Jilid 11
Tusukan ini langsung menuju ke
dada dan tidak ada gerak perubahan lain, juga tiada gerak tersembunyi, tapi
Lengkui justru terdesak oleh tusukan demikian dan tidak mampu balas menyerang.
Sinar pedang Yang Cu-kang
terus memanjang, "sret-sret-sret", berturut ia menusuk pula tiga
kali, semuanya lurus ke depan tanpa gerak perubahan, tapi Lengkui lantas
terdesak mundur satu langkah.
Lui-ji juga dapat melihat ke
empat jurus Yang Cu-kang itu sama sekali berbeda daripada gaya semula, setelah
berpikir, ia tertawa cerah dan berseru: "Aha, akupun jadi
pahamlah...." tapi segera ia berkerut kening dan menggeleng pula,
sambungnya: "Tapi akupun tetap tidak paham"
Thi-hoa-nio menjadi heran,
tanyanya: "Kau paham apa? Dan apa pula yang membuat kau tidak paham?"
Belum lagi Lui-ji menjawab,
dilihatnya Pwe-giok entah sejak kapan sudah menjemput sebilah golok, ia
melangkah maju terus menabas ke pundak Lengkui.
Tebasan ini sangat lambat,
seumpama dapat mengenai sasarannya juga belum pasti dapat melukainya,
kelihatannya malah lebih mirip hendak menaruh golok di atas pundak Lengkui.
Dengan sendirinya Lengkui
tidak pernah menghindari, tapi ketika mata golok sudah dekat dengan pundaknya,
terlambatlah baginya biarpun dia ingin cepat berkelit.
Sebab gerakan yang sangat
lambat ini memang sangat mudah dihindari oleh siapapun, tapi ketika Lengkui
bermaksud mengelak, gerakan mata golok Pwe-giok itu mendadak juga berputar.
Terdengar suara "sret" satu kali, golok itu berputar satu lingkaran.
Gerakan ini sangat cepat, tapi
tiada ubahnya seperti lagi main lingkaran, sama sekali tidak ada maksud hendak
mencelakai orang. Jadi Lengkui juga tidak perlu lagi mengelak.
Akan tetapi cahaya golok
justeru berkelebat di depan mata, mana boleh Lengkui tinggal diam.
Semula Lui-ji merasa cara
menyerang Pwe-giok itu agak membingungkan, tapi sekarang ia sudah tahu dimana
letak keajaiban serangan itu.
Gerakan golok Pwe-giok itu
lambat luar biasa, hakekatnya tidak bergaya jurus, sebab itulah sukar untuk
diraba kemana tujuannya. Maka Lengkui menjadi tidak tahu cara mengelak atau
mematahkannya.
Tapi meski gerakan itu tanpa
jurus, ada goloknya, kalau ada golok, Lengkui harus mengelak, sebab yang akan
melukainya bukanlah jurusnya melainkan goloknya.
"Hah, permainan golok
yang hebat!" seru Lengkui dengan tertawa.
Belum habis ucapannya,
tahu-tahu golok Pwe-giok sudah kena bacok di atas tubuhnya.
Sebab dia tidak tahu cara
bagaimana harus mengelak atau mematahkan bacokan golok Pwe-giok itu, terpaksa
ia harus mematahkan dulu tiga kali tusukan pedang Yang Cu-kang dari depan,
setelah dia berhasil mematahkan serangan Yang Cu-kang, tidak dapat lagi baginya
untuk menghindari serangan Pwe-giok.
Dan kalau serangan Pwe-giok
tak dapat dihindarkan, pedang Yang Cu-kang juga akan menusuk tubuhnya.
Seketika tertampaknya sinar
pedang berkelebat, darah segar pun berhamburan.
"Bagus, bagus
sekali!" seru Lengkui tetap dengan tertawa. "Cuma sayang Lengkui tak
dapat dibunuh oleh siapapun, selamanya Lengkui tak dapat dibunuh..."
Robohlah dia bermandikan darah,
namun wajahnya masih tetap membawa senyuman yang kaku itu.
Sekali ini Yang Cu-Kang tidak
memandangnya sama sekali, tapi melototi Ji Pwe-giok, sampai sekian lamanya
barulah ia menghela napas panjang dan berkata, "Konon dahulu pendekar
golok kilat si Li kecil terkenal sebagai golok nomor satu di dunia, menurut
cerita, tidak pernah ada seorangpun mampu menahan sekali serangannya, sebab
sekali goloknya bergerak, sukarlah bagi lawan untuk mengetahui cara bagaimana
dia hendak menyerang sehingga orang tidak mampu untuk menghindar apalagi
mematahkannya."
"Ya, cerita pendekar si
golok Li kecil pernah juga kudengar," ujar Pwe-giok.
"Sama halnya kelak namamu
pasti juga akan banyak dikenal orang," kata Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Aku?" Pwe-giok
menegas.
"Betul, kau!" kata
Yang Cu-kang dengan agak penasaran terhadap dirinya sendiri sambil menuding
golok di tangan Pwe-giok, "tapi bukan lantaran pribadimu ini, bukan
lantaran wajahnya yang cakap, tapi karena ilmu permainan golok yang tidak
pernah ada dan juga tidak bakal ada di kemudian hari."
Pwe-giok tertawa, bukan
tertawa puas karena dipuji, tapi karena tiba-tiba teringat olehnya seorang
cerdik pandai pernah berkata padanya, "Seorang yang sombong, dalam keadaan
terpaksa harus memuji orang lain, biasanya dia akan marah terhadap dirinya
sendiri".
"Kau bilang ilmu
permainan golok? Hakekatnya aku tidak paham ilmu golok apapun," sahut
Pwe-giok kemudian dengan tertawa.
"Justeru lantaran kau
tidak paham ilmu golok, makanya menakutkan," ujar Yang Cu-kang sambil tersenyum
kecut. "Ada golok tanpa jurus, kan jauh lebih menakutkan daripada ada
jurus tanpa golok?"
Mendadak Lui-ji menyela dengan
tertawa, "Umumnya seorang lelaki suka bilang perempuan bawel, tapi menurut
pendapatku, yang benar-benar bawel adalah kaum lelaki, perempuan hanya bawel
pada waktu menganggur, tapi lelaki bisa lebih bawel di mana dan kapanpun juga,
biarpun dalam keadaan tegang juga suka bicara hal-hal yang sukar untuk
dimengerti.
Tertawalah Yang Cu-kang,
katanya, "Ucapanmu ini memang betul, saat ini memang bukan waktunya untuk
mengobrol."
Mendadak Lui-ji menarik muka
dan berucap, "Lengkui takkan mati, segera Lengkui akan muncul lagi untuk
menuntut balas."
Cara bicaranya menirukan nada
Lengkui dan kedengaran lucu, tapi bila teringat kepada makhluk yang tak dapat
dihalau, tak dapat dibunuh mati siapa yang dapat tertawa geli?
Yang Cu-kang mengusap keringat
pada tangannya, lalu berkata, "Ji-heng, ku tahu dalam hatimu pasti banyak
menaruh curiga terhadapku, tapi dapat kukatakan padamu, aku bukanlah lawan
melainkan kawanmu."
Pwe-giok menjawab dengan cekak
aos, "Kupercaya!"
Yang Cu-kang menghela napas
panjang, katanya pula, "Bagus, sekarang aku hanya ingin memohon sesuatu
padamu."
"Urusan apa?" tanya
Pwe-giok.
"Di dalam rumah ini ada
jalan rahasia di bawah tanah, lekas kau pergi dulu membawa yang terluka dan
perempuan, juga ketiga peti ini perlu kau bawa sekalian."
"Dan kau?" tanya
Pwe-giok.
"Paling tidak aku masih
sanggup menjaga diriku sendiri, tidak perlu kau kuatirkan aku dan juga tidak
perlu tinggal di sini untuk membantu diriku, "ujar Yang Cu-kang dengan tak
acuh.
"Akan tetapi
kau...."
Mendadak Yang Cu-kang tidak
sabar, ia mendesak, "Sudahlah, seumpama aku tak dapat menandingi orang,
sedikitnya dapat ku kabur. Tapi bila kalian tetap tinggal di sini bisa jadi aku
ingin laripun sukar."
Dia memapah Hay Tong-jing,
lalu berkata pula, "Apabila dalam hati kalian ingin tahu apa-apa, tanya
saja kepada Suhengku bila dia sudah siuman."
"Tapi kau ...
"Lui-ji juga kuatir.
Yang Cu-kang berkerut kening,
katanya, "Biniku saja sudah kupasrahkan kepada kalian, masakah kalian
masih kuatir aku minggat dan tidak kembali lagi?"
oooOooooo
Lorong di bawah tanah itu
serupa lorong rahasia umumnya, gelap dan lembab, bahkan karena berada di bawah
dapur, maka tercium bau yang memualkan.
Jalan masuk lorong rahasia itu
dibukakan oleh Thi-hoa-nio, tapi dia sendiri tidak tahu lorong itu menembus ke
mana, lebih-lebih tidak tahu mengapa di dapur terdapat jalan rahasia ini.
Lui-ji terus menerus
menggerundel, "Persetan! Kenapa kita jadi menuruti kehendaknya dan
menyusup ke liang tikus ini? Jika di depan sana ada binatang buas atau makhluk
berbisa atau perangkap maut, nah, baru celakalah kita!"
Thi-hoa-nio menggigit bibir,
katanya, "Apakah selamanya kau tidak percaya kepada siapapun juga?"
Jawab Lui-ji dengan ketus,
"Seumpama kupercaya kepada orang lain juga takkan kukawin dengan dia
dengan begitu saja tanpa pertimbangan."
Dia melototi Thi-hoa-nio,
Thi-hoa-nio juga mendelik kepadanya, kedua orang saling melotot seperti dia dua
ekor ayam jago aduan yang sedang saling melotot, sampai sekian lamanya,
perlahan Thi-hoa-nio menunduk, matanya tampak basah.
"Aku tidak seperti
kau," demikian katanya dengan hampa, "ada yang sayang, ada yang
mencintai kau pula, tapi aku sebatangkara, asalkan ada orang suka padaku sudah
cukup membuatku kegirangan."
Lui-ji menjengkitkan mulut,
lalu melangkah ke depan, tapi beberapa langkah mendadak ia lari balik terus
merangkul Thi-hoa-nio, ucapnya, "Aku tidak sengaja bicara demikian,
kuharap jangan kau marah padaku. Aku .. akupun sebatangkara, bahkan sejak kecil
tidak pernah mendapatkan pendidikan yang layak, makanya selalu
menjemukan."
Thi-hoa-nio tertawa sebisanya,
ucapnya dengan lembut, "Siapa bilang kau menjemukan? Jika kau menjemukan,
di dunia ini mungkin tidak ada anak perempuan yang menyenangkan."
Lui-ji menunduk, lalu melirik
Pwe-giok sekejap, katanya kemudian dengan menyesal, "Sebenarnya akupun
tahu maksudmu, demi melindungi kami, demi mencari tahu seluk-beluk Yang
Cu-kang, makanya kau kawin dengan dia."
"Mungkin semula memang
begitu maksudku." ujar Thi-hoa-nio dengan gegetun, "tapi kemudian
kulihat cara bicara orang ini meskipun sangat menjengkelkan, tapi sebenarnya
bukan orang jahat."
Pwe-giok tertawa, katanya,
"Menurut pendapatku, bahkan sikapnya yang menjengkelkan itupun sengaja
dibuat-buat"
"Untuk apakah dia sengaja
berbuat demikian?" tanya Lui-ji.
"Ada sementara orang yang
bercita-cita tinggi dan bertugas berat, dia terpaksa harus mandah menerima
hinaan dan ...."
Pada saat itulah mendadak
terdengar suara "blang" yang keras di lorong rahasia itu.
Lui-ji terkesiap, katanya,
"Lengkui yang tidak dapat dibunuh itu mungkin sudah muncul lagi."
Wajah Thi-hoa-nio berubah
pucat, agaknya juga rada gemetar.
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa, katanya,
"Eh, apakah kalian pernah dengar cerita tentang Siau-sin-tong (si bocah
ajaib) membikin Hiat-eng-jin (manusia bayangan darah) mati kecapaian."
"Ti .... tidak
tahu," jawab Thi-hoa-nio.
Dalam keadaan dan pada waktu
demikian, Pwe-giok justeru ingin bercerita, sungguh aneh. tapi meski heran,
karena bisa mendengar cerita menarik, betapapun Lui-ji merasa senang, katanya
dengan tertawa, "Hiat-eng-jin, nama ini sungguh aneh, kukira orang ini
bukan barang baik."
"Betul," kata
Pwe-giok, "orang ini berhati keji dan bertangan ganas, membunuh orang
seperti membunuh ayam, meski setiap orang Kangouw sama membencinya, tapi juga
tidak dapat berbuat apa-apa."
"Ilmu silatnya sangat
tinggi?" kata Lui-ji.
"Bukan saja sangat
tinggi, bahkan Ginkangnya tidak ada bandingannya," tutur Pwe-giok,
"beberapa kali sudah jelas dia terkepung oleh belasan tokoh kelas tinggi,
tampaknya riwayatnya pasti akan tamat, tapi akhirnya dia berhasil lolos juga
berkat Ginkangnya yang hebat."
"Lantas, orang macam apa
pula Siau-sin-tong itu? Cara bagaimana dia membikin Hiat-eng-jin mati
kecapaian?" tanya Lui-ji.
"Sesuai julukannya,
Siau-sin-tong dengan sendirinya adalah seorang anak kecil, bahkan baru saja
muncul di dunia Kangouw, tidak ada yang tahu bagaimana asal-usulnya sehingga
orang pun tidak menaruh perhatian padanya. Suatu hari, ketika Siau-sin-tong
mendadak berbuat sesuatu yang menggemparkan dunia persilatan sehingga setiap
orang sama tertarik padanya."
"Perbuatan apa?"
tanya Lui-ji.
"Dia memberi upah dan
menyuruh orang menempel plakat di setiap kota besar, katanya dia hendak
bertanding Ginkang dengan Hiat-eng-jin, bahkan menyatakan apabila Hiat-eng-jin
tidak berani menerima tantangannya, maka Hiat-eng-jin bukan manusia melainkan
hewan."
"Wah, meski kecil orang
nya, tampaknya nyali Siau-sin-tong itu sangat besar," ujar Lui-ji dengan
tertawa.
Kini Thi-hoa-nio juga mulai
tertarik oleh cerita itu, ia tidak tahan dan bertanya, "Lalu, Hiat-eng-jin
terima tantangannya atau tidak?"
"Sudah biasa Hiat-eng-jin
malang melintang di dunia Kangouw, siapapun tidak terpandang olehnya, mana dia
tahan akan tantangan itu. Tidak sampai tiga hari dia sudah mendatangi
Siau-sin-tong. Kedua orang bersepakat mengadakan pertandingan Ginkang,
diputuskan pertandingan lari cepat itu dimulai dari kotaraja hingga Bu-han,
jaraknya kurang lebih lima ribu li. Siapa yang tiba lebih dulu di tempat tujuan
dianggap menang, dan yang kalah harus membunuh diri dengan menggorok leher
sendiri tanpa syarat."
"kalau Hiat-eng-jin
adalah orang ganas dan keji begitu, mengapa dia tidak membunuh saja
Siau-sin-tong?" tanya Thi-hoa-nio.
"Sebab dia memang sombong
dan anggap dirinya nomor satu di dunia, kalau Siau-sin-tong menantang lomba
Ginkang dengan dia, bila ia membunuh bocah itu dengan cara lain, kan kelihatan
gagah," Pwe-giok tertawa, lalu menyambung pula, "Apalagi Ginkangnya
memang sangat tinggi dan sukar ditandingi siapapun, sampai tokoh Kun-lun-pay,
Hui-liong Cinjin yang termasyhur dengan Ginkangnya juga mengaku bukan
tandingannya, apalagi cuma Siau-sin-tong seorang bocah berumur 13-14 tahun.
Biarpun bocah ini berlatih Ginkang sejak masih berada di dalam rahim ibunya,
paling-paling juga cuma berlatih selama 15 tahun saja."
"O, demikian, bukankah
berarti Siau-sin-tong itu mencari susah sendiri?" ujar Lui-ji.
"Waktu itu setiap orang
Kangouw memang menganggap Siau-sin-tong mencari mati sendiri, semua orang sama
berkuatir baginya. Siapa tahu apa yang terjadi kemudian ternyata sama sekali di
luar dugaan mereka."
"Hah, Siau-sin-tong
menang, bukan?" tanya Lui-ji dengan gembira.
"Waktu fajar mereka mulai
lari dari pintu gerbang timur ibukota, ketika matahari terbenam, sampailah
Hiat-eng-jin di kota Titlik."
"Wah, kecepatan lari
Hiat-eng-jin sungguh melebihi kuda lari," ujar Thi-hoa-nio.
"Tatkala mana iapun
mengira sudah jauh meninggalkan Siau-sin-tong di belakang, selagi dia bermaksud
berhenti untuk mengaso, cuci muka dan mengisi perut, siapa tahu, baru saja ia
melangkah masuk rumah makan, belum lagi pegang sumpit, mendadak dilihatnya
Siau-sin-tong berkelebat lewat di depan pintu secepat terbang, kecepatannya
serupa pada waktu mulai start, sedikitpun tidak ada tanda-tanda lelah."
"Haha, Siau-sin-tong
memang hebat," seru Lui-ji dengan tertawa cerah.
"Dengan sendirinya
Hiat-eng-jin kuatir ketinggalan, tanpa sempat makan minum lagi segera ia taruh
sumpit terus mengejar," tutur Pwe-giok pula. "Setelah lari lagi
sehari semalam, biarpun Hiat-eng-jin tergembleng dari baja juga mulai
lelah."
"Jika aku mungkin sudah
lama kurebahkan diri." ujar Lui-ji.
"Waktu dilihatnya di tepi
jalan ada penjual wedang kacang hijau yang baru buka pasaran, kelihatan masih
mengepul dan berbau sedap, ia tidak tahan, ia mendekati penjual wedang kacang
dan ingin minum barang satu-dua mangkuk sekedar mengisi perut."
"Siapa tahu, baru saja
dia pegang mangkuk kacang hijau itu, segera dilihatnya Siau-sin-tong berkelebat
lewat secepat terbang, begitu bukan?" sambung Lui-ji dengan tertawa.
"Betul, sedikitpun tidak
salah," jawab Pwe-giok dengan tertawa. "Bocah itu masih tetap
mempertahankan kecepatan larinya seperti semula, seolah-olah manusia yang tidak
kenal capai. Keruan Hiat-eng-jin takut kalah, belum sempat minum wedang kacang
hijau itu, seketika ia angkat kaki dan mengejar lagi."
"Apakah dia tidak salah
lihat?" tanya Thi-hoa-nio.
"Waktu itu Hiat-eng-jin
juga tergolong jago am-gi terkemuka, ketajaman matanya juga luar biasa, konon
seekor lalat saja dapat dilihatnya dengan jelas dari jarak beratus
tombak."
"Wah, awas benar
matanya," seru Lui-ji.
"Itu saja belum,"
kata Pwe-giok dengan tertawa, "konon lalat itu dapat pula dibedakan lalat
jantan atau betina. Sebab itulah ketika Siau-sin-tong berkelebat lewat di depan
pintu segera dapat dilihatnya dengan jelas."
Sampai di sini Thi-hoa-nio
jadi melongo terkesima.
"Wah, orang ini
benar-benar bermata maling." kata Lui-ji dengan tertawa.
"Ya, orang ini memang
dapat dikatakan tokoh ajaib dunia persilatan yang sukar dicari
bandingannya," ujar Pwe-giok dengan gegetun. "Tapi apapun juga dia
kan manusia, dan manusia tentu terbatas kekuatannya, ada kalanya dia tidak
sanggup bertahan lagi. Maka setiba di Bu-han, akhirnya dia roboh".
"Masa sepanjang jalan itu
dia tidak pernah beristirahat?" tanya Lui-ji.
"Bukan saja tidak
beristirahat, bahkan satu butir nasi saja tidak pernah masuk perut," tukas
Pwe-giok dengan tertawa. Lalu sambungnya, "Sebab setiap kali dia hendak
mengaso atau makan, baru saja dia pegang sumpit, segera dilihatnya
Siau-sin-tong melayang lewat. Terpaksa ia terus mengejar ke depan, dan lupa
berhenti akhirnya ia sampai di tempat tujuan. Ketika tiba di depan Wi-hau-lau,
restoran yang menjadi tempat tujuan terakhir, ia mengira pertandingan ini pasti
dimenangkan oleh dirinya. Siapa tahu, sekali mendongak, tahu-tahu Siau-sin-tong
kelihatan sedang menggapai padanya di atas loteng restoran itu."
"Ha ha, bagus, bagus,
cerita ini sungguh sangat menarik," seru Lui-ji sambil berkeplok.
"Dan kemudian, apakah
Hiat-eng-jin benar-benar membunuh diri dengan menggorok leher sendiri?"
tanya Thi-hoa-nio.
"Biar jahat, tapi orang
ini sok anggap dirinya lain daripada orang biasa, tindakan ingkar janji dan
main belit tidak pernah dilakukannya, apalagi setiba di Bu-han keadaannya sudah
payah, hampir berdiri saja tidak kuat, sekalipun ingin kabur juga sulit,
padahal orang lainpun pasti takkan mengampuni dia."
"Dan seorang tokoh jahat
itu lantas mati ditangan seorang anak kecil?!" tanya Thi-hoa-nio.
"Betul" jawab
Pwe-giok.
Mencorong sinar mata Lui-ji,
katanya, "Seorang anak berusia belasan tahun sudah memiliki Ginkang
setinggi itu, sungguh sangat mengagumkan."
Pwe-giok tersenyum dan
menggeleng, "Meski Ginkangnya cukup hebat, tapi kalau dibandingkan
Hiat-eng-jin, sungguh selisihnya sangat jauh".
Liu-ji jadi melengak,
tanyanya, "Jika Ginkangnya tidak melebihi Hiat-eng-jin, kenapa dia bisa
menang?"
"Bisa lantaran usianya
lebih muda dan tenaganya lebih kuat." sambung Thi-hoa-nio.
Pwe giok menggeleng pula,
katanya dengan tersenyum, "Tidak, bukan begitu sebabnya."
"Habis meng... mengapa
bisa begitu?" tanya Lui-ji.
"Masa tak dapat kau
terka?" tanya Pwe-giok.
Lui-ji merunduk dan berpikir
agak lama, mendadak ia berkeplok, katanya sambil tertawa, "Aha, tahulah
aku, Siau-sin-tong pasti dua saudara kembar yang serupa, salah seorang menunggu
lebih dulu dibagian depan, apabila Hiat-eng-jin sampai di situ, dia sengaja
memperlihatkan diri sejenak, sedangkan yang lain segera menunggang kuda cepat
mendahului ke depan lagi, bila Hiat-eng-jin dapat melampaui yang satu,
sementara itu Siau-sin-tong yang lain sudah menunggu lagi di depan."
"Bukan, juga bukan
begitu," kata Pwe-giok dengan tertawa.
"Masih tidak betul?"
Lui-ji melengak.
"Coba kau pikir, selama
hidup Hiat-eng-jin malang melintang, masa dia mudah ditipu? Apalagi dengan
gerak tubuhnya yang cepat, sekalipun ada kuda pilihan juga sukar mendahului dia
jauh di depan sana."
"Bisa jadi... bisa jadi
mereka mengambil jalan potong yang lebih dekat." kata Pwe-giok.
"Wah, jika demikian, aku
menjadi... menjadi bingung," ujar Liu-ji sambil tersenyum.
"Ha, tahulah aku!"
seru Thi-hoa-nio mendadak.
"Oo? Kau tahu?"
heran juga Pwe-giok.
"Tentu Siau-sin-tong
telah mengumpulkan beberapa anak yang serupa dengan dia, lalu didandani hingga
sama, mereka sembunyi di sepanjang jalan, apabila Hiat-eng-jin hendak berhenti
mengaso, segera salah seorang diantara sengaja berlari lewat di depan
Hiat-eng-jin."
"Tidak, tetap tidak
betul," ujar Pwe-giok sambil menggeleng.
"Masa tetap tidak
betul?" Thio-hoa-nio menegas dengan melengak.
"Kan sudah kukatakan
tadi, Hiat-eng-jin bukan orang yang mudah ditipu, bahkan pandangannya sangat
tajam, mana bisa Siau-sin-tong menipunya dengan cara begitu?"
"Betul, kalau cuma
menyamar dan dirias saja tetap ada bagian yang kelihatan, apalagi, untuk
mencari anak lain yang serupa dan berperawakan sama dengan Siau-sin-tong juga
bukan pekerjaan yang gampang."
"Lebih-lebih
Siau-sin-tong memiliki Ginkang dengan gaya tersendiri, gerak tubuhnya sangat
aneh, orang lain sukar menirukannya. Justru lantaran inilah, maka sejak mula
sampai akhir Hiat-eng-jin tidak curiga sedikitpun."
"Wah, jika demikian,
lantas bagaimana kejadian yang sesungguhnya, aku benar-benar tidak mengerti,
kata Thi-hoa-nio."
"Kalau sudah tersingkap,
hal ini sedikitpun tidak mengherankan," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
"Sebabnya, meski Siau-sin-tong bukan kembar dua, tapi justeru kembar lima.
Mereka lima bersaudara serupa barang cetakan."
o0oOo0o
Oleh karena Yang Cu-kang
memberi pesan agar orang di dalam peti jangan di lepaskan dulu, agar
gerak-gerik mereka bisa leluasa, terpaksa mereka menggendong peti itu dan
mengikatnya dengan tali di punggung.
Sudah tentu bukan pekerjaan
enak menggendong peti seberat itu, tanpa terasa Thi-hoa-nio dan Lui-ji lupa
pada beban di punggung mereka.
"Hah, tadinya kukira kau
tidak suka bicara, siapa tahu, sekali kau mau bercerita, orang mati pun dapat
kau lukiskan seolah-olah hidup kembali," kata Lui-ji dengan tertawa.
"Bahkan kaupun dapat tahan harga, jual mahal, bikin ceritamu tambah
menarik."
"Wah, kalau kelima
bersaudara kembar itu berbentuk serupa, kukira benar-benar sangat lucu dan
menarik," tukas Thi-hoa-nio.
"Tapi kuberani bertaruh kelima
bersaudara ini pasti sukar mencari bini," kata Lui-ji.
"Aneh, sebab apa?"
tanya Thi-hoa-nio.
"Setelah tahu kejadian
itu, anak perempuan mana lagi yang berani kawin dengan mereka?" kata
Lui-ji.
"Mengapa tidak
berani?" tanya Thi-hoa-nio pula.
"Coba pikir, apabila
mereka iseng, lalu mereka pun menggunakan cara menghadapi Hiat-eng-jin itu
terhadap isterinya sendiri, coba, anak perempuan mana yang tahan?"
Bicara demikian, tanpa terasa
muka sendiri menjadi merah.
Thi-hoa-nio mengikik tawa,
ucapnya, "Ya, betul juga kalau terjadi kekeliruan, kan repot!"
Habis berkata, mukanya menjadi
merah juga.
Pwe-giok tertawa, katanya,
"Maksudku, apakah kalian tahu untuk apakah ku tuturkan cerita ini?"
Terbeliak Lui-ji, katanya,
"Maksudmu apakah Lengkui itupun terdiri dari lima saudara kembar?"
"Ya, kira-kira
begitulah," kata Pwe-giok. "Cuma, mereka tentu saja bukan lima
saudara kembar sungguhan, tapi kembar buatan."
"Tapi sama sekali tidak
kulihat sesuatu ciri bekas riasan pada diri mereka," kata Lui-ji.
Pwe-giok menghela napas,
katanya, "Ilmu rias umumnya hanya dapat mengelabui orang untuk sementara,
tapi dengan sangat mudah segera akan ketahuan. Apabila dilakukan pembedahan
secara cermat, pada waktu masih kecil wajah mereka sudah dibedah dan dirias hingga
serupa benar, lalu diberi obat bius untuk mempengaruhi pikiran mereka,
akibatnya jadilah mereka sekawanan boneka yang berwajah serupa, suara dan
gerak-gerik juga tidak banyak berbeda."
Setelah menghela napas
panjang, lalu ia menyambung pula, "Kejadian ini kedengarannya sukar untuk
dimengerti, tapi tidak mustahil terjadi. Aku berani menjamin, bahwa di dunia
ini memang ada orang pandai yang pintar permak wajah seseorang."
Lui-ji tercengang, katanya,
"Jika demikian, manusia segar bugar juga dapat dipermaknya menjadi seperti
patung, mukanya dapat diukir menurut kehendaknya dalam bentuk apapun?"
"Ya, begitulah,"
kata Pwe-giok.
"Jika demikian, Lengkui
kedua itulah yang melukai Hay tong-jing, sebab dia yang pernah bergebrak dengan
Hay Tong-jin, makanya dia sangat apal terhadap ilmu silat Yang Cu-kang."
"Betul, Yang Cu-kang dan
Hay tong-jing adalah saudara seperguruan, ilmu silat mereka tentu saja
sama," kata Pwe-giok.
"Pantas setelah Yang
Cu-kang mendengar ucapanmu tadi, seketika semangatnya terbangkit," kata Lui-ji.
"Tadinya dia mengira Lengkui itu benar-benar hidup kembali, makanya begitu
apal terhadap ilmu silatnya."
"Sebab itulah, biarpun
datang lagi Lengkui ketiga juga tidak perlu dikuatirkan lagi," kata
Pwe-giok. "Sebab Lengkui ketiga ini pasti tidak tahu gaya ilmu silatnya,
sebaiknya dia sudah pernah bergebrak dengan dua Lengkui, tentu dia dapat
mengenali gaya serangan lawan. Kalian pasti dapat melihatnya juga, meski cepat
dan aneh daya serangan Lengkui, tapi tidak banyak perubahannya."
"Ya, kalau tidak, masa
kau tinggalkan Yang Cu-kang di sana sendirian, bukan?"
Pwe-giok hanya tertawa dan
tidak menjawab, tapi Thi-hoa-nio lantas berkata. "Barang siapa yang dapat
berkawan dengan orang semacam Ji-kongcu, sungguh beruntunglah dia."
"Tapi aku tetap tidak jelas
sesungguhnya Yang Cu-kang kawan Ji Pwe-giok atau bukan," tukas Kui-ji.
"Kupikir tindak tanduknya rada-rada bolak-balik dan sukar untuk diraba apa
maksud dan tujuannya."
Mendadak seseorang menanggapi
dengan menghela nafas, "Sesungguhnya ada kesukarannya yang tidak dapat
dikatakan, sebelum tiba saat terakhir tidak nanti diberitahukannya rahasia
dirinya kepada orang lain..."
Ternyata entah sejak kapan Hay
Tong-jing telah mendusin, sejak tadi Pwe-giok memayangnya berjalan dengan
setengah merangkul, baru sekarang dia dapat berdiri sendiri dengan tegak.
"Syukur kepada Thian dan
Te, akhirnya kau sadar juga," kata Lui-ji. "Tapi sampai kapan barulah
hendak kau katakan rahasia kalian? Bilakah baru akan tiba saat terakhir
kalian?"
"Meski sekarang belum
sampai detik terakhir, tapi rasanya sudah boleh kukatakan rahasia ini."
ucap Hay Tong-jing setelah berpikir sejenak.
"Oo ? Sebab apa ?"
tanya Lui-ji.
"Sebab rahasia ini sudah
bukan rahasia lagi." kata Hay Tong-jing dengan gegetun.
"Bukan rahasia lagi ?
Padahal jelas-jelas masih tetap rahasia," tukas Lui-ji.
"Di dunia ini tidak ada
sesuatu yang mutlak rahasia, bergantung persoalannya terhadap siapa ? Umpama
terhadap kau .... "
"Baik, baik," sela
Lui-ji, "tak ku perduli apakah keteranganmu ini benar rahasia atau bukan,
aku cuma ingin tanya padamu, sesungguhnya siapa kalian? Apa artinya kedua bait
syair yang diucapkan Yang Cu-kang itu ?"
Hay Tong-jing termenung
sejenak, katanya kemudian dengan pelahan, "Aku dan Yang Cu-kang sebenarnya
sama-sama anak piatu, guru kami sama seperti juga ayah kami ... "
"Ku tahu kalian adalah
anak yatim piatu, aku hanya ingin tahu siapa guru kalian?" tanya Lui-ji.
Mendadak Hay Tong-jing menarik
muka, jengeknya, "Peristiwa ini terlalu panjang untuk diceritakan, jika
kau ingin tahu, hendaklah kau sabar."
Lui-ji mendongkol, ia mencibir
dan menjawab, "Baik, tidak perlu kau ceritakan, memangnya apa yang menarik
?"
"Sekarang biarpun kau
tidak mau mendengarkan tetap akan kuceritakan," kata Hay Tong-jing.
Tertawalah Lui-ji, katanya, "Hihi,
ini nama sifat keledai Soasay, kalau di halau tidak mau jalan, di tarik dia
malah mundur. Dasarnya memang hina."
Hay Tong-jing tidak
menghiraukannya, tapi berkata kepada Pwe-giok, "Sesungguhnya rahasia ini
sejak dahulu harus kuceritakan, sebab urusan ini mungkin besar sangkut pautnya
dengan Ji-heng."
Air muka Pwe-giok berubah,
belum lagi ia bersuara, Hay Tong-jing sudah menyambung, "Sudah lama guruku
mengasingkan diri, umpama ku sebut nama beliau juga belum tentu dikenal kalian,
meski aku tidak ingin menjunjung tinggi beliau, tapi sesungguhnya beliau memang
seorang kosen dunia persilatan, pada 50 tahun yang lalu beliau sudah tidak ada
tandingannya di dunia."
"Bisa jadi lantaran dia
tidak pernah bertemu dengan tokoh semacam Hong-samsiansing dan sebagainya,"
ujar Lui-ji.
Tapi Hay Tong-jing tetap tidak
menghiraukan, katanya pula, "Selama hidup beliau hanya ada seorang musuh,
konon orang inipun tokoh yang sukar dicari bandingannya di dunia persilatan,
bukan saja ilmu silatnya maha tinggi, bahkan mahir segala macam ilmu
pengetahuan, cuma hatinya keji dan tangan ganas, dahulu tokoh ini terpaksa
kabur sejauh-jauhnya karena terdesak oleh guruku dan seorang jago tua lain,
bahkan orang itu dipaksa bersumpah, selama guruku dan jago tua itu masih hidup,
selama itu pula dia tidak pulang ke daerah Tionggoan."
"Siapakah orang ini
?" tanya Pwe-giok terkesiap.
"Guruku tidak pernah
menyebut namanya hanya di katakan dia berjuluk Tangkwik-siansing... "
"Tangkwik-siansing? ...
" Pwe-giok mengulang nama itu sambil berkerut kening.
"Dengan sendirinya
Ji-heng tidak kenal namanya, sebab sudah hampir 30 tahun orang ini mengasingkan
diri di daerah terpencil, bahkan tetap taat kepada sumpahnya, selama ini tidak
pernah selangkah pun menginjak daerah Tionggoan."
Pwe-giok menghela napas
gegetun, katanya, "Betapapun jahatnya, tokoh kalangan hitam di masa lampau
masih menjaga harga diri dan sayang pada namanya sendiri, tapi sekarang,
agaknya satu angkatan semakin surut daripada angkatan yang tua."
"Meski orang ini hidup
jauh terpencil, tapi tidak benar-benar tirakat dan mawas diri," tutur Hay
Tong-jing pula. "Hanya untuk sementara saja dia tidak berani melakukan
kejahatan secara terang-terangan"
Dia menghela napas, lalu
menyambung: "Setahu guruku, selama 30 tahun ini terus menerus ia merancang
tipu muslihat secara diam-diam dan bermaksud timbul kembali, bahkan sekaligus
akan menyapu jagat. Kini guruku sudah lama mengundurkan diri, jago tua
seangkatannya juga sudah lama wafat, maka Tangkwik-siansing merasa sudah tiba
saatnya, dia lantas...lantas...."
Sampai di sini agaknya dia
sudah lemah, berdiri saja tidak kuat lagi.
Cepat Thi-hoa-nio menurunkan
peti dan memapahnya berduduk.
Hay Tong-jing adalah kakak
seperguruan Yang Cu-kang, dengan sendirinya ia wajib menjaga dan memperhatikan
keselamatannya.
Tapi Lui-ji buru-buru ingin
tahu, ia tanya pula: "Maksudmu iblis Tangkwik-siansing itu tidak rela
hidup terpencil, akhirnya merancang sesuatu intrik untuk bergerak secara
besar-besaran?"
Hay Tong-jing menghela napas,
katanya: "Meski guruku sudah mengundurkan diri, tapi beliau cukup kenal
betapa jahatnya orang ini, sebab itulah diam-diam guruku tetap mengawasi dia.
Cuma gerak-gerik orang ini memang sangat misterius, tindak-tanduknya juga rapi,
selama ini guruku tetap tidak berhasil mendapatkan sesuatu bukti. Sampai
akhir-akhir ini guruku keluar rumah selama lebih tiga bulan, sepulangnya kami
lantas ditugaskan melakukan sesuatu."
"O, sesuatu tugas
apa?" tanya Lui-ji.
"Kami ditugaskan
mengawasi tindak-tanduk Ji Hong-ho, Bu-lim-bengcu sekarang."
Air muka Pwe-giok berubah
kelam, ucapnya: "Jika demikian, jadi.... orang she Ji ini adalah boneka
Tangkwik-siansing yang dipergunakan untuk memegang kekuasaan tertinggi di dunia
persilatan. Memang sudah lama kuperkirakan dia pasti mempunyai sandaran kuat di
belakangnya"
"Tindakan guruku biasanya
tidak suka banyak penjelasan, tapi menurut perkiraan kami, keadaannya pasti
demikian adanya" ujar Hay Tong-jing.
"Kalau Tangkwik-siansing
tidak tampil ke muka, terpaksa ia menggunakan boneka yang mempunyai nama dan
kedudukan di dunia persilatan, dan Ji Hong-ho biasanya memang suka meninggikan
nama untuk mencari keuntungan pribadi, dialah pilihan yang paling tepat"
Air muka Pwe-giok berubah
pula, ingin bicara tapi ditahan lagi.
Gemerdep sinar mata Lui-ji,
katanya kemudian: "Pantas tempo hari dia hanya memberi suatu tanda, lalu
si gendut Thian-sip-sing itu tidak berani mengganggunya. Tentunya
Thian-sip-sing itupun kenal kelihaian Tangkwik-siansing"
"Pada jaman ini, kecuali
guruku, mungkin tiada seorangpun yang sanggup menahan sekali pukulan
Tangkwik-siansing itu, biarpun Hong Sam...hehe!" Hay Tong-jing hanya
tertawa dingin saja dan tidak melanjutkan, namun sudah cukup jelas apa
maksudnya.
Tapi sekali ini, Lui-ji tidak
lagi balas mengejek, sebab ia pikir kungfu Thian-sip-sing itu memang betul
tidak di bawah paman Hong, kalau Thian-sip-sing saja takut kepada
Tangkwik-Siansing, maka betapa tinggi kungfu Tangkwik-siansing itu dapatlah
dibayangkan.
Begitu terpaksa Lui-ji menahan
rasa dongkolnya, lalu tanya pula: "Dan apa artinya kedua bait syair yang
disebut-sebut kalian itu?"
"Soalnya
Tangkwik-siansing sendiri tidak dapat masuk ke daerah Tionggoan untuk
mengadakan kontak langsung dengan Ji Hong-ho, maka dia mengutus dua orang untuk
menyampaikan perintahnya. Tapi kedua orang ini telah dicegat guruku di tengah
jalan, dan sandi yang hendak mereka gunakan untuk mengadakan hubungan dengan Ji
Hong-ho adalah dengan kedua bait syair itu"
"Mengapa kedua orang itu
mau memberitahukan rahasia ini kepada gurumu?" tanya Lui-ji.
"Di depan guruku, mungkin
tidak ada orang di dunia yang berani berdusta"
"Makanya gurumu lantas
menyuruh kau dan Yang Cu-kang menyamar sebagai kedua orang yang dibekuk gurumu
itu untuk bekerja sama dengan Ji Hong-ho?"
"Ya" jawab Hay Tong-jing.
Lui-ji menghela napas gegetun,
ucapnya: "Pantaslah Ji Hong-ho sedemikian mempercayai kalian"
"Tapi kalau Tangkwik
Siansing mau menyerahkan pekerjaan besar itu kepada Ji Hong-ho, suatu tanda
orang ini pasti tidak boleh diremehkan. Setelah kami bertemu dengan dia,
kamipun dapat merasakan orang ini memang licik dan licin, cerdik dan pandai.
Sebab itulah tidak boleh tidak kami harus bekerja sedikit baginya agar tidak
menimbulkan curiganya"
"O, makanya kalian
gunakan orang lain sebagai oleh-oleh" kata Lui-ji
"Demi kebaikan urusan
keseluruhannya, terpaksa kami bertindak demikian. Apalagi, orang yang kami
korbankan juga pantas mampus, kalau tidak, mengapa kami tidak turun tangan
terhadap Ji-heng?"
Lui-ji tertawa, katanya,
"Ya, hitung-hitung kalian dapat membedakan antara baik dan buruk, kalau
tidak, mungkin kaupun takkan hidup sampai sekarang."
Meski sekarang dia sudah tahu
asal-usul Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing, tapi cara bicaranya masih tetap tajam
dan tidak mau kalah sedikitpun.
Hay Tong-jing berlagak tidak
tahu, katanya pula, "Gerakan kami boleh dikatakan sangat rapi, tapi tidak
kami duga bahwa Tangkwik-siansing telah mengirim pula beberapa orang untuk
berhubungan dengan Ji Hong-ho, setelah mereka saling bertemu, dengan sendirinya
identitas kami lantas terbongkar. Maka Ji Hong-ho lantas mengirim mereka untuk
membunuh kami."
"Kawanan Lengkui itulah
yang kau maksudkan?" tanya Lui-ji.
"Betul, guruku juga
pernah dengar Tangkwik-siansing mempunyai anak buah Ngo-kui (lima setan),
bahkan setiap kui mempunyai beberapa duplikat lagi. Sebabnya karena Tangkwik
siansing tidak cuma mahir ilmu rias, ilmu pertabibannya juga sangat tinggi,
maka dapat dibayangkan duplikat kelima Kui itu pastilah hasil karya pisau
operasinya yang mahir itu."
Wajah Pwe-giok bertambah
pucat, tapi sinar matanya tambah mencorong, sebab bermacam persoalan yang aneh
dan misterius itu kini sudah dapat diketahui hal ikhwalnya.
Tapi Lui-ji lantas tanya lagi,
"Kalau gurumu sudah tahu Ngo Kui masih mempunyai banyak duplikat, mengapa
tadi Yang Cu-kang masih ketakutan menghadapi mereka?"
"Rahasia ini baru
diketahui guruku akhir-akhir ini," tutur Hay Tong-jing. "Belum lama
pernah ku pulang untuk menemui guruku, tapi Yang Cu-kang tetap berada di tempat
Ji Hong-ho, baru malam tadi kami berjumpa lagi."
"O, makanya demi
mendengar Lengkui menyebutkan syair itu, air mukanya lantas berubah hebat,
sebab ia menyadari rahasia dirinya sudah diketahui," kata Lui-ji.
Tiba-tiba Thi-hoa-nio berkata,
"Jika duplikat Lengkui itu ada lima-enam orang, wah, dapatkah dia me...
melayani mereka?"
"Jika seorang Lengkui ada
enam duplikat, satu Kui berarti ada tujuh Kui, cuma sebelumnya sudah kutumpas
dua," kata Hay Tong-jing.
"Jika begitu masih ada
tiga, apa... apakah..." Thi-hoa-nio tetap kuatir.
"Jangan cemas," kata
Lui-ji dengan suara lembut, "orang macam Yang Cu-kang, jangankan cuma tiga
Kui, biarpun tiga ratus setan juga tak berdaya terhadapnya."
Thi-hoa-nio tersenyum
sebisanya, namun tetap tidak mengurangi rasa kuatirnya.
Hay Tong-jing berkata pula,
"Apabila ketiga Kui itu turun tangan berbareng, bisa jadi Yang Cu-kang
akan repot melayani mereka. Cuma, meski ilmu silat mereka sangat aneh, namun
pikiran sehat mereka sudah terpengaruh oleh obat sehingga gerak-gerik mereka
jauh lebih lambat daripada orang biasa. Sebab itulah meski aku terluka, tetap
dapat lolos dari cengkeraman mereka. Kupikir, umpama Cu-kang tak dapat
menandingi mereka, sedikitnya dia dapat kabur dengan selamat."
"Tapi bagaimana dengan
kita?" tanya Lui-ji. "Menembus kemanakah lorong hantu ini? Siapakah
yang membuat jalan di bawah tanah ini? Sebab apakah dia membuat lorong
ini?"
"Urusan ini tidak perlu
kita tanya, cukup asal kita tahu setiap jalan di bawah tanah di dunia ini pasti
ada lubang keluarnya," ujar Hay Tong-jing dengan tak acuh.
"Tapi sesungguhnya kau
tahu tidak jalan keluar lorong ini? Kalau jalan buntu, lantas bagaimana?"
Hay Tong-jing berkerut kening,
katanya, "Apapun juga, jalan ini pasti tidak menuju ke gerbang
akhirat."
"Ah, juga belum
tentu," ujar Lui-ji. "Bisa jadi lorong ini adalah jalan masuk menuju
neraka..."
Entah mengapa, belum habis
ucapannya, tiba-tiba ia merasa hawa dingin dan seram berkesiur di samping
kakinya sehingga tanpa terasa ia merinding.
Didengarnya Pwe-giok lagi
berkata, "Hay-heng, aku ingin... ingin mohon sesuatu padamu."
Gemerdep sinar mata Hay
Tong-jing, katanya, "Kau minta kubawa kau menemui guruku, begitu
bukan?"
"Betul," sahut
Pwe-giok.
Hay Tong-jing menggeleng,
ucapnya, "Urusan ini mungkin tidak mudah..."
"Tapi aku harus menemui
beliau," kata Pwe-giok.
"Untuk apa?" tanya
Hay Tong-jing.
"Ada suatu rahasia besar
harus kuberitahukan kepada beliau."
Air mukanya memperlihatkan
penderitaan yang sukar dikatakan, dengan rawan ia menjawab kemudian,
"Mungkin di dunia ini hanya gurumu saja yang dapat menyelesaikan
persoalanku ini, kuyakin beliau pasti mau menerima diriku."
Hay Tong-jing berpikir
sejenak, katanya, "Apakah rahasia ini juga ada sangkut pautnya dengan
Tangkwik-siansing itu?"
"Bukan saja ada sangkut
pautnya, bahkan sangat besar sangkut pautnya," jawab Pwe-giok.
"Dapatkah kau katakan
dulu kepadaku?"
Pwe-giok menghela nafas
panjang, ucapnya, "Bukanlah aku tidak mempercayai Hay-heng, soalnya urusan
ini... urusan ini..." mendadak bibirnya gemetar dan tidak sanggup
melanjutkan.
Melihat penderitaan batin anak
muda itu, tanpa terasa Hay Tong-jing juga menghela nafas, katanya,
"Bukannya aku tidak mau membantu permintaanmu, soalnya sudah lebih 20
tahun guruku tidak pernah memperlihatkan wajah aslinya kepada orang lain,
bahkan kami dilarang keras membocorkan jejak beliau. Perintah guru tak boleh
dilanggar, kuharap engkau dapat memaklumi kesukaranku."
Pwe-giok tersenyum getir dan
mengangguk, "Ya, ku paham," ucapnya dengan lesu.
"Tapi bisa jadi setiap
saat beliau akan menemui kau, bahkan bukan mustahil kalian sudah pernah
berjumpa," tutur Hay Tong-jing pula. "Tindak tanduk beliau selamanya
memang sukar diraba, siapapun tidak dapat menduganya."
Pwe-giok mengangguk, tiba-tiba
ia seperti teringat kepada sesuatu kejadian, dibayangkan lagi peristiwa dahulu
itu sehingga melamun.
Hay Tong-jing lantas berdiri,
katanya, "Lorong ini entah berapa panjangnya, marilah kita mencari dulu
jalan keluarnya."
"Dan bagaimana dengan
ketiga peti ini?" tanya Lui-ji. "Untuk apa kita menggendongnya? Kan
lebih baik kita lepaskan orang yang tersekap di dalamnya?"
"Untuk sementara orang di
dalam peti tidak dapat siuman, kau lepaskan mereka juga percuma, lebih baik kau
gendong lagi sebentar," kata Hay Tong-jing.
"Sialan!" omel
Lui-ji sambil menghentakkan kaki.
* * *
Jalan di bawah tanah itu
memang rahasia dan berliku-liku, bahkan sangat dalam dan panjang, untung setiap
belokan selalu diterangi sebuah pelita yang terselip di sela dinding. Cahaya
pelita guram sehingga mirip api setan.
Mendadak Lui-ji bertanya,
"Eh, tahukah kau sudah berapa buah pelita yang kita lalui?"
Pwe-giok tahu anak dara ini
tidak dapat diam. Lewat sekian lama tentu akan timbul sesuatu pertanyaan baru,
bahkan setiap pertanyaannya selalu aneh-aneh.
Siapapun tidak tahu untuk apa
dia bertanya begitu, maka tidak ada yang menjawab.
"Sampai saat ini, sudah
39 buah pelita yang kita lalui, coba, aneh tidak?" kata Lui-ji pula.
"Apanya yang aneh?"
Hay Tong-jing tidak tahan dan menanggapi.
"Tidak kau rasakan aneh,
karena kau tidak suka banyak melihat dan tidak mau banyak berpikir," omel
Lui-ji.
"Soalnya urusan yang
harus kupikirkan jauh lebih penting daripada urusan lampu," jengek Hay
Tong-jing.
Sekali ini Lui-ji ternyata
tidak menanggapi, ia hanya memandangi pelita perunggu itu dengan termangu-mangu.
Tanpa terasa Hay Tong-jing
ikut berhenti, tapi setelah dipandang sekian lama tetap tidak terlihat sesuatu
keanehan pada lampu itu, akhirnya ia tidak tahan pula dan berucap, "Tiada
sesuatu keanehan pada lampu ini."
"Oo? Begitukah?"
kata Lui-ji.
"Memangnya ada kau lihat
sesuatu?" tanya Hay Tong-jing.
"Betul, makin kulihat
makin mengherankan, makin kupikir juga makin aneh, sungguh aneh sekali."
"Dimana letak
keanehannya?"
Lui-ji mencibir, jawabnya,
"Jika kau anggap urusan ini tidak penting, untuk apa bertanya?"
Mendongkol juga Hay Tong-jing,
tapi terpaksa tak dapat bicara lagi.
Meski Thi-hoa-nio sendiri lagi
memikirkan keselamatan Yang Cu-kang, kini iapun merasa geli. Ia merasa
kepandaian Lui-ji yang terbesar adalah memancing kemarahan orang, jauh lebih
pandai daripada caranya menaruh racun. Berhadapan dengan anak perempuan semacam
ini, kaum lelaki sebaiknya sedikit bicara, bahkan lebih baik jangan bicara.
Tapi Lui-ji juga ketemu
batunya, yaitu terhadap Pwe-giok, di depan pemuda itu mau tak mau dia harus
pendiam, sebab waktu tidak perlu bicara pasti juga Pwe-giok takkan bicara.
Dengan berseri seri Lui-ji
lantas berkata pula, "Di lorong ini ada 39 buah lampu, tapi belum juga
sampai di lubang keluarnya, dari sini dapat diketahui lorong ini pasti sangat
panjang. Dan lorong sepanjang ini kan tidak banyak?"
"Ya, memang jarang
ada," ujar Pwe-giok.
"Di dalam lorong bawah
tanah ini ada 39 buah lampu, sedikitnya ada empat lima hal yang pantas
diherankan, apabila kau mau menirukan diriku, mau banyak memeras otak, bisa
jadi akan dapat kaupikirkan."
"Anak perempuan umumnya
memang jauh lebih cermat daripada lelaki, meski sejak tadi kuperas otak, tetap
tak dapat memikirkan apapun," kata Pwe-giok dengan tersenyum.
Lui-ji tambah gembira, katanya
pula, "Orang ini membuat lorong bawah tanah sepanjang ini, dapat
diperkirakan pasti ada maksud tujuan yang khusus, sebab kalau tujuannya hanya
untuk jalan lari saja, kan dimanapun dapat dibuatnya sebuah lubang keluar.
Untuk apa mesti banyak membuang tenaga dan membangun jalan sepanjang ini."
Sikap Pwe-giok mulai prihatin,
katanya, "Ya, betul juga."
Untuk membuat lorong sepanjang
ini sedikitnya diperlukan waktu tiga atau lima tahun, padahal Yang Cu-kang
belum lama muncul di Kangouw, jelas lorong ini bukan hasil kerjanya."
"Mungkinkah
gurunya?..." kata Thi-hoa-nio.
Lui-ji memandang Hay Tong-jing
sekejap, jawabnya, "Pasti tidak, buktinya orang inipun tidak tahu."
Thi-hoa-nio mengangguk-angguk.
Lalu Lui-ji berkata pula,
"Jika dia sengaja membuang tenaga dan pikiran sebanyak ini untuk membangun
jalan di bawah tanah ini, tentu dia mempunyai tujuan tertentu, kalau ada
tujuan, pasti gerak-geriknya sangat rahasia, lalu bagaimana Yang Cu-kang dapat
mengetahui rahasianya?"
"Bisa jadi lorong ini
sudah lama sekali dibangun dan baru akhir-akhir ini ditemukan Cu-kang secara
tidak sengaja, mungkin orang yang membangun lorong ini sudah lama mati,"
kata Thi-hoa-nio.
"Tidak betul," ucap
Lui-ji tegas.
"Sebab apa?" tanya
Thi-hoa-nio.
"Rumah gubuk di luar sana
pasti dibangun bersama dengan lorong di bawah tanah ini, tentunya dapat kau
lihat gubuk itu tidak terlalu tua, umurnya pasti tidak lebih daripada sepuluh
tahun."
"Tapi rumah gubuk begitu
kan setiap waktu dapat diperbaiki..."
"Gubuk itu hanya untuk
menutupi jalan di bawah tanah ini dan bukan untuk tempat tinggal, makanya tidak
perlu diperbaiki segala, apalagi semua inipun bukan masalah pokok yang
penting."
"Habis apa masalah
utamanya?" tanya Thi-hoa-nio.
"Lampu-lampu ini,"
jawab Lui-ji.
"Lampu?" Thi-hoa-nio
melongo.
"Ya, lampu," kata
Lui-ji. "Coba jawab, lampu semacam ini semacam ini, kalau tidak ditambah
minyak, umumnya dapat menyala berapa lama?"
"Lampu umumnya kalau
tidak tambah minyak, satu malam saja akan kehabisan minyak dan padam
sendiri," jawab Thi-hoa-nio. "Meski lampu ini lebih besar sedikit
daripada lampu biasa, paling-paling juga tahan menyala sehari semalam
saja."
Mendadak Lui-ji berkeplok dan
berkata, "Tepat. Sedangkan lampu-lampu ini terus menyala tanpa membedakan
siang atau malam dan tidak pernah padam, ini membuktikan bahwa setiap hari
pasti ada orang datang ke sini untuk menambahkan minyak lampu."
Dengan sinar mata yang
gemerdep ia menyambung pula, "Tapi akhir-akhir ini Yang Cu-kang jelas
tidak berada di sini, suatu tanda orang yang menambahi minyak lampu bukanlah
dia."
"Jika begitu, lantas
siapa?" tanya Thi-hoa-nio.
"Bisa jadi orang yang
membangun lorong bawah tanah ini, mungkin juga budaknya," ujar Lui-ji.
"Tapi apapun juga di lorong ini pasti ada orangnya, meski kita tidak
melihat dia, bukan mustahil secara diam-diam dia sedang mengintai kita."
Di tengah kelip cahaya pelita
minyak itu, suasana di lorong itu seolah-olah mendadak berubah dingin.
Thi-hoa-nio memandang
sekelilingnya, ia menjadi was-was, jangan-jangan di tempat kegelapan yang tak
sampai oleh cahaya lampu itu benar tersembunyi orang yang sedang mengintai
mereka sambil menyeringai?
Tanpa terasa ia bergidik,
ucapnya sambil menyengir, "Aneh, nyaliku terasa makin kecil
sekarang."
"Anak perempuan yang
kawin biasanya akan bertambah kecil nyalinya," kata Lui-ji.
"Seumpama di sini benar
ada orangnya, kukira juga tak bermaksud jahat terhadap kita, buktinya Yang
Cu-kang menyuruh kita masuk ke sini tanpa kuatir," kata Hay Tong-jing.
"Ah, juga belum
tentu," jengek Lui-ji. Tanpa memberi kesempatan bicara kepada orang, ia
menyambung pula, "bisa jadi ia sendiripun tidak tahu apakah di lorong
bawah tanah ini ada orang atau tidak, bisa jadi dia menemukan rumah gubuk itu
secara tidak sengaja dan di dalam rumah juga kebetulan tidak ada penghuninya..."
"Betul," tukas
Thi-hoa-nio, "waktu aku dibawanya ke sini, semula rumah itu penuh debu,
tungkunya juga kotor dan dingin, jelas sudah lama tidak ditinggali orang."
"Tapi dia pasti sudah
lama menemukan tempat ini, kalau tidak masakah dia berjanji dengan Ong Uh-lau
dan lain-lain untuk bertemu di sini?" Setelah memandang Hay Tong-jing
sekejap, lalu Lui-ji bertanya, "Tentunya kaupun sudah lama mengetahui akan
tempat ini, kalau tidak tentu kaupun takkan lari ke sini, betul tidak?"
"Tempat ini justeru ku
dapat tahu dari Ong Uh-lau, sebelum ini aku tidak pernah ke sini," jawab
Hay Tong-jing. Setelah merandek sejenak, segera ia melanjutkan pula, "Tapi
apapun juga di lorong sini pasti ada orang lain, kalau kita sudah sampai di
sini, mau tak mau harus kita temukan orangnya, apa gunanya kita hanya
sembarangan menerka tanpa bukti?"
Tiba-tiba Pwe-giok menyela
dengan tertawa, "Sebenarnya tanpa kita mencari dia, pasti juga dia akan
mencari kita."
Segera Thi-hoa-nio memandang
lagi sekeliling, katanya, "Perduli dia orang macam apa, kuharap selekasnya
dia mau muncul, makin cepat makin baik."
"Siapapun orangnya tidak
kutakuti, jika yang muncul bukan orang, itulah yang repot," kata Lui-ji.
Kembali Thi-hoa-nio merinding,
tanpa terasa ia mendekatkan tubuhnya ke samping Pwe-giok.
Lui-ji mengikik tawa, ucapnya,
"Hihi, kukira kau tidak takut sungguh-sungguh, tapi mencari
kesempatan..."
Belum habis ucapan Lui-ji,
mendadak pelita minyak sama padam, kegelapan seakan-akan mendatangkan hawa
dingin yang membuat bungkam mulut anak dara itu.
Akan tetapi cahaya lampu
segera terlihat di balik belokan sana, tanpa disuruh semua orang lantas memburu
ke sana. Siapa tahu, setiba di bawah lampu itu, sekonyong-konyong lampu inipun
padam.
Seketika suasana tenggelam
dalam kegelapan yang membuat orang putus asa, meski tempat dimana mereka berada
sangat sempit, namun kegelapan justeru tak terhingga luasnya. Setiap orang
seakan-akan beku oleh kegelapan, siapapun tidak dapat bicara lagi.
Sampai agak lama barulah
Lui-ji menghela nafas dan berkata, "Apabila sekarang dapat ku beli minyak
lampu, kuberani bayar satu tahil minyak dengan satu kati perak."
"Jangan kuatir, aku
membawa geretan api," kata Hay Tong-jing.
"Geretan api dapat
menyala berapa lama?" tanya Pwe-giok.
"Sudah terpakai dua kali,
sisanya mungkin masih tahan setanakan nasi," tutur Hay Tong-jing.
"Lekas keluarkan,
setanakan nasi lamanya mungkin dapat kita temukan jalan keluarnya," seru
Lui-ji.
"Dan kalau tidak
menemukannya?" tanya Pwe-giok.
"Betapapun harus kita
coba, kan?"
"Tidak dapat dicoba!
Sebab geretan api ini adalah kesempatan kita yang terakhir, jika geretan api
ini terpakai habis, tanpa orang turun tangan terhadap kita, jelas kita akan
mati terkurung di sini."
"Tapi kita kan dapat
mundur kembali ke sana?" ujar Lui-ji.
"Tidak bisa mundur
lagi," kata Pwe-giok.
"Sebab apa?" tanya
Lui-ji.
"Lorong ini tampaknya
seperti cuma satu, yang melingkar dan berliku-liku, jika kita merayap di dalam
kegelapan, bisa jadi kita akan terus putar kayun di tempat semula."
"Jika demikian, jangan-jangan
lampu ini sengaja dipadamkan orang?" seru Thi-hoa-nio dengan suara serak.
"Adakah kau lihat
seseorang?" tanya Lui-ji.
"Tidak, akan
tetapi..."
"Memangnya hendak kau
katakan orang itu bisa ilmu menghilang?" ujar Lui-ji dengan tertawa. Meski
sambil tertawa, tanpa terasa ia memegang lengan Pwe-giok erat-erat.
"Apapun juga kita tak
dapat berdiri di sini," kata Hay Tong-jing.
"Betul, jika di luar
tentunya kita dapat menunggu hingga terang tanah," tukas Lui-ji.
"Tapi berada di tempat setan ini, selamanya takkan pernah terang
tanah."
"Maka sekarang juga kita
harus merambat ke depan, kalau perlu barulah kita menyalakan geretan api,"
kata Pwe-giok.
"Tapi bilakah baru akan
dianggap perlu?" tanya Lui-ji.
"Untuk ini..."
Pwe-giok menjadi ragu.
"Sekali ini kukira ucapan
nona Cu tidak... tidak betul," sela Hay Tong-jing. "Kalau sekarang
juga kita menyalakan api terus menerjang ke depan, mungkin sebelum geretan api
menyala habis sudah dapat kita temukan jalan keluar."
"Betul, meski ini
merupakan pertaruhan terakhir, betapapun boleh kita coba daripada tinggal
diam," tukas Thi-hoa-nio.
"Agar gerakan kita bisa
lebih leluasa, biarlah kita tinggalkan dulu di sini ketiga peti ini, nanti
kalau kita sudah keluar baru berusaha lagi menolong mereka," kata Hay Tong-jing.
"Jika kita tidak dapat
menemukan..." Pwe-giok tetap ragu.
"Jika tidak menemukan
jalan keluar, toh kita tetap akan mati terkurung di sini," ujar Hay
Tong-jing.
Pwe-giok termenung sejenak,
kemudian menghela nafas panjang, katanya, "Akupun tidak tahu tindakan
kalian ini tepat atau tidak, cuma kupikir... pendapat tiga orang tentunya lebih
baik daripada pendapat seorang..."
* * *
Meski cahaya geretan api yang
dinyalakan itu tak dapat mencapai jauh, tapi dalam kegelapan asalkan ada
setitik sinar tentu akan membangkitkan semangat orang. Maklumlah, siapapun juga
bila berada dalam kegelapan tentu akan merasa putus asa dan kehilangan
keberanian.
Pwe-giok memegang obor kecil
itu dan mendahului jalan di depan, sangat cepat jalan mereka. Meski Hay Tong-jing
terluka, tapi dia dipegang oleh Pwe-giok sehingga tidak sampai ketinggalan.
Akan tetapi jalan di bawah
tanah ini memang panjang luar biasa, seolah-olah tidak berujung.
Sejak awal Hay Tong-jing terus
memperhatikan obor yang dipegang Pwe-giok, tiba-tiba ia menghela nafas dan
berkata, "Mungkin api sudah hampir padam."
Benarlah, api obor itu sudah
mulai guram.
Dengan gemas Lui-ji berkata,
sungguh aku benci mengapa manusia tidak membuat baju dari bahan kertas, kalau
tidak, tentu dapat kita nyalakan."
Mendadak Pwe-giok ingat dalam
bajunya masih tersimpan satu jilid "buku catatan". Meski buku ini
adalah benda yang diharap-harapkan oleh Ji Hong-ho dan begundalnya dan dicari
dengan segala daya upaya, tapi bagi Pwe-giok buku ini justeru tidak ada sesuatu
yang istimewa dan menarik.
Ia tahu ada sementara buku
yang sengaja ditulis secara rahasia dan sukar terbaca, tapi kalau kertas buku
dibasahi dengan air, tulisan itu akan timbul dan terbaca dengan jelas.
Akan tetapi ia sudah pernah
mencobanya dengan merendam buku itu di dalam air dan tetap tiada kelihatan satu
huruf pun.
Cuma Pwe-giok tetap merasa
buku kosong ini pasti besar artinya bagi Ji Hong-ho, kalau tidak masakah ia
mengerahkan begundalnya dan membumi-hanguskan sebuah kota.
Dan sekarang ia merasa buku
ini ada gunanya.
Pwe-giok lantas mengeluarkan
buku itu, meski buku yang cuma belasan halaman inipun takkan tahan lama dibuat
obor, tapi kan lebih baik ada daripada tidak ada, sebab soal sedetik saja
terkadang justeru menentukan antara mati dan hidup.
Sama sekali tak terpikir oleh
Pwe-giok bahwa buku ini ternyata tidak dapat dibakar.
Di bawah gemerdepnya cahaya
obor yang guram, tiba-tiba dilihatnya buku kosong yang tidak dapat menyala ini
timbul beberapa huruf, yang ditulis seperti nama beberapa orang.
Pada saat lain, api obor
itupun padam.
Hampir saja Lui-ji berteriak,
omelnya, "He... masakah menyalakan kertas saja tidak bisa ?"
Sedapatnya Pwe-giok menahan
gejolak hatinya yang bergembira, jawabnya tenang, "Sebab kertas buku ini
basah."
"Basah?" Thi-hoa-nio
pun tidak tahan dan berseru, "kenapa bisa basah?"
"Kena keringat
badanku," jawab Pwe-giok.
Lui-ji melengong sejenak,
katanya kemudian, "Ya, betul, jika ada orang yang tidak berkeringat dalam
keadaan demikian, tentu dia itu orang-orangan terbuat dari kayu."
"Dan sekarang lelatu api
saja tidak ada, lantas bagaimana baiknya?" tanya Thi-hoa-nio.
"Bagaimana baiknya? Kau
malah tanya? Kan kalian tadi yang menganjurkan menyalakan api?" kata
Lui-ji.
"Tapi... tapi semula itu
kan usulmu?" ujar Thi-hoa-nio.
"Siapa suruh kalian
menurut kepadaku?" seru Lui-ji. "Mengapa kalian tidak turut kepada
anjuran Pwe-giok? Kalian memang pantas mampus terkurung di sini."
Thi-hoa-nio jadi melenggong,
selang sejenak didengarnya dalam kegelapan ada orang menangis perlahan, kiranya
Lui-ji tidak tahan dan telah menangis.
"Sayang, air mata tak
dapat dijadikan minyak lampu, kalau tidak, tentu akan banyak manfaatnya jika
kita menangis semua," ejek Hay Tong-jin.
Lui-ji melonjak bangun dan
berteriak, "Siapa menangis ? Kau sendiri yang menangis, untuk apa aku
menangis ? Meski kedua mataku tidak dapat melihat apa-apa, tapi kedua kakiku
tidak buntung, tetap dapat keluar."
"Betul, akan kupapah
Hay-heng, dan kalian memegangi tangannya, kita jangan sampai terpencar,"
kata Pwe-giok.
"Aku lebih suka memegang
kaki anjing daripada pegang tangannya," ucap Lui-ji.
"Biar kupegang dia dan
kau pegang tanganku, boleh?" kata Thi-hoa-nio.
Lui-ji hanya mendengus saja.
Dia lantas menjulurkan tangannya ke arah Thi-hoa-nio dan memegang satu tangan,
dalam kegelapan ia merasa tangan ini tidak terlalu besar, juga tidak kasar, ia
pikir tangan ini pasti tangan Thi-hoa-nio.
Siapa tahu mendadak terdengar
Hay Tong-jing berucap dengan tertawa, "Inilah kaki anjing."
Keruan Lui-ji terkejut, baru
saja ia hendak lepas tangan, tapi urung, bahkan ia tertawa dan berkata,
"Karena kau mengaku ini kaki anjing, ya sudahlah."
Orang yang baru saja menangis
dengan sedih, kini telah tertawa. Coba, siapa yang dapat marah terhadap anak
perempuan demikian?
Begitulah Pwe-giok terus
merambat ke depan, dirasakan meski dinding terasa licin, padahal yang benar
sangat kasar, agaknya lorong ini dibuat dengan tergesa-gesa asal jadi.
Sangat lama mereka berjalan,
semula mereka berusaha bicara ini dan itu, sebab mereka tahu dalam kegelapan
bila tidak terdengar suara, suasana akan tambah mencekam.
Akan tetapi lama-lama mereka
merasa sudah kehabisan bahan bicara, sampai Lui-ji juga tidak menyangka dirinya
akan kehabisan bahan cerita.
Namun sekarang biarpun
perasaan semua orang terasa tertekan, semuanya tetap mempunyai harapan, yaitu
lubang keluar lorong itu setiap saat muncul di depan mereka. Tanpa harapan ini,
mungkin satu langkah saja tidak ada yang sanggup berjalan.
Entah sudah berjalan berapa
lama lagi, mendadak Lui-ji dengar di depan sana ada suara 'trang' yang keras,
seperti suara tambur ditabuh. Seketika Hay Tong-jing yang berjalan di depannya
menerjang beberapa langkah ke depan dengan sempoyongan.
Baru saja Lui-ji terkejut,
tahu-tahu kaki sendiripun kesandung sesuatu dan menimbulkan bunyi 'trang' yang
keras.
"He, barang apa
ini?" seru Thi-hoa-nio.
Sudah sekian lama dia berucap,
tapi tiada seorangpun menjawab.
Seketika hati Thi-hoa-nio
merasa ngeri, katanya dengan suara gemetar, "He, ke... kenapa kalian tidak
bicara?"
Padahal saat itu setiap orang
juga sedang berpikir barang apakah yang kesandung kaki mereka, hanya tiada
seorangpun berani bersuara.
Sampai lama sekali barulah
terdengar Pwe-giok berucap dengan menyesal, "Inilah peti."
"Peti?" Thi-hoa-nio
menegas. "Masa... masakah peti yang... yang kita tinggalkan tadi?"
Sekuatnya dia mengucapkan
kata-kata itu dan kedua kaki sendiripun terasa lemas.
Selang sekian lama pula,
Pwe-giok berkata lagi dengan perlahan, "Betul, ketiga peti tadi."
Thi-hoa-nio menjerit kaget dan
jatuh tersungkur, ia tidak sanggup berdiri lagi.
Kalau tidak salah mereka sudah
berjalan hampir seharian, siapa tahu berjalan kesana kemari, ternyata kembali
lagi ke tempat semula.
Lui-ji juga merasakan kedua
kakinya jauh lebih berat daripada diganduli sepotong besi, dengan lemas iapun
roboh bersandarkan dinding batu, nyata harapannya yang terakhir juga lenyap, di
dunia ini tidak ada lagi tenaga yang dapat mendorongnya berjalan pula.
Entah sudah lewat berapa lama,
mendadak terdengar Pwe-giok berkata, "Bukan mustahil pada tubuh Kwe
Pian-sian dan Ki Leng-hong membawa geretan api."
Seketika Lui-ji melonjak
bangun, serunya, "He, betul, kenapa kita tidak ingat tadi..."
Sembari bicara ia terus meraba
ke sana dan menemukan sebuah peti.
Baru saja Thi-hoa-nio hendak
menyusul ke sana, mendadak terdengar lagi jeritan kaget, suara Lui-ji dan
Pwe-giok yang menjerit bergema.
Bahwa Ji Pwe-giok sampai
menjerit kaget, maka keadaannya pasti luar biasa.
Seketika Thi-hoa-nio merasa
telapak tangannya berkeringat dingin, ia coba berseru, "He, ada... ada
apakah?"
"Peti... peti sudah
kosong...!" kata Lui-ji.
Thi-hoa-nio baru saja berdiri,
segera dia jatuh terduduk lagi, ucapnya dengan tergegap, "Kosong?...
masakah mereka sudah siuman dan... dan sudah pergi ?"
"Bukan," jawab
Lui-ji. "Gembok pada peti ini dipuntir patah orang."
"Mungkinkah salah seorang
di antara mereka siuman lebih dulu, lalu memutuskan gembok pada kedua peti yang
lain ?" tanya Thi-hoa-nio.
"Tidak, gembok ketiga
peti ini sama-sama dipatahkan orang dari luar," tutur Lui-ji.
"Apalagi, kalau cuma kekuatan Kwe Pian-sian bertiga tidak nanti mampu
memuntir patah gembok ini."
Meski sedapatnya dia menahan
perasaannya, tidak urung suaranya kedengaran rada gemetar.
Walaupun sejak tadi semua
orang sudah menduga di lorong bawah tanah ini ada orang lain, tapi semula
mereka berharap dugaan mereka tidaklah benar, tapi sekarang harapan inipun
meleset.
Jadi tidak perlu disangsikan
lagi bahwa di dalam lorong ini memang ada orang, bahkan selama ini selalu
mengintai setiap gerak gerik mereka, hanya saja orang itu tidak pernah unjuk
muka.
"Sungguh aku tidak paham
apa maksud mereka? Mengapa main sembunyi dan tidak berani menemui orang?"
ujar Lui-ji dengan menyesal.
"Masa kau tidak paham
?" tanya Hay Tong-jin.
"Tidak," jawab
Lui-ji.
"Sebab orang itu ingin
mengurung mati kita di sini, hakekatnya dia tidak perlu memperlihatkan
dirinya," tutur Hay Tong-jing.
"Siapakah dia? Ada
permusuhan apa pula dengan kita?" tanya Thi-hoa-nio dengan parau.
"Dia tidak perlu
bermusuhan dengan kita, yang jelas kita sudah melanggar tempat rahasianya,
tidak boleh tidak kita harus dibunuhnya."
Keterangan ini membikin semua
orang tidak dapat bersuara lagi.
Pada saat itulah, mendadak
dalam kegelapan bergema serentetan suara yang aneh, seperti orang menghela
nafas menyesal, seperti suara orang menangis dan seperti juga orang mengejek.
Dalam keadaan dan di tempat
demikian, suara ini sungguh membikin orang mengkirik.
Thi-hoa-nio berkata sambil
tertawa getir, "Kami sudah cukup tersiksa, untuk apa pula kau
menakut-nakuti kami lagi?"
"Ada sementara orang
sedikitpun tidak dapat diam," kata Hay Tong-jing.
"Siapa yang kau
maksudkan?" tanya Lui-ji.
Hay Tong-jing tertawa,
jawabnya, "Aku cuma heran, entah bagaimana caramu mengeluarkan suara
semacam ini?"
"Huh, ada sementara orang
suka kentut, tapi selalu menyangkal, bahkan suka menuduh orang lain yang
kentut," jengek Lui-ji.
"Makanya kau tuduh
diriku?" tanya Hay Tong-jing.
"Suara ini jelas suara
orang lelaki, kalau bukan kau lantas siapa?" kata Lui-ji dengan gusar.
Mendadak Hay Tong-jing diam
saja, selang sejenak barulah berucap pula, "suara itu masa bukan
suaramu?"
"Sudah tentu bukan,"
teriak Lui-ji. "Siapa yang bohong, anggaplah dia bukan manusia."
"Tapi juga bukan
suaraku," kata Hay Tong-jing.
Tiba-tiba Thi-hoa-nio menyela
dengan suara parau, "Jika kalian sama-sama tidak bersuara, habis si...
siapa?"
"Jangan-jangan kau?"
tanya Lui-ji mendadak.
"Dengan sendirinya bukan
diriku," cepat Thi-hoa-nio membantah. "Sejak tadi aku ketakutan
setengah mati, memikirkan diri sendiri saja tidak sempat, masa menakut-nakuti
orang lain?"
Mereka sama sekali tidak tanya
Ji Pwe-giok, sebab siapapun tahu anak muda itu pasti tidak mau berbuat hal-hal
begini. Seketika semua orang sama melenggong.
Dari suara tadi, jelas dalam
kegelapan ada lima orang.
Tapi siapapun tidak dapat
melihat kelima orang itu, juga tidak diketahui mereka sembunyi di mana.
Mendadak Lui-ji berteriak,
"Aku sudah melihat kau, kau hendak sembunyi kemana lagi?"
Thi-hoa-nio terkejut, tapi
segera ia tahu ucapan Lui-ji itu cuma gertak sambal saja, segera iapun
berteriak, "Ya, jika kau sudah datang kemari, apakah ingin lari lagi
?"
Meski mereka berkaok-kaok
sampai sekian lamanya, namun dalam kegelapan tetap tidak ada suara jawaban dan
reaksi apapun. Mereka sama merasa keringat dingin membasahi tangan sendiri,
orang itu tidak dapat digertak, sebaliknya diri sendiri yang tambah ketakutan.
Tiba-tiba Pwe-giok berucap,
"Kalian salah dengar semua, hakekatnya tidak ada suara apapun tadi"
"Tapi... tapi jelas
kudengar," kata Lui-ji.
"Mengapa aku tidak
mendengarnya ?" ujar Pwe-giok.
Lui-ji bermaksud bicara lagi,
tapi mendadak dirasakan Pwe-giok memegang tangannya sambil berbisik,
"Marilah kita bergandengan tangan dan menerjang ke depan, coba saja dia
akan lari ke mana ?"
Segera tangan kanan Lui-ji
memegang tangan kiri Thi-hoa-nio, tangan Thi-hoa-nio lantas menarik tangan Hay
Tong-jing, ke empat orang sama menempel dinding dan maju ke depan dengan
perlahan dengan maksud mengepung orang itu.
Tak terduga, meski sudah
belasan langkah jauhnya, tiada sesuatu apapun yang mereka sentuh.
Tiba-tiba Lui-ji berseru
terkejut, "He, kenapa tempat ini mendadak menjadi longgar."
Lorong di sini luasnya tidak
ada tujuh kaki, tapi sekarang mereka sudah melangkah belasan kaki dan tidak
membentur dinding batu bagian depan. Hal ini membuat mereka terkejut.
Selang sejenak, terdengar
Thi-hoa-nio berkata, "Jangan... janganlah kau meremas tanganku."
"Persetan, menyentuh
tanganmu saja tidak," jawab Lui-ji.
"Aku juga tidak, aku berada
di sebelah sini," Hay Tong-jing menambahkan.
"Betul kau di sisi
kananku," ucap Thi-hoa-nio dengan suara rada gemetar. "Tapi tangan
kiriku..."
Belum habis ucapannya,
dapatlah dirasakan tangan yang menariknya itu bukan Cu Lui-ji. sedangkan Lui-ji
juga merasakan tangan yang dipegangnya itu kaku lagi dingin, jelas bukan tangan
Thi-hoa-nio.
Sungguh tidak kepalang rasa
kaget kedua orang itu, serentak mereka melepaskan tangannya dan menyurut
mundur, serunya dengan suara parau, "Siapa kau?"
Dalam kegelapan tiba-tiba ada
suara orang mengekeh tawa.
Suara tertawa itu timbul di
tengah-tengah mereka, tapi hanya sekejap saja sudah menjauh, agaknya terus
masuk ke balik dinding batu antara kedua sisi lorong.
Membayangkan tangan yang
dipegangnya itu entah tangan siapa, seketika setengah badan Lui-ji terasa
lemas.
Bahwa orang itu dapat memegang
tangan mereka tanpa disadarinya, maka kalau orang hendak membunuh mereka
bukankah segampang mengambil barang di saku sendiri?
Betapapun besar tabahnya hati
Lui-ji, mau tak mau kedua kakinya terasa lemas juga dan hampir tidak sanggup
berdiri.
Thi-hoa-nio juga tidak berani
bergerak sama sekali.
Terdengar Pwe-giok berkata,
"Tempat ini bukan lorong yang pernah kita lalui tadi."
"Tapi ketiga peti
ini..." Lui-ji merasa bingung.
"Justeru lantaran ketiga
peti ini telah dipindahkan orang ke sini, makanya kita mengira tempat ini
adalah tempat semula."
"Lantas, sesungguhnya
kita sudah berada di tempat apa ?" tanya Lui-ji.
Dalam kegelapan tempat manapun
akan berubah sama, sebab tempat ini baik besar atau kecil, luas atau sempit,
semuanya tak dapat dirasakan.
Selagi Pwe-giok termenung,
tiba-tiba seorang mengikik tawa dan berkata, "Inilah rumahku, tidak jelek
tempatnya, di atas meja ada arak, di kotak sana ada buah. Kalian sudah datang
ke sini, silahkan minumlah barang secawan."
Suara orang ini kecil lagi
melengking, kedengarannya seperti suara anak kecil yang sedang bertembang.
Bila hari-hari biasa tentu
Lui-ji akan merasa suka, tapi sekarang dalam keadaan begini, suara orang
dirasakannya seperti jeritan setan.
Pada saat itulah
sekonyong-konyong setitik sinar lilin telah dinyalakan.
Baru sekarang mereka
mengetahui sudah berada di dalam sebuah ruangan yang sangat luas, cahaya lilin
itu terasa sangat kecil, tapi karena sudah terlalu lama berada dalam kegelapan,
cahaya yang suram ini jadi cocok bagi mereka, sebab kalau cahaya lampu terlalu
terang, bisa jadi mereka akan silau dan sukar membuka mata.
Terlihat di ruangan besar ini
berduduk belasan orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada yang kurus, ada
yang gemuk, ada yang sedang main catur, ada yang lagi membaca, ada pula yang
sedang memandang lukisan, juga ada yang lagi memetik kecapi.
Sikap orang-orang ini
kelihatan sangat santai, apa yang dikerjakan merekapun sangat bernilai seni
adanya. Tapi pakaian mereka justeru terdiri dari kain kasar, malahan baju
lengan cekak, bahkan sepertinya telanjang kaki, paling-paling hanya pakai
sandal, sekilas pandang mereka lebih mirip kuli yang baru pulang dari tempat
kerja, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang sedang dikerjakan mereka.
Ditengah-tengah ruangan besar
ini terdapat sebuah meja perjamuan, beberapa lelaki kekar dan berwajah kasar
sedang minum arak. Dilihat dari dandanan mereka sepantasnya mereka makan minum
dengan lahapnya, tapi tampaknya semuanya justru duduk dengan sangat sopan. Satu
cawan arak terpegang ditangan, tapi sampai sekian lama belum lagi diminum,
agaknya melulu bau harum arak saja yang dinikmatinya, meski jelas tahu
kedatangan rombongan Pwe-giok, tapi tiada seorangpun yang berpaling.
Betapapun Lui-ji tidak
menyangka akan mendadak melihat orang sebanyak ini, tentu saja ia terkejut.
Meski orang-orang ini tidak mirip tokoh Bu-lim, tapi muncul ditempat misterius
begini tentu membuat orang sukar meraba orang macam apakah mereka ini. Lui-ji
juga tidak berani meremehkan mereka.
Terdengar suara mengikik tawa
tadi bergema pula, kata seorang. "Kalau tuan rumah tidak pelit, kenapa
tetamunya rikuh? Silahkan, silahkan minum barang secawan." - Jelas suara
tertawa ini berkumandang dari meja makan sana.
Perawakan orang yang bicara
itu tidak tinggi meski duduk di dalam rumah yang seram ini, namun kepalanya
justru memakai caping bambu yang biasa digunakan kaum petani, sehingga wajahnya
hampir tertutup dan tidak kelihatan.
Pwe-giok berpikir sejenak,
katanya kemudian, "Jika demikian, terpaksa kami harus mengganggu
kawan."
Pelahan mereka lantas menuju
ke tengah ruangan, orang-orang itu masih asyik main catur dan membaca, tiada
seorangpun menghiraukan mereka, seperti tidak menghargai sang tetamu sama
sekali. Sungguh lagak orang ini teramat sombong.
Meski mendongkol, tapi berada
ditempat demikian, Lui-ji tidak berani sembarangan bertindak.
Pada meja bundar itu hanya
diduduki enam-tujuh orang, kebetulan masih ada lima-enam tempat duduk luang.
Maklumlah, meja perjamuan umumnya disediakan untuk 12 orang.
Pwe-giok mendahului maju dan
berduduk tanyanya dengan tersenyum, "Siapakah she Tuan rumah yang
mulia?"
Orang yang memakai caping itu
tertawa dan menjawab, "Kalian adalah tetamu yang tidak diundang, untuk apa
bertanya nama tuan rumah segala?"
Lilin yang menyala itu
kebetulan terletak di sebelahnya, ditambah lagi dia memakai caping bertepi
lebar, meski Pwe-giok duduk di depannya, tetap tidak dapat melihat jelas
wajahnya.
Ia coba memandang orang-orang
yang duduk di sebelahnya, semuanya memakai topi yang ditarik rendah ke depan,
tampaknya orang-orang ini sudah berniat tidak mau menegur, bahkan memandang
mereka sekejap saja tidak mau.
Air muka orang-orang ini sama
dingin dan seram, yang dipakai adalah baju dari kain kasar dan sudah rombeng,
namun topi yang dipakai mereka tampak masih baru, juga dari kwalitas tinggi.
Malahan ada sebagian diberi hiasan batu permata sehingga tidak serasi dengan
baju mereka, seperti habis membeli topi, lalu tidak punya uang lagi untuk
membeli baju.
Berputar biji mata Cu Lui-ji,
ia mengejek. "Tampaknya kalian merasa berat untuk membeli baju dan sepatu,
tapi berani membeli topi dengan royal, sungguh aneh bin heran."
Dia sengaja membikin marah
orang-orang itu, siapa tahu mereka tetap diam saja seperti tidak mendengar
ocehannya, bahkan bergerak sedikit saja tidak.
Hanya orang yang bercaping
besar itu lantas berkata dengan tertawa. "Manusia adalah makhluk yang
paling cerdik di jagat raya ini, soalnya karena manusia mempunyai otak yang
jauh lebih besar daripada makhluk lain. Maka layaklah kalau otak harus lebih
diperhatikan dan dijaga, harus dilindungi lebih dari yang lain."
Kepala orang ini memakai
sebuah caping batu, tapi tubuhnya memakai baju dari bahan yang sangat bagus,
jadi sangat berbeda dengan orang lain.
Biji mata Lui-ji berputar
pula, jengeknya, "Jika demikian, mengapa kau keberatan membeli sebuah
topi? Memangnya buah kepalamu tidak lebih berharga daripada kepala orang
lain?"
Orang itu bergelak tertawa,
ucapnya, "Tajam benar mulut nona, cuma mulut harus digunakan untuk makan
nasi dan bukan untuk bicara."
"Ah, belum tentu, lihat
keadaan," ujar Lui-ji.
"Tidak makan nasi bisa
mati, tidak bicara apakah juga bisa mati?" tanya orang itu dengan tertawa.
"Suruh aku tidak bicara
rasanya terlebih tidak enak daripada mati," kata Lui-ji.
Apa yang dikatakannya ini
memang sejujurnya, hampir saja Hay Tong-jin dan Thi-hoa-nio tertawa geli, cuma
dalam keadaan demikian tak dapatlah mereka tertawa.
Orang bercaping batu itu
tertawa, katanya pula, "tepat juga ucapan nona cilik, bolehlah kau tidak
bicara dan tidak makan nasi, tapi santapan yang ku sediakan ini tidak beracun,
silahkan kalian makan saja dan jangan kuatir."
"Jika beracun, kau kira
aku tidak berani makan?" jengek Lui-ji.
Hidangan yang tersedia di atas
meja itu ada satu porsi Ang-sio-hi, ikan gurami masak saus manis, maka sumpit
Lui-ji langsung menuju kepada Ang-sio-hi ini. Siapa tahu beberapa kali ia
menyumpit, ikan itu tetap tidak bergerak. Ketika ia menjepit sekuatnya, ikan
itu lantas hancur.
Kiranya santapan yang tersedia
di atas meja ini semuanya adalah model yang terbuat dari lilin, hanya dapat
dilihat, tapi tak dapat dimakan.
Dongkol dan geli pula Lui-ji,
baru saja dia hendak memaki, tiba-tiba dilihatnya air muka Pwe-giok berubah
hebat, tanyanya sambil memandang seorang yang bertopi yang berduduk di
sebelahnya, "Siapa nama Anda?"
Kedua tangan orang ini tampak
kasar dan besar, otot hijau timbul di punggung tangannya, sebuah cawan arak
terpegang di tangannya dan menempel bibir sejak tadi, tapi arak tidak lagi
diminum, tampaknya cukup baginya melulu mengendus bau sedap arak saja dan
merasa sayang untuk diminum. Pertanyaan Pwe-giok juga sama sekali tidak
digubrisnya.
Watak Lui-ji memang pemarah,
maka ia lantas mendamprat, "He, apakah kau ini tuli?" - Sembari
bicara, sumpit yang dipegangnya itu terus menutuk ke Hiat-to siku orang itu,
tujuannya hendak membikin orang melepaskan cawan araknya sehingga berantakan
dan membuatnya malu.
Siapa tahu sumpitnya langsung
ambles ke dalam daging tangan orang itu, yang aneh orang itu seolah-olah tidak
merasakan sesuatu.
Karuan Lui-ji terkejut, baru
sekarang diketahuinya orang inipun terbuat dari lilin. Semua orang yang duduk
bersanding meja ini ternyata terbuat dari lilin seluruhnya.
Lui-ji benar-benar melenggong,
sampai sekian lamanya barulah ia mendengus. "Hm, paling sedikit di sini
kan ada seorang hidup."
Tapi baru habis ucapannya,
diketahuinya satu-satunya orang hidup tadi kinipun sudah menghilang entah
kemana, hanya caping bambunya yang besar dan bobrok itu masih tertinggal di
atas meja.
Lui-ji menarik napas dingin,
dengusnya, "Pantas orang-orang ini sama mengenakan baju rombengan, tapi
memakai topi baru."
Sekarang ia sudah paham semua
ini adalah permainan orang tadi, patung-patung lilin ini sengaja diberi pakaian
dan topi agar tulen atau palsunya sukar untuk diketahui dengan cepat.
Saking gemasnya, Lui-ji terus
mencopoti semua topi yang dipakai orang-orangan ini, tertampak semua patung
lilin itu berwajah cerah, jenggot dan alisnya juga asli, sungguh mirip sekali
dengan manusia tulen.
Lui-ji menghela napas, katanya
dengan tersenyum getir, "Apapun juga, karya seni orang ini memang harus
dipuji."
"Ya, sampai si ahli
pembuat patung lilin dari kota raja si patung Thio mungkin juga tidak lebih
pandai daripada dia," tukas Hay Tong jing.
ooOoo
--------------------------
Rahasia apakah dibalik patung
lilin sebanyak ini?
Tempat apakah ruangan besar
ini dan siapa tuan rumahnya? Bagaimana nasib Pwe-giok dan rombongannya?