25 Tantangan Iblis Yang
Terpojok (Tamat)
Pek-bwe Coa-ong kini berkata
kepada para tahanan. “Sebetulnya, secara pribadi kami tidak bermusuhan dengan
kalian semua. Akan tetapi, kalian adalah sahabat-sahabat baik dari
Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kami tidak mendapatkan kenikmatan menyaksikan
penderitaan mereka ketika tewas terjungkal ke dalam jurang. Maka, sebagai
gantinya, kami ingin melihat kalian menderita dalam siksaan ketika kami bunuh,
dan kami yakin bahwa arwah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li juga akan melihat
kalian tersiksa dan menderita karena kalian mati karena mereka!”
Pada saat itu , seolah-olah
menjawab ucapan Pek-bwe Coa-ong, terdengar teriak-teriakan dan robohnya banyak
anak buah gerombolan, disusul sorak sorai yang riuh rendah. Tiga Iblis Tua itu
menjadi terkejut, dan empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang lebih dahulu
melihat datangnya penyerbuan itu, berteriak. “Pasukan pemerintah......! Mereka
mengepung kita......!!”
Gegerlah seketika keadaan di
sarang gerombolan itu. Anak buah gerombolan menjadi panik karena dari semua
jurusan datang pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Pek-bwe Coa-ong terkejut, akan
tetapi bersikap tenang. Bagaimanapun juga, kalau hanya menghadapi pasukan
pemerintah, dia tidak gentar.
“Semua tenang, lawan dan bunuh
mereka semua! Kita tidak akan kalah!” Dia sendiri bersama dua orang rekannya,
juga empat orang Thai-san Ngo-kwi, mengamuk dan begitu mereka bergerak, mereka
merobohkan perajurit-perajurit yang menyerbu dengan mudah.
Hal ini membangkitkan semangat
anak buah mereka. Akan tetapi, kini muncul Cian Hui, Cu Sui In, dan belasan
orang jagoan istana yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi,
sehingga tiga orang Iblis Tua itu dan empat orang murid keponakan mereka
terkepung.
Sementara itu, pasukan sudah
bertempur melawan anak buah gerombolan dan ternyata jumlah pasukan pemerintah
hampir tiga kali lebih besar sehingga anak buah gerombolan segera terdesak
hebat. Mereka tidak dapat lari, karena tempat itu telah terkepung pasukan
pemerintah.
Melihat keadaan ini, Tiga
Iblis Tua menjadi panik juga. Kim Pit Siu-cai yang cerdik segera berkata, “Kita
pergunakan tawanan menjadi sandera! Cepat!”
Mereka bertiga lalu memutar
senjata sehingga para pengeroyok terpaksa mundur dan mereka segera berloncatan
ke arah di mana tadi sembilan orang tawanan itu mereka ikat. Akan tetapi ketika
mereka tiba di sana, mereka memandang dengan mata terbelalak, seolah tidak
percaya akan apa yang mereka lihat!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan
Hek-liong-li Lie Kim Cu telah berdiri di situ, semua tawanan telah terlepas
dari ikatan, bahkan kini delapan orang tawanan dewasa telah memegang sebatang
pedang dan anak kecil itu telah berada dalam gendongan ibunya dengan aman! Dan
di sekitar tempat itu. belasan penjaga telah roboh dan tewas!
Memang ketika Pek-liong dan
Liong-li tiba di tempat itu, setelah melakukan perjalanan semalam suntuk,
mereka mendengar suara ribut-ribut orang bertempur. Cepat mereka lari naik dan
dengan girang mereka melihat bahwa Cian Hui telah menyerbu sarang gerombolan itu
dengan banyak sekali pasukan pemerintah.
Tentu saja mereka lebih
mementingkan menolong para tawanan lebih dahulu. Mereka melihat para tawanan
itu diikat di batang pohon dekat tebing jurang di mana telah dibangun sebuah
panggung tempat upacara sembahyang. Belasan orang anak buah gerombolan menjaga
tempat itu.
Dengan mudah mereka merobohkan
belasan orang itu dengan pedang mereka, membebaskan para tawanan, mengambil
pedang dari anak buah gerombolan yang roboh dan kini mereka semua telah
memegang senjata, siap untuk membasmi gerombolan!
Liong-li tersenyum manis
ketika melihat Tiga Iblis Tua itu. Juga Pek-liong tersenyum. Di lain pihak,
tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat. Mereka seperti
bertemu setan di tengah hari. Dua orang musuh besar yang tadinya mereka yakin
tentu mati terbanting remuk di dasar jurang, tiba-tiba kini muncul, membebaskan
semua tawanan dan berdiri menghadapi mereka dengan pedang pusaka masing-masing
di tangan!
Pada saat itu, terdengar suara
Cian Ciang-kun membentak dengan lantang sekali, terdengar oleh semua orang yang
sedang bertempur.
“Kami telah mengepung tempat
ini dengan ratusan orang perajurit! Yang melawan akan ditumpas dan dibunuh
habis! Menyerahlah, dan kami tidak akan membunuh kalian, hanya menangkap dan
menghadapkan kalian ke pengadilan!”
Teriakan ini amat berpengaruh.
Para anak buah gerombolan memang sudah panik karena mereka melihat betapa
pasukan itu berjumlah besar sekali sehingga tiap orang anak buah gerombolan
dikeroyok tiga-empat orang perajurit. Kalau mereka melawan terus, jelas mereka
semua akan mati konyol. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang melempar
senjata dan menjatuhkan diri berlutut, menakluk!
Empat orang Thai-san Ngo-kwi
membentak-bentak memberi aba-aba kepada anak buah mereka untuk melanjutkan
perlawanan, namun perintah mereka tidak dihiraukan lagi karena para anak buah
gerombolan itu tidak ingin mati konyol. Mereka yang menakluk segera dilucuti
senjatanya dan diborgol, dan kepungan para perajurit di tempat itu menjadi semakin
ketat.
“Cian Ciang-kun, terima kasih,
engkau telah menyelamatkan para tawanan!” kata Liong-li girang sekali.
Cian Hui hanya mengangguk,
lalu sekali lagi membentak, ditujukan kepada Tiga Iblis Tua dan empat Thai-san
Ngo-kwi. “Sekali lagi, menyerahlah kalian semua sebelum kami terpaksa
menggunakan kekerasan!”
Tiba-tiba Kim Pit Siu-cai
tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li hanyalah
dua orang pengecut yang mempergunakan kekuatan pasukan pemerintah untuk
mengepung dan mengeroyok kami!”
“Liong-li, kalau memang engkau
benar pendekar wanita yang memiliki keberanian, mari kita bertanding satu lawan
satu, tidak menggunakan keroyokan!” kata pula Pek-bwe Coa-ong.
Liong-li tertawa. “Hemm,
Pek-bwe Coa-ong! Sekarang, dalam keadaan terdesak dan tersudut, engkau
mengeluarkan kata-kata besar! Lupa bahwa kalian bertiga telah mempergunakan
kecurangan dan kelicikan tanpa mengenal malu, menangkapi para sahabat kami yang
tidak berdosa hanya untuk memancing kami datang! Kemudian, setelah kami berdua
datang, kalian menggunakan pengeroyokan dan jebakan! Akan tetapi, kami bukanlah
orang-orang curang macam kalian. Kami menerima tantanganmu untuk bertanding
satu lawan satu dan aku akan melawanmu, Coa-ong!”
“Aku akan menandingi Kim Pit
Siu-cai!” kata Pek-liong sambil maju pula dengan sikapnya yang tenang dan
gagah.
“Hi-hik, dan siapa berani
melawan aku?” kata Ang I Sian-li dengan sikap sombong karena ia merasa yakin
bahwa selain Pek-liong dan Hek-liong-li, tidak akan ada yang mampu
menandinginya.
“Biar aku yang mengatur!°”
Liong-li berseru dan ia memandang kepada Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In. Ia
maklum bahwa Cian Hui memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tangguh, dan
isterinya, murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Ia sudah mengukur bahwa kalau
suami isteri itu maju bersama, pasti Ang I Sian-li tidak akan mampu menang.
“Cian Ciang-kun, dan engkau
enci Cu Sui In, maukah kalian berdua mewakili kami melawan Ang I Sian-li?”
Suami isteri ini selain lihai
juga cukup cerdik. Mereka maklum sepenuhnya bahwa Liong-li tidak akan
mencelakakan mereka. Kalau Liong-li minta mereka berdua menghadapi iblis betina
itu, tentu Liong-li sudah mempunyai ukuran bahwa mereka akan menang, maka
mereka segera menyanggupi. Cian Hui sudah memegang suling baja di tangan kanan,
sedangkan isterinya, Cu Sui In sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang).
“Hi-hik, sepasang suami isteri
yang tampan dan cantik. Sayang hari ini akan tewas di ujung pedangku,” kata Ang
I Sian-li. “Selain kami bertiga, masih ada empat orang pembantu kami, yaitu
Thai-san Ngo-kwi. Siapa yang akan menandingi mereka, Liong-li? Suruh mereka
maju sekarang karena Thai-san Ngo-kwi yang akan maju lebih dahulu!”
Iblis betina ini memang
cerdik. Ia sengaja menantang dan menyuruh empat orang murid keponakan itu maju
lebih dahulu untuk memastikan bahwa mereka berempat tidak seperti anak buah
lainnya, menakluk kepada musuh!
Empat orang itu adalah,
Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi. Mereka maklum bahwa menakluk pun bagi
mereka pasti tidak ada pengampunan, maka lebih baik melawan mati-matian.
“Kami tidak akan
mengikut-sertakan pasukan pemerintah,” kata Pek-liong dengan suaranya yang
tenang. “Di sini kami juga mempunyai teman-teman yang setia, maka biarlah
teman-teman kami yang tadinya menjadi tawanan menghadapi mareka.” Pek-liong
memaksudkan dua orang pembantunya, dua orang pembantu Liong-li, kakak beradik
Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, dan suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing.
Cian Ciang-kun mengerutkan
alisnya. Dia maklum akan kelihaian empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Biarpun
delapan orang pengeroyok yang menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan
Liong-li itu juga lihai, terutama empat orang pembantu mereka, namun dia
khawatir kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka, maka dia cepat berkata.
“Isteri saudara Song Tek Hin
menggendong puteranya, tidak baik kalau ia disuruh bertanding. Di antara para
temanku ini ada yang bukan anggauta pasukan pemerintah, maka biarlah dia yang
menggantikan nyonya muda itu! Liok-toako, harap kau suka membantu kami menghadapi
empat orang kepala perampok dari Thai-san itu!”
Seorang di antara jagoan
istana yang bernama Liok San adalah seorang ahli silat yang tangguh, bahkan
tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat yang dimiliki Cian Hui.
Inilah sebabnya mengapa Cian Hui memilih dia untuk mewakill Su Hong Ing yang
menggendong puteranya. Dengan majunya Liok San ini, otomatis keadaan mereka
yang akan melawan ke empat Thai-san Ngo-kwi senjadi jauh lebih kuat lagi!
Pek-liong juga maklum akan
kecerdikan Cian Hui, maka diapun mengangguk.
“Nah, siapa yang akan
bertanding lebih dulu, Kim Pit Siu-cai?” tantang Pek-liong.
Seperti juga Ang I Sian-li,
Kim Pit Siu-cai tidak menghendaki empat orang murid keponakan yang menjadi
pembantu utama itu menakluk kepada pihak musuh, maka diapun berkata, “Biarlah
ke empat Thai-san Ngo-kwi yang maju lebih dulu!”
Empat orang itu maklum bahwa
tidak ada jalan keluar, maka merekapun cepat melangkah maju dan membentuk
barisan golok dengan sikap mereka yang galak.
Liok San maklum bahwa kalau sahabatnya,
Cian Hui menyuruh dia membantu melawan empat orang tokoh sesat ini, tentu para
pembantu dan sahabat Pek-liong dan Liong-li tidak memiliki ilmu setinggi dua
orang pendekar itu. Maka, dia yang bukan hanya memiliki ilmu silat, akan tetapi
sebagai seorang jagoan istana dan panglima, dia memiliki pula ilmu perang dan
membentuk barisan, dia segera mengambil komando atas tujuh orang rekannya yang
hendak maju mengeroyok empat orang penjahat itu.
“Kita serang mereka dengan
berputar melingkari mereka! Menyerang sambil membantu teman yang berada di
kanan. Ingat, yang kiri membantu yang kanan!”
Setelah berteriak demikian,
Liok San mulai menyerang sedangkan tujuh orang lainnya, yaitu kakak beradik
Kam, dua orang pembantu Pek-liong, dua orang pembantu Liong-li dan Song Tek Hin
sudah cepat mengurung dan mengelilingi empat orang itu dan menyerang dengan
senjata masing-masing.
Mereka semua maklum bahwa
jagoan istana yang usianya sudah limapuluhan tahun dan bertubuh tinggi kurus,
bersenjatakan pedang itu tentulah seorang yang lihai dan ahli mengatur barisan,
maka merekapun mentaati petunjuknya. Mereka menyerang sambil siap membantu dan
melindungi teman yang berada di sebelah kanan.
Empat orang Thai-san Ngo-kwi
itu mengamuk dengan golok mereka, akan tetapi menghadapi barisan yang
mengelilingi mereka dan saling bantu itu, mereka tidak sempat mengatur barisan
golok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru, akan tetapi, biarpun empat
orang Thai-san Ngo-kwi hendak memaksakan dan mendesak seorang lawan, tetap saja
usaha ini gagal karena lawan lain akan membantu dan lawan itu akan terus
berputar menyerang musuh yang berada di sebelah kanan.
Dengan demikian, delapan orang
itu berputar terus dan membuat empat orang tokoh sesat itu merasa seperti
dikeroyok masing-masing oleh delapan orang! Karena bingung, mereka melawan
dengan membuta mengandalkan gerakan golok mereka yang cukup lihai. Akan tetapi
karena siasat Liok San membuat delapan orang itu dapat saling bantu dan saling
melindungi, maka semua serangan golok empat orang penjahat itu selalu dapat
ditangkis, dan sebaliknya, mereka dihujani serangan yang bertubi-tubi
datangnya.
Tiga orang Iblis Tua melihat
pertandingan itu dengan alis berkerut dan hati gelisah. Akan tetapi mereka
tidak dapat membantu, juga tidak mungkin melarikan diri dari tempat yang
terkepung ratusan orang perajurit itu. Mereka hanya dapat mengambil keputusan
untuk melawan mati-matian.
“Hek-liong-li, tunggu apa
lagi! Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita sekarang juga!”
Pek-bwe Coa-ong membentak
dengan marah dan nekat. Dia sudah melintangkan tongkat ularnya di depan dada,
menantang Liong-li. Tempat itu memang cukup luas untuk bertanding, maka
Liong-li sambil tersenyum menghampiri dengan Pedang Naga Hitam di tangan.
“Engkau tergesa-gesa ingin
cepat menyusul saudara-saudaramu yang telah mati lebih dulu? Baik, mari kuantar
engkau dengan pedangku!” kata Liong-li sambil melintangkan pedangnya di depan
dada.
Pek-bwe Coa-ong merasa tidak
akan ada gunanya menggunakan ilmunya memanggil ular-ular di daerah itu. Tempat
itu terkepung ratusan orang perajurit. Ular-ular itu pasti tidak akan berani
datang, dan kalaupun ada yang berani, tentu akan diinjak-injak lumat oleh para
perajurit.
“Haiiiiittt......!!” Pek-bwe
Coa-ong Gan Ki menyerang dengan tongkatnya, gerakannya hebat bukan main,
mendatangkan angin keras dan tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala
Liong-li. Namun, pendekar wanita ini dapat mengelak dengan mudah dan pedangnya
yang diputar menjadi gulungan sinar hitam itu mencuat dengan tusukan balasan ke
arah dada.
“Trakkk......!” Tongkat ular
kering yang keras itu menangkis dan keduanya segera terlibat dalam perkelahian
yang seru dan mati-matian.
“Pek-liong-eng, sambutlah
senjataku!” Kim Pit Siu-cai juga berteriak dan begitu Pek-liong melintangkan
pedangnya, dia sudah menyerang.
Pek-liong menggerakkan
pedangnya dan kedua orang yang lihai inipun sudah saling serang dengan
sengitnya. Keduanya menggunakan kecepatan sehingga tidak nampak lagi, yang
nampak hanya dua bayangan berkelebatan di antara gulungan sinar putih dari
pedang Naga Putih dan gulungan sinar kuning dari sepasang mouw-pit.
Melihat betapa kedua orang
rekannya sudah turun tangan menyerang lawan masing-masing, timbul perasaan
ngeri di hati Ang I Sian-li, takut kalau ia nanti tertinggal seorang diri. Maka
iapun menghampiri Cian Hui dan Cu Sui In, sambil tersenyum manis berkata,
“Apakah kalian suami isteri yang tampan dan cantik sudah siap untuk mati?”
Cian Hui menoleh kepada para
jagoan istana yang masih berdiri menjadi penonton. “Kalian jangan mencampuri,
akan tetapi kalau mereka curang dan banyak tingkah, kerahkan pasukan dan
hancurkan mereka!”
Dalam pesan ini tersembunyi
isyarat bahwa kalau pihak Liong-li dan Pek-liong bersama kawan-kawannya
terancam bahaya, mereka diminta turun tangan membantu dengan pengerahan
pasukan!
Cu Sui In yang telah
melintangkan sepasang pedangnya di depan dada, berkata sambil tersenyum
mengejek. “Ang I Sian-li, seharusnya engkau berganti pakaian dulu, pakaianmu
yang merah itu diganti warna putih karena engkau akan mati dan engkau sendiri
yang akan herkabung atas kematianmu. Orang-orang lain akan menyambut kematian
seorang iblis betina jahat kejam sepertimu dengan sorak sorai karena gembira.”
Nyonya Cian Hui ini memang
pandai bicara. Ang I Sian-li memandang dengan alis berkerut. Ia sendiri
biasanya pandai bicara dan mengejek, akan tetapi keadaannya tidak memungkinkan
untuk dapat bersikap seperti itu.
“Lihat pedangku!” bentaknya
dan iapun sudah menggerakkan sepasang pedangnya menyerang. Serangannya ditujukan
kepada Cu Sui In karena diam-diam ia marah dan membenci wanita cantik itu yang
telah mengejeknya.
“Trang-tranggg......!!” Pedang
kirinya ditangkis Cu Sui In, dan pedang kanannya ditangkis suling baja di
tangan Can Hui yang melindungi isterinya. Mereka berdua membalas dengan
serangan kilat sehingga Ang I Sian-li harus bergerak cepat untuk melindungi
dirinya. Perkelahian antara iblis betina ini melawan suami isteri itu pun
terjadi dengan sengit dan serunya, membuat kagum dan tegang hati mereka yang menjadi
penonton.
Yang paling terdesak adalah
empat orang Thai-san Ngo-kwi. Delapan orang pengeroyok mereka terus mendesak,
terutama sekali dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong.
Mereka berempat ini agaknya mendendam karena kematian rekan-rekan mereka dan
kini dendam itu mereka salurkan dan timpakan kepada empat orang dari Thai-san
Ngo-kwi sehingga mereka menyerang mati-matian dengan sengit sekali.
Thai-san Ngo-kwi, Lima Setan
Thai-san yang kini tinggal empat orang itu, dengan nekat berusaha untuk
melindungi diri dan memutar golok mereka diseling pukulan tangan kiri yang
telah berubah merah. Akan tetapi, semua pertahanan mereka bobol karena
datangnya serangan bertubi dan sambung-menyambung dari delapan orang lawan
mereka.
Akhirnya, pedang di tangan
Liok San yang tangkas itu berhasil melukai lutut kiri Thai-kwi. Orang pertama
dari Thai-san Ngo-kwi ini terpelanting dan segera para pengeroyoknya
menghujankan senjata mereka sehingga dia tidak dapat bangun kembali, tewas
dengan tubuh penuh luka!
Melihat ini, tiga orang
adiknya menjadi panik, juga marah dan nekat. Namun, tentu saja mereka menjadi
semakin lemah dengan robohnya orang pertama dari mereka.
Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang
pembantu Liong-li, yang paling ganas di antara para pengeroyok itu karena
merasa sakit hati melihat rekan-rekannya tewas dalam keadaan menyedihkan,
segera berhasil merobohkan dua orang lagi, yaitu Su-kwi dan Ngo-kwi yang begitu
roboh juga menjadi makanan banyak senjata sehingga merekapun tewas seketika.
Tinggal Ji-kwi dan tentu saja dia tidak mampu bertahan dan diapun roboh dan
tewas dengan tubuh rusak.
Tewasnya empat orang dari
Thai-san Ngo-kwi ini disambut sorak sorai para perajurit, dan tentu saja tiga
orang Iblis Tua menjadi semakin gentar dan panik.
Pek-bwe Coa-ong yang melawan
Hek-liong-li merasa gentar bukan main. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya,
mengeluarkan semua ilmunya, namun gulungan sinar hitam dari pedang Hek-liong-li
hebat bukan main. Ilmu yang dia andalkan, yaitu memanggil barisan ular untuk
membantunya, saat itu tidak dapat dia pergunakan.
09.26. . . . . . .
09.26. Akhir Petualangan
Sepasang Naga
Kedua ujung tongkatnya yang
terbuat dari ular berekor putih yang sudah mengering dan keras, juga beracun,
sudah retak-retak beradu dengan pedang Hek-liong-kiam dan napasnya mulai
terengah. Biarpun tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkat kepandaian
Liong-li, namun usianya yang sudah cukup tua itu membuat dia kalah dalam daya
tahan dan sudah mulai loyo dan terengah.
Tiba-tiba, teringat akan senjata
terakhir andalannya, tangan kirinya merogo ke dalam baju, kemudian begitu
tangan itu bergerak, nampak sinar putih berdesis menyambar ke arah leher
Liong-li. Wanita perkasa ini terkejut karena benda itu menyambar dari jarak
dekat ke arah lehernya.
Ia mencium bau yang amis
sekali dan saat itu, tongkat lawan menusuk ke arah lambungnya. Cepat ia
miringkan tubuhnya dan pedangnya menyabet ke arah benda putih yang menyambar ke
arah lehernya itu.
“Crakk!” Darah menetes dan
benda itu putus menjadi dua potong.
Benda itu ternyata seekor ular
sebesar jari kelingking. Potongan bagian ekor jatuh ke bawah, akan tetapi
bagian kepala terlempar ke samping dan meluncur ka arah Cian Hui yang sedang
mengeroyok Ang I Sian-li.
Cian Hui dan isterinya belum
berhasil mendesak Ang I Sian-li yang amat lihai. Suami isteri ini terutama
sekali harus berhati-hati terhadap tangan kiri iblis betina itu yang
tamparannya lebih berbahaya dari pada sambaran pedangnya.
Kadang-kadang, iblis betina
itu menyatukan kedua pedang di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya
menampar-nampar, mengeluarkan hawa yang berbau busuk seperti bangkai dan tangan
itu berubah merah sekali. Karena maklum bahwa tangan kiri itu mengandung racun
berbahaya, maka Cian Hui dan Cu Sui In berhati-hati sekali.
Pada saat mereka berdua masih
saling serang dengan Ang I Sian-li, tiba-tiba ada benda putih menyambar ke arah
Cian Hui. Perwira itu terkejut, cepat menggerakkan suling baja di tangannya
menangkis atau memukul ke arah benda itu, memukul agar benda yang tidak diketahuinya
apa itu membelok ke arah lawannya.
“Plakk!” Tangkisannya berhasil
dan benda itu dengan kecepatan kilat kini menyambar ke arah Ang I Sian-li.
Wanita ini tidak tahu benda apa itu, maka ia yang sedang menggunakan tangan
kiri untuk menyerang kedua orang pengeroyoknya cepat menangkap benda putih itu
dengan tangan kirinya yang ampuh.
Tiba-tiba Ang I Sian-li
menjerit dan roboh terjengkang! Kiranya benda putih itu adalah potongan ular
bagian kepala dan setengah badannya, ketika ditangkapnya, ular yang bagian
bawah dan ekornya sudah buntung itu langsung menggigit tangan yang
menangkapnya. Begitu tergigit, hawa panas yang tak tertahankan lagi menyusup ke
dalam tubuh Ang I Sian-li dan iapun roboh, menjerit-jerit dan berkelonjotan!
Cian Hui dan isterinya saling
berpegang tangan dan hanya berdiri memandang dengan mata terbelalak ngeri,
namun siap dengan senjata mereka menghadapi segala kemungkinan.
Akan tetapi, Ang I Sian-li
tidak mungkin dapat menyerang mereka lagi. Wanita itu berkelonjotan sambil
terus menjerit-jerit seperti orang gila, dan yang mengerikan sekali, tangan
yang tergigit tadi, yang tadinya berwarna merah sekali, kini berubah putih!
Warna putih menjalar naik dan akhirnya Ang I Sian-li tewas dengan tubuh berubah
putih seperti kapur!
Melihat betapa iblis betina
itu tewas, tentu saja Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong menjadi semakin panik
dan gentar. Terutama sekali Pek-bwe Coa-ong yang sudah kehilangan ular putih
yang ampuh tadi. Ular putih yang dijadikan senjata rahasia itu, tidak dapat
membunuh Liong-li, bahkan telah membunuh rekannya sendiri, Ang I Sian-li.
Matinya Ang I Sian-li
merupakan peristiwa kebetulan, dan agaknya memang sudah tiba saatnya ia
menerima hukuman atas semua kejahatannya yang amat keji dan kejam. Mungkin saja
ular putih itu penjelmaan seorang di antara bayi-bayi yang dihisap darahnya
sampai habis olehnya.
Mungkin karena ngeri melihat
kematian Ang I Sian-li, tiba-tiba Kim Pit Siu-cai mengeluarkan kipasnya yang
lebar. Justeru saat inilah yang dinanti-nanti dengan penuh kewaspadaan oleh
Pek-liong. Begitu lawan mencabut kipas, sebelum kipas dikembangkan, terutama
sebelum kipas dapat. mengeluarkan jarum-jarum beracunnya yang pernah melukai
punggungnya, pedang Pek-liong-kiam berkelebat dan menyambar dengan sangat cepat
dan dahsyat!
Kim Pit Siu-cai menjadi
terkejut dan karena pedang yang menjadi sinar putih menyambar dari sebelah
kiri, otomatis diapun mengangkat kipas untuk menangkis.
“Crakkkk!” Kipas itu
patah-patah menjadi beberapa potong!
Kim Pit Siu-cai terkejut dan
cepat tangan kanannya bergerak. Sebatang di antara kedua mouw-pit di tangan
kanan itu meluncur ke arah dada Pek-liong.
Namun pendekar ini dapat
melompat ke samping untuk menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan
oleh Kim Pit Siu-cai untuk melompat pula ke atas panggung yang didirikan anak
buahnya dan yang sedianya akan dipergunakan untuk melakukan sembahyangan besar
dengan korban sembilan orang tawanan itu.
Pada saat yang bersamaan,
Pek-bwe Coa-ong yang sudah jerih itupun melompat ke atas panggung mengikuti
perbuatan rekannya. Kini keduanya telah melompat ke atas panggung itu.
“Jahanam tua, kalian tak dapat
lolos dari tangan kami!” bentak Liong-li dan Pek-liong yang mengejar ke
panggung.
“Ha-ha-ha, siapa bilang kami
tidak dapat lolos? Mari, Coa-ong!” kata Kim Pit Siu-cai dan kedua orang Iblis
Tua itu berpegang tangan lalu keduanya meloncat ke bawah tebing jurang di mana
kemarin Liong-li dan Pek-liong terjerumus!
“Ah, celaka, mereka dapat
meloloskan diri!” kata Cian Hui sambil menjenguk ke bawah.
Akan tetapi Pek-liong dan
Liong-li saling pandang dan tersenyum, “Mereka tidak akan lolos, Ciang-kun.
Sekarang juga mereka telah tewas dengan tubuh remuk. Tebing jurang ini teramat
dalam dan kami berdua kemarin juga terjatuh ke situ, hanya Tuhan belum menghendaki
kami tewas, maka kebetulan saja kami dapat lolos dari maut.”
Akan tetapi Cian Hui masih
belum yakin, maka atas petunjuk Pek-liong dan Liong-li, dia menyuruh seregu
pasukan untuk memeriksa di bawah sana, melalui jalan mengitari bukit.
Keadaan menjadi sunyi setelah
pertempuran berakhir. Cian Hui mengatur pasukan. Setelah menyingkirkan
mayat-mayat, lalu menggiring puluhan orang anak buah gerombolan sebagai
tawanan, kembali ke kota raja.
Ketika Cian Hui mengajak
sepasang pendekar itu untuk ikut berkunjung ke kota raja, mereka menolak dengan
halus. “Harap Ciang-kun pergi dulu, lain hari pasti kami berdua akan
berkunjung.”
Song Tek Hin dan isterinya, Su
Hong Ing, dengan berbahagia mengajak puteranya, Song Cu, pulang dan keluarga
ini tentu saja merasa berbahagia bukan main setelah terbebas dari ancaman maut,
terutama atas diri putera mereka. Mereka berpamit dari Pek-liong dan Liong-li,
dan meninggalkan tempat itu, bergabung dengan pasukan agar lebih aman di dalam
perjalanan.
Demikian pula dengan kakak beradik
Kam. Dengan berat hati mereka meninggalkan tempat itu setelah Pek-liong dan
Liong-li mengajak kakak beradik itu bicara berempat saja, dan sepasang pendekar
ini menasihatkan kepada kakak beradik itu untuk membentuk rumah tangga dan
mencari pasangan masing-masing.
“Harap kalian lenyapkan mimpi
tentang diri kami berdua,” demikian kata Pek-liong. “Dalam ke hidupan ini kami
berdua tidak dapat berjodoh dengan kalian berdua, mudah-mudahan saja dalam
kehidupan yang lain kita akan dapat saling berjodoh.”
Terpaksa kakak beradik itupun
pergi dan Kam Cian Li pergi dengan kedua mata basah air mata. Namun kini mereka
yakin bahwa sepasang pendekar itu bukan jodoh mereka dan mereka tidak perlu
mengharapkan. Merekapun mengambil keputusan untuk memilih jodoh mereka, karena
sesungguhnya, banyak sudah pemuda yang meminang Cian Li, dan banyak pula
gadis-gadis yang menaksir Sun Ting yang masih muda, gagah, tampan dan kaya raya
itu.
Kini hanya tinggal Pek-hwa dan
Ang-hwa, juga kedua orang pembantu Pek-liong, yang masih berada di tepi tebing
itu. Mereka memandang kepada sepasang pendekar itu penuh pertanyaan dan menanti
perintah.
Pek-liong kembali saling
pandang dengan Liong-li. Pek-liong berkata kepada kedua orang pembantunya,
suaranya mengandung keharuan karena kini hanya tinggal dua orang itulah
pembantunya. “Kalian turunlah dulu, tinggalkan aku di sini.”
Liong-li juga berkata cepat
kepada kedua orang pembantunya. “Pek-hwa dan Ang-hwa, kalian pulanglah dulu,
tinggalkan kami berdua di sini sejenak.”
Empat orang itu agaknya
memaklumi bahwa sepasang pendekar itu ingin bercakap-cakap tanpa gangguan
siapapun, maka merekapun mengangguk dan segera mereka berempat menuruni tempat
itu.
Matahari telah lewat tengah
hari, mulai condong ke barat. Suasana hening sekali setelah tadi tempat itu
menjadi medan laga. Pek-liong dan Liong-li masih berdiri memandang sampai
keempat orang pembantu mereka tak nampak lagi bayangannya.
Kemudian mereka saling
pandang. Dua pasang sinar mata itu saling pandang, seperti baru pertama kali
mereka saling pandang, pandang mata itu bertaut dan sungguh aneh, mereka merasa
betapa jantung mereka berdebar keras. Mereka seolah-olah menemukan sesuatu
dalam wajah mereka masing-masing, sesuatu yang tak pernah mereka lihat atau
rasakan.
“Liong-li......”
“Pek-liong......”
Keduanya berdiam diri lagi.
Kemudian Pek-liong menghela napas panjang, lalu berkata lembut. “Liong-li, mari
kita duduk. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
Mereka duduk di atas batu,
berhadapan, kembali saling tatap. Liong-li mengangguk karena ia dapat merasakan
apa yang dirasakan Pek-liong. “Akupun ingin mengatakan sesuatu kepadamu,
Pek-liong.”
“Liong-li, ada sesuatu yang
terjadi dalam hati kita berdua. Benarkah itu?”
Liong-li hanya memandang dan
mengangguk. Ah betapa mereka sudah dapat membaca isi hati masing-masing!
Sesungguhnya, tanpa bicarapun mereka dapat merasakan apa yang dirasakan pihak
lain!
“Sejak di dasar jurang itu?”
Pek-liong ingin yakin.
Liong-li mengangguk.
“Engkau menangisi aku,
Liong-li?”
Liong-li mengangguk. “Melihat
engkau mati, dunia seperti kiamat bagiku, Pek-liong, dan aku menyadari bahwa
tanpa engkau, aku tidak mungkin dapat bertahan hidup. Perasaanku hancur lebur
melihat engkau yang kusangka mati.”
Pek-liong mengangguk. “Dan
ketika itu aku bermimpi, kita berdua mendayung perahu, mengarungi samudera
luas, hanya kita berdua...... dan ketika aku sadar dan melihatmu, ahhh, aku
mengerti, Liong-li. Aku...... pada saat itu...... sampai sekarang aku......
timbul cintaku melihatmu!”
“Aku mengerti, Pek-liong.
Selama ini kita saling merindukan, akan tetapi kita mencoba untuk melepas
kerinduan itu melalui orang lain. Betapa bodohnya kita ini, kita saling merasa
malu untuk mengakui kenyataan itu. Atau kita terlalu sombong?” Ia tersenyum dan
Pek-liong juga tersenyum.
“Kini terasa sekali olehku.
Kita saling mencinta, Liong-li. Bukan, bukan cinta yang kita paksakan seperti
sebelum ini, kita memaksa diri bahwa kita mencinta hanya sebagai sahabat setia,
sehidup semati, saling bantu dan saling melindungi. Tidak, kita saling mencinta,
lebih dari itu. Kita saling bersatu! Bukan begitu? Seharusnya kita sejak dahulu
bersatu......”
“Engkau benar, Pek-liong. Baru
sekarang kusadari, atau pada saat engkau kusangka mati kemarin. Seharusnya
sejak dahulu kita berani mengakui itu, saling mencinta sebagai seorang pria dan
seorang wanita. Andaikata dahulu demikian, kiranya kita tidak menjadi petualang
seperti sekarang, menanam banyak bibit permusuhan, bahkan menyeret orang lain.”
“Sudahlah, yang sudah biarkan
lalu. Belum terlambat, bukan? Nah, Hek-liong-li Lie Kim Cu, sebagai seorang
yang sejak dahulu jatuh cinta padamu, sekarang aku meminangmu. Maukah engkau
menjadi isteriku?”
Mereka saling pandang, akan
tetapi tidak seperti yang sudah-sudah. Dalam pandang mata itu, selain saling
pengertian, terdapat kemesraan yang sedalam samudera dan kedua mata Liong-li
perlahan-lahan menjadi basah! Air mata berlinang di matanya. Linangan air mata
seorang wanita yang mendambakan pria yang dicintanya. Ia menggangguk.
“Dengan bahagia aku mau
menjadi isterimu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay!”
Dan keduanya merasa geli,
merasa lucu, lalu entah siapa yang bergerak lebih dahulu, keduanya sudah saling
rangkul dan bertemu dan bersatunya kedua hati itu diwakili bibir mereka dalam
ciuman yang mesra.
Betapa anehnya! Sepasang
pendekar yang amat lihai, yang amat cerdik, sebelum ini demikian bodohnya
sehingga mereka tidak pernah mau mengakui kenyataan bahwa mereka saling
mencinta, saling mendambakan, saling merindukan! Baru sekarang mereka tahu
bahwa masing-masing tidak pernah dapat mencinta pria atau wanita lain, walaupun
mereka coba untuk mencari penggantinya.
Menjelang senja, sambil
bergandeng tangan, Pek-liong dan Liong-li menuruni lembah Bukit Hek-san itu.
Ketika mereka melihat empat orang itu menghadang dengan sikap hormat, mereka
tidak merasa heran, juga tidak saling melepaskan gandengan tangan mereka.
Mereka memandang, dan ternyata dua orang pembantu Pek-liong dan dua orang
pembantu Liong-li kini telah menjadi dua pasang!
“Eh, kalian belum pulang,
Ang-hwa dan Pek-hwa ?” tanya Liong-li.
“Harap li-hiap memaafkan kami.
Kami telah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke rumah Li-hiap. Maafkan
kami berdua......” kata Ang-hwa, mewakili Pek-hwa yang hanya menunduk saja.
“Hemmm.....?” Liong-li tidak
marah, melainkan memandang kepada Pek-liong dan keduanya seperti dapat
memaklumi.
“Tai-hiap, kami berdua juga
mengambil keputusan untuk pulang ke dusun kami masing-masing, tidak pulang ke
rumah tai-hiap. Maafkan kami,” kata seorang di antara dua orang pembantu
Pek-liong.
“Kalian akan...... menikah?”
Pek-liong dan Liong-li bertanya, hampir berbareng.
Dua pasang orang muda itu
mengangguk dan menunduk, muka mereka berubah merah sekali.
Pek-liong dan Liong-li tertawa
bergelak, masih saling berpegang tangan, tertawa geli dan juga bahagia.
“Kiong-hi (selamat)!” kata
Pek-liong kepada dua orang pembantunya, “Aku girang sekali mendengar berita ini
dan tentu saja aku setuju sepenuhnya.”
“Akan tetapi, kalian tidak
boleh mendahului kami, Ang-hwa dan Pek-hwa. Aku ingin kalian menjadi pengapitku
kalau aku melangsungkan pernikahanku!” kata Liong-li.
Ang-hwa dan Pek-hwa terkejut
dan cepat mengangkat muka, memandang wajah nona mereka dengan mata terbelalak.
Pek-liong tersenyum dan
berkata kepada dua orang pembantunya. “Kalian berdua juga harus bersabar dan
sebelum menikah, harus lebih dulu menjadi pengapitku. Setuju?”
Kini mereka berempat mengerti.
Ang-hwa dan Pek-hwa lupa bahwa mereka adalah bekas pembantu dan pelayan
Liong-li. Keduanya menubruk dan merangkul nona mereka, menciumi dengan air mata
bercucuran akan tetapi sambil tertawa-tawa! Juga kedua orang pembantu Pek-liong
segera memberi selamat kepada bekas majikan mereka.
Akhirnya, mereka saling
berpisah. Seperti telah mereka sepakati bersama, Pek-liong akan pulang ke
rumahnya sendiri bersama dua orang pembantunya, juga Liong-li akan pulang ke
rumahnya sendiri bersama Ang-hwa dan Pek-hwa. Akan tetapi Pek-liong akan
singgah di rumah Cian Ciang-kun karena hanya perwira sahabat baik mereka itulah
yang dapat mereka mintai tolong untuk menjadi wali dan perantara, juga yang
mengatur semua keperluan pesta pernikahan antara Pek-liong-eng dan
Hek-liong-li!
Demikianlah, selesai sudah
kisah petualangan Pendekar Naga Putih dan Nona Naga Hitam itu. Mereka menjual
rumah masing-masing, setelah menjadi suami isteri mereka pindah tinggal di
lereng sebuah bukit yang indah dan sunyi, dekat Telaga Barat, hidup dalam
keadaan tenteram dan penuh damai karena mereka tidak lagi mencampuri urusan
dunia kang-ouw yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Mereka seolah hendak
menebus semua kehilangan masa lalu dan tenggelam dengan kebahagiaan mereka
berdua.
Semoga kisah ini ada
manfaatnya bagi kita semua dan sampai jumpa di lain kisah.
T A M A T