06 Alat Rahasia Rumah Hek-liong-li
Dan Thai-san Ngo-kwi bertugas
untuk mengadakan gangguan terhadap Hek-liong-li, serangan-serangan kecil
sebelum serangan besar yang mematikan tiba. Penghancuran arca, penangkap atas
diri Bunga Kuning, semua itu hanya merupakan percobaan kecil-kecilan saja.
Tiga orang datuk besar dari
Kiu Lo-mo itu amat cerdik. Mereka yang berdiri di belakang layar mengatur
kesemuanya, dan mereka tidak tergesa-gesa. Bahkan ketika mereka dilapori
tentang ditangkapnya Bunga Kuning, mereka yang mengatur siasat dan pada malam
hari itupun, mereka tidak membolehkan Thai-san Ngo-kwi sendiri yang maju
mengantar Bunga Kuning menyelundup ke dalam rumah Hek-liong-li.
“Kita tidak boleh memandang
rendah Hek-liong-li dan sembilan orang pelayannya. Jangan sampai untuk hasil
yang kecil kita mempertaruhkan nyawa Thai-san Ngo-kwi,” demikian kata Kim Pit
Siu-cai kepada suheng dan sumoinya. Thai-san Ngo-kwi, murid-murid keponakan
mereka merupakan pembantu-pembantu utama yang penting bagi mereka.
Malam itu gelap sekali. Langit
tak berbintang, tertutup awan awan gelap. Karena cuaca yang buruk, maka belum
juga tengah malam, kota Lok-yang sudah sepi sekali. Sore-sore sudah banyak yang
memasuki kamar tidur atau setidaknya berada di dalam rumah. Mereka yang suka
bermalam panjang, lebih senang berada di rumah kawan-kawan atau di rumah
pelesir atau rumah judi yang hangat. Bahkan para peronda penjaga keamanan pun
nampak malas untuk berkeliaran di malam gelap dan dingin itu.
Keadaan yang sunyi ini
menguntungkan dua orang berpakaian serba hitam yang menggandeng seorang lain
yang juga berpakaian serba hitam. Orang yang digandeng ini adalah Bunga Kuning
yang mukanya sudah dihitamkan dengan arang dan pakaiannya yang serba kuning
kini tertutup pakaian hitam.
Kedua lengan gadis ini
setengah lumpuh karena sebelum berangkat, Thai-kwi telah menotok kedua
pundaknya. Kedua kakinya masih dapat bergerak lincah, akan tetapi karena kedua
pergelangan kaki itu dibelenggu dengan rantai, tentu saja ia tidak akan mampu
berlari cepat. Dan dua orang yang mengawalnya itu adalah dua orang anak buah
Thai-san Ngo-kwi yang paling lihai. Mereka sudah siap dengan pedang di tangan
sehingga sewaktu-waktu, apabila Bunga Kuning membuat gerakan mencurigakan,
mereka akan dapat membunuhnya!
Pagar tembok dua meter yang
atasnya dipasangi tombak merah itu bukan penghalang bagi dua orang penjahat
itu. Dengan ringan mereka meloncat bersama Bunga Kuning yang juga meloncat ke
atas tembok, melewati tombak merah dan tak lama kemudian mereka sudah
berindap-indap dan menyusup-nyusup di antara pohon-pohon bunga di sebelah kiri
bangunan tempat tinggal Hek-liong-li. Gelap di situ dan lampu-lampu gantung
yang dipasang di sekitar rumah itu nampak berkelap-kelip, ditelan kegelapan
yang pekat.
Ketika tiba di belakang bangunan
itu, di luar sebuah pintu besi yang tertutup rapat, Bunga Kuning memberi
isyarat dengan matanya ke arah sebuah batu besar yang berdiri di balik semak
rumpun bunga dan berbisik. “Putar batu itu ke kiri dua kali.”
Seorang di antara dua
pengawalnya, yang bertubuh tinggi besar, segera menghampiri batu besar itu dan
menggunakan kedua tangan untuk memutar batu besar itu dua kali. Tanpa
mengeluarkan suara, pintu besi itupun terbuka! Orang kedua yang bertubuh tinggi
kurus tetap memegangi lengan Bunga Kuning dan sebelah tangannya memegang
pedang, sikapnya waspada.
Mereka bertiga masuk dan Bunga
Kuning menunjuk ke arah tombol besi yang berada di balik pintu. “Dorong tombol
itu untuk menutup pintu dan tarik kalau hendak membukanya,” bisiknya.
Kembali si tinggi besar
mencoba tombol itu dan benar saja. Pintu itu mudah dibuka dan ditutup dari
dalam menggunakan tombol itu.
Bunga Kuning membawa dua orang
itu masuk semakin dalam, melalui bermacam-macam alat rahasia yang rumit-rumit.
Dua orang itu diam-diam merasa gembira, karena agaknya tawanan itu tidak menipu
mereka. Mereka bukan saja bertugas untuk membunuh Hek-liong-li kalau terbuka
kesempatan. Andaikata tidak, mereka sudah mengetahui akan rahasia jebakan yang
dipasang di rumah itu, yang semula amat ditakuti oleh Thai-san Ngo-kwi.
Mereka sama sekali tidak
pernah mimpi bahwa sejak mereka memasuki pagar tembok, semua gerakan mereka
telah diikuti oleh Hek-liong-li dan delapan orang pelayannya! Bagaimana mungkin
begitu?
Kiranya ketika berada di luar
pagar tembok tadi, tanpa diketahui dua orang penawannya, Bunga Kuning secara
sengaja menginjak sebuah batu tersembunyi yang sengaja dipasang di situ. Kalau
batu itu terinjak, maka di dalam akan ada tanda bahwa di luar pagar tembok ada
orang yang mendekat. Dan sejak itu, Liong-li sudah melakukan pengintaian!
Untung saja Bunga Kuning
memberi tanda itu. Andaikata tidak, dalam kegelapan itu, mungkin saja ia
sendiri akan menjadi korban penyergapan Hek-liong-li dan para pelayannya.
Karena ia menginjak tanda itu, maka Hek-liong-li menjadi waspada.
Ketika ia mengintai, ia
melihat orang ketiga yang ditawan itu, dengan rantai di kedua kaki. Biarpun
muka itu sudah dihitamkan dengan arang, dan pakaian kuning tertutup baju hitam,
Liong-li segera dapat mengenalnya sebagai si Bunga Kuning. Diam-diam Liong-li
merasa gembira juga kagum terhadap anak buahnya itu, yang biarpun berada dalam
keadaan gawat dan terancam maut, masih dapat bersikap tenang dan cerdik sesuai
dengan gemblengan yang ia berikan kepada semua anak buahnya.
Bunga Kuning maklum sepenuhnya
bahwa injakan batu tanda bahaya tadi tentu telah membuat semua rekan dan juga
majikannya waspada. Maka, iapun tidak membuat usaha untuk menyerang kedua orang
pengawalnya. Tidak perlu ia membahayakan dan mempertaruhkan nyawanya, karena sekali
nonanya keluar turun tangan, dua orang kasar ini tentu akan mudah dibuat tidak
berdaya tanpa ia mempertaruhkan nyawanya seperti kalau ia sendiri yang
memberontak dan menyerang.
Sepasang mata Hek-liong-li
yang tajam dan mencorong, menembus kegelapan ketika ia mengintai keadaan Bunga
Kuning dan dua orang penawannya. Ia menanti saat yang tepat untuk turun tangan
tanpa membahayakan keselamatan anak buahnya itu. Ia amat menyayang para anak
buahnya, bukan saja menganggap mereka itu pembantu setia, akan tetapi juga
kawan-kawan yang akrab dan murid-murid yang taat.
Bunga Kuning yang masih
digandeng si tinggi kurus juga dapat menduga bahwa tentu nonanya sedang membuat
persiapan dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Ia melihat betapa si
tinggi kurus selalu menggandeng lengan kirinya yang setengah lumpuh, dan
pedangnya selalu ditodongkan di lehernya. Adapun si tinggi besar selalu
melangkah di belakangnya, dengan pedang menodong punggungnya pula.
Iapun sengaja membawa dua
orang penawannya itu ke tempat-tempat terbuka dengan maksud memberi kesempatan
kepada Liong-li untuk turun tangan. Setiap kali tiba di tempat terbuka, ia
sengaja berhenti. Pada saat yang baik, Bunga Kuning berhenti di bawah sebatang
pohon. Ia sengaja mengajak mereka keluar dari ruangan belakang ketika mereka
membisikkan bahwa mereka ingin agar Bunga Kuning menunjukkan tempat tidur
Hek-liong-li?
“Nona kami selalu tidur di
bangunan kecil yang berada di taman, tidak pernah tidur di dalam gedung induk,”
bisik Bunga Kuning, “kalau ingin melihatnya, kita harus menyeberangi taman
itu.”
Demikianlah, ketika tiba di
bawah sebatang pohon dan banyak semak berbunga di sekitar situ, Bunga Kuning
sengaja berhenti. Lampu yang tergantung di pohon, sebuah lampu taman yang indah
dan cukup terang, membuat mereka bertiga menjadi sasaran yang jelas. Iapun
mengatur jarak sehingga si tinggi besar yang berada di belakang itupun berada
agak di kanan sehingga kalau ia harus menyingkir, ia dapat meloncat ke sebelah
kiri yang paling jauh dari jangkauan kedua orang pengawalnya.
Dan perhitungan Bunga Kuning
ini memang sesuai dengan perhitungan Hek-liong-li. Melihat betapa kembali anak
buahnya itu berhenti, kini di bawah pohon yang ada lampu penerangannya, ia yang
mengintai dari balik semak di sebelah depan agak ke kanan, segera turun tangan.
Akan tetapi Liong-li bukanlah seorang yang berwatak curang. Tidak sudi ia kalau
harus bertindak curang melukai lawan secara sembunyi, apa lagi membunuhnya. Ia
hanya ingin menggunakan serangan gelap untuk memberi kesempatan kepada Bunga
Kuning menghindarkan diri dari penodongan pedang.
“Wuut......! Wuuuutt......!”
Dua butir kerikil menyambar dengan cepatnya ke arah dua orang yang menodong
Bunga Kuning dengan pedang itu.
Inilah kesempatan yang
ditunggu-tunggu Bunga Kuning. Begitu mendengar kedua orang itu berteriak dan
pedang mereka terlepas dari pegangan iapun cepat melempar tubuhnya dengan
tangan masih setengah lumpuh dan kedua kaki dipasangi rantai itu ke arah kiri,
dan bergulingan atas tanah.
Kawan-kawannya cepat
menolongnya, membuka rantai dari kakinya dan memulihkan kedua lengannya yang
tertotok. Adapun dua orang pengawal yang tadinya terkejut setengah mati karena
tiba-tiba saja lengan mereka dekat siku terasa nyeri dan lumpuh sehingga pedang
mereka terlepas, kini cepat menyambar pula pedang mereka karena kelumpuhan itu
hanya beberapa detik saja dan pulih kembali.
Akan tetapi mereka telah
terlambat karena mereka telah dikepung oleh sembilan orang wajah cantik yang
berpakaian berwarna-warni termasuk Bunga Kuning yang tadi mereka tawan dan kini
sudah berdiri bebas dengan pedang di tangan, dan di depan mereka berdiri
seorang wanita yang amat cantik, tidak bersenjata, berpakaian ringkas yang
membuat bentuk tubuhnya nampak jelas, pakaian dari sutera tipis halus berwarna
hitam, namun indah karena ada hiasan hitam kelabu di tepi baju dan ada sulaman
naga hitam di dalam lingkaran abu-abu.
“Hek-liong-li......!” Dua
orang itu menggerakkan bibir menyebut nama ini, akan tetapi tidak ada suara
yang keluar dari mulut mereka. Mereka itu terpesona, kagum, kaget, dan juga
takut setengah mati. Kalau saja mereka tidak menahan diri sekuat tenaga, tentu
celana mereka sudah menjadi basah saking takut dan ngerinya menghadapi pendekar
wanita yang tiba-tiba saja muncul ini.
Di antara sembilan orang nona
pelayan atau juga pembantu dan murid Hek-liong-li ada yang menyalakan lampu
lain sehingga tempat itu menjadi terang sekali. Dua orang laki-laki yang
biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu kini menghadapi Liong-li dengan muka
pucat dan kaki gemetar.
Sepasang mata wanita cantik
itu seperti mata naga, mencorong dan menembus seperti menusuk jantung mereka.
“Hemm, kiranya kalian dua ekor
anjing busuk yang telah merusak arcaku dan mencoba pula untuk meracuni aku di
rumah makan!” Ucapan wanita cantik itu terdengar merdu dan halus, namun
mengandung hawa dingin yang menusuk tulang, mengandung ancaman yang membuat
kedua orang itu menggigil.
“Bukan...... bukan kami yang
melakukan itu......!” Kini si tinggi besar berkata dengan muka pucat sekali.
“Li-hiap, yang berdiri di
belakang semua itu adalah Thai-san Ngo-kwi yang berdiam di puncak Bukit Hitam.
Dua orang ini adalah anak buah mereka.” Bunga Kuning melapor. “Dan dua ekor
anjing ini harap li-hiap serahkan saja kepada saya, li-hiap!”
“Dan kepada saya!” kata pula
Bunga Biru. “Kami berdua yang pernah mereka serang dengan curang dan kini tiba
saatnya kami berdua melakukan pembalasan.”
Liong-li tersenyum dan
mengangguk. “Mereka berdua telah mengetahui rahasia tempat kita, walaupun hanya
sebagian saja. Mereka memang layak mampus agar tidak dapat membuka rahasia.”
Bunga Kuning dan Bunga Biru,
dengan pedang di tangan, menghampiri dua orang laki-laki yang berwajah pucat
ketakutan itu.
“Nah, tikus-tikus busuk, kini
kita dua lawan dua. Hayo perlihatkan kegaranganmu sekarang!” teriak Bunga
Kuning yang segera menerjang dengan pedangnya, menyerang si tinggi kurus yang
tadi selalu mencengkeram lengan dan menodongnya.
Adapun si Bunga Biru sudah
maju pula menyerang laki-laki tinggi besar. Tidak ada pilihan lain bagi dua
orang anak buah Thai-san Ngo-kwi kecuali melawan mati-matian untuk membela
diri.
Namun, bukan saja mereka
memang kalah tingkat dibandingkan dua orang pelayan yang juga murid-murid
Liong-li itu, akan tetapi di samping itu merekapun sudah ketakutan setengah
mati dan rasa takut ini mengurangi tenaga dan kecepatan mereka. Adu silat
pedang itu berlangsung hanya duapuluh jurus lebih dan akhirnya dua orang
laki-laki itupun roboh tersungkur dengan dada ditembusi pedang dan mereka tewas
seketika.
“Bungkus dengan kain kasar
mayat mereka, masukkan dalam kereta pengangkut barang dan siapkan di depan.
Tiga orang ikut bersamaku, dan yang lain menjaga rumah baik-baik. Aku sendiri
yang akan mengirimkan hadiah ini kepada Thai-san Ngo-kwi di Bukit Hitam!” kata
Hek-liong-li.
Tak lama kemudian, sebuah
kereta yang ditarik dua ekor kuda besar mendaki Bukit Hitam. Pintu dan tirai
kereta itu tertutup dan yang nampak hanyalah seorang gadis berpakaian merah
memegang kendali kuda. Dua buah lentera kereta itu menerangi jalan karena
biarpun malam sudah amat larut mendekati fajar, namun cuaca masih amat
gelapnya.
Dari jauh hanya nampak dua
buah nyala api dari dua lentera itu bergerak-gerak menakutkan. Tentu akan
disangka semacam setan kalau orang melihat dari jauh. Dua orang pelayan Liong-li
yang lain, yang berbaju kuning dan biru, berada di dalam kereta. Dua orang anak
buah ini dipilih karena mereka pernah dibawa ke puncak bukit itu dan mengenal
jalan. Tidak ada pelayan lain kecuali yang tiga orang itu. Bahkan Hek-liong-li
sendiri tidak nampak di kereta!
Sebelum tiba di puncak,
menjelang fajar, cuaca tidak begitu gelap lagi walau masih remang-remang karena
sinar matahari baru menjenguk sedikit di balik puncak. Namun burung-burung
jenis yang rajin, sudah bangun dan membuat persiapan bekerja sambil berteriak
saling memanggil.
Bagi mahluk-mahluk kecil yang
pandai terbang ini, nampaknya pekerjaan setiap hari merupakan suatu kebahagiaan
tersendiri yang disambut dengan persiapan yang riuh dan menggembirakan. Bagi
mereka yang ada hanyalah satu, yakni setiap hari bekerja untuk menghidupi diri
sendiri dan anak-anak mereka yang masih belum mampu mencari makan sendiri.
Hanya mencari makan untuk mempertahankan hidup, itu saja.
Tiba-tiba saja nampak cahaya
yang amat terang. Ang-hwa (Bunga Merah) yang mengendalikan kereta cepat menahan
dua ekor kudanya dan ketika ia memandang ke sekeliling, ternyata kereta itu
berada di tempat terbuka dan tempat itu sudah dikepung banyak orang. Tidak
kurang dari duapuluh orang mengepung tempat itu, dan sedikitnya sepuluh orang
memegang obor besar yang agaknya tadi dinyalakan serentak sehingga nampak
cahaya yang menyilaukan mata.
Duapuluh orang lebih itu
membawa golok di pinggang, ada yang memegang tombak, dan wajah-wajah yang
tertimpa sinar obor kemerahan itu nampak bengis, seperti wajah setan layaknya.
Dan di depan kereta muncul lima orang yang berdiri bertolak pinggang dengan
sikap sombong.
Ang-hwa dan dua orang
rekannya, yaitu Lan-hwa dan Ui-hwa yang mengintai dari celah-celah tirai,
melihat bahwa mereka adalah lima orang yang bertampang dan bersikap
menyeramkan. Seorang bertubuh tinggi besar berkulit hitam legam, yang kedua
pendek gendut dengan muka menyeringai jelek, yang ketiga tinggi kurus, keempat
tinggi besar agak bongkok dan yang kelima sedang saja, akan tetapi senyumnya
mengejek dan sombong.
Biarpun dikepung dan dihadapi
sedikitnya duapuluh lima orang, Ang-hwa (Bunga Merah) nampak tenang-tenang
saja. Setelah saling pandang dengan lima orang itu, dengan suaranya yang lincah
dan lantang Ang-hwa bertanya, “Apakah kaliani ini yang disebut Thai-san Ngo-kwi
(Lima Setan Thai-san)?”
Mereka memang Thai-san
Ngo-kwi. Seperti sudah kita ketahui, lima orang kepala gerombolan murid
mendiang Siauw-bin Ciu-kwi yang juga merasa sakit hati kepada Pek-liong-eng dan
Hek-liong-li, bersekongkol dengan dua orang paman guru dan seorang bibi guru
mereka, merencanakan balas dendam kepada dua orang pendekar itu.
Ngo-kwi (Setan Kelima) yang
paling muda di antara mereka, usianya tigapuluh lima tahun pesolek dan tampan,
bertubuh sedang dan pembawaannya seperti seorang kong-cu (tuan muda) dari kota,
tertawa dibuat-buat sambil memandang ke arah Ang-hwa yang memegang kendali
kuda.
“Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa
Hek-liong-li mempunyai sembilan orang pelayan yang manis-manis dan yang berpakaian
merah merupakan pelayan yang paling cantik paling lihai. Agaknya engkaulah nona
baju merah itu? Kami memang benar Thai-san Ngo-kwi. Nah, nona merah, apakah
engkau datang untuk menemani kami bersuka-ria? Marilah engkau turun ke dalam
pelukanku, manis!” Jelas bahwa ucapan ini bukan sekedar menggoda, melainkan
juga mengandung ejekan yang tidak memandang sebelah mata kepada para pembantu
Hek-liong-li.
Memang benar pendapat Ngo-kwi
ini. Ang-hwa adalah seorang yang paling cerdik, juga paling tangguh dalam ilmu
silat, di antara rekan-rekannya. Karena melihat bakat yang ada pada diri
Ang-hwa, maka Hek-liong-li tidak saja menurunkan ilmu silat yang lebih tinggi
kepadanya, juga amat mempercayainya sehingga untuk urusan penting, Ang-hwa yang
diserahi tugas pelaksanaannya. Gadis berusia duapuluh lima tahun ini sudah tiga
kali putus cinta, dikhianati pria, maka setelah bertemu Hek-liong-li, iapun
rela menghambakan diri dan kini merupakan pelayan, murid, dan sahabat terbaik
Hek-liong-li.
Mendengar ucapan Ngo- kwi, Ang-hwa
sama sekali tidak terpancing menjadi marah. Bahkan sebaliknya, ia tersenyum
manis sekali memandang kepada Ngo-kwi.
“Kiranya benar kalian Thai-san
Ngo-kwi. Memang kunjunganku ini mempunyai tugas penting, yaitu aku diutus oleh
Hek-liong Li-hiap (Pendekar Wanita Naga Hitam) untuk menyerahkan hadiah yang
amat berharga kepada kalian sebagai tanda penghormatan!”
Mendengar ini, lima orang
kepala penjahat itu saling pandang, ada yang terheran, ada yang curiga, ada
pula yang kagum dan ada yang tidak percaya. Akan tetapi Thai-kwi, orang pertama
dari mereka, berusia empatpuluh lima tahun dan bertubuh tinggi besar muka
hitam, maklum akan kecerdikan Hek-liong-li dan tidak ingin adik seperguruannya
yang termuda dan mata keranjang itu menggagalkan rencana mereka, segera
melangkah maju mendekati kereta.
“Nona, kalau benar engkau
diutus Hek-liong-li datang ke sini untuk mengirim hadiah kepada kami, nah,
serahkan hadiah itu kepadaku. Akulah Thai-kwi, orang pertama dari Thai-san
Ngo-kwi.”
Ang-hwa tersenyum. “Nah, itu
baru sambutan yang tepat. Thai-kwi, terimalah kiriman dari nona kami, akan
tetapi hati-hati, barang kiriman yang dua buah ini cukup berat. Sambutlah!”
Tiba-tiba dua buah benda besar
panjang terlempar keluar dari dalam kereta, seperti menerjang kepada Thai-kwi.
Orang pertama Thai-san Ngo-kwi ini memang lihai. Dia terkejut dan mengira bahwa
ada orang-orang keluar dari kereta menyerangnya, maka sambil berteriak dia
bergerak, memukul dan menendang ke arah dua buah benda yang menubruknya itu.
“Bukk! Bukkk!” Dua buah benda
itu terbanting dan tidak bergerak-gerak lagi.
Ketika semua orang memandang,
mereka terkejut setengah mati. Bahkan Thai-kwi sendiri terbelalak dan mukanya
berubah merah seperti dibakar. Karena kulit mukanya memang sudah hitam, ketika
darah naik ke kepala saking marahnya, warna mukanya menjadi semakin gelap.
Dua buah benda itu bukan lain
adalah tubuh dua orang laki-laki yang terbungkus kain, hanya mukanya saja yang
nampak, muka dua orang anak buahnya yang tadi disuruh mengawal Ui-hwa (Bunga
Kuning) mempelajari rahasia tempat tinggal Hek-liong-li! Mereka kini dikirim
oleh Liong-li kepada mereka sudah menjadi mayat!
Tentu saja Thai-san Ngo-kwi
menjadi marah bukan main, juga para anak buahnya berteriak-teriak karena marah.
Bukan saja dua orang rekan mereka terbunuh, akan tetapi juga Liong-li mengirim
mayat mereka, hal ini sungguh merupakan penghinaan yang hebat. Namun, di balik
kemarahan ini terdapat kengerian karena cara yang dilakukan Liong-li ini
menunjukkan betapa hebatnya wanita itu, betapa beraninya!