Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 12 Kecerdikan Seorang Panglima

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 12 Kecerdikan Seorang Panglima
12 Kecerdikan Seorang Panglima

Dibandingkan tugas dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai yang menangkap kakak beradik Kam, dan Ang I Sian-li yang menangkap Song Tek Hin dan isterinya, tugas yang dilaksanakan Pek-bwe Coa-ong jauh lebih sukar. Sebagai orang tertua di antara tiga orang sisa Sembilan Iblis Tua itu, Pek-bwe Coa-ong si Raja Ular ini memang sengaja menangani tugas sukar ini sendiri. Tugasnya ialah menangkap Cian Hui dan isterinya yang bernama Cu Sui In.

Tentu saja tugas.ini tidak mudah dilaksanakan oleh karena Cian Hui bukan orang sembarangan. Dia adalah Cian Ciang-kun, seorang panglima muda yang gagah perkasa dan yang di kota raja sudah terkenal sebagai seorang penyelidik atau detektip yang sudah banyak berhasil membongkar berbagai kejahatan.

Sebagai seorang panglima, tentu saja Cian Ciang-kun mempunyai kekuasaan atas sepasukan perajurit keamanan yang tangguh, dan dia sendiri memiliki ilmu silat yang lihai di samping kecerdikannya sebagai seorang pemberantas kejahatan.

Cian Hui yang sudah berusia empatpuluh tiga tahun itu masih nampak tegap dan gagah, wajahnya kejantanan, wajahnya berbentuk segi empat, dagunya berlekuk keras, alisnya hitam tebal sekali, hidungnya besar mancung dan mulutnya cerah, matanya lebar, suaranya juga tegas dan nyaring, tubuhnya tinggi tegap. Ilmu silatnya adalah ilmu silat keturunan keluarga Cian, senjatanya sebatang suling baja yang ampuh.

Dengan jenggot kumis terpelihara rapi, panglima ini memang nampak gagah berwibawa, membuat gentar hati para penjahat yang bertemu dengan dia. Selama tiga tahun sudah Cian Hui menikah dengan Cu Sui In, dan mereka mempunyai seorang anak perempuan berusia dua tahun yang diberi nama Cian Hong.

Kalau Cian Hui pandai ilmu silat keluarganya, isterinya yang murid Kun-lun-pai itu lebih lihai lagi! Cu Sui In seorang wanita cantik berusia duapuluh sembilan tahun, keturunan bangsawan pula. Ia seorang janda, empat tahun yang lalu suaminya tewas dibunuh penjahat yang dipimpin Kui-eng-cu, yang sesungguhnya adalah dua orang di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu mendiang Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo.

Dalam memerangi gerombolan Kui-eng-cu (Si Bayangan Iblis) inilah ia bertemu dengan Cian Hui, dan bertemu pula dengan Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau Cian Hui tergila-gila kepada Liong-li, Sui In tergila-gila kepada Pek-liong. Akan tetapi karena sepasang pendekar itu tidak mau terlibat dalam pernikahan, hubungan cinta itu gagal, dan kalau tadinya mereka saling menghibur, akhirnya Cian Hui dan Cu Sui In saling tertarik dan menikah. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan seorang anak perempuan.

Suami isteri jagoan ini tinggal di sebuah gedung yang mungil di kota raja. Biarpun dia seorang panglima, namun Cian Ciang-kun tidak suka hidup gemerlapan dengan kemewahan. Rumahnya tidak terlalu besar seperti rumah para panglima lainnya, namun karena dia menyadari bahwa dia dimusuhi banyak penjahat dan tokoh sesat yang pernah diberantasnya, maka siang malam selalu ada saja pasukan khusus yang melakukan penjagaan di sekitar rumah Cian Ciang-kun untuk menjaga keselamatan, untuk mencegah agar tidak ada tokoh sesat yang datang membalas dendam kepada keluarga itu.

Sebetulnya, penjagaan ini dilakukan oleh Cian Hui semenjak isterinya melahirkan seorang anak. Sebelum itu, dia tidak pernah menyuruh anak buahnya melakukan penjagaan, karena dia merasa bahwa dia sendiri bersama isterinya cukup tangguh untuk membela diri kalau terjadi penyerangan. Akan tetapi setelah puterinya lahir, dia melakukan penjagaan itu demi keselamatan puterinya.

Itulah sebabnya mengapa Pek-bwe Coa-ong mengalami kesulitan untuk dapat menculik Cian Hui dan isterinya seperti yang telah direncanakannya bersama dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li dalam usaha mereka membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.

Telah sepekan dia berada di kota raja, setiap hari melakukan pengintaian namun tak pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukan usahanya itu. Dia tidak berani melakukan kekerasan terhadap Cian Hui dan isterinya di kota raja karena dimaklum betapa besar bahayanya kalau sampai para jagoan istana dan pasukan keamanan mengepung dan mengeroyoknya. Kalau dia hendak membunuh panglima itu dan isterinya, hal itu agaknya akan dapat dia lakukan lebih mudah, apalagi dia memang sengaja membawa Thai-san Ngo-kwi untuk membantunya.

Akan tetapi justeru kesukarannya terletak pada tidak harus melakukan pembunuhan. Kalau panglima dan isterinya itu dibunuh, hal itu sama sekali tidak ada gunanya lagi. Mereka harus dapat ditangkap hidup-hidup, dijadikan tawanan sebagai umpan agar Liong-li dan Pek-liong berdatangan,untuk menyelamatkan sahabat baik itu.
Pada suatu sore, Pek-bwe Coa-ong yang selalu melakukan pengintaian itu melihat Cian Hui dan isterinya keluar dari rumah mereka. Suami isteri itu agaknya hendak berjalan-jalan mencari hawa sejuk karena udara sore hari itu agak panas dan mereka tidak membawa pengawal.

Diam-diam Pek-bwe Coa-ong membayangi mereka dan melakukan persiapan karena dianggapnya bahwa hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali. Atas isyaratnya Thai-kwi dan Ji-kwi ikut pula melakukan pengintaian dan kini dua orang di antara Thai-san Ngo-kwi itu ikut pula membayangi suami isteri yang sama sekali tidak mengira bahwa dalam suasana yang aman dan nyaman itu, mereka terancam bahaya.

Cian Hui dan Sui In memasuki sebuah taman di kota raja. Taman umum itu indah terpelihara baik-baik dan luas, terdapat banyak pohon dan rumpun bunga-bunga beraneka warna. Sore itu, banyak juga orang berjalan-jalan di taman umum itu karena hawa udara di situ lebih sejuk. Akan tetapi, karena taman itu luas, maka banyak bagian yang nampak sepi.

Ketika Cian Hui dan Sui In sedang berjalan perlahan-lahan di bagian yang sunyi dekat sebuah kolam ikan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba muncul dua orang laki-laki yang berjalan dari depan. Tanpa curiga Cian Hui dan isterinya memandang kepada mereka. Seorang tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi pendek gendut, usia mereka empatpuluh tahun lebih.

Ketika dua orang itu telah datang dekat, tiba-tiba saja mereka menyerang suami isteri itu dengan pukulan yang dahsyat, tanpa memberitahu lebih dahulu. Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. Namun, mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu, maka cepat mereka dapat meloncat ke samping mengelak.

Si tinggi besar terus menyerang Cu Sui In, sedangkan yang pendek gendut menyerang Cian Hui. Tentu saja kedua orang itu adalah Thai-kwi dan Ji-kwi yang telah mendapat perintah dari Pek-bwe Coa-ong untuk melakukan penyerangan kepada suami isteri yang sejak tadi mereka bayangi. Karena mereka sebelumnya sudah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa Sui In lebih lihai dari Cian Hui, maka Thai-kwi menyerang Sui In dan Ji-kwi yang menyerang Cian Hui.

“Heii, gilakah kalian tanpa sebab menyerang kami?” Cian Hui membentak dan kembali dia mengelak dari serangan si pendek gendut yang amat lihai itu.

“Cian Hui, engkau dan isterimu harus mati untuk menebus dosamu terhadap banyak saudara kami yang kautawan dan kaubunuh!” teriak Thai-kwi yang juga mendesak Sui In.

Mengertilah Cian hui bahwa dia berhadapan dengan golongan sesat yang memusuhinya untuk membalaskan para penjahat yang pernah ditangkapnya atau dibasminya, maka tanpa banyak cakap lagi diapun membalas serangan si pendek gendut. Akan tetapi, sekali ini dia terkejut karena si gendut ini benar-benar amat lihai.

Ketika si gendut itu menangkis pukulannya, dia merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat dan terasa nyeri. Ia menunjukkan bahwa si gendut ini memiliki tenaga yang amat kuat. Juga ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya terdesak oleh si tinggi besar.

“Singg......!” Cian Hui mencabut pedangnya, akan tetapi pada saat itu, lawannya juga mengeluarkan sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Mereka kembali saling serang dan ternyata ilmu golok lawannya itupun hebat sehingga sebentar saja gulungan sinar pedangnya terhimpit. Tentu saja Cian Hui merasa khawatir sekali, terutama terhadap keselamatan isterinya.

Cu Sui In adalah murid Kun-lun-pai yang tangguh, bahkan tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dibandingkan suaminya. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding yang amat kuat. Apalagi ketika lawannya menggerak-gerakkan kedua lengan secara aneh dan nampak kedua lengan itu kemerah-merahan, tahulah Sui In bahwa lawannya memiliki ilmu yang aneh dan tangannya mengandung hawa panas seperti api.

Tidak seperti suaminya yang tak pernah ketinggalan membawa pedang, nyonya muda ini tidak membekal senjata, karena niatnya meninggalkan rumah hanya untuk jalan-jalan mencari hawa sejuk. Akan tetapi agaknya lawannya seorang yang tinggi hati karena melihat ia tidak bersenjata, lawannya juga tidak mencabut golok yang tergantung di punggungnya. Biarpun demikian, tetap saja dia mulai terdesak.

Tiba-tiba, di antara beberapa orang yang mulai tertarik dan nonton perkelahian itu, muncul seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. “Siapa berani mengganggu Cian Ciang-kun?” bentaknya halus dan diapun melompat ke dalam kalangan perkelahian, tangannya yang hampir tak nampak tertutup lengan baju yang lebar dan panjang itu digerakkan dua kali ke arah Thai-kwi dan Ji-kwi.

Angin yang kuat sekali menyambar dari lengan baju itu dan kedua orang yang menyerang suami isteri itu terdorong dan terhuyung ke belakang! Mereka berdua maklum bahwa kakek yang membela suami isteri itu memiliki kesaktian, maka tanpa banyak sikap lagi keduanya lalu berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali.

Tentu saja Cian Hui dan isterinya merasa lega dan berterima kasih sekali kepada kakek yang amat lihai itu. Mereka memandang dengan penuh perhatian dan merasa kagum.

Kakek itu usianya sekitar enampuluh lima tahun, rambutnya sudah putih semua dan wajahnya nampak tua sedangkan tubuhnya kecil kurus dan kelihatan ringkih. Siapa tahu, dia memiliki sin-kang sedemikian hebatnya sehingga sekali menggerakkan tangan, hawa pukulannya membuat penjahat yang tangguh tadi terdorong dan terhuyung! Cian Hui dan isterinya cepat memberi hormat kepadanya dan Cian Hui berkata dengan suara yang mengandung rasa kagum dan hormat.

“Kami menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menolong kami. Agaknya lo-cianpwe sudah mengetahui bahwa saya bernama Cian Hui dan ini isteri saya, Cu Sui In. Bolehkah kami mengenal nama besar locianpwe yang mulia?”

Kakek itu tersenyum dan mengeluarkan suara tawa aneh dan lirih. “Heh-heh, namaku tidak ada artinya bagi Ciang-kun, yang lebih penting Ciang-kun ketahui bahwa saya memang mencari Ciang-kun berdua isteri karena saya membawa pesan dari sahabat baik saya Pek-liong-eng......”

Mendengar ini, Cian Hui dan isterinya terkejut akan tetapi juga girang. Kiranya kakek lihai ini adalah sahabat Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Pantas demikian lihainya!

Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang yang berkumpul karena merasa tertarik oleh perkelahian tadi, Cian Hui berkata, “Locianpwe, tidak leluasa untuk bicara di sini. Mari, kami persilakan locianpwe berkunjung ke rumah kami di mana kita dapat bicara dengan leluasa.”

“Heh-heh, begitupun lebih baik......” kakek itu mengangguk-angguk lalu mereka bertiga meninggalkan taman dan pergi ke rumah panglima itu.

Setelah mereka duduk di dalam ruangan tamu, Cian Hui dan isterinya yang duduk berhadapan dengan kakek itu segera bertanya apakah pesan yang dibawa oleh kakek itu dari Pek-liong, dan siapa pula nama kakek yang lihai itu.

“Heh-heh, sudah saya katakan bahwa nama saya tidak ada artinya bagi ji-wi (kalian berdua). Nama saya Gan Ki dan saya adalah seorang sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Pek-liong-eng yang mengutus saya mencari Ciang-kun dan nyonya.

“Apakah pesan itu, Gan-locianpwe?” tanya Cian Hui.

“Dia berpesan agar sekarang juga ji-wi datang kepadanya. Dia berada dalam bahaya maut dan hanya ji-wi yang akan dapat menyelamatkannya. Saya diutus menjemput ji-wi dan sudah disediakan kereta untuk ji-wi di luar pintu gerbang selatan kota raja. Karena tidak ingin menarik perhatian orang, sengaja kereta itu saya tinggalkan di sana, siap untuk mengantar ji-wi ke tempat Pek-liong-eng berada.”

Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main mendengar bahwa Pek-liong berada dalam bahaya maut!

“Di mana dia sekarang?” Sui In tak dapat menahan kecemasan hatinya dan bertanya. Bagaimanapun juga, Pek-liong merupakan orang yang pernah menjadi kekasihnya dan ia tidak pernah dapat melupakan pendekar itu.

“Di suatu tempat di lembah Huang-ho. Marilah kita segera berangkat, saya khawatir kita akan terlambat,” kakek itu mendesak.

Cian Hui teringat akan sesuatu. “Locianpwe, kalau Pek-liong berada dalam bahaya maut, kenapa lo-cianpwe mencari kami, bukan mencari Liong-li?”

“Liong-li? Ah, kaumaksudkan Hek-liong-li Ciang-kun? Ia tidak berada di tempat tinggalnya dan menurut Pek-liong-eng, Hek-liong-li juga terancam maut. Karena itu, marilah cepat-cepat kita pergi agar jangan terlambat, Ciang-kun. Sebaiknya Ciang-kun pergi berdua seperti pesan Pek-liong-eng, jangan bawa pasukan pengawal karena hal ini tentu akan diketahui oleh pihak musuh dan celakalah Pek-liong-eng!”

Suami isteri itu saling pandang, wajah Sui In membayangkan kecemasan. “Mari kita cepat pergi dan menolongnya!” kata nyonya muda itu.

“Mari, kita berkemas dulu. Harap locianpwe menunggu sebentar di sini, kami hendak membuat persiapan dan berkemas,” kata Cian Hui.

Kakek itu mengangguk sambil tersenyum dan suami isteri itu masuk ke dalam.

Setelah tiba di dalam, Cian Hui menarik tangan isterinya diajak ke belakang.

“Aku curiga kepadanya, kita harus membuat persiapan,” bisiknya dan diapun menulis surat dengan cepat, memanggil kepala penjaga lalu menyerahkan surat itu dengan pesan agar cepat-cepat surat itu diserahkan kepada Teng Gun atau Teng Ciang-kun.

Setelah kepala penjaga itu pergi dengan cepat, dia dan isterinya lalu membawa bekal dan tidak lupa mereka mempersiapkan pedang dan senjata rahasia, juga obat-obatan. Sui In memesan kepada pelayan agar menjaga Cian Hong baik-baik dan agar para pengawal menjaga keselamatan anak itu, barulah mereka pergi ke ruangan tamu kembali dan disambut dengan senyum gembira oleh kakek rambut putih itu.

“Bagus, ji-wi tidak membuang-buang waktu. Mari kita cepat berangkat!” katanya dan suaranya terdengar gembira.

“Akan tetapi agar tidak menarik perhatian, kita jangan terlalu cepat berjalan selama berada dalam kota,” kata Cian Hui. “Ketahuilah, locianpwe, saya mempunyai tugas pekerjaan, akan tetapi terpaksa saya tinggalkan demi menolong Pek-liong-eng, sahabat baik kami.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Saya tahu, kalau bukan sahabat baik, tentu Pek-liong-eng tidak menyuruh saya mencari ji-wi.”

Mereka bertiga lalu keluar dari rumah Cian Hui dan berjalan dengan santai menuju ke selatan, ke arah pintu gerbang selatan. Tidak nampak ketegangan di wajah Cian Hui, apa lagi ketika dia melihat beberapa orang dalam penyamaran mengamati mereka, yaitu para jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabatnya.

Kiranya Teng Ciang-kun, pembantunya yang setia, dapat bekerja dengan cepat sekali sesuai dengan isi suratnya yang dikirimkannya tadi.

Tidak terjadi sesuatu selama mereka melakukan perjalanan santai menuju ke pintu gerbang selatan. Setelah keluar dari pintu gerbang, kakek itu berkata, “Kami telah mempersiapkan sebuah kereta untuk melanjutkan perjalanan. Di sana keretanya, Ciang-kun,” dia menunjuk ke kiri, ke lorong yang menyimpang dari jalan raya.

Cian Hui dan Sui In mengikutinya memasuki lorong yang sepi itu, dan dari jauh nampak sebuah kereta sudah menanti.

Tempat itu memang sepi, apa lagi cuaca mulai gelap remang-remang. Ketika sudah tiba di dekat kereta, suami isteri itu melihat dua orang berada di atas kereta, di bangku kusir dan mereka terkejut bukan main mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah si tinggi besar muka hitam dan si gendut yang tadi menyerang mereka di dalam taman!

“Heil! Apa artinya ini?” seru Cian Hui dan bersama isterinya diapun memutar tubuh untuk menghadapi kakek yang mengaku bernama Gan Ki.

Kakek itu berdiri menyeringai dan kini wajahnya yang nampak tua dan ringkih itu kelihatan licik dan kejam.

“Artinya, kalian berdua menjadi tawanan kami.”

“Siapakah engkau sebenarnya dan mengapa pula hendak menawan kami?” Cian Hui bertanya dengan suara lantang karena marah.

Kini kakek yang sudah merasa yakin akan keberhasilannya, tertawa mengejek.

“Ha-ha-ha, namaku memang Gan Ki walaupun tak pernah aku mempergunakan nama kecil itu. Dunia kang-ouw mengenalku sebagai Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular ekor Putih).”

Cian Hui terkejut. “Seorang di antara Kiu Lo-mo?”

“Heh-heh, engkau memang cerdik, Cian Ciang-kun. Memang benar sekali dugaanmu itu.”

“Lalu mengapa engkau menawan kami?”

“Agar Pek-liong-eng dan Hek-liong-li datang untuk menolong kalian. Bukankah kalian sahabat sahabat baik mereka? Kalian kami tawan untuk menjadi umpan. Setelah dapat ikannya, kalian akan kami bebaskan.”

“Tidak sudi kami dijadikan umpan!” bentak Cu Sui In marah dan ia sudah mencabut pedangnya, diikuti suaminya yang juga mencabut pedang.

“Kalian hendak melawan? Ha-ha, menghadapi Thai-kwi dan Ji-kwi saja kalian tidak mampu menang, dan kalian hendak melawan aku?”

Cian Hui dan Cu Sui In yang sudah marah sekali tidak perduli dan menerjang kakek itu dengan pedang mereka. Pek-bwe Coa-ong tersenyum dan tubuhnya membuat gerakan seperti ular, lalu kedua lengannya didorongkan ke depan menyambut serangan itu.

“Wuuuuuttt......!” Angin dahsyat menyambut suami isteri itu dan betapapun mereka sudah mengerahkan sin-kang mempertahankan diri, tetap saja Cian Hui terjengkang dan Cu Sui In yang lebih tangguh, terdorong ke belakang dan terhuyung!

Cian Hui cepat mengeluarkan peluit kecil dan meniupnya. Terdengar suara nyaring dan belasan bayangan berkelebat. Mereka adalah jagoan-jagoan istana yang sudah berloncatan keluar dengan senjata di tangan dan di belakang mereka masih nampak puluhan orang perajurit.

Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong terkejut, dan dua orang dari Thai-san Ngo-kwi juga terbelalak. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa suami isteri yang sudah mereka jebak itu berbalik memasang perangkap bagi mereka!

Melihat bahwa keadaannya menjadi berbahaya karena diapun maklum bahwa jagoan-jagoan dari kota raja amat lihai dan jumlah mereka amat banyak, kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring memberi isyarat kepada dua orang pembantunya dan merekapun berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali, meninggalkan kereta dan kuda mereka. Mereka hanya bermaksud menawan suami isteri itu untuk dijadikan umpan. Usaha mereka telah gagal maka mereka tidak ingin terlibat dalam perkelahian dan permusuhan melawan pasukan keamanan pemerintah.

Cian Hui dan isterinya segera pulang dengan hati lega, akan tetapi setelah tiba di rumah, Sui In bertanya, “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia berniat jahat dan telah mengerahkan bala bantuan?”

Cian Hui menghela napas. “Berkat pengalamanku selama bertahun-tahun, aku selalu waspada dan teliti. Ada banyak hal yang ganjil ketika kakek itu bercerita tentang Pek-liong-eng. Pertama kalau dia memang mencariku, bagaimana kita dapat bertemu dengan dia di taman, tepat pada saat kita diserang kedua orang itu? Kebetulan yang agaknya disengaja atau diatur. Kalau benar dia mencariku untuk menyampaikan pesan dari Pek-liong-eng tentu dia akan langsung saja datang ke rumah, bukan berkeliaran di taman.

“Kedua, kalau benar Pek-liong-eng membutuhkan bantuan kita, tentu dia akan mengirim surat, bukan secara lisan. Ketiga, kakek itu memiliki kepandaian tinggi, kalau dia benar sahabat baik dari Pek-liong-eng, mengapa dia jauh-jauh mencari kita dan bukan dia sendiri saja yang menolong Pek-liong? Kepandaiannya jauh di atas kita, lalu mencari kita apa gunanya? Keempat, dia bilang menyiapkan kereta untuk kita, dan tidak ingin menarik perhatian maka keretanya ditinggalkan di luar pintu gerbang.

Hal ini tidak masuk diakal. Kalau kedatangannya bermaksud baik, kenapa dia menjauhkan perhatian orang? Pendeknya, banyak sekali pada dirinya yang menimbulkan kecurigaan, maka ketika kita masuk untuk berkemas, aku mengirim surat kepada Teng Ciang-kun agar dia mengirim bala bantuan yang kuat dan memasang barisan pendam di luar pintu gerbang, melihat perkembangan.”

Isterinya mengangguk-angguk dan memandang kagum kepada suaminya, “Engkau memang cerdik sekali. Kalau begitu, jelas bahwa Pek-liong dan Liong-li sebenarnya tidak berada dalam ancaman bahaya maut.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar