22 Desakan Dendam Para Iblis
“Hi-hik, Pek-liong dan
Liong-li, kalau kalian mempunyai keberanian dan kepandaian, coba kalian
bebaskan mereka ini dari tangan kami, heh-heh!”
Kim Pit Siu-cai sudah meloncat
ke dalam kepungan ular itu dan tubuhnya bergerak cepat, kipas dan mouw-pit
(pena bulu) di tangannya bergerak menyerang delapan orang itu. Mereka mencoba
untuk membela diri, namun tingkat kepandaian Kim Pit Siu-cai terlalu tinggi
bagi mereka.
Apa lagi Ang I Sian-li juga
kini meloncat masuk dan dua orang itu dalam waktu yang singkat saja telah
berhasil menotok roboh delapan orang itu. Mereka rebah malang melintang tak
mampu bergerak lagi dan anak kecil itu yang kini menangis karena dia tadi
terjatuh bersama ibunya yang memondongnya.
Melihat ini, sepasang pendekar
itu maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat mundur lagi. Dengan gerakan seperti
sepasang garuda menyambar, mereka melayang turun dari atas pagar tembok.
Para anak buah gerombolan itu
tanpa dikomando telah menyambut maju dengan senjata mereka, agaknya mereka
berlumba ingin membuat jasa. Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan mengaduh
ketika Pek-liong dan Liong-li menggerakkan kaki tangan mereka dan delapan orang
anak buah gerombolan itu terpelanting dan tidak mampu bangun kembali! Tentu
saja yang lain menjadi gentar.
“Berhenti! Jangan serang,
kepung saja!” teriak Pek-bwe Coa-ong dan kini empat orang Thai-san Ngo-kwi
sudah memerintahkan orang-orangnya untuk menyeret tubuh delapan orang dan anak
kecil itu, membawa mereka ke tempat tahanan dan menjaga dengan ketat. Lalu
mereka berempatpun ikut mengepung Pek-liong dan Liong-li.
Pek-liong tersenyum mengejek.
“Sejak dahulu kami tahu bahwa Kiu Lo-mo hanya namanya saja yang besar, akan
tetapi mereka itu bukan lain hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring
bunyinya. Mereka bukan orang-orang yang pantas menyebut diri mereka datuk
persilatan. Hanya mengandalkan pengeroyokan banyak orang, curang dan
pengecut-pengecut besar!”
“Hemm, dua orang bocah sombong
yang bermulut besar!” teriak Ang I Sian-li. “Kematian sudah di depan mata dan
kalian masih berani bicara sombong? Lihat saja, sebentar lagi kalian akan kami
tawan dan sebelum kami membunuh kalian, akan kami siksa dulu, jantung kalian
akan kami pergunakan untuk obat kuat, kepala kalian kami jadikan korban sembahyangan
terhadap rekan-rekan kami......”
“Sian-li, biarkan kami yang
menangkap Hek-liong-li! Ia telah menewaskan Sam-kwi!” tiba-tiba Thai-kwi
berseru dan tiga orang adiknya juga mengeluarkan seruan marah.
Mereka berempat sudah mencabut
golok masing-masing dan sudah pula mengerahkan ilmu pukulan mereka yang ampuh,
yang membuat tangan kiri mereka nampak kemerahan. Di samping ilmu golok yang
lihai, empat orang ini, murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi ini memiliki
ilmu pukulan Ang-hwe-ciang (Tangan api merah) yang amat lihai. Mereka merasa
yakin bahwa kalau mereka berempat maju mengeroyok seorang Liong-li, mereka
pasti akan menang dan dapat membalaskan dendam kematian guru mereka dan juga
kematian Sam-kwi yang baru beberapa hari ini tewas oleh Liong-li.
Tiga orang.datuk itupun
sebenarnya merasa gentar menghadapi Pek-liong dan Liong-li walaupun mengingat
bahwa mereka bertiga, mereka tidak takut dan yakin akan dapat menundukkan dua
orang musuh besar itu. Maka, kini mendengar permintaan Thai-kwi, Pek-bwe Coa-ong
mengangguk. Dia ingin pula melihat sampai di mana kelihaian Liong-li agar dapat
mengukur, pula diapun ingin memperlihatkan bahwa mereka bertiga bukan pengecut
seperti dikatakan Pek-liong tadi dan memberi kesempatan kepada Pek-liong dan
Liong-li untuk membela diri, tidak dikeroyok oleh anak buah mereka!
“Hemm, kami kira Liong-li
tidak akan berani kalau maju seorang diri menghadapi kalian berempat!” Pek-bwe
Coa-ong mencoba.
Dia tidak tahu bahwa justeru
inilah kesempatan baik bagi Liong-li dan Pek-liong. Kalau mereka berdua dapat
menyinggung rasa kehormatan tiga orang datuk itu dan dapat memancing mereka
untuk bertanding secara jujur, besar kemungkinan sepasang pendekar ini akan
mampu meloloskan diri dan menolong delapan orang tawanan itu. Setidaknya, kalau
dapat menewaskan sebagian dari mereka berarti sudah mengurangi kekuatan musuh.
Liong-li melangkah maju dan
tertawa. Manis bukan main kalau pendekar wanita ini tertawa, namun bagi yang
sudah mengenalnya, tawa semanis itu merupakan tanda bahaya bagi musuhnya karena
tawa itu hanya muncul kalau wanita perkasa itu berada dalam keadaan siap siaga,
seluruh syaraf di tubuhnya sudah siap dan ia berada dalam kewaspadaan
tertinggi.
“Memang kepalang tanggung
kalau aku hanya membunuh Sam-kwi tanpa membunuh empat yang lain. Majulah kalian
berempat, akan kukirim kalian menyusul arwah guru kalian Siauw-bin Ciu-kwi dan
Sam-kwi!”
Dari penyelidikannya, Liong-li
sudah tahu bahwa Thai-san Ngo-kwi adalah murid Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di
antara Kiu Lo-mo yang telah tewas di tangannya, ketika bersama Pek-liong ia
menentang iblis itu. Dan sengaja ia menyebut nama guru mereka itu dan Sam-kwi
untuk memanaskan hati mereka.
Usahanya berhasil. Empat orang
itu gemetar saking marahnya dan mereka sudah berlompatan maju mengepung
Liong-li dari depan, belakang, kanan dan kiri!
Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit
Siu-cai, dan Ang I Sian-li berdiri menonton dan tempat pertandingan itu
dikepung oleh anak buah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya sehingga
tidak ada tempat untuk melarikan diri bagi kedua orang pendekar itu. Pek-liong
sendiri berdiri dengan sikap tenang, walaupun dalam hati dia masih mencari
jalan keluar bagaimana agar dia dan Liong-li dapat menolong para tawanan
kemudian lobos dari tempat itu.
Dia tahu bahwa kalau dia dan
Liong-li dapat mengalahkan Thai-san Ngo-kwi dan tiga orang datuk itu, para
tokoh sesat itu tentu tidak sungkan untuk mempergunakan anak buah mereka yang
amat banyak untuk mengeroyok dia dan Liong-li. Walaupun dia dan Liong-li tidak
gentar menghadapi pengeroyokan demikian banyaknya orang, namun bagaimana mereka
berdua akan mampu menolong delapan orang tawanan bersama anak kecil itu keluar
dari tempat tahanan?
Kini empat orang itu telah
mengepung Liong-li yang masih nampak tenang dan Pek-liong menyingkirkan dulu
semua pikiran karena dia harus memperhatikan jalannya pertandingan antara
Liong-li dan empat orang pengeroyoknya. Dia harus waspada dan siap menolong
Liong-li kalau sampai terancam bahaya.
Andaikata Liong-li sampai
kalah dan terancam bahaya, dia tidak merasa malu untuk membantunya, karena
bukankah kini Liong-li juga dikeroyok empat orang? Pula, dia tidak dapat
percaya begitu saja bahwa tiga orang datuk itu tidak akan turun tangan membantu
empat orang murid-murid keponakan mereka itu.
Sikap empat orang Thai-san
Ngo-kwi itu memang menyeramkan. Mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa
melakukan segala kekejaman mengandalkan kekuatan dan kepandaian, juga mereka
dalam keadaan marah sekali sehingga sinar mata mereka sudah membayangkan
kebuasan dan kekejaman.
Thai-kwi yang berusia
empatpuluh lima tahun itu memimpin penyerangan. Pria yang bertubuh tinggi besar
berkulit hitam ini seperti raksasa, goloknya juga besar dan berkilauan saking
tajamnya. Thai-kwi berdiri di depan Liong-li, menghadapi Liong-li sambil
melintangkan goloknya di depan dada dan tangan kirinya yang kemerahan itu
diangkat ke atas kepala.
Ji-kwi, orang kedua yang
bertubuh gendut pendek berusia empatpuluh tiga tahun, juga melintangkan
goloknya dan mengangkat tangannya yang kemerahan ke atas kepala, berdiri di
belakang Liong-li. Su-kwi yang berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar
dengan punggung agak bongkok, berdiri di sebelah kanan Liong-li, sedangkan
Ngo-kwi orang kelima yang bertubuh sedang berusia tigapuluh lima tahun, berdiri
di sebelah kirinya.
Empat orang Thai-san Ngokwi
itu sudah siap dengan golok mereka dan tangan merah mereka, dan pandang mata
mereka menyinarkan nafsu membunuh seperti empat ekor harimau kelaparan
mengurung seekor domba.
Liong-li bersikap tenang saja.
Hek-liong-kiam masih berada di sarungnya dan ia berdiri dengan tegak dan nampak
santai, namun setiap syaraf di tubuhnya bergetar, dari ujung rambut kepala
sampai ke tumit kakinya dalam keadaan siap waspada, pandang matanya mengukur
jarak, telinganya yang terlatih itu dapat menangkap setiap gerakan lawan yang
berada di belakang dan tidak nampak, juga di kanan kiri sehingga sikapnya
seolah ia hanya menghadapi lawan yang berada di depan saja.
“Liong-li, engkau mampus
sekarang!” terdengar Thai-kwi membentak nyaring, akan tetapi dia tidak
menggerakkan goloknya. Sebaliknya, Ji-kwi yang gendut pendek dan berada di
belakang Liong-li itulah yang bergerak, menyerang dengan membacokkan goloknya
dari atas ke bawah seperti orang membelah kayu, hendak membelah tubuh wanita
perkasa itu dari atas ke bawah.
“Singggg......!!!” Golok itu
berubah menjadi sinar menyambar dari atas ke bawah, namun yang disambarnya
hanya udara kosong saja karena tubuh Liong-li sudah bergeser ke kiri. Ji-kwi
yang luput serangannya itu terus meloncat ke depan sedangkan Thai-kwi kini
membabatkan goloknya ke arah leher Liong-li.
Wanita ini kembali mengelak
dengan loncatan dan kini Thai-kwi dan Ji-kwi berganti kedudukan. Ji-kwi yang
berada di depan Liong-li sedangkan Thai-kwi di belakangnya. Dari arah kirinya,
Ngo-kwi menyerang dengan goloknya, dan berbareng pada saat itu, dari kanan
Su-kwi juga menyerang sehingga dua batang golok mengguntingnya dari kanan kiri,
yang sebatang menyambar leher, yang kedua menyambar paha.
Nampak sinar hitam bergulung-gulung
dan terdengar suara nyaring dua kali ketika pedang Naga Hitam tercabut dan
diputar sedemikian rupa sehingga sekaligus menangkis serangan dari kanan kiri
itu.
Trangg......
cringggg........!!”
Tidak nampak bagaimana
Liong-li mencabut pedangnya, karena pedang itu tiba-tiba saja sudah nampak
menyambar, berubah menjadi sinar bergulung-gulung hitam mengerikan dan sudah
menangkis dua serangan dari kanan kiri itu, sedangkan tubuhnya sudah bergerak
mundur. Golok di tangan Ngo-kwi dan Su-kwi adalah golok mustika yang tajam dan
kuat, namun ketika tertangkis sinar hitam Hek-liong-kiam kedua batang golok itu
terpental dan kedua orang anggauta Thai-san Ngo-kwi terkejut karena merasa
betapa telapak tangan mereka tergetar, panas dan hampir golok terlepas dari genggaman
mereka. Cepat mereka meloncat mundur.
Setelah menangkis, Liong-li
yang melangkah mundur, sudah membalikkan tubuhnya dan bagaikan seekor naga,
pedangnya sudah meluncur dan menyerang orang yang tadinya berada di
belakangnya, yaitu Thai-kwi. Serangan tusukan pedang itu amat cepatnya dan
kalau bukan Thai-kwi yang diserang, kiranya akan sulit1ah bagi lawan untuk
menyelamatkan diri. Namun, Thai-kwi merupakan orang pertama dari Thai-san
Ngo-kwi, ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan diapun membuang tubuh ke belakang,
lalu bergulingan menjauh sedangkan Ji-kwi sudah membantu suhengnya dengan
serangan kilat dari belakang Liong-li. Bahkan Su-kwi dan Ngo-kwi juga sudah
menghadang dengan serangan dari kanan kiri.
Liong-li terpaksa memutar
tubuh dan mengerakkan pedang melindungi diri sehingga tubuhnya tertutup
gulungan sinar hitam yang sulit ditembus senjata lawan. Pertandingan ini
sungguh menegangkan. Biarpun tingkat kepandaian Liong-li jelas lebih tinggi
dari mereka, akan tetapi karena mereka itu empat orang maju bersama, dan mereka
memiliki pengalaman perkelahian keroyokan sehingga mereka dapat bekerja sama
seperti barisan golok, saling menunjang saling melindungi, maka tidak mudah
bagi Liong-li untuk merobohkan seorang pun dari mereka.
Sebelum berhasil merobohkan
seorang, yang tiga orang sudah cepat menekannya sehingga terpaksa ia melepaskan
orang yang didesaknya itu. Sebaliknya, empat orang itupun tidak dapat
merobohkan Liong-li. Senjata mereka terasa sukar sekali untuk dapat menembus
sinar hitam dari Hek-liong-kiam, maka kini mereka berempat hanya bertahan
saling melindungi saja, membentuk benteng dari empat golok yang amat sukar
dibobolkan.
Telah limapuluh jurus lewat,
akan tetapi belum juga Liong-li berhasil merobohkan seorangpun dari empat
pengeroyoknya, walaupun empat orang itu sudah terdesak dan bahkan jarang sekali
dapat membalas.
Melihat ini, Ang I Sian-li
menjadi tidak sabar lagi. Kalau sampai empat orang murid keponakan itu kalah
dan tewas, hal itu berarti melemahkan pihaknya dan “memberi hati” kepada
Pek-liong dan Liong-li. Maka, tanpa banyak cakap lagi Ang I Sian-li mencabut
siang-kiam (sepasang pedang) dan melompat, langsung saja menyerang Liong-li
dengan dahsyatnya.
“Cring-trangg......” Liong-li
menangkis dan kedua orang wanita tangguh itu terhuyung ke belakang.
“Iblis betina curang!” bentak
Pek-liong sambil melompat ke depan. Akan tetapi dia sudah disambut Kim Pit
Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong yang sudah menyerang Pek-liong dengan senjata
mereka yang ampuh.
Pek-liong cepat mencabut
pedangnya dan begitu Pek-liong-kiam diputar, nampak gulungan sinar putih yang
menyambar-nyambar dan menangkis sepasang mouw-pit di tangan Kim Pit Siu-cai dan
tongkat ekor ular putih di tangan Pek-bwe Coa-ong.
Tingkat kepandaian dua orang
iblis tua itu sudah amat tinggi, bahkan kalau seorang di antara mereka maju
melawan Pek-liong saja, tidak akan mudah bagi Pek-liong untuk menang. Kini
mereka maju berdua, tentu saja pendekar itu segera terdesak hebat.
Keadaannya tidak jauh bedanya
dengan Liong-li. Tingkat kepandaian Ang I Sian-li juga seimbang dengan
Liong-li, kini ia maju membantu empat orang dari Thai-san Ngo-kwi, tentu saja
Liong-li segera terdesak hebat.
Sepasang pendekar itu tentu
saja maklum bahwa tidak ada gunanya mencaci maki atau mencela kecurangan lawan.
Mereka maklum pula bahwa pihak lawan tidak mungkin akan mau melepaskan mereka
berdua. Pihak lawan amat mendendam dan membenci mereka, akan melakukan apa saja
untuk dapat menangkap dan membunuh mereka berdua.
Mereka tahu bahwa kalau mereka
melawan terus, akhirnya mereka akan kalah dan roboh juga. Tanpa kata ataupun
isyarat, keduanya yang sudah memiliki kepekaan terhadap satu sama lain, segera
mengatur langkah sehingga akhirnya mereka itu dapat bersatu, beradu punggung
dan saling melindungi.
Namun, hal inipun tidak akan
menolong mereka. Pihak lawan terlampau kuat. Baru tiga orang di antara Kiu
Lo-mo itu saja sudah merupakan lawan yang amat berat hagi mereka, apa lagi
ditambah empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang juga sudah lihai sekali. Dan di
situ masih terdapat kurang lebih seratus orang anak buah gerombolan yang
mengepung tempat itu.
Sebetulnya, keadaan ini
membuat hati sepasang pendekar itu menjadi gentar. Yang membuat mereka ragu dan
bingung adalah karena empat orang pembantu mereka, empat orang sahabat mereka,
dan seorang anak kecil telah menjadi tawanan musuh!
Kalau mereka berdua sampai
roboh dan tertawan, atau tewas, berarti tidak ada harapan bagi sembilan orang
tawanan itu, dan mereka semua tidak mungkin dapat terlepas dari tangan para
penjahat. Tentu mereka akan tewas dalam keadaan yang lebih menyedihkan lagi.
Karena memikirkan keselamatan sembilan orang itulah maka Pek-liong dan Liong-li
mengambil keputusan untuk meloloskan diri, melarikan diri dari kepungan agar
mereka tetap hidup dan dapat menyusun siasat baru untuk menolong sembilan orang
tawanan itu.
Akan tetapi, tentu saja bukan
hal yang mudah untuk dapat meloloskan diri karena selain tiga orang datuk itu
bersama empat orang murid keponakan mereka mengepung ketat dan mendesak dengan
hebat, juga di situ terdapat lebih dari seratus orang anak buah gerombolan itu
mengepung dengan berbagai senjata di tangan.
Diam-diam Pek-liong dan
Liong-li membuat perhitungan dengan otak mereka yang cerdas. Kalau mereka
melanjutkan perkelahian itu, akhirnya mereka akan roboh dan tewas, demikian
pula sembilan orang tawanan itu tentu akan tewas.
Satu-satunya jalan adalah
menerjang ke dalam barisan anak buah gerombolan yang rapat kepungannya itu.
Kalau mereka dapat menyerbu dan terjun ke tengah-tengah mereka, tentu tiga
orang datuk dan empat orang murid keponakan mereka itu tidak akan dapat
mengeroyok.
Ketika mendapat kesempatan
dalam keadaan terdesak itu, Liong-li berbisik kepada rekannya, “Kita terjun ke
tengah?”
Pek-liong merasa girang karena
memang dia mempunyai pendapat yang sama. Dia mengangguk. “Engkau dulu, aku
melindungi!” bisiknya.
Pada saat itu, senjata para
pengeroyok sedang gencar menyerang. Liong-li dan Pek-liong memutar pedangnya
dan mereka mengatur sedemikian rupa sehingga pedang bersinar putih di tangan
Pek-liong yang menjadi semakin lebar melindungi mereka berdua. Liong-li
menggunakan gerakan tiba-tiba menyerang ke kiri di mana berdiri Ngo-kwi, orang
termuda dari Thai-san Ngo-kwi. Serangannya dahsyat bukan main karena ia
mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga Ngo-kwi terkejut bukan main.
Goloknya hampir terlepas dari
tangannya ketika dia menangkis dan dia terhuyung ke belakang. Kesempatan inilah
yang dipergunakan Liong-li untuk meloncat, melalui atas kepala Ngo-kwi, menuju
ke arah kelompok anak buah yang mengepung dari luar.
Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong
marah.
“Kejar, kepung, jangan biarkan
ia lolos!”
Akan tetapi, kekacauan timbul
karena gerakan Liong-li itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pek-liong
untuk menjatuhkan diri ke lantai dan bergulingan sambil menggerakkan pedangnya.
Para pengepungnya terkejut dan terpaksa mundur. Melihat kesempatan ini,
Pek-liong juga cepat melompat sambil mengerahkan tenaganya dan bagaikan seekor
naga menerjang awan, diapun terjun di tengah-tengah anak buah gerombolan yang
mengepung ketat.
Gegerlah anak buah gerombolan
itu ketika dua orang yang tadinya dikeroyok dan didesak para pimpinan mereka
tiba-tiba saja meloncat dan terjun di tengah-tengah mereka. Mereka menjadi
panik seperti sekelompok domba yang tiba-tiba melihat dua ekor harimau mengamuk
di tengah-tengah antara mereka!
Tentu saja mereka berusaha
untuk menggunakan senjata dan menyerang kedua orang ini. Akan tetapi, serangan
para anak buah itu tidak ada artinya bagi Liong-li dan Pek-liong. Dengan mudah
mereka merobohkan setiap orang penyerang dan mereka menyusup-nyusup di antara
anak buah gerombolan sehingga tiga orang Iblis Tua dan empat murid keponakan
mereka sukar sekali untuk dapat mengeroyok kedua orang musuh itu seperti tadi.
Mereka bertujuh terhalang oleh padatnya anak buah mereka sendiri yang tadi
mengepung tempat itu.
Bagaikan sepasang naga,
Liong-li dan Pek-liong mengamuk. Akan tetapi mereka bukan mengamuk untuk
membunuh sebanyak mungkin anak buah gerombolan, melainkan untuk membuka jalan
darah dan melarikan diri. Mereka harus melarikan diri lebih dulu, kemudian baru
mengatur siasat untuk menyelamatkan sembilan orang yang ditawan musuh.
Kalau mereka nekat, mereka
akhirnya akan tewas dan sembilan orang itupun tidak akan tertolong lagi. Mereka
yakin bahwa selama mereka berdua belum tertawan atau tewas, sembilan orang
tawanan itu masih ada harapan dan tidak akan dibunuh oleh tiga orang Iblis Tua.
Biarpun mereka sudah berhasil
terjun ke tengah-tengah antara anak buah gerombolan, namun masih tidak mudah
untuk membebaskan diri. Tiga orang iblis tua dan empat orang murid mereka itu
masih terus melakukan pengejaran, dibantu oleh anak buah mereka yang banyak
jumlahnya. Karena tidak dapat melarikan diri ke jalan yang pernah mereka lalui
karena terhadang, terpaksa Liong-li dan Pek-liong lari ke arah barat, di mana
terdapat sebuah hutan.
Mereka sekali ini tidak mau
berpencar. Dengan bersatu, mereka jauh lebih kuat untuk saling melindungi.
“Lepas anak panah! Serang
mereka dengan senjata rahasia!” Tiga orang datuk itu mengejar sambil
berteriak-teriak.
Anak buah mereka segera
melepaskan anak panah dan berbagai senjata rahasia. Liong-li dan Pek-liong
terpaksa memutar pedang melindungi tubuh mereka. Mereka lari sambil mundur dan
memutar pedang.
Sepasang pendekar itu sama
sekali tidak tahu bahwa sisa dari Sembilan Iblis Tua itu sekali ini sudah
bertekad untuk menawan atau membunuh mereka. Sisa tiga orang dari Kiu Lo-mo itu
sudah lama merencanakan balas dendam ini. Mereka telah mengatur segalanya dan
begitu melihat Liong-li dan Pek-liong berhasil melarikan diri, merekapun cepat
mengatur siasat seperti yang sudah mereka perhitungkan kalau-kalau menghadapi
keadaan seperti sekarang.