07 Upaya Pembunuhan Pek-liong-eng
“Keparat! Nona baju merah,
engkau berani membawa mayat-mayat anak buah kami ke sini, apakah nyawamu
rangkap?” bentak Thai-kwi dan pada saat itu muncullah Lan-hwa dan Ui-hwa dari
balik tirai kereta.
Setelah tadi melempar keluar
dua mayat anak buah penjahat, dua orang gadis itu bersiap-siap dan setelah tiba
saatnya, mereka meloncat keluar dan berdiri di kanan kiri kereta bagian depan,
mendampingi Ang-hwa yang masih duduk di atas kereta. Tiga orang gadis cantik
ini bersikap tenang dan siap siaga menghadapi pengeroyokan banyak lawan.
Melihat ini, kemarahan
Thai-kwi memuncak. “Bagus!” teriak Thai-kwi. “Hek-liong-li mengirim tiga orang
anak buahnya dan kami masih untung satu kalau membunuh mereka bertiga ini!”
“Twako, jangan bunuh. Serahkan
dulu mereka bertiga kepadaku! Setelah kita mempermainkan mereka sepuasnya,
barulah mereka itu dibunuh!” kata Ngo-kwi dan ucapannya ini disambut gembira
oleh anak buah mereka.
Thai-kwi mengangguk-angguk dan
tersenyum. “Begitu juga lebih baik. Nah, kerahkan semua tenaga dan tangkap tiga
orang gadis ini hidup-hidup. Kita akan mempermainkan dan menyiksanya, baru
mengirim mayat mereka ke rumah Hek-liong-li!”
Para pengepung itu menyeringai
dan mereka semua menyimpan senjata mereka, mengepung kereta itu dan mata mereka
berkilat, wajah berseri karena mereka seperti akan berlumba siapa yang dapat
lebih dulu menangkap tiga orang wanita muda yang cantik manis itu. Akan tetapi,
melihat mayat dua orang rekan mereka, para anak buah penjahat itupun maklum
bahwa biarpun merupakan wanita-wanita muda yang cantik, namun pihak lawan
adalah orang-orang yang lihai dan tidak boleh dipandang ringan, maka mereka
tidak berani langsung menyerang, bahkan membiarkan pimpinan mereka, lima orang
Thai-san Ngo-kwi untuk turun tangan.
Sebelum lima orang kepala
gerombolan itu turun tangan, tiba-tiba terdengar suara tawa merdu dan entah
dari mana datangnya, tiba-tiba saja di atas kereta itu telah berdiri seorang
wanita yang cantik luar biasa. Nampak semakin luar biasa karena kemunculannya
yang tiba-tiba, berpakaian sutera hitam dan wajahnya yang bulat telur itu
disinari api obor yang banyak. Tadi, lima orang Thai-san Ngo-kwi hanya melihat
berkelebatnya bayangan hitam, dan tahu-tahu wanita itu telah berdiri di atas
kereta, tanpa mengguncangkan kereta seolah-olah yang menimpa atas kereta itu
bukan manusia, melainkan seekor burung.
“Hek-liong-li.....!” terdengar
teriakan-teriakan kaget dan mendengar sebutan ini, Liong-li tersenyum manis.
“Hemm, kalian masih mengenal
Hek-liong-li, namun tetap berani mengganggunya, berarti kalian memang sudah
bosan hidup. Kalian merusak arca di pekarangan rumahku, kemudian kalian mencoba
untuk meracuniku, lalu menawan orangku. Thai-san Ngo-kwi, selama ini aku
Hek-liong-li tidak pernah mengganggumu, kenapa sekarang kalian melakukan
hal-hal tidak pantas kepadaku? Aku tidak mau membunuh orang tanpa mengetahui
urusannya!”
Biarpun hatinya jerih
menghadapi pendekar wanita pembunuh gurunya itu, namun karena dia berada
bersama empat orang adik seperguruannya, bahkan masih ada lagi duapuluh orang
lebih anak buah mereka, Thai-kwi yang marah itu membentak.
“Hek-liong-li, kami akui bahwa
yang merusak arca di pekarangan, yang menyuruh meracuni dan kemudian menculik
anak buahmu adalah kami, Thai-san Ngo-kwi! Mengapa kami memusuhimu?
Hek-liong-li, mungkin engkau sudah lupa, namun kami tidak akan pernah dapat
melupakan bahwa guru kami, Siauw-bin Ciu-kwi, tewas di tangan engkau dan
Pek-liong-eng! Nah, sekarang tiba saatnya engkau membayar hutang nyawa kepada
guru kami!”
Bibir yang merah basah dan
manis itu tersenyum mengejek. “Aha, kiranya kalian murid-murid Siauw-bin
Ciu-kwi. Tidak mengherankan kalian pandai mempergunakan siasat licik dan curang
busuk. Siauw-bin Ciu-kwi tewas karena ulahnya sendiri, karena kejahatannya. Dan
kalian pun akan mampus karena kejahatan kalian sendiri kalau kalian melanjutkan
perbuatan jahat kalian. Sebaiknya, selagi masih ada kesempatan, kalian
bertaubat, membuang senjata dan berjanji tidak akan berbuat jahat lagi. Aku
Hek-liong-li bukan orang kejam dan suka memaafkan kalian yang telah merusak
arca dan mencoba meracuniku.”
“Hek-liong-li, bersiaplah
untuk mampus menebus hutangmu kepada guru kami!” Thai-kwi membentak dan dia
memberi isyarat kepada empat orang adik seperguruannya.
Mereka berlima serentak
menyerang Hek-liong-li, sedangkan duapuluh orang lebih anak buah mereka sambil
berteriak-teriak maju mengepung dan menyerang Ang-hwa, Lan-hwa dan Ui-hwa.
Terjadilah pertempuran seru di tempat itu, hanya diterangi obor-obor dan di
atas tanah. Juga matahari pagi mulai memperbesar cahayanya menjenguk dari balik
puncak.
Thai-san Ngo-kwi bersenjatakan
golok besar dan selain ilmu golok yang dahsyat, mereka juga telah mewarisi ilmu
pukulan ampuh dari mendiang Siauw-bin Ciu-kwi, yaitu yang disebut Ang-hwe-ciang
(Tangan Api Merah). Sambil memainkan golok dengan tangan kanan, merekapun
mengerahkan tenaga Ang-hwe-ciang pada tangan kiri sehingga tangan kiri mereka
itu berubah menjadi merah warnanya dan mengepulkan asap atau uap kemerahan.
Lebih hebat lagi, ketika
mereka berlima menyerang dari lima jurusan, mereka kadang bergulingan dan
sambil bergulingan itu golok mereka menyambar atau tangan kiri mereka memukul.
Tangan kiri yang merah itu tidak kalah dahsyatnya dibandingkan golok di tangan
kanan.
Namun Hek-liong-li adalah
seorang ahli silat yang sudah berpengalaman menghadapi banyak macam penjahat
lihai. Ia masih ingat benar akan keampuhan Ang-hwe-ciang dari mendiang
Siauw-bin Ciu-kwi, maka kini iapun amat berhati-hati. Ia masih belum
mempergunakan pedangnya, hanya mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk
menghindarkan diri dari serangan bertubi yang dilakukan lima orang kepala
gerombolan itu.
Untuk menghadapi pengeroyokan
lima orang lawan tangguh itu, Liong-li sengaja mempergunakan langkah ajaib yang
disebut Liu-seng-pow (Langkah Pohon Liu). Kedua kakinya bergeser dan melangkah
secara aneh, tubuhnya meliuk-liuk seperti batang pohon liu tertiup angin, dan
hebatnya, semua serangan lima orang lawan tak pernah mampu menyentuh dirinya.
Untuk mengimbangi langkah ajaib Liu-seng-pouw ini, Liong-li juga menyelingi
dengan serangan kedua tangannya yang mempergunakan ilmu Bi-jin-kun (Silat
Wanita Cantik) yang gerakannya halus namun setiap kali tangannya menampar,
angin pukulan menyambar dengan amat kuatnya.
Thai-san Ngo-kwi menjadi
kewalahan. Setiap kali tangan Liong-li menampar dan mereka mengelak, tetap saja
hawa pukulan itu membuat mereka terhuyung sehingga mereka maklum bahwa sekali
saja terkena tamparan itu, berbahayalah bagi keselamatan nyawa mereka.
Selagi mereka kebingungan,
terdengar suara tawa yang menyeramkan, seperti suara kuntilanak yang tertawa
dan muncullah Ang I Sian-li yang biarpun usianya sudah lebih dari setengah
abad, masih nampak ramping dan cantik, pesolek pula.
“Hek-liong-li, inilah saatnya
engkau mati!” teriak nenek itu dan begitu ia menyerang.
Hek-liong-li terkejut. Ia
dapat mengindarkan diri dengan langkah ajaibnya, namun tetap saja sebagian
gelung rambutnya terlepas ketika dilanda angin pukulan yang berdesir tajam.
Liong-li cepat memperhatikan
wanita itu, akan tetapi ia merasa belum pernah bertemu atau mengenal orang ini.
Ia tidak diberi banyak kesempatan untuk berpikir, apa lagi bertanya karena
begitu serangan pertama itu luput, nenek tadi sudah menyerang lagi, lebih
dahsyat dari pada serangan pertama. Karena ingin mengukur sampai di mana
kekuatan pukulan lawan, Liong-li sengaja menyambut pukulan itu dengan tangannya
sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
“Desss......!!” Dua tangan itu
bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai empat-lima langkah
tanpa dapat mereka cegah lagi.
Nenek itu terbelalak kaget,
dan diam-diam Liong-li juga terkejut karena ia tahu bahwa nenek ini benar-benar
amat lihai, memiliki kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatannya sendiri. Maka,
tanpa ragu lagi kini tangan kanannya bergerak dan nampaklah sinar hitam
berkelebat ketika pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) telah tercabut dari
sarungnya.
Thai-san Ngo-kwi tentu saja
tidak tinggal diam. Hati mereka besar setelah melihat munculnya nenek
berpakaian serba merah itu. Melihat Ang I Sian-li sudah bergebrak melawan
Hek-liong-li, merekapun segera menyerang dengan senjata golok mereka.
Liong-li maklum bahwa ia
menghadapi banyak lawan yang tangguh, maka iapun cepat memutar pedangnya dan
pedang itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar.
Terdengar suara nyaring berkerontangan dan lima orang penyerang itu berloncatan
ke belakang dengan muka pucat karena ujung golok mereka patah-patah ketika
bertemu gulungan sinar hitam.
Ang I Sian-li memang belum
pernah bertemu dengan Liong-li dan hanya mendengar bahwa gadis pendekar itu
lihai dan telah menewaskan empat orang rekannya dari Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis
Tua). Kini, dalam gebrakan pertama saja ia maklum bahwa berita tentang Hek-liong-li
tidaklah bohong. Gadis itu memiliki tenaga sin-kang yang mampu menangkis
pukulannya.
Kini sekali putar pedangnya
saja ia mampu mematahkan ujung lima batang golok dari para murid Siauw-bin
Ciu-kwi. Ia menoleh kepada duapuluh lebih anak buah Thai-san Ngo-kwi, dan
melihat betapa merekapun dibuat kocar-kacir oleh tiga orang nona pelayan
Hek-liong-li.
Ang I Sian-li memberi isyarat
dengan siulan melengking. Ia memang tidak bermaksud membunuh Liong-li begitu
saja. Gerakan pertama ini hanya untuk mengacau dan merongrong Hek-liong-li.
Untuk membunuh gadis pendekar itu, ia harus bersatu dengan dua orang rekannya,
yaitu Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong.
Mendengar isyarat itu,
Thai-san Ngo-kwi juga memberi isyarat kepada anak buah mereka untuk mundur dan
merekapun berlompatan meninggalkan tempat itu sambil menyeret dan menarik
teman-teman yang sudah terluka dalam pertempuran itu.
“Jangan kejar!” Liong-li
berseru ketika melihat tiga orang pembantunya hendak melakukan pengejaran.
Terlalu berbahaya mengejar
musuh di daerah mereka sendiri, apa lagi musuh itu terdiri dari banyak orang
jahat yang dipimpin seorang yang amat lihai seperti nenek berpakaian merah
tadi. Yang membuat ia heran adalah nenek tadi. Siapakah ia dan mengapa pula ia
membantu Thai-san Ngo-kwi?
Kalau lima orang pemimpin
gerombolan itu memusuhinya, ia tidak merasa heran karena mereka adalah para
murid Siauw-bin Ciu-kwi yang tewas di tangan ia dan Pek-liong. Akan tetapi
nenek berpakaian merah itu, mengapa memusuhinya?
“Mari kita pulang dan mulai saat
ini kita harus melakukan penjagaan ketat di rumah,” katanya kepada tiga orang
pembantunya. Merekapun naik kereta dan pulang kembali ke Lok-yang.
Setelah Liong-li tiba di rumah
dengan selamat, ia lalu mengatur penjagaan ketat siang malam secara bergilir
agar setiap saat ada musuh datang, mereka dapat mengetahuinya. Mereka semua
siap-siaga untuk melawan musuh kalau ada yang berani mengganggu.
Liong-li diam-diam mengutus
seorang anggauta piauw-kiok (perusahaan pengiriman barang) untuk mengantarkan
surat kepada Pek-liong yang tinggal di dusun Pat-kwa-bun dekat Telaga See-ouw
di Hang-kouw. Peristiwa yang baru saja ia alami perlu diketahui oleh Pek-liong,
karena bukankah mereka berdua yang dahulu menantang Siauw-bin Ciu-kwi? Kalau
kematian datuk sesat itu hendak dibalaskan oleh para muridnya, maka bukan ia
seorang yang terancam, juga Pek-liong tentu akan mereka cari. Karena itulah, ia
perlu memberitahu Pek-liong agar waspada.
◄Y►
Rumah itu tentu tidak akan
menyolok dan menarik perhatian kalau berada di dalam kota besar. Akan tetapi
karena adanya di dusun Pat-kwa-bun, maka tentu saja nampak megah dan mewah di
antara rumah-rumah dusun yang kecil sederhana. Rumah itu cukup besar, dengan
pekarangan yang luas. Dari taman di depan, kebun di belakang, dari genteng sampai
ke dinding, daun pintu dan jendelanya, dapat dilihat bahwa rumah itu
terpelihara baik-baik dan selain nampak megah, juga bersih dan menyenangkan.
Di taman atau pekarangan depan
rumah, selain terdapat berbagai macam bunga yang sedang berkembang, juga
terdapat sebuah arca berbentuk seekor naga dengan warna putih. Seekor Naga
Putih! Baru bentuk arca ini saja akan membuat orang-orang dunia persilatan
dapat menduga bahwa rumah ini tentu tempat tinggal si pendekar Naga Putih.
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih)
Tan Cin Hay adalah seorang pendekar yang telah membuat nama besar dengan sepak
terjangnya yang menggemparkan, baik seorang diri atau terutama sekali kalau dia
berpasangan dengan Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam) Lie Kim Cu. Tan
Cin Hay atau yang di dunia kang-ouw disebut Pek-liong (Naga Putih) adalah
seorang pria yang usianya sekitar tigapuluh tahun, wajahnya tampan bersih tidak
dikotori kumis atau jenggot karena dicukur rapi, tentu hanya akan disangka
seorang tuan muda atau seorang pelajar yang lembut kalau saja dagunya tidak
berlekuk mununjukkan kejantanan dan sinar matanya tidak mencorong seperti mata
naga.
Tubuhnya sedang saja dan
pakaiannya yang serba putih itu di ringkas dan sederhana dan kalau orang berada
di dekatnya baru akan melihat bahwa di lehernya sebelah kiri terdapat sebuah
tahi lalat hitam. Orangnya pendiam, sederhana dan sikapnya rendah hati sehingga
bagi yang belum mengenalnya, tentu akan menganggap dia seorang terpelajar
karena penampilannya sama sekali tidak membayangkan seorang jagoan. Pada hal,
Pek-liong memiliki ilmu kepandaian yang membuat geger dunia kang-ouw, membuat
gentar hati para penjahat karena dia selalu menentang kejahatan.
Dalam usianya yang tigapuluh
tahun itu, Pek-liong hidup membujang di rumahnya yang besar, ditemani oleh enam
orang pelayan pria yang usianya antara tigapuluh tiga sampai empatpuluh tiga
tahun. Para pelayan itu bukanlah pelayan biasa karena mereka telah
digemblengnya dengan ilmu silat sehingga mereka juga dapat dianggap sebagai
muridnya atau pembantunya.
Sebetulnya, Pek-liong bukanlah
seorang perjaka yang tidak pernah menikah. Dia adalah seorang duda! Kurang
lebih sepuluh tahun yang lalu dia hidup bersama seorang isteri tercinta sebagai
pengantin baru. Ketika itu isterinya sedang mengandung anak pertama. Akan
tetapi malapetaka datang menimpa suami isteri ini.
Dalam keadaan mengandung tiga
bulan, isterinya itu diculik dan diperkosa penjahat sampai mati. Dia sendiri
nyaris tewas. Dendam sakit hati yang sedalam lautan sebesar gunung membuat Tan
Cin Hay belajar ilmu silat secara mendalam, dan akhirnya dia berhasil membalas
dendam kepada para penjahat yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah
tangganya.
Dan sejak itulah nama
Pek-liong terkenal di mana-mana karena dia selalu menentang kejahatan dan
bertindak tegas terhadap penjahat yang manapun. Namanya bersama Liong-li
semakin menjulang ketika mereka berdua berhasil membinasakan datuk-datuk besar
golongan hitam, terutama sekali setelah mereka membinasakan empat orang di
antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Bersama Hek-liong-li, Pek-liong telah
menewaskan Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam), Siauw-bin Ciu-kwi (Setan
Arak Muka Tertawa), Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan), dan Tiat-thouw
Kui-bo (Biang Iblis Kepala Besi), empat di antara Kiu Lo-mo yang terkenal
sebagai datuk golongan hitam.
Memang amat mengherankan semua
orang melihat betapa Pek-liong yang menjadi duda sejak usia duapuluh satu tahun
itu tidak pernah menikah lagi. Pada hal dia tampan, gagah perkasa, dan kaya
raya. Banyak wanita yang akan merasa berbangga dan berbahagia apa bila
dipersuntingnya. Namun, Pek-liong tidak pernah mau mengikatkan diri dengan
sebuah pernikahan.
Walaupun beberapa kali dia
terlibat dalam ikatan asmara dengan beberapa wanita, namun hubungan mereka itu
hanyalah hubungan yang terdorong gairah nafsu kedua pihak belaka, tidak pernah
dilanjutkan dengan ikatan cinta dalam pernikahan. Keadaannya yang seperti itu
persis dengan keadaan Hek-liong-li.
Biarpun Pek-liong jarang
mencari keributan di dunia persilatan, dan lebih banyak bersantai di rumah,
menyibukkan diri dengan membaca kitab-kitab kuno dan mengurus taman dan kebun
buahnya, namun dia tidak pernah lupa untuk berlatih silat. Bahkan, dengan enam
orang pembantunya sebagai lawan berlatih, hampir setiap hari dia memperdalam
ilmu-ilmunya, menyempurnakan kekurangannya dan juga dia selalu berlatih
menghimpun tenaga untuk memperkuat sin-kangnya. Maka, keadaannya tetap sehat
dan kuat, bahkan dengan bantuan kitab-kitab kuno, dia dapat memperoleh kemajuan
dalam ilmu silatnya.
Seperti juga rumah
Hek-liong-li, rumah pendekar ini penuh dengan alat-alat rahasia sehingga
biarpun di waktu malam dia dan enam orang pembantunya tidur nyenyak, mereka
tidak perlu merasa khawatir karena alat-alat rahasia itu merupakan penjaga keamanan
yang amat setia dan boleh diandalkan.
Malam itu gelap dan dingin
sekali. Di angkasa tidak nampak bulan, namun sebagai gantinya, bintang yang tak
terhitung banyaknya bertaburan. Dusun Pat-kwa-bun sudah sunyi sekali, biarpun
tengah malam masih jauh. Orang-orang lebih senang berada di rumah masing-masing
di malam sedingin itu.
Dusun ini memang aman.
Agaknya, dengan tinggalnya Pek-liong di dusun itu, tidak ada penjahat yang
berani lancang mengganggu ketentraman dusun Pat-kwa-bun. Siapa yang berani mempermainkan
kumis harimau? Jangankan baru penjahat kecil, biar para tokoh kang-ouw kenamaan
yang lihai sekalipun akan merasa lebih aman kalau menjauhi Pat-kwa-bun agar
tidak sampai bentrok dengan si Naga Putih.
Akan tetapi agaknya di malam
gelap itu terjadi hal yang luar biasa. Sesosok bayangan hitam yang gerakannya
ringan dan lincah sekali, berkelebat di luar pagar tembok di belakang rumah itu
bagaikan seekor kucing saja, bayangan hitam itu meloncat ke atas tembok yang
tingginya ada dua meter dan sejenak dia mendekam di atas pagar tembok,
mengintai ke sebelah dalam.
Di bawah pagar sebelah dalam
merupakan kebun belakang rumah Pek-liong. Bayangan itu menggerakkan tangan
kanan, melemparkan sebuah batu ke bawah. Kiranya dia hendak melihat apakah
tempat itu dipasangi jebakan. Setelah yakin bahwa tidak ada reaksi ketika dia
melemparkan batu, tubuhnya melayang turun ke sebelah dalam dan kakinya tepat
menginjak batu kecil yang tadi dia lemparkan.
Dia tidak berani sembarangan
melangkah lagi. Dia maklum bahwa tempat tinggal si Naga Putih itu penuh dengan
rahasia dan jebakan, maka dia bersikap hati-hati sekali. Setiap kali kakinya
hendak melangkah, selalu dia dahului dengan lemparan batu ke arah tempat yang
akan diinjaknya. Dan sikapnya ini memang menolongnya.
Ketika dia tiba di dekat
lorong kecil menuju ke pintu belakang rumah itu, begitu dia melemparkan sebuah
batu ke atas tanah yang akan dijadikan tempat berpijak, tiba-tiba saja ada tiga
batang anak panah meluncur ke arah tempat itu dan andaikata dia tidak mencobanya
dulu dengan batu, tentu dirinya yang diserang anak panah.
Agaknya di tempat yang dia
lempari batu tadi dipasang alat rahasia sehingga kalau terpijak orang, lalu
senjata anak panah itu bekerja melalui alat rahasia yang dipasang. Dia
melemparkan batu ke tempat lain dan akhirnya dapat tiba di depan pintu belakang
dengan selamat.
Daun pintu itu tidak berapa
tinggi, hanya lebih tinggi sedikit dari orang itu dan lebarnya satu meter.
Ketika dia berdiri di depan pintu, di mana terdapat sebuah lampu gantung, nampak
bahwa dia seorang laki-laki yang bertubuh sedang, matanya tajam seperti mata
kucing, pakaiannya serba hitam dan muka bagian bawah tertutup kain hitam pula.
Dia memegang sebatang pedang telanjang dan gerak geriknya memang ringan sekali.
Sejenak dia meneliti pintu
itu. Jalan masuk hanya melalui pintu belakang ini. Dia tidak berani mengambil
jalan dari atap. Terlalu berbahaya, pikirnya. Dia mengambil sebatang kayu
sebesar lengan yang banyak terdapat di kebun itu, lalu menggunakan benda itu
untuk mendorong daun pintu sambil mengerahkan tenaganya. Daun pintu dapat
didorongnya terbuka, palangnya sebelah dalam patah.
Hal ini membuktikan betapa
kuatnya tenaga orang ini. Dengan hati lega dia menyimpan pedangnya di sarung
yang menempel di punggung, kemudian dengan hati-hati dia melangkah memasuki
pintu yang sudah terbuka.
Pada saat tubuhnya tiba
diambang pintu, tiba-tiba terdengar suara berdesing dan dari sebelah kanannya
meluncur sebatang tombak menyerang ke arah dadanya! Cepat sekali gerakan tombak
itu, namun si bayangan hitam itu ternyata lihai sekali. Dia cepat menggerakkan
lengan kanan menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Krekkk!” Gagang tombak dari
kayu itu patah-patah ketika bertemu dengan lengannya dan pada saat itu, dia
sudah melompat ke depan. Sebatang tombak dari kiri meluncur akan tetapi karena
dia sudah melompat ke depan, tombak itu meluncur lewat di belakang tubuhnya dan
tidak mengenai sasaran. Kiranya di ambang pintu itu terdapat alat rahasia yang
menggerakkan dua tombak dari kanan kiri begitu terinjak kakinya.