Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 19 Siasat Menghadapi Sepasang Naga

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 19 Siasat Menghadapi Sepasang Naga
19 Siasat Menghadapi Sepasang Naga

“Aihh, kalau sudah bicara tentang kehidupan aku merasa seperti seorang anak kecil mendengarmu, Pek-liong. Aku mengaku bodoh dalam hal ini. Sukar bagiku untuk mengerti, kenapa di dunia ini demikian banyaknya orang jahat. Pada hal, mereka yang jahat itu bukanlah orang bodoh, melainkan orang yang pintar dan mengerti. Kenapa mereka melakukan kejahatan?

“Sepatutnya, mereka yang pintar itu tahu bahwa kelakuan mereka itu tidak benar, mengakibatkan malapetaka bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Akan tetapi kenapa mereka melakukannya juga? Kalau mereka bodoh dan tidak mengerti, hal itu mudah dimaklumi. Akan tetapi mereka itu orang-orang yang pandai dan pintar......”

“Liong-li, kenyataan itu tidak mengherankan. Manusia adalah mahluk yang amat ringkih dan lemah karena kuatnya nafsu yang menguasai diri. Nafsu daya rendah sudah mencengkeram kita, membonceng pada kita, pada setiap anggauta tubuh, bahkan menyusup ke dalam akal pikiran kita sehingga apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita ucapkan dan lakukan, semua itu dikendalikan oleh nafsu yang sifatnya hanya mengejar kesenangan bagi diri sendiri, diri yang sudah menjadi satu dengan nafsu.

“Kepintaran yang berada dalam otak tidak berdaya melawan nafsu. Tidak ada pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu tidak baik, tidak ada perampok yang tidak tahu bahwa merampok itu jahat.

“Setiap orang manusia tahu dan mengerti belaka melalui akal pikiran mereka bahwa melakukan segala macam bentuk kejahatan itu tidaklah baik. Namun, pengertian ini tidak dapat menghentikan nafsu yang mendorong kita melakukan kejahatan. Akal pikiran dapat menimbulkan penyesalan setelah kita melakukan perbuatan jahat, akan tetapi di lain saat, dorongan nafsu menang lagi dan kita didorong untuk mengulang kejahatan yang tadi disesalkan akal pikiran.

“Demikian seterusnya, maka tidak aneh kalau engkau melihat seorang yang pintar dan pandai melakukan kejahatan. Dia menyadari perbuatan itu tidak baik, namun tidak kuasa menolak dorongan nafsu, bahkan akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu membela perbuatan jahat itu dengan bermacam dalih dan alasan untuk membenarkan atau setidaknya mengurangi keburukannya.”

Dalam hal ilmu silat dan kecerdikan akal, Liong-li memang termasuk seorang wanita yang jarang ditemui keduanya. Namun, begitu Pek-liong bicara tentang kehidupan, ia merasa bingung dan menyadari kekurangannya.

Pek-liong-eng Tan Cin Hay memang sudah memiliki kesadaran akan kenyataan hidup seperti yang diterangkannya kepada Liong-li. Namun, dia sendiri belum tahu bagaimana agar dia dapat terbebas dari cengkeraman nafsu-nafsunya sendiri.

Seperti telah dikatakannya, pikiran dan semua ilmu pengetahuan dan kepintarannya, tidak dapat mencegah manusia dari perbuatan jahat dan sesat, karena akal pikiran tidak kuasa melawan pengaruh nafsu. Contohnya yang paling sederhana, semua orang yang kecanduan arak tahu belaka bahwa minum arak merupakan perbuatan yang amat tidak baik, merugikan diri sendiri, merusak badan merusak batin, dapat mengakibatkan orang menjadi mabok dan melakukan hal-hal yang jahat.

Semua peminum arak tahu dan mengerti akan hal ini. Akan tetapi apa daya! Pengertian itu tidak dapat menundukkan keinginan untuk minum arak, yaitu dorongan nafsu yang mendatangkan kesenangan! Kalaupun ada usaha akal pikiran yang sadar untuk menentang keinginan minum arak, maka pikiran itu sendiri yang dicengkeram nafsu menjadi pembela dengan bisikan bahwa minum sedikit tidak mengapa, bahwa minun arak adalah untuk keakraban pergaulan, bahkan minum arak amat baik untuk kesehatan dan sebagainya lagi!

Demikian selanjutnya, kalau dibesarkan seorang koruptor bukan tidak tahu bahwa korupsi itu tidak baik, namun tidak kuasa menolak dorongan nafsu yang ingin mencari kesenangan melalui tindak korupsi. Akal pikirannya akan membela perbuatan itu dengan bisikan bahwa dia bukan sendirian, semua orang juga melakukan bahkan lebih besar lagi, atau bisikan bahwa dia membutuhkan uang untuk keluarga, bahwa dia terpaksa melakukannya, bahwa dia berhak melakukannya untuk imbalan jasanya, dan sebagainya lagi. Bahkan seorang pembunuh akan dibela oleh pikirannya bahwa dia membunuh karena terpaksa, karena dia tidak bersalah dan seribu satu macam alasan lagi untuk menghapus dosa atau setidaknya menguranginya.

Jelas bahwa nafsu menyeret kita ke dalam dosa. Maka, mungkin jutaan orang yang setelah melihat kenyataan ini lalu berusaha untuk mengalahkan nafsu, untuk mengendalikan nafsu dengan bermacam cara. Dengan samadhi, dengan bertapa, dengan penyiksaan diri, mengurangi makan tidur, memaksa diri tidak melakukan segala macam keinginan, bahkan tidak memenuhi kebutuhan badan, dan segala macam cara lagi hanya dengan maksud agar dapat menguasai, mengalahkan dan mengendalikan nafsu, bahkan ada yang berniat untuk mematikan nafsu.

Betapa kenyataan menunjukkan kegagalan semua usaha ini! Nafsu yang dikekang dengan paksa, seperti api yang ditutup sekam, nampaknya saja padam akan tetapi sebetulnya membara di sebelah dalam dan kalau mendapat kesempatan, tertiup sedikit saja lalu berkobar! Semua usaha itu hanya merupakan keinginan untuk mencapai sesuatu, dan keinginan ini justeru hasil kerja dari nafsu!

Nafsu melihat betapa menuruti nafsu mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, maka nafsu lalu mendorong timbulnya keinginan untuk mengekang nafsu! Tentu agar tidak lagi dilanda akibat yang tidak menyenangkan tadi. Karena itu gagal. Mana mungkin nafsu mengekang nafsu, api memadamkan api?

Nafsu merupakan anugerah bagi kita. Nafsu merupakan bahan bakar yang menggerakkan kendaraan tubuh jasmani ini. Tanpa nafsu, pergerakan ini akan macet dan mati. Segala macam kenikmatan dalam hidup ini adalah berkat adanya nafsu. Yang kita kenal sebagai yang enak, yang merdu, yang indah, yang nyaman dan segala macam keadaan yang menyenangkan, adalah berkat adanya nafsu. Nafsu mutlak penting untuk hidup.

Tuhan Maha Bijaksana. Menyertakan nafsu kepada kita pasti ada hikmahnya, ada manfaatnya, bukan untuk dijadikan penggoda. Akan tetapi, nafsu dapat pula menjadi pembujuk yang menyeret kita ke dalam lumpur dosa. Bukan salah nafsu, melainkan salah kita sendiri.

Nafsu ibarat api, tergantung kita yang mengaturnya, sesuai dengan kebutuhan hidup. Kalau dibiarkan merajalela, api akan membakar segalanya, seperti nafsu akan melahap segalanya.

Lalu bagaimana? Dibiarkan berkuasa, kita dijerumuskan dalam jurang kesengsaraan. Dimatikan, tidak mungkin, dikendalikan juga amatlah sukarnya. Lalu bagaimana? Demikianlah pertanyaan abadi yang dicari jawabannya oleh semua manusia di dunia.

Kalau akal pikiran sudah tidak mampu bekerja lagi untuk menemukan jawabannya, maka seyogianya kita kembali kepada sumber, kepada asal. Nafsu diikutsertakan kepada kita oleh Kekuasaan Tuhan Maha Pencipta! Karena itu, untuk menghadapinya, kita kembalikan kepada Kekuasaan Tuhan. Kita menyerahkan kepada Tuhan karena hanya kekuasaan Tuhan jualah yang akan mampu menjinakkan nafsu yang meliar. Menyerah, pasrah dengan sabar, dengan ikhlas, dengan tawakal kepada Tuhan!

Ini merupakan suatu kewaspadaan yang pasip, kewaspadaan tanpa pamrih, dilandasi penyerahan. Tanpa adanya keinginan, tanpa adanya pamrih, berarti tidak memberi umpan kepada api nafsu. Segala macam keinginan, bahkan keinginan untuk menghentikan atau mengendalikan nafsu, justeru menjadi umpan atau bahan bakar bagi api nafsu, mempertahankan kelangsungan hidupnya,

Y

Malam itu hawanya dingin menyusup tulang. Langit cerah oleh cahaya bulan dan awan berkumpul jauh di barat, membuat cahaya bulan dengan bebasnya memandikan permukaan bukit Hitam. Suasana mencekam.

Kalau Pek-liong dan Liong-li, siang tadi mengatur siasat mereka, pihak lawan merekapun tidak tingggal diam. Penyerbuan yang dilakukan Liong-li dan para pembantunya cukup menggegerkan, apa lagi setelah timbul kekacauan karena penyerangan anak panah berapi yang mengakibatkan kebakaran.

Biarpun mereka berhasil membunuh dua orang anak buah Liong-li, namun merekapun kehilangan banyak anak buah. Dan bukan para pembantu Liong-li dan Pek-liong yang mereka kehendaki, melainkan sepasang naga itu sendiri.

Mereka kini dapat menduga siapa yang menghujankan anak panah berapi, karena di antara para penjaga ada yang sempat melihat berkelebatnya bayangan pria dari arah datangnya anak panah berapi, Siapa lagi kalau bukan Pek-liong-eng, pikir tiga orang datuk itu.

“Pek-liong-eng sudah datang, kini lengkaplah sudah. Hek-liong-li dan Pek-liong-eng sudah datang dan agaknya mereka membawa para pembantu mereka,” kata Ang I Sian-li. Suaranya membayangkan ketegangan karena selain gembira akan dapat melaksanakan dendamnya, juga diam-diam ia merasa gentar juga menghadapi Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.

“Liong-li telah kehilangan dua orang pembantunya. Tinggal tujuh orang lagi pembantunya, dan Pek-liong mempunyai enam orang pembantu. Kita harus mengadakan persiapan. Mereka pasti akan berusaha untuk membebaskan tawanan kita,” kata Pek- bwe Coa-ong yang memimpin gerombolan pendendam itu.

“Mereka itu membikin repot saja. Setelah Pek-liong dan Liong-li datang, apakah tidak lebih baik kalau kita bunuh saja empat orang tawanan itu?' Kim Pit Siu-cai mengajukan usul.

“Ah, engkau keliru sekali, Siu-cai!” cela Pek-bwe Coa-ong. “Apa gunanya membunuh mereka? Malah.merugikan sekali, merusak rencana siasat kita. Mereka adalah umpan untuk memancing datangnya Pek-liong dan Liong-li. Kalau umpannya kita hilangkan, tentu ikannya tidak akan tertarik lagi dan tidak dapat kita pancing. Justeru Pek-liong dan Liong-li bernapsu untuk datang adalah karena adanya empat orang tawanan itu. Kalau mereka dibunuh, tentu Pek-liong dan Liong-li tidak begitu bodoh untuk membahayakan diri memasuki tempat ini. Kita bahkan harus menambah daya tarik umpan kita. Lepaskan mereka dari belenggu dan biarkan mereka berada di luar karena malam ini mereka pasti akan muncul di sini!”

Tiga orang datuk itu mengatur siasat untuk menjaga segala kemungkinan. Yang menjadi sasaran utama adalah hadirnya Pek-liong dan Liong-li di dalam sarang mereka. Kalau dua orang musuh besar itu sudah berhadapan dengan mereka, maka mereka yakin akan mampu mengalahkan sepasang musuh besar itu. Anak buah mereka hanya akan menghadapi para pembantu Pek-liong dan Liong-li.

Pek-bwe Coa-ong dan dua orang rekannya juga memperhitungkan kemungkinan berulangnya serangan anak panah berapi. Akan tetapi mereka tidak khawatir. Andaikata sarang mereka terbakar seluruhnya, bangunan itu hanya bangunan darurat. Mereka rela kehilangan semua bangunan itu asalkan mereka dapat menangkap atau membunuh Liong-li dan Pek-Iiong.

Penjagaan diatur dan diam-diam Pek-bwe Coa-ong sudah memasang barisan pendam di luar sarang, untuk menyerang anak buah Pek-liong dan Liong-li kalau mereka menyerang dengan anak panah berapi atau kalau muncul di sekitar sarang itu. Ini juga merupakan pancingan seolah-olah anak buah mereka meninggalkan sarang sehingga mendorong dua orang musuh itu untuk berani memasuki sarang, apa lagi kalau empat orang tawanan itu mereka biarkan berada di luar kamar tahanan.

Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing merasa lega ketika mereka dibebaskan dari ikatan kaki tangan mereka dan digiring oleh belasan orang pengawal keluar dari kamar tahanan. Semalam suami isteri ini mendengar keributan yang timbul karena kebakaran di sana sini.

Mereka mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan hati mereka merasa gembira bercampur tegang dan cemas. Gembira karena mereka dapat menduga bahwa tentu Pek-liong dan Liong-li sudah datang untuk menolong mereka, akan tetapi juga tegang dan cemas karena mereka khawatir sekali sepasang pendekar yang mereka hormati dan sayangi itu akan terperangkap oleh pihak musuh yang licik, cerdik dan lihai.

Ketika suami isteri ini tiba di luar, di bawah sinar lampu gantung yang mendatangkan cahaya remang-remang, mereka melihat betapa kakak beradik Kam juga sudah berada di luar. Kam Sun Ting dan adiknya, Kam Cian Li, tidak lagi dibelenggu dan mereka berdua duduk di atas bangku di ruangan depan bangunan yang tadinya menjadi tempat tahanan, nampak jelas dari luar karena di ruangan itu dipasangi lampu-lampu gantung yang terang. Di tempat itu nampak pula banyak penjaga yang mengepung.

Ketika suami isteri itu disuruh duduk pula di ruangan itu, merekapun duduk dan hanya saling pandang dengan kakak beradik itu. Agaknya mereka berempat memang sengaja dikumpulkan di situ dan mereka dapat menduga bahwa hal ini dilakukan oleh para pemimpin gerombolan agar mereka dapat menarik perhatian Pek-liong dan Liong-li untuk masuk ke tempat itu dan berusaha menolong mereka. Diam-diam mereka merasa tidak enak dan menyesal, merasa seperti menjadi umpan yang akan mencelakakan dua orang pendekar yang mereka sayang dan hormati.

“Kita dijadikan umpan di tempat terbuka ini,” bisik Song Tek Hin kepada isterinya dan kakak beradik Kam ketika mereka duduk di atas bangku mengelilingi sebuah meja. Tidak ada penjaga yang mendekati mereka. Para penjaga itu mengepung rumah tahanan dengan ketat.

“Song-toako, aku merasa tidak enak sekali kalau sampai Pek-liong-eng dan Hek-liong-li terjebak dan celaka karena hendak menolong kita,” kata Kam Sun Ting yang telah akrab dengan suami isteri itu selama mereka berempat menjadi tawanan di situ.

“Bagaimana kalau kita melarikan diri saja sebelum mereka berdua terjebak di sini?” kata Kam Cian Li.

“Bagaimana caranya?” Su Hong Ing, isteri Song Tek Hin, bertanya, memandang ke sekeliling di mana terdapat sedikitnya tigapuluh orang yang nampak melakukan pengepungan. “Tempat ini terkepung rapat!”

“Tidak perduli, kita terjang saja keluar dan melawan mati-matian” kata Kam Cian Li dengan nekat. “Apa lagi enci Hong Ing dan Song-toako memiliki ilmu silat yang tangguh. Takut apa?”

Song Tek Hin tersenyum. “Kita tentu saja tidak takut. Akan tetapi, berusaha melarikan diri seperti itu hanya membuang tenaga sia-sia belaka. Selain kita dikepung oleh puluhan orang anak buah gerombolan, juga kalau seorang saja di antara tiga datuk itu keluar, kita tidak akan mampu berkutik. Mereka itu bukan lawan kita.”

“Aku tidak perduli,” kata Kam Cian Li nekat. “Lebih baik aku mati dikeroyok dari pada harus melihat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li terjebak dan celaka karena hendak menolongku di sini!”

“Li-moi, tidak bijaksana kalau kita mati konyol begitu saja. Kalau kita melakukan kenekatan berarti kita membunuh diri. Dan kalau sampai terjadi kita mati konyol begitu, bukankah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li akan merasa kecewa dan menyesal sekali? Mereka bersusah-payah berusaha menolong kita, bahkan kemarin telah ada dua orang pembantu Hek-liong-li yang tewas dalam usaha mereka menolong kita, dan kita malah membunuh diri!” kata Kam Sun Ting menegur adiknya yang kini tak dapat menahan mengalirnya air mata dari kedua matanya.

“Akan tetapi, koko! Bagaimana mungkin aku berdiam saja di sini melihat mereka berdua terjebak dan mendapat bencana karena aku?” adiknya membantah.

“Tentu saja kita harus berusaha, akan tetapi usaha itu bukan bunuh diri. Kita harus berusaha melarikan diri, akan tetapi menggunakan cara yang tepat dan menanti kesempatan yang baik, bukan asal nekat saja. Aku yakin bahwa saat ini Pek-liong-eng dan Hek-liong-li juga sedang menanti kesempatan untuk menyerbu ke sini. Nah, kalau terjadi keributan, kalau mereka menyerbu ke sini kita harus menggunakan kesempatan itu untuk lari ke arah sungai yang mengalir di bagian barat sarang gerombolan ini.”

“Ke arah sungai? Kenapa ke sungai dan bukan berusaha keluar dari kepungan dan dari sarang gerombolan ini?” tanya Song Tek Hin heran. “Kalau kita berempat mengamuk, sedangkan tiga orang datuk sibuk menyambut Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, kiraku kita berempat akan mampu membobolkan pengepungan mereka. Tentu saja diharapkan keempat orang Thai-san Ngo-kwi juga tidak menghalangi kita.”

“Begini, Song-toako,” kata Kam Sun Ting. “Kurasa, akan percuma saja kalau kita nekat melawan mereka. Engkau dan isterimu saja yang memiliki ilmu silat tinggi masih tidak mampu menandingi mereka, apa lagi kami berdua yang hanya mengerti sedikit ilmu silat. Andaikata kita bisa lolos dari sarang mereka ini, mereka akan melakukan pengejaran dan kita yang belum mengenal daerah bukit ini tentu akan tersesat dan tentu akan tertawan kembali. Karena itu, aku mengajurkan agar kita lari ke sungai saja.”

“Akan tetapi mau apa kita ke sungai? Apakah kita dapat lolos dari pengejaran mereka kalau kita lari ke sungai?” tanya Su Hong Ing penasaran.

“Begini, enci Hong Ing, setelah koko menyatakan pendapatnya, baru aku tahu bahwa memang sungai itulah satu-satunya jalan bagi kita untuk menyelamatkan diri dan tidak menyeret Pek-liong-eng dan Hek-liong-li ke dalam bahaya.”

“Sebetulnya, apa yang kalian maksudkan?” tanya Su Hong Ing.

“Apakah kalian sudah menyediakan perahu di sungai itu untuk kita pakai melarikan diri?” tanya pula suaminya.

Kam Sun Ting menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain kecuali mereka berempat yang dapat mendengarkan percakapan mereka yang dilakukan dengan suara lirih, diapun memberi penjelasan.

“Melarikan diri dengan perahu akan percuma. Akan tetapi kami berdua memiliki keahlian di dalam air. Kami dahulu bekerja sebagai penyelam-penyelam dan begitu kami berdua dapat terjun ke dalam sungai, mereka pasti tidak akan menemukan kami lagi. Dengan cara menyelam kami dapat melarikan diri. Karena itu, kalau keadaan di sini kacau seperti kemarin malam misalnya, dan semua orang sibuk dan panik menghadapi serbuan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, kita berempat dapat melarikan diri ke sungai dan selanjutnya kita terjun ke air dan menghilang.”

“Akan tetapi aku tidak dapat renang!” kata Cu Hong Ing.

“Dan akupun hanya dapat berenang biasa saja!” sambung suaminya.

“Kami dapat membantu, enci Hong Ing,” kata Kam Cian Li. “kalau aku menggunakan tali ikat pinggang dan engkau memegangi tali itu, lalu menahan napas, maka aku akan menarikmu dan membantumu melarikan diri sambil menyelam. Dan koko akan membantu Song-toako.”

Suami isteri itu saling pandang dan mengangguk-angguk. Agaknya memang jalan itu yang terbaik. Kalau hanya bertahan napas, mereka tentu kuat karena mereka sudah mempelajari banyak latihan pernapasan untuk memperkuat diri.

Melihat empat orang tawanan itu bicara berbisik-bisik, Ngo-kwi, orang ke lima dari Thai- san Ngo-kwi, berjalan santai menghampiri mereka dan berjalan-jalan dekat mereka. Matanya yang galak itu mengerling secara kurang ajar kepada Su Hong Ing dan Kam Cian Li, mulutnya tersenyum mengejek.

Dua orang wanita itu membuang muka, tidak mau memandang. Mereka maklum bahwa kalau saja mereka tidak diperlukan oleh ketiga datuk sebagai umpan memancing munculnya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, maka tidak ada harapan mereka akan selamat di tangan seorang tokoh sesat seperti Thai-san Ngo-kwi.

Pandang mata Ngo-kwi itu saja sudah jelas menunjukkan wataknya yang mesum. Melihat empat orang tawanan itu kini menghentikan percakapan mereka, Ngo-kwi pergi menjauh lagi karena dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.

Malam semakin larut. Bulan naik semakin tinggi, akan tetapi langit tidak sebersih tadi. Awan berarak datang dari barat menghampiri bulan. Walaupun hanya awan tipis dan putih, namun cukup mengganggu kecerahan sinar bulan. Udara semakin dingin dan kerik jengkerik dan belalang semakin nyaring, namun tidak mengganggu keheningan malam itu. Semua suara itu bahkan menjadi bagian dari keheningan. Wajar. Wajar itu hening.

Empat orang tawanan itu tidak bercakap-cakap lagi. Mereka duduk di bangku dengan punggung tegak lurus dan santai, bernapas dalam-dalam menghimpun tenaga. Sikap ini mengendurkan ketegangan yang menghamburkan tenaga karena mereka menanti datangnya detik-detik yang mereka harapkan.

Sesuai dengan rencana mereka, Pek-liong dan Liong-li mempergunakan kepandaian mereka untuk menyusup mendekati sarang gerombolan. Mereka berpencar, mengambil jalan masing-masing dari arah kanan dan kiri. Semua anak buah mereka sudah memasang posisi dengan perlengkapan anak panah, kain dan minyak. Mereka hanya menanti tanda dari kedua orang pendekar itu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar