Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali) Jilid 2

Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali/Rajawali sakti Dan pasangan pendekar), Jilid 2 Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali). "Sudah tentu, hal itu tak perlu dikatakan lagi," sahut Khu Ju-ki. "Coba kau pikir, pada jaman ini, kalau soal tenaga jari, siapa jago yang nomor satu?"
Anonim
"Sudah tentu, hal itu tak perlu dikatakan lagi," sahut Khu Ju-ki. "Coba kau pikir, pada jaman ini, kalau soal tenaga jari, siapa jago yang nomor satu?"

"Sudah tentu ialah Toan Hong-ya, It-teng Taysu punya It-yang-ci," kata Kwe Ceng.

"Nah, dengan tenaga jari It-teng Taysu saja, sekalipun di atas kayu, belum tentu dia mampu menulis sesuka hatinya, apa lagi di atas batu? Lebih2 lagi orang lain?" ujar Khu Ju-ki, "Karena itu juga sesudah Sian-su menjadi imam, terhadap kejadian itu ia masih terus memikirnya dengan tidak habis mengerti. Belakangan dia telah berjumpa dengan bapak mertuamu, Ui Yok-su Cianpwe, secara tak langsung guruku telah menyinggung kejadian itu, setelah Ui-tocu berpikir sebentar, kemudian ia bergelak ketawa, katanya: "Kepandaian itu akupun bisa. Cuma sekarang aku belum melatihnya, sebulan lagi pasti aku datang kembali kesini,"

Habis berkata, dengan ter-bahak2 ia lantas mohon diri dari guruku.

"Betul saja sebulan kemudian Ui-tocu telah datang lagi, lalu bersama Sian-su mereka datang ke sini memeriksa batu ini. Tadinya syair yang ditulis cianpwe wanita itu sebenarnya masih belum selesai, baru bagian depan yang maksudnya menghendaki Sian-su tirakat saja meniru caranya Thio Liang di jaman ahala Han. Sesudah Ui-tocu pakai tangan kiri me-raba2 rada lama di atas batu, kemudian ia ulur tangan kanan terus menulis di atas batu, dia telah menyambung syair cianpwe wanita yang masih belum selesai itu yang artinya menghormat dan memuji diri guruku.

"Melihat jari tangan mertuamu bisa menulis diatas batu, sama halnya seperti dahulu dilakukan cianpwe wanita itu, Sian-su menjadi lebih2 heran dan terkejut, pikirnya dalam hati: ilmu silat Ui Yok-su jelas masih kalah setingkat di bawahku, kenapa diapun memiliki tenaga jari yang begini lihay?"

Begitulah sesaat itu guruku merasa tidak habis mengerti - Mendadak, iapun ulur jari tangannya menutul ke atas batu itu, sungguh aneh, batu itu ternyata lantas berlubang oleh tusukan jarinya, Tempatnya disini, coba kau boleh merabanya"

Berbareng itu Khu Ju-ki tarik tangan Kwe Ceng ke suatu tempat di tepi batu itu, Ketika Kwe Ceng meraba dan dapatkan satu lubang kecil, ia coba masukkan jari telunjuknya, betul saja seperti cetakan, persis dapat dimasuki jarinya, Tetapi Kwe Ceng masih sangsi, ia pikir jangan2 batu cadas ini memang lunak dan berlainan dengan batu umumnya, maka coba2 ia gunakan tenaga jarinya dan dikorek dengan keras, namun yang dia rasakan kesakitan belaka, sebaliknya batu itu sedikitpun tidak bergerak.

Khu Ju-ki tertawa berbahak-bahak.

"Memang, kalau kau tentu tak akan mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik kejadian ini," demikian katanya kemudian. "Kiranya sebelum tangan cianpwe wanita itu menulis di atas batu, lebih dulu ia telah raba2 agak lama di atas batu dengan sebelah tangannya yang lain, tangan yang buat me-raba2 itu menggenggam "Hoa-sek-tan (obat penglebur batu), ia telah bikin permukaan batu itu menjadi lunak dan dalam waktu sekira setengah jam, permukaan batu tidak akan mengeras kembali. Rahasia ini rupanya dapat dipecahkan oleh Ui-tocu, ia bilang sebulan buat melatih kepandaian itu kepada guruku, sebenarnya ia turun gunung untuk mengumpulkan obat buat bikin "Hoa-sek-tan", habis itu baru ia datang lagi dan menirukan cara orang menulis di atas batu."

Kwe Ceng menjadi kagum sekali atas kecerdasan bapak mertuanya itu. Tiba2 ia menjadi ingat orang tua itu telah lama tinggalkan Tho-hoa-to, ia menjadi rindu terhadap Ui Yok-su. Sudah tentu Khu Ju-ki tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kwe Ceng, maka ia telah menyambung lagi ceritanya.

"Ketika mula2 Sian-su menjadi Tosu, perasaannya sebenarnya sangat tertekan, tetapi setelah banyak membaca kitab2 ajaran To (Tao), akhirnya ia menjadi pandai dan menginsafi segala apa di dunia ini tergantung jodoh dan tidak, maka iapun lebih mendalam lagi mempelajari ilmu agama kita untuk lebih mengembangkannya.

Kalau dipikir, jika bukan gara2 pancingan itu cianpwe wanita, mungkin dijagat ini tidak bakal terdapat Coan-cin-kau, aku Khu Ju-ki tentu pula tidak bisa seperti hari ini dan kau Kwe Ceng lebih2 tidak diketahui akan berada di mana."

Kwe Ceng angguk2 membenarkan ucapan itu.

"Entah cara bagaimana harus menyebut nama Licianpwe (wanita tingkatan tua) itu, apa dia masih hidup kini ?" tanyanya kemudian.

"Kecuali guruku sendiri, dijagat ini tiada orang lain lagi yang mengetahui nama aslinya, sedang Sian-su pun tidak pernah katakan pada orang," sahut Ju-ki. "Jauh sebelum terjadi Hoa-san-lun-kiam yang pertama kali cianpwe itu sudah meninggal kalau tidak, dengan ilmu silatnya yang tinggi serta wataknya yang tinggi hati itu, mana mungkin dia tidak ikut serta dalam pertandingan Hoa-san itu."

"Dan entah dia meninggalkan keturunan tidak?" ujar Kwe Ceng.

Tiba2 Khu Ju-ki menghela napas panjang.

"Soalnya justru terletak disini," katanya kemudian, "Seumur hidup Locianpwe itu tidak pernah menerima murid, dia hanya punya satu dayang yang selalu mendampingi dan melayani segala keperluannya, kedua orang ini tinggal bersama di dalam kuburan kuno itu, selama belasan tahun ternyata tidak pernah melangkah keluar dan seluruh ilmu silat Locianpwe itupun diturunkan semua pada dayangnya, Dayangnya ini biasanya tidak pernah injakkan kakinya dikalangan Kangouw, di kalangan Bu-lim pun jarang yang kenal dia, tetapi ia malah mempunyai dua orang murid, yang besar she Li, mungkin kau pernah mendengar namanya, di kalangan Kangouw orang menyebut dia Jik-lian Sian-cu Li Bok-chiu."

"Ah, kiranya dia ini," seru Kwe Ceng mendadak "Perempuan ini keji sekali, kiranya asalnya dari sini."

"Kau pernah ketemu dia ?" tanya Khu Ju-ki.

"Ya, beberapa bulan yang lalu pernah bergebrak sekali dengan dia di daerah Kanglam, ilmu silatnya memang sangat hebat," sahut Kwe Ceng.

"Dan kau telah melukai dia ?" tanya Ju-ki lagi.

"Tidak," jawab Kwe Ceng menggoyang kepala "Tapi dia yang turun tangan keji dan bunuh beberapa orang sekaligus, kelakuannya memang terlalu ganas dan keji, kalau dibandingkan Tang-si (Si-mayat tembaga) Bwe Ciau-hong dahulu, mungkin melebihi jahatnya,"

"Lebih baik kalau kau tidak melukai dia, kalau tidak, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan saja," ujar Khu Ju-ki. "Dan dia punya Sumoay she Liong..."

"Ha, kiranya wanita she Liong itu ?" potong Kwe Ceng dengan hati terkesiap.

Mendengar lagu suara Kwe Ceng ini, air muka Khu Ju-ki rada berubah juga.

"Kenapa ? Apa kau pernah lihat dia ? Apa telah terjadi sesuatu ?" tanyanya cepat.

"Tidak, Tecu tidak pernah bertemu dia," sahut Kwe Ceng demi nampak wajah Khu Ju-ki rada aneh, "Cuma waktu aku naik gunung tadi, para To-yu di sini ber-ulang2 memaki aku sebagai maling cabul, pula bilang kedatanganku ini disebabkan oleh wanita she Liong itu, keruan aku sendiri menjadi bingung."

Khu Ju-ki bergelak ketawa pula setelah tahu duduknya perkara, Tetapi segera ia menghela napas pula.

"Ya, rupanya memang Tiong-yang-kiong harus mengalami bencana seperti hari ini," katanya kemudian "Kalau bukannya kejadian2 yang menimbulkan salah paham itu, bukan saja Pak-tau-tin besar yang berjaga di luar pasti dapat menahan datangnya kawanan penyatron itu, bahkan kaupun bisa lebih cepat sampai di atas gunung, dan tentu pula Hek-sute tidak sampai kena dilukai musuh."

Melihat air muka Kwe Ceng penuh mengunjuk rasa bingung, maka Khu Ju-ki lantas menerangkan lagi.

"Hari ini adalah ulang tahun ke-20 dari si nona she Liong itu," demikian ia kata.

"Oh, ulang tahunnya yang ke-20?" mengulang Kwe Ceng. Tetapi ulang tahun ke-20 seorang wanita kenapa bisa menimbulkan malapetaka bagi Coan-cin-kau, dalam hatinya masih tetap tidak mengerti barang sedikitpun."

"Gadis she Liong bernama apa sudah tentu orang luar tiada yang tahu, cuma kawanan pendatang itu pada menyebut dia Siao-liong-li (gadis cilik she Liong), maka kitapun boleh menyebutnya dengan nama ini," sambung Khu Ju-ki. "Pada suatu malam dua puluh tahun yang lalu, di luar Tiong-yang-kiong kita mendadak terdengar suara tangisan bayi, tentu saja para kawan dalam istana merasa heran, ketika mereka pergi melihatnya, kiranya di luar pintu terdapat satu buntalan yang membungkus satu orok dan terletak di lantai.


"Sudah tentu para kawan menjadi bingung karena semua orang yang tinggal di Tiong-yang-kiong ini adalah imam, semua lelaki, mana bisa memelihara seorang orok sedemikian ini, akan tetapi sebagai imam yang berdasarkan welas-asih tidak bisa tinggal diam, Selagi serba susah itu, tiba2 dari belakang gunung muncul seorang wanita setengah umur, sesudah menyapa lalu ia bilang: "Bayi ini sungguh kasihan, biarlah aku yang memeliharanya !""

"Tatkala itu kami tiada tinggal di istana, para kawan menjadi girang demi mendengar wanita itu suka menerima orok itu tanpa syarat, maka segera orok itu diserahkan padanya. Belakangan sesudah Ma-suheng dan aku pulang, mereka telah ceritakan kejadian itu dan menjelaskan rupa serta dandanan wanita setengah umur itu, maka tahulah kami dia ialah itu dayang yang tinggal di dalam kuburan Dia pernah beberapa kali melihat kami dari Coan-cin-chit-cu, cuma selamanya tidak pernah pasang omong.



Maski kedua keluarga boleh dibilang tetangga dekat, tapi karena persengketaan orang tua, maka seperti tidak kenal saja, selamanya tidak pernah saling berhubungan Dan setelah kami dengar cerita itu, kamipun tidak perhatikan urusan itu dalam hati.

"Belakangan setelah muridnya si Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu turun gunung, orang ini berhati kejam, ilmu silatnya justru sangat tinggi, maka dunia Kangouw telah morat-marit oleh perbuatannya yang menggemparkan. Beberapa kali Coan-cin-kau mengadakan sidang dan bermaksud memberi hajaran padanya, namun selalu teringat pada wanita tua dalam kuburan itu hingga selama itu belum pernah turun tangan, Kami lantas tulis surat yang panjang lebar dengan ramah dan di kirim kedalam kuburan." Akan tetapi, surat itu seperti batu yang tenggelam ke dalam laut, selamanya tidak pernah terima balasan, sebaliknya terhadap kelakuan Li Bok-chiu masih tetap dibiarkan, sedikitpun tidak mengurusnya.

"Kira2 lewat sepuluh tahun lagi, tiba-tiba diluar kuburan itu kami lihat dipasang kain putih di antara semak2 yang tumbuh lebat, kami lantas tahu itu To-yu (kawan se-agama) telah meninggal, maka kami berenam (tatkala itu Coan-cin-chit-cu sudah kehilangan Tam Ju-toan yang tewas ditangan Auwyang Hong, cerita ini pada kesempatan lain akan disajikan) lantas melayat ke kuburan itu. Tapi baru selesai kami menjalankan penghormatan tiba2 di dalam semak2 lebat itu keluar satu gadis cilik yang umurnya antara sepuluh tahun, ia membalas hormat kami dan menyatakan terima kasih.

Katanya pula: "Sewaktu Suhu hendak mangkat, beliau telah pesan Tecu menyampaikan kepada para Totiang bahwa orang itu (maksudnya Li Bok-chiu) yang banyak melakukan kejahatan, Suhu sendiri ada jalan buat hajar dia, maka diharap kalian tak perlu kuatir"

Habis berkata, ia putar tubuh dan masuk kembali ke dalam kuburan, sebenarnya kami ingin menanya lebih jauh, namun sudah tidak keburu lagi, Sian-su sendiri pernah meninggalkan pesan bahwa siapa saja dilarang melangkah barang selangkahpun ke pintu kuburan itu. Hanya dalam hati saja kami merasa heran, sebab To-yu itu sudah mati, dengan cara apa lagi yang dia tinggalkan untuk menghajar muridnya ?

"Kami melihat gadis cilik itu sebatang-kara dan harus dikasihani kami lantas berdaya-upaya buat membantunya, kami coba mengirim sedikit makanan padanya, tetapi aneh, tiap2 kali selalu ditolaknya kembali.

Tampaknya dara cilik ini wataknya juga aneh serupa dengan Cosu (kakek guru) dan Suhu-nya. Belakangan oleh karena kami banyak urusan dan jarang tinggal di rumah, lalu kabar berita tentang nona kecil inipun sedikit sekali terdengar lagi.

Dan entah mengapa, tiba2 Li Bok-chiu pun menghilang dari kalangan Kangouw dan tidak cari gara2 1agi. Kami mengira To-yu itu memang benar mempunyai akal bagus buat bikin takut muridnya, maka diam2 kami sangat kagum padanya.

"Lalu kembali lewat beberapa tahun lagi, itulah kejadian tiga tahun yang baru lampau, tatkala itu aku dan Ong-sute (Ong Ju-it) ada urusan harus pergi ke daerah barat, di sana kami tinggal di rumah seorang pendekar terkemuka dan mendengar suatu kabar yang sangat mengejutkan Katanya tiga tahun lagi, semua kaum setan iblis dan golongan agama liar akan berkumpul di Cong-lam-san untuk melakukan sesuatu.

Cong-lam-san adalah pangkalan Coan-cin-kau, mereka berani naik ke sini sudah tentu tujuannya hendak menyatroni golongan agama kita, mana boleh kita tidak berjaga2? Tetapi aku dan Ong-sute masih kuatir kabar itu tidak benar, kami selidiki pula melalui pihak ketiga, tapi nyata hal itu bukan bikinan belaka dan memang sungguh2.

Cuma maksud tujuan mereka ke Cong-lam-san ternyata bukan menyatroni agama kita, melainkan mempunyai maksud tertentu terhadap Siao-liong-Ii yang tinggal di dalam kuburan kuno itu."

Kwe Ceng menjadi heran oleh cerita ini.

"Dia hanya satu dara cilik yang selamanya tidak pernah keluar pintu pula, kenapa para penyatron itu bisa ikat permusuhan dan taruh dendam padanya?" tanyanya dengan tidak mengerti

"Memang apa sebab musabab yang sebenarnya di belakang layar itu, kita adalah orang luar, maka tidak begitu jelas," sahut Khu Ju-ki. "Tetapi dasar Ong-sute paling suka cari tahu, dia telah menyelidiki ke mana2, akhirnya diketahui bahwa peristiwa itu sengaja diusik dan dikobarkan oleh Siao-liong-li punya suci (kakak seperguruan perempuan) sendiri."

"Ha, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu?" sela Kwe Ceng heran.

"Ya, tidak salah," kata Khu Ju-ki. "Katanya sesudah Suhu mereka mengajarkan ilmu silat beberapa tahun pada Li Bok-chiu, kemudian dapat dilihatnya bahwa jiwa perempuan itu tidak baik, maka dengan alasan sudah tamat belajar, Li Bok-chiu lantas disuruh turun gunung.

"Diwaktu gurunya masih hidup, meski Li Bok-chiu sudah banyak melakukan kejahatan, namun masih rada jeri, tapi sesudah gurunya mati, ia lantas pakai kedok hendak melayat buat serbu ke dalam kuburan itu, ia bermaksud usir sang Sumoay dan mengangkangi semua benda mestika yang tersimpan di dalamnya.

Tak tahunya, di dalam kuburan itu ternyata banyak terpasang alat2 rahasia jebakan yang aneh2 dan bagus, meski Li Bok-chiu cukup lihay, namun setelah banting tulang akhirnya dia bisa menembus dua lapis pintu kuburan itu, di depan pintu lapisan ketiga dia melihat ada sepucuk surat tinggalan Suhu padanya.

Kiranya gurunya sebelumnya sudah menduga akan kedatangannya, Maka dalam surat wasiat itu tertulis bahwa pada tahun ini, bulan dan hari itu adalah genap ulang tahun ke-20 Sumoay-nya, pada saat itu Sumoay ini akan turun gunung buat mencari ayah-bunda kandungnya, maka kalau bersua di kalangan Kangouw, hendaklah dia mengingat hubungan seperguruan suka banyak memberi bantuan dan perlindungan.

Dalam surat wasiat itu dipesan pula agar dia suka perbaiki kelakuannya yang jahat, kalau tidak, akhirnya pasti akan menelan akibat perbuatannya sendiri.

"Tak terduga, bukannya Li Bok-chiu insaf, bahkan ia sangat gusar oleh isi surat sang guru itu, segera ia serbu masuk ke dalam pintu lapisan ke-tiga, tetapi disini ia telah terjebak oleh jarum berbisa yang memang sudah dipasang sebelumnya oleh gurunya, kalau bukan Siao-liong-li memberi obat dan menyembuhkan lukanya, mungkin seketika itu juga jiwanya sudah melayang.

Karena itu ia baru kenal lihaynya kuburan itu, terpaksa ia keluar kembali dan turun gunung. Tetapi kalau hanya begitu saja, mana dia terima? Belakangan kembali beberapa kali dia menyerbu kuburan itu,tiap2 kali selalu dia menderita kecelakaan, Bahkan penghabisan kalinya ia malah bergebrak dengan Sumoay-nya. Tatkala itu usia Siao-liong-li baru 16 atau 17 tahun saja, namun ilmu silatnya ternyata sudah jauh di atas kakak seperguruannya ini, kalau bukan sengaja dia bermurah hati, untuk melayangkan jiwa Li Bok-chiu mungkin bukan soal sulit...."

"Kejadian itu mungkin disebabkan berita yang tersiar di kalangan Kangouw itu kurang benar," tiba2 Kwe Ceng memotong cerita orang.

"Kenapa kau tahu?" tanya Ju-ki.

"Tecu sendiri sudah pernah mengetahui kepandaian Li Bok-chiu," sahut Kwe Ceng. "llmu silat perempuan ini sesungguhnya ada bagian unggulnya yang tersendiri, kalau umur Siao-liong-li belum ada 20 tahun, betapa bagus lagi ilmu silatnya kukira susah juga buat menangkan dia."

"Cerita itu Ong-sute mendengar dari salah seorang kawannya dari Kay-pang, soal Siao-liang-li mengalahkan Li Bok-chiu, apa itu benar atau tidak, karena waktu itu toh tiada orang ketiga yang melihatnya, sudah tentu tiada seorangpun yang tahu dengan pasti, cuma di kalangan Kangouw memang tersiar cerita itu," ujar Khu Ju-ki.

"Dan karena itulah, hati Li Bok-chiu semakin dendam, ia tahu Suhunya telah pilih kasih dan menurunkan ilmu silat yang lebih lihay pada sang Sumoay, Maka ia sengaja menyiarkan kabar bahwa pada nanti tahun ini, bulan dan hari itu, Siao-liong-li dari kuburan "Hoat-su-jin-bong" akan mengadakan sayembara buat memilih jodoh.

Bahkan dia tambahi pula bahwa siapa saja yang bisa menangkan Siao-liong-li, bukan saja Siao-liong-li akan menyerahkan diri-nya, bahkan semua harta mestika dalam kuburan itu, kitab2 ilmu silat dan macam2 lagi akan di-hadiahkan seluruhnya pula.

Para penyatron itu sebenarnya tidak mengetahui siapa dan macam apakah Siao-liong-li itu, tetapi Li Bok-chiu justru sengaja bikin propaganda, katanya dia punya sumoay masih jauh lebih cantik dari pada dia.

Seperti kau sendiri sudah lihat, kecantikan Jik-lian-sian-cu itu jarang ada bandingannya di kalangan Bu-lim, sekalipun puteri bangsawan atau gadis hartawan juga tak bisa menandingi dia."

Mendengar orang memuji kecantikannya Li Bok-chiu, dalam hati Kwe Ceng diam2 berkata: "Begitu saja kenapa harus heran? Aku punya Yong-ji saja sudah beratus kali lebih ayu dari pada dia."

Padahal ini hanya pendapat pribadi Kwe Ceng saja yang tentu memuji isterinya sendiri. Memang, kalau bicara tentang kecantikan, keluwesan, Ui Yong memang jauh lebih unggul tetapi kalau soal gaya, sebaliknya Li Bok-chiu lebih menarik.

"Dan justru memang tidak sedikit manusia serong di kalangan Kangouw yang terpikat oleh kecantikan Li Bok-chiu, cuma, kesatu karena usianya sudah tidak muda lagi, kedua, disebabkan pula tangannya yang gapah dan tidak kenal ampun, maka tidak sembarang orang berani "sir" padanya, " demikian sambung Khu Ju-ki pula.

"Dan kini demi mendengar bahwa Li Bok-chiu mempunyai Sumoay yang maha cantik, bahkan secara te-rang2an mengadakan sayembara untuk mencari jodoh, keruan saja, siapapun pingin coba2 peruntungan?"

Sampai disini, maka mengertikah Kwe Ceng akan duduknya perkara sebenarnya.

"O, jadi para pendatang ini hendak meminang?" katanya kemudian, "Pantas makanya para To-heng disini pada mencaci maki padaku sebagai maling cabul segala."

Ju-ki ketawa ter-hahak2 oleh penuturan Kwe Ceng ini.

"Begitulah, maka setelah aku dan Ong-sute mendapat berita itu, kami pikir meski Siao-liong-li dengan kami hanya sekedar kenal saja, tetapi hubungan tetangga dekat, pula pergaulan orang tua kedua belah pihakpun lain dari pada yang lain. Laginya para siluman dan maling cabul itu jika betul2 berani mengeluruk kesini, ini berarti pula sama sekali tidak pandang sebelah mata pada Coan-cin-kau, apakah kami bisa antapi begitu saja orang malang-melintang di atas gunung Cong-lam-san kita ? Oleh sebab itulah, lantas kami undang semua jago Coan-cin-kau dari berbagai angkatan, sepuluh hari sebelumnya kami sudah berkumpul di Tiong-yang-kiong.

Di samping kami giat berlatih Pak-tau-tin-hoat, kami mengirim surat pula pada Siao-liong-li di dalam kuburan untuk memperingatkan dia agar ber-jaga2. Siapa duga, surat kami itu tetap seperti batu tenggelam di samudera raya saja, Siao-liong-li sama sekali tidak menggubris kemauan baik kami itu."

"Jangan2 dia sudah tiada di dalam kuburan itu lagi," ujar Kwe Ceng.

"Tidak, setiap hari kami memandangnya dari jauh di atas gunung, masih tetap kami lihat ada asap dapur yang mengepul keluar dari kuburan," sahut Khu Ju-ki. "Kau boleh lihat itu, di sebelah sana itu !" - sembari berkata ia tunjukkan dengan jarinya ke arah barat.

Waktu Kwe Ceng memandang menurut arah yang ditunjuk, ia lihat sebelah barat gunung lebat dan rindang, tanah seluas belasan li yang tertampak hanya hutan belaka, iapun tidak tahu dimana letak "Hoat-su-jin-bong" yang dimaksudkan itu.

"Dan sesudah kami berunding, kami ambil keputusan akan wakilkan Siao-liong-li buat menghadapi musuh," kata Khu Ju-ki lagi. "Kami kirim orang pergi mencari berita, lima hari sebelumnya, para penyelidik itu telah kembali semua dan betul saja diperoleh kabar bahwa tidak sedikit kawanan penjahat yang bernyali besar hendak naik Cong-lam-san untuk ikut sayembara dan melamar Siao-liong-li.

Ada beberapa di antaranya yang keder terhadap Tiong-yang-kiong yang letaknya berdekatan, mereka telah mundur teratur, tetapi selebihnya karena mendapat dukungan dua orang pentolan besar, mereka telah ambil kepastian naik ke sini.

Mereka telah berjanji berkumpul di kuil di bawah gunung itu dan memakai tanda tepukan tangan pada pilar batu itu. Dan karena tidak sengaja kau telah tepuk pilar batu itu, pula kau unjuk kepandaianmu yang cukup mengejutkan pantas kalau para cucu muridku itu menjadi geger dan salah sangka padamu.

"Tentang kedua pentolan iblis itu kalau dibicarakan memang cukup besar juga nama mereka, cuma selama ini mereka tidak menginjakkan kaki ke daerah Tionggoan, kaupun sudah belasan tahun menetap di Tho-hoa-to, maka kau tidak kenal mereka, itu putera bangsawan adalah Pangeran dari Monggol, katanya masih anak-cucu keturunan lurus Jengis Khan. selamanya dia tinggal di tanah barat, entah dapat ajaran dari pendekar mana, meski umurnya masih muda, namun sudah berhasil meyakinkan ilmu silat yang tinggi dan mengejutkan.

Orang menyebut dia Pangeran Hotu. Kau pernah tinggal lama di tanah gurun itu, pula sangat dekat pergaulanmu dengan bangsawan Monggol, apa kau ingat akan asal-usul orang ini?"

"Pangeran Hotu, pangeran Hotu ?" demikian Kwe Ceng komat-kamit mengulangi beberapa kali nama itu, iapun mengenangkan kembali wajah putera bangsawan yang cakap itu, tetapi sama sekali dia tidak ingat anak keturunan siapakah dia ini. ia hanya merasa sikap putera bangsawan ini memang agung, diantara mata-alisnya pun mengunjuk sikap2 yang angker berwibawa, ia cukup kenal Jengis Khan dengan keempat puteranya, rupa keem-pat putera Jengis Khan itu sama sekali tiada yang sama dengan Pangeran Hotu ini.

"Ya, mungkin dia hanya sengaja menaikkan harga diri saja dan membual", kata Khu Ju-ki pula, "Tetapi permulaan tahun ini, begitu dia datang di daerah Tionggoan, sekaligus ia melukai Ho-lam-sam-hiong (tiga jagoan dari Holam), belakangan di Kamsiok seorang diri dia bunuh pula Lanciu-chit-pa (tujuh buaya darat dari Langciu), karena itu, namanya seketika terpandang tinggi dan berkumandang, tetapi kami sama sekali tidak duga bahwa dia justru bisa ikut dalam urusan Siao-liong-li ini.

"Sedang tokoh lain lagi adalah paderi Tibet, dia adalah Ciangkau (penjabat ketua agama) dari sekte Bitcong di Tibet, namanya Darba, dia memang sudah lama terkenal kalau dihitung dia masih sama tingkatannya dengan aku. Dia adalah Hwesio, dengan sendirinya tujuan kedatangannya ini bukan buat melamar Siao-liong-Ii, maka maksudnya kalau bukan memamerkan kepandaian dan menggemilangkan namanya, tentunya dia mengincar harta mestika yang tersimpan dalam kuburan milik mendiang guruku itu, bukan, mustail tujuannya meliputi kedua2nya tadi.

"Sedang para penyatron yang lain itu, karena tampilnya kedua orang tadi, mereka sudah tiada pikiran buat melamar puIa, mereka pikir asal bisa ikut serbu ke atas gunung dan membongkar kuburan kuno, sedikit banyak tentu mereka bisa membagi rejeki, oleh karena ituIah, hari ini yang naik ke Cong-lam-san ternyata berjumlah ratusan orang banyaknya. Sebenarnya Pak-tau-tin yang kami pasang itu masih bisa menahan seluruh penyatron kelas rendahan itu di bawah gunung, sekalipun tidak bisa tangkap hidup2 mereka, sedikitnya tidak nanti mereka mampu mendekati Tiong-yang-kiong.

Tetapi rupanya memang Coan-cin-kau kita harus mengalami malapetaka ini hingga terjadi salah paham atas dirimu, ya, apa yang perlu dikatakan lagi ?"

Kwe Ceng menjadi sangat menyesal oleh kejadian itu, ia ingin mengucapkan beberapa kata yang bersifat mohon maaf, Tetapi dengan tertawa Khu Ju-ki sudah keburu mencegahnya.

"Tidak perlu kau menyesal benda2 yang musna itu hanya barang2 di luar tubuh, jiwa raga sendiri saja tidak perlu dibuat sayang, kenapa harus urus lagi bendai di luar tubuh itu ?" katanya pula, "Kau sudah latih Lwekang selama belasan tahun, apakah sedikit pengertian ini saja kau belum paham?"

Kwe Ceng tersenyum, ia mengiakan kata-kata orang.

"Begitulah, selagi kau dikerubuti Pak-tau-tin dengan seluruh kekuatannya tadi, di lain pihak kedua pentolan iblis itu berkesempatan membawa begundalnya menyerbu sampai di depan Tiong-yang-kiong. Begitu datang mereka lantas kobarkan api, ketika Hek-sute mendahului maju melabrak pangeran Hotu, rupanya dia terlalu pandang enteng pihak musuh, pula ilmu silat Hotu memang berlainan dari pada orang biasa dan sangat aneh, karena sedikit lengah, Hek-sute kena sekali pukulannya di dada.

Dengan sendirinya lekas2 kami pasang barisan bintang2 untuk melindunginya. Tetapi karena kekurangan tenaga Hek-sute, anak murid yang menggantikan tempatnya masih selisih jauh kepandaiannya, maka daya tekanan barisan kita sukar dikerahkan seluruhnya. Coba, kalau kau tidak datang tepat pada waktunya, mungkin hari ini Coan-cin-kau sudah dihancurkan orang.

"Kini kalau diingat lagi, bila kau tidak ke sini, sungguhpun para penyatron tingkat rendahan pun tidak mampu naik ke atas, tetapi untuk menahan Pangeran Hotu dan Darba berdua jelas juga tidak bisa. Kedua orang ini kalau bahu-membahu menempur Pak-tau-tin kita, walaupun kami belum pasti dikalahkan, tapi sukar juga memperoleh kemenangan..."



Bercerita sampai disini, tiba2 terdengar suara bunyi "hauuuuh hauuuh hauuuuuh"

di jurusan barat, mendadak ada orang membunyikan tanduk Suara tiupan tanduk itu begitu seram, sayup2 seperti mengandung maksud bunuh membunuh dan seperti suatu tantangan yang ditujukan pada seorang.

"Binatang, binatang !" mendadak Khu Ju-ki memaki dengan gusar, Sambil memandang ke rimba di sebelah barat gunung, ia berkata pula pada Kwe Ceng: "Ceng-ji, bangsat itu telah adakan perjanjian sepuluh tahun dengan kau, ia mengira dalam sepuluh tahun ini dapat berbuat sewenang-wenang sesukanya, dengan demikian supaya kau tidak bebas ikut campur urusannya, tetapi di bumi ini mana ada persoalan yang begini mudah. Mari, kita ke sana !"

"Apakah pangeran Hotu itukah ?" tanya Kwe Ceng.

"Siapa lagi kalau bukan dia," sahut Ju-ki. "Dia justru sedang menantang Siao-liong-Ii!"

Sembari berkata, iapun bertindak cepat turun gunung, Tanpa ayal lagi segera Kwe Ceng menyusul di belakangnya.

Setelah beberapa li mereka tempuh, terdengarlah oleh mereka suara bunyi tanduk tadi di-sebul semakin keras, diantara suara "hu-hu" itu bahkan masih terseling pula suara "ting-ting-ting" yang nyaring dari bunyi keleningan suara keleningan ini menunjukkan tanda bahwa itu padri Tibet Darba pun sudah ikut turun tangan.

Khu Ju-ki menjadi gusar oleh kelakuan kedua orang itu. "Hm, dua jago terkemuka sama2 menghina seorang gadis cilik, sungguh tidak tahu malu," demikian damperatnya pula.

Sambil berkata, kakinya pun tidak pernah kendor, ia lari makin cepat, maka sekejap kemudian mereka sudah sampai di pinggang gunung, Dari sini setelah membelok satu tebing lagi, maka tertampaklah oleh Kwe Ceng di depan sana tumbuh sebuah hutan, di luar hutan itu berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam potongannya, ada yang tinggi, besar, pendek atau gemuk, jelas kelihatan mereka bukan lain adalah kawanan penyatron yang menyerbu Tiong-yang-kiong tadi.

Karena itu, Khu Ju-ki dan Kwe Ceng tidak lantas unjukkan diri, mereka sembunyi dulu di belakang dinding batu itu untuk melihat gelagat.

Sementara tertampak Pangeran Hotu bersama Darba berdiri sejajar, yang satu meniup tanduk dan yang lain menabuh keleningan, suaranya teratur dan sahut menyahut, maksudnya memancing keluar Siao-liong-li yang mereka inginkan.

Tetapi meski sudah lama mereka ribut2 sendiri di dalam hutan itu masih tetap sunyi tiada suara yang membalas.

Sebab itu, Hotu meletakkan alat tiupnya, lalu dengan suara lantang ia berteriak: "Aku adalah Pangeran Hotu dari Monggol, dengan hormat aku menghaturkan selamat berulang tahun kepada Siao-liong-li!".

Baru habis ia berkata, tiba2 dari dalam hutan bergema tiga kali suara "creng-creng-creng", mungkin itulah jawaban Siao-liong-li dengan menabuh Khim (semacam alat musik, kecapi).

Pangeran Hotu menjadi senang karena dirinya digubris, Maka dia lantas buka suara pula: "Menurut kabar, nona Liong telah sesumbar hendak mengadakan sayembara pada hari ini untuk memilih jodoh, karena itu, aku yang bodoh sengaja datang meminta petunjuk, harap nona Liong tidak segan2 memberi tuntunan !"

Diluar dugaannya, mendadak suara Khim tadi berbunyi keras dan tinggi nadanya, agaknya tanda merasa gusar. Meski para penyatron itu tidak paham tentang seni suara, tetapi mendengar suara Khim yang lain itu, merekapun tahu itu adalah tanda sedang mengusir tetamu.

Akan tetapi Hotu ternyata belum mau sudah, dengan ketawa dia pentang mulut lagi:

"Keluargaku cukup mampu, wajahku pun tidak jelek, lamaranku ini rasanya belum merendahkan dirimu, nona Liong sendiri adalah gadis pendekar di jaman ini, kiranya engkaupun tidak perlu kikuk2."

Dan baru selesai ia bicara, mendadak suara Khim berubah menjadi santar dan cepat, lapat2 seperti mengandung arti mendamperat. Begitu hebat suara tahunan Khim itu, sehingga bagi yang mendengarkan terasa sangat tidak enak sekali beberapa orang diantara kawanan penyatron itu sam pai menutup kuping tak berani mendengarkan lagi.

Karena itu, Hotu pandang sekejap pada Darba, paderi Tibet itu meng-angguk2. Maka Hotu lantas berseru lagi: "Jika nona sudah tidak mau unjuk diri, terpaksa aku mengundang secara kekerasan"

Habis berkata, sekali ia memberi tanda pada para begundalnya, segera ia mendahului masuk ke hutan lebat itu dengan langkah lebar, tindakannya ini segera diikuti kawan2nya secara be-ramai2. Dalam hati mereka memikir: "Sampai Coan-cin-kau yang terhitung golongan paling lihay dikalangan Bu-lim saja tak sanggup menahan kami, apa lagi hanya seorang Siao-liong-li, apa yang dia bisa berbuat ?"

Karena kuatir didahului kawan yang lain, mereka jadi saling berebut di depan agar bisa lebih cepat mendapat bagian rejeki harta mestika dalam kuburan kuno itu.

Melihat musuh sudah bertindak lekas Khu Ju-ki melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berseru: "Hai, tempat ini adalah tempat keramat mendiang guruku Tiong-yang Cinjin, lekas kalian mundur kembali!"

Mendengar suara teriakan itu, semua orang itu rada terkesiap juga, akan tetapi toh langkah mereka tidak pernah berhenti, mereka masih terus menyerbu ke dalam hutan.

"Ceng-ji, hayo turun tangan saja !" ajak Khu Ju-ki pada Kwe Ceng, ia menjadi gusar akan perbuatan kawanan bandit itu.

Tetapi baru mereka akan menyusul masuk ke dalam hutan yang lebat itu, mendadak terdengar suara teriakan dan jeritan para penyatron itu, tahu-tahu mereka berlari kembali seperti kesetanan. Karuan Khu Ju-ki dan Kwe Ceng ter-heran2, sementara itu terlihat beberapa puluh orang sudah berlari keluar seperti terbang cepatnya, dan mati-matian menyusul Hotu dan Darba pun berlari keluar dengan langkah lebar, keadaan mereka yang menyedihkan itu, dibanding sewaktu mereka di-gempur mundur dari Tiong-yong-kiong oleh Kwe Ceng tadi entah berapa kali lipat lebih hebat.

Diam2 Khu Ju-ki dan Kwe Ceng menjadi bingung, mereka heran dengan ilmu kepandaian apakah Siao-liong-Ii mampu mengusir kawanan penyatron ini ?

Tetapi pikiran mereka itu hanya timbul sekilas saja, sebab tiba2 terdengar suara "ngaung-ngaung-ngaung" yang riuh ramai suara mendengung itu tadinya masih jauh, tapi sebentar saja sudah mendekat, di bawah sinar rembulan yang remang2 itu tertampak segumpal benda abu2 entah binatang apa dengan cepat terbang keluar dari dalam hutan dan sedang mengudak di atas kepala para penyerbu itu.

Kwe Ceng menjadi heran oleh kejadian ini. "Apakah itu ?" tanyanya.

Akan tetapi Khu Ju-ki sendiri tidak tahu, ia geleng kepala tidak menjawab, dengan mata tidak berkesip ia pandang ke depan terus, ia lihat diantara petualang2 itu ada beberapa yang lambat larinya, kepala mereka segera disamber gerombolan binatang tadi, habis itu, beberapa petualang itu seketika jatuh terguling, mereka men-jerit2 sambil dekap kepala, tampaknya rasa sakitnya sukar ditahan.

"He, tawon, kenapa warna putih ?" seru Kwe Ceng terkejut sesudah kemudian mengenali binatang terbang itu.

Selagi ia berkata, gerombolan tawon putih itu kembali sudah membikin terguling beberapa orang lagi dengan antupannya. Dalam sekejap saja di rimba raya itu terdapat belasan orang yang bergelimpangan sambil men-jerit2 kesakitan dengan suara yang mengerikan.


"Aneh, diantup tawon, seumpama memang sakit, seharusnya tidak sampai begitu jahat, apakah mungkin antupan tawon putih ini luar biasa lihaynya ?" demikian Kwe Ceng ber-tanya2 dalam hati

Dalam pada itu ia lihat bayangan abu2 tadi masih menyamber kian kemari, seperti sesosok asap tebal saja yang menyembur dengan cepat, gerombolan tawon putih itu mendadak menyamber dari depan Khu Ju-ki.

Melihat datangnya gerombolan tawon putih ini begitu ganas dan hebat, agaknya sukar ditahan, maka Kwe Ceng berpikir hendak menyingkir tetapi tidak demikian dengan Khu Ju-ki, tiba2 imam Coan-cin-kau ini mengumpulkan napasnya, sekali pentang mulut ia terus meniup dengan sekuatnya.

Gerombolan tawon itu sebenarnya sangat cepat terbangnya, ketika mendadak terasa tiupan angin yang keras memapak dari depan, keruan daya serbuan mereka tertahan, dan ketika Khu Ju-ki untuk kedua kalinya menyebul pula, kembali angin santar menyarnber lagi



Kwe Ceng dapat mengikuti cara itu dengan baik, maka iapun meniru dengan menyebulkan ha-wanya dengan keras, ia gabungkan kekuatan angin tiupannya dengan tiupan Khu Ju-ki. Keruan saja kekuatan angin ini menjadi sangat kuat, rombongan tawon putih jadi tak tahan hingga beberapa ratus tawon yang paling depan terpaksa menggeser arah dan menyamber lewat disamping kedua orang ini terus mengudak Hotu dan Darba Iagi.

Belasan petualang yang bergelimpangan di tanah itu makin ngeri jeritan mereka, saking menderitanya sampai mereka me-ratap2 dan me-rintih2, berteriak bapak dan memanggil ibu, malahan ada yang minta2 ampun, "Kami berbuat salah, mohon dewi Siao-liong-li suka ampuni jiwa kami!" demikian mereka memohon.

Diam2 Kwe Ceng menjadi heran oleh kelakuan para petualang ini, "0rang2 ini tergolong manusia yang tak kenal takut di kalangan Ka-ngouw, sekalipun sebelah lengan atau sebelah kaki mereka ditabas kutung, belum tentu mereka mau merintih kesakitan dan meminta ampun, kenapa antup tawon sekecil ini saja ternyata begini lihay ?" demikian ia pikir.

Sementara itu ia dengar suara tabuhan Khim berkumandang pula dari dalam rimba raya itu, menyusul mana dari pucuk pohon yang rindang itu tertampak mengepul keluar asap putih yang tipis2, segera Khu Ju-ki dan Kwe Ceng mencium bau wangi bunga yang sedap sekali. Selang tak lama, suara "ngung-ngung-ngung" tadi dari jauh kembali mendekat lagi, rombongan tawon putih itu dami mencium bau wangi telah terbang kembali ke dalam rimba, kiranya Siao-liong-li sengaja bakar dupa untuk menarik kembali pasukan tawonnya, Meski sudah dua puluh tahun Khu Ju-ki menjadi tetangga Siao-liong-li, tapi selamanya tidak pernah mengetahui bahwa gadis jelita ini ternyata memiliki kepandaian begini tinggi, ia menjadi kagum dan ketarik.

"Kalau sebelumnya tahu tetangga cantik kita ini begini besar kesaktiannya, Coan-cin-kau kita tentunya tidak perlu banyak urusan lagi," demikian ia kata.

Ucapan ini sebenarnya dia tujukan pada Kwe Ceng, suaranya tidak keras, Tetapi aneh, Siao-liong-li yang berada dalam rimba itu seperti mengetahui maksudnya itu, tiba2 suara Khim tadi berubah menjadi lunak dan merdu yang mengandung maksud pernyataan terima kasih.

"Hahaha, hendaklah nona jangan pakai adat istiadat lagi," kata Khu Ju-ki dengan suara lantang sambil bergelak ketawa" Khu Ju-ki bersama anak murid Kwe Ceng, dengan hormat mengucapkan selamat atas ulang tahun nona."

Atas ucapan ini, tiba2 suara Khim itu berbunyi "creng-creng" dua kali lagi, habis ini lantas berhenti, suara lenyap, keadaan pun kembali sunyi.

Dalam pada itu mendengar jeritan dan teriakan orang2 yang bergelimpangan di tanah itu, hati Kwe Ceng menjadi kasihan.

"Totiang, Cara bagaimana kita bisa tolong orang2 ini ?" ia coba tanya Khu Ju-ki.

"ltu tidak perlu," sahut Ju-ki. "Liong-kohnio (nona Liong) sendiri tentu bisa bereskan sendiri Marilah kita pergi saja."

Begitulah, maka mereka lantas kembali ke arahnya sendiri, sepanjang jalan Kwe Ceng ceritakan pula secara ringkas mengenai diri Nyo Ko. Mendengar kisah-derita bocah yang mengharukan itu, Khu Ju-ki telah menghela napas panjang.

"Memangnya patriot seperti pamanmu Nyo Thi-sim itu, mana boleh terputus keturunan ?" demikian katanya kemudian, "Kau tak usah kuatir, pasti aku akan lakukan sepenuh tenagaku untuk mendidik anak itu dengan baik."

Tentu saja Kwe Ceng sangat girang oleh kesanggupan itu, di tengah jalan juga ia lantas menjura menghaturkan terima kasihnya.

"Tadi kau cerita bahwa ada orang menyelundup ke Tho-hoa-to untuk membuat peta rahasia, pula terdapat anak murid Kay-pang yang tersangkut di dalamnya, sebenarnya ada urusan apakah ?" kemudian Khu Ju-ki bertanya lagi

"Totiang mungkin masih ingat didalam Kay-pang itu terdapat seorang murid murtad yang disebut Peng-tianglo ?" kata Kwe Ceng.

"Aha, kiranya dia itu," sahut Ju-ki. "Sungguh tidak kecil nyali orang ini, apa mungkin dia berani cari gara2 ke pulaumu Tho-hoa-to ?"

"Sesudah aku tukar pikiran dengan Yong-ji, dia bilang kalau hanya Peng-tianglo seorang diri saja, tidak nanti dia berani main gila, tentu di belakangnya masih ada orang lain lagi yang menjadi tulang punggungnya," ujar Kwe Ceng.

"Tetapi dengan ilmu kepandaian Yong-ji sekarang ini, ditambah keadaan pulau yang diatur sedemikian itu, jika ada orang berani coba main gila ke sana, maka orang itu sesungguhnya sudah bosan hidup, urusan ini kau justru boleh tak usah kuatir," kata Khu Ju-ki.

Kwe Ceng mengangguk setuju dengan kata2 orang.

Begitulah sambil ber-cakap2 kemudian mereka tiba kembali di depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu, tatkala itu hari sudah terang, para imam sedang sibuk membersihkan reruntuhan puing, ada pula yang sedang tebang kayu untuk membangun tempat meneduh darurat.

Kemudian Khu Ju-ki mengumpulkan semua Tosu Coan-cin-kau itu, ia perkenalkan Kwe Ceng kepada mereka.

"Dia adalah murid Ong-sute, namanya Thio Ci-keng," demikian Khu Ju-ki perkenalkan pada Kwe Ceng imam berjenggot panjang yang pernah memimpin Pak-tau-tin di bawah gunung buat merintangi dirinya itu. "Tentang kepandaian, di antara murid angkatan ketiga dia terhitung yang paling tinggi, maka boleh suruh dia saja yang memberi pelajaran pada Ko-ji."

Kwe Ceng sudah pernah bergebrak dengan Thio Ci-keng, ia tahu ilmu silatnya memang betul hebat, maka dalam hati ia sangat girang, segera dia perintahkan Nyo Ko menjalankan penghormatan angkat guru pada Thio Ci-keng.

Habis itu Kwe Ceng tinggal beberapa hari lagi di Cong-lam-san, iapun pesan wanti2 pada Nyo Ko agar belajar dengan giat, kemudian baru dia mohon diri kembali ke Tho-hoa-to.

Apabila teringat oleh Khu Ju-ki pada waktu memberi pelajaran silat pada Nyo Khong (ayah Nyo Ko) dahuIu, dia membiarkan Nyo Khong tinggal di dalam istana kerajaan Kim dengan segala kemewahan dan kejayaan hidupnya, sehingga membuat suatu kesalahan yang maha besar, maka ia pikir sekali ini Nyo Ko harus dilakukan pengawasan yang keras dan diberikan pelajaran se-baik2-nya supaya anak ini tidak sampai terjerumus menuju jalan yang sama dengan mendiang ayahnya.

Karena itu, dia lantas panggil menghadap Nyo Ko, dengan kata2 pedas dan suara bengis dia memberi petuah harus turut ajaran guru, tidak boleh malas dan teledor sedikitpun.

Untuk tinggal di Cong-lam-san saja sebenarnya Nyo Ko sudah merasa tak betah, apalagi kini kena didamperat habis2an, sudah tentu sukar dijelaskan perasaannya, dengan menahan melelenya air mata dia mengiakan saja, tetapi begitu Khu Ju-ki pergi, tak tertahan lagi ia lantas menangis sedih.

"Kenapa ? Apa Co-su-ya salah mengatai kau ?" tiba2 dari belakang seorang menegur pada-nya.

Nyo Ko kaget, lekas2 ia usap air matanya dan menoleh, ia lihat orang yang berdiri di belakangnya itu bukan lain adalah Suhunya sendiri, Thio Ci-keng. Maka lekas2 tangannya dia luruskan dan menjawab dengan hormat: "Bukan ?"

"Kalau begitu, kenapa kau menangis ?" tanya Thio Ci-keng pula.

"Tecu terkenang pada Kwe-pepek, maka hati menjadi sedih," sahut Nyo Ko.

Tadi terang2an Thio Ci-keng mendengar paman gurunya, Khu Ju-ki, dengan suara bengis memberi pesan pada Nyo Ko, tapi sekarang anak ini justru pakai alasan terkenang pada Kwe Ceng, tentu saja dalam hati ia semakin kurang senang, pikirnya: "Anak sekecil ini tabiatnya sudah begini licin, kalau tidak diberi hukuman yang berat, nanti kalau sudah besar mana bisa dibina lagi?"

Oleh karena itu, dengan menarik muka ia lantas membentak: "Hm, terhadap Suhu sendiri, kau berani berdusta ?"

Karena Nyo Ko menyaksikan sendiri para imam Coan-cin-kau ini kena dihajar hingga tunggang-langgang oleh Kwe Ceng, ia lihat pula Khu Ju-ki dan lain2 kena dilabrak hingga kerepotan oleh Hotu dan Darba dengan begundalnya, semua itu berkat bantuan Kwe Ceng baru mereka bisa terhindar dari bahaya, maka dalam hati dia sudah yakin bahwa ilmu silat para imam ini biasa saja dan tiada yang dapat dikagumi. Terhadap Khu Ju-ki saja dia tidak kagum, apalagi terhadap Thio Ci-keng ?

Memang hal ini adalah kesalahan Kwe Ceng yang telah berbuat teledor, dia tidak menjelaskan dahulu pada Nyo Ko bahwa Coan-cin-kau adalah sumber asli ilmu silat, dahulu ilmu silat Ong Tiong-yang telah diakui sebagai nomor satu di muka bumi ini, tiada satu jago pun dari golongan lain yang mampu melawannya.



Sedang Kwe Ceng bisanya kalahkan para imam itu, soalnya karena imam2 itu belum terlatih sampai dipuncaknya ilmu, sekaIi2 bukan ilmu silat Cona-cin-kau yang tak berguna, Oleh karena kekurangan penjelasan dari Kwe Ceng inilah hingga mengakibatkan peristiwa2 yang banyak terjadi di kemudian hari.

Begitulah, ketika Nyo Ko melihat gurunya marah, dalam hati ia pikir: "Aku angkat guru padamu sebenarnya karena terpaksa, sekalipun kelak aku bisa belajar sepandai kau, tetapi apa gunanya kalau cuma sepandai itu saja ? Untuk apa sekarang kau berlagak galak ?"

Oleh karena pikiran yang memandang hina orang ini, maka Nyo Ko telah berpaling kesamping, ia tidak menjawab Thio Ci-keng tadi.

Tentu saja Ci-keng menjadi gusar !

"Aku tanya kau, kenapa kau tidak menjawab?" ia membentak pula dengan suara yang lebih keras.

"Suhu ingin aku menjawab apa, segera akan kujawab apa," demikian sahut Nyo Ko dengan bandel.

Mendengar kata2 yang ketus ini, amarah Thio Ci-peng tak bisa ditahan lagi, tangannya terus me-nampar, "plak", seketika pipi Nyo Ko merah bengap.

Nyo Ko menjerit dan menangis, mendadak ia angkat kaki terus lari pergi.

Akan tetapi dengan cepat Ci-keng dapat menjambretnya, "Hendak kemana kau?" tanyanya.

"Lepaskan aku, tidak sudi aku belajar silat padamu lagi," teriak Nyo Ko.

Tentu saja Ci-keng bertambah panas hatinya.

"Anak haram, kau bilang apa?" bentaknya.

Namun Nyo Ko sudah pepet, ia menjadi nekat

"lmam busuk, imam anjing, boleh kau pukul mati aku saja !" demikian segera ia balas mencaci maki.

Di jaman feodal dulu, hubungan antara guru dan murid dipandang penting sekali, di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, hubungan guru dan murid dipandang seperti ayah dan anak saja, sekalipun sang guru hendak hukum mati muridnya, yang menjadi muridpun tak berani membantah.

Kini Nyo Ko sebaliknya berani mencaci maki gurunya, sungguh ini suatu perbuatan murtad yang terkutuk yang selamanya jarang terlihat dan terdengar.

Karena itu, dalam gusarnya, muka Ci-keng menjadi merah padam, ia angkat tangannya terus hendak menempeleng lagi.

Diluar dugaannya, se-konyong2 Nyo Ko melompat maju terus merangkul lengannya yang terangkat itu, bahkan bocah ini pentang mulutnya menggigit sini sana hingga akhirnya jari Thio Ci-keng kena digigit dengan kencang.

Kiranya sejak Nyo Ko mendapat ajaran rahasia ilmu silat dari Auyang Hong, meski dia berlatih tidak teratur, tapi soal Lwekang sedikit banyak dia sudah punya landasan, Dalam keadaan marah, Thio Ci-keng menganggap Nyo Ko hanya satu anak kecil, maka sedikitpun dia tidak ber-jaga2 hingga kena dirangkul dan dicokot, dia ternyata tak sanggup lepaskan gigitan Nyo Ko meski dia sudah kipat2kan lengannya.

Justru jari tangan adalah anggota badan orang yang paling lemah, sakitnya paling susah di-tahan, Dalam kesakitan Ci-keng angkat sebelah tangan yang Iain terus menggebuk pundak Nyo Ko dengan keras.

"Kau cari mampus ? Hajo, lepas !" ia membentak lagi.

Akan tetapi Nyo Ko dilahirkan dengan watak yang keras dan tidak kenal apa artinya takut, apa lagi kini dalam keadaan murka dan nekad, sekali pun dibawah ancaman senjata belum tentu dia mau lepaskan begitu saja.

Tetapi karena digebuk pundaknya hingga terasa kesakitan, gigitannya semakin tambah kuat, maka terdengarlah suara "kletak", tulang jari kena digigit patah.

Dalam keadaan demikian, Thio Ci-keng tak bisa pikir panjang lagi, ia ayun tinjunya terus me-ngetok dengan gemas ke atas batok kepala Nyo Ko dipentangnya, jari telunjuk tangan kanannya barulah bisa ditarik keluar dari mulut kecil yang masih terkatup kencang itu.

Maka tertampaklah tangannya berlumuran darah, tulang jarinya sudah patah, meski dia bisa gunakan obat luka untuk menyambung tulang jari, tapi sejak itu jarinya tidak bertenaga lagi, dengan sendirinya ilmu silatnya lantas banyak terhalang, Dalam sengitnya, tak tahan lagi Ci-keng tambahi pula beberapa kali tendangan ke tubuh Nyo Ko yang sudah menggeletak di tanah itu.

Kemudian Ci-keng robek sedikit kain baju untuk membalut luka jarinya, waktu dia memeriksa sekelilingnya, untung tiada orang lain, ia pikir kalau kejadian ini sampai dilihat orang luar dan disiarkan ke kalangan Kangouw, pasti dia akan kehilangan muka, Lalu dia ambil satu ember air dingin dan disiram ke muka Nyo Ko.

Tetapi setelah sadar, kembali Nyo Ko menyeruduk maju lagi sambil menghantam kalang-kabut bagai banteng ketaton.

"Binatang, apa betul2 kau tidak ingin hidup lagi ?" bentak Thio Ci-keng sambil jamberet dada Nyo Ko.

Akan tetapi Nyo Ko tetap tidak mau menyerah

"Kau bangsat, imam anjing, imam busuk, kau sendiri yang binatang !" balasnya memaki.

Karena tak tahan gusarnya oleh caci-maki balasan ini, kembali Thio Ci-keng ayun tangannya memberikan sekali tamparan pula, sekarang dia sudah ber-jaga2, jika Nyo Ko berani balas menghantam tentu takkan bisa mendekatinya, Maka dalam sekejap saja Nyo Ko telah ditendang beberapa kali hingga jungkir-balik dan jatuh-bangun.

Dalam keadaan demikian, jika Thio Ci-peng mau melukai Nyo Ko, sebenarnya dengan gampang saja bisa dia lakukan, namun apapun juga anak ini adalah muridnya sendiri, jika gunakan pukulan berat, kemudian kalau ditanya para paman guru dan Suhu, cara bagaimana harus menjawabnya ?

Sebaliknya Nyo Ko masih terus menggeluti orang dengan ngawur dan nekat meski tubuhnya beberapa kali kena digenjot Ci-keng, rasanya juga tidak kepalang sakitnya, tetapi sedikitpun dia pantang mundur.

Akhirnya Thio Ci-keng menjadi kewalahan sendiri, meski ia masih pukul dan tendang Nyo Ko yang masih terus menyeruduk secara membabi-buta, tetapi dalam hati tidak kepalang menyesalnya, ia lihat bocah ini meski tubuhnya sudah babak-belur, tetapi makin lama malah semakin berani sampai akhirnya, karena tiada jalan lain, ia tutuk Hiat-to di bahu Nyo Ko dan membuatnya tidak berkutik lagi

Nyo Ko menggeletak di tanah, tetapi diantara sinar matanya jelas kelihatan penuh mengandung rasa murka.

"Kau murid murtad ini, sekarang kau menyerah tidak ?" kata Thio Ci-keng.

Akan tetapi Nyo Ko hanya menjawab dengan mata melotot, sedikitpun dia tidak unjuk rasa takluk.

Ci-keng duduk di atas sepotong batu, napas nya empas-empis, Kalau dia bertanding dengan jagoan tinggi, meski berlangsung satu jam atau tiga perempat jam, se-kali2 tidak akan memburu, kini kaki-tangannya tidak capek, tetapi dalam hati luar biasa gusarnya hingga dia tak bisa berdiri.

Begitulah guru dan murid ini saling mendelik berhadapan seketika itu Ci-keng menjadi kehabisan akal, ia tidak tahu cara bagaimana agar mendapatkan jalan yang baik untuk membereskan perkara anak binal ini.

Selagi ia merasa kesal, tiba2 terdengar suara genta ditabuh keras, ia kenal itu adalah tanda panggilan Ciangkau mereka, Ma Giok, yang sedang mengumpulkan semua anak murid Coan-cin-kau. Keruan Ci-keng terkejut.

"Jika kau tidak bandel lagi, aku lantas bebaskan kau," katanya pada Nyo Ko, Habis ini ia lantas menutuk pula buat lancarkan jalan darah orang.

Siapa tahu, begitu Nyo Ko melompat bangun, segera ia hendak menyeruduk maju lagi.

"Aku sudah tidak pukul kau, kau mau apalagi ?" dengan gusar Ci-keng membentak.

"Tapi selanjutnya kau pukul aku tidak ?" tanya Nyo Ko.

Sementara suara genta tadi terdengar ditabuh makin riuh, Ci-keng tak berani ayal, terpaksa ia menjawab : "Jika kau berlaku baik2, kenapa aku harus pukul kau ?"



""Baiklah kalau begitu, Suhu," kata Nyo Ko. "Kau tidak pukul aku, aku lantas panggil kau Suhu, tetapi sekali kau pukul aku, selamanya tidak nanti aku mau mengaku kau sebagai guru Iagi."

Ci-keng tersenyum getir oleh kepala batu si bocah ini.

"Ciangkau sedang memanggil para anak murid, mari lekas ikut ke sana," katanya kemudian.

Tetapi demi melihat baju Nyo Ko sudah robek dan kumal, mukanya pun babak belur, Ci-keng kuatir kalau ditanya orang, maka dia bersihkan tubuh Nyo Ko, habis ini ia tarik tangan bocah ini terus berlari ke depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu.

Sementara itu tempat bekas Tiong-yang-kiong oleh para imam Coan-cin-kau sudah didirikan belasan buah rumah atap alang2, ketika Ci-keng dan Nyo Ko sampai di sana, para imam yang lain sudah berbaris berdiri di sana dengan teratur, sedang Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga kelihatan berduduk menghadap keluar.

Kemudian Ma Giok menepuk tangan sekali, seketika keadaan menjadi sunyi senyap, para imam tak berani berisik lagi.

"Kita telah terima berita dari Tiang-seng cinjin dan Jing-ceng Sanjin yang dikirim dari Soasay, katanya urusan di sana sangat sulit diselesaikan, maka Tiang-jun Cinjin dan Giok-yang Cinjin (Khu Ju-ki dan Ong Ju-it) berdua hari ini juga akan berangkat membantu ke sana, untuk itu mereka perlu membawa serta sepuluh anak murid," demikian dengan suara lantang Ma Giok berpidato,

Karena pengumuman ini, para imam banyak yang saling pandang, ada yang kaget dan heran, ada pula yang murka.

Kemudian dengan suara keras Khu Ju-ki lantas menyebut nama sepuluh anak murid Coan-cin-kau, ia pesan: "Lekas masing2 menyiapkan apa yang perlu, supaya besok pagi2 bisa lantas ikut berangkat. Yang 1ain2 bolehlah bubar sekarang !"

Sesudah itu, maka suara berisik segera terdengar iagi, para imam itu sama mempercakapkan tentang urusan penting itu yang ternyata ada hubungannya dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu.

Tengah mereka saling berunding, Khu Ju-ki sendiri telah mendekati Thio Ci-keng dan berkata padanya: "Sebenarnya aku hendak bawa serta kau, tetapi karena kuatir pelajaran Ko-ji terhalang, maka sekali ini tidak perlu kau ikut pergi!"

Habis ini sekilas tertampak olehnya muka Nyo Ko babak-belur dan matang-biru, tentu saja ia kaget.

"He, kenapa kau ? Dengan siapa kau telah berkelahi ?" tanyanya cepat.

Keruan Thio Ci-keng kerupekan, ia gugup sekali, ia kuatir kalau2 Nyo Ko menceritakan apa yang terjadi dengan terus terang, tentu paman gurunya ini akan mendamperat habis2an padanya, maka lekas2 ia mengedipi mata memberi tanda pada Nyo Ko agar jangan bilang.

Akan tetapi Nyo Ko sudah mengambil keputusannya sendiri, waktu melihat Ci-keng kerupekan, ia pura2 tidak tahu, dia sengaja bicara dengan tidak jelas dan tidak menjawab pertanyaan orang, Dengan sendirinya Khu Ju-ki menjadi gusar.

"Siapakah yang berani pukul kau sedemikian rupa ? Hayo katakan, sebenarnya siapa yang salah ? Lekas bilang !" bentaknya Ju-ki lagi.

Mendengar suara Khu Ju-ki yang makin bengis ini, dalam hati Ci-keng semakin ketakutan.

"Bukan berkelahi, tetapi Tecu sendiri jatuh kesandung dan tergelincir ke jurang," sahut Nyo Ko kemudian.

Sudah tentu Khu Ju-ki tidak gampang percaya.

"Kau bohong, tanpa sebab kenapa bisa jatuh kesandung?" desaknya lagi.

"Tadi Co-su-ya telah ajar Tecu agar belajar secara giat..."

"Ya, kenapa ?" sela Khu Ju-ki.

"Dan sesudah Co-su-ya pergi, Tecu pikir memang benar apa yang Co-su-ya ajarkan itu," demikian Nyo Ko menyambung, "maka selanjutnya Tecu pasti akan giat belajar supaya lekas maju, dengan begitu baru tidak mengecewakan harapan Co-su-ya."

Dengar obrolan Nyo Ko ini, lambat laun air muka Khu Ju-ki berubah tenang kembali, ia bersuara sekali lagi tanda membenarkan.

"Tapi siapa duga mendadak datang seekor anjing gila," demikian sambung Nyo Ko lagi, "tiba2 anjing gila itu menubruk ke arah Tecu sambil mencakar dan menggigit serabutan, Tecu balas tendang dan hantam untuk mengusir anjing gila itu, tetapi makin lama anjing gila itu semakin ganas. Karena Tecu takut kena digigit, maka terpaksa angkat langkah seribu, dan karena kurang hati2, Tecu telah tergelincir ke jurang, Syukur Suhu keburu datang hingga aku dapat ditolongnya."

Atas keterangan ini Khu Ju-ki masih setengah percaya dan separoh sangsi, ia coba pandang Thio Ci-keng, maksudnya bertanya apa yang dituturkan Nyo Ko itu betul atau tidak ?

Dalam hati tidak kepalang gusar Thio Ci-keng, ia sedang membatin: "Bagus, kau anak busuk ini berani mencaci maki aku sebagai anjing gila?"

Akan tetapi karena keadaan terdesak, ia tak berani menyangkal pembohongan Nyo Ko tadi maka terpaksa ia mengangguk dan menjawab : "Yar memang Tecu yang menolongnya."

Karena kepastian ini barulah Khu Ju-ki mau percaya.

"Sesudah aku berangkat, kau harus ajarkan ilmu dasar aliran kita padanya dengan sesungguh hati, tiap2 sepuluh hari Ma-supek akan mengadakan pemeriksaan ulang untuk memberi petunjuk tempat2 yang penting," demikian ia memberi pesan pula sebelum melangkah pergi.

Dalam hati Ci-keng sebenarnya seribu kali tidak rela, tetapi kata2 sang paman gurunya ini, mana ia berani membantah, terpaksa ia mengangguk mengiakan.

Sebaliknya Nyo Ko merasa sangat senang karena berhasil paksa gurunya menyerah dengan mengaku diri sebagai anjing gila, maka apa yang dikatakan Khu Ju-ki tadi boleh dikatakan tiada yang dia dengar.

Begitu Khu Ju-ki bertindak pergi beberapa puluh langkah Thio Ci-keng tak bisa menahan api amarahnya yang membara, tanpa pikir segera tangannya diangkat terus hendak menghantam batok kepala Nyo Ko.

"Khu-suco !" cepat Nyo Ko memanggil Khu Ju-ki sebelum tangan orang mampir di kepalanya.

Mendengar teriakan ini, Khu Ju-ki menoleh dengan bingung, "Apa apa ?" tanyanya.

Dalam pada itu tangan Ci-keng masih terangkat ke atas, karena menolehnya sang paman guru, tak berani ia menabok terus, keruan lagaknya menjadi kikuk dan serba salah, terpaksa ia pura2 meng-garuk2 rambut di pelipisnya.

Sedang Nyo Ko lantas berlari pada Khu Ju-ki, katanya "Co-su-ya, nanti kalau kau pergi, karena tiada yang melindungi aku, banyak Supek dan susiok di sini akan menggebuki aku."

Tentu saja pengaduan ini bikin Khu Ju-ki menarik muka. "Ngaco-belo, mana bisa terjadi begitu !" bentaknya.

Akan tetapi meski di luarnya dia bersikap bengis, dalam hati sebenarnya Khu Ju-ki orangnya welas-asih, tiba2 ia jadi teringat Nyo Ko memang sudah piatu dan harus dikasihani, maka segera ia pesan lagi dengan suara keras: "Ci-keng, kau harus menjaga bocah ini dengan baik, jika terjadi apa2 atas dirinya, sekembaliku hanya kau yang kumintai pertanggungan jawab."

Terpaksa, kembali Ci-keng menyanggupi lagi.

Begitulah, petang harinya sehabis bersantap malam, dengan perasaan masih kebat-kebit kuatir dihajar gurunya lagi, Nyo Ko datang di ruangan tempat sang Suhu, sesudah berhadapan dengan Ci-keng, ia memanggil dengan tangan lurus ke bawah: "Suhu !"

Tatkala itu adalah waktunya mengajarkan ilmu silat, Thio Ci-keng duduk semadi di pembaringannya, sejak tadi ia sudah ber-pikir2: "Anak ini begini nakal, kalau kini tidak dikendalikan dengan baik, kelak kalau ilmu silatnya sudah tinggi, siapa lagi yang sanggup pengaruhi dia ? Akan tetapi Khu-supek dan Suhu justru perintahkan aku mengajarkan ilmu silat padanya, jika aku tidak mengajarkan, hal ini tak boleh jadi pula."

Begitulah lama ia pikir dan masih belum ambil sesuatu keputusan, ketika melihat datangnya Nyo Ko yang seperti takut2, tapi sinar matanya mengerling terang, wajahnya seperti ketawa tetapi tidak ketawa, keruan lagak Nyo Ko ini semakin bikin marah padanya.

"Ah, ada satu akal," tiba2 tergerak pikirannya, "sementara ini sedikitpun dia belum paham akan ilmu kepandaian golongan sendiri, asal aku melulu mengajarkan dia istilah2nya, tetapi caranya berlatih sedikitpun tidak kukatakan padanya, dengan demikian meski beratus kali dia ingat akan istilah2 ilmu Lwekang yang aku ajarkan juga tiada gunanya. Dan kalau, Suhu dan para Supek menanyakan, aku boleh pakai alasan bahwa dia sendiri I yang tidak mau giat belajar."



Begitulah, setelah ambil ketetapan ini, lalu dengan tersenyum dan suara halus ia memanggil: "Ko-ji, maju sini!"

"Kau akan pukul aku tidak ?" tanya Nyo Ko ragu-ragu.

"Aku akan ajarkan ilmu padamu, untuk apa pukul kau ?" sahut Ci-keng.

Nampak sikap orang yang berubah ramah tamah ini, hal ini sama sekali tak Nyo Ko duga. Maka dengan pelahan ia melangkah maju, hanya dalam hati ia tetap waspada dan ber-jaga2 akan segala kemungkinan, ia kuatir kalau orang pakai tipu muslihat

Sudah tentu kelakuan bocah ini dapat dilihat Thio Ci-keng, namun ia pura2 tidak tahu,

"llmu kepandain Coan-cin-kau kita harus dilatih mulai dari dalam sampai keluar, berbeda sekali dengan ilmu Gwa-keh yang melatihnya justru dari luar kedalam," demikian kemudian ia berkata, "Dan kini aku akan ajarkan intisari ilmu kita padamu, kau harus meng-ingat2nya dengan baik"

Habis ini dia lantas uraikan istilah kunci berlatih Lwekang dari Coan-cin-kau pada Nyo Ko.

Dasar kecerdasan Nyo Ko memang melebihi orang biasa, meski hanya mendengarkan sekali saja, namun dia sudah bisa ingat betul Dia juga berpikir sendiri: "Suhu terang benci dan marah padaku, mana bisa dia ajarkan aku ilmu kepandaian sejati ? Jangan2 dia sengaja ajarkan aku dengan segala istilah2 palsu yang tak berguna ?"

Oleh karena itulah, lewat tak lama, ia pura2 lupa apa yang diajarkan padanya tadi, ia meminta petunjuk lagi pada Thio Ci-keng. Namun Ci-keng dapat mengulangi lagi sama seperti semula.

Besoknya, ketika Nyo Ko pura2 tanya pula, ia dengar Ci-keng menguraikan lagi tetap sama dengan yang kemarin, barulah dia mau percaya ajaran bukanlah palsu, Sebab kalau palsu atau bikinan belaka, be-runtun2 menyebut tiga kali pasti tidak sama tiap2 kata atau istilahnya.

Begitulah, ber-turut2 sudah lewat sepuluh hari, selama itu Ci-keng hanya ajarkan istilah kosong saja pada Nyo Ko, tetapi cara atau praktek belajarnya sama sekali tidak diajarkannya.

Pada hari kesepuluh Ci-keng membawa Nyo Ko pergi menemui Ma Giok dan melaporkan bahwa dia sudah mengajarkan bocah itu dengan dasar2 ilmu silatnya bahkan dia suruh Nyo Ko membaca diluar kepala dihadapan Ciangkau Co-su-ya. Melihat Nyo Ko betul2 membaca diluar kepala dengan tepat, satu huruf saja tiada yang salah, keruan Ma Giok menjadi senang, berulang kali ia puji anak ini memang pintar.

Ma Giok adalah seorang imam berilmu dan tidak suka berpikir kearah yang jelek, dengan sendirinya dia tidak menyangka akan tipu muslihat Thio Ci-keng.

Begitulah, sang tempo berlalu dengan cepat, sekejap mata saja beberapa bulan sudah lalu. Selama ini, Nyo Ko boleh dikatakan sudah kenyang mengapal istilah2 Lwekang yang diajarkan Thio Ci-keng, akan tetapi prakteknya sedikitpun belum pernah diajarnya, maka soal ilmu silat hakekatnya dia masih sama saja seperti mula2 naik gunung, Tetapi Nyo Ko pintar luar biasa, mana bisa dia tidak tahu bahwa kepandainya terhalang ? Hanya dalam belasan hari saja dia lantas tahu bahwa gurunya sengaja mempermainkan dirinya, tetapi kalau orang tak mau memberi pelajaran, iapun tak berdaya, terpaksa ia harus menunggu kembalinya Khu Ju-ki untuk melaporkan padanya.

Tetapi tunggu sampai sekian lama, belum juga Khu Ju-ki kembali Meski usia Nyo Ko masih kecil, tetapi dia pintar membawa diri, kalau dalam hati rasa bencinya terhadap Suhu semakin hebat dan makin menjadi, sebaliknya diluar dia justru bertambah menghormat dan menurut.

Diam2 Thio Ci-keng menjadi senang melihat tipu muslihatnya berhasil, katanya dalam hati: "Hm, kau berani membangkang terhadap guru, lihat saja, akhirnya siapa yang rugi ?"

Sementara itu tibalah waktunya akhir tahun, menurut kebiasaan Coan-cin-kau yang turun temurun sejak Ong Tiong-yang, tiap2 tahun, tiga hari sebelum tahun baru, para anak murid harus mengadakan pertandingan besar dari ilmu silat yang mereka latih, dengan demikian untuk mengetahui sampai dimana kemajuan masing2.

Dan karena temponya sudah dekat, maka para anak murid Coan-cin-kau itu kelihatan sibuk sekali berlatih diri siang dan malam.

Hari itu adalah sepuluh hari sebelum tiba hari pertandingan, para anak murid Coan-cin-kau biasanya pada membagi diri dalam kelompok2 kecil untuk saling latih, ini disebut "repetisi", Begitu pula, hari itu Thio Ci-keng dan Cui Ci-hong cs. yang menjadi muridnya Ong Ju-it telah berkumpul disuatu lapangan di sebelah timur untuk berlatih,

Oleh karena Ong Ju-it tiada di rumah, dengan sendirinya urusan diserahkan dibawah pimpinan murid yang tertua, ialah Thio Ci-keng. Di samping sana anak murid angkatan keempat sedang sibuk sendiri, ada yang terlatih ilmu pukulan, ada yang main senjata atau pertunjukan Lwekang mereka.

Ada pula yang melepaskan Am-gi atau senjata rahasia, semua ini diunjukkan dihadapan Thio Ci-keng untuk diberi penilaian siapa diantaranya yang paling bagus.

Apa yang disebut anak murid angkatan ke-empat itu yalah seangkatan dengan Nyo Ko. Oleh karena Coan-cin-kau didirikan oleh Ong Tiong-yang, maka dia adalah cakal-bakalnya, sedang Ma Giok bertujuh yang disebut Coan-cin-chit-cu itu adalah muridnya Ong Tiong-yang, mereka disebut anak murid angkatan kedua: Thio Ci-keng, In Ci-peng, Cui Ci-hong dan Nyo Khong, mendiang ayah Nyo Ko, mereka adalah murid Coan-cin-chit-cu, maka disebut angkatan ketiga: akhirnya tingkatannya Nyo Ko inilah yang disebut angkatan keempat.


Oleh karena Nyo Ko paling lambat masuk perguruan, maka dia menduduki tempat yang paling belakang, bila dia menyaksikan para imam kecil yang umurnya sebaya dengan dirinya itu semua pandai pukulan dan paham silat, masing2 mempunyai kemahirannya sendiri, dalam hati kecilnya bukannya merasa kagum dan iri, sebaliknya dia justru merasa dendam dan sakit hati.

Di lain pihak Ci-keng dapat melihat wajah-Nyo Ko yang mengunjuk rasa penasaran, maka dia sengaja hendak bikin malu anak ini dihadapan orang banyak, ia menanti sesudah selesai pertandingan dua imam kecil, lalu dengan suara keras ia memanggil namanya Nyo Ko.

Mendengar dirinya disebut, Nyo Ko menjadi tertegun "Sedikitpun kau tidak ajarkan ilmu silat padaku, untuk apa kau panggil aku maju kedepan ?" demikian ia pikir.

Akan tetapi Thio Ci-keng sudah mengulangi teriakannya lagi: "Ko-ji, kau dengar tidak ? Hayo lekas maju !"

Terpaksa Nyo Ko tampil ke muka, ia membungkuk badan memberi hormat sambil berkata : "Tecu Nyo Ko menghadap Suhu disini!"

"Umurnya tidak seberapa tua dari pada kau, bolehlah kau bertanding dengan dia," demikian Ci-keng menunjuk salah satu imam kecil yang menang dalam pertandingan tadi.

"Tecu sama sekali tidak bisa silat, mana sanggup bertanding dengan Suheng ?" sahut Nyo Ko.

Thio Ci-keng menjadi marah. "Telah setengah tahun aku mengajar padamu, kenapa kau bilang tak bisa silat ? Lalu apa yang kau lakukan selama setengah tahun ini ?" demikian ia mendamperat.

Nyo Ko tak bisa menjawab dan menunduk.

"Kau sendiri yang malas, tak mau giat belajar, dengan sendirinya kau ketinggalan jauh," demikian kata Ci-keng pula, "Sekarang aku ingin tanya kau apa yang sudah kuajarkan dan kau harus menjawab."

Habis ini berulang kali ia menyebut empat istilah yang pernah dia ajarkan pada Nyo Ko, dengan sendirinya semuanya dijawab Nyo Ko dengan tepat.

"Nah, bagus, sedikitpun tidak salah, maka bolehlah kau pergunakan intisari keempat istilah itu untuk turun kalangan dan bergebrak dengan Suheng," dengan tersenyum Ci-keng berkata.

Kembali Nyo Ko tercengang, "Tecu tidak bisa," jawabnya lagi.

Dalam hati Thio Ci-keng menjadi senang melihat kelakuan Nyo Ko yang serba susah itu, tetapi wajahnya sebaliknya dia sengaja unjuk rasa gusar..

"Kau sudah apalkan istilah2 penting tadi tapi kau tidak berlatih, sekarang kau pakai alasan segala, hayo, lekas saja turun kalangan," bentaknya pula.

Para imam mendengar sendiri Nyo Ko mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala tanpa sedikitpun yang salah, tapi kini tak berani maju ke tengah kalangan, maka diantaranya sama menyangka anak ini merasa jeri, diantaranya ada yang berhati baik lantas menganjurkan maju saja, sebaliknya banyak pula yang tak suka padanya lantas pada bergirang, bahkan diam2 mentertawai.



Mendengar banyak suara yang mendesak dan menganjurkannya, sebaliknya banyak pula yang bersuara menyindir, akhirnya api amarahnya membakar segera Nyo Ko tekadkan hati, ia pikir biarlah aku adu jiwa saja hari ini.

Karenanya segera dia melompat ke tengah kalangan, begitu berhadapan, tanpa bicara lagi dia ajun kedua tangannya, ke atas dan ke bawah, terus menghantam kalang-kabut mengarah kepala imam kecil tadi.

Melihat datangnya Nyo Ko ketengah kalangan, pertama tidak menjalankan penghormatan seperti lazimnya, pula tidak menurut peraturan perguruan yang harus merendah diri minta petunjuk pada pihak lawan, diam2 imam kecil itu sudah merasa heran, apalagi kini melihat Nyo Ko menghantam dan menyerangnya dengan membabi-buta seperti orang gila, keruan ia terkejut, terpaksa dia main mundur terus-menerus.

Di lain pihak Nyo Ko sudah tidak menghiraukan mati-hidup sendiri lagi, ia sudah nekat, mendadak ia menerjang maju.

Kembali imam kecil itu dipaksa harus mundur beberapa tindak, tetapi segera ia lihat bagian bawah Nyo Ko tak terjaga, tanpa ayal lagi segera ia miring kesamping terus ajun sebelah kakinya, dengan gerak tipu "hong-sau-lok-yap" atau angin santar menyapu daun rontok dengan cepat ia menyerampang kaki Nyo Ko.

Karena tidak me-nyangka2, keruan Nyo Ko tak mampu berdiri tegak lagi, ia terpelanting jatuh hingga hidungnya bocor mengeluarkan kecap, mukanya pun babak-belur.

Melihat jatuhnya Nyo Ko sangat mengenaskan dan lucu, tidak sedikit imam yang menonton itu mentertawainya.

Akan tetapi Nyo Ko betul2 bandel, begitu ia merangkak bangun, tanpa mengusap dulu darah hidungnya yang mengucur, dengan kepala menunduk segera ia seruduk lagi si imam kecil tadi.

Nampak datangnya orang cukup hebat, lekas2 imam kecil itu mengegos. Diluar dugaannya, tipu serangan Nyo Ko ini sama sekali tidak menurut aturan, tahu2 ia pentang kedua tangan terus merangkul karenanya kaki kiri lawannya kena dipegangnya.

Namun imatn cilik itupun tidak lemah, segera ia angkat telapak tangan kanan terus meng-genjot pundak Nyo Ko, tipu ini disebut "Thian-sin-he-hoan" atau malaikat langit turun ke bumi, ini adalah tipu serangan yang tepat untuk menghalau musuh bila bagian bawah sendiri terserang.

Tetapi Nyo Ko sama sekali tak pernah belajar silat dalam pratek, baik di, Tho-hoa-to maupun di Cong-lam-san ini, maka tipu serangan apa yang dilontarkan pihak lawan sama sekali ia tidak kenal, keruan tidak ampun lantas terdengar suara "plak" yang keras, pundaknya kena dihantam mentah2 hingga terasa sakit.

Namun meski sudah berulang kali ia digebuk orang, bukannya Nyo Ko mundur teratur, sebaliknya makin kalah menjadi makin kalap, kembali ia gunakan kepalanya buat menyeruduk lagi, sekali imam cilik itu kena ditumbuk perutnya, hingga jatuh terjengkang, bahkan segera ditunggangi Nyo Ko di atas tubuhnya.

Kesempatan ini telah digunakan Nyo Ko untuk ayun bogemnya dan menjotos kepala orang dengan gemas.

Namun imam kecil itu tidak mandah dijotos, dalam kalahnya dia coba berusaha memperoleh kemenangan, mendadak ia pakai sikutnya untuk menyodok dada Nyo Ko, dan selagi Nyo Ko meringis kesakitan, segera ia meronta melepaskan diri terus melompat bangun, berbareng pula ia baliki tangannya untuk mendorong, karena Nyo Kotidak ber-jaga2, maka kembali ia kena dibanting jatuh dengan berat,

"Syukur Nyo-sute suka mengalah," demikian imam cilik itu berkata sambil membungkuk,

Ini adalah adat-istiadat Coan-cin-kau apabila mengakhiri suatu pertandingan Menurut biasa, jika salah satu diantara saudara seperguruan itu sudah menang atau kalah, segera kedua pihak harus berhenti semua.

Siapa tahu Nyo Ko ternyata tidak kenal aturan segala, seperti kerbau gila saja kembali ia menyeruduk dengan nekat, tetapi hanya dua-tiga kali gebrakan kembali dia mencium tanah pula, namun semangat tempur Nyo Ko yang tidak kenal menyerah ini harus dipuji makin dihajar, semakin berani pula, bahkan iapun geraki kaki tangannya semakin cepat buat melawan.

"Nyo Ko, sudah terang kau kalah, masih hendak bertanding apa lagi ?" demikian Ci-keng berteriak padanya.

Tetapi mana Nyo Ko mau gubris, ia masih terus menendang, menyepak, tangannya juga memukul dan menggebuk serabutan, sedikitpun dia pantang mundur.

Semula para imam sama merasa geli juga oleh kelakuan bocah ini, dalam hati mereka berpikir : "Dalam ilmu silat Coan-cin-kau mana ada cara main seruduk seperti ini ?"

Tetapi kemudian sesudah menyaksikan Nyo Ko makin kalap, mereka menjadi kuatir akan terjadi bencana, maka be-ramai2 mereka lantas berseru: "Sudahlah, sudahlah, sesama saudara seperguruan jangan jadi sungguhan !"

Namun Nyo Ko masih tidak mau berhenti

Setelah berlangsung lagi beberapa saat, akhirnya imam cilik itu menjadi keder sendiri, sekarang dia hanya main berkelit dan menghindar saja dan tak berani berdekatan dengan Nyo Ko lagi

Kata pribahasa: "seorang adu jiwa, seribu orang tak bisa melawan. Begitu juga dengan keadaan Nyo Ko yang sedang mengamuk Apalagi selama setengah tahun ini ia telah kenyang segala hinaan di atas Cong-lam-san, kini ia justru hendak melampiaskan semua sakit hatinya itu, sedang soal mati-hidup dirinya sendiri sudah tak terpikir olehnya.

Karena itulah, sungguhpun ilmu silat imam cilik itu jauh menang, namun dia tak memiliki semangat bertempur seperti Nyo Ko, sehingga akhirnya ia menjadi pecah nyali ia tak berani layani Nyo Ko lagi melainkan terus berlari mengitari kalangan dan diuber oleh Nyo Ko dari belakang.

"lmam busuk, imam maling, enak saja kau pukul orang, sesudah gebuki aku sekarang kau hendak lari ?" demikian dari belakang Nyo Ko terus mencaci-maki.

Tentu saja caci-makinya, yang tidak pandang bulu ini menyinggung pula orang Iain, sebab sembilan dari sepuluh orang yang menonton disamping itu justru adalah Tosu atau imam, kini Nyo Ko mencaci-maki semaunya, mereka menjadi dongkol dan geli "Bocah ini betul2 harus dihajar !" demikian mereka membatin.

Dalam pada itu Nyo Ko masih terus mengudak imam kecil tadi Mungkin saking gugupnya karena diuber terus, akhirnya imam cilik itu berteriak minta toIong, "Suhu, Suhu !" demikian ia menggembor dengan takut.

Thio Ci-keng lantas bersuara, ia mem-bentak2 agar Nyo Ko berhenti, Tak tahunya, sedikitpun Nyo Ko tidak menggubrisnya, ia masih kejar imam cilik itu dengan nekat.

Selagi keadaan tambah runyam, tiba2 terdengar suara geraman dari kalangan penonton, mendadak satu imam besar gemuk melompat keluar, meski badan imam ini gendut tetapi gerak-geriknya ternyata sangat gesit begitu dia melompat maju, dengan sekali jamberet segera belakang baju Nyo Ko kena dia pegang terus diangkat, bahkan segera terdengar suara "plak-plak-pIak" tiga kali, kontan ia persen Nyo Ko tiga kali tempelengan.

Pukulan itu ternyata sangat keras hingga seketika pipi Nyo Ko merah bengkak, hampir2 saja Nyo Ko jatuh semaput.

Waktu ia awasi, kiranya orang ini adalah Ceng-kong yang memang dendam hati padanya.

Seperti diketahui pada hari pertama Nyo Ko naik gunung, pernah Ceng-kong hampir terbakar hidup2 karena diselomoti bocah ini, sebab itulah Ceng-kong sering dicemooh dan dibuat buah tertawaan para saudara seperguruannya, katanya orang tua kalah dengan bocah cilik Oleh sebab itu juga, selalu Ceng-kong dendam atas kejadian itu. Kini ia menyaksikan Nyo Ko bikin gara2 lagi, tentu saja ia gunakan kesempatan itu untuk melampiaskan sakit hatinya.

Buat Nyo Ko sendiri memangnya ia sudah tidak pikirkan jiwa dirinya sendiri lagi, kini demi mengenali Ceng-kong, ia lebih2 yakin dirinya pasti tidak bakal diampuni pula, cuma ia kena dicekal kuduknya, ingin meronta buat melepaskan diripun tidak mampu lagi.


Dalam pada itu, dengan tertawa ejek kembali Ceng-kong menambahi Nyo Ko tiga kali tamparan lagi.

"Kau tidak tunduk pada kata2 Suhu, itu berarti kau adalah murid murtad perguruan kita, maka siapa saja boleh menghajar kau !" demikian Ceng-kong membentak habis ini ia angkat tangannya dan akan hajar Nyo Ko lagi.

Diantara penonton di samping itu terdapat adik seperguruan Thio Ci-keng yang bernama Cui Ci-kong. Pribadi Ci-kong lebih jujur dan suka bela keadilan, Tadi ia lihat cara bertanding Nyo Ko, semua gerak serangannya sedikitpun tidak mirip dengan ilmu silat ajaran perguruan sendiri, pula ia cukup kenal jiwa sang Suheng Thio Ci-keng yang sempit, ia kuatir jangan2 didalam terdapat soal lain, maka kini demi nampak Ceng-kong hajar Nyo Ko dengan pukulan2 yang kejam tanpa kenal ampun, ia menjadi kuatir kalau2 bocah ini terluka parah.



"Berhenti, Ceng-kong !" cepat dia membentak menghentikan tindakan murid keponakannya itu.

sebenarnya Ceng-kong belum puas dengan tempelengannya tadi, namun sang Susiok sudah membentak, mau-tak-mau ia harus melepaskan Nyo Ko.

"Susiok tidak tahu bahwa bocah ini luar biasa lincahnya, kalau tidak diberi hajaran yang setimpal mana bisa tata-tertib perkumpulan kita dipertahankan lagi ?" demikian Ceng-kong masih kurang terima.

Tetapi Cui Ci-hong tidak gubris padanya, ia mendekati Nyo Ko, ia lihat kedua belah pipi anak ini bengkak semua dan matang-biru, hidung dan mulutnya berlepotan darah pula, wajahnya sangat harus dikasihani. Karena itu, dengan suara halus ia menghibur dan menanya: Nyo Ko, Suhu mengajarkan kepandaian padamu, kenapa kau tidak melatihnya dengan giat, sebaliknya kau berkelahi dengan para Suheng secara ngawur ?"

"Hm, Suhu apa ? Hakikatnya sedikitpun dia tidak mengajarkan kepandaian padaku," sahut Nyo Ko dengan gemas.

"Dengan jelas ku dengar kau mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala tadi, sedikitpun kau tidak salah mengapalkan," ujar Cui Ci-hong.

"Aku toh tidak hendak menempuh ujian, untuk apa mengapalkan segala bacaan itu ?" sahut Nyo Ko.

Mendongkol tercampur geli Cui Ci-hong mendengar jawaban ini. ia pura2 marah, tetapi maksud sesungguhnya hendak menjajal apa betul2 Nyo Ko sama sekali tidak mengerti ilmu silat perguruannya sendiri Oleh karenanya segera ia tarik muka dan membentak: "Bicara dengan orang tua, kenapa kurangajar ?" Habis berkata, se-konyong2 ia angkat sebelah tangannya mendorong ke pundak Nyo Ko.

Cui Ci-hong terhitung pula salah satu jago angkatan ketiga dari Coan-cin-kau yang setingkatan dengan In Ci-peng dan Thio Ci-keng, meski kepandaiannya masih dibawah kedua orang tersebut namun sudah cukup pula untuk malang melintang dikalangan Kangouw. Maka dapat dimengerti tenaga dorongannya pada Nyo Ko ini telah dia keluarkan dengan tepat sekali, tiba cukup untuk jatuhkan lawannya, jika orang yang didorong tidak paham ilmu silat, karena dorongan ini pasti terjengkang, tetapi kalau mengerti silat dari cabang lain, besar kemungkinan akan kumpul tenaga buat bertahan supaya tubuh tidak terdoyong ke belakang, hanya orang yang belajar silat Coan-cin-kau saja yang bisa hindarkan dorongan ini dengan gaya doyong ke belakang.

Diluar dugaan, Ci-hong merasakan dorongannya percuma saja, sebab Nyo Ko telah sedikit miringkan pundaknya, sehingga tenaga mendorongnya sebagian besar mengenai tempat kosong, Nyo Ko hanya ter-huyung2 mundur beberapa langkah saja, tetapi tidak sampai jatuh.

Keruan Ci-hong kaget dan curiga pula. Batin-nya dalam hati: "Dengan tenaga mengelak tadi seharusnya dia memiliki latihan sekitar sepuluh tahun dari ilmu silat aliran perguruan sendiri sungguh aneh, umurnya masih begini muda, pula baru setengah tahun masuk perguruan, mana bisa dia memiliki keuletan yang begini dalam ? Dengan kemampuannya ini, tadi waktu bertanding seharusnya dia tidak perlu ngawur main seruduk sini dan terjang sana, apa mungkin didalamnya terdapat sesuatu tipu muslihat ?"

Nyata dia tidak tahu bahwa didalamnya memang banyak sebab2 yang dia sendiri tidak mengetahui. Dahulu Ma Giok pernah mengajarkan Lwekang Coan-cin-kau kepada Kwe Ceng, dan Kwe Ceng telah mengajarkan sedikit dasar kepandaian itu kepada Cin Lam-khim ibu Nyo Ko.

Sewaktu Nyo Ko berumur beberapa tahun, ibunya lantas mengajarkan cara2 semadi melatih Lwekang yang dia peroleh dari Kwe Ceng itu. Oleh sebab itulah, dalam perkelahian Nyo Ko tadi sama sekali ia tidak mengerti tipu serangan silat, sebaliknya soal Lwekang ia malah mempunyai dasar kekuatan sepuluh tahun lamanya, Cui Ci-hong tidak tahu hal ini, sudah tentu ia terheran-heran.

Dilain pihak Nyo Ko yang kena didorong tadi merasakan dadanya menjadi sesak, hampir2 tak bisa bernapas, ia sangka Ci-hong juga bermaksud menghajarnya.

Dalam keadaan memang sudah mata gelap, sekalipun waktu itu Khu ju-ki datang sendiri juga dia pantang mundur, apalagi hanya seorang Cui Ci-hong. Karena itu, segera ia menyeruduk lagi ke arah perut orang.

Akan tetapi Cui Ci-hong tidak mau ladeni anak kecil ini, ia tersenyum oleh kenekatan orang sambil mengegos buat hindarkan serudukan itu.

Ia sengaja mau tahu kepandaian apa yang dimiliki Nyo Ko, maka ia berkata pula: "Ceng-kong, coba kau adu beberapa jurus dengan Nyo-sute, tetapi enteng saja kalau turun tangan, jangan pukul terlalu keras !"

Tentu saja Ceng-kong sangat senang, memangnya dia meng-harap2 ada perintah demikian ini, maka tanpa berkata lagi segera ia melompat ke depan Nyo Ko, tiba2 ia ulur tangan kiri pura2 memukul ketika Nyo Ko berkelit ke kanan, mendadak tangan kanannya menggablok cepat dan keras, keruan tidak ampun lagi lantas terdengar suara "bluk", tepat dada Nyo Ko kena dihantam.

Pukulan itu cukup berat, kalau bukannya Nyo Ko mempunyai kekuatan Lwekang belasan tahun lamanya, pasti dia akan muntah darah oleh genjotan itu. walaupun demikian, tidak urung Nyo Ko merasakan dadanya sakit tidak kepalang dan mukanya pucat seperti kertas.

Nampak sekali pukul tidak bikin lawan cilik-nya terguling, diam2 Ceng-kong merasa heran juga, maka menyusul kepalan kanan diayunkan pula, sekali ini ia menjotos kemuka Nyo Ko.

Dengan sendirinya Nyo Ko angkat tangannya hendak menangkis. Cuma sayang, maksudnya memang hendak menangkis, tetapi sama sekali ia tidak paham gerak tipu silat buat menangkis, maka kembali dia dimakan mentah2 oleh Ceng-kong. Dengan sengaja ia kesampingkan jotosannya ini, tapi cepat ia menjojoh dengan kepalan kiri, maka terdengar suara "plak" dibarengi dengan suara jeritan tertahan Nyo Ko, nyata hantaman dengan tepat kena diperutnya.

Saking sakitnya sampai Nyo Ko menungging sambil pegang perutnya dengan meringis2. Di luar dugaan, sekali bocah ini menjengking ke bawah, tanpa sungkan2 lagi Ceng-kong tambahi serangan lain pula, ia angkat telapak tangannya terus memotong ke kuduk orang.

Serangan yang mengarah tempat berbahaya ini, Ceng-kong menaksir Nyo Ko pasti akan kelenger seketika, dengan demikian ia telah berhasil balas sakit hati tempo hari.

Siapa tahu, Nyo Ko betul2 anak perkasa, jiwa gagah berani Engkongnya Nyo Thi-sim sudah diwariskan semua kepadanya, sama sekali bocah ini tidak menyerah, hantaman tadi hanya membikin dia terhuyung sedikit saja dan tetap belum jatuh, hanya kepalanya dirasakan pusing dan berat, tenaga pun habis tanpa bisa membalas lagi.

Nampak keadaan bocah ini sudah payah, kini Ci-hong baru mau percaya bahwa Nyo Ko memang betul2 tidak paham ilmu silat Karenanya dengan cepat ia berteriak mencegah: "Berhenti, Ceng-kong !"

"Nah, sekarang kau takluk padaku tidak ?" demikian bentak Ceng-kong pada Nyo Ko.

Diluar dugaannya, Nyo Ko masih tetap berkepala batu.

"lmam busuk, imam bangsat, siapa yang sudi takluk padamu ? Ada kalanya kau pasti akan kubunuh !" teriak Nyo Ko dengan penuh dendam.

Keruan tidak kepalang gucar Ceng-kong karena caci-maki ini, susul menyusul ia kirim kedua kepalan pula dan tepat mengenai batang hidung Nyo Ko.

Memangnya kepala Nyo Ko sudah puyeng dan berat oleh pukulan2 tadi, kini pandangannya menjadi gelap hingga mata ber-kunang2, ia terhuyung2 hendak jatuh. Tetapi entah darimana, mendadak seluruh badannya se-akan2 mengalir hawa panas yang timbul dari pusarnya, sementara ia lihat jotosan ketiga kali Ceng-kong sudah datang mengarah mukanya pula, dalam keadaan kepepet, secara otomatis ia terus berjongkok dari mulutnya mengeluarkan suara "kok" sekali, berbareng kedua telapak tangannya disodok ke depan hingga dengan tepat mengenai perut Ceng-kong.

Sungguh hebat sekali pukulan ini, tahu2 sesosok tubuh segede kerbau telah mencelat pergi sejauh beberapa tombak, dengan mengeluarkan suara gedebuk disusul dengan debu pasir yang berhamburan dengan kaku Ceng-kong menggeletak telentang di atas tanah tanpa bisa berkutik lagi.

Tapi waktu para imam penyaksikan Ceng-kong menghajar Nyo Ko yang jauh lebih kecil itu mereka pada mengunjuk rasa tidak-adil, bagi orang2 yang lebih tinggi tingkatannya, kecuali Thio Ci-keng saja yang memang masih dendam pada Nyo Ko, yang lain be-ramai2 sudah bersuara mencegah.



Siapa tahu dalam keadaan mendadak itu tiba2 Ceng-kong bisa dipukul Nyo Ko hingga mencelat begitu jauh untuk kemudian menggeletak dengan kaku tanpa bisa berkutik lagi.

Semua orang ternganga heran, be-ramai2 kemudian mereka maju memeriksa keadaan Ceng-kong.

Namun bagi Nyo Ko, sama sekali iapun tidak mengira hantamannya itu bisa membawa hasil yang begitu hebat, Ha-mo-kang yang dia lontarkan ini, pertama kalinya pernah dia binasakan seorang anak murid Kay-pang di Tho-hoa-to tempo hari, kini sekali pukul Ceng-kong kena dijatuhkan lagi hingga mencelat.

"Haya, celaka, mati, sudah mati orangnya !"

"Wah, napasnya sudah putus, tentu jerohan-nya telah remuk !" - "Celaka, lekas lapor Ciang-kau Cosu !" - Demikian Nyo Ko dengar suara teriakan kalang kabut para imam yang terkejut itu.

Ia pikir sekali ini dirinya benar2 telah ter-bitkan onar lagi, karena itu, dalam bingungnya tanpa pikir panjang lagi segera ia angkat langkah seribu, ia lari pergi tanpa arah tujuan.

Di lain pihak para imam itu sedang ribut oleh keadaan Ceng-kong yang belum diketahui mati atau hidup, maka kaburnya Nyo Ko ternyata tiada seorangpun yang memperhatikan.

Setelah Thio Ci-keng periksa keadaan luka Ceng-kong yang parah, sembilan dari sepuluh bagian terang tiada harapan buat hidup lagi, ia menjadi kaget tercampur gusar.

"Nyo Ko, Nyo Ko ! Di mana kau ? ilmu siluman apakah yang kau pelajari itu ?" demikian segera ia ber-teriak2.

Meski ilmu silat Ci-keng tidak tergolong lemah, tetapi selamanya dia tinggal di Tiong-yang-kiong, maka pengalamannya kurang luas, Ha-mo-kang yang digunakan Nyo Ko itu ternyata tidak dikenalnya.

Begitulah dia telah ber-teriak2 memanggil beberapa kali, namun sama sekali tidak terdengar Nyo Ko menjawab, waktu para imam itu mencarinya namun tak melihat bayangan Nyo Ko lagi.

Alangkah murka Thio Ci-keng, segera ia memberi perintah mengejar ke segenap jurusan, ia pikir Cong-lam-san yang luasnya beberapa puluh li itu seluruhnya di bawah pengaruh Tiong-yang-kiong, masakah bocah sekecil itu mampu lari ke mana ?

Bercerita tentang Nyo Ko, ketika dengan gugup ia melarikan diri, sama sekali ia tidak pilih arah, secara ngawur ia lari secepat mungkin dan yang dipilih ialah hutan belukar yang lebat.

Tidak lama ia berlari terdengar olehnya dari belakang orang berteriak riuh ramai, semua penjuru ada orang sedang berteriak namanya: "Nyo Ko, Nyo Ko ! Hayo lekas keluar, ke mana kau hendak lari ?"

Karena teriakan itu, hati Nyo Ko semakin gugup hingga larinya pun semakin tak genah, Tiba2 ia lihat ada bayangan orang berkelebat di-depannya, nyata ada satu To-su telah pergoki dia dan menyergap tiba, Lekas Nyo Ko putar tubuh berlari kearah lain, akan tetapi celaka baginya, di sana sudah mengadang pula imam yang lain.

"Nah, ini dia I Disini orangnya, di sini!" demikian imam itu ber-teriak2.

Dengan kalap Nyo Ko menerjang dengan kepala menunduk, akan tetapi Tosu tadi siap papaki dia, dengan tangan terpentang, segera imam itupun menubruk maju.

Namun sekali ini Nyo Ko sudah siap siaga, se-konyong2 ia berjongkok, kembali ia keluarkan ilmu weduk katak buat serang orang, dengan sekali sengkelit, tubuh imam itu dia lemparkan ke-belakang.

Meski imam itu tidak sampai terluka parah, tapi terbanting jatuh hampir kelengar dan seluruh badan. babak-belur.

Imam-imam yang lain menjadi jeri demi nampak gerak serangan Nyo Ko yang lihay dan ganas, mereka tidak berani sembarangan maju lagi, hanya berdiri di tempat jauh mereka ber-teriak2 pula memanggil kawan.

Ber-runtun2 Nyo Ko berhasil menangkan dua imam dengan Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak, rasa takutnya tadi menjadi banyak berkurang, tetapi kakinya toh tidak pernah berhenti, ia masih terus lari ke depan dengan cepat.

Sesudah ber-Iari2, achirnya para imam tadi menjadi jauh ditinggalkan olehnya, diam2 ia merasa girang. Di luar dugaannya, se-konyong2 dari belakang satu pohon besar melompat keluar seorang imam setengah umur yang bermuka putih tampan dan mengadang di depannya.

Waktu Nyo Ko awasi, ia kenal imam ini adalah murid Khu Ju-hi yang tertua In Ci-peng, kedudukannya terhitung paling tinggi di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, Oleh karenanya lekas2 ia belok ke kiri hendak kabur lagi.

Tak tahunya gerak tubuh ln Ci-peng luar biasa cepatnya, sekali ia ulur tangannya, sekatika baju dada Nyo Ko kena di jamberetnya.

"Marilah, ikut padaku!" dengan tersenyum In Ci-peng berkata.

Namun Nyo Ko tidak menyerah begitu saja, kembali ia gunakan ilmu Ha-mo-kang, kedua telapak tangannya dengan cepat dipukulkan ke depan.

In Ci-peng tahu akan lihaynya pukulan ini, ia menjadi terkejut, lekas2 ia mendahului orang, sebelum tenaga pukulan Nyo Ko dilontarkan, kedua tangannya dengan kencang mencengkeram dulu pergelangan Nyo Ko, dengan paksa Ha-mo-kang yang hendak dilontarkan itu dia tolak kembali

Harus diketahui bahwa Ha-mo-kang sebenarnya adalah ilmu kelas wahid dari dunia persilatan cuma sayang Nyo Ko belum banyak mempelajarinya dan waktunya pun tidak lama, dengan sendirinya ia bukan tandingan murid Coan-cin-kau angkatan ketiga yang tangguh ini

Oleh karena tangannya dipegang orang, dalam gugupnya Nyo Ko berjingkrak2, dan selagi ia hendak mencaci maki, tiba2 terdengar Ci-peng menghela napas, lalu Nyo Ko pun dilepaskan.

"Sudahlah, lekas kau lari saja, biar aku melindungi kau disini," demikian ia berkata pula. "Jika kau kena ditangkap kembali oleh gurumu, maka jiwamu yang kecil ini pasti tidak terampun-kan lagi."

Kiranya tadi waktu Nyo Ko bertanding dengan imam cilik, tatkala itu In Ci-peng tidak ikut menyaksikan, tapi kemudian anak muridnya telah lapor kepadanya apa yang terjadi sesudah Ceng-kong kena dihantam oleh ilmu weduk katak Nyo Ko. Maka lekas2 iapun menyusul datang hendak cari tahu bagaimana kelanjutannya.

Kini sesudah berhadapan dengan Nyo Ko dan melihat mulut anak ini pecah, hidung bengkak mukanya penuh berlepotan darah, ia menduga bocah ini tentu telah mengalami hajaran yang kejam pula, Ci-peng memang cukup kenal watak Ci -keng yang keras, orangnya tak berbudi, ia sendiri tidak akur dengan Ci-keng, lebih2 bila ter ingat olehnya ayah Nyo Ko yang masih terhitung saudara seguru dengan dirinya, tiba2 hatinya menjadi lemah, ia tidak tega kalau sampai Nyo Ko ditawan kembali oleh Ci-keng, maka ia sengaja melepaskan anak ini.

Sebaliknya Nyo Ko menjadi heran ketika mendengar orang mau lepaskan dirinya begitu saja, sesaat itu ia jadi bingung, ini dapat dimengerti karena beberapa tahun ini ia sudah kenyang merasakan segala hinaan, terhadap siapa saja tiada seorang pun yang dia percayai.

Karena itu, ia kuatir Ci-peng sengaja lepaskan dirinya untuk kemudian ditangkap lagi, maka tanpa menoleh segera Nyo Ko lari ke depan, sementara sayup2 ia dengar di belakang sana In Ci-peng sedang cekcok mulut dengan orang.

Ber-lari2 dalam jarak panjang ini sebenarnya sangat payah bagi Nyo Ko, syukur ia mempunyai kekuatan dasar Lwekang belasan tahun Iamanya.

Maka dia masih sanggup bertahan dengan seluruh tenaganya.

Kemudian ia pilih jalan lain, kini ia lari menyusun semak2 dan berbelak-belok di antara batu2 pegunungan yang tak teratur, sementara cuaca sudah mulai gelap, seluruh badannya terasa lemas, hampir2 ia jatuh terkulai saking letihnya napasnya yang sudah kempas-kempis.

Setelah duduk sejenak, selagi Nyo Ko hendak berdiri buat melanjutkan buronnya, tiba2 ia dengar di belakangnya ada suara orang mendengus.

Keruan saja Nyo Ko kaget, dengan cepat ia menoleh, tetapi ia menjadi tambah kaget hingga jantungnya se-akan2 melocat keluar dari mulutnya. Kiranya dibelakangnya sudah berdiri satu imam dengan mata mendelik dan alis mengerut tegak dan berjenggot panjang, siapa dia kalau bukan Thio Ci-keng yang pernah dia angkat menjadi guru.

Sesaat itu kedua orang menjadi saling pandang dengan mata mendelik gusar, untuk beberapa detik itu mereka sama2 tidak bergerak sedikitpun.



Akan tetapi se-konyong2 Nyo Ko berteriak sekali berbareng ia putar tubuh terus lari.

Sudah tentu Thio Ci-keng tidak membiarkan anak ini lari begitu saja, ia menyerobot maju terus mencengkeram tengkuk orang.

Tahu akan ancaman bahaya ini, tiba2 Nyo Ko mendak dan menubruk kedepan, dengan cepat ia meraup sepotong batu terus ditimpukkan ke belakang,.

Karena serangan mendadak yang tidak termasuk teori ilmu silat ini, terpaksa Ci-keng mengegos menghindarkan diri, habis ini ia mengudak lagi terlebih cepat hingga jarak mereka semakin dekat.

Dalam keadaan demikian Nyo Ko sudah tidak hiraukan akibatnya lagi, sesudah berlari kesetanan beberapa langkah pula, tiba2 di depannya adalah tebing yang curam, ia tidak pusingkan di bawah sana apakah jurang yang dalam atau sungai yang berbahaya, tanpa pikir ia ceburkan diri ke bawah, seketika iapun tidak tahu apa2 lagi.

Sesudah dekat, Ci-keng coba melongok ke bawah tebing yang curam itu, ia lihat tubuh Nyo Ko sedang menggelinding ke bawah mengikuti tanah miring yang menghijau dengan rumputnya yang lebat, kemudian lantas menghilang ke dalam semak2 di bawah pohon yang rindang.

Ci-keng sendiri tidak berani ikut melompat ke bawah begitu saja, maka ia telah cari jalan lain, ia memutar ke tanah miring itu dan kemudian mengikuti bekas2 yang tergilas oleh tubuh Nyo Ko yang menggelinding itu dan mencari ke dalam hutan dibawah sana.

Tetapi hutan itu semakin dimasuki ternyata semakin lebat hingga akhirnya sedikitpun sinar matahari tidak tertampak, Saat itu ia sudah menempuh sejauh beberapa tombak ke dalam hutan, ketika mendadak ia teringat bahwa daerah itu adalah "kuburan kuno" dimana kakek gurunya, Tiong-yang Cosu pernah menetap, ia ingat bahwa Coan-cin-kau mereka selamanya ada peraturan keras yang melarang siapapun untuk mendatangi daerah kuburan ini. Akan tetapi bila Nyo Ko harus dilepaskan saja, inilah Ci-keng tidak rela.

"Nyo Ko, Nyo Ko, lekas keluar !" segera ia ber-teriak2.

Tetapi meski ia ulangi beberapa kali teriakan-nya, sama sekali tiada jawab yang terdengar, ia menjadi murka, dengan tabahkan hati ia melangkah maju lagi beberapa tindak, dalam keadaan remang2 tiba2 terlihat olehnya di atas tanah sana berdiri satu pilar batu, waktu ia tegasi sambil berjongkok, maka terbacalah olehnya apa yang tertulis diatas batu itu, yakni yang berarti: "Orang luar berhenti disini."

Tulisan yang melarang orang maju lebih jauh ini, membikin Ci-keng menjadi ragu2, ia bingung apa maju terus atau tidak ? Karena itu segera ia berteriak lagi: "Hayo keluar, Nyo Ko ! Kau bangsat cilik ini, kalau nanti tertangkap pasti kuhajar mampus kau !"

Baru habis ia menggembor se-konyong2 terdengar suara riuh aneh mendengung dari dalam hutan, menyusul itu segerombolan bayangan kelabu tiba2 berkelebat, serombongan tawon putih telah menyambar keluar di antara daun pepohonan.

Tentu saja Ci-keng sangat terkejut, lekas2 ia kebutkan lengan bajunya dengan maksud mengusir kawanan tawon itu, ia memiliki tenaga dalam yang kuat, dengan sendirinya tenaga kebutan lengan bajunya itupun tidak kecil, diluar dugaan, baru saja ia mengebas beberapa kali, mendadak kawanan tawon itu terpencar menjadi dua barisan, yang satu menyamber dari depan dan yang lain menyergap dari belakang.

Keruan Ci-keng semakin kaget sedikitpun ia tak berani ayal lagi, segera ia putar lengan bajunya buat melindungi seluruh tubuhnya.

Siapa tahu, kawanan tawon putih ini ternyata sangat pintar, beberapa kali mereka gagal menyerang, segera dari dua barisan mereka terpencar menjadi empat barisan, dari empat jurusan mereka lantas mengepung.

Dalam keadaan demikian, Ci-keng tak berani bertahan lebih lama lagi, sambil ayun lengan bajunya untuk melindungi kepala dan mukanya, segera ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.

Namun kawanan tawon itu tidak membiarkan sasarannya kabur begitu saja, dengan mengeluarkan suara "ngung-ngung" yang riuh, segera mereka menguber.

Walaupun terbangnya tidak terlalu cepat namun tawon putih ini menguber terus tiada hentinya, kemana Ci-keng lari, ke sana mereka mengudak, Ci-keng lari ke timur, mereka ikut ke timur, lari ke barat, mereka ngintil ke barat hingga akhirnya Ci-keng kewalahan sendiri Ketika lengan bajunya sedikit terlambat mengebut, secepat kilat dua ekor tawon putih sudah menerobos masuk melalui lowongan itu dan masing2 mengantup sekali di pipi kanannya.

Luar biasa sakitnya sengatan itu hingga Ci-keng meringis, karena itu, cara mengebas lengan bajunya menjadi kacau dan asal kena saja, "Hari ini jiwaku pasti melayang !" demikian ia pikir, sebab ia sangka rombongan tawon itu segera pasti akan merubung kepala dan mukanya lagi.

Tak tahunya, dugaannya ternyata meleset, sekali sengat kawanan tawon itu rupanya merasa sudah cukup, agaknya mereka tidak mau banyak buang tenaga, sesudah bisa tawon mulai bekerja hingga Ci-keng berkelejotan kesakitan di tanah rumput, segera kawanan tawon itu mundur teratur kedalam hutan.

Kembali pada Nyo Ko tadi, sesudah dia tergelinding masuk ke dalam hutan dengan pingsan, entah berapa lama sudah lewat, ketika tiba2 terasa olehnya tubuhnya kesakitan seperti ditusuk sesuatu, saking sakitnya ia membuka matanya, maka tertampaklah tawon putih yang tidak terhitung banyaknya sedang beterbangan mengitari tubuh nya, kupingnya se-akan2 pekak oleh suara "ngung-ngung yang berisik dari kawanan tawon itu.

Bagaimanapun Nyo Ko memang masih kecil, sesudah menderita sehari penuh dengan segala siksaan, akhirnya ia tidak sanggup bertahan lagi, kembali ia jatuh pingsan pula.

Lewat lama sekali, tiba2 mulutnya terasa dicekoki oleh semacam cairan yang dingin segar dan harum pula yang pe-lahan2 mengalir masuk tenggorokannya. Dalam keadaan masih setengah sadar ia merasa enak sekali cairan itu, maka pe-lahan2 ia coba buka matanya, akan tetapi ia menjadi begitu kaget ketika terlihat olehnya di depannya berdiri seorang nenek berwajah jelek keriput seperti kulit ayam yang penuh borok. Saking kagetnya, hampiri Nyo Ko jatuh semaput lagi.

Sementara itu manusia bermuka jelek itu telah pentang mulut Nyo Ko pula mencekokinya dengan cairan manis tadi.

Hendaklah diketahui bahwa cairan manis ini adalah madu tawon yang diperoleh dari rombongan tawon putih itu yang khasiatnya sangat mujarab untuk menyembuhkan segala racun, kalau buat sembuhkan antupan tawon itu sendiri, sudah tentu lebih2 mujarab lagi.

Karena itulah dengan segera Nyo Ko merasakan tubuhnya menjadi segar bugar, iapun tahu manusia jelek itu tidak bermaksud jahat padanya, maka ia telah tersenyum sebagai tanda berterima kasih.

Manusia jelek itupun balas bersenyum, lapi karena senyumannya ini, mulutnya bergerak, otot daging di mukanya ikut terkerut, mukanya yang sudah jelek seketika bertambah lebih jelek hingga sukar dilukiskan.

Kembali Nyo Ko terkejut, tetapi aneh, ia merasa dibalik muka orang yang jelek tersembunyi perasaan yang welas-asih, kalau dibandingkan sikap dingin para imam di Cong-lam-san itu, ia merasa sikap nenek jelek ini bikin dirinya lebih hangat.

"Popoh, jangan kau biarkan Suhu datang menangkap aku," demikian kemudian ia berkata.

Mendengar anak ini menyebut dirinya sebagai Popoh atau nenek, wanita tua bermuka jelek itu sangat senang.

"Siapakah Suhu-mu, nak ?" tanyanya kemudian.

Mendengar suara pertanyaan yang penuh simpatik ini, Nyo Ko menjadi terharu, memangnya perasaan halusnya gampang terguncang, kini mendengar kata2 yang lemah lembut, seketika ia tak sanggup menjawab, malahan ia terus menangis tersedu-sedu.

Dengan pelahan wanita tua itu pegang tangan Nyo Ko, ia tidak menghiburnya, melainkan membiarkan Nyo Ko menangis se-puas2nya, wajahnya tetap tersenyum sambil memandang bocah ini dengan kepala miring, diantara sinar matanya penuh mengandung rasa kasih sayang.

"Sudah baikkah kau ?" tanya nenek ini kemudian dengan suara halus sesudah Nyo Ko puas menangis.

Watak Nyo Ko memang suka pada kehalusan dan tidak doyan kekerasan, kalau orang lain menghantam dia, menghina dia, se-kali2 tidak nanti dia mencucurkan air mata barang setetespun di hadapan orang.

Kini didengarnya suara si wanita tua yang lemah lembut dan penuh simpatik, hatinya semakin terharu hingga kembali ia menangis lagi.

"Sudahlah, anak baik, jangan menangis, jangan menangis ! sebentar tubuhmu tentu tidak akan sakit lagi," sambil menghibur, wanita tua jelek itu lantas keluarkan saputangannya untuk mengusap air mata Nyo Ko.

Tetapi semakin ia menghibur, tangis Nyo Ko semakin keras dan bertambah sedih, karenanya berbalik, si nenek merasa kelabakan, bingung tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lebih lanjut.

"Sun-popoh, kenapa kau bikin anak orang menangis begitu rupa ?" tiba2 terdengar suara orang bertanya, suara halus merdu di luar kerai

Ketika Nyo Ko angkat kepalanya memandang, ia lihat sebuah tangan halus putih bersih sedang menyingkap kerai, menyusul masuklah seorang gadis jelita.

Gadis ini mengenakan baju putih mulus terbuat dari sutera halus dengan gaya yang sangat menarik, usianya belum ada dua puluhan tahun, kecuali rambutnya yang kelihatan hitam, selebihnya serba putih di seluruh badannya, wajahnya pun ayu luar biasa, namun kulit dagingnya tidak kentara warna darah sedikitpun, lapat2 membawa semacam perbawa yang aneh seperti dewi kayangan saja yang tidak mengenyam daharan keduniawian.

Mendengar orang mengatakan dia menangis, dengan muka merah segera Nyo Ko berhenti menangis, ia menunduk malu, tetapi segera ia melirik lagi pada gadis jelita itu, ia lihat orang sedang memandang juga padanya, maka cepat ia menunduk kembali.

"Aku sudah kewalahan, kau saja yang menghiburnya," demikian terdengar Sun-popoh berkata dengan ketawa.

Gadis jelita itu lantas mendekati pembaringan Nyo Ko, ia lihat luka dijidatnya bekas diantup tawon putih, ia ulur tangannya buat meraba dengan maksud ingin mengetahui apakah Nyo Ko demam atau tidak.

Begitu tangannya menempel jidat Nyo Ko, tanpa terasa anak ini jadi menggigil, ternyata tangan gadis itu dingin bagai es.

"Tidak apa-apa, kau sudah minum madu tawon, sebentar lagi tentu kau akan sembuh kembali." demikian kata gadis itu. "Kau bernama siapa, nak ?"

Nyo Ko tidak lantas menjawab, ia pandang orang lagi dengan mendongak ketika sinar matanya kebentrok dengan sinar mata si gadis, dalam hatinya tiba2 timbul semacam perasaan aneh yang sukar diucapkan, ia merasa gadis ini luar biasa cantiknya, luar biasa ayunya, tetapi dibalik kecantikan itu si gadis tanpa mengunjuk perasaan sedikitpun.

Nyo Ko menjadi bingung, ia tidak tahu orang sedang gusar atau lagi senang, sedang sedih atau lagi girang, tanpa terasa ia merasa heran, ia membatin gadis ini sebenarnya manusiakah ? Setankah atau sebangsa malaikat dewata ? Ketika ia dengar suara orang yang nyaring halus itu seperti tidak berperasaan sedikitpun, seketika Nyo Ko tak bisa menjawab pertanyaan orang tadi.

"lni adalah Liong-cici, ia adalah tuan rumah di sini, apa yang dia tanya hendaklah kau jawab saja!" demikian terdengar Sun-popoh berkata padanya dengan tertawa.

Kiranya gadis jelita berbaju putih mulus ini memang bukan lain daripada Siao-liong-li yang menjadi tuan rumah "kuburan orang hidup" (artinya orang hidup tinggal dalam kuburan se-akan2 sudah mati). Sun-popoh ini adalah pelayan yang dahulu mendampingi gurunya Siao-liong-Ii, tapi sejak sang guru wafat, dalam kuburan hanya tinggal mereka berdua saja yang hidup berdampingan.

Hari itu mereka dengar suara mengaungnya tawon putih, mereka tahu tentu ada orang melanggar tapal batas tanah kuburan di hutan itu, maka Sun-popoh telah keluar buat memeriksanya, di sana ia dapatkan Nyo Ko sudah jatuh pingsan, maka dialah yang telah menolong jiwa anak itu.

Sebenarnya menurut peraturan kuburan kuno itu, orang luar siapapun tidak diperbolehkan masuk barang setengah langkahpun apalagi orang laki2, hal ini lebih2 melupakan pantangan besar, Akan tetapi karena usia Nyo Ko masih kecil, pula seluruh badannya kelihatan babak-belur bekas luka, meski wajah Sun-popoh sangat jelek dan kelihatan bengis, namun hatinya sebenarnya sangat welas-asih, maka ia telah turun tangan menolong Nyo Ko dengan melanggar kebiasaannya.

Begitulah sesudah mendapat penjelasan dari Sun-popoh, dengan cepat Nyo Ko lantas melompat bangun, ia turun dari pembaringannya dan berlutut menjura pada Sun-popoh dan Siao-liong-Ii.

"Tecu Nyo Ko dengan ini memberi hormat pada Sun-popoh dan Liong-kokoh," demikian ia perkenalkan diri sambil panggil orang sebagai nenek dan bibi.

Keruan Sun-popoh kegirangan dan tertawa lebar, lekas2 ia membangunkan bocah itu, "Ah, kiranya kau bernama Nyo Ko. Sudahlah, jangan pakai adat - istiadat segala," demikian ia berkata.

Hal ini memang pantas, sebab sudah beberapa puluh tahun Sun-popoh tinggal di dalam kuburan, selama itu pula tidak pernah ia bergaul dengan orang luar, kini demi nampak wajah Nyo Ko cakap, cekatan dan pintar pula, dalam hati ia menjadi luar biasa menyukainya.

Sebaliknya Siao-liong-li ternyata tetap bersikap dingin saja, ia hanya mengangguk sekali, habis ini ia ambil tempat duduk pada suatu kursi ditepi ranjang sana.

"Cara bagaimanakah kau bisa sampai disini? Dan mengapa terluka ? Orang jahat siapakah yang telah hajar kau sedemikian rupa ?" demikian Sun-popoh bertanya lagi, Di mulut ia bertanya, tapi sebelum orang menjawab ia sudah sibuk mengambilkan barang makanan dan suruh Nyo Ko makan.

Setelah makan sedikit kue yang diberikan itu, kemudian Nyo Ko menceritakan nasib dan asal usul dirinya, ia ceritakan seluruhnya dari awal sampai akhir, Memangnya Nyo Ko pandai bicara, maka ceritanya menjadi sangat menarik, ditambah lagi ia baru saja dihajar orang, dengan sendirinya lagu kata2-nya menjadi makin bernapsu.

Sun-popoh ber-ulang2 menghela napas karena terharu oleh nasib bocah ini, malahan kadang2 ia menimbrung dengan beberapa kata pendapatnya, tapi semua kata2 yang dia lontarkan ternyata selalu bernada membela Nyo Ko saja, sebentar ia cela Ui Yong yang suka pilih kasih mengeloni puterinya sendiri, sebentar lagi ia maki Thio Ci-keng yang berpikiran sempit dan tak berbudi dan tega menghajar satu anak kecil.

Hanya Siao-liong-li masih tetap tidak unjuk sesuatu pendapatnya, ia masih duduk dengan tenang saja, cuma di waktu Nyo Ko bercerita pernah bertemu dengan Li Bok-chiu, ia telah saling pandang beberapa kali dengan Sun-popoh.

"O, anakku yang harus dikasihani!" demikian ber-ulang2 Sun-popoh menyebut sambil merangkul Nyo Ko sesudah bocah ini selesai menutur.

Sebaliknya Siao-liong-li pe-lahan2 berdiri dan tidak pedulikan keadaan kedua orang yang saling rangkul itu. "Sudahlah, lukanya sudah tidak berbahaya lagi, Sun-popoh, kini kau boleh antar dia pergi!" tiba2 ia berkata.

Tentu saja Sun-popoh kaget, begitu pula Nyo Ko tercengang.

"Tidak, aku tidak mau kembali ke sana, matipun aku tidak mau kembali kesana !" teriak Nyo Ko.

"Kohnio (nona), anak ini kalau kembali lagi ke Tiong-yang-kiong pasti akan dihajar lagi oleh gurunya," kata Sun-popoh coba membujuk Siao-liong-li.

"Tidak, kau antar dia kembali ke sana, katakan pada gurunya agar jangan bikin susah anak ini," sahut Siao-liong-li.

"Ai, ini adalah urusan dalam orang lain, mana bisa kita ikut campur," ujar Sun-popoh.

"Kau boleh antarkan sebotol Giok-hong-cio (madu tawon putih) dan bicara padanya, tidak nanti imam tua itu tidak menurut," kata Siao-liong-li lagi.

Kata2 Siao-liong-li ini diucapkan dengan suara halus, tetapi sebagai majikannya, dengan sendirinya mengandung semacam perbawa yang sukar dibantah. Karena itu, Sun-popoh telah menghela napas, ia cukup kenal tabiat Siao-liong-li yang kukuh, percuma saja meski banyak bicara, ia tatap Nyo Ko pula dengan penuh rasa kasih sayang.

Di luar dugaan, se-konyong2 Nyo Ko melompat maju terus memberi hormat pada mereka berdua. Tierima kasih pada Popoh dan Kokoh yang telah menyembuhkan lukaku, sekarang aku mohon diri saja," demikian ia berkata.

"Ke mana kau hendak pergi ?" dengan cepat Sun-popoh tanya.

Nyo Ko menjadi tertegun oleh pertanyaan ini, memang sebelumnya ia tidak tahu akan menuju kemana, "Dunia masih cukup luas, kemana saja aku bisa pergi," jawabnya kemudian.

Ia berkata dengan ketus, akan tetapi di antara matanya jelas kelihatan mengunjuk perasaan sedih.

"Adik cilik, bukannya aku tidak mau terima kau menginap di sini, tetapi sesungguhnya ada peraturan keras di sini yang melarang orang luar datang kemari, hendaklah kau jangan menyesal," demikian Siao-liong-li berkata padanya.

"Kokoh jangan bilang begitu, kelak saja kita berjumpa pula," sahut Nyo Ko dengan lantang.

Walaupun ia berkata dengan menirukan lagak orang tua, tetapi karena suaranya masih ke-kanak-kanakan, maka kedengarannya sangat lucu, Sun-popoh merasa geli juga dan kasihan pula, ia lihat mata anak itu basah tetapi sedapat mungkin bertahan jangan sampai butiran air mata itu menetes.

"Sudahlah, Kohnio, kini sudah jauh malam, kenapa tidak biarkan dia berangkat besok pagi saja," segera ia membujuk Siao-liong-li pula.



Namun percuma saja, apa yang sudah diputuskan Siao-liong-li, siapapun tidak mungkin bisa membatalkan maksudnya, maka ia telah geleng2 kepala.

"Popoh, apa kau lupa pada peraturan yang ditetapkan Suhu dahulu ?" demikian ia peringatkan Sun-popoh.

Karena itu, Sun-popoh menjadi tak berdaya, lalu ia berdiri, dengan suara rendah ia berkata pada Nyo Ko: "Mari, nak, akan kuberi sesuatu mainan padamu".

Diluar dugaan, mendadak Nyo Ko kesut air matanya, habis ini dengan kepala menunduk supaya tangisnya tidak terlihat orang, ia lantas berlari keluar.

"Tidak, aku tak mau, akupun tidak perlu diantar kau," serunya.

Akan tetapi baru saja ia berlari sampai am-bang pintu, tiba2 terdengar suara teriakan orang yang berkumandang dari luar, suara itu sangat keras dan sedang berkata : "Anak murid Coan-cin-kau, In Ci-peng, atas perintah Suhu mohon bertemu Liong-kohnio"

"Di luar ada orang mencari kau, jangan kau keluar dulu," lekas Sun-popoh menahan Nyo Ko.

Seketika muka Nyo Ko menjadi pucat, ia terkejut tercampur gusar, saking terguncang perasaannya hingga tubuh juga gemetar.

"Sun-popoh, pergilah kau bicara pada me-reka," kata Siao-liong-li.

"Baiklah," sahut Sun-popoh sesudah memikir sejenak, habis ini ia berpaling dan berkata pada Nyo Ko : "Kau tinggal dulu disini, biar aku bicara dengan mereka."

Siapa tahu adat Nyo Ko justru tidak kenal apa artinya takut, lebih2 ia tidak mau tunduk pada kekerasan, maka dengan suara lantang ia menjawab: "Popoh, tak usah urus diriku lagi. Berani berbuat berani bertanggung javvab, biar aku sendiri yang menghadapi mereka, aku sudah terlanjur membunuh orang, biar aku ganti dengan jiwaku agar dibunuh mereka."

Habis berkata dengan langkah lebar ia lantas berjalan keluar.

Akan tetapi kuburan kuno yang sebenarnya lebih tepat dikatakan istana dibawah tanah itu luar biasa besar dan luasnya, Dahulu Ong Tiong-yang berlatih silat dan bertapa juga dilakukan di sini, kemudian ditempati bekas kekasihnya bahkan keadaan dalam kuburan telah banyak ditambah dan diperindah hingga keadaan jalanan di dalamnya luar biasa ruwet perubahannya, kalau bukan orang yang sudah kenal betul jalan2 di dalamnya, pasti orang akan kesasar untuk selamanya tidak dapat keluar Iagi.

Karena itulah dengan cepat Sun-popoh lantas menyusul ia pegang tangan Nyo Ko dan digandeng hanya sekejap saja sesudah menyusur hutan rindang itu mereka sudah sampai di tanah lapang didepan hutan sana.

Di bawah sinar bulan yang terang, tertampaklah di sana sudah berdiri enam atau tujuh orang imam dengan berjajar, kecuali itu ada pula empat imam pekerja yang menggotong Thio Ci-keng serta Ceng-kong yang terluka parah itu.

Dengan munculnya Nyo Ko, seketika para imam itu menjadi berbisik, mereka saling bicara dengan suara pelahan sambil melangkah maju beberapa tindak secara serentak.

Dalam pada itu, tanpa menunggu orang buka suara lagi segera Nyo Ko melepaskan gandengan Sun-popoh terus lari maju ke depan.

"lni, aku ada disini, hendak disembelih atau mau dikorek boleh terserah sesukamu!" dengan suara keras ia memapaki para imam itu,

Tentu saja sikap Nyo Ko ini sama sekali di luar dugaan imam2 Coan-cin-kau itu, sama sekali tidak disangka bahwa bocah sekecil ini mempunyai watak yang begitu keras dan berani mati.

Tetapi diantara imam2 itu segera ada satu yang maju, dengan sekali tarik, tahu2 Nyo Ko kena diseretnya ke sebelah sana.

"Hm, aku toh tidak bakal lari, apa yang kau kuatirkan ?" dengan kepala batu Nyo Ko masih menjengek.

Tentu saja imam itu tidak mau menerima ejekan itu, ia adalah muridnya Thio Ci-keng, ia telah menyaksikan keadaan gurunya yang diantup tawon dan belum diketahui bakal mati atau hidup, dan semua itu adalah gara2 Nyo Ko, dengan sendirinya ia sangat benci pada bocah ini, kini mendengar orang malah mengejek padanya, dengan gemas ia angkat kepalan terus memukul ia hantam batok kepala Nyo Ko.

Sebenarnya Sun-popoh bermaksud bicara secara baik2 dengan para imam itu, tetapi mendadak secara paksa Nyo Ko diseret kesana, melihat ini saja ia tak tega, apalagi mendadak ia menyaksikan Nyo Ko dihajar pula, tentu saja api amarahnya lantas membakar. Tanpa ayal lagi ia lantas menyerobot maju, begitu lengan bajunya mengebut, sekali saja tangan imam yang memegang Nyo Ko itu kena disabet.

Karena serangan ini, seketika imam itu merasakan tangannya sakit pedas seperti kena dipukul oleh ruyung baja saja, mau-tidak-mau ia harus melepaskan Nyo Ko, dan selagi ia hendak bentak bertanya, tahu2 Sun-popoh menyamber tubuh Nyo Ko terus diangkat, tanpa bicara wanita tua ini putar tubuh lantas berjalan pergi.

Sudah tentu imam2 yang lain tidak biarkan orang pergi begitu saja, segera ada tiga imam yang lain mengudak maju, "Lepaskan orangnya !" teriak mereka.

"Kalian mau apa ?" sahut Sun-popoh menoleh dengan tertawa dingin.

Di antara para imam itu In Ci-peng terhitung paling tahu adat, ia mengerti manusia2 yang tinggal di dalam kuburan kuno itu rapat sekali hubungannya dengan perguruannya sendiri, maka tak berani ia berlaku gegabah, lekas2 ia membentak mencegah kawan-kawannya,

"Lekas mundur, jangan kurangajar kepada orang tua," demikian katanya, Habis ini dia sendiri maju memberi hormat pada Sun-popoh, ia perkenalkan diri pula: "Tecu In Ci-peng memberi hormat pada Cianpwe"

"Lalu kalian mau apa ?" tanya Sun-popoh pula.

"Anak ini adalah murid Coan-cin-kau kami, mohon cianpwe suka menyerahkan dia," sahut Ci-peng.

"Hm, serahkan dia ? Enak saja kau buka mulut," damperat Sun-popoh dengan suara bengis, "Dihadapanku saja kalian berani hajar dia secara begini kejam, apalagi nanti kalau sudah berada di rumah, entah cara bagaimana kalian akan siksa dia. Kini kau ingin aku melepaskan dia, maka aku bilang tidak bisa! Sekali tidak, seribu kali tetap tidak !"

"Tetapi anak ini terlalu nakal dan berani pada guru. cianpwe tentu tahu dalam Bu-lim orang paling menghormat pada orang tua, maka kalau kami menghukum padanya, agaknya pantas juga," kata Ci-peng dengan menahan marah.

"Hm, berani pada guru apa segala, hanya ocehan sepihak belaka," kata Sun-popoh lagi dengan gusar, Lalu ia tuding Ceng-kong yang rebah ditempat usungan itu dan menyambung pula: "Bocah ini bertanding dengan imam sebesar itu, memangnya itu peraturan Coan-cin-kau kalian ? sebenarnya bocah ini tidak mau maju, tetapi kalian paksa dia turun kalangan, Dan kalau sudah saling gebrak, dengan sendirinya ada yang menang dan ada yang kalah, kalau imam gemuk itu sendiri yang tak becus dan/kena dihantam, kenapa harus salahkan orang lain ?"

Wajah Sun-popoh memangnya sudah jelek karena marah, kulit mukanya menjadi merah padam, keruan rupanya semakin menakutkan.

Dalam pada itu ber-turut2 sudah datang lagi belasan imam yang lain, mereka pada berdiri di belakang In Ci-peng dan sedang bisik2 membicarakan wanita tua bermuka jelek yang tak mereka kenal ini.

"Tentang siapa yang benar dan salah dalam pertandingan itu, kami tentu akan melaporkannya pada Ciangkau Cosu kami untuk diambil keputusannya," demikian sahut Ci-peng lagi. "Maka harapIah Locianpwe kembalikan anak itu."

Waktu itu Nyo Ko masih merangkul dalam pondongan Sun-popoh, ia bisik2 pada orang tua itu buat menghasut: "Popoh jangan mau percaya, imam ini banyak sekali tipu musIihatnya, jangan kau kena diakali."

Mendengar Nyo Ko berlaku begitu aleman dan ber-ulang2 memanggil Popoh atau nenek padanya, Sun-popoh menjadi girang sekali, dalam hati ia telah ambil suatu keputusan yang pasti, yalah tidak akan menyerahkan Nyo Ko pada In Ci-peng.



Oleh karenanya dengan suara keras ia lantas berteriak pula: "Kau inginkan anak ini, lalu apa yang hendak kalian perbuat atas dirinya ?"

"Tecu mempunyai hubungan saudara seperguruan dengan ayah anak ini, pasti tidak bakal membikin susah anak kawan yang sudah meninggal harap Locianpwe jangan kuatir," sahut Ci-peng.

"Hm, dengan apa aku harus percaya padamu ?" jengek Sun-popoh. "Aku tidak biasa banyak bicara dengan orang luar, maaf saja aku tak bisa tinggal lebih lama di sini."

Habis berkata, lalu ia angkat kaki hendak kembali ke dalam hutan lagi,

Tatkala itu Thio Ci-keng sedang digotong orang, lukanya yang diantup tawon terasa jarem dan gatal luar biasa, tetapi pikirannya cukup terang dalam segala hal ia dengar Ci-peng adu mulut dengan Sun-popoh sekian lamanya, ia menjadi gusar, Sewaktu Sun-popoh hendak melangkah pergi, mendadak ia melompat bangun dari usungan terus mengadang di depan Sun-popoh.

"Dia adalah muridku,. apa aku hendak hajar dia atau hendak memaki dia, semuanya terserah padaku, Kau tidak perbolehkan guru mengajar, murid, apa di dunia persilatan terdapat peraturan semacam ini ?" demikian ia membentak.

Melihat kepala orang bengkak sekali lipat daripada biasanya, pula dari lagu suaranya, tahulah Sun-popoh pasti imam ini adalah guru Nyo Ko. Atas teguran itu, seketika ia menjadi tak bisa menjawab.

Oleh karena sudah tiada alasan, terpaksa ia menjawab secara membandel: "Ya, justru aku tak perkenankan kau mengajar dia, kau mau apa ?"

"Anak ini pernah apa dengan kau ? Berdasarkan apa kau ikut campur tangan ?" bentak Ci-keng pula dengan murka.

Kembali Sun-popoh tertegun oleh pertanyaan ini. Tetapi ia semakin bandel pula, maka tanpa pikir ia menjawab dengan suara keras:

"Dia sudah bukan anak murid Coan-cin-kau kalian lagi, tahu? Anak ini sudah mengangkat nona Siao-liong-li kami sebagai guru, maka baik atau jelek akan dirinya, dibumi ini hanya Siao-liong-li seorang saja yang boleh mengurusnya, Nah, kalau kalian tahu gelagat, lekas enyah dan jangan coba ikut campur urusan ini."

Kata2 ini ternyata sangat mengejutkan para imam itu hingga seketika mereka menjadi gempar.

Kiranya menurut peraturan Bu-lim atau dunia persilatan siapa saja sebelum mendapat perkenan dari guru asalnya sekali2 dilarang mengangkat guru lagi pada orang laim jika hal itu dilakukan maka itu berarti "suatu penghianatan yang maha besar dan pasti tidak bisa diampuni oleh orang sesama punia persilatan.

Oleh karena itu, meski ketemu guru yg. kepandaiannya berlipat ganda lebih tinggi dari guru yang pertama juga tak boleh sesukanya memanjat ke atas lebih tinggi.

Kini Sun-popoh didebat oleh Thio Ci-keng hingga tak bisa menjawab, pula ia memang tidak pernah berhubungan dengan tokoh2 kalangan persilatan dengan sendirinya ia tidak kenal semua aturan2 itu, ia hanya buka mulut sekenanya, tak tahunya katanya tadi justru melanggar pantangan besar persilatan.

Keruan saja para imam Coan-cin-kau menjadi gusar semua. Ci-keng sendiri waktu itu lagi kesakitan hebat dan luar biasa rasa gatalnya, ia sudah tak tahan lagi oleh siksaan2 itu, ia merasa adu jiwa saja malah lebih enak.

Oleh karena itu dengan kertak gigi menahan sakit segera ia tanya : "Nyo Ko, apa hal itu memang betul ?"

Nyo Ko masih kecil usianya, dengan sendirinya ia tidak kenal segala peraturan Kangouw segala, ia lihat Sun-popoh terus membela dirinya dan ribut mulut dengan gurunya, tentu saja apa yang dikatakan orang tua ini ia perkuat.

"Ya, memang betul, kau mau apa ? Kau imam busuk ini sudah pukul aku sedemikian rupa, untuk apa aku mengaku kau sebagai Suhu lagi ? Memang aku sudah angkat Sun-popoh sebagai guru, pula sudah menyembah Liong-kokoh sebagai Suhu," demikian dengan suara keras ia menjawab.

Bukan buatan gusar Ci-keng hingga dadanya hampir2 meledak, tanpa pikir lagi se-konyong2 ia melompat maju, berbareng kedua tangannya lantai mencengkeram ke tubuh Nyo Ko.

Sudah tentu Sun-popoh tidak tinggal diam, "lmam liar, apa kau cari mampus ?" damperatnya segera, sebelah tangannya berbareng menangkis.

Thio Ci-keng adalah jago kelas satu di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, kalau soal ilmu silat ia masih di atas In Ci-peng, meski tubuhnya luka parah, namun pukulannya tadi ternyata sangat hebat.

Begitulah, maka tangan kedua belah pihak saling bentur, seketika mereka merasa kesemutan hingga masing2 tergetar mundur beberapa tindak.

"Hm, imam liar, boleh juga kau," jengek Sun-popoh sesudah kenal kepandaian orang.

Dilain pihak, sekali menyerang tidak kena, segera serangan keduanya menyusul, kembali Ci-keng hendak menjamberet lagi.

Sekali ini Sun-popoh tak berani pandang enteng pula lawannya, ia mengegos kesamping, habis ini, se-konyong2 sebelah kakinya tanpa kelihatan bergerak atau tahu2 sudah melayang menendang dikatakan tidak kelihatan oleh karena itu adalah "kun-lay-tui" atau kaki tersembunyi di dalam Kun" (gaun panjang), yakni kain yang dia pakai hingga menutupi seluruh kakinya.

Sebagai jago Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja Ci-keng tidak gampang diserang, ketika mendadak mendengar menyambernya angin, segera ia bermaksud menghindarkan diri Tak tersangka, tiba2 lukanya yang diantup tawon itu luar biasa gatelnya, tanpa tahan ia menjerit sambil pegang kepalanya terus berjongkok, keruan tidak ampun lagi, justru pada waktu ia menjerit dan berjongkok, kaki Sun-popoh yang melayang itu dengan tepat kena tendang iganya.

Karena tendangan keras ini, Ci-keng sampai mencelat ke udara, walaupun demikian, selagi terapung di udara ia masih men-jerit2 saking gatelnya.

In Ci-peng menjadi kaget oleh kejadian itu, lekas2 ia melayang ke atas menangkap tubuh Ci-keng supaya tidak terbanting, kemudian ia turunkan tubuh sang Suheng dengan pelahan, sementara itu ia lantas memberi tanda pada imam2 lain buat mengepung maju, maka terpasanglah seketika barisan bintang "Pak-tau-tin" yang maha lihay dari Coan-cin-kau.

Sun-popoh tidak kenal akan jaringan barisan lawannya, maka sesudah menangkis beberapa kali rangsakan musuh, segera ia mengerti akan lihaynya, ditambah lagi sebelah tangannya harus membopong Nyo Ko, ia hanya bisa melayani musuh dengan sebelah tangan saja, maka hanya belasan gebrak saja ia sudah kewalahan hingga ber-ulang2 terancam bahaya.

Oleh karena tiada jalan lain, terpaksa Sun-jpopoh letakkan Nyo Ko ke bawah, lalu dengan kedua tangannya ia papaki lawan,

Tapi tiba2 terdengar suitan dari barisan Pak-tau-tin lawan, menyusul mana ada dua imam telah menyerobot maju hendak menangkap Nyo Ko.

Sun-popoh menjadi kaget, diam-diam iapun mengeluh, ia mengerti barisan bintang lawan itu sukar dipatahkan, dirinya terang tak ungkulan buat melawannya, Karena itu, disamping kakinya digunakan menendang kedua imam yang hendak menawan Nyo Ko, berbareng pula dari mulutnya mendadak mengeluarkan suara mendengung.

Suara "ngung-ngung" itu mula2 hanya pelahan saja, karena itu para imam tidak menaruh perhatian, tetapi lama kelamaan suara mendengungnya menjadi keras, lambat laun para imam itu merasakan tidak enak sekali oleh suara itu, makin lama semakin susah menahan, sampa akhirnya banyak yang mendekap kuping dengar tangan, sebab itu juga, daya serangan mereka tadi ikut terpengaruh dan menjadi kendur.

Di antara imam2 itu hanya In Ci-peng seorang yang selalu berlaku waspada dalam menghadapi Sun-popoh ini, ia cukup kenal kepandaian cianpwe yangl tinggal di dalam kuburan kuno itu adalah setingkat dengan kakek gurunya, Tiong-yang Cosu, dengan sendirinya orang keturunannya pasti bukan kaum lemah.

Maka sejak mendengar suara "ngung-ngung" yang tercetus dari mulut Sun popoh, Ci-keng mengira orang sedang menggunakan ilmu gaib sebangsa hipnotis, maka ia telak pusatkan seluruh semangatnya dan menantikan segala kemungkinan.

Tak terduga, meski sudah lama suara "ngung-ngung" itu terdengar, walaupun semakin keras juga, namun perasaan maupun semangatnya sama sekali tidak menjadi goyah. Tentu saja ia heran.

Sedang ia . terasa aneh, mendadak ia ingat pula akan sesuatu, tanpa tertahan luar biasa terkejutnya.

Karena itu, segera ia hendak perintahkan kawannya agar lekas mundur, tetapi sudah terlambat dari jauh sudah terdengar berkumandangnya suara "ngung-ngung" yang riuh dan keras dan pada suara mendengung dari mulut Sun-popoh.



"Celaka, lekas kita lari!" seru Ci-peng cepat.

Tentu saja imam2 yang lain menjadi heran, mereka tertegun oleh teriakan Ci-peng, dalam hati mereka tidak habis mengerti, sebab sudah terang mereka telah berada di atas angin, mengapa tiba2 Ci-peng ber-teriak2 dan takut pada wanita tua yang jelek ini ?

Dalam pada itu, se-konyong2 segumpal bayangan kelabu berkelebat serombongan tawon putih tiba2 menyamber keluar dari hutan terus menubruk ke atas kepala para imam itu.

Karena sudah menyaksikan penderitaan Ci-keng yang disengat tawon, para imam itu bukan buatan takutnya demi nampak kawanan tawon putih yang menyamber tiba itu, serentak mereka putar tubuh terus lari terbirit-birit. Dengan cepat kawanan tawon putih itupun segera mengejar.

Melihat larinya musuh dan tahu para imam itu tidak bakal sanggup melepaskan diri dari antupan tawonnya, Sun-popoh bergelak ketawa senang.

Tak terduga, mendadak satu imam tua tampil ke depan dari para imam yang lari kesetanan itu, tangan imam tua itu membawa dua obor yang coraknya sangat aneh, tiba2 obor itu diayun ke depan, seketika obor itu menyala terlebih hebat dan dari ujung api obor yang membakar itu mengepulkan asap yang sangat tebal.

Oleh karena asap tebal inilah seketika barisan tawon putih itu menjadi kacau, dengan cepat pula mereka lantas terbang kembali.

Terkejut sekali Sun-popoh oleh perubahan hebat dan cepat ini, waktu ia mengamat-amati imam tua itu, ia lihat rambut orang sudah putih, begitu pula alisnya, raut mukanya lonjong, melihat rupanya tentulah jago tinggi dari Coan-cin-kau.

"Hai, kau imam tua ini siapa ? Mengapa kau berani menghalau tawonku ?" segera Sun-popoh membentak.

"Aku bernama Hek Tay-thong, terimalah hormatku, Popoh!" sahut imam tua itu dengan tertawa.

Walaupun Sun-popoh selamanya tidak pernah bergaul dengan orang dari, kalangan Bu-lim, tapi karena letak Tiong-yang-kiong hanya berdampingan saja deiigan tempat kediamannya, maka iapun kenal nama Hek Tay-thong yang termasuk satu di antara tujuh murid utama Ong Tiong-yang, itu cakal bakal Coan-cin-kau.

Karenanya ia menjadi kaget demi mendengar nama orang, ia pikir imam semacam In Ci-peng saja ilmu silatnya tidak lemah, sudah tentu imam tua ini terlebih susah dilawan, sementara hidungnya mencium pula bau sumpek dari asap tebal yang terhembus dari obor orang hingga terasa ingin muntah, pula kawanan tawon sudah tak bisa diandelkan lagi sebagai bantuan, melihat gelagat jelek, diam2 ia coba mencari jalan buat mundur teratur.

"Eeeh, Khu Ju-ki, Ong Ju-it, kalian ikut datang juga ? Hayolah maju sekalian, tidak nanti aku Sun-popoh gentar!" demikian tiba2 ia berkata dengan tertawa sambil menuding ke belakang Hek -Tay-thong.

Tentu saja Hek Tay-thong tertegun, "He, kenapa Khu dan Ong berdua Suheng telah datang juga ?" demikian ia membatin Diluar dugaan, ketika ia menoleh, mana ada bayangan Khu Ju-ki dan Ong Ju-it? Waktu ia berpaling kembali, tahu2 orang yang berhadapan dengan dia tadi sudah menghilang, yang terdengar hanya suara bergelak ketawa panjang yang berkumandang dari tengah hutan, nyata Sun-popoh dan Nyo Ko sudah pergi jauh dengan jalan mengakali dirinya.

"Kita harus kejar atau tidak ? Hek-susiok," tanya In Ci-peng.

Hek Tay-thong menggeleng kepala, "Tidak",, sahutnya kemudian, "Cosuya telah menentukan peraturan keras yang melarang kita masuk ke dalam hutan itu, marilah kita kembali dahulu untuk berunding."

Sementara itu Sun-popoh dengan menggandeng Nyo Ko sudah berada kembali di dalam kuburan kuno itu, sesudah mengalami peristiwa tadi, hubungan kedua orang telah bertambah eratnya.

Nyo Ko masih kuatir kalau Siao-liong-li tetap tidak mau menerima dia untuk tinggal bersama.

"Jangan kuatir, pasti akan kumintakan agar dia suka terima kau," ujar Sun-popoh untuk membesarkan hati anak itu.

Nyo Ko lantas disuruh menunggu dan me-ngaso dahulu di kamar depan, ia sendiri lalu pergi bicara dengan Siao-liong-li.

Akan tetapi lama sekali ditunggu2 masih belum nampak Sun-popoh kembali, keruan Nyo Ko menjadi tambah kuatir dan tak sabar pula.

"Terang bibi Siao-liong-li tidak mau terima aku disini, sekalipun Sun-popoh bisa memaksa padanya agar suka menerima, tapi hidupku di sini selanjutnya jadi tidak menarik lagi," demikian Nyo Ko pikir, Dan sesudah ia pikir lagi pergi-datang, akhirnya ia ambil keputusan dan diam2 berjalan keluar sendiri.

Tetapi baru saja ia melangkah keluar kamar, tiba2 Sun-popoh telah kembali dengan ter-gesa2.

"Kau hendak ke mana ?" tanya orang tua itu.

"Popoh," jawab Nyo Ko dengan suara lesu, "biarlah aku pergi saja, kelak kalau aku sudah besar, nanti aku datang menyambangi engkau lagi."

"Tidak, jangan kau pergi sendiri," kata Sun-popoh cepat, "biar aku antar kau ke suatu tempat lain, agar orang-tak bisa menghina kau lagi."

Mendengar kata2 ini, maka tahulah Nyo Ko bahwa Siao-liong-li ternyata betul2 tidak mau terima dirinya tinggal di situ. Karenanya hatinya menjadi sedih.

"Sudahlah, tak perlu lagi," sahutnya kemudian dengan kepala menunduk "Memangnya aku adalah anak nakal, kemana saja pasti tiada orang yang mau terima diriku, Sudahlah, jangan Popoh repotkan diri lagi."

Sun-popoh ini berwatak keras lurus, tadi ia telah berdebat setengah harian dengan Siao-liong-li urusan penerimaan Nyo Ko, karena Siao-liong-li tetap berkeras tidak mau terima, hati orang tua ini menjadi sangat mendongkol kini melihat lagi Nyo Ko yang harus dikasihani seketika darah panasnya menjadi bergolak.

"Tidak, nak, orang lain tak suka padamu, Popoh justru menyukai kau," demikian katanya penuh rasa sayang, "Marilah kau ikut padaku, tidak perduli ke mana saja, selalu Popoh akan berada disampingmu."

Tentu saja Nyo Ko sangat girang, segera ia gandeng tangan orang tua itu, lalu mereka berdua keluar lagi dari pintu kuburan.

Dalam marahnya Sun-popoh ternyata tidak membekal barang2 lain maupun pakaian lagi, dan ketika ia coba merogoh sakunya, tiba2 tangannya menyentuh sebuah botol kecil, ia menjadi teringat botol ini berisi madu tawon yang tadinya bermaksud diberikan pada Tio Ci-keng.

Terpikir pula olehnya bahwa imam itu meski jahat, tapi dosanya masih belum perlu harus sampai mati, kalau madu tawon ini tidak diminum, tentu luka antupan tawon yang dideritanya itu sukar sembuh kembali.

Karena pikiran ini, dengan tangan kiri pondong Nyo Ko, lalu berangkatlah dia menuju ke Tiong-yang-kiong.

Tatkala itu sebagian Tiong-yang-kiong sudah diperbaiki, walaupun hanya sebagian kecil saja yang pulih dan jauh sekali kalau dibandingkan dengan kemegahan yang dulu, namun sedikitnya sudah ada rumah genting dan kamar papan.

Sementara itu demi mengetahui dirinya dibawa Sun-popoh ke Tiong-yang-kiong pula, Nyo Ko menjadi kaget.

"He, Popoh, untuk apalagi kau ke sana ?" tanyanya cepat dengan suara pelahan.

"Antar obat untuk gurumu," sahut Sun-popoh.

Dalam pada itu, Tiong-yang-kiong yang dituju sudah berada di depan mereka, Sesudah dekat, segera Sun-popoh melompat ke atas pagar tembok, dari sini ia hendak melompat turun ke pelataran bagian dalam.

Tetapi sebelum ia melompat turun, mendadak suasana gelap dan sunyi itu digemparkan oleh bunyi genta yang keras dan ramai, menyusul dari jauh maupun dekat hanya terdengar suara suitan belaka.

Dengan kejadian mendadak ini, insaflah Sun-popoh kalau dirinya telah terjebak ke dalam kepungan musuh, sungguhpun ilmu silatnya tinggi dan nyalinya besar, namun tidak urung ia merasa jeri juga.

Harus diketahui bahwa Coan-cin-kau adalah satu aliran persilatan terbesar dikalangan Bu-lim, penjagaan yang dilakukan ditempat mereka ini biasanya sangat keras, apalagi beberapa hari paling belakang ini selalu ada orang datang mencari setori, sudah tentu penjagaan semakin diperkuat dan dimanapun terdapat orang.

Kini ada orang melompati pagar tembok mereka, seketika juga genta dibunyikan sebagai tanda bahaya, Dengan tanda ini, bukan saja semua anak murid Coan-cin-kau yang berada di dalam istana lantas keluar memapak musuh dalam berbagai kelompok, bahkan tidak sedikit pula para imam yang menyebar jauh keluar, pertama2 untuk mengepung musuh yang berani menyerbu tempat mereka, kedua untuk merintangi bala bantuan musuh yang datang belakangan.



Begitulah demi nampak suasana yang berobah menjadi hebat ini, mau-tak-mau Sun-popoh merasa kebat-kebit juga.

"Hai, Thio Ci-keng, lekas keluar, aku ingin bicara dengan kau," demikian ia lantas berteriak.

Akan tetapi Ci-keng sendiri tidak muncul, sebaliknya dari pendopo tengah sana tiba2 keluar satu imam setengah umur.

"Malam buta cianpwe berani masuk ke kuil kami, sebenarnya apakah maksud tujuannya ?" segera imam itu menegur.

"lni buat Thio Ci-keng, ini adalah obat penawar racunnya sengatan tawon," sahut Sun-popoh, Berbareng ini, ia lemparkan botol madu tawon pada orang.

Imam itu ulur tangannya menyambut botol kecil yang dilemparkan itu, tetapi ia setengah percaya setengah sangsi, "Untuk apa ia berlaku begini baik hati, tadi sudah melukai orang, sekarang berbalik mengantarkan obat ?" demikian ia berpikir.

"Obat apakah ini ?" kemudian ia tanya dengan suara keras.

"Tak perlu tanya, asal kaiu minumkan dia seluruh isinya, tentu kau akan lihat chasiatnya," sahut Sun-popoh.

"Tetapi darimana aku bisa tahu kau bermaksud baik atau bertujuan jahat, dan bagaimana pula aku tahu ini betul2 obat penawan racun atau racun malah, Thio-suheng sudah kau aniaya begitu rupa, kenapa sekarang kau berbalik berbaik hati hendak menolongnya ?" kata imam itu dengan curig.,

Dasar watak Sun-popoh memang tulus, mendengar orang mencurigai maksud baiknya, bahkan kata2nya tidak enak didengar, keruan api amarahnya tidak bisa ditahan lagi, Tiba2 ia letakkan Nyo Ko ke bawah, habis ini dengan sekali lompat ia mendekati orang, begitu tangannya meraih secepat kilat botol madu tawon tadi telah direbutnya kembali.

"Buka mulutmu !" tiba2 ia berkata pada Nyo Ko sambil mencopot tutup botol.

Nyo Ko menjadi bingung oleh perintah orang yang mendadak ini, tetapi ia menurut juga dan mengangakan mulutnya.

Waktu Sun-popoh baliki botol madu tawon itu, maka tertuanglah seluruh isi botol itu ketenggorokan Nyo Ko.

"Nah, enak bukan, mendingan daripada dicurigai orang sebagai racun," demikian katanya mencemooh imam itu. "Ko-ji, mari kita pergi!"

Lalu dengan menarik tangan Nyo Ko segera ia mendekati pinggir pagar tembok.

Rupanya imam tadi dari merasa malu berobah menjadi gusar, diam2 iapun menyesalkan dirinya yang seharusnya jangan banyak curigai. Kini tampaknya obat yang diantar orang ternyata memang betul2 obat pemunah, kalau Thio Ci-keng tidak tertolong oleh obat yang jitu, mungkin sukar untuk bertahan sampai besok.

Oleh karena kuatirnya itu, segera ia melompat ke atas dan mencegat didepan orang sambil pentang kedua tangannya, "Locianpwe, kenapa kau harus marah2 padaku, aku hanya berkata main2 saja, tapi kau anggap sungguhan," demikian ia coba membujuk "Jika memang betul obat penawar, maka mohonlah engkau suka berikan sekarang."

Akan tetapi Sun-popoh sudah terlanjur menjadi sengit, ia benci pada lidah orang yang tak bertulang, putar balik tidak menentu, maka ia menjawab dengan tertawa dingin.

"Obat tadi sayang hanya ada sebotol saja, ingin lebih banyak sudah tidak ada lagi. Hitung2 nyawa Thio Ci-keng melayang di tanganmu sendiri". demikian kata Sun-popoh, berbareng ia baliki sebelah tangannya terus tambahi orang dengan sekali tempelengan sambil membentak: "Kau tidak menghormati kaum Cianpwe, kau inilah yang harus dihajar adat!"

Pukulan ini begitu aneh gerakannya dan cepat pula, ternyata imam itu tak mampu berkelit, maka terdengarlah suara "plak" yang keras, dengan tepat sebelah pipinya kena ditampar.

Melihat kawan mereka dihantam, dua imam lain yang menjaga dipinggir pintu menjadi gusar. "Seumpama betul kau adalah kaum Cianpwe, mana boleh kau berlaku tidak se-mena2 di Tiong-yang-kiong !" bentak mereka berbareng, Habis ini, yang satu memukul dengan tangan kiri dan yang lain dengan tangan kanan, bersama2 mereka menyerang dari samping.

Sun-popoh sudah pernah kenal lihaynya Pak-tau-tin dari Coan-cin-kau, maka ia tak berani terlibat dalam pertempuran dengan mereka, apa lagi kini dirinya sudah masuk "sarang harimau", tentu saja ia lebih perlu pakai perhitungan, maka dengan sekali loncat segera ia melompat ke atas tembok yang lebih tinggi.

Tampaknya diatas tembok sana tiada seorangpun siapa duga, baru saja ia hendak tancapkan kaki di atas sana, mendadak dari sebelah luar seorang lain meloncat naik memapaki padanya.

"Turun saja !" bentak orang itu sambil kedua telapak tangannya mendorong dari depan.

Waktu itu Sun-popoh sedang terapung di udara, terpaksa dengan tangan kanan ia balas dorongan orang itu, karenanya satu tangan lantas saling bentur dengan dua tangan, masing2 sama tergetar mundur dan turun ke bawah kedua sisi tembok.

Nampak penyatron terjatuh kembali, segera ada enam atau tujuh imam mengerubut maju dengan teriakan ramai mereka desak Sun-popoh sampai dipojok dinding.

Para imam ini adalah jago pilihan murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, tampaknya mereka memang sengaja dipilih untuk menjaga pendopo besar kuil mereka, maka dalam sekejap saja secara bergantian, seperti ombak saja secara bergelombang mereka merangsak maju beberapa kali.

Sun-popoh terpepet dipojok tembok, ia bermaksud tarik Nyo Ko buat menerjang keluar, tetapi barisan telah dipasang kuat oleh para imam itu tetap menahan dia ditempatnya, sudah beberapa kali Sun-popoh berusaha menerjang lagi, tetapi selalu didesak mundur kembali

Sebenarnya kalau Sun-popoh seorang diri saja, maka kepandaian para imam ini sekaH2 tidak nanti bisa merintanginya, cuma sekarang ia harus membagi perhatiannya untuk melindungi Nyo Ko, maka ilmu kepandaiannya menjadi tak bisa dikeluarkan seluruhnya.

Sesudah belasan jurus lagi, Thio Ci-kong, adik, seperguruan Thio Ci-keng, yang ditugaskan mengepalai penjagaan pendopo depan, ketika mengetahui lawan sudah tak berdaya lagi, segera ia memberi perintah menyalakan api lilin.

Sejenak kemudian tertampaklah belasan lilin raksasa telah menyala terang diseluruh ruangan pendopo itu, muka Sun-popoh yang tersorot api lilin itu ter-tampak pucat seram, mukanya yang memang jelek kini kelihatannya lebih menakutkan lagi.

"Jaga rapat dan berhenti dulu menyerang," tiba2 Thio Ci-kong berseru.

Karena itu, ketujuh imam yang mengerubuti Sun-popoh tadi segera melompat mundur ke belakang, tetapi mereka masih bersiap dan menjaga di tempat masing2 dengan kuat.

Sun-popoh menarik napas lega sesudah kepungan musuh menjadi kendur.

"Hm, nama Coan-cin-kau yang disegani di seluruh jagat nyata bukan omong kosong belaka," demikian ia masih mengejek "Coba, belasan orang muda kuat bersama mengerubuti seorang nenek yang loyo dan seorang anak kecil, hm, hm, sungguh lihay, sungguh hebat !"

Muka Thio Ci-kong menjadi merah oleh ejekan orang.

"Kami tidak pandang apa kau orang tua atau dia anak kecil," demikian ia coba menjawab, "kami hanya ingin menangkap penyatron yang berani terobosan di Tiong-yang-kiong kami, baik kau nenek2 ataupun laki2 sejati, kalau sudah berani masuk ke sini dengan tubuh tegak, maka sedikitnya harus keluar dengan tubuh membungkuk

"Hm, apa artinya tubuh membungkuk ?" sahut Sun-popoh dengan tertawa dingin, "Apa kau maksudkan nenekmu yang tua ini harus merangkak keluar dari sini, ya bukan ?"

Ci-kong tadi telah merasakan tempelengan orang tua ini dan sampai sekarang masih terasa sakit, sudah tentu dia tidak mau selesai dengan begitu saja.

"Jika kau ingin pergi bebas, itupun tidak sukar, asal kau mau turut tiga syarat kami," demikian katanya kemudian, "Pertama, kau telah melepaskan tawon dan mencelakai Thio-suheng, maka obat penawarnya tadi harus kau tinggalkan. Kedua, anak ini adalah murid Coan-cin-kau, kalau tidak mendapat idzin Cosuya, mana boleh dia melepaskan diri dari ikatan perguruan secara gampang, maka dia harus kau tinggalkan juga di sini. Dan ketiga, kau telah berani menerobos masuk ke Tiong-yang-kiong, kau harus menjura di depan "pemujaan Tiong-yang Cosu untuk minta maaf."



"Hahahaaa," tiba2 Sun-popoh menjawab dengan gelak-ketawanya, "Memang sudah sejak dulu aku katakan pada Siao-liong-li kami bahwa para imam Coan-cin-kau tiada satupun yang berguna, nah, buktinya apa sekarang, kapan perkataan nenekmu pernah salah? - Baiklah, segera aku berlutut dan menjura minta maaf padamu."

Sambil berkata, betul juga ia lantas membungkuk hendak berlutut

Tindakan orang tua ini justru sama sekali tak diduga Thio Ci-kong sebelumnya, karena itu ia menjadi tertegun, sementara ia lihat Sun-popoh betul2 telah bertekuk lutut dan pada saat itu juga, se-konyong2 berkelebatlah sinar mengkilap, tahu2 sebuah Am-gi atau senjata rahasia menyam-ber ke arahnya.

"Haya !" teriak Ci-kong saking kaget. Lekas juga ia hendak berkelit, akan tetapi menyamber-nya Am-gi itu ternyata secepat kilat, tidak ampun lagi tepat menancap di pundak kirinya.

Kiranya itu adalah sebuah anak panah kecil yang terpasang di punggung di dalam baju, asal orangnya menundukan kepalanya, maka anak panah itu lantas menjeplak dan menyamber keluar dengan cepat hingga sukar untuk menghindarinya.

Untung Sun-popoh tiada maksud hendak mengarah jiwanya, maka orang tua itu sengaja bikin menceng tempat yang dia incar, ia tidak arahkan tenggorokan melainkan menancap di pundak lawan.

Nampak Ci-kong terkena senjata orang, para imam yang lain menjadi kaget tercampur gusar, segera mereka membentak lalu serentak pula menghunus senjata mereka.

Semua Imam Coan-cin-kau biasanya memakai senjata pedang, oleh sebab itu sesaat di seluruh pelataran hanya tertampak sinar pedang belaka yang kemilauan.

Tapi Sun-popoh hanya berdiri dengan tenang saja sambil bersenyum dingin, dalam hati ia insaf juga bahwa urusan hari ini tentu akan runyam, tapi dasar wataknya memang keras, seperti jahe saja, semakin tua semakin pedas, maka tak nanti ia sudi menyerah pada orang.

"Kau takut tidak, nak ?" tiba2 ia berpaling menanya Nyo Ko.

Nampak pedang para imam yang begitu banyak, diam2 Nyo Ko sedang berpikir: "Jika Kwe-pepek yang berada di sini, lebih banyak lagi imam2 busuk ini tidak nanti aku takut Tetapi kini hanya mengandalkan kepandaian Sun-popoh saja, terang kami berdua tak akan bisa meloloskan diri."

Maka waktu ditanya Sun-popoh, dengan suara keras ia segera menjawab: "Popoh, biarkan mereka membunuh diriku saja, Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan engkau, lekas engkau pergi saja dari sini."

Mendengar kata2 anak yang kepala batu ini, pula selalu memikirkan keselamatan dirinya, keruan Sun-popoh semakin sayang dan kasihan pada Nyo Ko.

"Tidak, biar Popoh ikut bersama kau mati di sini, supaya para imam busuk ini merasa puas," demikian jawabnya dengan suara lantang.

Habis ini, mendadak ia membentak sekali: "Kena !" Se-konyong2 ia ulur tangannya, pergelangan tangan dua imam segera kena di cekalnya, waktu ia menekuk dan memuntir tangan orang, tahu2 kedua pedang imam2 itu sudah berpindah tangan, telah kena direbut Sun-popoh.

"Kau berani tidak melabrak imam2 busuk ini, nak ?" tanya Sun-popoh sambil memberikan sebatang pedang rampasannya itu kepada Nyo Ko.

"Sudah tentu aku tak takut," sahut Nyo Ko. "Cuma sayang di sini tiada orang luar yang menyaksikan kejadian ini."

"Orang luar apa ?" tanya Sun-popoh tak mengerti.

"Bukankah nama Coan-cin-kau tiada bandingannya di seluruh jagat ini ?" kata Nyo Ko. "Kalau cara mereka menghina dan mengeroyok seorang nenek dan satu anak kecil seperti sekarang ini tiada orang luar yang menyiarkan kejadian ini, bukankah sangat sayang ?"

Nyata meski usia Nyo Ko masih muda, tetapi ia sangat cerdik, tadi ia mendengar Sun-popoh adu mulut dengan Thio Ci-kong, segera ia tahu di mana letaknya titik berat perdebatan mereka, maka dengan sengaja ia mengolok-olok nama baik Coan-cin-kau. suaranya memangnya nyaring dan melengking sebagaimana suara anak2, maka kata2-nya tadi semuanya dapat didengar para imam yang berada dipendopo itu hingga ada sebagian besar merasa malu diri oleh sindiran itu, mereka pikir kalau harus mengeroyok seorang nenek dan seorang anak, sesungguhnya hal ini memang tidak patut.

"Biar aku pergi melaporkan pada Ciangkau Cosu (guru besar pejabat ketua) dan minta petunjuknya," segera terdengar ada diantara mereka yang berbisik2.

Akan tetapi Thio Ci-kong ternyata berpikir lain, ia sudah terluka oleh Am-gi di pundaknya, ketika anak panah hendak dia cabut, tiba2 dapat diketahui bahwa ujung anak panah itu ternyata berujung pancing yang membalik, kalau sudah nancap, semakin hendak dicabut semakin terasa sakit pula.

Karenanya ia menjadi kuatir kalau anak panah itu berbisa, ia pikir kalau tidak menawan wanita tua ini dulu dan menggeledah obat pemunahnya, mungkin jiwaku bisa melayang.

"Tidak, tangkap dia lebih dulu, kemudian baru lapor Ciangkau Cosu dan minta keputusan-nya," begitulah dengan cepat ia mencegah, Lalu dengan suara keras ia membentak lagi: "Hayo, para Sute,maju bersama dan tawan dia !"

Akibat pikiran Thio Ci-kong yang sesat inilah, kelak terlalu menimbulkan banyak peristiwa2, sebab tatkala itu Ma Giok sendiri sedang bertapa disuatu gubuk yang didirikan di atas bukit di belakang Tiong-yang-kiong yang jauhnya belasan li, maka semua urusan keagamaan telah diserahkan pada In Ci-peng. Apabila Ma Giok sendiri tahu Sun-popoh menerjang masuk istana mereka itu, tentu ia selesaikan urusan itu dengan kata halus dan mencegah anak muridnya berbuat kurang hormat pada orang tua.

Tetapi sayang ia tidak keburu mendapat tahu, sedang Hek Tay-thong yang waktu jtu berada di Tiong-yang-kong, karena tabiatnya juga keras, maka terjadilah drama yang membawa ekor panjang ini.

Begitulah, sementara para imam digerakan Thio Ci-kong mengerubut maju, lambat laun jaring2 Pak-tau-tin mereka mulai sempit, tampaknya dengan segera Sun-popoh akan tertawan hidup2 oleh mereka. Tak terduga, meski tujuh imam itu mendesak sampai jarak antara tiga langkah lagi dari orang tua ini, namun Sun-popoh masih bisa menjaga diri dengan rapat luar biasa, bagaimanapun mereka menyerang tetap tak mampu maju lebih dekat lagi.

Kalau Pak-tau-tin ini langsung dipimpin Thio Ci-kong sendiri dan ikut bergerak sebenarnya masih bisa banyak berubah pula siasat mengepungnya, tapi karena Ci-kong terluka pundaknya, ia kuatir anak panah itu berbisa, kalau dia bergerak, mungkin bekerjanya racun akan bertambah cepat, maka dia hanya berdiri disamping sambil memberi pe-tunjuk2 saja, dan karena dia sendiri tidak maju. Dengan sendirinya daya tekanan barisan bintang2 pereka menjadi kurang kuat.

Begitulah sesudah lama masih belum bisa kalahkan orang, pelahan para imam itu menjadi kelabakan sendiri. Dalam pada itu mendadak terdengar Sun-popoh menggertak sekali, tiba2 ia lemparkan pedang di tangannya terus menyerobot maju selangkah, tahu2 ia menerobos di bawah sinar pedang dan secepat kilat berhasil menjamberet dada seorang imam muda, berbareng imam itu ia angkat pula.

"lmam busuk, sekarang kalian mau beri jalan atau tidak ?" teriak Sun-popoh murka.

Karena kawannya tertawan secara tak ter-duga2, maka seketika imam2 yang lain jadi tertegun. Tetapi pada saat itu juga tiba2 dari belakang imam2 Coan-cin-kau itu menyerobot kelus satu orang, sekali geraki tangannya, dengan Kim na-jiu-hoat (ilmu cara mencekal dan menangkap mendadak ia menyanggah lengan Sun-popoh, sebelum Sun-popoh bisa melihat jelas rupa orang yang datang mendadak ini atau sudah terasa olehnya pergelangan tangan menjadi pegal linu, tahu imam muda yang dia tawan tadi kena direbu orang itu, menyusul lagi segera ada angin santa menyamber dari depan, nyata orang itu telah menambahkan sekali pukulan yang mengarah ke muka Sun-popoh.

"Cepat benar gerak pukulan orang ini," diami Sun-popoh membatin, Oleh karenanya secepat kilai pula ia balas dengan pukulan juga.

Kedua telapak tangan saling bentur hingga bersuara, nyata Sun-popoh sendiri tergetar mundur setindak.

Orang itu hanya tergetar mundur juga, tetapi hanya menggeser sedikit saja, habis ini, pukulan kedua kalinya segera dikirim lagi tanpa berhenti dahulu.

Seperti tadi, kembali Sun -popoh angkat tangannya menangkis, dan karena saling beradunya tangan, kembali Sun-popoh tergetar mundur setindak pula, sebaliknya orang itu malah bisa melangkah maju sedikit, lalu disusul lagi dengan pukulan yang ketiganya.



Demikianlah secara susul-menyusul dan satu lebih cepat dari yang lain, ber-runtun2 orang itu menyerang tiga kali, dan Sun-popoh beruntun terdesak mundur tiga tindak, karenanya orang tua ini sempat memandang wajah penyerangnyai ketika pukulan keempat kalinya dilontarkan orang itu pula, kini Sun-popoh sudah membelakangi tembok, ia sudah kepepet dan tiada jalan mundur lagi.

Tetapi pukulan sekali ini tidak penuh dikeluarkan oleh orang itu, begitu saling tempel dengan tangan Sun-popoh yang menangkisnya segera dengan suara lantang ia bersuara: "Popoh, hendaklah kau memberikan obat penawarnya dan tinggalkan anak ini saja !"

Waktu Sun-popoh menegasi maka tertampaklah olehnya orang ini rambut alisnya sudah putih semua, air mukanya kuning hangus, siapa lagi dia kalau bukan Hek Tay-thong yang siang harinya telah usir tawonnya dengan asap obor itu.

Sun-popoh menyadari kepandaian dan keuletan imam tua ini masih di atas dirinya, jika tenaga pukulan ke-empat kalinya ini dilontarkan penuh, mungkin dirinya tidak kuat menahan lagi, Akan tetapi wataknya yang keras itu tidak meng-idzinkan dia menyerah mentah2.

"Kau ingin aku tinggalkan bocah ini, untuk itu harus kau bunuh nenekmu dahulu," demikian ia membentak.

Hek Tay-thong tahu orang tua ini mempunyai hubungan baik dengan mendiang gurunya, maka dia tak ingin mencelakainya, tenaga pukulannya masih dia tahan dan tidak dilontarkan.

"Kita bertetangga selama puluhan tahun, untuk apa harus cekcok oleh karena satu anak kecil saja ?" ia berkata dengan halus.

Akan tetapi Sun-popoh ternyata tidak gampang diajak berunding.

"Hm," demikian jawabnya dengan menjengek, "memangnya aku datang kesini dengan maksud baik mengantar obat, jika tak percaya kau boleh tanya anak muridmu, apa aku bohong tidak ?"

Karena keterangan ini, segera Hek Tay-thong hendak menoleh buat bertanya, Diluar dugaannya se-konyong2 Sun-popoh menggeraki sebelah kaki-nya, tahu2 melayang terus menendang ke bagian selangkangannya.

Tendangan ini ternyata sangat keji, pula datangnya tanpa suara dan tiada tanda sama sekali, tubuhnya tidak bergerak, Kun-nya juga tidak bergoyang tetapi tahu2 kaki sudah melayang tiba, disinilah letak lihaynya "Kun-lay-tui" atau ilmu tendangan kaki dari balik Kun itu.

Karenanya, sewaktu Hek Tay-thong mengetahui dirinya diserang, sementara kaki Sun-popoh sudah melayang sampai di dekat perutnya, sekali pun dengan cepat ia bisa melompat mundur, namun pasti tidak keburu Iagi.

Akan tetapi Hek Tay-thong bukan anak murid Tiong-yang Cinjin yang diakui ahli silat nomor satu di seluruh kolong langit ini kalau dengan begitu ia kena diserang, sudah banyak pula pertem-puran2 besar pernah dia hadapi, maka dalam keadaan sangat berbahaya itu, tanpa pikir lagi ia kumpulkan tenaga pada tangannya terus mendorong ke depan, karena itu Sun-popoh tak kuat menahan hingga kena disurung mundur.

Tatkala itu punggung Sun-popoh sudah mepet pagar tembok, ketika mendadak didorong orang dengan kuat, ia menjadi tak tahan, terdengarlah suara "bluk" yang keras disusul dengan berhamburnya bata dan kapur pasir tembok yang gugur, tanpa ampun lagi Sun-popoh muntah darah segar, habis ini ia terkulai ke tanah untuk selanjutnya tak sadarkan diri lagi.

Tidak kepalang kejut Nyo Ko melihat orang tua yang disayanginya itu jatuh semaput, dengan cepat ia tengkurap menutupi badan Sun-popoh yang sudah menggeletak tak berkutik itu.

"Kalau kalian hendak bunuh orang, bunulah aku saja, siapapun tak boleh mencelakai Popoh !" demikian teriaknya.

Rupanya suara teriakan ini masih bisa didengar oleh Sun-popoh, orang tua ini telah pentang sedikit matanya dan unjuk senyumnya, "Ya, nak, biar kita berdua mati bersama di sini," katanya dengan suara lemah.

Tiba2 Nyo Ko pentang kedua tangannya melindungi Sun-popoh, dengan membelakangi Hek Thay-thong dan lain2, sedikitpun ia tidak hiraukan keselamatan dirinya sendiri lagi.

Dengan serangannya tadi, Hek Tay-thong sesungguhnya telah menggunakan pukulan berat, nampak lawannya terkulai, dalam hati ia berbalik sangat menyesal, dengan sendirinya tidak nanti ia susulkan serangan lain pula, maka segera ia ingin mengetahui keadaan luka Sun-popoh dengan maksud akan memberi obat untuk menyembuhkan lukanya, tapi karena dialangi tubuh Nyo Ko yang tengkurap hingga keadaan si nenek tak dapat di-lihatnya.

"Nyo Ko, menyingkir kau, biar aku periksa keadaan Popoh," dengan suara lembut ia coba membujuk.

Akan tetapi mana Nyo Ko mau menurut, bahkan dengan kedua tangannya ia malah merangkul Sun-popoh dengan kencang.

Hek Thay-thong ulangi lagi bujukannya sampai beberapa kali dan Nyo Ko masih tetap tidak gubris padanya, akhirnya ia menjadi gelisah, ia tak sabar lagi, segera ia tarik punggung Nyo Ko.

"lmam busuk, tak boleh kau mencelakai Popoh," segera Nyo Ko ber-teriak2.

Dalam keadaan ribut2 itu, se-konyong2 terdengar suara orang menyindir dari belakang mereka: "Hm, menganiaya nenek dan anak kecil terhitung orang gagah macam apakah ini ?"

Suara itu begitu ketus dan dingin hingga hati Hek Tay-thong se-akan2 tergetar, cepat ia menoleh, maka tertampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik tahu2 sudah berdiri di am-bang pintu pendopo besar mereka, Seluruh badan gadis ini mengenakan pakaian berkabung yang putih mulus, entah mengapa sinar matanya itu se-akan2 menyorotkan rasa dingin yang tak terhingga bagi orang yang menatap padanya.

Hek Tay-thong kaget oleh munculnya orang secara mendadak ini ia tahu, apabila genta tanda bahaya Tiong-yang-kiong mereka berbunyi maka dalam jarak sejauh belasan li yang terdapat penjagaan rapat luar biasa itu segera akan terdengar, akan tetapi datangnya gadis jelita ini sebelumnya ternyata tiada seorangpun yang memberitahu dengan tanda bahaya, entah cara bagaimana gadis jelita ini masuk secara diam2 tanpa konangan.

"Siapakah nona ? Ada keperluan apakah ?" segera ia menanya.

Akan tetapi gadis itu tidak menjawab melainkan melototinya sekali sambil mendekati Sun-popoh yang menggeletak tak berdaya itu.

Sementara itu rupanya Nyo Ko sudah tahu siapa gerangan yang datang ini, ia telah mendongak dan dengan suara pilu ia berkata: "Liong-kokoh, Sun-popoh telah dipukul mati oleh imam jahat ini!"

Kiranya gadis jelita berbaju putih ini memang betul Siao-liong-li adanya, Tadi waktu Sun-popoh membawa Nyo Ko meninggalkan kuburan, lalu masuk ke kuil imam Coan-cin-kau dan bergebrak dengan mereka, semua ini selalu dikuntit Siao-liong-li dari belakang dan disaksikannya dengan jelas, ia menduga tidak nanti Hek Tay-thong turun tangan yang mematikan, maka selama itu ia tidak unjuk diri, siapa tahu keadaan se-konyong2 berubah hingga akhirnya Sun-popoh terluka parah, ia bermaksud menolong namun sudah tidak keburu lagi.

Dan ketika dengan mati-matian Nyo Ko berusaha melindungi Sun-popoh, kejadian inipun dapat dilihatnya, dalam hati ia pikir anak ini ternyata mempunyai jiwa jantan juga, Maka kini demi nampak anak ini berkata sambil matanya mengembeng air mata, Siao-liong-li lantas angguk2 : "Ya, setiap orang pasti akan mati, itu bukan soal apa2."

Aneh sekali jawabannya ini, padahal sejak kecil Sun-popoh yang membesarkan dia, hubungan mereka boleh dikata laksana ibu dan anak, akan tetapi dasar watak Siao-liong-li memang dingin, ditambah lagi sejak kecil ia sudah berlatih Lwe-kang, sudah dilatihnya hingga tanpa emosi sedikit pun, sama sekali ia tidak pernah mengunjuk rasa suka-duka ataupun senang dan marah. Memang luka Sun-popoh yang berat itu terang sukar disembuhkan kembali, dengan sendirinya terasa pilu juga olehnya, akan tetapi rasa duka-pilu ini boleh dikatakan hanya sekilas saja berkelebat di lubuk hatinya untuk kemudian lantas lenyap, air muka gadis ini masih tetap tidak mengunjuk sesuatu perasaan.

Di lain pihak, demi mendengar Nyo Ko memanggil gadis jelita itu sebagai "Liong-kokoh" (bibi Liong) maka tahulah Hek Tay-thong bahwa gadis cantik ayu yang berada di hadapannya ini bukan lain adalah Siao-liong-li yang pernah mengusir Pangeran Hotu dari Monggol tanpa unjuk diri itu, keruan ia jadi lebih2 heran.

Hendalah diketahui bahwa sejak Pangeran Hotu ngacir dari Cong-lam-san, peristiwa ini sekejap saja lantas tersiar luas di kalangan Kangouw, meski setapak saja Siao-liong-li belum pernah menginjak kakinya ke bawah gunung Cong-lam-san, akan tetapi namanya ternyata sudah tersohor di dunia persilatan dan disegani setiap orang,



Begitulah dengan pelahan Siao-liong-li berpaling dan memandang para imam Coan-cin-kau itu satu per satu, kecuali Hek Tay-thong yang Lwe-kangnya terlatih lebih dalam hingga hatinya lebih tenang tidak gampang terpengaruh maka imam2 yang lain semuanya melihat kedua mata bola gadis jelita ini se-akan2 sebening dan mengkilap seperti air, tetapi memancarkan sinar dingin menusuk seperti es, karenanya tak tertahan mereka sama bergidik seperti orang kedinginan.

"Bagaimana keadaanmu, Popoh ?" tiba2 Siao-liong-li tanya Sun-popoh sambil berjongkok untuk memeriksa lukanya.

"Nona," sahut Sun-popoh dengan menghela napas lemah, "selama hidupku tiada pernah aku memohon sesuatu padamu, sekalipun memohon, kalau sudah kau tolak, tetap kau tolak,"

Siao-liong-li adalah gadis yang luar biasa pintarnya, maka demi mendengar lagu perkataan orang, ia lantas tahu kemana orang hendak ber-kata.

"Dan sekarang apa yang hendak kau mohon padaku ?" tanyanya kemudian sambil mengerut kening.

Sun-popoh angguk2, ia tuding Nyo Ko, tetapi seketika tak sanggup mengucapkan sesuatu.

"Kau ingin aku menjaga dia ?" tanya Siao-liong-li lagi.

"Ya," jawab Sun-popoh dengan sisa tenaga yang masih ada padanya. "Kau harus menjaga dia seumur hidupnya, jangan kau biarkan dia dihina orang barang sedikitpun. Bagaimana, kau sanggup tidak ?".

"Menjaga dia seumur hidup ?" mengulangi Siao-liong-li dengan ragu-ragu.

"Ya," kata Sun-popoh lagi dengan suara keras, "Nona, jika aku si-tua ini tidak mati, akupun akan menjaga kau seumur hidup, Di waktu kecil-mu, makan, tidur, mandi, ngompol, semua ini apa bukan nenek sendiri yang mengerjakannya ? Dan semua ini balasan apa yang pernah kau limpah-kan padaku ?"

Karena kata2 Sun-popoh ini, Siao-liong-li meng-gigit2 bibir, agaknya pertentangan batinnya sedang bekerja hebat.

"Baiklah, aku menyanggupi permohonanmu," katanya kemudian tegas.

Maka puaslah Sun-popoh oleh jawaban ini, dari mukanya yang jelek itu tertampak senyuman lembut, matanya kemudian menatap Nyo Ko, rupanya seperti ada sesuatu yang hendak dia katakan pada bocah itu, tetapi napasnya sudah memburu hingga tak sanggup bersuara.


Nyo Ko yang cerdik itu tahu maksud si orang tua, maka dengan cepat ia tempelkan telinganya ke mulut orang.

"Popoh, adakah sesuatu yang hendak kau katakan padaku ?" tanyanya dengan suara pelahan.

"Mepetlah sedikit Iagi," pinta Sun-popoh.

Betul juga Nyo Ko berjongkok terlebih rendah hingga kupingnya menempel dengan bibir orang.

"Baju kapas yang ku.... pakai ini harus kau simpan baik2, di... di..." demikian kata Sun-popoh dengan suara lemah sekali hingga akhirnya napasnya tak sampai, maka berhenti-lah dia, mendadak ia menyemburkan darah segar hingga seluruh muka Nyo Ko dan banjunya basah kuyup oleh darah, habis ini Sun-popoh tutup matanya dan menghembuskan napasnya yang terakhir.

"Popoh, Popoh !" Nyo Ko menjerit-jerit, ia menggelendot di atas badan orang tua yang sudah tak bernyawa lagi itu dan menangis ter-gerung2.

Tangisan Nyo Ko ini betul2 mengharukan sekali dan timbul dari hatinya yang murni, para imam yang mendengarkan itu mau-tidak-mau ikut tergerak juga perasaannya, lebih2 Hek Tay-thong, ia menjadi menyesal tidak kepalang.

"Popoh," kata Hek Tay-thong kemudian sambil mendekati jenazah Sun-popoh dan memberi hormat, "tak disengaja aku telah menewaskan kau, hal ini sesungguhnya bukan tujuanku, Dosa utang jiwa sudah menimpa pada diriku, mana berani aku mengelakannya. Harap mangkatlah engkau dengan baik dan tenang !"

Mendengar kata2 orang yang se-akan2 sedang sembahyang ini, Siao-liong-li hanya berdiri saja tanpa buka suara, Sehabis Hek Tay-thong berkata, kemudian mereka berdua lantas saling berhadapan dan saling pandang.

"Bagaimana ? Kau tidak lantas bunuh diri, apa perlu aku sendiri yang turun tangan ?" kata Siao-liong-li tiba2 dengan mengkerut kening.

Hek Tay-thong terhitung imam yang beribadat tinggi, akan tetapi demi mendengar kata2 Siao-liong-li tadi, tidak urung ia melengak juga.

"Ha, apa ?" ia menegas.

"Apa ?" sahut Siao-liong-li mengejek "Hm, bunuh orang harus ganti jiwa, maka lekaslah kau bunuh diri supaya urusan menjadi selesai, dengan begitu aku lantas ampuni jiwa semua orang di dalam kuilmu ini."

Keruan kata2 yang luar biasa ini seketika membikin suasana menjadi gempar, sebelum Hek Tay-thong buka suara pula atau para imam yang lain sudah pada ribut, sementara itu di pendopo depan sudah berkumpul imam Coan-cin-kau sebanyak tiga-empat puluh orang, seketika juga mereka pada balas mendamperat be-ramai2 atas ucapan Siao-liong-li yang tak pantas tadi.

"Eh, nona cilik, lekas kau pergi saja, kami tidak akan merintangi kau lagi!"

"Hm, perempuan sekecil ini, berani betul kau mengoceh seenaknya !" Begitulah antara lain kata2 yang terdengar diucapkan para imam itu.

Mendengar kawannya mengeluarkan kata2 kurang hormat, lekas Hek Tay-thong memberi tanda supaya diam.

Di lain pihak Siao-liong-li ternyata anggap sepi saja berisik imam2 tadi, dengan pelahan ia keluarkan segulung sutera putih yang halus tipis dari dalam bajunya.

Semua orang menjadi heran dan saling pandang, mereka tidak tahu hendak digunakan apakah sutera putih ini.

Tetapi lantas tertampak Siao-liong-li menjereng kain suteranya itu, ia masukkan potongan kain putih itu pada tangan kirinya, lalu tangan yang kanan dipakainya pula kain putih yang lain., Kiranya kain sutera putih itu adalah sepasang sarung tangan.

"Nah, imam tua, kalau kau tamak hidup dan takut mati, tak berani kau bunuh diri, maka bolehlah lolos senjatamu sekarang !" dengan suara pelahan Siao-liong-li lantas menantang.

Hek Tay-thong tersenyum sedih atas tantangan Siao-liong-li ini.

"Sudahlah, aku telah salah mencelakai Sun-popoh, maka tak ingin bertengkar dengan kau lagi, bolehlah kau membawa Nyo Ko pergi dari kuil ini," katanya kemudian.

Menurut jalan pikiran Hek Tay-thong. meski Siao-liong-li bisa mengusir pangeran Hotu hingga namanya terkenal dikolong langit, tapi apapun juga mengandalkan kekuatan tawon putih piaraannya, dalam usia semuda ini, sungguhpun ilmu silatnya mendapatkan ajaran guru kosen juga tidak akan letih kuat dari pada Sun-popoh. Oleh karena itu, kalau dia mengidinkan Siaolliong-Ii pergi membawa Nyo Ko, boleh dikatakan ia ingin urusan ini menjadi damai dan tidak terjadi percekcokan lagi, jadi sesungguhnya ia sudah berlaku murah hati.

Siapa tahu, kata2nya tadi seperti tidak didengar oleh Siao-Iiong-Ii, ketika tangan kiri si gadis bergerak, se-konyong2 seutas kain sutera putih melayang terus menyamber ke muka Hek Tay-thong.

Gerak serangan ini datangnya terlalu cepat dan tanpa suara, sebelumnya pun tiada tanda2 Siao-liong-ii hendak melontarkan serangan, di bawah sorotan cahaya api lilin, ujung selendang sutera itu tertampak pula terikat dengan sebuah bola kecil berwarna emas.


Melihat tipu serangan orang yang begitu cepat, pula senjata yang dipakai ini aneh luar biasa, seketika Hek Tay-thong menjadi bingung, ia tidak tahu cara bagaimana harus menangkisnya, Tetapi usianya sudah lanjut, dengan sendirinya segala sesuatu dia lakukan dengan sangat tenang, meski ia yakin kepandaian sendiri lebih tinggi beberapa kali lipat dari lawannya, namun tak berani juga ia sambut serangan tadi, maka dengan mengegos saja ia berkelit kekiri.

Di luar dugaan selendang sutera Siao-liong-li yang membawa senjata di bagian ujung itu ternyata bisa memutar di tengah udara, ketika Hek Tay-thong berkelit kekiri, tahu2 selendang sutera inipun ikut mengarah ke kiri, maka terdengarlah suara "ting-ting-ting" tiga kali, bola kecil yang terikai pada ujung selendang itu tiba2 berbunyi sendirinya tiga kali terus menutul ke mukanya mengarah tiga tempat Hiat-to.



Cara menyerang tiga tempat sekaligus ini, cepat dan jitu, sekalipun Hek Tay-thong sudah banyak berpengalaman, belum pernah juga dilihat nya, apalagi diantara serangan itu terseling pula bunyi "ting-ting" yang nyaring, meski tidak keras suaranya, namun aneh sekali hingga hati orang terguncang.

Dalam kagetnya oleh perubahan serangan ini, lekas2 Hek Tay-thong mendayongkan tubuhnya ke belakang, ia keluarkan gerakan "thi-pan-kio" (jem-batan papan besi) dan membiarkan bola diujung selendang itu menyamber lewat di atas hidungnya, Tetapi ia kuatir pula bola emas itu mendadak mengetok lagi ke bawah, maka sewaktu tubuhnya mendoyong ke belakang tadi, mendadak pula ia geser tubuh kesamping, ilmu silat Hek Tay-thong sudah terlatih sampai tingkatan yang bisa dilakukan sekehendak hatinya, maka gerakan ke samping diwaktu tubuhnya mendoyong itu tidak sulit bagi-nya.

Karena gerakan ini rupanya tidak tersangka juga oleh Siao-liong-li, maka terdengarlah suara "ting-" sekali, bola emasnya ternyata benar telah mengetok tanah.

Dengan bola emasnya ini, biasanya Siao-1iong-li bisa mengetok Hiat-to orang secara ber-tuntun2 dan susul menyusul dengan jitu sekali, kini melihat Hek Tay-thong sanggup meluputkan diri di waktu terancam bahaya, mau-tidak-mau dalam hati Siao-liong-li memuji ketangkasan imam Coan-cin-kau yang hebat ini.

Ketika Hek Tay-thong bisa berdiri tegak lagi, tertampaklah mukanya berubah kecut.

Di antara para imam yang menyaksikan gebrakan tadi, semuanya juga menjadi geger, Para imam itu kalau bukan anak murid Hek Tay-thong tentu adalah murid-murid keponakannya, terhadap ilmu silatnya biasanya boleh dikata kagum tidak terhingga, tapi demi melihat caranya menghindari serangan orang, meski belum sampai terluka, namun jelas mengelak dengan ter-gopoh2, terang dalam keadaan terdesak. Dengan kuatir segera ada empat imam lain mengayunkan pedang mereka untuk merintangi Siao-liong-li.

"Ya, memangnya sejak tadi seharusnya kalian gunakan senjatamu !" terdengar Siao-liong-li menyambut.

Habis ini, begitu kedua tangannya bergerak, tahu2 kedua ujung selendang suteranya seperti ular perak saja me-lingkar2 ke depan dan terdengarlah bunyi suara "ting-ting" dua kali, bahkan menyusul berbunyi pula dua kali, tahu2 tempat "tay-yan-hiat" di pergelangan tangan keempat imam itu telah kena ditutuk semua oleh bola emas, senjata merekapun sama jatuh ke tanah hingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring.

Karena serangan serentak yang mematahkan semua tusukan empat imam itu, keruan imam2 yang lain menjadi jeri dan ternganga, tiada lagi yang berani coba2 ikut turun tangan.

Semula Hek Tay-thong menyangka Siao-liong-li tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, siapa tahu, hanya sekali gebrakan saja dirinya sudah hampir kecundang, tanpa terasa timbul juga rasa marah-nya, segera dari tangan salah seorang anak muridnya ia ambil sebatang pedang, ia hendak tempur orang lagi dengan senjata,

"llmu kepandaian Nona ternyata hebat, nyata Pinto (imam miskin, sebutan diri sendiri kaum Tosu) telah kurang hormat dan salah duga, Baik-lah, mari, kini biar Pinto minta petunjuk beberapa gebrakan yang hebat," demikian ia berkata.

Siao-liong-li tidak menjawab melainkan hanya angguk2, habis ini kembali terdengar "ting-ting" dua kali, selendang suteranya tiba2 menyambet dari kiri ke kanan.

Kalau diurut menurut tingkatan, sebenarnya Hek Tay-thong masih lebih tinggi setingkat daripada Siao-liong-li, maka waktu mulai bergebrak, seharusnya Siao-liong-li menghormati kaum yang lebih tua dan mengalah dulu diserang tiga kali.

Akan tetapi kesemua ini ternyata tidak dihiraukan olehnya, begitu maju malah dia lantas menyerang lebih dulu dengan tipu2 yang mematikan, segala peraturan Bu-lim atau dunia persilatan ternyata dianggap sepi saja.

"Meski ilmu silat gadis ini mempunyai titik kelihayan yang tersendiri, tapi dia tidak paham apa2 tentang etika, terang dia kurang berpengalaman dalam pertempuran, meski kepandaiannya tinggi, tidak nanti melebihi aku," demikian Hek Tay-thong berpikir.

Karena itu, segera pedangnya bergerak, Kiam-hoat dari Coan-cin-pay yang tiada bandingannya itu segera dikeluarkan, ia layani samberan selendang sutera putih Siao-liong-li dengan sama cepat dan sama lihaynya.

Imam2 yang lain pada menonton disamping dengan penuh perhatian, di bawah sinar lilin yang ber-goyang2, kelihatanlah satu gadis jelita berbaju putih sedang menempur seorang imam tua dengan jubah kelabu, yang satu cantik molek, yang lain tua ubanan, pertarungan mereka makin lama makin seru.

Sebenarnya kalau soal Kiam-hoat, karena Hek Tay-thong sudah melatih ilmu pedang selama puluhan tahun, di dalam Coan-cin-kau dia terhitung jago nomor tiga atau empat, tetapi kini sudah beberapa puluh jurus saling gebrak dengan Siao liong-li, sedikitpun ternyata dia tak bisa memperoleh keunggulan

Siao-liong-li memainkan selendang suteranya, begitu cepat dan hidup seperti naga sakti, pula bola emas yang terikat pada ujung selendang itu tiada hentinya mengeluarkan suara "ting-ting" yang nyaring, suara ini lebih mengacaukan perasaan lawan.

Setelah lama masih belum bisa mengalahkan orang, meski Hek Tay-thong sendiri juga belum tentu bisa kalah, tapi bila teringat dirinya sudah terkenal sebagai jago terkemuka di kalangan Bu-lim, jika harus bergebrak dua-tiga ratus jurus dengan gadis jelita ini, sungguhpun achirnya menang toh pasti kehilangan pamor juga. Oleh karena itu ia menjadi gopoh, begitu Kiam-hoatnya berubah, ia menyerang terlebih lambat malah.

Aneh bahwa tiap gerak serangannya jauh lebih lambat dari tadinya, akan tetapi sebaliknya daya tekanan pedangnya justru bertambah beberapa kali lipat lebih kuat. Kalau tadi pedangnya selalu harus menghindari gubetan selendang sutera orang, tapi kini setelah daya tekanannya bertambah, ia ber-berbalik mengincar buat menabas bola emas di ujung selendang itu.

Setelah beberapa jurus lagi, tiba2 terdengar suara "cring" yang keras, bola emas Siao-liong-li saling bentur dengan pedang, Tetapi Hek Tay-thong lebih ulet dan lebih kuat, pedangnya membikin bola emas orang mendal ke atas dan terpental balik mengarah muka Siao-liong-li sendiri.

Sudah tentu kesempatan baik ini tidak dilewatkan oleh Hek Tay-thong, berbareng ia kirim serangan yang lain, diiringi sorak sorai gembira para imam yang menonton, ujung pedangnya telah menerobos di antara kain selendang lawan terus mengarah pergelangan tangan Siao-liong-li.

Dengan, serangan ini Hek Tay-thong yakin sedikitnya lawan akan membuang kain selendangnya kalau pergelangan tangannya tidak mau tertusuk pedang.

Siapa duga Siao-liong-li justru tidak menghindari serangan itu, hanya tangannya membalik dan dengan sekali tangkap ia malah pegang senjata orang, menyusul ini lantas terdengar suara "pletak", ternyata pedang Hek Tay-thong telah patah menjadi dua.

Sungguh hebat sekali ke jadian ini hingga semua imam sama menjerit kaget, dengan cepat pula Hek Tay-thong lantas melompat mundur ke belakang sambil masih memegangi sepotong pedangnya, ia berdiri terkesima.

Kiranya sarung tangan yang dipakai Siao-liong-li itu terbuat dari benang emas putih yang paling halus tetapi sangat ulet pula, walaupun tipis dan lemas, tapi tidak mempan oleh senjata2 biasa, sekalipun golok pusaka atau pedang tajam, sukar juga untuk menembusnya.

Sudah tentu hal ini tak diketahui Hek Tay-thong, ia menjadi bingung karena mendadak orang berani tangkap senjatanya dan dengan tenaga tekukan yang tepat telah mematahkan pedangnya secara mentah2.

Dalam keadaan kecundang sedemikian ini, dengan muka pucat Hek Tay-thong sampai tak bisa berpikir bahwa pada sarung tangan itulah terletak khasiat segala ketangkasan Siao-liong-li, ia malah mengira gadis ini betul2 sudah dapat berlatih semacam ilmu yang kebal dan tak mempan segala macam senjata.

"Bagus, bagus, baik Pinto mengaku kalah !" demikian katanya kemudian dengan suara ter-putus2. "Nah, nona, bolehlah kau membawa pergi anak ini".

"Ha, sesudah kau mencelakai Sun-popoh, lalu bicara seenaknya, sekali ngaku kalah lantas anggap beres begini saja ?" Siao-liong-li mengejek.

"Haha, memang betul katamu, aku ini betuI2 sudah pikun !" kata Hek Tay-thong sambil mendongak.

Habis ini ia angkat pedangnya yang sudah patah itu terus menggorok kelehernya sendiri dengan maksud membunuh diri.



Akan tetapi sebelum pedang menempel lehernya, mendadak terdengar suara "creng" yang nyaring, tangannya tergetar keras, dari luar pagar tembok mendadak menyamber tiba sebuah mata uang hingga pedangnya terbentur jatuh.

Dengan tenaga Hek Tay-thong, bukanlah soal gampang orang hendak pukul jatuh senjatanya dengan sesuatu benda, Dalam terkejutnya itu, segera pula Hek Tay-thong tahu siapa yang telah datang ia mengenali tenaga sambitan mata uang itu.

"Khu-suheng, aku tak becus telah mencemarkan nama baik golongan kita, maka terserahlah padamu sajalah !" serunya kemudian sambil memandang ke arah datangnya mata uang tadi.

"Hek-sute, kalah-menang adalah soal biasa, kalau sekali mengalami kekalahan lalu mesti gorok leher sendiri, maka suhengmu ini sekalipun punya delapanbelas kepala tentu sudah habis tergorok," demikian terdengar orang menjawab dari luar kelenteng dengan tertawa.

Ketika suara itu berhenti segera pula orangnya sudah muncul, dengan pedang terhunus Khu Ju-ki sudah melompat masuk melintasi pagar tembok itu.

Watak Khu Ju-ki paling suka blak2an, maka begitu datang segera pedangnya menusuk ke lengan kiri Siao-liong-li sambil berseru: "Tiang-jun-cu Khu Ju-ki minta petunjuk pada tetangga terhormat kita."

"Ha, kau imam tua ini terhitung suka terus terang juga," sahut Siao-liong-li.

Berbareng itu, tangan kirinya menjulur, kembali ia dapat menangkap pula pedang Khu Ju-ki yang menusuk itu.

"Awas, Suheng !" teriak Hek Tay-thong kuatir karena pengalamannya tadi.

Akan tetapi sudah terlambat, ketika Siao-liong-li gunakan tenaga menekan, Khu Ju-ki pun salurkan tenaga ke batang pedangnya, karena itu terjadilah tenaga lawan tenaga, keras lawan keras, maka terdengarlah suara "krak", kembali pedang patah menjadi dua, tetapi tangan Siao-Iiong-li tidak urung tergetar hingga pegal linu, dada pun terasa rada sakit.

Cukup sekali gebrakan ini saja Siao-liong-li sudah tahu bahwa kepandaian Khu Ju-ki masih jauh di atas Hek Tay-thong, sedang ilmu kepandaian sendiri "Giok-li-cin-keng" masih belum sempurna, terang tiada harapan buat menang, maka tanpa pikir lagi ia buang pedang patah yang disebutnya itu, lalu dengan cepat ia kempit mayat Sun-popoh dan tangan lain pondong Nyo Ko, begitu kedua kakinya menutul, tiba2 tubuhnya mencelat ke atas, dengan enteng sekali seperti daun saja ia melayang keluar dari pagar tembok.

Mendadak nampak Ginkang (ilmu entengi tubuh) orang yang hebat sekali ini, Khu Ju-ki dan Hek Tay-thong hanya saling pandang saja dengan terperanjat Khu Ju-ki dan Hek Tay-thong sudah saling gebrak dengan Siao-liong-li tadi, mereka bisa ukur ilmu silat Siao-liong-li yang meski tinggi, tapi belum pasti bisa menangkan mereka, namun ilmu entengi tubuh yang barusan dilihatnya itu sungguh belum pernah mereka saksikan selama ini.

"Sudahlah, sudahlah!" kata Hek Tay-thong dengan menghela napas panjang penuh menyesal.

"Hek-sute, percuma saja kau berlatih diri dalam agama selama sekian tahun, tapi sedikit ke cundang saja kau lantas putus asa ?" ujar Khu Ju-ki. "Harus kau ketahui bahwa saudara2 kita yang dikirim ke Soasay sekali ini, sama juga telah mengalami kekalahan habis2an."

"Hah, kenapa ? Lalu ada yang terluka tidak ?" tanya Hek Tay-thong kaget oleh berita sang Suheng.

"Cerita ini terlalu panjang, marilah kita menemui Ma-suheng dahulu," sahut Khu Ju-ki.

Kiranya sesudah melukai beberapa orang di-daerah Oh-tjiu, Kanglam, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu mengerti terlalu banyak onar yang dia lakukan, maka ia telah menyingkir jauh ke daerah Soasay buat hindari percecokan, akan tetapi angkara murkanya ternyata tidak menjadi padam, di sana kembali dia celakai beberapa orang gagah dari Bu-lim, keruan akhirnya bikin gusar kalangan umum hingga pemimpin Bu-lim setempat telah menyebarkan undangan mengajak kawan segolongan untuk mengeroyok Li Bok-chiu.

Di antara yang diundang itu terdapat pula Coan-cin-kau. Tatkala itu Ma Giok telah berunding dengan Khu Ju-ki, mereka berpendapat meski Li Bok-chiu banyak melakukan kejahatan, tapi mengingat hubungan kakek gurunya dan gurunya sendiri, Tiong-yang Cinjin yang sangat erat, sedapat mungkin dibikin akur saja percecokan itu dan memberi jalan hidup baru kepada Li Bok-chiu untuk hari depan.

Oleh sebab itu, Lau Ju-hian dan Sun Put-ji lantas dikirim dahulu ke utara. Siapa tahu Li Bok-chiu ternyata tidak mau kenal kebaikan orang dan bahkan terus saling gebrak, akhirnya Lau Ju-hian dan Sun Put-ji berdua terkalahkan di bawah tangannya.

Belakangan Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, kedua jago utama Coan-cin-pay ini menyusul memberi bantuan, Tetapi Li Bok-chiu ternyata sangat licin, ia insaf seorang diri sukar berlawanan dengan jago2 begitu banyak, maka ia menggunakan kata2 pancingan kepada Khu Ju-ki dan Ong Ju-it dan akhirnya menetapkan peraturan satu lawan satu pada hari yang tertentu.

Hari pertama yang turun bertanding adalah Sun Put-ji, tetapi diam2 Li Bok-chiu telah gunakan tipu keji, ia telah melukai tokoh wanita Coan-cin-kau itu dengan jarum berbisa yang sangat jahat itu. Habis ini ia sendiri malah mengunjungi rumah orang untuk memberikan obat penawar racunnya, dalam keadaan demikian tidak bisa tidak Khu Ju-ki harus menerimanya.

Dan dengan begitu pula imam2 Coan-cin-kau boleh dikatakan sudah menerima budi orang, menurut peraturan Kangouw lalu mereka tidak boleh bermusuhan lagi dengan Li Bok-chiu, tentu saja mereka hanya saling pandang dan tertawa getir belaka terus pulang ke Cong-lam-san.

Syukur Khu Ju-ki buru2 pulang lebih dahulu dan tidak mengiringi Ong Ju-it pesiar ke Thay-heng-san, karenanya pada saat yang sangat tepat telah berhasil menolong jiwanya Hek Tay-thong.

Kembali bercerita mengenai Siao-Iiong-li, sesudah pondong Nyo Ko dan lain tangan merangkul mayat Sun-popoh, kembalilah mereka ke Hoat-su-jin-bong atau kuburan kuno itu.

Setelah Nyo Ko diturunkan, mayat Sun-popoh direbahkan pada dipan yang biasa buat tidur, sedang Siao-liong-li sendiri dengan bertopang dagu duduk di kursi sambil ter-menung2.

Sebaliknya Nyo Ko masih mengemblok di atas jenazah Sun-popoh dan masih menangis ter-guguk2.

"Orang sudah mati, untuk apa ditangisi ?" kata Siao-liong-li tiba2 sesudah agak lama Nyo Ko tersedu-sedan, "Hari ini kau menangisi dia, kelak kalau kau sendiri mati, entah siapa yang akan menangisi kau ?"

Nyo Ko tercengang oleh kata2 Siaonliong-Ii yang terlalu menusuk perasaan ini. Tapi bila dipikir lebih jauh, terasa ada betulnya juga, Karenanya ia menjadi makin berduka, tak tahan lagi ia menangis ter-gerung2.

Sama sekali hati Siao-liong-li tidak tergerak oleh tangisan anak itu, dengan sikap dingin saja ia menyaksikan Nyo Ko menangis, mukanya sedikitpun tidak memberi sesuatu tanda perasaan.

"Marilah kita menanam mayatnya, ikutlah padaku !" katanya kemudian sesudah agak lama, Habis ini ia angkat mayat Sun-popoh dan menuju sebelah barat.

Lekas2 Nyo Ko mengusap air matanya dengan baju, cepat ia ikut di belakang orang.

Di dalam kuburan itu tiada sinar terang sedikitpun terpaksa Nyo Ko harus pentang matanya selebar mungkin, dengan begitu lapat2 baru dia bisa melihat bayangan baju Siao-liong-li yang putih itu.

Sesudah berjalan me-Iingkar2, belok sana dan tikung sini akhirnya Siao-liong-li membuka sebuah pintu batu yang kelihatannya sangat berat, kemudian mereka masuk ke dalam sebuah kamar batu yang sangat luas. Di sini Siao-liong-li mengeluarkan ketikan api dan menyalakan pelita minyak diatas meja batu.

Setelah ada sinar terang, segera Nyo Ko memandang keadaan kamar besar ini, tetapi mau-tidak-mau ia rada bergidik oleh suasana yang seram, ia lihat ruangan yang begini besar ternyata kosong belaka tiada isi Iain kecuali beberapa buah peti mati dari batu yg berjajar di tengah ruangan.

Waktu Nyo Ko memperhatikan ia lihat dua peti mati diantaranya tertutup rapat, sedang tiga peti lainnya tutupnya hanya dirapatkan separoh saja, dipandang dari jauh dalam peti kelihatan gelap, tidak diketahui di dalamnya ada mayat atau tidak.

"Cosu-popoh (kakek guru) tidur di dalam sini," kata Siao-liong-li sambil menuding peti mati yang pertama, lalu ia tuding peti mati kedua dan sambung lagi: "Dan Suhu tidur di sini."

Waktu Nyo Ko lihat jari si nona menuding peti mati yang ketiga, hatinya menjadi ber-debar2, ia tidak tahu Siao-liong-li bakal bilang siapa yang tidur di situ, tapi ia lihat tutup peti itu belum dirapatkan, jika di dalamnya sudah ada isinya, bukankah itu sangat menakutkan ?

"Dan Sun-popoh tidur di sini," demikian ia dengar Siao-liong-li menyambung lagi.

Karena kata2 inilah baru Nyo Ko tahu bahwa peti mati itu memang kosong, diam2 ia merasa lega, Tetapi bila ia lihat di samping sana masih ada dua peti mati lagi yang kosong, tanpa terasa ia menjadi heran dan ingin mengetahui.

"Dan kedua peti yang itu, Liong-kokoh ?" tanyanya kemudian.

"Yang satu buat Suci (kakak seperguruan perempuan) Li Bok-chiu dan yang lain buat aku sendiri," sahut Siao-liong-li.

Karena jawaban ini, seketika Nyo Ko terkesima.

"Apakah Li Bok-chiu Kokoh akan kembali ke sini?" tanyanya.

"Kalau guruku sudah mengatur begini akhirnya dia pasti akan kembali," kata Siao-liong-li. Dan sekarang ternyata masih kurang satu peti lagi, sebab guruku tidak pernah menduga kau akan datang ke sini."

Keruan Nyo Ko kaget oleh kata2 ini.

Tidak, aku tidak perlu !" sahutnya cepat.

"Aku sudah berjanji pada Sun-popoh untuk menjaga kau seumur hidup, kalau aku tidak meninggalkan tempat ini, dengan sendirinya kaupun tetap disini," ujar Siao-liong-li.

Mendengar si nona berbicara soal mati-hidup orang seperti soal biasa saja, akhirnya Nyo Ko juga tidak takut2 lagi.

"Seumpama kau tidak perbolehkan aku keluar, tapi kalau kau sudah mati, bukankah aku dapat keluar sendiri," sahutnya kemudian.

"Kalau aku sudah bilang akan menjaga kau seumur hidup, sudah tentu aku tak akan mati lebih dulu dari pada kau," kata Siao-liong-li

Keruan Nyo Ko heran, "Mana bisa ?" ia debat "Bukankah umurmu lebih tua dari padaku ?"

"Ya, tapi sebelum aku mati pasti aku bunuh kau lebih dulu," kata Siao-liong-li.

Namun meski usia Nyo Ko masih kecil, nyata ia tidak kurang akal "Itu kan belum tentu bisa, aku punya kaki, memangnya aku tak bisa lari ?" demikian ia berpikir

Begitulah si Nyo Ko ini, belum dia angkat guru pada Siao-liong-li, tapi diam2 ia sudah adu kepintaran dengan orang.

Sementara itu Siao-liong-li telah mendekati peti mati yang ketiga, ia dorong tutup peti ke belakang, ia angkat jenazah Sun-popoh dan hendak dimasukkan ke dalam peti.

Tiba2 Nyo Ko ingat pesan Sun-popoh pada saat yang terakhir bahwa : "Baju kapas yang kupakai ini hendaklah kau simpan baik2, di..."

dan sebelum habis dikatakan atau orang tua itu sudah keburu putus napasnya, Kalau orang tua itu minta dirinya menyimpan baik2 baju kapas itu, mengingat perkenalan mereka yang baik, kalau disimpan sebagai tanda mata untuk hari kelak, sesungguhnya pantas juga.

"Kokoh, baju kapas Popoh itu ditinggalkan untukku saja," serunya segera sambil menyerobot maju.

Sebenarnya Siao-liong-li tidak suka pada sifat2 insaniah yang menjemukan, ia lihat watak Nyo Ko yang suka bergirang, marah2, menangis2 dan tertawa segala, meski belum ada satu hari berkenalan dengan Sun-popoh, tapi bocah ini sudah merasa begitu berat ditinggalkan orang tua itu, rasa Siao-liong-li menjadi muak, maka atas permintaannya tadi, ia mengkerut kening, namun tidak urung ia copot baju kapas itu dari badan Sun-popoh dan dilemparkan pada Nyo Ko.

Setelah terima baju kapas itu, karena terharunya kembali Nyo Ko mewek2 hendak menangis lagi. Tetapi Siao-liong-li telah melototinya, lalu ia masukkan mayat Sun-popoh ke dalam peti ia tarik penutup petinya, maka terdengarlah suara yang keras, tutup peti mati itu telah menutup dengan rapat sekali.

Karena merasa sebal kalau2 Nyo Ko menangis lagi, maka tanpa pandang sedikitpun pada bocah ini segera Siao-liong-li mengajak: "Mari keluar !"

Berbareng itu ia kebaskan lengan bajunya, empat pelita minyak di dalam kamar itu sekaligus tersirap, keadaan seketika menjadi gelap guIita, Oleh karena kuatir kalau dirinya akan dikurung di kamar peti mati itu, lekas2 Nyo Ko membawa baju kapas Sun-popoh itu terus ikut keluar.

Tinggal di dalam kuburan kuno yang bagaikan istana di bawah tanah itu, hakikatnya tidak diketahui dan tak dapat membedakan siang atau malam, Tetapi sesudah sibuk setengah harian, kedua orang sudah merasa letih, maka Siao-liong-li suruh Nyo Ko tidur ke kamar Sun-popoh saja.

Sejak kecil Nyo Ko terluntang-luntung di kalangan Kangouw seorang diri, sering ia harus menginap di kelenteng bobrok di hutan yang sunyi maka nyalinya sebenarnya sudah terlatih sangat berani Tetapi aneh, sejak melihat peti mati batu tadi dan sekarang diharuskan tidur sendirian, entah mengapa ia menjadi merasa takut tak terhingga.

Oleh karena itu, meski Siao-liong-li sudah mengulangi kata2nya menyuruh dia pergi tidur, dia masih tetap menjublek saja.

"Kau dengar tidak perkataanku ? Apa kau tuli ?" bentak Siao-liong-li menjadi gemas.

"Aku takut," sahut Nyo Ko.

"Takut apa ?" tanya Siao-liong-li.

"Entah, tapi aku tak berani tidur sendirian," kata Nyo Ko.

Melihat wajah anak ini memang takut, dalam hati Siao-liong-li pikir umur anak ini masih kecil, tidaklah perlu harus menghindarkan peraturan pemisahan antara 1aki2 dan wanita, Karenanya dengan menghela napas kemudian ia berkata : "Baik-lah, kau tidur sekamar dengan aku."

Lalu ia bawa Nyo Ko ke kamar tidurnya sendiri.

Siao-liong-li sudah biasa hidup dalam kegelapan selamanya dia tidak perlu menyalakan pelita atau lilin, tetapi sekarang sepesial ia menyulut satu lilin untuk Nyo Ko.

Waktu melihat wajah Siao-liong-li yang begitu cantik ayu tiada bandingannya, pula baju yang dia pakai putih bersih seperti salju tanpa debu sedikitpun semula Nyo Ko menyangka kamar si gadis ini tentunya teratur dengan indah sekali.

Tak terduga, begitu ia memasuki kamar orang, seketika ia merasa kecawa, Kiranya kamar Siao-liong-li kosong melompong tanpa sesuatu pajangan, serupa saja keadaannya dengan kamar peti mati tadi.

Di dalam kamar hanya terdapat satu lonjor batu hijau yang digunakan sebagai ranjang, di atas ranjang ini tergelar selembar tikar dan terdapat pula selapis kain sutera putih yang rupanya dipakai sebagai selimut. Kecuali itu tiada sesuatu benda lain yang dilihatnya.

"Entah aku harus tidur di mana ? Mungkin dia akan suruh aku tidur di lantai", demikian Nyo Ko membatin.

"Kau tidur saja di ranjangku," tiba-tiba ia dengar Siaoliong-li berkata padanya.

"Itu tidak baik, biar saja aku tidur di lantai." sahut Nyo Ko.

Tak terduga, tiba2 Siao-liong-li menarik muka oleh jawabannya itu.

"Kurangajar, berani kau mernbangkang," damperatnya.. "Aku adalah gurumu, apa yang kukatakan kau harus menurut, tahu ? Kau berani berkelahi melawan gurumu dari Coan-cin-kau itu, hal itu masa bodoh, Tetapi lain, kalau kau berani membangkang perintahku segera juga kucabut nyawamu !"

"Tak perlu kau begini galak, akan kuturut saja semua perkataanmu " demikian Nyo Ko menyahut.

"Berani kau adu mulut ?" bentak Siao liong-li.

Namun si Nyo Ko memang anak bandel, ia lihat wajah Siao-liong-li sangat cantik dan usianya muda, sedikitpun tidak mirip seorang "Suhu", karenanya ia melelet-lelet lidah atas bentakan tadi, habis ini ia diam saja.

Sudah tentu kelakuannya ini dapat dilihat Siao-liong-li,

"Kenapa kau melelet lidah ? Kau tak terima bukan ?" damperatnya lagi.

Nyo Ko tak berani menjawab sekali ini, ia copot sepatunya terus naik ke atas ranjang buat tidur

Tetapi baru saja ia merebah, tiba-tiba terasa olehnya hawa sedingin es yang merasuk tulang, saking kagetnya sampai ia meloncat turun dengan kaki telanjang.

Nampak kelakuan Nyo ko yang lucu ini, sungguhpun Siao-liong-li tidak pernah mengunjuk sesuatu tanda perasaannya, tidak urung hampir2 saja ia mengeluarkan suara tertawa geli.

"Ada apa ?" ia coba tegur dengan menahan gelinya.

Namun Nyo Ko memang terlalu cerdik, sekilas saja ia sudah melihat ada tanda2 tertawa pada wajah Siao-liong-li. Oleh karenanya ia tidak menjadi takut oleh teguran itu, bahkan ia tertawa sendiri.

"Di atas ranjang ini ada apa2nya yang aneh, kiranya engkau sengaja mempermainkan aku," demikian jawabnya.



"Siapa mempermainkan kau. Memang beginilah ranjang ini, lekas kau naik lagi dan tidur," kata Siao-liong-li dengan sungguh2. Habis ini ia sengaja ambil kemoceng (bulu ayam) dari belakang pintu, dengan alat ini ia lantas mengancam: "lni jika kau berani merosot turun lagi, rasakan nanti, sepuluh kali sabetanku !"

Sekali lompat dengan enteng Siao-liong-li merebahkan diri diatas tali kecil yang dianggapnya seperti ranjang empuk

Sudah tentu tak terbilang kagum Nyo Ko oleh kepandaian yang luar biasa ini.

Melihat sigadis berlaku sungguh2, terpaksa Nyo Ko naik ke atas ranjang batu dan tidur lagi.

Sekali ini Siao-liong-Ii sengaja menyingkirkan baju kapas tinggalan Sun-popoh, ia pindahkan ke tempat yang tak dapat dijamah tangan Nyo Ko.

Sebaliknya karena pengalaman tadi, sekali ini Nyo Ko tidak terkaget lagi, ia rebah diatas ranjang batu yang dingin itu.

Akan tetapi ranjang itu sama saja seperti balok es yang maha dingin, semakin tidur rasanya semakin dingin, sampai akhirnya saking tak tahan seluruh tubuh Nyo Ko jadi gemetar, ia menggigil kedinginan hingga kedua baris giginya gemerutuk.

Tak lama, hawa dingin ranjang batu itu semakin men-jadi2 serasa meresap kedalam tulang sungsum, sungguh ia tak tahan lebih lama lagi.

Ketika Nyo Ko melirik Siao-liong-li, ia lihat wajah nona itu mengunjuk senyum, tapi bukan senyum, terhadap penderitaannya itu se-akan2 merasa senang dan bersyukur. Diam2 Nyo Ko mendongkol Tetapi ia masih berusaha melawan rasa dingin yang menembus keluar dari ranjang batu itu dengan sepenuh tenaganya.

Sementara ia lihat Siao-liong-li telah keluarkan seutas tali sebelah ujung tali ia ikat pada sebuah paku yang menancap di dinding sebelah timur, lalu tali ini ditarik dan diikat kencang pada paku yang berada di dinding sebelah barat.

Tali yang dipasang ini kira2 setinggi manusia, dengan sekali lompatan enteng Siao-liong-li telah merebah di atas talu tali itu dianggapnya sebagai ranjang saja, Bahkan berbareng lompatannya tadi, sekali ayun tangannya, dengan angin pukulannya ia sirapkan api lilin.

Sungguh tidak terbilang kagumnya Nyo Ko oleh kepandaian orang yang luar biasa itu.

"Kokoh, maukah kau mengajarkan kepandaian seperti itu kepadaku besok ?" dalam kegelapan ia coba tanya si nona.

"Hm, terhitung apa kepandaian semacam ini ?" jengek Siao-liong-li. "Asal kau belajar dengan baik, masih banyak lagi kepandaian yang jauh lebih lihay yang akan kuajarkan padamu."

Tabiat Nyo Ko meski nakal tetapi sangat ter-guncang perasaannya demi mendengar Siao-liong-li dengan sungguh2 akan diajarkan kepandaian pada-nya, tanpa terasa ia menjadi tunduk dengan sepenuh hati, perasaan mengkalnya tadi seluruhnya dia lemparkan ke-awang2, dalam rasa terima kasihnya itu, saking terharunya ia mengucurkan air mata.

"Kokoh, kau begini baik terhadapku, tapi tadi aku malah benci padamu," demikian katanya dengan suara berat

"ltu tidak perlu dibuat heran," sahut Siao-liong-Ii, "Aku telah usir kau, sudah tentu kau benci padaku."

"Tetapi soalnya bukan itu," kata Nyo Ko, "Semula aku mengira kau sama saja seperti guruku yang lalu, hanya mengajarkan segala kepandaian yang tak berguna."

Mendengar bocah itu berkata sembari menggigil kedinginan tiba2 Siao-liong-li menanya: "Dinginkah kau ?"

"Ya, dingin sekali," sahut Nyo Ko, "Di bawah ranjang ini ada apa2 yang aneh, mengapa begini hebat rasa dinginnya ?"

"Kau suka tidur di situ tidak ?" tanya Siao-liong-li pula.

"Aku... aku tak suka," sahut Nyo Ko ragu2.

"Huh, kau tak suka ?" jengek Siao-liong-li, "Ketahuilah bahwa entah ada berapa banyak to-koh2 Bu-lim di seluruh jagat ini yang justru ingin meniduri ranjang ini, tetapi tak pernah kesanpaian cita-citanya."

"Aneh, bukankah itu berarti cari siksaan belaka ?" ujar Nyo Ko heran.

"Hm, siksaan ?" jengek Siao-liong-Ii, "Kira-nya aku sayang dan kasihan padamu, tetapi kau malah anggap tersiksa, sungguh tidak kenal kebaikan orang."

Mendengar lagu suaranya agaknya memang tidak bermaksud jelek dengan menyuruh dirinya tidur di atas ranjang dingin ini, maka Nyo Ko lantas memohon dengan suara lunak.

"Kokoh yang baik, apakah paedahnya ranjang dingin ini, maukah kau menerangkannya padaku ?"

"Kau harus tidur seumur hidup di atas ranjang ini, faedahnya pasti akan kau ketahui kelak", sahut Siao-liong-li "Nah, sekarang pejamkan matamu dan tak boleh bicara Iagi"

Dalam kegelapan lalu terdengar suara gemerisik yang pelahan sekali dari baju sutera yang dipakainya, agaknya Siao-liong-li telah membalik tubuh, Sungguh sukar dimengerti padahal hanya tidur di atas seutas tali yang terapung diudara, tetapi bisa membalik tubuh sesukanya.

Karena kata2 terachir tadi yang bernada keren, maka Nyo Ko tak berani bertanya lagi, betul juga ia lantas pejamkan mata untuk tidur, Akan tetapi hawa dingin yang menghembus keluar dari bagian bawah terus-meneras menyerang, mana bisa ia terpuIas.

Lama kelamaan, tak sangguplah Nyo Ko bertahan pula.

"Kokoh, aku tak tahan lagi," dengan suara pelahan ia memanggil

Namun suara pernapasan Siao-Iiong-li lapat terdengar agaknya sinona sudah tertidur.

Kembali Nyo Ko memanggil dua kali lagi dengan pelahan dan tetap tiada jawaban, "Biarlah aku turun ke bawah sebentar, tentu dia takkan tahu," demikian ia pikir.

Maka dengan pelahan2 ia merosot turun ke pinggir ranjang, ia berlaku hati2 sekali dengan menahan napas agar tidak mengeluarkan suara.

Siapa tahu, baru saja ia menginjak lantai se-konyong2 terdengar suara gemerisik yang sangat pelahan, tahu2 Siao-liong-li sudah melompat turun dari atas talinya, sekali cekal tangan kiri Nyo Ko telah dipegangnya terus ditelikung ke belakang, bahkan ia digusur ke atas tanah.

Karena tindakan tiba2 ini, Nyo Ko menjerit kaget tetapi sehabis ini ia lantas bungkam dalam segala bahasa.

Sementara itu Siao-liong-li telah angkat kemocengnya, dengan keras ia sabet pantat Nyo Ko.

Nyo Ko tahu percuma saja meski minta ampun, oleh karena itu dengan mengertak gigi kencang2 ia menahan rasa sakit sabetan kemoceng orang, Luar biasa sakitnya lima kali sabetan yang pertama, tetapi pada sabetan ke-enam kalinya, Siao-liong-li turunkan tangannya dengan enteng saja, sampai dua kali yang terakhir, kuatir Nyo Ko tak tahan gebukannya, ia memukul terlebih pelahan lagi

Setelah genap menyabet sepuluh kali, lalu Siao-liong-li jambret tubuh Nyo Ko dan dilemparkan lagi ke atas ranjang batu.

"Awas! Berani kau turun lagi, segera kau rasakan pula kemoceng ini!" bentaknya mengancam.

Tanpa bersuara Nyo Ko merebah di atas ranjang batu itu, ia dengar Siao-liong-li telah kembalikan kemocengnya ke belakang pintu tadi, lalu melompat pula ke atas tali buat tidur.

Siao-liong-li menyangka Nyo Ko tentu akan menangis dan bikin ribut lagi oleh hajarannya itu, tak terduga, sepatah katapun anak muda itu tak bersuara, ini betul2 tak pernah disangkanya

"Ko-ji, kenapa kau diam saja ?" tanyanya kemudian

"Tiada yang perlu kukatakan, sekali engkau bilang pukul, tentu aku akan dipukulnya, percuma saja meski aku minta ampun," sahut Nyo Ko.

"Hm, tetapi dalam hatimu kau tentu mencaci maki padaku," kata Siao-liong-li.

"Tidak, aku takkan mencacimaki kau, betapapun engkau masih jauh lebih baik daripada guruku yang dahulu," kata Nyo Ko.

"Sebab apa ?" Siao-liong-li menjadi heran.

"Ya, sebab meski engkau memukul aku, tetapi dalam hatimu kau tetap sayang dan kasihan padaku, makin pukul makin pelahan, engkau kuatir kalau aku kesakitan," kata Nyo Ko.



Muka Siao-liong-li rada merah karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai, syukur dalam kegelapan hingga tidak sampai dilihat Nyo Ko.

"Cis, siapa sayangi padamu, kalau lain kali kau tak menurut kata lagi, tentu akan kupukul terlebih keras," omelnya kemudian.

Mendengar lagu suara orang sudah berubah menjadi halus, Nyo Ko jadi dapat hati.

"Lebih keras engkau memukul, tetap aku suka." demikian katanya dengan cengar-cengir.

"Cis, agaknya tulangmu memang gatal, sehari tidak rasakan gebukan, tentu kau tak bisa tidur nyenyak," omel Siao-liong-li pula.

"ltupun harus me-Iihat2 siapa yang memukul aku," kata Nyo Ko. "Jika orang yang suka padaku menghajar diriku, sedikitpun aku pasti tidak den-dam, mungkin malah merasa senang, sebab dia hajar aku karena ingin aku berbuat baik, Tetapi bila orang yang benci diriku, sekalipun dia hanya memaki sekata atau mendeliki mata padaku, kelak kalau aku sudah dewasa, satu persatu pasti akan kucari dia buat membikin perhitungan."

"Coba katakan, siapa yang benci kau dan siapa2 lagi yang suka padamu ?" tanya Siao-liong-li

"ltu sudah kuingat baik2 dalam hati," kata Nyo Ko. "Tentang orang yang benci padaku boleh tak perlu disebut, tetapi orang yang sayang padaku ada aku punya Mak (ibu) yang sudah meninggal, ayah angkatku Auwyang Hong, paman Kwe Ceng dan ada lagi Sun~popoh dan engkau."

"Hm, jangan harap aku akan sayang padamu," sahut Siao-liong-li dengan tertawa dingin. "Aku hanya menurut pesan Sun-popoh, dia minta aku menjaga kau, maka aku lantas menjaga kau, selama hidupmu ini jangan kau harapkan aku akan berbaik hati padamu."

Memangnya Nyo Ko sedang kedinginan, demi mendengar kata2 orang ini, sama saja ia telah ditambahi dengan siram se-ember air dingin. "Kokoh, aku ini yang kurang baik apa ? Kenapa engkau begini benci padaku ?" tanya Nyo Ko menahan rasa mendongkolnya.

"Kau baik atau tidak, peduli apa dengan aku ?" sahut Siao-Iing-li dingin, "Tetapi akupun tidak benci kau. Selama hidup ini aku tinggal di dalam kuburan ini, aku tak suka pada siapapun dan tak benci pada siapapun !"

"Selama hidup tinggal di sini ? itu kan tidak menarik," kata Nyo Ko. "Kokoh, pernah tidak kau keluar."

"Tak pernah kuturun dari Cong-lam-san ini," sahut Siao-liong-li. "Di luar sana paling banyak juga cuma ada gunung ada pohon, ada matahari ada rembulan, apanya yang menarik ?"

"Ai, kalau begitu hidupmu ini benar2 sia-sia belaka," kata Nyo Ko menepuk tangan, "Jika hidup dikota, di sana bermacam ragam benda yang aneh, itulah baru menyenangkan dan menarik,"

Habis ini ia lantas ceritakan semua pengalamannya dan apa saja yang pernah dilihatnya selama ia ter-Iunta2 sejak kecil Dasar si Nyo Ko memang pandai bicara, apalagi sengaja ia bumbu-bumbui, ia tambahi kecap, tambahi merica, tambahi minyak, keruan ceritanya menjadi lebih aneh dan menarik dengan aneka macam ragamnya.

Meski Siao-liong-li sudah berumur 20 tahun, tetapi selamanya belum pernah turun dari Cong-lam-san barang selangkahpun, maka apa saja yang dibualkan Nyo Ko, semuanya ia percaya penuh, malahan sampai akhirnya, tak tertahan ia telah menghela napas.

"Kokoh, kubawa kau pergi pesiar, mau tidak?" kata Nyo Ko akhirnya.

Di luar dugaan, Siao-liong-li menjadi gusar oleh ajakan ini.

"Ngaco-belo," damperatnya, "Cosu-popoh sudah meninggalkan pesan bahwa barang siapa yang pernah tinggal di dalam "Hoat-su-jin-bong" ini siapapun tidak boleh turun dari Cong-lam-san meski selangkahpun,"

"Ha, apakah akupun tak boleh turun gunung ?" tanya Nyo Ko kaget oleh keterangan orang.

"Sudah tentu," sahut Siao-liong-li.

Akan, tetapi Nyo Ko tidak menjadi gugup, sebab dalam hati ia telah pikir: "Satu pulau terpencil seperti Tho-hoa-to saja bisa kutinggalkan, apalagi hanya sekian kuburan kuno ini mana bisa mengurung selama hidupku."

Begitulah selama mereka bicara, sesaat itu Nyo Ko melupakan rasa dingin yang menggigilkan tadi tetapi sejenak saja percakapan mereka berhenti seluruh tubuhnya segera terasa gemetar lagi

"Kokoh, ampuni diriku, aku tak mau tidur lagi di atas ranjang ini." demikian ia memohon.

"Dalam perkelahianmu dengan guru Coan-cin-kau, sepatah kata saja kau tak sudi minta ampun, kenapa sekarang begini tak berguna ?" sahut Siao-liong-li

"ltuIah lain," kata Nyo Ko dengan tertawa, "Siapa yang tidak baik terhadap diriku, sekalipun aku mati dipukulpun tidak nanti aku sudi minta ampun padanya, Tetapi siapa yang baik padaku, meski aku harus mati untuknya juga aku rela, apalagi hanya minta ampun."

"Cis, tak malu, siapa baik padamu ?" jengek Siao-liong-li

Sejak kecil Siao-liong-li dibesarkan oleh gurunya dan Sun-popoh, selama dua puluh tahun itu hanya kedua orang tua itu saja yang berdampingan dengan dia. Meskipun kedua orang tua itu sangat baik padanya, tetapi gurunya mengharuskan dia berlatih "Giok-li-sim-keng" (ilmu gadis suci) dan sejak kecil dia sudah diajarkan membuang segala cita-rasa, asal kelihatan Siao-liong-li mengunjuk sedikit perasaan saja, segera gurunya mendamperatnya.

Sedang Sun-popoh walaupun cukup simpatik, namun ia juga tak berani menghalang-halangi pelajaran Siao-liong-li sehingga oleh karena itu tabiatnya yang aneh dan menyendiri tanpa emosi itu terpelihara sejak kecil.

Kini dengan datangnya Nyo Ko, anak ini justru berhati panas seperti api, usianya masih kecil pula, baik tutur katanya maupun tindak-tanduknya sudah tentu berbeda seluruhnya dari pada kedua nenek2.

Sebenarnya Siao-liong-li juga tahu apa yang dituturkan Nyo Ko itu jelas menyalahi ajaran2 guru-nya, namun tidak urung ia ikut bercerita dengan asyik sekali hingga lupa daratan.

Siao-liong-li menerima Nyo Ko sebenarnya hanya untuk memenuhi permintaan Sun-popoh saja, tetapi kemudian Nyo Ko selalu bilang dia sangat baik padanya, dengan sendirinya lambat laun iapun merasa memang benar ia memperlakukan anak ini dengan sangat baik.

Demikianlah, karena lagu bicaranya Siao-liong-li telah berubah halus, maka Nyo Ko makin mendapat hati

"Wah, dingin, Kokoh, dingin sekali aku tak tahan lagi!" akhirnya ia berani ber-teriak2.

Padahal sekalipun kedinginan sebenarnya belum perlu ber-teriak2 minta tolong dan bikin geger segala.

"Jangan ribut, biar kuceritakan padamu tentang asal-usul ranjang batu ini," kata Siao-liong-li kemudian.

"Baiklah," sahut Nyo Ko girang. "Nah, Kokoh aku tidak berteriak lagi mulailah bercerita !"

"Tadi kukatakan tidak sedikit tokoh Bu-lim di jagat ini ingin tidur di atat ranjang batu ini, hal ini sekali2 bukan untuk mendustai kau," demikian Siao-liong-li menutur, "Harus diketahui bahwa ranjang ini dibikin dari batu pualam dingin purbakala, inilah alat pembantu utama bagi orang yang ingin berlatih Lwekang yang tinggi."

"lni bukan batu biasa ?" tanya Nyo Ko heran.

"Katanya kau sudah banyak berpengalaman dan pernah melihat benda yang aneh2, tapi pernahkah kau melihat batu sedingin ini ?" sahut Siao-liong-li. "Hendaklah diketahui batu ini adalah hasil jeri-payah Cosu-popoh selama tujuh tahun berada di kutub utara yang paling dingin, disana batu pualam dingin ini dia gali dari bawah es yang tebalnya ratusan tombak, Siapa yang berlatih Lwekang dengan tidur di atas ranjang batu pualam ini, maka setahun saja sudah sama dengan berlatih sepuluh tahun secara biasa."

"He, begini besar faedahnya ?" seru Nyo Ko kegirangan.

"Ya," kata Siao-liong-li, "Mula2 kau tidur di atasnya terasakan dingin tak tertahan, tetapi asal kau kumpulkan seluruh tenaga untuk melawannya, lama kelamaan akan menjadi biasa, sekalipun di waktu tidur, itu berarti tak pernah berhenti berlatih diri.

Sebab orang biasa kalau berlatih ilmu, sekalipun orang yang paling giat dan rajin, tiap2 hari ada beberapa jam perlu buat tidur, Dau kau harus tahu, melatih ilmu yang menjalankan napas dan darah ditubuh sama sekali berlawanan daripada ilmu biasa, jika sampai tertidur, maka jalan darah itu akan berputar seperti biasa dan ini sebaliknya membikin percuma dari apa yang dilatihnya waktu siang hari.

Tetapi kalau orangnya tidur di atas ranjang ini, bukan saja tidak sia-sia hasil yang dilatih siang harinya, bahkan Lwekangnya akan bertambah lebih kuat."



Mendengar penjelasan ini, saking senangnya Nyo Ko terus berseru:

"Kokoh, sungguh baik sekali engkau padaku, dengan tidur di ranjang ini, aku tak akan takut lagi pada kedua saudara Bu dan Kwe Hu, sekali pun Tio Ci-keng dari Cian-cin-kau yang sudah Iama berlatih itu, kelak aku pasti dapat melebihinya," demikian katanya.

"Tetapi Cosu-popoh telah menetapkan peraturan bahwa orang yang sudah tinggal di dalam kuburan ini harus tekun berlatih diri dengan tenang dan sabar, harus hapuskan segala napsu berlomba dengan orang luar," kata Siao-liong-li dengan dingin.

Nyo Ko menjadi gugup oleh kata-kata ini.

"Mereka begitu menghina padaku, pula telah tewaskan Sun-popoh, apakah begitu saja kita anggap beres ?" katanya penasaran.

"Setiap manusia akhirnya toh mesti mati, sekalipun Sun-popoh tidak mati ditangan Hek Tay-thong, lewat beberapa tahun lagi ia sendiripun akan mati juga," ujar Siao-liong-li "Apa bedanya hidup lebih lama beberapa tahun atau mati lebih cepat beberapa tahun ? Kata2 balas dendam segala, untuk selanjutnya tak boleh kau sebut2 lagi di hadapanku."

Nyo Ko merasa kata2 Siao-liong-li ini ada benarnya juga, tetapi iapun merasa ada tempat2 yang tidak tepat, hanya seketika ia tidak mendapatkan kata2 yang tepat untuk mendebatnya.

Pada saat itu juga hawa dingin terasa menyerang lebih hebat lagi, Tiba2 Nyo Ko teringat pada apa yang dikatakan Siao-liong-li tadi, ia pikir: "Kenapa aku tidak mencobanya dengan Lwekang ajaran ayah angkat itu ?"

Segera tubuhnya menegak ke atas, ia menjungkir dengan kepala dibawah, ia keluarkan ilmu yang pernah dipelajarinya dari Auwyang Hong.

Tak lama kemudian terasalah semacam hawa hangat mengalir melalui seluruh tubuhnya, segera pula perasaan dingin tadi banyak berkurang waktu dia me-mutar2 tiga kali, tiba2 tubuhnya malah terasa sepanas dibakar, sedikitpun tidak kedinginan lagi, bahkan setelah dia rebah kembali di atas ranjang batu itu lantas terasa segar dan sangat enak, ketika matanya dipejamkan akhirnya ia tertidur dengan nyenyak.

Tetapi sesudah tertidur kira2 setengah jam, setelah hawa hangat tubuhnya buyar, kembali ia terjaga dari tidurnya oleh karena hawa dingin telah menyerang lagi, oleh karena itu, segera ia menjungkir pula mengeluarkan ilmu ajaran Auwyang Hong.

Dan begitulah seterusnya, tidur sebentar lalu mendusin dan tidur lagi, ia ribut sendiri semalam suntuk, tetapi paginya sesudah bangun, bukannyas ia merasa letih, sebaliknya ia malah penuh semangat, suatu tanda bahwa ilmu menjungkirnya itu khasiatnya memang hebat.

Waktu Siao-liong-li meraba jidat anak ini, merasa suhu badan orang biasa saja, keruan ia menjadi heran sekali, maka dengan sabar dia tanya Nyo Ko ilmu apa yang pernah dipelajarinya dahuIu.

Sedikitpun Nyo Ko tidak membohong, ia menerangkan seluruhnya, ia ceritakan Lwekang yang dipelajarinya dari ibu kandungnya sendiri dan Ha-mokang yang diterimanya dari Auwyang Hong.

Diam2 Siao-liong-li ber-pikir2, ia merasa kedua macam Lwekang yang diuraikan Nyo Ko itu sama sekali tidak sejurus dan berlainan, terang pula berbeda sekali dengan Lwekang sendiri, la, pikir meski apa yang Nyo Ko pahami itu hanya sedikit dasar penuntun saja, tapi dengan ini pula dapat dibayangkan yang lain bahwa kedua ilmu Lwekang yang dipelajarinya itu justru luar biasa bagusnya, sesungguhnya tidak dibawah Lwekang dari pada perguruannya sendiri.

BegituIah, sesudah Siao-liong-li ter-menung2 sejenak, lalu ia membatin lagi: "Kiranya anak ini sudah mempunyai dasar Lwekang yang kuat, soalnya tidak dipergunakan secara baik dan tepat, Maka sekarang tidak perlu kesusu mengajarkan dia Lwekang dari perguruannya sendiri "

Paginya, sesudah mereka sarapan, berkatalah Siao-liong-li kepada Nyo Ko:

"Ko-ji, ada suatu soal, ini boleh kau pikirkan sendiri dengan masak jika sungguh2 kau ingin mengangkat guru padaku, maka seumur hidup ini kau harus tunduk pada kata2ku, Tetapi jika kau tidak angkat guru padaku, akupun tidak <^Ww!>

nurunkan ilmu kepandaian padamu, kelak kalau kau mampu menangkan aku, maka dengan ilmu silatmu itu boleh kau terjang keluar Hoat-su-jin-bong ini."

"Sudah tentu aku ingin angkat kau sebagai guru," sahut Nyo Ko tanpa pikir sedikitpun "Sekalipun kau tidak mengajarkan kepandaian padaku juga pasti aku akan turut segala perkataanmu."

Keruan Siao-liong-li heran oleh jawaban ini.

"Sebab apa ?" tanyanya.

"Kokoh, dalam hati engkau sangat baik terhadapku memang kau kira aku tidak tahu ?" sahut Nyo Ko.

"Baik tidak aku terhadapmu selanjutnya tidak boleh dipakai membacot," kata Siao-liong-li dengan menarik muka, "Baiklah, jika kau angkat guru padaku, mari kita pergi ke ruangan belakang buat menjalankan upacara."

Maka ikutlah Nyo Ko ke ruangan belakang, di ruangan ini Nyo Ko melihat keadaanpun kosong belaka tanpa sesuatu pajangan, hanya diantara kedua belah dinding timur dan barat tampak tergantung dua lukisan.

Lukisan yang tergantung di dinding sebelah barat menggambarkan dua gadis jelita, yang satu usianya 25-26 tahun dan sedang bersolek menghadapi cermin, sedang gadis yang lain berumur 14-15 tahun, dari dandanannya jelas adalah seorang dayang atau pelayan, tangannya terlihat memegang sebuah baskom sedang melayani junjungannya yang sedang bersolek itu.

Kedua gadis ini semuanya berwajah cantik molek, yang berumur lebih tua itu alisnya lentik panjang sampai mendekati pelipis, diantara sorot matanya lapat2 membawa perbawa yang agung dan keren, Tanpa terasa Nyo Ko memandang beberapa kali lebih banyak kepada gadis ini, dalam hati se-akan2 dengan sendirinya timbul semacam perasaan hormat kepadanya.

"lni dia Cosu-popoh (nenek guru), hayo menjuralah kau," demikian Siao-liong-li lantas berkata padanya sambil menunjuk gambar gadis yang tua-an itu.

"Dia ini Cosu-popoh ?" tanya Nyo Ko dengan heran, "Kenapa usianya begini muda ?"

"Waktu membikin lukisan ini dia masih muda, kemudian tentunya tidak muda lagi," sahut Siao-liong-li.

Kata2 jawaban ini diulangi Nyo Ko di dalam hati, tiba2 ia merasakan semacam kesunyian yang memilukan, maka dengan tercengang ia pandang lukisan itu, tanpa tertahan air matanya meleleh.

Sudah tentu Siao-liong-li tidak tahu isi hati bocah ini, kembali dia tuding gambar gadis yang berdandan sebagai pelayan itu dan berkata pula : "lni adalah Suhuku, Nah, lekas kau menjura."

Waktu Nyo Ko mengamat-amati pula lukisan itu, ia lihat gadis jelita yang dimaksud ini masih bodoh pelonco, wajahnya bersifat anak2, siapa tahu telah menjadi gurunya Siao-liong-li. Akan tetapi tanpa ragu2 lalu ia berlutut terus menjura terhadap lukisan itu.

Menunggu sesudah Nyo Ko berdiri kembali kemudian Siao-liong-li tuding lagi pada lukisan yang tergantung di dinding sebelah timur itu sambil berkata: "Sekarang ludahi sekali pada Tojin itu !"

Waktu Nyo Ko menegasi, ia lihat lukisan itu memang menggambarkan seorang Tojin atau imam yang berperawakan jangkung, pada pinggangnya tergantung sebatang pedang dan jari telunjuk kanannya sedang menuding ke jurusan timur-laut, hanya gambar Tojin ini dalam keadaan mungkur, maka wajah imam ini tidak jelas tertampak. Tentu saja Nyo Ko sangat heran.

"Siapa dia ? Kenapa harus meludahi dia ?" tanyanya kemudian,

"Dia adalah Kaucu (ketua agama) Coan-cin-kau, Ong Tiong-yang," tutur Siao-liong-Ii. "Kita mempunyai satu peraturan, apabila sudah menyembah pada Cosu-popoh, kemudian harus meludahi dia,"

Dalam hati kecilnya Nyo Ko memang sudah dendam dan benci terhadap orang2 Coan-cin-kau, setelah diberi penjelasan itu, tanpa pikir lagi segera ia meludahi lukisan itu dan tepat mengenal punggung gambarnya Ong Tiong-yang.

"Kokoh, apakah Cosu-popoh kita sangat benci kepada Ong Tiong-yang ?" tanya Nyo Ko.



"Ya," jawab Siao-liong-li

"Kalau begitu kenapa gambar ini tidak dibakar saja, sebaliknya malah digantung di sini?"^ ujar Nyo Ko.

"ltulah aku tak tahu, Aku hanya dengar dari Suhu dan Sun-popoh bahwa kaum laki2 di jagat ini tiada satupun yang baik," demikian sahut Siau liong-li. Habis ini suaranya seketika berubah menjadi bengis dan membentak: "Kelak kalau kau sudah besar dan berani melakukan perbuatan jahat, hm, lihat saja apa aku akan mengampuni kau ?"

"Sudah tentu kau mengampuni aku," tiba2 Nyo Ko menjawab.

Keruan Siao-Iiong-li tertegun seketika, Maksudnya dengan kata2 terakhirnya tadi sebenarnya hanya buat me-nakut2i dan sebagai peringatan saja, tak terduga Nyo Ko ternyata berani menjawab Dalam tertegunnya, Siao-liong-Ii menjadi bingung malah dan kehabisan akal.

"Lekas menyembah guru !" akhirnya ia membentak lagi.

"Kepada guru sudah tentu aku, akan menyembah," sahut Nyo Ko lagi, "Cuma engkau harus berjanji dulu satu hal padaku, kalau tidak, aku tak mau menyembah."

"Kurang ajar anak ini," diami Siao-liong-li menggerutu dalam hati "Selamanya hanya guru yang minta murid harus berjanji, mana ada aturan bahwa murid malah meminta janji dari sang guru ?"

Akan tetapi dasar sifatnya memang sabar dan pendiam, maka iapun tidak menjadi gusar.

"Soal apa ? Boleh coba kau katakan," sahutnya kemudian.

"Begini," kata Nyo Ko, "dalam hati sudah terang kuanggap engkau sebagai Suhu, aku menghormati kau dan menjunjung kau, apa yang kau katakan tentu kuturut, tetapi dalam sebutan aku tidak panggil engkau sebagai Suhu melainkan tetap panggil engkau Kokoh (bibi) saja"

Permintaan ini kembali membikin Siao-liong li tercengang.

"Sebab apa ?" tanyanya kemudian.

"Ya, sebab sudah dua kali aku mengangkat Suhu, tetapi mereka perlakukan aku tidak baik, diwaktu mimpi saja aku akan mengutuki Suhu," demikian Nyo Ko menutur, "Oleh sebab itu adalah lebih baik kupanggil kau Kokoh saja, agar bila aku mengutuki Suhu engkau tidak ikut tersangkut."

Tanpa tertahan Siao-liong-Ii tertawa geli oleh keterangan Nyo Ko ini, ia merasa walaupun kelakuan anak ini terlalu aneh dan nakal, tapi cara berpikirnya ternyata menarik juga.

"Baiklah, aku terima permintaanmu," janjinya kemudian.

Nyo Ko lantas berlutut, dengan sangat hormat ia menyembah delapan kali pada Siao-liong-li

Lalu Nyo Ko mengucapkan janji pula: "Tecu (anak murid) Nyo Ko hari ini mengangkat Siao-liong-li Kokoh sebagai guru, sejak kini, selamanya Nyo Ko akan dengar kata Kokoh, jika Kokoh ada kesulitan dan menghadapi bahaya, Nyo Ko akan mati-matian membela Kokoh tanpa hiraukan jiwa sendiri jika ada orang jahat berani menghina Kokoh, Nyo Ko pasti akan membunuh orang jahat itu."

Sungguh lucu sekali sumpah setia Nyo Ko: ini Padahal waktu itu ilmu silat Siao-liong-Ii entah berapa puluh kali lebih tinggi daripada Nyo Ko, tapi Nyo Ko anggap orang adalah gadis jelita yang lemah lembut, maka tiba2 timbul sikap perkasa sebagai seorang jantan sejati yang wajib melindungi wanita lemah, sampai akhirnya, makin lama semakin bersemangat dan gagah ucapannya.

Meski lagu suara Nyo Ko masih berbau kanak2, tetapi kata2 yang diucapkannya dengan sungguh2 dan penuh semangat itu, mau-tak-mau membikin hati Siao-liong-Ii rada terguncang juga.

BegituIah, sesudah Nyo Ko menjura, kemudian ia berdiri kembali dihadapan orang dengan muka ber-seri2 tanda gembira.

"Apa yang membikin kau begini senang ?" tanya Siao-Iiong-li. "Kepandaianku toh belum tentu bisa menangkan imam2 tua dari Coan-cin-kau itu, lebih2 tak mungkin bisa diatas kau punya Kwe-pepek."

"PeduIi apa meski kepandaian mereka lebih tinggi," sahut Nyo Ko spontan, "yang penting, engka mau mengajarkan ilmu kepandaian padaku dengan sungguh-sungguh."

Siao-liong-li menghela napas mendengar jawaban orang.

"Padahal apa gunanya meski sudah belajar ilmu silat ?" ujarnya, "Cuma, daripada iseng menganggur di dalam kuburan sunyi ini, baiklah aku akan ajarkan padamu, sekarang kau tunggu dulu disini, biar aku keluar sebentar."

Mendengar dirinya akan ditinggal pergi, Nyo Ko menjadi takut karena harus tinggal sendirian dalam kuburan.

"Kokoh, aku ikut keluar saja," demikian katanya cepat

Akan tetapi Siao-liong-Ii segera pelototi padanya.

"Baru saja kau berjanji akan turut perkataanku untuk selamanya, tapi hari pertama kau sudah membangkang," damperatnya.

"Tetapi, aku aku takut," sahut Nyo Ko.

"Laki2 jantan sejati, takut apa ?" damperat Siao-liong-li pula, "Tadi kau masih bilang hendak membela diriku dan bunuh orang jahat segala !"

"Baiklah, kalau begitu lekasan engkau kembali ya !" kata Nyo Ko sesudah berpikir.

"ltupun tak bisa ditentukan, bagaimana jika seketika sukar menangkapnya ?" ujar Siao-Iiong-li.

Nyo Ko menjadi heran oleh jawaban ini.

"Menangkap apa, Kokoh ?" tanyanya.

Namun Siao-liong-Ii tak menjawab, ia terus bertindak pergi sendiri.

Dengan keluarnya Siao-liong-Ii, keadaan di dalam kuburan menjadi sepi nyenyap.

Dalam pada itu Nyo Ko masih me-nerka2 dalam hati oleh kata2 Siao-liong-li tadi yang bilang hendak pergi menangkap sesuatu, ia tidak tahu siapakah yang hendak ditangkapnya. Tapi mengingat Siao-liong-li tidak pernah turun selangkah pun dari Cong-km-san, Nyo Ko yakin tentu sasaran yang ditangkapnya adalah imam Coan-cin-kau, hanya tidak diketahui imam mana yang akan ditangkapnya dan guna apa menangkapnya ?"

BegituIah Nyo Ko berpikir serabutan sendirian, tanpa terasa iapun sudah melangkah keluar ruangan besar kuburan itu dan menuju ke arak syrat melalui satu lorong, tetapi baru belasan tindak dilalui, tiba2 pandangannya menjadi gelap gulita.

Karena kuatir akan kesasar, lekas2 Nyo Ko balik kembali pe-lahan2 dengan merembet dinding, siapa tahu meski sudah beberapa puluh tindak ia berjalan masih belum juga dilihatnya sinar pelita di ruangan besar tadi.

Dalam gelisah dan takutnya, Nyo Ko tambah cepat melangkah ke depan, Akan tetapi ia jadi kesasar lebih jauh lagi. Memangnya ia sudah salah jalan, dalam keadaan gugup semakin salah pula. Makin jalan makin cepat, beberapa kali ia kebentur sini dan tertumbuk sana, dalam kegelapan ia merasa jalan lorong itu bersimpang-cabang belaka, hingga tak bisa lagi ia kembali ke ruangan besar di depan tadi.

"Kokoh, Kokoh ! Lekas tolong !" saking kuatirnya ia ber-teriak2.

Akan tetapi suara gemborannya segera berkumandang balik diantara lorong kuburan itu hingga membisingkan telinga.

Namun Nyo Ko tidak putus asa, ia maju terus mencari jalan keluarnya, kemudian tiba2 terasa tanah di mana dia injak ternyata basah becek, kiranya dirinya sudah tidak berada di lorong kuburan lagi melainkan berada di jalan lembah pegunungan yang bertembusan dengan lorong kuburan dibawah tanah itu.

Keruan Nyo Ko semakin ketakutan.

"Jika aku kesasar di dalam kuburan, bagaimanapun Kokoh pasti dapat mencari kembali di-riku," demikian ia pikir. "Kini aku telah sampai disini, kalau tak bisa menemukan aku, tentu ia mengira aku melarikan diri, dan tentu pula dia akan berduka sekali."

Oleh karena itu, sesudah me-raba2 mendapatkan sebuah batu, lalu ia bersedakap tangan dan berduduk di atas batu itu sambil ter-menung2.

Lama sekali ia duduk ter-mangu2, tiba2 ia dengar suara sajup2 orang sedang memanggilnya: "Ko-ji Ko-ji!"

Nyo Ko dapat mengenali suara orang itu, tentu saja ia sangat girang, tanpa ayal lagi ia melompat bangun dan balas berteriak : "Aku ada di sini, Kokoh !"

Akan tetapi suara panggilan "Ko-ji, Ko-ji" itu bukannya makin mendekat, sebaliknya malah menjauh.



Keruan saja Nyo Ko sangat cemas, lekas-lekas ia pantang mulut dan berteiak lebih keras: "Aku ada di siniiiiiii!"

Tetapi sejenak kemudian ia tidak mendengar suara panggilan lagi, tentu saja ia menjadi kesal dan putus asa.

Tak terduga, mendadak ia merasakan daun kupingnya menjadi "nyes" dingin, tahu2 kupingnya dijewer orang terus diangkat.

Dalam kagetnya hampir saja Nyo.Ko- menjerit akan tetapi segera ia menjadi girang sekali

"He, Kokoh, kau ! Kenapa sedikitpun aku tidak merasa," demikian teriaknya kemudian.

"Apa yang kau lakukan di sini ?" omel Siao-liong-li.

"Aku kesasar," sahut Nyo Ko.

Siao-liong-li tidak menanya lebih jauh, ia tarik tangan Nyo Ko dan diajak kembali walaupun dalam keadaan gelap gulita, namun Siao-liong-li ternyata bisa jalan dengan cepat dan belak-belok seperti jalan di siang hari saja.

"Kokoh, kenapa engkau dapat melihat dengan terang ?" tanya Nyo Ko kagum.

"Seumur hidupku dibesarkan dalam kegelapan dengan sendirinya aku tidak memerlukan sinar terang," sahut Siao-liong-li.

Tidak antara lama, kembali Siao-liong-li membawa Nyo Ko sampai di ruang besar semula.

"Kokoh," kata Nyo Ko sambil tarik napas panjang, "sungguh, tadi aku merasa kuatir sekali"

"Kuatir apa ? Toh pasti aku akan menemukan kau," sahut Siao-liong-li

"Bukan kuatirkan soal ini," kata Nyo Ko pula, "tetapi aku kuatir engkau akan menyangka aku melarikan diri hingga merasa berduka dalam hati"

"Jika kau lari, janjiku pada Sun-popoh lantas batal pula, apanya yang perlu dibuat duka ?" sahut Siao-liong-li

Nyata watak kedua orang ini sama sekali terbalik, jika Nyo Ko berpikir dengan penuh perasaan hangat, sebaliknya Siao-liong-li berhati dingin sebagai es.

"Apa engkau telah berhasil menangkapnya, Kokoh ?" tanya Nyo Ko lebih jauh.

"Sudah," jawab Siao-liong-li

"Kenapa engkau menangkap dia ?" tanya Nyo Ko lagi

"Bukankah buat membantu kau melatih silat, sahut Siao-liong-li, "Sini, ikut padaku,"

Mendengar jawaban ini, seketika Nyo Ko menjadi girang. "Eh, kiranya dia pergi menangkap imarn Coan-cin-kau untuk dibuat untuI (mangsa latihan) bagiku," demikian pikirnya, Keruan ia sangat ketarik, maka tanpa berkata lagi dia ikut di belakang Siao-liong-li


Setelah memutar beberapa kali kemudian Siao-liong-li membuka sebuah pintu dan masuk ke dalam sebuah kamar batu.

Yang aneh jalan kamar batu ini ternyata sangat kecil dan sempit, dua orang berada di dalamnya saja sukar memutar tubuh, pula langit2an kamar sangat rendah, hampir Siao-liong-li menyundul langit2 kamar itu apabila mengangkat tangannya...

Dalam pada itu Nyo Ko juga heran, sebab tiada satu imam Coan-cin-kau yang terdapat di dalam kamar itu.

"Di manakah Tosu yang engkau tangkap itu ?" begitulah ia lantas tanya.

"Tosu apa ?" berbalik Siao-long-li balas tanya.

"Bukankah engkau bilang hendak pergi menangkap orang buat membantu aku latihan silat?" sahut Nyo Ko.

"Siapa bilang orang ?" kata Siao-liong-li "Tetapi ini, di sini"

Habis ini ia berjongkok dan tarik sebuah kantong kain dari pojok kamar, setelah tali pengikat kantong dilepas, kantong itu dia kebas beberapa kali, maka terbang keluarlah tiga ekor burung gereja.

Luar biasa herannya Nyo Ko setelah mengetahui isi kantong itu. "Eh, kiranya Kokoh keluar tadi untuk menangkap burung gereja," demikian ia membatin.

"Nah, sekarang coba kau tangkap ketiga burung gereja itu, tetapi tak boleh kau membikin rontok bulunya atau melukai cakarnya," demikian Siao-liong-li berpesan padanya.

Nyo Ko menjadi senang oleh permainan ini.

"Bagus !" serunya gembira, Dan begitu menubruk maju segera ia hendak menangkap salah satu burung gereja itu.

Akan tetapi burung2 gereja itu ternyata sangat gesit, meski Nyo Ko sudah tubruk sini dan samber sana, tetap tak bisa menyenggol sedikitpun, jangankan hendak menangkapnya, Akhir-nya napas Nyo Ko sendiri yang ter-engah2 dan berkeringat.

"Cara kau menangkapnya itu salah, Harus begini, lihat ini kuajarkan kau caranya," kata Siao-liong-Ii.

Habis itu, dia lantas memberi beberapa petunjuk caranya meloncat ke atas dan menubruk ke bawah, cara menangkap dan mencekal dengan cepat.

Nyo Ko memang sangat pintar, ia tahu dengan melalui cara menangkap burung gereja itu sebenarnya Siao-liong-li lagi mengajarkan semacam ilmu silat yang tinggi padanya, maka ia memperhatikan sepenuhnya semua pelajaran itu dan di-ingatnya dengan baik.

Dengan main tubruk dan samber tanpa teratur nyata Nyo Ko kewalahan sendiri untuk menangkap ketiga ekor burung gereja itu.

Cara2 yang diajarkan Siao-liong-li padanya itu sudah bisa dipahaminya, hanya seketika belum dapat dia pergunakan Namun Siao-liong-li tidak peduli lebih jauh, ia membiarkan Nyo Ko sibuk sendiri didalam kamar itu dengan burung2-nya, sedang ia sendiri lantas keluar sesudah merapatkan pintunya.

Hari pertama itu nyata Nyo Ko belum sanggup menangkap burung gereja itu meski hanya seekor saja, sesudah bersantap malam, dia latih Lwekangnya lagi di atas ranjang batu pualam dingin, Besok paginya, kembali ia mengudak burung gereja lagi, cara melompatnya ternyata sudah bertambah tinggi, gerak tangannya pun jauh lebih cepat daripada tadinya.

Begitulah seterusnya, sampai hari kelima, akhirnya berhasil juga dia menangkap seekor burung gereja itu, luar biasa girang Nyo Ko, segera ia mencari Siao-liong-li dan melaporkan kemajuannya itu.

Siapa tahu, bukannya Siao-liong-li memuji atas hasilnya itu, sebaliknya ia dingin saja menerima laporan itu, bahkan ia menyindir: "Huh, apa gunanya hanya seekor ? Tetapi harus menangkap tiga ekor sekaligus !"

Nyo Ko tak berani menjawab, dalam hati ia pikir: "Kalau sudah bisa menangkap seekor, menangkap lagi dua ekor apa susahnya ?"

Tak tersangka prakteknya ternyata tidak begitu gampang sebagaimana dia sangka, beruntun-runtun dua hari seekor saja tak mampu ditangkapnya lagi.

Setelah ketiga burung gereja itu sudah payah karena terus menerus di-uber2 oleh Nyo Ko, kemudian Siao-liong-li melepaskannya setelah di-lolohi sedikit makanan, lalu ia menangkap lagi tiga ekor yang baru yang masih segar dan kuat untuk melatih Nyo Ko. Dan pada hari kedelapan barulah sekaligus Nyo Ko mampu menangkap ketiga burung gereja itu.

"Cukuplah sekarang, mari kita pergi ke Tiong-yang-kiong," kata Siao-Iiong-li.

Tentu saja Nyo Ko rada terperanjat oleh ajakan ini.

"Untuk apa ke sana ?" tanyanya heran.

Akan tetapi Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaannya, ia tarik tangan bocah itu terus diajak menuju Tiong-yang-kiong.

Selama itu meski hanya selisih delapan hari saja, namun keadaan Nyo Ko ternyata sudah berlainan, kini tindakannya kuat dan langkahnya enteng, jelas sekali lebih tangkas daripada sebelumnya.

"Thio Ci-keng ! Hayo lekas keluar!" seru Siao-liong-li sesudah sampai di depan Tiong-yang-kiong kaum Coan-cin-kau itu.

Tadi sebelum mereka berdua sampai di depan istana ini, lebih dulu sudah ada imam Coan-cin-kau yang telah melaporkan kedatangan mereka, maka baru saja Siao-liong-li berteriak, segera dari dalam istana itu membanjir keluar beberapa puluh orang Tosu atau imam, Di antaranya dua imam cilik memayang Thio Ci-keng. Wajah Ci-keng tertampak pucat lesu, kedua matanya cekung, kelihatannya tak sanggup berdiri sendiri.

sementara itu para imam dapat mengenali Siao-liong-li berdua, mereka semua memegang ferijata dan memandang dengan mata melotot gusar



Siao-liong-li lantas keluarkan sebuah botol putih dari bajunya,

"Ini adalah air madu untuk menyembuhkan racun antupan tawon, ambil dan berikan pada Thio Ci-keng," katanya dengan suara keras sambil menyerahkan botol itu kepada Nyo Ko.

Waktu melihat Thio Ci-keng, sebenarnya hati Nyo Ko masih belum hilang rasa benci dan dendamnya pada imam ini. Hanya karena dihadapan orang banyak, rasanya tak enak membantah maksud Siao-liong-li itu, Maka dengan langkah lebar terpaksa ia membawa botol madu tawon itu, dan ditaruh di depan Thio Ci-keng.

Ketika para imam Coan-cin-kau mendengar bahwa Siao-liong-li datang lagi, mereka menyangka gadis ini tentu akan cari gara2 dan bikin onar, untuk membalas sakit hatinya Sun-popoh, maka disamping mereka siap berjaga, di lain pihak segera dilaporkan kepada Ma Giok dan Khu ju-ki yang tingkatannya lebih tua.

Tak terduga bahwa kedatangan Siao-liong-li ini ternyata sama sekali tidak bersifat permusuhan melainkan malah mengutarakan madu tawon penawar racun, keruan mereka menjadi heran, dalam bingungnya sampai mereka tak bisa menyambut perkataan Siao-liong-li" tadi, sementara itu setelah Nyo Ko menaruh botol madu tawon didepan orang, ia pandang sekejap pula kepada Thio Ci-keng dengan sorot mata yang penuh menghina dan merasa jijik,habis ini ia putar tubuh terus jalan kembali.

Slkap Nyo Ko ini agaknya dapat dilihat dengan jelas oleh Ceng kong yang berada juga di antara kawanan imam itu, ia tak bisa menahan amarahnya lagi.

"Anak celaka, sudah mengkhianati perguruan, sekarang kau mau pergi begitu saja ?" demikian segera ia membentak sambil memburu maju hendak menawan Nyo Ko.

"Ko-ji, hari ini jangan membalas serangannya," tiba2 Siao-liong-li berpesan pada Nyo Ko.

Dalam pada itu Nyo Ko mendengar dari belakangnya ada suara tindakan orang dengan cepat, menyusul mana terdengar pula menyambernya angin pukulan, nyata ada orang hendak menjamberet punggungnya, Karenanya, tanpa pikir segera ia mendaki tubuh ke bawah, lalu mendadak ia meloncat ke samping.

Meski baru delapan hari Nyo Ko berlatih menangkap burung gereja di dalam Hoat-su-jin-bong atau kuburan orang hidup itu dan tidur di atas ranjang batu pualam dingin delapan malam pula, walaupun Siao-liong-li hanya mengajarkan sedikit caranya menangkap burung, akan tetapi semua itu justru adalah intisari dari kunci dasar latihan Ginkang atau ilmu entengkan tubuh yang tinggi dari Ko-bong-pay (aliran kuburan kuno) itu, maka kepandaiannya sekarang sudah jauh berbeda daripada waktu bertanding dengan imam Coan-cin-kau dahulu.

BegituIah, maka dengan tepat sekali, pada saat tangan Ceng-kong hampir menempel punggungnya, mendadak ia melompat pergi, bahkan berbareng itu sekalian ia tarik kain baju orang, Memangnya karena Ceng-kong luput menubruk orang dan tubuhnya mendoyong ke depan, kini ditambah oleh tarikan Nyo Ko, keruan ia tak sanggup berdiri tegak lagi, tanpa ampun ia jatuh tersungkur dengan antap sekali.

Ketika Ceng-kong bisa merangkak bangun, sementara itu Nyo Ko sudah berdiri di samping Siao-liong-li.

Dalam gusarnya Ceng-kong berteriak murka terus hendak menyeruduk maju lagi, syukur pada saat itu mendadak dari rombongan imam2 itu telah maju satu orang dan secepat kilat menghadang dihadapan Ceng-kong sambil menarik tangannya dan diseret kembali ke tempat berdiri mereka semula.

Seketika Ceng-kong merasakan setengah tubuhnya menjadi kaku kesemutan, waktu ia mendongak kiranya yang menariknya adalah Susiok atau paman gurunya, In Ci-peng. Karena itu, kata2 makian yang sebenarnya akan dia lontarkan, seketika juga ia telan kembali mentah2.

"Banyak terima kasih atas pemberian obat nona tadi," demikian In Ci-peng membuka suara sambil membungkuk memberi hormat.

Sebaliknya Siao-liong-li ternyata tidak balas hormat orang, iapun tidak menjawab, Dia gandeng tangannya Nyo Ko terus diajak kembali: "Mari Ko-ji, kita pulang saja !"

"Liong-kohnio," tiba2 In Ci-peng Berseru lagi, "Nyo Ko ini adalah anak murid Coan-cin-kau kami, tetapi secara paksa kau telah menerimanya sebenarnya cara bagaimana urusan ini harus diselesaikan ?"

Siao-liong-H tertegun oleh teguran ini dan tak bisa menjawab.

"Aku tak senang mendengarkan ocehan orang," katanya akhirnya.

Habis ini, tanpa menghiraukan orang Iain ia tarik tangan Nyo Ko dan masuk kembali ke dalam rimba dengan langkah cepat Di lain pihak In Ci-peng dengan para imam Coan-cin-kau jadi terkesima, mereka hanya saling pandang saja dengan bingung.

"Ko-ji, kepandaianmu memang nyata sudah ada kemajuannya," demikian kata Siao-liong-li kepada Nyo Ko sesudah berada di dalam kuburan kuno itu,cuma cara kau hajar imam gemuk tadi itu sebaliknya salah besar."

"lmam gendut itu pernah hajar aku secara tidak se-mena2, sayang tadi aku belum sempat membalas dia dengan setimpal," sahut Nyo Ko.

"Dan mengapa Kokoh bilang aku salah menghajarnya ?"

"Maksudku bukan tak boleh menghajar dia, tetapi caramu menghajarnya itu yang salah," ujar Siao-liong-li "Seharusnya jangan kau tarik dia hingga jatuh tersungkur ke depan, tetapi harus tidak pakai tarikan dan biar dia jatuh terjengkang sendirinya ke belakang,"

Nyo Ko menjadi girang mendengar penuturan ini.

"Ha, menarik sekali hal ini, hayo, Kokoh, ajarkan caranya !" serunya cepat.

"Nah, anggap aku ini Ko-ji dan kau adalah imam gendut busuk itu, coba kau tangkap diriku," demikian kata Siao-liong-li puIa, Habis berkata, segera dia mulai melangkah pelahan ke depan.

Nyo Ko menurut, dengan tertawa2 ia ulur tangannya untuk memegang tubuh orang, Akan tetapi seperti bermata saja dipunggung Siao-liong-li, meski Nyo Ko menubruk dan meraup bagaimanapun juga, tetap tak dapat menyenggol baju orang, kalau Nyo Ko berlari cepat, Siao-liong-li segera lari lebih cepat, dan kalau Nyo Ko lambat, Siao-liong-li pun ikut lambat, jarak mereka selalu berselisih kira2 satu kaki jauhnya.

"Haha, Kokoh, awas sekali ini !" dengan tertawa Nyo Ko berseru, mendadak ia menubruk maju dengan gerak cepat, dan Siao-liong-li ternyata tidak menghindarinya.

Tentu saja Nyo Ko bergirang, ia yakin kedua tangannya segera pasti akan dapat merangkul leher orang, Siapa duga, baru saja kedua tangannya dipentang dan hampir merangkul, se-konyong2 Siao-liong-li mencelat ke belakang hingga terlepas dari rangkulannya.

Karena menangkap angin, dengan cepat pula Nyo Ko mendongak dan hendak menjambret akan tetapi dia baru saja menubruk ke depan lalu mendadak menekuk ke belakang sambil mendongak, karena terlalu besar menggunakan tenaga, maka Nyo Ko tak bisa berdiri tegak lagi, ia jatuh terjengkang ke belakang hingga tulang punggung terasa sakit sekali.

"Caramu ini sangat bagus, Kokoh," teriak Nyo Ko girang sesudah merangkak bangun, "Dan kenapa engkau bisa begini cepat ?"

"Jika kau berlatih menangkap burung gereja setahun lagi, tentu kau akan jadi begini juga," sahut Siao-liong-li.

"He, bukankah aku sudah bisa menangkapnya," ujar Nyo Ko.

"Hm, dapatkah itu dianggap ?" Siao-liong-H menjengek, "Apa kau kira ilmu silat Ko-bong-pay kita ini begitu gampang kau pelajari ?"

Karena dampratan ini, Nyo Ko tak berani bicara lebih jauh.

"Sini ikut padaku," kata Siao liong-li kemudian. Lalu ia bawa Nyo Ko pergi ke satu kamar batu yang lain.

Kamar batu yang sekarang ini ternyata sekali lebih besar dan luas daripada yang dulu waktu mula2 Nyo Ko belajar menangkap burung, di dalam kamar ini sudah tersedia lagi enam ekor burung gereja.

Kalau tempatnya bertambah luas, dengan sendirinya untuk menangkap burung gereja itu menjadi jauh lebih sulit, Tetapi Nyo Ko tak perlu kuatir karena Siao-liong-li telah memberi petunjuk beberapa kepandaian lagi cara meloncat tinggi dan melompat jauh dari ilmu entengkan tubuh dan ilmu cara menangkap dan menawan. Dengan demikian lewat delapan atau sembilan hari lagi, sekaligus Nyo Ko sudah bisa menangkap enam burung gereja itu.

Selanjutnya kamar latihannya lantas bertambah besar dan makin luas, jumlah burung gereja yang harus ditangkapnya bertambah banyak juga, dan akhirnya dia harus menangkap 9x9 - 81 burung gereja di ruangan tengah yang sangat besar, Untung ranjang batu pualam dingin yang dibuat tidur Nyo Ko itu ternyata besar sekali khasiatnya untuk membantu latihan Lwekang, hanya dalam tempo tiga bulan saja, 81 ekor burung gereja itu sekaligus dapat Nyo Ko tangkap semua.



Tentu saja Siao-liong-li sangat girang melihat kemajuan Nyo Ko yang begitu pesat.

"Dan sekarang kita harus menangkapnya di luar kuburan," demikian katanya kemudian.

Selama tiga bulan itu Nyo Ko terkurung di dalam kuburan, memangnya ia sudah bosen dan kesal juga, kini mendengar akan latihan di luar kuburan, keruan ia menjadi senang dan muka ber-seri2.

"Apanya yang perlu digirangkan ?" ujar Siao-liong-li dingin, "justru ilmu kepandaian ini sukar sekali melatihnya. 81 burung gereja ini seekor saja tidak boleh terlolos."

Begitulah dengan membawa kantong kain yang penuh berisi 81 ekor burung gereja ia ajak Nyo Ko keluar kuburan kuno itu.

Tatkala itu adalah bulan tiga dan terhitung permulaan musim semi, karena itu alam semesta di luar kuburan itu boleh dikatakan menghijau permai dan hawa sejuk diselingi hembusan harum bunga yang semerbak.

Ketika mendadak Siao-liong-li mengebas kantong yang dibawanya, maka terbanglah ke-81 ekot burung gereja itu, tetapi justru pada saat burung itu hendak kabur, tiba2 kedua tangan Siao-liong-li putih halus itu bergerak, dari sana ia tarik sini dan dari sana ditepuk pula, tahu2 dua ekor burung gereja yang hampir kabur itu dapat ditoIaknya kembali.

Begitu mendapat kebebasan, dengan sendirinya ke-81 ekor burung gereja itu segera ingin terbang pergi Tetapi aneh juga, ketika Siao-liong-li keluarkan Ciang-hoat atau ilmu pukulan tangan kosong, di sana ia menolak dan di sini mengebas, ke-81 ekor burung gereja itu ternyata terhimpit semua di depan dadanya dalam jarak tiga kaki satupun tak sanggup kabur.

Terlihat Siao-liong-li geraki kedua tangannya se-akan2 sedang menari kedua tangan seperti berubah menjadi 81 tangan saja, bagaimanapun ke-81 ekor burung gereja menubruk sana dan menerobos sini namun tetap tak mampu kabur keluar dari lingkaran kedua tangan Siao-liong-li.

Nampak keajaiban ini Nyo Ko hanya ternganga belaka, dalam kagumnya iapun bergirang pula, waktu ia tenangkan diri ia pikir: "Ah, ini adalah ciang-hoat hebat tiada bandingannya yang Kokoh sedang ajarkan padaku, aku harus mengingatnya dengan baik."

Karena itu, segera ia pusatkan perhatiannya untuk mengikuti gerak-gerik Siao-liong-li, ia ingat dengan baik cara bagaimana orang ulur tangan buat menahan dan cara bagaimana membaliki tangan buat meraup, meski cara Siao-liong-li menggerakkan tangan sangat cepat dan aneh, tetapi tiap gerakan dan tiap jurus cukup jelas dan teratur.

Sesudah mengikuti agak lama, walaupun Nyo Ko masih belum paham di mana letak keajaiban Ciang-hoat orang, namun sedikitnya ia tidak bingung lagi seperti tadi.

Sementara itu sudah lama Siao-liong-li menari ketika mendadak kedua tangannya mengebas lagi sekali, lalu ia luruskan tangannya ke belakang, Karena terlepas dari kekangan tenaga tangan Siao-liong-li, segera burung2 gereja itu bercuitan hendak terbang kabur pula, Diluar dugaan, mendadak Siao-liong-li mengebas lagi dengan kedua lengan bajunya yang membawa sambaran angin santer, Karena itu, ke-81 ekor burung itu seketika terjatuh kembali ke atas tanah dengan suara cuitan yang ramai. Lewat agak lama, kemudian burung2 gereja itu baru bisa pentang sayap dan terbang pergi satu demi satu.

Sungguh luar biasa girang Nyo Ko oleh pertunjukan kepandaian yang hebat itu, ia tarik2 baju Siao-liong-li sambil berkata: "Kokoh, kukira sekalipun Kwe-pepek juga tak bisa seperti engkau tadi."

"Chiang-hoat yang kutunjukkan tadi disebut "Thian-lo-te-bang-sik" (gaya jaring langit dan jala bumi), adalah ilmu kepandaian pengantar dari Ko-bong-pay kita," sahut Siao-liong-li menerangkan. "Maka kau harus belajar dengan baik."

Lalu Siao-liong-li mengajarkan belasan jurus Ciang-hoat itu dan semuanya dipelajari Nyo Ko dengan baik.

Lewat belasan hari lagi, Nyo Ko ternyata sudah bisa mempelajari "Thian-lo-te-bang-sik" yang meliputi 108 jurus itu dengan baik dan apal sekali. Oleh karena itu, Siao-Iiong-Ii lantas pergi menangkap seekor burung gereja dan suruh Nyo Ko mencoba merintangi kaburnya burung ini dengan Ciang-hoat yang baru dipelajarinya itu.

Tentu saja dengan senang hati Nyo Ko melakukan perintah itu, Mula2 ia hanya sanggup menahan dua-tiga kali dan burung gereja itu sudah menerobos lolos dibawah telapak tangannya. Tetapi Siao-liong-li selalu mendampingi dia, hanya sekali ulur tangannya, segera burung gereja itu dapat ditolak kembali.

Maka Nyo Ko lantas melanjutkan permainan Ciang-hoatnya lagi, tapi lantaran gerak geriknya masih kurang cepat, pula kurang tepat mengepas waktunya, maka hanya beberapa kali gerakan kembali burung gereja itu lolos lagi.

Begitulah, tiap2 hari Nyo Ko meneruskan latihannya itu tanpa kenal lelah. Sang tempo lewat dengan cepat, hari berganti bulan dan bulan berganti bulan puIa, tanpa terasa perawakan Nyo Ko sudah tambah tinggi, suaranya yang kekanak-kanakan dulu sudah berubah besar pula seperti orang dewasa umumnya, pelahan ia sudah berubah menjadi pemuda yang tampan, berlainan daripada waktu dia masuk ke dalam kuburan kuno ini.

Berkat juga bakat pembawaan Nyo Ko, pula Siao-liong-li telah mengajar dengan sepenuh tenaga, maka selewatnya, musim rontok, ilmu pukulan gaya "jaring langit dan jala bumi" itu telah berhasil dilatihnya.

Kini bila ia permainkan Ciang-hoat ini, sekaligus ia sudah sanggup menahan ke-81 burung gereja tanpa bisa lolos, kalau terkadang terlolos juga satu ekor, itu boleh dikatakan hanya penyakit kecil saja dari Ciang-hoat yang baru dia pelajari itu.

"Ko-ji," kata Siao-liong-Ii pada suatu hari, "Ciang-hoat yang kau latih ini, dikalangan kangouw sudah jarang lagi ada tandingannya, maka kapan bertemu pula dengan imam gendut itu, boleh kau banting dia beberapa kali lagi yang keras."

"Tetapi jika bergebrak dengan Thio Ci-keng, bagaimana ?" tanya Nyo Ko.

Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaan itu, sebab dalam hati ia lagi pikir: "Ya, Thio Ci-keng itu adalah jago terkemuka dari anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, kalau hanya dengan kepandaian Ko-ji sekarang, memang betul masih belum bisa mengalahkan dia."

Melihat Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaannya, segera Nyo Ko tahu juga apa yang sedang dipikirkan orang.

"Tak bisa menangkan dia juga tidak mengapa, lewat beberapa tahun lagi tentu aku dapat menangkan dia," demikian ia kata, "Kokoh, bukankah ilmu silat Ko-bong-pay kita memang jauh lebih lihay dari ilmu silat Coan-cin-kau ?"

"Apa yang kau katakan ini, dijagat ini mungkin hanya kita berdua saja yang percaya," sahut Siao-liong-Ii sambil menengadah memandang langitl mangan. "Tempo hari waktu aku bergebrak dengan imam she Khu dari Coan-cin-kau itu, rasanya kalau soal ilmu silat memang aku belum bisa menangkan dia, tetapi ini tidak berarti Ko-bong-pay kita tidak bisa menandingi Coan-cin-kau, melainkan karena aku masih belum berhasil meyakinkan ilmu kepandaian yang paling hebat dari Ko-bong-pay kita."

Sebenarnya Nyo Ko kuatir kalau Siao-liong-li tak dapat menangkan Khu Ju-ki, kini mendengar kata2 itu, ia bergirang dan mantap.

"llmu kepandaian apakah itu, Kokoh ?" cepat ia tanya, "Apa susah melatihnya ? Kenapa engkau tidak mulai melatihnya ?"

"Biarlah kututurkan satu cerita pendek dahulu, supaya kau mengetahui asal usul golongan Ko-bong-pay kita ini," sahut Siao-liong-li "Pada sebelum kau menyembah aku sebagai guru, bukankah kau ingat pernah menjura pada Cosu popoh, Dia itu she Lim, namanya Tiao-eng.

Pada, kira-kira 60-70 tahun yang talu, di kalangan Kangouw terkenal dengan kata2 "di selatan ada Lim dan di utara ada Ong, tetapi Im (negatip, perempuan) menangkan Yang (positip, 1aki2), apa yang dikatakan Lim di selatan itu ialah Cosu-popoh, dia berasal dari Kwisay, dan Ong di utara bukan kiri ialah Ong Tiong-yang dari Soa-tang.

"Di kalangan Bu-lim waktu itu, ilmu silat mereka berdua terhitung paling tinggi sebenarnya kepandaian mereka boleh dikatakan sembabat dan sukar dibedakan mana yang lebih tinggi, tapi belakangan karena Ong Tiong-yang sibuk dengan gerakan membela tanah air untuk melawan pasukan Kim, ia repot siang dan malam, sebaliknya Cosu-popoh bisa berlatih silat lebih tekun, maka akhirnya dia jadi lebih tinggi setingkat daripada Ong Tiong-yang, oleh karena itu orang sama bilang Im lebih unggul dari Yang"



"Kemudian pergerakan Ong Tiong-yang gagal, dengan perasaan menyesal ia lantas asingkan diri di dalam Hoat-su-jin-bong ini, saking iseng setiap hari, waktu senggang itu ia lewatkan buat berlatih silat dan mempelajari segala ilmu sakti, sebaliknya waktu itu Cosu-popoh malah menjelajahi Kangouw untuk melakukan berbagai perbuatan yang terpuji, oleh sebab itu, sampai Ong Tiong-yang untuk kedua kalinya turun gunung, kembali ilmu Cosu-popoh tak lebih unggul daripadanya.

Dan paling akhir kedua orang entah soal apa terjadi percekcokan hingga saling gebrak dan bertaruhan, ternyata akhirnya Ong Tiong-yang kalah dan kuburan kuno inipun diserahkan pada Cosu-popoh. Mari sini, biar kubawa kau pergi melihat bekas2 yang ditinggalkan kedua Locianpwe itu."

Sebenarnya kuburan kuno itu seluruhnya dibangun dari batu dan entah dibangun sejak kapan, Tetapi kamar yang ditunjukkan Siao-liong-li pada Nyo-Ko sekarang ternyata sangat aneh bentuknya, depan sempit, bagian belakang lebar, sedang sebelah timur bundar, sebaliknya sebelah barat berbentuk lencip hingga berwujud segi tiga "Kenapa kamar ini dibikin sedemikian rupa Kokoh?" saking herannya Nyo Ko bertanya.

"lni adalah tempat Ong Tiong-yang mempelajari ilmu silat," sahut Siao-Iiong-li, "baglan depan yang sempit dibuat latihan pukulan telapakan, dan yang lebar di belakang buat latihan pukulan kepalan, yang bundar disebelah timur buat mempelajari ilmu pedang dan bagian barat yang lancip itu buat latihan senjata rahasia."

Dengan jalan mondar-mandir di dalam kamar aneh ini, Nyo Ko menjadi heran luar biasa, sama sekali ia tidak paham kegunaannya.

"ltu intisari ilmu silat Ong Tiong-yang semuanya berada di situ," tibal Siao-liong-li berkata sambil menuding ke atas.

Waktu Nyo Ko mendongak, ia lihat langit2 kamar yang terbuat dari papan batu itu ternyata penuh terukir goresan dan tanda2 rahasia yang beraneka macamnya.

Coretan itu semuanya digores dengan senjata tajam, ada yang dalam dan ada yang cetek secara tidak teratur. Nyo Ko tidak tahu apa maksudnya.

Sementara itu Siao-liong-li telah mendekati dinding sebelah timur, ia mendorong tembok yang mendekuk setengah bundar itu, dengan pelahan sebuah batu menggeser, lalu tertampak sebuah pintu rnembentang, dengan membawa lilin Siao-liong-li ajak Nyo Ko masuk ke situ.

Kiranya di dalam sana kembali terdapat sebuah kamar batu, kamar ini ternyata mirip sekali dengan kamar yang duluan, cuma tiap2 tempatnya berlawanan, kalau yang duluan sempit di depan dan bagian belakang luas, maka kamar yang kedua ini terbalik menjadi depan luas dan belakang sempit, begitu pula bagian ,barat bundar dan ujung timur lancip.

Waktu Nyo Ko mendongak ia lihat di atas langit2an kamar itu juga penuh terukir tanda2 rahasia yang aneh.

"lni adalah rahasia ilmu kepandaian Cosu-popoh", demikian Siao-liong-li berkata padanya, "Dahulu meski beliau menangkan kuburan ini, namun boleh dikatakan berkat tipu akal belaka, kalau soal ilmu silat sebenarnya belum bisa menandingi Ong Tiong-yang, Tetapi sesudah Cosu-popoh berdiam di dalam kuburan kuno ini, ia telah mempelajari dan menyelami ilmu silat yang ditinggalkan Ong Tiong-yang di atas langit2 kamar sebelah tadi, akhirnya beliau bahkan berhasil menciptakan tipu2 cara mematahkan ilmu silat Ong Tiong-yang, Dan tipu2 yang dia ciptakan itu semuanya telah ditulis di atas ini."

"Bagus kalau begitu, Kokoh," teriak Nyo Ko girang, "Pikir saja, sekalipun kepandaian Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bisa lebih tinggi lagi juga tak akan melebihi Ong Tiong-yang yang menjadi guru mereka, kini kalau kau sudah mempelajari ilmu silat tinggalan Cosu-popoh ini, bukankah dengan sendirinya akan menangkan para imam Coan-cin-kau itu."

"Kata2mu memangnya tidak salah, hanya sayang tiada orang Iain yang bisa membantu aku," sahut Siao-Iiong-li.

"Aku bantu kau," seru Nyo Ko tiba2 dengan membusungkan dada.

Diluar dugaan, Siao-liong-li sambut kata2nya itu dengan mata melotot.

"Tetapi sayang kepandaianmu belum cukup," sahutnya kemudian dengan dingin.

Muka Nyo Ko menjadi merah karena malu.

"llmu silat ciptaan Cosu-popoh itu disebut Giok-li-sim-keng (ilmu suci si gadis ayu), untuk melatihnya harus dilakukan dua orang berbareng dengan saling bantu membantu," demikian kata Siao-liong-li lebih lanjut. Dahulu, Cosu-popoh telah melatihnya bersama dengan guruku."

Mendengar penjelasan ini, dari rasa malu tadi Nyo Ko berubah menjadi girang.

"Ha, kalau begitu, aku adalah muridmu, tentu bisa juga berlatih bersama engkau," serunya cepat.

Karena kata2 ini, Siao-liong-li ter-mangu2 sejenak.

"Baiklah, boleh juga kita mencobanya dahulu," akhirnya ia berkata, "Langkah pertama, lebih dulu kau harus latih ilmu silat perguruan kita sendiri langkah kedua baru kau mempelajari ilmu kepandaian Coan-cin-kau dan langkah penghabisan baru kita latih Giok-li-sim-keng yang diciptakan untuk mengalahkan ilmu silat Coan-cin-kau itu."

BegituIah, maka sejak hari itu Siao-liong-li lantas ajarkan semua ilmu kepandaian Ko-bong-pay kepada Nyo Ko, baik mengenai Kun-hoat dan Ciang-hoat (ilmu pukulan telapak tangan) maupun pakai senjata tajam dan senjata rahasia.

Selang setahun, semua ilmu kepandaian itu sudah diperoleh Nyo Ko, walaupun latihannya masih belum cukup masak, namun berkat bantuan ranjang batu pualam dingin, kemajuannya ternyata sangat pesat sekali.

ilmu silat Ko-bong-pay atau aliran kuburan kuno ini asalnya diciptakan seorang wanita, yakni kakek guru Siao-liong-Ii yang menjadi kekasih Ong Tiong-yang, sedang guru dan murid mereka tiga turunan juga wanita semua, dengan sendirinya ilmu silat yang diciptakan itu gerak-geriknya rada2 halus dan lincah sebagai kaum wanita.

Karena sifat Nyo Ko memang suka bergerak, maka semua tipu silat Ko-bong-pay ini menjadi sangat cocok dengan tabiatnya malah.

Sementara usia Siao-liong-Ii makin bertambah, makin lama wajahnya ternyata semakin cantik, Tahun ini umur Nyo Ko pun menginjak enam belas, anak ini ternyata mempunyai perawakan tinggi, kalau berdiri sudah setinggi gurunya, walaupun demikian, Siao-liong-Ii masih tetap anggap Nyo Ko sebagai bocah saja, sama sekali mereka tidak pusingkan soal perbedaan laki-perempuan.

Di lain pihak, semakin lama Nyo Ko tinggal bersama Suhunya semakin menaruh hormat juga kepadanya, selama dua tahun itu, ternyata belum pernah dia membantah sesuatu perintah sang guru, Bocah ini ternyata pandai menuruti kemauan orang, baru saja Siao-liong-li inginkan Nyo Ko melakukan sesuatu, belum sampai diutarakan atau Nyo Ko sudah mendahului mengerjakannya dengan baik.

Hanya saja sifat Siao-liong-li yang dingin laksana es masih tetap seperti sediakala, terhadap apa saja yang dikatakan Nyo Ko masih selalu ia sambut dengan dingin dan kadang2 menyindir sedikitpun ia tidak mengunjuk rasa kasih sayang. Tetapi karena sudah biasa, lambat laun Nyo Ko tidak memikirkan pula sikap sang guru ini.

Pada suatu hari, berkatalah Siao-liong-li kepada Nyo Ko: "Ko-ji, kini ilmu lo-bong-pay kita sendiri sudah kau pelajari semua, maka mulai besok bolehlah kita mulai berlatih ilmu silat Coan-cin-kau."

Karena itu, besoknya mereka lantas mendatangi kamar batu yang berbentuk aneh dengan ukiran2 aneka macam di atas langit2-an, dengan menurutkan tanda2 yang terukir ini mereka mulai berlatih.

Kiranya tanda2 ukiran itu dahulu digores oleh Ong Tiong-yang dengan meloncat ke atas dengan ujung pedang, Dan karena Lim Tiao-eng adalah bekas kekasih Ong Tiong-yang, maka ia cukup paham intisari ilmu silat orang, sesudah diselaminya mendalam, kemudian ia turunkan kepada dayang kepercayaannya dan dayang ini akhirnya mengajar kepada Siao-liong-li, dan kini Siao-Iiong-Ii mengajarkan pula rahasia silat itu kepada Nyo Ko.

Sesudah Nyo Ko berlatih beberapa hari, oleh karena dia memang sudah punya landasan yang tidak jelek, maka banyak bagian penting begitu diberi petunjuk segera dapat dia terima, maka kemajuannya mula2 sangat cepat.



Akan tetapi sesudah belasan hari, keadaan mendadak berubah lain, -be-runtun2 beberapa hari Nyo Ko ternyata tidak memperoleh kemajuan kalau tidak mau dikatakan malah mundur, semakin ia latih, semakin keliru dan nyasar.

Waktu Siao-liong-li membantu muridnya ini memecahkan kesulitan itu, namun dia juga tak tahu di mana letak gangguan itu. Dasar Nyo Ko ingin lekas pandai, keruan ia menjadi gopoh hingga sering uring2-an sendiri.

"Tidak perlu kau uring2-an," demikian kata Siao-liong-li padanya, "soal ini sebenarnya tidak sulit, asal kita pergi tangkap seorang imam Coan-cin-kau dan paksa dia mengajarkan kunci rahasia penuntun ilmu silat mereka, bukankah lantas beres urusannya ? Nah, marilah kita pergi ke sana !"

Kata2 Siao-liong-ll telah menyadarkan Nyo Ko, tiba2 teringat olehnya dahulu Thio Ci-keng pernah ajarkan istilah2 penuntun dasar ilmu silat Coan-cin-kau itu. Maka dengan segera ia apalkan-nya pada Siao-liong-li.

Siao-liong-li sangat memperhatikan istilah2 yang diucapkan Nyo Ko jni, dengan cermat ia menyelami intisari istilah2 itu.

"Ya, memang tepat itulah yang kita inginkan," katanya kemudian setelah berpikir "Dahulu waktu kubelajar ilmu silat Coan-cin-kau ini dengan mendiang guruku, sesampainya setengah jalan tiba2 sukar untuk maju setindak lagi, saat mana Cosu-popoh sudah meninggal maka tiada orang yang bisa kami mintai petunjuk2, walaupun kami tahu juga soalnya karena belum mengetahui rahasia penuntun dasarnya, tetapi kami tak berdaya pula, justru mendiang guruku orangnya sangat alim, pernah kukatakan hendak pergi mencuri dengar rahasia ilmu Coan-cin-kau itu, tetapi aku telah didamperat habis2-an olehnya, Syukurlah kini kau sendiri malah sudah mengetahuinya, sudah tentu hal ini sangat baik sekali"

Kemudian satu persatu Nyo Ko memberitahukan pula yang lebih jelas dari apa yang pernah dia pelajari dari Thio Ci-keng.

Tempo hari apa yang diajarkan Thio Ci-keng kepada Nyo Ko itu memang betul2 adalah istilah2 pelajaran dasar Lwekang Coan cin kau yang paling tinggi, soalnya karena sengaja Nyo Ko tidak diberi pelajaran cara bagaimana mempraktekkannya, Kini setelah diselami mendalam oleh Siao-Iiong-li, tentu saja segera menjadi terang dan semua kesulitan dapat ditembus, ditambah lagi Lwekang yang dahulu Tjin Lam-khim ajarkan pada Nyo Ko memang juga Lwekang asli ajaran Ma Giok dari Coan-cin-kau, dengan digabungnya dua dasar ini, keruan tidak antara beberapa bulan Siao-liong-li dan Nyo Ko sudah dapat mempelajari seluruh intisari ilmu silat yang ditinggalkan Ong Tiong-yang di atas langit2 kamar batu itu.

Pada suatu hari, setelah kedua orang selesai berlatih ilmu pedang di dalam kamar batu itu, dengan menghela napas Siao-liong-li berkata: "SemuIa aku pandang rendah ilmu silat Coan-cin-kau, kuanggap apa yang disebut sebagai ilmu silat asli dunia persilatan toh tidak lebih hanya sekian saja, tapi hari ini barulah aku mengerti bahwa ilmu silat mereka sesungguhnya terlalu dalam untuk dimengerti dan tidak ada habis2nya untuk dipelajari Ko-ji, meski sekarang kau sudah paham semua rahasia ilmu ini, tetapi untuk bisa mencapai tingkatan yang sempurna hingga dapat dipergunakan sesuka hati, untuk ini entah harus sampai tahun kapan ?"

Akan tetapi Nyo Ko se-akan2 anak banteng yang baru lahir dan tidak kenal apa artinya takut, segera dia menjawab: "Ya, sungguhpun ilmu silat Coan-cin-kau sangat bagus, tetapi ilmu yang ditinggalkan Cosu-popoh itu dengan sendirinya ada jalannya untuk menangkan dia."

"Ya, maka mulai besok kita harus latih Giok-li-sim-keng," ujar Siao-liong-li.

Hari berikutnya, lalu Siao-liong-li ajak Nyo Ko ke dalam kamar batu yang kedua, mereka melatih diri pula dengan menuruti petunjuk2 ukiran yang terdapat di atas kamar itu, sekali ini mereka sudah lebih gampang melatihnya daripada yang pertama, sebab ilmu silat yang diciptakan Lim Tiao-eng untuk mematahkan ilmu silat Ong Tiong-yang ini berinti ilmu silatnya sendiri, hanya di mana dipandang perlu telah ditambah hingga lebih bagus dan lebih sempurna.

Maka dalam beberapa bulan saja, mereka berdua sudah berhasil melatih Gwa-kang (bagian luar) dari "Giok-li-sim-keng" dengan baik, waktu latihan, kalau Nyo Ko menggunakan Kiam-hoat dari "Coan-cin-kau, maka Siao-liong-li lantas pakai Giok-li-kiam-hoat untuk mematahkannya, sebaliknya, kalau Siao-liong-li memainkan Coan-cin-kiam-hoat, maka Nyo Ko yang mengeluarkan kepandaian Giok-li-kiam-hoat untuk mengatasinya.

Nyata, Giok-li-kiam-hoat (ilmu pedang gadis ayu) itu sengaja diciptakan untuk mengalahkan Coan-cin-kiam-hoat, setiap gerakan dan setiap tipu serangan Coan-cin-kiam-hoat selalu dapat dipatahkan dengan tepat sekali hingga tak mampu berkutik, walaupun bagaimana Coan-cin-kiam-hoat bisa berubah dan berganti gerakan, namun selalu tak dapat melepaskan diri dari kurungan lingkaran Giok-li-kiam-hoat.

Karena Gwakang yang dilatih mereka sudah jadi, langkah selanjutnya lantas berlatih Lwekang (ilmu bagian dalam).

Sebenarnya Lwekang Coan-cin-kau sangat luas dan bagus sekali kalau ingin menangkannya dengan menciptakan Lwekang baru sesungguhnya bukan suatu soal gampang. Akan tetapi Lim Tiao-eng ternyata pintar luar biasa, nyata ia bisa mencari jalan lain untuk menembus kesukaran itu, ia telah kumpulkan ilmu silat berbagai aliran lainnya untuk mengungkulinya, Meski ilmu silat yang dia ciptakan ini sulit sekali untuk dilatih, tapi bila sampai berhasil mempelajari, maka dengan mudah menangkan lwekang Coan-cin-kau.

Untuk mempelajarinya, Siao-Iiong-li mendongak memahami lukisan dan tulisan penjelasan yang terukir di atas langit2 kamar batu itu, lama sekali ia berdiam diri tanpa buka suara, dengan tekun ia membacanya sampai beberapa hari, tetapi akhirnya.

"Apa ilmu kepandaian ini sangat sukar dilatih, Kokoh ?" tanya Nyo Ko demi nampak sikap sang guru.

"Ya," sahut Siao-liong-li, "dahulu pernah kudengar dari Suhu bahwa Giok-li-sim-keng ini harus dilatih dua orang bersama, semula kukira bisa melatihnya bersama kau, siapa tahu ternyata tak dapat."

Tentu saja Nyo Ko menjadi cemas oleh keterangan ini.

"Sebab apa, Kokoh ?" tanyanya cepat.

"Jika kau wanita, itulah soal lain lagi," sahut Siao-liong-li.

"Apa bedanya untuk itu ?" kata Nyo Ko. "Laki2 atau perempuan yang melatihnya, bukankah sama saja ?"

"Tidak, Iain", sahut Siao-liong-li sambil menggeleng kepala, "Tidakkah kau lihat, bagaimana corak gambar yang terukir di atas itu ?"

Waktu Nyo Ko angkat kepalanya dan memandang dengan penuh perhatian menurut arah yang ditunjuk Siao-liong-li, maka tertampaklah olehnya dipojok langit2 kamar itu ada ukiran gambar bentuk manusia, rupanya seperti potongan kaum wanita, tetapi gambar itu semuanya telanjang bulat tanpa terukir memakai baju selembar-pun, Gambar2 wanita itu seluruhnya ada beberapa puluh, gerak-gerik dan gayanya berlainan semua, semuanya juga dalam keadaan telanjang.

Melihat gambar2 itu, segera pikiran Nyo Ko tergerak, iapun segera mengerti akan maksudnya.

"O, jadi waktu berlatih Lwekang Giok-li-sim-keng ini orang tidak boleh berpakaian, begitukah, Kokoh ?" katanya kemudian.

"Ya, betul," sahut Siao-liong-li. "Di dalam kitab pelajaran ini telah dikatakan dengan jelas bahwa waktu berlatih Lwekang seluruh badan orang yang berlatih menjadi panas dan beruap, maka harus dipilih suatu tempat terbuka yang luas dan sepi tanpa orang lain, dengan begitu baru bisa berlatih dengan melepas baju supaya hawa panas badan bisa buyar keluar tanpa tertahan di dalam.

Kalau tidak, tentu hawa panas itu akan tertimbun di dalam badan dan sedikitnya akan bikin orang sakit berat atau mungkin jiwanya akan melayang pula."

"Jika begitu, marilah kita melatihnya tanpa pakai baju," sahut Nyo Ko tanpa pikir.

Muka Siao-liong-li menjadi merah oleh kata2 ini.

"Tetapi akhirnya kedua orang yang latihan harus membantu satu sama lain dengan hawa murni badannya masing2, kau dan aku berlainan jenis, jika harus berhadapan tanpa pakaian, lalu apa jadinya ?" sahut Siao-liong-li.

Tatkala itu umur Nyo Ko sudah menginjak enambelas, walaupun perawakannya tinggi besar, urusan 1aki2 dan perempuan dan soal cinta segala sama sekali ia tidak paham, sedikit belum tahu. Hanya lapat2 ia merasa sang guru ini cantik luar biasa, setiap kali melihat dia dengan sendirinya timbul semacam rasa suka dalam batinnya, ia pikir kalau berhadapan dengan melepas pakaian, agaknya memang tidak baik, tetapi sebab apa tidak baik, inilah dia sendiri tidak dapat menjawab.

Sebaliknya Siao-liong-li sejak kecil sudah hidup di dalam kuburan kuno ini, terhadap segala urusan keduniawian boleh dikatakan lebih tak mengerti daripada Nyo Ko. Tahun ini ia sudah berusia 22 tahun, tetapi karena giat berlatih dan tekun belajar, maka segala cita rasa manusia umumnya ternyata sudah terlatih hingga lenyap sama sekali Meski guru dan murid berdua, mereka boleh dikatakan merupakan pasangan gadis cantik dan pemuda tampan, namun siang malam berhadapan, yang satu dingin dan yang lain jujur polos, sedikitpun mereka tak pernah berbuat sesuatu yang melanggar susila.

Kini meski berbicara tentang telanjang bulat untuk melatih silat, merekapun merasakan itu hanya suatu soal sulit saja dan sama sekali tiada pikiran lain yang menyimpang.

"Sudahlah, asal kita berlatih lebih masak lwekang ini, kiranya sudah cukup juga untuk mengalahkan para imam kolot Coan-cin-kau itu. Tentang Lwekang yang sulit ini tak perlu kita mempelajarinya," ujar Siao-liong-li.

Karena pendapat gurunya ini, Nyo Ko mengiakan juga, urusan inipun tidak dia pikirkan lagi.

Hari itu, setelah Nyo Ko latihan, ia keluar untuk berburu sebangsa kijang dan kelinci buat rangsum, setelah dapat seekor menjangan kecil kemudian ia meng-uber2 lagi seekor kelinci, siapa tahu kelinci ini ternyata licin luar biasa, binatang ini lari ke sini dan loncat ke sana, meski Ginkang atau ilmu entengkan tubuh Nyo Ko kini sudah hebat, namun seketika ternyata tak mampu menyandaknya.

Karena uber2an ini, hati kanak2 Nyo Ko menjadi timbul, ia tak ingin melukai kelinci itu dengan Am-gi atau senjata rahasia, pula ia tak mau menangkapnya dengan paksa pakai Kim-na-jiu-hoat (ilmu menawan dan menangkap), tapi ia malah berlomba Ginkang dengan binatang kecil itu, ia ingin bikin kelinci itu kehabisan tenaga dan akhirnya berhenti tak sanggup lari lagi.

BegituIah, maka satu manusia dan satu kelinci terus udak2an dan makin lama semakin jauh hingga melintasi sebuah lereng bukit, kelinci itu tiba2 memutar beberapa kali lalu menyelusup masuk semak2 bunga merah yang tumbuh sangat lebat di sana.

Semak2 bunga merah itu terbentang seluas beberapa tombak jauhnya dan tumbuh lebat dan rapat sekali, baunya pun wangi semerbak, ketika Nyo Ko kemudian memutar lewat semak2 bunga ini, nyata kelinci itu sudah menghilang tanpa bekas Iagi.

Sebaliknya Nyo Ko melihat semak2 bunga ini bagaikan sebuah pintu angin raksasa saja yang membentang Iebar, bunga2nya tumbuh merah dengan tangkai segar menghijau, sungguh indah sekali, begitu lebat tumbuhnya bunga2 itu hingga mirip sebuah panggung alam.

Sesaat itu pikiran Nyo Ko jadi tergerak, lekas2 ia kembali dan mengajak Siao-liong-li datang lagi buat melihat semak2 bunga itu.

"Aku tak suka bunga, jika kau suka, bolehlah kau memain sendiri di sini," demikian dengan dingin Siao-liong-li berkata.

"Bukan itu maksudku, Kokoh," sahut Nyo Ko menjelaskan keinginannya," tempat ini justru adalah suatu tempat bagus untuk kita gunakan, tapi siapapun tak bisa melihatnya, Di waktu kau berlatih aku menjaga engkau, kalau aku yang berlatih, engkau yang melindungi aku, bukankah itu sangat bagus ?"

Kiranya diwaktu berlatih Lwekang yang paling hebat, orang harus tekun dengan memusatkan segala pikirannya, terhadap segala kejadian di luar tidak boleh memandang dan tidak boleh melihat, jika ada serangan dari pihak luar, sekalipun tempat yang tidak berarti juga sukar menangkisnya dan pasti akan celaka dan gagal semua ilmu yang dilatihnya. Begitu lihay akibatnya, maka perlu ada orang lain yang menjaganya di samping.

Oleh karena itulah, Siao-Iiong-li merasa apa yang dikemukakan Nyo Ko tadi masuk di akal juga, Segera ia panjat ke atas satu pohon dan memandang sekeliling, ia lihat semua penjuru sunyi senyap belaka, yang terdengar hanya suara mata air yang gemercik dan berkicaunya burung, tetapi bayangan manusia satupun tidak kelihatan, nyata tempat ini memang satu tempat yang sangat bagus untuk berlatih ilmu.

"Bagus sekali tempat ini, beruntung kau bisa mendapatkannya, baiklah malam nanti kita datang ke sini mulai berlatih," demikian katanya kemudian.

Tentang penuntun dasar Giok-li-sim-keng itu memangnya Siao-liong-li sudah apal sekali, maka tanpa susah ia ajarkan kepada Nyo Ko. Malamnya antara pukul sebelas mereka lantas mendatangi semak2 bunga yang sangat lebat itu.

Di tengah malam sunyi, bau harum bunga terlebih terasa, Mereka berdua mengambil tempat sendiri2 di dalam semak2 bunga itu, mereka lepas baju dan berlatih Giok-li-sim-keng. Nyo Ko ulur tangan kanannya melalui semak2 dan saling menempel dengan telapak tangan Siao-liong-li, dengan demikian bila salah seorang mengalami kesulitan dalam latihan itu, segera pihak yang lain akan terasa dan segera kumpul tenaga buat membantunya.

Sejak itulah malam hari mereka anggap sebagai siang hari dan tekun berlatih, Malam hari latihan di semak2 bunga dan siangnya mengaso di dalam kuburan kuno.

Tatkala itu justru musim panas, tentu saja menjadi lebih segar dan nyaman menggunakan malam hari untuk berlatih, maka dengan cepat lebih dua bulan telah lewat tanpa terjadi sesuatu.

Giok-li-sim-keng itu seluruhnya terbagi dalam sembilan bagian, malam itu, Siao-liong-li sudah melatihnya sampai bagian ketujuh, Menurut kitab Giok-Ii-sim-keng itu, bagian hitungan yang ganjil waktu menjalankan tenaga adalah "lm-cin" atau perempuan yang aktip, sebaliknya bila jatuh angka genap, yang menjalankan tenaga adalah "Yang-dwe" atau laki2 yang pasip, Waktu itu Siao-liong-li sudah sampai bagian ketujuh, sedang Nyo Ko sampai bagian keenam.

Dalam pada itu, dengan di-aling2i semak bunga, mereka berdua sedang tekun menjalankan tenaga dalam hingga seluruh badan mereka panas beruap, bunga2 yang mekar itu se-akan2 ter-garang, keruan harumnya semakin semerbak.

Sementara itu rembulan kelihatan sudah berada di tengah cakrawala, lewat setengah jam lagi latihan kedua orang bagian ketujuh dan keenam itu dengan segera akan selesai, pada saat itu juga se-konyong2 dari belakang sana terdengar suara kumandang orang berjalan, terdengar pula ada dua orang sedang bicara.

Apa yang dilatih Nyo Ko waktu itu adalah "Yang-dwe" atau bagian yang pasip, maka se-waktu2 ia boleh berhenti latihannya, sebaliknya Siao-liong-li tidak bisa demikian karena yang dilatihnya waktu itu adalah aktip, bila terdapat gangguan, maka akan timbul bahaya besar.

Karena waktu itu Siao-liong-li sedang berlatih sampai titik yang penting, maka terhadap suara tindakan dan bicara orang sama sekali ia tidak mendengarkan, sebaliknya Nyo Ko telah mendengar dengan jelas, dalam hati ia heran sekali, Iekas2 ia atur pernapasannya dan berhentikan Iatihannya.

Sementara itu ia dengar kedua orang yang bercakap itu semakin mendekat, suaranya kedengaran sudah dikenalnya, waktu Nyo Ko pasang telinga lebih cermat, kiranya kedua orang itu adalah gurunya: Thio Ci-keng dan In Ci-peng adanya.

Suara pembicaraan kedua orang itu semakin menjadi keras, nyata sekali mereka sedang bertengkar.

"ln-sute", demikian terdengar Thio Ci-keng berkata, "meski kau mungkir lagi juga percuma. Biarlah kulaporkan Khu-supek dan terserah dia untuk memeriksanya sendiri."

"Dengan sengaja kau mendesak diriku, apakah tujuanmu sebenarnya ?" terdengar In Ci-peng menjawab dengan gusar, "Apa kau kira aku tak tahu, bukankah karena kau ingin menjadi murid pertama dari angkatan ketiga? Dengan begitu ke

Mk kau "bisa menjadi ciangbunjin kita ?"

"Kau sendiri tak patuh pada peraturan suci ini, telah melanggar larangan besar agama kita, mana bisa kau menjadi murid pertama lagi dari angkatan ketiga kita ?" sahut Thio Ci-keng dengan tertawa dingin.

"Larangan besar apa yang kulanggar ?" terdengar In Ci-peng mendebat.

"Larangan ke-4 Coan-cin-kau kita, yaitu: "berjinah !" bentak Ci-keng dengan suara keras.

Nyo Ko coba mengintip dari tempat sembunyinya, ia lihat kedua iniam itu berdiri berhadapan muka In Ci-peng tertampak pucat.

"Berjinah apa ?" demikian terdengar Ci-peng menjawab dengan suara berat sambil mengucapkan kata2 ini tangannya meraba pedangnya.

"Sejak kau melihat itu Siao-liong-li dari Hoat-su-jin-bong, bukankah setiap hari kau selalu tak bersemangat siang-malam kau selalu mengenangkan wajahnya, dalam hatimu entah sudah beratus kali atau mungkin ribuan kali ingin sekali memeluk Siao-liong-li untuk dicumbu dan dirayu," demikian sahut Ci-keng.

"Justru agama kita mengutamakan latihan batin, kini hatimu menyeleweng berpikirnya, apa itu bukan melanggar pantangan berjinah ?"



Terhadap Siao-liong-li yang menjadi gurunya boleh dikatakan Nyo Ko menghormat tiada taranya, ia pandang orang se-akan2 dewi kayangan saja, kini mendengar percakapan kedua imam Coan-cin-kau ini, keruan luar biasa gusar dan dendam, walaupun tidak begitu dipahami apa artinya "dicumbu dan dirayu" seperti apa yang dikatakan Thio Ci-keng tadi, tapi ia yakin tentu perbuatan yang busuk,

Sementara ia dengar In Ci-peng telah mendebat lagi dengan suara rada2 gemetar.

"Ngaco-belo, sampai apa yang kupikirkan dalam hati kaupun mengetahuinya ?" demikian sahutnya.

"Hm, apa yang kau pikirkan sudah tentu aku tak tahu, tetapi waktu kau mengigau dalam tidur, apakah tidak mungkin didengar orang lain?" kata Ci-keng dengan mengejek "Dan bolak-balik kau menuliskan nama Siao-liong-li di atas kertas, kau robek kertasnya lalu tulis lagi, apakah perbuatan inipun tidak bisa diketahui orang lain ?"

Karena isi hatinya kena betul dikatai, seketika muka In Ci-peng menjadi lebih pucat lagi, ia bungkam dan tak bisa mendebat pula.

Dilain pihak rupanya Thio Ci-keng jadi mendapat angin, dengan ber-seri2 ia keluarkan selembar kertas putih dan dibeberkan kehadapan Ci-peng.

"lni, apa ini bukan tulisanmu ?" katanya, "Nah, biarlah kita serahkan pada Ma-supek dan gurumu sendiri Khu-supek untuk mengenalinya."

Karena kata2 yang lebih mirip ancaman ini, Ci-peng tak tahan lagi, dengan cepat pedangnya dilolos terus menusuk ke ulu hati orang.

Namun dengan sedikit mengegos Ci-keng bisa hindarkan serangan itu, ia masukkan kembali kertas tadi ke dalam bajunya.

"Hm, kau ingin bunuh aku untuk menghilangkan saksi bukan ?" ejeknya lagi dengan tertawa dingin. "Tetapi rasanya tidak begitu gampang."

Ci-peng tidak buka suara puIa, be-runtun2 ia menusuk tiga kali lagi secepat kilat, tapi tiap2 serangannya selalu dapat dihindarkan Ci-keng. Sampai jurus ke-empat, mendadak terdengar suara "trang" yang nyaring, Ci-keng telah lolos senjata juga, maka bertempurlah kedua saudara seperguruan itu dengan serunya disamping semak2 bunga dan di bawah sinar bulan yang terang.

Ci-keng dan Ci-peng sama2 tergolong murid pandai Coan-cin-kau angkatan ketiga, yang satu murid utama Ong Ju-it dan yang lain murid pertama Khu Ju-ki, ilmu silat mereka sebenarnya sama kuatnya.

Tapi In Ci-peng terus-menerus merangsak dengan mati-matian, sebaliknya Thio Ci-keng kadang2 menyelingi pula kata-kata ejekan ditengah pertarungan sengit itu dengan maksud membikin marah lawannya agar terjadi kesalahan2.

Waktu itu Nyo Ko sendiri sudah mempelajari semua Kiam-hoat dari Coan-cin-kau, maka demi menyaksikan pertarungan sengit kedua imam ini, ia lihat setiap tipu yang dikeluarkan meski banyak sekali perubahannya, namun tiap2 gerakan selalu dalam dugaannya, Karenanya ia pikir apa yang Kokoh (Siao-liong-li) ajarkan itu ternyata tidak salah.

Sementara itu kedua orang itu sudah saling labrak beberapa puluh jurus lagi, tiap2 tipu yang dilontarkan In Ci-peng semuanya adalah tipu serangan, maka ber-ulang2 Thio Ci-keng terpaksa harus menggeser langkah.

"Hm, apa yang aku bisa, kaupun bisa semua, begitu pula apa yang kau bisa, akupun sudah seluruhnya bisa, kini kau hendak membunuh aku, itulah jangan kau harap selama hidup ini," demikian Ci-keng mengejek pula.

Dan memang nyata penjagaannya terlalu rapat hingga meski In Ci-peng sudah berusaha menyerangnya dari segala jurusan yang dianggapnya lemah, tapi selalu dapat dipatahkan oleh Ci-keng.

Tak lama kedua orang itu menggeser ke dekat semak2 dimana Siao-liong-li berada, keruan Nyo Ko terkejut.

"Kurangajar, jika kedua imam bangsat ini saling labrak sampai di samping Kokoh, tentu keadaan bisa runyam !" demikian pikirnya, Oleh karenanya ia lantas ber-siap2.

Dalam pada itu mendadak Thio Ci-keng melakukan serangan balasan, Ci-peng kena didesak mundur, ia merangsak maju tiga kali, beruntun2 Ci-peng pun mundur tiga langkah.

Diam2 Nyo Ko bergirang karena jarak mereka makin menjauh dari tempat gurunya, Diluar dugaan, mendadak In Ci-peng menyerang lagi, ia pindahkan pedang ke tangan kiri dan tangan kanan se-konyong2 memukul ke depan mengarah dada orang.

"Sekalipun kau punya tiga tangan, paling banter kau hanya pandai curi perempuan, tidak nanti kau bisa bunuh diriku," dengan tertawa Thio Ci-keng menyindir lagi, Habis ini ia angkat tangannya buat menangkis.

BegituIah kembali mereka saling labrak terlebih seru dan lebih sengit daripada tadi.

Sementara Siao-Iiong-Ii masih tekun berlatih, terhadap semua kejadian di luar tetap ia tidak mau tahu dan tidak mau Iihat.

Sebaliknya Nyo Ko melihat kedua orang yang lagi saling labrak itu mendekat, dalam hati ia lantas kuatir, dan bila mereka menggeser pergi lagi, ia menjadi lega pula.

Sampai akhirnya, mendadak Ci-peng membentak dengan murka, habis ini ia merangsak maju dengan kalap, dia tidak hiraukan lagi serangan lawan, ia sendiri merangsak dengan hebat.

Nampak Ci-peng sudah nekat, diam2 Ci-keng mengeluh, ia tahu kedudukan Ci-peng memang sulit dan lebih suka ditusuk mati olehnya dari pada rahasianya yang secara diam2 mencintai gadis orang disiarkan walaupun biasanya Ci-keng tidak akur dengan Ci-peng, tetapi sebenarnya tiada maksud buat bunuh orang, karenanya, dengan perubahan Ci-peng yang menjadi nekat, seketika ia sendiri terdesak dibawah angin.

Setelah berapa jurus berlangsung pula, tiba2 Ci-peng membuka serangan lagi, pedangnya menusuk cepat berbareng tangan yang lain menghantam pula, bahkan dia tambah dengan menyapu dengan sebelah kakinya, inilah tipu serangan "sam-lian-hoan" (serangan mata-rantai tiga) yang lihay.

Untuk menghindari lekas2 Ci-keng meloncat ke atas berbareng pedangnya memotong ke bawah, Namun Ci-peng terlebih lihay lagi, se-konyong2 pedangnya ditimpukkan se-keras2nya, menyusul ini kedua tangannya dipukulkan berbareng sekaligus.

Menyaksikan beberapa kali serangan yang mendebarkan hati ini, mau-tak-mau Nyo Ko ikut berkeringat dingin, ia lihat tubuh Ci-keng waktu itu masih terapung di udara, mungkin pukulan Ci-peng yang hebat itu akan bikin tulangnya patah dan ototnya putus.

Namun Thio Ci-keng betul2 tidak malu sebagai jago utama anak murid angkatan ketiga Coan-cin-pay, dalam saat yang sangat kepepet dan luar biasa bahayanya, tiba2 ia berjumpalitan di udara terus mencelat mundur sejauh beberapa tombak, lalu dengan enteng ia turun ke bawah.

Menurunnya ini bukan soal tetapi tempat di mana ia akan tancapkan kaki justru tempat sembunyian Siao-Iiong-li, walaupun tidak persis akan menjatuhi kepala orang, namun bila sampai terjatuh ke dalam semak2 bunga itu, sedikitnya tubuh Siao-liong-li yang telanjang bulat sedang berlatih ilmu Giok-Ii-sim-keng itu pasti akan kelihatan di bawah sinar cahaya bulan.

Karena ituIah, luar biasa kaget Nyo Ko, tanpa pikir lagi segera ia meloncat ke atas, sebelah tangannya dia ulur untuk menyanggah punggung Thio Ci-keng, lalu dengan gerak tipu "Say-cu-bau-kiu" (singa melempar bola), dengan kuat dia kipatkan ke samping, maka tidak ampun lagi tubuh Thio Ci-peng yang besar terlempar sejauh lebih tiga tombak.

Tetapi waktu turunnya kembali, Nyo Ko sendiri tanpa sengaja sebelah kakinya menginjak pada setangkai bunga, karena tergoyangnya tangkai bunga yang sedikit mentul itulah, maka separoh tubuh Siao-liong-li bagian atas sekilas berkelebat juga dibawah sinar bulan yang terang.

Meski tangkai bunga itu dengan cepat dapat merapat kembali, namun karena itu Siao-liong-li jadi terkaget, seketika keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, sesaat pernapasannya jadi terganggu hingga tak bisa dihempas keluar dari perut, maka jatuhlah dia semaput.

Ketika melihat Nyo Ko mendadak unjuk diri dan sekilas pula melihat nona yang di-idam2kan siang dan malam itu tahu2 ternyata sembunyi di antara semak2 bunga itu, sesaat itu In Ci-peng jadi terkesima, ia ternganga ragu, apa yang dilihatnya itu entah sungguh2 atau khayal belaka.



Sementara itu Thio Ci-keng sudah sempat tancapkan kakinya ke bawah, sebagai seorang ahli silat, dengan sendirinya pandangan matanya sangat tajam sekali, meski dalam jarak sejauh beberapa tombak, namun sekilas ia sudah dapat melihat juga wajah Siao-liong-li.

"Bagus, bagus ! Kiranya dia sedang main gila dengan laki2 di sini," demikian segera ia berteriak.

Keruan Nyo Ko menjadi gusar.

"Kalian imam busuk ini jangan coba lari, se-kembaliku nanti kubikin perhitungan dengan kalian," dengan suara geram segera ia membentak.

Berbareng itu cepat ia samber celananya sendiri dan dipakai, lalu ia jemput juga pakaian Siao-liong-li dengan maksud hendak menyerahkan ke-padanya.

"lni pakailah dulu, Kokoh !" serunya-sambil mengangsurkan pakaian Siao-liong-li itu.

Akan tetapi ditunggu-tunggu masih tidak terdengar suara jawaban, juga orang tidak angsur-kan tangan buat menerima baju itu, waktu ia berpaling, diantara semak2 yang remang2 itu ia lihat Siao-liong-li sudah menggeletak roboh.

Tiba2 teringat olehnya Siao-liong-li pernah pesan wanti2 bahwa diwaktu latihan harus menjaga diri sepenuh tenaganya, sekalipun hanya ditubruk atau diterjang seekor kelinci saja pasti akan mengakibatkan malapetaka.

Kini dia terkaget oleh peristiwa tadi, tentu tidak kecil bahaya yang menimpa gurunya ini. Keruan Nyo Ko gugup dan kuatir, lekas2 ia jereng baju orang dan dike-muIkan pada badan Siao-liong-li.

Waktu Nyo Ko meraba jidatnya, ia merasa dingin sekali seperti es, maka lekas2 ia samber pula bajunya sendiri dan bungkus rapat seluruh tubuh Siao-liong-li dan kemudian dipondongnya.

"Kau tak apa2 bukan, Kokoh ?" demikian ia bertanya dengan kuatir.

Terdengarlah suara sahutan Siao-liong-li yang sangat lemah, lalu nona ini tidak membuka suara lagi. Namun demikian, sedikit lega juga hati Nyo Ko.

"Marilah kita pulang dulu, Kokoh," kata Nyo Ko pula, "Nanti kudatang lagi buat bunuh kedua imam bangsat ini."

Namun seluruh badan Siao-liong-li ternyata lemas tak bertenaga sedikitpun, ia hanya meggelendot dalam pelukan Nyo Ko, Maka berjalanlah Nyo Ko dengan langkah lebar melalui samping kedua imam Coan-cin-kau itu.

Ternyata In Ci-peng masih terpesona dengan berdiri menjublek di tempatnya, sebaliknya Thio Ci-keng lantas tertawa ter-bahak2.

"Hahaha, In-sute, jantung hatimu itu telanjang bulat sedang melakukan perbuatan yang tidak tahu malu dengan orang lain di sini, daripada kau hendak bunuh aku, tidakkah lebih baik kau bunuh saja dia (maksudnya Nyo Ko) !" demikian ia berolok-olok.

Namun In Ci-peng anggap tidak mendengar ia tidak gubris dan tetap bungkam.

Mendengar kata2 "perbuatan yang tidak tahu malu" yang diucapkan Thio Ci-keng tadi, meski Nyo Ko masih hijau pelonco dan tidak paham apa maksud orang sebenarnya, namun ia yakin pasti kata2 caci-maki yang sangat keji. Maka ia naik darah juga, dalam gusarnya ia letakkan Siao-liong-li tanah, ia biarkan gurunya ini bersandar pada satu pohon dan betulkan bajunya yang membungkus tubuhnya, lalu dengan menjemput setangkai kayu segera ia dekati Ci-keng.

"Kau membacot apa tadi ?" damperatnya segera sambil menuding dengan kayunya.

Semula sebenarnya Ci-keng tidak tahu bahwa laki2 yang berada bersama dengan Siao-liong-li itu ialah Nyo Ko, sebab sudah lewat dua tahun, tubuh Nyo Ko sudah tumbuh menjadi jejaka cakap, kini sesudah Nyo Ko bersuara untuk kedua kalinya, pula mukanya menghadap sinar bulan, maka tertampak jelas olehnya bahwa orang ini kiranya adalah muridnya sendiri.

Tadi waktu dirinya sedang terapung di udara malah kena dibanting pergi olehnya, keruan ia menjadi malu tercampur gusar,

"Ha, Nyo Ko, kiranya kau si binatang cilik ini!" segera ia membentak memaki.

"Hm, kau mencaci maki aku tidak mengapa, tapi kenapa kau memaki juga aku punya Kokoh ?" jawab Nyo Ko.

Namun kembali Ci-keng bergelak tertawa.

"Haha, orang bilang Ko-bong-pay turun-temurun hanya kepada wanita dan tidak menurun kepada pria, katanya tiap2 murid suci bersih tetap perawan, siapa tahu secara diam2 berbuat begini kotor dan rendah, mengeram anak 1aki2 dan melakukan perbuatan terkutuk secara blak2an di tempat terbuka seperti ini!" demikian ia ber-olok-olok dan memfitnah pula.

Belum lagi Nyo Ko paham maksud kata-kata orang, saat itu juga Siao-Iiong-li baru siuman kem-bali, demi mendengar fitnahan kotor itu, dalam marahnya napasnya yang sudah teratur kembali itu tiba2 terasa sesak lagi di dada, ia tahu dirinya telah terluka parah dalam, Dan baru saja ia mendamperat: "Tutup bacotmu, kami tidak..."

Mendadak darah segar menyembur dari mulutnya seperti pancuran air.

Kaget sekali Nyo Ko dan In Ci-peng, keduanya memburu maju serentak.

"Kenapakah kau ?" tanya Ci-peng. Lalu ia membungkuk dengan maksud hendak memeriksa keadaan Siao-liong-li.

Tapi Nyo Ko menyangka Ci-peng bermaksud jahat, tanpa pikir ia ayun tangannya terus menghantam dada orang.

Sudah tentu In Ci-peng tidak tinggal diam, ia angkat tangannya buat menangkis, Tak terduga, setiap gerak tipu serangan Coan-cin-kau boleh dikata sudah dipahami semua oleh Nyo Ko, maka begitu telapak tangannya membalik seketika tangan Ci-peng malah kena terpegang, segera Nyo Ko mendorong dan dilepaskan, kontan Ci-peng kena disengkelit pergi.

Kalau soal ilmu silat sejati sebenarnya Nyo Ko belum lebih unggul dari pada Ci-peng, cuma dahulu sewaktu Lim Tiao-eng menciptakan ilmu silatnya yang khusus buat mematahkan tipu serangan silat Coan-cin-kau, setiap gerakan dan setiap tipu melulu dipergunakan untuk melawan Coan-cin-pay.

Pula sejak ciptaannya ini berhasil selama itu belum pernah dipergunakan maka anak murid Coan-cin-kau selama itu juga belum tahu bahwa di jagat ini ternyata ada semacam kepandaian yang khusus dapat mengalahkan ilmu silat mereka.

Kini kepandaian luar biasa itu mendadak dikeluarkan Nyo Ko, sudah tentu In Ci-peng tidak mampu bertahan, walaupun ia tidak sampai jatuh terjengkang, namun tubuhnya telah terlempar sejauh beberapa tombak dan berdiri sejajar dengan Thio Ci-keng.

"Sudahlah tak perlu kau gubris mereka, Kokoh, biar aku pondong kau pulang dahulu." Nyo Ko berkata.

"Tidak-tidak," sahut Siao-liong-Ii dengan napas memburu, "kau bunuh saja mereka, supaya... supaya mereka tak bisa siarkan di luaran bahwa... bahwa kita..."

"Baiklah," kata Nyo Ko tanpa menunggu perintah lagi, Segera ia angkat tangkai kayunya tadi, sekali bergerak, segera ia tutulkan ke dada Thio Ci-keng.

Sudah tentu Ci-keng tidak pandang sebelah mata pada Nyo Ko, pedangnya bergerak, segera ia bermaksud memotong tangkai kayu orang.

Tak terduga Kiam-hoat Ko-bong-pay yang dimainkan Nyo Ko ini justru merupakan lawan keras yang tiada bandingannya dari Coan-cin-kiam-hoat, begitu Nyo Ko sedikit sendal ujung kayunya, se-konyong2 tangkai kayu itu seperti bisa melengkung dan tahu2 menerobos lewat terus menutul Hiat-to pergelangan tangan Ci-keng.

Begitu cepat serangan ini hingga tiba2 Ci-keng merasakan tangannya kesemutan, diam2 ia mengeluh Dalam pada itu, serangan susulan Nyo Ko sudah dilontarkan lagi, sekali ini telapak tangan kirinya hendak menempeleng pipinya.

Gerak tempelengan ini caranya ternyata sangat aneh, yakni tahu2 datang dari jurusan yang tak ter-sangka2. jika Ci-keng ingin pertahankan pedangnya, maka dia harus terima ditempeleng mentah2, sebaliknya kalau mau berkelit, maka pedangnya tidak boleh tidak harus terlepas dari tangan.

Namun ilmu silat Ci-keng sudah terlatih cukup sempurna, meski berada dalam kedudukan berbahaya, sedikitpun ia tidak jadi bingung, ia lepas tangan buang pedang, berbareng kepala menunduk menghindarkan pukulan, bahkan menyusul tangan kirinya terus diulur maju, dalam sekejap ia bermaksud merebut kembali pedangnya yang dia lepaskan itu.



Tetapi lagi2 tak terduga bahwa beberapa puluh tahun yang lalu Lim Tiao-eng yang menciptakan ilmu silat yang lihay itu sudah memperhitungkan lebih dulu akan adanya perubahan gerakan ini, terhadap segala kemungkinan perubahan tipu lihay dari Coan-cin-pay, semuanya sudah dia atur cara2 untuk melanyaninya.

Dengan tipu serangan balasan buat merebut kembali pedangnya, Thio Ci-keng mengira bisa merubah kalah menjadi menang. Tapi sama sekali tak diduganya bahwa Nyo Ko dan Siao-liong-Ii justru sudah apal dengan cara2 untuk mematahkan tipunya ini, hanya melihat tangannya bergerak segera Nyo Ko tahu ke mana Ci-keng hendak mengarah. Maka segera ia mendahului, dengan pedang yang dapat rebut dari Ci-keng itu ia menabas tangan lawan.

Karuan saja tidak kepalang kaget Ci-keng, lekas2 ia tarik kembali tangannya.

Walaupun demikian, namun sudah terlambat juga, tahu2 ujung pedang Nyo Ko telah menempel di dadanya, "Rebah !" bentak Nyo Ko sambil kaki menjegal.

Karena tempat berbahaya terancam, Thio Ci-keng jadi tak bisa berkutik, apalagi ditambahi pula dengan terjegal kakinya, tanpa ampun lagi ia jatuh terlentang.

Dengan segera pula Nyo Ko angkat pedangnya terus menusuk ke perut orang.

Diluar dugaan, mendadak dari belakang terdengar suara samberan angin, nyata ada senjata telah menusuk punggungnya.

"Berani kau bunuh guru sendiri ?" terdengar suara bentakan keras In Ci-peng.

Serangannya ini mengarah tempat yang harus dihindari apabila Nyo Ko tetap meneruskan tusukannya hingga Ci-keng dibinasakan maka ia sendiripun akan tertembus oleh pedang In Ci-peng. Karena itu, tanpa pikir Nyo Ko putar kembali pedangnya buat menangkis, maka terdengarlah suara "trang" yang nyaring, kedua pedang telah saling bentur.

Nampak balikan senjata orang begitu cepat lagi jitu, mau-tak-mau In Ci-peng memuji juga di dalam hati sementara itu mendadak terasakan pula pedangnya sendiri telah kena ditarik pergi seperti melengket dengan senjata orang, dalam kagetnya lekas2 Ci-peng kumpulkan tenaga dalamnya untuk menarik kembali sekuatnya.

Tenaga Ci-peng dengan sendirinya lebih kuat daripada Nyo Ko, maka dengan segera pedang Nyo Ko kena ditarik ke jurusan Iain, Di luar dugaan, justru hal ini sengaja dilakukan Nyo Ko untuk memancingnya, sebab begitu orang menarik mendadak ia malah lepaskan senjatanya sendiri menyusul kedua telapak tangannya dipukulkan berbareng ke dada orang, sedang batang pedangnya juga mental ke depan, dengan demikian serangannya sekaligus datang dari tiga jurusan, yakni kedua telapak tangan dan satu pedang. Dalam keadaan demikian, lebih tinggi lagi ilmu silat In Ci-peng juga sukar hendak menangkis tipu serangan yang aneh luar biasa ini.

Dibawah ancaman elmaut ini, terpaksalah In Ci-peng melepaskan senjatanya sendiri dan tekuk tangannya, dengan tangan melintang di dada lekas2 ia paksakan diri buat menangkis serangan orang yang hebat tadi, tapi karena tangannya ter-tekuk terlalu rapet hingga sukar mengeluarkan tenaga besar, syukur latihan Nyo Ko juga belum mendalam, maka kedua tulang tangannya tidak sampai dipatahkan, walaupun demikian, dadanya juga terasa sakit sekali karena getaran pukulan itu dan kedua lengannya pegal linu, cepat ia lompat mundur beberapa tindak, dengan mengatur pernapasannya ia coba lindungi Hiat-to penting di dadanya itu.

Sementara itu, demi kedua pedang lawan terebut semua olehnya, segera Nyo Ko melakukan rangsakan pula.

Hanya beberapa gebrakan saja, Ci-keng dan Ci-peng telah dibikin kalang kabut oleh seorang pemuda "anak kemarin", mereka terperanjat lagi gusar, mereka tak berani ayal lagi. Segera mereka berdiri sejajar dan mengeluarkan ilmu menjaga diri saja dan tidak menyerang, tiap2 serangan lawan selalu dipatahkan, dengan demikian supaya mereka menyelami sampai dimana kelihayan musuh,

Dengan perubahan siasat ini, kini Nyo Ko tak bisa se-mau2nya lagi seperti tadi, sekalipun ia bersenjata, namun kedua lawannya bertahan dengan rapat, bagaimanapun ia menyerang tetap tak sanggup menembus pertahanan mereka.

Sungguhpun Kiam-hoat Ko-bong-pay diciptakan sebagai penunduk ilmu pedang Coan-cin-kau, tetapi kesatu karena Ci-keng dan Ci-peng jauh lebih ulet dari pada Nyo Ko, kedua, mereka bertahan bersama, ketiga, mereka hanya menjaga diri saja dan tidak balas menyerang, maka akhirnya Nyo Ko berbalik tak berdaya.

Meski kedua pedangnya masih me-layang2 kian kemari, tapi lambat laun ia sendiri malah terdesak di bawah angin, apalagi tenaga pukulan Thio Ci-keng teriak berat dan kuat, pelahan senjata Nyo Ko malah kena tertekan ke bawah.

Dalam pada itu Ci-peng sudah bisa menenangkan dirinya diam2 ia pikir apa orang akan berkata bila mengetahui dua orang tua mengerurbut seorang anak kecil ? Kini tampaknya pihak dirinya sudah dalam kedudukan tak terkalahkan pula hatinya sesungguhnya sangat menguatirkan keadaan Siao-liong-li, Maka tiba2 ia membentak "Nyo Ko, lekas kau bawa pulang Kokoh-mu saja, untuk apa kau masih terus membabi-buta berkelahi dengan kami ?"

"Kokoh benci cara kalian mengoceh tak keruan dan suruh aku membunuh kalian," jawab Nyo Ko.

Mendadak In Ci-peng menghantam sehingga pedang kiri Nyo Ko terguncang ke samping, berbareng Ci-peng melompat mundur tiga tindak lagi berseru : "Bethenti dulu l"

"Apa kau ingin kabur ?" kata Nyo Ko.

"Nyo Ko," jengek In Ci-peng, "kau ingin membunuh kami, memangnya kau mampu ? Cuma untuk membuat lega hati Kokohmu, biarlah aku berjanji bahwa kejadian hari ini pasti takkan ku siarkan, jika sampai kusiarkan sepatah saja segera kubunuh diri, kalau mungkir janji biarlah serupa jari ini." sampai di sini mendadak ia menyerobot maju dan merampas sebuah pedang Nyo Ko terus menabas kutung dua jari tangan kiri sendiri.

Beberapa gerakan In Ci-peng itu dilakukan dengan cepat luar biasa, sedikitpun Nyo Ko tidak menduga dan tidak berjaga, seketika ia menjadi kesima, tapi segera iapun tahu ucapan In Ci-peng itu memang timbul dari hati yang tulus, ia pikir untuk mengalahkan Ci-peng berdua memang sulit, ada lebih baik bunuh saja orang she Thio itu lebih dulu, habis itu baru kubunuh orang she In ini.

Walau usia Nyo Ko masih muda, tapi pikirannya sangat cerdik, segera ia membentak: "Orang she In ini, apa gunanya kau mengutungi jari tanganmu, jika kau memenggal kepalamu sendiri barulah tuanmu mau percaya padamu."

Ci-peng menjawab dengan menyeringai: "Menghendaki jiwaku, hehe, boleh juga asalkan, Kokohmu membuka suara sepatah kata saja."

"Baik !" kata Nyo Ko sambil melangkah maju, tapi mendadak pedangnya menusuk kebelakang mengarah dada Thio Ci-keng.

Tipu serangan ini lihay luar biasa, Saat itu Ci-keng lagi mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian, sama sekali tak menduga akan diserang secara mendadak ketika dia menyadari apa yang terjadi namun ujung pedang menempel ulu hatinya.

Di sini tertampak juga betapa hebat kepandaian Ci-keng, sebisanya dia menarik napas sehingga perutnya seakan-akan mendekuk dua-tiga senti ke dalam, berbareng sebelah kakinya terus menendang, dalam keadaan kepepet ternyata dia dapat mengubah keadaan menjadi kemenangan, pedang Nyo Ko tertendang terbang ke udara.

Namun Nyo Ko juga tidak kalah lihaynya, sebelum kaki orang tertarik mundur, cepat ia tutuk Hiat-to dengkul musuh dengan tepat Meski Ci-keng berhasil menyelamatkan jiwanya, tapi ia tidak sanggup berdiri lagi, dengan sebelah kaki ia bertekuk lutut di depan Nyo Ko.

Pada saat lain Nyo Ko sempat menangkap kembali pedang yang mencelat ke udara tadi, dengan ujung pedang itu ia tuding tenggorokan Ci-keng dan membentak: "Aku pernah mengangkat dan menyembah padamu, sekarang kau bukan lagi guruku, lekas kau menyembah kembali padaku!"

Sungguh tidak kepalang gusar Ci-keng sehingga mukanya merah padam, Ketika Nyo Ko sedikit tekan pedangnya, ujung pedang menusuk masuk satu senti ke dalam daging lehernya dan menimbulkan sakit."



Dengan bandel Ci-keng mendamperat: "Mau bunuh boleh bunuh, untuk apa banyak omong ?"

Baru saja Nyo Ko hendak menusukkan pedangnya lebih keras, tiba-tiba terdengar Siao-liong-li berkata: "Ko-ji, membunuh guru sendiri tidak membawa berkah, Boleh kau suruh dia bersumpah takkan menyiarkan kejadian ini, lalu boleh boleh mengampuni dia."

Nyo Ko mematuhi ucapan Siao-Iiong-li seperti titah malaikat dewata, tanpa pikir segera ia membentak Ci-keng: "Nah, lekas kau bersumpah!."

Dalam keadaan demikian, sungguhpun tidak kepalang rasa gusar Thio Ci-keng, namun apa da-ya, selamatkan jiwa paling perlu, Maka berkatalah dia : "Asal aku tidak biIang2, buat apa bersumpah segala ?"

"Tidak bisa, harus bersumpah berat," sahut Nyo Ko.

Mau-tak-mau Ci-keng harus menurut

"Baik, kejadian ini, hanya kita berempat saja yang tahu. jika aku sampai mengatakan pada orang kelima, biarlah badanku sial dan namaku rusak, diusir keluar perguruan dan tidak akan diampuni sesama orang Bu-lim, akhirnya mati tak teram-punkan !" demikian sumpahnya kemudian,

Nyo Ko dan Siao-liong-li sama2 belum paham seluk-beluk orang hidup, mereka mengira orang betul2 telah bersumpah berat, sebaliknya In Ci-peng menarik kesimpulan bahwa diantara sumpah itu tersembunyi akal licik, sebenarnya ia hendak peringatkan Nyo Ko, namun merasa salah juga, karena tidak baik terang2an membantu orang luar.

Sementara ia lihat Nyo Ko telah pandong Siao-liong-Ii dan dengan langkah cepat melintasi lereng bukit sana, Saking terkesimanya, meski darah segar dari luka jarinya yang kutung tadi masih mengucur tak terasakan sakit olehnya.

Di lain pihak, setelah Nyo Ko pondong Sao-liong-li kembali ke kuburan kuno mereka, ia letakkan gurunya ini di atas ranjang batu pualam dingin.

"Aku terluka parah, darimana ada kekuatan melawan hawa dingin itu ?" dengan menghela napas Siao-liong-Ii berkata.

Nyo Ko bersuara kaget, ia menjadi kuatir, pikirnya diam2: "Kiranya Kokoh begini berat lukanya."

Karena itu, dia lantas pondong Siao-Iiong-li ke bekas kamarnya Sun-popoh. Tetapi baru saja Siao-Iiong-li rebah, kembali ia menyemburkan darah segar pula, tatkala itu Nyo Ko masih belum memakai bajunya, keruan seluruh dadanya penuh tersemprot darah.

Siao-liong-li coba pejamkan mata buat mengatur pernapasan dengan maksud menutup urat nadinya, siapa tahu otot darahnya yang sudah terluka itu semakin dia gunakan tenaga dalam, luka itu semakin hebat, darah segarpun menyembur terus menerus.

Sudah tentu Nyo Ko kelabakan, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, hanya air mata saja yang bercucuran.

"Asal darahku sudah habis keluar, dengan sendirinya akan berhenti, untuk apa kau berduka," dengan senyum tawar Siao-liong-li coba menghibur padanya.

"Kokoh, jangan kau mati," kata Nyo Ko.

"Ha, kau sendiri takut mati bukan ?" kata Siao-liong-li.

"Aku ?" tukas Nyo Ko bingung.

"Ya, sebab sebelum aku mati, sudah tentu kubunuh kau dahulu," kata Siao-liong-li pula.

Apa yang dikatakan ini dua tahun yang lalu sudah pernah diucapkannya juga, sebenarnya Nyo Ko sudah lama melupakannya, tak dinyana sekarang Siao-liong-li mengulangi kata2 itu 1agi.

"Jika aku tidak bunuh kau, setelah mati cara bagaimana aku harus menemui Sun-popoh ?" kata Siao-liong-li demi nampak muka Nyo Ko mengunjuk heran dan kaget "Dan kau seorang diri hidup di dunia ini, siapa lagi yang akan menjaga kau ?"

Pikiran Nyo Ko sudah kusut, saking ruwetnya hingga ia tak tahu bagaimana menjawabnya.

Dalam pada itu Siao-liong-li masih terus muntahkan darah, tapi sikapnya ternyata sangat tenang, ia anggap saja bukan soal apa-apa.

Tiba2 tergerak kecerdasan Nyo Ko, ia ber-lari2 pergi mengambil semangkok madu tawon dan di-cekokan pada Siao-liong-li.

Khasiat madu tawon itu untuk menyembuhkan luka dalam ternyata sangat mujarab, selang tak lama, Siao-liong-li tidak muntah darah lagi, ia rebah di ranjang dan akhirnya terpuIas.

Melihat gurunya bisa tidur, hati Nyo Ko rada lega, ia sendiri sudah letih ditambah rasa kuatir pula, sesungguhnya diapun tak tahan lagi, maka sambil berduduk di lantai, ia bersandar pada dinding dan akhirnya ia pun tertidur.

Sampai suatu saat entah sudah lewat berapi lama, se-konyong2 Nyo Ko terjaga dari kantuknya karena terasa lehernya sendiri rada dingin, dalam kagetnya segera ia meleki matanya, ia sudah beberapa tahun tinggal di dalam kuburan kuno itu, meski dia tak dapat melihat sesuatu benda dalam kegelapan seperti siang hari seperti kepandaian Siao-liong-Ii, tapi untuk mondar-mandir di dalam kuburan yang gelap itu sudah tidak memerlukan sinar lampu lagi

Demi matanya terpentang, tertampaklah olehnya Siao-liong-li duduk di pinggir ranjang, tangannya mencekal pedang dan ujung senjata ini tepat ditudingkan ketenggorokannya, maka terasa dingin.

"Kokoh !" teriak Nyo Ko kaget.

"Ko-ji," dengan sikap tawar Siao-liong-li berkata padanya, "lukaku ini terang tak akan bisa baik, maka kini juga kubunuh kau, marilah kita pergi bersama untuk menemui Sun-popoh!"

Sungguh bukan buatan kejut Nyo Ko, ia berteriak lagi memanggil: "Kokoh!"

"Dalam hati kau sangat ketakutan, bukan ?" Siao-liong-li berkata lagi "jangan takut, hanya sekali saja sudah cukup, cepat sekali."

Tiba2 Nyo Ko lihat mata Siao-liong-li memancarkan sinar yang aneh, ia tahu dengan segera orang pasti akan turun tangan, dalam saat demikian ini, keinginan buat pertahankan hidup menjadi berkobar, iapun tidak hiraukan Iain2 lagi, dengan sekali jatuhkan diri kesamping, kakinya berbareng melayang hendak menendang senjata yang dipegang Siao-liong-Ii.

Siapa tahu meski luka Siao-liong-li susah disembuhkan namun gerak tangannya masih gesit dan cepat luar biasa, begitu tubuhnya miring sedikit dapatlah ia hindarkan tendangan orang dan kembali ujung pedangnya menuding di tenggorokan Nyo Ko. Beberapa kali lagi Nyo Ko ganti ti-punya buat meloloskan diri, tapi setiap gerak tipunya semuanya diperoleh dari petunjuk2 Siao-liong-li sendiri sudah tentu ke mana ia hendak pergi selalu dalam dugaannya, pedang Siao-liong-li selalu membayanginya dan tidak pernah berjarak lebih jauh dari tiga inci di depan lehernya.

Saking takutnya hingga Hyo Ko mandi keringat dingin, Diam2 ia mengeluh: "Celaka, jika hari ini tak bisa menyelamatkan diri, akhirnya aku pasti akan dibunuh Kokoh."

Karena kepepet, se-konyong2 ia angkat kedua tangannya memukul ke depan sekaligus, ia pikir dalam keadaan luka tentu Siao-liong-li tak bertenaga dan tentunya kurang kuat untuk mengadu tangan dengan dirinya.

Rupanya Siao-liong-li mengetahui juga maksud tujuannya, ia hanya sedikit miringkan tubuh saja dan membiarkan tenaga pukulan itu susul menyusul menyambar lewat di atas pundaknya, Habis ini mendadak ia berseru : "Ko-ji tak perlu kau melawan lagi!"

Berbareng itu, mendadak pedang diluruskan ujung senjata ini tergetar beberapa kali, lalu dengan tipu "hun-hoa-hut-liu" (memisahkan bunga mengebut pohon liu), seperti mengarah ke kiri, tapi tahu2 menjurus ke kanan, leher Nyo Ko se-konyong2 sudah ditempel oleh ujung pedang.

Dan selagi Siao-liong-li hendak menyurung senjatanya ke depan, dengan demikian tenggorokan Nyo Ko pasti akan tertusuk tembus, Diluat dugaan, mendadak seluruh tubuhnya menjadi lemas dan lumpuh, "trang", terdengar suara nyaring, pedang jatuh ke lantai, menyusul tubuhnya ikut roboh dan pingsan.

Ketika Siao-liong-li menusukkan pedangnya tadi Nyo Ko sudah pejamkan mata menantikan kematian, siapa tahu pada saat yang menentukan itu mendadak Siao-liong-li jatuh pingsan, Keruan Nyo Ko tertegun, sungguh dia boleh dikatakan lolos dari lubang jarum, lekas2 ia merangkak bangun, tanpa hiraukan apa yang bakal terjadi lagi, dengan langkah cepat segera ia lari keluar kuburan kuno itu.



Begitu ia injak keluar pintu kuburan, tertam-paklah olehnya sinar sang surya yang menyilaukan mata, angin meniup sepoi2, burung berkicauan di atas pohon, nyata bukan lagi suasana yang gelap seram seperti di dalam kuburan kuno tadi.

Dalam keadaan masih ber-debar2, Nyo Ko kuatir kalau2 Siao-liong-li mengejarnya dari belakang, maka ia angkat langkah seribu lebih jauh, dengan menggunakan Ginkang ia lari cepat ke bawah gunung.

Kini tenaga dalamnya sudah terlatih kuat dan penuh, meski ilmu silatnya belum terlatih sampai puncaknya kesempurnaan, tapi sudah terhitung jago kelas atasan di kalangan Bu-lim. Dengan cara larinya yang cepat itu, pula jalan pegunungan yang menurun dengan sendirinya lebih cepat daripada menanjak, maka pada lohor itu juga ia sudah sampai di kaki gunung.

Melihat Siao-liong-li tidak mengubernya, barulah Nyo Ko merasa lega, kini dia baru berani lambatkan langkahnya untuk melanjutkan perjalanan.

Ia jalan dan jalan terus, akhirnya ia merasa lapar, perutnya sudah keroncongan, sudah berkeruyukan, ia pikir harus mencari rumah penduduk untuk membeli sedikit penganan buat tangsal perut, tetapi ketika dia rogoh sakunya, nyata duit tak ada, satu mata uang saja tidak gableg.

Namun Nyo Ko tidak kurang akal, sudah sejak kecil ia terlunta-Iantung di kalangan Kangouw, kepandaiannya mencari pangan sudah sangat besar, ketika ia melongok sekitarnya, tertampaklah olehnya di lereng bukit sebelah barat sana banyak tanaman jagung, segera ia menuju ke sana dan memetiknya beberapa buah jagung itu.

Jagung itu belum cukup tua, tetapi sudah bisa dimakan, Nyo Ko kumpulkan sedikit kayu kering, sedang akan menyalakan api buat bakar jagung, tiba2 terdengar di belakangnya ada suara keresekan pelahan, nyata ada orang sedang jalan mendekatinya.

Lekas2 Nyo Ko miringkan tubuh dengan maksud meng-aling2i jagung colongan itu agar tidak dilihat orang apabila yang datang ini adalah penduduk setempat, tetapi ketika ia melirik, ternyata yang datang ini adalah seorang To-koh yang masih muda jelita, To-koh atau imam wanita ini memakai jubah kuning langsat, langkahnya enteng dan bergaya manis seperti bidadari yang baru turun dari kayangan.

Nyo Ko melirik lebih jauh, ia lihat di punggung To-koh itu terselip dua batang pedang, gagang senjata yang bertali sutera berwarna merah darah itu menambah kecantikan si To-koh, jelas sekali To-koh ini pandai ilmu silat.

Nyo Ko pikir tentu orang ini adalah imam yang hendak naik ke Tiong-yang-kiong, besar kemungkinan adalah murid jing-ceng Sanjin Bun Put-ji, itu imam wanita satu2nya dari Coan-cin-ciat-cu.

Karena Nyo Ko tak ingin mencari onar, maka ia sengaja menunduk kepala dan menyalakan api lagi.

Sesudah dekat di samping Nyo Ko, mendadak To-koh itu berhenti

"Eh, adik cilik, mana jalannya kalau hendak naik ke atas gunung ?" tiba2 ia bertanya.

"Aneh", diam2 Nyo Ko heran, "Jika perempuan ini adalah anak murid Coan-cin-kau, mengapa dia tak kenal jalan ke atas gunung? Hah, tentu dia tidak mengandung maksud baik !"

Karena itu tanpa menoleh ia menunjuk ke atas gunung dan menjawab : "lkut saja jalan besar ini terus ke atas."

Melihat baju Nyo Ko compang-camping dan jongkok di pinggir jalan sedang membakar jagung, To-koh itu mengira Nyo Ko adalah anak petani.

Biasanya To-koh ini sangat bangga dengan kecantikannya sendiri, lelaki mana saja bila meIihat dia pasti akan terpesona hingga mata tak berkesip, tetapi pemuda desa ini ternyata hanya melirik sekali saja padanya lalu tidak memandang buat kedua kalinya, nyata kecantikannya dianggap seperti rupa wanita pegunungan saja, diam2 To-koh itu rada mendongkol.

Akan tetapi segera ia berpikir pula: "Ah, orang desa semacam ini tahu apa ?"

Karena itu, ia lantas membuka suara lagi : "He, berdirilah, aku ingin tanya padamu."

Tetapi Nyo Ko sudah terlanjur berpikir jelek terhadap semua orang Coan-cin-kau, dia tidak mau menggubrisnya lagi, ia pura2 tuli dan berlagak bisu.

"Hei, anak tolol, apa yang kukatakan kau dengar tidak ?" To-koh itu menanya lagi.

"Dengar, cuma aku malas berdiri," sahut Nyo Ko.

Karena jawaban ini To-koh itu tertawa geli.

"He, lihatlah kau, ini, lihat dulu padaku, aku lah yang suruh kau berdiri!" dengan tertawa merdu ia berkata pula.

Suara ucapannya ini begitu halus dan genit pula, rasanya menis lagi berminyak.

Keruan mau-tak-mau hati Nyo Ko terkesiap, "He, kenapa suara wanita ini begitu aneh," demikian ia membatin.

Lalu ia mendongak dan tertampak olehnya wanita ini berkulit putih bersih, kedua pipinya bersemu merah, sinar matanya bening dan sedang memandang mesra padanya, Nyo Ko menunduk lagi untuk menyalakan api pembakaran jagungnya.

Demi nampak muka Nyo Ko yang masih bersifat hijau, sudah melihat dirinya untuk kedua kalinya, namun sedikitpun tetap tidak terguncang hatinya, maka bukannya marah, sebaliknya si To-koh tertawa geli.

"Eh kiranya anak yang masih pelonco, kebetulan dapat kuperalat dia sebagai pembantu," demikian pikirnya.

Karena pikiran ini, dari bajunya segera ia mengeluarkan dua renceng uang perak dan sengaja dikocok-2 hingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring, dengan uang perak ini ia coba mengiming-imingi Nyo Ko.

"Adik cilik, asal kau turut perkataanku, dua renceng perak ini segera kuberikan padamu," katanya kemudian.

Nyo Ko sangat cerdik, sebenarnya dia tidak ingin cari penyakit, tetapi demi mendengar kata2 orang semakin aneh, akhirnya ia tertarik juga dan ingin tahu cara bagaimana orang akan perlakukan dkinya, maka sekilas ia sengaja pura2 tolol dan berlagak bodoh, dengan rasa tercengang ia pandang kedua renceng perak itu.

"Eh, barang mengkilap ini apa namanya ?" dengan sikap dungu ia sengaja tanya.

Kembali To-koh itu tertawa geli oleh kebodohan "anak udik" ini.

"lni uang perak." sahutnya kemudian. "Kau ingin pakaian baru, ingin ayam goreng, nasi liwet, semuanya dapat dibeli dengan ini!"

"Ah, kembali kau justai aku lagi, aku tak percaya," kata Nyo Ko dengan air muka seperti orang linglung.

"Kapankah pernah aku mendustai kau ?" sahut imam wanita itu dengan tertawa pula, "He, siapa namamu ?"

"Aku bernama Sah Thio (Thio si tolol), apa kau belum kenal ?" jawab Nyo Ko dengan nama palsunya, "Dan kau sendiri bernama siapa ?"

"Ah, tak usah tanya, panggil saja Sian-koh (bibi dewi)," sahut si To-koh. "Dimana makmu ?"

"Buat apa kau tanya mak-ku ?" berbalik Nyo Ko tanya. "Dia sedang mencari kayu di atas gunung."

"Ha, kebetulan, akupun ingin naik ke atas gunung," kata To-koh itu. "Pakaianku ini tidak baik di pakai ke sana, pergilah kau mengambilkan baju mak-mu dan pinjamkan padaku !"

Luar biasa heran Nyo Ko oleh kelakuan orang. Tetapi lahirnya ia unjuk muka tololnya semakin mirip, ber-ulang2 ia geleng kepala oleh bujukan orang tadi.

"Tidak, tak berani aku, mencuri baju mak, nanti aku pasti akan dihajar, kalau menghajar, mak-ku menggunakan palang pintu," sahutnya dengan lagak lucu.

"Begitu melihat uang perak ini, mak-mu pasti akan kegirangan, tentu kau tak takkan dipentung lagi," ujar si To-koh dengan tertawa.

Berbareng itu, sekali tangannya bergerak, se-renceng uang perak itu segera dia lemparkan pada Nyo Ko.

Nyo Ko ulur tangannya buat menangkap, tetapi dia sengaja membiarkan rencengan perak itu tertimpuk pada pundaknya dan jatuh ke bawah membentur sebelah kakinya.

"Aduh kau pukul aku," ia berteriak-teriak sambil memegang sebelah kaki yang tertimpuk uang perak itu dan dengan sebelah kaki yang lain ia ber-jingkrak2, pura2 kesakitan "Akan ku adukan pada mak !"

Habis ini, sambil masih menjerit, uang perak itu ia tinggalkan terus lari pergi dengan cepat.

Nampak kelakuan orang yang tolol2 lucu itu, si To-koh tersenyum geli. Tiba2 ia lepaskan ikat pinggang yang terbikin dari kain sutera, dengan sekali mengebas, ikat pinggang disabetkan dan menggubet sebelah kaki Nyo Ko terus diseret kembali.



Mendengar suara menyambarnya ikat pinggang dan merasakan tenaga tarikan yang menggulung kakinya itu, seketika Nyo Ko menjadi kaget. "He, gaya ini terang sekali adalah ilmu golongan Ko-bong-pay kami, apa dia ini bukan imam dari Coan-cin-pay ?" diam2 ia bertanya dalam hati.

Oleh karena itu, ia sengaja lemaskan badannya, ia membiarkan dirinya diseret kembali si To-koh, hanya dalam hati ia bertambah waspada dan ber-siap2 untuk menjaga segala kemungkinan "la hendak naik ke atas gunung, apa tujuannya hendak memusuhi Kokoh ?" demikian ia membatin pula.

Apabila teringat olehnya keadaan Siao-liong-li yang waktu itu tidak diketahui mati atau hidup, mau-tak-mau ia menjadi kuatir dan sedih sekali, segera ia ambil suatu keputusan: sekalipun nanti harus mati di tangan Siao-liong-li, dia bertekad akan naik lagi ke atas buat menyambanginya.

Pikiran itu sekilas bekerja dalam otaknya, sementara tubuhnya sudah kena diseret ke hadapan si To-koh tadi.

Ketika si To-koh melihat muka Nyo Ko penuh berlepotan debu, tetapi toh tidak menutupi wajahnya yang cakap, diam2 ia berpikir: "Anak gunung ini mukanya ternyata tampan juga, cuma sayang, bantal sulam, isinya jerami belaka."

Dalam pada itu ia dengar Nyo Ko masih ber-teriak2 dan mengoceh sendiri tak keruan.

"He, Sah Thio kau cari mampus atau ingin hidup ?" dengan tersenyum segera ia menegur, "Sret", tahu2 pedangnya sudah dilolos dan ditudingkan ke dada Nyo Ko.

Melihat gerak tangan orang barusan ini jelas adalah tipu "kim-pit-tiam-cu" (potlot emas menutul titik) yang merupakan ajaran asli - Ko-bong-pay, maka Nyo Ko tidak ragu2 lagi.

"Orang ini pasti anak murid Li Bok-chiu Su-pek, ia hendak naik ke atas gunung mencari Ko-koh, tentu tidak bermaksud baik, Kalau melihat caranya mengayun ikat pinggang dan caranya melolos senjata ini, terang keuletannya masih jauh di atas diriku, Orang ini hanya bisa dimenangkan dengan akal, tapi tak boleh dilawan dengan kekerasan aku harus pura2 bodoh sampai saat terakhir agar supaya dia sama sekali tidak ber-jaga2," demikian Nyo Ko berpikir

Oleh karenanya atas ancaman orang tadi, dengan mengunjuk rasa takut segera ia memohon:

"Jangan... jangan kau bunuh aku, Sian-koh, aku... aku akan menurut perkataanmu !"

"Baiklah, tetapi bila kau membangkang lagi, "ngek", sekali gorok saja aku sembelih kau," kata si To-koh dengan ketawa sambil memberi contoh dengan pedang menggorok leher.

"Menurut, pasti menurut," sahut Nyo Ko cepat,

Habis itu, sekali geraki tangannya lagi, tahu2 To-koh itu telah ajun ikat pinggangnya hingga melilit kembali pada pinggangnya sendiri gayanya manis dan caranya menarik.

"Bagus !" dalam hati Nyo Ko memuji juga atas kepandaian orang, Tetapi wajahnya tidak mengunjuk sesuatu perasaannya melainkan masih ber-pura2 seperti orang linglung.

Sudah tentu hal ini tidak diketahui si To-koh, dalam hati ia membatin: "Hm, si tolol ini mana mengerti kebagusan kepandaianku tadi ? Aku ini seperti main mata dengan orang buta saja."

"Nah, Sah Thio, lekas kau pulang dan mengambilkan sebuah kampak, aku mau pakai," demikian katanya kemudian.

Nyo Ko menurut, ia ber-lari2 menuju ke rumah petani yang tertampak di depan sana, ia sengaja berjalan lambat, tubuhnya ber-goyang2 dengan gaya "lenggang sampan", langkahnya berat, kelakuannya lucu, tampaknya tepat sekali sebagai seorang yang goblok, mana bisa orang berilmu silat berlaku seperti dia ini ?

Menyaksikan macam orang ini, agaknya si To-koh rada2 muak, "He, Sah Thio, jangan kau bilang2 pada orang lain, lekas pergi dan lekas kembali!" serunya pula memesan.

"Ya," sahut Nyo Ko sambil berjalan terus.

Akhirnya tibalah dia sampai di depan pintu rumah petani, ia longak-longok ke dalam rumah nyata tiada seorangpun penghuninya, mungkin orangnya sedang sibuk bercocok tanam di sawah ladang, maka dengan bebas Nyo Ko menyamber sebilah kampak pendek yang biasa dipakai membelah kayu, lalu dengan lagak ke-tolol2an ia berlari kembali Iagi.

Sungguhpun dengan senangnya Nyo Ko mempermainkan si To-koh, namun dalam hati ia menguatirkan keselamatan Siao-liong-li, oleh sebab ini, mau-tak-mau air mukanya kelihatan mengunjuk rasa sedih.

"He, Sah Thio, kenapa kau muram durja ?" omel si To-koh. "Hayo, lekas ketawa !"

Eh, betul juga Nyo Ko lantas menyengir beberapa kali.

Tentu saja si To-koh mengkerut alis melihat macamnya itu, "Mari, ikut aku !" katanya kemudian.

"Tidak, tidak, mak-ku sedang tunggu aku untuk makan siang !" seru Nyo Ko cepat.

"Kurangajar," bentak si To-koh, "berani kau membangkang, segera kusembelih kau !"

Habis berkata, sekali ulur tangannya, segera daun kuping Nyo Ko kena dijewer terus ditarik sambil mengancam dengan pedang.

Nyo Ko berteriak-teriak kesakitan seperti babi hendak disembelih

"Auuuuh, sakit! baiklah, aku ikut, aku ikut!" teriaknya.

"Orang ini sebodoh kerbau, kebetulan dapat kuperas," demikian To-koh itu membatin.

Lalu ia tarik lengan baju Nyo Ko terus diseret ke atas gunung.

Orang yang memiliki ilmu silat, cara jalannya dengan sendirinya sangat cepat, Tetapi Nyo Ko justeru sengaja berlaku ayal2an, ia tumbuk sini dan kesandung sana, langkahnya sekali cepat sekali lambat, ia sengaja bikin dirinya ketinggalan di belakang.

Tak lama lagi ia pura2 tak tahan, ia duduk di atas satu batu di tepi jalan sambil mengusap keringatnya, napasnya ter-engah2 senin-kemis.

Karena kelakuannya ini, dalam gelinya si To-koh ber-ulang2 mendesaknya agat melanjutkan perjalanan lagi.

"Begitu cepat kau berjalan, mana bisa aku menyusulmu ?" sahut Nyo Ko.

Akan tetapi karena sang surya sudah mendoyong ke barat, hari sudah sore, To-koh itu menjadi tak sabar Iagi, segera ia dekati Nyo Ko, dipegang lengannya dan ditarik terus berlari cepat lagi ke atas.

Tetapi Nyo Ko tetap tak bisa mengikuti tindakan orang yang terlalu cepat, kedua kakinya harus mancal2 tak keruan dan tiba2 menginjak sebelah kaki dengan keras si To-koh.

"Auuh ! Kau cari mampus l" jerit To-koh itu sambil mendamperat.

Dia melihat napas Nyo Ko memang meraba m dan terlalu payah, segera ia ulur tangan kirinya, tiba2 ia angkat pinggang Nyo Ko sambil membentak : "Naik !" Maka tubuh Nyo Ko lantas di-rangkulnya terus dibawa lari ke atas gunung, dengan menggunakan Ginkang yang hebat, hanya sekejap saja beberapa li sudah dilalui.

Karena tubuhnya dirangkul sebelah tangan orang, maka terasalah oleh Nyo Ko punggung sendiri menempel dada orang yang hangat dan empuk, hidungnya tercium pula bau wangi kaum gadis umumnya, keruan saja Nyo Ko kesenangan, sekalian ia menggelendot tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun, ia biarkan dirinya dicangking orang ke atas.

Sesudah beberapa li pula, ketika To-koh itu tiba2 memandang kebawah, ia lihat wajah Nyo Ko mengunjuk senyuman, tampaknya enak sekali rasanya, keruan ia mendongkol begitu tangannya dikendorkan segera Nyo Ko terbanting ke tanah.

"Senang ya, kau ?" bentak si To-koh.

Karena bantingan ini, Nyo Ko me-raba2 bo-kongnya sambil ber-teriak2 kesakitan

Mau-tak-mau To-koh itu tertawa lagi oleh kelakuan Nyo Ko yang tolol2 lucu itu, ia mendongkol juga geli.

"Kenapa kau begini tolol ?" ia mengomel.

"Ya, memangnya namaku Thio si tolol," sahut Nyo Ko. "Sian-koh, aku she Thio, dan kau apa she Sian ?"

"Asal kau panggil aku Sian-koh, peduli kau urus aku she apa," damperat si To-koh.

Kiranya To-koh atau imam wanita ini memang betul adalah murid pertama Jik-lian-siancu Li Bok-chiu, ia she Ang dan bernama Ling-po,

To-koh yang dahulu disuruh pergi membunuh seluruh keluarganya Liok Lip-ting dan akhirnya kena diusir Bu-samnio, bukan lain ialah Ang Ling-po ini, Tetapi meski Nyo Ko ingin menyelidiki nama-nya, namun sama sekali ia tak mau menerangkan.



Begitulah, lalu Ang Ling-po duduk juga di atas satu batu sambil membetulkan rambutnya yang tersebar tertiup angin.

Ketika Nyo Ko berpaling dan memandangi orang, mau-tak-mau ia berkata dalam hati: "To-koh ini terhitung cantik juga, cuma masih belum bisa mengungkuli Kwe-pekbo (bibi Kwe, maksudnya Ui Yong), lebih2 tak bisa menandingi aku punya Kokoh (maksudnya Siao-liong-li)."

Walaupun demikian pendapat Nyo Ko, kalau soal kecantikan sebenarnya Ui Yong dan Siao-liong-li boleh dikatakan sukar dibedakan mana yang lebih elok, tapi lantaran Nyo Ko sudah pakai pikiran yang berat sebelah, dengan sendirinya ia merasa Siao-liong-li terlebih cantik.

Dalam pada itu demi tahu orang sedang menikmati kecantikannya, Ang Lin-po melerok sekali pada Nyo Ko.

"Kenapa kau pandang aku terus, Sah Thio ?" dengan tertawa ia tanya.

"Pandang ya pandang, kenapa, itulah aku tak tahu, jika kau tak boleh kupandang, baiklah aku tak memandang lagi, siapa yang kepingin lihat ?" sahut Nyo Ko ke-tolol2an.

Ang Ling-po tertawa genit. "Kau mau pandang, nah, pandanglah terus, Eh, aku ini bagaimana, cantik tidak kelihatannya ?" ia tanya sembari mengeluarkan sebuah sisir emas kecil dan dengan pelahan ia sisir rambutnya yang gombyok indah itu.

"Bagus sih bagus," sahut Nyo Ko, hanya... hanya..."

"Hanya apa ?" sela Ang Ling-po.

"Hanya kurang putih," kata Nyo Ko.

"Sah Thio, kau cari mampus ya ? Berani kau bilang aku kurang putih ?" mendadak Ang Ling-po membentak sambil berdiri

Kiranya selama ini Ang Ling-po paling bangga akan kulit badannya sendiri yang putih mulus seperti susu, ia kira di jagat ini pasti tiada bandingannya lagi, siapa tahu Nyo Ko berani bilang kulitnya masih kurang putih, keruan ia sangat gusar.

Di luar dugaan, meski sudah dibentak, toh Nyo Ko tetap geleng kepala.

"Ya, kurang putih," sahut tegas.

"Lalu siapa yang lebih putih dari padaku ?" tanya Ang Ling-po dengan marah.

"Yang tidur bersama aku setiap malam jauh lebih putih dari padamu," kata Nyo Ko.

"Siapa dia, binimu atau mak-mu ?" tanya Ang Ling-po.

"Bukan, semua bukan, tetapi adalah domba-ku," sahut Nyo Ko akhirnya.

Mendengar toh bukan manusia lain yang lebih putih dari pada dia, maka dari marah Ang Ling-po berubah tertawa geli.

"Sungguh tolol, manusia mana bisa dibandingkan dengan hewan ?" omelnya kemudian, "Ayo, kita berangkat lagi."

Habis ini ia tarik lagi tangan Nyo Ko dan diseret ke atas gunung pula, Pada waktu hampir mendekati jalan yang lurus menuju Tiong-yang-kiong, tiba2 Ang Ling-po membelok ke barat dari menuju ke arah Hoat-su-jin-bong.

"He, betul dia hendak mencari Kokoh," pikir Nyo Ko diam-diam.

Selang tak lama lagi Ang Ling-po mengeluarkan sebuah peta dari bajunya dan berdasarkan peta ini ia mencari jalannya.

"Sian-koh," kata Nyo Ko tiba2, "lebih ke depan lagi jalan ini buntu, di dalam rimba sana ada macannya."

"Dari mana kau tahu ?" tanya Ling-po.

"Ya, di dalam rimba sana ada suatu kuburan raksasa, di dalam kuburan terdapat mayat hidup dan setan gentayangan siapapun tak berani men-dekatinya," sahut Nyo Ko.

"Ha, ternyata Hoat-su-jin-bong memang betul ada di sini," ujar Ang Ling-po girang.

"Kiranya Ang Ling-po ini belakangan ini telah memperoleh ajaran tingkat terakhir dari gurunya, Li Bok-chiu, maka ilmu silatnya maju pesat sekali, setelah membantu gurunya mengalahkan keroyokan kalangan Bu-lim di Soasay, lebih2 ia sangat bangga diri.

Belakangan ia dengar cerita tentang asal-usul perguruan sendiri dari Li Bok-chiu, dari itu ia tahu di Hoat-su-jin-bong masih ada kitab rahasia pelajaran ilmu silat kelas wahid, terutama "Giok-li-sim-keng".

Li Bok-chiu memang seorang yang suka jaga gengsi sendiri, terhadap kejadian2 cara bagaimana ia diusir terbirit keluar dari Hoat-su-jin-bong ketika dirinya mengeluruk lagi ke sana, hal ini sama sekali tak diceritakan pada sang murid.

Karena itu, ketika Ang Ling-po tanya dia kenapa tidak mendatangi kuburan kuno itu untuk pelajari ilmu silat yang hebat itu, namun selalu Li Bok-chiu menjawabnya dengan samar2, ia bilang tempat kuburan itu sudah diberikan pada Sumoaynya yang masih muda dan karena kedua saudara seperguruan tidak akur, maka sudah lama tiada hubungan satu sama lain.

Walaupun begitu, Ang Ling-po selalu menghasut sang guru agar pergi mengangkangi Hoat-su-jin-bong itu, padahal Li Bok-chiu sendiri siang dan malam tidak pernah melupakan hal itu, hanya perangkap di dalam kuburan itu belum bisa dia menembusnya, oleh karena itu juga sampai kini ia masih belum berani sembarang turun tangan. Kini mendengar bujukan sang murid yang begitu bernapsu ia hanya tersenyum dan tak menjawab.

Sesudah Ang Ling-po beberapa kali mengemukakan maksudnya dan sang guru tetap tinggal diam, maka diam2 ia sendiripun mulai mengincar ia telah tanyai keadaan dan jalan2 yang menuju ke kuburan itu, lalu ia sendiri menyiapkan sebuah petanya.

Kali ini, pada kesempatan dia diperintah gurunya ke Tiang-an untuk membunuh seorang musuh, selesai tugasnya, diam2 ia menuju ke Cong-lam-san dan diluar dugaan telah bertemu dengan Nyo Ko.

Kalau menurut cerita gurunya, katanya sekitar kuburan kuno dilingkari tumbuh2an lebat dan terputus hubungan dengan dunia luar, Tetapi dia tak tahu bahwa Li Bok-chiu sebenarnya belum cerita seluruhnya yang betul, padahal kuburan kuno itu masih ada jalan rahasia lain yang bertembusan dengan dunia luar.

Begitulah, lalu ia perintahkan Nyo Ko membabat belukar yang merintangi jalan dengan menggunakan kampak curian, dengan cara ini ia mencari jalan yang menuju Hoat-su-jin-bong.

Sebenarnya Nyo Ko cukup apal jalan yang menembus ke kuburan kuno itu, dengan membabat hutan belukar seperti apa yang dilakukan ini bukan saja membuang tenaga dan waktu, bahkan berbahaya pula, Tetapi ia pura2 linglung dan tak mengerti apa2, Ang Ling-po suruh kerjakan apa, dia lantas lakukan apa. Sampai akhirnya, cuaca sudah gelap juga, tetapi baru lebih satu li mereka tempuh, jaraknya dengan kuburan kuno itu masih sangat jauh.

Oleh karena masih menguatirkan keselamatan Siao-liong-li, maka Nyo Ko menjadi tak sabar, ia pikir tidaklah lebih baik bawa To-koh ini ke sana dan melihat apa yang hendak dia lakukan, Maka-sengaja ia mem-babat2 beberapa kali lagi, ia mengincar sebuah batu terus mengampak dengan keras, keruan lelatu api bercipratan, mata kampak itu segera gumpil pula.

"Ai, celaka, di sini ada sebuah batu besar, kampaknya telah rusak, tentu nanti aku bakal dihajar mak-ku !" teriak Nyo Ko pura2 takut.

Ang Ling-po sendiri sebenarnya juga sudah tak sabar melihat cara mereka menempuh perjalanan ini, agaknya malam ini tidak bisa sampai di kuburan kuno itu, Oleh karenanya terus-menerus ia rnendamperat: "ToIol, sungguh tolol !"

"Sian-koh, kau takut setan atau tidak ?" tiba2 Nyo Ko bertanya.

"Takut setan ?" sahut Ling-po, "Hm, setan yang takut padaku, tahu ? - Dengan sekali tabas nanti kubikin setannya terkurung menjadi dua."

Nyo Ko pura2 girang oleh jawaban orang.

"BetuIkah, Sian-koh ? Kau, tidak dusta ?" tanyanya.

"Buat apa dusta !" ujar Ling-po.

"Baiklah, jika memang kau tak takut setan, segera kubawa kau pergi ke kuburan raksasa itu," kata Nyo Ko. "Cuma kalau setannya keluar, kau harus mengusirnya, ya !"

Girang sekali Ang Ling-po mendengar si tolol kenal jalan ke kuburan itu, "Kau kenal jalannya ? Baiklah, lekas bawa aku ke sana !" sahutnya cepat.



Kuatir orang curiga, Nyo Ko sengaja mengoceh lagi, ia minta Ang Ling-po harus janji akan membunuh setan bila muncul. Karena itu, berulang kali Ling-po bersumpah dan suruh dia jangan kuatir.

"Beberapa tahun yang lalu." demikian kata Nyo Ko pula, "aku pernah mengangon domba ke samping kuburan raksasa itu, di sana aku tertidur, waktu mendusin, ternyata sudah tengah malam, Dengan mata kepalaku sendiri kulihat satu setan perempuan berbaju putih menongol keluar dari kuburan itu, saking takutnya aku lari ter-birit2 hingga di tengah jalan aku jatuh kesandung, kepalaku sampai bocor dan luka, lihat ini, di sini masih ada bekasnya."

Sambil berkata Nyo Ko sengaja mendekati Ang Ling-po agar orang suka meraba kepalanya, Meski Nyo Ko masih pelonco, namun terasa juga badan -Ang Ling-po sangat wangi, kalau bisa berdekatan, rasanya sangat sedap dan enak, maka kini sengaja ia gunakan kesempatan untuk akali orang, kepalanya dimiringkan ke dekat mulut orang.

"Tolol!" dengan tertawa Ang Ling-po mengomel karena kelakuan Nyo Ko itu, Lalu sekenanya ia meraba kepalanya, tetapi toh tidak terasa ada sesuatu belang bekas luka, namun iapun tidak pedulikan, segera ia mendesak lagi: "Lekas bawa aku ke sana !"

Maka tanpa bicara lagi Nyo Ko menggandeng tangan orang dan diajak keluar dari semak2 belukar itu dan memutar menuju jalan yang menembus ke kuburan kuno.

Waktu itu sudah dekat tengah malam, Dengan memegangi tangan orang, terasa oleh Nyo Ko tangan Ang Ling-po ini sangat halus dan empuk, pula hangat Diam2 Nyo Ko menjadi heran. "Kokoh dan dia sama2 wanita, tapi tangan yang satu kenapa dingin seperti es, sedang tangan yang ini begini hangat ?" demikian pikirnya dengan tak mengerti.

Karena tak tahan, tanpa terasa ia gunakan tenaga sedikit dan me-remas2 tangan orang yang halus itu beberapa kali.

Jika orang Bu-lim ada yang berani main gila seperti kelakuan Nyo Ko ini, sudah sejak tadi pasti Ang Ling-po lolos pedangnya dan bikin jiwanya melayang, Tetapi, pertama karena dia anggap Nyo Ko betul2 seorang bebal, pula melihat wajahnya yang tampan dan gagah, dalam hati Ang Ling-po mau-tak-mau rada suka juga, maka iapun tidak menjadi gusar, Hanya dalam hati ia berpikir: "Si tolol ini ternyata tidak seluruhnya tolol, nyata ia tahu juga akan kecantikanku."

Dengan membawa orang ke kuburan kuno itu, sekali ini Nyo Ko tidak pura2 lagi, maka tidak seberapa lama ia sudah membawa Ang Ling-po sampai di tempat tujuannya.

Waktu Nyo Ko lari keluar kuburan kuno itu, karena takutnya dia belum sempat menutup kembali pintunya, kini batu yang dipakai sebagai daun pintu ternyata masih menggeletak di samping dan belum ditutup kembali, Sesaat hati Nyo Ko menjadi ber-debar2, diam2 ia berdo'a: "Harap saja Kokoh belum mati, supaya aku bisa berjumpa dengan dia sekali lagi."

Karena sudah tak sabar, ia tidak permainkan Ang Ling-po pula, ia berkata padanya: "Sian-koh, kubawa kau masuk ke sana untuk bunuh setan, tetapi jangan kau biarkan setannya menelan diriku." - Habis berkata segera ia melangkah dulu ke dalam kuburan yang aneh.

Melihat Nyo Ko tiba2 menjadi berani, diam2 Ling-po merasa heran, pikirnya: "Sungguh si tolol ini mendadak besar nyalinya ?" Maka iapun tak sempat berpikir panjang lagi, segera ia kintil di belakang Nyo Ko, pedang disiapkan di tangan untuk menjaga segala kemungkinan

Dari gurunya Ang Ling-po mendengar, katanya jalan di dalam Hoat-su-jin-bong itu belak-belok dan ber-putar2, asal salah jalan selangkah saja segera jiwa bisa melayang, Tapi tanpa pikir Nyo Ko ternyata berani melangkah sesukanya dengan cepat ia memutar ke timur dan membelok ke barat, di sini ia dorong sebuah pintu dan masuk nanti dia tarik sebuah batu besar lagi, tampaknya sudah apal luar biasa.

Diam2 Ang Ling-po mulai curiga, "Jangan2 Suhu yang mendustai aku karena kuatir aku masuk ke sini sendiri ?" demikian batinnya.

Dalam pada itu, sekejap saja Nyo Ko sudah membawa Ang Ling-po masuk ke kamarnya Siao-liong-li yang terletak di tengah2 kuburan itu.

Pelahan Nyo Ko mendorong pintu kamar, ia coba pasang kuping, tapi tidak terdengar suara sedikitpun, sebenarnya ia hendak memanggil Ko-koh, tetapi urung ketika teringat olehnya bahwa Ang Ling-po berada di sampingnya, maka dengan suara pelahan ia berkata padanya : "Sudah sampai !"

Sekalipun ilmu silat Ang Ling-po tinggi dan nyalinya besar, tetapi sesudah berada di tengah2 kuburan raksasa, bagaimanapun juga hatinya kebat-kebit, maka demi mendengar perkataan Nyo Ko, segera ia ketik batu api dan menyalakan lilin yang berada di atas meja. Kemudian tertampaklah olehnya ada seorang gadis berbaju putih sedang rebah tenang tanpa bergerak sedikitpun.

Memang sudah diduga juga olehnya bahwa di dalam kuburan ini dia akan bertemu dengan Susiok atau paman gurunya, Siao-liong-li, tetapi sama sekali tak tersangka Siao-liong-li sedang tidur se-enaknya saja di atas ranjangnya se-akan2 tak gentar dengan bahaya apa yang akan menimpa juga tidak pandang sebelah mata padanya.

Karena itu, Ang Ling-po tak berani ayal, ia melintang pedangnya di depan dada sebagai penghormatan lalu ia buka suara : "Tecu Ang Ling-po mohon bertemu Susiok !"

Hati Nyo Ko memukul keras seperti mau melompat keluar dari dadanya, dengan mulut melongo ia curahkan seluruh perhatiannya untuk melihat gerak-gerik Siao-liong-li, tetapi sedikitpun Siao-liong-li tidak bergerak, sudah kma sekali baru terdengar ia menyahut dengan suara yang pelahan tetapi orangnya masih rebah menghadap tembok

Sejak mulai Ang Ling-po berkata sampai Siao-liong-li menyahut, selama itu Nyo Ko menunggu dengan luar biasa gopohnya, bisa2 ia ingin menubruk maju dan merangkul Suhunya buat menangis se-puas2nya.

Kemudian setelah mendengar Siao-liong-li bersuara, hatinya baru merasa lega seperti sebuah batu besar yang menindih tiba2 dapat di angkat, dalam girangnya ia tak sanggup menguasai perasaannya lagi, menangislah dia tersedu-sedu, Keruan Ang Ling-po sangat heran.

"He, ada apa, Sah Thio ?" ia tanya.

"Hu huk... aku takut," sahut Nyo Ko terguguk-guguk

Dalam pada itu Siao-liong-li telah berpaling dengan pelahan.

"Tak usah kau takut," katanya tiba2 dengan suara lemah, "tadi aku sudah mati satu kali, rasanya sedikitpun tidak menderita."

Terperanjat sekali Ang Ling-po ketika mendadak melihat wajah Siao-Iiong-li yang begitu cantik tiada taranya, tetapi mukanya pucat lesi tanpa berdarah, "Ternyata di dunia ini ada wanita sedemikian molek seperti dia ini." demikian pikirnya, Karenanya seketika ia merasa dirinya sendiri menjadi jelek.

"Tecu Ang Ling-po, menghadap Susiok di sini," ia berkata pula.

"Dan dimanakah Suci (kakak guru perempuan) ? juga datangkah dia ?" dengan pelahan Siao-liong-li menanya.

"Suhu suruh Tecu ke sini dulu buat menyampaikan salam hormat pada Susiok," sahut Ang Ling-po.

"Lekas kau keluar saja, jangankan kau, sekalipun gurumu tidak diperkenankan masuk ke sini," ujar Siao-liong-Ii.

Melihat muka Siao-iiong-!i yang mirip orang sakit, pula baju di dadanya penuh noda darah, cara bicaranya ter-putus2 dan napasnya memburu, terang sekali orang terluka parah, keruan Ang Ling-po menjadi berani, rasa kebat-kebitnya tadi seketika hilang sebagian besar.

"Dan dimanakah Sun-popoh ?" ia coba tanya lagi.

"Sudah lama dia meninggal, lekas kau keluar saja," sahut Siao-liong-li.

Ang Ling-po tambah lega demi mendengar Sun-popoh sudah mati, diam2 ia bergirang dan berpikir : "Sungguh sangat kebetulan dan rupanya memang ada jodoh, tak terduga aku Ang Ling-po ternyata bisa menjadi ahliwaris Hoat-su-jin-bong ini."

Tampaknya jiwa Siao-liong-li sudah tinggal sesaat saja, Ang Ling-po kuatir orang mendadak mati hingga tiada orang Iain lagi yang mengetahui di mana tersimpannya kitab "Giok-li-sim-keng", maka cepat2 ia buka suara pula.

"Susiok," demikian ia memanggil "Suhu suruh Tecu ke sini buat mohon kitab Giok-li-sim-keng, Harap engkau suka serahkan padaku dan Tecu segera mengobati lukamu."



Selama ini hati Siao-liong-li selalu dalam keadaan tenang tenteram, semua cita-rasanya sudah terbuang jauh dan terlupa, tetapi kini setelah menderita luka, ilmu kepandaian yang dilatihnya sudah ludes semua, hakikatnya ia sudah tak punya kekuatan untuk menguasai perasaan sendiri, maka demi mendengar apa yang dikatakan Ang Ling-po,

Dalam gugup dan gusarnya, tiba2 matanya mendelik terus jatuh pingsan, secepat kilat Ang Ling-po telah memburu maju, ia pijat sekali "Jin-tiong-hiat" di atas bibir orang, maka secara pelahan Siao-liong-li telah siu-man kembali.

"Kalian guru dan murid lebih baik jangan berpikir secara muluk2, di manakah Suciku ? Lekas kau suruh dia ke sini ada sesuatu hendak ku katakan padanya," kata Siao-liong-li kemudian dengan gusar.

Tetapi Ang Ling-po tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin, lalu dari bajunya ia keluarkan dua buah jarum perak yang panjang.

"Susiok, kau tentu kenal sepasang jarum ini," katanya mengancam, "jika tak mau kau bicara, jangan kau sesalkan aku berlaku kurangajar."

Melihat orang mendadak unjuk senjata, Nyo Ko kenal itu adalah Peng-pek-gin-ciam yang pernah dipakai Li Bok-chiu untuk membunuh orang, ia sendiri tanpa sengaja pernah memegangnya hingga terkena racunnya yang sangat jahat, maka ia cukup tahu betapa lihaynya jarum perak itu.

Di lain pihak, sudah tentu Siao-liong-li terlebih kenal betapa lihay dan keji senjata perguruannya sendiri, masih mendingan bila orangnya segera mati setelah tertusuk jarum perak berbisa itu, yang paling ngeri kalau jarum itu dipakai menggosok beberapa kali di tempat jalan darah yang bisa bikin kaku kesemutan, segera seluruh tubuh orang akan terasa gatal pegal laksana be-ribu2 semut merubung dan menggigit kian kemari diantara tulang sungsum. Dalam keadaan demikian, si pende-rita itu boleh dikata ingin hidup tak bisa dan minta mati pun tak dapat

Karena itulah, ketika melihat Ang Ling-po pegang jarum peraknya sambil digerakkan beberapa kali, lalu maju mendekatinya, saking kuatir hampir2 Siao-Iiong-li jatuh kelengar lagi.

Nampak keadaan sudah genting, Nyo Ko tak bisa tinggal diam lagi, tiba2 ia berteriak : "Sian-koh, di sana ada setan, hiiih, aku takut!"

Sembari berteriak, segera Nyo Ko berlari mendekati orang terus merangkulnya, seketika tangan merangkul punggung orang, tanpa ayal segera ia menutuk dua kali tempat "Ko-ceng-hiat" dan Jiau-yao-hiat".

Sungguh mimpi pun Ang Ling-po tak pernah menduga bahwa Thio si tolol ini ternyata memiliki kepandaian silat yang tinggi, selagi ia hendak men-damperat, tahu2 seluruh tubuhnya sudah terasa Iumpuh, seketika ia sendiri roboh ke lantai.

Kuatir kalau2 orang mampu melancarkan jalan darah sendiri, Nyo Ko menambahi pula menutuk sekali lagi di tempat "ki-kut-hiat". yakni tulang punggung yang besar. Dengan demikian orang tak nanti bisa berkutik lagi.

"Kokoh, perempuan ini sangat jahat, bagaimana kalau aku tusuk dia beberapa kali dengan jarum peraknya, supaya senjata makan tuannya ?" dengan ketawa Nyo Ko tanya Siao-liong-li.

Sambil berkata betul juga Nyo Ko lantas membungkus jari tangannya dengan ujung bajunya, lalu ia jemput jarum perak Ang Ling-po tadi.

Meski badan Ang Ling-po lumpuh tak bisa berkutik, tetapi setiap perkataan Nyo Ko dapat dia dengar dengan terang, apalagi dia lihat Nyo Ko telah jemput jarumnya tadi dan sambil tertawa sedang memandang padanya, keruan tidak kepalang terkejutnya hingga semangat serasa terbang meninggalkan raganya, ia ingin buka suara buat minta ampun, tetapi sayang, mulutnya tak berkuasa, terpaksa ia hanya mengunjuk maksud minta ampun melalui sinar matanya yang redup dan harus dikasihani itu.

"Ko-ji, pergilah kau menutup pintu untuk menjaga agar Suci tidak masuk kemari," demikian Siao-liong-li berkata pada Nyo Ko.

"Baik," sahut Nyo Ko.

Segera ia hendak melakukan perintah itu. Tetapi baru saja ia putar tubuh, se-konyong2 ia di-kejutkan oleh satu suara seorang perempuan yang sangat genit merdu di belakangnya.

"Baik2kah kau, Sumoay? - Sudah sejak tadi aku masuk ke sini", demikian kata suara itu tiba2.

Sungguh bukan buatan kaget Nyo Ko, cepat ia berpaling, maka tertampaklah olehnya di bawah sorot sinar lilin, di ambang pintu kamar sudah berdiri seorang To-koh setengah umur, raut mukanya potongan daun sirih, pipinya putih bersemu merah, sayang matanya buta sebelah. Siapa lagi dia kalau bukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang sebelah matanya kena ditotol buta oleh burung merahnya sendiri dahulu.

Dari manakah Li Bok-chiu bisa muncul di situ secara tiba-tiba ?

Kiranya sewaktu Ang Ling-po selalu menanyakan jalan ke Hoat-su-jin-bong kepadanya, sejak mula Li Bok-chiu sudah menduga pasti anak muridnya ini secara diam2 akan pergi mencuri kitab Giok-li-sim-keng, maka sengaja dia peralat muridnya ini ia sengaja mengirim Ang Ling-po pergi membunuh seorang musuh di Tiang-an, padahal ini adalah siasat Li Bok-chiu agar dengan demikian Ang Ling-po ada kesempatan buat pergi ke kuburan kuno itu, sedang ia sendiri diam2 menguntit di belakang sang murid.

Maka pertemuan antar Ang Ling-po dan Nyo Ko, lalu masuk ke kuburan dan cara bagaimana muridnya itu memaksa Siao-liong-li menyerahkan kitab Giok-li-sim-keng, semua kejadian itu dapat disaksikannya dengan mata kepala sendiri.

Cuma karena gerak tubuhnya sangat gesit dan cepat maka Ang Ling-po dan Nyo Ko tiada yang merasa sedikitpun dan baru sekarang inilah, karena dianggap sudah tiba waktunya, maka dia lantas unjukkan diri.

Pandangan Li Bok-chiu ternyata sangat tajam, meski kejadiannya sudah lewat beberapa tahun, pula Nyo Ko sudah tumbuh besar, namun dia masih tetap mengenali pemuda ini adalah anak yang menggunakan burung merahnya untuk menotol sebelah biji matanya sehingga buta.

Kejadian itu senantiasa dianggap oleh Li Bok-chiu sebagai suatu peristiwa yang menyakitkan hati, kini demi saling bertemu lagi, tentu saja ia sangat gusar.

Akan tetapi sebelum Li Bok-chiu sempat bertindak sesuatu, se-konyong2 Siao-liong-li telah bangun.

"Suci!" serunya tiba2, kembali darah segar menyembur dari mulutnya.

"Siapa dia ini ?" dengan sikap dingin Li Bok-chiu bertanya tanpa menghiraukkn keadaan sang Sumoay yang payah, "Tidakkah kau tahu larangan Cosu-popoh bahwa dalam kuburan ini tidak boleh diinjak kaum laki2 busuk barang selangkahpun dan kenapa kau berani ijinkan dia tinggal di sini?"

Mendadak Siao-liong-li ter-batuk2 hebat, ia tak sanggup menjawab teguran sang Suci.

Nampak keadaan Siao-liong-li, tanpa disuruh segera Nyo Ko maju menghadang ke depan buat melindunginya.

"Dia adalah aku punya Kokoh, urusan disini tidak perlu kau ikut campur !" dengan suara lantang ia wakilkan Siao-liong-li menjawab.

"Hm, bagus kau Sah Thio, kau betul2 pandai berlagak bodoh !" sindir Li Bok-chiu. Habis ini, mendadak kebut yang dia pegang bergerak, susul menyusul ia menyerang tiga kali.

Walaupun tiga serangan itu dilontarkan susul-menyusul, namun datangnya kepada sasarannya se-akan2 berbareng saja saatnya.

Tipu serangan cepat itu memang termasuk tipu serangan yang paling lihay dari ilmu silat Ko-bong-pay, bagi jago silat golongan lain tidak kenal kebagusan tipu2 serangan itu, begitu maju, seketika pasti akan dihantam hingga otot putus dan tulang patah.

Akan tetapi Nyo Ko sendiri sudah matang dan apal terhadap semua ilmu silat Ko-bong-pay, walaupun belum bisa dibandingkan keuletan Li Bok-chiu yang sudah terlatih, namun untuk menghindari tiga kali serangan yang disebut "sam-yan-tau-lim" (tiga burung sriti menyusup masuk rimba) itu masih bisa dilakukannya dengan gampang.

Dan karena serangan yang lihay itu luput mengenai sasarannya, tentu saja Li Bok-chiu sangat kaget, ia masih ragu2 akan pemuda yang berhadapan dengan dirinya sekarang ini, dengan sebelah matanya ia coba melirik tajam, akan tepi jelas pemuda ini adalah anak yang dahulu dijumpainya di Oh-ciu di daerah Kanglam itu, kenapa berpisah beberapa tahu saja ilmu silatnya sudah maju begitu pesat?

Apalagi melihat cara bergeraknya buat menghindari serangannya tadi ternyata adalah ilmu silat dari perguruan sendiri keruan hal ini makin menambah rasa curiganya.

"Sumoay, ada hubungan apakah antara kau dengan bangsat cilik ini ?" dengan suara bengis segera ia membentak Siao-liong-li

Kuatir, muntah darah lagi, Siao-liong-li tak berani buka suara keras, hanya dengan pelahan ia bilang pada Nyo Ko: "Ko-ji, lekas memberi hormat pada Supek (paman guru)."

"Cis, paman guru macam apa ini ?" Nyo Ko berbalik meng-olok2.

"Ko-ji, coba tempelkan kupingmu ke sini, ada yang hendak kukatakan," kata Siao-liong-li pula.

Tentu saja Nyo Ko rada penasaran karena dia mengira Siao-liong-li akan bujuk dirinya buat menjura pada Li Bok-chiu. walaupun demikian, terpaksa ia menurut juga, ia tempelkan kupingnya ke mulut Siao-liong-li.

"Di pojok kaki ranjang ini terdapat satu papan batu yang menonjol," demikian dengan suara lembut seperti bunyi nyamuk Siao-liong-li berkata, "lekas kau melompat turun dan dongkel sekuatnya papan batu itu."

Dalam pada itu, melihat cara mereka bisik2, Li Bok-chiu mengira juga Siao-liong-li sedang pesan sang murid agar menjura padanya untuk minta ampun, apalagi orang2 yang berada di hadapannya ini yang satu terang terluka parah dan yang lain hanya satu bocah angkatan muda, tentu saja tiada yang dia pikirkan.

Li Bok-chiu sendiri justru lagi peras otak untuk mendapatkan akal bagus agar bisa memaksa sang Sumoay menyerahkan Giok-li-sim-keng tinggalan guru mereka.

Sementara itu atas kisikan Siao-liong-li tadi, terlihat Nyo Ko meng-angguk2, Lalu dengan suara lantang ia berkata : "Baiklah, Tecu memberi hormat pada Supek !"

Sambil berkata ia lantas melompat turun dari ranjang, dan ketika tangannya meraba ke pojok ranjang yang di bawah sana, betul saja tangannya menyentuh sepotong batu yang menonjol, tanpa ayal lagi segera ia tarik dengan seluruh tenaganya maka terdengarlah suara "kreeek" yang berat, mendadak ranjang batu itu ambles ke bawah.

Dengan sendirinya Li Bok-chiu terperanjat oleh kejadian mendadak itu, ia tahu dalam kuburan kuno di mana2 terpasang perangkap rahasia, mendiang gurunya telah pilih kasih dan dirinya telah dikelabui, sebaliknya semua rahasia itu telah diturunkan kepada sang Sumoay. Karenanya, tanpa pikir lagi segera ia melesat maju, dengan sekali jamberet ia hendak cengkeram Siao-liong-li.

Tatkala itu Siao-liong-li sedikitpun tak punya tenaga buat menangkis jambereten itu, meski ranjang batunya mendadak ambles ke bawah, tetapi karena Li Bok-chiu cepat mengetahui dan mengambil tindakan kilat pula, cara turun tangannya pun sebat luar biasa, maka dengan jamberetannya itu tampaknya segera Siao-liong-li akan ditarik kembali mentah-mentah.

Keruan saja Nyo Ko kaget, sekuat tenaga ia tangkiskan sebelah tangannya, maka terdengarlah suara "crat" sekali, tiba2 lengannya terasa kesakitan kiranya lengan kirinya dan lengan kanan Siao-liong-li ber-sama2 telah terkena kuku jari Li Bok-chiu hingga menusuk masuk daging.

MenyusuI mana matanya tiba2 menjadi gelap, lalu terdengarlah suara gedebukan yang keras dua kali, kiranya ranjang batu mereka telah anjlok sampai ruangan dibawah tanah, sedang papan batu di bagian atas secara otomatis telah menutup sendiri, seketika Siao-liong-li dan Nyo Ko kena dipisahkan dengan Li Bok-chiu dan Ang Ling-po, yang satu pihak terpotong di bagian atas dan yang lain berada di bawah.

"Coba kau meraba dinding di mana terdapat sebuah bola batu, kau putar tiga kali ke kiri lalu empat kali ke kanan," kata Siao-liong-li kemudian.

Nyo Ko menurut, ia melompat turun dari ranjang batu, ia me-raba2 dalam kegelapan, betul saja ia dapatkan sebuah batu bundar, ia menuruti petunjuk Siao-liong-li tadi, diputarnya ke kiri dan kanan, maka terdengarlah suara "kerkak-kerkek" beberapa kali, tiba2 tubuhnya terasa terguncang.

Kiranya ruangan di bawah tanah dimana mereka berada itu dibangun tergantung, karena alat rahasianya tergerak, segera ruangan ini bergeser pindah tempat, Dengan demikian sekalipun kini Li Bok-chiu berhasil menyerbu ke bawah juga tak akan mendapatkan jejak mereka lagi.

"Untuk sementara ini boleh dikata kita sudah lolos dari tangan jahat kedua orang tadi," kata Siao-liong-li dengan menghela napas lega.

Dalam pada itu remang2 Nyo Ko melihat di dalam ruangan itu seperti terdapat benda2 sebangsa meja kursi, secara geremet didekatinya meja itu, ia ambil ketikan api dan menyalakan lilin yang ada di atas meja.

Tetapi setelah lilin menyala, tanpa tertahan ia terkejut, sebab terlihat olehnya separoh bajunya sudah basah kuyup oleh darah, sedang luka diatas lengan yang terkena cakaran tadi masih terus mengalirkan darah segar.

Waktu ia periksa keadaan Siao-liong-li ia lihat di lengannya juga terdapat goresan yang cukup parah oleh cakaran kuku Li Bok-chiu tadi, hanya Siao-liong-li sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, maka darah yang merembes keluar dari luka cakaran ini cuma sedikit.

"Ko-ji," kata Siao-liong-li lagi menghela napas, "aku sudah kekurangan darah, susahlah untuk menyembuhkan luka dengan menjalankan Lwekang sendiri, Tetapi sekalipun aku tak terluka, kita berdua juga tak mampu menandingi aku punya Suci.

Belum habis bicara, mendadak Nyo Ko melompat naik ke atas ranjang batu pula.

Kiranya tadi waktu Nyo Ko mendengar Siao-liong-li bilang kekurangan darah, mendadak otaknya yang cerdas itu tergerak, sebelum orang habis bicara ia sudah melompat ke atas ranjang, ia tempelkan luka pada lengannya sendiri dengan luka di lengan Siao-liong-li hingga dempet menjadi satu, dengan cara demikian ia bermaksud menyalurkan darahnya sendiri kepada nona itu.

Akan tetapi mengalirnya darah dari lengannya ternyata tidak dapat dikendalikan oleh keinginan hatinya, meski darah masih mancur keluar dari lengannya, namun tidak dapat menyalur masuk ke otot darahnya Siao-liong-li.

"Ko-ji, usahamu ini hanya sia2 saja, sekalipun kau dapat menolong diriku, tapi jiwamu sendiri bukankah akan melayang malah," dengan menghela napas Siao-liog-li berkata.

Tetapi Nyo Ko tidak menghiraukan kata2 orang, sebaliknya ia semakin kuatir karena melihat darah merembes keluar dari celah2 lengan mereka yang berdempetan itu, nyata usahanya memang tidak berhasil.

Tiba2 ia jadi teringat pada Lwekang yang dipelajari dari Auwyang Hong, ilmu itu memaksa aliran darah menjadi terbalik, kenapa tidak dicobanya ?

Karena itu, segera ia baliki tubuhnya, ia menjungkir dengan kepala menahan di atas ranjang batu, ia jalankan ilmu Kiu-im-sin-kang yang terbalik ajaran Auwyang Hong itu, betul saja jalannya darah menjadi terdesak oleh semacam hawa yang dia keluarkan sehingga ber-angsur2 secara teratur bisa mengalir masuk ke dalam badan Siao-liong-li.

Sebenarnya seluruh badan Siao-liong-li sudah terasa dingin bagai es, tetapi aneh, tiba2 ia merasakan ada aliran darah hangat yang merembes masuk ke dalam tubuhnya, Tiba2 terpikir olehnya hal ini kurang baik, segera ia niat memberontak.

Diluar dugaan. sebelumnya Nyo Ko sudah memperhitungkan akan reaksinya ini, lebih dulu ia sudah ulur jarinya dan menutuk Hiat-to Siao-liong-li sehingga tak bisa berkutik.

"Transfusi darah" yang dilakukan Nyo Ko ini kira2 berjalan beberapa saat, akhirnya Nyo Ko sendiri merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, ia mengarti tidak sanggup bertahan lebih lama lagi, maka barulah dia duduk kembali seperti biasa, ia balut luka mereka berdua dan melepaskan tutukannya tadi atas diri Siao-liong-li

Dengan terkesima Siao-liong-li memandang Nyo Ko hingga lama, akhirnya ia menghela napas pelahan, iapun tidak ber-kata2 lagi melainkan melakukan semadi sendiri untuk memulihkan kekuatannya.

Malam itu mereka berdua masing2 memulihkan diri sendiri2. Kalau Nyo Ko bersemadi untuk memulihkan rasa letih karena kehilangan darahnya, adalah Siao-liong-li sesudah mendapatkan transfusi darah dari Nyo Ko, semangatnya ternyata banyak bertambah segar, ia telah menjalankan darah baru yang hangat itu ke seluruh tubuhnya hingga beberapa kali, lewat dua-tiga jam, ia mengarti jiwanya tidak berhalangan lagi, maka waktu ia membuka matanya, ia tersenyum kepada Nyo Ko.

Sebenarnya pipi Siao-liong-li selalu putih pucat, tetapi kini tiba2 Nyo Ko melihat ada semu merah pada kedua belah pipinya sehingga tertampak lebih cantik.

"Ha, Kokoh, kau sudah baik," seru Nyo Ko girang.

Siao-liong-li angguk2 dan selagi hendak buka suara, mendadak terdengar suara letikan api, kiranya lilin yang dipasang itu sudah tersulut habis, keruan seketika seluruh ruangan menjadi gelap guIita.

Karena itu, luar biasa rasa senangnya Nyo Ko, tetapi toh dia tidak tahu cara bagaimana harus berbicara.

"Marilah kita pergi ke kamarnya Sun-popoh, ada sesuatu akan kukatakan padamu," kata Siao-liong-li kemudian.

"Apa kau tidak letih ?" tanya Nyo Ko.

"Tidak apa2 !" sahut Siao-liong-li.



Habis itu ia menarik beberapa kali pada pesawat rahasia yang terpasang di dinding batu, segera terasa dinding itu bergerak, lalu terbentanglah sebuah pintu, jalan baru ini sudah tak dikenal lagi oleh Nyo Ko, tetapi Siao-liong-li mengajaknya memutar kian kemari beberapa kali dalam suasana gelap itu, akhirnya tiba juga mereka di kamarnya Sun-popoh dahulu.

Waktu Siao-liong-li menyalakan lilin lagi, dia lantas gulung pakaian Nyo Ko hingga berupa satu buntalan, ia bungkus pula sepasang sarung tangan benang emas miliknya ke dalam buntalan baju itu. perbuatan Siao-liong-li ini disaksikan Nyo Ko dengan terkesima karena heran.

"Kokoh, apa yang kau lakukan ?" tanyanya tak mengerti.

Siao-liong-li tak menjawab, ia malah ambil lagi dua botol besar madu tawon dan masukkan ke dalam buntalan pula.

"He, kita akan meninggalkan kuburan kuno ini bukan, Kokoh ?" tanya Nyo Ko tiba2 dengan girang.

"Pergilah saja kau, kutahu kau adalah anak baik, terhadap diriku kaupun berlaku sangat baik," ujar Siao-liong-li.

Luar biasa terperanjatnya Nyo Ko.

"Dan kau sendiri, Kokoh ?" tanyanya cepat.

"Aku sudah bersumpah selama hidupku ini tidak akan keluar lagi dari kuburan ini," sahut Siao-liong-li.

Melihat orang berkata dengan sungguh2, lagu suaranya pun sangat tegas, terang tidak bisa di-bantah, oleh karenanya Nyo Ko tak berani bicara lebih banyak.

Akan tetapi karena soalnya terlalu penting, akhirnya ia beranikan diri buat buka suara lagi:

"Kokoh, jika kau tak pergi, akupun tak mau pergi, biarlah aku mengawani kau disini."

"Suci-ku menunggui kita di mulut kuburan dan headak paksa aku menyerahkan Giok-li-sim-keng," kata Siao-liong-li pula, "Sedang ilmu kepandaianku tidak bisa menandingi dia, maka pasti tak bisa lolos, bukan ?"

"Ya", sahut Nyo Ko.

"Dan rangsum yang tertinggal di sini, aku kira paling tahan hanya dua puluhan hari saja, umpama bisa makan sedikit madu tawon, paling lama tidak lebih juga sebulan, dan sesudah sebulan, lalu bagaimana baiknya ?"

"Kita terjang keluar saja," sahut Nyo Ko sesudah tertegun sejenak "Walaupun kita tak bisa mengalahkan Supek, tapi belum tentu kita tak mampu menyelamatkan jiwa kita."

"Susah," kata Siao-liong li dengan menggeleng kepala, "jika kau kenal ilmu kepandaian dan tabiat Supek, tentu kau akan tahu sekali2 kita tak mampu menyelamatkan diri. Apabila sampai tertangkap, tatkala itu tidak hanya akan mengalami siksaan dan hinaan, bahkan diwaktu akan mati terlebih susah lagi penderitaan badaniah kita."

"Jika begitu, bukankah seorang diri akan lebih2 tak mampu lari," ujar Nyo Ko.

"ltulah soal lain." sahut Siao-liong-li "Aku ke bagian dalam kuburan, pada kesempatan itulah kau lantas melarikan diri Sebelummu lantas kau pindahkan batu besar di sebelah kiri pintu kuburan dan tarik alat rahasia di dalamnya, menyusul itu segera ada dua batu raksasa akan anjlok turun dan menutup rapat pintu kuburan untuk selama-lamanya."

Nyo Ko semakin terkejut oleh cerita orang.

"Dan Kokoh tahu akan ja!an2 rahasia lain dan bisa keluar sendiri, bukan?" tanyanya cepat.

"Tidak," sahut Sio-liong-li sambil geleng kepala pula, "Dahulu waktu Cikal-bakal Coan-cin-kau, Ong Tiong-yang mendirikan Hoat-su-jin-bong ini, ia tahu dirinya selalu dikejar dan diincar oleh raja Kim, oleh sebab itu ia sengaja atur kuburan ini dan taruh dua batu raksasa yang berlaksa kati beratnya, ia tunggu bila dirinya kepepet dan tak sanggup melawan musuh yang jauh lebih banyak, segera ia akan lepaskan batu raksasa itu untuk menutup dirinya didalam kuburan, dengan demikian sampai matipun ia tidak mau takluk pada musuh.

Akan tetapi karena selama itu musuh2nya tiada satupun yang sanggup melawan ilmu silat Ong Tiong-yang yang tinggi, maka kedua batu raksasa ini selamanya belum pernah terpakai. Dan sewaktu Ong Tiong-yang harus menyerahkan kuburan kuno ini kepada Cosu-popoh, ia telah memberitahukan juga semua alat rahasia yang dia"atut di dalam kuburan hingga akhirnya turun temurun sampai pada diriku."

"Tetapi Kokoh, mati atau hidup aku tetap akan berada di dampingmu." dengan air mata ber-linang2 Nyo Ko berkata pula.

"Apa gunanya kau mengikuti diriku terus ?" kata Siao-liong-li. "Kau bilang di dunia luar sana indah sekali, maka pergilah kau bermain sepuasnya, nanti kalau kau sudah berhasil melatih cinkeng sampai sempurna, maka tiada satupun diantara imam2 busuk Coan-cin-kau itu yang berani cari gara2 lagi padamu, Tatkala itu kau tentu bisa malang melintang di seluruh jagat, bukankah itu sangat menyenangkan ?"

Akan tetapi Nyo Ko ternyata tidak tergoyah oleh bujukan itu, tiba2 ia menubruk maju dan merangkul tubuh Siao-liong-li sambil menangis tersedu-sedan.

"Kokoh, di jagat ini hanya kau saja seorang yang sangat baik terhadapku," demikian katanya cemas, "Jika kau tak hidup lagi, pasti seumur hidupku tak akan merasa senang."

Sebenarnya watak Siao-liong-li selalu dingin dan lenyap dari segala macam perasaan, apa yang dia ucapkan pun selalu tegas dan tidak bisa ditarik kembali pula.

Tetapi aneh, entah mengapa, sesudah mendengar kata2 Nyo Ko yang diucapkan dengan setengah meratap ini, tanpa tertahan darah dalam tubuhnya se-akan2 bergolak, dalam pilunya hampir2 ia meneteskan air mata.

Tapi segera ia terkejut, teringat olehnya apa yang pernah dipesan wanti2 oleh mendiang gurunya sewaktu hendak mangkat bahwa ilmu yang dilatihnya itu adalah semacam ilmu rohaniah yang harus menghilangkan segala cita rasa serta napsu, bila sampai mengalirkan air mata karena seseorang hingga menggoncangkan perasaan, bukan saja ilmu silatnya akan punah, bahkan membahayakan jiwa sendiri pula.

Teringat oleh pesan sang guru itu, segera Siao-liong-li mendorong pergi Nyo Ko, lalu dengan lagu suara dingin ia berkata pula: "Apa yang aku katakan kau harus menurut, kau berani adu mulut dengan aku ?"

Melihat orang kembali berubah sungguh2 dan keren, Nyo Ko tak berani buka suara lagi.

Segera Siao-liong-li ikat buntalan yang sudah disiapkan itu dan diikat pada punggung Nyo Ko, ia ambilkan sebatang pedang yang tergantung di dinding.

"lni ambil, sebentar bila aku katakan pergi, segera juga kau harus angkat kaki, begitu keluar dari kuburan ini, seketika juga kau lepaskan batu raksasa penutup pintu itu," dengan suara bengis Siao-Iiong-li memesan sambil menyerahkan pedang tadi.

"lngat, Supek-mu teramat lihay, kesempatan sedetik saja bila ayal akan segera hilang, maka kau mau turut tidak perkataanku ini ?"

"Aku menurut," sahut Nyo Ko dengan suara berat.

"Jika kau tidak melakukan apa yang aku katakan, di alam baka sekalipun aku akan benci padamu," kata Siao-liong-Ii pula. "Dan sekarang marilah berangkat !"

Habis berkata, ia tarik tangan Nyo Ko dan membuka pintu untuk keluar ke ruangan semula.

DahuIu Nyo Ko pernah menyentuh tangan Siao-liong-li yang selamanya terasa dingin bagai es, tetapi kini demi tangannya dipegang orang pula, tiba2 ia merasa tangan Siao-Iiong-li sebentar dingin dan sebentar lagi hangat, ternyata berlainan sekali dengan biasanya.

Tetapi karena perasaannya sedang bergoIak, maka urusan inipun tidak sempat dia pikirkan lagi, ia hanya ikut Siao-Iiong-li keluar kembali.

Sambil meraba satu dinding batu Siao-liong-li berpesan lagi pada Nyo Ko: "Di dalam kamar inilah mereka berada, sebentar bila aku pancing menyingkir Suci, segera kau terjang keluar melalui pintu ujung barat-laut, Bila Ang Ling-po mengejar kau, boleh kau lukai dia dengan Giok-hong-soa (pasir tawon putih)."

Nyo Ko tidak menjawab sebab perasaannya tidak kepalang kusutnya, ia hanya mengangguk saja.

Giok-hong-soa atau pasir tawon putih yang disebut Siao-liong-li itu adalah Am-gi atau senjata gelap Ko-bong-pay yang khas, Dahulu Lim Tiao-eng disegani di kalangan Bu-lim disebabkan dia memiliki dua macam Am-gi yang sangat lihay, satu diantaranya adalah Peng-pek-gin-ciam yang dipakai Li Bok-chiu itu dan yang lain adalah Giok-hong-soa ini.

Bentuk Giok-hong-soa ini segi enam dan terbikin dari pasir emas yang digembleng pula dengan racun tawon putih, meski bentuknya kecil lembut, tetapi karena terbuat dari emas yang berat, maka waktu dihamburkan dapat mencapai jarak jauh. Tetapi karena Am-gi ini terlalu keji, maka selamanya jarang digunakan Lim Tiao-eng.



Guru Siao-liong-li tahu akan jiwa Li Bok-chiu yang tidak gampang dikendalikan dan tidak sudi tinggal selamanya di dalam kuburan, maka yang diturunkan kepadanya hanya Peng-pek-gin-ciam, sedang Giok-hong-soa tidak diajarkan padanya.

Begitulah, maka setelah Siao-liong-li tenangkan semangatnya, segera ia menekan suatu alat rahasia di atas dinding batu, menyusul terdengarlah suara "krak-krak" beberapa kali, ternyata dinding batu itu telah menggeser terbuka sendiri Dan begitu dinding melekah, tanpa ayal Siao-liong-li ayun selendang suteranya, sekaligus ia serang kedua lawannya, Li Bok-chiu dan Ang Ling-po, serangannya cepat dan orangnya ikut melayang maju juga dengan gesit.

Tatkala itu Li Bok-chiu sudah dapat melepaskan tutukan Hiat-to pada tubuh Ang Ling-po, ia telah damperat muridnya ini yang tak becus sampai kena diingusi satu "anak kemarin"

Habis itu guru dan murid berdua ini telah meraba keadaan dalam kuburan kuno itu hingga akhirnya tujuh atau delapan kamar sudah dapat dibobolkan dan masih hendak masuk lebih dalam lagi.

Tentu saja mereka menjadi kaget ketika mendadak nampak Siao-liong-li malah menyerbu ke-luar, Lekas2 Li Bok-chiu ayun senjata kebut untuk menangkis serangan selendang sutera orang.

Kebut dan selendang sutera semuanya adalah benda yang lemas, kini lemas lawan lemas, namun Li Bok-chiu terlebih ulet, maka begitu kedua senjata saling beradu, seketika selendeng sutera Siao-liong-li menggulung balik.

Tetapi Siao-liong-li tidak andalkan serangan tadi saja, ketika ujung selendang membalik, sebelah ujung yang lain segera menyamber maju pula, sekejap mata saja ia sudah melontarkan beberapa kali serangan, begitu lemas saja penampilan selendangnya hingga se-akan2 sedang menari.

Dalam kagetnya tadi Li Bok-chiu menjadi dongkol pula, "Nyata Suhu memang tak adil, bila kah dia pernah mengajarkan kepandaian padaku seperti Sumoay ini ?" demikian ia membatin.

Akan tetapi karena ia menaksir masih sanggup menandingi sang Sumoay, maka sementara tipu serangan mematikan belum dia lontarkan, sebaliknya ia justru mengulur tempo hendak menyaksikan ilmu silat lihay apa yang telah diajarkan kepada Siao-liong-li oleh gurunya.

Dilain pihak Ang Ling-po ternyata tidak tinggal diam.

Selama hidup ia sangat bangga atas dirinya yang pintar dan cerdik, siapa tahu hari ini bisa terjungkal dibawah tangan satu "anak kemarin", bahkan dirinya telah dipermainkan setengah harian oleh orang yang berlagak tolol dan untuk ini sedikitpun dirinya ternyata tidak mengetahui, keruan saja tidak kepalang gemasnya.

Dalam pada itu ia lihat sang Suhu dengan sengitnya sedang menempur sang Susiok, maka kesempatan ini hendak dia gunakan untuk balas dendam.

"Hayo, Sah Thio, kau keparat ini betul2 kurangajar," demikian segera ia bentak Nyo Ko dengan suara garang, Habis ini ia lolos sepasang pedangnya sambil melangkah maju, lalu ia membentak lagi : "lni lihat, akan ku iris batang hidung-mu !"

Nampak orang cukup kalap, terpaksa Nyo Ko harus angkat pedang buat menangkis.

Sebenarnya kalau dalam keadaan biasa, turuti adat Nyo Ko, tentu dia akan keluarkan kata2 sindiran untuk menggoda orang, tetapi kini kare-teringat dirinya bakal berpisah dengan Siao-liong-li, maka matanya telah basah mengembeng air hingga pandangannya menjadi remang2, karena itu atas serangan orang ia hanya menangkis asal menangkis saja, sama sekali ia tidak melakukan serangan balasan.

Di pihak sana setelah Ang Ling-po melontarkan beberapa kali serangan, meski tidak bisa melukai Nyo Ko, namun melihat gerak tangan orang seperti tak bertenaga, ia menyangka kepandaian bocah ini hanya sekian saja, keruan ia tambah gemas dan penasaran kena diingusi orang.

Sementara itu setelah saling gebrak belasan jurus antara Li Bok-chiu dan Siao-Iiong-li, mendadak yang tersebut duluan itu putar kebutnya hingga selendang sutera Siao-liong-li kena terlibat.

"Sumoay, lihatlah kepandaian Suci-mu ini," kata Li Bok-chiu.

Habis berkata, se-konyong2 ia getarkan kebutnya dengan tenaga dalam karena itu, selendang sutera lawannya segera terputus menjadi dua.

Ilmu kepandaian yang diunjukkan Li Bok-chiu ini memang lihay luar biasa, Biasanya dalam pertarungan senjata tajam melawan senjata tajam, untuk mematahkan senjata lawan saja sangat sulit, apalagi kini baik kebut maupun selendang tergoIong benda2 yang lemas, tetapi Li Bok-chiu toh sanggup membetot putus selendang sutera itu, sungguh hal ini berpuluh kali lipat lebih sukar daripada mematahkan senjata tajam yang keras.

Sungguhpun demikian, namun Siao-liong-Ii sedikitpun tidak menjadi jeri oleh kepandaian orang.

"Hm, sekalipun kepandaianmu bagus, kau mau apa lagi ?" sambutnya dingin, Berbareng itu tiba2 ia gunakan separoh selendangnya yang terputus itu untuk menyerang, sekali dia ayun, tahu2 ujung kebut Li Bok-chiu kena terlilit juga, menyusul ini ujung selendang yang lain segera menyamber dan melilit pula garan kebut yang terbikin dari kayu, ketika yang satu ditarik ke kiri dan yang lain di-betot ke kanan, maka terdengarlah suara "pletak", nyata kebut Li Bok-chiu juga telah kena dipatahkan.

Kalau mempersoalkan kekuatan, serangan balasan Siao-liong-li ini memang belum bisa melebihi tenaga betotan Li Bok-chiu yang memutuskan selendang dengan tenaga getaran tadi, tetapi tepatnya, kesebatannya mengeluarkan serangan balasan cukup membikin Li Bok-chiu tak berdaya.

Begitulah, maka Li Bok-chiu rada terperanjat juga oleh serangan kilat tadi, namun segera ia buang garan kebut yang patah itu, lalu dengan tangan kosong merangsang maju hendak merebut selendang Siao-liong-li.

Karenanya Siao-Iiong-li di desak hingga terus mundur ke belakang.

Setelah belasan jurus berlalu lagi, akhirnya Siao-liong li telah mundur sampai di dekat dinding batu sebelah timur, tampaknya untuk mundur lebih jauh sudah tidak mungkin lagi.

Dalam keadaan demikian, mendadak ia baliki sebelah tangannya terus menekan pada tembok batu sambit berteriak: "Ko-ji, lekas pergi !"

Berbareng dengan itu terdengarlah suara "krak" yang keras, ternyata di ujung barat-daya sana telah terbuka satu lobang, Sungguh terkejut sekali Li Bok-chiu, dengan cepat ia putar tubuh hendak merintangi larinya Nyo Ko. Akan terapi Siao-liong-li lidak membiarkan lawannya sempat memutar, ia buang selendang suteranya, dengan kedua tangannya, sekaligus ia menyerang dengan tipu2 yang mematikan.

Karena terpaksa, dengan sendirinya Li Bok-chiu memutar balik untuk menangkis serangan itu.

"Ayo, Ko-ji, lekas kau berangkat !" teriak Siao-Iiong-li pula.

Semula Nyo Ko agak ragu2, ia coba memandang Siao-liong-li, namun segera dia insaf bahwa urusan ini tak mungkin bisa ditarik kembali Iagi.

"Kokoh, pergilah aku !" demikian teriaknya segera. berbareng ia ayun pedang dan susul menyusul menyerang tiga kali, semuanya ia arahkan ke muka Ang Ling-po.

Oleh karena tadi Ang Ling-po melihat gerak pedang Nyo Ko tak bertenaga, maka sama sekali dia tak duga bahwa mendadak Nyo Ko bisa melontarkan serangan berbahaya ini, dalam keadaan kepepet, terpaksa ia melompat mundur ke belakang.

Karena kesempatan inilah, begitu Nyo Ko geraki tubuhnya, tahu2 ia sudah menyerobot keluar pintu gua tadi, namun demikian, ia masih coba menoleh hendak memandang lagi pada Siao-liong-li untuk penghabisan kalinya.

Sebenarnya kalau dia tidak menoleh buat memandang, tetapi terus pergi begitu saja, kelak entah betapa banyak kesulitan akan terhindar dan berkurang dengan macam2 godaan, tetapi karena Nyo Ko dilahirkan dengan watak dan perasaan yang penuh kemanusiaan, meski berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, toh ia masih ingin memandang sekali lagi pada Siao-liong-Ii.

Justru oleh karena pandangan inilah, seumur hidup Nyo Ko lantas berubah juga nasibnya.

Siao-liong-li melawan kakak seperguruan sendiri dengan sama2 bertangan kosong, kalau hanya beberapa puluh jurus saja belum tentu dia akan dikalahkan, tapi oleh karena kepergian Nyo Ko yang bayangan tubuhnya berkelebat keluar pintu, tiba2 teringat oleh Siao-liong-li bahwa dengan perginya Nyo Ko ini mereka tak akan bersua lagi untuk se-lama2nya, maka dadanya tiba2 se-akan2 menjadi sesak, matanya pun menjadi sepat dan ingin meneteskan air mata.

Selama hidup Siao-liong-li tidak pernah terguncang perasaan murninya, siapa tahu hari ini saja sudah dua kali ia hampir menangis, keruan seketika ia tersadar dan luar biasa terkejutnya, justru pertandingan diantara jago silat sedikitpun pantang teledor, sedikit tertegunnya tadi yang sejenak saja telah digunakan Li Bok-chiu dengan baik, se-konyong2 ia berhasil mencengkeram "hwe-cong-hiat" pergelangan tangan Siao-liong-li, menyusul ini sebelah kakinya menjegal, keruan saja Siao-liong-li tak sanggup berdiri tegak, ia kena dirobohkan ke lantai.



Pada saat robohnya Siao-liong-li itulah, saat itu juga Nyo Ko tepat sedang menoleh memandangnya, Dengan sendirinya luar biasa kagetnya demi dilihatnya sang guru hendak dicelakai Li Bok-chiu, darahnya seketika mendidih, dalam keadaan demikian, sekalipun langit ambruk atau bumi terbalik juga tidak dia hiraukan lagi.

"Jangan mencelakai Kokoh !" demikian ia berteriak Berbareng ini ia menubruk masuk kembali, dari belakang segera ia merangkul pinggang Li Bok-chiu dengan kencang.

Tipu serangan Nyo Ko ini betul2 "diluar kamus silat", sama sekali tidak terdapat dalam teori persilatan golongan manapun, hanya saking kuatirnya Nyo Ko tidak pikirkan apakah rangkulannya ini masuk akal atau tidak, yang dia pikir hanya menolong Siao-liong-li saja.

Sebaliknya karena Li Bok-chiu hanya memikir hendak tawan Siao-liong-li, maka se-kali2 tak diduganya bahwa Nyo Ko yang sudah kabur keluar itu bisa masuk kembali, bahkan terus menubruk punggungnya, karena tak ter-sangka2, maka pinggangnya seketika kena terangkul kencang dan tak dapat dilepaskan meski dia coba me-ronta2.

Walaupun tindak-tanduk Li Bok-chiu biasanya sangat kejam dan tidak suka terikat oleh segala adat-istiadat umum, namun tubuhnya yang suci bersih senantiasa dia jaga baik2, oleh sebab itu, meski sudah beberapa puluh tahun berkelana di dunia Kangouw toh dia masih tetap bertubuh perawan, tetapi kini mendadak dirangkul Nyo Ko se-kencang2nya, seketika terasa olehnya semacam hawa hangat kaum lelaki se-akan2 menembus punggungnya terus masuk ke lubuk hatinya, tanpa tertahan seluruh badannya menjadi lemas tak bertenaga, mukanyapun berubah merah.

Dahulu waktu di daerah Kanglam sebelah matanya sampai kena ditotol buta oleh burung merahnya Nyo Ko, soalnya juga disebabkan oleh rangkulan Nyo Ko, tatkala itu Nyo Ko masih kecil, namun toh sudah memiliki bau laki2 umumnya yang khas, siapa tahu kejadian mana kini bisa terulang lagi, apa pula kini Nyo Ko sudah berupa pemuda, maka hawa hangat yang mengalir keluar dari tubuhnya itu lebih2 menggoncangkan perasaan kaum wanita.

Oleh karena rangkulan Nyo Ko inilah, tangan Li Bok-chiu yang mencekal pergelangan Siao-liong-li lantas menjadi kendor, sudah tentu kesempatan ini tidak di-sia2kan Siao-liong-li, seketika ia baliki tangannya dan bergantian menekan urat nadi tangan orang, namun di lain pihak ujung senjata Ang Ling-po sudah menempel juga di punggung Nyo Ko.

Tatkala itu Siao-liong-li sudah terebah di lantai ketika dilihatnya Nyo Ko terancam bahaya, segera ia menggulingkan tubuhnya ke kiri, sekaligus ia tarik Li Bok-chiu serta Nyo Ko ke samping, dengan demikian tusukan Ang Ling-po menjadi mengenai tempat kosong,

"Ko-ji, lekas berangkat !" bentak Siao-liong-li sesudah melompat bangun.

Akan tetapi sekali ini Nyo Ko ternyata tidak turut perintahnya ia masih merangkul pinggang orang kencang-kencang.

"Tidak, Kokoh, kau saja yang pergi, aku menyikap dia begini, tidak nanti dia bisa lolos," teriak Nyo Ko.

Di lain pihak, dalam sekejap itu pikiran Li Bok-chiu sudah berputar belasan kali, sebentar ia insaf keadaan sangat membahayakan dirinya, terpaksa dia harus kumpulkan tenaga dalam untuk melepaskan diri dari pelukan orang, tetapi lain saat terasakan olehnya berada dalam pelukan Nyo Ko, rasanya begitu enak, begitu meresap hingga sukar dilukiskan.

Keruan saja Siao-Iiong-li ter-heran2, ia pikir ilmu silat sang Suci begitu tinggi, kenapa bisa ditaklukkan Nyo Ko hingga tak mampu berkutik ?

Dalam pada itu dilihatnya Ang Ling-po telah angkat pedangnya hendak menusuk Nyo Ko lagi. "Perempuan ini kurangajar terhadap diriku tadi, harus kuhajar adat padanya," demikian ia pikir dengan lekas.

Karena itu, tiba2 kedua jarinya menyentil ke batang pedang Ang Ling-po yang kiri, begitu hebat selentikan ini hingga pedangnya mendadak meloncat terus membentur pedang Ang Ling-po di tangan kanan dengan mengeluarkan suara nyaring Keruan Ang Ling-po terkejut, kedua tangannya pun linu oleh karena tenaga benturan tadi sehingga sepasang pedangnya terjatuh ke lantai, saking kaya sampai Ang Ling-po berkeringat dingin, pula ia melompat mundur.

Dan oleh karena saling beradunya kedua pedang tadi sehingga mencipratkan lelatu api, maka sekilas terlihat oleh Li Bok-chiu bahwa diantara sinar mata sang Sumoay seperti mengunjuk semacam perasaan aneh dan sedang memandang padanya dengan dingin.

Karena itu, tanpa terasa Li Bok-chiu jadi malu juga, "Anak busuk, apa kau minta mampus ?" damperatnya segera, Berbareng ini kedua lengannya tiba2 bekerja, yang satu meronta dan yang lain melepas, maka berhasil dia loloskan diri dari pelukan Nyo Ko yang "mesra", bahkan menyusul telapak tangannya terus memukul ke arah Siao- liong-li

Dengan sendirinya Siao-liong-li menangkis, tetapi segera terasa olehnya tenaga pukulan sang Suci terlalu hebat, terlalu kuat, ia sendiri baru sembuh dari luka parah. dadanya kini menjadi sakit lagi oleh karena getaran pukulan orang.

Dalam pada itu, dilihatnya Nyo Ko merangkak bangun dan kembali menubruk maju hendak membantu dirinya pula, Karuan ia sangat mendongkol

"Ko-ji, apa betul2 kau tidak mau turut perkataanku ?" bentaknya.

"Apa saja yang bibi katakan akan kuturut, hanya sekali ini saja aku tak mau turut," sahut Nyo Ko tiba2, "O, Kokoh yang baik, biarlah aku mati-hidup bersama saja dengan kau."

Mendengar lagu suara orang begitu tulus dan begitu sungguh2, kembali hati murni Siao-Iiong-li" terguncang lagi.

Sementara ia lihat Li Bok-chiu kembali melontarkan sekali gablokan pula, ia insaf kepandaian sendiri kini banyak terganggu, pukulan keras ini se-kali2 tak dapat ditangkisnya, tanpa pikir segera ia melompat ke samping, berbareng ini ia samber tubuh Nyo Ko terus melarikan diri keluar dari lubang pintu tadi.

Namun Li Bok-chiu tidak tinggal diam, segera ia menyusul di belakang orang dan ulur tangan hendak menjambret punggung Nyo Ko, "Jangan lari!" demikian bentaknya pula.

Tetapi Siao-liong-li sudah siap, tiba2 ia baliki tangannya dan berhamburlah segenggam pasir tawon putih dengan cepat ke arah Li Bok-chiu.

Begitu lihay Giok-hong-soa atau pasir tawon putih itu hingga se-akan2 tak bersuara, tetapi tahu2 sudah menyamber tiba, Namun betapapun juga Li Bok-chju terhitung sesama guru dengan Siao-liong-li, dia kenal betapa lihaynya Am-gi ini, ketika mendadak hidungnya mengendus bau manis dan harum madu tawon, dalam kagetnya sekonyong-konyong ia mengayun tubuhnya sendiri ke belakang, karena perbuatannya ini sama sekali tak ter-duga2, maka Ang Ling-po yang membuntut dibelakang sang guru kena tertumbuk hingga ke-dua-duanya jatuh terjungkal.

Dalam pada itu terdengarlah suara "cring-cring" nyaring halus, kiranya belasan butir pasir tawon putih itu telah kena menyambit dinding batu, menyusul terdengar pula suara "krekat-kre-ket" dua kali, nyata Siao-liong-li sudah lari keluar kamar batu dengan menggondol Nyo Ko, alat perangkap rahasia dikerahkan, maka kembali pintu gua tersumbat rapat pula.

Sesudah meloloskan diri keluar kuburan itu bersama gurunya, Nyo Ko tidak kepalang girang-nya, ia menghisap hawa segar beberapa kali di alam terbuka itu.

"Kokoh, sekarang biar kuturunkan batu raksasa itu, agar dua wanita jahat itu mampus di dalam kuburan," katanja kemudian pada Siao-liong-li, habis ini lantas ia hendak pergi mencari alat rahasianya.

Diluar dugaan Siao-liong-li telah goyang2 kepala atas usulnya tadi.

"Nanti dulu, tunggu kalau aku sudah masuk pula ke dalam," katanya tiba2.

Keruan Nyo Ko terkejut

"He, kenapa mau masuk lagi ?" tanyanya cepat.

"Ya, Suhu sudah pesan aku menjaga baik2 kuburan ini, maka se-kali2 tidak boleh aku mem-biarkannya dikangkangi orang lain," kata Siao-liong-li.

"Jika kita tutup rapat pintu kuburan, mereka kan tidak bakal hidup lebih lama lagi," ujar Nyo Ko.



"Ya, tetapi akupun tidak bisa masuk kemba-li," sahut Siao-liong-li. "Apa yang dikatakan Suhu tak berani kubantah, Hm, tidak seperti kau !" -Habis berkata, dengan sengit ia pelototi Nyo Ko sekejap.

Seketika hati Nyo Ko terkesiap, darahnya segera bergolak lagi, tiba2 ia pegang lengan Siao-liong-li dan berkata: "Baiklah Kokoh, aku pasti turut segala perkataanmu."

Mendengar kata2 Nyo Ko yang diucapkan dengan mesra ini, Siao-liong-li sedapat mungkin menahan perasaan hatinya, tak berani dia terguncang lagi, maka sepatah-katapun ia tidak menyahut, ia kipatkan tangan orang terus masuk kembali ke dalam kuburan kuno itu.


"Nah, lekaslah kau turunkan batu penutupnya !" katanya kemudian sambil berdiri mungkur, ia sengaja membelakangi Nyo Ko yang masih berdiri di luar kuburan, ia kuatir kalau dirinya tak sanggup menguasai perasaan sendiri, maka dia tak mau memandang pemuda itu lagi.

Di lain pihak Nyo Ko sendiripun diam2 sudah ambil suatu keputusan, ia sedot dalam2 hawa segar alam terbuka itu, waktu ia menengadah, ia lihat cakrawala penuh bertaburan dengan bintang2 yang berkelap-kelip, "lnilah untuk penghabisan kalinya aku memandang langit dan bintang," katanya di dalam hati.

Kemudian ia mendekati sebelah kiri pilar kuburan itu, ia turuti apa yang pernah Siao-liong-li tunjuk padanya, dengan kuat ia geser pilar batu itu, betul saja di bawahnya terdapat sepotong batu lagi yang berbentuk bundar, maka dipegangnya batu bulat itu terus ditarik sekuat tenaganya.

Oleh karena tarikan itu, batu bundar itu terlepas hingga berwujut satu lubang, menyusul dari dalam lubang itu pe-lahan2 mengalir keluar pasir halus seperti mata air yang mengalir keluar dari sumbernya, maka tertampaklah dua batu raksasa di atas kuburan pe-lahan2 mulai menurun.

"Kedua potong batu raksasa ini beratnya beratus ribu kati, dahulu waktu Ong Tiong-yang membangun kuburan ini, untuk memasang batu2 ini saja diperlukan tenaga ratusan orang secara gotong-royong, kini kalau sampai pintu kuburan tersumbat rapat oleh batu raksasa ini, maka dapat dipastikan Li Bok-chiu, Siao-liong-li dan Ang Ling-po selama hidup tidak bakal bisa keluar kembali.

Menyadari akibatnya apabila batu raksasa itu merapat, tak tertahan lagi air mata Siao-liong-li bercucuran, mendadak dia menoleh.

Dalam pada itu batu raksasa itu kira2 tinggal dua kaki lagi hampir sampai di tanah, se-konyong2 dengan gerak tipu "giok-li-tau-so" (si gadis ayu melempar tali), secepat kilat Nyo Ko menerobos masuk lagi ke dalam kuburan melalui lubang selebar dua kaki itu secepat anak panah terlepas dari busurnya.

Siao-liong-li menjerit kaget oleh perbuatan Nyo Ko yang tak terduga itu. sementara itu Nyo Ko sudah berdiri tegak lagi di hadapannya.

"Kokoh, kini kau tak bisa mengusir aku lagi," kata bocah ini dengan tertawa.

Baru habis berkata, tiba2 terdengar dua kali suara keras, kiranya kedua batu raksasa itu sudah membentur tanah hingga kuburan itu tertutup rapat.

Dalam kagetnya tadi segera Siao-liong-li merasakan kegirangan yang tak terhingga pula, saking hebat guncangan perasaannya, hampir2 saja ia jatuh pingsan lagi, dengan badan lemas ia bersandar pada dinding batu, napasnya ter-sengal2.

"Baiklah, biar kita mati bersama di suatu tempat," katanya kemudian sesudah agak lama, Habis ini ia gandeng tangan Nyo Ko dan masuk ke ruangan dalam.

Tatkala mana Li Bok-chiu berdua sedang berusaha hendak membuka pintu kamar yang tertutup rapat itu, tetapi belum berhasil, keruan mereka kaget ketika melihat Siao-liong-li dan Nyo Ko mendadak muncul kembali, segera pula mereka kegirangan begitu bergerak, segera Li Bok-chiu melompat ke belakang Siao-liong-li dan Nyo Ko dengan tujuan memotong jalan mundur mereka.

Namun demikian, sikapnya Siao-liong-li tetap tenang saja.

"Suci, marilah kubawa kau ke suatu tempat," katanya tiba2 dengan dingin.

Karena ajakan ini, Li Bok-chiu berbalik ragu2, ia tak menjawab, hanya dalam hati ia membatin: "Di dalam kuburan ini penuh terpasang perangkap rahasia, jangan aku sampai kena dikibuli."

"Aku hendak bawa kau berziarah ke depan abu Suhu, jika kau tak mau pergi, terserahlah !" kata Siao-liong-li pula.

"Jangan kau coba gunakan nama Suhu untuk menipu aku," sahut Li Bok-chiu.

Siao-liong-li tersenyum dingin oleh jawaban orang, iapun tidak ber-kata2 lagi, tetapi lantas berjalan menuju ke pintu sambil masih gandeng tangan Nyo Ko.

Lagu suara dan tingkah laku Siao-liong-li seperti membawa semacam keangkeran yang tak bisa dibantah orang, maka Li Bok-chiu berdua pun lantas mengikut di belakangnya, cuma senantiasa ia berlaku waspada, sedikitpun tak berani lengah.

Meski diikuti orang dari belakang, namun Siao-liong-li masih terus jalan ke depan dengan gandeng tangan Nyo Ko, sama sekali dia tak pikir kalau sang Suci mungkin akan membokong dirinya, ia terus masuk ke kamar peti mati batu itu.

Meski Li Bok-chiu sudah pernah tinggal di dalam kuburan kuno ini, namun kamar makam ini ternyata belum dikenalnya, teringat olehnya budi mendiang gurunya yang telah mendidiknya, dalam hatinya mula2 rada pilu juga, tetapi bila teringat pula sang guru yang berat sebelah, pilih kasih pada sesama murinya, dari rasa duka seketika berubah menjadi gusar, dan karena ini dia tidak berlutut dan menyembah pada abu makam guru-nya.

"Hubungan kami antara guru dan murid sudah lama terputus, untuk apa membawa aku ke sini ?" dengan marah segera ia damperat Siao-liong-li.

"Bukankah disini masih ada dua peti mati kosong, yang satu disediakan untuk kau dan yang lain buat aku," kata Siao-liong-li kemudian dengan tawar saja, "Sebab inilah aku ingin tanya dulu padamu, kau suka peti yang mana, boleh kau pilih sesukamu."

Ia berkata sambil menuding pada kedua peti batu yang masih kosong itu.

Keruan saja tidak kepalang gusar Li Bok-chiu.

"Kurangajar, berani kau permainkan aku ?" bentaknya murka, sekali pukul tahu2 telapak tangannya telah menuju dada Siao-liong-li.

Begitu cepat pukulan ini hingga tampaknya dengan segera tangannya akan mampir di dada orang, namun Siao-liong-li ternyata masih diam2 saja, sedikitpun ia tidak berusaha menangkis atau mengelakkan diri, keruan berbalik Li Bok-chiu sendiri tertegun, "Jika kena, pasti dia mampus seketika," pikir Li Bok-chiu diam2, dan karena orang masih tetap tidak menangkis, tiba2 telapak tangannya yang tinggal beberapa senti di depan dada Siao-liong-li itu mendadak dia tarik kembali mentah-mentah.

Di lain pihak Siao-liong-li ternyata masih tenang2 saja meski setiap saat jiwanya terancam bahaya. "Suci, Toan-liong-ciok pintu kuburan sudah menutup rapat!" demikian katanya.

"Ha ?" seru Li Bok-chiu kaget, seketika mukanya menjadi pucat lesi pula.

Ya, meskipun tidak semua perangkap rahasia di dalam kuburan ini dia dikenalinya, namun "Toan-liong-ciok" atau batu-pemotong-naga, yaitu kedua batu raksasa penutup pintu kuburan tadi, cukup dikenalnya sebagai satu jalan paling lihay pada saat terakhir, dahulu batu raksasa itu disediakan gurunya untuk men-jaga2 bila kedatangan musuh tangguh yang tak bisa dilawan, maka batu itu dapat dipakai sebagai benteng pertahanan siapa tahu dirinya kini justru kena ditutup rapat di dalam kuburan oleh sang Sumoay.

"Kau tahu jalan ke... keluar lain, bukan ?" tanyanya kemudian dengen suara ter-putus2.

"Kau sendiri cukup tahu, apabila Toan-liong-ciok sudah menutup, maka pintu kuburan tidak nanti bisa dibuka lagi," kata Siao-liong-li dingin.

"Kau bohong !" teriak Li Bok-chiu tiba2 dengan bengis sambil janmbret dada orang.

Walaupun diperlakukan secara kasar, tetap Siao-liong-li tidak melawan atau menjadi marah.

"Nah, di sanalah Giok-li-sim-keng yang ditinggalkan Suhu itu, kau ingin membacanya, pergilah baca sesukamu," kata Siao-liong-li lagi tetap tenang." Aku sendiri menanti disini bersama Ko-ji, mau kau bunuh, boleh kau lakukan, tetapi bila kau ingin keluar dari sini, itulah kukira tidak mungkin lagi!"

Nampak sikap orang, tangan Li Bok-chiu yang menjambret baju dada Siao-liong-li pe-lahan2 menjadi kendur dan lurus ke bawah lagi, dengan penuh perhatian ia coba awasi orang, lihat wajah Siao-liong-li mengunjuk sikap yang acuh tak acuh, maka percayalah dia se-kali2 sang Sumoay tidak ber-dusta.

"Baik juga, biar kubunuh dahulu kalian berdua !" katanya tiba2, pikirannya mendadak berubah. Berbareng ini sebelah telapak tangannya dia pukulkan ke muka Siao-liong-li.

Diluar dugaannya, se-konyong2 Nyo Ko melompat maju terus menghadang di hadapan Siao-liong-li.



"Mau bunuh, bunuh saja diriku !" demikian teriaknya pula.

Karena ini, telapak tangan Li Bok-chiu berubah arah menuju dada Nyo Ko, namun sesudah dekat, sesaat masih dia tahan dan tidak dipukulkan terus, dengan sorot mata gemas ia pandang marah ini

"Lagi2 begini rupa kau membela dia, apa kau memang sudah rela mati untuk dia ?" tanyanya kemudian

"Ya !" sahut Nyo Ko dengan suara lantang.

Atas jawaban ini, secepat kilat tahu2 Li Bok-chiu sudah dapat merampas pedang Nyo Ko yang terselip di ikat pinggangnya itu, dengan senjata rampasan ini segera ditodongkannya ke tenggorokan anak itu.

"Aku hanya perlu bunuh seorang saja," kata Li Bok-chiu. "Coba kau katakan sekali lagi, kau yang mati atau dia saja yang mati ?"

Nyo Ko tidak menjawab, ia pandang Siao-liong-li sambil tertawa, Nyata tatkala itu mereka berdua ini sudah tak menghiraukan mati-hidup lagi, tidak peduli Li Bok-chiu akan membunuh mereka dengan cara bagaimana, yang jelas mereka tidak akan menggubrisnya.

Nampak kelakuan Nyo Ko dan Siao-liong-li ini, tiba2 Li Bok-chiu menghela napas panjang, pedangnya dilemparkan ke lantai.

"Sudahlah, Sumoay, sumpahmu sudah batal, kau boleh bebas keluar dari sini," katanya dengan suara lemah.

Sebab apakah tiba2 Li Bok-chiu berkata demikian ? Kiranya Ko-bong-pay yang didirikan Lim Tiao-eng ini, karena dahulu dia mencintai Ong Tiong-yang secara sepihak dan tidak terbalas, dalam dukanya maka Lim Tiao-eng telah menetapkan satu peraturan perguruan yang keras, yalah barang siapa yang menjadi ahliwaris golongan Ko-bong-pay ini harus bersumpah untuk selama hidup akan menetap di dalam kuburan kuno dan seumur hidup tidak akan turun dari Cong-lam-san, Tetapi ada suatu kekecualian, yakni apabila ada seorang pemuda dengan rela dan tulus hati bersedia mati untuknya, maka sumpah seumur hidup tidak akan turun gunung itu menjadi batal.

Hanya saja hal ini se-kali2 tidak boleh diketahui lebih dulu oleh si lelaki itu. Sebab Lim Tiao-eng anggap kaum laki2 di seluruh jagat ini semuanya berhati palsu, tidak nanti ada laki2 yang rela mati untuk seorang perempuan, bila betul2 ada orangnya, maka anak murid keturunannya boleh mengikuti lelaki itu turun gunung.

Li Bok-chiu sendiri lebih dulu masuk perguruan daripada Siao-liong-li, seharusnya dialah yang menjadi ahliwaris Ko-bong-pay, tetapi karena dia tak mau bersumpah untuk tidak turun gunung, maka akhirnya Siao-liong-li yang diangkat sebagai ahliwaris Ko-bong-pay.

Melihat Nyo Ko begitu tulus dan setia pada Siao-liong-li, tanpa terasa dari kagum, iri, terasa menjadi benci pula, teringat oleh Li Bok-chiu dahulu Liok Tian-goan telah ingkar janji dan patahkan hatinya, maka tiba2 ia beringas lagi.

"Ya, Sumoay, kau sungguh beruntung sekali," teriaknya mendadak, habis ini ia samber pedang yang jatuh tadi terus ditusukkan ke tenggorokan Nyo Ko.

Melihat tusukan orang sekali ini benar2 keji dan sungguhan, dalam keadaan berbahaya, tidak bisa tidak Siao-liong-li harus menolong Nyo Ko.

belasan butir Giok-hong-soa segera dia hamburkan lagi.

Lekas2 Li Bok-chiu enjot kakinya, ia meloncat ke atas untuk menghindari serangan pasir berbisa itu. Tetapi kesempatan ini kembali dipergunakan Siao-liong-li dengan baik, ia tarik Nyo Ko dan berlari lagi ke pintu dengan cepat.

"Suci, sumpahku batal atau tidak perlu dipikirkan pendek kata kita berempat rupanya sudah pasti akan mati bersama di dalam kuburan ini," demikian Siao-liong-li masih berpaling dan berseru pada Li Bok-chiu, "Aku tak ingin melihat rupamu lagi, biarlah kita mati sendiri2 saja."

Sembari berkata, ia raba pada ujung dinding, lalu turun lagi pintu batu, kembali mereka berempat di-pisah2kan pula.

Dalam pada itu, saking tergoncangnya perasaan Siao-liong-li seketika sukar melangkah lagi, Iekas2 Nyo Ko memayangnya dan dibawa mengaso ke kamarnya Sun-popoh.

Nyo Ko menuang dua cangkir madu tawon, ia serahkan secangkir pada Siao-liong-li dan dia sendiri minum secangkir.

"Ko-ji, coba katakan, mengapa kau rela mati untuk aku ?" tanya Siao-liong-li kemudian sambil menghela napas pelahan.

"Ya, di dunia ini melainkan kau saja yang sangat baik padaku, mengapa aku tidak mau mati untukmu ?" sahut Nyo Ko tegas.

Mendengar jawaban yang pasti ini, Siao-liong-li berbalik terdiam.

"Jika tahu begini sebelumnya, kitapun tidak perlu lagi kembali ke dalam kuburan untuk mati bersama mereka," katanya sesudah lewat sejenak.

"Kokoh, apa kita tak bisa berdaya untuk keluar ?" tanya Nyo Ko.

"Nyata kau tidak tahu betapa kuat bangunan kuburan ini" sahut Siao-liong-li "Sungguhpun kepandaianku sepuluh kali lebih tinggi lagi juga tak mampu keluar."

Mengerti jawaban orang ini bukan omong kosong belaka, Nyo Ko menjadi putus asa dan menghela napas.

"Kau menyesal bukan ?" tanya Siao-liong-li.

"Tidak, tidak," sahut Nyo Ko cepat dan pasti "sedikitnya di sini aku berada bersama kau, padahal di luar sana tiada seorangpun yang sayang padaku lagi."

Dahulu Siao-liong-li telah melarang Nyo Ko membilang "kau sayang padaku" segala, karenanya sejak itu Nyo Ko tak pernah mengucapkannya lagi, tetapi kini perasaannya sudah berubah, maka demi mendengar ucapan itu, sebaliknya terasalah semacam perasaan yang hangat dan mesra.

"Kalau begitu, kenapa kau menghela napas ?" ia tanya lagi.

"Kokoh, aku pikir apabila kita bisa sama2 turun gunung, di dunia luar sana banyak sekali hal2 yang menarik, pula kau selalu mendampingi aku, siapapun tentu tiada berani menghina aku lagi," sahut Nyo Ko.

Hati Siao-liong-li sebenarnya bersih dan tenang, sebab sejak bayi dia tinggal di dalam kuburan kuno ini selamanya sang guru dan Sun-popo tidak pernah bercerita tentang keadaan di dunia luar, dengan sendirinya hal semacam itupun tidak pernah dia bayangkan, tetapi kini di-sebut2 Nyo Ko, tanpa tertahan perasaannya menjadi bergolak dan susah ditekan.

Siao-liong-li merasa darah hangat di dadanya serasa mendidih dan membanjir ke atas, ia berniat kumpulkan Lwekangnya buat mengatasi namun toh tetap tidak menjadi tenang, diam2 ia heran dan terkejut, ia merasa seumur hidupnya belum pernah mengalami pergolakan serupa ini, ia pikir tentu hal ini disebabkan sehabis terluka parah, maka tenaga dalam sukar dipulihkan kembali.

Nyata dia tidak tahu disebabkan dalam tubuhnya sudah banyak mengalir darahnya Nyo Ko yang panas, keadaan sudah jauh berbeda dengan wataknya dahulu yang tenang dan dingin selalu, oleh karena itu gangguan2 tenaga dan berbagai macam pikiran se-konyong2 lantas membanjir.

Ia coba bersemadi di atas dipan, tetapi rasanya tetap gelisah, begitu kusut pikirannya, dia lantas mondar-mandir dalam kamar itu, tetapi semakin jalan rasanya semakin sumpek dan langkahnya juga semakin cepat hingga akhirnya dia ber-Iari2 sendirian.

Melihat kedua pipi orang semu merah dan sikapnya berobah aneh, Nyo Ko luar biasa heran-nya, belum pernah dia melihat kelakuan Siao-liong-li seperti sekarang ini semenjak mereka berkenalan.

Setelah ber-lari2 sebentar, kemudian Siao-liong-li duduk lagi di atas pembaringan, ia coba pandang Nyo Ko, ia lihat wajah pemuda ini cakap, tapi penuh rasa kuatir atas dirinya, tibal hatinya tergerak, ia pikir: "Toh aku sudah mau mati, begitu juga dia, Lalu buat apa lagi urus segala soal guru dan murid atau bibi dan kemenakan ? jika dia mau peluk aku, pasti aku tidak akan menolak dan biarkan dia peluk aku se-kencang2nya."

Dalam pada itu Nyo Ko sedang mengamat-amati juga pada Siao-liong-li, ia lihat mata orang seperti sedang bicara, dadanya naik-turun dengan napas rnemburu, ia sangka sang guru kambuh lagi luka dalamnya.

"Kokoh, kenapakah kau ?" segera ia tanya.

"Mari sini, Ko-ji," panggil Siao-liong-li dengan suara halus.

Nyo Ko menurut, ia mendekatinya.

"Ko-ji, kau suka tidak padaku ?" tanya Siao-liong-li tiba2 dengan suara rendah sambil memegang tangan Nyo Ko dan di-gosok2an ke pipinya sendiri.

Karena tangannya menempel pipi orang, Nyo Ko merasakan muka Siao-liong-li sepanas dibakar keruan ia kaget dan kuatir.



"Ko kokoh, ap... apa dadamu sangat sakit ?" tanyanya dengan suara gemetar.

"O, tidak, sebaliknya rasa hatiku enak seka-li," sahut Siao-liong-li dengan tertawa, "Ko-ji, aku sudah hampir mati, coba katakanlah apakah betul2 kau sangat suka padaku ?"

"Tentu saja, di dunia ini melainkan kau saja seorang yang baik terhadap diriku," sahut Nyo Ko cepat.

"Tetapi bila ada seorang gadis lain yang sangat baik, ya, baik sekali terhadap kau, bisa tidak kau suka padanya ?" kata Siao-liong-li lagi.

"Siapa saja yang baik padaku, tentu aku perlakukan dia dengan baik pula," sahut Nyo Ko.

Se-konyong2 Nyo Ko merasakan tangan Siao Iiong-li yang menggenggamnya itu gemetar beberapa kali, habis ini mendadak berubah menjadi dingin bagai es, waktu Nyo Ko memandang muka orang, ia lihat pipi Siao-liong-li yang tadinya merah dadu kini sudah kembali pucat lesi seperti tadi lagi.

Keruan Nyo Ko sangat terkejut.

"Apakah aku salah omong, Kokoh ?" tanyanya kuatir.

"Apabila kau masih suka pada gadis lain di dunia ini, maka janganlah kau suka lagi padaku," kata Siao-liong-li.

Nyo Ko tertegun, tetapi segera ia dapatkan pikiran lain.

"Kokoh, tidak seberapa hari lagi kita akan mati mana ada gadis lain lagi yang bisa suka padaku," katanya kemudian dengan tertawa.

Karena ucapan inilah, Siao-liong-li ketawa juga.

"Ya, benar2 aku sudah pikun," katanya, "Cu-ma aku tetap ingin mendengar kau bersumpah di hadapanku."

"Sumpah apakah ?" tanya Nyo Ko.

"Aku ingin kau mengucapkan bahwa kau hanya menyukai aku satu orang, apabila kau berubah pikiran dan suka lagi pada orang lain, maka kau harus dibunuh olehku." kata Sio-liong-li tiba2.

Nyata meski Siao-Iiong-li sudah berusia dua puluhan tahun, tetapi selama hidupnya dilewatkan di dalam kuburan kuno ini, maka kelakuannya masih ke-kanak2an dan suka terang2an, sedikitpun dia tidak bersikap malu2 seperti gadis umumnya, makanya tanpa tedeng aling2 ia minta sumpah setia dari Nyo Ko,

"Jangan kata selamanya tidak bakal terjadi hal demikian, seandainya memang aku berlaku tidak baik dan tidak turut pada perkataanmu kau hendak membunuh akupun kuterima," demikian Nyo Ko menyahut dengan tertawa, Habis ini betul juga ia lantas mengucapkan sumpah: "Tecu Nyo Ko selama hidup ini hanya menyukai Kokoh seorang saja, apabila aku berubah pikiran, tidak usah Kokoh membunuh aku, begitu melihat muka Kokoh, segera Tecu bunuh diri sendiri"

Senang sekali hati Siao-liong-li mendengar sumpah ini, "Bagus sekali apa yang kau katakan, dengan demikian aku tak perlu kuatir lagi," katanya kemudian dengan menghela napas lega, ia genggam tangan Nyo Ko kencang2. Maka terasalah oleh Nyo Ko ada semacam hawa hangat menembus ke tubuhnya melalui tangan orang.

"Ko-ji, sungguh aku ini orang tidak baik," kata Siao-Iiong-li pula.

"Tidak, kau sangat baik," Nyo Ko membetulkan kata2 orang.

"Tidak," kata Sio-liong-li sambil geleng kepala, "dahuIu aku terlalu kejam terhadap kau, mula2 aku hendak usir kau, syukur Sun-popoh menahan kau, jika waktu itu aku tidak usir kau, tentunya Sun-popoh tak akan mati juga !"

Berkata sampai disini, tak tertahan lagi air mata Siao-liong-li mengucur keluar.

Sejak umur lima Siao-liong-li mulai melatih diri sampai kini, selama itu tak pernah lagi dia menangis dan mengalirkan air mata, tetapi kini ia telah menangis, seketika perasaan hatinya tergoncang hebat, ruas tulang seluruh tubuhnya se-akan2 berkeretakan hingga sebagian tenaga latihannya menjadi buyar.

Kaget sekali Nyo Ko melihat keadaan Siao-liong-li yang hebat itu.

"He, Kokoh, Kokoh !" teriaknya kuatir, justru pada saat genting itu, tiba2 terdengar suara "krekat-kreket" beberapa kali, ternyata pintu batu mulai terpentang didorong orang, menyusul mana terlihat Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah melangkah masuk.

Kiranya Li Bok-chiu yang terkurung di dalam kuburan itu telah berusaha keras untuk loloskan diri. ia pikir meski batu Toan-liong-ciok itu sudah menutup, tetapi daripada duduk terpekur menanti kematian, lebih baik berusaha mencari hidup. Oleh karena itu nyalinya menjadi besar, ia tidak jeri lagi pada alat2 perangkap yang lihay di dalam kuburan itu, dengan berani ia lantas terjang terus hingga beberapa ruangan akhirnya dapat ditembus dan tibalah sampai di kamarnya Sun-popoh.

Nampak munculnya orang secara mendadak, lekas2 Nyo Ko tampil ke depan mengalingi Siao-liong-li.

"Kau mau apa lagi ?" teriaknya sengit.

"Kau menyingkir ada yang hendak kukatakan pada Sumoay," kata Li Bok-chiu.

Tetapi kuatir orang pakai tipu muslihat dan gurunya nanti dicelakai, Nyo Ko tetap tak mau menyingkir

"Apa yang hendak kau katakan boleh katakan saja di situ," sahutnya kemudian.

Melihat kebandelan pemuda ini, dengan mata melotot Li Bok-chiu pandang sejenak pada Nyo Ko.

"Lelaki semacam kau ini sungguh jarang terdapat di dunia ini," akhirnya ia berkata dengan menghela napas.

"Suci, kau bilang apa tentang dia ?" tanya Siao-liong-li tiba2 sambil turun dari pembaringannya. "Dia baik atau tidak ?"

"Sumoay, selamanya kau tak pernah turun gunung, maka kau tidak kenal hati manusia di dunia ini yang kejam dan palsu," sahut Li Bok-chiu. "Orang yang berbudi luhur dan berhati setia seperti dia ini, boleh dikatakan di seluruh jagat ini sukar dicari bandingannya."

Rupanya Siao-liong-li sangat senang dan terhibur oleh kata2 sang Suci. "Kalau begitu, seorang seperti dia ini suka mati bersama aku, hidupku ini terasa tidak penasaran lagi," katanya dengan pelahan.

"Sebenarnya pernah apakah dia dengan kau, Sumoay ? Apa kau sudah mengawini dia ?" tanya Li Bok-chiu lagi.

"Tidak, dia adalah muridku, dia bilang aku sangat baik padanya. Tetapi sebenarnya baik atau tidak, aku sendiripun tidak tahu," sahut Siao-liong-li.

Sudah tentu Li Bok-chiu sangat heran oleh jawaban ini.

"Aku tidak percaya," ujarnya sambil geleng kepala,

Habis ini se-konyong2 ia menarik tangan kanan Siao-liong-li, ia gulung lengan baju orang, maka tertampaklah olehnya di atas kulit yang putih bersih bagai salju itu terdapat satu titik merah, tidak salah lagi itu adalah "Siu-kiong-seh" yang ditisik guru mereka pada mula2 masuk perguruan golongan Ko-bong-pay.

"Siu-kiong-seh" atau andeng2 cecak, menurut cerita kuno dibuat dengan cara demikian: setelah cecak dipelihara dan diberi makanan obat2an khusus sebangsa "Cuseh" sebanyak tujuh kali bertu-rut-turut sehingga akhirnya seluruh badan binatang cecak ini berubah merah darah, lalu cecak ini dibunuh dan darah merah itu diambil untuk di-tisikan pada tubuh kaum wanita, apabila wanita ini masih bertubuh perawan, maka selama itu Siu-kuong-seh" atau andeng2 merah buatan ini akan tetap tinggal di tempatnya, tetapi bila wanita itu sudah melanggar kesuciannya, maka andeng2 merah segera lenyap. Cara ini di jaman kuno konon dipakai untuk menjaga perjinahan.

Begitulah, oleh karena itu demi nampak "Siu-kiong-seh" atau andeng2 merah itu masih tetap di tangan Siao-liong-li, mau-tak-mau diam2 Li Bok-chiu sangat kagum atas prilaku kedua orang yang tinggal berdampingan di dalam kuburan ini ternyata bisa menjaga diri dalam batas2 kesopanan hingga Siao-Iiong-li masih tetap putih bersih bertubuh perawan.

Lalu Li Bok-chiu sendiri menggulung lengan bajunya juga, maka tertampak pula tangannya terdapat juga setitik merah segar yang menyolok sekali, sungguh menarik sekali dua lengan yang putih mulus itu berjajar menjadi satu, hanya saja Li Bok-chiu mempertahankan diri dan tetap bertubuh suci disebabkan karena terpaksa, sebaliknya sang sumoay ternyata ada lelaki yang rela membelanya, kalau dipikir, yang beruntung dan yang malang, nyata bedanya seperti langit dan bumi.

Berpikir sampai di sini, tak tahan lagi Li Bok-chiu menghela napas panjang.

"Tadi kau bilang ada yang hendak dikatakan padaku, nah, katakanlah lekas," terdengar Siao-liong-li memecahkan kesunyian

Semula Li Bok-chiu hendak menghina dan membikin malu Siao-liong-Ii karena bergendak dengan lelaki dan merusak nama baik perguruan, namun demi melihat Siu-kiong-seh sang Sumoay masih belum lenyap, ia berbalik bungkam.



"Sumoay, kedatanganku ialah untuk minta maaf padamu," akhirnya ia berkata sesudah merenung sejenak.

Tentu saja hal ini sama sekali tak diduga Siao-liong-Ii, ia cukup kenal watak sang Suci yang sombong dan angkuh, tidak nanti dia mau tunduk pada orang lain, siapa tahu kini bisa buka mulut minta maaf padanya, ia menjadi ragu2 apa orang tiada maksud2 tertentu. Karenanya dengan dingin2 saja ia menjawab:

"Kau lakukan urusanmu dan aku kerjakan urusanku masing2 tentu anggap diri sendiri yang betul tidak perlu kau minta maaf segala."

"Sumoay, dengarlah kataku," kata Li Bok-chiu, "kita yang menjadi wanita ini, selama hidup paling beruntung yalah bila mempunyai seorang kekasih yang berhati tulus, Nasibku sendiri jelek, itu sudah tak perlu dibicarakan lagi, tetapi pemuda ini begini baik terhadapmu, maka boleh dikatakan kau tidak kekurangan apa2 lagi hidupmu ini,"

Siao-Iiong-Ii tersenyum senang oleh kata-kata sang Suci,

,"Ya, sesungguhnya akupun sangat suka padanya," katanya kemudian. "Selamanya dia tak akan-mengingkari aku, aku yakin benar".

Rasa hati Li Bok-chiu menjadi lebih pedih oleh keterangan Siao-liong-li itu.

"Kalau begitu seharusnya kau turun gunung saja untuk hidup baru yang menggembirakan, hen-daklah diketahui, usiamu masih muda, hari depan-mu yang bahagia masih tidak habis2nya."

Siao-liong-li mendongak, ia ter-menung2.

"Ya, memang, cuma sayang kini sudah terlambat," akhirnya ia berkata.

"Sebab apa ?" tanya Li Bok-chiu cepat.

"Bukankah Toan-Iiong-ciok itu sudah menutup, sekalipun Suhu hidup kembali, juga tak mungkin bisa keluar," sahut Siao-Iiong-li.

Bukan buatan rasa kecewa Li Bok-chiu oleh jawaban orang, ia sengaja merendah diri dan me-muji2 orang dengan putar lidah, memangnya ia berharap bisa menimbulkan keinginan Siao-liong-li untuk mencari hidup, dengan apa yang dikenal Siao-liong-li keadaan kuburan kuno ini tentu dapat mencari satu jalan keluar, siapa tahu akhirnya tetap putus asa.

Karena itu, tanpa terasa napsu membunuhnya mendadak timbul, begitu tangannya diangkat, segera ia menghantam ke atas kepala Siao-liong-li.

Sejak tadi Nyo Ko mendengarkan percakapan mereka disamping dengan bingung, ketika tiba2 melihat Li Bok-chiu menyerang, dalam gugup dan kuatirnya, otomatis ia berjongkok lalu berteriak "kok" sekali, kedua telapak tangannya didorong pula ke depan.

Ternyata yang dilontarkan ini adalah Ha-mo-kang yang lihay yang dipelajarinya dari Auwyang Hong itu.

Waktu itu pukulan Li Bok-chiu sudah sampai di tengah jalan, ketika mendadak terasa olehnya ada samberan angin pukulan yang keras dari samping, lekas2 ia putar tangannya buat menangkis. Tak terduga tenaga dorongan Nyo Ko ternyata kuat luar biasa, begitu hebat sampai tubuhnya kena didorong ke belakang, maka terdengarlah suara "blek" yang keras, punggung Li Bok-chiu tertumbuk dinding batu, percuma saja dia memiliki ilmu silat yang tinggi tidak urung ia merasakan tulang punggungnya tidak kepalang sakitnya.

Keruan Li Bok-chiu menjadi murka, sekonyong-konyong ia gosok2 kedua telapak tangan-nya, seketika seluruh kamar timbul semacam bau amis. Nyata ia telah keluarkan "Jik-Iian-sin-ciang",

Di lain pihak Siao-Iiong-li tahu serangan Nyo Ko tadi hanya secara kebetulan saja berhasil setelah sang Suci melontarkan "Jik-lian-sin-ciang", maka sukar dilawan lagi meski mereka berdua mengeroyoknya bersama. Karena itu, segera ia tarik lagi tangan Nyo Ko, dengan cepat pula mereka menyelinap keluar pintu kamar."

Namun gerak tubuh Li Bok-chiu secepat kilat, tidak nanti dia biarkan kedua orang itu melarikan diri kembali sebelah tangannya telah memukul.

Siapa tahu, baru saja tangannya sampai di tengah jalan, tahu2 pipi kiri sendiri merasakan sekali tempelengan meski tamparan ini tidak sakit, namun suaranya terdengar jelas, ia dengar pula Siao-Iiong-li berseru: "lnilah Giok-li-sim-keng yang hendak kau pelajari nah, rasakan dahulu !"

Dalam tertegunnya lagi2 li Bok-chiu merasakan tangan orang telah mampir pula di pipi ka-nannya, ia kenal ilmu Giok-li-sim-keng luar biasa lihaynya, kini menyaksikan sendiri gerak pukulan Siao-liong-li begitu cepat, pula datangnya pukulan tidak diketahui arahnya, maka ia menjadi jeri terpaksa ia saksikan sang Sumoay masuk kamar lain dengan bergandengan tangan Nyo Ko, lalu pintu kamar lain itu tertutup rapat lagi.

Seperginya orang, Li Bok-chiu masih terkesima sendiri ia me-raba2 kedua belah pipinya, katanya dalam hati: "Beruntung pukulannya tadi sengaja bermurah hati jika digunakan tenaga keras, tentu jiwaku sudah melayang"

Nyata tidak diketahuinya bahwa ilmu Giok-li-sim-keng itu masih belum jadi terlatih oleh Siao-liong-li, meski pukulannya sudah mahir, namun belum bertenaga dan tak dapat melukai orang,

Sementara itu di kamar lain Nyo Ko sedang senang sekali karena melihat gurunya dengan gampang saja telah hajar Li Bok-chiu dengan dua kali tempelengan.

"Kokoh, sungguh tidak nyana ilmu kepandaian Giok-li-sim-keng itu bisa begitu bagus..."

Tetapi belum habis ia berkata, se-konyong2 dilihatnya Siao-liong-li dalam keadaan gemetar, tampaknya seperti tak sanggup menguasai diri lagi, keruan Nyo Ko kaget, cepat ia berteriak: "Kenapakah kau, Kokoh ?"

"A... aku... di... dingin..." sahut Siao-liong-li sambil menggigil.

Kiranya tadi karena dia menyerang orang dua kali, meski tenaga yang dikeluarkannya sangat enteng, namun yang dipakai adalah tenaga dalam. Padahal dia baru sembuh dari luka berat, kesehatannya belum pulih seluruhnya, kini mendadak terganggu lagi, tentu saja tidak sedikit resikonya.

Selama hidupnya dia melatih diri di atas ranjang batu pualam yang dingin itu, dasarnya menjadi terlatih dingin sekali, kini daya tahannya telah hilang, keruan seketika Siao-liong-li seperti terjerumus ke dalam lembah es, ia merasakan dingin luar biasa sampai menusuk tulang sumsum, giginya tiada hentinya pada berkerutukan.

"Celaka, bagaimana baiknya ini ?" dalam gugupnya Nyo Ko hanya ber-teriak2 tak berdaya.

Begitu rupa ia lihat Siao-liong-li kedinginan hingga tibal teringat sesuatu olehnya, lekas2 dia lepaskan buntalan yang menggemblok di punggungnya, ia keluarkan baju kapas tinggalan Sun-popoh dan dengan cepat dikemulkan atas badan Siao-liong-li.

Karena tambahan baju kapas ini, mula2 Siao-liong-li merasa rada hangat, tetapi sebentar saja hawa hangat baju kapas itu menjadi hilang pula dikalahkan rasa dingin yang timbul dari dalam tu-buhnya, kembali ia menggigil terus.

Dalam gugupnya, tanpa pikir lagi Nyo Ko peluk orang kencang2, ia pikir dengan hawa hangat badan sendiri dapat bantu menghalau rasa dingin orang.

Tetapi sebentar saja Nyo Ko rasa tubuh Siao-liong-li semakin menjadi dingin, ia sendiri seperti ketularan hingga lambat laun iapun tak tahan.

"Ko-ji, lepaskan !" teriak Siao-liong-li tiba2.

"Tidak, Kokoh, jangan kuatir, aku peluk kau, tentu kau akan baikan," sahut Nyo Ko.

Namun rasa dingin Siao-liong-li sukar ditahan pula, dengan kertak gigi ia bertahan sedapat-nya, tiba2 ia meronta-ronta, kedua tangannya menjambret dan menarik sekenanya, karena itu mendadak terdengar suara "brebet", tahu2 kain baju kapas tinggalan Sun-popoh itu robek tertarik, di bawah sinar lilin tiba2 tertampak diantara robekan baju itu ada sepotong kain putih pula dan lapat2 di atasnya seperti tertulis sesuatu.

Dasar Nyo Ko memang sangat cerdik, tiba2 teringat olehnya kelakuan Sun-popoh pada saat orang tua ini mendekati ajalnya, tetapi seperti maha penting baju kapas ini diserahkan padanya, mungkin tidak melulu untuk tanda mata saja, melainkan di dalamnya masih mengandung maksud2 lain.

Maka dengan cepat Nyo Ko tarik keluar kain putih itu, betul saja ia lihat di atas kain itu tertulis 16 huruf yang maksudnya:

"GURU BESAR TIONG-YANG MENINGGALKAN ILMU KEPANDAIAN. PERIKSA LUKISANNYA DAN PELAJARI JARI TANGANNYA"

Sebenarnya Nyo Ko lagi kehabisan akal dan tak berdaya menghadapi keadaan Siao-liong-li yang kedinginan itu, kini mendadak membaca enam belas huruf ini, seketika seperti sebuah perahu yang terombang-ambing di samudera raya dalam kegelapan dan sekonyong-konyong melihat mercu suar.



Dalam girangnya ia rangkul Siao-liong-li terlebih kencang lagi, "Marilah Kokoh, kita pergi melihat gambarnya Tiong-yang Cosu," demikian ajaknya.

Tetapi Siao-liong-li seperti tidak mendengar kata2nya, kedua matanya tertampak terpejam rapat.

Terpaksa Nyo Ko melompat turun, dengan memondong Siao-liong-li, dengan gugup dan bingung ia berlari ke ruangan depan sana,. Dalam hati diam2 ia berdo'a: "Semoga Li Bok-chiu beriba jangan berada di sana."

Begitulah, dengan pelahan sekali ia dorong pintu, ia lihat keadaan gelap gulita, syukur Li Bok chiu berdua tidak berada disitu, ia dudukan Siao-liong-li pada satu kursi, lalu ia menyalakan lilin dan pergi memeriksa gambar yang melukiskan pribadi Ong Tiong-yang itu.

Tempo hari waktu Nyo Ko menjalankan upacara pengangkatan guru pada Siao-liong-li, pernah dia diperintahkan meludahi lukisan ini Sejak itu, sering juga ia melihatnya lagi, tetapi selamanya tidak merasa ada sesuatu yang aneh atas lukisan itu, Kini teringat olehnya kata2 tentang "pelajari jari tangannya" maka dengan teliti ia coba periksa jari tangan Ong Tiong-yang dalam lukisan itu yang sedang menuding. Gambar itu melukiskan tangan kiri orang berada di depan tubuh yang mungkur, dengan sendirinya tidak kelihatan jari-nya, hanya tangan kanan yang menuding miring ke ujung atas, Meski sudah dia lihat dan lihat lagi, tetap tak bisa dimengerti dimana letak rahasianya.

Selagi ia hendak memeriksa lebih cermat, ketika ia menoleh, dilihatnya Siao-liong-li pe!ahan2 sedang mendatangi dengan berpegangan kursi, lekas2 Nyo Ko memayangnya.

Kemudian Siao-liong-li ikut memeriksa lukisan itu, lama sekali keadaan menjadi sunyi.

"Jika badanku baik2 saja, mungkin rahasianya dapat kuselidiki lebih mendalam," kata Siao-liong-li sesudah agak lama, "tetapi kini... kini matakupun terasa menjadi buram..."

Segera Nyo Ko melompat ke atas, ia tanggalkan lukusan itu dan ditaruh ke depan Siao-liong-li Maka diperiksanyalah lebih teliti oleh Siao-liong-li.

Ia lihat guratan2 pada jari lukisan Ong Tiong-yang itu memang digores dengan jelek dan kasar, berbeda sekali dengan goresan pada bagian lain, kecuali ini, tiada lagi sesuatu yang menimbulkan pertanyaan.

Karena belum juga ketemukan rahasianya, Nyo Ko ambil Cektay (tancapkan lilin) dan didekatkan Siao-liong-li agar bisa melihat lebih jelas,

"Sudahlah, tak perlu lihat lagi " kata Siao-liong-li tiba2, tetapi belum habis bicara, se-konyong2 badannya gemetar lagi, karena itu cek-tay yang dipegang Nyo Ko tergentak hingga minyak lilin yang lumer tercecer di atas lukisan.

Siao-liong-li terkejut.

"Ai, aku telah bikin kotor lukisan ini!" katanya dengan menyesal

"Tak apa, toh tiada sesuatu yang aneh," ujar Nyo Ko.

Habis ini ia payang Siao-liong-li duduk kembali ke kursi. Selang tak lama, minyak lilin tadi sudah kering, Nyo Ko coba merhbersihkannya dengan kukunya.

Di luar dugaan, sehabis kertas gambar itu ketetesan minyak lilin, kini menjadi tembus dan kelihatan terang, lapat2 jari tangan gambar itu seperti tertulis huruf2 "dua... tiga dan lain2"

Hati Nyo Ko tergerak, ia memeriksanya lebih dekat lagi, kiranya jari tangan yang sedang menuding dalam lukisan itu, di samping goresan yang Iembut itu penuh tertulis pula huruf kecil, tetapi tulisan2 ini terlalu halus, kecuali beberapa huruf sederhana yang dapat dilinatnya, selebihnya sukar dibaca pula.

"Kokoh, lihat ini!" dalam girangnya segera Nyo Ko berteriak, berbareng ia pindahkan lukisan itu dan lilin ke hadapan Siao-liong-li.

Selama hidup Siao-liong-li dilewatkan dalam kuburan kuno yang gelap gulita ini, maka pandangan matanya sangat tajam, melihat barang di tempat gelap dianggapnya seperti siang hari saja, maka sesudah diperiksanya dua kali, akhirnya dia mendongak, mukanya mengunjuk senyuman tetapi bukan senyuman, sikapnya sangat aneh.

"Kokoh, apakah kata tu1isan2 itu ?" tanya Nyo Ko tak sabar

"Kiranya sesudah Cosu-popoh meninggal, Ong Tiong-yang telah masuk lagi ke dalam kuburan kuno ini," sahut Siao-liong-li sambil menghela napas.

"Untuk apa dia kembali ?" tanya Nyo Ko pula.

"Dia datang lagi buat ziarah Cosu-popoh," kata Siao-liong-li "Dan disini dilihatnya Giok-li-sim-keng tinggalan Cosu-popoh yang diukir diatas langit2an kamar ini yang ternyata dapat memecahkan semua tipu silat Coan-cin-kau, karenanya ia telah tinggalkan tulisan di atas lukisan ini, dia bilang apa yang dipecahkan Cosu-popoh itu hanya kepandaian2 kasar yang tak berarti dari Coan-cin-kau, bagi ilmu paling tinggi dari Coan-cin-pay yang dipahaminya, Giok-li-sim-keng inipun tidak akan berarti lagi!"

"Cis, imam tua ini membual," kata Nyo Ko tiba2 meng-olok2, "ya, toh Cosu-popoh sudah meninggal, maka dia boleh omong sesukanya."

"Tetapi dia bilang lagi dalam tulisannya ini bahwa di suatu kamar lain lagi dia juga tinggalkan pula ilmu cara memecahkan Giok-li-sim-keng. kelak kalau ada yang punya jodoh, tentu akan tahu bila sudah melihatnya," kata Siao-liong-li.

Hati muda Nyo Ko jadi tertarik oleh keterangan ini.

"Ayoh, Kokoh, kita pergi melihatnya," ajaknya.

"Baik juga pergi melihatnya," sahut Siao-liong-li, "seumur hidupku tinggal di sini, belum pernah kumengetahui masih ada kamar batu sebagaimana dikatakan ini."

Tapi ketika dia membaca pula, tiba2 ia geleng2 kepala dan menyatakan aneh.

"Aku tak percaya," katanya kemudian sesudah lewat sejenak.

"Akupun tidak," sambung Nyo Ko, "kebagusan Giok-li-sim-keng" tiada taranya, betapapun tinggi kepandaiannya se-kali2 tidak nanti mampu memecahkannya."

"Bukan itu maksudku," ujar Siao-liong-li. "Kamar batu yang dikatakan Ong Tiong-yang itu terang sekali adalah tempat di mana terletak peti mati Cosu-popoh, darimana lagi ada kamar batu lain ?"

"Marilah Kokoh, toh tiada halangannya kita memeriksanya," pinta Nyo Ko.

Kini Siao-liong-li tidak begitu garang lagi terhadap Nyo Ko, meski tubuhnya sebenarnya sangat letih, namun ia paksakan diri buat turuti permintaan pemuda itu.

"Baiklah", sahutnya kemudian dengan senyuman manis,

Maka pergilah mereka menuju kamar peti mati itu.

Menghadapi dua peti mati yang masih kosong itu, tiba2 timbul pikiran aneh dalam hati Siao-liong-Ii. "Dalam kuburan kini ada empat orang, lalu cara bagaimana harus mengisi dua peti mati batu ini?" demikian katanya.

"Kita tidur dalam satu peti dan biar kedua perempuan jahat itu pakai yang satu," ujar Nyo Ko.

Apa yang dikatakan Nyo Ko ini timbul dari hatinya yang murni, sedikitpun dia tidak berpikir yang tidak2, tetapi muka Siao-liong-li tiba2 menjadi merah jengah.

"Tetapi kalau kita mati dahulu, kedua perempuan jahat itu pasti tidak perbolehkan kita tinggal bersama, tentu mereka akan pisahkan tubuh kita sejauh mungkin," ujar Siao-liong-li dengan suara rendah.

BetuI juga pikir Nyo Ko, karena ini ia se-akan2 membayangkan sehabis dirinya dan sang guru mati dan mayatnya lagi dihina dan dirusak oleh Li Bok-chiu bersama Ang Ling-po, tanpa terasa ia menjadi gusar luar biasa.

"Kokoh, kita harus bunuh dahulu mereka berdua !" teriaknya tiba-tiba.

"Tetapi sayang, kita tak mampu mengalahkan mereka," sahut Siao-liong-li menghela napas.

Sesudah melatih lwekang tenaga Nyo Ko sudah luar biasa hebatnya, tanpa susah dia dorong dan balikkan tutup peti mati itu.

"Ya, jika kita dapat mempelajari ilmu silat tinggalan Ong Tiong-yang itu, mungkin kita bisa menangkan mereka," kata Nyo Ko sesudah berpikir.

Siao liong-Ii tertawa oleh pikiran orang ini.

"Seumpama betul2 ada ilmu silat yang begitu lihay, apakah dapat dipelajari dalam setahun setengah saja ?" katanya, "Sedangkan rangsum kita paling banyak hanya cukup untuk beberapa hari."

Tentu saja kembali Nyo Ko putus asa. Melihat wajah orang mengunjuk kecawa, hati Siao-liong-li jadi tak tega.

"Ko-ji," katanya lagi, "menurut apa yang dikatakan Ong Tiong-yang, untuk datang ke kamar batu yang dia sebut diharuskan memindahkan jenazah Cosu-popoh, dan ini yang kuatirkan jangan2 inilah tipu muslihat Ong Tiong-yang, tujuannya agar kita masuk perangkap."



Dasar perasaan Nyo Ko memang gampang terguncang, maka segera ia mencaci-maki orang: "Ya, betul, imam hidung kerbau ini mana mungkin punya maksud baik ?"

Ketika dilihatnya Siao-liog-Ii mengunjuk rasa sangsi, segera ia menanya pula: "Kenapa lagi, Kokoh ?"

"Tetapi menurut cerita Sun-popoh, sebenarnya Ong Tiong-yang sangat baik sekali terhadap Cosu-popoh," sahut Siao-liong-li. "Cuma disebabkan watak Cosu-popoh terlalu aneh, maka hubungan mereka menjadi retak, jika begini soalnya, agaknya tidak nanti sesudah Cosu-popoh mati, lalu dia datang lagi buat- menganiaya padanya."

Setelah dia pikir lagi, tiba2 ia ambil keputusan.

"Ko-ji, mati kita buka tutup peti matinya !" ajaknya kemudian

Habis ini, bersama Nyo Ko mereka menarik sekuatnya untuk membuka tutup peti batu itu.

Waktu membuka peti mati, mula2 Nyo Ko menyangka pasti akan terhembus bau busuk mayat dari dalamnya, maka sebelumnya dia sudah siap2 menahan napas, Siapa tahu begitu tutupnya terpentang, bukannya bau busuk lagi yang dia cium, melainkan bau wangi semerbak yang teruar keluar, walaupun ia tahan napas dan tidak menyedot namun terasa juga bau harum itu.

Sebagai seorang yang sudah melatih Lwekang, maka tenaga Nyo Ko sudah beberapa kali lipat dari orang biasa, ketika sedikit ia gunakan tenaga, tutup peti batu itu sudah kena dibaliknya ke atas tanah, ketika dia pandang ke dalam peti, mendadak ia sendiri terkejut

"He, Kokoh, dalamnya kosong!" teriaknya cepat.

Betul juga, waktu Siao-liong-li melongok ke dalam peti, ia dapatkan peti batu itu kosong-blong, di dalamnya hanya terdapat dua mangkok porselen yang masing2 berisi setengah mangkok minyak gemuk, bau harum itu agaknya teruar dari minyak gemuk ini.

"Aneh, lalu di manakah jenazah Cosu-po-poh!?" Siao-liong-li menggumam sendiri "Jika begini, tampaknya apa yang dikatakan Ong Tiong yang bukannya dusta."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar