Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 15 Siasat Pengacauan Hek-liong-li

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 15 Siasat Pengacauan Hek-liong-li
15 Siasat Pengacauan Hek-liong-li

Pek-liong meraba dagunya. Ini berarti bahwa suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing, juga kakak beradik Kam tertawan semua. Makin jelaslah kini bahwa yang berada di belakang semua peristiwa ini, yang menjadi dalangnya, tentu seorang di antara sisa Kiu Lo-mo, atau mungkin bahkan ketiga-tiganya. Yang ditawan adalah teman-teman yang pernah terlibat ketika dia dan Liong-li membasmi orang-orang Kiu Lo-mo dan tiba-tiba dia teringat bahwa ketika dia dan Liong-li membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo dalam peristiwa Bayangan Iblis, terlibat pula Cian Hui dan Cu Sui In!

Kenapa kedua orang yang kini menjadi suami isteri itu tidak tertawan? Dia harus cepat menghubungi Cian Hui di kota raja!

Karena khawatir akan keadaan panglima muda dan isterinya itu, Pek-liong melakukan perjalanan cepat ke kota raja. Dia tidak khawatir akan keadaan Liong-li karena dia percaya sepenuhnya akan kelihaian dan kecerdikan Liong-li, apa lagi ia dibantu oleh sembilan orang pembantunya, para gadis yang amat lihai itu. Dia lebih mengkhawatirkan keadaan Cian Hui.

Setelah tiba di kota raja, dia langsung ke rumah panglima muda itu dan betapa lega hatinya melihat Cian Hui dan Cu Sui In menyambutnya dengan gembira. Suami isteri itu tidak kalah lega dan gembiranya melihat pendekar pujaan mereka dalam keadaan selamat dan sehat.

“Aih, tai-hiap! Engkau sudah menerima suratku?” tanya Cian Hui dengan heran karena menurut perhitungannya, utusannya yang mengirim surat itu tentu belum tiba di tempat kediaman pendekar ini.

Pek-liong menggeleng kepala dan pandang matanya yang serius membuat suami isteri itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang penting, maka mereka segera mempersilakan pendekar itu untuk masuk dan diajak bicara di ruangan sebelah dalam.

Setelah mereka semua duduk dalam ruangan tertutup itu, Pek-liong segera bertanya, “Ciang-kun, apakah tidak terjadi sesuatu kepada kalian berdua?”

Dia memandang kepada Cu Sui In. Wanita yang pernah jatuh cinta kepadanya ini, dan yang kini menjadi isteri Cian Hui dan kabarnya telah mempunyai seorang putera, masih nampak cantik jelita, akan tetapi wajah yang cantik itu kini dibayangi kegelisahan.

“Benar dugaanmu, tai-hiap. Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Kiu Lo-mo telah datang untuk melawanku, akan tetapi masih untung kami dapat menghindarkan diri,” kata Cian Hui dan diapun menceritakan peristiwa yang menimpa dia dan isterinya.

Diam-diam Pek-liong bersyukur dan kagum akan kecerdikan panglima ini sehingga usaha seorang di antara Kiu Lo-mo itu gagal.

“Setelah terjadi peristiwa itu, aku menduga bahwa tentu tai-hiap dan li-hiap terancam bahaya pula, maka cepat-cepat aku menulis dua pucuk surat untuk kalian dan mengirimkannya melalui seorang pembantu yang kupercaya. Agaknya tai-hiap bersimpang jalan dengannya. Syukur bahwa tai-hiap dalam keadaan selamat, dan entah bagaimana dengan Hek-liong-li. Mudah-mudahan iapun dalam selamat.”

Dengan singkat Pek-liong menceritakan tentang penyerangan yang dilakukan musuh kepadanya dan kepada Liong-li, juga tentang surat-surat yang menyatakan bahwa dua pasangan yang menjadi sahabat-sahabat baik dia dan Liong-li telah menjadi tawanan dan mereka itu minta pertolongan dia dan Liong-li. Diceritakannya pula bahwa ketika dia singgah di rumah Liong-li, pendekar wanita itu telah pergi bersama sembilan orang pelayannya yang lihai.

