Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 04 Racun Persembahan Pelayan

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 04 Racun Persembahan Pelayan
04 Racun Persembahan Pelayan

“Selamat pagi, li-hiap (pendekar wanita)!” kata seorang.

“Silakan duduk, siocia (nona)!” kata yang lain.

Pemilik rumah makan itu yang duduk di bagian dalam, begitu melihat wanita berpakaian serba hitam itu memasuki rumah makannya, segera bangkit dan tergopoh-gopoh keluar untuk menyambut sendiri.

“Selamat pagi, li-hiap! Sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat menyanji li-hiap di pagi hai ini.” Dia lalu menoleh kepada para pelayan dan berkata dengan nada memerintah. “Cepat bersihkan meja terbaik untuk Liong-lihiap!”

Para pelayan tergopoh-gopoh membersihkan meja dan pemilik rumah makan itu sendiri yang mengantar Liong-li dan mempersilakan ia duduk, lalu bertanya, masakan apa yang hendak dipesan Liong-li.

Para tamu yang sudah lebih dulu berada di rumah makan itu, ada yang bangkit berdiri ada pula yang mengangguk. Yang jauhpun tersenyum ramah. Semua orang menghormati Liong-li. Semua orang mengaguminya. Beberapa orang pemuda yang duduk jauh, saling berbisik dan beberapa kali menelan ludah ketika mereka semua memandang ke arah Liong-li secara sembunyi-sembunyi, tidak berani langsung.

“Duhai juwita...... betapa cantiknya......”

“Lihat tuh bibirnya..... hemm, menggemaskan......”

“Kulit lehernya begitu putih mulus......”

“Lesung di pipinya amat manis......”

Liong-li adalah seorang wanita yang sudah melatih pancaindranya melalui samadhi dan pernapasan. Ia memiliki pendengaran yang amat tajam sehingga dari jauh itu, kalau ia mencurahkan perhatiannya, ia mampu mendengarkan suara bisik-bisik para pemuda itu.

Akan tetapi karena mereka itu hanya memuji-mujinya dengan kagum tanpa berniat kurang ajar, iapun hanya tersenyum. Tidak bangga lagi. Sudah terlalu lama dan terlalu sering ia melihat sinar mata kagum dari pria, juga kata-kata pujian. Semua itu dianggapnya hanya rayuan kosong belaka!

Liong-li memesan beberapa masakan yang paling disukainya, kemudian setelah pengurus rumah makan mengundurkan diri, Liong-li duduk termenung menanti masakan yang dipesannya. Untuk mempersiapkan masakan yang dipesan, tidak mungkin dapat dilakukan dengan terlalu cepat.

Sayur yang segar harus dicuci dan dipotong-potong, juga daging yang segar harus disayat-sayat, semua bumbu harus dipersiapkan dan segalanya harus baru dan dimasak seketika agar dapat dihidangkan panas-panas dalam keadaan segar dan baru. Untuk melewatkan waktu, Liong-li makan kwa-ci (isi semangka) yang dihidangkan, dan minum teh cair yang harum dan hangat.

Tak lama kemudian, dua orang pelayan datang membawakan masakan pesanannya. Ia memesan dua macam masakan dengan nasi tim, akan tetapi yang muncul adalah tiga macam masakan!

“Ehh? Kenapa tiga macam? Aku tidak memesan sop ayam jamur ini!” katanya menunjuk masak ke tiga. “Tentu pesanan orang lain ini.”

Dua orang pelayan itu mengatur tiga masakan dan nasi di atas meja, lalu seorang dari mereka berkata, “Tidak keliru, li-hiap. Menurut kepala dapur, masakan sop ayam jamur ini sengaja dibuat untuk dihaturkan kepada nona disertai salam seluruh pekerja di dapur!”

Liong-li tersenyum. Tidak aneh baginya. Memang terlalu banyak orang bersikap terlalu baik kepadanya dan karena sudah terbiasa, dengan senang hati diterimanya sikap itu tanpa prasangka dan tidak canggung lagi.

“Sampaikan terima kasihku kepada mereka,” katanya ramah. “Ingat saja mereka itu akan kesukaanku.”

“Kehadiran li-hiap merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi kami, tentu saja kami semua ingat apa masakan kegemaran li-hiap,” kata pelayan itu sambil memberi hormat lalu mengundurkan diri.

Liong-li tersenyum senang. Memang sop ayam jamur merupakan satu di antara masakan kegemarannya, akan tetapi pagi itu ia memang tidak memesan masakan itu, melainkan memesan masakan kegemaran yang lain. Karena sop pemberian para tukang masak itu nampak lezat, dengan daging kulit ayam yang gemuk menonjol dan kekuningan, dan jamurnya juga masih baru, iapun menggunakan sumpit untuk mengambil sepotong jamur kecil untuk mencobanya.

Akan tetapi, begitu jamur itu masuk ke mulutnya, ia cepat memuntahkannya kembali ke atas sebuah mangkok kosong, lalu menggunakan saputangan untuk menerima ludahnya, kemudian ia berkumur satu kali dengan air teh dan membuang kumuran itu ke atas mangkok tadi. Semua ini dilakukannya dengan tenang sehingga tidak ada orang yang mengetahuinya.

Kemudian, dengan sikap masih tenang, namun kini setiap urat syarafnya waspada, pendengarannya tajam, penglihatannya juga mencorong, ia mencabut tusuk konde peraknya. Setelah menyapu ruangan itu dan melihat bahwa tidak ada tamu lain yang berani nonton ia makan karena hal itu kurang sopan, ia lalu mencelupkan ujung tusuk sanggul ke dalam sop ayam jamur, mendiamkannya sejenak dan ketika ia mengangkatnya kembali, ternyata ujung tusuk sanggul itu nampak kebiruan!

Yakinlah ia bahwa sop ayam jamur itu mengandung racun yang amat keras, yang kalau dimakannya tentu akan cukup kuat untuk membunuhnya. Bukan baru sekali ini nyawa Liong-li terancam maut. Oleh karena itu, sikapnya masih tetap tenang saja. Bahkan ia melanjutkan makan dua masakan yang dipesannya tadi bersama nasi, setelah dengan teliti memeriksa semua masakan itu, bahkan ia memeriksa pula arak yang disuguhkan.

Hanya sop ayam jamur itu saja yang mengandung racun, justeru masakan hadiah dari tukang masak atau kepala dapur! Sungguh aneh. Liong-li memutar otaknya sambil makan sehingga ia tidak dapat menikmati makan pagi itu sepenuhnya Perhatiannya tercurah kepada peristiwa itu, masakan yang dihadiahkan kepadanya, masakan yang mengandung racun!

Rasanya tidak masuk diakal kalau kepala dapur menghidangkan masakan beracun kepadanya! Tidak ada alasannya sama sekali.

Pertama, ia tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga di rumah makan itu, dan kedua, kalau memang ada yang hendak membunuhnya dengan racun, mengapa caranya demikian kasar? Apakah orang itu tidak memperhitungkan bahayanya kalau sampai ketahuan? Tidak, kiranya tidak mungkin ada musuh setolol itu, dan jelas bukan kepala dapur.

Kecuali tentu saja kalau ada penjahat yang menyelundup dan kini bekerja di dapur rumah makan itu. Kemungkinan ini tentu saja ada, dan bukan mustahil kalau penjahat yang menyelundup menjadi tukang masak itu hendak membalas dendam kepadanya dengan menaruh racun ke dalam masakan yang dihadiahkan!

Tiba-tiba ia teringat dan jantungnya berdebar. Kenapa tidak dari tadi ia teringat akan hal ini? Bagaimana mungkin ada kepala dapur begitu lancang menghadiahkan masakan kepada seorang tamu? Kalau mau memberi hadiah masakan, tentu bukan dari kepala dapur datangnya, melainkan dari pemilik rumah makan! Kepala dapur menghadiahkan masakan semahal itu, atas namanya, tentu akan membuat pemilik rumah makan menjadi marah.

Melihat gadis itu sudah tidak makan lagi, pelayan tua datang menghampiri mejanya untuk membersihkan meja itu. “Sudah selesaikah, li-hiap?” tanyanya ramah.

Liong-li mengangguk tanpa bicara, diam-diam ia mengerling dan memperhatikan sikap pelayan itu. Dalam keadaan seperti itu, kewaspadaan membuat ia menaruh curiga terhadap apa saja dan siapa saja!

“Ehh?” Pelayan tua itu nampak kaget dan heran yang tidak dibuat-buat ketika dia melihat mangkok besar sop ayam jamur itu masih utuh. “Kenapa li-hiap tidak makan sop ayam jamur ini?”

Liong Li masih memancing sambil menatap tajam wajah orang. “Paman, maukah engkau memakannya, kalau kuberikan ini kepadamu?”

Sepasang mata itu terbelalak, bukan terkejut atau ketakutan, melainkan keheranan. “Tentu saja, li-hiap, akan tetapi...... mana saya berani? Dan kenapa li-hiap tidak memakannya?”

Liong-li lega. Pelayan tua ini tidak tahu menahu. “Paman, siapakah yang menghadiahkan sup ayam jamur ini kepadaku?”

“Sudah saya katakan tadi, kepala dapur yang menghadiahkan kepada li-hiap, dengan salam hormat seluruh pekerja di dapur. Kenapakah, li-hiap?”

Pelayan itu mulai memperlihatkan sikap tidak enak karena tentu saja dia merasa tidak enak hati melihat betapa hidangan yang dihadiahkan itu sama sekali tidak dimakan oleh Liong-li.

Liong-li tersenyum, “Tidak apa-apa, paman, hanya aku kekenyangan. Oya, aku ingin bertemu dengan kepala dapur untuk mengucapkan terima kasih. Maukah engkau mengundangnya keluar ke sini sebentar agar aku dapat bicara dengan dia?”

Wajah pelayan itu kembali berseri. “Tentu li-hiap! Aih, Tio-toako tentu akan gembira sekali mendengar undangan li-hiap ini!”

Sambil membawa mangkok kosong dan sisa makanan, kecuali sup ayam jamur yang masih ditahan Liong-li, pelayan itu bergegas masuk ke bagian belakang untuk menyampaikan undangan Liong-li kepada kepala dapur.

Biarpun sedang menghadapi keadaan yang menegangkan, Liong-li masih tidak mampu menahan geli hatinya ketika ia melihat koki atau kepala dapur itu “menggelundung” keluar dari dapurnya! Sungguh seorang laki-laki yang lucu bentuk tubuhnya. Dari kepalanya sampai ke tubuhnya, orang berusia empatpuluh lebih ini benar-benar bundar seperti bola!

Kedua kakinya nampak pendek sehingga ketika dia datang dengan langkah cepat, dia seperti sebuah bola yang digelundungkan. Dan muka yang bulat penuh itu bermata sipit, hampir terpejam ketika mulutnya menyeringai lebar dalam senyum ramah dan girang!

Tidak, pikir Liong-li. Orang macam ini mana mungkin mempunyai niat jahat untuk meracuninya? Pula, kalau benar dia berniat jahat, dia tidak akan keluar dengan wajah begitu gembiranya!

Begitu bertemu, koki itu lalu merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk begitu dalamnya sehingga Liong-li khawatir kalau dia terjungkal!

“Li-hiap mengundang saya?” tanya orang itu, ragu-ragu karena diundang oleh pendekar wanita ini sungguh merupakan hal yang amat terhormat. Bahkan semua rekannya nampak mengintai dari pintu dapur dengan wajah berseri.

Liong-li belum pernah melihat koki ini, akan tetapi dari sikapnya ia yakin bahwa koki ini bukan orang baru di situ. Bahkan pemilik rumah makan yang duduk di belakang meja itu tersenyum melihat kokinya keluar menghadap Liong-li.

Akan tetapi, kepala dapur itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang tadi menjadi sipit karena tersenyum, kini dilebar-lebarkan seolah dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Masakan sup ayam jamur di atas meja depan gadis itu masih utuh!

“Engkaukah Tio-toako?” tanya Liong-li, dengan sinar mata tajam penuh selidik ia menatap wajah bulat itu.

“Benar, li-hiap. Ada apakah li-hiap mengundang saya?”

“Tio-toako, sudah lama engkau menjadi kepala dapur di rumah makan ini?”

“Sudah ada sepuluh tahun, li-hiap.”

“Hemm, apakah engkau yang mengirim hadiah masakan ini dan engkau sendiri yang memasaknya?”

“Benar, li-hiap. Apakah tidak enak maka........”

“Engkau agaknya lupa menaruh garam pada masakan ini, toako. Sama sekali tidak asin dan hambar!”

“Ahhhh??” Sepasang mata itu makin dibelalakkan. “Bagaimana mungkin? Saya masak dengan hati-hati sekali, sudah saya taruh garam dan bumbu secukupnya.”

“Hemm, kau tidak percaya. Engkau rasakanlah sendiri, coba kauminum kuahnya sesendok saja,” kata Liong-li sambil menatap tajam wajah itu. Wajah itu sama sekali tidak kelihatan gugup atau takut.

“Aneh! Baik, akan saya coba sendiri. Maafkan, li-hiap,” kata si gendut itu sambil menghampiri meja dan menyendok kuah dari mangkok sup itu, lalu dibawa sendok itu ke mulutnya.

“Tidak usah!” Liong-li berkata dan sekali tangannya bergerak, sendok terisi kuah itu telah dirampasnya tanpa setetespun kuah tumpah.

Si gendut terkejut bukan main.

“Ehhh? Ada apakah, li-hiap?” tanyanya heran.

“Tio-toako, ketika engkau masak sup ini, apakah ada yang membantumu?”

Si gendut mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Memang selalu saya dibantu oleh para pembantu koki. Kalau masakan penting, saya sendiri yang masak dan mereka itu hanya memotong-motong bahan masakan dan menyediakan bumbunya saja. Untuk masakan sup ini, ada seorang pembantu yang menemani saya.”

“Katakan terus terang, engkaukah yang menghadiahkan sup ini untukku? Sup ini mahal, bagaimana engkau dapat menghadiahkan begitu saja? Apakah engkau tidak dimarahi pemilik rumah makan?”

Wajah itu menjadi kemerahan dan senyumnya malu-malu, sepasang matanya kembali menyipit. “Maafkan, li-hiap, terus terang saja, masakan mahal ini dibeli......”

“Apa? Engkau membelinya untukku?”

“Eh, bukan...... bukan uang saya, li-hiap. Biarlah saya mengaku terus terang saja. Seorang pembantu tukang masak yang merasa amat kagum kepada li-hiap, telah mengorbankan gajinya sehari untuk membeli masakan ini, untuk li-hiap. Karena dia pemalu, maka dia minta agar saya yang mengaku mengirim hidangan ini kepada li-hiap disertai salam semua rekan di dapur.”

Liong-li mengerutkan alisnya, jelaslah kini baginya, seperti melihat sebuah gambaran. “Dan pembantu itu yang tadi membantumu menyiapkan masakan sup ini?”

“Benar, li-hiap.”

“Dan dia tentu orang baru di sini?”

“Eh? Bagaimana li-hiap dapat mengetahuinya? Memang baru seminggu dia bekerja di sini, orangnya rajin dan pendiam, pekerjaannya baik dan.... ehhh......”

Liong-li sudah bangkit dan menyambar pergelangan tangan si gendut itu, ditariknya orang itu memasuki dapur. “Tunjukkan mana orang itu!” katanya.

Si gendut tersaruk-saruk dan menjadi terkejut, heran dan takut. Ketika mereka memasuki dapur, semua pekerja di dapur memandang dengan heran pula. Si gendut memandang ke sekeliling, dan Liong-li siap untuk turun tangan.

Akan tetapi si gendut nampak ragu-ragu.”Eh? Di mana A-hok? Cepat panggil dia ke sini! A-hok...... A-hooookkk.....!!”

Dia memanggil-manggil. Akan tetapi, yang dipanggil tidak muncul, tidak nampak pula batang hidungnya dan Liong-li tidak merasa heran. Tentu saja penjahat yang hendak meracuninya itu telah melarikan diri begitu melihat usahanya.gagal.

Pemilik rumah makan segera datang ketika melihat ribut-ribut dan dengan hormat dia bertanya kepada Liong-li akan apa yang telah terjadi.

Dengan tenang Liong-li berkata kepadanya. “Pembantu tukang masak yang mengaku bernama A-hok itu adalah seorang penjahat yang menyelundup dan tadi dia berusaha meracuni aku melalui masakan yang dihidangkan. Hati-hati, masakan sup ayam jamur itu beracun jahat sekali, dan kalau kalian melihat A-hok itu di mana saja, cepat beri kabar kepadaku.”

Liong-li segera membayar harga makanan yang dipesannya dan meninggalkan tempat itu dengan tenang.

Semua gambaran itu kini jelas. Ada musuh bersembunyi yang menghendaki kematiannya. Hal ini sebenarnya tidak aneh. Ia tahu bahwa banyak penjahat sakit hati kepadanya, mendendam dan hendak membunuhnya.

Dan karena itu maka selama ini ia tidak pernah lengah. Bahkan rumahnya pun dilindungi alat-alat rahasia. Akan tetapi, sudah satu dua tahun ini tidak ada penjahat berani mencoba untuk membunuhnya secara, terang-terangan seperti yang dilakukan penjahat yang menyelundup menjadi pembantu tukang masak tadi.

Ia memang tidak mencari keterangan tentang penjahat itu. Tidak ada gunanya. Penjahat kecil itu tentu hanya menjadi anak buah atau alat dari dalang yang mengaturnya, dan dalang itulah musuhnya yang berbahaya. Ia harus lebih waspada karena ada bayangan ancaman maut dari musuh-musuh yang tidak diketahui siapa.

Sementara itu, pemilik rumah makan yang merasa penasaran, lalu mengambil sedikit daging sup ayam jamur dan memberikannya kepada seekor kucing liar yang suka berkeliaran di situ mencari tulang-tulang sisa. Begitu kucing itu menjilat daging ayam, binatang itu terus meraung dan kejang-kejang, tewas seketika!

Baru dia percaya dan bergidik. Untung pendekar wanita yang dihormati itu tidak sampai mati keracunan di restorannya! Dia menyumpah-nyumpah dan mencoba untuk mencari tukang masak baru itu. Namun tentu saja usahanya sia-sia dan sejak itu, dia tidak berani menerima pekerja baru tanpa mengenal dulu dengan baik siapa orang itu!

Seperti yang diduga oleh Liong-li, percobaan membunuhnya dengan racun itu merupakan awal serangkaian serangan dan usaha untuk membunuhnya, atau setidaknya merupakan serangan-serangan dan usaha gelap segerombolan musuh yang tidak diketahuinya siapa. Tiga hari kemudian, pada suatu malam terdengar suara ledakan nyaring di depan rumah gedungnya.

Dalam beberapa detik saja, ia dan sembilan orang pelayannya sudah berhamburan keluar dalam keadaan siap menghadapi musuh. Akan tetapi, tidak nampak bayangan seorangpun manusia di pekarangan itu, hanya bekas ledakan yang membuat Liong-li mengepal tinju.

Arca wanita menunggang angsa yang menjadi kesayangannya, di tengah kolam ikan dan bunga teratai, telah hancur! Melihat bekas-bekasnya, arca itu dihancurkan dengan bahan peledak yang kuat sekali.

Agaknya, pihak musuh yang tidak berani memasuki rumah yang dipasangi alat-alat rahasia, melampiaskan dendam mereka kepada arca wanita dan angsa itu, atau sengaja mereka melakukan pengrusakan itu untuk mengganggu ketenteraman hatinya dan usaha itu memang berhasil. Ketenteraman hati Liong-li terusik dan sambil mengepal tinju ia berkata kepada sembilan orang pembantunya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar