Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 21 Jebakan Iblis Melalui Anak Kecil

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 21 Jebakan Iblis Melalui Anak Kecil
21 Jebakan Iblis Melalui Anak Kecil

Mereka sudah kehilangan sebelas orang pembantu. Mereka tidak ingin melihat ada korban lagi. Pula, kalau mereka berdua dibantu, menghadapi lawan yang amat kuat dan berbahaya, berarti mereka berdua bahkan harus melindungi para pembantunya itu sehingga mereka tidak dapat bergerak dengan leluasa. Untuk menghadapi para anak buah tiga orang datuk itu tentu saja para pembantu ini masih menguntungkan, akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga orang datuk itu atau Thai-san Ngo-kwi, mereka terancam bahaya maut.

Selagi dua orang pendekar itu meragu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan seorang penunggang kuda mendaki bukit itu. Pek-liong dan Liong-li bangkit dan memandang dengan penuh kewaspadaan.

Seorang laki-laki berusia tigapuluhan tahun, bertubuh tinggi besar, meloncat turun dari atas punggung kudanya, membawa sebuah bungkusan dan menghampiri Pek-liong dan Liong-li dengan sikap gentar.

“Siapa engkau? Mau apa?” tanya Pek-liong singkat.

Orang itu membungkuk. “Saya adalah utusan pimpinan kami Pek-bwe Coa-ong untuk menyerahkan buntalan ini kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.”

“Aku Pek-liong-eng, berikan kepadaku!” kata Pek-liong.

Orang itu menyerahkan buntalan kain kuning kepada Pek-liong, kemudian dia membalikkan tubuh hendak pergi.

“Tunggu!” bentak Liong-li sehingga orang itu terkejut dan menahan langkahnya. “Tunggu sampai Pek-liong membuka dan melihat isi buntalan!”

Dengan hati-hati dan sikap tenang Pek-liong membuka buntalan itu dan merasa heran mendapatkan bahwa isinya adalah sehelai baju anak-anak berwarna merah. Ketika lipatan baju dibuka, di dalamnya terdapat sehelai kertas yang ditulis dengan huruf-huruf besar:

KAMI AKAN MENGGANTUNG CU KECIL KALAU KALIAN TIDAK CEPAT DATANG MEMBUAT PERHITUNGAN.

Pek-liong sengaja membaca surat itu sehingga terdengar oleh para sahabat dan pembantunya.

Terdengar jerit tertahan dan Su Hong Ing meloncat ke depan dan mengambil baju kanak-kanak berwarna merah itu dari tangan Pek-liong. Diamatinya baju itu dan iapun berteriak, “Ini baju Song Cu, anakku!”

Song Tek Hin juga maju dan merampas baju itu dari tangan isterinya, mengamatinya, kemudian dia membalik dan mencengkeram baju pembawa surat itu di bagian dadanya, menariknya dan membentak marah.

“Hayo katakan, bagaimana anak kami dapat berada di sarang kalian!”

Orang itu menggeleng kepalanya. “Aku hanya utusan. Aku tidak tahu bagaimana anak itu dapat berada di tangan pemimpin kami.”

“Bagaimana keadaannya?” Su Hong Ing juga mendekati orang itu.

Utusan itu tersenyum mengejek. “Keadaannya baik-baik saja sampai sekarang ini. Akan tetapi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya kalau kalian tidak memenuhi permintaan pimpinan kami.”

“Jahanam busuk!” bentak Su Hong Ing dan ia sudah menggerakkan tangan hendak memukul orang itu. Akan tetapi suaminya menangkap pergelangan tangannya dan menggeleng kepala. Su Hong Ing menyadari bahwa ia tidak boleh menyerang seorang utusan.

Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan mengerutkan alis mereka. Tak mereka sangka sama sekali bahwa tiga orang datuk itu akan bertindak sedemikian jauh, sedemikian liciknya sehingga mereka sampai hati menculik seorang anak kecil untuk dijadikan sandera.

Song Tek Hin mendorong orang itu sehingga hampir terjengkang. Orang itu memandang dengan senyum mengejek kepada Pek-liong dan Liong-li, kemudian bangkit dan sebelum meninggalkan tempat itu dia berkata kepada Liong-li dan Pek-liong.

“Pimpinan kami menyuruh kami meninggalkan pesan bahwa kalau sampai matahari tenggelam hari ini kalian tidak datang menemui mereka, anak itu akan dibunuh dan mayatnya digantung di pintu gerbang sarang kami.” Setelah berkata demikian, dia pun meninggalkan tempat itu cepat-cepat.

Su Hong Ing menahan jerit tangisnya dan dia terkulai dalam pelukan suaminya, menangis dengan muka pucat karena ia merasa khawatir dan bingung sekali.

Hek-liong-li mengepal kedua tinju tangannya “Keparat, betapa liciknya mereka! Tak kusangka mereka akan mempergunakan kecurangan yang tak tahu malu itu!”

Pek-liong menarik napas panjang. “Kalau tidak licik dan curang, bukan Kiu Lo-mo namanya. Kita harus menghadapi mereka dengan kepala dingin.”

Liong-li mengangguk dan segera sikapnya tenang kembali, tidak terbakar emosi seperti tadi, lalu ia berkata kepada suami isteri yang sedang panik karena mengkhawatirkan anak mereka itu.

“Kalian jangan gelisah. Kami berdua pasti akan datang dan menemui mereka, minta agar anak kalian yang tidak tahu apa-apa itu segera dibebaskan.”

“Benar, kalian tenang sajalah. Mereka menawan anak itu hanya untuk memaksa kami pergi kepada mereka. Anak kalian pasti akan dapat dibebaskan,” kata pula Pek-liong.

Mendengar ini, Su Hong Ing terisak lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Pek-liong, “Tai-hiap, maafkan kami...... bukan maksud kami untuk membuat tai-hiap dan li-hiap terancam bahaya maut..... tapi...... tapi kami..... aku tidak dapat hidup tanpa anakku.....”

“Sudahlah, kalian tidak bersalah, anak kalian juga tidak bersalah. Memang Kiu Lo-mo amat curang, akan tetapi kami pasti akan mampu menghajar mereka dan menyelamatkan anak kalian,” kata Liong-li. “Sekarang juga kami akan berangkat ke sana untuk membebaskan anak kalian.”

“Sebaiknya kalau kalian delapan orang menunggu saja di sini dan jangan berpencar. Tunggu sampai kami kembali ke sini,” kata Pek-liong kepada empat orang sahabat dan empat orang pembantu itu. Kemudian bersama Liong-li dia berkelebat dan lenyap dari situ.

Setelah sepasang pendekar itu pergi.

Su Hong Ing menangis. “Tidak aku tidak dapat membiarkan mereka terancam bahaya demi menyelamatkan anakku, dan aku sendiri menunggu dan menganggur di sini. Aku harus mencoba untuk menyelamatkan anakku!”

Melihat isterinya menangis seperti itu, Song Tek Hin merangkulnya. “Tenanglah, memang akupun berpendapat seperti itu, Sepantasnya yang mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan anak kita harus kita sendiri. Mari, mari kita ke sana dan kita minta kepada mereka agar anak kita dibebaskan.”

“Kami akan membantu kalian, Song-toako!” kata Kam Sun Ting dan adiknyapun bangkit berdiri dan menggandeng tangan Su Hong Ing.

Suami isteri itu terkejut. “Aih, jangan! Kalian berdua sudah menyelamatkan kami ketika kita melarikan diri melalui air, jangan lagi kalian kini terjun ke dalam bahaya untuk membantu kami,” kata Song Tek Hin yang merasa tidak enak sekali.

“Sebetulnya kami takut melanggar perintah li-hiap, akan tetapi kalau kalian berempat pergi untuk menyelamatkan anak itu, kami berdua pun tidak mau ketinggalan dan menunggu saja di sini. Kami akan ikut pula membantu kalian merampas kembali anak itu!” kata Ang-hwa, dan Pek-hwa mengangguk menyetujui.

“Kamipun bukan orang-orang takut mati. Biar tai-hiap akan memarahi kami, akan tetapi kami juga akan membantu, sekalian membalas dendam atas kematian empat orang rekan kami!” kata pula dua orang pembantu Pek-liong dengan sikap gagah.

Mendengar pernyataan mereka semua itu, Song Tek Hin dan Su Hong Ing merasa terharu sekali, akan tetapi juga girang karena dengan bantuan enam orang itu, selain kedudukan mereka lebih kuat, juga mereka berdelapan akan dapat membantu Pek-liong dan Liong-li. Song Tek Hin segera memberi hormat kepada mereka dengan merangkap kedua tangan depan dada.

“Terima kasih, terima kasih, cu-wi (anda sekalian) sungguh merupakan sahabat-sahabat yang setia. Baiklah, mari kita bersama-sama membantu Pek-liong dan Hek-liong-li menghadapi para iblis kejam itu. Akan tetapi, kami percaya bahwa nona Ang-hwa dan nona Pek-hwa yang selama ini membantu Liong-li, tentu lebih berpengalaman dan dapat menjadi pimpinan kita.”

Ang-hwa dan Pek-hwa mengerling ke arah dua orang pembantu Pek-liong dan berkata, “Aih, mana kami berani. Di sini terdapat dua orang pembantu tai-hiap yang jauh lebih pandai dari pada kami. Sepantasnya mereka itulah yang menjadi pimpinan kita.”

Semua orang memandang kepada dua orang pria yang gagah itu. Mereka berusia kurang lebih tigapuluh tahun. Yang berkumis tipis memberi hormat kepada mereka dan dengan sikap yang serius dia berkata.

“Kami tidak berani mengatakan bahwa kami berdua yang paling pandai, akan tetapi mengingat akan pentingnya tugas yang kita hadapi, biarlah untuk sementara kami mewakili tai-hiap untuk memimpin gerakan ini, dengan ketentuan bahwa kalian semua harus membantu kami. Sebaiknya kalau kami memperkenalkan diri. Aku bernama Gui Keng Hong dan ini adalah adikku sendiri bernama Gui Keng Siu.” Dia menunjuk kepada adiknya yang alisnya tebal sehingga nampak gagah perkasa.

“Bagus, sekarang bagaimana kita harus bergerak? Harap kedua saudara Gui suka mengatur siasat dan membagi tugas,” kata Song Tek Hin.

“Pihak musuh teramat kuat. Bukan saja tiga orang datuk itu sakti, akan tetapi empat orang pembantunya, yaitu sisa dari Thai-san Ngo-kwi itu lihai bukan main. Kita bukanlah lawan mereka, dan di sana masih diperkuat pula oleh anak buah yang puluhan, mungkin ratusan orang banyaknya. Kami yakin bahwa menghadapi lawan yang jaun lebih banyak dan lebih kuat, tentu Pek-liong tai-hiap dan Hek-liong li-hiap akan menggunakan siasat, tidak menyerang begitu saja dengan kekerasan.

“Oleh Karena itu, mari kita menyelundup ke sana dengan hati-hati. Kita harus selalu bersatu, tidak berpencar agar lebih kuat. Kalau ada penjaga yang melihat kita, kita bunuh mereka. Kita mengintai ke sarang itu dan melihat keadaan dan perkembangan selanjutnya, menanti sampai tai-hiap dan li-hiap turun tangan. Dengan demikian, kita dapat membantu mereka semampu kita.”

Berangkatlah delapan orang itu dengan penuh semangat, meninggalkan bukit yang menjadi tanah kuburan para pembantu Pek-liong dan Liong-li, menuruni bukit lalu mendaki Bukit Hitam yang menjadi sarang gerombolan yang dikepalai Kiu Lo-mo.

Y

Pek-liong dan Liong dapat menyusup ke sarang gerombolan itu. Mereka melihat kenyataan betapa kini di luar sarang itu tidak terdapat penjagaan, dan ketika mereka menuju ke sarang itu, mendaki sejak dari kaki bukit, tidak menemui halangan, tidak nampak seorangpun anggauta gerombolan. Hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh pihak musuh yang tidak ingin kebobolan sehingga kini seluruh kekuatan dikerahkan untuk menjaga sebelah dalam sarang.

Matahari telah naik tinggi ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di luar sarang itu. Tadinya mereka hendak langsung saja menantang tiga orang datuk, menantang untuk membuat perhitungan antara mereka saja tanpa melibatkan orang lain dan agar mereka membebaskan anak kecil yang ditawan. Akan tetapi, melihat betapa seluruh kekuatan gerombolan dicurahkan ke dalam sarang, mereka maklum bahwa kalau mereka melakukan tantangan secara berterang, mereka tentu akan dikepung oleh ratusan orang dan hal ini amat berbahaya. Maka, mereka lalu memutuskan untuk menyelidiki terlebih dahulu sebelum turun tangan.

Ketika mereka mendapatkan tempat pengintaian dari balik pagar tembok dan mengintai ke dalam, mereka melihat betapa sarang itu sunyi seolah telah ditinggalkan penghuninya. Tidak terdengar suara apapun. Akan tetapi ketika mereka memandang ke bagian tengah, di sana terdapat sebatang pohon besar dan di bawah pohon itu nampak seorang anak laki-laki yang sedang bermain-main seorang diri!

Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun, duduk di atas tanah dan bermain-main dengan daun-daun dan ranting-ranting kering, sedangkan pada kaki kirinya terdapat sehelai tali yang diikatkan pada batang pohon! Dan di sekeliling pohon itu, seolah mengepung anak kecil itu, nampak puluhan ekor ular besar kecil, siap untuk menyerang! Dan terdengar suara suling lirih yang agaknya mengendalikan ular-ular itu.

“Jahanam......!” Liong-li memaki lirih. Ia dan Pek-liong segera tahu apa artinya semua itu. Anak itu tentulah anak dari Song Tek Hin dan Su Hong Ing yang entah bagimana telah diculik oleh Pek-bwe Coa-ong dan jelas bahwa anak itu sengaja dibiarkan bermain-main di bawah pohon itu, dikurung ular-ular, dijadikan umpan untuk menarik mereka berdua datang ke situ. Akan tetapi merekapun tahu benar bahwa tempat yang nampaknya sunyi itu sebetulnya diawasi banyak orang dan sekali mereka hadir di sana, tentu akan muncul ratusan orang yang mengepung mereka. Itu bukan cara terbaik untuk mencoba membebaskan anak itu, pikir mereka.

Sebelum mereka berhasil membebaskan anak itu, tentu mereka telah dikepung dan akan sulitlah melawan mereka sambil melindungi anak itu, apa lagi kalau tiga datuk itu muncul. Menghadapi tiga orang datuk itu saja sudah merupakan hal yang amat berat bagi mereka, apa lagi kalau harus melindungi seorang anak kecil dan pihak musuh masih dibantu oleh ratusan orang anak buah!

Mereka sama sekali tidak takut mati, hanya takut tidak akan berhasil menyelamatkan anak itu. Mereka telah kehilangan banyak pembantu, dan mereka tidak ingin melihat orang lain menjadi korban lagi karena sisa Kiu Lo-mo hendak membalas dendam kepada mereka.

“Kita tunggu saja, melihat perkembangannya,” bisik Liong-li dan Pek-liong menganggukkan kepala tanda setuju.

Biarpun mereka berdua mengintai ke dalam, namun pengintaian itu dilakukan secara bergiliran. Seorang mengintai ke dalam akan tetapi yang lain menebarkan pandangan ke arah luar sarang sehingga mereka dapat mengamati seluruh jurusan dan tidak sampai dibokong pihak musuh.

Setelah beberapa lama mereka mengintai dan belum juga ada gerakan perubahan di dalam, dan anak kecil itu mulai bosan dengan mainannya dan mulai bangkit berdiri, melangkah pergi namun terjatuh karena kakinya diikat, menjadi bingung lalu memandang ke kanan kiri, mulai menangis memanggil-manggil ibu dan ayahnya, tiba-tiba terdengar teriakan dan nampak sesosok tubuh melayang masuk dari pagar tembok.

Bayangan kedua menyusul dan Liong-li menggenggam tinjunya.

“Ah, mereka itu sungguh ceroboh!” Pek-liong mencela lirih ketika melihat bahwa yang berloncatan masuk itu adalah Su Hong Ing yang disusul pula oleh suaminya, Song Tek Hin. Agaknya ibu dan ayah itu tidak dapat menahan diri ketika melihat keadaan anak mereka dan sudah berloncatan masuk dengan nekat untuk menyelamatkan anak mereka yang diikat di pohon itu.

Mata sepasang pendekar itu semakin terbelalak ketika berturut-turut nampak enam bayangan orang berloncatan masuk pula dan mereka itu bukan lain adalah Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, Ang-hwa dan Pek-hwa, juga Gui Keng Hok dan Gui Keh Siu, dua orang pembantu Pek-liong!

Tentu saja kedua orang pendekar itu terkejut, saling pandang akan tetapi mereka juga kagum karena ternyata empat orang sahabat dan empat orang pembantu mereka itu adalah orang-orang yang gagah perkasa dan setia kawan, siap dan rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong sahabat!

Namun, di samping kekaguman mereka, juga mereka kini menjadi khawatir sekali. Mereka berdua saja masih belum berani memasuki sarang itu, kini delapan orang itu dengan nekat masuk perangkap yang di pasang musuh!

Tidak dapat terlalu disalahkan kepada Song Tek Hin dan Su Hong Ing. Ibu yang mana di dunia ini tidak akan nekat untuk menyelamatkan anaknya? Melihat anaknya di bawah pohon, kakinya diikat, bermain seorang diri bahkan kini mulai menangis memanggili ayah dan ibunya, dikepung oleh banyak ular pula, bagaimana mungkin ia akan dapat bersabar dan berdiam diri?

Hong Ing sudah meloncat dan lari ke arah bawah pohon, meloncati ular-ular itu. Melihat isterinya nekat, Tek Hin cepat menyusul dan kini keduanya sudah berada di bawah pohon.

“Ibuuu......, ayaaahhh......!” Anak kecil itu girang bukan main melihat ayah dan ibunya, akan tetapi karena dia berlari, kakinya tertahan oleh tali dan diapun jatuh lagi.

Hong Ing cepat menyambar tubuh puteranya sedangkan Tek Hin cepat memutuskan tali yang mengikat kaki anaknya. Ibu itu memeluk anaknya sambil menangis saking gembiranya melihat Song Cu dalam keadaan selamat.

Pada saat itu, kakak beradik Kam, dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong sudah berloncatan pula, meloncati ular-ular yang mengepung dan berkumpul dengan Tek Hin dan Hong Ing untuk melindungi mereka,

Apa yang dikhawatirkan Pek-liong dan Liong- li segera terjadi. Tempat yang tadinya sunyi itu tiba-tiba saja penuh dengan anak buah gerombolan yang muncul dari tempat persembunyian mereka. Bahkan kini suara suling yang tadinya lirih itu terdengar nyaring dan semakin banyak ular berkumpul mengepung pohon itu dan mereka mulai mendesis-desis'. Di luar lingkaran ular itu nampak anak buah gerombolan mengepung pohon di bawah mana delapan orang itu berkumpul, dalam jumlah yang puluhan orang banyaknya.

Turun tangan pada saat seperti itu akan membahayakan keselamatan delapan orang dan anak itu, maka Pek-liong dan Liong-li meloncat ke atas pagar tembok dan terdengar suara Liong-li berseru nyaring.

“Pek-bwe Coa-ong! Kalau kalian bertiga hendak membuat perhitungan dengan kami berdua, jangan bertindak curang. Bebaskan delapan orang dan anak itu yang tidak ada sangkutannya dengan urusan kita, dan mari kita mengadu kepandaian seperti orang gagah!”

Kini nampaklah Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li bersama empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Pek-bwe Coa-ong masih meniup sulingnya untuk menguasai ular ularnya yang mengepung pohon itu, dan Ang I Sian-li yang mewakilinya menjawab sambil terkekeh genit.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar