12 Kecerdikan Seorang Panglima
Dibandingkan tugas dua orang
rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai yang menangkap kakak beradik Kam, dan Ang I
Sian-li yang menangkap Song Tek Hin dan isterinya, tugas yang dilaksanakan
Pek-bwe Coa-ong jauh lebih sukar. Sebagai orang tertua di antara tiga orang
sisa Sembilan Iblis Tua itu, Pek-bwe Coa-ong si Raja Ular ini memang sengaja
menangani tugas sukar ini sendiri. Tugasnya ialah menangkap Cian Hui dan
isterinya yang bernama Cu Sui In.
Tentu saja tugas.ini tidak
mudah dilaksanakan oleh karena Cian Hui bukan orang sembarangan. Dia adalah
Cian Ciang-kun, seorang panglima muda yang gagah perkasa dan yang di kota raja
sudah terkenal sebagai seorang penyelidik atau detektip yang sudah banyak
berhasil membongkar berbagai kejahatan.
Sebagai seorang panglima,
tentu saja Cian Ciang-kun mempunyai kekuasaan atas sepasukan perajurit keamanan
yang tangguh, dan dia sendiri memiliki ilmu silat yang lihai di samping
kecerdikannya sebagai seorang pemberantas kejahatan.
Cian Hui yang sudah berusia
empatpuluh tiga tahun itu masih nampak tegap dan gagah, wajahnya kejantanan,
wajahnya berbentuk segi empat, dagunya berlekuk keras, alisnya hitam tebal
sekali, hidungnya besar mancung dan mulutnya cerah, matanya lebar, suaranya
juga tegas dan nyaring, tubuhnya tinggi tegap. Ilmu silatnya adalah ilmu silat
keturunan keluarga Cian, senjatanya sebatang suling baja yang ampuh.
Dengan jenggot kumis
terpelihara rapi, panglima ini memang nampak gagah berwibawa, membuat gentar
hati para penjahat yang bertemu dengan dia. Selama tiga tahun sudah Cian Hui
menikah dengan Cu Sui In, dan mereka mempunyai seorang anak perempuan berusia
dua tahun yang diberi nama Cian Hong.
Kalau Cian Hui pandai ilmu
silat keluarganya, isterinya yang murid Kun-lun-pai itu lebih lihai lagi! Cu
Sui In seorang wanita cantik berusia duapuluh sembilan tahun, keturunan
bangsawan pula. Ia seorang janda, empat tahun yang lalu suaminya tewas dibunuh
penjahat yang dipimpin Kui-eng-cu, yang sesungguhnya adalah dua orang di antara
Sembilan Iblis Tua, yaitu mendiang Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo.
Dalam memerangi gerombolan
Kui-eng-cu (Si Bayangan Iblis) inilah ia bertemu dengan Cian Hui, dan bertemu
pula dengan Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau Cian Hui tergila-gila kepada
Liong-li, Sui In tergila-gila kepada Pek-liong. Akan tetapi karena sepasang
pendekar itu tidak mau terlibat dalam pernikahan, hubungan cinta itu gagal, dan
kalau tadinya mereka saling menghibur, akhirnya Cian Hui dan Cu Sui In saling
tertarik dan menikah. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan seorang anak
perempuan.
Suami isteri jagoan ini
tinggal di sebuah gedung yang mungil di kota raja. Biarpun dia seorang
panglima, namun Cian Ciang-kun tidak suka hidup gemerlapan dengan kemewahan.
Rumahnya tidak terlalu besar seperti rumah para panglima lainnya, namun karena
dia menyadari bahwa dia dimusuhi banyak penjahat dan tokoh sesat yang pernah
diberantasnya, maka siang malam selalu ada saja pasukan khusus yang melakukan
penjagaan di sekitar rumah Cian Ciang-kun untuk menjaga keselamatan, untuk
mencegah agar tidak ada tokoh sesat yang datang membalas dendam kepada keluarga
itu.
Sebetulnya, penjagaan ini
dilakukan oleh Cian Hui semenjak isterinya melahirkan seorang anak. Sebelum
itu, dia tidak pernah menyuruh anak buahnya melakukan penjagaan, karena dia
merasa bahwa dia sendiri bersama isterinya cukup tangguh untuk membela diri
kalau terjadi penyerangan. Akan tetapi setelah puterinya lahir, dia melakukan
penjagaan itu demi keselamatan puterinya.
Itulah sebabnya mengapa Pek-bwe
Coa-ong mengalami kesulitan untuk dapat menculik Cian Hui dan isterinya seperti
yang telah direncanakannya bersama dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai
dan Ang I Sian-li dalam usaha mereka membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan
Hek-liong-li.
Telah sepekan dia berada di
kota raja, setiap hari melakukan pengintaian namun tak pernah mendapatkan
kesempatan untuk melakukan usahanya itu. Dia tidak berani melakukan kekerasan
terhadap Cian Hui dan isterinya di kota raja karena dimaklum betapa besar bahayanya
kalau sampai para jagoan istana dan pasukan keamanan mengepung dan
mengeroyoknya. Kalau dia hendak membunuh panglima itu dan isterinya, hal itu
agaknya akan dapat dia lakukan lebih mudah, apalagi dia memang sengaja membawa
Thai-san Ngo-kwi untuk membantunya.
Akan tetapi justeru
kesukarannya terletak pada tidak harus melakukan pembunuhan. Kalau panglima dan
isterinya itu dibunuh, hal itu sama sekali tidak ada gunanya lagi. Mereka harus
dapat ditangkap hidup-hidup, dijadikan tawanan sebagai umpan agar Liong-li dan
Pek-liong berdatangan,untuk menyelamatkan sahabat baik itu.
Pada suatu sore, Pek-bwe
Coa-ong yang selalu melakukan pengintaian itu melihat Cian Hui dan isterinya
keluar dari rumah mereka. Suami isteri itu agaknya hendak berjalan-jalan
mencari hawa sejuk karena udara sore hari itu agak panas dan mereka tidak
membawa pengawal.
Diam-diam Pek-bwe Coa-ong
membayangi mereka dan melakukan persiapan karena dianggapnya bahwa hal itu
merupakan kesempatan yang baik sekali. Atas isyaratnya Thai-kwi dan Ji-kwi ikut
pula melakukan pengintaian dan kini dua orang di antara Thai-san Ngo-kwi itu
ikut pula membayangi suami isteri yang sama sekali tidak mengira bahwa dalam
suasana yang aman dan nyaman itu, mereka terancam bahaya.
Cian Hui dan Sui In memasuki sebuah
taman di kota raja. Taman umum itu indah terpelihara baik-baik dan luas,
terdapat banyak pohon dan rumpun bunga-bunga beraneka warna. Sore itu, banyak
juga orang berjalan-jalan di taman umum itu karena hawa udara di situ lebih
sejuk. Akan tetapi, karena taman itu luas, maka banyak bagian yang nampak sepi.
Ketika Cian Hui dan Sui In
sedang berjalan perlahan-lahan di bagian yang sunyi dekat sebuah kolam ikan
sambil bercakap-cakap, tiba-tiba muncul dua orang laki-laki yang berjalan dari
depan. Tanpa curiga Cian Hui dan isterinya memandang kepada mereka. Seorang
tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi pendek gendut, usia mereka
empatpuluh tahun lebih.
Ketika dua orang itu telah
datang dekat, tiba-tiba saja mereka menyerang suami isteri itu dengan pukulan
yang dahsyat, tanpa memberitahu lebih dahulu. Tentu saja suami isteri itu
terkejut bukan main. Namun, mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu, maka
cepat mereka dapat meloncat ke samping mengelak.
Si tinggi besar terus
menyerang Cu Sui In, sedangkan yang pendek gendut menyerang Cian Hui. Tentu
saja kedua orang itu adalah Thai-kwi dan Ji-kwi yang telah mendapat perintah
dari Pek-bwe Coa-ong untuk melakukan penyerangan kepada suami isteri yang sejak
tadi mereka bayangi. Karena mereka sebelumnya sudah melakukan penyelidikan dan
tahu bahwa Sui In lebih lihai dari Cian Hui, maka Thai-kwi menyerang Sui In dan
Ji-kwi yang menyerang Cian Hui.
“Heii, gilakah kalian tanpa
sebab menyerang kami?” Cian Hui membentak dan kembali dia mengelak dari
serangan si pendek gendut yang amat lihai itu.
“Cian Hui, engkau dan isterimu
harus mati untuk menebus dosamu terhadap banyak saudara kami yang kautawan dan
kaubunuh!” teriak Thai-kwi yang juga mendesak Sui In.
Mengertilah Cian hui bahwa dia
berhadapan dengan golongan sesat yang memusuhinya untuk membalaskan para
penjahat yang pernah ditangkapnya atau dibasminya, maka tanpa banyak cakap lagi
diapun membalas serangan si pendek gendut. Akan tetapi, sekali ini dia terkejut
karena si gendut ini benar-benar amat lihai.
Ketika si gendut itu menangkis
pukulannya, dia merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat dan terasa nyeri.
Ia menunjukkan bahwa si gendut ini memiliki tenaga yang amat kuat. Juga ketika
dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya terdesak oleh si tinggi
besar.
“Singg......!” Cian Hui
mencabut pedangnya, akan tetapi pada saat itu, lawannya juga mengeluarkan
sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Mereka kembali saling serang
dan ternyata ilmu golok lawannya itupun hebat sehingga sebentar saja gulungan
sinar pedangnya terhimpit. Tentu saja Cian Hui merasa khawatir sekali, terutama
terhadap keselamatan isterinya.
Cu Sui In adalah murid
Kun-lun-pai yang tangguh, bahkan tingkat ilmu silatnya lebih tinggi
dibandingkan suaminya. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding yang amat
kuat. Apalagi ketika lawannya menggerak-gerakkan kedua lengan secara aneh dan
nampak kedua lengan itu kemerah-merahan, tahulah Sui In bahwa lawannya memiliki
ilmu yang aneh dan tangannya mengandung hawa panas seperti api.
Tidak seperti suaminya yang
tak pernah ketinggalan membawa pedang, nyonya muda ini tidak membekal senjata,
karena niatnya meninggalkan rumah hanya untuk jalan-jalan mencari hawa sejuk.
Akan tetapi agaknya lawannya seorang yang tinggi hati karena melihat ia tidak
bersenjata, lawannya juga tidak mencabut golok yang tergantung di punggungnya.
Biarpun demikian, tetap saja dia mulai terdesak.
Tiba-tiba, di antara beberapa
orang yang mulai tertarik dan nonton perkelahian itu, muncul seorang kakek yang
rambutnya sudah putih semua. “Siapa berani mengganggu Cian Ciang-kun?”
bentaknya halus dan diapun melompat ke dalam kalangan perkelahian, tangannya
yang hampir tak nampak tertutup lengan baju yang lebar dan panjang itu
digerakkan dua kali ke arah Thai-kwi dan Ji-kwi.
Angin yang kuat sekali
menyambar dari lengan baju itu dan kedua orang yang menyerang suami isteri itu
terdorong dan terhuyung ke belakang! Mereka berdua maklum bahwa kakek yang
membela suami isteri itu memiliki kesaktian, maka tanpa banyak sikap lagi keduanya
lalu berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali.
Tentu saja Cian Hui dan
isterinya merasa lega dan berterima kasih sekali kepada kakek yang amat lihai
itu. Mereka memandang dengan penuh perhatian dan merasa kagum.
Kakek itu usianya sekitar enampuluh
lima tahun, rambutnya sudah putih semua dan wajahnya nampak tua sedangkan
tubuhnya kecil kurus dan kelihatan ringkih. Siapa tahu, dia memiliki sin-kang
sedemikian hebatnya sehingga sekali menggerakkan tangan, hawa pukulannya
membuat penjahat yang tangguh tadi terdorong dan terhuyung! Cian Hui dan
isterinya cepat memberi hormat kepadanya dan Cian Hui berkata dengan suara yang
mengandung rasa kagum dan hormat.
“Kami menghaturkan terima
kasih kepada locianpwe yang telah menolong kami. Agaknya lo-cianpwe sudah
mengetahui bahwa saya bernama Cian Hui dan ini isteri saya, Cu Sui In. Bolehkah
kami mengenal nama besar locianpwe yang mulia?”
Kakek itu tersenyum dan
mengeluarkan suara tawa aneh dan lirih. “Heh-heh, namaku tidak ada artinya bagi
Ciang-kun, yang lebih penting Ciang-kun ketahui bahwa saya memang mencari
Ciang-kun berdua isteri karena saya membawa pesan dari sahabat baik saya
Pek-liong-eng......”
Mendengar ini, Cian Hui dan
isterinya terkejut akan tetapi juga girang. Kiranya kakek lihai ini adalah
sahabat Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Pantas demikian lihainya!
Akan tetapi karena di situ
terdapat banyak orang yang berkumpul karena merasa tertarik oleh perkelahian
tadi, Cian Hui berkata, “Locianpwe, tidak leluasa untuk bicara di sini. Mari,
kami persilakan locianpwe berkunjung ke rumah kami di mana kita dapat bicara
dengan leluasa.”
“Heh-heh, begitupun lebih
baik......” kakek itu mengangguk-angguk lalu mereka bertiga meninggalkan taman
dan pergi ke rumah panglima itu.
Setelah mereka duduk di dalam ruangan
tamu, Cian Hui dan isterinya yang duduk berhadapan dengan kakek itu segera
bertanya apakah pesan yang dibawa oleh kakek itu dari Pek-liong, dan siapa pula
nama kakek yang lihai itu.
“Heh-heh, sudah saya katakan
bahwa nama saya tidak ada artinya bagi ji-wi (kalian berdua). Nama saya Gan Ki
dan saya adalah seorang sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.
Pek-liong-eng yang mengutus saya mencari Ciang-kun dan nyonya.
“Apakah pesan itu,
Gan-locianpwe?” tanya Cian Hui.
“Dia berpesan agar sekarang
juga ji-wi datang kepadanya. Dia berada dalam bahaya maut dan hanya ji-wi yang
akan dapat menyelamatkannya. Saya diutus menjemput ji-wi dan sudah disediakan
kereta untuk ji-wi di luar pintu gerbang selatan kota raja. Karena tidak ingin
menarik perhatian orang, sengaja kereta itu saya tinggalkan di sana, siap untuk
mengantar ji-wi ke tempat Pek-liong-eng berada.”
Tentu saja suami isteri itu
terkejut bukan main mendengar bahwa Pek-liong berada dalam bahaya maut!
“Di mana dia sekarang?” Sui In
tak dapat menahan kecemasan hatinya dan bertanya. Bagaimanapun juga, Pek-liong
merupakan orang yang pernah menjadi kekasihnya dan ia tidak pernah dapat
melupakan pendekar itu.
“Di suatu tempat di lembah
Huang-ho. Marilah kita segera berangkat, saya khawatir kita akan terlambat,”
kakek itu mendesak.
Cian Hui teringat akan
sesuatu. “Locianpwe, kalau Pek-liong berada dalam bahaya maut, kenapa
lo-cianpwe mencari kami, bukan mencari Liong-li?”
“Liong-li? Ah, kaumaksudkan
Hek-liong-li Ciang-kun? Ia tidak berada di tempat tinggalnya dan menurut
Pek-liong-eng, Hek-liong-li juga terancam maut. Karena itu, marilah cepat-cepat
kita pergi agar jangan terlambat, Ciang-kun. Sebaiknya Ciang-kun pergi berdua
seperti pesan Pek-liong-eng, jangan bawa pasukan pengawal karena hal ini tentu
akan diketahui oleh pihak musuh dan celakalah Pek-liong-eng!”
Suami isteri itu saling
pandang, wajah Sui In membayangkan kecemasan. “Mari kita cepat pergi dan
menolongnya!” kata nyonya muda itu.
“Mari, kita berkemas dulu.
Harap locianpwe menunggu sebentar di sini, kami hendak membuat persiapan dan
berkemas,” kata Cian Hui.
Kakek itu mengangguk sambil
tersenyum dan suami isteri itu masuk ke dalam.
Setelah tiba di dalam, Cian
Hui menarik tangan isterinya diajak ke belakang.
“Aku curiga kepadanya, kita
harus membuat persiapan,” bisiknya dan diapun menulis surat dengan cepat,
memanggil kepala penjaga lalu menyerahkan surat itu dengan pesan agar
cepat-cepat surat itu diserahkan kepada Teng Gun atau Teng Ciang-kun.
Setelah kepala penjaga itu
pergi dengan cepat, dia dan isterinya lalu membawa bekal dan tidak lupa mereka
mempersiapkan pedang dan senjata rahasia, juga obat-obatan. Sui In memesan
kepada pelayan agar menjaga Cian Hong baik-baik dan agar para pengawal menjaga
keselamatan anak itu, barulah mereka pergi ke ruangan tamu kembali dan disambut
dengan senyum gembira oleh kakek rambut putih itu.
“Bagus, ji-wi tidak
membuang-buang waktu. Mari kita cepat berangkat!” katanya dan suaranya
terdengar gembira.
“Akan tetapi agar tidak
menarik perhatian, kita jangan terlalu cepat berjalan selama berada dalam
kota,” kata Cian Hui. “Ketahuilah, locianpwe, saya mempunyai tugas pekerjaan,
akan tetapi terpaksa saya tinggalkan demi menolong Pek-liong-eng, sahabat baik
kami.”
Kakek itu mengangguk-angguk.
“Saya tahu, kalau bukan sahabat baik, tentu Pek-liong-eng tidak menyuruh saya
mencari ji-wi.”
Mereka bertiga lalu keluar
dari rumah Cian Hui dan berjalan dengan santai menuju ke selatan, ke arah pintu
gerbang selatan. Tidak nampak ketegangan di wajah Cian Hui, apa lagi ketika dia
melihat beberapa orang dalam penyamaran mengamati mereka, yaitu para jagoan
istana yang menjadi sahabat-sahabatnya.
Kiranya Teng Ciang-kun,
pembantunya yang setia, dapat bekerja dengan cepat sekali sesuai dengan isi
suratnya yang dikirimkannya tadi.
Tidak terjadi sesuatu selama
mereka melakukan perjalanan santai menuju ke pintu gerbang selatan. Setelah
keluar dari pintu gerbang, kakek itu berkata, “Kami telah mempersiapkan sebuah
kereta untuk melanjutkan perjalanan. Di sana keretanya, Ciang-kun,” dia
menunjuk ke kiri, ke lorong yang menyimpang dari jalan raya.
Cian Hui dan Sui In
mengikutinya memasuki lorong yang sepi itu, dan dari jauh nampak sebuah kereta
sudah menanti.
Tempat itu memang sepi, apa
lagi cuaca mulai gelap remang-remang. Ketika sudah tiba di dekat kereta, suami
isteri itu melihat dua orang berada di atas kereta, di bangku kusir dan mereka
terkejut bukan main mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah si tinggi besar
muka hitam dan si gendut yang tadi menyerang mereka di dalam taman!
“Heil! Apa artinya ini?” seru
Cian Hui dan bersama isterinya diapun memutar tubuh untuk menghadapi kakek yang
mengaku bernama Gan Ki.
Kakek itu berdiri menyeringai
dan kini wajahnya yang nampak tua dan ringkih itu kelihatan licik dan kejam.
“Artinya, kalian berdua
menjadi tawanan kami.”
“Siapakah engkau sebenarnya
dan mengapa pula hendak menawan kami?” Cian Hui bertanya dengan suara lantang
karena marah.
Kini kakek yang sudah merasa
yakin akan keberhasilannya, tertawa mengejek.
“Ha-ha-ha, namaku memang Gan
Ki walaupun tak pernah aku mempergunakan nama kecil itu. Dunia kang-ouw
mengenalku sebagai Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular ekor Putih).”
Cian Hui terkejut. “Seorang di
antara Kiu Lo-mo?”
“Heh-heh, engkau memang
cerdik, Cian Ciang-kun. Memang benar sekali dugaanmu itu.”
“Lalu mengapa engkau menawan
kami?”
“Agar Pek-liong-eng dan
Hek-liong-li datang untuk menolong kalian. Bukankah kalian sahabat sahabat baik
mereka? Kalian kami tawan untuk menjadi umpan. Setelah dapat ikannya, kalian
akan kami bebaskan.”
“Tidak sudi kami dijadikan
umpan!” bentak Cu Sui In marah dan ia sudah mencabut pedangnya, diikuti
suaminya yang juga mencabut pedang.
“Kalian hendak melawan? Ha-ha,
menghadapi Thai-kwi dan Ji-kwi saja kalian tidak mampu menang, dan kalian
hendak melawan aku?”
Cian Hui dan Cu Sui In yang
sudah marah sekali tidak perduli dan menerjang kakek itu dengan pedang mereka.
Pek-bwe Coa-ong tersenyum dan tubuhnya membuat gerakan seperti ular, lalu kedua
lengannya didorongkan ke depan menyambut serangan itu.
“Wuuuuuttt......!” Angin
dahsyat menyambut suami isteri itu dan betapapun mereka sudah mengerahkan
sin-kang mempertahankan diri, tetap saja Cian Hui terjengkang dan Cu Sui In
yang lebih tangguh, terdorong ke belakang dan terhuyung!
Cian Hui cepat mengeluarkan
peluit kecil dan meniupnya. Terdengar suara nyaring dan belasan bayangan
berkelebat. Mereka adalah jagoan-jagoan istana yang sudah berloncatan keluar
dengan senjata di tangan dan di belakang mereka masih nampak puluhan orang perajurit.
Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong
terkejut, dan dua orang dari Thai-san Ngo-kwi juga terbelalak. Sama sekali
tidak mereka sangka bahwa suami isteri yang sudah mereka jebak itu berbalik
memasang perangkap bagi mereka!
Melihat bahwa keadaannya
menjadi berbahaya karena diapun maklum bahwa jagoan-jagoan dari kota raja amat
lihai dan jumlah mereka amat banyak, kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring
memberi isyarat kepada dua orang pembantunya dan merekapun berlompatan
melarikan diri dengan cepat sekali, meninggalkan kereta dan kuda mereka. Mereka
hanya bermaksud menawan suami isteri itu untuk dijadikan umpan. Usaha mereka
telah gagal maka mereka tidak ingin terlibat dalam perkelahian dan permusuhan
melawan pasukan keamanan pemerintah.
Cian Hui dan isterinya segera
pulang dengan hati lega, akan tetapi setelah tiba di rumah, Sui In bertanya,
“Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia berniat jahat dan telah mengerahkan bala
bantuan?”
Cian Hui menghela napas.
“Berkat pengalamanku selama bertahun-tahun, aku selalu waspada dan teliti. Ada
banyak hal yang ganjil ketika kakek itu bercerita tentang Pek-liong-eng.
Pertama kalau dia memang mencariku, bagaimana kita dapat bertemu dengan dia di
taman, tepat pada saat kita diserang kedua orang itu? Kebetulan yang agaknya disengaja
atau diatur. Kalau benar dia mencariku untuk menyampaikan pesan dari
Pek-liong-eng tentu dia akan langsung saja datang ke rumah, bukan berkeliaran
di taman.
“Kedua, kalau benar
Pek-liong-eng membutuhkan bantuan kita, tentu dia akan mengirim surat, bukan
secara lisan. Ketiga, kakek itu memiliki kepandaian tinggi, kalau dia benar
sahabat baik dari Pek-liong-eng, mengapa dia jauh-jauh mencari kita dan bukan
dia sendiri saja yang menolong Pek-liong? Kepandaiannya jauh di atas kita, lalu
mencari kita apa gunanya? Keempat, dia bilang menyiapkan kereta untuk kita, dan
tidak ingin menarik perhatian maka keretanya ditinggalkan di luar pintu
gerbang.
Hal ini tidak masuk diakal.
Kalau kedatangannya bermaksud baik, kenapa dia menjauhkan perhatian orang?
Pendeknya, banyak sekali pada dirinya yang menimbulkan kecurigaan, maka ketika
kita masuk untuk berkemas, aku mengirim surat kepada Teng Ciang-kun agar dia
mengirim bala bantuan yang kuat dan memasang barisan pendam di luar pintu
gerbang, melihat perkembangan.”
Isterinya mengangguk-angguk
dan memandang kagum kepada suaminya, “Engkau memang cerdik sekali. Kalau
begitu, jelas bahwa Pek-liong dan Liong-li sebenarnya tidak berada dalam
ancaman bahaya maut.”