Mendengar ini, Cian Hui menjadi khawatir sekali. “Aih, jelas bahwa surat-surat itu tentu dimaksudkan untuk memancing tai-hiap dan li-hiap untuk datang ke tempat mereka ditawan. Di mana tempat itu?”

“Di pegunungan Hitam lembah Sungai Kuning.”

“Hemm, tempat itu berbahaya sekali, dan sejak dahulu memang terkenal menjadi tempat pelarian para penjahat yang menjadi buronan!” kata Cian Hui. “Akan kurundingkan dengan para panglima dan kalau perlu kami akan memimpin pasukan besar untuk membasmi gerombolan mereka!” katanya penuh semangat.

“Jangan dulu, Ciang-kun!” kata Pek-liong.

“Akan tetapi, kenapa engkau melarangnya, tai-hiap? Keadaan dapat berbahaya sekali karena menurut dugaanku, bukan hanya Pek-bwe Coa-ong seorang yang menjadi dalangnya. Mungkin sekali semua sisa Kiu Lo-mo, yaitu dia, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li telah mengambil keputusan untuk membalas dendam kepada tai-hiap dan li-hiap. Dan ini bisa berbahaya sekali, mereka pantas dibasmi dengan kekuatan pasukan!”

Pek-liong tersenyum, diam-diam merasa iba kepada tiga orang dari Kiu Lo-mo itu. Agaknya mereka itu tidak memperhitungkan adanya Cian Ciang-kun ini yang dapat merupakan lawan yang amat tangguh dengan adanya kekuasaannya atas pasukan keamanan kerajaan! Juga panglima ini amat cerdik sehingga bukan hanya dia dan Liong-li yang dapat menduga siapa yang mendalangi semua peristiwa itu.

“Ada dua hal yang membuat aku terpaksa tidak menyetujui rencanamu untuk menyerbu dengan pasukanmu, Ciang-kun. Pertama, urusan ini adalah urusan pribadi, permusuhan antara Kiu Lo-mo dengan kami berdua. Mereka hendak membalas dendam maka demi kehormatan, harus kami hadapi tanpa campur tangan pasukan pemerintah. Kedua, kalau pasukan menyerbu, sukar untuk dapat menyelamatkan empat orang tawanan, para sahabat kami itu.”

Cian Hui termenung. Dia maklum akan harga diri dan kehormatan seorang pendekar yang sekali-kali tidak mau berbuat curang mengandalkan pengeroyokan untuk mencari kemenangan.

“Akan tetapi, itu berbahaya sekali, tai-hiap! Kalau benar mereka itu bertiga, dibantu pula oleh orang-orang pandai seperti dua orang yang menyerang kami, dan tentu mereka telah siap pula dengan banyak anak buah, maka tai-hiap dan li-hiap akan masuk perangkap,” kata Cian Hui.

“Apa yang dikatakan suamiku benar, tai-hiap,” kata pula Cu Sui In. “Saya tahu bahwa tai- hiap dan li-hiap memang harus bersikap jantan dan demi kehormatan seorang pendekar, namun kiranya sikap seperti itu hanya dapat dipakai kalau kita menghadapi orang-orang yang juga menghargai kegagahan. Akan tetapi, menghadapi iblis-iblis berbentuk manusia yang tidak segan mempergunakan segala macam kecurangan, seperti dilakukan mereka, dengan menawan empat orang itu, untuk memancing tai-hiap dan li-hiap, masih perlukah tai-hiap mempergunakan kehormatan pendekar itu? Biarkan suamiku memimpin pasukan besar untuk menyerbu mereka dan membasmi mereka demi keselamatan tai-hiap dan li-hiap!”

Pek-liong menggeleng kepala dan tersenyum.

“Cian Ciang-kun, kalau kau melakukan penyerbuan itu, tidak memenuhi permintaanku, tentu Liong-li akan merasa tidak senang sekali, dan aku sendiri akan merasa kecewa. Ketahuilah bahwa tadi aku menceritakan semua yang terjadi kepada kalian berdua bukan dengan maksud minta bantuan, melainkan karena aku percaya kepada kalian sebagai sahabat-sahabat kami yang baik. Nah, sekali lagi, kuharap engkau tidak mengerahkan pasukan. Setidaknya, sebelum kami berusaha menghadapi mereka secara jantan. Setelah itu, terserah kepadamu, akan tetapi dengan alasan bahwa pasukanmu itu bukan untuk membantu kami, melainkan sebagai tugas dari hamba pemerintah untuk menumpas kejahatan.”

Tentu saja Cian Hui dan Cu Sui In sama sekali tidak ingin membikin kecewa dan tidak senang hati Pek-liong dan Liong-li, maka Cian Hui lalu berjanji bahwa dia akan menahan diri. “Baiklah, tai-hiap. Akan tetapi, aku akan melakukan penyelidikan dan siap dengan pasukanku, bukan untuk mengeroyok, melainkan untuk membasmi kejahatan yang mengancam keamanan negara dan rakyat “

Setelah bercakap-cakap dan beramah-tamah, Pek-liong lalu meninggalkan rumah Cian Hui. Setelah pendekar itu pergi, Cian Hui termenung. Isterinya segera menghiburnya.

“Kurasa tidak perlu engkau terlalu mengkhawatirkan mereka. Pek-liong dan Liong-li bukanlah orang-orang yang akan mudah dicelakakan begitu saja, biar oleh tiga orang datuk sesat itu sekalipun! Mereka berdua sakti dan amat cerdik, dan tentu telah membuat persiapan sebelum berusaha untuk menolong empat orang tawanan itu.”

“Tapi, untuk menyelamatkan empat orang, mereka mempertaruhkan keselamatan nyawa mereka!”

“Tentu saja! Ingat, andaikata kita berdua sampai tertawan pula oleh para penjahat, tentu mereka berdua pun akan rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong kita, bukan?”

Cian Hui menghela napas panjang dan mengangguk-angguk. “Engkau benar, dan inilah yang menggelisahkan hatiku. Aku akan membawa pembantu-pembantu yang pandai dan menyelidiki pegunungan Hitam itu untuk mencari letak sarang mereka dan siap untuk menyerbu andaikata kedua orang pendekar itu gagal atau bahkan kalau mereka terancam.”

Cu Sui In mengangguk. “Aku akan menyertaimu.”

“Sebaiknya engkau tinggal di rumah menjaga Hong-ji (anak Hong),” cegah suaminya, “walaupun aku dapat memaklumi bahwa engkau mengkhawatirkan keselamatan Pek-liong.” Dia teringat betapa isterinya ini, sebelum menjadi isterinya, adalah seorang pendekar wanita tokoh Kun-lun-pai yang pernah jatuh cinta kepada Pek-liong.

Sui In mengerling kepada suaminya penuh arti dan tersenyum. “Engkau salah sangka! Sekali ini, seperti engkau mengkhawatirkan aku dan menyuruh aku tinggal di rumah, akupun mengkhawatirkan keselamatanmu di atas keselamatan seluruh manusia di dunia ini. Aku tidak ingin kehilangan suami yang tercinta.”

Cian Hui terbelalak, tertawa dan merangkul isterinya. “Maafkan aku, bukan maksudku untuk..... cemburu......”

“Akupun tidak cemburu kepada Liong-li. Kita sudah suami isteri dan ayah ibu anak kita bukan?”

Suami isteri itu membuat persiapan untuk melakukan penyelidikan bersama para pembantu yang dipilih oleh Cian Hui, dan pada keesokan harinya, setelah melapor kepada rekan dan atasannya, Cian Hui dan rombongannya berangkat ke lembah Huang-ho untuk melakukan penyelidikan.

Y

Tiga orang tokoh Kiu Lo-mo itu memang telah membuat persiapan yang amat baik. Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pek-bwe Coa-ong sekali ini ingin membuat pembalasan yang berhasil terhadap Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Mereka bukan saja dibantu oleh Thai-san Ngo-kwi, lima orang murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi, akan tetapi juga lima orang ini mengerahkan para tokoh sesat yang pernah takluk kepada mereka, dibawa ke lembah Huang-ho itu.

