CIAUW CONG pindahkan pedangnya
ketangan kiri, tangan itu dia gunakan untuk menyampok pergi datang semua
senjata rahasia yang kecildua. Sedang tangannya kanan tak putus-putus menyang
gapi kemudian mengembalikan senjata-nyata rahasia yang agak besaran.
Tiba-tiba dia kaget menampak ada
semaCam senjata yang berlegat-legot melunCur dari udara akan menyambar mu
kanya. Kuatir senjata itu beraCun, Ciauw Cong tak berani memegang kepalanya
tapi menyemput ekornya. Dia tak mengira kalau „naga” itu bagaikan naga hidup
saja. Begitu tangan Ciauw Cong menyawut, benda itu berputar kembali terus
melayang balik kepada tuannya, siapa segera menyam-butinya lagi dan lalu
menyambitkannya pula.
Bukan main terkejutnya Ciauw
Cong. Kini dia tak mau” menyang gapi dan hanya akan memakai pedangnya untuk
menyampok. Tapi tiba-tiba dari arah kanan dan kiri, dua buah „hui-yan-gin”
menyambarnya. Buru-buru Ciauw Cong enyot kaki loncat tinggi-tinggi sehingga kedua
senjata itu menemui tempat kosong. Tapi diluar dugaan, begitu mengenai tanah,
hui-yan-gin itu membal keatas menyambar pada Ciauw Cong. Karena tak keburu
berkelit, Ciauw Cong kerahkan lwekangnya dan berhasil menyambutinya yang
sebuah. Tapi yang sebuah lagi, tak keburu dihindarinya dan menyusup kedalam
pahanya.
Melihat lawannya terluka Tio Pan
San memburu untuk menikamnya lagi. Untuk itu, Ciauw Cong gunakan pedangnya.
Karena tahu bahwa dia berhadapan dengan pokiam, Pan San mengegoskan tubuh,
hingga pedangnya menempel disisih pedang musuh. Dia gunakan ilmu „menyedot”
dari Thay Kek Kiam, hingga pedang Ciauw Cong tertarik kesamping.
Atas gerakan itu, tersentaklah
hati Ciauw Cong. Semula dia akan gunakan kepandaiannya yang menggetarkan setiap
orang itu untuk menundukkan lawan, tak tahunya malah pahanya terluka senjata
musuhnya. Melihat gelagat jelek, dia tak mau melanyutkan pertempuran lebih lama
lagi. Dia menatap kearah Kawan-kawan nya, tapi ternyata rombongan si-wi sudah
ter-biritdua lari. Begitu pula kereta tawanan, pun sudah direbut musuh.
Karena gelisah, dia desak musuh
dengan tiga kali serangan. Begitu orang mundur, dia Cabut senjata rahasia yang
me nanCap dipahanya, terus ditimpukkan pada lawan. Pan San tundukkan kepalanya
untuk menghindar, tapi saat itu telah digunakan oleh Ciauw Cong untuk memburu
kearah kereta tawanan. Sewaktu melihat Ciauw Cong terluka, Lou Ping me-naridua
karena riangnya.
„Sipsu-tee Hi Tong bagaimana? Dia
terluka berat apa tidak?” tanya Bun Thay Lay.
„Siapa? Sipsu-tee, dia terluka?”
sahut sang isteri.
Belum ucapannya itu habis, Ciauw
Cong menyerbu kedalam kereta. Dan berbareng dengan itu, Lou Ping menyerit
kaget, karena sepasang goloknya terpental disampok Ciauw Cong, jatuh dimuka
kereta. Rombongan orang-orang HONG HWA HWE segera mengepung kereta itu. Ciu
Tiong Ing lantas menyeli nap kemuka dan tegakkan goloknya besar untuk
menghadang.
„Bagus, manusia semaCam kau
berani datang ke Thiat-kee-Chung untuk mengambil orang. Betul-betul kau tak
pandang mata pada lohu ini. Tidakkah kau mengerti akan aturan kangouw atau
bu-lim?” teriak orang tua itu segera.
Melihat yang berdiri dihadapannya
seorang tua yang berjenggot putih dan gagah sikapnya, tahulah Ciauw Cong bahwa
dialah tentu ketua dari kaum persilatan daerah barat laut si Thiat-tan Ciu Tiong
Ing. Dia tak mau berlaku ajal lagi terus menikamnya.
Tiong Ing Cepat-cepat balikkan
goloknya, untuk menangkis serangan musuh dengan gigir golok. Gerakan pedang
Ciauw Cong linCah dan keras. Begitu dia tarik ujung pedang, gigir golok musuh
telah tergurat beberapa dim dalamnya.
Berbareng pada saat itu, Ciu Ki,
Ciang Bongkok, Ji Thian Hong dan kedua persaudaraan Siang dengan menghunus
senjatanya masing-masing telah berbareng menyerbu pada Ciauw Cong.
Dengan gerakan „hun-heng
Cin-nia,” mega menghalang punCak gunung Cin-nia, Ciauw Cong putar pedangnya
ling-bik-kiam hingga merupakan suatu lingkaran. Karena jerih dengan pokiamnya,
orang-orang HONG HWA HWE itu sama menarik senjatanya.
Ciauw Cong memilih lawan yang
terlemah, jakni menyerbu pada Ciu Ki. Nona ini Buru-buru angkat goloknya untuk
menabas kepala orang, tapi gerakan Ciauw Cong lebih sebat. Tangannya kiri
memegang pergelangan tangan sinona dan dilain saat golok sinona sudah dapat
direbut.
Melihat itu, tak terkira
terkejutnya Tiong Ing. SeCepat-cepat itu juga, kedua thiat-tannya telah susul
menyusul menghantam punggung Ciauw Cong. Dan berbareng pada saat itu juga, Tan
Keh Lok telah melepas tiga butir biji Catur kearah „jwan-ma,” „Kwan-gwan” dan
„Ciok-ti” tiga jalan darah yang berbahaja.
Sampai disini kederlah hati Ciauw
Cong. Dia tergetar melihat bagaimana dalam gelap itu, musuh dapat menyambit
kearah jalan- darah, maka Cepat-cepat dia putar leng-bik-kiam-nya untuk
menyampok ketiga biji Catur itu.
Tapi pada detik itu, gembolan
Tiong Ing sudah menyambar datang. Cepat-cepat dia putar tubuhnya untuk menyang
gapi gembolan yang datang pertama. Tapi tidak tahunya gembolan kedua yang
datang belakangan malah menimpah tepat di dadanya.
Tiong Ing dapat meng'angkat nama
karena mengandel dengan thiat-tannya itu. Dia mempunyai suatu gerakan yang
istimewa. Yaitu gembolan yang dihantamkan lebih dulu gerakannya pelan, dan
menyusul belakangan malah lebih keras dan Cepat-cepat . Karena itulah
kebanyak-banyakan, musuh tak mengira sama sekali. Begitu pun Ciauw Cong,
seketika dia rasakan dadanya sesak dan sakit sekali sampai tubuhnyapun menjadi
tergetar. Dengan menahan napas, dia kibaskan kedua tangannya untuk menolak
Ciang Bongkok dan Ji Thian Hong, dan dari situ terus lari kearah kereta.
Lou Ping hendak menyambut dengan
golok panyang . Tapi sekali tangkis, goloknya itu telah terpapas kutung oleh
poo-kiam Ciauw Cong, siapa meneruskan gerakannya loncat keatas dan menCengkeram
pundak Lou Ping. Dengan Ceng keraman baja itu, Lou Ping tak kuasa menggerakkan
goloknya pendek lagi. Namun ia masih dapat tamparkan tangannya kiri untuk
menyotos muka lawannya.
Orang-orang HONG HWA HWE kaget
dan kuatir, mereka berbareng datang menolong. Tapi seCepat-cepat itu, Ciauw
Cong telah lemparkan Lou Ping kearah kedua saudara Siang dan Tiong Ing. Sudah
tentu mereka dengan gugup menyang gapinya, karena kuatir jangandua Lou Ping
sampai terluka.
Tiba-tiba Ciauw Cong kedengaran
menggerung. Punggung nya kena dihantam Bun Thay Lay sekali. Syukur bugenya
sempurna, dan Bun Thay Lay masih dalam keadaan sakit, jadi tenaganya sangat
berkurang, kalau tidak tentu remuklah sudah jerohan orang she Thio itu.
Sekalipun begitu, sakitnya bukan kepalang. Dan justeru hantaman kedua dari Bun
Thay Lay menyambar datang lagi, karena tak keburu berkelit, Ciauw Cong
Buru-buru tarik selimut yang dipakai orang untuk membungkus kepala Bun Thay
Lay, dengan itu dia pakai untuk merangkum tangan Bun Thay Lay. Menyusul
tangannya diulur untuk notok jalan darah tawanannya yang seketika itu segera
pingsan tak dapat berkutik.
Dengan menyeret Bun Thay Lay
kemuka kereta, berserulah Ciauw Cong :
"Bun Thay Lay berada dalam
tanganku, siapa yang berani maju, tentu lebih dulu kubunuh saudaramu ini !”
Untuk membuktikan anCamannya,
Ciauw Cong tandaskan pokiamnya kebatang leher tawanannya.
„Koko!” Lou Ping menyerit seraja
menubruk maju, tapi keburu ditarik oleh Hwi Ching.
Sedang ketika habis mengucap itu,
Ciauw Cong rasakan mulutnya terasa anyir, dan sekali batuk, dia muntahkan darah
segar.
„Ciauw Cong, kau masih kenal aku
apa tidak?” demikian seru Hwi Ching tiba-tiba sambil tampil kemuka.
Ciauw Cong sudah lama berpisah
dengan suhengnya itu, apa lagi malam itu gelap, jadi tak dapat dia segera me
ngenalnya: Hwi Ching Cabut pek-liongkiamnya,” ujungnya ditekuk sampai mengenai
tangkainya, kemudian dilepaskan
HALAMAN YG HILANG
"Wi kiuko, Ciang sipsamko,
Beng toako, An toako, kau serbulah kawanan serdadu-itu!” tiba-tiba Tan Keh Lok
mem beri perintah segera juga Wi Jun Hwa dan lain-lain. lakukan pe rintah itu.
Berbareng pada saat itu, seorang
pemuda tiba-tiba tampil dari belakang Hwi Ching dan berseru : "Aku juga
ikut !”
Dan tanpa menunggu sahutan, ia
terus mengikuti rom bongan penyerbu itu. Tan Keh Lok tampak mengangkat alis dan
bersenyum. Kiranya dialah Li Wan Ci, murid Hwi Ching, yang menyaru sebagai
lelaki itu.
Ketika Hwi Ching tinggal
dibelakang untuk menyaga kemungkinan pembalasan dari Go Kok Tong cs, dia telah
berjumpa dengan muridnya. Karena beberapa hari itu ia saksikan pertempuran yang
menarik, maka setengah me maksa Wan Ci minta ikut suhunya. Apa boleh buat, Hwi
Ching lebih dulu menyuruhnya berjanyi takkan bertindak sembarangan sebelum
mendapat ijin dari suhunya, baru setelah itu diajaknyalah ia.
Begitulah Wan Ci tinggalkan
sepuCuk surat kepada Li thay-thay, menerangkan bahwa ia akan berangkat ke
Hang-Ciu lebih dulu, untuk menemui ayahnya. Dan ketika suhu dan murid berdua
ini tiba justeru pertempuran antara orang HONG HWA HWE dan Ciauw Cong sedang
berlangsung. Hwi Cing melarangnya ikutsan, sudah barang tentu gadis itu menjadi
kurang senang. Maka begitu Wi Jun Hwa dipe rintahkan menyerbu, tanpa
menghiraukan apa-apa, ia terus ikut saja.
Sementara itu Keh Lok memberi
beberapa pesanan pula pada kawan^nya, mereka sama mengiakannya. Segera Tio Pan
San melompat maju, sekali tangan mengibas, dua buah pa nah telah menancap pada
sepasang mata keledai yang menarik kereta Ciauw Cong. Dengan bebenger keras,
binatang itu binal dan me-lonyakdua keatas.
Ciang. Bongkok berlari maju
menuju kebelakang kereta. Dengan sekuat-kuatnya dia tarik kereta itu hingga tak
dapat berjalan lebih lanyut. Siang He Ci dan Siang Pek Ci berdua berada
disebelah kanan dan kiri kereta. Mereka menyerang Ciauw Cong dengan senjatanya.
Dan ketika Ciauw Cong menangkis, Seng Hiap membarengi loncat kedalam kereta
untuk merampas Bun Thay Lay.
Cepat-cepat Ciauw Cong
menghantamnya, tapi Seng Hiap telah miringkan tubuh, gunakan pundaknya untuk
menerima pu kulan lawan, lalu dengan nekad dia membopong Bun Thay Lay. Untuk
melindungi Seng Hiap dari hajaran Ciauw Cong lebih jauh, maka Bu Tim dan Thian
Hong menobros masuk dari belakang dan terus menyerang pung gung Ciauw Cong.
Sedang Tan Keh Lok ajak Sim Hi loncat keatas kereta, dari situ mereka
membungkukkan badan untuk menghantam kebawah. Jadi kini Ciauw Cong diserang
dari semua jurusan, kanan kiri, muka belakang dan atas.
Melihat Seng Hiap dapat menerima
pukulannya dengan tak merasa apa-apa, terkejutlah Ciauw Cong. Dia duga anak
muda itu punya ilmu thiat-po-san. Ketika Seng Hiap nekad merampas Bun Thay Lay,
Ciauw Cong jambak punggung bajunya dengan tangan kiri, sedang tangannya kanan
dia pakai untuk menangkis serangan kedua persaudaraan Siang. Sehabis itu, dia
empos semangatnya untuk melemparkan tubuh Seng Hiap yang besar itu keluar
kereta.
Hwe-Chiu-poan-koan Thio Ciauw
Cong seakan-akan ber mata enam, bertelinga delapan. Dalam keadaan yang genting
itu, tetap dia masih dapat mendengar samberan senjata dari atas pajon dan dari
belakang kereta.
SeCepat-cepat dia Condongkan
tubuh kemuka sembari men dongak, tangan kirinya sudah menyemput serangkum
'hu-yong-Ciam'. Dan dengan miringkan tubuh, dia segera tawur kan jarumdua itu
kepajon dan belakang kereta.
Tan Keh Lok yang mengerti bahwa
musuh tentu melepaskan senjata rahasia, Buru-buru hadangkan tun-Painya kemuka.
Tidak demikian dengan Sim Hi yang terus menyerit dan melorot turun ketanah.
Buru-buru Tan Keh Lok loncat kebawah untuk memeriksanya.
Sehabis itu, Ciauw Cong ganti
mengarah kebelakang kereta. Tapi dengan sebat luar biasa, Bu Tim telah buang
dirinya keluar untuk mendahului samberan hu-yong-Ciam. Karena tak .sesebat itu,
Thian Hong Coba gunakan selimut untuk melindungi diri. Tapi ternyata jarumdua
itu dapat menyusup terus, masuk kedalam, pundaknya. Rasa sakit ke semutan
menyerang dengan hebatnya dan karena tak tahan, terpelantinglah dia kebawah.
Untung Ciang Bongkok keburu menyang gapinya.
„Chit-ko, bagaimana kau?” tanya
saudara angkat itu.
Tapi baru saja bertanya begitu,
dia sendiri rasakan pundaknya sakit bukan main. Ternyata sebatang anak panah
telah memakannya.
„Saudara-saudara sekalian
hendaklah berkumpul rapatdua,” seru Keh Lok.
Dalam pada itu panah sudah
menghambur dari belakang. Sambil sebelah tangannya memegang pundak Bu Tim,
Ciang Bongkok berusaha menangkis hujan panah itu dengan tangan kanannya.
Bu Tim larang si Bongkok
bergerak, lalu menCabut batang panah yang menancap dipundaknya itu, kemudian
dibalutnya dengan robekan ujung bajunya.
Pada saat itu, jelaslah kini
untuk fihak manakah bala bantuan itu datang. Bagaikan arus gelombang, ribuan
barisan tentara Ceng telah menghampiri datang.
Kini semua anggauta HONG HWA HWE
sudah bertempur dengan berkumpul, maka bertanyalah Tan Keh Lok :
„Siapa diantara dua orang dari
saudara-saudara yang sedia menyerbu?”
Bu Tim dan Wi Jun Hwa serentak
menyatakan kesediaan nya.
„Baiklah, kini kita harus
lekas-lekas berpenCar, untuk mundur kebelakang bukit disebelah sana.” Dan
setelah memberi perintah itu, kembali Tan Keh Lok berseru: „Tio samko, Siang
ngo-ko dan liok-ko, kita serang lagi kereta itu !”
Begitulah Bu Tim dan Wi Jun Hwa
menobros hujan panah itu. Dengan tangan kosong, Bu Tim dapat merampas sebatang
pedang, dengan senjata itu dia ikut Jun Hwa untuk membuka jalan darah. Dalam
sekejab saja, kedua nya telah menyusup jauh kedalam barisan musuh. Tapi biar
bagaimana gagahnya kedua jago itu, mereka tak kuasa membendung arus tentara
Ceng yang membanyir itu.
Sebaliknya Ciauw Cong girang dan
bangun lagi semangat nya. Tapi diapun insyap bahwa lukanya berat, dan justeru
seperti yang dikuatirkan, benardua Tan Keh Lok dan Kawan-kawan nya kembali
menyerang lagi. Ciauw Cong tak berani berlaku ajal, terus angkat tubuh Bun Thay
Lay keatas, untuk di bolang-balingkan. Sedang ketika itu berpuluhdua barisan
kuda telah menerdyang Tan Keh Lok dengan goloknya. Apaboleh buat, Keh Lok
berempat segera mundur kebelakang bukit.
Disitu sudah berkumpul lengkap
semua orang HONG HWA HWE Hanya Bu Tim dan Jun Hwa yang masih belum datang. Dan
juga lain rombongan yang terdiri dari Thian Hong, Ciu Ki, Wan Ci, Ciu Tiong Ing
dan Beng Kian Hiong.
Ketika Tan Keh Lok menanyakan
mereka, maka Ciang Bongkok yang masih rebahan ditanah, Cepat-cepat menyahut:
„Chit-ko (Thian Hong) terluka, apakah ia belum kembali? biarlah kususumja.”
Tanpa menghiraukan luka dipundaknya
yang masih belum baik itu, si Bongkok berbangkit, menyembat sepasang kam paknya
terus akan lari. Tapi ternyata masih sempojongaci jalannya. Melihat itu
Buru-buru Ciok Siang Ing menCegahnya dengan mengatakan dia saja yang pergi. Cio
Su Kin se rentak menyatakan mau ikut.
„Cio sipsamte, kau bersama suso
supaya menyerang ketepi sungai, dan sediakanlah perahudua'.” demikian Keh Lok
me la.rang Su Kin ikut Siang Ing menCari Thian Hong.
Hati Lou Ping terasa kosong dan
bingung, tanpa berkata apa-apa ia ikut Su Kin kesana. Sedang Ciok Siang Ing
dengan membekal golok, terus naik kuda untuk berangkat.
Kini daerah pertempuran itu
se-olahdua penuh terisi. dengan tentara Ceng, hingga sukarlah bagi Siang Ing,
dimanakah Thian Hong itu kini sedang berada. Apaboleh buat, dia terpaksa
membuka kepungan musuh untuk menCarinya.
Tetapi belum lagi berapa lama
Siang Ing pergi, Ciu Tiong Ing dan Beng Kian Hiong sudah tampak datang
kebelakang bukit itu. Buru-buru Keh Lok menanyakan kepada Tiong Ing, kemanakah
puterinya. Tiong Ing kaget dan Cemas, dia hanya meng-gelengduakan kepalanya.
Tiba-tiba Hwi Ching pun sibuk sambil membantingdua kaki, katanya: „Muridku
itupun hilang, biar kumenCarinya.”
An Kian Kong menyatakan ikut, Tan
Keh Lok minta Tio Pan San, Siang-si Siang-hiap, Nyo Seng Hiap dan Beng Kian
Hiong berlima untuk menyaga tempat itu, sedang Sim Hi dan si Bongkok yang
terluka disuruhnya mengaso. Habis itu pemimpin HONG HWA HWE tersebut loncat
keatas kudanya terus me nyerbu kedalam barisan pemanah musuh. Sekali memban
dring, bola bajanya telah dapat merobohkan dua orang serdadu pemanah. Dan
seCepat-cepat itu, dia rampas kedua busur mereka.
Dengan bertereakdua barisan Ceng
menyerbu dengan tombak nya. Tapi mereka segera dihajar dengan tiga buah bola
baja dari Tan Keh Lok yang menghantam kian kemari. Pada setiap hantaman,
terdengarlah rintihan dari mereka yang roboh atau terpental busurnya. Sekejab
saja, pemimpin muda itu telah dapat merampas delapan busur, terus melarikan
kudanya mundur.
Tiba-tiba keadaan dibelakang
kawanan barisan kuda itu men jadi kaCau. Dan pada lain saat, tampaklah beberapa
penunggang kuda mengamuk. Yang dimuka, ternyata adalah Bu Tim tojin, yang
gunakan ilmu pedang 'Cui-hun-to-beng-kiam.' Mengikut dibelakangnya adalah An
Kian Kong dan Wi Jun Hwa, Hanya saja yang tersebut. belakangan ini, badan nya
telah berlumuran darah.
Tan Keh Lok kaget tak terkira,
terus maju mengham piri. Melihat bagaimana keempat orang itu mengamuk seperti
banteng ketaton, pasukan Ceng jerih dan terpaksa membuka jalan untuk kasih
mereka lari kebelakang bukit.
Setelah menerimakan busurdua
rampasan tadi kepada Tio Pan San, Tan Keh Lok Buru-buru menengok Jun Hwa.
„Karena kehabisan tenaga, kiu-te
(Jun Hwa) menggigau tak ingat orang,” menerangkan Bu Tim.
Dan betul juga Jun Hwa masih
melantur ber-kaokdua akan membunuh semua tentara musuh itu. Kembali Tan Keh Lok
menanyakan tentang Thian Hong cs. Tanpa men jawab, Bu Tim berbangkit akan pergi
lagi. Tan Keh Lok menambahi keterangannya, bahwa Ciu Ki dan murid dari Liok Hwi
Ching juga belum diketahui berada dimana.
Ketika nampak Bu Tim munCul lagi,
seorang Cian-Cong (pemimpin barisan kuda) maju menombaknya. Tapi dengan sekali
gebrak saja, sambil berkelit dan menabas, Bu Tim telah dapat membikin roboh
Cian-Cong itu. Melihat sang pemimpin binasa, bujarlah sekalian anak buahnya.
Kembali Bu Tim meneruskan menCari Kawan-kawan nya.
Tiba-tiba ia melihat segundukan
tentara tengah ber-tereakdua dengan gemparnya. Rupanya mereka sedang mengepung
se seorang. Cepat-cepat Bu Tim jejak perut kudanya untuk meng hampiri. Kembali
ada seorang Cian-Cong menghadang. Tapi belum sempat membuka mulutnya menegur,
tahu-tahu sinar putih berkelebat dan lehernya telah tersabet pedang.
„Cap-ji-long (Ciok Siang Ing),
jangan takut, ji-komu sudah disini,” demikian seru Bu Tim.
Cok Siang Ing sedang melajani
tiga orang perwira musuh, sedang tentaradua itupun membantu untuk menombakinya.
Siang Ing betul-betul ripuh sekali, untuk sekean lama masih dapat ia bertahan,
tapi lama-lama habislah tenaganya. Tapi ketika mendengar seruan Bu Tim.
seketika kembalilah seluruh semangatnya.
„Sudah dapat menemukan Chitko
(Thian Hong) belum ?” tanyanya dengan gembira.
„Kau serbu saja kemuka, jangan
hiraukan yang belakang,” sebaliknya Bu Tim kedengaran memberi peringatan
padanya.
Siang Ing betul-betul menyalankan
seruan ji-konya itu. Se lagi ia dapat maju kemuka, tiba-tiba dari arah belakang
ter dengar jeritan yang menyeramkan. Siang Ing berpaling kebelakang, dan nampak
ketiga perwira tadi sudah terhampar binasa. Diam-diam dia tunduk akan kelihaian
ji-konya itu.
Tadi hampir setengah harian, ia
tempur ketiga perwira itu, tapi belum dapat keputusan. Tidak disangka, bahwa Cu
kup dengan beberapa gebrak saja, Bu Tim telah dapat membereskan mereka.
Begitulah dengan selamat,
keduanya bisa datang kebelakang bukit. Namun Thian Hong, Ciu Ki dan Wan Ci
tetap belum kelihatan disitu. Sementara itu fihak tentara sudah dapat
mengetahui bukit tempat persembunyian orang-orang HONG HWA HWE itu. Seorang
pat-Cong (perwira) dengan membawa ber-puluhdua anak buah, segera melakukan
sergapan.
Tio Pan San, Siang-si Siang-hiap
dan Beng Kian Hiong adalah achli pelepas senjata rahasia. Begitu busur dijam
bret, maka belasan serdadu itu segera roboh. Melihat itu, Kawan-kawan nya sama
mundur, hanya menyaga ditempat yang agak jauh.
Lalu Keh Lok tuntun kudanya
mendaki keatas bukit dan minta agar Kian Hiong suka bantu memegang les binatang
itu, lalu ia berdiri diatasnya untuk memandang kesekeliling nya. Diketahuinya
bahwa rombongan besar tentara negeri telah berangkat menuju kebarat, dan hanya
meninggalkan beberapa ratus anak buahnya untuk mengepung bukit itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi
terompet, dan sebuah rerotan yang mirip dengan sisik naga kelihatan bergerak
datang. Dari Cahaja obor yang dibawa oleh rombongan tentara itu, tam paklah sebuah
bendera yang tertuliskan huruf besardua: „Ceng-se-tay-Ciangkun Yauw Hui.”
Barisan ini sama me nunggang kuda teji yang besardua. Mereka sama menghunus
sangkur dan tombak. Dan gemerinCingnya gerakannya itu, menandakan bahwa pasukan
itu diperlengkapi dengan baju baja.
Bu Tim makin gelisah, terus akan
keluar lagi untuk men Cari Thian Hong cs. Siang He Ci Coba menCegahnya, namun
tojin itu tetap tak menghiraukan dan terus keprak kudanya.
Kawanan tentara itu Cukup kenal
akan kelihaian sitojin yang selama pertempuran tadi telah berhasil membinasakan
seorang” som-Ciang, seorang yu-kip dan seorang Cian-Cong. Maka serentak mereka
menghujani anak panah.
Bu Tim tarik les kudanya, lalu
memotong kebawah dari samping bukit. Dan sebelum kawanan barisan pemanah sempat
menarik busurnya, tahu-tahu telah diterdyang oleh tojin itu. Buru-buru mereka
menyerang dengan senjatanya.
Bu Tim membolang-balingkan
pedangnya, dan disana sini terdengar jeritan bebrapa serdadu yang kena
terbabat. Se telah dapat menyisihkan barisan pengepung itu, Bu Tim iarikan
kudanya kesana sini memutari daerah pertempuran itu, namun tak juga Thian Hong
kelihatan.
Tiba-tiba sebatang panah menyusup
kearah perut kudanya, dan berbareng dengan robohnia binatansr itu, Bu Timpun
terlempar jatuh. Seorang Cian-Cong Cepat-cepat membarengi dengan tabasan golok,
tapi Bu Tim keburu tendangkan kaki keudara untuk loncat kebelakang pelana
penyerang nya. Sekali sodok, terlemparlah Cian-Cong itu ketanah.
Kini balik kita tengok' pada
rombongan orang-orang HONG HWA HWE yang masih berada dibelakang bukit. Mereka
gelisah me mikirkan Thian Hong. Sekalipun tak dinyatakan, tapi hati
masing-masing sama kuatir jangandua Thian Hong binasa dalam kanCah pertempuran
yang gaduh itu. Sekonyong-konyong terdengar derap kuda berlari datang. Yang
per-tamadua munCul ke-bukit itu, jalah Cio Su Kin, siapa kedengaran ber-kaokdua
dengan kerasnya: „Lekas mundur, lekas, thiat-ka-kun (barisan baju besi) sedang
menyerbu kemari!”
Kiranya Ceng-se tayCiangkum Yauw
Hui menerima firman kaisar Kian Liong untuk memimpin tentaranya kedae rah Hwe.
Agar supaya suku bangsa Hwe itu jangan sam pai keburu menimbulkan huru-hara,
maka 'thiat-ka-kun' itu berjalan siang-malam. Hari itu kebetulan mereka telah
sampai ketempat ini.
Ketika pasukan perintisnya
melapor, bahwa dimuka ada kawanan berandal yang menghadang. Sekalipun jumlahnya
kecil, tapi agaknya berandal itu lihai, hingga telah dapat membinasakan seorang
perwira som-Ciang dan yu-ki.
Yauw Hui titahkan lekas-lekas
mernburu kesana, ia lebih dulu kirim hu-Ciang, wakilnya Ong Pun Liang untuk
memberesi „perampok” itu. Dengan membawa 500 pasukan berbaju baja, Ong Pun
Liang msmimpin penyerbuan. Mengetahui kelihaian barisan itu, Cio Su Kin yang
telah dititahkan untuk menyaga tepi sungai, Buru-buru lari kebukit.
Tan Keh Lok bertindak tegas. Dia
perintahkan untuk me lakukan penyergapan ketepi sungai. Semuanya pun telah
siap. Hanya Ciu Tiong Ing kiranya yang masih memikiri puterinya. Namun apaboleh
buat, dalam suasana pertempuran semaCam itu, kiranya tak ada waktu luang untuk menCarinya.
Beng Kian Hiong, An Kian Kong,
Ciok Siang Ing bergan tian mendorong Wi Jun Hwa keatas kuda. Pada saat
orang-orang HONG HWA HWE sudah siap diatas kudanya, pasukan baju baja sudah
munCul. Untuk menghindari diri dari barisan itu, Siang-si Siang-hiap dan
Kawan-kawan nya| ambil jalan dari sebelah kanan bukit.
„Thiat-ka-kun menggunakan
sin-kiong (panah sakti) yang dahsyat sekali tenaganya. Lebih baik kita tobros
kawanan tentara Ceng itu,” demikian ajak kedua saudara Siang. Dan mereka berdua
segera menjadi pembuka jalan untuk menerdyang .
Kedua saudara Siang itu kini
berganti senjata dengan sebatang golok dan yang satunya memakai tombak.
Begitulah mereka mulai membuka jalan darah, menuju ketepi sungai.
Melihat orang-orang HONG HWA HWE
itu menyelinap kedalam rombongan tentara Ceng, barisan 'thiat-ka-kun' itu tak
berani melepas panah, karena kuatir akan melukai kawannya sendiri. Apaboleh
buat terpaksa mereka mundur. Dengan begitu kini tepi sungai Hoangho itu, penuh
dengan tentara Ceng, barisan 'thiat-ka-kun' dan menyusul orang-orang HONG HWA
HWE
Cio Su Kin terus terjun kedalam
sungai, untuk men Cari perahu. Sedang Lou Ping Buru-buru menambatkan beberapa
buah perahu pada sebuah tempat tambatan. Lebih dulu dia angkut si Bongkok dan
yang luka-luka masuk kedalam perahu. „Ayo, kita lekas-lekas naik perahu!
Totiang, Tio samko, Ciu-loenghiong, mari kita berempat”, demikian seru nyonya
muda itu.
Tapi belum dia sempat menghabisi
perintahnya, sebatang sin-kiong (panah kuat) telah menyambar.
„Celaka!” seru Bu Tim ketika
tampak 'thiat-ka-kun' itu telah tiba dan menyerang.
Keempat tokoh itu, segera
membalik badan untuk tempur barisan istimewa itu. Bu Tim ajunkan pedang
mengarah tenggorokan seorang serdadu 'thiat-ka-kun.' Tapi untuk ke kagetannya,
pedang Bu Tim itu tak dapat menusuk masuk. Kiranya mata pedang tojin itu sudah
agak mandul, apalagi memang baju serdadu itu terbuat dari baja murni. Dan
sebagai pembalasan tombakdua dari barisan 'thiat-ka-kun' itu telah melayang
bagaikan hujan kerasnya.
Bu Tim lempar pedang dan gunakan
tangannya untuk menyampok sebuah tombak, hingga terpental keatas udara. Sedang
Ciu Tiong Ing pun memburu untuk menghantam roboh beberapa musuh. Tio Pan San
yang masih punya be lasan tang-Chi (uang tembaga) dan thi-lian-Ci, Cepat-cepat
me nimpukkan .pada mereka. Namun bagaikan tak kena apa-apa, barisan baju baja
itu tetap menyerbu.
Bu Tim yang pada saat itu telah
dapat merebut sebatang tombak, terus menusukkannya kearah muka seorang dari
mereka, yang seketika itu segera terjungkel. Ternyata hanya bagian badan
tentara itu saja yang ditutup dengan basja, sedang mukanya terdapat lubangdua
untuk mata dan hidung. Oleh karenanya, Pan San kini mengarahkan senya tanya
ke-bagiandua tersebut.
Beberapa orang serdadu
thiat-ka-kun sama menyerit dan menutupi mukanya. Mata mereka telah kena
tertimpuk buta. Sedang orang-orang HONG HWA HWE, selain Tan Keh Lok berempat,
se muanya sudah naik keatas perahu.
Thiat-ka-kun, selain mempunyai
perlengkapan yang istimewa, pun telah mendapat gemblengan istimewa. Betapapun
ganasnya musuh, namun jago-jago HONG HWA HWE hanya berjumlah se-dikit, maka
serdadudua 'thiat-ka-kun' itu tetap maju menyer gap.
Tampak oleh Tan Keh Lok seorang
perwira yang tengah memberikan perintah diatas kudanya, dengan gerakan „bu rung
walet menyelundup keair” Tan Keh Lok berloncatan menghampiri. Perwira itu,
adalah hu-Ciangkun Ong Pun Liang. Begitu melihat ada sinar putih berkelebat
datang, daripada membuang tempo untuk mengawasinya, dia lebih suka mengajunkan
golok untuk menabasnya. Tapi tabasan nya mengenai tempat kosong, sedang
pergelangan tangannya dirasakan sakit sekali. Malah untuk kekagetannya,
goloknya telah dirampas dan tahu-tahu dia telah dikaet dan dilemparkan ketepi
sungai.
„Tio samko, sambutilah ini!”
teriak Keh Lok.
Cepat-cepat juga Tio Pan San menyang
gapi tubuh si huCiang kun itu, Bu Tim dan Ciu Tiong Ing tahu akan maksud Keh
Lok Cepat-cepat mereka lari ketepi sungai dan segera Pan San lemparkan tubuh
tawanan itu kepada Bu Tim dan Bu Tim meneruskan kepada Ciu Tiong Ing. Yang
belakangan ini, setelah me-lemparduakan tubuh orang beberapa kali keatas, lalu
melemparkan kedalam sungai didekat perahu. Su Kin tertawa gelakdua menyaksikan
kesemuanya itu, dia mem bungkuk untuk menyambret rambut Ong Pun Liang lalu
diangkatnya naik kedalam perahu.
Di-tengah-tengah gegap gempita
tereakan serdadudua Ceng, Tan Keh Lok dan Kawan-kawan nya enyot kakinya
melayang kedalam perahu, yang terus dikajuh ketengah oleh Su Kien dan Lou Ping.
Tentara Ceng segera ber-teriakdua
terus menghujani panah, tapi dapat dipunahkan oleh orang-orang dalam perahu
itu. Dibawa oleh arus sungai Hoangho yang sedang naik airnya itu, sekejap saja
dua perahu yang memuat orang-orang HONG HWA HWE itu sudah hampir hilang dari
pemandangan. Karena tak berdaya, pasukan Ceng itu terpaksa pulang dengan tangan
kosong.
Diantara yang terliika senjata
rahasia, ternyata si Bongkok yang paling berat sendiri. Sedang Sim Hi yang
terkena jarum, dasar boCah, me-ngiangdua tak berhentinya. Sebagai acini senjata
rahasia, Pan San pun achli juga dalam me ngobatinya. Kawan-kawan nya yang
terluka itu telah ditolong se periunya. Selama dalam perjalanan “itu, Lou Ping
seperti orang kehilangan semangat. Dia pikiri suaminya yang masih diCengkeram
dalam kuku garuda, disamping itu Thian Hong, Ciu Ki, Hwi Ching dan muridnya
serta Hi Tong, belum di ketahui dimana rimbanya.
Suasana dalam perahu itupun,
tampak bermurani sedih. Tan Keh Lok totok jalan darah Ong Pun Liang supaya
tersedar, lalu ditanyainya tentang tujuan pasukan 'thiat-ka-kun' itu. Karena
masih gelagapan, Pun Liang tak dapat menyawab, hal mana telah menimbulkah
kemarahan Seng Hiap yang memberi persen sekali gaplokan.
„Ayo, kau bilang lekas,” bentak
sipegoda besi itu.
„Ja, ja, aku bilang ja, bilang
apa ?” sahut pembesar sial itu gelagapan.
„Untuk apa pasukanmu berjalan
siang dan malam itu ?” bentak Keh Lok.
„Ceng-se tayCiangkun Yauw Hui
menerima firman untuk selekasnya menggempur daerah Hwe, karena kuatirkan orang
Hwe keburu mengendus berita dan terus mengadakan persiapan, maka kami harus
berjalan Cepat-cepat ,” pembesar itu mengaku.
„Rakjat Hwe selama ini patuhdua
saja, mengapa akan di serang ?” tanya Keh Lok pula.
„Entahlah, ini aku tak
mengetahui,” kata Ong Pun Liang.
Karena itu Keh Lok mengadakan
analisa dari jumlah pa-sukan 'thiat-ka-kun,' jalan yang ditempuhnya dan maksud
gerakan itu. Dan Ong Pun Liang memberi keterangan dari apa yang diketahuinya.
„ Perahu, menepi !” tiba-tiba Keh
Tok berseru keras-keras.
Begitu perahu rapat pada tepi,
rombongan orang HONG HWA HWE loncat kedarat. Pada saat itu aruspun makin
menghebat. Keh Lok perintah Seng Hiap mengawal Pun Liang, lalu ka tanya kepada
Siang-si Siang-hiap :
. „Ngo-ko dan liok-ko, harap
kalian kembali kesana lagi. Awasilah keadaan Bun-suko dan Carilah Chit-ko dan
Ciu-sioCia serta Liok-locianpwe dan muridnya. Dan kalau sam pai mereka ada yang
kena apa-apa, ah, rupanya itupun sudah takdir.”
Kedua persaudaraan Siang itu
mengiakan serta berangkat kearah barat.
„Capji-ko, aku akan minta tolong padamu,”
kata Keh Lok pada Ciok Siang Ing seraja terus menulis sepuCuk su rat. „Tolong
serahkan surat ini kepada Bok To Lun loeng hiong dari suku Wi itu. Sekalipun
baru berkenalan, tapi tak boleh kita biarkan mereka teranCam bahaja. — Suso,
pinyamilah kudamu itu pada Capji-ko.”
Lou Ping menuju kehaluan perahu
untuk menuntun kudanya. Kalau semua orang HONG HWA HWE telah sama meninggal kan
kudanya, adalah Lou Ping yang tetap tak mau berpisah dengan kuda yang disayang
inya itu. Demikian dalam dua hari saja, sampailah Siang Ing kedaerah Wi.
Setelah men dengar kisikan pimpinan HONG HWA HWE itu, Bok To Lun tak berani
berlaku ajal dan mempersiapkan penyagaan seperlunya.
Rombongan HONG HWA HWE itu
meneruskan pelajarannya lagi hingga dua0 lie jauhnya. Setelah sampai ditepian
sana, Keh Lok ajak semua saudara-saudaranya mendarat, tapi lebih dulu di
suruhnya Su Kin ikat eratdua huCiangkun Ong Pun Liang di dalam perahu, perahu
mana didorongnya supaya berlajar terus ditengah sungai.
Kini kita tengok keadaan Ciu Ki
yang telah ketinggalan dari rombongannya itu. Ia tetap bertempur dengan gagah
nya, Beberapa serdadu telah dirobohkan. Tapi tentara Ceng itu makin lama makin
bertambah jumlahnya. Karena gu gup, nona tersebut. segera keprak kudanya untuk
loloskan diri. Tapi baru berselang tak berapa jauh, kembali dia berpa pasan
dengan serombongan tentara. Ia tak mau menempur nya, dan memutar balik lagi.
Dalam kegelapan malam itu, entah terkena benda apa, tiba- kuda itu tersrimpet
jatuh. Sedang nona itu sendiri, karena sudah Cape dan gelisah, tak kuasa untuk
menahan diri lagi, terus ngerusuk terlem par kebawah. Kepalanya terbentur tanah
keras-kerasdan ping sanlah ia. Syukur karena gelap, serdadudua Ceng tak dapat
mengetahuinya.
Entah sudah berselang berapa
lama, ketika membuka mata, ia rasakan mukanya sejuk sekali terkena tetesan air
yang menurun dari kepalanya. Kiranya malam itu turun hu jan. Dengan serentak
dia loncat bangun, tapi seCepat-cepat itu ia melihat ada seorang didekatnya,
tanpa pikir golok disam bernya terus hendak ditabaskannya. Tapi serentak,
keduanya sama menyerit kaget. Kiranya orang tersebut. bukan lain ialah
Bu-Cu-kat Ji Thian Hong.
„Nona Ciu, mengapa kau disini ?”
tanya pemuda itu.
Sekalipun biasanya ia sangat
membenCi, tapi dalam keadaan seperti waktu itu, girang jugalah Ciu Ki.
Sampaidua ia menguCurkan air mata.
„Ayahku dimana ?” tanyanya
kemudian.
Tiba-tiba Thian Hong memberi
isjarat supaya menelungkup ketanah karena ada musuh mendatangi. Begitulah
dengan merajap, kedua orang itu bersembunyi dibalik segundukan tan ah.
Ketika itu sudah hampir fajar,
jadi mereka dapat melihat jelas pemandangan disekitar situ. Dilihatnya
berpuluhdua serdadu Ceng tengah menggali lobang untuk mengubur Kawan-kawan nya
yang telah meninggal itu sambil tak putus-putusnya penyumpahi dan me-maki-maki.
Selesai dengan itu, seorang
kepalanya berseru : „Tio Tek Piauw, Ong Seng, Coba kau lihat disekitar sana
masih ada majat kawan kita atau tidak ?”
Kedua serdadu itu berdiri diatas
tempat yang agak tinggi. Mereka melihat Thian Hong dan Ciu Ki berdua tertelung
kup di tanah.
„Masih ada dua lagi disana '.”
seru kedua serdadu itu.
Dianggap majat, Ciu Ki marah
sekali, terus akan loncat bangun. Tapi Buru-buru Thian Hong menCegah untuk me
nunggu sampai mereka menghampiri. Kedua serdadu itu datang dengan membawa
sekop. Ciu Ki dan Thian Hong terus pura-pura seperti orang mati. Begitu kedua
musuhnya sudah dekat, dengan sebat ditusuknya dengan golok. Tanpa berkaok lagi,
putuslah jiwa kedua serdadu yang malang itu.
Karena sudah sekean lama tak
kembali, maka pat-Cong (perwira) itu sambil memaki melarikan kudanya menyusul.
„Kau jangan bersuara, akan
kurampas kudanya,” bisik Thian Hong.
Ketika melihat kedua serdadunya
binasa, terkejutlah pat Cong itu. Dia akan bertereak, tapi Thian Hong sudah me
lesat dan menabasnya. Karena tak sempat melolos senjata, pat-Cong itu pakai
tali lesnya untuk menangkis. Tapi seperti batang pisang, les dan kepala
pat-Cong itu segera meng gelinding ketanah.
Cepat-cepat Thian Hong teraki Ciu
Ki untuk loncat keatas pelana kuda, sedang ia sendiri membuntuti dari belakang
dengan ber-laris.
Sementara itu, rombongan
serdadupun sudah mengetahui dan mengejarnya. Lari belum berapa jauh, pundak
Thian Hong yang terkena jarum dari Ciauw Cong itu makin te rasa menghebat
sakitnya. Karena tak tertahan, dia jatuh pingsan. Bumdua Ciu Ki menghampiri
batik. Dia loncat tu run, lalu diangkatnya tubuh Thian Hong keatas kuda terus
dilarikan se-kentyang duanya. Rombongan serdadu Ceng itu ber-tereakdua
mengejarnya, tapi sudah ketinggalan jauh.
Setelah jauh, barulah Ciu Ki
kendorkan larinya. Dilihatnya muka Thian Hong puCat seperti kertas dan napasnya
sangat lemah. Apaboleh buat, ia terpaksa merangkul ping gang orang yang
dibenCinya itu supaya jangan jatuh, dan terus melarikan kudanya kesebuah
jalanan kecil.
Tiba-tiba didepan membentang
sebuah hutan, kesitulah nona itu menyusup. Ia turun sedang Thian Hong
ditaruhnya diatas pelana kuda yang dituntunnya pelan-pelan buat menCari
kesebuah tempat untuk mengaso.
Ia lihat Thian Hong masih belum
sadar, setelah berpikir sejenak, tak dapat lagi ia sungkan tentang prija dan wa
nita, terpaksa ia pondong pemuda itu dan diletakkan pada suatu tanah rumput, ia
sendiripun berduduk buat mengaso dan membiarkan kudanya makan rumput.
Seorang nona yang berusia belum
ada dua0 tahun, tapi kini seorang diri berduduk dirimba sunyi, orang didepannya
ini mati atau hidup masih belum bisa diketahui, karena tak berdayanya itu,
tanpa tertahan Ciu Ki menjadi berduka terus menangis tersedu-sedu, air matanya
setetesdua membasahi mukanya Thian Hong.
Sesudah dibaringkan ditanah
sejenak, lambat laun Thian Hong telah siuman, muladua ia menyang ka hari hujan
lagi, tapi ketika matanya pelahan dibuka, tiba-tiba dilihatnya sebuah wajah
yang manis dengan sepasang mata bendo merah tepat berhadapan dengan dia, air
mata orang masih terus menetes kemukanya.
Thian Hong merengek karena pundak
kirinya terasa sakit pula, ia menyerit aduh.
Meiihat orang telah mendusin, Ciu
Ki menjadi girang, tiba-tiba ia lihat air matanya sendiri berketesan pula
dipipi orang, lekas-lekas ia keluarkan saputangan untuk membersih kannya. Tapi
baru saja tangannya diulur, mendadak ia ter sadar dan ditarik kembali lagi.
„Kenapa kau jadi merebah
didepanku sini, mestinya se dikit kesana,” demikian ia malah salahkan orang.
Thian Hong tak menyawabnya, tapi
merengek pula dan meronta hendak bangun.
„Sudahlah, bolehlah kau merebah
disini,” kata sigadis pula. “Dan bagaimana kita sekarang ? Kau adalah
'Bu-Cu-kat,' ayah selalu bilang kau banyak-banyak tipu akal, nah, sekarang kau
berusahalah !”
„Pundakku lagi sakit tidak
kepalang, apapun aku takbisa berpikir lagi. Nona, Cobalah, tolong kau
memeriksanya,” kata Thian Hong.
„Aku tak mau,” sigadis. Namun
demikian, toh tidak urung ia berjongkok buat memeriksanya, Setelah dilihatnya
sejenak, lalu katanya pula: „Ah, baik-baik saja tiada apa-apa, pula tak
berdarah.”
Thian Hong bangun berduduk,
dengan ujung golok dita ngan kanan ia sobek sebagian kain baju dipundaknya,
lalu ia sendiri melirik untuk memeriksanya. „Rupanya disini terkena tiga buah
jarum emas hingga sampai meresap ketu langku.”
„Lantas bagaimana baiknya ?”
tanya Ciu Ki. „Marilah kita kekota untuk menCari tabib.”
„Jangan,” sahut Thian Hong.
„Semalam sudah terjadi ributdua, siapa lagi penduduk kota yang tak tahu, dengan
dan danan kita ini, pula menCari tabib buat mengobati luka, apakah ini bukan
'ular menCari gebuk' ? Sebenarnya jarum ini harus dikeluarkan dengan batu
penyedot (besi semberani), tapi kemanakah harus menCari benda ini. Sudahlah,
silahkan kau pakai golokmu untuk membelih daging pun dakku dan menCabutnya
keluar.”
Meski sudah bertempur sengit
semalaman dan tidak sedi-kit musuh yang dibunuhnya, tapi kini bila Ciu Ki
diharus kan membelih daging dipundaknya Thian Hong, hal ini malah bikin sigadis
menjadi ragudua.
„Aku sanggup bertahan, lakukanlah
nanti dulu,” kata Thian Hong lalu menyeberet beberapa potong kain bajunya dan
diserahkan pada sigadis dan menanya : „Apakah kau membawa geretan?”
Ciu Ki Coba merogoh kantong
senjata rasianya, lalu jawabnya: „Ada, buat apakah?”
„Kau kumpulkan sedikit rumput
atau daun kering untuk dijadikan abu, sebentar bila jarumnya sudah diCabut, abu
itu untuk memoles lukanya, lalu dibalut dengan potongan kain,” kata sipemuda.
Ciu Ki kerjakan apa yang dipinta
itu, ia kumpulkan ba nyak rumput dan daun kering hingga menghasilkan setum
pukan besar abu.
„Sudah Cukup, abu sebanyak-banyak
itu Cukup untuk seratus luka rasanya,” ujar Thian Hong tertawa.
Siapa tahu sigadis mendadak
ngambek. „Ja, ja, memangnya aku sibudak tolol, baiknya kau lakukan sendiri
saja!” demikian omelnya.
„Ja, sudah, anggaplah aku salah
omong, jangan kau marah, nona,” sahut Thian Hong tertawa.
„Hm, kaupun bisa mengaku salah?”
jengek sigadis. Ha bis itu, dengan tangan kanan ia angkat goloknya dan tangan
kirinya Coba me-rabadua pundak orang untuk menCari dima na tempat jarum itu
menancap.
Tapi dasar anak gadis, baru
pertama kali inilah tangan bersentuhan dengan tubuh lelaki, maka begitu 'kontak'
seketika juga ia tarik kembali lagi, saking malunya hingga seluruh wajahnya
merah.
Melihat orang mendadak malua,
Thian Hong menjadi heran. „Eh, apa yang kau takuti?” tanyanya.
„Apa yang kutakuti? Kau
sendirilah yang takut. Berpa ling kesana, jangan memandang kemari!” sentak
gadis itu.
Betul juga Thian Hong berpaling
kearah lain. Lalu Ciu Ki penCet keras-kerasdaging pundak orang dimana jarum
menancap, ujung goloknya ia tusukkan dan pelahandua diko rek sedikit, segera
juga darah segar mengalir.
Dengan kertak gigi Thian Hong
bungkam dalam seribu basa untuk menahan sakit, keringat ber-butir-butir bagai
kede lai besarnya memenuhi jidatnya.
Setelah Ciu Ki korek sedikit
daging pundak, ekor jarum itupun lantas kelihatan, ia Cepit dengan dua jarinya
terus dengan Cepat-cepat diCabut keluar sebuah.
Wajah Thian Hong puCat lesi bagai
kertas, tapi ia masih Coba berkelakar. Katanya: „Sayang jarum ini tak ber mata
dan tak bisa disusupi benang, kalau tidak, ha, kebe tulan dapat dihadiahkan
pada nona untuk menyulam.”
„Huh, aku justru tak bisa
menyulam,” sahut Ciu Ki. „Tahun lalu mak (ibu) pernah suruh aku belajar, tapi
baru sekali-dua tisikan aku sudah patahkan jarum, bahkan su teranya pun
tersobek. Mak mengomeli daku, aku bilang : ,Mak, aku tak bisa, ajarkanlah
daku'. — Dan tahukan kau apa dia bilang, Coba kau terka?”
„Tentu saja ia bilang : ,Mari
sini, aku ajarkan kau',” kata Thian Hong.
„Mana bisa, ia justru bilang:
,Aku tiada tempo'. Bela kangan baru kuketahui bahwa ia sendiri ternyata juga
tidak bisa menyulam,” demikian sigadis menerangkan.
Thian Hong ter-bahakdua geli, dan
tengah mereka berCa kap, kembali sebuah jarum dapat diCabut lagi.
„Kemudian aku berkeras minta ibu
mengajarkan pada ku,” tutur Ciu Ki lebih lanyut, „dan karena sudah kewa lahan,
achirnya ibu berkata: 'Awas, jika berani rewel lagi, biar aku bilangkan ayahmu
menghajar kau'. Iapun bilang:
'Kau tak bisa menyulan, hm, lihat
saja kelak sampai disini tiba-tiba sigadis tak meneruskan lagi.
Kiranya waktu itu ibunya berkata:
lihat saja kelak kau tak mendapatkan ibu mertua.” — Tentu saja kata-kata begitu
tak enak diketahui Thian Hong, maka mendadak ia tak melanyutkan.
Siapa duga Thian Hong justru
masih ingin tahu, maka ia mendesak: „Lalu, ia bilang 'lihat saja kelak' apa
lagi?”
„Ah, jangan tanya sudah, aku tak
suka banyak-banyak Cerita pula,” sahut sigadis.
Dan sembari berCakap, tanpa
berhenti ber-turutdua Ciu Ki sudah menCabut keluar semua ketiga jarum itu, ia
poles luka itu dengan abu yang tersedia dan dibalut pula dengan kain.
Apabila dilihatnya pemuda itu
meski terluka dan menderita sakit tidak kepalang, tapi masih sanggup berkelakar
tanpa merintih sedikitpun, mau-tak-mau diam-diam Ciu Ki pun menga guminya.
„Sungguh tidak nyana meski tubuhnya pendek, tapi ternyata seorang ksatria
benardua. Coba kalau aku, bila ada orang mengkorek dagingku, mungkin sejak
tadidua aku sudah berteriak memanggil ibu!” demikian ia membantin.
Dan bila teringat pada
ayah-bundanya, tiba-tiba ia menjadi berduka.
Tatkala itu tangannya berlepotan
darah, maka katanya pada Thian Hong: „Kau merebah lagi sementara disini jangan
bergerak, biar aku pergl menCari sedikit air minum.”
Setelah dipandangnya keadaan
tempat itu, lalu gadis itu berlari keluar rimba, tak jauh dapat diketemukannya
sebuah sungai kecil, oleh karena habis hujan lebat, maka air sungai mengalir
dengan derasnya.
Ia menCuCi bersih noda darah
ditangannya kedalam sungai, ketika ia berjongkok ditepi sungai hingga wajahnya
mendadak terCermin didalam air, ia lihat rabutnya serabutan, bajunya basah lagi
kumal, mukanya pun penuh darah dan kotor, hakibatnya tak berupa wajah manusia
lagi, maka pikirnya: „Celaka, wajah seperti setan ini telah dapat dilihatnya
semua.”
Lekas-lekas ia CuCi bersih air
mukanya dan menggunakan air sungai sebagai Cermin, jarinya digunakan sebagai
sisir dan rambutnya lalu dipintalnya menjadi kunCiran, ia raup air sungai pula
untuk diminumnya. Dalam hati ia pikir tentu Thian Hong sangat hausnya, namun
tiada alat wadah air, apa daya?
Setelah bingung sejenak,
tiba-tiba pikirannya tergerak, ia keluarkan satu bajunya dari buntalannya dan
diCuCi bersih, ia rendam baju itu hingga basah benardua, dengan ini ia pikir
dibawa kembali untuk diperas airnya buat minum Thian Hong.
Sementara itu, Thian Hong yang
ditinggalkan, bila tadi ia masih bisa berkelakar dengan sigadis untuk menahan
diri, tapi kini sesudah sendirian, rasa sakit dipundaknya tak tertahan lagi.
Bila kemudian Ciu Ki telah kembali, sementara ia sudah kesakitan hampirdua
pingsan.
Melihat wajah pemuda itu meski
di-bikindua seperti sama sekali tak merasakan apa-apa, tapi dapat Ciu Ki
menduga pasti tidak enak sekali, karena itu, rasa kasih sayang seketikapun
timbul. Ia suruh Thian Hong mengap, lalu air bajunya yang basah itu diperasnya
kedalam mulut orang, habis itu dengan lirih ia menanya: „Apakah sangat sakit?”
Belum pernah Ciu Ki bersuara
begitu halus terhadap Thian Hong, karena itu untuk sesaat pemuda itu terkesima.
Sejak berumur duabelas-1tiga
tahun, Thian Hong sudah luntang-lantung di kangouw, segala maCam penderitaan,
sifat ma nusia yang dingin dan kehidupan manusia yang tak adil telah dirasakan
semuanya. Dan karena godokkan pengalamandua itu, dari benCinya kepada semua
ketidak-adilan itu, tak terasa ia menjadi umbar diri denyg-an, tindak-tanduknya,
yang bebas. Dasar pembawaannya Cerdlk pandai, maka menghadapi segala apa selalu
ia mendahului mengatasi orang, apa yang diaturnya boleh dikata selalu jjtu dan
perhitungannya selalu tepat, oleh sebab itulah ia mendapatkan julukan
„Bu-Cu-kat” atau si Khong Beng. I
Sering sudah dikalangan lkangouw
disaksikannya banyak-banyak tokoh- pahlawan banyak-banyak yang l tergoda _oleh
paras elok hingga berachir dengan berantakan, Weperti saudara angkatnya yang
kedua, yaitu Bu Tim Tojin yang pernah gagal juga dalam perCintaan, kesemuanya
itu selalu dibuat Cermin olehnya dan menjadi pantangan pula baginya. Oleh sebab
itu, meski usianya sudah dikata mendekati masa „jejaka tua,” namun bila
kebentur wanita, selalu ia berusaha menghindarinya se jauh mungkin.
Dalam hal Ciu Ki yang sepanyang
jalan senantiasa setori dengan dia seperti anak kecil, ia justru sengaja juga
gunakan sedikit akalnya untuk menggodanya dan setiap kali selalu ia diatas
angin, tentu saja Ciu Ki digodanya semakin mengkal dan mendongkol. Untuk itu
selalu ia pandang Ciu Ki sebagai lawan pengadu keCerdasan saja, dalam hati tak
pernah ia pikirkan tentang hubungan lakia dan perempuan: siapa duga karena
lukanya, justru „lawan keras” dari ka wannya inilah yang telah menolong dan
merawatnya, karena itu, perasaannya benCi dan jemu tadinya itu kini seketika
lenyap seluruhnya.
Begitulah, maka demi nampak Thian
Hong hanya ter menungs tak menyawab, Ciu Ki sangka orang kembali kurang waras
pikiran lagi, maka Cepat-cepat ia menanya pula:
„Kenapa, kenapakah kau?”
„Sudah banyak-banyak baik,” sahut
Thian Hong kemudian tertawa sesudah tenangkan diri. „Terima kasih
banyak-banyakdua padamu.”
„Hm, aku tak inginkan terima
kasihmu,” sahut sigadis tiba-tiba .
Kembali Thian Hong tertegun, tapi
segera iapun berkata: „Tempat ini bukanlah semestinya, marilah kita pergi
menCari rumah orang untuk membeli sedikit makanan, apakah kau membawa uang?”
„Tidak bawa, uangku berada pada
ayah semua,” sahut Ciu Ki. „Dan kau?”
„Buntalanku pun hilang dalam
pertempuran,” kata Thian Hong mengkerut kening. „Sudahlah, kita jangan pergi ke
kota, tapi menCari rumah penduduk yang sepi dan bilang saja kita berdua adalah
kaka beradik”
„Kakai beradik?” Ciu Ki menegas.
„Dan aku harus me manggil kau koko (kakak)?”
„Ja, tapi kalau kau merasa usiaku
jauh lebih tua, boleh juga kau panggil saja enCek (paman),” ujar Thian Hong.
„Fui, kau sesuai?” semprot
sigadis. „Baiklah, biar aku panggil kau koko saja, tapi hanya terbatas
dihadapan orang, bila tiada orang aku tak mau panggil.”
„Sudah tentu,” kata Thian Hong. „Dan
panggilan apakah padaku bila tiada orang lain?”
Karena pertanyaan itu, Ciu Ki
menjadi bingung, ia pikir, selama ini memang ia tak pernah memanggil sesuatu
yang benar padanya, bila bertemu saja mereka sudah lan tas bertengkar mulut.
Maka jawabnya: „Panggil apa? Hm, aku justru takmau panggil sama sekali.”
„Baik, baik, takmau panggil ja
sudah, “ sahut Thian Hong tertawa. Lalu pesannya: „Dan nanti kita harus kata
kan pada orang bahwa ditengah jalan kita telah kepergok pasukan tentara dan
bekal kita telah dirampas seluruhnya, bahkan kita telah dihajar dan didakwa
sebagai penyahat.”
Begitulah, setelah mereka
berunding baik, lalu Ciu Ki memayang bangun sipemuda.
„Kau tunggang kuda saja, kakiku
tak luka, untuk berjalan tiada halangan,” demikian kata Thian Hong.
„Terus terang saja, tak perlu
pura-pura, lekas kau yang me nunggung, kau pandang rendah wanita bukan?” sahut
sigadis.
Thian Hong tertawa, tanpa
menyawab lagi ia Cemplak keatas kuda, keduanya lantas keluar dari rimba itu dan
me nuju kearah timur melalui suatu jalan kecil.
Tanah didaerah barat-laut
kebanyak-banyakan adalah hutan alas, tidak seperti daerah selatan yang
banyak-banyak terdapat pedesaan, di-manadua terdapat penduduk. Maka sesudah
kedua orang berjalan lebih satu jam, sudah lapar lagi lelah, achirnya dengan
susah payah barulah melihat mengepulnya asap dari Cerubung suatu rumah
penduduk.
Dengan Cepat-cepat mereka menuju
kesana, Thian Hong turun dari kudanya untuk mengetok pintu, sejenak kemudian,
keluarkan seorang nenekdua tua, ketika melihat dandanan kedua orang yang aneh,
wanita tua itu rada heran dan tiada hentinya mengamat-amati.
Segera Thian Hong Ceritakan apa
yang sudah dikarang nya tadi, lalu minta sedikit makanan pada nenek itu untuk
tangsel perut.
„Ai, memang pasukan tentara
negeri bukannya membela rakjat, tapi justru penyakit bagi rakjat,” demikian
nenek itu sambil menghela napas. „Tuan tamu she apakah?”
„She Ciu,” sahut Thian Hong.
Ciu Ki melirik pemuda itu
sekejap, tapi tak buka suara, ia heran kenapa Thian Hong tidak bilang she Ji.
Nenek itu menyilahkan mereka
masuk dan memberikan nya beberapa biji makanan kuwe yang entah apa namanya,
meski barang makanan itu hitam lagi kelihatannya kotor, namun sudah terlalu
lapar, rasanya mereka seperti sedang makan makanan yang paling lezat.
Nenek itu mengaku she Tong,
karena puteranya tak mampu membajar sewa tanah hingga telah dihajar oleh tuan
tanah, pulangnya dari sedih ditambah luka pukulan, tidak lama, lantas
meninggal. Dan menantu perempuannya yang masih muda karena pendek pikiran, pada
malamnya pun menggantung diri menyusul sang suami, tinggal sinenek yang kini
hidup sebatangkara.
Begitulah nenek itu sambil
menutur sembari menguCur kan air mata.
Karuan Ciu Ki menjadi gusar oleh
Cerita itu, segera ia tanya siapa nama tuan tanah itu dan tinggal dimana.
„Keparat itupun she Tong,
dihadapannya orang menyebut nya Tong-lakya dan Tong-siuCay, tapi dibelakangnya
orang menyebutnya 'Tong-li-pi-siang' (warangan didalam gula), nama sesungguhnya
akupun tak tahu,” demikian sinenek menerangkan. „Ia tinggal dikota, gedungnya,
adalah yang paling besar dikota itu.”
„Kota apa? Dimana jalannya?”
tanya Ciu Ki.
„Kota itu, dari sini kira-kira
lima li keutara, sesudah menye berang jalan besar, lalu dua0 li lagi ketimur,
dan disitulah rumahnya,' kota itu bernama Bun-kong-tin,” kata sinenek lebih
lanyut.
Tanpa pikir lagi segera Ciu Ki
berbangkit terus samber goloknya dan berkata pada Thian Hong: „Hai, ko…… koko,
aku pergi sebentar, kau mengaso dulu disini.”
Melihat sikap gadis itu,. Thian
Hong tahu pasti ia akan pergi membunuh manusia she Tong yang dijuluki
„Tong-li-pi-siang” atau warangan didalam gula itu.
Karena itu Cepat-cepat ia
menCegah, katanya: „Jangan kesusu, ingin makan guladua, paling enak kalau malam
!”
Ciu Ki terCengang mendengar
kata-kata tak karuan jen trungannya itu, tapi segera iapun paham maksud orang,
maka ia angguk-angguk dan duduk kembali.
„Nenek,” kata Thian Hong
kemudian, „aku terluka, jalan tidak leluasa, maka ingin minta mondok semalam
ditempat mu sini.”
„Untuk tinggal sin tiada
halangan, Cuma tempat pedu sunan tiada makanan enak, itulah tuan tamu jangan
menyesal,” sahut nenek itu.
„Ah, kalau nenek mau terima kami,
hal itu sudah be-ribudua terima kasih,” kata Thian Hong pula. „Cuma baju adik
perempuanku itu basah kujup, kalau nenek ada baju lawas, sudilah memberi pinyam
sepasang untuk salinnya.”
„Menentu perempuanku ada
tinggalkan pakaian, jika nona tak menCela, boleh diCoba dulu, mungkin masih Co
Cok,” kata sinenek.
Lantas pergilah Ciu Ki menukar
pakaian. Ketika ia keluar, ia lihat Thian Hong sudah tertidur di-baledua
dibekas kamar putera nenek itu.
Sampai hari sudah petang,
tiba-tiba Thian Hong mengigau tak karuan, Ciu Ki Coba pegang jidat orang,
ternyata panasnya luar biasa, mungkin luka pemuda itu telah menyalar menjadi
inpeksi.
MESKI masih hijau, tapi Ciu Ki
insaf juga dalam ke adaan demikian,' Cukup berbahaja, tapi sama sekali ia tak
berdaya dan tak tahu apa yang harus dilakukannya, saking gugupnya, entah gusar
pada Thian Hong atau marah! pada diri sendiri, tanpa tujuan ia angka.t goloknya
mem-baCokdua lantai, sampai achirnya ia mendekap diatas meja dan me nangis
tersedu-sedan.
Melihat keadaan itu, sinenek
merasa kasihan juga takut-takut, maka tak berani maju menghiburnya.
Setelah menangis sebentar,
tiba-tiba Ciu Ki menanya sinenek: „Apakah dikota ada tabib?”
„Ada, ada,” sahut orang tua itu
Cepat-cepat , „kepandaian tabib Cho Su Ping paling hebat, Cuma......... Cuma
lagaknya sangat besar, selamanya tak sudi diundang kepedusunan seperti ini.
Waktu - puteraku sakit, aku bersama menantuku entah menyura berpuluh kali
padanya, tapi sedengkal iapun tak mau dating.”
Mendengar itu, tanpa menunggu
selesai orang menutur, Cepat-cepat gadis itu usap air matanya terus;
berbangkit. „Sekarang juga aku pergi meng'undangnya,” demikian katanya.
„Cuma ko… engkoku itu tinggal
disini mohon kau suka menyaganya baik-baik .”
„Jangan kuatir, nona,” sahut
sinenek. „Tapi, ai sudah terang tabib itu takkan datang.”
Namun Ciu Ki tak mengurusnya
lagi, ia selipkan goloknya disamping pelana terus Cemplak kudanya menuju ke
Bun-kong-tin dengan Cepat-cepat .
Tanpa berhenti ia larikan kudanya
sampai dikota tuju annya itu, sementara hari sudah gelap. Waktu melalui suatu
rumah makan, sajupdua terCiumlah oleh sigadis bau arak yang wangi dan masakan
yang lezat, tak tertahan air liur mengalir, memangnya gadis ini tukang minum,
karuan pe rutnya semakin berkeronCongan. Tapi lantas pikirnya : “Ah, biarlah
aku undang tabib untuk sembuhkan sakithja dulu, soal arak, masa kelak aku tak
bisa minum se-puasduanya ?”
Selagi ia Coba menghibur diri
sendiri, tiba-tiba dilihatnya dari depan mendatangi seorang anak tanggung, Ciu
Ki tanya dimana rumah kediaman tabib Cho Su Ping, habis itu terus ia menuju
kearah yang ditunyuk.
Sampai dirumah orang she Cho itu,
nyata itu adalah suatu gedung Cukup mentereng, temboknya dikapur putih ber sih,
pintunya diCat hitam mengkilat, diatas daun pintu besar itu sepasang gelangan
tembaga digosok begitu bersih hingga bersinar.
Setelah Ciu Ki menggemberong
pintu hampir setengah harian, barulah ada seorang Centeng keluar membuka pintu,
segera pula Centeng itu menegur dengan lagak tuan besar : „He, ada apa,
malamdua gedor pintu, apakah rumah mu kematian orang ?”
Alangkah gusarnya Ciu Ki
mendengar kata-kata Centeng yang kurang ajar itu, baiknya badis ini untuk
sekali ini bisa me nahan diri, ia pikir datangnya untuk meminta pertolongan
orang, tidaklah enak untuk umbar amarahnya, maka dengan menahan perasaan ia
menyawab: “Aku hendak mengundang tabib Cho untuk melihat orang sakit.”
“Tidak ada dirumah,” sahut
Centeng itu ketus, kontan. Habis ini, tanpa banyak-banyak bicara lagi terus
balik tubuh hendak menutup pintu kembali.
Tentu saja Ciu Ki menjadi tak
sabar, sekali Cekal, se ketika Centeng itu diseretnya keluar. “Keparat, lekas
bilang, ia ada dirumah tidak ?” bentaknya segera sambil lolos goloknya.
Karuan Centeng itu ketakutan
setengah mati, hampirdua saja semangatnya terbang ke-awangdua, lekas-lekas ia
menyawab dengan suara gemetar : “Ia ia… benardua ti….. tiada dirumah.”
“Kemana ia pergi ? Lekas bilang
!” sentak sigadis pula.
“Pergi ketempatnya Pek-bi-kui
(mawar putih),” sahut Centeng itu.
„Barang maCam apa Pek-bi-kui
itu?” bentak Ciu Ki sem bari goloknya di-gosokduakan dimuka orang. “Dan dimana
tempatnya ?”
“Pek-bi-kui adalah nama orang,”
kata siCenteng.
“Bohong,” sentak lagi sigadis.
“Masakan ada orang ber nama Pek-bi-kui ?”
Centeng itu menjadi kelabakan,
lekas-lekas ia menerangkan :
“Be……. benar, nona, aku tak
membohongi kau, Pek-bi-kui adalah adalah nama orang, ia seorang wanita 'P' !”
“Wanita 'P' adalah orang busuk,
kerumahnya untuk apa?” bentak Ciu Ki pula dengan gusar.
Sudah takut, geli juga Centeng
itu oleh pertanyaan Ciu Ki itu. Pikirnya, meski wanita ini bengis dan galak,
tapi soal insaniah ternyata sedikitpun tak paham. Ia hendak tertawa tapi tak berani,
terpaksa tak menyawab.
„Kenapa tak menyawab, kau mau
bilang tidak?” bentak Ciu Ki pula meng'anCam.
„Ia adalah 'kawan' baik
majikanku,” sahut Centeng itu achirnya.
Barulah sekarang Ciu Ki paham.
„Fui,” semprotnya sengit. „Lekas bawa aku kesana, tak perlu banyak-banyak
Cerewet !”
Sungguh penasaran Centeng itu
oleh damperatan sigadis, pikirnya: „Kapan aku pernah Cerewet, justru kaulah
yang terus bertanya.”
Namun begitu, dibawah anCaman
senjata mau-tak-mau ia harus menurut, maka katanya kemudian: „Baiklah, biar aku
ambil pelita dulu.”
„Pelita apa lagi?” damperat Ciu
Ki. „Lekas berangkat, sekarang juga, orang sakit keras, kau tahu tidak?”
Dalam mendongkolnya, diam-diam
Centeng itu membatin, se bentar lagi bila sudah ketemu Loya (tuan besar, ma
jikan), pasti akan kukisiki jangan mau pergi, sekalipun dipaksa pergi oleh
perempuan galak ini, harus juga senga ja diberi obat yang tak bisa sembuh.
Tidak antara lama, sampailah
mereka didepan pintu sebuah rumah. „Nah, inilah tempatnya,” kata Centeng itu.
„Lekas ketok pintu, suruh tabib
keluar,” perintah Ciu Ki.
Terpaksa Centeng itu menurut. Tak
lama kemudian se orang induk semang kelihatan membuka pintu.
„Ada orang mengundang Loya kami
untuk melihat orang sakit, aku bilang padanya Lbya tiada senggang, tapi ia tak
percaya dan aku dipaksa; kemari,” tutur siCenteng segera.
Induk semang itu melototi Centeng
itu dengan sengit, habis ini, tanpa buka suara ia gabruki pintu kembali.
Ciu Ki berdiri dibelakang, waktu
ia memburu maju, namun sudah terlambat. Dengan gusar ia gemberong pintu dengan
keras-keras, namun sedikitpun tiada suara dibagian dalam.
Saking gusarnya Ciu Ki angkat
kakinya mendepak pung gung Centeng itu sambil mendamperat: „Lekas kau enyah,
tinggal disini hanya bikin nonamu marah saja !”
Karena depakan itu, si Centeng
jatuh menCium tanah, dengan menahan sakit ia merangkak bangun, sambil meng omel
habis-habisan terus menggelojor pergi.
Menunggu sesudah orang pergi
jauh, sekali enyot tubuh, Ciu Ki melintasi pagar tembok rumah itu, ia lihat
jendela sebuah kamar masih ada, Cahaja lampu, pelahandua ia men dekatinya dan
mendekam dibawah, ia dengar ada suara dua orang lelaki lagi pasang omong. Iaj
basahi kertas jendela dengan air ludah hingga berwujut satu lobang' kecil buat
mengintip, ia lihat didalam kamar terang benderang oleh sinar lilin, satu
lelaki berbadan kekar kuat dan seorang lakidua kurus dyang kung lagi merebah
disuatu, dipan sambil berbi Cara, dan seorang wanita yang bersolek dengan
ber-lebihduaan dan tampak genit lagi memijati paha silelaki kurus.
Dan selagi Ciu Ki hendak
membentak: „Siapa yang ber nama Cho Su Ping, lekas keluar!” — Tapi belum
kata-kata „siapa” diuCapkannya, mendadak dilihatnya silelaki kekar itu mengajun
tangannya, ia menjadi tertegun, sedang wanita genit didalam itu mendadak telah
berdiri sambil berkata dengan tertawa : “Ha,- tentunya akan berunding lagi
dengan kembangan apa untuk menCelakai orang. Buatlah sedekah sedikit guna
anakdua CuCu, bisadua nanti lahirkan seorang bo Cah yang tiada lobang. pantat,
barulah Celaka !”
“BaCotmu kentut!” bentak lelaki
kekar itu setengah. tertawa.
Dengan mesamdua wanita itupun
lalu keluar sembari menutup kembali pintu kamar terus pergi keruangan belakang.
Diam-diam Ciu Ki pikir : “Tentu
wanita inilah yang dibilang Pek-bi-kui (atau mawar putih) itu. Huh, sungguh
hina-dina. Tapi apa yang dikatakannya tadi masih ada benarnya juga, biarlah aku
nanti tidak membunuhnya.”
Sementara itu dilihatnya lelaki
kekar tadi telah menge luarkan empat bongkotan perak dan diletakkan diatas me
ja. “Cho-lauko, inilah dua00 tail perak, kita adalah lengganan lama dan
tentunya puja harga lama,” demikian terdengar ia berkata.
“Tong-lakya,” sahut yang kurus
itu, “beberapa harini pasukan besar melalui daerah sini dan banyak-banyak minta
Catu tentara, hal ini berarti kau Tong-lakya bakal mendapatkan rejeki lagi.”
Gusar dan girang Ciu Ki mendengar
kata-kata orang itu. Girangnya karena Tong-lakya yang berjuluk
“Tong-li-pi-siang” atau warangan didalam gula, yang hendak diCari nya itu
ternyata sekaligus sudah berada disini dan tak perlu banyak-banyak buang tenaga
lagi; gusarnya karena pasukan tentara telah bikin ia banyak-banyak menderita,
tapi orang ini ternyata justru penundyang pasukan tentara itu sembari mengeduk
keuntungan buat diri sendiri.
Sementara itu didengarnya lelaki
kekar tadi menyawab : “Ah, mana, merekapun Cukup liCin, apa kau kira dengan
sukarela mereka mau setor wajib Catu ? Beberapa harini justru aku sudah
mendesak ke-mana^ sungguh bikin orang bisa mati letih.”
“Haha, sekarang dua bungkus obat
ini kau bawa pulang lah,” dengan tertawa kata lagi yang kurus, “rupanya kau
bakal naik sorga betuia. Bungkusan merah ini minumkan saja perempuan itu, dalam
waktu setanakan nasi, pasti ia tak sadarkan diri, tatkala itu, haha, tergantung
kau Cara bagaimana menginginkannya, hal ini tak perlu lagi aku me ngajarkan kau
bukan ?”
Maka keduanya lantas bergelak
ketawa.
Kemudian sikurus berkata lagi:
“Dan yang bungkusan hi tam ini minumkan pada lelaki itu, katakan untuk menyem
buhkan lukanya, tidak lama masuk perutnya segera lukanya akan berdarah terus
mati. Dengan begitu orang lain tentu menyang ka lukanya terlalu parah, siapapun
tiada yang Cu riga padarau. Katakanlah, bukankah tindakan saudaramu ini sangat
jitu ?”
“Ja, ja, jempol, jempol !” sahut
yang kekar tiada hen tinya memuji.
“Tapi, Tong-lakya,” kata si
kurus, “kau benardua ketum plek rejeki, dapat orangnya, pula hartanya, dan uang
jasa saudaramu ini Cuma dua00 tail perak, bukankah ini agak terlalu sedikit ?”
“Ai,» Cho-lauko ini,” sahut yang
kekar, “kita berdua se lamanya bicara blakduaan. Muka betina itu memang
benardua Cantik molek, ia mengenakan baju lelaki, tatkala itu saja aku sudah
tak tahan, belakangan dapat kuketahui se benarnya ia wanita yang menyaru
lelaki, hahaha, daging yang telah dihantarkan sampai diujung mulut masakan
tidak diCaplok, bukankah orang nanti akan mengumpat kakek-moyang 1delapan
keturunanku tak pernah bersedekah ? Dan me ngenai yang lelaki itu, sesungguhnya
tiada 'gemuk' lagi yang terdapat padanya, Cuma mereka datang berdua, kalau yang
betina sudah kumaui, sudah tentu yang lelaki itu tak bisa dibiarkannya hidup
lagi.”
“Eh, bukankah kau tadi bilang dia
ada sebatang seruling dari emas ? Melulu seruling emas ini saja mungkin sudah
beberapa kali beratnya ?” ujar yang kiffus.
“Ja, sudahlah, biar aku tambahi
kau 50 tail lagi,” kata yang kekar. Habis ini ia keluarkan pula osbongkot
perak.
“Dan jika urusan sudah beres, ia
adalah gundikmu yang ke-15, bukan ?” demikian yang kurus achirnya, dengan
tertawa.
Makin mendengar Ciu Ki semakin
gusar, sampai disini ia tak tahan lagi, kontan pintu kamar ia depak dan orangnya
terus menyerbu kedalam.
Dalam kagetnya lelaki kekar itu
telah berteriak, berba reng itu ia masih berani angkat kaklhja hendak menendang
pergelangan tangan Ciu Ki yang membawa senjata. Namun gadis ini mana bisa
keCundang, sedikit ia putar ta ngannya, tahu-tahu goloknya malah menyamber dari
atas hingga mulai betis, kaki orang itu telah kena ditabasnya, menyusul itu
sekali tusuk lagi masuk keulu hati, melayang lah nyawa lelaki kekar itu.
Karuan yang kurus tadi sudah
ketakutan hingga hendak berteriakpun tak sanggup lagi.
Ciu Ki Cabut goloknya dari tubuh
orang yang sudah menggelongsor itu, ia usapduakan goloknya diatas majat itu
untuk bersihkan darahnya, habis itu sekali jambak dada sikurus itu telah
ditariknya dan dibentak : “Apa kau inilah Cho Su Ping ?”
Sikurus itu bertambah takut
hingga kedua. kakinya serasa lemas, orangnya terus tekuk lutut, dan giginya
gemertuk saling beradu. “Am…… ampun nona, ak…… aku tak berani lagi,” demikian
mohonnya dengan gemetar.
“Siapa inginkan jiwamu ? Bangun
!” bentak Ciu Ki.
Dengan gemetar Cho Su Ping
bangkit berdiri, bisadua akan mendoprok lagi saking takutnya.
“Pergi keluar !” bentak lagi
sigadis. Dan tak lupa seka lian ia pindahkan kelima bongkotan perak dan dua
bungkusan obat diatas meja itu kedalam bajunya.
Cho Su Ping tak tahu maksud
tujuan orang menyuruh nya keluar, terpaksa ia keluar dari kamar pelahandua dan
membuka pintu luar.
Mendengar suara orang membuka
pintu, induk semang nya menanya dari dalam, namim Cho Su Ping tak berani buka
suara. Ciu Ki perintahkan orang mengambil kuda tunggangannya sendiri dulu,
kemudian merekapun keprak kuda keluar dari kota itu.
Sepanyang jalan Ciu Ki memegangi
tali kendali kuda orang sambil menganCam : “Asal kau berteriak sedikit, segera
aku penggal kepala anyingmu !”
Karena takut, ber-ulangdua Cho Su
Ping minta ampun dan bilang tak berani.
Tiada satu jam, tibalah achirnya
mereka sampai dirumah sinenek tua itu.
Sepanyang jalan hati Cho Su Ping
terus kebat-kebit saja, ia tidak tahu kemanakah “bandit wanita” ini hendak
membawanya.
Dan sesudah masuk kerumah sinenek
itu, dengan mem bawa pelita orang tua itu telah memapak keluar. Ia menjadi
heran tak terkira bila melihat Ciu Ki kembali dengan membawa Cho Su Ping yang
terkenal pelit itu. Tapi bila teringat olehnya tabib she Cho itu pernah menolak
untuk menyembuhkan anaknya, seketika juga ia marah dan ber duka, maka terhadap
tabib itu ia tak menggubrisnya.
Waktu Ciu Ki mendekati
pembaringan Ji Thian Hong, ia lihat pemuda itu masih tak sadarkan diri, dibawah
sinar lilin wajahnya tertampak merah membara, tentunya suhu panasnya luar
biasa.
Segera juga gadis itu jamberet
Cho Su Ping dan diseretnya kedekat pembaringan. „Aku punya ko…. koko ini
terluka parah, lekas kau menyembuhkan dia,” katanya segera.
Mendengar orang menCuliknya hanya
untuk mengobati orang sakit, barulah separoh rasa takut dan kuatir Cho Su Ping
lenyap, ia periksa mukanya Thian Hong yang panas merah itu dan memegang nadi
orang, ia buka kain pem balut dan periksa lukanya, ia meng-kerutdua kening,
lalu katanya: „Tuan ini sangat kekurangan darah, panasnya membubung.”
„Siapa telaten mendengarkan
obrolanmu,” damperat Ciu Ki tak sabar. „Lekasan kau mengobati dia, kalau tak
sembuh, kaupun jangan harap bisa pulang.”
„Kalau begitu biarlah aku pergi
ambil obat kekota, tanpa obat juga perCuma,” ujar Cho Su Ping.
„Namun, se-bodohduanya Ciu Ki tak
nanti ia bisa diakali. „Hm, apa kau anggap aku ini anak kecil umur tiga?”
demikian jengeknya lantas. „Kau buka resepnya, dan aku pergi mengambil
obatnya.”
Selagi mereka bicara, keadaan
Thian Hong sudah agak baikan, diam-diam iapun mendengarkan perCakapan itu.
Sedangkan Cho Su Ping menjadi
mati kutu, ia tahu harini benardua ia ketemu batunya, terpaksa, .maka jawabnya:
„Jika begitu silahkan nona keluarkan kertas dan pit-nya, biar aku membuka
resepnya.”
Namun ditempat pedusunan
terpenCil seperti ini, darimana ada pit dan kertas tulis? Karuan seketika Ciu
Ki kelabakan tak berdaya. Sebaliknya Cho Su Ping menjadi senang, kata nya:
„Penyakit tuan ini takbisa di-tundadua lagi, aku kira baiknya biar aku pulang
ambil obat saja.”
„MoayCu (adikku),” mendadak Thian
Hong buka suara, „bakarlah sebatang kaju kecil dijadikan arang, lalu tulis
diatas kertas merangpun boleh, kalau masih tidak ada, tulis diatas papan juga
dapat.”
„Ja, ja, benar, memang akalmu
selalu banyak-banyak,” sahut Ciu Ki sangat girang.
Lalu ia menurut membakar sebatang
kaju menjadi arang, sinenek itupun pergi menCarikan seCarik kertas merang yang
sudah kumal. Dan terpaksalah Cho Su Ping harus membuka resepnya.
Menunggu,' sesudah orang selesai
tulis resepnya, Ciu Ki mendapatkan seutas tambang rumput pula terus telikung
kedua tangan sinshe itu dan diringkus eratdua, bahkan kedua kakipun diikatnya
sekalian dan diletakkan disamping pem-baringan Thian Hong, lalu ia taruk juga
golok pemuda itu didekat bantalnya, kemudian barulah ia' pesan pada sinenek
itu: „Sekarang juga aku pergi membeli obat kekota, kalau sinshe (tabib) ini men
Coba lari, lekasan kau bangunkan engkoku, biar ia membaCoknya mampus saja.”
Setelah memesan seperlunya,
lantas Ciu Ki Cemplak kudanya kekota untuk membeli obat. Apabila kemudian ia
mendapatkan sebuah rumah obat dan menggedornya minta diberikan obat menurut
resep, sementara itu ufuk timur sudah remang-remang, fajar sudah menyingsing.
Ia lihat sepanyang jalan banyak-banyak petugas-petugas yang berwira-wiri,
agaknya karena soal pembunuhan manusia yang berjuluk ,.warangan didalam gula”
itu telah diketahui.
Ciu Ki sembunyi disuatu pojok
rumah penduduk, ia tunggu sesudah barisan peronda sudah lewat, barulah ia ke
prak kudanya keluar kota. Setibanya dirumah nenek itu, sementara hari sudah
terang-benderang, lekas-lekas ia masak obat itu dibantu sinenek, ia wadahi
disuatu mangkok kasar dan dibawa kepada Thian Hong, ia bangunkan pemuda itu
untuk meminum obat.
Melihat muka sigadis penuh
keringat dan kotor oleh ha ngus, diatas rambutnya juga banyak-banyak tangkaidua
rumput, seketika Thian Hong menjadi terharu, ia pikir sigadis asal dari
keluarga mampu dan selamanya tak pernah turun ke dapur, tapi kini ternyata
harus memasak obat dan lain-lain, dalam hati ia menjadi sangat berterima kasih,
maka lekas-lekas ia bangun menyang gapi mangkok obat yang disodorkan.
Tapi sebelum ia minum, tiba-tiba
pikirannya tergerak, mangkok obat itu ia sodorkan kepada Cho Su Ping dan
katanya: “Coba kau minum dua teguk dulu.”
Ketika sinshe itu sedikit
ragudua, sementara itu Ciu Ki sudah paham juga maksudnya Thian Hong, maka
ber-ulangdua ia bilang : “Ja, benar, harus dia minum dulu, siapa tahu betapa
jahatnya orang ini.”
Karena terpaksa, Cho Su Ping
mengap menCeguk seba gian obat itu.
“Nah, moayCu, kau mengasolah
dulu, sebentar lagi obat ini baru kuminum,” kata Thian Hong kemudian. “Sebab
apa ?” tanya Ciu Ki.
“Kita lihat dulu ia (Cho Su Ping)
mati tidak,” ujar Thian Hong.
“Benar, benar, jika ia mati, itu
tandanya obat ini tak boleh diminum,” kata Ciu Ki tertawa. Habis ini, ia pindah
kan pelita kedekat mukanya Cho Su Ping sembari matanya yang bundar besar itu
terpentang lebardua untuk mengawasi perubahandua muka sitabib itu.
“Ai, seorang tabib harus punya
rasa tanggung jawab, mana bisa menCelakai orang malah ?” kata Cho Su Ping
tertawa getir.
„Hm, masih berani kau membaCot ?”
sen tak Ciu Ki gusar. “Bukankah kau tadi kasak-kusuk berunding dengan manusia
'warangan didalam gula' itu hendak menCelakai nona orang dan inCar seruling
emas orang lagi, kesemua nya itu sudah kudengar sendiri, dan kini masih berani
kau bermulut manis ?”
Karena itu, seketika Cho Su Ping
tak bisa menyawab. Sebaliknya demi mendengar orang menyebut tentang “seruling
emas”, lekas-lekas Thian Hong bertanya duduknya perkara. Maka berCeritalah Ciu
Ki apa yang telah didengarnya dirumah “P” itu serta terangkan Caranya membunuh
manusia “warangan didalam gula” itu.
Teringat akan itu, lekas-lekas
juga ia pergi memberitahukan sinenek bahwa ia sudah membalaskan sakit hati
putera dan menantunya. Tentu saja nenek itu sangat berterima kasih, saking
terharu sampai ia menangis.
Menunggu sesudah Ciu Ki masuk
kembali, lalu Thian Hong menanya Cho Su Ping pula: “Coba terangkan bagaimana
orangnya yang membawa seruling emas itu dan si apa pula wanita yang menyaru
lelaki itu ?”
“Ja, kalau tidak mengaku terus
terang, biar sekali tusuk aku mampuskan kau dulu,” gertak Ciu Ki sembari Cabut
goloknya.
Karuan Cho Su Ping ketakutan
setengah mati. “Ba…. baik, ak…… aku akan mengaku kem…… kemarin Tong-lakya da……
datang menCari aku, ka………. Katanya rumahnya ke kedatangan dua orang yang me …
meminta mondok, yang seorang terluka, bicara saja tak sanggup, dan yang lain
adalah seorang pemuda tampan. Se…. sebenarnya ia tak mau terima, tapi ketika
melihat pemuda itu Cantik luar biasa, ia lantas terima mereka buat menginap
semalam, kemudian dapat dilihatnya suara pemuda itu lemah lembut,
gerak-geriknya dan sikapnya juga mirip wanita, pula tak mau bersama suatu kamar
dengan lelaki kawannya itu, maka ia jakin pasti orang adalah wanita menyaru
lelaki,” demikian tabib itu menyelaskan dengan suara tak lancar.
“Lalu ia datang padamu untuk
membeli obat, bukan ?” sambung Ciu Ki.
“Ja, itulah salahku,” sahut Su
Ping, nyata ia tak berani pungkir.
“Bagaimanakah maCamnya yang
lelaki itu ?” tanya Thian Hong lagi.
“Pernah Tong-lakya undang aku
pergi memeriksanya,” kata Su Ping. “Ia berusia kira-kira duatiga atau dua4
tahun, berdandan secara sastrawan, tubuh dan pahanya terdapat tujuh—delapan
luka kena senjata tajam.”
“Parahkah lukanya ?” tanya Thian
Hong.
“Lukanya memang parah, Cuma luka
luar saja, kalau dirawat dengan baik-baik , Cepat-cepat saja akan sembuh
kembali,” ujar Su Ping.
Dan karena tiada keterangandua
lain yang bisa diperoleh, Thian Hong tidak menanya lebih jauh, ia angkat
mangkok obat tadi terus diminumnya.
Sehabis minum obat, Thian Hong
tertidur dan keluar ke ringat, petangnya kembali ia minum obat itu lagi semang
kok.
Nyata, meski Cho Su Ping itu
kelakuannya busuk, tapi ilmu tabibnya ternyata sangat pandai, obatnya ternyata
“Ces pleng,” maka lewat satu hari, kesehatan Thian. Hong sudah pulih sebagian
besar dan sudah bisa turun pembaringan.
Lewat sehari lagi, Thian Hong
menduga dirinya sudah sanggup menaiki kuda untuk menempuh perjalanan, maka
katanya pada Ciu Ki : “Orang yang dikatakan membawa seruling emas itu adalah
aku punya Ie sipsute, entah me ngapa ia bisa minta mondok kerumah buaja darat
itu. Dan sesudah buaja itu dapat kau bunuh, mungkin iapun tiada halangan lagi,
Cuma aku tetap belum lega, malam ini juga marilah kita menyelidikinya,
bagaimana pendapatmu ?”
“Ia adalah kau punya Sipsute
(atau Capsihte) ?” sigadis menegas.
“Ja,* pernah ia datang kerumahmu
dahulu, kau sendiripun pernah melihatnya, ialah orang yang per-tamadua disuruh
Congthocu kami pergi menCari berita itu,” Thian Hong menyelaskan.
“O, kiranya dia itu,” ujar Ciu
Ki. “Aku tak tahu kalau dia memiliki sebatang seruling emas, kalau tahu, tentu
aku sudah bojong dia kesini untuk merawat lukanya bersama kau, bukankah hal itu
sangat baik.”
Thian Hong tertawa oleh kepolosan
sigadis. Selang sejenak barulah ia berkata lagi: “Dan siapa lagi wanita yang
menyaru lelaki itu ? Apakah mungkin Suso ?”
Waktu magrib, Ciu Ki mengeluarkan
sebongkot perak bolehnya 'mendaulat' dari meja dirumah “P” itu dan dibe rikan
pada sinenek, sudah tentu orang tua itu tiada habis-habis-nya mengucapkan
terima kasih :
Kemudian gadis itu seret bangun
Cho Su Ping, “srettt...” Cepat-cepat sekali ia lolos goloknya dan tak ampun
lagi sebelah daun kuping tabib Celaka itu telah berpisah dengan tuannya.
“Kau telah sembuhkan engkoku ini,
maka, jiwamu boleh kuampuni, tapi bila kelak diketahui kau berbuat jahat pula,
hm, manusia 'warangan didalam gula' itulah Contohmu,” demikian Ciu Ki membentak
pula.
“Tidak berani, pasti tidak berani
lagi,” sahut Cho Su Ping ber-ulangdua sambil menekap luka daun kupingnya. “Tiga
bulan lagi kami masih akan kembali kesini, tatkala
itu pasti kami akan menjadi
tetamu-mu lagi, sinshe,” ujar Thian Hong.
Dan kembali Cho Su Ping
mengucapkan “tidak berani” ber-ulangdua.
“Kau pakai kudanya, marilah kita
berangkat,” kata Ciu Ki kemudian pada Thian Hong.
Habis itu, mereka keprak kuda
meninggalkan tabib sial itu terus menuju kekota Bun-kong-tin dengan Cepat-cepat
.
Sesudah 4—5 li jauhnya, tiba-tiba
Ciu Ki menanya : “Kena pakah tadi kau bilang tiga bulan lagi kita akan datang
kesini lagi ?”
“Aku sengaja mendustai sinshe
setan itu, agar dia tak berani bikin susah pada sinenek itu,” kata Thian Hong.
Ciu Ki meng-angguk-angguk paham,
tapi belum seberapa jauh, kembali ia bertanya pula : “Kenapa kau selalu begitu
liCin terhadap orang ? Aku tak suka.”
Seketika Thian Hong tak bisa
menyawab, sejenak kemudian barulah ia berkata “Nona tidak tahu bahwa hati
manusia kangouw keji dan berbahaja, terhadap kawan kita boleh mengutamakan budi
dan bajik, tapi terhadap manusia rendah, bila kau baik hati padanya, maka
pastilah kau sendiri yang dirugikan.”
“Tapi ayahku bilang lebih baik
merugikan diri sendiri daripada bikin susah orang,” ujar sigadis.
“Ja, itulah kelebihan ayahmu
daripada orang lain,” sahut
Thian Hong, “sebab itulah bila
orang kangouw menyebut Thiat-tan Ciu Tiong Ing loyaCu, tidak peduli dia dari ka
langan pek-to (kalangan orang baik-baik ) atau hek-to (lapisan bawah, orang
jahat), baik dia orang pemerintahan maupun lok-lim (golongan bandit), tiada
seorangpun yang tidak bi lang ia adalah suatu ksatria sejati yang baik budi,
kami semua sangat mengaguminya.”
“Jika begitu, kenapa kau takmau
belajar seperti ayahku ?” kata sigadis lagi.
„Ciu-loyaCu memang pembawaannya
juCur dan berbudi, orang seperti aku yang banyak-banyak tipu akal aneha mungkin
tak sanggup menCapai seperti dia,” sahut Thian Hong.
“Aku justru jemu pada tabiatmu
yang suka main tipu akal itu,” kata sigadis dengan sengit. “Kata ayahku, asal
kau baika terhadap orang, dengan sendirinya orangpun akan baika kepadamu.”
Mendengar ini, dalam hati Thian
Hong sangat terharu.
“Kenapa ? Kau tak suka pada
kata-kataku bukan ? Dan sedang memikirkan akal untuk mempermainkan aku lagi
bukan ?” tanya Ciu Ki.
“Ah, kau selalu Curiga orang
saja,” sahut Thian Hong.
Begitulah sembari berbicara
ditengah jalan, mereka menjadi tidak kesepian. Sesudah mengalami peristiwa
de-mikian ini, terhadap sigadis itu Thian Hong sudah tentu sangat berterima
kasih, sebaliknya Ciu Ki juga kuatir karena dirinya ada budi kepada orang, maka
orang sengaja suka mengalah padanya, hal ini bikin dia menjadi hati-hati dan
sungkan juga.
“Dahulu aku kira kebusukanmu
telah merusak sampai ke-tulangduamu,” demikian kata Ciu Ki. “Siapa tahu
..........”
“Siapa tahu gimana ?” tanya Thian
Hong.
“Aku lihat kebusukanmu dulu itu
sengaja kau bikindua,” sahut sigadis. “Ja, sebab apakah kau selalu suka
membikin susah padaku ? Aku ini hanya bikin marah kau saja bila kau lihat,
bukan ?”
„Baik-busuknya seseorang
seringkali salah diduga dikala muladua berkenalan, tadinya darimana aku bisa
tahu kau si nona ini sebenarnya berhati sanubari begini baik,” sahut Thian
Hong.
„Waktu itu kau anggap aku sombong
lagi dengki bukan?” ujar Ciu Ki tertawa.
Thian Hong tak menyawabnya,
melainkan tersenyum saja.
Setibanya di Bun-kong-tin, mereka
tambat kuda ditempat yang sepi, lalu mereka mendapatkan rumah kediaman ma nusia
yang disebut „Tong-li-pi-siang” atau warangan didalam gula itu, mereka
melompati pagar dan mengintip kedalam.
Dibagian rumah itu Thian Hong
dapat menangkap seorang peronda, ia anCam peronda itu agar mengaku dimana ada
nya Ie Hi Tong. Saking takutnya, sudah tentu peronda itu tak berani membohong,
ia mengaku bahwa sejak hari itu Tong-lakya dibunuh sinshe Cho Su Ping dirumah
Pek-bi-kui, lantas se-isi rumah kaCau-balau, maka kedua orang yang mondok
itupun lantas pergi tiada orang tahu.
„Mari lekas kita .susul mereka,”
ajak Ciu Ki kemudian pada Thian Hong.
Setelah dua-tiga hari lagi,
ditengah jalan Thian Hong melihat tanda-tanda rahasia yang ditinggalkan Tan Keh
Lok dan diketahui para kawan akan mengumpul dikota Khay-hong, maka lekas-lekas
ia Ceritakan itu pada sigadis.
Mendengar semua orang tiada
terjadi apa-apa, Ciu Ki menjadi girang, pada suatu rumah minum segera ia beli
tiga kati arak dan minum se-puasduanya, besok “paginya ia mendesak Thian Hong
agar perCepat-cepat perjalanan mereka.
Sementara itu luka dipundak Thian
Hong sudah rapat kembali, kesehatannya pun sudah pulih. Sepanyang jalan mereka
mengobrol ketimur dan kebarat, selalu'Thian Hong menCeritakan haldua yang
menarik yang terjadi didunia kangouw, iapun menyelaskan dan mengajarkan segala
pantangan dan peraturan kalangan kangouw umumnya, karena semuanya itu serba
baru baginya, karuan Ciu Ki menjadi sangat ketarik.
„Mestinya sejak duludua kau sudah
harus Ceritakan kesemua ini kepadaku, tapi dahulu kau selalu ribut mulut saja
dengan aku,” demikian katanya.
Suatu hari, tibalah mereka sampai
dikota Tongkwan, mereka menCari hotel dan katanya hotel „Wat Lay” adalah hotel
paling bagus dikota itu, maka menujulah mereka kesana, tapi kamar hotel itu
ternyata tingg'al sebuah saja, Thian Hong Coba memberikan serenCeng uang peCah
sebagai uang sogok pada sipelajan agar ditambahi satu kamar lagi, namun
sipelajan menjadi serba susah, ia tetap bilang kamar lain-lain sudah penuh.
„Entah sebutan apakah tuan dengan nona ini?” tanya pelajan itu achirnya.
„Ia adalah adikku,” sahut Thian
Hong.
„Kalau kaka-beradik, bersama
suatu kamar bukartlah tak apa-apa,” ujar pelajan itu.
Ciu Ki menjadi gusar mendengar
itu, kontan ia mendamperat: „Perlu apa kau banyak-banyak Cerewet “
Namun Thian Hong mendadak menarik
bajunya sebelum ia memaki lebih lanyut, maka terpaksa ia menerima baik meski
kurang senang. Cuma selama bikin perjalanan bersama ini, Ciu Ki melihat
kelakuan Thian Hong selalu sopan santun padanya, tampaknya memang benardua
seorang lakidua sejati, namun bila kini tiba-tiba harus tinggal bersama satu
kamar, mau-tak-mau ia merasa kikuk juga, ia malu dan ragudua. Tapi dihadapan
sipelajan hotel itu terpaksa ia bung kam saja.
Sesudah berada didalam kamar,
segera Thian Hong me malang pintu, pemuda ini memberi tanda agar kawannya
jangan berisik. „Tadi kau melihat itu keparat dari Tin Wan piauwkiok tidak?”
tanyanya kemudian lirih.
„Apa? Kau maksudkan binatang yang
membawa orang menangkap Bun-suya dan mengakibatkan kematian adikku itu?” tanya
Ciu Ki terkejut.
„Ja, sekilas tadi aku melihatnya,
Cuma kurang jelas entah benar tidak, aku kuatir dilihat mereka, maka
lekas-lekas tarik kau masuk sini, biarlah sebentar kita pergi menyelidikinya,”
ujar Thian Hong.
Dalam pada itu pelajan datang
membawakan teh dan menanya sekalian tetamunya ingin dahar apa, sesudah Thian
Hong memesan seperlunya, lalu ia tanya: „Apakah tuandua dari Tin Wan piauwkiok
di Pakkhia itupun menginap disini?”
„Ja, benar,” sahut sipelajan.
„Mereka selalu menjadi lengganan kami bila lewat di Tongkwan sini.”
Dan sesudah pelajan itu berlalu,
kemudian Thian Hong berkata pada Ciu Ki: „Menurut Cerita Suso dan Capsihte,
katanya manusia Tong Siu Ho ini adalah biangkeladinya se gala kejahatan yang
sudah terjadi, maka malam ini jug biar kita bereskan dia dulu untuk membalaskan
sakit hati adikmu dan Bun-suko.”
Apabila ingat atas kematian
adiknya yang menyedihkan itu serta terbakarnya Thiat-tan-Chung, sungguh darah
Ciu Ki menjadi naik, kalau bukan Thian Hong menahan sebisanya, mungkin sejak
tadi gadis itu sudah menerdyang keluar untuk menCari musuh itu.
„Sudahlah, kau mengaso dulu buat
kumpulkan semangat, sebenar tengah malam masih belum terlambat kita kerja kan,”
demikian kata Thian Hong.
Terpaksa Ciu Ki bersabar
sebisanya, tapi belum sampai tengah malam, benar- ia tak tahan pula, ia Cabut
goloknya terus mengajak: „Ayolah, kita mulai !”
Segera Thian Hong membuka!
jendela dan melompat keluar, menyusul barulah sigadis.
„Hati-hati, jumlah mereka
banyak-banyak, mungkin ada jagoan tinggi pula, mari kita menyelidikinya dulu,
kita Cari akal untuk memanCing keluar keparat she Tong itu agar lebih mudah
turun tangan,” demikian kata Thian Hong.
Ciu Ki mengangguk setuju. Lalu
mereka melayang keatas rumah, mereka melihat disuatu kamar sebelah timur sana
masih ada sinar pelita, Thian Hong memberi tanda, mereka berdua melompat turun
ketanah dan dari dua ju rusan mendekati kamar itu. Ciu Ki mendapatkan suatu
lobang kecil dijendela kamar itu terus pasang mata meng intip kedalam.
Selagi Thian Hong dengan senjata
terhunus berdiri di belakang sigadis untuk menyaga, tiba-tiba dilihatnya gadis
itu menegak kembali, habis itu sebelah kakinya mendadak melayang hendak
menendang kearah jendela.
Karuan Thian Hong terkejut,
lekas-lekas ia melangkah maju menghadang didepan sigadis. Sementara itu kaki
Ciu Ki sudah ditendangkan, tapi baru saja melayang sampai didepan dada
sipemuda, tersipu-sipuia tarik kembali kakinya, dan karena gerak kakinya itu
terlalu keras hingga tenaganya seketika, susah direm, tak tertahan ia
terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.
Segera juga Thian Hong sudah
melompat kedekat sigadis dan menanya dengan suara tertahan: „Ada apakah?”
„Lekas turun tangan, ibuku kena
diringkus mereka di-dalam,” sahut Ciu Ki.
„Ha?” kaget luar biasa Thian Hong
oleh keterangan itu.
„Mari lekas kita kembali kamar
untuk berunding.” — Habis ini, ia tarik gadis itu kekamar mereka.
Setiba didalam kamar, Ciu Ki
sudah tak sabar lagi. ,.Berunding apa lagi kau inginkan? Ibuku telah tertawan
keparats itu, mengarti?”
„Sabar dulu, nona, aku tanggung
akan menolong ibumu keluar,” kata Thian Hong. „Ada berapa orangkah mereka?”
„Kira-kira enam-tujuh orang,”
sahut sigadis.
Thian Hong termenung sejenak,
agaknya ragudua.
„Takut apa? Kau tak berani pergi,
biar aku pergi sen dirian,” ujar Ciu Ki.
„Bukannya takut,” kata Thian
Hong.. „Tapi aku sedang menCari akal, harus menolong ibumu, tapi juga harus
membunuh keparat she Tong itu, keduanya harus sekaligus kita lakukan
berbareng.”
„Tolong ibu dulu, keparat itu
dapat dibunuh tidak itu uru san belakang,” kata. sigadis.
Dan pada saat itu juga, tiba-tiba
diluar pintu terdengar suara orang berjalan, lekas-lekas Thian Hong menggoyang
i tangan agar sig'adis diam, maka terdengar seorang berjalan lewat didepan
kamar sambil mulutnya tiada hentinya mengomel, katanya: „Huh, tengah malam
buta, tidak mau sekarat, tapi masih ingin minum apa segala? Bikin orang lain
tak enak tidur. Huh, biar budha memberkati kawanan po-pio (juru kawal) di
tengah jalan ketemukan begal !”
Mendengar lagu suara orang,
tahulah Thian Hong pasti itulah sipelajan yang dibangunkan kawanan piauthau itu
agar mengambilkan arak, maka telah mendongkol dan mengomel. panyang -pendek.
Tiba-tiba tergerak pikiran Thian
Hong, katanya pada Ciu Ki: „Bukankah dua bungkus obat sitabib she Cho itu masih
ada padamu? Sebungkus diantaranya ia bilang bisa bikin orang tak sadarkan diri
bila meminumnya, nah, bungkusan itu lekas kau berikan padaku.”
Sigadis tak mengarti apa tujuan
orang, tapi bungkusan obat itu dikeluarkannya juga. „Untuk apa?”1 tanyanya.
Namun Thian Hong tak menyawab,
hanya tangan orang ia tarik dan diajak melompat keluar kamar lagi.
Setibanya diserambi dapur, pemuda
itu membisiki pula: „Mendekam disini, diam-diam, jangan bergerak.”
Ciu Ki menjadi heran, pikirannya
penuh tanda tanya, ia tak tahu perbuatan apa lagi yang hendak dilakukan pemuda
itu.
Setelah menunggu tak lama dan tak
terdengar sesuatu suara, selagi ia hendak menanya, tiba-tiba terlihat sinar
pelita ber-kelipdua, pelajan tadi telah munCul lagi sembari membawa sebuah
nampan dan tangan lain memegang Cektay (tanCa pan lilin).
Diam-diam Thian Hong siapkan
sebutir batu kecil, setelah dekat Cepat-cepat sekali ia menimpuk dan dengan
jitu api lilin itu mendadak sirap. Karuan pelajan itu menjadi kaget, namun
mulutnya masih mengomel: „Benardua ada setan, baik-baik saja tiada angin
sedikitpun, tapi lilin bisa sirap sendirinya!” — Lalu ia taruk nenampan ditanah
dan membalik pergi buat menyulut lilin lagi.
Menunggu sesudah orang
menghilang, Cepat-cepat Thian Hong melompat keluar, ia lihat diatas nampan itu
ada dua poCi arak, lekas-lekas ia bagi bungkusan obat itu menjadi dua dan
dituang kedalam poCi arak itu.
„Mari sekarang kita pergi keluar
kamar mereka,” ajak nya kemudian pada sigadis.
Dan sebentar saja kembali mereka
berdua sudah mende kam pula dibawah jendela kamar para piauwsu itu. Ketika
Thian Hong mengintip kedalam, betul juga dilihatnya ada seorang wanita setengah
umur dengan kedua tangannya di ikat dibelakang dan berduduk ditanah. Sebaliknya
ada beberapa lelaki sedang berduduk didalam kamar itu sambil mengobrol ketimur
dan kebarat. Ia kenal seorang diantaranya ialah Tiat-pi-peh Han Bun Tiong yang
pernah ditawan Ciang Cin itu dan satu lagi adalah Ci Cing Lun, dan seorang lagi
ialah Tong Siu Ho yang pernah dilihatnya di Thiat-tan-Chung dahulu. Sedang tiga
orang selebihnya ia tak kenal.
Sementara itu didengarnya Tong
Siu Ho itu lagi membual, katanya: „Ha, orang selalu bilang Thiat-tan-Chung
begitu kuat laksana tembok besi dan dinding tembaga, siapa tahu Cukup LoCu
(sebutan diri sendiri secara Congkak) segebung api saja sudah membikinnya ludes
!”
Kata-kata itu dapat didengar Ciu
Ki dengan jelas, ternyata orang yang membakar perkampungannya memang benar ada
manusia she Tong ini.
Dalam pada itu Han Bun Tiong
tertampak bermuka mu ram dan tak bersemangat, ia telah berkata: “Lau Tong,
hendaklah jangan kau me-niupdua ngawur, Ciu Tiong Ing itu aku telah bertemu
ditengah jalan, kalau kita, sebanyak-banyak ini maju sekaligus belum pasti
sanggup melawannya. Kelak apabila sampai ia menCari kepiauwkiok, tentunya baru
kau tahu rasa !”
“Haha, kita selalu dibintangi
rejeki, lihat saja, justru sekarang isteri orang she Ciu itu telah datang
sendiri pada kita, dengan adanya orang jaminan ini, masakan ia berani berbuat
apa-apa terhadap kita ?” demikian jawab Tong Siu Ho.
Sampai disini, sipelajan telah
masuk membawakan ne nampan tadi yang berisi arak dan daharan. Segera saja para
piauwsu itu makan-minum besar, sebaliknya Han Bun Tiong kelihatan muram durja,
tiada hentinya Tong Siu Ho membujuknya minum, katanya : “Ah, Han-toako, seorang
gagah susah juga melawan orang banyak-banyak, kau terjungkal ditangan mereka,
kenapa kau pikirkan terus? Kelak kita pun bisa mengundang kawan yang
banyak-banyak untuk mengha dapi Hong Hwa Hwe mereka seorang lawan seorang untuk
menentukan unggul dan asor.”
„Kalau orang lain satu lawan
satu, tapi kau, Lau Tong, kau melawan siapa ?” tiba-tiba seorang piauwsu
diantaranya menyela.
“Tentu saja aku menCari
isteri-gadis mereka.”
tapi belum selesai perkataan Tong
Siu Ho ini, mendadak ia roboh terguling dipembaringannya.
Karuan semua orang terkejut,
lekas-lekas kawannya mende kati hendak membangunkannya, siapa tahu tiba-tiba
merekapun merasa tangan lemas dan kaki linu, kesemuanya tak bisa berkutik pula.
Melihat sudah berhasil, Thian
Hong menyongkel daun jendela dengan goloknya dan melompat masuk kedalam,
Cepat-cepat saja Ciu Ki pun menyusul melompat masuk, segera pula ia berseru :
“O, mak !” — Dan hanya kata-kata itu saja yang sanggup diuCapkannya, karena air
mata sudah ber CuCuran, lekas-lekas iapun menabas putus tali pengikat ibunya
itu.
Ketika mendadak melihat puteri
kesajangannya, sesaat Ciu-toanaynay hanya ternganga tak sanggup buka suara, ia
sangka dirinya dialam mimpi saja.
Dilain pihak Thian Hong sudah
lantas seret bangun Tong Siu Ho, tanpa berkata lagi ia tubleskan goloknya
keperut manusia itu dan seketika beres nyawanya. Manusia yang hi dupnya selalu
berbuat jahat dan entah sudah berapa banyak-banyak orang yang menjadi
korbannya, harini jiwanya melayang ditangannya 'Bu-Cu-kat' Ji Thian Hong,
dapatlah hal itu dikata sesuai ganyarannya.
Dalam pada itu Ciu Ki menghunus
goloknya hendak membunuh lagi piauwsudua yang lain, namun keburu diCegah Thian
Hong, kata pemuda ini : “Dosa mereka masih belum dihukum mati, biarlah ampuni
mereka saja .!”
Ciu Ki mengangguk menurut, dan
menarik kembali sen jatanya.
Melihat itu, Ciu-toanaynay
menjadi heran ; ia Cukup kenal watak puterinya itu, keCuali kata-kata sang ayah
yang kadang masih diturutnya, tapi kata-kata orang lain tiada lagi yang bisa
menguasainya, apa yang hendak dilakukannya lantas dilakukan. Siapa duga
terhadap kata-kata Thian Hong ternyata ia bisa begitu penurut, sungguh hal ini
agak luar bi asa.
Kemudian Thian Hong menggeledahi
piauwsudua itu dan dapat diketemukannya beberapa puCuk surat, karena tak sempat
buat membaCanya, ia lantas masukkan dulu keba junya. “Mari lekas kita kembali
kamar buat bebenah terus berangkat,” ajaknya lantas.
Cepat-cepat mereka bertiga
melompat keluar kembali kamar sendiri, Thian Hong ringkaskan buntalannya dan
tinggalkan serenCeng uang perak sebagai biaja penginapan, lalu ia pergi
kebelakang menuntun keluar tiga ekor kuda, segera pula mereka kabur kearah
timur.
Melihat puterinya bikin
perjalanan bersama Thian Hong, pula tinggal bersama sekamar, rasa Curiga
Ciu-toanaynay
Semakin menjadi-jadi, dasar
wataknya memang keras, maka kontan saja ia menanya sang puteri: “Dimanakah
ayahmu? Siapakah tuan ini ? Kenapa kau taerada bersama dia ? Kau bertengkar
lagi dengan ayahmu bukan ?”
“Kau sendirilah yang tinggal
pergi karena bertengkar dengan ayah,” sahut Ciu Ki mendadak. “Mak, tentang ini
maukah kau bertanya nanti saja ?”
Tapi kedua ibu dan anak ini
beradat keras semua, maka bicara punya bicara mereka lantas seperti mau
bertengkar. Lekas-lekas Thian Hong datang memisah.
“Hm, semuanya garadua kau, dan
kau masih akan bilang apa ?” demikian omel sigadis.
Mendengar itu, aneh, perasaan
Thian Hong terasa. nik mat sekali, maka ia tersenyum dan menyingkir lagi,
Sedang ibu dan anak itu masih sama-sama bersengut, masing-masing sedang
memikirkan airusan sendiri.
Malamnya mereka mondok dirumah
seorang petani, ibu dan anak itu tidur bersama, disitulah baru Ciu Ki men
Ceritakan pengalamannya, tapi karena tak pandai bicara, sedang sang ibu kesusu
ingin tahu segalanya sampai achir, maka sebentar mereka menangis dan lain saat
sudah tertawa lagi, yang satu ngambek tak mau bicara, yang lain mengomeli sang
puteri tak dengar kata. Begitulah mereka ribut setengah malaman barulah mereka
mengetahui seke dar keadaan masing-masing sejak berpisah.
Kiranya Ciu-toanaynay terlalu
pedih akan kematian pute ra kecilnya yang tewas dibawah tangan ayah sendiri
itu, dalam gusarnya ia telah tinggalkan rumah, muladua ia pergi Ko-lan
menumpang pada seorang pamilinya she Kho, tapi justru tuan rumahnya lagi bikin
perjalanan jauh, nyonya rumah meski melajaninya dengan segala kehormatan, namun
sebab hatinya yang murung itu, sesudah tinggal beberapa hari ia menjadi tak
betah, ia tinggalkan sepuCuk surat dan berangkat pergi dengan kudanya.
Hari itu iapun sampai di Tongkwan
dan dapat dilihatnya panyi Tin Wan piauwkiok dihotel Wat-lay itu, ia menjadi
ingat kata-kata murid suaminya, yaitu Beng Kian Hiong, bahwa biangkeladi yang
menyebabkan kematian putera kesajangan nya itu adalah piauthau dari Tin Wan
piauwkiok yang bernama Tong Siu Ho. Maka malamdua dengan membawa senjata ia
memasuki hotel itu hendak menCari musuh besar itu.
Dan kebetulan sekali dilihatnya
Tong Siu Ho berada didalam, tanpa pikir lagi Ciu-toanaynay menerobos masuk hendak
membalas dendam, namun jumlah orang piauwkiok sangat banyak-banyak, pula
Tiat-pi-peh-jiu Han Bun Tiong terhi tung jagoan tinggi, maka achirnya ia kena
tertawan. Ia sudah pikir dalam keadaan sebangkara itu, pasti nasibnya sekali
ini tak terluput dari kematian. Siapa duga justru) datang puteri kesajangannya
untuk membebaskannya dari mara-bahaja.
Apabila kemudian Ciu Ki
menCeritakan Cara menolong sang ibu dan menuntut balas, kesemuanya adalah tipu
akal nya Ji Thian Hong, maka Ciu-toanaynay merasa sangat berterima kasih kepada
pemuda itu-.
Besok paginya dalam perjalanan
Ciu-toanaynay telah menanyai asal-usul Ji Thian Hong dengan teliti.
“Waktu aku berumur duabelas,
seluruh keluargaku sudah habis diCelakai pemerintah, hanya aku sendiri yang
berhasil lolos,” demikian Thian Hong menutur.
“Kenapa pemerintah menCelakai kau
?” tanya Ciu-toa-naynay.
„Karena putera pembesar itu
penujui enCiku dan hendak mengambilnya sebagai gundik,” kata Thian Hong.
“Padahal enCiku sejak lama sudah bertunangan, dengan sendlrinya ayahku tak
boleh. Karena itu ayahku lantas dipitenah pem-besar itu berkomplotan dengan
perampok, lalu ayah, ibu dan kaka lakidua telah dipenyarakan serhua. Kemudian
enCiku di beritahu jika suka menurut lamaran sipembesar itu, lantas ayah akan
dibebaskan. Cihu (suami enCi) dengan berani menCoba membunuh pembesar itu, tapi
malah dipukul mati opasdua, mendengar kabar itu lantas enCiku menCebur ke
sungai membunuh diri.”
„Apa kau tak balaskan sakit hati
orang tuamu itu?” Ciu Ki menyela dengan marahnya.
„Memang setelah besar dan belajar
silat, aku pulang untuk lakukan pembalasan, tapi musuhku sudah naik pang kat
dan dipindah kelain tempat. Ber-tahundua kuselidiki dia, tapi,Siapakah kini
belum memperoleh hasil apa-apa.”
“Siapakah nama musuhmu itu?”
tanya Ciu Ki.
„Yang kuketahui, dia itu orang
she Pui. Namanya siapa, sayang aku kurang jelas. Mukanya sebelah kiri terdapat
tai lalat. Kalau bertemu dapat kukenalnya,” demikian Thian Hong achirnya.
Maju setindak lagi, Ciu-naynay
tanyakan adakah pemuda itu sudah beristeri.
“Bah, ia orangnya terlalu liCin,
tentu takkan ada sioCia yang menyukainya,” kata Ciu Ki dengan tertawa. “Seorang
sioCia tak pantas omong begitu!” Ciu-naynay mendamprat gadisnya.
„Mak, kau tanya begitu pelit, apa
mau menCarikannya jodoh baginya?” sinona malah tetap menggodanya. „Entah sioCia
yang mana, eh, mungkin adik dari keluarga Kho itu bukan?”
Malamnya sewaktu dihotel,
Ciu-naynay kembali mengata ngatai puterinya.
„Kau seorang gadis berjalan dan
tinggal sekamar dengan seorang pemuda, siapa sih yang mau kawin dengan kau,”
demikian orang tua itu.
„Dia luka, apa salahnya kutolong!
Sekalipun ia orang yang liCin, tapi selama itu ia berlaku aturan padaku,” jawab
Ciu Ki maraha.
„Hal itu hanya kau dan dia yang
tahu. Aku dan ayahmu dapat mempercayai, tapi apakah orang luar bisa menerima
begitu saja? KeCuali seumur hidup kau tak menikah, itu lain perkara. Karena tak
ada Calon suami yang mempercayai keteranganmu itu. Memang begitulah susahnya
menjadi wanita seperti kita ini,” panyang lebar Ciu-naynay menga tainya dengan
pedas.
„Kalau begitu, biarlah aku tak
kawin selamanya!” sikepala keras membantahnya.
Kembali ibu dan anak itu
bertengkar dengan suara keras.
„Sudahlah jangan ributdua, ia
tidur dikamar sebelah, nanti kan malu,” Ciu-naynay Coba meredakan.
“Takut apa, aku toch tidak
berbuat haldua yang tidak pantas, biarkan dia dengar!” teriak sigadis malah.
Ketika mereka bangun pada
keesokan harinya, pelajan masuk membawa sepuCuk surat, katanya dari tamu orang
she Ji yang tidur dikamar sebelah, untuk Ciu-naynay. Ketika Ciu Ki tanya dimana
orang itu, pelajan menerangkan bahwa tadi pagia sekali dia sudah berangkat
dengan naik kuda.
„Mengapa tak kau bangunkan kami!”
bentak Ciu Ki seraja menarik leher baju sipelajan itu.
„Ji-ya itu mengatakan tak perlu,
dan surat ini sebagai gantinya,” kata sipelajan.
Ciu Ki lepaskan Cekikannya, terus
merebut surat itu untuk dibaCanya. Surat itu ternyata pernyataan terima kasih
dari Thian Hong atas pertolongan Ciu Ki. Dan karena sudah dekat dengan kota
Khay Hong, maka dia terpaksa akan berjalan dulu. Dan sekali lagi dia takkan
melupakan budi kebaikan sinona.
Habis membaCa, Ciu Ki tertegun.
Surat dilempar, ia terus masuk kedalam pembaringannya lagi. Ibunya suruh ia
makan dan akan diajak berangkat, sinona tetap tak menghiraukan nya.
„Nona besar, kita bukan di
Thiat-tan-Chung, mengapa masih bertingkah!” bujuk sang ibu. Ciu Ki tetap
membisu.
„Kau salahkan dia yang sudah
berangkat tanpa memberi tahukan kita, bukan?” desak sang ibu lagi.
„Dia berbuat begitu untuk
kebaikanku, mengapa kuharus menyesalinya,” jawab Ciu Ki dengan aseran.
„Habis mengapa kau mengambek?”
tanya ibunya.
„Semalam dia tentu mendengar
pembicaraan kita, karena nya untuk menyaga nama baik kita dari Celahan orang,
dia telah berangkat dulu. Aku kawin atau tidak, perduli apa dengan orang-orang
luar!” teriak Ciu Ki seraja duduk diatas pembaringannya.
Sebenarnya Ciu-naynay memanyakan
puterinya itu. Melihat anaknya menguCurkan air mata, kasihan juga ia. Sebagai
seorang ibu, tahulah ia perasaan apa yang dikan dung puterinya itu terhadap
Thian Hong. Sekalipun mulut tak mengatakan, tapi air matanya Cukup berbicara.
„Kini anakku hanya tinggal kau
seorang. Aku tahu pera saanmu. Nanti sampai di Khay Hong, biarlah ayahmu yang
memutuskan, tentu diapun tak berkeberatan kau bisa terang kap jodoh dengan
Ji-ya itu. Jangan kuatir, serahkan saja pada ibumu ini,” demikian Ciu-naynay
membisikinya. „Siapa yang minta dijodohkan dia? Apa yang kukuatir kan? Lain
kali biar ada orang kelabakan mati dihadapanku, tak nanti aku sudi
menolongnya!” seru Ciu Ki dengan aseran.
Kiranya malam itu dihotel
sebenarnya Thian Hong tengah memeriksa suratdua yang diambilnya dari piauwsudua
Tin Wan piauwkiok. Kiranya surat itu dari pemimpin Tin Wan piauwkiok, Ong Wi
Yang, kepada Han Bun Tiong, dan menyuruh yang tersebut belakangan ini untuk
lekas-lekas datang ke Pak khia berhubung akan ditugaskan mengantar barangdua
ber harga ke Kanglam. Juga diterangkan, bahwa ada kiriman uang sepuluh laksa
tail perak yang disuruh antarkan pada induk tentara pemerintah yang sedang
melawat perang keperbata san barat. Barang itupun dipercayakan pada Tin Wan
piauwkiok, karenanya piauwkiok harus memperkuat pengawalnya dengan beberapa
orang yang berkepandaian tinggi.
Thian Hong menganggap surat itu
tak begitu penting. Dan pada saat itulah tiba-tiba ia dengar lagi Ciu Ki
ributdua dengan ibunya dan beberapa kali menyebut namanya. Setelah didengarnya
jelas, ia merasa tak enak dihati. Karena menolong dirinya, jangandua Ciu Ki
akan dibuat buah tutur orang. Maka ia ambil putusan untuk berangkat sendiri
lebih dahulu.
Setibanya diperbatasan propinsi
Holam, rakjat didaerah sungai Hoangho sama menderita diserang banyir. Diam-diam
Thian Hong mengutuk pembesardua negeri yang hanya memen tingkan diri dan
mengabaikan usahadua menolong rakjat. Dalam hatinya, ia berjanyi, bilamana
gerakkan HONG HWA HWE berhasil memegang tampuk pemerintahan, tentu akan
dikerahkannya usaha untuk mengurangi keganasan sungai itu.
Mengikuti tanda-tanda HONG HWA
HWE dikota Khay Hong, achirnya Thian Hong berhasil mendapatkan Kawan-kawan
seperjoangan ditempat kediaman Bwee Liang Bing, seorang pehdekar dan anggauta
HONG HWA HWE Demikianlah malam itu tuan rumah meng adakan pesta, dimana semua
(robek)
Wi Jun Hwa dan Sim (robek)
Ciok Siang Ing masih belum
(robek)
surat kedaerah Hwe di Sinkiang
(robek)
masih menyirepi tempat dimana Bun
Tha (robek). Cio Su Kin disuruh Tan Keh Lok untuk meninyau keadaan sungai
Hoangho.
Thian Hong tak mau sebutdua
perihal Ciu-naynay dan Ciu Ki kepada Ciu Tiong Ing, karena dipikirnya, dalam
dua hari lagi mereka sudah akan datang. Tapi ia terangkan tentang dirinya Hi
Tong yang menderita luka parah dengan berkawan seorang gadis yang menyaru jadi
lakidua. Katanya: „Bermula kukira kalau suso (Lou Ping), tapi ternyata suso
berada disini.”
Tapi semua orang pun tak dapat
menebak, siapakah nona kawan Hi Tong itu.
Pada hari kedua diwaktu pagi, Ciu
Ki tampak datang ke rumah keluarga Bwe itu. Kembali orang-orang HONG HWA HWE
merasa girang, terutama Ciu Tiong Ing. Setelah sama mengasoh, Ciu Ki
menghampiri Thian Hong dan berkata dengan bisik-bisik: „Kemarilah, aku perlu
bicara padamu!”
Thian Hong merasa bahwa nona
galak itu tentu akan me maki-makinya karena berani berangkat dulu.
„Biar ia maki apa saja, aku akan
tetap tak mau mem bantahnya,” demikian pikirnya.
Dengan ketetapan begitu, ia ikut
sang nona menuju kebelakang.
„Ibuku tak mau ikut kemari, kau Carikanlah
akal bagaimana!” pinta sigadis tiba-tiba .
Thian Hong lega tak terhingga
karena orang ternyata bukan hendak mendamperatnya, maka katanya: „Mintalah
supaya ayahmu suka menemuinya.”
„Ibu pun tak mau menyumpainya.
Ibu marah besar pada nya,” kata Ciu Ki.
Thian Hong termenung sejenak,
lalu serunya girang: „Baiklah; aku ada akal.”
Lalu ia-membisiki beberapa
patahkata pada sinona, siapa segera bertanya: „Apa bisa?” (robek)
pergilah kesana dulu,” kata
(robek)
pat ibunya, Thian Hong kem
(robek)
sekalian saudara angkatnya. Dalam
p(robek)
ekati Ciu Tiong Ing dan berkata
pelan-pelan :
„Ciu-loyaCu, didekat gereja Thiat
Ta Si sini katanya ada sebuah rumah minum yang kesohor dengan araknya. Karena
sudah sampai disini, sebaiknya kita Cobadua buktikan.”
„Baik, aku yang menjadi tuan
rumah. Ayo, sekalian saudara, kita minum kesana,” seru Tiong Ing dengan
gembira.
„Dalam kota ini banyak-banyak
sekali orang-orang pemerintah, kalau kita be-ramaidua pergi tentu kurang
leluasa. Biarkan Cong-thocu dan aku saja yang menemani, bagaimana?” kata Thian
Hong.
Begitulah setelah sama setuju,
mereka bertiga menuju ke Thiat Ta Si.
Rumah minum „Siu Tiok Wan” itu
ternyata memang baik sekali tempatnya. Perabotnya semua rapi bersih. Thian Hong
memilih tempat yang disenanginya. Sambil minum arak dan dahar ikan, mereka
asjik berCerita tentang kissah Sin Ling kongcu dijamari Cian-kok yang mengadakan
perjamuan untuk melaksanakan gerakan besar.
Tan Keh Lok dengan mengelah napas
berkata: „Kegagahan Sin Ling kongcu itu, kini bagaikan arak yang turun kedalam
tenggorokan kita. Sekalipun wujudnya tak tampak lagi, tapi masih tetap terasa
menggetarkan tubuh kita.
Karena pengaruh arak, Keh Lok
tampak bersemangat se kali ketika dia menuturkan semangat Cinta negeri dari sin
Ling kongcu tersebut. Setelah mengeringkan lagi beberapa Cawan maka Thian Hong
mengangkat Cawannya untuk memberi selamat pada Tiong Ing yang sudah bisa
berkumpul lagi dengan puterinya. Tiong Ing hanya menghela napas saja. Kata
Thian Hong, “Ciu LojaCu berduka, apakah karena Thiat-tan-Chung telah terbakar
musnah bukan?” “harta benda adalah barang sampiran, mengapa Thiat-tan-Chung
mesti kudukakan?” sahut siorang tua. “Kalau begitu tentu terkenang akan kongcu
yang telah tiada itu?” tanya Thian Hong lagi.
LANTAS Cui Ki perintahkan pelayan
memindah minumannya kesitu. Kepada ayahnya ia menceritakan, bahwa karena ingin
mencicipi arak terkenaI dari rumah minum itu, ia berke ras ajak mamahnya kesitu
dan kebetulan duduk disebelah dari ayahnya ini. Begitulah ketiga orang itu
berkumpul lagi dan minumdua de ngan gembira sekali, dalam kegembiraan, Ciu-Ki
obrol omongannya, ia ceritakan bagaimana ia dapat membunuh Tong siu ho untuk
balaskan sakit hati adiknya.
Thian Hong memberi isjarat supaya
nona itu jangan te ruskan penuturannya, tapi agaknya Ciu Ki terlalu gembira,
maka katanya pula :
„Memang dia banyak-banyak akal,
sehingga piauwsudua telah dapat dibikin roboh dan kita berhasil menolong mamah
dan mem binasakan orang she Tong itu.”
Segera Keh Lok dan Tiong Ing
memberi selamat pada Thian Hong dengan seCawan arak.
„Memang, enghiong itu dimuliakan
sejak kecil mula. Laote telah menolong isteri dan membalaskan sakit hati
anakku, lohu sangat berterima kasih,” kata Tiong Ing.
„Ah, loyaCu terlalu merendah
saja, ini semua adalah jasa nona Ciu,” tersipu-sipuThian Hong membalas
pernyataan hormat itu.
„Tapi, eh, bagaimana jiwi bisa
saling berjumpa dite ngah jalan itu.?” tanya Keh Lok tiba-tiba .
Thian Hong hanya berkemak-kemik
tak dapat mengatakan jelas. Sedang Ciu Ki mengeluh dalam hati, karena dengan
begitu akan terbongkarlah rahasianya selama itu dengan sianak muda. Tanpa
terasa wajahnya bersemu merah dan ditundukkan kepalanya, karena kikuknya itu,
tanpa disengaja dia telah menyampok jatuh sumpit dan Cawan araknya hingga
berantangan ketanah, hanCur ber-keping-keping. Untuk itu, ia makin maludua.
Keadaan itu tak lolos dari
pengawasan Tan Keh Lok. Dia percaya bahwa antara kedua anak muda itu tentu ada
„apa-apa”nya. Diperhatikannya juga bagaimana pada setiap kali mengatakan Thian
Hong, nona itu tentu menyebutnya „dia” tanpa memanggil namanya. Delapan dari
sepuluh ba-gian, tahulah ketua HONG HWA HWE itu apa yang telah terjadi antara
kedua anak muda itu.
Sekembalinya kerumah keluarga
Bwe, Keh Lok panggil Thian Hong dan katanya : „Chit-ko, kau lihat nona Ciu itu
bagaimana orangnya ?”.
Pikiran Thian Hong Cepat-cepat
dapat menangkap maksud ke tuanya itu, lalu sahutnya : „Congthocu, apa yang nona
itu katakan dirumah arak tadi janganlah kau uwarkan pada lain orang. Dia
berhati jujur dan terus terang. Tapi janganlah hal itu sampai terdengar lain
orang, karena jangandua nanti urusan bisa jadi runyam dan akibatnya kita
menodai nama baik Ciu-loenghiong.”
„Akupun berpendapat bahwa nona
Ciu itu perangainya baik. Bagaimana Chit-ko rasa kalau aku berlaku sebagai..
Comblangnya ?” tanya Keh Lok.
Dengar ucapan itu, meloncatlah
Thian Hong seperti di sengat. „Jangan, jangan sekali-kali hal ini
di-singgungdua. Orang sebagai aku, mana sembabat dijodokan padanya ?” ujarnya
Cepat-cepat .
„Kau tak boleh merendah begitu,
Chit-ko. Kau adalah Bu Cu Kat, 'bun-bu-siang-Cwan' (serba dapat). Namamu telah
menggetarkan dunia kangouw. Juga Ciu-loenghiong me naroh perindahan padamu,”
kata Keh Lok pula. Thian Hong kelihatan mendelong beberapa saat. „Bagaimana ?”
Keh Lok mengulangi pertanyaannya tadi. „Kau tak mengerti, Congthocu. Ia tak
;menyukai aku,” sahut Thian Hong kemudian.
„Bagaimana kau tahu ?” tanya Keh
Lok. „Mulutnya sendiri yang mengatakan begitu. Ia benCi pada adat kelakuanku
yang dikatakan sangat liCin itu. Bermula memang kami selalu bertengkar selama
dalam perjalanan itu,” tutur Thian Hong.
Keh Lok tertawa ter-bahakdua
mendengar itu. „Tapi, kau kan mau artinya ?” ia menegas.
„Congthocu, janganlah
memper-olokdua aku. Kita baiknya jangan Cari perkara,” kata Thian- Hong.
Selagi mereka tengah ber-Cakapdua
begitu, datang pelajan keluarga Bwe yang mengatakan, bahwa Ciu Tiong Ing me
minta supaya Tan Keh Lok suka datang kekamarnya. Dengan tertawa, Keh Lok segera
tinggalkan Thian Hong. Begitu melihat ketua HONG HWA HWE ini datang, Ciu-naynay
dan puterinya lantas menyingkir.
„Aku ada suatu urusan yang
terpaksa membikin repot pada Tan tangkeh untuk memutuskahnya,” demikian Tiong
Ing mulai membuka omongari setelah menyilahkan Tan Keh
„Jadi aku supaya masuk keluarga
she Ciu?” tanya Thian Hong.
„Bukan, hanya apabila kelak kau
mendapat putera, maka yang pertama harus memakai she Ciu, yang kedua dan se
lanyutnya barulah pakai she Ji. Orang kuno mengatakan, bahwa tidak punya
turunan itu, adalah berdosa. Dengan demikian .bukankah kita membalas budi Ciu
loenghiong?” kata Keh Lok.
Merasa berhutang budi pada
sinona, Thian Hong suka meluluskannya Keh Lok lalu mengajaknya kekamar Tiong
Ing, disini Tan Keh Lok minta bicara sendiri dengan Ciu-naynay dan menyampaikan
hal itu. Ciu-naynay sangat girang, sedang Tiong Ingpun wajahnya berseri-seri
sambil meng haturkan terima kasih kepada ketua HONG HWA HWE itu.
Thian Hong berlutut untuk
menyalankan peradatan, tapi Tiong Ing Buru-buru mengangkatnya bangun, katanya:
„Kita ber kelana selalu, tak membawa barang pertanda apa-apa, sebagai gantinya
kuturunkan saja ilmu Thiat-tan-hoat itu padamu, kau rasa bagaimana Ji-ya?”
“Ai, kau ini benardua sudah
pikun, mengapa masih menyebutnya Ji-ya?” tegor isterinya.
Tiong Ing hanya balas tertawa.
Thian Hong sama sekali tak
bermimpi kalau pada hari itu dia mendapat keberuntungan yang ber-limpahdua
begjhu. Dia mendapat seorang isteri yang Cantik, dan mendapat warisan dari ilmu
senjata yang begitu kesohor. Buru-buru dia berlutut menghaturkan terima kasih.
Dan sejak itu mereka saling membahasakan anak da ayah.
Setelah warta itu sampai kepada
semua orang, mereka ber-bondongdua menghaturkan selamat. Malamnya, Bwe Liang
Bing mengadakan pesta besar untuk merajakannya. Tapi Ciu Ki bersembunyi,
sekalipun Lou Ping memaksanya, tetapi sinona tak mau keluar dalam perjamuan.
Tengah mereka bergembira ria
minum arak, tiba-tiba Ciok Siang Ing munCul.
„Congthocu, suratmu telah
diterima dan inilah balasan dari Bok To Lun loenghiong.” demikian lapornya.
Selagi Keh Lok menyilahkan Siang
Ing untuk minum arak, tiba-tiba Cio Su Kinpun datang dengan berteriak: „Sungai
Hoangho bobol !”
Mendengar itu semua orang sama
menanyakan.
„Dari Beng Cin sampai ke Tong Wat
Shia, ada tujuh atau delapan tempat yang bobol. Di beberapa tempat, air telah
membenam jalan,” Su Kin menerangkan.
Semua yang mendengarnya, sama
berduka. Apalagi Siang-si Siang-hiap belum datang, dan entah bagaimana nasibnya
Bun Thay Lay.
„Saudara-saudara,” kata Keh Lok
kemudian, „karena sudah be-berapa hart Siang-si Siang-hiap tak datang, kurasa
ada apa-apa dalani perjalanan. Harap saudara-saudara mengemukakan usul
bagaimana baiknya?”
„Kita tak boleh hanya terus
menunggu disini saja. Lebih baik kita menyusul ke Pakkhia. Sekalipun suko
ditutup di penyara ujung langit, kitapun juga akan menolongnya,” seru' Ciang
Bongkok tak sabar.
Suara itu ditundyang oleh Wi Jun
Hwa, Nyoo Seng Hiap dan Cio Su Kin. Sementara sehabis berunding dengan Ciu
Tiong Ing, Bu Tim, Tio Pan San, berkatafah Tan Keh Lok: „Ja, urusan tak boleh
dibiarkan ber-larutdua. Ayo kita lekas-lekas berangkat !”
Setelah menghaturkan terima kasih
atas penyambutan tuan rumah, Keh Lok pimpin rombongannya meninggalkan tempat
itu.
Ditengah jalan baru Keh Lok
mengeluarkan dan mem baCa surat Bok To Lun. Surat itu menyatakan terima kasih
atas bantuan HONG HWA HWE dan juga persiapannya untuk meng hadapi serbuan dari
tentara pemerintah. Tapi karena kalah jumlahnya maka telah menderita kekalahan.
Sekalipun begitu, dia tak mau menyerah pada Ceng Tiauw.
„Bok To Lun loenghiong masih
memesan apa lagi?” tanya Keh Lok.
„Dia menanyakan apakah Bun-suko
telah tertolong? Ia ikut berduka ketika mengetahui usaha kita gagal,” jawab
Siang Ing.
Tan Keh Lok hanya mengelah napas.
„Rakjat mereka sangat akrab
sekali dengan kita. Ketika mendengar aku adalah utusan Congthocu, mereka menyam
butnya dengan meriah sekali,” demikian Siang Ing lanyutkan Ceritanya.
Semasa kecilnya, Ciok Siang Ing
ini pernah menjadi penggembala sapi dari seorang tuan tanah. Karena sapinya
berkelahi dan terluka parah, ketika pulang dia telah dipukuli oleh majikannya
begitu rupa, sehingga sampai sekarang pada mukanya masih terlihat tanda-tanda
Codet dikulitduanya yang menonyol disana sini.
„Apakah kau bertemu dengan
keluarga Bok To Lun Loeng hiong?” tanya pula Keh Lok.
„Aku_ bertemu dengan isteri, dan
kedua puterinya. Puterinya yang sulung sudah pernah bertemu dengan Congthocu,
dia menanyakan kesehatanmu, tho-Cu,” kata Siang Ing.
„Selain itu, apa katanya lagi?”
tanya Keh Lok. Setelah mengingat sebentar, Siang Ing berkata: „Sewaktu aku akan
pergi ia agaknya akan memesan apa-apa, tapi tdak jadi.”
Keh Lok termenung sejenak lalu
dikeluarkannya pedang mustika pemberian dari Ceng Tong, serta dibuatnya ber
main-main . Tangkai pedang itu dilibat dengan benang emas, terang suatu mustika
dari ratusan tahun usianya. Menurut nona itu, katanya pedang itu menggenggam
suatu rahasia besar yang selama ini belum terpeCahkan. Beberapa kali Keh Lok
membolak-balikkannya, tapi tak nampak ada tanda-tanda yang luar biasa.
Setelah semalam lewat, sampailah
rombongan HONG HWA HWE itu pada salah satu tempat sungai Hoangho yang bobol
itu. Di situ air mendahsyat, mengalir kemanadua. Dataran luas yang yang
terdapat disekitar sungai telah menjadi sebuah rawa besar. Sawah ladang
penduduk sudah tergenang semua. Pe miliknya sama mengungsi ketanahdua
pegunungan agak tinggi. Tapi ada beberapa lagi yang tak keburu lari, dan
terpaksa berada diatas rumahnya. Karena tak membekal apa-apa mereka sama
berteriakdua memilukan hati. Malah disana sini tampak ada beberapa majat
mengambang.
Rombongan orang HONG HWA HWE
terpaksa ambil jalan memutar dan terus berjalan kesebelah timur. Dan malam itu,
mere ka mengasoh diatas pegunungan. Keesokan harinya, mereka meneruskan
perjalanan dan tiba dikota Toliangsay. Disi nipun keadaan sangat mengenaskan.
Hampir seluruh kota telah tergenang air banyir.
Nampak hal itu, Ciu Ki tak
tertahan lagi hatinya. Dia, keprak kudanya untuk menyusul Thian Horig, katanya
: „Kau banyak-banyak akal, Ayo gunakanlah itu untuk menolong ra hajat yang
tengah menderita itu.”
Sejak bertunangan dengan Ciu Ki,
Thiang Hong selalu menyauhkan diri. Maksudnya agar jangan sampai bentrok lagi:
Sudah dua hari ini, dia tak bicara dengan sinona. Dan kini sekali bicara,
sinona telah ajukan soal yang berat ba ginya.
„Ucapanmu itu raemang tepat, tapi
karena pengungsi se demikian banyak-banyaknya, apa daya kita,” jawab Thian
Hong.
„Kalau aku punya daya, tak nanti
perlu tanya padamu,” kata sigadis.
„Baiklah, nanti akan kuminta pada
semua saudara, jangan menyebut aku sebagai 'Bu Cu Kat' lagi, agar kau tak
selalu menCemoh padaku.”
„Bilakah aku menCemooh kau ?
Baiklah, aku telah salah omong, selanyutnya biar aku tidak buka suara saja,” de
mikian Ciu Ki mengambek.
Habis menyemprot begitu, sinona
jebikan bibirnya, tak mau berkata lagi.
„Ha, adik Ki, kita kan orang
sendiri, tak boleh berCek Cok,” bujuk si anak muda.
Namun Ciu Ki tak mengacuhkannya.
„Ja, sudahlah, aku yang salah.
Kau maafkanlah, dan Ayo, tertawalah!” menggoda Thina Hong.
Ciu Ki melengos.
„Ha, kau tak mau tertawa ? Oh,
jadi begitulah gajanya seorang nona temanten baru yang masih maludua,” goda
Thian Hong lagi.
Karena itu, tertawalah sinona,
setelah tak kuasa menahan gelinya hati.
„Kalau kau tetap ugalduaan, awas
kuhajar dengan ini,” kata Ciu Ki seraja mengangkat Cambuknya.
Lou Ping yang menyaksikan itu,
menjadi sedih dan ter kenang akan suaminya. Dekat fajar, rombongan itu sampai
di Ciao-tho-ing, sebuah kota besar disepanyang sungai Hoangho. Disitupun
banyak-banyak sekali pengungsidua yang datang dari udik.
Lou Ping tukarkan emasnya dengan
uang perak, lalu di belikan makanan. Pengungsidua itu sama mengerumuninya, dan
sebentar saja habislah makanan itu di-bagiduakan.
Pada ketika rombongan HONG HWA
HWE itu berangkat, banyak-banyaklah kaum pengungsi yang tampak mengikuti
dibelakangnya. Mereka berharap dapat diberi makanan lagi. Tapi karena tak
membawa bekal Cukup, maka terpaksalah orang-orang HONG HWA HWE itu anyurkan
mereka supaya balik kekota saja. Kira-kira 4 atau 5 li berjalan, tiba-tiba Keh Lok
memerintahkan supaya berhenti sebentar, katanya : „Tujuan HONG HWA HWE adalah
menolong rakjat. Bahwa kini kita menghadapi sekean ba nyak rakjat yang tengah
menderita, sekalipun kita masih punya urusan penting, tapi biar bagaimana tak
dapatlah pe rasaan hati kita hanya mengawasi mereka mati kelaparan. Nah,
bagaimanakah pendapat saudara-saudara sekalian 1”
„Siaote telah memikirkannya,
kiranya hanya ada suatu jalan,” tiba-tiba Thian Hong berseru.
Mendengar itu, timbullah harapan
pada semua aggauta rombongan. Buru-buru mereka menanya akal apa dari si “Khong
Beng” itu.
„Merampas milik pembesar negeri
dan memaksa yang berharta,” sahut Thiang Hong dengan tegas, singkat.
„Tepat,” seru Keh Lok. „Disebelah
muka adalah kota Lan Hong. Daerah itu terkenal subur, jadi tentunya gudang
negeri banyak-banyak ransumnya. Juga kaum hartawan tentu tak sedikit jumlahnya.
Kita kerjakan renCana itu disana.”
Ketika dalam perjalanan, Ciu Ki
unyuk senyuman pa da Thian Hong, maksudnya memuji buah pikiran tunangan nya
itu.
Disepanyang jalan yang mereka
lalui, tampak pengungsidua masih ber-dujundua tak putusnya. Anakdua kecil
me-rengekdua minta makan. Tiba-tiba dari arah depan sana tampak ada se orang
penunggang kuda tengah melarikan kudanya kemari. Jalan disitu sangatlah
sempitnya, tapi penunggang kuda itu seperti tak menghiraukan, terus menerdyang
saja, sehing ga seorang perempuan yang menggendong anak telah ke terdyang dan
terlempar kedalam air. Namun penunggang kuda itu tetap tak mengacuhkan.
Melihat itu marahlah orange HONG
HWA HWE Pertama adalah Wi Jun Hwa yang loncat memburu, dia ulur tangannya kiri
untuk sawut sebelah kaki orang itu, lalu ditariknya turun terus ditempeleng
muka orang.
„Aduh !” orang itu menyerit
muntah darah, karena tiga biji giginya rontok.
Orang itu dandanannya seperti
pembesar militer, setelah bangun dia segera memaki : „Kawanan berandal, tunggu
setelah tugasku selesai, tentu kubikin perhitungan padamu.”
Habis memaki, dia naik kudanya
lagi, tapi Ciang Bong kok Cepat-cepat menCegatnya.
„Urusan apa sih begitu ter-Buru-buru
, kau tunggu dulu disini !” demikian bentaknya sambil menyeretnya turun pula.
Keh Lok pun perintah si Bongkok
geledah badan orang itu. Ciang Bongkok berhasil menemukan sepuCuk surat, lalu
di serahkan pada ketuanya. Melihat surat itu ditutup dengan bulu ajam, tahulah
Tan Keh Lok bahwa itulah surat penting yang harus dikirim dengan segera. Pada
sampulnya tertulis alamat sipenerima „Ceng-Se-Tay-Ciang-kun.”
Ketika melihat Tan Keh Lok
merobek sampul surat untuk dibaCa, puCatlah wajah orang itu, ia bertereak
keras-keras, „Itu surat militer penting, apa kau tak takut dipanggal ke palamu
? !”
„Yang dipanggal nanti, tentunya
kepalamu !” seru Sim Hi dengan tertawa.
Dalam surat itu ternyata berisi
laporan dari Sun Khik Thong Congpeng yang bertugas mengurus ransum yang me
laporkan kepada tayCiangkun Yauw Hwi bahwa ransum untuk tentara yang akan
menindas pemberontakan rakjat Hwe sudah tiba dikota Lan Hong. Tapi karena
sungai Hoangho meluap, terpaksa tertunda pengirimannya sampai beberapa hari dan
lain-lain.
„Surat ini penting, tapi sayang
tak ada sangkutannya dengan urusan Bun-suko,” kata Keh Lok seraja menyerahkan
surat pada Thian Hong.
Sebaliknya Thian Hong unyuk
kegirangan bila sudah membaCa.
„Congthocu, inilah rejeki besar
yang datang pada kita,” demikian katania. „Sekali tepuk kita dapat dua lalat.
Per tama secara tak langsung kita seperti bantu Bok-loeng-hiong, dan secara
langsung kita dapat meringankan rakjat yang menderita kebanyiran ini.”
Habis berkata begitu, Thian Hong
turun dari kudanya, menghampiri siperwira tadi. Dihadapan orang ia robekdua
surat itu, lalu berkata dengan tertawa : „Baik kau menuju kepada Yauw Hwi atau
balik pulang ke Lan Hong, sama sajalah Celakanya. Kehilangan surat penting,
berarti pang-gal kepala hukumannya. Kalau masih sayang jiwamu, kau baik
melarikan diri saja.”
Perwira itu marah terCampur
takut. Sampai beberapa saat dia tak dapat mengucap apa-apa. Achirnya
di-pikirdua omongan Thian Hong itu memang tepat, apa boleh buat dilepasnya
pakaiannya dinas, terus menggabung pada barisan pengungsi.
„Merampas ransum untuk tolong
rakjat sengsara, me mang tepat. Tapi digudang ransum tentunya dijaga kuat. Kita
berjumlah sedikit, harap Chit-ko atur daya bagaimana bisa berhasil,” kata ketua
HONG HWA HWE yang telah mengerti mak sud Thian Hong.
Thian Hong membisiki. beberapa
patah kata dan tampak ketua itu menjadi girang, dan me-mujidua. Segera ia atur
orang-nya :
Ciu Tiong Ing dengan memimpin
Ciu-naynay, Ciu Ki dan Thian Hong masuk dari pintu kota Lan Hong yang se belah
barat. Begitu ada pertandaan api, harus lekas serang penyaga pintu situ dan
masukkan rombongan pengungsi ;
Bu Tim mengepalai Seng Hiap,
Ciang Bongkok dan Su Kin masuk dari pintu utara. Tio Pan San, Jun Hwa, Lou
Ping, Siang Ing dari pintu selatan. Sedang Tan Keh Lok bersama Kian Hiong, Kian
Kong dan Sim Hi akan menuju kepusat kota untuk melepas pertandaan api.
Mereka akan menyaru sebagai
pengungsi, dan kepada rombongan pengungsi itu supaya disebarkan berita bahwa
besok siang didalam kota akan diadakan pembagian ransum. Tiap orang dapat uang
satu tail perak dan gandum segan-tang.
Mendengar kabar itu, besok
paginya, rombongan pengungsi yang banyak-banyak sekali jumlahnya itu segera
menyemut masuk kedalam kota Lam Hong. Pembesar distrik itu ber nama Ong Pek To,
melihat gelagat yang luar biasa itu, ia titahkan seorang hamba negeri untuk
menahan beberapa pengungsi dan ditanyainya. Mereka menyawab akan mene rima
pembagian bantuan uang dan ransum yang katanya akan diadakan sebentar sore.
Ong Pek To Buru-buru suruh
menutup pintu kota. Tapi rombongan pengungsi yang sudah masuk tampak
ber-kelompokdua dari empat jurusan, bagaikan segumpal besar mega hitam
dilangit. Hamba negeri ber-tereakdua bahwa tidak ada pembagian apa-apa, tapi
mereka tak mau percaya. Karena bingungnya, Ong Pek To lari menemui Congpeng Sun
Khik Thong yang berkemah digereja Ciok Hud Si, agar suka perintahkan 500
serdadu guna mengatasi keka Cauan itu.
Siapa tahu Sun Khik Thong telah
berkata „SiaoCiang hanya ditugaskan untuk mengantarkan ransum pada jenderal
Yauw Hwi yang kini berada diperbatasan barat. Kalau sampai ransum itu hilang,
berat sekali hukumannya, karena itu maaf, siaoCiang tak dapat penuhi permintaan
Ong-taijin disini.”
Sampai tiga kali Pek To meminta,
tapi Khik Thong tetap menolaknya. Ketika berjalan pulang, ditengah jalan ada
beberapa pengungsi yang mulai ber-tereakdua, melihat itu sa lah seorang bawahannya,
Pang San Jong mengusulkan agar Pek To suka menyogok Congpeng itu, karena
keadaan ternyata genting benardua.
Setibanya dikantor, benar juga
Pek To suruh San Jong antar sepuluh00 tail perak pada Congpeng Khih Thong.
Menyelang malam digedung tempat
kepala daerah, pen jara dan beberapa rumah pedagang yang kaja, telah terbit
kebakaran. Buru-buru Pek To atur orang-orang nya untuk memadam kan, tapi
tiba-tiba datanglah seorang hamba negeri dengan ter gesadua melapor : „Taijin,
Celaka ! Pintu barat telah dibo bol oleh pengungsi, dan mereka sudah menyerbu
masuk.”
Ong Pek To mengeluh, tubuhnya
gemetar. Dia Cepat-cepat min ta disediakan pasukan berkuda. Dengan beberapa
penyaga, Pek To menuju kepintu barat. Tapi ditengah jalan mereka telah dihadang
oleh rombongan pengungsi.
„Mari kita pergi kesebelah timur,
digereja Ciok Hud Si sana diadakan pembagian uang dan ransum,” demikian ter
dengar beberapa pengungsi ber-tereakdua.
Atas seruan itu, bagaikan air
mengalir, rombongan pengungsi itu ber-bondongdua menuju kesana.
„Bangsat yang berani menyiarkan
kabar bohong, Ayo tangkap mereka !” seru Pek To dengan gusarnya.
Segera dua orang opas dengan
membolang-balingkan ran tai besi, menghampiri kearah seorang pengungsi bertubuh
tinggi kurus yang berjalan dimuka sendiri. Tapi dengan tangkasnya, orang itu
telah dapat merebut rantai siopas. Malah salah seorang opas telah disabetnya
hingga patah punggungnya.
„Kita mau makan, apa salahnya !”
seru orang itu.
Melihat gelagat jelek, Pek To
putar kudanya menuju kepintu selatan. Disitupun rombongan pengungsi sudah me
nyerbu masuk.
„Taijin, mereka sudah nekad
seperti singa kelaparan, lebih baik kita berlindung dimarkas Sun-Congpeng
sana,” San Jong memberi usul.
Pek Tok setuju, terus larikan
kudanya menuju kesana. Tapi ditengah jalan dia berpapasan dengan rombongan ba
risan patrolie yang lari tunggang langgang. Ternyata mereka diburu oleh seorang
Tojin yang menghunus pedang, seorang gemuk yang bersenjata thiat-pian, seorang
bongkok yang membawa sepasang kapak dan seorang tinggi besar yang menganCungkan
thiat-Ciang. Asal ada serdadu yang agak berajal, tentu dihajarnya.
Achirnya sampai juga Pek To
digereja Ciok Hud Si. Oleh barisan penyaga dia segera diberi jalan masuk. Di
luar gereja itu, kaum pengungsi sudah berbaris dengan rapat-rapat.
„Uang dan ransum yang disediakan
untuk menolong rakjat, telah digasak oleh pembesardua sendiri, Ayo lekas
bagikan uang dan ransum!” demikian terdengar suara tereakan di luar.
Pengungsidua itupun ber-tereakdua dengan gemparnya.
Ong Pek To gemetar badannya. Tapi
sebagai seorang mili ter Sun Khik Thong lebih tabah, dengan sebuah tangga, dia
naik keatas tembok seraja bertereak nyaring:
„Saudara-saudara sekalian, harap
lekas pergi dari sini. Jangan percaya pada kabar bohong itu. Kalau tak mau
pergi, nanti kusuruh serdadu lepaskan panah!”
Betul juga barisan pemanah sudah
siap diatas tembok gereja itu. Ketika rombongan pengungsi itu masih tetap hi
ruk pikuk, Khik Thong segera titahkan lepaskan panah.
Berbareng dengan melunCurnya
hujan panah, seketika itu ada sepuluh orang lebih yang roboh. Melihat itu,
pengungsidua sama lari berserabutan. Keadaan menjadi kaCau sekali. In jak
menginyak, disusul dengan jeritan orang-orang perempu andua dan anakdua kecil
terdengar disana sini.
Melihat itu Sun Khik Thong
tertawa terbahakdua. Tapi belum lagi dia menutup mulutnya, diantara pengungsi
itu ada salah seorang yang menyabitkan batu. Khik Thong miringkan tu buh. Yang
sebuah dapat dia kelit, tapi yang sebuah lagi tepat mengenai pelipisnya. Darah
menguCur dan rasanya sakit bu kan buatan.
„Lepas panah!” seru Congpeng itu
dengan gusarnya.
Kernbali hujan panah
berseliweran, dan kembali ada be lasan rajat yang roboh. Dalam suasana yang
gaduh itu, tiba-tiba ada dua orang yang berperawakan tinggi kurus enyot tubuh
nya keatas tembok. Entah apa yang dilakukannya, tahu-tahu ada tiga atau 4 orang
pemanah telah terlempar kebawah. Begitu mereka jatuh, segera rakjat yang marah
itu menghujani nya pukulan. Bahkan kaum perempuannya telah ikutduaan men-Cakar
dan menggigitnya.
Kiranya orang-orang HONG HWA HWE
sudah berCampur dengan rombongan pengungsi. Memang direnCanakan oleh Thian
Hong, agar terjadi provokasi, sehingga rakjat betul-betul menjadi marah. Dan
ketika itulah baru diserbunya gereja itu.
Yang loncat 'keatas tembok tadi,
ialah kedua saudara Siang, oleh karena kedua orang tersebut sudah tak dapat
menahan amarahnya lagi. Juga Lou Ping dengan memutar siangtonya, ikut loncat
keatas. Begitu dekat dengan Siang He Ci, ia berkata: „Ngo-ko, sudahkah kau
bertemu dengan suko? Bagaimana ia?”
„He, kau juga datang suso? Kita
sudah menemukan suko, jangan kuatir!” seru He Ci dengan terkejut girang.
Mendengar itu, timbullah semangat
Lou Ping. Tapi jus teru keliwat girang, ia merasa lemas, lalu loncat keluar
tembok untuk menenangkan hatinya.
Ketika itu Wi Jun Hwa, Seng Hiap,
Ciu Ki dan Kian Hiong pun sudah loncat keatas tembok untuk menghantam penyaga
pintu. Begitu mendobrak, Cio Su Kin dan Kian Hiong melambaikan tangannya pada
rombongan pengungsi, menyuruh mereka masuk.
Bagaikan gelombang air,
pengungsidua itu menyerbu kedalam gereja. Semula serdadudua disitu masih
berusaha menghalangi, tapi arus manusia telah mendampar mereka dalam
desak-desuk yang kaCau sekali. Apalagi setelah diantara rombongan pengungsi itu
terdapat beberapa orang yang lihai bugenya, beberapa perwira mereka telah kena
dibinasakan. Sekalipun begitu, dengan mengandel pada jumlah orang dan senjata,
serdadudua itu masih tetap bertahan, sehingga rakjat pengung sipun tak berani
terlalu merangsek.
Sun Khik Thong yang memimpin perlawanan
dengan mem bolang-balingkan golok besarnya, tiba-tiba merasa ada angin
menyambar disebelah telinganya. Tahu-tahu punggungnya kese mutan, dan goloknya
terpental jatuh. Malah pada lain saat dia telah ditelikung orang, serta rasakan
tengkuknya ada suatu benda dingin yang menindih.
„Lekas perintahkan supaya
serdadumu lemparkan senjata nya, dan suruh keluar dari gereja ini!” tiba-tiba
orang itu menghardiknya dari belakang.
Ketika Congpeng itu agak ajal,
lehernya segera terasa sakit nyeri. Kiranya tengkuk lehernya itu tadi dipalang
dengan mata sebuah golok. Waktu orang itu menggerakkan goloknya, maka tengkuk
Congpeng tersebut terkupas kulitnya. Sampai disitu barulah dia insyap dan
Buru-buru meneriaki anak buahnya.
Kawanan serdadu ketika menampak
pemimpinnya telah dibekuk musuh sampai tak dapat berkutik oleh seorang pe muda
berpakaian putih, Buru-buru mereka menurut perintahnya, lempar senjata dan
mundur keluar gereja. Riuh rendah kaum pengungsi ber-sorakdua kegirangan.
Setelah menangkap Sun Khik.
Thong, Tan Keh Lok loncat turun terus menuju keruangan besar. Diruangan itu
penuh dengan berkarungdua bahan makanan, dan disebelah dalam ruangan tersebut
tampak beberapa gerobak perak.
Ketika Ciok Siang Ing menyeret
sipembesar Ong Pek To kehadapan Tan Keh Lok, maka menegorlah pemimpin HONG HWA
HWE itu. „Pembesar jahat, jawablah pertanyaanku dengan jujur !”
„Silahkan tay-ong bertanya,”
jawab Ong Pek To dengan menggigil.
„Aha, kau kira aku ini mirip
kepala rampok?” seru Tan Keh Lok tertawa.
„Ah, memang aku harus menerima
hukuman, karena ke salahan omong. Siapakah nama kongcu yang mulia itu?” tanya
Pek To lagi.
Keh Lok tersenyum simpul, tak mau
menyawab, bahkan bertanya: „Adakah kau ini seorang terpelajar ?”
„Ah, jangan demikian kongcu
menyanyungku,” sahut pembesar itu.
„Apanya yang disanyung? Karena
kau seorang Cinsu (gelar ujian jaman feodal), tentunya berkepandaian luas dalam
ilmu sastera. Akan kuajukan sebuah sajak, kau bikinlah timpalannya,” kata
pemimpin HONG HWA HWE seraja berhenti sejenak untuk berkipasdua, kemudian
katanya pula dengan tertawa: „Jika dapat kau menimpali dengan tepat, kau boleh
bebas. Tapi kalau tidak bisa, hm, kami tak sungkandua lagi padamu.”
Kaum pengungsi yang diberitahu
oleh orang-orang HONG HWA HWE, bahwa sebentar lagi akan dimulai pembagian ransum,
semua bisa berlaku tenang. Dan ketika mendengar tihu (residen) telah ditangkap
serta akan diuji kepandaiannya oleh ketua HONG HWA HWE, dengan penuh keheranan,
mereka seperti berbaris merupakan lingkaran besar yang mengelilingi ruangan
itu.
Ber-ketesdua butir peluh
membasahi kepala Ong Pek To.
„Sajak kongcu itu tentu terlalu
sukar. Aku……. aku tak dapat menimpali,” demikian sahutnya kemudian dengan tak
lancar.
„Baik, kalau menimpal susahpun
tak mengapa. Coba jawab, manakah yang lebih mudah: jernihnya air sungai
Hoangho, atau jernihnya perbuatan pembesardua korup?” tanya Keh Lok pula.
Mendadak terbukalah pikiran Ong
Pek To, jawabnya Cepat-cepat : „Kukira begitu sepakterdyang pembesardua telah
'jer nih', sungai Hoangho purj akan dapat jernih.”
„Bagus,” seru Keh Lok tertawa
lebardua. „Nah, kaupun dapat menyawab dengan tepat. Sekarang panggil
pengawalmu, suruh mem-bagiduakan ransum dan uang ini pada rakjat yang menderita
kebanyiran. Hai, Congpeng, saudarapun harus membantunya.”
Sun Khik Thong dan Ong Pek To berada
dalam kedudukan sulit. Menghilangkan ransum dan uang negeri, panggal kepala
adalah hukumannya. Apalagi merekalah yang mem bagiduakan sendiri pada rakjat.
Tapi membantah akan kehi-
langan jiwa juga artinya. Dalam
keadaan itu, mereka berdua tak punya lain pilihan lagi. Dikerahkan anak buah
tentara dan pegawaidua kantor tihu untuk membagiskan ransum dan uang itu.
Sebaliknya kaum pengungsi sama
bersuka ria. Disatu fihak menghaturkan terima kasih pada orang-orang HONG HWA
HWE, dilain fihak mereka mengejek pada kedua pembesar itu.
„Saudara-saudara sekalian,
ingatlah!” kata Keh Lok kemudian kepada rombongan pengungsi itu. „Apabila kelak
ada utusan pemerintah datang melakukan, peperiksaan, katakanlah bahwa pembagian
ini dilakukan sendiri oleh tihu dan Cong- peng taijin berdua !”
Begitulah dengan diawasi oleh
jago-jago HONG HWA HWE, pembagian itu telah dilakukan dengan beres, dan bam
selesai sampai tengah malam. Lalu berserulah Thian Hong kepada rombongan rakjat
itu : „Saudara-saudara bawalah senjata-nyata serdadu itu kerumah. Kalau
pembesar ini mengerti selatan, nah, tidak jadi soal. Tapi andaikata, sepergi
kami dari sini, dan mereka paksa kalian untuk mengembalikan ransum dan uang
itu, maka kalian boleh lawan mereka !”
Rakjat pengungsi itu sama menurut
perintah itu dengan baik.
„Urusan kini sudah selesai, Ayo
koko sekalian kita be rangkat !” seru Keh Lok kemudian, sembari menarik Sun
Khik Thong untuk diajak keluar gereja.
Dengan diantar oleh semua
pengungsi, rombongan HONG HWA HWE larikan kudanya keluar kota. Kira-kira
beberapa li diluar kota, Keh Lok dorong siCongpeng dari kudanya dan katanya :
„Maaf, Congpeng taijin, kita bertemu lagi dilain waktu !”
Dengan mengepulnya debu dijalan,
sekejab pula lenyap lah rombongan kuda jago-jago HONG HWA HWE itu dari
pemandangan.
„Adakah jiwi telah memperoleh
jejak Bun-suko ?” ta nya Keh Lok kemudian pada Siang-si Siang-hiap ditengah
perjalanan.
„Disebelah muka sana kita
menemukan pertandaan dari sipsute yang mengatakan bahwa suko telah dibawa ke
Hang-Ciu,” jawab Siang He Ci.
„Ke HangCiu ? Mengapa tidak ke
Pakkhia ? Bukankah Hongte (Kian Liong) yang akan memeriksanya sendiri ?” ta nya
Keh Lok dengan terkejut.
„Kami sendiripun heran juga. Tapi
selama ini sipsute be kerja selalu Cermat, tentu dia sudah mempunyai kepastian
akan hal itu”, kata Pek Ci.
Segera Keh Lok ajak orang-orang
nya mengasoh sebentar, untuk berunding.
„Kalau suko berada di HangCiu,
kita harus menuju ke Kanglam untuk menolongnya,” demikian katanya. „HangCiu
adalah daerah pengaruh kita, rasanya disitu pengaruh peme rintah Ceng tak
sebesar di Pakkhia, jadi mudahlah kita turun tangan. Tapi untuk mendapat
kepastian, kita harus minta salah seorang saudara disini pergi menyelidiki ke
Pakkhia.”
Usui itu disetujui semua orang.
„Kalau begitu, harap Cap-ji-long
suka pergi sekali lagi?” kata Keh Tok melirik pada Ciok Siang Ing.
Cap-ji-long, atau orang ke
duabelas dari HONG HWA HWE ini, mengiakan dan segera berangkat keutara. Sedang
yang lain-lain mengikuti Tan Keh Lok menuju keselatan.
Ketika ditanya tentang diri Ie Hi
Tong, kedua saudara Siang itu menyahut tak mengerti. Karena mereka hanya
melihat tanda-tanda yang ditinggalkan oleh anak muda itu saja, dan ketika sampai
dikota Lan Hong mereka berpapasan dengan rombongan pengungsi yang menuju
kegereja Thiat-ta-si. Karena ingin mengetahul peristiwa ramaidua apa yang akan
terjadi dalam gereja tersebut., maka mereka berdua lalu ikut melihat kegereja
itu. Justeru ketika itu, barisan pe manah sedang menghujani panah kepada
rombongan pengungsi. Karena mendongkol, maka kedua saudara Siang itu loncat
keatas tembok untuk melabrak serdadudua yang kejam itu. Sama sekali tak
diketahuinya bahwa saudara-saudara-nya dari HONG HWA HWE pun berada diantara
rombongan pengungsi itu.
„Dengan tak dapat kiriman ransum,
fihak enCi Ceng Tong tentu mudah memperoleh kemenangan,” kata Ciu Ki.
„Gadis itu ilmu pedangnya lihai
sekali, orangnya berbudi, maka sudah selajaknya kita bantu,” kata Bu Tim dengan
tertawa.
Besoknya mereka sudah tiba dikota
Chi-Cfu. Congtaubak (pemimpin) HONG HWA HWE didaerah situ, Thia Ti, belum
pernah bertemu dengan pemimpinnya. Menurut peraturan partai, dia harus membuat
kunyungan pada sang ketua.
Tapi belum sampai dia melaksanakan
maksudnya, tibas rombongan HONG HWA HWE sudah datang kerumahnya, keruan saja
dia menjadi sibuk sekali. Pemimpin orang gagah dari dae rah Kangpak, jakni Nyo
Seng Hiap yang kini menjadi salah seorang hiangCu (anggota pimpinan) dari HONG
HWA HWE segera memberitahukan pada orang she Thia itu bahwa kedatangan pemimpin
HONG HWA HWE disitu supaya dirahasiakan, jago-jago Hong Hwa Hwe itupun tak mau
menginap dirumahnya Thia Ti, dan keesokan harinya sudah berangkat lagi.
Beberapa hari kmudian sampailah
Keh Lok dan rombo ngannya di HangCiu. Dikota itu mereka menginap dirumah Ma
Sian Kun, seorang Cong-tauwbak (pemimpin daerah) yang tinggal dikaki bukit
Kusan di daerah telaga Se-ouw. Pemandangan alam disitu indah sekali.
Ma Sian Kun, adalah seorang
saudagar sutera dari HangCiu. Dia mempunyai dua buah paberik sutera. Karena
gemar ilmu silat, dia berkenalan dengan Wi Jun Hwa, dan turut masuk dalam HONG
HWA HWE Orang she Ma yang sudah berumur 50 tahun itu, mengenakan baju dari kain
sutera yang bagus, sepintas pandang dia itu seorang hartawan nampaknya, jauh
dari dugaan orang bahwa ia itu sebenarnya seorang gagah yang tangannya selalu
terbuka untuk menolong orang.
Setelah diberitahukan maksud
kedatangan pimpinan HONG HWA HWE kesitu, Ma Sian Kun segera menyuruh puteranya
yang sulung, Tay Thing, menitahkan orang menyelidiki kerumah penyara.
Besok siangnya, Ma Tay Thing
kembali melapor, bahwa orang-orang nya yang disuruh menyirepi kabar ketiapdua
pumah penyara diseluruh HangCiu tersebut, mengatakan tak dapat menemukan Bun Thay
Lay.
„Dalam kantordua- propinsi,
karesidenan, distrik dan setiap tangsi tentara, semua ada orang-orang kita.
Jadi andaikata Bun-sutangkeh berada didaerah sini, tentu dapat kami ketahui.
Yang dikuatirkan, kalau Bun-sutangkeh dltahan dirumah salah seorang pembesar,
hal itu memang sukar diselidiki,” demikian kata Ma Sian Kun.
„Tindakan kita pertama jalah
untuk mengetahui tempat penahanan Bun-suko itu, maka kuharap Ma-toako suka
terus titahkan orang-orang mu membuat penyelidikan. Dan malam ini, harap to-tiang.
Nyo-patko, Wi-kiuko pergi menyelidiki kege dung pembesar negeri setempat, tapi
jangan bikin ributdua dulu, agar mereka tak keburu mengadakan penyagaan keras,”
demikian kata Keh Lok.
Bu Tim mengiakan dan Ma Sian Kun
lantas menCeritakan nya tentang keadaan kantor pembesar disitu. Tengah malam
ketiga orang itu segera berangkat, dan selang dua jam kemudian, mereka datang
dan melaporkan bahwa penyagaan dikantor ^pembesar sangat kuat sekali. Tidak
kurang dari seribu serdadu dikerahkan untuk menyaga. Perondanya ter diri dari
beberapa perwira tingkat tengahan. Karenanya, mereka tak berani lakukan
penyelidikan.
Atas keterangan itu, rombongan
HONG HWA HWE sama heran.
„Dalam beberapa hari ini memang
di HangCiu sini telah dilakukan penggeledahan keras. Rumahdua, tempatdua
perjudian atau pelesiran sampaipun perahudua yang berlabuh disungai, telah
diperiksa dengan bengis. Sehingga ada beberapa orang -karena. diCurigai saja,
terus ditahan. Entah apakah hubung annya dengan Bun-sutangkeh,” menerangkan Ma
Sian Kun.
„Mungkin tidak dan hanya karena
tempat ini mendapat kunyungan dari pembesar tinggi, maka tikoan (residen)
disini telah melakukan penyagaan yang keras,” kata Thian Hong.
„Tapi turut pendengaranku, tak
ada sesuatu menteri yang datang ke Ciatkang sini,” jawab Ma Sian Kun.
Karena sudah jauh malam, maka
orang-orang itupun lalu masuk tidur.
Keesokan harinya, Ciu Ki berkeras
minta ayahnya meng ajaknya pesiar ketelaga Se-ouw yang termashur itu. Maka
Tiong Ing memberi isjarat agar Thian Hong suka turut, katanya: „Hong-ji, kita
belum pernah datang ke HangCiu, kau bawalah kita kesana supaya jangan kesasar
jalan.”
Thian Hong sungkan menolaknya,
maka ia menurut.
„Ha, kalau ayah yang suruh, kau
menurut. Tapi Coba aku yang menyuruhnya, tentu kau menolak,” demikian Ciu Ki
menggerutu pelan-pelan .
Tapi Thian Hong hanya ganda
tertawa.
Begitulah setelah keluarga Ciu
berempat itu pergi, Tan Keh Lokpun ajak muridnya, Sim Hi untuk ketelaga yang
kesohor itu. Setelah ber-putardua sebentar, Keh Lok mengaso didekat jembatan
pertama. Memandang kearah gunung Lamsan, tampak olehnya bagaimana hutan disitu
sangat le batnya. PunCaknya yang disebut 'Hui-lay-nia' tampak men julang dengan
megahnya.
Karena tertarik, dengan menyewa
kereta kesanalah Tan Keh Lok menuju. PunCak itu tingginya antara 50 tombak,
penuh dengan batudua. Puhundua tampak tumbuh lebat menghi jau. Keh Lok dan Sim
Hi mendaki keatas. Begitulah dengan gunakan ilmu berjalan Cepat-cepat ,
keduanya sudah berada diatas punCak itu. Melihat pemandangan dibawah, mereka
dapati pemandangan dihutan Sam-tiok sana lebih bagus lagi. Kare nanya mereka
turun lagi untuk menuju kesana.
Tengah mereka mendaki untuk
menuju kehutan Sam-tiok itu, tiba-tiba ada dua orang lakidua kekar yang tinggi
besar men datangi dari arah atas. Mereka tak putus-putusnya mengawasi Tan Keh
Lok berdua dengan rupa keheranan. Keh Lok tak meng hiraukan dan terus berjalan.
„Siaoya, kedua orang itu rupanya
mengerti silat,” bisik Sim Hi.
„Penglihatanmu tajam juga,” kata
Keh Lok dengan tertawa.
Tapi belum habis ucapannya itu,
kembali dari arah muka dua orang lagi yang mendatangi. Dandanan keduanya serupa
kedua orang tadi. Mereka tengah memperCakapkan tentang keindahan alam disitu.
Dari tekukan lidahnya, keduanya itu tergolong bangsa utara. Begitulah selama
dalam perjalanan mendaki itu, Tan. Keh Lok telah berpapasan tak kurang dengan
40 orang bu-ki-jin (orang-orang yang pandai ilmu bu) yang kesemuanya mengenakan
jubah panyang warna biru. Dan setiap berpapasan, mereka tentu mengawasi Keh Lok
dengan penuh keheranan. Sim Hi sedari bermula sudah heran, dan lama kelamaan
Keh Lok sendiripun turut merasa aneh.
„Apakah mereka itu dari
segolongan kaum kangouw, atau suatu bu-lim-Pai yang tengah mengadakan pertemuan
disini ? Tapi HangCiu adalah daerah kekuasaan Hong Hwa Hwe, anehlah kalau ada
suatu perkumpulan lain yang berani bera pat disini tanpa memberitahukan kepada
kami. Dan mengapa mereka mengawasi aku dengan rupa keheranan itu?” demikian tak
habis-habisnya Tan Keh Lok bertanya sendiri.
Sampai disebuah tikungan, ketua
HONG HWA HWE itu akan mem biluk untuk menuju ke Kwan-Im-bio yang terletak di
'Siang-thian-tiok'. Siang-thian-tiok adalah salah satu hutan dari Sam-tiok
(tiga hutan bambu).
Tiba-tiba dilamping gunung
terdengar bunyi khim (sejenis tetabuhan) ditabuh orang, Tan Keh Lok adalah
seorang kongcu dari keluarga ternama. Dalam ilmu tetabuhan khim, tiok-ki, buku
dan melukis, tak ada satu yang tak dipahaminya. Diketahuinya permainan khim
orang itu tak terCelah. Maka ia ingin mengetahui penabuhnya, ia melangkah
kearah da tangnya suara itu.
Tampaklah kemudian diatas sebuah
batu pegunungan duduk seorang yang berusia antara 40 tahun. Orang itu dan danan
dan sikapnya seperti seorang ,.gentleman.” Dialah yang tengah memetik snaar
khim itu. Berdiri disebelahnya, adalah dua orang lakidua kekar yang berpakaian
jubah biru dan seorang tua yang pendek kurus tubuhnya. Melihat sipenabuh khim
itu, seketika tergetar hati Keh Lok. Ia merasa seperti pernah bertemu muka
dengan orang itu. Mukanya yang berseri gemilang, sikapnya yang agung itu, makin
di pandang makin terasa sudah pernah mengenalnya. Tetapi sejauh ingatannya, Keh
Lok ternyata tak berhasil mengingat dimana dia pernah bertemu.
Hati ketua HONG HWA HWE itu
memukul keras. Samardua terasa dalam bathinnya, bahwa orang itu serasa ada
hubungan darah dengannya. Namun sedekat itu hubungannya, sejauh itu pula
rasanya.
Pada saat itu, siorang tua dan
kedua Conghan (lakidua kekar) itu sudah melihat kedatangan Tan Keh Lok berdua.
Mereka sama melengak ketika mengawasi roman ketua HONG HWA HWE itu. Ketika
saling mengawasi itu tengah berlangsung, tiba-tiba khim yang sedang dipetik;
oleh orang itu menjadi sember (vals) suaranya, lalu tiba-tiba berhenti, serentak
orang itupun lantas berdiri dan menyapa nyaringdua kepada Tan Keh Lok seraja
tertawa :
„Ah, kiranya hengtay inipun
seorang achli khim, mari, mari silahkan duduk ber-Cakapdua disini,”
Ter-gesadua Tan Keh Lok
rangkapkan kedua tangannya memberi hormat, „Tadi kudengar permainan khim
jin-heng begitu halus dan merdu, sehihgga mempesonakan hati. Sung guh beruntung
sekali siaote dapat bertemu,” demikian sahut nya.
Dengan ucapannya itu, Keh Lok
menghampiri untuk memberi hormat dan duduk disebelahnya. Begitu melihat wajah
Tan Keh Lok dari dekat, orang itupun melengak kesima untuk beberapa saat.
Keh Lok mengerti akan keheranan
orang, ia tertawa dan bertanya, „Selama dalam perjalanan di gunung ini,
banyak-banyak sekali siaote jumpahkan orang-orang yang datang pesiar. Tapi
anehnya, setiap kali memandang muka siaote, tentu mereka mengunyuk rupa
keheranan; Begitu pula dengan heng-tay. Adakah muka siaote ini sangat kukway?
Mohon hengtay suka menyelaskanlah.”
Orang itu tertawa. „Oh, hengtay
rupanya tak mengerti. Siaote mempunyai seorang sanak yang wajahnya mirip sekali
dengan hengtay. Orang-orang itu adalah sahabatdua siaote, karena nya mereka
merasa heran,” demikian sahutnya kemudian.
„Oh, kiranya demikian,” kata Keh
Lok tertawa. „Wajah jin-hengpun rasanya tak asing bagiku, tapi entahlah dimana
siaote pernah berjumpah. Apakah jinheng masih ingat?”
Orang itu tertawa, bahkan kali
ini ter-bahakdua Katanya: „Ha, itu namanya jodoh. Dan mohon tanya siapa nama
saudara yang mulia?”
„Siaote ol'ang she Liok, nama Ka
Seng,” sahut Keh Lok.
Dengan itu, Tan Keh Lok sengaja
menyebut namanya secara terbalik (dalam ejaan Kuo-yu).
„Dan mohon tanya kembali nama
yang mulia dari hengtay ini?” tanya Keh Lok.
Orang itu merenung sejenak,
tampaknya ragudua, lalu sahutnya: „Siaote orang yang mempunyai she dobel, jakni
she Tang-hong, nama Ni, orang dari Tit-le. Kalau menurut nada jinheng, agaknya
berasal dari daerah ini, bukan?”
„Benar, siaote memang orang
sini,” sahut Keh Lok.
„Alam pemandangan di daerah
Kanglam konon kabarnya kesohor indah sekali, dan hari ini setelah menyaksikan
sen diri, memang betullah adanya. Bukan saja punCakdua pegu nungan indah
permai, juga rakjatnya sangat menyenangkan, pula banyak-banyak yang
terpelajar,” demikian orang she Tang-hong itu berkata.
Menampak ucapan orang itu seperti
bukan rakjat biasa, serta melihat bagaimana beberapa Conghan berpakaian biru
dan siorang tua itu begitu menghormat sekali kepadanya, diam-diam Tan Keh Lok
menaroh perhatian besar. Tapi sampai sebegitu lama, dia belum juga ketahui
siapakah gerangan orang itu.
„Kalau hengtay senang dengan alam
di Kanglam, mengapa tak mau menetap saja didaerah ini, sehingga memungkin kan
siaote menerima lebih banyak-banyak pengajaran yang berharga dari hengtay,”
demikian kata Keh Lok lagi.
Kembali orang itu tertawa
terbahakdua. Sahutnya: „Barang siapa yang dapat melewatkan penghidupannya untuk
menik mati pemandangan Kanglam yang indah permai ini, itulah orang yang
beruntung hidupnya. Sayang aku bukan orang yang mempunyai rejeki sedemikian besarnya.
Karena hengtay mengerti akan seni-tetabuhan, tentu hengtay seorang achli khim,
maka silahkan hengtay mainkan sebuah lagu.”
Dan habis berkata begitu, orang
itu menyodorkan khimnya kepada Keh Lok. Setelah menyambuti khim orang, jari Tan
Keh Lok menyentil pelan-pelan dan terdengarlah suara yang ulem mengalun merdu.
Kemudian terlihat olehnya, ternyata pada kepala khim itu terdapat dua buah
huruf „lay-hong” (burung hong) yang diukirkan dengan tinta mas. Buatannya halus
dan indah sekali, merupakan seperti khim pusaka. Diam-diam Tan Keh Lok berCekat
dalam hati.
„Dihadapan benda mustika dan
achli khim sebagai hengtay, biarkanlah siaote unyuk permainan yang jelek,” kata
nya lalu.
Pada lain waktu, keheningan
suasana telah dipeCahkan oleh suara khim yang meng-alundua dengan merdunya.
Itulah irama lagu „ping-sat-lok-gan” atau dipadang pasir jatuhlah sang meliwis.
Tang-hong Ni mendengari dengan penuh ke tekunan.
Dan ketika khim berhenti,
bertanyalah Tang-hong Ni : „Pernahkah hengtay melawat keluar perbatasan?”
„Siaote baru saja kembali dari
daerah Hwe, entah bagai mana hengtay dapat mengetahuinya ?” balas Keh Lok.
„Dengan khim, hengtay telah
melukiskan pemandangan dataran yang luas dan alam dipadang pasir. Kata seorang
pudyang ga. 'Dalam mabuk menenteng pelita melihat pedang. Dalam impian serasa
meniup „kak” (terompet tanduk) di perkemahan. Dalam daerah delapan00 li tampak
panas membara, dengan 50 snaar menggema jauh keluar perbatasan, seperti dalam
suasana padang pasir tengah mengumpul tentara. — ,Ping-sat-lok-gan' entah
berapa ratus kali siaote pernah mendengar, tapi belum pernah ada orang yang
melagukannya begitu merdu mempesona, seperti permainan hengtay itu,” demikian
sahut orang she Tang-hong itu.
Nampak orang sangat dalam
pengetahuan seni musiknya, giranglah hati Tan Keh Lok.
„Sebenarnya ada suatu hal yang
siaote kurang jelas dan ingin menanyakan pada hengtay,” kata orang itu pula.
„Tapi karena kita baru saja berkenalan, rasanya kurang pantaslah.”
„Hengtay tak berhalangan untuk
bertanya,” jawab Keh Lok.
„Kalau dengar permainan hengtay
tadi, serasa menggam barkan seperti dada hengtay ber-kobardua penuh semangat.
Namun jika melihat wajah hengtay, adalah bagaikan seorang kongcu bangsawan,
lemah lembut penuh kesopanan. Terang bukan perangai seorang tayCiang (senopati
perang). Inilah yang siaote kurang mengerti,” ujar orang itu.
„Siaote seorang anak sekolahan
yang terCebur di kangouw. Ucapan hengtay itu sungguh menggetarkan hatiku,”
sahut Keh Lok dengan tertawa.
Namun orang she Tang-hong itu tak
mempercayai keterangan Tan Keh Lok, tanyanya pula: “Hengtay ini tentu berasal
dari keluarga ternama. Maaf, siapakah gelaran dari ayah hengtay yang mulia ini?
Apakah jabatan ayah hengtay itu?”
„Ayah bernasib malang, beliau
sudah meninggal lama. Siaote hidup dengan andalkan sedikit kepandaian. Tentang
pahala atau jasa apa, siaote tak punya,” sahut Keh Lok.
„Apakah pembesardua negeri itu
buta, sehingga tak menge tahui akan diri hengtay ini? atau mungkin ada
lain-lain soal?” tanya orang itu.
„Hengtay sungguh baik,
banyak-banyak terima kasih. Hanya me mang siaote sendiri yang tak ada keinginan
menjadi pegawai negeri,” sahut Keh Lok.
Mendengar penyahutan itu, wajah
Tang-hong Ni tampak berobah. Melihat itu kedua Conghan pakaian biru itu maju
setindak kemuka, tapi pada lain saat Tang-hong Ni tertawa gelakdua, katanya:
„Hengtay seorang yang berambekan tinggi, kita semua tak dapat menyamai.”
Kedua orang itu sama menantang
satu dengan lain, ma singdua merasa satu sama lain punya sifatdua luar biasa.
Tidak hanya begitu saja, malah mereka merasa aneh juga meng apa serasa seperti
masih ada ikatan bathin.
„Sekembalinya dari daerah Hwe
kemari, tentu ditengah jalan hengtay banyak-banyak mendapat pengalaman,” kata
Tang hong Ni lagi.
„Gunung-gunung megah, alam nan
indah permai memang tak membuat jemu mata. Sayang karena sungai Hoangho me luap
mendatangkan banyir besar, terpaksa siaote Buru-buru pulang,” sahut Keh Lok.
„Kabarnya kaum pengungsi di Lan
Hong telah merampas ransum yang diperuntukkan Ceng-se-tayCiang-kun, adakah
hengtay juga mendengarnya?” tanya orang itu pula.
Tan Keh Lok melengak, pikirnya
mengapa orang ini begitu Cepat-cepat mendengar berita itu, pada hal
rombongannya siang malam terus berjalan, jadi seharusnya berita itu, tidak bisa
lebih Cepat-cepat dari kedatangan rombongannya.
„Memang kejadian itu ada, kaum
pengungsi tak punya pakaian tak punya makanan. Sebaliknya bapakdua rakjat itu
sedikitpun tak mengenal kasihan. Cntuk memperjoangkan hidup, pengungsidua itu
telah terpaksa menempuh jalan yang berbahaja. Karenanya, perbuatan mereka itu
dapat dime ngerti dan dimaafkan,” kata Keh Lok kemudian.
Tang-hong Ni kembali terhening
sejenak, lalu katanya pula : „Tapi kabarnya urusan bukan sampai sekian saja.
Pengungsidua itu dihasut orang-orang HHH untuk menentang pe merintah.”
„Apakah HHH itu ?” tanya Keh Lok
berlaga pilon.
„Sebuah perkumpulan orang kangouw
yang hendak mero bohkan kekuasaan pemerintah. Apakah hengtay belum per nah
mendengarnya?” tanya Tang-hong Ni.
„Khim dan tiok-ki adalah dunia
yang siaote karungi, urusan dunia lain-lainnya siaote tak mengerti. Sungguh
mema lukan, mengapa sampai sebuah perkumpulan yang begitu kesohor, baru.
pertama kali ini siaote mendengarnya,” sahut Keh Lok. Ia memperbaiki duduknya,
lalu katanya lagi: „Setelah menerima laporan, tentunya pemerintah mengambil tindakan
keras pada HONG HWA HWE”
„Ah, mungkin belum, karena
gerombolan HONG HWA HWE itu di rasa tak membahajakan kedudukan pemerintah,”
sahut Tang hong Ni.
Tanpa mengunyuk perobahan air
muka, bertanya pula Tan Keh Lok : „Berdasarkan apakah hengtay mengatakan begitu
?”
„Selama baginda yang arif
bijaksana ini masih bertachta, maka kerajaan akan makmur jaja. Orang-orang
pandai semua dipakai oleh pemerintah. Cukup dengan mengirim seorang dua
pahlawannya yang lihai. maka HONG HWA HWE tentu dapat di basminya,” kata
Tang-hong Ni pula.
„Siaote tak mengerti urusan
negara, apabila ada perkataan yang keliru, harap dimaafkanlah, jangan dibuat
Celahan. Menurut pandangan siaote yang Cupet ini, orang kerajaan itu
kebanyak-banyakan dari golongan „kantong nasi” yang tak punya kepandaian berarti,
pandainya hanya gegares saja. Apakah mereka akan dapat melaksanakan tugas
seberat itu ?” ujar Keh Lok.
Ketika ucapan itu melunCur keluar
mulut sianak muda, Tanghong Ni dan siorang tua serta kedua Conghan itu sama
berabah warna mukanya.
„Pandangan itu mungkin dari
hengtay seorang pelajar yang melupakan bahwa orang-orang pandai dan lihai dalam
kerajaan bagaikan mega banyak-banyaknya. Misalnya beberapa sahabatku inipun
bukan orang sembarangan. Sayang hengtay bangsa kaum sastera, jika tidak, biar
kita minta mereka unyuk kan sedikit kepandaiannya. Andaikata hengtay mengerti
ilmu silat, tentu dapat mengakui kebenaran ucapanku ini”.
Keh Lok tampak berseri-seri
wajahnya. Katanya lantas : „Sekalipun siaote tergolong bangsa leman, tapi
siaote paling kagum dengan bangsa orang gagah. Entah hengtay ini dari golongan
mana ? Apakah mereka ini muriddua” dari kala ngan hengtay? Sekiranya tak
berkeberatan, biarlah mereka unyukkan sedikit permainan agar siaote bisa
tanibah pe ngalaman”.
„Baiklah, silahkan kalian unyuk sedikit
permainan, agar Liok-ya ini suka memberi pengajaran”, seru Tanghong Ni kepada
kedua Conghan itu.
Segera Keh Lok pun memberi hormat
dengan rangkapkan tangan dan mempersilahkannya. Diam-diam ia pikir juga, sekali
mereka bergerak tentu segera diketahui dari golongan apakah mereka itu.
Maka tertampaklah salah seorang
lakidua kekar itu maju kemuka, lalu katanya: „Lihatlah, burung prenyak dxatas
puhun ini mengganggu orang dengan oCehannya itu. Akan kupukul jatuh keduanya,
agar kita dapat melihatnya dengan jelas.”
Dan sekali tangannya mengibas,
sebatang siuCian (paser) melayang kearah burung prenyak. Tapi ketika hampir me
ngenai sasarannya, mendadak sontak batang siuCian itu melengkung dan luput
mengenainya.
Kalau sampai orang itu luput
menimpuk, itulah sangat aneh bagi Tang-hong Ni. Sedang lakidua itu sendiripun
merah padam selebar mukanya. Kembali dia kibaskan tangannya, dan kembali pula
sebatang siuCian melayang kearah puhun. Kini jelaslah sudah apa yang telah
terjadi. Ketika men dekati arah siburung, tiba-tiba melayang lah sepulung kecil
dari tanah, tepat menghantam batang siuCian itu, hingga kembali menCong dari
sasarannya.
Diantara mereka, adalah siorang
tua kurus itulah yang paling tajam sendiri matanya. Sedikit dia lihat taifgan
Sim Hi bergoyang , tahulah dia bahwa anak itulah yang main gila.
„Oh, tak kira kalau adik kecil
ini mempunyai kepandaian yang begitu hebat. Nah, marilah kita belajar kenal,”
kata nya sembari menyulurkan jari tangannya untuk menangkap tangan Sim Hi.
Bukan jari sembarang jari, tapi
adalah jaridua luar biasa dari 'Eng-jiao-kang' atau ilmu Cakar elang. Jari yang
dapat meremuk-remaskan segala apa saja yang dipegangnya.
Tan Keh Lok terkejut dan mengeluh
dalam hati. Dia Cukup kenal dengan ilmu lwekang eng-jiao-kang dari kaum Ko Yang
Pai itu. Diam-diam ia menarik kesimpulan bahwa orang tua itu, kalau bukan
seorang ketua dari suatu Pai, tentulah seorang jagoan yang sukar diCari
tandingannya. Atau se tidakduanya, dia tentu tergolong seorang achli silat yang
lihai dari angkatan tua. Dan heran pula Tan Keh Lok, mengapa orang sedemikian
itu, menjadi pelajan dari orahg'she Tang-hong itu.
Namun pikiran menduga, tanganpun
bergerak. Cepat-cepat dia kembangkan kipasnya yang tepat menyelak
di-tengah-tengah antara siorang tua dengan Sim Hi. Keruan saja orang tua itu
Buru-buru tarik kembali tangannya, karena kuatir akan merusak kan kipas dari
orang yang menjadi sahabat majikannya itu. Hal itu, tentu bisa dianggap tak
pantas.
Dia memandang tajamdua pada Keh
Lok, apakah anak muda ini sebenarnya juga mengerti ilmu silat tapi sengaja akan
menolong Sim Hi. Tapi kelihatan Tan Keh Lok pelahandua ber kipasa dengan
seenaknya, se-olahdua menandakan bahwa ge rakannya tadi itu hanyalah secara
kebetulan saja.
„Sekalipun usianya masih begitu
muda, tapi anak itu lihai silatnya. Entah dari mana hengtay mendapatkan dia?”
tanya Tang-hong Ni kemudian.
„Dia sebenarnya tak mengerti
silat, hanya faham dalam hal menimpuk burung atau kutudua. Itulah karena
kebiasaan main-main sejak kecilnya saja,” sahut Keh Lok.
Tang-hong Ni tak mau mendesak
lebih jauh, lalu memandang kearah kipas tetamunya, katanya: „Kipas hengtay itu
entah barang mustika apa, bolehlah siaote meminyam barang sebentar saja?”
Segera Keh Lok menyerahkan
kipasnya. Tang-hong Ni mendapatkan bahwa kipas itu terdapat tulisan tangan dari
pudyang ga yang terdahulu, yaitu Nilan Yong-yo. Tulisannya bagus dan gajanya
kuat.
Tang-hong Ni heran dan menanyakan
dari mana anak muda itu mendapatkan kipas itu.
“SIAUTE membelinya dari toko buku
bekas dengan harga sepuluh tail emas,” jawab Keh Lok.
“Sekalipun ribuan tailpun masih
murah. Ini tentu benda mustika dari warisan keluarga bangsawan, maka heranlah
kalau hengtay telah dapat membelinya ditoko buku,” kata Tang-hong Ni seraja
tertawa lebardua.
Sekalipun merasa orang tak
mempercayainya, tapi Keh Lok hanya bersenyum saja dan tak mau menghiraukan.
Melihat sikap, orang yang agung
dan bebas ini Tang-hong Ni menjadi rnatkin ketarik, ia ingin menguji sampai di
mana peribudi ariak muda itu. Dibalikkannya kipas itu, dan ketika ternyata
disebaliknya tak terdapat tulisan apa-apa, ber katalah dia: „Siaote suka
deng-an kipas ini, sekiranya,hengtay tak keberatan, siaote memberanikan diri
untuk memintanya.”
”Jika memang hengtay menyukainya,
ambillah,” jawab Keh Lok dengan tegas tanpa ragudua!.
Menunyuk kebalik kipas yang masih
kosong itu, kembali Tang-hong Ni berkata: „Sekali lagi siaote akan minta suka
lah kiranya hengtay menuliskan apaa sedikit dibagian ini, untuk kenangan
dikemudian hari. Dimanakah tempat ke diaman hengtay, agar lain hari dapat
siaote suruh orang mengambilnya.”
„Kalau hengtay tak menertawakan,
baiklah siaote tuliskan sekarang juga,” kata Keh Lok.
Segera ia minta Sim Hi ambilkan
alatdua tulis didalam tasnya, dan tanpa ragua lagi jariduanya menuliskan sebuah
sajak yang berbunyi sebagai berikut :
Dengan pedang dan kitab naik
kereta, Menuju kebarat ribuan li diujnng langit, Gunung bersalju, laut lebar
mengalami semua, Achirnya kembali Kanglam menikmati kwi-hoa.
Orang tua kurus achli
'eng-jiao-kang' tadi, sewaktu me lihat bagaimana dengan Cepat-cepat dan gapah
anak muda itu menyelesaikan sajaknya, begitu pula ke-manadua membawa alat
tulis, segera hilanglah persangkaannya bahwa anak muda itu mengerti silat.
Sehabis mengucap terima kasih dan
menyambuti kipas itu, berkatalah pula Tang-hong Ni: „Dan Siaote juga akan
menghaturkan sesuatu pada hengtay.” Sembari mengucap begitu, dia angsurkan alat
khim itu kepada sianak muda seraja katanya: „Untuk pahlawan adalah pokiam, tapi
untuk hengtay seharusnya khim inilah persembahannya.”
Bahwa khim itu bukan sembarang
khim, tahulah Tan Keh Lok. Tapi kalau baru saja kenal, orang itu begitu baik
untuk menyerahkannya, itulah yang tak dimengerti oleh Tan Keh Lok. Tapi sebagai
seorang yang hatinya terbuka, sekalipun agak Curiga, tapi diterimanya juga
pemberian itu. Dia haturkan terima kasih dan suruh Sim Hi menyimpannya.
„Hengtay dari daerah Hwe bergegas
kembali ke Kanglam, apakah hanya karena akan menikmati musim bunga kwihoa
saja?” kata Tang-hong Ni.
„Ada seorang sahabat yang meminta
kedatangan siaote untuk membantu suatu urusan,” sahut Keh Lok.
„Dari wajah hengtay mengunyukkan
hengtay masih gelisah, adakah urusan sahabat hengtay masih belum se lesai?”
tanya orang she Tang-hong itu.
„Ja,” sahut Keh Lok.
„Entah kesulitan apa yang
terselip dalam urusan sahabat hengtay itu? Siaote punya banyak-banyak kenalan,
mungkin dapat membantu.”
„Terima kasih atas budi hengtay
itu. Tapi dalam beberapa hari lagi, urusan itu akan sudah selesai.”
Begitulah keduanya melanyutkan
perCakapannya dengan asjik sekali. Tapi hampir setengah hari mereka duduk meng
obrol itu, tetap masinga belum mengetahui siapakah kawan nya ber-Cakapdua itu.
„Lain hari kalau hengtay
membutuhkan apa-apa pada siaote, harap membawa khim itu menCari siaote ke
Pakkhia. Nah, bagaimana kalau kita bersama-sama turun kebawah?” kata Tang-hong
Ni.
„Baiklah,” sahut Keh Lok.
Dan dengan bergandengan tangan
keduanya turun dari gunung itu. Tiba pada suatu tempat, tiba-tiba dari arah
muka tampak beberapa orang menghampiri. Yang dimuka seorang berwajah putih,
mengenakan jubah tersulam benang mas dan wajahnya mirip dengan Tan Keh Lok,
begitu pula dalam usianya. Sikapnya yang agung, mengunyukkan bahwa dia bukan
orang sembarangan. Begitu saling memandang, keduanya sama terkesiap. |
„Liok-heng, bukankah dia feerupa
dengan kau? Dia adalah keponakanku. Gong-ji, kau;, beri .hormat pada Liok-sepeh
ini,” kata Tang-hong Ni pada orang tersebut, siapa Buru-buru menyura.
Keh Lok ter-sipu- membalas
hormat. Selagi toegitu, tiba-tiba terdengar suara ketawa tertahan dari seorang
wanita. Ketika ketua HONG HWA HWE berpaling, ternyata yang tampak disana jakni
Ciu Ki dengan ayah-bundanya, serta Thian Hong. Yang ber suara tadi, pasti Ciu
Ki karena menampak pemandangan yang ganyil itu, jalah adanya dua Tan Keh Lok
kembar.
Lekas-lekas Keh Lok pura-pura tak
melihat, terus melengos kearah sana. Ciu Ki dan kedua orang tuanya terkejut
tapi tidaklah dengan Thian Hong yang Cepat-cepat dapat mengetahui maksud
Congthocunya itu, maka dengan berbisik dia larang Calon isterinya itu memandang
kearah ketuanya.
„Liok-heng, baru kita sating
berkenalan, rasanya seperti sahabat lama. Mudahduaan kita dapat berjumpa lagi
kelak, dan sampai disini biarlah kita berpisahan,” kembali Tang-hong Ni
berkata.
Begitulah setelah sama-sama
memberi hormat, keduanya saling berpisah. Tampak berpuluh Conghan baju biru itu
meng awal Tang-hong Ni dari jauh. Pada saat itulah Keh Lok memberi isjarat
dengan matanya kearah Thian Hong.
“Gihu, Congthocu memberi tugas
padaku, harap gihu me ngawani adik Ki dan giboh (ibu angkat) dulu,” kata Thian
Hong pada Tiong Ing.
Ciu Ki merasa kurang puas, tapi
tak berani mengutara kan. Ternyata Thian Hong lantas mengikuti dari jauh rom
bongan Conghan baju biru masuk kedalam kota.
Petang harinya, ketika pulang
kerumah Ma Sian Kun, segera Thian Hong memberi laporan pada Tan Keh Lok bahwa
orang she Tang-hong itu masuk kedalam gedung pembesar daerah. Lalu Keh Lok
menCeritakan ten tang per temuannya dengan orang itu, dan menurut dugaan, orang
she Tang-hong itu tentulah seorang pembesar yang berpang kat tinggi. Kalau
bukan golongan menteri, tentu golongan pwelek (pengeran). Kalau menilik
sikapnya, kebanyak-banyakan seorang menteri berkuasa tinggi, karena
pengawalnya, terutama orang tua kurus itu, begitu lihai kepandaiannya.
“Apakah kedatangannya itu tak ada
hubungannya dengan urusan sliko? Malam ini kubermaksud untuk menyelidiki
sendiri,” kata Keh Lok kemudian.
„Baik, tapi sebaiknya ada lain
saudara lagi yang mengawani thocu,” jawab Thian Hong.
“Tio-samko sajalah, karena dia
orang Ciatkang, jadi faham keadaan kota ini,” kata Keh Lok.
Begitulah pada malam itu sekira
jam dua, dengan berpa kaian ringkas, Tan Keh Lok dan Tio Pan San gunakan ilmu
nya berjalan Cepat-cepat untuk menuju kegedung gebenuran.
Dengan tak mengeluarkan suara
sedikitpun juga, kedua nya sudah berada diatas genteng.
„Sudah lama kudengar ilmu silat
Thay Kek Pai itu lihai sekali dalam soal lwekang. Benar juga, ilmu mengentengi
tubuh dari Tio-samko tadi memang sempurna sekali. Kelak kalau ada kesempatan,
ingin aku meminta pengajaran darinya,” demikian diam-diam Keh Lok berpikir
sendiri. ' Dibalik itu, diam-diam Tio Pan San pun taruh kekaguman pada ketuanya
yang masih muda itu, pikirnya: “Ilmu silat dari Congthocu ternyata lihai
sebagaimana dulu telah diunyuk kan ketika bertempur dengan Ciu-loenghiong di
Thiat-tan-Chung. Kini ternyata ilmunya mengentengi tubuh pun luar biasa. Entah
bagaimana selama ini Caranya Thian-ti-koay-hiap Wan Su Siau memberi pelajaran
padanya.”
Dan dalam sekejab saja, keduanya
sudah tiba dibagian atas ruangan besar gedung pembesar itu.
„Awas, disebelah muka ada orang!”
tiba-tiba Keh Lok berbisik pada kawannya.
Cepat-cepat sekali Tio Pan San
ikuti gerakan ketuanya untuk menelungkup kebawah. Benar juga ketika itu ada dua
sosok bayangan berkelebat. Rupanya mereka itu sedang meronda. Begitu mereka
sudah lewat. Tio Pan San timpukkan sebatang thi-lian-Ci kearah sebuah puhun
besar. Mendengar diatas puhun itu ada sviara berkresekan, kedua peronda itu
segera memburu untuk memeriksanya. Melihat kesempatan itu, Keh Lok berdua
segera melunCur turun kebawah.
Sampai sekean saat, mereka
sembunyikan diri disudut gedung. Setelah ternyata tak ada bahaja apa-apa,
barulah keduanya berani menyenguk kedalam. Tapi apa yang disaksikannya, telah
membuat kedua pemimpin HONG HWA HWE itu terkejut.
Kiranya rentetan obor yang terang
benderang laksana siang hari itu, adalah barisan penyaga yang terdiri dari
ratusan serdadu yang sama siap dengan busur, golok dan tombaknya, Rupanya
penyagaan itu diatur kuat sekali. Beberapa buCiang (perwira) tampak
mondar-mandir mengelilingi gedung itu. Tapi anehnya, sekean banyak-banyak
tentara itu, satupun tak ada yang berani keluarkan suara. Sampai diwaktu
berjalan saja, kaki mereka sama diinyakkan pelahan- sehingga hampir tak
mengeluarkan suara. Karenanya, suasana disitupun ke dengarannya sunyidua saja.
Hanya ada kalanya terdengar letikan buluh obor yang terbakar peCah.
Karena tak berdaya untuk
menyelinap masuk, Tan Keh Lok memberi isjarat samko-nya untuk keluar dari situ
untuk berunding ditempat yang sepi.
„Kita jangan 'keprak rumput
membikin kaget sang ular', lebih baik pulang dulu untuk berunding,” kata Keh
Lok.
Tapi baru saja keduanya akan
loncat keatas rumah, tiba-tiba pintu gedung pembesar itu terbuka. Seorang bukoan
(perwira) dengan diikuti oleh 4 orang serdadu tampak berjalan keluar. Mereka
berjalan disepanyang jalan, dan kira-kira beberapa puluh tombak jauhnya, mereka
tampak mendatangi kembali. Kiranya mereka itu tengah melakukan perondaan.
Melihat penyagaan yang begitu
kuat, terkejut hati Tio Pan San. Pada lain saat, ketika kelima tentara itu ber
jalan keluar, Keh Lok memberi isjarat dengan gerakan tangan. Pan San mengerti
artinya, terus meloncat kemuka dan melepaskan tiga buah Chi-piauw (piauw dari
mata uang). Segera ada tiga orang serdadu itu yang roboh. Keh Lokpun me
nimpukkan dua buah biji Caturnya dan tepat mengenai jalan darah perwira tadi
dan seorang serdadu yang lainnya. Tertim puk jalan darahnya, mereka tak dapat
berteriak, tak dapat berkutik. Hanya mata mereka yang masih dapat menyaksikan
bahwa ada dua bayangan loncat keatas tembok terus meng hilang masuk kedalam.
Dan sebelum itu tak lupa Tan Keh Lok dan Tio Pan San menyeret kelima serdadu
itu ketempat yang gelap, lalu mengambil pakaian dari dua orang serdadu dan
terus dipakainya. Menanti setelah peronda diatas rumah itu lewat, barulah.
keduanya loncat masuk kehalaman gedung dan terus masuk kedalam ruangan dalam.
Disitu banyak-banyaklah serdadudua dan perwiraduanya yang berjalan
pergi-datang, sudah tentu mereka tak dapat mengenali kedua serdadu tetiron itu.
Ternyata para pengawal yang
menyaga diruangan dalam situ adalah perwiradua berpangkat tinggi, kalau bukan
Cong-peng tentu hu-Ciang. Hanya saja jumlah mereka tak se banyak-banyak
pengawal diluar ruangan. Begitu ada kesempatan, Tan Keh Lok dan Tio Pan San
menyelinap kebalik tiang disudut ruangan, terus menggelandot keatas tiang
penglari. Setelah menunggu lagi untuk beberapa saat, dengan menggaetkan
sepasang kakinya pada tiang penglari, Tan Keh Lok ajunkan badannya kebawah,
lalu membasahi kertas jendela dengan ludahnya dan mengintip kedalam. Tio Pan
San tetap men jagai, apabila ada kemungkinan dipergoki.
Disebelah. dalam situ, ternyata
adalah sebuah paseban besar, diatas paseban itu berdiri 5 atau enam orang yang
menge nakan pakaian menteri kerajaan. Ditengahdua situ ada seorang yang duduk.
Sayang karena duduknya membelakangi, jadi Keh Lok tak dapat melihat wajahnya
dengan jelas. Hanya yang nyata, beberapa menteri itu bersikap menghormat
sekali, mereka tak berani memandang kearah orang yang duduk itu. Pada saat itu
kembali ada seorang pembesar datang menghadap terus berlutut menyalankan
peradatan pada orang yang duduk itu.
Tan Keh Lok terkesiap, karena
terang itulah. Cara penghormatan yang hanya dilakukan kepada hongte (kaisar).
Apakah kaisar benardua sudah
datang ke HangCiu sini ? Tengah ia mendugadua, kedengaranlah pembesar itu
berkata: “Hamba yang rendah An-jat-su Ciatkang, In Ciang Hay
datang menghadap bansweya (yang
mulia).” „Ah, kiranya benardua adalah hongte, makanya penyagaan
begini kuatnya”, pikir Keh Lok.
Orang yang duduk itu perdengarkan suara hidung, lalu
katanya pelan-pelan : “Hm,
sungguh besar sekali nyalimu !” In Ciang Hay tersipu-sipumembuka topi
kebesarannya, lalu menyuaradua ber-ulangdua dengan tak berani mengeluarkan
ucapan apa-apa.
„Kukirim pasukan untuk menindas
kekaCauan didaerah Hwe, kabarnya kau sangat menentang”, kata orang yang duduk
itu beberapa saat kemudian.
„Ha, mengapa nada suara baginda
itu seperti pernah ku dengar”, kembali Keh Lok merasa heran.
Sembari berlutut, sementara In
Ciang Hay telah men jawab : „Hamba pantas menerima hukuman, hamba tak berani
berbuat demikian”.
„Kuminta daerah Ciatkang sini
mengirimkan sepuluh laksa gantang beras untuk ransum tentara itu, mengapa tak
kau indahkan?” tanya orang itu pula.
„Hamba tak berani melanggar
firman bansweeya itu. Hanya saja karena panen tahun ini kurang hasilnya, rakjat
banyak-banyak yang menderita, jadi dalam waktu. sesingkat itu hamba belum dapat
melaksanakan titah bansweeya itu”, sahut In Ciang Hay.
“Rakjat menderita ? Hm, kiranya
kau ini seorang pembesar negeri yang menCintai rakjat,” jengek orang itu.
Kembali In Ciang Hay menyura
beberapa kali. „Mohon bansweeya sudi memberi ampun,” demikian katanya
ber-ulang-ulang.
„Kalau menurut pendapatmu
bagaimana baiknya, ransum tidak Cukup, pada hal mereka sangat memerlukan
sekali.
Apakah maksudmu biarkan saja
tentaradua itu mati kelapar an didaerah Hwe sana?” tanya orang itu.
„Hamba tak berani mengatakan”,
kata Ciang Hay dengan menyura pula.
“Mengapa tak berani? Ayo, kau
bilanglah!”
„Bansweya adalah seorang
junyungan yang sangat di patuhi rakjat, sedang daerah Hwe adalah daerah yang
kecil lagi miskin. Kiranya tak perlu bansweya mengirim pasukan untuk
menindasnya, Cukup dengan seorang menteri yang bijaksana tentu akan dapat
mengarah hati mereka,” ujar pembesar itu.
Orang yang duduk itu kembali
perdengarkan suara dari hidung, tanpa menyahut apa-apa.
“Ujar orang kuno: 'Tentara adalah
alat yang bengis, orang bijaksana baru mau menggunakannya apabila betul-betul
sudah terpaksa'. Apabila bansweya berkenan untuk menarik kembali pasukan itu,
pasti rakjat akan merasa berbahagia,” kembali pembesar she In itu berdatang
sembah.
“Jadi kalau aku tetap akan
mengirim pasukan, rakjat tentu akan mendendam,” kata orang itu seraja tertawa
dingin.
In Ciang Hay kembali menyura
kelantai. Malah kali ini lebih keras dia tatapkan kepalanya kelantai, sehingga
ke ningnya berdarah. Dengan tertawa bergelak sekali orang itu turun dari tempat
duduknya dan menghampirinya. Katanya dengan tertawa: “Kiranya kau mempunyai
batok kepala yang keras, sehingga berani membantah dihadapanku !”
Habis berkata begitu orang
tersebut berbalik badan.
Kalau ada petir menyambar disiang
hari, mungkin masih belum melebihi kekagetan Tan Keh Lok ketika itu. Baginda
itu ternyata bukan lain ialah orang yang duduk ber-Cakapdua dengan dia dihutan
Samtiok pagi tadi, si Tang-hong Ni atau kaisar Kian Liong yang sesungguhnya.
Sekalipun Tan Keh Lok seorang yang tenang dart tabah, tak urung dia kucur kan
keringat dingin juga.
„Sudahlah, kau pulanglah
beristirahat dengan tenang!” tiba-tiba Kian Liong berseru.
Setelah menyura lagi beberapa
kali, In Ciang Hay undur kan diri. Setelah itu tampak Kian Liong memberi
isjarat dengan mata pada siorang tua (pengawalnya sewaktu di hutan Sam-tiok
tadi pagi).
Siorang tua segera mengikuti
dibelakang In Ciang Hay. Begitu berada diluar paseban, ditepuknya pundak
siorang she In dan berkata padanya: “Baginda mengaruniai kau kematian, lekas
berlutut menghaturkan terima kasih!”
Orang itu terkesiap sejenak, tapi
pada lain saat ia tertawa seraja berkata: „Haha, nasehat yang berharga dianggap
menusuk telinga, rakjat banyak-banyak dibiarkan menderita. Aku In Ciang Hay
tidak merasa keCewa telah menunaikan kewa jiban, mengapa mesti jerikan
kematian?”
Dengan tenang lalu ia berlutut
menghadap kearah paseban besar, dan ketika siorang tua itu menghantamkan
kepelan nya, tulangdua dipunggung pembesar yang berani itu segera patah dan
seketika putuslah jiwanya. Siorang tua segera titahkan kawanan serdadu untuk
mengangkut majat itu keluar.
Diatas wuwungan, Tan Keh Lok
berdua dapat menyaksikan kejadian itu dengan jelas. Diam-diam timbul pikiran
mereka, bahwa sedemikian itulah kejamnya kekuasaan seorang kaisar. Seorang
menteri yang berani memberi nasehat tak menyetujui tindakannya lantas dihukum
mati.
Siorang tua kembali masuk
menghadap pada baginda seraja menghaturkan laporan: „In taijin tiba-tiba saja
dise rang angin jahat, karena tak keburu diberi pertolongan, beliau keburu
meninggal.”
Kian Liong meng-angguk-anggukkan
kepalanya. „Mengapa begitu segar bugar nampaknya dapat meninggal dengan
tiba-tiba . Sa yang ,” ujarnya.
Beberapa menteri yang hadir
disitu sama ketakutan.
„Kalian boleh pulang semua,
sepuluh laksa gantang beras harus selekasnya dikumpulkan dan dikirim,” kata
Kian Liong.
Beberapa menteri itu tampak
menyura beberapa kali, terus mengundurkan diri.
“Suruh Gong-ji kemari,” seru Kian
Liong kemudian.
Seorang 'abdi-dalem' Cepat-cepat
menuju keluar, dan tak beberapa lama kembali masuk dengan seorang pemuda. Tan
Keh Lok segera mengenali bahwa anak muda itulah yang wajahnya mirip dengan
dirinya.
Anak muda itu berdiri disamping
Kian Liong, sikapnya biasa saja, tak seperti kawanan menteri yang begitu kaku
karena ber-lebih-an hormatnya.
„Titahkan Li Khik Siu kemari,”
kata Kian Liong pula.
Kembali hamba tadi keluar dengan
membawa titah baginda. Habis itu seorang bu-Ciang (jenderal) kelihatan datang
menghadap.
„Hamba yang rendah, Li Khik Siu,
panglima HangCiu, mohon menghadap bansweya,” demikian pembesar itu.
“Kepala berandal Hong Hwa Hwe orang
she Bun itu bagaimana?” tanya Kian Liong tiba-tiba .
Mendengar Kian Liong membicarakan
soal Bun Thay Lay, segera Keh Lok mendengarkan dengan penuh perhatian.
„Dia menderita lukas parah, hamba
sedang panggil sinshe untuk mengobatinya. Tunggu kalau dia sudah baik, .baru
dapat' diperiksa,” sahut Li Khik Siu sementara itu.
„Harus hati-hati menyaganya,”
pesan Kian Liong.
„Titah bansweya tentu hamba
junyung,” jawab Khik Siu.
“Baik, kau pergilah,” kata Kian
Liong achirnya.
Li Khik Siu lebih dulu menyura
baru berjalan keluar.
„Samko, kita kuntit dia,” bisik
Keh Lok pada Tio Pan San.
Dengan hati-hati keduanya
melunCur turun, tapi baru saja kaki mereka menginyak lantai, tiba^ dari arah
paseban terdengar seorang berteriak: „Ada penyahat !”
Tan Keh Lok dan Tio Pan San
Cepat-cepat loncat keluar rua ngan dan menyusup kedalam rombongan serdadu
penyaga. Tapi saat itu terdengar kentongan dipukul keras-kerasdan sua sana
menjadi genting. Siorang tua kurus itu dengan diiringi tujuh atau delapan
Conghan baju biru bersenjata lengkap, tampak melakukan peperiksaan dengan
bengis.
Sepasang mata siorang tua itu
ber-apidua berjilatan ke manadua. Sementara itu Keh Lok sudah mungkur dan
dengan ber-indapdua menghampiri pintu.
„Kau siapa!” bentak siorang tua
sembari ulurkan tangan untuk memegang pundak Pan San ketika sudah dekat. Tapi
sekali bergerak Pan San kibaskan tangan orang terus menobros kearah pintu.
Siorang tua memburu dan menghantam punggung Pan San. Ketika itu Tio Pan San
sudah berada diambang pintu, dengar ada samberan angin, dia mendekkan badan.
Dalam pada itu, ia sudah akan balas me nyerang. Tapi Keh Lok ketika itu sudah
melepas baju sera gamnya, Cepat-cepat s merangkupkannya kekepala siorang tua.
Siorang tua Cepat-cepat ulurkan
tangan menyawutnya. Begitulah ketika saling tarik terjadi, baju seragam itu
kerowak menjadi dua. Sebat sekali Keh Lok timpukkan kerowakan baju di tangannya
kearah orang. Selagi timpukan itu di sertai dengan tenaga khikang, kakinya
terus melangkah keluar pintu.
Lihai adalah siorang tua, sembari
menyawut timpukan orang, iapun sudah maju memburu. Tapi baru kakinya melangkah
diambang pintu, sebuah tubuh orang melayang kedadanya. Kiranya itulah tubuh
seorang serdadu yang telah kena dibekuk dan terus dilemparkan oleh Tio Pan San.
Lengan kiri orang itu Cukup sekali
saja dikibaskan ke muka, tubuh serdadu itu terlempar kesamping, dan iapun tetap
memburunya lagi. Begitulah dengan datangnya perintangdua itu, tahus mereka
sudah keluar dari pintu gedung. Tampak pada saat itu dua tiga puluh si-wi
(pengawal istanal ber-bondongdua memburu keluar. Maka berteriaklah siorang tua:
„Yang penting, kalian harus lindungi baginda. Cukup 5 orang saja yang turut
padaku !”
Habis menunyuk pada 5 orang
si-wi, siorang tua gunakan ilmu berlari Cepat-cepat untuk lanyutkan
pengejarannya. Sampai diluar jalan, tampak kedua orang buruannya itu lari
diatas sepanyang atap rumah. Siorang tua juga enyot kakinya untuk loncat keatap
genteng. Dalam sekejap saja, ber puluh rumah telah dilalui. Jaraknya makin
dekat. Ketika siorang tua akan menegurnya, tiba-tiba dibawah sebuah rumah yang
berada disebelah muka, terdengar bunyi suitan, seperti ada bantuan datang.
Siorang tua bernyali besar, dia
tetap memburu maju. Kedua orang buronan itu tibas loncat turun dan merandek
ditengah jalanan. Menyusul turun, tangan siorang tua men julur kearah Tan Keh
Lok Tapi anak muda itu tak mau mundur atau menghindar, hanya tertawa
keras-kerasseraja ber kata: „Aku adalah sahabat junyunganmu, kau orang tua ini
mengapa berani berlaku kurang adat?”
Ketika diantara Cahaja rembulan
dilihat wajah Tan Keh Lok, kagetlah siorang tua, terus menarik pulang
tangannya.
„Kau ternyata bukan manusia baik,
ikutlah aku menghadap baginda!” katanya kemudian.
„Tapi apakah kau berani mengikuti
aku,” kata Keh Lok dengan masih tertawa.
Siorang tua merenung sejenak.
Tiba-tiba Sim Hi munCul dari samping, terus menuding siorang tua dan
mendampratnya: “Kau situa bangka yang masih temaha hidup ini, kali ini kau kira
akan dapat me nangkap aku? Kongcuku karena memandang muka tuanmu, maka tak mau
ladeni kau. Dan aku, juga karena memandang muka kongcu, pun terpaksa mengalah
padamu. Mengapa kau begitu tak tahu diri berani mengejar kemari?”
Kemarahan siorang tua itu diunyuk
dengan mulutnya yang menggerung dan tangannya yang seCepat-cepat kilat menya
wut lengan Sim Hi yang kanan itu. Sehingga pada saat itu Sim Hi rasakan
lengannya serasa dijepit dengan jepitan besi, sakit dan panas bukan buatan,
sehingga dia tak dapat berkutik.
Melihat itu Keh Lok dan Pan San
berbareng menyerang.
Cepat-cepat siorang tua lemparkan
sikaCung untuk menyambut serangan kedua orang itu. Diatas udara. Sim Hi berjum
palitan dan inyakkan kakinya ketanah dengan pelahans. Tak berani dia umbar
suara lagi, habis bersuit, terus berlalu.
Pada saat itu kelima si-wi
tadipun sudah datang pula. Tan Keh Lok dan Tio Pan San mundur kearah barat.
Diarah muka sana terus menerus terdengar suara suitan.
„Buru terus!” demikian siorang
tua keluarkan perintah dengan garang.
Jadi kini yang diburu ialah Tan
Keh Lok bertiga dengan Tio Pan San dan Sim Hi sedang yang memburu siorang tua
dengan kelima si-wi, Mereka berlarian menuju kearah telaga
Se-ouw. Tepi telaga itu adalah
tempat perkemahan tentara yang mengawal Kian Liong. Jadi kalau Tan Keh Lok ber
tiga lari kearah sana itulah bagus, seperti ikan masuk ke jaring, demeikian
pikir siorang tua.
Tapi begitu sampai ketepl telaga,
Keh Lok bertiga segera loncat kesebuah perahu kecil, perahu mana terus
bertolak. Melihat ada sebuah perahu lain ditepi itu, Cepat-cepat siorang tua
dan kelima si-wi itu loncat keatasnya. Tampak pada buritan perahu ada seorang
wanita, yang memakai kerudung kepala warna hijau. Pakaiannya yang sederhana itu
tambah menambah keelokan tubuhnya.
„Lekas mendajung, kejarlah perahu
dimuka itu, nanti diberi persen besar”, kata siorang tua.
„Sungguh ? Masa tengah malam buta
begini, mau pesiar ketelaga ? Majikan kita sedang mendarat, maukah tuandua
menunggunya sebentar ?” kata perempuan itu dengan tertawa.
Salah seorang si-wi menjadi tak
sabaran. Sekali babat, putuslah tali penambat perahu itu. Sedang seorang kawan
nya, gunakan tombak untuk mendajungkannya. Perahu itu segera mula; melunCur
ketengah.
„Ai, selama ini belum pernah ada
pelanCong yang se wenanga tak tahu aturan seperti ini”, kata siperempuan
tertawa.
Siorang tua tak mau
menghiraukannya, terus perintahkan mendajung dengan Cepat-cepat . Siwanita
terpaksa bantu mendajung. Tampak perahu yang diburu itu melunCur kebawah
terowongan jembatan Su-thi-kio. Salah seorang si-wi ambil sebilah papan untuk
bantu mendajung.
Ketika kedua perahu itu hampir
merapat, tiba-tiba dari rum pun bungadua terate yang dinaungi oleh bayangan
puhundua itu, munCullah 5 buah perahu. Yang ditengahdua merupakan perahu besar,
lajarnya dari kain hijau, merupakan perahu pesiar ja,ng mewah buatannya. Begitu
terdengar suitan, Tan Keh Lok sudah ajun tubuhnya keatas perahu pesiar itu. Sim
Hi pun mengikuti dan mengambil sebuah pakaian jubah warna putih, lalu diberikan
pada tuannya.
Kini tampak ketua dari H.H.H, itu
berdiri diatas haluan, tangannya memegang sebuah kipas. Bajunya bergontaian
dimain embusan angin, dan dengan dongakkan kepala me mandang rembulan, tampak
dia betul-betul mirip dengan seorang pertapa sakti.
Tak lama pula, perahu siorang tua
pun tiba, setelah suruh memberhentikan mendajung, maka berserulah ia dengan
lantangnya: „Hai, sahabat, siapakah sebenarnya kau ini, harap memberitahukan.”
Dari tengahdua badan kapal Sim Hi
keluar, serunya: “Kong Cuku telah memberitahukan namanya pada tuanmu! Aku ini
adalah kaCungnya, tak ber-she tak bernama. Kongcu biasa menyebut 'Sim Hi'
padaku. Dan siapa pula namamu, Coba sebutkanlah. Kongcuku adalah sahabat dari
tuanmu. Kita yang menjadi orang sebawahannya ini, baik juga sekiranya untuk
berkenalan.”
Kecil usianya, tapi kaCung itu
pandai mengili hati orang. Saking marahnya, sepasang alis siorang tua itu
terangkat naik, lalu mendamprat: “Setan Cilik, jangan ngaCo giladuaan!”
Adalah Tio Pan San yang berdiri
dilain perahu segera berseru: “Aku yang rendah ini, adalah Tio Pan San dari
Un-Ciu. Adakah saudara ini dari golongan Ko Yang Pai?”
„Ah, kiranya sahabat ini adalah
yang dijuluki orang kangouw sebagai Cian-pi-ji-lay Tio-tangkeh itu?” kata
siorang tua.
„Ah, sebenarnya itu hanyalah
gelaran kosong dari sahabatdua kangouw yang suka bersendau gurau. Sebenarnya
aku merasa malu pada diri sendiri. Dan mohon tanya, siapakah nama saudara yang
mulia?” kata Pan San.
„Aku yang rendah orang she Pek
nama Cin...............”
Mendengar kata-kata itu, Tan Keh
Lok dan Tio Pan San sama terkesiap. Pek Cin yang berjuluk „Kim-jiau-thi-kau”
atau Cakar emas dan kaitan besi, adalah tokoh terkemuka dari Cabang Ko Yang
Pai. Kira-kira tiga 0 tahun yang lalu, ilmunya “eng-jiao-kang” telah
menggetarkan dunia persilatan. Sudah lama benar dia menghilang, kini tahu-tahu
dia menjadi peng awal peribadi dari baginda Kian Liong.
Buru-buru Tio Pan San rangkapkan
kedua tangannya memberi hormat, katanya ;
„Oh, kiranya 'Kim-jiau-thi-kau'
Pek-locianpwe, maka tak heranlah kalau bugenya begitu lihai. Pek locianpwe
begitu memerlukan sekali untuk mengunyungi kami, entah akan memberi pengajaran
apa?” tanya Tio Pan San dengan me rangkap kedua tangannya.
„Kudengar saudara Tio adalah
sam-tangkeh dari HONG HWA HWE, dan siapa saudara yang satunya itu?” tanya Pek
Cin. Setelah merenung sejenak, tiba-tiba dia berkata pula: „Aha, apakah bukan
siaothocu Tan kongcu?”
Tio Pan San menyawab pertanyaan
itu dengan bertanya: “Apakah yang locianpwe inginkan?”......
Tan Keh Lok mengebut kipasnya,
kemudian ia ikut berkata dengan lantang: “Rembulan terang, angin tenang. Malam
yang sedemikian indahnya, maukah Pek-locianpwe ber-sama-sama menikmati arak?”
„Kau tengah malam ! telah
menyelundup kegedung pem besar, sehingga membikin gaduh. Sebaiknya kau suka
turut aku menghadap pada junyunganku, agar tak menyusahkan diriku. Junyunganku
inemperlakukan kau dengan baik, dirasa tentu takkan meiCusahkan dirimu,” “sahut
Pek Cin.
Tertawa Tan Keh Lok. “Junyunganmu
itu bukan orang sembarangan. Kau sampaikanlah padanya, bahwa bunga kwi-hoa
tengah menyebarkan baunya yang harum ditelaga, sedang rembulan pun tengah
bersemarak dengan gilangnya. Apabila ada kegembiraan, sukalah berkunyung kemari
untuk mengobrol dan menikmati arak. Aku menantikannya disini,” sahutnya
kemudian.
Hati Pek Cin menjadi serba susah.
Dia menyaksikan sendiri bagaimana raja telah memperlakukan orang itu begitu
manisnya, apabila sampai berbuat kesalahan padanya, ada. kemungkinan raja akan
menyesalinya. Tapi karena orang itu berani menyelundup ketempat persidangan
baginda, maka bagaimana akibatnya kalau tak ditangkap? Beberapa saat ia
me-nimangdua itu, tiba-tiba ia mendapat pikiran : bahwa karena yang menyelundup
itu dua orang, maka kalau seki ranya tak leluasa menangkap yang seorang, yang
lainnya (Tio Pan San) akan bisa ditangkap tentunya.
SeCepat-cepat memikir,
seCepat-cepat itu pula dia enyot tubuhnya loncat keatas perahu Tio Pan San.
Belum orangnya datang, Cengkeraman tangannya sudah menyulur. Sepuluh jarinya
bagaikan besi kerasnya, berbareng merangkum muka dan dada Tio Pan San.
Melihat itu, Cepat-cepat Pan San
empos semangatnya dan tetap tenang saja. Begitu Cengkeraman orang hampir tiba,
dengan tangan kanan „im Ciang” dan tangan kiri „yang Ciang,” dalam gerakan „hun
Chiu,” dia kibaskan kedua Cengkeraman besi itu dengan tipu “ji-liong-jut-hai”
atau dua naga keluar dari lautan.
Berpuluh tahun Tio Pan San telah
mejakinkan ilmu si lat Thay Kek Kun. Dia adalah achli lwekang Thay Kek Pai dari
golongan selatan. Gerakannya telah menCapai kesem purnaan pada tingkat yang
tiada taranya.
Ketika Cengkeramannya tak menemui
sasaran, Pek Cin rasakan lengannya terdorong oleh kekuatan yang maha kuat,
Cepat-cepat a dia kerahkan khl-kang untuk bertahan.
Berbicara tentang ilmu Iwe-kang,
sebenarnya kedua orang itu sama-sama telah menCapai kesempurnaan. Hanya saja
posisi mereka yang berlainan. Pek Cin turun melayang dari atas, jadi tak punya
landasan untuk Cari kekuatan. Tio Pan San menginyak diburitan perahu. Sambil
mendo rong, kakinya tetap berpijak kuatdua.
Tiba-tiba Pek Cin merobah
gerakannya dengan Cepat-cepat . Sebe lum lawan kumpulkan seluruh tenaganya,
tangannya kiri di kibaskan keatas, sedang tangannya kanan kembali membe rosot
untuk menCengkeram dada lawan. Kalau berhasil, dada musuh. pasti akan robek
dibuatnya.
Pan Sanpun dengan sebatnya melindungi
dadanya dengan kedua tangannya. Habis itu, seCepat-cepat kilat tangannya kanan
ditebaskan kebawah sedang tangannya kiri diangkat memo tong keatas. Jadi kanan
kiri tubuh Pek Cin seperti dika Cip. Itulah yang disebut gerakan
“ya-ma-hun-Cong” atau kuda liar mengibar suri. Sambil menolak serangan, terus
balas menyerang.
Adalah maksud dari serangan Pek
Cin tadi, supaya musuh mundur setindak, agar dia dapat menginyak lantai perahu.
Tapi ternyata Pan San dari mundur sebaliknya tetap berdiri
ditempatnya. Sehingga kini Pek
Cin teranCam bahaja keCebur disungai. Dia menjadi nekad, terus menyambar maju.
Tapi Pan San tetap membandel,
malah dengan gerakan “maju memindah palang,” dia maju menghantam. Pek Cin
egoskan kepala, sembari menyawut lengan orang. Melihat itu, Pan San susuli
dengan sebuah hantaman kemuka lawan, tapi lawanpun juga bertindak sama. Jadi
dua buah tinyu saling berhantam. “Brakk!” Akibatnya, kedua orang itu »
sama-sama terpental kebelakang sampai beberapa tindak.
Tio Pan San terpental jatuh tepat
diatas buritan. Cio Su Kin yang menjadi juru dajung dihaluan perahu, Buru-buru
menghampiri untuk menolong. Tapi ternyata Pan San sudah Cepat-cepat berdiri
pula.
Sebaliknya, bagi Pek Cin karena
dibelakangnya adalah telaga tentulah ia akan keCebur masuk air, diam-diam ia
sudah mengeluh, Syukurlah baginya dengan Cepat-cepat seorang si-wi melempar
sebilah papan kemuka air dan dengan papan itulah Pek Cin dapat enyot tubuhnya
loncat masuk kembali ke dalam perahunya.
Dalam dua tiga gebrak, nyatalah
kekuatan kedua jago itu berimbang. Bagi Pek Cin, dia gagal untuk menginyak kan
kakinya kelantai buritan. Sekalipun dia dapat membuat lawan terhujungdua, tapi
ia juga hampir keCebur ditelaga. Jadi boleh dikata seri alias sama kuat.
„Bagus, bugemu Cukup lihai.
Sekarang pulanglah berita hukan pada tuanmu, bahwa kutunggu dia disini untuk
meng gadangi dewi malam,” seru Tan Keh Lok dengan suara lantang.
Pek Cin malu terCampur marah.
Tapi karena kelima perahu itu penuh dengan orang-orang yang lihai, sedang
fihaknya hanya 5 orang, maka ia dapat melihat gelagat. Lebih baik mundur
teratur untuk menyusun kekuatan. Lalu diperintah kannya siperempuan tukang
perahu mendajung pulang.
“Rembulan sedang gemilang,
mengapa tuandua kesusu pulang? Mengapa tak mau ber-main-main dulu?” tertawa si f
perempuan tukang perahu.
“Ceriwis! Kau tak tahu kita
sedang melakukan tugas negara!” bentak Pek Cin,
„Aha, masa menyalankan tugas
negara pergi ketelaga, penghuni telaga tentu geli dibuatnya,” demikian sahut pe
rempuan itu pula. „Baiklah, ongkos persewaannya satu tail perak. Bajar dahulu,
baru kubawa kau pulang!”
Karena menguber orang, sudah
tentu kelima orang itu tak membawa uang, hingga mereka terkesiap sejenak.
„Masa tuan besarnya naik perahu
saja diharuskan mem beri uang? Kita tak minta uangmu saja, itu kau sudah harus
berSyukur. Ayo, lekas dajung,” hardik seorang si-wi dengan marahnya.
Namun wanita tukang perahu itu
malah lepaskan dajung-nya, dengan berdiri bertolak pinggang, dia tertawa dan
menyawab: „Ha, sekalipun kau ini kaisar sendiri juga harus membajar !”
Melihat sikap luar biasa dari
perempuan itu, Pek Cin Curiga dan akan menegurnya. Tapi salah seorang si-wi
telah mendahului ulurkan tangannya untuk menyeret kaki siperem puan, seraja
tertawa.
Cepat-cepat perempuan itu mundur
selangkah. Tapi si-wi itu terus menyulurkan tangannya lebih panyang .
„Lo Hoan, awas!” tiba-tiba Pek
Cin berseru.
Belum habis peringatan itu
diuCapkan, badan perahu menjadi miring, dan si-wi itu terhujungs separoh
tubuhnya meng gelandot kesamping perahu, karena itu, Cukup sekali kaki kiri
perempuan itu didupakkan pelan-pelan keatas punggungnya, maka menyeritlah si-wi
itu disusul dengan suara keCem plungnya sang tubuh kedalam air.
Sebat kepalan Pek Cin melayang
kemuka siperempuan, namun tukang perahu perempuan itu Cepat-cepat pula
mengangkat gajuhnya. Brekk..................
Untuk kekagetan situkang perahu,
dajungnya telah patah. SeCepat-cepat kilat ia buang dirinya kebelakang terjun
kedalam telaga. Tapi pada lain saat, perahu ber-goyang dua dan berputar dengan
keras sekali, se-olah.dua akan terbalik. Tentu itulah perbuatan perempuan
tukang perahu tadi.
Pek Cin dan Kawan-kawan nya si-wi
adalah orang utara, mereka tak mengerti ilmu berenang. Sudah tentu mereka kaget
bukan kepalang.
„Orang-orang itu adalah
orang-orang sebawahan dari sahabatku, biarkan mereka pulang!” tibas Keh Lok
berseru nyaring.
Cio Su Kin loncat kedalam air.
Bagaikan ikan dujung, dia melunCur kearah si-wi yang keCebur tadi. Dijambaknya
rambut orang, setelah dilemparkan keatas satu kali, barulah si-wi itu
dilontarkan kedalam perahu. Pek Cin tersipu-sipumenyang gapinya, tapi tak urung
iapun turut basah kujup. Dalam pada itu, ia diam-diam terkejut menampak
kekuatan luar biasa yang diunyukkan Cio Su Kin tadi.
Pada saat itu, perahu itu tampak
tenang kembali. Sedang siperempuan tadipun tampak munCul keatas sambil
tertawadua bertepuk tangan. Habis itu dia berenang bersama Cio Su Kin kearah
lima buah perahul tadi. Kiranya perempuan tukang perahu itu, bukan lain ialah
Lou Ping adanya.
Apa boleh buat, Pek Cin dan
kelima si-wi itu mendajung nya sendiri. Tanpa ajal lagi, mereka laporkan
kejadian itu pada junyungannya. Tapi soal mereka di “lelapkan” dalam air oleh
Lou Ping itu tak dilaporkan.
„Kalau memang dia bersungguh hati
mengundang, tak apalah, kau kasih tahu padanya sebentar aku akan kesana,” kata
Kian Liong.
“Mereka adalah kawanan 'batu',
sedang baginda adalah seumpama emas, hamba kira tak usahlah baginda hiraukan
mereka,” kata Pek Cin.
“Lekas jalankan perintah!” seru
Kian Liong tegas.
Pek Cin tak berani banyak-banyak
omong lagi,. terus Cemplak kudanya ketelaga Se-ouw. Disana Cio Su Kin tengah
ber peluk lutut, seperti sedang menanti beritanya.
“Bilanglah pada siauthocumu,
junyungan kami terima undangannya!” seru Pek Cin.
Dalam perjalanan pulang, Pek Cin
telah berpapasan dengan pasukan gi-lim-kun (pasukan pengawal raja) dan pasukan
pemanah tengah berjalan menuju ketelaga. Me nyusul tampaklah pasukan tentara di
HangCiu, dan Cui-su (pasukan air, angkatan laut jaman itu).
„Entah bagaimana pandangan
baginda terhadap anak muda itu. Hanya karena hendak menemani minum arak,
baginda telah bawa pasukannya lengkapdua” pikir Pek Cin heran.
Cepat-cepat dia pulang lalu atur
rombongan si-wi yang bertugas melindungi kaisar. Nampaknya Kian Liong bersikap
gembira sekali.
„Apa sudah siap semua,” tanya
Kian Liong kepada Li Khik Siu yang sementara itu mendampingi juga.
Kian Liong ganti berpakaian
seperti rakjat biasa, begitu pula pasukan 'gi-lim-kun' disuruhnya ganti
pakaian. Dia Campurkan diri pada rombongan si-wi. Dengan berkuda mereka
berangkat ketepi telaga.
Tapi. belum jauh mereka
berangkat, tiba-tiba seorang perwira datang melapor kepada Li Khik Siu: “Perahu
pesiar ditelaga Se-ouw tiada satupun dapat disewa, semua alat pengang kutan air
itu berlabuh di-tengah-tengah telaga, sudah kita perintah kan mereka menepi,
tapi mereka anggap sepi saja.”
„Goblok,” damperat Li Khik Siu
gusar, “kenapa suatu perahu saja tak dapat disewa, masakan mereka berani
memberontak ? “
Perwira itu tak berani membantah
melainkan mengia saja. Tak lama kemudian, rombongan merekapun tiba ditepi
telaga.
“Mungkin mereka sudah tahu siapa
aku, namun kita tetan. puras berlaku seperti rakjat biasa saja,” demikian pesan
Kian Liong.
Sementara itu disekitar telaga
itu sudah penuh tersem bunyi pasukandua Gi-lim-kun, batalion pemanah serta
pasukan kepercayaan Li Khik Siu sendiri, mereka mengurung rapatdua seluruh
Se-ouw itu ber-lapisdua, hanya saja ditepi telaga tetap tiada sebuah kapalpun.
Dan selagi Li Khik Siu merasa
gopoh, tiba-tiba terdengar gemeriCiknya suara air, didahului ber-kelipduanya
sinar pelita, dari depan sana terlihat didajung datang lima buah perahu pesiar.
Perahu yang paling tengah berdiri seorang tinggi kekar, lagaknya gagah dengan berbaju
panyang dari sutera.
Ketika perahu itu sudah dekat
menepi, orang itu telah berteriak: „Aku diperintah oleh Liok-kongcu untuk men
jemput dengan hormat kedatangan Tang-hong siansing untuk menikmati keindahan
rembulan di tengah telaga!”
Habis berkata segera orangnya
melompat ke-gilidua terus mem beri hormat pada Kian Liong.
Karena itu Kian Liong pun
membalas hormat orang, katanya: „Terima kasih, dan siapakah she saudara?”
„Aku yang rendah she Wi,” sahut
orang itu. Nyata ialah Kiu-beng-kim-pa-Cu Wi Jun Hwa, simaCam belang ber nyawa
sembilan.
Segera Kian Liong melangkah
keatas perahu itu diikuti oleh Li Khik Siu, Pek Cin serta tiga 0-40 pengawal
lain yang terbagi naik diatas beberapa perahu itu. Diantara pengawaldua itu ada
belasan orang yang mahir berenang, maka Pek Cin menyuruh mereka harus berlaku
waspada untuk melindungi keselatan Sri Baginda.
Begitulah kelima perahu itu
lantas didajung ketengah telaga, tiba-tiba ditengahdua telaga itu tertampak
sinar pelita terang benderang, seluruh perahu yang berkumpul ditengah telaga
itu telah menyalakan lampu semua hingga seketika keadaan yang tadinya gelap
suram itu seketika menjadi penuh sinar pelita yang ber-kelipdua bagai
bintang-bintang memenuhi langit.
Apabila lebih dekat lagi perahu
mereka, sajupdua terdengar pula suara suling disertai alat tetabuhan lain yang
meraju merdu merasuk sukma.
Pada saat itu, tiba-tiba suatu
perahu lain bagai terbang melunCur datang, didepan perahu itu seorang telah
berteriak: “Apakah Tang-hong siansing sudah datang? Liok-kongcu sudah lama
menunggu !”
“Sudah, sudah datang!” sahut Wi
Jun Hwa keras-keras.
Segera pula perahu itu memutar
sebagai penunyuk jalan, sementara itu kapaldua lain yang tadinya berhimpun
di-tengah-tengah sana pelahandua pun sudah merapat kemari.
Melihat begitu hebat lagak pihak
lawan, Pek Cin dan pengawaldua lain mau-tak-mau rada terkejut juga, diam-diam
mereka meraba senjata yang mereka sembunyikan didalam baju.
Sementara itu terdengarlah suara
Tan Keh Lok telah ber seru diujung kapal yang ditumpanginya itu, katanya: “Wah,
Tang-hong siansing benardua sangat periang, marilah lekas kemari !”
Dan begitu kedua kapal sudah
merapat, segera Kian Liong, Li Khik Siu, Pek Cin dan beberapa jago pengawal
pilihan lantas menyeberang kekapal Tan Keh Lok yang lebih besar itu. Ketika
melihat didalam kapal itu hanya terdapat Keh Lok sendiri bersama kaCungnya, Sim
Hi, barulah hati Pek Cin dan Kawan-kawan nya rada lega.
Kapal yang ditumpangi Keh Lok itu
ternyata terpadyang sangat indah, pada dindingduanya banyak-banyak tergantung
piguradua lukisan, ditengah kapal sudah siap sedia daharan komplit dengan arak
yang baunya sudah teruar semerbak.
„Betapa beruntung rasanya saudara
telah sudi menerima undanganku ini,” demikian lantas Keh Lok buka suara.
„Saudara mengundang, mana berani
aku tidak datang,” sahut Kian Liong.
Habis itu keduanya saling
menyabat tangan dan tertawa gembira, lalu mereka ambil tempat duduk yang
berhadapan. Sedang Li Khik Siu dan Pek Cin cs. berdiri dibelakang Kian Liong.
Melihat Pek Cin, Keh Lok
tersenyum tanpa bicara, saat lain, sekilas dapat dilihatnya pula dibelakang
Kian Liong berdiri seorang pemuda tampan, ia menjadi terkejut, bu kankah dia
ini muridnya Liok Hwi Ching? Kenapa kini berada bersama diantara pembesardua
pemerintah, inilah sangat aneh !
Oleh karena heran, tanpa merasa
Keh Lok lebih banyak-banyak memandang sekejap pada orang, namun Li Wan Ci telah
bersenyum sembari kedipi matanya dengan maksud agar jangan menyapanya.
Kemudian Sim Hi telah maju
menuang arak. Kuatir kalau Kian Liong Curiga, Keh Lok mengeringkan dulu isi
Cawan sendiri dan menyumpit pula daharan yang sudah tersedia itu. Karena itu,
Kian Liong hanya memilih makanan yang telah diiCipi Keh Lok saja dan
menyumpitnya beberapa kali, lalu iapun berhenti tidak makan lebih
banyak-banyak.
Tatkala itu terdengarlah diperahu
sebelah suara seruling berbunyi pula, lagu yang dibawakan itu ternyata adalah
lagu “khing-ka-pin” atau menyambut tamu agung.
„Saudara sungguh seorang hebat,
dalam tempo sesingkat ini ternyata bisa mengatur sedemikian lengkapnya,” ujar
Kian Liong tertawa.
„Ja, ada arak harus pula ada
nyanyian, karena mendengar suara Giok-ju-ih ada suara emas ditempat ini, maka
senga ja diundangnya untuk menemani peminuman arak ini,” sahut Keh Lok.
Dalam gembiranya Kian Liong
menepuk tangan memuji, habis itu ia berpaling menanya Li Khik Siu: “MaCam
apakah orangnya Giok-ju-ih itu?”
“Itulah nama bunga raja ternama
dikota HangCiu ini,” kata Khik Siu. „Kabarnya wataknya sombong dan suka
ber-lagak, kalau ia tidak suka, sekalipun disediakan beribu tail emas jangan
harap bisa melihat wajahnya sekejappun, jangan lagi bilang suruh dia menyanyi
dan menemani minum.
(page cut)
Sedang berbicara, sementara itu
Wi Jun Hwa sudah mendampingi Giok-ju-ih datang dari perahu disebelah itu.
Kian Liong melihat bunga raja
yang tersohor itu berwa jah putih berminyak, bangun tubuhnya kecil mungil, rupa
nya ternyata tidak begitu Cantik.
Sementara Giok-ju-ih telah maju
memberi hormat dulu pada Tan Keh Lok sembari berkata dengan suaranya yang merdu
: „Sungguh riang sekali Kongcu harini tampaknya!”
„Inilah Tang-hong loya,” segera
Keh Lok memperkenakan sambil menunyuk Kian Liong.
Karena itu Giok-ju-ih berpaling
memberi hormat pada kaisar itu, lalu menggelendot berduduk disamping Keh Lok.
„Menurut kata Wi-koko, katanya
nyanyianmu sangat merdu, dapatkah kau memuaskan pendengaran kami?” kata Keh Lok
pula.
„Tentu saja, jika Liok-kongcu
ingin mendengar, sekali pun aku menyanyi tiga-hari-tiga-malam juga bersedia,
hanya kuatir kalau kau yang bosen saja,” sahut Giok-ju-ih tertawa.
Sementara itu ada pelajan telah
membawakan 'pi-peh', dengan pelahan senar tetabuhan itu dipentil, lalu menyanyi
lah Giok-ju-ih membawakan suatu lagu popiler tentang “pura-pura tidak mau,
belum dipanggil sudah mau” dan lain-lain segala.
Mendengar suara orang memang
nyaring m«rdu meraju kalbu, segera Keh Lok menepuk tangan bersorak bagus,
begitu pula Kian Liong tanpa merasa terkesima juga.
Habis satu lagu, Giok-ju-ih
tertawa manis dengan dua dekiknya dipipi, ia berpaling memandangi Tan Keh Lok,
lalu menyanyi pula :
(page cut)
“Mau pukul boleh pukullah!”
mendadak Kian Liong ber teriak tak tahan, rupanya ia menjadi lupa daratan.
Karena itu, Keh Lok ketawa
ter-bahakdua. Begitu pula Li Wan Ci menjadi geli sambil tekap mulutnya, hanya
Li Khik ¦ Siu dan Pek Cin cs. yang terus tarik muka tak berani meng unyuk
tertawa sedikitpun.
Sebenarnya Giok-ju-ih tidak
tertawa, tapi bila menampak wajah beberapa pengawal yang serba salah itu, tak
tertahan ia tertawa geli juga.
Kian Liong yang selamanya hidup
didalam istana terpenCil, meski didalam istana tidak sedikit selir dan
penyanyidua, tapi kesemuanya serasa kaku lugu, tiada aksi, tak pandai memi kat,
mana bisa dibandingkan Giok-ju-ih, seorang bunga raja tersohor didaerah Kanglam
ini, karuan seketika Kian Liong terpesona oleh lirikan mata yang menggiurkan
dan suara nyanyian merdu yang meng-alundua, ditambah wangi bunga
yang sajupdua semerbak ditengah
telaga itu, kaisar yang ber tachta itu lambat laun lupa daratan, tak teringat
lagi olehnya bahwa ia lagi bertemu dengan seorang tokoh besar dari kalangan
kangouw.
Kemudian Giok-ju-ih yang
menuangkan arak lagi untuk Kian Liong dan Tan Keh Lok yang masing-masing
kembali menge ringkan tiga Cawan pula, Giok-ju-ih sendiripun mengiringi
seCawan.
Tiba-tiba Kian Liong menanggalkan
sebuah mainannya yang terbuat dari batu giok dan dihadiahkan pada seniman itu
dan katanya: “Coba menyanyilah suatu lagu lagi.”
Giok-ju-ih menghaturkan terima
kasih dan menurut, se belum angkat suara ia telah panyang sekejap kearah Wi Jun
Hwa, habis itu barulah ia membawakan pula suatu lagu yang ternyata berlainan
daripada lagua yang duluan, lagu ini bersajakkan rindu kekasih yang telah
ditinggal pergi, suaranya begitu ulem dan begitu memilukan, sampai achirnya.
Giok-ju-ih benardua menCuCurkan air mata.
„Kemanakah kekasihmu itu telah
pergi?” tanya Kian Liong kemudian sambil tertawa kelakar.
Siapa duga Giok-ju-ih benardua
menyawab: „Ia telah di paksa pergi perang dengan rakjat Hwe oleh Hongte
(kaisar).”
„Lakidua sejati memangnya harus
mendirikan pahala untuk negara barulah bisa beruntung untuk hari depan, hal itu
harus dibuat girang, kenapa malah dibuat berduka,” kata Kian Liong pula tertawa
tawar.
“Ai, ai, kalau mereka bangsanya
panglima atau jenderal, makin perang makin naik pangkat dan kaja mendadak, tapi
rakjat jelata yang dipaksa pergi perang itu kalau bisa se lamat pulang kerumah
sudah harus berterima kasih pada Tuhan Allah, mana berani bilang mendirikan
pahala segala, tuan ini benardua pandai berkelakar,” demikian sahut Giok-ju-ih.
Karena debatan itu, seketika Kian
Liong menjadi bung kam malah.
Segera juga Li Khik Siu telah
membentak: “Jangan.kau tak kenal gelagat berahi ngaCo-belo !”
„Baiklah, hamba yang ngaCo-belo,
harap tuan jangan
gusar,” kata Giok-ju-ih sambil
berbangkit dan memberi hormat.
„Siapakah namanya kekasihmu itu?
Kenapa bisa dipaksa berperang kedaerah Hwe?” tanya Keh Lok tiba-tiba .
„Sebenarnya ia termasuk juga
kaka-misanku,” sahut Giok-ju-ih, „ia bernama Jiau Siu, sejak kecil kami ber dua
selamanya memain bersama, belakangan ayah menyo dohkan dia padaku dengan
harapan kelak ia bisa hidup aman dan tenteram, siapa tahu mendadak Hongte mau
serang daerah Hwe dan secara paksa ia telah diangkut pergi. Di tempat sejauh
beribu li yang penuh es dan salju itu, selama hidup ini teranglah dia takkan
bisa pulang lagi.”
Mendengar Cerita yang Cukup memilukan
itu, Keh Lok terharu juga, ia berpaling dan berkata pada Kian Liong: „Ja,
bangsa Hwe tinggal ditempat sejauh itu, pula tiada salah apa-apa, kenapa
pemerintah telah kerahkan tentara meng gempurnya tanpa menghiraukan
kesengsaraan rakjat, se sungguhnya ini tidak menguntungkan rakjat umumnya.”
Kian Liong menyengek sekali dan
tanpa menyawabnya.
Kemudian mereka berdua saling
mengeringkan lagi beberapa Cawan, harum bunga ditengah telaga itu semakin se
merbak mewangi.
„Aku ada seorang saudara angkat,
ia bisa meniup suling dengan sangat bagus, sayang kini tiada disini, sungguh
aku menjadi sangat merindukan dia,” kata Keh Lok tiba-tiba .
Mendengar itu, bibir Wan Ci
tiba-tiba bergerak seperti hendak buka suara, Cuma dapat ditahannya lagi.
„Saudara jauh-jauh datang ke
Kanglam sini dari daerah Hwe katanya untuk keperluan kawan, apakah soalnya
justru karena saudara angkat itu?” tanya Kian Liong.
„Bukan, tapi saudara tukang
suling ini justru datang bersama aku hendak menolong seorang kawan yang lain,
Cuma sayang tidak berhasil,” sahut Keh Lok.
„Entah kawanmu itu berdosa
apakah?” tanya Kian Liong pula.
„Ja, kawanku itu entah berdosa
apakah hingga ditawan oleh pemerintah, hal ini sungguh bikin orang tak
mengarti,” kata Keh Lok.
„Siapakah nama kawanmu itu?”
tanya Kian Liong.
„Ia she Bun bernama Thay Lay,
orang kangouw menyu lukinya Pan-lui-jiu,” sahut Keh Lok.
Begitu mendengar kata-kata ini,
seketika Kian Liong dan Li Khik Siu berobah wajahnya. Mereka sudah tahu juga
bahwa Keh Lok adalah pemimpin Hong Hwa Hwe, tapi sekalidua tak mereka duga
orang berani terangduaan mengungkat soal Bun Thay Lay.
Saat itu juga Pek Cin mengedipi
Kawan-kawan pengawalnya agar siap sedia, tampaknya pertarungan sengit tak dapat
diCegah lagi, maka para Si-wi atau jago pengawal itu telah memegangi senjata
masing-masing yang disembunyikan didalam baju.
Namun kesemuanya itu dapat
dilihat oleh Tan Keh Lok, dengan tersenyum ia tanya Kian Liong: „Beberapa
pengiring saudara ini tentunya mahir ilmu silat semua, entah darimana kah
saudara memperolehnya?”
Namun Kian Liong tidak menyawab,
hanya dengan tersenyum ia tunyuk Pek Cin dan berkata: “Menurut Ceritanya tadi,
katanya saudara sendiri berkepandaian tinggi, nyata siang tadi siaote telah
salah mata, dikira seorang pelajar yang lemah, siapa tahu adalah seorang
pendekar besar dari kalangan kangouw, entah dapatkah saudara mempertunyu kan
sedikit, agar siaote bisa menambah pengalaman.”
“Kepandaian siaote yang Cetek
mana ada harganya untuk dibicarakan,” sahut Keh Lok. „Tampaknya saudara ini mem
bawa 'boan-koan-pit' (potlot baja), tentulah seorang ahli menutuk, baiknya
silahkan tampil kemuka buat belajar beberapa jurus saja?” — Sembari berkata ia
tunyuk salah seorang jago pengawal yang berdiri dibelakang Kian Liong itu.
Si-wi itu she Hoan, bernama Tiong
Su, ia mampu meng gunakan senjata Boan-koan-pit, dengan sendirinya ilmu
silatnya bukan kaum lemah. Tadi waktu mengejar Tan Keh Lok dan diatas perahu
menCoba menggoda Lou Ping dengan memegang kakinya, ia sangka orang hanya seorang
wanita tukang perahu biasa, siapa tahu ia sendiri yang kena didepak kedalam air
hingga basah kujup seperti ajam keCemplung kali.
Kini mendengar Keh Lok menunyukan
dalam bajunya membawa Boan-koan-pit, tentu saja ia terkejut, pikirnya : „Aneh,
darimana ia bisa tahu?”
Kiranya senjatanya meski ditutupi
baju, namun tidak urung kelihatan menonyol juga, pula Keh Lok sudah me latih
segala maCam senjata, dengan sendirinya segera ia tahu senjata apa yang
menonyol didalam baju orang itu.
Hoan Tiong Su sendiri memangnya
lagi belum terlampias mendongkolnya karena keCundang tadi, dengan kepandaian
nya yang sangat ia agulkan, kini ia justru ingin pamerkan dihadapan Sri
Baginda, maka Cepat-cepat ia telah menyawab : “Baiklah, bila Kongcu sudah
menunyuk padaku, marilah silahkan memberi petunyuk.” — Habis berkata, segera
senjatanya ia lolos, dengan enteng ia melompat keujung kapal.
Melihat lagak orang yang sombong,
sesaat itu Keli Lok malah tak mau menggubrisnya lagi, sebaliknya ia tunyuk
Giok-ju-ih dan berkata lagi pada Kian Liong: “Nasib nona ini sesungguhnya harus
dikasihani, sudilah kiranya jinheng (saudara) memberi pertolongan, biar mereka
dua-sejoli bisa hidup beruntung?”
Kian Liong melirik kearah
Giok-ju-ih, ia lihat wajah orang yang halus menggiurkan tapi harus dikasihani
itu, diama ia menjadi suka, ia pikir sebentar Cara bagaimana menyuruh Li Khik
Siu menghantarnya kepadanya dan Cara bagaimana merahasiakan hal ini agar tidak
menodai nama baiknya yang tentu akan menimbulkan Celahan umum. Maka ketika
ditanya Keh Lok, seketika ia tak bisa menyawab, setelah sejenak barulah ia
berkata: “0, tapi kaka-misannya mengabdi untuk kerajaan, berjuang untuk negara,
bukan kah hal itu sangat baik?”
Sementara itu Hoan Tiong Su masih
menanti diujung kapal dengan sepasang Boan-koan-pit siap ditangan, ia menjadi
serba salah, maju tak bisa, mundur tak mungkin.
“Lau Hoan, kembalilah,” bentak
Pek Cin tertahan, demi melihat keadaan sang kawan yang runyam itu.
Terpaksa Hoan Tiong Su menyimpan
kembali senjata dan kembali berdiri kebelakang Kian Liong lagi, dengan gemas ia
melototi Keh Lok sejenak, Cuma dimulut tak berani ia mengomel.
„Betapa besar dan kepandaian Tong
Thay Cong, tentunya jinheng sangat mengaguminya bukan?” tiba-tiba Keh Lok
menanya Kian Liong.
Memangnya selama hidup Kian Liong
paling menyunyung tinggi pada kaisardua Han Bu Te dan Tong Thay Cong, ia merasa
kedua maharaja yang membuka jalan dan meluas kan wilayah hingga namanya
terkenal dinegeri lain, maka sejak naik tachta, dalam hati ia pingin sekali
mentaulad kaisar* yang terdahulu itu. Sebabnya ia mengirim tentara jauh-jauh
menggempur daerah Hwe itu, meski tujuannya karena menginCar kekajaan daerah
itu, namun disamping itu sebenarnya ia justru hendak melanyutkan tindakan-akan
kedua kaisar dari ahaladua yang lebih dulu itu. Kini mendengar per tanyaan Keh
Lok, tentu saja hal itu CoCok dengan “selera” nya.
M A K A segera ia menyawab: “Tong
Thay Cong adalah seorang raja yang gagah dan bijaksana, negeri tetangga takut
mendengar namanya, maka menyebutnya sebagai maharaja, ia pandai ilmu sastra
pula ilmu militer, sudah tentu sepanyang jaman susah diCari bandingannya.”
”Siaote pernah membaCa buah karya
Tong Thay Cong yang berjudul 'Cing-koan-Cing-yau' (tinyauan beberapa hal ten
tang mengatur negara), ada beberapa kalimat diantaranya memang benar katanya,”
ujar Keh Lok.
“Entah kalimatdua yang manakah?”
tanya Kian Liong se nang, rupanya ia sangat ketarik. Nyata sejak berkenalan
dengan Tan Keh Lok, meski ia sangat menyukai pemuda ini, tapi dalam pembicaraan
selalu tidak CoCok, kini mendengar orang juga sangat menyunyung Tong Thay Cong,
tanpa merasa ia sangat gembira
Maka jawablah Keh Lok: „Tong Thay
Cong bilang : 'Perahu makanya diumpamakan raja dan air makanya di misalkan
rakjat, sebabnya air bisa menyalankan perahu juga dapat menyungkirkan perahu'.
— Ia tulis juga : 'Seorang raja, kalau bijaksana orang akan menyunyung nya,
kalau tidak bijaksana orang akan meninggalkannya, hal itu harus diCamkan!”
Kian Liong taungkam mendengar
itu.
”Tamsil yang diambilnya itu
memang sangat tepat,” terdengar Keh Lok berkata pula.
“Misalnya saja sekarang kapal
yang kita tumpangl ini, kalau dijalankan menuruti arus air, maka duduk kita
akan tenang dan aman saja, sebaliknya kalau didajung tidak karuan dan
se-menadua, atau arus air mendadak bergolak, maka kapal ini pasti akan ter
balik.”
Dengan mengambil tamsil itu dan
diperdengarkan pada seorang raja ditengah telaga itu, terang sekali sengaja Keh
Lok menggertak secara terus terang, bukan saja menghina kewibawaan seorang
raja, dan menyatakan rakjat jelata setiap waktu juga dapat merobohkan raja,
bahkan seakan-akan menganCam bahwa sekarang juga bisa menyungkirkan raja itu
kedalam air.
Tentu saja Kian Liong sangat
gusar tak tertahan. Selama hidupnya ia hanya jeri terhadap kakek baginda (Khong
Hi) dan ayah bagindanya (Yong Cing), keCuali itu tak pernah ia diper-olokdua
orang, apalagi dianCam seperti sekarang ini secara terangduaan.
Namun betapapun juga memang Kian
Liong bisa mena han amarahnya, diam-diam ia membatin: “Biarlah sekarang kau
boleh umbar suaramu, tapi sebentar kalau kau sudah ku tangkap, lihat saja kau
takkan ketakutan dan menyura minta ampun?” — Nyata ia pikir pasukan Gi-lim-kun
dan batalion pemanah sudah kepung rapat sekitar telaga itu, pula jago-jago
pengawal yang dibawanya itu adalah pilihan semua dari yang terpilih, masakan
suatu perkumpulan kecil di kangouw mampu berbuat apa?
Karena itulah, dengan tertawa ia
masih menyawab : “Bukankah Sun-Cu berkata: 'Alam ini melahirkan raja dan raja
mengatur alam ini. Raja adalah Ciptaan alam ini dan diatas segala maehluknya,
ialah ayah-bunda rakjatnya. — Dengan begitu teranglah raja itu adalah firman
Tuhan untuk membahagiakan rakjatnya, maka apa yang dikatakan jinheng tadi
bukankah sangat bertentangan dengan sabda nabi?”
Keh Lok tidak lantas menyawab, ia
menuang dulu isi Cawannya, habis ini barulah ia berkata: “Wi Le Ciu siansing
dari permulaan dinasti ini pernah berkata dalam beberapa kalimat yang sangat
bagus dan tepat, ia bilang, sebelum seorang raja berkuasa: Ia menyagal dan
meraCnni kepala dan otak rakjat seluruh negeri, memisahkan putera-puteri rakjat
seluruh negeri, perlunya untuk memupuk kedudukan dan kekajaan sendiri. Dan
kalau tujuannya sudah ter kabul, ia lantas memeras tulang sumsum rakjat negeri,
memisahkan putera-puteri orang, hanya untuk kesenangan dan ber-fojadua dirinya.
Hal itu dipandangnya seakan-akan; Inilah hasil bunga daripada milikku tadi'. —
Haha, apa yang dikatakan itu sungguh sangat tepat dan bagus sekali !”
Habis berkata, Keh Lok angkat
Cawannya terus diCeguk habis.
Sampai disini, Kian Liong tak
bisa tahan lagi, mendadaft ia banting Cawan araknya kelantai, seketika juga ia
sudah akan umbar amarahnya.
Siapa tahu Cawannya yang
dibantingkan itu, waktu hampir menyentuh lantai kapal, tiba-tiba Sim Hi
berjongkok terus me raup, Cawan itu telah kena ditangkapnya, hanya isi araknya
berCiprat sebagian.
“Tang-hong loya, Syukurlah Cawan
ini belum terbanting peCah!” demikian kata Sim Hi kemudian sambil setengah
berlutut dan menyodorkan Cawan itu kehadapan kaisar Kian Liong.
Karena perbuatan sikaCung ini,
seketika Kian Liong ter tegun dengan wajahnya yang bersengut, ia hanya
menyengek sekali.
Lekas-lekas Li Khik Siu yang
menerima kembali Cawan itu sambil menantikan tanda dari Kian Liong untuk
bertindak lebih lanyut.
Namun sesudah menenangkan diri,
tiba-tiba Kian Liong ber gelak ketawa, katanya: “Haha, Liok-jinheng, kaCungmu
ini sungguh gesit amat gerak-geriknya.” Habis ini ia berpaling dan katakan pada
Hoan Tiong Su: „Nah, baiknya kau Coba main-main saja dengan kawan Cilik ini,
Cuma harus hati-hati, jangan orang tua terjungkal ditangan boCah Cilik.”
Tiong Su membungkuk menerima
perintah itu, segera pula ia melompat kedekat Sim Hi.
Namun Cepat-cepat sekali Sim Hi
sudah lantas melompat ke taelakang, ia menCelat tinggi untuk kemudian turun
diujung kapal, oleh karena usianya masih muda, maka kepandaian sesungguhnya
masih belum terlatih masak, hanya dalam hal Ginkang atau ilmu entengi tubuh
saja ia mendapatkan ajaran langsung dari Thian-ti-koay-hiap (guru Keh Lok),
maka kepandaian inilah boleh diandalkan.
Ketika dilihatnya Hoan Tiong Su
mengeluarkan sepasang Boan-koan-pit yang terus menutuk kekanan-kiri jalan da
rahnya, kaCung ini tahu kalau soal ilmu silat sejati sekalidua bukanlah lawan
orang, terpaksa ia harus menghindari dulu untuk menCari kesempatan buat balas
menyerang.
Sementara itu bagai angin
Cepat-cepat nya kedua senjata potlot Hoan Tiong Su sudah lantas menutuk pula.
Namun lagi Sim Hi enyot tubuh melompat keatas antap kapal. „Marilah kita
main-main petak-umpat saja, kalau dapat kau menangkap aku hitunglah kau menang,
lalu berganti aku yang menangkap kau,” demikian kaCung itu menggoda dengan
tertawa.
Sudah dua kali menyerang tak kena
sasarannya, pula kini kena di-kilidua sikaCung, Hoan Tiong Su menjadi naik
darah, sekali ia tutul kakinya, Cepat-cepat sekali iapun menyusul keatas atap
kapal. Tapi baru saja ia inyak tempatnya, tahu-tahu dengan gerakan
“it-ho-Ciong-thian” atau burung bangau men julang kelangit, bagai burung
terbang saja Sim Hi telah melompat kesebuah perahu disebelah kiri, tentu saja
Hoan Tiong Su tak mau sudah, segera ia menguber.
Dan begitulah lantas terjadi
udak-udakan hingga benardua seperti anak kecil main petak-umpat (Cariduaan),
maka tidak seberapa lama, kedua orang itu telah ber-putardua beberapa kali
diatas belasan perahu itu.
Karena masih tetap tak bisa
mendekati sikaCung, diam-diam Hoan Tiong Su sangat gopoh, ia menjadi tak sabar.
Setelah mengitar sekali lagi, tiba-tiba terlihat ada tiga perahu yang berjajar
dalam segi tiga seperti huruf “T” dan Sim Hi sudah melompat keatas sebuah
perahu yang paling dekat itu, ia pura-pura menubruk keperahu sebelah kiri,
karena itu Sim Hi tertawa ter-kikikdua senang sambil melompat keatas perahu
kanan.
Tak terduga tubrukan kekiri itu
memang disengaja Hoan Tiong Su, maka sekejap saja orangnya sudah menyusul
diatas perahu yang kanan itu, kini kedua orang menjadi berhadapan, Cepat-cepat
sekali potlot kiri Hoan Tiong Su lantas menutuk kedada sikaCung.
Dalam keadaan begitu, untuk
menghindari terang tak sempat lagi, dalam keadaan bahaja, Cepat-cepat Sim Hi
berjong kok membarengi memukul kebawah perut Hoan Tiong Su.
Terpaksa Tiong Su tekan potlot
kirinya kebawah buat me nangkis, sedang potlot yang lain terus menutuk
kepunggung siboCah yang lagi membungkuk itu. Serangan ini Cepat-cepat lagi
jitu, tampaknya Sim Hi tak mungkin bisa hindarkan diri lagi. Siapa duga
mendadak Tiong Su merasa dari belakang ada angin menyamber datang seperti
sesuatu senjata antap yang telah menyerangnya.
Tiong Su sudah banyak-banyak asam-garam,
sudah luas pengala mannya, dalam keadaan begitu tak sempat ia teruskan
serangannya kepada musuh, tapi menolong diri paling perlu, maka sedikit kaki
menggeser dan badan memutar, potlot kanan ia angkat terus menghantam keatas
senjata yang membokong itu.
Maka terdengarlah suara „trang”
yang keras, lelatu ber Cipratan, dan senjata orang itu hanya sedikit tertahan
kebawah saja, habis itu kembali sudah menyerampang lagi kepinggang Hoan Tiong
Su.
Kini Tiong Su sudah dapat melihat
jelas senjata musuh itu ternyata adalah sebatang gajuh besi, pemakainya adalah
situkang perahu yang duduk diburitan itu. Dari pengalaman saling beradunya
senjata tadi, Tiong Su tahu tenaga tukang perahu itu terlalu besar sekali, maka
tak berani lagi ia pak sakan diri buat menangkis, lekas-lekas ia meloncat untuk
kemudian dengan pelahan hendak turun kembali keburitan perahu untuk menutuk
hiat-to atau jalan darah situkang perahu itu.
Tukang perahu itu bukan lain
ialah Cio Su Kin. Sesudah dapat menolong Sim Hi dan melihat Hoan Tiong Su
melompat kearahnya, Cepat-cepat sekali ia julurkan penggajuhnya kedalam air
terus disongkel pergi hingga seketika perahunya telah berputar setengah
lingkaran, apabila Hoan Tiong Su hendak turun keburitan seperti tujuannya
semula, maka kedudukan perahu itu kini sudah berganti tempat.
Karuan saja Tiong Su menjadi
kelabakan, ia menyerit kaget dan belum lenyap suaranya, „plung,” tanpa ampun
lagi untuk kedua kalinya ia terCemplung kedalam telaga, bahkan sekali ini ia
telah minum air telaga hingga keadaannya gelagapan luCu.
„Hahaha, main petak sampai
achirnya masuk kedalam air,” demikian Sim Hi bertepuk tangan sambil tertawa.
Sementara itu dua jago bayang
kari yang mengiringi Kian Liong yang mahir berenang lekas-lekas melompat turun
kedalam telaga buat tolong sang kawan, tapi pada waktu hampir mendekat,
tahu-tahu Cio Su Kian mengulurkan penggajuhnya kemukanya Hoan Tiong Su, karena
dalam keadaan gelagapan dengan kedua tangannya lagi merontaa serabutan, kini
tangannya menyentuh penggajuh, karuan ia tidak perdulikan apa benda itu,
seketika ia pegang eratdua tak mau lepas.
Bila saat lain mendadak Cio Su
Kin angkat penggajuhnya terus diajun pergi sambil membentak: „Pergi!” — Maka
melambunglah tubuh Hoan Tiong Su keudara menuju ke kapal dimana berduduk Kian
Liong dan Tan Keh Lok.
Susiok atau paman-guru Hoan Tiong
Su yang bernama Pui Liong Cun juga jago bayang kari yang ikut serta mengawal
disitu, maka ialah yang tersipudua maju untuk menyang gapi tubuh sang sutit.
Dua kali Hoan Tiong Su telah
keCemplung kedalam telaga, meski semuanya karena atas keCerobohannya, namun
betapa pun bukanlah dirobohkan musuh dengan kepandaian asli, kena dibikin malu
dihadapan sang kaisar lagi, boleh jadi nanti sepulangnya akan didamperat atau
terima hukuman pula; karena itu, ia sangat mendongkol dan berkuatir pula,
dengan basah kujup ia berdifi ditempatnya dengan termangu-mangu.
Pernah Pui Liong Cun mendengar
Cerita kawannya bahwa Sim Hi telah menyambit menCeng panah dengan tanah lempung
ketika siang harinya di Sam-tiok hingga kawan bayang kari telah dibikin malu,
kini lagi-lagi Sutit atau murid keponak annya dipermainkan pula, karuan ia tak
tahan lagi, ia tunggu sesudah Sim Hi sudah berada dibelakang Keh Lok, lantas ia
tampil kemuka sambil berkata dengan suaranya yang seram: „Konon katanya
kepandaian saudara Cilik ini dalam hal menggunakan am-gi (senjata gelap/rasia)
sangat hebat, kini biarlah Cayhe minta petunyuk beberapa jurus dari padanya.”
Kiranya Pui Liong Cun ini
berjuluk „Tok-sian-sia” atau sikatak berbisa, selama hidupnya terkenal karena
menggunakan senjata rasia “Tok-Cit-le” (semaCam b'iji besi berduri yang
berbisa), sambitannya jitu dan raCun dalam senjata rasia itu sangat lihai luar
biasa, keCuali obat pemunah yang ia miliki sendiri, siapa saja yang terkena
raCun itu tak dapat tertolong lagi, asal sudah masuk darah, dalam tiga jam
pasti orangnya akan mati.
Memangnya para jago bayang kari
itu sangat gemasnya terhadap “setan Cilik” (Sim Hi) itu, kini melihat Pui Liong
Cun yang tampil kemuka, seketika mereka bergirang, mereka tahu kepandaian
senjata rasia sang kawan jarang ketemukani tandingan, maka setan Cilik ini
pastilah harini bakal melayang jiwanya.
Baiknya sebelum tantangan itu
diterima, Keh Lok sudah lantas berkata pada Kian Liong: “Perkenalan kita sudah
demikian akrabnya, jangan kita selisih paham nanti oleh karena perCeCokan
hambadua kita saja. Menurut pendapatku, jika saudara ini adalah seorang ahli
senjata rasia, maka biarlah suruh dia unyukan kemahirannya dengan papan latihan
saja, dengan begitu bila kaCungku ini tak mampu menandinginya tidak sampai
teerluka, entah usul ini sepaham tidak dengan jinheng?”
Karena usul itu memang beralasan,
terpaksa Kian Liong menyawab: „Ja, sepantasnya begitu, Cuma dalam keadaan
ter-Buru-buru begini darimana ada papan latihan?”
Tiba-tiba terlihat Sim Hi
melompat keperahu dimana duduk Nyo Seng Hiap, lalu kaCung itu membisikinya
beberapa kata, lantas terlihat Seng Hiap mengangguk-angguk terus menggapai
Ciang Cin yang berduduk diperahu sebelahnya.
„Pegang buntut perahumu itu,”
kata Seng Hiap sesudah si Bongkok itu melompat datang.
Ciang Cin menurut dan pegang
erat- ujung perahu yang dia tumpangi sendiri tadi.
Sementara itu Seng Hiap juga
sudah memegangi bong kotan perahu itu, habis itu mendadak ia membentak: “Naik!”
— Seketika juga kedua orang itu telah angkat perahu itu keatas sampai perahu
yang ditumpanginya itu ambles separoh kedalam air.
Melihat tenaga raksasa kedua
orang itu, tanpa tertahan semua orang pada bersorak memuji.
Rupanya Lou Ping menjadi ;
ketarik juga oleh „permai nan” itu, iapun melompat keatas perahu itu dan
berkata dengan tertawa: “Inilah sungguh satu papan latihan yang sangat baik,
biarlah aku yang mendajungnya.” — Habis ini lantas didajungnya perahu Seng Hiap
ini kedekatan kapal yang ditumpangi Keh Lok dan Kian Liong itu.
„Siaoya, dengan ini dijadikan
papan latihan boleh tidak? Silahkan kau menggambarnya dengan suatu bundaran
ditengah,” demikian seru Sim Hi.
Tatkala itu Kian Liong dan para
jago pengawalnya sudah ternganga saking terkejutnya melihat tenaga kedua „rak
sasa” dari Hong Hwa Hwe itu.
Keh Lok tidak menyawab kata-kata
Sim Hi tadi, tapi ia jemput Cawan araknya lalu mengeringkan isinya, habis itu
mendadak tangannya mengajun, tahu-tahu Cawan arak itu me layang Cepat-cepat dan
terdengarlah suara “pluk,” Cawan itu ternyata sudah terjepit di-tengah-tengah
pantat perahu yang di angkat tinggi-tinggi oleh Seng Hiap dan Ciang Cin itu,
rajin dan rata sekali Cawan itu mengambles* sedikitpun tidak retak atau rusak.
Karena itu, kembali semua orang bertepuk tangan memuji.
Pek Cin dan Pui Liong Cun cs.
yang menyaksikan Seng Hiap dan Ciang Cin mengangkat perahu, meski mereka merasa
tenaga orang sesungguhnya besar luar biasa, tapi hal ini belum mereka menjadi
jeri, kini melihat Tan Keh Lok menggunakan tenaga dalam menimpukkan sebuah
Cawan
arak yang terbuat dari keramik,
tapi seperti piau yang ter bikin dari baja dan menancap begitu dalam kedasar
perahu itu, hal inilah telah bikin mereka mengkerut kening, mereka merasa ilmu
silat pemuda ini benardua lain daripada yang lain.
„Nah, Cawan arak itulah dianggap
sebagai sasaran, silah kan saudara ini mulailah,” kata Keh Lok kemudian dengan
tertawa.
Segera pula Lou Ping mendajung
perahu itu mundur beberapa tombak jauhnya, lalu teriaknya: „Terialu jauh tidak
disini?”
Namun Pui Liong Cun tidak ingin
buka suara lagi, diam-diam ditangannya sudah siap dengan lima butir
“tok-Cit-le,” sekali tangannya bergerak, be-runtun- terdengarlah suara
“Cring-Cring-Cring” yang nyaring, peCahan beling dari Cawan arak itu
berhamburan, nyata Cawan yang menancap didasar perahu tadi telah kena dihantam
peCah berantakan.
„Haha, benardua jitu juga!” seru
Sim Hi tiba-tiba sambil me nongol keluar dari balik perahu yang diangkat tinggi
itu.
Nampak boCah itu,
sekonyong-konyong timbul hati keji Pui Liong Cun, kembali lima butir Tok-Cit-le
seCepat-cepat kilat telah disambitkannya, tapi sekali ini yang diinCar adalah
badan sikaCung itu yang meliputi atas-bawah, kanan-kiri, dan tengah.
Dibawah sinar bulan, kejadian itu
Cukup terlihat jelas oleh semua orang, seketika juga banyak-banyak yang
berteriak kaget.
Kepandaian am-gi atau senjata
rasia Pui Liong Cun se sungguhnya lihai luar biasa, baru tampak tangannya
bergerak, tahu-tahu am-gi yang disambitkan sudah menyamber sampai didepan
sasarannya. Dibawah iringan teriakan kaget semua orang, keliriia Tok-Cit-le itu
telah menuju ketempat berbahaja semua dibadan Sim Hi.
Dibawah anCaman almaut itu, dalam
ketakutannya Syukur Sim Hi sempat menyatuhkan diri kelantai, berbareng itu Lou
Ping telah timpukkan juga dua bilah pisau terbangnya hingga terdengarlah suara
nyaring dua kali, dua biji Tok-Cit-le kena dibentur pisau terbangnya dan jatuh
kedalam ketelaga.
Sebaliknya Sim Hi yang
menyatuhkan diri kelantai ber hasil juga menghindari dua biji Tok-Cit-le, tapi
sayang sebiji yang mengarah bagian tengah itu betapapun susah dikelit dan tetap
mampir dipundak kirinya. Seketika kaCung ini masih tak merasakan kesakitan,
hanya sedikit terasa agak gataldua pegal. Segera pula ia melompat bangun dan
kontan ia mengumpat habis-habisan keliCikan lawannya itu.
Tentu saja para jago Hong Hwa Hwe
menjadi gusar, perahudua mereka beramaidua lantas merubung maju, segera mereka
ingin menentukan unggul dan asor dengan Pui Liong Cun.
Bagi jago-jago pengawal yang lain
juga menganggap per buatan Pui Liong Cun itu sesungguhnya terlalu keji, ma
sakan pakai Cara yang begitu rendah untuk membokong lawannya seorang anak
kecil, hal itu benardua tidaklah mem buat mereka dipuji, sebaliknya pasti akan
diCemooh oleh Kawan-kawan kangouw.
Namun bila mereka melihat
jago-jago Hong Hwa Hwe begitu hebat suaranya yang setiap saat pertempuran bisa
terjadi, segera pula mereka. keluarkan senjata siap sedia untuk menyambut musuh
buat melindungi keselamatan Sri Baginda. Begitu pula Li Khik Siu lantas
keluarkan “Ok-ka” (sema Cam alat tiupan dari tanduk) siap untuk ditiup buat
kerahkan pasukan tentaranya.
Syukur Keh Lok keburu menCegah
saudara-saudara angkatnya, serunya: “Para kaka sekalian, Tang-hong siansing
adalah tamu agung kita, janganlah kita berlaku kurang adat, harap kalian
mundurlah !”
Mendengar perintah sang ketua
itu, terpaksa para ksatria itu mengundurkan perahu mereka beberapa tombak
kebela kang.
Sementara itu Nyo Seng Hiap dan
Ciang Cin sudah letakkan kembali perahu tadi kepermukaan air, Lou Ping sedang
memeriksa lukanya Sim Hi, begitu pula Ji Thiar Hong telah mendatangi dan tanya
keadaan luka kaCung itu.
„Su-naynay, Chit-ya, kalian tak
usah kuatir, aku tidak merasa sakit, hanya gatalnya yang tak tahan,” demikian
kata Sim Hi. Habis ini lantas tangannya hendak menggaruk lukanya yang terasa
gatal itu.
Mendengar itu Lou Ping dan Thian
Hong terkejut semua, mereka tahu tentu senjata rasia yang mengenai Sim Hi itu
terendam raCun yang paling jahat, maka lekas-lekas mereka memegangi tangan Sim
Hi.
„Aku gatal, Chit-ya, lepaslah
kau!” demikian Sim Hi ber-teriakdua tak tahan.
Namun Thian Hong tetap
memeganginya, dalam hati ia menjadi kuatir, Cuma lahirnya ia berlaku tenang,
katanya : „Jangan kuatir, kau bersabar sebentar.” — Habis ini ia berpaling pada
Lou Ping: „Suso, silahkan kau mengundang Samko kemari.”
Lou Ping mengia terus pergi.
Dan baru saja Lou Ping berlalu,
tiba-tiba sebuah perahu seCepat-cepat terbang sedang melunCur datang, didepan
perahu itu berdiri Ma Sian Kin, itu pemimpin Hong Hwa Hwe daerah HangCiu. Orang
she Ma ini melompat keatas kapal Thian Hong dan dengan Cepat-cepat ia membisiki
orang: „ Chit-tangkeh, disekitar Se-ouw telah penuh dikepung pasukan Cing, di
antaranya terdapat pasukandua pemanah dan Gi-lim-kun, tam paknya kedudukan kita
sangat tidak menguntungkan.”
„Ada berapa banyak-banyak jumlah
musuh kira-kira?” tanya Thian Hong Cepat-cepat .
„Sedikitnya adalah tujuh sampai
delapan ribu orang, tidak terhitung pasukan Cadangan yang berada diluar
kepungan,” sahut Ma Sian Kin.
“Kalau begitu lekasan kau kembali
mengumpulkan seluruh saudara-saudara kita didalam dan diluar kota dan
dikerahkan ketepi telaga untuk menunggu perintah, Cuma jangan sampai di ketahui
musuh, setiap orang supaya menCantumkan setang kai bunga merah didada,” pesan
Thian Hong.
Ma Sian Kin mengangguk menerima
perintah itu. “Dalam waktu singkat ini kira-kira bisa mengumpulkan berapa
orang?” tanya Thian Hong pula.
“Terhitung pula buruhdua
pabrik-tenunku, jumlahnya disekitar dua ribu orang, bila sejam lagi sesudalr
saudara-saudara diluar kotapun sudah berkumpul, sedikitnya bisa bertambah
seribu orang lagi,” tutur Sian Kin.
“Saudara-saudara kita setiap
orang sanggup melawan lima orang musuh, dengan tiga ribu orang dapat melawan 15
ribu orang musuh, maka jumlah kita sudahlah Cukup, apalagi didalam pasukan
musuh itu masih terdapat juga saudaras kita, maka pergilah kau mengaturnya,”
kata Thian Hong achirnya Segera juga kembalilah Ma Sian Kin untuk melaksanakan
tugasnya.
Sementara itu Tio Pan San yang
diundang Lou Ping itu sudah datang, ia periksa luka Sim Hi, tapi tiba-tiba ia
mengkerut kening, wajahnya kelihatan muram, pelahandua ia Cabut Tok-Cit-le yang
menancap dpundak sikaCung itu, lalu dari kan tongnya ia keluarkan sebutir obat
pil dan dijejalkan kemulutnya Sim Hi. Kemudian barulah ia berpaling pada Thian
Hong dan berkata dengan rasa pilu: “Chit-te, tak bisa ditolong lagi !”
„Ha?” Thian Hong sangat terkejut,
“Bagaimana luka nya?”
“PerCuma sudah,” sahut Pan San.
Senjata rasia itu terdapat raCun yang sangat lihai, keCuali sipemakai sen diri,
orang lain tiada yang sanggup mengobatinya.”
“Ia dapat bertahan berapa
lamakah?” tanya Thian Hong. „Paling lama tiga jam,” sahut Pan San. Sembari
berkata, tak tertahan air matanya hampir menetes.
“Samko,” kata Thian Hong lagi,
“kalau begitu lekasan kita tangkap dulu keparat itu, kita paksa dia keluarkan
obat pemunahnya.”
Kata-kata Thian Hong ini telah
mengingatkan Tio Pan San, segera ia keluarkan satu sarung tangan yang terbuat
dari kulit menjangan, sekali ia melompat pergi, hanya tiga kali naik-turun
menutul diatas tiga perahu, tahu-tahu ia sudah sam pai dihadapan Tan Keh Lok
dan Kian Liong.
„Liok-kongcu, aku ingin minta
belajar kenal dengan ke pandaian ahli senjata rasia ini,” demikian segera ia
berseru.
Memangnya Keh Lok lagi sangat
gusar melihat Sim Hi dilukai Pui Liong Cun secara, liCik, kini melihat Tio Pan
San maju hendak membalaskan dendam Sim Hi, hal ini sangat CoCok dengan
keinginannya, maka lantas ia berkata pada Kian Liong: „Ilmu kepandaian memakai
am-gi kawan ku ini masih boleh juga, maka biarlah mereka berdua Coba main-main
, tentulah akan sangat ramai dan bagus kelihatannya.”
Sebagai seorang raja tentu saja
senang bila bisa me nyaksikan haldua yang menarik, sedang mengenai apakah nanti
pihak yang saling „main-main “ itu bakal mampus tidak, itulah ia tak perduli.
Maka segera Kian Liong pun berpaling dan berkata pada Pui Liong Cun: „Baiklah,
majulah kau, Cuma jangan kau bikin malu.”
Pui Liong Cun mengia terus hendak
melompat maju, tiba-tiba Pek Cin membisikinya: “Awas, Pui-hiante, ialah yang
berjuluk Cian-pi-ji-lay !”
Sudah lama juga Liong Cun
mendengar nama besarnya Cian-pi-ji-lay atau sibudha bertangan seribu, karenanya
hatinya tergetar, namun ia; mendug-a ilmu senjata rasianya selamanya belum pernah
ketemukan tandingan, harini kalau bisa mengalahkan Cian-pi-ji-lay, tentu
namanya bakal membubung.
Maka ia lantas melompat maju,
sambil merangkap ke palannya ia berkata: „Cayhe adalah Pui Liong Cun, mohon
Cian-pi-ji-lay suka memberi petunyuk beberapa jurus.”
„Hm, kiranya kau,” jengek Pan San
sengit. „Memangnya aku duga kalau orang lainpun tak nanti menggunakan Cara
liCik itu serta senjata rasia yang taegitu keji.”
„Ha,” sahut Liong Cun tertawa
dingin. „Aku hanya pu nya dua tangan, silahkan Cian-pi-ji-lay memulai.”
Nyata dengan kata-katanya yang
mengandung maksud menyindir ini ia hendak bilang : Lihatlah fkau yang katanya
bertangan seribu dapatkah kau bisa berbuat apa dengan kedua tanganku melulu.
ini ?
Tak banyak-banyak bicara lagi
segera Tio Pan San meloncat ke belakang, lalu dengan suara tertahan ia
membentak : „Marilah maju !”
“Tapi aku bertanding senjata
rasia hanya dengan kau seorang saja,” kata Liong Cun tiba-tiba .
“Sudan tentu, apakah kau kira
saudara-saudara kami bisa mem bokong kau seperti perbuatanmu yang rendah tadi
?” damperat Pan San gusar.
„Bagus, aku justru inginkan
kataamu ini,” sahut Liong Cun. Habis ini, sekali melesat, Cepat-cepat ia
melompat keatas sebuah perahu. kecil.
Kiranya ia tahu semua orang yang
berada dikapal itu adalah jago- Hong Hwa Hwe yang tangguh, meski Tio Pan San
sudah berjanyi tiada orang yang bakal membo kong padanya, tapi ia sendiri tadi
telah gunakan perbuatan liCik hingga melukai Sim Hi, betapapun ia takut
kalaudua pihak lawan juga diam-diam menurun tangan keji, maka tak berani ia
tinggal diatas kapal yang terdapat banyak-banyak orang itu.
Tio Pan San pun tidak sungkandua
lagi, ia tunggu begitu orang menginyak perahu itu, sekali tangan kiri bergerak
dan tangan kanan mengajun, sekaligus tiga buah “kim-Ci-piau” atau senjata piau
bentuk mata uang, dan tiga buah „siu-Cian” atau panah kecil, telah menyamber
kedepan ber bareng, bahkan ketika ia menunduk kepala, tahu-tahu dari gigir nya
menyamber keluar pula sebuah panah. Sungguh sama sekali tak pernah Liong Cun
duga bahwa lawannya sekaligus sanggup menyambitkan tujuh maCam am-gi, dalam
kaget dan ketakutannya karena tiada jalan buat menghin darkan diri, ia tak
pikirkan lagi malu atau tidak, selamat paling perlu, mendadak ia mendekam
kebawah kapal.
Karena itu, maka terdengarlah
suara „plak-plok, plak-plok” be-runtungdua, tujuh maCam senjata rasia itu telah
mengenai papan lantai kapal semua.
„Haha, seperti kuradua yang
mengkeret saja, Cara begitu mana bisa. disebut bertanding am-gi apa?” terdengar
seorang tukang perahu memaki.
Namun Liong Cun tak menggubris
makian orang, ia balas menginCar Tio Pan San, dibawah sinar bulan Cukup te rang
dilihatnya bangun tubuh orang, maka sebutir “po-te-Ci” atau biji tasbi,
Cepat-cepat ia sambitkan kedada kiri Tio Pan San.
Sedianya Pan San hendak menangkap
senjata rasia orang itu, tapi bila didengarnya' suara samberannya diketahui bu
kan Tok-Cit-le, tiba-tiba ia mengegos menghindari. Tapi baru saja ia berkelit
kekanan, tahu-tahu tiga butir Tok-Cit-le be nardua kini telah menyamber dari
depan.
Melihat Cara menyambit am-gi
musuh begitu Cepat-cepat , Pan San tak berani gegabah, mendadak dengan gaja
„tiat-pan-kio” atau jembatan papan besi, ia mendojong kebelakang hingga- ketiga
buah peluru berduri itu menyamber lewat di atas hidungnya.
“Bagus !” serunya, dan baru saja
ia hendak menegak kembali, siapa tahu lagi-lagi tiga butir Tok-Cit-le telah me
ngarah kebagian bawah badannya seCepat-cepat kilat.
Begitulah Cara Pui Liong Cun
menyerang dengan senjata rasianya, hanya sekejap saja iapun menyambitkan tujuh
buah am-gi, serangan itu disebut “lian-goan-sam-kik” atau gempuran tiga kali
secara berantai. Kalau orang lain, pasti sekalidua tak sanggup menghindarinya.
Namun Tio Pan San diluar pembatasan itu, ia bukan Cin-pi-ji-lay kalau gam pang
keCundang, tiba-tiba sebiji “hui-hong-Ciok” atau batu belalang terbang melayang
dari tangan kirinya, menyusul ta ngan kananpun melunCurkan sebuah “thi-tian-Ci”
atau biji teratai besi, dengan dua am-gi ini ia bentur jatuh dua buah
Tok-Cit-le orang, ia tunggu Tok-Cit-le yang tengah sudah tiba dekat,
Cepat-cepat ia baliki tangan kiri dan menang kapnya dengan pelahan terus
dimasukkan kesakimja.
Melihat kepandaian menggunakan
am-gi Pui Liong Cun memang luar biasa, diams Pan San memikirkan Cara orang yang
keji itu boleh jadi masih ada tipu muslihat lain lagi, jangandua dirinya yang
berlaku jujur bisadua nanti malah ter jebak. Karena itu ia pikir harus
mendahului, maka sekali tangannya bergerak pula, tiga buah “Kim-Ci-piau”
kembali disambitkan mengarah “Sin-ting-hiat” dibagian kepala, “thian-ti-thiat”
dibagian dada serta “hiat-hay-hiat” dibagian bawah.
Ketika melihat tangan orang
bergerak, segera juga Pui Liong Cun sudah melompat kesuatu perahu yang lain.
Tapi Pan San inCar baika tempat dimana orang akan menancap kaki, segera ia
susulkan sebuah panah kemuka orang, dan selagi Liong Cun bermaksud angkat
tangannya buat me nangkap, siapa duga mendadak dari depan sejenis senjata yang
berbentuk bengkjmg aneh telah menyamber datang, le kasdua ia menunduk, namun1
aneh juga, senjata itu tahu-tahu sudah terbang kembali' lagi ketangannya Tio
Pan San. Dan bila Pan San meraup terus ditimpukan pula, kembali senjata itu
menyamber lagi kedepan.
Belum pernah Pui Liong Cun
melihat senjata rasia tunggal Tio Pan San yang disebut “hwe-liong-pik” atau
batu naga terbang berputar itu, karuan saking terkejutnya pi kirannya menjadi
kaCau, dalam keadaan musuh sedang gu gup itu, bahkan Tio Pan San memberondongi
lagi dengan tiga butir “po-te-Ci” yang tepat mengenai „yang-pek-hiat” diujung
alis kiri dan “hun-bun-hiat” dibagian iga kanan, tanpa ampun lagi tubuh Liong
Cun menjadi lemas terus menumprah diatas perahu.
Melihat Pui Liong Cun terjungkal,
karuan terkejut se mua jago-jago pengawal Kian Liong itu. Segera Cu Wan yang
berjuluk „It-wi-toh-kang” atau dengan sebatang gala me nyeberang sungai, yang
bersama Pek Cin dan Pui Liong Cun digelari orang sebagai “Pak-khia-sam-eng”
atau tiga jagoan dari Pakkhia itu, segera melompat maju buat me nolong sang
kawan.
Dengan pedang melindungi mukanya,
segera Cu Wan melompat keperahu dimana Pui Liong Cun terguling itu.
Namun tak diduganya, selagi
tubuhnya masih terapung di udara, tibas dilihatnya dari pihak sana juga ada
seorang melompat keperahu itu dengan pedang terhunus.
Oleh karena Cu Wan melompat maju
lebih dulu, maka ia mendahulul turun diatas perahu itu, segera tangan kir-nya
bergerak serta senjata ditangan kanan diputar suatu lingkaran, kontan leher
orang yang juga melompat datang itu hendak ditabasnya, dengan demikian kalau
orang terpak sa hendak selamatkan diri pasti akan didesak masuk air.
Tak tersangka orang itu justru
tidak ambil mumet akan serang'an Cu Wan itu, sebaliknya ia membarengi menusuk
pergelangan tangan kanan Cu Wan yang memegang senjata, inilah yang dalam ilmu
silat disebut „orang yang pandai menyerang pasti menginCar tempat musuh yang ha
rus dijaga,” walaupun dimalam gelap, namun tusukan itu ternyata begitu
Cepat-cepat lagi jitu hingga sekejap saja ia sudah merubah kedudukannya yang
diserang menjadi menyerang.
Lekas” Cu Wan menarik tangannya
dan mengalihkan ujung pedangnya kebawah mengarah kaki lawari. Serangan ini
adalah salah satu tipu serangan Tat-mo-kiam-hoat yang lihai.
Tapi orang itu telah tendangkan
kakinya kiri pura-pura, me nyusul itu kaki kanan lantas melayang pula menendang
pergelangan tangan Cu Wan. Apabila Cu Wan sempat angkat tangannya kesamping dan
belum sempat melontarkan serangan pula, sementara itu orang itu sudah berdiri
tegap diatas kapal. Dibawah sinar bulan yang Cukup terang, ter tampaklah orang-
itu berpakaian imam dan lengan bajunya sebelah kiri diikat dipinggang.
Cu Wan sendiri asalnya adalah
Hwesio dengan nama su Ci “Ti Wan”, tapi belakangan melanggar pantangan budha
dan diusir keluar kelenteng, karena itu sekalian ia kembali kedunia ramai lagi
dan berganti nama menjadi Cu Wan, berkat ilmu pedangnya Tat-mo-kian-hoat yang
hebat dan ke ji, achirnya ia bisa manyat keatas hingga menjadi pe ngawal
pribadi kaisar Kian Liong. Dan sebab tadinya ia bertirakat, sesudah kembali
pereman hidupnya dilingkungan
kota terlarang pula didalam
keraton, maka terhadap urus andua kangow ia tidak banyak-banyak paham, ia
merasa ilmu pedang lawannya sekarang ini begitu Cepat-cepat luar biasa dan
belum pernah ia jumpai selama hidupnya. Nyata ia tidak tahu bahwa itu adalah Bu
Tim Tojin dengan ilmu pedangnya „Tui-hun-to-beng-kiam” yang tiada bandingannya
diseluruh jagat itu.
Dalam ilmu silat, pedang
diibaratkan. rajanya segala ma Cam senjata, pedang mengutamakan enteng dan
gesit. Kalau golok hanya sebelah tajam saja yang bisa digunakan, adalah pedang
kedua belah matanya dapat dipakai. Tapi ka rena kedua belahnya tajam, dengan
sendirinya tidak dapat dibuat menangkis atau keras lawah keras seperti golok.
Dan justru termashurnya ilmu pedang „tui-hun-to-beng-kiam” atau ilmu pedang
penCabut nyawa dari Bu Tim itu titik pokoknya adalah karena gesit dan enteng,
lawan yang biasa asal mampu berkelit tiga kali serangannya, lantas Bu Tim
merasa sayang , asal lawan itu bukan seorang penyahat besar atau rnusuh keras,
tentu jiwa diampuninya.
Namun Cu Wan ternyata masih belum
kenal kelihaian orang, sementara itu ia masih membentak: „Siapa kau?”
“Ha, masih berani kau pamerkan
ilmu pedangmu, masakan kau tak kenal aku?” sahut Bu Tim tertawa.
Dalam pada itu susul menyusul Cu
Wan sudah melontar kan serangandua lagi dengan tipu “kim-kong-hok-hou” atau
siraksasa menaklukan harimau, lalu „kiu-bin-lian-tay” atau naik pangkat diatas
panggung, ia memotong dulu kebawah, lalu menyabet keatas.
“Ah, tidak jelek juga ilmu
pedangmu, marilah sekali lagi dengan tipu 'kim-lun-to-kiap' (roda emas
menghindar kan malapetaka)!” demikian seru Bu Tim sembari menangkis kedua
serangan orang tadi.
Dan baru selesai ia uCapkan,
betul juga Cu Wan me lontarkan serangan lagi dengan tipu “kim-lun-to-kiap”
seperti yang dikatakan Bu Tim.
Cu Wan terCengang bila tipu
serangannya sudah dilontar kan, pikirnya: “Aneh, darimana ia bisa tahu
seranganku ini?” Namun Bu Tim sambut serangan orang dengan ganda
tersenyum saja, bahkan ia lantas
balas menusuk dua kali kepundak kanan-kiri Cu Wan sambil membentak: „Lekas kau
gunakan tipu 'hu-khu-in-siu' (kapudua mengambang, lengan baju berlenggang), dan
lalu 'hong-ke-pek-koh' (air bak mendampar tubuh)!”
Dan baru habis ucapannya, benar
juga Cu Wan telah gunakan kedua tipu itu.
Dengan Cara begitu, mana bisa
dibflang pertempuran secara matiduaan, tapi lebih mirip dikatakan sang guru
yang lagi melatih simurid.
Biasanya Cu Wan sangat agulkan
diri, tahu-tahu kini ia se akan-akan sedang dilatih, karuan ia malu berCampur
gusar dan heran pula. Maka sesudah dua gerakan tadi dilakukan, segera ia
melangkah mundur dua tindak sanibil memandang tajams kepada Bu Tim Tojin.
Padahal terhadap intisari
Tat-mo-kiam-hoat Bu Tim sudah paham semuanya, ia lihat kepahdaian Cu Wan tidak
jelek, maka sengaja ia sebutkan dulu namadua tipu yang akan di keluarkan untuk
menangkis serangannya yang ia akan lon tarkan itu. Dan sebab inllah, Cu Wan
telah kena digertak hingga seketika tak berani sembarang menyerang pula.
„Dan awas, sekarang seranganku
ini adalah 'sian-jin-ki-loh' (sang dewa menunyuk jalan), maka lekasan kau
menangkis dengan 'hwe-tau-si-gan' (menyesal masih belum terlambat)!” demikian
tiba-tiba Bu Tim membentak lagi.
Tapi sekali ini Cu Wan telah
ambil keputusan justru tidak mau turuti tipu yang orang sebut itu. Siapa duga
ilmu pedang Bu Tim memang terlalu hebat, tempat yang dia arah mau-tak-mau Cu
Wan harus memalangkan pedang keatas, dan gerakan ini memang benara adalah
“hwe-tau-si-gan.”
Sementara itu Lou Ping yang
pegang kemudi diburitan kapal yang dibuat bertarung ini, dengan tersenyum
simpul nyonya jelita ini mendajung pelahan perahu ini kehadapan Keh Lok dan
Kian Liong.
Tatkala itu Tio Pan San sudah
dapat menangkap Pui Liong Cun dan dengan suara rendah Thian Hong yang sedang
mendesak jago bayang kari itu mengeluarkan obat pemunah untuk menolong lukanya
Sim Hi,
Namun Pui Liong Cun itu ternyata
sangat bandel, ia justru pejamkan mata tak mau buka suara, sekalipun Thian Hong
sudah palangkan goloknya ditengkuk orang, namun masih tetap ia bungkam dalam
seribu basa.
Dalam pada itu Bu Tim Tojin yang
menggunakan gerak tipu „Sian-jin-ki-loh” untuk memaksa Cu Wan mengeluar kan
tipu „hwe-tau-si-gan” untuk menangkis, sebenarnya ia mengandung maksud agar
lawannya itu bisa tahu diri sesuai arti gerak tipu „Hwe-tau-si-gan” atau menyesal
masih tak terlambat itu. Maka ketika Cu Wan sudah keluarkan ge rakan itu dan
melihat Bu Tim lantas tarik senjata sambil memandang padanya dengan sinar mata
tajam bagai kilat, seketika Cu-Wan menjadi serba salah, maju tak berani, mundur
malu, karuan keadaannya sang'at konyol.
„Dan sekarang tipuku ini adalah
'tang-tau-pang-kai' (kemplangan keatas kepala), lekasan kau gunakan gerakan
'hing-kang-hui-toh' (menyeberang sungai berterbangan)!” mendadak Bu Tim berseru
lagi. Habis itu pedangnya diangkat terus membaCok keatas kepala orang.
Karena itu, terpaksa Cu Wan
menggeser tubuh, pedangnya membalik untuk kemudian ditangkiskan keatas, dan
apalagi tipu gerakan ini kalau bukan „hing-kang-hui-toh” dari Tat-mo-kiam-hoat
seperti sudah dikatakan Bu Tim itu?
Kian Liong juga paham ilmu silat,
meski tidak terlalu mahir, tapi didalam keratonnya banyak-banyak sekali orangs
pandai dan kosen yang sudah biasa dilihatnya sejak kecil, maka pengalamannya
juga Cukup luas. Kini dilihatnya setiap kali Bu Tim berteriak sesuatu nama tipu,
betul juga lantas Cu Wan menurutkan apa yang ditunyuknya untuk menangkis. Tentu
saja dalam hati ia mendongkol juga geli, berbareng pula iapun jeri, pikirnya:
“Cu Wan ini terhitung jago kelas terkemuka didalam keraton, tapi kini kenapa
begini tolol? Jika dalam keadaan genting, orang maCam begini apa gunanya?”
Nyata Kian Liong tak tahu bahwa
ilmu pedangnya Bu Tim Tojin tiada bandingannya diseluruh jagat, dengan sendiri
nya Cu Wan takbisa berkutik melawannya. Baiknya Bu Tim hanya sengaja
mempermainkan lawannya saja, bila tidak, sepuluh orang Cu Wan mungkin sejak
tadidua sudah diberes kannya.
Dan setelah melihat beberapa
jurus lagi, makin lama Cu Wan kelihatan semakin runyam, Kian Liong tak tahan
lagi, katanya pada Pek Cin: „Lekas suruh dia kembali saja.”
Karena itu Pek Cin melompat
keujung kapal terus ber teriak keras-keras: “Cu-heng, majikan suruh kau kembali
!”
Memangnya panggilan demikian
inilah yang sedang di harap- Cu Wan, karuan, tak perlu diulangi, segera ia me
narik pedang dengan maksud hendak melompat pergi.
Akan tetapi Bu Tim tidak tinggal
diam, mendadak ia membentak: „Sejak tadidua takmau mundur, sekarang mau mundur,
ha, jangan kau harap!” — Berbareng itu sinar pedang gemilapan, seketika Cu Wan
merasa sekitarnya seakan-akan musuh semua, seluruh badannya sudah terlibat di
bawah sinar pedang orang, terang tak bisa larikan diri lagi, sesaat itu ia
merasa mukanya silirdua dingin seperti sebilah pisau Cukur saja yang menyamber
kesana kemari.
Melihat sang kawan tiada jalan
buat mundur, Pek Cin tak bisa tinggal diam lagi, Cepat-cepat ia melompat
menubruk kearah kedua orang itu, ia ulur kedua tangannya dan secara paksa terus
hendak merampas pedangnya Bu Tim.
Nampak gaja serangan orang Cukup
ganas, Cepat-cepat Bu Tim putar pedangnya terus balik menusuk kebagian bawah Pek
Cin.
Meski Pek Cin namanya sejajar
bersama Pui Liong Cun dan Cu Wan dan disebut sebagai „Pak-khia-sam-eng” atau
tiga jago dari Pakkhia, tetapi ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada kedua
orang yang disebut belakangan itu. Mendadak ia gunakan jari-jarinya buat
menahan punggung pedang Bu Tim, berbareng telapak tangan kanannya terus
menghantam kepundak kiri lawan.
Bu Tim sudah buntung, tak punya
tangan kiri lagi, dengan sendirinya tempat sebelah kiri merupakan tempat
kelemahan nya, kalau musuh menyerang kesebelah kiri, terpaksa selalu ia
menghindari dan tak sangg-up balas menyerang. Tapi habis mengegos,
seCepat-cepat kilat pedangnya kembali menusuk ke tenggorokan Pek Cin lagi.
Namun gerakan Pek Cin ternyata
Cepat-cepat luar biasa, me nyusul telapak tangan kanan masih tetap menginCar ke
pundak kiri lawan, ketika Bu Tim terpaksa lagi mundur setindak, tahu-tahu
pergelangan tangan kanannya sudah kena diCengkeram Pek Cin.
Melihat itu, Tio Pan San, Ji
Thian Hong dan Lou Ping cs. sampai berteriak kuatir.
Diluar dugaan, dibawah
gemilapannya sinar pedang dan menyambernya angin pukulan, tiba-tiba terlihatlah
kaki kiri Bu Tim telah melayang langsung mendepak keselangkangan Pek Cin.
Ketika Pek Cin mengegos kekiri dan berbareng masih hendak merebut senjatanya Bu
Tim, namun belum kaki kirinya tadi turun kembali, menyusul kaki kanan imam ini
sudah menendang pula.
Sungguh sama sekali Pek Cin tak
menduga; gerak serangan musuh itu bisa begitu Cepat-cepat , begitu tangannya
melepas, Cepat-cepat ia melompat mundur, namun tendangan kilat Bu Tim itu
ternyata sangat lihai, tendangan kaki kanan luput, lagi-lagi kaki kiri sudah
melayang pula dan sekali ini tak mungkin Pek Cin bisa menghindari, tepat sekali
bebokongnya kena didepak, karenanya ia terhuyung-huyung dan hampirdua mengusruk
masuk kedalam telaga.
Pek Cin menjadi naik darah juga,
begitu membalik, kedua tangan naik turun terus menCakar kedua matanya Bu Tim.
Tapi kedua kaki Bu Tim masih tetap amat Cepat-cepat nya, susul menyusul terus
menendang tak berhentidua, kaki satu dis-usul kaki yang lain. Itulah tendangan
“Lian-goan-bi-Cong-tui” atau tendangan penyesat musuh secara berantai.
Baiknya Pek Cin sudah
banyak-banyak berpengalaman, gerak-geriknya juga Cepat-cepat luar biasa, ketika
Cakarannya tadi belum kena sasarannya dan kaki musuh sudah melayang tiba,
lekasan saja ia melompat keatas.
Disebelah sana Lou Ping lagi
saksikan pertarungan kedua orang itu dengan penuh perhatian, ketika dilihatnya
Pek Cin meloncat naik, tiba-tiba ia Celupkan penggajuhnya kedalam air terus
digebjurkan, kontan saja bagai seember air telah menyiram keatas kepala Pek
Cin.
Sebenarnya Pek Cin berniat turun
kembali diujung perahu itu buat tenipur Bu Tim lagi, tapi tiba-tiba dilihatnya
se gulung air yang putih berbuih menggebjur kemukanya, dalam keadaan gugup,
sempat ia berjumpalitan sekali diudara untuk kemudian melompat turun mundur
keatas kapal yang ditumpangi Keh Lok dan Kian Liong itu. Sekalipun begitu, toh
tubuhnya bagian bawah tetap basah kujup hingga ke adaannya sangat konyol.
Ia tak tahu bahwa dibandingkan
keadaan Cu Wan, ia masih jauh lebih beruntung.
Kiranya pada kesempatan Pek Cin
menempur Bu Tim, barulah Cu Wan mampu menerobos keluar dari kepungan sinar
pedang lawan dan melompat kembali keatas kapalnya Keh Lok, dan baru bisa
tenangkan diri serta hendak berdiri kebelakangnya Kian Liong, tiba-tiba
terdengar Giok-ju-ih yang paling dulu tertawa ngikik. Lain Kian Liong terlihat
meng kerut kening, begitu juga Keh Lok bersenyum urung, sikap wajah semua orang
itu sangatlah aneh.
Karena itu Cu Wan tertegun, sementara
itu angin telaga yang meniup silirdua membikin tubuhnya terasa agak dingin,
karena itulah baru ia melihat keatas tubuhnya sendiri dan ...............
terkejutnya sungguh bukan buatan.
Ternyata seluruh kain bajunya itu
sudah kena diiris pedangnya Bu Tim hingga berseliwiran sobek semua. Disam ping
itu kepalanya terasa agak pedas, ketika ia meraba kepala dan muka sendiri,
nyata kunCirnya, rambutnya dan alisnya telah kena diCukur hingga klimis oleh Bu
Tim tadi.
Dalam keadaan kaget dan malu,
Celaka tigabelas, mendadak Celananya melorot lagi kedodoran kebawah, kiranya
tali kolornya telah kena diiris putus juga. Lekas-lekas ia pegangi Celananya,
tapi “plung,” pedangnya kini yang terCemplung kedalam telaga.
Begitulah sedang Cu Wan kelabakan
mengurusi dirinya yang tak karuan maCam itu, saat itulah Pek Cin telah melompat
kembali kekapal itu juga.
Menyaksikan. tiga jago utamanya
telah kena dihajar orang hingga konyol sedemikian rupa, Kian Liong insaf bila
pertandingan diteruskan, pasti juga pihaknya yang akan telan pil pahit, maka
katanya pada Keh Lok lantas: „Ke
pandaian beberapa kawan Liok-heng
ini ternyata sangat mengejutkan orang, kenapakah tidak mau bersama Liok-heng
berjuang untuk pemerintah, dengan begitu kelak bisa bikin harum nama keluarga
dan membuat jaja nama leluhur, barulah kepandaian masing-masing itu tidak
ter-sia-sia. Tapi kalau Cuma terluntang-lantung dirantau, bukankah ini sangat
sayang ?”
Nyata kaisar Kian Liong adalah
seorang raja pintar, dalam keadaan demikian bukannya ia menjadi gusar, tapi ia
justru timbul pikiran ingin memelet ksatriadua itu untuk mengabdi padanya.
Namun Ken Lok tertawa. Katanya:
„Ah, aku dan Kawan-kawan -ku ini serupa saja, lebih suka hidup bebas dikangouw,
maka maksud baikmu biarlah kami terima didalam hati saja.”
„Jlka begitu malam ini sudah
Cukup rasanya bikin sibuk, biarlah sekarang juga aku mohon diri saja,” kata
Kian Liong pula. Habis ini ia memandang pada Pui Liong Cun yang masih berada
diatas perahunya Tio Pan San itu.
„Tio-samko, kau lepaskanlah
orangnya Tang-hong siansing itu!” segera Keh Lok menteriaki Pan San.
„Itulah tak boleh,” seru Lou Ping
tiba-tiba . „Sim Hi telah terkena senjata rasianya Tok-Cit-le, dan ia tidak mau
beri kan obat pemunahnya.” — Sambil berkata ia terus dajung perahu itu
mendekat.
Mendengar itu kelihatan Kian
Liong membisiki Li Khik Siu, lalu berpaling dan berkata pada Pui Liong Cun:
“Kau berikanlah obat pemunahnya untuk orang.”
„Sungguh hamba berdosa, obat
pemunah itu justru ke tinggalan di Pakkhia tidak hamba bawa,” sahut Pui Liong
Cun.
Mendengar itu, Kian Liong
mengkerut dahi, lalu tidak berkata lagi.
„Sudahlah, Tio-samko, lepaskanlah
dia,” kata Keh Lok pula.
Diam-diam Pan San pikir tentu Keh
Lok tidak tahu betapa ja hatnya raCun Tok-Cit-le orang, karena itulah ia suruh
orang dibebaskan. Tapi tidak enak juga untuk melakukan kom pres pada Pui Liong
Cun, apalagi orang she Pui itu begitu kepala batu, meski sudah dikompres
mungkin juga per Cuma. Sebaliknya kalau dilepaskan menurut perintah Keh Lok,
untuk menangkapnya lagi tentunya tidak gampang lagi, seumpama bisa menangkapnya
pula, karena tempo yang terbuang ini, tentu sianga Sim Hi sudah mati oleh
serangan raCun. Karena itulah Pan San menjadi ragua.
“Samko, Coba kau berikan dua
butir Tok-Cit-le itu pada ku,” kata Thian Hong tiba-.
Pan San tidak mengarti apa
gunanya Tok-Cit-le itu di minta, tapi dirogonya keluar juga senjata rasia itu
dua biji, sebuah ia dapat mengambil dari lukanya Sim Hi, yang sebiji bolehnya
menyang gapi waktu bertanding am-gi atau senjata, rasia, tadi.
Dan, setelah menerima dua biji
Tok-Cit-le itu dari Pan San, Cepat-cepat Thian Hong menyeberet baju orang
hingga baju dibagian dada Pui Liong Cun tersobek sebagian besar dan dadanya
yang hitam lebat dengan simbar (bulu dada) itu tertampak jelas. Tanpa bicara
lagi Thian Hong geraki tangannya, “Ces-Ces-Ces” tiga kali ia tusuk- kedua biji
Tok-Cit-le itu didada orang hingga berwujut enam lobang luka kecil.
Karuan Pui Liong Cun men-jerit-,
saking ketakutannya hingga keringat dingin membasahi kepalanya. Dada adalah
tempat yang paling dekat dengan jantung, kalau raCunnya bekerja, tentu jalannya
sangat Cepat-cepat , apalagi sekaligus ditanCap enam lobang.
Namun Thian Hong anggap
tindakannya itu seperti biasa saja, ia serahkan kembali Tok-Cit-le itu kepada
Tio Pan San, lalu dengan suara keras ia katakan pada Keh Lok : “Liok-kongcu,
mohon kau berikan beberapa. arak pada kami, aku ingin minum bersama dengan Pui-ya
ini sebagai sobat baik, habis itu segera aku membebaskannya kembali.”
„Baiklah,” sahut Keh Lok.
Sementara itu Giok-ju-ih sudah
lantas menuang penuh tiga Cawan.
„Awas, Tio-samko, araknya
datang!” seru Keh Lok kemu dian, berbareng itu seCawan arak telah ditimpukannya.
Cara Keh Lok menggeraki tangannya itu ternyata sangat tepat dan manis hingga
Cawan itu antong saja „terbang” dari kapal itu kearah perahu tempat Tio Pan San
berada itu. Ketika Pan San dapat menyang gapi Cawan arak itu, terhjata
setetespun isinya tiada yang kaCir. Dan dibawah sorak pujian semua orang,
kembali dua Cawan arak yang lain sudah terbang lagi dari tangan Tan Keh Lok
ketangan Tio Pan San. « Melihat betapa bagus gerak tangan serta tinggi lwekang
atau tenaga dalam kedua orang itu, mau-tak-mau para jago bayang kari pemerintah
Ceng itu diam-diam kagum, bahkan ada dua orang diantaranya yang tak tertahan
sampai ikutduaan bersorak bagus.
Dan sesudah Thian Hong menerima
Cawan arak dari Tio Pan San, lantas katanya pada Pui Liong Cun: “Pui-ya, marilah
kita keringkan seCawan !”
Tatkala itu luka didadanya Liong
Cun rasanya sudah gatal pegal luar biasa, kini melihat arak ia makin ketakutan
seperti melihat ular atau kalajengking yang paling beroisa, wajah nya kelihatan
ketakutan sekali dan mulutnya terkanCing rapatdua.
Kiranya bila ia meminum arak,
maka darahnya akan meng alir lebih keras dan menyebarnya raCun dalam badannya
juga tambah Cepat-cepat meluas, dalam waktu tiada satu jam pasti jiwanya akan
melayang .
“Ayolah minum, eh, kenapa kau
menjadi sungkandua, Pui-ya?” demikian Thian Hong mengejek dengan tertawa.
Dan dengan ucapannya itu, jari
kelingking dan jari manis Thian Hong dijepitkan pada hidung orang, sedang
kening si-wi itu ditekannya dengan jari telunyuk dan jempol. Liong Cun tak
dapat berbuat apa-apa, dan begitu mulutnya ternganga, Thian Hong Cepat-cepat
menuangkan ketiga Cawan arak itu kedalamnya.
Selagi Thian Hong menCekoki Liong
Cun, adalah Bu Tim dan Tio Pan San berdiri disisinya dengan pedang terhunus,
sehingga kawanan si-wi itu tak berani berbuat apa-apa, keCuali mengawasi
kawannya itu dipale sesuka orang.
SeCepat-cepat arak masuk kedalam
perut, Liong Cun rasakan dadanya seperti mati-rasa, sebagian besar dagingnya
berobah hijau kehitam-hitaman warnanya. Tahulah dia sekarang, bahwa jiwanya
sudah terCengkeram maut. Sampai disitu, hanCur lah kebandelannya, katanya
dengan suara lemah: „Kau buka jalan darahku, nanti kuambilkan obat itu !”
Dengan. tertawa Pan San tepuk
jalan darah orang. Pui Liong Cun menggretek gigi, dia keluarkan tiga bungkusan
obat.
„Bungkusan merah ini, untuk obat
dalam. Bungkusan hi tam, penghisap raCun. Dan yang putih untuk obati luka,”
katanya.
Berbareng dengan kata-katanya
yang terachir itu, pingsanlah ia tak tahan. Pan San Buru-buru aduk obat dalam
bungkusan merah dengan air telaga, terus dituang kemulut Sim Hi. Sedang obat
dalam bungkusan hitam, dia poleskan pada luka boCah itu. Tak berapa saat
kemudian, tampak darah hitam ber-ketesdua keluar dari lukanya. Beberapa kali
Lou Ping meng usapi. Darah hitam, berobah wungu, kemudian menjadi merah seperti
biasa.
Setelah banyak-banyak
mengeluarkan darah merah, maka ber teriaklah Sim Hi meng-aduhdua. Lalu Pan Sam
menempelkan obat dalam pembungkus putih itu, seraja bergurau: „Ha, jiwamu
achirnya dapat terampas balik.”
Thian Hong masih dendam dengan
keliCikan orang she Pui itu. Ketiga bungkusan obat itu, disimpannya dalam kan
tung, tanpa menghiraukan si-wi itu lagi.
Tio Pan San mendapat gelar
„ji-lay” karena welas-asih nya. Melihat keadaan Liong Cun yang mengeneskan itu,
tak tegah hatinya. Dia minta obat itu dari Thian Hong, lalu di obatkan pada
Liong Cun.
„Samte tak ubah dengan seorang
ibu. Orang maCam dia, tak perlu dikasihani. Baiklah, akan kubuat dia supaya tak
dapat mains senjata rahasia lagi,” demikian kata Bu Tim.
SeCepat-cepat sang mulut
mengucap, pedangnya telah menusuk tulang lemas “pi-peh-kut” pundak Liong Cun,
untuk memu tus uratdua besarnya. Setelah itu si-wi yang sial itu diangkat Thian
Hong dan dilemparkan keperahu pesiar Tan Keh Lok dan Kian Liong. Hoan Tiong Su
dengan sebat menyang gapinya.
Sejak itu, sekalipun Liong Cun
tertolong jiwanya, tapi kedua tangannya sudah tak dapat dipakai untuk main
silat lagi. Dan ilmunya melepas, tok-Cit-le yang jahat itu, turut lenyap untuk
se-lama-lamanya.
“Beberapa sahabat siaote itu memang
kasar, tak kenal peraturan, harap jinheng maafkan,” kata Keh Lok kemu dian pada
Kian Liong.
Kian Liong tertawa, lalu berkata
dengan tangan diangkat : “Hari ini kugembira bisa berjumpa dengan beberapa eng
hiong. Kelak kalau hengtay berkunyung ke Pakkhia, biarlah aku yang menjadi tuan
rumah untuk mengundang sekalian sahabat itu minum dengan sepuasduanya. Untuk
hari ini, biarlah kita berpisah dulu.”
"Tang-hong Ni sianseng akan
pulang, Ayo merapat ke tepi!” teriak Keh Lok lalu.
Perahu pesiar itu pelan-pelan
didajung ketepi, diiring oleh ratusan perahu kecil, sehingga telaga itu penuh
bergemer lapan Cahaja lampu.
Ketika dekat ketepi, dari arah
depan tampak sebuah perahu melunCur datang dengan pesatnya. Berdiri dimuka
haluan, seseorang yang berpakaian jubah dengan menenteng sebuah bendera merah.
Begitu dekat dengan perahu Thian Hong, orang itu loncat keperahunya, dan
membisiki ditelinga Thian Hong.
Pada lain saat, rombongan perahu
itu telah merapat ketepi. Li Khik Siu loncat dulu kedarat, lalu menuntun Kian
Liong turun. Para si-wi itu menyaga dikanan kiri dengan tertib. Tiba-tiba Khik
Siu mengeluarkan peluitnya, terus ditiup sekuat-kuat nya. Beratus-ratus pasukan
gi-lim-kun segera ber-bondongdua menghampiri. Seorang si-wi menuntun seekor
kuda putih untuk baginda. Berbareng itu, pasukan pemanah tampak mengepung
rombongan Tan Keh Lok. Kian Liong memberi isjarat dengan kedipan mata pada Khik
Siu, siapa segera berseru kearah Tan Keh Lok: „He, kawanan perusuh yang
bernyali besar, baginda berada disini mengapa kamu tak memberi hormat !”
Tapi segera juga Thian Hong
mengibaskan tangan, Ma San Kun dan puteranya, Ma Tay Thing memasang obat
pasang, yang terus melunCur ke udara bagaikan sebuah bin tang yang bersinar.
Berbareng dengan jatuhnya kembang
api itu kedalam telaga, sorak sorai terdengar dari empat jurusan dengan gegap
gempita. Dari bawah puhun, sudut rumah, kolong jembatan, ya, dari segala
pelosok, munCul orang-orang yang kepalanya bersunting bunga merah (hong hwa)
dengan masing-masing menghunus senjata.
„Sekalian saudara dari HangCiu,
Congthocu HONG HWA HWE ber ada disini, Ayo kalian sama datanglah menghadapnya!”
Thian Hong berteriak dengan nyaring.
Kembali sorak sorai terdengar
dengan riuhnya, dan ber-jejaldualah orang mendesak maju. Pasukan gi-lim-kun dan
barisan panah siap dengan busur dan senjatanya untuk menghadang majunya
orang-orang itu. Keadaan makin genting merunCing.
Li Khik Siu kembali meniup
peluitnya. Terdengarlah derap kaki kuda menCongklang. Itulah barisan dari induk
pasukan didaerah HangCiu. Begitulah ribuan orang tampak ber-siapdua dikedua
tepi telaga. Pertempuran besar hanya menanti saat saja.
Li Khik Siu pimpin beberapa
perwira dari pasukan setem pat, untuk mengepung rombongan orang-orang HONG HWA
HWE Dia hanya tunggu perintah dari junyungannya saja.
Keh Lok tetap tenang. Pelan-pelan
dia hampiri seorang ang gauta gi-lim-kun, terus minta tali les kuda. Seperti
terpenga ruh dengan sinar mata Tan Keh Lok, serdadu gi-lim-kun itu serahkan
saja tali lesnya. Begitu Keh Lok menCemplak keatas kuda, dia segera ambil
setangkai 'hong hwa' sulaman untuk dilekatkan pada leher bajunya.