Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 11-15

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Su Kiam In Siu Lok (Puteri Harum dan Kaisar) Jilid 11-15 CIAUW CONG pindahkan pedangnya ketangan kiri, tangan itu dia gunakan untuk menyampok pergi datang semua senjata rahasia yang kecildua.
CIAUW CONG pindahkan pedangnya ketangan kiri, tangan itu dia gunakan untuk menyampok pergi datang semua senjata rahasia yang kecildua. Sedang tangannya kanan tak putus-putus menyang gapi kemudian mengembalikan senjata-nyata rahasia yang agak besaran.
Tiba-tiba dia kaget menampak ada semaCam senjata yang berlegat-legot melunCur dari udara akan menyambar mu kanya. Kuatir senjata itu beraCun, Ciauw Cong tak berani memegang kepalanya tapi menyemput ekornya. Dia tak mengira kalau „naga” itu bagaikan naga hidup saja. Begitu tangan Ciauw Cong menyawut, benda itu berputar kembali terus melayang balik kepada tuannya, siapa segera menyam-butinya lagi dan lalu menyambitkannya pula.
Bukan main terkejutnya Ciauw Cong. Kini dia tak mau” menyang gapi dan hanya akan memakai pedangnya untuk menyampok. Tapi tiba-tiba dari arah kanan dan kiri, dua buah „hui-yan-gin” menyambarnya. Buru-buru Ciauw Cong enyot kaki loncat tinggi-tinggi sehingga kedua senjata itu menemui tempat kosong. Tapi diluar dugaan, begitu mengenai tanah, hui-yan-gin itu membal keatas menyambar pada Ciauw Cong. Karena tak keburu berkelit, Ciauw Cong kerahkan lwekangnya dan berhasil menyambutinya yang sebuah. Tapi yang sebuah lagi, tak keburu dihindarinya dan menyusup kedalam pahanya.
Melihat lawannya terluka Tio Pan San memburu untuk menikamnya lagi. Untuk itu, Ciauw Cong gunakan pedangnya. Karena tahu bahwa dia berhadapan dengan pokiam, Pan San mengegoskan tubuh, hingga pedangnya menempel disisih pedang musuh. Dia gunakan ilmu „menyedot” dari Thay Kek Kiam, hingga pedang Ciauw Cong tertarik kesamping.
Atas gerakan itu, tersentaklah hati Ciauw Cong. Semula dia akan gunakan kepandaiannya yang menggetarkan setiap orang itu untuk menundukkan lawan, tak tahunya malah pahanya terluka senjata musuhnya. Melihat gelagat jelek, dia tak mau melanyutkan pertempuran lebih lama lagi. Dia menatap kearah Kawan-kawan nya, tapi ternyata rombongan si-wi sudah ter-biritdua lari. Begitu pula kereta tawanan, pun sudah direbut musuh.
Karena gelisah, dia desak musuh dengan tiga kali serangan. Begitu orang mundur, dia Cabut senjata rahasia yang me nanCap dipahanya, terus ditimpukkan pada lawan. Pan San tundukkan kepalanya untuk menghindar, tapi saat itu telah digunakan oleh Ciauw Cong untuk memburu kearah kereta tawanan. Sewaktu melihat Ciauw Cong terluka, Lou Ping me-naridua karena riangnya.
„Sipsu-tee Hi Tong bagaimana? Dia terluka berat apa tidak?” tanya Bun Thay Lay.
„Siapa? Sipsu-tee, dia terluka?” sahut sang isteri.
Belum ucapannya itu habis, Ciauw Cong menyerbu kedalam kereta. Dan berbareng dengan itu, Lou Ping menyerit kaget, karena sepasang goloknya terpental disampok Ciauw Cong, jatuh dimuka kereta. Rombongan orang-orang HONG HWA HWE segera mengepung kereta itu. Ciu Tiong Ing lantas menyeli nap kemuka dan tegakkan goloknya besar untuk menghadang.
„Bagus, manusia semaCam kau berani datang ke Thiat-kee-Chung untuk mengambil orang. Betul-betul kau tak pandang mata pada lohu ini. Tidakkah kau mengerti akan aturan kangouw atau bu-lim?” teriak orang tua itu segera.
Melihat yang berdiri dihadapannya seorang tua yang berjenggot putih dan gagah sikapnya, tahulah Ciauw Cong bahwa dialah tentu ketua dari kaum persilatan daerah barat laut si Thiat-tan Ciu Tiong Ing. Dia tak mau berlaku ajal lagi terus menikamnya.
Tiong Ing Cepat-cepat balikkan goloknya, untuk menangkis serangan musuh dengan gigir golok. Gerakan pedang Ciauw Cong linCah dan keras. Begitu dia tarik ujung pedang, gigir golok musuh telah tergurat beberapa dim dalamnya.
Berbareng pada saat itu, Ciu Ki, Ciang Bongkok, Ji Thian Hong dan kedua persaudaraan Siang dengan menghunus senjatanya masing-masing telah berbareng menyerbu pada Ciauw Cong.
Dengan gerakan „hun-heng Cin-nia,” mega menghalang punCak gunung Cin-nia, Ciauw Cong putar pedangnya ling-bik-kiam hingga merupakan suatu lingkaran. Karena jerih dengan pokiamnya, orang-orang HONG HWA HWE itu sama menarik senjatanya.
Ciauw Cong memilih lawan yang terlemah, jakni menyerbu pada Ciu Ki. Nona ini Buru-buru angkat goloknya untuk menabas kepala orang, tapi gerakan Ciauw Cong lebih sebat. Tangannya kiri memegang pergelangan tangan sinona dan dilain saat golok sinona sudah dapat direbut.
Melihat itu, tak terkira terkejutnya Tiong Ing. SeCepat-cepat itu juga, kedua thiat-tannya telah susul menyusul menghantam punggung Ciauw Cong. Dan berbareng pada saat itu juga, Tan Keh Lok telah melepas tiga butir biji Catur kearah „jwan-ma,” „Kwan-gwan” dan „Ciok-ti” tiga jalan darah yang berbahaja.
Sampai disini kederlah hati Ciauw Cong. Dia tergetar melihat bagaimana dalam gelap itu, musuh dapat menyambit kearah jalan- darah, maka Cepat-cepat dia putar leng-bik-kiam-nya untuk menyampok ketiga biji Catur itu.
Tapi pada detik itu, gembolan Tiong Ing sudah menyambar datang. Cepat-cepat dia putar tubuhnya untuk menyang gapi gembolan yang datang pertama. Tapi tidak tahunya gembolan kedua yang datang belakangan malah menimpah tepat di dadanya.
Tiong Ing dapat meng'angkat nama karena mengandel dengan thiat-tannya itu. Dia mempunyai suatu gerakan yang istimewa. Yaitu gembolan yang dihantamkan lebih dulu gerakannya pelan, dan menyusul belakangan malah lebih keras dan Cepat-cepat . Karena itulah kebanyak-banyakan, musuh tak mengira sama sekali. Begitu pun Ciauw Cong, seketika dia rasakan dadanya sesak dan sakit sekali sampai tubuhnyapun menjadi tergetar. Dengan menahan napas, dia kibaskan kedua tangannya untuk menolak Ciang Bongkok dan Ji Thian Hong, dan dari situ terus lari kearah kereta.
Lou Ping hendak menyambut dengan golok panyang . Tapi sekali tangkis, goloknya itu telah terpapas kutung oleh poo-kiam Ciauw Cong, siapa meneruskan gerakannya loncat keatas dan menCengkeram pundak Lou Ping. Dengan Ceng keraman baja itu, Lou Ping tak kuasa menggerakkan goloknya pendek lagi. Namun ia masih dapat tamparkan tangannya kiri untuk menyotos muka lawannya.
Orang-orang HONG HWA HWE kaget dan kuatir, mereka berbareng datang menolong. Tapi seCepat-cepat itu, Ciauw Cong telah lemparkan Lou Ping kearah kedua saudara Siang dan Tiong Ing. Sudah tentu mereka dengan gugup menyang gapinya, karena kuatir jangandua Lou Ping sampai terluka.
Tiba-tiba Ciauw Cong kedengaran menggerung. Punggung nya kena dihantam Bun Thay Lay sekali. Syukur bugenya sempurna, dan Bun Thay Lay masih dalam keadaan sakit, jadi tenaganya sangat berkurang, kalau tidak tentu remuklah sudah jerohan orang she Thio itu. Sekalipun begitu, sakitnya bukan kepalang. Dan justeru hantaman kedua dari Bun Thay Lay menyambar datang lagi, karena tak keburu berkelit, Ciauw Cong Buru-buru tarik selimut yang dipakai orang untuk membungkus kepala Bun Thay Lay, dengan itu dia pakai untuk merangkum tangan Bun Thay Lay. Menyusul tangannya diulur untuk notok jalan darah tawanannya yang seketika itu segera pingsan tak dapat berkutik.

Dengan menyeret Bun Thay Lay kemuka kereta, berserulah Ciauw Cong :
"Bun Thay Lay berada dalam tanganku, siapa yang berani maju, tentu lebih dulu kubunuh saudaramu ini !”

Untuk membuktikan anCamannya, Ciauw Cong tandaskan pokiamnya kebatang leher tawanannya.

„Koko!” Lou Ping menyerit seraja menubruk maju, tapi keburu ditarik oleh Hwi Ching.
Sedang ketika habis mengucap itu, Ciauw Cong rasakan mulutnya terasa anyir, dan sekali batuk, dia muntahkan darah segar.

„Ciauw Cong, kau masih kenal aku apa tidak?” demikian seru Hwi Ching tiba-tiba sambil tampil kemuka.

Ciauw Cong sudah lama berpisah dengan suhengnya itu, apa lagi malam itu gelap, jadi tak dapat dia segera me ngenalnya: Hwi Ching Cabut pek-liongkiamnya,” ujungnya ditekuk sampai mengenai tangkainya, kemudian dilepaskan

HALAMAN YG HILANG

"Wi kiuko, Ciang sipsamko, Beng toako, An toako, kau serbulah kawanan serdadu-itu!” tiba-tiba Tan Keh Lok mem beri perintah segera juga Wi Jun Hwa dan lain-lain. lakukan pe rintah itu.

Berbareng pada saat itu, seorang pemuda tiba-tiba tampil dari belakang Hwi Ching dan berseru : "Aku juga ikut !”

Dan tanpa menunggu sahutan, ia terus mengikuti rom bongan penyerbu itu. Tan Keh Lok tampak mengangkat alis dan bersenyum. Kiranya dialah Li Wan Ci, murid Hwi Ching, yang menyaru sebagai lelaki itu.

Ketika Hwi Ching tinggal dibelakang untuk menyaga kemungkinan pembalasan dari Go Kok Tong cs, dia telah berjumpa dengan muridnya. Karena beberapa hari itu ia saksikan pertempuran yang menarik, maka setengah me maksa Wan Ci minta ikut suhunya. Apa boleh buat, Hwi Ching lebih dulu menyuruhnya berjanyi takkan bertindak sembarangan sebelum mendapat ijin dari suhunya, baru setelah itu diajaknyalah ia.

Begitulah Wan Ci tinggalkan sepuCuk surat kepada Li thay-thay, menerangkan bahwa ia akan berangkat ke Hang-Ciu lebih dulu, untuk menemui ayahnya. Dan ketika suhu dan murid berdua ini tiba justeru pertempuran antara orang HONG HWA HWE dan Ciauw Cong sedang berlangsung. Hwi Cing melarangnya ikutsan, sudah barang tentu gadis itu menjadi kurang senang. Maka begitu Wi Jun Hwa dipe rintahkan menyerbu, tanpa menghiraukan apa-apa, ia terus ikut saja.
Sementara itu Keh Lok memberi beberapa pesanan pula pada kawan^nya, mereka sama mengiakannya. Segera Tio Pan San melompat maju, sekali tangan mengibas, dua buah pa nah telah menancap pada sepasang mata keledai yang menarik kereta Ciauw Cong. Dengan bebenger keras, binatang itu binal dan me-lonyakdua keatas.
Ciang. Bongkok berlari maju menuju kebelakang kereta. Dengan sekuat-kuatnya dia tarik kereta itu hingga tak dapat berjalan lebih lanyut. Siang He Ci dan Siang Pek Ci berdua berada disebelah kanan dan kiri kereta. Mereka menyerang Ciauw Cong dengan senjatanya. Dan ketika Ciauw Cong menangkis, Seng Hiap membarengi loncat kedalam kereta untuk merampas Bun Thay Lay.
Cepat-cepat Ciauw Cong menghantamnya, tapi Seng Hiap telah miringkan tubuh, gunakan pundaknya untuk menerima pu kulan lawan, lalu dengan nekad dia membopong Bun Thay Lay. Untuk melindungi Seng Hiap dari hajaran Ciauw Cong lebih jauh, maka Bu Tim dan Thian Hong menobros masuk dari belakang dan terus menyerang pung gung Ciauw Cong. Sedang Tan Keh Lok ajak Sim Hi loncat keatas kereta, dari situ mereka membungkukkan badan untuk menghantam kebawah. Jadi kini Ciauw Cong diserang dari semua jurusan, kanan kiri, muka belakang dan atas.
Melihat Seng Hiap dapat menerima pukulannya dengan tak merasa apa-apa, terkejutlah Ciauw Cong. Dia duga anak muda itu punya ilmu thiat-po-san. Ketika Seng Hiap nekad merampas Bun Thay Lay, Ciauw Cong jambak punggung bajunya dengan tangan kiri, sedang tangannya kanan dia pakai untuk menangkis serangan kedua persaudaraan Siang. Sehabis itu, dia empos semangatnya untuk melemparkan tubuh Seng Hiap yang besar itu keluar kereta.
Hwe-Chiu-poan-koan Thio Ciauw Cong seakan-akan ber mata enam, bertelinga delapan. Dalam keadaan yang genting itu, tetap dia masih dapat mendengar samberan senjata dari atas pajon dan dari belakang kereta.
SeCepat-cepat dia Condongkan tubuh kemuka sembari men dongak, tangan kirinya sudah menyemput serangkum 'hu-yong-Ciam'. Dan dengan miringkan tubuh, dia segera tawur kan jarumdua itu kepajon dan belakang kereta.
Tan Keh Lok yang mengerti bahwa musuh tentu melepaskan senjata rahasia, Buru-buru hadangkan tun-Painya kemuka. Tidak demikian dengan Sim Hi yang terus menyerit dan melorot turun ketanah. Buru-buru Tan Keh Lok loncat kebawah untuk memeriksanya.
Sehabis itu, Ciauw Cong ganti mengarah kebelakang kereta. Tapi dengan sebat luar biasa, Bu Tim telah buang dirinya keluar untuk mendahului samberan hu-yong-Ciam. Karena tak .sesebat itu, Thian Hong Coba gunakan selimut untuk melindungi diri. Tapi ternyata jarumdua itu dapat menyusup terus, masuk kedalam, pundaknya. Rasa sakit ke semutan menyerang dengan hebatnya dan karena tak tahan, terpelantinglah dia kebawah. Untung Ciang Bongkok keburu menyang gapinya.
„Chit-ko, bagaimana kau?” tanya saudara angkat itu.
Tapi baru saja bertanya begitu, dia sendiri rasakan pundaknya sakit bukan main. Ternyata sebatang anak panah telah memakannya.
„Saudara-saudara sekalian hendaklah berkumpul rapatdua,” seru Keh Lok.
Dalam pada itu panah sudah menghambur dari belakang. Sambil sebelah tangannya memegang pundak Bu Tim, Ciang Bongkok berusaha menangkis hujan panah itu dengan tangan kanannya.
Bu Tim larang si Bongkok bergerak, lalu menCabut batang panah yang menancap dipundaknya itu, kemudian dibalutnya dengan robekan ujung bajunya.
Pada saat itu, jelaslah kini untuk fihak manakah bala bantuan itu datang. Bagaikan arus gelombang, ribuan barisan tentara Ceng telah menghampiri datang.
Kini semua anggauta HONG HWA HWE sudah bertempur dengan berkumpul, maka bertanyalah Tan Keh Lok :
„Siapa diantara dua orang dari saudara-saudara yang sedia menyerbu?”
Bu Tim dan Wi Jun Hwa serentak menyatakan kesediaan nya.
„Baiklah, kini kita harus lekas-lekas berpenCar, untuk mundur kebelakang bukit disebelah sana.” Dan setelah memberi perintah itu, kembali Tan Keh Lok berseru: „Tio samko, Siang ngo-ko dan liok-ko, kita serang lagi kereta itu !”
Begitulah Bu Tim dan Wi Jun Hwa menobros hujan panah itu. Dengan tangan kosong, Bu Tim dapat merampas sebatang pedang, dengan senjata itu dia ikut Jun Hwa untuk membuka jalan darah. Dalam sekejab saja, kedua nya telah menyusup jauh kedalam barisan musuh. Tapi biar bagaimana gagahnya kedua jago itu, mereka tak kuasa membendung arus tentara Ceng yang membanyir itu.
Sebaliknya Ciauw Cong girang dan bangun lagi semangat nya. Tapi diapun insyap bahwa lukanya berat, dan justeru seperti yang dikuatirkan, benardua Tan Keh Lok dan Kawan-kawan nya kembali menyerang lagi. Ciauw Cong tak berani berlaku ajal, terus angkat tubuh Bun Thay Lay keatas, untuk di bolang-balingkan. Sedang ketika itu berpuluhdua barisan kuda telah menerdyang Tan Keh Lok dengan goloknya. Apaboleh buat, Keh Lok berempat segera mundur kebelakang bukit.
Disitu sudah berkumpul lengkap semua orang HONG HWA HWE Hanya Bu Tim dan Jun Hwa yang masih belum datang. Dan juga lain rombongan yang terdiri dari Thian Hong, Ciu Ki, Wan Ci, Ciu Tiong Ing dan Beng Kian Hiong.
Ketika Tan Keh Lok menanyakan mereka, maka Ciang Bongkok yang masih rebahan ditanah, Cepat-cepat menyahut: „Chit-ko (Thian Hong) terluka, apakah ia belum kembali? biarlah kususumja.”
Tanpa menghiraukan luka dipundaknya yang masih belum baik itu, si Bongkok berbangkit, menyembat sepasang kam paknya terus akan lari. Tapi ternyata masih sempojongaci jalannya. Melihat itu Buru-buru Ciok Siang Ing menCegahnya dengan mengatakan dia saja yang pergi. Cio Su Kin se rentak menyatakan mau ikut.
„Cio sipsamte, kau bersama suso supaya menyerang ketepi sungai, dan sediakanlah perahudua'.” demikian Keh Lok me la.rang Su Kin ikut Siang Ing menCari Thian Hong.
Hati Lou Ping terasa kosong dan bingung, tanpa berkata apa-apa ia ikut Su Kin kesana. Sedang Ciok Siang Ing dengan membekal golok, terus naik kuda untuk berangkat.
Kini daerah pertempuran itu se-olahdua penuh terisi. dengan tentara Ceng, hingga sukarlah bagi Siang Ing, dimanakah Thian Hong itu kini sedang berada. Apaboleh buat, dia terpaksa membuka kepungan musuh untuk menCarinya.
Tetapi belum lagi berapa lama Siang Ing pergi, Ciu Tiong Ing dan Beng Kian Hiong sudah tampak datang kebelakang bukit itu. Buru-buru Keh Lok menanyakan kepada Tiong Ing, kemanakah puterinya. Tiong Ing kaget dan Cemas, dia hanya meng-gelengduakan kepalanya. Tiba-tiba Hwi Ching pun sibuk sambil membantingdua kaki, katanya: „Muridku itupun hilang, biar kumenCarinya.”
An Kian Kong menyatakan ikut, Tan Keh Lok minta Tio Pan San, Siang-si Siang-hiap, Nyo Seng Hiap dan Beng Kian Hiong berlima untuk menyaga tempat itu, sedang Sim Hi dan si Bongkok yang terluka disuruhnya mengaso. Habis itu pemimpin HONG HWA HWE tersebut loncat keatas kudanya terus me nyerbu kedalam barisan pemanah musuh. Sekali memban dring, bola bajanya telah dapat merobohkan dua orang serdadu pemanah. Dan seCepat-cepat itu, dia rampas kedua busur mereka.
Dengan bertereakdua barisan Ceng menyerbu dengan tombak nya. Tapi mereka segera dihajar dengan tiga buah bola baja dari Tan Keh Lok yang menghantam kian kemari. Pada setiap hantaman, terdengarlah rintihan dari mereka yang roboh atau terpental busurnya. Sekejab saja, pemimpin muda itu telah dapat merampas delapan busur, terus melarikan kudanya mundur.
Tiba-tiba keadaan dibelakang kawanan barisan kuda itu men jadi kaCau. Dan pada lain saat, tampaklah beberapa penunggang kuda mengamuk. Yang dimuka, ternyata adalah Bu Tim tojin, yang gunakan ilmu pedang 'Cui-hun-to-beng-kiam.' Mengikut dibelakangnya adalah An Kian Kong dan Wi Jun Hwa, Hanya saja yang tersebut. belakangan ini, badan nya telah berlumuran darah.
Tan Keh Lok kaget tak terkira, terus maju mengham piri. Melihat bagaimana keempat orang itu mengamuk seperti banteng ketaton, pasukan Ceng jerih dan terpaksa membuka jalan untuk kasih mereka lari kebelakang bukit.
Setelah menerimakan busurdua rampasan tadi kepada Tio Pan San, Tan Keh Lok Buru-buru menengok Jun Hwa.
„Karena kehabisan tenaga, kiu-te (Jun Hwa) menggigau tak ingat orang,” menerangkan Bu Tim.
Dan betul juga Jun Hwa masih melantur ber-kaokdua akan membunuh semua tentara musuh itu. Kembali Tan Keh Lok menanyakan tentang Thian Hong cs. Tanpa men jawab, Bu Tim berbangkit akan pergi lagi. Tan Keh Lok menambahi keterangannya, bahwa Ciu Ki dan murid dari Liok Hwi Ching juga belum diketahui berada dimana.
Ketika nampak Bu Tim munCul lagi, seorang Cian-Cong (pemimpin barisan kuda) maju menombaknya. Tapi dengan sekali gebrak saja, sambil berkelit dan menabas, Bu Tim telah dapat membikin roboh Cian-Cong itu. Melihat sang pemimpin binasa, bujarlah sekalian anak buahnya. Kembali Bu Tim meneruskan menCari Kawan-kawan nya.
Tiba-tiba ia melihat segundukan tentara tengah ber-tereakdua dengan gemparnya. Rupanya mereka sedang mengepung se seorang. Cepat-cepat Bu Tim jejak perut kudanya untuk meng hampiri. Kembali ada seorang Cian-Cong menghadang. Tapi belum sempat membuka mulutnya menegur, tahu-tahu sinar putih berkelebat dan lehernya telah tersabet pedang.
„Cap-ji-long (Ciok Siang Ing), jangan takut, ji-komu sudah disini,” demikian seru Bu Tim.
Cok Siang Ing sedang melajani tiga orang perwira musuh, sedang tentaradua itupun membantu untuk menombakinya. Siang Ing betul-betul ripuh sekali, untuk sekean lama masih dapat ia bertahan, tapi lama-lama habislah tenaganya. Tapi ketika mendengar seruan Bu Tim. seketika kembalilah seluruh semangatnya.
„Sudah dapat menemukan Chitko (Thian Hong) belum ?” tanyanya dengan gembira.
„Kau serbu saja kemuka, jangan hiraukan yang belakang,” sebaliknya Bu Tim kedengaran memberi peringatan padanya.
Siang Ing betul-betul menyalankan seruan ji-konya itu. Se lagi ia dapat maju kemuka, tiba-tiba dari arah belakang ter dengar jeritan yang menyeramkan. Siang Ing berpaling kebelakang, dan nampak ketiga perwira tadi sudah terhampar binasa. Diam-diam dia tunduk akan kelihaian ji-konya itu.
Tadi hampir setengah harian, ia tempur ketiga perwira itu, tapi belum dapat keputusan. Tidak disangka, bahwa Cu kup dengan beberapa gebrak saja, Bu Tim telah dapat membereskan mereka.
Begitulah dengan selamat, keduanya bisa datang kebelakang bukit. Namun Thian Hong, Ciu Ki dan Wan Ci tetap belum kelihatan disitu. Sementara itu fihak tentara sudah dapat mengetahui bukit tempat persembunyian orang-orang HONG HWA HWE itu. Seorang pat-Cong (perwira) dengan membawa ber-puluhdua anak buah, segera melakukan sergapan.
Tio Pan San, Siang-si Siang-hiap dan Beng Kian Hiong adalah achli pelepas senjata rahasia. Begitu busur dijam bret, maka belasan serdadu itu segera roboh. Melihat itu, Kawan-kawan nya sama mundur, hanya menyaga ditempat yang agak jauh.
Lalu Keh Lok tuntun kudanya mendaki keatas bukit dan minta agar Kian Hiong suka bantu memegang les binatang itu, lalu ia berdiri diatasnya untuk memandang kesekeliling nya. Diketahuinya bahwa rombongan besar tentara negeri telah berangkat menuju kebarat, dan hanya meninggalkan beberapa ratus anak buahnya untuk mengepung bukit itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi terompet, dan sebuah rerotan yang mirip dengan sisik naga kelihatan bergerak datang. Dari Cahaja obor yang dibawa oleh rombongan tentara itu, tam paklah sebuah bendera yang tertuliskan huruf besardua: „Ceng-se-tay-Ciangkun Yauw Hui.” Barisan ini sama me nunggang kuda teji yang besardua. Mereka sama menghunus sangkur dan tombak. Dan gemerinCingnya gerakannya itu, menandakan bahwa pasukan itu diperlengkapi dengan baju baja.
Bu Tim makin gelisah, terus akan keluar lagi untuk men Cari Thian Hong cs. Siang He Ci Coba menCegahnya, namun tojin itu tetap tak menghiraukan dan terus keprak kudanya.
Kawanan tentara itu Cukup kenal akan kelihaian sitojin yang selama pertempuran tadi telah berhasil membinasakan seorang” som-Ciang, seorang yu-kip dan seorang Cian-Cong. Maka serentak mereka menghujani anak panah.
Bu Tim tarik les kudanya, lalu memotong kebawah dari samping bukit. Dan sebelum kawanan barisan pemanah sempat menarik busurnya, tahu-tahu telah diterdyang oleh tojin itu. Buru-buru mereka menyerang dengan senjatanya.
Bu Tim membolang-balingkan pedangnya, dan disana sini terdengar jeritan bebrapa serdadu yang kena terbabat. Se telah dapat menyisihkan barisan pengepung itu, Bu Tim iarikan kudanya kesana sini memutari daerah pertempuran itu, namun tak juga Thian Hong kelihatan.
Tiba-tiba sebatang panah menyusup kearah perut kudanya, dan berbareng dengan robohnia binatansr itu, Bu Timpun terlempar jatuh. Seorang Cian-Cong Cepat-cepat membarengi dengan tabasan golok, tapi Bu Tim keburu tendangkan kaki keudara untuk loncat kebelakang pelana penyerang nya. Sekali sodok, terlemparlah Cian-Cong itu ketanah.
Kini balik kita tengok' pada rombongan orang-orang HONG HWA HWE yang masih berada dibelakang bukit. Mereka gelisah me mikirkan Thian Hong. Sekalipun tak dinyatakan, tapi hati masing-masing sama kuatir jangandua Thian Hong binasa dalam kanCah pertempuran yang gaduh itu. Sekonyong-konyong terdengar derap kuda berlari datang. Yang per-tamadua munCul ke-bukit itu, jalah Cio Su Kin, siapa kedengaran ber-kaokdua dengan kerasnya: „Lekas mundur, lekas, thiat-ka-kun (barisan baju besi) sedang menyerbu kemari!”
Kiranya Ceng-se tayCiangkum Yauw Hui menerima firman kaisar Kian Liong untuk memimpin tentaranya kedae rah Hwe. Agar supaya suku bangsa Hwe itu jangan sam pai keburu menimbulkan huru-hara, maka 'thiat-ka-kun' itu berjalan siang-malam. Hari itu kebetulan mereka telah sampai ketempat ini.
Ketika pasukan perintisnya melapor, bahwa dimuka ada kawanan berandal yang menghadang. Sekalipun jumlahnya kecil, tapi agaknya berandal itu lihai, hingga telah dapat membinasakan seorang perwira som-Ciang dan yu-ki.
Yauw Hui titahkan lekas-lekas mernburu kesana, ia lebih dulu kirim hu-Ciang, wakilnya Ong Pun Liang untuk memberesi „perampok” itu. Dengan membawa 500 pasukan berbaju baja, Ong Pun Liang msmimpin penyerbuan. Mengetahui kelihaian barisan itu, Cio Su Kin yang telah dititahkan untuk menyaga tepi sungai, Buru-buru lari kebukit.
Tan Keh Lok bertindak tegas. Dia perintahkan untuk me lakukan penyergapan ketepi sungai. Semuanya pun telah siap. Hanya Ciu Tiong Ing kiranya yang masih memikiri puterinya. Namun apaboleh buat, dalam suasana pertempuran semaCam itu, kiranya tak ada waktu luang untuk menCarinya.
Beng Kian Hiong, An Kian Kong, Ciok Siang Ing bergan tian mendorong Wi Jun Hwa keatas kuda. Pada saat orang-orang HONG HWA HWE sudah siap diatas kudanya, pasukan baju baja sudah munCul. Untuk menghindari diri dari barisan itu, Siang-si Siang-hiap dan Kawan-kawan nya| ambil jalan dari sebelah kanan bukit.
„Thiat-ka-kun menggunakan sin-kiong (panah sakti) yang dahsyat sekali tenaganya. Lebih baik kita tobros kawanan tentara Ceng itu,” demikian ajak kedua saudara Siang. Dan mereka berdua segera menjadi pembuka jalan untuk menerdyang .
Kedua saudara Siang itu kini berganti senjata dengan sebatang golok dan yang satunya memakai tombak. Begitulah mereka mulai membuka jalan darah, menuju ketepi sungai.
Melihat orang-orang HONG HWA HWE itu menyelinap kedalam rombongan tentara Ceng, barisan 'thiat-ka-kun' itu tak berani melepas panah, karena kuatir akan melukai kawannya sendiri. Apaboleh buat terpaksa mereka mundur. Dengan begitu kini tepi sungai Hoangho itu, penuh dengan tentara Ceng, barisan 'thiat-ka-kun' dan menyusul orang-orang HONG HWA HWE
Cio Su Kin terus terjun kedalam sungai, untuk men Cari perahu. Sedang Lou Ping Buru-buru menambatkan beberapa buah perahu pada sebuah tempat tambatan. Lebih dulu dia angkut si Bongkok dan yang luka-luka masuk kedalam perahu. „Ayo, kita lekas-lekas naik perahu! Totiang, Tio samko, Ciu-loenghiong, mari kita berempat”, demikian seru nyonya muda itu.
Tapi belum dia sempat menghabisi perintahnya, sebatang sin-kiong (panah kuat) telah menyambar.
„Celaka!” seru Bu Tim ketika tampak 'thiat-ka-kun' itu telah tiba dan menyerang.
Keempat tokoh itu, segera membalik badan untuk tempur barisan istimewa itu. Bu Tim ajunkan pedang mengarah tenggorokan seorang serdadu 'thiat-ka-kun.' Tapi untuk ke kagetannya, pedang Bu Tim itu tak dapat menusuk masuk. Kiranya mata pedang tojin itu sudah agak mandul, apalagi memang baju serdadu itu terbuat dari baja murni. Dan sebagai pembalasan tombakdua dari barisan 'thiat-ka-kun' itu telah melayang bagaikan hujan kerasnya.
Bu Tim lempar pedang dan gunakan tangannya untuk menyampok sebuah tombak, hingga terpental keatas udara. Sedang Ciu Tiong Ing pun memburu untuk menghantam roboh beberapa musuh. Tio Pan San yang masih punya be lasan tang-Chi (uang tembaga) dan thi-lian-Ci, Cepat-cepat me nimpukkan .pada mereka. Namun bagaikan tak kena apa-apa, barisan baju baja itu tetap menyerbu.
Bu Tim yang pada saat itu telah dapat merebut sebatang tombak, terus menusukkannya kearah muka seorang dari mereka, yang seketika itu segera terjungkel. Ternyata hanya bagian badan tentara itu saja yang ditutup dengan basja, sedang mukanya terdapat lubangdua untuk mata dan hidung. Oleh karenanya, Pan San kini mengarahkan senya tanya ke-bagiandua tersebut.
Beberapa orang serdadu thiat-ka-kun sama menyerit dan menutupi mukanya. Mata mereka telah kena tertimpuk buta. Sedang orang-orang HONG HWA HWE, selain Tan Keh Lok berempat, se muanya sudah naik keatas perahu.
Thiat-ka-kun, selain mempunyai perlengkapan yang istimewa, pun telah mendapat gemblengan istimewa. Betapapun ganasnya musuh, namun jago-jago HONG HWA HWE hanya berjumlah se-dikit, maka serdadudua 'thiat-ka-kun' itu tetap maju menyer gap.
Tampak oleh Tan Keh Lok seorang perwira yang tengah memberikan perintah diatas kudanya, dengan gerakan „bu rung walet menyelundup keair” Tan Keh Lok berloncatan menghampiri. Perwira itu, adalah hu-Ciangkun Ong Pun Liang. Begitu melihat ada sinar putih berkelebat datang, daripada membuang tempo untuk mengawasinya, dia lebih suka mengajunkan golok untuk menabasnya. Tapi tabasan nya mengenai tempat kosong, sedang pergelangan tangannya dirasakan sakit sekali. Malah untuk kekagetannya, goloknya telah dirampas dan tahu-tahu dia telah dikaet dan dilemparkan ketepi sungai.
„Tio samko, sambutilah ini!” teriak Keh Lok.
Cepat-cepat juga Tio Pan San menyang gapi tubuh si huCiang kun itu, Bu Tim dan Ciu Tiong Ing tahu akan maksud Keh Lok Cepat-cepat mereka lari ketepi sungai dan segera Pan San lemparkan tubuh tawanan itu kepada Bu Tim dan Bu Tim meneruskan kepada Ciu Tiong Ing. Yang belakangan ini, setelah me-lemparduakan tubuh orang beberapa kali keatas, lalu melemparkan kedalam sungai didekat perahu. Su Kin tertawa gelakdua menyaksikan kesemuanya itu, dia mem bungkuk untuk menyambret rambut Ong Pun Liang lalu diangkatnya naik kedalam perahu.
Di-tengah-tengah gegap gempita tereakan serdadudua Ceng, Tan Keh Lok dan Kawan-kawan nya enyot kakinya melayang kedalam perahu, yang terus dikajuh ketengah oleh Su Kien dan Lou Ping.
Tentara Ceng segera ber-teriakdua terus menghujani panah, tapi dapat dipunahkan oleh orang-orang dalam perahu itu. Dibawa oleh arus sungai Hoangho yang sedang naik airnya itu, sekejap saja dua perahu yang memuat orang-orang HONG HWA HWE itu sudah hampir hilang dari pemandangan. Karena tak berdaya, pasukan Ceng itu terpaksa pulang dengan tangan kosong.
Diantara yang terliika senjata rahasia, ternyata si Bongkok yang paling berat sendiri. Sedang Sim Hi yang terkena jarum, dasar boCah, me-ngiangdua tak berhentinya. Sebagai acini senjata rahasia, Pan San pun achli juga dalam me ngobatinya. Kawan-kawan nya yang terluka itu telah ditolong se periunya. Selama dalam perjalanan “itu, Lou Ping seperti orang kehilangan semangat. Dia pikiri suaminya yang masih diCengkeram dalam kuku garuda, disamping itu Thian Hong, Ciu Ki, Hwi Ching dan muridnya serta Hi Tong, belum di ketahui dimana rimbanya.
Suasana dalam perahu itupun, tampak bermurani sedih. Tan Keh Lok totok jalan darah Ong Pun Liang supaya tersedar, lalu ditanyainya tentang tujuan pasukan 'thiat-ka-kun' itu. Karena masih gelagapan, Pun Liang tak dapat menyawab, hal mana telah menimbulkah kemarahan Seng Hiap yang memberi persen sekali gaplokan.
„Ayo, kau bilang lekas,” bentak sipegoda besi itu.
„Ja, ja, aku bilang ja, bilang apa ?” sahut pembesar sial itu gelagapan.
„Untuk apa pasukanmu berjalan siang dan malam itu ?” bentak Keh Lok.
„Ceng-se tayCiangkun Yauw Hui menerima firman untuk selekasnya menggempur daerah Hwe, karena kuatirkan orang Hwe keburu mengendus berita dan terus mengadakan persiapan, maka kami harus berjalan Cepat-cepat ,” pembesar itu mengaku.
„Rakjat Hwe selama ini patuhdua saja, mengapa akan di serang ?” tanya Keh Lok pula.
„Entahlah, ini aku tak mengetahui,” kata Ong Pun Liang.
Karena itu Keh Lok mengadakan analisa dari jumlah pa-sukan 'thiat-ka-kun,' jalan yang ditempuhnya dan maksud gerakan itu. Dan Ong Pun Liang memberi keterangan dari apa yang diketahuinya.
„ Perahu, menepi !” tiba-tiba Keh Tok berseru keras-keras.
Begitu perahu rapat pada tepi, rombongan orang HONG HWA HWE loncat kedarat. Pada saat itu aruspun makin menghebat. Keh Lok perintah Seng Hiap mengawal Pun Liang, lalu ka tanya kepada Siang-si Siang-hiap :
. „Ngo-ko dan liok-ko, harap kalian kembali kesana lagi. Awasilah keadaan Bun-suko dan Carilah Chit-ko dan Ciu-sioCia serta Liok-locianpwe dan muridnya. Dan kalau sam pai mereka ada yang kena apa-apa, ah, rupanya itupun sudah takdir.”
Kedua persaudaraan Siang itu mengiakan serta berangkat kearah barat.
„Capji-ko, aku akan minta tolong padamu,” kata Keh Lok pada Ciok Siang Ing seraja terus menulis sepuCuk su rat. „Tolong serahkan surat ini kepada Bok To Lun loeng hiong dari suku Wi itu. Sekalipun baru berkenalan, tapi tak boleh kita biarkan mereka teranCam bahaja. — Suso, pinyamilah kudamu itu pada Capji-ko.”
Lou Ping menuju kehaluan perahu untuk menuntun kudanya. Kalau semua orang HONG HWA HWE telah sama meninggal kan kudanya, adalah Lou Ping yang tetap tak mau berpisah dengan kuda yang disayang inya itu. Demikian dalam dua hari saja, sampailah Siang Ing kedaerah Wi. Setelah men dengar kisikan pimpinan HONG HWA HWE itu, Bok To Lun tak berani berlaku ajal dan mempersiapkan penyagaan seperlunya.
Rombongan HONG HWA HWE itu meneruskan pelajarannya lagi hingga dua0 lie jauhnya. Setelah sampai ditepian sana, Keh Lok ajak semua saudara-saudaranya mendarat, tapi lebih dulu di suruhnya Su Kin ikat eratdua huCiangkun Ong Pun Liang di dalam perahu, perahu mana didorongnya supaya berlajar terus ditengah sungai.
Kini kita tengok keadaan Ciu Ki yang telah ketinggalan dari rombongannya itu. Ia tetap bertempur dengan gagah nya, Beberapa serdadu telah dirobohkan. Tapi tentara Ceng itu makin lama makin bertambah jumlahnya. Karena gu gup, nona tersebut. segera keprak kudanya untuk loloskan diri. Tapi baru berselang tak berapa jauh, kembali dia berpa pasan dengan serombongan tentara. Ia tak mau menempur nya, dan memutar balik lagi. Dalam kegelapan malam itu, entah terkena benda apa, tiba- kuda itu tersrimpet jatuh. Sedang nona itu sendiri, karena sudah Cape dan gelisah, tak kuasa untuk menahan diri lagi, terus ngerusuk terlem par kebawah. Kepalanya terbentur tanah keras-kerasdan ping sanlah ia. Syukur karena gelap, serdadudua Ceng tak dapat mengetahuinya.
Entah sudah berselang berapa lama, ketika membuka mata, ia rasakan mukanya sejuk sekali terkena tetesan air yang menurun dari kepalanya. Kiranya malam itu turun hu jan. Dengan serentak dia loncat bangun, tapi seCepat-cepat itu ia melihat ada seorang didekatnya, tanpa pikir golok disam bernya terus hendak ditabaskannya. Tapi serentak, keduanya sama menyerit kaget. Kiranya orang tersebut. bukan lain ialah Bu-Cu-kat Ji Thian Hong.
„Nona Ciu, mengapa kau disini ?” tanya pemuda itu.
Sekalipun biasanya ia sangat membenCi, tapi dalam keadaan seperti waktu itu, girang jugalah Ciu Ki. Sampaidua ia menguCurkan air mata.
„Ayahku dimana ?” tanyanya kemudian.
Tiba-tiba Thian Hong memberi isjarat supaya menelungkup ketanah karena ada musuh mendatangi. Begitulah dengan merajap, kedua orang itu bersembunyi dibalik segundukan tan ah.
Ketika itu sudah hampir fajar, jadi mereka dapat melihat jelas pemandangan disekitar situ. Dilihatnya berpuluhdua serdadu Ceng tengah menggali lobang untuk mengubur Kawan-kawan nya yang telah meninggal itu sambil tak putus-putusnya penyumpahi dan me-maki-maki.
Selesai dengan itu, seorang kepalanya berseru : „Tio Tek Piauw, Ong Seng, Coba kau lihat disekitar sana masih ada majat kawan kita atau tidak ?”
Kedua serdadu itu berdiri diatas tempat yang agak tinggi. Mereka melihat Thian Hong dan Ciu Ki berdua tertelung kup di tanah.
„Masih ada dua lagi disana '.” seru kedua serdadu itu.
Dianggap majat, Ciu Ki marah sekali, terus akan loncat bangun. Tapi Buru-buru Thian Hong menCegah untuk me nunggu sampai mereka menghampiri. Kedua serdadu itu datang dengan membawa sekop. Ciu Ki dan Thian Hong terus pura-pura seperti orang mati. Begitu kedua musuhnya sudah dekat, dengan sebat ditusuknya dengan golok. Tanpa berkaok lagi, putuslah jiwa kedua serdadu yang malang itu.
Karena sudah sekean lama tak kembali, maka pat-Cong (perwira) itu sambil memaki melarikan kudanya menyusul.
„Kau jangan bersuara, akan kurampas kudanya,” bisik Thian Hong.
Ketika melihat kedua serdadunya binasa, terkejutlah pat Cong itu. Dia akan bertereak, tapi Thian Hong sudah me lesat dan menabasnya. Karena tak sempat melolos senjata, pat-Cong itu pakai tali lesnya untuk menangkis. Tapi seperti batang pisang, les dan kepala pat-Cong itu segera meng gelinding ketanah.
Cepat-cepat Thian Hong teraki Ciu Ki untuk loncat keatas pelana kuda, sedang ia sendiri membuntuti dari belakang dengan ber-laris.
Sementara itu, rombongan serdadupun sudah mengetahui dan mengejarnya. Lari belum berapa jauh, pundak Thian Hong yang terkena jarum dari Ciauw Cong itu makin te rasa menghebat sakitnya. Karena tak tertahan, dia jatuh pingsan. Bumdua Ciu Ki menghampiri batik. Dia loncat tu run, lalu diangkatnya tubuh Thian Hong keatas kuda terus dilarikan se-kentyang duanya. Rombongan serdadu Ceng itu ber-tereakdua mengejarnya, tapi sudah ketinggalan jauh.
Setelah jauh, barulah Ciu Ki kendorkan larinya. Dilihatnya muka Thian Hong puCat seperti kertas dan napasnya sangat lemah. Apaboleh buat, ia terpaksa merangkul ping gang orang yang dibenCinya itu supaya jangan jatuh, dan terus melarikan kudanya kesebuah jalanan kecil.
Tiba-tiba didepan membentang sebuah hutan, kesitulah nona itu menyusup. Ia turun sedang Thian Hong ditaruhnya diatas pelana kuda yang dituntunnya pelan-pelan buat menCari kesebuah tempat untuk mengaso.
Ia lihat Thian Hong masih belum sadar, setelah berpikir sejenak, tak dapat lagi ia sungkan tentang prija dan wa nita, terpaksa ia pondong pemuda itu dan diletakkan pada suatu tanah rumput, ia sendiripun berduduk buat mengaso dan membiarkan kudanya makan rumput.
Seorang nona yang berusia belum ada dua0 tahun, tapi kini seorang diri berduduk dirimba sunyi, orang didepannya ini mati atau hidup masih belum bisa diketahui, karena tak berdayanya itu, tanpa tertahan Ciu Ki menjadi berduka terus menangis tersedu-sedu, air matanya setetesdua membasahi mukanya Thian Hong.
Sesudah dibaringkan ditanah sejenak, lambat laun Thian Hong telah siuman, muladua ia menyang ka hari hujan lagi, tapi ketika matanya pelahan dibuka, tiba-tiba dilihatnya sebuah wajah yang manis dengan sepasang mata bendo merah tepat berhadapan dengan dia, air mata orang masih terus menetes kemukanya.
Thian Hong merengek karena pundak kirinya terasa sakit pula, ia menyerit aduh.
Meiihat orang telah mendusin, Ciu Ki menjadi girang, tiba-tiba ia lihat air matanya sendiri berketesan pula dipipi orang, lekas-lekas ia keluarkan saputangan untuk membersih kannya. Tapi baru saja tangannya diulur, mendadak ia ter sadar dan ditarik kembali lagi.
„Kenapa kau jadi merebah didepanku sini, mestinya se dikit kesana,” demikian ia malah salahkan orang.
Thian Hong tak menyawabnya, tapi merengek pula dan meronta hendak bangun.
„Sudahlah, bolehlah kau merebah disini,” kata sigadis pula. “Dan bagaimana kita sekarang ? Kau adalah 'Bu-Cu-kat,' ayah selalu bilang kau banyak-banyak tipu akal, nah, sekarang kau berusahalah !”
„Pundakku lagi sakit tidak kepalang, apapun aku takbisa berpikir lagi. Nona, Cobalah, tolong kau memeriksanya,” kata Thian Hong.
„Aku tak mau,” sigadis. Namun demikian, toh tidak urung ia berjongkok buat memeriksanya, Setelah dilihatnya sejenak, lalu katanya pula: „Ah, baik-baik saja tiada apa-apa, pula tak berdarah.”
Thian Hong bangun berduduk, dengan ujung golok dita ngan kanan ia sobek sebagian kain baju dipundaknya, lalu ia sendiri melirik untuk memeriksanya. „Rupanya disini terkena tiga buah jarum emas hingga sampai meresap ketu langku.”
„Lantas bagaimana baiknya ?” tanya Ciu Ki. „Marilah kita kekota untuk menCari tabib.”
„Jangan,” sahut Thian Hong. „Semalam sudah terjadi ributdua, siapa lagi penduduk kota yang tak tahu, dengan dan danan kita ini, pula menCari tabib buat mengobati luka, apakah ini bukan 'ular menCari gebuk' ? Sebenarnya jarum ini harus dikeluarkan dengan batu penyedot (besi semberani), tapi kemanakah harus menCari benda ini. Sudahlah, silahkan kau pakai golokmu untuk membelih daging pun dakku dan menCabutnya keluar.”
Meski sudah bertempur sengit semalaman dan tidak sedi-kit musuh yang dibunuhnya, tapi kini bila Ciu Ki diharus kan membelih daging dipundaknya Thian Hong, hal ini malah bikin sigadis menjadi ragudua.
„Aku sanggup bertahan, lakukanlah nanti dulu,” kata Thian Hong lalu menyeberet beberapa potong kain bajunya dan diserahkan pada sigadis dan menanya : „Apakah kau membawa geretan?”
Ciu Ki Coba merogoh kantong senjata rasianya, lalu jawabnya: „Ada, buat apakah?”
„Kau kumpulkan sedikit rumput atau daun kering untuk dijadikan abu, sebentar bila jarumnya sudah diCabut, abu itu untuk memoles lukanya, lalu dibalut dengan potongan kain,” kata sipemuda.
Ciu Ki kerjakan apa yang dipinta itu, ia kumpulkan ba nyak rumput dan daun kering hingga menghasilkan setum pukan besar abu.
„Sudah Cukup, abu sebanyak-banyak itu Cukup untuk seratus luka rasanya,” ujar Thian Hong tertawa.
Siapa tahu sigadis mendadak ngambek. „Ja, ja, memangnya aku sibudak tolol, baiknya kau lakukan sendiri saja!” demikian omelnya.
„Ja, sudah, anggaplah aku salah omong, jangan kau marah, nona,” sahut Thian Hong tertawa.
„Hm, kaupun bisa mengaku salah?” jengek sigadis. Ha bis itu, dengan tangan kanan ia angkat goloknya dan tangan kirinya Coba me-rabadua pundak orang untuk menCari dima na tempat jarum itu menancap.
Tapi dasar anak gadis, baru pertama kali inilah tangan bersentuhan dengan tubuh lelaki, maka begitu 'kontak' seketika juga ia tarik kembali lagi, saking malunya hingga seluruh wajahnya merah.
Melihat orang mendadak malua, Thian Hong menjadi heran. „Eh, apa yang kau takuti?” tanyanya.
„Apa yang kutakuti? Kau sendirilah yang takut. Berpa ling kesana, jangan memandang kemari!” sentak gadis itu.
Betul juga Thian Hong berpaling kearah lain. Lalu Ciu Ki penCet keras-kerasdaging pundak orang dimana jarum menancap, ujung goloknya ia tusukkan dan pelahandua diko rek sedikit, segera juga darah segar mengalir.
Dengan kertak gigi Thian Hong bungkam dalam seribu basa untuk menahan sakit, keringat ber-butir-butir bagai kede lai besarnya memenuhi jidatnya.
Setelah Ciu Ki korek sedikit daging pundak, ekor jarum itupun lantas kelihatan, ia Cepit dengan dua jarinya terus dengan Cepat-cepat diCabut keluar sebuah.
Wajah Thian Hong puCat lesi bagai kertas, tapi ia masih Coba berkelakar. Katanya: „Sayang jarum ini tak ber mata dan tak bisa disusupi benang, kalau tidak, ha, kebe tulan dapat dihadiahkan pada nona untuk menyulam.”
„Huh, aku justru tak bisa menyulam,” sahut Ciu Ki. „Tahun lalu mak (ibu) pernah suruh aku belajar, tapi baru sekali-dua tisikan aku sudah patahkan jarum, bahkan su teranya pun tersobek. Mak mengomeli daku, aku bilang : ,Mak, aku tak bisa, ajarkanlah daku'. — Dan tahukan kau apa dia bilang, Coba kau terka?”
„Tentu saja ia bilang : ,Mari sini, aku ajarkan kau',” kata Thian Hong.
„Mana bisa, ia justru bilang: ,Aku tiada tempo'. Bela kangan baru kuketahui bahwa ia sendiri ternyata juga tidak bisa menyulam,” demikian sigadis menerangkan.
Thian Hong ter-bahakdua geli, dan tengah mereka berCa kap, kembali sebuah jarum dapat diCabut lagi.
„Kemudian aku berkeras minta ibu mengajarkan pada ku,” tutur Ciu Ki lebih lanyut, „dan karena sudah kewa lahan, achirnya ibu berkata: 'Awas, jika berani rewel lagi, biar aku bilangkan ayahmu menghajar kau'. Iapun bilang:
'Kau tak bisa menyulan, hm, lihat saja kelak sampai disini tiba-tiba sigadis tak meneruskan lagi.
Kiranya waktu itu ibunya berkata: lihat saja kelak kau tak mendapatkan ibu mertua.” — Tentu saja kata-kata begitu tak enak diketahui Thian Hong, maka mendadak ia tak melanyutkan.
Siapa duga Thian Hong justru masih ingin tahu, maka ia mendesak: „Lalu, ia bilang 'lihat saja kelak' apa lagi?”
„Ah, jangan tanya sudah, aku tak suka banyak-banyak Cerita pula,” sahut sigadis.
Dan sembari berCakap, tanpa berhenti ber-turutdua Ciu Ki sudah menCabut keluar semua ketiga jarum itu, ia poles luka itu dengan abu yang tersedia dan dibalut pula dengan kain.
Apabila dilihatnya pemuda itu meski terluka dan menderita sakit tidak kepalang, tapi masih sanggup berkelakar tanpa merintih sedikitpun, mau-tak-mau diam-diam Ciu Ki pun menga guminya. „Sungguh tidak nyana meski tubuhnya pendek, tapi ternyata seorang ksatria benardua. Coba kalau aku, bila ada orang mengkorek dagingku, mungkin sejak tadidua aku sudah berteriak memanggil ibu!” demikian ia membantin.
Dan bila teringat pada ayah-bundanya, tiba-tiba ia menjadi berduka.
Tatkala itu tangannya berlepotan darah, maka katanya pada Thian Hong: „Kau merebah lagi sementara disini jangan bergerak, biar aku pergl menCari sedikit air minum.”
Setelah dipandangnya keadaan tempat itu, lalu gadis itu berlari keluar rimba, tak jauh dapat diketemukannya sebuah sungai kecil, oleh karena habis hujan lebat, maka air sungai mengalir dengan derasnya.
Ia menCuCi bersih noda darah ditangannya kedalam sungai, ketika ia berjongkok ditepi sungai hingga wajahnya mendadak terCermin didalam air, ia lihat rabutnya serabutan, bajunya basah lagi kumal, mukanya pun penuh darah dan kotor, hakibatnya tak berupa wajah manusia lagi, maka pikirnya: „Celaka, wajah seperti setan ini telah dapat dilihatnya semua.”
Lekas-lekas ia CuCi bersih air mukanya dan menggunakan air sungai sebagai Cermin, jarinya digunakan sebagai sisir dan rambutnya lalu dipintalnya menjadi kunCiran, ia raup air sungai pula untuk diminumnya. Dalam hati ia pikir tentu Thian Hong sangat hausnya, namun tiada alat wadah air, apa daya?
Setelah bingung sejenak, tiba-tiba pikirannya tergerak, ia keluarkan satu bajunya dari buntalannya dan diCuCi bersih, ia rendam baju itu hingga basah benardua, dengan ini ia pikir dibawa kembali untuk diperas airnya buat minum Thian Hong.
Sementara itu, Thian Hong yang ditinggalkan, bila tadi ia masih bisa berkelakar dengan sigadis untuk menahan diri, tapi kini sesudah sendirian, rasa sakit dipundaknya tak tertahan lagi. Bila kemudian Ciu Ki telah kembali, sementara ia sudah kesakitan hampirdua pingsan.
Melihat wajah pemuda itu meski di-bikindua seperti sama sekali tak merasakan apa-apa, tapi dapat Ciu Ki menduga pasti tidak enak sekali, karena itu, rasa kasih sayang seketikapun timbul. Ia suruh Thian Hong mengap, lalu air bajunya yang basah itu diperasnya kedalam mulut orang, habis itu dengan lirih ia menanya: „Apakah sangat sakit?”
Belum pernah Ciu Ki bersuara begitu halus terhadap Thian Hong, karena itu untuk sesaat pemuda itu terkesima.
Sejak berumur duabelas-1tiga tahun, Thian Hong sudah luntang-lantung di kangouw, segala maCam penderitaan, sifat ma nusia yang dingin dan kehidupan manusia yang tak adil telah dirasakan semuanya. Dan karena godokkan pengalamandua itu, dari benCinya kepada semua ketidak-adilan itu, tak terasa ia menjadi umbar diri denyg-an, tindak-tanduknya, yang bebas. Dasar pembawaannya Cerdlk pandai, maka menghadapi segala apa selalu ia mendahului mengatasi orang, apa yang diaturnya boleh dikata selalu jjtu dan perhitungannya selalu tepat, oleh sebab itulah ia mendapatkan julukan „Bu-Cu-kat” atau si Khong Beng. I
Sering sudah dikalangan lkangouw disaksikannya banyak-banyak tokoh- pahlawan banyak-banyak yang l tergoda _oleh paras elok hingga berachir dengan berantakan, Weperti saudara angkatnya yang kedua, yaitu Bu Tim Tojin yang pernah gagal juga dalam perCintaan, kesemuanya itu selalu dibuat Cermin olehnya dan menjadi pantangan pula baginya. Oleh sebab itu, meski usianya sudah dikata mendekati masa „jejaka tua,” namun bila kebentur wanita, selalu ia berusaha menghindarinya se jauh mungkin.
Dalam hal Ciu Ki yang sepanyang jalan senantiasa setori dengan dia seperti anak kecil, ia justru sengaja juga gunakan sedikit akalnya untuk menggodanya dan setiap kali selalu ia diatas angin, tentu saja Ciu Ki digodanya semakin mengkal dan mendongkol. Untuk itu selalu ia pandang Ciu Ki sebagai lawan pengadu keCerdasan saja, dalam hati tak pernah ia pikirkan tentang hubungan lakia dan perempuan: siapa duga karena lukanya, justru „lawan keras” dari ka wannya inilah yang telah menolong dan merawatnya, karena itu, perasaannya benCi dan jemu tadinya itu kini seketika lenyap seluruhnya.
Begitulah, maka demi nampak Thian Hong hanya ter menungs tak menyawab, Ciu Ki sangka orang kembali kurang waras pikiran lagi, maka Cepat-cepat ia menanya pula:
„Kenapa, kenapakah kau?”
„Sudah banyak-banyak baik,” sahut Thian Hong kemudian tertawa sesudah tenangkan diri. „Terima kasih banyak-banyakdua padamu.”
„Hm, aku tak inginkan terima kasihmu,” sahut sigadis tiba-tiba .
Kembali Thian Hong tertegun, tapi segera iapun berkata: „Tempat ini bukanlah semestinya, marilah kita pergi menCari rumah orang untuk membeli sedikit makanan, apakah kau membawa uang?”
„Tidak bawa, uangku berada pada ayah semua,” sahut Ciu Ki. „Dan kau?”
„Buntalanku pun hilang dalam pertempuran,” kata Thian Hong mengkerut kening. „Sudahlah, kita jangan pergi ke kota, tapi menCari rumah penduduk yang sepi dan bilang saja kita berdua adalah kaka beradik”
„Kakai beradik?” Ciu Ki menegas. „Dan aku harus me manggil kau koko (kakak)?”
„Ja, tapi kalau kau merasa usiaku jauh lebih tua, boleh juga kau panggil saja enCek (paman),” ujar Thian Hong.
„Fui, kau sesuai?” semprot sigadis. „Baiklah, biar aku panggil kau koko saja, tapi hanya terbatas dihadapan orang, bila tiada orang aku tak mau panggil.”
„Sudah tentu,” kata Thian Hong. „Dan panggilan apakah padaku bila tiada orang lain?”
Karena pertanyaan itu, Ciu Ki menjadi bingung, ia pikir, selama ini memang ia tak pernah memanggil sesuatu yang benar padanya, bila bertemu saja mereka sudah lan tas bertengkar mulut. Maka jawabnya: „Panggil apa? Hm, aku justru takmau panggil sama sekali.”
„Baik, baik, takmau panggil ja sudah, “ sahut Thian Hong tertawa. Lalu pesannya: „Dan nanti kita harus kata kan pada orang bahwa ditengah jalan kita telah kepergok pasukan tentara dan bekal kita telah dirampas seluruhnya, bahkan kita telah dihajar dan didakwa sebagai penyahat.”
Begitulah, setelah mereka berunding baik, lalu Ciu Ki memayang bangun sipemuda.
„Kau tunggang kuda saja, kakiku tak luka, untuk berjalan tiada halangan,” demikian kata Thian Hong.
„Terus terang saja, tak perlu pura-pura, lekas kau yang me nunggung, kau pandang rendah wanita bukan?” sahut sigadis.
Thian Hong tertawa, tanpa menyawab lagi ia Cemplak keatas kuda, keduanya lantas keluar dari rimba itu dan me nuju kearah timur melalui suatu jalan kecil.
Tanah didaerah barat-laut kebanyak-banyakan adalah hutan alas, tidak seperti daerah selatan yang banyak-banyak terdapat pedesaan, di-manadua terdapat penduduk. Maka sesudah kedua orang berjalan lebih satu jam, sudah lapar lagi lelah, achirnya dengan susah payah barulah melihat mengepulnya asap dari Cerubung suatu rumah penduduk.
Dengan Cepat-cepat mereka menuju kesana, Thian Hong turun dari kudanya untuk mengetok pintu, sejenak kemudian, keluarkan seorang nenekdua tua, ketika melihat dandanan kedua orang yang aneh, wanita tua itu rada heran dan tiada hentinya mengamat-amati.
Segera Thian Hong Ceritakan apa yang sudah dikarang nya tadi, lalu minta sedikit makanan pada nenek itu untuk tangsel perut.
„Ai, memang pasukan tentara negeri bukannya membela rakjat, tapi justru penyakit bagi rakjat,” demikian nenek itu sambil menghela napas. „Tuan tamu she apakah?”
„She Ciu,” sahut Thian Hong.
Ciu Ki melirik pemuda itu sekejap, tapi tak buka suara, ia heran kenapa Thian Hong tidak bilang she Ji.
Nenek itu menyilahkan mereka masuk dan memberikan nya beberapa biji makanan kuwe yang entah apa namanya, meski barang makanan itu hitam lagi kelihatannya kotor, namun sudah terlalu lapar, rasanya mereka seperti sedang makan makanan yang paling lezat.
Nenek itu mengaku she Tong, karena puteranya tak mampu membajar sewa tanah hingga telah dihajar oleh tuan tanah, pulangnya dari sedih ditambah luka pukulan, tidak lama, lantas meninggal. Dan menantu perempuannya yang masih muda karena pendek pikiran, pada malamnya pun menggantung diri menyusul sang suami, tinggal sinenek yang kini hidup sebatangkara.
Begitulah nenek itu sambil menutur sembari menguCur kan air mata.
Karuan Ciu Ki menjadi gusar oleh Cerita itu, segera ia tanya siapa nama tuan tanah itu dan tinggal dimana.
„Keparat itupun she Tong, dihadapannya orang menyebut nya Tong-lakya dan Tong-siuCay, tapi dibelakangnya orang menyebutnya 'Tong-li-pi-siang' (warangan didalam gula), nama sesungguhnya akupun tak tahu,” demikian sinenek menerangkan. „Ia tinggal dikota, gedungnya, adalah yang paling besar dikota itu.”
„Kota apa? Dimana jalannya?” tanya Ciu Ki.
„Kota itu, dari sini kira-kira lima li keutara, sesudah menye berang jalan besar, lalu dua0 li lagi ketimur, dan disitulah rumahnya,' kota itu bernama Bun-kong-tin,” kata sinenek lebih lanyut.
Tanpa pikir lagi segera Ciu Ki berbangkit terus samber goloknya dan berkata pada Thian Hong: „Hai, ko…… koko, aku pergi sebentar, kau mengaso dulu disini.”
Melihat sikap gadis itu,. Thian Hong tahu pasti ia akan pergi membunuh manusia she Tong yang dijuluki „Tong-li-pi-siang” atau warangan didalam gula itu.
Karena itu Cepat-cepat ia menCegah, katanya: „Jangan kesusu, ingin makan guladua, paling enak kalau malam !”
Ciu Ki terCengang mendengar kata-kata tak karuan jen trungannya itu, tapi segera iapun paham maksud orang, maka ia angguk-angguk dan duduk kembali.
„Nenek,” kata Thian Hong kemudian, „aku terluka, jalan tidak leluasa, maka ingin minta mondok semalam ditempat mu sini.”
„Untuk tinggal sin tiada halangan, Cuma tempat pedu sunan tiada makanan enak, itulah tuan tamu jangan menyesal,” sahut nenek itu.
„Ah, kalau nenek mau terima kami, hal itu sudah be-ribudua terima kasih,” kata Thian Hong pula. „Cuma baju adik perempuanku itu basah kujup, kalau nenek ada baju lawas, sudilah memberi pinyam sepasang untuk salinnya.”
„Menentu perempuanku ada tinggalkan pakaian, jika nona tak menCela, boleh diCoba dulu, mungkin masih Co Cok,” kata sinenek.
Lantas pergilah Ciu Ki menukar pakaian. Ketika ia keluar, ia lihat Thian Hong sudah tertidur di-baledua dibekas kamar putera nenek itu.
Sampai hari sudah petang, tiba-tiba Thian Hong mengigau tak karuan, Ciu Ki Coba pegang jidat orang, ternyata panasnya luar biasa, mungkin luka pemuda itu telah menyalar menjadi inpeksi.
MESKI masih hijau, tapi Ciu Ki insaf juga dalam ke adaan demikian,' Cukup berbahaja, tapi sama sekali ia tak berdaya dan tak tahu apa yang harus dilakukannya, saking gugupnya, entah gusar pada Thian Hong atau marah! pada diri sendiri, tanpa tujuan ia angka.t goloknya mem-baCokdua lantai, sampai achirnya ia mendekap diatas meja dan me nangis tersedu-sedan.
Melihat keadaan itu, sinenek merasa kasihan juga takut-takut, maka tak berani maju menghiburnya.
Setelah menangis sebentar, tiba-tiba Ciu Ki menanya sinenek: „Apakah dikota ada tabib?”
„Ada, ada,” sahut orang tua itu Cepat-cepat , „kepandaian tabib Cho Su Ping paling hebat, Cuma......... Cuma lagaknya sangat besar, selamanya tak sudi diundang kepedusunan seperti ini. Waktu - puteraku sakit, aku bersama menantuku entah menyura berpuluh kali padanya, tapi sedengkal iapun tak mau dating.”
Mendengar itu, tanpa menunggu selesai orang menutur, Cepat-cepat gadis itu usap air matanya terus; berbangkit. „Sekarang juga aku pergi meng'undangnya,” demikian katanya.
„Cuma ko… engkoku itu tinggal disini mohon kau suka menyaganya baik-baik .”
„Jangan kuatir, nona,” sahut sinenek. „Tapi, ai sudah terang tabib itu takkan datang.”
Namun Ciu Ki tak mengurusnya lagi, ia selipkan goloknya disamping pelana terus Cemplak kudanya menuju ke Bun-kong-tin dengan Cepat-cepat .
Tanpa berhenti ia larikan kudanya sampai dikota tuju annya itu, sementara hari sudah gelap. Waktu melalui suatu rumah makan, sajupdua terCiumlah oleh sigadis bau arak yang wangi dan masakan yang lezat, tak tertahan air liur mengalir, memangnya gadis ini tukang minum, karuan pe rutnya semakin berkeronCongan. Tapi lantas pikirnya : “Ah, biarlah aku undang tabib untuk sembuhkan sakithja dulu, soal arak, masa kelak aku tak bisa minum se-puasduanya ?”
Selagi ia Coba menghibur diri sendiri, tiba-tiba dilihatnya dari depan mendatangi seorang anak tanggung, Ciu Ki tanya dimana rumah kediaman tabib Cho Su Ping, habis itu terus ia menuju kearah yang ditunyuk.
Sampai dirumah orang she Cho itu, nyata itu adalah suatu gedung Cukup mentereng, temboknya dikapur putih ber sih, pintunya diCat hitam mengkilat, diatas daun pintu besar itu sepasang gelangan tembaga digosok begitu bersih hingga bersinar.
Setelah Ciu Ki menggemberong pintu hampir setengah harian, barulah ada seorang Centeng keluar membuka pintu, segera pula Centeng itu menegur dengan lagak tuan besar : „He, ada apa, malamdua gedor pintu, apakah rumah mu kematian orang ?”
Alangkah gusarnya Ciu Ki mendengar kata-kata Centeng yang kurang ajar itu, baiknya badis ini untuk sekali ini bisa me nahan diri, ia pikir datangnya untuk meminta pertolongan orang, tidaklah enak untuk umbar amarahnya, maka dengan menahan perasaan ia menyawab: “Aku hendak mengundang tabib Cho untuk melihat orang sakit.”
“Tidak ada dirumah,” sahut Centeng itu ketus, kontan. Habis ini, tanpa banyak-banyak bicara lagi terus balik tubuh hendak menutup pintu kembali.
Tentu saja Ciu Ki menjadi tak sabar, sekali Cekal, se ketika Centeng itu diseretnya keluar. “Keparat, lekas bilang, ia ada dirumah tidak ?” bentaknya segera sambil lolos goloknya.
Karuan Centeng itu ketakutan setengah mati, hampirdua saja semangatnya terbang ke-awangdua, lekas-lekas ia menyawab dengan suara gemetar : “Ia ia… benardua ti….. tiada dirumah.”
“Kemana ia pergi ? Lekas bilang !” sentak sigadis pula.
“Pergi ketempatnya Pek-bi-kui (mawar putih),” sahut Centeng itu.
„Barang maCam apa Pek-bi-kui itu?” bentak Ciu Ki sem bari goloknya di-gosokduakan dimuka orang. “Dan dimana tempatnya ?”
“Pek-bi-kui adalah nama orang,” kata siCenteng.
“Bohong,” sentak lagi sigadis. “Masakan ada orang ber nama Pek-bi-kui ?”
Centeng itu menjadi kelabakan, lekas-lekas ia menerangkan :
“Be……. benar, nona, aku tak membohongi kau, Pek-bi-kui adalah adalah nama orang, ia seorang wanita 'P' !”
“Wanita 'P' adalah orang busuk, kerumahnya untuk apa?” bentak Ciu Ki pula dengan gusar.
Sudah takut, geli juga Centeng itu oleh pertanyaan Ciu Ki itu. Pikirnya, meski wanita ini bengis dan galak, tapi soal insaniah ternyata sedikitpun tak paham. Ia hendak tertawa tapi tak berani, terpaksa tak menyawab.
„Kenapa tak menyawab, kau mau bilang tidak?” bentak Ciu Ki pula meng'anCam.
„Ia adalah 'kawan' baik majikanku,” sahut Centeng itu achirnya.
Barulah sekarang Ciu Ki paham. „Fui,” semprotnya sengit. „Lekas bawa aku kesana, tak perlu banyak-banyak Cerewet !”
Sungguh penasaran Centeng itu oleh damperatan sigadis, pikirnya: „Kapan aku pernah Cerewet, justru kaulah yang terus bertanya.”
Namun begitu, dibawah anCaman senjata mau-tak-mau ia harus menurut, maka katanya kemudian: „Baiklah, biar aku ambil pelita dulu.”
„Pelita apa lagi?” damperat Ciu Ki. „Lekas berangkat, sekarang juga, orang sakit keras, kau tahu tidak?”
Dalam mendongkolnya, diam-diam Centeng itu membatin, se bentar lagi bila sudah ketemu Loya (tuan besar, ma jikan), pasti akan kukisiki jangan mau pergi, sekalipun dipaksa pergi oleh perempuan galak ini, harus juga senga ja diberi obat yang tak bisa sembuh.
Tidak antara lama, sampailah mereka didepan pintu sebuah rumah. „Nah, inilah tempatnya,” kata Centeng itu.
„Lekas ketok pintu, suruh tabib keluar,” perintah Ciu Ki.
Terpaksa Centeng itu menurut. Tak lama kemudian se orang induk semang kelihatan membuka pintu.
„Ada orang mengundang Loya kami untuk melihat orang sakit, aku bilang padanya Lbya tiada senggang, tapi ia tak percaya dan aku dipaksa; kemari,” tutur siCenteng segera.
Induk semang itu melototi Centeng itu dengan sengit, habis ini, tanpa buka suara ia gabruki pintu kembali.
Ciu Ki berdiri dibelakang, waktu ia memburu maju, namun sudah terlambat. Dengan gusar ia gemberong pintu dengan keras-keras, namun sedikitpun tiada suara dibagian dalam.
Saking gusarnya Ciu Ki angkat kakinya mendepak pung gung Centeng itu sambil mendamperat: „Lekas kau enyah, tinggal disini hanya bikin nonamu marah saja !”
Karena depakan itu, si Centeng jatuh menCium tanah, dengan menahan sakit ia merangkak bangun, sambil meng omel habis-habisan terus menggelojor pergi.
Menunggu sesudah orang pergi jauh, sekali enyot tubuh, Ciu Ki melintasi pagar tembok rumah itu, ia lihat jendela sebuah kamar masih ada, Cahaja lampu, pelahandua ia men dekatinya dan mendekam dibawah, ia dengar ada suara dua orang lelaki lagi pasang omong. Iaj basahi kertas jendela dengan air ludah hingga berwujut satu lobang' kecil buat mengintip, ia lihat didalam kamar terang benderang oleh sinar lilin, satu lelaki berbadan kekar kuat dan seorang lakidua kurus dyang kung lagi merebah disuatu, dipan sambil berbi Cara, dan seorang wanita yang bersolek dengan ber-lebihduaan dan tampak genit lagi memijati paha silelaki kurus.
Dan selagi Ciu Ki hendak membentak: „Siapa yang ber nama Cho Su Ping, lekas keluar!” — Tapi belum kata-kata „siapa” diuCapkannya, mendadak dilihatnya silelaki kekar itu mengajun tangannya, ia menjadi tertegun, sedang wanita genit didalam itu mendadak telah berdiri sambil berkata dengan tertawa : “Ha,- tentunya akan berunding lagi dengan kembangan apa untuk menCelakai orang. Buatlah sedekah sedikit guna anakdua CuCu, bisadua nanti lahirkan seorang bo Cah yang tiada lobang. pantat, barulah Celaka !”
“BaCotmu kentut!” bentak lelaki kekar itu setengah. tertawa.
Dengan mesamdua wanita itupun lalu keluar sembari menutup kembali pintu kamar terus pergi keruangan belakang.
Diam-diam Ciu Ki pikir : “Tentu wanita inilah yang dibilang Pek-bi-kui (atau mawar putih) itu. Huh, sungguh hina-dina. Tapi apa yang dikatakannya tadi masih ada benarnya juga, biarlah aku nanti tidak membunuhnya.”
Sementara itu dilihatnya lelaki kekar tadi telah menge luarkan empat bongkotan perak dan diletakkan diatas me ja. “Cho-lauko, inilah dua00 tail perak, kita adalah lengganan lama dan tentunya puja harga lama,” demikian terdengar ia berkata.
“Tong-lakya,” sahut yang kurus itu, “beberapa harini pasukan besar melalui daerah sini dan banyak-banyak minta Catu tentara, hal ini berarti kau Tong-lakya bakal mendapatkan rejeki lagi.”
Gusar dan girang Ciu Ki mendengar kata-kata orang itu. Girangnya karena Tong-lakya yang berjuluk “Tong-li-pi-siang” atau warangan didalam gula, yang hendak diCari nya itu ternyata sekaligus sudah berada disini dan tak perlu banyak-banyak buang tenaga lagi; gusarnya karena pasukan tentara telah bikin ia banyak-banyak menderita, tapi orang ini ternyata justru penundyang pasukan tentara itu sembari mengeduk keuntungan buat diri sendiri.
Sementara itu didengarnya lelaki kekar tadi menyawab : “Ah, mana, merekapun Cukup liCin, apa kau kira dengan sukarela mereka mau setor wajib Catu ? Beberapa harini justru aku sudah mendesak ke-mana^ sungguh bikin orang bisa mati letih.”
“Haha, sekarang dua bungkus obat ini kau bawa pulang lah,” dengan tertawa kata lagi yang kurus, “rupanya kau bakal naik sorga betuia. Bungkusan merah ini minumkan saja perempuan itu, dalam waktu setanakan nasi, pasti ia tak sadarkan diri, tatkala itu, haha, tergantung kau Cara bagaimana menginginkannya, hal ini tak perlu lagi aku me ngajarkan kau bukan ?”
Maka keduanya lantas bergelak ketawa.
Kemudian sikurus berkata lagi: “Dan yang bungkusan hi tam ini minumkan pada lelaki itu, katakan untuk menyem buhkan lukanya, tidak lama masuk perutnya segera lukanya akan berdarah terus mati. Dengan begitu orang lain tentu menyang ka lukanya terlalu parah, siapapun tiada yang Cu riga padarau. Katakanlah, bukankah tindakan saudaramu ini sangat jitu ?”
“Ja, ja, jempol, jempol !” sahut yang kekar tiada hen tinya memuji.
“Tapi, Tong-lakya,” kata si kurus, “kau benardua ketum plek rejeki, dapat orangnya, pula hartanya, dan uang jasa saudaramu ini Cuma dua00 tail perak, bukankah ini agak terlalu sedikit ?”
“Ai,» Cho-lauko ini,” sahut yang kekar, “kita berdua se lamanya bicara blakduaan. Muka betina itu memang benardua Cantik molek, ia mengenakan baju lelaki, tatkala itu saja aku sudah tak tahan, belakangan dapat kuketahui se benarnya ia wanita yang menyaru lelaki, hahaha, daging yang telah dihantarkan sampai diujung mulut masakan tidak diCaplok, bukankah orang nanti akan mengumpat kakek-moyang 1delapan keturunanku tak pernah bersedekah ? Dan me ngenai yang lelaki itu, sesungguhnya tiada 'gemuk' lagi yang terdapat padanya, Cuma mereka datang berdua, kalau yang betina sudah kumaui, sudah tentu yang lelaki itu tak bisa dibiarkannya hidup lagi.”
“Eh, bukankah kau tadi bilang dia ada sebatang seruling dari emas ? Melulu seruling emas ini saja mungkin sudah beberapa kali beratnya ?” ujar yang kiffus.
“Ja, sudahlah, biar aku tambahi kau 50 tail lagi,” kata yang kekar. Habis ini ia keluarkan pula osbongkot perak.
“Dan jika urusan sudah beres, ia adalah gundikmu yang ke-15, bukan ?” demikian yang kurus achirnya, dengan tertawa.
Makin mendengar Ciu Ki semakin gusar, sampai disini ia tak tahan lagi, kontan pintu kamar ia depak dan orangnya terus menyerbu kedalam.
Dalam kagetnya lelaki kekar itu telah berteriak, berba reng itu ia masih berani angkat kaklhja hendak menendang pergelangan tangan Ciu Ki yang membawa senjata. Namun gadis ini mana bisa keCundang, sedikit ia putar ta ngannya, tahu-tahu goloknya malah menyamber dari atas hingga mulai betis, kaki orang itu telah kena ditabasnya, menyusul itu sekali tusuk lagi masuk keulu hati, melayang lah nyawa lelaki kekar itu.
Karuan yang kurus tadi sudah ketakutan hingga hendak berteriakpun tak sanggup lagi.
Ciu Ki Cabut goloknya dari tubuh orang yang sudah menggelongsor itu, ia usapduakan goloknya diatas majat itu untuk bersihkan darahnya, habis itu sekali jambak dada sikurus itu telah ditariknya dan dibentak : “Apa kau inilah Cho Su Ping ?”
Sikurus itu bertambah takut hingga kedua. kakinya serasa lemas, orangnya terus tekuk lutut, dan giginya gemertuk saling beradu. “Am…… ampun nona, ak…… aku tak berani lagi,” demikian mohonnya dengan gemetar.
“Siapa inginkan jiwamu ? Bangun !” bentak Ciu Ki.
Dengan gemetar Cho Su Ping bangkit berdiri, bisadua akan mendoprok lagi saking takutnya.
“Pergi keluar !” bentak lagi sigadis. Dan tak lupa seka lian ia pindahkan kelima bongkotan perak dan dua bungkusan obat diatas meja itu kedalam bajunya.
Cho Su Ping tak tahu maksud tujuan orang menyuruh nya keluar, terpaksa ia keluar dari kamar pelahandua dan membuka pintu luar.
Mendengar suara orang membuka pintu, induk semang nya menanya dari dalam, namim Cho Su Ping tak berani buka suara. Ciu Ki perintahkan orang mengambil kuda tunggangannya sendiri dulu, kemudian merekapun keprak kuda keluar dari kota itu.
Sepanyang jalan Ciu Ki memegangi tali kendali kuda orang sambil menganCam : “Asal kau berteriak sedikit, segera aku penggal kepala anyingmu !”
Karena takut, ber-ulangdua Cho Su Ping minta ampun dan bilang tak berani.
Tiada satu jam, tibalah achirnya mereka sampai dirumah sinenek tua itu.
Sepanyang jalan hati Cho Su Ping terus kebat-kebit saja, ia tidak tahu kemanakah “bandit wanita” ini hendak membawanya.
Dan sesudah masuk kerumah sinenek itu, dengan mem bawa pelita orang tua itu telah memapak keluar. Ia menjadi heran tak terkira bila melihat Ciu Ki kembali dengan membawa Cho Su Ping yang terkenal pelit itu. Tapi bila teringat olehnya tabib she Cho itu pernah menolak untuk menyembuhkan anaknya, seketika juga ia marah dan ber duka, maka terhadap tabib itu ia tak menggubrisnya.
Waktu Ciu Ki mendekati pembaringan Ji Thian Hong, ia lihat pemuda itu masih tak sadarkan diri, dibawah sinar lilin wajahnya tertampak merah membara, tentunya suhu panasnya luar biasa.
Segera juga gadis itu jamberet Cho Su Ping dan diseretnya kedekat pembaringan. „Aku punya ko…. koko ini terluka parah, lekas kau menyembuhkan dia,” katanya segera.
Mendengar orang menCuliknya hanya untuk mengobati orang sakit, barulah separoh rasa takut dan kuatir Cho Su Ping lenyap, ia periksa mukanya Thian Hong yang panas merah itu dan memegang nadi orang, ia buka kain pem balut dan periksa lukanya, ia meng-kerutdua kening, lalu katanya: „Tuan ini sangat kekurangan darah, panasnya membubung.”
„Siapa telaten mendengarkan obrolanmu,” damperat Ciu Ki tak sabar. „Lekasan kau mengobati dia, kalau tak sembuh, kaupun jangan harap bisa pulang.”
„Kalau begitu biarlah aku pergi ambil obat kekota, tanpa obat juga perCuma,” ujar Cho Su Ping.
„Namun, se-bodohduanya Ciu Ki tak nanti ia bisa diakali. „Hm, apa kau anggap aku ini anak kecil umur tiga?” demikian jengeknya lantas. „Kau buka resepnya, dan aku pergi mengambil obatnya.”
Selagi mereka bicara, keadaan Thian Hong sudah agak baikan, diam-diam iapun mendengarkan perCakapan itu.
Sedangkan Cho Su Ping menjadi mati kutu, ia tahu harini benardua ia ketemu batunya, terpaksa, .maka jawabnya: „Jika begitu silahkan nona keluarkan kertas dan pit-nya, biar aku membuka resepnya.”
Namun ditempat pedusunan terpenCil seperti ini, darimana ada pit dan kertas tulis? Karuan seketika Ciu Ki kelabakan tak berdaya. Sebaliknya Cho Su Ping menjadi senang, kata nya: „Penyakit tuan ini takbisa di-tundadua lagi, aku kira baiknya biar aku pulang ambil obat saja.”
„MoayCu (adikku),” mendadak Thian Hong buka suara, „bakarlah sebatang kaju kecil dijadikan arang, lalu tulis diatas kertas merangpun boleh, kalau masih tidak ada, tulis diatas papan juga dapat.”
„Ja, ja, benar, memang akalmu selalu banyak-banyak,” sahut Ciu Ki sangat girang.
Lalu ia menurut membakar sebatang kaju menjadi arang, sinenek itupun pergi menCarikan seCarik kertas merang yang sudah kumal. Dan terpaksalah Cho Su Ping harus membuka resepnya.
Menunggu,' sesudah orang selesai tulis resepnya, Ciu Ki mendapatkan seutas tambang rumput pula terus telikung kedua tangan sinshe itu dan diringkus eratdua, bahkan kedua kakipun diikatnya sekalian dan diletakkan disamping pem-baringan Thian Hong, lalu ia taruk juga golok pemuda itu didekat bantalnya, kemudian barulah ia' pesan pada sinenek itu: „Sekarang juga aku pergi membeli obat kekota, kalau sinshe (tabib) ini men Coba lari, lekasan kau bangunkan engkoku, biar ia membaCoknya mampus saja.”
Setelah memesan seperlunya, lantas Ciu Ki Cemplak kudanya kekota untuk membeli obat. Apabila kemudian ia mendapatkan sebuah rumah obat dan menggedornya minta diberikan obat menurut resep, sementara itu ufuk timur sudah remang-remang, fajar sudah menyingsing. Ia lihat sepanyang jalan banyak-banyak petugas-petugas yang berwira-wiri, agaknya karena soal pembunuhan manusia yang berjuluk ,.warangan didalam gula” itu telah diketahui.
Ciu Ki sembunyi disuatu pojok rumah penduduk, ia tunggu sesudah barisan peronda sudah lewat, barulah ia ke prak kudanya keluar kota. Setibanya dirumah nenek itu, sementara hari sudah terang-benderang, lekas-lekas ia masak obat itu dibantu sinenek, ia wadahi disuatu mangkok kasar dan dibawa kepada Thian Hong, ia bangunkan pemuda itu untuk meminum obat.
Melihat muka sigadis penuh keringat dan kotor oleh ha ngus, diatas rambutnya juga banyak-banyak tangkaidua rumput, seketika Thian Hong menjadi terharu, ia pikir sigadis asal dari keluarga mampu dan selamanya tak pernah turun ke dapur, tapi kini ternyata harus memasak obat dan lain-lain, dalam hati ia menjadi sangat berterima kasih, maka lekas-lekas ia bangun menyang gapi mangkok obat yang disodorkan.
Tapi sebelum ia minum, tiba-tiba pikirannya tergerak, mangkok obat itu ia sodorkan kepada Cho Su Ping dan katanya: “Coba kau minum dua teguk dulu.”
Ketika sinshe itu sedikit ragudua, sementara itu Ciu Ki sudah paham juga maksudnya Thian Hong, maka ber-ulangdua ia bilang : “Ja, benar, harus dia minum dulu, siapa tahu betapa jahatnya orang ini.”
Karena terpaksa, Cho Su Ping mengap menCeguk seba gian obat itu.
“Nah, moayCu, kau mengasolah dulu, sebentar lagi obat ini baru kuminum,” kata Thian Hong kemudian. “Sebab apa ?” tanya Ciu Ki.
“Kita lihat dulu ia (Cho Su Ping) mati tidak,” ujar Thian Hong.
“Benar, benar, jika ia mati, itu tandanya obat ini tak boleh diminum,” kata Ciu Ki tertawa. Habis ini, ia pindah kan pelita kedekat mukanya Cho Su Ping sembari matanya yang bundar besar itu terpentang lebardua untuk mengawasi perubahandua muka sitabib itu.
“Ai, seorang tabib harus punya rasa tanggung jawab, mana bisa menCelakai orang malah ?” kata Cho Su Ping tertawa getir.
„Hm, masih berani kau membaCot ?” sen tak Ciu Ki gusar. “Bukankah kau tadi kasak-kusuk berunding dengan manusia 'warangan didalam gula' itu hendak menCelakai nona orang dan inCar seruling emas orang lagi, kesemua nya itu sudah kudengar sendiri, dan kini masih berani kau bermulut manis ?”
Karena itu, seketika Cho Su Ping tak bisa menyawab. Sebaliknya demi mendengar orang menyebut tentang “seruling emas”, lekas-lekas Thian Hong bertanya duduknya perkara. Maka berCeritalah Ciu Ki apa yang telah didengarnya dirumah “P” itu serta terangkan Caranya membunuh manusia “warangan didalam gula” itu.
Teringat akan itu, lekas-lekas juga ia pergi memberitahukan sinenek bahwa ia sudah membalaskan sakit hati putera dan menantunya. Tentu saja nenek itu sangat berterima kasih, saking terharu sampai ia menangis.
Menunggu sesudah Ciu Ki masuk kembali, lalu Thian Hong menanya Cho Su Ping pula: “Coba terangkan bagaimana orangnya yang membawa seruling emas itu dan si apa pula wanita yang menyaru lelaki itu ?”
“Ja, kalau tidak mengaku terus terang, biar sekali tusuk aku mampuskan kau dulu,” gertak Ciu Ki sembari Cabut goloknya.
Karuan Cho Su Ping ketakutan setengah mati. “Ba…. baik, ak…… aku akan mengaku kem…… kemarin Tong-lakya da…… datang menCari aku, ka………. Katanya rumahnya ke kedatangan dua orang yang me … meminta mondok, yang seorang terluka, bicara saja tak sanggup, dan yang lain adalah seorang pemuda tampan. Se…. sebenarnya ia tak mau terima, tapi ketika melihat pemuda itu Cantik luar biasa, ia lantas terima mereka buat menginap semalam, kemudian dapat dilihatnya suara pemuda itu lemah lembut, gerak-geriknya dan sikapnya juga mirip wanita, pula tak mau bersama suatu kamar dengan lelaki kawannya itu, maka ia jakin pasti orang adalah wanita menyaru lelaki,” demikian tabib itu menyelaskan dengan suara tak lancar.
“Lalu ia datang padamu untuk membeli obat, bukan ?” sambung Ciu Ki.
“Ja, itulah salahku,” sahut Su Ping, nyata ia tak berani pungkir.
“Bagaimanakah maCamnya yang lelaki itu ?” tanya Thian Hong lagi.
“Pernah Tong-lakya undang aku pergi memeriksanya,” kata Su Ping. “Ia berusia kira-kira duatiga atau dua4 tahun, berdandan secara sastrawan, tubuh dan pahanya terdapat tujuh—delapan luka kena senjata tajam.”
“Parahkah lukanya ?” tanya Thian Hong.
“Lukanya memang parah, Cuma luka luar saja, kalau dirawat dengan baik-baik , Cepat-cepat saja akan sembuh kembali,” ujar Su Ping.
Dan karena tiada keterangandua lain yang bisa diperoleh, Thian Hong tidak menanya lebih jauh, ia angkat mangkok obat tadi terus diminumnya.
Sehabis minum obat, Thian Hong tertidur dan keluar ke ringat, petangnya kembali ia minum obat itu lagi semang kok.
Nyata, meski Cho Su Ping itu kelakuannya busuk, tapi ilmu tabibnya ternyata sangat pandai, obatnya ternyata “Ces pleng,” maka lewat satu hari, kesehatan Thian. Hong sudah pulih sebagian besar dan sudah bisa turun pembaringan.
Lewat sehari lagi, Thian Hong menduga dirinya sudah sanggup menaiki kuda untuk menempuh perjalanan, maka katanya pada Ciu Ki : “Orang yang dikatakan membawa seruling emas itu adalah aku punya Ie sipsute, entah me ngapa ia bisa minta mondok kerumah buaja darat itu. Dan sesudah buaja itu dapat kau bunuh, mungkin iapun tiada halangan lagi, Cuma aku tetap belum lega, malam ini juga marilah kita menyelidikinya, bagaimana pendapatmu ?”
“Ia adalah kau punya Sipsute (atau Capsihte) ?” sigadis menegas.
“Ja,* pernah ia datang kerumahmu dahulu, kau sendiripun pernah melihatnya, ialah orang yang per-tamadua disuruh Congthocu kami pergi menCari berita itu,” Thian Hong menyelaskan.
“O, kiranya dia itu,” ujar Ciu Ki. “Aku tak tahu kalau dia memiliki sebatang seruling emas, kalau tahu, tentu aku sudah bojong dia kesini untuk merawat lukanya bersama kau, bukankah hal itu sangat baik.”
Thian Hong tertawa oleh kepolosan sigadis. Selang sejenak barulah ia berkata lagi: “Dan siapa lagi wanita yang menyaru lelaki itu ? Apakah mungkin Suso ?”
Waktu magrib, Ciu Ki mengeluarkan sebongkot perak bolehnya 'mendaulat' dari meja dirumah “P” itu dan dibe rikan pada sinenek, sudah tentu orang tua itu tiada habis-habis-nya mengucapkan terima kasih :
Kemudian gadis itu seret bangun Cho Su Ping, “srettt...” Cepat-cepat sekali ia lolos goloknya dan tak ampun lagi sebelah daun kuping tabib Celaka itu telah berpisah dengan tuannya.
“Kau telah sembuhkan engkoku ini, maka, jiwamu boleh kuampuni, tapi bila kelak diketahui kau berbuat jahat pula, hm, manusia 'warangan didalam gula' itulah Contohmu,” demikian Ciu Ki membentak pula.
“Tidak berani, pasti tidak berani lagi,” sahut Cho Su Ping ber-ulangdua sambil menekap luka daun kupingnya. “Tiga bulan lagi kami masih akan kembali kesini, tatkala
itu pasti kami akan menjadi tetamu-mu lagi, sinshe,” ujar Thian Hong.
Dan kembali Cho Su Ping mengucapkan “tidak berani” ber-ulangdua.
“Kau pakai kudanya, marilah kita berangkat,” kata Ciu Ki kemudian pada Thian Hong.
Habis itu, mereka keprak kuda meninggalkan tabib sial itu terus menuju kekota Bun-kong-tin dengan Cepat-cepat .
Sesudah 4—5 li jauhnya, tiba-tiba Ciu Ki menanya : “Kena pakah tadi kau bilang tiga bulan lagi kita akan datang kesini lagi ?”
“Aku sengaja mendustai sinshe setan itu, agar dia tak berani bikin susah pada sinenek itu,” kata Thian Hong.
Ciu Ki meng-angguk-angguk paham, tapi belum seberapa jauh, kembali ia bertanya pula : “Kenapa kau selalu begitu liCin terhadap orang ? Aku tak suka.”
Seketika Thian Hong tak bisa menyawab, sejenak kemudian barulah ia berkata “Nona tidak tahu bahwa hati manusia kangouw keji dan berbahaja, terhadap kawan kita boleh mengutamakan budi dan bajik, tapi terhadap manusia rendah, bila kau baik hati padanya, maka pastilah kau sendiri yang dirugikan.”
“Tapi ayahku bilang lebih baik merugikan diri sendiri daripada bikin susah orang,” ujar sigadis.
“Ja, itulah kelebihan ayahmu daripada orang lain,” sahut
Thian Hong, “sebab itulah bila orang kangouw menyebut Thiat-tan Ciu Tiong Ing loyaCu, tidak peduli dia dari ka langan pek-to (kalangan orang baik-baik ) atau hek-to (lapisan bawah, orang jahat), baik dia orang pemerintahan maupun lok-lim (golongan bandit), tiada seorangpun yang tidak bi lang ia adalah suatu ksatria sejati yang baik budi, kami semua sangat mengaguminya.”
“Jika begitu, kenapa kau takmau belajar seperti ayahku ?” kata sigadis lagi.
„Ciu-loyaCu memang pembawaannya juCur dan berbudi, orang seperti aku yang banyak-banyak tipu akal aneha mungkin tak sanggup menCapai seperti dia,” sahut Thian Hong.
“Aku justru jemu pada tabiatmu yang suka main tipu akal itu,” kata sigadis dengan sengit. “Kata ayahku, asal kau baika terhadap orang, dengan sendirinya orangpun akan baika kepadamu.”
Mendengar ini, dalam hati Thian Hong sangat terharu.
“Kenapa ? Kau tak suka pada kata-kataku bukan ? Dan sedang memikirkan akal untuk mempermainkan aku lagi bukan ?” tanya Ciu Ki.
“Ah, kau selalu Curiga orang saja,” sahut Thian Hong.
Begitulah sembari berbicara ditengah jalan, mereka menjadi tidak kesepian. Sesudah mengalami peristiwa de-mikian ini, terhadap sigadis itu Thian Hong sudah tentu sangat berterima kasih, sebaliknya Ciu Ki juga kuatir karena dirinya ada budi kepada orang, maka orang sengaja suka mengalah padanya, hal ini bikin dia menjadi hati-hati dan sungkan juga.
“Dahulu aku kira kebusukanmu telah merusak sampai ke-tulangduamu,” demikian kata Ciu Ki. “Siapa tahu ..........”
“Siapa tahu gimana ?” tanya Thian Hong.
“Aku lihat kebusukanmu dulu itu sengaja kau bikindua,” sahut sigadis. “Ja, sebab apakah kau selalu suka membikin susah padaku ? Aku ini hanya bikin marah kau saja bila kau lihat, bukan ?”
„Baik-busuknya seseorang seringkali salah diduga dikala muladua berkenalan, tadinya darimana aku bisa tahu kau si nona ini sebenarnya berhati sanubari begini baik,” sahut Thian Hong.
„Waktu itu kau anggap aku sombong lagi dengki bukan?” ujar Ciu Ki tertawa.
Thian Hong tak menyawabnya, melainkan tersenyum saja.
Setibanya di Bun-kong-tin, mereka tambat kuda ditempat yang sepi, lalu mereka mendapatkan rumah kediaman ma nusia yang disebut „Tong-li-pi-siang” atau warangan didalam gula itu, mereka melompati pagar dan mengintip kedalam.
Dibagian rumah itu Thian Hong dapat menangkap seorang peronda, ia anCam peronda itu agar mengaku dimana ada nya Ie Hi Tong. Saking takutnya, sudah tentu peronda itu tak berani membohong, ia mengaku bahwa sejak hari itu Tong-lakya dibunuh sinshe Cho Su Ping dirumah Pek-bi-kui, lantas se-isi rumah kaCau-balau, maka kedua orang yang mondok itupun lantas pergi tiada orang tahu.
„Mari lekas kita .susul mereka,” ajak Ciu Ki kemudian pada Thian Hong.
Setelah dua-tiga hari lagi, ditengah jalan Thian Hong melihat tanda-tanda rahasia yang ditinggalkan Tan Keh Lok dan diketahui para kawan akan mengumpul dikota Khay-hong, maka lekas-lekas ia Ceritakan itu pada sigadis.
Mendengar semua orang tiada terjadi apa-apa, Ciu Ki menjadi girang, pada suatu rumah minum segera ia beli tiga kati arak dan minum se-puasduanya, besok “paginya ia mendesak Thian Hong agar perCepat-cepat perjalanan mereka.
Sementara itu luka dipundak Thian Hong sudah rapat kembali, kesehatannya pun sudah pulih. Sepanyang jalan mereka mengobrol ketimur dan kebarat, selalu'Thian Hong menCeritakan haldua yang menarik yang terjadi didunia kangouw, iapun menyelaskan dan mengajarkan segala pantangan dan peraturan kalangan kangouw umumnya, karena semuanya itu serba baru baginya, karuan Ciu Ki menjadi sangat ketarik.
„Mestinya sejak duludua kau sudah harus Ceritakan kesemua ini kepadaku, tapi dahulu kau selalu ribut mulut saja dengan aku,” demikian katanya.
Suatu hari, tibalah mereka sampai dikota Tongkwan, mereka menCari hotel dan katanya hotel „Wat Lay” adalah hotel paling bagus dikota itu, maka menujulah mereka kesana, tapi kamar hotel itu ternyata tingg'al sebuah saja, Thian Hong Coba memberikan serenCeng uang peCah sebagai uang sogok pada sipelajan agar ditambahi satu kamar lagi, namun sipelajan menjadi serba susah, ia tetap bilang kamar lain-lain sudah penuh. „Entah sebutan apakah tuan dengan nona ini?” tanya pelajan itu achirnya.
„Ia adalah adikku,” sahut Thian Hong.
„Kalau kaka-beradik, bersama suatu kamar bukartlah tak apa-apa,” ujar pelajan itu.
Ciu Ki menjadi gusar mendengar itu, kontan ia mendamperat: „Perlu apa kau banyak-banyak Cerewet “
Namun Thian Hong mendadak menarik bajunya sebelum ia memaki lebih lanyut, maka terpaksa ia menerima baik meski kurang senang. Cuma selama bikin perjalanan bersama ini, Ciu Ki melihat kelakuan Thian Hong selalu sopan santun padanya, tampaknya memang benardua seorang lakidua sejati, namun bila kini tiba-tiba harus tinggal bersama satu kamar, mau-tak-mau ia merasa kikuk juga, ia malu dan ragudua. Tapi dihadapan sipelajan hotel itu terpaksa ia bung kam saja.
Sesudah berada didalam kamar, segera Thian Hong me malang pintu, pemuda ini memberi tanda agar kawannya jangan berisik. „Tadi kau melihat itu keparat dari Tin Wan piauwkiok tidak?” tanyanya kemudian lirih.
„Apa? Kau maksudkan binatang yang membawa orang menangkap Bun-suya dan mengakibatkan kematian adikku itu?” tanya Ciu Ki terkejut.
„Ja, sekilas tadi aku melihatnya, Cuma kurang jelas entah benar tidak, aku kuatir dilihat mereka, maka lekas-lekas tarik kau masuk sini, biarlah sebentar kita pergi menyelidikinya,” ujar Thian Hong.
Dalam pada itu pelajan datang membawakan teh dan menanya sekalian tetamunya ingin dahar apa, sesudah Thian Hong memesan seperlunya, lalu ia tanya: „Apakah tuandua dari Tin Wan piauwkiok di Pakkhia itupun menginap disini?”
„Ja, benar,” sahut sipelajan. „Mereka selalu menjadi lengganan kami bila lewat di Tongkwan sini.”
Dan sesudah pelajan itu berlalu, kemudian Thian Hong berkata pada Ciu Ki: „Menurut Cerita Suso dan Capsihte, katanya manusia Tong Siu Ho ini adalah biangkeladinya se gala kejahatan yang sudah terjadi, maka malam ini jug biar kita bereskan dia dulu untuk membalaskan sakit hati adikmu dan Bun-suko.”
Apabila ingat atas kematian adiknya yang menyedihkan itu serta terbakarnya Thiat-tan-Chung, sungguh darah Ciu Ki menjadi naik, kalau bukan Thian Hong menahan sebisanya, mungkin sejak tadi gadis itu sudah menerdyang keluar untuk menCari musuh itu.
„Sudahlah, kau mengaso dulu buat kumpulkan semangat, sebenar tengah malam masih belum terlambat kita kerja kan,” demikian kata Thian Hong.
Terpaksa Ciu Ki bersabar sebisanya, tapi belum sampai tengah malam, benar- ia tak tahan pula, ia Cabut goloknya terus mengajak: „Ayolah, kita mulai !”
Segera Thian Hong membuka! jendela dan melompat keluar, menyusul barulah sigadis.
„Hati-hati, jumlah mereka banyak-banyak, mungkin ada jagoan tinggi pula, mari kita menyelidikinya dulu, kita Cari akal untuk memanCing keluar keparat she Tong itu agar lebih mudah turun tangan,” demikian kata Thian Hong.
Ciu Ki mengangguk setuju. Lalu mereka melayang keatas rumah, mereka melihat disuatu kamar sebelah timur sana masih ada sinar pelita, Thian Hong memberi tanda, mereka berdua melompat turun ketanah dan dari dua ju rusan mendekati kamar itu. Ciu Ki mendapatkan suatu lobang kecil dijendela kamar itu terus pasang mata meng intip kedalam.
Selagi Thian Hong dengan senjata terhunus berdiri di belakang sigadis untuk menyaga, tiba-tiba dilihatnya gadis itu menegak kembali, habis itu sebelah kakinya mendadak melayang hendak menendang kearah jendela.
Karuan Thian Hong terkejut, lekas-lekas ia melangkah maju menghadang didepan sigadis. Sementara itu kaki Ciu Ki sudah ditendangkan, tapi baru saja melayang sampai didepan dada sipemuda, tersipu-sipuia tarik kembali kakinya, dan karena gerak kakinya itu terlalu keras hingga tenaganya seketika, susah direm, tak tertahan ia terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.
Segera juga Thian Hong sudah melompat kedekat sigadis dan menanya dengan suara tertahan: „Ada apakah?”
„Lekas turun tangan, ibuku kena diringkus mereka di-dalam,” sahut Ciu Ki.
„Ha?” kaget luar biasa Thian Hong oleh keterangan itu.
„Mari lekas kita kembali kamar untuk berunding.” — Habis ini, ia tarik gadis itu kekamar mereka.
Setiba didalam kamar, Ciu Ki sudah tak sabar lagi. ,.Berunding apa lagi kau inginkan? Ibuku telah tertawan keparats itu, mengarti?”
„Sabar dulu, nona, aku tanggung akan menolong ibumu keluar,” kata Thian Hong. „Ada berapa orangkah mereka?”
„Kira-kira enam-tujuh orang,” sahut sigadis.
Thian Hong termenung sejenak, agaknya ragudua.
„Takut apa? Kau tak berani pergi, biar aku pergi sen dirian,” ujar Ciu Ki.
„Bukannya takut,” kata Thian Hong.. „Tapi aku sedang menCari akal, harus menolong ibumu, tapi juga harus membunuh keparat she Tong itu, keduanya harus sekaligus kita lakukan berbareng.”
„Tolong ibu dulu, keparat itu dapat dibunuh tidak itu uru san belakang,” kata. sigadis.
Dan pada saat itu juga, tiba-tiba diluar pintu terdengar suara orang berjalan, lekas-lekas Thian Hong menggoyang i tangan agar sig'adis diam, maka terdengar seorang berjalan lewat didepan kamar sambil mulutnya tiada hentinya mengomel, katanya: „Huh, tengah malam buta, tidak mau sekarat, tapi masih ingin minum apa segala? Bikin orang lain tak enak tidur. Huh, biar budha memberkati kawanan po-pio (juru kawal) di tengah jalan ketemukan begal !”
Mendengar lagu suara orang, tahulah Thian Hong pasti itulah sipelajan yang dibangunkan kawanan piauthau itu agar mengambilkan arak, maka telah mendongkol dan mengomel. panyang -pendek.
Tiba-tiba tergerak pikiran Thian Hong, katanya pada Ciu Ki: „Bukankah dua bungkus obat sitabib she Cho itu masih ada padamu? Sebungkus diantaranya ia bilang bisa bikin orang tak sadarkan diri bila meminumnya, nah, bungkusan itu lekas kau berikan padaku.”
Sigadis tak mengarti apa tujuan orang, tapi bungkusan obat itu dikeluarkannya juga. „Untuk apa?”1 tanyanya.
Namun Thian Hong tak menyawab, hanya tangan orang ia tarik dan diajak melompat keluar kamar lagi.
Setibanya diserambi dapur, pemuda itu membisiki pula: „Mendekam disini, diam-diam, jangan bergerak.”
Ciu Ki menjadi heran, pikirannya penuh tanda tanya, ia tak tahu perbuatan apa lagi yang hendak dilakukan pemuda itu.
Setelah menunggu tak lama dan tak terdengar sesuatu suara, selagi ia hendak menanya, tiba-tiba terlihat sinar pelita ber-kelipdua, pelajan tadi telah munCul lagi sembari membawa sebuah nampan dan tangan lain memegang Cektay (tanCa pan lilin).
Diam-diam Thian Hong siapkan sebutir batu kecil, setelah dekat Cepat-cepat sekali ia menimpuk dan dengan jitu api lilin itu mendadak sirap. Karuan pelajan itu menjadi kaget, namun mulutnya masih mengomel: „Benardua ada setan, baik-baik saja tiada angin sedikitpun, tapi lilin bisa sirap sendirinya!” — Lalu ia taruk nenampan ditanah dan membalik pergi buat menyulut lilin lagi.
Menunggu sesudah orang menghilang, Cepat-cepat Thian Hong melompat keluar, ia lihat diatas nampan itu ada dua poCi arak, lekas-lekas ia bagi bungkusan obat itu menjadi dua dan dituang kedalam poCi arak itu.
„Mari sekarang kita pergi keluar kamar mereka,” ajak nya kemudian pada sigadis.
Dan sebentar saja kembali mereka berdua sudah mende kam pula dibawah jendela kamar para piauwsu itu. Ketika Thian Hong mengintip kedalam, betul juga dilihatnya ada seorang wanita setengah umur dengan kedua tangannya di ikat dibelakang dan berduduk ditanah. Sebaliknya ada beberapa lelaki sedang berduduk didalam kamar itu sambil mengobrol ketimur dan kebarat. Ia kenal seorang diantaranya ialah Tiat-pi-peh Han Bun Tiong yang pernah ditawan Ciang Cin itu dan satu lagi adalah Ci Cing Lun, dan seorang lagi ialah Tong Siu Ho yang pernah dilihatnya di Thiat-tan-Chung dahulu. Sedang tiga orang selebihnya ia tak kenal.
Sementara itu didengarnya Tong Siu Ho itu lagi membual, katanya: „Ha, orang selalu bilang Thiat-tan-Chung begitu kuat laksana tembok besi dan dinding tembaga, siapa tahu Cukup LoCu (sebutan diri sendiri secara Congkak) segebung api saja sudah membikinnya ludes !”
Kata-kata itu dapat didengar Ciu Ki dengan jelas, ternyata orang yang membakar perkampungannya memang benar ada manusia she Tong ini.
Dalam pada itu Han Bun Tiong tertampak bermuka mu ram dan tak bersemangat, ia telah berkata: “Lau Tong, hendaklah jangan kau me-niupdua ngawur, Ciu Tiong Ing itu aku telah bertemu ditengah jalan, kalau kita, sebanyak-banyak ini maju sekaligus belum pasti sanggup melawannya. Kelak apabila sampai ia menCari kepiauwkiok, tentunya baru kau tahu rasa !”
“Haha, kita selalu dibintangi rejeki, lihat saja, justru sekarang isteri orang she Ciu itu telah datang sendiri pada kita, dengan adanya orang jaminan ini, masakan ia berani berbuat apa-apa terhadap kita ?” demikian jawab Tong Siu Ho.
Sampai disini, sipelajan telah masuk membawakan ne nampan tadi yang berisi arak dan daharan. Segera saja para piauwsu itu makan-minum besar, sebaliknya Han Bun Tiong kelihatan muram durja, tiada hentinya Tong Siu Ho membujuknya minum, katanya : “Ah, Han-toako, seorang gagah susah juga melawan orang banyak-banyak, kau terjungkal ditangan mereka, kenapa kau pikirkan terus? Kelak kita pun bisa mengundang kawan yang banyak-banyak untuk mengha dapi Hong Hwa Hwe mereka seorang lawan seorang untuk menentukan unggul dan asor.”
„Kalau orang lain satu lawan satu, tapi kau, Lau Tong, kau melawan siapa ?” tiba-tiba seorang piauwsu diantaranya menyela.
“Tentu saja aku menCari isteri-gadis mereka.”
tapi belum selesai perkataan Tong Siu Ho ini, mendadak ia roboh terguling dipembaringannya.
Karuan semua orang terkejut, lekas-lekas kawannya mende kati hendak membangunkannya, siapa tahu tiba-tiba merekapun merasa tangan lemas dan kaki linu, kesemuanya tak bisa berkutik pula.
Melihat sudah berhasil, Thian Hong menyongkel daun jendela dengan goloknya dan melompat masuk kedalam, Cepat-cepat saja Ciu Ki pun menyusul melompat masuk, segera pula ia berseru : “O, mak !” — Dan hanya kata-kata itu saja yang sanggup diuCapkannya, karena air mata sudah ber CuCuran, lekas-lekas iapun menabas putus tali pengikat ibunya itu.
Ketika mendadak melihat puteri kesajangannya, sesaat Ciu-toanaynay hanya ternganga tak sanggup buka suara, ia sangka dirinya dialam mimpi saja.
Dilain pihak Thian Hong sudah lantas seret bangun Tong Siu Ho, tanpa berkata lagi ia tubleskan goloknya keperut manusia itu dan seketika beres nyawanya. Manusia yang hi dupnya selalu berbuat jahat dan entah sudah berapa banyak-banyak orang yang menjadi korbannya, harini jiwanya melayang ditangannya 'Bu-Cu-kat' Ji Thian Hong, dapatlah hal itu dikata sesuai ganyarannya.
Dalam pada itu Ciu Ki menghunus goloknya hendak membunuh lagi piauwsudua yang lain, namun keburu diCegah Thian Hong, kata pemuda ini : “Dosa mereka masih belum dihukum mati, biarlah ampuni mereka saja .!”
Ciu Ki mengangguk menurut, dan menarik kembali sen jatanya.
Melihat itu, Ciu-toanaynay menjadi heran ; ia Cukup kenal watak puterinya itu, keCuali kata-kata sang ayah yang kadang masih diturutnya, tapi kata-kata orang lain tiada lagi yang bisa menguasainya, apa yang hendak dilakukannya lantas dilakukan. Siapa duga terhadap kata-kata Thian Hong ternyata ia bisa begitu penurut, sungguh hal ini agak luar bi asa.
Kemudian Thian Hong menggeledahi piauwsudua itu dan dapat diketemukannya beberapa puCuk surat, karena tak sempat buat membaCanya, ia lantas masukkan dulu keba junya. “Mari lekas kita kembali kamar buat bebenah terus berangkat,” ajaknya lantas.
Cepat-cepat mereka bertiga melompat keluar kembali kamar sendiri, Thian Hong ringkaskan buntalannya dan tinggalkan serenCeng uang perak sebagai biaja penginapan, lalu ia pergi kebelakang menuntun keluar tiga ekor kuda, segera pula mereka kabur kearah timur.
Melihat puterinya bikin perjalanan bersama Thian Hong, pula tinggal bersama sekamar, rasa Curiga Ciu-toanaynay
Semakin menjadi-jadi, dasar wataknya memang keras, maka kontan saja ia menanya sang puteri: “Dimanakah ayahmu? Siapakah tuan ini ? Kenapa kau taerada bersama dia ? Kau bertengkar lagi dengan ayahmu bukan ?”
“Kau sendirilah yang tinggal pergi karena bertengkar dengan ayah,” sahut Ciu Ki mendadak. “Mak, tentang ini maukah kau bertanya nanti saja ?”
Tapi kedua ibu dan anak ini beradat keras semua, maka bicara punya bicara mereka lantas seperti mau bertengkar. Lekas-lekas Thian Hong datang memisah.
“Hm, semuanya garadua kau, dan kau masih akan bilang apa ?” demikian omel sigadis.
Mendengar itu, aneh, perasaan Thian Hong terasa. nik mat sekali, maka ia tersenyum dan menyingkir lagi, Sedang ibu dan anak itu masih sama-sama bersengut, masing-masing sedang memikirkan airusan sendiri.
Malamnya mereka mondok dirumah seorang petani, ibu dan anak itu tidur bersama, disitulah baru Ciu Ki men Ceritakan pengalamannya, tapi karena tak pandai bicara, sedang sang ibu kesusu ingin tahu segalanya sampai achir, maka sebentar mereka menangis dan lain saat sudah tertawa lagi, yang satu ngambek tak mau bicara, yang lain mengomeli sang puteri tak dengar kata. Begitulah mereka ribut setengah malaman barulah mereka mengetahui seke dar keadaan masing-masing sejak berpisah.
Kiranya Ciu-toanaynay terlalu pedih akan kematian pute ra kecilnya yang tewas dibawah tangan ayah sendiri itu, dalam gusarnya ia telah tinggalkan rumah, muladua ia pergi Ko-lan menumpang pada seorang pamilinya she Kho, tapi justru tuan rumahnya lagi bikin perjalanan jauh, nyonya rumah meski melajaninya dengan segala kehormatan, namun sebab hatinya yang murung itu, sesudah tinggal beberapa hari ia menjadi tak betah, ia tinggalkan sepuCuk surat dan berangkat pergi dengan kudanya.
Hari itu iapun sampai di Tongkwan dan dapat dilihatnya panyi Tin Wan piauwkiok dihotel Wat-lay itu, ia menjadi ingat kata-kata murid suaminya, yaitu Beng Kian Hiong, bahwa biangkeladi yang menyebabkan kematian putera kesajangan nya itu adalah piauthau dari Tin Wan piauwkiok yang bernama Tong Siu Ho. Maka malamdua dengan membawa senjata ia memasuki hotel itu hendak menCari musuh besar itu.
Dan kebetulan sekali dilihatnya Tong Siu Ho berada didalam, tanpa pikir lagi Ciu-toanaynay menerobos masuk hendak membalas dendam, namun jumlah orang piauwkiok sangat banyak-banyak, pula Tiat-pi-peh-jiu Han Bun Tiong terhi tung jagoan tinggi, maka achirnya ia kena tertawan. Ia sudah pikir dalam keadaan sebangkara itu, pasti nasibnya sekali ini tak terluput dari kematian. Siapa duga justru) datang puteri kesajangannya untuk membebaskannya dari mara-bahaja.
Apabila kemudian Ciu Ki menCeritakan Cara menolong sang ibu dan menuntut balas, kesemuanya adalah tipu akal nya Ji Thian Hong, maka Ciu-toanaynay merasa sangat berterima kasih kepada pemuda itu-.
Besok paginya dalam perjalanan Ciu-toanaynay telah menanyai asal-usul Ji Thian Hong dengan teliti.
“Waktu aku berumur duabelas, seluruh keluargaku sudah habis diCelakai pemerintah, hanya aku sendiri yang berhasil lolos,” demikian Thian Hong menutur.
“Kenapa pemerintah menCelakai kau ?” tanya Ciu-toa-naynay.
„Karena putera pembesar itu penujui enCiku dan hendak mengambilnya sebagai gundik,” kata Thian Hong. “Padahal enCiku sejak lama sudah bertunangan, dengan sendlrinya ayahku tak boleh. Karena itu ayahku lantas dipitenah pem-besar itu berkomplotan dengan perampok, lalu ayah, ibu dan kaka lakidua telah dipenyarakan serhua. Kemudian enCiku di beritahu jika suka menurut lamaran sipembesar itu, lantas ayah akan dibebaskan. Cihu (suami enCi) dengan berani menCoba membunuh pembesar itu, tapi malah dipukul mati opasdua, mendengar kabar itu lantas enCiku menCebur ke sungai membunuh diri.”
„Apa kau tak balaskan sakit hati orang tuamu itu?” Ciu Ki menyela dengan marahnya.
„Memang setelah besar dan belajar silat, aku pulang untuk lakukan pembalasan, tapi musuhku sudah naik pang kat dan dipindah kelain tempat. Ber-tahundua kuselidiki dia, tapi,Siapakah kini belum memperoleh hasil apa-apa.”
“Siapakah nama musuhmu itu?” tanya Ciu Ki.
„Yang kuketahui, dia itu orang she Pui. Namanya siapa, sayang aku kurang jelas. Mukanya sebelah kiri terdapat tai lalat. Kalau bertemu dapat kukenalnya,” demikian Thian Hong achirnya.
Maju setindak lagi, Ciu-naynay tanyakan adakah pemuda itu sudah beristeri.
“Bah, ia orangnya terlalu liCin, tentu takkan ada sioCia yang menyukainya,” kata Ciu Ki dengan tertawa. “Seorang sioCia tak pantas omong begitu!” Ciu-naynay mendamprat gadisnya.
„Mak, kau tanya begitu pelit, apa mau menCarikannya jodoh baginya?” sinona malah tetap menggodanya. „Entah sioCia yang mana, eh, mungkin adik dari keluarga Kho itu bukan?”
Malamnya sewaktu dihotel, Ciu-naynay kembali mengata ngatai puterinya.
„Kau seorang gadis berjalan dan tinggal sekamar dengan seorang pemuda, siapa sih yang mau kawin dengan kau,” demikian orang tua itu.
„Dia luka, apa salahnya kutolong! Sekalipun ia orang yang liCin, tapi selama itu ia berlaku aturan padaku,” jawab Ciu Ki maraha.
„Hal itu hanya kau dan dia yang tahu. Aku dan ayahmu dapat mempercayai, tapi apakah orang luar bisa menerima begitu saja? KeCuali seumur hidup kau tak menikah, itu lain perkara. Karena tak ada Calon suami yang mempercayai keteranganmu itu. Memang begitulah susahnya menjadi wanita seperti kita ini,” panyang lebar Ciu-naynay menga tainya dengan pedas.
„Kalau begitu, biarlah aku tak kawin selamanya!” sikepala keras membantahnya.
Kembali ibu dan anak itu bertengkar dengan suara keras.
„Sudahlah jangan ributdua, ia tidur dikamar sebelah, nanti kan malu,” Ciu-naynay Coba meredakan.
“Takut apa, aku toch tidak berbuat haldua yang tidak pantas, biarkan dia dengar!” teriak sigadis malah.
Ketika mereka bangun pada keesokan harinya, pelajan masuk membawa sepuCuk surat, katanya dari tamu orang she Ji yang tidur dikamar sebelah, untuk Ciu-naynay. Ketika Ciu Ki tanya dimana orang itu, pelajan menerangkan bahwa tadi pagia sekali dia sudah berangkat dengan naik kuda.
„Mengapa tak kau bangunkan kami!” bentak Ciu Ki seraja menarik leher baju sipelajan itu.
„Ji-ya itu mengatakan tak perlu, dan surat ini sebagai gantinya,” kata sipelajan.
Ciu Ki lepaskan Cekikannya, terus merebut surat itu untuk dibaCanya. Surat itu ternyata pernyataan terima kasih dari Thian Hong atas pertolongan Ciu Ki. Dan karena sudah dekat dengan kota Khay Hong, maka dia terpaksa akan berjalan dulu. Dan sekali lagi dia takkan melupakan budi kebaikan sinona.
Habis membaCa, Ciu Ki tertegun. Surat dilempar, ia terus masuk kedalam pembaringannya lagi. Ibunya suruh ia makan dan akan diajak berangkat, sinona tetap tak menghiraukan nya.
„Nona besar, kita bukan di Thiat-tan-Chung, mengapa masih bertingkah!” bujuk sang ibu. Ciu Ki tetap membisu.
„Kau salahkan dia yang sudah berangkat tanpa memberi tahukan kita, bukan?” desak sang ibu lagi.
„Dia berbuat begitu untuk kebaikanku, mengapa kuharus menyesalinya,” jawab Ciu Ki dengan aseran.
„Habis mengapa kau mengambek?” tanya ibunya.
„Semalam dia tentu mendengar pembicaraan kita, karena nya untuk menyaga nama baik kita dari Celahan orang, dia telah berangkat dulu. Aku kawin atau tidak, perduli apa dengan orang-orang luar!” teriak Ciu Ki seraja duduk diatas pembaringannya.
Sebenarnya Ciu-naynay memanyakan puterinya itu. Melihat anaknya menguCurkan air mata, kasihan juga ia. Sebagai seorang ibu, tahulah ia perasaan apa yang dikan dung puterinya itu terhadap Thian Hong. Sekalipun mulut tak mengatakan, tapi air matanya Cukup berbicara.
„Kini anakku hanya tinggal kau seorang. Aku tahu pera saanmu. Nanti sampai di Khay Hong, biarlah ayahmu yang memutuskan, tentu diapun tak berkeberatan kau bisa terang kap jodoh dengan Ji-ya itu. Jangan kuatir, serahkan saja pada ibumu ini,” demikian Ciu-naynay membisikinya. „Siapa yang minta dijodohkan dia? Apa yang kukuatir kan? Lain kali biar ada orang kelabakan mati dihadapanku, tak nanti aku sudi menolongnya!” seru Ciu Ki dengan aseran.
Kiranya malam itu dihotel sebenarnya Thian Hong tengah memeriksa suratdua yang diambilnya dari piauwsudua Tin Wan piauwkiok. Kiranya surat itu dari pemimpin Tin Wan piauwkiok, Ong Wi Yang, kepada Han Bun Tiong, dan menyuruh yang tersebut belakangan ini untuk lekas-lekas datang ke Pak khia berhubung akan ditugaskan mengantar barangdua ber harga ke Kanglam. Juga diterangkan, bahwa ada kiriman uang sepuluh laksa tail perak yang disuruh antarkan pada induk tentara pemerintah yang sedang melawat perang keperbata san barat. Barang itupun dipercayakan pada Tin Wan piauwkiok, karenanya piauwkiok harus memperkuat pengawalnya dengan beberapa orang yang berkepandaian tinggi.
Thian Hong menganggap surat itu tak begitu penting. Dan pada saat itulah tiba-tiba ia dengar lagi Ciu Ki ributdua dengan ibunya dan beberapa kali menyebut namanya. Setelah didengarnya jelas, ia merasa tak enak dihati. Karena menolong dirinya, jangandua Ciu Ki akan dibuat buah tutur orang. Maka ia ambil putusan untuk berangkat sendiri lebih dahulu.
Setibanya diperbatasan propinsi Holam, rakjat didaerah sungai Hoangho sama menderita diserang banyir. Diam-diam Thian Hong mengutuk pembesardua negeri yang hanya memen tingkan diri dan mengabaikan usahadua menolong rakjat. Dalam hatinya, ia berjanyi, bilamana gerakkan HONG HWA HWE berhasil memegang tampuk pemerintahan, tentu akan dikerahkannya usaha untuk mengurangi keganasan sungai itu.
Mengikuti tanda-tanda HONG HWA HWE dikota Khay Hong, achirnya Thian Hong berhasil mendapatkan Kawan-kawan seperjoangan ditempat kediaman Bwee Liang Bing, seorang pehdekar dan anggauta HONG HWA HWE Demikianlah malam itu tuan rumah meng adakan pesta, dimana semua (robek)
Wi Jun Hwa dan Sim (robek)
Ciok Siang Ing masih belum (robek)
surat kedaerah Hwe di Sinkiang (robek)
masih menyirepi tempat dimana Bun Tha (robek). Cio Su Kin disuruh Tan Keh Lok untuk meninyau keadaan sungai Hoangho.
Thian Hong tak mau sebutdua perihal Ciu-naynay dan Ciu Ki kepada Ciu Tiong Ing, karena dipikirnya, dalam dua hari lagi mereka sudah akan datang. Tapi ia terangkan tentang dirinya Hi Tong yang menderita luka parah dengan berkawan seorang gadis yang menyaru jadi lakidua. Katanya: „Bermula kukira kalau suso (Lou Ping), tapi ternyata suso berada disini.”
Tapi semua orang pun tak dapat menebak, siapakah nona kawan Hi Tong itu.
Pada hari kedua diwaktu pagi, Ciu Ki tampak datang ke rumah keluarga Bwe itu. Kembali orang-orang HONG HWA HWE merasa girang, terutama Ciu Tiong Ing. Setelah sama mengasoh, Ciu Ki menghampiri Thian Hong dan berkata dengan bisik-bisik: „Kemarilah, aku perlu bicara padamu!”
Thian Hong merasa bahwa nona galak itu tentu akan me maki-makinya karena berani berangkat dulu.
„Biar ia maki apa saja, aku akan tetap tak mau mem bantahnya,” demikian pikirnya.
Dengan ketetapan begitu, ia ikut sang nona menuju kebelakang.
„Ibuku tak mau ikut kemari, kau Carikanlah akal bagaimana!” pinta sigadis tiba-tiba .
Thian Hong lega tak terhingga karena orang ternyata bukan hendak mendamperatnya, maka katanya: „Mintalah supaya ayahmu suka menemuinya.”
„Ibu pun tak mau menyumpainya. Ibu marah besar pada nya,” kata Ciu Ki.
Thian Hong termenung sejenak, lalu serunya girang: „Baiklah; aku ada akal.”
Lalu ia-membisiki beberapa patahkata pada sinona, siapa segera bertanya: „Apa bisa?” (robek)
pergilah kesana dulu,” kata (robek)
pat ibunya, Thian Hong kem (robek)
sekalian saudara angkatnya. Dalam p(robek)
ekati Ciu Tiong Ing dan berkata pelan-pelan :
„Ciu-loyaCu, didekat gereja Thiat Ta Si sini katanya ada sebuah rumah minum yang kesohor dengan araknya. Karena sudah sampai disini, sebaiknya kita Cobadua buktikan.”
„Baik, aku yang menjadi tuan rumah. Ayo, sekalian saudara, kita minum kesana,” seru Tiong Ing dengan gembira.
„Dalam kota ini banyak-banyak sekali orang-orang pemerintah, kalau kita be-ramaidua pergi tentu kurang leluasa. Biarkan Cong-thocu dan aku saja yang menemani, bagaimana?” kata Thian Hong.
Begitulah setelah sama setuju, mereka bertiga menuju ke Thiat Ta Si.
Rumah minum „Siu Tiok Wan” itu ternyata memang baik sekali tempatnya. Perabotnya semua rapi bersih. Thian Hong memilih tempat yang disenanginya. Sambil minum arak dan dahar ikan, mereka asjik berCerita tentang kissah Sin Ling kongcu dijamari Cian-kok yang mengadakan perjamuan untuk melaksanakan gerakan besar.
Tan Keh Lok dengan mengelah napas berkata: „Kegagahan Sin Ling kongcu itu, kini bagaikan arak yang turun kedalam tenggorokan kita. Sekalipun wujudnya tak tampak lagi, tapi masih tetap terasa menggetarkan tubuh kita.
Karena pengaruh arak, Keh Lok tampak bersemangat se kali ketika dia menuturkan semangat Cinta negeri dari sin Ling kongcu tersebut. Setelah mengeringkan lagi beberapa Cawan maka Thian Hong mengangkat Cawannya untuk memberi selamat pada Tiong Ing yang sudah bisa berkumpul lagi dengan puterinya. Tiong Ing hanya menghela napas saja. Kata Thian Hong, “Ciu LojaCu berduka, apakah karena Thiat-tan-Chung telah terbakar musnah bukan?” “harta benda adalah barang sampiran, mengapa Thiat-tan-Chung mesti kudukakan?” sahut siorang tua. “Kalau begitu tentu terkenang akan kongcu yang telah tiada itu?” tanya Thian Hong lagi.

LANTAS Cui Ki perintahkan pelayan memindah minumannya kesitu. Kepada ayahnya ia menceritakan, bahwa karena ingin mencicipi arak terkenaI dari rumah minum itu, ia berke ras ajak mamahnya kesitu dan kebetulan duduk disebelah dari ayahnya ini. Begitulah ketiga orang itu berkumpul lagi dan minumdua de ngan gembira sekali, dalam kegembiraan, Ciu-Ki obrol omongannya, ia ceritakan bagaimana ia dapat membunuh Tong siu ho untuk balaskan sakit hati adiknya.
Thian Hong memberi isjarat supaya nona itu jangan te ruskan penuturannya, tapi agaknya Ciu Ki terlalu gembira, maka katanya pula :
„Memang dia banyak-banyak akal, sehingga piauwsudua telah dapat dibikin roboh dan kita berhasil menolong mamah dan mem binasakan orang she Tong itu.”
Segera Keh Lok dan Tiong Ing memberi selamat pada Thian Hong dengan seCawan arak.
„Memang, enghiong itu dimuliakan sejak kecil mula. Laote telah menolong isteri dan membalaskan sakit hati anakku, lohu sangat berterima kasih,” kata Tiong Ing.
„Ah, loyaCu terlalu merendah saja, ini semua adalah jasa nona Ciu,” tersipu-sipuThian Hong membalas pernyataan hormat itu.
„Tapi, eh, bagaimana jiwi bisa saling berjumpa dite ngah jalan itu.?” tanya Keh Lok tiba-tiba .
Thian Hong hanya berkemak-kemik tak dapat mengatakan jelas. Sedang Ciu Ki mengeluh dalam hati, karena dengan begitu akan terbongkarlah rahasianya selama itu dengan sianak muda. Tanpa terasa wajahnya bersemu merah dan ditundukkan kepalanya, karena kikuknya itu, tanpa disengaja dia telah menyampok jatuh sumpit dan Cawan araknya hingga berantangan ketanah, hanCur ber-keping-keping. Untuk itu, ia makin maludua.
Keadaan itu tak lolos dari pengawasan Tan Keh Lok. Dia percaya bahwa antara kedua anak muda itu tentu ada „apa-apa”nya. Diperhatikannya juga bagaimana pada setiap kali mengatakan Thian Hong, nona itu tentu menyebutnya „dia” tanpa memanggil namanya. Delapan dari sepuluh ba-gian, tahulah ketua HONG HWA HWE itu apa yang telah terjadi antara kedua anak muda itu.
Sekembalinya kerumah keluarga Bwe, Keh Lok panggil Thian Hong dan katanya : „Chit-ko, kau lihat nona Ciu itu bagaimana orangnya ?”.
Pikiran Thian Hong Cepat-cepat dapat menangkap maksud ke tuanya itu, lalu sahutnya : „Congthocu, apa yang nona itu katakan dirumah arak tadi janganlah kau uwarkan pada lain orang. Dia berhati jujur dan terus terang. Tapi janganlah hal itu sampai terdengar lain orang, karena jangandua nanti urusan bisa jadi runyam dan akibatnya kita menodai nama baik Ciu-loenghiong.”
„Akupun berpendapat bahwa nona Ciu itu perangainya baik. Bagaimana Chit-ko rasa kalau aku berlaku sebagai.. Comblangnya ?” tanya Keh Lok.
Dengar ucapan itu, meloncatlah Thian Hong seperti di sengat. „Jangan, jangan sekali-kali hal ini di-singgungdua. Orang sebagai aku, mana sembabat dijodokan padanya ?” ujarnya Cepat-cepat .
„Kau tak boleh merendah begitu, Chit-ko. Kau adalah Bu Cu Kat, 'bun-bu-siang-Cwan' (serba dapat). Namamu telah menggetarkan dunia kangouw. Juga Ciu-loenghiong me naroh perindahan padamu,” kata Keh Lok pula. Thian Hong kelihatan mendelong beberapa saat. „Bagaimana ?” Keh Lok mengulangi pertanyaannya tadi. „Kau tak mengerti, Congthocu. Ia tak ;menyukai aku,” sahut Thian Hong kemudian.
„Bagaimana kau tahu ?” tanya Keh Lok. „Mulutnya sendiri yang mengatakan begitu. Ia benCi pada adat kelakuanku yang dikatakan sangat liCin itu. Bermula memang kami selalu bertengkar selama dalam perjalanan itu,” tutur Thian Hong.
Keh Lok tertawa ter-bahakdua mendengar itu. „Tapi, kau kan mau artinya ?” ia menegas.
„Congthocu, janganlah memper-olokdua aku. Kita baiknya jangan Cari perkara,” kata Thian- Hong.
Selagi mereka tengah ber-Cakapdua begitu, datang pelajan keluarga Bwe yang mengatakan, bahwa Ciu Tiong Ing me minta supaya Tan Keh Lok suka datang kekamarnya. Dengan tertawa, Keh Lok segera tinggalkan Thian Hong. Begitu melihat ketua HONG HWA HWE ini datang, Ciu-naynay dan puterinya lantas menyingkir.
„Aku ada suatu urusan yang terpaksa membikin repot pada Tan tangkeh untuk memutuskahnya,” demikian Tiong Ing mulai membuka omongari setelah menyilahkan Tan Keh
„Jadi aku supaya masuk keluarga she Ciu?” tanya Thian Hong.
„Bukan, hanya apabila kelak kau mendapat putera, maka yang pertama harus memakai she Ciu, yang kedua dan se lanyutnya barulah pakai she Ji. Orang kuno mengatakan, bahwa tidak punya turunan itu, adalah berdosa. Dengan demikian .bukankah kita membalas budi Ciu loenghiong?” kata Keh Lok.
Merasa berhutang budi pada sinona, Thian Hong suka meluluskannya Keh Lok lalu mengajaknya kekamar Tiong Ing, disini Tan Keh Lok minta bicara sendiri dengan Ciu-naynay dan menyampaikan hal itu. Ciu-naynay sangat girang, sedang Tiong Ingpun wajahnya berseri-seri sambil meng haturkan terima kasih kepada ketua HONG HWA HWE itu.
Thian Hong berlutut untuk menyalankan peradatan, tapi Tiong Ing Buru-buru mengangkatnya bangun, katanya: „Kita ber kelana selalu, tak membawa barang pertanda apa-apa, sebagai gantinya kuturunkan saja ilmu Thiat-tan-hoat itu padamu, kau rasa bagaimana Ji-ya?”
“Ai, kau ini benardua sudah pikun, mengapa masih menyebutnya Ji-ya?” tegor isterinya.
Tiong Ing hanya balas tertawa.
Thian Hong sama sekali tak bermimpi kalau pada hari itu dia mendapat keberuntungan yang ber-limpahdua begjhu. Dia mendapat seorang isteri yang Cantik, dan mendapat warisan dari ilmu senjata yang begitu kesohor. Buru-buru dia berlutut menghaturkan terima kasih. Dan sejak itu mereka saling membahasakan anak da ayah.
Setelah warta itu sampai kepada semua orang, mereka ber-bondongdua menghaturkan selamat. Malamnya, Bwe Liang Bing mengadakan pesta besar untuk merajakannya. Tapi Ciu Ki bersembunyi, sekalipun Lou Ping memaksanya, tetapi sinona tak mau keluar dalam perjamuan.
Tengah mereka bergembira ria minum arak, tiba-tiba Ciok Siang Ing munCul.
„Congthocu, suratmu telah diterima dan inilah balasan dari Bok To Lun loenghiong.” demikian lapornya.
Selagi Keh Lok menyilahkan Siang Ing untuk minum arak, tiba-tiba Cio Su Kinpun datang dengan berteriak: „Sungai Hoangho bobol !”
Mendengar itu semua orang sama menanyakan.
„Dari Beng Cin sampai ke Tong Wat Shia, ada tujuh atau delapan tempat yang bobol. Di beberapa tempat, air telah membenam jalan,” Su Kin menerangkan.
Semua yang mendengarnya, sama berduka. Apalagi Siang-si Siang-hiap belum datang, dan entah bagaimana nasibnya Bun Thay Lay.
„Saudara-saudara,” kata Keh Lok kemudian, „karena sudah be-berapa hart Siang-si Siang-hiap tak datang, kurasa ada apa-apa dalani perjalanan. Harap saudara-saudara mengemukakan usul bagaimana baiknya?”
„Kita tak boleh hanya terus menunggu disini saja. Lebih baik kita menyusul ke Pakkhia. Sekalipun suko ditutup di penyara ujung langit, kitapun juga akan menolongnya,” seru' Ciang Bongkok tak sabar.
Suara itu ditundyang oleh Wi Jun Hwa, Nyoo Seng Hiap dan Cio Su Kin. Sementara sehabis berunding dengan Ciu Tiong Ing, Bu Tim, Tio Pan San, berkatafah Tan Keh Lok: „Ja, urusan tak boleh dibiarkan ber-larutdua. Ayo kita lekas-lekas berangkat !”
Setelah menghaturkan terima kasih atas penyambutan tuan rumah, Keh Lok pimpin rombongannya meninggalkan tempat itu.
Ditengah jalan baru Keh Lok mengeluarkan dan mem baCa surat Bok To Lun. Surat itu menyatakan terima kasih atas bantuan HONG HWA HWE dan juga persiapannya untuk meng hadapi serbuan dari tentara pemerintah. Tapi karena kalah jumlahnya maka telah menderita kekalahan. Sekalipun begitu, dia tak mau menyerah pada Ceng Tiauw.
„Bok To Lun loenghiong masih memesan apa lagi?” tanya Keh Lok.
„Dia menanyakan apakah Bun-suko telah tertolong? Ia ikut berduka ketika mengetahui usaha kita gagal,” jawab Siang Ing.
Tan Keh Lok hanya mengelah napas.
„Rakjat mereka sangat akrab sekali dengan kita. Ketika mendengar aku adalah utusan Congthocu, mereka menyam butnya dengan meriah sekali,” demikian Siang Ing lanyutkan Ceritanya.
Semasa kecilnya, Ciok Siang Ing ini pernah menjadi penggembala sapi dari seorang tuan tanah. Karena sapinya berkelahi dan terluka parah, ketika pulang dia telah dipukuli oleh majikannya begitu rupa, sehingga sampai sekarang pada mukanya masih terlihat tanda-tanda Codet dikulitduanya yang menonyol disana sini.
„Apakah kau bertemu dengan keluarga Bok To Lun Loeng hiong?” tanya pula Keh Lok.
„Aku_ bertemu dengan isteri, dan kedua puterinya. Puterinya yang sulung sudah pernah bertemu dengan Congthocu, dia menanyakan kesehatanmu, tho-Cu,” kata Siang Ing.
„Selain itu, apa katanya lagi?” tanya Keh Lok. Setelah mengingat sebentar, Siang Ing berkata: „Sewaktu aku akan pergi ia agaknya akan memesan apa-apa, tapi tdak jadi.”
Keh Lok termenung sejenak lalu dikeluarkannya pedang mustika pemberian dari Ceng Tong, serta dibuatnya ber main-main . Tangkai pedang itu dilibat dengan benang emas, terang suatu mustika dari ratusan tahun usianya. Menurut nona itu, katanya pedang itu menggenggam suatu rahasia besar yang selama ini belum terpeCahkan. Beberapa kali Keh Lok membolak-balikkannya, tapi tak nampak ada tanda-tanda yang luar biasa.
Setelah semalam lewat, sampailah rombongan HONG HWA HWE itu pada salah satu tempat sungai Hoangho yang bobol itu. Di situ air mendahsyat, mengalir kemanadua. Dataran luas yang yang terdapat disekitar sungai telah menjadi sebuah rawa besar. Sawah ladang penduduk sudah tergenang semua. Pe miliknya sama mengungsi ketanahdua pegunungan agak tinggi. Tapi ada beberapa lagi yang tak keburu lari, dan terpaksa berada diatas rumahnya. Karena tak membekal apa-apa mereka sama berteriakdua memilukan hati. Malah disana sini tampak ada beberapa majat mengambang.
Rombongan orang HONG HWA HWE terpaksa ambil jalan memutar dan terus berjalan kesebelah timur. Dan malam itu, mere ka mengasoh diatas pegunungan. Keesokan harinya, mereka meneruskan perjalanan dan tiba dikota Toliangsay. Disi nipun keadaan sangat mengenaskan. Hampir seluruh kota telah tergenang air banyir.
Nampak hal itu, Ciu Ki tak tertahan lagi hatinya. Dia, keprak kudanya untuk menyusul Thian Horig, katanya : „Kau banyak-banyak akal, Ayo gunakanlah itu untuk menolong ra hajat yang tengah menderita itu.”
Sejak bertunangan dengan Ciu Ki, Thiang Hong selalu menyauhkan diri. Maksudnya agar jangan sampai bentrok lagi: Sudah dua hari ini, dia tak bicara dengan sinona. Dan kini sekali bicara, sinona telah ajukan soal yang berat ba ginya.
„Ucapanmu itu raemang tepat, tapi karena pengungsi se demikian banyak-banyaknya, apa daya kita,” jawab Thian Hong.
„Kalau aku punya daya, tak nanti perlu tanya padamu,” kata sigadis.
„Baiklah, nanti akan kuminta pada semua saudara, jangan menyebut aku sebagai 'Bu Cu Kat' lagi, agar kau tak selalu menCemoh padaku.”
„Bilakah aku menCemooh kau ? Baiklah, aku telah salah omong, selanyutnya biar aku tidak buka suara saja,” de mikian Ciu Ki mengambek.
Habis menyemprot begitu, sinona jebikan bibirnya, tak mau berkata lagi.
„Ha, adik Ki, kita kan orang sendiri, tak boleh berCek Cok,” bujuk si anak muda.
Namun Ciu Ki tak mengacuhkannya.
„Ja, sudahlah, aku yang salah. Kau maafkanlah, dan Ayo, tertawalah!” menggoda Thina Hong.
Ciu Ki melengos.
„Ha, kau tak mau tertawa ? Oh, jadi begitulah gajanya seorang nona temanten baru yang masih maludua,” goda Thian Hong lagi.
Karena itu, tertawalah sinona, setelah tak kuasa menahan gelinya hati.
„Kalau kau tetap ugalduaan, awas kuhajar dengan ini,” kata Ciu Ki seraja mengangkat Cambuknya.
Lou Ping yang menyaksikan itu, menjadi sedih dan ter kenang akan suaminya. Dekat fajar, rombongan itu sampai di Ciao-tho-ing, sebuah kota besar disepanyang sungai Hoangho. Disitupun banyak-banyak sekali pengungsidua yang datang dari udik.
Lou Ping tukarkan emasnya dengan uang perak, lalu di belikan makanan. Pengungsidua itu sama mengerumuninya, dan sebentar saja habislah makanan itu di-bagiduakan.
Pada ketika rombongan HONG HWA HWE itu berangkat, banyak-banyaklah kaum pengungsi yang tampak mengikuti dibelakangnya. Mereka berharap dapat diberi makanan lagi. Tapi karena tak membawa bekal Cukup, maka terpaksalah orang-orang HONG HWA HWE itu anyurkan mereka supaya balik kekota saja. Kira-kira 4 atau 5 li berjalan, tiba-tiba Keh Lok memerintahkan supaya berhenti sebentar, katanya : „Tujuan HONG HWA HWE adalah menolong rakjat. Bahwa kini kita menghadapi sekean ba nyak rakjat yang tengah menderita, sekalipun kita masih punya urusan penting, tapi biar bagaimana tak dapatlah pe rasaan hati kita hanya mengawasi mereka mati kelaparan. Nah, bagaimanakah pendapat saudara-saudara sekalian 1”
„Siaote telah memikirkannya, kiranya hanya ada suatu jalan,” tiba-tiba Thian Hong berseru.
Mendengar itu, timbullah harapan pada semua aggauta rombongan. Buru-buru mereka menanya akal apa dari si “Khong Beng” itu.
„Merampas milik pembesar negeri dan memaksa yang berharta,” sahut Thiang Hong dengan tegas, singkat.
„Tepat,” seru Keh Lok. „Disebelah muka adalah kota Lan Hong. Daerah itu terkenal subur, jadi tentunya gudang negeri banyak-banyak ransumnya. Juga kaum hartawan tentu tak sedikit jumlahnya. Kita kerjakan renCana itu disana.”
Ketika dalam perjalanan, Ciu Ki unyuk senyuman pa da Thian Hong, maksudnya memuji buah pikiran tunangan nya itu.
Disepanyang jalan yang mereka lalui, tampak pengungsidua masih ber-dujundua tak putusnya. Anakdua kecil me-rengekdua minta makan. Tiba-tiba dari arah depan sana tampak ada se orang penunggang kuda tengah melarikan kudanya kemari. Jalan disitu sangatlah sempitnya, tapi penunggang kuda itu seperti tak menghiraukan, terus menerdyang saja, sehing ga seorang perempuan yang menggendong anak telah ke terdyang dan terlempar kedalam air. Namun penunggang kuda itu tetap tak mengacuhkan.
Melihat itu marahlah orange HONG HWA HWE Pertama adalah Wi Jun Hwa yang loncat memburu, dia ulur tangannya kiri untuk sawut sebelah kaki orang itu, lalu ditariknya turun terus ditempeleng muka orang.
„Aduh !” orang itu menyerit muntah darah, karena tiga biji giginya rontok.
Orang itu dandanannya seperti pembesar militer, setelah bangun dia segera memaki : „Kawanan berandal, tunggu setelah tugasku selesai, tentu kubikin perhitungan padamu.”
Habis memaki, dia naik kudanya lagi, tapi Ciang Bong kok Cepat-cepat menCegatnya.
„Urusan apa sih begitu ter-Buru-buru , kau tunggu dulu disini !” demikian bentaknya sambil menyeretnya turun pula.
Keh Lok pun perintah si Bongkok geledah badan orang itu. Ciang Bongkok berhasil menemukan sepuCuk surat, lalu di serahkan pada ketuanya. Melihat surat itu ditutup dengan bulu ajam, tahulah Tan Keh Lok bahwa itulah surat penting yang harus dikirim dengan segera. Pada sampulnya tertulis alamat sipenerima „Ceng-Se-Tay-Ciang-kun.”
Ketika melihat Tan Keh Lok merobek sampul surat untuk dibaCa, puCatlah wajah orang itu, ia bertereak keras-keras, „Itu surat militer penting, apa kau tak takut dipanggal ke palamu ? !”
„Yang dipanggal nanti, tentunya kepalamu !” seru Sim Hi dengan tertawa.
Dalam surat itu ternyata berisi laporan dari Sun Khik Thong Congpeng yang bertugas mengurus ransum yang me laporkan kepada tayCiangkun Yauw Hwi bahwa ransum untuk tentara yang akan menindas pemberontakan rakjat Hwe sudah tiba dikota Lan Hong. Tapi karena sungai Hoangho meluap, terpaksa tertunda pengirimannya sampai beberapa hari dan lain-lain.
„Surat ini penting, tapi sayang tak ada sangkutannya dengan urusan Bun-suko,” kata Keh Lok seraja menyerahkan surat pada Thian Hong.
Sebaliknya Thian Hong unyuk kegirangan bila sudah membaCa.
„Congthocu, inilah rejeki besar yang datang pada kita,” demikian katania. „Sekali tepuk kita dapat dua lalat. Per tama secara tak langsung kita seperti bantu Bok-loeng-hiong, dan secara langsung kita dapat meringankan rakjat yang menderita kebanyiran ini.”
Habis berkata begitu, Thian Hong turun dari kudanya, menghampiri siperwira tadi. Dihadapan orang ia robekdua surat itu, lalu berkata dengan tertawa : „Baik kau menuju kepada Yauw Hwi atau balik pulang ke Lan Hong, sama sajalah Celakanya. Kehilangan surat penting, berarti pang-gal kepala hukumannya. Kalau masih sayang jiwamu, kau baik melarikan diri saja.”
Perwira itu marah terCampur takut. Sampai beberapa saat dia tak dapat mengucap apa-apa. Achirnya di-pikirdua omongan Thian Hong itu memang tepat, apa boleh buat dilepasnya pakaiannya dinas, terus menggabung pada barisan pengungsi.
„Merampas ransum untuk tolong rakjat sengsara, me mang tepat. Tapi digudang ransum tentunya dijaga kuat. Kita berjumlah sedikit, harap Chit-ko atur daya bagaimana bisa berhasil,” kata ketua HONG HWA HWE yang telah mengerti mak sud Thian Hong.
Thian Hong membisiki. beberapa patah kata dan tampak ketua itu menjadi girang, dan me-mujidua. Segera ia atur orang-nya :
Ciu Tiong Ing dengan memimpin Ciu-naynay, Ciu Ki dan Thian Hong masuk dari pintu kota Lan Hong yang se belah barat. Begitu ada pertandaan api, harus lekas serang penyaga pintu situ dan masukkan rombongan pengungsi ;
Bu Tim mengepalai Seng Hiap, Ciang Bongkok dan Su Kin masuk dari pintu utara. Tio Pan San, Jun Hwa, Lou Ping, Siang Ing dari pintu selatan. Sedang Tan Keh Lok bersama Kian Hiong, Kian Kong dan Sim Hi akan menuju kepusat kota untuk melepas pertandaan api.
Mereka akan menyaru sebagai pengungsi, dan kepada rombongan pengungsi itu supaya disebarkan berita bahwa besok siang didalam kota akan diadakan pembagian ransum. Tiap orang dapat uang satu tail perak dan gandum segan-tang.
Mendengar kabar itu, besok paginya, rombongan pengungsi yang banyak-banyak sekali jumlahnya itu segera menyemut masuk kedalam kota Lam Hong. Pembesar distrik itu ber nama Ong Pek To, melihat gelagat yang luar biasa itu, ia titahkan seorang hamba negeri untuk menahan beberapa pengungsi dan ditanyainya. Mereka menyawab akan mene rima pembagian bantuan uang dan ransum yang katanya akan diadakan sebentar sore.
Ong Pek To Buru-buru suruh menutup pintu kota. Tapi rombongan pengungsi yang sudah masuk tampak ber-kelompokdua dari empat jurusan, bagaikan segumpal besar mega hitam dilangit. Hamba negeri ber-tereakdua bahwa tidak ada pembagian apa-apa, tapi mereka tak mau percaya. Karena bingungnya, Ong Pek To lari menemui Congpeng Sun Khik Thong yang berkemah digereja Ciok Hud Si, agar suka perintahkan 500 serdadu guna mengatasi keka Cauan itu.
Siapa tahu Sun Khik Thong telah berkata „SiaoCiang hanya ditugaskan untuk mengantarkan ransum pada jenderal Yauw Hwi yang kini berada diperbatasan barat. Kalau sampai ransum itu hilang, berat sekali hukumannya, karena itu maaf, siaoCiang tak dapat penuhi permintaan Ong-taijin disini.”
Sampai tiga kali Pek To meminta, tapi Khik Thong tetap menolaknya. Ketika berjalan pulang, ditengah jalan ada beberapa pengungsi yang mulai ber-tereakdua, melihat itu sa lah seorang bawahannya, Pang San Jong mengusulkan agar Pek To suka menyogok Congpeng itu, karena keadaan ternyata genting benardua.
Setibanya dikantor, benar juga Pek To suruh San Jong antar sepuluh00 tail perak pada Congpeng Khih Thong.
Menyelang malam digedung tempat kepala daerah, pen jara dan beberapa rumah pedagang yang kaja, telah terbit kebakaran. Buru-buru Pek To atur orang-orang nya untuk memadam kan, tapi tiba-tiba datanglah seorang hamba negeri dengan ter gesadua melapor : „Taijin, Celaka ! Pintu barat telah dibo bol oleh pengungsi, dan mereka sudah menyerbu masuk.”
Ong Pek To mengeluh, tubuhnya gemetar. Dia Cepat-cepat min ta disediakan pasukan berkuda. Dengan beberapa penyaga, Pek To menuju kepintu barat. Tapi ditengah jalan mereka telah dihadang oleh rombongan pengungsi.
„Mari kita pergi kesebelah timur, digereja Ciok Hud Si sana diadakan pembagian uang dan ransum,” demikian ter dengar beberapa pengungsi ber-tereakdua.
Atas seruan itu, bagaikan air mengalir, rombongan pengungsi itu ber-bondongdua menuju kesana.
„Bangsat yang berani menyiarkan kabar bohong, Ayo tangkap mereka !” seru Pek To dengan gusarnya.
Segera dua orang opas dengan membolang-balingkan ran tai besi, menghampiri kearah seorang pengungsi bertubuh tinggi kurus yang berjalan dimuka sendiri. Tapi dengan tangkasnya, orang itu telah dapat merebut rantai siopas. Malah salah seorang opas telah disabetnya hingga patah punggungnya.
„Kita mau makan, apa salahnya !” seru orang itu.
Melihat gelagat jelek, Pek To putar kudanya menuju kepintu selatan. Disitupun rombongan pengungsi sudah me nyerbu masuk.
„Taijin, mereka sudah nekad seperti singa kelaparan, lebih baik kita berlindung dimarkas Sun-Congpeng sana,” San Jong memberi usul.
Pek Tok setuju, terus larikan kudanya menuju kesana. Tapi ditengah jalan dia berpapasan dengan rombongan ba risan patrolie yang lari tunggang langgang. Ternyata mereka diburu oleh seorang Tojin yang menghunus pedang, seorang gemuk yang bersenjata thiat-pian, seorang bongkok yang membawa sepasang kapak dan seorang tinggi besar yang menganCungkan thiat-Ciang. Asal ada serdadu yang agak berajal, tentu dihajarnya.
Achirnya sampai juga Pek To digereja Ciok Hud Si. Oleh barisan penyaga dia segera diberi jalan masuk. Di luar gereja itu, kaum pengungsi sudah berbaris dengan rapat-rapat.
„Uang dan ransum yang disediakan untuk menolong rakjat, telah digasak oleh pembesardua sendiri, Ayo lekas bagikan uang dan ransum!” demikian terdengar suara tereakan di luar. Pengungsidua itupun ber-tereakdua dengan gemparnya.
Ong Pek To gemetar badannya. Tapi sebagai seorang mili ter Sun Khik Thong lebih tabah, dengan sebuah tangga, dia naik keatas tembok seraja bertereak nyaring:
„Saudara-saudara sekalian, harap lekas pergi dari sini. Jangan percaya pada kabar bohong itu. Kalau tak mau pergi, nanti kusuruh serdadu lepaskan panah!”
Betul juga barisan pemanah sudah siap diatas tembok gereja itu. Ketika rombongan pengungsi itu masih tetap hi ruk pikuk, Khik Thong segera titahkan lepaskan panah.
Berbareng dengan melunCurnya hujan panah, seketika itu ada sepuluh orang lebih yang roboh. Melihat itu, pengungsidua sama lari berserabutan. Keadaan menjadi kaCau sekali. In jak menginyak, disusul dengan jeritan orang-orang perempu andua dan anakdua kecil terdengar disana sini.
Melihat itu Sun Khik Thong tertawa terbahakdua. Tapi belum lagi dia menutup mulutnya, diantara pengungsi itu ada salah seorang yang menyabitkan batu. Khik Thong miringkan tu buh. Yang sebuah dapat dia kelit, tapi yang sebuah lagi tepat mengenai pelipisnya. Darah menguCur dan rasanya sakit bu kan buatan.
„Lepas panah!” seru Congpeng itu dengan gusarnya.
Kernbali hujan panah berseliweran, dan kembali ada be lasan rajat yang roboh. Dalam suasana yang gaduh itu, tiba-tiba ada dua orang yang berperawakan tinggi kurus enyot tubuh nya keatas tembok. Entah apa yang dilakukannya, tahu-tahu ada tiga atau 4 orang pemanah telah terlempar kebawah. Begitu mereka jatuh, segera rakjat yang marah itu menghujani nya pukulan. Bahkan kaum perempuannya telah ikutduaan men-Cakar dan menggigitnya.
Kiranya orang-orang HONG HWA HWE sudah berCampur dengan rombongan pengungsi. Memang direnCanakan oleh Thian Hong, agar terjadi provokasi, sehingga rakjat betul-betul menjadi marah. Dan ketika itulah baru diserbunya gereja itu.
Yang loncat 'keatas tembok tadi, ialah kedua saudara Siang, oleh karena kedua orang tersebut sudah tak dapat menahan amarahnya lagi. Juga Lou Ping dengan memutar siangtonya, ikut loncat keatas. Begitu dekat dengan Siang He Ci, ia berkata: „Ngo-ko, sudahkah kau bertemu dengan suko? Bagaimana ia?”
„He, kau juga datang suso? Kita sudah menemukan suko, jangan kuatir!” seru He Ci dengan terkejut girang.
Mendengar itu, timbullah semangat Lou Ping. Tapi jus teru keliwat girang, ia merasa lemas, lalu loncat keluar tembok untuk menenangkan hatinya.
Ketika itu Wi Jun Hwa, Seng Hiap, Ciu Ki dan Kian Hiong pun sudah loncat keatas tembok untuk menghantam penyaga pintu. Begitu mendobrak, Cio Su Kin dan Kian Hiong melambaikan tangannya pada rombongan pengungsi, menyuruh mereka masuk.
Bagaikan gelombang air, pengungsidua itu menyerbu kedalam gereja. Semula serdadudua disitu masih berusaha menghalangi, tapi arus manusia telah mendampar mereka dalam desak-desuk yang kaCau sekali. Apalagi setelah diantara rombongan pengungsi itu terdapat beberapa orang yang lihai bugenya, beberapa perwira mereka telah kena dibinasakan. Sekalipun begitu, dengan mengandel pada jumlah orang dan senjata, serdadudua itu masih tetap bertahan, sehingga rakjat pengung sipun tak berani terlalu merangsek.
Sun Khik Thong yang memimpin perlawanan dengan mem bolang-balingkan golok besarnya, tiba-tiba merasa ada angin menyambar disebelah telinganya. Tahu-tahu punggungnya kese mutan, dan goloknya terpental jatuh. Malah pada lain saat dia telah ditelikung orang, serta rasakan tengkuknya ada suatu benda dingin yang menindih.
„Lekas perintahkan supaya serdadumu lemparkan senjata nya, dan suruh keluar dari gereja ini!” tiba-tiba orang itu menghardiknya dari belakang.
Ketika Congpeng itu agak ajal, lehernya segera terasa sakit nyeri. Kiranya tengkuk lehernya itu tadi dipalang dengan mata sebuah golok. Waktu orang itu menggerakkan goloknya, maka tengkuk Congpeng tersebut terkupas kulitnya. Sampai disitu barulah dia insyap dan Buru-buru meneriaki anak buahnya.
Kawanan serdadu ketika menampak pemimpinnya telah dibekuk musuh sampai tak dapat berkutik oleh seorang pe muda berpakaian putih, Buru-buru mereka menurut perintahnya, lempar senjata dan mundur keluar gereja. Riuh rendah kaum pengungsi ber-sorakdua kegirangan.
Setelah menangkap Sun Khik. Thong, Tan Keh Lok loncat turun terus menuju keruangan besar. Diruangan itu penuh dengan berkarungdua bahan makanan, dan disebelah dalam ruangan tersebut tampak beberapa gerobak perak.
Ketika Ciok Siang Ing menyeret sipembesar Ong Pek To kehadapan Tan Keh Lok, maka menegorlah pemimpin HONG HWA HWE itu. „Pembesar jahat, jawablah pertanyaanku dengan jujur !”
„Silahkan tay-ong bertanya,” jawab Ong Pek To dengan menggigil.
„Aha, kau kira aku ini mirip kepala rampok?” seru Tan Keh Lok tertawa.
„Ah, memang aku harus menerima hukuman, karena ke salahan omong. Siapakah nama kongcu yang mulia itu?” tanya Pek To lagi.
Keh Lok tersenyum simpul, tak mau menyawab, bahkan bertanya: „Adakah kau ini seorang terpelajar ?”
„Ah, jangan demikian kongcu menyanyungku,” sahut pembesar itu.
„Apanya yang disanyung? Karena kau seorang Cinsu (gelar ujian jaman feodal), tentunya berkepandaian luas dalam ilmu sastera. Akan kuajukan sebuah sajak, kau bikinlah timpalannya,” kata pemimpin HONG HWA HWE seraja berhenti sejenak untuk berkipasdua, kemudian katanya pula dengan tertawa: „Jika dapat kau menimpali dengan tepat, kau boleh bebas. Tapi kalau tidak bisa, hm, kami tak sungkandua lagi padamu.”
Kaum pengungsi yang diberitahu oleh orang-orang HONG HWA HWE, bahwa sebentar lagi akan dimulai pembagian ransum, semua bisa berlaku tenang. Dan ketika mendengar tihu (residen) telah ditangkap serta akan diuji kepandaiannya oleh ketua HONG HWA HWE, dengan penuh keheranan, mereka seperti berbaris merupakan lingkaran besar yang mengelilingi ruangan itu.
Ber-ketesdua butir peluh membasahi kepala Ong Pek To.
„Sajak kongcu itu tentu terlalu sukar. Aku……. aku tak dapat menimpali,” demikian sahutnya kemudian dengan tak lancar.
„Baik, kalau menimpal susahpun tak mengapa. Coba jawab, manakah yang lebih mudah: jernihnya air sungai Hoangho, atau jernihnya perbuatan pembesardua korup?” tanya Keh Lok pula.
Mendadak terbukalah pikiran Ong Pek To, jawabnya Cepat-cepat : „Kukira begitu sepakterdyang pembesardua telah 'jer nih', sungai Hoangho purj akan dapat jernih.”
„Bagus,” seru Keh Lok tertawa lebardua. „Nah, kaupun dapat menyawab dengan tepat. Sekarang panggil pengawalmu, suruh mem-bagiduakan ransum dan uang ini pada rakjat yang menderita kebanyiran. Hai, Congpeng, saudarapun harus membantunya.”
Sun Khik Thong dan Ong Pek To berada dalam kedudukan sulit. Menghilangkan ransum dan uang negeri, panggal kepala adalah hukumannya. Apalagi merekalah yang mem bagiduakan sendiri pada rakjat. Tapi membantah akan kehi-
langan jiwa juga artinya. Dalam keadaan itu, mereka berdua tak punya lain pilihan lagi. Dikerahkan anak buah tentara dan pegawaidua kantor tihu untuk membagiskan ransum dan uang itu.
Sebaliknya kaum pengungsi sama bersuka ria. Disatu fihak menghaturkan terima kasih pada orang-orang HONG HWA HWE, dilain fihak mereka mengejek pada kedua pembesar itu.
„Saudara-saudara sekalian, ingatlah!” kata Keh Lok kemudian kepada rombongan pengungsi itu. „Apabila kelak ada utusan pemerintah datang melakukan, peperiksaan, katakanlah bahwa pembagian ini dilakukan sendiri oleh tihu dan Cong- peng taijin berdua !”
Begitulah dengan diawasi oleh jago-jago HONG HWA HWE, pembagian itu telah dilakukan dengan beres, dan bam selesai sampai tengah malam. Lalu berserulah Thian Hong kepada rombongan rakjat itu : „Saudara-saudara bawalah senjata-nyata serdadu itu kerumah. Kalau pembesar ini mengerti selatan, nah, tidak jadi soal. Tapi andaikata, sepergi kami dari sini, dan mereka paksa kalian untuk mengembalikan ransum dan uang itu, maka kalian boleh lawan mereka !”
Rakjat pengungsi itu sama menurut perintah itu dengan baik.
„Urusan kini sudah selesai, Ayo koko sekalian kita be rangkat !” seru Keh Lok kemudian, sembari menarik Sun Khik Thong untuk diajak keluar gereja.
Dengan diantar oleh semua pengungsi, rombongan HONG HWA HWE larikan kudanya keluar kota. Kira-kira beberapa li diluar kota, Keh Lok dorong siCongpeng dari kudanya dan katanya : „Maaf, Congpeng taijin, kita bertemu lagi dilain waktu !”
Dengan mengepulnya debu dijalan, sekejab pula lenyap lah rombongan kuda jago-jago HONG HWA HWE itu dari pemandangan.
„Adakah jiwi telah memperoleh jejak Bun-suko ?” ta nya Keh Lok kemudian pada Siang-si Siang-hiap ditengah perjalanan.
„Disebelah muka sana kita menemukan pertandaan dari sipsute yang mengatakan bahwa suko telah dibawa ke Hang-Ciu,” jawab Siang He Ci.
„Ke HangCiu ? Mengapa tidak ke Pakkhia ? Bukankah Hongte (Kian Liong) yang akan memeriksanya sendiri ?” ta nya Keh Lok dengan terkejut.
„Kami sendiripun heran juga. Tapi selama ini sipsute be kerja selalu Cermat, tentu dia sudah mempunyai kepastian akan hal itu”, kata Pek Ci.
Segera Keh Lok ajak orang-orang nya mengasoh sebentar, untuk berunding.
„Kalau suko berada di HangCiu, kita harus menuju ke Kanglam untuk menolongnya,” demikian katanya. „HangCiu adalah daerah pengaruh kita, rasanya disitu pengaruh peme rintah Ceng tak sebesar di Pakkhia, jadi mudahlah kita turun tangan. Tapi untuk mendapat kepastian, kita harus minta salah seorang saudara disini pergi menyelidiki ke Pakkhia.”
Usui itu disetujui semua orang.
„Kalau begitu, harap Cap-ji-long suka pergi sekali lagi?” kata Keh Tok melirik pada Ciok Siang Ing.
Cap-ji-long, atau orang ke duabelas dari HONG HWA HWE ini, mengiakan dan segera berangkat keutara. Sedang yang lain-lain mengikuti Tan Keh Lok menuju keselatan.
Ketika ditanya tentang diri Ie Hi Tong, kedua saudara Siang itu menyahut tak mengerti. Karena mereka hanya melihat tanda-tanda yang ditinggalkan oleh anak muda itu saja, dan ketika sampai dikota Lan Hong mereka berpapasan dengan rombongan pengungsi yang menuju kegereja Thiat-ta-si. Karena ingin mengetahul peristiwa ramaidua apa yang akan terjadi dalam gereja tersebut., maka mereka berdua lalu ikut melihat kegereja itu. Justeru ketika itu, barisan pe manah sedang menghujani panah kepada rombongan pengungsi. Karena mendongkol, maka kedua saudara Siang itu loncat keatas tembok untuk melabrak serdadudua yang kejam itu. Sama sekali tak diketahuinya bahwa saudara-saudara-nya dari HONG HWA HWE pun berada diantara rombongan pengungsi itu.
„Dengan tak dapat kiriman ransum, fihak enCi Ceng Tong tentu mudah memperoleh kemenangan,” kata Ciu Ki.
„Gadis itu ilmu pedangnya lihai sekali, orangnya berbudi, maka sudah selajaknya kita bantu,” kata Bu Tim dengan tertawa.
Besoknya mereka sudah tiba dikota Chi-Cfu. Congtaubak (pemimpin) HONG HWA HWE didaerah situ, Thia Ti, belum pernah bertemu dengan pemimpinnya. Menurut peraturan partai, dia harus membuat kunyungan pada sang ketua.
Tapi belum sampai dia melaksanakan maksudnya, tibas rombongan HONG HWA HWE sudah datang kerumahnya, keruan saja dia menjadi sibuk sekali. Pemimpin orang gagah dari dae rah Kangpak, jakni Nyo Seng Hiap yang kini menjadi salah seorang hiangCu (anggota pimpinan) dari HONG HWA HWE segera memberitahukan pada orang she Thia itu bahwa kedatangan pemimpin HONG HWA HWE disitu supaya dirahasiakan, jago-jago Hong Hwa Hwe itupun tak mau menginap dirumahnya Thia Ti, dan keesokan harinya sudah berangkat lagi.
Beberapa hari kmudian sampailah Keh Lok dan rombo ngannya di HangCiu. Dikota itu mereka menginap dirumah Ma Sian Kun, seorang Cong-tauwbak (pemimpin daerah) yang tinggal dikaki bukit Kusan di daerah telaga Se-ouw. Pemandangan alam disitu indah sekali.
Ma Sian Kun, adalah seorang saudagar sutera dari HangCiu. Dia mempunyai dua buah paberik sutera. Karena gemar ilmu silat, dia berkenalan dengan Wi Jun Hwa, dan turut masuk dalam HONG HWA HWE Orang she Ma yang sudah berumur 50 tahun itu, mengenakan baju dari kain sutera yang bagus, sepintas pandang dia itu seorang hartawan nampaknya, jauh dari dugaan orang bahwa ia itu sebenarnya seorang gagah yang tangannya selalu terbuka untuk menolong orang.
Setelah diberitahukan maksud kedatangan pimpinan HONG HWA HWE kesitu, Ma Sian Kun segera menyuruh puteranya yang sulung, Tay Thing, menitahkan orang menyelidiki kerumah penyara.
Besok siangnya, Ma Tay Thing kembali melapor, bahwa orang-orang nya yang disuruh menyirepi kabar ketiapdua pumah penyara diseluruh HangCiu tersebut, mengatakan tak dapat menemukan Bun Thay Lay.
„Dalam kantordua- propinsi, karesidenan, distrik dan setiap tangsi tentara, semua ada orang-orang kita. Jadi andaikata Bun-sutangkeh berada didaerah sini, tentu dapat kami ketahui. Yang dikuatirkan, kalau Bun-sutangkeh dltahan dirumah salah seorang pembesar, hal itu memang sukar diselidiki,” demikian kata Ma Sian Kun.
„Tindakan kita pertama jalah untuk mengetahui tempat penahanan Bun-suko itu, maka kuharap Ma-toako suka terus titahkan orang-orang mu membuat penyelidikan. Dan malam ini, harap to-tiang. Nyo-patko, Wi-kiuko pergi menyelidiki kege dung pembesar negeri setempat, tapi jangan bikin ributdua dulu, agar mereka tak keburu mengadakan penyagaan keras,” demikian kata Keh Lok.
Bu Tim mengiakan dan Ma Sian Kun lantas menCeritakan nya tentang keadaan kantor pembesar disitu. Tengah malam ketiga orang itu segera berangkat, dan selang dua jam kemudian, mereka datang dan melaporkan bahwa penyagaan dikantor ^pembesar sangat kuat sekali. Tidak kurang dari seribu serdadu dikerahkan untuk menyaga. Perondanya ter diri dari beberapa perwira tingkat tengahan. Karenanya, mereka tak berani lakukan penyelidikan.
Atas keterangan itu, rombongan HONG HWA HWE sama heran.
„Dalam beberapa hari ini memang di HangCiu sini telah dilakukan penggeledahan keras. Rumahdua, tempatdua perjudian atau pelesiran sampaipun perahudua yang berlabuh disungai, telah diperiksa dengan bengis. Sehingga ada beberapa orang -karena. diCurigai saja, terus ditahan. Entah apakah hubung annya dengan Bun-sutangkeh,” menerangkan Ma Sian Kun.
„Mungkin tidak dan hanya karena tempat ini mendapat kunyungan dari pembesar tinggi, maka tikoan (residen) disini telah melakukan penyagaan yang keras,” kata Thian Hong.
„Tapi turut pendengaranku, tak ada sesuatu menteri yang datang ke Ciatkang sini,” jawab Ma Sian Kun.
Karena sudah jauh malam, maka orang-orang itupun lalu masuk tidur.
Keesokan harinya, Ciu Ki berkeras minta ayahnya meng ajaknya pesiar ketelaga Se-ouw yang termashur itu. Maka Tiong Ing memberi isjarat agar Thian Hong suka turut, katanya: „Hong-ji, kita belum pernah datang ke HangCiu, kau bawalah kita kesana supaya jangan kesasar jalan.”
Thian Hong sungkan menolaknya, maka ia menurut.
„Ha, kalau ayah yang suruh, kau menurut. Tapi Coba aku yang menyuruhnya, tentu kau menolak,” demikian Ciu Ki menggerutu pelan-pelan .
Tapi Thian Hong hanya ganda tertawa.
Begitulah setelah keluarga Ciu berempat itu pergi, Tan Keh Lokpun ajak muridnya, Sim Hi untuk ketelaga yang kesohor itu. Setelah ber-putardua sebentar, Keh Lok mengaso didekat jembatan pertama. Memandang kearah gunung Lamsan, tampak olehnya bagaimana hutan disitu sangat le batnya. PunCaknya yang disebut 'Hui-lay-nia' tampak men julang dengan megahnya.
Karena tertarik, dengan menyewa kereta kesanalah Tan Keh Lok menuju. PunCak itu tingginya antara 50 tombak, penuh dengan batudua. Puhundua tampak tumbuh lebat menghi jau. Keh Lok dan Sim Hi mendaki keatas. Begitulah dengan gunakan ilmu berjalan Cepat-cepat , keduanya sudah berada diatas punCak itu. Melihat pemandangan dibawah, mereka dapati pemandangan dihutan Sam-tiok sana lebih bagus lagi. Kare nanya mereka turun lagi untuk menuju kesana.
Tengah mereka mendaki untuk menuju kehutan Sam-tiok itu, tiba-tiba ada dua orang lakidua kekar yang tinggi besar men datangi dari arah atas. Mereka tak putus-putusnya mengawasi Tan Keh Lok berdua dengan rupa keheranan. Keh Lok tak meng hiraukan dan terus berjalan.
„Siaoya, kedua orang itu rupanya mengerti silat,” bisik Sim Hi.
„Penglihatanmu tajam juga,” kata Keh Lok dengan tertawa.
Tapi belum habis ucapannya itu, kembali dari arah muka dua orang lagi yang mendatangi. Dandanan keduanya serupa kedua orang tadi. Mereka tengah memperCakapkan tentang keindahan alam disitu. Dari tekukan lidahnya, keduanya itu tergolong bangsa utara. Begitulah selama dalam perjalanan mendaki itu, Tan. Keh Lok telah berpapasan tak kurang dengan 40 orang bu-ki-jin (orang-orang yang pandai ilmu bu) yang kesemuanya mengenakan jubah panyang warna biru. Dan setiap berpapasan, mereka tentu mengawasi Keh Lok dengan penuh keheranan. Sim Hi sedari bermula sudah heran, dan lama kelamaan Keh Lok sendiripun turut merasa aneh.
„Apakah mereka itu dari segolongan kaum kangouw, atau suatu bu-lim-Pai yang tengah mengadakan pertemuan disini ? Tapi HangCiu adalah daerah kekuasaan Hong Hwa Hwe, anehlah kalau ada suatu perkumpulan lain yang berani bera pat disini tanpa memberitahukan kepada kami. Dan mengapa mereka mengawasi aku dengan rupa keheranan itu?” demikian tak habis-habisnya Tan Keh Lok bertanya sendiri.
Sampai disebuah tikungan, ketua HONG HWA HWE itu akan mem biluk untuk menuju ke Kwan-Im-bio yang terletak di 'Siang-thian-tiok'. Siang-thian-tiok adalah salah satu hutan dari Sam-tiok (tiga hutan bambu).
Tiba-tiba dilamping gunung terdengar bunyi khim (sejenis tetabuhan) ditabuh orang, Tan Keh Lok adalah seorang kongcu dari keluarga ternama. Dalam ilmu tetabuhan khim, tiok-ki, buku dan melukis, tak ada satu yang tak dipahaminya. Diketahuinya permainan khim orang itu tak terCelah. Maka ia ingin mengetahui penabuhnya, ia melangkah kearah da tangnya suara itu.
Tampaklah kemudian diatas sebuah batu pegunungan duduk seorang yang berusia antara 40 tahun. Orang itu dan danan dan sikapnya seperti seorang ,.gentleman.” Dialah yang tengah memetik snaar khim itu. Berdiri disebelahnya, adalah dua orang lakidua kekar yang berpakaian jubah biru dan seorang tua yang pendek kurus tubuhnya. Melihat sipenabuh khim itu, seketika tergetar hati Keh Lok. Ia merasa seperti pernah bertemu muka dengan orang itu. Mukanya yang berseri gemilang, sikapnya yang agung itu, makin di pandang makin terasa sudah pernah mengenalnya. Tetapi sejauh ingatannya, Keh Lok ternyata tak berhasil mengingat dimana dia pernah bertemu.
Hati ketua HONG HWA HWE itu memukul keras. Samardua terasa dalam bathinnya, bahwa orang itu serasa ada hubungan darah dengannya. Namun sedekat itu hubungannya, sejauh itu pula rasanya.
Pada saat itu, siorang tua dan kedua Conghan (lakidua kekar) itu sudah melihat kedatangan Tan Keh Lok berdua. Mereka sama melengak ketika mengawasi roman ketua HONG HWA HWE itu. Ketika saling mengawasi itu tengah berlangsung, tiba-tiba khim yang sedang dipetik; oleh orang itu menjadi sember (vals) suaranya, lalu tiba-tiba berhenti, serentak orang itupun lantas berdiri dan menyapa nyaringdua kepada Tan Keh Lok seraja tertawa :
„Ah, kiranya hengtay inipun seorang achli khim, mari, mari silahkan duduk ber-Cakapdua disini,”
Ter-gesadua Tan Keh Lok rangkapkan kedua tangannya memberi hormat, „Tadi kudengar permainan khim jin-heng begitu halus dan merdu, sehihgga mempesonakan hati. Sung guh beruntung sekali siaote dapat bertemu,” demikian sahut nya.
Dengan ucapannya itu, Keh Lok menghampiri untuk memberi hormat dan duduk disebelahnya. Begitu melihat wajah Tan Keh Lok dari dekat, orang itupun melengak kesima untuk beberapa saat.
Keh Lok mengerti akan keheranan orang, ia tertawa dan bertanya, „Selama dalam perjalanan di gunung ini, banyak-banyak sekali siaote jumpahkan orang-orang yang datang pesiar. Tapi anehnya, setiap kali memandang muka siaote, tentu mereka mengunyuk rupa keheranan; Begitu pula dengan heng-tay. Adakah muka siaote ini sangat kukway? Mohon hengtay suka menyelaskanlah.”
Orang itu tertawa. „Oh, hengtay rupanya tak mengerti. Siaote mempunyai seorang sanak yang wajahnya mirip sekali dengan hengtay. Orang-orang itu adalah sahabatdua siaote, karena nya mereka merasa heran,” demikian sahutnya kemudian.
„Oh, kiranya demikian,” kata Keh Lok tertawa. „Wajah jin-hengpun rasanya tak asing bagiku, tapi entahlah dimana siaote pernah berjumpah. Apakah jinheng masih ingat?”
Orang itu tertawa, bahkan kali ini ter-bahakdua Katanya: „Ha, itu namanya jodoh. Dan mohon tanya siapa nama saudara yang mulia?”
„Siaote ol'ang she Liok, nama Ka Seng,” sahut Keh Lok.
Dengan itu, Tan Keh Lok sengaja menyebut namanya secara terbalik (dalam ejaan Kuo-yu).
„Dan mohon tanya kembali nama yang mulia dari hengtay ini?” tanya Keh Lok.
Orang itu merenung sejenak, tampaknya ragudua, lalu sahutnya: „Siaote orang yang mempunyai she dobel, jakni she Tang-hong, nama Ni, orang dari Tit-le. Kalau menurut nada jinheng, agaknya berasal dari daerah ini, bukan?”
„Benar, siaote memang orang sini,” sahut Keh Lok.
„Alam pemandangan di daerah Kanglam konon kabarnya kesohor indah sekali, dan hari ini setelah menyaksikan sen diri, memang betullah adanya. Bukan saja punCakdua pegu nungan indah permai, juga rakjatnya sangat menyenangkan, pula banyak-banyak yang terpelajar,” demikian orang she Tang-hong itu berkata.
Menampak ucapan orang itu seperti bukan rakjat biasa, serta melihat bagaimana beberapa Conghan berpakaian biru dan siorang tua itu begitu menghormat sekali kepadanya, diam-diam Tan Keh Lok menaroh perhatian besar. Tapi sampai sebegitu lama, dia belum juga ketahui siapakah gerangan orang itu.
„Kalau hengtay senang dengan alam di Kanglam, mengapa tak mau menetap saja didaerah ini, sehingga memungkin kan siaote menerima lebih banyak-banyak pengajaran yang berharga dari hengtay,” demikian kata Keh Lok lagi.
Kembali orang itu tertawa terbahakdua. Sahutnya: „Barang siapa yang dapat melewatkan penghidupannya untuk menik mati pemandangan Kanglam yang indah permai ini, itulah orang yang beruntung hidupnya. Sayang aku bukan orang yang mempunyai rejeki sedemikian besarnya. Karena hengtay mengerti akan seni-tetabuhan, tentu hengtay seorang achli khim, maka silahkan hengtay mainkan sebuah lagu.”
Dan habis berkata begitu, orang itu menyodorkan khimnya kepada Keh Lok. Setelah menyambuti khim orang, jari Tan Keh Lok menyentil pelan-pelan dan terdengarlah suara yang ulem mengalun merdu. Kemudian terlihat olehnya, ternyata pada kepala khim itu terdapat dua buah huruf „lay-hong” (burung hong) yang diukirkan dengan tinta mas. Buatannya halus dan indah sekali, merupakan seperti khim pusaka. Diam-diam Tan Keh Lok berCekat dalam hati.
„Dihadapan benda mustika dan achli khim sebagai hengtay, biarkanlah siaote unyuk permainan yang jelek,” kata nya lalu.
Pada lain waktu, keheningan suasana telah dipeCahkan oleh suara khim yang meng-alundua dengan merdunya. Itulah irama lagu „ping-sat-lok-gan” atau dipadang pasir jatuhlah sang meliwis. Tang-hong Ni mendengari dengan penuh ke tekunan.
Dan ketika khim berhenti, bertanyalah Tang-hong Ni : „Pernahkah hengtay melawat keluar perbatasan?”
„Siaote baru saja kembali dari daerah Hwe, entah bagai mana hengtay dapat mengetahuinya ?” balas Keh Lok.
„Dengan khim, hengtay telah melukiskan pemandangan dataran yang luas dan alam dipadang pasir. Kata seorang pudyang ga. 'Dalam mabuk menenteng pelita melihat pedang. Dalam impian serasa meniup „kak” (terompet tanduk) di perkemahan. Dalam daerah delapan00 li tampak panas membara, dengan 50 snaar menggema jauh keluar perbatasan, seperti dalam suasana padang pasir tengah mengumpul tentara. — ,Ping-sat-lok-gan' entah berapa ratus kali siaote pernah mendengar, tapi belum pernah ada orang yang melagukannya begitu merdu mempesona, seperti permainan hengtay itu,” demikian sahut orang she Tang-hong itu.
Nampak orang sangat dalam pengetahuan seni musiknya, giranglah hati Tan Keh Lok.
„Sebenarnya ada suatu hal yang siaote kurang jelas dan ingin menanyakan pada hengtay,” kata orang itu pula. „Tapi karena kita baru saja berkenalan, rasanya kurang pantaslah.”
„Hengtay tak berhalangan untuk bertanya,” jawab Keh Lok.
„Kalau dengar permainan hengtay tadi, serasa menggam barkan seperti dada hengtay ber-kobardua penuh semangat. Namun jika melihat wajah hengtay, adalah bagaikan seorang kongcu bangsawan, lemah lembut penuh kesopanan. Terang bukan perangai seorang tayCiang (senopati perang). Inilah yang siaote kurang mengerti,” ujar orang itu.
„Siaote seorang anak sekolahan yang terCebur di kangouw. Ucapan hengtay itu sungguh menggetarkan hatiku,” sahut Keh Lok dengan tertawa.
Namun orang she Tang-hong itu tak mempercayai keterangan Tan Keh Lok, tanyanya pula: “Hengtay ini tentu berasal dari keluarga ternama. Maaf, siapakah gelaran dari ayah hengtay yang mulia ini? Apakah jabatan ayah hengtay itu?”
„Ayah bernasib malang, beliau sudah meninggal lama. Siaote hidup dengan andalkan sedikit kepandaian. Tentang pahala atau jasa apa, siaote tak punya,” sahut Keh Lok.
„Apakah pembesardua negeri itu buta, sehingga tak menge tahui akan diri hengtay ini? atau mungkin ada lain-lain soal?” tanya orang itu.
„Hengtay sungguh baik, banyak-banyak terima kasih. Hanya me mang siaote sendiri yang tak ada keinginan menjadi pegawai negeri,” sahut Keh Lok.
Mendengar penyahutan itu, wajah Tang-hong Ni tampak berobah. Melihat itu kedua Conghan pakaian biru itu maju setindak kemuka, tapi pada lain saat Tang-hong Ni tertawa gelakdua, katanya: „Hengtay seorang yang berambekan tinggi, kita semua tak dapat menyamai.”
Kedua orang itu sama menantang satu dengan lain, ma singdua merasa satu sama lain punya sifatdua luar biasa. Tidak hanya begitu saja, malah mereka merasa aneh juga meng apa serasa seperti masih ada ikatan bathin.
„Sekembalinya dari daerah Hwe kemari, tentu ditengah jalan hengtay banyak-banyak mendapat pengalaman,” kata Tang hong Ni lagi.
„Gunung-gunung megah, alam nan indah permai memang tak membuat jemu mata. Sayang karena sungai Hoangho me luap mendatangkan banyir besar, terpaksa siaote Buru-buru pulang,” sahut Keh Lok.
„Kabarnya kaum pengungsi di Lan Hong telah merampas ransum yang diperuntukkan Ceng-se-tayCiang-kun, adakah hengtay juga mendengarnya?” tanya orang itu pula.
Tan Keh Lok melengak, pikirnya mengapa orang ini begitu Cepat-cepat mendengar berita itu, pada hal rombongannya siang malam terus berjalan, jadi seharusnya berita itu, tidak bisa lebih Cepat-cepat dari kedatangan rombongannya.
„Memang kejadian itu ada, kaum pengungsi tak punya pakaian tak punya makanan. Sebaliknya bapakdua rakjat itu sedikitpun tak mengenal kasihan. Cntuk memperjoangkan hidup, pengungsidua itu telah terpaksa menempuh jalan yang berbahaja. Karenanya, perbuatan mereka itu dapat dime ngerti dan dimaafkan,” kata Keh Lok kemudian.
Tang-hong Ni kembali terhening sejenak, lalu katanya pula : „Tapi kabarnya urusan bukan sampai sekian saja. Pengungsidua itu dihasut orang-orang HHH untuk menentang pe merintah.”
„Apakah HHH itu ?” tanya Keh Lok berlaga pilon.
„Sebuah perkumpulan orang kangouw yang hendak mero bohkan kekuasaan pemerintah. Apakah hengtay belum per nah mendengarnya?” tanya Tang-hong Ni.
„Khim dan tiok-ki adalah dunia yang siaote karungi, urusan dunia lain-lainnya siaote tak mengerti. Sungguh mema lukan, mengapa sampai sebuah perkumpulan yang begitu kesohor, baru. pertama kali ini siaote mendengarnya,” sahut Keh Lok. Ia memperbaiki duduknya, lalu katanya lagi: „Setelah menerima laporan, tentunya pemerintah mengambil tindakan keras pada HONG HWA HWE”
„Ah, mungkin belum, karena gerombolan HONG HWA HWE itu di rasa tak membahajakan kedudukan pemerintah,” sahut Tang hong Ni.
Tanpa mengunyuk perobahan air muka, bertanya pula Tan Keh Lok : „Berdasarkan apakah hengtay mengatakan begitu ?”
„Selama baginda yang arif bijaksana ini masih bertachta, maka kerajaan akan makmur jaja. Orang-orang pandai semua dipakai oleh pemerintah. Cukup dengan mengirim seorang dua pahlawannya yang lihai. maka HONG HWA HWE tentu dapat di basminya,” kata Tang-hong Ni pula.
„Siaote tak mengerti urusan negara, apabila ada perkataan yang keliru, harap dimaafkanlah, jangan dibuat Celahan. Menurut pandangan siaote yang Cupet ini, orang kerajaan itu kebanyak-banyakan dari golongan „kantong nasi” yang tak punya kepandaian berarti, pandainya hanya gegares saja. Apakah mereka akan dapat melaksanakan tugas seberat itu ?” ujar Keh Lok.
Ketika ucapan itu melunCur keluar mulut sianak muda, Tanghong Ni dan siorang tua serta kedua Conghan itu sama berabah warna mukanya.
„Pandangan itu mungkin dari hengtay seorang pelajar yang melupakan bahwa orang-orang pandai dan lihai dalam kerajaan bagaikan mega banyak-banyaknya. Misalnya beberapa sahabatku inipun bukan orang sembarangan. Sayang hengtay bangsa kaum sastera, jika tidak, biar kita minta mereka unyuk kan sedikit kepandaiannya. Andaikata hengtay mengerti ilmu silat, tentu dapat mengakui kebenaran ucapanku ini”.
Keh Lok tampak berseri-seri wajahnya. Katanya lantas : „Sekalipun siaote tergolong bangsa leman, tapi siaote paling kagum dengan bangsa orang gagah. Entah hengtay ini dari golongan mana ? Apakah mereka ini muriddua” dari kala ngan hengtay? Sekiranya tak berkeberatan, biarlah mereka unyukkan sedikit permainan agar siaote bisa tanibah pe ngalaman”.
„Baiklah, silahkan kalian unyuk sedikit permainan, agar Liok-ya ini suka memberi pengajaran”, seru Tanghong Ni kepada kedua Conghan itu.
Segera Keh Lok pun memberi hormat dengan rangkapkan tangan dan mempersilahkannya. Diam-diam ia pikir juga, sekali mereka bergerak tentu segera diketahui dari golongan apakah mereka itu.
Maka tertampaklah salah seorang lakidua kekar itu maju kemuka, lalu katanya: „Lihatlah, burung prenyak dxatas puhun ini mengganggu orang dengan oCehannya itu. Akan kupukul jatuh keduanya, agar kita dapat melihatnya dengan jelas.”
Dan sekali tangannya mengibas, sebatang siuCian (paser) melayang kearah burung prenyak. Tapi ketika hampir me ngenai sasarannya, mendadak sontak batang siuCian itu melengkung dan luput mengenainya.
Kalau sampai orang itu luput menimpuk, itulah sangat aneh bagi Tang-hong Ni. Sedang lakidua itu sendiripun merah padam selebar mukanya. Kembali dia kibaskan tangannya, dan kembali pula sebatang siuCian melayang kearah puhun. Kini jelaslah sudah apa yang telah terjadi. Ketika men dekati arah siburung, tiba-tiba melayang lah sepulung kecil dari tanah, tepat menghantam batang siuCian itu, hingga kembali menCong dari sasarannya.
Diantara mereka, adalah siorang tua kurus itulah yang paling tajam sendiri matanya. Sedikit dia lihat taifgan Sim Hi bergoyang , tahulah dia bahwa anak itulah yang main gila.
„Oh, tak kira kalau adik kecil ini mempunyai kepandaian yang begitu hebat. Nah, marilah kita belajar kenal,” kata nya sembari menyulurkan jari tangannya untuk menangkap tangan Sim Hi.
Bukan jari sembarang jari, tapi adalah jaridua luar biasa dari 'Eng-jiao-kang' atau ilmu Cakar elang. Jari yang dapat meremuk-remaskan segala apa saja yang dipegangnya.
Tan Keh Lok terkejut dan mengeluh dalam hati. Dia Cukup kenal dengan ilmu lwekang eng-jiao-kang dari kaum Ko Yang Pai itu. Diam-diam ia menarik kesimpulan bahwa orang tua itu, kalau bukan seorang ketua dari suatu Pai, tentulah seorang jagoan yang sukar diCari tandingannya. Atau se tidakduanya, dia tentu tergolong seorang achli silat yang lihai dari angkatan tua. Dan heran pula Tan Keh Lok, mengapa orang sedemikian itu, menjadi pelajan dari orahg'she Tang-hong itu.
Namun pikiran menduga, tanganpun bergerak. Cepat-cepat dia kembangkan kipasnya yang tepat menyelak di-tengah-tengah antara siorang tua dengan Sim Hi. Keruan saja orang tua itu Buru-buru tarik kembali tangannya, karena kuatir akan merusak kan kipas dari orang yang menjadi sahabat majikannya itu. Hal itu, tentu bisa dianggap tak pantas.
Dia memandang tajamdua pada Keh Lok, apakah anak muda ini sebenarnya juga mengerti ilmu silat tapi sengaja akan menolong Sim Hi. Tapi kelihatan Tan Keh Lok pelahandua ber kipasa dengan seenaknya, se-olahdua menandakan bahwa ge rakannya tadi itu hanyalah secara kebetulan saja.
„Sekalipun usianya masih begitu muda, tapi anak itu lihai silatnya. Entah dari mana hengtay mendapatkan dia?” tanya Tang-hong Ni kemudian.
„Dia sebenarnya tak mengerti silat, hanya faham dalam hal menimpuk burung atau kutudua. Itulah karena kebiasaan main-main sejak kecilnya saja,” sahut Keh Lok.
Tang-hong Ni tak mau mendesak lebih jauh, lalu memandang kearah kipas tetamunya, katanya: „Kipas hengtay itu entah barang mustika apa, bolehlah siaote meminyam barang sebentar saja?”
Segera Keh Lok menyerahkan kipasnya. Tang-hong Ni mendapatkan bahwa kipas itu terdapat tulisan tangan dari pudyang ga yang terdahulu, yaitu Nilan Yong-yo. Tulisannya bagus dan gajanya kuat.
Tang-hong Ni heran dan menanyakan dari mana anak muda itu mendapatkan kipas itu.

“SIAUTE membelinya dari toko buku bekas dengan harga sepuluh tail emas,” jawab Keh Lok.

“Sekalipun ribuan tailpun masih murah. Ini tentu benda mustika dari warisan keluarga bangsawan, maka heranlah kalau hengtay telah dapat membelinya ditoko buku,” kata Tang-hong Ni seraja tertawa lebardua.

Sekalipun merasa orang tak mempercayainya, tapi Keh Lok hanya bersenyum saja dan tak mau menghiraukan.

Melihat sikap, orang yang agung dan bebas ini Tang-hong Ni menjadi rnatkin ketarik, ia ingin menguji sampai di mana peribudi ariak muda itu. Dibalikkannya kipas itu, dan ketika ternyata disebaliknya tak terdapat tulisan apa-apa, ber katalah dia: „Siaote suka deng-an kipas ini, sekiranya,hengtay tak keberatan, siaote memberanikan diri untuk memintanya.”

”Jika memang hengtay menyukainya, ambillah,” jawab Keh Lok dengan tegas tanpa ragudua!.

Menunyuk kebalik kipas yang masih kosong itu, kembali Tang-hong Ni berkata: „Sekali lagi siaote akan minta suka lah kiranya hengtay menuliskan apaa sedikit dibagian ini, untuk kenangan dikemudian hari. Dimanakah tempat ke diaman hengtay, agar lain hari dapat siaote suruh orang mengambilnya.”
„Kalau hengtay tak menertawakan, baiklah siaote tuliskan sekarang juga,” kata Keh Lok.
Segera ia minta Sim Hi ambilkan alatdua tulis didalam tasnya, dan tanpa ragua lagi jariduanya menuliskan sebuah sajak yang berbunyi sebagai berikut :
Dengan pedang dan kitab naik kereta, Menuju kebarat ribuan li diujnng langit, Gunung bersalju, laut lebar mengalami semua, Achirnya kembali Kanglam menikmati kwi-hoa.
Orang tua kurus achli 'eng-jiao-kang' tadi, sewaktu me lihat bagaimana dengan Cepat-cepat dan gapah anak muda itu menyelesaikan sajaknya, begitu pula ke-manadua membawa alat tulis, segera hilanglah persangkaannya bahwa anak muda itu mengerti silat.
Sehabis mengucap terima kasih dan menyambuti kipas itu, berkatalah pula Tang-hong Ni: „Dan Siaote juga akan menghaturkan sesuatu pada hengtay.” Sembari mengucap begitu, dia angsurkan alat khim itu kepada sianak muda seraja katanya: „Untuk pahlawan adalah pokiam, tapi untuk hengtay seharusnya khim inilah persembahannya.”
Bahwa khim itu bukan sembarang khim, tahulah Tan Keh Lok. Tapi kalau baru saja kenal, orang itu begitu baik untuk menyerahkannya, itulah yang tak dimengerti oleh Tan Keh Lok. Tapi sebagai seorang yang hatinya terbuka, sekalipun agak Curiga, tapi diterimanya juga pemberian itu. Dia haturkan terima kasih dan suruh Sim Hi menyimpannya.
„Hengtay dari daerah Hwe bergegas kembali ke Kanglam, apakah hanya karena akan menikmati musim bunga kwihoa saja?” kata Tang-hong Ni.
„Ada seorang sahabat yang meminta kedatangan siaote untuk membantu suatu urusan,” sahut Keh Lok.
„Dari wajah hengtay mengunyukkan hengtay masih gelisah, adakah urusan sahabat hengtay masih belum se lesai?” tanya orang she Tang-hong itu.
„Ja,” sahut Keh Lok.
„Entah kesulitan apa yang terselip dalam urusan sahabat hengtay itu? Siaote punya banyak-banyak kenalan, mungkin dapat membantu.”
„Terima kasih atas budi hengtay itu. Tapi dalam beberapa hari lagi, urusan itu akan sudah selesai.”
Begitulah keduanya melanyutkan perCakapannya dengan asjik sekali. Tapi hampir setengah hari mereka duduk meng obrol itu, tetap masinga belum mengetahui siapakah kawan nya ber-Cakapdua itu.
„Lain hari kalau hengtay membutuhkan apa-apa pada siaote, harap membawa khim itu menCari siaote ke Pakkhia. Nah, bagaimana kalau kita bersama-sama turun kebawah?” kata Tang-hong Ni.
„Baiklah,” sahut Keh Lok.
Dan dengan bergandengan tangan keduanya turun dari gunung itu. Tiba pada suatu tempat, tiba-tiba dari arah muka tampak beberapa orang menghampiri. Yang dimuka seorang berwajah putih, mengenakan jubah tersulam benang mas dan wajahnya mirip dengan Tan Keh Lok, begitu pula dalam usianya. Sikapnya yang agung, mengunyukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Begitu saling memandang, keduanya sama terkesiap. |
„Liok-heng, bukankah dia feerupa dengan kau? Dia adalah keponakanku. Gong-ji, kau;, beri .hormat pada Liok-sepeh ini,” kata Tang-hong Ni pada orang tersebut, siapa Buru-buru menyura.
Keh Lok ter-sipu- membalas hormat. Selagi toegitu, tiba-tiba terdengar suara ketawa tertahan dari seorang wanita. Ketika ketua HONG HWA HWE berpaling, ternyata yang tampak disana jakni Ciu Ki dengan ayah-bundanya, serta Thian Hong. Yang ber suara tadi, pasti Ciu Ki karena menampak pemandangan yang ganyil itu, jalah adanya dua Tan Keh Lok kembar.
Lekas-lekas Keh Lok pura-pura tak melihat, terus melengos kearah sana. Ciu Ki dan kedua orang tuanya terkejut tapi tidaklah dengan Thian Hong yang Cepat-cepat dapat mengetahui maksud Congthocunya itu, maka dengan berbisik dia larang Calon isterinya itu memandang kearah ketuanya.
„Liok-heng, baru kita sating berkenalan, rasanya seperti sahabat lama. Mudahduaan kita dapat berjumpa lagi kelak, dan sampai disini biarlah kita berpisahan,” kembali Tang-hong Ni berkata.
Begitulah setelah sama-sama memberi hormat, keduanya saling berpisah. Tampak berpuluh Conghan baju biru itu meng awal Tang-hong Ni dari jauh. Pada saat itulah Keh Lok memberi isjarat dengan matanya kearah Thian Hong.
“Gihu, Congthocu memberi tugas padaku, harap gihu me ngawani adik Ki dan giboh (ibu angkat) dulu,” kata Thian Hong pada Tiong Ing.
Ciu Ki merasa kurang puas, tapi tak berani mengutara kan. Ternyata Thian Hong lantas mengikuti dari jauh rom bongan Conghan baju biru masuk kedalam kota.
Petang harinya, ketika pulang kerumah Ma Sian Kun, segera Thian Hong memberi laporan pada Tan Keh Lok bahwa orang she Tang-hong itu masuk kedalam gedung pembesar daerah. Lalu Keh Lok menCeritakan ten tang per temuannya dengan orang itu, dan menurut dugaan, orang she Tang-hong itu tentulah seorang pembesar yang berpang kat tinggi. Kalau bukan golongan menteri, tentu golongan pwelek (pengeran). Kalau menilik sikapnya, kebanyak-banyakan seorang menteri berkuasa tinggi, karena pengawalnya, terutama orang tua kurus itu, begitu lihai kepandaiannya.
“Apakah kedatangannya itu tak ada hubungannya dengan urusan sliko? Malam ini kubermaksud untuk menyelidiki sendiri,” kata Keh Lok kemudian.
„Baik, tapi sebaiknya ada lain saudara lagi yang mengawani thocu,” jawab Thian Hong.
“Tio-samko sajalah, karena dia orang Ciatkang, jadi faham keadaan kota ini,” kata Keh Lok.
Begitulah pada malam itu sekira jam dua, dengan berpa kaian ringkas, Tan Keh Lok dan Tio Pan San gunakan ilmu nya berjalan Cepat-cepat untuk menuju kegedung gebenuran.
Dengan tak mengeluarkan suara sedikitpun juga, kedua nya sudah berada diatas genteng.
„Sudah lama kudengar ilmu silat Thay Kek Pai itu lihai sekali dalam soal lwekang. Benar juga, ilmu mengentengi tubuh dari Tio-samko tadi memang sempurna sekali. Kelak kalau ada kesempatan, ingin aku meminta pengajaran darinya,” demikian diam-diam Keh Lok berpikir sendiri. ' Dibalik itu, diam-diam Tio Pan San pun taruh kekaguman pada ketuanya yang masih muda itu, pikirnya: “Ilmu silat dari Congthocu ternyata lihai sebagaimana dulu telah diunyuk kan ketika bertempur dengan Ciu-loenghiong di Thiat-tan-Chung. Kini ternyata ilmunya mengentengi tubuh pun luar biasa. Entah bagaimana selama ini Caranya Thian-ti-koay-hiap Wan Su Siau memberi pelajaran padanya.”
Dan dalam sekejab saja, keduanya sudah tiba dibagian atas ruangan besar gedung pembesar itu.
„Awas, disebelah muka ada orang!” tiba-tiba Keh Lok berbisik pada kawannya.
Cepat-cepat sekali Tio Pan San ikuti gerakan ketuanya untuk menelungkup kebawah. Benar juga ketika itu ada dua sosok bayangan berkelebat. Rupanya mereka itu sedang meronda. Begitu mereka sudah lewat. Tio Pan San timpukkan sebatang thi-lian-Ci kearah sebuah puhun besar. Mendengar diatas puhun itu ada sviara berkresekan, kedua peronda itu segera memburu untuk memeriksanya. Melihat kesempatan itu, Keh Lok berdua segera melunCur turun kebawah.
Sampai sekean saat, mereka sembunyikan diri disudut gedung. Setelah ternyata tak ada bahaja apa-apa, barulah keduanya berani menyenguk kedalam. Tapi apa yang disaksikannya, telah membuat kedua pemimpin HONG HWA HWE itu terkejut.
Kiranya rentetan obor yang terang benderang laksana siang hari itu, adalah barisan penyaga yang terdiri dari ratusan serdadu yang sama siap dengan busur, golok dan tombaknya, Rupanya penyagaan itu diatur kuat sekali. Beberapa buCiang (perwira) tampak mondar-mandir mengelilingi gedung itu. Tapi anehnya, sekean banyak-banyak tentara itu, satupun tak ada yang berani keluarkan suara. Sampai diwaktu berjalan saja, kaki mereka sama diinyakkan pelahan- sehingga hampir tak mengeluarkan suara. Karenanya, suasana disitupun ke dengarannya sunyidua saja. Hanya ada kalanya terdengar letikan buluh obor yang terbakar peCah.
Karena tak berdaya untuk menyelinap masuk, Tan Keh Lok memberi isjarat samko-nya untuk keluar dari situ untuk berunding ditempat yang sepi.
„Kita jangan 'keprak rumput membikin kaget sang ular', lebih baik pulang dulu untuk berunding,” kata Keh Lok.
Tapi baru saja keduanya akan loncat keatas rumah, tiba-tiba pintu gedung pembesar itu terbuka. Seorang bukoan (perwira) dengan diikuti oleh 4 orang serdadu tampak berjalan keluar. Mereka berjalan disepanyang jalan, dan kira-kira beberapa puluh tombak jauhnya, mereka tampak mendatangi kembali. Kiranya mereka itu tengah melakukan perondaan.
Melihat penyagaan yang begitu kuat, terkejut hati Tio Pan San. Pada lain saat, ketika kelima tentara itu ber jalan keluar, Keh Lok memberi isjarat dengan gerakan tangan. Pan San mengerti artinya, terus meloncat kemuka dan melepaskan tiga buah Chi-piauw (piauw dari mata uang). Segera ada tiga orang serdadu itu yang roboh. Keh Lokpun me nimpukkan dua buah biji Caturnya dan tepat mengenai jalan darah perwira tadi dan seorang serdadu yang lainnya. Tertim puk jalan darahnya, mereka tak dapat berteriak, tak dapat berkutik. Hanya mata mereka yang masih dapat menyaksikan bahwa ada dua bayangan loncat keatas tembok terus meng hilang masuk kedalam. Dan sebelum itu tak lupa Tan Keh Lok dan Tio Pan San menyeret kelima serdadu itu ketempat yang gelap, lalu mengambil pakaian dari dua orang serdadu dan terus dipakainya. Menanti setelah peronda diatas rumah itu lewat, barulah. keduanya loncat masuk kehalaman gedung dan terus masuk kedalam ruangan dalam. Disitu banyak-banyaklah serdadudua dan perwiraduanya yang berjalan pergi-datang, sudah tentu mereka tak dapat mengenali kedua serdadu tetiron itu.
Ternyata para pengawal yang menyaga diruangan dalam situ adalah perwiradua berpangkat tinggi, kalau bukan Cong-peng tentu hu-Ciang. Hanya saja jumlah mereka tak se banyak-banyak pengawal diluar ruangan. Begitu ada kesempatan, Tan Keh Lok dan Tio Pan San menyelinap kebalik tiang disudut ruangan, terus menggelandot keatas tiang penglari. Setelah menunggu lagi untuk beberapa saat, dengan menggaetkan sepasang kakinya pada tiang penglari, Tan Keh Lok ajunkan badannya kebawah, lalu membasahi kertas jendela dengan ludahnya dan mengintip kedalam. Tio Pan San tetap men jagai, apabila ada kemungkinan dipergoki.
Disebelah. dalam situ, ternyata adalah sebuah paseban besar, diatas paseban itu berdiri 5 atau enam orang yang menge nakan pakaian menteri kerajaan. Ditengahdua situ ada seorang yang duduk. Sayang karena duduknya membelakangi, jadi Keh Lok tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Hanya yang nyata, beberapa menteri itu bersikap menghormat sekali, mereka tak berani memandang kearah orang yang duduk itu. Pada saat itu kembali ada seorang pembesar datang menghadap terus berlutut menyalankan peradatan pada orang yang duduk itu.
Tan Keh Lok terkesiap, karena terang itulah. Cara penghormatan yang hanya dilakukan kepada hongte (kaisar).
Apakah kaisar benardua sudah datang ke HangCiu sini ? Tengah ia mendugadua, kedengaranlah pembesar itu berkata: “Hamba yang rendah An-jat-su Ciatkang, In Ciang Hay
datang menghadap bansweya (yang mulia).” „Ah, kiranya benardua adalah hongte, makanya penyagaan
begini kuatnya”, pikir Keh Lok. Orang yang duduk itu perdengarkan suara hidung, lalu
katanya pelan-pelan : “Hm, sungguh besar sekali nyalimu !” In Ciang Hay tersipu-sipumembuka topi kebesarannya, lalu menyuaradua ber-ulangdua dengan tak berani mengeluarkan ucapan apa-apa.
„Kukirim pasukan untuk menindas kekaCauan didaerah Hwe, kabarnya kau sangat menentang”, kata orang yang duduk itu beberapa saat kemudian.
„Ha, mengapa nada suara baginda itu seperti pernah ku dengar”, kembali Keh Lok merasa heran.
Sembari berlutut, sementara In Ciang Hay telah men jawab : „Hamba pantas menerima hukuman, hamba tak berani berbuat demikian”.
„Kuminta daerah Ciatkang sini mengirimkan sepuluh laksa gantang beras untuk ransum tentara itu, mengapa tak kau indahkan?” tanya orang itu pula.
„Hamba tak berani melanggar firman bansweeya itu. Hanya saja karena panen tahun ini kurang hasilnya, rakjat banyak-banyak yang menderita, jadi dalam waktu. sesingkat itu hamba belum dapat melaksanakan titah bansweeya itu”, sahut In Ciang Hay.
“Rakjat menderita ? Hm, kiranya kau ini seorang pembesar negeri yang menCintai rakjat,” jengek orang itu.
Kembali In Ciang Hay menyura beberapa kali. „Mohon bansweeya sudi memberi ampun,” demikian katanya ber-ulang-ulang.
„Kalau menurut pendapatmu bagaimana baiknya, ransum tidak Cukup, pada hal mereka sangat memerlukan sekali.
Apakah maksudmu biarkan saja tentaradua itu mati kelapar an didaerah Hwe sana?” tanya orang itu.
„Hamba tak berani mengatakan”, kata Ciang Hay dengan menyura pula.
“Mengapa tak berani? Ayo, kau bilanglah!”
„Bansweya adalah seorang junyungan yang sangat di patuhi rakjat, sedang daerah Hwe adalah daerah yang kecil lagi miskin. Kiranya tak perlu bansweya mengirim pasukan untuk menindasnya, Cukup dengan seorang menteri yang bijaksana tentu akan dapat mengarah hati mereka,” ujar pembesar itu.
Orang yang duduk itu kembali perdengarkan suara dari hidung, tanpa menyahut apa-apa.
“Ujar orang kuno: 'Tentara adalah alat yang bengis, orang bijaksana baru mau menggunakannya apabila betul-betul sudah terpaksa'. Apabila bansweya berkenan untuk menarik kembali pasukan itu, pasti rakjat akan merasa berbahagia,” kembali pembesar she In itu berdatang sembah.
“Jadi kalau aku tetap akan mengirim pasukan, rakjat tentu akan mendendam,” kata orang itu seraja tertawa dingin.
In Ciang Hay kembali menyura kelantai. Malah kali ini lebih keras dia tatapkan kepalanya kelantai, sehingga ke ningnya berdarah. Dengan tertawa bergelak sekali orang itu turun dari tempat duduknya dan menghampirinya. Katanya dengan tertawa: “Kiranya kau mempunyai batok kepala yang keras, sehingga berani membantah dihadapanku !”
Habis berkata begitu orang tersebut berbalik badan.
Kalau ada petir menyambar disiang hari, mungkin masih belum melebihi kekagetan Tan Keh Lok ketika itu. Baginda itu ternyata bukan lain ialah orang yang duduk ber-Cakapdua dengan dia dihutan Samtiok pagi tadi, si Tang-hong Ni atau kaisar Kian Liong yang sesungguhnya. Sekalipun Tan Keh Lok seorang yang tenang dart tabah, tak urung dia kucur kan keringat dingin juga.
„Sudahlah, kau pulanglah beristirahat dengan tenang!” tiba-tiba Kian Liong berseru.
Setelah menyura lagi beberapa kali, In Ciang Hay undur kan diri. Setelah itu tampak Kian Liong memberi isjarat dengan mata pada siorang tua (pengawalnya sewaktu di hutan Sam-tiok tadi pagi).
Siorang tua segera mengikuti dibelakang In Ciang Hay. Begitu berada diluar paseban, ditepuknya pundak siorang she In dan berkata padanya: “Baginda mengaruniai kau kematian, lekas berlutut menghaturkan terima kasih!”
Orang itu terkesiap sejenak, tapi pada lain saat ia tertawa seraja berkata: „Haha, nasehat yang berharga dianggap menusuk telinga, rakjat banyak-banyak dibiarkan menderita. Aku In Ciang Hay tidak merasa keCewa telah menunaikan kewa jiban, mengapa mesti jerikan kematian?”
Dengan tenang lalu ia berlutut menghadap kearah paseban besar, dan ketika siorang tua itu menghantamkan kepelan nya, tulangdua dipunggung pembesar yang berani itu segera patah dan seketika putuslah jiwanya. Siorang tua segera titahkan kawanan serdadu untuk mengangkut majat itu keluar.
Diatas wuwungan, Tan Keh Lok berdua dapat menyaksikan kejadian itu dengan jelas. Diam-diam timbul pikiran mereka, bahwa sedemikian itulah kejamnya kekuasaan seorang kaisar. Seorang menteri yang berani memberi nasehat tak menyetujui tindakannya lantas dihukum mati.
Siorang tua kembali masuk menghadap pada baginda seraja menghaturkan laporan: „In taijin tiba-tiba saja dise rang angin jahat, karena tak keburu diberi pertolongan, beliau keburu meninggal.”
Kian Liong meng-angguk-anggukkan kepalanya. „Mengapa begitu segar bugar nampaknya dapat meninggal dengan tiba-tiba . Sa yang ,” ujarnya.
Beberapa menteri yang hadir disitu sama ketakutan.
„Kalian boleh pulang semua, sepuluh laksa gantang beras harus selekasnya dikumpulkan dan dikirim,” kata Kian Liong.
Beberapa menteri itu tampak menyura beberapa kali, terus mengundurkan diri.
“Suruh Gong-ji kemari,” seru Kian Liong kemudian.
Seorang 'abdi-dalem' Cepat-cepat menuju keluar, dan tak beberapa lama kembali masuk dengan seorang pemuda. Tan Keh Lok segera mengenali bahwa anak muda itulah yang wajahnya mirip dengan dirinya.
Anak muda itu berdiri disamping Kian Liong, sikapnya biasa saja, tak seperti kawanan menteri yang begitu kaku karena ber-lebih-an hormatnya.
„Titahkan Li Khik Siu kemari,” kata Kian Liong pula.
Kembali hamba tadi keluar dengan membawa titah baginda. Habis itu seorang bu-Ciang (jenderal) kelihatan datang menghadap.
„Hamba yang rendah, Li Khik Siu, panglima HangCiu, mohon menghadap bansweya,” demikian pembesar itu.
“Kepala berandal Hong Hwa Hwe orang she Bun itu bagaimana?” tanya Kian Liong tiba-tiba .
Mendengar Kian Liong membicarakan soal Bun Thay Lay, segera Keh Lok mendengarkan dengan penuh perhatian.
„Dia menderita lukas parah, hamba sedang panggil sinshe untuk mengobatinya. Tunggu kalau dia sudah baik, .baru dapat' diperiksa,” sahut Li Khik Siu sementara itu.
„Harus hati-hati menyaganya,” pesan Kian Liong.
„Titah bansweya tentu hamba junyung,” jawab Khik Siu.
“Baik, kau pergilah,” kata Kian Liong achirnya.
Li Khik Siu lebih dulu menyura baru berjalan keluar.
„Samko, kita kuntit dia,” bisik Keh Lok pada Tio Pan San.
Dengan hati-hati keduanya melunCur turun, tapi baru saja kaki mereka menginyak lantai, tiba^ dari arah paseban terdengar seorang berteriak: „Ada penyahat !”
Tan Keh Lok dan Tio Pan San Cepat-cepat loncat keluar rua ngan dan menyusup kedalam rombongan serdadu penyaga. Tapi saat itu terdengar kentongan dipukul keras-kerasdan sua sana menjadi genting. Siorang tua kurus itu dengan diiringi tujuh atau delapan Conghan baju biru bersenjata lengkap, tampak melakukan peperiksaan dengan bengis.
Sepasang mata siorang tua itu ber-apidua berjilatan ke manadua. Sementara itu Keh Lok sudah mungkur dan dengan ber-indapdua menghampiri pintu.
„Kau siapa!” bentak siorang tua sembari ulurkan tangan untuk memegang pundak Pan San ketika sudah dekat. Tapi sekali bergerak Pan San kibaskan tangan orang terus menobros kearah pintu. Siorang tua memburu dan menghantam punggung Pan San. Ketika itu Tio Pan San sudah berada diambang pintu, dengar ada samberan angin, dia mendekkan badan. Dalam pada itu, ia sudah akan balas me nyerang. Tapi Keh Lok ketika itu sudah melepas baju sera gamnya, Cepat-cepat s merangkupkannya kekepala siorang tua.
Siorang tua Cepat-cepat ulurkan tangan menyawutnya. Begitulah ketika saling tarik terjadi, baju seragam itu kerowak menjadi dua. Sebat sekali Keh Lok timpukkan kerowakan baju di tangannya kearah orang. Selagi timpukan itu di sertai dengan tenaga khikang, kakinya terus melangkah keluar pintu.
Lihai adalah siorang tua, sembari menyawut timpukan orang, iapun sudah maju memburu. Tapi baru kakinya melangkah diambang pintu, sebuah tubuh orang melayang kedadanya. Kiranya itulah tubuh seorang serdadu yang telah kena dibekuk dan terus dilemparkan oleh Tio Pan San.
Lengan kiri orang itu Cukup sekali saja dikibaskan ke muka, tubuh serdadu itu terlempar kesamping, dan iapun tetap memburunya lagi. Begitulah dengan datangnya perintangdua itu, tahus mereka sudah keluar dari pintu gedung. Tampak pada saat itu dua tiga puluh si-wi (pengawal istanal ber-bondongdua memburu keluar. Maka berteriaklah siorang tua: „Yang penting, kalian harus lindungi baginda. Cukup 5 orang saja yang turut padaku !”
Habis menunyuk pada 5 orang si-wi, siorang tua gunakan ilmu berlari Cepat-cepat untuk lanyutkan pengejarannya. Sampai diluar jalan, tampak kedua orang buruannya itu lari diatas sepanyang atap rumah. Siorang tua juga enyot kakinya untuk loncat keatap genteng. Dalam sekejap saja, ber puluh rumah telah dilalui. Jaraknya makin dekat. Ketika siorang tua akan menegurnya, tiba-tiba dibawah sebuah rumah yang berada disebelah muka, terdengar bunyi suitan, seperti ada bantuan datang.
Siorang tua bernyali besar, dia tetap memburu maju. Kedua orang buronan itu tibas loncat turun dan merandek ditengah jalanan. Menyusul turun, tangan siorang tua men julur kearah Tan Keh Lok Tapi anak muda itu tak mau mundur atau menghindar, hanya tertawa keras-kerasseraja ber kata: „Aku adalah sahabat junyunganmu, kau orang tua ini mengapa berani berlaku kurang adat?”
Ketika diantara Cahaja rembulan dilihat wajah Tan Keh Lok, kagetlah siorang tua, terus menarik pulang tangannya.
„Kau ternyata bukan manusia baik, ikutlah aku menghadap baginda!” katanya kemudian.
„Tapi apakah kau berani mengikuti aku,” kata Keh Lok dengan masih tertawa.
Siorang tua merenung sejenak. Tiba-tiba Sim Hi munCul dari samping, terus menuding siorang tua dan mendampratnya: “Kau situa bangka yang masih temaha hidup ini, kali ini kau kira akan dapat me nangkap aku? Kongcuku karena memandang muka tuanmu, maka tak mau ladeni kau. Dan aku, juga karena memandang muka kongcu, pun terpaksa mengalah padamu. Mengapa kau begitu tak tahu diri berani mengejar kemari?”
Kemarahan siorang tua itu diunyuk dengan mulutnya yang menggerung dan tangannya yang seCepat-cepat kilat menya wut lengan Sim Hi yang kanan itu. Sehingga pada saat itu Sim Hi rasakan lengannya serasa dijepit dengan jepitan besi, sakit dan panas bukan buatan, sehingga dia tak dapat berkutik.
Melihat itu Keh Lok dan Pan San berbareng menyerang.
Cepat-cepat siorang tua lemparkan sikaCung untuk menyambut serangan kedua orang itu. Diatas udara. Sim Hi berjum palitan dan inyakkan kakinya ketanah dengan pelahans. Tak berani dia umbar suara lagi, habis bersuit, terus berlalu.
Pada saat itu kelima si-wi tadipun sudah datang pula. Tan Keh Lok dan Tio Pan San mundur kearah barat. Diarah muka sana terus menerus terdengar suara suitan.
„Buru terus!” demikian siorang tua keluarkan perintah dengan garang.
Jadi kini yang diburu ialah Tan Keh Lok bertiga dengan Tio Pan San dan Sim Hi sedang yang memburu siorang tua dengan kelima si-wi, Mereka berlarian menuju kearah telaga
Se-ouw. Tepi telaga itu adalah tempat perkemahan tentara yang mengawal Kian Liong. Jadi kalau Tan Keh Lok ber tiga lari kearah sana itulah bagus, seperti ikan masuk ke jaring, demeikian pikir siorang tua.
Tapi begitu sampai ketepl telaga, Keh Lok bertiga segera loncat kesebuah perahu kecil, perahu mana terus bertolak. Melihat ada sebuah perahu lain ditepi itu, Cepat-cepat siorang tua dan kelima si-wi itu loncat keatasnya. Tampak pada buritan perahu ada seorang wanita, yang memakai kerudung kepala warna hijau. Pakaiannya yang sederhana itu tambah menambah keelokan tubuhnya.
„Lekas mendajung, kejarlah perahu dimuka itu, nanti diberi persen besar”, kata siorang tua.
„Sungguh ? Masa tengah malam buta begini, mau pesiar ketelaga ? Majikan kita sedang mendarat, maukah tuandua menunggunya sebentar ?” kata perempuan itu dengan tertawa.
Salah seorang si-wi menjadi tak sabaran. Sekali babat, putuslah tali penambat perahu itu. Sedang seorang kawan nya, gunakan tombak untuk mendajungkannya. Perahu itu segera mula; melunCur ketengah.
„Ai, selama ini belum pernah ada pelanCong yang se wenanga tak tahu aturan seperti ini”, kata siperempuan tertawa.
Siorang tua tak mau menghiraukannya, terus perintahkan mendajung dengan Cepat-cepat . Siwanita terpaksa bantu mendajung. Tampak perahu yang diburu itu melunCur kebawah terowongan jembatan Su-thi-kio. Salah seorang si-wi ambil sebilah papan untuk bantu mendajung.
Ketika kedua perahu itu hampir merapat, tiba-tiba dari rum pun bungadua terate yang dinaungi oleh bayangan puhundua itu, munCullah 5 buah perahu. Yang ditengahdua merupakan perahu besar, lajarnya dari kain hijau, merupakan perahu pesiar ja,ng mewah buatannya. Begitu terdengar suitan, Tan Keh Lok sudah ajun tubuhnya keatas perahu pesiar itu. Sim Hi pun mengikuti dan mengambil sebuah pakaian jubah warna putih, lalu diberikan pada tuannya.
Kini tampak ketua dari H.H.H, itu berdiri diatas haluan, tangannya memegang sebuah kipas. Bajunya bergontaian dimain embusan angin, dan dengan dongakkan kepala me mandang rembulan, tampak dia betul-betul mirip dengan seorang pertapa sakti.
Tak lama pula, perahu siorang tua pun tiba, setelah suruh memberhentikan mendajung, maka berserulah ia dengan lantangnya: „Hai, sahabat, siapakah sebenarnya kau ini, harap memberitahukan.”
Dari tengahdua badan kapal Sim Hi keluar, serunya: “Kong Cuku telah memberitahukan namanya pada tuanmu! Aku ini adalah kaCungnya, tak ber-she tak bernama. Kongcu biasa menyebut 'Sim Hi' padaku. Dan siapa pula namamu, Coba sebutkanlah. Kongcuku adalah sahabat dari tuanmu. Kita yang menjadi orang sebawahannya ini, baik juga sekiranya untuk berkenalan.”
Kecil usianya, tapi kaCung itu pandai mengili hati orang. Saking marahnya, sepasang alis siorang tua itu terangkat naik, lalu mendamprat: “Setan Cilik, jangan ngaCo giladuaan!”
Adalah Tio Pan San yang berdiri dilain perahu segera berseru: “Aku yang rendah ini, adalah Tio Pan San dari Un-Ciu. Adakah saudara ini dari golongan Ko Yang Pai?”
„Ah, kiranya sahabat ini adalah yang dijuluki orang kangouw sebagai Cian-pi-ji-lay Tio-tangkeh itu?” kata siorang tua.
„Ah, sebenarnya itu hanyalah gelaran kosong dari sahabatdua kangouw yang suka bersendau gurau. Sebenarnya aku merasa malu pada diri sendiri. Dan mohon tanya, siapakah nama saudara yang mulia?” kata Pan San.
„Aku yang rendah orang she Pek nama Cin...............”
Mendengar kata-kata itu, Tan Keh Lok dan Tio Pan San sama terkesiap. Pek Cin yang berjuluk „Kim-jiau-thi-kau” atau Cakar emas dan kaitan besi, adalah tokoh terkemuka dari Cabang Ko Yang Pai. Kira-kira tiga 0 tahun yang lalu, ilmunya “eng-jiao-kang” telah menggetarkan dunia persilatan. Sudah lama benar dia menghilang, kini tahu-tahu dia menjadi peng awal peribadi dari baginda Kian Liong.
Buru-buru Tio Pan San rangkapkan kedua tangannya memberi hormat, katanya ;
„Oh, kiranya 'Kim-jiau-thi-kau' Pek-locianpwe, maka tak heranlah kalau bugenya begitu lihai. Pek locianpwe begitu memerlukan sekali untuk mengunyungi kami, entah akan memberi pengajaran apa?” tanya Tio Pan San dengan me rangkap kedua tangannya.
„Kudengar saudara Tio adalah sam-tangkeh dari HONG HWA HWE, dan siapa saudara yang satunya itu?” tanya Pek Cin. Setelah merenung sejenak, tiba-tiba dia berkata pula: „Aha, apakah bukan siaothocu Tan kongcu?”
Tio Pan San menyawab pertanyaan itu dengan bertanya: “Apakah yang locianpwe inginkan?”......
Tan Keh Lok mengebut kipasnya, kemudian ia ikut berkata dengan lantang: “Rembulan terang, angin tenang. Malam yang sedemikian indahnya, maukah Pek-locianpwe ber-sama-sama menikmati arak?”
„Kau tengah malam ! telah menyelundup kegedung pem besar, sehingga membikin gaduh. Sebaiknya kau suka turut aku menghadap pada junyunganku, agar tak menyusahkan diriku. Junyunganku inemperlakukan kau dengan baik, dirasa tentu takkan meiCusahkan dirimu,” “sahut Pek Cin.
Tertawa Tan Keh Lok. “Junyunganmu itu bukan orang sembarangan. Kau sampaikanlah padanya, bahwa bunga kwi-hoa tengah menyebarkan baunya yang harum ditelaga, sedang rembulan pun tengah bersemarak dengan gilangnya. Apabila ada kegembiraan, sukalah berkunyung kemari untuk mengobrol dan menikmati arak. Aku menantikannya disini,” sahutnya kemudian.
Hati Pek Cin menjadi serba susah. Dia menyaksikan sendiri bagaimana raja telah memperlakukan orang itu begitu manisnya, apabila sampai berbuat kesalahan padanya, ada. kemungkinan raja akan menyesalinya. Tapi karena orang itu berani menyelundup ketempat persidangan baginda, maka bagaimana akibatnya kalau tak ditangkap? Beberapa saat ia me-nimangdua itu, tiba-tiba ia mendapat pikiran : bahwa karena yang menyelundup itu dua orang, maka kalau seki ranya tak leluasa menangkap yang seorang, yang lainnya (Tio Pan San) akan bisa ditangkap tentunya.
SeCepat-cepat memikir, seCepat-cepat itu pula dia enyot tubuhnya loncat keatas perahu Tio Pan San. Belum orangnya datang, Cengkeraman tangannya sudah menyulur. Sepuluh jarinya bagaikan besi kerasnya, berbareng merangkum muka dan dada Tio Pan San.
Melihat itu, Cepat-cepat Pan San empos semangatnya dan tetap tenang saja. Begitu Cengkeraman orang hampir tiba, dengan tangan kanan „im Ciang” dan tangan kiri „yang Ciang,” dalam gerakan „hun Chiu,” dia kibaskan kedua Cengkeraman besi itu dengan tipu “ji-liong-jut-hai” atau dua naga keluar dari lautan.
Berpuluh tahun Tio Pan San telah mejakinkan ilmu si lat Thay Kek Kun. Dia adalah achli lwekang Thay Kek Pai dari golongan selatan. Gerakannya telah menCapai kesem purnaan pada tingkat yang tiada taranya.
Ketika Cengkeramannya tak menemui sasaran, Pek Cin rasakan lengannya terdorong oleh kekuatan yang maha kuat, Cepat-cepat a dia kerahkan khl-kang untuk bertahan.
Berbicara tentang ilmu Iwe-kang, sebenarnya kedua orang itu sama-sama telah menCapai kesempurnaan. Hanya saja posisi mereka yang berlainan. Pek Cin turun melayang dari atas, jadi tak punya landasan untuk Cari kekuatan. Tio Pan San menginyak diburitan perahu. Sambil mendo rong, kakinya tetap berpijak kuatdua.
Tiba-tiba Pek Cin merobah gerakannya dengan Cepat-cepat . Sebe lum lawan kumpulkan seluruh tenaganya, tangannya kiri di kibaskan keatas, sedang tangannya kanan kembali membe rosot untuk menCengkeram dada lawan. Kalau berhasil, dada musuh. pasti akan robek dibuatnya.
Pan Sanpun dengan sebatnya melindungi dadanya dengan kedua tangannya. Habis itu, seCepat-cepat kilat tangannya kanan ditebaskan kebawah sedang tangannya kiri diangkat memo tong keatas. Jadi kanan kiri tubuh Pek Cin seperti dika Cip. Itulah yang disebut gerakan “ya-ma-hun-Cong” atau kuda liar mengibar suri. Sambil menolak serangan, terus balas menyerang.
Adalah maksud dari serangan Pek Cin tadi, supaya musuh mundur setindak, agar dia dapat menginyak lantai perahu. Tapi ternyata Pan San dari mundur sebaliknya tetap berdiri
ditempatnya. Sehingga kini Pek Cin teranCam bahaja keCebur disungai. Dia menjadi nekad, terus menyambar maju.
Tapi Pan San tetap membandel, malah dengan gerakan “maju memindah palang,” dia maju menghantam. Pek Cin egoskan kepala, sembari menyawut lengan orang. Melihat itu, Pan San susuli dengan sebuah hantaman kemuka lawan, tapi lawanpun juga bertindak sama. Jadi dua buah tinyu saling berhantam. “Brakk!” Akibatnya, kedua orang itu » sama-sama terpental kebelakang sampai beberapa tindak.
Tio Pan San terpental jatuh tepat diatas buritan. Cio Su Kin yang menjadi juru dajung dihaluan perahu, Buru-buru menghampiri untuk menolong. Tapi ternyata Pan San sudah Cepat-cepat berdiri pula.
Sebaliknya, bagi Pek Cin karena dibelakangnya adalah telaga tentulah ia akan keCebur masuk air, diam-diam ia sudah mengeluh, Syukurlah baginya dengan Cepat-cepat seorang si-wi melempar sebilah papan kemuka air dan dengan papan itulah Pek Cin dapat enyot tubuhnya loncat masuk kembali ke dalam perahunya.
Dalam dua tiga gebrak, nyatalah kekuatan kedua jago itu berimbang. Bagi Pek Cin, dia gagal untuk menginyak kan kakinya kelantai buritan. Sekalipun dia dapat membuat lawan terhujungdua, tapi ia juga hampir keCebur ditelaga. Jadi boleh dikata seri alias sama kuat.
„Bagus, bugemu Cukup lihai. Sekarang pulanglah berita hukan pada tuanmu, bahwa kutunggu dia disini untuk meng gadangi dewi malam,” seru Tan Keh Lok dengan suara lantang.
Pek Cin malu terCampur marah. Tapi karena kelima perahu itu penuh dengan orang-orang yang lihai, sedang fihaknya hanya 5 orang, maka ia dapat melihat gelagat. Lebih baik mundur teratur untuk menyusun kekuatan. Lalu diperintah kannya siperempuan tukang perahu mendajung pulang.
“Rembulan sedang gemilang, mengapa tuandua kesusu pulang? Mengapa tak mau ber-main-main dulu?” tertawa si f perempuan tukang perahu.
“Ceriwis! Kau tak tahu kita sedang melakukan tugas negara!” bentak Pek Cin,
„Aha, masa menyalankan tugas negara pergi ketelaga, penghuni telaga tentu geli dibuatnya,” demikian sahut pe rempuan itu pula. „Baiklah, ongkos persewaannya satu tail perak. Bajar dahulu, baru kubawa kau pulang!”
Karena menguber orang, sudah tentu kelima orang itu tak membawa uang, hingga mereka terkesiap sejenak.
„Masa tuan besarnya naik perahu saja diharuskan mem beri uang? Kita tak minta uangmu saja, itu kau sudah harus berSyukur. Ayo, lekas dajung,” hardik seorang si-wi dengan marahnya.
Namun wanita tukang perahu itu malah lepaskan dajung-nya, dengan berdiri bertolak pinggang, dia tertawa dan menyawab: „Ha, sekalipun kau ini kaisar sendiri juga harus membajar !”
Melihat sikap luar biasa dari perempuan itu, Pek Cin Curiga dan akan menegurnya. Tapi salah seorang si-wi telah mendahului ulurkan tangannya untuk menyeret kaki siperem puan, seraja tertawa.
Cepat-cepat perempuan itu mundur selangkah. Tapi si-wi itu terus menyulurkan tangannya lebih panyang .
„Lo Hoan, awas!” tiba-tiba Pek Cin berseru.
Belum habis peringatan itu diuCapkan, badan perahu menjadi miring, dan si-wi itu terhujungs separoh tubuhnya meng gelandot kesamping perahu, karena itu, Cukup sekali kaki kiri perempuan itu didupakkan pelan-pelan keatas punggungnya, maka menyeritlah si-wi itu disusul dengan suara keCem plungnya sang tubuh kedalam air.
Sebat kepalan Pek Cin melayang kemuka siperempuan, namun tukang perahu perempuan itu Cepat-cepat pula mengangkat gajuhnya. Brekk..................
Untuk kekagetan situkang perahu, dajungnya telah patah. SeCepat-cepat kilat ia buang dirinya kebelakang terjun kedalam telaga. Tapi pada lain saat, perahu ber-goyang dua dan berputar dengan keras sekali, se-olah.dua akan terbalik. Tentu itulah perbuatan perempuan tukang perahu tadi.
Pek Cin dan Kawan-kawan nya si-wi adalah orang utara, mereka tak mengerti ilmu berenang. Sudah tentu mereka kaget bukan kepalang.
„Orang-orang itu adalah orang-orang sebawahan dari sahabatku, biarkan mereka pulang!” tibas Keh Lok berseru nyaring.
Cio Su Kin loncat kedalam air. Bagaikan ikan dujung, dia melunCur kearah si-wi yang keCebur tadi. Dijambaknya rambut orang, setelah dilemparkan keatas satu kali, barulah si-wi itu dilontarkan kedalam perahu. Pek Cin tersipu-sipumenyang gapinya, tapi tak urung iapun turut basah kujup. Dalam pada itu, ia diam-diam terkejut menampak kekuatan luar biasa yang diunyukkan Cio Su Kin tadi.
Pada saat itu, perahu itu tampak tenang kembali. Sedang siperempuan tadipun tampak munCul keatas sambil tertawadua bertepuk tangan. Habis itu dia berenang bersama Cio Su Kin kearah lima buah perahul tadi. Kiranya perempuan tukang perahu itu, bukan lain ialah Lou Ping adanya.
Apa boleh buat, Pek Cin dan kelima si-wi itu mendajung nya sendiri. Tanpa ajal lagi, mereka laporkan kejadian itu pada junyungannya. Tapi soal mereka di “lelapkan” dalam air oleh Lou Ping itu tak dilaporkan.
„Kalau memang dia bersungguh hati mengundang, tak apalah, kau kasih tahu padanya sebentar aku akan kesana,” kata Kian Liong.
“Mereka adalah kawanan 'batu', sedang baginda adalah seumpama emas, hamba kira tak usahlah baginda hiraukan mereka,” kata Pek Cin.
“Lekas jalankan perintah!” seru Kian Liong tegas.
Pek Cin tak berani banyak-banyak omong lagi,. terus Cemplak kudanya ketelaga Se-ouw. Disana Cio Su Kin tengah ber peluk lutut, seperti sedang menanti beritanya.
“Bilanglah pada siauthocumu, junyungan kami terima undangannya!” seru Pek Cin.
Dalam perjalanan pulang, Pek Cin telah berpapasan dengan pasukan gi-lim-kun (pasukan pengawal raja) dan pasukan pemanah tengah berjalan menuju ketelaga. Me nyusul tampaklah pasukan tentara di HangCiu, dan Cui-su (pasukan air, angkatan laut jaman itu).
„Entah bagaimana pandangan baginda terhadap anak muda itu. Hanya karena hendak menemani minum arak, baginda telah bawa pasukannya lengkapdua” pikir Pek Cin heran.
Cepat-cepat dia pulang lalu atur rombongan si-wi yang bertugas melindungi kaisar. Nampaknya Kian Liong bersikap gembira sekali.
„Apa sudah siap semua,” tanya Kian Liong kepada Li Khik Siu yang sementara itu mendampingi juga.
Kian Liong ganti berpakaian seperti rakjat biasa, begitu pula pasukan 'gi-lim-kun' disuruhnya ganti pakaian. Dia Campurkan diri pada rombongan si-wi. Dengan berkuda mereka berangkat ketepi telaga.
Tapi. belum jauh mereka berangkat, tiba-tiba seorang perwira datang melapor kepada Li Khik Siu: “Perahu pesiar ditelaga Se-ouw tiada satupun dapat disewa, semua alat pengang kutan air itu berlabuh di-tengah-tengah telaga, sudah kita perintah kan mereka menepi, tapi mereka anggap sepi saja.”
„Goblok,” damperat Li Khik Siu gusar, “kenapa suatu perahu saja tak dapat disewa, masakan mereka berani memberontak ? “
Perwira itu tak berani membantah melainkan mengia saja. Tak lama kemudian, rombongan merekapun tiba ditepi telaga.
“Mungkin mereka sudah tahu siapa aku, namun kita tetan. puras berlaku seperti rakjat biasa saja,” demikian pesan Kian Liong.
Sementara itu disekitar telaga itu sudah penuh tersem bunyi pasukandua Gi-lim-kun, batalion pemanah serta pasukan kepercayaan Li Khik Siu sendiri, mereka mengurung rapatdua seluruh Se-ouw itu ber-lapisdua, hanya saja ditepi telaga tetap tiada sebuah kapalpun.
Dan selagi Li Khik Siu merasa gopoh, tiba-tiba terdengar gemeriCiknya suara air, didahului ber-kelipduanya sinar pelita, dari depan sana terlihat didajung datang lima buah perahu pesiar. Perahu yang paling tengah berdiri seorang tinggi kekar, lagaknya gagah dengan berbaju panyang dari sutera.
Ketika perahu itu sudah dekat menepi, orang itu telah berteriak: „Aku diperintah oleh Liok-kongcu untuk men jemput dengan hormat kedatangan Tang-hong siansing untuk menikmati keindahan rembulan di tengah telaga!”
Habis berkata segera orangnya melompat ke-gilidua terus mem beri hormat pada Kian Liong.
Karena itu Kian Liong pun membalas hormat orang, katanya: „Terima kasih, dan siapakah she saudara?”
„Aku yang rendah she Wi,” sahut orang itu. Nyata ialah Kiu-beng-kim-pa-Cu Wi Jun Hwa, simaCam belang ber nyawa sembilan.
Segera Kian Liong melangkah keatas perahu itu diikuti oleh Li Khik Siu, Pek Cin serta tiga 0-40 pengawal lain yang terbagi naik diatas beberapa perahu itu. Diantara pengawaldua itu ada belasan orang yang mahir berenang, maka Pek Cin menyuruh mereka harus berlaku waspada untuk melindungi keselatan Sri Baginda.
Begitulah kelima perahu itu lantas didajung ketengah telaga, tiba-tiba ditengahdua telaga itu tertampak sinar pelita terang benderang, seluruh perahu yang berkumpul ditengah telaga itu telah menyalakan lampu semua hingga seketika keadaan yang tadinya gelap suram itu seketika menjadi penuh sinar pelita yang ber-kelipdua bagai bintang-bintang memenuhi langit.
Apabila lebih dekat lagi perahu mereka, sajupdua terdengar pula suara suling disertai alat tetabuhan lain yang meraju merdu merasuk sukma.
Pada saat itu, tiba-tiba suatu perahu lain bagai terbang melunCur datang, didepan perahu itu seorang telah berteriak: “Apakah Tang-hong siansing sudah datang? Liok-kongcu sudah lama menunggu !”
“Sudah, sudah datang!” sahut Wi Jun Hwa keras-keras.
Segera pula perahu itu memutar sebagai penunyuk jalan, sementara itu kapaldua lain yang tadinya berhimpun di-tengah-tengah sana pelahandua pun sudah merapat kemari.
Melihat begitu hebat lagak pihak lawan, Pek Cin dan pengawaldua lain mau-tak-mau rada terkejut juga, diam-diam mereka meraba senjata yang mereka sembunyikan didalam baju.
Sementara itu terdengarlah suara Tan Keh Lok telah ber seru diujung kapal yang ditumpanginya itu, katanya: “Wah, Tang-hong siansing benardua sangat periang, marilah lekas kemari !”
Dan begitu kedua kapal sudah merapat, segera Kian Liong, Li Khik Siu, Pek Cin dan beberapa jago pengawal pilihan lantas menyeberang kekapal Tan Keh Lok yang lebih besar itu. Ketika melihat didalam kapal itu hanya terdapat Keh Lok sendiri bersama kaCungnya, Sim Hi, barulah hati Pek Cin dan Kawan-kawan nya rada lega.
Kapal yang ditumpangi Keh Lok itu ternyata terpadyang sangat indah, pada dindingduanya banyak-banyak tergantung piguradua lukisan, ditengah kapal sudah siap sedia daharan komplit dengan arak yang baunya sudah teruar semerbak.
„Betapa beruntung rasanya saudara telah sudi menerima undanganku ini,” demikian lantas Keh Lok buka suara.
„Saudara mengundang, mana berani aku tidak datang,” sahut Kian Liong.
Habis itu keduanya saling menyabat tangan dan tertawa gembira, lalu mereka ambil tempat duduk yang berhadapan. Sedang Li Khik Siu dan Pek Cin cs. berdiri dibelakang Kian Liong.
Melihat Pek Cin, Keh Lok tersenyum tanpa bicara, saat lain, sekilas dapat dilihatnya pula dibelakang Kian Liong berdiri seorang pemuda tampan, ia menjadi terkejut, bu kankah dia ini muridnya Liok Hwi Ching? Kenapa kini berada bersama diantara pembesardua pemerintah, inilah sangat aneh !
Oleh karena heran, tanpa merasa Keh Lok lebih banyak-banyak memandang sekejap pada orang, namun Li Wan Ci telah bersenyum sembari kedipi matanya dengan maksud agar jangan menyapanya.
Kemudian Sim Hi telah maju menuang arak. Kuatir kalau Kian Liong Curiga, Keh Lok mengeringkan dulu isi Cawan sendiri dan menyumpit pula daharan yang sudah tersedia itu. Karena itu, Kian Liong hanya memilih makanan yang telah diiCipi Keh Lok saja dan menyumpitnya beberapa kali, lalu iapun berhenti tidak makan lebih banyak-banyak.
Tatkala itu terdengarlah diperahu sebelah suara seruling berbunyi pula, lagu yang dibawakan itu ternyata adalah lagu “khing-ka-pin” atau menyambut tamu agung.
„Saudara sungguh seorang hebat, dalam tempo sesingkat ini ternyata bisa mengatur sedemikian lengkapnya,” ujar Kian Liong tertawa.
„Ja, ada arak harus pula ada nyanyian, karena mendengar suara Giok-ju-ih ada suara emas ditempat ini, maka senga ja diundangnya untuk menemani peminuman arak ini,” sahut Keh Lok.
Dalam gembiranya Kian Liong menepuk tangan memuji, habis itu ia berpaling menanya Li Khik Siu: “MaCam apakah orangnya Giok-ju-ih itu?”
“Itulah nama bunga raja ternama dikota HangCiu ini,” kata Khik Siu. „Kabarnya wataknya sombong dan suka ber-lagak, kalau ia tidak suka, sekalipun disediakan beribu tail emas jangan harap bisa melihat wajahnya sekejappun, jangan lagi bilang suruh dia menyanyi dan menemani minum.
(page cut)
Sedang berbicara, sementara itu Wi Jun Hwa sudah mendampingi Giok-ju-ih datang dari perahu disebelah itu.
Kian Liong melihat bunga raja yang tersohor itu berwa jah putih berminyak, bangun tubuhnya kecil mungil, rupa nya ternyata tidak begitu Cantik.
Sementara Giok-ju-ih telah maju memberi hormat dulu pada Tan Keh Lok sembari berkata dengan suaranya yang merdu : „Sungguh riang sekali Kongcu harini tampaknya!”
„Inilah Tang-hong loya,” segera Keh Lok memperkenakan sambil menunyuk Kian Liong.
Karena itu Giok-ju-ih berpaling memberi hormat pada kaisar itu, lalu menggelendot berduduk disamping Keh Lok.
„Menurut kata Wi-koko, katanya nyanyianmu sangat merdu, dapatkah kau memuaskan pendengaran kami?” kata Keh Lok pula.
„Tentu saja, jika Liok-kongcu ingin mendengar, sekali pun aku menyanyi tiga-hari-tiga-malam juga bersedia, hanya kuatir kalau kau yang bosen saja,” sahut Giok-ju-ih tertawa.
Sementara itu ada pelajan telah membawakan 'pi-peh', dengan pelahan senar tetabuhan itu dipentil, lalu menyanyi lah Giok-ju-ih membawakan suatu lagu popiler tentang “pura-pura tidak mau, belum dipanggil sudah mau” dan lain-lain segala.
Mendengar suara orang memang nyaring m«rdu meraju kalbu, segera Keh Lok menepuk tangan bersorak bagus, begitu pula Kian Liong tanpa merasa terkesima juga.
Habis satu lagu, Giok-ju-ih tertawa manis dengan dua dekiknya dipipi, ia berpaling memandangi Tan Keh Lok, lalu menyanyi pula :
(page cut)
“Mau pukul boleh pukullah!” mendadak Kian Liong ber teriak tak tahan, rupanya ia menjadi lupa daratan.
Karena itu, Keh Lok ketawa ter-bahakdua. Begitu pula Li Wan Ci menjadi geli sambil tekap mulutnya, hanya Li Khik ¦ Siu dan Pek Cin cs. yang terus tarik muka tak berani meng unyuk tertawa sedikitpun.
Sebenarnya Giok-ju-ih tidak tertawa, tapi bila menampak wajah beberapa pengawal yang serba salah itu, tak tertahan ia tertawa geli juga.
Kian Liong yang selamanya hidup didalam istana terpenCil, meski didalam istana tidak sedikit selir dan penyanyidua, tapi kesemuanya serasa kaku lugu, tiada aksi, tak pandai memi kat, mana bisa dibandingkan Giok-ju-ih, seorang bunga raja tersohor didaerah Kanglam ini, karuan seketika Kian Liong terpesona oleh lirikan mata yang menggiurkan dan suara nyanyian merdu yang meng-alundua, ditambah wangi bunga
yang sajupdua semerbak ditengah telaga itu, kaisar yang ber tachta itu lambat laun lupa daratan, tak teringat lagi olehnya bahwa ia lagi bertemu dengan seorang tokoh besar dari kalangan kangouw.
Kemudian Giok-ju-ih yang menuangkan arak lagi untuk Kian Liong dan Tan Keh Lok yang masing-masing kembali menge ringkan tiga Cawan pula, Giok-ju-ih sendiripun mengiringi seCawan.
Tiba-tiba Kian Liong menanggalkan sebuah mainannya yang terbuat dari batu giok dan dihadiahkan pada seniman itu dan katanya: “Coba menyanyilah suatu lagu lagi.”
Giok-ju-ih menghaturkan terima kasih dan menurut, se belum angkat suara ia telah panyang sekejap kearah Wi Jun Hwa, habis itu barulah ia membawakan pula suatu lagu yang ternyata berlainan daripada lagua yang duluan, lagu ini bersajakkan rindu kekasih yang telah ditinggal pergi, suaranya begitu ulem dan begitu memilukan, sampai achirnya. Giok-ju-ih benardua menCuCurkan air mata.
„Kemanakah kekasihmu itu telah pergi?” tanya Kian Liong kemudian sambil tertawa kelakar.
Siapa duga Giok-ju-ih benardua menyawab: „Ia telah di paksa pergi perang dengan rakjat Hwe oleh Hongte (kaisar).”
„Lakidua sejati memangnya harus mendirikan pahala untuk negara barulah bisa beruntung untuk hari depan, hal itu harus dibuat girang, kenapa malah dibuat berduka,” kata Kian Liong pula tertawa tawar.
“Ai, ai, kalau mereka bangsanya panglima atau jenderal, makin perang makin naik pangkat dan kaja mendadak, tapi rakjat jelata yang dipaksa pergi perang itu kalau bisa se lamat pulang kerumah sudah harus berterima kasih pada Tuhan Allah, mana berani bilang mendirikan pahala segala, tuan ini benardua pandai berkelakar,” demikian sahut Giok-ju-ih.
Karena debatan itu, seketika Kian Liong menjadi bung kam malah.
Segera juga Li Khik Siu telah membentak: “Jangan.kau tak kenal gelagat berahi ngaCo-belo !”
„Baiklah, hamba yang ngaCo-belo, harap tuan jangan
gusar,” kata Giok-ju-ih sambil berbangkit dan memberi hormat.
„Siapakah namanya kekasihmu itu? Kenapa bisa dipaksa berperang kedaerah Hwe?” tanya Keh Lok tiba-tiba .
„Sebenarnya ia termasuk juga kaka-misanku,” sahut Giok-ju-ih, „ia bernama Jiau Siu, sejak kecil kami ber dua selamanya memain bersama, belakangan ayah menyo dohkan dia padaku dengan harapan kelak ia bisa hidup aman dan tenteram, siapa tahu mendadak Hongte mau serang daerah Hwe dan secara paksa ia telah diangkut pergi. Di tempat sejauh beribu li yang penuh es dan salju itu, selama hidup ini teranglah dia takkan bisa pulang lagi.”
Mendengar Cerita yang Cukup memilukan itu, Keh Lok terharu juga, ia berpaling dan berkata pada Kian Liong: „Ja, bangsa Hwe tinggal ditempat sejauh itu, pula tiada salah apa-apa, kenapa pemerintah telah kerahkan tentara meng gempurnya tanpa menghiraukan kesengsaraan rakjat, se sungguhnya ini tidak menguntungkan rakjat umumnya.”
Kian Liong menyengek sekali dan tanpa menyawabnya.
Kemudian mereka berdua saling mengeringkan lagi beberapa Cawan, harum bunga ditengah telaga itu semakin se merbak mewangi.
„Aku ada seorang saudara angkat, ia bisa meniup suling dengan sangat bagus, sayang kini tiada disini, sungguh aku menjadi sangat merindukan dia,” kata Keh Lok tiba-tiba .
Mendengar itu, bibir Wan Ci tiba-tiba bergerak seperti hendak buka suara, Cuma dapat ditahannya lagi.
„Saudara jauh-jauh datang ke Kanglam sini dari daerah Hwe katanya untuk keperluan kawan, apakah soalnya justru karena saudara angkat itu?” tanya Kian Liong.
„Bukan, tapi saudara tukang suling ini justru datang bersama aku hendak menolong seorang kawan yang lain, Cuma sayang tidak berhasil,” sahut Keh Lok.
„Entah kawanmu itu berdosa apakah?” tanya Kian Liong pula.
„Ja, kawanku itu entah berdosa apakah hingga ditawan oleh pemerintah, hal ini sungguh bikin orang tak mengarti,” kata Keh Lok.
„Siapakah nama kawanmu itu?” tanya Kian Liong.
„Ia she Bun bernama Thay Lay, orang kangouw menyu lukinya Pan-lui-jiu,” sahut Keh Lok.
Begitu mendengar kata-kata ini, seketika Kian Liong dan Li Khik Siu berobah wajahnya. Mereka sudah tahu juga bahwa Keh Lok adalah pemimpin Hong Hwa Hwe, tapi sekalidua tak mereka duga orang berani terangduaan mengungkat soal Bun Thay Lay.
Saat itu juga Pek Cin mengedipi Kawan-kawan pengawalnya agar siap sedia, tampaknya pertarungan sengit tak dapat diCegah lagi, maka para Si-wi atau jago pengawal itu telah memegangi senjata masing-masing yang disembunyikan didalam baju.
Namun kesemuanya itu dapat dilihat oleh Tan Keh Lok, dengan tersenyum ia tanya Kian Liong: „Beberapa pengiring saudara ini tentunya mahir ilmu silat semua, entah darimana kah saudara memperolehnya?”
Namun Kian Liong tidak menyawab, hanya dengan tersenyum ia tunyuk Pek Cin dan berkata: “Menurut Ceritanya tadi, katanya saudara sendiri berkepandaian tinggi, nyata siang tadi siaote telah salah mata, dikira seorang pelajar yang lemah, siapa tahu adalah seorang pendekar besar dari kalangan kangouw, entah dapatkah saudara mempertunyu kan sedikit, agar siaote bisa menambah pengalaman.”
“Kepandaian siaote yang Cetek mana ada harganya untuk dibicarakan,” sahut Keh Lok. „Tampaknya saudara ini mem bawa 'boan-koan-pit' (potlot baja), tentulah seorang ahli menutuk, baiknya silahkan tampil kemuka buat belajar beberapa jurus saja?” — Sembari berkata ia tunyuk salah seorang jago pengawal yang berdiri dibelakang Kian Liong itu.
Si-wi itu she Hoan, bernama Tiong Su, ia mampu meng gunakan senjata Boan-koan-pit, dengan sendirinya ilmu silatnya bukan kaum lemah. Tadi waktu mengejar Tan Keh Lok dan diatas perahu menCoba menggoda Lou Ping dengan memegang kakinya, ia sangka orang hanya seorang wanita tukang perahu biasa, siapa tahu ia sendiri yang kena didepak kedalam air hingga basah kujup seperti ajam keCemplung kali.
Kini mendengar Keh Lok menunyukan dalam bajunya membawa Boan-koan-pit, tentu saja ia terkejut, pikirnya : „Aneh, darimana ia bisa tahu?”
Kiranya senjatanya meski ditutupi baju, namun tidak urung kelihatan menonyol juga, pula Keh Lok sudah me latih segala maCam senjata, dengan sendirinya segera ia tahu senjata apa yang menonyol didalam baju orang itu.
Hoan Tiong Su sendiri memangnya lagi belum terlampias mendongkolnya karena keCundang tadi, dengan kepandaian nya yang sangat ia agulkan, kini ia justru ingin pamerkan dihadapan Sri Baginda, maka Cepat-cepat ia telah menyawab : “Baiklah, bila Kongcu sudah menunyuk padaku, marilah silahkan memberi petunyuk.” — Habis berkata, segera senjatanya ia lolos, dengan enteng ia melompat keujung kapal.
Melihat lagak orang yang sombong, sesaat itu Keli Lok malah tak mau menggubrisnya lagi, sebaliknya ia tunyuk Giok-ju-ih dan berkata lagi pada Kian Liong: “Nasib nona ini sesungguhnya harus dikasihani, sudilah kiranya jinheng (saudara) memberi pertolongan, biar mereka dua-sejoli bisa hidup beruntung?”
Kian Liong melirik kearah Giok-ju-ih, ia lihat wajah orang yang halus menggiurkan tapi harus dikasihani itu, diama ia menjadi suka, ia pikir sebentar Cara bagaimana menyuruh Li Khik Siu menghantarnya kepadanya dan Cara bagaimana merahasiakan hal ini agar tidak menodai nama baiknya yang tentu akan menimbulkan Celahan umum. Maka ketika ditanya Keh Lok, seketika ia tak bisa menyawab, setelah sejenak barulah ia berkata: “0, tapi kaka-misannya mengabdi untuk kerajaan, berjuang untuk negara, bukan kah hal itu sangat baik?”
Sementara itu Hoan Tiong Su masih menanti diujung kapal dengan sepasang Boan-koan-pit siap ditangan, ia menjadi serba salah, maju tak bisa, mundur tak mungkin.
“Lau Hoan, kembalilah,” bentak Pek Cin tertahan, demi melihat keadaan sang kawan yang runyam itu.
Terpaksa Hoan Tiong Su menyimpan kembali senjata dan kembali berdiri kebelakang Kian Liong lagi, dengan gemas ia melototi Keh Lok sejenak, Cuma dimulut tak berani ia mengomel.
„Betapa besar dan kepandaian Tong Thay Cong, tentunya jinheng sangat mengaguminya bukan?” tiba-tiba Keh Lok menanya Kian Liong.
Memangnya selama hidup Kian Liong paling menyunyung tinggi pada kaisardua Han Bu Te dan Tong Thay Cong, ia merasa kedua maharaja yang membuka jalan dan meluas kan wilayah hingga namanya terkenal dinegeri lain, maka sejak naik tachta, dalam hati ia pingin sekali mentaulad kaisar* yang terdahulu itu. Sebabnya ia mengirim tentara jauh-jauh menggempur daerah Hwe itu, meski tujuannya karena menginCar kekajaan daerah itu, namun disamping itu sebenarnya ia justru hendak melanyutkan tindakan-akan kedua kaisar dari ahaladua yang lebih dulu itu. Kini mendengar per tanyaan Keh Lok, tentu saja hal itu CoCok dengan “selera” nya.

M A K A segera ia menyawab: “Tong Thay Cong adalah seorang raja yang gagah dan bijaksana, negeri tetangga takut mendengar namanya, maka menyebutnya sebagai maharaja, ia pandai ilmu sastra pula ilmu militer, sudah tentu sepanyang jaman susah diCari bandingannya.”

”Siaote pernah membaCa buah karya Tong Thay Cong yang berjudul 'Cing-koan-Cing-yau' (tinyauan beberapa hal ten tang mengatur negara), ada beberapa kalimat diantaranya memang benar katanya,” ujar Keh Lok.

“Entah kalimatdua yang manakah?” tanya Kian Liong se nang, rupanya ia sangat ketarik. Nyata sejak berkenalan dengan Tan Keh Lok, meski ia sangat menyukai pemuda ini, tapi dalam pembicaraan selalu tidak CoCok, kini mendengar orang juga sangat menyunyung Tong Thay Cong, tanpa merasa ia sangat gembira

Maka jawablah Keh Lok: „Tong Thay Cong bilang : 'Perahu makanya diumpamakan raja dan air makanya di misalkan rakjat, sebabnya air bisa menyalankan perahu juga dapat menyungkirkan perahu'. — Ia tulis juga : 'Seorang raja, kalau bijaksana orang akan menyunyung nya, kalau tidak bijaksana orang akan meninggalkannya, hal itu harus diCamkan!”

Kian Liong taungkam mendengar itu.

”Tamsil yang diambilnya itu memang sangat tepat,” terdengar Keh Lok berkata pula.
“Misalnya saja sekarang kapal yang kita tumpangl ini, kalau dijalankan menuruti arus air, maka duduk kita akan tenang dan aman saja, sebaliknya kalau didajung tidak karuan dan se-menadua, atau arus air mendadak bergolak, maka kapal ini pasti akan ter balik.”
Dengan mengambil tamsil itu dan diperdengarkan pada seorang raja ditengah telaga itu, terang sekali sengaja Keh Lok menggertak secara terus terang, bukan saja menghina kewibawaan seorang raja, dan menyatakan rakjat jelata setiap waktu juga dapat merobohkan raja, bahkan seakan-akan menganCam bahwa sekarang juga bisa menyungkirkan raja itu kedalam air.
Tentu saja Kian Liong sangat gusar tak tertahan. Selama hidupnya ia hanya jeri terhadap kakek baginda (Khong Hi) dan ayah bagindanya (Yong Cing), keCuali itu tak pernah ia diper-olokdua orang, apalagi dianCam seperti sekarang ini secara terangduaan.
Namun betapapun juga memang Kian Liong bisa mena han amarahnya, diam-diam ia membatin: “Biarlah sekarang kau boleh umbar suaramu, tapi sebentar kalau kau sudah ku tangkap, lihat saja kau takkan ketakutan dan menyura minta ampun?” — Nyata ia pikir pasukan Gi-lim-kun dan batalion pemanah sudah kepung rapat sekitar telaga itu, pula jago-jago pengawal yang dibawanya itu adalah pilihan semua dari yang terpilih, masakan suatu perkumpulan kecil di kangouw mampu berbuat apa?
Karena itulah, dengan tertawa ia masih menyawab : “Bukankah Sun-Cu berkata: 'Alam ini melahirkan raja dan raja mengatur alam ini. Raja adalah Ciptaan alam ini dan diatas segala maehluknya, ialah ayah-bunda rakjatnya. — Dengan begitu teranglah raja itu adalah firman Tuhan untuk membahagiakan rakjatnya, maka apa yang dikatakan jinheng tadi bukankah sangat bertentangan dengan sabda nabi?”
Keh Lok tidak lantas menyawab, ia menuang dulu isi Cawannya, habis ini barulah ia berkata: “Wi Le Ciu siansing dari permulaan dinasti ini pernah berkata dalam beberapa kalimat yang sangat bagus dan tepat, ia bilang, sebelum seorang raja berkuasa: Ia menyagal dan meraCnni kepala dan otak rakjat seluruh negeri, memisahkan putera-puteri rakjat seluruh negeri, perlunya untuk memupuk kedudukan dan kekajaan sendiri. Dan kalau tujuannya sudah ter kabul, ia lantas memeras tulang sumsum rakjat negeri, memisahkan putera-puteri orang, hanya untuk kesenangan dan ber-fojadua dirinya. Hal itu dipandangnya seakan-akan; Inilah hasil bunga daripada milikku tadi'. — Haha, apa yang dikatakan itu sungguh sangat tepat dan bagus sekali !”
Habis berkata, Keh Lok angkat Cawannya terus diCeguk habis.
Sampai disini, Kian Liong tak bisa tahan lagi, mendadaft ia banting Cawan araknya kelantai, seketika juga ia sudah akan umbar amarahnya.
Siapa tahu Cawannya yang dibantingkan itu, waktu hampir menyentuh lantai kapal, tiba-tiba Sim Hi berjongkok terus me raup, Cawan itu telah kena ditangkapnya, hanya isi araknya berCiprat sebagian.
“Tang-hong loya, Syukurlah Cawan ini belum terbanting peCah!” demikian kata Sim Hi kemudian sambil setengah berlutut dan menyodorkan Cawan itu kehadapan kaisar Kian Liong.
Karena perbuatan sikaCung ini, seketika Kian Liong ter tegun dengan wajahnya yang bersengut, ia hanya menyengek sekali.
Lekas-lekas Li Khik Siu yang menerima kembali Cawan itu sambil menantikan tanda dari Kian Liong untuk bertindak lebih lanyut.
Namun sesudah menenangkan diri, tiba-tiba Kian Liong ber gelak ketawa, katanya: “Haha, Liok-jinheng, kaCungmu ini sungguh gesit amat gerak-geriknya.” Habis ini ia berpaling dan katakan pada Hoan Tiong Su: „Nah, baiknya kau Coba main-main saja dengan kawan Cilik ini, Cuma harus hati-hati, jangan orang tua terjungkal ditangan boCah Cilik.”
Tiong Su membungkuk menerima perintah itu, segera pula ia melompat kedekat Sim Hi.
Namun Cepat-cepat sekali Sim Hi sudah lantas melompat ke taelakang, ia menCelat tinggi untuk kemudian turun diujung kapal, oleh karena usianya masih muda, maka kepandaian sesungguhnya masih belum terlatih masak, hanya dalam hal Ginkang atau ilmu entengi tubuh saja ia mendapatkan ajaran langsung dari Thian-ti-koay-hiap (guru Keh Lok), maka kepandaian inilah boleh diandalkan.
Ketika dilihatnya Hoan Tiong Su mengeluarkan sepasang Boan-koan-pit yang terus menutuk kekanan-kiri jalan da rahnya, kaCung ini tahu kalau soal ilmu silat sejati sekalidua bukanlah lawan orang, terpaksa ia harus menghindari dulu untuk menCari kesempatan buat balas menyerang.
Sementara itu bagai angin Cepat-cepat nya kedua senjata potlot Hoan Tiong Su sudah lantas menutuk pula. Namun lagi Sim Hi enyot tubuh melompat keatas antap kapal. „Marilah kita main-main petak-umpat saja, kalau dapat kau menangkap aku hitunglah kau menang, lalu berganti aku yang menangkap kau,” demikian kaCung itu menggoda dengan tertawa.
Sudah dua kali menyerang tak kena sasarannya, pula kini kena di-kilidua sikaCung, Hoan Tiong Su menjadi naik darah, sekali ia tutul kakinya, Cepat-cepat sekali iapun menyusul keatas atap kapal. Tapi baru saja ia inyak tempatnya, tahu-tahu dengan gerakan “it-ho-Ciong-thian” atau burung bangau men julang kelangit, bagai burung terbang saja Sim Hi telah melompat kesebuah perahu disebelah kiri, tentu saja Hoan Tiong Su tak mau sudah, segera ia menguber.
Dan begitulah lantas terjadi udak-udakan hingga benardua seperti anak kecil main petak-umpat (Cariduaan), maka tidak seberapa lama, kedua orang itu telah ber-putardua beberapa kali diatas belasan perahu itu.
Karena masih tetap tak bisa mendekati sikaCung, diam-diam Hoan Tiong Su sangat gopoh, ia menjadi tak sabar. Setelah mengitar sekali lagi, tiba-tiba terlihat ada tiga perahu yang berjajar dalam segi tiga seperti huruf “T” dan Sim Hi sudah melompat keatas sebuah perahu yang paling dekat itu, ia pura-pura menubruk keperahu sebelah kiri, karena itu Sim Hi tertawa ter-kikikdua senang sambil melompat keatas perahu kanan.
Tak terduga tubrukan kekiri itu memang disengaja Hoan Tiong Su, maka sekejap saja orangnya sudah menyusul diatas perahu yang kanan itu, kini kedua orang menjadi berhadapan, Cepat-cepat sekali potlot kiri Hoan Tiong Su lantas menutuk kedada sikaCung.
Dalam keadaan begitu, untuk menghindari terang tak sempat lagi, dalam keadaan bahaja, Cepat-cepat Sim Hi berjong kok membarengi memukul kebawah perut Hoan Tiong Su.
Terpaksa Tiong Su tekan potlot kirinya kebawah buat me nangkis, sedang potlot yang lain terus menutuk kepunggung siboCah yang lagi membungkuk itu. Serangan ini Cepat-cepat lagi jitu, tampaknya Sim Hi tak mungkin bisa hindarkan diri lagi. Siapa duga mendadak Tiong Su merasa dari belakang ada angin menyamber datang seperti sesuatu senjata antap yang telah menyerangnya.
Tiong Su sudah banyak-banyak asam-garam, sudah luas pengala mannya, dalam keadaan begitu tak sempat ia teruskan serangannya kepada musuh, tapi menolong diri paling perlu, maka sedikit kaki menggeser dan badan memutar, potlot kanan ia angkat terus menghantam keatas senjata yang membokong itu.
Maka terdengarlah suara „trang” yang keras, lelatu ber Cipratan, dan senjata orang itu hanya sedikit tertahan kebawah saja, habis itu kembali sudah menyerampang lagi kepinggang Hoan Tiong Su.
Kini Tiong Su sudah dapat melihat jelas senjata musuh itu ternyata adalah sebatang gajuh besi, pemakainya adalah situkang perahu yang duduk diburitan itu. Dari pengalaman saling beradunya senjata tadi, Tiong Su tahu tenaga tukang perahu itu terlalu besar sekali, maka tak berani lagi ia pak sakan diri buat menangkis, lekas-lekas ia meloncat untuk kemudian dengan pelahan hendak turun kembali keburitan perahu untuk menutuk hiat-to atau jalan darah situkang perahu itu.
Tukang perahu itu bukan lain ialah Cio Su Kin. Sesudah dapat menolong Sim Hi dan melihat Hoan Tiong Su melompat kearahnya, Cepat-cepat sekali ia julurkan penggajuhnya kedalam air terus disongkel pergi hingga seketika perahunya telah berputar setengah lingkaran, apabila Hoan Tiong Su hendak turun keburitan seperti tujuannya semula, maka kedudukan perahu itu kini sudah berganti tempat.
Karuan saja Tiong Su menjadi kelabakan, ia menyerit kaget dan belum lenyap suaranya, „plung,” tanpa ampun lagi untuk kedua kalinya ia terCemplung kedalam telaga, bahkan sekali ini ia telah minum air telaga hingga keadaannya gelagapan luCu.
„Hahaha, main petak sampai achirnya masuk kedalam air,” demikian Sim Hi bertepuk tangan sambil tertawa.
Sementara itu dua jago bayang kari yang mengiringi Kian Liong yang mahir berenang lekas-lekas melompat turun kedalam telaga buat tolong sang kawan, tapi pada waktu hampir mendekat, tahu-tahu Cio Su Kian mengulurkan penggajuhnya kemukanya Hoan Tiong Su, karena dalam keadaan gelagapan dengan kedua tangannya lagi merontaa serabutan, kini tangannya menyentuh penggajuh, karuan ia tidak perdulikan apa benda itu, seketika ia pegang eratdua tak mau lepas.
Bila saat lain mendadak Cio Su Kin angkat penggajuhnya terus diajun pergi sambil membentak: „Pergi!” — Maka melambunglah tubuh Hoan Tiong Su keudara menuju ke kapal dimana berduduk Kian Liong dan Tan Keh Lok.
Susiok atau paman-guru Hoan Tiong Su yang bernama Pui Liong Cun juga jago bayang kari yang ikut serta mengawal disitu, maka ialah yang tersipudua maju untuk menyang gapi tubuh sang sutit.
Dua kali Hoan Tiong Su telah keCemplung kedalam telaga, meski semuanya karena atas keCerobohannya, namun betapa pun bukanlah dirobohkan musuh dengan kepandaian asli, kena dibikin malu dihadapan sang kaisar lagi, boleh jadi nanti sepulangnya akan didamperat atau terima hukuman pula; karena itu, ia sangat mendongkol dan berkuatir pula, dengan basah kujup ia berdifi ditempatnya dengan termangu-mangu.
Pernah Pui Liong Cun mendengar Cerita kawannya bahwa Sim Hi telah menyambit menCeng panah dengan tanah lempung ketika siang harinya di Sam-tiok hingga kawan bayang kari telah dibikin malu, kini lagi-lagi Sutit atau murid keponak annya dipermainkan pula, karuan ia tak tahan lagi, ia tunggu sesudah Sim Hi sudah berada dibelakang Keh Lok, lantas ia tampil kemuka sambil berkata dengan suaranya yang seram: „Konon katanya kepandaian saudara Cilik ini dalam hal menggunakan am-gi (senjata gelap/rasia) sangat hebat, kini biarlah Cayhe minta petunyuk beberapa jurus dari padanya.”
Kiranya Pui Liong Cun ini berjuluk „Tok-sian-sia” atau sikatak berbisa, selama hidupnya terkenal karena menggunakan senjata rasia “Tok-Cit-le” (semaCam b'iji besi berduri yang berbisa), sambitannya jitu dan raCun dalam senjata rasia itu sangat lihai luar biasa, keCuali obat pemunah yang ia miliki sendiri, siapa saja yang terkena raCun itu tak dapat tertolong lagi, asal sudah masuk darah, dalam tiga jam pasti orangnya akan mati.
Memangnya para jago bayang kari itu sangat gemasnya terhadap “setan Cilik” (Sim Hi) itu, kini melihat Pui Liong Cun yang tampil kemuka, seketika mereka bergirang, mereka tahu kepandaian senjata rasia sang kawan jarang ketemukani tandingan, maka setan Cilik ini pastilah harini bakal melayang jiwanya.
Baiknya sebelum tantangan itu diterima, Keh Lok sudah lantas berkata pada Kian Liong: “Perkenalan kita sudah demikian akrabnya, jangan kita selisih paham nanti oleh karena perCeCokan hambadua kita saja. Menurut pendapatku, jika saudara ini adalah seorang ahli senjata rasia, maka biarlah suruh dia unyukan kemahirannya dengan papan latihan saja, dengan begitu bila kaCungku ini tak mampu menandinginya tidak sampai teerluka, entah usul ini sepaham tidak dengan jinheng?”
Karena usul itu memang beralasan, terpaksa Kian Liong menyawab: „Ja, sepantasnya begitu, Cuma dalam keadaan ter-Buru-buru begini darimana ada papan latihan?”
Tiba-tiba terlihat Sim Hi melompat keperahu dimana duduk Nyo Seng Hiap, lalu kaCung itu membisikinya beberapa kata, lantas terlihat Seng Hiap mengangguk-angguk terus menggapai Ciang Cin yang berduduk diperahu sebelahnya.
„Pegang buntut perahumu itu,” kata Seng Hiap sesudah si Bongkok itu melompat datang.
Ciang Cin menurut dan pegang erat- ujung perahu yang dia tumpangi sendiri tadi.
Sementara itu Seng Hiap juga sudah memegangi bong kotan perahu itu, habis itu mendadak ia membentak: “Naik!” — Seketika juga kedua orang itu telah angkat perahu itu keatas sampai perahu yang ditumpanginya itu ambles separoh kedalam air.
Melihat tenaga raksasa kedua orang itu, tanpa tertahan semua orang pada bersorak memuji.
Rupanya Lou Ping menjadi ; ketarik juga oleh „permai nan” itu, iapun melompat keatas perahu itu dan berkata dengan tertawa: “Inilah sungguh satu papan latihan yang sangat baik, biarlah aku yang mendajungnya.” — Habis ini lantas didajungnya perahu Seng Hiap ini kedekatan kapal yang ditumpangi Keh Lok dan Kian Liong itu.
„Siaoya, dengan ini dijadikan papan latihan boleh tidak? Silahkan kau menggambarnya dengan suatu bundaran ditengah,” demikian seru Sim Hi.
Tatkala itu Kian Liong dan para jago pengawalnya sudah ternganga saking terkejutnya melihat tenaga kedua „rak sasa” dari Hong Hwa Hwe itu.
Keh Lok tidak menyawab kata-kata Sim Hi tadi, tapi ia jemput Cawan araknya lalu mengeringkan isinya, habis itu mendadak tangannya mengajun, tahu-tahu Cawan arak itu me layang Cepat-cepat dan terdengarlah suara “pluk,” Cawan itu ternyata sudah terjepit di-tengah-tengah pantat perahu yang di angkat tinggi-tinggi oleh Seng Hiap dan Ciang Cin itu, rajin dan rata sekali Cawan itu mengambles* sedikitpun tidak retak atau rusak. Karena itu, kembali semua orang bertepuk tangan memuji.
Pek Cin dan Pui Liong Cun cs. yang menyaksikan Seng Hiap dan Ciang Cin mengangkat perahu, meski mereka merasa tenaga orang sesungguhnya besar luar biasa, tapi hal ini belum mereka menjadi jeri, kini melihat Tan Keh Lok menggunakan tenaga dalam menimpukkan sebuah Cawan
arak yang terbuat dari keramik, tapi seperti piau yang ter bikin dari baja dan menancap begitu dalam kedasar perahu itu, hal inilah telah bikin mereka mengkerut kening, mereka merasa ilmu silat pemuda ini benardua lain daripada yang lain.
„Nah, Cawan arak itulah dianggap sebagai sasaran, silah kan saudara ini mulailah,” kata Keh Lok kemudian dengan tertawa.
Segera pula Lou Ping mendajung perahu itu mundur beberapa tombak jauhnya, lalu teriaknya: „Terialu jauh tidak disini?”
Namun Pui Liong Cun tidak ingin buka suara lagi, diam-diam ditangannya sudah siap dengan lima butir “tok-Cit-le,” sekali tangannya bergerak, be-runtun- terdengarlah suara “Cring-Cring-Cring” yang nyaring, peCahan beling dari Cawan arak itu berhamburan, nyata Cawan yang menancap didasar perahu tadi telah kena dihantam peCah berantakan.
„Haha, benardua jitu juga!” seru Sim Hi tiba-tiba sambil me nongol keluar dari balik perahu yang diangkat tinggi itu.
Nampak boCah itu, sekonyong-konyong timbul hati keji Pui Liong Cun, kembali lima butir Tok-Cit-le seCepat-cepat kilat telah disambitkannya, tapi sekali ini yang diinCar adalah badan sikaCung itu yang meliputi atas-bawah, kanan-kiri, dan tengah.
Dibawah sinar bulan, kejadian itu Cukup terlihat jelas oleh semua orang, seketika juga banyak-banyak yang berteriak kaget.
Kepandaian am-gi atau senjata rasia Pui Liong Cun se sungguhnya lihai luar biasa, baru tampak tangannya bergerak, tahu-tahu am-gi yang disambitkan sudah menyamber sampai didepan sasarannya. Dibawah iringan teriakan kaget semua orang, keliriia Tok-Cit-le itu telah menuju ketempat berbahaja semua dibadan Sim Hi.
Dibawah anCaman almaut itu, dalam ketakutannya Syukur Sim Hi sempat menyatuhkan diri kelantai, berbareng itu Lou Ping telah timpukkan juga dua bilah pisau terbangnya hingga terdengarlah suara nyaring dua kali, dua biji Tok-Cit-le kena dibentur pisau terbangnya dan jatuh kedalam ketelaga.
Sebaliknya Sim Hi yang menyatuhkan diri kelantai ber hasil juga menghindari dua biji Tok-Cit-le, tapi sayang sebiji yang mengarah bagian tengah itu betapapun susah dikelit dan tetap mampir dipundak kirinya. Seketika kaCung ini masih tak merasakan kesakitan, hanya sedikit terasa agak gataldua pegal. Segera pula ia melompat bangun dan kontan ia mengumpat habis-habisan keliCikan lawannya itu.
Tentu saja para jago Hong Hwa Hwe menjadi gusar, perahudua mereka beramaidua lantas merubung maju, segera mereka ingin menentukan unggul dan asor dengan Pui Liong Cun.
Bagi jago-jago pengawal yang lain juga menganggap per buatan Pui Liong Cun itu sesungguhnya terlalu keji, ma sakan pakai Cara yang begitu rendah untuk membokong lawannya seorang anak kecil, hal itu benardua tidaklah mem buat mereka dipuji, sebaliknya pasti akan diCemooh oleh Kawan-kawan kangouw.
Namun bila mereka melihat jago-jago Hong Hwa Hwe begitu hebat suaranya yang setiap saat pertempuran bisa terjadi, segera pula mereka. keluarkan senjata siap sedia untuk menyambut musuh buat melindungi keselamatan Sri Baginda. Begitu pula Li Khik Siu lantas keluarkan “Ok-ka” (sema Cam alat tiupan dari tanduk) siap untuk ditiup buat kerahkan pasukan tentaranya.
Syukur Keh Lok keburu menCegah saudara-saudara angkatnya, serunya: “Para kaka sekalian, Tang-hong siansing adalah tamu agung kita, janganlah kita berlaku kurang adat, harap kalian mundurlah !”
Mendengar perintah sang ketua itu, terpaksa para ksatria itu mengundurkan perahu mereka beberapa tombak kebela kang.
Sementara itu Nyo Seng Hiap dan Ciang Cin sudah letakkan kembali perahu tadi kepermukaan air, Lou Ping sedang memeriksa lukanya Sim Hi, begitu pula Ji Thiar Hong telah mendatangi dan tanya keadaan luka kaCung itu.
„Su-naynay, Chit-ya, kalian tak usah kuatir, aku tidak merasa sakit, hanya gatalnya yang tak tahan,” demikian kata Sim Hi. Habis ini lantas tangannya hendak menggaruk lukanya yang terasa gatal itu.
Mendengar itu Lou Ping dan Thian Hong terkejut semua, mereka tahu tentu senjata rasia yang mengenai Sim Hi itu terendam raCun yang paling jahat, maka lekas-lekas mereka memegangi tangan Sim Hi.
„Aku gatal, Chit-ya, lepaslah kau!” demikian Sim Hi ber-teriakdua tak tahan.
Namun Thian Hong tetap memeganginya, dalam hati ia menjadi kuatir, Cuma lahirnya ia berlaku tenang, katanya : „Jangan kuatir, kau bersabar sebentar.” — Habis ini ia berpaling pada Lou Ping: „Suso, silahkan kau mengundang Samko kemari.”
Lou Ping mengia terus pergi.
Dan baru saja Lou Ping berlalu, tiba-tiba sebuah perahu seCepat-cepat terbang sedang melunCur datang, didepan perahu itu berdiri Ma Sian Kin, itu pemimpin Hong Hwa Hwe daerah HangCiu. Orang she Ma ini melompat keatas kapal Thian Hong dan dengan Cepat-cepat ia membisiki orang: „ Chit-tangkeh, disekitar Se-ouw telah penuh dikepung pasukan Cing, di antaranya terdapat pasukandua pemanah dan Gi-lim-kun, tam paknya kedudukan kita sangat tidak menguntungkan.”
„Ada berapa banyak-banyak jumlah musuh kira-kira?” tanya Thian Hong Cepat-cepat .
„Sedikitnya adalah tujuh sampai delapan ribu orang, tidak terhitung pasukan Cadangan yang berada diluar kepungan,” sahut Ma Sian Kin.
“Kalau begitu lekasan kau kembali mengumpulkan seluruh saudara-saudara kita didalam dan diluar kota dan dikerahkan ketepi telaga untuk menunggu perintah, Cuma jangan sampai di ketahui musuh, setiap orang supaya menCantumkan setang kai bunga merah didada,” pesan Thian Hong.
Ma Sian Kin mengangguk menerima perintah itu. “Dalam waktu singkat ini kira-kira bisa mengumpulkan berapa orang?” tanya Thian Hong pula.
“Terhitung pula buruhdua pabrik-tenunku, jumlahnya disekitar dua ribu orang, bila sejam lagi sesudalr saudara-saudara diluar kotapun sudah berkumpul, sedikitnya bisa bertambah seribu orang lagi,” tutur Sian Kin.
“Saudara-saudara kita setiap orang sanggup melawan lima orang musuh, dengan tiga ribu orang dapat melawan 15 ribu orang musuh, maka jumlah kita sudahlah Cukup, apalagi didalam pasukan musuh itu masih terdapat juga saudaras kita, maka pergilah kau mengaturnya,” kata Thian Hong achirnya Segera juga kembalilah Ma Sian Kin untuk melaksanakan tugasnya.
Sementara itu Tio Pan San yang diundang Lou Ping itu sudah datang, ia periksa luka Sim Hi, tapi tiba-tiba ia mengkerut kening, wajahnya kelihatan muram, pelahandua ia Cabut Tok-Cit-le yang menancap dpundak sikaCung itu, lalu dari kan tongnya ia keluarkan sebutir obat pil dan dijejalkan kemulutnya Sim Hi. Kemudian barulah ia berpaling pada Thian Hong dan berkata dengan rasa pilu: “Chit-te, tak bisa ditolong lagi !”
„Ha?” Thian Hong sangat terkejut, “Bagaimana luka nya?”
“PerCuma sudah,” sahut Pan San. Senjata rasia itu terdapat raCun yang sangat lihai, keCuali sipemakai sen diri, orang lain tiada yang sanggup mengobatinya.”
“Ia dapat bertahan berapa lamakah?” tanya Thian Hong. „Paling lama tiga jam,” sahut Pan San. Sembari berkata, tak tertahan air matanya hampir menetes.
“Samko,” kata Thian Hong lagi, “kalau begitu lekasan kita tangkap dulu keparat itu, kita paksa dia keluarkan obat pemunahnya.”
Kata-kata Thian Hong ini telah mengingatkan Tio Pan San, segera ia keluarkan satu sarung tangan yang terbuat dari kulit menjangan, sekali ia melompat pergi, hanya tiga kali naik-turun menutul diatas tiga perahu, tahu-tahu ia sudah sam pai dihadapan Tan Keh Lok dan Kian Liong.
„Liok-kongcu, aku ingin minta belajar kenal dengan ke pandaian ahli senjata rasia ini,” demikian segera ia berseru.
Memangnya Keh Lok lagi sangat gusar melihat Sim Hi dilukai Pui Liong Cun secara, liCik, kini melihat Tio Pan San maju hendak membalaskan dendam Sim Hi, hal ini sangat CoCok dengan keinginannya, maka lantas ia berkata pada Kian Liong: „Ilmu kepandaian memakai am-gi kawan ku ini masih boleh juga, maka biarlah mereka berdua Coba main-main , tentulah akan sangat ramai dan bagus kelihatannya.”
Sebagai seorang raja tentu saja senang bila bisa me nyaksikan haldua yang menarik, sedang mengenai apakah nanti pihak yang saling „main-main “ itu bakal mampus tidak, itulah ia tak perduli. Maka segera Kian Liong pun berpaling dan berkata pada Pui Liong Cun: „Baiklah, majulah kau, Cuma jangan kau bikin malu.”
Pui Liong Cun mengia terus hendak melompat maju, tiba-tiba Pek Cin membisikinya: “Awas, Pui-hiante, ialah yang berjuluk Cian-pi-ji-lay !”
Sudah lama juga Liong Cun mendengar nama besarnya Cian-pi-ji-lay atau sibudha bertangan seribu, karenanya hatinya tergetar, namun ia; mendug-a ilmu senjata rasianya selamanya belum pernah ketemukan tandingan, harini kalau bisa mengalahkan Cian-pi-ji-lay, tentu namanya bakal membubung.
Maka ia lantas melompat maju, sambil merangkap ke palannya ia berkata: „Cayhe adalah Pui Liong Cun, mohon Cian-pi-ji-lay suka memberi petunyuk beberapa jurus.”
„Hm, kiranya kau,” jengek Pan San sengit. „Memangnya aku duga kalau orang lainpun tak nanti menggunakan Cara liCik itu serta senjata rasia yang taegitu keji.”
„Ha,” sahut Liong Cun tertawa dingin. „Aku hanya pu nya dua tangan, silahkan Cian-pi-ji-lay memulai.”
Nyata dengan kata-katanya yang mengandung maksud menyindir ini ia hendak bilang : Lihatlah fkau yang katanya bertangan seribu dapatkah kau bisa berbuat apa dengan kedua tanganku melulu. ini ?
Tak banyak-banyak bicara lagi segera Tio Pan San meloncat ke belakang, lalu dengan suara tertahan ia membentak : „Marilah maju !”
“Tapi aku bertanding senjata rasia hanya dengan kau seorang saja,” kata Liong Cun tiba-tiba .
“Sudan tentu, apakah kau kira saudara-saudara kami bisa mem bokong kau seperti perbuatanmu yang rendah tadi ?” damperat Pan San gusar.
„Bagus, aku justru inginkan kataamu ini,” sahut Liong Cun. Habis ini, sekali melesat, Cepat-cepat ia melompat keatas sebuah perahu. kecil.
Kiranya ia tahu semua orang yang berada dikapal itu adalah jago- Hong Hwa Hwe yang tangguh, meski Tio Pan San sudah berjanyi tiada orang yang bakal membo kong padanya, tapi ia sendiri tadi telah gunakan perbuatan liCik hingga melukai Sim Hi, betapapun ia takut kalaudua pihak lawan juga diam-diam menurun tangan keji, maka tak berani ia tinggal diatas kapal yang terdapat banyak-banyak orang itu.
Tio Pan San pun tidak sungkandua lagi, ia tunggu begitu orang menginyak perahu itu, sekali tangan kiri bergerak dan tangan kanan mengajun, sekaligus tiga buah “kim-Ci-piau” atau senjata piau bentuk mata uang, dan tiga buah „siu-Cian” atau panah kecil, telah menyamber kedepan ber bareng, bahkan ketika ia menunduk kepala, tahu-tahu dari gigir nya menyamber keluar pula sebuah panah. Sungguh sama sekali tak pernah Liong Cun duga bahwa lawannya sekaligus sanggup menyambitkan tujuh maCam am-gi, dalam kaget dan ketakutannya karena tiada jalan buat menghin darkan diri, ia tak pikirkan lagi malu atau tidak, selamat paling perlu, mendadak ia mendekam kebawah kapal.
Karena itu, maka terdengarlah suara „plak-plok, plak-plok” be-runtungdua, tujuh maCam senjata rasia itu telah mengenai papan lantai kapal semua.
„Haha, seperti kuradua yang mengkeret saja, Cara begitu mana bisa. disebut bertanding am-gi apa?” terdengar seorang tukang perahu memaki.
Namun Liong Cun tak menggubris makian orang, ia balas menginCar Tio Pan San, dibawah sinar bulan Cukup te rang dilihatnya bangun tubuh orang, maka sebutir “po-te-Ci” atau biji tasbi, Cepat-cepat ia sambitkan kedada kiri Tio Pan San.
Sedianya Pan San hendak menangkap senjata rasia orang itu, tapi bila didengarnya' suara samberannya diketahui bu kan Tok-Cit-le, tiba-tiba ia mengegos menghindari. Tapi baru saja ia berkelit kekanan, tahu-tahu tiga butir Tok-Cit-le be nardua kini telah menyamber dari depan.
Melihat Cara menyambit am-gi musuh begitu Cepat-cepat , Pan San tak berani gegabah, mendadak dengan gaja „tiat-pan-kio” atau jembatan papan besi, ia mendojong kebelakang hingga- ketiga buah peluru berduri itu menyamber lewat di atas hidungnya.
“Bagus !” serunya, dan baru saja ia hendak menegak kembali, siapa tahu lagi-lagi tiga butir Tok-Cit-le telah me ngarah kebagian bawah badannya seCepat-cepat kilat.
Begitulah Cara Pui Liong Cun menyerang dengan senjata rasianya, hanya sekejap saja iapun menyambitkan tujuh buah am-gi, serangan itu disebut “lian-goan-sam-kik” atau gempuran tiga kali secara berantai. Kalau orang lain, pasti sekalidua tak sanggup menghindarinya. Namun Tio Pan San diluar pembatasan itu, ia bukan Cin-pi-ji-lay kalau gam pang keCundang, tiba-tiba sebiji “hui-hong-Ciok” atau batu belalang terbang melayang dari tangan kirinya, menyusul ta ngan kananpun melunCurkan sebuah “thi-tian-Ci” atau biji teratai besi, dengan dua am-gi ini ia bentur jatuh dua buah Tok-Cit-le orang, ia tunggu Tok-Cit-le yang tengah sudah tiba dekat, Cepat-cepat ia baliki tangan kiri dan menang kapnya dengan pelahan terus dimasukkan kesakimja.
Melihat kepandaian menggunakan am-gi Pui Liong Cun memang luar biasa, diams Pan San memikirkan Cara orang yang keji itu boleh jadi masih ada tipu muslihat lain lagi, jangandua dirinya yang berlaku jujur bisadua nanti malah ter jebak. Karena itu ia pikir harus mendahului, maka sekali tangannya bergerak pula, tiga buah “Kim-Ci-piau” kembali disambitkan mengarah “Sin-ting-hiat” dibagian kepala, “thian-ti-thiat” dibagian dada serta “hiat-hay-hiat” dibagian bawah.
Ketika melihat tangan orang bergerak, segera juga Pui Liong Cun sudah melompat kesuatu perahu yang lain. Tapi Pan San inCar baika tempat dimana orang akan menancap kaki, segera ia susulkan sebuah panah kemuka orang, dan selagi Liong Cun bermaksud angkat tangannya buat me nangkap, siapa duga mendadak dari depan sejenis senjata yang berbentuk bengkjmg aneh telah menyamber datang, le kasdua ia menunduk, namun1 aneh juga, senjata itu tahu-tahu sudah terbang kembali' lagi ketangannya Tio Pan San. Dan bila Pan San meraup terus ditimpukan pula, kembali senjata itu menyamber lagi kedepan.
Belum pernah Pui Liong Cun melihat senjata rasia tunggal Tio Pan San yang disebut “hwe-liong-pik” atau batu naga terbang berputar itu, karuan saking terkejutnya pi kirannya menjadi kaCau, dalam keadaan musuh sedang gu gup itu, bahkan Tio Pan San memberondongi lagi dengan tiga butir “po-te-Ci” yang tepat mengenai „yang-pek-hiat” diujung alis kiri dan “hun-bun-hiat” dibagian iga kanan, tanpa ampun lagi tubuh Liong Cun menjadi lemas terus menumprah diatas perahu.
Melihat Pui Liong Cun terjungkal, karuan terkejut se mua jago-jago pengawal Kian Liong itu. Segera Cu Wan yang berjuluk „It-wi-toh-kang” atau dengan sebatang gala me nyeberang sungai, yang bersama Pek Cin dan Pui Liong Cun digelari orang sebagai “Pak-khia-sam-eng” atau tiga jagoan dari Pakkhia itu, segera melompat maju buat me nolong sang kawan.
Dengan pedang melindungi mukanya, segera Cu Wan melompat keperahu dimana Pui Liong Cun terguling itu.
Namun tak diduganya, selagi tubuhnya masih terapung di udara, tibas dilihatnya dari pihak sana juga ada seorang melompat keperahu itu dengan pedang terhunus.
Oleh karena Cu Wan melompat maju lebih dulu, maka ia mendahulul turun diatas perahu itu, segera tangan kir-nya bergerak serta senjata ditangan kanan diputar suatu lingkaran, kontan leher orang yang juga melompat datang itu hendak ditabasnya, dengan demikian kalau orang terpak sa hendak selamatkan diri pasti akan didesak masuk air.
Tak tersangka orang itu justru tidak ambil mumet akan serang'an Cu Wan itu, sebaliknya ia membarengi menusuk pergelangan tangan kanan Cu Wan yang memegang senjata, inilah yang dalam ilmu silat disebut „orang yang pandai menyerang pasti menginCar tempat musuh yang ha rus dijaga,” walaupun dimalam gelap, namun tusukan itu ternyata begitu Cepat-cepat lagi jitu hingga sekejap saja ia sudah merubah kedudukannya yang diserang menjadi menyerang.
Lekas” Cu Wan menarik tangannya dan mengalihkan ujung pedangnya kebawah mengarah kaki lawari. Serangan ini adalah salah satu tipu serangan Tat-mo-kiam-hoat yang lihai.
Tapi orang itu telah tendangkan kakinya kiri pura-pura, me nyusul itu kaki kanan lantas melayang pula menendang pergelangan tangan Cu Wan. Apabila Cu Wan sempat angkat tangannya kesamping dan belum sempat melontarkan serangan pula, sementara itu orang itu sudah berdiri tegap diatas kapal. Dibawah sinar bulan yang Cukup terang, ter tampaklah orang- itu berpakaian imam dan lengan bajunya sebelah kiri diikat dipinggang.
Cu Wan sendiri asalnya adalah Hwesio dengan nama su Ci “Ti Wan”, tapi belakangan melanggar pantangan budha dan diusir keluar kelenteng, karena itu sekalian ia kembali kedunia ramai lagi dan berganti nama menjadi Cu Wan, berkat ilmu pedangnya Tat-mo-kian-hoat yang hebat dan ke ji, achirnya ia bisa manyat keatas hingga menjadi pe ngawal pribadi kaisar Kian Liong. Dan sebab tadinya ia bertirakat, sesudah kembali pereman hidupnya dilingkungan
kota terlarang pula didalam keraton, maka terhadap urus andua kangow ia tidak banyak-banyak paham, ia merasa ilmu pedang lawannya sekarang ini begitu Cepat-cepat luar biasa dan belum pernah ia jumpai selama hidupnya. Nyata ia tidak tahu bahwa itu adalah Bu Tim Tojin dengan ilmu pedangnya „Tui-hun-to-beng-kiam” yang tiada bandingannya diseluruh jagat itu.
Dalam ilmu silat, pedang diibaratkan. rajanya segala ma Cam senjata, pedang mengutamakan enteng dan gesit. Kalau golok hanya sebelah tajam saja yang bisa digunakan, adalah pedang kedua belah matanya dapat dipakai. Tapi ka rena kedua belahnya tajam, dengan sendirinya tidak dapat dibuat menangkis atau keras lawah keras seperti golok. Dan justru termashurnya ilmu pedang „tui-hun-to-beng-kiam” atau ilmu pedang penCabut nyawa dari Bu Tim itu titik pokoknya adalah karena gesit dan enteng, lawan yang biasa asal mampu berkelit tiga kali serangannya, lantas Bu Tim merasa sayang , asal lawan itu bukan seorang penyahat besar atau rnusuh keras, tentu jiwa diampuninya.
Namun Cu Wan ternyata masih belum kenal kelihaian orang, sementara itu ia masih membentak: „Siapa kau?”
“Ha, masih berani kau pamerkan ilmu pedangmu, masakan kau tak kenal aku?” sahut Bu Tim tertawa.
Dalam pada itu susul menyusul Cu Wan sudah melontar kan serangandua lagi dengan tipu “kim-kong-hok-hou” atau siraksasa menaklukan harimau, lalu „kiu-bin-lian-tay” atau naik pangkat diatas panggung, ia memotong dulu kebawah, lalu menyabet keatas.
“Ah, tidak jelek juga ilmu pedangmu, marilah sekali lagi dengan tipu 'kim-lun-to-kiap' (roda emas menghindar kan malapetaka)!” demikian seru Bu Tim sembari menangkis kedua serangan orang tadi.
Dan baru selesai ia uCapkan, betul juga Cu Wan me lontarkan serangan lagi dengan tipu “kim-lun-to-kiap” seperti yang dikatakan Bu Tim.
Cu Wan terCengang bila tipu serangannya sudah dilontar kan, pikirnya: “Aneh, darimana ia bisa tahu seranganku ini?” Namun Bu Tim sambut serangan orang dengan ganda
tersenyum saja, bahkan ia lantas balas menusuk dua kali kepundak kanan-kiri Cu Wan sambil membentak: „Lekas kau gunakan tipu 'hu-khu-in-siu' (kapudua mengambang, lengan baju berlenggang), dan lalu 'hong-ke-pek-koh' (air bak mendampar tubuh)!”
Dan baru habis ucapannya, benar juga Cu Wan telah gunakan kedua tipu itu.
Dengan Cara begitu, mana bisa dibflang pertempuran secara matiduaan, tapi lebih mirip dikatakan sang guru yang lagi melatih simurid.
Biasanya Cu Wan sangat agulkan diri, tahu-tahu kini ia se akan-akan sedang dilatih, karuan ia malu berCampur gusar dan heran pula. Maka sesudah dua gerakan tadi dilakukan, segera ia melangkah mundur dua tindak sanibil memandang tajams kepada Bu Tim Tojin.
Padahal terhadap intisari Tat-mo-kiam-hoat Bu Tim sudah paham semuanya, ia lihat kepahdaian Cu Wan tidak jelek, maka sengaja ia sebutkan dulu namadua tipu yang akan di keluarkan untuk menangkis serangannya yang ia akan lon tarkan itu. Dan sebab inllah, Cu Wan telah kena digertak hingga seketika tak berani sembarang menyerang pula.
„Dan awas, sekarang seranganku ini adalah 'sian-jin-ki-loh' (sang dewa menunyuk jalan), maka lekasan kau menangkis dengan 'hwe-tau-si-gan' (menyesal masih belum terlambat)!” demikian tiba-tiba Bu Tim membentak lagi.
Tapi sekali ini Cu Wan telah ambil keputusan justru tidak mau turuti tipu yang orang sebut itu. Siapa duga ilmu pedang Bu Tim memang terlalu hebat, tempat yang dia arah mau-tak-mau Cu Wan harus memalangkan pedang keatas, dan gerakan ini memang benara adalah “hwe-tau-si-gan.”
Sementara itu Lou Ping yang pegang kemudi diburitan kapal yang dibuat bertarung ini, dengan tersenyum simpul nyonya jelita ini mendajung pelahan perahu ini kehadapan Keh Lok dan Kian Liong.
Tatkala itu Tio Pan San sudah dapat menangkap Pui Liong Cun dan dengan suara rendah Thian Hong yang sedang mendesak jago bayang kari itu mengeluarkan obat pemunah untuk menolong lukanya Sim Hi,
Namun Pui Liong Cun itu ternyata sangat bandel, ia justru pejamkan mata tak mau buka suara, sekalipun Thian Hong sudah palangkan goloknya ditengkuk orang, namun masih tetap ia bungkam dalam seribu basa.
Dalam pada itu Bu Tim Tojin yang menggunakan gerak tipu „Sian-jin-ki-loh” untuk memaksa Cu Wan mengeluar kan tipu „hwe-tau-si-gan” untuk menangkis, sebenarnya ia mengandung maksud agar lawannya itu bisa tahu diri sesuai arti gerak tipu „Hwe-tau-si-gan” atau menyesal masih tak terlambat itu. Maka ketika Cu Wan sudah keluarkan ge rakan itu dan melihat Bu Tim lantas tarik senjata sambil memandang padanya dengan sinar mata tajam bagai kilat, seketika Cu-Wan menjadi serba salah, maju tak berani, mundur malu, karuan keadaannya sang'at konyol.
„Dan sekarang tipuku ini adalah 'tang-tau-pang-kai' (kemplangan keatas kepala), lekasan kau gunakan gerakan 'hing-kang-hui-toh' (menyeberang sungai berterbangan)!” mendadak Bu Tim berseru lagi. Habis itu pedangnya diangkat terus membaCok keatas kepala orang.
Karena itu, terpaksa Cu Wan menggeser tubuh, pedangnya membalik untuk kemudian ditangkiskan keatas, dan apalagi tipu gerakan ini kalau bukan „hing-kang-hui-toh” dari Tat-mo-kiam-hoat seperti sudah dikatakan Bu Tim itu?
Kian Liong juga paham ilmu silat, meski tidak terlalu mahir, tapi didalam keratonnya banyak-banyak sekali orangs pandai dan kosen yang sudah biasa dilihatnya sejak kecil, maka pengalamannya juga Cukup luas. Kini dilihatnya setiap kali Bu Tim berteriak sesuatu nama tipu, betul juga lantas Cu Wan menurutkan apa yang ditunyuknya untuk menangkis. Tentu saja dalam hati ia mendongkol juga geli, berbareng pula iapun jeri, pikirnya: “Cu Wan ini terhitung jago kelas terkemuka didalam keraton, tapi kini kenapa begini tolol? Jika dalam keadaan genting, orang maCam begini apa gunanya?”
Nyata Kian Liong tak tahu bahwa ilmu pedangnya Bu Tim Tojin tiada bandingannya diseluruh jagat, dengan sendiri nya Cu Wan takbisa berkutik melawannya. Baiknya Bu Tim hanya sengaja mempermainkan lawannya saja, bila tidak, sepuluh orang Cu Wan mungkin sejak tadidua sudah diberes kannya.
Dan setelah melihat beberapa jurus lagi, makin lama Cu Wan kelihatan semakin runyam, Kian Liong tak tahan lagi, katanya pada Pek Cin: „Lekas suruh dia kembali saja.”
Karena itu Pek Cin melompat keujung kapal terus ber teriak keras-keras: “Cu-heng, majikan suruh kau kembali !”
Memangnya panggilan demikian inilah yang sedang di harap- Cu Wan, karuan, tak perlu diulangi, segera ia me narik pedang dengan maksud hendak melompat pergi.
Akan tetapi Bu Tim tidak tinggal diam, mendadak ia membentak: „Sejak tadidua takmau mundur, sekarang mau mundur, ha, jangan kau harap!” — Berbareng itu sinar pedang gemilapan, seketika Cu Wan merasa sekitarnya seakan-akan musuh semua, seluruh badannya sudah terlibat di bawah sinar pedang orang, terang tak bisa larikan diri lagi, sesaat itu ia merasa mukanya silirdua dingin seperti sebilah pisau Cukur saja yang menyamber kesana kemari.
Melihat sang kawan tiada jalan buat mundur, Pek Cin tak bisa tinggal diam lagi, Cepat-cepat ia melompat menubruk kearah kedua orang itu, ia ulur kedua tangannya dan secara paksa terus hendak merampas pedangnya Bu Tim.
Nampak gaja serangan orang Cukup ganas, Cepat-cepat Bu Tim putar pedangnya terus balik menusuk kebagian bawah Pek Cin.
Meski Pek Cin namanya sejajar bersama Pui Liong Cun dan Cu Wan dan disebut sebagai „Pak-khia-sam-eng” atau tiga jago dari Pakkhia, tetapi ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada kedua orang yang disebut belakangan itu. Mendadak ia gunakan jari-jarinya buat menahan punggung pedang Bu Tim, berbareng telapak tangan kanannya terus menghantam kepundak kiri lawan.
Bu Tim sudah buntung, tak punya tangan kiri lagi, dengan sendirinya tempat sebelah kiri merupakan tempat kelemahan nya, kalau musuh menyerang kesebelah kiri, terpaksa selalu ia menghindari dan tak sangg-up balas menyerang. Tapi habis mengegos, seCepat-cepat kilat pedangnya kembali menusuk ke tenggorokan Pek Cin lagi.
Namun gerakan Pek Cin ternyata Cepat-cepat luar biasa, me nyusul telapak tangan kanan masih tetap menginCar ke pundak kiri lawan, ketika Bu Tim terpaksa lagi mundur setindak, tahu-tahu pergelangan tangan kanannya sudah kena diCengkeram Pek Cin.
Melihat itu, Tio Pan San, Ji Thian Hong dan Lou Ping cs. sampai berteriak kuatir.
Diluar dugaan, dibawah gemilapannya sinar pedang dan menyambernya angin pukulan, tiba-tiba terlihatlah kaki kiri Bu Tim telah melayang langsung mendepak keselangkangan Pek Cin. Ketika Pek Cin mengegos kekiri dan berbareng masih hendak merebut senjatanya Bu Tim, namun belum kaki kirinya tadi turun kembali, menyusul kaki kanan imam ini sudah menendang pula.
Sungguh sama sekali Pek Cin tak menduga; gerak serangan musuh itu bisa begitu Cepat-cepat , begitu tangannya melepas, Cepat-cepat ia melompat mundur, namun tendangan kilat Bu Tim itu ternyata sangat lihai, tendangan kaki kanan luput, lagi-lagi kaki kiri sudah melayang pula dan sekali ini tak mungkin Pek Cin bisa menghindari, tepat sekali bebokongnya kena didepak, karenanya ia terhuyung-huyung dan hampirdua mengusruk masuk kedalam telaga.
Pek Cin menjadi naik darah juga, begitu membalik, kedua tangan naik turun terus menCakar kedua matanya Bu Tim. Tapi kedua kaki Bu Tim masih tetap amat Cepat-cepat nya, susul menyusul terus menendang tak berhentidua, kaki satu dis-usul kaki yang lain. Itulah tendangan “Lian-goan-bi-Cong-tui” atau tendangan penyesat musuh secara berantai.
Baiknya Pek Cin sudah banyak-banyak berpengalaman, gerak-geriknya juga Cepat-cepat luar biasa, ketika Cakarannya tadi belum kena sasarannya dan kaki musuh sudah melayang tiba, lekasan saja ia melompat keatas.
Disebelah sana Lou Ping lagi saksikan pertarungan kedua orang itu dengan penuh perhatian, ketika dilihatnya Pek Cin meloncat naik, tiba-tiba ia Celupkan penggajuhnya kedalam air terus digebjurkan, kontan saja bagai seember air telah menyiram keatas kepala Pek Cin.
Sebenarnya Pek Cin berniat turun kembali diujung perahu itu buat tenipur Bu Tim lagi, tapi tiba-tiba dilihatnya se gulung air yang putih berbuih menggebjur kemukanya, dalam keadaan gugup, sempat ia berjumpalitan sekali diudara untuk kemudian melompat turun mundur keatas kapal yang ditumpangi Keh Lok dan Kian Liong itu. Sekalipun begitu, toh tubuhnya bagian bawah tetap basah kujup hingga ke adaannya sangat konyol.
Ia tak tahu bahwa dibandingkan keadaan Cu Wan, ia masih jauh lebih beruntung.
Kiranya pada kesempatan Pek Cin menempur Bu Tim, barulah Cu Wan mampu menerobos keluar dari kepungan sinar pedang lawan dan melompat kembali keatas kapalnya Keh Lok, dan baru bisa tenangkan diri serta hendak berdiri kebelakangnya Kian Liong, tiba-tiba terdengar Giok-ju-ih yang paling dulu tertawa ngikik. Lain Kian Liong terlihat meng kerut kening, begitu juga Keh Lok bersenyum urung, sikap wajah semua orang itu sangatlah aneh.
Karena itu Cu Wan tertegun, sementara itu angin telaga yang meniup silirdua membikin tubuhnya terasa agak dingin, karena itulah baru ia melihat keatas tubuhnya sendiri dan ............... terkejutnya sungguh bukan buatan.
Ternyata seluruh kain bajunya itu sudah kena diiris pedangnya Bu Tim hingga berseliwiran sobek semua. Disam ping itu kepalanya terasa agak pedas, ketika ia meraba kepala dan muka sendiri, nyata kunCirnya, rambutnya dan alisnya telah kena diCukur hingga klimis oleh Bu Tim tadi.
Dalam keadaan kaget dan malu, Celaka tigabelas, mendadak Celananya melorot lagi kedodoran kebawah, kiranya tali kolornya telah kena diiris putus juga. Lekas-lekas ia pegangi Celananya, tapi “plung,” pedangnya kini yang terCemplung kedalam telaga.
Begitulah sedang Cu Wan kelabakan mengurusi dirinya yang tak karuan maCam itu, saat itulah Pek Cin telah melompat kembali kekapal itu juga.
Menyaksikan. tiga jago utamanya telah kena dihajar orang hingga konyol sedemikian rupa, Kian Liong insaf bila pertandingan diteruskan, pasti juga pihaknya yang akan telan pil pahit, maka katanya pada Keh Lok lantas: „Ke
pandaian beberapa kawan Liok-heng ini ternyata sangat mengejutkan orang, kenapakah tidak mau bersama Liok-heng berjuang untuk pemerintah, dengan begitu kelak bisa bikin harum nama keluarga dan membuat jaja nama leluhur, barulah kepandaian masing-masing itu tidak ter-sia-sia. Tapi kalau Cuma terluntang-lantung dirantau, bukankah ini sangat sayang ?”
Nyata kaisar Kian Liong adalah seorang raja pintar, dalam keadaan demikian bukannya ia menjadi gusar, tapi ia justru timbul pikiran ingin memelet ksatriadua itu untuk mengabdi padanya.
Namun Ken Lok tertawa. Katanya: „Ah, aku dan Kawan-kawan -ku ini serupa saja, lebih suka hidup bebas dikangouw, maka maksud baikmu biarlah kami terima didalam hati saja.”
„Jlka begitu malam ini sudah Cukup rasanya bikin sibuk, biarlah sekarang juga aku mohon diri saja,” kata Kian Liong pula. Habis ini ia memandang pada Pui Liong Cun yang masih berada diatas perahunya Tio Pan San itu.
„Tio-samko, kau lepaskanlah orangnya Tang-hong siansing itu!” segera Keh Lok menteriaki Pan San.
„Itulah tak boleh,” seru Lou Ping tiba-tiba . „Sim Hi telah terkena senjata rasianya Tok-Cit-le, dan ia tidak mau beri kan obat pemunahnya.” — Sambil berkata ia terus dajung perahu itu mendekat.
Mendengar itu kelihatan Kian Liong membisiki Li Khik Siu, lalu berpaling dan berkata pada Pui Liong Cun: “Kau berikanlah obat pemunahnya untuk orang.”
„Sungguh hamba berdosa, obat pemunah itu justru ke tinggalan di Pakkhia tidak hamba bawa,” sahut Pui Liong Cun.
Mendengar itu, Kian Liong mengkerut dahi, lalu tidak berkata lagi.
„Sudahlah, Tio-samko, lepaskanlah dia,” kata Keh Lok pula.
Diam-diam Pan San pikir tentu Keh Lok tidak tahu betapa ja hatnya raCun Tok-Cit-le orang, karena itulah ia suruh orang dibebaskan. Tapi tidak enak juga untuk melakukan kom pres pada Pui Liong Cun, apalagi orang she Pui itu begitu kepala batu, meski sudah dikompres mungkin juga per Cuma. Sebaliknya kalau dilepaskan menurut perintah Keh Lok, untuk menangkapnya lagi tentunya tidak gampang lagi, seumpama bisa menangkapnya pula, karena tempo yang terbuang ini, tentu sianga Sim Hi sudah mati oleh serangan raCun. Karena itulah Pan San menjadi ragua.
“Samko, Coba kau berikan dua butir Tok-Cit-le itu pada ku,” kata Thian Hong tiba-.
Pan San tidak mengarti apa gunanya Tok-Cit-le itu di minta, tapi dirogonya keluar juga senjata rasia itu dua biji, sebuah ia dapat mengambil dari lukanya Sim Hi, yang sebiji bolehnya menyang gapi waktu bertanding am-gi atau senjata, rasia, tadi.
Dan, setelah menerima dua biji Tok-Cit-le itu dari Pan San, Cepat-cepat Thian Hong menyeberet baju orang hingga baju dibagian dada Pui Liong Cun tersobek sebagian besar dan dadanya yang hitam lebat dengan simbar (bulu dada) itu tertampak jelas. Tanpa bicara lagi Thian Hong geraki tangannya, “Ces-Ces-Ces” tiga kali ia tusuk- kedua biji Tok-Cit-le itu didada orang hingga berwujut enam lobang luka kecil.
Karuan Pui Liong Cun men-jerit-, saking ketakutannya hingga keringat dingin membasahi kepalanya. Dada adalah tempat yang paling dekat dengan jantung, kalau raCunnya bekerja, tentu jalannya sangat Cepat-cepat , apalagi sekaligus ditanCap enam lobang.
Namun Thian Hong anggap tindakannya itu seperti biasa saja, ia serahkan kembali Tok-Cit-le itu kepada Tio Pan San, lalu dengan suara keras ia katakan pada Keh Lok : “Liok-kongcu, mohon kau berikan beberapa. arak pada kami, aku ingin minum bersama dengan Pui-ya ini sebagai sobat baik, habis itu segera aku membebaskannya kembali.”
„Baiklah,” sahut Keh Lok.
Sementara itu Giok-ju-ih sudah lantas menuang penuh tiga Cawan.
„Awas, Tio-samko, araknya datang!” seru Keh Lok kemu dian, berbareng itu seCawan arak telah ditimpukannya. Cara Keh Lok menggeraki tangannya itu ternyata sangat tepat dan manis hingga Cawan itu antong saja „terbang” dari kapal itu kearah perahu tempat Tio Pan San berada itu. Ketika Pan San dapat menyang gapi Cawan arak itu, terhjata setetespun isinya tiada yang kaCir. Dan dibawah sorak pujian semua orang, kembali dua Cawan arak yang lain sudah terbang lagi dari tangan Tan Keh Lok ketangan Tio Pan San. « Melihat betapa bagus gerak tangan serta tinggi lwekang atau tenaga dalam kedua orang itu, mau-tak-mau para jago bayang kari pemerintah Ceng itu diam-diam kagum, bahkan ada dua orang diantaranya yang tak tertahan sampai ikutduaan bersorak bagus.
Dan sesudah Thian Hong menerima Cawan arak dari Tio Pan San, lantas katanya pada Pui Liong Cun: “Pui-ya, marilah kita keringkan seCawan !”
Tatkala itu luka didadanya Liong Cun rasanya sudah gatal pegal luar biasa, kini melihat arak ia makin ketakutan seperti melihat ular atau kalajengking yang paling beroisa, wajah nya kelihatan ketakutan sekali dan mulutnya terkanCing rapatdua.
Kiranya bila ia meminum arak, maka darahnya akan meng alir lebih keras dan menyebarnya raCun dalam badannya juga tambah Cepat-cepat meluas, dalam waktu tiada satu jam pasti jiwanya akan melayang .
“Ayolah minum, eh, kenapa kau menjadi sungkandua, Pui-ya?” demikian Thian Hong mengejek dengan tertawa.
Dan dengan ucapannya itu, jari kelingking dan jari manis Thian Hong dijepitkan pada hidung orang, sedang kening si-wi itu ditekannya dengan jari telunyuk dan jempol. Liong Cun tak dapat berbuat apa-apa, dan begitu mulutnya ternganga, Thian Hong Cepat-cepat menuangkan ketiga Cawan arak itu kedalamnya.
Selagi Thian Hong menCekoki Liong Cun, adalah Bu Tim dan Tio Pan San berdiri disisinya dengan pedang terhunus, sehingga kawanan si-wi itu tak berani berbuat apa-apa, keCuali mengawasi kawannya itu dipale sesuka orang.
SeCepat-cepat arak masuk kedalam perut, Liong Cun rasakan dadanya seperti mati-rasa, sebagian besar dagingnya berobah hijau kehitam-hitaman warnanya. Tahulah dia sekarang, bahwa jiwanya sudah terCengkeram maut. Sampai disitu, hanCur lah kebandelannya, katanya dengan suara lemah: „Kau buka jalan darahku, nanti kuambilkan obat itu !”
Dengan. tertawa Pan San tepuk jalan darah orang. Pui Liong Cun menggretek gigi, dia keluarkan tiga bungkusan obat.
„Bungkusan merah ini, untuk obat dalam. Bungkusan hi tam, penghisap raCun. Dan yang putih untuk obati luka,” katanya.
Berbareng dengan kata-katanya yang terachir itu, pingsanlah ia tak tahan. Pan San Buru-buru aduk obat dalam bungkusan merah dengan air telaga, terus dituang kemulut Sim Hi. Sedang obat dalam bungkusan hitam, dia poleskan pada luka boCah itu. Tak berapa saat kemudian, tampak darah hitam ber-ketesdua keluar dari lukanya. Beberapa kali Lou Ping meng usapi. Darah hitam, berobah wungu, kemudian menjadi merah seperti biasa.
Setelah banyak-banyak mengeluarkan darah merah, maka ber teriaklah Sim Hi meng-aduhdua. Lalu Pan Sam menempelkan obat dalam pembungkus putih itu, seraja bergurau: „Ha, jiwamu achirnya dapat terampas balik.”
Thian Hong masih dendam dengan keliCikan orang she Pui itu. Ketiga bungkusan obat itu, disimpannya dalam kan tung, tanpa menghiraukan si-wi itu lagi.
Tio Pan San mendapat gelar „ji-lay” karena welas-asih nya. Melihat keadaan Liong Cun yang mengeneskan itu, tak tegah hatinya. Dia minta obat itu dari Thian Hong, lalu di obatkan pada Liong Cun.
„Samte tak ubah dengan seorang ibu. Orang maCam dia, tak perlu dikasihani. Baiklah, akan kubuat dia supaya tak dapat mains senjata rahasia lagi,” demikian kata Bu Tim.
SeCepat-cepat sang mulut mengucap, pedangnya telah menusuk tulang lemas “pi-peh-kut” pundak Liong Cun, untuk memu tus uratdua besarnya. Setelah itu si-wi yang sial itu diangkat Thian Hong dan dilemparkan keperahu pesiar Tan Keh Lok dan Kian Liong. Hoan Tiong Su dengan sebat menyang gapinya.
Sejak itu, sekalipun Liong Cun tertolong jiwanya, tapi kedua tangannya sudah tak dapat dipakai untuk main silat lagi. Dan ilmunya melepas, tok-Cit-le yang jahat itu, turut lenyap untuk se-lama-lamanya.
“Beberapa sahabat siaote itu memang kasar, tak kenal peraturan, harap jinheng maafkan,” kata Keh Lok kemu dian pada Kian Liong.

Kian Liong tertawa, lalu berkata dengan tangan diangkat : “Hari ini kugembira bisa berjumpa dengan beberapa eng hiong. Kelak kalau hengtay berkunyung ke Pakkhia, biarlah aku yang menjadi tuan rumah untuk mengundang sekalian sahabat itu minum dengan sepuasduanya. Untuk hari ini, biarlah kita berpisah dulu.”

"Tang-hong Ni sianseng akan pulang, Ayo merapat ke tepi!” teriak Keh Lok lalu.
Perahu pesiar itu pelan-pelan didajung ketepi, diiring oleh ratusan perahu kecil, sehingga telaga itu penuh bergemer lapan Cahaja lampu.

Ketika dekat ketepi, dari arah depan tampak sebuah perahu melunCur datang dengan pesatnya. Berdiri dimuka haluan, seseorang yang berpakaian jubah dengan menenteng sebuah bendera merah. Begitu dekat dengan perahu Thian Hong, orang itu loncat keperahunya, dan membisiki ditelinga Thian Hong.

Pada lain saat, rombongan perahu itu telah merapat ketepi. Li Khik Siu loncat dulu kedarat, lalu menuntun Kian Liong turun. Para si-wi itu menyaga dikanan kiri dengan tertib. Tiba-tiba Khik Siu mengeluarkan peluitnya, terus ditiup sekuat-kuat nya. Beratus-ratus pasukan gi-lim-kun segera ber-bondongdua menghampiri. Seorang si-wi menuntun seekor kuda putih untuk baginda. Berbareng itu, pasukan pemanah tampak mengepung rombongan Tan Keh Lok. Kian Liong memberi isjarat dengan kedipan mata pada Khik Siu, siapa segera berseru kearah Tan Keh Lok: „He, kawanan perusuh yang bernyali besar, baginda berada disini mengapa kamu tak memberi hormat !”
Tapi segera juga Thian Hong mengibaskan tangan, Ma San Kun dan puteranya, Ma Tay Thing memasang obat pasang, yang terus melunCur ke udara bagaikan sebuah bin tang yang bersinar.

Berbareng dengan jatuhnya kembang api itu kedalam telaga, sorak sorai terdengar dari empat jurusan dengan gegap gempita. Dari bawah puhun, sudut rumah, kolong jembatan, ya, dari segala pelosok, munCul orang-orang yang kepalanya bersunting bunga merah (hong hwa) dengan masing-masing menghunus senjata.

„Sekalian saudara dari HangCiu, Congthocu HONG HWA HWE ber ada disini, Ayo kalian sama datanglah menghadapnya!” Thian Hong berteriak dengan nyaring.

Kembali sorak sorai terdengar dengan riuhnya, dan ber-jejaldualah orang mendesak maju. Pasukan gi-lim-kun dan barisan panah siap dengan busur dan senjatanya untuk menghadang majunya orang-orang itu. Keadaan makin genting merunCing.

Li Khik Siu kembali meniup peluitnya. Terdengarlah derap kaki kuda menCongklang. Itulah barisan dari induk pasukan didaerah HangCiu. Begitulah ribuan orang tampak ber-siapdua dikedua tepi telaga. Pertempuran besar hanya menanti saat saja.
Li Khik Siu pimpin beberapa perwira dari pasukan setem pat, untuk mengepung rombongan orang-orang HONG HWA HWE Dia hanya tunggu perintah dari junyungannya saja.

Keh Lok tetap tenang. Pelan-pelan dia hampiri seorang ang gauta gi-lim-kun, terus minta tali les kuda. Seperti terpenga ruh dengan sinar mata Tan Keh Lok, serdadu gi-lim-kun itu serahkan saja tali lesnya. Begitu Keh Lok menCemplak keatas kuda, dia segera ambil setangkai 'hong hwa' sulaman untuk dilekatkan pada leher bajunya.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar