11 Kekhawatiran Sahabat Kakak Beradik
Melihat munculnya Ang I
Sian-li, semua orang cepat bangkit berdiri dan memberi hormat dengan mengangkat
kedua tangan depan dada.
Ang I Sian-li menyambut
penghormatan mereka dengan sikap angkuh, lalu bertanya, “Apakah yang lain belum
tiba?”
“Belum toa-nio. Hanya ada
pembawa berita yang mengatakan bahwa rombongan dari Nan-cang akan datang besok,
sedangkan yang dari kota raja mungkin besok lusa baru tiba.”
“Antar mereka ini ke kamar
tamu nomor tiga yang sudah dipersiapkan,” kata Ang I Sian-li kepada anak
buahnya, dan kepada suami isteri itu ia berkata, “Kalian tentu tidak akan
begitu bodoh untuk mencoba melarikan diri, karena selain di sini ada aku, juga
terdapat banyak anak buahku yang lihai. Kalau kalian tidak melawan dan tidak
mencoba melarikan diri, kalian tidak akan diganggu.”
“Akan tetapi, mengapa kami
ditahan di sini dan sampai berapa lama?” tanya Tek Hin memprotes.
“Sampai selesai urusan kami
dengan Pek-liong dan Liong-li. Tunggu saja sampai besok lusa, sampai dua orang
rekanku tiba. Kalau kalian tidak mencoba untuk lari, kalian akan diperlakukan
sebagai tamu. Akan tetapi, kalau-kalian mencoba lari, aku terpaksa akan
membelenggu kalian seperti dua orang tahanan!”
“Mari, silakan!” kata seorang
tinggi kurus bermata juling kepada suami isteri itu.
Tek Hin dan Hong Ing saling
pandang, maklum akan kebenaran ucapan Ang I Sian-li bahwa mencoba lari sama
saja dengan mencari penyakit. Dari pada tinggal sebagai tawanan yang dibelenggu
dan mungkin diganggu, lebih baik sebagai tamu.
Soal melarikan diri, mereka
akan bersabar dan mencari kesempatan sebaiknya. Kalau mereka ditahan sebagai
tamu, berarti mereka mempunyai harapan dan kemungkinan meloloskan diri,
sebaliknya kalau dibelenggu dan dikeram dalam kamar tawanan, sulitlah untuk
lolos.
Dengan taat mereka lalu
mengikuti si kurus juling itu menuju ke lorong masuk ke belakang dan ternyata
sudah ada sebuah kamar yang dipersiapkan untuk mereka. Kamar itu cukup
menyenangkan, berikut kamar mandi lengkap, ukurannyapun cukup besar, dan
bersih. Tempat tidur, meja kursi, semua lengkap. Hanya dua buah jendelanya
dipasangi ruji baja yang amat kuat, temboknya tebal, dan di depan pintu kamar
itu selalu ada beberapa orang yang berjaga dengan senjata di tangan.
Andaikata mereka berdua dapat
melumpuhkan beberapa orang penjaga di depan kamar itu, di sana masih terdapat
banyak sekali anak buah, dan terutama terdapat Ang I Sian-li yang amat lihai.
Tidak banyak kesempatan untuk lolos dan mereka harus hati-hati. Betapapun juga,
suami isteri itu merasa lega bahwa mereka ditahan dalam satu kamar, tidak
dipisahkan. Maka, mereka saling menghibur dan bersabar hati, tetap waspada.
◄Y►
Di kota Han-cang dekat Telaga
Po-yang, nama kakak beradik Kam amat terkenal dan dihormati orang. Sang Kakak bernama
Kam Sun Ting, berusia sekitar duapuluh lima tahun, seorang perjaka yang
bertubuh tegap dan kokoh kuat, tubuhnya ramping namun berotot dan wajahnya
tampan. Adapun adiknya, seorang gadis bernama Kam Cian Li, berusia sekitar
duapuluh dua tahun, juga bertubuh ramping padat dan wajahnya cantik manis.
Kakak beradik ini memiliki
bentuk tubuh yang mengagumkan, dengan tangan dan kaki panjang dan sempurna
lekuk lengkungnya. Hal ini tidak mengherankan karena sejak kecil, kakak beradik
ini terkenal sebagai ahli-ahli renang yang pandai, ahli-ahli penyelam yang
jarang ditemukan tandingannya karena mereka pandai bermain di air seperti
ikan-ikan saja.
Yang membuat mereka dikenal
orang bukan hanya karena keahlian mereka menyelam, bukan pula ilmu silat mereka
yang hanya lumayan saja, tidak dapat dibilang ahli, bukan pula hanya karena
mereka itu tampan dan cantik dan keduanya gagah. Akan tetapi karena mereka itu
kaya raya dan dermawan!
Keduanya belum menikah,
tinggal di sebuah rumah yang tidak sangat besar namun mungil dan indah,
dikelilingi taman bunga yang terawat amat indahnya. Rumah dan taman mereka
menjadi kebanggaan penduduk kota Nan-cang! Dan kalau kakak beradik ini rindu
akan air, mereka memiliki sebuah perahu yang sedang besarnya, yang berada di
Telaga Po-yang, dirawat seorang nelayan.
Kalau mereka berperahu,
mengenakan pakaian penyelam yang ketat, lalu keduanya bermain-main di air
telaga, banyak orang menonton dengan kagum. Banyak pemuda tergila-gila kalau
melihat Cian Li berpakaian penyelam yang mencetak bentuk tubuhnya yang membuat
setiap pemuda terpesona, juga banyak gadis yang sampai mimpi merindukan Sun
Ting yang gagah dan tampan.
Namun sungguh aneh, biarpun
usia pemuda itu sudah duapuluh lima tahun dan adiknya sudah duapuluh dua tahun,
mereka masih juga belum berumah tangga dan selalu menolak halus kalau ada orang
memperlihatkan sikap tertarik dan mencinta. Bahkan Cian Li sudah menolak banyak
pinangan secara halus. Kakak beradik ini hidup berdua karena sudah yatim piatu.
Tidak begitu mengherankan kalau
Sun Ting dan Cian Li belum juga mau menikah karena keduanya masih belum sembuh
dari luka karena cinta gagal. Sun Ting mencinta Hek-liong-li, sedangkan Cian Li
mencinta Pek-liong-eng. Cinta mereka mati-matian, bahkan mereka telah
menumpahkan rasa cinta dengan penyerahan diri, namun mereka hanya dapat
memiliki tubuh kedua pendekar itu selama beberapa hari saja, namun tidak dapat
memiliki hati mereka!
Pek-liong dan Liong-li tidak
mau jatuh cinta dan diikat pernikahan. Kakak beradik itu pernah membantu kedua
pendekar itu memperebutkan harta karun dan setelah berhasil, sepasang pendekar
itu menyerahkan sebagian dari harta karun kepada mereka, akan tetapi
meninggalkan mereka yang menjadi patah hati.
Sun Ting dan Cian Li menjadi
dua saudara yang kaya raya akan tetapi dengan hati merana karena cinta gagal!
Dan karena mereka berdua tidak atau belum dapat melupakan Pek-liong dan
Liong-li, maka keduanya tak pernah memperhatikan gadis dan pemuda lain. Keadaan
itulah yang membuat kakak beradik ini dikenal oleh semua orang di Nan-cang,
terutama mereka yang tinggal di sekitar Telaga Po-yang.
Pada suatu senja yang indah,
kakak beradik ini masih berada di atas perahu mereka setelah berenang dan
bermain-main. Telaga itu sudah sunyi dan mereka berada di bagian selatan, jauh
keramaian.
Senja itu angin berembus
dengan kencangnya. Mereka duduk di kepala perahu sambil menikmati langit di
barat yang bagaikan terbakar oleh sinar matahari senja, membentuk istana-istana
kelabu yang serba indah, ada pula bentuk binatang-binatang ajaib yang seolah
berenang di laut api.
Tiba-tiba Cian Li yang
kebetulan menoleh ke utara, terbelalak dan ia memegang lengan kakaknya dan
berbisik. “Lihat, apa itu?”
Sun Ting menengok dan diapun
terbelalak, bahkan mereka menggosok kedua mata seolah tidak percaya akan apa
yang mereka lihat. Apakah ada satu di antara mahluk ajaib dari angkasa di timur
itu turun ke atas permukaan air telaga?
Mereka melihat sesosok tubuh
meluncur di atas air, seperti bersayap dan didorong angin yang datang dari
utara! Kini makin nampak jelas bahwa yang meluncur di atas permukaan air itu
adalah seorang manusia!
Mungkinkah itu? Bagaimana
mungkin ada manusia berlari atau meluncur di atas air begitu saja, dengan jubah
dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, menggembung tertiup angin dari belakang?
Akan tetapi setelah kini dekat
terpisah beberapa meter, mereka berdua yakin bahwa yang meluncur di atas air
menghampiri mereka itu memang seorang manusia! Seorang pria yang usianya
sekitar enampuluh tahun. Tubuhnya jangkung kurus dan kelihatan lemah,
pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan, akan tetapi dilengkapi
jubah yang lebar dan tebal, yang dipergunakan sebagai layar.
Kedua kakinya yang bersepatu
kain itu ternyata menginjak dua potong papan kayu tebal yang ujungnya runcing
seperti bentuk perahu. Itulah sebabnya mengapa dia dapat mengambang dan
meluncur karena jubahnya menjadi layar yang tertiup angin.
Biarpun demikian, selama
hidupnya kakak beradik yang ahli bermain di air ini belum pernah melihat ada
orang yang mampu berbuat seperti itu! Kalau orang ini tidak memiliki gin-kang
(ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat, tidak mungkin dia dapat bertahan
meluncur seperti itu.
“Selamat sore, orang-orang
muda! Apakah kalian yang bernama Kam Sun Ting dan Kam Cian Li dari Nan-cang?”
Suara pria itu lembut dan sopan, juga wajahnya yang masih nampak tampan halus
itu tersenyum ramah.
Kedua orang kakak beradik itu
mengangguk membenarkan, saking heran dan kagumnya, mereka sampai tidak mampu
mengeluarkan suara, hanya nengangguk.
“Bagus sekali!” Pria itu
berseru gembira. “Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku. Bolehkah aku naik
perahu kalian? Aku sengaja mencari kalian, diutus oleh sahabat-sahabatku,
Pek-liong dan Hek-liong-li.”
Mendengar disebutnya nama dua
orang pendekar itu dan orang itu mengaku sebagai sahabat dan utusan, tentu saja
kakak beradik itu merasa girang bukan main.
“Silakan, Locianpwe (orang tua
gagah), silakan naik ke perahu kami!” kata Sun Ting.
Kini kakak beradik itu melihat
bukti dugaan mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang locianpwe yang
sakti. Pria itu seperti seekor burung bangau saja, meloncat dan melayang naik
ke atas perahu, kedua kakinya meninggalkan dua potong papan yang tadi
dipergunakan untuk meluncur dan ketika kedua kakinya hinggap di atas perahu,
perahu itu sedikitpun tidak terguncang!
Begitu tiba di atas perahu,
orang itu berkata, “Orang muda, cepat kaulayarkan perahumu ke barat.
Pek-liong-eng dan Hek-liong-li mengutusku untuk menjemput kalian dan agar
kalian secepatnya menemui mereka.”
“Di manakah tai-hiap dan
li-hiap itu, locianpwe?”tanya Kam Cian Li, hatinya tegang karena akan bertemu
dengan Pek-liong, pria yang selalu dipuja di dalam hatinya.
Pria itu menghela napas
panjang, mengeluarkan sebuah kipas dari saku jubahnya dan mengipas tubuhnya
dengan lagak seorang sastrawan, lalu berkata,
“Mereka berpesan agar aku
tidak boleh memberitahukan di mana mereka berada. Yang penting, mereka terancam
bahaya dan hanya kalian berdua dengan kepandaian kalian dalam air yang dapat
menolong dan menyelamatkan mereka. Cepatlah layarkan perahu ke barat, aku lelah
sekali dan ingin beristirahat dan tidur. Kecuali kalau kalian tidak ingin
menolong mereka, terpaksa aku akan pergi lagi.”
“Tentu saja kami suka sekali
menolong mereka, locianpwe!” kata Sun Ting cepat-cepat dan diapun sudah
mengatur layar dan kini perahu mulai meluncur ke arah barat.
Pria itu sudah merebahkan
dirinya di tengah perahu dan sebentar saja dia sudah tidur mendengkur! Agaknya
dia memang lelah sekali sehingga kakak beradik itu tidak berani dan tidak tega
mengganggunya.
Mereka mengatur layar dan
kemudi perahu. Angin kencang membuat perahu itu meluncur cepat ke arah barat.
Akan tetapi, walaupun kakak beradik itu, selalu memandang ke barat, kini mereka
tidak melihat lagi keindahan langit senja di barat karena pikiran mereka penuh
dengan bayangan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li dan hati mereka dicekam
kekhawatiran. Ingin mereka cepat-cepat dapat bertemu dengan kedua orang
pendekar itu.
Senja telah diselimuti
kegelapan malam ketika perahu itu tiba di tepi pantai barat. Melihat pria itu
masih tidur, Sun Ting mendekatinya dan dengan lirih dia menggugahnya.
“Locianpwe, kita sudah tiba di
tepi pantai barat. Di mana mereka?”
Pria itu bergerak menggeliat
dan bangkit duduk, memandang ke sekeliling. “Ehh? Sudah gelap? Sudah tiba di
tepi pantai barat?”
“Benar, locianpwe,” kata Cian
Li. “Di mana Pek-liong-eng?”
“Nanti dulu, mereka bilang
akan menjemput kita dengan kereta di sini. Nah, itu di sana kukira keretanya,”
kata pria itu dan pada saat itu terdengar ringkik kuda.
“Mari, keretanya di sana. Kita
harus melanjutkan perjalanan naik kereta yang sudah disediakan.”
Dia meloncat ke darat. Kakak
beradik itu saling pandang di keremangan malam yang hanya diterangi bintang,
akan tetapi keraguan mereka dikalahkan keinginan bertemu dengan sepasang
pendekar itu. Maka, merekapun mengikatkan tali perahu pada sebatang pohon, lalu
merekapun mendarat dan mengikuti kakek itu.
Benar saja, tak jauh dari
pantai terdapat sebuah kereta dengan dua ekor kudanya. Di bangku kusir duduk
seorang laki-laki tinggi besar. Dia duduk seperti patung dan sama sekali tidak
menengok, dan juga kakek sastrawan itu sama sekali tidak bertanya atau
menegurnya.
“Marilah, kalian naik kereta
ini bersamaku,” katanya mempersilakan kakak beradik itu naik ke kereta.
“Ke manakah kita akan pergi,
locianpwe? Di mana mereka berdua itu?” tanya Sun Ting.
“Naik sajalah, nanti kalian
akan mengetahuinya sendiri,” katanya.
Begitu mereka bertiga duduk di
dalam kereta, kendaraan itu segera bergerak cepat. Dua buah lentera di kanan
kiri kereta bergoyang-goyang dan kereta itu bergerak cepat.
Sun Ting mulai merasa curiga.
“Locianpwe ini siapakah? Siapakah nama locianpwe dan apa yang yang terjadi
dengan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li?”
“Benar, ceritakan kepada kami,
locianpwe, agar hati kami tidak merasa ragu dan bimbang. Apa yang terjadi
dengan mereka dan di mana mereka sekarang?” kata pula Cian Li.
“Kalian ingin mengetahui siapa
aku? Orang menyebut namaku Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas),” kata pria
itu dan di dalam suaranya halus itu kini terkandung kebanggaan hati.
Akan tetapi, melihat wajah
kedua prang kakak beradik itu tertimpa sinar lentera itu tidak kelihatan kaget,
bahkan agaknya tidak mengenal nama julukan itu, alis Kim Pit Siu-cai berkerut.
Tentu saja kakak beradik itu tidak mengenal nama datuk besar ini.
Mereka berdua bukanlah
orang-orang kang-ouw dan kalau mereka berdua menjadi sahabat Pek-liong-eng dan
Hek-liong-li, hal itu hanya kebetulan saja. Mereka bukan ahli-ahli silat dan
bukan pendekar, tidak mengenal dunia kang-ouw dan para tokohnya, maka nama
itupun sama sekali tidak mereka kenal.
“Tapi di mana kedua pendekar
itu dan bahaya apakah yang mengancam mereka?” tanya Cian Li.
Melihat kenyataan bahwa dua
orang kakak beradik itu tidak terkejut mendengar namanya, hal ini saja sudah
membuat Kim Pit Siu-cai penasaran dan marah sekali. Kalau saja dia tidak
membutuhkan dua orang kakak beradik ini, tentu akan dibunuhnya mereka seketika
untuk memuaskan hatinya yang merasa penasaran. Tidak dikenal nama besarnya sama
saja dengan suatu penghinaan baginya!
“Kalian tidak mengenal nama
besar Kim Pit Siu-cai?” tanyanya, kini suaranya terdengar ketus. “Ketahuilah
bahwa aku adalah seorang di antara Kiu Lo-mo!”
Akan tetapi, kembali dia
tertegun, penasaran dan wajahnya berubah merah sekali.
“Kiu Lo-mo? Siapakah mereka
itu?” tanya Cian Li, juga Sun Ting memandang tak mengerti.
Kalau saja dia bukan
sastrawan, tentu Kim Pit Siu-cai sudah menyumpah-nyumpah dan memaki-maki saking
jengkelnya. Lalu dia teringat sesuatu dan membentak, “Coba katakan, apakah
kalian tidak mengenal nama Siauw-bin Ciu-kwi?”
Mendengar disebutnya nama ini,
kakak beradik itu terkejut. “Aih, iblis tua yang amat jahat itu?” tanya Cian
Li.
Kini Kim Pit Siu-cai tertawa
bergelak dan ketika dia tertawa, lenyaplah semua sikap halus dan sopannya. Di
dalam suara tawanya terkandung kekejaman yang mengerikan.
“Ha-ha-ha, kalian mengenal
Siauw-bin Ciu-kwi, bukan? Ha-ha-ha-ha!”
“Tapi iblis tua yang jahat itu
telah mati!” kata Sun Ting.
“Dia telah mati, akan tetapi
aku belum! Dan aku adalah saudaranya, dan aku akan membalas dendam
kematiannya!”
“Ahhh......!!” tentu saja
kakak beradik itu terkejut bukan main, wajah mereka berubah pucat dan mata
mereka terbelalak. “Kalau begitu, engkau bukan sahabat Pek-liong-eng dan
Hek-liong-li!”
“Ha-ha-ha-ha, sahabat? Mereka
adalah musuh-musuh besar yang harus kubunuh! Dan kalian akan menjadi umpan agar
mereka berdua datang!”
“Tidak, aku tidak sudi!”
teriak Cian Li dan kakaknya juga menjadi marah sekali.
Keduanya bergerak hendak
melompat keluar dari dalam kereta. Akan tetapi, kipas di tangan Kim Pit Siu-cai
bergerak lebih cepat lagi. Dia duduk berhadapan dengan kedua orang kakak
beradik itu dan begitu kipasnya bergerak dua kali, Sun Ting dan Cian Li sudah menjadi
lemas tak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok ujung gagang kipas! Mereka
hanya duduk lemas bersandar dan dengan mata terbelalak marah mereka hanya dapat
memandang kepada Kim Pit Siu-cai yang tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, tanpa kalian pun
kami akhirnya akan dapat membunuh Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi dengan
kalian, akan lebih mudah memancing mereka. Kalau kalian tidak memberontak, kami
akan menerima kalian sebagai tamu, akan tetapi kalau kalian memberontak,
terpaksa kalian akan ku perlakukan sebagai tawanan. Nah, kalian tinggal pilih
saja!”
Cepat sekali kipasnya bergerak
dan kedua orang kakak beradik itu sudah dapat bergerak kembali. Cian Li
mengepal tinju, akan tetapi kakaknya segera memegang lengannya dan menggeleng
kepala.
“Adikku, kita bukan
tandingannya, tidak perlu melawan,” katanya dan Cian Li mengerti. Keadaan bagi
mereka akan semakin buruk kalau mereka melawan. Selain percuma saja melawan,
mereka akan menjadi tawanan, tertotok, atau terbelenggu, dan siapa tahu,
sebagai tawanan mereka akan diperlakukan lebih buruk lagi.
“Ha-ha-ha, itu baru bijaksana
namanya. Nah, sekarang tidak perlu banyak bertanya lagi. Pendeknya, kalian akan
menjadi tamu-tamu kami di suatu tempat, di lembah Huang-ho, dan jangan banyak
membuat ulah.”
Kakak beradik itu tidak
membuat ulah, bahkan tidak bicara lagi kepada penawan mereka. Mereka kini tidak
mengkhawatirkan diri sendiri karena tahu bahwa mereka hanya ditawan sebagai
umpan untuk memancing datangnya Hek-liong-li dan Pek-liong-eng.
Mereka gelisah memikirkan
keselamatan dua orang pendekar yang mereka cinta itu. Kakek yang menawan mereka
itu demikian lihai, jahat dan kejam sekali nampaknya, walaupun sikapnya halus
dan wajahnya masih tampan. Tampak mengerikan.
Biarpun mereka diam saja,
namun di dalam hati kedua orang kakak beradik ini, mereka mengambil keputusan
untuk membantu Liong-li dan Pek-liong sedapat mungkin, dan mereka hanya dapat
menunggu. Di balik semua perasaan khawatir itu, juga terdapat keinginan tahu
apakah sepasang pendekar itu akan dapat dipancing dengan umpan diri mereka,
apakah sepasang pendekar itu masih memperdulikan mereka? Ada harap-harap cemas
tersembunyi di lubuk hati mereka.
Kakak beradik ini memang tidak
membuat usaha melarikan diri atau melawan lagi sampai perjalanan itu berakhir di
lembah Huang-ho, di rumah gedung yang menjadi tempat tahanan Song Tek Hin dan
isterinya, Su Hong Ing yang ditawan oleh Ang I Sian-li, seorang di antara
Sembilan Iblis. Akan tetapi karena kamar mereka terpisah, mereka tidak saling
mengetahui bahwa ada tawanan lain di samping mereka.
Seperti juga suami isteri itu,
Kam Sun Ting dan Kam Cian Li mendapat kebebasan, namun mereka tidak melihat
sedikitpun kesempatan untuk dapat melarikan diri dari tempat yang terjaga ketat
dan di mana terdapat orang-orang yang memilliki ilmu kepandaian tinggi seperti
Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li. Kakak beradik itu, seperti juga halnya suami
isteri itu, hanya dapat menanti dengan hati tegang dan khawatir.