Juga tiga orang datuk besar golongan sesat itu mengajak anak buah mereka sehingga di lembah itu sekarang berkumpul tidak kurang dari seratus orang anak buah, yang rata-rata merupakan orang-orang kang-ouw yang lihai! Pendeknya, mereka telah membuat persiapan sehingga sekali Pek-liong dan Liong-li berani memasuki daerah itu, sepasang pendekar ini akan disambut secara dahsyat dan mereka berdua pasti akan dapat ditangkap atau dibunuh!

Bukan hanya kekuatan orang yang mereka miliki, juga keadaan alam di lembah Huang-ho itu, di pegunungan Hitam amat membantu. Daerah itu amat berbahaya dan sukar dilalui manusia. Penuh dengan jurang-jurang yang curam, rawa-rawa yang berbahaya, bahkan di situ terdapat beberapa buah hutan di mana terdapat binatang buas. Terutama sekali binatang sejenis harimau besar yang amat ditakuti mereka yang lewat dekat daerah itu, karena harimau-harimau ini besar, kuat dan buas.

Daerah yang berbahaya ini oleh tiga orang sisa Sembilan Iblis Tua itu dimanfaatkan dan menjadi semakin berbahaya karena mereka pasangi banyak perangkap dan jebakan yang berbahaya. Lubang-lubang besar yang ditutupi ranting dan daun kering. Lumpur-lumpur berpusing yang di tutupi daun-daun pohon rumput hidup. Anak-anak panah beracun yang dipasang di antara daun-daun pohon yang siap meluncur dari busurnya yang terpentang dan dihubungkan dengan tali yang direntang di antara semak belukar, dan masih banyak alat rahasia lainnya.

Pendeknya, sekali ini tiga orang Iblis Tua itu siap untuk perang! Di sekeliling daerah sarang mereka di bukit yang berada di tengah-tengah antara semua perbukitan Hitam, telah dijaga oleh anak buah mereka sambil bersembunyi, akan tetapi siang malam selalu ada penjaga yang mengawasi daerah itu sehingga tidak mungkin ada yang lewat tanpa diketahui. Pendeknya, Pek-liong dan Liong-li tidak akan dapat memasuki daerah itu dari arah manapun tanpa diketahui para penjaga.

Liong-li dan sembilan orang pembantunya sudah sampai di sebuah tempat tersembunyi, tidak jauh dari perbatasan sarang musuh! Dengan kepandaiannya yang tinggi dan kecerdikannya yang luar biasa, Liong-li berhasil memimpin sembilan orang pembantunya melewati jurang dan melalui hutan-hutan yang berbahaya itu tanpa cedera. Memang beberapa kali, di antara pembantunya ada yang hampir terperosok ke dalam perangkap musuh, namun selalu dapat ia tolong dan selamatkan, sampai akhirnya mereka tiba di dekat daerah sarang musuh.

Berhari-hari mereka sepuluh orang wanita yang lihai itu telah mempelajari daerah itu, dan mereka maklum bahwa sarang musuh merupakan benteng alam yang amat kuat dan terjaga ketat. Bahkan bagian yang tidak terjagapun tak mungkin dijadikan jalan masuk, karena terhalang jurang yang lebarnya tidak mungkin dapat dilompati manusia, betapapun lihainya.

Kini mereka, atas isyarat Liong-li, berkumpul di balik semak belukar yang lebat, dan sembilan orang wanita itu, masing-masing dengan perbekalan dalam buntalan tergantung di punggung dan pedang di bawah buntalan, berjongkok mengeliling Liong-li yang duduk di atas rumput. Satu demi satu, sembilan orang itu memberi laporan tentang hasil penyelidikan mereka masing-masing sehingga yakinlah Liong-li bahwa memang tidak ada jalan masuk kecuali menyerbu melalui tempat-tempat yang terjaga. Setelah meraba dan menggosok hidungnya untuk mencurahkan pikirannya, ia lalu berkata dengan suara lirih.

“Sekarang tiba saatnya yang paling gawat dan berbahaya. Sekali salah langkah dan kurang berhati-hati, nyawa taruhannya. Dari pengumpul hasil penyelidikan kita semua, jelas bahwa pihak musuh mempunyai anak buah yang puluhan orang banyaknya, mungkin ada seratus orang. Sarang mereka terjaga ketat, dan bagian yang tidak terjaga dihalangi jurang yang lebar dan curam. Aku tidak ingin mengorbankan kalian. Kalau ada yang ragu-ragu dan jerih, masih belum terlambat untuk mundur dan pulang ke Lok-yang.”

Liong-li memendang kepada sembilan orang pembantu yang berjongkok dan mengelilinginya dalam setengah lingkaran di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.

Sembilan orang gadis yang usianya antara duapuluh lima sampai tigapuluh tahun dan rata-rata cantik dan lihai itu terkejut dan saling pandang, lalu mereka memperlihatkan wajah penasaran. Ang-hwa (Bunga Merah), yaitu nama sebutan gadis yang berpakaian merah dan yang merupakan pembantu utama karena ia merupakan pembantu yang paling lihai di antara sembilan orang gadis itu, mewakili semua rekannya.

“Li-hiap, bagaimana li-hiap dapat berkata seperti itu? Apakah li-hiap masih belum yakin akan kesetiaan kami sembilan orang yang menjadi pelayan, pembantu, sahabat, juga murid dari li-hiap? Li-hiap sudah mendidik kami, melatih kami, melimpahkan segala kebaikan kepada kami. Li-hiap selalu menolak kalau kami mohon untuk membantu li-hiap menghadapi lawan. Sekarang, pada saat li-hiap menghadapi ancaman dari lawan-lawan yang jauh lebih banyak dan berat, li-hiap menganjurkan kami untuk pulang! Li-hiap, berilah kesempatan kepada kami untuk membalas semua kebaikan li-hiap kepada kami dan kami rela berkurban nyawa kalau perlu, demi untuk li-hiap!”

Liong-li tersenyum. Ia memang sudah dapat menjenguk isi hati mereka, akan tetapi ia tahu benar betapa bahayanya tugas sekali ini, maka ia merasa tidak tega kalau sampai para pembantunya itu terancam bahaya maut karena dirinya. Kini mendengar jawaban itu, iapun berkata,

“Terima kasih! Kalian memang para sahabatku yang baik. Memang dalam perjuangan melawan kejahatan, yang ada hanyalah menang atau kalah, hidup atau mati. Matipun tidak akan penasaran kalau kita tewas dalam membela kebenaran dan menentang kejahatan. Nah, kalau begitu, dengarkan baik-baik rencana siasatku. Kita harus dapat mengacaukan pertahanan mereka dengan gangguan dari beberapa tempat. Aku hanya ingin agar mendapat kesempatan menyusup ke dalam dan kalau aku sudah berada di depan sarang mereka, aku akan menantang ketiga datuk sesat itu untuk mengadu ilmu secara gagah.”

Mereka lalu berbisik-bisik dan Liong-li membagi-bagi tugas. Kemudian, sesuai dengan siasat yang telah diatur oleh Liong-li, di balik semak belukar itu, sembilan orang pelayan menanggalkan pakaian luar mereka dan berganti pakaian. Ketika akhirnya mereka itu satu demi satu menyelinap keluar dari semak-semak, maka yang nampak hanyalah berkelebatnya sembilan sosok bayangan hitam! Liong-li sendiri juga menyelinap keluar.

Mula-mula para penjaga yang bersembunyi dan mengamati bagian barat daerah tapal batas penjagaan mereka, yang terkejut melihat berkelebatnya bayangan hitam, tak jauh dari tempat mereka bersembunyi. Tak lama kemudian, bayangan hitam yang memiliki gerakan cepat itu nampak berdiri di atas sebongkah batu besar dan memandang ke arah belakang mereka, ke arah sarang mereka yang tertutup pohon-pohon dan tidak nampak dari situ.

“Hek-liong-li......!” mereka berbisik dan jantung mereka berdebar tegang.

Mereka sudah mendapat peringatan dari para pimpinan agar berhati-hati kalau melihat seorang wanita cantik berpakaian hitam dan memakai tusuk sanggul perak berbentuk naga kecil di atas bunga teratai. Dan kini mereka melihat wanita itu tak jauh dari tempat mereka bersembunyi.

Hanya sebentar wanita itu nampak karena sekali berkelebat iapun menghilang kembali. Tentu saja tiga orang penjaga itu menjadi panik dan seorang di antara mereka cepat melapor bahwa di bagian sebelah barat itu telah muncul Hek-liong-li, seorang di antara dua musuh yang ditunggu-tunggu, yaitu Hek-liong-li dan Pek liong-eng.

Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pek-bwe Coa-ong tentu saja menjadi girang akan tetapi juga merasa tegang hati mereka ketika mendengar laporan dari para penjaga bahwa Hek-liong-li telah muncul di bagian barat. Cepat mereka menyuruh Thai-san Ngo-kwi untuk membagi anak buah mereka dan sekelompok besar terdiri dari duapuluh orang dipimpin oleh Ngo-kwi (Setan kelima) segera menuju ke daerah itu untuk melakukan penjagaan.

Akan tetapi baru saja kelompok itu berangkat, dari timur datang penjaga melapor bahwa Hek-liong-li nampak di daerah timur! Tiga orang datuk itu merasa heran. Bagaimana mungkin Hek-liong-li dapat bergerak secepat itu? Thai-san Ngo-kwi kembali mengirim Su-kwi memimpin duapuluh orang anak buah lari ke timur untuk memperkuat penjagaan.

Dan berdatanganlah para penjaga melaporkan bahwa mereka melihat Hek-liong-li di tempat-tempat penjagaan yang terpisah-pisah.

“Aih, tidak mungkin ini!”'seru Ang I Sian-li penasaran.

“Ia bukan manusia tetapi setan!” kata Kim Pit Siu-cai dan wajahnya agak berubah. “Bagaimana mungkin seseorang dapat bermunculan di berbagai tempat dalam waktu hampir bersamaan? Kecuali setan yang pandai menghilang!”

“Jangan panik,” kata Pek-bwe Coa-ong. “Biarpun kita belum pernah jumpa dan bertanding melawan Hek-liong-li, kecuali Sian-li yang hanya bentrokan sejenak, kita tahu bahwa ia seorang yang amat lihai. Entah siasat apa yang ia pergunakan, karena kabarnya selain lihai ilmu silatnya, juga ia amat cerdik. Kita harus waspada dan mari kita selidiki sendiri keanehan ini!” kata-kata ini menyadarkan dua orang rekannya dan merekapun berpencar melakukan penyelidikan.

Liong-li menggunakan kepandaiannya untuk menyusup ke depan. Ia telah melihat hasil dari pengacauan yang dilakukan para pembantunya. Nampak banyak anak buah penjahat berbondong-bondong berlari-larian ke berbagai jurusan, dan ia melihat dari atas puncak pohon yang tinggi betapa di puncak bukit itu terdapat sebuah perkampungan atau perumahan yang terdiri dari sebuah rumah besar dengan banyak rumah kecil di sekitarnya.

Tak lama kemudian, ia telah tiba di pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi tempat itu dan melihat bahwa di situ hanya terdapat lima orang penjaga yang bersenjata tombak dan golok. Seorang penjaga yang tinggi besar dan ada codet di pipi kirinya berjaga paling depan dan dia kelihatan sombong, bahkan dengan dada dibusungkan dia mengeluarkan ucapan yang cukup nyaring untuk membual kepada empat orang kawannya.

“Kenapa sih ribut-ribut hanya karena munculnya Hek-liong-li? Kabarnya ia hanya seorang wanita muda yang cantik jelita! Hem, kalau ia muncul ke sini, tentu akan kutangkap dan kubawa ke pondokku untuk menemaniku malam ini, ha-ha!”

“Tukk!!” Laki-laki itu roboh dan matanya mendelik karena tepat di antara kedua matanya nampak tanda merah dan ketika empat orang kawannya menghampiri, si pembual itu telah tewas dengan dahi tertembus sebuah batu kerikil yang masuk ke dalam kepalanya.

Gegerlah empat orang itu, apa lagi ketika muncul seorang wanita cantik berpakaian hitam di depan mereka.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar