09 Kehilangan Jejak Penyidikan . . .
“Kalau begitu, dia menjadi
korban salah bunuh! Tentu disangka aku maka dia dibunuh!” Pek-liong berseru.
“Kamipun menyangka demikian.
Karena engkau maka kakakku tewas, oleh karena itu, aku harus menangkapmu dan
kubawa kepada ayah karena pembunuhan ini ada hubungannya dengan dirimu.”
“Tapi yang salah membunuh
adalah penjahat itu, bukan aku, nona!” Pek-liong memprotes.
Tiba-tiba terdengar suara tawa
nyaring dan dua orang muncul dari balik semak belukar. Mereka adalah dua orang
laki-laki yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, keduanya bertubuh tinggi
besar dan nampak kokoh kuat.
Seorang bermuka hitam dan
sebatang golok besar terselip di pinggangnya, sedangkan orang kedua brewok dan
memegang sebatang tombak. Yang tertawa adalah si muka hitam dan diapun berkata
dengan suara parau.
“Ha-ha-ha-ha, sekali ini kami
tidak akan salah membunuh orang, Pek-liong-eng, dan kami bahkan mendapat upah
seorang gadis yang cantik, heh-heh!”
Mendengar ini, Bouw Tan
mencabut sepasang pedangnya dan dengan gagah ia menghadapi kedua orang
laki-laki kasar itu. Matanya berapi-api dan ia membentak nyaring.
“Jadi kaliankah yang telah
membunuh kakakku Pouw Bouw Ki, dan meninggalkan tulisan di bajunya itu?”
“Ha-ha-ha, kami Thian-te
Siang-houw (Sepasang Harimau Langit Bumi) tidak pernah bekerja
setengah-setengah. Sekali ini kami tidak akan salah bunuh lagi!” Setelah
berkata demikian, kedua orang itu menggunakan senjata mereka untuk menyerang ke
arah Pek-liong,
“Trang-tranggg.......!!” Gadis
itu dengan gagahnya telah menggerakkan sepasang pedangnya menangkis, dan
berdiri di depan Pek-liong, bersikap melindunginya.
“Jahanam busuk, kalian telah
membunuh kakakku, maka hari ini aku akan membalas kematian kakakku!”
Si brewok kini menyeringai.
“Aih, nona manis. Kami tidak sengaja membunuh kakakmu. Minggirlah, biar kami
membunuh Pek-liong-eng lebih dulu, nanti kami akan minta maaf dan bersikap
manis kepadamu!”
Akan tetapi ucapan ini
bagaikan minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Bouw Tan semakin
berkobar, “Kalian iblis busuk!” bentaknya dan sepasang pedangnya sudah menjadi
sinar bergulung-gulung menyambar ke arah dua orang laki-laki itu.
Si muka hitam berseru setelah
menangkis serangan Bouw Tan. “Kita taklukkan kuda betina ini dulu, baru kita bunuh
Pek-liong-eng!”
“Benar,” kata si brewok, “tapi
jangan lukai gadis ini, sayang kalau sampai ia terluka, heh-heh!”
Bouw Tan marah sekali dan
iapun memutar kedua pedangnya. Pek-liong segera mengenal ilmu pedang
Kun-lun-kiam-sut yang indah. Akan tetapi dia pun terkejut melihat gerakan dua
orang tinggi besar itu. Ternyata merekapun lihai sekali dan permainan golok dan
tombak mereka cukup berbahaya.
Andaikata harus melawan satu
di antara mereka saja, mungkin Bouw Tan masih mampu menandingi karena tingkat
mereka seimbang. Akan tetapi karena dua orang itu maju berdua, maka setelah
lewat belasan jurus saja, gadis itu terdesak hebat.
Pek-liong hanya menonton saja
karena dari gerakan mereka, tahulah dia bahwa dua orang itu tidak akan melukai
Bouw Tan. Hatinya terasa panas oleh amarah karena dia dapat menduga apa yang
menjadi isi hati kedua orang busuk itu. Tentu mereka ingin mengalahkan Bouw Tan
tanpa melukainya, dan setelah mereka membunuh dia, tentu mereka akan
mempermainkan Bouw Tan.
Sungguh dua orang manusia yang
amat jahat dan keji, akan tetapi diapun ingin sekali mengetahui mengapa mereka
memusuhinya. Melihat tingkat kepandaian mereka, tidak pantas kalau mereka itu
memusuhinya, tentu mereka hanyalah anak buah saja, dan ada tokoh lain yang
menyuruh mereka.
Tempat kedua orang itu
menghadang merupakan tepi telaga yang amat sepi, dan tidak ada orang lain
kecuali dia yang menyaksikan perkelahian itu. Seperti telah dikhawatirkannya,
setelah lewat duapuluh jurus, akhirnya tangkisan yang amat kuat membuat kedua pedang
gadis itu terlepas, dan gadis itupun roboh oleh sapuan gagang tombak pada kedua
kakinya. Sebelum ia dapat bangkit, si brewok sudah menubruk dan menotoknya
sehingga gadis itu rebah telentang tanpa mampu bergerak lagi.
Kedua orang itu tertawa
bergelak, dan si muka hitam berkata, “Kau tunggulah sebentar, manis. Setelah
kami membunuh Pek-liong-eng, kami akan mengajak engkau bersenang-senang
sepuasnya, ha-ha-ha!”
Kini, si muka hitam yang
memegang golok besar dan si brewok yang memegang tombak, menghampiri Pek-liong
yang masih berdiri dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang. Pek-liong
nampak tenang-tenang saja, sebaliknya Bouw Tan yang rebah tak mampu bergerak
itu memandang dengan sinar mata ngeri dan penuh penyesalan. Akan tetapi ia
tidak berdaya, bahkan ia terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut.
“Pek-liong-eng, sekarang
bersiaplah engkau untuk mampus!” bentak si muka hitam.
“Engkau tidak perlu penasaran
karena engkau akan mati di tangan dua orang gagah. Kami adalah Thian-te
Siang-houw yang namanya terkenal di kolong langit!” kata si brewok.
“Hemm, Thian-te Siang-houw,
kalian telah membunuh Pouw Bouw Ki, mengapa?” tanya Pek-liong sikapnya masih
tenang saja sehingga Bouw Tan merasa heran sekali. Ia gelisah setengah mati,
akan tetapi pendekar yang nyawanya seperti bergantung kepada sehelai rambut itu
demikian tenangnya!
“Ha-ha, tadinya kami salah
kira. Dia berpakaian putih, perawakannya seperti engkau. Setelah tahu kami
keliru, kami merasa bahkan kebetulan karena kekeliruan itu akan dapat memancing
engkau keluar. Perhitungan kami tepat. Engkau akan mampus sekarang juga!”
Dua orang itu kini menerjang
dengan senjata mereka, menyerang Pek-liong dari kanan kiri. Bouw Tan yang tidak
dapat bergerak, merasa ngeri sekali dan ia memejamkan mata, tidak ingin melihat
pendekar itu terkoyak-koyak tubuhnya.
Ia memejamkan matanya dan tak
terasa matanya menjadi basah karena ia menyadari bahwa ialah yang membuat
pendekar itu mati konyol. Ia telah membelenggu kedua tangan pendekar itu
sehingga tentu saja tidak akan mampu melawan dan akan mati tercincang.
Akan tetapi tidak terdengar
apa-apa, tidak terdengar teriakan kesakitan atau robohnya badan, hanya
terdengar suara senjata berdesing-desing. Bouw Tan membuka matanya dengan hati
tegang, dan ia segera terbelalak.
Pek-liong sama, sekali tidak
roboh mandi darah dengan tubuh tercincang. Sama sekali tidak. Tubuh pendekar
yang kedua tangannya masih terikat ke belakang tubuh itu bergerak dengan ringan
dan lincah sekali, menyelinap di antara sambaran kedua senjata lawan. Setiap
bacokan golok, setiap tusukan tombak, semua tidak mampu menyentuhnya, bahkan
menyentuh bajunyapun tidak.
Bouw Tan terbelalak dengan
muka berubah merah sekali. Ia seperti telah buta! Dengan kedua tangan terikat
ke belakang, pendekar itu mampu mempermainkan dua orang bersenjata pada hal ia
sendiri dengan sepasang pedangnya telah kalah dalam waktu yang tidak terlalu
lama!
Hampir ia tidak pernah
berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang matanya. Akhirnya ketika
Pek-liong mengeluarkan seruan-seruan nyaring, kakinya bergerak terputar dan
kedua orang itu terpelanting, senjata mereka terlempar dan merekapun
mengaduh-aduh, mencoba bangkit akan tetapi sukar sekali.
Pek-liong meloncat ke dekat
tubuh Bouw Tan, dengan ujung sepatunya dia menendang dua kali ke arah pundak
dan pinggang dan...... gadis itu dapat bergerak kembali. Pendekar itu telah
membebaskan totokannya hanya dengan ujung sepatunya
Begitu dapat bergerak, Bouw
Tan sudah meloncat dan mengambil sepasang pedangnya yang tadi terpukul jatuh,
dan sebelum Pek-liong tahu apa yang akan dilakukannya, gadis itu sudah meloncat
ke arah dua orang yang tadi dirobohkan Pek-liong, sepasang pedangnya bergerak
seperti kilat menyambar ke arah dua orang yang sudah tidak berdaya melawan itu.
“Nona, jangan......!” teriak
Pek-liong dengan kaget, akan tetapi terlambat, dua orang itu sudah roboh mandi
darah dengan leher hampir putus dibabat sepasang pedang di tangan Bouw Tan.
Pek-liong meloncat dekat dan merasa menyesal sekali.
“Aihh, kenapa engkau membunuh
mereka nona?” tegurnya dengan nada menyesal.
“Kenapa tidak? Merekalah
pembunuh-pembunuh kakakku, dan aku harus membalas dendam. Sekarang, kematian
kakakku telah terbalas, hatiku telah merasa puas.”
“Akan tetapi, nona, mereka itu
sesungguhnya hendak membunuhku. Kakakmu hanya menjadi korban salah duga saja,
dan aku sebetulnya ingin sekali memaksa mereka mengaku siapa yang menyuruh
mereka untuk membunuhku. Sekarang mereka telah kaubunuh sehingga aku tetap
tidak mengetahui siapa orang yang menyuruh mereka.”
Bouw Tan baru menyadari hal
ini dan ia merasa menyesal juga. “Ah, maafkan aku, tai-hiap, aku telah terburu
nafsu, dan...... aku telah membelenggu kedua tanganmu, dan dengan kedua tangan
terbelenggu engkau dapat merobohkan dua orang yang tak dapat kulawan dengan
sepasang pedangku. Aku menyesal dan merasa malu sekali, kau maafkan aku,
tai-hiap. Mari kubukakan belenggu tanganmu......!” Gadis itu menghampiri
Pek-liong untuk membukakan tali pengikat kedua pergelangan tangan pendekar itu.
“Tidak perlu repot-repot, nona
Bouw Tan,” kata Pek-liong dan sekali dia mengerahkan tenaga, ikatan itupun
putus dan kedua tangannya bebas.
Melihat ini, wajah Bouw Tan
berubah merah sekali.
“Tai-hiap, kenapa tadi engkau
mau saja kubelenggu kedua tanganmu? Kenapa engkau membiarkan dirimu menjadi
tawananku?” tanyanya, heran dan juga malu.
Pek-liong tersenyum. “Aku
tertarik akan urusan itu dan ingin pula melihat perkembangannya, nona. Karena
itu aku sengaja membiarkan diriku menjadi tawanan untuk memancing keluarnya
para pembunuh itu. Mereka itu hanyalah anak buah, nona dan pasti ada musuh
besar yang berdiri di belakang layar.”
“Dan aku telah terburu nafsu
membunuh mereka sehingga menggagalkan penyelidikanmu, tai-hiap. Maafkan
aku......”
“Sudahlah, nona. Tidak ada
yang perlu dimaafkan. Tanpa merekapun, pasti aku akan dapat bertemu dengan
musuh itu karena dia pasti akan melanjutkan usahanya untuk membunuhku.”
“Tapi, bukan engkau saja yang
diancamnya, tai-hiap. Menurut surat yang ditulis di baju kakakku, selain
engkau, juga Hek-liong-li diancam......”
Pek-liong tersenyum. “Hal itu
tidaklah aneh, nona. Memang kami berdua dimusuhi banyak orang dari golongan
sesat. Akan tetapi, seperti juga aku, Liong-li dapat menjaga diri sendiri.”
“Suhengku sudah pergi mencari
Hek-liong-li. Bukankah ia tinggal di Lok-yang?”
“Hem, siapakah suhengmu itu?”
“Suheng bernama Lu Kong Bu,
dan setelah kakakku terbunuh, kami membagi tugas. Aku pergi mencarimu karena
lebih dekat, sedangkan suheng pergi mencari Hek-liong-li yang jauh tempat
tinggalnya.”
Pek-liong adalah seorang
pendekar yang sudah banyak pengalamannya. Mendengar suara gadis itu ketika
menyebut nama suhengnya, ada sesuatu yang lain, ada suatu kemesraan dalam
sebutan itu dan dia dapat menduga bahwa hubungan antara Bouw Tan dan Lu Kong Bu
itu pasti lebih mendalam dari pada hanya seorang suheng dan sumoi.
“Lu Kong Bu itu pergi mencari
Hek-liong-li untuk memberitahu bahwa ia terancam oleh pembunuh kakakmu?”
tanyanya, menahan rasa geli hatinya. Orang seperti Liong-li tentu saja tidak
membutuhkan peringatan lagi.
“Tentu saja. Kami sekeluarga
telah mendengar nama besar kalian, dan kami merasa berkewajiban untuk
memberitahu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa kematian kakakku karena
engkau, maka tadi aku bersikap keras dan menangkapmu. Harap maafkan aku
tai-hiap.”
“Sudahlah, mari kita lanjutkan
perjalanan. Aku perlu bertemu dengan ayahmu untuk menjelaskan persoalan, juga
untuk menyelidiki tentang dua orang yang mengaku berjuluk Thian-te Siang-houw
ini. Mungkin ayahmu mengenal nama mereka.”
Berangkatlah mereka berdua
meninggalkan dua mayat penjahat itu, menuju ke kota Hang-kouw. Keluarga Pouw
yang masih dalam suasana berkabung itu, menyambut kedatangan Pek-liong dengan
hormat. Untung saja Pek-liong tidak lagi terbelenggu, kalau dia datang dengan
kedua tangan terikat tentu Pouw Kiat atau yang dikenal dengan sebutan
Pouw-kauwsu (guru silat Pouw) akan marah kepada puterinya.
Setelah diperkenalkan oleh
puterinya dan mendengar cerita Bouw Tan tentang dua orang penjahat yang
menghadang mereka dan yang mengaku sebagai pembunuh Pouw Bouw Ki, Pouw-kauwsu
merasa puas juga. Pembunuh-pembunuh puteranya telah terbalas.
“Paman Pouw, apakah ada
permusuhan antara keluargamu dengan mereka yang menamakan diri Thian-te
Siang-houw?” Pek-liong bertanya.
“Mereka itu lihai sekali,
ayah. Yang bermuka hitam memainkan golok dan yang brewok memainkan tombak. Aku
tentu sudah tewas pula di tangan mereka kalau tidak ada Tan-taihiap yang
menolongku,” kata Bouw Tan, tentu saja ia malu untuk bercerita kepada ayahnya
betapa Pek-liong menolongnya dalam keadaan kedua tangan terbelenggu ke belakang
dan ia yang melakukan itu!
“Thian-te Siang-houw......?”
Pouw-kauwsu mengingat-ingat. “Aku pernah mendengar nama itu, sepasang tokoh
yang pernah mengacau di daerah Lembah Yang-ce. Akan tetapi seingatku, kami
belum pernah bermusuhan dengan mereka. Aku lebih percaya bahwa mereka memang
salah membunuh orang mengira bahwa anakku adalah engkau, taihiap,” kata guru
silat itu. “Memang sungguh menyedihkan nasib puteraku, namun bagaimana juga, kini
penasarannya telah terbalas dengan matinya dua orang penjahat itu.”
“Aku akan menyelidiki siapa
yang menyuruh Thian-te Siang-houw melakukan pembunuhan itu, paman. Aku merasa
yakin bahwa yang menyuruhnya bukan musuh keluargamu, melainkan musuh kami, yaitu
aku dan Hek-liong-li.”
“Bagaimana dengan suheng,
ayah? Apakah dia belum kembali dari Lok-yang?” tanya Bouw Tan.
“Belum, karena Lok-yang cukup
jauh. Dengan adanya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang akan melakukan
penyelidikan, aku yakin hahwa penjahat yang menyuruh bunuh anakku pasti akan
terungkap dan tertangkap.”
Pek-liong tidak tinggal lama
di situ, lalu berpamit, pulang ke rumahnya dan dia segera menyuruh seorang
pembantunya untuk melakukan penyelidikan ke sekitar Lembah Yang-ce, menyelidiki
tentang Thian-te Siang-houw, tokoh mana yang baru-baru ini nampak berhubungan
dengan dua penjahat yang telah tewas itu.
Suami isteri Song Tek Hin dan
Su Hong Ing tinggal di susun Kian-co di luar kota Cin-an. Mereka telah lima
tahun menikah dan hidup rukun, mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah
berusia tiga tahun lebih bernama Song Cu.
Song Tek Hin yang pandai ilmu
sastera dan silat membuka sebuah perguruan bun (sastera) dan Bu (silat) di mana
banyak anak-anak muda belajar dengan pembayaran sekadarnya. Mereka mempunyai
sawah ladang dan kehidupan mereka lumayan walaupun tidak kaya.
Dan nama suami isteri ini
dihormati orang, karena keduanya merupakan orang-orang yang berwatak lembut dan
ramah, juga bukan hanya Song Tek Hin saja yang pandai ilmu silat, bahkan
isterinya, Su Hong Ing, tidak kalah oleh suaminya. Wanita ini adalah murid
Bu-tong-pai dan memiliki ilmu silat yang cukup lihai.
Song Tek Hin yang berusia
kurang lebih tigapuluh tahun itu bertubuh tegap dan wajahnya tampan, gerak
geriknya halus dan biarpun dia pandai ilmu silat namun pakaiannya seperti
seorang sasterawan. Isterinya berusia duapuluh empat tahun, cantik manis dengan
kulit putih mulus dan senyumnya menawan.
Seperti suaminya, iapun
sederhana, tidak kelihatan bahwa ia seorang pendekar wanita yang lihai, dan
sikapnya selalu ramah kepada siapapun. Tidak mengherankan apabila suami isteri
ini disuka oleh penduduk dusun itu, dan bahkan banyak orang dari kota Cin-an
datang ke dusun itu untuk berguru kepada Song Tek Hin.
Pada suatu senja yang cerah
dan tenang. Rumah Song Tek Hin sudah sepi karena suami isteri itu mengajar para
murid dalam ilmu silat dan baca tulis mulai pagi sampai lewat tengah hari. Di
waktu sore dan malamnya mereka berdua tidak mau sibuk mengajar, melainkan
mengurus hasil sawah ladang dan beristirahat.
Senja hari itu mereka mengaso
di ruangan belakang sambil bermain-main dengan Song Cu, anak tunggal mereka.
Dua orang pelayan mereka, seorang wanita setengah tua sedang membersihkan
perabot rumah di ruangan depan sedangkan pelayan kedua, suami wanita itu,
sedang menyapu kebun belakang.