Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali) Jilid 10 (Tamat)

Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali/Rajawali sakti Dan pasangan pendekar), Jilid 10 (Tamat) Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali). Watak Ciu Pek-thong memang keranjingan ilmu silat, meski tinggal terpencil di Pek-hoa-kok masin tetap berlatih setiap hari, tapi kepandaiannya sudah maha tinggi, dengan sendirinya sukar mencari pamer berlatih.
Anonim
Watak Ciu Pek-thong memang keranjingan ilmu silat, meski tinggal terpencil di Pek-hoa-kok masin tetap berlatih setiap hari, tapi kepandaiannya sudah maha tinggi, dengan sendirinya sukar mencari pamer berlatih.

Kini melihat Nyo Ko mau bertanding dengan dirinya, tentu saja ia menjadi gatal tangan dan ingin coba2 selekasnya, ia pikir kalau tertunda Iama2, jangan nanti Nyo Ko mencari alasan dan membatalkan niatnya, kan hilanglah kesempatan baik ini? Karena itu, segera ia mendahului membentak, menjotos ke depan, yang dimainkan adalah 72 jurus "Khong-beng-kun-hoat", ilmu pukulan sakti.

Cepat Nyo Ko angkat tangan kiri dan balas menghantam satu kali, mendadak ia merasa tenaga pukulan orang seperti ada juga seperti tidak ada, kalau dirinya menghantam benar2 terasa per~ cuma, sebaliknya kalau tidak jadi diterusnya, rasanya juga berbahaya. Diam2 ia terkejut dan menyadari benar2 ketemu tandingan berat yang belum pernah ditemukannya.

Segera ia memainkan ilmu pukulan yang dilatihnya secara giat selama belasan tahun di bawah damparan ombak samudera itu, ia balas menyerang dengan dahsyat.

Terdengar suara gemuruh, tiga kali ia melancarkan pukulan keras hingga pepohonan di sekitarnya sama tergetar, seketika terjadilah hujan kelopak bunga beraneka warna, Semula Nyo Ko rada kuatir kalau usia Ciu Pek-thong sudah lanjut dan tidak tahan tenaga pukulannya yang semakin dahsyat ini, maka setiap pukulannya selalu ditahan sedikit, tapi setelah beberapa kali bergebrak dan melihat tenaga dan ilmu pukulan lawan bahkan di atasnya, kalau dirinya meleng sedikit saja mungkin malah bisa dirobohkan oleh si Anak Tua Nakal, maka iapun tidak sungkan2 lagi dan melayaninya dengan sepenuh tenaga.

Ciu Pek-thong menjadi semakin bersemangat, teriaknya: "Kepandaian hebat, ilmu pukulan lihay! Wah, perkelahian ini benar2 menarik dan memuaskan!"

Lingkaran yang dicapai tenaga pukulan mereka semakin meluas, selangkah demi selangkah Kwe Yang terpaksa mundur terus, sedangkan si rajawali tetap berdiri di tempatnya dengan sayap setengah terpentang dan siap membela Nyo Ko bila perlu, rupanya burung itupun tahu lawan yang dihadapi Nyo Ko sekarang teramat lihay.

Melihat ilmu pukulan yang dilatihnya selama berpuluh tahun itu tidak dapat mengalahkan Nyo Ko, diam2 Ciu Pek-thong memuji kehebatan Iawannya, Mendadak ia ganti siasat, kini tangan kiri mengepal dan tangan kanan pakai telapak tangan, kedua tangan menyerang dengan cara yang berbeda, inilah ilmu silat ciptaan Ciu Pek-thong-sendiri yang pernah diajarkan kepada Kwe Cing dan Siao-liong-li itu, yakni dua tangan menyerang dengan cara yang berbeda,

Dengan demikian-seorang Lo-wan-tong seperti berubah menjadi dua orang, ia menggempur Nyo Ko dari kiri-kanan.

Dengan melulu sebelah tangannya melawan serangan Ciu Pek-tbong yang hebat tadi memangnya Nyo Ko merasa tak dapat menang, apalagi sekarang satu harus lawan dua serangan berlainan, tentu saja ia tambah kewalahan. Diam2 ia terkejut dan terpaksa lengan baju yang kosong itupun digunakan menyambut sebagian serangan orang tua itu.

Meski Kwe Yang tidak dapat memahami di mana letak kehebatan tipu serangan kedua orang itu, tapi dari sama kuat berubah menjadi Nyo Ko yang terdesak, betapapun ia dapat melihat keadilan itu, tentu saja ia terkejut dan heran pula, tiba2 teringat olehnya waktu ayahnya mengajarnya pernah menggunakan kedua tangan melayani dirinya dan adik lelakinya sekaligus dengan gerakan yang berbeda, tampaknya apa yang dimainkan Ciu Pek-thong sekarang adalah kepandaian yang sama seperti ayahnya itu.

Sudah tentu Kwe Yang tidak tahu bahwa ilmu silat aneh ini justeru Ciu Pek-thong yang mengajarkan kepada Kwe Cing, dia malah menyangka mungkin si anak Tua ini telah mencuri belajar kepandaian khas sang ayah. Karena itulah ia lantas berteriak2: "He, berhenti, berhenti! Tidak adil, tidak adil, Lo-wan tong! Toakoko, jangan mau lagi bertanding dengan dia!"

Ciu Pek thong melengak sambil melompat mundur, bentaknya: "Tidak adil bagai mana?"

"Seranganmu yang aneh ini tentu kau curi dari ayahku, sekarang kau gunakan berkelahi dengan toakokoku, huh, apa kau tidak malu?" omel Kwe Yang.

Ber-ulang2 mendengar Kwe Yang menyebut Nyo Ko sebagai "toakoko", Ciu Pek-thong menyangka anak dara itu benar2 adik perempuan Nyo Ko, tapi seketika ia tidak ingat siapakah ayah Nyo Ko.

"Ah, nona cilik sembarangan omong," katanya kemudian dengan tertawa, "ilmu aneh ini adalah hasil-renunganku di dalam gua dahulu, masakah kau tuduh kucari belajar dari ayahmu?"

"Baiklah, seumpama kau tidak mencuri belajar, kau mempunyai dua tangan, sedangkan Toakokoku lanya sebelah tangan, perkelahian sudah berlangsung sekian lama, apalagi yang dipertandingkan? Coba kalau Toakoko juga punya dua tangan, tentu sejak tadi sudah kalah."

Ciu Pek-thong melengak, katanya kemudian: "Ya, beralasan juga ucapanmu, tapi biarpun dia mempunyai dua tangan juga tak dapat sekaligus memainkan dua macam ilmu silat." Habis berkata ia lantas bergelak tertawa.

"Huh jelas kau tahu lengan Toakokoku takkan tumbuh lagi, makanya kau bicara seenaknya, jika kau benar2 laki2 sejati dan pahlawan tulen, cara bertanding ini harus dilakukan dengan adil. dengan demikian barulah dapat dibedakan benar2 siapa yang lebih unggul atau asor."

"Baik jika begitu ke dua tanganku akan memainkan semacam ilmu pukulan saja," kata Ciu Pek-thong.

"Hehe, masakah ada cara begitu? Kau benar2 tidak tahu malu," ejek Kwe Yang.

Ciu Pek-thong menjadi kurang senang, omeInya: "Habis apakah aku harus meniru dia dan membiarkan sebelah lenganku dikutungi perempuan,"

Kwe Yang melengak dan memandang sekejap ke arah Nyo Ko, pikimya: "Kiranya sungguh kejam dia!" Segera ia menjawab: "Tidak pertu lenganmu dibikin buntung, cukup asalkan sebelah tanganmu diikat pada pinggangmu, kalian bertanding lagi sama2 satu tangan, kan jadi adil bukan?"

Karena merasa cara bertanding yang diusulkan Kwe Yang ini, cukup menarik, pula yakin kepandaian sendiri cukup dikuasai dengan satu tangan maka tanpa tawar menawar lagi segera ia menyelipkan lengan kanan ke ikat pinggang, lalu berkata pada Nyo Ko: "Baiklah, kita mulai lagi, supaya kau kalah tanpa menyesal."

Nyo Ko diam2 saja selama Kwe Yang bicara dengan Ciu Pek-thong, dia tidak pantang orang menyebut lengannya buntung, tapi ia percaya pada dirinya sendiri dan merasa tidak lebih lemah daripada orang yang bertangan lengkap, maka demi nampak Ciu Pek-thong mengikat tangan sendiri untuk menghadapinya, jelas ini sikap meremehkan dirinya, segera ia berkata dengan tegas!

"Lo-wan-tong, caramu ini bukankah memandang rendah pada diriku? Kalau dengan lengan tunggal aku tidak mampu menandingi kau, biarlah nanti aku... aku..." menuruti wataknya ia hendak mengatakan "aku membunuh diri di Pek-hoa-kok ini", tapi mendadak ia ingat janjinya bertemu dengan Siao--liong-li sudah dekat waktunya, mana boleh diri-nya berpikiran pendek begini, maka ia tidak meneruskan ucapannya itu.

Kwe Yang sangat menyesal, maksudnya ingin membela Nyo Ko, tak tahunya malah menimbulkan suasana yang tidak mengenakkan ini, Cepat ia mendekati Nyo Ko dan berkata: "Toakoko, akulah yang salah..." lalu ia mendekati Ciu Pek-thong dan menarik tangannya yang terselip di ikat pinggang itu bahkan tali pinggangnya di betotnya hingga putus, lalu katanya: "Meski dengan satu tangan saja pasti toakokoku dapat menandingi kedua tanganmu, kalau tidak percaya boleh kau mencobanya."



Tanpa menunggu Ciu Pek-thong bicara lagi, sedikit melangkah ke samping, segera Nyo Ko mendahului menghantam.

Cepat Ciu Pek-tong membalas dengan tangan kiri, Meski tangan kanannya tak terikat lagi, tapi ia pikir takkan melayani Nyo Ko dengan dua tangan, maka tangan kanan tetap dijulurkan ke bawah tanpa digunakan. Walaupun begitu, karena tipu serangannya tetap lihay, maka Nyo Ko masih juga kewalahan.

Diam2 Nyo Ko penasaran, masakah dirinya yang lebih muda tak dapat mengalahkan seorang kakek yang usianya sudah dekat seabad, lalu kepandaian yang terlatih selama belasan tahun ini dikemanakan perginya?

Ia merasakan daya pukulan Ciu Pek-thong ini semakin keras dan kuat, sama sekali berbeda dengan "Khong-beng kun-hoat" yang mengutamakan lunak tadi. Tiba2 pikirannya tergerak, teringat olehnya "Kiu im cin-keng yang pernah dibacanya di dinding kuburan kuno di Cong-Iam-san dahulu itu, rasanya gerak serangan Cui Pek-thong sekarang ini adalah sebagian daripada ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka yang terukir itu, kalau tidak salah ia ingat namanya Hok-mo-kun-hoat (ilmu pukulan penakluk iblis).

Mendadak Nyo Ko membentak: "Apa artinya Hok mo kun hoatmu ini? Silakan kau menggunakan kedua tanganmu dan sambut aku punya Im -jian-soh-hun-kun" ini!"

Ciu Pek-thong melengak karena nama ilmu pukulannya sendiri dengan tepat dapat disebut oleh Nyo Ko, ia tambah melongo demi mendengar lawan hendak memainkan "lm-jian-soh-hun-kun" (ilmu pukulan pengikat sukma) segala.

Sejak kecil Ciu Pek-thong sudah "gila silat" ilmu silat dari golongan dan aliran manapun sudah hampir seluruhnya diketahuinya, tapi nama "lm jan-soh-hun-kun"" baru pertama kali ini didengarnya, Dilihatnya lengan tunggal Nyo Ke terpanggul di punggung, matanya memandang jauh, langkahnya mengambang dan bagian dada tidak terjaga, gayanya itu sangat berlawanan dengan teori ilmu silat manapun juga.

Segera Ciu Pek-thong melangkah maju satu tindak, tangan kiri berlagak siap menyergap, maksudnya ingin memancing reaksi lawan. Tapi Nyo Ko seperti tidak tabu saja dan tidak menggubrisnya.

"Awas!" seru Ciu Pek-thong terus menghantam ke perut Nyo Ko, ia kuatir melukai lawan, maka pukulan ini hanya memakai tiga bagian tenaga saja.

Tak terduga baru saja kepalan hampir mengenai tubuh Nyo Ko, mendadak terasa perutnya seperti bergetar, dada mendekuk terus mental keluar lagi. Karuan Ciu Pek-thong terkejut dan cepat melompat mundur, kalau orang mendekukkan perut untuk menghindari serangan adalah kejadian biasa, tapi menggunakan kulit daging dada untuk menyerang musuh, sungguh belum pernah terlihat dan terdengar.

Tentu saja Ciu Pek-thong ingin tahu, segera ia membentak: "Ilmu silat apa ini namanya?"

"lnilah jurus ke-13 dari Im-jian-soh-hun-ciang, namanya "Sim-keng-bak-tiau" (hati kaget daging kedutan)!"

Ciu Pek-thong menggumam mengulangi nama jurus itu: "Sim-keng bak-tiau? Tak pernah dengar? tak pernah dengar!"

"Sudah tentu kau tidak pernah dengar," ujar Nyo Ko, "soalnya Im-jian-soh-hun-ciang adalah 17 jurus ilmu pukulan ciptaanku sendiri."

Kiranya sejak di tinggal menghilang oleh Siao-liong-li, kemudian Nyo Ko bersama si rajawali sakti menggembleng diri di bawah darnparan ombak samudera yang dahsyat, beberapa tahun kemudian, kecuali Lwekangnya bertambah kuat rasanya tiada apa-2 lagi yang dapat dilatihnya, tapi rindunya kepada Siao~liong~Ii tak pernah pudar, bahkan semakin hari semakin menjadi sehingga tambah kurus dan kehilangan gairah hidup.

Suatu hari dia gerak badan bebas di tepi pantai, saking isengnya ia ayun tangan dan gerakkan kaki untuk melemaskan otot, mungkin tenaga dalamnya sudah mencapai tingkatan yang sempurna sehingga sekali hantam saja ia telah menghancurkan tempurung punggung seekor penyu raksasa, Dari sinilah ia mulai merenung dan akhirnya menciptakan Im-jian-soh-hun-ciang-hoat yang meliputi 17 jurus dan mengutamakan tenaga dalam yang kuat.

Bahwa Nyo Ko dapat berdiri dan menciptakan ilmu silat baru tidaklah perlu diherankan. SeIama hidupnya telah mendapat ajaran mahaguru ilmu silat berbagai aliran, seperti ilmu silat Coan cin~kau Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay sendiri serta Kiu-im-cin-keng yang sudah diapalkannya di luar kepala itu, dari Auyang Hong diperoleh ajaran Ha-mo-kang, ilmu weduk katak, Ang Jit-kong juga mengajarkan Pah-kau-pang hoat, Ui Yok-su menurunkan Giok-siau-kiam-boat dan Sian-ci-sin thong, kecuali It-yang-ci dari It-teng Taysu, hampir seluruh ilmu silat paling disegani di dunia ini telah dipelajari, maka tidaklah sulit baginya untuk meleburnya lalu menciptakan yang baru.

Hanya saja lengannya buntung sebelah, sebab itulah dia tidak mengutamakan tipu serangan melainkan terletak pada tenaganya, bahkan sengaja dimainkan secara berlawan daripada teori ilmu silat umumnya.

Ilmu pukulannya itu diberi nama "Im-jian~soh-im-ciang" dan selama ini belum pernah digunakan, baru sekarang dia keluarkan setelah bertemu dengan lawan maha tangguh seperti Ciu Pek-thong yang keranjingan ilmu silat ini.

Karuan Anak Tua Nakal ini sangat senang demi mendengar si Nyo Ko berhasil menciptakan ilmu pukulan sendiri, segera ia berseru gembira: "Aha, kebetulan, aku ingin belajar kenal dengan ilmu ciptaanmu itu," Habis berkata segera ia melangkah maju dan menyerang pula, yang digunakan tetap tangan kiri saja.

Nyo Ko juga tetap anggap tidak tahu saja, "brek", ia memukul ke atas, tapi tenaga pukulannya itu dapat menyebar ke bawah dalam lingkup yang cukup luas. Ciu Pek-thong merasa sukar untuk menghindar segera ia angkat tangan menangkis, "Plak", kedua tangan saling bentur, tanpa terasa Ciu Pek-thong tergeliat oleh getaran itu.

Kalau orang lain pasti sudah sesak napas dan roboh binasa oleh tenaga pukulan Nyo Ko yang dahsyat itu, tapi cepat Lo-wan-tong dapat mengatur pernapasannya, lalu bersorak memuji. "Bagus ! Apakah namanya jurus ini?"

"Namanya "Ki-jin-yu-thian" (si tolol menguatirkan runtuhnya langit )! " jawab Nyo Ko. "Dan awas, jurus berikutnya adalah " Bu-tiong-seng-yu" i tidak ada tapi meng-ada2 )!"

Ciu Pek-thong melengak sambil mengulang nama jurus itu, segera ia mengikik geii, "Bu~tiong-seng-yu", nama ini sungguh aneh dan jenaka, bisa saja bocah ini memberi nama jurus serangan ini,demikian pikirnya.

Segera ia meng-gosok2 kepalan dan menubruk maju lagi, Dilihatnya tangan Nyo Ko melambai ke bawah, sedikitpun tidak pasang kuda2 dan siap ber-tempur, tapi begitu serangan Ciu Pek-thong dilontarkan mendadak kaki dan tangan Nyo Ko bergerak serentak, telapak tangan kiri, lengan baju kanan, kedua kakinya dan juga gerak kepalanya, bahkan punggung dan perut, hampir semua tempat di sekujur badannya dapat digunakan untuk melukai musuh.



Meski sebelumnya Ciu Pek-thong sudah menduga lawannya pasti mempunyai jurus simpanan yang hebat, tapi tidak menduga bahwa sekujur badan lawan dapat dikerahkan untuk menyerang hanya sekejap saja belasan macam gaya serangan dilontarkan sekaligus.

Keruan Ciu Pek-thong kerepotan juga menghadapi serangan aneh itu, tangan kirinya yang tidak digunakan mau-tak-mau terpaksa diangkat untuk menangkis dan dengan sepenuh tenaga barulah serangan Nyo Ko dapat di patahkan.

"He, Ciu-loyacu, tampaknya dua tangan tidak cukup bagimu, paling baik kalau kau mempunyai satu tangan lagi!" seru Kwe Yang.

Sama sekali Ciu Pek-thong tidak marah, ia hanya mengomel: "Brengsek! Memangnya kau kira namaku si tangan tiga?"

Diam2 Nyo Ko juga kagum terhadap kelihayan Ciu Pek-thong yang dapat mematahkan setiap serangannya dengan baik, segera ia berseru pula: "Awas, jurus selanjutnya bernama "Do-ni-tay~sui (basah kuyup dan berlumpur)!"

Ciu Pek-thong dan Kwe Yang sama tertawa dan bersorak: "Haha, nama bagus!"

"Jangan memuji dulu, rasakan saja serangan ini!" seru Nyo Ko, lengan baju kanan terus bergerak enteng, sedangkan telapak tangan kiri lantas menyodok ke depan dengan kuat.

Tentu saja Ciu Pek-thong tidak berani ayal, segera iapun mengeluarkan Hok-mo-kun~hoat dengan tangan kanan dan tangan kiri menggunakan Khong-beng-kun yang enteng, jadinya keras lawan keras dan enteng lawan enteng, kedua orang sama2 membentak sekali, lalu sama2 mundur pula beberapa tindak.

Setelah mengadu pukulan lagi, kedua orang sama2 mengagumi pihak lawan, diam2 Nyo Ko merasa tidak mudah untuk mengalahkan si Tua Nakal ini, kalau mesti mengadu tenaga dalara, bukan mustahil akibatnya akan mati konyol bersama seperti halnya Ang Jit-kong dan Auyang Hong dahulu, kiranya juga tidak perlu sampai berakhir demikian.

Maka ia lantas menghentikan serangannya, dengan sikap rendah hati ia memberi hormat dao berkata: "Ciu-locianpwe, sungguh aku sangat kagum padamu dan terima mengaku kalah." Lalu ia berpaling dan berkata kepada Kwe Yang: "Adik cilik, Ciu-locianpwe jelas tidak terima undangan kita, marilah kita pergi saja."

"Nanti dulu!"" tiba2 Ciu Pek-thong mencegah malah. "Kau bilang linu pukulanmu ini meliputi 17 jurus, sedangkan kau baru mengeluarkan empat jurus, itu berarti masih ada 13 jurus yang belum kau mainkan, Mengapa sekarang kau mau pergi begini saja?"

"Selamanya kita tidak bermusuhan dan dendam apapun juga, buat apa kita mengadu jiwa? Biarlah Wanpvve mengaku kalah saja," kata Nyo Ko.

"Tidak, tidak bisa," seru Ciu Pek thong sambil goyang2 kedua tangannya. "Kau belum kalah, akupun tidak menang. Jika kau ingin keluar Pek-hoa-kok ini. kau harus memainkan ke-17 jurus ilmu pukulanmu secara lengkap."

Rupanya Ciu Pek-thong menjadi sangat terpikat oleh nama2 jurus serangan seperti "Sim-keng-bak-tiau", Ki jin-yu-thian", "Bu-tiong seng yu" dan "Do-ni tay-sui" segala, ia merasa namanya menarik dan permainannya juga aneh, biarpun orang biasa juga ingin tahu permainan selengkapnya, apalagi dasar pembawaan si Tua Nakal ini memang "gila silat", tentu saja ia lebih2 ingin tahu ilmu pukulan ciptaan Nyo Ko itu.

Tapi Nyo Ko sudah mempunyai perhitungan sendiri, ia sengaja jual mahal, jawabnya: "Hah, sungguh aneh, Engkau menolak undanganku, terpaksa kupergi saja dan habis perkara. Memangnya orang mengundang tamu malah hendak ditahan di sini?"..

Dengan sikap memelas Ciu Pek-thong berbalik memohon: "O, adik yang baik, betapapun sukar kubayangkan ke-13 jurus ilmu pukulanmu itu. Kumohon belas kasihanmu, sudilah kau menguraikan namanya padaku, sebagai imbalannya, kepandaian apa yang kau inginkan, tentu kuajarkan kepadamu"

Hati Nyo Ko tergerak, segera ia berkata: "Ku-kira tidak sulit jika kau ingin tahu lengkap ilmu pukulanku ini, Akupun tidak ingin minta belajar kepandaianmu sebagai imbalan cukup asalkan kau berjanji ikut pergi menemui Eng-koh."

"Biarpun kau potong kepalaku juga aku tidak mau menemuinya," jawab Ciu Pek-thong dengan serba susah.

"Jika begitu, kumohon diri saja," segera Nyi Ko hendak melangkah pergi pula.

Namun Ciu Pek-thong terus melompat maju mencegatnya, tangan bergerak, segera ia menghantar sambil berkata: "Adik yang baik, coba mainkan lagi jurus seranganmu selanjutnya!"

Nyo Ko menangkis serangan Lo-wan-tong itu, tapi yang digunakan adalah ilmu pukulan Coan-cin-pay. Beberapa kali Ciu Pek-thong menyerang pula dengan pukulan lain, namun Nyo Ko tetap dengan ilmu silat Coan-cin-pay dan apa yang per:nah dipelajari dari Kiu-im-cin-keng, dengan demikian serangan Ciu Pek-thong selalu gagal mencapai sasarannya.

Untuk mengalahkan Ciu Pek-thong memang juga tidak mudah bagi Nyo Ko, tapi kalau cuma mempertahankan diri saja, betapa Anak Tua itupun takbisa berbuat apa?, Nyo Ko tidak ambil pusing orang menyerangnya dengan cara2 memancing, ia justeru tidak memperlihatkan lagi jurus serangan baru dari Im-jian-soh-hun-ciang, hanya terkadang ia mengulangngi keempat jurus yang telah diperlihatkannya tadi dan hal ini tentu saja semakin mengitik-ngitik rasa ingin tahu si Anak Tua Nakal.

Sampai lama sekali Ciu Pek thong tetap tak berdaya memaksa Nyo Ko memenuhi harapannya betapapun usianya sudah lanjut, tenaga terbatas, lama2 iapun merasa lelah, ia tahu sukar lagi memancing dan memaksanya, mendadak ia melompat mundur dan berseru: "Sudahlah, sudahlah! Biarlah aku menyembah delapan kali padamu dan memanggil guru padamu, dengan begitu sukalah kau mengajari aku?"

Diam2 Nyo Ko merasa geli bahwa di dunia ini ada orang yang "gila silat" sedemikian rupa, cepat ia menjawab:"Ah, mana berani kuterima. Biar-lah "kuberitahu saja nama ke-13 jurus sisanya dari Im jian-soh-hun ciang itu."

Seketika Ciu Pek-thong berjingkrak kegirangan serunya; "Aha, sungguh adik yang baik!"

Tapi Kwe Yang lantas menyela: "Nanti dulu dia kan tidak mau ikut kita ke sana, maka jangan kau mengajarkan dia."

Namun Nyo Ko justeru sengaja hendak membikin si Anak Tua itu kepingin tahu, jika sudah tahu nama jurusnya, tentu akan semakin tertarik. Maka dengan tersenyum ia menjawab: "Kukira cuma mengetahui namanya saja tidaklah menjadi soal."

"Ya, hanya nama jurusnya saja, kan tidak soal?" cepat Ciu Pek-thong menukas.

Nyo Ko lantas duduk di bawah pohon, lalu berkata: "Dengarkan yang betul, ,Ciu-heng, sisa ke 13 jurus itu disebut: Bok-beng-ki-miau (bingung tidak paham), Yak-yu-soh-sit (seperti kehilangan sesuatu), To-heng-gik-si (tindak terbalik dan berbuat berlawanan), Keh-hoa-soh-yang (menggaruk gatal dari balik sepatu), Lik-put-ciong-sim (keinginan besar tenaga kurang), Bin-bu-jin-sik (muka pucat tanpa pcrasaan)"

Begitulah Kwe Yang sampai ter-pingkal2 geli mendengar nama2 yang aneh itu, sebaliknya Ciu Pek-thong mengikuti dengan penuh perhatian sambil menggumam dan mengulang nama2 jurus itu.



Ciu Pek-thong menjadi seperti orang linglung saking kesemsemnya pada nama ke-13 jurus itu, sampai lama sekali ia merenung, lalu berkata: "Coba, jurus "Bin-bu-jin-sik" itu cara bagaimana menggunakannya menghadapi musuh?"

"Jurus ini memang banyak perubahannya," tutur Nyo Ko. "Jurus ini intinya terletak pada milik muka yang ber-ubah2, sebentar gembira, lain saat gusar, mendadak sedih. tiba2 girang pula sehingga membuat perasaan musuh juga tidak tenteram dan teratasi, akibatnya kalau kita gembira musuh ikut gembira, kita sedih musuh juga sedih, dalam keadaan demikian musuhpun tunduk sama sekali di bawah perintah kita, inilah caranya mengalahkan musuh tanpa tenaga dan tanpa suara, lebih tinggi setingkat daripada cara mengatasi musuh dengan suara suitan dan lain sebagainya."

"Ah, agaknya jurus itu perubahan dari "Liap-sim-tay-hoat" ilmu pengaruhi pikiran, sejenis ilmu hipnotis) yang terdapat dalam Kiu-im-cin-keng."

"Benar," jawab Nyo Ko.

"Lantas bagaimana dengan jurus "To-heng-gik-si"?"

Mendadak Nyo Ko menjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas, lalu tubuhnya berputaran tangan menghantam, katanya: "lnilah Co-heng giksi yang juga banyak gerak perubahannya. ilmu ini bersumber dari ilmu silat Se- tok Auyang Hong tentunya"

Ciu Pek-thong mengangguk, "Betul" kata Nyo Ko setelah berbangkit kembali, semua ilmu pukulan ini masih banyak corak perobahannya, seringkali saling bertentangan dan sukar dijelaskan."

Ciu Pek-thong tetap tidak paham, tapi ia tidak berani tanya lagi, ia tahu biar pun ditanyai juga Nyo Ko takkan menerangkan.

Melihat Anak Toa Nakal itu garuk2 kepala dan tampaknya kelabakan ingin tahu, diam2 Kwe Yang merasa kasihan, ia mendekatinya dan berbisik padanya: "Ciu-loyacu, sebenarnya apa sebabnya engkau tidak mau menemui Eng koh? Eh, bagaimana kalau kita mencari suatu akal untuk memohon Toakoko mengajarkan kepandaiannya ini padamu?"

Cin Pek-thong menghela napas, katanya "Tentang Eng koh, memang akulah yang bersalah karena perbuatanku waktu masih muda, kalau kuceritakan rasanya tidak enak."

"Tidak apa2" ujar Kwe Yang. "Kalau sudah kau ceritakan tentu terasa lebih enak daripada selalu disimpan di dalam hati. Umpamanya aku juga pernah berbuat salah, tapi kalau ditanya ayah dan ibu, tentu aku bicara terus terang dan selesailah persoalannya kalau sudah diomeli ayah-ibu. Kalau tidak misalnya kita berdusta atas perbuatan sendiri, tentu rasanya tidak tenteram."

Melihat wajah si nona yang ke~kanak2an itu, Ciu Pek-thong memandang sekejap pula pada Nyo Ko, lalu berkata: "Baiklah, akan kuceritakan perbuatanku yang tidak senonoh di waktu muda itu, tapi jangan kau tertawakan diriku."

"Tidak, tak ada yang akan menertawai kau, anggaplah kau sedang berkisah mengenai diri orang lain, Nanti akupun akan bercerita kesalahan yang pernah kulakukan," habis berkata Kwe Yang lantas geser lebih mendekati si Tua Nakal dengan sikap yang akrab sekali.

"Kau juga pernah berbuat salah?" Pek-thong memandangi wajah yang halus dan cantik itu.

"Tentu saja, memangnya kau kira aku tak dapat berbuat salah?" ,

"Baiklah, coba kau ceritakan dulu sesuatu perbuatanmu itu."

"Hah, tidak cuma sekali saja, bahkan beberapa kali pernah ku berbuat salah," tutur Kwe Yang. "Misalnya pernah satu kali seorang perajurit penjaga benteng tertidur dalam tugasnya, ayah memerintahkan meringkus perajurit itu dan akan kami penggal kepala, aku merasa kasihan padanya dan tengah malam kubebaskan perajurit itu, Tentu saja ayah sangat marah, tapi aku mengaku terus terang dan dipukul ayah, tapi lantas habis perkara, dan masih banyak lagi kejadian lainnya"

Ciu Pek-thong menghela napas, katanya. "Permasalahan itu belum apa2 kalau dibandingkan perbuatanku ini-" - Lalu berceritalah dia hubungannya dengan Lao-kuihui alias Eng-koh sehingga mengakibatkan kemarahan Toan-Ongya dan meninggalkan tahtanya untuk menjadi Hwesio, sebab itulah ia merasa malu untuk bertemu muka dengan kedua orang itu.

Kwe Yang mendengarkan cerita itu dengan asyiknya, sampai Ciu Pek-thong habis berkisah dan wajahnya tampak merasa malu, lalu Kwe Yang bertanya. "Selain Lau-kuihui itu, Toan-hongya masih mempunyai beberapa orang selir lagi?"

"Kerajaan Tayli tidak besar, dengan sendirinya tidak mempunyai ratusan atau ribuan selir seperti raja Song kita, tapi puluhan selir kukira pasti ada," jawab Ciu Pek-thong.

"Nah, kalau dia mempunyai berpuluh orang selir, sedangkan kau seorang isteri saja tidak punya, sebagai sahabat sepantasnya dia hadiahkan lau kuihui padamu kan?" ujar Kwe Yang.

Nyo Ko mengangguk tanda setuju atas ucapan Kwe Yang itu, diam2 ia pikir jalan pikiran si nona yang tidak suka terikat oleh adat kebiasaan umum itu sangat cocok dengan seleranya.

Ciu Pek-thong lantas menjawab "Waktu itu Toan-hongya juga berucap begitu, tapi Lau-kuihui adalah selir kesayangannya, untuk ini dia sampai meninggalkan tahta dan rela menjadi Hwesio, suatu tanda perbuatanku itu sesungguhnya sangat berdosa padanya."

"Keliru kau" mendadak Nyo Ko menyela. "sebabnya Toan-Ongya menjadi Hwesio adalah karena dia merasa bersalah padamu dan bukan kau yang bersalah padanya, masakah kau belum tahu persoalan ini?"

"Aneh, dia berbuat salah apa padaku?" tanya Ciu Pek-thong ter-heran2.

"Soalnya ada orang mencelakai anakmu dan dia sengaja tidak mau menolongnya sehingga bocah itu akhirnya meninggal" tutur Nyo Ko.

Selama berpuluh tahun ini Ciu Pek-thong tidak tahu bahwa hubungan gelapnya dengan Eng~ koh telah menghasilkan seorang anak laki2, maka ia tambah heran mendengar ucapan Nyo Ko, cepat ia menegas: "Anakku apa maksudmu"

"Akupun tidak tahu seluk-beluknya, hanya kudengar dari It-teng Taysu," jawab Nyo Ko. Lalu iapun menguraikan kembali apa yang didengarkan dari It-teng di tepi Hek liong-tam itu."

Mendadak mengetahui dirinya pernah mempunyai seorang anak laki2, seketika kepala Ciu Pek-thong merasa seperti disamber geledek, ia melenggong kaget hingga lama sekali, hatinya sebentar sedih sebentar girang, teringat kepala nasib Eng-koh yang malang dan menderita selama puluhan tahun ini, ia menjadi tambah menyesal dan merasa kasihan padanya.

Melihat keadaan Ciu Pek-thong itu, diam2 Nyo Ko merasa si Tua Nakal ini sesungguhnya juga seorang yang berperasaan dan dirinya kenapa meski sayang menjelaskan 17 jurus Im~jian~soh-hun-ciang itu.

Segera ia berkata: "Ciu-locianpwe, baiklah ku perlihatkan secara lengkap ilmu pukulan ini, kalau ada kekurangannya masih diharapkan petunjukmu." Habis ini ia memainkan ilmu pukulan ciptaannya sambil mulut mengucapkan nama2 jurus yang bersangkutan.



Ciu Pek-thong paham isi Kiu-im-cin-keng, maka uraian Nyo Ko itu dengan mudah saja dapat di terima dan dimengerti dengan baik, hanya dua-tiga jurus yang tetap sukar dipahami letak intisarinya. meski sudah diulangi dan dijelaskan lagi oleh Nyo Ko, namun Ciu Pek-thong tetap tidak paham.

Rupanya ilmu pukulan itu hasil ciptaan Nyo Ko setelah berpisah dengan Siao-liong-li sehingga setiap jurus itu se-akan2 menggambarkan kisah cintanya. Dengan menghela napas ia lantas berkata: "Ciu~locianpwe. 15 tahun yang lalu isteriku berpisah dengan aku, karena rindu timbul ilham dan terciptalah jurus ilmu pukulan ini. Locianpwe sendiri tidak kenal apa artinya sedih dan duka, engkau senantiasa riang gembira, dengan sendirinya engkau tidak dapat mengerti apa rasanya orang yang sedih dan duka."

"Ah, isterimu mengapa berpisah dengan kau??" tanya Ciu Pek-thong. "Dia sangat cantik, hatinya juga baik, jika kau cinta dan merindukan dia adalah pantas."

Nyo Ko tidak ingin mengungkat tentang kecerobohan Kwe Hu yang melukai Siao-liong-li dengan jarum berbisa itu, maka ia cuma sekedarnya katakan isterinya keracunan dan dibawa pergi Lam-hay-sin-ni dan baru dapat sehat lagi 16 tahun kemudian"

Habis itu ia lantas menceritakan rasa rindu sendiri dan berdoa siang dan malam agar Siao-liong-Ii dapat pulang dengan selamat, Akhirnya ia menambahkan "Kuharap dapat bertemu sekali lagi dengan dia, untuk itu biarpun tubuhku ini harus hancur lebur juga aku rela."

Sebegitu jauh Kwe Yang tidak tahu rasa rindu Nyo Ko kepada isterinya ternyata begini mendalam, ia menjadi terharu dan mencucurkao air mata, ia pegang tangan Nyo Ko dan berkata dengan suara lembut:

"Somoga Thian memberkahi dan akhirnya, kalian dapat berjumpa dan berkumpul kembali."

Sejak berpisah dengan Siao-liong-li, untuk pertama kalinya ini Nyo Ko mendengar ucapan orang yang simpatik dan tulus, ia merasa sangat berterima kasih dan tak pernah melupakan selama hidup ini, ia lantas berbangkit sambil menghela napas, ia memberi hormat kepada Ciu Pek-thong dan berkata:

"Sekarang kumohon diri saja, Ciu-locianpwe!" Lalu ia ajak Kwe Yang dan melangkah pergi.

Setelah belasan langkah, Kwe Yang menoleh dan berseru kepada si Tua Nakal: "Ciu-locianpwe, Toakokoku sedemikian rindu kepada isterinya, Eng koh juga sangat merindukan engkau, tapi engkau tetap tidak mau menemui Eng-koh tega benar kau ini?"

Ciu Pek-thong terkesiap, air mukanya berubah hebat.

Nyo Ko lantas membisiki Kwe Yang: "Adik cilik, jangan menyinggung lagi, setiap orang mempunyai cita2 masing2, tiada gunanya banyak bicara."

Begitulah mereka lantas melangkah ke arah datangnya tadi,

"Toakoko," tiba2 Kwe Yang berkata pula, "jika kutanya tentang isterimu, apakah kau akan berduka lagi?"

"Tidak," jawab Nyo Ko, "Toh beberapa bulan lagi dapatlah kuberjumpa dengan dia."

"Cara bagaimana engkau berkenalan dengan beliau?" tanya Kwe Yang.

Nyo Ko lantas bercerita kisah hidupnya sejak kecil sebatangkara, lalu diantar Kwe Cing ke Coan-cin~pay untuk belajar sjlat, di sana dianiaya sesama saudara seperguruan sehingga minggat dan masuk ke kuburan kuno, di sanalah dia berkumpul dengan Siao liong-li, lama2 timbul rasa cinta antara mereka dan setelah mengalami macam2 suka-duka akhirnya terikat menjadi suami isteri.

Kwe Yang mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian, diam2 ia terharu terhadap cinta murni Nyo Ko yang suci dan mendalami itu, akhirnya ia berkata pula. "Semoga Thian memberkahi pertemuan kembali kalian berdua dengan selamat!"

"Terima kasih, adik cilik, akan kuingat selalu kebaikan hatimu ini, kalau sudah bertemu dengan isteriku kelak tentu juga akan kuberitahukan tentang dirimu," ujar Nyo Ko.

"Setiap hari ulang tahunku, ibu dan aku suka bersembahyang dan berdoa, ibu menyuruhku menyebut tiga buah nazar, tapi setelah kupikirkan hingga lama, tak pernah kutahu nazar apa yang harus kusebutkan. Tapi pada hari ulang tahun yang akan datang sudah kusiapkan nazarku, akan ku katakan harapanku semoga Toakoko berjumpa dan hidup bahagia dengan isterinya yang cantik."

"Lalu apa kedua nazarmu yang lain?" tanya Nyo Ko,

Kwe Yang tersenyum, katanya: "Takkan ku katakan padamu."

Pada saat itulah, tiba2 dibelakang sana ada orang ber-teriak2-, "Hai, adik Nyo, tunggu! Nyo Ko, tunggu!" Dari suaranya dapat dikenali adalah suara Ciu Pek-thong.

Nyo Ko sangat girang, cepat ia berpaling, benar saja dilihatnya Ciu Pek-thong sedang berlari datang secepat terbang sambil berseru: "Adik Nyo, sudah kupikirkan dengan baik, kuharap engkau lekas mambawaku menemui Eng-koh!"

"Nah, memang seharusnya begitu," ujar Kwe Yang, "Kau tahu betapa orang merindukan dirimu."

"Ya, setelah kalian berangkat, kupikirkan ucapan adik Nyo tadi dan semakin kupikir semakin tidak enak rasa hatiku," tutur Pek-thong. "Kurasa kalau aku tidak menemuinya, maka selama hidupku ini pasti tak dapat tidur nyenyak, soalnya aku ingin tanya sesuatu padanya."

Nyo Ko dan Kwe Yang tidak tanya soal apa yang hendak ditanyakan si Tua Nakal itu kepada Eng-koh, yang jelas perjalanan mereka ini ternyata tidak sia2, maka mereka sangat gembira.

Kalau menuruti watak Ciu Pek-thong yang tidak sabar, seketika juga ingin bertemu dengan Eng-koh, namun malam sudah tiba, Kwe Yang merasa lelah dan lapar serta kantuk pula, Maka tiga orang dan satu rajawali lantas bermalam dibawah pohon. Esoknya pagi2 mereka sudah melanjutkan perjalanan, sebelum lohor mereka sudah sampai di tepi Hek-liong-tam.

Melihat Nyo Ko benar2 dapat mengundang datang Ciu Pek-thong, sungguh girang Eng-koh tak terlukiskan, hatinya ber-debar2 dan mulut melongo, seketika tak dapat mengucapkan sekatapun.

Ciu Pek-thong mendekati Eng-koh, dengan suara keras ia bertanya: "Eng-koh, anak kita itu punya satu atau dua pusar kepala?"

Eng-koh melengak, sama sekali tak terduga olehnya bahwa kekasihnya yang terpisah sejak muda dan kini dapat berjumpa kembali setelah sama2 tua, tapi pertanyaan yang diucapkan per-tama2 justeru adalah urusan yang tidak penting, yakni tentang pusar kepala segala, Tapi ia lantas menjawab: "Dua pusar kepalanya."

"Hahaha, jadi sama seperti aku, sungguh anak yang pintar," seru Ciu Pek-thong kegirangan. Tapi ia lantas menghela napas dan menambahkan: "Tapi, tapi sayang sudah mati, sayang sudah mati!"

Rasa suka-duka Eng-koh tak tertahan Iagi, segera ia menangis keras2.

"Jangan menangis, jangan menangis!" demikian Pek-thong menghiburnya sambil menggabloki punggungnya dengan keras. Lalu katanya kepada It-teng: "Toan-hongya, kupikat isterimu, tapi kaupun tak mau menolong jiwa anakku, jadi kita anggap saja seri, urusan dimasa lampau tidak perlu di-ungkap lagi."

It-teng menuding Cu-in yang menggeletak di tanah itu dan berkata: "lnilah pembunuh anakmu itu, sekali hantam boleh kau binasakan dia!"

Pek-thong memandang sekejap ke arah Cu-in, lalu berkata: "Kau saja yang turun tangan, Eng-koh!"

Sekejap Eng-koh memandang Cu-in, lalu berkata dengan lirih: "Jika bukan lantaran dia, selama hidup ini mungkin aku tak dapat berjumpa pula dengan kau, apalagi orang mati tak dapat dihidupkan kembali, biarlah kita merayakan pertemuan kita ini dan melupakan dendam masa lalu saja,"



"Betul juga ucapanmu, baiklah kita mengampuni dia," ujar Pek-thong.

Keadaan Cu-in sangat parah, dia bertahan dengan sisa tenaganya dengan harapan akan mendapat pengampunan dari Eng-kob, kini mendengar sendiri Ciu Pek-thong dan Eng-koh bersedia mengampuni dosanya itu, hatinya sangat terhibur, katanya dengan lemah kepada It-teng:

"Banyak terima kasih atas penyempurnaan Suhu!" Lalu iapun mengucapkan terima kasih pada Nyo Ko, habisi itu ia lantas menutup mata untuk selamanya.

It-teng menunduk dan membacakan doa bagi kepergian Cu-in, habis itu bersama Nyo Ko dan Kwe Yang mereka mengubur Cu in di situ, Memandangi kuburan Cu-in itu, Nyo Ko menjadi terharu, teringat olehnya ketika dia dan Siao-liong li baru saja menikah dan memergoki Cu-in yang kumat di puncak gunung bersalju itu, tak tersangka tokoh yang termashur dengan telapak tangan besi itu kini sudah kembali ke asalnya.

Eng-koh dan Ciu Pek-thong saling pandang dengan penuh rasa haru, banyak sekali ingin mereka bicarakan, tapi entah cara bagaimana harus mulai. Kemudian Ehg-koh mengeluarkan kedua ekor rase kecil itu, katanya: "Nyo-kongcu, budi pertolonganmu sukar kubalas, kedua ekor binatang ini bolehlah kau ambil saja."

Tapi Nyo Ko hanya menerima seekor saja, katanya: "Cukup seekor saja dan terima kasih!"

Tiba2 It-teng berkata: "Nyo-kongcu, boleh kau bawa kedua ekor rase itu, tidak perlu kau membunuhnya, cukup membelih pahanya dan ambil darahnya secangkir kecil setiap hari, kukira luka kawanmu itu dengan cepat dapat disembuhkan."

Nyo Ko dan Eng-koh sangat girang, kata mereka: "Kalau jiwa rase dapat diselamatkan adalah paling baik."

Segera Nyo Ko terima kedua ekor rase itu dan mohon diri pada It-teng, Eng-koh dan Ciu Pek-thong.

"Sehabis ambil darahnya, lepaskan saja disana, tentu kedua rase itu akan pulang sendiri ke sini," pesan Eng-koh.

Mendadak Ciu Pek-thong menyela: "Eh, Toan-hongya dan Eng-koh, silakan kalian tinggal beberapa hari di Pek-hoa-kok sana. Adik Nyo, setelah menyembuhkan luka kawanmu, silakan juga bersama adik kecil itu bermain ke tempatku."

Nyo Ko menerima undangan itu dengan baik, ia berjanji kalau urusannya sudah beres tentu akan berkunjung ke sana. Habis itu ia lantas melangkah pergi bersama Kwe Yang, ia merasa sangat gembira karena sekaligus dapat membuat Ciu Pek-thong dan Eng-koh berkumpul kembali sehingga Cu-in juga dapat mati dengan tenteram, pula dengan mudah mendapatkan kedua ekor rase kecil itu.

Setiba kembali di Ban-siu-san-ceng, kelima saudara Su sangat girang melihat Nyo Ko berhasil membawa pulang kedua ekor rase yang diharapkan itu, ber-ulang2 mereka mengucapkan terima kasih kepada Nyo Ko. Segera mereka mulai mengambil darah rase dan diminumkan kepada Su Siok-kang.

Malamnya diadakan perjamuan besar dan Nyo Ko diangkat sebagai tamu kehormatan utama. Ma-cam2 santapan lezat, terutama yang sukar diperoleh dan biasanya dianggap santapan yang mewah di restoran jaman kini, seperti bibir singa, paha harimau, telapak kaki beruang dan belalai gajah, biasanya sejenis makanan seperti itu saja sukar diperoleh, sekarang sekaligus ada belasan macam yang dihidangkan.

Su-si-hengte dan Gerombolan Setan Se-san tidak mengutarakan terima kasih mereka lagi kepadi Nyo Ko, yang pasti di dalam hati mereka sudah menganggap Nyo Ko sebagai tuan penolong mereka, kelak kalau ada urusan dan memerlukan tenaga mereka, biarpun di suruh terjun ke jurang jugi mereka takkan menolak.

Di tengah perjamuan yang meriah itu, semua asyik bicara tentang pengalaman masing2 serta kejadian2 menarik di dunia Kangouw, Hanya Kwe Yang saja yang duduk termenung tanpa bicara, padahal anak dara ini biasanya sangat gembira ria, rupanya ia sedang bersedih mengingat dalam waktu tidak lama lagi harus berpisah dengan Nyo Ko.

Tidak lama kemudian, tiba2 di sebelah sana berkumandang suara melengking seekor kera, menyusul suara kera yang lain juga lantas membalas sehingga ributlah suasana. Air muka Su-si-bengte tampak berubah. Su Beng-ciat lantas minta maaf lan mohon diri sebentar untuk memeriksa keadaan di sana.

Semua orang tahu tentu di luar hutan sana ada musuh yang datang, Toa-thau-kui berkata:

"!Paling baik yang datang itu adalah pangeran Hotu, biar kita labrak dia untuk membalas sakit hati Su-samko"

Belum habis ucapannya, tiba2 terdengar Su Beng-ciat membentak di luar sana: "Siapa itu malam2 berkunjung ke sini? Silakan berhenti!"

Lalu suara seorang perempuan menjawab:

"lAdakah seorang cebol berkepala besar di sini? ingin kutanya dia kemana dia membawa adik perempuanku?"

Kejut dan girang Kwe Yang mendengar suara Kwe Hu itu, ia coba melirik Nyo Ko dan melihat sorot matanya berkedip aneh, diam2 ia heran, seketika ia tidak jadi berseru memanggil "Cici"

"Hei, kau tahu aturan tidak, mengapa tidak menjawab pertanyaanku, sebaliknya kau terobosan sesukamu?" demikian terdengar Su Beng-ciat mendamperat.

Segera terdengar Kwe Hu membentak: "Menyingkir!" - Menyusul lantas terdengar suara nyaring beradunya senjata, agaknya nona itu hendak menerjang masuk, tapi dirintangi Beng-ciat dan kedua orang itu lantas bergebrak.

Sejak berpisah dengan Kwe Hu di Coat-ceng-kok dahulu, sudah belasan tahun Nyo Ko tidak pernah berjumpa dengan nona itu, kini mendadak mendengar suaranya, seketika macam2 perasaan berkecamuk dalam benaknya. Didengarnya suara benturan senjata sudah mulai menjauh, agaknya Su Beng-ciat berhasil memancing Kwe Hu ke tempat lain.

"Yang dicarinya adalah diriku, biar kutemui dia," seru Toa-thau-kui sambil berlari keluar Menyusul Su Ki-kiang dan Hong It-ong juga ikut ke sana.

Tiba2 Kwe Yang berbangkit dan berkata kepada Nyo Ko: "Toakoko, ciciku datang mencari diri-ku, kini aku harus pulang."

Nyo Ko terkejut: "Jadi dia. . .. . dia itu cicimu?"

"Ya, jawab Kwe Yang, "Kuingin melihat Sin-tiau-tayhiap, paman Toa~thau kui lantas membawaku ke sini menemuimu, Aku... aku sangat senang..." belum habis ucapannya mendadak kepalanya menunduk terus berlari pergi.

Sekilas Nyo Ko melihat dua tetes air mata meleleh di pipi anak dara itu, tiba2 terpikir olehnya, "Dia ingin menemui aku, tentu adaurusan penting, mengapa sekarang pergi begitu saja tanpa bicara apa2?" - Segera ia menyusul ke sana dan berseru: "Adik cilik, jika kau ada kesulitan, boleh katakan saja padaku."

Kwe Yang tersenyum dan menjawab: "Ah, tidak, aku tiada kesulitan apa2."

Di bawah cahaya bulan muda yang remang2 Nyo Ko dapat melihat wajah si nona yang putih bersih itu masih basah air mata, dengan suara lembut ia lantas berkata pula: "Kiranya kau adalah anak dara Kwe Tayhiap dan Kwe-hujin, apakah Tacimu nakal padamu?"

Menurut perkiraan Nyo Ko, tidak mungkin puteri Kwe- tayhiap yang termashur itu mengalami kesulitan, besar kemungkinan Kwe Hu yang suka se-wenang2 itu telah menghina atau memukuli adik perempuan nya ini.

Ternyata Kwe Yang menjawab dengan tertawa: "Sekalipun Cici nakal padaku juga aku tidak takut padanya, kalau dia mengomel aku lantas adu muIut dengan dia, betapapun dia juga tak berani memukuli aku."

""Habis untuk apa kau mencari aku? Silakan bicara terus terang saja."

"Di tempat penyeberangan sana kudengar orang bercerita tentang tindakanmu yang baik budi dan yang sangat terpuji itu, hatiku menjadi sangat kagum dan sangat ingin melihat wajahmu, selain itu tiada sesuatu maksudku yang lain lagi. Dalam perjamuan tadi aku teringat kepada pameo yang mengatakan:

"Tiada pesta yang tidak bubar di dunia ini. Hatiku menjadi sedih, siapa tahu pesta tadi Selum bubar dan aku. . . . .aku harus segera pergi," sampai di sini suara Kvve Yang menjadi rada tersendat.

Tergetar hati Nyo Ko, teringat olehnya waktu anak dara ini dilahirkan, beberapa saat kemudian dirinya lantas memondongnya dan membawanya.

Ketika dikejar oleh Kim-lun Hoat-ong, malah kemudian terjadi perebutan beberapa kali antara dirinya dengan Kim-lun Hoat-ong dan Li Bok chi, juga pernah menangkap induk harimau tutul untuk dijadikan mak inangnya yang menyusuinya, akhirnya dibawanya lagi ke kuburan kuno itu dan dipelihara sekian lamanya di sana. Tak tersangka sekarang dapat bertemu pula di sini dan jabang bayi dahulu itu kini telah berubah menjadi gadis remaja yang molek.

Tanpa terasa Nyo Ko berdiri ter-mangu2 mengenangkan kejadian di masa lampau di bawah sinar bulan yang remang2 itu.

Selang sejenak, Kwe Yang berkata puIa: "Toa-koko, aku harus pergi sekarang, Aku hanya ingin minta tolong sesuatu padamu."

"Katakan saja," ujar Nyo Ko.

"Bilakah engkau akan bertemu dengan isterimu?"

"Antara musim dingin tahun ini,"

"Setelah engkau berjumpa dengan isterimu, sukalah engkau mengirim kabar padaku di Siang-yang agar aku ikut bergirang bagimu."

Nyo Ko sangat berterima kasth, ia pikir meski anak dara ini dilahirkan dari ibu kandung yang sama dengan Kwe Hu, tapi tabiat keduanya ternyata sangat berbeda, Segera ia bertanya pula: "Apakah ayah-ibumu sehat2 semua?"

"Ayah dan ibu semua baik2 saja." jawab Kwe Yang. Tiba2 timbul suatu pikirannya, cepat ia memyambung pula: "Toakoko, setelah engkau berjumpa dengan isterimu, maukah kalian datang ke Siangyang dan menjadi tamu kami? Ayah-ibu dan kalian suami-isteri sama2 kesatria besar jaman ini, tentu kalian akan sama cocok satu sama lain."

"Hal ini biarlah kita lihat dulu keadaan nanti," jawab Nyo Ko, "Eh, adik cilik, tentang pertemuan kita ini sebaiknya jangan kau ceritakan pada Cicimu, kukira juga tidak perlu diceritakan pada ayah-ibumu."

"Sebab apa?" Kwe Yang menjadi heran, Tiba2 teringat olehnya ketika orang2 sama mengobrol di kota tambangan itu, tampaknya Cici kurang senang dengan Sin-tiau-hiap yang di-sebut2 itu, bisa jadi diantara mereka pernah terjadi sengketa apa2. Maka ia lantas menambahkan: "Baiklah, takkan kuceritakan pada mereka."

Dengan mata tak berkedip Nyo Ko memandangi anak dara itu, dalam benaknya terbayang wajah kecil si orok yang pernah dipondongnya 15 tahun yang lalu itu. Karena dipandangi sedemikian rupa, Kwe Yang menjadi rada malu dan menunduk.

Timbul pikiran Nyo Ko ingin membela dan melindungi anak dara di depannya sekarang ini sama halnya seperti perlindungannya kepada jabang bayi yang lemah pada masa belasan tahun yang lalu itu. Segera ia berkata pula: "Siaumoaycu, (adik perempuan cilik), ayah-ibumu adalah pendekar besar masa kini dan dihormati siapapun juga, jika kau ada kesulitan kiranya juga tidak perlu bantuanku Namun kejadian di dunia ini seringkali ber-ubah2, suka duka sukar diduga. Andaikah kau mempunyai sesuatu persoalan yang tidak ingin dikatakan kepada ayah-ibumu dan perlu bala bantuan, maka bolehlah kau mengirim berita padaku, aku berjanji akan membereskannya bagimu dengan se-baik2nya."-

Kwe Yang tertawa manis, katanya: "Engkau sungguh sangat baik padaku, Cici sering pamer di depan umum bahwa dia adalah puteri Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin, terkadang aku merasa risi dan kikuk bagi ucapannya itu, Betapapun termasyhurnya ayah dan ibu kan tidak pantas kalau hal itu selalu ditonjolkan. Tapi nanti kalau kukatakan kepada orang bahwa Sin~tiau- tayhiap adalah Toakokoku, maka Cici pasti takdapat menirukannya."



Meski ucapan Kwe Yang ini setengah bergurau, namun jelas tampak rasa bangganya karena dapat berkenalan dengan Nyo Ko.

"Ah, cicimu mana menghargai orang macam diriku ini?" ujar Nyo Ko dengan tersenyum. Setelah merandek sejenak sambil meng-hitung2 dengan menekuk jari, lalu ia berkata pula: "Tahun ini kau sudah berusia 15, ya, bulan sepuluh, tanggal 22, 23, 24 ya, kau lahir pada tanggal 24 bulan sepuluh, betul tidak?"

Kwe Yang ter-heran2, serunya: "He! Memang benar, darimana kau tahu?"

Nyo Ko tersenyum dan tidak menjawab, katanya pula: "Kau dilahirkan di Siangyang, makanya kau diberi nama Yang, betul tidak?"

"He, jadi kau tahu semuanya, tadi pura2 tidak kenal padaku," seru Kwe Yang, "Engkau pasti sahabat baik ayahku." .

Seperti melamun, Nyo Ko tidak menjawabnya, tapi berkata pula dengan menengadah: "Pada hari itu, pertarungan hebat melawan Kim-lun Hoat-ong, Liong-ji memondong anak itu..."

Kwe Yang tidak paham apa yang digumamkan Nyo Ko itu, sayup2 ia dengar suara benturan senjata di sebelah sana, ia menjadi kuatir kalau cicinya dilukai Su Beng-ciat, segera ia berkata: "Toakoko, aku benar2 akan pergi sekarang."

Nyo Ko masih menggumam: "Tanggal 24 bulan sepuluh, sungguh cepat sekali, 16 tahun sudah hampir lalu." Mendadak ia tersadar karena teguran Kwe Yang tadi dan berkata: "Ah, kau hendak pergi... Ehm, pada tanggal 24 bulan sepuluh nanti, katamu akan sembayang dan berdoa untuk mengemukakan tiga buah nazar pada Thian."

Rupanya ia jadi teringat pada ucapan Kwe Yang tadi bahwa waktu sembayang dan berdoa, anak dara itu akan memohon Thian memberi berkah supaya dia lekas bertemu kembali dengan Siao-Iiong-li.

Tiba2 Kwe Yang berkata pula: "Eh, Toakoko, jika kelak akupun mohon tiga soal padamu, apakah engkau dapat menyanggupi?"

"Asalkan dapat kukerjakan sekuat tenagaku tentu akan kuterima," jawab Nyo Ko tegas, Lalu dari sakunya ia mengeluarkan sebuah kotak kecil, dikeluarkannya tiga buah jarum lembut yang biasa digunakan Siao-liong-li sebagai senjata rahasia itu dan diberikannya kepada Kwe Yang, katanya "Jika kulihat jarum ini nanti, sama saja seperti kulihat wajahmu. Kalau kau tak dapat menemui aku sendiri, boleh kau suruh orang membawa jarum ini untuk menyampaikan keinginanmu padaku dan tentu akan kulaksanakannya bagimu."

"Terima kasib," ucapan Kwe Yang sambil menerima jarum2 itu, lalu berkata puIa: "Sekarang akan kukemukakan keinginanku yang pertama." - segera ia mengembalikan sebuah jarum itu kepada "Nyo Ko dan menambahkan "Kuminta engkau menanggalkan kedokmu agar aku dapat melihat wajah aslimu "

"Soal ini terlalu kecil dan mudah dilaksanakan karena aku tidak ingin dikenali kawan lama, maka sengaja memakai kedok," kata Nyo Ko dengan tertawa, "Tapi caramu sembarangan menggunakan sebuah jarum emas ini, apakah tidak sayang?"

"Jika muka aslimu saja tidak kuketahui mana dapat dikatakan kukenal kau? ini sekali2 bukan soal kecil," ujar Kwe Yang.

Harus diketahui bahwa kaum pendekar jaman dahulu paling taat pada janji yang pernah diucapkan, karena sudah menyanggupi, dengan menyerahkan jarum itu sekalipun Kwe Yang minta Nyo Ko berbuat sesuatu yang maha sulit juga akan dilakukannya tanpa pikir, Karena itu juga iapun tak dapat menolak permintaan si nona yang pertama ini, "Baiklah," katanya sambil menanggalkan kedoknya.

Seketika pandangan Kwe Yang terbeliak, di depannya muncul seraut wajah yang cakap dengan alis panjang tebal dan mata besar bercahaya cuma sudah lama memakainya, air mukanya agak pucat dan ke~kurus2an. "Ahhh!" terasa Kwe Yang berteriak.

"Kenapa?" tanya Nyo Ko.

Muka Kwe Yang menjadi meraj, "O, tidak apa2," jawabnya, Tapi dalam hatinya berkata: "Sungguh tidak nyana engkau begini cakap."

Setelah tenangkan diri, kembali Kwe Yang menyerahkan pula jarum kedua dan berkata: "Sekarang ini kukatakan cita2ku yang kedua."

Nyo Ko tersenyum dan berkata: "Katakau saja beberapa tahun lagi juga belum terlambat. Anak gadis belum tahu urusan, yang kau ucapkan hanya cita2 kanak2 saja." Karena itulah ia tidak lantas menerima jarum kedua itu.

Tapi Kwe Yang lantas menaruh jarum digenggaman tangan Nyo Ko dan berkata: "Cita2ku yang kedua ini adalah pada tanggal 24 bulan sepuluh yang akan datang, yakni pada hari ulang tahunku nanti, hendaklah kau datang ke Siangyang daa menemui aku untuk ber-cakap2 sebentar."

Meski permintaannya yang kedua ini lebih repot, daripada permintaan yang pertama, namun bersifat ke-kanak2an. Maka dengan tertawa Nyo Ko menjawab "Baiklah, kusanggupi memangnya apa susahnya? Cuma aku hanya menemui kau sendiri saja, ayah-ibu dan Cicirnu takkan kutemui."

"Terserah padamu," ujar Kwe Yang dengan tertawa, jari tangannya yang lentik dan putih halus itu memegangi jarum ketiga yang berkilau di bawah cahaya bulan, katanya pula: "Tentang permintaanku yang ketiga ini..."

Nyo Ko meng-geleng2 kepala, pikirnya: "Busyet! Memangnya aku Nyo Ko begini mudah berjanji pada orang? sungguh nona cilik yang tidak tahu urusan, janjiku dianggapnya seperti permainan anak kecil saja."

Mendadak wajah Kwe Yang tampak merah jengah, katanya dengan tertawa: "Cita2ku yang ketiga ini sementara belum terpikir olehku, biarlah kelak akan kukatakan padamu." - Habis ini ia membalik dan lari ke sana sambil ber-teriak2: "Cici! Cici!"

Kwe Yang terus menuju ke arah datangnya pertempuran dilihatnya Kwe Hu sedang bertempur sengit melawan Su Beng-ciat dan Toa-thau kui. Hoan It-ong dan Su Ki kiang mengikuti pertarungan itu di samping dengan siap siaga.

"Cici, inilah aku," seru Kwo Yang, "Beberapa orang ini adalah teman sendiri."

Selama ini Kwe Hu banyak mendapat petunjuk dari ayah-ibunya, suaminya yaitu Yalu Ce juga tokoh silat pilihan, maka kepandaiannya sekarang sudah berbeda jauh dengan daripada belasan tahun yang lalu.

Cuma wataknya berangasan dan tidak telaten berlatih sebab itulah tingkat ilmu silatnya selalu berkisar antara kelas dua atau tiga saja meski ayah-bunda dan suami nya terhitung tokoh terkemuka. Kini meski dia sanggup menempur kerubutan Su Beng-ciat dan Toa-thau-kui dengan sama kuatnya, tapi lama2 tentu dia akan kewalahan dan terdesak di bawah angin.

Tengah gelisah karena takdapat mengalahkan lawan dengan cepat, tiba2 Kwe Hu mendengar seruan sang adik, segera ia membentak "Lekas kemari, Moaymoay!"

Su Beng-ciat mendengar sendiri Kwe Yang memanggil Nyo Ko sebagai Toakoko, kini didengarnya pula Kwe Hu menyebut Kwe Yang sebagai Moaymoay atau adik perempuan, seketika ia terkesiap dan ragu2 apakah wanita ini adalah isteri atau adik Sin-tiau-tayhiap? Karena itulah serangannya yang sedang dilontarkannya pada saat itu segera ditarik kembali, berbareng iapun melompat mundur.



Kwe Hu sendiri tahu lawan sengaja mengalah, tapi hatinya sudah kadung mendongkol tanpa pikir pedangnya terus menasuk, "sret" dengan tepat dada Su Beng-ciat tertusuk.

Keruan Toa-thau kui terkejut dan berseru: "Hei, mengapa kau..."

Tapi sekali pedang Kwe Hu lantas berkelebat, tahu2 lengan Toa~thau~kui juga terluka.

Dengan pongahnya Kwe Hu lantas membentak pula: "Nah, rasakan lihaynya nyonyamu ini!"

"He, Cici, kubilang orang2 ini adalah teman sendiri." seru Kwe Yang pula.

Kwe Hu menjadi gusar dan membentak: "Lekas pulang bersamaku! Siapa kenal temanmu yang tidak keruan ini?"

Luka di dada Su Beng-ciat itu ternyata tidak ringan. dia ter-huyung2 dan jatuh tersungkur. Cepat Kwe Yang memburu ke sana dan membangunkannya sambil bertanya: "Su-goko, bagaimana lukamu?"

Darah segera mengucur dari dada Su Beng-ciat hingga baju Kwe Yang berlepotan lekas anak dara itu merobek ujung bajunya untuk membalut luka orang.

Sementara itu Kwe Hu sedang mendesak pula: "Hayo lekas berangkat lekas! setiba di rumah nanti kulaporkan kepada ayah dan ibu, mustahil kau tak kan dipukuli hingga kau minta2 ampun."

Dengan gusar Kwe Yang menjawab: "Kau sembarangan melukai orang, akan kulaporkan juga kepada ayah dan ibu."

Melihat muka Kwe Yang merah padam dan mengembang air mata, Su Beng-ciat menghiburnya dengan tertawa yang di paksakan: "jangan kuatir, nona cilik, lukaku ini takkan membuatku mati."

Di samping Su Ki-kiang memegangi gadanya dengan napas ter-engah2, seketika ia menjadi ragu2 apa mesti melabrak Kwe Hu atau menolong adiknya dahulu.

Mendadak Kwe Hu menjerit kaget, kiranya dari depan dua ekor harimau loreng telah mendekatinya secara diam2, segera ia hendak menyingkir ke kiri, tapi terlihat pula dua ekor singa jantan sudah mendekam di situ, waktu ia menoleh, di sebelah kanan bahkan berdiri empat ekor macan tutul. Rupanya dalam sekejap itu Su Tiong-beng sudan memimpin kawanan binatang buas itu dan mengepung rapat Kwe Hu.

Keruan muka Kwe Hu menjadi pucat dan hampir2 jatuh kelengar, Syukur pada saat itu juga suara seorang di dalam hutan hutan berseru: "Gote, bagaimana lukamu?"

"Mendingan, tidak begitu parah!" sahut Su Beng-ciat.

"Oh, perintah Sin-tiau-hiap agar kedua nona ini dibiarkan pergi saja," kata orang itu.

Segera Su Ki-kiang bersuit beberapa kali, kawanan binatang buas itu lantas memutar tubuh dan menghilang ke dalam semak2.

"Su-goko, atas nama Ciciku kuminta maaf padamu," kata Kwe Yang.

Sesungguhnya luka Su Beng-ciat itu membuatnya sangat sakit, dengan meringis ia menjawab:

"Mengingat Sin tiau-tayhiap, sekalipun Cicimu membunuh aku juga tidak menjadi soal."

Kwe Yang hendak bicara pula, tapi Kwe Hu lantas menariknya sambil membentak: "Hayo pulang!" Berbareng anak dara itu terus diseret berlari keluar hutan.

Melihat kedua kakak beradik itu sudah per-gi, Su-si hengte dan Gerombolan Setan lantas berlari keluar untuk memeriksa keadaan Su Beng ciat dan Toa-thau- kui, be-ramai2 mereka mencela tindakan Kwe Hu yang tidak pantas itu, cuma ucapan merekapun tidak berani kasar kerena belum mengetahui ada hubungan apa antara Kwe Hu dan Nyo Ko.

Dengan gemas Su Ki-kiang berkata: "Nona cilik itu sangat baik hati, tapi kakaknya ternyata begitu galak, sudah jelas adik Ciat mengalah pada-nya, tapi dia malah melukainya secara keji, Coba kalau tusukannya masuk sedikit lagi tentu jiwa adik Ciat sudah melayang."

"Marilah kita tanya kepada Sin-tiau-hiap tentang asal usul perempuan itu," kata Toa thau-kui. "Di tempat penyeberangan sana ber-ulang2 dia juga mengeluarkan kata2 yang tidak baik terhadap Sin tiau- hiap."

Pada saat itulah dari balik pohon sana muncul seorang dan berkata, "Syukurlah luka Su-goko tidak terlalu parah. Tindak-tanduk perempuan itu memang semberono dan cerohoh, ketahuilah bahwa lenganku ini justeru ditebas kutung olehnya."

Melihat yang bicara itu adalah Nyo Ko, semua orang sama melengak dan tak dapat bicara lagi, setiap orang sama sangsi dan ingin tahu, tapi tidak berani bertanya.

Begitulah Kwe Hu telah membawa Kwe Yang kembali ke tempat penyeberangan, sementara itu air sungai Kuning yang membeku itu sudah cair, kakak beradik bertiga dapat menyeberang dan pulang ke Siangyang, sepanjang jalan Kwe Hu masih terus mengomeli Kwe Yang yang dianggap suka berkeluyuran dengan orang2 yang tidak keruan.

Tapi Kwe Yang berlagak tuli saja dan tidak menggubris omelan sang Taci, mengenai pertemuannya dengan Nyo Ko juga sama sekali tak disinggungnya.

Setiba di Sianyang, per-tama2 Kwe Hu lantas melapor kepada ayah-bundanya bahwa Kwe Yang dalam perjalanan tidak mau tunduk padanya dan banyak menimbulkan keonaran, lalu iapun menceritakan apa yang terjadi selama Kwe Yang menghilang dua hari dua malam, tentu saja ia bumbui-bumbui pula, tambahi kecap dan imbuhi sambel.

Kwe Cing sendiri sedang pusing kepala oleh situasi militer beberapa hari terakhir ini, maka ia tambah marah demi mendengar laporan Kwe Hu itu, segera ia bertanya: "Yang-ji, benar tidak laporan cici ini?"

Kwe Yang mengikik tawa, katanya: "Ah, cici memang suka geger, aku ikut seorang teman pergi melihat keramaian, kenapa sih mesti diributkan?"

"Teman apa? Siapa namanya?" taaya Kwe-Cing.

Kwe Yang melelet lidah, lalu menjawab: "Ah, lupa kutanyai namanya, cuma kudengar orang memanggil dia Tea-thau-kui begitu."

"Seperti orang dari "Gerombolan Setan Se-san," tukas Kwe Hu.

Kwe Cing juga dengar nama "Gerombolan Setan Se-san" itu, meski tak dapat dikatakan gerombolan penjahat, tapi juga bukan kaum ksatria yang baik, maka ia tambah marah demi mendengar anak perempuan itu bergaul dengan orang2 macam begitu, Cuma perangainya memang sabar dan pendiam, biarpun marah ia hanya mendengus geram saja dan tidak berkata lagi, sedangkan Ui Yong lantas mengomeli Kwe Yang.

Malamnya Kwe Cing suami-isteri mengadakan perjamuan keluarga untuk menghibur pulangnya Kwe Hu dan Kwe Boh-Io, tapi sengaja tidak menyediakan tempat duduk bagi Kwe Yang. Yalu Ce berusaha membujuk kedua mertuanya, tapi malah diomeli Kwe Cing agar sebagai kakak ipar seharusnya ikut mendidik adiknya, Karena itulah terpaksa Yalu Ce tak berani mengusik lagi.

Kiranya Kwe Cing dan Ui Yong merasa pernah terlalu memanjakan Kwe Hu sehingga banyak menimbulkan petaka, maka sekarang caranya mendidik Kwe Yang dan Kwe Boh-lo telah berubah sama sekali.



Sejak kecil diawasi dengan keras, sifat Kwe Boh-lo pendiam seperti sang ayah sehingga tak menjadi soal, tapi Kwe Yang sejak kecil sudah suka berbuat hal2 yang aneh dan sukar di-jajaki jalan pikirannya, lahirnya ia menurut, tapi di dalam hati ia memberontak

Ketika ia diberitahu oleh pelayan bahwa Tuan dan Nyonya mengadakan perjamuan keluarga dan Ji siocia (puteri kedua) sengaja tidak diundang, keruan Kwe Yang menjadi marah, bahkan ia lantas mogok makan sekalian selama dua hari.

Sampai hari ketiga, Ui Yong jadi kasihan sendiri, di luar sang suami ia membuat beberapa macam daharan lezat, disertai menghibur dan membujuk barulah anak perempuan bungsu itu mau makan dan gembira lagi. Tapi dengan demikian, maksud orang tua mendidik anaknya dengan keras kembali luntur dan sia2 pula.

Sementara itu pasukan Mongol sudah berhasil menyerbu ke negeri Tayli di daerah Hunlam (Yu-nan), sesudah menduduki kerajaan kecil selatan itu, pasukan induk beralih pula ke utara, sedangkan pasukan Mongol yang lain dari utara juga menerobos ke selatan sehingga dua induk pasukan telah bergabung hendak menggempur Siangyang untuk akhirnya melalap kerajaan Song sekaligus.

Waktu pasukan Mongol mulai menyerbu Tayli, Kwe Cing menyebarKan Eng hiong-tiap (kartu undangan para ksatria) agar para pahlawan berkumpul di Siangyang untuk merundingkan siasat menghadapi musuh, keberangkatan Kwe Hu dan kedua adiknya ke utara itu adalah mengemban tugas yang diberikan sang ayah itu.

Tak terduga gerak cepat pasukan Mongol ternyata luar biasa, dalam waktu singkat Tayli sudah ditumpas, sebab itulah ketika para pahlawan mulai berkumpul di Siangyang, sementara itu kekuatan pasukan Mongol juga mulai mendekati kota itu.

Eng-hiong-tay hwe atau musyawarah besar para pahlawan ditetapkan pada tanggal 15 bulan sepuluh dan direncanakan berlangsung selama 10 hari. Hari ini baru tanggal 13, jadi masih dua hari sebelum hari rapat, sementara itu para pahlawan dan ksatria dari segenap penjuru ber-bondong2 telah tiba di Siangyang.

Kwe Cing dan Ui Yong sibuk mengurusi tugas pertahanan, maka urusan menyambut tamu telah diserahkan kepada Loh Yu-ka dan Yalu Ce. Di antara tamu2 yang sudah tiba itu ada Cu Cu-liu, Su-sui Hi-un dan Bu Sam-thong, kedua Bu cilik bersama Yalu Yan dan Wanyan Peng juga sudah datang, begitu pula Hui-thian-pian-hok Kwa Tin-ok.

Pejabat ketua Coan-cin-kau waktu itu, Li Ci siang, dengan 16 murid utama Coan-cin-pay juga sudah tiba, begitu pula para tertua Kay-pang serta tokoh2 pengemis yang berkantong tujuh dan delapan.

Seketika kota Siangyang penuh dengan jago2 silat terkemuka. Banyak di antara tokoh2 persilatan yang jarang muncul di dunia Kangouw kini juga hadir mengingat pertemuan Siangyang sekali ini menyangkut nasib negara dan bangsa, pula mereka kagum pada budi pekerti Kwe Cing suami isteri, maka hampir semua orang yang menerima kartu undangan pasti hadir.

Malam hari tanggal 13 bulan sepuluh, Kwe Cing suami-isteri mengadakan perjamuan kecil pribadi di di kediamannya dan mengundang Cu Cu-liu, Bu Sam-thong dan beberapa kenalan lama untuk beramah~tamah.

Loh Yu-ka juga diundang, tapi sampai malam ketua Pangcu itu belum tampak hadir, semua mengira dia sibuk oleh pekerjaan sehingga tidak menyangka sesuatu.

Tengah mereka bersuka ria dan berbincang macam2 kejadian Bu-lim selama belasan tahun terakhir ini, Yalu Ce, Kwe Hu dan anak2 muda yang bersatu meja tersendiri juga asyik bercengkerama, tiba2 datang seorang murid Kay-pang berkantong delapan dan ber-bisik2 kepada Ui Yong, seketika air muka Ui Yong tampak berubah dan berkata dengan suara gemetar: "Bisa terjadi demikian?"

Semua orang sama berpaling memandang nyonya rumah itu. Terdengar Ui Yong berkata pula kepada anggota Kay-pang itu: "Yang hadir di sini adalah orang kita sendiri, boleh kau bicara saja, bagaimana awal mula kejadian ini?"

Segera anggota Kay-pang itu menutur. "Lewat lohor tadi, Loh-pangcu membawa tujuh murid kantong tujuh patroli ke utara kota, siapa tahu sampai malam tiba beliau belum nampak pulang, Tecu menjadi kuatir dan bersama teman2 lain terbagi dalam beberapa kelompok keluar kota untuk mencarinya, akhirnya di kelenteng Yo-tayhu di kaki gunung Hian diketemukan jenazah Loh-pangcu."

Mendengar kata2 "jenazah", tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget. Sampai di sini, suara anggota Kay-paog itupun ter-sendat2. Maklumlah meski ilmu silat Loh Yu-ka tidak terlalu tinggi, tapi orangnya berbudi dan bijaksana sehingga mendapat dukungan luas di kalangan anggota.

Murid Kay-pang tadi melanjutkan penuturannya: "Kedua murid tujuh kantong yang mengiringi pangcu itupun menggeletak di samping beliau, seorang sudah tewas yang lain belum putus napasnya sehingga sempat memberi keterangan bahwa mereka kepergok pangeran MongoI yang bernama Hotu. Pangcu yang kena sergap lebih dulu, kedua murid kantong tujuh itu bertempur mati2an dan akhirnya juga dicelakainya."

"Hehe, jadi Hotu, Hotu!" demikian gumam Kwe Cing saking menahan gusarnya, ia jadi menyesal dahulu telah memberi ampun kepada pangeran Mongol itu di Cong-lam-san, tahu begini tentu waktu itu sudah dibinasakan.

"Apakah Hotu itu meninggalkan ucapan apa?" tanya Ui Yong.

"Tecu tidak berani omong," kata anggota Kay-pang itu.

"Kenapa lidak berani omong," tukas Ui Yong. "Tentunya dia bilang supaya Kwe Cing disuruh lekas menyerah kepada pihak mongol, kalau tidak, maka contohnya ialah Loh Yu-ka itu, begitu bukan?"

"Hu jin sungguh hebat, memang begitulah ucapan keparat Hotu itu," jawab si anggota Kay-pang.

Be ramai2 semua orang lantas pergi memeriksa jenazah Loh Yu-ka, terlihat punggungnya terkena sebatang tulang2 kipas buatan dari baja, tulang iganya juga patah, jelas lebih dulu Hotu menyergapnya dengan senjata rahasia, habis itu menghantamnya pula dengan tenaga dahsyat hingga binasa, semua orang menjadi gusar dan berduka pula menyaksikan itu.

Saat itu di Siangyang berkumpul be-ribu2 anggota Kay-pang, maka suasana menjadi sedih ketika kabar tewasnya Loh Yu-ka disiarkan.

Se-hari2nya Kwe Yang sangat akrab dengan Loh Yu-ka, sering ia menyeret orang tua itu diajak ke tempat sepi seperti kelenteng Yo-tayhu itu untuk minum arak sambil merecoki orang itu menceritakan kejadian2 menarik di dunia Kangouw, kalau sudah begitu, maka acapkali berlangsung hingga hampir sehari suntuk dan kedua orang tua dan muda itu sama2 gembiralah.

Kelenteng Yo-tayhu itu tidak jauh di luar kota, ketika mendengar kawan tua itu meninggal di kelenteng itu, Kwe Yang ikut berduka, segera ia membawa satu Holo (buii2) berisi arak penuh serta menjinjing sebuah keranjang sayur, seperti biasanya ia terus menuju ke kelenteng itu.

Saat itu sudah hampir tengah malam, Kwe Yang mengeluarkan dua pasang sumpit dari keranjangnya dan diatur secara berhadapan, dituangnya dua cawan arak pula, lalu berkata: "Paman Loh, setengah bulan yang lalu kita baru saja makan-minum dan mengobrol di sini, siapa duga sekarang engkau telah mengalami malapetaka, apabila arwahmu mengetahui, silakan kemari minum arak lagi bersamaku ini."



Habis berkata, ia siram secawan arak itu di lantai, ia sendiri lantas menenggak habis secawan. Teringat kepada teman karib yang kini telah tiada itu, ia menjadi berduka katanya sambil mencucurkan air mata: "Paman Loh, marilah kita habiskan pula secawan!" - ia menyiram lagi secawan arak di lantai dan ia sendiri kembali menghabiskan secawan.

Kemampuan minum arak Kwe Yang sebenarnya sedikit sekali, cuma sifatnya yang terbuka dan suka bergaul dengan orang2 Kangouw, maka iapun ikut2an minum arak dan bicara seperti orang dewasa. Kini setelah menghabiskan dua cawan, mau-tak-mau mukanya menjadi merah, kepala rada pening.

Dalam kegelapan tiba2 seperti ada bayangan orang berkelebat di luar pintu kelenteng sana, ia terkejut dan bergirang, disangkanya arwah Loh Yu-ka benar2 telah datang, segera ia berseru: "Apakah paman Loh? marilah kita minum dan mengobrol"

Hatinya ber-debar2, tapi juga sangat ingin melihat arwah halus Loh Yu ka. Tapi segera didengarnya seorang menegurnya: "Tengah malam buta kau main gila apa di sini? ibu mencari kau, lekas pulang!" secepat itu pula seorang lantas menyelinap masuk, kiranya Kwe Hu adanya.

Kwe Yang sangat kecewa, katanya: "Aku sedang memanggil arwah paman Loh untuk bertemu di sini, dengan gangguanmu ini mana dia mau datang lagi? Cici, silakan kau pulang dahulu, segera aku menyusul."

"Kembali kau mengaco belo lagi, dalam benakmu yang kecil itu selalu berpikir hal2 yang tidak karuan. Mana bisa arwah Loh Yu-ka mau menemui kau?"

"Biasanya dia sangat akrab denganku, apalagi sudah kusanggupi akan memberitahukan sesuatu padanya sudah kujanjikan akan kuberitahu pada hari ulang tahunku. Siapa tahu, dia tidak dapat menunggu lagi," sampai di sini, anak dara itu menjadi berduka lagi.

"Sekejap saja kau lantas menghilang, segera ibu menduga kau datang ke sini dan ternyata tepat dugaan ibu," kata Kwe Hu. "Hm, se-nakal2nya monyet kecil macammu ini masakah dapat mengelabuhi perhitungan ibu? Kau benar2 teramat bandel, ibu sangat marah, coba kalau Hotu itu bersembunyi di sekitar sini, sedangkan tengah malam buta kau sendirian berada disini, kan sangat berbahaya?"

Kwe Yang menghela napas, katanya "Aku terkenang kepada paman Loh sehingga tidak memikirkan bahaya lagi, O, Cici yang baik, temanilah duduk sebentar di sini, boleh jadi arwah paman Loh akan datang benar2 menemui aku. Cuma engkau jangan bersuara agar tidak mengejutkan dia."

Biasanya Kwe Hu kurang menghormati Loh Yu-ka, menurut anggapannya bisanya Loh Yu-ka diangkat menjadi Pangcu adalah karena dukungan ibunya, maka ia pikir kalau betul arwah Loh Yu-ka akan datang juga tidak perlu ditakuti, iapun tahu watak kepala batu adiknya itu, sekali sudah menyatakan hendak menunggu di situ, maka sukar-lah disuruhnya pulang begitu saja kecuali kalau ayah-ibu datang sendiri dan mengomelinya.

Maka ia lantas berduduk, katanya dengan gegetun: "Ji-moay, usiamu makin menanjak, tampaknya kau semakin ke-kanak2an. Tahun ini kau sudah 16 tahun, selang dua-tiga tahun lagi juga akan punya mertua, memangnya sesudah di rumah mertua kau juga akan angin2an seperti ini?"

"Memangnya apa bedanya?" ujar Kwe Yang. "Setelah kau menikah dengan Cihu (kakak ipar, suami kakak), bukankah kaupun tetap bebas merdeka seperti waktu masih gadis?"

"He, mana boleh kau membandingkan Cihu-mu dengan orang Iain?" jawab Kwe Hu dengan bangga, "Dia adalah ksatria sejati jaman kini, pengetahuan dan pandangannya sudah tentu jauh lebih daripada orang lain, dengan sendirinya dia takkan mengekang kebebasanku.

Bakat seperti Cihumu itu jasanya jarang ada bandingannya di antara jago2 angkatan muda sekarang. Kelak kalau bakal suamimu ada setengah kepandaiannya saja, kukira ayah-ibu sudah cukup merasa puas."

Mendengar ucapan sang Taci yang sombong itu, Kwe Yang balas mcncibir, katanya: "Sudah tentu Cihu adalah tokoh yang hebat, cuma aku tidak percaya bahwa di dunia ini tiada orang lain yang melebihi dia."

"BoIeh lihat saja nanti kalau kau tidak percaya" ujar Kwe Hu.

"Aku justeru mempunyai seorang kenalan yaog berpuluh kali lebih hebat daripada Cihu," kata Kwe Yang.

Keruan Kwe Hu menjadi gusar, teriaknya: "Siapa dia? Hayo katakan lekas!"

"Untuk apa kukatakan? Asalkan aku sendiri tahu di dalam hati saja, kan cukup?" jawab Kwe Yang.

"Huh, apakah kau maksudkan Li-samte? atau Ong Kiam bu? Atau Tio Si-kong?" jengek Kwe Hu-Yang disebutnya itu adalah beberapa ksatria muda yang ganteng kenalan mereka.

Namun Kwe Yang menggeleng, katanya: "Bukan, bukan! Memadai Cihu saja mereka tidak dapat, mana bisa dikatakan lebih hebat berpuluh kali daripada nya?"

"Habis siapa?" Kwe Hu menegas-, "Ya, kecuali Gwakong kita, atau ayah dan ibu atau paman Cu Cu-liu dan beberapa ksatria angkatan tua,"

"Tidak, orang yang kumaksud itu justeru lebih muda daripada Cihu, wajahnya juga lebih cakap, sedangkan ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada Cihu, hakikatnya bedanya seperti langit dan bumi, sama sekali tak dapat dibandingkan...."

Setiap kalimat diucapkan Kwe Yang, setiap kali pula disambut oleh Kwe Hu dengan mencemoohkan: "Cis, cis, cis!"

Tapi Kwe Yang tidak peduli, ia menyambung pula: "Jika kau tidak mau percaya, ya terserah padamu, Pokoknya orang itu sangat baik budi, siapapun yang ada kesukaran, tak peduli kenal atau tidak selalu dia suka memberi pertolongan."

Bicara sampai akhirnya, wajahnya yang cantik itu tampak memandang kesima ke depan seperti mengenangkan sesuatu yang sukar dilupakannya.

Dengan gusar Kwe Hu lantas berkata: "Dalam benakmu yang kecil ini selalu berkhayal saja. Baik-lah, setelah matinya Loh Yu-ka, jabatan Pangcu menjadi lowong, tadi ibu mengatakan, mumpung para pahlawan berkumpul di sini, maka kesempatan ini sebaiknya digunakan mengadakan pemilihan Pangcu. Biarlah orang banyak ikut bertanding, siapa yang berkepandaian paling tinggi, dia yang diangkat menjadi Pangcu, dengan begitu persengketaan antara Ut-ih-pay (aliran baju kotor) dan Ceng-ih-pay (aliran baju bersih) dalam Kay~pang dapat dihindarkan.

Kalau orang yang kau anggap hebat itu benar2 lihay, nah boleh kau suruh dia maju dan bertanding dengan Cihumu untuk memperebutkan kedudukan Pangcu."

"Hihi, belum tentu dia kepengin menjadi Pangcu kaum jembel begitu," ujar Kwe Yang dengan tertawa.

"Hm, kau berani meremehkan kedudukan Pang-cu?" semprot Kwe Hu dengan marah. "Dahulu kedudukan itu pernah di jabat Ang Jit-kong, ibu kita juga pernah menjabatnya, masakah kau berani menghina Ang- lokongkong dan ibu?"



"Baik aku pernah menghina beliau2 itu, kan kau sendiri yang bilang? Kau sendiripun tahu aku sangat akrab dengan paman Loh dan bergaul baik dengan kaum jembel lain,"

"Baiklah, boleh kau suruh pahlawanmu itu bertanding dengan Cihumu," kata Kwe Hu pula. "Sementara ini para ksatria sama berkumpul di Siangyang, lihat saja nanti, siapa pahlawan dan siapa kerbau, sekali gebrak segera akan ketahuan."

"Cici, bicaramu memang suka melamur tak genah, bilakah kubilang Cihu adalah kerbau? Kalau dia kerbau, bukankah engkaupun menjadi hewan? Padahal kita dilahirkan dari satu ibu, kan aku ikut kurang terhormat?"

Kwe Hu menjadi serba runyam, ya dongkol dan geli, ia lantas berbangkit dan berkata: "Aku tidak ada waktu buat ribut dengan kau. Hayolah pulang, jangan2 nanti aku ikut didamprat"

Kwe Yang bersifat lincah dan pintar bicara, biasanya memang suka adu mulut dengan sang Ta-ci, segera ia ber-olok2 pula: "Ai, engkau kan nyonya muda yang sudah menikah, biasanya ayah dan ibu juga paling sayang padamu, engkau juga isteri calon pangcu, siapakah gerangannya yang sudah makan "hati harimau sehingga berani mendamperat kau?"

Mendengar adiknya menyebutnya "isteri calon Pangcu", hati Kwe Hu menjadi senang, katanya: "Sekian banyak kaum ksatria berkumpul di sini, siapa orangnya yang tidak ingin menjadi Pangcu? Cihumu juga belum tentu akan terpilih, sebaiknya kau jangan bicara muluk2 dahulu agar tidak ditertawakan orang."

Kwe Yang termangu2 sejenak pula, dilihatnya bulan setengah bulat itu menghiasi cakrawala yang kelam, suasana sunyi sepi, katanya kemudian dengan gegetun: "Tampaknya arwah paman Loh takkan datang, Cici, mengapa begini cepat mengangkat Pangcu? pengganti paman Loh kan dapat ditunda sementara waktu agar kita dapat lebih lama mengenangkan jasa beliau."

"Kembali kau bicara seperti anak kecil," ujar Kwe Hu "Kay-pang adalah organisasi terbesar di dunia Kangouw, naga tanpa kepala, mana boleh jadi?"

"Ibu bilang kapan akan diadakan pemilihan Pangcu?" tanya Kwe Hu.

"Tanggal 15 adalah hari pembukaan Eng-hiong-tay-hwe dengan acara utama bagaimana menghimpun para pahlawan dari segenap penjuru untuk bersama2 melawan Mongol. Musyawarah itu bisa berlangsung hingga lima enam hari atau bisa juga 8-9 hari. Jadi pemilihan ketua Kay-pang itu kukira baru dapat diselenggarakan pada tanggal 23 atau 24 nanti."

"Ahhhh!" Kwe Yang bersuara tertahan "Ada apa?" tanya Kwe Hu.

"Tidak apa2," jawab Kwe Yang, "Soalnya tanggal 24 adalah bertepatan dengan hari ulang tahun-ku, Karena kesibukan kalian dalam pemilihan pangcu itu, tentunya ibu menjadi tidak sempat merayakan hari ulang tahunku nanti."

"Hahahaha!" Kwe Hu bergelak tertawa, "Cuma hari ulang tahun anak dara seperti kau ini memangnya begitu penting? Mana boleh kau anggap urusan penting pemilihan pangcu itu justeru mengganggu hari ulang tahunmu? Haha, kalau didengar orang bisa jadi gigi orang akan rontok menertawakanmu, Ai, mungkin di dunia ini hanya kau saja yang selalu ingat kepada urusan tetek bengek begitu?"

Dengan muka merah padam Kwe Yang menjawab: "Umpama ayah tidak ingat ibu pasti ingat. kau bilang urusan tetek bengek, aku justeru bilang ini urusan penting, Sekali ini ulang tahunku genap berusia 16. kau tahu tidak?"

Kwe Hu tambah geli dan ber-oIok2: "Ya, ya! Pada hari itu nanti, berpuluh ksatria dan pahlawan yang berada di Siangyang ini akan hadir memberi selamat kepada Kwe-jisiocia kita, setiap orang akan menyumbangkan kado padamu, sebab tahun ini Kwe-jisocia kita genap berusia 16 dan bukan lagi anak dara melainkan sudah nona besar, Hahahaha!"

"Orang lain mungkin takkan ambil pusing, tapi paling sedikit ada seorang pahlawan besar pasti ingat kepada hari ulang tahunku, dia sudah berjanji akan datang menemui aku," kata Kwe Yang dengan rasa bangga.

"Ah, pahlawan besar apakah? Ya, tahulah aku, tentu pahlawan yang jauh lebih hebat daripada Cihumu itu," ujar Kwe Hu. "lngin kukatakan padamu, pertama, di dunia ini hakikatnya tiada tokoh nomor satu begituan, hanya benakmu sendiri yang berkhayal seperti itu. Kedua, seumpama ada orang begitu, betapa banyak urusan penting yang harus dilakukannya, mana dia mau datang memberi selamat kepada anak dara seperti kau ini. Kecuali dia juga menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, kalau tidak masakah dia datang ke Siangyang ini."

Hampir2 menangis Kwe Yang oleh olok2 sang taci, sambil banting2 kaki ia berseru: "Dia sudah berjanji padaku, dia sudah berjanji. Dia takkan menghadiri Eng-hiong tay-hwe dan juga tak ikut berebut pangcu segala."

"Dia bukan Enghiong, dengan sendirinya ayah takkan mengirim Eng-hiong-tiap padanya," kata Kwe Hu. "Sekalipun dia ingin menghadiri pertemuan besar ini kukira juga belum memenuhi syarat."

Kwe Yang mengusap air matanya dengan sapu-tangan kecil, katanya. "Jika begitu akupun takkan hadir pada pertemuan kalian itu, masa-bodoh kalian hendak mengangkat Pangcu segala, betapapun ramainya juga aku takkan meiihatnya."

"Aduh, jika Kwe-jisiocia kita tidak hadir, lalu bagaimana jadinya Eng-hiong-tay-hwe itu nanti?" demikian Kwe Hu ber-olok2 pula. "Yang terpilih menjadi Pangcu nanti juga kurang gemilang, mana boleh kau tidak hadir."

Sambil menutupi kedua telinganya Kwe Yang terus berlari keluar kelenteng, Tapi mendadak bayangan berkelebat tahu2 diambang pintu kelentertg telah berdiri seorang dan mengalang jalan keluarnya, keruan Kwe Yang kaget, cepat ia melompat mundur sehingga tidak bertubrukan dengan pengadang-nya itu.

Di bawah cahaya bulan tertampak perawakan orang itu sangat jangkung, mukanya hitam, anehnya tubuh bagian atas ternyata sangat cekak, hanya bagian pinggang ke bawah yang teramat panjang. Setelah diawasi lebih teliti baru tahu jelas, rupanya kedua kaki orang itu buntung, kedua ketiaknya di sanggah dengan sepasang tongkat yang panjangnya-hampir dua meter, karena itulah lengan celananya menjadi bsrgoyang-gontai di bagian bawah, orang pendek memakai egrang sehingga menjadi orang jangkung.

"He, kau, Nimo Singh!" seru Kwe Hu terkejut.

Kiranya orang ini memang betul Nimo Singh adanya. Sekali ini raja Mongol memimpin sendiri pasukannya ke selatan, maka segenap jago silat benua barat dan Mongol telah dikerahkan, setiap orang sama berharap dapat memamerkan kemahirannya dalam pertempuran nanti untuk mendapatkan pahala dan kedudukan.

Meski kedua kaki Nimo Singh sudah buntung, tapi ilmu silatnya belum punah, selama gembleng belasan tahun itu, sepasang tongkat penyanggah tubuhnya itu dapat dimainkan terlebih lihay daripada sebelum buntung kakinya.

Sementara ini pasukan Mongol masih ratusan li di utara Siangyang, tapi para pengintai yang terdiri dari jago2 silat pilihan seperti Nimo Singh dan lain2 sudah tiba lebih dulu di sekitar Siangyang.



Malam ini maksudnya hendak menginap di kelentong Yo-tayhu ini tak terduga didengarnya percakapan Kwe Hu berdua, keruan ia menjadi kegirangan, ia tahu berhasilnya Siangyang dipertahankan sekian lama oleh kerajaan Song adalah berkat perjuangan Kwe Cing, kalau sekarang kedua puteri kesayangannya ini ditawan, andaikan tak dapat memaksa Kwe Cing menyerah, sedikitnya juga dapat mengacaukan semangatnya dan sungguh suatu jasa besar baginya bila dilaporkan kepada raja Mongol.

Karena itulah ia lantas menjawab: "Eh, nona Kwe, sungguh bagus daya ingatanmu, ternyata kau tidak pangling padaku, Baiklah, supaya tidak membikin susah kedua pihak, silakan kalian ikut padaku saja."

Gusar dan kuatir pula Kwe Hu, ia tahu ilmu silat orang Hindu ini sangat lihay, sekalipun dirinya kakak beradik maju sekaligus juga bukan tandingannya. Tanpa terasa ia melotot gusar pada Kwe Yang, pikirnya: "Semua ini gara2mu, coba cara bagaimana harus menghadapi bahaya di depan mata sekarang?"

Sebaliknya Kwe Yang telah berkata pada Nimo Singh: "Eh, kenapa kedua kakimu itu begitu aneh? Sebelum buntung dahulu apakah juga sepanjang itu?"

Nimo Singh hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya, tapi lantas berkata pula kepada Kwe Hu: "Kalian berjalan di depan, jangan sekali2 timbul pikiran hendak melarikan diri." - Nyata dia telah anggap kakak beradik itu sebagai tawanannya yang sudah berada dalam genggamannya.

Kwe Yang lantas berkata pula: "He, cara bi-caramu ini sungguh aneh, tengah malam buta kau suruh kami kakak beradik pergi ke mana?"

"Jangan banyak bicara, lekas ikut pergi!" bentak Nimo Singh, ia kuatir kedatangan musuh yang kini banyak berkumpul Siangyang dan usahanya ini mungkin bisa gagal, maka ingin lekas2 pergi.

"Jimoay, si cebol ini adalah jagoan pihak Mongol, kepandaiannya cukup lihay, marilah kita mengerubutnya dari kanan dan kiri," bisik Kwe Hu kepada adiknya. Habis barkata, "sret", segera ia melolos pedang terus menusuk ke pinggang musuh.

Kwe Yang tidak membawa senjata, ia lihat Nimo Singh tidak mempunyai kaki, bisanya berdiri adalah berkat tongkatnya saja, sekarang sang Taci menyerangnya, apakah dia bisa menangkisnya?

Dasar hati Kwe Yang memang welas asih, maka ia berbalik berseru: "He, Cici, orang ini harus dikasihani jangan dilukai!" .

Tak terduga, belum lenyap suaranya, mendadak Nimo Singh menyangga tubuhnya dengan tongkat kiri, tongkat kanan terus menyabet, "trang" tongkat membentur pedang Kwe Hu dan memercikkan lelatu api dalam kegelapan, pedang Kwe Hu hampir saja terlepas dan cekalan.

Seketika Kwe Hu merasa tangannya kesemutan dan dada sakit Cepat ia menggeser ke samping dan menyerang pula, ia mainkan "Wat-li-kiam hoat" dan menempur Nimo Singh dengan sengit.

Wat li-kiam hoat atau ilmu pedang gadis cantik diajarkan Kwe Cing kepada puterinya ini untuk mengenang salah seorang gurunya dari Kanglam-jit-koay, yaitu Han Siao-eng yang tewas secara mengenaskan di Mongol.

ilmu pedang ini mengutamakan kelincahan dan kegesitan, akan tetapi karena terbatas oleh tenaga, betapapun Kwe Hu memang bukan tandingan Nimo Singh.

Melihat cara Nimo Singh menggunakan kedua tongkatnya dengan bergantian, yang satu digunakan menyangga tubuh, yang lain lantas digunakan menyerang, gerak geriknya cepat dan gesit tiada ubahnya seperti orang yang berkaki, apalagi kedua tongkatnya itu sangat panjang, dari atas menggempur ke bawah, daya serangannya menjadi lebih hebat, jelas sang Taci tidak sanggup melawannya, baru sekarang Kwe Yang merasa kuatir.

Sesungguhnya kepandaian Nimo Singh memang jauh lebih tinggi daripada Kwe Hu, hanya kepandaian nona itu adalah ajaran Kwe Cing dan Ui Yong yang lihay, maka dapatlah Kwe Hu bertahan sekian lama, tapi dirasakannya tekanan tongkat musuh semakin berat sehingga sukar ditangkis lagi.

Nampak kakaknya terdesak, tanpa pikir lagi Kwe Yang lantas menubruk maju dengan bertangan kosong.

"Kena!" mendadak Nimo Smgh berteriak tongkat kiri menutul lantai, tubuhnya mengapung ke atas, kedua tongkat digunakan sekaligus untuk menyerang, tongkat yang satu kena menutuk bahu kiri Kwe Yang, tongkat lain tepat menutuk Hiat to di dada Kwe Hu.

Kwe Yang tergeliat sempoyongan dan mundur beberapa tindak. sedangkan Kwe Hu cukup berat ditutuk oleh tongkat lawan, ia tidak tahan dan "bluk", jatuh terduduk.

Gesit luar biasa Nimo Singh, cepat lagi keji, begitu tongkatnya menutul pelahan, segera ia mendesak maju ke depan Kwe Hu sambil menjengek: "Nah, sudah kukatakan ikut saja padaku..."

Di luar dugaannya, mendadak Kwe Hu sambil berseru: "Jimoay, lekas lari ke belakang!"

Nimo Singh terkejut, sudah jelas Hiat-to di dada Kwe Hu kena ditutuknya dengan ujung tongkat, mengapa nona itu masih dapat bergerak dengan bebas? ia tidak tahu bahwa Kwe Hu memakai baju wasiat berduri landak (Nui-wi-kah) pemberian sang ibu, disangkanya keluarga Kwe punya ilmu kekebalan yang tidat mampu ditutuk dan tidak mempan dilukai.

Padahal setelah terkena tutukan tongkat tadi, meski tidak beralangan apa2, namun rasa sakitnya juga tidak kepalang, dan kurang leluasa lagi buat bergerak. Tapi Kwe Yang lantas memainkan ilmu pukulan "Lok-eng-ciang-hoat" dan melindungi di belakang sang Taci sambil berseru: "Cici, engkau saja lari lebih dulu!"

Namun sebelum mereka angkat kaki, tahu2 Nimo Singh melayang lewat di atas mereka dan mengadang di depan Kwe Hu sambil membentak "jangan bergerak!"

Kwe Yang menjadi gusar dan mendamperat: "Tadinya kau harus dikasihani tak tahunya kau begini jahat!"

"Hahaha!" Nimo Singh bergelak tertawa. "Anak dara, rupanya kau belum kenal kelihayan kakek sebelum tahu rasa."

Habis ini, kedua tongkatnya bergantian melangkah maju sehingga menerbitkan suara "tok-tok~tok" yang keras, dengan muka menyeringai selangkah demi selangkah ia mendesak maju. Keruan Kwe Hu dan Kwe Yang melangkah mundur dengan ketakutan.

Selama hidup Kwe Yang belum pernah melihat wajah orang sebengis ini, dilihatnya kedua mata Nimo Singh melotot, mukanya beringas dan muIutnya menyeringai iblis, tampak pula taringnya yang runcing putih, se-akan2 drakula yang akan menerkam dan menggigit lehernya, saking takutnya ia menjerit ngeri.

Pada saat itulah tiba2 Kwe Yang mendengar suara halus berkata di belakangnya: "Jangan takut, serang dia dengan Am-gi (senjata rahasia)!"

Dalam keadaan gawat begitu, tak berpikir lagi oleh Kwe Yang siapa yang bicara itu, segera ia meraba bajunya, tapi lantas disadarinya dia tidak membawa senjata apapun juga, katanya dengan cemas: "Aku tidak membawa Am-gi."

Sementara itu Nimo Singh telah mendesak maju Iagi, ia menjadi bingung dan terpaksa kedua tangannya disodorkan ke depan dengan gaya membela diri.

Tak terduga baru saja tangannya menjulur ke depan, se-konyong2 dari belakang se-akan2 ditiup serangkum angin, lengannya terasa tergetar pelahan, sepasang gelang untiran emas yang dipakainya itu tahu2 terlepas dari pergelangan tangannya dan melayang ke depan, "tring-tring", sepasang gelang emas itu membentur kedua tangan Nimo Singh.



Tampaknya benturan itu sangat pelahan, tapi entah mengapa, Nimo Singh ternyata tidak sanggup memegangi lagi kedua tongkatnya dan mendadak ia terlempar keras ke belakang, "blang-blang" dua kali kedua tongkat membentur dinding dan membikin debu pasir sama rontok.

Karena tongkat penyangganya terlepas dari cekalan, tubuh Nimo Singh lantas jatuh, tapi si cebol ini memang lihay juga, baru punggungnya menempel lantai, sekali melejit, tahu2 ia meloncat lagi ke atas, sepuluh jarinya yang berkuku panjang tajam itu terus menubruk ke arah Kwe Yang.

Dalam kagetnya tanpa pikir Kwe Yang cabut tusuk kundai kemala hijau yang dipakainya itu terus disambitkan ke depan, terasa angin meniup pula lari belakangnya, tusuk kundai itu disurung cepat ke depan.

Melihat samberan tusuk kundai itu sangat aneh, cepat kedua telapak tangan Nimo Singh memapak ke depan, tapi terdengarlah dia bersuara tertahan, lalu jatuh terdukuk pula dan tidak bergerak lagi.

Kuatir musuh main akal licik, cepat Kwe Yang melompat ke samping Kwe Hu dan berseru dengan-suara gemetar: "Cici, le.... lekas lari!"

Tapi mereka melihat Nimo Singh tetap diam saja tanpa bergerak sedikitpun ditunggu lagi sejenak juga tetap begitu, Kwe Hu menjadi berani katanya: "Apakah dia kena penyakit angin duduk dan mati mendadak?"

Segera ia membentak "Nimo Singh, kau main gila apa?"

Kwe Hu pikir musuh sudah kehilangan tongkat dan tidak leluasa bergerak, tentunya tidak perlu ditakuti lagi, dengan pedang terhunus ia lantas mendekatinya. Dilihatnya kedua mata Ntmo Singh mendelik dengan penuh rasa ketakutan, mulut ternganga lebar ternyata sudah mati sejak tadi.

Kejut, heran dan girang pula Kwe Hu, cepat ia menyulut lilin pada altar sembahyangan, "belum lagi ia sempat memeriksa lebih jauh, tiba2 terdengar suara orang berteriak di luar kelenteng. "Hu-moay Jimoay, apakah kalian berada di dalam kelenteng? Nyata itulah suaranya Yalu Ce.

Dengan girang Kwe Hu lantas menjawab: "Lekas kemari, kakak Ce, sungguh kejadian sangat aneh!"

Sejenak kemudian Yalu Ce berlari masuk dengan dua anggota Kay-pang berkantong enam, Iapun terkejut melihat Nimo Singh tewas menggeletak di situ, ia tahu ilmu silat Nimo Singh sangat tinggi, sekalipun dirinya juga bukan tandingannya, tapi kini jagoan Hindu itu ternyata bisa dibunuh oleh isterinya, sungguh sangat di luar dugaan.

Segera ia mengambil tempat lilin dari tangan Kwe Hu dan mendekati Nimo Singh, setelah diperiksanya, ia tambah keheranan Ternyata kedua telapak tangan Nimo Singh sama berlubang, sebuah tusuk kundai kemala hijau tepat menancap pada Sin-ting-hiat di batok kepalanya.

Padahal tusuk kondai kemala itu sangat mudah patah, namun dapat menembus telapak tangan seorang jago silat kenamaan dan dan sekaligus membinasakannya maka betapa lihay kepandaian pemakai tusuk kundai ini sungguh sukar diukur dan dibayangkan

Yalu Ce lantas berpaling dan tanya Kwe Hu:

"Apakah Gwakong datang ke sini? Lekas pertemukan aku dengan beliau."

Kwe Hu menjadi heran, jawabnya: "Siapa yang bilang Gwakong datang ke sini?"

"Bukan Gwakong?" Yalu Ce menegas, mendadak ia menjadi girang dan menambahkan "Aha, jika begitu Guruku yang datang!"

Lalu ia memandang sekeliling situ, namun tidak dilihatnya sesuatu jejak Ciu Pek-thong, gurunya itu jenaka dan suka bergurau bisa jadi sengaja sembunyi untuk membuatnya kaget, Cepat ia berlari keluar kelenteng dan melompat ke wuwungan untuk memeriksa sekitar, namun tiada sesuatupun yang ditemukannya, terpaksa ia melompat turun kembali.

"He, apa2an kau bilang Gwakong dan Suhu segala?" tegur Kwe Hu dengan bingung.

Yalu Ce lantas bertanya cara bagaimana mereka kepergok Nimo Singn dan mengapa orang itu bisa tewas begitu saja?

Kwe Hu lantas menceritakan apa yang terjadi tadi, tentang tusuk kundai adiknya itu dapat menancap mati Nimo Singh, ia sendiripun tidak dapat menjelaskan.

"Di belakang jimoay pasti ada seorang kosen yang membantu secara diam2," ujar Yalu Ce. "Ku kira orang yang memiliki kepandaian setinggi ini jaman kini selain ayah mertua hanyalah Gwakong kita Ui~tocu, guruku, It-teng Taysu serta Kim-lun Hoat-ong saja berlima.

Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu Mongol, tentunya dia takkan membunuh kawan sendiri, sedangkan It teng Taysu tidak sembarangan mau melanggar pantangan membunuh, maka kukira kalau bukan Gwakong tentulah guruku, Jimoay, coba jelaskan, siapakah gerangan orang yang membantumu itu?"

Kelika menyambitkan tusuk kundainya tadi dan membinasakan Nimo Singh, Kwe Yang segera menoleh dan tidak melihat bayangan seorangpun, maka diam2 ia meresapi ucapan "jangan takut, serang dia dengan Am-gi", ia merasa suara itu sudah dikenalnya, ia menjadi sangsi apakah Nyo Ko adanya? Maka waktu ditanya Yalu Ce, seketika ia tak dapat menjawab karena dia masih kesima merenungkan suara itu.

"He, kenapa kau, Jimoay?" seru Kwe Hu sambil menarik lengan adiknya, ia kuatir jangan2 adiknya itu menjadi Iinglung karena kejadian yang menakutkan tadi.

Tiba2 air muka Kwe Yang berubah menjadi merah dan menjawab: "O, tidak apa2."

"Cihu bertanya padamu siapa yang membantu tadi, kau dengar tidak?" kata Kwe Hu dengan mendongkol.

"O, siapakah yang membantuku membinasakan orang jahat ini? Ah, sudah tentu dia! Kecuali dia siapa lagi yang memiliki kepandaian setinggi ini?" kata Kwe Yang.

"Dia? Dia siapa?" Kwe Hu menegas. "Apakah pahlawan besar yang kau katakan itu?"

"O, tidak, tidak! Kumaksudkan arwah halus paman Loh," jawab Kwe Yang cepat.

"Cis!" semprot Kwe Hu sambil mengipatkan tangan adiknya itu.

"Memangnya apakah kau melihat sesuatu bayangan orang?" kata Kwe Yang pula, "Pastilah paman Loh yang melindungi aku secara diam2. Kau tahu, semasa hidupnya paman Loh sangat karib denganku."

Sudah tentu Kwe Hu menyangsikan cerita Kwe Yang itu, namun memang nyata tadi dirinya tidak melihat sesuatu bayangan orang dan tahu2 Nimo Singh sudah mati.

Sementara itu Yalu Ce sedang memeriksa kedua tongkat Nimo Singh, katanya dengan gegetun: "Kepandaian sehebat ini, sungguh sangat mengagumkan."

Waktu Kwe Hu dan Kwe Yang ikut meneliti, tertampak setiap tongkat itu terbingkai sebuah gelang emas untiran. Padahal gelang itu cuma terbuat dari untiran emas yang halus, tapi orang dapat mendorongnya dengan tenaga dalam yang dahsyat dan membentur jatuh kedua tongkat Nimo Singh, pantasIah kalau Yalu Ce merasa gegetun dan kagum tidak kepalang.

"Marilah kita perlihatkan pada ibu, siapakah sebenarnya orang yang membantu jimoay secara diam2 itu, tentu ibu mengenalnya," ujar Kwe Hu.



Nimo Singh dan sepasang tongkatnya segera dibawa kedua anak murid Kay pang dan ikut Yalu Ce pulang ke kota.

Ketika Kwe Cing dan Ui Yong mendengar cerita Kwe Hu dan membayangkan betapa berbahaya kejadian itu, mau tak-mau Kwe Cing terperanjat.

Semula Kwe Yang menyangka keonaran yang diterbitkannya ini pasti akan mendapat persen damperatan, tapi Kwe Cing justeru gembira oleh keberanian dan tinggi budi puteri kecil yang menurunkan gaya sang ayah itu, ia tidak mendamperat, malah menghiburnya. Begitu pula demi nampak sang suami tidak gusar, maka Ui Yong segera saja merangkul puteri kecil itu dengan penuh sayangnya.

Tapi kemudian setelah dilihatnya mayat Nimo Singh serta keadaan kedua tongkatnya, Ui Yong ter-menung2, kemudian ia baru tanya Kwe Cing: "Cing-toko, siapakah orangnya menurut kau?"

"Tenaga dalam orang ini mengutamakan keras dan kuat, setahuku,selamanya hanya ada dua orang" sahut Kwe Cing.

"Ya, tapi guru berbudi kita Ang Jit-kong sudah lama wafat, pula bukan kau sendiri," ujar Ui Yong.

Ia coba menanya lebih jelas tentang kejadian di kelenteng itu, namun tetap tak bisa diterkanya.

Sesudah Kwe Hu dan Kwe Yang kembali ke-kamar masing2, segera Ui Yong berkata lagi pada sang suami: "Cing-koko, kau tahu tidak puteri ke-dua kita ada apa2 yang membohongi kita."

"Membohong? Membohong apa?" tanya Kwe Cing heran. Nyata wataknya sangat sederhana dan jujur, maka tidak pernah ia mencurigai orang lain.

"Sejak kembalinya dari utara mengantar kartu undangan," demikian tutur Ui Yong, "seorang diri ia selalu ter-menung2, cara bicaranya malam ini juga sangat aneh."

"Ia terkejut, sudah tentu pikirannya tidak tenang," ujar Kwe Cing.

"Bukan, bukan," sahut Ui Yong, "la sebentar malu2 kucing, lain saat tersenyum kecil, itu sekali2 bukan karena terkejut,.tapi, dalam hatinya justeru merasa senang tak terkatakan."

"Anak kecil mendadak mendapat bantuan orang kosen, sudah tentu akan terkejut serta kegirangan, apapun tak perlu dibuat heran," kata Kwe Cing Iagi.

Ui Yong tersenyum, ia tidak buka suara pula, tapi dalam hati ia berkata: "Perasaan anak perempuan yang dirundung asmara, waktu mudamu saja kau tak paham, sampai tua juga kau tetap tak mengerti!"

Karena itu, lalu iapun belokkan pokok percakapan mereka tentang siasat2 yang harus digunakan, untuk menghadapi musuh serta acara2 penyambutan tamu dalam perjamuan ksatria besok.Habis itu masing2pun pergilah mengaso.

Tapi di atas ranjang Ui Yong sukar pulas, sebentar2 ia terbayang oleh sikap puteri kecil yang aneh itu, pikirnya: "Pada waktu anak perempuan ini baru lahir lantas mengalami kesukaran, selama ini aku selalu berkuatir hidupnya akan banyak terjadi alangan, tapi syukurlah selama 16 tahun ini telah dilewatkan dengan selamat, apakah mungkin sekarang inilah bakal terjadi sesuatu atas dirinya?"

Apabila teringat olehnya musuh sudah dekat, malapetaka yang akan datang bakal dihadapi oleh setiap penduduk kota, jika sebelumnya bisa diketahui, sedikit apa2 yang bakal terjadi juga ada gunanya untuk ber jaga2.

Namun tabiat puteri kecil ini sangat aneh, apa yang tak ingin dikatakannya tetap tak dikatakan, betapapun orang tua membujuk dan mendamperatnya, ia tetap bungkam dalam seribut basa, dalam keadaan begitu orang tua jadi kewalahan.

BegituIah makin dipikir perasaan Ui Yong semakin tak enak, diam2 ia berbangkit dan menuju ke pintu kota, ia suruh penjaga benteng membukakan pintu terus menuju ke kelcmeng Yo-tayhu di barat kota.

Tatkala itu sudah jauh lewat tengah malam, bintang guram dan rembulan suram.

Ui Yong keluarkan ilmu entengi tubuhnya yang tinggi berlari ke sana. Ketika dekat kelenteng Yo-tayhu itu, tiba2 terdengar di belakang tugu "Tui-lui~ pi ada suara percakapan orang, Lekas2 Ui Yong mendekam ke tanah dan merunduk maju pelahan, setelah beberapa tombak dari tugu itu, ia mengumpet di belakang pohon besar.

Terdengar seorang berkata: "Sun-toako, In~ kong (tuan penolong) suruh kita menanti dibelakang Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata) ini. Sebab apakah tugu ini diberi nama yang begini menyedihkan, bukankah ini alamat jelek?"

"lnkong agaknya selalu hidup kurang senang, oleh sebab itu bila mendengar nama2 tentang Tui-pi (mengucurkan air mata)," Yu-jiu" (bersedih) dan lain2 yang menyedihkan lantas mudah teringat akan nasibnya," demikian sahut orang she Sun itu.

"Ah, orang berkepandaian tinggi seperti Inkong, seharusnya tiada urusan sulit baginya," ujar orang yang duluan, "Tapi kulihat wajahnya senantiasa bermuram durja. Tui-lui-pi" ini mungkin sekali dia sendiri yang menamakannya."

"ltulah bukan," sahut orang she Sun, "Aku pernah mendengar cerita kuno bahwa kelenteng Yo-taybu ini didirikan orang di kaki bukit Hian, ini untuk memperingat seorang menteri bernama Yo Koh yang sangat cinta pada rakyat di daerah sekitar sini, maka telah didirikan pilar (atau tugu) sebagai tanda jasanya.

Rakyat yang melihat pilar ini lantas ingat pada kebaikannya dan saking terharu banyak yang menangis, sebab itu pilar ini disebut Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata), Tan lakte, hidup manusia kalau bisa seperti Yo tayhu ini barulah boleh dikata seorang laki2 sejati."

"lnkong selamanya membela keadilan di Kangouw hingga banyak dipuji orang, bila ia menjadi pembesar negeri di Siangyang, boleh jadi namanya akan lebih cemerlang daripada Yo tayhu nya orang she Tao."

"Benar," sahut si orang she Su, "malahan Kwe-tayhiap yang namanya terkenal diseluruh jagat memiliki kebaikan yang meliputi apa yang dipunyai Yo-tayhu dan Inkong kita."

Mendengar kedua orang itu memuji suaminya, sudah tentu diam2 Ui Yong senang, tapi ia lantai berpikir juga: "Siapakah gerangannya Inkong (tuan penolong) yang mereka maksudkan itu? Apakah mungkin orang yang diam2 menolong Yang-ji itu?"

Sementara itu terdengar si orang she Sun berkata pula. "Kita berdua dahulu bermusuhan dengan Inkong, tapi kemudian jiwa kita malah dia yang menolong. Caranya menghadapi musuh seperti kawan sendiri. sungguh boleh dikata melebihi Yo Koh, Yo-tayhu. Menurut cerita kuno, dijaman Sam Kok waktu itu, Yo Koh menjaga Siangyang dan bertempur melawan panglima Tang Go yang bernama Liok Gong, sewaktu Yo Koh menyerbu daerah Tang Go, waktu perlu memotong tanaman rakyat untuk rangsum pasukannya, ia berkeras mengganti kerugian penduduk setempat Waktu Liok Gong sakit, ia malah mengirim obat untuknya dan Liok Gong pun sama sekali tidak curiga terus mcminumnya, sesudah minum obat itu ternyata lantas sembuh sakitnya. Begitulah betapa tinggi martabat Yo Koh sebagai manusia, sampai musuh sekalipun sangat menghormati dan segan padanya,"



"Sewaktu Yo Koh meninggal, perwira dan tentara Tang Go yang menjadi musuhnya juga ikut menangis sedih, Caranya menaklukkan hati manusia berdasarkan kebajikan itulah baru benar2 disebut Enghiong (pahlawan sejati)."

"He, Sun samko," tiba2 si orang she Tan berseru, "kau sebut2 Yo Koh, bukankah nama ini sama suaranya dengan nama Inkong kita. . ..."

"Sssst, diam, ada orang datang!" mendadak orang she Sun itu mendesis.

Ui Yong terkejut, benar segera terdengar dari bawah bukit ada suara orang berlari mendatangi dalam hati iapun berpikir: "Nama yang sama suaranya dengan "Yo Koh",, apakah mungkin adalah Nyo Ko? Ah, tidak, tidak mungkin, Sungguhpun, ilmu silat Ko-ji banyak maju juga tak nanti meningkat sampai tarap yang susah diukur itu." ..

Selang tak lama, orang yang datang itu tepuk2 tangan tiga kali, lantas orang she Sun itu membalas tepuk tangan, orang yang datang itu mendekati tugu Tui-lui-pi, lalu katanya: "Sun dan Tan berdua saudara, Inkong suruh kalian tak usah menunggunya lagi, Tapi disini ada dua kartu nama Inkong agar kalian berdua lekas mengirimkannya. Sun-samte mengirimkan kartu ini kepada Tio-lokunsu di Sin-yang, HoIam, Sedang Tan-lakte hendaklah mengirimkan kartu yang ini kepada Liong-ah Thauto di Oh-ah-san. Katakanlah pada mereka bahwa mereka berdua diminta berkumpul di sini dalam waktu sepuluh hari."

Maka terdengarlah orang she Sun dan Tan itu menyahut dengan hormat dan menerima kartu undangan itu.

Percakapan orang2 itu membikin Ui Yong semakin heran dan terkejut.

Kiranya Tio-lokunsu atau si guru silat tua sho Tio yang disebut itu adalah keturunan lurus dari kerajaan Song, ilmu pukulan 32 jurus Tiang kun dan 18 jurus permainan toyanya sangatlah terkenal. Sedang Liong-ah Thauto atau si paderi berambut bisu dan tuli dari Oh-ah-san adalah jago silat pendaman yang sangat tersohor di daerah Ohlam. Cuma sejak kecilnya bisu dan tuli, meski ilmu silatnya sangat tinggi, namun selamanya tiada hubungan dengan orang luar.

Karena adanya Eng-hiong-tay-hwe atau perjamuan besar kaum ksatria, Kwe Cing dan Ui Yong tahu kedua orang itu suka menyepi dan pasti tidak suka tampil ke dunia ramai, tapi untuk menghormati nama mereka, toh kartu undangan tetap dikirim, namun betul juga, kedua orang itu membalas dengan surat, dengan alasan halus mereka menolak untuk hadir.

Tapi kini "lnkong" yang disebut itu apakah benar2 begitu hebat hingga melulu berdasarkan secarik kartu namanya lantas kedua tokoh terpendam itu sudi datang dalam waktu 10 hari yang ditentukan? Demikian Ui Yong berpikir penuh tanda tanya.

Tapi bila ia pikir pula, tiba2 ia menjadi kuatir. Besok perjamuan besar kaum ksatria sudah akan dibuka, kini ada seorang sedang mengumpulkan tokoh2 Kangouw ternama ke Siangyang, apakah tujuannya? jangan2 hendak membantu pihak Mongol?

Namun bila mengingat watak Tio-lokunsu dan Liong-ah Thauto yang khas, agaknya bukanlah sebangsa manusia khianat, pula "lnkong" yang disebut itu bila benar orang yang membantu Yang-ji membunuh Nimo Singh itu, maka jelas pula orang itu adalah kawan pihak sendiri.

Begitulah selagi Ui Yong mengasah otak sendiri, sementara itu terdengar ketiga orang tadi sedang bisik2 pula sebentar, namun jaraknya sudah jauh, maka tak terdengar jelas, hanya sayup2 terdengar si orang she Tan itu bilang:

"selamanya Inkong tak memberi tugas pada kita, sekali ini kita harus melakukannya dengan baik.... kita harus menaikkan pamornya... kado kita esok.... kata2 lain tak yang jelas.

"Baiklah, sekarang juga kita berangkat, kau jangan kuatir, rencana Inkong pasti takkan kapiran," demikian lantas terdengar si orang she Sun mengiakan. Habis itu, ke tiga orang lantas turun bukit dengan cepat.

Sesudah orang pergi jauh, Ui Yong masuk kelenteng itu dan memeriksanya, tapi tiada sesuatu tanda2 aneh yang dilihatnya.

Bangunan kelenteng itu sangat megah dan kuat tapi karena pasukan musuh telah mendekat, maka penghuninya sudah lama lari ke kota hingga tiada seorang pula.

Sungguhpun Ui Yong orang pintar, tapi seketika juga bingung oleh orang yang disebut "lnkong" atau tuan penolong itu, iapun tak ingin "mengeprak rumput mengejutkan ular" dengan menangkap ke tiga orang itu untuk ditanyai, maka sampai fajar menyingsing, barulah ia kembali ke kota.

Ketika sampai disimpang jalan dekat pintu barat kota, tiba2 dilihatnya ada dua penunggang kuda secepat terbang menyerempet lewat, cepat Ui Yong menyingkir kepinggir jalan, waktu diawasinya, ternyata kedua penunggang itu adalah laki2 kekar semua.

Setiba disamping jalan itu, seorang memutar kuda ke barat-laut dan yang lain membalik ke barat-daya.

Ketika hendak berpisah, terdengar seorang diantaranya berseru: "lnsat, jangan lupa bilang pada Thio-toagocu bahwa dalang, pesinden dan penabuh-nya harus dia sendiri yang membawanya dan pula jangan lupa membawa tukang pembuat bunga api!"

"Ah, tak perlu kau mengingatkan aku terus menerus, kau sendiri disuruh pergi memanggil tukang isak yang kesohor itu, jika terlambat sehari, kau akan diomeli orang banyak," sahut kawannya itu. Habis itu, cepat sekali kedua orang itu lantas berpisah.

Perlahan Ui Yong masuk ke kota dalam hati ia tambah heran, nama Thio-toagocu (si selendang besar she Thio) sudah dikenalnya sebagai seorang berpengaruh di Hanggau, masakah ada seorang secara begitu mudah bisa memanggilnya datang, apakah ini juga suruhan "lngkong" yang disebut itu. Mereka main secara besar2an, sebenarnya apakah maksudnya?

BegituIah penuh tanda tanya dalam hati Ui Yong. Mendadak hatinya terkesiap, katanya: "Ya... ya, sekarang tahulah aku, pasti inilah sebabnya."

Cepat ia kembali ke rumah serta menanyai sang suami: "Cing-koko, apakah tamu undangan kita ada yang ketinggalan dikirim kartu?"

"Ketinggalan mengirimkan undangan?" tanya Kwe Cing heran "Tapi kita sudah memeriksanya beruIang kali, rasanya tiada yang ketinggalan."

"Memangnya akupun berpikir begitu," ujar Ui Yong, "Karena kuatir ada yang ketinggalan tak di undang, maka orang gagah mana saja, walaupun tidak terlalu dikenal juga kita kirimkan kartunya. Tapi apa yang kulihat tadi jelas sekali ada seorang tokoh besar yang merasa sakit hati hingga akan mengadakan suatu perjamuan besar kaum ksatria untuk mengkonkireni kita."

Namun Kwe Cing yang berjiwa luhur dan berhati terbuka, bukannya iri, sebaliknya ia girang, katanya. "Aha, itulah kebetulan jika ada seorang Enghiong yang bercita2 sama, itulah paling baik. Kita akan mendukung dia sebagai Bengcu (ketua perserikatan) dan biar dia memimpin para ksatria untuk melawan MongoI, kita sendiri tunduk pada perintahnya saja."

Namun Ui Yong lantas mengkerut keningnya, katanya: "Tapi melihat tindak-tanduknya, tidak mirip hendak melawan musuh, ia telah kirim undangan kepada Tio-lokunsu di Sinyang, Liong-ah Thauto di Oh-ah-san, Thio-toagocu dan lain-lain lagi."

Tapi Kwe Cing malahan bertambah girang, ia tepuk meja serta berseru: "Ha, jika orang ini sanggup mengundang Tio-lokunsu, Liong~ah Thauto dan Thio toagocu ke Siangyang, pasti kekuatan kita akan bertambah bcsar. Yong-ji, tokoh2 seperti itu, kita harus bersahabat baik2 dengan mereka."

Namun Ui Yong tidak menyahut lagi, sementara itu petugas memberitahu bahwa tamu2 telah datang hingga terpaksa Kwe Cing dan Ui Yong sibuk menyambut.

Saking sibuknya harus menyambut tetamu yang datang ber-bondong2 dari segala pelosok itu, terhadap pengalamannya semalam sementara tak sempat dipikirkan lagi oleh Ui Yong.

Esok harinya adalah Eng-hiong-tay-hwe, pertemuan besar ksatria itu tidak kurang disediakan 400 meja perjamuan, komandan militer kota pemerintah Song, Lu Bun-hwan, telah menyuguh sendiri arak kehormatan kepada para ksatria atau pahlawan itu.

Dalam perjamuan, ketika semua orang berbicara tentang keganasan serdadu Mongol yang membunuh rakyat dan merebut tanah airnya, semua orang merasa murka sekali, be-ramai2 semua orang akan bertempur matian melawan musuh -"

Dan malam itu juga dengan suara bulat Kwe Cing dipilih sebagai Bengcu atau ketua perserikatan, semuanya bersumpah dengan darah dan berjanji melawan musuh hingga titik darah penghabisan.

Di lain pihak sesudah hari itu Kwe Yang bertengkar dengan sang Taci di kelenteng Yo-taybu serta menyatakan takkan ikut hadiri perjamuan besar ksatria itu, betul juga ia tak menampakkan diri melainkan makan-minum sendirian dikamarnya, katanya pada dayang yang melayaninya: "Taci pergi menghadiri perjamuan ksatria itu, aku sendirian enak2 makan-niinum, masa kalah gembiranya daripada dia?"

Kwe Cing dan Ui Yong sendiri lagi pusatkan pikiran untuk menghadapi musuh, sudah tentu mereka tak sempat menilik kelakuan anak dara yang lagi ngambek itu, Kwe Cing boleh dikatakan sama sekali tak tahu menahu.

Ui Yong pernah juga menanyakan, tapi iapun tahu adat puteri kecil itu memang aneh, maka ia hanya ganda tersenyum saja.

Dalam perjamuan besar itu kebanyakan para pahlawan adalah jago minum, sesudah banyak minum hingga pengaruh alkhohol sudah bekerja, lantas saja banyak yang lupa daratan, ada juga yang lantas memamerkan ilmu silat mereka sebagai selingan.

Betapapun juga akhirnya Ui Yong terkenang pada puteri kecilnya itu, maka katanya pada Kwe Hu: "Coba kau pergi memanggil adikmu itu keluar untuk melihat keramaian ini, perjamuan seperti ini, selama hidup orang belum tentu dapat menyaksikannya satu kali."

"Ah, aku justeru tak mau mengundangnya," sahut Kwe Hu. "Adik memangnya lagi ngambek dan ingin mencari gara2 padaku, bukankah aku cari penyakit bila pergi kesana."

"Biar aku saja menyeret Ji-ci kemari," ujar Kwe Boh-lo. Lalu iapun berbangkit dan menuju kebelakang.

Tapi tak lama Boh-lo telah kembali sendirian, belum lagi ia buka suara atau Kwe Hu sudah mendahului berkata: "Gimana? Aku kan sudah bilang ia takkan datang sekarang betul tidak?"

Melihat wajah puteranya itu penuh rasa keheranan segera Ui Yong bertanya: "Apa yang dikatakan Ji-ci?"

"Sungguh aneh, mak!" sahut Boh-lo.

"Sebab apa?" tanya sang ibu.

"Kata Ji-ci, di kamarnya sedang diadakan perjamuan kecil kaum ksatria, maka takkan menghadiri perjamuan besar ksatria ini!" demikian Boh-lo menerangkan.

Namun Ui Yong hanya tersenyum, katanya: "Ji-cimu itu memang suka berpikir yang tidak2, biarkanlah."

"Mak, tapi di kamar Ji-ci benar2 ada tetamunya," kata Kwe Bob-lo lagi. "Diantaranya lima laki2 dan dua wanita, semuanya lagi minum arak bersama Ji-ci."

Dengar itu, mau tak-mau Ui Yong mengkerut kening, ia pikir anak dara ini makin lama semakin berani, masakah kamar seorang perawan memasukkan orang laki2 untuk makan-minum sesukanya? sungguh nama julukan Siau-tong-sia yang diberikan orang benar2 tidak salah.

Tapi hari ini semua orang lagi bergembira, tidak pantas untuk soal sekecil ini puteri itu harus didamperat hingga menghilangkan kegembiraan semua orang.

"Cobalah kau pergi mengundang teman2-adikmu itu agar minum arak ke ruangan besar ini, biar ramai2 bergembira bersama," demikian katanya kepada Kwe Hu, Nyata ia mengira Boh-lo tak pandai menghadapi tamu, maka puteri sulung ini yang di suruhnya sekarang.

Kwe Hu sendiri memang juga heran dan ingin mengetahui kamar adiknya itu kedatangan tamu siapakah, ia cukup kenal watak sang adik yang tak pedulikan adat perbedaan laki2 perempuan segala macam dan lapisan masyarakat suka bergaul, ia pikir teman yang lagi minum arak bersamanya itu tentu sebangsa orang2 tak keruan.

Kini mendengar perintah sang ibu segera iapun berbangkit menuju ke kamar Kwe Yang.

Ketika hampir dekat kamar adiknya itu, terdengarlah suara anak dara itu lagi berseru: "Hai, Gin-koh, suruhlah koki membawakan lagi dua guci arak!"

Pelayan yang disebut itu menyahut sekali, lalu terdengar Kwe Yang menambahkan: "Dan pesan pula koki lekas masak dua paha kambing serta memotong 20 kati daging rebus yang hangat2."

Maka pergilah pelayan menerima perintah itu.

Kemudian terdengar suara seorang seperti bunyi gembreng pecah berkata pula: "Kwe-jikohnio (nona Kwe kedua) benar- bertangan sangat terbuka, sayang aku Jin-tu-cu tidak kenal sejak dulu, kalau tahu, sudah lama aku berkawan dengan kau."



"Berkawan sekarang juga belum terlambat," sahut Kwe Yang tertawa.

Mendengar percakapan itu, Kwe Hu mengkerut kening, waktu ia mengintip melalui sela2 jendela, terlihatlah dalam kamar adiknya itu terletak sebuah meja pendek, delapan orang berduduk dilantai, diatas meja sendok-piring simpang siur tak ter-atur, perjamuan sedang berlangsung dengan meriahnya.

Yang duduk menghadap kemari terlihat adalah seorang gemuk gede, simbar dada hingga bulu dadanya yang hitam lebat itu kelihatan, disebelah kirinya adalah seorang sastrawan berjenggot cabang tiga, pakaiannya rajin bersih. Dan sebelahnya lagi adalah seorang wanita setengah umur, cuma mukanya penuh codet bekas luka, sedikitnya berpuluh tempat.

Dan yang duduk disebelahnya lagi adalah segarang thauto berambut memakai sebuah ikat rambut emas yang ber~kilau2, ia sedang menggerogoti sepotong ayam panggang dengan lahapnya:

Sedang tiga orang lainnya duduk mungkur, maka tak jelas muka mereka, agaknya yang dua adalah kakek2 yang beruban rambutnya dan seorang lagi adalah Nikoh (paderi wanita) berbaju hitam.

Kwe Yahg sendiri duduk diantara orang2 itu, wajahnya yang cantik itu sudah bersemu merah, suatu tanda pengaruh alkohol, tapi anak dara ini asyik beromong tak pernah diam, nyata sekali hatinya sangat bergembira.

Tidak lama kemudian koki telah antarkan masakan yang diminta tadi, maka semuanya orang makan se-puas2nya pula, malahan yang minum dan makan paling banyak adalah si Nikoh berbaju hitam itu.

Diam2 Kwe Hu pikir, melihat betapa gembiranya mereka, seumpama diundang keruangan besar di depan sana juga mereka tak mau pergi.

Dalam pada itu terlihatlah seorang kakek2 beruban diantaranya telah berdiri, lalu berkata: "perjamuan ini rasanya sudah mencukupi delapan bagian, biarlah hari ini kita sampai di sini saja, kelak kalau hari ulang tahun nona, pasti kami akan makan minum lebih besar pula, Kini orang tua ada sedikit hadiah. harap saja nona Kwe jangan mencela!"

Habis berkata, dikeluarkannya sebuah kotak terbungkus sutera dan diletakkan di meja.

"Pek-cau-siao hadiah apakah yang kau berikan itu, hayolah perlihatkan." segera kakek yang lain berteriak. Sembari berkata iapun ulur tangan membuka kotak itu sendiri. Tapi segera ia berseru tertahan: "Ah, ini adalah "Jian-lian-swat-som" (Kolesom salju berumur ribuan tahun), dari mana kau memperolehnya?" - Lalu benda mestika itupun dijemputnya dan di-amat2i.

Dari sela2 jendela dapatiah Kwe Hu melihat jelas kakek itu memegangi sebatang Jin-som seputih salju yang panjangnya kira2 satu kaki, bentuknya menyerupai benar anak orok, kepala, tubuh dan anggota badan semuanya lengkap, malahan kulitnyapun bersemu merah, sungguh semacam benda mestika yang sukar didapatkan saking kagumnya hingga semua orang ber-keplok2 memuji.

Tampaknya kakek yang dipanggil Pek-cau sian atau Dewa Seratus Rumput itu menjadi senang, katanya: "Jian-lian-swat-som ini manjur menyembuhkan penyakit yang paling berat dan untuk memunahkan segala racun, boleh dikata khasiatnya dapat menghidupkan yang masti dan menyambung umur yang hidup. Bahwa nona hidup bahagia hingga berumur seabad, memangnya tak memerlukannya. Tunggu saja sampai hari ulang tahun seabad, ambil Jim som ini dan meminumnya agar nona panjang umur lagi seratus tahun, bukan kah sangat bagus."


Semua orang bertepuk tangan sambil tertawa, mereka memuji kakek itu pandai mengucapkan kata2 pujian.

Dalam pada itu orang gemuk gede yang bernama Jin-tuicu (si jagal orang) lantas mengeluarkan sebuah kotak besi juga, katanya dengan tertawa: "Nah, aku menghadiahi nona semacam mainan, hanya untuk bikin tertawa nona saja, tapi tak bisa dibandingkan dengan benda mestika hadiah Pek Cau-sian-ong tadi."

Dan ketika kotak besi itu dijeplakkan, mendadak dari dalam kotak meloncat keluar dua Hwe-sio gemuk terbuat dari besi, panjangnya masing2 kira2 tujuh dim, lalu yang satu memukul dan yang lain menendang terus saling serang-menyerang.

Betapa lucu boneka besi itu hingga semua orang tertawa geli, Ternyata dari gerak gerik pukulan2 kedua boneka besi itu adalah ilmu pukulan "Siau-lim~lo-han-kun" yang terkenal, tak lama kemudian, sesudah alat putaran (pergas) dalam boneka besi itu habis barulah mendadak kedua boneka itu berhenti dengan berdiri tegak, gayanya mirip jago silat kelas satu.

Melihat ini semua orang tidak sanggup tertawa lagi, sebaliknya mereka berwajah kuatir.

"Jin-tu-cu," tiba2 wanita yang bermuka codet itu berkata, "jangan kau jaga mukamu, tapi malah mendatangkan penyakit bagi nona Kwe. Thi-lo-han" (orang2an besi) ini adalah milik Siau-lim-si, darimana kau dapat mencurinya?"

"Hehe," sahut Jin-tu-cu tertawa, sungguhpun aku Jin-tu-cu bernyali sebesar langit juga tak berani coba2 gerayangi Siau-lim-si, Tapi ini justeru adalah Bu-sik Siansu, itu paderi utama ruangan Lo-han-tong dari Siau-lim-si yang menyuruh aku membawanya kemari, ia bilang tepat pada hari ulang tahun nona pasti akan sampai di Siangyang untuk memberi selamat. Nah, yang inilah baru benar2 adalah hadiahku sendiri yang tak berarti!"

Habis berkata, ia buka lapisan bawah kotak besi itu hingga tertampaklah sepasang gelang kemala hitam.

Gelang hitam itu tertampak ber-kilat2, bentuknya tidak menarik, mendadak Jin-tu-cu melolos sebilah golok terus membacok gelang kemala itu, maka terdengarlah suara "trang" yang nyaring, golok itulah yang membal ke atas, sebaliknya gelang kemala tak kurang apapun.

Maka bersoraklah memuji semua orang, Menyusul itu lantas si sastrawan, Nikoh, Thau-to dan si wanita muka codet masing2 juga memberi kado kepada Kwe Yang, semuanya barang aneh dan mestika yang jarang dilihat. Tentu saja Kwe Yang kegirangan, dengan senyum simpul semua kado itu diterimanya.

Menyaksikan itu Kwe Hu semakin terperangah sekali putar tubuh, segera ia lari kembali keruangan depan dan ceritakan semua apa yang dilihatnya kepada sang ibu.

Mendengar itu kejut Ui Yong melebihi Kwe Hu, segera ia mengajak Cu Cu-liu dan bertiga masuk ke ruangan dalam. Lalu Ui Yong tuturkan apa yang dilihat Kwe Hu tadi kepada Cu-Iiu, itu murid tertua dari It-teng Taysu.

Cu Cu-liu ikut ter heran2, katanya: "Jin-tuicu dan Pek cau-sian? Mengapa mereka bisa datang ke Siangyang sini? si Nikoh berbaju hitam itu mungkin sekali adalah Coat hou-jiu Seng-in Suthay yang membunuh orang tak berkesip, sedang kipas lempit si sastrawan itu terlukis satu setan Bu-siang (setan gentayangan), ehm, apakah mungkin ialah Coan-lun-ong Thio It bin?"

Sembari berkata Ui Yong ber-ulang2 mengangguk sebaliknya Cu-liu sendiri geleng2 kepala, katanya: "Tapi hal ini teranglah tak mungkin. berapakah usia nona Kwe, kecuali akhir2 ini pernah keluar sekali, selain itu belum pernah kakinya menginjak tempat lebih jauh 10 li di luar Siangyang, mana bisa ia kenal orang2 kosen dari segala pelosok itu?



Pula, Bu-sik siansu dari Siau~lim-si itu sudah berpuluh tahun tak pernah turun gunung, orang lain sengaja mohon bertemu saja ditolak, mana mungkin sekarang ia malah datang ke Siangyang melulu untuk memberi selamat ulang tahun kepada seorang nona? Menurut pendapatku, tentu nona cilik ini sengaja bersekongkol dengan kawannya dan membesarkan segalanya untuk menggoda encinya."

"Tapi nama2 seperti Seng-in Suthay, Thio It-bin dan lain2 jarang kita sebut2, darimana Yang-ji bisa kenal mereka, hendak main2 juga tidak selengkap itu," ujar Ui Yong ter-mangu2.

"Marilah kita coba menemui mereka menurut aturan, jika mereka adalah teman Kwe-jikohnio kedatangan mereka ke Siangyang ini pasti tiada maksud jahat," kata Cu-Iiu kemudian.

"Akupun berpikir begitu," sahut Ui Yong. "Cuma Seng-lo Suthay, Coan-lun-ong Thio It-biti dan lain2 itu biasanya lurus2 serong tak tertentu, walaupun kita tak jeri, tapi kalau terlibat permusuhan, rasanya cukup akan bikin kepala pusing, kini pasukan musuh dekat didepan mata, betapapun tak boleh lagi memencarkan perhatian untuk melayani manusia2 aneh ini..."

Sampai di sini, mendadak terdengar suara seorang bergelak ketawa di luar jendela dan berkata. "Kwe-hujin, kami datang ke Siangyang melulu untuk memberi selamat ulang tahun dan tiada maksud jahat lain, kenapa harus menjadi pusing kepala?"

Ketika mengucapkan "tiada maksud jahat, kenapa harus pusing kepala," ternyata suara itu sudah menjauh.

Cepat Ui Yong, Cu Cu-Iiu dan Kwe Hu memburu ke pinggir jendeia, terlihatlah satu bayangan berkelebat diatas pagar sana, gerak tubuh itu cepat luar biasa, hingga sekejap saja sudah menghilang.

Sedianya Kwe Hu hendak mengudak, tapi Ui Yong telah menariknya "Jangan sembrono, tak mungkin kau bisa menyandaknya!" ~ Dan ketika ia mendongak tiba2 terlihat di atas dahan pohon diluar itu tertancap sebuah kipas putih yang terpentang.

Kipas itu tingginya empat tombak lebih, Kwe Hu menduga dirinya tak mampu sekali loncat meraihnya, maka serunya: "Mak!"

Ui Yong meogangguk, dengan enteng saja ia meloncat, tangan kirinya menahan pelahan disuatu dahan terus mencelat naik pula keatas dan kipas itupun dapat dicabutnya turun.

Ketika mereka periksa kipas itu dibawah sinar lampu di dalam rumah, terlihatlah disebelah kipas itu terlukis setan Bu-siang putih yang lidahnya melelet panjang dengan muka ber-seri2, kedua tangannya terangkap mengunjuk hormat, disampingnya tertulis 14 huruf besar yang berbunyi.

"Selamat hari ulang tahun nona Kwe kedua, semoga hidup seabad dan berumur panjang"

Waktu Ui Yong membalik kipas itu, disebelahnya juga tertulis kata2.

"Hek-ih-ni Seng-in, Pek- cau-sian, Jin tu-cuw Kiu-su-sing, Kau-bak Thauto, Han Bu hou dan Thio It-bin, menyampaikan salam hormat kepada Kwe-thayhiap serta Kwe~hujin, selamat hari ulang tahun puteri kesayangan kalian, kedatangan kami yang lancang ini tak berani lagi tinggal lebih lama, haraplah maaf, maaf."

Beberapa baris tulisan itu belum kering tinta-nya, tulisannya kuat dan bergaya, Cu Cu-Iiu adalah ahli seni-tulis, maka segera ia memuji: tulisan bagus, tulisan bagus!"

"Nah, teranglah sekarang, marilah kita pergi melihat Yang-ji," kata Ui Yong kemudian.

Waktu mereka sampai dikamar anak dara itu, pelayan sedang membersihkan sisa daharan dan mangkok piring kotor

"Mak, Cu-pepek, Cici, lihatlah kalian, inilah kado yang kuterima dari tetamu," demikian kata Kwe Yang segera.

Menyaksikan benda2 seperti Jin-lian-swat-som, Tiat-lo-han kembar, gelang kemala hitam serta kado2 lain hadiah Coat-hou-jiu Seng-in Suthay dan Coan-luo-ong Thio It-bin cs., sudah tentu Ui Yong dan Cu-liu sama merasa heran sekali.

Ketika Kwe Yang menjeplak alat penggerak hingga sepasang boneka besi itu bersilat saling pukul puIa, tampaklah anak dara itu amat girangnya.

Ui Yong menunggu selesai kedua boneka itu memainkan "Lo-han-kun" dari Siau-lim-si itu, lalu tanyanya: "Yang-ji, sebenarnya apakah yang terjadi, coba ceritakanlah pada ibu."

"Ah, biasa saja, beberapa kawan baru mengetahui aku Shejit (hari ulang tahun), maka mereka memberikan kado padaku," sahut Kwe Yang tertawa.

"Darimana kau kenal orang2 ini?" tanya sang ibu.

"Juga baru hari ini kukenal mereka." sahut Kwe Yang. "Tadi waktu aku seorang diri minum arak didalam kamar, tiba2 terdengar Han-cici, itu enci yang bernama Han Bu hou, menyapa diluar jendela, katanya: "Adik cilik, kami be-ramai2 mengiringi kau minum, mau tidak?"

Aku menyahut: "Baik sekali! Marilah masuk, marilah masuk!" -Dan merekapun melompat masuklah dari luar, malahan mereka menyatakan pada tanggal 24 tepat hari ulang tahun ku nanti mereka akan datang pula memberi selamat. Ya, entah dari mana mereka tahu saat hari ulang tahunku. Mak, apakah mereka kenalanmu dan ayah. Bila tidak, kenapa mereka beri kado begini banyak padaku?"

"Ayahmu dan aku tidak kenal mereka," sahut Ui Yong, "Tentunya mereka datang atas undangan seorang sobatmu yang aneh, bukan?"

"Aku tidak punya sobat aneh, kecuali Cihu," sahut Kwe Yang tertawa.

"Ngaco, Cihu-mu kenapa kau katakan aneh?" semprot Kwe Hu.

Kwe Yang me-Ielet2 lidah, sahutnya tertawa. "Sesudah menikahi kau, tidak anehpun Cihu ber-ubah aneh."

Segera Kwe Hu angkat tangannya hendak memukul namun sambil terkikik Kwe Yang sembunyi di belakang sang ibu

"Sudahlah, taci-adik jangan bergurau Iagi," ujar Ui Yong, "Coba, Yang-ji, jawablah, tadi Coan-lun-ong dan Pek-cau-sian itu me-nyebut2 tentang Eng hiong-tay-hwe yang akan kita adakan itu tidak?"

"Tidak," sahut Kwe Yang. "Hanya kedua kakek yang bernama Pek-cau-sian dan Kiu-su-sing itu bilang sangat mengagumi ayah."

Sesudah Ui Yong tanya lagi dan melihat Kwe Yang benar2 tidak membohongi apa2, lalu katanya: "Baiklah, lekas tidurlah!" - Bersama Cu Cu-liu dan bersama Kwe Hu merekapun keluar dari kamar anak dara itu.

"Mak," tiba2 Kwe Yang menyusul keluar kamar. "lni Jian-lian-swat-som agaknya sangat berfaedah, harap ibu memakannya separah dan ayah separoh."

"Bukankah itu kado Pek-cau-sian untuk ulang tahunmu?" sahut Ui Yong.

"Aku sudah terlahir dan juga sudah besar, tapi tiada sedikit jasapun, tapi ibulah yang selama ini benar2 terlalu capek," ujar Kwe Yong.

Ui Yong pikir janganlah mengecewakan maksud baik puteri kecil ini, maka Jin-som itu diterimanya, bila terkeuang olehnya pada hari Kwe Yang dilahirkan lantas banyak mengalami hal2 yang berbahaya tanpa terasa ia menghela napas.



Ketika Kwe Cing kembali ke kamar dan bercerita pada sang isteri tentang semangat para ksatria yang bersatu padu dan siap berjuang sepenuh tenaga untuk melawan musuh, tampaknya ia menjadi luar biasa girangnya.

Ui Yong menceritakan juga tentang kehadiran Seng in Suthay dan Pek-cau sian cs. dalam perjamuan Kwe Yang, seketika Kwe Cing melengak. "Bisa terjadi hal begitu?" demikian ia menegas.

Ketika ia periksa Jian-lian-swat-som itu, ternyata memang benda mustika yang sukar diperoleh.

"Ha, nona cilik kita agaknya pengaruhnya jauh melebihi orang tuanya," ujar Ui Yong tertawa.

Tapi Kwe Cing tak bersuara, ia menunduk memikirkan tindak-tanduk orang2 sebangsa Seng in Suthay, Coan lun ong dan Han Bu hou itu.

"Cing-koko," kata Ui Yong pula, "urusan pemilihan Pangcu apa lebih baik dimajukan beberapa hari, bila tidak, sampai hari ulang tahun Yang-ji dan Bu-sik siansu cs. benar2 datang rasanya terlalu banyak campur aduk orang2 luar, mungkin akan terjadi hal2 di luar dugaan."

"Tapi aku malah ada suatu pikiran," ujar Kwe Cing, "Kita justeru tunggu sampai tanggal 24 baru mulai memilih pangcu agar suasana bertambah semarak. Bila Bu-sik siansu dan Liong-ah Thauto benar2 hadir, kita lantas minta mereka agar suka bersatu padu melawan musuh penjajah, bukankah demikian ini menjadi lebih baik?"

Namun aku kuatir kalau2 mereka hanya pura2 datang memberi selamat saja, tapi tujuannya hendak mengacau," sahut sang isteri, "Coba kau pikir, ada hubungan apakah mereka dengan Yang-ji yang masih kecil ini, masakah mereka datang melulu untuk memberi selamat Shejit padanya? Sejak dahulu kala yang lurus dan yang serong tidak pernah berdiri sejajar, mungkin masih ada sebagian besar ahli silat didunia ini yang tak suka kau diangkat menjadi Bu-lim Bengcu (ketua himpunan persilatan)."

Tiba2 Kwe Cing berdiri dan ter-bahak2. "Yong-ji," katanya, "perbuatan kita asal tidak merugikan negara dan bangsa, tentang Bu-lim Bengcu ini siapapun yang menjabatnya bagiku serupa saja, Apalagi yang serong takkan menangkan yang lurus, jika mereka benar2 bermaksud jahat, biar kita melayani mereka.

Kau punya "Pak-kau-pang hoat" (ilmu permainan pentung penggebuk anjing) dan aku punya "Hang-liong-sip-pat-ciang" (18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) sudah ada belasan tahun tak pernah dipertunjukkan dan agaknya tidaklah perlu jeri pada orang"

Melihat semangat sang suami masih me-nyala2 tidak kurang daripada masa dahulu, maka kata Ui Yong dengan tertawa: "Baiklah aku menurut saja pada keputusan pimpinan. Dan minumlah Jin-som salju dari Yang-ji ini, agaknya khasiatnya cukup membandingi latihan selama lima-enam tahun"

"Ah, tidak"" sahut Kwe Cing, "kau sudah melahirkan tiga anak, kekuatanmu tentunya banyak berkurang, kaulah yang perlu tambah jamu kuat.

Nyata cinta kasih antara suami isteri itu benar2 kekal, sesudah tolak menolak akhirnya Kwe Cing berkata: "Sudanlah, biar Jin-som ini kita simpan saja. Beberapa hari lagi dalam pertarungan ksatria2 tentu ada kawan kita yang terluka, dan benda ini kita simpan untuk menolong jiwa mereka."

Besok paginya perjamuan besar kaum ksatria itu masih terus dilangsungkan dan di kamar Kwe Yang perjamuan "kecil kaum ksatria juga tetap diadakan.

Sudah siang2 Ui Yong pesan koki agar memasak se-baik2nya untuk tetamu puteri kecilnya itu.

Kwe Hu sendiri sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk persiapan kemungkinan sang suami, yaitu Yalu Ce, yang bakal merebut kedudukan Pangcu Kay-pang. Maka terhadap urusan tamu2 aneh sang adik itu sama sekali tak dihiraukannya.

Beberapa hari keadaan demikian itu telah berlangsung dalam pertemuan para ksatria itu sudah selesai dirundingkan dan ditetapkan siasat cara bagaimana menggalang seluruh kekuatan kaum patriot dan cara mengacaukan bala bantuan Mongol serta pertahanan kota. Para pahlawan sama menggosok2 kepalan penuh semangat menanti datangnya musuh untuk bertempur.

Akhirnya tibalah tanggal 24, pertemuan besar sudah selesai, acara selanjutnya adalah pemilihan pangcu atau ketua Kay-pang, persatuan kaum jembel. sehabis makan siang, beramai2 para ksatria lantas menuju ke alun2 di selatan kota.

Di tengah alun2 itu terlihatlah satu panggung tinggi megah sudah dipasang, di atas panggung itu kosong bersih tanpa sebuah bangkupun.

Hal ini memang sudah menjadi peraturan Kay-pang turun temurun, tak perduli pertemuan besar rapat kecil, selamanya mereka duduk ditanah sebagai tanda tidak meninggalkan adat asli kaum jembel atau pengemis.

Hanya di sebelah timur panggung teratur beberapa ratus kursi itu melulu disediakan untuk para tamu undangan yang tidak termasuk anggota Kay-pang.

Belum lohor, disekitar panggung itu sudah berjubel lebih dua ribu anggota Kay-pang, semuanya adalah anggota lama dan tergolong tokoh, paling rendah tingkatannya adalah anak murid berkantong empat.

Kedua ribu anggota Kay pang itu tadinya berada di bawah pimpinan empat orang Tianglo atau tertua, yakni yang mula2 terdiri dari Loh-tianglo, yaitu Loh Yu-ka, lalu Kan tianglo, Kho-tianglo dan Peng-tianglo.

Loh-tianglo naik pangkat menjadi Pangcu, sekarang mati dibokong musuh. Peng-tianglo telah mengkhianat dan terbunuh oleh Cu-in, Kan-tianglo mati tua dan kini tinggal seorang Nio-tianglo saja yang merupakan tertua satu2nya. Sedang lowongan ketiga Tianglo yang lain itu telah diisi oleh murid berkantong delapan yang dinaikkan pangkatnya.

BegituIah anggota2 Kay-pang itu sama duduk di tanah mengitari panggung itu menurut daerah masing2, sedang beribu ksatria itu duduk dikursi tempat peninjau. Yalu Ce suami-isteri, Bu Tun si dan Yalu Yen, Bu Siu-bun dan Wanyen Peng cs, karena termasuk angkatan muda, mereka duduk dibarisan kursi yang paling belakang.

Sesudah berlatih giat selama belasan tahun ini, mereka merasa sudah banyak maju, maka diam2 sama memikirkan cara bagaimana nanti akan unjuk kepandaian mereka dihadapan orang banyak.

Kwe Boh lo waktu itu berduduk disamping sang Cici, Kwe Hu, pemuda ini menjadi kegirangan melihat suasana yang begitu ramai, katanya:

"Ji-ci benar2 aneh, suasana seramai ini ternyata tak mau menonton."

"Ah, hati si kecil aneh itu memang sukar menerkanya," sahut Kwe Hu menjengek.

Dalam pada itu terlihatlah disebelah timur sana seorang anak murid Kay~pang berkantong delapan telah berdiri dan menempelkan sebuah kulit keong besar kemulutnya dan ditiupnya hingga mengeluarkan suara "hauk-bauk", kiranya telah tiba waktunya antara pukul satu lewat Iohor.

Segera Ui Yong melompat ke atas panggung, ia memberi hormat kepada hadirin, lalu dengan suara hutang berkata, "Perkumpulan kami hari ini mengadakan rapat besar, berkat para pahlawan dan ksatria angkatan tua sudi mengunjungi serta banyak kawan muda yang sudi hadir sebagai peninjau, sungguh segenap anggota perkumpulan kami merasa bangga dan berterima kasih-"



Habis ini ia memberi hormat lagi hingga para ksatria di bawah panggung sama berdiri membalas hormatnya.

"Mendiang Loh-pangcu kami" demikian Ui Yong melanjutkan kata pembukaannya, "selama hidupnya selalu berbudi dan berjuang untuk kepentingan rakyat dan negara secara tak kenal lelah. Sayang kemarin dulu telah dicelakai bangsat Hotu di kelenteng Yo-tayhu di bukit Hiansan. Dendam ini tidak terbalas, sungguh merupakan suatu noda yang memalukan bagi perkumpulan kita..."

Sampai di sini para anggota Kay-pang yang ingat pada kejujuran dan kebaikan budi Loh Yu ka, segera banyak yang ter-guguk2 menangis dan ada pula yang mengertak gigi mengumpat maki si bangsat Hotu.

"Tapi pasukan Mongol yang mengarah ke kota Siangyang kita ini dalam waktu singkat ini sudah akan datang." demikian Ui Yong melanjutkan "maka persoalan pribadi jangan dipikir, urusan perkumpulan kami untuk sementara ditangguhkan, nanti saja dibicarakan lagi setelah musuh kita gempur mundur."

Seketika bersoraklah para hadirin memuji kebijaksanaan Ui Yong yang mengutamakan kepentingan umum daripada urusan pribadi.

"Cuma saja anggota perkumpulan kami yang beratus ribu banyaknya tersebar luas diseluruh pelosok..." demikian Ui Yong menyambung. "ibarat naga tanpa kepala, maka perlu harus diangkat dulu-seorang pangcu baru. Dan pada kesempatan inilah kita memilih seorang yang memenuhi syarat, seorang patriot komplit sebagai Pangcu perkumpulan kita. Adapun caranya memilih baiklah silakan Nio-tianglo saja untuk menerangkannya."

Segera Nio tianglo melompat ke atas panggung, Walaupun Nio-tianglo sudah tua, rambutnya penuh beruban, tapi dadanya membusung, semangatnya me-nyala2, gaya lompatnya juga gesit dan cekatan, suatu tanda betapa tinggi ilmu silatnya, maka semua orangpun bersorak memuji.

Menunggu setelah suara sorak sorai itu mereda barulah kemudian Nio-tianglo buka suara keras2: "Kepintaran bekas Ui-pangcu tiada bandingannya, apa yang dia katakan barusan pasti tidak salah. Tapi beliau sendiri merasa sungkan hingga kami yang terdiri dari empat Tianglo serta delapan murid berkantong delapan telah disuruh berunding untuk memutuskan. Kini sesudah kami berunding setengah harian, akhirnya dapat juga dikemukakan suatu usuI."

Seketika suasana dibawah panggung menjadi sunyi senyap, semua orang sama ingin mendengarkan apa yang akan diumumkan tertua Kay-pang itu.

"Menurut pendapat kami," demikian Nii tianglo melanjutkan "anak murid Kay-pang tersebar diseluruh jagat, walaupun bukan orang pandai dan tiada berguna, tapi jumlah orangnya tidak sedikit, hendak memimpin sejumlah orang ini, tepat seperti apa yang dikatakan bekas Ui-pangcu tadi bahwa harus dipilih seorang "patriot-komplit".

Kini yang hadir disini semuanya adalah orang gagah terkenal di Kangouw, siapa saja yang sudi menjadi pemimpin perkumpulan kami pasti akan kami sambut dengan gembira. Cuma para ksatria terlalu banyak untuk memilih juga susah, sebab itulah kami 12 orang lantas menentukan suatu cara yang bodoh," yakni silakan para ksatria suka unjuk kepandaian di atas panggung, siapa lebih kuat dan mana yang lemah biar kita saksikan bersama.

Cuma harus dijelaskan lebih dulu bahwa pertandingan nanti hendaklah berakhir asal salah sepihak sudah tertutuk saja, sebab bila sampai ada orang terluka atau jiwa melayang sungguh perkumpulan kami yang akan berdosa dan bikin perasaan tidak enak.. Oleh sebab itulah, bila diantara saudara2 ada yang dendam segala, se kali2 tak boleh diselesaikan diatas panggung sini, bila ketentuan ini tidak diturut, itu berarti sengaja mengacau perkumpulan kami, tatkala itu hendaklah jangan menyalahkan kami jika terpaksa diambil tindakan."

Ketika berkata sampai terakhir ini, sinar mata Nio tianglo menyorot tajam kesekitar hadirin sekalian. Nio-tianglo tahu bahwa dalam keadaan bertanding dan saling unjuk kemahiran masing2 tentu tak mau saling mengalah hingga bakal ada yang terluka atau mati.


Tapi kini saatnya lagi genting menghadapi musuh dari luar, bukankah berbalik bila terjadi saling bunuh dulu diantara bangsa sendiri? Sebab itulah Nio-tianglo memperingatkan sungguh2 dengan maksud agar orang jangan ambil kesempatan itu untuk balas dendam perseorangan itu. bila terjadi, tentu be-ramai2 orang akan mengerubutnya.

Mendengar uraian Nio-tianglo itu, keadaan di bawah panggung menjadi sunyi. Kiranya umumnya jago tua tentunya sudah lama punya kedudukan ketua atau pemimpin aliran masing2 dan tidak mungkin tampil kemuka untuk rebut jabatan Pangcu dari Kay-pang, hanya orang2 muda dibawah umur 40 usianya yang ber-debar2 ingin sekali coba2 mengadu tenaga diatas panggung.

Tapi mengingat harus bertanding dihadapan beribu orang itu dan harus menundukkan anggota2 Kay-pang yang beribu2 banyaknya itu, sesungguhnya bukanlah suatu hal yang mudah.

Karena itulah, sehabis Nio-tianglo bicara tiada seorangpun yang tampak melompat keatas panggung.

"Kecuali beberapa tokoh Locianpwe, ksatria seluruh jagat dan orang2 kosen semuanya berada disini, asal ada yang berminat terhadap perkumpulan kami, bolehlah silakan naik panggung," demikian Nio tianglo berseru lagi dengan suara keras.

"Dan diantara enam murid perkumpulan kita sendiri bila ada yang merasa yakin kepandaiannya tahan diuji, beleh juga naik panggung, sekalipun seorang murid berkantong empat, boleh jadi selama ini ia sengaja menyembunyikan diri hingga tiada yang mengetahui kegagahannya"

Setelah Nio tianglo mengulangi beberapa kali undangannya itu, kemudian barulah terdengar suara bentakan seorang yang keras bagai guntur. "Akulah yang dalang!" Menyusul itu, cepat sekali seorang melompat keatas panggung.

Setelah melihat jelas orang itu, seketika para hadirin terkejut, ternyata tubuh orang ini kekar tegap luar biasa, berat badannya sedikitnya ada 300 kati. Saking beratnya ketika naik keatas panggung, papan panggung yang dipasang sangat kuat itupun terasa tergetar.

Orang itu berjalan ke depan panggung, tanpa pakai menghormat segala, sebaliknya kedua tangannya menolak pinggang terus berkata: "Aku bernama Tong Tay-hai, berjuluk Jian-kio-tong (wajan seribu kati), jabatan pangcu aku tidak kepingin, tapi siapa yang ingin bergebrak dengan aku boleh silakan naik sini."

Mendengar itu, hati semua orang menjadi senang, dari lagak- lagu nya teranglah seorang tolol atau dogol.

"Tong-toako," segera Nio-tianglo menyapa, panggung yang kita buka hari ini bukanlah panggung Lui-tay (panggung bertanding silat). jika sekiranya Tong-toako tidak suka menjadi pangcu perkumpulan kami, harap turun saja."

"Tidak sudah terang ini adalah Lui-tay, kenapa bilang bukan?" sahut Tong Tay hai menggeleng kepala, "Jika kau melarang berkelahi kenapa kau tadi ber kaok2 suruh orang naik panggung?"

Selagi Nio-tianglo hendak menjelaskannya, tiba2 Tong Tay- hai berkata lagi: "Baiklah, jika yang hendak berkelahi dengan aku juga boleh."



Habis ini, kepalannya segera menjotos ke muka Nio tianglo.

Lekas Nio-tiangto melompat mundur menghindarkan serangan itu, dengan tertawa katanya: "Ah, beberapa tulangku yang tua ini mana sanggup menahan sekali hantaman Tong-toako?"

"Memangnya aku sudah menduga kau tak berguna, maka lebih baik lekas menyingkir," ujar Tong Tay-hai dengan tertawa.

Namun belum habis suaranya, tiba2 suatu bayangan berkelebat diatas panggung tahu2 sudah berdiri seorang pengemis yang berbaju compang-camping.

Pengemis ini berusia 30-an, dibelakang punggungnya menggemblok enam buah kantong kain, ialah cucu murid Nio-tianglo, Biasanya si jembel ini sangat menghormat pada kakek-guru itu, kini melihat Jian-kin-teng Tong Tay-bai berani kurang ajar terhadap kakek-gurunya, tak tahan lagi rasa gusarnya dan segera melompat keatas panggung, segera ia berkata dengan dingin: "Kakek-guruku tak nanti sudi bergebrak dengan seorang angkatan muda, Tong-toaco, lebih baik aku menjajal kau tiga kali jotosan saja!"

"Bagus!" sambut Tong Tay-hai. Dan tanpa bertanya nama orang lagi, kepalannya sebesar mangkok itu terus saja menghantam ke dada orang sambil membentak: "Awas, pukulan!"

Tak terduga mendadak pengemis itu memutar tubuh dan melangkah setindak kedepan, karena itu pukulan Tong Tay-hai itu tepat mengenai kantong kain yang berada dipunggungnya hingga mengeluarkan suara "bluk".

Ketika pukulannya mengenai-isi kantong orang hingga rasa kepalannya mengenai barang licin dan lunak, Tong Tay-hai menjadi heran. "Barang apakah di dalam kantongmu itu?" segera ia membentak.

"Biasanya kaum pengemis suka menangkap apa?" sahut si jembel itu dingin.

Seketika Tong Tay-hai terkejut dan berseru: "Hah! Ular... ular..."

"Ya, memang benar ular!" sahut pengemis itu.

Membayangkan kepalannya tadi, tanpa terasa Tong Tay-hai menjadi ngeri, maka waktu pukulan kedua dilontarkan sekarang ia mengarah muka orang...

Siapa tahu pengemis itu lantas melompat ke atas dan memutar tubuh sedikit habis itu, turunnya ke bawah kembali ia sodorkan punggung ke depan orang.

Karena kuatir kepalan sendiri kena digigit ular yang terisi dalam kantong lawan atau pakaiannya mengenai taring ular yang berbisa, maka Tong Tay-hai cepat menarik kembali pukulannya itu, ia berganti tipu dan mendadak menendang keselangkangan lawan.

Melihat orang jeri, si jembel itu diam2 geli, sengaja ia jatuhkan diri dan sedikit membalik hingga kembali kantongnya yang disodorkan pada kaki orang.

Keruan Tong Tay-hai ketakutan, ia berseru kaget sambil berjingkrak. padahal ular yang berada dalam kantong itu sangat jinak, taring berbisa juga sudah dicabut.

Dan pada saat itulah mendadak pengemis itu melompat maju dan secepat kilat dada Tong Tay-hai dicengkeram nya terus diangkat tinggi2 ke atas sambil berteriak: "Nah, ini namanya Coh~pa-ong (nama seorang raja yang kuat) mengangkat Jian~ kie teng!"

Dalam keadaan gugup tadi Tong Tay-hai telah kena dicengkeram "ci kiong-hiat" di dadanya, seketika tubuhnya menjadi lemas tak bisa berkutik, sungguhpun rasa gusarnya tidak kepalang, tapi tak dapat berbuat apa2.

Tong Tay-hai berjuluk Jian-kin-teng (wajan seribu kati), tapi kini "wajan" itu diangkat orang tinggi2, maka seketika pecahlah gelak-tawa penonton.

"Lekas lepaskan, jangan kurang sopan!" cepat Nio-tianglo membentak cucu-muridnya itu.

Maka cepat si jembel itu meletakkan Tong Tay hai ke atas panggung, lalu melompat turun ke bawah dan menghilang di antara orang banyak.

Dasar Tong Tay-hai ini memang dogoI, dengan muka merah padam ia menuding ke bawah panggung sambil mencaci-maki: "Pengemis bangsat, hayolah jika berani maju lagi! Main sembunyi2, termasuk orang gagah macam apa? Hayolah maju pengemis busuk? pengemis sialan!"

Terus menerus ia memaki pengemis, padahal di bawah panggung itu terdapat beribu anggota Kay-pang, tapi karena merasa lucu, maka tiada orang menggubrisnya.

Pada saat itulah mendadak bayangan seorang melayang ke atas panggung dengan enteng sekali ketika kaki kirinya menancap tepi panggung,tiba2 tubuh orang itu ter-huyung2 se-akan2 merosot jatuh.

sungguhpun orangnya dogol tapi hati Tong tai-hai ternyata baik, ia berveru."Eh, hati2...!"

Dia berlari maju hendak menarik orang, tapi ternyata melesetlah dugaannya, ia tidak tahu bahwa orang itu sengaja pamerkan ilmu silatnya yang tinggi dihadapan orang banyak, ketika tangan Tong Tay-hay memegang lengan kiri orang itu, mendadak orang itu mcmbaliki tangan terus diayun dengan gerakan Kim-na-jiu-hoat (ilmu mencekal dan raenawan) hingga tanpa kuasa lagi tubuh Tong Tay-hai segede kerbau itu melayang keluar panggung dan jatuh terbanting di tanah.

Waktu semua orang mengamati orang itu, ternyata pakaiannya rajin bersih, alisnya panjang dan matanya jeli, kiranya adalah muridnya Kwe Cing, Bu Siu-bun adanya.

Menyaksikan muridnya mengunjukkan tipu gerakan yang meski gayanya sangat bagus, tapi terlalu sombong, se-kali2 bukan, perbuatan seorang jujur, maka dalam hati Kwe Cing menjadi kurang senang.

Betul saja, dibawah panggung segera banyak suara gerondelan orang yang tidak setuju, berbareng dari kanan-kiri bergema tiga suara orang: "Kepandaian bagus! Marilah kita belajar kenal berapa jurus!"

"Macam apakah cara itu?"

"Orang bermaksud baik menarik kau tapi kau malah membantingnya, benar2 kurang pantas!"

Dan berbareng itu tiga orang sudah melompat keatas panggung.

ilmu silat Bu Siu-bun adalah ajaran Kwe Cing dan Ui Yong, pula mempunyai dasar kepandaian, yaitu mendapat pelajaran dari sang ayah, Bu Sam~thong serta It-yang~ci" yang diperolehnya dari sang Susiok, Cu Cu-liu, Kini kepandaiannya dalam angkatan muda sudah boleh dikatakan kelas terkemuka.

Melihat tiga lawan datang sekaligus, diam2 ia bargirang, pikirnya: "Ha, kebetulan aku kalahkan tiga orang ini barulah dapat menunjukkan betapa lihay ilmu silatku."

Kuatir ketiga orang itu akan menempurnya secara bergiliran, maka tanpa berkata lagi segera ia mendahului bergerak, dalam sekejap saja ia sudah melontarkan serangan masing2 sekali kearah tiga lawan itu.

Ketiga orang itu belum lagi berdiri tegap di atas panggung, tapi datang2 lantas diserang, dalam gugupnya lekas2 mereka menangkis, namun kerepotan juga.

Siu-bun tidak tunggu lawan ada kesempatan berpikir, cepat kedua tangannya susul-menyusul menyerang pula hingga satu mengurung tiga di-tengah2, ia sendiri berada dilingkaran luar mengitar kian kemari secepat terbang, sebaliknya ketiga orang yang tergencet di-tengah2 menjadi saling desak hingga gerak-gerik mereka kurang leluasa.



Menyaksikan itu, para pahlawan di bawah panggung seketika terkejut, semuanya berpikir "Nyata nama Kwe tayhiap yang menggetarkan kolong langit ini memang bukan omong kosong belaka, buktinya muridnya saja sedemikian lihaynya."

Ketiga orang yang terkurung ditengah ini satu-sama-lain tidak kenal, lebih2 tak paham dari aliran mana ilmu silat masing2, kini kena dikurung Siu~ bun, seketika mereka susab bergerak dan tak dapat saling membantu, sebaliknya malah terasa saling merintangi.

Berapa kali ketiga orang itu hendak menerjang keluar, tapi selalu tertahan oleh pukulan2 Bu Siu-bun yang ber tubi2 bagai hujan.

Melihat sang suami sudah berada diatas angin, tentu saja dalam hati Wanyan Peng sangat girang, sebaliknya Kwe Hu lantas berkata: "Ah, tiga orang goblok ini sudah tentu bukan tandingan engkoh-Bu kecil, padahal buat apa dia pamer kegagahannya sekarang hingga banyak membuang tenaga saja, kalau sebentar ada jago kuat naik panggung, bukankah akan susah menandinginya?"

Wanyen Peng berperangai halus, maka ia hanya tersenyum saja tanpa menjawab.

Sebaliknya Yalu-Yen adalah seorang berhati lugu dan tidak pantang omong, meski Kwe-Hu adalah enso (isteri kakaknya), tapi kedua orang sering adu mulut, kini mendengar kata2 enso ini, dapatlah ia menduga maksud hati orang, maka katanya: "Kalau adik ipar sudah membereskan dulu sebagaian lawan dan nanti Tuh-si juga maju membereskan sebagian lawan Iagi.

Paling akhir barulah Koko sendiri naik panggung mengalahkan semua pahlawan maka kau akan menjadi nyonya Pangcu secara aman, bukankah lebih baik begitu?"

Wajah Kwe Hu menjadi merah, jawabnya: "Ah, begini banyak orang gagah yang hadir disini. Siapa yang tidak ingin menjadi Pangcu? Mnsa bisa dikatakan sudah "aman" segala?"

"Ya, sebenarnya Koko-ku juga tak perlu naik panggung," kata Yalu Yen lagi.

"Maksudmu?" tanya Kwe Hu heran.

"Bukankah tadi Nio-tianglo bercerita bahwa dahulu dalam usia belasan tahun Subo (ibu guru) sudah menjadi Pangcu dengan mengandalkan sebatang pentung bambu. Kata pribahasa, ada sang ibu pasti ada sang puteri, Maka menurut aku, Enso, paling baik kalau kau yang naik panggung daripada Kokoku."

"Bagus, kau sengaja ber olok2 diriku, ya?" omel Kwe Hu sembari ulur tangannya hendak mengitik-itik ketiak orang.

Tapi cepat Yalu Yen mengumpet kebelakang Yalu Ce sambil berseru tertawa: "Tolong Pangcu, belum2 nyonya Pangcu sudah akan membunuh orang!"

Begitulah, meski waktu itu usia Kwe Hu dan Bu-si Hengte sudah lebih tiga puluh, tapi sejak kecil sudah biasa bergurau, sungguhpun Yalu Yen dan Wanyen Peng juga sudah punya putra-putri, namun bila bertemu masih suka berkelakar seperti waktu muda.

Tatkala itu Ui Yong berduduk disamping Kwe Cing sambil kadang2 memandang jauh ke sekelilingnya, ia ingin mengamat-amati kalau2 ada orang asing menyelundup masuk diantara orang banyak Disekitar alun2 itu juga sudah diatur penjaggaan oleh anak murid Kay-pang agar bila ada sesuatu yang mencurigakan harus segera melapor.

Betapapun ia kuatir kalau2 Seng-in Suthay, Han Buhou, Thio It-bin cs datang mengacau, tapi tampaknya kini sudah mendekat sore, keadaan masih tenang2 saja seperti biasa, diam2 ia pikir: "Ada apakah kedatangan mereka ke Siangyang sini? Kalau dibilang ada sesuatu tujuan, kenapa belum lagi kelihatan sesuatu tanda? jika melulu untuk memberi selamat pada Yang-ji, rasanya tidaklah masuk akal."

Ketika ia memandang ke atas panggung, ternyata sekali pukul Bu Siu-bun sudah menjatuhkan dua lawannya kebawah, tinggal seorang lagi yang masih bertahan mati2an, tapi dapat diduga dalam lima jurus pasti akan dikalahkan juga.

"Hari ini para pahlawan dari segenap pelosok berada disini untuk berebut jabatan Pangcu dari Kay-pang, akhirnya nanti entah siapa yang unggul dan menduduki jabatan itu?" demikian diam2 Ui Yong membatin.

"Begitu pula hati beratus pahlawan di bawah panggung saat itupun mempunyai pikiran seperti itu. Tapi ditaman bunga, dibelakang rumah keluarga Kwe itu ternyata ada seorang yang sama sekali tidak memikirkan kejadian luar biasa dikota sekarang ini.

Yang sedang dipikirkan adalah: "Hari itu telah kuserahkan sebuah jarum emas, padanya dan kukatakan agar hari ini ia datang menemui aku karena hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 16. Tatkala itu ia sendiri sudah menyanggupi tapi kenapa sampai saat ini masih belum datang?"

Begitulah anak dara itu sedang duduk ditengah gardu di dalam taman yang dilingkungi bunga beraneka warna, anak dara itu bersandar pada hek gardu dan ter-menung2 sambil menyaksikan sang betara surya lambat-laun menggeser kebarat.

Dalam hatinya berpikir pula "Hari sudah larut sekalipun sekarang juga ia datang, hanya tinggal waktu tiada setengah hari saja untuk berkumpul"

Sambil memandangi bayang2 tetumbuhan di tanah, tangannya memegangi sebuah jarum emas satu2 nya itu sambil menggumam pelahan lagi: "Ya, aku masih dapat mengharap sesuatu darinya.... tapi boleh jadi sama sekali ia sudah melupakan diriku hingga lupa datang menjenguk daku, lalu harapan ketiga ini apa bisa kuutarakan lagi?"

Kemudian gumamnya pula: "Ah, tak mungkin, pasti tak mungkin ia adalah pendekar besar di jaman ini, tentu pegang janji, mana bisa menjilat kembali apa yang sudah pernah dikatakannya? Lewat sebentar lagi, ya, sebentar lagu tentu akan datang menyambangi aku"


Teringat segera akan bertemu, tanpa terasa pipinya lantas bersemu merah, jarinya yang memegangi jarum emas itu rada gemetar.

Begitulah kalau di taman bunga, si cilik Kwe Yang lagi dirundung rindu, adalah di tengah alun2 Ui Yong justru sedang menyelami perasaan puteri kecilnya itu.

Ia pikir, "Menurut apa yang dialami kedua puterinya di kelenteng Yo-tayhu, dimana ada orang kosen diam2 telah menolongnya. Kata Cing-koko, selamanya hanya ada dua orang memiliki tenaga dalam sekuat itu, yaitu kalau bukan Ang Chit-kong almarhum, tentunya Cing-koko sendiri. Tapi guru berbudi luhur itu sudah wafat, Cing-koko lebih2 tak mungkin.

Kalau begitu apakah orang yang mengundang manusia2 aneh dari segala tempat untuk memberi selamat pada Yang-ji itu adalah seorang kosen lain lagi? Jika Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si tua nakal itu tabiatnya memang-suka main gila tapi tindak-tanduknya tidak begitu rapi.

It-teng Taysu orangnya prihatin, tidak nanti suka buang waktu percuma, sedang Se-tok Auyang Hong dan Cu-in Hwesio alias Kiu-Jian~yim sudah mati semua, lalu apakah mungkin ialah Ayah?

Memang tindak tanduk Ui Yok Su yang aneh2 dan sukar diraba itu rada2 mirip dengan apa yang dilihatnya sekarang ini." PuIa Ui Yok-su memang terkenal dengan nama "Tang-sia" atau manusia aneh dari timur yang namanya menggetarkan Kangouw beberapa puluh tahun yang lalu, kalau dia yang tampil kemuka mengundang tokoh2 silat itu, rasanya orang pasti akan memenuhinya.



Walaupun tidaklah patut orang tua itu main2 dengan puteri dan cucunya, tapi siapa bisa menduga akan kelakuannya yang terkenal aneh itu, atau bukan mustahil didalamnya ada pula maksud tujuan lain?

Berpikir sampai disini, segera Ui Yong menggapai Kwe Hu agar mendekatinya, lalu dengaa berbisik ia menanya: "Adikmu menghilang sehari semalam di kota tambangan Hong-leng, ketika kembali pernah tidak ia bicara, tentang Gwakong?"

Kwe Hu tercengang oleh pertanyaan tiada ujung-pangkal ini. "Gwa Kong?" ia menegas, "Ooh tidak. Bahkan muka Gwakong saja adik belum pernah kenal."

"Coba kau meng-ingat2nya, ketika ia ikut pergi si setan Se-san di tambangan Hongleng itu, pernah ia me-nyebut2 siapa lagi tidak?" desak Ui Yong.

"Tidak, tak pernah dia sebut2," sahut Kwe Hu. ia tahu kepergian adiknya tempo hari justeru ingin melihat Nyo Ko, tapi dihadapan ayah-bundanya paling ditakutinya bila bicara menyangkut namanya- Nyo Ko, sebab bila mendengar nama itu, sang ibu masih mendingan, tapi sang ayah seketika akan menarik muka hingga beberapa hari tak bicara padanya, sebab itulah, kalau adiknya tidak sebut, iapun lebih suka tutup mulut, apalagi urusan sudah lalu, untuk apa nama orang- itu di-ungkat2 buat cari penyakit sendiri?

Tapi Ui Yong adalah wanita cerdik dan pandai, sedikit melihat air muka puteri sulung itu berubah, segera ia menduga pasti tersembunyi sesuatu.

Maka dengan sungguh2 segera ia mendesak lagi. "Apa yang bakal terjadi didepan mata ini bukanlah main2, coba katakan, apa yang pernah kau dengar, lekas kau katakan terus tarang padaku."

Melihat wajah sang ibu sungguh2, tak berani lagi Kwe Hu membohongi maka katanya: "Ketika dalam perjalanan mendengar orang mengobrol tentang apa yang disebut Sin-tiau-rayhiap, ialah... ialah Nyo... Nyo Ko, adik lantas bilang ingin pergi melihatnya."

Terkesiap hati Ui Yong, "Lalu dapat dilihatnya tidak?" tanyanya.

"Pasti tidak," kata Kwe Hu. "Jika sudah, menurut watak adik masakah tidak terus dibuat bahan cerita?"

"Ah, Ko ji, benar2 Ko-ji, benar2 dia!" demikian diam2 Ui Yong berkata dalam hati. Segera ia tanya lagi. "Dan menurut pendapatmu orang yang diam2 membantu kalian membunuh Nimo Singh dikelenteng Yo tayhu itu, dia atau bukan?"

"Mana mungkin?" sahut Kwe Hu. "Nyo... Nyo toako mana bisa memiliki ilmu silat begitu bagus?".

"Apa saja yang kau percakapkan dengan adikmu dikelenteng itu, coba ceritakan seluruhnya, satu patah katapun tak boleh melompat," desak Ui Yong.

"Juga tiada apa2 yang kami bicarakan memang sudah biasa adik suka adu mulut dengan aku," sahut Kwe Hu. Lalu iapun tuturkan tentang adik perempuannya itu menyatakan takkan menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, takkan menyaksikan pemilihan pangcu serta bilang pada Shejitnya nanti bakat ada seorang ksatria muda yang gagah perkasa akan datang menyambanginya.

Habis menuturkan semuanya itu, akhirnya ditambahkannya dengan tertawa: "Dan betul juga tidak sedikit sobatnya telah datang, cuma kalau bukan sebangsa Hwesio atau Nikoh, ternyata adalah kakek2 dan nenek2, sedangkan ksatria muda gagah perkasa entahlah?"

Mendengar sampai disini, tidak ragu2 lagi Ui Yong, ia yakin orang yang dimaksudkan Kwe Yang itu tentulah Nyo Ko. ia menaksir tentunya Kwe Yang dan Nyo Ko sudah berjanji untuk bertemu dikelenteng Yo-tayhu, tapi kena dikacau oleh datangnya Kwe Hu, untuk membela kehormatan Kwe Yang, lalu Nyo Ko mengundang tokoh2 Kangouw yang banyak itu untuk memberi kado serta memberi selamat hari ulang tahunnya.

"Tapi, untuk apa ia korbankan begitu banyak tenaga dan pikiran untuk Yang ji?" demikian pikirnya pula, Apabila teringat olehnya selama beberapa hari ini puteri kecil itu selalu lesu, pikiran tak tenteram kadang2 pipinya merah jengah mendadak tanpa terasa Ui Yong menarik napas dingin: "Celaka, jangan2 selama menghilang sehari semalam itu ditambangan Hongleng Yang-ji telah berbuat hal tidak senonoh dengan, dia?"

Menyusul itu lantas terpikir pula olehnya: "Nyo Ko sakit hati karena aku membinasakan ayahnya, ia benci pula Hu-ji yang mengutungi lengannya dan melukai Siao-liong li dengan jarum berbisa, Ah, janji Siao liong-li yang akan bertemu padanya lagi sesudah 16 tahun, tahun inilah tahun ke-16 itu. Ha, kalau begitu, agaknya Nyo Ko datang untuk membalas dendamnya."

Teringat akan kata2 "Nyo Ko datang untuk membalas dendam", tanpa terasa Ui Yong menjadi ngeri, ia cukup kenal kepintaran Nyo Ko meski belum melebihi dirinya, tapi orang ini sejak kecil tindak tanduknya sudah sangat lihay, cintanya terhadap Siao liong-li sangat mendalam dan murni, setelah menunggu selama 16 tahun ini, tapi tidak bersua kembali, tentulah penasaran itu akan dicari pangkal pokok yang menyebabkannya dan tentu akan benci luar biasa pada-keluarga Kwe.

Dan dendam selama 16 tahun ini kalau menuruti sifat Nyo Ko yang luar biasa itu tak nanti puas hanya sekali hantam membinasakan Kwe Hu saja, tapi pasti akan menggunakan tipu akal yang paling keji untuk membalas sakit hati itu secara besar2-an.

"Apakah ia sengaja hendak memancing Yang~ji masuk perangkapnya, membikin anak ini jatuh hati dan menyerah padanya, lalu menyiksanya lahir batin, mati tidak, hidup tidak? Ah, ya, ya, benar, kalau turuti watak Nyo Ko memang benar akan dilakukannya," demikian pikir Ui Yong pula.

Biia teringat semua ini, perasaan tertekan selama beberapa hari segera menjadi buyar, ia menduga sebabnya Nyo Ko mau bunuh Nimo Singh untuk menolong Yang-ji dan mengundang begitu banyak tokoh2 silat untuk datang memberi selamat padanya, semua ini bertujuan untuk menarik hati anak dara itu.

Diam2 Ui Yong menghitung lagi dan berpikir. Tapi ada sesuatu yang tidak benar! Hari ini tepat adalah ulang tahun Yang-ji, Enam belas tahun yang lalu ketika Yang ji lahir, lewat beberapa bulan kemudian barulah ia berpisah dengan Siao-liong-li di lembah Coat-ceng-kok, layaknya kalau dia mau balas dendam juga harus menunggu genap 16 tahun, yalah sesudah lewat janjinya bertemu dengan Siao-liong-Ii.

Meski janji bertemu 16 tahun kemudian itu sukar dipercaya, tapi tulisan yang ditinggalkan itu jelas tulisan Siao liong li, siapa tahu kalau mereka suami isteii benar2 akan berkumpul pula? Apakah mungkin ayahku.... atau mungkin bualan tentang Lam-hay Sin-ni?"

Begitulah makin dipikir perasaannya mulai tak enak, "Ah, biarlah apapun jadinya, jika Yang-ji bertemu lagi dengan dia pastilah terlalu banyak risikonya, Sifat Yang~ji masih polos ke~kanak2an, mana bisa memahami hati manusia yang kejam dan keji?"

Pada saat itulah tiba2 terdengar suara jeritan, kiranya Bu Siu-bun telah merobohkan lagi lawannya yang tinggal satu tadi.



Lalu Ui Yong mendekati suaminya dan membisikinya: "Kau mengawasi di sini, biar aku pergi menjenguk Yang-ji."

"Yang ji tidak datang?" tanya Kwe Cing.

"Ya, biar aku sendiri memanggilnya, budak cilik ini memang aneh," sahut sang isteri.

Ketika sampai di kamar puteri kecil itu, ternyata Kwe Yang tidak di kamar, ia tanya pelayan, katanya puteri kecil itu berada di taman bunga dan melarang orang mengganggunya.

Ui Yong terkejut, pikirnya: "Ah, Yang-ji tidak mau menonton pertandingan ramai di alun2, tentu karena dia sudah ada janji dengan Nyo Ko."

Segera ia kembali ke kamar sendiri, ia bawa senjata rahasia seperlunya dan menyelipkan sebilah pedang pendek, lalu membawa lagi pentung pendek terus menuju ke taman bunga di belakang rumah.

Ia tahu ilmu silat Nyo Ko sekarang tentu lain daripada dulu, sesungguhnya lawan yang menakutkan, sebab itu tak berani ia ayal, ia tidak melalui jalanan taman yang ber-batu2 kecil itu, tapi memutar dari belakang gunung2an. Ketika hampir dekat gardu bunga, tiba2 terdengar Kwe Yang menghela napas.

Ui Yong sembunyi di belakang gunung2an itu, terdengarlah puterinya itu lagi menggumam sendiri pelahan: "Kenapa sampai sekarang masih belum datang, Ai, benar2 bikin orang tidak sabar!"

Hati Ui Yong menjadi terhibur "Ah, kiranya ia belum tiba, kebetulan bisa mencegatnya di tengah jalan", demikian pikirnya.

Sementara itu terdengar Kwe Yang berkata pula: "Setiap hari ulang tahunku, ibu selalu menyuruh aku menyebut tiga angan2. Kini di sini tiada orang lain, biarlah aku katakan pada Tuhan."

Sebenarnya Ui Yong hendak unjuk diri, tapi ketika mendengar gumaman puterinya itu, tiba2 ia tarik kembali kakinya, ia ingin mendengarkan dulu apakah ketiga angan2 yang akan dikatakan puteri kecil itu.

Selang sejenak, terdengar Kwe Yang bcrkata:, "O, Thian (Tuhan) yang maha pengasih, berkatilah permohonanku ini, angan2ku yang pertama ialah semoga ayah-ibu memimpin pasukannya membunuh habis atau mengusir semua pasukan Mongol yang menyerbu datang itu, agar rakyat Siangyang dapat melewatkan hari2 yang aman sentosa."

Diam2 Ui Yong menghela napas lega dan bersyukur akan hati sang puteri yang luhur itu.

sementara terdengar anak dara itu berkata lagu "Dan harapanku yang kedua, semoga ayah ibu berbadan sehat, berumur panjang, segala sesuatu yang dikerjakannya berjalan baik tak kurang suatu apapun."

Waktu Kwe Yang dilahirkan, Kwe Cing dan Ui Yong berdua lantas banyak mengalami peristiwa2 berbahaya hingga kemudian bila teringat selalu merasa ngeri, sebab itulah tanpa terasa mereka tidak begitu sayang kepada Kwe Yang seperti sang enci, tapi kini setelah mendengar beberapa kata hati-nurani anak dara itu, tak tertahan matanya menjadi basah, rasa kasih sayangnya seketika bertambah

Dan harapan ketiga Kwe Yang seketika ternyata sukar diucapkannya, lewat agak lama barulah terdengar ia buka suara: "Dan harapanku yang ketiga ini ialah semoga Sin-tiau tayhiap Nyo Ko..."

Memang Ui Yong sudah menduga harapan puteri kecil yang ketiga ini tentu ada hubungannya dengan Nyo Ko, namun demikian ketika mendengar nama Nyo Ko disebut, hatinya terkesiap juga.

Sementara terdengar anak dara itu sedang meneruskan: "...bisa lekas2 berkumpul kembali dengan isterinya, Siao-liong-li dan selanjutnya hidup aman dan bahagia."

Sungguh kata2 terakhir ini sama sekali diluar dugaan Ui Yong, Mula2 ia menyangka Nyo Ko akan memancing puterinya dengan menggunakan kata2 manis dan putar lidah dengan segala macam omongan palsu, diluar dugaan ternyata puterinya itu malah sudah mengetahui persoalan Nyo Ko dan Stao-liong-Ii, juga tahu Nyo Ko senantiasa menanti saat berjumpa pula dengan Siao-liong-li, maka diam2 anak dara itu berdoa untuknya.

Namun segera terpikir lagi olehnya: "Ai, celaka, cara Nyo Ko ternyata sangat licin, justeru semakin ia menyatakan tak pernah melupakan kekasihnya dahulu, semakin Yang-ji merasa dia berhak seorang berbudi dan akan lebih jatuh hati padinya."

Nyata saking pintarnya Ui Yong, hingga segala sesuai selalu dipikirnya secara jauh, pula selama ini ia suka berperasangka terhadap Nyo Ko, ditambah perhatiannya atas diri sang puteri, maka pikirannya menjadi kacau dan diam2 berkuatir.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara keresekan sekali, tahu2 dari pagar tembok sana melompat turun satu orang, Terlihatlah orang ini berkepala besar, tapi tubuhnya pendek, bentuknya sangat Iucu.

Demi nampak si cebol ini, seketika Kwe Yang melonjak girang, "Hai, Toa thau kui, apakah dia... dia sudah datang?"

Memang si cebol berkepala besar ini adalah Toa-thau-kui atau setan kepala besar, satu di antara Se-san it-khut kui (gerombolan setan Se-san).

Sesudah masuk kedalam gardu bunga itu, segera Toa thau kui memberi hormat pada Kwe Yang, sikapnya ternyata sangat merendah sekali.

"Ai paman Toi-thau-kui, kenapa kau menjadi begini sungkan2 padaku?" tegur Kwe Yang dengan tertawa.

"Jangan nona panggil aku paman segala, panggil saja "Tho-thau kui sudah cukup," sahut Toa thau kui. "Aku mendapat perintah Sin-tiau-tayhiap agar memberitahukan nona.."

Mendengar sampai disini, Kwe Yang tampak kecewa, matanya menjadi basah. "Toakoko bilang ada "urusan dan tak dapat datang, bukan?" demikian menyela. "tapi dia sudah berjanji..."

"Tidak... tidak!" berulangkali Toa-thau-kau menggeleng kepalanya yang benar bagai gantang itu.

"Kenapa tidak? Apa yang kau ketahui?" omel Kwe Yang cepat. "Justeru ia sudah berjanji padaku." Dan karena cemasnya hampir2 anak dara ini mengucurkan air mata.

"Aku tidak bilang Ia tak berjanji padamu, tapi ingin kukatakan ia tidak bermaksud takkan mengunjungi kau."

Mendengar ini barulah Kwe Yang tertawa. "Lihatlah, bicara saja tak genah, bukan ini. tidak itu, tak karuan" omelnya.

"Ya, Sin-tiau-tayhiap bilang bahwa karena beliau sendiri harus menyiapkan tiga macam kado untuk hari ulang tahunmu, maka kedatangannya nanti agak terlambat." demikian tutur Toa thau kui kemudian.

Maka senanglah hati sigadis, katanya: "Sudah begini banyak orang membawa kado untukku, segala apa akupun sudah punya. Haraplah sampaikan pada Toakoko bahwa tak perlu lagi ia membawa kado apa segala."

"Tapi." ujar Toa thau-kui sambil goyang2 kepala, "ketiga macam hadiah itu, yang pertama sudah disediakannya, yang kedua Sin tiau-tayhiap beserta para saudara juga sedang menyiapkannya, besar kemungkinan kini sudah selesai."

"Ai. aku lebih suka ia lekas datang daripada buang2 waktu mengadakan kado segala." sahut Kwe Yang.

"Dan mengenai hadiah yang ketiga itu, Sin tiau-tayhiap bilang harus diserahkan sendiri kepada nona ditengah rapat besar Kay-pang di-alun2 sana," kata Toa-thau-kui lagi. "Sebab itulah nona Kwe silahkan ke sanalah, agaknya waktunya sudah dekat sekarang."



"Sebenarnya aku dongkoI pada Cici dan sudah bilang tak mau hadir ke sana, tapi kalau Toakoko ingin begitu, baiklah, biar kita pergi bersama sekarang juga," sahut Kwe Yang.

Toa thau-kui mengangguk, lalu ia bersuit, tiba2 dari luar pagar tembok sana melompat masuk sesuatu makhluk besar, waktu ditegasi, kiranya adalah Sin-tiau atau si rajawali sakti itu.

Melihat Sin tiau, segera Kwe Yang merangkul lehernya seperti berjumpa dengan sobat lama saja, Sebaliknya rajawali itu malah melangkah mundur dua tindak sambil berdiri dengan angkuh dan melirik seperti sama sekali tidak pandang sebelah mata pada Kwe Yang.

"Ha, Tiau-toako ini sangat angkuh, ia tak gubris padaku, tapi aku justeru ingin kau menggubris." kata Kwe Yang tertawa, Habis itu kembali ia melompat terus merangkul leher Sin tiau lagi, sekali ini binatang itu tidak menghindar, tapi kepalanya tetap berpaling ke arah lain, seolah seorang ayah yang kereng menghadapi anak yang nakal dan aleman.

"Marilah Tiau toako, kaupun ikut, nanti aku memberi makanan enak padamu, kau minum arak tidak?" kata Kwe Yang.

"Ha, jika kau menyuguh Sin tiau minum arak, itulah paling disukanya," ujar Toa thau-kui tertawa.

"Bagus, kau tunggu sebentar," seru si gadis terus berlari ke dapur, sebentar saja ia sudah kembali dengan seguci arak pilihan.

Segera Toa-thau-kui membuka tutup guci hingga bau-harum arak seketika menusuk hidung, cepat saja setan kepala besar itu angkat guci itu terus ditenggak dahulu.

"Ketika- ia sodorkan arak itu kepada Sin-tiau, sekali binatang ini mencocok dengan paruhnya, maka berlubanglah guci itu, segera Sin-tiau masukkan paruhnya kedalam guci dan sekejap saja seluruh isinya sudah terhirup habis.

"Anak dara ini benar2 harus-diajar, sembarangan memberikan "Kiu-hoa-giok-ioh-ciu buatanku kepada seekor binatang," demikian diam2 Ui Yong mendamperat.

Kiranya cara pembuatan arak itu tidaklah mudah, Ui Yong membikinnya berdasarkan resep cara ayahnya meracik obat "Kiu-hoa-giok-loh wan", yakni mengumpulkan sari bunga mawar dicampur berbagai racikan obat lain ke dalam arak simpanan, kalau bukan sobat kental biasanya Ui Yong tidak sembarangan mengeluarkan arak itu.

"Wah kekuatan minum Tiau-toako sungguh hebat, marilah berangkat," kata Kwe Yang, kemudian dengan tertawa. Lalu dua orang dan satu rajawali lantas, menuju ke alun2

Ketika memasuki Iapangan, melihat badan Sin-tiau itu-begitu kekar, tapi rupanya jelek dan aneh, para pahlawan sama merasa heran. Lalu Kwe Yang membawa Toa-thau-kui dan Sin-tiau itu duduk pada suatu tempat yang sepi.

Anak murid Kay-pang yang bertugas menyambut tamu merasa Toa thau kui belum dikenalnya, segera mereka datang menyapa sambil menanyakan namanya.

Namun Toa-thau-kui telah menjawab: "Aku tak punya nama segala apapun tak tahu, nona Kwe yang mengajak aku kemari, maka aku lantas ikut kemari."

Sementara itu pertandingan di atas panggung sudah silih berganti Bu Tun-si dan Bu Siu-bun berdua sudah dijatuhkan orang, begitu pula keponakan Cu Cu-liu dan tiga anak murid, Su-sut hi~un serta, beberapa anak murid Kay-pang ber-turut2 juga sudah kalah, yang tinggal di atas panggung tatkala itu ialah Yalu Ce dengan 72 jurus "Khong beng-kun", (ilmu pukulan "terang terang-kosong^) ajaran Ciu Pek-thong, ia sedang menempur seorang laki2 kekar setengah umur.

Orang ini bernama Na Thianho, seorang suku Miau di propinsi Kuiciu, waktu kecilnya ketika ia mencari bahan obat di pegunungan telah bertemu seorang kosen dan mendapat ajaran semacam ilmu pukulan yang Iihay.

Gerak serangan Yalu Ce mengutamakan kelemasan, enteng tanpa suara, hingga sukar diduga lawan.

BegituIah satu keras dan yang lain lemas terus saling gebrak dengan sama kuatnya.

Meski tenaga pukulan Na Thian-ho sangat keras, tapi angin tidak selamanya meniup, hujan tidak selamanya turun, betapapun tak bisa tahan lama. walaupun setiap pukulan yang dilontarkannya masih membawa samberan angin yang santar, namun tenaga dalamnya sudah mulai berkurang.

Sebaliknya tipu gerakan Yalu Ce tidak lebih cepat juga tidak menjadi lambat daripada tadi, ia bergerak enteng saja, setiap serangan lawan selalu dipatahkannya dengan baik, ia tahu pertandingan iui bukanlah pertandingan satu-dua orang saja, tapi lawan yang akan naik panggung lagi dan lebih kuat tentu masih banyak, maka perlu simpan tenaga.

Akhirnya Na Thian-ho mulai tak sabar, selama berpuluh tahun didaerah barat daya belum pernah ada lawan yang sanggup menahan sampai 30 jurus serangannya, tapi harini ia tak bisa apa2 menghadapi seorang muda didepan pahlawan2 yang begini ba-nyak, bukankah ini sangat memalukan?

Sebab itulah, ia kerahkan tenaga dalamnya terus menambahi tenaga pukulannya.

Setelah beberapa puluh jurus berlangsung pula, mendadak Na Thian-ho melihat kesempatan baik.

"Kena!" bentaknya cepat, berbareng dengan tipu "Kiu-kui-tt-senglu (sembilan setan mencapai bintang) ia hantam dada Yalu Ce.

Ia sangat girang karena dilihatnya dada lawan terbuka tak terjaga, serangan ini yakin akan mengenai sasarannya, Dan betul saja, "bluk", pukulannya tepat mengenai tempat yang diarah.

Melihat itu, berseru kaget sebagian besar penonton dibawah panggung hingga sama berdiri. Mendengar suara terpukulnya itu, dapat diduga Yalu Ce kalau tidak mati pasti terluka parah. Padahal tadi Nio-tianglo sudah memperingatkan agar berhenti bila tubuh masing2 sudah ketutul, sekarang kalau sekali pukul Na Thian-ho tewaskan Yalu Ce, sedangkan orang adalah menantu kesayangan Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin, dapat diduga segera urusan akan bertambah meluas.

Siapa tahu, begitu berhasil memukul, seketika air muka Na Thian~ho malah pucat lesi, lalu ter-huyung2 mundur beberapa tindak.

"Kagum, kagum!" katanya tiba2" sambil kiong ciu pada Yalu Ce, lalu balik berjalan kedepan panggung dari teriaknya dengan lantang: "Yalu-toaya sengaja berlaku murah hati mengampuni jiwaku, benar2 seorang ksatria berbudi luhur, sungguh aku merasa kagum dan terima menyerah."

Habis berkata, segera iapun melompat turun panggung.

"Keruan penonton saling pandang dengan bingung karena tak mengerti apa sebabnya.

Waktu mereka pandang Yalu Ce, pemuda itu bersenyum saja seperti biasa, Sudah terang terlihat Yalu Ce kena dihantam Na Thian-ho, tapi kenapa malah Yalu Ce yang dikatakan mengampuni jiwa Na Thian-ho, sekalipun Lwekangnya memang tinggi, tapi juga sukar menang dengan kepandaian itu? Demikian semua orang tidak habis mengerti.

Kiranya tadi ketika tangannya mengenai dada Yalu Ce, mendadak Na Thiao-ho merasa tangannya se-akan2 mengenai tempat kosong, tapi toh bukannya hampa sama sekali, hanya seperti tangan masuk ke dalam air saja, seperti kosong dan seperti ada barangnya, se-olah2 ada semacam kekuatan yang melengket yang menahan tangannya itu.

Kejut Na Thian-ho tidak kepalang, ia kumpulkan tenaga menarik sekuatnya, tapi tangannya terasa melengket saja, dapat ditarik tapi tak bisa terlepas.

Ia jadi ingat waktu belajar dahulu sang guru pernah memperingatkan bahwa ilmu silatnya itu: "Hong-lui-cio-hoat" (ilmu pukulan angin dan guntur) bila ketemukan ahli Lwekang harus hati2 sebab bila terserang tenaga dalam lawan hingga masuk ke perut, maka biarpun tidak mati seketika, sedikitnya akan cacat untuk selamanya.

Namun selama tiga puluh tahun belum pernah ia ketemukan lawan tangguh, maka kata2 sang guru itu sudah lama terlupa, Siapa tahu kini benar2 ketemukan seorang lihay yang berkepandaian seperti dikatakan gurunya, sekilas peringatan itu terbayang olehnya hingga ia pejamkan mata dan menanti ajalnya.

Sama sekali tak tersangka mendadak daya jengkel tangannya itu terasa lenyap, menyusul itu hawa mendidih di dalam perutnya pelahan2 buyar juga, ketika Na Thian-ho geraki tangannya, terasa kepandaiannya sedikitpun tidak teralang, terang Yalu Ce telah sengaja mengampuni jiwanya, sebab itulah dalam keadaan malu dan berterima kasih tak lupa ia mengucapkan beberapa patah kata di hadapan orang banyak.

Pertarungan sengit diantara kedua orang itu telah disaksikan semua orang, betapa hebat ilmu pukulan Na Thian bo, tapi akhirnya dikalahkan Yalu Ce secara menakjubkan, maka bagi orang yang punya sedikit pengalaman tiada yang berani lagi coba2 naik ke panggung.

Disamping itu Yalu Ce adalah anak menantu Kwe Cing dan Ui Yong yang rapat hubungannya dengan Kay pang, dengan sendirinya anak murid Kay-pang lebih suka kalau pemuda ini jadi pangcu mereka.

Pula ia adalah murid Ciu Pek-thong yang tergolong tokoh tertua Coan~cin-pay dengan sendirinya anak murid Coan-cin-pay dan anak murid Tang-sia atau Lam-te juga sungkan bertanding dengan dia. Hanya ada dua -tiga orang yang sembrono masih coba2 naik panggung, tapi hanya beberapa gebrak saja sudah dikalahkan .

Melihat sang suami menjagoi panggung, sudah tentu rasa senang Kwe Hu tak terkatakan, Tapi ketika sekilas dapat dilihatnya ada seekor rajawali raksasa yang aneh dan jelek beserta si cebol berkepala besar yang dilihatnya ditambangan Hongleng sedang duduk di sisi adik perempuannya, tanpa tertahan iapun tercengang.

Tadi waktu Kwe Yang bersama Taa-thaokiu dan Sia tiau masuk lapangan, saat itu Yalu Ce lagi seru menempur Na Thian-ho, seluruh perhatian Kwe Hu sedang dicurahkan pada diri sang suami maka ia sama sekali tidak melihatnya. Kini sesudah keadaan mereda barulah ia melihat datangnya sang adik yang katanya tidak mau datang, kenapa sekarang telah hadir?

Tapi lantas terpikir lagi sesuatu olehnya, diam2 ia berkita: "Celaka, Nyo Ko menyebut dirinya sebagai "Sin-tiau-tayhiap", tentunya rajawali besar jelek ini adalah Sin tiau yang dimaksudkan itu. Dan kalau Sin-tiau sudah datang, pasti Nyo Ko juga sudah berada disekitar sini, Kalau dia datang untuk rebut kedudukan Pangcu.... ya, kalau dia datang untuk perebutan Pangcu"

Begitulah sesaat itu dari rasa girangnya segera berubah kuatir sebab betapa tinggi ilmu kepandaian Nyo Ko yang pernah dirasakannya cukuplah diketahui, apa artinya jika benar2 orang telah datang untuk maksud berebut Pangcu.

Namun waktu ia memandang sekitarnya, jejak Nyo Ko sama sekali tak tertampak, sementara itu hari sudah petang, beruntun Yalu Ce telah mengalahkan tujuh orang dan tiada yang berani naik panggung lagi, Majulah Nio-tianglo ke depan dan berkata dengan suara lantang: "Yalu Ce-toaya ber-kepandaian serba lengkap Bu dan Bun (silat dan surat ), kita sudah lama mengaguminya, kini kalau beliau bisa menjadi Pangcu kita, sudah tentu kami mendukungnya"

Berkata sampai di sini, para anggota Kaypang yang berada di bawah panggung serentak berdiri dan bersorak-sorai.

Lalu Nio-tianglo menyambung pula: "Dan entah ada tidak ksatria lain yang masih ingin naik panggung buat bertanding lagi?"

Setelah berulang kali ia tanya dan bawah panggung sepi saja tiada jawaban. Diam2 Kwe Hu girang, pikirnya: "Nyo Ko tidak datang pada saat ini, hilanglah kesempatannya! Asal Ce-koko sudah menerima jabatan Pangcu, sekalipun ia hendak mem-persulit juga tiada gunanya."

Pada saat itu juga, tiba2 terdengar suara derapan kuda yang cepat, dua orang penunggang kuda secepat terbang mendekati Mendengar suara derapan kuda yang riuh itu terang penunggangnya sangat ter-gesa2.

"Akhirnya datanglah dia!" pikir Kwe Hu.

Dalam pada itu, kedua penunggang kuda itu sudah masuk lapangan, semuanya memakai baju-abu2, kiranya dua pengintai yang Kwe Cing untuk mencari berita pasukan musuh.

Meski Kwe Cing terus mengikuti pertandingan di atas panggung tapi setiap saat selalu ia pikirkan situasi militer, kini melihat kedua pengintainya kembali dengan begitu cepat, katanya dalam hati: "Ha, akhirnya datanglah!"

Dalam hati Kwe Cing dan Kwe Hu berdua sama2 berkata: "Akhirnya datanglah, tapi yang dimaksudkan sang puteri ialah Nyo Ko, sedang sang nyali maksudkan pasukan musuh, orang Mongol.

Sesudah dekat, segera kedua pengintai itu menghadap Kwe Cing dan memberi hormat.

Pada umumnya, baik atau buruk situasi militer yang akan dilaporkan, dari air muka pengintai biasanya sudah kelihatan. Kini terlihat wajah kedua pengintai itu menunjuk rasa bingung tapi penuh girang, seperti ketemukan sesuatu kejadian yang di luar dugaan.

"Lapor Kwe tayhiap, pasukan perintis Mongol dari jurusan kanan berjumlah seribu jiwa sudah sampai di Sin-ya," demikian salah seorang pengintai itu melapor.

Diam2 Kwe Cing terkejut "Cepat benar majunya," katanya dalam hati, Lalu terdengar pengintai yang lain juga buka suara: "Lapor, pasukan perintis Mongol barisan kiri seribu orang sudah tiba sampai di Tengciu-"



Harus diketahui bahwa jarak antara Tengciu dan Sin-ya dengan Siangyang hanya seratus li lebih, jalan kedua tempat itu seluruhnya jalan datar, jika pasukan gerak cepat Mongol itu maju pesat, tidak sampai satu hari pasti akan sampai Siangyang.

Namun pengintai yang kedua tadi dengan berseri lantas berkata lagi: "Cuma ada suatu kejadian aneh, seribu pasukan Mongol diluar kota Tengciu itu seluruhnya menggeletak mati, tiada satupun yang hidup."

"Bisa terjadi begitu?" tanya Kwe Cing heran.

"Ya, apa yang hamba lihat di Sin-ya juga begitu," sela pengintai satunya, "seribu tentara perintis Mongol yang lain juga seluruhnya sudah menjadi mayat, yang paling aneh ialah setiap mayat perajurit Mongol itu daun telinga kirinya telah diiris orang."

"Benar, perajurit Mongol yang di Tengciu juga begitu, daun telinga kanan mereka sudah Ienyap," sambung pengintai kedua tadi.

Mendengar itu, Kwe Cing dan Ui Yong hanya saling pandang dengan rasa heran dan girang yang bercampur-aduk.

Mereka heran siapakah yang mendadak kirim pasukan penggempur lihay hingga kedua pasukan musuh itu kena dihancurkan semua, walaupun hanya 2000 orang musuh dari beratus ribu lainnya, namun bila berita ini disiarkan tentu akan besar membangkitkan semangat tentara sendiri.

"Dan bagaimana pasukan pertahanan kita di~ kota Sinya dan Tengciu?" tanya Kwe Cing.

"Kedua kota itu tertutup rapat, mungkin kematian pasukan Mongol diluar kota itu hingga kini belum diketahui panglima penjaga kota2 terse-but," sahut kedua pengintai itu.

"Lekas kalian laporkan kepada Lu-tayswe, tentu kalian akan diberi hadiah," ujar Ui Yong.

Maka pergilah kedua pengintai itu dengan cepat

Ketika berita itu diumumkan di atas panggung, seketika bersorak sorailah seluruh hadirin.

"Kay-pang memilih pangcu adalah urusan besar, tapi lebih besar lagi adalah berita tentang hancurnya pasukan musuh ini?" kata Ui Yong pula. "Maka Nio tianglo, lekas suruh orang menyiapkan perjamuan, kita harus merayakannya kemenangan secara besar2an."

Memangnya daharan sudah disiapkan, yakni untuk merayakan Pangcu pilihan baru. Kini berita kemenangan itu membuat semua orang bertambah gembira. Hanya Bu Siu~bun dan Bu tun-si yang kalah bertanding tampak kesal, tapi yang gembira banyak dan yang kesal satu-dua orang, tentu saja tidak pengaruhi suasana gembira-ria itu.

Sebentar saja suara saling memberi selamat terdengar gemuruh diselingi suara beradunya cawan arak.

Kemenangan mendadak itu disangka para pahlawan tentu perangkap yang telah diatur Kwe Cing dan Ui Yong, maka ber-bondong2 mereka datang memberi selamat Namun Kwe Cing tegas menyatakan bukanlah jasanya, sudah tentu semua orang tak mau percaya, sebab memang sudah menjadi watak Kwe Cing yang suka rendah hati.

"Memang kejadian ini rada aneh, Cing-koko!, biarlah kita tunggu kabar lebih lanjut baru bisa mengetahui duduknya perkara," ujar Ui Yong.

Kiranya ketika mendapat laporan itu, Ui Yong tahu di dalamnya tentu ada sesuatu mencurigakan maka cepat ia mengirim delapan anak murid Kay-pang yang pandai dan cerdik menyelidik ke Sinya dan Tengciu.

Dalam pada itu Kwe Yang, Toa-thau kui dan Sin-tiau sedang duduk bersama di suatu tempat, melihat rupa Sio-tiau yang aneh dan hebat hingga tiada orang yang berani mendekatinya.

"Kenapa Toakoko masih belum datang?" demikian Kwe Yang terus menanyakan Nyo Ko.

"la sudah bilang akan datang, pastilah datang nanti," sahut Toa-thau-kui. Dan belum lenyap suaranya, mendadak ia sambung pula: "Tuh, dengarlah suara apakah itu?"

Ketika Kwe Yang mendengarkan dengau cermat, maka terdengarlah dari jauh berkumandang suara meraungnya binatang2 buas. ia bergirang. "Ah, Su-si Hengte telah datang!" demikian katanya.

Tak lama kemudian, suara raungan binatang itu semakin dekat, para pahlawan yang berada di-alun2 itu terkejut, be-ramai2 mereka lolos senjata sambil berdiri, seketika suasana lapangan itu menjadi kacau dan ramai dengan suara orang: "Darimanakah datangnya binatang buas begini banyak?"

"He, singa! Ah, juga harimau!"

"Awas! Ber-jagalah diserang serigala, begitu juga awas terhadap macan tutul!"

Hanya sikap Kwe Cing saja yang sangat tenang, ia pesan Bu Siu-bun: "Kau kembali ke kota dan menyampaikan perintahku agar dikirim 2000 pemanah kemari."

Bu Siu- bun mengiakan selagi hendak pergi, tiba2 dari jauh terdengar suara seruan orang yang panjang: "Ban-siu-san-ceng Su-si Hengte diperintahkan Sin-tiau-hiap datang memberi selamat Shejit kepada nona Kwe Yang serta menghantarkan hadiah ulang tahun."

Suara itu bukan teriakan satu orang tapi keluar dari mulut Su-si Hengte berlima. lwekang mereka beraliran tersendiri walaupun bukan jagoan kelas wahid, tapi suara teriakan mereka berbareng seakan2 paduan suara yang me-mekak telinga.

Ui Yong memberi tanda agar Bu Siu-bun tetap pergi melaksanakan perintah sang suami tadi, sebab meski begitu dikatakan Su-si Hengte, namun tiada jeleknya kalau ber-siap2 untuk segala kemugkinan lain. Maka pergilah Siu-bun dengan cepat mencemplak kudanya.

Selang tak lama, pasukan pemanah pertama sudah datang dan tersebar disamping alun2.

Dan baru saja pasukan pemanah itu mengambil kedudukan ber-siap2, terlihatlah seorang laki2 berbaju kulit macan telah sampai diluar lapangan itu, dengan membawa seratus ekor harimau, Siapa lagi dia kalau bukan Pek-hia san-kun Su Pek wi. Seratus ekor harimau itu secara rajin berbaris mendekam ditanah.

Menyusul itu Koah-kian-cu Su TioDg-bing membawa seratus ekor macan tutul, Kim-ka-say-org rnefjggiring seratus ekor singa, Tai-lik-sin Su Kui~ kiang memimpin seratus ekor gajah, Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat dengan seratus ekor monyet besar. semuanya berbaris dengan rajin diiuar lapangan. Meski binatang2 itu buas dan tiada hentinya mengeluarkan suara raungan, tapi barisannya rajin tanpa kacau sedikitpun.

Para pahlawan yang hadir itu semuanya sudah banyak berpengalaman tapi mendadak melihat datangnya binatang2 buas begini banyak, mau-tak-mau sama berkuatir juga.

Kemudian Su si Hengte masing2 membawa sebuah kantong kulit terus berjalan kehadapan Kwe Yang, dengan membungkuk badan mereka berkata: "Selamat hari ulang tahun nona, semoga panjang umur dan tetap awet muda."

"Banyak terima kasih atas doa restu kelima paman Su," sahut Kwe Yang.

"Dan inilah hadiah ulang tahun pertama yang Sin-tiau-hiap kirim pada nona," kata Su Pek-wi sambil menunjuk kelima kantong kulit yang mereka bawa.

"Ah, benar2 aku tak berani menerimanya. Barang apakah itu?", demikian sambut Kwe Yang, "Ehm, aku menerka dalam kantong kulitmu itu tentu berisi seekor anak harimau kecil, ya bukan?"



"Bukan," sahut Pek-wi menggoyang kepala, "Tapi hadiah ini adalah berkat usaha Sin-tiau hiap bersama beratus tokoh Kangouw, tenaga yang mereka keluarkan sungguh tidaklah sedikit,"

Habis berkata ia lantas buka kantong kulit yang dipeganginya, Ketika Kwe Yang memeriksa isinya mendadak ia berteriak dan terkejut: "He, kuping!"

"Betul," sahut Pek-wi, "Kedua kantong kulit ini isinya adalah 2000 pasang daun kuping prajurit Mongol."

Kwe Yang belum paham akan maksud itu, maka dengan terkejut ia tanya: "Daun kuping-perajurit Mongol sebanyak ini, untuk apa diberikan padaku?"

Kwe Cing dan Ui Yong mendengar jelas percakapan itu, maka merekapun berbangkit dan mendekati Su Pek-wi serta melongok isi kantong kulit itu. Segera pula teringatlah apa yang dilaporkankedua pengintai tadi, tak tertahan lagi mereka terkejut dan ter-heran2.


"Su-toako, kiranya sendadu Mongol di kota Sinya dan Tengciu itu adalah Sin~tiau-hiap beserta kawannya yang membunuh?" tanya Ui Yong.

Kelima saudara Su itu memberi hormat pada, Kwe Cing dan Ui Yong yang segera pula membalas hormat itu. Kemudian barulah Su Pek-wi menjawab: "Kata Sin-tiau hiap, nona Kwe berada di Siangyang, tapi pasukan2 Mongol berani datang dan harus dibunuh, cuma kekuatan musuh terlalu besar dan tidak bisa sekaligus dibunuh semua, maka bersama beberapa pahlawan hanya membunuh dulu dua ribu pasukan perintis musuh."

"Di manakah Sin tiau-tayhiap sekarang berada, dapatkah aku menemuinya untuk mengaturkan terima kasih atas nama segenap penduduk kota," kata Kwe Cing.

Hendaklah diketahui bahwa selama belasan tahun ini Kwe Cing selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pertahanan kota Siangyang, maka terhadap urusan2 Kangouw sudah lama tak ikut campur, sedangkan Nyo Ko mengasingkan diri dan ganti nama, pergaulannya juga dengan orang yang aneh2 sehingga Kwe Cing tidak mengetahui bahwa "Sin-tiau-hiap" itu adalah Nyo Ko.

Maka jawablah Su Pek-wi: "Beberapa hari ini Sin-tiau-hiap lagi sibuk menyiapkan hadiah ulang tahun nona Kwe, maka belum sempat datang menjumpai Kwe-tayhiap dan Kwehujin, haraplah di-maafkan."

Pada saat itulah tiba2 suara suitan berbangkit pula di kejauhan, suara seorang telah berteriak: "Se-san-it-khut-kui mendapat perintah Sin tiau hiap datang memberi selamat ulang tahun pada nona Kwe dan membawakan hadiah Shejit."

Suara ini lembut tajam, seperti terputus2, tapi terdengar jelas oleh setiap orang.

Melihat hadiah yang pertama tadi sesungguhnya hebat sekali, maka lekas2 Kwe Cing berseru menyahut "Kwe Cing menantikan kedatangan kalian dengan hormati - Lalu iapun menuju kepintu masuk alon2 itu buat menyambut

"Kau kira Sin-tiau-hiap ini siapa? "tanya Ui Yong berbisik ketika berdiri menyanding sang suami.

"Entahlah, aku tak tahu," sahut Kwe Cing.

"lalah Nyo-Ko!" kata Ui Yong.

"Apa? Nyo Ko?" Kwe Cing menegas dan tercengang, namun segera iapun bergirang. "Aha, hebat, sungguh hebat! ia berjasa begini besarnya, sungguh ditakdirkan membantu Song kita."

"Kau terka hadiah Shejit-nya yang kedua itu apa?" tanya Ui Yong.

"Kepintaran Koji luar biasa, hanya kau yang bisa melebihi dia dan melulu kau yang bisa menerka pikirannya," sahut Kwe Cing tertawa.

"Tapi sekali ini tak bisa menerkanya," ujar Ui Yong sambil menggeleng.

Tidak lama kemudian, Tiang fi kui Hoan It ong beserta delapan setan lainnya telah sampai di-lapangan terus memberi hormat pada Kwe Cing suami isteri, lalu mereka mendekati Kwe Yang dan berkata: "Selamat hari ulang tahun nona, semoga hidup tenang bahagia Sin-tiau-hiap menyuruh kami mengantarkan hadiahnya yang kedua ini."

"Terima kasih, banyak terima kasih," segera Kwe Yang berseru.

Maka terlihatlah setiap orang Se-san it- khut-kui membawa sebuah kotak, Karena kuatir mereka kembali memberi hadiah sebangsa daun kuping atau batang hidung manusia, cepat Kwe Yang berkata lagi: "jika barang tak baik dilihat, janganlah dibuka."

"Ha, sekali ini justru sangat indah untuk dilihat," sahut Toa-thau-kui tertawa.

Ketika Hoan It-ong membuka kotaknya, dikeluarkan nya sebuah mercon roket yang sangat besar, ketika sumbunya disulut, secepat kilat mercon roket itupun meluncur tinggi kelangit. Kemudian waktu mercon itu meletus ditengah udara, maka terlihatlah gemerlapan bintik2 sinar diudara tiba2 terbentuk menjadi suatu tulisan, menyusul itu Tiau si kui juga melepaskan sebuah bunga api yang iain dan merupakan suatu huruf lagi, setelah bergiliraa Se-san-it-khut-kui melepaskan bunga api masing2, huruf bunga api yang gemerlapan itu kalau diurut menjadi berbunyi "Dengan hormat mendoakan semoga nona Kwe panjang umur dan banyak rejeki."

Sepuluh huruf sepuluh warna tergantung tinggi diangkasa hingga lama barulah buyar. Bunga api ini adalah ciptaan ahli terkenal yang bernama Wi It-bau, betapa indah bunga api buatannya pada jaman itu dianggap sebagai semacam kepandaian khas yang tiada bandingannya.

Kwe Cing tersenyum senang melihat suasana itu, pikirnya dalam hati: "Memang anak perempuan paling suka dengan permainan aneh2 ini, sungguh pintar Koji bisa mencari ahli pembuat bunga api terkenal ini."

Tapi baru saja sepuluh buraf bunga api ini buyar, tiba2 di udara sebelah utara sana meluncur sebuah mercon yang jaraknya beberapa li dari lapangan ini, menyusul mana di bagian utara lebih jauh lagi menjulang tinggi pula sebuah meteorit yang lain.

"Cara memberi tanda pakai meteor seperti ini dalam sekejap saja bisa tersambung sampai beratus li jauhnya, entah apa yang telah diatur Nyo Ko, rasanya hadiahnya yang kedua ini sekali2 bukan melulu membakar bunga api untuk membikin senang Yang-ji saja," demikian Ui Yong berpikir.

Lalu iapun perintahkan menyediakan meja dan daharan untuk Su si Hengte serta Se-san-it-khut-kui. Tapi belum selesai perjamuan itu diaiapkan, terdengarlah dari jauh di utara sana berkumandang suara gemuruh bagai guntur melempem, namun suara itu susul menyusul mengguruh terus tiada berhenti cuma jaraknya terlalu jauh, maka suara gemuruh itu kedengaran enteng saja.

Sebaliknya demi mendengar suara itu, mendadak Su si Hengte dan Se-san-it-ihut-kui berjingkrak girang, sambil ber-teriak2: "Berhasil, berhasil sudah!"

Para pahlawan menjadi bingung entah berhasil apa yang dimaksud itu, Toa-thau kui menuding ke utara dan berteriak: "Bagus, bagus!" .

Tatkala itu udara gelap gulita, tapi di ujung langit sebelah utara itu ternyata bercahaya merah.

Terkejut Ui Yong, tapi segera iapun bergirang, "Ah, Lamyang telah terbakar!" serunya kemudian.

"Ya, benar, itulah Lamyang!" Kwe Cing ikut berteriak sambil tepuk paha.

"Dapatkah kami mendapat sedikit keterangan?" tanya Ui Yong pada Hoan It-ong.



"ltulah hadiah ulang tahun kedua yang Sin-tiau-hiap berikan pada nona Kwe, yaitu rangsum pasukan Mongol yang berjumlah dua ratus ribu jiwa itu telah dibakarnya," kata Hoan It-ong.

Memangnya Ui Yong sudah menduga akan itu, kini mendengar dugaannya ternyata tepat, ia saling pandang dengan sang suami dengan girang.

Kiranya pasukan Mongol yang menggempur Siangyang itu menggunakan Lamyang sebagai kota perbekalan, beberapa tahun yang lalu sudah mendirikan gudang dikota itu secara besar2an, lalu dari mana2 didatangkan rangsum dan disimpan di situ.

Beberapa kali Kwe Cing mengirim pasukannya menggempur kota rangsum musuh itu, tapi pertahanan pihak Mongol terlalu kuat hingga tidak pernah berhasil, siapa nyana kini Nyo Ko melulu gunakan waktu semalam saja dapat membakar ludes perbekalan musuh itu.

Menyaksikan sinar api yang ber-kobar2 diarah itu makin lama semakin besar, akhirnya Kwe Cing menjadi kuatir malah. Tanyanya pada Hoan It ong: "Para pahlawan yang berjuang disana itu apakah dapat kembali dengan selamat semua?"

Diam2 Hoan It ong harus mengakui memang benarlah Kwe Cing seorang berbudi luhur, tidak tanya hasil pembakaran itu, tapi lebih dulu tanya keselamatan orang-nya, Maka jawabnya: "Terima kasih atas perhatian Kwe-tayhiap, hal itu Sin-tiau-hiap sudah mengaturnya dengan baik. Yang ikut membakar Lamyang itu adalah Seng-in Suthay, Liong-ah Thauto, Thio It-bin dan Pek-cau sian cs. yang semuanya tergolong jago kelas wahid, seluruhnya ada 81 orang, rasanya perajurit maupun perwira Mongol yang biasa saja tak nanti bisa mencelakai mereka."

Tiba2 Kwe Cing menjadi paham, katanya pada Ui Yong: "Lihatlah, Ko ji telah mengundang pahlawan2 begitu banyak, kiranya bertujuan mendirikan pahala luar biasa ini, jika bukan jago2 terkemuka ini sekaligus turun tangan berbareng, memangnya tidaklah mudah hendak menghancurkan 2000 perajurit musuh."

"Kami telah mendapat berita bahwa pasukan Mongol akan menggempur Siangyang dengan meriam dan obat peledak lain, maka di gudang bawah tanah Lamyang sana telah penuh tersimpan beratus libu kati obat pasang," demikian tutur Hoan It-ong pula.

"Sebab itulah ketika melihat bunga api selamat ulang tahun yang kami bakar tadi, segera 81 jago2 angkatan tua yang sudah siap dikota Lamyang itu turun tangan berbareng, membakar obat peledak dan menghancurkan rangsum musuh, sekali ini pasukan musuh pasti akan kelaparan."

Mendengar keterangan itu, Kwe Cing saling pandang dengan Ui Yong, diam2 mereka terkesiap

Dahulu mereka pernah mengikuti Jengis Khan menjelajah ke barat dan menyaksikan sendiri tentara Mongol menggunakan meriam menggempur benteng musuh, betapa dahsyatnya meriam itu benar2 seperti gugur gunung, cuma saja obat pasang dan peluru meriam nya sukar diperoleh, maka beberapa kali pasukan Mongol yang mengerang Siangyang belum pernah menggunakan meriam.

Tapi sekali ini rajanya sendiri, Mooko, yang memimpin pasukan, sudah tentu membawa alat penggempur benteng yang paling lihay pada jaman itu. jika bukan apa yang dinyatakan Nyo Ko ini, dapat dipastikan penduduk Siangyang bakal tertimpa malapetaka besar, Apalagi bisa menghancurkan 2000 perajurit musuh dan membakar rangsum musuh yang terhimpun selama beberapa tahun di Lamyang itu, dalam keadan serba kurang lengkap, pasti pasukan musuh terpaksa mundur.

Dan jasa itu sungguh besar luar biasa, maka suami isteri itu lantas mengaturkan terima kasih pada Su si Hengte dan Se-san it-kui. Dalam pada itu suara ledakan obat pasang masih terus terdengar cuma terlalu jauh, maka kedengarannya se-akan2 kabur, mendadak terdengar letusan beberapa kali lebih keras, menyusul tanah sedikit tergoncang. Maka berteriaklah Hoan Ii-ong: "Ah, gudang obat pasang yang terbesar itupun sudah meledak."

Segera juga Kwe Cing memanggil Bu-si Hengte menghadap dan berkata pada mereka: "Kalian lekas memimpin 2000 pemanah dan merunduk ke Lam-yang. jika pasukan musuh dalam formasi teratur, maka tak usah turun tangan, tapi kalau musuh kacau gugup, segera hujani anak panah dan basmi mereka."

Maka pergilah kedua saudara Bu itu dengan cepat, Karena kejadian hebat yang datangnya susul-menyusul itu seketika ramailah orang membicarakan kegagahan dan memuji akan budi luhur Sin-tiau-hiap.

Sebaliknya Kwe Hu yang melihat suaminya sudah menjagoi di atas panggung dan kedudukan Pangcu sudah terang tergenggam di tangan, siapa tahu mendadak terjadi hal2 yang menyimpang, dan belum Nyo Ko muncul orangnya atau suaranya sudah merobohkan nama sang suami.

Meski kejadian2 membakar rangsum musuh dan membasmi pasukan permtis Mongol adalah berita kemenangan yang menggirangkan tapi dasar Kwe Hu ini berjiwa sempit, maka ia menjadi kurang senang apalagi didengarnya bahwa apa yang terjadi itu menurut Su si Hengte dan Se-san it-khut-kui adalah hadiah ulang tahun Nyo Ko untuk adik perempuannya, kalau dibandingkan terang ia sendiri semakin merosot pamornya.

Berpikir sampai di sini, ia menjadi gusar, pikirnya. "Bagus, keparat Nyo Ko ini dendam padaku karena kutabas buntung lengannya dan sekarang sengaja datang menghilangkan mukaku!"

Nio tianglo dan Yalu Ce serta Kwe Hu bersama satu meja, orang tua ini melihat semua orang sama riang gembira, hanya Kwe Hu saja tampak bersungut.

Setelah ia pikir, segera ia tahu sebab2nya, maka katanya tertawa: "Ah, aku benar2 sudah pikun, karena kegirangan oleh datangnya berita kemenangan ternyata urusan di depan mata menjadi terlupa."

Habis ini, segera ia melompat ke atas panggung lagi dan serunya lantang. "Para hadirin, pasukan musuh berulang kali mengalami kehancuran sudah tentu kita merasa amat girangnya. Tapi masih ada pula sesuatu yang menambahi kegirangan kita, yaitu tadi Yalu-toaya telah mengunjuk ilmu silatnya yang tinggi dan semua orang sangat mengaguminya, sekarang juga kita mengangkat Yalu-toaya sebagai Pangcu kami, Apakah diantara pahlawan2 yang hadir ini ada yang menyanggah? Dan anak murid perkumpulan kita sendiri, apakah ada yang tidak setuju?"

Sesudah ditanya tiga kali dan di bawah panggung tetap tiada sahutan, maka Nio-tianglo melanjutkan: " jika begitu, silakan Yalu Ce naiklah kemari!"

Segera Yalu Ce melompat ke atas panggung, ia merangkap kepalan memberi hormat sekeliling panggung, selagi ia hendak buka suara dengan kata2 yang merendah diri, tiba2 di bawah panggung seseorang berteriak: "Nanti dulu, hamba ada sesuatu pertanyaan perlu minta penjelasan Yalu-toaya!"

Yalu Ce tercengang, dilihatnya suara itu keluar dari gerombolan anak murid Kay-pang sendiri, maka cepat iapun menjawab: "Katakanlah, silakan!"

Lantas terlihat di antara anak murid Kay-pang sana telah berdiri satu orang dan berseru: "Ayah YaIu-toaya sangat agung menjabat perdana menteri dinegeri Mongol, kakaknya juga pernah menjadi pembesar tinggi, walaupun sudah meninggal semua, tapi Kay-pang kita adalah musuh Mongol, dengan riwayat Yalu toaya yang menimbulkan curiga itu, apakah dapat menjadi Pangcu perkumpulan kita?"

"Mendiang ayahku, Yalu Cucay meninggal di racun ibu suri raja Mongol dan mendiang kakakku Yalu Cin dibunuh raja Mongol yang sekarang, hamba sendiri dengan raja Mongol yang kejam itu mempunyai dendam yang tiada taranya," demikian sahut Yalu Ce dengan sengit.



"Meski begitu katanya, tapi kematian ayahmu sesungguhnya kurang jelas, tentang diracun hanya berita angin belaka dan belum ada sesuatu bukti nyata," kata pengemis tadi pula, "Dan kakakmu melanggar perintah serta dihukum mati adalah pantas, dendam ini tak perlukah dibalas, sebaliknya sakit hati Kay-pang kita inilah yang belum terbalas.

Mendengar orang berani menyindir suaminya, Kwe Hu menjadi murka, ia tak tahan lagi, ia membentak: "Siapa kau? Berani mengaco-belo disini? Kalau berani, hayolah naik ke atas panggung!"

"Hahaha, bagus, bagus!" sahut pengemis itu terbahak "Pangcu belum tentu jadi, tapi calon nyonya Pangcu sudah unjuk lagak."

Habis itu, tanpa bergerak, tahu2 orangnya sudah berada di atas panggung.

Menyaksikan ilmu entengi tubuh orang ini, semua orang terkesiap. "Hebat benar ilmu silatnya, siapakah dia?" demikian semua orang sama bertanya. seketika pandangan beribu pasang mata terpusat atas diri pengemis ini.

Pengemis ini memakai baju hitam yang longgar dan compang camping, tangan kanan membawa sebatang tongkat yang bulat tengahnya sebesar cawan arak, rambutnya serawutan, mukanya kuning ke-gemuk2an seperti orang berpenyakit beri2, dekak-dekuk seperti bekas koreng, dipunggungnya menggemblok lima kantong kain, kiranya dia adalah anak murid Kay pang berkantong lima.

Sebenarnya dalam kaum jembel itu tidaklah kurang orang yang bermuka jelek, tapi kejelekan orang ini luar biasa. Anggota2 Kay-pang kenal dia bernama Ho Su-ngo, orangnya pendiam, tapi giat, sedikit bicara, banyak bekerja.

Sebab belasan tahun selalu giat berjuang untuk tugas perkumpulan dengan setia tanpa kenal capek, maka lambat-laun telah naik tingkat menjadi kantong lima, cuma silatnya dikenal rendah, kedudukan juga rendah, maka siapapun tidak memperhatikannya, orang menduga sesudah naik sampai tingkatan kantong lima tak mungkin lagi naik lebih tinggi, siapa tahu orang bodoh dan rendah demikian ini mendadak bisa naik panggung dan mendebat Yalu Ce, malahan ilmu silatnya juga diluar dugaan, semua orang sama membatin:

"Ho Su ngo ini darimana berhasil mencuri belajar ilmu silat yang demikian bagusnya?"

Sungguhpun Ho Su-ngo orangnya sepele, tapi karena mukanya yang jelek hingga membikin siapa yang melihatnya sukar melupakannya, maka Yalu Ce juga kenal padanya, segera ia rangkap tangan dan menegur "Entah Ho-heng ada pendapat apa lagi, silakan memberi petunjuk."

"Bilang memberi petunjuk, itulah aku tak berani," sahut Ho Su-ngo tertawa dingin. "Cuma hamba ada dua soal yang belum jelas, maka naik sini dan ingin bertanya."

"Dua soal apa?" tanya Yalu Ce..

"Pertama," kata Ho Su-ngo, "Pangcu baru dan lama kalau mengadakan timbang tcrima, selalu menggunakan "Pak-kau-pang" (pentung pcmukul anjing) sebagai tanda penyerahan kekuasaan Hari ini Yalu Ce-toaya hendak menjadi Pangcu, entah pusaka kita itu, Pak-kau pang, berada dimana? sungguh hamba ingin sekali melihatnya."

Mendengar pertanyaan ini, seketika para anggota Kay-pang berkata dalam hati: "Hebat benar pertanyaan ini."

Sementara terdengar Yalu Ce telah menjawab: "Loh pangcu tewas dibokong musuh, Pak-kau pang itupun hilang dirampas penjahat itu, Memangnya ini adalah noda perkumpulan kita yang harus dicuci bersih, siapa saja asal anak murid kita berkewajiban mencari kembali pentung pemukul anjing itu."

"Dan," kata Ho Su-ngo lagi," soal kedua yang hamba tidak jelas dan ingin tanya, yalab sakit hati Loh-pangcu sebenarnya harus dibalas atau tidak?"

"Loh- pangcu dicelakai Hotu, hal ini semua orang tahu, orang2 gagah di jaman ini semuanya ikut berduka dan penasaran, kita sudah mencari dan menyelidiki dan belum nampak jejak si bangsat Hotu ini," demikian sahut Yalu Ce Iagi.

"Tapi ini adalah tugas penting perkumpulan kita, sekalipun ke ujung langit juga akan kita bekuk keparat Hotu itu untuk membalaskan sakit hati Loh-pangcu,"

"Hm," tiba2 Ho Sit-ngo tettawa dingin pula. "Pertama, pentung pemukul anjing belum diketemukan kedua pembunuh Loh pangcu belum didapatkan, bila urusan ini belum selesai sudah ingin menjadi Pangcu, rasanya agak terlalu kesusu."

Pertanyaan yang tepat dan tegas ini membikin wajah Yalu Ce menjadi merah padam tak sanggup menjawab.

Maka cepat2 Nio tianglo menyela "Apa yang dikatakan Ho-laute ada benarnya juga, tapi anak murid perkumpulan kita meliputi beratus ribu jumlahnya dan tersebar diseluruh pelosok tak dapat tiada pemimpinnya, sedang urusan mencari pentung dan menuntut balas dendam lebih2 memerlukan pimpinan, sebabnya kita buru2 ingin mengingkat seorang Pangcu baru, justeru inilah alasannya.".

"Kata2 Nio tianglo ini salah besar, boleh dikatakan memutar-balikkan persoalan," tiba2 Ho Su-ngo menjawab dengan geleng2 kepala..."

Keruan Nto-tianglo menjadi gusar, ia adalah tertua dalam kalangan Kay-pang, tapi seorang anak murid berkantong lima saja berani mencelanya di-hadapan umura, sungguh besar amat nyalinya.

"Di mana letak kata2ku yang salah?" segera Nio tianglo bertanya dengan gusar.

"Menurut pendapat Tecu," demikian Ho Su-ngo menjawab, "barang siapa yang bisa menemukan Pak~ kau-pang dan siapa mampu membunuh Hotu untuk balas sakit hati Loh-pangcu, siapa lantas kita angkat menjadi Pangcu, Tapi kalau cara seperti sekarang ini, ilmu silat siapa yang pating kuat lantas dia menjadi Pangcu, jika umpama mendadak Hotu datang kemari dan ilmu silatnya menangkan Yalu-toaya, apakah kitapun lantas mengangkatnya menjadi Pangcu?"

Debatan ini seketika bikin orang saling pandang dan merasa apa yang dikatakan ada benarnya juga.

Namun Kwe Hu sudah lantas ber-kaok2 dibawah panggung, teriaknya: "Ngaco-belo, ilmu silatnya Hotu mana bisa menangkan dia?"

"Hm, meski ilmu silat Yalu toaya sangat tinggi, tapi belum berarti seluruh jagat tiada tandingan, hamba hanya seorang murid kantong lima, tapi belum pasti kalah daripadanya," sahut Ho Su-ngo dengan tertawa dingin.

Kwe Hu sangat mendongkol dengan kata2 orang kurangajar itu, kini mendengar orang bersedia saling gebrak, itulah kebetulan, maka cepat ia menggembor lagi: "Ce-koko, hajarlah manusia congkak yang kurangajar itu!"

"Nio-tianglo," kata Ho Su-ngo pula, "jika Tecu bisa menangkan Yalu-toaya, jabatan Pangcu ini lantas menjadi bagian Tecu, bukan? Atau mesti menunggu ada orang lain menemukan pentung dan membalas dendam baru akan diangkatnyn menjadi pemimpin kita?"



Melihat sikap orang makin lama semakin kurangajar, Nio-tianglo menjadi gusar sungguh2.

"Tidak peduli siapa," demikian sahutnya segera, "jika tak mampu menangkan para ksatria, tak mungkin bisa diangkat Pangcu, kelak kalau ia tak mampu ketemukan pentung dan membalas dendam, pasti ia akan malu menduduki jabatan ini. jika Yalu-toaya menjadi pangcu kita, kedua tugas itu tak nanti tak dilaksanakannya, kalau dia tak mampu menang-kan Ho-laute, tak mungkin juga ia bisa menjadi Pangcu?"

"Tepat perkataan Nio-tianglo," seru Ho Su-ngo, "biarlah hamba segera belajar kenal dulu dengan kepandaian Yalu-toaya, kemudian barulah pergi mencari pentung dan membunuh musuh." - Di balik kata2 itu nyata benar se-akan2 pertandingan ini 9/10 bagian sudah pasti Yalu Ce akan kalah.

Biasanya Yalu Ce sangat sabar dan berjiwa besar, tapi mendengar kata2 Ho Su~ngo ini, tanpa terasa iapun mendongkoI, maka jawabnya: "Siaute berkepandaian rendah, memangnya tak berani menjadi Pangcu, tapi kalau Ho~heng suka memberi pelunjuk, itulah sangat beruntung."

"Tak perlu merendah," kata Ho Su-ngo, habis itu pentung besi yang dibawanya itu ditancapkan diatas panggung, lalu sekali pukul, segera ia merangsang maju.

Tenaga pukulan itu tidak terlalu keras, tapi sasarannya meliputi tempat yang sangat luas, tatkala itu Nio-tianglo belum lagi mundur, hingga angin pukulan Ho Su-ngo yang hebat itupun membikin pipinya terasa pedas.

Yalu Ce tak berani ajal, tangan kiri menangkis, segera tangan kanan memukul dengan tipu "jin cong-yok-bi (tersembunyi seperti kosong), satu tipu pukulan hebat dari 72 jurus "Khong-bin kun" ajaran Ciu Pek-thong, segera saja pertarungan kedua orang berlangsung dengan seru di atas panggung.

Tatkala itu sudah lewat tengah malam, di sekitar panggung terdapat beberapa puluh obor besar, maka pertarungan kedua orang itu dapat disaksikan semua orang dengan jelas.

Setelah belasan jurus, Ui Yong melihat anak menantunya sedikitpun belum di atas angin, ia coba meneliti gerak ilmu silat Ho Su-ngo, tapi tidak bisa mengenali dari aliran manakah itu, hanya terlihat orang sangat ulet, sedikitnya sudah mempunyai latihan selama 40 tahun, maka diam2 ia berpikir.

"Belasan tahun terakhir ini hanya secara kebetulan kubaca nama Ho Su-ngo karena bekerja giat telah dinaikkan tingkatannya, tapi selamanya tiada orang menyebut tentang ilmu silatnya, kini melihat gerak-geriknya terang bukan baru2 saja mendapat guru pandai atau penemuan aneh hingga ilmu silatnya maju mendadak, padahal di dalam Kay-pang selama ini ia merendah diri, dan tak terkenal, apakah tujuannya memang untuk hari ini?"

Setelah berlangsung lebih 50 jurus, lambat-laun Yalu Ce terkejut, tidak peduli bagaimana ia ganti gerak tipu serangan selalu kena dipatahkan lawan secara mudah saja, sungguh Ho Su-ngo merupakan lawan tangguh yang jarang diketemukannya selama ini. Tapi anehnya justru orang juga tidak ambil kesempatan untuk balas menyerang, se-akan2 sengaja piara tenaga biar lawan roboh sendiri..

Yalu Ce sendiri sudah bertempur melawan beberapa orang kecuali Nu Thian-ho tadi, selebihnya biasa saja tidak banyak membuang tenaga kini melihat Ho Su ngo bergerak secara enteng dan tak tertentu se~akan2 orang tua menggoda anak kecil, Yalu Ce menjadi tak sabar, mendadak dari kepalan ia ganti menjadi telapak tangan dan menyerang cepat dengan kedua tangan.

Kiranya meski Yalu Ce muridnya Ciu Pek~ thong, tapi kepandaian khas Ciu Pek-thong, yaitu dua tangan mainkan dua macam ilmu silat berbareng tidaklah mudah mempelajarinya, maka Yalu Ce juga tidak mendapatkan ajaran ilmu silat hebat itu, ajaran ilmu silat Coan-cin kau, sebaliknya Yalu Ce sudah cukup matang memahaminya, maka kini setelah dimainkan, seketika saja sumbu belasan obor di atas panggung itu terdorong memanjang dari ini saja cukup terbukti betapa tenaga pukulannya.

Maka tertampaklah segera di atas panggung itu dua bayangan orang berkelebat kian kemari di bawah cahaya obor yang bergoncang.

"Cing-koko," tanya Ui Yong kepada suaminya, "menurut pandanganmu dari aliran manakah kepandaian Ho Su ngo ini?"

"Sampai saat ini belum sejurus ilmu silat perguruannya diunjukkannya, terang ia sengaja menyembunyikan asal usul dirinya," sahut Kwe Cing. "Tapi bila 80 jurus lagi lambat laun Ce ji bakal di atas angin, tatkala mana kalau dia tak mau mengaku kalah, terpaksa harus terbongkar muka aslinya."

Dalam pada itu pertarungan kedua orang semakin cepat, tidak lama 70-80 jurus sudah berlangsung, betul juga seperti apa dikatakan Kwe Cing, tenaga pukulan Yalu Ce sudah mengurung rapat seluruh tubuh lawannya.

Kwe Cing dan Ui Yong penuh perhatian memandangi Ho Su-ngo, mereka tahu dalam keadaan kepepet, kalau tidak keluarkan kepandaian aslinya dan masih gunakan ilmu silat dari aliran lain, pasti orang she Ho itu akan celaka.

Rupanya Yalu Ce juga sudah tahu akan kelemahan lawannya, maka tenaga pukulannya semakin gencar, tapi tidak sembarangan maju, melainkan tetap tenang.

Pada suatu saat, tampaknya tak mungkin bagi Ho Su-ngo tak mengganti tipu silatnya, se-konyong2 terlihatlah lengan bajunya mengebas, angin menyambar santar mulur dan mengkerut pula. Karena itu, belasan titik obor yang menyala di atas panggung itu juga memanjang, lalu menyurut kembali terus sirap.

Seketika keadaan menjadi gelap gulita, menyusul terdengarlah Ho Su-ngo dan Yalu Ce menjerit bersama, terdengar pula suara gedebukan, ternyata Yalu Ce sudah berguling ke bawah panggung, sebaliknya Ho Su-ngo telah bergejak tertawa di atas panggung.

Dalam keadaan terkejut, semua orang tiada yang berani bersuara, dalam keadaan sunyi itu suara tertawa Ho Su-ngo kedengaran sangat gembira sekali.

"Nyalakan obor lagi!" teriak Nio tianglo segera.

Maka segera beberapa anak murid Kay-pang naik ke panggung dan menyulut obor2 yang padam itu.

Dibawah sinar obor tertampaklah pipi kiri Yalu Ce berlumuran darah terluka sebesar cangkir, sebaliknya Ho Su-ngo lagi ulur telapak tangan kirinya sambil tertawa dingin dan berkata: "Ha, baju kutang hebat, baju kutang hebat!" Ternyata telapak tangannya juga penuh darah.

Kwe Cing dan Ui Yong saling pandang sekejap, mereka tahu Kwe Hu telah pinjamkan "kutang lemas berduri landak kepada sang suami, maka sewaktu Ho Su-ngo berhasil menghantam Yalu Ce, sebaliknya tangannya malah terluka oleh duri baju pusaka yang tajam itu.

Cuma, sebab apa Yalu Ce terluka hingga terguling kebawah panggung, karena keadaan mendadak menjadi gelap, maka mereka tidak tahu.

Kiranya tadi waktu pertarungan antara Ho Su-ngo dan Yalu Ce sampai titik menentukan, mendadak Ho Su-ngo mengeluarkan tenaga kebasan lengan bajunya yang hebat hingga obor2 yang menerangi panggung itu seluruhnya padam. Dalam keadaan terkesiap, cepat Yalu Ce menghantam ke depan untuk bela diri, tapi mendadak terasa ujung jarinya seperti menyentuh benda keras sebangsa logam, seketika ia sadar tentu Ho Su-ngo yang telah bertempur lama dan belum bisa unggul itu kini tiba2 menggunakan muslihat dan dalam kegelapan telah lolos senjatanya untuk membokong.



Namun Yalu Ce bukan murid Lo wan tong Ciu Pek-thong jika begitu gampang kecundang, sekalipun bertangan kosong juga ia tak gentar terhadap musuh yang bersenjata. Maka segera tipu pukulannya tadi ia ubah menjadi gerak "Kim-na-jiu hoat" untuk merampas senjata.

Dengan gerak tangkapan itu, tubuhnya berbareng mendekati lawan, sekali tangannya membalik, gagang senjata musuh sudah kena dipegangnya Bahkan menyusul telapak tangannya yang lain segera memukul muka orang.

Dengan begitu, mau-tak-mau Ho Su-ngo harus melepaskan senjatanya, Dan dalam keadaan gelap, benarlah Ho Su-ngo telah miringkan kepalanya mengegos dan kendorkan tangannya, maka berpindah tanganlah senjatanya ketangan Yalu Ce. Tapi pada saat yang sama itulah Yalu Ce merasa pipinya kesakitan sekali, terang sudah terluka, menyusul dadanya kena dihantam pula hingga tak sanggup berdiri tegak dan tergentak jatuh ke bawah panggung.

Sungguh tak terduga bahwa sedjata lawan ternyata aneh luar biasa, yaitu di dalamnya terdapat alat rahasia dan terbagi dalam dua potong, setengah potong kena direbutnya, dan setengah potong lainnya mendadak menyambar dan kena pipinya.

Cuma saja lukanya ini meski berat, tapi bukan tempat berbahaya, sebenarnya pukulan mematikan Ho Su-ngo itu terletak pada pukulannya yang mengenai dada Yalu Ce, syukur Kwe Hu sebelum itu berkeras agar suaminya memakai kaos kutang berduri landak didalam baju, karena itu pukulan hebat itu tidak melukainya, sebaliknya telapak tangan Ho Su--ngo sendiri yang tertusuk duri kaos kutang itu hingga berlumuran darah.

Sementara itu melihat suaminya terjungkal ke kawan panggung, Kwe Hu kuatir dan gusar cepat ia memeriksanya. Namun Nio-tianglo juga tahu Ho Su-ngo telah menggunakan muslihat licik, tapi tiada bukti nyata, pula keduanya sama2 terluka dan berdarah, maka tidak mungkin menyalahkan salah satu pihak melanggar peraturan melukai lawan, meskipun tampaknya luka kedua orang tidak berat Yalu Ce terpukul jatuh ke bawah panggung, terang ia sudah kalah dalam pertandingan ini.

Namun Kwe Hu masih penasaran, katanya: "Orang ini berlaku licik, kakak Ce naiklah keatas lagi untuk menentukan unggul dan asor dengan dia."

"Tidak," sahut Yalu Ce menggeleng, "sungguh pun ia gunakan tipu, tapi terang sudah menang, Apalagi kalau benar2 mengeluarkan kepandaian sejati, aku juga belum pasti menang,"

Karena pada saat menentukan tadi panggung menjadi gelap, maka Ui Yong dan Kwe Cing tidak mengetahui Ho Su-ngo menang dengan memakai tipu serangan apa. Segera Ui Yong memanggil Yalu Ce ke dekatnya dan memeriksa sepotong senjata musuh yang kena dirampasnya itu.

Ternyata benda itu adalah selonjor baja yang panjangnya lima-enam dim saja, seperti sebatang ruji kipas, seketika tak teringat olehnya siapakah gerangan orang Bu - lim yang suka memakai senjata semacam ini.

Pada saat itulah Ho Su-ngo telah berkata sambil menegakkan mukanya yang jelek dan bengkak itu: "Meski aku telah menangkan Yalu toaya, tapi aku belum berani menduduki jabatan Pangcu, setelah menemukan Pak-kau-pang dan membunuh Hotu, tatkala itu barulah terserah keputusan.musyawarah umum untuk menentukannya."

Mendengar kata2 orang yang ternyata sangat adil dan berjiwa besar, walaupun cara menangnya itu masih meragukan, tapi ilmu silatnya memanglah sangat tinggi, maka segera ada beberapa anggota Kay-pang bersorak memuji ucapannya itu.

"Dan ksatria manakah yang sekiranya masih ingin naik panggung buat memberi petunjuk?" kemudian Ho Su-ngo berseru sambil memberi hormat di depan panggung.

Baru selesai ia bicara, mendadak terdengar Su Pek-wi bersuit sekali, lalu beratus ekor binatang buas yang mengelilingi sekitar lapangan itu meraung keras sembari berdiri.

Melulu suara raungan seekor dua-ekor harimau atau singa saja sangat menggetarkan apalagi kini beratus ekor meraung berbareng, keruan suaranya se-akan2 gugur gunung dan memecah bumi, mangkok piring di atas meja perjamuan para pahlawan ikut bergoncang gemerincing suaranya.

Di bawah suara raungan binatang2 buas yang-keras itu, berbareng Se-san it-khut-kui dan keempat saudara Su lantas meloncat ke samping panggung, senjata mereka lolos, panggung itu sudah terkepung rapat.

Pada saat itulah dari jalan datang yang diterangi sinar obor tampak masuk delapan orang dengan obor terangkat diatas tangan. Terdengar mereka berseru lantang: "Sin-tiau hiap mengaturkan selamat berulang tahun kepada nona Kwe Yang dan inilah hadiah ketiga yang beliau bawa!".

Terlihat kedelapan orang itu cepat sekali sudah berada dihadapan Kwe Yang, nyata orang2 itu telah mengunjukkan betapa tinggi ilmu entengi tubuh mereka yang cepat dan gesit.

Segera kedelapan orang itu membungkuk memberi hormat pada Kwe Yang dan masing2 memberitahukan namanya sendiri2.

Para pahlawan menjadi kaget demi mendengar nama2 mereka. Ternyata seorang Hwesio yang paling depan itu adalah Bunsik Siansu, itu pengawas gereja Siau-lim-si, yang lain2 diantaranya ialah Tio-lokunsu, Jing-ling-cu cs., semuanya adalah tokoh2 terkemuka angkatan tua dari dunia persilatan yang sangat disegani.

Namun Kwe Yang tidak peduIikan betapa tenar nama orang2 itu, ia hanya berbangkit membalas hormat dengan ber- seri2, katanya: "Banyak terima kasih para paman dan mamak2 telah sudi berkunjung kemari. Barang permainan apakah yang kalian bawa untukku?"

Segera empat orang yang mengangkat empat ujung sebuah kantong besar terus menarik pelahan, maka terdengarlah suara sobeknya kain, kantong itu pecah menjadi empat potong dan dari dalam lantas menggelinding keluar seorang Hwesio berkepala gundul.

Ketika Hvvesio itu menyentuh tanah, cepat orangnya lantas melompat bangun, gerak tubuhnya ternyata gesit luar biasa, Segera tertampak wajah si Hwesio ini merah padam saking gusarnya, mulutnya mengomel tiada hentinya dalam bahasa yang tak dikenal, entah apa yang dia katakan.

Tapi Kwe Cing dan Ui-Yong segera kenal Hwesio ini adalah murid Kim lun Hoat ong, yaitu Darba, Sungguh aneh, entah cara bagaimana ia telah kena ditawan oleh Bu-sik Siansu dan Tio lo-kunsu cs.

Mula2 Kwe Yang menyangka dalam kantong itu tentu berisi kado yang menyenangkan, siapa tahu isinya adalah seorang paderi Tibet yang mukanya kasar jelek, maka ia rada kecewa. Katanya: "Buat apakah Toakoko mengirimkan hadiah seperti ini padaku? Aku tidak suka. Dimanakah dia sekarang, kenapa belum datang?"

Namun kedelapan orang itu tidak menjawab-nya, di antaranya Jing-ling-cu sudah lama tinggal di daerah Tibet dan fasih bicara bahasa Tibet, maka ia mendekati Darba dan bisik2 ditelinganya. Menyusul itu segera wajah Darba kelihatan terperanjat, matanya tanpa berkedip memandangi Ho Su-ngo yang berada di atas panggung.

Lalu Jing-ling-cu berkata lagi dua patah kata bahasa Tibet dengan keras sembari mengangsurkan gada emas yang dipegangnya kepada Darba.



Gada emas itu adalah senjata Darba sendiri, ia telah dikeroyok oleh kedelapan tokoh terkemuka itu hingga tertawan, senjatanya pun terampas.

Kini sesudah mendengar kisikan Jing-ling-cu, mendadak ia melompat ke atas panggung.

"Nona Kwe," kata Jing-ling-cu kemudian pada Kwe Yang, "Hwesio ini bisa sunglapan, maka Sin-tiau-hiap suruh dia naik panggung memberi pertunjukan sunglap, cobalah kau melihatnya."

"O, kiranya begitu," sahut Kwe Yang. "Emang-nya aku lagi heran, untuk apa Toakoko membuang tenaga begitu banyak melulu membawakan seorang Hwesio kepadaku?"

Sementara itu Darba sedang bicara keras2 terhadap Ho Su-ngo, cuma bahasanya "kilikuIuk", sukar dimengerti apa yang dia katakan.

"Hai, Hwesio, kau berkata apa, sedikitpun aku tak paham," demikian Ho Su-ngo membentak.

Mendadak Darba jinjing gada emasnya melangkah maju terus mengemplang kepala Ho Su-ngo.

Ho Su-ngo berkelit, namun Darba ayun gada emas yang gede itu merangsak terus, dengan bertangan kosong harus melawan senjata yang begitu berat, terpaksa Ho Su-ngo harus main mundur.

Melihat Hwesio Tibet ini begini garang, seketika anggota2 Kay-pang yang lain menjadi "solider" pada Ho Su-ngo, mereka sama berteriak begitu pula segera Nio-tianglo membentak: "Hai, Hwesio, jangan serampangan, kau harus tahu dia adalah bakal Pangcu perkumpulan kami."

Namun Darba sama sekali tak menggubris, gadanya berputar begitu cepat hingga berwujud suatu lingkaran emas dengan samberan angin yang semakin dahsyat.

Karena itu, ada 6-7 anak murid Kay-pang yang tak tahan lagi, mereka melompat ke pinggir panggung hendak membantu sang kawan, tapi Jing-ling-cu dan rombongannya, Se san it-khut-kui dan kelima saudara she Su yang seluruhnya berjumlah 23 orang telah mengepung rapat panggung dan meng-halang2i orang lain naik ke atas panggung, sekalipun anggota Kay-pang berjumlah banyak, tapi sesaat juga tidak bisa menerobos lewat.

Sedang keadaan agak kacau, tiba2 Jing-ling-cu melompat ke atas panggung dan mencabut pentung besi Ho Su ngo yang ditancapkan dipinggir panggung tadi. Terkejut sekali Ho Su-ngo, cepat ia hendak merebut kembali senjatanya itu, tapi kena didesak oleh gada emas Darba, selangkahpun ia tak bisa menggeser.

Betapapun Ui Yong yang biasanya sangat cerdik, dalam keadaan demikian ia menjadi bingung juga dan tidak tahu sebab apa Nyo Ko telah mengirim tokoh2 silat ini datang mengacau, apakah maksud tujuannya yang sebenarnya.

Kalau mengingat hadiah ulang tahun yang di berikannya pada Kwe Yang yang pertama dan kedua semuanya sangat berpaedah bagi Siangyang, rasanya hadiah ketiga ini tidak mungkin bersifat permusuhan.

Sebab itulah, Kwe Cing dan Ui Yong suami-isteri berpeluk tangan saja menyaksikan perkembangan selanjutnya.

Yalu Ce sendiri meski sudah digulingkan Ho Su-ngo kebawah panggung, tapi ia ber-cita2 meneruskan usaha ibu mertua dan berniat mati2an membela Kay-pang, kini melihat Ho Sungo keripuhan didesak Darba, tanpa pikir lagi ia membentak: "Jangan kuatir, Ho-heng, biar aku membantu kau!"

Tapi ketika ia melompat ke pinggir panggung itu, mendadak seorang telah berseru padanya: "Siapapun dilarang naik panggung!" Berbareng tangan orang itupun dipalangkan buat merintangi.

Segera Yalu Ce mcnyampuk tangan orang, tapi sekali membalik, orang itu malah hendak menangkap tangan Yalu Ce, gerakannya ternyata bagus sekali, betapa besar tenaga dalamnya juga lain dari pada yang lain.

Keruan Yalu Ce terkejut waktu ia pandang orangnya, kiranya dia adalah Su Siok kong, tokoh ketiga dari kelima saudara Su.

Beberapa kali Yalu Ce berubah gerak tipu lain, tapi tak mampu mendesak mundur Su Siok-kong, diam2 ia terkejut dan lieran: "Orang ini hanya anak buah Sm-tiau hiap saja sudah begini lihay, lalu Sin-tiauhiap yang memerintah dan menyuruh tokoh2 silat yang begini banyaknya, ia sendiri entah tokoh macam apa?"

Sementara itu Ji ling-cu telah angkat tinggi2 petung besi milik Ho Su-ngo yang dirampasnya tadi dan menggembor "Wahai, para ksatria sekalian, lihatlah, barang apakah ini?"

Habis itu mendadak ia ayun sebelah tangannya dan membelah ke tengah2 pentung besi itu, "krak" pentung besi itu pecah oleh belahan telapak tangannya.

Ternyata pentung itu tengahnya bolong, ketika Jing-ling-cu menarik pentung yang pecah itu, di dalamnya lantas tertampak sebatang pentung bambu yang hijau mengkilat.

Melihat pentung bambu ini, sesaat anggota2 Kay-pang terdiam, tapi menyusul be-ramai2 mereka lantas berteriak: "He, itulah Pak-kau-pang milik Pangcu!"

Beberapa anak murid Kay-pang yang lagi bergebrak dengan Su-si Hengte dan Se-san-it-khut-kui segerapun melompat mundur, mereka menjadi heran. Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing, pentung simbolis dari Pangcu mereka kenapa tersembunyi didalam pentung besinya Ho Su-ngo dan kenapa ia merahasiakannya? Sungguh mereka tidak habis mengerti.

Dalam heningnya itu semua orang menantikan penjelasan Jing- ling-cu, siapa tahu Jing-ling-cu tidak lagi bicara, ia melompat ke bawah panggung dan menyerahkan pentung bambu itu kepada Kwe Yang.

Melihat barang itu, Kwe Yang lantas teringat pada orangnya, terkenang olehnya suara dan wajah tertawa Loh Yu-ka, ia menjadi berduka, dengan khidmat ia angsurkan pentung bambu itu kepada ibunya.

Tatkala itu tipu serangan gada emas Darba semakin gencar, Ho Su-ngo hanya mampu berkelit dan mengegos kian kemari, berulang2 ia menghadapi berbagai bahaya.

Tapi kini Ho Su-ngo tidak mendapat simpatik dari siapapun lagi, sesudah orang2 Kay-pang melihat "Pentung pemukul anjing" tadi, mereka menduga sebabnya Jing-ling-cu menawan Darba kemari untuk menempur Ho Su-ngo tentu ada maksud tujuannya.

Dalam pada itu belasan jurus berlalu lagi, tampaknya Ho Su-ngo pasti akan binasa di bawah gada emas, saat itulah mendadak Ui Yong ingat sesuatu.

"Ho Su-ngo telah melukai Ce-ji, sudah terang dalam lengan bajunya tersembunyi senjata, kenapa detik berbahaya ini masih belum dikeluarkannya buat melawan musuh?"

Ia lihat waktu itu gada emas Darba telah menyerang dan Ho Su-ngo terpaksa melompat berkelit. Tapi tiba2 Darba tegakkan gadanya terus menyodok ke atas.

Saat itu Ho Su-ngo terapung diudara, sodokan ini betapapun tiada jalan buat menghindar terdengarlah suara "creng" nyaring beradunya senjata, berbareng itu Ho Su-ngo sempat melompat ke samping, ditangannya tahu2 sudah bertambah semacam senjata yang berbentuk pendek.

Tampak Darba semakin murka, ia mencaci--maki kalang-kabut dan gada emasnya diputar semakin cepat.

Namun sesudah pegang senjata, keadaan terdesak Ho Su-ngo tadi lantas berubah, segera iapun "unjuk gigi", ia menutuk, menjodoh, menusuk dan menghantam, sungguhpun senjata pcndek, tapi tipu2 serangannya ternyata sangat hebat, keadaan menjadi sama kuat sekarang.



Setelah menyaksikan sebentar lagi, tiba2 Cu Cu-liu menjadi paham, serunya: "Aha Kwe-hujin, sekarang tahulah aku siapa dia. Cuma masih ada sesuatu yang aku belum mengerti."

Ui Yong terscnyum, rupanya lebih dulu iapun sudah tahu, maka jawabnya: "ltu karena mukanya dipoles dengan campuran tepung, madu, hm dan lain2 bahan pelekat."

Yalu Ce, Kwe Hu dan Kwe Yang waktu itu berdiri disamping sang ibu, tapi mereka menjadi bingung mendengar percakapan itu.

"Cu-lopek, kau maksudkan siapakah?" tanya Kwe Hu.

"Aku maksudkan Ho Su-ngo yang melukai suamimu itu" sahut Cu-liu.

"Kenapa? Apakah dia bukan Ho Su-ngo? Lalu siapa?" tanya Kwe Hu lagi.

"Coba kau perhatikan senjata apa yang dia pakai?" ujar Cu-liu.

Kwe Hu mencoba mengamat-amati, sejenak kemudian, katanya: "Panjang senjatanya tiada satu kaki, memang aneh bentuknya, bukan Boan koao-pit, bukan Oo ht-ji, juga bukan Tiam-biat kut."

"Kau harus peras otak berpikir dulu," sela Ui Yong. "Sebab apakah dia tak mau pakai senjatanya sejak tadi, tapi lebih suka menerima resiko dan selalu berkelit saja, sampai akhirnya sesudah terdesak benar2 oleh Hwesio itu barulah ia lolos senjatanya? ia melukai Ce-ji dengan senjata, sebab apa pula harus menyiapkan obor lebih dulu?"

"Ya, tahulah aku sekarang, tentu ia kuatir ada orang yang hadir ini kenal senjata dan gerak tipu-nya, maka tidak berani unjuk corak aslinya," kata Kwe Yang.

"Bagus, memang Kwe-jisiocia sangat pintar," puji Cu-liu.

Mendengar adik perempuannya dipuji, dalam hati Kwe Hu menjadi iri, katanya: "Tak mau unjuk corak asli apa katamu? Bukankah terangan ia berdiri diatas panggung? Kan siapapun dapat melihatnya?"

Tapi Kwe Yang segera ingat lagi kata-2 sang ibu tadi, maka ia raenyambung pula: "Ah, kiranya dekak dekuk bekas koreng dimukanya itu semuanya adalah palsu, Mukanya sungguh menakutkan sekali aku melihatnya, tak sudi melihatnya untuk kedua kalinya."

"Ya, semakin jelek dan semakin seram ia menyamar, semakin jejaknya tak diketahui sebab semua orang jenuh pada mukanya yang jelek hingga sungkan memandang padanya, dengan begitu, muka palsu itu meski ada sedikit keganjilan juga tidak mudah diketahui orang", kata Ui Yong. "Ai menyamar selama 16 tahun, sesungguhnya bukan suatu pekerjaan mudah."

"Bentuk muka bisa dipalsu, tapi ilmu silat dan gerak-geriknya tak mungkin dipalsukan, ilmu kepandaian yang sudah terlatih berpuluh tahun, mana bisa berubah begitu saja," ujar Ciu-liu.

"Kalian maksudkan Ho Su-ngo itu palsu? Kalau begitu siapakah gerangannya?" tanya Kwe Hu. "Adik, kau yang pintar, coba terangkan."

"Aku sedikitpun tidak pintar, maka sedikitpun tidak tahu," sahut Kwe Yang geleng2 kepala.

"Toasiocia (puteri pertama) sendiri sudah pernah melihat dia, tatkala itu Jisiocia malah belum lahir," kata Cu-liu tersenyum, " 17 tahun yang lalu ditengah perjamuan besar kaum ksatria di Heng-ci-koan, ada seorang telah menempur aku sampai beratus jurus, siapakah dia?"

"He, dia Hotu?" seru Kwe Hu. "Ah, tidak, bukan dia. Ehm, ia memakai senjata kipas lempit, senjata inilah agaknya rada mirip, Ya, ya, kipasnya ini tinggal tulang kipas saja tanpa muka kipas, maka seketika susah dikenali."

"Pertarunganku dengan dia dahulu itu adalah ialah satu kejadian berbahaya selama hidupku, maka tipu serangan dan gerak tubuhnya tidak nanti kuIupakan," ujar Cu-Iiu pula, "Jika orang ini bukan Hotu, ha, aku she Cu inilah yang bermata lamur!"

Ketika Kwe Hu memandang keatas panggung pula, ia lihat gerak langkah Ho Su-ngo kini ternyata sangat gesit, serangannya sangat keji, lapat2 memang benarlah si Hotu yang pernah dilihatnya dahulu, cuma dalam hati ia masih banyak yang tidak paham, maka tanyanya pula:

"Tapi jika benar ia adalah Hotu, padahal paderi Tibet ini adalah Suhengnya, masakan mereka tidak kenal, sebaliknya saling gebrak secara begitu hebat?"

"Justru Darba mengenali orang itu adalah Sutenya, maka ia melabraknya dengan mati2an," sahut Ui Yong. "Tahun itu waktu pertarungan sengit di Tiong-yang-kiong, Cong-lam-san, dengan sebilah "Hian-tiat-kiam" (pedang besi murni) Nyo Ko telah menindih Darba dan Hotu ke bawah, melihat jiwa terancam, mendadak Hotu gunakan akal licik, ia mengkhianat buat selamatkan jiwa sendiri, kejadian ini disaksikan orang banyak, tentunya kaupun mendengar cerita orang?"

"O, kiranya begitulah hingga Darba benci padanya," ujar Kwe Hu.

Mendengar ibunya bercerita tentang Nyo Ko dengan sebilah pedang menindih Hotu dan Darba ke bawah, Kwe Yang jadi terbayang betapa gagah perwiranya Nyo Ko dimasa dahulu, tanpa terasa ia kesemsem.

"Dan kenapa ia berubah menjadi pengemis? Sebab apa pula Pak-kau-pang bisa berada ditangan-nya?" Kwe Hu menegas.

"Bukankah itu sangat sederhana?" jawab Ui Yong. "Hotu telah mendurhakai Suhu dan khianati Suheng, sudah tentu ia takut dicari mereka, maka ia sengaja menyamar dan ganti corak menyelundup ke Kay-pang, sedikitpun tidak menimbulkan curiga dan lambat laun meningkat hingga anak murid ber-kantong lima, dengan begitu orang2 Kay-pang tiada yang curiga, Kim-lun Hoat ong lebih tak bisa menemukannya.

Tapi manusia jahat yang berhati dengki tidak mungkin mau terpendam begitu saja hidupnya, bila ada kesempatan, segera ia jalankan muslihatnya lagi, Hari itu ketika Loh pangcu meronda keluar kota, diam2 ia sembunyi di sana dan tiba2 membokongnya, tapi cara turun tangannya telah membongkar rahasianya, pula ia tinggalkan murid Kay-pang yang masih bernyawa itu agar menyampaikan bahwa yang membunuh Loh Yu ka adalah Hotu.

Sesudah Pak-kau-pang dapat direbut-nya, lalu disembunyikan dalam pentungnya, ia menunggu saatnya pemilihan pangcu lantas muncul ikut memperebutnya. Dengan ilmu silatnya yang memang tinggi, sudah tentu tidak terlalu susah baginya untuk merobohkan para ksatria, malahan ia sengaja kemukakan syarat tentang "menemukan pentung pemukul anjing", suatu syarat yang memang menjadi peraturan Kay-pang turun-temurun, dengan sendirinya tiada yang bisa mendebatnya. Ai, keparat Hotu ini benar2 pintar berpikir panjang."

"Tapi ada Kwe-hujin disini, meski dapat mengelabuhi orang untuk sementara, akhirnya juga tak bisa mendustai kau," ujar Cu Cu-liu tertawan.

Ui Yong tersenyum tak menjawabnya, dalam hati ia berkata: "Kalau ia menyelundup ke Kay-pang dan tidak unjuk sesuatu tanda mungkin masih bisa mengelabuhi aku, tapi kalau ingin menjadi Pangcu itulah terlalu meremehkan-aku Ui Yong"

"Dan si Nyo Ko juga hebat benar, ternyata dapat diketahuinya muslihat Hotu ini, pentung pemukul anjing dapat direbutnya kembali, kedok Hotu juga kena dibongkarnya dan dihadiahkan pada Kwe jisoacia sebagai kado ulang tahun, sungguh hadiah ini tidak kecil," ujar Cu-liu.



"Hm," kukira itupun kebetulan saja dapat di-ketahuinya," jengek Kwe Hu.

Tapi Kwe Yang lantas ingat sesuatu, katanya: "Hotu ini sengaja menyamar sebagai pengemis muka jelek dalam Kay pang dan sengaja mengacau, Su -samsiok dari kelima saudara Su itupun pernah di-lukainya, mungkin sekali Su-samsiok sengaja mencarinya untuk membalas sakit hati dan akhirnya telah menemukan jejaknya."

"Benar," sahut Ui Yong, mengangguk, "dikalangan Kangouw sering kah diketahui jejak Hotu, orang lain sekali2 tak pernah menyangka bahwa Ho Su-ngo dari Kay-pang adalah orang yang sama dengan dia. Tapi seorang yang terlalu tinggi hati, pada suatu hari pasti terjungkal dan terbuka kedoknya."

"Tapir" sela Kwe Hu, "sebab apa dia sendiri bilang akan membunuh Hotu? Bukankah itu sangat bodoh?"

"ltu hanya kata2 untuk menutupi kedoknya saja supaya orang iain tak mencurigainya," kata Ui Yong.

Dilain pihak Kwe Yang sedang komat-kamit perlahan: "Tentu hari itu ia telah mendengar semua perkataanku ketika aku menyembahyangi arwah Loh-pepek di kelenteng Yo-tayhu. Karena tahu hatiku berduka sebab Loh pepek terbunuh musuh, maka ia lantas mencari pembunuhnya ini. Dan dia sendiri, kenapa masih belum datang?"

Tengah bicara, pertarungan Darba dan Hotu di atas panggung semakin sengit. Kedua orang berasal dari satu guru, masing2 cukup kenal kepandaian lawan, Darba menang dalam hal tenaga lebih besar, tapi Hotu lebih unggul akan kecepatan dan kegesitan, maka sudah ratusan jurus keduanya masih seimbang saja.

Mendadak sontak Darba menggertak, gada emasnya ditimpukkannya ke arah Hotu secepat kilat Gada emas ini beratnya lebih 30 kati, ditimpukkan lagi, gaya meluncurnya menjadi lihay sekali."

Terkejut Hotu, selamanya belum pernah melihat gerak serangan sang Suheng ini. lekas2 ia mengegos, tapi Darba sudah memburu maju, telapak tangannya mendorong dan mendadak gada emas itu memutar arah terus memburu Hotu puIa.

Sungguh tidak kepalang terperanjat Hotu, barulah sekarang ia tahu selama belasan tahun ini sang Suheng sudah banyak mendapat tambahan ilmu Lwekang lagi dari sang Suhu, kepandaian menimpuk gada ini persis gayanya seperti Kim-lun Hoat-ong meluncurkan kelima rodanya yang terbikin dari "Panca logam" itu, melihat tenaga timpukan gada itu sangat keras, se-kali2 tak sanggup ditangkis dengan kipas, terpaksa Hotu berkelit pula, Gada itu menyamber lewat dua tiga senti di atas kepalanya.

Namun makin ditimpuk dan didorong, gada emas Darba itu semakin cepat, obor yang menyala di sekitar panggung itu sampai ter-goncang2 oleh angin samberan hingga sebentar terang, sebentar gelap, Hotu tak berani ajal, ia melompat ke sana kemari, di bawah ancaman gada yang me-nyamber2, melihat keadaan yang menggetarkan itu, semua orang yang menyaksikan ikut terperanjat.

Sampai timpukan yang ke-18 mendadak Darba membentak keras, gada emasnya bagai panah meluncur ke depan Hotu tak sanggup-berkelit lagi, terdengarlah segera suara benturan yang keras, dada dan badannya terus lemas terkulai di atas panggung tak berkutik lagi.


Sesudah ambil kembali gada emasnya, Darba menggerung menangis tiga kali, lalu ia duduk sila di depan mayat Sute itu membacakan doa, habis ia melompat turun dan mendekati Jing-ling-cu, gada emas itu diangkat tinggi2 hendak dikembalikan pada orang.

Tapi Jing ling-cu tak menerimanya, katanya "Selamat, kau berhasil cuci bersih sampah perguruanmu, Sin-tiau-hiap telah mengampuni kau, supaya kau-pulang ke Tibet dan selanjutnya tak boleh menginjak daerah Tionggoan lagi."

"Banyak terima kasih pada Sin-tiau-tayhiap, hamba menurut perintahnya." sahut Darba, Lalu ia memberi hormat dan pergi.

Melihat Hotu menggeletak mati di atas panggung, mukanya bengkak seram, tapi Kwe Hu masih tak mau percaya muka demikian ini adalah palsu.

Tiba2 ia cabut pedangnya dan melompat ke atas panggung, dengan ujung pedang ia hendak iris batang hidung Hotu, serunya: "Biarlah kita melihat muka asli bangsat ini bagaimana macamnya?"

Tak terduga, mendadak terdengar Hotu membentak sekali, tahu2 melompat tinggi, kedna telapak tangannya terus menghantam dengan ganasnya.

Kiranya oleh sodokan gada tadi, meski terluka parah sekali, tapi seketika jiwanya masih belum melayang. Dasar Hotu memang licik maka ia sengaja tak berkutik, ia menunggu kalau2 Darba mendekatinya dan hendak membalasnya dengan sekali hantam pada saat sebelum ajalnya, agar gugur bersama..

Siapa tahu Darba hanya membacakan doa supaya arwahnya menuju alam baka, lalu turun panggung sebaliknya Kwe Hu yang datang mengiris hidungnya.

Hantaman Hotu ini boleh dikata seluruh sisa tenaga yang masih ada telah dikeluarkan seluruhnya. Keruan Kwe Hu terkejut sekali, sesaat ia menjadi lupa mengayun pedang buat menahan serangan musuh, pula kutang berduri landak sudah dipinjamkan suaminya, tampaknya jiwanya sekejap saja pasti akan melayang oleh hantaman kedua tangan Hotu.

Dalam terkejutnya Kwe Cing, Ui Yong dan Yalu Ce berbareng hendak melompat keatas panggung.

Untuk menolongnya tapi terang tak keburu lagi.

Pada detik berbahaya itulah, tiba2 terdengarlah suara mencicit dua kali, tahu2 dari udara menyambar datang dua senjata rahasia dengan pesat sekali dari kanan-kiri dan sekaligus mengenai dada Hotu.

Kedua senjata rahasia itu bentuknya sangat lembut, tapi tenaganya luar biasa besarnya, tanpa ampun lagi tubuh Hotu terjengkang merosot ke bawah panggung mulutnya memuntahkan darah dan benar2 binasalah sekarang.

Dengan ternganga kaget semua orang coba memandang ke arah darimana datangnya senjata rahasia itu, tapi tertampak bintang suram, bulan guram, langit gelap, lebih dari itu suasana sunyi senyap saja.

Di depan panggung tegak berdiri dua tiang bendera yang besar dan tingginya beberapa tombak, agaknya senjata rahasia itu disambitkan masing2 dari kedua talang tiang bendera yang tinggi itu.

"Melihat suara menyambernya senjata rahasia tadi, Ui Yong menduga kecuali kepandaian "tan-ci sin-thong" atau ilmu jari maha sakti yang dari ayahnya, Ui Yok su, rasanya tiada orang lain lagi yang memiliki kepandaian setinggi itu.

Cuma kedua tiang bendera jaraknya masing2 belasan tombak, kenapa dari kedua tiang bendera itu berbareng ditumpukkan senjata rahasia? Masakah ada dua orang.

Tapi saking girangnya iapun tidak banyak pikir lagi, segera ia berseru memanggil: "Apakah ayah yang datang, bukan?"

Terdengarlah dari lalang tiang bendera sebelah kiri ada suara seorang tua tertawa ter-bahak2 sambil berkata "Kawan cilik Nyo Ko, marilah kita turun bvrbareng!"

"Baik," sahut seorang dari talang sebelah kanan. Menyusul itu, dari dalam talang tiang bendera masing2 melompat turun satu orang.

Di bawah sinar bintang dan bulan yang guram, baju kedua orang itu me-lambai2 ketika melompat turun, seorang berjubah hijau berambut putih, yang lain berbaju biru berlengan tunggal, nyatalah mereka memang Ui Yok-su dan Nyo Ko.

Kedua orang itu melompat turun ke arah panggung, Ui Yok-su menarik tangan kiri Nyo Ko selagi masih terapung di udara, kemudian keduanya turun berbareng di atas panggung, Betapa mengagumkan cara melayang turunnya kedua orang itu. Bila semua orang tidak mendengar suaranya dahulu, boleh jadi akan menyangka mereka adalah malaikat yang turun dari khayangan.

Lekas Kwe Cing dan Ui Yong melompat ke atas panggung memberi hormat pada Ui Yok-su.

Begitu pula Nyo Ko lantas menyembah dihadapan Kwe Cing dan Ui Yong suami-isteri sambil menyapa.

"Tit-ji (keponakan) Nyo Ko memberi hormat kepada Kwe pepek dan Kwe-pekbo."

Cepat Kwe Cing membangunkannya dan katanya dengan tertawa: "Ko ji, ketiga macam hadiah-mu ini sungguh... sungguh..." tapi saking terharunya, pula memang tidak pandai bicara muluk2, maka "sungguh" apa, tak bisa dikatakannya

Sebaliknya Kwe Hu yang dengki, kuatir kalau dirinya disuruh mengaturkan terima kasih atas pertolongan Nyo Ko tadi, lekas2 mendekati Ui Yok-su sambil memanggil Engkong.

Nyo Ko tersenyum, ia kenal watak orang, ia melompat kehadapan Kwe Yang dan sapanya dengan tertawa. "Adik cilik, aku datang terlambat."

Berdebar2 hati Kwe Yang saat itu, wajahnya jengah. jawabnya dengan suara lirih: "Ah, kau telah bawakan tiga nucam hadiah besar ini, sungguh... sungguh bikin capek kau saja."

""Hanya sekedar meramaikan hari ulang tahun adik cilik saja, tiada yang perlu dipuji," sahut Nyo Ko tertawa.

Habis itu, ketika ia memberi tanda, segera terdengar Toa thau-kui berteriak "Bawa semua ke sini!" - Segera pula dipintu masuk lapangan sana ada orang meluruskan perintah itu: "Bawa semua ke mari-dan begitu pula seterusnya suara itu dilanjutkan hingga jauh.

Selang tak lama dari Iuar lapangan itu membanjir serombongan orang, ada yang membawa leng-long dan obor, ada yang memikul dan menjinjing tenggok, terus tersebar disekitar lapangan dan mematok cagak mendirikan panggung, sementara orang yang datang semakin banyak tak ter-putus2, namun secara beraturan, tiada seorangpun bicara, hanya bekerja keras.

Semua orang sudah saksikan ketiga hadiah besar yang dibawa Nyo Ko tadi, maka siapapun merasa kagum padanya mereka pikir orang2 yang di bawanya kemari ini tentu ada gunanya.

Tak lama kemudian, di sebelah barat daya lapangan itu satu panggung sudah berdiri, gembreng berbunyi dan genderang ditabuh, nyata itula sebuah panggung wayang "po te-hi" yang melakonkan "Pat sian-cok- siu" atau delapan dewa memberi selamat ulang tahun.

Menyusul mana satu panggung yang disudut lain mempertunjukan opera yang melakonkan cerita Kwe Cu-gi berulang tahun, dewa- dewi datang memberi selamat padanya, Dalam sekejap saja di-ujung lainpun ada wayang orang yang memulai pertunjukan hingga seketika suasana meriah sekali.

Sungguh hebat usaha Nyo Ko ini, sekalipun keluarga bangsawan yang paling mampu juga tidak selengkap dan seramai sekarang ini.

Betapa girang Kwe Yang atas kebaikan Nyo Ko, saking terharu matanya mengembeng air mata dan tak sanggup bersuara, .

Kwe Hu jadi ingat apa yang dikatakan adiknya tempo hari bahwa ada seorang ksatria besar akan datang memberi selamat ulang tahun padanya, kini ternyata betul2 terjadi, ia gusar dan mendongkol dalam keadaan serba kikuk ia pura2 menarik tangan Ui Yok-su menanyakan ini dan itu, terhadap keramaian disekitarnya ia berlagak tidak tahu.

"Ayah, apakah sebelumnya kau telah berjanji dengan Ko-ji akan sembunyi didalam talang tiang bendera itu?" tanya Ui Yong kemudian pada ayahnya.

"Bukan, bukan," sahut Ui Yok-su tertawa, "Satu hari, ketika aku pesiar di Tong-teng-oh di malam bulan purnama, tiba2 aku mendengar suara orang berseru mencari Yan-po Tio-so (si kakek tukang mancing), katanya ada seorang bernama Sin~ tiau hiap mengundangnya ke Siangyang, Kepandaian Yan-po Tio-so itu tidaklah rendah, cuma tabiatnya sangat aneh, Maka aku menjadi kuatir kalau diam2 mereka akan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan puteri dan menantuku sayang, diam2 aku lantas datang kemari. Siapa tahu kalau Sin-tiau-hiap ini ternyata adalah kawan cilik Nyo Ko, bila tahu, tak perlu lagi aku ikut2 capekan diri."

Dari lagu perkataan orang, Ui Yong tahu sang ayah meski mengembara ke mana2, tapi dalam hati senantiasa masih merindukannya. maka dengan tertawa ia berkata: "Tia (ayah), sekali ini janganlah kau pergi lagi, marilah kita hidup berkumpul saja dengan bahagia."

Namun Ui Yok-su tidak menjawabnya, tiba2 Kwe Yang dipanggil kedekatnya, "Marilah, nak, biar Gwakong melihat kau," demikian katanya.

Memangnya Kwe Yang selama ini belum kenal sang Gwakong atau kakek luar (ayah ibu), maka lekas2 ia mendekatinya dan memberi hormat.

Segera Ui Yok su memegangi tangan anak dara itu dan mengamat-amati raut mukanya, tiba2 dengan muram ia berkata: "Sungguh persis, sungguh persis!"

Ui Yong tahu ayahnya menjadi terkenang pada mendiang ibunya, maksudnya muka Kwe Yang, sangat mirip dengan nenek sewaktu mudanya, Karena kuatir bikin ayahnya bertambah berduka, maka ia tidak buka suara.

"Sudah tentu persis" sela Kwe Hu tiba2 dengan tertawa, "Engkau berjuIuk "Lo-tong sia" dan dia dipanggil orang "Siau-tong sia"



"Hu ji," cepat Kwe Cing membentak, "Dihadapan Gwakong berani tak beraturan?"

Sebaliknya Ui Yok-su menjadi girang, ia tanya Kwe Yang: "Apa benar kau berjuluk "Siau tong-sia", Yang-ji?"

Kwe Yang menjadi jengah jawabnya."Mula2 Cici yung menyebut aku demikian, lama2 orang lainpun ikut- menyebut aku begitu."

dalam pada itu empat tertua dari Kay-pang sedang merubung Nyo Ko sambil tiada hentinya mengaturkan terima kasih, dalam hati mereka berpikir. "la telah menemukan kembali Pak kau-pang dan membongkar kedok muslihat Hotu, jika ia sudi menjadi pangcu kita, itulah paling baik."

Sebab ituIah, segera Nio-tianglo berkata: "Nyo~toaya, sungguh tidak beruntung Loh pangcu kami telah wafat..."

Nyo Ko tahu akan maksud hati orang, tanpa menunggu ucapan orang Iebih lanjut, segera ia memotong: "Kepandaian Yalu toaya serba pintar, bijaksana dan berbudi, ia juga adalah kawanku sejak duIu, kalau dia yang menjadi Pangcu perkumpulan kalian, pasti akan bisa meneruskan usaha Ang, Ui dan Loh bertiga Pangcu dahulu."

Setelah Ui Yok-su menanya sekedar ilmu silat Kwe Yang, ia berpaling dan hendak memanggil Nyo Ko, tapi demi menoleh, tahu2 Nyo Ko sudah berjalan keluar lapangan, ia tahu sekali Nyo Ko pergi susah bertemu pula, maka cepat serunya. "Kawan cilik Nyo Ko, nanti dulu, akupun hendak pergi!"

Ketika lengan bajunya mengebas, sekejap saja ia sudah menyusul sampai di samping Nyo Ko, seorang tua dan yang lain muda bergandengan tangan menghilang di malam gelap.

Sebenarnya Ui Yong ada sesuatu hendak dibicarakan dengan ayahnya, cuma dihadapan orang banyak tak IeIuasa diutarakan, kini orang tua itu ternyata pergi begitu saja, ia menjadi gelisah dan lekas2 menguber.

Tapi betapa cepat jalannya Ui Yok su dan Nyo Ko, waktu Ui Yong mengejar keluar, jarak mereka sudah beberapa puluh tombak jauhnya.

"Ayah, Ko ji, marilah tinggal dulu dan berkumpul beberapa hari saja." teriak Ui Yong.

"Ah, watak kami berdua suka bebas tak mau dikekang, biarkanlah kami pergi dengan merdeka!" demikian Ui Yok-su menyahut dengan tertawa.

Nyata suaranya itu sudah jauh sekali, Diam2 Ui Yong mengeluh, tapi apa daya, terang tak dapat menyandaknya, terpaksa ia kembali pulang, sementara dilapangan itu suasana masih ramai sekali.

Se-san it khut-kui, Su si Hengte, Jing ling cu dan kawan2nya juga sudah pergi.

Sesudah dirundingkan antara tetua Kay pang, kalau tidak dikacau Hotu tentu Yalu Ce sejak tadi sudah diangkat jadi Pungcu, Nyo Ko ada budi pada Kay pang, ia juga mengusulkan Yalu Ce, maka sesuai benar dengan pilihan suara orang banyak.

Karena itulah keempat tertua Kay pang lantas melaporkan kepada Ui Yong, lalu naik punggung mengumumkan tentang pengangkatan Yalu Ce sebagai Pangcu baru.

Menurut aturan, para anggota ber turut2 harus meludahi tubuh Yalu Ce, sedang para pahlawan diluar Kay-pang sama naik panggung memberi selamat, suasana menjadi tambah riang gembira.

Ui Yong suruh orang memberi hadiah seperlunya kepada anak wayang dan seniman seniwati, pementasan itu terus berlangsung hingga terang tanah barulah bubar.

Melihat kedatangan Nyo Ko sekali ini melulu bicara sejenak dan bersenyum sebentar, lantas berpisah, dalam hati Kwe Yang merasa kesal tak terkatakan, semakin dipikir semakin masgul, ia lihat encinya sedang suka ria berdiri di samping sang suami menerima ucapan selamat dari semua orang, ia sendiri menjadi sunyi rasanya, maka ia putar tubuh hendak meninggalkan lapangan itu.

Tapi belum bebetapa langkah ia bertindak, tiba2 Ui Yong menyusulnya, tangan si anak dara dipegangnya dini dengan suara lembut Ui Yong bertanya: "Yang ji, ada apakah? Apakah merasa kurang gembira?"

"Ah, tidak, aku justru sangat gembira," sahut Kwe Yang. Habis berkata ini, segera iapun menunduk, air matanya ber linang2 hampir menetes.

Sudah tentu Ui Yong mengerti perasaan puterinya itu, tapi ia sengaja bicara tentang cerita2 lucu yang dilihatnya di panggung sandiwara dengan maksud memancing Kwe Yang agar tertawa.

Pelahan2 ibu dan anak itu pulang ke rumah, Ui Yong mengantar puteri kecilnya itu kembali kamar "Yangji, apa kau lelah?" tanyanya penuh rasa kasih sayang.

"Tidak, mak. Kau sendiri semalam suntuk tidak tidur, haraplah pergi mengaso." sahut Kwe Yang.

Namun Ui Yong menarik tangan anak dara itu pula dan duduk sejajar di tepi ranjang, rambut puterinya itu di-belai2nya, katanya dengan suara lembut: "Yangji, urusan Nyo toako selamanya tak pernah kuceritakan padamu, ceritanya memang terlalu panjang, apabila kau tidak letih, biarlah ku ceritakan padamu sekarang."

Seketika semangat Kwe Yang terbangkit, "Ceritakanlah, mak," pintanya cepat."

"Kisah ini dimulai dari engkongnya," tutur Ui Yong. Laiu iu menceritakan bagaimana dahulu Kwe Siau thian (ayah Kwe Cing) dan Nyo Thi sim (engkongnya Nyo Ko) mengangkat saudara dan saling mengikat janji berbesan selagi isteri kedua orang masih mengandung.

Kemudian Nyo Khong (ayah Nyo Ko) mengaku musuh (Wanyan Liai ) sebagai ayah hingga akhirnya mati secara mengenaskan, Tentang waktu keciInya Nyo Ko pernah tinggal di Tho hoa-to sampai Kwe Hu menabas buntung lengannya, bagaimana berpisah dengan Siao liong-li di Coat ceng kok, semua dituturkannya.

Sungguh sama sekali Kwe Yang tidak menduga bahwa "Toakoko" yang siang dan malam di-rindukannya itu ternyata mempunyai hubungan begitu rapat dengan keluarganya sendiri, lebih2 tak menduga bahwa lengannya yang buntung itu justeru encinya yang mengutunginya, sedang menghilangnya Siau liong li juga disebabkan terkena jarum berbisa yang disambitkan cicinya.

Mula2 ia menyangka Nyo Ko hanya seorang ksatria muda yang dikenalnya secara kebetulan, karena orangnya cakap ganteng hingga hati kecilnya kesemsem selalu, siapa tahu di dalamnya terdapat suka duka yang begitu panjang meliputi tiga turunan, Maka ketika ibunya mengakhiri ceritanya, rasa anak dara ini se-akan2 mabuk, pikirannya kacau.

"Semula aku telah salah menduga," demikian kata Ui Yong pula menghela napas, "kusangka perkenalannya dengan kau mengandung maksud jahat. Ai, tapi melihat ketiga hal yang dilakukan Nyo-toakomu semalam, jangankan dia sebenarnya tiada pikiran serong, sekalipun memang tiada maksud baik, sesudah kita terima budi yang tak sedikit, sesungguhnya kitapun harus berterima kasih tak habis2 padanya."

"Mak, kau bilang Nyo-toako tidak bermaksud baik apa, kenapa berpikiran serong?" tanya Kwe Yang heran.

"Ya, muIa2 aku salah duga," sahut Ui Yong, "Aku kira saking bencinya pada keluarga Kwe kita, maka ia hendak membalas dendam melalui dirimu."

"Mana bisa?" ujar Kwe Yang menggeleng kepala. "Jika ia mau bunuh aku untuk membalas dendam, hal itu mudah sekali seperti membaliki tangan sendiri saja, ketika di daerah Soasay, asal sekali jarinya menutuk saja segera aku bisa dibinasakannya."

"Kau masih kanak^, tidak paham," kata Ui Yong, "Jika ia sengaja bikin kau menderita dan membuat kita selalu berduka dan masgul, sudah tentu ia mempunyai caranya yang lebih keji daripada membunuh orang, Ai, biarlah, jangan dibicarakan lagi, saat ini akupun sudah tahu tak nanti hal itu diperbuatnya. Cuma dalam hatiku masih tetap kuatirkan sesuatu hingga merasa tak enak."



"Kau kuatirkan apa, mak?" tanya si gadis, "Tampaknya kejadian2 dahulu yang harus disesalkan itu, Nyo- toako sudah tidak mengingatnya lagi dalam hati, tidak lama iapun akan bersua kembali dengan Toaso ( kakak ipar ), tatkala itu saking senangnya segala kejadian dahulu pasti akan lenyap dalam ingatannya."

"Tapi yang kukuatirkan justru kalau dia takkan bisa bersua lagi dengan Siao liong li," kata Ui Yong gegetun.

Kwe Yang melengak oleh kata2 itu, "Apa? Mana bisa? Toakoko sendiri berkata padaku bahwa karena lukanya, Liong-cici telah ditolong pergi Lam hay Sin-ni dan berjanji 16 tahun kemudian akan berjumpa pula. Betapapun cinta kasih suami isteri mereka, sudah sekian lamanya saling tunggu masakah takkan bersua kembali?"

Namun Ui Yong mengkerut kening sambil bersuara tak acuh.

"Kata Toakoko," sambung Kwe Yang pula. "Liong-cici telah mengukir tulisan ditebing gunung yang berbunyi: "l6 tahun kemudian bertemu lagi di sini, cinta kasih suami isteri, harap jangan salah janji, Apakah mungkin ukiran tulisan itu palsu belaka?"

"Tulisan itu memang tulen, sedikitpun i:Dak palsu," sahut Ui Yong "Cuma yang kukuatirkan justeru karena cinta Siao-liong li terhadap Nyo Ko terlalu mendalam, hingga sebab itu Nyo Ko takkan bisa melihat dia lagi untuk selamanya."

Kwe Yang menjadi bingung, dengan tercengang ia pandang sang ibu penuh tanda tanya.

"16 tahun yang lalu," demikian tutur Ui Yong, "Nyo toakomu suami- isteri terluka parah semua, Nyo-loako masih ada obat yang bisa menyembuhkannya, tapi racun jarum yang mengenai Siao liong -li sudah meresap tulang, menyaksikan isteri tercintanya itu sukar disembuhkan lagi, Nyo-toakomu itupun tidak ingin hidup sendirian, maka sekalipun ia diberi obat dewa juga ia takmau meminumnya." - berkata sampai di sini suaranya berubah halus, katanya puIa:

"Ai, masih banyak hal lain, karena usiamu masih kccil, sementara ini kau takkan paham."

Kwe Yang ter mangu2 oleh cerita itu, selang se-jenak barulah ia menjungat dan berkata: "Mak, jika kujadi Liong-cici, kuakan pura2 sudah sehat dan minta dia minum obat untuk menyembuhkan lukanya."

Sungguh Ui Yong tak menyangka puterinya yang masih kecil itu bisa berpikir demikian untuk orang lain, maka sesaat itu ia tertegun, "Ya, benar, makanya aku kuatirkan Siao-liong li tatkala itu juga berpikir seperti pendapatmu ini dan sengaja meninggalkan Nyo Ko," kata Ui Yong kemudian, "la mengukir tulisan di tebing batu dan berjanji akan bertemu pula 16 tahun lagi, waktu itu aku lantas menduga menghilangnya Siao~liong-li secara mendadak boleh jadi demi kepentingan Nyo toakomu agar bertahan hidup selama 16 tahun untuk menantikannya Ai. rupanya ia menyangka setelah lewat 16 tahun yang Iama itu, cinta Nyo-toakomu padanya tentunya akan mendingin, dengan begitu, sekalipun dalam hati masih berduka, tapi pasti akan sayang juga pada badan sendiri dan takkan membunuh diri lagi."

"Jika begitu, bagaimanakah tentang cerita Lam-hay Sinni itu?" tanya Kwe Yang.

"Lam hay,Sinni itu justeru adalah karanganku. Maka hakikatnya tidak pernah ada seorang tokoh seperti itu," sahut Ui Yong,

"Ha, tidak ada tokoh Lam hay Sinni?" Kwe Yang menegas terkejut.

"Ya, sebab waktu itu aku melihat keadaan Nyo Ko yang sedih dan merana, hatiku tak tega, lantas aku mengarang nama Lam hay Sinni untuk menghiburnya agar suka menanti selama 16 tahun ini," sahut Ui Yong. "Aku katakan padanya bahwa Lam-hay Sinni tinggal di pulau Tati, padahal dijagad ini hakikatnya tidak pernah ada pulau itu. Akupun bilang Lam hay Sinni pernah mengajarkan sejurus ilmu pukulan pada Gwakongmu, dengan begitu supaya dia bertambah percaya. Sebab si Nyo Ko ini sangat cerdik, kalau aku tidak bicara se-akan2 benar dan hidup, tak nanti ia mau percaya. Dan kalau ia tak percaya, maksud baik Siao liong li itupun akan sia2."

"Apakah ibu maksudkan Liong cici sudah meninggal dan janji 16 tahun bertemu lagi hanya untuk membohonginya saja?" tanya Kwe Yang.

"Tidak, tidak, boleh jadi Siao-liong-li masih hidup, sampai hari yang dijanjikan nanti bila betul2 ia datang berkumpul kembali dengan Nyo Ko, maka kita harus berterima kasih pada yang maha kuasa," sahut Ui Yong cepat. "Dia adalah ahliwaris Ko-bong-pay satu2nya, cakal bakal Ko bong pay, Lim Tiau eng, lelah menurunkan ilmu kepandaian yang maha hebat padanya, rasanya Siao liong li takkan meninggal secara begitu saja."

"Ya, memangnya akupun berpikir, Liong cici adalah orang yang begitu baik, Nyo toako juga sedemikian cinta padanya, pasti ia takkan mati selagi muda," demikian kata Kwe Yang dengan hati rada lega.

"Dan bila sampai hari yang dijanjikan itu Nyo-toako tak bisa menjumpainya kembali, bukankah pukulan ini akan membuatnya menjadi gila?"

"Makanya kedatangan Gwakong-mu sekarang sebenarnya akan kuminta agar suka membantu membulatkan bualanku tentang Lam hay Sinni itu," kata Ui Yong.

Kwe Yang menjadi kuatir "Ya, saat ini tentu Nyo toako berada bersama dengan Gwakong dan ia akan tanya tentang Lam hay Sin-ni, Tapi Gwa-kong tak tahu duduknya perkara tentu akan bilang tak kenal, dengan begitu lantas terbongkarlah rahasia itu, lantas bagaimana baiknya?"

"Jika benar2 Siao liong li dapat bersua kembali dengan dia, itulah yang kita harapkan dan segalanya akan menjadi beres," kata Ui Yong "Tapi bila sampai saatnya ia tidak melihat Siao-liong-li, turuti wataknya yang tak terkendali itu, entah keonaran apa yang akan diperbuatnya, Tentu ia akan dendam karena aku membohonginya dan bikin susah dia menunggu selama 16 tahun ini!"

"Mak, hal itu tak perlu kau kuatirkan," ujar Kwe Yang, "Kau membohongi dia demi kebaikannya. Kau bermaksud menolong jiwanya."

"Hubungan kekeluargaan selama tiga keturunan tidaklah perlu dibicarakan, melulu diri Ko-ji saja, beberapa kali ia telah menolong jiwa ayahmu, ibumu dan encimu, hari ini ia berjasa pula begitu besar untuk kota Siangyang, seandainya kita ada sedikit budi padanya juga tidak cukup untuk membalasnya," kata Ui Yong.

"Ai, hidup Ko-ji selama ini menderita sebatangkara, umurnya svdah lebih 30, tapi saat bahagia yang pernah ia kenyam rasanya juga tiada beberapa hari saja."

Kwe Yang menjadi muram, ia menunduk, dalam hati ia pikir: "Kalau Toakoko tak bisa berjumpa kembali dengan Liong cici, mungkin ia bisa gila benar?"

"Nyo-toakomu itu adalah seorang perasa dan beradab, cuma sejak kecil sudah banyak mengalami pukulan hidup, maka wataknya menjadi rada aneh, tindak tanduknya selalu diiuar dugaan orang," ujar Ui Yong.

"Ya, dia dan Gwakong dan aku, semuanya golongan aneh." kata Kwe Yang tertawa tawar.

"Benar, ia adalah orang baik, hanya bersifat rada latah," kata Ui Yong sungguh2 "Makanya, bila tak beruntung Siao liong-li sudah meninggal, selanjutnya sekali2 jangan kau bertemu dia lagi."

Terkejut sekali anak dara itu, sama sekali tak diduganya ibunya bisa berkata begitu. "Sebab apa? Kenapa tak boleh bertemu dengan Nyo toako lagi?" tanyanya cepat.



Ui Yong menggenggam tangan puterinya itu dan berkata pula: "Jika akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan Siao liong li, biar kau ikut mengembara ke ujung langit sekalipun aku takkan keberatan. Tapi kalau Siao liong-li tak bersua lagi dengan dia, Yang ji, kau belum kenal sifat Nyo toakomu, bila ia sudah gila, segala apa dapat diperbuatnya"

"Mak," tanya Kwe Yang gemetar, "jika Liong cici tak dapat dijumpainya lagi, tentu ia akan sangat berduka, kita harus menghiburnya baik2."

"la takkan mendengar hiburan orang," kata Ui Yong menggeleng kepala.

"Mak." tanya Kwe Yang lagi setelah merandek sejenak, "Sesudah menunggu 16 tahun dengan sia2, dalam berdukanya nanti apakah ia akan membunuh diri?"

Ui Yong merenung sejenak, kemudian baru ja-wabnya: "Pikiran orang lain dapat aku menerkanya, tapi Nyo-toakomu itu sejak kecil aku tak dapat meraba pikiran apa yang terkandung dalam otaknya, justeru sebab itulah maka aku melarang kau bertemu lagi dengannya, kecuali kalau ia datang bersama Siao liong li, itulah lain perkara."

Kwe Yang termenung dan tak menanya lebih jauh.

"Yang-ji," kata Ui Yong pula, "ibu hanya berpikir untuk kebaikanmu, jika kau tak turut nasihat ibu, kelak pasti akan menyesal"

Habis itu, ia lantas ceritakan kejadian dulu, dimana puteri angkat Nyo Thi-sim yang bernama Bok Liam cu, dalam suatu pertandingan sayembara Bok Lam cu dikalahkan Nyo Khong, meski Nyo Khong banyak melakukan kejahatan tapi cinta Bok Liam cu padanya tetap kekal hingga kemudian Bok Liam-cu gugur menyusul kekasihnya di kelenteng Ong-tiat-jiang.

"Bok Liam-cu sesungguhnya wanita baik yang sukar dicari, tapi karena salah menyerahkan cintanya hingga berakhir secara mengenaskan demikian" kata Ui Yong.

"Mak." kata Kwe Yang tiba2. "ia menyukai Nyo-sioksiok, betapapun Nyo-sioksiok berbuat salah pun, ia akan suka padanya sampah akhir jaman."

Ui Yong terkesima memandangi muka sang puteri yang mungil itu, dalam hati ia pikir: "Usia sekecil ini, darimanakah bisa paham begini banyak?"

Dilihatnya anak dara itu sudah letih dan arip, segera ia tarik selimut dan menyuruhnya tidur sambil dinina-bobokkannya. Memangnya semalam suntuk Kwe Yang tidak tidur, maka sebentar saja ia sudah pulas, Ui Yong lantas kembali kekamar sendiri.

Sore harinya, kedua saudara Bu yang ditugaskan ke Lam-yang itu telah mengirim berita bahwa gudang rangsum musuh memang benar telah terbakar habis, malahan api masih belum terpadam, pasukan MongoI telah mundur ke utara sejauh ratusan li dan berkemah di sana.

Mendengar kabar itu, seluruh penduduk kota Siangyang menjadi girang, nama "Sin tiau-tayhiap" yang sengaja mem bumbu2i dengan pujian setinggi langit:

Malamnya lagi Kwe Cing suami isteri diundang oleh Lu Bun hwan untuk merundingkan soal pertahanan kota hingga sampai jauh malam baru pulang.

Besok paginya, seperti biasa Yalu Ce, Kwe Hu dan Kwe Boh-lo datang memberi selamat pada orang tua, tapi sampai lama Kwe Yang tak kelihatan muncul.

Ui Yong menjadi kuatir, segera pelayan di -suruhnya melihat ke kamar puteri kedua itu apakah lantaran sakit, Tapi tak lama pelayan itu dan dayang pribadi Kwe Yang sudah kembali melapor, katanya: "Semalam Jisiocia tidak kembali ke kamar"

Keruan Ui Yong terkejut "Kenapa semalam tidak lantas melapor?" tanyanya segera.

"Semalam Hujin pulang larut malam, hamba tak berani mengganggu pula kuatir sebentar Jisiocia akan kembali kamar, tak tahunya menunggu sampai sekarang masih belum kelihatan," tutur pelayan pribadi Kwe Yang itu.

Sesudah merenung sebentar segera Ui Yong memeriksa kamar anak dara itu, ia lihat baju se-hari-2, senjata dan uang semuanya tiada yang dibawa anak dara itu Tengah ia heran, tiba2 dilihatnya di bawah bantal puterinya itu menongol ujung secarik kertas.

Segera Ui Yong menduga jelek, diam2 ia mengeluh, cepat kertas itu disambernya dan dibaca, ternyata surat itu tertulis:

Ayah dan ibu tercinta,

Anak pergi mencegah Nyo-toako agar jangan sekali2 berpikiran pendek, Bila sudah dapat mencegahnya, segera anak akan pulang.

Hormat puterimu,

Yang

Sesaat Ui Yong mematung tak bersuara, dalam hati ia pikir: "Anak dara ini benar2 ke-kanak2an. Macam apakah orangnya Nyo Ko itu, kecuali Siao-liong-Ii, siapa lagi yang bisa bikin dia menurut? ia bukanlah Nyo Ko jika begitu gnnpang mau mendengar kata2 orang Iain.

Niat Ui Yong hendak mencari puteri kecil itu, tapi mengingat situasi sangat genting, setiap saat pasukan MongoI bisa dikerahkan menyerang Siangyang mana boleh karena urusan anak2 harus menjelajah Kangouw lagi? Maka sesudah berunding dengan Kwe Cing, segera ia tulis empat pucuk surat dan suruh empat anak murid Kay-pang yang dapat dipercaya pergi mencari Kwe Yang agar anak dara itu bisa lekas pulang.

Kiranya hari itu sesudah Kwe Yang mendengar cerita sang ibu, ia lantas tertidur. Tapi mimpi buruk datang terus menerus sebentar dilihatnya Nyo Ko menabas buntung lengannya yang tinggal satu itu, lain saat terbayang Nyo Ko terjun ke jurang yang beribu tombak dalamnya hingga hancur lebur.

Karena impian buruk itu, Kwe Yang terjaga bangun dengan keringat dingin, ia terduduk dipinggir ranjang dan ter-menung2 "Toakoko telah beri tiga jarum emas padaku dan sanggup menerima tiga permohonanku yang pasti akan dilakukan untukku.

Kini jarum emas tinggal sebuah saja padaku, justru dapat kugunakan untuk mohon dia jangan cari jalan " pendek (bunuh diri), ia adalah seorang pendekar, seorang jantan, apa yang dikatakan tentu di pegang janjinya, biar sekarang juga aku pergi mencarinya."

Lantas ia tinggalkan sepucuk surat singkat pada orang tuanya, lalu pergilah ia keluar kota.

Tapi Nyo Ko bersama Ui Yok-su tatkala itu entah sampai dimana, sesungguhnya sukar untuk dicari. Setelah 30 40 li Kwe Yang menempuh perjalanan tanpa tujuan, ia mulai merasa lapar, ia pikir harus tangsal perut dulu pada suatu rumah makan. Tapi di luar kota Siangyang penduduknya yang takut datangnya pasukan musuh sudah lama mengungsi, jangankan rumah makan, bahkan rumah penduduk satupun tiada isinya.

Selamanya Kwe Yang belum pernah keluar rumah sendirian, sama sekali tak terduga olehnya orang melawat jauh sesungguhnya sulit seorang diri ia duduk termenung2 diatas batu ditepi jalan sambil bertopang dagu.

Ia berduduk sebentar, ia pikir tiada rumah makan, cari sedikit buah2an untuk sekedar tangsal perut juga lumayan, Tapi ketika memandang sekelilingnya, beberapa li sekelilingnya hanya tanah tandus tanpa suatu pohon, apalagi buah2an.



Selagi ia rada bingung, tiba2 terdengar derapan kuda ber-detak2, seorang penunggung kuda berlari cepat duri timur ke barat, ketika sudah dekat terlihatlah penunggangnya adalah seorang Hwesio tua yang berperawakan tinggi kekar, memadai jubah kuning, kasa bersemampir dipundaknya, diatas kepalanya memakai sebuah kopiah bundar yang bercahaya emas mengkilat.

Kuda itu lari dengan cepat sekali, sekejap saja sudah lewat, tapi tiba2 paderi itu putar kuda kembali dan mendekati Kwe Yang dengan rasa heran.

"Nona cilik, siapakah kau?" demikian tanyanya "Kenapa seorang diri kau berada di sini?"

Melihat sorot mata orang tajam bagai kilat, hati Kwe Yang rada terkesiap, segera ia teringat pada It-teng Taysu yang pernah dilihatnya di tambak Hek-liong-tam, diam2 ia pikir: "lt-teng Taysu itu sangat welas nsiii, tentu paderi beralis putih inipun orang baik."

Maka jawabnya: "Aku bernama Kwe Yang, baru datang dari Siangyang, hendak cari seseorang."

"Kau hendak mencari siapa?" tanya paderi tua itu.

Kwe Yang tersenyum sambil miringkan kepalanya dan katanya: "Hwesio tua suka campur urusan orang lain, aku tak mau beritahukan padamu."

"Cobalah kau terangkan siapakah orang yang hendak kau cari, boleh jadi di tengah jalan tadi aku melihatnya bukankah bisa kuberi petunjuk padamu," ujar paderi tua.

Betul juga pikir Kwe Yang, maka jawabnya: "Orang yang kucari itu sangat mudah dikcnali, ialah seorang laki2 muda tanpa lengan kanan. ia mungkin berada bersama dengan seekor rajawali raksasa, boleh jadi berada sendirian puIa."

Kiranya paderi tua ini bukan lain ialah Kim-lun Hoat-ong. Mendengar orang yang dimaksud kan Kwe Yang itu ternyata Nyo Ko adanya, ia terkejut, tapi pada lahirnya ia tenang2 saja dan pura-bergirang.

"He, orang yang hendak kau cari itu she Nyo bernama Ko, bukan?" katanya cepat. Kwe Yang menjadi girang: "Ya, kau kenal dia?"

"Tentu saja aku kenal, kami adalah sobat lama," demikian kata Kim-lun Hoat-ong dengan tertawa: "Scwaktu kami berkenalan, boleh jadi kau masih belum lahir."

Muka Kwe Yang yang cantik sedikit merah, tapi tanyanya pula: "Toahwesio, siapakah nama gelaranmu?"

"Aku bernama Cumulangmah," sahut Kim lun Hoat ong.

"Apa Cumi? Mamah? Ah, begitu panjang, susah diucapkan." kata Kwe Yang dengan tertawa.

"Cu mu Iang- mah" Hoat-ong mcnegas sekata demi sekata,

"O, Cumulangmah, Apakah kau tahu dimana Toakokoku berada?" tanya si anak dara lagi.

Kiranya Kim-lun Hoat-ong sengaja bilang namanya Cumulangmah, nama puncak tertinggi dipegunungan Himalaya, yaitu terkenal juga dengan nama Mount Everest, dengan nama samaran ini Hoat-ong se-akan2 anggap ilmu silatnya di seluruh jagat tiada bandingannya.

Maka jawabnya: "Kau punya Toakoko? Siapa dia?"

"lalah Nyo Ko," sahut Kwe Yang,

"Ha, kau panggil Nyo Ko sebagai Toakoko, katanya kau she Kwe?" tanya Hoat ong.

Kwe Yang rada jengah, namun jawabnya: "Ya, kami adalah pamili turun temurun, waktu kecil ia pun tinggal di rumahku."

Tergerak hati Hoat-ong, segera ia tanya, "Aku mempunyai seorang kenalan baik, ia berilmu silat sangat tinggi, namanya terkenal di seluruh jagat, juga she Kwe, namanya Cing, Entah nona kenal padanya tidak?"

Terkejut Kwe Yang, dalam hati ia membatin : "Aku telah minggat dari rumah, kalau dia adalah sobat ayah, mungkin sekali aku akan diseret pulang, lebih baik tak kukatakan saji." - Maka jawabnya kemudian: "Apakah kau maksudkan Kwe Ciog, Kwe-tayhiap? ia adalah angkatan tua dari keluarga Kwe kami. Apakah Touhwesio hendak berkunjung padanya?"

Kim lun Hoat-ong adalah seorang yang sangat pintar dan ccrdik, pula sudah kenyang asam garam, sikap Kwe Yang yang aneh ini segera dapat dilihatnya.

Maka katanya pula dengan menghela napas: "Aku dan Kwe tayhiap menang sobat kental dan sudah lebih 20 tahun tak berjumpa, tempo hari di laerah utara aku mendengar berita buruk, katanya Kwe-tayhiap telah meninggal, aku menjadi sedih, maka cepat datang kemari, Ai, seorang pahlawan besar tidak diberkahi umur panjang, sungguh Thian tidak adil."

Berkata sampai di sini air matanya benar bercucuran membasahi jubahnya.

Kiranya Lwekang Kim-Iun Hoat-ong sudah terlatih amat tinggi, seluruh otot daging tubuhnya dan pernapasan dapat diatur sesuka hatinya, untuk menghentikan denyutan jantung sementara saja tidak sukar, apalagi hanya mencucurkan air mata bikinan.

MeIihat orang menangis sungguhan, walaupun Kwe Yang tahu jelas ayahnya tidak pernah mati, namun soalnya mengenai ayah dan anak mau-tak-mau hatinya ikut pilu juga, maka cepat katanya: "Toahwesio, kau tak perlu berduka, Kwe tayhiap tidak pernah meninggal."

"Ah, jangan ngaco, ia benar2 sudah meninggal anak perempuan mana tahu akan urutan orang tua?" sahut Hoat-ong sambil menggeleng kepala.

"Aku baru saja keluar dari Siangyang, masakah aku tak tahu, malahan baru kemarin aku melihat muka Kwe-tayhiap," kata Kwe Yang.

Tanpa ragu2 lagi sekarang Hoat-ong, saking girangnya ia menengadah dan bergeIak-tawa. "Ah, kiranya kau adalah puteri Kwe tayhiap," katanya kemudian, Namun mendadak ia geleng2 kepala Iagi: "Salah, salah! puteri Kwe tayhiap itu kukenal, namanya Kwe Hu, umurnya sekarang sedikitnya sudah lebih 3O puluh tahun."

Tak tahan akan pancingan kata2 orang, segera Kwe Yang menegaskan "lalah cnciku, ia bernama Kwe Hu dan aku bernama Kwe Yang."

Girang luar biasa hati Hoat-ong, ia membatin. "Hari ini benar2 Thian memberkahiku, rejeki ini telah menubruk sendiri padaku." - Maka segera ia-pun berkata: "Jika begitu, jadi Kwe-tayhiap memang benar tidak meninggal."

Melihat orang benar2 bergirang, Kwe Yang menyangka paderi ini berhati bajik dan senang karena mendengar ayahnya masih segar-bugar, ia menegaskan lebih jauh: "Aku bilang tidak meninggal tentu tidak meninggal dia adalah ayahku, masakah aku mendustai kau?"

"Batk, baik, baik! Aku percaya, nona Kwe, malahan akupun tak perlu pergi ke Siangyang lagi, Sudilah kau sampaikan pada ayahmu bahwa kawan lama Cumulangtnah mengirim salam pada nya," kata Hoat ong.

ia tahu pasti sebentar Kwe Yang akan tanya tentang urusan Nyo Ko, maka ia sengaja memberi hormat, lalu menarik kudanya terus hendak pergi, Betul saja segera terdengar Kwe Yang berteriak: "Hai, hai! Toahwesio, kenapa kau tak tahu aturan?"

"Tidak tahu aturan?" Hoat-ong menegas pula tak mengerti.

"Bukankah aku sudah beritahukan keadaan ayahku, tapi kau belum juga ceritakan keadaan Nyo Ko, sebenarnya dimanakah dia?" tanya Kwe Yang.



"Ah, benar, aku menjadi lupa!" ujar Hoat-ong. "Kemarin dulu baru saja aku ber-omong2 sama dengan dia di lembah pegunungan sebelah utara Sinyang, ia sedang berlatih pedang di sana, saat ini mungkin nusih belum pergi, bolehlah kau mencarinya ke sana."

Kwe Yang mengkerut kening oleh penjelasan itu. "Lembah gunung begini banyak, cara bagaimana aku bisa menemukannya? Terangkanlah lebih jelas," pintanya.

Hoat ong pura2 berpikir, lalu katanya: "Baiklah, sebab aku juga akan ke utara, biarlah kubawa kau ke sana."

Keruan Kwe Yang berjirang, "Ah, sungguh terima kasih," katanya,

Lalu Hoat-ong menuntun kudanya ke hadapan anak dara itu dan katanya: "Silakan nona cilik menunggang, paderi tua berjalan kaki."

"Ah, mana boleh jadi." sahut Kwe Yang.

"Tidak apa," kata Hoat-ong tertawa. "Empat kaki kuda ini belum tentu lebih cepat daripada kedua kaki paderi tua."

Selagi Kwe Yang hendak cemplak keatas kuda, tiba2 ia berseru: "Ai, sialan! Toahwesio, aku merasa lapar, kau memhawa makanan tidak?"

Dari buntalannya Hoat-ong mengeluarkan sebungkus rangsum kering, walaupun Kwe Yang tidak biasa dengan makanan begitu, apa lagi panganan kaum paderi, namun sudah lapar, terpaksa dimakannya sebagian sekedar menangsal perutnya, lalu ia keprak kuda berangkat diikuti Hoat ong yang berjalan di sampingnya.

Tiba2 anak dara itu ingat pada kata2 orang tadi bahwa "Empat kaki kuda ini belum tentu lebih cepat daripada kedua kaki paderi tua." Maka mendadak ia pecut kudanya sambil berseru: "Toa-hwesio, kutunggu kau di depan sana." - Habis itu, secepat terbang ia larikan kudanya.

Kuda itu sangat bagus dan tangkas, sekali ber-lari, Kwe Yang merasa tetumbuhan di tepi jalan sekejap saja sudah jauh tertinggal di belakang. sebentar saja belasan li sudah ditempuhnya, ketika, ia menoleh dan berkata dengan tertawa: "Toahwesio, dapatkah kau menyusul aku?"

Namun ia menjadi heran dan terkejut, ternyata Kim lun Hoat-ong tak kelihatan bayangannya, sebaliknya mendadak ia lantas mendengar suara seorang berseru di dalam hutan di depan sana: "Nona Kwe, kudaku itu kurang cepat, kau harus memecutnya lekas."

Kwe Yang menjadi tambah heran "Kcnapa ia malah sudah berada di depan?"

Segera ia keprak kuda pula, maka terlihatlah Kim-Iun Hoat-ong lagi berjalan dengan "Ienggang-kangkung" seenaknya di depan, ia pecut kudanya agar berlari lebih kencang, tapi jaraknya selalu belasan tombak di belakang Hoat-ong, Di tanah datar utara Siangyang itu debu selalu bertebaran oleh larinya kuda, tapi Hoat ong yang berjalan di depan itu seakan2 kaki tak menempel tanah, debu sedikitpun tidak mengepul.

Diam2 Kwe Yang sangat kagum, pikirnya: "Jika dia tidak memiliki ilmu silat setinggi ini memangnya juga tidak sesuai menjadi sobat kental ayah." Dan dari kagum itu ia menjadi hormat, maka serunya lantas: "Hai Toahwesio, kau adalah orang tua, lebih baik kau yang menunggang kuda saja."

"Buat apa kita mesti banyak buang tempo di tengah jalan, tidakkah lebih cepat bertemu dengan Toakoko-mu akan lebih baik?" sahut Hoat-ong menoleh sambil tertawa.

Tatkala itu kuda tunggangan Kwe Yang sudah mulai payah, larinya tidak secepat mula2 lagi maka jaraknya dengan Hoat-ong semakin jauh.

Pada saat itulah, tiba2 dari arah utara ada suara derapan kuda puIa, dua penunggang kuda secepat terbang sedang mendatangi

"Marilah kita tahan kuda-2 mereka ini, dengan menukar kuda ini tentu kau bisa berlari lebih cepat," demikian kata Hoat ong.

Tak lama kemudian, kedua penunggang kuda itu sudah datang dekat.

"Marilah turun dulu!" bentak Hoat-ong mendadak sambil kedua tangannya terpentang mengadang di tengah jalan.

Kedua kuda itu terkejut hingga meringkik sambil berdiri menegak, Tapi penunggangnya ternyata sangat mahir, tubuhnya masih tetap menempel di atas pelana tak sampai terjatuh.

"Siapa kau? Apa cari mampus?" bentak serang di antaranya dengan gusar. Berbareng itu, pecutnya diayun terus menyabet.

"Hai, Tua-thau kui, Tian-jing-kui, kawan sendiri semua, jangan berkelahi!" seru Kwe Yang cepat.

Ternyata kedua orang itu memang benar adalah si setan berkepala besar dan setan berjenggot panjang dari Se-san it-khut kui,

Tapi saat itu tangan kiri Hoat-ong sudah meraih pecut Toa thau-kau yang menyabet tadi terus ditarik kuat2. Tak terduga, meski Toa-thau-kui orangnya ceboI, namun bertenaga raksasa pembawaan, pula pecut itu adalah bikinan kulit sampi yang sangat ulet, tenaga tarikan Hoat-ong yang beratus kati itu ternyata tidak membikin pecut itu menjadi putus, juga tidak terlepas dari tangan Toa thau-kui.

"Bagus!" seru Hoat-ong, Diam2 ia tambahi tenaga, Dan karena saling betot itulah, segera terdengar suara "peletak" yang keras, yang kalah adalah kuda tunggangan Toa thau-kui yang patah tulang punggungnya terus terkulai ke tanah.

Toa thau-kui menjadi murka, sekali melompat turun, segera hendak menubruk maju dan melabrak Hoat-ong.

"Nanti dulu," teriak Tiang jiu-kui tiba2, Lalu tanyanya pada Kwe Yang: "Jisiocia, kenapa kau berada bersama dengan Kim-lun Hoat-ong?"

Dahulu Kim lun Hoat ong bersama Nyo Ko pernah datang ke Coat-ceng-kok, itu lembah tempat bersemayamnya Kongsun Ci, maka Tiang jiu-kui Hoan Jt-ong kenal padanya,

"Ah, kau telah salah kenali orang ia bernama Cumulangmah, sobat baik ayah," sahut Kwe-Yang tertawa. "Padahal Kim-lun Hoat-ong itu adalah musuh bebuyutan ayah, ucapanmu ini kan "kepala sampi tidak cocok dengan mulut kuda-" (maksudnya salah wesel)?"

"Di mana kau ketemu dengan Hwesio ini?" tanya Tiang jiu Iau.

"Baru saja kami bertemu," sahut Kwe Yang "Hwesio besar ini bilang ayah sudah meninggal, coba, lucu bukan? Dan sekarang ia hendak membawa aku pergi mencari Toakoko."

"Jisiocia, lekas kembali, Hwesio ini bukan orang baik2, ia mendustai kau," seru Toa-thau-kui.

Tapi Kwe Yang masih ragu2, ia mendustai aku?" tanyanya.

"Ya," sahut Toa-thau-kui. "Siu tiau hiap berada di selatan sana, kenapa ia membawa kau ke utara?"

Kim lun Hoat-ong hanya tersenyum saja walaupun kedoknya terbongkar katanya tiba2. "Dua orang cebol ini suka mengacau-belo." - Habis itu sedikit tubuhnya bergerak, cepat sekali mendekati kedua "setan" itu terus menghantam batok kepala mereka dengan kedua tangan.

Belasan tahun ini Hoat ong telah giat berlatih "Liong jio-pan yok-kang" (ilmu sakti tenaga naga dan gajah), semacam ilmu kebatinan tenaga gaib, "Liong jio pan yok-kang" ini seluruhnya bertingkat tiga belas, konon selama ini tiada pernah satu orangpun yang sanggup melatih diri hingga lebih dari tingkat sepuluh.

Namun Kim-lun Hoat-ong adalah orang berbakat luar biasa, dengan telaten dan giat akhirnya ia dapat menembus ke atas tingkat sepuluh dan kini sudah mencapai tingkatan kesebelas.



DahuIu ia dikalahkan Nyo Ko bersama Siao-liaong-Ii, hal mana dirasakannya sebagai suatu noda besar dalam hidupnya, kini ilmu kepandaiannya sudah maju berlipat ganda, pada kesempatan raja Mongol memimpin pasukan sendiri ke selatan, sekalian iapun ikut serta dengan tujuan hendak balas dendam mematikan Nyo Ko dan Siao-liong-li berdua dengan ilmu pukulannya yang maha sakti ini.

Kembali tadi, ketika kedua tangan lawan memukul, cepat Toa-thau-kui menangkis, tapi segera terdengar suara "krak", seketika tangannya patah, menyusul batok kepalanyapun pecah, tanpa menjengek sedikitpun terus binasa.

Kepandaian Tiang-jiu-kui lebih ulet, ia tahu pukulan musuh sangat lihay, maka dengan sekuat-nya ia angkat kedua tangannya buat menahan, maka terasalah suatu kekuatan yang maha besar menindih tubuh, seketika pandangannya menjadi gelap, orangnyapun terus roboh.

Terkejut sekali Kwe Yang, "Hai, kedua orang ini adalah kawanku, berani kau mencelakai mcreka?" bentaknya gusar.

DaIam pada itu, meski roboh dan muntah darah, mendadak Tiang-jiu-kui melompat bangun terus merangkul kedua kaki Hoat-ong erat2 sambil ber-seru: "lekas lari nona Kwe, Iekas!"

Segera Hoat-ong mencengkeram punggung Tiang~ jiu kui dan hendak mengangkatnya untuk dibanting, tapi mati2an Tiang-jiu kui ingin melindungi Kwe Yang, kedua tangannya bagai gelang besi saja memegang erat2 kedua kaki orang, sekalipun tenaga Hoat-ong sangat besar, untuk sesaat juga sukar menariknya lepas.

Terkejut dan gusar sekali Kwe Yang, usianya kecil, tapi pembawaannya berbudi luhur, kini ia pun sudah tahu Hoat ong tidak bermaksud baik padanya. tapi ia toh tidak mau lari meninggalkan Tiang jiu-kui.

Segera ia bertolak pinggang, dengan suara keras bentaknya: "Hai, Hwesio jahat, kenapa kau begini keji? Lekas lepaskan Tiang-jiu-kui, biar nona ikut kau pergi."

"Lekas lari, nona, jangan..." demikian seru Tiang jiu-kui tapi belum lagi habis ucapannya jiwanya ternyata sudah melayang.

Mayat Tiang-jiu kui kemudian diangkat Hoat-ong dan dibuang ke tepi jalan, lalu katanya dengan menyeringai bengis "Nah, kalau mau lari, kenapa tidak lekas naik kuda?"

Selama hidup Kwe Yang tak pernah benci pada siapapun, meski diketahuinya Loh Yu-ka dibunuh Hotu, tapi ia tidak menyaksikan sendiri, ia hanya berduka dan tidak dendam, tapi kini melihat Hoat-ong begini kejam, tanpa terasa ia menjadi benci padanya, maka dengan melotot ia pandang orang tanpa gentar sedikitpun

"Nona cilik, kau tidak takut padaku?" tanya Hoat- ong.

"Takut apa?" sahut Kwe Yang sengit "Mau bunuh, lekas kau bunuh aku."

Namun Hoat-ong lantas unjuk jempolnya dan memuji: "Hebat, memang hebat, ayah ksatria tidak nanti melahirkan puteri pengecut."

Dengan benci Kwe Yang memandang Hoat ong sekejap lagi, pikirnya hendak mengubur jenazah kedua kawannya, tapi tak ada alat penggali disitu, sesudah berpikir, ia angkat mayat Tiang jiu~ kui dan Toa thau-kui ke atas kuda, tali pelana dibalik untuk mengikat mayat itu, lalu ia depak pantat kuda dan berkata: "Kuda, kuda, lekas antar majikanmu pulang."

Karena sakit didepak, kuda itu lantas berlari pergi ke arah mendatang tadi.

* * * *

Bercerita tentang Ui Yok~su dan Nyo Ko, keduanya bergandengan tangan dengan cepat menuju ke selatan, maka sekejap saja beberapa puluh li sudah mereka tcmpuh, mendekati lohor, sampailah mereka di kota Swansia.

Mereka masuk kesuatu restoran besar, pesan daharan dan saling menceritakan pengalaman masing2 selama ini.

Ketika Ui Yok-su menyinggung diri Thia Eng dan Liok Bu biang berdua, selama belasan tahun ini mereka hidup menyepi dikediaman leluhur, yaitu Leng oh, daerah Siangciu, hanya Sah-koh, itu cucu murid Ui,Yok-su yang gendeng, tinggal bersama dengan mereka.

Mendengar itu, Nyo Ko menghela napas panjang.

Setelah minum beberapa cawan arak, kemudian Nyo Ko bertanya: "Ui tocu, selama belasan tahun ini Wanpwe selalu mencari engkau orang tua, sebab ingin sekali menanya sesuatu padamu, barulah hari ini harapanku terkabul.

Watakku makin tua makin aneh, entah adik hendak tanya apa padaku?" sahut Ui Yok su tertawa.

Selagi Nyo Ko hendak buka suara pula, tiba2 terdengar suara tangga berdetak, ada orang naik ke atas loteng restoran itu, seluruhnya tiga orang.

Ketika mendengar suara tindakan orang, segera Ui Yok Su dan Nyo Ko menduga orang2 yang datang ini berilmu silat sangat tinggi, Kemudian setelah melihat orangnya, segera Nyo Ko kenal satu di antaranya ialah Siau siang cui, orang kedua bermuka hitam, ia tak kenal, sedang orang ketiga ialah In Kik-si, itu saudagar bangsa Persi yang berkepandaian lihay.

Dalam pada itu Siau-siang-cu dan In Kik-si juga sudah melihat Nyo Ko, mereka menjadi ter-kesiap dan berhenti, keduanya saling mengedip mata, lalu hendak turun kembali ke bawah.

"Eeeh, sobat lama bertemu lagi, kenapa buru2 lantas hendak pergi?" sengaja Nyo Ko menegur dengan tertawa ejek.

"Baik2kah Nyo-tayhiap selama ini?" segera In Kik si menyapa dan soja...

Sebaliknya Siau siang cu masih dendam karena dulu di Cong lam-san lengannya dipatahkan Nyo Ko, selama belasan tahun ini kepandaiannya juga sudah banyak maju, namun ia tahu masih bukan tandingan Nyo Ko. maka tak ia gubris teguran Nyo Ko, juga tidak menoleh,.lalu hendak melangkah turun.

Orang bermuka hitam yang datang bersama mereka itu juga seorang jago terkemuka di bawah Kubilai, selamanya sangat tinggi hati, bersama In Kik-si dan Siau-siang cu mereka keluar mencari berita, siapapun tidak terpandang sebelah mata oleh-nya.

Kini melihat kedua kawannya begitu jeri pada Nyo Ko, ia melirik hina ke arah Nyo Ko, lalu berteriak: "Nanti dulu, Siau-heng, kalau ada orang jahat berani merintangi kesenangan kita, biar Siaute mengusirnya pergi." Hubis berkata, sebelah tangannya yang terpentang lebar segera mencengkeram ke pundak Nyo Ko dengan maksud mencekalnya untuk dilemparkan ke jalan umum.

Melihat telapak tangan orang lapat-2 bersemu hitam biru, Nyo Ko tahu orang tentu berlatih "Tok-joa-cio" atau ilmu pukulan pasir beracun, tiba2 pikirannya tergerak, "Ya, kenapa aku tidak gunakan tenaga orang ini untuk tanya Ui-Iocianpwe tentang Lam-hay Sinni?" demikian pikirnya.

Tatkala itu tangan orang bermuka hitam itu sudah hampir menyentuh pundaknya, mendadak Nyo Ko baliki tangannya menyampuk, "plak-plak" tahu2 orang itu malah kena ditempeleng dua kali olehnya.

Terperanjat Ui Yok-su menyaksikan itu. "Cepat benar pukulannya ini!" diam2 ia memuji.

Dan melulu sekali serangan ini saja sudah terlihatlah ilmu silat ciptaan Nyo Ko sendiri telah menjadi suatu aliran terkemuka.



Sementara terdengar lagi suara "plak plak" dua kali, kedua pipi Siau-siang-cu telah dipersen tamparan pula. Hanya In Kik-si yang bebas dari tempelengan itu, karena Nyo Ko melihat orang tadi berlaku sopan.

"Nyo-laute, ilmu pukulan ciptaanmu ini sungguh hebat sekali, lohu (aku yang tua) ingin sekali melihat keseluruhannya, entah dapat tidak?" kata Ul Yok-su dengan tertawa.

"Justru ingin kuminta petunjuk Locianpwe," sahut Nyo Ko. Segera tubuhnya bergerak cepat, ia mainkan ilmu pukulan "lm-jiau siau-hun-cio hoat" yang hebat itu.

Maka tertampaklah lengan bajunya me-lambai2 telapak tangannya naik turun, tiba- tipu serangan "Bu tiong-seng yu", lain saat gerakan "Ki jin yu-:hian", ia mengurung S'au-siang-cu, In Kik-si dua praog bermuka hitam itu di tengah2 angin pukulannya.

Ketiga orang itu serasa terombang ambing di tengah2 gelombang badai, ter huyung2 dan sempoyongan terbawa oleh angin pukulan Nyo Ko, jangankan melawan sedang untuk berdiri tegak saja susah.

"Sungguh hebat," puji Ui Yok su. "Hari ini lohu dapat menyaksikan ilmu pukulan Iaute ini sambil minum arak, sungguh hidupku ini tidak kecewa."

"Locianpwe sukalah memberi petunjuk "sejurus!" teriak Nyo Ko mendadak, Ketika telapak tangan-nya mendorong, tahu2 Siau-siang cu "dikirim" ke hadapan Ui Yok-su,

Tak berani ayal Ui Yok-cu, cepat telapak tangan kirinya menyurung juga ke depan, tubuh Siau-siang cu dikembalikan ke sana, Tapi segera tertampak lelaki muka hitam itu menubruk datang lagi, cepat Vi Yok su angkat cawannya menenggak arak sambil ayun tangan mendorongnya pergi puIa.

Melihat gerak pukulan orang memang sangat kuat dan hebat, tapi juga tidak terlalu luar biasa. dalam hati Nyo Ko berpikir "Agaknya kalau aku tidak menggunakan seluruh tenaga takkan dapat memancing ilmu pukulan yang dia pelajari dan Lam-hay Sin-ni."

Maka ia pusatkan napasnya dan himpun tenaga pukulannya secara cepat Siau siang-cu, In Kik-si dan lelaki muka hitam itu silih berganti didorongnya ke depan Ui Yok su.

Terpakia Ui Yok-su mengembalikan lagi, tapi terasa daya tekanan serudukan ketiga orang itu semakin berat dan susul menyusul bagai datangnya gelombang ombak, satu lebih kuat dan lebih tinggi dan yang lain.

"Tenaga pukulan bocah ini makin lama makin kuat, sungguh bakat yang susah dicari dalam dunia persilatan!" demikian diam2 Ui Yok-su membatin.

Dan pada saat itu juga, orang bermuka hitam itu kembali melayang datang, bahkan kedua kakinya terus menjejak kemukanya. Cepat Ui Yok-su menyampuknya pergi pula namun tanpa terasa sedikit tergoncang itulah arak dalam cawannya terciprat keluar beberapa tetes, menyusul mana In Kik-si dan Siau-siang-cu juga telah menubruk datang lagi, yang satu dari depan dan yang lain dari samping.

"Bagus!" seru Ui Yok- su, ia letakkan cawan araknya, dengan kedua tangannya ia dorong ke depan. Begitulah, kedua orang - Nyo Ko dan Ui Yok-su - lantas saling oper-mengoper dari jarak beberapa tombak bagai orang main bola basket, Siau siang cu bertiga bagai bola saja terombang-ambing di antara tenaga pukulan kedua orang itu se akan2 terbang kian kemari di udara.

Namun baru "lm jian siau hunjio" Nyo Ko itu dimainkan sampai tengah jalan, Loh-eng-cio-hoat" Ui Yok-su sudah tampak di bawah angin. Waktu itu secepat panah tubuh In Kik-si menubruk kearahnya, Yok-su menaksir tenaganya tak cukup untuk melawan tenaga dorongan Nyo Ko sekali ini, segera ia gunakan jarinya untuk menyentik, "crit", terdengar suara lirih tajam, suatu kekuatan halus tapi kuat terus meluncur ke depan dan seketika tenaga pukulan Nyo Ko itu terpatahkan.

Be runtun2 Ui Yok-su menyelentik tiga kali, maka tiga kali gedebukan, tubuh Siau-sing-cu: It Kik-si dan lelaki muka hitam itu terbanting semua di atas papan loteng dan semaput.

Kalau "Loh cng cio hoat" sedikit kalah kuat daripada tenaga Nyo Ko, tapi tenaga sakti jarinya "Tan-ci sin-thong" ternyata sama kuatnya, siapapun tiada yang lebih unggul.

Maka bergelak ketawalah kedua orang itu, mereka kembali ke tempat duduk masing2, menuang arak dan pasang omong pula.

"llmu pukulan adik ini, kalau soal tenaga, hanya "Hang liong-sip pat ciang" menantuku Kwe Cing yang dapat menandingi, sedangkan Loh-eng-cio Lohu masih kalah setingkat demikian kata Ui Yok-su kemudian.

Ber-ulang2 Nyo Ko menyatakan terima kasih dengan rendah hati. Lalu tanyanya: "Konon kabarnya Lociaopwe pernah mendapat petunjuk Lam-hay Sin-ni dan dapat mempelajari sejurus Cio-hoat (ilmu pukulan), entah dapatkah Wanpwe melihatnya untuk menambah pengalaman?"

"Ltm-hay Sin-ni? siapakah dia? selamanya belum pernah aku mendengar namanya," sahut Ui Yok-su heran.

Seketika berubah air muka Nyo Ko, ia berdiri, dengan suara gemetar ia menegas: "Apakah di dunia ini hakikatnya tiada seorang Lam-hay Sin-ni"

Melihat perubahan wajah orang yang aneh itu, Ui Yok-su rada terkejut juga, maka jawabnya dengan ragu2: "Apakah mungkin seorang kosen yang belum lama ini baru terkenal. Lohu suka hidup menyendiri, maka belum kenal akan namanya."

Terpaku Nyo Ko berdiri, begitu cemas perasaannya, serasa hatinya akan melompat keluar dari rongga dadanya, katanya dalam hati: "Dengan jelas Kwe-pekbo menyatakan bahwa Liongji telah ditolong pergi oleh Lam hay Sin-ni, siapa tahu semua itu bohong belaka dan sengaja mendustai aku!"

Berpikir sampai di sini, tiba2 ia berteriak sambit menengadah, suaranya menggetar sukma, air mata pun meleleh.

"Ada kesulitan apakah Laute, dapatkah kau jelaskan, boleh jadi Lohu dapat membantu sebisa-nya," tanya Yoksu.

Tapi Nyo Ko lantas memberi hormat sambil berkata dengan suara parau: "Perasaan Wanpwe kacau luar biasa hingga tindak tanduk kurang wajar harap dimaafkan."

Habis itu, lengan bajunya mengebas ia putar tubuh terus turun ke bawah, terdengarlah tuara "krak-krak" beberapa kali, beberapa undak tangga telah hancur kena diinjaknya.

Ui Yok-su menjadi bingung, ia menggumam sendiri: "Lam-hay Sin-ni, Lam-hay Sin-ni? siapakah gerangannya?"

Sementara itu Nyo Ko telah berlari pergi seperti kerasukan setan, ia lari dan lari terus, dalam beberapa hari tanpa makan tanpa tidur, ia pikir hanya mati letih barulah takkan ingat Siao liong~ li, sebenarnya kelak masih dapat bertemu tidak, saat itu sama sekali tak berani dibayangkannya.

Tidak berapa lama, tibalah ia di tepi sungai besar, Nyo Ko tak tahan lagi oleh hancurnya perasaan itu, ketika dilihatnya ada sebuah perahu menepi segera ia melompat naik, ia berikan sepotong perak pada si tukang perahu dan tanpa menanya kemana perahu itu bakal berlayar, segera ia rebah di situ terus tidur.

Air sungai mengalir dengan derasnya, perahu layar yang ditumpangi Nyo Ko itu terus laju, setiap kota dagang pasti kapal itu berlabuh beberapa hari buat bongkar-muat barang, agaknya itu adalah sebuah kapal barang yang hilir-mudik di sungai Tiang-kang itu.

Hati Nyo Ko saat itu se-akan2 kosong blong, ke manapun serupa baginya, maka iapun tidak perduIi kapal itu akan berlayar atau berlabuh, ia lewatkan hari2 itu dengan minum arak, di malam hari ia suka bersiul panjang dan ter-menung2 tanpa kenal waktu.



Si tukang perahu dan saudagar yang mencarter" kapal itu tampak akan uang Nyo Ko yang bayar tanpa tawar itu, mereka menyangka dia adalah pengelana sinting, maka siapapun tiada yang mengurusnya.

Suatu hari, tibalah kapal itu di Kang-im, seorang saudagar sekapal telah mohon diri pada Nyo Ko dan bilang akan pergi ke Ka-hin dan Lim-an untuk membeli sutera.

Mendengar kata2 Ka hin", mendadak Nyo Ko terkejut dan berpikir "Dahulu ayahku tewas secara mengenaskan oleh Ui Yong di kelenteng Ong-uat jiang dalam kota Ka-hin, entah di manakah kuburannya? Aku tak bisa mengubur jenazah ayat secara baik2 benar2 aku seorang anak tak berbakti."

Berpikir akan itu, segera ia tinggalkan perahu itu dan mendarat terus menuju ke Ka-hin. Tatkala itu sudah masuk musim dingin, meski di daerah Kanglam tidak sedingin daerah utara, tapi di mana2 juga salju bertebaran, Nyo Ko memakai mantel ijuk dan bertopikan caping, menujulah dia ke Ka hin.

Sampai di kota itu, cuaca sudah gelap, ia mencari suatu rumah makan serta tanya jalan ke kelenteng Ong tiat jiang, di bawah hujan salju yang lebat ia pergi kesana.

Ketika sampai di kelenteng itu, waktu sudah dekat tengah malam, salju masih terus turun, gelap gulita keadaannya, Tapi Nyo Ko sanggup melihat dimalam gelap, ia lihat Tiat jiang-bio atau "keIenteng tombak besi" itu sudah bobrok, pintu sudah lapuk, sedikit didorong lantas roboh.

Nyo Ko masuk ke dalam, di-mana2 terlihat penuh debu dan galagusi-bersinggasana, suatu tanda tiada penghuninya, ia berdiri ter mangu2 di tengah ruangan kelenteng, terbayang olehnya ketika ayahnya tewas di situ dahulu hingga sejak lahirnya tiada pernah melihat muka ayahnya sendiri, sungguh nasib malang itu jarang terdapat di dunia-ini, ia menjadi berduka hingga makin menambah pilu hatinya.

Ia periksa sekitar kelenteng itu, ia pikir sudah lebih 30 tahun ayahnya meninggal dengan sendirinya tiada meninggalkan sesuatu tanda apa2. ia pergi ke belakang kelenteng, ia lihat di bawah apitan dua pohon ada dua kuburan, di depan kuburan2 itu masing2 berdiri sebuah batu nisan yang penuh tertutup oleh salju.

Ketika Nyo Ko kebas lengan bajunya hingga salju berhamburan oleh angin kebasannya itu, maka tertampaklah pada batu nisan sebelah kiri tertulis "Kuburan Bok-si dari keluarga Nyo".

Diam2 Nyo Ko pikir siapakah gerangan wanita Se Bok ini? Waktu batu nisan sebelah lain dipandangnya, seketika tak tahan lagi rasa gusarnya.

Kiranya batu nisan itu tertulis: "Kuburan mu-id durhaka Nyo Khong", dan dipinggirnya tertulis ebaris huruf kecil yang berbunyi "Guru tak beriImu Khu Ju-ki"

Pikir Nyo Ko dengan gusar: "lmam tua ini benar2 tak berbudi, ayahku sudah meninggal kenapa harus mendirikan batu nisan untuk mencela kelakuannya? Dalam hal mana ayahku durhaka? Hm kalau aku tidak pergi ke Coan cin kau dan mengobrak abriknya, rasanya hatiku tidak puas"

Habis itu, tangannya diangkat terus hendak menghantam batu nisan itu.

Tapi selagi tangan hendak digablokkan, tiba2 terdengar dari arah barat sana berkumandang datang suara tindakan kaki yang cepat, suaranya begitu aneh, seperti beberapa tokoh dunia persilatan yang hebat, tapi juga mirip jalannya dua ekor binatang, sewaktu kaki menginjak tanah, sebelah kiri antap dan sebelah kanan enteng sungguh aneh luar biasa.

Nyo Ko mendengar suara itu justru menuju ke kelenteng ini, maka cepat ia masuk kembali keruangan tengah kelenteng dan sembunyi di belakang patung malaikat yang sudah doyong, hendak dilihatnya mahluk aneh apakah yang datang itu?

Sebentar saja suara tindakan kaki itu sudah sampai di depan kelenteng, tapi lantas berhenti tak bergerak lagi, agaknya seperti kuatir kalau di dalam kelenteng sudah ada sembunyi musuh, selang sejenak, barulah masuk.

Ketika Nyo Ko mengintip keluar, hampir saja ia tertawa geli.

Kiranya yang masuk kelenteng ini seluruhnya empat orang, kaki kiri keempat orang ini sudah putus semua, masing orang memakai sebatang tongkat dan di pundak kiri masing2 dirangkai seutas rantai besi yang saling terkunci, sebab itulah waktu berjalan, empat tongkat menutul tanah berbareng, lalu empat kaki keempat orang juga melangkah maju bersama.

Orang yang paling depan berkepala gundul pelontos, tangan kiri sudah buntung, kaki kiri putus separoh, sudah cacat bertambah cacat, Orang kedua jidatnya jendul, terdapat tiga uci2 yang besar. Orang ketiga bertubuh kecil pendek dan orang keempat adalah Hwesio berbadan tegap.

Nyo Ko ter-heran2, macan orang2 apakah dan kenapa saling dirantai tanpa terpisahkan?

Lalu terdengarlah suara gemerantang yang nyaring, si gundul tadi mengeluarkan geretan api dan menyalakan sepotong sisa lilin.

Maka jelaslah sekarang Nyo Ko melihatnya ternyata kecuali orang pertama yang gundul ini, tiga orang lainnya berlubang mata, tapi tiada biji matanya.

Karena itu barulah ia mengerti persoalannya, kiranya ketiga orang buta itu menggunakan si gundul ini sebagai penunjuk jalan mereka.

Kemudian si gundul mengangkat lilin dan memeriksa sekitar kelenteng, maka keempat orang itu menjadi seperti berbaris beriring2an, jarak mereka masing2 tidak lebih tiga kaki. Namun Nyo Ko yang sembunyi di belakang patung tak diketahui mereka.

Sesudah memeriksa, keempat orang itu masuk lagi ke ruangan dalam, lalu si gundul itu berkata : "Kwa lolhau tidak membocorkan jejak kita, jika ia mengundang bala bantuan, tentu sudah disembunyikannya di sini dahulu."

"Ya, benar, ia sudah berjanji sekatapun takkan dibocorkan pada orang lain, orang semacam dia ini selamanya berpambekan tinggi, dalam hal "kepercayaan" sangatlah di beratkan, "demikian ujar orang ketiga.

Tapi orang yang ber-uci2 itu lantas berkata: "Soa toako, kau kira si tua she Kwa itu akan datang atau tidak?"

"ltulah sukar kukatakan, kurasa ia takkan datang, masakah dia begitu bodoh sengaja mengantarkan kematian?" ujar orang pertama tadi.

"Tapi Kwa-lolhau ini adalah orang yang pertama dari Kanglam chit-koay, dahulu mereka bertaruh dengan imam keparat Khu Ju-ki dan jauh2 tanpa kenal lelah pergi ke Mongol memberi pelajaran silat kepada Kwe Cing, hal ini ketika tersiar di Kangouw, semuanya memuji akan janji emas Kanglam chit-koay, sekali berkata, pasti pegang janji. Kita justeru mengingat hal ini barulah melepaskan dia pergi."

Jelas terdengar perjakapan mereka itu oleh Nyo Ko, diam2 ia pikir: "Eh, kiranya mereka sedang menantikan Kwa-kongkong di sini?"

Dalam pada itu orang kedua yang jendul ber-kata: "Tapi aku bilang dia pasti takkan datang, Peng-toako, beranikah kau bertaruh, coba lihat..."

Tapi belum habis ucapannya, tiba2 terdengar suara tindakan orang datang dari arah timur, juga langkah yang sebelah antap dan sebelah lagi enteng, ada orang datang lagi menggunakan tongkat, cuma sekarang seorang diri saja.

Sejak kecil Nyo Ko sudah lama tinggal bersama Kwa Tin ok di Tho-hoa-to, maka begitu dengar segera ia tahu orang tua itulah yang datang.



Terdengarlah si orang ketiga yang kecil kurus tadi bergelak-tawa, katanya: "Nah, Kau laute, Kwa-lothau benar2 telah datang, masih berani kau bertaruh tidak?"

"Keparat, benar2 tak takut mati dia, sungguh aneh," orang kedua tadi mengomel.

Lalu terdengar suara ketokan nyaring beberapa kali, suara ketokan tongkat besi, Hui thian pian hok Kwa Tin-ok tampak masuk ke dalam kelenteng, terus berdiri tegak di tengah ruangan.

"Kwa Tin ok telah datang menurut janji, inilah Kim hoa-giok loh wan buatan Tho hoa-to, seluruhnya berjumlah 12 butir, setiap orang makan tiga butir," demikian katanya.

Berbareng tangannya mengayun, sebuah botol kecil lantas ditimpukkan ke arah sikakek gundul tadi.

"Terima kasih!" sahut si gundul girang, ia sambuti botol kecil yang dilemparkan kepadanya itu.

"Urusan pribadi Lohu sudah selesai, sekarang sengaja datang buat terima kematian," tiba2 Kwa Tin-ok berkata, ia tegak leher berdiri di tengah ruangan, jenggotnya yang sudah putih ter-gerak2, sikapnya sewajarnya saja.

"Soa-toako, karena dia sudah memberikan Kiu -hoa-giok-loh-wan pada kita hingga luka dalam kita bakal sembuh, tua bangka inipun tiada permusuhan apa2 dengan kita, biarlah kita ampuni dia saja," kata siorang kedua yang kepala barjendul itu.

"Ha, Kau-laute." jengek si orang ketiga, "kata peribahasa "piara harimau cari penyakit", hatimu yang lemah ini mungkin kita berempat nanti harus jadi korban semua, Kini meski ia belum membocorkan rahasia kita, tapi siapa berani menjamin ia akan tutup mulut selamanya?"

Habis itu mendadak ia membcntak: "HayoIah, turun tangan!"

Dan keempat orangpun melompat bangun cepat dan berdiri diempat sudut, dengan tepat Kwa-Tin-ok terkurung di-tengah2.

"Kwa-Iothau," kata si kakek gundul dengan suara serak, "lebih 30 tahun yang lalu kita telah menyaksikan bersama kematian Nyo Khong di sini, sungguh tidak nyani har iini kaupun menyusulnya, ini namanya sudah suratan nasib."

Tapi mendadak Kwa Tin-ok ketok keras2 tongkatnya kelantai, dengan gusar katanya, "Nyo Kong itu terima mengaku musuh sebagai ayah, jual tanah air untuk kenikmatan sendiri, ia seorang rendah yang tak tahu malu, sedang aku Kwa Tin-ok adalah laki2 sejati yang dapat mempertanggung jawabkan segala tindak-tandukku kepada negara maupun bangsa, mengapa kau bandingkan aku Hui-nian-pian-hok dengan manusia rendah itu?"

"Hm, kematianmu sudah di depan mata, masih berlagak pahlawan gagah?" jengek si pendek, orang ketiga tadi.

Habis itu, mereka sama2 menghantamkan setelah tangan ke atas kepala Kwa Tin-ok.

Merasa dirinya bukan tandingan keempat lawan ini, Tin-ok berdiri tegak dengan tongkatnya tanpa menangkis.

Maka terdengarlah suara menyambarnya angin yang keras, menyusul suara "blung" dibarengi berhamburnya debu pasir, keempat orang itu merasa tmpat yang terkena pukulan mereka itu rasanya tidak betuI, bukannya mengenai tubuh manusia.

Segera si kakek gundul itu dapat melihat jelas dalam lingkaran yang mereka kepung itu Kwa Tin~ok sudah menghilang, tempat dimana orang berdiri tadi sudah tertukar patung bobrok dari kelenteng itu.

Dan karena pukulan keempat orang itu kena kepala patung, maka seketika hancur menjadi bubuk.

Keempat orang itu tiga diantaranya adalah buta, tapi si kakek gundul itu bermata tajam, namun hanya sekejap saja tahu2 Kwa Tinok bisa berubah menjadi patung, hal ini sunggun bikin terkejut tidak kepalang, empat orang itu sekaligus membalik ke beIakang.

Maka terlihatnya seorang laki2 berumur 30-an berlengan tunggal sudah berdiri disitu dengan wajah gusar, Kwa Tin-ok tercengkeram tengkuknya dan terangkat tinggi.

"Berdasar apa kau berani mencaci-maki ayah-ku?" demikian lelaki buntung itu membentak Tin-ok.

"Siapakah saudara?" tanya Tin-ok tak gentar.

"Aku puteranya Nyo Khong, Nyo Ko ada-nya," sahut Nyo Ko. "Ketika tinggal di Tho-hoa-to dulu, tidaklah jelek kau terhadapku tapi kenapa dibelakang kau memaki dan memfitnah mendiang ayahku?"

"Hm," jengek Tin-ok dingin, "sejak dahulu-kala, manusia yang mati meninggalkan nama, tapi ada juga orang yang turunkan nama busuk, baik atau busuk semuanya perbuatan manusia, mana bisa menyumbat mulut orang agar tidak menyebutkannya?"

Melihat orang sedikitpun tidak gentar, Nyo Ko tambah gusar, ia angkat tubuh Tin-ok dan dibanting kelantai sambil membentak: "Cobalah katakan, kenapa ayahku rendah dan kotor?"

Melihat begini hebat dan tangkasnya Nyo Ko, si kakek gundul tadi diam2 menarik tiga kawannya terus hendak mengeluyur pergi, Namun sedikit Nyo Ko melesat tahu2 sudah mengadang diambang pintu, "Hmm kalau tidak bicara yang jelas, siapapun tidak akan hidup keluar dari kelenteng ini," demikian bentaknya.

Mendadak keempat orang itu menggertak sekaligus dan memukul ke depan.

"Bagus!" sambut Nyo Ko, iapun dorong sebelah tangannya.

Belum lagi tangan beradu tangan, tahu2 keempat orang itu sudah merasa suatu tenaga pukulan yang maha besar menindih ke arah mereka.

Tanpa ampin lagi mereka terjengkang kebelakang dan menerbitkan suara gedubrakan yang keras, tubuh keempat orang menindih di atau patung tadi hingga patung itu remuk ber-keping2.

Di antara empat orang itu, siorang kedua yang punya tiga uci2 di batok kepala itu berkepandaian paling lemah, justru kepalanya tepat menumbuk dada patung itu, keruan seketika ia semaput

"Kalian berempat ini siapa? Kenapa terantai menjadi satu begini dan kenapa bisa berjanji untuk bertemu dengan Kwa Tin-ok di sini?" tanya Nyo Ko.

Kiranya kakek, gundul ini adalah Soa Thong-thian, orang kedua yang ber-uci2 itu adalah Sute-nya, Kau Hay-thong, yang pendek kecil adalah Peng Lian-hou dan Hwesio yang tinggi besar itu adalah Lian-ti Siang jin.

Lebih 30 tahun yang lalu mereka tertangkap oleh Lo wan-tong Ciu Pek-thong dan diserahkan pada Khu Ju-ki dan Ong Ju-it untuk mengurung mereka dalam Tiong-yang kiong di Cong-Iam-san, kalau mereka sudah insaf baru akan dibebaskan.

Akan tetapi keempat orang ini sukar mengubah watak jahat mereka, dengan segala jalan mereka berusaha melarikan diri, tapi setiap kali kena dibekuk kembali.

Ketika untuk ketiga kalinya mereka hendak merat, Peng Lian Iiou, Kau Thong-hay dan Ling-ti Siangjin bertiga telah membunuh beberapa anak murid Coan-cin kau yang menjaga mereka, setelah tertangkap kembali, sebagai hukuman yang setimpal mereka telah dikutungi sebelah kaki dan mata mereka dibutakan, hanya Soa Thong-thian yang tidak mencelakai jiwa manusia, selamat kedua matanya.

Ketika Nyo Ko belajar silat di Tiong-yang-kiong, karena waktunya tidak lama, pula selalu menderita, maka keempat orang hukuman itu tak dikenalnya, Sampai 16 tahun yang lalu, ketika jago2 Mongol membakar Tiong-yang-kiong, dalam keadaan kacau-balau itu dapatlah Soa Thong-thian berempat meloloskan diri.

Dan karena ketiganya buta, terpaksa bergantung pada Soa Thong thian sebagai penuntun jalan. Peng Lian-hou kuatir kalau orang tinggal pergi sendiri, maka ia berkeras tidak mau tanggalkan rantai yang masih mengikat tubuh mereka berempat.

Sesudah lari dari Tiong-yang-kiong, Soa Thong thian cs. masih kuatir kalau2 dapat dibekuk kembali oleh orang2 - Coan-cin pay, maka diam2 mereki lari ke daerah Kanglam dan selalu sembunyi menyepi dipedusunan.

Hari itu kebetulan mereka ke pergok Kwa Tin-ok, ilmu silat Tin-ok jauh bukan tandingan keempat orang itu, maka sekali gebrak sudah kalah, ketika ditanya barulah diketahui Kwa Tin-ok ada keperluan dan tiada maksud mencari mereka.

Meski mereka tiada permusuhan atau dendam tapi pendirian berbeda, pula kuatir orang membocorkan tentang jejak mereka, maka Soa Thong thian cs. bermaksud membunuh Tin ok.

Waktu itu Tin-ok berkata bahwa ia harus pergi ke Leng-oh-tin di daerah Siangcu., bila urusan selesai ia sendiri akan datang kembali buat terima kematian, kalau keempat orang itu bersedia memberi hidup lebih lama beberapa hari padanya, ia akan mengambilkan beberapa pil "Kiu hoa^Jnok loh-wan yang sangat mujarab untuk luka2 dalam, obat buatan Ui Yok-su dari Tho-boa-tot sebagai balas budi itu.

Memangnya keempat orang itu sejak kakinya dipatahkan selalu menderita sakit encok yang jahat, kini mendengar Tin-ok bersumpah takkan membocorkan tempat sembunyi mereka, juga takkan mengajak pembantu, barulah kemudian mereka tetapkan harinya untuk bertemu kembali di kelenteng Ong- tiat-jiang di Ka hin ini.

BegituIah sehabis menutur kejadian2 itu, lalu Soa Thong-thian berkata: "Nyo-kongcu, waktu ayahmu masih hidup, kami semuanya adalah tamu undangannya, Sampai ia meninggal, kami sedikitpun tidak salah padanya, maka haraplah suka mengingat kebaikan dulu2 itu dan membiarkan kami pergi!"

Dahulu Soa Thong-thian cs. adalah jago2 kelas tinggi di kalangan Kangouw, sekalipun golok mengancam ditengkuknya juga tak nanti gentar, tapi sejak mereka dikurung lama, kaki buntung, mata buta, jiwa mereka menjadi melempem, semangat jantan hilang, kini tanpa segan2 mohon ampun pada Nyo Ko.

Tapi Nyo Ko tak menggubris mereka, katanya pula pada Kwa Tin-ok: "Kau pergi ke Leng-oh tin, apakah untuk menemui Thia Eng daa Liok Bu siang taci beradik? Dan untuk urusan apa?"

Tiba2 Tio-ok menengadah tertawa panjang, katanya. "Wahai Nyo Ko, Nyo Ko, kau bocah ini benar2 tak tahu urusan!"

"Kenapa aku tak tahu urusan?" lahut Nyo Ko gusar.

"Aku Hui-thian-pian-bok (kelelawar terbang di langit, julukan Tin-ok) sudah tidak pikirkan jiwa lapuk ini lagi, sekalipun di masa muda, aku KwaTin-ok juga tak pernah takut pada siapapun, betapa tinggi ilmu silatmu paling banyak hanya dapat me-nakut2i sebangsa manusia2 yang takut mati dan tamak hidup, tapi Kanglam chit-koay apa kau kira kena digertak orang?" demikian sahut Tin ok.

Melihat sikap orang yang gagah berani, tanpa terasa Nyo Ko menaruh hormat, maka katanya tagi: "Kwa-Iokongkong, ya, akulah yang salah tapi lantaran kata2-mu tadi menghina mendiang ayahku, terpaksa aku berlaku tidak sopan. Nama Kwa kongkong terkenal diseluruh jagat, Nyo Ko sejak kecil juga sangat kagum, selamanya tak berani kurangajar."

"Beginilah baru pantas," ujar Tin-ok, "Aku melihat kelakuanmu tidak jelek, pula telah berjasa besar di Siangyang, maka aku anggap kau adalah tokoh kelas satu. Tapi kalau macam ayahmu dahulu, sekalipun berbicara saja aku merasa mual."

Amarah Nyo Ko berkobar lagi oleh olok2 itu, dengan suara keras ia tanya: "Sebenarnya ayahku berbuat salah apakah, coba terangkan."

Harus diketahui bahwa di antara kawan2 yang pernah dikenal Nyo Ko tidak sedikit orang yang ibu seluk beluk ayahnya dahulu, tapi karena sungkan mengolok2 ayah seorang "Sin-tiau-hiap" maka semua orang sungkan membicarakannya, sekalipun ditanya Nyo Ko sendiri.

Namun dasar Kwa Tin-ok selamanya pandang kejahatan sebagai musuh, wataknya keras jujur, ia tak urus apakah ceritanya nanti akan menyinggung perasaan Nyo Ko atau tidak, segera saja ia ceritakan seluruhnya dari awal sampai akhir, tentang bagaimana Nyo Khong tak kenal budi, malahan sekongkoI dengan Auyang Hong hingga lima kawannya dari Kanglam-chit-koay terbinasakan dan akhirnya menggaplok punggung Ui Yong, tapi senjata makan tuan, duri landak kutang Ui Yong yang tanpa sengaja tertempel racun ularnya Auyang Hong itu malah membinasakan Nyo Khong sendiri.

"Kejadian pada malam itu, beberapa orang inipun menyaksikannya, Soa Thong thian, Peng Lian hou, coba kalian katakan, apakah aku Kwa-Iothai pernah berbohong?" demikian kata Tin-ok akhirnya.

Beberapa perkataan paling akhir ini diucapkannya dengan sangat keras hingga bikin kaget beberapa puluh ekor burung gagak yang berada di menara kelenteng itu terbang ke udara dengan suara yang berisik.

"Ya, malam itu juga terdapat burung2 gagak begini..." tutur Soa Thong-thian. "Nih, tanganku ini justru karena digaruk sekali oleh Nyo-kongcu, kalau Peng-hengte ini tidak cepat bertindak tanganku ini terus ditabasnya, mungkin jiwaku akan dan melayang pada malam itu juga."

Sungguh tidak kepalang rasa pedih dan pilu Nyo Ko pada saat itu, ia memegangi kepalanya dan duduk termangu2 dengan muka muram, sekali2 tak diduganya bahwa ayahnya ternyata seorang yang begitu jahat dan keji, sekalipun namanya dan perbuatannya sendiri sekarang lebih cemerlang juga sukar mencuci bersih noda ayahnya itu.

Begitulah, untuk sesaat di dalam kelenteng menjadi sunyi, keenam orang tiada yang buka suara, hanya suara gaok masih terus berisik tiada hentinya.

Selang agak lama, berkatalah Kwa Tin-ok, "Nyo-kongcu, kau telah berjasa besar di Siangyang, betapapun dosa ayahmu juga sudah tertutup semua, Di alam baka pasti ia akan senang karena kau bisa tebus kesalahan orang tua."

Nyo Ko coba merenungkan segala apa yang dialaminya selama ini, sejak ia kenal suami isteri Kwe Cing, selalu Ui Yong menaruh prasangka padanya, segala kesalah pahaman dulu2 semuanya disebabkan ayahnya itu. Tapt kalau tiada ayah darimanakah datangnya dirinya ini? Namun banyak kematian dan rasa kesalnya selama ini sesungguhnya juga gara2 perbuatan mendiang ayahnya. Tanpa terasa ia menghela napas panjang oleh segala suka duka itu.

"Kwa-lokongkong," tanyanya kemudian, "Apakah Thia Eng dan Liok Bu-siang berdua taci beradik baik2 saja?"



"Ya, mereka menjadi begitu girang ketika mendengar kau membakar gudang perbekalan musuh di Sinyang dan membasmi dua ribu pasukan perintis Mongol," sahut Tin-ok, "la tanya pula tentang keadaanmu selama ini dan berita Siao-liong-Ii, nyata kedua taci-beradik itu sangat terkenang padamu,"

"Ai, kedua adik ini juga sudah 16 tahun aku tak melihatnya," kata Nyo Ko kemudian habis itu mendadak ia menoleh terus membentak pada Sa Thong thian: "Nah, Kwa-kongkong sudah berjanji hendak serahkan jiwanya pada kalian, ia orang tua selamanya sekali bicara tidak pernah pungkir janji, sekarang kalian lekas turun tanganlah, dan sesudah kalian membunuhnya baru aku membunuh juga kalian berempat anjing ini untuk membalaskan sakit hatinya."

Soa Thong thian dan Peng Lian-bou menjadi tertegun, sungguh mereka tidak pernah dengar ada bunuh membunuh cara demikian. Maka kata So Thong thian kemudian: "Nyo-tayhiap, kami tuli tahu hingga berlaku kurangajar pada Kwa lohiap (pendekar tua Kwa), harap kalian berdua suka memaafkan kami."

"Jika begitu, nah, ingat baik2, kalian sendiri yang tidak menepati janji dan tak inginkan jiwa Kwa-kongkong," kata Nyo Ko.

"Ya, ya," sahut Soa Thong thian cepat, "Terhadap budi luhur Kwa-lohiap kami selamanya juga sangat kagum."

"Nah, sekarang lekas enyah, lain kali jangan ke tumbuk lagi ditanganku," bentak Nyo Ko.

Keruao Soa Thong-thian cs. seakan2 mendapat lotere, sesudah memberi hormat, dengan cepat mereka lari keluar kelenteng itu.

Nyo Ko menolong jiwa Kwa Tin-ok itu sangatlah menjaga kehormatannya sebagai seorang ksatria, tentu saja Kwa Tin-ok berterima kasih. Dan sesudah membersihkan pecahan patung di ruangan itu, lalu mereka berduduk untuk omong2.

"Aku pergi ke Leng-oh-tio adalah sebab urusan Kwe-ji-kohnio," demikian tutur Tin-ok.

"Ha," Nyo Ko rada terkejut "Ada apakah nona kecil ini?"

"Kedua puteri Kwe Cing itu masing2 punya kenakalannya sendiri2, sungguh bikin orang kepala pusing," ujar Tin-ok. "Entah mengapa, tiba2 Kwe Yang si anak dara itu meninggalkan rumah tanpa pamit entah ke mana, Sudah tentu orang tuanya menjadi kelabakan, ke-mana2 orang dikirim untuk mencarinya, tapi sama sekali tiada kabar beritanya, karena aku si buta ini tiada pekerjaan apa2 di Siangyang, maka aku juga keluar untuk mencarinya. Jurusan timur, utara dan barat sudah ada orang yang pergi, aku lebih paham keadaan daerah Kanglam maka aku lantas ke selatan sini."

"Dan apakah sudah mendapatkan beritanya?" tanya Nyo Ko.

"Beberapa hari yang lalu secara kebetulan aku mendengar percakapan dua orang kurir bangsa Mongol, katanya puteri kecil Kwe-tayhiap dari Siang-yang telah tertawan ke dalam pasukan Mongol mereka.

"Haya! Apakah kabar ini betul atau bohong?"

"Kedua kurir Mongol itu berbicara dalam bahasa mereka dan menyangka tiada orang lain yang paham, tak tahunya aku pernah tinggal belasan tahun di negeri Mongol, tentu saja semuanya kudengar dengan jelas," kata Tin-ok pula.

"He, kalau begitu jadi berita ini tidaklah bohong?" tanya Nyo Ko terkejut.

"Ya, maka dalam gusarku segera kupersen ke-dua kurir Mongol itu masing2 sebiji "Tok-cit-le" dan hendak kulapor ke Siangyang, siapa tahu di tengah dan kepergok empat setan tadi," tutur Tin-ok

"Aku pikir jiwaku tidak jadi soa!, tapi berita nona Kwe Yang harus disampaikan makanya aku minta mereka memberi kelonggaran beberapa hari, kupergi jke Leng-oh tin yang berdekatan dan memberitahukan pada Thia Eng dan Liok Bu siang. Mendengar berita itu, segera kedua nona itu berangkat ke utara dan aku menepati janji datang kemari mengantarkan kematian.

Sungguh tidak nyana sekarang ke empat setan jahat ini sendiri tak dapat dipercaya, sampai saat terakhir mereka tidak berani - turun tangan. Haha, hahaha!"

"Apakah Kwa-kongkong pernah mendengar cerita kedua kurir Mongol itu tentang cara bagaimana tertawannya nona Kwe dan apakah berbahaya jiwanya?" tanya Nyo Ko sesudah pikir sejenak.

"ltulah aku tidak mendengar," sahut Tin-ok,

"Urusan ini sangat gawat, sekarang juga boanpwe pergi ke sana dan berusaha menolong sebisanya," kata Nyo Ko pula, "Dan Kwa-kongkong sendiri bolehlah menyusul belakangan saja."

"Baiklah, ada kau yang pergi menolongnya, hatiku akan merasa lega, biarlah aku menunggu kabar baik saja di Siangyang," sahut Tin ok.

Nyata sejak menyaksikan apa yang dilakukan Nyo Ko di Siangyang tempo hari, hati orang tua ini sudah sangat kagum atas kemampuannya.

"Tapi Wanpwe ada sesuatu permintaan aku mohon bantuanmu Kwa-kongkong." pinta Nyo Ko "Yalah sukalah kau mengganti sebuah batu nisan kuburan ayahku, tulislah puteranya Nyo Ko yang mendirikannya."

"Baiklah, pasti akan kukerjakan dengan baik," sahut Tin ok.

Dan berangkatlah Nyo Ko segera sesudah memberi hormat pad orang itu. ia membeli dua ekor kuda dulu di Ka-hin dan sepanjang jalan bergantian kuda terus menuju ke Sin-yang tanpa berhenti Maka tidak seberapa hari sudah dekatlah dengan perkemahan pasukan Mongol.

Kiranya raja Mongol yang pimpin pasukan hendak menggempur Siangyang ini, ketika tanpa tahu sebab musababnya kedua pasukan perintisnya terbasmi di Sinya dan Tengciu, ia menjadi ragu2 akan kekuatan pasukan Song yang sebenarnya, maka pasukan induknya berkemah di antara Lamyang, kedua pihak belum pernah bertempur.

Maka terlihatlah panji2 ber-kibar2, senjata gemerlapan, perkemahan yang ber-deret2 memanjang tak kelihatan ujungnya.

Menunggu sesudah malam, Nyo Ko menyelundup ke perkemahan musuh untuk menyelidiki, ia lihat penjagaan sangat keras, disiplin sangat baik.

Kekuatan tentara Mongol itu memang sangat hebat. Lebih2 kemah di mana raja berdiam, penjagaan lebih ketat lagi. Meski tinggi ilmu silat Nyo Ko, tapi di ketahuinya tidak sedikit orang2 gagah dalam pasukan musuh, betapapun tangkas sukar juga melawan orang banyak, maka iapun tak berani sembarangan unjuk diri.

Malam itu ia hanya dapat menyelidiki perkemahan bagian timur, besoknya dilanjutkan bagian selatan dan lain hari perkemahan barat, ber-turut2 empat malam empat bagian pertengahan musuh itu selesai diintainya, tapi masih belum memperoleh kabar berita Kwe Yang itu.

Akhirnya Nyo Ko menawan seorang perwira musuh, di bawah ancaman perwira itu telah mengaku terus terang bahwa sesungguhnya tidak pernah terdengar tentang puteri Kwe Cing dari Siangyang.

Namun Nyo Ko masih ragu2, ia selidiki lagi beberapa hari, kemudian baru percaya memang Kwe Yang tidak disekap di situ, Pikirnya: "Againya Kwe-pepek sudah dapat menolong puterinya pulang, atau mungkin kedua kurir Mongol itu juga mendengar dari orang lain jadi hanya berita bohong-belaka.

Sementara itu musim scmi sudah tiba, bunga mekar mewangi. janji Siao-liong-Ii 16 tahun yang lalu sudah hampir tiba, maka Nyo Ko lantas menuju ke utara, pergi ke Coat-ccng-kok atau lembah putus cinta.

* * * *

Mengenai Kwe Yang hari itu setelah disaksikannya Kim-Iun Hoat-ong secara keji membinasakan Tiang-jiu kui dan Toa-thau-kui berdua, dalam hati ia menjadi berduka, iapun insaf takkan bisa lolos dari cengkeraman elmaut, maka dengan tegak ia menantang: "Hayolah, bunuhlah aku, tunggu apalagi?"

"Hendak membunuh kau adalah terlalu mudah?" sahut Kim lun Hoat-ong tertawa "Tapi hari ini aku sudah membunuh dua orang, sudah cukup, lewat berapa hari lagi nanti akan kusembelih kau. Sekarang lekas turut aku pergi."

Kwe Yang pikir percuma saja hendak membangkang, biarlah nanti tunggu kesempatan untuk meloloskan diri, Maka iapun cempIak ke atas kuda dan jalan pelahan.



Tentu saja Kim-Iun Hoat-ong sangat senang, pikirnya: "Hongsiang dan Hongte (raja dan adik Raja) ingin sekali mencabut jiwa Kwe Cing, tapi selama ini tidak berdaya, Hari ini aku dapat menawan puteri kesayangannya, dengan sandera ini mau tak mau Kwe Cing harus tunduk kepala dan turut perintah, seumpama Kwe Cing tak mau takluk, pelahan kita siksa lahir batin nona ini dibawah benteng dihadapan Kwe Cing, biar dia ngenas dan kacau pikiran, tatkala itu sekali gempur pasti Siangyang akan bobol.

Sampai hari sudah malam, mereka mondok di-rumah tepi jalan, Tapi penghuni rumah sudah kabur, rumah itu kosong melompong. Hoat-ong mengeluarkan rangsum kering dan diberikan sedikit pada Kwe Yang, anak dara itu disuruh tidur di dalam kamar, ia sendiri duduk sila bersemedi di ruangan luar.

Kwe Yang gulang-guIing dipembaringannya tak bisa pulas. Sampai tengah malam, secara berindap-indap ia mengintip ke ruangan tengah, ia lihat Hoat-ong masih duduk sila menghadap tembok, sayup2 terdengar suara mendengkurnya pelahan, agaknya sudah tertidur.

Girang sekali Kwe Yang, pelahan2 ia melompat keluar jendola, ia robek kain buntalannya menjadi empat buat bungkus telapak kaki kuda, lalu binatang itu dituntunnya pelahan, Sesudah agak jauh dan melihat Hoat ong tidak mengejar barulah ia cemplak kuda dan dilarikan secepat terbang.

Ia pikir kalau Hoat ong mengetahui dirinya sudah lari, maka akan mengejarnya kearah Siangyang, jadi ke selatan, tapi sekarang ia sengaja berlari ke jurusan barat laut, betapapun dia takkan menemukan aku, Begitulah ia keprak kudanya sekaligus berlari lebih satu jam, karena binatang itu sudah payah, barulah ia lambatkan setindak demi setindak, sepanjang jalan ia selalu menoleh kalau2 Hoat-ong mengejarnya, sampai hari sudah terang tanah, kira2 sudah beberapa puluh li jauhnya, hati anak dara ini barulah lega.

Sementara itu ia telah memasuki suatu jalan kecil pegunungan yang menanjak, makin lama makin tinggi, setelah membelok ke sana, tiba2 terdengar suara ngorok orang tidur sekeras guntur, seorang terlentang melintang di tengah jalan lagi mendengkur. Ketika Kwe Yang mengawasinya hampir saja ia merosot jatuh dari kudanya.

Ternyata orang yang malang melintang di tengah jalan itu berkepala gundul dan berjubah kuning siapa lagi dia kalau bukan Kim-lun Hoat-ong, sungguh sukar dimengerti cara bagaimana orang tahu2 sudah berada dibagian depannya malah.

Lekas2 Kwe Yang memutar kudanya terus lari ke bawah bukit, ketika ia menoleh, Hoat-ong tertampak masih enak2 tidur tak mengejarnya.

Sekali ini ia tidak menuju ke jalan tadi, tapi ke arah tenggara, ke tempat yang sepi, Setelah setanakan nasi, tiba2 terlihat di atas suatu pohon di depan sana ada seorang menjungkir, kedua kakinya menggantoI pada dahan pohon dan sedang menyengir padanya, Kurangajar! Siapa lagi dia kaku bukan Hoat-ong?

Namun Kwe Yang tidak lagi terkejut, sebaliknya ia menjadi gusar, damperatnya: "Hwesio keparat, kau mau mencegat boleh cegat saja, kenapa mesti permainkan nonamu?" Habis berkata, ia keprak kudanya ke depan, ketika sudah dekat, mendadak pecutnya disabetkan ke muka orang.

ia lihat Hoat ong sama sekali tidak berkelit, tepat sekali ujung pecut mengenai mukanya, Pada saat itu juga kuda tunggangan Kwe Yang sudah nelewati tubuh Hoat-ong yang tergantung itu, ketika Kwe Yang menarik pecutnya, mendadak suatu tenaga maha besar telah melibatnya hingga tanpa kuasa tubuhnya mencelat ke udara.

Kiranya ketika pecut sampai dimuka Hoat-ong, secepat kilat Hoat-ong buka mulut dan gigit kening2 ujung pecut, karena tubuhnya tergantung menjungkir, maka ia terayun tinggi ke atas hingga Kwe Yang ikut terangkat.

Meski tubuh di atas udara, namun Kwe Yang tidak menjadi gugup, ketika dilihatnya Hoat ong hendak mengayunnya kembali, cepat ia lepaskan pecutnya terus terlepas ke bawah.

Hoat-ong terkejut, ia kuatir anak dara itu terbanting luka, maka cepat melompat turun dulu dan menangkapnya sambil berseru: "Awas!"

Tapi Kwe Yang juga tidak kurang cerdiknya, ia sengaja ber-teriak2: "Tolong!" - Dan ketika tubuhnya sudah dekat Hoat-ong, mendadak kedua tangannya memukul berbareng, tepat sekali dada Hoat-ong kena digenjotnya.

Serangan Kwe Yang ini cepat sekali lagi di luar dugaan, sekalipun ilmu silat Hoat-ong sangat tinggi, orangnya juga cerdik, namun tak sanggup berkelit lagi, kedua kakinya menjadi lemas dan orangnya terkulai ke tanah, kaku tak berkutik

Tidak tersangka oleh Kwe Yang bahwa sekali akan berhasil, karuan ia kegirangan cepat ia angkat sepotong batu besar terus hendak dikepruk ke atas kepala Hoat-ong yang gundul itu. Tapi selamanya belum pernah ia membunuh orang, meski ia benci orang telah membunuh dua kawannya, namun ketika hendak turun tangan hatinya menjadi tak tega, ia tertegun sejenak, lalu batu besar itu diletakkannya kembali.

Sebagai gantinya ia tutuk "Thian-teng-hiat" di tengkuk Hoat-ong, "Peng-hong-hiat" dipunggung, "Sin-hong-hiat" di dada, "Jing ling-hiat" di lengan dan "Hok-hou-hiat" di atas mata, sekaligus tanpa berhenti ia tuluk tiga belas tempat jalan darah orang, anak dara ini masih belum puas, ia angkat empat potong batu yang beratnya hampir beratus kati, batu2 itu ia tindih di atas badan Hoat-ong.

"Wahai, Hwesio jahat, hari ini nona tidak ingin membunuh kau, maka selanjutnya harus kau perbaiki diri dan jangan mencelakai orang lain lagi," demikian kata Kwe Yang kemudian.

Habis itu, ia kebut2 bajunya yang berdebu, lalu cemplak kudanya hendak tinggal pergi.

Namun kedua mata Kim-lun Hoat ong yang ber-kilau2 terus memandanginya, tiba2 katanya dengan tertawa: "Hati nona cilik ternyata berprikemanusiaan, Hwesio tua sangat suka padamu." Lalu terdengarlah suara keras beberapa kali, beberapa potong batu tadi telah membal semua, lalu orangnya melompat bangun, aneh, entah mengapa, ke-13 tempat jalan darah yang ditutuk Kwe Yang tadi sudah terlepas semua.

Dalam terkejutnya hingga Kwe Yang ternganga tanpa bisa buka suara.

Kiranya meski Hoat-ong terkena pukulannya tadi, dadanya terasa sakit juga, tapi selisih kepandaian mereka terlalu jauh, mana mungkin dua kali pukul itu Kwe Yang merobohkan Hoat-ong? Apalagi hendak menutuknya hingga tak berkutik? ia hanya pura2 saja dan hendak melihat apa yang hendak diperbuat anak dara itu.

Ketika melihat Kwe Yang tak jadi mengepruknya dengan batu, diam2 ia merata suka akan kebaikan hati anak dara itu, pintar dan cerdik, jauh lebih baik daripada murid2 yang pernah ia terima.

Tanpa terasa timbul keinginan Hoat-ong akan menjadikan Kwe Yang sebagai muridnya, apalagi mengingat usianya sudah lanjut, sedang muridnya yang dulu seperti Darba, orangnya jujur, bertenaga raksasa, tapi otaknya kurang tajam untuk bisa memahami intisari pelajaran Lwekang yang tinggi, sering Hotu orangnya tak berbudi, dalam keadaan berbahaya tidak segan2 selamatkan diri dan menjerumuskan guru malah. Karena itu, kadang2 Hoat-ong menjadi sedih, kuatir ilmu kepandaiannya itu akan terpendam begitu saja.

Kini melihat Kwe Yang berbakat bagus, boleh dikatakan susah dicari, walau puteri musuh, tapi usianya masih muda. tidaklah sukar untuk mengubahnya, asal diajarkan ilmu kepandaian hebat padanya, lama2 dengan sendirinya anak dara itu akan melupakan segala persoalan yang Ialu.

Justeru orang2 Bu-lim atau kalangan persilatan pada umumnya sangat pandang berat soal murid dan keturunan, sekali Hoat ong timbul pikiran begitu, untuk sementara soal2 menggempur Siangyang memaksa Kwe Cing menyerah dan lain2, telah di-kesampingkannya semua.

Melihat biji mata orang mengerling tajam, tapi tidak buka suara, segera Kwe Yang melompat turun dari kudanya dan katanya: "Kepandaian Hwesio tua memang hebat, sayangnya, tidak mau berbuat baik."

"Kalau kau kagum kepandaianku, asal kau angkat guru padaku, aku lantas ajarkan seluruh kepandaianku ini padamu," ujar Hoat-ong tertawa.

"Cis" semprot Kwe Yang, "Guna apa aku mempelajari kepandaian Hwesio? Toh aku tidak ingin menjadi Nikoh?"

"Apakah belajar kepandaianku harus menjadi Nikoh?" sahut Hoat-ong tertawa, "Kau menutuk jalan darahku, aku bisa meIepaskan diri. Kau menindih badanku dengan batu2 besar, batu2 itu bisa terpental sendirinya. Kau lari menunggang kuda, tahu2 aku sudah tidur di depanmu, apakah semua kepandaian ini tidak menarik?"



Kwe Yang pikir kepandaian2 itu memang menarik juga, tapi Hwesio tua ini adalah orang jahat mana boleh mengangkat guru padanya? Pula ia sendiri buru2 hendak mencari Nyo Ko, tiada tempo buat mengobrol maka katanya sambil geleng kepala: "Lebih tinggi lagi kepandaianmu juga tak mungkin kuangkat sebagai guru."

"Darimana kau tahu aku orang jahat?" tanya Hoat ong.

"Sekali hantam kau telah membinasakan Tiang jiu-kui dan Toa thau-kui, apakah itu tidak jahat?" sahut Kwe Yang, "Mereka tiada dendam dan tidak bermusuhan dengan kau, kenapa kau turun tangan begitu keji?"

"Itu justru karena aku hendak mencari kuda untukmu, mereka sendiri yang menyerang aku lebhih dulu, kau sendiri menjadi saksi tadi." kata Hoat ong. "Coba, bila kepandaianku sedikit rendah, mungkin aku sudah mati dihantam mereka. seorang Hwesio harus welas-asih, kalau tidak terpaksa, tidak nanti membunuh orang."

Tapi Kwe Yang menjengek tak percaya, Katanya: "Dan bagaimana kehendakmu sehenarnya? Kalau kau orang baik2, kenapa aku tak boleh pergi?"

"Bila aku larang kau pergi?" sahut Hoat-ong. "Kau menunggang kuda ke timur, tidak larang, ke barat, aku juga tidak mencegah, aku hanya tidur di tengah jalan, apakah aku menghalangi kau?"

"Jika begitu, kau lepaskan aku pergi mencari Nyo Ko, Nyo toako, dan jangan mengikuti aku," kata Kwe Yang.

"Itu tak boleh" ujar Hoat-ong geleng kepala. "Kau harus mengangkat guru padaku. belajar silat 20 tahun dengan aku, habis itu, kemana kau pergi, siapa ingin kau cari, boleh sesukamu."

"Kau Hwesio ini kenapa begini tak tahu aturan, aku tidak suka angkat guru padamu, kenapa kau paksa?" damprat Kwe Yang.

"Kau anak dara cilik inilah yang tidak kenal adat, guru pandai seperti aku, kemana bisa kau cari di seluruh jagat?" sahut Hoat-ong pula. "Sekalipun orang lain menyembah tiga kali padaku dan mohon dengan sangat agar aku menerimanya sebagai murid, belum tentu aku mau. Tapi kini kau diberi kesempatan bagus, kau malah berlagak jual mahal, sungguh aneh?"

"Tak malu, hm, tak malu," tiba2 Kwe Yang meng olok2. "Macam guru apakah kau ini? Paling banyak kau bisa menangkan aku seorang gadis cilik, apanya harus diherankan? Tapi apa kau bisa menangkan ayah-ibuku? Bisa menangkan Gwakong ku Ui Yok-su? jangankan mereka seumpama Toakoko Nyo Ko saja, kau tak sanggup melawannya!"

"Siapa bilang? Siapa bilang aku tak sanggup melawan Nyo Ko si anak ingusan?" tanya Hoat ong cepat tanpa pikir.

"Semua ksatria, setiap pahlawan di kolong langit ini semua bilang begitu," sahut Kwe Yang. "Tempo hari waktu ada pertemuan besar para pahlawan di Siangyang, semuanya juga bilang bahwa tiga orang Kim lun Hoat-ong takkan mampu menangkan seorang Sin-tiau-tayhiap Nyo Ko yang berlengan tunggal."

Sudah tentu apa yang dikatakannya memang untuk bikin marah Kim-lun Hoat-ong saja, namun yang omong tidak sengaja, yang mendengar justru kena. Sebab belasan tahun yang lalu memang benar2 beberapa kali Kim-lun Hoat-ong dikalahkan oleh Nyo Ko, ia sangka ini kejadian benar2 selalu dibuat buah tutur semua ksatria diseluruh jagat.

Keruan tidak tahan api amarahnya, bentaknya segera: "Jika Nyo Ko si anak busuk itu berada di sini, biar dia mengicipi lihaynya aku punya "Liong- jio pan-yok-kang" (ilmu sakti tenaga naga dan gajah), setelah dia tahu rasa barulah akan ketahuan sebenarnya dia Nyo Ko lebih hebat atau aku Kim-lun Hoat-ong yang lebih lihay."

Pikiran Kwc Yang jadi tergerak melihat orang benar2 penasaran maka katanya pula: "Ah, sudah terang kau tahu Toakoko ku sekarang tidak berada disini, lantas kau meniup harga diri setinggi langit, coba kalau kau bernyali besar, kenapa tak kau pergi mencarinya untuk bertanding? Kau punya ilmu sakti tenaga babi dan anjing..!."

"llmu sakti naga dan gajah!" demikian Hoat-ong memotong membetulkan.

"Kalau kau menangkan dia, barulah naga dan gajah, tapi kalau kau tak tahan sekali gebuk, paling banyak hanya jadi babi dan anjing saja!" ujar Kwe Yang, "Jika ilmu silatmu bisa menangkan dia, tak perlu kau paksa aku, dengan sendirinya aku menyembah kau sebagai guru, Cuma aku yakin mungkin kau tak berani mencari dia, maka percuma soal ini dibicarakan. Menurut aku, boleh jadi melihat bayangannya saja kau sudah ketakutan dan lari ter birit2."

Hoat-ong adalah seorang cerdik, sudah tentu iapun tahu akan kata2 pancingan Kwe Yang. Tapi selama hidupnya ia sangat tinggi menilai dan lantaran pernah dikalahkan Nyo Ko, maka sekarang "ilmu sakti bertenaga naga dan gajah-nya sudah dilatihnya hingga tingkatan ke-11, memangnya ia sudah mencari Nyo Ko buat tuntut balas ketika dahuIu, Kini mendengar kata2 Kwe Yang itu, tak tahan ia menyahut keras2: "Tadinya aku bilang Nyo Ko berada di mana, itu melulu untuk membohongi ktu, sayangnya aku jusleru tak tahu anak itu mengumpat di mana, bila tahu, ha, ajaklah kalau aku tidak meluruk ketempatnya dan menghajarnya hingga dia me-nyembah2 minta ampun!"

"Hahahaha," tiba2 Kwe Yang ter-kekeh2, tembangnya bertepuk tangan: "Hwesio gundul membual anggap diri tiada bandingan, sekali melihat Nyo Ko datang, tancap gas lari tunggang Ianggang!.

Hoat ong menjengeknya sekali lalu membisu tanpa berkata.

"Ya, meski aku tidak tahu sekarang Nyo Ko berada di mana sekarang, tapi lewat sebulan lagi pasti ia akan datang ke suatu tempat, hal itu aku malah tahu," kata Kwe Yang kemudian.

"Datang ke mana?" tanya Hoat-ong.

"Percuma juga kukatakan padamu? Toh kau lak berani pergi menemuinya. jangan2 nanti bikin kau tak ?nak makan tak nyenyak tidur," kala Kwe Yang,

Hoat-ong menjadi gemas kena di kili2, "Katakan, coba katakan!" teriaknya sengit.

"la akan datang ke Coat ceng kok, di atas jurang Toan-jong-ke, ia akan bertemu kembali dengan isterinya, Siao-liong-li," kata Kwe Yang. "Tapi, Hwesio besar, ada lebih baik jangan kau antar kematian ke sana, seorang Nyo Ko saja bikin hati terkejut dan daging kedutan, apalagi ditambah seorang Siao-Iiong li."

Memangnya selama belasan tahun ini Kim-lui Hoat-ong giat berlatih "ilmu sakti bertenaga nagi dan gajah" justru maksudnya ingin melawan "Giok li-soh-sim-kiam-hoat" yang dimainkan Nyo Ko dan Siao-liong-li bersama, kalau dia tidak yakin akan satu dapat mengalahkan dua, tak nanti ia datang ke daerah Tionggoan lagi, Kini kena di kili2 Kwe Yang, ia menjadi semakin murka, dari murka iapun tertawa maIah.

"Ya, marilah sekarang juga kita pergi ke Coat-ceng-kok, kalau aku dapat mengalahkan Nyo Ko dan Siao-Iiong-li berdua, lalu bagaimana nanti?" tanyanya segera.

"Jika benar2 ilmu silatmu begitu tinggi, hm, masakah aku tidak cepatan mengangkat guru pada-mu? Bukankah itu sukar dicari?" sahut Kwe Yang. "Cuma sayang, Coat-ceng-kok itu tempatnya jauh dan sepi, tidak mudah hendak mencarinya."

"Kebetulan aku pernah ke sana, tak perlu kau kuatir," ujar Hoat-ong tertawa, "Dan kini waktunya masih cukup lama, mari kau ikut kupergi ke perkemahan pasukan Mongol dulu, setelah selesai kan beberapa urusan, lantas kita pergi ke Coat ceng-kok."

Mendengar orang mau pergi ke Coat-ceog-kok untuk bertanding dengan Nyo Ko, dalam hati Kwe Yang menjadi sangat lega, pikirnya diam2: "Kuatirku kalau kau tak mau pergi kesana, Kini kau mau pergi sendiri, ha, tahu rasa kau nanti! Kau Hwesio jahat ini tampaknya garang, nanti kalau sudah ketemu Toakoko, mungkin kau akan mcngkerel seperti celurut."

Maka iapun pergilah ikut Hoat-ong ke tengah pasukan Mongol.

Waktu itu yang dipikir oleh Hoat-ong hanya ingin menjadikan Kwe Yang sebagai murid ahliwaris-nya, ia yakin asal dapat menaklukkan hati anak dara ini, kelak tentu akan menjadi muridnya yang terkemuka, Mata sepanjang jalan ia sangat ramah tamah pada si nona.



Harus diketahui, dalam kalangan Bu-lim, guru pandai susah dicari, tapi murid berbakat juga sukar didapatkan, murid harus pilih guru, guru juga ingin pilih murid.

Begitulah sepanjang jalan Hoat-ong selalu ajak bicara dan bergurau dengan Kwe Yang, ia semakin merasakan anak dara ini sangat pintar, otaknya tajam, diam2 ia sangat girang. Kadang2 bila Kwe Yang berduka oleh kematian Toa-thau-kui dan Tiang-jiu-kui dan mencela kekejian Hoat ong, selalu Hoat-ong anggap sepi saja tanpa gusar, malahan ia anggap anak dara ini seorang berperasaan tidak seperti Hotu yang rendah budi.

Pasukan Mongol di mana Hoat-ong membawa Kwe Yang ke sana adalah perkemahan pasukan bagian selatan yang dipimpin Kubilai, adik raja Mongol tatkala itu, sebaliknya tempat yang dicari Nyo Ko adalah pasukan utara yang dipimpin Monko, si raja sendiri, Soalnya karena percakapan kedua kurir Mongol yang didengar Kwa Tin-ok itu kurang lengkap hingga Nyo Ko buang2 tempo percuma padahal waktu Nyo Ko berangkat ke Coat-ceng kok, tidak lama Hoat-ong dan Kwe Yang juga lantas berangkat seperti sudah direncanakan itu.

Jarak mereka tiada ratusan li, tapi jalan Nyo Ko lebih cepat, pula tidak sabar karena ingin lekas bertemu dengan Siao liong li, maka ia tiba lebih dulu beberapa hari daripada Hoat-ong dan Kwe Yang.

Di lain pihak, sejak minggatnya puteri bungsunya itu, siang malam Kwe Cing dan Ui Yoc sangat berkuatir. Belasan hari kemudian, beberapa anak murid Kay-pang yang ditugaskan pergi mencari kabar juga pulang dengan tangan hampa.

Selang beberapa hari pula, mendadak Thia Eng dan Bu siang datang di Siangyang dan membawa kabar buruk berasal dari Kwa Tin-ok itu bahwa Kwe Yang telah tertawan oleh pasukan Mongol.

Keruan Kwe Cing dan Ui Yong sangat terkejut. Malam itu juga Ui Yong bersama Thia Eng lantas menyelidiki ke perkemahan musuh, tapi serupa saja seperti Nyo Ko, merekapun tidak memperoleh suatu tanda2.

Bahkan malam ketiga mereka kcpergok patroli Mongol hingga Ui Yong dan Thia Eng terkepung beberapa puluh perwira, syukur Ui Yong dan Thia Eng bukanlah orang lemah, dengan ilmu silat mereka yang hebat akhirnya dapat lolos dari kepungan musuh.

Melihat gelagatnya, Ui yong menduga puteri kecil itu tentu tiada di dalam pasukan Mongol itu, tapi sedikitpun belum mendapatkan beritanya, inilah bukan alamat baik, maka sesudah berunding dengan Kwe Cing, ia putuskan akan keluar kota mencari sendiri ia membawa sepasang rajawali putih piaraannya itu itu untuk menjaga bila perlu dapat dibuat mengirim surat.

Thia Eng dan Liok Bu siang berkeras ingin ikut serta, kebetulan bagi Ui Yong bisa mendapat dua pembantu yang kuat, maka mereka bertiga lantas mengitari kemah pasukan Mongol terus menuju ke barat laut.

Menurut taksiran Ui Yong, kepergian Kwe Yang itu adalah hendak menasehatkan Nyo Ko supaya jangan mencari pikiran pendek. Dahulu bertemunya mereka ada di sekitar tambangan Hongleng, sekali ini tentunya si nona akan pergi ke sana pula, karena itu bila lebih dulu ke Hongleng, besar kemungkinan akan mendapat jejaknya.

Ketika mereka bertiga berangkat dari Siang-yang, saat itu masih musim dingin, sepanjang jalan mereka mencari kabar dan setiba di tambangan Hongleng, sementara sudah masuk musim semi, salju sudah cair, sungai sudah mengalir normal.

Ui Yong bertiga mencari keterangan selengan harian di kota tambangan itu, tukang perahu, pengurus hotel, tukang kereta, kuli pikul, semuanya bilang tidak melihat nona seperti yang ditanyakan itu.

""Suci (kakak guru)," kata Thia Eng pada Ui Yong. "hendak lah kau tak perlu kuatir. Ketika Yang-ji lahir, hari itu juga lantas digondol lari oleh Kim-lun Hoat ong dan Li Bok-chiu, dua momok yang paling disegani itu, Kalau dulu tidak apa2, rasanya sekarang juga tak ada bahaya"

Ui Yong hanya menghela napas tanpa menjawab. Mereka meninggalkan kota tambangan itu dan menuju kejurusan pegunungan sepi.

Suatu hari, sang surya memancarkan sinarnya yang hangat, angin selatan silir2 sejuk, tetumbuhan sudah banyak mekar berbunga, musim semi semakin menarik.

"Suci," kata Thia Eng tiba2 sambil menunjuk bunga Tho yang menarik kepada Ui Yong sekedar menghiburnya, "musim semi di daerah utara belum lagi mulai, tapi di sini bunga Tho sudah mekar dengan indahnya, malahan pohon Tho dipulau Tho hoa-to kita biasanya sudah lama berbuah!"

Sembari berkata Thia Eng memetik juga sekuntum bunga Tho yang indah itu.

Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara ngung-aungnya tawon, seekor tawon besar terbang mengitari bunga Tho yang dipegang Thia Eng, itu, kemudian lantas hinggap dan menyelusup masuk ke dalam kelopak bunga itu untuk menghisap sari bunganya.

Melihat tawon itu berwarna putih kelabu, badannya berlipat ganda daripada tawon umumnya, hati Ui Yong jadi tergerak. Agaknya ini adalah Giok hong (tawon putih) piaraan Siao-liong li, kenapa bisa muncul di sini?" demikian katanya heran.

"Ya." sahut Liok Bu siang, "Marilah kita menguntit tawon ini terbang menuju ke mana?"

SeteIah selesai menghisap sari bunga, kemudian tawon itu terbang mengitari udara beberapa kali, lalu menuju ke barat-laut.

Lekas2 Ui Yong mengikutinya dengan ilmu en tengi tubuh yang cepat.

Agak lama tawon itu terbang, ketika ketemukan tumbuhan bunga, kembali berhenti, kemudian terbang lagi dan berhenti pula beberapa kali, akhirnya bertambah lagi dengan dua ekor tawon lain.

Menjelang petang, mereka bertiga telah menguntit sampai di suatu lembah gunung yang indah sekali pemandangannya, di tanah disektar sana terdapat beberapa sarang tawon terbuat dari kayu, Sampai di situ, ketiga ekor tawon tadi lantas menyusup ke dalam sarangnya.

Ketika mereka memandang pula, di tanah datar sebelah lain terdapat tiga-empat buah rumah ada dua rase kecil sedang bermain.

Tiba2 pintu rumah gubuk yang tengah terpentang dan keluarlah seorang tua bermuka merah bercahaya, rambut hitam ke putih2-an, nyata dialah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong.

Keruan Ui Yong sangat girang, segera ia berteriak "Hai, Lo-wan-tong, lihatlah, siapa ini yang datang?"

Melihat Ui Yong, Ciu Pek-thong juga ketawa gembira, Segera ia berlari maju menyambut, tapi baru beberapa langkah, mendadak selebar mukanya merah jengah, lalu putar tubuh terus menyelinap masuk rumah lagi, pintu digabrukkan dan terkunci rapat.

Ui Yong menjadi heran oleh kelakuan si tua nakal itu, ia gedor pintu rumah sambil berseru. "Hayo, Lo-wan-tong, kenapa kedatangan tamu malah bersembunyi?"

"Tidak buka, tidak buka!" sahut Ciu Pek-thong dari dalam.

"Haha, kau tak mau buka, sebentar kubuka ruang kucingmu ini," kata Ui Yong dengan tertawa.

Pada saat lain, tiba2 pintu rumah sebelah sana juga terpentang, seorang menyapa dengan tertawa. "Haha, pegunungan sunyi telah kedatangan tamu agung, Hwesio tua mengaturkan selamat datang!"

Ketika Ui Yong menoIeh, terlihatlah lt teng taysu berdiri di depan pintu dengan bersenyum simpul dan sedang memberi hormat. Segera Ui Yong membalas hormat orang dan menyapa juga:

"Eeh, kiranya Taysu telah menjadi tetangga Lo wan-thong, sungguh tidak nyana, Dan entah mengapa mendadak Lo wan-tong menutup pintu dan tidak terima tamu?"

lt-teng ter-bahak2 mendengar itu, katanya: "Jangan urus dia! Mari;ah silakan masuk kemari!"

Lalu merekapun masuk ke rumah It-teng Taysu itu dan disuguh teh oleh tuan rumah.

"Kwe-hujin, coba kau menerkanya, siapakah penghuni di rumah gubuk sebelah kanan itu?" kata It-teng kemudian

Ui Yong ingat kelakuan Ciu Pek-thong tadi yang tiba2 bermuka merah jengah, segera pikirannya bergerak, tahulah dia sebab musababnya, maka jawabnya dengan bersajak.



Ia mengucapkan sebuah sajak gubahan Lau-kuhui alias Eng-koh sekarang, yang merindukan kekasih. Karena itu It-teng Tay-su tertawa memuji: "Kwe-hujin sungguh hebat, segala apa tak terlepas dari dugaanmu."

Lalu ia melongok keluar dan rncmanggil: "Eng-koh, Eng-koh, marilah menemui kawan cilik kita."

Tidak lama, datanglah Eng-koh membawa senampan minuman beserta makanan manisan, buah2 an, kacang dan lain2. Segera Ui Yong memberi hormat dan kelima orang lantas pasang omong dengan meriah.

Kiranya It-teng Tay-su, Eng-koh dan Ciu Pek-thong setelah menyelesaikan suka-duka selama berpuluh tahun, lalu mereka tinggal bersama menyepi di lembah beribu bunga ini sambil bercocok tanam piara tawon dan lain2, segala kejadian yang merikuhkan dahulu sudah terlupa semua.

Walaupun begitu, ketika mendadak Ciu Pek-ong melihat Ui Yong, tanpa terasa ia menjadi kikuk, maka ia lantas sembunyi dan tutup pintu rapat2, meski sembunyi di dalam rumah, namun ia tetap pasang kuping mendengarkan percakapan kelima orang itu, ketika didengarnya cerita Ui Yong tentang pertemuan besar kaum ksatria di Siangyang, kemudian tentang terbongkarnya kedok Hotu yang menyamar bagai Ho Su-ngo, sampai tempat yang mengasyikkan, tiba2 Ui Yong sengaja membelokkan ceritanya, maka Pek-thong tak tahan, ia menerobos ke rumah langsung tanya Ui Yong:

"Lalu bagaimana dengan keparat Hotu itu? Apakah ia berhasil lolos?"

Begitulah malamnya Ui Yong bertiga lantas menginap di rumah Eng-koh, Bcsok paginya, ketika Ui Yong keluar, dilihatnya tangan Ciu Pek-thong membawa seekor tawon putih sedang ber jingkrak2 kegirangan.

"Lo-wan tong, ada apakah begitu gembira?" tanya Ui Yong tertawa.

"Haha, Ui Yong cilik, kepandaianku makin lama makin tinggi, kau kagum tidak?" demikian sahut Pek-thong.

Ui Yong sudah kenal sifat si tua nakal itu. Selama hidupnya melulu ada dua kesenangan kesatu ilmu silat dan kedua ialah main2 dan menerbitkan onar.

Ia menduga tentu Ciu Pek thong telah menciptakan semacam ilmu silat aneh, maka ia menjadi ingin melihatnya juga, jawabnya segera: "IImu silat Lo-wan tong sudah sangat kukagumi sejak dulu, hal ini tak perlu ditanya lagi. Tapi selama beberapa tahun ini apa ada ciptaan ilmu silat baru lagi yang aneh2 dan bagus?"

"Bukan, bukan ilmu silat." sahat Ciu Pek-thong menggeleng kepala, "llmu silat paling hebat terakhir yang kulihat adalah "lm-jian-siau-hun-cio" ciptaan si bocah Nyo Ko, Lo-wan-tong sudah mengaku kalah, Maka soal ilmu silat jangan dibicarakan lagi."

Diam2 Ui Yong heran, pikirnya: "Hebat benar Nyo Ko ini, yang kecil seperti Kwe Yang, yang tua ada juga Lo Wan-tong yang begitu kesemsem padanya. Entah ilmu pukulan Im jian-siau-hun-cio" itu bagaimana macamnya?"

Maka kemudian iapun tanya Ciu Pct-ihoDg: "Lalu kau bilang makin lama makin pandai. ilmu sakti apakah itu?"

Ciu Pek thong angkat tinggi2 tangannya, ia tidak lantas menjawab, ia unjukkan tawon putih iti dengan rasa bangga lalu katanya. "ialah mengenai kepandaianku memiara tawon,"

"Tawon ini adalah pemberian Siao-liong li padamu, apanya yang mengherankan?" ujar Ui Yong.

"lnilah kau tidak paham," kata Pea-thoMg "Tawon yang Siao liong-li berikan padaku memang betul adalah jenis yang sangat bagus, tapi sesudah Lo-wan-tong memelihara lebih giat, kini dapat kuperoleh sejenis bibit tawon yang tiada bandingan di seluruh jagat, Bctapapun hebat orang pandai juga tiada yang bisa menciptakannya, mana bisa Siao-liong-li dibandingkan aku lagi."

"Hahaha" Ui Yong tertawa, "Makin tua Lo-wan-tong makin bermuka tebal, pandai sekali kau me-niup2 diri sendiri setinggi langit, se akan2 di jagat ini tiada bandingannya."

Namun Pek-thong tidak marah, malahan dengan ter-kekeh2 ia berkata lagi. "Ui Yong cilik, coba aku ingin tanya. Manusia adalah makhluk tercerdik dari segala makhluk hidup, tubuh orang banyak yang suka dilisik dengan gambar dan tulisan. Tapi kecuali manusia, di antara tubuh binatang apakah ada yang terdapat tulisan?"

"Harimau ada yang Ioreng2, macan tutul ber-tutul2, kupu2 dan ular berbisa, badan mereka semuanya berlipat ganda lebih mengherankan daripada tisikan gambar di atas badan manusia segala," ujar Ui Yong.

"Ya, tetapi pernahkah kau melihat di badan sebangsa serangga dan penyengat ada tulisannya?" kata Pek-thong.

"Apa kau maksudkan dari pembawaannya" Memang belum pernah," sahut Ui Yong.

"Baik, nah, ini biar kutunjukkan," kata Pek thong sembari ulur tangannya kedepan mata Ui Yong.

Maka tertampaklah tawon besar di tengah2 telapak tangannya itu pada kedua sayapnya benar2 terdapat tisikan tulisan, Waktu Ui Yong menegasi, ia lihat pada sayap kiri tawon putih itu tertulis huruf "Aku berada di" dan di sayap kanan juga ada tiga huruf "Coat-ceng-kok", Setiap hurufnya sebesar beras menir, tapi tulisannya jelas, terang dibuat dengan tisikan jarum yang paling lembut.

Ui Yong jadi ter-heran2, ia menggumam sendiri: "Aku berada di Coat-ceng-kok, Aku berada di Coat-cengkok." -Diam2 ia pikir pula:"Andai keenam huruf ini pasti bukan pembawaan, tapi ada orarg sengaja menisiknya. Kalau menuruti tabiat Lo-wan-tong, tak mungkin ia melakukan pekerjaan yang makan tempo dan harus sabar-

Tapi segera ia berpendapat lain lagi, katanya dengan terlawa: "AIi begini saja kenapa bilang aneh? Kau minta Eng koh tisikkan enam huruf ini, masakan kau mampu membohongi aku?"

Muka Pek-thong menjadi merah sahutnya: "Kau boleh tanya Eng koh apakah aku minta dia menisik tulisan di sini?"

"Tentu saja dia akan membela kau, jika kau bilang matahari dari barat, tentu saja ia akan berkata: "Ya, ya, benar, matihari muncul dari arah barat"!" ujar Ui Yong tertawa.

Selebar muka Lo-wan-tong semakin menjadi merah, merahnya maIu2, rasa kikuk dan terasa penasaran pula.

Karena itu ia lepaskan tawon ditangannya itu, lalu tangan Ui Yong ditariknya sambil berkata: "Mari, mari, biar kutunjukan, boleh kau periksa sendiri."

Ia seret Ui Yong ke suatu sarang tawon di tanah datar sebelah sana, Sarang tawon itu berdiri sendiri jauh dari yang lain2. Ketika Pek-thong gerakkan tangannya, segera dua ekor tawon dapat ditangkapnya.

"Nih, lihat!" katanya.

Waktu Ui Yong meng-amat2-i, benar juga pada kedua sayap tawon2 itu juga ada tulisannya dan serupa tadi terdiri dari enam huruf, yang kiri "Aku berada di" dan yang kanan "Coat-ceng kok."

Heran sekali Ui Yong, pikirnya diam2: "Betapa-pun aneh pencipta makhluk juga tak mungkin menciptakan tawon seperti ini. Pasti di balik ini ada sebab2nya.

Maka katanya puIa: "Cobalah. Lo-wan tong, kau tangkap lagi beberapa ekor!"

Segera Pek-thong menangkap empat tawon pula dua diantaranya bersih sayapnya, tapi dua ekor lainnya ada pula tisikan enam huruf serupa itu.

Melihat Ui Yong ter-mangu2, terang sudab mengaku kalah. Pek-thong menjadi senang, katanya dengan tertawa "Nah, apa yang bisa kau katakan lagi? Hari ini kau kalah tidak dengan Lo-wan-tong?"

Ui Yong tidak menjawab, tapi ia menggumam huruf itu: "Aku berada di Coat-ceng kok"

Sesudah beberapa kah ia ulangi, tiba2 ia melompat dan berseru: "Ya, tahulah aku sekarang itu harus dibaca menjadi "Aku berada didasar Coat-ceng-kok!, siapakah yang berada di dasar Coat ceng-kok? jangan2 Yang-ji?"

Segera ia tanya Ciu Pek-thong: "Lo-wan-tong tawon2 ini bukan kau yang piara sendiri, tapi datang dari lain tempat, betul tidak?"

Kembali wajah Pek-thong merah lagi,sahutnya: "Eh, aneh, darimana kau tahu?"

"Tentu saja aku tahu," kata Ui Yong, "Tawon ini sudah berapa hari bersarang di sini?"



"Tidak terhitung hari lagi, tapi sudah beberapa tahun!" sahut Pek-thong. "MuIa2 aku tidak perhatikan bahwa di sayap tawon2 ini ada tulisannya, baru beberapa hari yang lalu dapat kulihat."

"Benar2 sudah beberapa tahun?" desak Ui Yong, "Ya, kenapa kudustai kau?" jawab Pek-thong, Ui Yong ter-menung2 scjenak, segera ia kembali ke rumah sebelah sana dan berunding dengan It-teng Taysu, Thia Eng dan Liok Bu-siang, semuanya juga merasa di dasar Coat ceng-kok pasti ada apa2nya.

Karena kuatirkan puterinya, segera Ui Yong bersama Thia Eng dan Liok Bu-siang mohon diri hendak berangkat ke sana, Segera pula I-teng menyatakan ikut serta.

Melihat kawan2 pada pergi, sudah tentu Lo-wan-tong tak mau kesepian, ia berkeras mengajak Eng Koh juga turut.

Ui Yong menjadi lega dengan bertambahnya pembantu tiga tokoh terkemuka itu, ia pikir dengan enam orang baik mengadu pikiran maupun adu kekuatan, mungkin diseluruh jagat ini tiada tandingan lagi, sekalipun Yang ji jatuh dicengkeraman orang jahat, tentu dapat ditolong keluar.

Maka enam orang bersama sepasang rajawali lantas menuju kearah barat beramat-ramai.

* * **

Kembali tentang Nyo Ko karena janji pertemuan kembalinya dengan Siao-liong li sudah hampir tiba, maka ia tak berani ayal, ia jalan terus siang-malam menuju Coat-ceng kok atau Iembah putus cinta.

Setiba di tempat tujuan, menurut perhitungan masih kurang lima hari daripada hari yang di janjikan Siao liong-li 16 tahun yang lalu.

Lembah ini sepi nyenyak, gedung2 megah yang dahulu dibangun suami-istri Kongsun Ci dan anak muridnya yang berbaju hijau sudah ambruk atau bobrok.

Sejak 16 tahun yang lalu Nyo Ko tinggalkan lembah itu, setiap beberapa tahun sekali pasti ia dalang dan tinggal lagi di lembah itu dengan harapan kalau2 Lam-hay Sin-ni menaruh belas kasihan dan mendadak memulangkan Siao liong-li, Walaupun setiap kali ia harus kembali dengan tangan hampa dan lesu, tapi setiap kali selalu beberapa tahun lebih dekat dengan waktu yang dijanjikan itu.

Kini ia mengunjungi tempat lama pula, ia lihat keadaan sunyi penuh semak belukar, sedikitpun tiada tanda2 pernah diinjak manusia.

Segera ia berlari ke Toan jong-khen atau karang patah hati, ia melalui jembatan batu yang melulu terdiri dari selonjor batu panjang, kemudian me-raba2 tulisan di atas dinding tebing yang ditinggalkan Siao liong li dahulu.

Dengan jarinya ia masukkan ke dekukan tulisan itu dan mengkorek keluar lumut2 yang menutupi huruf2nya, maka segera ter-tampaklah kedua baris tulisan dengan jelas.

Pelahan Nyo Ko membacanya: "Siao-Iiong li sampaikan pesan pada suamiku Nyo Ko, hendaklah jaga diri baik2, harus sabar menanti untuk berkumpul kembali."

BegituIah sehari penuh ia termenung2 memandangi kedua batu tulisan itu, malamnya ia tidur di atas pohon dengan ranjang tali seperti dahulu. Besoknya ia pesiar ke seluruh lembah itu, ia lihat tanaman Ceng-hoa atau bunga cinta yang dulu dibabat olehnya bersama Thia Eng dan Liok Bu- siang itu kini tidak berkembang lagi, tapi bunga merah yang olehnya diberi nama "Liong-Ii-hoa" atau bunga puteri Liong, sedang mekar dengan indahnya.

Maka ia petik seikat bunga merah itu dan ditaruh didepan tebing yang terdapat tulisan Siao-liong-li itu, BegituIah, dengan perasaan tertekan ia lewatkan hari, sampai tanggal 7 bulan tiga, Nyo Ko sudah dua hari dua malam tidak pernah tidur.

Sampai itu, ia tak mau berpisah setengah langkahpun dari karang patah hati itu. Sejak pagi ia menanti, dari pagi hingga siang dan siang berganti sore, setiap ada angin meniup atau pohon bergerak, segera ia melompat bangun melongak-longok sekitarnya, tapi bayangan Siao-liong-li tetap tidak tertampak?

"Sejak Nyo Ko mendengar kata2 Ui Yok-su tempo hari, ia lantas tahu tentang "Lam-hay Sin-ni" adalah hanya karangan Ui Yong belaka, tapi tulisan di tebing itu jelas adalah tulisan tangan Siao-liong li yang tak bisa dipalsukan. Maka ia tetap berharap sang isteri akan penuhi janji dan bisa berkumpul kembali.

Sementara itu sang surya sudah silam, hati Nyo Ko juga tenggelam mengikuti silamnya sang petangnya, Ketika matahari tertutup oleh puncak gunung, Nyo Ko menjerit dan berlari ke atas puncak.

Di tempat setinggi itu, bola merah membara kembali tertampak bulat lagi, hatinya menjadi sedikit lega, asal sang surya belum menghilang, berarti tanggal 7 bulan tiga itupun belum lagi lalu.

Namun demikian akhirnya sang surya tetap silam di ufuk barat sana, Nyo Ko masih terpaku di puncak gunung itu, keadaan sunyi dan kosong belaka, hawa dingin menusuk tulang, cuaca remang2 sudah mulai, ia berdiri terpaku, lama sekali tetap tidak bergerak.

Lewat agak lama, bulan sabit pelahan2 tampak tergantung di tengah cakrawala, bukan saja hari tanggal 7 sudah akan lalu, bahkan malam inipun akan lalu dengan cepat. Tetapi Siao liong-li masih tetap tidak muncul,

Bagai patung saja semalam suntuk Nyo Ko berdiri terpaku di puncak gunung itu sampai sang surya muncul di sebelah timur indah perrnai suasana pagi di pegunungan, burung berkicauan merdu, bunga mekar mewangi, sungguh memabukkan orang musim semi ini.

Namun hati Nyo Ko waktu itu dingin bagai es, lapat2 suatu suara seperti mendenging ditepi telinganya "Tolol! Sudah lama ia mati, 16 tahun yang lalu ia sudah mati, ia tahu dirinya kena racun tak dapat sembuh dan kaupun takmau hidup sendirian, maka ia telah bunuh diri dan mendustai kau untuk menunggu 16 tahun padanya, Tolol, begitulah cintanya padamu, apakah sampai hari ini masih kau tidak mengerti akan jalan pkirannya?"

Pelahan Nyo Ko turun dari puncak gunung itu dengan raga tanpa jiwa, sehari-semalam ia tidak makan minum, ia merasa mulutnya kering, ia datang ketepi sungai kecil dan meraup air untuk diminum, ketika menunduk, mendadak terlihat bayangan dirinya di dalam air, tertampak kedua pelipisnya telah ke-putih2an.

Kini ia berusia 36 tahun, mestinya seutas rambut putihpun tiada, tapi kini mendadak kedua pelipisnya tertampak putih, mukanya kotor, hampir ia tak mengenali dirinya sendiri.

Mendadak ia melompat menuju ke depan karang Toan keng khe, ia pandang kedua baris tulisan guratan Siao liong li itu, tiba2 ia berteriak keras: " 16.tahun kemudian, bertemu lagi di sini, cinta kasuh suami isteri, janganlah ingkar janji! Tapi, Siao-liong-Ii, wahai, Siao liong li, tulisan yang kau ukir sendiri ini, kenapa sekarang kau malah tidak menepati janji?"

Suaranya begitu keras menggema di angkasa raya, seluruh lembah gunung se-akan2 tergetar, dari empat penjuru berkumandang kembali suara- "Kenapa kau tidak menepati janji? Tidak menepati janji? Tidak menepati janji?"

Dasar pembawaan Nyo Ko memang berwatak keras dan mudah tersinggung, kini segala harapannya sudah hampa belaka, pikirnya: "Jika Liong-ji sudah meninggal 16 tahun yang lalu, sungguh tiada artinya bagiku hidup sendiri selama ini."

Ia memandangi jurang Toan jong khe yang entah berapa dalamnya itu, ia mengguman pelahan: "Dahulu mendadak kau menghilang tanpa bekas, agaknya kau telah terjun ke dalam jurang ini, Selama 16 tahun ini, apakah kau tidak kesepian ?"

Begitulah tiba2 pandangannya terasa kabur, bayangan Siao-liong-ii seakan2 muncul di kelopak matanya, sayup2 seperti terdengar pula suara Siao-liong-li sedang memanggilnya didasar jurang: "Nyo-long, Nyo-Iong! janganlah berduka janganlah berduka!". Tiba2 Nyo Ko pejamkan mata dan tubuhnya melayang ke depan, ia terjun ke dalam jurang.

* * * *

Kembali mengenai Kim-lun Hoat-ong yang membawa Kwe Yang menuju ke Coat ceng-kok ini.

Hoat-ong benar2 adalah manusia aneh, di waktu ganas, kejamnya melebihi binatang berbisa, tapi karena ia sudah ambil ketetapan akan menerima Kwe Yang sebagai ahliwarisnya, sepanjang jalan ia menjadi begitu memperhatikan diri anak dara itu, begitu sayang bagai puteri sendiri saja. Sebaliknya karena benci pada Hoat-ong yang telah membinasakan Tiang jiu-kui dan Toa-thau-kui secara keji, maka Kwe Yang selalu bersikap dingin.



Hari itu, mereka tiba sampai di Coat ceng-kok ". tiba2 terdengar suara teriakan orang yang sangat keras: "Kenapa kau tidak menepati janji?" suara itu penuh rasa penasaran, putus asa dan menderita sekali.

Ketika kemudian suara yang menggema itu berkumandang kembali dari balik lembah gunung, Kwe Yang terkejut, scrunya: "Ha, itulah suara Toakoko, lekas kita mencarinya ke sana." - Sembari berkata segera ia mendahului memburu ke lembah pegunungan itu.

Mendengar lawan besar sudah dekat, semangat Kimlun Hoat ong terbangkit seketika, segera dari buntalannya ia keluarkan "panca-roda", senjatanya yang istimewa, yaitu lima roda yang terdiri dari lima macam logam: emas, perak, tembaga, besi dan timah.

Walaupun sekarang ilmu sakti tenaga naga dan gajah sudah dilatih hingga tingkatan ke-11, namun seIama 16 tahun ini ia yakin Nyo Ko dan Siao-liong-li pasti juga tidak melewatkan waktu percuma, maka Hoat-ong sedikitpun tak berani meremehkannya.

Begitulah Kwe Yang berlari menuju tempat datangnya suara, tak lama "jurang patah hati" itu sudah dekat, terlihatlah waktu itu Nyo Ko masih terdiri di atas karang, belasan tangkai bunga merah bergerak2 di sekitarnya.

Melihat jurang itu sangat curam, Kwe Yang lidak berani melayang ke sana, maka serunya: "Toa-koko, aku telah datang!"

Namun Nyo Ko sudah hancur luIuh hatinya, ternyata tidak mendengar seruan anak dara itu.

Dari jauh melihat kelakuan orang agak aneh, cepat Kwe Yang berteriak: Toakoko, aku masih menyimpan sebuah jarum emas pemberianmu kau harus dengar kata-ku, jangan kau bunuh diri!"

Sembari berkata, tanpa pikir lagi ia berlari hendak mendekati Nyo Ko melalui belandar batu jurang itu, Namun sampai di tengah jalan, terlihatlah Nyo Ko telah terjun ke bawah jurang yang tak terperikan dalamnya.

Keruan kejut Kwe Yang tidak kepalang dan terasa sukmanya terbang ke awang2, sesaat itu juga entah terpeleset karena terkejut atau sebab berpikir hendak menolong Nyo Ko, atau mungkin juga karena sudah mendalam cintanya dan rela menyusulnya ke alam baka, mendadak anak dara itu pun ikut terjun ke bawah jurang.

Tatkala itu Kim-iun Hoat ong kira2 ketinggalan beberapa tombak di belakang, melihat Kwe Yang jatuh ke bawah, cepat ia melesat maju buat menolong.

Betapa pesat ilmu entengi tubuh Hoat ong ini seperti anak panah terlepas dari busurnya, namun toh masih terlambat sedikit, ketika memburu sampai di tepi jurang, tubuh Kwe Yang sudah terjerumus ke bawah.

Tanpa pikir lagi Hoat-ong gunakan gerakan "To-kwa kim-kau" atau kaitan emas gantung terbalik, dengan kakinya menggantoI di tepi jurang, tubuhnya merosot ke bawah untuk menuj Kwe Yang.

Cara Hoat-ong ini sesungguhnya sangat berbahaya, kalau sedikit meleset, bcleh jadi ia sendiripun akan tergelincir masuk jurang, Maka terdengarlah suara "bret", kain baju Kwe Yang sobek sebagian sedang tubuh anak dara itu masih terus tenggelam ke bawah jurang, kabut tebal yang menutupi dari jurang itu segera menelan Kwe Yang tanpa bekas Hoat ong menghela napas gegetun, ia menjadi lesu, sepotong kain baju masih dipeganginya, ia ter-mangu2 memandang ke dalam jurang.

Selang agak lama, tiba2 didengarnya di seberang sana ada seorang menegurnya: "Hai, Hwesio, apa yang kau lakukan di sini?"

Hoat-ong menoleh, ia lihat di atas gunung sana berdiri enam orang, yang paling depan seorang tua bermuka muda, ialah Ciu Pek-thong. Di samping-nya berdiri tiga wanita yang dikenalnya sebagai Ui ong, Thia Eng, dan Liok Bu-siang.

Dan di belangnya adalah seorang Hwesio tua beralis jenggot putih dan seorang wanita tua berbaju hitam mulus, dua orang terakhir ini tak dikenalnya, yakni It-teng Taysu dan Eng Koh.

Sudah beberapa kali Hoat-ong kenal kepandaian-Ciu Pek-thong. ia tahu ilmu silat si tua ini luar biasa lihaynya, selamanya iapun rada jeri padanya, apalagi kini bertambah Ui Yong yang merangkap pelajaran Tang-sia dan Pak-kay, orangnya cerdik isinya banyak.


Lebih2 dalam keadaan berduka atas kematian Kwe Yang, sesungguhnya tiada niat lagi buat bermusuhan, maka katanya kemudian dengan muram: "Nona Kwe Yang telah terjun ke dalam jurang ini?"

"Ha?" semua orang terkejut. Terutama Ui Yong sebagai ibu, ia paling tergoncang hatinya, dengan suara gemetar ia menegas: "Apa benar katamu?"

"Untuk apa aku dusta? Bukankah ini kain baju nya?" sahut Hoat ong sembari menggeraki sobekan baju Kwe Yang yang masih dipegangnya itu.

Melihat kain itu memang benar2 adalah sobekan baju puterinya, seketika Ui Yong menggigil se-akan2 terjerumus ke dalam jurang es dan tak sanggup buka suara.

Segera Ciu Pek thong menjadi gusar, damperat nya: "Hwesio busuk, kenapa kau membunuh nona cilik itu? Hatimu benar2 kejam amat!"

"Bukan aku yang membunuhnya," sahut Hoat ong.

"Tanpa sebab kenapa ia bisa terjun ke dalam jurang?" debat Pek-thong "Kalau bukan kau mendorongnya, tentu kau yang memaksanya!"

"Tidak temua," sahut Hoat-ong geleng kepala. "Aku malah bermaksud menerimanya sebagai murid ahliwarisku, mana mau sembarangan aku membunuhnya?"

"Fui," mendadak Ciu Pek-thong meludahi orang dengan riak kental. Lalu damperatnya: "Kentut, kentut! Engkongnya adalah Ui losia, ayahnya Kwe Cing dan ibunya Ui Yong, siapa di antara mereka yang lebih hebat daripada kau Hwesio busuk ini? Mana sudi mengangkat guru padamu untuk mewarisi ilmumu yang apek? Huh, melulu aku Lo-wan-tong saja jika mau mengajarkan beberapa jurus padanya juga lebih hebat daripada segala gelangmu yang rombengan ini?"

"Jarak Pek thong dengan Hoat-ong cukup jauh, tapi riak kental yang disemprotkan itu bagai sebutir peluru saja mengarah kemukanya, Lekas2 ia mengegos dan diam2 kagum.

Sebaliknya Lo-wan-tong bertambah senang karena orang tak berani menjawab damperatannya tadi, dengan suara keras ia mendesak pula: "Nah, tentunya dia tak sudi mengangkat guru padamu, bukan? Dan kau berkeras hendak menerimanya sebagai murid?"

Hoat-ong mengangguk.

"Nah, apa yang perlu dikatakan lagi, bukankah karena itu lantas kau mendorongnya ke dalam jurang?" teriak Pek-thong pnla.

Namun perasaan Hoat-ong masih cemas oleh kematian Kwe Yang ia menghela napas dan menyahut: "Aku tidak mendorong dia. Tapi sebab apa ku tidak mengerti !"

Sementara itu Ui Yong sudah agak tenang, sekali ia kertak gigi, pentung bambu diangkat terus menubruk kearah Hoat-ong. Dengan gaya "bong" mengurung, bayangan pentungan berkelebat kian kemari, seketika tubuh Hoat ong dikurung oleh pentungnya.

Karena ingin membalas dendam puterinya, di atas belandar batu yang lebarnya hanya satu dua kaki itu Ui Yong meluncurkan tipu2 serangan mematikan secara ber tubi2.

Meski ilmu silat Hoat-ong sebenarnya lebih tinggi daripada Ui Yong, tapi tak berani juga ia mengadu jiwa, melihat permainan pentung orang sangat hebat, kalau ia terlibat sedikit saja hingga Ciu Pek-thong maju membantu, pula ditempat yang berbahaya, tentu ia akan sulit melawannya.

Mendadak ia tutul kakinya melompat mundur, habis itu ia bersiul panjang, tahu2 ia melayang Iewat di atas kepala Ui Yong.

Cepat Ui Yong angkat pentungnya menyodok ke atas, tapi kena di tangkis oleh roda perak Hoat-ong. Ketika Ui Yong membalik tubuh, saat itu Ciu Pek thong sudah memberondongkan pukulan dan tendangan, sudak bergebrak dengan Hoat-ong.



Mengingat dirinya saorang guru besar suatu aliran silat tersendiri melihat lawannya tak bersenjata, Hoat ong menyelipkan rodanya ke pinggang juga, lalu dengan tangan kosong ia layani Pek-thong.

Dalam pada itu Ui Yong sudah memburu datang, pentungnya terus menyodok ke punggung Hoat-ong.

Sejak Hoat-ong berhasil melatih "Liong jio-pio-yok-kang" hingga tingkatan ke-11, selamanya belum pernah digunakan, kini ketemu lawan tangguh, kebetulan baginya untuk mencobanya. Ketika melihat jotosan Ciu Pek-thong tiba, cepat iapun balas menjotos dengan kepalan lawan kepalan.

Pek-thong terperanjat ia tahu tenaga kepalan orang tentu hebat, maka tak berani keras lawan keras, Sedikit ia tekan ke bawah, digunakannya pukulan Khong-bing-kun" atau pukulan "terang-terang kosong.

Tenaga pukulan Hoat-ong itu beratnya melebihi ribuan kati, meski tidak sekuat naga atau gajah, tubuh manusia tak mungkin sanggup menahan-nya, tapi ketika saling beradu dengan tenaga pukulan Ciu Pek-thong, tiba2 terasa mengenai tempat kosong, diam2 Hoat ong heran, menyusul cepat tangan kiripun dihantamkan.

Sementara itu Lo-wan-tong sudah dapat mengetahui tenaga Hoat-ong ternyata besar luar biasa. Tapi dasar pembawaannya "gila silat", asal mengetahui siapa mempunyai semacam kepandaian istimewa, pasti ia ingin jajal.

Tapi selama hidupnya tenaga pukulan sebesar Hoat-ong ini belum pernah didengarnya, apalagi melihat. Seketika ia menjadi bingung macam apakah ilmu silat orang ini? segera ia keluarkan 72 jurus Khong-bing-kun yang "terang-terang kosong" itu untuk melawan tenaga pukulan orang yang maha kuat.

Dengan begitu, tenaga raksasa Hoat-ong menjadi tak berguna, Beberapa kali Hoat-ong melontarkan serangan, tapi tidak mencapai sasarannya, keruan ia menjadi kesal tidak kepalang, ilmu sakti yang sudah dilatihnya, belasan tahun baru sekali keluar ternyata sudah tidak berguna.

Pada saat lain tiba2 didengarnya samberan angin dari belakang, pentung bambu Ui Yong kembali menutuk lagi ke "Ling-tay-hiat" di punggungnya, tanpa pikir ia menyampuk ke belakang, "krak", seketika pentung bambu Ui Yong itu kena disampuknya remuk, bahkan sisa tenaganya menggoncangkan debu pasir hingga berhamburan.

Ui Yong melompat pergi terkejut, ia kenal kelihayan Hoat-ong, tapi kepandaian orang sekarang ternyata jauh lebih hebat daripada dulu, sekali gaplok bikin remuk pentung bambunya, ilmu pukulan apakah itu?

Nampak Ui Yong terdesak, cepat Thia Eng dan Liok Bu siang mengerubut maju dari kanan-kiri, yang satu bersenjata seruling kemala dan yang lain berpedang.

"Awas." segera Ui Yong memperingatkan kepada mereka.

Betul saja, menyusul terdengarlah suara "krak-krak" dua kali, seruling dan pedang sudah patah semua.

Oleh karena berduka oleh kematian Kwe Yang yang mengenaskan Hoat-ong tidak ingin mencelakai nyawa manusia lagi, maka ia hanya mcmbentak: "Minggir!" ~~ Dan tidak mendesak Thia Eng dan Bu-siang lebih jauh.

Ilmu kepandaian Eng Koh sebenarnya belum setinggi Ui Yong, tapi ilmu "Ni jiu-kang" atau ilmu belut, sangat tepat untuk berkelit dan mengegos, ketika dilihatnya Hoat-ong hendak angkat kaki, segera iapun maju menyerang.

Namun sekali Hoat-ong menangkis, berbareng terus memotong ke pinggang Eng Koh. Ketika mendadak terasa sesuatu tenaga maha besar menubruk pinggangnya, lekas2 Eng Koh mengegal-egolkan tubuhnya seperti belut, dan terhindarlah tenaga pukulan Hoat-ong itu.

Hoat-ong tidak tahu kepandaian Eng Koh sebenarnya belum mencapai tingkatan kelas wahid, tapi beberapa kali menghantam selalu dapat di hindarkan orang dengan gaya yang sangat aneh, ia sangat terkejut, ilmu sakti yang sangat ia aguI-kan untuk menjagoi kolong langit ini ternyata seorang wanita saja tak mampu merobohkannya, mau -tak-mau ia menjadi jeri, ia tak berani terlibat lebih lama lagi, sekali tubuhnya melesat, cepat ia menyingkir ke kiri.

"Jangan Iari!" bentak Pek thong sambil mengudak.

Selagi Hoat ong hendak membaliki tangan menyerang, tiba2 terdengar suara mencicit pelahan, suatu hawa hangat tahu- menyerang mukanya, itulah "lt yang-ci" atau ilmu jari betara surya, ilmu kepandaian khas It-teng Taysu, yang telah mencegat larinya.

Sejak tadi Hoat-ong tidak memperhatikan paderi tua ini, siapa duga tenaga tutukan jarinya ini ternyata sedemikian hebatnya.

Tatkala itu ilmu "lt-yang-ci" It-teng Taysu, sudah mencapai puncak kesempurnaannya, tenaga tutukannya meski tampaknya lambat dan halus, tapi sebenarnya kuat luar biasa tak tertahankan.

Dalam terkejutnya Hoat-ong cepat berkelit, habis itu barulah ia balas menyerang sekali. "Melihat tenaga pukulan Hoat-ong keras luar biasa, It-teng Taysu juga tak berani menyambutnya dari depan, dengan enteng ia melangkah mundur beberapa tindak.

Yang satu adalah paderi berilmu dari selatan dan yang lain adalah orang kosen dari benua barat, sesudah saling gebrak sekali, masing2 tiada yang berani memandang rendah lawannya lagi.

Ciu Pek-thong ingin menjaga harga diri, ia tidak mau mengerubuti melainkan berdiri mengawasi saja di samping.

Jarak antara It-tcng dan Hoat-ong tadinya tiada beberapa kaki, tapi sesudah serang menyerang, yang satu menutuk, yang lain memukuI, akhirnya jarak mereka makin jauh hingga lebih dua tombak, masing2 mengeluarkan tenaga sepenuhnya dan menyerang dari jauh.

Kepala It-teng Taysu tampak mulai menguap, terang sekali sedang pusatkan seluruh Lwekangnya, Ui Yong jadi kuatir, usia It-teng sudah tua hingga tak sanggup melawan Hoat-ong pula hatinya sedih oleh kematian putrinya, sebenarnya ia tiada niat adu jiwa dengan musuh, tapi bila melihat serang menyerang kedua orang masih begitu dasyatnya, ia tidak berani sembarangan menerjang maju.

Selagi ia tak berdaya, tiba2 terdengar suara mencuitnya rajawali di udara, pikirannya tergerak, segera ia bersuit sambil menunjuk Hoat-ong.

Melihat itu, sekali bercuit, sepasang rajawali tu lantas menubruk turun ke atas kepala Hoat-ong.

Jika Sin-tiau kawan Nyo Ko itu yang datang mungkin Hoat-ong akan jeri, tapi sepasang rajawali mi hanya badannya yang besar, tetap burung biasa saja, mana bisa menakuti Hoat-ong? Cuma saat itu ia lagi pusatkan pikiran dan tenaga buat melawan It-teng Taysu, sedikitpun tak berani ayal, kini mendadak disergap kedua rajawali dari atas, terpaksa ia ayun tangan kirinya ke atas, dengan tenaga pukulan kuat menghantam sepasang rajawali.

Karena tak tahan, cepat rajawali itu terbang ke atas lagi, Dan karena godaan itu, keadaan It teng Taysu lantas di atas angin. Lekas2 Hoat-ong kerahkan tenaga baru kemudian bisa mengimbangi lagi.

Sepasang rajawali itu sudah lama dipiara U Yong dan sudah pintar, ketika mendengar suitan Ui Yong yang mendesak terus, padahal musuh terlalu lihay, meteka tak berani menubruk lagi seperti tadi, melainkan hanya menyamber kian kemari di atas kepala Hoat ong saja, walaupun tidak bisa melukainya, tapi perhatian Hoat ong banyak terkacau.

Sebenarnya tenaga pukulan Hoat-ong masih lebih unggul daripada lt teng, tapi kalau soal ilmu kebatinan ia jauh kalah, ditambah kini ia merasa gegetun oleh matinya Kwe Yang, semangatnya memang sudah tak tenang kena dikacau lagi oleh rajawali itu, keruan ia menjadi gopoo. Segera hal ini diketahui It-teng. Sambil tersenyum It-teng lantas mendesak maju setengah langkah.

Ui Yong sendiri meski sangat berduka akan kematian puterinya, tapi kecerdikannya tidak pernah berkurang ketika melihat It-teng melangkah maju, mendadak iapun menggertak: "Kwe Cing, Nyo Ko, kebetulan kedatangan kalian, lekas tangkap dia be.ramai2!"

Padahal tidak mungkin Ui Yong menyebut nama sang suami, teriakannya ini melulu gertak sambel belaka untuk mengejutkan Hoat-ong, sebab bila ia bilang "Cing-koko" itu, dan kalau sempat berpikir, rasa kaget itupun akan berkurang.

Benar saja, ketika tiba2 Hoat-ong mendengar suara "Kwe Cing dan Nyo Ko" berdua, ia terperanjat, pikirnya "Jika kedua jago ini dalang juga. "Melayanglah jiwaku!"



Pada saat itulah, kembali It teng mendesak maju setengah langkah pula.

Rupanya kedua rajawali di atas udara itupun melihat ada kesempatan, mendadak rajawali yang betina bercuit keras terus menubruk cepat ke bawah untuk mencakar biji mata Hoat ong.

"Binatang!" damperat Hoat-ong sengit, berbareng sebelah tangannya digablokkannya.

Tak terduga sergapan rajawali betina itu hanya pura2 belaka, ketika dekat mukanya mendadak membelok ke atas lagi, sebaliknya rajawali yang jantan diam2 malah menyerang dari samping, ketika Hoat-ong mengetahui namun cakar rajawali itu sudal menyentuh kepalanya yang gundul.

Terkejut dan gusar sekali Hoat-ong, sehelai tangannya menyampuk ke atas, "plok", segera bulu-bulu bertebaran, rajawali jantan itu berhasil mencengkeram kopiah emas Hoat-ong terus terbang pergi tapi sampukan Hoat-ong itupun sangat keras, rajawali jantan itu sudah terbang sampai ditengah udara akhirnya tak tahan dan mendadak terjungkal terjerumus ke dalam jurang yang tak terkirakan dasarnya.

Ui Yong, Thia Eng, Liok Bu siang dan Eng Koh menjerit kaget, sedang Ciu Pek thong menjadi gusar, "Hwesio apek," segera ia memaki, "Lo-wan-tong tak mau pakai aturan Kangouw lagi segala, mungkin harus dua lawan satu sekaligus." Habis itu, secara bertubi2 ia kirim hantaman ke punggung Kim-Iun Hoat-ong.

Dalam pada itu si rajawali betina melihat yang jantan terjerumus ke dalam jurang, sekali bercuit panjang, tahu2 yang betina inipun ikut menerjun ke bawah hingga lama sekali tak nampak naik kembali. Karena dikeroyok dari muka belakang, mau tak-mau Kim-lun Hoat-ong menjadi jeri sekalipun tinggi ilmu silatnya, mana mungkin melawan keroyokan dua jago tertinggi ini?

Maka ia tak berani terlibat lebih lama, Mendadak terdengar suara gemerantang, roda2 emas dan perak menyamber sekaligus, yang depan menahan tutukan "lt-yang ci" dan bagian belakang menolak serangan "Khong-bing-kun", tubuhnya terus mencelat pergi dan cepat sekali sudah melintasi tanah bukit sana, dengan mem-bentak2, segera Ciu Pek-thong mengudak.

Sesudah berhasil meloloskan diri, Hoat-ong terus lari dengan cepat, ia tahu bila kena ditahan lagi oleh Ciu Pek-thong, mungkin beberapa ratus jurus takkan bisa ketahuan unggul atau ator, tatkala itu It-teng Taysu tentu akan menyusul tiba dan jiwanya boleh jadi akan melayang di lembah sunyi ini.

Tiba2 dilihatnya di depan membentang hutan vang lebat, ia menjadi girang, cepat ia berlari ke sana. Tak terduga mendadak terdengar suara mendenging yang cepat sebutir batu kecil tahu2 menyamber keluar dari dalam hutan.

Jarak hutan itu dengan Hoat-ong masih ada beratus tindak, tapi entah tenaga sakti apa yang menyambitkan batu sekecil itu, dari suara mendenging nya teranglah keras luar biasa dan mengarah badan Hoat-ong.

Lekas Hoat-ong angkat rodanya menyampuk dibarengi suara benturan, batu itu pecah berantai hingga muka Hoat-ong sendiri keciprat beberap butir krikil.

Terkejut Hoat-ong, pikirnya "Batu sekecil ini disambitkan dari tempat jauh, tapi rodaku kena ke bentur mundur, nyata tenaga orang ini tidak di bawah Lo wan-tong dan Hwesio tua tadi, sungguh tidak nyana di jagat ini masih terdapat jago sebanyak ini."

Sedang ia tertegun, terlihatlah dari dalam huti muncul seorang tua berjubah hijau.

Ciu Pek-thong menjadi girang, segera ia berseru: "Ui losia! Hwesio apek itu telah membinasakan cucu perempuanmu, lekas kau ikut menangkapnya.

Orang yang muncul dari hutan itu memang Tho-hoa-to-cu Ui Yok-su adanya.

Sejak ditinggalkan Nyo Ko, ia meneruskan pengembaraannya lagi ke utara, satu hari ketika singgah minum di suatu pedusunan, tiba2 terlihat sepasang rajawali terbang lewat, ia tahu kalau bukan Ui Yong, tentulah Kwe Hu atau Kwe Yang yang berada di sekitar sini, maka diam2 ia menguntit hingga sampai di Coat ceng kok ini.

Karena tidak ingin dilihat puterinya, ia hanya menguntit dari jauh saja, sampai akhirnya dilihatnya It-teng Taysu dan Ciu Pek-thong ber-turut2 bergebrak melawan Kim-lun Hoat-ong, ia merasa paderi asing ini benar2 seorang lawan tangguh yang jarang diketemukan, ia menjadi ketarik dan ikut turun tangan.

Maka berkatalah Hoat-ong sembari gosok2 kedua rodanya hingga mengeluarkan suara nyaring: "Apakah kau ini Tang-sia Ui Yok-su?"

"Betul," sahut Yok-su mengangguk. "Ada petunjuk apakah Taysu?"

"Waktu berada ditempatku, kudengar di daerah Tionggoan terdapat Tang-sia, Se tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong. lima orang lihay. Hari ini beruotung bisa bertemu dan ternyata memang bukan omong kosong belaka," demikian sahut Hoat-ong, "Dan di manakah yang empat orang itu?"

Tiong sin-thong (Ong Tiong-yang), Pak-kay dan Se-tok sudah lama meninggal," kata Yok-su, "Paderi agung inilah Lam te yang kau tanya, sedang yang ini adalah Ciu-heng, Sutenya Tiong-sin-thong,"

"Jika Suhengku masih hidup, hm, tak nanti kau mampu menahan 10 jurus serangannya," kata Pek-thong.

Tatkala itu mereka bertiga telah mengepung Hoat-ong di tengah2, Dalam keadaan begitu Hoat-ong menjadi serba susah, ia pandang It-teng Taysu, lain saat melihat Ciu Pek thong dan sebentar2 ia memandang Ui Yok-su puIa.

Habis itu mendadak ia menghela napas panjang, lima rodanya dilempar ke tanah, lalu katanya: "Jika satu lawan satu, siapapun tiada yang kutakuti."

"Betul," kata Pek-thong. "Tapi hari ini kita buka bertanding untuk rebut gelar juara segala, siapa ingin main satu lawan satu denganmu? Hwesio apek kau sudah terlalu banyak melakukan kejahatan, dan sekarang kau lekas bunuh diri saja."

"Lima tokoh besar Tionggoan, dua diantaranya sudah kulihat kini, meski aku mati ditangan kalian bertiga juga tidak kecewa," sahut Hoat ong. "Cuma layang ilmu Liong-jio pan-yok-kang terputus sampai di tanganku, selanjutnya di jagat ini tiada ahli warisnya lagi."

Habis berkata, sebelah tangannya diangkat terus hendak menabok batok kepalanya sendiri.

Ketika mendengar kata2 "Liong-jio-pan-yok-kang", mendadak Ciu Pek-thong jadi ketarik, secepat kilat ia melompat maju dan menangkis tangan Hoat-ong itu dan bcrkata: "Nanti dulu!"

"Aku lebih suka mati daripada dihina, apa yang kau inginkan lagi?-" kata Hoat-ong mendongkol

"Kau bilang sayang Ltong-jio pan-yok-kang tiada ahli warisnya, kenapa tidak kau turunkan saja padaku, kemudian kau boleh bunuh diri," sahut Pek-thong tertawa.

Tapi sebelum Hoat ong buka suara pula, tiba2 terdengar suara rajawali betina yang telah membawa rajawali jantan dari dalam jurang, kedua rajawali itu sama basah kuyup, agaknya di dalam jurang itu adalah sebuah kolam air.

Rajawati jantan itu bulunya serawutan tak keruan, napasnya sudah kempas kempis, tapi cakarnya masih mencengkeram kopiah emas Hoatong dengan kencang.

SeteIah meletakkan yang jantan, rajawali betina mendadak terjun lagi ke bawah jurang, ketika naik pula, di atas punggungnya menunggang satu orang ternyata adalah Kwe Yang yang disangka sudah mati itu.

Keruan Ui Yong terkejut bercampur girang, cepat ia berseru: "Yang-ji... Yang-ji!" - ia memburu maju untuk menurunkan puterinya itu dari punggung rajawali betina.

Melihat Kwe Yang ternyata tak kurang suatu apapun, Hoat-oag juga tercengang, Waktu Ciu Pek thong masih menahan tangan Hoat-ong, sekali si tu nakal ini kedipi It-teng dan Ui Yok-su, segera Tang sia dan Lam-te turun tangan berbareng, dengan cepat ketiak kanan dan dan kiri Hoat-ong sekalian kena ditutuk.

Menyusul itu Ciu Pek-thong menambahi sekali gebuk pada "Ci-yang-hiat" di punggungnya sambil tertawa: "Nah, tidurlah sebentar!" Maka lemaslah kedua kaki Hoat-ong, ia lantas deprok terduduk.

It-teng bertiga saling pandang dengan tercengang, sungguh Hwesio ini lihay luar biasa, beruntun tubuhnya kena ditutuk dan digebuk tapi masih tidak roboh menggeletak.

Lalu merekapun mendekati Kwe Yang untuk menanya keadaannya.

"Mak," demikian anak dara itu menutur," ia berada di bawah... di bawah... lekas menolongnya .... lekas menolongnya..." saking cemas dan kuatir hanya beberapa kata2 itu saja dapat diucapkannya, lalu jatuh pingsan.

"Tidak apa," ujar It-teng sesudah pegang nadi Kwe Yang. Segera ia memijit beberapak kali pinggang anak dara itu, selang tak lama, Kwe Yang siuman.

"Di manakah Toakoko, apakah dia sudah naik?." tanyanya segera setelah anak dara itu menenangkan diri.

"Apakah Nyo Ko juga berada di bawah sana?" tanya Ui Yong cepat.

Kwe Yang mengangguk, sahutnya pelahan: "Ya, Tentu..." Dalam hati iapun berkata: "Jika ia tidak di bawah, untuk apa aku ikut terjun ke sana?"

Melihat badan puterinya basah kuyup, " Ui Yong menanya lagi: "Apakah di bawah adalah sebuah kolam air?"

Kwe Yang mengangguk saja, ia pejamkan matanya, tak sanggup lagi buka suara, hanya menunjuk ke bawah jurang.

"Kalau Nyo Ko memang berada di bawah sana, terpaksa suruh Tiau-ji mengambilnya naik," ujar Ui Yong, Lalu ia bersuit buat memanggil rajawali betina tadi.

Tapi aneh, sudah berapa kali ia bersuit rajawali betina itu masih tidak menggubrisnya. Ui Yong menjadi heran, sudah berpuluh tahun kedua rajawali ini sangat penurut, kenapa sekarang anggap angin perintahnya?

Maka kembali ia ulangi suitannya, ia lihat2 rajawali betina itu pentang sayap dan terbang lagi2, sesudah mengitar beberapa kali dan bersuara memilukan, mendadak burung itu menjungkal ke bawah secepat batu meteor.

"Celaka!" keluh Ui Yong dalam hati, segera iapun berteriak: "Tiau-ji"

Akan tetapi sudah terlambat, rajawali itu tertumbuk batu cadas hingga kepala pecah dan sayap patah terus mati.

Semua orang terkejut, waktu memeriksa binatang itu, kiranya rajawali jantan sudah dingin beku dan sudah lama mati. Semua orang menjadi terharu oleh jiwa setia sehidup semati sepasang burung itu, Ui Yong paling berduka hingga hampir mencucurkan air mata.

"Suhu, Suci, jika Nyo-toako berada di bawah jurang, cara bagaimana kita harus menolongnya naik?" kata Thia Eng kemudian.

"Yang-ji" tanya Ui Yong sambil mengusap matanya yang basah, "Sebenarnya bagaimanakah keadaan di dalam jurang sana?"

Sementara Kwe Yang sudah pulih kembali semangatnya, maka tuturnya: "Begitu aku jatuh ke bawah, dengan cepat ku tenggelam ke dasar kolam, dalam keadaan gugup akupun kemasukan beberapa cegukan air Kemudian entah... entah mengapa aku terapung ke permukaan air dan dan Nyo toako telah menjambak rambutku terus diangkat ke atas..."

Ui Yong rada lega mendengar itu, katanya. "Apakah di tepi kolom itu ada guanya yang dapat dibuat berdiri?"

"Ya, di tepi kolom itu banyak pepohonan" sahut Kwe Yang.

"Oh," kata Ui Yong "Dan sebab apa kau terjun kebawah?"

"Waktu aku diangkat ke atas, Nyo toako juga menanya aku seperti itu," tutur Kwe Yang. "Aku lantas keluarkan jarum emas dan serahkan padanya, kataku : "Aku meminta agar engkau menjaga dirimu dan janganlah mencari pikiran pendek."

Tanpa berkedip ia memandangi aku, tak lama kemudian rajawali jantan itu jatuh ke bawah, menyusul yang betina lantas datang membawa kawannya ke atas, lalu datang lagi membawa aku.

Kuminta Nyo- toako juga naik, tapi ia tidak membuka suara dan aku dinaikkan nya keatas punggung rajawali Mak, suruhlah rajawali itu turun kebawah lagi untuk menjemputnya."

Sementara Ui Yong tak mau memberi tahu tentang kematian kedua rajawali, ia tanggalkan baju luarnya sendiri untuk menutupi badan sang puteri yang basah itu.

"Tampaknya sementara Ko-ji tidak berbahaya, lekas kita pintal seutas tambang panjang untuk menjemputnya naik!" kata Ui Yoog kemudian kepada kawan2nya.

Be~ ramai2 semua orang lantai mengelotoki kulit pohon untuk dibikin tali, Kecuali Hoat-ong yang tertutuk jalan darahnya, Kwe Yang belum pulih dari letihnya, selebihnya ikut kerja keras.

Meski mereka adalah jago silat terkemuka, namun untuk mengikal tambang tidaklah lebih pandai daripada tukang yang biasa, maka sibuk sampai hari sudah gelap baru ratusan tombak tambang itu dapat mereka, pilin, tampaknya masih jauh dari cukup.

Thia Eng mengikat sebuah batu pada ujung tambang itu dan diturunkan ke bawah jurang, ujung tambang yang lain diikat pada dahan sebuah pohon, tali itu terus dipilin dan makin panjang terus menurun ke bawah.

Satu malam suntuk mereka kerja terus, sampai besok paginya, Kwe Yang juga ikut membantu dan tambang itupun terus bertambah panjang, Tapi Nyo Ko yang katanya berada di bawah jurang itu sama sekali tak mengirimkan sesuatu tanda atau berita.

Ui Yok-su mulai kuatir, ia keluarkan serulingnya terus ditiup dengan tenaga dalamnya yang hebat, suara seruling begitu nyaring merdu tersiar ke dalam jurang, kalau Nyo Ko mendengar suara seruling itu pasti akan bersiul panjang untuk menjawabnya. Siapa tahu keadaan masih tetap sunyi saja.

Sesudah berpikir sejenak, Ui Yong memotong sepotong kayu, dengan ujung pedang ia ukir beberapa huruf di atas kayu itu, bunyinya singkat: "Apa selamat? Harap jawab!" - Lalu batang kayu itu dilemparkan ke dalam jurang, Namun sudah lama sekali, tetap tiada sesuatu suara di dalam jurang sana hingga semua orang menjadi kuatir.

Meski jurang sangat dalam, tapi panjang tambang agaknya sudah mencapai dasarnya, biarlah ku turun melihatnya," kata Thia Eng.

"Aku saja yang turun!" seru Ciu Pek-thong tiba2, dan tanpa menunggu jawaban orang lain, cepat saja ia merosot turun dengan tambang itik hanya sekejap saja orangnya sudah menghilang menembus kabut yang mengapung di permukaan jurang.

Agak lama kemudian, secepat kera Ciu Pek-thong merembet naik lagi, rambut dan jenggotnya berlepotan lumut, ber-ulang2 si tua ini menggeleng kepala dan berkata: "Sedikitpun tiada bayangannya, mana ada Nyo Ko segala?"

Karena itu, semua orang memandangi Kwe Yang dengan rasa sangsi.

"Tadi Toakoko berada di bawah, kenapa bilang tidak ada?" kata Kwe Yang pasti, "la duduk di atas pohon besar di tepi kolam.

Thia Eng tidak mau banyak bicara, "Segera ia merosot turun dengan tambang, menyusul Liok Bu-siang ikut turun dan ber-turut2 Eng Koh selanjutnya Ui Yok Su dan It teng Taysu juga ikut turun ke bawah. Bagi mereka pertama-tama kuatirkan keselamatan Nyo Ko, kedua tertarik dan ingin mengetahui apa macamnya pemandangan di bawah jurang itu.

Ui Yong yang turun paling belakang memberi pesan pada sang puteri: "Yang ji, kesehatanmu belum puIih, jangan kau ikut turun. jika Nyo- toako berada di bawah, dengan kawan2 begini banyak kita pasti dapat menolongnya ke atas"



Meski perasaan sangat kuatir. tapi Kwe Yang mengiakan dengan mengembeng air mata.

Ui Yong pandang pula Hoat-ong yang deprok di tanah itu, ia kuatir kalau2 Lwekang terlalu lihay hingga dapat melepaskan tutukan yang sebenarnya harus lewat 12 jam baru bisa punah sendirinya maka ia mendekatinya dao menu pula dipunggung, dada dan kedua lengannya di tempat2 yang melumpuhkan, habis itu baru ia menyusul melorot kebawah jurang.

Daya merosotnya makin lama makin cepat, dalam sekali jurang itu hingga lama barulah sampai dibawah. Ia lihat dibawah jurang itu memang benar ada sebuah kolam yang berair biru ke hijau-hijauan, Ui Yok~su cs berdiri di tepi kolam lagi memeriksa dengan teliti, tapi jejak Nyo Ko tidak terlihat dikiri kolam sana, di atas pohon terdapat lebih 30 buah sarang tawon, terdengar suara mendengungnya tawon yang mengitari sarang2 nya, nyata itulah tawon putih.

Tergerak pikiran Ui Yong, katanya cepat: "Ciu-toako, lekas kau tangkap seekor tawon itu, coba kita lihat apakah disayapnya juga terdapat tulisan."

Ciu Pek-thong menurut, ia tangkap seekor tawon itu, tapi tiada terdapat sesuatu tulisan. "

Waktu Ui Yong memeriksa sekitar jurang itu ternyata empat penjuru melulu dinding tebing yang beratus2 tombak tingginya, terang tiada jalan tembusan lain, pohon2 besar di tepi kolam berbentuk fiftfa2 daQ tak diketahui apa namanya, waktu m'en~ (Sigak, kab,ui rapat menutupi permukaan jurang ibmgga tak tertembus sinar matahari.

Sedang ia ter-menung2, mendadak terdengar Ciu Pek-thong berseru: "Hai, seekor ini ada tulisan-nya!"

Lekas Ui Yong mendekatinya dan benarlah kedua sayap tawon itu tertisik tulisan," bunyinya tetap "Aku berada didasar, Coat-ceng kok."

Di antara orang2 yang hadir sekarang, Ui Yong sendiri yang paling pandai menyelam, tanpa disuruh lagi ia ringkaskan bajunya, ia telan sebutir pil "Kiu hoa-giok-loh-wan" untuk menjaga kemungkinan ular air berbisa dan lain2, habis itu ia terjun ke dalam kolam.

Cepat Ui-Yong menyelam ke bawah, makin dalam air kolam itu semakin dingin hingga serasa menusuk tulang, Diam2 Ui Yong terkejut melihat air hijau berlumut se akan2 membeku itu. Tapi ia belum putus asa, sesudah menongol kepermukaan air buat hirup udara, lalu ia menyelam lebih mendalam lagi.

Ketika sampai tempat yang sangat dalam, dari dasar kolam itu dengan sendirinya timbul semacam daya penolak yang kuat, sekalipun Ui Yong sudah berusaha sebisanya juga tak sanggup menyelam sampai dasar kolam.

ApapuIa dinginnya tak tertahan, sekitarnya juga tiada tanda2 yang aneh, terpaksa ia timbul kembali ke atas

Melihat Ui Yong kedinginan hingga bibirnya ke biru2an, rambutnya mengkilat putih, ternyata terbeku selapis es tipis, sungguh semua orang ter-kejut sekali.

Lekas2 Thia Eng dan Liok Bu-siang mengumpulkan kayu kering dan membakar api unggun untuk menghangatkan badan Ui Yong.

Sementara itu Kwe Yang yang ditinggalkan di atas jurang sana sedang berpikir: "Walaupun Toa-koko tak dapat naik, pasti Gwakong dan ibu akan menyeretnya dengan paksa. Kenapakah ia membunuh diri? Apakah Siao-liong-Ii benar2 sudah mati? selamanya takkan bertemu lagi dengan dia?"

Begitulah selagi ia ter-mangu2, tiba2 didengarnya suara rintihan Kim-Iun Hoat-ong.

Waktu Kwe Yang berpaling, ia lihat urat daging di muka orang berkerut2 seperti kejang, terang sedang menderita sekali "Hm, ini namanya kualat, makanya jangan suka membunuh orang?" demikian jengek anak dara itu.

Tapi Hoat-ong masih terus meng aduh2 semakin keras, sorot matanya mengunjuk rasa minta dikasihani.

Betapapun memang hati Kwe Yang bajik dan welas-asih, ia menjadi tak tega akhirnya, maka tanyanya: "Kenapa? Sangat sakitkah?"

"lbumu telah tutuk " Leng-tay-hiat" dan " Ki koat-hiat" dipunggung dan dadaku, maka seluruh badanku serasa digigit beratus ribu semut, sakit dan gatal luar biasa, kenapa ia tak mau tutuk sekalian aku punya " Tan-tiong-hiat" dan " Giok-cim-hiat?" sahut Hoat-ong,

Kwe Yang terkesiap, ia sudah pernah belajar ilmu Tiamhiat dengan ibunya dan tahu tempat2 "Tantiong" dan "Giok-cin" adalah jalan darah penting di tubuh manusia, asal sedikit terluka saja bisa terbinasa, maka katanya: "lbuku tidak menghabiskan jiwamu, kau tidak berterima kasih, masih cerewet apa?"

"Kalau ia tutuk kedua jalan darahku itu, rasa pegal kesemutanku akan banyak berkurang," kata Hoat-ong sungguh2 "Begini tinggi ilmu kepandaian-ku, masakah hanya sekali tutuk bisa bikin jiwaku melayang?"

Akan tetapi Kwe Yang tak percaya, "Ah, jangan kau bohong," jengeknya. "Kata ibu, tempat "Tan tiong dan Giok-cim" sedikit tertutuk lantas jiwa melayang. Kau hanya pegal kesemutan, bolehlah bersabar sebentar, segera ibu dan lain-lainnya akan kembaii."

^Nona Kwe." kata Hoat-ong pula, " sepanjang jalan bagaimana aku memperlakukan dirimu?"

"Baik juga," sahut Kwe Yang. "Cuma kau telah membunuh Tiang jiu-kui dan Toa-thau-kui, pula membunuh kedua rajawaliku, lebih baik lagi kau padaku juga aku tidak mau terima."

"Baiklah, bunuh orang ganti jiwa, sebentar kau boleh, bunuh aku untuk balas sakit hati kawanmu," jelas Hot-ong, "Tapi sepanjang jalan aku begitu baik padamu, apa balas budimu?"

"Coba katakan cara bagaimana membalasnya?" tanya Kwe Yang.

"Harap kau tutuk Tan-tiong dan Giok-cim di punggung dan dadaku masing2 sekali, biar mengurangi penderitaanku, itupun sudah membalas budi padaku" kata Hoat ong.

Namun Kwe Yang geleng2 kepala, "Tidak, kau ingin aku membunuhmu, hm, mana mau aku melaksanakannya!" sahutnya.

"Hayolah, tutuklah tak nanti aku mati" pinta Hoat-ong. "Sebentar bila ibumu datang, malahan aku ingin minta ampun padanya, tidak nanti aku mati secara begini mudah."

Mendengar orang bicara dengan sungguh2, Kwe Yang menjadi ingin coba2, maka dengan pelahan ia tutuk dada orang sekali.

"Ehm, segar rasanya, tutuklah lebih keras," kata Hoat-ong sambil menarik napas dalam2

Segera Kwe Yang tutuk lebih kuat, ia lihat Hoat-ong bersenyum, sedikitpun tidat menderita, mukanya dari merah berubah pucat, lalu merah lagi.

Habis itu Hoat-ong berkata: "Nah, lebih keras lagi sedikit....!"

Kwe Yang menurut, ia pakai ilmu menutuk yang dipelajarinya dari ayah-bundanya dan menutuk pula sekali di "Tan tiong-hiat" di dada orang.

"Ah, baiklah sekarang, dadaku tidak pegal lagi! Nah, aku tidak mati, bukan?" kata Hoat-ong.

Kwe Yang sangat heran oleh kekebalan orang, katanya kemudian "Sekarang aku menutuk lagi Giok-cim-hiat."

Mula2 iapun tutuk pelahan seperti tadi, lalu tambahi sedikit lebih keras.

"Banyak terima kasih, banyak terima kasih!" ujar Hoat-ong. Lalu ia pejamkan mata menghimpun tenaga, mendadak ia melompat bangun sambil membentak "Marilah pergi!"

Keruan terperanjat luar biasa Kwe Yang, "Kau... kau..." tapi tak sempat ia berkata lebih banyak, sekali Hoat ong mencekal, pergelangan tangannya dipegang terus diseret pergi.

Nyata ilmu melancarkan jalan dan membuka tempat tutukan justeru adalah Lwekang khas yang sangat hebat bagi golongan pertapaan di Tibet. Ketika Kwe Yang menutuk "Tan-tiong" dan "Giok-cim" kedua tempat jalan darah, diam2 Hoat-ong sudah menghimpun tenaga melancarkan kembali aliran darahnya. Kalau Kwe Yang kuatir tutukannya itu akan menewaskan orang, padahal justeru malah membuka jalan darahnya.

BegituIah sambil menyeret Kwe Yang, segera Kim-lun Hoat-ong berlari pergi, tapi baru beberapa tombak jauhnya, tiba2 timbul pikiran jahatnya. ia lihat tambang yang terikat didahan pohon itu, ia pikir asal tambang ini diputuskan, Ciu Pek-thong, It-teng, Ui Yok-su dan lain2 pasti akan terbinasa di dalam jurang itu, maka cepat ia melompat ke sana terus hendak memutuskan tali tambang itu.



Tentu saja Kwe Yang terkejut, tanpa pikir sikutnya menyodok pinggang Hoat-ong di tempat Nan-ik.hiat"

Salah Hoat-ong sendiri, ia terlalu panjang sepele anak dara itu, maka sikutan itu dengan tepat mengenai jalan darah itu hingga sebagian tubuhnya sesaat lemas tak bertenaga.

Segera Kwe Yang meronta melepaskan cekalan orang, kedua tangannya memegang punggung Hoat-ong dan berkata: "Aku dorong kau ke dalam jurang, biar kau terbanting mampus!"

Terkejut sekali Hoat-ong, diam2 ia pusatkan tenaga dalam buat punahkan jalan darah sikutan anak dara tadi, sedang lahirnya tidak menjadi gugup, ia ter babak2 dan menggertak: "Hahaha, melulu sedikit kepandaianmu yang tak berarti-ini masakah mampu mendorong diriku?"

Gertakan ini ternyata bikin Kwe Yang menjadi ragu2, Padahal saat itu Hoat-ong belum terlepas jalan darahnya, asal sedikit ia dorong, tentu akan terjerumus ke dalam jurang, atau dengan lain jalan, umpama menutuk pula beberapa kali jalan darahnya yang lain, tentu Hoat ong akan lumpuh.

Cuma tadi tutukannya malah bikin Hoat-ong berbangkit kembali, maka Kwe Yang pikir, tiada gunanya menutuknya lagi, sebab itulah ia melompat pergi dan berlari ke tepi jurang.

"Lebih baik aku mati bersama2 dengan ibu saja!" katanya tiba3 terus hendak terjun ke dalam-jurang.

Terkejut Hoat-ong melihat anak dara itu telah menjadi nekat, saat itulah tutukan dapat dipunahkannya, tak sempat lagi ia putuskan tambang tadi, tapi cepat menubruk ke arah Kwe Yang.

Cepat Kwe Yang berlari pula, ia melompat kian kemari di antara batu2 cadas dan menyusuri pohon2 besar.

Jika di tempat datar, sekali lompat saja pasti Hoat-ong bisa menangkapnya kembali, tapi di puncak karang Toan jong-khe ini penuh batu2 besar dan pohon2, Kwe Yang sengaja menyusup ke sana dan mengumpet ke sini, makin lari makin jauh, seperti orang lagi main kucing2an dengan Hoat-ong.

Sesudah lama, akhirnya sekali menubruk dapatlah tangan Kwe Yang dipegang Hoat-ong.

Ketika main umpet2an dengan Hoatong, Kwe Yang sudah mulai melupakan apa yang terjadi tadi, kini sesudah kepegang barulah ia sadar akan gelagat jelek, cepat ia berteriak. Tapi secepat itu pula Hoat-ong sudah dekap muIutnya.

Pada saat itulah terdengar berkumandang suara Liok Bu-siang sedang menanyai "He, Kwe Yang ci -iik telah lari kemana?"

Diam2 Hoat-ong gegetun, karena telah kehilangan kesempatan baik, maka ia tutuk jalan darah yang membikin gagu, Kwe Yang diseret pergi Padahal saat itu baru Liok Bu-siang saja yang naik keatas, kalau Hoat-ong mau mengulangi memutuskan tambang masih keburu, sebab melulu Liok Bu siang seorang tak mungkin bisa menahannya. Tapi karena ia sudah rasakan betapa lihaynya It-teng Tay-su, Ciu Pek-thong dan Ui Yok-su, nyalinya sudah ciut, ia bersyukur dapat menyelamatkan diri, mana berani lagi ia mencari penyakit?

Kiranya sesudah memeriksa dan mencari di bawah, jurang dan tidak mendapatkan sesuatu tanda, Ui Yong dan lain2 menduga Nyo Ko tidak menemukan sesuatu bahaya, maka sesudah berunding, mereka memutuskan untuk naik kembali ke atas.

Orang yang pertama naik itu adalah Liok Bu-siang, menyusul Thia Eng dan Eng Koh.

Ketika Ui Yong sudah naik, segera didengarnya Thia Eng bertiga sedang ber-teriak2 memanggil: "Kwe Yang cilik, di mana kau?"

Melihat puterinya dan Hoat ong telah menghilang semua, sungguh tidak kepalang cemasnya Ui Yong. Ketika Ui Yok-su, Ciu Pek-thong dan It~teng ber-turut2 sudah naik pu!a, mereka telah mencari ke segala pelosok lembah gunung itu, tapi bayangan Hoat-ong dan Kwe Yang sama sekali tidak tertampak.

Sampai di mulut lembah, tiba2 diketemukan sebelah sepatu anak dara itu.

"Ah, tak perlu kuatir, Suci." ujar Thia Eng. "Tentu Hoat-ong yang menggondol Yang~ji ke selatan, Yang ji sengaja tinggalkan sepatunya agar diketahui kita. Sungguh bocah ini sangat cerdik, tidak kalah dari ibunya."

Bila Ui Yong ingat cerita Kwe Yang bahwa Hoat-ong berniat paksa anak dara itu menjadi murid ahliwarisnya, ia pikir untuk sementara mungkin tidak berbahaya, maka rasa kuatirnya banyak berkurang.

Segera rombongan mereka balik ke selatan, sepanjang jalan merekapun mencari tahu jejak Hoat-ong dan Kwa Yang. Tidak beberapa hari, mereka mendengar berita pasukan Mongol mengepung Siang yang dan sudah terjadi pertempuran besar di luar kota itu, kedua pihak sama2 ada kalah menangnya, kedudukan Siangyang sangat genting.

Musuh telah menggempur Siangyang, kita harus lekas kembali ke sana, urusan Yang-ji uutuk sementara terpaksa tak bisa dipikirkan lagi," kata Ui Yong dengan kuatir.

Semua orang menyatakan benar dan bersedia ikut pergi. walaupun sebenarnya It-teng Taysu, Ui Yok su dan Ciu Pek-thong cs. tidak ingin mengurus soal2 keduniawian lagi, tapi mati-hidup dari Song besar tergantung hancur atau utuhnya Siang-yang, pertempuran yang menentukan ini tidak memungkinkan mereka berpeluk tangan.

Begitulah mereka lantas percepat perjalanan maka tiada seberapa hari mereka sudah sampai di luar kota Siangyang Dipandang dari jauh, panji ber-kibar2, senjata gemilapan, suara tiupan tanduk meng-huk2 sahut-menyahut, derap kuda kian kemari Siangyang tampak terkurung rapat2 oleh pasukan Mongol.

Walaupun sudah banyak berpengalaman, melihat situasi demikian ini, merekapun terperanjat.

"Kekuatan musuh terlalu besar, meski kita berilmu silat tinggi juga sukar mendekati benteng kota, terpaksa menanti hari gelap nanti baru cari jalan lain" demikian kata Ui Yong.

Mereka sembunyi di dalam hutan, kccuali-Ciu Pek-thong yang selalu periang, yang lain2 berhati sedih semua. Sampai dekat tengah malam, dengan Ui Yong sebagai pembuka jalan, mereka bertujuh lantas menerjang ke dalam perkemahan musuh.

Betapapun tinggi ilmu silat ketujuh orang ini namun begitu besar tentara Mongol, perkemahan berderet2 tak terhitung panjangnya, baru setengah jalan mereka menerjang sudah diketahui patroli musuh, sekali gembreng ditabuh ber-talu2, seketika terkepung, walaupun begitu keruan yang lain ternyata tenang2 saja tidak kacau, suatu tanda betapa disiplin dan terlatihnya pasukan Mongol.

Ui Yong menjadi kuatir, begitu hebat pasukan musuh, untuk mematahkan kepungan musuh atas Siangyang kali ini rasanya tidak mudah, sementara itu Ciu Pek-thong telah berhasil merampas dua tombak panjang terus mendahului membuka jalan, Ui Yok-su dan It teng jalan mungkur untuk menahan kejaran musuh, empat wanita ter-apit di-tengah2 dan menyerbu terus ke depan.

Baiknya di dalam pasukan tentara yang besar, karena kuatir kena kawan sendiri maka perajurit Mongol tak berani melepaskan panah, kalau di tanah lapang dan dihujani panah, betapapun tangkas Ciu Pek-thong dan Ui Yok-su cs, juga tak mampu menahannya.

Sambil bertempur mereka maju terus, sedang pasukan musuh makin lama makin banyak, berpuluh2 tombak selalu menusuk ke arah mereka bergantian.

Tapi di mana angin pukulan Ciu Pek-thong, Ui Yok-su dan It-teng Taysu sampai, di situ segera senjata2 musuh patah dan orangnya terluka atau mampus, sungguhpun demikian tentara Mongol itu ternyata pantang mundur.

"Ui-Iosia, kita bertiga tua bangka ini tampaknya hari ini akan mampus disini," kata Lo-wan tong tiba2 dengan tertawa, "Masa paling baik kan berdaya agar empat anak dara ini saja ditolong keluar.

"Fui," semprot Eng Koh. "Omong tidak-genah, masakan aku sudah nenek2 dianggap anak dara? Hendak mati biarlah kita mati bersama, tiga anak dara ayu inilah yang harus ditolong."

Diam2 Ui Yong berkuatir, pikimya: "Selamanya Lo wan-tong tidak pernah kenal takut, kenapa sekarang tiba2 bilang jiwanya bakal melayang di sini, tampaknya alamat tidak baik!"

Tapi tentara musuh merubung bagai semut, kecuali melawan mati2an, hakekatnya tak berdaya lain.

Sesudah beberapa deret perkemahan musuh di tembus lagi, tiba2 Ui Yong melihat di sebelah kiri sana terdapat dua kemah besar berwarna hitam, ia pernah ikut Jengis Khan menggempur ke benua barat, ia tahu kemah demikian ini biasanya dipakai sebagai gudang rangsum.



Tiba2 pikirannya tergerak, Mendadak ia melompat ke samping dan berhasil merampas sebuah obor seorang perajurit musuh terus berlari ke kemah gudang rangsum itu.

Segera perajurit Mongol ber-teriak2 mengejarnya, tapi Ui Yong sangat sebat, sekali menyelusup, segera ia masuk ke kemah itu, obornya diangkat, segala benda dibakarnya. Maka sekejap saja dua kemah besar itu sudah kebakaran beberapa tempat, habis itu Ui Yong menerobos keluar lagi bergabung dengan rombongan Ciu Pek-thong.

Benda yang tertumpuk didalam kemah itu tidak sedikit terdiri dari barang yang mudah terbakar, maka cepat saja api sudah menjilat dengan hebatnya.

Lo-wan-tong menjadi tertarik, iapun takmau ketinggalan dari perajurit musuh ia dapat merampas dua obor, iapun pergi menyulut api ke mana2, malahan tanpa sengaja suatu kandang kuda kena dibakarnya, keruan seketika kacau balau oleh lari-kuda2 yang tunggang-langgang, maka pasukan Mongol menjadi kalang kabut.

Waktu itu Kwe Cing berada di kota Siangyang dan mendengar pasukan musuh di utara benteng kacau-balau, ia memeriksa ke atas benteng dan melihat api menjulang tinggi di tengah perkemahan musuh, ia tahu ada orang mengaduk di perkemahan pasukan Mongol itu, maka cepat ia kirim 2000 perajurit dan memerintahkan Bu Tun-si dan Bu Siu-bun berdua menggempur keluar benteng.

Waktu kedua saudara Bu itu sudah beberapa li di luar kota, terlihatlah Ui Yok-su memayang Liok Bu-siang, It-teng Taysu mendukung Ciu Pek-thong tujuh orang dengan menunggang lima ekor kuda sedang mendatangi dengan cepat.

Kedua saudara Bu tak berani menyongsong maju, tapi pasukan yang dipimpinnya itu lantas tersebar ambil kedudukan untuk menahan kejaran tentara musuh, dengan begitu, barisan belakang dijadikan barisan depan untuk melindungi rombongan Ui Yong masuk ke kota.

Kwe Cing sudah menanti di atas benteng, melihat ayah mertua, isteri tercinta, It teng Taysu, Lo-wan-tong datang semua ia sangat girang dan lekas2 membuka pintu benteng menyambut keluar.

Ia lihat pinggang Liok Bu-siang terluka tombak musuh, punggung Ciu Pek thong kena tiga panah, jenggot dan alisnya kelimis terbakar, luka kedua orang ternyata tidak enteng.

Ui Yong sendiri, Thia Eng dan Eng Koh juga terluka kena panah, cuma tidak berbahaya.

It teng dan Ui Yok-su sama2 mahir ilmu pertabiban, setelah memeriksa luka Liok Bu-siang dan Lo wan-tong, mereka mengkerut kening dan bermuka muram tanpa berkata.

"Toan hongya, Ui-losia, kalian tak perlu sedih, Lo-wan-tong sudah dapat firasat dan yakin takkan mampus," demikian tiba2 Ciu Pek-thong buka suara dengan tertawa. "Maka paling baik kalian curahkan perhatian untuk menyembuhkan si anak dara Bu siang saja."

Begitulah Lo-wan-tong masih terus berkelakar dengan Ui Yok-su, tapi terhadap It-teng Taysu ia sangat menghormatinya, bahkan rada2 takut, meski lt-teng sudah lama menjadi Hwesio, namun sebutan "Toan-hongya" masih terus dipakainya.

Melihat Lo wan-tong sanggup menahan sakit dan masih berkelakar, Ui Yok-su dan It-teng menjadi sedikit tega, Hanya keadaan Liok Bu-siang yang menguatirkan, gadis ini masih tak sadarkan diri. Thia Eng terus menunggui di tepi ranjangnya dan diam2 mengucurkan air mata.

Besok paginya baru terang tanah, diluar kota sudah terdengar tiupan tanduk disertai genderang yang ber~talu2 pasukan Mongol telah mulai menyerang besar2an.

Pembesar Siangyang yang resmi, gubemur Lu Bun-hwan memimpin pasukan menjaga di empat penjuru pintu benteng. Kwe Cing dan Ui Yong mengawasi dari atas benteng, terlihat pasukan musuh membanjir datang bagai semut.

Di antara serangan pasukan Mongol beberapa kali ke Siangyang, persiapan sekali inilah yang paling lihay, Baiknya Kwe Cing pernah lama tinggal dalam pasukan Mongol di masa mudanya, sehingga paham siasat apa yang dipakai tentara Mongol untuk menggempur benteng, segala serangan musuh2 selalu digagalkan, pertarungan sengit itu berlangsung sampai hari sudah petang, perajurit Mongol tewas lebih 2000 jiwa, tapi dari belakang masih terus membanjir dan menggempur benteng dengan gagah berani.

Di dalam kota Siangyang kecuali beberapa puluh ribu perajurit ada pula ratusan ribu penduduk sipil, semua orang tahu mati-hidup mereka bergantung pada pertahanan kota ini, maka setiap orang muda2 yang masih kuat, semua memanggul senjata memenuhi kewajiban pertahanan kota, sekalipun yang tua, wanita dan anak-2 juga tak mau ketinggalan dan membantu di garis belakang.

Maka seketika di dalam maupun di luar kota menjadi gegap-gempita, panah berseliweran di atas udara bagai belalang terbang.

Kwe Cing sendiri dengan tangan menghunus pedang memimpin pertahanan kota di atas benteng. Ui Yong berdiri di sampingnya dan menyaksikan pertempuran yang semakin sengit itu.

Tiba2 terdengar perajurit Mongol di bawah benteng berseru: "Banswee (Dirgahayu)!Banswe! Ban-banswe!"

Suara itu dari jauh mendekat bagai gelombang ombak saja, sampai akhirnya beratus ribu perajurit berteriak berbareng sehingga se-akan2 langit ambruk dan menggempa bumi, Laiu tertampaklah sebuah.panji besar berkibar tinggi, beberapa perwira mengiringi seorang dengan payung kencana, Sesudah dekat, ternyata raja Monko sendiri yang maju ke garis depan.

Melihat raja mereka datang sendiri, perajurit Moogol menjadi tambah bersemangat. Ketika panji merah berkibar, satu pasukan beijumlah 20 ribu orang terus menggempur pintu benteng utara dengan mati2an, ini adalah pasukan cadangan raja Mongol yang terlatih dan paling tangkas, pula semua perajurit ingin berjasa dihadapan rajanya, maka begitu tangga bersandar tembok benteng segera bagai semut berebut naik ke atas.

"MariIah saudara2, hari ini biar raja musuh melihat sendiri betapa gagah perwiranya rakyat Song kita yang jaya!" teriak Kwe Cing sambil mengangkat tangannya.

Begitu keras suara Kwe Cing hingga perajurit Song serentak terbangkit semangatnya, semuanya bertempur mati2an mengenyahkan penjajah.

Mayat perajurit Mongol yang menggempur benteng itu tampak makin lama makin banyak dan bertambah tinggi tertumpuk, tapi bala bantuan masih terus membanjir tiada putus2nya.

Kurir yang selalu berada di samping raja Monko tampak mondar-mandir meneruskan perintah.

Tatkala itu tiba2 terdengar petugas itu berteriak "Dengarlah para perajurit dan bintara! Titah raja," barang siapa yang paling dulu menginjak ke atas benteng, siapa lantas dianugerahi pangkat walikota Siangyang."

Mendengar itu, bersoraklah perajurit Mongol, segera ada beberapa orang yang tak takut mati terus merangsang ke atas benteng.

Kurir itu membawa panji merah dan wira-wiri meneruskan perintah sang raja. Kwe Cing menjadi gusar, ia pentang busur terus memanah, pesat amat panah itu dan tepat menembus dada petugas musuh itu hingga terjungkal dari kudanya.

Perajurit Mongol ber-teriak2 lagi, sesaat semangat mereka sirap, tapi hanya sebentar, kembali sepasukan cadangan baru tiba pula dibawah benteng.

Dengan tombak panjang di tangan Yalu Ce berlari kehadapan Kwe Cing dan berkata: "Gakhu, Gakbo (ayah dan ibu mertua), musuh sukar digempur mundur, biarlah anak keluar benteng menerjangnya."

"Baik, bawalah 3000 perajurit, cuma harus hati2" sahut Kwe Cing.

Cepat Yalu Ce turun dari benteng, tidak lama kemudian, genderang dipukul riuh sckali, begitu pintu benteng terbuka, 1000 anggota Kay-pang dan 2000 tentara negeri di bawah pimpinan Yalu Ce dengan tombak dan tameng terus menerjang ke depan.

Di bagian pintu utara pasukan Mongol sedang menggempur benteng, ketika mendadak melihat pasukan Song menerjang keluar, cepat mereka putar tubuh terus lari mundur, Segera Yalu Ce pimpin pasukannya memburu, tapi mendadak terdengar tiga kali suara meriam, dua pasukan MongoI telah mengepung dari kanan kiri hingga 3000 orang yang dipimpin Yalu Ce terkepung di-tengah2.."



Pasukan Mongol itu berjumlah lebih 20 ribu orang, keruan tiga ribu orangnya Yalu Ce terkepung rapat, namun mereka tak gentar, terutama seribu anggota Kay-pang itu semuanya berilmu silat bagus dan sanggup satu lawan sepuluh, mereka bertempur dengan mati2an. sedang sepasukan tentara Mongol yang lain kembali memasang tangga menggerapah ke atas benteng lagi.

Melihat sebagian pasukan Mongol sudah tertahan oleh Yalu Ce, segera Kwe Cing memberi perintah pada kedua saudara Bu agar membiarkan perajurit Mongol menyerbu masuk dari gugusan benteng, Sesudah kedua Bu terima perintah itu dan undakan pasukannya, sekejap saja beratus dan beribu perajurit Mongol berhasil merangkak sampai di atas benteng.

Melihat itu, Lu Bun hwan menjadi ketakutan hingga mukanya pucat lesi, badannya gemetar, mulut ternganga.

Namun Kwe Cing tenang2 saja, ia biarkan perajurit Mongol naik kira2 lima ribu orang, tiba2 panji kuning mengebas, se-konyong2 genderang berbunyi, Cu Cu-liu dan Bu Sam-thong masing2 memimpin sepasukan tentara cadangan segera menyerbu keluar dari tempat sembunyi mereka, seketika saja gugusan benteng yang bobol tadi tertutup rapat, perajurit Mongol yang lain tak dapat naik Iagi. sedang lima ribu orang musuh yang berada di dalam benteng itu terjeblos ke dalam kepungan.

Begitulah, jika di luar benteng pasukan Song terkepung, sebaliknya di atas benteng pasukan Mongol juga terkurung, Sedang pertempuran di ketiga pintu benteng yang lain masih berlangsung dengan sengit luar biasa.

Betapa gagah berani perlawanan pasukan Song itu sungguh sangat mengagumkan raja Mongol, diam2 ia memuji dan insaf salah duga atas kekuatan lawan, sementara itu sudah tengah malam, sinar bulan purnama, langit bersih, angin silir2 sejuk, sebaliknya di permukaan bumi saat itu beratus ribu manusia sedang bertempur mati2an.

Pertempuran ini berlangsung sejak pagi hingga tengah malam, kerugian masing2 pihak sama besarnya. Pasukan Song menang pada tempat, sebaliknya pasukan Moogol menang jumlah lebih banyak, Selang agak lama, tiba2 sepasukan tentara Song menyerang ke tanah bukit sana, lekas2 pasukan pengawal raja Mongol yang berada di tanah bukit itu melepaskan panah.

Di tempat tinggi raja MongoI dapat melihat jelas dalam pasukan Song itu ada seorang panglima setengah umur. bersenjata sepasang tumbak, menunggang seekor kuda besar sedang terjang ke sana ke mari tak tertahankan meski panah berhamburan seperti hujan ke arahnya, tapi seluruhnya kena di tangkis dan disampuk oleh tumbak2nya.

"Orang yang gagah ini, siapakah dia?" tanya Monko pada bawahannya.

"Lapor Sri Baginda, orang ini Kwe Cing adanya," kata seorang panglima tua di sampingnya.

"Ai, kiranya dia, benar2 gagah perkasa, namanya bukan omong kosong belaka!" puji Monko tak tertahan.

Mendengar raja mereka memuji musuh, ada empat perwira merasa kurang senang, sekali berte-riak, be-ramai2 mereka lantas menerjang maju memapak Kwe Cing.

Akan tetapi betapa tangkas dan besar tenaga sakti Kwe Cing, mana keempat perwira itu sanggup melawannya, hanya sekali dua gebrakan saja, keempat perwira itu ber-turut2 sudah dibinasakan.

Maka perwira2 Mongol yang laih menjadi jeri, tiada yang berani pamer lagi di hadapan raja mereka, hanya dari jauh mereka menghujani panah. Kwe Cing keprak kuda hendak menerjang ke atas bukit itu, tapi beratus senjata perajurit musuh rapat menghadangnya, beberapa kali ia berusaha merangsang maju. tapi selalu terdesak mundur.

Mendadak kudanya terkena panah hingga meringkik terus roboh. Perajurit2 Mongol bersorak senang terus merubung maju, Tak terduga mendadak Kwe Cing melompat bangun, sekali tumbaknya menusuk, ia binasakan seorang bintara musuh dan mencemplak keatas kuda rampasan ini, dengan putar tumbak dan menghantam dengan tangan dari dekat, dalam sekejap saja belasan perwira dan perajurit musuh kena dimatikan pula.

Melihat di antara sekian banyak perajuritnya ternyata tiada seorangpun yang mampu mendekati Kwe Cing, diam2 ia mengerut kening, Tiba2 ia memberi perintah: "Barang siapa bisa membunuh Kwe Cing akan diberi hadiah selaksa tahil emas dan kenaikan pangkat tiga tingkat sekaligus."

Karena janji yang menarik ini, serentak pasukan Mongol lantas membanjir maju.

Nampak keadaan rada gawat, pula dirinya tidak mampu mendekati raja musuh, mendadak Kwe Cing hantam mundur beberapa pengeroyoknya, lalu mementang busur dan melepaskan panah ke arah Monko. Begitu pesat anak panah itu meluncur secepat kilat terus menyamber ke muka raja itu.

Terkejut para pengawal Monko, dua bintara yang berdiri di sampingnya cepat mengadang di depan junjungan mereka, maka tidak ampun lagi panah itu menembus bintara yang pertama, bahkan terus menembus dada bintara yang kedua yang berdiri dibelakangnya hingga mirip sujen sate.

Metihat betapa hebat serangan panah itu, muka Monko menjadi pucat, di bawah iring2an pengawalnya cepat mundur ke bawah bukit, Padas saat itulah kembali pasukan MongoI ber-teriak sepasukan Song menerjang datang pula, seorang paling depan memutar sepasang gayuh besi sedang menghantam dan menpepruk dengan hebatnya, kiranya dia Su-sui Hi-un, si nelayan dari sungai Su itu muridnya It-teng Taysu.

Rupanya Ui Yong menjadi kuatir karena melihat sang suami seorang diri terkepung musuh, maka Su-sui Hi~un diperintahkan memimpin dua ribu tentara untuk memapaknya. Dalam pada itu, karena melihat raja mereka mengundurkan diri, semangat perajurit Mongol rada terguncang, barisan merekapun kelihatan rada kacau.

Keadaan itu dapat dilihat jelas oleh Ui Yong yang mengawasi di atas benteng, cepat ia memberi perintah: "Be-ramai2 kita berteriak bahwa raja Mongol sudah mati!"

Maka gegap gempitalah suara teriakan perajurit Song yang menyorakkan: "Hura, raja Mongol sudah mati! Raja Mongol sudah mati!" Bahkan di antara perajurit yang fasih bercakap bahasa Mongol segera berteriak dalam bahasa itu.

Mendengar teriakan itu, para perajurit Mongol menoleh ke belakang dan melihat panji kebesaran raja mereka benar2 sedang mundur ke belakang, di sekitar panji itu kelihatan pula kacau-balau, mereka menyangka raja benar2 sudah tewas, seketika semangat tempur mereka patah dan beruntung mundur dengan cepat.

Segera Ui Yong memberi perintah mengejar, pintu benteng segera terpentang, tiga puluh ribu perajurit cadangan terus menerjang keluar, tiga ribu orang yang dipimpin Yalu Ce sudah gugur hampir se-paroh, sisanya kini sekalian ikut menguber musuh.

Tapi pasukan Mongol, sudah banyak pengalaman bertempur, meski kalah, formasi mereka tidak buyar, mereka mundur teratur ke utara, maka pasukan Song juga tidak berani terlalu mendesak.

Hanya lima ribu orang Mongol yang menyerbu kedalam benteng tadi tiada seorangpun yaug tersisa hidup.

Setelah pasukan musuh mundur seluruhnya, sementara itu hari sudah terang tanah, pertempuran sengit ini bertarung tidak kurang daripada 12 jam, mayat bergelimpangan bertumpang tindih, darah menggenang bagai air sungai, tombak patah, golok putus, panji sobek, semuanya berserakan memenuhi jalan sepanjang berpuluh Ii.

Dalam pertempuran ini pihak Mongol kehilangan lebih 30 ribu perajurit pilihannya, sedangkan pihak Siangyang gugur belasan ribu jiwa, Semenjak bangsa Mongol menjajah ke selatan, pertempuran inilah yang terdahsyat dan paling banyak menelan korban.

Setelah mengundurkan pasukannya sejauh 40 li, Monko memerintahkan berkemah. Teringat keadaan berbahaya tadi, dalam hati masih tak tenteram rasanya.

Tak lama kemudian, adik raja, Kubilai, datang menghadap dan menyampaikan sembah bakti pada Sri Baginda.



"Adikku," kata Monko pada Kubilai, "mendiang ayah kita suka memuji akan gagah perwiranya Kwe Cing, setelah aku menyaksikan sendiri tadi barulah aku benar2 kagum dan putus asa pula."

"Kakak Baginda tak perlu kuatir, hamba sudah mempunyai suatu akal yang pasti akan bikin Kwe Cing menyerah tanpa berkutik dan Siangyang dengan cepat akan bobol," kata Kubilai.

Girang sekali Monko, cepat ia tanya apa tipu akal itu.

Kubilai tidak lantas menjawab, ia menoleh kepada pengawalnya dan berkata: "Silakan Koksu (imam negara) masuk!" - Nyata datangnya Kubilai disertai Kim-lun Hoat-ong.

Dalam pada itu, sesudah pasukan Siangyang dapat menggempur mundur musuh, seluruh kota di mana2 terdengar suara tangisan yang memilukan, ada ibu bertangis kehilangan anak, ada isteri menangisi suami, suasana tenggelam dalam keadaan berduka cita.

Tanpa mengaso segera Ui Yong pergi memeriksa dan menghibur bawahannya, lalu pergi memeriksa keadaan lukanya Ciu Pek-thong dan Liok Bu siang, ternyata luka mereka sudah baikan. malahan Lo-wan-tong sudah tak sabar lagi rebah di pembaringan, ia sudah keluyuran ke taman. Melihat muka orang yang kini kelimis, Kwe Cing dan Ui Yong merasa geli.

Besok paginya, selagi Kwe Cing hendak berunding situasi militer dengan Lu Bun-hwan. tiba2 ada laporan, katanya ada sepasukan tentara Mongol sekira 10 ribu orang sedang menuju ke arah pintu benteng utara, Lu Bun-hwan terkejut bahwa musuh berani datang lagi, Kwe Cing juga segera naik ke atas benteng untuk memeriksa.

Maka tertampaklah pasukan musuh itu ambil kedudukan di tempat 3-4 li jauhnya dari kota dan tidak menyerang, Selang tak lama, beribu tukang telah mendatangkan batu dan mendirikan cagak terus membangun sebuah panggung yang tingginya belasan tombak.

Tatkala itu Ui Yok-su, Ui Yong, It teng Taysu dan Cu Cu-liu juga sudah naik ke atas benteng, demi melihat tentara Mongol tiba2 mendirikan panggung, mereka menjadi heran dan bingung.

"Jika panggung itu oleh musuh akan digunakan untuk mengintai keadaan dalam benteng, tempatnya tidak seharusnya begitu jauh, apalagi kalau tentara kita memanahnya dengan api, segera bisa terbakar lalu apa gunanya?" demikian pendapat Cu liu,

Ui Yong pun tak mengerti akan maksud tujuan musuh itu meskipun sudah coba menyelami.

Dan sesudah panggung itu berdiri, beberapa ratus serdadu Mongol dengan kereta2 kuda tampak mengangkut datang kayu2 bakar terus ditumpuk di sekitar panggung tampaknya panggung itu seperti hendak dibakar.

Cu-liu semakin heran, katanya: "Apakah musuh hendak pakai ilmu gaib? Atau hendak bersembahyang?"

"Sudah lama aku tinggal di tengah pasukan Mongol, tapi selamanya tak pernah melihat cara aneh ini," ujar Kwe Cing.

Tengah bicara, kembali tertampak beribu serdadu Mongol lagi ayun cangkul dan sekop, sedang menggali sebuah parit yang lebar dan dalam di sekitar panggung, Tanah yang digali itu menggunduk melingkari parit itu hingga berwujud seperti pagar.

"Haha, kota Siangyang adalah bekas kediaman Cukat Liang di jaman Samkok, tapi bangsa asing ini berani main kayu di depan rumah nabi, sungguh terlalu menghina bangsa kita?" demikian jengek Ui Yok-su dengan gusar.

Dalam pada itu di tengah bunyi genderang ber-turut2 datang pula empat pasukan musuh terus melingkari keempat penjuru panggung tadi dengan macam2 senjata siap di tangan, panggung itu menjadi terkurung rapat.

Mendadak terdengar dentuman meriam sekali, suara genderang lantas berhenti, keadaan sunyi senyap, dari jauh dua penunggang kuda berlari kebawah panggung itu. Kedua penunggang itu turun dari kuda terus bergandengan tangan naik keatas panggung.

Karena jaraknya jauh dari benteng, maka muka kedua orang itu tak jelas kelihatan, hanya lapat2 seperti seorang pria dan seorang perempuan.

Sedang semua orang ter-hcran2, se-konyong2 Ui Yong menjerit kaget, terus roboh ke belakang dan pingsan. Lekas semua orang menolongnya siuman dan sama menanya sebab apakah?"

Dengan wajah pucat Ui Yong berkata dengan suara gemetar "ltulah Yang-ji, itulah Yang-ji!"

Terkejut semua orang dan saling pandang. "Apakah jelas kau melihatnya, Kwe-hujin?" tanya Cu liu.

"Meski tidak terang melihat mukanya, tapi menurut dugaan, pastilah dia," kata Ui Yong. "Musuh tak berhasil membobol benteng, sekarang ternyata pakai akal keji, sungguh rendah dan tidak tahu malu."

Mendengar penuturan itu, segera Ui Yok-su dan Cu Cu-Iiu paham duduknya perkara, merekapun sangat gusar sebaliknya Kwe Cing masih belum mengerti tanyanya: "Kenapa Yang ji bisa berada diatas panggung itu? Tipu keji apa yang akan dipakai musuh?"

"Cing koko," kata Ui Yong dengan bersemangat, "Tak beruntung Yang ji jatuh dalam cengkeraman musuh, mereka sengaja bikin panggung dan taruh Yangji di atasnya sebagai umpan, tipuannya memaksa kau menyerah jika kau tak menyerah mereka akan bakar panggung itu agar kita berdua ngenas dan berduka, hilang semangat dan pikiran kacau, dengan begitu mereka bisa menggempur lebih leluasa tanpa perlawanan kita."

"Sebab apa Yang ji jatuh di tangan musuh?" tanya Kwe Cing terkejut dan gusar.

"Ya, karena kesibukan militer beberapa hari ini, kukuatir pencarkan perhatianmu maka tidak kuceritakan padamu," sahut Ui Yong.

Lalu iapun menceritakan pengalamannya di Coat~ceng-kok, di mana Kwe Yang kena digondol Kim~ lun Hoat-ong.

Mendengar Nyo Ko menghilang dalam jurang, ber-ulang2 Kwe Cing menanya lebih jelas, betapa perhatiannya pada Nyo Ko kelihatan sekali pada wajahnya.

Betapa tinggi budi luhur Kwe Cing, tanpa pikirkan puteri sendiri yang menghadapi bahaya dibakar, tapi tanya dulu keselamatan Nyo Ko, sungguh bikin semua orang sangat mengaguminya.

Scsudah selesai mendengarkan penuturan Ui Yong, dengan mengkerut kening kata Kwe Cing: "Yong-ji, inilah kesalahanmu mati hidup Ko-ji belum diketahui, kenapa kau meninggalkannya pergi?"

Selamanya Kwe Cing sangat menghormat dan cinta isterinya, tak pernah mencelanya dihadapi orang luar, kini celaan itu diucapkannya dengan sungguh2, Ui Yong menjadi merah mukanya.

"Kwe hujin sudah menyelam ke dalam telaga hingga hampir beku kedinginan dan keadaan Nyo Ko juga sudah kami selidiki memang betul2 tidak berada dijurang itu, pula nona Kwe jatuh di tangan musuh, maka be-ramai2 kami mengusulkan mengejar kembali, hal ini tak bisa menyalahkan Kwe hujin" demikian It teng Taysu menjelaskan

Karena itu, terpaksa Kwe Cing tak berani bilang apa2 lagi, hanya dengan gemas ia berkata pula: "Anak dara ini selalu bikin gara2 saja, kalau sampai Ko-ji terjadi apa2, hati kita apakah bisa tenteram? Hari ini biarlah dia dibakar mati musuh saja beres!"

Dengan cemas diam2 Ui Yong turun dari benteng, Mendadak pintu benteng dibuka, dengan menunggang kuda sendirian cepat ia kabur ke utara, Keruan semua orang sangat terkejut Be-runtun2 Kwe Cing, Ui Yok-su, It-teng, Cu Cu-liu dan lain-nya cemplak kuda menyusulnya.

Setiba di depan panggung tinggi tadi, mereka berhenti dalam jarak yang tak dicapai panah musuh, maka terlihatlah di atas panggung berdiam dua orang yang satu berjubah kuning, ialah Kim-lun Hoat-ong, sedang lainnya adalah gadis remaja dengan kedua tangannya diikat pada sebuah cagak. Siapa lagi dia kalau bukan Kwe Yang.

Meski gusar karena anak dara itu suka timbulkan onar, tapi kasih-sayang ayah, mau-tak-mau Kwe Cing menjadi kuatir, teriaknya keras2: "Yang-ji, jangan kuatir, ayah-ibu datang buat menolong kau!?"

Betapa kuat tenaga dalamnya, suara teriakannya itu dengan jelas terkirim sampai di atas panggung itu, Waktu itu Kwe Yang sudah dalam keadaan sadar-tak-sadar terpanggang sinar matahari yang terik, ketika mendadak mendengar suara ayah-nya, segera iapun ber-teriak2. "Ayah, ibu!"



Cuma panggung itu terlalu tinggi, jaraknya juga jauh, maka suaranya tak terdengar oleh ayah-bundanya.

Sementara itu Kim-lun Hoat ong sedang tertawa ter-bahak2, katanya lantang: "Kwe-tayhiap, tidaklah sulit jika kau ingin aku membebaskan puterimu, soalnya tergantung apakah kau punya keberanian tidak?"

Selamanya Kwe Cing sangat tenang, makin berbahaya keadaan yang dihadapi, makin tenang pikirannya, kini mendengar kata2 Hoat-ong itu, sama sekali ia tidak gusar, jawabnya: "Ada persoalan apa,-" silakan Hoat-ong menunjukkan"

"Kalau memang kau mempunyai rasa cinta kasih seorang ayah terhadap puterinya, segera kau naik panggung sini dan menyerahkan diri, kita satu tukar satu, puterimu segera kubebaskan," demikian kata Hoat-ong.

Nyata ia tahu Kwe Cing sangat tinggi budi, tidak nanti untuk seorang puterinya mau mengorbankan jiwa penduduk seluruh kota Siangyang, oleh sebab itu ia sengaja keluarkan kata2 pancingan supaya Kwe Cing masuk perangkap sendiri.

Tak terduga Kwe Cing ternyata tak dapat ditipu, jawabnya lantang: "Jika musuh asing itu tidak takut padaku, kenapa kalian tawan puteriku? Dan kalau musuh takut padaku, suatu tanda Kwe Cing bukanlah manusia tak berguna, kenapa mesti mati tanpa arti?"

"Hm, orang berkata ilmu silat Kwe-tayhiap lihay, gagah perkasa, tapi nyatanya hanya seorang manusia takut mati dan tamak hidup," demikian jengek Hoat-ong.

Kata2 pancingan ini bila dipakai terhadap orang lain mungkin akan berhasii, tapi Kwe Cing memikul tanggung jawab atas keselamatan seluruh penduduk kota, ia anggap sepi saja kata2 orang dan diganda tersenyum belaka tanpa menggubris. Tapi Bu Sam-thong dan Su-sui Hi un menjadi murka, segera mereka hendak menerjang maju, namun It-teng Taysu keburu mencegah mereka.

"Kwe-tayhiap," terdengar Hoat-ong berseru pula, "puterimu pintar dan cerdik, sebenarnya aku sangat menyukainya dan berniat menjadikan dia murid ahliwarisku. Tapi Hongsiang ada titah, bila kau tidak takluk, segera anak dara ini akan dibakar di atas panggung ini. jangankan kau sakit hati atas puterimu yang malang ini, sekalipun aku sendiri juga merasa sayang, maka harap kau suka memikirkannya dalam2."

Kwe Cing menjengek tanpa menjawab, ia lihat berpuluh serdadu musuh sudah siapkan obor disamping tumpukan kayu bakar di bawah panggung itu, asal sekali Hoat-ong memberi perintah, segera api akan disulut.

Berpuluh ribu serdadu musuh mengepung panggung dengan rapat, hanya manusia biasa saja mana mampu menembusnya? Pula sesudah dekat, kalau api sudah menjilat panggung itu, cara bagaimana bisa menolong puteri kecil itu?

Waktu Kwe Cing mendongak, ia lihat muka puterinya pucat lesu, tak tahan hatinya bagai disayat. Cukup lama Kwe Cing ikut di dalam pasukan Mongol, dahulu ia kenal serdadu Mongol yang kejam tak kenal ampun, sehari saja tidak segan membunuh beratus ribu wanita maupun kanak2, apalagi kini hanya Kwe Yang, mirip saja seekor semut yang tak berarti.

Karena itu, dengan mengertak gigi ia berteriak: "Wahai, Yang-ji, dengarlah, ayah bundamu berjuang untuk negara dan bangsa, mati-hidup tidak terpikir. Kau adalah puteri ibu pertiwi, kau harus berani berkorban dengan gagah perwira, dan jangan takut. Hari ini bila ayah-ibu tak bisa menolong kau, kami kelak pasti akan membunuh paderi jahat ini untuk membalas sakit hatimu. Mengertikah kau?"

Dengan mengembeng air mata Kwe Yang mengangguk teriaknya dari jauh: "Ya, ayah dan ibu, anak tak gentar!"

"ltulah puteriku sejati!" seru Kwe Cing.

Habis ini, ia tanggalkan gandewa dari pinggangnya, panah dipasang terus dijebretkan beruntun2 tiga kali, kontan tiga serdadu musuh yang memegang obor di bawah panggung itu terjungkal tiga panah itu ternyata menembus dada mereka.

Harus diketahui ilmu memanah dan menunggang kuda Kwe Cing diperoleh dari ahli panah Caepo yang tersohor di MongoI waktu Kwe Cing tinggal disana dahulu, ditambah lagi tenaga dalamnya yang luar biasa kini, serdadu Mongol lantas berteriak2 sambil angkat perisai untuk melindungi tubuh.

"Marilah kembali" kata Kwe Cing kemudian pada rombongannya terus putar kuda dan kembali ke kota.

Setiba di atas benteng lagi, Ui Yong ter-mangu2 memandangi panggung di mana puterinya terikat, pikirannya kacau tak terlukiskan.

"Yong ji, mari kita pakai barisan 28 bintang untuk menempur musuh," kata Ui Yok-su tiba2

Ui Yong terkesiap, sahutnya: "Tapi meski menang kalau musuh lantas bakar panggung itu, lantas apa daya kita?"

"Asal kita bunuh musuh sekuat tenaga, mati-hidup Yang ji kita serahkan pada takdir," sela Kwe Cing tiba2 dengan bersemangat "Gakhu, mohon tanya, barisan 28 bintang itu cara bagaimanakah mengaturnya?"

"Perubahan barisan bintang2 ini sangat ruwet", sahut Yok su tertawa "Aku menciptakan barisan 28 bintang2 ini, sebab dahulu menyaksikan "Thian~keng-pak-tau-tin" kaum Coan cin-kau, tujuanku hendak menandingi imam2 Coan-cin itu."

"Bagus, dalam hal ilmu pasti dan segala ilmu mujijat lainnya, Ui-Iosia memang menjagoi seluruh kolong langit, sekalipun Ong Tiong-yang hidup kembali juga tak lebih unggul daripadamu, barisan bintang2 ciptaanmu ini pasti sangat hebat," demikian It-teng ikut bersuara.

Yok su tidak lantas menjawab, ia berpikir sejenak, lalu katanya "Barisanku ini tujuannya melulu untuk bertempur dengan jumlah beberapa puluh orang jagoan Bu-lim saja, sebenarnya tak pernah terpikir akan dipakai dalam pertempuran melawan beratus ribu tentara ini. Tapi kalau diubah sedikit rasanya masih dapat dilakukan. sayangnya sekarang kekurangan satu orang dan sepasang rajawali kita."

"Cobalah memberi penjelasan lebih lanjut," pinta It-teng.

"Kalau kedua rajawali itu tidak dibinasakan paderi keparat itu, bila barisan kita dikerahkan segera kedua binatang itu disuruh terbang ke atas panggung untuk menolong Yang-ji, tapi sekarang hal itu tak mungkin lagi," demikian kata Ui Yok-Su.

"Tentang barisan 28 bintang ini, hanya menurut perubahan "pancabuta" (unsur lima macam," api, air, bumi hawa dan eter) saja, harus dipimpin lima jagoan tinggi, kita sudah mempunyai empat orang untuk empat jurusan: timur, selatan, utara, di tengah, tapi barat, Se-tok Auyang Hong sudah mati dan tiada penggantinya, pula Lo-wan-tong terluka, jika ada Nyo Ko di sini, orang ini cerdik pandai ilmu silatnya tidak di bawah mendiang Auyang Hong, tapi kini ke mana harus mencarinya? pimpinan untuk jurusan barat ini sungguh membikin aku rada ragu2"

Mendengar nama Nyo Ko disebut, Kwe Cing memandang jauh ke utara melampaui panggung tinggi musuh itu dan bergumam: "Ya, mati atau hidup-kah Koji sekarang sungguh bikin orang sangat berkuatir."

"Ya, sebab apakah Nyo Ko yang katanya bertemu Kwe Yang didasar jurang, tapi mengapa rombongan Ui Yong tidak menemukannya? Sebab apa dalam waktu tiada satu hari Nyo Ko menghilang tanpa bekas?

Kiranya saking berduka dari putus asa karena merasa takkan berjumpa pula dengan Siao liong-li, maka Nyo Ko telah terjun kedalam jurang dengan anggapan pasti akan hancur lebur tubuhnya untuk menghabisi riwayatnya.

Tak terduga sampai lama melayang ke bawah, akhirnya terdengar suara "plung" yang keras, tubuhnya tercemplung masuk kolam air. Betapa tinggi ia terjun dari atas, dengan sendirinya daya tekanan itu amat kerasnya, maka ia tenggelam lurus ke bawah entah berapa dalamnya, mendadak matanya terbeliak, lapat2 seperti dilihatnya ada sebuah gua air, selagi ia hendak menegasi, daya tolak air kolam yang keras luar biasa telah mengapungkan tubuhnya ke atas lagi, pada saat itulah Kwe Yang pun ikut kecemplung ke dalam kolam.

Karena kejadian aneh yang susul menyusul itu, maka tanpa pikir Nyo Ko menunggu Kwe Yang mengambang ke atas air, lalu menyeretnya ke tepi serta menanyai "Adik cilik, kenapa kau terjatuh ke bawah sini?"



"Melihat kau terjun, aku lantas ikut terjun ke sini," sahut Kwe Yang.

"Tobat! ampun!" kata Nyo Ko geleng2 kepala, "Apakah kau tak takut mati?".

"Kau tak takut mati, akupun tak takut," sahut Kwe Yang pula dengan tersenyum.

Hati Nyo Ko jadi tergerak pikirnya diam2: "Apakah mungkin usia semuda ini ternyata sudah mendalam cintanya padaku?" Berpikir demikian, tanpa merasa kedua tangannya rada gemetar.

Tiba2 Kwe Yang mengeluarkan sebuah jarum emas, ia angsurkan pada Nyo Ko dan bertanya: "Toakoko, dahulu waktu kau memberikan tiga jarum padaku, kau bilang setiap jarum ini berlaku bagiku mengajukan sesuatu permintaan padamu dan engkau pasti takkan menolak. Kini aku memohon~padamu: Tidak peduli apakah Liong-cici dapat bertemu kembali denganmu atau tidak, janganlah sekali-sekali kau mencari pikiran pendek."

"Apakah jauh2 kau datang dari Siangyang, perlunya melulu untuk memohon hal ini padaku?" tanya Nyo Ko dengan suara ter-putus2 sambil memandangi jarum emas itu.

"Ya, benar," sahut Kwe Yang penuh girang. "laki2 sejati sekali berkata harus dapat dipercaya, apa yang kau pernah sanggupkan padaku, jangan kau mungkir janji."

Nyo Ko menghela napas panjang sekali. seorang hidup ingin mati, tapi dari mati kembali hidup melalui suatu proses tertentu, betapapun tadinya ia berkeras ingin mati, tak mungkin untuk sekali lagi mencari mati, hal ini adalah kelaziman manusia tanpa kecuali.

Kini demi dilihatnya sekujur badan Kwe Yang basah kuyup, kedinginan hingga giginya gemertak saling beradu, tapi rasa girang pada wajahnya tidak tertutup oleb semua itu, lekas Nyo Ko mengumpulkan kayu kering hendak menyalakan api, tapi ketikan api yang mereka bawa sudah ikut basah semua, tak bisa digunakan lagt, terpaksa ia berkata: "Adik cilik, kau latihan Lwekang dulu dua kali, supaya hawa dingin tidak menyerang badanmu hingga menimbulkan sakit."

"Marilah kita berdua berlatih semua," sahut Kwe Yang.

Lalu merekapun duduk berendeng menjalankan darah dan mengatur napas, Sejak kecil Nyo Ko sudah digembleng tidur di atas batu kemala dingin di dalam kuburan kuno di Cong-lam-san itu, maka sedikit hawa dingin ini bukan apa2 baginya, ia ulur tangan memegang punggung Kwe Yang, maka mengalir hawa hangat melalui "Sin-tong-hiat" dipunggung anak dara itu dan pelahan2 merata ke seluruh tubuhnya.

Tidak lama kemudian, Kwe Yang merasa seluruh badannya hangat kembali dan lebih segar.

Lalu Nyo Ko tanya untuk apa anak dara itu datang pula ke Coat-ceng kok. Dengan terus terang Kwe Yang lantas menceritakan pengalamannya.

Nyo Ko menjadi gusar, katanya: "Kim-Iun Hoat-ong ini benar2 jahat, marilah kita cari jalan naik ke atas biar Kakak ajar dia hingga setengah mati."

Pada saat mereka bicara itulah mendadak dari atas jatuh seekor burung raksasa ke dalam kolam, itulah rajawali jantan, keruan Kwe Yang terkejut, lekas2 mereka memeriksa rajawali itu yang ternyata terluka amat parah.

Tak lama, menyusul rajawali betina turun ke bawah dan membawa yang jantan ke atas, ketika untuk kedua kalinya turun pula, Nyo Ko dukung Kwe Yang ke atas punggung binatang itu. ia sangka tentu rajawali itu akan turun pula untuk menjemputnya, siapa tahu ditunggu hingga lama sekali masih tiada sesuatu suara.

Sudah tentu tak diketahuinya bahwa saat itu rajawali betina sudah mati menumbukkan diri pada batu cadas menyusul rajawali yang jantan.

Menunggu hingga lama dan rajawali betina itu tetap tidak datang, lalu Nyo Ko memeriksa keadaan sekitar kolam itu, tiba2 dilihatnya di atas pohon2 besar berjajar2 beberapa puluh sarang tawon, sarang tawon ini berlipat ganda besarnya daripada sarang tawon biasa, pula tawon2 yang meng-aum2 berseliweran itu ternyata adalah jenis tawon putih yang dulu biasa dipiara Siao liong li di kuburan kuno itu.

Tanpa terasa Nyo Ko berseru terkejut dan hingga seketika terpaku di tempatnya. Selang agak lama barulah ia mendekati sarang tawon itu, ia lihat di pinggir sarang tawon terpoles tanah liat, terang buatan manusia, lapat2 dikenalinya sebagai karya Siao-liong-li.

Nyo Ko tenangkan semangatnya, ia pikir: "Jangan2 dahulu ketika Liong-ji terjun ke bawah sini, lalu ia bertempat tinggal di sini?" - tapi ketika ia periksa sekitarnya, tempat ini melulu dinding tebing curam bagai di dasar sebuah sumur saja, di atas penuh kabut putih yang menutupi sinar matahari.

Nyo Ko coba ketok2 dan mencari sesuatu tanda pada dinding bata itu, tapi tiada sesuatu yang mencurigakan hanya ada beberapa pohon yang kulitnya seperti pernah dikeletek orang, pula ada tetumbuhan seperti pernah dicangkok ketempat lain, sesaat itu rasa suka duka berkecamuk memenuhi benaknya, hatinya ber-debar2, kini ia yakin bahwa Siao liong li pun pernah tinggal di sini, cuma sudah lewat 16 tahun lamanya, sampai har iini apakah orangnya masih sehat walafiat, siapa yang tahu?

Biasanya Nyo Ko tidak percaya setan malaikat segala, tapi, dalam cemasnya ia berlutut dan komat-kamit berdoa: "Thian yang maha kasih, ber-kahilah aku untuk bertemu sekali lagi dengan Liong ji."

Setelah berdoa, Nyo Ko mencari lagi sebentar, tapi tetap tidak ditemukan sesuatu, ia duduk di atas pohon dan berpikir "Jika Liong-ji sudah mati, seharusnya tertinggal juga kerangka tulangnya di sini, kecuali kalau tulangnya tenggelam di dalam kolam."

Berpikir sampai di sini, mendadak ia melompat turun, ia berkata: "betapapun juga pasti akan kuselidiki sampai segalanya menjadi jelas, sebelum melihat tulang-belulangnya, hatiku belum lega."

Segera ia menerjun ke dalam kolam terus menyelinap ke dasarnya.

Makin dalam makin dingin rasanya di bawah kolam itu, meski Nyo Ko tidak takut dingin, tapi daya tolak air dibagian bawah terlalu kuat, walaupun beberapa kali Nyo Ko berusaha menerjang ke bawah, tapi tetap tak bisa mencapai dasarnya, sedangkan napasnya sudah makin memburu, terpaksa ia apungkan diri keatas, setelah merangkul sepotong batu besar, kembali ia terjun pula ke dalam kolam.

Sekali ini orangnya berikut batunya terus tenggelam dengan cepat, mendadak pandangannya terbeliak, pikiran Nyo Ko tergerak, lekas2 ia menyelidiki ke arah yang terang, tiba2 terasa pusar air yang menggulung tubuhnya terus terhanyut dengan ketatnya, ternyata di tempat yang terang itu memang ada sebuah gua.

Nyo Ko melepaskan batu besar yang dirangkulnya itu, segera ia menyelam ke gua itu, ternyata gua itu menembus miring ke atas, cepat Nyo Ko mengapungkan diri mengikuti lorong gua itu, selang sejenak, tahu2 kepalanya sudah menongol ke permukaan air, sinar matahari menyorot dengan terangnya, bunga semerbak mewangi, ternyata di situ terdapat suatu "dunia luar"

Ia tidak lantas mendarat, ia melihat sekitarnya pemandangan menghijau permai, bunga mekar menarik, tempat itu seperti sebuah taman bunga yang besar, tapi di sekitarnya tiada suatu bayangan orangpun.

Girang dan kejut Nyo Ko, cepat ia melompat keluar air, kemudian terlihat olehnya di tempat sejauh beberapa puluh tombak sana terdapat beberapa buah rumah petak.

Nyo Ko berlari ke sana, tapi mendadak ia berhenti pula, lalu selangkah demi selangkah ia mendekati rumah2 petak itu, dalam hati ia pikir: "Jika dalam rumah2 petak ini tetap tidak diperoleh beritanya Liong-ji, lalu bagaimana baiknya?"

Makin dekat dengan rumah2 itu, jalannya makin lambat, dalam hati ia kuatir kalau2 harapannya yang terakhir inipun buyar

"Akhirnya sampai juga di depan rumah petak, waktu ia dnogarkan sekitarnya, sunyi senyap, tiada suara orang, tiada berkicaunya burung, hanya suara mendengungnya tawon yang pelahan.

Dengan tabahkan diri, Nyo Ko lantai menegur beberapa kali, namun tiada jawaban dari rumah itu, pelahan Nyo Ko dorong daun pintu rumah, maka terpentanglah pintu itu dengan mengeluarkan suara kriat-kriut.

Ketika Nyo Ko melangkah masuk, sekilas saja ia pandang ke dalam, tak tahan lagi sekujur badannya mendadak tergetar ia lihat panjangnya dalam rumah sangat sederhana, tapi rajin dan resik luar biasa.

Di tengah ruangan hanya sebuah meja dua sebuah kursi, lain tidak. Tapi letak meja kursi itu ternyata sudah sangat dikenalnya, serupa benar dengan keadaan meja kursi diruangan batu dalam kuburan kuno.



Tanpa pikir Nyo Ko berjalan membelok ke kanan, betul saja di sana adalah sebuah kamar, lewat kamar ini ada lagi sebuah kamar yang lebih "besar" sebagian meja-kursi dan pembaringan di dalam kamar ini sama saja seperti apa yang terdapat di kamar tidur Nyo Ko di kuburan kuno dahulu, cuma perabot rumah di kuburan kuno itu seluruhnya terbuat dari batu, sedangkan yang di sini terbikin dari kayu.

Sesudah masuk kedalam kamar itu, sambil me-rabai alat2 perabot kamar itu, air mata Nyo Ko sudah mengembeng, kini tak dapat ditahan !agi, air matanya meleleh membasahi pipinya.

Tiba2 terasa sebuah tangan yang halus lemas tetesan2 membelai rambutnya, lalu suatu suara lemah lembut telah menanya padanya: "Ko-ji urusan apakah yang membuat kau sedih?"

Suara itu, lagunya, cara membelai rambutnya, seluruhnya mirip benar dengan cara Siao-liong-ii dahulu bila sedang menghiburnya, Mendadak Nyo Ko membalik tubuh, maka tertampaklah di depannya berdiri seorang perempuan berbaju putih, kulit badannya putih bagai salju, mukanya cantik bagai bunga sedang mekar, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong li yang dirindukannya siang dan malam selama 16 tahun ini?

Kedua orang saling menjublek sekian saat, lalu sama2 berseru pelahan terus saling rangkul. Sungguh2. atau mimpikah ini? Benar2 ataukah khayal? Yang jelas rasa rindu selama 16 tahun ini seketika itu tak bisa diutarakan seluruhnya?

Lewat agak lama barulah Nyo Ko berkata: "Liong-ji wajahmu masih tetap cantik molek, tapi aku sudah tua."

"Tidak, kau tidak tua," sahut Siao liong li dengan pandangan penuh arti. "Tapi aku punya Ko-ji kini sudah dewasa,"

Sebenarnya umur Siao-liong-It banyak lebih tua daripada Nyo Ko, tapi sejak kecil ia sudah berdiam di Ko bong atau kuburan kuno dan belajar Lwekang dari gurunya, segala cita rasa dan napsu sudah di hilangnya jauh2, sebaliknya Nyo Ko sejak kecil sudah kenyang menderita dan banyak berduka, maka ketika keduanya kawin, wajah mereka tampaknya sepadan.

Dan setelah menikah hingga berpisah selama 16 tahun, Nyo Ko merana dan merantau kemana2, siksaan batin itulah yang membikin rambut di kedua pelipisnya sudah mulai memutih, sebaliknya Siao liong-Ii yang tinggal di tengah jurang, walaupun tidak kurang derita rindunya, tapi latihan selama berpuluh tahun di masa kecilnya itu tidaklah percuma, malahan ia kembali berlatih Lwekang ajaran gurunya dahulu tidak banyak berpikir dan sedikit urusan, seorang diri tinggal di dalam jurang rasanya juga tidak begitu sunyi, kini mereka bersua kembali, Nyo Ko malahan tampaknya lebih tua.

Sudah 16 tahun Siao-liong li tidak berbicara, kini meski sangat girang hatinya, tapi rasanya menjadi tidak lancar hendak ber-cakap2. Tapi bicarapun tidak perlu buat mereka, hanya saling pandang sambil tersenyum penuh arti, sampai akhirnya Nyo Ko menarik tangan Siao-Liong li dan diajaknya keluar.

"Liong ji, alangkah girangku!" kata Nyo Ko kemudian, mendadak ia jumpalitan beberapa kali bagai anak kecil.

Memang waktu kecilnya Nyo Ko suka berjumpalitan seperti ini dan Siao~liong-li suka gunakan tangannya untuk mengusap keringat di jidatnya, kini tanpa terasa iapun keluarkan saputangan mengusap beberapa kali di jidat Nyo Ko, walaupun sebenarnya Nyo Ko tidak berkeringat.

Waktu Nyo Ko periksa sapatangan itu, ia lihat terbuat dari serat kulit pohon yang kasar, karena itu ia dapat membayangkan betapa menderitanya Siao-liong li hidup selama 16 tahun di lembah terasing ini, ia menjadi terharu, ia mem-belai2 rambut Siao-liong~li dan bertanya: "Liong-ji, sungguh menderita sekali kau selama 16 tahun ini."

Siao liong li menghela napas, sahutnya. "jika aku tidak dibesarkan di kuburan kuno itu, selama 16 tahun ini pasti tak sanggup bertahan."

Apa yang dikatakan ini memang benar, kalau umpamanya Nyo Ko yang harus tinggal seorang diri di lembah sunyi ini, sekalipun tinggi ilmu silatnya tak nanti sanggup hidup sendiri selama 2-3 tahun.

Harus diketahui sejak kecil Siao liong-li dibesarkan didalam istana kuburan kuno, meski mula2 ada Suhu dan Sun-popo yang merawatnya, dan kemudian berkawankan Nyo Ko, tapi ia sudah biasa hidup bebas sendirian, sedikit sekali bersandar pada orang lain.

Dan karena hidup sepi dalam panjang itulah dapat ia bertahan melewatkan penghidupan ymg tak mungkin ditahan oleh orang lain.

Begitu mereka berdua duduk berendeng diatas batu besar dan saling mengutarakan rasa rindu selama ini...

Dahulu waktu mengetahui Siao liong-li terlalu mendalam terkena racun dan sukar disembuhkan lagi, Nyo Ko menjadi putus asa, iapun tidak ingin hidup lagi tanpa Siao liong li, walaupun ia sendiri jaga terkena racun Coat-hoa atau bunga cinta, ia sengaja buang separoh obat pil "Coat ceng-tan" yang bisa menyembuhkan racun yang diidapnya.

Melihat itu, malamnya Siao-liong-li tidak bila tidur, ia pikir pergi datang, ia tahu kecuali ia sendiri mati dulu untuk melenyapkan harapan Nyo Ko barulah ada kemungkinan menyembuhkan racun Ceng-hoa di dalam badannya.

Tapi kalau ia perlihatkan tanda membunuh diri, itu berarti mempercepat kematian Nyo Ko juga. ia berpikir terus hingga jauh malam, akhirnya ia mengukir beberapa baris huruf itu dikarang Toan jong-khe, ia sengaja "menetapkan janji pertemuan kembali sesudah 16 tahun lagi, habis itu barulah ia terjun ke dalam jurang untuk membunuh diri.

"Kenapa kau menjanjikan 16 tahun? jika kau berjanji 8 tahun saja, bukankah kita akan bertemu kembali lebih dari 8 tahun?" tanya Nyo Ko gegetun.

"Aku tahu cintamu padaku terlalu mendalam kalau melulu 8 tahun yang singkat itu, pasti takkan padamkan watakmu yang kesap bagai api," sahut Siao-liong-li.

"Ai, siapa nyana meski sudah 16 tahun, akhirnya kau tetap terjun kemari."

"Ya, itulah tandanya orang lebih baik cinta murni," ujar Nyo Ko tertawa. "Umpama rasa rindu ku padamu menjadi dingin, paling banyak aku menangis di atas karang, lalu pergi, dengan begitu kita menjadi takkan bertemu lagi untuk selama-lamanya."

Siao-liong li menghela napas panjang oleh nasib mereka yang diluar dugaan ini.

Mereka terdiam agak lama, kemudian Nyo Ko tanya pula: "Dan sesudah kau terjun ke dalam kolam ini, lantas bagaimana?"

"Dalam keadaan sadar-tak-sadar aku jatuh ke dalam kolam, ketika mengapung ke atas lantas terbawa oleh pusaran air masuk gua es itu dan terhanyut sampai di sini, sejak itu aku lantas hidup sendirian" tutur Siao liong li.

"Di sini tiada burung maupun binatang, tapi di dalam kolam itu tidak sedikit terdapat ikan, juga buah2an disekitar sini tidak pernah habis, cuma tiada kain, terpaksa harus mengupas kulit pohon untuk ditenun menjadi baju."

"Tatkala itu bukankah kau terkena racun "Peng-pek-gin-ciam" dan racunnya sudah meresap, di dunia ini tiada obat yang bisa menyembuhkan lagi, tapi kenapa bisa menjadi baik di dasar lembah ini?" tanya Nyo Ko.

"Waktu aku sampai di sini, beberapa hari kemudian racun dalam badan lantas bekerja hebat, seluruh tubuh se akan2 dibakar, kepala sakit hendak pecah, rasanya tidak tahan lagi, tapi lantas teringat waktu malam pernikahan kita di kuburan kuno itu kau telah mengajarkan cara duduk diatas ranjang kemala dingin untuk menjalankan aliran darah secara terbalik, meski tidak dapat menolak keluar racun, tapi rasa menderita banyak berkurang," demikian tutur Siao liong-li. "Namun di sini tiada ranjang kemala dingin, yang ada hanya es beku yang entah berapa tuanya di dasar kolam air itu, aku, lantas menyelam kembali ke dasar kolam dan masuk gua es itu, aku berdiam sebentar di sana.

Kadang2 akupun datang ke tepi kolam ketika terjatuh mula2 itu, aku menengadah ke atas dengan harapan bisa memperoleh sedikit kabarmu. Pada suatu hari, tiba2 kulihat beberapa ekor tawan terbang turun menembus kabut yang menutupi permukaan jurang itu, terang itulah tawon tinggalan Lo~wan-tong yang dibawanya main2 ke Coat-ceng-kok itu, aku menjadi ketarik, segera aku buatkan sarang dan memeliharanya.



BeIakangan makin banyak tawon yang datang dan setiap kali aku minum madu tawon yang aku unduh, rasa sakit badanku lantas banyak berkurang, sungguh tidak nyana kasiat madu tawon ini ternyata sangat mujarab untuk memunahkan racun.

Begitulah aku meminum madu tawon dalam jangka panjang, kumatnya racun dalam badan juga berkurang, mula2 setiap hari kumat, lalu beberapa hari kumat sekali, kemudian hingga beberapa bulan sekali, paling akhir selama 5-6 tahun ini, satu kali saja tak pernah kumat lagi, agaknya sudah sembuh."

"Ah, itulah tandanya orang berhati baik tentu dibalas baik," ujar Nyo Ko senang. "Coba kalau dahulu kau tidak hadiahkan tawon pada Lo-wan-tong dan ia tak membawanya ke Coat ceng-kok, tentu penyakitmu pun takkan bisa sembuh."

"Dan sesudah sembuh penyakitku..." demikian Siao-liong-li melanjutkan "aku jadi sangat rindu padamu, tapi sekitar jurang itu tingginya beratus tombak dan terdiri dari dinding2 tebing yang curam, cara bagaimana bisa naik ke atas? Maka dengan duri bunga aku menisik enam huruf "Aku berada didasar Coa ceng-kok" di atas sayap tawon putih itu dengan harapan sesudah tawon itu terbang ke atas akan diketemukan orang.

Selama beberapa tahun ini sudah beribu ekor tawon yang kutisik tulisan di atas sayapnya, tapi tetap tiada kabar berita yang dibawanya kembali, makin lama aku semakin putus asa, aku merasa hidup ini takkan bisa melihat kau lagi."

"Ah. akupun terlalu ceroboh, kalau begitu," seru Nyo Ko mendadak sambil tepuk paha penuh menyesal "Setiap kali kudatangi Coat ceng-kok, selalu aku melihat tawon putih, tapi selamanya tak pernah menangkapnya seekor untuk diperiksa."

"Sebenarnya hal itupun timbul dari pikiranku yang sudah kehabisan akal," sahut Siao-liong-Ii tersenyum, "Padahal siapa bisa menduga bahwa di atas badan binatang sekecil itu tertisik tulisan? Begitu lembut tulisan itu, sekalipun beratus tawon itu terbang lewat di depan matamu juga takkan kau perhatikan. Harapanku hanya kalau2 kebetulan ada seekor tawon itu masuk jaring lahan2 dan Thian menaruh belas kasihan sehingga dapat kau lihat serta menolongnya, tatkala itu tentu tulisan di atas sayapnya akan dapat kau baca."

Ia tidak tahu bahwa tulisan disayap tawon itu akhirnya dapat diketahui oleh Ciu Pek-teng yang suka main2 piara tawon itu dan arti tulisan itu kena diterka oleh Ui Yong yang kecerdasannya melebihi orang biasa.

Begitulah, setelah lama ber-cakap2, akhirnya menjadi lapar, Siao liong-li mengajaknya masuk rumah dan menyuguhkan senampan ikan, ada pula buah2an dan madu tawon.

Setelah kenyang makan barulah ganti Nyo Ko menceritakan pengalamannya selama 16 tahun ini. Siao-liong-li sendiri biasanya tidak banyak menghiraukan soal2 keduniawian, yang diharap asal dia dapat bertemu kembali dengan Nyo Ko dan rasanya sudah puas, maka sekalipun cerita Nyo Ko itu kadang2 mengenai kejadian aneh dan hal2 lain yang mendebarkan hati, paling2 Siao-liong li hanya tersenyum saja, cerita2 itu bagai angin lalu saja di-tepi telinganya. sebaliknya Nyo Ko terus menerus bertanya tentang segala sesuatu selama Siao-liong-li tinggal di dasar jurang ini.

Sepanjang malam mereka pasang omong hingga hari sudah hampir pagi barulah mereka tidur.

Waktu mendusin, hari sudah lewat lohor, kata Nyo Ko: "Liong ji, kita akan hidup sempai tua di sini atau berdaya kembali kedunia fana di atas sana!"

Menurut pendapat Siao-liong-li, ia lebih suka hidup aman tenteram dengan Nyo Ko di jurang ini, tapi Nyo Ko suka keramaian, betapapun cintanya pada Siao-liong-li, tetap tak biasa hidup sunyi terpencil.

Maka kata Nyo Ko pula: "Lebih baik kita berusaha naik saja, kalau di atas sana tidak menyenangkan nanti kita kembali ke sini lagi, cuma... cuma untuk naik ke atas kiranya sangatlah sulit,"

Ia menyelam lagi ke tepi kolam melalui gua es itu, maka tertampaklah dari atas menjulur seutas tambang yang sangat panjang, di tepi kolam terdapat bekas2 kaki orang, malahan ada segunduk api unggun yang apinya masih belum sirap sama sekali"

"Ah, ada orang datang mencari kita, malahan sudah menyelam ke dalam kolam," kata Nyo Ko.

Ia mengitari tepi kolam itu, tiba2 dilihatnya ada batang pohon besar terdapat ukiran dua baris tulisan yang berbunyi: It-teng, Pek-thong, Eng Koh, Yong, Eng, Bu - siang, ke sini mencari Nyo Ko tidak ketemu dan pulang dengan masgul."

Nyo Ko menjadi sangat terharu, katanya: "Mereka ternyata tak pernah melupakan diriku!"

"Ya siapapun tiada yang lupa padamu," ujar Siao-liong-Ii

"Mereka telah melorot ke bawah sini dengan tambang panjang ini, meski sudah menyelam, tapi karena tidak melompat dari tempat setinggi ratusan tombak, daya tenggelamnya tidak dalam, maka gua es itu tak mereka lihat," kata Nyo Ko. "Coba, kalau akupun turun dengan memakai tambang, tentu takkan dapat menemukan kau."

"Ya, makanya aku bilang segala apa memang sudah takdir," sahut Siau-liong-li.

"Tidak, ini namanya di mana ada kemauan, batupun akan luluh karenanya," kala Nyo Ko.

Lalu ia mencoba tarik tambang itu dan ternyata sangat kuat, maka katanya pula: "Biar aku naik dulu, entah Kimlun Hoat-ong itu di atas tidak, Tapi kalau It-teng Tay-su dan Lo-wan-tong sudah kesitu agaknya Hoat-ong sudah kabur pergi."

Habis ini ia bertanya lagi: "Liong-ji, ilmu silatmu telantar tidak? jika tak dapat kau memanjat, biar kupanggul kau."

"Meski selama 16 tahun tiada kemajuan, tapi apa yang dulu kupelajari rasanya masih tetap," sahut Siao-liong li.

Nyo Ko berpaling sambil tertawa, lalu ia pegang tambang panjang itu, sedikit ia gunakan tenaga, cepat ia melompat ke atas lebih setombak tingginya. Meski lenganya tinggal sebelah, tapi dibantu kedua kakinya, tidak lama ia sudah panjat sampai di-atas jurang, Menyusut Siao-liong li pun merambat naik dengan tali tambang itu.

Kedua orang berdiri sejajar di depan karang Toan jong-khe, sambil memandangi dua baris tuIisan-yang diukir Siao-liong-Ii dahulu didinding batu itu, sungguh mereka merasa seperti baru hidup kembali.

Mereka tertawa saling pandang, betapa suka ria hati mereka saat itu, rasa penderitaan selama 16 tahun ini sudah buyar seluruhnya bagai asap ter-tiup angin.

Nyo Ko memetik setangkai bunga merah "Liong-li-hoa" dan disuntingkan pada sanggulnya, bunga merah di atas kulit badan yang putih, seketika sukar diketahui apakah bunga merah itu yang menambah kecantikan orangnya atau wajah orang yang cantik itu yang menambah keindahan bunganya?

* * *

Kembali berceritera tentang Kim lun Hoat-ong yang membangun sebuah panggung tinggi diluar kota Siangyang dan hendak membakar Kwe Yang untuk memaksa Kwe Cing takluk pada pihak Mongol dan Ui Yok-su bilang akan mengatur suatu "barisan 28 bintang2 untuk menempur musuh.

Kwe Cing telah melaporkan hal itu pada gubernur militer kota Lu Bun-hwan agar memberi mandat, supaya Ui Yok su dapat mengatur siasat dan membagi tugas pada para perwira dan prajurit.

Tatkala itu para ksatria yang hadir sudah bubar sebagian besar, yang masih tinggal di situ seluruhnya adalah pahlawan2 yang berjiwa patriot, maka semuanya berkumpul di lapangan militer menunggu perintah.

"Mereka mengerahkan 40 ribu orang untuk mengepung panggung, kalau kita pakai orang yang banyak, jika kita menang rasanya juga tidak mengherankan ," kata Ui Yok-su, "Maka kitapun hanya perlu 40 ribu orang, menurut Sun Cu, yang penting mahir mengatur, satu lawan satu, apa susahnya?"

Maka Ui Yok-su lantas naik ke atas podium panglima, katanya pula: "Barisan bintang2 kita ini seluruhnya terbagi dalam lima kesatuan menurut hitungan pancabuta."

"Habis ini, segera ia kumpulkan semua komandan pasukan, ia memberi petunjuk dan penjelasan seperlunya, katanya lagi: "Perubahan2 kita yang sangat ruwet ini seketika sukar dipahami, tapi pertempuran hari ini harus dipimpin oleh lima tokoh silat terkemuka yang paham perobahan pancabuta, komandan pasukan harus menurut petunjuk kelima pemimpin dan menjalankan perintahnya."

Maka pergilah para komandan pasukan itu dengan menerima perintah itu.

Lalu Ui Yok-su mulai membagi tugas, katanya: "Kesatuan tengah tergolong bumi, dipimpin oleh Kwe Cing dengan jumlah prajurit delapan ribu orang, pasukan ini harus mengarah bagian tengah musuh, tujuannya menolong Kwe Yang, tidak perlu harus menghancurkan musuh. Setiap prajurit membawa kantong pasir, begitu menyerbu sampai di bawah panggung, segera gunakan pasir untuk menyirapkan api yang berkobar untuk menolong anak dara di atas panggung itu."

Kwe Cing terima tugas itu dan berdiri ke samping.

"Dan kesatuan jurusan selatan tergelong api," demikiin Ui Yok-su melanjutkan "Harap It-teng Taysu yang memimpin delapan ribu orang. pasukan ini yang seribu orang melindungi pimpinan, tujuh ribu orang lainnya terbagi menjadi tujuh regu, masing2 dipimpin oleh Cu Culiu, Bu Sam-thong, Su-sui Hi-un, Bu Tun-si dan Bu Siu-bun serta kedua isteri mereka, Yalu Yan dan Wanyen Peng."

It-teng Taysu dan Cu Cu-liu cs. juga menerima perintah itu dan pergi mengatur tentaranya masing2.

Lalu kata Ui Yok-su pula: "Barisan utara tergolong air, di bawah pimpinan Ui Yong dengan delapan ribu orang, seribu diantaranya mengawal pimpinan, tujuh ribu orang lainnya terbagi di bawah Yalu Ce, Nio Tianglo, Kwe Hu dan para Tianglo lain dari Kay-pang."


Ui Yong pun menerima perintah itu dengan baik, Kesatuan ini terdiri dari anak murid Kay~pang sebagai kekuatan inti, rata2 orangnya berkepandaian tinggi.

Sesudah membagi ketiga kesatuan tadi, kemudian Ui Yok-su meneruskan "Dan jurusan timur tergolong hawa, kesatuan ini biar aku Tang-sia Ui Yok-su sendiri yang memimpinnya, jumlah orangnya juga delapan ribu."

Semua orang pikir, jurusan timur dipimpin Tang sia, Lam-te mengepalai selatan, sedang anak murid Pak-kay menduduki utara. Kwe Cing adalah panglima pusat, memangnya dia juga murid keturunan Ong Tiong-yang, cara mengatur Ui Yok~ su itu memang tepat. Tapi masih ada jurusan barat, gerangan siapakah yang akan mengepalai jurusan ini?

Sementara terdengar Ui Yok-su berkata pula:

"Dan jurusan barat akan dipimpin oleh pejabat ketua Coan-cin-kau, Li Ci-siang."

Mendengar ini, semua orang merasa baik soal kepandaian maupun tenarnya nama, pimpinan jurusan ini jauh lebih lemah daripada yang lain2.

Pada saat itulah tiba2 terdengar seorang ber-teriak: "Hai, Ui-Iosia, kenapa kau jadi lupa padaku?"

Waktu dipandang, kiranya yang bersuara itu adalah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong.

"Ciu-heng," sahut Yok-su, lukamu belum sembuh, belum dapat bekerja berat, sebenarnya jurusan barat ini harus kau pimpin, tapi..."

"Ah, hanya luka kecil saja, kenapa dipikirkan?" sahut Pek thong cepat "Biarlah aku memimpin jurusan barat itu saja, He,Ci-siang, apa kau berani berebut dengan aku?"

"Tecu tak berani," sthut Li Ci-siang sambil memberi hormat.

"Emangnya aku sudah tahu kau takkan berani" ujar Pek-thong tertawa. Habis itu segera ia ambil panah tanda tugas dari tangan Li Ci-siang.

Terpaksa kata Ui Yok-su kemudian: "jika begitu, hendaklah Ciu heng suka ber hati2 Kaupun memimpm delapan ribu orang, seribu di antaranya harap Eng Koh suka memimpinnya untuk mengawal kau, tujuh regu lain biar dipimpin masing2 oleh Li Ci-siang dan anak murid Coan cin kau yang lain."

Habis membagi tugas, lalu Ui Yok-su memerintahkan semua prajurit menerima perlengkapan seperlunya ke gudang, bila kemudian bendera kebesarannya memberi tanda, 40 ribu orang terbagi dalam 5 jurusan timur, barat, utara selatan dan tengah.

Dengan suara lantang ia memberi petuah agar parajurit2 itu bertempur mati2an menghancurkan musuh. Segera anjuran itu disambut dengan sorak-sorai yang bergemuruh penuh semangat Ketika meriam berdentum tiga kali, empat pintu benteng terbuka, lima pasukan itu lantas keluar berbareng.

Perubahan barisan bintang2 ini ternyata aneh sekali, pasukan timur itu setiap orangnya menggendong sepotong kayu cagak yang panjang, ketika sudah menyerbu mendekati sebelah timur panggung, seribu perajuritnya lantas gunakan perisai untuk menahan panah musuh, sedang tujuh ribu orang lainnya segera gunakan cagak kayu dan dipasang disitu menurut petunjuk Ui Yok-su yang telah mengaturnya menurut perhitungan Pat-kwa dan pancabuta, maka sekejap saja bagian timur panggung itu sudah tertutup.

Pasukan jurusan barat berinti anak murid Coan~cin-kau, para Tosu itu memang sudah paham barisan bintang2, maka terlihatlah sinar pedang gemerlapan hingga terpaksa perajurit MongoI menghamburkan panah untuk mencegah lajunya.

Mendadak terdengar suara teriakan bergemuruh di bagian utara, itulah Ui Yong yang memimpin anak murid Kaypang dengan membawa banyak sekali pipa air terus semprotkan air berbisa ke tubuh perajurit musuh.

Racun air yang disemprotkan itu ternyata sangat jahat, seketika sangat sakit tubuh yang terkena, sebentarpun melepuh dan bernanah, karena tak tahan, perajurit Mongol lari tunggang langgang mundur ke selatan.

Tapi tiba2 terlibat bagian selatan asap mengepul tinggi Kiranya It-teng Taysu bersama delapan ribu anak buahnya telah melakukan serangan dengan api, menggunakan sebangsa belerang dan bahan lain yang mudah terbakar, api menyembur terus dari bumbung besi yang khusus mereka bawa.

Melihat gelagat jelek, segera perajurit Mongol mundur ke bagian tengah.

Namun Kwe Cing sudah siap, ia pimpin delapan ribu orangnya dan maju pelahan, ketika dilihatnya keadaan pasukan musuh kacau, segera ia mengerahkan pasukannya menerjang ke tengah menuju ke panggung.

Pada saat itulah tiba2 terdengar disamping panggung itu suara tiupan tanduk, sekali berteriak dari dalam parit yang sengaja digali itu menongol keluar berpuluh ribu topi baja.

Kiranya pimpinan pihak Mongol juga pandai mengatur siasat, kecuali di sekitar panggung jelas kelihatan 40 ribu orang, tapi di dalam tanah galian itu bersembunyi lagi beberapa puluh ribu perajurit Iain.



Dari jauh Kwe Cing menyangka itu hanya parit biasa yang digali musuh, siapa tahu justru di situlah tersembunyi kekuatan cadangan musuh.

Karena itulah, terdesaknya pasukan Mongol tadi segera berubah, meski barisan bintang2 itu dapat menerjang kacau pasukan musuh, tapi kalau hendak membasminya jelas tak bisa lagi.

Maka terdengarlah genderang dipukul dengan kerasnya, pasukan Song dan Mongol telah saling tempur, pasukan penjaga disamping panggung lantas menghamburkan panah hingga beberapa kali Kwe Cing terpaksa harus mundur kembali.

Setelah hampir sejam kedua pihak bertempur dengan sengitnya, mendadak Ui Yok-su mengibarkan bendera hijau, se-konyong2 pasukan sebelah timur berganti menyerang keselatan, pasukan barat menggempur ke utara, karena perubahan barisan ini, kembali pasukan musuh menjadi kacau lagi.

Meski perajurit Song hanya 40 ribu orang, tapi pertama karena barisan bintang2 ini sangat hebat, kedua dipimpin oleh jago2 silat terkemuka pada jaman ini, ketiga, setiap perajurit Song merasa berterima kasih pada Kwe Cing suami-isteri, mereka bertekad akan menolong puteri kesayangannya. Oleh sebab itulah meski jumlah orang Mongol berlipat ganda namun tidak sanggup menahannya.

Sesudah berlangsung agak lama, mendadak Ui Yok-su bersiul panjang dan keras, bendera isyarat mengebas beberapa kali, pasukan berpanji hijau mundur ke tengah, pasukan panji merah menuju ke sebelah barat, pasukan panji kuning berganti ke utara, panji putih menggempur bagian timur, panji hitam mengarah ke slatan, kembali barisan berubah lagi.

Dari atas panggung Kim-lun Hoat-ong dapat menyaksikan pertempuran hebat di bawah panggung itu, dalam hati diam2 ia terperanjat sekali, Pikirnya: "Sungguh tidak nyana di daerah Tionggoan ternyata terdapat orang kosen seperti ini, sejak kini tak berani lagi aku memandang sepele orang Tionggoan."

Sementara itu dilihatnya perajurit2 Mongol yang mati atau luka makin lama makin banyak, pasukan panji kuning terus mendesak ke panggung itu, walaupun ia gunakan Kwe Yang sebagai sandera, tapi toh tidak tega benar2 membakarnya, ia menoleh dan memandang anak dara itu, ia lihat meski kedua kaki dan tangan terikat, tapi kepala anak dara mendongak, sikapnya gagah tak gentar sedikitpun.

"Kwe Yang cilik," seru Hoat-ong, "lekas kau minta ayahmu menyerah, aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, jika ayahmu tidak takluk, segera aku memberi perintah membakarmu."

"Apa kehendakmu boleh sesukamu. jangankan satu sampai sepuluh, kau boleh menghitung satu sampai seribu atau sejuta juga aku tak peduli," sahut Kwe Yang dingin.

"Hm, apa kau kira aku tak berani membakar kau?" Hoat ong menjadi gusar.

"Haha, sungguh kasihan kau ini," jengek Kwe Yang tiba2.

"Kasihan apa kau bilang?" bentak Hoat ong.

"Ya,kasihan. Sebab kau tak sanggup melawan ayahku, tak sanggup menandingi Gwakongku Ui-losia, tak lebih unggul dari pada It~teng Taysu, tak berani pada Toakokoku Nyo Ko, paling2 kau hanya mampu meringkus aku disini," demikian Kwe Yang meng-olok2.

"Caramu ini, biarpun seorang perajurit Siangyang kami juga tidak sudi melakukan ini Hoat-ong,aku justeru ingin menasehatkan kau."

"Apa? Nasihat?" seru Hoat-ong sengit

"Ya," sahut Kwe Yang. "Manusia hidup seperti kau ini apa artinya? Ada lebih baik kau terjun ke bawah panggung dan membunuh diri saja!"

Kwe Yang tidak pikirkan mati-hidupnya lagi, sejak kecil memang tajam kata2nya, selamanya tak pernah kalah adu muIut, keruan kini Hoat-ong kewalahan saking gusarnya serasa dadanya akan meledak.

"Wahai, dengarlah Kwe Cing!" segera ia berteriak keras2.

"Aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, apabila kau masih belum mau takluk, segera ku perintahkan membakar panggung ini."

"Boleh kau lihat apakah aku Kwe Cing manusia yang suka takluk atau bukan?" sahut Kwe Cing.

"Wahai, Kim lun Hoat-ong!" tiba2 Ui Yok-su menyambung.

"Kau salah menaksir musuh, inilah ketidak pintaranmu, Kau menghina seorang dara cilik, ini namanya tidak berbudi."

"Kau tak berani bergebrak terang2an dengan kami untuk menentukan menang atau kalah, ini namanya tidak berani."

"Manusia yang tidak pintar, tidak berbudi, tiada keberanian tapi masih berani kau bicara tentang pahlawan dan ksatria segala? Kau tertangkap oleh kami di Coat ceng-kok. untuk menyelamatkan jiwamu kau telah menyembah "ping-pitulikur" (27-kali) kepada Kwe Yang cilik, kemudian kau di-ampuninya. Haha, manusia takut mati dan tamak hidup semacam kau ini ternyata masih ada muka untuk menjadi Koksu (iman negara MongoI) segala?"

Sebenarnya tentang menyembah minta ampun kepada Kwe Yang segala tiada pernah terjadi, tapi Ui Yok-su sengaja gembar-gembor di hadapan umum, di depan pasukan MongoI, agar Hoat-ong serba salah, hendak mendebat, sulit, tidak mendebat, juga salah.

Bangsa Mongol justru paling menghormati orang gagah berani dan pandang hina pada manusia pengecut, kini mendengar gemboran Ui Yok-su itu tanpa terasa banyak yang menengadah ke atas panggung dengan pandangan hina.

Ui Yok-su sudah berpikir panjang, sebelum berangkat ia sudah minta Ui Yong menterjemahkan kata2 untuk meng-olok2 Hoat-ong ini ke-dalam bahasa Mongol. Kini digemborkaanya dihadapan berpuluh ribu perajurit yang sedang bertempur itu sehingga terdengar jelas.


Dan karena mendengar pemimpin dipihak sendiri adalah manusia rendah dan hina, tanpa terasa pasukan Mongol menjadi kurang semangat, sebaliknya perajurit Song semakin gagah menyerbu musuh.

Melihat gelagat jelek, Kim-Iun Hoat-ong yang berada di atas panggung itu segera berteriak lagi: "Wahai, Kwc Cing, dengar kau, aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, apabila kata2 "sepuluh" terucapkan, puteri kesayanganmu segera akan terbakar menjabi arang. Nah, satu., . . .. dua. . . ...tiga.... empat... lima..."

"Begitulah setiap kata2 diucapkan ia sengaja berhenti sejenak dengan harapan Kwe Cing yang tak tahan oleh desakan itu akan menyerah atau sedikitnya juga akan patah semangat, lalu tak berani bertempur lagi.

Dilain pihak, Kwe Cing, Ui Yok-su, It-teng Taysu, Ui Yong, dan Ciu Pek-tong yang memimpin lima pasukan, ketika mendengar Hoat ong mulai menghitung, sedangkan di bawah panggung beratus serdadu Mongol sudah mengangkat obor mereka tinggal menunggu komando. bila tanda diberikan segera panggung itu akan dibakar

Karena itu Kwe Cing dan lain2 menjadi kuatir dan gusar, mati2an mereka menerjang ke depan panggung buat menolong Kwe Yang.

Tapi barisan pemanah bangsa Mongol yang terkenal tangkas itu sudah siap, di bawah hujan panah itu segera terlihat Su-sui Hi-un, Nio tianglo, Bu Siu-bun cs, terluka panah semua, malahan ada beberapa anak murid Kay pang dan Coan-cin-kau yang gugur.

Sebelumnya Ui Yong sudah suruh Kwe Hu meminjamkan "Nui-wi-ka" atau kutang berduri landak kepada kakeknya, Ui Yok-su, sebab pertempuran ini berbahaya luar biasa, apabila karena ingin menolong Kwe Yang, tapi jiwa ayahnya harus berkorban atau terluka, hal ini benar2 akan membuat Ui Yong menyesal selama hidup.

Karena maksud baik sang puteri itu sukar di tolak, terpaksa Ui Yok-su menerimanya, tapi diam2 ia pinjamkan baju pusaka itu kepada Ciu Pek-thong. Sebab itulah meski luka Pek-thong belum sembuh, tapi ia sudah berani terobosan kian kemari di bawah hujan panah dan senjata musuh tanpa luka.



Malahan ketika melihat panah musuh yang mengenai tubuhnya jatuh semua, hati si tua nakal itu menjadi riang, terus saja ia menyerbu maju, di mana tangannya tiba, di situlah segera musuh menggeletak.

Sementara itu terdengar Hoat-ong sudah menghitung sampai . . . . delapan. . . . . sembilan. sepuluh! Baik, bakarlah!" Dan sekejap saja asap lantas ber-guIung2, api berkobar dengan hebat.

Walaupun sebenarnya delapan ribu perajurit panji kuning semuanya membawa kantong pasir, tapi karena tak sanggup menyerbu sampai di dekat panggung, terpaksa mereka tiada bisa berbuat apa2.

Pikiran Ui Yong menjadi butek ketika dilihatnya api menjilat dengan hebatnya, mukanya pucat dan orangnya sempoyongan. Lekas Yalu Ce memayang ibu mertua itu dan katanya: "Hendaklah Gakbo mengaso dulu ke garis belakang, sekalipun jiwaku harus berkorban, Yang-moay pasti akan kutolong.

Pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara teriakan gemuruh hebat memecah bumi, dari garis belakang pasukan MongoI mendadak menyerbu tiba dua pasukan berkuda dan langsung menggempuf benteng kota Siangyang.

Terdengarlah teriakan "Ban swe, Banswe!" yang hiruk-pikuk, panji kebesaran raja Mongol, Monko, tertampak di angkat tinggi2 dan cepat sekali sudah sampai di bawah benteng Siangyang, di bawah pimpinan sang raja mereka, pasukan Moagol itu bertambah semangat menggempur benteng.

Di lain pihak, tatkala itu Kwe Cing dengan satu tangan membawa perisai dan tangan lain bertombak, sebenarnya tinggal ratusan tindak dari panggung, betapapun barisan pemanah menghujam panah tetap tak bisa melukainya.

Tampaknya sebentar lagi ia pasti dapat melompat ke atas panggung, tiba2 di dengarnya di bagian belakangnya keadaan menjadi kacau, ia terkejut, pikirnya: "Celaka, terperangkap oleh tipu musuh "memancing harimau tinggalkan gunung". Sedangkan gubernur kota lemah dan penakut walaupun kekuatan tentara cukup, tapi tiada pimpinan, mungkin urusan bisa runyam."

Sebenarnya ke-40 ribu tentara dari barisan bintang2 ini kuat menandingi beratus ribu patukan Mongol melawan dengan gigihnya, sedangkan raja Mangol tanpa pikirkan. pertempuran besar yang sedang berlangsung itu terus memimpin sendiri pasukan lain untuk menggempur benteng Siangyang.

Tiba2 Kwe Cing berganti pikiran, ia membatin. "Urusan anak soal kecil, pertahanan kota lebih penting! Karena itu, segera ia berteriak: "Gakhu, kita jangan urus anak Yang gagal lagi, lekas kembali menggempur bagian belakang musuh!"

Waktu Ui Yok-su memandang, ia lihat api ber-kobar2 tambah hebat, Hoat-ong lagi turun setindak demi setindak dari tangga panggung itu. Kini di atas panggang melulu tinggal Kwe Yang saja yang teringkus. Sudah, tentu Ui Yok-su juga bisa berpikir, ia mengerti seorang Kwe Yang tidak dapat dibandingkan dengan hancur atau selamatnya kota Siang-yang.

Karena itu, ia menghela napas panjang dari berkata: "Sudahlah, Lalu ia kibarkan panji hijau dan menarik pasukannya kembali ke selatan.

Kwe Yang yang teringkus di atas panggung itu menyaksikan ayah-bunda dan Gwakongnya tak berdaya menolongnya, sedangkan atap tebal dan api menganga membakar dengan hebatnya mengitari panggung, ia tahu, sebentar lagi dirinya bakal terbakar mati.

Mula2 iapun takut sekali, tapi akhirnya ia menjadi tenang malah, ia memandangi jauh ke depan, ia pikir: "Sebentar lagi aku akan mati, tapi entah saat ini Toakoko berada di mana, apakah sudah naik kembali dari jurang itu?"

Begitulah, memandangi lereng2 gunung yang jauh itu, ia menjadi terkenang pada waktu berkumpul dengan Nyo Ko walaupun hanya beberapa hari saja, Meski selanjutnya tiada harapan buat bertemu pula, tapi rasanya sudah puas hidup ini.

Pada saat itulah, tiba2 terdengar sesuatu suara nyaring yang sayup2 terbawa angin, begitu tajam suara itu hingga suara gemuruh pertempuran beratus ribu perajurit itu seakan2 tenggelam di bawah pengaruh suara itu.

Terkesiap hati Kwe Yang, Suara itu mirip benar dengan suara siulan Nyo Ko tatkala dulu menggetarkan kawanan binatang2 buas. Waktu ia menoleh ke arah datangnya suara itu, ia lihat pasukan MongoI di arah barat-laut itu tunggang-langgang tersiak minggir ke dua samping hingga terbelah menjadi satu jalan, dua orang tampak sedang datang dengan cepat bagai bahtera laju didorong angin buritan, di depan kedua orang itu sebagai pembuka jalan adalah seekor burung raksasa, kedua sayapnya terpentang menyabet ke kanan dan ke kiri hingga panah yang menghujam terpental pergi semua.

Burung raksasa ini tangkas dan ganas luar biasa, nyata itulah Sin-tiau atau rajawali sakti kawan Nyo-Ko itu, betapa kuat kedua sayapnya ternyata tiada satupun panah yang bisa melukainya.

Girang luar biasa Kwe Yang, waktu ia mengawasi kedua orang yang datang itu satu berkopiah hijau berbaju kuning, siapa lagi kalau bukan Nyo Ko dan di sebelahnya seorang wanita cantik berbaju putih mulus, Keduanya sama2 menggunakan pedang yang diputar kencang sambil menyusul di belakang Sin-tiau terus menerjang ke arah panggung.

"Toakoko, apakah wanita inilah Siao-liong-li?" demikian saking ingin tahu Kwe Yang lantas berteriak menanyakan.

Memang tidak salah wanita di samping Nyo Ko itu adalah Siao-liong-li, cuma jaraknya terlalu jauh, maka teriakan Kwe Yang itu tidak terdengar oleh Nyo Ko.

Begitulah dengan tangkas si rajawali sakti menyampuk semua anak panah yang berhamburan, bila ada pcrajurit atau perwira Mongol yang berani merintangi, segera Nyo Ko dan Siao-liong-li menggulingkan mereka dengan pedang.

Dengan saling melindungi, tidak antara lama mereka sudah menerjang sampai di depan panggung itu.

"Jangan kuatir, adik cilik, aku datang menolong kau!" seru Nyo Ko.

Sementara itu sebagian tangga panggung itu sudah terbakar, tapi sekali enjot, Nyo Ko melompat ke undukan tangga bagian tengah terus memanjat ke atas.

Pada saat itulah mendadak dari atas angin pukulan yang maha dahsyat telah menghantamnya, nyata itulah Kim-lun Hoat-ong yang melontarkan pukulan saktinya.

Lekas2 Nyo Ko baliki tangannya menyambut maka terdengar suara "plak" yang keras kedua tenaga raksasa saling bentur, tubuh masing2 terguncang semua, tangga panggung itupun ikut ter-goyang2 hampir patah.

Sekali jajal saja kedua orang sama2 terkejut, sungguh tidak terduga, 16 tahun tidak bertemu, kepandaian lawan ternyata sudah banyak lebih maju.

Melihat keadaan sangat genting, tak mungkin mengadu tenaga di tengah2 tangga itu, mendadak Nyo Ko angkat pedangnya menusuk ke atas, susul-menyusul ia membabat kaki orang terus menusuk perut lawan.

Berada diatas Kim lun Hoat-ong dapat mengeluarkan senjata rodanya buat menempur Nyo Ko, tapi roda bentuknya pendek, terpaksa ia harus membungkuk untuk bisa menghantam orang, hal ini sangat tidak leluasa, maka terpaksa ia mundur ke atas panggung.

Karena itu, bertubi2 Nyo Ko mengirim beberapa kali tusukan lagi ke arah punggung Hoat-ong, namun Hoat-ong tidak menoleh, hanya gunakan kepandaian "thing-hong-piao gi" atau mendengarkan angin membedakan senjata, ia ayun roda ke belakang buat menangkis, punggungnya seakan2 bermata, tiap tangkisannya sangat tepat

"Bangsat gundul, hebat juga!" mau-tak-mau Nyo Ko memuji ketangkasan orang.

Ketika Hoat-ong sudah menginjak di atas panggung, sekali membalik, segera roda emasnya me-ngepruk kepaia Nyo Ko. Syukur Nyo Ko sempat mengegos ke samping, berbareng itu pedangnya menegak ke atas, tubuhnya mencelat dan selagi terapung di udara. ia menubruk ke bawah dengan pedang menusuk kemuka musuh.



Lekas2 Hoat-ong angkat roda emas buat menangkis, sedang roda perak di tangan lain lantas mengetok ke batang pedang Nyo Ko.

Tadi mereka sudah saling gebrak di atas tangga, Nyo Ko merasa tenaga Hoat-ong sangat kuat dan berat, belum pernah seumur hidupnya ketemukan lawan setangguh ini, maka diam2 ia sangat heran, ia pikir dengan gemblengannya di tengah ombak, tenaganya cukup kuat untuk melawan gelombang ombak, 16 tahun yang lalu Hoat-ong sudah bukan tandingannya tapi tadi ketika ia menghantam hampir2 saja dirinya tak sanggup menahannya malah?

Karena pikiran itu, demi nampak kedua roda orang maju berbareng, ia tidak menghindarinya melainkan pedang disendal, ia sengaja hendak menjajal tenaga Hoat-ong yang sebenarnya.

Maka terdengarlah suara gemerincing keras, kalau orang lain pasti takkan tahan oleh tenaga sendalan Nyo Ko ini, tapi Hoat-ong punya "ilmu sakti bertenaga naga dan gajah" dan sudah terlatih sampai tingkatan ke-11, ketika kedua tenaga raksasa kembali berbentur, maka- terdengarlah suara "kletak", pedang Nyo Ko yang kalah, patah menjadi beberapa potong, sedang sepasang roda Kim-lun Hoat-ong juga terlepas dari cekalan, terpental jatuh ke bawah panggung, sial bagi tiga pemanah Mongol, kepala mereka pecah terketok oleh roda2 itu.

Setelah gebrakan ini, kedua orang sama2 melompat mundur, tangan mereka merasa pedas kesemutan. Namun Hoat ong masih belum kehabisan senjata ia masih mempunyai serep, segera roda besi dan roda tembaga dikeluarkannya terus menubruk maju pula.

Sebaliknya Nyo Ko tiada mempunyai senjata lain, terpaksa lengan baju kirinya mengebas, ia balas menghantam dengan tangan kanan.

"Hai, hai, Hwesio besar, memangnya aku sudah bilang kau tak mampu menandingi Toakokoku, sekarang benar tidak?" demikian Kwe Yang lantas ber-teriak2, "Ha, masih berani kau berlagak pandai, kenapa sekarang kau bersenjata untuk melawan dia yang bertangan kosong?"

Tapi Hoat-ong hanya menjengek saja, ia tidak menjawab, permainan kedua rodanya makin kencang.

Tatkala itu Ui Yok-su, Kwe Cing dan Ui Yong cs. lagi pimpin pasukannya kembali menolong kota Siangyang, ketika mendadak melihat Nyo Ko, Siau-liong li dan Sin-tiau muncul terus menyerbu keatas panggung, tentu saja semangat mereka terbangkit. Segera Ui Yok- su geraki panji komandonya, ia menarik kelima pasukannya masing3 empat ribu orang menjadi berjumlah 20 ribu orang untuk menggempur bagian belakang musuh yang sedang menyerang benteng kota itu, sisanya 20 ribu orang tetap diformasi semula, tetap mengepung panggung untuk membantu Nyo Ko.

Walaupun pasukan Song sudah berkurang se-paroh, tapi demi nampak Nyo Ko sudah naik ke atas panggung, mereka menjadi gagah berani, dengan 1 lawan 10 mereka bertempur mati2an. Cuma pasukan pemanah Mongol berjaga terlalu rapat dan kuat hingga beberapa kali pasukan Song menyerbu maju dan selalu kena di desak mundur lagi.

Dalam pada itu di bawah benteng Siangyang pertempuran juga sedang berjalan dengan sengitnya antara yang menggempur dan yang bertahan, gubernur militer kota, Lu Bnn-hwan, dengan uniform lengkap, tidak berani memimpin sendiri ke atas benteng melainkan mengkeret sembunyi di dalam kamar dengan dua selir kesayangannya, dengan badan gemetar sebentar2 menyebut sabda Buddha, lalu saat bertanya kuatir bagaimaaa suasana pertempuran di luar?

Pada saat itulah dengan bertangan kosong dan berlengan tunggal Nyo Ko telah menempur kedua roda besi dan tembaga Kim-lun Hoat-ong hingga lebih dari 400 jurus.

Ilmu silat yang dilatih kedua orang itu meski berbeda, tapi sama2 lihaynya dan makin lama makin kuat sementara itu asap tebal dari bawah panggung membuat mata ketiga orang di atas panggung menjadi pedas.

Walaupun Nyo Ko tak bersenjata, tapi tidak pernah ia terdesak di bawah angin. Dalam pertarungan sengit itu, Hoat-ong merasa panggung itu rada bergoyang, ia tahu tentu kaki panggung sudah terbakar, sebentar lagi pasti akan ambruk, tatkala mana tak terhindarkan dirinya tentu akan gugur bersama dengan Nyo Ko dan Kwe Yang.

Pula melihat pukulan Nyo Ko makin lama makin aneh, kalau ratusan jurus lagi, mungkin ia sendiri akan terdesak. Dalam gugupnya, mendadak pikiran jahatnya timbuI, tiba2 roda besinya ia hantam ke pundak kanan Nyo Ko, selagi orang mengegos secepat kilat roda tembaganya terus disambitkan ke muka Kwe Yang.

Gadis itu terikat disatu cagak, dengan sendirinya badannya tak dapat bergerak apalagi hendak menghindari? Keruan Nyo Ko sangat terkejut lekas2 ia melompat dengan lengan bajunya ia sabet jatuh roda tembaga orang.

Namun jago silat waktu bertarung sebenarnya sedetikpun tak boleh lengah, karena pikirannya di pusatkan untuk menolong Kwe Yang, penjagaan diri sendiri menjadi terbuka, Hoat- ong tidak sia2-kan kesempatan itu, tangannya mengulur dan roda besinya terus mengiris ke paha kiri Nyo Ko.

Dalam keadaan badan terapung, lekas2 Nyo Ko depakkan kaki kirinya ke pergelangan tangan musuh, namun roda besi Hoat-ong lantas membalik ke bawah. sekali ini Nyo Ko tak mampu lagi menghindar "cret", betis kanan terkena roda besi itu dan mengucurkan darah, lukanya ternyata tidak enteng.

Dalam kagetnya Kwe Yang menjerit kuatir.

Dalam pada itu Hoat-ong sudah mengeluarkan serep rodanya yang masih satu itu, rodi timah, kembali dengan sepasang roda ia menyerang katapt cuma bukan diarahkan pada Nyo Ko, tapi selalu mengincar Kwe Yang.

Kiranya ia tahu meski Nyo Ko terluka, tapi hendak mengalahkannya tidak mungkin terjadi dalam waktu singkat, karena itu ia melulu mengincar Kwe Yang, dengan demikian Nyo Ko pasti akan berusaha menolongnya dan kedudukan lawan dengan sendirinya akan berada dipihak terdesak.

"Toakoko, jangan kau urus aku, kau bunuh saja Hwesio jahat ini untuk balaskan sakit hatiku!" demikian Kwe Yaog berseru.

Tiba2 terdengarlah suara tertahan Nyo Ko, kiranya puodak kirinya terluka oleh roda musuh lagi, luka ini ternyata lebih berat, hingga tangannya hampir2 tak bisa diangkat.

Di bawah panggung Siao-liong-li dan Sin tiau bertama Ciu Pek-thong telah menghalau pemanah2 Mongol bersama agar mereka tak sempat melepaskan panah pada Nyo Ko dan Kwe Yang. Tapi seluruh perhatian Siao liong li tidak pernah meninggalkan diri Nyo Ko, di samping putar senjatanya membunuh musuh, saban2 ia mendongak memandang ke atas panggung.

Ketika mendadak dilihatnya badan Nyo Ko penuh berlepotan darah, hatinya mencelos, kagetnya tidak kepalang.

Tatkala itu tangga panggung sudah putus terbakar, tiada jalan lagi untuk naik ke atas buat membantu , pikiran Siao-liong-ii seakan2 kabur, hanya pedangnya masih diputar membacok dan membabat tapi otaknya seperti kosong plong tak tahu berada dimana dan sedang melakukan apa?

Menghadapi bahaya, beberapa kali Nyo Ko mengeluarkan ilmu pukulan "lm-jian-siau-hun-cio" untuk gempur musuh, tapi untuk memainkan ilmu pukulan ini, jiwa dan raga harus bersatu, padahal sejak ia bertemu kembali dengan Siao-liong-li, ia menjadi girang dan periang, darimana bisa lagi timbul perasaan "lm-jian-siau-hun" atau hati muram jiwa merana?

Meski dalam keadaan berbahaya, tetap tiada sedikitpun rasa rindunya seperti berpisah tcm-po hari, maka setiap gerak serangannya selalu berselisih sedikit daripada kehendaknya dan tak dapat menunjukkan daya saktinya lagi.



Di sebelah sana Kwe Cing cs. juga sudah melihat keadaan Nyo Ko yang menempur musuh dengan bertangan kosong dan sudah terluka, tapi jaraknya terlalu jauh, cara bagaimana mereka bisa membantunya?

Tiba2 pikiran Ui Yong tergerak, ia samber pedang Yalu Ce dan dilemparkan pada sang suami, sambil berseru: "Lemparkan ke atas panggung kepada Koji!"

Kwe Cing menurut, maka meluncurlah pedang itu di atas busurnya terus dijepretkan, maka meluncurlah pedang itu dengan pesatnya dengan mengeluarkan sinar ber-kilau2. Pedang itu cukup berat bentuknya juga berlainan daripada anak panah biasa, kalau bukan bidikkan tenaga sakti Kwe Cing sukar juga hendak diluncurkannya ke atas panggung, Maka menyamberlah pedang itu dengan cepatnya ke punggung Nyo Ko. Ketika sudah dekat, mendadak lengan baju Nyo Ko mengebas kebelakang hingga dengan tepat dapat melibat batang pedang itu.

Saat itulah kebetulan roda Hoat-ong juga lagi dihantamkan padanya, segera Nyo Ko tarik pedangnya terus menusuk melalui sela2 kedua roda musuh.

Tak terduga, sebab pundaknya terluka, gerak-geriknya menjadi terganggu, pula pedang ini bukan Hian~tiat-pokiam yang tajam tiada bandingan, maka ketika roda Hoat-ong menjepit terus memuntir kedua rodanya, "pletak" kembali pedang Nyo Ko patah.

Menyaksikan itu, semua orang dibawab panggung terkejut luar biasa.

Diam2 Nyo Ko insaf juga bawa hari ini pasti celaka, bukan saja tak dapat menotng Kwe Yang, bahkan jiwa sendiri akan melayang di panggung ini. Karena itu, dengan cemas ia memandang sekejap ke arah Siao-liong-li sembari berseru: "Selamat tinggal, Liong-ji, jagalah dirimu baik2!"

Dan pada saat itu juga, sebuah roda Hoat~ong telah mengepruk ke atas kepalanya, Dalam keadaan sudah putus asa, dengan lesu dan kurang semangat Nyo Ko kebas lengan bajunya menangkis dan sebelah tangannya memukul.

Di luar dugaan, segera terdengar suara "plak" yang keras, pukulannya dengan tepat mengenai pundak Kim-lun Hoat-ong.

Menyusul itu terdengar Ciu Pek-thong berteriak di bawah panggung: "Bagus sekali tipu pukulan "to-ni-tay-sui" (berlepotan tanah membawa air) itu!"

Nyo Ko melengak. Tapi lantaran itu pula barulah ia sadar, Kiranya dalam keadaan putus asa dan lesu, tanpa terasa ia telah keluarkan tipu serangan "tho-ni-tay-sui", suatu jurus dari ilmu pukulan im-jian-siau-hun-cio". ilmu pukulan ini harus timbul sendirinya dari lubuk hati, dari lubuk hati meneruskan perasaan ke lengan dan lengan menggerakkan tangan, semuanya tergantung sang perasaan. Rahasia ini sekalipun Ciu Pek-thong yang serba lengkap mempelajari ilmu silat macam apapun juga tak mampu memahaminya.

Sejak Nyo Ko bertemu kembali dengan Siao-liong li, ilmu pukulan ciptaannya ini sudah kehilangan "daya guna" nya, baru pada saat yang paling kritis, dalam hati merasa akan berpisah untuk selamanya dengan Siao liong-li, pada detik rasa dukanya itulah tanpa terasa kekuatan daripada ilmu pukulan "lm-jian-siau hun-co" itu timbul dengan sendirinya.

Dan karena pundaknya kena digebuk sekali, tubuhnya sempoyongan Hoat-ong terkejut dan heran tapi segera ia menubruk maju pula.

Nyo Ko mengegos mundur, lalu ia memberondongi tiga kali serangan "Uk- put-ciong-sim" (keinginan ada, tenaga kurang), "To hing-gik-si" (jalan terbalik, berbuat melawan) dan "Yok-yu-soh-sit" (se-akan-2 kehilangan sesuatu).

Menyusul mana dengan tipu "Heng-si-cau bak" atau mayat berjalan bangkai bergerak, kakinya segera menendang. Tendangan ini datangnya mendadak dan tak terduga, tak sanggup lagi Hoat-ong menghindarinya, tepat sekali kena "Tan-tiong-hiat" dadanya, Sambil menjerit keras2 dan muntahkan darah tegar, tanpa ampun lagi Hoat-terjungkal ke bawah panggung.

Melihat itu, tanpa berjanji pasukan Song dan pasukan Mongol sama berteriak berbareng, Bedanya pasukan Song itu bersorak gembira, sebaliknya pasukan Mongol berteriak kaget.

Saat itu panggung sudah mulai bergoyang mengeluarkan suara "krak-krek" yang keras, Nyo Ko tahu gelagat jelek, keadaan sudah mendesak, tak sempat lagi untuk memutus tali ringkusan Kwe Yang maka sekali telapak tanggannya memotong, ia hantam patah cagak kayu yang mengikat anak dara itu, lalu orangnya bersama cagaknya diangkatnya sembari berseru: "Tiau-heng, terimalah kami!" Ia incar baik2 punggung rajawali sakti terus melompat ke atasnya.

Tangkas sekali Sin-tiau itu, meski tak bisa terbang, tapi sekali loncat setinggi dua-tiga tombak, dengan enteng saja Nyo Ko bersama Kwe Yang jatuh dengan tepat di atas punggungnya dan pe-lahan2 turun ke tanah.

Dan pada saat itulah, didahului suara gedubrakan yang gemuruh, api dan asap berhamburan panggung tinggi itu sudah ambruk rata dengan tanah.

Tatkala Kim lun Hoat-ong ditendang terjungkal ke bawah oleh Nyo Ko, walaupun terluka parah, tapi ia masih berusaha menyelamatkan diri, dengan menahan napas ia berguling sekali di tanah. Selagi hendak berbangkit kembali tiba2 terdengar olehnya di belakang seorang sedang ketawa ter-bahak2, tahu2 pinggangnya dirangkul terus ditahan diatas tanah lagi. Menyusul Hoat-ong merasa seperti beratus, beribu jarum tajam menusuk masuk semua ke dalam tubuhnya.

Kiranya yang merangkul dan menindihnya itu bukan lain ialah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, Si tua nakal ini memakai baju kutang berduri landak, benda pusaka Ui Yok su, benda ini tak mempan segala senjata, sebaliknya penuh berduri lancip bagai landak.

Memangnya Hoat-ong sudah terluka parah, kini kena dirangkul terus ditindih Lo wan-tong, keruan jiwanya melayang tanpa ampun.

Ketika panggung tinggi itu ambruk, cepat Ciu Pek thong melompat pergi, sedang Hoat-ong lantas terkubur dibawah puing panggung berapi itu.

Melihat puteri kesayangan terhindar dari elmaut, saking girangnya hingga Ui Yong mencucurkan air mata. Sungguh tidak terkatakan rasa terima kasihnya pada Nyo Ko. sekalipun saat itu ia diharuskan mati untuk Nyo Ko usanya iapun rela, Maka cepat ia mendekati sang puteri untuk membuka tali pengikatnya.

Segera pula semangat Kwe Cing, Ui Yok su, It-teng Taysu, Kwe Hu dan lain2 terbangun, sebaliknya pasukan Mongol yang mengepung panggung itu melihat pemimpinnya sudah mati, seketika mereka menjadi kacau-balau, ditambah lagi diterjang pasukan Song kian-kemari, tentu saja tambah pontang-panting tak keruan.

"Gempur balik ke Siangyang, bunuh raja itu!" teriak Kwe Cing keras2.

Maka bersoraklah pasukan Song, mereka memutar tubuh terus menerjang pasukan Mongol yang lagi menggempur benteng itu.

Melihat luka Nyo Ko, Siao-Iiong-li menyobek kain bajunya untuk membalut lukanya, saking terharunya hingga tangannya gemetar, tapi tak sanggup buka suara.

"Rasa kuatir mu di bawah panggung batu jauh lebih menderita daripada aku yang bertarung di atas panggung tadi," ujar Nyo Ko tertawa.

Sementara itu terdengar suara teriakan pasukan Song yang hiruk-pikuk memecah bumi dan secara gagah berani sedang menerjang musuh.

Dari jauh Nyo Ko melihat formasi pasukan musuh sangat teratur, pula jumlahnya berlipat ganda daripada pasukan Song, ber-kali2 pasukan Song menyerbu maju bagai gelombang ombak yang susuI-menyusuI, tapi sama sekali tak bisa memboboIkan pertahanan pasukan Mongol.

"Liong-ji," kata Nyo Ko, "meski lawan tangguh sudah mampus, tapi pasukan musuh belum kalah, Marilah kita menyerbu, Kau letih tidak?"



Betapa bersemangat kata2 Nyo Ko bagian depan itu, sedang kata2 terakhir itu berubah menjadi begitu halus lembut penuh kasih sayang.

Siao-liong li tersenyum, jawabnya: "Jika kau bilang serbu, hayolah, serbu!"

"Toakoko," tiba2 suara seorang anak dara berkata di sampingnya, "sungguh cantik Liong cici seperti dewi kayangan."

Siao-liong-li berpaling pada Kwe Yang, sahutnya sambil tertawa: "Adik cilik, banyak terima kasih atas doamu atas pertemuan kembali kami, Toa-kokomu telah banyak bercerita tentang kebaikanmu, ia sengaja membawa aku ke Siangyang sini buat bertemu dengan kau."

"Dan hanya engkaulah yang setimpal berjodohkan dia," ujar Kwe Yang sambil menghela napas.

Lalu Siao-liaong-li menggandeng tangan anak dara itu dengan sangat akrabnya, sebenarnya terhadap siapapun selalu Siao liong-li bersikap dingin, tapi sepanjang jalan ia mendengar cerita Nyo Ko yang me-muji2 Kwe Yang, pula melihat dalam usia sekecil anak dara ini, meski menghadapi ancaman elmaut tadi tetap tak gentar, maka sikap Siao-liong-li menjadi berubah dari pada biasanya.

Sementara itu Nyo Ko telah membawakan beberapa ekor kuda yang tak bertuan lagi, katanya: "Marilah naik, aku membuka jalan, kita terjang musuh bersama!"

Segera ia mendahului cemplak kudanya dan dilarikan paling depan. Dengan kencang Siao-liong~li dan Kwe Yang mengikut di belakangnya.

Mereka menuju ke selatan, terlihatlah tangga pencakar langit berderet2 bersandar pada tembok benteng, tentara Mongol bagai semut banyaknya sedang memanjat ke atas.

Ketika mereka memandang dari suatu tempat yang tinggi, terlihat di sebelah barat beribu tentara Mongol lagi mengurung Yalu Ce bersama 200 orang anak buahnya.

Tentara Mongol itu semuanya bersenjata golok sepanjang lima kaki dan berbentuk melengkung, maka satu persatu anak buah Yalu Cc banyak yang kena dibabat terguling, Kwe Hu kelihatan memimpin sepasukan tentara lain sedang menerjang hendak menolong suaminya, tapi kena ditahan oleh pasukan Mongol yang berjumlah ribuan orang.

Suami isteri hanya dapat melihat dari jauh saja, tapi tak bisa berhimpun menjadi satu.

Menyaksikan perajurit2 di samping suaminya makin lama makin berkurang, hati Kwe Hu benar2 seperti di-sayat2. ia tahu dalam pertempuran besar demikian, bila sampai terkepung sendirian, betapapun tinggi ilmu silatnya juga tak terhindar dari kematian.

Pada saat itulah tiba2 terdengar Nyo Ko ber-seru. "Kwe-toakounio (nona Kwe besar), asal kau menyembah tiga kali padaku, segera aku menolong suamimu!"

Kalau turuti watak Kwe Hu yang congkak dan tinggi hati, jangankan disuruh menyembah, sekalipun mati juga ia tak mau kalah mulut pada Nyo Ko. Tapi kini jiwa sang suami bergantung di ujung rambut, tanpa ragu2 lagi ia keprak kuda mendekati Nyo Ko, sekali melompat turun, benar saja ia lantas tekuk lutut dan hendak menyembah sungguh2.

Melihat itu, Nyo Ko malah terkejut, lekas ia menarik bangun orang, ia menyesal atas katanya tadi yang rendah budi, "Maafkan aku telah salah omong, jangan kau anggap sungguh Yalu-heng adalah sahabatku yang terbaik, tidak mungkin aku tidak menolongnya?"

Habis itu, ia mengumpulkan delapan ekor kuda lagi, yang empat ekor ia satu baris di depan dan empat ekor lain tergandeng satu baris di belakang, dengan dua baris kuda muka belakang masing2 empat ekor itu, segera ia melompat ke atasnya, dengan tangan tunggal ia pegang delapan tali kendali, sekali ia bersuit segera ia terjang pasukan musuh.

Walaupun "tank-kuda" dikendalikan Nyo Ko ini belum terlatih, tapi dengan tenaga saktinya tidak sukar untuk mengendalikannya, Maka 32 tapak kaki segera ber-detak2 kedepan hingga debu pasir berhamburan, Nyo Ko sendiri dengan Gin-kang yang tinggi, melompat ke sana ke sini di atas ke delapan ekor kuda itu.

Ketika tentara Mongol tertegun menyaksikan ilmu menunggang kuda yang aneh menyerbu ke-dalam pasukan mereka. Sekali lengan baju Nyo Ko mengebas, sebuah panji segera kena dirampasnya terus di tancapkan di atas pelana.

Dengan mem bentak2 segera perwira dan bintara Mongol hendak merintangi, tapi di mana panji Nyo Ko rampasan tadi menyabet, sekaligus tiga perwira musuh terguling dari kudanya.

Ketika itu Yalu Ce kelihatan tinggal tiga tombak jauhnya, segera NyoKo berseru: "Yalu heng lekas melompat ke atas!"

Berbareng itu, sekali panji diayunkan, segera Yalu Ce melompat tinggi ke udara, cepat Nyo Ko menggulung dengan panjinya hingga dengan tepat tubuh Yalu Ce terbungkus oleh kain panji itu Dua orang delapan kuda segera menerjang keluar kepungan musuh.

"Nyo hengte," kata Yalu Ce menghela napas lega, "banyak terima kasih atas pertolonganmu, Tapi anak buahku masih ada yang terkepung, tidak mungkin aku menyelamatkan jiwa sendiri, Biarlah aku bertempur lagi dan mati bersama dengan mereka."

Tiba2 pikiran Nyo Ko tergerak, katanya: "Marilah, kaupun merampas sebuah panji besar!" Habis ini, ia mengeluarkan geretan dan kain panji di tangannya itu ia bakar.

"Akal bagus!" seru Yalu Ce. Segera iapun dapat merampas sebuah panji dan menyulutnya dengan api panji Nyo Ko yang sudah ber-kobar2 itu.

Sambil mem-bentak2, panji berapi itu mereka ubat-abitkan, kembali mereka menyerbu ketengah pasukan musuh lagi.

Dengan diputarnya kedua panji berapi yang menari kian kemari di udara, asal sedikit kesenggol siapapun pasti akan kepala gosong dan rambut hangus.

Walaupun pasukan Mongol gagah berani, tapi menghadapi api, tak bisa tidak mereka harus mundur, sementara itu bawahan Yalu Ce tadi sudah tinggal 50-60 orang saja, segera mereka menerjang keluar dari kepungan.

Dengan sisa perajuritnya itu, Yalu Ce berkumpul di atas tanah bukit sana sekedar melepas lelah.

Tiba2 Kwe Hu mendekati Nyo Ko terus menyembah "Nyo-toako, selama hidup aku selalu tak baik padamu, tapi kau berbudi luhur, kejelekanku kau balas dengan kebajikan dan kini engkau telah menolong..." Berkata sampai di sini suaranya menjadi parau dan tenggorokan seakan2 tersumbat.

Memang Beberapa kali Nyo Ko pernah menoIongnya, tapi selalu merasa sirik dan dengki padanya. Sudah terang orang ada budi padanya, tapi rasa jemunya sukar dilenyapkan sering ia merasa Nyo Ko terlalu angkuh dan suka agulkan kepandaiannya yang tinggi serta sengaja pamer.

Dan baru sekarang sesudah Nyo Ko menolong jiwa suami-nya, Kwe Hu benar2 merasa berterima kasih, baru ia insaf kesalah pahamannya yang duIu2.

Maka lekas2 Nyo Ko membalas hormat orang, sahutnya: "Adik Hu, sejak kecil kita hidup bersama dan suka cekcok, padahal hubungan kita bagai kakak dan adik, asal kini kau tidak jemu lagi padaku, itupun aku sudah merasa senang."

Kwe Hu tertegun oleh sebutan itu, sekilas segala kejadian di masa kanak2 terbayang olehnya.

"Ya, apakah karena aku jemu padanya? Ataukah benci padanya? Bu-si Hengte begitu baik dan suka me-nyanjung2 padaku, tapi ia selamanya tak gubris diriku, Padahal asal sedikit turuti kemauanku, sedikit pikirkan diriku, rasanya aku mati untuknya juga rela.

Sebab apakah aku benci padanya tanpa alasan? Rupanya, diam2 aku suka padanya, tapi sedikitpun ternyata aku tidak terisi di dalam hatinya," demikianlah ia memikir.



Aneh juga, selama 20-an tahun ini, Kwe Hu tidak tahu akan perasaan hatinya sendiri, setiap ingat Nyo Ko, selalu ia pandang orang sebagai musuhnya, padahal dalam hati kecilnya, betapa perhatian dan rindunya pada Nyo Ko tidaklah dapat dilukiskan dengan kata2.

Mungkin itulah yang dikatakan : "Cinta yang dalam, bencinya juga mendalam." Sejak kecil sifat Kwe Hu sudah tinggi hati, ia anggap seharusnya Nyo Ko mesti menjunjungnya seperti kedua saudara Bu yang begitu penurut.

Akan tetapi, sedikitpun Nyo Ko ternyata tidak paham perasaannya, sebaliknya ia sendiripun juga tidak paham akan perasaan Nyo Ko.

Lebih2 Kwe Cing dan Ui Yong, kedua orang tua ini merasa Kwe Hu dan Nyo Ko ini dilahirkan sebagai musuh, asal bertemu pasti cekcok, sampai akhirnya lengan Nyo Ko buntung ditebas Kwe Hu hampir2 urusan meluas sampai batas2 yang sukar diatasi.

Kini terasa benci dan sirik itu sudah hilang barulah Kwe Hu sadar, kiranya perasaannya pada Nyo Ko sesungguhnya begitu mesra, begitu mendalam. Waktu ia menyerbu musuh untuk menolong kakak Ce, sebenarnya hatiku lebih kuatir untuk siapa kah? inilah aku tak bisa menerangkan. Sudah tentu kini aku tak mencintainya lagi, tapi dulu, kenapa aku menjadi begitu benci padanya?" demikian pikirnya.

Begitulah di tengah2 pertempuran yang gegap gempita itu, mendadak Kwe Hu menjadi jelas akan perasaan hatinya sendiri:

"Pada hari ulang tahun Yang-moay, ia telah memberikan tiga hadiah besar padanya dan kenapa aku harus begitu benci padanya ? ia membongkar kedok Hotu dan mendukung Ce-koko menjadi pangcu dari Kay-pang, kenapa diam2 aku malah marah? Ah, Kwe Hu, Kwe Hu! Nyata kau~lagi cemburu pada adik perempuannya sendiri! Soalnya sedemikian budinya yang manis kepada Yang-moay, tapi selamanya tak pernah sedikitpun begitu baik terhadapku,"

Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia mendongkol dan gusar lagi, dengan sengit ia melotot sekejap ke arah Nyo Ko dan Kwe Yang, tapi mendadak ia sadar lagi.

"Ah, kenapa aku pikirkan hal2 ini? Bukankah aku sudah menjadi wanita yang bersuami, pula kakak Ce juga sangat cinta padaku."

BegituIah, akhirnya ia menghela napas panjang, walaupun hidupnya tidak kekurangan sesuatu apa, tapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam seakan2 tertinggal semacam rasa penyesalan yang tak terkatakan.

Biasanya apa yang dikehendakinya pasti terpenuhi, tapi sesuatu yang justru sangat diinginkannya malahan tidak di peroleh. Sebab itulah selama hidupnya ini terkadang ia sendiripun tidak paham: "Sebab apa sifatnya begitu keras? Sebab apa diwaktu orang lain sedang bergirang, ia sendiri jus-tru mendongkol dan marah tanpa sebab?

Wajahnya sebentar marah sebentar pucat, ia terus memikirkan perasaannya yang aneh itu. Tapi Nyo Ko, Siao-liong li, Yalu Ce dan Kwe Yang es sedang memandang jauh mengikuti pertempuran dahsyat yang sedang berlangsung di depan benteng Siangyang,

Terlihat tentara Mongol bagai semut sedang merembet ke atas benteng, Kwe Cing dan Ui Yok-su cs. dengan perajuritnya sedang menggempur dari belakang musuh itu, namun jumlahnya sedikit, sukar menggulingkan pasukan besar musuh yang racnggcmpur benteng itu.

Sedangkan panji kebesaran raja Mongol tertampak pelahan2 mendekati kota, rupanya pasukan penjaga kota sudah patah semangatnya, tak sanggup lagi menggempur turun pasukan musuh yang merembes ke atas benteng itu.

Melihat itu, Kwe Yang berseru kuatir: "Toa-koko, bagaimana baiknya? Bagaimana baiknya ini?"

Diam2 Nyo Ko pikir: "HidupKu ini bisa berjumpa pula dengan Liong ji, sesungguhnya Thian berlaku murah padaku, harini walaupun harus mati, rasaku tidak menyesal lagi, Laki2 sejati harus bela tanah air dan berkorban dimedan bakti, inilah tempat berpulang yang paling tepat bagiku."

Berpikir itu, seketika semangatnya me nyala2, serunya segera: "MariIah, Yalu-heng, kita menerjang musuh lagi!"

"Bagus sekali!" sahut Yalu Ce tanpa pikir.

"Maritah kita ikut menyerbu!" Siao liong li dan Kwe Yang pun berseru berbareng.

"Baik," kata Nyo Ko. "Aku merintis di depan, kalian kumpulkan sebanyaknya tombak yang panjang dan ikut di belakangku."

Segera Yalu Ce memberi perintah bawahannya mengumpulkan tumbak2 yang berserakan di medan pertempuran itu, mereka masing2 membawa beberapa buah juga.

Dengan tumbak di tangan, segera Nyo Ko cemplak kuda menerjang kedepan, Sin-tiau, Si rajawali sakti selalu mendampingi kudanya, sayapnya yang kuat itu se-akan2 perisai Nyo Ko dan menyampuk panah yang berhamburan datang itu, Siao-liong-li, Yalu Ce, Kwe Yang berempat mengintil dibelakang dengan kencang.

Ternyata jurusan yang di arah Nyo Ko itu adalah di mana kelihatan panji kebesaran raja Mongol berkibar.

Keruan Yalu Ce terkejut, ia tahu, sekali raja Morigol berani memimpin tentara sendiri, tentu penjagaan sudah diatur keras dan rapat sekali, Kini jumlah pihaknya yang tiada seratus orang ini bukankah cuma antarkan kematian bila berani menerjangnya? Tapi bila ingat jiwanya yang tadi hampir meliyang, tapi tertolong oleh Nyo Ko, maka kemana saja diajak, kelautan api atau masuk air mendidih juga pasti akan diturutnya.

Begitulah dalam sekejap saja mereka sudah menerjang mendekati benteng Siangyang, Ketika pengawal Monko melihat serbuan rombongan Nyo Ko yang hebat itu, segera ada 200 orang dikerahkan untuk menahannya.

Tapi sekali Nyo Ko ayunkan tangannya yang tunggal itu, pesat bagai panah sebatang lembing atau tumbak lantas meluncur ke depan dan menembus dada seorang perwira musuh, habis itu ia sambut pula sebatang lembing lain dari Yalu Ce terus ditumpukkan lagi dan kembali perwira musuh kedua terjungkal.

Keruan pasukan Mongol itu menjadi kacau dan rombongan Nyo Ko dengan cepat menerjang lewat.

Terkejut sekali para pengawal Monko, beramai2 mereka angkat senjata menghadang maju, tapi tumbak Nyo Ko sekali tusuk, satu orang pasti terguling, siapa yang merintangi pasti mati.

Harus diketahui tenaga sakti lengan tunggal Nyo Ko itu terlatih di bawah damparan ombak badai, betapa kuat sambitan lembingnya itu, sekalipun batu cadas juga tembus, jangankan badan manusia. Setiap lembingnya selalu diincarkan pada perwira2 yang memakai topi baja yang mudah dikenal, maka sekejap saja 17 tumbak sudah membunuh 17 perwira Mongol yang perkasa.

Dengan serangan kilat ini, meski berpuluh ribu tentara terhimpun di bawah benteng, tapi ke mana rombongan Nyo Ko sampai, di situ lantas kacau balau, sekaligus Nyo Ko telah menerjang sampai di depan raja Mongol.

Dengan mati2an pengawal pribadi Monko maju bertahan. Maiahan beberapa orang di antaranya terus meng-aling2 di depan junjungan mereka sebagai tameng.

Ketika Nyo Ko membaliki tangannya hendak menerima tumbak lagi dari Yalu Ce. ternyata mendapat tempat kosong. Kiranya mereka sudah keterjang pasukan musuh hingga terpisah.

Sementara itu Nyo Ko melihat muka raja MongoI mengunjuk rasa gugup dan kuatir, kuda-segera diputar lantas hendak kabur. Tiba2 Nyo Ko bersuit panjang, sekali kaki mengenjot pelana kuda, tubuhnya terus mencelat ke atas dan menubruk ke sana.

Belasan perajurit pengawal raja segera putar senjata mereka menusuk ke atas, tapi mendadak Nyo Ko berjumpalitan sekali diudara, tahu2 tubuhnya melayang lewat di atas senjata2 musuh.

Melihat gelagat jelek, sekali tarik kudanya, segera raja Mongol itu kabur ke depan dengan cepat.



Kuda tunggangan raja Mongol itu adalah binatang pilihan, larinya begitu cepat bagai terbang, Namun Nyo Ko tetap mengubernya dengan kencang ilmu entengkan tubuh yang tinggi. Dan di belakangnya menyusul pula beratus perajurit pengawal Mongol

Melihat keadaan begitu, pasukan kedua pihak, di atas dan di bawah benteng, untuk sementara menjadi lupa bertempur dan mereka sama ber-teriak2, pasukan Mongol berteriak mengharap kuda junjungan mereka berlari lebih cepat, sebaliknya pasukan Song berteriak membeli semangat pada Nyo Ko agar bisa membekuk raja.

Diam2 Nyo Ko bergirang melihat raja Mongol kabur terpencil sendirian Pikirnya, betapapun cepat kau kabur, akhirnya pasti akan kutangkap.

Tak terduga kuda tunggangan Monko yang bernama "Hui-hun cuirt atau kuda awan mengapung itu ternyata luar biasa sedikit mengenjot, sekali melompat lantas beberapa meter ke depan. Meski Nyo Ko sudah mengudak sekuatnya, tapi malahan semakin jauh ketinggalan.


Tiba2 Nyo Ko menyamber sebatang tumbak, lalu ditimpukkannya ke punggung Monko sekuat tenaga, Tampaknya lembing itu meluncur bagai panah dan segera bakal menancap di punggung orang, saking tegangnya sampai kedua pihak sama ternganga menahan napas, Siapa tahu mendadak kuda "Hui hun-cui" itu memancal ke depan hingga lembing itu jatuh satu kaki jauhnya dibelakang punggung raja Mongol itu.

Maka berteriak pula pasukan kedua pihak. pasukan Song merasa sayang, gegetun, sebaliknya pasukan Mongoi bersyukur girang.

Waktu itu jarak Kwe Cing, Ui Yok-so, Ui Yong Ciu Pek-thong dan Ii-teng semuanya sangat jauh, mereka hanya ikut berkuatir saja tanpa bisa membantu Nyo Ko. Sebaliknya perajurit dan perwira Mongol juga melulu bisa ber- teriak2 memberi semangat saja, walaupun ada maksud berkorban untuk junjungan mereka, tapi mana dapat menyandak lari-nya "Hui hun cui" yang begitu pesat?

Ketika Monko menoleh ke belakang dan melihat Nyo Ko semakin ketinggalan jauh, ia menjadi lega, Segera ia belokkan kudanya menuju ke barat, ke pasukannya yang berada di situ. Maka sambil ber-teriak2 pasukan Mongol itupun maju memapaki.

Dan jika sampai keduanya bergabung, lebih tinggi lagi kepandaian Nyo Ko juga tak berdaya pula untuk menangkap raja musuh itu.

Melihat usahanya akan gagal, Nyo Ko menjadi gegetun sekali tiba2 bergerak pikirannya, ia pikir tombak terlalu berat, sukar mencapai jauh,kenapa tidak pakai batu saja?

Karena itu, cepat ia jemput dua potong batu kecil seadanya, ia gunakan "Tan-ci-sin-thong" atau ilmu sakti selentikan jari, dua batu itu satu persatu diselentikan ke depan.

Maka terdengarlah suara mendenging tajam dua kali, suatu tanda betapa pesat menyambernya batu itu dan keduanya kena pantat kuda "Hui-hun-cui" hingga karena kesakitan, sembari meringkik, binatang itu berjingkrak terus berdiri menegak.

Monko adalah seorang raja yang tangkas dan gagah perwira, sejak kecil sudah banyak ikut bertempur dengan kakeknya, yaitu Jengis Khan, Hidup-nya boleh dikatakan dibesarkan di atas kuda dan di tengah senjata.

Kini meski menghadapi bahaya, tapi sama sekali tidak menjadi gugup, cepat ia tarik gendewa terus memanah ke belakang sambil kedua kakinya mengempit kencang kudanya yang menegak itu.

Tapi sedikit menunduk, Nyo Ko hindarkan panah orang, habis itu secepat terbang ia melompat maju, sedang tangannya sudah dapat meraup sepotong batu lagi, waktu ia sambitkan sekuatnya, dengan tepat mengenai punggung Monko.

Betapa hebat tenaga sambitan Nyo Ko itu, keruan Monko tak tahan, tulang iganya patah, orangnya terjungkal dari kudanya dan terbanting binasa.

Melihat raja mereka terguling dari kuda, seluruh pasukan MongoI menjadi kacau, beramai2 merubung maju dari segala jurusan.

Segera Kwe Cing memberi tanda serangan umum. Begitu pula pasukan Song yang berada di dalam benteng segera ikut menyerbu keluar. Ditambah lagi barisan 28 bintang yang dipimpin Ui Yok-su lantas menggempur musuh ke sana ke sini.

Dalam keadaan kacau balau, pasukan Mongol saling injak-menginjak, yang mati tak terhitung banyaknya, sepanjang jalan penuh senjata yang ditinggalkan, akhirnya kabur tanpa teratur ke utara.

Selagi Kwe Cing memimpin pasukannya mengejar musuh, tiba2 terlihat dari arah barat muncul lagi sepasukan musuh yang barisannya sangat rajin teratur, dari panjinya dapat diketahui itu adalah pasukan yang dipimpin adik raja, yaitu Kubilai.

Akan tetapi sekali pasukan Mongol sudah kalah, keadaannya bagai air bah melanda dan seketika tak mungkin bisa ditahan, Betapapun Kubilai atur tentara dengan baik, tetap keterjang pasukan kalah yang mundur bagai arus menerjang itu, seketika pasukannya ikut kacau.

Melihat gelagat jelek segera Kubilai putar pasukannya, ia sendiri dengan pasukan pribadinya pelahan2 mundur ke utara dengan teratur.

Sejak terjadi pertempuran antara pasukan Mongol dan kerajaan Song, selamanya pihak Mongol belum pernah mengalami kekalahan begitu besar, lebih2 raja mereka gugur dimedan pertempuran, hal ini sangat mempengaruhi semangat tentaranya.

PuIa menurut tradisi bangsa Mongol, takhta kerajaan bukan diteruskan putera mahkota, tapi di-calonkan oleh suatu dewan yang terdiri dari keluarga raja, pengeran2, pembesar2 dan panglima yang terkemuka.

Kini Monko sudah mati, buru2 Kubiiai ingin bisa naik takhta, maka iapuu cepat pimpin pasukannya pulang ke utara. Kelak 13 tahun kemudian, barulah pasukan Mongol datang menggempur Siangyang lagi.

Ketika Kwe Cing pimpin pasukannya kembali ke kota, tampaklah gebernur Lu Bun-nwan beserta stafnya lengkap sudah menunggu di pintu gerbang untuk menyambutnya. Begitu pula rakyat ber-jubel2 diluar benteng sambil membawakan arak dan segala macam daharan sebagai hiburan bagi pasukan yang menang itu.

Kwe Cing menggandeng tangan Nyo Ko, ia terima secawan arak yang disuguhkan oleh seorang penduduk tua, tapi ia angsurkan pada Nyo Ko, katanya. "Ko-ji, harini kau telah berjasa begini besar, namamu akan harum tersiar ke-mana2, ini sudahlah pasti, seluruh rakyat penduduk kota inipun tiada yang tak berterima kasih padamu."

Terharu sekali Nyo Ko oleh pujian Kwe Cing itu, ada sepatah kata yang sudah tersimpan lebih 20 tahun di dalam hatinya dan belum pernah diucapkan kini tak tertahan lagi, dengan suara lantang segera ia menjawab: "Kwe pepek, jika waktu kecil siautit (keponakan) tidak mendapat perawatan dan pengajaranmu, mana mungkin terjadi seperti hari ini?"

Lalu kedua orang bergandengan tangan masuk kota bersama,terdengarlah suara sorak sorai rakyat yang gegap gempita menyambut mereka. Tiba2 Nyo Ko teringat kejadian dulu: "Lebih 20 tahun yang lalu Kwe-pepek juga menggandeng tanganku mengantar aku ke Cong lam-san untuk belajar silat, perhatiannya padaku hingga sekarang sedikitpun tidak pernah berubah. Tapi aku sendiri telah berbuat onar, bikin gara2, mendurhakai guru dan menghianati agama, Coba bila aku terus tersesat ke jalan yang tak benar, tidak nanti hari ini aku bisa bergandcngan tangan lagi dengan Kwe-pepek." Berpikir demikian tanpa terasa Nyo Ko merasa malu sendiri.

Malamnya di dalam kota telah diadakan perjamuan besar untuk merayakan kemenangan yang gilang gemilang itu. Di tengah suasana yang gembira itu, tiba2 Kwe Cing berduka sebab terkenang pada Ang Chit-kong. Katanya: "Dahulu kalau bukan Khu totiang (Khu Ju-ki) dari Coan cin-kau yang berbudi itu dan ketujuh In'su (guru berbudi) jauh2 mencariku ke Mongol, pula mendapat didikan dari Ang-loinsu, tidak mungkin aku Kwe Cing bisa berjasa sedikit seperti hari ini? Kini kita bergembira di sini, di antara para Insu, kecuali Kwa-Ioinsu, selebihnya sudah wafat semua, kalau ingat beliau2 itu, sungguh aku menjadi berduka."



Mendengar itu, lt-teng Taysu dan yang lain2 ikut muram,sebaliknya Lu Bun hwan sama sekali tak mengerti seluk-beluknya, katanya dalam hati: "Orang2 ini benar2 tidak tahu aturan, dalam perayaan yang gembira ria ini malah berbicara tentang orang mati segala."

Sementara itu Kwe Cing telah berkata lagi "Kalau urusan di sini sudah selesai, besok juga aku ingin berangkat ke Hoa-san untuk berziarah ke makam Insu."

"Kwe-pepek," sela Nyo Ko, "memangnya aku lagi hendak bilang begitu, Marilah kita pergi be-ramai2."

Memang Ui Yok-su, It-teng dan Ciu Pek-thong juga sudah kangen pada sobat tua yang telah meninggal lebih 20 tahun itu, segera saja mereka menyatakan setuju.

Dan perjamuan itu terus berlangsung dengan meriah hingga jauh malam.

Besok paginya, diam2 Kwe Cing dan rombongannya lantas berangkat menuju ke Hoa-san. Kesehatan Ciu Pek-thong, Liok Bu-siang, Su-si Hengte dan Su sui Hi-un belum sembuh betuI, mereka menunggang kuda dan berjalan pelahan.

Baiknya tiada urusan penting, maka perjalanan mereka dilakukan seenaknya saja.

Tidak seberapa hari tibalah mereka sampai di Hoa-san, ketika Ciu Pek-thong cs sudah sembuh-semuanya. Maka naiklah mereka ke atas gunung itu, Nyo Ko menunjukkan tempat di mana jenazah Ang Chit-kong dan Auyang Hong di kubur dulu.

Ui Yong sudah membawakan sayur-mayur, ayam daging dan lain2 sesajen, segera ia membikin tungku dan menyalakan api, ia bikin beberapa macam masakan yang paling disukai mendiang Ang Chit-kong sebagai sesajen sembahyang, Lalu para ksatria itupun menjalankan penghormatan dan mengheningkan cipta.

Kuburan Auyang Houg letaknya di samping kuburan Ang Chit-kong, tapi dendam Kwe Cing pada Auyang Hong boleh dikatakan sedalam lautan, bila ingat beberapa gurunya yang berbudi, seperti Ju Jong, Han Po-ki dan lain2 terbunuh secara keji, meski kejadian sudah lewat berpuluh tahun, tapi rasanya masih sangat benci padanya.

Hanya Nyo Ko saja yang mengingat budi kebaikan Auyang Hong dulu yang mengaku anak angkat padanya, ia berlutut dan menyembah di hadapan makam ayah angkat itu, bersama Siao-liong li.

Ciu Pek-thong maju ke depan kuburan Auyang Hong itu, ia membungkuk memberi hormat, katanya: "Wahai Lo-tok-but (makhluk berbisa tua, julukan Auyang Hong), hidupmu dulu banyak melakukan kejahatan, sesudah mati kau menjadi tetangga Lo-kiau-hua (pengemis tua, Ang Chit-kong), boleh dikatakan kau yang beruntung. Hari ini semua orang datang berziarah ke makam Lo kiau-hua, sebaliknya melulu dua bocah saja yang menyembah padamu, kalau ditanah baka kau tahu, seharusnya kau menyesali keganasan semasa hidupmu dulu?"

Mendengar doa sembahyang yang lucu aneh itu, semua orang menjadi geli.

Kemudian semua orang ambil mangkok dan sumpit, mereka hendak dahar di depan kuburan itu. Tiba2 dari balik gunung sana berkumandang terbawa angin suara beradunya senjata serta bentak -membentak orang, tampaknya seperti ada orang sedang berkelahi.

Dasar watak Ciu Pek-tbong paling getol mengenai sesuatu, cepatan saja ia mendahului berlari ke tempat ramai2 itu, Kemudian semua orangpun menyusulnya.

Lewat dua tanjakan, di suatu tanah datar yang sempit terkumpul 30 - 40 orang yang beraneka macam bentuknya, tinggi-pendek, gemuk-kurus, tua~ muda, laki- perempuan, ada paderi, ada pereman semua bersenjata.

Orang2 itu sedang bertengkar, melihat kedatangan rombongan Ciu Pek-thong dan Kwe Cing, disangka kaum pelancongan biasa, maka tak digubrisnya.

Terdengar seorang laki2 tinggi besar telah berkata dengan suara lantang. "Diam, diam! Kita jangan "hantam kromo" tak keruan. Sebutan "juara ilmu silat" tidak mungkin diperoleh dengan jalan ribut2 begini. Kini para orang gagah sudah berkumpul semua di sini, kenapa kita tidik saling ukur kepandaian masing2 dengan ilmu pukulan atau senjata? Barang siapa bisa menangkan seluruh pertandingan, kita bersama lantas menyerah dan mengangkat dia sebagai juara."

"Betul," timbrung seorang Tojin berjenggot panjang bersenjatakan pedang. "Menurut cerita di kalangan Bu-Iim, dahulu pernah terjadi "Hoa-san-lun-kiam (pertandingan pedang di Hoa san) sekarang kita juga boleh coba2 bertanding, lihat saja siapakah gerangannya yang akan menduduki tempat tertinggi?"

Segera semua orang bersorak menyatakan akur, malahan ada beberapa orang diantaranya tanpa disuruh terus melompat ke tengah sambil berteriak: "Hayolah, siapa berani maju menghadapi aku?"

Melihat itu, Ciu Pek-thong, Ui Yok-su dan It-teng dan lain2 saling pandang dengan bingung karena di antara orang2 itu tiada seorangpun yang mereka kenal.

"Hoasan lun~kiam" atau pertandingan pedang Hoa-san yang disebut itu, ketika untuk pertama kalinya diadakan, Kwe Cing sendiripun belum Iahir. Tatkala itu terjadi berebut sebuah kitab yang bernama "Kiu~im-cin-keng". Untuk itu Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, yaitu nama2 julukan Ui Yok-su. Auyang Kong, Toan-Ti-hin (lt-teng Taysu sekarang), Ang Chit-kong dan Ong Tiong-yang telah berkumpul di puncak tertinggi Hoasan untuk mengukur tenaga, akhirnya Tiong-sin thong Ong Tiong-yang menjagoi tokoh2 lainnya dan dapat menangkan gelar "Juara."

25 tahun kemudian, Ong Tiong-yang telah wafat, ketika Ui Yok-su dan lain2 untuk kedua kalinya mengadakan "Hoasan lun-kiam", sekali ini kecuali keempat tokoh yang lama, yaitu Tang-sia, Se tok, Lam te dan Pak-kay, bertambah lagi Ciu Pek-thong, Kiu Jian yim dan Kwe Cing bertiga, tapi sesudah saling gebrak, semuanya meiasa kepandaian masing2 belum mencapai tingkatan yang susah diukur, untuk mendapatkan gelar "Juara" sesungguhnya belum bisa.

Sungguh tak terduga setelah berpuluh tahun kemudian, kini ternyata ada lagi serombongan tokoh silat kalangan Bu-Iim yang ingin mengadakan "Hoa-san lun-kiam" ketiga kalinya.

Hal ini tentu saja bila Ui Yok-su dan lain2 rada heran, tapi yang lebih aneh ialah berpuluh orang di depannya ini tiada yang mereka kenal. Apakah mungkin karena diri mereka seperti kodok di dalam sumur yang tak tahu di luar langit masih ada langit orang pandai ada yang lebih pandai.

Sementara itu terlihat beberapa orang itu sudah mulai saling gebrak, tapi baru beberapa jurus tak tertahan lagi Ui Yok-su dan Ciu Pek-thong akan rasa geli mereka. Sampai orang alim seperti It-teng juga ikut geli, sejenak pula, saking tak tahan, Ui Yok-su, Ciu Pek-thong, Nyo Ko dan Ui Yong lantas tertawa ter pingkal2

Ternyata ilmu silat beberapa orang yang saling labrak itu terlalu rendah, hakikatnya cuma sebangsa jual jamu di Kangouw saja, entah mengapa merekapun bisa datang ke Hoa-san dan me-niru2 hendak mengadakan "Hoa-san-lun-kiam" segala.

Ketika mendengar suara tertawa Ciu Pek-thong dan lain2, pertarungan beberapa orang itu lantas berhenti dan melompat mundur "Hai, manusia tak kenal mati-hidup! Tuan2 besar sedang bertanding silat di sini, kenapa kalian malah ter-kekek2 dan peringas-peringas di sini? Hayo, lekas pergi dari sini jika ingin selamat!"

Tiba2 Nyo Ko bergelak ketawa, begitu keras dan panjang suaranya hingga menggema angkasa bagai bunyi guntur gemuruh. Mula2 rombongan orang itu berwajah pucat, menyusul badan gemetar, lalu senjatanya berjatuhan.

"Nah, lekas enyah!" beatak Nyo Ko kemudian



Sesudah terpaku sebentar, mendadak orang itu berteriak ramai, berbareng lari sipat-kuping ke bawah gunung, saking ketakutan sampai banyak yang jatuh bangun tak berani menoleh lagi, lapat2 terdengar ada di antaranya berseru: "Lekas lari, lekas lari! itulah Sin-tiau-tayhiap!"

Dan sekejap saja mereka sudah kabur bersih. Saking gelinya Eng Koh dan Kwe Hu ter-pingkal2 sembari pegangi perut.

"Manusia yang suka mengelabui orang dan memajukan nama di mana2 selalu ada, tapi tidak nyana di puncak Hoa-san inipun diketemukan bangsa2 sedemikian ini," ujar Ui Yok-su gegetun.

"Dahulu di seluruh jagat terkenal ada "Ngo Coat" (panca mahajana, lima tokoh terkemuka)", tiba2 Ciu Pek-thong menyela. "Kini Se-tok, Pak-kay dan Tiong-sin thong sudah mati, lalu tokoh yang masih hidup di jaman ini ada berapa orang lagi yang dapat di-disebut "Ngo-Coat"?

Sahut Ui Yong dengan tertawa: "lt-teng Taysu dan ayahku makin hari makin tinggi ilmunya, dahulu saja sudah termasuk dalam hitungan "Ngo Coat" dan kini lebih2 tak perlu disangsikan. Dan kalau mau bicara secara jujur, suamiku sendiri adalah murid Pak-kay, iapun dapat termasuk satu di antara "Ngo Coat" itu. Usia Ko-ji meski muda tapi ilmu silatnya susah diukur, di antara angkatan muda siapa yang bisa membandinginya, apalagi iapun anak angkat Auyang Hong, jadi Tang dan Lam adalah orang lama, sedang Se dan Pak harus diteruskan oleh suamiku dan Ko ji."

"Salah, salah!" sahut Pek-thong tiba2 sambil geleng2 kepala.

"Kenapa salah?" tanya Ui Yong.

"Ya, salah," kata Pek thong. "Auyang Hong BerjuIuk Se-tok, tapi hati dan tindak tanduk si Nyo Ko ini sama sekali tidak Tok (racun, artinya kejam), kalau iapun disebut Se-tok, kan tidak cocok?"

"Benar! Cing-koko juga tidak jadi pengemis pula lt-teng Taysu sekarangpun tidak menjadi Hongte lagi." ujar Ui Yong, "Maka menurut aku, julukan kalian sekarang kudu diperbaharui Tang-sia, julukan ayah, adalah "trade mark" lama, itu tak perlu diganti, It teng Taysu tidak lagi jadi Hongte, tapi menjadi Hwesio, ia harus di sebut "Lam-ceng" (paderi diri selatan), Mengenai Ko-ji (Nyo Ko), biar kuhadiahi dia julukan "Ong" (bebas, tak terkekang), kalian bilang tepat tidak?"

"Bagus!" seru Ui Yok-su per-tama2 menyatakan akur, "Haha, sejak kini, satu Tang-sia dan yang lain Se-ong, satu tua dan satu muda, kita semua memang pasangan yang setimpal"

"Ah, usiaku masih terlalu muda, mana berani berdiri sejajar dengan para Cianpwe," ujar Nyo Ko merendah diri.

"Aha, adik cilik, kau salah jika bilang begitu," seru Ui Yok-su, "Kau kan sudah pakai julukan "Ong" ( berlaku bebas )? Kalau berdasarkan namamu yang tersohor dan ilmu silatmu, masakan tidak lebih tinggi daripada Lo-wan-tong?"

Ui Yok-su tahu puterinya (Ui Yong) sengaja tidak menyebut Ciu Pek-thong, perlunya biar si tua nakal itu tak tahan, lalu muring2 sendiri, maka iapun sengaja membumbui sekalian.

Nyo Ko pun paham maksud hati ayah dan anak itu, ia saling pandang dengan Siao-liong-li sambil tersenyum, dalam hati ia berpikir "Julukan "Ong" ini memang sangat tepat."

Diluar dugaan Ui Yok-su, sama sekali Ciu Pek-thong tidak ribut malahan, ia tanya: "Jika Lam~ceng dan Se-ong sudah ganti merek semua, lalu "Pak-kay" bagaimana, harus diganti apa?"

"Ksatrta seluruh jagat di jaman ini kalau menyebut Kwe-heng. semuanya sebut "Kwe-tayhiap padanya," demikian "Cu Cu-liu ikut buka suara. Selama berpuluh tahun ini ia mempertahankan Siangyang dengan susah payah, membela tanah air dan melindungi rakyat, orang gagah perwira seperti dia sejak dulu hingga sekarang susah juga dicari bandingannya, Maka menurut aku, kalau kita sebut dia "Pak-hiap" (pendekar dari utara) rasanya semua orangpun akan setuju.

Mendengar itu, segera It-teng Taysu dan Bu Sam-thong dan lain2 bertepuk tangan memuji nama baik itu.

"Nah, Tang-sia, Se-ong, Lam ceng dan Pak-hiap sudah ada orangnya semua, lalu yang tengah, siapa yang harus menduduki untuk menggantikan Tiong-sin-thong Ong Tiong-yang?" ujar Ui Yok-su. Sembari berkata ia sengaja melirik sekejap ke arah Ciu Pek thong, lalu menyambung pula: "Nyo-hujin (nyonya Nyo, maksudnya Siao liong-li) adalah ahliwaris satu2-nya dari Ko~bong-pay, dahulu nama Lim Tiau-eng menggetarkan Kangouw, meski Ong Tiong-yang sendiri juga jeri padanya. Dengan ilmu pedang Giok-li-kiam-hoat ciptaan Ko-bong-pay yang khas itu, kalau dahulu Lim-lihiap juga ikut menghadiri Hoa-san- lun-kiam, jangankan nama Ngo-coat harus diubah, bisa jadi gelar "juara" yang diperoleh Ong Tiong-yang itu juga sukar dipertahankan. Kini ilmu silat Nyo Ko berasal ajaran sang isteri, muridnya saja termasuk "Ngo Coat" baru, gurunya tentu saja tak perlu di-sangsikan lagi, Sebab itulah Nyo hujin tepat sekali menduduki tempat tengah."

Namun Siao-liong-li tidak pernah ketarik oleh segala nama pujian itu, dengan tersenyum ia menjawab: "Ah, sekali2 aku tak berani menerimanya."

"Jika tidak mau, tentunya harus Yong-ji," kata Ui Yok-su puIa, "Meski ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, tapi banyak tipu akal, pintar dan cerdik, kalau dia termasuk satu diantara Ngo-coat juga pantas."

"Bagus, bagus!" seru Ciu Pek-thong tiba2 sembari bertepuk tangan tertawa. "Terus terang, kau Ui-losia, Kwe-tayhiap apa segala, semuanya tak pernah bikin hatiku kagum dan takluk betul, hanya Ui Yong si bocah ini memang cerdik dan licin, asal Lo-wan tong ketumbuk dia lantas mati kutu. Kalau dia dimasukkan satu diantara Ngo-coat, itulah memang paling tepat."

Semua orang jadi tercengang mendengar ucapan itu. Sungguh kalau bicara tentang ilmu silat, sekalipun Ui Yok-su dan It-teng juga merasa kalah sedikit, sebabnya nama Ciu Pek-thong tidak di-ungkap mereka sebenarnya melulu ingin bergurau untuk menggodanya saja.

Siapa tahu dasar pembawaan Ciu Pek-thong memang jujur polos, sedikitpun hatinya tiada rasa iri dan- dengki meski pembawaannya gemar silat, tapi tak pernah timbul pikiran cari nama untuk menjagoi dunia, maka sama sekali tidak terpikir olehnya apakah ia sendiri harus termasuk di dalam Ngo-coat atau tidak.

Maka tertawalah Ui Yok-su, katanya: "Wahai, Lo-wan-tong, kau memang benar2 hebat. Soal "nama" aku Ui Losia memandangnya dingin. It-teng Taysu anggap " nama" hanya khayalan belaka. Hanya kau, hatimu kosong bersih, hakikatnya tidak pernah berpikir tentang "nama" segala, nyata kau lebih hebat setingkat lagi dari pada kami, Haha, Tang-sia, Se-ong, Lam-ceng, Pak-hiap Tiong wan-tong di antara Ngo coat, kaulah yang tertinggi.

Mendengar sebutan "Tangsia, Se-ong, Lam~ ceng, Pak-hiap, Tiong wan-tong" itu, semua orang lantas bersorak memuji, tapi merasa geli pula.

Setelah kedudukan "Ngo Coat" ditetapkan, semua orang lantas gembira ria, dengan berpencar mereka pergi pesiar sendiri2 menikmati keindahan pegunungan Hoa-san.

Mula2 Kwe Yang ikut di belakang sang ibu, Ui Yong, ia lihat Nyo Ko bergandengan tangan dengan Siao-liong li dengan mesranya menuju ke arah lain, katanya tiba2 pada, ibunya: "Mak, sekarang boleh aku ikut pergi bersama Nyo-toako dan Liong-cici dengan bebas, bukan?"

Ui Yong mendadak diam tertegun sejenak, tapi lantas tersenyum penuh arti.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar