Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 20 Pelarian Melalui Sungai . . . .

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 20 Pelarian Melalui Sungai . . . .
20 Pelarian Melalui Sungai . . . .

Pek-liong merangkak di balik semak belukar, terus menghampiri sarang. Akan tetapi, terpaksa dia berhenti ketika melihat bahwa di luar sarang terdapat banyak anak buah gerombolan yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Barisan pendam ini memang sudah dia perhitungkan dengan Liong-li, maka dia lalu meloncat dengan hati-hati ke atas pohon. Dia maklum bahwa Liong-li tentu melakukan hal yang sama.

Dari atas pohon yang tinggi, terlindung daun-daun yang lebat, Pek-liong mengintai ke balik pagar tinggi. Dia tidak melihat banyak penjaga di dalam sarang itu, hanya beberapa orang saja yang nampak berlalu-lalang di antara bangunan-bangunan.

Kemudian, dia melihat empat orang tawanan itu duduk mengelilingi meja. Mereka duduk dengan tubuh tegak dan punggung lurus, nampak santai dan diam-diam dia merasa girang. Mereka itu telah bersiap-siaga, pikirnya. Agaknya mereka sudah menduga bahwa dia dan Liong-li pasti akan turun tangan malam ini! Pek-liong tersenyum.

Muncul kenangan-kenangan manis ketika dia memandang ke arah empat orang itu. Sahabat-sahabatnya yang baik! Dan sekarang mereka menderita karena dia dan Liong-li. Kalau mereka bukan sahabatnya, tidak mungkin tiga orang datuk mengganggu mereka. Akan tetapi Pek-liong mengerutkan alisnya. Mereka itu dibiarkan berada di luar, nampak tak terjaga.

Jelas ini merupakan umpan! Nampaknya saja sarang itu kosong dan lemah penjagaannya, akan tetapi di luar sarang terdapat banyak sekali anak buah gerombolan yang memasang barisan pendam. Agaknya pihak lawan menggunakan siasat mengosongkan sarang dan bersembunyi di luar, memancing harimau memasuki sarang! Kalau dia dan Liong-li sudah masuk ke sarang itu, puluhan bahkan mungkin ratusan orang anak buah gerombolan itu agaknya tentu akan mengepung tempat itu dan tidak ada jalan keluar lagi!

Pek-liong tersenyum dan dia tahu bahwa saat itu Liong-li tentu juga tersenyum mentertawakan siasat pihak lawan. Kalau hanya dikepung anak buah gerombolan, apa sukarnya bagi mereka untuk lolos? Apa lagi di sana ada sungai, dan ada kakak beradik Kam! Dia dan Liong-li akan mengelabui mereka.

Pek-liong sudah mengambil busur yang tergantung di punggungnya. Pada saat itu nampak sinar meluncur dari arah kirinya, menuju ke dalam sarang gerombolan. Pek-liong tahu bahwa itu adalah isyarat yang diberikan Liong-li kepada para pembantunya. Benar saja, luncuran anak panah berapi itu segera disusul oleh banyak sekali anak panah berapi yang beterbangan menuju ke sarang gerombolan.

Pek-liong cepat meluncurkan isyaratnya dan kini dari arah kanan, beterbangan sinar-sinar dari anak panah berapi menyerang sarang itu.

Melihat ini, empat orang tawanan itu menjadi tegang. Mereka mengharapkan para anggauta gerombolan menjadi panik dan beramai-ramai sibuk memadamkan ke bakaran seperti yang pernah terjadi. Akan tetapi mereka menjadi heran dan bingung karena gerombolan itu kelihatan santai saja. Bahkan tidak nampak Thai-san Ngo-kwi memimpin anak buah mereka untuk memadamkan api yang sudah mulai membakar di sana sini.

“Ini sebuah perangkap, kita jangan ceroboh dan tergesa-gesa,” kata Song Tek Hin yang menjadi curiga.

Sementara itu, para anak buah gerombolan yang memasang baris pendam di luar sarang, sesuai dengan rencana tiga orang datuk, begitu melihat hujan anak panah berapi, segera keluar dari tempat persembunyian mereka dan menyerang ka arah dari mana datangnya anak-anak panah itu.

Pek-liong dan Liong-li dapat memasuki sarang itu dengan mudah. Mereka berdua merobohkan beberapa orang yang bertemu dengan mereka, dan keduanya kini bergabung, terus maju menghampiri empat orang tawanan yang tadi mereka lihat dari atas pohon.

Song Tek Hin, Su Hong Ing, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li menjadi girang bukan main melihat munculnya Pek-liong dan Liong-li, akan tetapi mereka juga khawatir karena pada saat itu, belasan orang penjaga yang tadinya bersembunyi di sekitar rumah itu, serentak datang mengepung mereka.

“Serbu!” Song Tek Hin memberi aba-aba kepada yang lain dan empat orang itupun mengangkat bangku masing-masing dan menerjang ke arah anggauta gerombolan yang mengepung dan agaknya menjaga mereka agar jangan melarikan diri. Para penjaga itu menggerakkan senjata untuk melawan, akan tetapi sebentar saja, empat orang tawanan berhasil merobohkan empat orang anak buah gerombolan dan merampas empat batang pedang. Dengan senjata rampasan ini di tangan, mereka siap untuk mengamuk.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menyeramkan dan empat orang tawanan itu terkejut bukan main karena suara itu mengandung getaran yang membuat mereka menggigil! Bahkan para, anak buah gerombolan juga menggigil dan untuk sementara pengeroyokan itu dihentikan.

“Ha-ha-ha, si keparat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!” kata Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Putih) Gan Ki yang tertawa tadi. “Akhirnya kami dapat berhadapan dengan kalian berdua. Bersiaplah untuk menghadap para rekan kami yang kalian bunuh untuk membayar hutang kalian di akhirat!”

Melihat betapa tiga orang datuk besar musuh mereka itu telah berdiri di situ, Liong-li bertolak pinggang dan berkata dengan suara mengejek.

“Hemm, sejak orang pertama sampai yang terakhir, Kiu Lo-mo terkenal sebagai datuk sesat yang tak tahu malu, suka menggunakan kecurangan dan bersikap pengecut. Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li! Kalau memang kalian bertiga ingin mampus di tangan kami berdua, kenapa tidak langsung saja datang dan menantang sehingga kita dapat bertanding sebagai orang gagah? Kalian menculik para sahabat kami untuk memancing kami, apakah itu perbuatan orang gagah?”

Terdengar suara tawa terkekeh genit. “Hi-hi-hik, bicaramu besar sekali, menunjukkan kesombonganmu, Hek-liong-li. Sekarang kami berhadapan dengan kalian, boleh kita bertanding dan kalian akan mati di tangan kami. Adapun empat orang ini, karena mereka adalah sahabat-sahabatmu, mereka akan mampus pula, hik-hik!”

Pek-bwe Coa-ong memberi isyarat kepada anak buahnya yang kini sudah berkumpul di situ, sebanyak duapuluh orang lebih. “Tangkap mereka berempat!”

Dan dia sendiri bersama dua orang rekannya sudah mengepung Pek-liong dan Liong-li. Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas) sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kipas lebar dan sebatang pena bergagang emas. Senjata inilah yang memberinya nama besar di dunia persilatan.

Ang I Sian-li juga mencabut sepasang pedangnya. Tanpa siang-kiam (pedang pasangan) itupun iblis betina ini sudah lihai sekali dan tingkat kepandaiannya hanya kalah sedikit dibandingkan tingkat kedua orang rekannya. Di samping ilmu silatnya tinggi dan tenaga sin-kangnya kuat, wanita ini juga mempelajari ilmu-ilmu sesat, ilmu hitam yang diperkuat oleh hasil kekejiannya yang mengerikan, yaitu suka menghisap habis darah bayi.

Orang tertua di antara mereka bertiga, yaitu Pek-bwe Coan-ong, memegang sebatang tongkat ular yang berekor putih. Tongkat Pek-bwe-coa (ular berekor putih) ini yang membuat dia dijuluki Pek-bwe Coa-ong dan selain dia paling lihai dalam hal ilmu silat dan paling kuat tenaganya, juga dia memiliki ilmu memanggil dan menguasai ular, seorang pawang ular yang amat lihai dan berbahaya.

Karena mereka datang dengan tujuan terutama sekali untuk menolong empat orang tawanan itu, maka Pek-liong dan Liong-li segera berloncatan mendekati mereka berempat yang sedang mengamuk. Begitu mereka menggerakkan-tangan, nampak sinar hitam Hek-liong-kiam dan sinar putih Pek-liong-kiam dan robohlan empat orang pengeroyok. Empat orang tawanan itu bertambah semangat mereka, apalagi ketika Liong-li berkata lirih, “Sun Ting, ajak mereka lari ke sungai!”

Diam-diam Kam Sun Ting kagum bukan main. Kiranya, begitu datang ke tempat itu, Hek-liong-li telah melihat pula kemungkinan mereka meloloskan diri lewat air!

Akan tetapi kini tiga orang datuk itu menerjang maju dan karena mereka maklum bahwa empat orang tawanan itu bukanlah lawan tiga orang sakti itu, Pek-liong dan Liong-li cepat menggerakkan pedang menyambut mereka. Mereka berdua juga maklum betapa lihainya tiga orang lawan itu.

Apa lagi di situ masih terdapat banyak sekali anak buah para datuk itu, maka begitu menggerakkan pedang, tanpa berunding lagi, mereka keduanya sudah memainkan Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang dirangkai oleh mereka berdua. Nampaklah gulungan sinar hitam dan putih saling belit dan saling tunjang, saling melindungi dan dari gulungan kedua sinar ini mencuat sinar yang menyerang tiga orang lawannya.

Namun, sekali ini sepasang pendekar itu berhadapan dengan tiga orang lawan yang amat tangguh. Tingkat kepandaian tiga orang ini masing-masing sudah seimbang dengan tingkat Pek-liong dan Liong-li, maka kini mereka berdua dikeroyok tiga, sungguh merupakan lawan yang amat berat.

Apalagi mereka bermaksud untuk menolong empat orang sahabat mereka, tentu saja mereka tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian sepenuhnya untuk melawan tiga orang datuk. Maka, mereka menggabungkan sinar pedang mereka, membentuk benteng pertahanan untuk melindungi diri dari desakan tiga orang lawan sambil kadang memperhatikan keadaan empat orang sahabat yang sedang berusaha melarikan diri itu.

Dipimpin oleh Song Tek Hin yang paling lihai di antara mereka, empat orang tawanan itu mengamuk dengan pedang rampasan. Song Tek Hin adalah seorang jago pedang yang tingkat kepandaiannya sedikit lebih tinggi dari pada isterinya, Su Hong Ing, murid Bu-tong-pai yang lihai. Adapun kakak beradik Kam hanya memiliki tubuh yang kuat dan gesit, tidak memiliki ilmu silat tinggi akan tetapi kedua orang kakak beradik yang pernah menjadi kekasih Pek-liong dan Liong-li ini pernah menerima petunjuk ilmu silat dari kedua orang pendekar itu.

Dengan hati yang penuh keberanian dan semangat karena hadirnya Pek-liong dan Liong-li, empat orang itu berhasil membobolkan kepungan dan mereka membela diri sambil menuju ke sungai.

Melihat ini, Pek-liong dan Liong-li juga bersilat membela diri saling melindungi sambil mundur mengikuti empat orang sahabat mereka. Mengerti bahwa empat orang tawanan dan dua orang pendekar itu menuju ke sungai, tiga orang datuk itu diam-diam mentertawakan mereka.

Bagaimana mungkin mereka akan dapat melarikan diri kalau menuju ke sungai? Mereka tidak mempunyai perahu dan andaikata mempunyai perahu sekalipun, tentu perahu itu akan terhadang perahu-perahu anak buah mereka, baik di anak sungai itu maupun di Sungai Kuning, di mana air sungai itu bergabung. Maka, mereka tidak menghalangi, bahkan menggiring enam orang itu agar sampai di tepi sungai dan mendapatkan jalan buntu

Mereka sudah merasa yakin bahwa enam orang itu tidak akan mampu lolos. Pek-bwe Coa-ong yakin akan hal ini. Bahkan andaikata terjadi suatu keajaiban sehingga mereka dapat lolos dia masih memegang suatu kekuasaan yang dapat dia pergunakan untuk memaksa Pek-liong dan Liong-li datang membayar hutang kepada Kiu Lo-mo!

Sementara itu, keempat orang Thai-san Ngo-kwi memimpin anak buah mereka yang banyak sekali jumlahnya, melakukan penyerbuan ke arah enam orang pembantu Pek-liong dan tujuh orang pembantu Liong-li yang melakukan serangan dengan anak panah berapi dari sisi kanan dan kiri ke arah sarang gerombolan. Serangan yang dilakukan gerombolan penjahat itu begitu tiba-tiba datangnya sehingga mengejutkan para pembantu kedua pendekar itu. Namun dengan gigih mereka melakukan perlawanan.

Bagaimanapun juga, baik enam orang pembantu Pek-liong maupun tujuh orang pembantu Liong-li, tak lama kemudian terdesak hebat. Terutama sekali empat orang Thai-san Ngo-kwi merupakan lawan yang teramat berat bagi mereka sedangkan anak buah merekapun banyak. Thai-kwi dan Ji-kwi memimpin tigapuluh orang anak buah mengeroyok enam orang pembantu Pek-liong, sedangkan Su-kwi dan Ngo-kwi memimpin tigapuluh orang lebih mengeroyok tujuh orang pembantu Liong-li!

Para pembantu sepasang pendekar itu mengamuk dan melawan mati-matian. Banyak juga anak buah gerombolan yang tewas oleh amukan mereka, akan tetapi akhirnya mereka sendiri tak mampu menahan dan di antara enam orang pembantu Pek-liong, tinggal dua orang yang berhasil melarikan diri, yang empat orang roboh dan tewas di bawah hujan senjata pengeroyok. Demikian pula para pembantu Liong-li, hanya dua orang yang dapat lolos dengan luka-luka ringan, yang lima orang lagi tewas. Hanya Ang-hwa dan Pek-hwa yang dapat lolos.

Biarpun anak buah mereka sendiri banyak yang tewas, namun empat orang dari Thai-san Ngo-kwi membawa anak buah mereka pulang ke sarang dengan tawa kemenangan dan ketika mereka tiba di sarang, mereka melihat betapa Pek-liong dan Liong-li bersama empat orang tawanan itu mengamuk, dikeroyok dan didesak oleh tiga orang datuk. Enam orang itu telah terdesak mundur sampai ke tepi sungai!

Melihat ini, tiga orang datuk tertawa-tawa. Enam orang itu telah terkepung dan tidak dapat mundur lagi karena di belakang mereka terdapat sungai yang cukup lebar dan dalam. Di situ tidak ada perahu, sedangkan anak buah mereka sudah siap dengan perahu-perahu yang disembunyikan di darat.

“Ha-ha-ha, Pek-liong dan Liong-li. Kalian tidak dapat lolos dari tangan kami sekarang!” kata Pek-bwe Coa-ong yang semakin gembira melihat empat orang dari Thai-san Ngo-kwi sudah kembali sehingga keadaan mereka semakin kuat. Kepada dua orang rekannya dia berkata, “Kita tangkap mereka hidup-hidup!”

Tentu saja dia dan dua orang rekannya ingin menangkap dua orang musuh besar itu dalam keadaan hidup agar mereka dapat membalas dendam dan melampiaskan kebencian mereka dengan menyiksa dulu musuh mereka sepuas hati sebelum membunuh mereka! Kebencian membuat manusia manapun juga menjadi buas. Hati yang panas dan diracuni dendam kebencian baru akan merasa puas dan senang melihat orang yang dibencinya tersiksa!

Melihat munculnya Thai-san Ngo-kwi dan anak buah mereka, Pek-liong dan Liong-li tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, mereka berenam akan kalah atau setidaknya, empat orang sahabat mereka akan dapat tertawan kembali. Liong-li segera berseru. “Semua ke air!”

Kedua orang pendekar itu melihat betapa Kam Cian Li sudah menggandeng tangan Su Hong Ing dan menariknya loncat ke dalam sungai, demikian pula Kam Sun Ting menarik Song Tek Hin meloncat ke air. Mereka berdua juga cepat meloncat dan kembali air di permukaan sungai itu memercik ketika tertimpa tubuh dua orang pendekar itu.

“Tai-hiap, ke sini dan pegang ujung tali ini!” Kam Sun Ting berseru dan Pek-liong gembira dan kagum. Kiranya Kam Sun Ting sudah mempersiapkan diri!

“Sini Li-hiap, dan pegang ujung taliku!” kata pula Kam Cian Li yang berenang sambil membantu Su Hong Ing.

Setelah sepasang pendekar itu berenang menghampiri dan mereka menangkap ujung tali yang dililitkan di pinggang kakak beradik ahli selam itu, Kam Sun Ting dan adiknya berseru. “Ambil napas sebanyaknya dan tahan napas!”

Seruan ini ditujukan kepada Song Tek Hin dan Su Hong Ing karena Pek-liong dan Liong-li sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Setelah mereka semua menghirup udara sebanyaknya memenuhi paru-paru mereka dan menahan napas, kakak beradik itu menyelam dan lenyap dari permukaan air, dan bersama dengan mereka, lenyap pula tubuh suami isteri itu dan sepasang pendekar.

Tadinya tiga orang datuk itu tertawa-tawa melihat enam orang buronan itu terjun ke dalam sungai. “Tangkap mereka hidup-hidup, gunakan perahu!” kata Pek-bwe Coa-ong yang merasa yakin bahwa mereka tidak akan mungkin.berenang jauh.

Akan tetapi, begitu dia melihat enam orang itu lenyap, dia menjadi terkejut. Demikian pula dua orang rekannya, juga Thai-san Ngo-kwi dan para anak buah mereka menjadi panik.

“Kejar mereka!”

“Cari......!!”

Mereka yang merasa pandai renang segera melompat ke air. Akan tetapi tidak banyak di antara mereka yang pandai menyelam. Empat orang yang merasa memiliki keahlian menyelam, segera menukik dan menyelam, akan tetapi sebentar saja empat orang ini sudah tersembul lagi dalam keadaan tak bernyawa! Tiga orang datuk menjadi terkejut dan mereka berloncatan ke perahu-perahu yang sudah ditarik keluar dari balik semak-semak dan mereka bertiga memimpin sendiri pengejaran itu, menggunakan perahu-perahu.

Akan tetapi, amat sukar menemukan enam orang buronan yang lenyap dari permukaan air itu. Awan yang berarak semakin tebal sehingga cahaya bulan menjadi redup, dan gerakan banyak perahu itu membuat permukaan air berombak, sehingga biar pun kadang-kadang kepala para pelarian itu menonjol keluar sebentar untuk berganti udara dalam pernapasan mereka lalu menyelam lagi, tidak sempat diketahui mereka yang melakukan pencarian.

Tiga orang datuk itu menjadi penasaran sekali. Tak mungkin enam orang itu lenyap begitu saja, kecuali kalau mereka itu mati tenggelam. Akan tetapi, melihat betapa empat orang anak buah yang menyelam tadi tewas terbunuh, membuktikan bahwa enam orang pelarian itu masih hidup. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan bahwa mereka berenam mampu meloloskan diri dengan cara menyelam dalam air sungai.

Sampai pagi mereka mencari-cari, namun tidak berhasil karena saat itu, enam orang pelarian telah pergi jauh, bahkan telah mengurus jenazah para anak buah Pek-liong dan Liong-li dengan sedih.

Hek-liong-li, wanita berhati baja yang gagah perkasa dan hampir tak pernah bersedih, pagi hari itu nampak menangis terisak-isak di depan makam tujuh orang pembantunya. Dua buah makam baru kemarin dulu ditimbun, kini ditambah lima buah makam para pembantunya yang tewas diserbu Su-kwi dan Ngo-kwi bersama anak buah mereka. Pek- liong hanya termenung, juga penuh kedukaan di depan makam empat orang pembantunya yang setia.

Kini tinggal dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pula pembantu Pek-liong. Mereka juga berkabung. Bahkan Song Tek Hin dan Su Hong Ing, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, ikut pula bersembahyang dan berkabung.

“Aihh, semua ini adalah kesalahan kami berempat,” kata Song Tek Hin dengan suara menyesal. “Kalau kami berempat tidak menjadi tawanan dan tidak mau menulis surat kepada Tai-hiap dan Li-hiap, tentu tidak akan terjatuh begini banyak korban. Mereka ini tewas karena kami berempat.”

“Saudara Song Tek Hin jangan bicara begitu,” kata Pek-liong sambil mengerutkan alisnya. “Mati hidup ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh manusia! Kalau dicari sebab sebabnya, amatlah banyak dan berantai amat panjang. Kalau dianggap bahwa kematian mereka disebabkan kalian berempat ditawan, maka kalian berempat ditawan karena kalian menjadi sahabat-sahabat baik kami berdua!

“Tidak ada yang bersalah dalam hal ini, yang bersalah adalah Kiu Lo-mo karena mereka adalah manusia-manusia sesat yang suka melakukan perbuatan jahat. Kita adalah orang-orang yang menentang kejahatan, maka terjadi bentrokan antara mereka dan kita. Kalau jatuh korban dalam bentrokan ini, hal itu sudah sewajarnya.”

“Pek-liong berkata benar,” kata Liong-li yang telah dapat mendinginkan hatinya dan tenang kembali walaupun kedua pipinya masih basah. “Tujuh orang pembantuku dan empat orang pembantunya tewas sebagai orang-orang gagah, hal itu tidak perlu terlalu disedihkan. Aku akan membalaskan kematian mereka! Kiu Lo-mo tinggal tiga orang lagi dan aku bersama Pek-liong pasti akan dapat membasmi mereka! Kalian berempat sebaiknya cepat pulang saja agar jangan terlibat, dan bersikaplah hati-hati menjaga diri.”

Pek-liong mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya memenuhi permintaan Liong-li. Kalian berempat pulanglah, dan juga masing-masing pembantu kami sebaiknya mengundurkan diri agar jangan jatuh korban lebih banyak lagi. Aku dan Liong-li berdua yang akan menghancurkan mereka, tanpa membahayakan keselamatan orang-orang yang menjadi sahabat baik kami.”

“Li-hiap, kami berdua tidak mau meninggalkan li-hiap! Apa lagi tujuh orang rekan kami telah tewas dan kami disuruh mengundurkan diri? Tidak, li-hiap, kami akan membantu li-hiap dengan mempertaruhkan nyawa ini, untuk menuntut balas atas kematian tujuh orang rekan kami!” kata Ang-hwa dengan suara masih mengandung tangis.

“Kamipun tidak mau meninggalkan tai-hiap, lebih baik kami mati pula di tangan para penjahat dari pada harus lari setelah empat orang rekan kami tewas,” kata dua orang pembantu Pek-liong.

“Kami juga tidak mau pulang, kami ingin membantu tai-hiap dan li-hiap!” kata kakak beradik Kam dengan suara hampir berbareng.

“Demikian pula kami. Kami akan membantu sekuat tenaga,” kata Song Tek Hin dan isterinya mengangguk, membenarkan suaminya.

Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan merasa terharu. Tidak ada yang lebih indah dari pada persahabatan yang tulus ikhlas dan setia. Akan tetapi mereka juga merasa khawatir sekali. Pihak musuh terlampau kuat dan amat berbahaya bagi empat orang sahabat dan empat orang pembantu mereka itu kalau mereka membantu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar