16 Aihh . . . Inipun Palsu . . . .!!
“Hek-liong-li!” seru seorang
di antara mereka dan mereka pun cepat menggerakkan senjata di tangan untuk
mengeroyok. Liong-li melompat ke belakang dan berkata dengan suara lantang,
“Benar, aku Hek-liong-li.
Panggil para tua bangka sisa Kiu Lo-mo itu keluar untuk bicara denganku!”
Akan tetapi, empat orang itu
tidak menjawab melainkan terus mengeroyok karena bagaimanapun juga, mereka
memandang rendah kepada musuh yang hanya seorang wanita muda yang cantik dan
nampak lemah. Melihat keganasan empat orang itu, Liong-li yang tadinya hendak
menantang pimpinan gerombolan, terpaksa menyambut dengan tamparan dan
tendangan. Dengan gerakan yang lincah sekali, tubuhnya berkelebatan dan dalam
waktu beberapa jurus saja, empat orang itupun sudah terpelanting ke kanan kiri,
tak dapat bangkit kembali.
Akan tetapi, terdengar
teriakan orang dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus bersama sepuluh
orang anak buahnya yang segera mengepung Hek-liong-li dengan senjata di tangan.
Sepuluh orang itu bersenjata golok, dan si tinggi kurus itupun memegang
sebatang golok besar yang tipis dan tajam berkilauan. Dari gerakan si kurus
tinggi ini, tahulah Liong-li bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang
cukup tangguh.
“Hek-liong-li, engkau datang
mengantar nyawa!” kata laki-laki tinggi kurus berusia empatpuluh tahun itu. Dia
bukan lain adalah Sam-wi, orang ketiga dari Thai-san Ngo-kwi.
Liong-li memandang tajam dan
segera mengenal seorang di antara Thai-san Ngo-kwi itu. Ia tidak ingin bentrok hanya
dengan anak buah para datuk itu, karena kalau hanya Sam-kwi bersama belasan
orang anak buahnya itu saja, tidak perlu ia bersusah payah datang ke tempat
itu.
“Pergilah kalian kalau tidak
ingin mati. Panggil saja tiga orang dari Kiu Lo-mo ke sini untuk menemuiku,”
katanya tenang.
Akan tetapi, karena dia
membawa banyak anak buah, pula mengingat bahwa di tempat itu terdapat banyak
sekali kawannya, juga terdapat tiga orang datuk yang lihai, Sam-kwi timbul
semangat dan keberaniannya. Dia mengeluarkan aba-aba kepada sepuluh orang anak
buahnya dan dia sendiri menerjang dengan goloknya.
“Singg......!”Golok itu
berdesing, menjadi sinar yang menyilaukan mata, diikuti hujan senjata dari anak
buahnya yang sudah mengeroyok Liong-li.
Wanita perkasa ini tidak menjadi
gugup. Dengan langkah ajaib Liu-seng-pouw (Langkah Bintang Cemara) ia dapat
menghindarkan diri dengan mudah dari sambaran sebelas batang golok itu. Melihat
bahwa ilmu golok Sam-kwi cukup berbahaya untuk dihadapi dengan tangan kosong
apa lagi dia dibantu oleh sepuluh orang anak buahnya yang rata-rata memiliki
ilmu silat yang lumayan, Liong-li meraba punggungnya dan nampaklah sinar hitam
yang menyilaukan mata, ketika Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) telah tercabut
di tangannya!
Kini ia melompat ke belakang.
Si tinggi kurus itu masih mengejar bersama sepuluh orang anak buahnya, golok
mereka sudah menyambar-nyambar lagi dengan ganasnya karena mereka mengira bahwa
Liong-li merasa jerih menghadapi pengeroyokan sebelas orang itu. Juga mereka
memandang rendah kepada sebatang pedang hitam di tangan wanita itu.
Liong-li menjadi gemas dan
begitu pedangnya diputar, sinar hitam bergulung-gulung dan terdengar suara
berkerontangan ketika golok sepuluh orang itu buntung dan empat orang roboh
terkena sabetan pedang, terkena tamparan dan tendangan Liong-li! Enam orang
anak buah yang lain menjadi terkejut dan otomatis mereka mundur, akan tetapi
Sam-kwi bahkan menjadi semakin penasaran dan marah melihat ini. Dia berseru
keras dan goloknya menyambar dahsyat.
“Trangggg......” Golok itu
tertangkis Hek-liong-kiam dan terpental, sedangkan pedang hitam itu sendiri
seperti terpental pula, akan tetapi bukan terpental membalik, melainkan
terpental ke bawah dan secepat kilat memasuki dada Sam-kwi, lalu tercabut lagi.
Saking cepatnya gerakan
Liong-li, pedang itu tidak bernoda darah akan tetapi dada Sam-kwi telah
ditembusi pedang. Dia masih memegang goloknya, mencoba untuk membacok, matanya
terbelalak dan diapun terhuyung, tidak jadi membacok melainkan roboh
menelungkup tak bergerak lagi. Enam orang anak buahnya cepat memukul tanda
bahaya yang tergantung di gardu penjagaan!
Liong-li maklum bahwa kalau
semua orang berdatangan, tentu ia tidak akan mampu melawan, maka iapun
berkelebat lenyap di balik semak dan pohon-pohon karena ia harus melihat
keadaan para pembantunya yang melakukan pengacauan tadi.
Di lain bagian dari tempat
itu, dua sosok bayangan hitam berindap-indap di balik semak-semak menghampiri
empat orang penjaga yang celingukan dengan golok di tangan, seperti mencari-cari.
Tadi mereka melihat Hek-liong-li di bawah pohon, akan tetapi tiba-tiba saja
bayangan wanita berpakaian hitam itu lenyap.
Seorang kawan sudah melapor
dan mereka tetap berjaga di situ untuk mengawasi gerak gerik Hek-liong-li
dengan hati tegang dan agak jerih karena mereka sudah mendengar kabar betapa
lihainya pendekar wanita itu. Dua bayangan hitam yang menyamar dengan pakaian
Hek-liong-li itu adalah Bunga Hijau dan Bunga Kuning yang bertugas mengadakan
pengacauan di bagian itu.
“Cepat, kita robohkan dua
orang di antara mereka,” bisik Bunga Hijau. Mereka lalu mengeluarkan busur
kecil yang mereka bawa, memasang anak panah, membidik lalu menarik busur dan
melepaskan talinya.
“Wirrr....... wirrr.....!” Dua
batang anak panah melesat dengan cepatnya ke arah empat orang itu dan dua orang
di antara penjaga itu berteriak dan roboh dengan leher tertancap anak panah
kecil. Dua orang lainnya terkejut dan ketika mereka memandang ke arah dari mana
datangnya anak panah, mereka melihat Hek-liong-li berdiri sambil memegangi
busur dan tersenyum.
“Hek-liong-li......!” teriak
mereka dengan kaget dan Bunga Hijau yang tadi sengaja memperlihatkan diri,
menyelinap kembali ke balik semak belukar sedangkan Bunga Kuning sudah menyusup
ke kanan, menjauhi kawannya.
Kini bala bantuan anak buah
gerombolan yang menerima perintah dan dipimpin oleh Ngo-kwi tiba. Mereka
bertanya-tanya di mana adanya Hek-liong-li. Dua orang penjaga itu menunjuk ke
arah Bunga Hijau tadi berdiri.
Ngo-kwi yang melihat dua orang
anak buahnya roboh dengan leher tertusuk anak panah, menjadi marah dan diikuti
pasukan kecilnya, dia meloncat ke tempat itu untuk mencari Hek-liong-li. Namun,
di balik semak belukar itu mereka tidak menemukan apa-apa karena Bunga Hijau
sudah lari ke sebelah kiri, berpencar dari Bunga Kuning.
Kini Bunga Kuning yang berada
jauh di sebelah kanan, melepas sebuah anak panah lagi yang merobohkan seorang
anggauta gerombolan. Ngo-kwi melihat ia sebagai Hek-liong-li maka diapun
melakukan pengejaran akan tetapi Hek-liong-li itu telah lenyap.
Seperti telah mereka
rencanakan, Bunga Kuning menyusup-nyusup ke tempat di mana ia berjanji untuk
bertemu lagi dengan Bunga Hijau. Akan tetapi, tiba-tiba ia berhenti bergerak
dan cepat ia masuk ke dalam semak-semak yang penuh duri, tidak perduli tubuhnya
tertusuk duri.
Kini ia aman dan tidak nampak
dari luar, dan diapun mengintai dari celah-celah daun semak belukar, matanya
terbelalak dan mukanya pucat melihat betapa Bunga Hijau telah berhadapan dengan
seorang kakek berpakaian sastrawan sutera putih. Kakek itu memegang sebuah
kipas lebar di tangan kirinya dan dia berwajah tampan dan gerak geriknya halus,
namun senyumnya mengejek dan dingin.
“Ha-ha-ha, kiranya
Hek-liong-li hanyalah seorang penakut yang beraninya hanya menyerang anak buah
kami secara menggelap. Hek-liong-li, engkau berhadapan dengan Kim Pit Siu-cai,
menyerahlah agar aku tidak terpaksa menggunakan kekerasan.”
Biarpun sikapnya memandang
rendah dan ucapannya mengejek, namun sebenarnya dia merasa tegang dan agak
jerih maka tangan kanannya meraba gagang mouw-pitnya yang terbuat dari emas,
senjata ampuh yang menjadi andalannya. Bagaimana pun juga, empat orang rekannya
tewas di tangan Hek-liong-li dan Pek-liong-eng, maka dalam hatinya dia sama
sekali tidak berani memandang rendah.
Wanita-cantik berpakaian hitam
itu membentak, “Hek-liong-li tidak sudi menyerah terhadap siapa pun juga!”
Setelah berkata demikian,
Bunga Hijau yang seperti semua rekannya menyamar sebagai Hek liong-li itu telah
mencabut pedangnya, sebatang pedang hitam yang bentuknya persis Hek-liong-kiam,
akan tetapi tentu saja hanya pedang tiruan, dan dengan dahsyatnya iapun
menyerang dengan tusukan pedangnya.
Melihat pedang hitam itu, Kim
Pit Siu-cai menjadi semakin jerih dan sama sekali tidak berani memandang
ringan. Dia cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri sambil mencabut
senjata kim-pit (pena emas) dari pinggangnya. Akan tetapi wanita itu sudah
menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Sungguhpun pandang mata yang jeli dari
Kim Pit Siu-cai melihat bahwa serangan Hek-liong-li itu tidak terlalu
berbahaya, kurang sekali dalam hal kecepatan maupun tenaga, namun dia tetap
tidak berani menggunakan senjatanya untuk menangkis pedang hitam yang
dikenalnya sebagai Hek-liong-kiam yang amat ampuh itu.
Dia kembali mengelak dan kini
menggerakkan kipasnya ke arah muka Hek-liong-li untuk mengebut dan disusul
gerakan kim-pit yang melakukan gerakan totokan bertubi-tubi. Ini merupakan
serangan andalan dari Kim Pit Siu-cai. Penggunaan senjata istimewa ini telah
mengangkat namanya tinggi-tinggi karena memang hebat sekali. Begitu senjata itu
membalas, maka dia telah mengirim totokan ke arah tigabelas jalan darah di
bagian tubuh depan lawan, susul menyusul dan dengan kecepatan luar biasa.
Bunga Hijau terkejut dan
berusaha untuk mengelak, akan tetapi pada totokan keempat, ia tidak mampu
mengimbangi kecepatan lawan dan iapun terkena totokan pada pundaknya dan roboh
terguling!
Kim Pit Siu-cai terkejut dan
juga girang bukan main. Dia mengira bahwa tentu Hek-liong-li memandang rendah
kepadanya maka dapat dia robohkan sedemikian mudahnya, atau mungkin itu hanya
siasat saja bagi wanita sakti itu. Maka untuk meyakinkan hatinya bahwa dia
benar-benar memperoleh kemenangan, secepat kilat senjata pena emas itu meluncur
ke arah leher Hek-liong-li dan senjatanya itu menembus leher itu dengan mudah!
Hek-liong-li mengeluh lirih dan terkulai!
Hampir Kim Pit Siu-cai tidak
percaya. Akan tetapi melihat darah mengalir keluar dari luka di leher wanita
yang kini tidak bergerak lagi itu, dia hampir bersorak. Disambarnya tubuh yang
sudah lemas itu, dipanggulnya dan diapun lari secepatnya ke arah sarang
gerombolannya sambil berteriak-teriak seperti orang kesetanan.
“Aku telah berhasil membunuh
Hek-liong-li......!” berkali-kali.
Anak buah gerombolan itu
bersorak gembira ketika melihat betapa musuh yang amat ditakuti itu telah tewas
dan mayatnya dipanggul dan dibawa lari oleh Kim Pit Siu-cai.
Sementara itu, di dalam
semak-semak, Bunga Kuning menahan diri untuk tidak menjerit ketika menyaksikan
betapa rekannya roboh dan terbunuh oleh kakek itu, bahkan tubuh rekannya yang
entah mati ataukah hidup itupun dilarikan oleh pihak musuh. Ia tidak berani
keluar karena maklum bahwa hal itu berarti hanya mati konyol, pada hal ia harus
mengabarkan tentang kematian rekannya itu kepada Hek-liong-li.
Air matanya bercucuran dan ia
menangis tanpa mengeluarkan suara, lalu setelah gerombolan itu meninggalkan
tempat itu, ia menyusup keluar dari semak-semak, tidak merasakan betapa bajunya
robek-robek dan kulitnya juga babak belur berdarah, lalu ia berlari secepatnya
untuk mencari Hek-liong-li di tempat pertemuan antara mereka semua yang telah
ditentukan oleh pemimpin mereka.
Di bagian lain, Bunga Biru
yang menyamar sebagai Hek-liong-li, seorang diri membuat kekacauan di bagian
itu dengan muncul sebagai Hek-liong-li.
Ketika para penjaga menjadi
panik dan melapor, Bunga Biru seperti yang telah ditugaskan kepadanya,
menggunakan anak panah menyerang para penjaga dan berhasil merobohkan seorang
di antara mereka.
Ketika datang banyak anggauta
gerombolan yang dipimpin oleh seorang yang bertubuh pendek gendut, Bunga Biru
cepat melarikan diri dengan menyelinap di antara pohon-pohon. Akan tetapi
betapa kagetnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat, bayangan merah dan
tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang nenek yang dikenalnya sebagai Ang I
Sian-li.
Lan-hwa (Bunga Biru) pernah
melihat nenek itu ketika membantu Thai-san Ngo-kwi, maka tentu saja ia terkejut
bukan main. Di lain pihak, Ang I Sian-li juga merasa jerih dan hanya karena di
situ terdapat banyak anak buahnya maka ia berani membentak nyaring.
“Hek-liong-li, engkau tidak
akan dapat lolos lagi dari tangan kami!” Nenek itu sudah menerjang dengan
tamparan tangannya.
Tangan nenek itu berubah
kehijauan karena ia menggunakan pukulan beracun untuk melawan Hek-liong-li yang
ia tahu amat lihai itu. Dan pukulan Tangan Racun Hijau ini merupakan ilmunya
yang baru, yang dikuasainya dengan cara yang amat keji, yaitu menghisap darah
banyak anak bayi. Karena sudah pernah merasakan kehebatan tenaga sakti dari
Hek-liong-li, maka begitu menampar Ang I Sian-li mengerahkan tenaga beracun
yang amat keji ini.
Bunga Biru yang menyamar
Hek-liong-li , tentu saja tidak mengenal tamparan maut ini dan ia menyambutnya
dengan pedang tiruan Hek-liong-kiam, membabat ke arah lengan si nenek yang
menampar. Melihat Hek-liong-kiam, pedang hitam yang pernah didengarnya, nenek
itu merasa ngeri dan otomatis iapun menarik kembali tamparannya.
Pada saat itu, belasan orang
anak buah gerombolan penjahat berdatangan dan Ang I Sian-li yang jerih terhadap
pedang di tangan Hek-liong-li, cepat memerintahkan anak buahnya untuk
mengeroyok. Belasan batang golok menyerang dari segala jurusan.
Melihat dirinya dikeroyok,
Lan-hwa cepat memutar pedangnya. Bagaimanapun juga, ia telah digembleng oleh
Hek-liong-li dan ia sudah mahir memainkan pedang tiruannya. Terdengar suara
berdencing ketika pedangnya menangkisi semua golok yang menyambarnya .
Ang I Sian-li terbelalak dan
mengeluarkan suara tawa mengejek. Kiranya pedang Hek-liong-kiam yang terkenal
itu hanya semacam itu saja, hanya sebanding dengan golok para anak buahnya.
Golok-golok itu hanya
tertangkis dan tidak menjadi rusak! Padahal, kedua lengannya lebih kuat
dibandingkan golok para anak buah itu. Timbul keberaniannya dan sambil memekik
nyaring, kembali ia menyerang, tubuhnya melompat seperti seekor burung terbang
menyambar arah Lan-hwa dan mengirim tamparan mautnya yang mengandung racun
jahat.
Saat itu, Lan-hwa sedang sibuk
menangkisi banyak golok, bagaimana mungkin ia mampu menghindarkan diri dari
tamparan itu. Andai kata ia tidak sedang menghadapi pengeroyokan sekalipun,
andai kata ia siap dengan pedang di tanganpun belum tentu ia akan dapat menahan
dahsyatnya tamparan Ang I Sian-li.
Ia masih mencoba untuk
mengelebatkan pedangnya menyambut tamparan itu. Akan tetapi, angin tamparan
yang hebat membuat pedangnya menyeleweng dan tahu-tahu dadanya telah terkena
tamparan tangan Ang I Sian-li.
“Plakk!” Lan-hwa mengeluh dan
roboh terjengkang, tewas seketika dengan tubuh menjadi kehijauan!
Ang I Sian-li berdiri bengong,
merasa seperti mimpi ketika anak buahnya bersorak gembira melihat Hek-liong-li
tewas! Akan tetapi, kemudian meledaklah kegembiraan dan kebanggaannya. Ia
menyambar rambut Lan-hwa, menyeret mayat itu dan membawanya lari untuk
dipamerkan kepada dua orang rekannya!
“Aku telah membunuh
Hek-liong-li......!”
Sambil menyeret mayat wanita
berpakaian serba hitam itu pada rambutnya, Ang I Sian-li bersorak dan
berteriak-teriak penuh kebanggaan. Ketika ia tiba di sarang mereka, Ang I Sian-li
yang tadinya gembira dan bangga itu memandang bingung.
Ia melihat bahwa semua
rekannya telah berkumpul di situ dan di atas tanah, di depan mereka, berserakan
mayat-mayat para anggauta anak buah mereka, termasuk Sam-kwi, yaitu orang
ketiga di antara Thai-san Ngo-kwi. Dan di dekat mayat San-kwi menggeletak pula
mayat...... Hek-liong-li!
Kalau tadinya ia
berteriak-teriak telah berhasil membunuh Hek-liong-li, kini ia memandang
bingung dan melemparkan mayat yang tadi diseretnya ke dekat mayat berpakaian
serba hitam yang sudah lebih dahulu menggeletak di situ.
“Siapakah mayat itu?” tanyanya
kepada dua orang rekannya sambil menuding ke arah mayat Hek-liong-li pertama.
“Hek-liong-li-palsu, mungkin
seperti yang kaubawa ke sini, aku yang telah membunuhnya dengan mudah,” kata
Kim Pit Siu-cai.
“Aihh.....!” Sepasang mata
nenek cantik pesolek itu terbelalak. “Kalau begitu yang kubunuh inipun palsu?
Akan tetapi...... kenapa banyak yang menyamar Hek-liong-li? Pantas
kepandaiannya rendah saja, akan tetapi ia membawa Hek-liong-kiam!” katanya
dengan nada suara penuh kekecewaan.
“Coba lihat, samakah
Hek-liong-kiam itu dengan yang ini?” Kim Pit Siu-cai mengeluarkan sebatang
pedang hitam yang tadi dirampasnya dari wanita yang disangkanya Hek-liong-li.
Ang I Sian-li mengeluarkan
pedang itu. Memang serupa. Mereka berdua memegang pedang dengan kedua tangan
dan sekali mengerahkan tenaga, pedang itu patah menjadi dua potong. Dengan hati
sebal kedua orang datuk itu melemparkan pedang rampasan mereka yang palsu itu
ke atas tanah.
“Sialan! Kita dipermainkan
Hek-liong-li!” kata Ang I Sian-li bersungut-sungut dan marah sekali.
“Tenanglah, Sian-li,” kata
Pek-bwe Coa-ong yang merupakan orang tertua di antara tiga datuk sisa Sembilan
Iblis itu. “Bagaimanapun juga, dua orang gadis yang menyamar Hek-liong-li ini
pasti anak buahnya atau pembantunya, maka dapat membunuh dua orang inipun sudah
merupakan pukulan bagi Hek-liong-li. Cepat atau lambat, Hek-liong-li pasti akan
terjatuh ke tangan kita, mati atau hidup!”
“Memang lumayan dapat membunuh
dua orang pembantunya, akan tetapi kitapun menderita kerugian yang tidak
sedikit! Delapan orang anak buah kita tewas, belum dihitung yang terluka, dan
terutama sekali Sam-kwi telah terbunuh oleh Hek-liong-li!”
Empat orang sisa Thai-san
Ngo-kwi yang berada di situ dan memandang kepada jenazah rekan mereka dengan
wajah duka, kini mengepal tinju.
“Aku bersumpah,” kata
Thai-kwi, orang pertama yang tinggi besar hitam dan berusia empatpuluh lima
tahun, dengan suara geram, “Kalau Hek-liong-li terjatuh ke tangan kami, akan
kami permainkan dan kami perhina dan siksa sampai puas, baru akan kami bunuh,
tubuhnya kami cincang dan dagingnya kami berikan kepada anjing!!”
“Aku akan minum darahnya!”
kata pula Ji-kwi yang pendek gendut.
“Akan kumakan mentah-mentah
sebagian jantungnya!” kata Su-kwi yang tinggi besar agak bongkok.
“Aku...... aku akan
memperkosanya sepuas hati,” kata Ngo-kwi yang sedang tubuhnya, galak dan mata
keranjang, orang termuda dari mereka berusia tigapuluh lima tahun.
“Harap kalian tenang dan kalau
sampai Hek-liong-li terjatuh ke tangan kita, aku tidak akan melupakan kalian
untuk berpesta. Akan tetapi, bukan Hek-liong-li saja yang kita hadapi. Masih
ada Pek-liong-eng dan para pembantunya. Kita harus berhati-hati dan memperkuat
penjagaan. Sian-li, Siu-cai, mari kita berunding di dalam,” kata Pek-bwe
Coa-ong dan dia memerintahkan empat dari Ngo-kwi untuk mengurus jenazah-jenazah
itu, dan menambahkan, “Gantung mayat dua orang Hek-liong-li palsu itu di pohon
di luar pagar agar terlihat oleh Hek-liong-li!”