17 Bantuan Api Pek-liong-eng
Tiga orang datuk itu lalu
masuk dan mengadakan perundingan. “Jelas bahwa kini Liong-li sudah menerima
tantangan kita. Ia pasti akan berdaya upaya untuk menyerbu masuk dan mencoba
untuk membebaskan dua pasang tawanan kita. Mereka kini harus ditahan dalam
kamar dan jangan sampai mereka itu mudah dibebaskan dari luar,” kata Pek-bwe
Coa-ong.
“Jangan khawatir, Coa-ong.
Mereka sudah kusuruh keram dalam kamar, bahkan aku telah menotok mereka dan
kaki tangan mereka terbelenggu,” kata Ang I Sian-li.
“Bagus! Sekarang mari kita
bicara tentang dua orang Hek-liong-li palsu itu. Kita ketahui bahwa
Hek-liong-li mempunyai sembilan orang pembantu yang juga merupakan anak buah
mereka. Jelaslah bahwa dua orang Liong-li palsu itu pasti dua orang di antara
sembilan orang pembantunya. Berarti kini ia berada di luar bersama tujuh orang
pembantunya.
“Kalau melihat betapa di
seluruh penjuru bermunculan Hek-liong-li, jelas bahwa mereka semua itu
mengenakan pakaian hitam dan menyamar sebagai Liong-li. Akan tetapi, di antara
mereka, hanya Liong-li yang aseli saja yang harus kita hadapi dengan hati-hati.
Kita harus mengerahkan tenaga, memasang barisan pendam dan sedapat mungkin
membunuh semua pembantu Liong-li.”
“Coa-ong, kita jangan terlalu
memusatkan perhatian kepada Liong-li seorang. Kita harus ingat bahwa di sana
terdapat Pek-liong-eng pula. Dan diapun mempunyai enam orang pembantu pria yang
lihai. Mungkin diapun seperti Liong-li, akan datang dibantu enam orang
pelayannya itu,” kata Ang I Sian-li.
Mereka berunding dan mengatur
siasat karena mereka bertiga mengambil keputusan nekat bahwa sekali ini mereka
harus mampu membalas dendam kematian semua rekan mereka yang terbunuh oleh
Pek-liong dan Liong-li. Sekarang atau tidak ada harapan lagi, pikir mereka.
Dan saat itu, kedudukan mereka
memang kuat. Bukan saja mereka bertiga merupakan lawan-lawan yang amat tangguh
bagi Pek-liong dan Liong-li, juga mereka dibantu oleh Thai-san Ngo-kwi yang
kini tinggal empat orang dan ratusan orang anak buah mereka!
Delapan sosok bayangan orang
itu menyelinap di balik semak-semak dan pohon-pohon. Hek-liong-li dan para
pembantunya yang tinggal tujuh orang itu, dengan pakaian hitam-hitam, merangkak
dan menyusup di antara semak-semak mendekati pohon besar di mana tergantung dua
buah mayat berpakaian hitam itu. Terdengar isak tertahan di sana-sini ketika
mereka melihat bahwa yang tergantung itu adalah mayat Bunga Biru dan Bunga
Hijau!
Liong-li cepat membuat suara
mendesis lirih untuk mengingatkan anak buahnya agar menahan isak mereka dan
jangan membuat gaduh. Ia sendiri, menggigit bibir ketika melihat keadaan dua
orang anak buahnya itu.
Baju kedua mayat itu di bagian
dada terobek dan nampak payudara mereka juga robek-ro bek tergores pedang. Dan
pedang mereka, Hek-liong-kiam palsu yang sudah patah, ditusukkan di bawah perut
sehingga tinggal nampak gagangnya saja.
“Jahanam busuk,” ia memaki
dalam hati. Sungguh mereka itu bukan manusia, melainkan iblis yang teramat
kejam, menyiksa jenazah seperti itu. Penghinaan yang luar biasa besarnya.
Biarpun ia marah sekali, namun ia tetap tenang dan kemarahannya segera padam.
Ia tidak boleh marah karena
tentu tiga orang datuk itu sengaja memperlakukan dua buah mayat itu sedemikian
rupa untuk memancing kemarahannya. Dan orang marah tentu akan kehilangan
keseimbangan dan akan mengambil tindakan yang nekat dan ceroboh. Tidak, ia
tidak boleh marah. Pihak musuh terlalu berbahaya.
“Kalian kurung tempat ini dan
tunggu saja, biar aku yang memeriksa keadaan lapangan. Begitu muncul pihak
musuh, lima orang membantuku, dan engkau, Ang-hwa (Bunga Merah) dan Pek-hwa
(Bunga Putih), kalian yang kutugaskan menurunkan dan mengambil dua jenazah
Bunga Hijau dan Bunga Biru. Akan tetapi tunggu, sampai aku memberi tanda aman,
baru kalian berdua boleh bergerak. Yang lain-lain juga harus menunggu
isyaratku, baru boleh membantuku.” Liong-li berbisik-bisik mengatur siasat dan
membagi tugas.
Setelah semua mengerti betul,
Liong-li membawa sebatang tongkat dari cabang pohon yang panjangnya tidak
kurang dari dua setengah meter, lalu meloncat keluar dari tempat
pengintaiannya.
Malam itu tidak gelap sekali
karena ada bulan tiga perempat menerangi bumi. Kebetulan langit bersih sehingga
cahaya bulan tiga perempat itu tidak terhalang awan.
Dengan tongkatnya, Liong-li
mencari jalan dengan hati-hati, mencoba dan meneliti di sebelah depan dengan
tongkatnya agar tidak sampai terperangkap. Ternyata tempat itu tidak dipasangi
jebakan. Liong-li maju terus menghampiri pohon di mana dua orang anak buahnya
mati tergantung, tetap waspada ketika melangkah maju dengan perlahan dan
hati-hati.
Biarpun ia tidak mengeluarkan
suara menangis, namun kedua matanya menjadi basah ketika ia tiba di bawah
pohon, melihat dua orang anak buahnya tergantung seperti itu. Mereka tewas
karena membantunya! Tadinya ia sudah khawatir dan tidak ingin mengorbankan anak
buahnya, akan tetapi mereka memaksa. Mereka rela mati demi membantunya!
Mulutnya bergerak membaca doa dan mengucapkan selamat jalan kepada Bunga Hijau
dan Bunga Biru.
Tiga orang datuk membuat
perhitungan bahwa Liong-li yang amat cerdik itu pasti akan mudah terpancing
dengan dua buah mayat itu. Mereka memperhitungkan bahwa yang mencoba untuk
mengambil mayat tentu hanya anak buah Liong-li. Maka merekapun hanya menyuruh
empat orang Thai-san Ngo-kwi untuk mewakili mereka membawa anak buah menjaga
tempat itu. Mereka tidak tahu bahwa justeru perhitungan mereka ini sudah
diperhitungkan pula oleh Liong-li.
Gadis perkasa ini
memperhitungkan bahwa tiga orang datuk itu tentu tidak mengira ia berani nekat
membahayakan diri menghampiri mayat. Justru karena ini, maka ia malah datang!
Bagaikan bermain catur, kalau para datuk sesat membuat perhitungan sampai tiga
langkah, Liong-li membuat perhitungan sampai empat-lima langkah!
Ketika Thai-kwi yang memimpin
pengepungan itu melihat munculnya seorang wanita berpakaian hitam, dia
tersenyum. Hemm, tidak mungkin aku dapat dikelabuhi lagi, pikirnya. Liong-li,
aku tahu bahwa yang muncul itu tentu seorang di antara anak buahmu yang
menyamar! Bersama semua anak buahnya yang berjumlah duapuluh orang, dia dan
adik-adiknya mengikuti gerak-gerik bayangan hitam itu.
Liong-li dapat menduga bahwa
semua gerakannya tentu diikuti banyak pasang mata dari pihak lawan. Ia tetap
berhati-hati, sudah memperhitungkan pula bahwa tentu ia dianggap seorang di
antara Liong-li palsu. Ia merasa lega bahwa tempat itu tidak dipasangi jebakan
sehingga memudahkan anak buahnya untuk merampas mayat.
Dengan tongkatnya, ia
memeriksa tali gantungan. Tidak dipasangi perangkap pula. Ia masih menanti munculnya
serangan musuh, dan diam-diam, tangan kirinya sudah mempersiapkan segenggam
jarum hitamnya di tangan kiri.
Jarang Liong-li mempergunakan
senjata rahasia, jarum-jarum hitamnya selalu tersimpan saja dalam kantung kecil
yang tergantung di pinggang. Akan tetapi sekali ini, ia menghadapi musuh yang
mempunyai banyak anak buah dan ia sudah mengambil keputusan untuk tidak
bersikap lunak terhadap mereka, apa lagi setelah dua orang pembantunya tewas
dan disiksa seperti itu.
Melihat belum juga ada gerakan
dari pihak musuh, tiba-tiba Liong-li meloncat ke atas, sinar hitam berkelebat
dan dua sosok tubuh mayat yang tadinya tergantung itu terjatuh ke atas tanah.
Pada saat itulah, dari arah
belakang dan sebelah kirinya, meluncur puluhan batang anak panah ke arah
dirinya! Ia memutar pedangnya dan semua anak panah runtuh, dan sambil memutar
pedang, ia menggerakkan tangan kirinya dan sinar lembut hitam meluncur ke
berbagai arah, yaitu ke arah dari mana datangnya anak panah tadi.
Terdengar pekik kesakitan di
sana sini dan Liong-li tersenyum karena ia tahu bahwa seperti telah diaturnya
tadi, tujuh orang anak buahnya sudah pula melepas senjata mereka, yaitu
anakpanah-anakpanah kecil yang bisa dilepas dari busur sekali tarik lima
batang! Tujuh orang anak buahnya sudah menyerang, membarengi serangan musuh,
menjatuhkan beberapa korban yang tadi terdengar menjerit tanpa tempat sembunyi
anak buahnya diketahui musuh.
Thai-kwi menjadi marah dan dia
memberi aba-aba. Duapuluh orang anak buahnya tinggal limabelas orang karena yang
lima orang terjungkal, terkena senjata rahasia lawan. Limabelas orang itu,
ditambah dia dan adik-adiknya yang semua berjumlah empat orang, menyerbu dengan
teriakan marah ke arah Liong-li.
Liong-li kembali tersenyum dan
pada saat itu, lebih banyak lagi anak panah menyambar, menyongsong belasan
orang yang menyerbu itu dan kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan
empat orang roboh! Kini tinggal empatbelas orang lagi dan iapun memberi isyarat
dengan mengangkat pedangnya ke atas.
Melihat isyarat ini, muncullah
lima orang wanita berpakaian hitam, menyambut serbuan belasan orang itu,
sedangkan Liong-li sendiri menghadapi pengeroyokan Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan
Ngo-kwi. Sementara itu, Ang-hwa dan Pek-hwa sudah meloncat dan cepat mereka
menyambar dua buah mayat rekan mereka dan membawanya pergi.
“Tangkap hidup-hidup! Yang
inilah Liong-li yang aseli!” teriak Thai-kwi dan bersama tiga orang adiknya dia
menyerang dengan membabi-buta kepada Liong-li. Lima orang anak buah menyambut
lima orang anak buah Liong-li, sedangkan lima orang lain sudah ikut mengeroyok
Liong-li!
Thai-kwi meniup tanda bahaya
yang melengking-lengking. Liong-li maklum bahwa keadaannya bisa berbahaya kalau
tiga orang datuk itu muncul. Sekarangpun, tanda bahaya itu sudah mengundang
datangnya belasan orang anak buah lain yang kebetulan berada di sekitar tempat
itu sehingga ia dan lima orang anak buahnya harus menghadapi pengeroyokan
banyak sekali lawan.
Selagi Liong-li dan para
pembantunya mengamuk, merobohkan banyak pengeroyok yang rata-rata memiliki
kepandaian yang cukup tangguh, tiba-tiba nampak sinar api berkobar di sana sini
dan teriakan kebakaran. Ternyata sarang ketiga Kiu Lo-mo itu terbakar di sana
sini!
Tentu saja para pengeroyok
menjadi panik dan Thai-kwi sendiri memberi aba-aba agar anak buahnya mundur
karena dia ingin membawa anak buahnya membantu memadamkan kebakaran yang
terjadi di sedikitnya enam tempat itu!
“Jangan kejar!” Liong-li
berseru dan mengajak lima orang pembantunya menyusup dan menghilang di antara
pohon-pohon, menyusul Ang-hwa dan Pek-hwa yang sudah membawa dua buah mayat
rekan mereka itu ke seberang sungai, mempergunakan perahu yang mereka
sembunyikan di tepi sungai, dalam semak belukar.
Liong-li tersenyum puas, bukan
hanya karena mereka telah berhasil merobohkan lagi beberapa orang anak buah
musuh, juga bukan hanya karena ia berhasil mengambil jenazah dua orang
pembantunya agar dapat dikubur dengan baik, akan tetapi terutama sekali melihat
adanya kebakaran di enam tempat tadi.
Hatinya tidak syak lagi, itu
pasti hasil perbuatan Pek-liong-eng! Siapa lagi kalau Pek-liong yang datang di
saat sedemikian tepatnya, dan menggunakan siasat demikian cerdiknya untuk
mengacaukan musuh dan menolong ia dan para pembantunya yang sedang terkepung
dan terancam?
Malam itu juga, Liong-li dan
tujuh orang pembantunya mengubur dua jenazah dengan sederhana namun penuh
khidmat. Setelah melakukan sembahyang secara sederhana di depan kedua makam
itu, Liong-li dan anak buahnya berunding di depan makam, duduk di atas rumput.
“Kematian Bunga Biru dan Bunga
Hijau membuktikan betapa lihai dan berbahayanya pihak musuh,” Liong-li berkata.
“Tiga orang datuk itu, sisa dari Sembilan Iblis, agaknya menyusun kekuatan dan
bertekad untuk membalas dendam dan membunuh aku dan Pek-liong. Melihat betapa
dua orang rekan kalian telah tewas, dan mengingat akan besarnya bahaya, sekali
lagi aku peringatkan kepada kalian. Aku tidak ingin melihat jatuhnya lebih
banyak korban lagi di antara kita, maka kalian boleh meninggalkan aku. Aku akan
berjuang sendiri menentang mereka, bersama Pek-liong.”
Ang-hwa (Bunga Merah) segera
mendahului teman-temannya menjawab.
“Li-hiap, kenapa lagi-lagi
Li-hiap berkata demikian? Li-hiap, sudah bertahun-tahun li-hiap membimbing
kami, mengajarkan kami bagaimana sikap seorang gagah sehingga kami merasa
menjadi manusia yang berarti. Dalam suatu pertentangan, di mana kita berdiri
sebagai penentang perbuatan jahat, tentu saja terjadi korban. Dua orang rekan
kami tewas, namun mereka tewas sebagai naga, sebagai harimau, dan di pihak
musuh juga banyak yang tewas, lebih banyak dari pada kerugian yang kita derita.
“Li-hiap, kalau kami tewas,
seperti Bunga Hijau dan Bunga Biru, kami akan merasa bangga. Bukan karena kami
tewas membantu li-hiap, melainkan tewas karena menentang kejahatan. Bukankah
li-hiap selalu mengatakan lebih baik mati sebagai harimau melawan musuh yang
jahat, dari pada mati sebagai babi disembelih atau lari seperti anjing yang
ketakutan? Saya sendiri, saya akan tetap bersama li-hiap menghadapi tiga orang
datuk dari Kiu Lo-mo itu?”
Enam orang temannya serentak
menyatakan setuju dan tak seorangpun yang mau meninggalkan Liong-li.
Liong-li merasa terharu.
“Baiklah, kalau begitu, kita lanjutkan usaha kita membasmi mereka, bersama
Pek-liong. Akan tetapi karena pihak lawan sudah mengetahui keadaan kita, maka
kita akan menanti dulu sampai ada berita dari Pek-liong sehingga kita dapat
bekerja sama dengan dia. Pihak musuh terlalu tangguh untuk kita hadapi
sendiri.”
◄Y►
Dugaan Liong-l.i memang benar.
Yang melakukan pembakaran-pembakaran di sarang gerombolan pada malam hari itu
adalah Pek-liong-eng dan enam orang pembantunya. Setelah Pek-liong menemukan
surat yang ditinggalkan Liong-li untuknya dan dia mengadakan pembicaraan dengan
Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In, dia lalu pergi ke lembah Sungai Kuning dan
di suatu tempat yang memang telah dia janjikan kepada enam orang pembantunya,
dia mengadakan pertemuan dengan mereka.
Tempat pertemuan itu di sebuah
kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang letaknya di lereng bukit kecil di
pantai Sungai Kuning. Dalam petualangannya dahulu, Pek-liong pernah
mempergunakan kuil tua ini sebagai tempat bersembunyi, maka kini diapun hendak
memanfaatkan tempat itu untuk menjadi tempat pertemuannya dengan enam orang
pelayan atau pembantunya. Bukit itu tak pernah dikunjungi orang, dan kuil itu
terlalu tua untuk dijadikan kuil baru, dan terlalu seram untuk dijadikan tempat
tinggal, tempatnya sunyi dan jauh tetangga.
Setelah enam orang pembantunya
lengkap berada di situ, Pek-liong menyuruh seorang pembantu berjaga di luar dan
seorang lagi di belakang kuil, kemudian dia mengajak empat pembantu lain untuk
bicara di dalam. Dia mendengar laporan hasil penyelidikan mereka bahwa di
lembah Sungai Kuning terdapat sebuah tempat yang agaknya dijadikan sarang
penjahat.
Mereka berenam belum melihat
adanya tiga datuk besar sisa Kiu Lo-mo, akan tetapi mereka melihat adanya
Thai-san Ngo-kwi dan ratusan orang anak buahnya, yaitu orang-orang kang-ouw
yang termasuk golongan sesat. Juga bahwa tempat itu amat berbahaya, agaknya
dipasangi banyak perangkap dan dijaga ketat.
“Apakah kalian sudah melihat
tanda-tanda hadirnya Hek-liong-li di sana? Atau para pembantunya?” tanya
Pek-liong.
“Kami hanya beberapa kali melihat
sosok bayangan hitam-hitam berkelebat dan menyusup-nyusup di antara pohon dan
semak, akan tetapi kami belum jelas apakah mereka itu Liong-lihiap dengan para
pembantunya. Seperti pesan tai-hiap, kami tidak mengadakan kontak dengan
siapapun, hanya melakukan penyelidikan di sekitar Hek-san (Bukit Hitam) di
lembah Huang-ho (Sungai Kuning).”
Pek-liong mengangguk-angguk.
“Baiklah, mulai sekarang, untuk sementara kita jadikan kuil ini sebagai markas.
Bukit Hitam berada di depan, tak jauh dari sini dan malam ini kita melakukan
penyelidikan ke bukit itu, menyelidiki sarang gerombolan yang kalian temukan.
Persiapkan segalanya, juga minyak bakar, siapa tahu kita dapat
mempergunakannya, setidaknya untuk menggunakan siasat membakar semak memaksa
ular keluar dari sarangnya. Aku ingin memperoleh kepastian apakah gerombolan
yang kalian temukan itu benar merupakan anak buah tiga orang datuk Kiu Lo-mo
ataukah bukan.”
Demikianlah, setelah hari
mulai gelap, Pek-liong dan enam orang pembantunya mendaki bukit Hitam, melakukan
penyelidikan. Mereka berpencar, bergerak naik walaupun mereka menjaga jarak
agar dapat saling berhubungan melalui isyarat yang biasa mereka lakukan dalam
gelap, yaitu suara burung malam. Untuk keperluan penyelidikan kali ini,
Pek-liong mempergunakan jubah luar yang berwarna biru yang panjang dan lebar
menutupi pakaiannya yang serba putih.
Ketika dia menggunakan ilmunya
bergerak ringan dan cepat menyusup di antara semak dan pohon itulah Pek-liong
melihat adanya dua buah mayat wanita yang digantung di pohon besar, di luar
perkampungan gerombolan. Dia terkejut juga melihat betapa dua orang wanita yang
telah tewas itu mengenakan pakaian hitam-hitam seperti pakaian Liong-li, juga
gagang pedang yang menancap di bawah perut mereka adalah gagang pedang mirip Hek-liong-kiam.
Dan diam-diam dia mengeluarkan
makian marah melihat keadaan dua buah mayat yang tersiksa secara mengerikan
itu. Tak syak lagi, inilah bekas tangan keji seorang datuk! Hanya manusia yang
berhati kejam seperti iblis sajalah yang mampu melakukan perbuatan keji
terhadap manusia lain seperti itu.
Kemudian pandang matanya yang
tajam melihat pergerakan di balik semak dan dia melihat sesosok bayangan yang
mendekati pohon di mana dua mayat itu tergantung. Jantungnya berdebar. Dia
yakin bahwa sosok itu adalah Liong-li. Memang wajahnya tidak nampak jelas dan
demikian pula bentuk tubuhnya karena dia berpakaian serba hitam. Akan tetapi
gerakan tubuh itu ketika melangkah, menyelinap dan memegang tongkat panjangnya.
Itulah Liong-li, tak salah lagi!
Dia memberi isyarat kepada
enam orang pembantunya dengan suara burung malam yang memanjang satu kali.
Panjang satu kali berarti agar mereka berhenti di tempat dan waspada, menanti
perintah berikutnya!
Pek-liong melihat betapa
Liong-li membabat putus tali gantungan kedua mayat itu dan pada saat itu,
datanglah serangan anak panah dari barisan pendam pihak musuh. Pek-liong
tersenyum ketika melihat Liong-li beraksi menyebar jarum dan diikuti anak-anak
panah kecil dari para pembantu pendekar wanita itu. Akan tetapi, walaupun
pertempuran itu tidak membutuhkan bantuannya karena Liong-li tidak akan kalah,
namun ketika para gerombolan datang semakin banyak, Pek-liong cepat memberi
isyarat kepada para pembantunya untuk mengikutinya merayap naik ke bukit Hitam.
Dan selanjutnya, dari luar
perkampungan itu, mereka menyerang perkampungan dengan anak panah yang membawa
kain yang dicelup minyak dan dibakar sehingga perkampungan gerombolan itu
dihujani api dari atas dan terjadilah kebakaran-kebakaran yang membuat para
gerombolan panik dan membuat empat orang sisa Thai-san Ngo-kwi terpaksa menarik
mundur anak buahnya yang sedang mengeroyok Liong-li dan lima orang pembantunya.
Setelah berhasil mengacaukan
perkampungan itu dan melihat betapa Liong-li dan para pembantunya dapat melarikan
diri terlepas dari kepungan banyak lawan, Pek-liong dan kawan-kawannya juga
turun dari Hek-san dan menuju ke kuil tempat persembunyian mereka.
Pada keesokan harinya,
Pek-liong dan enam orang pembantunya keluar dari kuil untuk melakukan
penyelidikan lagi karena dia belum merasa yakin apakah benar gerombolan di
Hek-san itu dipimpin oleh tiga datuk dan di situ pula ditahannya Song Tek Hin
dan Su Hong Ing, dan kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li.
Mereka bertujuh kini menyamar
dan karena Pek-liong memang ahli dalam ilmu penyamaran, enam orang pembantunya
juga menyamar dengan baik sekali sehingga sukar dikenali keadaan aselinya.
Pek-liong sendiri menyamar sebagai seorang laki-laki berusia enampuluhan tahun,
rambutnya sudah putih semua dan demikian pula kumis dan jenggotnya, putih tidak
teratur seperti seorang petani tua yang punggungnya agak bongkok dan berjalan
memegang sebatang tongkat bambu butut.
Tak seorangpun tahu bahwa di
dalam bambu itu tersembunyi Pek-liong-kiam! Dia memesan kepada enam orang
pembantunya agar berhati-hati menyelidiki sekitar perkampungan gerombolan di
bukit Hitam, sedangkan dia sendiri ingin mencari di mana Liong-li dan para
pembantunya berada.
Dari puncak bukit dimana kuil
tua itu berdiri, Pek-liong lebih dahulu meneliti keadaan. Nampak bukit Hitam
menjulang di depan, penuh dengan hutan lebat. Bukit itu berada di pantai sungai
Kuning, yang airnya tenang dan keruh.
Liong-li selalu berhati-hati,
pikirnya. Tentu ia tidak mau tinggal terlalu dekat di kaki Hek-san, akan tetapi
juga tidak terlalu jauh sehingga dapat selalu mengawasi sarang gerombolan itu.
Dan semalam, mereka berhasil mengambil dua jenazah yang digantung di pohon, ini
berarti bahwa mereka dapat dengan leluasa mendaki Hek-san.
Tentu mereka tidak jauh dari
Bukit Hitam itu, pikirnya. Akan tetapi di mana? Kalau di seberang sana, tentu
terlalu jauh.