Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 17 Bantuan Api Pek-liong-eng

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 17 Bantuan Api Pek-liong-eng
17 Bantuan Api Pek-liong-eng

Tiga orang datuk itu lalu masuk dan mengadakan perundingan. “Jelas bahwa kini Liong-li sudah menerima tantangan kita. Ia pasti akan berdaya upaya untuk menyerbu masuk dan mencoba untuk membebaskan dua pasang tawanan kita. Mereka kini harus ditahan dalam kamar dan jangan sampai mereka itu mudah dibebaskan dari luar,” kata Pek-bwe Coa-ong.

“Jangan khawatir, Coa-ong. Mereka sudah kusuruh keram dalam kamar, bahkan aku telah menotok mereka dan kaki tangan mereka terbelenggu,” kata Ang I Sian-li.

“Bagus! Sekarang mari kita bicara tentang dua orang Hek-liong-li palsu itu. Kita ketahui bahwa Hek-liong-li mempunyai sembilan orang pembantu yang juga merupakan anak buah mereka. Jelaslah bahwa dua orang Liong-li palsu itu pasti dua orang di antara sembilan orang pembantunya. Berarti kini ia berada di luar bersama tujuh orang pembantunya.

“Kalau melihat betapa di seluruh penjuru bermunculan Hek-liong-li, jelas bahwa mereka semua itu mengenakan pakaian hitam dan menyamar sebagai Liong-li. Akan tetapi, di antara mereka, hanya Liong-li yang aseli saja yang harus kita hadapi dengan hati-hati. Kita harus mengerahkan tenaga, memasang barisan pendam dan sedapat mungkin membunuh semua pembantu Liong-li.”

“Coa-ong, kita jangan terlalu memusatkan perhatian kepada Liong-li seorang. Kita harus ingat bahwa di sana terdapat Pek-liong-eng pula. Dan diapun mempunyai enam orang pembantu pria yang lihai. Mungkin diapun seperti Liong-li, akan datang dibantu enam orang pelayannya itu,” kata Ang I Sian-li.

Mereka berunding dan mengatur siasat karena mereka bertiga mengambil keputusan nekat bahwa sekali ini mereka harus mampu membalas dendam kematian semua rekan mereka yang terbunuh oleh Pek-liong dan Liong-li. Sekarang atau tidak ada harapan lagi, pikir mereka.

Dan saat itu, kedudukan mereka memang kuat. Bukan saja mereka bertiga merupakan lawan-lawan yang amat tangguh bagi Pek-liong dan Liong-li, juga mereka dibantu oleh Thai-san Ngo-kwi yang kini tinggal empat orang dan ratusan orang anak buah mereka!

Delapan sosok bayangan orang itu menyelinap di balik semak-semak dan pohon-pohon. Hek-liong-li dan para pembantunya yang tinggal tujuh orang itu, dengan pakaian hitam-hitam, merangkak dan menyusup di antara semak-semak mendekati pohon besar di mana tergantung dua buah mayat berpakaian hitam itu. Terdengar isak tertahan di sana-sini ketika mereka melihat bahwa yang tergantung itu adalah mayat Bunga Biru dan Bunga Hijau!

Liong-li cepat membuat suara mendesis lirih untuk mengingatkan anak buahnya agar menahan isak mereka dan jangan membuat gaduh. Ia sendiri, menggigit bibir ketika melihat keadaan dua orang anak buahnya itu.

Baju kedua mayat itu di bagian dada terobek dan nampak payudara mereka juga robek-ro bek tergores pedang. Dan pedang mereka, Hek-liong-kiam palsu yang sudah patah, ditusukkan di bawah perut sehingga tinggal nampak gagangnya saja.

“Jahanam busuk,” ia memaki dalam hati. Sungguh mereka itu bukan manusia, melainkan iblis yang teramat kejam, menyiksa jenazah seperti itu. Penghinaan yang luar biasa besarnya. Biarpun ia marah sekali, namun ia tetap tenang dan kemarahannya segera padam.

