Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 23 Aihh....... apakah dunia sudah kiamat?

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 23 Aihh....... apakah dunia sudah kiamat?
23 Aihh....... apakah dunia sudah kiamat?

Secepat mungkin mereka lalu berpencar dan mengadakan gerakan mendahului dua orang pelarian itu sehingga ketika mereka tiba di tepi hutan, tiba-tiba saja dari dalam hutan muncul tujuh orang ini dengan sebagian anak buah, menghadang dari sebelah kiri dan sebelah belakang. Hanya sebelah kanan yang kurang kuat penghadangnya, dan dengan sendirinya, Liong-li dan Pek-liong bergerak menuju ke kanan, bagian bukit yang penuh dengan ilalang tebal dan tinggi.

Dalam keadaan terkepung dan terjepit itu, sekali ini Liong-li dan Pek-liong tidak dapat mencari jalan keluar lain kecuali menyusup ke dalam rumpun ilalang. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika tiba-tiba dari dalam rumpun ilalang itu muncul banyak ular yang mendesis-desis dan menyerang ke arah mereka.

Terdengar siulan dengan naga meninggi maka tahulah sepasang pendekar itu bahwa Pek-bwe Coa-ong Si Raja Ular telah mempergunakan kepandaiannya sebagai pawang ular untuk menyerang mereka dengan ular-ularnya! Liong-li memutar pedang hitamnya, membunuh belasan ekor ular, sedangkan Pek-liong memutar pedang sehingga gulungan sinar putih dari pedangnya melindungi tubuh mereka berdua dari serangan lawan.

Akan tetapi pada saat yang amat gawat bagi sepasang pendekar itu, ketika mereka diserang aanak panah dan senjata rahasia dari atas, dan di serang ular dari bawah, tiga orang Iblis Tua kini sudah menyerang lagi dengan senjata mereka, mengeroyok Pek-liong! Ular-ular itu tidak perlu dikendalikan lagi karena kematian belasan ekor itu saja sudah cukup membuat yang lain menjadi marah dan galak, menyerang siapa saja yang mendekati mereka!

Dan kedua orang pendekar itu terkepung di tengah-tengah. Liong-li tidak dapat membantu Pek-liong karena ia masih sibuk melindungi diri sendiri dan rekannya dari serangan ular-ular.

Sementara itu, Pek-liong diserang dari tiga jurusan oleh tiga orang Iblis Tua. Dia berusaha melindungi dirinya dengan sinar pedang, akan tetapi tiga orang pengeroyoknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi.

Biarpun dia sudah membentengi tubuhnya dengan sinar pedang, tidak urung tiga batang jarum yang meluncur dari kipas Kim Pit Siu-cai, dapat menerobos gulungan sinar pedangnya dan menancap di punggung kanan, di bawah pundak. Dia terkejut dan terhuyung sehingga pada saat itu, Ang I Sian-li sudah berhasil memukulnya dengan telapak tangannya yang berubah hitam. Itulah satu di antara pukulan beracun dari Ang I Sian-li.

“Plakk!!” kelihatan tidak terlalu kuat pukulan yang mengenai lambung itu, dan biarpun Pek-liong sudah melindungi tubuh yang terpukul dengan pengerahan sin-kang, tetap saja dia merasa isi lambung itu seperti dibakar dan diapun terpelanting.

“Pek-liong......!” Liong-li terkejut dan cepat sekali ia meloncat dan menyambar tubuh Pek-liong yang pingsan, meloncat jauh ke depan. Dengan pedangnya, ia merobohkan dua orang penghalang, kemudian melarikan diri ke dalam hutan ilalang. Tidak ada yang menghalang lagi di depannya, akan tetapi dari belakang mereka mengejar dan berteriak-teriak.

Liong-li sambil memondong tubuh Pek-liong meloncat ke depan dan...... terlambat ia menyadari bahwa di depannya terdapat sebuah jurang yang tertutup ilalang! Tubuhnya bagaikan terjun ke dalam jurang itu dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuhnya meluncur ke bawah dengan Pek-liong masih dipanggulnya. Liong-li mengeluarkan teriakan panjang melengking, bukan teriakan karena takut, melainkan teriakan karena marah dan penyesalan.

Melihat betapa Liong-li yang memanggul tubuh Pek-liong terjerumus ke dalam jurang dan terdengar suara wanita perkasa itu berteriak panjang melengking, tiga orang Iblis Tua berdiri di tepi jurang dan mereka bertiga tertawa bergelak kegirangan. Jurang itu amat dalam, dan tidak mungkin dapat dituruni manusia, betapapun lihainya. Tak dapat disangsikan lagi, siapa yang terjerumus ke dalam jurang itu pasti akan mati dengan tubuh remuk.

Mereka tidak dapat turun atau menyuruh anak buah untuk turun menyelidiki keadaan dua orang musuh besar itu. Akan tetapi mereka yakin bahwa dua orang musuh besar itu tentu tewas seketika. Sejak semula mereka sudah mengetahui tentang jurang yang tertutup padang ilalang ini. Karena itu, sengaja mereka tidak melakukan penghadang di bagian ini, seolah membiarkannya terbuka dan tempat ini merupakan perangkap alam yang amat berbahaya.

“Ha-ha-ha, Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu! Akhirnya kalian mampus juga di tangan kami! Sayang kami tidak dapat mencabut jantung kalian dan memenggal kepala kalian untuk kami jadikan korban sembahyang!” kata Pek-bwe Coa-ong Gan Ki dengan gembira.

“Kita dapat melakukan sembahyangan di tepi jurang ini!” kata Kim Pit Siu-cai. “Arwah para rekan kita sudah cukup senang kalau disembahyangi di tempat di mana Pek-liong-eng dan Hek-liong-li tewas, walaupun kita tidak dapat menaruh mayat mereka di atas meja sembahyang!”

“Hi-hik, kenapa kalian begini bodoh?” tiba-tiba Ang I Sian-li menertawai kedua orang rekannya. “Apakah kalian lupa bahwa kita masih menahan sembilan orang yang menjadi sahabat baik dan pembantu-pembantu setia dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li? Kita adakan sembahyangan besar di tempat ini, di tepi jurang dan yang dijadikan korban adalah sembilan orang yang disayang oleh Pek-liong-eng dan Hek-liong-li itu! Kita sembelih dan siksa mereka satu demi satu sampai mati dan kita jadikan korban sembahyang. Arwah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li tentu akan menangis sedih melihat keadaan orang-orang yang mereka cinta, dan arwah enam orang rekan kita akan bergembira!

“Bagus, itu pikiran yang bagus sekali! Ha-ha-ha, engkau semakin tua semakin pintar, Sian-li!” kata Pek-bwe Coa-ong sambil tertawa bergelak.

Kim Pit Siu-cai mengangguk-angguk. “Memang pikiran yang bagus sekali! Kita akan puas melakukan balas dendam, juga arwah para rekan kita akan puas di sana. Akan tetapi, empat orang wanita itu cantik-cantik, sayang kalau mereka dibunuh begitu saja, heh-heh-heh!” Kim Pit Siu-cai, di samping berhati kejam, juga terkenal sebagai seorang penjahat cabul.

“Hemm, aku mengerti, Siu-cai mata keranjang. Engkau tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Akan tetapi kalau engkau mempermainkan mereka, hal itu berarti juga suatu siksaan terhadap mereka, asal jangan kaubunuh karena mereka semua harus mati di atas meja sembahyang!” kata Ang I Sian-li.

“Jangan tergesa-gesa dan merusak suasana dengan seleramu yang rakus itu, Siu-cai!” kata Pek bwe Coa-ong. “Kita pikirkan dulu tempat sembahyang di sini, membersihkan ilalang ini, kemudian memilih hari baik untuk melakukan sembahyangan. Setelah harinya ditentukan, baru engkau boleh sesukamu bersenang-senang. Aku khawatir, mereka itu akan lebih dahulu membunuh diri setelah kau permainkan sehingga kita tidak dapat membunuh mereka di atas meja sembahyang. Bersabarlah barang sehari dua hari.”

“Ha-ha, aku akan bersabar, Coa-ong. Orang yang akan menikmati makanan lezat sebaiknya kalau perutnya kelaparan dulu. Akupun akan membiarkan hasratku kelaparan dan berkobar sampai tiba saatnya!”

Dengan gembira karena merasa telah mendapatkan kemenangan atas dua orang musuh besar mereka, tiga orang Iblis Tua ini kembali ke sarang mereka dan berpesta pora. Anak buah merekapun berpesta pora merayakan kemenangan. Tepi jurang itu selalu dijaga oleh belasan orang anak buah gerombolan, dan di tempat itu mulai dibersihkan, ilalangnya dibabat dan didirikan panggung untuk menjadi tempat sembahyangan besar yang akan diadakan oleh mereka.

Y

Bagi seorang manusia biasa, jatuh meluncur ke dalam jurang yang tak diketahui dasarnya seperti itu, tentu akan membuatnya ketakutan, kehilangan akal, bahkan akan pingsan sebelum tubuhnya terbanting pada batu-batu di dasar jurang.

Dalam menurut perhitungan manusia, tak mungkin seorang manusia akan mampu meloloskan diri dari kematian kalau tergelincir jatuh ke dalam jurang yang amat dalam itu, yang merupakan tebing yang terjal sekali. Akan tetapi, kalau Tuhan belum menghendaki seseorang mati, akan mudah bagi kekuasaannya untuk menyelamatkan orang itu. Hal yang tidak mungkin bagi akal manusia, akan menjadi mungkin dan mudah saja. Banyak sekali di dunia ini terjadi hal-hal yang membuktikan akan kekuasaan Tuhan ini.

Malapetaka yang menimpa sekelompok orang mengakibatkan tewasnya puluhan orang manusia dewasa yang kuat dan berakal, akan tetapi dalam mala petaka itu, seorang bayi yang lemah dan belum berakal, malah selamat dari maut! Seolah-olah bayi itu menyelinap di antara kuku-kuku jari maut yang kejam.

Hal seperti ini terjadi dengan istilah manusia “kebetulan”, yang pada hakekatnya membuktikan adanya kekuasaan Tuhan yang mutlak! Kalau Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biar dicengkeram seribu tangan maut, akan lolos juga dan selamat. Sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, dia tidak dapat bersembunyi ke manapun, tidak dapat dilindungi oleh apapun. Dia akan mati pada saatnya yang telah ditentukan!

Agaknya memang belum saatnya Hek-liong-li Lie Kim Cu dan Pek-liong-eng Tan Cin Hay harus mati di dasar jurang itu. Dan Liong-li juga bukan seorang manusia biasa. Ia memiliki ketenangan dan ketabahan yang luar biasa.

Dalam keadaan meluncur jatuh itu, lengan kirinya semakin kuat merangkul pinggang Pek-liong yang dipanggul di atas pundaknya, kemudian ia cepat menyarungkan pedang Hek-liong-kiam dan melolos sabuk sutera hitamnya. Sabuk ini bukan untuk pengikat pinggang, melainkan untuk penghias dan terutama sekali merupakan perlengkapan karena sabuk sutera hitam ini kuat untuk menjadi tali pengikat, dapat pula dijadikan senjata ampuh dan lain kegunaan lagi.

Pada saat itu, Liong-li melolos sabuk sutera hitam yang panjang itu. Ujung sabuk ini memang dipasangi bola kaitan baja karena dengan demikian akan menjadi senjata ampuh, dan pada saat itu, ia mehgharapkan dapat tertolong dengan sabuk itu.

Setelah meloloskan sabuk yang dilibatkan di tangan kanan, ia lalu menggerakkan tangan kanan dengan pengerahan tenaga ke arah dinding tebing. Sekali, tidak menyangkut sesuatu, dua kali juga gagal. Akan tetapi yang ketiga kalinya, ujung sabuk itu mengait akar pohon yang tumbuh di tebing. Liong-li mengerahkan tenaganya pada tangan kanan yang dilibat ujung sabuk dan lengan kanannya seperti hendak terenggut lepas dari tubuhnya ketika sabuk sutera yang mengait dan melibat akar itu menahan luncuran tubuhnya.

“Wuuuuuttt....... settt.....!!” Liong-li menahan diri untuk tidak menjerit. Lengan kanannya terasa nyeri, dari pergelangan yang terlibat sabuk sampai ke pundak dan tulang belikat.

Dan lengan kirinya gemetar karena harus menahan berat tubuh Pek-liong. Ia melihat ke bawah, kepalanya pening. Ternyata ia telah hampir sampai di dasar jurang itu. Dasarnya nampak seperti tanah lembab dan tidak berbatu, akan tetapi kalau saja ia tadi terbanting ke dasar jurang, tentu tubuhnya akan remuk bersama tubuh Pek-liong.

Kepalanya semakin pening dan denyut kenyerian di kedua tangannya menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya iapun tidak ingat apa-apa lagi, tidak tahu bahwa libatan pada tangan kanannya perlahan-lahan merosot lepas dan iapun jatuh ke bawah bersama tubuh Pek-liong.

Untung bagi mereka, lantai dasar jurang itu hanya tinggal dua tiga meter lagi dalamnya, maka ketika mereka berdebuk jatuh, tubuh mereka tidak terbanting terlalu keras. Mereka menggeletak pingsan di dasar jurang, Pek-liong di bawah dan tubuh Liong-li melintang di atas dadanya, menelungkup.

Hampir satu jam lamanya Liong-li rebah pingsan. Akhirnya ia mengeluarkan rintihan lirih, dan begitu kesadarannya pulih, seketika ia menghentikan rintihan yang timbul dari tubuh yang seluruhnya terasa nyeri.

Ia menjadi waspada kembali membuka mata, mengejap-ngejapkan matanya dan melihat dirinya rebah menelungkup di atas dada Pek-liong, iapun seketika teringat akan semua yang baru saja dialaminya. Ia cepat bangkit duduk menggigit bibir yang akan mengeluh kesakitan.

Seluruh tubuh terasa nyeri, yang berpangkal kepada lengan kanan dan pundak kirinya Akan tetapi bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya, melainkan Pek-liong. Ketika ia melihat wajah Pek-liong, Liong-li menahan jeritnya dan matanya terbelalak, mukanya berubah pucat seicali.

“Pek-liong......!!” Ia menahan jeritnya, kewaspadaannya memaksa ia agar tidak membuat gaduh karena ia dan Pek-liong sedang dalam keadaan yang gawat dan lemah sehingga kalau pada saat itu muncul musuh, ia tidak berdaya sama sekali. Akan tetapi kekhawatirannya melihat rekannya rebah telentang dengan wajah pucat seperti mayat, membuat ia cepat memeriksa keadaan Pek-liong. Dirabanya pergelangan lengan kiri pria itu, untuk merasakan denyut nadinya.

Tidak ada denyut! Ia terbelalak, mukanya menjadi semakin pucat dan di robeknya baju Pek-liong dengan jari-jari tangan menggigil, kehilangan ketenangannya. Lalu diperiksanya seluruh tubuh Pek-liong bagian atas, di balikkan tubuh yang sudah lemas itu, sehingga nampak tiga titik hitam kehijauan di punggung kanan bawah pundak, sedangkan di lambung kiri nampak bekas telapak tangan yang merah!

“Pek-liong......!!” Liong-li mengguncangnya beberapa kali, menotok beberapa jalan darah untuk membuat pemuda itu siuman. Akan tetapi semua usahanya sia-sia. Agaknya Pek-liong telah tewas.

“Pek-liong......!!” Kini ia menjerit dan menubruk tubuh itu, tidak perduli lagi apakah jeritnya akan terdengar orang, “Pek-liong...... ahh, Pek-liong, jangan mati....... jangan tinggalkan aku......!”

Ia mengguncang, menciumi tubuh itu, membasahi wajah itu dengan air matanya, mendekapnya, namun tetap saja tubuh itu lemas dan diam saja. Dunia bagai kiamat bagi Hek-liong-li Lie Kim Cu, dan baru sekarang ia melihat kenyataan betapa ia dan Pek-liong telah membuat kesalahan besar dalam hidup mereka!

Mengapa ia tidak menyadari sepenuhnya bahwa ia mencinta Pek-liong Tan Cin Hay sepenuh jiwa raganya, mencinta pria ini saja seorang dan tidak ada pria lagi di dunia ini yang dicintanya? Mengapa ia dan Pek-liong tidak menyadari hal ini dan membiarkan nafsu menyeret mereka saling berjauhan, mencari-cari dan mencari-cari di antara pria-pria dan wanita-wanita lain yang hanya membangkitkan gairah mereka belaka?

Mereka seharusnya bersatu, bukan hanya dalam bentuk kerja sama menghadapi lawan, melainkan bersatu dalam kehidupan rumah tangga, menjadi suami isteri, membentuk keluarga, anak-anak mereka. Mengapa mereka sejak dahulu tidak menjadi suami isteri dan ayah ibu anak-anak mereka?

Kalau hal itu mereka lakukan, tentu kini mereka telah menjadi suami isteri dengan beberapa orang anak, hidup tenteram tidak menjadi petualang-petualang dan tidak mempunyai musuh sehingga tidak mengakibatkan Pek-liong tewas!

“Pek-liong......!” Liong-li menjerit lagi dan menangis mengguguk, menempelkan mukanya di dada pria itu yang kini telanjang karena bajunya ia robek tadi.

Tanpa disengaja kini telinga kiri Liong-li menempel di dada tubuh yang sudah seperti mayat itu dan ia merasakan sesuatu yang membuat ia berhenti menangis dan menahan napas. Tubuh itu masih hangat sekali, masih ada getaran kehidupan. Telinganya masih menangkap denyut jantung walaupun lemah sekali.

Pek-liong belum mati! Akan tetapi tidak banyak selisihnya. Otak Liong-li yang cemerlang itu segera dapat menduga. Agaknya begitu terkena jarum beracun dan pukulan beracun, Pek-liong segera menghentikan jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun dalam tubuhnya. Akan tetapi dia keburu pingsan setelah melakukan hal itu, maka dia sama dengan membunuh diri perlahan-lahan!

“Pek-liong, ya Tuhan...... tolonglah hamba......!”

Seketika Liong-li tidak menangis lagi walaupun air matanya masih mengalir membasahi kedua pipinya. Ia menggunakan jari tangan membuka mulut Pek-liong, mengangkat leher itu agak ke atas lalu ia menempelkan mulutnya sepenuhnya ke mulut Pek-liong yang terbuka, lalu meniup sambil mengerahkan sin-kang. Ia membantu pernapasan Pek-liong, mencoba untuk menghidupkan kembali paru-paru yang sudah tidak bekerja itu dengan hembusan napasnya yang kuat.

Pek-liong adalah seorang pendekar yang memiliki tubuh amat kuat dan terlatih. Tubuh yang demikian kuatnya tentu saja memiliki anggauta yang kuat pula dan tidak mudah rusak. Agaknya inilah yang menyelamatkannya, ditambah dengan kecerdikan Liong-li dan tentu saja yang mutlak adalah bahwa Tuhan belum menghendaki dia mati. Riwayat hidupnya belum tiba saatnya untuk tamat.

Setelah meniupkan pernapasan beberapa kali, akhirnya paru-paru pria itu dapat digerakkan dan mulai bekerja, walaupun masih lemah. Liong-li hampir bersorak. Iapun cepat menotok sana sini untuk melancarkan jalan darah, lalu menekan-nekan dada Pek-liong untuk mendorong agar jantungnya bekerja lebih kuat.

Akhirnya, dada yang bidang itu naik turun dengan kuatnya, dan denyut jantungnya seolah-olah terdengar oleh telinga Liong-li. Dengan air mata masih bercucuran, Liong-li mengamati wajah Pek-liong dan iapun tersenyum sambil menangis.

“Pek-liong, ahh, Pek-liong......! Terima kasih, Tuhan......!!” Liong-li kini menangis sungguh-sungguh, menangis seperti anak kecil, sesenggukan sambil memeluk dada Pek-liong, menangis karena bahagia.

“Aihh....... apakah dunia sudah kiamat......?”

Suara Pek-liong-eng ini lemah, akan tetapi mengandung keheranan besar. “Liong-li, kalau engkau menangis seperti ini, hanya satu artinya, yaitu dunia sudah kiamat......”

Liong-li mengangkat mukanya, dengan air mata masih mengalir di sepanjang kedua pipinya, ia memandang dan tersenyum. “Memang dunia tadi hampir kiamat, akan tetapi sekarang tidak lagi, Pek-liong, tidak lagi......”

Pek-liong segera teringat akan keadaan mereka. “Kita di mana sekarang? Aku...... terluka.......” Dia mencoba untuk bangkit duduk, akan tetapi dia menyeringai kesakitan.

“Tenanglah, Pek-liong. Engkau memang terluka jarum dan pukulan beracun. Aku akan memeriksa dan mengobatinya.”

Kini Liong-li sudah pulih kembali, seperti Liong-li yang biasanya, cekatan, cerdik, waspada dan tenang. Ia maklum sepenuhnya bahwa Pek-liong baru saja terlepas dari cengkeraman maut, akan tetapi bukan berarti bahwa dia telah lepas dari ancaman. Ia cepat memeriksa lagi punggung bawah pundak kanan itu.

“Hemm, jarum ini beracun, harus kubuka kulitnya dan kusedot keluar. Kau tahanlah!” Liong-li tidak banyak cakap karena ia tahu bahwa Pek-liong tentu telah pulih kesadaran dan kewaspadanya. Seperti biasa, mereka tidak perlu banyak cakap karena mereka saling dapat menyelami hati dan pikiran masing-masing.

Liong-li mencabut pedang hitamnya dan dengan ujung pedang ia membuka kulit di bagian yang terkena jarum setelah menotok sekeliling luka itu. Tidak banyak darah keluar dan tanpa ragu iapun menempelkan mulutnya pada bagian yang terluka, dan menggunakan sin-kang menyedot.

Tentu saja perbuatan seperti ini amat berbahaya. Namun, Liong-li adalah seorang wanita muda yang sehat, mulutnya bersih dan tidak ada luka, maka ia berani melakukan itu. Tidak begitu sukar baginya menyedot keluar tiga batang jarum itu dan meludahkannya bersama darah yang hitam menghijau. Beberapa kali ia menghisap sampai akhirnya keluar darah merah bersih.

Ia mengeluarkan bungkusan dari saku bajunya, mengambil sedikit obat bubuk hijau dan menempelkannya pada luka itu, lalu membalutnya dengan robekan ujung bajunya bagian dalam, kemudian membebaskan totokannya agar darah di bagian tubuh itu dapat berjalan dengan lancar. Ketika Liong-li melakukan semua itu, walaupun torehan ujung pedang dan penyedotan jarum-jarum mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat sehingga dahi Pek-liong berkeringat, tidak sedikitpun keluhan keluar dari mulut pendekar itu.

“Nah, sekarang luka akibat pukulan iblis betina itu di lambungmu, Pek-liong. Sekarang duduklah dan bersila, biar kubantu engkau dengan sin-kang agar hawa beracun dari pukulan itu terusir keluar.”

Tanpa berkata apapun, Pek-liong duduk bersila dan Liong-li duduk di sampingnya, lalu wanita itu menempelkan telapak tangan kirinya ke atas lambung yang terpukul, di atas telapak tangan merah, kemudian ia mengerahkan sin-kang perlahan-lahan untuk membantu. Pek-liong juga memejamkan mata dan mengatur pernapasannya.

Untung bahwa kekuatan sin-kang yang dimiliki Pek-liong sudah mencapai tingkat tinggi dan ketika akan dipukul, dia sudah mengerahkan sin-kang melindungi lambungnya sehingga tidak ada bagian yang rusak dan hawa beracun itu hanya masuk ke bawah kulit saja. Biarpun demikian, membutuhkan waktu beberapa jam bagi Liong-li dan Pek-liong untuk mengusir semua hawa beracun dan memulihkan kesehatan Pek-liong.

Tanda telapak tangan merah itu menghilang dan keadaan Pek-liong sudah pulih kembali, walaupun masih agak lemah. Liong-li memandang dengan sinar mata penuh kelegaan hati ketika Pek-liong menelan beberapa butir obat pel miliknya sendiri.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar