13 Surat Permohonan Bantuan . . .
“Engkau keliru. Kakek itu
adalan Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Sembilan Iblis Tua. Setahuku,
Pek-liong dan Liong-li telah membunuh empat orang di antara mereka, dan dua
orang lagi, yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Gunung Selatan) telah lebih
dahulu tewas. Jadi sisanya tinggal tiga orang lagi, yaitu Pek-bwe Coa-ong, Kim
Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li.
“Mereka adalah orang-orang
yang amat lihai dan berbahaya sekali. Siapa tahu mereka bertiga itu kini
bersatu untuk membalas dendam atas kematian rekan-rekan mereka. Kalau mereka
gagal menawan kita untuk dijadikan umpan, tentu mereka akan mempergunakan cara
lain untuk membalas dendam kepada Pek-liong dan Liong-li. Dan aku harus cepat
memberi kabar untuk memperingatkan mereka akan ancaman ini.”
“Engkau hendak pergi
berkunjung kepada Pek-liong dan Liong-li? Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali
karena Pek-bwe Coa-ong dan kawan-kawannya tentu akan berusaha menangkapmu.”
Cian Hui menggeleng kepala.
“Aku sudah mereka kenal, aku akan menyuruh seorang pembantu yang cerdik untuk
membawa suratku kepada Pek-liong, dan seorang pembantu lagi kusuruh mengantar
surat kepada Liong-li.”
Demikianlah, malam hari itu
juga Cian Hui membuat dua buah surat dan menyuruh anak buah yang pandai,
seorang pergi ke dusun Pat-kwa-bun mencari Pek-liong-eng, dan seorang lagi
pergi ke kota Lok-yang mencari Hek-liong-li.
Hek-liong-li Lie Kim Cu duduk
seorang diri di ruangan dalam rumahnya. Ia duduk seenaknya, mengangkat kedua
kaki yang ditekuk lututnya ke atas kursi, nongkrong seorang diri di pagi hari
itu. Rambutnya masih kusut, pakaiannya juga kacau dan tidak rapi karena ia baru
saja bangun tidur dan belum sempat mandi dan bertukar pakaian karena pagi-pagi
sudah disibukkan dengan termenung seorang diri.
Kadang-kadang ia
menggosok-gosok hidungnya yang tidak gatal dan kesibukan menggosok hidung ini
bagi yang sudah mengenalnya menjadi tanda bahwa wanita cantik jelita yang gagah
perkasa ini sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, sedang mengerjakan kecerdasan
otaknya untuk memecahkan persoalan yang rumit.
Dan memang Liong-li sedang
termenung memikirkan semua peristiwa yang menimpa dirinya. Ia sudah mengerahkan
semua pembantunya, beberapa hari yang lalu ia membawa sembilan orang
pembantunya, semua bersenjata lengkap, mendaki puncak Thai-san hendak menyerbu
sarang Thai-san Ngo-kwi. Akan tetapi, ternyata yang disergapnya hanyalah sarang
yang kosong belaka.
Semua burung sudah
meninggalkan sarang, atau lebih tepat lagi, semua srigala telah meninggalkan sarang
mereka. Tak seorangpun dari Thai-san Ngo-kwi maupun anak buah mereka dapat ia
temukan. Saking kecewa dan marahnya, Liong-li dan anak buahnya membakar sarang
itu sampai habis rata dengan tanah.
Akan tetapi perbuatan itu
masih belum menenangkan hatinya. Jelas bahwa Thai-san Ngo-kwi memusuhinya
karena hendak membalas dendam kematian guru mereka, yaitu Siauw-bin Ciu-kwi.
Akan tetapi, agaknya mereka tidak berdiri sendiri.
Nenek pesolek yang lihai itu
tentu yang menjadi dalangnya dan ia tidak.mengenal nenek itu. Tidak tahu pula
di mana sekarang mereka berada. Dan selama ia belum dapat membasmi mereka,
tentu ia akan selalu terancam.
Sekarangpun ia melarang anak
buahnya keluar seorang diri. Tidak aman bagi mereka. Diancam musuh yang
bergerak secara bersembunyi sungguh tidak mengenakkan hati, selalu tegang dan
harus waspada setiap saat.
Ia harus dapat menghancurkan
mereka. Akan tetapi di mana mereka? Ia teringat kepada Pek-liong. Kenapa belum
juga ada balasan dari Pek-liong?
Tiba-tiba daun pintu ruangan
itu diketuk seorang pembantunya. Ang-hwa yang berpakaian serba merah itu
muncul.
“Li-hiap ada seorang tamu
hendak bertemu dengan li-hiap, katanya dia membawa surat dari Song Tek Hin dan
Kam Sun Ting.”
Liong-li mengerutkan alisnya.
Terlalu banyak nama yang dikenalnya, maka untuk mengingat dua nama itu ia harus
menggali ingatannya.
Kemudian ia teringat. Song Tek
Hin adalah pemuda tegap tampan yang dikenalnya lima tahun yang lalu, dan Kam
Sun Ting adalah seorang pemuda ramping tegap kokoh kuat, perenang dan penyelam
tangguh di Telaga Po-yang itu yang dikenalnya tiga tahun yang lalu. Kedua
pemuda itu adalah sahabat-sahabat baiknya, bukan sekadar sahabat malah, mereka
pernah menjadi kekasihnya dan teringat kepada mereka mendatangkan kehangatan di
hatinya.
“Suruh dia menunggu di ruangan
tamu dan ingat, jaga dia baik-baik, awasi gerak-geriknya dan cegah sesuatu
terjadi kepadanya. Aku mau mandi sebentar.”
Ang-hwa mengangguk dan pergi.
Liong-li cepat mandi air dingin dan tak lama kemudian ia telah memasuki ruangan
tamu dengan wajah segar dan pakaian yang rapi, pakaian serba hitam yang selalu
menutupi tubuhnya. Seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, melihat
pakaiannya tentu seorang desa, bangkit dari tempat duduknya dan memandang
kepada Liong-li dengan kagum.
Biarpun ia berhadapan dengan
seorang dusun yang sederhana, namun karena orang itu menjadi tamunya, Liong-li
cepat mengangkat kedua tangan, depan dada, lalu berkata, “Apakah paman hendak
bertemu dengan saya?”
Pria itu nampak bingung. “Saya
ingin berjumpa dengan...... yang namanya Hek-liong-li.....”
Liong-li tersenyum. Jelas
bahwa orang ini belum pernah melihatnya, juga agaknya tidak tahu bahwa
Hek-liong-li adalah sebuah julukan. Orang ini jelas seorang petani sederhana
biasa, sehingga semakin menarik mengapa orang seperti ini hendak bertemu
dengannya.
“Akulah Hek-liong-li, paman.
Ada keperluan apakah paman hendak bertemu dengan aku?”
Dengan gugup orang itu
mengeluarkan dua sampul surat dari dalam saku bajunya, “Aku hendak menyampaikan
surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting.”
Demikian cepat dia mengucapkan
dua nama itu seolah-olah dua nama itu telah dihafalkan berulang kali. Dia
menyerahkan dua sampul surat itu kepada Liong-li yang menerimanya. Dua macam
tulisan tangan di luar sampul yang menyebutkan namanya dengan jelas, nama
berikut julukannya, yaitu Hek-liong-li Lie Kim Cu.
Tentu saja ia tidak mengenal
bagaimana bentuk tulisan dua orang pria itu, dan tidak tahu apakah dua sampul
surat ini benar dari mereka ataukah hanya tulisan palsu. Ia mengangkat mengamati
wajah yang sederhana itu.
“Siapakah namamu, paman?”
“Namaku? Namaku Theng Kiu,
nona.”
“Tempat tinggal paman?”
“Di luar kota ini, sebelah
barat, dekat sungai. Aku seorang petani, juga nelayan........”
“Paman mengenal Song Tek Hin
dan Kam Sun Ting?”
Petani itu menggeleng kepala.
“Sama sekali tidak mengenal mereka, melihatpun belum.”
“Lalu bagaimana surat-surat
ini......?”
“Aku menerimanya dari seorang
laki-laki. Malam tadi ketika aku sedang menjala ikan di pantai sungai, muncul
seorang laki-laki dan dia menyerahkan dua buah surat ini kepadaku dengan pesan
agar aku menyampaikannya kepada Hek-liong-li yang tinggal di rumah ini.”
“Paman begitu taat kepadanya.
Siapakah dia yang menyerahkan surat itu?”
“Aku tidak tahu, nona. Dia
menyerahkan dua buah surat ini dan aku diberi upah sepotong perak, dengan pesan
agar aku menyampaikan surat-surat ini dan jangan melupakan nama-nama
pengirimnya. Karena hari telah malam, maka aku menunda sampai pagi ini.”
Liong-li mengangguk-angguk,
memuji kecerdikan si pengirim surat. “Apakah paman dapat menceritakan bagaimana
rupanya orang itu?”
“Malam itu gelap sekali di
tepi sungai, nona. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, hanya dia
seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar. Itu saja yang kuketahui.”
Kembali Liong-li
mengangguk-angguk karena ia sudah menduga demikian. Kiranya tidak ada yang
dapat ia harapkan memperoleh keterangan dari orang ini, maka iapun mengeluarkan
sepotong perak dan menyerahkan kepadanya.
“Ini hadiah untukmu, paman.
Kalau orang itu muncul lagi dan paman mengenalnya, harap paman suka cepat
memberitahu kepadaku, dan aku akan memberi hadiah yang lebih banyak.”
Wajah itu berseri dan tangan
itu gemetar ketika menerima sepotong perak itu. Selama hidupnya, baru dua kali
ini dia melihat sepotong perak yang amat berharga, yaitu malam tadi dan pagi
ini.
Dia mengangguk-angguk
mengucapkan terima kasih dan berjanji akan memenuhi permintaan Liong-li.
Kemudian dia pamit dan meninggalkan runah itu dengan hati yang gembira bukan
main. Dalam waktu singkat dia telah memperoleh hasil melebihi hasil dia bekerja
selama dua bulan!
Dengan tenang Liong-li membuka
sampul surat dan membacanya sambil tetap duduk di ruangan tamu itu, tenggelam
ke dalam sebuah kursi yang besar. Alisnya berkerut ketika membaca dua buah
surat itu. Tulisan tangannya berbeda, akan tetapi isinya senada, yaitu keduanya
mengatakan bahwa mereka telah menjadi tawanan musuh di lembah Huang-ho dan
kalau ia tidak segera datang menolong mereka, tentu mereka akan dibunuh!
Liong-li menggosok-gosok
hidungnya, kedua matanya terpejam. Ia membayangkan dua orang pemuda itu,
terutama watak mereka.
Song Tek Hin adalah seorang
pemuda yang memiliki ilmu silat yang cukup lihai, berjiwa pendekar. Sama sekali
bukan seorang yang berwatak pengecut dan takut mati. Apa lagi Kam Sun Ting.
Penyelam yang gagah ini seorang yang jantan, biarpun ilmu silatnya tidak¬lah
sehebat ilmunya menyelam, namun dia berhati baja dan pemberani. Juga sama
sekali bukan seorang pengecut.
Kesimpulannya adalah bahwa ada
dua kemungkinan. Surat ini bukan tulisan mereka, atau kalau benar tulisan
mereka, tentu ada sesuatu yang memaksa mereka menulis surat seperti ini. Dan
jelas ini merupakah suatu jebakan baginya. Tentu pihak penulis surat palsu,
atau pihak penawan kedua orang pemuda itu sengaja memancingnya datang ke lembah
Huang-ho dan sudah bersiap-siap untuk mencelakakannya.
Ada dua hal yang mempertebal
dugaannya bahwa ini bukan surat palsu. Pertama, siapakah orangnya yang tahu
bahwa kedua orang pemuda ini merupakan orang-orang yang dekat dengan hatinya
sehingga kalau mereka ditawan, tentu ia akan mencoba untuk menolong mereka?
Kedua, mengapa kedua orang pemuda ini yang dipilih untuk dijadikan umpan
baginya?
Jelas, ada musuh-musuhnya yang
menggunakan siasat ini untuk memancingnya masuk ke dalam perangkap. Ini tentu
ada hubungannya dengan gangguan yang dilakukan orang kepadanya beberapa hari
yang lalu. Thai-san Ngo-kwi? Dan nenek itu?
Liong-li menggosok-gosok
hidungnya lagi. Ia mengingat kembali peristiwa apa yang mempertemukan ia dengan
kedua orang pemuda itu. Ia bertemu dengan Song Tek Hin ketika ia bersama
Pek-liong membasmi gerombolan yang dipimpin Hek-sim Lo-mo, seorang di antara
Kiu Lo-mo (Sembilan Ib1is Tua). Dan ia bertemu dengan Kam Sun Ting ketika ia
bersama Pek-liong membasmi gerombolan yang dipimpin oleh Siauw-bin Ciu-kwi,
juga seorang di antara Kiu Lo-mo dalam peristiwa perebutan Patung Emas!
Ah, dua peristiwa yang
didalangi oleh tokoh-tokoh Kiu Lo-mo! Berarti Kiu Lo-mo berdiri di belakang
ini. Apa lagi Thai-san Ngo-kwi yang mencoba untuk mengganggu rumahnya juga
merupakan murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi!
Liong-li menggosok-gosok
hidungnya yang kecil mancung sampai menjadi kemerahan. Kini seluruh perhatian
dan ingatannya ia kerahkan untuk mengingat tentang keadaan Kiu Lo-mo. Ia pernah
bersama Pek-liong melakukan penyelidikan, mencari keterangan di dunia kang-ouw
tentang Kiu Lo-mo.
Mereka itu terdiri dari
sembilan orang tokoh sesat yang amat terkenal, 1ihai dan jahat sekali. Dan
biarpun mereka berdiri sendiri-sendiri, namun ada semacam ikatan di antara
mereka, semacam setia kawan yang membuat mereka dijuluki Sembilan Iblis Tua.
Dua orang di antara mereka
yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Gunung Selatan) telah tewas ketika
bentrok dengan pasukan yang dipimpin para jagoan istana, belasan tahun yang
lalu. Kemudian ia bersama Pek-liong telah menewaskan empat orang di antara
mereka, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam), Siauw-bin Ciu-kwi (Setan
Arak Muka Tertawa), Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Lautan Selatan) dan Tiat-thouw
Kui-bo (Siang Iblis Kepala Besi). Jadi sekarang, yang masih hidup tinggal tiga
orang lagi di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena
Emas), Ang I Sian-li (Dewi Pakaian Merah), dan Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Putih).
Ang I Sian-li! Ah, kenapa ia
begitu bodoh? Liong-li menepuk kepalanya sendiri. Tentu saja! Nenek berpakaian
merah yang pesolek itu, siapa lagi kalau bukan Ang I Sian-li, seorang di antara
Kiu Lo-mo? Pantas begitu kuat!
Jelaslah sekarang, tentu sisa
dari Kiu Lo-mo yang berada di balik semua peristiwa ini. Kalau ketiga iblis tua
itu masih hidup dan kini berusaha membalas dendam atas kematian empat orang
iblis tua, tidak mengherankan kalau mereka itu menawan Song Tek Hin dan Kam Sun
Ting! Agaknya mereka telah mengetahui akan semua peristiwa kematian
saudara-saudara atau rekan-rekan mereka, melakukan penyelidikan dan tahu bahwa
kedua pemuda itu terlibat dalam urusan pembasmian tokoh-tokoh Kiu Lo-mo itu.
Liong-li kembali
mengingat-ingat. Belum lama ini, ketika ia dan Pek-liong membasmi Lam-hai
Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo, ada pula seorang pria yang terlibat, yaitu Cian
Hui atau Cian Ciang-kun, panglima muda di kota raja. Apakah dia juga menjadi
sasaran tiga orang dari Kiu Lo-mo?
Liong-li mengepal tinju.
Bagaimanapun juga, merupakan jebakan atau tantangan, betapapun besar bahaya
yang ia hadapi, ia harus menolong dua orang pemuda itu! Tidak mungkin ia
membiarkan mereka berkorban karena perbuatan ia dan Pek-liong.
Ah, Pek-liong tentu akan
melakukan hal yang sama. Ia mengenal benar isi hati Pek-liong. Tiba-tiba ia
teringat kembali. Kalau ia mengalami serangan, dan kini menerima surat-surat
yang agaknya merupakan umpan perangkap baginya, tentu Pek-liong juga tidak akan
dilupakan oleh sisa Kiu Lo-mo! Apakah Pek-liong juga mengalami serangan seperti
yang ia alami? Dan menerima surat-surat seperti ini?
Tidak, ia tidak akan menanti
surat balasan dari Pek-liong. Akan terlalu lama dan ia khawatir terlambat. Ia
harus segera pergi menolong dua orang pemuda itu, dan sembilan anak buahnya
sudah lebih dari cukup untuk membantunya.
Liong-li lalu memanggil
sembilan orang pembantunya. Dengan cepat mereka berdatangan dan sepuluh orang
gadis-gadis cantik itu mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia di rumah
besar itu. Liong-li mengatur rencana siasatnya untuk melakukan penyelidikan di
lembah Huang-ho dan membagi-bagi tugas.
Sembilan orang anak buahnya
memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tugas yang diserahkan kepada
mereka. Kemudian mereka membuat persiapan dan berkemas.
Liong-li sendiri membuat
sehelai surat untuk Pek-liong dan ia meletakkan surat itu di tempat rahasia
depan rumahnya, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ia dan Pek-liong
berdua. Lalu sehelai surat lagi ia buat untuk Cian Hui dan surat ini ia
titipkan kepada seorang anak tetangga yang biasa ia suruh-suruh, seorang anak
yang cerdik dengan pesan kalau ada seseorang yang gambarannya seperti Cian Hui,
agar surat itu diserahkan setelah orang itu mengaku siapa namanya.
Pada hari itu juga, berangkatlah
Liong-li dan sembilan orang pembantunya. Akan tetapi, kalau ada orang mengintai
di sekitar tempat itu, tidak nampak sepuluh orang wanita yang pergi bersama,
karena masing-masing mengambil jalan sendiri melalui pintu-pintu dan
lorong-lorong rahasia. Hanya nampak Liong-li seorang yang meninggalkan
pekarangan rumahnya dengan langkah santai.
Tepat seperti dugaan Liong-li,
Pek-liong juga menerima surat yang senada. Hanya saja, pendekar ini menerima
jauh lebih lama dari pada Liong-li menerimanya karena tempat tinggal Pek-liong
jauh di selatan.
Ketika Pek-liong menyuruh
pembantunya menyelidiki daerah Sungai Yang-ce di mana mendiang Thian-te
Siang-houw merajalela, dia tidak mendapatkan keterangan yang meyakinkan. Dia
tetap tidak percaya kalau Thian-te Siang-houw memusuhinya tanpa ada yang
mendalangi mereka, karena dua orang sesat setingkat mereka itu tidak, mungkin
akan berani mengusiknya tanpa ada pendorong yang lebih kuat. Akan tetapi mereka
telah tewas dan pembantunya tidak berhasil mendapat keterangan siapa kiranya
yang merupakan pendukung mereka.
Kemudian datanglah surat dari
Liong-li. Ketika dibacanya surat itu yang menceritakan tentang peristiwa yang
dialami orang yang paling dipuja, paling dicinta, paling dihormati dan
dihargainya di seluruh dunia itu, Pek-liong tersenyum. Tak salah dugaannya.
Serangan dan gangguan itu bukan hanya menimpa dirinya sendiri. Bahkan Liong-li
tertimpa lebih hebat lagi. Diapun mengangguk-angguk ketika membaca bahwa yang
mengganggu Liong-li adalah Thai-san Ngo-kwi, murid-murid dari mendiang
Siauw-bin Ciu-kwi.
Pek-liong meraba-raba dagunya
sambil melamun. Inilah ciri khasnya kalau dia sedang menggunakan daya
pikirannya untuk memecahkan sesuatu. Murid-murid Siauw-bin Ciu-kwi, berarti ada
hubungannya dengan Kiu Lo-mo.
Sudah tiga kali dia dan
Liong-li bentrok dengan Kiu Lo-mo. Bentrokan pertama membuat mereka berhasil
menewaskan Hek-sim Lo-mo, bentrokan kedua mereka menewaskan Siauw-bin Ciu-kwi,
dan dalam bentrokan terakhir, yang ketiga kalinya mereka menewaskan Lam-hai
Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo.
Dia lalu berpikir apakah
Thian-te Siang-houw juga mempunyai hubungan dengan Kiu Lo-mo? Jelas bahwa bukan
Liong-li saja yang diincar musuh. Dia sendiripun menjadi sasaran musuh, yang
belum diketahuinya siapa penggerak dari Siang-houw itulah. Entah siapa Pouw
Bouw Ki, kakak dari nona Pouw Bouw Tan, dibunuh orang karena bentuk tubuh dan
wajahnya mirip dia. Mungkin pembunuhnya adalah Thian-te Siang-houw.
Dan dia sendiri didatangi
orang yang tewas dalam rumahnya, terjebak alat rahasia sehingga terjepit
kepalanya dan hancur wajahnya sehingga tidak dapat dikenali siapa. Jelas bahwa
Liong-li dan dia sedang diincar oleh orang-orang yang menghendaki kematian
mereka. Akan tetapi siapa?
Beberapa hari kemudian,
seorang kanak-kanak berusia sepuluh tahun datang mengantar dua buah surat
kepadanya. Anak itu menceritakan pengalamannya. Dia putera seorang nelayan di
tepi Telaga Barat (See Ouw). Pagi tadi, seorang laki-laki setengah tua yang
mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar menghampirinya ketika dia sedang
mengail ikan di tepi telaga.
“Hei, anak baik, apakah engkau
tahu di mana rumahnya Pek-liong-eng?”
Anak yang disebut A-sam itu
tentu saja tahu. Nama besar Pek-liong-eng dikenal oleh seluruh orang di sekitar
telaga itu, dari kanak-kanak sampai orang tua. Siapa tidak mengenal pendekar
yang dermawan itu?
“Saya tahu, rumahnya di dusun
Pat-kwa-bun!” kata anak itu dengan suara bangga.
“Bagus! Anak baik, maukah
engkau mendapatkan upah sebanyak ini?” Orang itu mengeluarkan uang tembaga yang
cukup banyak, bahkan terlalu banyak bagi A-sam yang anak keluarga nelayan
miskin.