Ia tidak boleh marah karena tentu tiga orang datuk itu sengaja memperlakukan dua buah mayat itu sedemikian rupa untuk memancing kemarahannya. Dan orang marah tentu akan kehilangan keseimbangan dan akan mengambil tindakan yang nekat dan ceroboh. Tidak, ia tidak boleh marah. Pihak musuh terlalu berbahaya.

“Kalian kurung tempat ini dan tunggu saja, biar aku yang memeriksa keadaan lapangan. Begitu muncul pihak musuh, lima orang membantuku, dan engkau, Ang-hwa (Bunga Merah) dan Pek-hwa (Bunga Putih), kalian yang kutugaskan menurunkan dan mengambil dua jenazah Bunga Hijau dan Bunga Biru. Akan tetapi tunggu, sampai aku memberi tanda aman, baru kalian berdua boleh bergerak. Yang lain-lain juga harus menunggu isyaratku, baru boleh membantuku.” Liong-li berbisik-bisik mengatur siasat dan membagi tugas.

Setelah semua mengerti betul, Liong-li membawa sebatang tongkat dari cabang pohon yang panjangnya tidak kurang dari dua setengah meter, lalu meloncat keluar dari tempat pengintaiannya.

Malam itu tidak gelap sekali karena ada bulan tiga perempat menerangi bumi. Kebetulan langit bersih sehingga cahaya bulan tiga perempat itu tidak terhalang awan.

Dengan tongkatnya, Liong-li mencari jalan dengan hati-hati, mencoba dan meneliti di sebelah depan dengan tongkatnya agar tidak sampai terperangkap. Ternyata tempat itu tidak dipasangi jebakan. Liong-li maju terus menghampiri pohon di mana dua orang anak buahnya mati tergantung, tetap waspada ketika melangkah maju dengan perlahan dan hati-hati.

Biarpun ia tidak mengeluarkan suara menangis, namun kedua matanya menjadi basah ketika ia tiba di bawah pohon, melihat dua orang anak buahnya tergantung seperti itu. Mereka tewas karena membantunya! Tadinya ia sudah khawatir dan tidak ingin mengorbankan anak buahnya, akan tetapi mereka memaksa. Mereka rela mati demi membantunya! Mulutnya bergerak membaca doa dan mengucapkan selamat jalan kepada Bunga Hijau dan Bunga Biru.

Tiga orang datuk membuat perhitungan bahwa Liong-li yang amat cerdik itu pasti akan mudah terpancing dengan dua buah mayat itu. Mereka memperhitungkan bahwa yang mencoba untuk mengambil mayat tentu hanya anak buah Liong-li. Maka merekapun hanya menyuruh empat orang Thai-san Ngo-kwi untuk mewakili mereka membawa anak buah menjaga tempat itu. Mereka tidak tahu bahwa justeru perhitungan mereka ini sudah diperhitungkan pula oleh Liong-li.

Gadis perkasa ini memperhitungkan bahwa tiga orang datuk itu tentu tidak mengira ia berani nekat membahayakan diri menghampiri mayat. Justru karena ini, maka ia malah datang! Bagaikan bermain catur, kalau para datuk sesat membuat perhitungan sampai tiga langkah, Liong-li membuat perhitungan sampai empat-lima langkah!

Ketika Thai-kwi yang memimpin pengepungan itu melihat munculnya seorang wanita berpakaian hitam, dia tersenyum. Hemm, tidak mungkin aku dapat dikelabuhi lagi, pikirnya. Liong-li, aku tahu bahwa yang muncul itu tentu seorang di antara anak buahmu yang menyamar! Bersama semua anak buahnya yang berjumlah duapuluh orang, dia dan adik-adiknya mengikuti gerak-gerik bayangan hitam itu.

Liong-li dapat menduga bahwa semua gerakannya tentu diikuti banyak pasang mata dari pihak lawan. Ia tetap berhati-hati, sudah memperhitungkan pula bahwa tentu ia dianggap seorang di antara Liong-li palsu. Ia merasa lega bahwa tempat itu tidak dipasangi jebakan sehingga memudahkan anak buahnya untuk merampas mayat.

Dengan tongkatnya, ia memeriksa tali gantungan. Tidak dipasangi perangkap pula. Ia masih menanti munculnya serangan musuh, dan diam-diam, tangan kirinya sudah mempersiapkan segenggam jarum hitamnya di tangan kiri.

Jarang Liong-li mempergunakan senjata rahasia, jarum-jarum hitamnya selalu tersimpan saja dalam kantung kecil yang tergantung di pinggang. Akan tetapi sekali ini, ia menghadapi musuh yang mempunyai banyak anak buah dan ia sudah mengambil keputusan untuk tidak bersikap lunak terhadap mereka, apa lagi setelah dua orang pembantunya tewas dan disiksa seperti itu.

Melihat belum juga ada gerakan dari pihak musuh, tiba-tiba Liong-li meloncat ke atas, sinar hitam berkelebat dan dua sosok tubuh mayat yang tadinya tergantung itu terjatuh ke atas tanah.

Pada saat itulah, dari arah belakang dan sebelah kirinya, meluncur puluhan batang anak panah ke arah dirinya! Ia memutar pedangnya dan semua anak panah runtuh, dan sambil memutar pedang, ia menggerakkan tangan kirinya dan sinar lembut hitam meluncur ke berbagai arah, yaitu ke arah dari mana datangnya anak panah tadi.

Terdengar pekik kesakitan di sana sini dan Liong-li tersenyum karena ia tahu bahwa seperti telah diaturnya tadi, tujuh orang anak buahnya sudah pula melepas senjata mereka, yaitu anakpanah-anakpanah kecil yang bisa dilepas dari busur sekali tarik lima batang! Tujuh orang anak buahnya sudah menyerang, membarengi serangan musuh, menjatuhkan beberapa korban yang tadi terdengar menjerit tanpa tempat sembunyi anak buahnya diketahui musuh.

Thai-kwi menjadi marah dan dia memberi aba-aba. Duapuluh orang anak buahnya tinggal limabelas orang karena yang lima orang terjungkal, terkena senjata rahasia lawan. Limabelas orang itu, ditambah dia dan adik-adiknya yang semua berjumlah empat orang, menyerbu dengan teriakan marah ke arah Liong-li.

Liong-li kembali tersenyum dan pada saat itu, lebih banyak lagi anak panah menyambar, menyongsong belasan orang yang menyerbu itu dan kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang roboh! Kini tinggal empatbelas orang lagi dan iapun memberi isyarat dengan mengangkat pedangnya ke atas.

Melihat isyarat ini, muncullah lima orang wanita berpakaian hitam, menyambut serbuan belasan orang itu, sedangkan Liong-li sendiri menghadapi pengeroyokan Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi. Sementara itu, Ang-hwa dan Pek-hwa sudah meloncat dan cepat mereka menyambar dua buah mayat rekan mereka dan membawanya pergi.

“Tangkap hidup-hidup! Yang inilah Liong-li yang aseli!” teriak Thai-kwi dan bersama tiga orang adiknya dia menyerang dengan membabi-buta kepada Liong-li. Lima orang anak buah menyambut lima orang anak buah Liong-li, sedangkan lima orang lain sudah ikut mengeroyok Liong-li!

Thai-kwi meniup tanda bahaya yang melengking-lengking. Liong-li maklum bahwa keadaannya bisa berbahaya kalau tiga orang datuk itu muncul. Sekarangpun, tanda bahaya itu sudah mengundang datangnya belasan orang anak buah lain yang kebetulan berada di sekitar tempat itu sehingga ia dan lima orang anak buahnya harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali lawan.

Selagi Liong-li dan para pembantunya mengamuk, merobohkan banyak pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh, tiba-tiba nampak sinar api berkobar di sana sini dan teriakan kebakaran. Ternyata sarang ketiga Kiu Lo-mo itu terbakar di sana sini!

Tentu saja para pengeroyok menjadi panik dan Thai-kwi sendiri memberi aba-aba agar anak buahnya mundur karena dia ingin membawa anak buahnya membantu memadamkan kebakaran yang terjadi di sedikitnya enam tempat itu!

“Jangan kejar!” Liong-li berseru dan mengajak lima orang pembantunya menyusup dan menghilang di antara pohon-pohon, menyusul Ang-hwa dan Pek-hwa yang sudah membawa dua buah mayat rekan mereka itu ke seberang sungai, mempergunakan perahu yang mereka sembunyikan di tepi sungai, dalam semak belukar.

Liong-li tersenyum puas, bukan hanya karena mereka telah berhasil merobohkan lagi beberapa orang anak buah musuh, juga bukan hanya karena ia berhasil mengambil jenazah dua orang pembantunya agar dapat dikubur dengan baik, akan tetapi terutama sekali melihat adanya kebakaran di enam tempat tadi.

Hatinya tidak syak lagi, itu pasti hasil perbuatan Pek-liong-eng! Siapa lagi kalau Pek-liong yang datang di saat sedemikian tepatnya, dan menggunakan siasat demikian cerdiknya untuk mengacaukan musuh dan menolong ia dan para pembantunya yang sedang terkepung dan terancam?

Malam itu juga, Liong-li dan tujuh orang pembantunya mengubur dua jenazah dengan sederhana namun penuh khidmat. Setelah melakukan sembahyang secara sederhana di depan kedua makam itu, Liong-li dan anak buahnya berunding di depan makam, duduk di atas rumput.

“Kematian Bunga Biru dan Bunga Hijau membuktikan betapa lihai dan berbahayanya pihak musuh,” Liong-li berkata. “Tiga orang datuk itu, sisa dari Sembilan Iblis, agaknya menyusun kekuatan dan bertekad untuk membalas dendam dan membunuh aku dan Pek-liong. Melihat betapa dua orang rekan kalian telah tewas, dan mengingat akan besarnya bahaya, sekali lagi aku peringatkan kepada kalian. Aku tidak ingin melihat jatuhnya lebih banyak korban lagi di antara kita, maka kalian boleh meninggalkan aku. Aku akan berjuang sendiri menentang mereka, bersama Pek-liong.”

Ang-hwa (Bunga Merah) segera mendahului teman-temannya menjawab.

“Li-hiap, kenapa lagi-lagi Li-hiap berkata demikian? Li-hiap, sudah bertahun-tahun li-hiap membimbing kami, mengajarkan kami bagaimana sikap seorang gagah sehingga kami merasa menjadi manusia yang berarti. Dalam suatu pertentangan, di mana kita berdiri sebagai penentang perbuatan jahat, tentu saja terjadi korban. Dua orang rekan kami tewas, namun mereka tewas sebagai naga, sebagai harimau, dan di pihak musuh juga banyak yang tewas, lebih banyak dari pada kerugian yang kita derita.

“Li-hiap, kalau kami tewas, seperti Bunga Hijau dan Bunga Biru, kami akan merasa bangga. Bukan karena kami tewas membantu li-hiap, melainkan tewas karena menentang kejahatan. Bukankah li-hiap selalu mengatakan lebih baik mati sebagai harimau melawan musuh yang jahat, dari pada mati sebagai babi disembelih atau lari seperti anjing yang ketakutan? Saya sendiri, saya akan tetap bersama li-hiap menghadapi tiga orang datuk dari Kiu Lo-mo itu?”

Enam orang temannya serentak menyatakan setuju dan tak seorangpun yang mau meninggalkan Liong-li.

Liong-li merasa terharu. “Baiklah, kalau begitu, kita lanjutkan usaha kita membasmi mereka, bersama Pek-liong. Akan tetapi karena pihak lawan sudah mengetahui keadaan kita, maka kita akan menanti dulu sampai ada berita dari Pek-liong sehingga kita dapat bekerja sama dengan dia. Pihak musuh terlalu tangguh untuk kita hadapi sendiri.”

Y

Dugaan Liong-l.i memang benar. Yang melakukan pembakaran-pembakaran di sarang gerombolan pada malam hari itu adalah Pek-liong-eng dan enam orang pembantunya. Setelah Pek-liong menemukan surat yang ditinggalkan Liong-li untuknya dan dia mengadakan pembicaraan dengan Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In, dia lalu pergi ke lembah Sungai Kuning dan di suatu tempat yang memang telah dia janjikan kepada enam orang pembantunya, dia mengadakan pertemuan dengan mereka.

Tempat pertemuan itu di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang letaknya di lereng bukit kecil di pantai Sungai Kuning. Dalam petualangannya dahulu, Pek-liong pernah mempergunakan kuil tua ini sebagai tempat bersembunyi, maka kini diapun hendak memanfaatkan tempat itu untuk menjadi tempat pertemuannya dengan enam orang pelayan atau pembantunya. Bukit itu tak pernah dikunjungi orang, dan kuil itu terlalu tua untuk dijadikan kuil baru, dan terlalu seram untuk dijadikan tempat tinggal, tempatnya sunyi dan jauh tetangga.

Setelah enam orang pembantunya lengkap berada di situ, Pek-liong menyuruh seorang pembantu berjaga di luar dan seorang lagi di belakang kuil, kemudian dia mengajak empat pembantu lain untuk bicara di dalam. Dia mendengar laporan hasil penyelidikan mereka bahwa di lembah Sungai Kuning terdapat sebuah tempat yang agaknya dijadikan sarang penjahat.

Mereka berenam belum melihat adanya tiga datuk besar sisa Kiu Lo-mo, akan tetapi mereka melihat adanya Thai-san Ngo-kwi dan ratusan orang anak buahnya, yaitu orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan sesat. Juga bahwa tempat itu amat berbahaya, agaknya dipasangi banyak perangkap dan dijaga ketat.

“Apakah kalian sudah melihat tanda-tanda hadirnya Hek-liong-li di sana? Atau para pembantunya?” tanya Pek-liong.

“Kami hanya beberapa kali melihat sosok bayangan hitam-hitam berkelebat dan menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, akan tetapi kami belum jelas apakah mereka itu Liong-lihiap dengan para pembantunya. Seperti pesan tai-hiap, kami tidak mengadakan kontak dengan siapapun, hanya melakukan penyelidikan di sekitar Hek-san (Bukit Hitam) di lembah Huang-ho (Sungai Kuning).”

Pek-liong mengangguk-angguk. “Baiklah, mulai sekarang, untuk sementara kita jadikan kuil ini sebagai markas. Bukit Hitam berada di depan, tak jauh dari sini dan malam ini kita melakukan penyelidikan ke bukit itu, menyelidiki sarang gerombolan yang kalian temukan. Persiapkan segalanya, juga minyak bakar, siapa tahu kita dapat mempergunakannya, setidaknya untuk menggunakan siasat membakar semak memaksa ular keluar dari sarangnya. Aku ingin memperoleh kepastian apakah gerombolan yang kalian temukan itu benar merupakan anak buah tiga orang datuk Kiu Lo-mo ataukah bukan.”

Demikianlah, setelah hari mulai gelap, Pek-liong dan enam orang pembantunya mendaki bukit Hitam, melakukan penyelidikan. Mereka berpencar, bergerak naik walaupun mereka menjaga jarak agar dapat saling berhubungan melalui isyarat yang biasa mereka lakukan dalam gelap, yaitu suara burung malam. Untuk keperluan penyelidikan kali ini, Pek-liong mempergunakan jubah luar yang berwarna biru yang panjang dan lebar menutupi pakaiannya yang serba putih.

Ketika dia menggunakan ilmunya bergerak ringan dan cepat menyusup di antara semak dan pohon itulah Pek-liong melihat adanya dua buah mayat wanita yang digantung di pohon besar, di luar perkampungan gerombolan. Dia terkejut juga melihat betapa dua orang wanita yang telah tewas itu mengenakan pakaian hitam-hitam seperti pakaian Liong-li, juga gagang pedang yang menancap di bawah perut mereka adalah gagang pedang mirip Hek-liong-kiam.

Dan diam-diam dia mengeluarkan makian marah melihat keadaan dua buah mayat yang tersiksa secara mengerikan itu. Tak syak lagi, inilah bekas tangan keji seorang datuk! Hanya manusia yang berhati kejam seperti iblis sajalah yang mampu melakukan perbuatan keji terhadap manusia lain seperti itu.

Kemudian pandang matanya yang tajam melihat pergerakan di balik semak dan dia melihat sesosok bayangan yang mendekati pohon di mana dua mayat itu tergantung. Jantungnya berdebar. Dia yakin bahwa sosok itu adalah Liong-li. Memang wajahnya tidak nampak jelas dan demikian pula bentuk tubuhnya karena dia berpakaian serba hitam. Akan tetapi gerakan tubuh itu ketika melangkah, menyelinap dan memegang tongkat panjangnya. Itulah Liong-li, tak salah lagi!

Dia memberi isyarat kepada enam orang pembantunya dengan suara burung malam yang memanjang satu kali. Panjang satu kali berarti agar mereka berhenti di tempat dan waspada, menanti perintah berikutnya!

Pek-liong melihat betapa Liong-li membabat putus tali gantungan kedua mayat itu dan pada saat itu, datanglah serangan anak panah dari barisan pendam pihak musuh. Pek-liong tersenyum ketika melihat Liong-li beraksi menyebar jarum dan diikuti anak-anak panah kecil dari para pembantu pendekar wanita itu. Akan tetapi, walaupun pertempuran itu tidak membutuhkan bantuannya karena Liong-li tidak akan kalah, namun ketika para gerombolan datang semakin banyak, Pek-liong cepat memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengikutinya merayap naik ke bukit Hitam.

Dan selanjutnya, dari luar perkampungan itu, mereka menyerang perkampungan dengan anak panah yang membawa kain yang dicelup minyak dan dibakar sehingga perkampungan gerombolan itu dihujani api dari atas dan terjadilah kebakaran-kebakaran yang membuat para gerombolan panik dan membuat empat orang sisa Thai-san Ngo-kwi terpaksa menarik mundur anak buahnya yang sedang mengeroyok Liong-li dan lima orang pembantunya.

Setelah berhasil mengacaukan perkampungan itu dan melihat betapa Liong-li dan para pembantunya dapat melarikan diri terlepas dari kepungan banyak lawan, Pek-liong dan kawan-kawannya juga turun dari Hek-san dan menuju ke kuil tempat persembunyian mereka.

Pada keesokan harinya, Pek-liong dan enam orang pembantunya keluar dari kuil untuk melakukan penyelidikan lagi karena dia belum merasa yakin apakah benar gerombolan di Hek-san itu dipimpin oleh tiga datuk dan di situ pula ditahannya Song Tek Hin dan Su Hong Ing, dan kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li.

Mereka bertujuh kini menyamar dan karena Pek-liong memang ahli dalam ilmu penyamaran, enam orang pembantunya juga menyamar dengan baik sekali sehingga sukar dikenali keadaan aselinya. Pek-liong sendiri menyamar sebagai seorang laki-laki berusia enampuluhan tahun, rambutnya sudah putih semua dan demikian pula kumis dan jenggotnya, putih tidak teratur seperti seorang petani tua yang punggungnya agak bongkok dan berjalan memegang sebatang tongkat bambu butut.

Tak seorangpun tahu bahwa di dalam bambu itu tersembunyi Pek-liong-kiam! Dia memesan kepada enam orang pembantunya agar berhati-hati menyelidiki sekitar perkampungan gerombolan di bukit Hitam, sedangkan dia sendiri ingin mencari di mana Liong-li dan para pembantunya berada.

Dari puncak bukit dimana kuil tua itu berdiri, Pek-liong lebih dahulu meneliti keadaan. Nampak bukit Hitam menjulang di depan, penuh dengan hutan lebat. Bukit itu berada di pantai sungai Kuning, yang airnya tenang dan keruh.

Liong-li selalu berhati-hati, pikirnya. Tentu ia tidak mau tinggal terlalu dekat di kaki Hek-san, akan tetapi juga tidak terlalu jauh sehingga dapat selalu mengawasi sarang gerombolan itu. Dan semalam, mereka berhasil mengambil dua jenazah yang digantung di pohon, ini berarti bahwa mereka dapat dengan leluasa mendaki Hek-san.

Tentu mereka tidak jauh dari Bukit Hitam itu, pikirnya. Akan tetapi di mana? Kalau di seberang sana, tentu terlalu jauh.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar