh. Yang munCul menolong dengan seketika, bukan lain adalah Thian-ti-koayhiap dan Affandi. Ketika mendapatkan sinona masih bernapas dari tak terluka, legalah hati kedua-nya.
Koayhiap segera memberi pertolongan. Sebaliknya Affandi tertawa setengah menyomel: “Nona yang nakal, kalau seandainya menjadi anakku perempuan, yangan panggil aku ajab. kalau, tidak kurangket dia.”
Namun Wan Ci masih pura-pura tak ingat orang, melihat itu jengkellah si Berewok.
“Kalau, ia benar-benar pingsan, kuCambuk 10 kali tentu ia masih belum ingat orang!” katanya.
Untuk membuktikan anCamannya si Berewok segera menCambuknya sekali dan tepat pada pundak sinona. Hendak Koayhiap menCegahnya, tapi untuk keheranannya dilihatnya Wan Ci sudah membuka mata.
“Ai,” sigadis pura-pura menggerang.
“Huh, lihat, Cambukku lebih lihai dari ilmumu thui-kiong-hiat (mengurut jalan darah!” Affandi mengejek Koayhiap.
“Jenggot Panyang ini benar-benar hebat,” diam-diam Koayhiap mengira kalau Affandi betul-betul punya ilmu Cambukan untuk menolong orang pingsan. Namun ia tak sempat menanyakan, terus bertanya kepada Wan Ci: “Bagaimana, apa kau tidak terluka? Dimana sibangsat itu?”
“Ditawan olehnya tadi, bukan main takutku. Ketika kemaren malam ia tengah menggeros, aku diam-diam melarikan diri,” demikian Wan Ci mengarang penyahutan yang masuk diakal.
“Mana dia, antarkan aku kesana!” kata Koayhiap.
“Baik,” sahut Wan Ci terus akan bangkit. Tapi tubuhnya sempoyongan, hingga Koayhiap buru-buru menyanggapi, dan dipimpinnya.
“Kalian berdua pergilah, aku menunggu disini,” kata Affandi.
“Ha, pak Berewok mau ongkangdua. Baik, tanpa kau kitapun dapat menghadapinya,” kata Koayhiap.
Tak lama dari kepergian kedua orang itu, datanglah Liok Hwi Ching, Tan Ceng Tik, Tan( Keh Lok, Bun Thay Lay dan lain-lainnya. Tak mau Affandi menCampuri pembiCaraan mereka yang uplek menCeritakan hasil penguberannya yang nihil itu. Dia tetap tersenyum simpul saja. Ciang Cin dan Sim Hi menggusur datang Kim Piauw dan Haphaptai dan duduk disebelah sana.
Tak lama kemudian munCullah Koayhiap serta Wan Ci. Hal mana membikin gembira hati semua orang. Hwi Ching dan Lou Ping segera datang menghiburi sinona.
“Jenggot Panyang, Cerdik sekali kau, menghemat kaki. Ia tak kenal jalanan lagi. Bilak-biluk dan hampir-hampir tak dapat keluar,” seru Koayhiap.
Semua orang mengambil putusan, biar bagaimana tetap akan menCari sampai dapat si Ciauw Cong itu. Tapi yang menjadi kesulitan, adalah jalanandua di Kota Sesat yang membingungkan itu. Sekalipun Ceng Tong dan Thian Hong yang biasanya paling banyak sekali akal itu, saat itupun tak berdaya.
“Kalau saja kita punya dua ekor serigala, tentu bereslah...............”
Usul Thian Hong itu, disambut dengan senyum oleh Affandi. Sudah tentu Thian Hong merasa tak enak dan buru-buru menghampiri siorang Ui itu untuk minta tolong. Katanya:
“Kita semua sudah tak berdaya, harap LoCianpwe suka memberi petunjuk.”
Belum menjawab, Affandi sudah menuding kepada Hi Tong, katanya dengan tertawa: “PemeCahannya ada padanya. Mengapa tak suruh dia?”
“Aku?” Hi Tong melengak.
Affandi mengangguk, lalu mendongak keatas sambil tertawa panyang. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia terus melang kah kepunggung keledainya, dan pergi tanpa menoleh pula.
Bermula Thian Hong kira kalau Affandi memper-olokdua, tapi setelah dipikirkan sejenak, segera dia mendapat pikiran terang. Dalam kata-kata dan perbuatan Wan Ci selama ini nampak terselip “apa-apa”. Yangan-yangan soal Ciauw Cong itu ada ditangan sinona.
Dengan kesimpulan itu, Cepat ia mendapatkan Lou Ping dan membisikinya. Lou Ping pun seorang wanita yang Cerdas, seketika iapun dapat menangkap hal itu. Dengan mengambil semangkuk air dan sepiring dendeng kambing, dihampirinya Wan Ci.
“Li-moaymoay, kau memang hebat. Masa kau bisa terlolos dari tangan Ciauw Cong yang ganas itu?”
“Ya, waktu itu aku betul-betul Ceroboh. Aku lari sekenanya, asal bisa lolos saja, sehingga tak kukenal lagi jalananduanya. Syukur Tuhan melindungi diriku”.
Wan Ci, sinona Cedik itu, telah menduga bahwa Lou Ping tentu akan menanyakan jalanduanya nanti, maka lebih dulu ia telah memberi keterangan begitu.
Memang Lou Ping tadi sangsi apakah sinona itu sungguh-sungguh mengetahui akan tempat persembunyian Ciauw Cong. Tapi kini dengan sekali menyahut sinona telah “menghapus jejak”, diam-diam ia geli melihat sinona yang begitu liCin itu. Katanya: “Semua saudara-saudara kita sangat menginginkan sibangsat itu. Coba kau ingatdua betul, tentu akan dapat mengenal, jalanan itu”.
“Kalau saja pikiran tenang seperti biasa, tentu tak sampai begitu tolol tak ingat sedikitpun jua,” sahut sinona.
“Ayo, yangan ngambek nona manis,” kata Lou Ping lalu membisiki ketelinga sinona: “Apa yang kaukandung dalam hatimu itu, tahulah aku. Asal kau mau membantu kita orang, kitapun tentu akan menyelesaikan urusanmu itu.”
Selebar muka Wan Ci merah, sahutnya dengan suara lemah: “Tak ada orang yang sayang padaku lagi, mengapa aku begitu bodoh melarikan diri dari orang she Thio itu. Kan lebih baik binasa ditangannya.”
Melihat itu, Lou Ping kewalahan, lalu simpangkan pembiCaraannya: “Adikku, kau rupanya letih, minum dan mengasolah dulu.”
Setelah sinona mau menurut, Lou Ping segera mendapatkan Hi Tong dan berbiCara sejenak. Wajah pemuda itu kelihatan sungkan dari apa yang dibiCarakan dengan Lou Ping, giginya dikatupkan kenCangdua seperti orang berpikir keras. Akhirnya ia menepuk pahanya, katanya: “Baik untuk membalas budi Suhu, apapun aku menurut.”
Sementara itu, Wan Ci hanya pejamkan mata untuk mengaso. Ia tak hiraukan orang-orang itu, maka sekalipun Hi Tong maju menghampiri, tak sekali ia menggubris, kalau saja sianak muda itu tak membuka mulut.
“Li-sumoay, beberapa kali kau telah tolong jiwaku. Aku bukan seorang yang tak kenal budi. Kali ini kumohon kau suka membantu lagi,” kata Hi Tong.
Habis berkata, pemuda itu menjura.
“Hai, Ie-suko, mengapa berbuat begitu? Kita kan orang sendiri, Cukup menyuruhnya, masa aku tak mau?” sahut Wan Ci.
UCapan sinona itu terang mengandung ejekan, namun karena satuduanya jalan harus minta bantuannya, Hi Tong terpaksa bersabar.
“Ciauw Cong sibangsat itu, telah membunuh Suhuku dengan tidak se-matadua. Barang siapa yang dapat membantu untuk membalaskan sakit hatiku, disuruh jadi sapi atau kudanya, akupun rela.”
Diluar dugaan, Wan Ci menjadi gusar, pikirnya: “Ho, jadi kelak kalau kau memperisterikan aku, kau merasa seperti menjadi sapi dan kuda.”
Karena pikiran itu, hatinya menjadi tawar dan menyahut: “Dihadapan kita kan ada banyak sekali Enghiong dan Tayhiap. Disamping itu masih ada CongthoCu? mengapa tak kau minta bantuannya? Selama dalam perjalanan kau selalu menghindar, seolah-olah kalau melihat aku, kau bakal Celaka dan sibuk. Mana orang seperti aku begini, bisa membantu urusanmu? Kalau kau tidak menyingkir dari hadapanku, yangan sesalkan aku kalau nanti memaki kau dengan kata-kata yang kasar!”
Semua orang tadi masih duduk sembari berunding Cara untuk mengejar Ciauw Cong. Tak mereka hiraukan apa yang dibit j arakan oleh Lou Ping, Wan Ci dan Hi Tong. Tapi ketika dilihatnya Wan Ci ber-kata-kata dengan suara keras, mukanya merah padam, sementara Hi Tong tundukkan kepala ber-ingsutdua menyingkir, mereka menjadi heran.
Juga Thian Hong dan Lou Ping ketika mendapatkan Hi Tong' ketemu batunya, mereka saling pandang dengan senyuman keCut. Buru-buru Tan Keh Lok ditariknya kesamping dan diajaknya berunding dengan bisik-bisik.
“Sebaiknya kita minta Liok-loCianpwe untuk mengomonginya, tentu ia mau tunduk ..................”
UCapan ketua HONG HWA HWE itu diputus dengan jeritan kaget dari Ciang Cin dan Sim Hi. Keh Lok lekas berpaling dan dapatkan Kim Piauw dengan kalap sedang menubruk kearah Ceng Tong. Cepat sekali ketua itu melesat untuk menarik lengan musuh itu, tapi tak keburu. Juga Jun Hwa yang Coba menghadang, telah kena dijorokkan oleh Kim Piauw hingga terpental kebelakang.
“Bunuhlah aku!” seru Kim Piauw sembari meneryang. Karena terkejut dan marah, Ceng Tong tusukkan pedangnya kedada orang. Tapi ternyata Kim Piauw tak mau menghindar, malah terus menubruknya, hingga tak ampun lagi dadanya tertembus ujung pedang.
Tak sekali Ceng Tong mengira kalau orang itu berlaku begitu nekad. Buru-buru diCabutnya pedang, darah munCrat mengenai pakaiannya. Ketika orang-orang sama menghampiri, Kim Piauw sudah menggeletak. Haphaptai sibuk menolong, tapi ternyata tak dapat tertolong lagi.
“Penasaran, matipun aku penasaran!” Kim Piauw mengeluh.
“Lo-ji, kau minta apa?!” tanya Haphaptai. “Kalau aku bisa mencium tangannya, matipun aku puas!” Napas Kim Piauw ter-engahdua, matanya memandang Ceng Tong.
“Nona, dia. tengah dalam perjalanan ke dunia baka, kasihanilah............,” ujar Haphaptai.
Ceng Tong tak mau dengarkan habis uCapan Haphaptai, terus berlalu. Wajahnya pilas karena menahan amarah. Tan Keh Lok merasa kasihan, dan akan membujuk Ceng Tong, tapi nona itu makin menyingkir jauh-jauh.
Karena putus asa, Kim Piauw mengeluarkan elahan napas yang panyangi terus meninggal. Dengan menahan air mata, Haphaptai lonCat bangun menuding kebelakang Ceng Tong dan memaki: “Kau wanita yang kejam. Kau membunuhnya, aku tak menjalankan, karena ia memang jahat. Tapi untuk memenuhi permintaan orang yang sudah dekat ajalnya sebagai dia, mengapa kau keberatan?”
“Yangan ngaCo-belo saja, mengganggu ketenangan!” bentak Ciang Cin.
Tapi Haphaptai tak ambil pusing, terus mendamprat. Ciang Cin hilang sabar, lalu akan menghantam, tapi diCegah Hi Tong.
Dan pada saat itu, Hwi Ching tampil kemuka, serunya: “Kaupunya Ciao Bun Ki samya itu, akulah yang membunuhnya. Tak ada sangkut pautnya dengan lain orang. Perserikatan Kwantong Liok Mo, kini hanya tinggal kau seorang. Kita mengetahui kau seorang jujur, sehingga segan mengganggu. Sekarang pergilah, kalau kelak kau akan menuntut balas, Carilah. aku.”
Tanpa menjawab, Haphaptai memondong mayat Kim Piauw, terus berlalu. Hi Tong mengambil sebuah kantong air, sebuah kantong makanan dan seekor kuda.
“Hap-toako, aku dapat menghormati kau sebagai seorang lakidua. Kuda ini, harap kau suka terima,” kata Hi Tong.
Haphaptai mengangguk, lalu letakkan mayat Kim Piauw diatas kuda. Hi Tong menuang semangkok air, diminumnya separoh, lalu diberikan pada Haphaptai dan katanya pula:: “Air mengganti arak, Sebagai tanda perpisahan.”
Haphaptai meminumnya, Hi Tong mengeluarkan seruling emasnya. Alat itu sekalipun kena terbabat Ciauw Cong, tapi masih dapat dibunyikan. Hi'; Tong mulai meniup. Mendengar
Hi Tong meniup lagu “Padang rumput Mongolia,” tergeraklah hati Haphaptai. Diapun meniup terompet tanduknya.
Ketika didalam perahu diatas sungai Hoangho dahulu, waktu Haphaptai meniup terompet tanduknya, diam-diam Hi Tong menCatat dalam hati. Dengan lagunya tadi, Hi Tong hendak mengantar perpisahan untuk jago dari Mongol itu.
Begitu sunyi dan rawan irama lagu itu, sehingga orang-orang sama terpesona. Malah Hiang Hiang yang berperasaan halus itu, telah menguCurkan air mata. Lagu selesai, Haphaptai menyimpan terompetnya, tanpa berpaling lagi, ia terus menaiki kuda dan berlalu.
“Kedua orang itu adalah kaum lelaki sejati,” kata Lou Ping kepada Wan Ci sambil menunjuk kearah Hi Tong dan Haphaptai.
“Betul itu?” balas Wan Ci.
“Ya. Dan mengapa kau tak mau membantu kepentingannya?”
“Kalau aku dapat, tentu bersedia,” Wan Ci mengelah napas.
“Moaymoay, yangan mengelabuhi. Kalau sampai Liok-pehhu. memaksamu, kau pasti kurang enak,” Lou Ping tertawa.
“Yangan kata aku memang tak ingat jalanan itu, sekalipun bisa mengingatnya, kalau aku tak mau menunjuk-kan, habis mau diapakan? Sedari dulu, kaum wanita selalu berpegang pada dalil 'sam-Ciong-su-tek' (mengindahkan tiga perkara, menjalankan 4 hal). Dalam 'sam-Ciong' itu, tak ada disebut 'mengindahkan Suhu'.”
Lou Ping tertawa, katanya: “Ayah hanya mengajarku ilmu menggunakan golok dan menCuri barang. Ujardua Khong Hu Cu, sedikitpun tak kuketahui. Adik yang baik, Coba tuturkanlah, apa yang disebut 'sam-Ciong-su-tek' itu?”
“Su Tek atau 4 hal jakni: peribudi, lahirnyah, tutur bahasa dan keCakapan. Jelasnya, bagi kaum wanita yang pertama harus mengutamakan tingkah-laku peribudi. Setelah itu, memperhatikan perawatan jasmaninya, tutur kata dan urusan rumah tangga.”
“Oh, begitu,” Loui Ping tertawa, “aku CoCok, hanya soal lahirnyah tadi, adalah pemberian alam. Kalau ayah bunda melahirkan aku bermuka jelek, apa dayaku? Dan apa itu 'sam-Ciong'? “
“Kau pura-pura bodoh, tak sudi aku mengatakan,” tiba-tiba Wan Ci mengambili dan melengos.
Dengan tertawa, Lou Ping lalu mendapatkan Hwi Ching untuk memberitahukannya.
“Sam-Ciong” adalah tiga soal tata kesopanan, ialah: kalau belum menikah, seorang wanita harus turut pada orang tuanya. Setelah menikah, pada sang suami dan kalau suaminya meninggal harus ikut pada sang anak. Inilah ajaran Khong Cu yang berlaku pada keluargadua kaum pembesar. Bagi kaum kangouw seperti kita, tak memusingi hal itu,” menerangkan Hwi Ching.
“Memang demikianlah”, Lou Ping tertawa “Turut pada ayah bunda,, itu sudah selajaknya. Tapi untuk menurut pada, suami, harus ditimbang dulu baik tidaknya. Suami meninggal, lalu mengikut anak, itu lebih luCu lagi. Andaikata anaknya masih kecil, apa juga mesti diturut?”
“Muridku itu memang aneh perangainya, kau kira apa ia sungguh-sungguh tak mau menunjukkan jalanan itu?” tanya Hwi Ching.
“Kutahu maksudnya. Karena belum menikah, ia hanya mau mendengar perintah ayahnya saja. Tapi Li-Ciangkun berada di. HangCiu yang begitu jauh dari sini. Taruh kata dia disini, belum tentu akan dapat, membantu kita. Kini hanya terbuka jalan yang kedua itu”.
“Yang kedua?” buru-buru Hwi Ching menyanggapi. “Ia 'kan belum bersuami”.
“Ai, itulah!” Lou Ping tertawa, “kita harus Carikan pasangan untuknya. Dengan perintah suaminya, ia pasti menurut disuruh menunjukkan jalan”.
Hwi Ching tersedar. Memang siangdua urusan muridnya itu sudah diketahuinya. Sutitnya, Hi Tong, pun pantas dnyadikan jodohnya. Semula memang sudah ada niat itu dalam hati Hwi Ching. Soalnya hanya tunggu waktu yang baik, apabila, urusan sudah selesai. Rupanya hal itu tak boleh ditunda lama-lama.
“Oh, jadi yang dimaksud dengan 'sam-Ciong-su-tek' itu, adalah untuk urusan itu. Mengapa tak kau terangkan dengan singkat saja?” Hwi Ching menyomel girang.
Keduanya berunding dengan Tan Keh Lok, lalu memanggil datang Hi Tong, dan ditetapkannya. Thian-ti-koayhiap akan di minta menjadi wali dari fihak mempelai lakidua sedang wali dari fihak perempuan adalah Thian-san Siang Eng berdua.
“Liok-laoko, benar-benar kau kewalahan pada muridmu itu, sampai kita semua ini tak berdaya,” Koayhiap tertawa tergelakdua demi mendengar keputusan itu.
Selesai bermupakat, lalu mereka menghampiri Wan Ci.
“Wan Ci, telah bertahundua aku berkumpul dengan kau sebagai Sunu dan murid. Hubungan kita sudah seperti ayah dan anak. Seorang gadis seperti kau berkelana diluaran, sungguh menjadi pikiranku saja,” demikian kata Hwi Ching.
“Ayahmu tak berada disini, terpaksa kugunakan hakku sebagai ayahmu untuk menCarikan 'tempat berteduh bagimu',” kata Hwi Ching pula.
Wan Ci tundukkan kepala tak menyahut.
“Suko-mu, Hi Tong, sejak Suhunya dibinasakan orang, kini menjadi tanggunganku. Nanti setelah kamu berdua terangkap jodoh, tentu bisa saling merawati. Jadi biarlah aku dapat meletakkan bebanku,” kembali Hwi Thing mengomongi.
Kesemuanya itu, sebenarnya sudah dalam hitungan Wan Ci, namun dimuka sekian banyak sekali orang, tak urung ia merah padam ke-maluduaan, jawabnya dengan suara pelahan; “Terserah pada Suhu, aku tak berani mengambil putusan sendiri.”
“Ah, kau masih pura-pura enggan?” tiba-tiba Ciang Cin me-nyelatuk. “Ketika di Thian Bok San kita ubek-ubekan Cari padamu, kiranya kau bersembunyi di ..................”
Ciang Cin tak dapat melanjutkan kata-katanya, karena mulutnya segera didekap Jun Hwa.
“Ayahmu pernah menahan Ie-sutit dikediamannya sampai sekian lama, tentunya ia sudah menjatuhkan pilihannya. Baik sekarang kita bikin penetapan dulu, kelak kita beritahu ayahmu, dia pasti girang,” kata Hwi Ching.
Wan Ci tetap tundukkan kepala tak menyahut.
“Ya, sudahlah, Li-moaymoay setuju. Sipsute, kau mau kasih panjer apa?” segera Lou Ping menengahi.
Hi Tong merabah badannya, hanya uang perak yang ada. Dia gelisah. Ketika meneruskan merabah, tangannya menyinggung potongan seruling emas yang dipapas Ciauw-Cong. Pikirnya, kalau bertemu dengan tukang mas, akan disambungnya lagi.
“Liok-susiok, Siaotit tak punya barang apa-apa. Tapi potongan seruling ini adalah dari bahan emas murni,” katanya kepada Hwi Ching.
“Bagus, pada hari bahagia kamu berdua nanti, kedua belah potongan seruling ini nanti disambung jadi satu,” ujar Hwi Ching tertawa.
Semua orang gagah, segera memberi selamat pada Calon mempelai berdua. Wan Ci tak mau menerima potongan seruling itu, tapi Lou Ping memaksanya.
“Dan kau mau serahkan apa?” tanya Lou Ping.
Kegembiraan Wan Ci nampak pada wajahnya yang berseridua, tertawalah ia: “Aku tak punya apa-apa”.
“Wan Ci, senjata rahasia kepunyaanmu itu bukankah dari emas juga?” sela Hwi Ching tertawa.
“Benar!” Lou Ping bertepuk tangan, lalu menyamber senjata rahasia itu (hu-yong-Ciam) dan diserahkan 10 batang pada Hi Tong.
“Inilah benar-benar yang disebut 'jodoh yang aneh dari jarum dengan seruling',” seru Keh Lok.
Melihat semua gembira, Hiang Hiang menanyakan Tan Keh Lok, dan ketika diberitahukan, Hiang Hiang pun turut girang. Segera ia melolos CinCin batu giok putih dari jarinya, ia memakaikannya kedalam jari Wan Ci, selaku tanda memberi selamat.
Juga Ceng Tong tak mau ketinggalan menghaturkan selamat. Tapi dalam hatinya, nona Ui itu mengeluh: “Andaikata kau tidak menyaru seorang lelaki, tentu keadaanku tidak sampai begini!”
Dalam suasana kegirangan itu, diam-diam Koayhiap dan Thian-san Siang Eng memperhatikan wajah Tan Keh Lok. Tadi tegas diketahuinya bagaimana orang muda itu begitu Cemas dan buru-buru bertindak ketika Kim Piauw menyerbu kepada Ceng Tong. Dan kini anak muda itu berada disamping kedua nona Ui sedang pasang omong dengan gembira. Kalau ditilik dari situ, terang dia bukan sebangsa orang yang tak kenal budi, atau dapat baru, lantas buang yang lama.

Selesai bertukar panjer, semua orang menyingkir. Setelah berduaan dengan Calon isterinya, Hi Tong berkata: “Li-su-moay, dimanakah sebenarnya bangsat itu?”
Wan Ci mendongkol sekali atas sikap tunangannya yang takmau tahu perasaan seorang gadis itu. Sekali membuka mulut, soal Ciauw Cong yang ditanyakan.
“Mana aku tahu,” sahutnya ketus.
Hi Tong berpikir sejurus, tiba-tiba dia berkui (jongkok) dan manggutkan kepalanya ketanah sampai tiga kali, ia menangis: “Dulu aku adalah seorang SiuCay yang miskin, beruntung Suhu telah menerima aku menjadi murid dan menurunkan ilmu silatnya. Belum aku dapat membalas budinya itu, beliau telah dibinasakan seCara hina oleh Thio Ciauw Cong. Li-sumoay, mohon kau sudi memberi bantuan.”
Hal itu sungguh diluar dugaan Wan Ci, siapa buru-buru mengangkatnya bangun, lalu memberikan saputangan seraya berkata dengan lemah lembut: “Bersihkanlah- airmataku, lekas, mari kuantar kesana.”
Tepat dengan kata-kata itu, terdengarlah suara tepukan tangan dan Lou Ping lonCat keluar terus menyanyi: “SiuCay kecil, bukan takut karena berwajah jelek, hanya takut kepada isterinya, sehingga buru-buru manggutduakan kepala!”
Selebar muka Wan Ci merah padam saking malunya, dan terus berosot lari kedalam. Sebaliknya Hi Tong terlongong-longong.
“Lekas kejar sana!” seru Lou Ping.
Tanpa berajal, Hi Tong lantas mengejar. Lou Ping berteriakdua pula dan yang per-tamadua datang adalah Bun Thay Lay, siapa juga ikut meneriaki orang-orang untuk diajak ikut kemana arah larinya Wan Ci.
Dilain pihak ketika Wan Ci tak nampak kembali, Ciauw Cong segera makan rangsum kering, pikirannya Cemas memikirkan jalan untuk lolos, dan bagaimana dia akan Cari kawan untuk menumpas gerombolan HONG HWA HWE nanti.
Pikirannya makin jauh melayang: Wan Ci adalah puteri seorang Ciangkun, seorang gadis yang elok parasnya. Sedang dirinya sampai pada saat itu masih tetap membuyang, kalau sampai dia dapat memperisterikannya, tentu akan lebih semaraklah hidupnya. Berjasa dan mempunyai seorang isteri yang Cantik, lagi seorang puteri pembesar tinggi.
“Perjalanan ke HangCiu sangatlah jauhnya, selama itu kalau bisa berhasil mempedayainya, urusan belakang mudahlah.”
Selagi dia asjik membuat renCananya itu, tiba-tiba didepannya berkelebat sebuah bayangan. Bukan main girangnya Ciauw Cong ketika orang itu ternyata Wan Ci adanya, siapa nampak tertawa riang.
Buru-buru Ciauw Cong maju menyambutnya, tiba-tiba dari belakang sinona melesat maju seorang yang terus meneryangnya. Dalam kagetnya, Ciauw Cong masih bisa menghindar mundur, tangannya kiri dikerjakan dalam gerak “menyingkap awan melihat matahari,” ia menebas kesamping. Orang itu menyusup kebawah, seruling ditangan kanan dan dua buah jari ditangan kirinya, berbareng menyerang dada.
Ketika dilihatnya sipenyerang itu adalah Kim-tiok siuCay Ie Hi Tong, murid dari mendiang Suhengnya, berCekatlah hati Ciauw Cong. Namun ia tak tinggal diam, tangan kanan menangkis dengan “kabut putih melintang disungai,” tangan kiri berbareng menyerang kemuka. Sewaktu Hi Tong berkelit, tahu-tahu punggungnya sudah dnyambak Ciauw Cong terus dilontarkan keatas gunung.
Terkejut sekali Wan Ci. Tanpa hiraukan apa-apa lagi, ia terus akan meneryang Ciauw Cong. Tapi berbareng dengan itu, dibelakangnya terasa ada angin menyambar, dan seseorang telah mendahuluinya lonCat menyanggapi tubuh Hi Tong, terus dibawanya mundur. Sewaktu mengenali bayangan itu adalah Suhunya, sementara itu wajah Wan Ci sudah puCat lesi, hatinya memukul keras.
Dan pada lain saat, dalam sekejap saja, Ciauw Cong telah dipagari dengan belasan orang. Kini insyaplah dia, bahwa saat-saat kematiannya sudah didepan mata. Tiba-tiba ia memutar badan, tapi seCepat itu, dua, bayangan melesat dari samping untuk menCegat. Yang seorang, adalah Thian-ti-koayhiap, dan satunya Tan Ceng Tik.
“Orang she Thio, kau masih mau apa lagi? Ayo, ikut kami!” Hwi Ching berseru dari belakangnya.
Tahu kalau dirinya bakal tak dapat lolos, masih Ciauw Cong perdengarkan jengekan, ia membalik tubuh menyerah dan berjalan keluar. Liok Hwi Ching, Tan Keh Lok, Bun Thay Lay, Hwe Ceng Tong dan lain-lain. berjalan disebelah muka, sedang Thian-ti-koayhiap, Tan Ceng Tik, Kwan Bing Bwe dan lain-lain.nya dari sebelah belakang. Jadi Ciauw Cong diapit di-tengah-tengah dan dibawanya keluar.
Bermula. Ciauw Cong mengira kalau Wan Ci sudah kurang hati-hati sehingga kesamplokan dengan mereka. Tapi ketika dilihatnya nona itu gembira dan tersenyumdua sambil omong-omong dengan Lou Ping, tahulah dia kalau sudah kena dijual. Marahnya bukan kepalang. Dan saking menahan hawa amarah itu, hampir-hampir dia pingsan. Namun sedapat mungkin dikuatkan hatinya, sambil mengeretek gigi.
“Awas, kau, budak hina yang menjual diriku!” ia menyumpah.
Hampir petang, mereka sudah keluar dari Kota Sesat itu. Tan Keh Lok menyerahkan bandringan 'tiam-hiat-Cu-soh' kepada Ciang Cin dan Sim Hi supaya mengikat orang tawanannya.
Tapi ketika Ciang Cin menyambuti tali bandringan itu, tiba-tiba Ciauw Cong menggerung terus memberosot maju menghampiri Wan Ci. Sekali tangannya diulur, tangan sinona telah teringkus, leng-bik-kiam direbut berbareng dengan sekuat-kuat tenaganya ia menghantam punggung sinona.
Wan Ci Coba menghindar kesamping, tapi sudah tak keburu. Lengannya kiri, kena kepelan Ciauw Cong yang dahsyat itu.
“Prakkk!” Lengan itu patah dan pukulan kedua menyusul pula.
Kejadian itu berlangsung dalam waktu yang Cepat sekali, sehingga Hwi Ching tak keburu menolong, baik ketika leng-bik-kiam direbut maupun waktu lengan muridnya dihantam patah. Tapi untuk penyerangan Ciauw Cong yang kedua itu, jago Bu Tong Pai itu sudah dapat bertindak dengan tepat, ia menghantam pelipis Ciauw Cong, mengarah jalan darah “thay-yang-hiat.”
Ciauw Cong kibaskan sebelah tangannya, “plak,” dua tangan saling beradu dan Dua-duanya mundur beberapa tindak. Sejak keluar dari perguruan, sudah lebih dua0 tahun mereka tak pernah saling menguji kepandaian. Kini dengan samadua tergetar tangannya, masing-masing saling mengakui keunggulan lawan, efabanding ketika masih ditempat perguruan, jauh sekali bedanya.
Wan Ci luka parah, ia menggeletak ditanah. Lou Ping buru-buru menolongnya, tapi karena tak tertahan sakitnya, nona itu pingsan. Koayhiap ambil sebutir pil, dimasukkan kemulut nona yang sial itu.
Melihat perbuatan Ciauw Cong yang masih begitu kejam itu, semua orang gagah gusar dan rapat-rapat mengepungnya. Tahu kalau bakal binasa, Ciauw Cong mengambil keputusan hendak mati seCara gagah. Maka Dengan palangkan pokiam didada, dia berkata dengan jumawa: “Kamu hendak maju berbareng atau satu persatu? Kurasa lebih baik maju berbareng saja '.”
“Apa kepandaianmu, begitu sombong kau? Mari aku dulu yang melayani!” Ceng Tik tak kuat hatinya.
“Tan-loyaCu, dengan diriku dia mempunyai permusuhan sebesar lautan, idinkan aku yang pertama maju,” Bun Thay Lay meminta.
“Dia membinasakan Suhu seCara keji, meskipun kepandaianku Cetek, tapi biarlah aku yang lebih dulu. Bun-suko, kalau aku kewalahan, baru kaulah yang menyanggapi,” Hi Tong tak mau mengalah.
Begitu hebat rasa kebencian orang-orang itu pada Ciauw Cong, hingga mereka berebutan mau menghajarnya. Akhirnya Tan Keh Lok usulkan supaya diundi.
“Dia bukan lawanku, aku tak ikut berundi,” kata Koayhiap.
“Tapi kita ini bukan lawannya, maka aku, Suso, Kiu-te, Sip-te, Sipsute dan Sim Hi mengambil satu undian saja. Nanti kami berenam tempur dia,” kata Thian Hong.
Ciauw Cong tak sabar lagi, katanya: “Tan tangkeh, ketika di HangCiu kita telah berjanji hendak pi-bu. Kini apakah janji itu masih berlaku?”
Tan Keh Lok tahu kalau orang maukan dirinya lebih dulu. Maka jawabnya: “Benar, karena di Pak-kao-nia tanganmu terluka, maka kita pertangguhkan janji itu sampai tiga bulan. Tepat kalau hal itu kita selesaikan hari ini.”
“Nah, bagaimana kalau kutemani Tan-tangkeh lebih dulu, baru nanti lain-lain isaudara-saudara” kata Ciauw Cong.
Sudah beberapa, kali Ciauw Cong bertempur dengan Tan Keh Lok, tahu-kalau dirinya lebfiOCnggul setingkat. Maka pikirnya, sekali dapat dia ringkus anak muda itu, tentu terbukalah jalan lolos atau kalau tak mungkin meringkus, akan dihabisinya jiwa lawannya itu. Tan Keh Lok adalah ketua HONG HWA HWE kematiannya Cukup berharga dibajar dengan jiwanya sendiri.
Tapi pikiran Ciauw Cong itu dapat ditebak oleh Thian Hong.
“Untuk menangkap bangsat semacam dirimu, mengapa CongthoCu perlu kotorkan tangannya? Dan persaudaran HONG HWA HWE kita ini dianggap apa? Kiu-te, Sip-te, Sipsute, Ayo kita ringkus dia!”
Atas seruan Thian Hong itu, Jun Hwa, Ciang Cin, Hi Tong dan Sim Hi segera lonCat maju. Ciauw Cong tak gentar, malah ia tertawa lebardua.
“Tadinya kukira meski HONG HWA HWE adalah gerombolan rahasia yang menentang undangdua, tapi mereka menjunjung peraturan kangouw. Tapi, huh, kiranya hanya kaum bebodoran belaka!” ejeknya.
“Chit-ko, kalau belum kalah atau menang dengan aku, rupanya matipun ia 'kan penasaran,” sela Keh Lok. “Baiklah, orang she Thio, hendak kau tumplek seluruh kepandaianmu apa saja, yangan ngimpi kau bisa lolos. Nah, majuiah!”
Ciauw Cong tak sungkan lagi terus melolos leng-bik-kiam, ujarnya: “Itulah bagus, mari keluarkan senjatamu!”
“Mengalahkan kau dengan senjata, apa dapat disebut seorang enghiong? Cukup kalau aku bertangan kosong saja!” balas Keh Lok.
Ciauw Cong girang sekali, kesempatan itu tak mau dilewatkan begitu saja, katanya: “Bagus, kalau dengan pedang tak dapat kukalahkan kau, aku segera bunuh diri, tak perlu kau orang turun tangan lagi. Tapi kalau menang, apa katamu?”
“Tentu saja lain-lain Cianpwe dan saudara-saudara yang ada disini yang menggantikan melayanimu. Kutahu, kau ingin benar jawabanku: 'Kalau menang, kau boleh berlalu'. Hahaha, sampai detik ini belum kau menginsyapi bahwa kejahatanmu itu sudah keliwat dari takerannya?” sahut Keh Lok.
“Mati dan hidup itu adalah takdir. Hina dan mulia sudah ada suratan nasib. Bagiku, orang she Thio, tak terlalu pandang berat soal kematian,” Ciauw Cong menghardik.
“Didalam terowongan tanah dimarkas HangCiu Ciang-kun, Bunsuya dan aku telah menangkap dan kemudian mengampuni jiwamu. Di Pak-kao-nia dan dimarkas besar Ciangkun Tiau Hwi dua kali sudah kami ampuni lagi jiwamu. Barudua ini, kembali kami tolong jiwamu dari sergapan kawanan serigala. Bukankah HONG HWA HWE Cukup melepas budi padamu. Tapi kau tetap tak merobah kejahatanmu. Nah, hari ini biar bagaimana juga, tak ada ampun lagi untukmu.”
“Kau serang dulu, aku akan mengalah 4 kali tanpa membalas seranganmu,” kata Ciauw Cong.
“Baik!” seru Keh Lok seraya maju mengiring kedua kepelannya.
Cepat Ciauw Cong mendek kebawah menghindar, tanpa mau membalas. Keh Lok menyapu dengan kaki. Ketika Ciauw Cong lonCat keatas, Keh Lok; menyusuli dengan tendangan “Wan-yang-lian-hoan-thui,” iterus menyapu lagi.
Menurut gerakan ilmu silat pada umumnya, kalau musuh menghindar dengan lonCat keatas, kalau hendak menyusuli serangan, kebanyak sekalian tentu menyerang bagian tubuh, supaya lawan tak dapat menghindar lagi. Tapi tidak demikian dengan gerakan Tan Keh Lok. Dia menyusuli tendangan tadi, terang bakal menendang tempat kosong, karena tidak menurut peraturan ilmu silat. Tapi anehnya jatuhnya Ciauw Cong dari lonCatannya keatas tadi, tepat dalam posisi arah tendangan Tan Keh Lok itu. Itulah keajaiban dari “peh-hoa-jo-kun,” ilmu silat gerakan-salah dari seratus bunga.
Koayhiap yang berdiri disamping, puas sekali hatinya sewaktu melihat murid kesayangannya dapat menggunakan ilmu silat Ciptaannya dengan indah sekali. Dia berpaling kearah Kwan Bing Bwe dan berkata: “Bagaimana?”
“Luar biasa sekali!” Ceng Tik menyanggapi.
Karena tak berdaya menghindari serangan lawan yang aneh itu, Ciauw Cong terpaksa mengirim sekali tusukan pokiam kedada orang. Buru-buru Tan Keh Lok tarik kakinya sembari miringkan tubuh untuk berkelit.
“Bangsat tak punya malu. Katanya mengalah 4 kali, mengapa balas menyerang?” Ciang Cin memakinya.
Ciauw Cong tak ambil pusing, sekali leng-bik-kiam berkelebat, terdengarlah deru angin dari serangan pokiam kekanan-kiri lawan.
Hwi Ching terkesiap, pikirnya: “Ilmu pedangnya sudah menCapai kesempurnaan. Dalam usia sama, mungkin Suku dulu tak selihai dia!”
Jago tua ini tetap bersiaga dengan pedang ditangan. Dia mengawasi gerakan Tan Keh Lok dengan seksama. Begitu ketua HONG HWA HWE itu kesalahan tangan, dia akan turun tangan dengan lantas.
Tapi ternyata pertempuran makin lama makin seru. Sesosok tubuh Tan Keh Lok seolah-olah merupakan sebuah bayangan yang berkelebatan diantara sinar pedang Ciauw Cong. Betapa lihai ilmu pedang ju-hun-kiam Ciauw Cong, namun dalam beberapa saat itu, dia tak dapat segera menarik keuntungan.
Sementara itu Hi Tong dan Lou Ping memayang bangun Wan Ci, siapa pun sud^h sadar. Hanya rasa nyeri dari lukanya itu, membuatnya meringis. Tapi sesaat diketahuinya Hi Tong menunyangnya, terhiburlah hatinya.
“Nanti Liok-susiok tentu dapat menyambung tulang lenganmu. Kau tahankanlah!” menghibur Hi Tong.
Wan Ci bersenyum dan kembali pejamkan mata.
“Ci, mengapa dia tak pakai senjata?” tanya Hiang Hiang sambil tarik tangan taCinya. “Apakah dia pasti akan menang?”
“Tak perlu kuatir, disini masih banyak sekali Kawan-kawan lain,” sahut Ceng Tong.
Juga seluruh perhatian Sim Hi diCurahkan kepada bekas siaoyanya. Hampir-hampir boCah ini tak dapat kendalikan napsunya untuk membantu. Nona, katakanlah sebenarnya, apa KongCu tidak berbahaya?” tanyanya pada Ceng Tong.
Teringat akan kejadian dulu, Ceng Tong deliki mata dan melengos tak menghiraukan. Sim Hi gugup, hendak dia minta maaf kepada Ceng Tong, namun berat rasa sang mata untuk tinggalkan KongCunya.
Sepasang mata Bun Thay Lay yang bundar tak terkesip memandang ujung leng-bik-kiam. Siang-kao Jun Hwa yang terpapas kutung ujungnya, masih tetap dipegangnya, siap untuk memberi bantuan.
Lou Ping pun siapkan tiga batang hui-to, matanya tetap ditujukan kearah punggung Ciauw Cong.
Saat itu mataharj sudah Condong disebelah barat. Sinarnya memanCarkan warna kuning dipermukaan pasir. Kembali Wan Ci membuka mata, tiba-tiba ia menjerit pelan, tangannya menuding kesebelah timur. Ketika Hi Tong memandangnya, ternyata disebelah muka terbentang suatu pemandangan yang luar biasa. Sebuah rawa besar, airnya beriak ke-biruduaan. Ditepi rawa itu berdiri sebuh pagoda putih, yang atap-nya berkredepan. Itulah pemandangan sebuah kota.
Hi Tong tersentak bangun tapi dia segera teringat akan ,,fata morgana,” suatu pemandangan hajal yang sering terjadi dipadang pasir.
“Apakah kita sudah kembali di HangCiu?” tanya Wan Ci.
“Itu hanya Cakrawala disenja kala. Pejamkanlah matamu untuk mengaso,” sahut Hi Tong.
“Tidak, pagoda itu adalah pagoda Lui-nia-tha di HangCiu. Aku pernah diajak ayah kesana. Ayah, dimana ayahku?” berkata pula sigadis.
Bahwa Hi Tong setuju dengan soal perkawinan tadi, adalah karena terpaksa untuk membalaskan sakit hati sang Suhu. Tapi kini serta dilihatnya bagaimana sinona dalam keadaan luka parah menggigau tak sadar, timbullah rasa kasihannya.
“Kita akan kesana sekarang, kita nanti samadua menghadap ayahmu,” kata Hi Tong sambil menepuk bahu sinona pelahan-lahan.
“Kau ini siapa?” tiba-tiba Wan Ci tersenyum.
Mata Wan Ci yang memandang dengan tak terkesip itu, membuat Hi Tong Cemas, buru-buru ia menyahut: “Aku adalah Ie-sukomu. Malam ini kita bertunangan, kelak aku tentu menjagamu baik-baik .”
“Hatimu tak menyukai diriku, aku tahu. Lekas bawa aku kepada ayah, ajalku sudah dekat,” Wan Ci menangis. Kemudian ia menunjuk ke 'fata morgana' tadi, dan berkata pula: “Ah, itulah Se-ouw, disana ayahku menjabat Ciang-kun, ia ............ ia bernama ............ Li Khik Siu. Apa kau mengenalnya? “
Hi Tong mengeluh. Teringat dia akan budi kebaikan sinona yang telah beberapa kali menolong jiwanya, tapi ia selalu bersikap tawar saja. Apa jadinya kalau nona itu sampai meninggal. Saking pepat hatinya, seketika dipeluknya nona itu, bisiknya: “Aku sangat mengasihimu. Kau tak nanti meninggal.”
Wan Ci mengelak napas.
“Lekas katakanlah: 'tak nanti aku meninggal'!” Hi Tong mengulangi.
Tapi luka Wan Ci terasa sakit kembali, dan pingsanlah ia.
Pada saat itu, Ciauw Cong masih bertempur seru dengan Tan Keh Lok, hingga sampai ratusan jurus. Bermula menghadapi “peh-hoa-jo kun” Tan Keh Lok, Ciauw Cong tampak keripuhan. Sekalipun dia bersenjata musuh tidak, tapi tak berani dia merangsek. Sembari menangkis serangan lawan yang aneh itu, ia t jari lubang untuk menawannya hidup-hidup. Sudah begitu, ia perhatikan bagaimana Hwi Ching, Lou Ping, Ceng Tong dan lain-lain sama siap dengan senjatanya masing-masing. Maka lebihdua makin rapat ia memainkan senjatanya, untuk menjaga kemungkinan dibokong. Karena pikirannya harus memperhatikan kekanan kiri, ia tak dapat segera menyelesaikan pertempuran itu.
“Kalau terusduaan begini, payahlah! Dengan siasat bergantian orang, sekalipun tak sampai dapat membunuh aku, tapi aku tentu mati konyol keCapean”, pikir Ciauw Cong.
Dalam pada itu, ia mulai kenal baik akan gerak-gerakan “peh hwa jo kun”. Hatinya mulai besar. Dan tiba-tiba ia robah permainannya dengan ilmu pedang “ju hun kiam”. Setiap jurusnya, adalah menyerang, sehingga beberapa kali tampak Tan Keh Lok harus mundur.
Pada lain saat, dengan gerak “sungai perak bergemerlapan”, leng-bik-kiam membabat turun, bagaikan bunga api berhamburan dari udara, menabur tubuh Tan Keh Lok, siapa karena tak ungkulan menangkis, terpaksa lonCat keluar kalangan. Dari situ ia akan maju menyerang lagi, tapi. Jun Hwa dan Ciang Cin telah mendahului meneryang.
Jurus “sungai perak bergemerlapan” tadi. belum selesai, maka dengan berhamburan sinarnya leng-bik-kiam. Jun Hwa dan Ciang Cin kena dilukai. Bun Thay Lay menggerung keras terus akan maju, tapi Tan Keh Lok telah melesat dulu menghantam muka Ciauw Cong. Kelihatannya pukulan itu tak bertenaga, tapi datangnya telak sekali, sehingga kemana Ciauw Cong akan menghindar atau menangkis, tetap tak keburu.
“Plak, plak!” Merah padam selebar muka Ciauw Cong karena tamparandua itu. Dia mundur tiga tindak, matanya melotot gusar. Juga semua orang sama heran mengapa dalam kekalahannya tadi, Keh Lok dapat menampar muka lawan. Dan membarengi kesempatan itu, Jun Hwa dan Ciang Cin mundur keluar. Lou Ping dan Sim Hi membalut luka mereka.
“Sipsute, tolong kau tiupan sebuah lagu”, tiba-tiba Keh Lok berkata kepada Hi Tong.
Hi Tong kaget dan malu, buru-buru diletakkannya Wan Ci, lalu menyembat serulingnya. Tanyanya: “Lagu apa?”
“Meskipun Pa Ong itu gagah, tapi akhirnya dia binasa disungai Oh Kang. Nah, kau tiupkan lagu 'sip-bin-bay-hok' (pengepungan dari 10 penjuru),” sahut Keh Lok.
Hi Tong tak menerti maksud orang. Tapi karena perintah pemimpinnya, dia segera meniup. Nada suara seruling emas memang lebih nyaring dari seruling bambu. Maka segera terdengarlah lagu yang menggambarkan suasana derap kaki beribu, serdadu berjalan.
Keh Lok rangkap kedua tangannya dan berseru: “Majulah!” — Habis itw, tubuhnya berputar sekali, kakinya pura-pura menendang, seperti orang menari, Melihat bagian belakang tubuh musuh tak terjaga, Ciauw Cong tak mau berajal lagi, terus menusuknya. Karena terkejut, orang-orang sama menjerit. Sekonyong-konyong tubuh Tan Keh Lok berputar balik dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menangkap ujung kunCirnya Ciauw Cong. Dan tepat dengan irama seruling Hi Tong, kunCir disentak kearah leng-bik-kiam. Segulung rambut hitam mengkilap, putuslah seketika. Dan sekali tangan kanan Tan Keh Lok menggaplok, kembali bahu Ciauw Cong termakan.
Ciauw Cong betul-betul heran dan penasaran. Tiga kali dia diserang, tanpa dapat berdaya. Dan yang terutama membikin hatinya berCekat, entah ilmu silat apa yang digunakan lawan itu. Rambut terpotong, bahu digaplok, sungguh 'wan-ong' sekali.
Namun Ciauw Cong seorang ahli silat yang tinggi ilmunya. Meski menderita, dia tak menjadi gugup. Mundur lagi beberapa langkah, dia tenangkan diri menunggu kedatangan musuh.
Kembali sesuai dengan irama lagu, Tan Keh Lok ber-indapdua maju. Gerakannya luar biasa.
“Lihat, itulah hasilnya dia belajar silat diperut gunung itu”, seru Ceng Tong dengan girang kepada adiknya.
“Gerak geriknya bagus benar”, Hiang Hiang bertepuk tangan.
Kembali kedua jago itu terlibat dalam pertarungan lagi. Dengan leng-bik-kiam Ciauw Cong bikin penjagaan dengan rapat. Asal musuh mendesak dekat, dia segera lawan dengan hebat. Lawan melonggar, dia tak mau terus menyerang dan hanya bikin penjagaan saja.
“Wan-toako, kini baru aku takluk betul-betul padamu. Kalau muridmu saja sedemikian lihainya, aku yang menjadi saudaramu tentu terpaut jauh sekali dengan kau,” kata Ceng Tik pada Wan Su Siau.
Thian-ti-koay-hiap tak menyahut, karena diapun merasa heran sendiri. Ilmu silat yang dimainkan Tan Keh Lok itu tidak saja bukan dari dia, tapipun belum pernah dilihatnya dikalangan persilatan.
Dahulu, karena patah hati, dia mengambil putusan akan mengabdikan hidupnya dalam ilmu silat. Dia merantau menCari guru diseluruh negeri, dia berguru pada semua Cabang persilatan. Dalam tempat persembunyiannya dipadang sahara, dia Ciptakan “peh hoa jo kun” yang merangkum semua ilmu silat dari berbagai aliran. Jadi dia itu terhitung jago nomor wahid karena kaja dengan pengalaman.
Tapi ilmu yang dipertunjukkan Keh Lok itu, betul-betul ia kewalahan tak dapat mengetahui namanya.
“Bukan aku yang mengajarkan itu, sebab aku tak mengerti ilmu itu,” akhirnya Koayhiap menyahut beberapa saat kemudian.
Thian-san Siang Eng Cukup paham akan sifat Koayhiap yang tak pernah justa itu. Maka keduanya pun merasa heran juga.
Irama seruling makin lama makin tajam dan riuh, seolahdua menggambarkan sepasukan kuda yang meneryang kenCangdua. Dan gerakan Tan Keh Lok pun makin linCah, makin lanCar. Berselang dua00 jurus kemudian, tubuh Ciauw Cong bermandikan keringat, pakaiannya basah kujup.
Tiba-tiba irama seruling meninggi, bagaikan bintang melunCur diatas udara, pecah dan berhamburan. Pada saat irama membising, Ciauw Cong menjerit. Lengan kanannya kena tertutuk, pokiamnya terlepas jatuh. Tan Keh Lok menyusuli lagi dua buah pukulan, tepat menghantam kepunggung lawan. Berbareng itu, ia tertawa keras, lalu mundur.
Dua buah pukulan itu, dikerahkan dengan tenaga lwekang yang penuh, maka dahsyatnya bukan kepalang. Ciauw Cong menundukkan kepala, tubuhnya sempoyongan seperti orang mabuk. Ceng Cin me-maki-maki terus hendak membaCoknya dengan kampak, tapi diCegah Lou Ping.
Ciauw Cong masih kelihatan sempoyongan lagi beberapa tindak, dan akhirnya roboh.
Orang-orang sama bersorak kegirangan. Thian Hong dan Sim Hi maju mengikatnya. Ciauw Cong mandah saja, mukanya puCat seperti kertas.
Hi Tong letakkan seruling, terus menghampiri Wan Ci, siapa masih belum sadarkan diri. Sudah tentu ia menjadi Cemas sekali.
“Suhu, Liok-loCianpwe, bagaimana kalau kita bawa penjahat ini?” tanya Keh Lok.
“Lempar saja untuk makanan serigala. Dia telah membinasakan Suhuku dengan kejam sekali, dan tadi kembali ............ kembali ............” sela Hi Tong terputus-putus.
“Ya, untuk makanan serigala, sekalian akan kita tengok bagaimana keadaan kawanan serigala itu,” kata Koayhiap.
Semua orang tak membantah, untuk kejahatan Ciauw Cong, memang dia pantas menerima hukuman itu. Hwi Ching obati lengan Wan Ci seperlunya. Sedang Koayhiap memberikan sebiji pil.
“Yangan kuatir, tunanganmu tentu sembuh,” dia menghibur Hi Tong.
“Peluklah, ia tentu merasa terhibur,” bisik Lou Ping dengan tertawa.
Demikianlah rombongan orang-orang itu menuju ketempat pengasingan serigala. Ditengah jalan. Thian-ti-koayhiap tanyakan tentang ilmu silat muridnya tadi. Keh Lok menCeritakan pengalamannya di istana perut gunung itu. Thian-ti-koayhiap ikut girang dan puji keCerdasan sang murid.
Lima hari kemudian sampailah rombongan itu ketempat yang dituju, yaitu benteng pasir. Melihat kebawah dari atas pagar dindingnya, tampak kawanan binatang itu tengah berebut menggeragoti bangkai kawannya sendiri, gegap gempita sama melolong. Memberikan pemandangan yang' ngeri sekali.
Hiang Hiang tak tahan, lalu turun untuk ber-Cakapdua dengan beberapa penjaga orang Ui.
Segera Hi Tong gusur Ciauw Cong ketepi dinding. Sebelumnya, diam-diam dia mendoa dalam hati: “Arwah Suhu dialam baka, sahabatmu dan TeCu hari ini telah dapat membalaskan sakit hatimu.”
Habis itu, ia mengambil golok Thian Hong untuk memapas tali pengikat tangan Ciauw Cong. Sekali tendang, Ciauw Cong terlempar kebawah. Kawanan serigala sedang menderita kelaparan hebat,' maka begitu ada sesosok tubuh manusia melayang, mereka segera melonCat untuk menerkamnya!
Dua buah pukulan Tan Keh Lok, telah menyebabkan Ciauw Cong terluka berat. Hanya karena ia seorang ahli lwekang yang lihai, maka setelah memelihara semangatnya selama lima hari dalam perjalanan, separoh bagian lukanya sudah sembuh.
Ketika ditendang jatuh kedalam kota serigala itu, dia sudah tak punya harapan hidup lagi. Tapi memang sudah menja,di sifat manusia, jeri mati. Sebelum mati berpantang ajal. Dalam saat-saat kematian dia berusaha untuk merebut hidup.
Ketika, hampir dekat ketanah 7 atau delapan ekor serigala besar sudah lonCat meneryang. Dengan sorotan mata yang ber-apidua, Ciauw Cong ulurkan kedua tangan untuk menCengkeram leher dua ekor serigala, terus dipotes. Sesaat itu, serigaladua itu mundur. Membarengi itu pelan-pelan dia. mendekati dinding dan tempelkan punggungnya disitu. Dengan memakai dua ekor serigala yang sudah setengah mati itu, ia mainkan jurus ilmu 'siang-jui' (sepasang palu besi) dari Bu Tong Pai. Anginnya sampai Menderu-deru , hingga dalam saat itu kawanan serigala tak berani mendekati.
Sekalipun benci akan perbuatan Ciauw Cong yang keliwat jahat, tapi dalam saat-saat menerima kematiannya itu, Tan Keh Lok, Lou Ping dan lain-lain. tak tega melihatnya, dan sama turun. Hwi Ching mengembeng air mata. Rasa kasihan terCampur rasa benci.
Sementara itu Ciauw Cong sudah memainkan jurus ke dua4 dari ilmu “siang-jui” itu, tiba-tiba dalam ingatan Hwi Ching terkilas kejadian pada tiga 0 tahun berselang...............
Pada masa itu Ciauw Cong masih kanak-kanak, Suhunya telah menerimanya sebagai murid. Seharidua Liok Hwi Chinglah yang mengurus keperluannya. Pernah keduanya diam-diam lari kebawah gunung untuk membeli guladua. Ketika itu Celana sutenya robek dan dialah yang menjahitkan. Ilmu pukulan besi “bo-kim-Chui” itu, dia pulalah yang mengajarkannya. Ciauw Cong ternyata berotak terang lagi giat belajar, hingga hubungan antara kedua Suheng dan Sute itu melebihi saudara putusan perut baiknya. Adalah tak dinyanadua, karena temaha uang dan pangkat, Sutenya itu telah terperosok makin dalam...............
Kini menampak Sutenya sedang menghadapi bahaya maut, tanpa merasa ia kuCurkan air mata, pikirnya: “Sekalipun dia itu keliwat busuk, tapi masih ingin kuinsyapkan pikirannya pada saat terakhir, supaya kesananya dia dapat berobah menjadi orang baik-baik .”
“Thio-sute, aku datang menolongmu!” tiba-tiba Hwi Ching berseru. Dan sekali enjot, tubuhnya melesat turun.
Semua orang kaget. Malah Bun Thay Lay yang berdiri disebelahnya, buru-buru akan menCegah, tapi tak keburu. Belum kaki Hwi Ching tiba ditanah, pek-liong-kiam sudah berobah menjadi lingkaran sinar, sehingga kawanan serigala itu menyingkir memberi jalan.
“Sute, yangan kuatir,” seru Hwi Ching pula.
Mata Ciauw Cong berCucuran darah, sekonyong-konyong serigala yang dipakai untuk senjata tadi dilempar, sekali mengenjot kaki, dia tubruk dan menyikap Hwi Ching malah.
“Kalau mati, biar kita mati bersama!” serimja kalap.
Sergapan Ciauw Cong itu sama sekali diluar dugaan Hwi Ching, siapa tak berdaya lagi dan peh-liong-kiamnya pun terlepas jatuh. Sekuatanya dia Coba meronta, tapi tak berguna. Melihat ada dua orang bergulatan, kawanan serigala serentak menyerbunya. Suheng dan Sute itu adalah ahli lwekang, keduanya sama mengerahkan tenaganya untuk membalikkan lawan keatas agar diterkam serigala lebih dulu.
Pantangan ahli lwekang ialah mengumbar nafsu amarah. Tapi karena melihat “air susu telah dibalas dengan air tuba” atau kebaikan dibalas dengan kekejian, meluaplah amarah Hwi Ching. Dan sekali hawa amarah itu naik keatas kepala, tangan dan kakinya menjadi lemas. Dengan jepitan tangan dari ilmu “kin-na-hoat,” Ciauw Cong telah melumpuhkan sang Suheng. Dan seCepatnya dia balikkan tubuh Suhengnya. keatas, untuk dnyadikan perisai.
Gemparlah suara seruan kaget dari rombongan orang-orang diatas. Bun Thay Lay dan Hi Tong serentak terjun kebawah. Bun Thay Lay putar goloknya untuk menghalau kawanan serigala. Sedang Hi Tong yang memegang golok Thian

Hong, terpaksa harus berjumpalitan dulu kakinya menginjak tanah, disebabkan tembok tadi keliwat tinggi sekali. Dia inCar pundak Ciauw Cong lalu membaCok sekuat-kuatnya.
Ciauw Cong mengeluarkan jeritan seram, kedua lengannya yang menyikap Hwi Ching itupun menjadi kendor.
Dari atas segera diturunkan tali. Hwi Ching, Hi Tong dan Bun Thay Lay dikereknya keatas. Ketika mereka menengok kebawah, orang-orang itu sama menyaksikan pemandangan yang ngeri. Kawanan serigala sedang berpesta pora dengan daging dan tulang belulang Hwe-Chiu-poan-koan Thio Ciauw Cong, murid ketiga dari Cabang Bu Tong Pai yang paling tangguh sendiri, dan kepala dari Gi-lim-kun kerajaan Ceng!
Saking ngerinya, semua orang sama kemekmek. Kemudian mereka tinggalkan kota serigala itu untuk beristirahat.
“Liok-pepek, peh-liong-kiammu masih ketinggalan dibawah sana bukan? Sayang!” kata Lou Ping.
“Tak apalah. Sebulan lagi, kawanan binatang itu akan sudah mampus semua. Waktu itu tentu bisa mengambilnya,” kata Koayhiap.
Malamnya mereka memasang kemah. Pada kesempatan itu, Tan Keh Lok tuturkan pertemuannya dengan Kian Liong pada Suhunya. BerbiCara soal barang bukti yang diminta oleh raja itu, Koayhiap segera mengambil keluar sebuah bungkusan kain warna kuning, lalu diserahkan pada sang murid, katanya:
“Musim semi tahun ini ayah angkatmu mengutus kedua saudara Siang menyerahkan buntelan ini padaku. Katanya, didalamnya terdapat dua buah benda berharga. Karena tak diterangkan benda apa, akupun tak pernah membukanya. Mungkin benda itu adalah yang dimaukan oleh raja tersebut.”
“Tentu begitu. Karena sudah meninggalkan pesan, maka kini TeCu akan membukanya,” kata Keh Lok.
Ternyata buntelan kain kuning terdapat bungkusan lapis tiga dari kertas minyak, disitu terdapat sebuah kotak kecil warna merah. Didalam kotak ada dua pucuk sampul, yang saking tuanya, warnanya berobah kuning. Sampul itu tak isannya.
Ketika surat dari salah sebuah sampul itu diambil, disitu terdapat dua baris huruf yang berbunyi sbb.:
Saudara Su Kwan jth.
Suruhlah orang membawa orok yang baru lahir tadi kemari untuk kulihatnya.
Tanda-tangan surat itu dari “YONG TT.”
Hurufnya indah.
“Apa maksudnya surat ini? Mengapa Gihu-mu menganggapnya begitu penting?” tanya Koayhiap.
“Ini adalah buah tulisan baginda Yong Ceng,” sahut Keh Lok.
“Bagaimana kau tahu?” Koayhiap melengak.
“Dirumah TeCu, banyak sekali sekali bukudua pemberian kaisardua Kong Hi, Yong Ceng dan Kian Liong. Karenanya TeCu dapat mengenali tulisannya.”
“Huruf tulisan Yong Ceng Cukup bagus, tapi mengapa rangkaian kalimatnya begitu kaku?” tanya Koayhiap.
“TeCu pernah membaca tulisannya dalam perintahdua yang disimpan almarhum ayah. Ada yang berbunyi: 'Tahulah'. Kalau mengatakan orang yang tak disukai, beliau sering menulis begini: 'Orang ini bermuka kembang, hati-hati terhadapnya!”
Thian Ti Koayhiap tertawa gelakdua, katanya: “Sekalipun surat ini Yong Ceng yang menulis, tapi kurasa tak ada apa-apanya yang penting.”
“Sewaktu menulis surat ini beliau masih belum menjadi Hongte,” kata Keh Lok pula.
“Ha, lagi-lagi kau tahu halnya!”
“Ya, tanda tangan “Yong Ti” itu, adalah sebutan, istana ketika dia masih menjadi pwe-lek (pangeran). Dan lagi, kalau sudah menjadi raja, tak nanti dia membahasakan 'saudara' pada ayahku.”
Koayhiap meng-angguk-angguk.
Keh Lok meng-hitungdua dengan jari. Merenung sebentar, lalu berkata: “Semasa Yong Ceng belum menjadi kaisar, aku masih belum lahir. Ji-ko juga belum. Cici lahir baru saja. Tapi dalam surat itu disebut 'puteramu yang baru lahir', he...............”
Tiba-tiba dia. teringat akan uCapan Bun. Thay Lay ketika berada dalam terowongan dulu, serta sikap Kian Liong selama ini. Seketika dia lonCat bangun, katanya: “Inilah bukti yang kuat.”
“Apa?” tanya Koayhiap.
“Yong Ceng telah menukar toako-ku dengan seorang baji perempuan. Anak perempuan itu adalah ToaCi-ku yang dinikahkan dengan Siang Su Ciang haksu. Sebenarnya ia adalah puterinya Yong Ceng sendiri. Toako-ku sendiri, ialah yang kini menjadi kaisar.”
“Kian Liong?” tanya Koayhiap dengan terkejut.
Keh Lok mengangguk, kemudian mengeluarkan surat dari sampul yang kedua. Nampak tulisannya, hatinya risau dan berCucuran air mata.
“Mengapa?” tanya Koayhiap.
“Inilah tulisan mendiang bundaku,” sahut Keh Lok dengan suara tak lampias. Dihapusnya air mata, dan memulailah ia membacanya:
“Kanda Kok yang budiman, dalam hidup sekarang ini, kita berdua, tak dapat berjodoh. Itulah sudah suratan nasib. Tak dapat dilawan. Apa yang kupikirkan selalu jalah seorang ksatria sebagai engko terpaksa harus diusir dari perguruan hanya karena urusanku.
Aku mempunyai tiga orang putera. Satu berada di istana, satu pergi kepadang sahara. Yang mengawani aku siang malam, puteraku kedua, bodoh dan nakal, makan pikiran orang tua. Sam Koan, seorang anak yang Cerdas, tolong kau kirim pada seorang guru ternama. Meskipun hatiku selalu terkenang padanya, tapi aku merasa lega. Toa Koan, tak ketahui lagi tentang asal usul dirinya. Dia bersikap agung menjadi raja bangsa asing.
Kanda Kok, dapatkah kau menginsafkannya. Lengan kiri anak itu ada tanda plek warna merah, itu Cukup menjadi bukti. Kesehatanku makin buruk, setiap malam aku bermimpi hari® yang berbahagia semasa aku dan dikau masih kanaks bersama bermain-main . Ah, kasihanilah kita, Tuhan, agar dipenghidupan j.a.d., kita dapat menitis lagi menjadi suami isteri yang berbahagia. — Loh.
Habis membaca, hati Tan Keh Lok memukul keras, tubuhnya gemetar mau roboh. Koayhiap menyanggapi dan mendudukkannya ditanah.
“Suhu, siapakah kanda. Kok itu?” tanyanya dengan gemetar.
“Dia adalah Gihu-mu sendiri, namanya aseli ialah Sim Ju. Kok. Waktu mudanya dia saling mencinta dengan bundamu. Tapi rupanya sudah menjadi kehendak Allah, keduanya tak: dapat terangkap jodoh. Karena itulah maka, seumur hidup Gihu-mu “tak,, mau beristeri.”
“Ketika “itu” mengapa dia disuruh membawa aku? Dati mengapa;'aku disuruh menganggapnya sebagai ayahku sendiri? Apakah..............................”
“Sekalipun aku adalah sahabat karib ayahmu, tapi soal dia diusir dari perguruan Siao Lim Si, tidak kuketahui jelas apa sebabnya. Katanya dia sudah melanggar peraturan gereja perguruan tersebut*. Berita itupun ada lain orang yang bilang, bukan dia. Tapi aku yang mengenal dari dekat, Cukup perCaja dia itu seorang lelaki perwira, tak nanti berbuat haldua yang nista,” menerangkan Koayhiap, siapa sesaat kemudian menepuk pula kakinya seraya berkata: “Malah ketika itu pernah ku-undang sahabatdua persilatan, untuk minta penjelasan pada Ciang-bun-jin Siao Lim Si. Hal ini menggemparkan dunia kangouw. Syukur Gihu-mu buru-buru menCegah dengan mengatakan dia sendirilah yang bersalah, barulah gerakan besar itu bubar. Namun sampai saat ini, aku tetap tak perCaja seorang sebagai dia dapat berbuat sesuatu hal yang tidak senonoh. Lain Cerita kalau memangnya Hweshiodua Siao Lim Si itu mengadakan peraturan yang aneh, itu wallahualam.”
“Suhu, apakah hanya sebegitu saja yang kau ketahui perihal ayah angkatku?”
“Setelah diusir dari gereja perguruan, dia menyembunyikan diri sampai beberapa tahun. Tahu-tahu dia berganti nama IE BAN THING, mendirikan HONG HWA HWE dan menyelenggarakan usaha besar yang gilang gemilang,” menambahkan Koayhiap.
Yang dimaksud Tan Keh Lok dalam pertanyaan itu adalah kearah asal usul dirinya. Tapi Koayhiap sudah menyimpangkan jawabannya kepada peristiwa akan menuntutkan penasaran Ie Ban Thing kepada gereja Siao Lim Si.
“Baik Gihu (ayah angkat) maupun ibu mengapa menghendaki supaya aku pergi dari rumah, adakah Suhu mengetahuinya?” tanya Keh Lok pula.
“Usahaku mengundang sahabatdua kangouw guna menuntutkan penasaran ayah angkatmu, tapi karena pengakuan Gihumu itu, kepala kita seperti digujur air dingin dan akupun kehilangan muka. Karenanya, mulai saat itu tak mau aku
mengurus lagi soal Gihu-mu itu. Dia datang kepadaku membawa kau, akupun terus mengajarkan ilmu silat, rasanya Cukuplah kewajibanku terhadapnya.”
Kini tahulah Tan Keh Lok, sia-siasajalah dia bertanya itu. Pikirnya.
“Usaha membangun kerajaan Han, kunCinya terletak pada tabir yang menyelubungi Toako (Kian Liong). Sedikit saja terjadi keCerobohan, sia-sialah segala jerih payah selama ini, dan ini berarti ratusan juta saudara-saudara ditanah air tetap tenggelam dalam laut penderitaan. Lebih baik kupergi kegereja Siao Lim Si di Hokkian untuk menCari penjelasan tentang hal itu. Ja, mengapa Yong Ceng menukar baji? Mengapa Toako yang terang-terangan seorang Han, disuruh menduduki tahta kerajaan Ceng? Tentu digereja itu, akan kuperoleh beberapa keterangan”.
Keputusan itu Keh Lok utarakan pada Suhunya. Koayhiap setuju, hanya saja dia kuatirkan Hwe-shiodua Siao Lim Si itu nanti tak mau mengatakan. Tapi Keh Lok menyatakan akan menCobanya dahulu.
Keh Lok tak lupa menerangkan tentang ilmu silat yang dipelajarinya dari rerongkongdua diistana Giok-nia. Oleh Koayhiap, dia disuruh mainkan lagi untuk diajak twi-Chiu (latihan berkelahi). Dari sang suhu, Keh Lok banyak sekali memperoleh penjelasan yang berguna. Begitu gembira suhu dan murid itu berlatih diluar kemah, dann tahu-tahu terdengarlah long
long serigala dari tempat pengurungan, pertanda sang fajar sudah tiba. Sampai disitu barulah keduanya masuk kedalam kemah dan beristirahat.
“Kedua nona Ui itu Cantik dan baik perangainya. Sebenarnya kau ini suka yang mana?” tanya Koayhiap tiba-tiba.
“Hwe Gi Ping dari kerajaan Han berkata: 'Bangsa Tartar belum terbasmi, mengapa' mesti memikirkan urusan kawin?' TeCu pun sejalan dengan pikirannya itu”, sahut Keh Lok.
“Suatu ambekan yang perwira sekali. Akan kukatakan pada Siang Eng, agar yangan dikatakan aku mendidik rusak muridduaku”, kata Koayhiap.
“Apakah Tan-loCianpwe berdua mengatakan aku tidak tidak baik?” tanya Keh Lok.
“Mereka menCelah kelakuanmu: dapat baru, buang yang lama. Ketemu adiknya, membuang sang taCi. Ha, ha!” Koayhiap tertawa.
Sebaliknya Tan Keh Lok terCekat hatinya. Dia ingat bagaimana sepasang suami isteri itu pergi tanpa pamit dan hanya tinggalkan delapan huruf ditanah pasir tempo hari. Kiranya begitulah yang dimaksudkan.
Setelah mengaso sebentar, semua orang sama bangun. Tan Keh Lok memberitahukan niatnya pergi kegereja Siao Lim Si pada sekalian saudaranya. Dia ambil selamat berpisah pada Koayhiap, Thian-san Siang Eng dan kedua puteri Bok To Lun.
Hiang Hiang seperti tak tega berpisah. Ia mengantar sampai 7 puluhan li jauhnya. Juga Keh Lok sendiri merasa berat dalam hatinya. Perpisahan kali ini, entah sampai kapan dapat berjumpa lagi. Kalau nasib mujur, usaha berhasil, tentu dapat bertemu lagi. Sebaliknya, kalau gagal, mungkin tulang rerongkongnya akan terkubur dibumi Tionggoan.
Bebarapa kali Ceng Tong nasehati adiknya supaya pulang, tapi ia tak mau.
“Ikutlah pulang Cicimu!” terpaksa Keh Lok keraskan hatinya.
“Tapi kau harus datang lagi!” seru Hiang Hiang. Tan Keh Lok mengangguk.
“10 tahun kau belum datang, 10 tahun kutetap menanti! Seumur hidup kau tidak datang, seumur hidup aku inenunggu kata Hiang Hiang.
Melihat kesungguhan hati nona itu, hendak Keh Lok memberi tanda mata untuk kenanngan. Dirogoh kantongnya, dia menyentuh mustika giok pemberian Kian Liong, diambilnya keluar dan diberikan pada Hiang Hiang bisiknya: “Jika kau pandang batu giok ini, sama seperti kau melihat padaku.”
“Aku tentu akan berjumpa lagi padamu. Sekalipun diwaktu hendak meninggal, aku harus melihatmu dulu baru dapat mati meram”, kata Hiang Hiang dengan berlinang-linangair mata.
“Mengapa bersedih? Begitu urusanku selesai, akan kuajak kau ke Pakkhia untuk pesiar ke Ban Li Tiang Shia (tembok besar),” kata Keh Lok.
“Katakmu itu sukar dipegang,” ujar Hiang Hiang.
“Kapan aku pernah membohongi kau?” sahut Keh Lok pasti.
Sampai disini baru Hiang Hiang mau berhenti. Setelah bayangan Keh Lok tak nampak lagi, barulah ia pulang.
Rombongan HONG HWA HWE itu terpaksa tak dapat berjalan Cepat. Karena Wan Ci, Jun Hwa dan Ciang Cin terluka. Dengan dapat menuntut balas sakit hati Suhunya, legalah perasaan Hi Tong. Terhadap Wan Ci dia berterima kasih dan kasihan. Sepanyang perjalanan itu, dia merawatnya dengan mesra.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka ketempat kediaman Affandi. Tapi siorang Ui yang aneh itu, sudah tak ada dirumah lagi. Mendengar kebinasaan Ciauw Cong, Ciu Ki gembira sekali, karena sakit hati adiknya dapat terbalas.
Turut nasehat Keh Lok, Thian Hong lebih baik tunggu isterinya disitu. Nanti kalau sudah bersalin, barulah menyusul ke Tiong-goan. Tapi Ciu Ki tak mau. Kesatu, dia kesepian, kedua ia akan ikut serta kegereja Siao Lim Si untuk menemui ayah bundanya disana. Terpaksa orang-orang sama mengalah.
Thian Hong sewa sebuah kereta untuk isterinya dan Wan Ci. Karena waktu itu sedang dalam musim dingin. Mereka menempuh perjalanan yang berangin, sehingga hampir ganti musim Chun (semi) mereka baru tiba di Giok-bun-kwan. Perjalanan kedaerah selatan (Hokkian) itu berlangsung lama benar. Ciu Ki makin gerah, sebaliknya Wan Ci sudah hampir sembuh. Kini ia dapat naik kuda sendiri. Ia selalu berada disamping Lou Ping untuk mengobrol, sehingga lain-lainnya sama heran apa saja yang dibiCarakan keduanya itu, mengapa tak ada habisnya.
Tiba diperbatasan propinsi Hokkian, suasana alam penuh dengan bungadua yang tengah mekar. Beberapa hari kemudian, mereka akan sudah masuk kekota Tek Hoa. Diluar kota mereka lewat sebuah hutan lebat.
Tiba-tiba Ciang Cin berteriak, terus lari menuju sebuah pohon. Disitu ternyata ada seorang lelaki yang tengah menggantung diri. Buru-buru orang itu diseretnya turun, lalu diletakkan ditanah. Hwi Ching meng-urutdua dadanya, dan tak lama kemudian orang itu tersedar lalu menangis.
“Mengapa kau hendak bunuh diri?” tanya Sim Hi.
Orang itu terus menangis tak mau menjawab. Dia kira-kira berumur dua4 tahun, dari dandanannya agaknya ia orang pertukangan.
“Telah kutolong jiwamu, mengapa kau tak mau menjawab?” Ciang Cin menjadi dongkol dan mendampratnya.
Orang itu tersentak bangun, lalu berkata: “Mengapa tak kau biarkan aku mati?”
“Kau kekurangan uang atau penasaran? Kami membantumu,” kata Jun Hwa.
“Bukan soal uang atau penasaran,” sahut orang itu, lalu kembali menangis.
Nampak oleh Lou Ping, orang itu memakai kain bersulam bunga teratai dilehernya. Kain itu diikatnya kenCangdua, seperti kuatir kalau dia mati, nanti diambil orang. Diduga dia tentu terlibat urusan perempuan, maka ditanyainya: “Apakah kekasihmu tak mau mengawini kau?”
Wajah orang itu nampak kaget, katanya: “Ia memilih ke-matian, akupun tak ingin hidup.”
“Mengapa ia akan memilih mati?” tanya Lou Ping pula.
“Aku bernama Ciu Sam, pekerjaanku tukang kayu. Tahun ini karena sudah tua, Pui-tayjin telah pensiun dan pu-
lang kekampung halamannya. Melihat Gin Hong berparas Cantik, dia berkeras akan mengambilnya sebagai gundik yang kesebelas.”
Sampai disini, kembali orang itu menangis keras. Ciang Cin tak jelas yang dikatakan, membentaknya lagi: “BiCaramu tak keruan, sedikitpun aku tak mengerti. Apa itu Pui-tayjin dan Gin Hong?”
“Gin Hong adalah kekasihnya,” sela Lou Ping tertawa. “Mana tempatnya Pui-tayjin itu? Gin Hong-mu sudah diambilnya atau belum?” tanya Ciang Cin.
“Gedung yang terbesar sendiri dikota Tek Hoa itu adalah rumah kediamannya. Tahun yang lalu aku pernah disuruh bikin betul rumahnya. Tapi sekarang dia ............ dia mau minta si Gin Hong ..............................”
“Kau ini betul-betul orang tak berguna. Mengapa tak kau labrak orang she Pui itu?” kata Ciang Cin.
“Kalau saja dia punya kepandaian seperti Ciang-sipya, separoh saja, tentu jadi!” kata Lou Ping tertawa pula.
Mendengar orang itu she Ciu, Ciu Ki taruh simpati, maka katanya: “Antarkan kami pada orang she Pui itu!” Ciu Sam jerih nampaknya.
“Bawalah kami kerumahmu dulu. Aku yang tanggung jawab, orang she Pui itu pasti tak berani minta Gin Hong-mu!” Thian Hong ikut biCara.
Dengan masih agak kurang perCaja, Ciu Sam menurut. Keluarga Gin Hong itu orang she Pao, berjualan taohu, rumahnya sebelah tetangga dengan Ciu Sam. Waktu itu teng dan payangduaan menghias rumahnya, lazim seperti orang mantu. Thian Hong suruh Ciu Sam memanggil ayah Gin Hong. Wajah orang tua itu muram, tak mirip dengan orang yang sedang punya kerja mantu.
Pui-tayjin itu ternyata sudah berusia 70 tahun lebih. Dulu O dia menjadi pembesar negeri di Anhui, maka pembesardua setempat sama jeri terhadapnya.
Gin Hong baru berumur 1delapan tahun. Akan dnyadikan selir seorang tua yang sudah mendekati liang kubur, terang ia tak sudi. Tapi karena takut pengaruhnya, terpaksa menurut. Ciang Cin dan Ciu Ki terus akan pergi membunuh orang she Pui itu, tapi dilarang oleh Tan Keh Lok, siapa lalu su
ruh Sim Hi mengambil seratus tail perak diberikan pada ayah Gin Hong dan Ciu Sam. Mereka disuruh lekas-lekas mengemasi barang-barangnya dan tinggalkan tempat itu. Keduanya sangat berterima kasih.
Ciu Ki sudah hamil 7 bulan lebih. Thian Hong dan Lou Ping menjaganya hati-hati. Minum arak sedikitpun tak boleh, selama ini Ciu Ki merasa sebal. Apalagi ketika Tan Keh Lok melarangnya membunuh Pui-tayjin, ia makin sebal. Sewaktu Thian Hong tak tahu, diam-diam ia menyelinap keluar.
Kota Tek Hoa tak seberapa besar, maka tak lamapun Ciu Ki sudah dapat menCari gedung orang she Pui itu. Ditengahdua ruangan, tampak para pelayan sibuk membawa hidangan yang lezat-lezat dan arak yang wangi. Mencium bau arak. selera Ciu Ki timbul hebat.
Nyonya Thian Hong ini memang polos wataknya. Karena ingin minum arak, ia terus saja masuk. Memang rumah Pui-tayjin tengah kebanjiran tetamu yang menghaturkan selamat. Sekalipun Ciu Ki berpakaian sederhana, tapi karena sikapnya yang wajar dan berlagak itu, pelayandua bergegas-gegas menyilahkan duduk dan mengambilkan suguhan.
Ciu Ki pun tak mau sungkandua, terus makan dan minum habis arak hidangannya. Menjadi adat kebiasaan orang-orang selatan kalau mengadakan ho-su (pesta perkawinan) tentu mengadakan perjamuan sampai beberapa hari. Sekalipun hanya mengambil selir, tapi karena Pui-tay-jin itu bekas pembesar tinggi, dia akan mengunjukkan keangkerannya membuka pesta perjamuan yang mewah.
Walaupun tak dapat sambung biCara dengan lain-lain tamu wanita, karena perbedaan bahasanya, namun Ciu Ki tak menghiraukan segala apa. Arak datang, terus dikeringkan. Betul-betul ia minum sampai puas.
Kira-kira 10 kali edaran arak, dengan ditunyang oleh kedua puteranya, Pui-tayjin berjalan keluar untuk memberi selamat datang dengan minum arak pada sekalian hadirin. Melihat rambut Pui-tayjin sudah ubanan semua tapi masih inginkan “daun muda,” Ciu Ki memaki dalam hati.
Ketika dekat dengan Tayjin tersebut, Ciu Ki melihat nyata pada pipi kiri Tayjin itu ada tai lalatnya besar. Beberapa lembar rambut panyang tumbuh disitu. Ciu Ki terkesiap, teringat ia akan kata-kata suaminya dahulu. Thian Hong, atas pertanyaan mamah Ciu Ki, pernah mengatakan keluarganya satu rumah dibikin Celaka oleh seorang pembesar she Pui, yang pada pipi kirinya ada tahi lalat besar. Yangan-yangan inilah dianya, Pui-tayjin, musuh besar suaminya! Karena Thian Hong berasal dari Siao Hin, propinsi Ciatkang, maka tanpa tunggudua lagi, bertanyalah Ciu Ki: “Pui-tayjin, apa Tayjin pernah pegang jabatan dikota Siao Hin?”
Dengar tekukan lidah Ciu Ki itu orang dari daerah utara, Pui-tayjin terkejut, katanya: “Nyonya ini siapa? Apakah pernah melihat aku di Siao Hin?”
Dengan pertanyaannya itu, tanpa merasa dia sudah menyatakan kalau pernah memegang jabatan di Siao Hin. Ciu Ki mengangguk. Pui-tayjinpun tak Curiga, terus beralih kelain tetamu lagi.
Sebenarnya ingin sekali Ciu Ki memberesi orang she Pui pada saat itu, untuk membalaskan sakit hati suaminya. Tapi begitu badan bergerak, ia rasakan dadanya sesak, kaki tangannya lemas. Diam-diam ia memaki baji dalam kandungannya itu. Setelah menegak tiga Cawan a,rak lagi, terus ia berjalan keluar. Tinggal para tetamu wanita yang sama tertawa mengejek Ciu Ki yang dianggapnya seorang wanita kasar.
Tiba dirumah Ciu Sam, selang tak beberapa lama Thian Hong dan Lou Ping pun datang dari menCarinya. Mereka girang nampak Ciu Ki sudah pulang. Tapi demi membau arak pada mulutnya, Thian Hong akan mendampratnya. Tapi Ciu Ki mendahului dengan menuturkan kejadian tadi.
Teringat akan kebinasaan ayah bunda dan saudara-saudaranya, Thian Hong menjadi beringas. Namun dia tak mau gegabah, katanya: “Akan kuselidiki dahulu, yangan sampai keliru membunuh orang”.
Beberapa waktu kemudian, dia sudah pulang dan berkata kepada Tan Keh Lok: “CongthoCu, musuhku besar ada ditempat ini, kau idinkan aku menuntut balas bukan?”
“Chiet-ko, sakit hatimu itu harus dibalas. Dia sudah berumur 70 tahun lebih, kalau ditunda, mungkin dia keburu meninggal sendiri. Hanya saja kita tengah melakukan usaha besar, yangan sampai orang mengatakan kita orang kaum HONG HWA HWE yang turun tangan.”
Sampai disitu, datanglah paman Pao tua bersama gadisnya dan Ciu Sam. Mereka menghaturkan terima kasih dan mengatakan nanti dua jam lagi, keluarga Pui akan kirim orang menjemput Gin Hong. Karena sudah selesai berkemas, mereka hendak segera minggat.
“Untuk urusan ini, baik kita timpahkan pada mereka, karena mereka sudah tak berada ditempat ini,” tiba-tiba Wan Ci mendapat pikiran.
“Bagaimana Caranya?” tanya Hi Tong.
“Kau menyaru jadi mempelai perempuan!” sahut Wan Ci tertawa.
“Kan lebih tepat kau yang jadi mempelai perempuan dan dia mempelai lakidua,” Lou Ping menggoda.
“Pui! Orang ber-sungguh-sungguh, kau seenaknya saja bergurau,” Wan Ci merah mukanya.
“Ya, '“Ya, adik manis, kau katakanlah!” akhirnya Lou Ping membujuk.
“Biar dia menyaru jadi mempelai perempuan untuk naik tandu dan kita yang menjadi pengiringnya”, menerangkan Wan Ci.
“Bagus! Begitu sepasang mempelai masuk kamar, kita serentak turun tangan. Orang tentu mengira mempelai perempuan yang membunuh, bukan orang HHH”, Lou Ping bertepuk girang.
Biasanya otak Thian Hong adalah “gudang siasat”. Tapi kali ini, karena hatinya gelisah dia tak dapat menemukan akal. Maka dia menjadi kegirangan ketika mendeng'ar usul Wan Ci yang sempurna itu. Demikianlah alatdua segera disediakan seperlunya.
Bermula Hi Tong mendongkol dan tak mau disuruh menyaru begitu. Tapi karena usul itu dari Wan Ci, dia segan membangkang. Apalagi untuk menuntutkan sakit hati Chit-ko-nya. Pakaian dan kerudung muka mempelai perempuan dapat disiapkan, hanya sepasang kaki Hi Tong yang menjadi soal. Akhirnya diputuskan, kun (rok) ukuran lebih panyang sehingga dapat menutup sampai kebawah kaki.
Menjelang petang, keluarga Pui mengirim tandu. Lou Ping dan Wan Ci memimpin si “nona mempelai” masuk kedalam tandu. Mereka ikut mengiringkan dengan membawa senjata dalam baju masing-masing. Berhadapan dengan bakal suami, nona mempelai harus menjura. Inipun terpaksa Hi Tong lakukan. Pui-loya atau Pui Ju Tek tertawa terkekeh-, ia memberikan dua keping mas selaku hadiah dan Hi Tong tanpa sungkandua terus menerimanya.
Selesai perjamuan, aCara beralih pada menggoda kamar mempelai. Orang- HONG HWA HWE ikut masuk kedalamnya. Thian Hong tepat berdiri disamping Pui Ju Tek, tangannya sudah siap dimasukkan kedalam kantong senjata.
Tapi tepat pada saat akan turun tangan, tiba-tiba seorang pelayan munCul, katanya: “Seng-Congpeng dan beberapa, tamu datang memberi selamat pada Tayjin.”
“Bagaimana dia bisa berkunjung kekota ini?” tanya Ju Tek dengan girang sembari bertindak keluar. Diruangan muka, duduklah seorang pembesar militer dengan .4 orang si-wi istana.
Muka Thian Hong berubah seketika, karena salah seorang si-wi itu dikenalnya sebagai Swi Tay Lim, itu jago pengawal istana yang pernah ditempurnya dipenyeberangan sungai. Hoangho tempo hari. Hendak dia peringatkan Kawan-kawan nya, tapi Bun Thay Lay telah mendahului .menggerung dan meneryang bukoan atau pembesar militer tadi. Kiranya perwira itu ialah Seng Hong, pengikut Ciauw Cong ketika menggrebek ke Thiat-tan-Chung dahulu. Dengan jasanya itu ia dinaikkan pangkatnya menjadi Congpeng kedaerah Hokkian.
Hari itu Swi Tay Lim berempat si-wi menerima titah rahasia untuk menerima Seng Hong. Karena sewaktu sampai dikota Tek Hoa mendengar Pui-tayjin mengambil selir baru. mereka berlima mampir memberi selamat. Tak dinyana, disitu mereka kesomplokan dengan orang-orang HONG HWA HWE
Karena tak sempat, Seng Hong menyembat kursi untuk menangkis serangan Bun Thay Lay, 'krakk' ............... kaki kursi dari kayu puhun liu itu kutung menjadi dua. Menampak hal itu, Seng Hong buru-buru menyusup kebawah meja, terus merosot lari keluar.
Orang-orang HONG HWA HWE Cepat melolos senjatanya untuk tempur keempat si-wi tersebut. Bertempur tak berapa lama, keempat siwi itu kawalahan. Tiba-tiba terdengar suitan keras dan mereka menyelinap diantara tetamudua, terus Cemplak kudanya dan lolos.
Karena desak mendesak dengan tetamudua, ketika Thay Lay cs. berhasil memburu kemuka, kelima musuh itu sudah kabur' jauh. Tapi sebagai gantinya, terdengarlah jeritan seram dan jerit tangis dari ruangan dalam.
Hi Tong yang masih mengenakan pakaian nona mempelai, dengan memutar kim-tiok, Lou Ping dan Wan Ci dikanan kiri, menobros dari dalam. Tapi Pui Ju Tek sudah tak kelihatan bayangannya. Situa yang Cerdik liCin itu, tahu gelagat jelek, siang'- sudah melenyapkan diri. Kian-kemari Ciu Ki, Ciang Cin dan Sim Hi cs ubekkan menCarinya, tapi sia-siasaja.
“CongthoCu, mengapa Cakar alap-alap istana itu mendadak munCul kemari? Yangan-yangan ada apa-apa nanti,” kata Thian Hong.
“Ya, hal ini perlu diselidiki,” sahut Keh Lok.
“Pembalasan sakit hati, itu urusan kecil. Kita bereskan urusan itu dulu, baru kembali lakukan pembalasan lagi,” kata Thian Hong.
Keh Lok puji jiwa besar dari sang Chiet-ko itu. Segera dipimpinnya rombongan itu untuk lakukan pengejaran. Menurut keterangan orang, rombongan kaki tangan Ceng itu menuju kearah timur. Kira-kira empat puluhan li menge-jar, mereka beristirahat disebuah rumah makan. Pegawai rumah makan tersebut. menerangkan, rombongan si-wi tadi belum lama lewat disitu.
“Kudaku ini pesat larinya, bisa menyusul mereka,” kata Bun Thay Lay.
“Ya, tapi mereka berjumlah lima, yangan sampai terpeCundang. Mereka tak nanti bisa lolos,” ujar Lou Ping.
Tahu kalau sang isteri, sejak dirinya tertawan musuh dulu, sangat menderita, kini memperhatikan sekali keselamatannya, tak mau Bun Thay Lay mengganggu ketenangan hati Lou Ping. Terpaksa dia ikut dalam rombongan saja.
Setelah bermalam didusun Sianyu, keesokan harinya mereka tiba di Ciao Wi. Menurut keterangan penduduk dusun tersebut., rombongan si-wi sudah berganti arah menuju keutara. “Kebetulan, menuju keutara adalah tempat letaknya gereja Siao Lim Si. Sekali dayung kita menuju dua tepian,”
kata Tan Keh Lok. Karena hari sudah gelap, mereka menuju kekota Hay
Tien menCari hotel. Liok Hwi Ching, Bun Thay Lay, Jim Hwa, Thian Hong dan Sim Hi berlima, berpenCaran menyirepi kabar ventang rombongan Si-wi tadi.
Bun Thay Lay tak berhasil menCari jejak musuh, hal ini membuatnya gelisah. Hawa panas sekali, disana sini terdengar bunyi tonggeret. Karena kegerahan, Bun Thay Lay membuka baju, dan berkipasdua. Tak berapa lama, tampak sebuah warung arak. Tiupan angin membawa bau arak yang wangi. Bun Thay Lay menghampiri warung tersebut. untuk minum arak.
Siapa duga, begitu masuk, ia tertegun. Ternyata Swi Tay Lim dan Seng Hong dan ketiga si-wi tengan minum arak juga disitu. Mereka kaget bukan kepalang, sampai terlongongdua beberapa saat. Tapi Bun Thay Lay tak ambil peduli, serunya: “Hai, Tiam-keh (pengusaha warung) ambilkan arak!”
Pelayan Cepat menyediakan poCi dan gelas arak.
“Gelas sekecil ini apa guna? Ambilkan mangkuk yang besar!” hardik Bun Thay Lay, terus lempar sekeping perak diatas meja.
Pelayan menjadi ketakutan dan buru-buru mengambil mangkuk besar dan menuangkann arak.
“Arak bagus!” memuji Bun Thay Lay ketika menegaknya. “Ini sam-pek-Ciu keluaran sini, yang terkenal”, menerangkan sipelayan.
“Untuk menyembelih seekor babi, perlu minum berapa mangkuk?” tannya Bun Thay Lay.
Pelayan tak mengerti maksud kata-kata itu, namun dia tak berani tak menjawab. “Tiga mangkuk!” sahutnya sembarangan.
“Bagus, sediakan 15 mangkuk dan penuhi isinya!” kata Bun Thay Lay sambil menCabut golok terus dibaCokkan pada meja.
Pelayan ketakutan setengah mati, segera ia sediakan pesanan itu. Limabelas mangkuk berkilangdua penuh dengan arak. Seng Hong berempat berCekat dan gelisah. Hendak mereka keluar, tapi tak berani karena Bun Thay Lay menghadang diambang pintu.
Seng Hong dan Swi Tay Lim kenal kelihaian Bun Thay Lay. Melihat gelagat buruk, keduanya berangkat akan merat dari pintu belakang.
“Arak masih belum kuminum, mengapa ter-buru-buru?” tiba-tiba Bun Thay Lay berteriak seperti guntur suaranya. Lalu sebelah kakinya dinaikkan keatas dingklik, sekali angkat semangkuk arak ditegaknya habis.
“Betul-betul arak bagus!” serunya sambil menegak lagi mangkuk yang kedua.
Pelayan buru-buru mengiriskan dua kati daging kerbau lalu dihidangkan dalam piring. Bun Thay Lay makan daging itu sambil menegak arak. Dalam sekejap saja, 15 mangkuk arak dan dua kati daging itu habis ludas. Melihat itu, hati Seng Hong dan Swi Tay Lim bergonCang keras. Tapi sementara itu, karena mengira orang pasti sudah mabuk, ketiga si-wi tadi segera serentak meneryang Bun Thay Lay.
Selama menghabisi daharannya tadi, tubuh Bun Thay Lay basah dengan keringat. Ketika ketiga si-wi sudah dekat, dengan sebelah kaki ditendangnya sebuah meja hingga terpental. Mangkuk dan piring diatasnya berhamburan pecah kelantai. Tanpa melolos senjata, Bun Thay Lay sembat sebuah dingklik untuk disapukan pada penyerangduanya.
Ketiga si-wi itupun bukan jago sembarangan, yang seorang putar tombak menghindar hantaman dingklik dengan membarengi menusuk. Yang dua lagi, satu memutar golok dan yang lainnya menusuk dengan ngo-bi-kong-jih (semacam lembing).
Dengan gagah Bun Thay Lay maju menyambutinya. Pada lain saat, golok dari salah seorang si-wi itu tertanCap eratdua
pada dingklik hingga sukar diCabut. Sekali tangan Bun Thay Lay berkelebat, muka si-wi itu hanCur, darah hidup membasahi pakaiannya. Binasalah dia seketika itu juga.
Tepat pada saat itu, lembing dari si-wi yang lain menganCam iga Bun Thay Lay, siapa seCepat kilat menCabut golok musuh yang tertanCap pada dingklik tadi, terus ditang-kiskan kemuka. Orang itu terkejut, tahu apa arti serangan itu, dengan Cepat-cepat dia lonCat kebelakang kawannya yang bersenjata tombak, siapa tengah memainkan gerak “tok-liong-jut-tong” atau naga berbisa keluar gua, menusuk perut Bun Thay Lay.
Bun Thay Lay Cepat pindahkan golok ketangan kiri, tanpa musuh sempat menarik serangannya, tahu-tahu tombaknya telah kena disawut Bun Thay Lay, terus dibetotnya. Hendak si-wi itu menCoba menariknya tapi tenaga dahsyat dari Pan-lui-Chiu itu telah membuatnya terhuyung-huyung kemuka. Bun Thay Lay sebaliknya lepaskan tombak musuh, sebagai gantinya dia angkat dingklik dihantamkan kedada untuk didorongnya kebelakang. Begitu keras dorongan itu, hingga Cukup diulang sekali lagi si-wi tersebut. mepet pada tembok. Sekali lagi diteruskan mendorong lebih keras, tembok berhamburan gugur menguruk si-wi yang naas itu.
Guguran tembok merupakan debu tebal yang memenuhi ruangan rumah makan tersebut. Habis menyelesaikan si-wi bersenjata tombak, Bun Thay Lay Cepat beralih akan menggempur si-wi satunya yang bersenjata ngo-bi-jih. Tapi entah bagaimana, si-wi itu sudah kelihatan mendeprok ditanah tak bergerak. Mukanya puCat seperti kertas, dan jantungnya sudah berhenti berdenyut. Kiranya sewaktu nampak Bun Thay Lay dalam beberapa kejap saja sudah dapat membinasakan dua orang kawannya, begitu hebat hati si-wi itu bergonCang, sehingga urat nadinya putus, dan mati mendadak.
Bun Thay Lay buru-buru menCari Seng Hong dan Swi Tay Lim, tapi tak ada, mungkin telah dapat lolos lagi. Tamudua dalam rumah makan itu, siangdua sudah menyingkir pergi. Waktu itu sudah jam delapan malam.
Seng Hong dan Swi Tay Lim adalah dua orang musuh besar. Merekalah yang turut melakukan penangkapan di Thiat-tan-Chung. Dalam pertempuran di Siauw-Ciu, kembali adalah Swi Tay Lim yang membaCoknya dengan golok yang bergigi gergaji. Biar bagaimana, sakit hati itu harus dibalas.
Bun Thay Lay masuk kembali kedalam rumah makan. Nyata dia belum terima, dan kembali menCarinya keseluruh rumah itu, tapi tak ketemu. Ia lonCat keatas sebuah rumah yang punCaknya paling tinggi. Disitu dia memandang keseluruh penjuru. Betul juga, sajupdua kelihatan ada dua benda hitam bergerak pesat kesebelah utara. Bukan main girangnya Bun Thay Lay, buru-buru dia lonCat turun, menyembat golok terus lari mengejar.
Mengejar beberapa li, tibalah ia pada sebuah ladang luas yang ditanami puhun rami yang sudah tumbuh tinggi. Kedua orang buruan itu tiba-tiba menyelinap masuk kedalam kebun rami yang lebat itu, terus tak ada jejaknya lagi. Bun Thay Lay tidak saja silatnya tinggi, pun nyalinya besar. Tanpa banyak sekali pikir, dia meneryang masuk, sembari mem-bentakdua. Keluar dari ujung kebon sana, ternyata adalah sebuah hutan lebat.
“Sudah sampai disini, masa kulepas mereka lari?” pikirnya, lalu berteriak keras-keras: “Kamu lari keujung langit, aku akan tanya keterangan pada Giok-Hong-tay-te. Kau lari kedalam neraka aku akan menCarimu kedalam istana Giam Lo Ong!”
Tapi yang diCari tetap tak ada. Tiba-tiba dia mendapat pikiran, dia enjot tubuhnya berlonCatan naik kepunCak sebuah puhun yang tinggi. Jauh disebelah sana seperti ada sebuah desa, tapi anehnya rumahduanya tinggi-tinggi sekali. Ternyata kedua bayangan hitam tadi lari kesitu, ini takkan terlihat pada malam segelap itu, andai kata tubuh mereka tidak bergoyangdua karena sedang lari.
Bun Thay Lay sesali dirinya yang telah berlaku bodoh karena hampir membiarkan mereka lolos. Sebab sekali dia lonCat turun dan memburu kesana. Dengan kelinCahannya ilmu mengentengi tubuh, sebentar saja sudah dapat dia menyusui, tepat pada saat kedua buronannya itu sudah masuk kedalam tembok rumah.
“Hai, mau lari kemana!” serunya terus memburunya.
Dibawah Cahaja bintang malam yang samardua itu, rumah itu atapnya berwarna hnyau dan temboknya kuning. Kiranya adalah sebuah gereja raksasa. Ia terkejut, ia memutar kedepan rumah berhala itu, papan dimuka gereja itu tertulis dengan empat huruf emas “Siao Lim Ko Sat” atau gereja kuno Siao Lim.
Teringat Bun Thay Lay ketika di BengCin dalam gereja Po Siang Si dia bertempur dengan Gian Pek Kian. Apakah kali ini hal itu akan terulang lagi? Sembari berpikir ia lihat pintu gereja ternyata tertutup rapat. Apa boleh buat, terpaksa dia lonCat melalui tembok.
Sebelah dalam dari tembok itu, ternyata adalah sebuah halaman yang luas. Namun tak nampak bayangan Seng Hong dan Swi Tay Lim berada disitu. Heran ia. Sepanyang pengetahuannya, Siao Lim Si adalah pusat dunia persilatan, masa bersengkongkol dengan pembesar Ceng sehingga mau menyembunyikan kedua orang buronannya itu?
Tengah dia berpikirdua, tiba-tiba pintu besar ruangan besar kedengaran berkretekan terbuka, dan berdirilah disitu seorang hweshio gemuk, tangannya memegang sebatang senjata Hong-pian-jan, semacam senjata kaum padri yang berbentuk sorok, panyangnya tak kurang dari enam kaki.
“Bangsa tikus mana yang begitu bernyali besar datang membuat gaduh disini?” serunya.
“TeCu mengejar dua orang Cakar alap-alap hingga tak sengaja masuk kemari, harap Toasuhu maafkan,” sahut Bun Thay Lay dengan merangkap kedua tangannya.
“Kau mengerti silat, tentunya kau sudah mengetahui tempat apakah Siao Lim Si ini. Mengapa kau begitu tak tahu aturan, masuk membawa senjata?”
Seketika meluaplah hati Bun Thay Lay, tapi segera dia insyap akan kesalahannya- tadi, maka buru-buru dia rangkapkan tangan dan berkata: “TeCu minta maaf.”
Berbareng dengan uCapan itu, dia berputar, terus enjot tubuhnya keatas tembok, lalu lonCat keluar, ia duduk menanti dibawah sebuah pohon.
“Kedua bangsat itu pasti akan keluar juga akhirnya. Akan kutunggu mereka disini,” pikirnya.
Belum berapa lama dia duduk disitu, sihweshio gemuk tadi lonCat keatas tembok dan berseru: “Ha, mengapa kau masih belum pergi, apakah punya maksud menCuri kemari?”
Bun Thay Lay gusar sekali. “Aku duduk sendiri disini, apa sang'kutannya dengan kau?!” sahutnya segera.
“Ha, mungkin kau makan hati-maCan dan empedu maCan tutul, maka kau berani membuat gaduh digereja Siao Lim Si ini. Baik kau lekas-lekas pergi.”
Adat Bun Thay Lay memang kasar dan berangasan. Pada saat itu tak dapat terkendalikan lagi kemarahannya.
“Aku. justru takmau pergi, kau mau apa?” sahutnya.
Tanpa berkata lagi, hweshio gemuk itu memutar senjatanya seraya melayang turun. Gelang baja yang dipasang diujung senjatanya yang berbentuk bulan sabit dan tajam itu, berkerontangan suaranya. Orangnya berdiri diatas bumi, senjatanya terus menyorok kedada musuh.
Terkilas dalam pikiran Bun Thay Lay, bahwa dari tempat beribu li jauhnya CongthoCu Tan Keh Lok datang kesitu, karena sematadua hendak mengunjungi gereja yang tersohor itu. Kalau dengan turuti panasnya hati dia sungguh-sungguh melayani. serangan hweshio tersebut, pasti akan merusak usaha CongthoCu yang dilakukan dengan jerih payan itu. Dengan pertimbangan itu, dia gerakkan tubuhnya kesamping untuk berkelit, terus lonCat kebelakang dan lari.
Tapi disana, pada jarak beberapa tindak, seorang hweshio dengan sepasang golok ditangan, berputardua menyerangnya. Tetap Bun Thay Lay tak meladeni, ia lonCat kesamping akan lolos.
“Buang senjatamu dan menjura enam kali pada Hud-ya, baru jiwamu diampuni,” kedua Hweshio galak itu serentak berseru.
Bun Thay Lay tak ambil pusing, tetap akan lari menuju kedalam hutan. Sekonyong-konyong diatas kepalanya terasa ada samberan angin yang dahsyat. Cepat-cepat dia berkelit kesamping, 'buk'............! Sebatang tongkat menanCap kedalam tanah dengan telaknya, deburan tanah munCrat ke-manadua, seram sekali. Dihadapan sana tampak menghadang seorang hweshio yang bertubuh pendek kurus.

“Kedatangan TeCu kemari bukan dengan maksud jahat, harap biarkan TeCu pergi, besok aku berkunjung kemari untuk meminta maaf,” kembali Bun Thay Lay merangkap kedua belah tangannya.
“Waktu tengah malam berani menobros masuk kemari, tentunya kau punya kepandaian. Tunjukkan barang sejurus, baru nanti boleh berlalu,” sahut sihweshio pendek, siapa tanpa tunggu jawaban, terus menyapu dengan tongkatnya.
Bun Thay Lay pernah menyaksikan permainan thiat-Ciang (kayuh besi) dari Sipsamte Cio Su Kin. Maka tahulah dia, hweshio pendek itu sedang menggunakan gerak “hang-mo-Ciang,” permainan tongkat penakluk iblis. Meski perawakan pendek, hweshio itu bertenaga besar, sehingga serangan itu berbunyi menderu-deru .
Bun Thay Lay tetap tak mau bertempur. Dengan kepala menunduk, dia memberosot kebawah tongkat.
“Bagus!” hweshio yang bersenjata sepasang golok tadi berseru seraya membarengi menyerang.
Hweshio yang pegang 'jan' tadi pun tak mau ketinggalan ikut menghantam.
Tiga jurus sudah Bun Thay Lay mengalah dengan Cara berkelit. Selama itu tahulah dia bahwa kini tengah berhadapan dengan tiga orang jago lihai dari gereja Siao Lim Si. Kalau terus bersikap mengalah, dikuatirkan sekali kurang hati-hati, dalam malam yang gelap itu ia. akan menemui bahaya.
Kini ia mulai balas menyerang. Tiga kali ia kirim serangan dengan santernya diantara empat buah senjata musuh. “Omitohud!” tiba-tiba ketiga hweshio itu berseru, terus lonCat kesamping. Berkata si hweshio yang bersenjata tongkat: “Kami adalah hweshio pemimpin dari Tan Mo Wan gereja Siao Lim Si. Dia — menunjuk kepada hweshio yang bersenjata golok — bergelar Gwan Hui. Dan dia — menunjuk si hweshio yang bersenjata 'jan' — Gwan Thong. Sedang aku adalah Gwan Siang. Siapakah nama tuan yang mulia?”
“Aku yang rendah orang she Bun nama Thay Lay.”
“Ah, kiranya Pan-lui-Chiu Bun-suya, pantas begitu lihai. Malamdua Bun-suya berkunjung kemari, apakah melakukan pesanan dari Ie Ban Thing lotangkeh?” tanya Gwan Siang.
“Bukan, hanya karena tengah mengejar musuh, Cayhe (aku yang rendah) telah kesalahan masuk kemari, mohon Toasu sudi memberi maaf.”
Ketiga hweshio itu saling berunding bisik-bisik.
“Nama harum dari Bun-suya tersiar keseluruh ujung benua. SiaoCeng punya rejeki besar bisa jumpa, maka kini hendak mohon perigajaran,” kata Gwan Thong kemudian.
“Siao Lim Si adalah tempat suCi dari ilmu silat, Cayhe mana berani berlaku kurang ajar, biarlah Cayhe minta diri saja.”
Penolakan karena sungkan itu. sudah diartikan lain oleh ketiga hweshio tersebut. Dikiranya karena pura-pura takut itu, Bun Thay Lay pasti ada “udang dibalik batu.” Seperti diketahui, pemimpin HONG HWA HWE Ie Ban Thing adalah murid Siao Lim Si yang diusir karena bersalah, bukan mustahil kalau kedatangan Bun Thay Lay kali ini. akan menuntut balas guna pemimpinnya itu.
Ketiga hweshio itu bersamaan pendapat, setelah saling memberi isyarat dengan mata. Gwan Thong kibaskan senjata 'jan', berbareng bunyi gelangan baja yang berkerontangan, dia maju menghantam Bun Thay Lay.
Bun Thay Lay memang berdarah jago berkelahi. Dia pantang mundur dan terpaksa menangkis dengan goloknya. j Paseban Tat Mo Wan adalah memang tempat latihan silat dari gereja Siao Lim Si. Gwan Thong adalah salah seorang dari tiga Berangkai padri agung ruangan itu, sudah tentu ilmunya tinggi. Senjata 'jan' itu dalam tangannya segera berobah menjadi sebuah lingkaran sinar yang hawanya saja sudah membikin kunCup nyali orang.
Pengaruh, arak sudah lenyap, kini tenaga Bun Thay Lay makin segar, golok dimainkan dengan seru sekali. Melihat Gwan Thong kewalahan, Gwan Siang maju membantu. Beberapa lama kemudian, Gwan Hui pun Ceburkan diri. Kini Bun Thay Lay bertempur dengan tiga hweshio Siao Lim Si yang lihai.
Selagi asjik berkelahi, mata Bun Thay Lay tertumbuk pada bayangandua yang terbaring diatas tanah. Diam-diam hatinya berCekat, karena bayangan yang berjumlah puluhan itu, adalah bayangan dari rombongan hweshio dari gereja itu yang sudah sama keluar mengelilingi tempat tersebut.
Karena berajal memikirkan hal tersebut, Gwan Siang dapat menghantam gigir golok Bun Thay Lay. Saking kerasnya hantaman Gwan Siang, golok Bun Thay Lay berdering memunCratkan letikan api, dan terpental jatuh kearah hutan disebelah sana.
Tapi Bun Thay Lay bukan si Pan-lui-Chui (tangan geledek) kalau dia sudah terpeCundang dengan itu. SeCepat kilat tangannya kanan menyawut senjata 'jan' yang tengah dilanCarkan oleh Gwan Thong serta terus ditariknya, selgga terlepas jatuh. Untuk yangan sampai Gwan Thong sempat lonCat mundur, Bun Thay Lay membarengi mendupak lututnya.
Namun pada saat itu, tongkat Gwan Siang dan golok Gwan Hui berbareng datang. Bun Thay Lay kiblatkan 'jan' itu menghantam serangan tongkat. Benturan kedua senjata yang terbuat dari baja murni itu, mengeluarkan bunyi yang dahsyat. Gwan Siang rasakan tangannya panas kesakitan dan mengeluarkan darah. Tanpa terasa tongkatnya jatuh ketanah.
Kini Bun Thay Lay beralih menghantam Gwan Hui, siapa karena kesima sampai lupa untuk menjaga diri. Dalam saat-saat yang tegang dimana ujung 'jan' sudah melayang dekat kemuka Gwan Hui, mendadak Bun Thay Lay rasakan diatas kepalanya ada senjata rahasia menyamber.
Hendak dia menyingkir tapi sudah terlambat, 'tringng'........... tangannya tergetar, entah benda apa, 'jan' bergetar keras dan tangan dirasakan kesemutan. Berbareng itu, dua sosok manusia terjungkal jatuh dari atas sebuah puhun.
Buru-buru Bun Thay Lay simpan senjatanya dan lonCat menyingkir. Waktu ia berpaling kebelakang, ia menampak Tan Keh Lok, Liok Hwi Ching dan lain-lainnya sudah berada disitu. Bun Thay Lay girang sekali, karena ia kini tak usah kuatir lagi menghadapi rombongan hweshio Siao Lim Si yang besar jumlahnya itu.
Pada lain saat dari rombongan hweshio tampillah seorang tua yang sudah putih yanggutnya, seraya tertawa: “Bun-suya, bagus, kalian semua sudah datang.”
Dengan berseru Ciu Ki menyusup maju dan benar seperti yang diduganya, orang tua itu adalah ayahnya, Thiat-tan Ciu Tiong Ing.
“Syukur tadi dia lontarkan thiat-tannya kearah senjataku Kalau tidak demikian, aku pasti membuat onar besar disini,” diam-diam Thay Lay berpikir.
Ketika memeriksa lagi senjata 'jan' itu, baru ketahuan ujung senjata yang terbuat dari baja itu sudah rompal separoh. Diam-diam Bun, Thay Lay kagum pada Ciu Tiong Ing yang nyata tak bernama kosong. Dan untuk kekagetannya, dekat situ, menggeletak Seng Hong dan Swi Tay Lim.
Kiranya kedua kaki tangan pemerintah Ceng itu lari bersembunyi kedalam gereja Siao Lim Si itu, tapi diusir. Terpaksa inereka bersembunyi diatas puhun. Disitu Swi Tay Lim sudah akan menyiapkan beberapa senjata rahasia. Tapi perbuatan itu, kena digagalkan oleh Kian Hiong yang telah berhasil pakai pelor membidik jatuh mereka.
Ciu Tiong Ing perkenalkan rombongan HONG HWA HWE dengan hweshiodua dari gereja tersebut. Kiranya setelah berpisah dengan rombongan HONG HWA HWE, Ciu Tiong Ing ajak isteri dan kedua mtiridnya, Kian Hong dan Kian Kong menuju ke Hokkian untuk berkunjung kegereja Siao Lim Si. Ternyata Suhunya sudah wafat. Urusan gereja dipegang oleh Toasu-hengnya, Thian Hong Siansu.
Pertemuan antara kedua suheng dan sute yang sudah berpisah berpuluh tahun itu, sungguh membuat mereka terharu girang. Begitulah karena masih kangen, Tiong Ing tinggal digereja, itu sampai beberapa bulan.
Malam itu dari hweshio penjaga didengarnya, ada seorang lihai masuk kegereja dan tengah bertempur dengan ketua dari Tat Mo Wan. Buru-buru Tiong Ing ikut keluar dan dapatkan Bun Thay Lay yang membuat gaduh itu.
Setelah kesalahan paham itu dapat didamaikan, Bun Thay Lay segera minta maaf pada kam-si (hweshio pengurus gereja), Tay Hiong Taysu, dan mohon akan membawa pergi Seng Hong dan Swi Tay Lim.
“Kedua orang ini menCari perlindungan digereja ini. Gereja adalah tempat meneduh bagi yang sengsara, menyebar kebaikan diantara sesama manusia. Dengan memandang muka siaoCeng, harap Bun-siCu suka lepaskan mereka,” kata Tay Hiong.
Terpaksa Bun Thay Lay menurut.
Setelah kedua orang itu pergi, Tay Hiong undang Tan Keh Lok dan rombongannya masuk kedalam. Diruangan dalam, Thian Hong Taysu, Ketua Siao Lim Si, sudah menyiapkan 1000 orang hweshio lebih untuk menyambutnya. Setelah saling memperkenalkan diri, berkatalah Thian Hong kepada Liok Hwi Ching:
“Lama sudah kami mendengar nama besar dari Bian-li-Ciam Liok-suhu, maka sungguh beruntung sekali hari ini dapat berjumpa muka.”
Hwi Ching menguCapkan beberapa kata-kata merendah. Thian Hong ajak rombongan tetamunya keruangan dalam untuk minum teh dan menanyakan maksud kedatangannya.
Tan Keh Lok memandang kearah Ciu Tiong Ing, siapa kelihatan mengurut jenggotnya dan tertawa, katanya: “Thian Hong suheng memang paling peramah. Tan-tangkeh ada keperluan apa saja, kita pasti akan mengusahakan se-dapatduanya.”
Tiba-tiba hati Tan Keh Lok menjadi tawar dan tiba-tiba dia berkui dihadapan Thian Hong, air matanya berCucuran.

Thian Hong terkejut, buru-buru mengangkatnya bangun dan bertanya: “Silakan Tan-CongthoCu mengatakan, tak usah pakai banyak sekali peradatan.”
“Cayhe ada suatu permohonan yang lanCang. Turut aturan Bu-lim, biar bagaimana juga tentu tak dikabulkan. Hanya mengingat penderitaan ratusan juta rakyat, terpaksa Cayhe memberanikan diri untuk memohon,” kata Keh Lok.
“Silakan mengatakannya,” sahut Thian Hong Siansu.
“Ie Ban Thing loyaCu adalah gihu-ku..................”
Mendengar dibawanya nama Ie Ban Thing, wajah Thian Hong berobah, alisnya yang putih berjingkat, kepalanya seakan-' mengeluarkan hawa panas. Tan Keh Lok, Liok Hwi Ching, Bun Thay Lay dan lain-lain. yang berkepandaian tinggi, sama berCekat. Heran mereka nampak hweshio yang sudah berusia delapan puluhan tahun itu, sedemikian hebat ilmu lwekangnya.
“Jadi kedatangan Tan-tangkeh dari ribuan li jauhnya itu, untuk kepentingan suhengku yang sengsara nasibnya itu?” Ciu Tiong Ing menyela.
Tan Keh Lok lalu tuturkan hubungannya dengan Kian Liong' dengan jelas, kemudian memaparkan tentang renCananya besar untuk mengusir bangsa Boan dan membangunkan kerajaan Han. Salah satu sjarat dari terlaksananya hal itu, ialah agar Thian Hong suka membeberkan sejujurnya tentang hubungan dirinya dengan Ie Ban Thing.
Lalu Keh Lok berkata dengan suara sember: “Cayhe tak ketahui asal usul Cayhe yang sebenarnya, hal itu tak mengapa, yang Cayhe mohonkan adalah supaya Losiansu sudi mengingat nasib rakyat jelata............”
Thian Hong kemekmek, alisnya menjulur turun, sepasang matanya dipejamkan, merenung jauh. Nampak hal itu, semua orang tak berani mengganggu. Lewat beberapa lama kemudian, sepasang mata hweshio itu berkiCup sedikit. Dua larik sinar tajam, menyorot keluar. Tangannya mengambil sebuah martil kecil, lalu dipukulkan pelan-pelan keatas sebuah papan. Seorang hweshio muda masuk dengan laku yang hormat.
“Bunyikan lonCeng, panggil berkumpul mereka!” kata Thian Hong Siansu.
Hweshio muda itu undurkan diri, dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi lonCeng dipukul ber-taludua. Thian Hong Siansu dengan isyarat tangan, minta diri masuk kedalam.
“Ayah, apakah artinya berbuat begitu?” tanya Thian Hong pada sang mertua.
“Dia akan adakan sidang semua warga hweshio” sahut Ciu Tiong Ing.
“Untuk urusan Gihu CongthoCu, mengapa mereka begitu ber-sungguh-sungguh,” Ciu Ki menyela.
Melihat anak perempuannya sedang mengandung, senanglah hati Tiong Ing. Maka dia ganda tersenyum saja mendengar kelakuan Ciu Ki janng masih ke-kanak-kanakan itu.
Lewat beberapa lama kemudian, sidang hweshio sudah mengambil Keputusan. Ti-gek-Ceng (hweshio tukang sambut tetamu) silakan rombongan HONG HWA HWE itu masuk kedalam ruangan suCi didalam. Seribu lebih hweshio dengan pakaian upaCara, tegak berbaris dikanan kiri, Diatas pedupaan di ruangan suCi itu, asap hio wangi ber-kepuldua memenuhi ruangan.
Duduk di-tengah-tengah adalah Thian Hong Siansu, disebelah kirinya adalah ketua dari Tat Mo Wan, Thian Keng Siansu. Ciang-keng-kwat (ketua bagian penyimpan kitab-kitab) Tay Leng Taysu. Sementara disebelah kanan, adalah hweshio pemimpin bagian tata tertib, Tay Tian Taysu, Kamsi (bagian pengawas gereja) Tay Hiong Taysu.
Tay Hiong yang mengundang masuk rombongan HONG HWA HWE tadi, dengan membongkokkan badan berkata: “Menurut aturan gereja Siao Lim Si yang telah ditetapkan be-ratusdua tahun lamanya, murid yang telah diusir karena melanggar peraturan, dilarang menguwarkan pada orang luar. Kini gereja ini telah mendapat kunjungan CongtoCu HONG HWA HWE
Tan Keh Lok siCu, yang bermaksud hendak minta keterangan tentang peristiwa murid Siao Lim Si yang diusir itu, Sim Ju Kok. Hal ini menurut peraturan gereja, sebenarnya tak dapat dilaksanakan ..............................”
Mendengar sampai disini, rombongan HONG HWA HWE menjadi girang. Kedengaran Tay Hiong melanjutkan kata-katanya pula:
“Tapi oleh karena kali ini menyangkut urusan besar, gereja kami terpaksa satu kali ini membuat pengeCualian. Silakan Tan CongthoCu menunjuk utusan untuk mengambil barkas (suratdua) yang tersimpan dalam bagian tata tertib.”
Tan Keh Lok menghaturkan terima kasih dengan membongkok, kemudian ajak rombongan keluar. Ti-khek-Ceng mempersilakan mereka mengaso di ruang tetamu.
Tan Keh Lok berSyukur dalam hati, dikiranya hal itu tadi mudah dikerjakan, tapi tiba-tiba munCullah Ciu Tiong Ing ke ruangan itu dengan wajah yang menunjukkan duka dan Cemas. Semua orang kaget, karena menduga pasti ada apa yang kurang baik.
“Ayah, apakah di ruangan sana terdapat alatdua rahasia,” tanya Thian Hong.
“Thian Hong suheng mempersilakan Tan-CongthoCu menunjuk orang untuk mengambil barkas itu diruang Hukuman pelanggaran tata tertib tadi, itu berarti harus melalui 5 buah ruangan. Setiap ruangan dnyaga oleh seorang Taijsu yang berilmu tinggi. Untuk bisa melalui kelima ruangan itu, seperti menembus langit sukarnya!”
Mendengar itu, tahulah mereka apa yang tengah dihadapinya. Suatu pertempuran yang maha dahsyat dan berbahaya.
“Ciu-loyaCu boleh tak usah membantu siapa-apa, biarlah kami yang menCobanya!” kata Bun Thay Lay yang sudah salah memberi tafsiran.
Ciu Tiong Ing meng-gelengduakan kepala dan berkata: “Sebab dari kesukaran yang saja katakan itu, karena harus satu orang yang masuk kedalam, sedang Taysu penjaga kelima ruangan itu, makin dalam makin tinggi kepandaiannya. Taruh kata berhasil melewati empat buah, orang tentu sudah keliwat kepayahan, sedang ruangan yang terakhir itu justru yang paling sukar dikalahkan.”
Tan Keh Lok merenung sejenak, lalu berkata: “Urusan ini menyangkut diriku peribadi, mungkin buddha menaruh kasihan padaku, tentu bisa berhasil juga.”
Habis berkata, segera ditanggalkan jubah luarnya. Bijidua Catur dimasukkan kedalam saku, po kiam diselipkan di punggung, lalu ia minta Ciu Tiong Ing mengantarkan ke ruangan Biauw Hoat Tian, jakni ruang yang menuju ketempat ruang Tata Tertib (arsip) tadi.
“Tan-tangkeh, kalau dirasa “tak ungkulan, sekali-kali yangan Coba memaksa diri, agar yangan mendapat haldua yang tak diinginkan,” bisik Tiong Ing sewaktu sudah sampai dimulut pintu.
Keh Lok anggukkan kepala mengiakan.
“Mudahduaan tak ada suatu halangan apa-apa!” seru Tiong Ing ketika Keh Lok sudah mendorong pintu dan melangkah masuk.
Didalam ruangan, Cahaja lilin terang benderang. Seorang hweshio yang mengenakan jubah warna kuning duduk bersila diatas sebuah tikar. Dia bukan lain adalah Tay Hiong Taysu, siapa buru-buru bangkit dan berkata dengan tertawa: “Ah, kiranya Tan-CongthoCu sendiri yang akan memberi pelajaran, itulah bagus sekali, akan kumohon beberapa jurus pelajaran ilmu silat dengan tangan kosong.”
“Silakan,” jawab Keh Lok seraya merangkap kedua tangannya.
Tangan kiri Tay Hiong Taysu tiba-tiba dibalikkan merupakan sebuah kepalan besar, tangan kanan disanggakan keatas, terus mulai bergerak menyerang.
Keh Lok kenal gerakan itu sebagai “siang-Chiu-keng-thian,” sepasang tangan menyanggah langit. Tahulah dia, kalau orang tengah bersilat dalam ilmu silat Cui Kun, silat orang mabuk. Pernah juga dia pelajari ilmu silat itu, tapi dia kuatir akan terulang lagi kejadian ketika dia bertempur dengan Ciu Tiong Ing di Thiat-tan-Chung dahulu. Untuk melayani jago tua dari Siao: Lim Pai itu, diai sudah Coba gunakan gerakan ilmu silat Siao Lim Si. Dan ini, hampir-hampir dia terpeCundang.
Mengingat hal itu, tak berani dia berlaku ajal lagi. Sekali kedua tangan ditepukkan, terus dipentangnya, sehingga sikapnya itu merupakan gerakan yang aneh, mirip orang membela diri, juga mirip orang menyerang. Memang, sekali gebrak dia telah keluarkan sebuah gerakan istimewa dari “peh-hoa-jo-kun.”
Karena tak menduga, hampir-hampir Tay Hiong taysu kena ..termakan.” Buru-buru dia gunakan gerakan “burung aneh menobros awan.” Dia jatuhkan diri ditanah, tangan dan kaki bergerak berbareng. Aneh adalah gerakan kakinya, menendang kesana menyepak kemari, tangannyapun menghantam kemuka memukul kebelakang, tubuhnya terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Untunglah Keh Lok mengenal ilmu silat itu, jika tidak, pasti dia siangdua sudah kena. Demikianlah keduanya sama mengeluarkan ilmu silat yang aneh, yang jarang dikenal.
Meskipun Cui Kun itu hanya terdiri dari 1enam jurus, tapi setiap gerakannya sukar diduga. Meskipun gerakannya tak teratur seperti orang mabuk, namun sebenarnya mengandung jurus-jurus serangan yang berbahaya, apalagi disertai dengan tenaga yang dahsyat.
Selagi pertempuran menCapai babak yang seru, tiba-tiba Tay Hiong lonCat keudara. Sewaktu melayang kebawah kakinya bekerja, dengan gerak “kerbau besi meluku sawah” tangannya kanan menghantam kaki lawan.
Keh Lok tarik mundur badannya. Tahu dia, karena selangannya tak berhasil, lawan pasti akan lonCat lagi keatas dalam gerakan “burung dara berputar diri,” hal ini dia telah membuat sebuah siasat. Begitu kaki kiri Tay Hiong tiba ditanah, Keh Lok membarengi maju menggaet kaki, dan tangannya mendorong. Sudah barang tentu, karena tak menduga, Tay Hiong tak keburu lonCat balik. Dia terhampar jatuh kebelakang!
Keh Lok buru-buru lonCat kesamping dan menanti. Tay Hiong berjumpalitan, baru setelah dapat duduk, mukanya tampak kemerah-merahan.
“Silakan masuk!” serunya sembari menunjuk kesebelah dalam.
“Maaf!” Keh Lok merangkap tangan memberi hormat.
Disebelah dalam, ternyata ada sebuah ruangan besar. Yang menjaga disitu, adalah kepala bagian Tata Tertib dan Hukuman, Tay Tian Taysu. Melihat kedatangan Tan Keh Lok, Tay Tian segera memberi isyarat tangan, atas itu dua orang hweshio muda datang membawakan sebuah tongkat besar. Begitu menyambuti, Tay Tian terus menghantam kelantai. Begitu dahsyat hantaman itu, sehingga tembok
(missing page)
itu kelihatan dengan jelas. Ini mudah dihantam lagi.
“Seharusnya begitu, mengapa aku tolol?” pikir Keh Lok dengan kesima.
Dan justru begitu, Tay Leng kembali dapat menyambit padam 4 batang dupa. Dan untuk kedua kalinya, hweshio itu menyusuli pula menyambit. Tapi kali ini, Tan Keh Lok sudah tersedar serta Cepat-cepat menawurkan biji Caturnya untuk memapaki senjata rahasia lawan. Tapi karena kesembilan lilin ditempatnya tadi sudah sama padam, dia kurang dapat melihat jelas melayangnya kelima bijidua liam-Cu si hweshio itu. Dua biji liam-Cu dapat dipukul jatuh dengan biji Catur, namun yang tiga, dapat lolos. Kembali ada tiga batang dupa yang dnyaganya menjadi padam lagi.
Menurut perbandingan, kini Tay Leng sudah menang sembilan lilin dan dua dupa. Keadaan Tan Keh Lok menguatirkan, karena Tay Leng kini waspada sekali untuk menjaga kesembilan lilin bijidua liam-Cu-nya. Kalau ada luang, iapun mengirim serangan. Begitulah pada beberapa saat kemudian, Tay Leng kembali menambah kemenangannya, dengan 14 buah dupa.
Keh Lok kerahkan seluruh kepandaiannya, namun hasilnya hanya dapat menimpuk padadua batang lilin lawan. Tay Leng balas menimpuk dan berhasil pula menimpuk 1sembilan dupa.
Pada saat itu, dupa Keh Lok masih ketinggalan lebih kurang dua0 batang, sedang fihak lawan lilin dan dupa masih memanCar dengan terangnya. Dia gugup, pikimja: “Apakah aku harus menelan kegagalan?”
Sekilas terlintaslah ingatannya kepada Cara Tio Pan San memainkan “hui-jan-gin-soh,” piauw yang berbentuk seperti burung seriti yang dapat membal pada sasarannya. Kini dia memperoleh akal, segera tiga buah biji Catur ditimpukkart ketembok dekat tempat Tay Leng.
Melihat itu, diam-diam Tay Leng menertawakan lawannya, anak muda yang tetap menuruti hawa panas, karena kalah lalu melampiaskan kemarahannya menimpuk seCara membabi buta. Tak dia kira kalau begitu bijidua Catur itu mengenai tembok, lalu membal jatuh menimpuk padam dua batang lilin. Bukan kepalang takjubnya Tay Leng, tanpa merasa dia memuji.
Berhasil dengan Cara itu, Tan Keh Lok susuli lagi beruntundua. Tay Leng betul-betul tak berdaya menjaga lilinnya. Beruntung dia tadi sudah menang beberapa puluh dupa. Kini tak mau dia bersikap menjaga, Dua-dua tangannya dia gunakan untuk menimpuk dupa lawannya.
Sekonyongdua penerangan situ padam, karena kesembilan lilin dari Tay Leng sudah ditimpuk padam. Sekalipun begitu, dupa Tan Keh Lok hanya ketinggalan 7 batang, sedang kepunyaan Tay Leng masih tigapuluhan batang lebih. Biar bagaimana, Keh Lok merasa pasti tak dapat menyusul kekalahannya. Sedang dia masgul, tiba-tiba kedengaran Tay Leng berseru: “Tan-tangkeh, am-gi kepunyaanku sudah habis. Kita berhenti dulu sebentar, untuk mengambil lagi dimeja sembahyangan!”
Merabah kantongnya, Tan Keh Lok dapatkan biji Caturnya hanya ketinggalan enam butir.
“Kau ambillah dulu,” kembali Tay Leng mempersilakannya.
Ketika Tan Keh Lok dapat merabah meja, tiba-tiba dia mendapat pikiran: “Kali ini menyangkut urusan besar, terpaksa aku berlaku Curang.”
Begitu tangan merabah, bijidua senjata rahasia diatas meja itu semuanya dirangkum dan dimasukkan kedalani kantongnya.
“Satu, dua, tiga! Akan kumulai melepas senjata rahasia'“ serunya dengan tertawa.
Buru-buru Tay Leng menghampiri meja, untuk yangan sampai kalah waktu, tapi untuk kekagetannya, tak sebutir am-gi yang ketinggalan diatas meja. Sedang dia keheran-heranan, Tan Keh Lok sudah be-runtundua melepas thi-lian-Cu, po-ti-Cu dan lain-lain., sehingga dalam sekejap saja dupadua difihak Tay Leng padam semua, satupun tak ada yang hidup.
Karena tak memperoleh am-gi, Tay Leng hanya dapat mengawasi dengan terlongong-longong. Setelah semua dupanya tertimpuk padam, dia tertawa keras-keras: “Tan-tangkeh, kau sungguh liCin. Ini namanya adu keCerdikan bukan adu ilmu, sudahlah, kau menang, silakan masuk!”
“Menyesal, Thayhe sebenarnya kalah dengan Taysu. Untuk kepentingan usaha besar, terpaksa aku lakukan perbuatan yang busuk ini. Harap Taysu maafkan,” kata Keh Lok dengan serta mesra.
Tay Leng itu perangainya baik, dia tak menaruh ganjelan apa-apa terhadap perbuatan orang muda itu. Katanya sambil tertawa: “Dua ruangan dibelakang, dnyaga oleh kedua Su-siok-ku (paman guru). Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dari aku. Harap kau berlaku hati-hati.”
Keh Lok haturkan terima kasih, lalu masuk kedalam.
Ruangan keempat juga terang benderang. Tapi ruangan itu lebih sempit dari ketiga ruangan yang terdahulu. Di tengahnya, terdapat dua buah kasuran bundar. Duduk dikasur yang sebelah kiri, adalah kepala Tat Mo Wan, Thian Keng Siansu.
“Silaukan duduk!” demikian Thian Keng menyambut kedatangan Keh Lok.
Dengan penuh pertanyaan dalam hati, Keh Lok mengambil tempat duduk dikasuran kanan, ia pikir Thian Keng adalah Susioknya Tay Leng, pula adalah kepala dari Tat Mo Wan, sudah pasti betapa kelihaiannya. Diam-diam anak muda itu mengeluh dalam hati, yangan-yangan dia bukan tandingannya. Namun tetap dia mau menCobanya, melihat perkembangan keadaan nanti.
Thian Keng itu seorang yang bertubuh tinggi. Sekalipun duduk, tingginya hampir menyamai dengan orang yang berdiri. Kedua pipinya Cekung, tubuhnya kurus seperti tak berdaging. Sikapnya membuat orang jeri.
“Kau telah dapat melewati tiga ruangan, ini Cukup membuktikan kau mempunyai ilmu yang tinggi. Meski Gihu-mu bukan termasuk murid sini lagi, tapi kaupun masih terhitung wan-pwe (golongan yang terbelakang) dari kaum kita. Karenanya tak dapat aku mengajakmu bertanding seCara samadua. Beginilah, kalau kau bisa melayani aku sampai 10 jurus tak kalah, akan kulepaskan kau.”
Tan Keh Lok bangkit memberi hormat, seraya berkata: ..Mohon Losiansu sudi memberi kemurahan.”
“Hm, tergantung bagaimana peruntunganmu. Duduk dan sambutlah!”
Baru Keh Lok duduk, atau dia segera rasakan samberan angin, menekan dadanya. Buru-buru Keh Lok gerakkan kedua tangannya untuk menangkis. Ketika beradu dengan tangan Thian Keng, dia dapatkan tenaga Iwekang Hwesio tua ini tak terkatakan dahsyatnya. Kalau dilawan dengan kekerasan, tak dapat tidak tentu akan terjungkel roboh.
Sebat sekali dia akan gunakan “hun-Chiu,” untuk memindah tekanan lawan kesamping. Tapi untuk kekagetannya, tenaga serangan Thian Keng itu tetap lurus menganCam. “Hun-Ciu” tak berdaya menolaknya. Karena itu, terpaksa dia kerahkan seluruh Iwekangnya untuk menahan.
Sekalipun serangan itu dapat ditahan, tapi tak urung tulang iga (lempeng) kirinya terasa sakit sekali.
“Baik. Kini terimalah serangan yang kedua!” seru Thian Keng.
Sekali ini tak berani Keh Lok mengadu kekerasan. Begitu serangan datang, tubuhnya diegoskan, lalu berbalik menghantam siku^lengan lawannya. Inilah salah sebuah jurus “peh-hoa-jo-kun” yang istimewa. Musuh pasti akan menarik serangannya.
Tapi diluar dugaan, tangan kanan Thian Keng bergerak dalam “menyapu ribuan laskar,” sikunya dihantamkan menyambut serangkan lawan dan didorongnya. Gerakan ini luar biasa sebatnya, belum kepelan Tan Keh Lok dijulurkan, tahu-tahu sudah diserang siku. Buru-buru dia lonCat menghindar, lalu jatuh duduk kembali diatas kasurannya.
Melihat anak muda itu dapat bergerak deng'an linCah dan tangkas, Thian Keng angguk kepalanya, kemudian menarik tangannya, dia beralih menerkam.
Nampak lawan makin berbahaya serangannya, diam-diam Keh Lok mengeluh yangan-yangan tak dapat melayani 10 jurus serangan orang. Tepat pada saat itu, kedengaran lonCeng gereja bertaludua. Kiranya hari sudah terang tanah.
Mendengar bunyi lonCeng itu, pikiran Keh Lok tiba-tiba tergerak. Menuruti irama lonCeng itu, tangannya ber-gerak-gerak mengerang. Thian Keng bersuara heran terus menangkis.
Kiranya gerakan yang digunakan oleh ketua HONG HWA HWE itu adalah ilmu silat yang dipelajarinya diperut gunung Giok-nia tempo hari. Begitu aneh, namun sangat leluasa dia bergerak-gerak menurut irama lonCeng.
Thian Keng tumplek seluruh perhatian, ia keluarkan ilmu silat Siao Lim Si yang paling boleh dibuat andalan, jakni “Hang-liong-Cap-pwe-Ciang” atau 1delapan jurus ilmu pukulan penakluk naga.
Ketika lonCeng berhenti berbunyi, tiba-tiba Keh Lok menarik serangannya dan berseru: “Kita telah ber-main-main lebih dari dua0 jurus.”
“Bagus, bagus. Pukulanmu sungguh luar biasa. Silakan masuk,” kata Thian Keng.
Keh Lok berbangkit, tapi ketika hendak berjalan, dia terhujungdua. Syukur dia dapat berpegang pada tembok. Saat itu, matanya dirasakan berkunangdua.
Thian Keng menunyangnya agar duduk lagi, katanya:
“Pertama kau menyambuti serangan kesatu, hawa-dalam tertahan. Kau beristirahat sebentar untuk mengatur napas, tentu akan baik lagi.”
Keh Lok meramkan mata duduk bersemedhi untuk memperbaiki jalannya napas. Tak berapa lama, dadanya terasa lapang dan semangatnya pulih kembali. Tapi didapatinya, kedua kepelan dan kedua lengannya sama melepuh, sakitnya tak terkata. Diam-diam ia kagum atas kelihaian paderi dari Siao Lim Si itu.
“Dari mana kau pelajari ilmu silatmu tadi?” tanya Thian Keng.
Dengan terus terang Keh Lok Ceritakan pengalamannya di gunung Giok-nia itu.
“Kalau kau masuk kedalam, gunakanlah ilmumu tadi. lengan tanganmu tentu tak sampai terluka. Baikkah menjaga diri,” kata Thian Keng.
“TeCu telah terluka, ruangan yang terakhir pasti tak dapat TeCu masuki. Mohon Losiansu sudi memberi petunjuk.” kata Keh Lok.
“Kalau tidak bisa, baliklah,” sahut Thian Keng.
“Mereka selalu menasehati suruh balik. Tapi kaum ksatria sekali maju berpantang mundur. Biar matipun rela,” pikir Keh Lok.
Begitulah setelah memberi hormat, dia lalu masuk kedalam. Tapi baru saja ia melangkah beberapa tindak, kedengaran Thian Keng berseru: “Tunggu, jawablah pertanyaanku ini.” Tan Keh Lok merandek.
“Tadi kau telah melayani aku sampai dua0 jurus, apakah jurus yang kugunakan tadi kau masih ingat semua?” “TeeCu ingat”, sahut Keh Lok.
“Kau pelajarilah sendiri itu semua, yangan kau ajarkan pada lain orang. Itu adalah pusaka berharga dari Siau Lim Si”.
Keh Lok terkesiap, dia dapat menginsyapi. Kiranya tadi Thian Keng telah mengajarinya sejurus ilmu pukulan yang jarang terdapat. Buru-buru dia berjongkok ditanah dan menghaturkan terima kasih.
“Kau tahu apa tidak, mengapa aku menurunkan ilmu tadi padamu?” ianya sipaderi pula.
“TeCu tak tahu.”
“Tadi aku telah mendapat banyak sekali pengertian dari ilmu silatmu yang luar biasa itu. Untuk itu aku telah membalas ilmu pukulanku tadi. Selain dari itu, aku pun menunaikan tljanjiku pada dua0 tahun berselang”.
Keh Lok memandang paderi itu dengan pandangan yang heran.
“Diantara pergaulan Suheng dan Sute semua aku paling akrab sendiri dengan Gihumu. Aku pernah menjanjikan akan mengajarnya ilmu 'Hang-liong-Cap-pwe-Ciang' itu padanya.”
Keh Lok diam saja mendengarkan Cerita itu.
“Ketika itu kepandaian Gihu-mu masih belum sempurna, tapi dia sudah berniat turun gunung. Mendiang suhu menasehatinya supaya ditangguhkan sampai tiga tahun, lagi nanti sesudah dapat mempelajari ilmu 'Hang-liong-Cap-pwe-Ciang' itu. Tapi rupanya gihu-mu tak dapat bersabar. Dengan mengelah napas terpaksa suhu mengijinkan. Kuhantar dia sampai dipintu gereja, disitu kuberi janjiku, apabila aku sudah dapat mempelajari ilmu itu, kelak kalau kita berjumpa, akan kuajarkan padanya. Siapa nyana, karena gihu-mu menyalahi perataran gereja, kita tak dapat berjumpa lagi. Kini aku telah menurunkannya padamu, harap kau mempelajarinya baik-baik .
Keh Lok menjura pula, lalu bertindak keluar. Ia rasakan tubuhnya lelah sekali. Lebih dulu ia sandarkan diri pada tembok untuk mengembalikan scmangatnya. Setelah itu, ia melangkah masuk kedalam ruangan belakang.
Memasuki pintunya, ia terkejut bukan kepalang. Karena disitu merupakan sebuah ruangan bersemedhi yang sempit sekali. Ketua gereja Siao Liem Si, Thian Hong Siansu tengah duduk diatas pembaringan sedang bersemedhi. Belum-belum Keh Lok sudah tawar hatinya. Thian Keng begitu lihai, dan Thian Hong ini adalah ketua gereja atau orang pertama dari Siao Lim Si mana dia dapat menandinginya?
Ruangan semedhi sedemikian sempitnya. Pertandingan yang dilakukan disitu pasti bukan adu silat atau adu senjata rahasia. Kebanyak sekalian tentu adu lwekang. Dalam hal itu, dia pasti kalah. Tengah dia bersangsi, tampak Thian Hong mengibaskan hudtim (kebut hweshio) seraya menyuruhnya duduk
Keh Lok tak berani sembarangan, dengan laku yang hormat sekali dia mengambil tempat duduk disebelah ketua gereja itu. Di-tengah-tengah kedua orang itu ada sebuah meja kecil, diatasnya terdapat sebuah hio-louw yang ber-kepuldua asapnya. Pada dinding disebelah muka, terdapat sebuah lukisan alam gunung Han-san, yang terdiri dari beberapa Coretan oaja.
Setelah berdiam sejenak, berkatalah Thian Hong: “Dahulu ada seseorang pandai sekali mengembala kambing, hingga menjadi kaja. Tapi orang itu kikir tabiatnya, tak mau menggunakan hartanya ........................”
Mendengar paderi besar itu berCerita, bukan main herannya Keh Lok. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Ada lagi seorang lain,” Thian Hong melanjutkan, “dia itu seorang liCin. Tahu kalau orang kaja tadi bodoh dan justeru hendak menCari isteri, maka orang buruk tadi menipunya, begini dia berkata: 'Aku tahu seorang gadis yang Cantik sekali, biar kuusahakan supaya dia menjadi isterimu'. — Gembala kaja tadi girang sekali, lalu memberinya sejumlah besar uang. Berselang setahun kemudian, kembali orang liCin itu munCul, katanya: “Isterimu sudah melahirkan seorang putra untukmu!' — Gembala kaja itu sekalipun belum pernah melihat wajah isterinya. Namun mendengar 'isterinya' sudah melahirkan anak, dia makin senang dan memberi uang lagi pada si liCin itu. Berselang lama, si liCin datang lagi dan berkata: 'Aku membawa kabar buruk, puteramu meninggal!'. — Gembala itu bukan main sedihnya, dia menangis menggerung-gerung.”
Tan Keh Lok dilahirkan dan diasuh dalam kalangan sastra, dia banyak sekali “makan” bukudua pelajaran. Mendengar Cerita itu, segera diketahuinya bahwa paderi besar itu sedang memberi uraian tentang kitab “peh-ji-keng,” kitab pelajaran Buddha. Rupanya Thian Hong hendak mempengaruhi pikiran sianak muda dengan sari pelajaran Buddha.
“Sebenarnya memang begitulah urusan, tak lebih tak kurang hanya seperti isteri dan putera si gembala itu. Semua hanya hajal, semuadua fana adanya. Nah, mengapa kau bersusah payah begitu rupa untuk mengejar keinginanmu, yang kalau berhasil hanya merasa gembira, sedang kalau gagal lalu merasa berduka?” tanya Thian Hong akhirnya.
“Dahulu juga ada sepasang suami isteri, punya tiga biji kue. Setelah masing-masing makan sebuah, untuk sisanya yang sebuah, keduanya berjanji, siapa yang mengajak biCara dulu, dia kalah dan tak boleh makan sisa kue itu,” Keh Lok menimpali berCerita.
Cerita Tan Keh Lok itupun diambil dari kitab 'peh-ji-keng', mendengar itu, Thian Hong mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Demikianlah kedua suami isteri itu tak saling biCara,” meneruskan Keh Lok. “Tak lama kemudian, datanglah seorang penCuri. Semua harta benda dalam rumah itu diangkuti. Karena sudah terikat janji tak mengajak biCara, kedua suami isteri itu hanya mengawasi saja tanpa biCara. Melihat itu, sipenCuri makin berani. Dihadapan sang suami, dia Coba akan mengganggu si-isteri. Namun sisuami itu tetap tinggal diam tak ambil peduli. Saking tak tahan, menjeritlah isteri itu dengan gusarnya. PenCuri itu buru-buru lari! Sembari lari penCuri itu membawa barang Curiannya. Si suami bertepuk tangan sambil tertawa: 'Ha, kau kalah, kue itu menjadi bagianku!”
Walaupun Thian Hong sudah tahu akan Cerita itu, namun tak urung dia tersenyum mendengarnya.
“Karena urusan kecil, soal menikmati kesenangan, ia lupakan hinaan besar. Karena soal Citarasa perut, ia membiarkan penCuri mengangkut hartanya dan menghina sang isteri. Hud-keh (kaum Buddhist) ingin menyelamatkan umat, mengapa bisa berlaku begitu tegah dan bersikap mementingkan diri sendiri?” Keh Lok memberikan kesimpulan yang tajam.
Thian Hong mengolah napas.
“Semua perjalanan hidup tiada yang langgeng, semua ajaran agama tiada ke-aku-annya. Mengapa semuaduanya tak lanCar, itulah karena belum sadar. Kalau menuruti kehampaan hati, semuaanya kosong,” ujarnya.
Tapi Keh Lok tak mau mundur, katanya: “Rakyat sedang mengalami penderitaan. Sang Buddha pernah bersabda,: 'Berbuat kekerasan (menindas) itu termasuk kedosaan, mengapa tak menjauhkan diri dari sifatdua itu'?”
Tahu Thian Hong bahwa anak muda itu tak kena diCegah niatnya akan menghilangkan beban penderitaan rahajat. Untuk itu, dia menaruh hormat. Katanya: “Ambekan keras dari Tan-tangkeh itu, patut dipuji. Akan kutanyakan sebuah hal lagi, setelah itu terserah.”
“Silakan Losiansu memberi petunjuk,” sahut Keh Lok.
“Dahulu ada seorang nenekdua, mengaso dibawah pohon. Sekonyongdua munCullah seekor beruang hendak memakannya. Si nenek lari mengitari pohon, beruang ulurkan Cakar kebalik pohon hendak menerkam, Mtlihat itu, si nenek Cepat-cepat menekan Cakar beruang pada batang pohon. Dan tak dapat berkutiklah beruang itu. Namun sinenekpun tak berani melepas tangannya.. Kemudian ada seorang lain lewat disitu, sinenek minta pertolongannya untuk membunuh binatang itu. Orang itu menurut, tapi begitu dia tempelkan tangannya keCakar beruang, sinenek Cepat-cepat menarik tangannya terus lari. Jadi kini, orang itu terpantek tak dapat melepaskan tekanannya, atau dia nanti pasti akan dimakan beruang.”
Keh Lok dapat menangkap maksud kiasan Thian Hong itu, katanya: “Menolong orang yang mendapat kesusahan, tak boleh menghiraukan apa-apa. Sekalipun dirinya berbalik mendapat Celaka, tak boleh menyesal.”
Thian Hong kibaskan kebut pertapaannya (hud-tim), serunya: “Silakan masuk!”
Cepat Keh Lok turun dari tempat persemedhian, lalu memberi hormat.
“TeCu berlaku kurang sopan, harap Losiansu memaafkan,” katanya.
Thian Hong hanya memanggut. Segera Keh Lok masuk kedalam, masih didengarnya elahan napas dari Thian Hong Siansu.
Membiluk pada sebuah lorong panyang, aehirnya dia sampai ke sebuah ruangan besar. Disitu terdapat dua buah lilin besar yang menyala. Disekeliling ruangan penuh, dengan lemari kitab. Setiap lemari ditempel kertas kuning bertulisan. Dia mengambil sebuah Ciktay (tempat lilin) untuk menyuluhi. Ketika bertemu dengan lemari yang bertuliskan huruf “Thian”, dia membuka pintunya. Didalam lemari itu, terdapat tiga bungkusan warna kuning. Salah sebuah disebelah kiri, tertulis dengan tiga huruf merah “Sim Ju Kok”.
Melihat itu, tangan Keh Lok gemetar, beberapa ketes lilin menetes diatas pauwhok itu. Setelah menenangkan hatinya, diambilnya pauwhok itu lalu dibukanya. Didalamnya terdapat sebuah kaos kutang orang lelaki yang disulami bunga, dan sepotong kain dari pakaian orang perempuan yang terdapat titikdua seperti noda darah. Karena saking keliwat lama, warnanya berobah hitam. Selain itu masih ada sebuah kipas dari kertas kuning. Ketika kipas itu dikembangkan, tanpa merasa air mata Keh Lok berCucuran. Kiranya diatas kipas itu terdapat tulisan tangan gihunya. Dengan seksama dibacanya tulisandua itu:
“Murid Siao Lim Si dari angkatan ke-tiga 1 Sim Ju Kok; menghaturkan kesalahannya. TeeCu berasal dari keluarga tani, sejak kecil sangat melarat dan berkenalan dengan gadis kecil dari sebelah tetangga keluarga Chi. Bersama meningkatnya umur, kami berdua saling mencinta.....................»
Membaca sampai disini, hati Keh Lok memukul keras, pikirnya: “Apakah kesalahan Gihu itu ada hubungannya dengan ibuku?”
Dia lanjutkan lagi membaca:
“Diam-diam kami berdua mengikat janji: TeCu selain gadis Chi takkan, menikah, gadis Chi selain dengan teCu takkan kawin. Setelah ayahku meninggal, timbullah paCeklik sampai beberapa tahun. Panenan gagal semua. TeCu terpaksa mengembara Cari makan.
Berkat pertolongan Insu (guru berbudi), TeCu diterima menjadi murid. Kaos kutang sulaman ini, adalah pemberian dari gadis Cxx itu.”
Keh Lok makin heran dan ketarik, ia meneruskan lagi:
“Belum TeCu menyelesaikan pelajaran dibawah asuhan mendiang Suhu, TeCu sudah buru-buru turun gunung, se-matadua karena selalu terkenang pada gadis itu, dan akan melangsungkan perjodohan. Sepulangnya dikampung, ternyata gadis itu telah dipaksa ayahnya dikawinkan dengan keluarga Tan, Menuruti hawa panas dan masgul, malam itu TeCu memasuki rumah keluarga Tan. Menggunakan ilmu kepandaian dan menuruti napsu menyatroni rumah penduduk, ini termasuk larangan kaum kita.
Sejak itu, gadis Chi ikut suaminya pindah kegedung Tetok. Namun TeCu tetap terkenang padanya. Tiga tahun kemudian, TeCu kembali menengokinya. Malam itu kebetulan gadis Chi sedang melahirkan putera, ramainya bukan kepalang. Waktu itu TeCu Jia-nya melihat dari luar jendela.
Empat hari kemudian, TeCu datang lagi. Wajah gadis Chi nampak gugup dan menCeritakan bahwa puteranya yang baru dilahirkan itu telah ditukar dengan seorang baji perempuan oleh SuhongCu (pangeran nomor 4) In T jeng. Belum habis pertemuan itu, diluar loteng munCullah lf orang pengikut Jong Ti. Mereka adalah jago-jago lihai semua yang diutus oleh In Ceng untuk memperingatkan pada keluarga Tan, kalau urusan itu sampai teruwar, seluruh keluarganya akan dihukum mati.
Karena kuatir kesamplokan, TeCu melarikan diri, tapi mereka mengejarnya. Dalam pertempuran itu, jidat TeCu terluka, tapi dapat mengalahkan mereka. Kembali kedalam loteng, TeCu pingsan. Gadis Chi merobek kain bernoda darah untuk membalut luka TeCu.
TeCu menCuri dengar rahasia kerajaan, mengunjukkan ilmu silat Siao Lim Si, hingga membahayakan kedudukan kaum kita, ini merupakan kesalahan yang kedua.”
Sampai disini, Tan Keh Lok mengambil pakaian ibunyi, air matanya seperti membanjir. Selang tak berapa lama, dia membaca lagi:
“Sejak itu dalam 10 tahun, meskipun berada dikota Pakkhia, TeCu tetap ber-sungguh-sungguh meyakinkan ilmu silat. Tak berani lagi menjumpai gadis Chi. Setelah kaisar Yong Ceng mati dibunuh dan Kian Liong menggantikannya, TeCu meng-hitungdua umur, tahulah kalau Kian Liong itu adalah puleni, kandung gadis Chi. Kuatir kalau Yong Ceng yangan-yangan sudah tinggalkan pesan supaya kirim pembunuh untuk membasmi bahaya dari mulut gadis Chi, maka malam itu TeCu kembali datang kerumah keluarga Tan, dan sembunyi dikamar gadis Chi.
Malam itu, benar-benar datang dua orang pembunuh, tapi dapat TeCu, basmi dan TeCu berhasil menemukan surat perintah tinggalan Yong Ceng. Dengan ini, TeCu lampirkan.”
Keh Lok membalik lembar yang paling belakang, dan betul juga disitu terdapat sebuah sampul yang tertutup, diatasnya tertulis:
“Kalau aku mangkat, Tan Su Kwan dan isterinya masih hidup, lekaslah dibunuh.”
Itulah tulisan tangan kaisar Yong Ceng, dibelakangnya terdapat sebuah Cap kecil berbunyi “bu-wi.” Teringat oleh Keh Lok akan penuturan menyang Gihunya, bahwa kaisar Yong Ceng memelihara serombongan pembunuh yang disebut “hiat-ti-Cu” atau pengsuCur darah. Mereka istimewa disuruh melakukan pembunuhan gelap. Setiap perintah bunuh dari Yong Ceng, tentu diberi tanda Cap “bu-wi.”
“Pada masa itu kepandaian Gihu tentu sudah tinggi. Dua orang hiat-ti-Cu ternyata bukan tandingannya. Karena menolong' ibu, ayahpun turut tertolong. Mungkin Yong Ceng sudah memperhitungkan, selama dia masih hidup ayah dan ibuku tentu terpaksa tutup mulut. Maka dia pertangguhkan perintah bunuh itu sampai dia sudah meninggal,” pikir Keh Lok. Lalu mulailah dia melanjutkan membaca:
“Bupanya Kian Liong tak mengetahui urusan itu, maka dia tak mengirim pembunuh lagi. Tapi TeCu tetap berkuatir, dan tinggal dikamar gadis Chi itu, sampai setengah bulan. Selama itu kebetulan suaminya sibuk mengurus pekerjaan berhubung penobatan raja baru (Kian Liong), jadi dia jarang- pulang. TeCu memang harus menerima hukuman, karena agak lama bergaul dengan gadis Chi, dendam asmara mulai timbul pula, sehingga lupa akan larangan. Hasil dari hubungan itu, ialah puteranya yang nomor tiga. Ini adalah kesalahan TeCu yang ketiga.” Membaca sampai disini, mata Tan Keh Lok serasa berkunangdua. Putera yang ketiga itu, siapa lagi kalau bukan dirinya? Ah, kiranya Gihu-nya itu, sebenarnya adalah ayah kandungnya sendiri. Dengan begini, kesemua haldua yang terjadi diwaktu lampau, misalnya: mengapa ibunya menyuruhnya ikut pada gihu, mengapa surat tinggalan dari ibunya itu terbakar, mengapa tak lama setelah ibunya menutup mata Gihunya pun sangat mereras dan segera menyusul mati, mengapa surat tinggalan ibunya itu memuat kata-kata “dipaksa menikah dengan keluarga Tan,” “hidup direnung kedukaan” dan sebagainya.
Kesemuanya itu kini menjadi jelas baginya. Timbul serentak sesuatu perasaan dalam hati nuraninya, tak tahu dia mengatakan, berdukakah atau kasihankah? Menyesal atau mengutuk?
Sejenak dia termenung, lalu menyeka air matanya dan meneruskan baca:
“Melanggar tiga pantangan itu, TeCu merasa tak tenteram, dan membawakan hal ihwal kesemuanya itu s kehadapan Insu, untuk memohon pengampunan.” Demikianlah tulisan Sim Ju Kok. Sedang dua baris tulisan dibawahnya terang adalah sang Suhu yang memberikan keputusannya. Bunyinya jalah:
“Sim Ju Kok telah melanggar tiga macam pantangan, kalau dia sudah dapat menginsyapi dan kembali kejalan terang, sedangkan Buddha masih dapat mengampuni 10 macam kesalahan, masakah aku tidak? Tapi kalau masih membiarkan diri terlihat dalam urusan perCintaan yang terlarang dan tak dapat memutuskan perhubungan itu, segera akan dikeluarkan dari Cabang kita. Kuharap dia dapat melaksanakan baik-baik , sianCay, sianCay!”
Demikian tulisan yang singkat itu.
“Jadi gihu............... ah, ayahku selalu masih terkenang akan itu, sehingga tak dapat menCuCikan diri menjadi “hweshio dan akhirnya keluar dari Siao Lim Pai. Karena merasa bersalah, maka ketika Suhu (Thian-ti-koayhiap) akan mengundang sahabat sahabatdua kangouw untuk meminta penjelasan kegereja Siao Lim, dia menolaknya”, pikir Keh Lok.
Baginya, kini telah jelas semua. Surat itu dibungkusnya pula, lalu ia berjalan keluar. Waktu itu sudah terang tanah. Pada pintu keluar dari ruangan itu, tampak sebuah patung Bi Lek Hud bersenyum simpul. Diam-diam pikiran Keh Lok melayang bagaimanakah perasaan ayahnya (Sim Ju Kok) ketika diusir keluar dari ruangan itu?
Pada lima ruangan yang dimasukinya tadi, kini tak tampak seorangpun jua. Sekeluarnya dari ruang yang penghabisan tampaklah disana sudah, siap menyambut Ciu Tiong Ing, Liok Hwi Ching dan semua orang gagah dari HONG HWA HWE mereka sama girang nampak Keh Lok tak kurang suatu apa dan membawa sebuah bungkusan. Tapi untuk keheranan mereka, kini sikap Keh Lok1 sangat lesu, sepasang matanya benjul.
Lalu Keh Lok menuturkan semua yang telah dialaminya.
“Urusan disini sudah beres, baik kita Cari kedua jahanam itu, untuk membalaskan sakit hati Chit-ko,” Bun Thay Lay menyatakan pikirannya.
Semua orang setuju. Ciu Tiong Ing lalu antar Keh Lok masuk untuk berpamitan pada Thian Hong dan Thian Keng. Habis itu mereka siap berangkat. Tapi sekeluarnya dari gereja itu, tiba-tiba wajah Ciu Ki tampak puCat, malah terhuyung-huyung mau jatuh. Ayahnya buru-buru menyambuti dan menuntun kedalam.
Ternyata hal itu disebabkan karena kandungan Ciu Ki yang sudah menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, apalagi ia main mabukduaan dirumah keluarga Pui. Untungnya beberapa hweshio digereja tersebut mengerti akan obatduaan. Setelah diberinya obat, dinasehati supaya tinggal saja digereja itu sampai nanti sudah melahirkan.
Biasanya Ciu Ki itu adatnya bandel, tapi dalam keadaan begitu, terpaksa ia menurut. Menurut permufakatan semua orang, Ciu Tiong Ing dengan isteri, bersama kedua muridnya dan Thian Hong supaya tinggal mengawani Ciu Ki. Setelah melahirkan, boleh lantas menyusul kekota raja.
Karena gereja itu tempat suCi, Ciu Tiong Ing menyewa sebuah rumah yang tak jauh dari situ. Sementara Liok Hwi Ching dan rombongan HONG HWA HWE pun segera berangkat.
Karena dulu menerbitkan onar, kini tak beranilah mereka masuk kedalam kota Tek Hoa. Malamnya, Bun Thay Lay, Jun Hwa, Hi Tong dan Sim Hi dengan menyaru memasuki kota. Ternyata bukan saja Swi Tay Lim dan Seng Hong tak ketahuan rimbanya, pun keluarga Pui juga sudah pindah dari kota tersebut.
Untuk melampiaskan kemendongkolannya, Sim Hi akan lepas api membakar gedung keluarga Pui, tapi diCegah oleh Hi Tong, karena hal itu membahayakan Thian Hong cs. yang tinggal tak jauh dari situ.
Begitulah rombongan meneruskan perjalanannya keutara. Tiba diwilayah Shoatang, musim semi tengah menabur alam dengan warna warni bungaduaan.
Begitulah hari itu mereka sampai dikota Thay An. Thauw-bak HONG HWA HWE daerah situ, memberi keterangan bahwa, pemimpin HONG HWA HWE bagian Hukuman, Ciok Siang Ing, telah datang dari Pakkhia. Semua orang buru-buru menyambutnya dengan girang.
“Capji-ya, penghianat busuk itu sudah mampus?” seru Sim Hi berlarian menyambut.
Ciok Siang Ing terkesiap.
“Thio Ciauw Conglah!” Sim Hi menjelaskan. “Oh, dia?”
“.Ia, digerag'oti habis oleh kawanan serigala,” kata Sim Hi.
Ciok Siang Ing tak keburu menanya lebih jauh, karena dia harus memberi hormat pada CongthoCu dan saudara-saudaranya serta terus diajak masuk. Setelah saling menanyakan keadaan masing-masing, Keh Lok bertanya tentang keadaan dikota raja.
“Dikota raja tak terjadi apa-apa. Kedatanganku kemari hanya perlu memberitahukan bahwa pasukan Bok To Lun lo-enghiong telah musna seluruhnya,” sahut Siang Ing.
Dengan wajah puCat, berbangkitlah Tan Keh Lok seketika.
“Apa?!” tanyanya dengan agak gemetar.
Semua orang pun terkejut sekali oleh kabar itu.
“Ketika kita tinggalkan daerah Hwe, sisa pasukan Tiau Hwi hanya tinggal tunggu kemusnaannya saja. Mereka tak berdaya, dalam kepungan di Sungai-Hitam. Mengapa kini mereka berbalik menang?” tanya Lou Ping.
Ciok Siang Ing menelan ludah, jawabnya: “Tak disangka mereka mendapat bala bantuan dari induk pasukan didaerah Lam Kiang. Tiau Hwi yang mengetahui hal itu dari seorang matadua Hwe yang tertawan, segera membarengi meneryang keluar. Nona Hwe Ceng Tong sedang dalam sakit, tak dapat memberi pimpinan. Bok-loenghiong dan puteranya telah gugur. Nona Hwe Ceng Tong tak karuan rimbanya.”
Keh Lok jatuhkan diri disebuah kursi. Wajahnya yang putih seperti kertas itu, membuat semua orang Cemas.
“Nona Ceng Tong mempunyai ilmu silat yang tinggi, serdadudua Ceng pasti tak mampu menCelakakannya,” menghibur Hwi Ching.
Tahu Keh Lok dan sekalian orang, bahwa LoCianpwe itu tengah menghibur saja. Karena dalam keadaan pasukan yang sudah kaCau, sukarlah orang menjaga diri, terlebihdua seorang gadis yang sedang menderita sakit.
“Nona itu punya seorang adik perempuan, yang orang-orang Hwe menyebutnya Hiang Hiang KiongCu, apakah Capji-ko mendengar beritanya?” tanya Lou Ping sembari memberi isyarat mata pada Siong Ing, siapa pun mengerti makstidnya. Namun susah rasanya akan berbohong.
“Entah, tak kudengar apa-apa. Tapi orang terkenal semacam nona itu, kalau sampai terjadi apa-apa pasti penduduk kota raja sama mendengarnya. Tak ada berita mengenai itu, jadi tentunya ia tak apa-apa.”
Tan Keh Lok bukan tiada tahu bahwa saudara-saudaranya tengah berusaha meredakan keCemasannya. Namun dia bersikap tenang saja, lalu mengajak beristirahat. Sekalian orang mempersilakan dia beristirahat dulu, karena mereka masih mau berCakapdua. Sim Hi disuruh mengawani Siaoya-nya.
Semuanya sama berduka disamping menaruh hormat atas keperwiraan Bok To Lun yang gugur mempertahankan haknya itu. Keadaan menjadi hening sejenak. Tak beberapa lama, tiba-tiba Keh Lok keluar lagi.
“Saudara-saudara, mari kita dahar supaya bisa Cepat-cepat berangkat ke Pakkhia!” serunya.
Orang-orang sama heran melihat perubahan sikap Keh Lok yang kini sudah seperti biasa lagi.
“Pertama bertemu dengan CongthoCumu, bermula kuanggap dia bersifat seperti orang perempuan, kurang gagah. Tapi ternyata kebesaran jiwanya menghadapi kejadian yang seberat itu, sungguh lajak menjadi pemimpin. Kini aku menaruh perindahan padanya,” bisik Lou Ping kedekat suaminya.

Bun Thay Lay hanya aCungkan ibu jarinya, sembari terus makan hidangannya.
Demikian akhirnya rombongan HONG HWA HWE itu sudah tiba di Pakkhia, Ciok Siang Ing telah membeli sebuah gedung. Disitu telah menunggu kedua saudara Siang, Tio Pan San dan Nyo Seng Hiap. Pertemuan kali ini, sungguh menggembirakan sekali.
“Tio-samko, nanti tolong kau bawa Sim Hi menemui Kim-ko-thiat-jiao Pek Cin,” kata Keh Lok pada Tio Pan San.
“Baik. Dan apa yang harus kukatakan padanya,” tanya Pan San.
“Tolong kau berikan padanya khim yang bertatahkan huruf 'Lay Hong' ini padanya. Baginda tentu mengetahuinya.”
Tio Pan San dan Sim Hi segera berlalu. Lewat setengah harian, keduanya sudah datang kembali.
“Aku bersama Tio-samya ..................”
“Hai, apa-apaan masih menyebut 'ya' saja?” menyela Pan San sambil ketawa.
“Ya, aku bersama Tio-samko mendapatkan Pek Cin dirumahnya. Kebetulan dia dirumah” demikian tutur Sim Hi. “Begitu melihat karCis nama Samko, dia Cepat keluar dan mengundang kami duduk minum arak. Setelah itu, baru melepas kami pulang”.
Tan Keh Lok tahu kalau Pek Cin merasa berterima kasih padanya maka sikapnya begitu manis.
Keesokan harinya, Pek Cin datang berkunjung.
“Baginda undang Tan-kongCu keistana”, katanya dengan hormat.
“Baiklah, harap LoCianpwe duduk sebentar”, kata Keh Lok terus masuk kedalam untuk berunding dengan Liok Hwi Ching dan lain-lain.
Semua orang akan berlaku hati-hati. Justeru pada saat itu, Ciok Siang Ing masuk sambil menggandeng Bu Tim, hal mana tambah membuat mereka girang.
“Silakan Totiang mengaso dulu, nanti akan kuajak masuk ke istana,” kata Keh Lok.
Bu Tim girang mendapat tugas penting itu. Malah Wan Ci terus serahkan lengbik-kiam, pedang kepunyaan Ciauw Cong, supaya dipakai Totiang itu.
Menyambuti pedang itu, Bu Tim mengelah napas. “Sayang, dia tidak mati ditanganku,” katanya gegetun.
Begitulah diputuskan, Liok Hwi Ching, Bu Tim, Tio Pan San, kedua saudara Siang dan Jun Hwa akan mengantar Tan Keh Lok keistana. Sedang Bun Thay Lay memimpin saudara-saudaranya untuk melakukan penjagaan diluar istana.
Suasana dalam istana Boan itu, megah dan agung. Temboknya kokoh sekali. Penjagaan yang rapat, dilakukan oleh para si-wi.
Dua orang thaikam (orang kebiri) datang menyambut Pek Cin: “Pek tayjin, baginda berada dipagoda Pao Gwat Lauw, harap kau antar Tan-kongCu kesana.”
Pek Cin mengiakan dan katanya kepada Tan Keh Lok: “Kita sudah memasuki batas istana dalam, harap KongCu titahkan sekalian taruhkan senjatanya disini.”
Sekalipun kelima pengikut itu merasa betapa berbahaya urusan itu, namun dalam keadaan begitu, terpaksa mereka mengindahkan perintah.
Pagoda Pao Gwat Lauw terdiri dari 5 tingkat. Ukirandua dan Cat yang menghiasnya gilang gemilang berwarna keemasan. Indahnya bukan kepalang. Tapi satu hal yang mengherankan ialah, dimuka pagoda itu terdapat banyak sekali tenda orang Hwe. Hal itu mengejutkan Tan Keh Lok yang segera teringat akan nasib dari Hwe Ceng Tong kakak beradik.
Tengah Keh Lok dilamun keheranan itu, tiba-tiba munCullah dua orang thaikam seraya berseru: “Tan Keh Lok dipersilakan menghadap baginda.”
Keh Lok memperbaiki pakaiannya, lalu mengikut masuk. Tapi Bu Tim cs diperintahkan tinggal diluar. Naik loteng keiima, tiba-tiba hidung Keh Lok terCium bebauan yang semerbak sekali wanginya. Melangkah masuk, didapatinya baginda Kian Liong tengah duduk disebuah kursi. Mukanya mengunjuk senyuman.
Buru-buru Keh Lok berlutut menjalankan peradatan dengan hidmatnya.
“Ai, kau sudah datang, bagus, bagus. Duduklah disini,” seru Kian Liong sambil tertawa, seraya memberi isyarat supaya thaikamdua yang berada disitu sama keluar.
Keh Lok melangkah maju, tapi tak berani duduk.
“Duduklah, supaya enak biCara,” kata Kian Liong.
Keh Lok haturkan terima kasih dan duduk.
“Bagaimana pandanganmu, pagoda ini indah apa tidak?” tanya Kian Liong.
“Kalau bukan pagoda dalam istana, masa lain tempat terdapat pagoda yang seindah begini,” sahut Keh Lok.
“Ini saja kusuruh mereka lekas-lekas menyelesaikan, andaikata tak buru-buru, tentu akan lebih bagus lagi. Tapi inipun Cukuplah.”
Timbul dalam pikiran Keh Lok, untuk mendirikan pagoda yang semewah itu, berapakah sudah darah dan keringat rakyat yang diperas. Dan untuk menyelesaikan dalam waktu yang se-singkatduanya, entah sudah mengorbankan berapa jiwa pekerjanya.
Tiba-tiba Kian Liong berbangkit, katanya: “Kau baru kembali dari daerah Hwe, Coba kau lihatdua, apakah keadaan itu tidak mirip dengan pemandangan dipadang sahara!”
Tan Keh Lok mengiringkan baginda kejendela. Ketika memandang keluar, dia tersentak kaget.
Itulah benar-benar suatu pemandangan yang mentakjubkan. Sebuah taman yang ditumbuhi dengan warna warni bunga dan jalanandua yang ber-likudua. Tadi ketika dia masuk dari sebelah timur, yang dilihatnya hanya suatu pemandangan yang indah dan permai. Tapi kini setelah berada di loteng yang teratas dan memandang kesebelah barat, pemandangannya berbeda sama sekali. Kira-kira disekitar daerah satu li, tampak bumi yang ditutupi pasir. Disana sini tampak pagoda kecil, empangdua dan pohon-pohon bunga. Kesemuanya itu mengunjukkan baru saja selesai dikerjakan.
Memang hal itu tak sesuai dengan keadaan padang pasir yang luas bebas, namun pada keseluruhannya, dapatlah dikatakan sudah mendekati.
“Baginda senang akan pemandangan padang pasir?” tanya Keh Lok.
Kian Liong ganda tertawa tak menyahut, tanyanya: “Bagaimana!”
“Banyak sekali sekali menggunakan pekerja,” sahut Keh Lok. Memandang lagi kemuka, dilihatnya beberapa ratus pekerja tengah membongkar rumahdua. Rupanya baginda masih merasa taman itu kurang luas dan minta dilebarkan lagi.
“Apa perlunya taman pasir yang menjemukan mata itu? Sungguh pikirannya itu, sukar diduga,” pikir Keh Lok.
Kembali kedalam ruangan, Kian Liong menunjuk pada khim: “Ambillah lagi khim ini, tapi sebelumnya kau mainkanlah sebuah lagu untukku.”
Karena baginda tak menyinggung urusan yang dikehendaki, Keh Lokpun tak enak menanyakan, ia mulai menyentil snar khim. Kemudian mengalunlah sebuah lagu berjudul “Menghadap baginda.”
Senang rupanya Kian Liong mendengar itu, lalu pelan-pelan menghampiri kedekatnya. Selesai dengan lagunya, buru-buru Keh Lok berdiri. Dilihatnya tangan kiri kaisar itu dibalut dengan kain putih, agaknya terluka.
Melihat orang mengawasi tangannya, muka Kian Liong merah, lalu buru-buru menarik tangannya. Katanya: “Apakah sudah kau bawakan barang yang kukehendaki itu?”
“Sudah, sahabatku yang membawanya. Dia berada dibawah,” jawab Keh Lok.
Kian Liong memungut sebuah martil kecil dipukulkan pelan-pelan kepapan. Seorang thaikam kecil segera datang.
“Suruh pengikut Tan-kongCu kemari,” kata Kian Liong.
Sudah lama Liok Hwi Ching menantikan dibawah dengan gelisah. Ketika diatas loteng terdengar tetabuhan khim, legalah mereka. Begitulah mereka segera mengikut thaikam kecil tadi naik keatas.
Masuk keloteng tingkat dua, sekonyong-konyong didengarnya tindakan kaki orang yang bergegas-gegas dari belakang. Rupanya mereka Cepat-cepat akan naik lebih dulu. Bu Tim dan Jun Hwa yang berada paling belakang, segera menyingkir kesamping. Kedua orang tadi terus berjalan melalui tengahdua, karena kedua saudara Siang tak keburu menyingkir, kedua orang tadi terus mengulurkan tangannya masing-masing untuk memegang pinggang kedua saudara Siang.
“Minggirlah!” bentak mereka.
Berbareng itu, kedua saudara Siang didorong kepinggir. Kedua saudara Siang itu masing-masing membawa sebuah 'giok-bin' (vaas giok). Lorong ruangan itu sempit sekali, tak Cukup untuk 4 orang berjalan berendeng. Karena kuatir vaas tersebut akan kebentur rusak, buru-buru kedua saudara itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan jorokan orang.
Karena seperti mendorong batu yang tak bergerak, malah mempunyai tenaga membal, kedua orang tadi terkejut sekali. Sesaat itu kedua saudara Siang lalu menyingkir kesamping untuk memberi jalan.
Ketika hendak melewati, kedua orang tadi mengawasi persaudaran Siang dengan seksama. Wajah kedua saudara itu seperti kertas putih, alisnya menjulur ke bawah, tubuh-nya kurus tinggi, sikapnya menakutkan telah membuat kedua orang tadi terkesiap kaget.
Juga kedua saudara Siang itupun memandang kepada orang-orang yang mendorongnya tadi. Ternyata mereka dandanannya seperti thaikam. Yang satu bertangan kosong, sedang satunya lagi membawa sebuah kotak. Perbuatannya tadi, mengunjukkan mereka mempunyai ilmu silat yang tinggi. Bahwa dalam istana ternyata ada orang-orang yang sedemikian lihai, sungguh diluar dugaan.
Saat itu, kedua thaikam tersebut. sudah tiba dibelakang Liok Hwi Ching dan Tio Pan San, Setelah saling memberi isyarat, kedua thaikam itu mengulurkan sebelah tangannya untuk menepuk pundak kedua jago tua itu: “Minggirlah!”
Liok Hwi Ching adalah jago kenamaan dari Cabang Bu Tong Pai, sedang Tio Pan San adalah Ciang-bun-jin (ahliwaris) dari Thay Kek Lam Pai (Thay Kek Pai sekte selatan). Keduanya adalah jago-jago yang sukar ada tandingannya didunia persilatan.
Serasa ada orang menyerang, Hwi Ching gunakan gerak “Cian-ih-sip-pat-tiat”, sedang Tio Pan San gunakan bagian jurus “tam-Ciang”. Terkaman kedua thaikam itu menemui tempat kosong, malah thaikam yang menerkam Hwi Ching itu, terbentur dengan tenaga balasan dari Hwi Ching hingga hampir terhuyung-huyung.
Ketika akan melanjutkan naik, kedua thaikam itu memandang pada Liok dan Tio berdua dengan sorot mata gusar. Salah seorang telah bertanya kepada Pek Cin: “Pek-loji, apakah baginda memakai siwi baru?”
“Beberapa kawan ini, adalah jagoan dari kalangan bulim. Masakah mereka mau bekerja seperti kita orang”, sahut Pek Cin.
Kedua thaikam itu mengeluarkan suara hidung, terus melangkah naik. Liok Hwi Ching cs tak mengetahui, orang macam apakah kedua .thaikam itu. Keduanya berkepandaian tinggi, tapi kelakuannya terhadap Pek Cin tak sungkandua. Begitulah rombongan orang gagah itu kini sudah sampai ditingkat kelima. “Keenam pengiring Tan-kong-Cu sudah menunggu disini”, lebih dahulu Pek Cin berseru ketika masih diluar ruangan.
Thaikam kecil tadi menyingkap kerai, lalu mempersilakan mereka tunggu dahulu. Tak berapa lama, kedua thaikam tadi munCul. Mereka memandang dengan tajam kepada keenam orang itu, terus turun kebawah.
“Silakan masuk”, kata sithaikam kecil.
Pek Cin memimpin masuk. Tampak Kian Liong sedang duduk dan Tan Keh Lok berada disebelahnya. Atas isyarat Tan Keh Lok, terpaksa Hwi Ching dkk.nya berlutut memberi hormat pada kaisar. Diam-diam Bu Tim memaki-maki.
Keh Lok menyambuti sebuah peti kecil yang dibawah Pan San dan diletakkan diatas meja, katanya: “Inilah barang itu”.
“Kau, kau tinggalkan ruangan ini dulu! Sehabis kuperiksa, nanti akan kupanggil kau lagi”, perintah Kian Liong.
Keh Lok memberi hormat akan berlalu. Tapi Kian Liong kembali suruh dia membawa kembali khim tadi. Keh Lok memanggut, dan Jun Hwa yang disuruh membawakan khim itu.
Tiba-tiba Keh Lok menyambuti kotak berisi vaas giok dari kedua saudara Siang, juga ditaruhkan dimeja dan katanya. “Inilah sepasang vas1 giok itu, kini kami kembalikan”.
Kian Liong membukanya. Giok yang gilang gemilang itu, membuatnya gembira dan berulang-ulang memuji kebagusannya.
“Baginda telah dapat menundukkan daerah Hwe, hamba mohon sudi berlaku murah, mengeluarkan firman melarang membunuh rakyat yang tak berdosa”, kata Keh Lok.
Kian Liong tetap mengawasi vaas itu, tangannya memberi isyarat supaya semua orang berlalu. Apa boleh buat, terpaksa Keh Lok ajak rombongannya mengikut Pek Cin keluar.
Sampai diloteng bawah, kedua thaikam yang pandai silat tadi memapaki, serunya: “Pek-laoji, sahabat dari manakah, harap kau perkenalkan pada kami berdua.”
Pek Cin agaknya jeri terhadap kedua thaikam itu, katanya kepada Tan Keh Lok: “Marilah, kuperkenalkan pada kedua jagoan dari istana ini. Ini, adalah Ti Hian, Ti kong kong, dan ini, Bu Bing Hu, Bu kongkong.” (Kongkong adalah panggilan menghormat pada kaum thaikam).
Karena sedang melaksanakan usaha besar, Keh Lok tak mau bentrok dengan setiap penghuni istana. Sekalipun hatinya memandang rendah manusia-siamacam itu, namun diluar, terpaksa dia berlaku hormat.
“Sudah lama kami mendengar nama yang kesohor dari kedua kongkong,” katanya.
Lalu Pek Cin pun perkenalkan Tan Keh Lok pada kedua thaikam itu:
“Inilah Tan-kongCu, yang baginda jumpai ketika beliau meninjau daerah selatan. Rupanya baginda sangat sayang, dan mengundangnya kemari. Tak lama mungkin akan diberi jabatan.”
Tertawalah Ti Hian thaikam, katanya: “Engkoh yang begitu Cakap, mungkin masih terlalu muda untuk dnyadikan Tayhaksu.”
Mendengar thaikam itu agak tidak memandang mata padanya, Keh Lok tetap bersikap sabar. Tidak demikian halnya dengan kedua saudara Siang, yang dengan mata melotot terus akan bertindak.
Cepat Pek Cin menyelak dan perkenalkan juga Liok Hwi Ching, Bu Tim dan lain-lainnya.
Ti dan Bu kedua thaikam itu, adalah anakduanya hiat-thi-Cu yang dipelihara Yong Ceng almarhum. Kiranya Yong Ceng adalah seorang kaisar yang penuh dengan siasat jahat. Setelah kedua hiat-thi-Cu (pembunuh gelap) disuruhnya membunuh keluarga menteri besar Ong Kong, karena kuatir rahasianya bocor, kedua hiat-ti-Cu itupun diraCunnya. Lalu puteradua mereka dipelihara dan dnyadikan thaikam.
Sejak kecil Ti Hian dan Bu Bing Hu, mendapat latihan silat dari beberapa sahabat mendiang ayahnya. Keduanya menjadi lihai, hanya sayang, mereka sama sekali tak kenal akan jago-jago kenamaan dikalangan kangouw. Maka sekalipun nama Liok Hwi Ching dan Bu Tim yang begitu kesohor, dianggapnya sepi saja.
“Mari berjabatan tangan,” seru kedua thaikam itu seraya mengulurkan tangan.
Tadi sewaktu naik loteng, karena luput menerkam pundak Liok dan Tio berdua, rupanya kedua thaikam itu penasaran sekali. Sekarang benar-benar akan menjajalnya.
Ti Hian meyakinkan ilmu silat “pat-kwa-Ciang,” seCabang dengan Wi-tin-ho-siok Ong Hwi Yang, itu pemimpin Tin Wan piauwkiok. Bu Bing Hu sebaliknya mempelajari ilmu silat “thong-pi-kun.”
Begitu berjabatan, kedua thaikam itu terus akan memnyatnya keras-keras. Maksudnya supaya Liok dan Tio berdua berteriak kesakitan. Tapi tak disangkanya, kalau tangan Tio Pan San luar biasa liCinnya, bagaikan diminyak. Begitu Ti Hian memnyat, tangan Pan San seolah-olah seperti ikan yang melejit keluar.
Nama julukan Hwi Ching adalah “bian-li-Ciam”, jarum yang berada didalam kapas. Diluar, gerakannya tampak lemah, tapi didalamnya mengandung tenaga yang maha dahsyat. Ketika Ti Hian memnyat, segera ia rasakan seperti memnyat segumpal kapas. Dia kaget bukan kepalang, dan buru-buru menarik tangannya. Terlambat sedikit saja pasti tangannya akan terkena tenaga membalik dari Hwi Ching.
“Liok-loji sungguh hebat lwekangnya,” kata Ti Hian dengan meringis. Lalu berpaling kepada kedua saudara Siang, dia berkata: “Jiwi ini luar biasa sikapnya, tentu ilmu silatnya pun luar biasa. Mari kita berjabatan.”
Kedua saudara Siang saling kedipi mata, kemudian menjabat tangan kedua thaikam itu. Kedua saudara Siang itu ternyata sepikiran: “Kura-kura yang tak berbenih ini, sombong amat, biar dikasih sedikit rasa.”
Keistimewaan dari kedua saudara Siang itu ialah ilmu “hek-soa-Ciang,” tangan pasir hitam. Mungkin dalam dunia kangouw, hanya ada kedua saudara itu yang mahir dalam ilmu tersebut. Begitu berjabat, wajah kedua thaikam itu segera berobah. Butir-butir keringat sebesar kedele, ber-ketesdua turun dari dahinya.
Tahu Pek Cin bahwa kedua thaikam itu sedang menderita, tapi dia pura-pura tak tahu. Kiranya kedua thaikam itu adalah pengawal peribadi dari Hongthayhouw (ibusuri, janda kaisar Yong Ceng). Dengan andalkan pengaruh Thayhouw, keduanya tak menggubris pada baginda Kian Liong. Yangan dikata lagi terhadap kawanan siwi raja itu. Maka kawanan siwi sama benci kedua thaikam itu, hanya diluarnya, mereka tak berani dan terpaksa berlaku hormat. Kini mengetahui keduanya mengalami kesakitan, diam-diam Pek Cin malah bergirang.
Tahulah kedua saudara Siang itu, bahwa kalau terus dilanjutkan, kedua thaikam itu tentu tak kuat menahan. Maka dengan tersenyum, tangannya segera dibuka.
Rasa sakit yang diderita kedua thaikam itu sampai menembus keulu hati. Ketika diperiksanya, ternyata telapak tangan mereka seperti diCap dengan jari tangan, bekasnya sangat dalam dan kehitam-hitaman. Dengan menggigit bibir, mereka memandang kedua saudara Siang itu dengan penuh kebencian, kemudian berlalu.
Almarhum Thio Ciauw Cong yang begitu hebat kepandai-annya, ketika kesamplokan dengan kedua saudara Siang di bukit Oh-siauw-nia tempo hari juga kena diterkam oleh Siang Pek Ci. Betul Ciauw Cong dapat merontadua lepas, tapi tak urung dia terluka. Ini Ciauw Cong, yangan kata kedua thaikam tersebut.
“Hek-soa-Ciang dari Siang-hiap, sungguh hebat. Kedua thaikam itu sangat jumawa, biar mereka tahu rasa”, kata Pek Cin dengan girang.
Sampai diluar istana, Bun Thay Lay cs menyambutnya. Pek Cin minta diperkenalkan pada Bun Tay Lay. Lihat Thay Lay yang bertubuh tinggi besar sikapnya gagah, diam-diam Pek Cin mengaguminya.
Kini diCeritakan sewaktu Tan Keh Lok cs sudah berlalu. Kian Liong lalu membuka peti kecil itu. Nampak suratdua yang ditulis oleh kaisar Yong Ceng dan ibu kandungnya (Tan hoejin), kaisar itu terkenang akan budi keCintaan ayah bundanya. Tanpa terasa, dia menguCurkan air mata.
Setelah termenung beberapa saat, Kian Liong suruh thaikam kecil ambilkan api, suratdua dalam peti kecil itu lalu dibakarnya. Serasa hati kaisar itu lega dan gembira. Peti kecilpun turut dibakarnya. Kemudian ia memandang pada vaas giok dan segera memerintah pada thaikam kecil:
“Suruh dia naik”.
Setelah berselang lama, thaikam kecil itu datang kembali, lalu berlutut dan lapor: “Hamba mohon ampun, Nio-nio (Nyonya) tak mau datang”.
Kian Liong tertawa, kemudian mengelah napas. Dia berbangkit, memberi isyarat kepada kedua thaikam kecil supaya membawa kedua vaas giok itu, dan mengiringkannya turun.
Sampai diloteng sebelah bawah, para kiongli (dayang) yang menjaga segera menyingkap kere dan masuklah Kian Liong kedalam. Ruangan itu penuh ditaburi bungaduaan, baunya menusuk hidung. Dua orang kiongli segera menyambuti sepasang vaas giok tadi, lalu diletakkan hati-hati diatas meja.
Didalam ruangan itu terdapat seorang gadis berpakaian putih, yang tengah memandang kesebelah sini. Demi didengar derap kaki orang, dia lalu berbalik menghadap ketembok. Atas isyarat Kian Liong, para kiongli itu berlalu. Tapi ketika Kian Liong hendak membuka mulut, tiba-tiba pintu kerai tersingkap dan masuklah Ti Hian dan Bu Bing Hu thaikam, lalu tegak berdiri disamping dengan tangan di rangkapkan kebawah.
“Mengapa kalian kemari, Ayo, enyahlah!” hardik Kian Liong dengan murkanya.
“Hamba dititahkan Thayhouw untuk menjaga paduka,” sahut Ti Hian.
“Mengapa aku harus dnyaga?”
“Hong-thayhouw tahu bahwa ia............ Nio-nio berwatak keras, dikuatirkan akan melukai tubuh emas paduka,” kembali Ti Hian menjawab.
“Siapa yang mengadu pada Hongthayhouw?”
Ti dan Bu kedua thaikam serentak berlutut dan menyahut: “Hamba sungguh tak berani.”
Kian Liong perdengarkan suara hidung yang menjemukan: “Kalau bukan kalian berdua, siapa lagi? Ayo, lekas enyahlah!”
Kedua thaikam itu kembali memanggutkan kepala, tapi tak mau pergi dari situ. Tahu Kian Liong bahwa dengan titah Thayhouw itu, biar bagaimana kedua thaikam itu pasti tak mau enyah. Apalagi mengingat hal itu untuk kebaikannya. Kian Liong tak mempedulikan kedua orang kebiri itu lagi.
Kemudian ia berpaling kearah sigadis berpakaian putih, berkatalah kaisar itu: “Coba kau berpaling, aku hendak berkata padamu.”
Anehnya, kaisar itu menggunakan bahasa daerah Hwe, Namun gadis itu tetap tak bergerak, tangannya kanan memegang keras-keraspada sebuah pedang pendek.
“Lihatlah sejenak benda apa yang diatas meja itu,” kembali Kian Liong membujuknya.
Bermula gadis itu tak menghiraukan. Tapi karena sudah watak seorang dara, rasa kepingin tahu tetap menyelubungi pikirannya. Lewat beberapa jurus, ia miringkan kepalanya untuk melirik kearah meja. Demi tampak diatas situ terdapat sepasang vaas giok putih yang kemilau, mendadak gadis itu berbalik badan untuk memandang lebih seksama.
Berbareng dengan g'erakan tubuhnya itu, bau harum menyampok hidung Kian Liong dan kedua thaikam tadi. Parasnya yang gilang gemilang dan matanya yang bersorot bening, sangat mempesonakan. Kiranya gadis ini bukan lain adalah Hiang Hiang KiongCu atau Asri alias Puteri Harum.
Sejak Bok To Lun gugur, Hiang Hiang menjadi tawanan panglima Tiau Hwi, siapa karena ingat akan kata-kata Ciauw Cong bahwa. baginda menghendaki nona Ui tersebut, maka diangkutnya kekotaraja memakai kereta yang mewah dan penuh kebesaran.
Tatkala dahulu melihat lukisan nona Cantik pada vaas giok, Kian Liong sudah jatuh rindu. Maka ketika vaas giok diCuri Lou Ping, saking gusarnya Kian Liong titahkan bunuh kedua si-wi penjaga vaas tersebut. Karena dorongan dendam asmara yang tak tertahan, raja Boan itu terus mengutus Ciauw Cong kedaerah Hwe. Biar bagaimana, gadis jelita itu harus dapat dibawa kehadapannya.
Baginda ternyata sudah begitu ter-giladua. Siang malam beliau selalu terkenang. Agar bisa sambung biCara, beliau sengaja panggil seorang guru bahasa Uigor untuk mengajarnya. Dan karena beliau memang berotak terang, tak berapa lama bahasa suku tersebut pun dapat dikuasainya.
Tapi sedikitpun beliau tak menyangkanya, bahwa hati Hiang Hiang sudah terCuri oleh Tan Keh Lok. Tambahan pula nona Ui itu sudah punya rasa benci pada raja Boan itu, sebagai pembunuh ayahnya. Beberapa kali karena akan dipaksa, Hiang Hiang sudah akan, membunuh diri. Tapi setiap kali tak jadi karena terkenang akan Tan Keh Lok yang pernah menjanjikan hendak membawanya pesiar melihatdua Tiang Shia (Tembok Panyang). Sudah menjadi keyakinan” yang terpanCang dalam hati Hiang Hiang, anak muda itu pasti akan datang menolong. Dengan keyakinan itulah Hiang Hiang kuatkan hatinya untuk menolak segala bujuk paksaan baginda.
Sebaliknya dari gusar, Kian Liong' malah merasa Cemas balaudua nona Ui itu akan mereras. Dipanggilnya seluruh tukangdua pandai dikota raja, ditugaskan membuat sebuah pagoda Po Gwat Lauw untuk tempat tinggal Hiang Hiang.
Demikian Kian Liong menyanjung Hiang Hiang, sehingga diumpamakan puteri Ui itu laksana dewi yang bersemajam dirembulan, atau sama dengan bidadari.
Namun Hiang Hiang tak menghiraukan. Semua perabot dan perhiasan mewahdua dalam pagoda itu, yangan kata disentuh akan dipakainya, sedang dilihatnya saja pun enggan. Haridua ia selalu termenung memandang kelangit. Pikirannya me-layangdua akan penghidupannya yang tenang gembira di padang pasir.
Beberapa kali baginda diam-diam mengawasinya. Sewaktu nampak bagaimana Hiang Hiang memandang kelangit, mullutnya menyungging senyuman, baginda tak dapat menahan rindu asmaranya. SeCepat kilat beliau maju memeluk. Tapi berbareng itu, sebuah benda berkilau menyambar mengarah dadanya. Itulah badi-badi yang dipakai Hiang Hiang untuk menikam.
Beruntung raja itu gerakannya linCah, sedang Hiang Hiang tak mengerti ilmu silat, sehingga beliau dapat menghindari sebat sekali. Namun tak urung, tangan kirinya kena tertusuk, hingga darah menguCur deras.
Saking kagetnya, baginda mengeluarkan keringat dingin. Dan sejak itu, tak berani beliau berlaku gagahduaan mendekat lagi.
Peristiwa itu didengar oleh Thayhouw, siapa segera titahkan dayang dan thaikam untuk merampas senjata nona Ui tersebut. Tapi Hiang Hiang menganCam, barang siapa berani mendekatinya, ia akan bunuh diri. Kian Liong terpaksa mengalah dan suruh thaikam berlalu serta selanjutnya tak berani melakukan paksaan lagi.
Sekalipun begitu, Hiang Hiang masih selalu berkuatir, yangan-yangan hidangan dan minuman untuknya diCampuri obat bius, maka selain buah semangka, ia tak mau memakan semua hidangan itu.
Baginda sengaja titahkan membuat sebuah kolam mandi <lisebelah paseban Bu Ing Tian, tapi sebaliknya Hiang Hiang malah menjahiti rapat-rapat pakaian yang dikenakan. Puteri Ui itu mempunyai suatu Ciri yang istimewa: makin lama ia tak mandi, keringat tubuhnya makin berbau harum.
Ketika ia berpaling untuk mengawasi kedua buah vaas giok itu, tangannya tak lupa untuk memegang ujung badi-badi-nya. Karena dikuatirkan Kian Liong akan menjalankan tipu muslihat padanya.
“Dulu sewaktu kulihat gambarmu divaas itu, aku tak perCaja kalau didunia ini terdapat seorang mahluk yang seCantik itu. Tapi ternyata setelah kini aku berhadapan dengan orangnya sendiri, malahan kuanggap gambar itu masih jauh lebih kalah dengan orangnya,” Kian Liong mengelah napas.
Hiang Hiang membisu.
“Se-hariduaan kau berduka saja, apakah kau terkenang akan rumahmu? Coba kau lihat kejendela sini!” Kian Liong berkata lagi.
Hiang Hiang dapatkan Kian Liong bersama dengan dua erang thaikam berada dipinggir jendela. Ia segera keluarkan suara jengekan dan jebikan bibir. Melihat itu Kian Liong tersedar dan lalu menyingkir keujung sana sembari memerintahkan kedua thaikam berlalu.
Setelah mereka menyingkir, baru Hiang Hiang pelan-pelan mendekati jendela dan meninjau keluar. Ia lihat sebuah padang pasir, disana sini tampak beberapa perkemahan orang Ui dan pada tempat yang jauh terdapat sebuah mesjid. Hati Hiang Hiang seperti dibetot, dua butir air mata menetes turun. Teringat ia akan ayah dan orang-orang tua bangsanya yang telah menjadi korban pasukan Ceng. Seketika timbullah kemarahannya. SeCepat kilat ia berpaling, tangannya menyambar sebuah vaas giok terus ditimpukkan kearah kepala baginda.
Bu Bing Hu thaikam Cepat melesat kemuka baginda untuk menyanggapi. Tapi vaas itu sangatlah liCinnya, sehingga melejit lepas dari tangannya, jatuh hanCur ketanah. Menyusul dengan itu, Hiang Hiang timpukkan lagi vaas yang kedua. Ti Hian thaikam kini yang menyambutinya dengan sepasang tangan. Tapi tetap vaas itu merosot dari tangannya dan jatuh berantakan. Demikianlah, sepasang benda yang jarang terdapat didunia, musna ber-keping-keping.
Takut kalau sinona akan menyusuli dengan lain-lain benda yang membahayakan baginda, Bu-thaikam lonCat menangkap tangan Hiang Hiang. Tapi nona itu kelihatan gerakkan pedangnya kearah lehernya sendiri.
“Tahan!” seru baginda dengan gugup.
Bu-thaikam tarik tangannya, sedang Hiang Hiang pun Cepat mundur. Tiba-tiba “brakk,” sebuah benda lolos jatuh dari tubuh sinona. Takut kalau itu adalah senjata rahasia, Bu-thaikam Cepat-cepat memungut. Tetapi itu hanya sebuah mainan giok permata. Benda itu diserahkan kepada baginda.
Nampak benda itu, wajah baginda berobah puCat. Itulah batu mustika yang dahulu di Hayleng, diberikannya kepada Tan Keh Lok dengan pesanan supaya diberikan pada orang yang dipenujuinya. Apakah kedua orang itu sudah berkenalan? Demikian pikirnya.
“Kau kenal padanya?” buru-buru Kian Liong bertanya. “Dari mana kau peroleh batu mustika ini '?”
“Mana, kasih kembali padaku,” sahut Hiang Hiang sambil ulurkan tangannya.
Makin bertambahlah Cemburuan baginda.
“Jawablah, siapa yang memberikannya padamu, nanti kukembalikan!”
“Suamiku!” sahut Hiang Hiang Cepat.
Bukan kepalang kaget baginda, diulanginya bertanya: “Jadi kau sudah kawin?”
“Sekalipun tubuhku belum menjadi miliknya, tapi hatiku sudah kuserahkan padanya. Dia adalah seorang yang paling gagah berani didunia. Lihat saja, dia pasti akan dapat membebaskan diriku dari sini. Biar kau seorang raja, dia tak nanti jeri padamu, begitu pula aku.”
Hati Kian Liong makin mendidih, katanya: “Kutahu siapa yang kau maksudkan itu. Dia adalah ketua dari HONG HWA HWE, Tan Keh Lok namanya. Dia hanya seorang kepala gerombolan dikangouw, apanya yang mesti dikagumi?”
Mendengar jawaban baginda itu, diluar dugaan, Hiang Hiang malah kelihatan girang. Katanya: “Apa? Kaupun kenal padanya. Nah, sebaiknya kau lekas bebaskan diriku,” katanya.
Kian Liong mendongak kemuka. Tiba-tiba tertumbuklah pandangannya pada sebuah kaCa. Disitu tampak duplikat dirinya dengan jelas. Dia insyap, bahwa dirinya kalah tampan dan kalah muda dengan Tan Keh Lok. Seketika rasa Cemburu dan dengki menCengkeram batinnya. Mainan giok itu segera ditimpukkan kepada kaCa hingga kaCa itu hanCur berantakan.
Hiang Hiang Cepat memungut mainan itu, dan diulapnya dengan penuh rasa sayang. Nampak itu makin men-jadidua-nya kemarahan baginda. Dengan membanting kaki, beliau berlalu dari situ.
Hampir setengah harian baginda duduk termenung menyekap diri dalam kamar tulisnya.
“Aku seorang yang dipertuan diseluruh negeri. Tapi ternyata seorang gadis dari lain suku telah berani menolak getas kehendakku, disebabkan Tan Keh Lok menyelak ditengahdua. Dia menganjurkan aku mengusir orang Boan dan membangunkan pula kerajaan Han. Memangnya suatu Citadua yang indah. Tapi apakah hal itu tidak akan 'gagal menggambar harimau, berbalik menjadi gambar anjing'. Usaha besar gagal, berbalik mengantar jiwa dengan sia-sia. Ber-bulandua sudah kupertimbangkan soal itu, namun belum dapat kuambil putusan. Ah, bagaimana baiknya?” demikian Kian Liong me-nimbangdua dalam pikirannya. Tapi pada lain saat dia berpikir lagi: “Ah, kesemuanya itu tergantung padaku sendiri, tak perlu kubimbang. Andaikata kusetuju melaksanakan usaha itu, dan berhasil, tidakkah berarti aku akan selalu dibawah tekanan Tan Keh Lok? Jadi aku tak lebih hanya merupakan raja boneka saja! Dan mengapa kuharus membuang kemegahan didepan mata untuk mengejar kemuliaan yang belum tentu dapat kunikmati? Hati gadis Ui itu sudah terpikat olehnya, baik, sekali tepuk akan kutangkap dua ekor lalat.”
Setelah mengambil ketetapan, dipanggilnya Pek Cin.
“Pada setiap ruangan tingkat Po Gwat Dauw, taruhlah 4 orang si-wi (jago pengawal) kelas satu. Diluar pagoda, siapkan lagi dua0 orang Si-wi. Yangan sekali-kali hal ini sampai bocor,” perintah sang junjungan.
Pek Cin menjura selaku tanda menerima titah.
“Panggil Keh Lok ke Po Gwat Lauw. Katakan aku hendak membiCarakan urusan penting, yangan dia membawa pengikut!”
Lebih dahulu Pek Cin mengatur penjagaan, baru mengundang Tan Keh Lok. Diam-diam dia kuatir akan keselamatan ketua HONG HWA HWE Itu, pikirnya:
“Kalau dia datang seorang diri, biar kepandaiannya menyundul langitpun, tak nanti dia sanggup melawan 40 orang si-wi. Dia telah melepas budi padaku, mengapa aku takkan membalasnya? Tapi titah baginda itu tak boleh dibocorkan padanya. Biar kulihat perkembangannya nanti.”
Mendengar perintah kaisar, Tan Keh Lok segera berganti pakaian. Liok Hwi Ching dkk. sama mengutarakan kekuatirannya. Tapi ketua HONG HWA HWE telah mengambil putusan, apapun yang akan terjadi, dia tetap akan menghadap kaisar.
“Totiang, kalau aku sampai tak kembali, pimpinan HONG HWA HWE harap Totiang pegang untuk menCari balas,” kata Keh Lok pada Bu Tim.
“Harap CongthoCu tak usah kuatir,” sahut Bu Tim.
“Saudara-saudara, tak perlu menyambut diluar istana. Kalau dia hendak menCelakakan diriku, saudarapun pasti terlambat akan menolongku. Bahkan nanti saudara-saudara akan terlibat bahaya sendiri,” kata Keh Lok pula.
Semua orang HONG HWA HWE dapat dibikin mengerti.
Sampai Keh Lok kedalam Kota Terlarang (komplek istana) haripun sudah gelap. Dua orang thaikam dengan membawa teng, menjadi penunjuk jalan. Naik sampai ketingkat 4 dari Po Gwat Lauw, thaikam melaporkan kedatangannya. Keh Lok dititah masuk kesebuah ruang kecil disamping loteng, disitu tampak baginda Kian Liong tengah duduk termenung. Keh Lok buru-buru berlutut memberi hormat. Kian Liong mengisyaratkannya duduk.
Tampak pada dinding dimuka Keh Lok, sebuah lukisan koleksi istana Han yang sangat “hidup” sekali. Disebelahnya, terdapat sepasang lian buah tulisan baginda Kian Liong sendiri, berbunyi sbb.:
Meskipun ambekan baginda Seng Siao Ong besar” tapi akhirnya hanya kemasgulan yang diperolehnya.
Nyata tulisan Kian Liong itu ditujukan untuk dirinya sendiri, diibaratkan seperti raja Han tersebut.
“Bagaimana?” tanya baginda melihat Keh Lok membaca lian itu.
“Baginda berambekan tinggi, serupa dengan baginda Sin Bu, kalau dapat menyelesaikan usaha besar itu nama baginda turun temurun akan dimuliakan, jauh lebih berjasa dari sejarah Han mengusir Cin, kerajaan Beng meruntuhkan Gwan Tiauw.”
Mendengar pujian itu, hati Kian Liong membubung tinggi. Sambil mengurut jenggot, beliau terhening sejenak, kemudian ketawa. Katanya: “Kita berdua meskipun kedudukannya antara raja dengan menteri, tapi hubungan kita adalah hubungan saudara. Kelak kau harus sungguh-sungguh membantu aku.”
Hati Keh Lok tergetar. Di kiranya setelah melihat buktidua dan suratdua itu, kini Kian Liong mau mengakui saudara padanya. Dan uCapan tadi, mengunjuk kalau beliau setuju untuk melaksanakan gerakan besar itu.
Saking girangnya, Keh Lok berlutut dan menjura: “Baginda seorang junjungan yang agung perwira, itu merupakan berkah besar pada seluruh rakyat.”
Tapi sebaliknya girang, baginda mengelah napas. “Sekalipun aku seorang kaisar, namun kalah berbahagia dengan kau,” katanya.
Keh Lok melengak.
“Pada bulan delapan di Hayleng kuhadiahkan padamu sebuah batu ikat pinggang giok. Apa barang itu kini kau bawa?”
“Baginda titahkan hamba kasihkan pada orang pilihanku, kini telah hamba berikan.”
“Kau berpemandangan luas, yang kau penujui, tentu seorang wanita yang terCantik didunia.”
“Sayang ia tak ketahuan rimbanya, entah hidup atau mati,” mata Tan Keh Lok mulai merambang merah. “Kalau gerakan baginda itu sudah selesai, hamba akan menCarinya sampai ketemu.”
“Tentunya kau sangat mencintainya bukan?”
“Ya,” sahut Keh Lok tak lampias.
“Honghouw (permaisuri) seorang Boan, kau sudah mengetahui bukan?” “Ya.”
“Honghouw sayang sekali padaku. Beliau sangat pandai dan berpengaruh. Kalau aku bersekongkel denganmu, beliau pasti akan merintangi mati-matian. Coba, kau pikir bagaimana baiknya?”
Pertanyaan itu sukar untuk Keh Lok menjawabnya. “Baginda lebih tahu, hamba tak dapat memberi pertimbangan.”
“Antara rumah tangga dan negara, harus dipisahkan. Pada akhirdua ini, aku tenggelam dalam kebingungan. Dan lagi aku masih mempunyai satu soal besar, sayang tiada orang yang dapat kubagikan derita bathinku itu,” kata baginda.
“Apa yang baginda titahkan, hamba tentu tak akan menolak.”
“Ah, sebenarnya seorang lakidua sejati tidak nanti merampas kesayangan orang lain,” Kian Liong mengelah napas. “Tapi bagaimana akan menghindarinya, ah, Cinta punya bisa. Bagaimana kuharus berbuat? Coba tengoklah kesana!”
Kian Liong menunjuk kesebuah ruangan disebelah barat, kemudian beliau berbangkit terus naik keloteng atas, meninggalkan Keh Lok seorang diri tanpa mengerti apa yang dimaksud dengan uCapan baginda itu.
Setelah menenangkan diri, anak muda itu lalu menyingkap sekosel pintu untuk masuk kedalam. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya dengan diterangi oleh lilin. Seorang gadis duduk termenung disitu. Tan Keh Lok seperti terpaku. Mulutnya bungkam dalam seribu bahasa. Hiang Hiang bermula enggan menengok kebelakang. Tangannya eratdua memegang batang pedang, siap menghadapi. Tapi ketika dilihatnya orang yang siang malam dirindui berdiri dibelakangnya, ia menjerit kegirangan terus lari menubruk kedalam rangkulan sianak muda.
“Kutahu kau pasti akan datang menolongku, karenanya kutetap bersabar menunggumu”.
“Asri, apakah kita ini sedang bermimpi?” tanya Keh Lok sambil memeluknya.
Hiang Hiang menggelengkan kepala, air matanya berketes turun.
Bukan main rasa Syukur Tan Keh Lok atas budi kebaikan baginda, yang telah begitu baik untuk mengambil nona yang dikasihinya itu dari tempat yang begitu jauh. Luapan hati yang mencinta, telah mendorong Keh Lok untuk memberi Ciuman pada nona itu. Begitulah kedua orang muda itu, seketika tenggelam dalam alam ke bahagiaan.
Lewat beberapa saat kemudian, Hiang Hiang menunjuk pada kaCa Cermin yang pecah seraya mengeluarkan batu mustikanya: “Dia rampas mainanku ini untuk menghantam kaCa itu hingga pecah.”
“Siapa?” tanya Keh Lok terkejut.
“Raja busuk itu”.
Keheranan Keh Lok makin menjadi, tanyanya: “Mengapa?”
“Kukatakan padanya, kutetap tak jeri menghadapi paksaannya, karena kau pasti datang menolong. Dia marah-marah dan Coba menarikku, tapi kumembawa pedang ini”.
Kepala Keh Lok seakan-akan pecah seperti disambar petir, katanya tanpa sadar: “Pedang?”
“Hm, ketika ayah menutup mata, akulah yang mendampingi. Ayah memberiku pedang ini dengan memesan lebih baik kubunuh diri daripada diCemarkan musuh. Bunuh diri karena membela kesuCian wanita Islam, Allah takkan mengutuknya.”
Tampak pula oleh Keh Lok bagaimana pakaian Hiang Hiang itu dnyahit rapat-rapat. Diam-diam dia memuji akan kekerasan hati dara yang bertubuh lemah itu. Teringat juga dia entah beberapa kali sudah dia bersama nona itu menghadapi bahaya. Seketika hatinya penuh dengan bermacam perasaan. Tanpa merasa dipeluknya gadis itu kembali.
“Kiranya baginda mengambil Asri kemari itu, untuk kepentingannya sendiri. Beliau membangun taman bergurun, mendirikan kemahdua dan mesjid itu, untuk mengambil hatinya. Tapi Asri tak mau. Mungkiri sudah beberapa kali baginda hendak melakukan paksaan, tapi senantiasa gagal. Ah, mengapa tadi baginda mengatakan kalau ia kalah beruntung dengan aku itu, kiranya soal inilah yang dimaksudkan”, pikir Keh Lok.
Didalam pelukan sianak muda, Hiang Hiang merasa aman sekali. Dan karena sudah ber-haridua ia tak dapat tidur pulas, tanpa merasa kini ia tertidur.
“Beliau mengidinkan kubertemu dengan Asri, apakah maksudnya? Beliau mengemukakan hubungannya dengan Honghouw. Untuk melaksanakan gerakan besar itu, hubungan tersebut. harus dikesampingkan. Antara rumah tangga dan negara, salah satu harus dikorbankan. Ja, apakah maksudnya.........”
Berpikir sampai disini, Keh Lok menguCurkan keringat dingin, tubuhnya gemetar. Tapi Hiang Hiang tetap pulas dengan bibir menyungging senyuman.
“Berdampingan dengan Asri dan bentrok dengan baginda, atau, menasehati Asri supaya menurut pada baginda demi untuk kepentingan gerakan mulia itu?” demikian akhirnya Keh Lok mendapat kesimpulan. Berat nian rasanya untuk menjatuhkan pilihan diantara kedua soal itu, Pikirnya pula: “Begitu besar Cinta Asri padaku. Ia mati-matian mempertahankan kesuCiannya, karena ia menaruh keyakinan penuh bahwa aku pasti dapat menolongnya. Apakah aku tak punya perasaan, tega untuk membelakanginya? Namun kalau kupilih Asri, tentu akan bentrok dengan baginda. Dan kesempatan untuk membebaskan penderitaan rakyat pasti hilang. Bukankah berarti kami berdua menghianati saudara-saudara diseluruh tanah air?”
Selagi Keh Lok tak berdaya mengambil putusan. Tiba-tiba Hiang Hiang membuka mata, katanya: “Mari kita tinggalkan tempat ini. Kusebal menemui raja busuk itu.”
“Baik, kita pergi,” kata Keh Lok. Disambutinya pedang Asri, lalu mengretek gigi, pikirnya: “Persetan, menjadi penghianat bangsa, biarlah. Kalau kami gagal menobros keluar, kami akan mati bersama ditempat ini. Kalau berhasil, akan kuajak ia, hidup mengasingkan diri digunung. Ini jauh lebih baik dari pada membiarkan dirinya diCemarkan orang.”
Dia menghampiri jendela dan melongok keluar. Tak seorang Si-wipun kelihatan. Suasana didekat situ sunyidua saja. Sedang dikejauhan hanya kelihatan sinar lampu. Ketika diawasi, ternyata lampu-' itu, memang dipasang oleh tukangdua yang tengah menyelesaikan taman bergurun itu. Mungkin karena takut mendapat hukuman, maka ratusan tukangdua itu harus bekerja siang dan malam untuk mengejar waktu.
Seketika panaslah hati Tan Keh Lok.
“Hm, kalau begitu, entah sudah berapa banyak sekali rahajat yang kehilangan rumahnya! Baginda itu seorang raja yang mengutamakan kesenangannya sendiri, tak menghiraukan penderitaan rahajat. Dibawah pemerintahannya, Kawan-kawan kita seluruh tanah air mengalami penderitaan. Kalau mungkin, biarlah kesengsaraan bangsa kita ditimpahkan padaku dan Asri saja.”
SeCepat kilat, terjadilah perubahan besar dalam bathin Tan Keh Lok.
“Kau tunggu disini, biar kupergi sebentar”, katanya.
Hiang Hiang memanggut dan menerima pula pedangnya tadi.
Keh Lok menuju ketingkat 5, dimana baginda sedang duduk bermuram durja,
“Kepentingan negara diatas kepentingan peribadi. Biar kunasehatinya supaya menurut kehendakmu”, kata Keh Lok segera.
Kian Liong ionCat kegirangan, serunya: “Benar?” “Hm, tapi kuminta janjimu” kata Keh Lok seraya menatap wajah baginda dengan tajam. “Janji bagaimana?”
“Kalau tidak bersungguh hati untuk mengusir bangsa Boan apa katamu?”
Kian Liong merenung sejenak. “Kalau sampai aku ingkar, walaupun semasa hidup kumenikmati kesenangan yang tiada Laranya, nanti kalau sudah meninggal, biar kuburanku dibongkar orang, agar matipun aku tak dapat tenang, turun temurun diperhina orang”, ia bersumpah.
Makam rajadua itu dipandang keramat dan suCi. Kalau sampai dibongkar, terang suatu uCapan sumpah yang berat.
“Baik, segera kunasehatinya. Tapi kuminta agar diperkenankan untuk keluar bersamanya dari istana ini”.
“Keluar dari sini?” menegas Kian Liong dengan kaget.
“Ya, kini ia masih sangat membenci kau. Disini ia tak nanti mau dengar nasehatku. Akan kubawanya pesiar melihat Tembok Panyang untuk menCari kesempatan memberi nasehat”.
“Mengapa harus pergi ketempat yang begitu jauh?”
“Aku pernah menjanjikan untuk mengajaknya kesana. Setelah itu, aku berjanji takkan menemuinya lagi untuk se-lama-lamanya”.
“Kau pasti membawanya kembali?” tanya Kian Liong sangsi.
“Kita orang kangouw, lebih menghargai janji daripada d jiwa sendiri.”
“Dia menaruh kepentingan usahanya itu diatas segala, tak nanti karena seorang wanita, dia akan menipu aku,” pikir Kian Liong. “Baik, kamu boleh pergi!” serunya sebaja menepuk meja.
Setelah Keh Lok berlalu, Kian Liong segera titahkan 40 orang Si-wi untuk mengikuti kedua orang itu dengan diam-diam.
Demikianlah setelah kembali, Keh Lok segera ajak Hiang Hiang berlalu. Karena sudah menerima firman, tak ada seorang si-wi dalam istana itu yang menghalangi perjalanan kedua orang tersebut. Selama itu tak sedikitpun Hiang Hiang menaruh keCurigaan apa-apa. Apa yang terjadi itu, ia perCaja, berkat kelihaiaan kekasihnya.
Setibanya diluar istana, hari sudah terang tanah. Menampak sang KongCu keluar, Sim Hi yang sudah sedari tadi menunggu dengan kuda putihnya, segera menghampiri. Demi nampak Hiang Hiang ikut serta, dia menjadi heran.
“Aku akan keluar kota, mungkin malam nanti baru balik. Sampaikan pada sekalian saudara-saudara, tak usah kuatir,” kata Keh Lok sambil menyambuti kuda putih.
Sim Hi melihat sang KongCu (lengan puteri Ui itu naik kuda menuju keutara. Ketika dia hendak pulang, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kuda mematangi. Berpuluh Si-wi dengan berpakaian warna kuning sama naik kuda memburu kearah KongCunya. Yang dimuka sendiri, bertubuh kurus kering, dikenalnya sebagai Kim-kao-thiat-jiao Pek Cin yang pernah dijumpainya di HangCiu tempo hari. Sim Hi kuatir bukan kepalang, Cepat ia pulang melapor.
Dengan sandarkan kepalanya didada orang yang dikasihi, serasa hilanglah segala kesedihan Hiang Hiang selama itu. Dalam beberapa waktu saja, kuda putih itu sudah melintasi sungai Ching-ho Sat-ho, kota Ching Ping dan Lam Go.
Begitulah akhirnya mereka sampai dikota Ki Yong Kwan. Disitulah Tembok Besar tampak me-lingkardua dengan megahnya, bagaikan seekor ular raksasa.
“Untuk apa mendirikan bang'unan raksasa ini?” tanya Hiang Hiang.
“Itu waktu untuk menjaga serbuan musuh dari daerah utara. Untuk membangun tembok ini, entah sudah berapa banyak sekali jiwa dan darah rakyat yang berkorban.”
“Huh, kaum lelaki itu memang aneh. Mengapa mereka tak suka hidup rukun dengan menari dan menyanyi? Mereka senantiasa berperang, sehingga ribuan jiwa melayang.”
“Benar, maka andaikata baginda nanti mendengar perintahmu, Cegahlah dia supaya yangan memerangi rahajat diperbatasan yang kasihan nasibnya itu.”
“Huh, siapa sudi bertemu muka dengan raja busuk itu lagi,” Hiang Hiang tertawa.
“Kalau kau dapat mempengaruhinya, tentu kau dapat menCegah perbuatannya yang buruk itu, agar dapat meringankan penderitaan rakyat. Sudikah kau meluluskan permintaanku ini?”
“Aneh, kapan aku tak menurut kata-katamu?” balas bertanya Hiang Hiang.
Keh Lok menyatakan terima kasihnya, kemudian dengan bergandengan tangan keduanya ber-jalandua diluar Tembok Besar.
“Toako, aku teringat, sesuatu,” tiba-tiba Hiang Hiang berkata. “Apakah itu?”
“Hari ini aku merasa bergembira sekali bukan karena keindahan pemandangan tempat ini, tapi karena kau berada didampingku.”
Mendengar uCapan itu, hati Keh Lok makin tak tega mengutarakan maksudnya.
“Kau punya permintaan apa padaku?” katanya kemudian.
“Toako, kau sangat baik kepadaku. Segala apa, tanpa kuminta, kau tentu mengerjakan permintaanku,” kata Hiang Hiang seraya mengeluarkan bunga swat-tiong-lian (terata salju) dahulu itu. Walaupun sudah laju, bunga itu masih putih meletak dan harum baunya. “Hanya suatu hal yang kau tak mau melakukan, kuminta kau menyanyi, tapi kau menolak.”
“Ha, sungguh mati, aku selamanya tak pernah menyanyi,” Keh Lok terta,wa geli.
“Sudahlah, akupun tak sudi menyanyi untukmu lagi,” Hiang Hiang pura-pura meng'ambek.
Mengingat hanya sehari itu mereka dapat berkumpul, terpaksa Keh Lok mengalah, katanya: “Ya, baiklah, kuingat sewaktu masih kecil ibu sering menyanyikan beberapa lagu untukku. Biar kunyanyikan, tapi awas, yangan kau menertawakan ja?!”
“Bagus, bagus, Ayo mulailah!” seru Hiang Hiang bertepuk tangan.
Setelah mengingat sebentar, mulailah Tan Keh Lok menyanyi:
“Hujan rintik'~ ditiup angin sepoidua. Dibawah loteng terdengar bisik orang me-rajudua. Kukira dia kekasihku. Tanpa terasa, mulutku samar» mengoCeh. Tapi ketika kuperhatikan, ternyata bukan si dia. Bukan main terkejutku, sehingga jantungku berdebar keras saking takut.”
Tan Keh Lok menjelaskan nyanyian itu dalam basa Ui, Hiang Hiang tertawa dan berkata: “Oh, kiranya nona itu matanya kurang awas.”
Tanpa terasa, sepasang mata Keh Lok mengembeng air mata. Hiang Hiang terkejut.
“He, mengapa? Kau tentu terkenang pada ibumu. Sudahlah, baik kau berhenti menyanyi.”
Keduanya bermain-main pula diluar dan didalam tembok. Bangunan tembok raksasa itu memang luar biasa kokohnya. Ditengahnya terdapat lorong. Setiap jarak tiga puluhan tumbak terdapat sebuah menara. Menara itu untuk melepas api pertandaan. Tan Keh Lok teringat bagaimana didaerah Hwe dahulu, Hwe Ceng Tong membuat asap long-yan dan memukul pecah pasukan Ceng. Terkenang akan nasib yang belum ketahuan dari nona itu, hati Tan Keh Lok menjadi tawar. Sekalipun hendak ditutupnya, tak urung wajahnya nampak tanda-tanda kemasgulan itu.
“Kutahu apa yang kaupikirkan saat ini,” kata Hiang Hiang.
“Apa?”
“Ketika kita bertiga terkurung di Kota Sesat, meski dalam bahaya, tapi kau tetap bergembira. Ah, yangan kuatirlah!”
“Asri, apa maksudmu?” tanya Tan Keh Lok seraya memegang tangan sinona.
Hiang Hiang mengelah napas, sahutnya: “Dulu aku masih seorang anak, apapun tak mengerti. Tapi setelah agak lama tinggal diistana raja, kini baru aku jelas kesemuanya itu. Cici-ku suka padamu, dan kaupun membalas suka padanya, bukan?”
“Benar, sebenarnya tak harus aku mengelabui kau,” sahut Keh Lok.
“Tapi akupun tahu, kau juga suka padaku. Tanpa kau,
aku segan hidup. Mari kita Cari Cici, sampai dapat. Kita bertiga hidup dengan bahagia se-lama-lamanya.”
Sewaktu menguCap kata-kata itu, mata Hiang Hiang yang bening itu memanCarkan Cahaja gilang gemilang, pertanda luapan hatinya yang bahagia.
Keh Lok kepal tangan Hiang Hiang eratdua, bisiknya: “Asri, hatimu murni sekali. Kau dan Cicimu adalah insan yang terbaik didunia.”
Hiang Hiang tak menyahut, hanya memandang jauh kemuka. Tiba-tiba diantara sorot matahari itu seperti mengandung Cahaja air. Ia memasang telinga betul-betul dan sajupdua terdengar suara khim berbunyi.
“Dengarlah, betapa merdu nyanyian itu.”
“Itu selat Than-Khim-kiap (selat menabuh harpa)!” kata Keh Lok.
Hiang Hiang minta dibawa kesana. Melalui beberapa semak pegunungan itu, mereka tiba disebuah umbul (air sumber) yang memanCur dari seladua batu gunung. Karena tinggi rendahnya air yang jatuh, maka timbullah semacam bunyi yang seolah-olah merupakan bunyi khim.

Air sumber itu jernih dan sejuk sekali. Hiang Hiang membasuh kakinya. Keduanya duduk ditepi aliran. Keh Lok mengeluarkan ransum kering. Begitulah Hiang Hiang senderkan kepalanya dipunggung kekasihnya, sembari memakan, ia mengulapdua kakinya dengan saputangan.
“Asri, hendak kubiCarakan suatu hal padamu,” kata Keh Lok kuatkan hatinya.
Hiang Hiang balikkan tubuhnya, terus memeluk dan sesapkan kepalanya kedada sianak muda.
“Kutahu kau Cinta padaku. Kau tak menyatakan, akupun sudah mengerti. Sudahlah, tak usah kau mengatakannya.”
Hati Keh Lok terCekat. Kata-kata yang sudah siap diujung lidah, ditelannya kembali. Beberapa saat kemudian, dia berkata pula: “Asri, kau tentu masih ingat akan riwajat puteri Mamir digunung
Giok-nia itu?”
“Ya, kini ia bersama Ali-nya berada disorga”.
“Apakah kamu umat Islam perCaja bahwa setelah meninggal, arwah kita akan berada ditaman Gembira Loka yang abadi?”
“Sudah tentu,” sahut sigadis tanpa ragu-ragu.
“Nanti sekembalinya ke Pak-khia akan kudapatkan Haji dari bangsamu. Akan kuminta dia mengajar supaya aku menjadi seorang penganut Islam yang saleh”.
Hiang Hiang girang sekali mendengarnya, serunya: “Toako, apakah kau ber-sungguh-sungguh?”
“Tentu!”
“Karena mencintai aku, kau sampai berlaku begitu. Benar-benar tak kusangka”.
“Ya, sebab dalam penghidupan didunia fana ini kita tak dapat bersama, biarlah nanti dialam baka kuselalu berdampingan dengan dikau.”
Mendengar itu, tergetarlah tubuh Hiang Hiang hingga beberapa saat ia termangu-mangu. “Apa katamu? Dalam penghidupan sekarang kita tak dapat berkumpul bersama?” katanya.
“Ya, selewatnya hari ini, kita bakal berpisah se-lama-lamanya”.
“Kenapa?!” menegas Hiang Hiang dengan berdebar. Air matanya berCucuran menetes kepakaian Keh Lok.
“Asri, kalau dapat kumendampingimu, sekalipun tak makan, berpakaian Compang Camping, dihina orang, relalah aku. Tapi ingatlah kau akan sejarah Mamir? Ja, Mamir yang bnyaksana itu? Demi kepentingan rakyatnya, ia rela berpisah dengan Ali yang diCintainya itu, rela mengorbankan diri pada raja lalim itu...............”
Hiang Hiang menelungkup dikaki Keh Lok, katanya dengan lemah: “Jadi kau maukan aku menyerahkan diri pada raja busuk itu? Supaya aku dapat kesempatan untuk membunuhnya?”
“Bukan, dia adalah kakakku sendiri,” lalu panyang lebar Tan Keh Lok tuturkan riwajat hubungannya darah dengan kaisar Kian Liong.
Selesai mendengar, pingsanlah Hiang Hiang. Kebahagiaan yang selama itu diCitaduakan, baru saja dikiranya terlaksana, ternyata dibanting hanCur lagi. Ja, siapakah orangnya yang kuat menghadapi derita yang sedemikian beratnya itu?
Ketika, sadar, didapatnya Tan Keh Lok masih memeluk dirinya. Tapi sementara itu, ia rasakan badannya basah semua. Itu tentulah air mata Tan Keh Lok yang membanjirimja.
“Tunggulah sebentar disini,” kata Hiang Hiang seraya berbangkit. Ia menuju kesebuah batu besar disebelah sana, lalu berlutut menghadap kebarat. Kiranya ia sedang bersembahyang meminta kekuatan pada Allah.
Selang tak berapa lama kemudian, kelihatan ia berbangkit. “Kau menghendaki bagaimana, biar aku menurut, saja,” katanya.
Keh Lok memburu untuk memeluknya dengan perasaan hanCur.
“Kalau kuketahui akan terjadi peristiwa sekarang ini, aku tak mau pesiar kemari. Akan kuminta agar kau sehari penuh memeluk aku saja,” kata Hiang Hiang.
Keh Lok kembali menciumnya.
“Nanti kalau aku berada diistana, aku tak mau mandi. Sekarang aku akan mandi untuk yang penghabisan kali,” kata Hiang Hiang pula.
“Baiklah, biar kutunggu disebelah sana.”
“Tidak, kau harus berada disini. Pertama kali kau berjumpa dengan aku, sewaktu aku sedang mandi. Maka untuk penghabisan kali, akupun minta kau menunggui aku mandi. Untuk kenangduaan agar selamanya kau tak melupakan diriku.”
“Asri, apakah kau kira aku dapat melupakan kau?”
“Ya, aku kesalahan omong, yangan marah, Toako, kau tunggui disini.”
Keh Lok terpaksa duduk kembali menyaksikan puteri harum itu menanggal pakaian dan mandi dengan riangnya......
Sehabis mandi, kembali Hiang Hiang dekapkan tubuhnya kepada «ianak muda.
“Asri, sekalipun kita bakal berpisah, namun hati kita tetap bersatu. Dipadang pasir, disini, sekalipun kebahagiaan itu hanya singkat sekali, namun melebihi kebahagiaan suami isteri yang berkumpul beberapa puluh tahun.”
“Toako, Toako, matahari sudah mulai silam!” tiba-tiba Hiang Hiang menjerit dengan ratap tangisnya sambil memandang kearah barat.
Hati Keh Lok seperti diremas. “Asri, maafkanlah, kait sampai menderita begini!” katanya. “Betapa baiknya bila matahari bisa terbit lagi, sekalipun hanya untuk sebentar
“Demi untuk kepentingan bangsaku, sudah selajaknya kumenderita,” kata Keh Lok. “Tapi kau belum pernah melihat mereka, belum pernah mengenalnya............”
“KuCinta padamu, seharusnya pun terhadap bangsamu. Bukankah kau d juga menyayang saudara-saudara bangsa Ui kami?”'
Tapi ternyata matahari terus tenggelam, hal ini membuat hati Hiang Hiang makin menCelus, katanya: “Mari pulang, aku merasa berbahagia sekali!”
Begitulah dengari hati yang kosong, keduanya naik kuda kembali. Sepanyang jalan, mulut mereka serasa terkanCing-. Tak berapa lama kemudian, beberapa ..puluh Si-wi dibawah pimpinan Pek Cin datang menyambutnya. Ternyata kawanan Si-wi ,yang menerima titah baginda untuk membuntuti kedua anak muda itu, jauh. ketinggalan dibelakang. Beberapa kali mereka mesti tukar kuda baru, sampai beristirahat makanpun mereka tak berani, supaya yangan sampai ketinggalan. Tapi ternyata tetap kehilangan jejak kedua anak muda. itu. Maka ketika berpapasan dengan dua orang muda itu, girang mereka tak terkatakan lagi.
Tan Keh Lok tak menghiraukan kawanan Siwi itu dan terus menCongklangkan kudanya. Tiba-tiba dari arah depan tampak serombongan penunggang kuda. Pek Cin Cepat-cepat memberi perintah agar Kawan-kawan nya mempersiapkan senjatanya masing-.
“CongthoCu, kita sekalian sama datang,” seru seorang' yang ternyata adalah Jun Hwa. Dibelakangnya tampak Liok Hwi Ching, Bu Tim, Tio Pan San, Bun Thay Lay, kedua saudara Siang dan lain-lain pemimpin HONG HWA HWE
Melihat itu, terkejutlah Pek Cin............................
Kini kita tengok akan keadaan baginda Kian Liong. Sepeninggal Tan Keh Lok membawa Hiang Hiang, hati kaisar itu gelisah sekali. Hidangan yang bagaimana lezatpun, sedikit tak dnyamahnya. Hari itu dia tak adakan sidang menteri. Seharian dia tidur-bangun tak keruan. Beberapa rombongan Siwi dititahkan untuk menCari kabar. Tapi sampai petang hari, belum seorang siwipun yang pulang melapor.
Demikianlah baginda berada dipagoda Po Gwat Lauw, duduk salah berdiri pun salah. Ketika mengawasi lukisan ko-leksinya dari ahala Han, tiba-tiba terbitlah suatu pikiran:
“Anak perempuan itu sayang pada Keh Lok, tentunya iapun menyukai akan pakaian orang Han. Kalau nanti keduanya sudah balik, tentulah Keh Lok sudah dapat menundukkan hatinya. Kalau kumengenakan pakaian orang Han, tentunya ia akan menyukainya.”
Thaikam diperintahkan untuk menyediakan seprangkat pakaian orang Han. Tapi ternyata hal itu tak terdapat didalam istana. Seorang thaikam kecil mendapat akal, dia menCarinya ketempat sandiwara wayang. Baginda girang sekali dan berkenan terus memakainya. BerkaCa diCermin, beliau dapatkan dirinya lebih tampan.
Tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi dengan pelan-pelan .
“Hongthayhouw (ibusuri) berkunjung kemari!” bisik sithaikam kecil.
Kian Liong melengak, ketika mengawasi kearah Cermin. Benar, disitu tampak thayhouw berdiri dengan wajah bengis, mengunjuk kemarahan. Buru-buru Kian Liong membalik diri untuk menyambutnya: “Apakah thayhouw belum beristirahat?”
Thayhouw mengisyaratkan supaya sekalian thaikam meninggalkan tempat itu. Beberapa saat kemudian, kedengaran Thayhouw berkata dengan suara parau: “Hamba istana sama melapor hari ini bahwa kau tak enak badan, tidak mengadakan rapat dan persidangan, tak suka dahar. Karena itu, kudatang menjengukmu!”
“Anakda kini sudah enakan. Hanya sedikit tak bernapsu makan, tapi tak apa-apa, jadi tak berani membikin kaget thayhouw.”
Thayhouw tak menyahut untuk beberapa saat. Lalu katanya: “Apakah karena terlalu kenyang makan hidangan Hwe atau hidangan Han?”
Kian Liong terkesiap, sahutnya: “Kemaren mendapat hidangan sate kambing.”
“Itu kan masakan orang Boan-Ciu, hm, rupanya kau sudah bosan menjadi orang Boan”.

Alas uCapan thayhouw yang sekeras baja itu, Kian Liong tak berani segera menyahut.
“Budak perempuan Hwe itu sekarang kemana?” tanya thayhouw pula.
“Ia kurang baik perangainya, anakda titahkan orang membawanya keluar supaya diajar adat”.
“Ia selalu membawa pedang, berkeras tak mau menuruti kau, apa gunanya kau suruh orang menundukkan hatinya? Dan siapa yang kau suruh ittu?”
Didesak begitu, terpaksa Kian Liong menjawab: “Seorang kepala Siwi yang sudah tua, orang, she Pek”.
Thayhouw memandang kemuka, katanya dengan mendalam: “Kini kau sudah berusia 40 th. lebih, tentu tak perlu akan ibu lagi?”
Kian Liong terkejut bukan main, buru-buru menyanggapinya: “Mengapa thayhouw menguCap begitu, kalau anakda tidak berbakti, mohon thayhouw memberi hukuman”.
“Kau adalah kaisar, orang yang dipertuan diseluruh negeri, mau berbuat apa tentu bisa, mau membohong pun lebih dari bisa.”
Tahu Kian Liong' bahwa thayhouw mempunyai banyak sekali kaki-tangan, jadi tak dapatlah dia untuk mengelabuinya. Maka katanya dengan pelan: “Yang- mengajar perempuan itu, ada lagi yang anakda titahkan, yaitu seorang terpelajar yang anakda jumpakan di Kangiam. Dia berpengetahuan luas...........................”
“Bukankah orang she Tan dari Hayleng?” tanya thayhouw dengan keren.
Kini Kian Liong tak berani berkutik lagi.
“Ah, makanya kau kini mengenakan pakaian orang Han!' Mengapa kau tak bunuh aku sekali?” desak thayhouw.
Kian Liong mengelah napas, terus mendumprah dan berlutut, katanya: “Kalau anakda mempunyai hati yang tak berbakti, biarlah langit dan bumi menumpasnya!”
Thayhouw kibaskan lengan bayunya, lalu turun keloteng bawah. Kian Liong serta merta mengikutinya. Meskipun ibu suri itu sudah berusia lanjut, tapi gerakannya masih gesit. Ia menuju ke paseban Bu Ing Tian.
Selagi Kian Liong mengikuti, dilihatnya ditepi lorong itu berdiri dua orang Siwi yang diutusnya untuk menCari kabar perihal Hiang Hiang. Mereka akan melapor. Betapa inginnya Kian Liong untuk mendengar laporannya, tapi dalam keadaan seperti waktu itu, dia tak berani dan terus mengikuti thayhouw.
“Harap thayhouw yangan marah, bilamana anakda bersalah mohon diberi pengampunan,” kata Kian Liong.
Thayhouw duduk disebelah kursi. Setelah napasnya kembali tenang, berkatalah beliau: “Untuk apa kau undang orang she Tan itu kemari? Dan kau berbuat apa saja di Hayleng?”
Kian Liong tundukkan kepala tak menyaut.
“Kau memperingati jasa menteri besar dari marhum ayahandamu, aku tak menjalankan,” kata thayhouw. Tiba-tiba suaranya berobah keren ber-sungguh-sungguh, lalu berseru: “Apakah betul-betul kau bermaksud membangun kerajaan Han lagi?” Kau akan membasmi kita bangsa Boan bukan?”
“Harap thayhouw yangan memperCajai kabardua yang tidakdua. Sekali-kali anakda tak ada hati demikian.”
“Orang she Tan itu dari gereja Siao Lim Si di Hokkian, membawa apa saja untukmu?”
Kembali Kian Liong melengak. Diam-diam dia heran, mengapa thayhouw yang hanya dikelilingi oleh para kiong-li (dayang istana), bisa mendapat laporan yang sedemikian Cepatnya.
“Orang she Tan itu hendak menghaturkan renCana berontak, anakda telah memusnakan kesemua renCana itu,” Kian Liong terpaksa menerangkan.
“Kalau begitu, hukuman apa yang hendak kau berikan padanya?”
“Dia mempunyai komplotan yang Anggotaduanya terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi yang berani mati. Mengapa anakda masih belum bertindak, itulah karena akan menunggu kesempatan baik akan membasmi mereka semua, untuk menjaga yangan sampai ada yang lolos hingga menimbulkan bahaya dikemudian hari.”
Mendengar itu wajah thayhouw agak berobah tenang. “Apakah uCapanmu itu dapat diperCaja?” desaknya pula.
Bermula sejak pertemuannya dengan Tan Keh Lok dipagoda Liok Hap Ta, hati Kian Liong memang agak terpengaruh. Tapi ketika kini diketahuinya rahasia renCana itu sudah terbongkar', dia anggap hal itu besar sekali resikonya. Yangan-yangan “bermaksud menggambar harimau, tapi berbalik merupakan gambar anjing” atau karena mendongak keatas hendak menCapai rembulan, tak tahu kaki terperosok kedalam lubang.
SeCepat itu tergoreslah suatu keputusan dalam hati Kian Liong: HONG HWA HWE harus dibasmi!
“Dalam tiga hari, anakda pasti akan titahkan tabas kepala orang she Tan itu!” katanya kemudian.
Roman yang bengis dari thayhouw, segera mengunjuk kegembiraan, serunya: “Bagus, itu baru dinamakan berbakti pada leluhur!”
Memang Thayhouw itu sangat prihatin bahwa baginda bukan anak' kandungnya sendiri. Asal rahasia itu bocor, kerajaan tentu gonCang. Syukurlah, berpuluh tahun, hal itu tetap tersimpan rapat-rapat. Kematian yang mendadak dari mak inang Liauw-si yang memberi air susu pada baginda, menimbulkan keCurigaan thayhouw. Ia Coba menyelidiki, namun tak mendapat keterangan apa-apa. Dipanggilnya rombongan hiat-thi-Cu, untuk melakukan penyelidikan kerumah keluarg Tan di Hayleng.
Soal lenyapnya baginda di HangCiu (ditawan dipagoda Liok Hap Ta), pertemuan dengan Tan Keh Lok, kunjungan kemakam keluarga Tan, kesemuanya dilaporkan kepada thayhouw oleh kawanan hiat-thi-Cu itu. Thayhouw menjadi gelisah, karena dianggapnya baginda kini sudah mengetahui asal usul dirinya. Jalan satuduanya, ialah mengadakan pen-jagaan seCara diam-diam. Pikirnya: “Dia bersembahyang kemakam orang tuanya, pun hanya suatu kebaktian, asal dia tak berbuat apa-apa, akupun takkan mau bertindak.”
Maka pada hari itu sewaktu baginda menerima kunjungan Tan Keh Lok, dan kemudian menitahkannya membawa gadis Ui itu keluar istana, tahulah Thayhouw bahwa baginda tentu akan membuat renCana gelap. Begitulah malam itu lebih dulu ia mengatur penjagaan kuat, baru mengunjunginya sendiri. Ketika didapati baginda tengah mengenakan pakaian orang Han, bukan main gusarnya Thayhouw. Ia telah mengambil keputusan penting yang “drastis” dan maha dahsyat: turun tangan lebih dulu untuk melenyapkan baginda!
“Dari beberapa tempat anakda telah mendapat banyak sekali orang berilmu, kiranya Cukup kuatlah untuk menghadapi kawanan pemberontak itu. Juga anakda bermaksud untuk pinjam beberapa tenaga Si-wi dari Thayhouw,” demikian kata Kian Liong lebih lanjut.
“Hm, terhadap orang-orangku, biasanya kau tak menyukai. Kini hendak kau adu dengan orang-orang HONG HWA HWE supaya Dua-duanya musna. Siasat 'pinjam pisau membunuh orang' itu, masa aku tidak tahu?” pikir Thayhouw. Lalu jawabnya: “Baik, nanti kalau sudah sampai saatnya, kau boleh menggunakannya.”
Oleh karena baginda kepingin mendengar laporan tentang keadaan Hiang Hiang, beliau lalu menyilahkan agar Thayhouw beristirahat.
“Hm, baik, kau ikutlah kemari,” sahut Thayhouw, lalu menuju keruangan tengah dari paseban Bu Ing Tian.
Thayhouw lantas mengetok pintunya dua kali. Pintu pa-;ban itu segera terbuka. Kian Liong terkejut demi nampak didalam ruangan itu terang benderang dengan penerangan lilin. Para thaikam berjajardua dalam dua barisan, sedang delapan orang menteri-besar tengah berlutut menyambutnya. Thayhouw dan Kian Liong segera mengambil tempat duduk pada kursi ditengahdua ruangan.
Demi mengawasi keadaan disitu, hati Kian Liong berCekat. Ke-delapan menteri-besar itu, kesemuanya adalah pangerandua keluarga kerajaan. Yang berada dimuka sendiri adalah saudara baginda, pangeran Hong Ciu, putera kelima dari Yong Ceng. Kemudian The-jinong, Kiong-jinong, Lu-jinong, Ju-jinong, serta Pak Ung pweklek dan Tiau Hwi Tay-Ciangkun.
Kian Liong gelisah, hatinya menebakdua apakah gerangan maksud Thayhouw itu.
Thayhouw berdehem satu kali, lalu berkata: “Sewaktu Sian-te (kaisar almarhum) mangkat, beliau pesan agar pasukan Pat-ki-ping dipecah jadi delapan dan dipimpin oleh kedelapan puteranya. Tapi karena beberapa tahun ini tentara itu diperlukan untuk mengamankan daerah perbatasan, maka pesan Sian-te tersebut belum terlaksana. Kini berkat rejeki dari para leluhur dan berkat kebnyaksanaan dari baginda yang sekarang, daerah perbatasan (Hwe) sudah dapat diamankan. Maka mulai saat ini, Pat-ki-ping tersebut kuserahkan padamu berdelapan. Harap kalian pergunakan sebagaimana mestinya untuk membalas budi baginda.”
“Hm, kiranya ia masih tak memperCajaiku, kekuasaanku atas ketentaraan di-pecahdua,” pikir Kian Liong.
“Nah, kini silakan baginda yang membagikannya,” seru Thayhouw.
“Ah, kini aku betul-betul kalah angin. Tapi karena akupun sudah tak berniat untuk melaksanakan gerakan itu, kiranya pemeCahan kekuasaan militer inipun tak menjadi soal,” kembali Kian Liong menimbangdua.
Maka segera induk pasukan Pat-ki-ping dipecah dan ditimbang terimakan kepada kedelapan saudaranya itu.
Thayhouw minta supaya penyerahan itu diberikutkan juga dengan surat penyerahan yang resmi. Atas isyaratnya, Ti Hian thaikam lalu maju berlutut dengan membawa sebuah nenampan emas. Diatasi nenampan itu terdapat sebuah kotak besi. Thayhouw membuka kotak tersebut, mengambil segulung kertas yang diberikan kepada baginda. Tampak oleh baginda pada bagian luar dari gulungan kertas itu terdapat dua huruf Boan dan dua huruf Han yang berbunyi “testamen.”
Disebelah huruf-huruf itu, terdapat pula selarik tulisan berbunyi: “Bila negara ada perubahan besar, kedelapan pangeran Pat-ki-jin-ong supaya bersama-sama membukanya.” Tanpa terasa tangan Kian Liong gemetar. Insyaplah beliau, bahwa mendiang baginda Yong Ceng jauh-jauh hari telah membuat persiapan rapi: Apabila rahasianya (Kian Liong) sampai bocor dan baginda itu sampai memberontak, menurut testamen, kedelapan pangeran itu harus melenyapkan baginda dan mengangkat kaisar baru.
Tapi baginda Kian Liong ternyata seorang yang bisa Cepat menyesuaikan diri dengan keadaan, sembari angsurkan testamen itu kepada thayhouw, beliau bersehjum, katanya: “Ayah baginda berpemandangan jauh, dapat mengetahui hal yang bakal terjadi ratusan tahun kemudian”.
“Taruhkan testamen Sian-te ini dipaseban Sui Seng Tian diistana Yong Ho Kiong. Suruh 100 pengawal Istimewa untuk menjaganya. Sekalipun baginda yang memerintahkan, tak boleh mereka tinnggalkan tempat itu!” seru thayhouw kepeda Ho-jin-ong, siapa segera melakukan perintah itu.
Istana Yong Ho Kiong terletak didalam pintu An-ting-mui disebeiah utara barat kota Pak-khia. Dahulu menjadi tempat kediaman Yong Ceng sewaktu belum menjadi Hongte dan masih menjadi Su-pwelek. Untuk mengenangkan marhum ayahandanya itu, Kian Liong menitahkan membangun sebuah kuil Lama disitu.
Maksud thayhouw mengunjukkan testamen itu kepada Kian Liong jalah agar Kian Liong mau perhatikan bahwa kalau dia berani berbuat sesuatu yang membahayakan kedudukan pemerintah Boan, thayhouw itu sudah mempunyai renCana tetap untuk membasminya. Lain dari itu, dengan ditaruhnya testamen tersebut. digedung lama kediaman Yong Tiong dahulu, alasannya adalah yangan sampai melupakan pada mendiang kaisar itu. Tapi hal yang sebenarnya, thayhouw menaruh kekuatiran kalaudua Kian Liong nanti diam? mengambil dan memusnakannya.
Kini legalah hati thayhouw. Kedengaran ia menguap dan mengelah napas: “Usaha yang beribu tahun dasarnya itu, harap kau menjaganya dengan baik-baik .”
Sehabis meninggalkan pesan itu, ia segera berbangkit dan terus masuk kedalam istana Cinkiong. Setelah mengantar thayhouw, buru-buru Kian Liong mendapatkan Pek Cin untuk meminta keterangan.
“Tan-kongCu sudah membawa nio-nio balik keistana. Kini nio-nio berada di Po Gwat Lauw,” kata Pek Cin.
Bergegas-gegas Kian Liong meninggalkan paseban itu. Sampai dimuka pintu, baginda bertanya pula: “Ditengah jalan kau mengalami kejadian apa?”
“Hamba berjumpa dengan rombongan orang HONG HWA HWE Syukur Tan-kongCu menCegahnya hingga tak sampai kejadian apa-apa.”
Kian Liong mengangguk dan suruh Pek Cin mengikutnya. Sampai di Po Gwat Lauw, benar juga Hiang Hiang KiongCu sudah berada disitu.
“Bagaimana, bagus apa tidak Tembok Panyang itu?” tegurnya dengan girang.
Hiang Hiang tak mau menyahut.
“Sebentar setelah kusiapkan urusandua penting, nanti akan kutanyai kau lagi,” seru baginda seraya ajak Pek Cin kelahi ruangan. Disitu beliau titahkan Pek Cin siapkan barisan Siwi yang paling boleh diperCaja, untuk menjaga diluar pagoda dan dipunCaknya. Tak seorang thaikam yang diperbolehkan masuk keluar. Setelah itu, baginda panggil pemimpin barisan Gi-lim-kun, Hok Gong An.
Kesemuanya itu telah dikerjakan Pek Cin dengan Cepat. Hok Gong An bergegas-gegas menghadap. Baginda titahkan dia membawa anak buahnya untuk mempersiapkan bayhok diluar dan didalam istana Yong Ho Kiong. Kemudian titahkan Pek Cin persiapkan bayhok pada setiap ruangan dari istana Yong Ho Kiong tersebut.
“Besok akan kuadakan perjamuan diistana itu. Undanglah Tan-kongCu dan semua pentolan HONG HWA HWE kesana,” kata Kian Liong.
Kini tahulah Pek Cin apa maksud baginda itu. Ini berarti suatu pembunuhan besarduaan. Diapun menurut saja dan segera akan berlalu. Tapi tiba-tiba baginda menCegahnya, dan menitah: “Undang kemari Lama Besar Fuinke dari Yong Ho Kiong!”
Tak berapa lama Lama Besar itu menghadap. “Sudah berapa tahun kau berada di Pakkhia sini?” tanya baginda.
“Hamba mengabdi baginda sudah duatiga tahun,” jawab paderi itu.
“Ha, kau ada ingatan balik ke Tibet apa tidak?”
Lama Besar itu hanya menjura tanpa menyahut.
“Di Se-Ciong (Tibet) kini ada Dalai Lama dan Panhen Lama yang dianggap rahajatnya sebagai penjelmaan Buddha. Tapi mengapa tiada Buddha hidup yang ketiga?”
“Itu peraturan yang berlangsung dari dahulu, sejak......”
“Kalau kuangkat kau menjadi Buddha hidup ketiga, mempunyai daerah kekuasaan sendiri, apa kau suka mentaatinya?” sela Kian Liong mendadak.
Mendapat kebahagiaan yang tak pernah diimpikan itu, Fuinke girang setengah mati, berulang-ulang dia menjura, serunya: “Budi yang baginda limpahkan itu, sampai mati hamba takkan lupakan.”
“Sekarang akan kuminta kau mengerjakan suatu hal. Sepulangnya dari sini, kumpulkan semua Lama yang boleh diperCaja. Siapkan belirang, minyak dan kayu bakar. Begitu kau terima berita dari dia,” kata Kian Liong sambil menunjuk Pek Cin, “kau harus lekas be-ramaidua melepas api dari paseban besar Yong Ho Kiong hingga sampai paseban Sui Seng Tian.”
Kini Fuinke berbalik kaget tak terkira. Buru-buru dia menjura: “Itu adalah bekas kediaman baginda Yong Ceng almarhum. Disitu terdapat banyak sekali barang-barang peninggalan yang berharga. Hamba tak berani ..............................”
“Kau berani membangkang titah raja?!” seru Kian Liong dengan bengis.
Semangat Fuinke serasa terbang, peluh dingin membasahi tubuhnya. Katanya: “Hamba akan melakukan titah baginda.”
“Kalau perkara ini sedikit saja sampai bocor, delapan00 Lama dari istana Yong Ho Kiong akan kubasmi habis,” anCana baginda. Tapi lewat beberapa jurus kemudian, katanya pula dengan ramahnya: “Dipaseban Sui Seng Tian dnyaga oleh anak buah Ki-ping, ber-hati-hatilah hendaknya. Yangan hiraukan mereka, biar merekapun turut terbakar sekali. Kalau pekerjaan itu sudah selesai, kaulah yang jadi Buddha hidup ketiga! Nah, kau boleh pulang.”
Kaget terCampur girang Fuinke, lalu mohon diri.
Dengan renCananya yang hebat itu, lapanglah dada baginda. Sekali tepuk dua ekor lalat. Orang-orang HONG HWA HWE dan pengawaldua thayhouw sekali gebrak, samadua musna. Dan barulah beliau dapat, ber-senangdua sepuasnya menikmati kekaisarannya.
Saking girangnya dia segera menyembat sebuah khim. Lagu yang dimainkan itu berirama lagu peperangan, penuh hawa pembunuhan. Baru beroleh separoh, putuslah snaar yang ke7. Kian Liong kaget, tapi dilain saat dia tertawa keras dan masuk kedalam ruangan Hiang Hiang.
“Tan-kongCu ajak pesiar kau ke Tembok Panyang, bukanlah diam-diam memberi bisikan padamu supaya bunuh aku?” tanya Kian Liong seraya duduk berjauhan dari nona itu.
“Dia anjurkan aku supaya menurut padamu.” “Dan kau turut anjurannya, bukan?” “Aku mendengar setiap katanya.”
Kian Liong girang berCampur dengki. “Habis mengapa kau masih membekal pedang? Mari berikan benda itu padaku!” katanya lagi.
“Tidak, nanti setelah kau benar-benar menjadi kaisar yang baik.”
“Ha, kiranya mereka pakai siasat begitu untuk menekan aku,” pikir Kian Liong. Seketika pikirannya penuh sesak dengan kemarahan, kedengkian, gemas dan bernapsu. Katanya kemudian: “Bukankah aku sekarang ini seorang raja yang baik?”
“Hm, dari suara khim tadi, kutahu ada pembunuhan besaran. Tak seharusnya kau menambah kejahatanmu,” sahut Hiang Hiang.
Kian Liong amat terkejut. Tanpa disadari, tadi beliau tumpahkan isi hatinya dalam irama khim. Seketika terkilaslah sesuatu dalam pikirannya, katanya: “Benar, aku akan membunuh orang. Tan-kongCu itu tadi telah kusuruh tangkap. Kalau kau menurut aku, nanti kulepaskan dia. Tapi kalau kau tetap membangkang, hm, kaupun sudah tahu bahwa kuhendak lakukan pembunuhan besarduaan.”
“Jadi kau mau bunuh adikmu sendiri?” tanya Hiang Hiang dengan terkejut.
“Ha, jadi dia telah tuturkan segala apa padamu?” balas bertanya Kian Liong dengan roman bengis.
“Aku tak perCaja kau mampu menangkap dia. Dia jauh lebih pandai dari kau,” seru Hiang Hiang.
“Pandai? Hm, taruh kata tidak hari ini, besok pagi tentu dapat, lihat saja,” kata Kian Liong.
Hiang Hiang tak menyahut.
“Sebaiknya kau kikis saja pikiranmu itu. Aku seorang kaisar baik atau busuk, kau tetap takkan berjumpa lagi dengan dia untuk se-lama-lamanya,” kata Kian Liong lagi.
“Kau kan sudah berjanji padanya akan menjadi seorang kaisar yang budiman, mengapa kini berbalik pikiran?” tanya Hiang Hiang.
“Aku akan berbuat bagaimana, itulah menurut sesuka hatiku. Siapa berani melarang?”
Tadi kaisar itu mengalami tekanan jiwa yang hebat dari thayhouw. Untuk menumpahkan kemengkalan hatinya, kini dia tumpahkan pada sinona. Dan memang akibatnya, Hiang Hiang rasakan dadanya seperti dihantam martil.
“Oh, kiranya raja ini hanya menipu saja. Kalau siangdua tahu begitu, perlu apa aku kembali kemari,” pikir Hiang Hiang. Saking tak kuasa menahan marahnya hampir-hampir ia pingsan.
“Kau menurutlah saja padaku. Tak nanti kumenyusahkan dia. Malah akan kuberinya kedudukan tinggi, agar dia menikmati kesenangan hidup,” bujuk Kian Long pula.
Seumur hidup belum pernah Hang Hiang ditipu orang. Pada perasaannya, raja itu hanya seorang yang jahat karena bertabiat kejam. Tapi kini ia tahu pula, raja kejam itu ternyata juga liCik.
“Begitu jahatlah raja ini, tentu diapun dapat berusaha untuk menganiayanya. Meskipun dia jauh lebih lihai dari raja ini, namun dia tentu tak sedikitpun Curiga kalau tega menganiayanya. Aku harus berusaha supaya dia tak terjebak dalam perangkap raja. Tapi bagaimana bisa kukatakan padanya?” pikir Hiang Hiang.
Dalam sikapnya sedang masjgul itu, Hiang Hiang tampak lebih aju, sehingga baginda untuk beberapa saat berdiri terlongong-longong mengawasinya.
“Seluruh istana ini semua adalah kaki-tangan baginda. Siapa dapat kusuruh menyampaikan surat padanya? Dalam keadaan mendesak seperti ini, aku harus bertindak tegas”, pikir Hiang Hiang, siapa lalu berkata: “Maukah kau berjanji takkan menganiayanya?”
“Ya, aku takkan menCelakakannya,” seru baginda dengan girang.
Melihat Caranya menyanggupi itu hanya seCara serampang-an saja, tahulah Hiang Hiang, bahwa baginda takkan sungguh-sungguh menetapi janjinya itu. Kebenciannya makin mendalam. Kini ia mendapat suatu ketetapan, katanya: “Besok pagidua aku hendak berkunjung kemesjid. Disana dengan semua kaumku, aku akan bersembahyang dan setelah itu baru aku akan menurut padamu”.
“Bagus, setelah besok pagi, yangan kau ingkar lagi!” seru Kian Liong dengan girang, lalu turun kebawah.
Hiang Hiang segera menulis sepucuk surat, maksudnya untuk memperingatkan Tan Keh Lok, bahwa kaisar itu akan menganiayanya, bahwa renCananya untuk membangun kerajaan Han itu hanya suatu impian kosong saja, maka dia minta agar anak muda itu lekas Cari daya untuk menolongnya keluar dari istana neraka itu.
Surat itu dibungkusnya dengan seCarik kertas dan ditulisi dengan huruf Uigor, maksudnya surat itu dialamatkan pada ketua HONG HWA HWE Tan Keh Lok.
Pikir Hiang Hiang, semua orang Ui bangsanya itu sangat mengindahkan sekali pada ayah, Cici dan dirinya. Begitu ada kesempatan, surat itu akan diberikan pada salah seorang Ui dan ia perCaja tentu orang itu pasti suka mengerjakannya. Setelah itu, ia merasa, bahwa batu yang mendidih dihatinya selama ini seperti terangkat, dan dengan hati lega pulaslah ia.
Ketika ia membuka mata, ternyata hari sudah hampir terang tanah. Buru-buru ia bangun dan berhias. Semua dayang yang melihat perubahan sikap dari puteri Ui itu, sama bergirang. Setelah surat itu disembunyikan dalam lengan bayunya, Hiang Hiang lalu berjalan keluar. Diluar pagoda, sebuah tandu dengan empat orang thaikam sudah siap untuk membawanya ke mesjid.
Memandang kepunCak menara mesjid itu, hati Hiang Hiang agak terhibur. Didalam mesjid, tampak dua baris pengawal berdiri di kanan-kiri.
Bermula ia girang demi dilihatnya diantara pengawal itu terdapat dua orang Ui. Buru-buru hendak diangsurkannya surat itu kepada orang tersebut. Tapi demi matanya terbentrok dengan sinar mata orang itu, Hiang Hiang bersangsi dan batal menyerahkan surat itu.
Kiranya walaupun orang mengenakan pakaian orang Ui, tapi wajah, dan sorot matanya tak mirip dengan suku Ui. Kembali Hiang Hiang memandang kesebelah kiri pada seorang Ui lainnya. Orang itu mirip sekali dengan orang Ui, tapi sikapnyapun agak aneh.
“Apakah kamu disuruh kaisar untuk menjaga aku?” tanya Hiang Hiang sengaja dilam bahasa Ui.
Benar juga, kedua orang Ui itu tak menaati, hanya angguk kepala saja. Kini putuslah sudah harapan Hiang Hiang. Ketika dia melangkah kedalam, ada delapan orang Ui yang mengikutinya. Orang-orang Ui itu sebenarnya adalah Si-wi istana yang berpakaian seperti orang Uigor. Karena orang Ui yang sesungguhnya, tak boleh dekatdua dengan puteri Ui tersebut.
Kini imam mulai memimpin upaCara sembahyangan. Dengan berlutut, air mata Hiang Hiang membanjir turun, hatinya remuk rendam. Dalam hatinya, hanya sebuah tekad: “bagaimana mendapat jalan untuk memberitahukan kepadanya? Sekalipun aku harus binasa, aku harus dapat menyampaikan berita ini padanya!”
“Ya, sekalipun aku harus binasa,” pikiran itu tiba-tiba terkilas dalam hatinya. Dan seCepat itu pula ia telah mengambil keputusan yang bulat: “Kalau aku binasa disini, berita itu tentu akan dapat diterimanya. Ja, hanya itulah satuduanya jalan!”
Tapi tiba-tiba ia teringat akan ajat keempat dari kitab Quran: “Kamu yangan bunuh diri. Allah tetap akan melindungimu. Barang siapa yang melanggar pantangan ini, akan kulempar kedalam api.
Demikian sabda Nabi Mohammad itu terus berkumandang ditelinganya: “Barang siapa membunuh diri, se-lama-lamanya akan dijebloskan dalam api neraka!”
Bukannya ia takut mati, karena ia perCaja bila nanti meninggal, tentu akan naik kesorga, kelak akan dapat berkumpul dengan kekasihnya. Kata ajat Quran: “Mereka akan mendapat pasangannya disorga dan berkumpul se-lama-lamanya.”
Tapi tidakkah ia akan menyalahi ajaran itu, apabila ia sampai bunuh diri?
Teringat hal itu, hatinya kunCup. Berbareng pada saat itu terdengar suara orang banyak sekali tengah menyanyikan lagu puji kebahagiaan ditaman sorga. Bagi seorang ummat yang patuh akan agamanya, tiada hal yang lebih menakutkan dari hukumandua yang mengerikan dineraka. Namun keCuali dengan cljalan nekad itu, rasanya ia sudah tak mempunyai lain daya lagi. Begitulah setelah terjadi pertentangan dalam batinnya yang hebat, akhirnya Cintalah yang menang.
“Allah yang Maha SuCi, bukan hamba tak perCaja akan keadilanMu. Tapi selain mengorbankan jiwa ragaku, aku tak dapat menCari daya lain untuk memberitahukan padanya.”
Sehabis berdoa begitu, badi-badi diCabutnya keluar, lalu menggurat batu merah, dari lantai disitu dengan kata-kata: “Yangan perCaja raja itu.”-Habis itu, ia berteriak pelan-pelan : “O, Toako!”
Kemudian ujung badi-badi yang tajam itu, ditusukkan kedadanya, dada yang paling suCi dan Cantik dikolong langit.
Rombongan orang-orang Ui tengah bersembahyang, sedang beberapa Siwi pengangkut tandu itupun ikut serta berlutut. Tiba-tiba Siwi yang berada disebelah kanan Hiang Hiang tadi, melihat ada darah segar mengalir dilantai. Dengan terkejut diawasinya arah alir darah itu yang ternyata berasal dari bawah tubuh Hiang Hiang. Pakaiaan sinona yang serba putih itu sudah berlumuran warna merah. Saking kagetnya, Siwi itu berteriak, lalu lompat untuk menarik lengan Hiang Hiang, yang ternyata kepalanya sudah terkulai dan matanya tertutup. Sedang didadanya tertanCap sebuah badi-badi.
Kini kita tengok keadaan rombongan HONG HWA HWE yang tengah berunding diruangan tengah. Mereka tengah mendengarkan laporan dari Cio Su Kin yang baru kembali dari Kwitang dan menCeritakan tentang keadaan orang-orang gagah didaerah itu. Tiba-tiba orang melapor bahwa Pek Cin minta bertemu. Buru-buru Tan Keh Lok menyambutnya sendiri.
Pek Cin segera menyampaikan firman baginda yang maksudnya mengundang semua pemimpin HONG HWA HWE untuk hadir dalam pesta di Yong Ho Kiong. Pesta itu sengaja diadakan oleh baginda diistana tersebut., karena baginda kuatir nanti thay-houw dan bangsawandua Boan menaruh keCurigaan.
Mendengar itu hati Keh Lok tak keruan rasanya. Girang karena Hiang Hiang berhasil mempengaruhi baginda. Tapi hatinya mendelu dan terharu mengingat gadis yang dikasihinya itu telah mengorbankan diri menurut kehendak baginda.
Setelah Pek Cin pergi, orang-orang HONG HWA HWE berapat. Semua orang sama bergirang mendengar baginda betul-betul mau melaksanakan gerakan besar itu. Sampaipun Bu Tim, Liok Hwi Ching, Tio Pan San dan Bun Thay Lay, orang-orang yang pernah mengalami kekejaman pemerintah Ceng dan paling tidak perCaja pada kaisar Boan itu, kini mau-tak-mau turut bergembira juga. Mereka anggap, kesemua itu dapat berjalan lanCar disebabkan baginda itu telah menginsyapi asal usul dirinya dan kedua kalinya, adalah kakak kandung dari CongthoCu mereka.
Karena kuatir tak dapat mengatasi perasaannya kalau berada seorang diri, maka Tan Keh Lok ajak semua saudaranya untuk pasang omong dengan bebas dan biCara tentang ilmu silat, berkatalah Bu Tim:
“Kali ini didaerah Hwe dan gereja Siao Lim Si, CongthoCu telah dapat mempelajari beberapa macam ilmu silat yang lihai, maukah CongthoCu mempertunjukkannya barang beberapa jurus?”
“Baiklah” sahut Keh Lok. “Memang sedianya kuhendak minta Liok-loCianpwe dan sekalian saudara mengujinya, karena kukuatir ada beberapa bagian yang masih belum dapat kupahami.”
Oleh karena ilmu silat “Hang-liong-Cap-pwe-Ciang” adalah ilmu pusaka Cabang Siao Lim yang menurut pesanan Thian Keng Siansu tak boleh diturunkan pada lain orang, maka Tan Keh Lok bermaksud hendak menunjukkan ilmu silat dari tengkorak digunung Sin-nia itu saja.
“Sipsute, tolong kau tiup serulingmu,” pinta Keh Lok.
Hi Tong mengiakan. Wan Ci buru-buru lari kedalam kamarnya untuk mengambilkan benda itu.
“Bagus, kini kepunyaan lain orang pun mau menyimpannya.” Lou Ping menggoda.
Selebar muka Wan Ci berobah merah.
Kiranya waktu lengan Wan Ci dipatahkan Ciauw Cong itu, sepanyang perjalanan Hi Tong merawatnya dengan telaten sekali. Karena kasihan, timbullah rasa sayang. Dan rasa sayang itu, betul-betul merupakan benih Cinta yang setulusnya. Hi Tong adalah seorang pemuda yang jujur. Setelah rasa Cinta itu sungguh-sungguh keluar dari hatinya, diapun tak maludua lagi untuk mengutarakannya.
Bagi Wan Ci, itu merupakan obat mujarab pelipur lara. Karena kini Cintanya itu telah terbalas. Begitulah apabila mereka berduaan, tentu lantas kesak-kusuk menumpahkan rasa hati masing-masing. Ada kalanya mereka terkenang akan pertemuan mereka pertama kali dihotel, dimana Hi Tong dengan gunakan serulingnya telah dapat menotok tubuh kawanan Siwi.
“Koko, mengapa suhu tak mau mengajarkan ilmu tiam-hiat padaku?” demikian pernah Wan Ci bertanya.
“Ha, meski Liok-susiok sudah berusia tua, tapi ia tentu merasa segan untuk menutuk badanmu, dan sebaliknya pun sungkan kalau kau menjamah tubuhnya. Padahal tiam-hiat harus betul-betul dikenakan pada bagian tubuh. Tak apalah, kelak kalau kita sudah menjadi suami isteri, nanti kuajarkan padamu.”
“Ah, tadi aku menduga salah pada Suhu,” ujar sigadis.
“Ya, tapi kalau kuajarkan ilmu itu padamu, kau harus berlutut menjalankan penghormatan mengangkat Suhu padaku”, Hi Tong menggoda.
“Fui, Hiapa sudi?!” omel Wan Ci.
Begitulah sejak itu, Hi Tong mulai mengajarkan dasar ilmu tiam hiat pada Calon isterinya. Karena pelajaran itu memakai seruling, maka seruling Hi Tong dipinjam oleh Wan Ci.
Sementara itu, Tan Keh Lok sudah lantas bersilat menurut irama aeruling.
“CongthoCu, dengan ilmu silat itu kau berhasil merobohkan Ciauw Cong. Bagaimana kalau sekarang kutemani kau ber-main-main dengan pedang?” kata Bu Tim lalu melolos pedang dan lonCat ketengah.
“Baiklah, Totiang!” ujar Keh Lok seraya menyerang bahu imam itu.
Bu Tim membabat turun mengarah pinggang lawannya, namun Keh Lok miringkan tubuh menghindar sembari memutar kebelakang dan menyerang punggung orang. Tanpa berpaling, Bu Tim sabetkan pedangnya kebelakang. Walaupun demikian, sabetan itu tepat kenanya. Itulah gerak “memandang gunung mengenang yang lalu,” salah suatu jurus yang luar biasa dari ilmu pedang “tui-hun-toh-bing,” Ciptaan imam itu sendiri.
Gerakan Bi Tim itu mendapat sorok pujian dari orang-orang yang menonton. Meskipun pertandingan itu hanya bersifat “Cobadua,” tapi tak urung berjalan dengan seru dan tegang.
Selagi pertandingan berjalan seru, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara nyanyian sedih. Bermula orang-orang HONG HWA HWE itu sama tak menghiraukan, namun nyanyian itu makin lama makin dekat kedengaran, hingga merawan hati orang.
Karena agak lama berdiam didaerah Hwe, tahulah Sim Hi bahwa nyanyian itu adalah lagu berkabung yang biasa diujanjikan oleh rombongan orang Ui yang tengah mengantar jenazah. Karena ingin tahu, larilah anak itu keluar.
Tak antara beberapa lama, dia kembali masuk dengan wajah puCat pasi, tubuhnya agak sempoyongan, ia mendekati Tan Keh Lok dan berseru dengan suara sember: “CongthoCu!”
Bu Tim buru-buru tarik pulang pedangnya, sedang Keh Lok pun segera bertanya ada apa pada Sim Hi.
“Hiang ............... Hiang KiongCu meninggal!” tutur Sim Hi tak lanCar.
Seketika semua orang sama melengak kaget. Keh Lok rasakan matanya berkunang-kunang, Bu Tim Cepat buang pedangnya untuk memegang bahu ketua HONG HWA HWE itu.
“Bagaimana ia meninggal?” tanya Lou Ping Cepat.
“Menurut keterangan salah seorang saudara Ui, katanya puteri itu meninggal dimesjid. Ia bunuh diri dengan badi-badi,” sahut Sim Hi.
“Mengapa orang-orang Ui sama menyanyi?” tanya pula Lou Ping.
“Kaisar telah menyerahkan jenazah KiongCu pada orang Ui. Sepulangnya dari pemakaman, hati mereka sama berduka dan menyanyikan lagu itu.”
Semua orang sama me-maki-maki kaisar, karena sudah begitu kejam hingga seorang gadis yang tak berdosa apa-apa sampai mengambil keputusan yang begitu nekad. Teringat akan hubungannya, Lou Ping menangis sesenggukan. Sebaliknya Tan Keh Lok nampak membisu saja. Semua orang sama berkuatir dan Coba menghiburnya.
Tapi sekonyong-konyong ketua HONG HWA HWE itu berkata: “Totiang, ilmu silat yang kupertunjukkan tadi belum selesai, mari kita lanjutkan pula.”
Semua orang sama heran, melihat sikapnya yang aCuh tak aCuh itu.
“Dia sedang berduka, baiklah kumengalah sedikit,” pikir Bu Tim.
Begitulah keduanya mulai bertanding lagi. Nyata-nyata gerakan Tan Keh Lok tetap linCah dan berbahaya, seolah-olah tak terpengaruh akan kejadian tadi.
“Huh, kebanyak sekalian orang lakidua itu tak berperasaan. Hanya karena urusan negara, sedikitpun dia tak menaruh kasihan atas kematian kekasihnya,” demikian Wan Ci menumpahkan kemendongkolannya kepada Hi Tong.
Sembari terus meniup serulingnya, diam-diam Hi Tong berpikir: “CongthoCu sungguh berhati baja. Kalau aku, tentu sudah menjadi sinting.”
Kuatir CongthoCu itu sampai kena apa-apa, Bu Tim tak mau gunakan jurus-jurus yang berbahaya. Sebenarnya pertandingan berjalan dengan berimbang, tapi sengaja Bu Tim berlaku ajal dan mundur. Dan karena lambat menarik pedangnya, lengan Bu Tim telah kena tertusuk tiga jari tangan Keh Lok. Begitu terjadi benturan itu, keduanya sama lonCat menyingkir.
“Bagus, CongthoCu!” seru Bu Tim.
“Ah, totiang sengaja mengalah”, kata Keh Tok dengan tertawa. Tapi belum saja suara ketawanya itu habis, tiba-tiba dia menguak dan muntah darah.
Semua orang terkejut bukan main serta buru-buru memegangnya.
“Ah, tak apalah!” Keh Lok tertawa, lalu dengan menggelandot pada Sim Hi terus masuk kedalam kamar.
Melihat kejadian itu, Wan Ci sesalkan diri karena tadi teiah menduga keliru pada ketua itu.
“Karena menahan perasaan duka, dia sampai tumpah darah. Tapi kalau sudah beristirahat, tentu baiklah”, kata Hwi Cing.
Mendengar keterangan jago tua yang sudah kenyang pengalaman itu, barulah semua orang lega hatinya.
Setelah tidur kira-kira sejam lebih, Keh Lok terbangun. Teringat akan urusan penting pada pertemuan nanti malam, dia sesalkan diri mengapa begitu tak dapat menjaga diri. Namun kalau teringat akan kebinasaan nona yang dikasihinya itu, hatinya tak terkatakan sedihnya.
“Asri telah berjanji padaku akan menurut baginda, mengapa mendadak bisa terjadi begitu? Ia tahu bahwa pengorbanannya itu demi untuk kepentingan negara, kalau tak terjadi perubahan penting, tak nanti ia sampai berlaku begitu nekad. Ah, disitu tentu terselip apa-apa”, demikian pikir Keh Lok.
Sampai lama dia merenung, namun tetap tak mengerti. Kemudian dia mendapat akal, ia menyaru sebagai orang Ui mukanya dipupuri dengan arang. Lalu katanya kepada Sim Hi: “Aku akan keluar sebentar.”
Sim Hi tak berani menCegah, tapi diapun kuatir, maka dikuntitnya dengan diam-diam. Keh Lok tahu, namun dibiarkan saja, karena menganggap anak itu mengandung maksud baik.
Dnyalan hiruk pikuk, dengan orang dan kendaraan. Namun kesemuanya itu dianggap sepi saja oleh Keh Lok.
Begitulah setelah sampai dimesjid, dia terus langsung memasukinya dan berlutut mendoa: “Asri, kau tentu menunggu aku dialam baka. Aku telah berjanji padamu untuk menjadi umat Islam, supaya kau tidak menunggu dengan sia-sia.”
Ketika mendongak, tiba-tiba dilihatnya dilantai terdapat beberapa tulisan yang sudah tak jelas kelihatannya. Nyata tulisan itu digurat dengan pisau dan berbunyi: “Yangan perCaja pada raja.”
Guratan tulisan itu berwarna merah darah. Malahan pada beberapa bagian dari lantai itu terdapat warna merah yang agak tua.
“Masakah itu ketesan darah Asri?” pikirnya, ia Coba menunduk untuk membaunya. Ternyata bekas itu berbau darah. Tanpa terasa, air matanya membanjir turun.
Setelah puas menangis, tiba-tiba pundaknya terasa ditepuk pelan-pelan oleh orang. Bagi seorang yang mengerti silat, sedikit saja tubuhnya disentuh orang, tentu reakslnya Cepat sekali. Demikian dengan Tan Keh Lok yang segera lonCat bangun sembari gerakkan tangan kirinya untuk menangkis.
Tapi ketika diawasinya, bukan main heran dan girangnya. Orang itu mengenakan pakaian seorang lelaki suku Ui, tapi sepasang alisnya yang bagus menawungi sepasang biji mata yang bersorot bening. Dia bukan lain adalah Chui-ih-wi-sam Hwe Ceng Tong.
Hari itu sigadis sebetulnya ikut sang suhu Thian-san Siang Eng kekota Pakkhia untuk menolong adiknya. Tapi, mungkin geledek ditengah hari masih kalah dibanding ketika dari seorang Ui ia mendapat warta tentang meninggalnya sang adik. Maka bergegas-gegaslah ia pergi kemesjid dan disitu dilihatnya seorang lelaki Ui tengah berlutut menangis sambil menyebutdua nama Asri. Sedikitpun ia tak menyangka, kalau orang itu ternyata Tan Keh Lok adanya.
Baru saja keduanya mulai menuturkan pengalamannya, tiba-tiba dua orang si-wi tampak masuk. Buru-buru Keh Lok menarik lengan Ceng Tong diajak berlutut bersembahyang.
“Bangun!” seru salah seorang si-wi ketika lewat didekat Keh Lok.
Terpaksa Keh Lok bangun. Tiba-tiba kedua si-wi itu memakai linggis untuk menCongkel lantaidua yang tergurat tulisan berdarah tadi, terus dibawanya pergi.
“Apakah itu?” tanya Ceng Tong.
“Disini banyak sekali telinga, lebih baik kita tengkurep sembahyang lagi, nanti kukasih tahu.”
Dengan bisik-bisik, Keh Lok lalu menCeritakan apa yang dilihatnya tadi.
Dengan sedih dan marah berkatalah Ceng Tong: “Ya, mengapa kau begitu sembarangan perCaja pada omongan raja itu?”
“Kuanggap dia itu seorang Han, pula kakandaku sendiri,” sahut Keh Lok dengan menyesal.
“Huh, orang Han! Apakah orang Han tak ada yang busuk? Kalau sudah enak-' menjadi kaisar, masakah ingat sanak famili lagi!.”
“Ya, aku berdosa kepada Asri,” kata Keh Lok berlinangdua air mata.
Merasa tadi kata-katanya terlalu tajam, sedangkan orang menyesal dan berduka, buru-buru Ceng Tong menghiburnya: “Ah, sudahlah, kau memang tak bersalah. Karena kau berjoang untuk nasib rakyatmu. Lalu pesta diistana Yong Ho Kiong nanti malam, kau pergi atau tidak?”
“Tentu! Akan kubunuh raja itu untuk membalaskan sakit hati Asri,” seru Keh Lok dengan menggretek lagi.
“Benar, juga untuk membalaskan sakit hati ayah dan saudara-saudara bangsaku!” Ceng Tong pun geram sekali.
“Tapi kau belum menCeritakan bagaimana kau lolos dari serangan pasukan Ceng waktu itu?”
“Itu waktu aku tengah menderita sakit dan musuh menyergap dengan tiba-tiba. Syukur dengan gagah berani saudara HuVun berempat menolong aku dan dibawa ketempat suhuku.”
“Asri. mengatakan padaku, biarpun keujung langit kita tetap akan menCarimu,” kata Keh Lok kemudian.
Mata Ceng Tong tampak merambang merah, katanya: “Mari pulang untuk berunding dengan Sekalian saudara.”
Nampak nona itu, bukan kepalang girangnya Hi Tong. “Nona Hwe, aku senantiasa memikirkan dirimu,” sapanya.
Setelah ayah-bunda dan kedua saudaranya meninggal, Ceng Tong merasa sebatangkara. Ia tak menaruh ganjelan apa-apa lagi terhadap kekurangajaran Sim Hi tempo hari.
“Kau kini sudah tambah besar ja?” sahutnya kemudian.
Tahu nona itu tak membencinya lagi, Sim Hi girang sekali.
Setibanya dirumah, Thian-san Siang Eng tengah pasang omong dengan orang-orang. Segera Keh Lok tuturkan pengalamannya dimesjid tadi, Tan Ceng Tik yang aseran sudah lantas menggebrak meja.
“Nah, apa kataku dulu? Kaisar tentu akan menCelakakan kita. Anak itu (Hiang Hiang) tentunya sudah mengetahui tipu kejinya, maka ia korbankan diri untuk memberi peringatan padamu,” teriak jago tua itu.
“Kami sepasang suami isteri tak beruntung akan keturunan. Sebenarnya kami bermaksud untuk mengambil Cici-beradik itu sebagai anak, siapa nyana.........,” demikian kata Kwan Bing Bwe yang tak dapat langsung karena sesenggukan.
“Nanti kepesta di Yong Ho Kiong, kita harus membekal senjata. Karena senjata panyang tak diperbolehkan dibawa masuk, kita bawa saja senjata yang pendek dan senjata rahasia,” kata Keh Lok kemudian.
Usul Keh Lok itu disetujui semua orang.
“Nasi dan sajur dalam hidangannya nanti, kebanyak sekalian tentu diCampur obat bius. Sebaiknya yangan kita makan,” kata ketua HONG HWA HWE itu pula.
Kembali semua orang mengiakan.
“Bahwa kita bunuh kaisar itu malam nanti, itulah sudah pasti. Tapi perlu kiranya kita mengatur renCana untuk lolos,” kata Keh Lok lagi.
“Kita tentu tak dapat tinggal di Tiong-goan lagi, sebaiknya kita menyingkir kedaerah Hwe saja,” usul Ceng Tek.
Sebenarnya rombongan HONG HWA HWE tidak lama berada didaerah Kanglam. Dalam hati, tiada seorangpun yang tak merindukan kampung halaman masing-masing. Namun tak ada lain pilihan lagi bagi mereka: membunuh atau dibunuh kaisar. Begitulah setelah berunding, renCana segera ditetapkan.
Bun Thay Lay pimpin Seng Hiap, Jun Hwa, Siang Ing dan Su Kin untuk mempersiapkan bayhok dipintu kota sebelah barat. Begitu saatnya tiba, mereka harus membasmi tentara penjaga pintu dan menyambut rombongan Tan Keh Lok untuk terus lolos kearah barat.
Sim Hi disuruh mengepalai rombongan thauwbak, siapkan kuda dan anak panah, menyambut diluar istana Jong Ho Kiong. Dan Hi Tong ditugaskan untuk memberi tahu pada semua thauwbak HONG HWA HWE dikota Pakkhia supaya menyampaikan berita pada seluruh Anggota HONG HWA HWE diberbagai wilayah, bahwa pucuk pimpinan pindah kedaerah Hwe. Dan bahwasanya Cabangdua HONG HWA HWE supaya membubarkan diri dan bekerja dibawah tanah saja untuk menghindari penangkapan dari perintah Ceng.
Setelah selesai membagidua tugas, Tan Keh Lok minta pertimbangan pada Thian-san Siang Eng dan Lok Hwi Ching bagaimana renCana pembunuhan terhadap kaisar itu nanti. “Gampang, nanti kupuntir batang lehernya raja itu, Coba dia masih bisa menjadi raja apa tidak” kata Ceng Tik.
“Kalau bisa begitu, itulah bagus!” Hwi Ching tertawa. “Tapi karena dia sudah siap merenCanakan membunuh kita, tentu akan membawa sejumlah besar si-wi, jadi penjagaannya tentu luar biasa rapatnya!”
“Kurasa lebih baik Tio-sam-te gunakan senjata rahasia untuk menghabisi dia”, kata Bu Tim.
Ketika dipagoda Liok Hap To dahulu, Ceng Tik pernah saksikan kelihaian Tio Pan San dalam ilmu senjata rahasia. Maka seketika itu juga dia menunyang usul itu.
Pan San mengeluarkan tiga biji 'tok-Cit-le' yang beracun, katanya dengan tertawa: “Satu saja yang kena, sudah Cukup untuk mengantar jiwa kaisar itu kelain dunia.”
“Kukuatir orang she Pui itu masih didalam istana, tentu dapat mengobatinya,” kata Keh Lok.
Yang dimaksud oleh Keh Lok itu, jalah Pui Liong Cun, pemilik senjata rasia yang hebat itu.
“Biar, telah kurendam piauw itu dalam raCun lain. Mungkin orang she Pui itu bisa mengobati yang satu macam raCun, tapi tidak yang lainnya,” kata Pan San.
“Sebaiknya hui-to kepunyaanmu dan jarum hu-yong-Ciam punyaku direndam raCun juga.” kata Hwi Ching pada Lou Ping-. Demikian semua orang sama sibuk menCelup senjatanya dengan raCun. Mengingat baginda itu adalah kakandanya sendiri dari lain ayah. hati Keh Lok agak tak tega. Tapi kalau ingat perbuatannya yang kejam itu, dia marah dan ikut masukkan badi-badinya kedayam raCun.
Kira-kira jam 5 sore, semua orang gagah itu sudah berkemasdua. Setelah dahar, mereka menunggu. Tak berapa lama, munCullah Pek Cin dengan anak buahnya, empat orang siwi. Begitulah mereka berangkat keistana Yong Ho Kiong. Ketika dipagoda Liok Hap Ta dahulu, Pek Cin pernah tempur Ceng Tik. Demi nampak jago Thian-san itu juga ikut, keduanya saling berpandangan.
Setiba diistana, Pek Cin meneliti rombongan HONG HWA HWE sama tak membawa senjata. Melihat itu, dia mengelah napas dan memimpin mereka masuk. Diruangan besar, sudah disiapkan tiga meja perjamuan. Pek Cin silakan mereka duduk.
Meja tengah, tempat duduk utama, diduduki Tan Keh Lok. Meja disebelah kiri, Tan Ceng Tik dan meja sebelah kanan Liok Hwi Ching. Dibawah patung HudCouw, ada pula sebuah meja. Kursinya ditutup dengan sutera benang kuning emas. Disitulah tempat duduk baginda.
Diam-diam Hwi Ching, Pan San dkk. sama memperhitungkan Cara bagaimana nanti, apabila saatnya sudah tiba melepas senjata rahasia kearah tempat duduk kaisar itu.
Hidangan mulai dikeluarkan, rombongan HONG HWA HWE menanti kehadiran baginda.
Beberapa saat kemudian, kedengaran tindakan kaki orang, yang ternyata adalah dua orang thaikam, Ti Hian dan Bu Bing Hu. Dibelakangnya mengikut seorang menteri besar yang mengenakan topi merah. Itulah Li Khik Siu, ayah Wan Ci. Hampir-hampir nona itu berseru memanggilnya, Coba tak keburu Ti Hian lantas berleriak “Titah raja!”
Pek Cin dan kawanan siwi segera berlutut. Sedang Keh Lok dkk. terpaksa ikut berlutut juga. Pada lain saat, terdengarlah Ti Hian membaca titah raja tersebut.: “Tan Keh Lok dkk setia pada negara, aku girang mengetahuinya. Kini kuangkat Tan Keh Lok menjadi 'Cinsu', lain-lainnya pun akan diberi pangkat. Pesta untuk menghormat pengangkatan itu diadakan di Yong Ho Kiang sini dan Li Khik Siu Ciangkun dititahkan menemaninya. Sekian.”
Mendengar itu, tawarlah hati Keh Lok. Kiranya kaisar itu sungguh liCik, karena tak mau hadir sendiri.
“Selamat, Tan-heng menerima anugerah baginda itu, sungguh beruntung sekali,” Li Khik Siu menghampiri Tan Keh Lok sambil menjura.
Keh Lok menjawab merendah, Sedang Wan Ci dan Hi Tong menghampiri sang ayah dan menyapa.
Khik Siu terkejut dan berpaling mengawasi. Betapa girangnya ketika didapatinya sang puteri tunggal tampak berada disitu dengan tak kurang suatu apa. Buru-buru ditariknya tangan Wan Ci, dan air matanya ber-linangdua. Karena sejak berpisah, siang malam selalu memikiri sang anak itu.
“Wan Ci, bagaimana keadaanmu?” tanya Khik Siu.
“Ayah............” Ingin Wan Ci menuturkan halnya, namun sang mulut berat mengatakan.
“Mari, kau duduk dengan aku semeja!” kata Khik Siu terus menarik lengan puterinya.
Wan Ci dan Hi Tong tahu kalau hal itu disebabkan rasa sayang seorang ayah, maka setelah saling memberi isyarat mata, keduanya berpisah duduknya.
Lalu Ti Hian dan Bu Bing Hu menghampiri ketengah perjamuan dan berkata pada Tan Keh Lok: “Saudara, kelak sesudah jadi menteri, yangan lupa pada kami berdua.”
“Sudah tentu tak kulupakan kongkong,” sahut Keh Lok.
Ti Hian lambaikan tangan dan dua orang thaikam kecil menghampiri dengan membawa sebuah nenampan berisi dua poCi arak dan beberapa Cawan. Ti Hian mengangkat poCi itu terus dituang kedalam dua buah Cawan. Dia sendiri segera ambil yang secawan, katanya: “Kuhaturkan selamat pada saudara dengan secawan arak ini!”
Arak segera diminumnya, lalu mengambil Cawan berisi arak. yang satunya, diberikan pada Keh Lok.
Melihat itu semua mata orang-orang HONG HWA HWE ditujukan kearah ketuanya. Tahu mereka kalau keburu napsu mungkin menggagalkan renCananya. Dan itu perCuma saja karena, toh orang yang dinantinya (kaisar) tak ada disitu.
Sejak datang keperjamuan itu, Keh Lok sudah penuh berlaku waspada. Dia sudah insyap bahwa perjamuan itu tentu tidak sewajarnya. Segala sesuatu ditelitinya dengan seksama. Benar1 juga ia mengetahui bahwa pada kedua samping dari poCi arak masing-masing terdapat sebuah lobang kecil. Ketika pertama kali menuang arak tadi, Ti Hian telah gunakan ibu jarinya untuk menutup lubang yang disamping kiri. Dan arak dalam Cawan itu diperuntukkan pada Tan Keh Lok. Sedang ketika menuang yang kedua kalinya, ibu jarinya dijentikkan untuk menutup lobang sebelah kanan.
Kini tahulah Keh Lok bahwa poCi arak itu terisi dua macam arak. Kalau lobang kiri ditutup, maka lobang kanan memanCur arak. Begitu pula sebaliknya. Jadi nyata, kalau lobang sebelah kanan itu terisi arak raCun.
“Oh, kanda, kau begitu kejam, rela menganiaya aku dengan siasat memberi pangkat, supaya aku memperCajaimu. Kalau tidak Asri mengorbankan jiwanya, tentu arak beracun ini terminum olehku,” mengeluh Keh Lok seorang diri.
Dia angkat kedua tangannya untuk menghaturkan terima kasih lalu mengambil Cawan seperti hendak diminumnya. Melihat itu Ti Hian dan Bu Bing Hu bersorak dalam hati. Tapi pada lain saat, sekonyong-konyong Keh Lok letakkan Cawannya, kemudian menyembat poCi dan dituangkan kedalam Cawan kosong. Sewaktu menuang, jempolnya ditutupkan kelobang sebelah kanan. Setelah itu, isi Cawan terus ditenggaknya. Cawan pertama yang tak jadi diminumnya tadi diberikan kepada Bu Bing Hu:

“AYO, silakan Bu kongkong juga menemani minum secawan!”
Mengetahui rahasianya telah bocor, berobahlah wajah kedua thaikam itu. Kembali Keh Lok menuang secawan dan disodorkan kepada Ti Hian: “Harap Ti-kongkong suka menerima pembalasan hormatku!”

Kini tak tahan lagi rupanya Ti Hian, dia tendang Cawan yang diangsurkan itu sambil membentak: “Tangkap mereka semua!” Seketika dari empat penjuru ruangan itu menyerbu keluar ratusan siwi istana dan Anggota gi-lim-kun.

“Jiwi kongkong kiranya tak gemar minum. Itu tak apa, mengapa marah-marah?” tanya Keh Lok dengan tertawa.

“Dengarkan titah raja ini,” Bu Bing Hu berteriak: “HONG HWA HWE berniat memberontak dan mengaCau. Harus segera ditangkap dan dibunuh tanpa diadili lagi.”

Atas isyarat Keh Lok, kedua saudara Siang segera lonCat kebelakang kedua thaikam itu terus membekuk tengkuk lehernya. Kedua thaikam itu Coba melawan, tapi sudah terlambat, karena seluruh tubuh mereka terasa lemas kesemutan.

Keh Lok menuang lagi secawan arak. “Arak kehormatan ditolak, rupanya ingin arak hukuman.”

Segera Lou Ping dan Ciang Cin masing-masing mengambil arak beracun itu, lalu diCekokkan kemulut Ti Hian dan Bu Bing Hu.

Melihat kedua thaikam itu diringkus, rombongan siwi dan gi-lim-kun tadi tak berani mendekati, kuatir kalau kedua thaikam itu dibunuh. Sedang orang-orang HONG HWA HWE itu sudah bersiap dengan senjatanya. Tapi ketika hendak menobros keluar, tiba-tiba dibelakang ruangan besar timbid kebakaran, berbareng terdengar suara obat peledak.
Keh Lok heran dan menduga yangan-yangan ada saudara-saudaranya kaum HONG HWA HWE yang terkepung disana, maka segera dia memerintahkan agar menyerbu saja keruangan belakang.

Karena senjata yang dibekalnya keliwat pendek, Bu Tim tak dapat leluasa bergerak. Segera dia rampas sebilah pedang, dari seorang si-wi. Dalam beberapa kejap saja, dia sudah dapat membunuh tiga orang musuh, terus memepelopori menyerbu kebelakang, diikuti oleh Kawan-kawan nya.

Li Khik Siu tarik tangan puterinya, serunya: “Kau tinggal bersama aku!”

Dia bersama Pek Cin lalu memberi komando, menyuruh anak buah si-wi menghadang.
Melihat itu, Hi Tong mengelah napas, pikirnya: “Dengan ayahnya aku diibaratkan seperti minyak dengan air. Jadi nyata ia bukan jodoku!”

Dengan hati berat, anak muda itu segera memutar kim-tioknya untuk ikut pada rombongannya. Melihat itu, Wan Ci kibaskan tangan ayahnya yang memeganginya, begitu terlepas, ia terus lari menyusul Hi Tong sambil berseru: “Ayah, harap kau menjaga diri baik-baik , puterimu akan pergi!”

Saking kesimanya, Li Khik Siu berdiri seperti patung, kemudian setelah sadar, dia berseru memanggil: “Wan-Ci, Wan-Ci, kembalilah!”

Namun Wan Ci sudah menghilang keluar. Menduga sang bakal isteri telah mengikut ayahnya, bukan main sedihnya Hi Tong. Ketika Wan Ci menyusul datang, dilihatnya anak muda itu tengah bertempur dengan lima-enam si-wi. Keadaannya berbahaya, karena anak muda itu sudah terluka beberapa kali.

“Suko, ikut aku kemari!” teriak sigadis. Mendengar sang kekasih datang, semangat Hi Tong timbul seketika. Dengan hebat, kim-tiok dibabatkan. Sedang Wan Cipun maju membantunya, hingga kawanan si-wi itu mundur. Kemudian dengan bergandengan tangan, kedua pasangan itu maju menyusul Lou Ping.

Pada saat itu, api semakin besar. Suara pekik orang, seperti memeCah telinga. Rombongan Tan Keh Lok sudah sampai diluar paseban Sui Seng Tian. Disitu mereka menjadi kaget tak terkira ketika menampak berpuluh paderi Lama sedang bertempur mati-matian dengan sekawanan serdadu Ceng. Nyata rombongan Lama itu sudah hampir tak dapat bertahan lagi.

Tak terduga-duga, Pek Cin berbalik memimpin anak buahnya membantu rombongan Lama, hingga kawanan serdadu itu kena didesak masuk kembali kedalam ruangan yang tengah dimakan api.

Sudah tentu Keh Lok tak mengetahui akan pertentangan antara Kian Liong dengan thayhouw. Kejadian itu sungguh membuat ia tak habis heran. Namun dia tak mau menyianyiakan kesempatan yang bagus itu, terus ajak Kawan-kawan nya lonCat keluar dari tembok istana.

Pek Cin dan Li Khik Siu sudah mendapat perintah rahasia dari Kian Liong supaya rombongan HONG HWA HWE dan pasukan Ceng yang menjaga paseban Sui Seng Tian itu dimusnahkan dengan api. Tapi ternyata renCana telah berjalan bukan seperti yang diharapkan.

Karena Li Khik Siu, ingat akan keselamatan puterinya. Sedang Pek Cin ingin membalas budi Tan Keh Lok. Maka sengaja mereka memberi kesempatan supaya orang-orang HONG HWA HWE itu bisa melarikan diri. Sedang yang dibasmi, hanyalah pasukan Ceng, anak buah pasukan ki-ping, yang ditugaskan thayhouw untuk menjaga paseban tersebut.
Tak berapa lama kemudian, seluruh anak buah pasukan kiping itu terbakar musna. Sedang paseban itupun roboh. Dengan begitu, surat testamen Yong Ceng yang disimpan dalam paseban itu, turut terbakar musna.

Setiba diluar istana, rombongan HONG HWA HWE itu berbalik menjadi kaget bukan kepalang. Diluar istana itu, be-ratusdua tentara Ceng sudah siap menunggu dengan busur, tombak dan pedang. Ratusan obor menyala dengan terangnya, masih ditambah dengan ratusan teng, sehingga suasana saat itu seolah-olah siang hari.

“Rupanya dia kuatir kita tak sampai mati diraCun dan dibakar, sehingga diadakan persiapan barisan pembunuh itu!” pikir Keh Lok.

Tapi Bu Tim dan Tan Ceng Tik tak mau banyak sekali pikir, terus mau menyerbu. Dari empat penjuru, anak panah segera dilepas bagaikan hujan derasnya.

“Ayo, kita serbu!” teriak Ceng Tong.

Dengan bahu membahu orang-orang HONG HWA HWE itu lantas mengikuti jejak Bu Tim dan Ceng Tik. Tapi kawanan serdadu Ceng itu, tak terhitung jumlahnya. Makin dibasmi makin banyak sekali. Bobol yang selapis, masih ada lain lapisan lagi.

Kali ini kaisar Kian Liong betul-betul mau membasmi musna jago-jago dari HONG HWA HWE Ini untuk menjaga bahaya dikemudian hari. Maka dikerahkannya gi-lim-kun, jago istana pilihan dan bayhok yang kokoh. Bagaimanapun gagahnya jago-jago HONG HWA HWE, namun kewalahan juga mereka menghadapi lapisan tembok manusia yang sedemikian tebalnya itu. Keadaan rombongan HONG HWA HWE betul-betul berbahaya.

Sinar pedang Bu Tim berkelebat pergi datang, dan belasan anak buah gi-lim-kun tersungkur binasa. Dia berhasil menobros keluar, tapi ketika berpaling dan menunggu sampai sekian saat, tak nampak lain-lain kawannya datang. Hal ini membuat ia kuatir. Dia balik menobros lagi. Tampak Ciang Cin tengah dikepung oleh 7 siwi. Ciang Cin mandi darah, dia berkelahi dengan nekad.

“Sipte, yangan takut. Aku datang,” seru Bu Tim terus meneryang.
Tiga orang siwi terpapas tenggorokannya terus roboh. Kawan-kawan nya segera mundur.
“Sipte, kau tak kena apa-apa?” tanya Bu Tim.

Sebagai jawaban, tahu-tahu Ciang Cin menggerung lalu membaCok jikonya itu. Bukan kepalang kagetnya Bu Tim, Cepat ia berkelit seraya berseru berulang-ulang: “Sipte, kau bagaimana, ini adalah aku!”

Tapi Ciang Cin laksana kerbau gila menggerung: “Saudaraku telah kamu aniaya, akupun tak mau hidup sendiri!”

Sepasang kampaknya kembali dibaCokkan pada Bu Tim, siapa terpaksa berkelit lagi dan berseru keras: “Sipte, ini aku, jiko-mu!”

Sepasang mata Ciang Cin tampak melotot mengawasi, tiba-tiba kampaknya dibuang dan menjerit: “Jiko, aku tak kuat lagi!”

Diantara Cahaja lampu dan obor, tampak oleh Bu Tim bagaimana seluruh tubuh Ciang Cin itu mandi darah. Dada, bahu, lengan dan lain-lain bagian tubuhnya terluka. Bu Tim bingung, karena dia hanya berlengan satu, jadi tak dapat akan memondongnya. Namun dengan kertek gigi disuruhnya sang Sipte itu menggamblok dibelakang punggungnya.
“Sipte, kau rangkul leherku, biar aku gendong kau!” serunya.

Bu Tim rasakan ketesan darah Ciang Cin mengalir dibadannya. Dengan gagah, tokoh kedua dari HONG HWA HWE itu membuka jalan darah. Kemana pedangnya menyamber, disitulah kawanan serdadu musuh terpaksa menyingkir memberi jalan. Tiba-tiba disebelah muka dilihatnya ada dua tiga serdadu musuh yang ganti berganti membal keatas, seperti dilontarkan orang.

“Ha, selain Si-te, tak ada orang lain yang mempunyai kekuatan seperti itu. Apakah ada terjadi perubahan dipos penjagaan pintu kota?” pikir Bu Tim.

Dia menyerbu kearah itu dan ternyata betul didapatinya Bun Thay Lay, Lou Ping, Hi Tong dan Wan Ci tengah bertempur hebat dengan kawanan siwi.

“Mana CongthoCu?” seru Bu Tim.

“Entah, mari kita menCarinya!” sahut Hi Tong.

Bu Tim terkesiap. Ciang Cin terluka sedemikian beratnya, yangan-yangan kawannya yang lain-lain sudah sama binasa. Bun Thay Lay membuka jalan darah untuk menghampiri Bu Tim.

“Disana tak terjadi suatu apa. Karena aku kuatir, maka aku menengok kemari!” tutur Thay Lay.

“Bagus!” sahut Bu Tim yang meskipun menggendong Ciang Cin, tapi lak mengurangkan kelihaiannya. Musuh tak berdaya untuk menghadangnya.

“CongthoCu!” pada lain saat Wan Ci berseru keras.

Seorang berpakaian putih, tampak melesat kesana sini diantara lautan api itu. Rupanya dia tengah menCari orang. Sedang dari arah barat, tampak Liok Hwi Ching mengaduk keluar.

“Kembali ketembok istana!” seru Keh Lok.

Berbareng dengan seman itu, agak jauh disebelah sana, diantara lautan api dan manusia, tampak bulu burung hnyau ber-gerak-gerak.

“CongthoCu, pimpinlah semua saudara mundur ketembok istana, biar kujemput nona Hwe itu!” seru Hwi Ching terus menyerang kearah sana.

Begitulah dengan Tan Keh Lok dan Bun Thay Lay yang membuka jalan, rombongan HONG HWA HWE terpaksa kembali lagi keistana, karena mereka merasa tak ungkulan menembus dinding kepungan tentara Ceng yang sebanyak sekali itu.
“Sipte, luruhlah!” kata Bu Tim.

Ciang Cin, si Bongkok itu, tak bergerak. Lou Ping bantu menunyangnya, tapi segera didapatinya tubuh Ciang Cin sudah kaku, sudah tak bernyawa lagi. Lou Ping menjerit dengan ratap tangisnya.

Pada saat itu Bun Thay Lay tengah bertempur dengan kawanan siwi. Dia hendak menyambut Tio Pan San, Siang-si Siang Hiap dkk. Demi didengar tangis sang isteri, tahulah bahwa sang Sipte (adik angkat ke 10) sudah meninggal.

Tanpa terasa beberapa titik air matanya berketesan turun. Seketika meluaplah hawa amarahnya, dia mengamuk hebat. Kembali ada tiga orang siwi yang roboh. Liok Hwi Ching yang menyerbu untuk menolong Ceng Tong, kini sudah dapat menghampirinya. Mereka berusaha untuk membuka jalan menggabungkan diri dengan rombongan Tan Keh Lok.

Setindak demi setindak, tampak Ceng Tong makin mendekati. Tapi sekalipun jarak mereka hanya terpisah berpuluh tindak, namun tampaknya sukar untuk menyingkirkan rintangan manusia yang menghadang itu.

Kedua saudara Siang telah merebut tombak musuh untuk bantu membuka jalan. Wajah Ceng Tong tampak puCat, pakaiannya penuh dengan Cipratan noda darah.

“Ayo kita serbu lagi. Tapi kali ini yangan sampai terpenCar,” seru Keh Lok. Tapi belum seruan ketua HONG HWA HWE reda, dari arah istana turun hujan anak panah. Kiranya setelah Li Khik Siu dan Pek Cin dapat membasmi kawanan anak buah ki-ping yang menjaga paseban Seng- Swi Tian, kini mereka mulai menggempur rombongan HONG HWA HWE Jadi kini rombongan HONG HWA HWE terkepung diantara dua musuh!
Selagi keadaan mereka dalam bahaya, tiba-tiba dari arah pasukan gi-lim-kun yang menghadang disebelah depan, timbul kekaCauan. Mereka sama mundur dengan kalut, Diantara Cahaja api yang marong itu, tampak berpuluh-puluhdua paderi berjubah kuning, menyerbu masuk. Yang berada didepan sendiri, adalah seorang tua berambut putih, bersenjata golok 'kim-pwe-to'. Gagahnya bukan main, seperti gajah yang tak dapat ditahan. Ternyata dia adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing. Melihat itu, orang-' HONG HWA HWE bersorak kegirangan.

“Saudara-', ikutlah' saja”, seru Tiong Ing.

Dengan memanggul mayat Ciang Cin, Bun Thay Lay ikut saudara-saudaranya, menobros keluar. Di antara rombongan Tiong Ing itu, terdapat juga tokohdua gereja Siao Lim Si a.l. Thian Keng Siansu, Tay Tian, Tay Leng, Gwan Thong, Gwan Hui, Gwan Siang dan lain-lain. Merekapun sudah terlibat dalam pertempuran dengan gi-lim-kun.

Tapi kepungan musuh itu luar biasa rapatnya. Mereka seolahdua membayangi kemana rombongan orang gagah itu menujti. Otak Ceng Tong yang tajam itu segera mulai bekerja. Ia mendongak memandang keempat penjuru. Segera tampak olehnya diatas wuwungan sebuah rumah penduduk didekat situ, ada belasan orang. Di antaranya ada 4 orang masing-masing dengan menentang teng merah, berpenCar diempat ujung. Kalau rombongan HONG HWA HWE berusaha meneryang kesebelah barat, maka teng merah yang diujung barat itu segera diangkat tinggi-tinggi. Meneryang ketimur, teng merah disebelah timur diangkat keatas. Nona yang Cerdas itu segera dapat menangkap artinya.
“HanCurkan tengdua merah itu, kita pasti tertolong!” ia menyerukan pada Keh Lok. Mendengar itu, Tio Pan San sudah lantas menyembat busur dan beberapa anak panah. Setelah berturut-turut membidik, keempat teng merah itu padamlah.
Dugaan Ceng Tong itu memang tepat. Tanpa pertandaan tengdua merah, pasukan gi-lim-kun kalut.

“Diantara orang-orang diatas wuwungan itu, tentu ada pemimpinnya. Kalau hendak tangkap penCuri, tangkap benggolannya dahulu!” Ceng Tong memberi saran lagi. Semua orang-orang HONG HWA HWE pernah menyaksikan keCakapan Hwe Ceng Tong sebagai pemimpin tentara Hwe ketika berperang melawan pasukan Ceng dahulu. Maka setiap pendapatnya, selalu diperhatikan dan diindahkan oleh orang-orang HONG HWA HWE
“Si-te, ngo-te, liok-te, mari kita menyerang kesana!” mengajak Bu Tim.

Bun Thay Lay dan kedua saudara Siang terus ikut menyerbu. Kawanan gi-lim-kun tak kuasa menghadangnya. Tan Keh Lok dan rombongan Thian Keng Siansu ikut meneryang. Dan kali ini, rupa-rupanya mereka akan berhasil. Tapi tak disangkadua, terdengar tampik sorak menggelegar. Li Khik Siu dan Pek Cin dengan barisan pengawal serta si-wi datang menyerang, kembali rombongan HONG HWA HWE terkurung rapat. Malah Wan Ci, Lou Ping dan beberapa paderi Siao Lim Si menderita luka-luka.

Setelah berhasil mendekati tembok, Bu Tim berempat lonCat keatas rumah. Begitu kaki mereka menginjak genteng, 7 orang sudah lantas menyerang. Mereka adalah jago-jago istana yang lihai-lihai. Yang tiga mengembut kedua saudara Siang, sedang Bu Tim dan Bun Thay Lay masing-masing mendapat dua lawan. Pertempuran berjalan sangat seru.
“Ha, mengapa disini terdapat begini banyak sekali Cakar alap-alap yang lihai-lihai,” mengeluh Bu Tim.
Selagi berkelahi, Bu Tim melihat diseberang sana, ada serombongan si-wi menjaga seorang pembesar yang memakai topi berjambul merah. Dengan memegang leng-ki (panji-komando), dia tengah memberi perintah.

“Serahkan kawanan Cakar alap-alap ini padaku!” seru Bir Tim.

Berbareng itu, dia kiblatkan ujung pedang-nya menusuk ulu hati seorang lawannya, dan Cepat pula dia beralih membabat kaki lawan satunya. Kedua pengerojoknya itu masing-masing menghindar dengan lonCat mundur. Pada kesempatan itu, Bu Tim Cepat menyerang kedua musuh Bun Thay Lay. Yang satu, dibabat iganya, yang satu dibaCok pinggangnya. Serangandua itu dilakukan luar biasa sebatnya. Terlepas dari serangan musuh, Bun Thay Lay terus meneryang kepada pembesar topi merah tadi. Empat orang pengawalnya, segera menghadang. Pembesar itupun agak terkejut dan menoleh. Ketika melihat wajahnya, Bun Thay Lay terkesiap. Hampir-hampir mulutnya akan berteriak “CongthoCu.”

Memang pembesar itu sangat mirip dengan Tan Keh Lok. Kalau keduanya mengenakan pakaian serupa, tentu orang sukar membedakannya. Betul-betul seperti pinang dibelah dua.

Sekilas teringatlah Bun Thay Lay akan Cerita isterinya tentang peristiwa Thian Hong mengatur siasat merampas vaas giok tempo hari serta peristiwa menangkap Ong Wi Yang. Tan Keh Lok menyaru sebagai seorang pembesar Boan. Semua orang mengiranya sebagai kepala barisan gi-lim-kun merangkap 'kiu-bun-tetok' Hok Gong An. Maka. teranglah kalau pembesar itu tentu Hok Gong An adanya.

Segera dia mengambil putusan: tawan pembesar itu untuk dnyadikan barang jaminan.
Saat itu dia tarik mundur tubuhnya, kemudian sebat luar biasa dia menyelinap diantara golok dari dua orang pengawal terus meneryang pembesar itu.

Memang pemimpin pasukan gi-lim-kun yang ditugaskanmenangkap orang-orang HONG HWA HWE itu, adalah orang kesayangan baginda sendiri, yaitu Hok Gong An. Karena tugas membakar paseban Swi Seng Tian itu sangat terahasia, maka baginda titahkan Hok Gong An sendiri yang melaksanakan. Namun karena baginda amat sayang padanya, dan kuatir kalau sampai kena apa-apa, maka baginda mengutus 1enam orang pengawal istana kelas satu, untuk melindungi orang kesayangannya itu.
Karuan saja pengawaldua istimewa itu menjadi gugup, ketika nampak Bun Thay Lay seperti orang kalap hendak membekuk thongleng (pemimpin) mereka. Dua orang si-wi maju menghadang, sedang Kawan-kawan nya lalu menyingkirkan Hok Gong An kewuwungan lain rumah.
Bu Tim tumplek seluruh kepandaiannya, dan memang gerakan ilmu pedangnya luar biasa Cepatnya. Dalam beberapa d jurus saja, dia berhasil melukai dua orang musuhnya. Setelah itu, dia makin mengamuk. Meneryang kesana, menyerang kemari. Tangan dan kakinya berbareng dikerjakan. Dan betul juga penghadangdua Bun Thay Lay itu menjadi pontang-panting menghindar. Kini kembali Bun Thay Lay agak longgar. Sekali kaki dienjot, dia melayang meneryang Hok Gong An!
Pertempuran diatas wuwungan itu, diketahui juga oleh kawanan gi-lim-kun dan rombongan HONG HWA HWE yang berada disebelah bawah. Belasan Si-wi kelas satu yang melindungi pemimpin gi-lim-kun itu ternyata tak berdaya untuk menghadang rangsakan dua tokoh HONG HWA HWE yang berkelahi laksana harimau lapar itu. 7 atau delapan orang dari barisan siwi lonCat keatas untuk memberi bantuan. Pertempuran seolah-olah berhenti sendiri. Semua mata ditujukan kearah wuwungan! Hok Gong An juga mengerti sedikit ilmu silat. Dia segera menabas dengan goloknya. Berbareng itu dua batang tombak dan dua batang golok dari kawanan pengawalnya, menyerang Bun Thay Lay pula.
“Kalau kali ini gagal membekuknya, tentu bala-bantuan keburu datang,” pikir Bun Thay Lay. Maka ia telah mengambil keputusan untuk mengadu jiwa.
Dia samplok kedua tangannya kearah kedua ujung tombak musuh. Begitu keras samplokan itu, hingga kedua tombak itu terpental keatas. Berbareng itu dia dupak dada seorang penyerangnya, dan tangannya menghantam muka seorang musuhnya yang lain. Sudah menjadi kebiasaan Bun Thay Lay, sewaktu menyerang dia barengi dengan menggerung. Sedemikian dahsyat suara gerungannya itu, sehingga pecahlah nyali musuh dibuatnya.
Itulah maka orang kangouw menjulukinya sebagai “pan-lui-Chiu.” Pukulan dan gerungannya seperti geledek kerasnya!
Dua antara 7 siwi yang baru saja melonCat keatas untuk memberi bantuan tadi, saking kagetnya sudah terpeleset jatuh kebawah lagi. Juga Hok Gong An saking terkejutnya, kaki tangannya menjadi lemas lunglai. Sebelum lain pengawal sempat berbuat apa-apa, tangan Bun Thay Lay sudah dapat menCengkeram dada Hok Gong An, terus diangkat keatas.
Seluruh anak buah pasukan Ceng, gi-lim-kun dan siwi, baik yang berada diatas wuwungan maupun yang disebelah bawah, telah menjadi gempar!
Pada saat itu, kedua saudara Siang sudah berhasil merobohkan ketiga siwi lawannya. Merekapun lonCat kesebelah Bun Thay Lay. Diambilnya senjatanya Cakar terbang yang berkilatdua, terus diputardua merupakan sebuah lingkaran besar. Sudah tentu, tak seorang Anggota pasukan Ceng yang berani mendekati.
Pada lain saat, tampak Hok Gong An mengangkat panji leng ki-nya, seraya berteriak keras-keras: “Berhenti menyerang! Pasukan gi-lim-kun dan semua siwi, baliklah kebarisanmu masing-masing!”
Segenap anak buah gi-lin-kun dan siwi, sama terkesiap kaget. Tiga orang siwi yang husus dititahkan untuk melindungi Hok Gong An, tak hiraukan seruan itu, terus nekad menyerbu.
“Ngo-te, liok-te, simpan senjatamu itu!” seru Bu Tim pada kedua saudara Siang.
Kedua saudara itu menurut, karena mengira Bu Tim akan membereskan ketiga siwi itu. Tapi ternyata Bu Tim bertindak lain. Pedang dia djujukan ketenggorokan orang tawanannya seraya tertawa keras-keras: “Ayo, majulah!”
Ketiga siwi itu merandek, setelah saling memberi isyarat, mereka lonCat menyingkir.
Ketika Bun Thay Lay keraskan tangannya, dan Hok Gong An rasakan lengannya seperti mau putus. Terpaksa dia berkaokdua: “Lekas mundur, dengar apa tidak!”
Pasukan Ceng dan kawanan siwi terpaksa mundur.
“Ayo, kita sama naik keatas!” ajak Keh Lok.
Rombongan HONG HWA HWE menghampiri tembok, kemudian satu persatu lonCat keatas wuwungan. Disitu Tio Pan San menCatat Kawan-kawan nya. Selain Ciang Cin yang tewas, masih ada lagi delapan atau sembilan lainnya yang terluka. Malah ketika itu, tampak Beng Kian Hiong dan Thian Hong yang memanggul Ciu Ki lonCat keatas. Rambut nyonya itu terurai, mukanya seperti kertas.
“Mengapa kau juga kemari? Sungguh kau tak tahu menjaga diri!” memaki Tiong Ing.
“Aku maukan anakku, anakku, kembalikanlah anakku!” teriak Ciu Ki tiba-tiba.
Keh Lok terkesiap mendengar nyonya Thian Hong mengoCeh seperti orang yang tak sadar itu, kemudian dengan gunakan sandi (code) HONG HWA HWE dia mengeluarkan perintah:
“Kita serbu kedalam istana, bunuh raja itu guna membalaskan sakit hati Ciang-sipko!”
Lou Ping menterjemahkan sandi itu kepada Liok Hwi Ching, Thian Keng Siansu, Tbian San Siang Eng, Hwe Ceng Tong dkk. Mereka sama mengaCungkan senjata tanda setuju.
“Siao Lim Si telah dimusnakan olehnya, hari ini aku akan melanggar pantangan membunuh!” seru Thian Keng.
“Susiok, kau sungguh baik, tapi mengapa Siao Lim Si musna?” seru Keh Lok dengan kaget.
“Siao Lim Si sudah rata dengan tanah dibakar mereka. Thian Hong suheng telah gugur,” sahut Thian Keng.
Keh Lok terharu. Kemarahannya makin meluap. Dengan menggusur Hok Gong An, rombongan HONG HWA HWE berjalan diantara barisan golok dan tombak gilim-kun. Karena ingat akan keselamatan pemimpinnya, anak buah gi-lim-kun itu tak berani berbuat apa-apa.
Setelah melalui lapisan yang terakhir dari pasukan Ceng tersebut. orang-orang gagah itu nampak Sim Hi sudah siap menyambut dengan rombongan anggota HONG HWA HWE dan berpuluh-puluhdua ekor kuda. Bergegas-gegas mereka naik kuda, ada yang sendirian, ada yang bonCengan. Kemudian laksana badai menderu, mereka menyerbu kearah istana.
“CongthoCu, jalan mundur apa sudah siap?” tanya Ji Thian Hong seraya mendekatkan kudanya kesamping Keh Lok.
“Kiu-ko dkk sudah menunggu dipintu kota. Mengapa kau baru sekarang tiba?” tanya Keh Lok.
“Garadua Pui Ju Tek sibangsat itu!” sahut Thian Hong menggeram.
“Ada apa dengan dia?” tanya Keh Lok pula.
“Dialah yang bersekongkel dengan Seng Hong dan Swi Tay Lim dengan membawa pasukan, malamdua menyerbu Siao Lim Si. Thian Hong losiansu tetap tak mau keluar, sehingga binasa ikut terbakar.”
“Jadi jahanamdua itu yang melakukannya?” tanya Keh Lok.
“Ya merekapun merampas putraku!” kata Thian Hong.
Mendengar adik angkat itu punya anak lakidua, ingin benar Tan Keh Lok menguCapkan selamat kepada Thian Hong, tapi pada saat seperti itu, tak dapat mulutnya ber-kata-kata.
“Thian Keng supeh telah pimpin semua paderi untuk menCari penghianat itu, sehingga sampai kemari. Kami menuju ke Song Liu Cu (markas HONG HWA HWE di Pakkhia) dan mengetahui kalau kalian berada diistana Yong Ho Kiong sini,” tutur Thian Hong akhirnya.
Kini rombongan HONG HWA HWE itu sudah mendekati Kota Terlarang. Gi-lim-kun dan kawanan si-wi tetap mengikut dari belakang. Walaupun tak berani menyerang, tapi mereka tetap tak mau melepaskan musuhnya.
“Kalau kaisar itu sudah mendapat warta dan keburu bersembunyi, tentang menCarinya didalam istana, kami mohon bantuan kedua loCianpwe,” kata Thian Hong pada Thian-san Siang Eng.
Setempo dipagoda Liok Hap Ta, Thian Hong pernah saksikan kepandaian sepasang suami isteri yang tak pernah memberi ampun pada musuhnya. Apalagi keduanya orang-orang suka menang. Penangkapan Hok Gong An tadi, keduanya belum memperlihatkan jasanya. Maka tepatloh kiranya kalau Thian Hong mengajukan permintaan itu kepada mereka.
“Kita nanti lakukan itu!” sahut Thian San Siang Eng.
Sekalipun pikirannya sedang kalut memikirkan puteranya, namun Thian Hong masih tetap lihai. Dia ambil 4 buah 'Iiu-sing-hwe-bao' (obat pasang yang dapat menyambar merCon sreng), diberikan kepada Ceng Tik.
“Bila Cianpwe dapat menemukan kaisar, kalau bisa bunuh, bunuhlah saja. Tapi kalau menemui kesukaran, harap loCianpwe segera lepas api ini selaku pertandaan,” pesan Thian Hong.
“Baik!” jawab Kwan Bing Bwe.
Kedua suami isteri itu segera lonCat keatas tembok, terus masuk kedalam istana. Gerakan mereka sebat sekali, seakan-akan sepasang garuda. Ketika Hok Gong An berseru memerintahkan pasukannya membuka pintu istana, kedua suami isteri itu sudah tak kelihatan lagi.
Sewaktu berlarian diatas genteng istana, Thian San Siang Eng segera menghadapi kesukaran. Karena ruangan dan pintu dalam istana itu tak terhitung jumlahnya. Sukar rasanya untuk mendapatkan tempat persembunyian raja itu.
“Kita bekuk seorang thaikam!” kata Kwan Bing Bwe.
Ceng Tik setuju. Begitulah keduanya melayang turun dan bersembunyi ditempat gelap. Tak antara lama, didengarnya ada tindakan orang mendatangi. Ketika mereka hendak membekuknya, ternyata ada pula lain tindakan kaki mendatangi, rupanya bergegas-gegas seperti ada urusan penting.
“Kedua orang itu mengerti ilmu silat rasanya,” bisik Ceng Tik.
“Benar, kita kuntit saja,” jawab sang isteri.
Tepat dengan itu, kedua orang itu sudah lewat disitu. Segera Ceng Tik dan sang isteri menguntitnya. Yang dimuka tubuhnya kurus, nampaknya lebih lihai dari kawannya yang berperawakan tegap dan tindakan kakinya lebih berat. Berkalidua si kurus berhenti untuk menunggu, dan setiap kali menyuruh kawannya supaya lekas.
“Lekas, kita harus mendahului, supaya bisa memberi warta kepada baginda,” kata orang itu.
Ceng Tik suami isteri girang, karena tanpa sengaja mendapat penunjuk jalan itu. Diam-diam keduanya berSyukur kepada si tegap yang lambat gerakannya itu.
Setelah beberapa kali membiluk, tibalah mereka dimuka pagoda Po Gwat Lauw.
“Kau tunggu disini,” kata si kurus, lalu masuk.
Thian San Siang Eng mulai bekerja. Mereka memanjat keatas dari samping pagoda. Tanpa mengalami kesukaran apa-apa, kedua suami isteri itu Cepat sudah berada dipunCak pagoda. Dengan gaetan kaki ketiang serambi, mereka menggelantung dengan kepala dibawah.
Didalam terdapat sederek jendela panyang, diluarnya ada sebuah lorong. Tampak sebuah bayangan munCul dibalik kertas penutup jendela. Kwan Bing Bwe ajak sang suami melorot kesana, lalu gunakan ludah untuk bikin lobang pada kertas jendela dan mengintai kedalam. Benar seperti yang diharap, Kian Liong tampak duduk disebuah kursi. Sedang yang berlutut dihadapannya, sikurus tadi, bukan lain adalah Pek Cin, orang yang pernah bertempur dengan Ceng Tik di HangCiu dahulu.
“Paseban Sui Seng Tian sudah terbakar musna. Tiada seorang penjaganya yang bisa lolos,” terdengar Pek Cin melapor.
“Bagus!” seru Kian Liong dengan girang.
“Hamba patut menerima hukuman. Rombongan pemberontak HONG HWA HWE sebaliknya bisa lolos,” Pek Cin berdatang sembah pula.
“Apa?!” teriak Kian Liong.
“Kedua thaikam keperCajaan thayhouw hendak menghaturkan selamat dengan arak beracun. Tapi entah bagaimana, rahasianya ketahuan dan diringkus musuh. Hamba waktu itu tengah berada di Sui Seng Tian, hingga tak mengetahui kalau mereka telah lolos garadua kedua thaikam itu.”
Pek Cin tahu bentrokan antara baginda dengan thayhouw, maka kini dia sengaja timpahkan semua kegagalan diatas bahu kedua orang keperCajaan thayhouw tersebut.
Kian Liong menggerang dan tundukkan kepalanya merenung sejenak.
Ceng Tik tunjukkan jarinya kearah Pek Cin, kemudian menunjuk pula kearah kaisar, lalu memberi tanda rahasia dengan isyarat tangan pada sang isteri, maksudnya: “Aku tempur si Pek Cin dan kau yang membereskan kaisar!”
Kwan Bing Bwe mengangguk. Selagi ia akan menobros jendela, tiba-tiba Pek Cin kedengaran bertepuk tangan dua kali. Ceng Tik Cepat-cepat menarik lengan isterinya, dan mengisyaratkan supaya tunggu dahulu. Benar juga dari balik tempat tidur, lemari, pintu angin, tahu-tahu munCullah selosin si-wi lengkap dengan senjatanya.
“Pengawaldua kaisar itu tentu pahlawandua kelas satu. Meski kita tak nanti tertangkap oleh mereka, tapi andaikata sampai tak dapat membunuh kaisar itu, bukanlah seperti 'keprak rumput membikin kaget sang ular' saja? Atau seperti menyuruhnya bersembunyi lebih* rapat. Ah, lebih baik tunggu sampai rombongan HONG HWA HWE datang,” demikian pikir Thian San Siang Eng.
Sementara itu terlihat Pek Cin membisiki salah seorang si-wi, siapa turun kebawah untuk mengundang orang yang menunggu diluar pagoda tadi.
Orang itu berpakaian jubah warna kuning tua dan tampak menjura dihadapan kaisar. Ketika mendongak, diluar dugaan Thian San Siang Eng, ternyata adalah seorang Lama. “Fuinke, kau sudah bekerja dengan baik. Kau tidak sampai menerbitkan keCurigaan bukan?” tanya baginda,
“Semua telah hamba kerjakan menurut titah baginda. Sui Seng Tian musna sampai habis,” kata paderi itu.
“Bagus, bagus!” kata Kian Liong. “Pek Cin, telah kujanjikan padanya untuk menjadi budha hidup. Nah, kau uruskanlah!”
Pek Cin mengiakan dan Fuinke tampak berseri-seri kegirangan seraya menghaturkan terima kasih kepada baginda. Begitulah Pek Cin lalu membawa Lama itu keluar, diiring oleh dua orang siwi.
Sampai dimuka pagoda, berserulah Pek Cin: “Fuinke, lekas haturkan terima kasih atas budi kaisar!”
Lama itu melengak kaget. Tadi dia sudah menghaturkan terima kasih kepada baginda, mengapa pemimpin siwi itu memerintahkan lagi begitu. Tapi iapun lantas berlutut ke-arah Po Gwat Lauw. Setelah menyembah tiga kali, dia terus akan berbangkit, tapi mendadak batang tengkuknya terasa ditempeli dengan benda dingin. Ternyata golok dari kedua siwi tadi dilekatkan kebatang lehernya.
“Me............ mengapa-apa” tanyanya ter-ibadua.
“Baginda berkenan mengangkat kau menjadi buddha hidup, maka kini aku akan mengirim kau kesjorga untuk menjabat pangkat itu,” menerangkan Pek Cin dengan tertawa.
Hati Fuinke seperti disiram ds. Insyaplah dia kalau baginda hendak membunuhnya supaya rahasianya tak bocor. Pada saat itu tangan Pek Cin mengibas, dan dua golok dari kedua siwi itu segera menabas leher Lama yang malang itu.
Dua orang thaikam munCul membawa permadani untuk menutup mayat sang korban.
Menyaksikan kekejaman kaisar itu, makin berkobarlah kemarahan Thian San Siang Eng. Tengah kedua orang itu termangu, sekonyong-konyong berpuluh-puluhdua orang dengan menenteng teng menyergapnya.
“Ada pemberontak datang mengaCau, silakan baginda beristirahat kedalam istana,” teriak Pek Cin dan buru-buru naik keatas menghadap kaisar.
Setelah peristiwa di HangCiu tempo hari, tahulah Kian Liong bahwa pahlawanduanya itu bukan tandingannya jago-jago dari HONG HWA HWE Maka tanpa banyak sekali tanya lagi, kaisar itu terus tinggalkan tempat itu.
Tan Ceng Cik segera melepas sebuah merCon sreng. Selarik sinar terang menobros diangkasa yang gelap gulita.
“Kami memang sudah menunggu lama, yangan harap kamu bisa lolos!” seru Ceng Tik keras-keras.
Sepasang suami isteri itu tahu kalau rombongan HONG HWA HWE takkan Cepat-cepat tiba, maka perlulah mereka menCegat kaisar itu dulu. Maka dengan sebat, keduanya menobros masuk dari jendela ruang tingkat keempat.
Kawanan siwi itu tak tahu jelas berapa jumlah musuh yang memasuki istana itu. Maka sudah tentu mereka menjadi kaget demi melihat dimulut tangga ruangan itu berdiri tegak seorang tua bermuka merah dan seorang wanita yang sudah beruban rambutnya, dengan menghunus pedang.
Dua orang siwi maju, tapi begitu beradu senjata, segera merasa betapa sebat gerakan musuh. Pek Cin gendong baginda dipunggungnya, dikanan, kiri, muka, belakang dilindungi oleh 4 orang siwi. Dari samping langkah mereka lonCat kebawah, terus turun ketingkat tiga .
Kwan Bing Bwe kibaskan tangannya melepas tiga butir thi-lian-Cu. Begitu musuh menyingkir, ia enjot kakinya keatas langkan diantara ruang keempat dan ketiga. Dan seCepat Itu pula, ia tusukkan ujung pedangnya kearah Kian Liong.
Pek Cin terkesiap dan mundur dua tindak. Berbareng itu, dua orang siwi segera menghadang serangan Kwan Bing Bwe.
Bertarung dengan tiga orang siwi, segera Ceng Tik mengetahui bahwa lawannya itu beratdua. Segera dia keluarkan ilmu simpanannya merangsak kian kemari agar tak sampai terlibat oleh pengerojokan itu.
Pek Cin bersuit, dari empat ujung munCullah 4 orang siwi. Malah ada lagi tiga orang siwi munCul dari belakang. Ke7 orang itu kini mengerubuti Ceng Tik. Betapa lihainya jago tua dari Thian San Itu, namun kewalahan juga menghadapi kerojokan 7 orang jago istana kelas satu.
Kira-kira berlangsung belasan jurus, Ceng Tik menangkis tusukan tombak dari sebelah kiri, Tapi berbareng itu sebuah Cambuk menghantam lengan kanannya.
Bukan kepalang sakit dan marahnya Ceng Tik sesaat itu. Berpuluh tahun ini belum pernah dia rontok bulu romannya apalagi terluka seperti saat itu. Pedang segera dipindahkan ketangan kiri, dengan gerak “angin pujuh menggulung padang pasir,” didesaknya kawanan siwi itu kebelakang. Lalu sebat luar biasa, dia tusuk perut orang yang menCambuknya tadi.
Nampak suaminya terluka, Kwan Bing Bwe merangsek ke muka untuk menggabungkan diri. Kemudian keduanya mundur ketingkat kedua.
Mengetahui rombongan HONG HWA HWE tetap belum munCul, karena kuatir kawanan siwi itu akan melibatnya dalam suatu pertempuran hebat, buru-buru Ceng Tik menobros keluar pagoda untuk melepas api pertanda lagi.
Ketika masuk kedalam lagi, dilihatnya sang isteri tetap menjaga ditangga loteng dengan gigih sekali. Setiap beberapa jurus, ia mundur setingkat. Betul-betul setiap jengkal dipertahankan mati-matian. Untungnya, tangga loteng itu sempit, hingga hanya Cukup untuk berkelahi tiga atau empat orang saja. Sekalipun begitu, Kwan Bing Bwe tampak keripuhan juga.
Tiba-tiba dalam pikiran Ceng Tik terkilas suatu siasat jakni “menyerang untuk bertahan.” Maka seCepat itu pula, dia menyerbu kearah kaisar. Begitu kawanan siwi serentak melindungi baginda, siangdua dia sudah menyingkir lagi untuk menggempur para pengerojok Kwan Bing Bwe. Kalau banyak sekali orang datang memberi bantuan, Ceng Tik serang baginda lagi. Dan kembali kawanan siwi itu mengerumun baginda.
Demikianlah dengan Cara bertempur begitu musuh kaCau dibuatnya.
Selagi musuh kaCau, Ceng Tik dapat melukakan dua orang lagi. Kwan Bing Bwe pun naik pula keatas untuk merangsek.
Melihat gelagat kurang baik, Pek Cin berseru kepada seorang siwi: “Ma-hengte, kau gendong baginda ini!”
Orang she Ma itu ternyata adalah Ma King Hiap, itu siwi yang pernah ditawan HONG HWA HWE ketika pertempuran di Hang-Ciu dahulu, yang kemudian setelah diadakan perundingan perserikatan, dia dilepaskan lagi.
Setelah kaisar didukung Ma King Hiap, Pek Cin bersuit seraya menerkam Ceng Tik. Dia adalah ahli kenamaan dari Cabang Ko Yang Pai. Ilmu eng-jiao-kong (Cakar elang) sangat dimalui dikalangan kangouw. Meski dia setingkat dibawah Ceng Tik, namun dalam berpuluh jurus, masih dapat dia melayani dengan berimbang. Malah diam-diam Ceng Tik mengeluh, karena sukar untuk loloskan diri dari libatan orang she Pek itu. Apa lagi lengannya kanan terluka makin lama makin terasa sakitnya. Dalam keadaan begitu, bertarung dengan Pek Cin seorang saja, dia sudah kepayahan apalagi kini dikerojok empat-lima orang siwi.
Sepasang jari Pek Cin yang bagaikan Cakar besi itu me-layangdua menginCar bagiandua yang berbahaya dari tubuh musuh. Ceng Tik tumplek seluruh perhatiannya untuk melayani Cengkeram maut itu, jadi dia agak lengah akan lain-lain serangan. Maka pada lain saat tahu-tahu punggungnya tertusuk ujung pedang salah seorang si-wi yang menyerang dari belakang.
Tengah si-wi itu. bergirang hati, seCepat kilat Ceng Tik berputar untuk menghantam kepala lawan tersebut dengan sikunya. Begitu sebat dan dahsyat hantaman itu, sehingga si-wi tersebut tak sempat mundur dan seketika itu juga batok kepalanya pecah.
Tapi dalam pada itu, keadaan Ceng Tik makin payah. Tahu dia kalau tusukan pedang tadi telah mengenai bagian yang berbahaya, dan insyap kalau ia tentu binasa ditempat itu. Dia menggerung keras, seperti harimau terluka. Saking kagetnya, Pek Cin mundur setindak, Ceng Tik timpukkan pedangnya kearah baginda.
Melihat pedang melayang datang, hendak Ma King Hiap menghindar, tapi kalah Cepat. Dan karena kuatir baginda terluka, si-wi itu menangkis dengan tangannya. Tapi tim-
pukan Ceng Tik itu, adalah timpukan dari orang yang mendekati ajal, karena marah dan penasaran telah tumplek seluruh sisa tenaganya yang masih ada, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya. Maka sudah tentu tangan kosong Ma King Hiap tak dapat menahannya, 'brekk', tangan King Hiap papas separoh, dan pedang tetap memberosot masuk kedada terus menembus kebelakang, kepunggung...............
Ceng Tik bersorak girang. Puas dia dengan hasil timpukannya itu, ia pikir Ujung pedangnya tentu dapat mengenai tubuh baginda. Selebar jiwanya yang sudah setua itu, ditukar dengan jiwa seorang kaisar, sungguh lebih dari berharga.
Melihat ujung pedang menembus dada Ma King Hiap, Pek Cin dan kawanan si-wi pun terkesiap kaget. Begitu pula Kwan Bing Bwe ketika menampak suaminya terluka. Serentak mereka sama berhenti bertempur dengan sendirinya, masing-masing memburu untuk menolong fihaknya.
Pek Cin membopong baginda dengan hati-hati, seraya bertanya: “Baginda, bagaimana?”
Wajah Kian Liong puCat seperti kertas, namun dia Coba untuk berlaku tenang, katanya dengan tersenyum: “Syukur aku. sudah membuat penjagaan lebih dulu.” Ujung pedang Ceng Tik tadi menembus punggung King Hiap sampai setengah kaki, hingga pakaian kaisar yang ber-lapisdua itu kerowak dibuatnya. Pek Cin berdebardua, namun dia heran juga mengapa baginda tak kena apa-apa, katanya: “Baginda mempunyai rejeki sebesar langit, sungguh mendapat lindungan dari para arwah.”
Kiranya semenjak baginda bermaksud mengingkari janjinya. dengan HONG HWA HWE dia sangat menguatirkan akan pembalasan dari kawanan orang gagah itu. Teringat akan kejadian dua0 tahun yang lalu., dimana almarhum ayahandanya, kaisar Yong Ceng, telah dibunuh seCara mengenaskan oleh pembunuh gelap, hati kaisar itu menjadi kedar dan jeri. Maka sengaja dia pakai baju 'kim-si-joan-kah', baju benang emas yang tahan baCokan senjata tajam. Dan ternyata baju itu telah menolong jiwanya.
Pek Cin menggendong Kian Liong pula. Kini ditangga loteng sudah tak nampak kedua suami isteri penghadang itu. Dia bersuit keras, dan kawanan si-wi segera melindunginya pula, untuk turun kebawah.
Hampir sampai diambang pintu pagoda, tiba-tiba Kian Liong mengeluarkan jeritan tertahan, terus merontadua turun dari gendongan Pek Cin. Ternyata diambang pintu, tegak berdiri Tan Keh Lok, dibelakangnya kelihatan barisan ujung pedang dari kawanan orang gagah yang lain.
Kian Liong terus berputar dan lari balik keatas lagi. Sedang kawanan si-wi pun segera ikut untuk melindunginya. Ada dua orang si-wi yang agak lambat mengangkat kaki, telah diCegat oleh kedua saudara Siangi Beberapa jurus saja, kedua si-wi itu telah dapat dibunuh.
Kiranya setelah nampak pertandaan dari api merCon yang dilepas Ceng Tik, Tan Keh Lok dkk segera menuju ke Po Gwat Lauw. Tapi disepanyang jalan, selalu dirintangi oleh kawanan si-wi. Hal ini telah membuat kedatangannya agak terlambat sedikit.
Setiba di Po Gwat Lauw, mereka dapatkan kaisar sedang dilibat oleh Thian San Siang Eng.
“Jahanam, kau juga disini!” Bun Thay Lay menggerung demi melihat Seng Hong dan Swi Tay Lim juga berada disitu.
Kian Liong sendiripun sedari tadi belum mengetahui akan kedatangan kedua orang itu, maka dia lantas berteriak supaya mereka turut menangkap pada orang-orang HONG HWA HWE itu.
Tan Keh Lok segera pecah rombongannya. Setiap lorong dan undakduaan disuruhnya jaga keras. Bu Tim menjaga tmdakduaan bawah dari loteng ketiga, sedang Siang-si Siang Hiap menjaga diatas, Tio Pan San, Tay Hiong, Tay Tian, menjaga dibawah, tak nanti Kian Liong dapat lolos dari kepungan itu.
Ceng Tong kuCurkan air mata ketika nampak suhunya tengah memeluk pada suaminya. Iapun turut menghampiri. Ceng Tik mengeluarkan darah terus menerus Hwi Ching pun datang dan mengambil obat luka lalu ditempelkannya. Namun kesemuanya itu tak banyak sekali menolong. Ceng Tik tersenyum tawar dan meng-gelengskan kepala kepada Kwan Bing Bwe:
“Maafkan aku............ Berpuluh-puluh tahun kumembuat kau hidup getir, bila nanti kau kembali kedaerah Hwe, dan bersama Wan......... Wan-toako menjadi suami isteri......... aku dialam baka, akan merasa lega. Liok-hengte, tolong kau bantu aku untuk menjadikan soal itu............”
Tapi mendadak alis Kwan Bing Bwe terangkat naik, ia mengelah napas: “Selama beberapa bulan ini, apakah kau masih belum menginsyapi betapa perasaan hatiku kepadamu?”
Ingin Hwi Thjing menasehati wanita itu, supaya mengiakan saja segala kata-kata suaminya yang sudah mendekati ajalnya itu, biar lega. Tapi belum sampai dia membuka mulut, tiba-tiba terdengar Kwan Bing Hwe berteriak: “Kalau sudah begini, tentu puaslah kau!”
Berbareng dengan uCapannya itu, pedang yang dipegang itu ditusukkan ketenggorokannya sendiri. Darah menyembur keluar, dan jago wanita itu roboh binasa seketika. Dengan demikian tamatlah riwajat dari seorang wanita yang selama hidupnya, selalu merasa tak berbahagia.
Saking terkesiapnya, Ceng Tong dan Hwi Ching tak keburu menCegah perbuatan wanita yang keras hati itu. Ceng Tik tertawa puas. Tapi pada lain saat, suara ketawanya itu segera sirap dengan tiba-tiba.
Hwi Ching berjongkok untuk memeriksanya. Ternyata Ceng Tik telah memeluk sang isteri. Diantara kobakan darah, keduanya bersamadua menghembuskan napas.
Ceng Tong mendumprah disamping kedua suhunya, menangis sedu-sedan seperti anak kecil.
Sementara itu Tan Ke Lok sudah sambut khim dari Sim Hi dan mendamprat Kian Liong: “Yangan kata tentang perjanjian persekutuan di Liok Hap Ta, sedang di Hayleng kita pernah kuCurkan darah, bersumpah takkan saling menCelakan. Tapi kenyataan, kau akan meraCuni aku! Apa katamu sekarang?”
Habis berkata, khim dibanting kelantai. Sebuah benda pusaka yang ribuan tahun umurnya, kini menjadi kepingan kayu.
“Kau akui musuh sebagai ayahmu untuk menindas rahajat. Kau merupakan musuh rahajat yang Cinta tanah airnya! Hubungan darah antara kita berdua, mulai saat ini putuslah sudah dan kini juga akan kuminum darahmu untuk menebus hutangmu pada kedua loCianpwe, pada saudara-saudaraku dan pada rahajat sekalian”.
Kata-kata yang diuCapkan Tan Keh Lok dengan keren itu, telah membuat Kian Liong puCat pasi.
“Kita mensuCikan diri digereja Siao Lim Si untuk membebaskan diri dari urusan dunia. Tapi mengapa kau utus pembesar jahat untuk membakar gereja kita? Hari ini biarlah aku akan membuka larangan membunuh”, seru Thian Keng.
Seng Hong rupanya tak tahan. Dia meneryang dengan tojanya. Tapi paderi dari Siao Lim Si itu tetap tenangdua saja. Begitu tongkat lawannya tiba, dia segera menyawut daa menariknya. Seng Hong tak dapat mempertahankan kudaduanya, terus memberosot jatuh. Membarengi itu Thian Keng menghantam dan separoh kepala orang she Seng itu melesak kedalam. Dia mati seketika!
Tatkala tangan kanan Thian Keng mengibas, tongkat Seng Hong itu telah patah menjadi tiga. Menampak kegagahan yang luar biasa dari paderi tersebut., kawanan siwi disitu menjadi pecah nyalinya.
Hanya Pek Cin yang terpaksa memberanikan diri. “Biar kuminta pengajaran dari Losiansu untuk beberapa jurus saja!” tantangnya.
Thian Keng hanya mengeluarkan suara jemu, terus akan melangkah maju.
“Susiok, kau telah turunkan 'Hong-liang-sip-pat-Ciang' padaku, idinkan teCu menCobanya, mana yang salah harapsusiok kasih unjuk!” tiba-tiba Keh Lok berseru.
“Baiklah!” sahut Thian Keng.
“Pek-loCianpwe, silakan!” kata Keh Lok, terus mengirim pukulannya.
Pek Cin tak menghindar, ia menangkis, tapi begitu saling bentrok, dia rasakan separoh tubuhnya kesemutan. Dia sangat terkejut. Belum setengah tahun dia bertempur dengan ketua HONG HWA HWE itu di HangCiu, itu waktu kekuatannya berimbang, Tapi kini, ternyata dia sudah bukan tandingannya lagi.
Tan Keh Lok mengirim serangan lagi, malah dengan dua tangan sekali gus. Yang satu, Pek Cin berkelit dan yang satunya ditangkis. Tapi seCepat itu dia lantas lonCat menyingkir seraya berseru: “Tahan!”
“Dia 'kan penolongmu, mengapa kau layani dia berkelahi!” tiba-tiba Kian Liong menyelatuk.
Kini insyaplah Pek Cin bahwa baginda mencurigainya.
Dia mengambil sebatang golok dari seorang siwi, katanya: “CongthoCu, aku bukan tandinganmu.”
“Aku hargakan kau sebagai seorang hohan. Asal kau tak menjual jiwa untuk kaisar ini, silaukan kau tinggalkan tempat ini!” kata Keh Lok.
Tio Pan San yang menjaga dijendela timur, lantas memberi jalan. Tapi bukannya segera berlalu, Pek Cin kedengaran tertawa hampa: “Terima kasih atas kebaikan kalian. Tapi karena tak dapat melindungi baginda, aku menjadi seorang yang put-tiong (tak sstia). Tak dapat membalas budimu, aku menjadi seorang put-gi (tak bermoral). Put-tiong dan put-gi, adakah kau masih berharga untuk hidup didunia?” Belum lagi semua orang mengerti apa yang dimaukan, sekonyong-konyong Pek Cin menabas batang lehernya sendiri. 'Bluk', buah kepalanya tahu-tahu jatuh dilantai.
Kemudian Keh Lok pimpin Ceng Tong keruangan dalam. Badi-badi mustika diserahkan kepada nona itu, katanya: “Ceng Tong, ayah bundamu, kakak dan adikmu, kedua suhumu serta berpuluh-puluhdua ribu suku bangsamu, semua binasa ditangannya. Mari, kau bunuh dia dengan tanganmu sendiri!”
Segera Ceng Tong maju menghampiri Kian Liong. Swi Tay Lim Coba menghadang, tapi segera disambar dari samping oleh Bun Thay Lay, terus diCengkeram, punggungnya diangkat naik, dihantam berulang-ulang. Ketika dilepaskan, Swi Tay Lim sudah numprah ditanah, seperti segumpal daging. Tulangduanya sudah patahdua semua.
Bun Thay Lay masih ingat akan hinaan dari musuhnya itu, yang pernah memukulinya ketika dia tertangkap. Maka kali ini, dia umbar napsunya untuk melampiaskan sakit hati itu.
Kini tinggal 5 atau enam orang siwi saja yang masih disamping Kian Liong. Maka Bun Thay Lay hanya tertawa dan berdiri disamping untuk mengawasi Ceng Tong menghampiri baginda. Tapi baru saja Ceng Tong berjalan beberapa tindak, tiba-tiba dibawah pagoda terdengar suara hiruk pikuk.
Tio Pan San melongok kejendela dan dapatkan diluar Po •Gwat Lauw ribuan tentara tengah membawa obor. Mereka adalah pasukan gi-lim-kun, siwi, thaikamdua yang pandai ilmu silat, kira-kira sejumlah ribuan. Tiau Hwi, Li Khik Siu dan The jin-ong sibuk memberi perintah.
Bun Thay Lay menghampiri jendela dan berseru dengan lantang: “Kaisar ada disini. Siapa yang berani naik, kaisar ini segera akan kujadikan frikadel lebih dulu!”
Mendengar suara yang menggeledek dari Pan-lui-Chiu itu, suasana berisik itu sirap seketika. Thian Hong beserta Sim Hi segera lemparkan mayat Pek Cin, Swi Tay Lim, Ma King Hiap, Seng Hong dkk.nya kebawah. Melihat, jago-jago yang tangguh itu sudah menjadi mayat, mereka tambahi jeri lagi dan makin Cemas akan keselamatan baginda.
Juga orang-orang gagah HONG HWA HWE itu sama berdiam diri untuk menantikan Ceng Tong, siapa dengan badi-badi yang bergemerlapan tengah maju setindak demi setindak kearah Kian Liong.
Dalam suasana yang menyeramkan itu, tiba-tiba dari balik tempat tidur diruangan situ, sebuah bayangan ber-gerak-gerak terus menghadang dimuka baginda. Ceng Tong merandek untuk mengawasinya. Ternyata dia adalah seorang tua yang berambut putih, tangannya memondong seorang baji. Sambil tertawa dingin, dengan tangan kanan, orang tua itu mengangkat si baji kemuka, sedang tangannya kiri mendekap leher sibaji. Sekali jariduanya itu dikenCangkan, tak ampun lagi baji tentu binasa.
Baji itu putih montok, menyenangkan sekali dan tengah asjik mengisap jarinya.
Mendadak memberosot dari belakang sang ibu dan menjerit keras: “Kembalikan anakku!” Terus saja ia akan. maju merebutnya.
“Majulah, kalau kau ingin menerima mayat baji, mari!” orang tua itu menganCam.
Ciu Ki linglung seperti kehilangan semangat.
Kiranya orang tua itu adalah bekas Sunbu dari wilayah Anhui, Pui Ju Tek. Ketika dia kembali kekampungnya di Hokkian, dia akan mengambil selir, tapi diobrak-abrik oleh orang-orang gagah HONG HWA HWE Berkat siasatnya yang liCin, dia berhasil loloskan diri. Kemudian dia menggabungkan diri dengan Seng Hong dan Swi Tay Lim. Dari kedua orang itu, diketahuinya kalau baginda bermaksud akan menumpas orang-orang H.H.H, Untuk meriCari pahala, Sunbu itu telah mengatur renCana.”
Dengan membawa sejumlah besar pasukan, dia menggerebek gereja Siao Lim Si pada tengah malam. Gereja itu dibakarnya, dimana turut pula binasa pemimpin pertamanya Thian Hong Siansu. Kemudian dirampasnya pula putera Ciu Ki yang masih baji itu. Dia anggap, hal itu sebagai jasa kepada negeri, maka diajaklah Swi Tay Lim dkk. ke Pakkhia untuk menghadap kaisar.
Malam itu juga baginda menitahkan mereka menghadap untuk ditanya lebih jelas apakah gereja Siao Lim Si masih meninggalkan sisa. Begitulah malam itu ketiganya pergi menghadap baginda di Po Gwat Lauw. Tak mereka sangka kalau disitu mereka kesamplokan dengan rombongan Tari Keh Lok yang tengah mengamuk.
Pui Ju Tek buru-buru bersembunyi dibelakang tempat tidur. Tak berani dia nampakkan diri. Tapi ketika diketahuinya suasana sangat gawat, meskipun dia tak bisa silat, tapi dengan tipu dayanya yang liCin, dia munCul menghadangi.
“Ayo, kamu semua keluar dari istana. Nanti kukembalikan baji ini!” kembali situa itu berseru setelah merasa mendapat angin.
“Setan tua, kau tentu akan menipu kami!” bentak Ceng Tong, yang karena kemarahannya, sampai lupa kalau ia memaki dengan bahasa Ui. Sudah tentu semua orang tak mengerti maksudnya.
Sungguh hal yang tak terkirakan sama sekali oleh orang-orang gagah itu. Mereka telah ambil putusan, kaisar tentu takkan lepas dari kebinasaan. Sekalipun pasukan istimewa dikerahkan untuk menolongnya, mereka tetap akan membunuh kaisar itu, sekalipun mereka harus berkorban jiwa. Tapi renCana itu digagalkan serta merta oleh seorang tua yang tak pandai silat, tak membawa senjata apa-apa, keCuali seorang anak baji. Semua orang sama memandang kepada Tan Keh Lok untuk menanti keputusannya.
Ketua HONG HWA HWE itu memandang pada Ceng Tong. Sakit hati yang diderita nona itu melebihi lautan besarnya, tak boleh tidak, harus dibalaskan. Dan ketika ketua itu memandang kearah jenazah Thian San Siang Eng dan Ciang Cin, hatinya seperti disajat sembilu. Namun ketika nampak wajah Cemas dari Thian Hong dan Ciu Ki, hatinya bersangsi.
Dengan sorot mata yang Cemas sayang, sepasang suami isteri itu tak hentinya mengawasi orok yang berada dalam telapak tangan Pui Ju Tok, tangan yang penuh dilingkari dengan otot besardua. Anak yang baru berusia dua bulan nampak tertawadua, memain dengan jari tangan situa. Sedikitpun dia tak mengetahui, bahwa jaridua itu kalau tak kebetulan, hakal merampas jiwanya.
Tan Keh Lok alihkan pandangannya. Dilihatnya sorot mata. Thian Keng yang tadinya penuh dengan hawa pembunuhan, kini berganti dengan sorot yang mengunjuk kewelas-asihan. Liok Hwi Ching kedengaran mengeluarkan elahan napas. Tiong Ing gemetar, jenggotnya yang putih turut bergoyangdua. Sedang Ciu-naynay ternganga mulutnya, seperti orang kena sihir.
“Kepada kaum kita, Ciu-loCianpwe telah bunuh putera keturunannya sendiri. Baji itu adalah untuk menyambung keturunan satuduanya......... tapi kalau dia (kaisar) tak dibunuh sekarang, mungkin tak ada kesempatan yang sebagus ini lagi dan sakit hati kita tentu takkan terbalas selama-lama-nya”, demikian Keh Lok me-nimbangdua dalam pikirannya.
Tengah dia bingung mengambil putusan, terdengar Ciu Ki menjerit seraya akan menyerbu kemuka, tapi diCegah oleh Lou Ping dan Wan Ci hingga ia meronta-ronta seperti orang kalap. Pemandangan itu, telah membuat Bu Tim, Bun Thay Lay kedua saudara Siang, orang-orang yang biasa membunuh orang tanpa terkesip, kini menjadi tak tega hatinya.
Tiba-tiba Ceng Tong balik kembali untuk serahkan badi-badi para TanKeh Lok, bisiknya: “Yang mati tetap mati! Biarlah anak itu dididik, agar kelak dapat membalaskan sakit hati kita!”
Keh Lok mengangguk, lalu dengan suara lantang dia berseru pada Pui Ju Tek: “Baiklah, kami menyerah. Kami tak membunuh kaisar, dan kau serahkan orok itu padaku!”
Untuk membuktikan kata-katanya, badi-badi disarungkan, lalu angsurkan kedua tangannya untuk menyambuti sibaji.
“Hm, siapa sudi memperCajaimu? Nanti kalau kamu sudah keluar dari istana, baru orok ini kuserahkan!” Pui Ju Tek menjawab dengan dingin.
“Kami kaum HONG HWA HWE selalu memegang kata-kata tak pernah ingkar janji. Masa kami akan menipu seorang tua!” Keh Lok sangat gusar.
“Ya, tapi aku tetap tak mau perCaja”. kata situa bangka.
“Sudahlah, mari ikut kami keluar!” ajak Keh Lok.
Pui Ju Tek bersangsi. Tapi Kian Liong yang mengetahui jiwanya tertolong, tak mempedulikan keadaan tua bangka itu lagi, serunya: “Turut saja pada mereka. Jasamu sangat besar, aku tentu takkan melupakan”.
Hati Pui Ju Tek menjadi tawar. Kaisar mau supaya dia berkorban, untuk itu kaisar akan mengganjarnya pangkat besar (seCara posthum).
“Hamba haturkan terima kasih atas budi baginda”, katanya dengan hati yang berat, kemudian berpaling kearah Tan Keh Lok, katanya: “Ya, aku ikut. Akupun sudah tak menyayang selebar jiwa yang sudah bangkotan ini!”
Nyata dia harap Tan Keh Lok suka mengampuninya seorang tua, tapi anak muda itu tak menghiraukan, sahutnya: “Dosamu sudah lebih dari takeran, maka harus lekas-lekas masuk keneraka!”
“Lekas ikut mereka!” bentak Kian Liong yang kuatir kalau memakan tempo kelwat lama, yangan-yangan nanti timbul perubahan buruk lagi.
“Kalau aku ikut keluar, yangan-yangan kau tinggalkan beberapa kawanmu untuk menCelakakan baginda”, Pui Ju Tek tak pedulikan perintah kaisar dan masih mengotot.
“Apa kehendakmu?” sahut Keh Lok gusar karena jengkelnya.
“Kuakan persilakan baginda tinggalkan tempat ini dahulu, setelah itu baru aku ikut padamu”, kata Pui JuTek. “Baik”, sahut Keh Lok.
Tanpa hiraukan etiket kaisar lagi, Kian Liong terus lari kepintu. Ketika lewat disamping Tan Keh Lok, tiba-tiba ketua HONG HWA HWE itu memegangnya. Sebelum orang dapat menduga apa-apa, tangan kiri Keh Lok sudah diayunkan beberapa kali untuk menampar muka Kian Liong, seketika muka kaisar itu benjoldua matang biru.
“Kau ingat apa tidak sumpahmu dulu itu?” Keh Lok mendampratnya.
Kian Liong tak menjawab, Keh Lok dorong tubuh kaisar itu hingga sempoyongan, siapa tanpa hiraukan apa-apa, keCuali keselamatan jiwanya, terus lari tunggang langgang keluar dari pagoda.
“Sekarang serahkan orok itu padaku!” seru Keh Lok.
Pui Ju Tek melihat kesana kemari, hendak dia menCari akal lagi untuk lolos. Sebagai seorang pembesar jahat yang sudah bandotan, segera dia nampak suatu harapan pada diri Tio Pan San, yang dilihat dari wajahnya yang berseri-seri itu, tentu orangnya penuh welas asih.
“Lebih dulu akan kusaksikan sendiri bahwa baginda tak kurang suatu apa, baru kuserahkan baji ini!” katanya seraya melangkah kejendela.
“Kura-kura tua, mati kau sudahlah pasti, yangan banyak sekali tingkah!” memaki Siang Pek Ci. sambil mengikutinya dari belakang-. Begitu baji diserahkan, dia akan turun tangan meremuk bandot tua itu.
Kian Liong ternyata sudah keluar dari Po Gwat Lauw dan disambut oleh para siwi.
“Penghianat busuk!” Tio Pan San memakinya.
Demi melihat barisan siwi berada dibawah pagoda, timbullah pikiran nekad dari Pui Ju Tek. Daripada menunggu kematian diatas pagoda, lebih baik dia terjun kebawah saja. Besar kemungkinannya tentu ada siwi yang berkepandaian tinggi akan menyanggapinya dari bawah. Tapi andaikata sampai tak ada yang menolong, diapun akan mati bersamadua orok itu.
SeCepat dapat pikiran, seCepat itu pula dia terus lonCat dari mulut jendela.
Semua orang sama. menjerit kaget. Siang Pek Ci sebat sekali terus ulurkan hui-Cao (Cakar terbang) untuk menggaet kaki Pui Ju Tek, terus ditariknya. Seorang tua lemah seperti Pui Ju Tek, mana dapat menahan tarikan itu. Seketika tubuhnya kaku, berbareng itu orok terlepas dari genggamannya/ Dua-'nya kini melayang jatuh!
Tanpa pikir lagi Tio Pan San enjot tubuhnya keluar. Dengan kepala menjulai (menjungkel) kebawah, dia ulur sebelah tangannya untuk menjambret kaki si orok, dan berbareng itu tangannya kanan menyambitkan tiga biji piauw beracun kearah batok kepala dan dada Pui Ju Tek.
Semua orang, baik kawan maupun lawan, sama menjerit kaget. Tapi selagi melayang turun itu, Tio Pan San sudah empos semangatnya. Pertama, dia tarik orok itu untuk dikempit, kemudian begitu sang kaki menginjak bumi, dia sudah gerakkan ilmu “hun Chiu” dari Thay-kek-kun, untuk menghalau serangan dari dua orang siwi yang meneryangnya. Sedang lain-lain siwipun segera maju mengepung.
Kedua saudara Siang, Thian Hong, Ciu Tiong Ing dan Bun Thay Lay, serentak lonCat kebawah untuk melindungi Tio Pan San.
Pan San melihati orok itu ternyata masih memain dengan kaki dan tangannya sembari ter-tawadua. Seolah-olah kejadian yang hampir mengambil jiwanya itu, tak dirasakannya.
Segera Keh Lok dorong Hok Gong An kemulut jendela, serunya keras-keras: “Kamu menghendaki keselamatannya apa tidak?”
Saat itu ternyata Kian Liong masih disitu. Hanya kini berada dibawah lindungan barisan siwi yang kokoh, dia tak takut lagi. Demi diketahui Hok Gong An tertawan, berobahlah wajahnya.
“Tahan, tahan!” serunya berulang-ulang.
Pasukan siwi segera mundur, sedang Ciu Tiong Ing dkk. pun tak mengejarnya.
Mengapa kaisar begitu sayang kepada Hok Gong An?
Kiranya permaisuri kaisar itu, adalah adik perempuan dari menteri besar Pok Heng. Pok Heng mempunyai isteri yang luar biasa Cantiknya. Ketika masuk keistana, wanita Cantik itu telah dapat menCuri hati Kian Liong, siapa lalu mengadakan hubungan gelap. Hasil dari perhubungan rahasia itu, ialah lahirnya Hok Gong An itu.
Pok Heng mempunyai 4 orang putera. Tiga dari mereka, diangkat menjadi huma (menantu raja). Kian Liong paling menyayangi Hok Gong An. Karena tak mengetahui latar belakangnya, Pok Heng beberapa kali mohon pada kaisar Kian Liong, supaya berkenan mengambil menantu pada Hok Gong An. Tapi dengan tersenyum, kaisar itu selalu menolak.
Kian Liong mempunyai banyak sekali putera. Tapi anehnya, dia paling sayang kepada Hok Gong An, puteranya yang tak resmi itu. Roman Hok Gong An mirip sekali dengan Tan Keh Lok, ini disebabkan keduanya itu masih ada hubungan darah antara paman dengan keponakan.
Tan Keh Lok tak mengetahui hubungan rahasia itu, tapi demi dilihatnya kaisar menjadi gelisah, dia mendapat akal bagus. Dengan menggusur Hok Gong An, dia ajak semua saudaranya turun kebawah. Demi sudah diluar pagoda, Ciu Ki segera merebut anaknya dari tangan Tio Pan San. Orok itu segera dipondong dan diCiumnya berulang-ulang seperti orang mendapat mustika yang sangat berharga.
Po Gwat Lauw yang biasanya dikitari oleh taman padang pasir yang sunyi senyap, kini merupakan medan perang. Diseberang sini rombongan HONG HWA HWE dan rombongan paderi Siao Lim Si, sedang disana tampak berjajar barisan siwi dan pasukan gi-lim-kun.
Li Khik Siu tahu isi hati kaisar, lalu tampil kemuka, katanya. “Tan-CongthoCu, lepaskan Hbk-thongleng, nanti kamipun lepaskan kalian sampai keluar kota!”
“Apa kata baginda?” tanya Keh Lok.
Muka kaisar yang kena tampar tadi, masih panas sakitnya. Maklum dia seorang kaisar yang seumur hidupnya belum pernah merasakan tamparan, apalagi yang menampar Seorang ahli silat seperti Tan Keh Lok. Namun nampak puteranya teranCam bahaya, ditahannya juga rasa sakit itu, serunya: “Kau boleh pergilah!”
“Baik, kuminta Hok-thongleng yang mengantarkan kami sampai keluar kota!” kata Keh Lok bersenyum.
Dan sebelum pergi, ketua HONG HWA HWE itu berteriak keras-keraskepada kaisar: “Rahajat di seluruh negeri selalu ingin bisa memakan dagingmu dan membeset kulitmu. Kalau kau bisa hidup seratus tahun lagi, seratus tahun itu pula kau bakal hidup dalam keCemasan. Setiap malam setandua akan mengganggu tidurmu!”
Sehabis itu, sembari menggiring Hok Gong An dan mengusung jenazah Thian San Siang Eng serta Ciang Cin, rombongan orang gagah itu segera tinggalkan istana, diiring oleh ribuan pasang mata dari barisan siwi dan gi-lim-kun yang hanya dapat mengawasi, tapi tak berani mengejar.
Tak lama setelah keluar dari istana, dua orang penunggang kuda memburunya. Itulah Li Khik Siu, siapa kedengaran berseru:
“Tan-CongthoCu, Li Khik Siu ingin membiCarakan, sesuatu.”
Ternyata kawannya yang seorang, adalah Can Tho Lam, tangan kanan Ciangkun itu.
Begitu sudah dekat Li Khik Siu berkata pula: “Baginda mengatakan, kalau Hok-thongleng dilepas tak kurang suatu apa, apa permintaanmu, baginda akan mengabulkan.”
“Hm, siapa yang masih dapat memperCajai kata-kata kaisar jahanam itu!” balas Keh Lok dengan tawar.
“Mohon Tan-CongthoCu mengatakan, biar SiaoCiang yang menyampaikan,” Li Khik Siu mengulangi permintaannya.
“Baik!” kata Keh Lok. “Pertama, baginda harus mengeluarkan uang dari kas negara untuk membangun lagi gereja Siao Lim Si. ArCadua Buddha disitu, harus lebih besar dari dahulunya. Pembesardua pemerintah dilarang mengganggu gereja itu se-lama-lamanya.”
“Hal itu dapat ddilaksanakan,” sahut Li Khik Siu.
“Kedua, baginda tak boleh menindas sukudua dari daerah Hwe. Semua tawanan perang, laki atau perempuan, harus segera dilepas!”
“Itupun tak sukar,” jawab Li Khik Siu.
“Ketiga, baginda tak boleh membenci dan menangkapi anggota-anggotaHONG HWA HWE yang tersebar diseluruh negeri.”
Kali ini Li Khik Siu membisu.
“Hm, jadi memang mau menangkapi? Apa dikira kami jeri? Pan-lui-Chiu Bun-suya ini, bukankah pernah mengeram ditempat markas Li-Ciangkun?” jengek Keh Lok.
“Baiklah, aku memberanikan diri untuk menyanggupi permintaan itu,” buru-buru Li Khik Siu menjawab. “Nah, Tahun muka pada hari ini, kalau tiga hal tadi sudah dilaksanakan sungguh-sungguh, Hok-thongleng tentu akan kuantarkan pulang” kata Keh Lok akhirnya.
“Baiklah kalau begitu”, sahut Li Khik Siu, lalu berpaling kearah Hok Gong An: “Hok-thongleng, Tan-CongthoCu adalah seorang yang berbudi tinggi, harap kau yangan kuatir. Bagindapun tentu akan melaksanakan ketiga hal tadi, mungkin juga Tan-CongthoCu akan mengantar kau pulang lebih lekas”.
Hok Gong An diam saja.
Teringat akan peristiwa penyerangan Li Khik Siu dan Pek Cin terhadap penjaga paseban Swi Seng Tian, Tan Keh Lok menduga, tentu disitu terselip rahasia apa-apa. Maka pura-pura ia menggertak: “Katakan kepada baginda, peristiwa di Swi Seng Tian, kami telah mengetahuinya. Kalau dia berani main gila lagi, awasiah!”
Li Khik Siu terkejut, dan terpaksa mengiakan.
“Li-Ciangkun, nah, selamat tinggal! Kalau nanti kau naik pangkat dan menjadi kaja, harap yangan menindas pada rahajat!” akhirnya Tan Keh Lok memberi hormat dan meminta diri.
“Ah, CongthoCu,' SiaoCiang tentu tak berani,” buru-buru Li Khik Siu membalas hormat.
Li Wan Ci dan le Hi Tong berdua turun dari kudanya menghampiri dan berlutut dihadapari Ciangkun itu. Hati Li Khik Siu seperti dibetot, karena tahu dia bahwa kedepannya dia bakal tak bertemu lagi dengan puterinya. Katanya dengan suara sember: “Anak, jagalah diri baik-baik !”
Lalu kudanya diputar, terus kembali kearah istana, tinggalkan Wan Ci numprah tersedu-sedu. Hi Tong pimpin bangun idterinya itu. Sampai dipintu kota, Seng Hiap, Jun Hwa dkk. sudah siap menyambut. Atas perintah Hok Gong An, pintu dibuka. Hampir jam 4 pagi, barulah rombongan orang-orang gagah itu keluar dari kota raja.
Rembulan sisir tampak diantara aliran sebuah sungai. Didekat situ tampak sebuah kuburan, dimana ada beberapa orang tengah menyanyi dan menangis. Mereka menyanyikan lagu berkabung dari suku Ui. Tan Keh Lok dan Ceng Tong buru-buru turun dari kudanya, dan bertanya: “Kamu sedang berkabung untuk siapa?”
Seorang tua Ui dengan berCucuran air mata, menyahut: “Hiang Hiang KiongCu!”
“Hiang Hiang KiongCu dimakamkan disini?” tanya Keh Lok dengan terkejut.
Menunjuk kepada sebuah kuburan baru yang masih belum kering, orang itu menyahut pula: “Ya, itulah!”
“Tak boleh kita biarkan adik dikubur disini!” tiba- Ceng Tong menangis.
“Benar, ia senang akan Telaga Warna didalam perut gunung Sin-nia. Sering ia mengatakan: 'aku akan merasa bahagia kalau dapat berada disini selama-lamanya'. Kita pindahkan jenazahnya kesana saja!” kata Keh Lok.
“Siapa kalian ini?” tanya orang tua Ui tadi.
“Aku adalah Cici dari Hiang Hiang KiongCu!” sahut sigadia.
“Ah, kau tentu Chui-ih-wi-sam, aku dulu menjadi anak buah dari regu kedua pasukan Pek Ki, pernah bertempur dibawah perintahmu,” tiba-tiba seorang Ui lain berseru.
Begitulah orang-orang Ui dan orang-orang gagah HONG HWA HWE dibantu pula oleh paderidua Siao Lim Si mulai menggali. Dalam sekejap saja, terbongkarlah sudah makam itu. Ketika papan batu yang menutup lubang tempat jenazah diangkat, hawa harum menyerbak keras. Tapi untuk kekagetan orang-orang itu, mereka dapatkan lubang itu kosong melompong. Keh Lok menyuluhinya dengan obor, yang tampak hanya segumpal darah ke-biruduaan, disamping situ terletak batu giok pemberiannya kepada Hiang Hiang dulu.
“Jenazah itu ka; li sendiri yang menanamnya disini. Dan sejak itu kami terus menungguinya disini. Mengapa kini jenazah itu hilang?” juga orang-orang Ui itu menyatakan keheranannya.
“Nona itu sedemikian Cantiknya, tentulah titisan dewi. Kini ia tentu sudah kembali ketempat asalnya. Cici Ceng Tong dan CongthoCu harap yangan bersedih,” menghibur Lou Ping.
Keh Lok memungut, mainan giok itu untuk disimpannya. Diapun agak mempercajai keterangan Lou Ping itu. Tiba-tiba angin mengembus, dan bau harum kembali menyampok hidung orang-orang itu. Lewat beberapa saat kemudian, mereka menguruk kuburan itu lagi. Seekor kupudua, entah dari mana datangnya tampak terbang diatas kuburan tersebut. “Akan kutulis beberapa huruf, harap nanti kau suruh “tukang yang pandai mengukirnya diatas batu nisan dan dif pasang dimuka kuburan ini,” kata Keh Lok kepada siorang tua tadi.
Cepat Sun Hi mengambil dua potong emas untuk diserahkan kepada orang1 Ui itu. Lalu diambilnya kertas dan alat tulis. Setelah merenung sejurus, mulailah Keh Lok menulis sebuah sjair:
Penderitaan yang hebat, hati yang berkabut sesal, berakhirlah nyanyian merdu, susutlah sang rembulan. Didalam kota nan indah, terdapat segumpal darah kemilau. Sesaat kilau pudar, sesaat darah lenyap. Namun ban harum semerbak senantiasa! Benarkah gerangan dia? Menjelma seekor kumis.
Setelah mengheningkan Cipta sampai sekian lama, barulah rombongan orang-orang gagah itu berangkat kearah barat.
Matahari bersinar gilang gemilang diufuk timur. Dan sampai disini Cerita ini telah:

TAMAT.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar