Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 07 Upaya Pembunuhan Pek-liong-eng

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 07 Upaya Pembunuhan Pek-liong-eng
07 Upaya Pembunuhan Pek-liong-eng

“Keparat! Nona baju merah, engkau berani membawa mayat-mayat anak buah kami ke sini, apakah nyawamu rangkap?” bentak Thai-kwi dan pada saat itu muncullah Lan-hwa dan Ui-hwa dari balik tirai kereta.

Setelah tadi melempar keluar dua mayat anak buah penjahat, dua orang gadis itu bersiap-siap dan setelah tiba saatnya, mereka meloncat keluar dan berdiri di kanan kiri kereta bagian depan, mendampingi Ang-hwa yang masih duduk di atas kereta. Tiga orang gadis cantik ini bersikap tenang dan siap siaga menghadapi pengeroyokan banyak lawan.

Melihat ini, kemarahan Thai-kwi memuncak. “Bagus!” teriak Thai-kwi. “Hek-liong-li mengirim tiga orang anak buahnya dan kami masih untung satu kalau membunuh mereka bertiga ini!”

“Twako, jangan bunuh. Serahkan dulu mereka bertiga kepadaku! Setelah kita mempermainkan mereka sepuasnya, barulah mereka itu dibunuh!” kata Ngo-kwi dan ucapannya ini disambut gembira oleh anak buah mereka.

Thai-kwi mengangguk-angguk dan tersenyum. “Begitu juga lebih baik. Nah, kerahkan semua tenaga dan tangkap tiga orang gadis ini hidup-hidup. Kita akan mempermainkan dan menyiksanya, baru mengirim mayat mereka ke rumah Hek-liong-li!”

Para pengepung itu menyeringai dan mereka semua menyimpan senjata mereka, mengepung kereta itu dan mata mereka berkilat, wajah berseri karena mereka seperti akan berlumba siapa yang dapat lebih dulu menangkap tiga orang wanita muda yang cantik manis itu. Akan tetapi, melihat mayat dua orang rekan mereka, para anak buah penjahat itupun maklum bahwa biarpun merupakan wanita-wanita muda yang cantik, namun pihak lawan adalah orang-orang yang lihai dan tidak boleh dipandang ringan, maka mereka tidak berani langsung menyerang, bahkan membiarkan pimpinan mereka, lima orang Thai-san Ngo-kwi untuk turun tangan.

Sebelum lima orang kepala gerombolan itu turun tangan, tiba-tiba terdengar suara tawa merdu dan entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di atas kereta itu telah berdiri seorang wanita yang cantik luar biasa. Nampak semakin luar biasa karena kemunculannya yang tiba-tiba, berpakaian sutera hitam dan wajahnya yang bulat telur itu disinari api obor yang banyak. Tadi, lima orang Thai-san Ngo-kwi hanya melihat berkelebatnya bayangan hitam, dan tahu-tahu wanita itu telah berdiri di atas kereta, tanpa mengguncangkan kereta seolah-olah yang menimpa atas kereta itu bukan manusia, melainkan seekor burung.

“Hek-liong-li.....!” terdengar teriakan-teriakan kaget dan mendengar sebutan ini, Liong-li tersenyum manis.

“Hemm, kalian masih mengenal Hek-liong-li, namun tetap berani mengganggunya, berarti kalian memang sudah bosan hidup. Kalian merusak arca di pekarangan rumahku, kemudian kalian mencoba untuk meracuniku, lalu menawan orangku. Thai-san Ngo-kwi, selama ini aku Hek-liong-li tidak pernah mengganggumu, kenapa sekarang kalian melakukan hal-hal tidak pantas kepadaku? Aku tidak mau membunuh orang tanpa mengetahui urusannya!”

Biarpun hatinya jerih menghadapi pendekar wanita pembunuh gurunya itu, namun karena dia berada bersama empat orang adik seperguruannya, bahkan masih ada lagi duapuluh orang lebih anak buah mereka, Thai-kwi yang marah itu membentak.

“Hek-liong-li, kami akui bahwa yang merusak arca di pekarangan, yang menyuruh meracuni dan kemudian menculik anak buahmu adalah kami, Thai-san Ngo-kwi! Mengapa kami memusuhimu? Hek-liong-li, mungkin engkau sudah lupa, namun kami tidak akan pernah dapat melupakan bahwa guru kami, Siauw-bin Ciu-kwi, tewas di tangan engkau dan Pek-liong-eng! Nah, sekarang tiba saatnya engkau membayar hutang nyawa kepada guru kami!”

Bibir yang merah basah dan manis itu tersenyum mengejek. “Aha, kiranya kalian murid-murid Siauw-bin Ciu-kwi. Tidak mengherankan kalian pandai mempergunakan siasat licik dan curang busuk. Siauw-bin Ciu-kwi tewas karena ulahnya sendiri, karena kejahatannya. Dan kalian pun akan mampus karena kejahatan kalian sendiri kalau kalian melanjutkan perbuatan jahat kalian. Sebaiknya, selagi masih ada kesempatan, kalian bertaubat, membuang senjata dan berjanji tidak akan berbuat jahat lagi. Aku Hek-liong-li bukan orang kejam dan suka memaafkan kalian yang telah merusak arca dan mencoba meracuniku.”

“Hek-liong-li, bersiaplah untuk mampus menebus hutangmu kepada guru kami!” Thai-kwi membentak dan dia memberi isyarat kepada empat orang adik seperguruannya.

Mereka berlima serentak menyerang Hek-liong-li, sedangkan duapuluh orang lebih anak buah mereka sambil berteriak-teriak maju mengepung dan menyerang Ang-hwa, Lan-hwa dan Ui-hwa. Terjadilah pertempuran seru di tempat itu, hanya diterangi obor-obor dan di atas tanah. Juga matahari pagi mulai memperbesar cahayanya menjenguk dari balik puncak.

Thai-san Ngo-kwi bersenjatakan golok besar dan selain ilmu golok yang dahsyat, mereka juga telah mewarisi ilmu pukulan ampuh dari mendiang Siauw-bin Ciu-kwi, yaitu yang disebut Ang-hwe-ciang (Tangan Api Merah). Sambil memainkan golok dengan tangan kanan, merekapun mengerahkan tenaga Ang-hwe-ciang pada tangan kiri sehingga tangan kiri mereka itu berubah menjadi merah warnanya dan mengepulkan asap atau uap kemerahan.

Lebih hebat lagi, ketika mereka berlima menyerang dari lima jurusan, mereka kadang bergulingan dan sambil bergulingan itu golok mereka menyambar atau tangan kiri mereka memukul. Tangan kiri yang merah itu tidak kalah dahsyatnya dibandingkan golok di tangan kanan.

Namun Hek-liong-li adalah seorang ahli silat yang sudah berpengalaman menghadapi banyak macam penjahat lihai. Ia masih ingat benar akan keampuhan Ang-hwe-ciang dari mendiang Siauw-bin Ciu-kwi, maka kini iapun amat berhati-hati. Ia masih belum mempergunakan pedangnya, hanya mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari serangan bertubi yang dilakukan lima orang kepala gerombolan itu.

Untuk menghadapi pengeroyokan lima orang lawan tangguh itu, Liong-li sengaja mempergunakan langkah ajaib yang disebut Liu-seng-pow (Langkah Pohon Liu). Kedua kakinya bergeser dan melangkah secara aneh, tubuhnya meliuk-liuk seperti batang pohon liu tertiup angin, dan hebatnya, semua serangan lima orang lawan tak pernah mampu menyentuh dirinya. Untuk mengimbangi langkah ajaib Liu-seng-pouw ini, Liong-li juga menyelingi dengan serangan kedua tangannya yang mempergunakan ilmu Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik) yang gerakannya halus namun setiap kali tangannya menampar, angin pukulan menyambar dengan amat kuatnya.

Thai-san Ngo-kwi menjadi kewalahan. Setiap kali tangan Liong-li menampar dan mereka mengelak, tetap saja hawa pukulan itu membuat mereka terhuyung sehingga mereka maklum bahwa sekali saja terkena tamparan itu, berbahayalah bagi keselamatan nyawa mereka.

Selagi mereka kebingungan, terdengar suara tawa yang menyeramkan, seperti suara kuntilanak yang tertawa dan muncullah Ang I Sian-li yang biarpun usianya sudah lebih dari setengah abad, masih nampak ramping dan cantik, pesolek pula.

“Hek-liong-li, inilah saatnya engkau mati!” teriak nenek itu dan begitu ia menyerang.

Hek-liong-li terkejut. Ia dapat mengindarkan diri dengan langkah ajaibnya, namun tetap saja sebagian gelung rambutnya terlepas ketika dilanda angin pukulan yang berdesir tajam.

Liong-li cepat memperhatikan wanita itu, akan tetapi ia merasa belum pernah bertemu atau mengenal orang ini. Ia tidak diberi banyak kesempatan untuk berpikir, apa lagi bertanya karena begitu serangan pertama itu luput, nenek tadi sudah menyerang lagi, lebih dahsyat dari pada serangan pertama. Karena ingin mengukur sampai di mana kekuatan pukulan lawan, Liong-li sengaja menyambut pukulan itu dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang.

“Desss......!!” Dua tangan itu bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai empat-lima langkah tanpa dapat mereka cegah lagi.

Nenek itu terbelalak kaget, dan diam-diam Liong-li juga terkejut karena ia tahu bahwa nenek ini benar-benar amat lihai, memiliki kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatannya sendiri. Maka, tanpa ragu lagi kini tangan kanannya bergerak dan nampaklah sinar hitam berkelebat ketika pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) telah tercabut dari sarungnya.

Thai-san Ngo-kwi tentu saja tidak tinggal diam. Hati mereka besar setelah melihat munculnya nenek berpakaian serba merah itu. Melihat Ang I Sian-li sudah bergebrak melawan Hek-liong-li, merekapun segera menyerang dengan senjata golok mereka.

Liong-li maklum bahwa ia menghadapi banyak lawan yang tangguh, maka iapun cepat memutar pedangnya dan pedang itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar. Terdengar suara nyaring berkerontangan dan lima orang penyerang itu berloncatan ke belakang dengan muka pucat karena ujung golok mereka patah-patah ketika bertemu gulungan sinar hitam.

Ang I Sian-li memang belum pernah bertemu dengan Liong-li dan hanya mendengar bahwa gadis pendekar itu lihai dan telah menewaskan empat orang rekannya dari Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Kini, dalam gebrakan pertama saja ia maklum bahwa berita tentang Hek-liong-li tidaklah bohong. Gadis itu memiliki tenaga sin-kang yang mampu menangkis pukulannya.

Kini sekali putar pedangnya saja ia mampu mematahkan ujung lima batang golok dari para murid Siauw-bin Ciu-kwi. Ia menoleh kepada duapuluh lebih anak buah Thai-san Ngo-kwi, dan melihat betapa merekapun dibuat kocar-kacir oleh tiga orang nona pelayan Hek-liong-li.

Ang I Sian-li memberi isyarat dengan siulan melengking. Ia memang tidak bermaksud membunuh Liong-li begitu saja. Gerakan pertama ini hanya untuk mengacau dan merongrong Hek-liong-li. Untuk membunuh gadis pendekar itu, ia harus bersatu dengan dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong.

Mendengar isyarat itu, Thai-san Ngo-kwi juga memberi isyarat kepada anak buah mereka untuk mundur dan merekapun berlompatan meninggalkan tempat itu sambil menyeret dan menarik teman-teman yang sudah terluka dalam pertempuran itu.

“Jangan kejar!” Liong-li berseru ketika melihat tiga orang pembantunya hendak melakukan pengejaran.

Terlalu berbahaya mengejar musuh di daerah mereka sendiri, apa lagi musuh itu terdiri dari banyak orang jahat yang dipimpin seorang yang amat lihai seperti nenek berpakaian merah tadi. Yang membuat ia heran adalah nenek tadi. Siapakah ia dan mengapa pula ia membantu Thai-san Ngo-kwi?

Kalau lima orang pemimpin gerombolan itu memusuhinya, ia tidak merasa heran karena mereka adalah para murid Siauw-bin Ciu-kwi yang tewas di tangan ia dan Pek-liong. Akan tetapi nenek berpakaian merah itu, mengapa memusuhinya?

“Mari kita pulang dan mulai saat ini kita harus melakukan penjagaan ketat di rumah,” katanya kepada tiga orang pembantunya. Merekapun naik kereta dan pulang kembali ke Lok-yang.

Setelah Liong-li tiba di rumah dengan selamat, ia lalu mengatur penjagaan ketat siang malam secara bergilir agar setiap saat ada musuh datang, mereka dapat mengetahuinya. Mereka semua siap-siaga untuk melawan musuh kalau ada yang berani mengganggu.

Liong-li diam-diam mengutus seorang anggauta piauw-kiok (perusahaan pengiriman barang) untuk mengantarkan surat kepada Pek-liong yang tinggal di dusun Pat-kwa-bun dekat Telaga See-ouw di Hang-kouw. Peristiwa yang baru saja ia alami perlu diketahui oleh Pek-liong, karena bukankah mereka berdua yang dahulu menantang Siauw-bin Ciu-kwi? Kalau kematian datuk sesat itu hendak dibalaskan oleh para muridnya, maka bukan ia seorang yang terancam, juga Pek-liong tentu akan mereka cari. Karena itulah, ia perlu memberitahu Pek-liong agar waspada.

Y

Rumah itu tentu tidak akan menyolok dan menarik perhatian kalau berada di dalam kota besar. Akan tetapi karena adanya di dusun Pat-kwa-bun, maka tentu saja nampak megah dan mewah di antara rumah-rumah dusun yang kecil sederhana. Rumah itu cukup besar, dengan pekarangan yang luas. Dari taman di depan, kebun di belakang, dari genteng sampai ke dinding, daun pintu dan jendelanya, dapat dilihat bahwa rumah itu terpelihara baik-baik dan selain nampak megah, juga bersih dan menyenangkan.

Di taman atau pekarangan depan rumah, selain terdapat berbagai macam bunga yang sedang berkembang, juga terdapat sebuah arca berbentuk seekor naga dengan warna putih. Seekor Naga Putih! Baru bentuk arca ini saja akan membuat orang-orang dunia persilatan dapat menduga bahwa rumah ini tentu tempat tinggal si pendekar Naga Putih.

Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) Tan Cin Hay adalah seorang pendekar yang telah membuat nama besar dengan sepak terjangnya yang menggemparkan, baik seorang diri atau terutama sekali kalau dia berpasangan dengan Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam) Lie Kim Cu. Tan Cin Hay atau yang di dunia kang-ouw disebut Pek-liong (Naga Putih) adalah seorang pria yang usianya sekitar tigapuluh tahun, wajahnya tampan bersih tidak dikotori kumis atau jenggot karena dicukur rapi, tentu hanya akan disangka seorang tuan muda atau seorang pelajar yang lembut kalau saja dagunya tidak berlekuk mununjukkan kejantanan dan sinar matanya tidak mencorong seperti mata naga.

Tubuhnya sedang saja dan pakaiannya yang serba putih itu di ringkas dan sederhana dan kalau orang berada di dekatnya baru akan melihat bahwa di lehernya sebelah kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam. Orangnya pendiam, sederhana dan sikapnya rendah hati sehingga bagi yang belum mengenalnya, tentu akan menganggap dia seorang terpelajar karena penampilannya sama sekali tidak membayangkan seorang jagoan. Pada hal, Pek-liong memiliki ilmu kepandaian yang membuat geger dunia kang-ouw, membuat gentar hati para penjahat karena dia selalu menentang kejahatan.

Dalam usianya yang tigapuluh tahun itu, Pek-liong hidup membujang di rumahnya yang besar, ditemani oleh enam orang pelayan pria yang usianya antara tigapuluh tiga sampai empatpuluh tiga tahun. Para pelayan itu bukanlah pelayan biasa karena mereka telah digemblengnya dengan ilmu silat sehingga mereka juga dapat dianggap sebagai muridnya atau pembantunya.

Sebetulnya, Pek-liong bukanlah seorang perjaka yang tidak pernah menikah. Dia adalah seorang duda! Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dia hidup bersama seorang isteri tercinta sebagai pengantin baru. Ketika itu isterinya sedang mengandung anak pertama. Akan tetapi malapetaka datang menimpa suami isteri ini.

Dalam keadaan mengandung tiga bulan, isterinya itu diculik dan diperkosa penjahat sampai mati. Dia sendiri nyaris tewas. Dendam sakit hati yang sedalam lautan sebesar gunung membuat Tan Cin Hay belajar ilmu silat secara mendalam, dan akhirnya dia berhasil membalas dendam kepada para penjahat yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya.

Dan sejak itulah nama Pek-liong terkenal di mana-mana karena dia selalu menentang kejahatan dan bertindak tegas terhadap penjahat yang manapun. Namanya bersama Liong-li semakin menjulang ketika mereka berdua berhasil membinasakan datuk-datuk besar golongan hitam, terutama sekali setelah mereka membinasakan empat orang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Bersama Hek-liong-li, Pek-liong telah menewaskan Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam), Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan), dan Tiat-thouw Kui-bo (Biang Iblis Kepala Besi), empat di antara Kiu Lo-mo yang terkenal sebagai datuk golongan hitam.

Memang amat mengherankan semua orang melihat betapa Pek-liong yang menjadi duda sejak usia duapuluh satu tahun itu tidak pernah menikah lagi. Pada hal dia tampan, gagah perkasa, dan kaya raya. Banyak wanita yang akan merasa berbangga dan berbahagia apa bila dipersuntingnya. Namun, Pek-liong tidak pernah mau mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan.

Walaupun beberapa kali dia terlibat dalam ikatan asmara dengan beberapa wanita, namun hubungan mereka itu hanyalah hubungan yang terdorong gairah nafsu kedua pihak belaka, tidak pernah dilanjutkan dengan ikatan cinta dalam pernikahan. Keadaannya yang seperti itu persis dengan keadaan Hek-liong-li.

Biarpun Pek-liong jarang mencari keributan di dunia persilatan, dan lebih banyak bersantai di rumah, menyibukkan diri dengan membaca kitab-kitab kuno dan mengurus taman dan kebun buahnya, namun dia tidak pernah lupa untuk berlatih silat. Bahkan, dengan enam orang pembantunya sebagai lawan berlatih, hampir setiap hari dia memperdalam ilmu-ilmunya, menyempurnakan kekurangannya dan juga dia selalu berlatih menghimpun tenaga untuk memperkuat sin-kangnya. Maka, keadaannya tetap sehat dan kuat, bahkan dengan bantuan kitab-kitab kuno, dia dapat memperoleh kemajuan dalam ilmu silatnya.

Seperti juga rumah Hek-liong-li, rumah pendekar ini penuh dengan alat-alat rahasia sehingga biarpun di waktu malam dia dan enam orang pembantunya tidur nyenyak, mereka tidak perlu merasa khawatir karena alat-alat rahasia itu merupakan penjaga keamanan yang amat setia dan boleh diandalkan.

Malam itu gelap dan dingin sekali. Di angkasa tidak nampak bulan, namun sebagai gantinya, bintang yang tak terhitung banyaknya bertaburan. Dusun Pat-kwa-bun sudah sunyi sekali, biarpun tengah malam masih jauh. Orang-orang lebih senang berada di rumah masing-masing di malam sedingin itu.

Dusun ini memang aman. Agaknya, dengan tinggalnya Pek-liong di dusun itu, tidak ada penjahat yang berani lancang mengganggu ketentraman dusun Pat-kwa-bun. Siapa yang berani mempermainkan kumis harimau? Jangankan baru penjahat kecil, biar para tokoh kang-ouw kenamaan yang lihai sekalipun akan merasa lebih aman kalau menjauhi Pat-kwa-bun agar tidak sampai bentrok dengan si Naga Putih.

Akan tetapi agaknya di malam gelap itu terjadi hal yang luar biasa. Sesosok bayangan hitam yang gerakannya ringan dan lincah sekali, berkelebat di luar pagar tembok di belakang rumah itu bagaikan seekor kucing saja, bayangan hitam itu meloncat ke atas tembok yang tingginya ada dua meter dan sejenak dia mendekam di atas pagar tembok, mengintai ke sebelah dalam.

Di bawah pagar sebelah dalam merupakan kebun belakang rumah Pek-liong. Bayangan itu menggerakkan tangan kanan, melemparkan sebuah batu ke bawah. Kiranya dia hendak melihat apakah tempat itu dipasangi jebakan. Setelah yakin bahwa tidak ada reaksi ketika dia melemparkan batu, tubuhnya melayang turun ke sebelah dalam dan kakinya tepat menginjak batu kecil yang tadi dia lemparkan.

Dia tidak berani sembarangan melangkah lagi. Dia maklum bahwa tempat tinggal si Naga Putih itu penuh dengan rahasia dan jebakan, maka dia bersikap hati-hati sekali. Setiap kali kakinya hendak melangkah, selalu dia dahului dengan lemparan batu ke arah tempat yang akan diinjaknya. Dan sikapnya ini memang menolongnya.

Ketika dia tiba di dekat lorong kecil menuju ke pintu belakang rumah itu, begitu dia melemparkan sebuah batu ke atas tanah yang akan dijadikan tempat berpijak, tiba-tiba saja ada tiga batang anak panah meluncur ke arah tempat itu dan andaikata dia tidak mencobanya dulu dengan batu, tentu dirinya yang diserang anak panah.

Agaknya di tempat yang dia lempari batu tadi dipasang alat rahasia sehingga kalau terpijak orang, lalu senjata anak panah itu bekerja melalui alat rahasia yang dipasang. Dia melemparkan batu ke tempat lain dan akhirnya dapat tiba di depan pintu belakang dengan selamat.

Daun pintu itu tidak berapa tinggi, hanya lebih tinggi sedikit dari orang itu dan lebarnya satu meter. Ketika dia berdiri di depan pintu, di mana terdapat sebuah lampu gantung, nampak bahwa dia seorang laki-laki yang bertubuh sedang, matanya tajam seperti mata kucing, pakaiannya serba hitam dan muka bagian bawah tertutup kain hitam pula. Dia memegang sebatang pedang telanjang dan gerak geriknya memang ringan sekali.

Sejenak dia meneliti pintu itu. Jalan masuk hanya melalui pintu belakang ini. Dia tidak berani mengambil jalan dari atap. Terlalu berbahaya, pikirnya. Dia mengambil sebatang kayu sebesar lengan yang banyak terdapat di kebun itu, lalu menggunakan benda itu untuk mendorong daun pintu sambil mengerahkan tenaganya. Daun pintu dapat didorongnya terbuka, palangnya sebelah dalam patah.

Hal ini membuktikan betapa kuatnya tenaga orang ini. Dengan hati lega dia menyimpan pedangnya di sarung yang menempel di punggung, kemudian dengan hati-hati dia melangkah memasuki pintu yang sudah terbuka.

Pada saat tubuhnya tiba diambang pintu, tiba-tiba terdengar suara berdesing dan dari sebelah kanannya meluncur sebatang tombak menyerang ke arah dadanya! Cepat sekali gerakan tombak itu, namun si bayangan hitam itu ternyata lihai sekali. Dia cepat menggerakkan lengan kanan menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Krekkk!” Gagang tombak dari kayu itu patah-patah ketika bertemu dengan lengannya dan pada saat itu, dia sudah melompat ke depan. Sebatang tombak dari kiri meluncur akan tetapi karena dia sudah melompat ke depan, tombak itu meluncur lewat di belakang tubuhnya dan tidak mengenai sasaran. Kiranya di ambang pintu itu terdapat alat rahasia yang menggerakkan dua tombak dari kanan kiri begitu terinjak kakinya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar