Jilid 15
Di belakang air terjun yang
airnya berhamburan dengan derasnya itu memang ada sebuah tebing miring, di situ
mencuat sepotong batu karang yang rata sehingga mirip sebuah panggung alam
terapung. Batu itu seluas meja, karena teraling-aling oleh air terjun, maka
tidak kelihatan bila dipandang dari depan. Untuk bisa melihat dengan jelas
orang harus mengitar dari sisi kanan atau kiri air terjun.
Hong Sam dan Tangkwik Ko ikut
di belakang Tangkwik-siansing, di bawah hamburan air terjun, akhirnya mereka dapat
menerobos ke sisi kiri dan menemukan panggung alam yang mencuat di dinding
tebing secara aneh itu.
Itulah dia, Ji Pwe-giok lagi
duduk bersila di atas panggung.
Gaya duduknya adalah semedi
agama Buddha, sikapnya khidmat, wajahnya tenang, kelopak matanya setengah
tertutup, keadaannya seperti sudah melupakan segalanya.
Kalau tidak mengalami sendiri
memang sulit dibayangkan. Tokoh yang bertenaga dalam kuat seperti Hong Sam dan
kakek Ko saja merasakan hati berdebar menghadapi suara gemuruh air terjun laksana
gelegar guntur itu. Tapi Ji Pwe-giok sedikitpun tidak terpengaruh, bahkan tetap
bersemedi dengan tenangnya, sungguh suatu keajaiban.
Ketiga orang itu berdiri di
situ sampai sekian lamanya tanpa bersuara, lalu Tangkwik-siansing mengajak
mereka mundur kembali ke bawah pohon raksasa tadi.
Tiba-tiba Hong Sam ingat
sesuatu, katanya, "Setelah kau lukai dia dengan Bu-siang-sin-kang, lantas
kau bawa dia langsung ke sini?"
"Ya, memangnya ku gendong
dia pelesir kemana-mana, kemudian datang ke sini?" sahut Tangkwik-siansing.
"Di tengah jalan dia
terus berada dalam keadaan tidak sadar dan tidak pernah kontak dengan siapa
pun?" tanya pula Hong Sam.
"Apa maksudmu tanya
hal-hal ini?" Tangkwik-siansing merasa heran.
Tiba-tiba Tangkwik Ko
menimbrung, "Waktu kami memburu ke sini, kami mendengar Giam-ong-ceh sudah
tersiar luas di dunia Kangouw, entah betul tidak hal ini?"
Tangkwik-siansing tertawa
lebar, katanya, "Masa tidak betul, meski bocah ini dalam keadaan tak
sadar, apakah tidak dapat ku bekerja bakti baginya?"
"Wah, celaka!" seru
Hong Sam dengan gegetun. "Tindakanmu ini hakekatnya ingin berjangkitnya
kekacauan dunia."
"Memangnya ada kejadian
apa sehingga membikin tegang padamu?" tanya Tangkwik-siansing.
"Sedikitnya tujuh hari
lagi barulah ilmu sakti Pwe-giok berhasil diyakinkan, tapi dalam dua-tiga hari
ini dunia kangouw pasti akan bergolak, mengapa buru-buru kau siarkan
Giam-ong-ceh kepada umum?"
Melengak juga
Tangkwik-siansing, "Ah, rupanya karena terdorong oleh hasratku akan
membikin gempar sehingga tidak kupikirkan hal-hal ini. Wah, kan bisa
celaka!"
Dengan prihatin kakek Ko ikut
bicara, "Harapan kita sekarang, mudah-mudahan tempat ini tidak diketahui
orang."
"Biasanya tempat rahasia
begini tentu sukar ditemukan orang," kata Hong Sam. "Tapi setelah
suasana bergolak akibat tersiarnya Giam-ong-ceh keadaan tentu saja berubah,
tentu tokoh-tokoh yang merasa dirugikan oleh berita Giam-ong-ceh itu akan
mencari kemana pun, dan tiada yang berani menjamin bahwa tempat ini takkan
ditemukan oleh mereka."
Tangkwik-siansing sampai
garuk-garuk kepala saking kelabakan, katanya, "Apa mau dikatakan lagi,
Giam-ong-ceh sudah terlanjur tersiar dan sukar ditarik kembali, kukira boleh
kau...."
Sampai di sini mendadak ia
merandek sambil melirik air muka kedua rekannya.
"Katakan terus,
"Ujar Hong Sam. "Yang penting kita harus menjaga keselamatan Pwe-giok
agar tidak terganggu, untuk ini sekalipun jiwaku harus melayang juga takkan
kusesalkan."
"Bagus!"
Tangkwik-siansing berkeplok gembira, "memangnya sedang kutunggu ucapanmu
ini. Sekarang kita tidak perlu banyak omong. pokoknya beberapa kerat tulang
rapuh kita bertiga sudah siap berserakan di sini."
"Berserakan di sini tidak
menjadi soal, tapi perlu juga kita memperkirakan kemungkinan apa yang akan
terjadi," sela kakek Ko. "Coba pikirkan, siapa-siapa di antara
orang-orang itu yang mungkin akan mengadu jiwa ke sini?"
"Wah, tentu saja
banyak," kata Tangkwik-siansing, "Kecuali Ji Hong-ho gadungan itu,
tentu masih ada Ki Go-ceng dan Ki Pi-ceng, lalu si Hu-patya yang celaka itu,
Lo-cinjin dan... pendek kata, setiap orang kangouw yang menonjol pasti
tersangkut, bahkan kau Hong Sam sendiri juga tidak terkecuali."
"Aku?" teriak Hong
Sam dengan kaget sambil menuding hidung sendiri. "Masakah dalam
Giam-ong-ceh itu juga menyebut diriku? Memangnya perbuatanku mana yang
memalukan?"
"Kalau tidak ditunjukkan,
mungkin kau sendiri sudah lupa," ujar Tangkwik-siansing. "Tapi dalam
Giam-ong-ceh tercatat dengan gamblang, aku sendiri sudah membacanya, tidak
mungkin keliru."
"Coba kulihat," pinta
Hong Sam sambil mengulurkan tangannya, "kalau tidak ada bukti, akan
kutangkap kau sengaja memfitnah."
"Buku itu sudah ku
masukkan lagi ke saku bocah itu," kata Tangkwik-siansing. "Jika kau
ingin tahu, bolehkah kukatakan terus terang?"
"Baik, coba katakan."
Hong Sam memandangnya dengan terbelalak.
Tangkwik-siansing tertawa
lebar, katanya, "Ingat tidak sepuluh tahun yang lalu kau tergila-gila pada
seorang pesinden, namanya si Mirah, akhirnya dompetmu kempes dan didepak orang,
betul tidak?"
"Omong kosong, masakah
aku didepak orang." cepat Hong Sam membantah. "Soalnya aku sudah
bosan dan kutinggalkan dia."
"Pokoknya pernah terjadi
hal begitu, soal didepak orang adalah sengaja kubumbui untuk memancing
pengakuanmu," kata Tangkwik-siansing dengan tertawa.
Seketika muka Hong Sam menjadi
merah.
Cepat Tangkwik-siansing
menyambung lagi, "Tidak perlu malu, urusan begituan adalah jamak bagi kaum
lelaki. Malahan namaku sendiri pun tercatat di dalam Giam-ong-ceh, kalau
kuceritakan persoalannya tidak banyak berbeda dengan perbuatanmu."
"Masa waktu muda kaupun
suka main perempuan," tanya Hong Sam.
Tangkwik-siansing menggeleng
kepala, jawabnya, "Aku tidak sembarangan main perempuan, soalnya secara
diam-diam kucintai seorang nikoh jelita, tapi sayang, aku hanya bertepuk
sebelah tangan, cintaku tidak mendapat sambutan yang memuaskan, akhirnya aku
hampir saja membunuh diri."
Hong Sam dan Tangkwik Ko
saling pandang sekejap, lalu ketiga orang sama bergelak tertawa.....
-ooOoo-
Sang surya sudah hampir
tenggelam di ufuk barat, di bawah cahaya senja yang keemasan itu sesosok
bayangan orang tampak berjalan di antara pematang sawah menuju ke sebuah sungai
kecil di depan sana.
Bayangan kecil itu adalah Cu
Lui-ji, setelah keluar dari lorong bawah tanah itu ia lantas berpisah dengan
Thi-hoa-nio dan Hay Tong-jing, tujuannya mencari Pwe-giok.
Akan tetapi dunia seluas ini,
kemanakah perginya Ji Pwe-giok?
Namun Lui-ji tidak perduli,
setiap tempat yang mungkin disinggahi Pwe-giok pasti berusaha dicarinya. Demi
Pwe-giok dia tidak menghiraukan capek lelah segala.
Bicara sesungguhnya, selama
dua hari ini dia benar-benar susah payah dan kehabisan tenaga, namun jejak
Pwe-giok tetap tidak diketahui.
Bahkan gerak-geriknya sekarang
perlu hati-hati, dia sudah tahu Ki Pi-ceng bermaksud menawannya untuk dijadikan
sandera. Sekarang rahasia keluarga abnormal itu sudah terbongkar, sepanjang
jalan ia harus waspada agar tidak tersusul oleh Ki Pi-ceng.
Selama dua hari ini iapun
mendengar berita Giam-ong-ceh yang ramai dibicarakan orang kang-ouw itu, ini
membuktikan bahwa percakapan antara "Ji Hong-ho" dan Ki Pi-ceng di
gua bawah tanah itu memang tidak salah, iapun tahu dunia kang-ouw sudah mulai
bergolak sehingga dia tambah kuatir akan keselamatan Pwe-giok.
Terutama pada siang hari ini,
dilihatnya berturut-turut rombongan orang Kang-ouw yang berlalu-lalang di jalan
raya, dari suara yang didengarnya tanpa sengaja, diketahuinya bahwa tujuan
orang-orang itu adalah hendak mencari Ji Pwe-giok.
Dari kenyataan ini, dia tidak
berani lagi berspekulasi, ia harus berusaha menemukan Pwe-giok selekasnya untuk
menyampaikan segala rahasia yang didengarnya di gua rahasia itu serta kejadian
yang dilihatnya sepanjang jalan.
Semua ini jelas ada hubungan
erat dengan Ji Pwe-giok, kalau tidak disingkapnya, tentu Pwe-giok akan mudah
tersesat ke arah yang tidak tepat.
Padahal persoalan yang paling
penting adalah kematian Ki Go-ceng yang palsu itu, kalau hal ini tidak
dibongkar, tentu Pwe-giok sukar membedakan "Bak-giok Hujin" Ki
Pi-ceng itu sesungguhnya kawan atau lawan.
Pada saat Lui-ji sudah putus
asa untuk menemukan Pwe-giok itulah, tiba-tiba teringat olehnya cerita Hong Sam
yang pernah menyebut tempat tinggal kakek Ko, kalau tidak salah rasanya seperti
terletak di sekitar tempat ini, hanya letaknya yang persis belum diketahui.
Sebab itulah terpaksa ia mencari sedapatnya secara untung-untungan.
Sekarang Lui-ji benar-benar
sangat payah, terasa punggung pegal dan kaki linu, kalau tidak mendapatkan
makanan dan istirahat yang cukup, sungguh dia tidak tahan lagi.
Ditengah remang senja itulah
dia masih terus mencari ke depan...
Dengan langkah lemah ia masuk
ke pintu pagar bambu itu dan berseru, "Sepada?"
Namun tidak terdengar jawaban,
suasana sunyi senyap. Sampai beberapa kali Lui ji berteriak dan tetap tiada
suara lain. Sialan, rupanya rumah ini kosong.
"Perduli amat, masuk
saja, syukur bila dapat menemukan sedikit makanan, makan kenyang dulu dan
perkara urusan belakangan," karena pikiran inilah Lui-ji mendorong pintu
rumah itu. Pintu terbuka, "Ngeongng", mendadak sesosok bayangan
meloncat ke pangkuannya.
Lui-ji terkejut. Akan tetapi
rasa kaget itu segera lenyap dalam sekejap. sebab diketahuinya yang melompat ke
pangkuannya itu seekor kucing hitam.
Pelahan Lui-ji membelai bulu
kucing yang halus itu dan berucap, "O, kucing sayang, dimanakah
majikanmu?"
"Meong, meong!"
kucing hitam itu memandang si nona dengan matanya yang mengkilap. Lui-ji
seperti lupa bahwa kucing itu tak dapat bicara, seperti menimang anak kecil ia
berkata pula, "Ah, tentunya kau lapar, kucarikan sedikit makanan
bagimu."
Segera ia mengetik api dan
menyalakan lentera minyak di atas meja.
Mendadak perhatian Lui-ji
tertarik oleh sepotong baju di amben sana, itulah baju yang dijahit untuk Hong
Sam, jelas, tidak mungkin keliru.
jangan-jangan disinilah tempat
kediaman kakek Ko? Sungguh sangat kebetulan!
Tapi kemana perginya
Hong-sacek dan kakek Ko?
Saking girangnya sampai Lui-ji
lupa lapar dan lelah. pada saat itulah kucing hitam dalam pangkuannya itu
mendadak melompat keluar dan berlari ke arah sawah sana.
Kepergian kucing itu seperti
mengandung maksud tujuan tertentu, Lui-ji menjadi curiga, segera ia membuntuti
kucing itu.
Sementara itu kelam malam
sudah meliputi bumi, di ujung langit timur sana mulai menongol sang dewi malam.
Kucing hitam tadi masih terus
berlari ke depan, terkadang menoleh dan memandang Lui-ji seakan-akan kuatir
Lui-ji tidak dapat menyusulnya, maka sengaja menunggunya.
Heran sekali Lui-ji, dia
lebih-lebih yakin bahwa lari si kucing hitam ini pasti mempunyai tempat tujuan.
Seketika semangatnya terbangkit, cepat ia mengejar dengan kencang, ia ingin
tahu selekasnya ke mana kucing hitam itu hendak membawanya.
Di bawah sinar bulan yang
mulai terang, dapatlah Lui-ji mengikuti kucing itu melintas sungai kecil dan
menyusuri hutan, mendaki lereng bukit, dan kucing hitam itu masih terus berlari
ke depan.
Sekonyong-konyong Cu Lui-ji
merasa ada sesuatu di belakangnya, waktu ia berpaling, ternyata tiada sesuatu
yang dilihatnya.
Ia tidak menaruh perhatian dan
tetap berlari ke depan agar tidak kehilangan jejak si kucing hitam.
Setelah berlangsung dua-tiga
jam, tertampaklah lereng gunung terjal menghadang di depan.
Kucing itu menoleh dan
bersuara "meong-meong" dua kali, habis itu mendadak mempercepat
larinya ke atas gunung.
Lui-ji sendiri sudah
kepayahan, sesungguhnya ia tidak sanggup lagi mengejar kucing itu, tapi
sekuatnya ia tetap memanjat ke atas.
Tapi sebelum tiba di pinggang
gunung, hanya sekejap saja kucing hitam itu sudah menghilang entah kemana, lalu
didengarnya suara gemuruh air terjun.
Ditengah gunung seluas ini dan
suara gemuruh air terjun yang menggelegar menimbulkan kumandang suara yang
tiada hentinya itu, Lui-ji menjadi bingung dan tak dapat membedakan arah letak
air terjun.
Dalam keadaan demikian, Lui-ji
merasakan dirinya benar-benar sangat kecil di alam ini, memanggil langit tidak
terjawab, menyebut bumi tidak digubris.
Tapi dia tidak menyesal
sedikitpun. Baginya, asalkan dia sudah dekat dengan Ji Pwe-giok yang dicarinya
itu, sedikit capek lelah ini sama sekali tidak ada artinya.
Begitulah ia membangkitkan
semangat dan bertekad terus mendaki ke atas, paling tidak kucing hitam tadi
harus ditemukan.
Pada saat itulah baru saja dia
hendak melangkah pula, tiba-tiba dari belakang terjulur tiba sebuah tangan yang
indah, seketika pergelangan tangan Lui-ji terpegang.
Ditengah malam sunyi, di
pegunungan sepi, kejadian ini sungguh sangat mengejutkan.
Tentu saja Lui-ji merinding,
tanpa kuasa tubuhnya terus ditarik memutar balik oleh tangan yang indah itu.
Sekilas pikir Lui-ji mengira
dirinya bertemu dengan hantu. Tapi baru saja pikiran demikian terlintas dalam
benaknya, apa yang dilihatnya segera ternyata seorang perempuan yang amat
cantik dengan gayanya yang anggun.
"Haya!" Lui-ji
berteriak kaget.
Sungguh tak terduga, setelah melihat
jelas orang yang memegang tangannya adalah seorang perempuan cantik berbaju
hitam, sungguh kagetnya melebihi melihat setan iblis, saking kagetnya, dan juga
lantaran lelahnya, ia jatuh terduduk.
"kau..." terbelalak
mata Lui-ji dan tidak sanggup bersuara lagi.
"Betul, aku. Tak kau duga
bukan?!" kata perempuan cantik itu, siapa lagi dia kalau bukan Ki Pi-ceng.
Lui-ji gelagapan dan tidak
tahu apa yang harus diucapkan.
Ki Pi-ceng lantas berkata
pula, "Pernah ku puji kau ini anak perempuan yang baik, mengapa mendadak
kau tidak penurut lagi?"
Setelah berhenti sejenak, lalu
ia menyambung, "Tadinya kukira kau ikut Hay Tong jing pulang ke gunung,
siapa tahu kau kabur ditengah jalan sehingga aku kecelik."
Mendadak Lui-ji meronta bangun
dan berteriak. "Mengapa aku harus tunduk kepada kehendakmu?"
Suara cukup keras dan sikapnya
tegas, mendadak ia menjadi tabah.
"Sebab orang yang tunduk
kepadaku tentu takkan susah, tapi kau ternyata tidak mau menurut." Kata Ki
pi-ceng.
Lui-ji tambah berani, ia
bertolak pinggang dan mendengus, "Hm, sekarang juga aku tidak merasa
susah, bahkan pasti tidak akan tunduk kepada perintahmu, selamanya jua aku
tidak pernah susah."
"Itu kan belum kau
rasakan," ujar Ki Pi-ceng dengan tertawa. "Apabila kau mulai merasa
susah, tentu kau akan menyesal."
Lui-ji melengak, katanya,
"Aku tidak mengerti apa arti ucapanmu ini?"
"Masa perlu
kujelaskan?" kata Ki Pi-ceng. "Baiklah, biar kau tambah
pengalaman."
Mendadak Lui-ji merinding,
lamat-lamat ia merasakan gelagat tidak enak.
Terdengar Ki Pi-ceng
menyambung lagi. "Petang tadi jejakmu sudah ku ikuti, bahkan mengikut pula
banyak kawanku"
"Apa? kawanmu? Siapa? Di
mana?" Teriak Lui-ji dengan gugup.
Ki Pi-ceng tertawa, katanya,
"Wah, banyak sekali jumlah mereka. ada diantaranya Ji Hong-ho, Ki Go-ceng,
Lo-cinjin, Hu-patya dan lain-lain lagi, sukar dihitung satu persatu. Mereka
sudah menuju ke air terjun sana. Tahukah kau untuk apa mereka pergi ke
sana?"
Lui-ji tidak menjawab, tapi
mukanya menjadi pucat.
Ki Pi-ceng berkata pula,
"Kepergian mereka ke sana adalah untuk menjenguk seorang tamu terhormat,
sedangkan tamu terhormat itu adalah orang yang sedang kau cari dengan segala
daya upaya, tanpa petunjukmu tentu sukar bagi kami untuk menemukan dia. Coba
bayangkan, bukankah yang rugi dan bakal susah ialah dirimu?"
Seketika kepala Lui-ji seperti
dikemplang satu kali, ia berdiri mematung dan tak sanggup bersuara.
"Nah, ucapanku tidak
salah bukan?" kata Ki Pi-ceng pula. "Anak perempuan yang tidak
menurut tentu akan susah sendiri, semoga kejadian seperti ini jangan terulang
pula."
Lui-ji tidak menghiraukan
ejekan orang, mendadak ia berpaling ke sana dan berteriak sekeras-kerasnya,
"Ji-Kongcu, akulah yang membikin susah padamu!"
Menyusul ia terus melompat ke
sana. Tapi peristiwa aneh segera terjadi.
Baru saja ia berlari dua-tiga
langkah, dari belakang tiba-tiba timbul semacam daya isap yang sangat kuat,
kontan dia tertarik balik mentah-mentah.
Jelas itulah perbuatan Ki Pi
ceng.
Air mata Lui-ji bercucuran,
ucapnya, "Cianpwe, akulah yang menyiarkan Giam-ong-ceh, jika mau membunuh
boleh bunuhlah diriku, tapi jangan membikin susah Ji-kongcu."
Ki Pi-ceng menggeleng,
katanya, "Tampaknya kekuatan cinta memang maha besar, bahkan orang rela
mati baginya."
"Memang, ku rela mati
asalkan tidak membikin susah dia," seru Lui-ji dengan menangis.
"Biarlah aku mati seratus kali... seribu kali... ku rela..."
Mendadak nada ucapan Ki
Pi-ceng berubah menjadi ketus "Hm, urusan di dunia ini memang serba aneh,
orang yang pantas mati biarpun ingin lari juga tidak bisa lolos, orang yang
tidak harus mati, ingin matipun sukar."
Lui-ji melengak pula,
tanyanya, "Cianpwe, kau bilang siapa tidak pantas mati?"
"Kau anak perempuan yang
pintar, tentunya dapat kau bedakan," kata Ki Pi-ceng.
Seketika Lui-ji seperti
terperosot ke jurang, ia menyadari tiada gunanya memohon belas kasihan orang,
ia menangis keras-keras, mendadak ia berlari pula ke pinggang gunung.
"Blang", tahu-tahu
ia menyeruduk sesuatu, kontan ia terpental balik.
Rupanya dia terlalu gugup dan
tergesa-gesa, yang dipikir hanya lari secepat-cepatnya sehingga entah apa yang
ditubruknya, tapi begitu ia menengadah dan melihat jelas, seketika ia menjerit
tertahan.
Hah, Leng-kui adanya!
Betul, inilah Leng-kui yang
ajaib dan tidak pernah mati itu, senyumannya yang seram, pakaian hitam yang
ketat, ikat pinggangnya yang merah dan sebilah golok melengkung terselip di
ikat pinggangnya...
Saking kagetnya Lui-ji
mendekap mukanya dan tidak berani memandang pula.
"Bawalah dia pulang ke
gunung," demikian pesan Ki Pi-ceng kepada Leng-kui.
Baru lenyap suaranya, serentak
Ki Pi-ceng melayang ke atas, gerakannya jauh lebih cepat dari pada Leng-kui,
dalam sekejap saja sudah menghilang.
Segera Leng-kui mencengkeram
Lui-ji. Kalau Leng-kui ibaratnya elang, maka Lui-ji tepat seperti anak ayam.
Mendingan jatuh dalam
cengkeraman orang lain, tapi Lui-ji jatuh dalam cengkeraman makhluk aneh ini,
keruan ia ketakutan setengah mati.
Leng-kui menyeringai sehingga
kelihatan barisan giginya yang putih, katanya, "Anak perempuan harus
menurut, marilah kita pulang ke gunung."
Saking seramnya, pikiran
Lui-ji menjadi jernih malah, ia sempat melolos belati terus menikam tubuh
Leng-kui.
"Crat", darah
muncrat, dada Leng-kui berlubang.
Akan tetapi Leng-kui tetap
menyeringai seram, ucapnya, "Eh, kenapa kau lupa lagi, selamanya Leng-kui
takkan mati."
Hampir saja Lui-ji semaput
saking ngerinya.
Pada saat itulah, tiba-tiba
dari kejauhan terdengar suara orang berteriak, "Lui-ji! Lui-ji!..."
Lamat-lamat Lui-ji merasa
suara itu seperti suara Hong-saceknya, hati tergetar, serentak ia siuman
kembali.
Cepat iapun berteriak,
"Sacek... Sacek..."
Baru berteriak dua-tiga kali,
tahu-tahu ia merasa dirinya sudah berubah seperti sehelai kertas yang tertiup
angin dan melayang di udara.
Iapun melihat sesosok bayangan
kelabu secepat terbang lagi melayang ke arah sini, lamat-lamat dapat dikenalnya
pendatang ini ialah Hong-saceknya.
Dengan Ginkang secepat terbang
memang betul Hong Sam sedang memburu ke sini, tapi dia hanya sempat melihat
Lui-ji dipanggul oleh sesosok bayangan hitam, lalu seperti asap buyar tertiup
angin, dalam sekejap saja sudah menghilang.
Keruan Hong Sam terkesiap,
sungguh ia tidak tahu Ginkang apakah bisa secepat itu?
Tak terpikir oleh Hong Sam
bahwa yang membawa lari Lui-ji itu ialah Leng-kui, tapi ia merasa bingung untuk
mengejarnya.
Pada saat itulah, terdengar
angin berkesiur, beberapa bayangan orang melayang keluar dari kaki gunung dang
menuju ke air terjun.
Hong Sam tahu gelagat tidak
enak, tidak sempat lagi memikirkan Lui-ji, sekali lompat, secepat terbang ia
menuju ke tempat Pwe-giok berlatih kungfu itu.
Sesudah dekat, dilihatnya
beberapa tombak di luar air terjun sana berdiri tiga orang, Ki Pi-ceng berdiri
ditengah diapit oleh Ki Go-ceng dan Ji Hong-ho. Dengan tiga pasang mata yang jelalatan
mereka sedang mencari orang yang membentak agar mereka jangan maju lebih jauh
lagi.
Sedetik, dua detik, tiga
detik... Sungguh aneh, dengan ketajaman mata mereka, jangankan malam ini di
cakrawala dihiasi sang dewi malam, sekalipun tanpa sinar bulan, seekor tikus
ditengah semak pohon saja dapat mereka temukan dengan cepat. Tapi sekarang
sinar mata mereka telah menjelajahi segenap pelosok air terjun itu dan tetap
tidak melihat sesuatu.
Ki Go-ceng tidak tahan, dengan
gusar ia berteriaknya, "Siapa itu yang bicara tadi? kalau tidak
perlihatkan dirimu segera akan kumaki kau!"
Mendadak seorang dengan suara
melengking berteriak, "Orang tua berada tidak jauh di depan kalian, apakah
mata kalian sudah buta semua, masakah tiada seorangpun melihat diriku?"
Sekali ini ketiga orang itu
dapat mendengar dengan jelas, suara itu bergema dari onggokan batu yang
terletak beberapa tombak di depan mereka sana.
Dengan pandangan setajamnya
mereka mencari pula, tapi tetap tidak menemukan orang bersembunyi didalam
onggokan batu itu, hanya tertampak sepotong batu raksasa seperti sedang
bergerak-gerak.
"Huh, kiranya dia!"
jengek Ki Pi-ceng.
"Siapa?" tanya Ki
Go-ceng dengan heran.
"Coba kau perhatikan batu
yang bergerak itu, apakah betul-betul batu?" ujar Ki Pi-ceng.
Waktu Ki Go-ceng memandang
secermatnya, lalu berkata, "Ya, batu itu lebih mirip sebuah karung warna
kelabu."
"Betul, warnanya serupa
batu, kalau tidak bergerak, hakekatnya tak ketahuan bahwa benda itu adalah
sebuah karung yang ada isinya," kata Ki Pi-ceng. "Kecuali orang
goblok yang melebihi babi, kalau tidak tentu dapat kau pikirkan siapa yang kita
hadapi ini."
Setelah termenung sejenak,
akhirnya Ki Go-ceng menepuk dahi sendiri dan berteriak, "Ah, betul,
rupanya kita sedang berhadapan dengan Po-te Siansing."
"Hahaha, kawan kerdil,
hanya separuh tepat terkaanmu!" mendadak seorang bergelak tertawa di sana.
"Awas, tangkap!"
Baru lenyap suaranya, isi
karung itu menggelinding keluar dengan cepat luar biasa, secara tepat benda itu
lantas berhenti setelah menggelinding sampai di depan ketiga orang.
Hah, karung itu terikat erat
mulutnya, isinya pasti manusia, hal ini terbukti karena dapat bergerak-gerak.
Ki Go-ceng yakin isi karung
itu pasti si tua bangka Tangkwik, memang cara beginilah biasanya
Tangkwik-siansing main sembunyi dan menggoda orang. Tanpa pikir segera ia
hantam karung itu, "blang-blang", kontan terdengar suara jeritan di
dalam karung. Mulut karung yang terikat juga pecah dan meluncur keluar satu
orang dengan mulut tumpah darah.
Seketika air muka Ki Go-ceng
berubah, sikapnya menjadi serba susah seperti kera makan terasi.
Ki Pi-ceng dan Ji Hong-ho
terkejut.
Isi karung itu memang
benar-benar sangat mengejutkan dan di luar dugaan siapapun. Yang menggelinding
keluar ini bukanlah Po-te Siansing alias Tangkwik-siansing melainkan
Thian-sip-sing, si tukang gegares, yang kini terluka parah karena pukulan Ki
Go-ceng.
Ki Pi-ceng bertiga bukan cuma
terkejut saja, bahkan melongo tak mengerti. Sebab Thian-sip-sing adalah
komplotan mereka yang datang bersama untuk membikin perhitungan dengan Ji
Pwe-giok, beberapa saat yang lalu bahkan masih bersembunyi bersama kawan yang
lain, siapa tahu sekarang telah ditawan oleh Tangkwik-siansing dan dimasukkan
ke dalam karung, malahan dengan meminjam tangan Ki Go-ceng si tukang gegares
ini dihantamnya hingga terluka parah.
Maka terdengar gelak tertawa
pula dibalik onggokan batu, waktu semua orang memandang kesana, tertampaklah
Tangkwik-siansing lagi nongkrong di atas batu dan sedang tertawa terkial-kial.
Ukuran jenggot Tangkwik-siansing
yang luar biasa memang tidak sebanding dengan tubuhnya yang kecil, sekarang
menongkrong di atas batu dan terkial-kial sehingga kelihatannya menjadi sangat
lucu.
Tapi ketiga orang di
hadapannya ini tiada satupun dapat tertawa, sebaliknya mereka melotot gusar ke
arah Tangkwik-siansing.
Tapi dengan santai
Tangkwik-siansing lagi membetulkan jenggotnya yang panjang itu, katanya:
"Eh, tumben kalian bertiga pesiar bersama, mengapa kalian suami istri
bertiga tidak mengeram di dalam kamar, tapi jauh-jauh datang ke pegunungan sepi
ini untuk mencari diriku? Memangnya kalian ingin cari lawan berkelahi?"
Sindiran Tangkwik-siansing itu
benar-benar sangat menusuk perasaan Ki Pi-ceng. Muka Ki Go-ceng dan Ji Hong-ho
juga merasa panas, sungguh kalau bisa mereka ingin membinasakan
Tangkwik-siansing dengan sekali hantam.
Sejenak kemudian, setelah
menenangkan diri, Ki Pi-ceng berkata: "Tangkwik-siansing adalah tokoh
terkemuka dan terhormat, apabila kutanya sesuatu padamu, tentunya engkau akan
bicara terus terang dan takkan berdusta"
"Hah, betapapun Bak-giok
Hujin memang lihay, dengan satu kata saja aku lantas terikat untuk tidak
berdusta" ujar Tangkwik-siansing.
"Sekarang ingin kutanya,
apakah Ji Kongcu berada di tempatmu ini?"
"Jika kalian mencari ke
sini, apakah aku dapat menyangkal lagi?"
"Bagus jika kau sudah
mengaku" kata Ki Pi-ceng. "Sekarang ingin ku bicara beberapa kata
langsung dengan dia"
Tangkwik-siansing tampak
melengak, katanya: "Eh, jangan-jangan kau suruh dia membunuhku lagi?"
Ki Pi-ceng tampak kikuk,
katanya kemudian: "Hal ini adalah kesalahan siasatku, seharusnya kubunuh
dia, dengan memegang Giam-ong-ceh dan Po-in-pai, maka seluruh dunia persilatan
akan berada dalam genggamanku"
"Wah, sungguh aku sangat
beruntung, untuk pertama kalinya selama hidupmu kau mau mengaku salah di depan
orang"
Ki Pi-ceng tersenyum kecut,
ucapnya: "Tapi sudah terlambat, segalanya sudah terlambat. Hanya ada
sesuatu persoalan yang belum lagi terlambat."
"Oo, persoalan apa?"
tanya Tangkwik-siansing.
"Bunuh dia!" ucap Ki
Pi-ceng dengan penuh dendam.
Keras dan tegas ucapannya ini,
jelas tidak kepalang bencinya terhadap Ji Pwe-giok.
"Jika demikian, tentu kau
akan menyesal satu kali lagi," kata Tangkwik-siansing.
"Memangnya kenapa?"
tanya Ki Pi-ceng.
"Sebabnya akulah yang
menyiarkan Gian-ong-cek ke dunia Kangouw."
"Apakah betul?" Ki
Pi-Ceng menegas dengan melengak.
"Tindakan ini kan tidak
mendatangkan hadiah, untuk apa kau mencari muka?" jawab Tangkwik-siansing.
"Jika demikian,
paling-paling kaupun cuma perantara saja, yang ingin kucari adalah biang
keladinya."
"Jadi sudah pasti kau
tuduh bocah itu?"
"Ya, tidak ada kekuatan
apa pun di dunia ini yang dapat mengubah penderitaanku."
"Jika kupaksakan diri
memikul tanggung jawab ini?" tanya Tangkwik-siansing.
Semoga ucapan ini karena
Tangkwik-siansing salah omong atau aku salah dengar, kalau tidak, silahkan kau
tarik kembali ucapanmu."
"Maaf kalau boleh kusitir
ucapanmu, tidak ada kekuatan apa pun di dunia ini dapat mengubah
penderitaanku." kata Tangkwik-siansing.
"Jika demikian, urusan
menjadi rada ruwet," kata Ki Pi-ceng dengan menyesal.
"Persoalan ini juga tidak
sederhana," ujar Tangkwik-siansing. "Sekalipun kau mau menyudahi
urusan ini juga tidak dapat lagi."
Ki Pi-ceng melengak, tanya,
"Agaknya ada maksud tertentu ucapanmu ini, dapatkah kau bicara dengan
lebih jelas?"
"Kukira ada baiknya kau
linglung untuk sementara, selekasnya tentu kau paham persoalannya."
Jika tidak mau kau lakukan,
aku pun tidak perlu mendesak lagi. Mengingat sesama orang persilatan, biarlah
kugariskan dua jalan bagimu dan silahkan Tangkwik-siansing memilihnya."
"Coba katakan,"
jawab Tangkwik-siansing.
Mendadak suara Ki Pi-ceng
berubah kereng, katanya, "Pertama, serahkan Ji-kongcu dengan segera,
persoalannya akan diputuskan oleh sidang umum dunia persilatan."
"Bandit besar dari gurun
utara It-koh-yan, dengar tidak kau?" teriak Tangkwik-siansing mendadak.
Ji Hong-ho kelihatan melengak,
tanyanya, Siapa yang kau maksudkan?"
"Yang kumaksudkan ialah
Ji Hong-ho gadungan alias Ji Tok-ho, Anda sendiri!" seru
Tangkwik-siansing.
"Hm, tampaknya Anda sudah
linglung sehingga tidak kenal orang lagi?" jengek Ji Tok-ho.
"Ji Tok-ho," kata
Tangkwik-siansing, "di dalam Giam-ong-ceh, seluk beluk dirimu tercatat
dengan jelas, kukira tidak perlu lagi kau berlagak pilon, kalau terus berlagak
lagi bisa segera kujadikan kau asap buyar benar-benar."
Air muka Ji Tok-ho tampak
merah padam dan tidak dapat bersuara lagi.
"Apa yang dikatakan
Ki-hujin tadi sudah kaudengar tidak?" tanya Tangkwik-siansing.
"Tentu, itulah usul yang
tepat dan pantas," kata Ji Tok-ho.
"Tapi usulnya dapat
kuberi tamsil mengadukan perampok di sarang bandit," kata
Tangkwik-siansing. "Maka jalan ini tidak kutempuh, coba saja jalan
kedua?"
"Nah, Ki-hujin, sekarang
boleh kau sebutkan jalan kedua," ujar Ji Tok-ho.
"Mati!" hanya satu
kata saja diucapkan Ki Pi-ceng.
Tangkwik-siansing bergelak
tertawa sambil mengelus jenggotnya yang panjang, ucapnya, "Usul ini lebih
lebih tidak dapat kuterima. Setua ini belum pernah kunikah, kalau harus mati
sekarang, cara bagaimana aku akan bertanggung jawab terhadap Giam-lo-ong? Kedua
jalan yang digariskan Ki-hujin jelas tak dapat kuterima. Bagaimana kalau kita
bicara saja tentang jalan ketiga."
"Jalan ketiga apa?"
Ki Pi-ceng melengak.
"Setiap suka duka, setiap
dendam dan benci orang Kangouw memang perlu diselesaikan secara tuntas,"
kata Tangkwik-siansing. "Maka berikan waktu tujuh hari padaku, sesudah
itu, andaikan kalian tidak mencari bocah itu, tentu juga dia akan mencari
kalian, tatkala mana segalanya tentu dapat dibereskan seluruhnya."
Mendadak Ki Go-ceng meraung,
"Setan tua Tangkwik, jangan kau main siasat ulur waktu?"
"Eh, yang bicara apakah
sahabat kerdil? Kenapa baru sekarang kau bicara?" ejek Tangkwik-siansing.
Mendadak sesosok bayangan menubruk
tiba, menerjang Tangkwik-siansing. Siapa lagi dia kalau bukan Ki Go-ceng yang
murka itu.
Daya tubruknya sungguh sangat
dahsyat, tertampak Tangkwik-siansing mengebutkan jenggotnya yang panjang,
menyusul tubuhnya lantas mengapung ke atas. "Blang" ia sambut pukulan
lawan dengan tepat.
Angin keras berjangkit, adu
pukulan itu dilakukan kedua orang dengan sama terapung di udara, seketika
timbul damparan angin keras, waktu turun ke bawah tubuh Tangkwik-siansing
terhuyung mundur dua tiga tindak, sebaliknya Ki Go-ceng tergulung oleh angin
dahsyat itu dan berputar-putar beberapa kali di udara dan "brak’, ia
terbanting jatuh di tempat semula.
Wajah Ki Go-ceng pucat seperti
mayat, ujung mulut juga berdarah, seketika tidak sanggup merangkak bangun.
"Hm, hebat benar
Bu-siang-sin-kang Tangkwik-siansing kita," jengek Ki Pi-ceng. "Tapi
perlu kuperingatkan padamu, malam ini selain hadir kami bertiga, di sekitar
sini sedikitnya bersembunyi belasan tokoh kelas tinggi, mungkin tidak mudah kau
bereskan sebagaimana kau duga."
Sinar mata Tangkwik-siansing
gemerdep dan menyapu pandang sekelilingnya…
Memang betul, bayangan orang
bergerak di sana-sini, belasan tokoh Bu-lim serentak muncul dari tempat gelap
seperti badan halus saja.
"Masih ada tidak? Biarlah
kubereskan saja sekalian supaya anak itu tidak perlu repot lagi," kata
Tangkwik-siansing.
"Jika demikian, tampaknya
kalau belum sampai di tepi jurang, Tangkwik-siansing belum juga putus
asa?" ujar Ki Pi-ceng.
"Anggaplah kau bicara
bagiku, sebelum tahu bagaimana lihainya Bu-siang-sin-kang, agaknya kalian pun
tidak mau pergi," jawab Tangkwik-siansing dengan sama tajamnya.
Dalam pada itu belasan
bayangan orang ini sudah semakin dekat, semuanya berdiri di belakang Ki
Pi-ceng. Sungguh luar biasa, hampir segenap tokoh ternama telah hadir.
Ki Pi-ceng tertawa, katanya,
"Tangkwik-siansing tampaknya yakin benar akan kelihaian sendiri, mungkin
kau kira kami tak dapat menemukan Ji-kongcu, jika demikian halnya, maka
salahlah kau."
Tangkwik-siansing melengak,
sorot matanya yang tajam menatap wajah Ki Hi-ceng.
Segera Ki Pi-ceng menyambung,
"Biarlah kita buka kartu saja secara terus terang, supaya urusan bisa
lekas diselesaikan. Memangnya kau kira kami tidak tahu Ji-kongcu bersembunyi di
belakang air terjun sana?"
Kembali Tangkwik-siansing
melengak, mau tak-mau ia merasa kagum terhadap ketajaman mata lawan.
"Tangkwik-siansing,"
kata Ki Pi-ceng pula. "Sekarang kuberi lagi suatu kesempatan padamu,
bermusuhan dengan setiap tokoh Bu-lim bukanlah sesuatu yang
menguntungkan."
Waktu Tangkwik-siansing
menoleh, dilihatnya Hong-sam dan Tangkwik-ko sudah berjaga di samping air
terjun itu, maka hatinya tambah tabah.
Dengan tiga orang harus
menghadapi tokoh Bu-lim sebanyak ini, jelas kekuatan mereka terasa sangat
tipis, tapi keadaan sudah kadung begini, tiada pilihan lain baginya.
Tangkwik-siansing menjadi
nekat, teriaknya, "Ayolah maju! Boleh kalian bertiga maju sekaligus! Tapi
ingin kuperingatkan lebih dulu, jangan lupa julukanku yang sebuah karung dapat
mengisi seluruh jagat ini, jika cuma kalian bertiga saja tentu belum dapat
memenuhi karungku."
Jangan dikira kata-kata
Tangkwik-siansing ini seperti banyolan belaka, secara tidak kelihatan justru
menimbulkan pengaruh psikologis terhadap kawanan tokoh Bu-im itu.
Seperti diketahui, dalam
perjamuan ulang tahun Hu-patya tempo hari, ketika mendengar munculnya "si
tuan karung", seketika semua orang lari terbirit-birit, apalagi sekarang
berhadapan langsung dengan orangnya.
Walaupun keadaan sekarang
belum sampai terjadi seperti tempo hari, tapi sudah ada sebagian hadirin itu
merasa ngeri dan diam-diam sudah ambil keputusan akan putar haluan apabila
keadaan berbahaya.
Sampai di sini, pertempuran
tidak mungkin bisa dihindarkan lagi.
Mendadak Ji Tok-ho berteriak,
"Lo-cinjin, bawalah beberapa kawan dan menghadapi Tangkwik-ko."
kini Ji Tok-ho telah
memperlihatkan wibawanya selaku Bu-lim-bengcu, ketua perserikatan dunia
persilatan yang berkuasa.
Lo-cinjin mengiakan, segera ia
berlari pergi membawa beberapa orang temannya.
Lalu Ji Tok-ho berpaling dan
berteriak pula, "Hi Soan!"
"Siap!" seru
Hi-soan.
"Bawalah beberapa kawan
dan hadapi Hong Sam, Ji Pwe-giok harus ditawan hidup-hidup untuk diadili atas
segala perbuatannya selama ini," kata Ji Tok-ho.
Hi Soan juga mengiakan dan
berlari pergi dengan beberapa kawannya.
Sekarang di tengah kalangan
hanya tersisa dua setengan orang, kecuali Ki Pi-ceng dan Ji Tok-ho, Ki G0-ceng
sudah terluka, maka dia hanya dapat dihitung setengah orang.
Dengan sorot mata membara Ji
Tok-ho melototi Tangkwik-siansing, katanya, "Asalkan karungmu cukup
longgar, malam ini kurela terisap ke dalam karungmu, pendek kata, antara kita
harus ada penyelesaian yang tuntas."
Belum lenyap suaranya,
serentak ia mengapung ke atas terus menubruk maju, "Brak-brek-brak"
kontan dia menghantam tiga kali.
Tapi dia sangat licin, waktu
Tangkwik-siansing balas menyerangnya, cepat ia melompat mundur lagi.
Jelas kelihatan ia sangat jeri
terhadap kelihaian Bu-siang-sin-kang, sebab itulah dia tidak berani
menangkisnya dengan keras lawan keras.
Pukulan Tangkwik-siansing
memang sangat mengejutkan, angin mendampar sekeliling kalangan, debu pasir
beterbangan, seketika di sekitar orang tua ini seakan-akan terbentuk selapis
dinding hawa yang sukar ditembus.
Diam-diam Ki Pi-ceng terkejut,
mau tak-mau ia harus mengakui kelihaian setan tua tangkwik-siansing, jelas
orang sudah nekat dan siap mengadu jiwa.
Di tengah deru angin yang
keras, "brek-brek", terjadi beberap kali gebrakan, tapi Ji Tok-ho
tidak mampu menangkis, untung dia mengutamakan berkelit dan menghindar, kalau
tidak tentu dia sudah roboh terluka oleh Bu-siang-sin-kang.
Pada saat itulah, tiba-tiba
sesosok bayangan orang menerjang ke tengah medan pertempuran.
Itulah Bak-giok hujin Ki
Pi-ceng.
Begitu kedua tangannya ditarik
ke depan dada, menyusul lantas ditolak ke depan. "Blang", terdengar
suara benturan keras, terjadi kontak langsung antara kedua tokoh utama itu.
Ki Pi-ceng telah mengeluarkan
kungfu andalannya "Sian-thian-ceng-gi" beradu dengan
Bu-siang-sin-kang.
Dua bayangan segera terpencar
lagi, berturut-turut Ki Pi-ceng menyurut mundur, sedangkan Tangkwik-siansing
juga bergeliat, jenggotnya yang panjang bergoyang terdampar angin pukulan
sehingga mirip boneka si kakek di toko mainan anak-anak.
Dengan pandangan tercengang Ki
Pi-ceng menatap orang tua itu.
Sebaliknya Tangkwik-siansing
juga sedang melotot dengan matanya yang kecil itu.
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong serangkum angin pukulan dahsyat menyambar tiba dari beakang
Tangkwik-siansing.
Tapi mendadak orang tua itu
membentak, "Huh, terhitung Bu-lim-bengcu macam ini? Pandainya cuma main
sergap dari belakang?!"
Berbareng dengan ucapannya
itu, serentak ia berputar, Bu-siang-sin-kang bekerja cepat, suatu pukulan
dahsyat dilontarkan ke belakang.
"Brak", berjangkit
suara orang jatuh.
Rupanya Ji Tok-ho tidak sempat
menarik kembali serangannya sehingga tepat kena ditolak oleh Bu-siang-sin-kang,
kontan ia terpental dan jatuh tersungkur.
Untung baginya, hanya terluka
ringan saja dan tidak sampai mati.
Selagi Tangkwik-siansing henak
menambah sekali pukulan lagi, pukulan Sian-thian-ceng-gi Ki Pi-ceng keburu
menyambar tiba pula.
Dan begitulah, dengan satu
lawan dua, Tangkwik-siansing menghadapi kerubutan Ki Pi-ceng dan Ji Tok-ho
tanpa gentar.
Sembari bertempur, Ki Pi-ceng
sembat memberi pesan kepada Ji Tok-ho, "Ji-bengcu, tempur dia dengan gerak
cepat, sedapatnya menguras tenaganya."
Sungguh celaka! Justru inilah
yang dikuatirkan Tangkwik-siansing.
Maklumlah, Bu-siang-sin-kang
paling banyak makan tenaga, sedangkan lawannya adalah tokoh besar kelas wahi,
tanpa menggunakan Bu-siang-sin-kang jeas tidak mampu menandinginya.
Pada suatu kesempatan Tangkwik
siansing coba mamandang ke sana......
Ternyata di samping kanan-kiri
air terjun sana juga mulai terjadi pertempuran. Tangkwik-ko dan Hong Sam
masing-masing menghadapi kerubutan beberapa tokoh bu-lim, berbareng itu mereka
harus menjaga Ji Pwe-giok yang asyik berlatih Bu-siang-sin-kang, tentu saja
mereka agak kerepotan dan berulang-ulang terancam bahaya.
Biji mata Tangkwik-siansing
berputar, sedapatnya ia mencari akal.
Mendadak ia menghimpun tenaga
murni pada kedua tangannya, sekonyong-konyong ia mendorong pada gundukan tanah
yang terletak tidak jauh di sebelahnya.
"Blang", terjadi
guncangan keras seperti gempa bumi.
Karena getaran keras itu,
mendadak gundukan tanah itu muncrat ke udara sehingga berubah menjadi segulung
kabut tebal, mirip angin badai yang berjangkit di gurun pasir.
Ki Pi-ceng dan Ji Tok-ho sama
terkejut.
Kesempatan itu segera
digunakan oleh Tangkwik-siansing untuk lolos dari kabut tanah itu, secepat
terbang ia memburu ke arah air terjun.
Selagi orangnya melayang tiba,
segera terdengar suara bentakannya yang menggelegar, "Ini dia Po-te
Siansing, yang takut mati lekas lari, yang tidak takut mati boleh pergi menghadapi
Giam-lo-ong!"
Baru lenyap suaranya; segera
orangnyapun tiba di tempat itu, seperti burung elang menyambar anak ayam, lebih
dulu ia menerjang Hi Soan.
Saat itu Hong Sam sedang
menghadapi keroyokan rombongan Hi Soan, karena bentakan Tangkwik-siansing yang
keras itu, ia menjadi bingung malah.
Bentakan Tangkwik-siansing itu
tiada ubahnya sengaja memeberitahukan kepada musuh agar lekas lari. Padahal
memang inilah maksud tujuan Tangkwik-siansing.
Nama "Po-te
Siansing" yang gilang gemilang dan dapat membikin gentar atau merontokkan
nyali setiap jago persilatan, sudah tentu tidak kecil efeknya bilaman nama itu
ditonjolkan.
Padahal rombongan Hi Soan yang
mengerubuti Hong Sam itu cukup kuat, tampaknya mereka sudah berada di atas
angin. Tapi karena bentakan Tangkwik-siansing itu, seketika kuncup nyali mereka
seperti tikus ketemu kucing, sekali berteriak, kontan mereka lari tunggang
langgang.
Malahan tidak terbatas pada
rombongan Hong Sam saja, bahkan rombongan Lo-cinjin juga terpengaruh dan sama
lari ketakutan.
Hanya Lo-cinjin dan Hi Soan
yang masih tertinggal disitu. Sebagai kepala rombongan, dengan nama mereka yang
menonjol, kalau merekapun lari terbirit-birit oleh gertakan Tang Kwik- sian
sing itu, kan bisa ditertawakan orang.
Dalam pada itu, seperti burung
saja Tang Kwik- sian sing telah menubruk dari udara, belum lagi orangnya turun,
lebih dulu tenaga Bu-siang-sin-kang sudah mendampar tiba.
Hi Soan yang menghadapi
terjangan Tang Kwik- sian sing itu, terpaksa mengerahkan tenaga untuk menyambut
pukulan lawan.
"Bluk," terjadi
benturan keras tenaga pukulan kedua orang itu, Hi Soan terpental dan jatuh
terguling beberapa tombak jauhnya dan tidak dapat bangun lagi.
Dengan demikian tekanan
terhadap Hong Sam menjadi longgar. Sedangkan di pihak Tang Kwik Ko sana, karena
yang dihadapapinya sekarang juga tinggal Lo-cinjin saja, ia pun merasa ringan.
"Lihat pukulan, setan tua
Tang Kwik!" mendadak bergema suara bentakan dari atas.
Suaranya berasal dari satu
orang, tapi yang melayang tiba ada dua orang. Yang sebelah kiri adalah Ki
Pi-ceng dan yang kanan Ji Hong-ho gadungan alias Ji Tok-ho.
Dengan sepenuh tenaga kedua
orang menghantam, apalagi dari atas menghantam ke bawah, tentu saja luar biasa
dasyatnya.
Agaknya mereka pun sudah
mempertaruhkan segalanya, hidup atau mati bergantung pada serangan ini.
Tang Kwik- sian sing prihatin,
iapun mengerahkan segenap tenaganya dan memapak serangan lawan.
Waktu tenaga pukulan kedua
pihat kebentur lagi, kembali terbit suara keras dan damparan hawa yang dahsyat
laksana badai mengamuk di tengah debu pasir yang berhamburan kelihatan bayangan
orang berseliweran.
Sungguh luar biasa! Tang Kwik-
sian sing tergetar mundur tiga empat tindak, setelah berdiri tegak, darah
terasa bergolak dalam rongga dada, air muka pun sebentar merah dan sebentar
pucat.
Ki Pi-ceng dan Ji Tok-ho
menyerang dari atas, jelas posisi mereka lebih menguntungkan, walaupun begitu,
menghadapi Bu-siang-sin-kang yang maha sakti itu merekapun tidak banyak menarik
keuntungan, merekapun tergetar mundur beberapa tindak.
Sementara Hi Soan belum lagi
merangkak bangun, ia berduduk di tanah dengan wajah pucat seperti mayat, jelas
terluka parah.
Dengan murka Ji Tok-ho hendak
menubruk maju lagi, tapi mendadak Ki Pi-ceng berteriak mencegahnya.
Dengan sorot mata tajam ia
tatap Tangkwik-siansing, katanya: "Selama 40 tahun ini belum pernah ada
orang berani main gila padaku"
"Dan orang tua ini harus
dikecualikan bukan?" ujar Tangkwik-siansing.
"Permusuhan kita jelas
sudah terikat erat", kata Ki Pi-ceng. "Tapi tidak ingin kubereskan
sekarang ini"
Tangkwik-siansing tertawa
lebar, ucapnya: "Haha, kukira bukannya tak ingin, soalnya hasrat besar
tenaga kurang, kenapa tidak kau katakan terus terang bahwa keadaanmu malam ini
sudah tamat segalanya?"
"Terserah cara bagaimana
akan kau katakan" kata Ki Pi-Ceng, "Hanya kau katakan kepada
Ji-kongcu agar dalam waktu tiga hari dia datang ke tempatku untuk membereskan
segala urusannya"
"Kalau dia tidak memenuhi
waktu yang kau tentukan, lalu bagaimana?" tanya si kakek.
"Jika dia tidak datang
menurut waktu yang kutentukan, terpaksa kami yang akan mencarinya lagi, dan
untuk itu mungkin dia harus mengorbankan suatu nyawa lain yang perlu
disayangkan" kata Ki Pi-ceng.
Tangkwik-siansing melengak,
tanyanya: "Apa artinya ucapanmu ini?"
"Harus kau pikirkan
sebaik-baiknya bahwa saat ini Lui-ji berada dalam cengkeramanku" jawab Ki
Pi-ceng.
"He, telah kau apakan
anak dara itu?" teriak Hong Sam dengan kuatir.
"Jangan cemas" ujar
Ki Pi-ceng dengan tak acuh, "Sekarang dia berada dalam pengawasan Lengkui,
dalam waktu tiga hari dia tidak akan diganggu, selewatnya tiga hari tentu tidak
kujamin lagi keselamatannya"
Berkata sampai di sini, ia
lantas memberi tanda kepada Ji Tok-ho. Segera Ji Tok-ho memanggul Hi Soan dan
dibawa pergi dengan cepat.
Selagi Ki Pi-ceng hendak pergi
juga, sekonyong-konyong angin pukulan dahsyat menyambar tiba. Tanpa pikir
tenaga Sian-thian-ceng-gi lantas dikeluarkan untuk menangkis, kontan Hong-sam
yang menyerang itu tergetar mundur dus-tiga tindak.
"Hm, kau juga ingin
bergebrak denganku?" jengek Ki Pi-ceng.
Hong Sam mendelik,
"Pendek kata, kalau Lui-ji tidak kau serahkan, jangan harap bisa
meninggalkan tempat ini."
"Huh, memangnya kau mampu
menahanku disini?" jengek Ki Pi-ceng. "Sudah tentu, jika kau minta
bantuan Tangkwik-siansing tentu adalah soal lain. Cuma perlu kuperingatkan kau
lebih dulu sebelum kau bertindak sesuatu."
"Peringatan pa?"
tanya Hong Sam.
"Jangan lupa, Lengkui
adalah ciptaanku, aku lah yangmengemudkikan dia, antara dia dan aku ada kontak
batin (semacam telepati), asalkan timbul sesuatu pikiran ku, seketika Leng-kui
akan membinasakan Cu Lui-ji."
"Kau berani?!"
teriak Hong sam dengan murka.
"Memangnya aku tidak
berani?" jengek Ki Pi-ceng. "Berani atau tidak, jika perlu boleh kau
coba serang lagi diriku."
Serentak Hong Sam angkat
tangannya dan siap menyerang pula.
Tapi pada saat terakhir,
mendadak ia urungkan maksudnya, sorot matanya yang membara itu seakan-akan
ingin membakar musuhnya, ia pandang Ki Pi-ceng dengan murka.
Ki Pi-ceng tertawa senag,
tertawa kemengangan, ia tahu lawan benar-benar mati kutu oleh ancamannya.
Dengan mengejek Ki Pi-ceng
berkata pula, "Wah, sungguh bijaksana dan harus dipuji bawa Hong-siansing
dapat mengendalikan diri pada detik terakhir menghadapi maut. Baiklah, hendaknya
jangan kau lupa menyampaikan pesanku kepada Ji-kongcu tentang batas waktu tiga
hari, pada saatnya nanti akan kusambut dengan hormat kedatangannya."
Habis berkata, dengan gemulai
ia memutar tubuh dan menghilang dalam kegelapan.
Dalam pada itu Lo-cinjin dan
Tangkwik Ko masih saling labrak dengan sengit.
Tidak kepalang dahsyat pukulan
Lo-cinjin, berbareng mulutnya juga berteriak dan membentak terus-menerus.
Sekonyong-konyong dilihatnya
di belakang terlah bertambah dua orang, mereka ialah Hong Sam dan
Tangkwik-siansing.
Lo-cinjin terkejut dan
berhenti menyerang sambil melompat mundur.
"He, hidung kerbaa,
apakah benar-benar hendak kau jual nyawa bagi Ki Pi-ceng?" tanya
Tangkwik-siansing dengan tertawa.
"Siapa bilang kubela dia?
Aku kan tidak menaksir dia," jawab Lo-cinjin dengan mendelik.
"Jika begitu, jadi kau
berjuang membela Bilim-bengcu?" tanya pula si kakek.
Tambah besar mata Lo-cinjin
mendelik, ucapnya, "Huh, lelbih-lebih tidak bisa jadi, memangnya kau kira
Lo-cinjin orang yang suka menjilat dan mengekor?"
"Jika demikian, aku
menjadi bingung, memangnya untuk apa kau tinggal di sini an mengadu jiwa
?"
"Hm, kenapa kau perlu
bertanya lagi?" jengek Lo-cinjin. "Soalnya, mengapa bocah she Ji itu
membeberkan urusanku yang memalukan di masa lampau, uaitu yang tercatat dalam
buku Giam-ong-ceh?"
Biji mata Tangkwik-siansing
yang kecil itu berputar, katanya, "Oya, rasanya aku juga membaca catatan
mengenai dirimu di dalam Giam-ong-ceh itu, kalau tidak salah, konon kau pernah
berlutut di hadapan Siau-hun-kiongcu, bukan kau minta ampun padanya, tapi kau
ingin melamarnya sebagai isterimu."
"Betul," kata
Lo-cinjin.
"Huh, masakah untuk
persoalan sekecil ini pantas bagimu untuk mengadu jiwa?" jengek
Tangkwik-siansing.
"Bagiku, kejadian itu
adalah noda besar dan memalukan," kata Lo-cinjin. "Kau tahu, nama
atau kehormatan adalah jiwaku yang kedua."
"Kukira urusan ini tidak
perlu dipersoalkan lebih lanjut." kata Tangkwik-siansing. "Kau tahu,
aku pun pernah jatuh cinta kepada seorang nikoh jelita, lelaki cinta kepada
perempuan, ialah kodrat, kenapa mesti malu."
"Sungguh tidak kusangka
kau bisa bicara blak-blakan begini," ujar Lo-cinjin dengan heran.
"Biarlah kukatakan lagi
terus terang, sesungguhnya akulah yang mewakili Ji-kongcu menyiarkan catatan
dalam buku Giam-ong-ceh itu," tutur Tangkwik-siansing.
"Jika betul demikian, aku
menjadi lebih tidak mengerti apa maksud tujuanmu?" tanya Lo-cinjin.
"Masakah kaupun tidak segan-segan menyiarkan perbuatanmu sendiri yang
kurang terpuji itu?"
"Hal ini sangat sederhana
jika kujelaskan, " kata Tangkwik-siansing. "Segala sesuatu ini adalah
demi pembaharuan Bu-lim secara tuntas."
"Demi pembaharuan dunia
persilatan masakah termasuk urusan tetek bengek yang brengsek ini? " kata
Lo-cinjin.
"Betul, untuk pembaharuan
seluruh Bu-lim secara tuntas harus dimulai dengan memperbaiki karakter, moral
dan tindak-tanduk setiap orang Bu-lim, "tutur Tangkwik-siansing, "
Dengan menyebar-luaskan isi Giam-ong-ceh itu, diharapkan selanjutnya akan
memaksa para anggota Bu-lim supaya mengoreksi tindak-tanduk sendiri di masa
lampau. Dengan demikian tentu akan besar efeknya bagi ketentraman dunia
persilatan. Tidak terlalu lama lagi seluruh dunia persilatan pasti akan lebih
segar dan teratur dengan baik, selamanya takkan terjadi lagi bunuh-membunuh
tanpa bermoral. "
"Akan tetapi kerugian
nama baikku…" Lo-cinjin masih juga kurang mantap.
"Apa artinya kejadian
itu?" ujar Tangkwik-siansing, "Pada waktu muda, siapa yang tidak
pernah berfoya-foya?"
Lo-cinjin menunduk, ia
bergumam, "Ehm, kedengarannya perkataanmu cukup beralasan."
"Tapi pembaharuan Bu-lim
secara tuntas sekali ini, sudah barang tentu ada sementara orang yang tidak
terlepas dari pembersihan, dosa mereka tidak dapat diampuni sehingga mereka
harus mendapat ganjaran yang setimpal," demikian Tangkwik-siansing
menambahkan.
"Siapa-siapa saja yang
kau maksudkan?" tanya Lo-cinjin.
"Apakah kau tahu
persoalan Bu-lim bengcu sekarang, si Ji Hong-ho?" tanya Tangkwik-siansing.
"Tentu saja tahu, kan
cukup jelas catatan dalam Giam-ong-ceh yang sudah tersiar itu?" jawab
Lo-cinjin.
"Bagus, tapi sekarang
kuharap dengan mulutmu sendiri dapat kau sebutkan bagaimana duduk perkaranya
mengenai orang she Ji itu?"
"Aslinya dia adalah
bandit gurun pasir yang berjuluk It-koh-yan, nama aslinya Ji Tok-ho, sudah
banyak perbuatan terkutuk yang dilakukannya, lebih-lebih setelah dipermak oleh
Ki Pi-ceng, sehingga wajahnya telah berubah dan dipalsu menjadi Ji Hong-ho, dia
rela menjadi boneka Ki Pi-ceng."
"Bagus, jika kau tahu
semua ini, urusan tentu akan lebih mudah diselesaikan," ujar
Tangkwik-siansing. "Orang semacam Ki Pi-ceng dan Ki Go-ceng yang serba
aneh dengan jiwa yang tidak normal, bilamana mereka berhasil menguasai dunia
persilatan ini, coba , dapatkah kau bayangkan bagaimana akibatnya nanti?"
Lo-cinjin menggeleng kepala,
katanya, "Ya, memang sangat menakutkan dan mengerikan."
"Sebab itulah penyiaran
catatan dalam Giam-ong-ceh itu, sasaran yang sesungguhnya adalah sekelompok
manusia abnormal seperti mereka itu," kata Tangkwik-siansing.
"Sedangkan kau, hanya disebabkan sedikit urusan tetek-bengek yang tidak
berarti, tanpa sadar kau ikut terlibat oleh persoalan ini dan tanpa sadar telah
diperalat oleh mereka. Coba pikirkan, apakah kau tidak merasa malu diri?"
Seketika Lo-cinjin tak dapat
bersuara, ia menunduk kikuk.
Tangkwik-siansing lantas
berkata pula, "Persoalannya sudah kubeberkan dengan gamblang, bagaimana
sikap dan pendirianmu selanjutnya, boleh terserah kepada keputusanmu sendiri.
Yang pasti, malam ini takkan ku persulit dirimu, biarlah kita berjumpa lagi
kelak."
Muka Lo-cinjin merah jengah,
cepat ia berputar tubuh dan berlari pergi.
Begitulah kegemparan tadi
telah dapat diselesaikan, tapi lantaran Cu Lui-ji berada dalam cengkeraman Ki
Pi-ceng, hati Hong Sam merasa tidak tenteram.
"Sementara ini tidak
perlu kau kuatir," kata Tangkwik-siansing. "Dalam waktu tiga hari ini
jelas anak dara itu takkan berbahaya, kuberani menjamin dengan jiwaku yang
sudah lapuk ini."
"Tapi jangan lupa, dia
berada dalam cengkeraman Leng-kui, setelah lewat tiga hari, dengan cara
bagaimana akan kita hadapi makhluk yang tidak dapat dibunuh mati itu?"
jawab Hong Sam.
"Alam menciptakan berjuta
jenis makhluk, satu dan lain saling anti dan saling mengatasi, jika ada
Leng-kui, tentu ada cara menghancurkan dia, biarlah perlahan kita mencari jalan
untuk menghadapinya," sela Tangkwik Ko tiba-tiba.
"Tapi jangan lupa, dia
bukan manusia, juga bukan makhluk, tapi Leng-kui, setan, hantu yang tidak
pernah ada sebelum ini," tukas Hong Sam.
"Itupun tidak
terkecuali," ujar Tangkwik Ko. "Jangankan dia cuma semacam makhluk
aneh yang dikendalikan oleh Ki Pi-ceng, sekalipun setan sungguhan juga ada cara
untuk menghadapinya."
"Ucapan adik memang
tepat," kata Tangkwik-siansing. "Biarlah urusan ini sementara kita
kesampingkan dulu, yang paling penting tidak boleh kita abaikan keadaan di
sini, harus kita jaga ketat, hati-hati terhadap kemungkinan serbuan Ki Pi-ceng
secara pengecut."
Hong Sam dan Tangkwik Ko
setuju atas jalan pikiran Tangkwik-siansing, maka mereka bertiga tetap berjaga
di situ, tiada seorangpun berani meninggalkan air terjun.
Semalam berlalu dengan aman,
fajar sudah menyingsing, cahaya sang surya yang keemasan menyinari bumi raya
yang luas ini.
Baru tiga hari Ji Pwe-giok
bersemedi mendalami Bu-siang-sin-kang.
Menurut perkiraan
Tangkwik-siansing, perlu tujuh hari barulah Pwe-giok mampu menguasai
Bu-siang-sin-kang dengan baik, kini baru tiga hari, jadi masih perlu empat hari
lagi. Sedangkan batas waktu tiga hari yang diberikan Ki Pi-ceng kini sudah
lewat satu hari, jadi masih ada waktu dua hari saja.
Jika menurut perhitungan
tersebut, jelas Pwe-giok tidak keburu memenuhi batas waktu Ki Pi-ceng, bila dia
harus pula menamatkan pelajarannya, sebab itulah semua orang sangat prihatin
terhadap soal ini.
Sudah barang tentu, yang
paling gelisah ialah Hong Sam. Sebab Ji Pwe-giok bukan saja saudara angkatnya,
dapat tidak anak muda itu memenuhi batas waktu yang diberikan Ki Pi-ceng itu
juga menyangkut mati-hidup Cu Lui-ji.
Dengan air muka prihatin, ia
pandang Tangkwik-siansing, katanya, "Bagaimana, menurut pandanganmu,
dapatkah Pwe-giok menyelesaikan pelajaran Bu-siang-sin-kang lebih cepat
daripada perkiraan semula? Mungkinkah?"
"Sulit, sangat
sulit," jawab Tangkwik-siansing. "Ya, kecuali terjadi
keajaiban."
"Apa yang kau maksudkan
dengan "keajaiban" dan cara bagaimana mendapatkannya?" tanya
Hong Sam.
Tangkwik-siansing jadi
melenggong, jawabnya, "Wah, pertanyaanmu ini membikin bungkam lagi padaku.
Soalnya keajaiban hanya dapat dialami secara kebetulan dan tidak mungkin
dicari."
Keterangan ini membuat
perasaan Hong Sam tambah tertekan. Betapapun ia sangat menguatirkan keselamatan
Lui-ji.
Tak lama, mereka coba
mengitari air terjun dan menuju ke depan panggung alam itu. Tampak Pwe-giok
masih asyik duduk bersila di atas sana, sikapnya tenang seperti orang yang
sudah melupakan segalanya, alam dianggapnya kosong belaka.
Keadaan anak muda itu hanya
ada setitik perbedaan yang menyolok dibandingkan kemarin, yaitu air mukanya
yang bercahaya, bersemu merah mengkilap.
"Aha, aneh… ajaib…."
teriak Tangkwik-siansing mendadak.
"He, ada apa, kenapa
terkejut dan gembar-gembor?" tanya Hong Sam cepat.
Mendadak Tangkwik-siansing
menarik lengan baju Hong Sam dan mendesis, "Ssst, jangan kita ganggu dia,
marilah kita pergi, bicaralah di luar sana."
Segera ia mengajak kedua
rekannya kembali ke tempat tadi, yaitu di tengah onggokan batu karang yang
berserakan di luar air terjun sana.
Setelah masing-masing
mengambil tempat duduk di atas batu, berkatalah Tangkwik Ko, "Tadi toako
menyebut aneh dan ajaib, apakah karena engkau melihat perubahan cahaya muka
Ji-kongcu yang berbeda dengan kemarin itu?"
Tangkwik-siansing mengangguk,
jawabnya, "Betul, inilah tanda yang luar biasa dan tak terduga."
"Tanda baik atau
buruk?" cepat Hong Sam ikut bertanya.
"Dengan sendirinya
baik," tutur Tangkwik-siansing. "Itulah pertanda pelajaran
Bu-siang-sin-kang hampir diselesaikan, nyata dia dapat menyelesaikan
pelajarannya tiga hari lebih cepat daripada perkiraanku semula."
"Hah, tiga hari lebih
cepat katamu?" seru Hong Sam kejut dan girang, "jika begitu, artinya
hari ini juga ilmu sakti itu dapat diselesaikan olehnya?"
"Betul," kata
Tangkwik-siansing. "Sekarang sudah mendapatkan jawabannya, dan inilah
keajaiban yang kukatakan itu. Cuma seketika akupun tidak tahu sebab musabab terjadinya
keajaiban ini."
"Ku tahu," tukas
Tangkwik Ko, "Pasti disebabkan Ji-kongcu sudah memiliki ilmu sakti
keluarganya, yaitu Lwekang bu-khek-bun yang hebat, maka untuk meyakinkan lagi
Bu-siang-sin-kang menajdi lebih mudah daripada orang lain dan lebih pesat
kemajuan yang dicapainya."
"Aha, ucapan Jite memang
betul," seru Tangkwik-siansing dengan gembira, "Sungguh aku malah
tidak pernah berpikir sampai ke situ."
Lalu ia berpaling dan berkata
kepada Hong Sam, "Sekarang tentu kau tidak perlu kuatir lagi, paling
tidak, kita dapat maju satu hari untuk memenuhi janji pertemuan dengan Ki
Pi-ceng."
Seketika air muka Hong Sam
yang muram itu tersapu bersih, katanya, "Agaknya jiwa Lui-ji ditakdirkan
belum tiba ajalnya, akan tetapi ......"
"Akan tetapi entah cara
bagaimana harus menghadapi Leng-kui pula, begitu maksudmu bukan?" tukas
Tangkwik Ko.
"Ya," Hong Sam
mengangguk.
"Jangan kuatir."
kata Tangkwik Ko dengan penuh keyakinan. "Sekarang sudah kutemukan cara
bagus untuk menghadapi Leng-kui, kuyakin segalanya takkan menjadi soal dan
tidak perlu diragukan lagi."
"Bagaimana caranya? Coba
lekas katakan," pinta Hong Sam dengan cemas-cemas girang.
"Untuk menghadapi
Leng-kui, kuncinya terletak pada Ki Pi-ceng," tutur Tangkwik Ko.
"Coba kau pikir, segala sesuatu Leng-kui itu berada di bawah kemudi Ki
Pi-ceng, atau dengan kata lain, jiwa Ki Pi-ceng seolah-olah melengket pada
tubuh Leng-kui dan dapat melakukan segela kehendak hatinya. Maka sekarang
asalkan kita dapat menaklukan Ki Pi-ceng, dengan sendirinya pula Leng-kui akan
kehilangan daya gunanya, akan kehilangan kemampuannya."
"Tepat!" seru
Tangkwik-siansing sambil berkeplok. "ya, pasti begitulah halnya. Agar
Lui-ji tidak mengalami sesuatu cedera, kita harus menundukkan Ki Pi-ceng lebih
dulu."
"Jika betul demikian, aku
ingin pergi dulu dari sini," kata Hong sam tiba-tiba.
"Hendak kemana kau?"
tanya Tangkwik-siansing dengan heran.
"Harus kuawasi
gerak-gerik Ki Pi-ceng, perlu dijaga kemungkinan dia akan kabur," tutur
hong sam.
"Hanya perlu menunggu
satu hari lagi, masakah tidak dapat kau tunggu disini?" ujar
Tangkwik-siansing. "Sebelum magrib latihan nanti, latihan Bu-sian-sin-kang
bocah itu tentu dapat selesai, kenapa kita tidak menunggu, lalu pergi bersama,
bukanlah jauh lebih kuat."
"Akan tetapi, dalam satu
hari segala kemungkinan dapat terjadi." Hong Sam. "Bukan mustahil
akan terjadi perubahan besar di sana, sebab itulah aku sangat gelisah,
betapapun aku harus berangkat lebih dulu."
"Baiklah," kata
Tangkwik Ko, "boleh kau berangkat lebih dulu, cuma harus hati-hati, tidak
obleh kau berindak sendiri-sendiri. Jika secara gegabah kau bertindak, bisa
jadi takkan mendatangkan manfaat bagi pekerjaan kita, sebaliknya akan
membahayakan keselamatan Lui-ji."
"Ya, kutahu, akan
kutunggu kalian disana," kata Hong Sam.
Selesai berkata segera ia
melayang ke sana, hanya beberapa kali naik turun saja bayangannya lantas
menghilang di balik lereng sana.
-ooooooo0oooooo-
Sehari berlalu dengan cepat,
selama sehari ini, dirasakan jauh lebih panjang daripada biasanya oleh kedua saudara
Tangkwik itu. Begitu panjang sehingga rasanya seperti setahun lamanya.
Syukurlah sehari itu tidak
terjadi ganguan apa pun, hal ini membuktikan bahwa sebelum lewat batas waktu
yang diberikan, Ki Pi-ceng tidak lagi merencanakan penyergapan dan sebagainya.
Tangkwik-siansing berduduk di
tepi sumber air sana, sambil menikmati pemandangan alam menjelang senja itu,
mereka pun mengobrol ke barat dan ke timur.
Kalau menuruti apa yang
terlihat pagi tadi, latihan Bu-siang-sin-kang paling lambat besok pagi pasti
dapat diselesaikan oleh Pwe-giok, bahkan ada kemungkinan akan lebih cepat
daripada perkiraan itu.
Oleh karena itu, kedua kakek
tidak berani meninggalkan tempat ini untuk menjaga segala kemungkinan atau
kejadian yang tak terduga.
Mendadak terdengar suara
"bar .. ber, bar â€" ber" suara gemuruh yang aneh.
Tentu saja kedua kakek ini
terkejut, mereka coba mendengarkan dengan lebih cermat, suara gemuruh air
terjun.
Tentu saja kedua Tangkwik
bersaudara terkejut dan heran, mereka memandang ke arah datangnya suara.
Busyet! Sungguh luar biasa!
Air terjun yang dituangkan
dari ketinggian ribuan tombak itu kini terputus di bagian tengah, bagian yang
bawah bahkan terus muncrat balik ke atas sehingga berbentuk tiang air yang
menjulang tinggi ke langit.
Sungguh pemandangan yang
ajaib, pemandangan yang indah dan megah!
Saking kegirangan
Tangkwik-siansing sampai berjingkrak, teriaknya, "Aha! Sungguh luar biasa.
Sungguh hebat! Inilah hasil permainan anak itu!"
Segera Tangkwik Ko juga paham
duduknya perkara, iapun tertawa gembira.
Kiranya apa yang terjadi itu
adalah pertanda Bu-siang-sin-kang yang diyakinkan Ji Pwe-giok sudah selesai,
air terjun yang mucrat balik ke atas itu adalah akibat tolakan tenaga dalam
Pwe-giok, dimana air terjun itu dijadikannya sebagai sasaran percobaan ilmu
saktinya.
Air terjun itu mengguyur dari
ketinggian ribuan tombak, sahsyatnya dapat dibayang kan. Tapi tenaga pukulan
Pwe-giok ternyata mampu menolak guyuran air terjun itu hingga muncrat balik ke
atas, maka kekuatannya sungguh sangat mengejutkan.
Mendadak terdengar suara
siulan nyaring terseling di tengah gemuruh air terjun, begitu nyaring suara itu
laksana guntur menggelegar. Menyusul sesosok bayangan putih mengapung ke udara.
Sungguh indah sekali gaya
melayang itu, cepatnya juga luar biasa.
Pada ketinggian tertentu,
bayangan itu lantas berjumpalitan terus menukik ke bawah laksana orang mendadak
terjerumus ke dalam jurang, seperti batu meteor jatuh, tahu-tahu bayangan orang
itu hinggap di depan kedua kakaek.
Siapa lagi dia kalau bukan Ji
Pwe-giok!
Dengan enteng ia turun di
permukaan tanah, tenang dan ringan, seperti gerakan mengapung tadi, sedikitpun
tidak memakan tenaga.
Tidak kepalang senang
Tangkwik-siansing, ia tertawa lebar sehingga hampir saja mulutnya tidak dapat
terkatup kembali. Jenggotnya yang panjang itu ikut tergoyang-goyang dan
berucap, "Terima kasih atas bantuan Cianpwe yang tak ternilai ini."
Tangkwik-siansing menariknya
bangun, lenyap tertawanya, sebaliknya berkata dengan kereng. "Eh, sejak
kapan kau belajar menyembah begini?"
Dengan tulus Pwe-giok berkata:
"Cianpwe telah mengajarkan Bu-siang-sin-kang padaku, sepantasnya Wanpwe
memberi sembah hormat ini"
Dengan muka kecut
Tangkwik-siansing berkata pula: "Eh, tidak perlu kau bicara tentang terima
kasih segala padaku, kuajarkan Bu-siang-sin-kang padamu karena kau pegang
Po-in-pay, jadi Bu-siang-sin-kang kutukarkan dengan Po-in-pay, selanjutnya
lunas, kedua belah pihak tidak ada yang utang, hakikatnya tidak perlu kau
terima kasih padaku"
"Meskipun demikian,
namun....."
"Namun apa? Sudahlah,
tidak perlu banyak cingcong, kau asyik belajar ilmu sakti selama empat hari,
apakah kau tahu selama empat hari ini telah terjadi peristiwa yang
mengejutkan?"
Pwe-giok garuk-garuk kepala,
jawabnya: "Ya, wanpwe memang tidak tahu"
"Nah, jika kukatakan,
tentu akan kau sangka aku sengaja menonjolkan jasaku, biarlah kau tanyakan
kepada saudaraku saja" kata Tangkwik-siansing.
Tanpa menunggu perintah lagi
atau diminta oleh Pwe-giok, segera Tangkwik Ko menguraikan apa yang terjadi selama
beberapa hari ini.
Tentu saja Pwe-giok merasa
sangat berterimakasih, selain itu dia sangat menguatirkan keselamatan Lui-ji
yang berada dalam cengkeraman Ki Pi-ceng dan dijadikan sandera itu. Apalagi
anak dara itu diawasi oleh Leng-kui, sungguh sukar dibayangkan keadaannya
sekarang.
"Biar sekarang juga
kupergi membikin perhitungan dengan Ki Pi-ceng" teriak Pwe-giok dengan tak
sabar.
"Untuk apa
tergesa-gesa?" ujar Tangkwik-siansing. "Berangkat saja besok dan
tepat menurut waktu yang dijanjikan Ki Pi-ceng. Sekarang Bu-kang-siang-sin-kang
baru saja selesai kau latih, kukira paling tidak kau perlu istirahat satu
hari"
Pwe-giok berkerut kening dan
merasa serba susah, ucapnya: "Akan tetapi...."
"Yang pasti, sebelum
lewat batas waktu yang diberikan Ki Pi-ceng, Lui-ji pasti takkan mengalami
gangguan apapun" sela Tangkwik Ko. "Ucapan toako memang betul,
setelah digembleng lahir batin selama beberapa hari, kau perlu istirahat
dulu"
Meski dalam hati seperti
dibakar dan tidak sabar lagi, terpaksa Pwe-giok harus menurut nasihat kedua
kakek itu.
"Meong", mendadak
sesosok bayangan hitam melayang ke pangkuan Tangkwik Ko.
Kiranya si kucing hitam yang
memancing Lui-ji ke arah air terjun itu.
Pelahan Tangkwik Ko membelai
bulu kucing yang hitam mulus itu. Ucapnya dengan tersenyum "Kucingku
sayang, kemana kau sembunyi semalam?"
"Meong, meong!"
kucing itu bersuara pula beberapa kali sambil memandang sang majikan dengan
matanya yang kecil gilap, seperti anak yang manja dan mendekap dalam pangkuan
sang ibu.
oooooOoooooOooooo
Awan mendung memenuhi angkasa,
malam kelam, angin kencang. Lereng gunung yang memang sunyi itu bertambah suram
oleh gumpalan awan tebal yang menyelimuti seluruh lereng gunung, di tengah
kesuraman tersebar pula semacam suasana yang seram.
Angin menderu-deru dengan
keras menambah ngerinya suasana yang mencekam.
Di pinggang gunung sana ada
sepotong batu besar yang rata permukaannya, di bawah batu itu adalah sebuah
liang di bawah tanah, mulut liang itu tertutup rapat oleh batu besar itu
sehingga tidak kelihatan apapun dari luar.
Di dalam gua bawah tanah itu
menyala lampu minyak yang hijau suram.
Sungguh aneh sekali, mungkin
di dunia ini hanya lampu minyak ini saja yang mengeluarkan sinarnya yang
kehijau-hijauan.
Pada ujung dinding gua sana
ada sebuah dipan batu, di bawah cahaya lampu yang suram itu kelihatan seorang
anak dara terlentang di situ.
Siapa lagi dia kalau bukan Cu
Lui-ji.
Sejak kemarin malam Lui-ji
sudah dikurung di dalam gua ini.
Hanya satu hari yang singkat
saja, keadaan Lui-ji sudah banyak lebih kurus, pukulan batin yang dirasakannya
paling berat ialah dia merasa dirinya terjatuh dalam cengkeraman Leng-kui,
makhluk aneh yang tak dapat dibinasakan itu.
Bila Lui-ji terkenang kepada
wajah yang senantiasa mengulum senyum kaku itu, segera pula anak dara itu akan
merinding, berdiri bulu romanya.
Mendingan, sejak Leng-kui
mengurungnya di dalam gua ini, lalu Leng-kui sendiri tinggal pergi. Hal ini
jauh mengurangi rasa seram yang mencekam hati Lui-ji.
Pernah juga anak dara itu
memikirkan agar melarikan diri dari gua ini, tapi sampai sekarang belum lagi
ditemukan peluang itu, maklumlah, tipis sekali kemungkinan itu. Oleh karenanya,
tiba-tiba timbul keinginannya untuk mati.
Manusia yang menghadapi
keputus-asaan dan tidak tahan menghadapi pukulan batin yang dahsyat, seringkali
mencari pelepasan melalui jalan ini.
Lebih-lebih keadaan Cu Lui-ji
sekarang, selagi pikirannya merasa kusut dengan penyesalan yang tak terperikan,
sebab ia merasa tindak-tanduk sendiri terlalu gegabah, kurang hati-hati,
sepanjang jalan di ikuti Ki Pi-ceng ternyata tidak tahu sama sekali, ini sama
artinya dia yang memberi petunjuk jalan bagi musuh untuk membikin celaka Ji
Pwe-giok.
Lantas bagaimanakah keadaan Ji
pwe-giok sekarang?
Inilah tanda tanya besar yang
ingin diketahuinya, dia menduga keadaan Pwe-giok besar kemungkinan lebih banyak
celaka daripada selamatnya.
Maklumlah, lawannya adalah
tokoh-tokoh besar seperti Ki Pi-ceng, Ki Go-ceng, Ji Tok-ho dan sebagainya,
semuanya maha sakti dan sukar diukur kepandaiannya, apalagi ditambah tokoh
Bu-lim kosen yang lain seperti Thian-sip-sing dan sebagainya.
Bila terpikir semua ini,
Lui-ji lantas merasa sedih, hati serasa disayat-sayat, ia menyesal dan merasa
berdosa, sebab ia tidak sempat membantu apapun bagi Pwe-giok, sebaliknya malah
mendatangkan petaka baginya.
Lui-ji sangat menyesal karena
kecerobohannya, sehingga akibatnya terjadi keadaan yang celaka ini.
Akan tetapi apa gunanya kalau
cuma menyesal saja?
Banyak persoalan di dunia ini
mestinya dapat dicegah atau dihindarkan sebelum terjadi. Kalau menyesal setelah
terjadi, jelas takkan menyelesaikan persoalan apapun dan juga takkan menarik
kembali apa yang sudah kadung terjadi.
"Mati! Kau harus segera
mati! Sekalipun nanti Ji Pwe-giok ternyata selamat tanpa kurang sesuatu apapun
rasanya kaupun malu untuk bertemu lagi dengan dia."
Beginilah Lui-ji terus
berpikir dan menyesali dirinya sendiri, bahkan keberanian untuk hidup lebih
lama lagipun tidak sanggup.
Makin dipikir makin sedih,
makin sakit hatinya.
Ia berbaring sendirian di
dipan batu ini dan mulai menangis, dan tentu saja, melulu menangis pun takkan
memecahkan persoalan.
Selang sejenak, mendadak ia
berhenti menangis dan melompat bangun.
Sinar matanya tampak buram,
mukanya kurus pucat, dia seperti habis jatuh sakit keras.
Akhirnya dia mengambil
keputusan, ia bertekad akan mati.
Mendadak ia menundukkan kepala
dan menyeruduk dinding gua sekuatnya.
Dinding gua itu tidak
mengalami perataan oleh tenaga manusia sehingga menonjol dan mendekuk tidak
rata, yang menonjol jelas sangat tajam mirip gigi binatang.
Jika diseruduk secara keras
seperti Lui-ji sekarang, jelas kepalanya pasti akan pecah dan jiwa melayang.
Di luar dugaan, terjadilah
keajaiban!
"Bluk!"
Dengan tepat kepala Lui-ji
menumbuk dinding, tapi bukan dinding batu melainkan dinding sesuatu yang terasa
halus dingin, juga tidak terlalu keras, rasanya seperti menumbuk lapisan es
yang tipis.
Tentu saja Lui-ji terkejut,
pelahan ia angkat kepalanya.
Sialan!
Kembali ia melihat lagi seraut
wajah kaku pucat dan senyuman abadi itu. Nyata tadi serudukannya ini tepat
menyeruduk pada perut Leng-kui.
Leng-kui masih tetap dengan
dandanannya yang khas itu, baju hitam ketat, ikat pinggang merah darah, golok
melengkung terselip pada ikat pinggangnya, sekujur badan seolah-olah
memancarkan semacam hawa seram, di bawah cahaya lampu yang hijau redup
tampaknya menjadi lebih mengerikan.