10 Umpan Pancingan Sepasang Naga
“Semalam aku bermimpi......”
Su Hong Ing berkata akan tetapi segera menahan ucapannya.
Suaminya yang sedang menimang
Song Cu memandang isterinya dengan heran. “Kenapa berhenti? Engkau mimpi
apakah?”
Su Hong Ing tersenyum dan
wanita muda ini memang memiliki daya tarik luar biasa kalau tersenyum. Manis
sekali. “Janji dulu engkau tidak akan cemburu.”
“Ehh! Aneh sekali engkau ini.
Masa orang mimpi dicemburui?”
Isterinya tersenyum lagi dan
melanjutkan. “Aku bermimpi naik perahu di Telaga See-ouw bersamamu, Song Cu
tidak ikut. Kita berdua berperahu seperti...... seperti......”
“Ha-ha, aku mengerti, seperti
kita sedang berbulan madu dahulu, kan?” suaminya menggoda.
Wajah isterinya kemerahan dan
mengangguk. “Akan tetapi bukan itu yang penting, koko. Ketika kita berperahu,
aku melihat sebuah perahu lain dan ternyata di dalam perahu itu adalah......
Pek-liong-eng dan Hek-liong-li......”
Kembali suami itu tertawa
mendengar isterinya agak ragu menyebutkan nama pendekar itu.
“Ha-ha-ha, engkau sungguh
lucu, Ing-moi. Kalau aku cemburu kepada Pek-liong-eng, apakah engkau juga
cemburu kepada Hek-liong-li? Kita sama-sama tahu, Ing-moi. Mereka berdua itu
bukan hanya bekas kekasih kita, orang-orang yang kita cinta, akan tetapi terutama
merekalah yang menyebabkan kita dapat saling jatuh cinta dan menjadi suami
isteri, di samping mereka berdua adalah penolong-penolong kita. Karena
merekalah maka sampai hari ini kita masih bernapas. Tidak, Ing-moi, sampai
matipun aku tidak akan mencemburui engkau dan Pek-liong-eng.”
“Aku mengerti perasaanmu,
Hin-ko. Betapapun kita berdua memuja dan mengagumi mereka, mereka itu laksana
dua buah bintang yang terlampau tinggi untuk kita, dan akupun sama sekali sudah
tidak pernah mengharapkan lagi kepada Pek-liong-eng. Kebahagiannku adalah
denganmu, sebagai isterimu. Akan tetapi aku merasa tidak enak hati setelah
bermimpi itu, karena dalam mimpi itu, aku melihat perahu mereka terguling, dan
ketika kita mendayung perahu kita menghampiri untuk menolong, perahu kita
sendiripun terguling.”
“Aih, itu hanya mimpi,
Ing-moi. Jangan dipikirkan lagi. Andaikata benar terjadi, kalau hanya perahu
mereka terguling saja, dua orang pendekar sakti itu pasti akan mampu
menyelamatkan diri.”
“Mudah-mudahan begitu,” kata
Su Hong Ing dan suami isteri inipun melamun, terkenang akan pengalaman mereka
lima tahun yang lalu. Hong Ing pernah tergila-gila kepada Pek-liong, bahkan ia
rela menyerahkan diri kepada pendekar itu dan mereka berdua tenggelam dalam
lautan asmara. Akan tetapi, kemudian ternyata bahwa Pek-liong adalah seorang
pemuda yang aneh, yang tidak mau terikat oleh pernikahan.
Pek-liong-eng meninggalkannya
walau dengan lembut dan mesra, dan demikian pula dengan Song Tek Hin yang
pernah terlena dan tergila-gila kepada Hek-liong-li dan mereka
berkasih-kasihan. Akan tetapi seperti juga Pek-liong-eng, Hek-liong-li tidak
mau terikat pernikahan dan meninggalkannya. Karena patah hati oleh sikap kedua
pendekar itu, Song Tek dan Su Hong Ing saling menghibur dan saling jatuh cinta,
akhirnya menikah.
Selagi mereka melamun, pelayan
wanita setengah tua masuk dan melaporkan bahwa di luar datang seorang tamu.
“Siapakah tamu itu?” tanya Tek
Hin yang merasa terganggu karena dia dan isterinya sedang santai dan
beristirahat. Dia tidak ingin diganggu urusan atau kesibukan pada saat seperti
itu.
“Ia seorang wanita tua yang
cantik dan pakaiannya indah seperti wanita bangsawan, katanya ada keperluan
penting sekali ingin bertemu dengan tuan dan nyonya,” kata pelayan itu. “Ia
datang berkereta, kereta indah ditarik dua ekor kuda.
Tentu saja suami isteri itu
merasa heran bukan main. Mereka tidak mempunyai keluarga bangsawan. Su Hong Ing
lalu menyerahkan Song Cu kepada pelayannya.
“Bawa Song Cu bermain-main di
belakang dengan suamimu, kemudian persiapkan air teh di dapur agar kalau
kubutuhkan sudah ada.”
Pelayan itu memondong Song Cu
dan pergi ke belakang. Suami isteri itu saling pandang, kemudian mereka
melangkah keluar menyambut tamu.
Ketika tiba di luar, keduanya
merasa heran bukan main. Seperti diceritakan pelayan mereka, tamu itu seorang
wanita yang cantik dan berpakaian mewah, sukar ditaksir berapa usianya. Ia
pesolek dan kelihatannya seperti berusia empatpuluhan tahun, senyumnya ramah
dan sikapnya lembut. Tentu saja suami isteri itu tergopoh memberi hormat dengan
mengangkat kedua tangan depan dada, yang dibalas oleh wanita itu.
“Apakah kalian suami isteri
yang bernama Song Tek Hin dan Su Hong Ing?” tamu itu mendahului bertanya,
suaranya lembut dan halus seperti sikap seorang wanita bangsawan.
“Benar sekali,” kata Tek Hin.
“Siapakah toanio dan ada keperluan apakah mencari kami?”
Tek Hin dan Hong Ing masih
terbelalak heran memandang wanita itu. Pakaiannya yang mewah itu serba merah,
pantasnya dipakai gadis remaja!
“Kalian tentu masih ingat
kepada dua orang sahabat kalian, yaitu Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan
Hek-liong-li Lie Kim Cu, bukan? Aku adalah sahabat baik mereka yang diutus
datang berkunjung.”
Tentu saja suami isteri itu
terkejut dan girang bukan main. Mereka segera memberi hormat lagi. “Ahh,
maafkan kami yang tidak tahu sehingga menyambut kurang hormat, toanio. Silakan
duduk...... silakan duduk.....” kata suami isteri tu dengan sikap hormat dan
gembira. Baru saja mereka membicarakan dua orang pendekar sakti itu dan kini
muncul seorang utusannya, seorang sahabat baik mereka.
Akan tetapi wanita cantik
berpakaian merah itu menggeleng kepala dan menggoyang tangannya. “Tidak banyak
waktu, .......aku datang diutus mereka untuk menjemput kalian. Mereka dalam
ancaman bahaya dan mereka membutuhkan bantuan kalian sekarang juga.”
Tentu saja suami isteri itu
terkejut bukan main. Selama lima tahun mereka tidak mendengar berita tentang
dua orang pendekar yang mereka kagumi itu, dan sekarang tiba-tiba sepasang
pendekar itu mengirim utusan menjemput mereka karena membutuhkan bantuan!
“Apakah yang terjadi dengan
mereka?” tanya Song Tek Hin.
“Di mana mereka sekarang?”
tanya pula Su Hong Ing.
Wanita itu mengeleng kepala
tidak sabar. “Tidak banyak waktu bicara. Nanti saja di kereta kita bicara. Sekarang
cepat kalian ikut denganku sebelum terlambat. Pek-liong dan Liong-li amat
membutuhkan bantuan kalian!” Wanita itu membalik kan tubuhnya. “Kalau kalian
tidak mau membantu, sudahlah aku pergi saja.”
Tentu saja suami isteri itu
cepat mencegahnya. “Tunggu, kami mengambil senjata dulu!” kata mereka dan
mereka lari ke dalam untuk mengambil sepasang pedang mereka dan memesan kepada
pelayan agar menjaga Song Cu baik-baik. Kemudian mereka lari keluar dan
ternyata wanita itu sudah duduk di atas kereta sambil memegang kendali kuda.
“Toanio, tunggu......!” seru
suami isteri itu dan mereka segera menghampiri kereta.
“Masuklah ke dalam dan tutup
semua pintu dan tirai kereta!” kata wanita itu.
Song Tek Hin dan Su Hong Ing
mentaati permintaan itu, mereka masuk ke dalam kereta dan menutup daun pintu
dan tirai jendela. Kereta itu dilarikan kencang oleh wanita baju merah tadi dan
suami isteri itu saling pandang dengan hati tegang, khawatir menduga-duga apa
yang terjadi dengan sepasang pendekar yang mereka kagumi.
Mereka tidak tahu ke mana
kereta dilarikan, hanya tahu bahwa mereka dilarikan cepat keluar dari dusun.
Lebih dari sejam lamanya kereta berlari kencang sehingga mereka menjadi tidak
sabar.
“Toanio, ke manakah kita
pergi?” Song Tek In berteriak mengatasi kegaduhan suara kaki kuda dan roda
kereta.
Kereta itu berhenti dan suami
isteri itu dengan hati tegang, mengira akan bertemu dengan sepasang suami
isteri itu, membuka pintu kereta. Akan tetapi, mereka melihat bahwa mereka
berada di tengah hutan yang sunyi! Dan wanita berpakaian merah itu telah turun
pula dari atas kereta, dan berdiri sambil bertolak pinggang dan mulutnya
senyum-senyum genit.
“Apa artinya ini? Di mana
Pek-liong dan Liong-li?” tanya Su Hong Ing alisnya berkerut dan ia mulai
curiga.
“Pek-liong dan Liong-li belum
berada di sini. Justeru dengan adanya kalian berdua kami mengharapkan mereka
akan muncul.”
“Toanio, harap jangan
main-main. Jelaskan apa maksudmu. Kami tidak banyak waktu untuk main-main!”
Song Tek Hin berkata dengan nada marah pula.
Kini senyum genit itu lenyap
dari bibir wanita baju merah. “Siapa main-main dengan kalian? Kalau ingin tahu,
sekarang kalian menjadi tawanan kami, mengerti?”
Tentu saja suami isteri itu
terkejut bukan main. “Apa pula ini?” bentak Su Hong Ing sambil meraba gagang
pedangnya. “Kaukira akan mudah saja menawan kami?”
“Siapakah engkau ini
sebenarnya dan mengapa mengaku hendak menawan kami?” bentak pula Song Tek Hing.
Kini wanita itu tertawa,
terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh, kalian ini anak-anak masih berbau bawang! Kalian
masih hijau maka tidak mengenalku. Dunia persilatan menyebut aku Ang I Sian-li
(Dewi Baju Merah), heh-heh-heh!”
Biarpun suami isteri itu belum
pernah bertemu dengan datuk ini, namun mereka sudah mendengar namanya dan wajah
mereka berubah pucat. Mereka pernah mendengar bahwa Ang I Sian-li adalah
seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Setan Tua) yang merupakan datuk-datuk
kaum sesat yang amat kejam.
Bahkan mereka pernah mendengar
bahwa wanita berpakaian merah itu demikian kejamnya seperti siluman atau iblis
betina, kabarnya suka menghisap habis darah bayi untuk memperkuat tubuhnya dan
memperdalam ilmu hitamnya! Tanpa banyak cakap lagi, mereka lalu mencabut
pedang, maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang datuk sesat yang kejam.
“Kiranya kami berhadapan
dengan Ang I Sian-li,” kata Tek Hin, menenangkan hatinya. “Engkau adalah
seorang datuk kang-ouw tingkat atas, dan kami tidak pernah memotong jalan
hidupmu, kenapa hari ini engkau mengganggu kami?”
“Aku tidak mengganggu, hanya
menawan kalian untuk memancing munculnya Pek-liong dan Liong-li. Merekalah
musuh kami yang sebenarnya, kalian ini hanya orang-orang yang tidak ada
artinya.”
Tentu saja suami isteri itu
marah dan tidak sudi ditawan begitu saja. “Iblis betina jahat!” bentak Hong Ing
dan ia sudah menggerakkan pedangnya, disusul suaminya yang juga sudah menyerang
dengan pedangnya.
Namun Ang I Sian-li hanya
tersenyum mengejek dan ia menghadapi serangan suami isteri itu dengan tangan
kosong saja! Tubuhnya bergerak cepat, berubah menjadi bayangan merah yang
berkelebatan di antara gulungan dua sinar pedang suami isteri itu. Betapapun
cepatnya suami isteri itu menggerakkan senjata, mereka tak pernah dapat
mengenai tubuh lawan karena ke mana pun mereka menyerang, bayangan merah itu
berkelebat lenyap dan berpindah tempat.
“Heh-heh-heh, kalian anak-anak
kecil berani melawanku? Biar kalian belajar sepuluh tahun lagi, masih belum
dapat menandingiku. Guru-guru besar kalianpun takkan mampu menang dariku. Nah,
lepaskan senjata kalian!”
Suami isteri itu tidak
perduli. Tek Hin menusukkan pedangnya ke arah lambung lawan dari kiri,
sedangkan pada saat yang hampir bersamaan Hong Ing menyabetkan pedangnya ke
arah leher wanita baju merah itu. Serangan suami isteri itu sungguh amat
berbahaya dan keduanya merupakan serangan maut.
Namun sekali ini Ang I Sian-li
tidak mengelak sama sekali, akan tetapi dua buah tangannya bergerak seperti
ular, yang kiri menangkap ujung pedang yang menusuk lambung, yang kanan
menangkap ujung pedang yang menyabet leher. Dua tangan kosong itu begitu saja
menangkap dua batang pedang yang amat tajam dan yang dipegang oleh ahli silat
yang sudah cukup lihai dan memiliki sin-kang cukup kuat! Kalau tidak kuat kedua
tangan itu, tentu sekali tarik saja tangan itu akan putus berikut lima jarinya!
Suami isteri itu terkejut dan
mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata mereka dan membikin putus
tangan lawan. Akan tetapi, betapa pun mereka mengerahkan seluruh tenaga, pedang
mereka seperti telah melekat di kedua tangan itu dan sedikitpun tidak dapat
ditarik.
Bahkan kini Ang I Sian-li
mengerahkan tenaganya dan pedang itu tergetar hebat. Tangan suami isteri yang
memegang pedang masing-masing ikut tergetar dan telapak tangan mereka terasa
panas sekali. Mereka terkejut dan cepat melepaskan gagang pedang karena merasa
tangan mereka seperti terbakar!
“Heh-heh-heh, kalau aku
bermaksud membunuhmu, sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku!”
katanya dan sekali jari-jari tangannya mencengkeram, terdengar suara
“krek-krek” dan kedua pedang itupun patah-patah! Suami isteri itu terbelalak
dan mereka maklum bahwa wanita ini sama sekali bukan tandingan mereka!
“Kalian masih hendak melawan?”
Ang I Sian-li bertanya, tersenyum mengejek.
Suami isteri itu saling
pandang. Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka juga bukan orang nekat yang
ingin mati konyol. Di rumah mereka masih ada Song Cu yang amat membutuhkan
mereka. Dengan lunglai Tek Hin lalu berkata, suaranya terdengar lantang.
“Ang I Sian-li, kami tidak
pernah bermusuhan denganmu, akan tetapi hari ini engkau memaksakan kehendakmu
kepada kami. Nah, apa yang harus kami lakukan?”
“Kalau engkau mengutus kami
melakukan kejahatan, sampai matipun aku tidak sudi melakukannya!” Kata Su Hong
Ing dengan sikap gagah.
Wanita itu tertawa. “Sudah
kukatakan, kami tidak akan mengganggumu asal kalian mentaati perintah kami.
Nah, Song Tek Hin, engkau yang laki laki sepatutnya menjadi kusir. Biar aku dan
isterimu duduk di dalam. Aku akan menunjukkan kemana engkau harus menjalankan
kereta, dan jangan sekali-kali bermain gila.”
Suami isteri itu saling
pandang, maklum bahwa mereka telah kalah dan tidak ada jalan lain kecuali taat
pada saat itu. Tek Hin mengangguk dan diapun lalu naik ke atas kereta, memegang
kendali kuda. Hong Ing didorong halus oleh Ang I Sian-li memasuki kereta dan
mereka duduk bersanding, menghadap ke depan.
“Engkau mengambil jalan lurus
saja dan jangan membelok sebelum kuberitahu,” kata Ang I Sian-li.
“Memasuki kota Cin-an?” tanya
Tek Hin dan dalam suaranya terkandung kegembiraan.
Dia mempunyai banyak kenalan
di kota itu, banyak pula orang gagah di sana dan kalau kereta itu memasuki kota
Cin-an yang ramai, dia dapat bersama isterinya meloncat keluar dan kalau wanita
itu hendak menangkap mereka, tentu akan banyak kawan membantu.
Akan tetapi jawaban Ang I
Sian-li melenyapkan harapannya. “Tidak, sebelum masuk kota, mengambil jalan ke
kiri sampai ke tepi Sungai Kuning.”
Perjalanan itu cukup jauh dan
Tek Hin sengaja menjalankan kereta itu tidak terlalu cepat karena dia masih
mengharapkan dapat bertemu di jalan dengan rombongan orang yang dikenalnya dan
yang sekiranya dapat membantunya. Misalnya rombongan piauwsu (pengawal barang
kiriman) yang lihai dan yang sudah dikenalnya.
Ang I Sian-li yang duduk
bersanding Hong Ing kelihatan mengantuk dan tak lama kemudian,
diguncang-guncang oleh kereta, ia tertidur. Dari napasnya yang halus dapat
diketahui bahwa wanita ini telah pulas.
Tentu saja hal ini tidak
pernah lepas dari perhatian Hong Ing. Sejak tadi, ia sering melirik dan
memperhatikan wanita itu. Mereka duduk bersanding, dan wanita itu nampaknya
tidak memperhatikannya, akan tetapi karena ia tahu betapa lihainya wanita itu,
ia tidak berani menyerang secara mendadak.
Kalau saja wanita itu tidak
selihai itu, kalau hanya sedikit lebih lihai darinya, dalam keadaan duduk
bersanding seperti itu, sekali menggerakkan tangan menotok saja mungkin ia akan
dapat membuat wanita itu tidak berdaya. Akan tetapi ia duduk bersanding dengan
Ang I Sian-li, seorang di antara Kiu Lo-mo, datuk sesat yang beberapa tingkat
lebih tinggi dari tingkatnya.
Akan tetapi sekarang wanita
itu tertidur. Dari pernapasannya, tahulah Hong Ing bahwa wanita itu sudah
pulas. Betapapun lihainya, kalau sedang pulas tentu tidak akan membela diri,
tidak akan mengerahkan sin-kang dan bukankah sekali pukul saja ia akan dapat
menewaskannya?
Akan tetapi, iapun tidak ingin
membunuh orang tanpa alasan kuat, cukup menotoknya dan membuatnya tidak berdaya
saja agar ia dan suaminya dapat terlepas dari bahaya. Beberapa kali, ketika
jalan yang tidak rata membuat kereta itu terguncang, ia sengaja melanggar
pinggang wanita di sebelahnya dengan sikunya, seperti yang tidak disengaja
karena guncangan kereta. Dan wanita itu sama sekali tidak pernah terbangun,
bahkan menggerakkan bulu matapun tidak. Agaknya sudah pulas benar, pikir Hong
Ing.
Hong Ing mengatupkan bibirnya
dan bersiap-siap. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya yang akan dijadikan
sasaran adalah pundak kiri, yaitu jalan darah kim-ceng-hiat. Kalau jalan darah
itu ditotoknya, tentu wanita itu dalam satu-dua detik tak mampu bergerak dan
akan disusulnya dengan totokan pada jalan darah hong-hu-hiat di belakang pundak
dan ia tentu akan menjadi lemas tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.
Setelah mendapat kesempatan
baik, selagi jalannya kereta tidak banyak guncangan agar totokannya mengenai
tepat, Hong Ing menggerakkan tangan kirirya, diangkatnya ke atas dan dengan
jari tangan diluruskan ia menotok ke arah pundak kiri Ang I Sian-li.
“Wuuuuttt...... tuukk!” Hong
Ing menjerit saking nyerinya.
Jari telunjuk dan jari tengah
tangan kirinya seperti menotok baja, bahkan ada tenaga yang membuat tenaga
totokannya membalik. Kedua jari itu nyeri sekali, kiut miut rasanya, sampai
menusuk jantung, rasanya seperti patah-patah dan seketika menggembung bengkak.
Mendengar jeritan isterinya,
Tek Hin menghentikan kereta dan cepat menengok. “Ing-moi, apa yang terjadi?”
Dan melihat isterinya memegangi tangan kiri sambil meringis kesakitan, dia
memandang kepada Ang I Sian-li dan berkata marah, “Ang I Sian-li, kalau engkau mengganggu
isteriku, aku akan mengadu nyawa denganmu!”
Ang I Sian-li tertawa,
“Heh-heh, Song Tek Hin. Kalau engkau banyak tingkah, isterimu kubunuh dulu baru
engkau. Ketika aku tadi tertidur, ia menotok pundakku dan kini jari tangannya
bengkak. Apakah engkau hendak menyalahkan aku?”
Mendengar jawaban ini, Tek Hin
memandang isterinya. “Ing-moi, bagaimana dengan tanganmu? Engkau duduk sajalah
di sini, biar kuobati tanganmu.”
Ang I Sian-li juga berkata.
“Nah, duduk saja engkau di depan dekat suamimu agar aku dapat tidur nyenyak
tanpa gangguan.”
Hong Ing pindah duduk di
samping suaminya. Tek Hin memeriksa tangan itu dan ternyata dua buah jari itu
membengkak dan biru, akan tetapi masih untung tidak sampai patah sehingga tidak
berbahaya, walaupun rasanya nyeri bukan main.
Setelah mengurut tangan
isterinya, Tek Hin melanjutkan perjalanan. Di dalam hati, suami isteri merasa
khawatir bukan main. Wanita itu sungguh sakti, dalam keadaan tidur pulas masih
mampu melindungi diri seperti itu.
Pada sore harinya, barulah
mereka tiba di tepi Huang-ho dan Ang I Sian-li menyuruh Tek Hin memasukkan
kereta ke dalam sebuah hutan di tepi sungai besar itu, mendaki sebuah bukit
kecil penuh hutan belukar. Dan ternyata di puncak bukit itu, terlindung hutan
yang lebat, terdapat sebuah bangunan besar yang nampaknya masih baru. Bangunan
itu dikelilingi tembok yang tinggi dan kereta itu memasuki pintu gerbang yang
dijaga oleh beberapa orang yang nampaknya bengis dan kuat.
Suami isteri itu oleh Ang I
Sian-li diajak memasuki bangunan induk dan di ruangan tengah mereka melihat
bahwa di situpun terdapat belasan orang laki-laki yang nampaknya kuat dan
bengis.