Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 08 Pancingan Disambar Ikan Lain . . .

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 08 Pancingan Disambar Ikan Lain . . .
08 Pancingan Disambar Ikan Lain . . .

Bayangan hitam itu mengeluarkan suara tawa kecil mengejek, lalu dia bergerak maju lagi dengan hati-hati, menggunakan sebatang kayu untuk mencari jalan yang aman. Akhirnya dia tiba di pintu besi yang menembus ke bangunan induk gedung itu. Pintu besi itu tingginya dua meter dan lebarnya hampir dua meter, daun pintu terbagi dua dan tertutup rapat.

Agaknya tidak mungkin mendobrak daun pintu yang kokoh kuat ini, pikir si bayangan hitam itu. Akan tetapi dia adalah seorang ahli dalam hal alat rahasia dan jebakan pada pintu. Dia tahu bahwa di sebelah luar pintu pasti ada alat pembuka pintunya.

Sepasang mata di atas kain hitam penutup muka itu mengamati ke adaan sekitar pintu dengan sinar mata tajam. Melihat sebuah arca singa kecil tak jauh dari pintu, diapun tertawa kecil dan menghampiri arca itu. Diputar-putarnya arca itu ke kanan kiri dan akhirnya sepasang daun pintu besi itu bergerak terbuka ke kanan kiri tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Dengan mata berkilat karena gembira, si bayangan hitam berindap-indap memasuki lubang pintu itu. Karena tadi dia pernah terancam bahaya ketika melewati ambang pintu pertama, kini dengan hati-hati dia melemparkan batu sebelum kakinya menginjak ambang pintu. Setelah tidak melihat adanya bahaya, dia berani melangkah masuk.

Kiranya di belakang pintu itu merupakan jalan terowongan yang tidak begitu lebar, selebar pintu itu dan kanan kirinya dari dinding tinggi. Tidak ada pilihan lain kecuali maju melalui lorong itu ke depan. Untung bahwa lorong itu mendapat penerangan dari atas sehingga terang dan si bayangan hitam berindap melangkah ke depan.

Akan tetapi baru belasan langkah dia maju, tiba-tiba dia menahan langkahnya dan matanya terbelalak memandang ke depan karena dari depan muncul dua buah patung manusia dari kayu yang keduanya membawa tombak dan menyerbu ke depan menyerangnya! Karena lorong itu sempit, tidak leluasa untuk bergerak, maka si bayangan hitam terpaksa mundur dan bersiap-siap dengan pedang di tangan.

Maksudnya untuk mencari tempat yang luas di luar pintu agar mudah baginya untuk bergerak. Dia mundur dan tidak tahu betapa dua buah daun pintu besi itu bergerak menutup perlahan-lahan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Ketika dia tiba di ambang pintu, barulah dia menyadari datangnya bahaya, bukan dari dua buah patung kayu, melainkan dari dua buah daun pintu yang kini bergerak cepat menghimpitnya dari kanan kiri. Dalam kagetnya, si bayangan hitam melepaskan pedangnya dan menggunakan kedua tangan untuk menahan daun pintu yang menghimpitnya. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berhasil menahan dua buah daun pintu, namun diapun tidak mampu membebaskan diri.

Dia telah terjebak, kedua tangan menahan daun pintu besi yang terus menghimpit. Bagaimanapun kuatnya, tenaganya terbatas dan tidak mungkin dia bertahan terus. Perlahan-lahan, dua buah daun pintu itu semakin menutup, kedua lengannya semakin terhimpit. Setelah lewat puluhan menit, dari mulut dan hidungnya mengalir darah, kedua tangannya sudah tertekan sampai ke kepalanya, tubuhnya sudah mulai terhimpit.

Akhirnya, setelah mengeluarkan jerit mengerikan dia terkulai. Dua buah daun pintu menutup terus, menghimpit tubuhnya sehingga ringsek dan ketika kepalanya terjepit, kepala itu mengeluarkan suara dan retak-retak. Orang itupun tewas secara mengerikan.

Jeritan tadi membangunkan Pek-liong dan enam orang pembantunya. Mereka terbangun dan berlarian menuju ke tempat itu. Melihat ada orang terjepit daun pintu dan tewas, Pek-liong menghela napas panjang, merasa heran mengapa ada orang demikian tolol berani memasuki tempat tinggalnya yang dipasangi banyak alat rahasia itu.

“Coba lihat, siapa orang yang sudah bosan hidup itu,” katanya.

Ketika para pembantunya melepaskan korban dari pintu dan membuka penutup muka, Pek-liong sendiri tidak mengenal muka yang sudah rusak karena kepalanya terjepit retak oleh daun pintu.

“Rawat dan kubur mayatnya baik-baik, dan bersihkan pintu ini,” katanya dan diapun kembali ke kamarnya.

Akan tetapi, peristiwa itu membuat Pek-liong-eng tidak dapat tidur. Dia duduk termenung di dalam kamarnya, menduga-duga siapa kiranya yang mengirim pembunuh ke tempat tinggalnya.

Sudah lama tidak pernah ada orang memusuhinya. Tentu saja amat sukar menduga siapa orang itu dan siapa yang menyuruhnya karena di dunia kang-ouw dia mempunyai banyak sekali musuh, atau para tokoh kang-ouw yang mendendam kepadanya. Sudah terlalu banyak penjahat dia tentang dan dia basmi sehingga tentu saja banyak yang mendendam kepadanya.

Sayang, pikirnya, kalau saja dia tahu akan munculnya pembunuh itu, tentu akan dia tangkap hidup-hidup agar dia dapat mengorek keterang darinya siapa yang mengutusnya. Dia merasa yakin bahwa orang itu hanyalah orang suruhan saja. Orang yang tewas terjepit pintu besi itu berarti hanya memiliki kepandaian biasa saja, maka tentu ada orang lain yang lebih lihai yang berdiri di belakang layar.

Membayangkan semua pengalamannya ketika dia menentang para penjahat untuk menduga siapa kiranya yang patut dia curigai, diapun teringat akan Hek-liong-li. Dan diam-diam diapun terkejut. Kalau dia diancam pembunuh, besar kemungkinannya Liong-li mengalami hal yang sama.

Selama beberapa tahun ini, mereka selalu maju bersama menentang para penjahat. Kalau ada penjahat mendendam kepadanya, maka penjahat itupun tentu mendendam kepada Liong-li. Tentu Liong-li juga mengalami ancaman penjahat, pikirnya.

Dia tidak mengkhawatirkan Liong-li. Dia tahu sepenuhnya betapa lihainya rekannya itu, bahkan tempat tinggal rekannya itu mengandung alat rahasia yang lebih rumit dibandingkan yang dipasang di rumahnya. Juga Liong-li mempunyai sembilan orang gadis pembantu yang boleh diandalkan.

Tidak, dia tidak mengkhawatirkan keselamatan Liong-li hanya ingin sekali tahu apakah Liong-li juga mengalami hal yang sama dan bagaimana pendapat Liong-li mengenai penyerangan itu. Dan timbullah perasaan rindu yang amat sangat kepada pendekar wanita itu.

Jelas ada orang yang berusaha untuk membunuhnya, pikir Pek-liong. Sungguh tidak enak mengetahui ada orang yang mengarah nyawanya tanpa mengetahui siapa orangnya. Kiranya tidak akan mungkin ada orang dapat menyusup ke dalam tempat tinggalnya, dan satu-satunya cara untuk memancing harimau keluar dari tempat sembunyinya, hanyalah dengan memberinya umpan. Kalau ada orang menghendaki kematiannya, maka orang itu harus di pancing keluar dan umpannya adalah dirinya sendiri.

Demikianlah, mulai hari berikutnya, setiap pagi Pek-liong berjalan-jalan keluar dari rumahnya, menuju ke tempat-tempat yang sepi di sekitar Telaga Barat (See-ouw) yang indah pemandangan alamnya. Sengaja dia berperahu seorang diri, mendarat di tepi telaga yang paling sunyi dan jarang dikunjungi orang,

Namun, sampai tiga hari tidak terjadi sesuatu. Mereka yang kebetulan melihatnya, dan sudah mengenalnya memberi hormat dengan ramah, dan para pelancong dari tempat lain yang tidak mengenalnya, tidak ada yang memperdulikannya.

Pada hari keempat, pagi-pagi dia sudah berperahu, memancing ikan dan setelah mendapatkan tiga ekor ikan yang cukup besar, diapun mendarat di pantai sepi dekat hutan. Tempat ini menjadi tempat kesayangannya karena selain sunyi, juga rumputnya tebal dan bersih dan di tempat itu sejuk, tenang dan sedap baunya, bau pohon cemara, damar dan rumput.

Setelah menarik perahunya ke darat, Pek-liong membawa perlengkapan dan roti yang dibawanya dari rumah, membentangkan kain di atas rumput, lalu dia asyik memanggang tiga ekor ikan yang ditangkapnya dengan pancing tadi. Dia memang sengaja membawa bumbu dari rumah, dan memanggang ikan hasil pancingan di dekat telaga itu merupakan satu di antara kesenangan dan kebiasaannya.

Tak lama kemudian terciumlah bau sedap ikan panggang yang sudah dibumbui. Baunya dapat tercium sampai jauh dan Pek-liong tersenyum seorang diri. Memancing harimau keluar dari sarangnya tidak berhasil, yang berhasil dipancingnya hanya tiga ekor ikan gemuk, dan sekarang bau bakaran ikan itu siapa tahu akan memancing keluarnya orang yang selama ini dicarinya dan diharapkan kemunculannya.

Ah, angan-angan kosong, dia mencela diri sendiri. Musuh yang menginginkan kematiannya tentulah seorang tokoh yang lihai, bagaimana mungkin dapat dipancing keluar dengan aroma ikan panggang seperti memancing keluar seorang yang kelaparan saja!

Dia sudah menurunkan tiga ekor ikan yang ditusuk dengan ranting itu dari atas api. Aromanya membuat perutnya tiba-tiba terasa lapar bukan main. Dibukanya bungkusan roti dan juga guci anggur yang dibawanya dari rumah. Selagi dia hendak sarapan, tiba-tiba dia menghentikan gerakannya dan telinganya menangkap gerakan kaki orang tak jauh dari situ. Akan munculkah harimau yang dipancingnya selama tiga hari ini?

Lalu dia teringat. Kalau ada musuh menyerangnya di situ, tentu sarapan paginya akan terinjak-injak dan rusak. Sayang kalau sampai terjadi demikian, maka cepat dia menutupi makanan itu dengan kain bersih dan diapun bangkit, lalu menjauhi tempat itu, sejauh sepuluh meter agar kalau terjadi perkelahian, sarapan pagi yang dibuatnya dengan susah payah itu tidak akan terinjak-injak dan rusak! Dengan hati geli Pek-liong dapat mengikuti gerakan orang itu dari pendengarannya dan dia tahu bahwa orang itu, yang memiliki gerakan ringan kini mengintai dari balik sebatang pohon besar tidak jauh dari situ.

“Sobat yang bersembunyi dari balik pohon, kalau hendak bicara dengan aku, keluarlah engkau!” katanya sambil menahan tawa.

Hening sejenak, lalu terdengar suara dari balik pohon, suara yang lirih dan lembut seperti suara kanak-kanak, atau suara wanita. “Apakah engkau berjuluk Pek-liong-eng?”

Pek-liong tersenyum. Agaknya inilah “Harimau” yang dipancingnya selama tiga hari ini! “Benar sekali, akulah yang disebut Pek-liong-eng! Kalau engkau mencariku, keluarlah dan mari kita bicara!”

Seperti yang telah diduganya, dari batang pohon besar itu muncul seseorang, akan tetapi Pek-liong terbelalak kaget dan heran karena sama sekali di luar dugaannya, yang muncul adalah seorang gadis yang amat cantik manis! Gadis itu berusia paling banyak delapanbelas tahun, cantik manis dengan muka yang putih kemerahan, rambutnya panjang dikuncir menjadi dua dan diikat pita merah, pakaiannya serba biru dan ringkas, di punggungnya nampak gagang sepasang pedang, matanya bersinar-sinar, mata orang yang lincah dan periang, akan tetapi saat itu mulut yang manis itu cemberut dan kelihatan marah sekali.

Setelah gadis itu melangkah maju, kini mereka berhadapan dalam jarak empat meter. Sejenak mereka saling pandang dan Pek-liong tidak menyembunyikan pandang matanya yang kagum akan kecantikan gadis itu. Cantik dan gagah, akan tetapi sedang marah, demikian kesannya terhadap gadis itu. Sebaliknya, gadis itupun mengamati Pek-liong dan nampak tertegun sehingga sampai lama mereka hanya saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata.

“Nah, nona siapakah dan ada keperluan apakah mencariku?” akhirnya Pek-liong yang bertanya.

“Engkau benar yang berjuluk Pek-liong-eng, dan bernama Tan Cin Hay?” gadis itu bertanya, suaranya kini nyaring. Suara yang merdu, pikir Pek-liong, sayang dalam keadaan marah tanpa sebab.

“Benar, dan nona siapakah?”

“Aku bernama Pouw Bouw Tan.......”

“Nama yang indah sekali, serasi dengan orangnya.......”

“Simpan saja rayuanmu itu. Aku datang untuk menangkapmu!”

Kini Pek-liong terbelalak. “Menangkap aku? Apa salahku, nona?”

“Engkau telah menyebabkan kematian kakakku!”

“Ehh? Aku tidak mengenal kakakmu dan tidak merasa telah membunuh kakakmu!”

“Akan tetapi kakakku tewas karena engkau, maka engkau harus kutangkap dan kuhadapkan kepada ayah. Di sana engkau boleh membela diri sesukamu.”

“Kalau aku tidak mau ditangkap?”

“Pedangku yang akan memaksamu!” kata gadis itu, sikapnya gagah sekali sehingga mau tidak mau Pek-liong tertawa. Gadis ini seperti seekor burung yang baru saja belajar terbang dan kini memamerkan kemampuannya terbang!

“Baiklah, nona. Tentang tangkap menangkap ini, kita bicarakan nanti setelah kita sarapan pagi “

“Sarapan?” Gadis itu terbelalak heran.

“Engkau tentu suka makan ikan panggang dan roti lunak, bukan? Enak sekali untuk sarapan pagi selagi perut lapar.”

“Ikan panggang......?” Gadis itu tadi memang sudah mengilar ketika mencium bau ikan panggang.

“Mari, nona. Mari kita sarapan dulu, baru bicara tentang urusan kita.” Tanpa banyak cakap lagi Pek-liong lalu melangkah ke arah hamparan kain di atas rumput. “Tidak baik membicarakan urusan penting dengan perut kosong, bisa masuk angin.”

Gadis itu masih termangu dan terheran, akan tetapi seperti di luar kehendaknya, kakinya melangkah mengikuti Pek-liong dan ketika pemuda itu dengan ramah memberi isyarat agar ia duduk di hamparan kain, iapun duduk berhadapan dengan pemuda itu.

Pek-liong membuka makanan yang tadi dia tutupi, lalu mempersilakan gadis itu makan. “Mari, rotinya masih baru, ikan panggangnya masih hangat, dan anggur ini manis dan tidak terlalu keras, buatanku sendiri, nona Bouw Tan. Namamu mengingatkan aku akan bunga bouw-tan yang indah.

Pouw Bouw Tan adalah seorang gadis kang-ouw yang tidak pemalu. Ia puteri seorang guru silat aliran Kun-lun-pai yang pandai dan sudah biasa merantau seorang diri mengandalkan sepasang pedangnya. Ia tabah, lincah dan gagah, maka kini melihat sikap Pek-liong yang tidak ceriwis, melainkan ramah dan nampak bersungguh-sungguh, iapun ikut duduk makan roti dan panggang ikan dan minum anggur merah yang disuguhkan Pek-liong.

Pendekar ini sendiri merasa kagum dan senang. Seorang gadis yang cantik, berani dan tabah sekali. Sayang datang memusuhinya, hendak menangkapnya. Kalau saja datang sebagai seorang sahabat, alangkah akan menyenangkan suasananya, seperti sedang pesiar di telaga bersama seorang kekasih saja.

Mereka makan minum tanpa bicara dan dari cara gadis itu makan, Pek-liong tahu bahwa gadis itupun lapar, seperti dia, dan jujur, makan secara bebas tanpa malu-malu seperti kebanyakan gadis lain. Setelah mereka selesai makan, barulah Pek-liong berkata.

“Engkaukah kiranya orang yang menghendaki kematianku, nona? Jadi engkaukah yang mengirim orang beberapa hari yang lalu untuk memasuki rumahku?”

Bouw Tan memandang dengan alis berkerut. Mata yang bening indah itu memandang penuh selidik dan penasaran.

“Aku tidak menghendaki kematianmu dan aku tidak pernah menyuruh siapapun memasuki rumahmu. Aku hanya ingin menangkapmu dan menghadapkan kepada ayah karena engkau penyebab kematian kakakku.”

Jawaban ini membuat Pek-liong semakin tertarik. Kalau bukan nona ini yang menyuruh orang memasuki rumahnya, maka berarti pancingannya telah gagal. Umpannya ternyata disambar oleh ikan yang tidak dikehendakinya!

Ikan itu adalah gadis aneh ini, yang tidak ada sangkut pautnya dengan orang yang mencoba memasuki rumahnya, akan tetapi yang hendak menangkapnya karena dia dianggap menjadi penyebab kematian kakaknya! Sungguh menarik.

“Nona Pouw Bouw Tan, sungguh aku menjadi bingung sekarang. Selama hidupku, sayang sekali aku belum pernah mengenalmu, baik orang maupun namanya. Baru sekarang ini aku bertemu dan mengenalmu. Akan tetapi engkau mengatakan bahwa aku menjadi penyebab kematian kakakmu, dan engkau hendak menangkap aku dan membawa aku menghadap ayahmu! Sungguh luar biasa. Mimpi apakah aku semalam maka hari ini hendak ditangkap orang tanpa salah? Siapakah ayahmu itu dan mengapa kaukatakan aku menyebabkan kematian kakakmu?”

“Tugasku hanya membawamu menghadap ayah, di sana engkau akan mendengar semua penjelasannya. Kita tidak mempunyai banyak waktu, mari kita berangkat, Pek-liong!” Gadis itu bangkit dan sikapnya kembali kaku dan tegas.

Pek-liong bangkit perlahan-lahan dan tersenyum. “Nona, engkau sudah mengenal aku sebagai Pek-liong-eng dan engkau berani hendak menangkap aku begitu saja. Apa kaukira engkau akan mampu mengalahkan aku?”

Bouw Tan mengerutkan alisnya dan matanya berkilat, tangannya meraba gagang sepasang pedangnya. “Aku tahu bahwa engkau seorang pendekar yang lihai. Akan tetapi aku tidak takut. Kalau perlu aku akan menggunakan pedangku. Demi membalas kematian kakakku, aku rela mempertaruhkan nyawaku!”

Pek-liong mengerutkan alisnya. Ini gawat! Jelas bahwa gadis ini bukan orang jahat, akan tetapi ia mengandung dendam yang amat hebat, dan agaknya bukan hanya gertakan kosong. Kalau dia melawan, tentu gadis itu akan menyerangnya mati-matian. Tentu saja dia tidak ingin mengalahkan gadis yang tidak berdosa ini.

“Ke mana engkau akan membawaku, nona?”

“Tidak jauh. Kami tinggal di kota Hang-kouw.”

Kota itu berada di seberang Telaga Barat. Tentu akan makan waktu perjalanan sehari penuh. Agaknya urusannya dengan gadis ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan urusan penyusupan penjahat ke rumahnya tiga hari yang lalu. Akan tetapi apa boleh buat. Dia juga ingin sekali tahu apa sebenarnya yang telah terjadi maka gadis ini nekat hendak menangkapnya dan menghadapkan dia kepada ayahnya.

“Baiklah kalau begitu, nona. Mari kita berangkat,” katanya sambil tersenyum sabar.

“Nanti dulu. Engkau harus kubelenggu kedua tanganmu agar lebih mudah bagiku membawamu ke sana.”

Pek-liong membelalakkan kedua matanya. “Kedua tanganku dibelenggu?”

“Untuk meyakinkan hatiku bahwa engkau tidak akan menipuku dan tidak akan melarikan diri dalam perjalanan,” kata gadis itu galak.

Hampir Pek-liong tertawa bergelak mendengar ini,`dan melihat sikap galak itu. Seolah-olah dia seorang maling kecil saja! Akan tetapi, diapun melihat kelucuan dalam peristiwa ini, maka diapun menyodorkan kedua lengannya ke depan, dan berkata, “Nah, belenggulah kalau itu yang kaukehendaki, nona Bouw Tan.”

“Tarik kedua tanganmu ke belakang tubuh!” bentak Bouw Tan.

Ini sudah keterlaluan, pikir Pek-liong, akan tetapi dia masih tersenyum dan tanpa membantah dia menarik kedua tangan ke belakang tubuhnya. Nona itu lalu mengikat kedua pergelangan tangannya dengan rantai besi yang sudah dipersiapkannya sebelumnya. Setelah melihat bahwa ikatan itu kuat sekali barulah Bouw Tan berkata.

“Nah, mari kita berangkat. Jangan marah karena aku harus yakin bahwa engkau tidak akan melarikan diri,” tambahnya.

Pek-liong kembali tersenyum. Bocah ini nakal, pikirnya. Enak saja membelenggu orang lalu minta agar dia tidak marah!

“Baiklah, aku tidak akan marah. Aku ingin sekali tahu apa yang akan kuhadapi di Hang-kouw.”

Karena Pek-liong bersikap tenang, penurut dan sama sekali tidak melawan, sikap Bouw Tan juga lebih manis. Bahkan ketika mereka melakukan perjalanan di sepanjang pantai telaga yang luas itu menuju ke kota Hang-kouw, gadis itu mau menceritakan tentang kematian kakaknya.

“Ayah bernama Pouw Kiat yang di kota Hang-kouw dikenal sebagai Pouw-kouwsu (guru silat Pouw) karena memang pekerjaan ayah adalah guru silat. Ayah murid Kun-lun-pai dan perguruan silat ayah cukup dikenal. Ayah hanya mempunyai dua orang anak, yaitu kakakku bernama Pouw Bouw Ki dan aku. Kakak Bouw Ki berusia duapuluh lima tahun. Kakakku sering mewakili ayah mengajar ilmu silat kepada para murid yang sudah pandai.

“Pada suatu hari, kurang lebih seminggu yang lalu, kakak Bouw Ki tewas terbunuh orang tanpa ada yang mengetahui siapa pembunuhnya. Akan tetapi, di baju kakakku yang putih ada tulisannya dan tulisan itulah yang membuat aku datang untuk menangkapmu dan membawamu menghadap ayah.”

Tentu saja Pek-liong merasa tertarik sekali. “Bagaimana bunyi tulisan itu?”

“Bunyinya begini:

Pek-liong-eng telah menebus dosanya dan akan tiba giliran Hek-liong-li.”

Pek-liong mengerutkan alisnya. Kalau saja kedua tangannya tidak dibelenggu ke belakang, tentu saat itu dia sudah meraba-raba dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang berpikir keras. Kemudian dia bertanya,

“Kau tadi mengatakan bahwa tulisan itu ditulis di atas baju kakakmu yang putih. Apakah kakakmu biasa memakai pakaian serba putih?”

Gadis itu mengangguk. “Semenjak ibu kami meninggal dunia lima tahun yang lalu, kakak Bouw Ki selalu mengenakan pakaian serba putih, seperti yang kaupakai, juga perawakannya serupa denganmu walaupun wajahnya tidak sama benar.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar