"Jangan2 kamar batu yang disebut imam tua itu yalah
peti batu ini ?" kata Nyo Ko.
"Bukan begitu maksudnya," sahut Siao-liong-li
tersenyum,
Dia sudah lama tinggal dalam kuburan kuno ini, maka dia
mahir sekali tentang segala macam alat2 rahasia, ia coba memeriksa teliti peti
batu itu sejenak, lalu terdengar ia berkata lagi: "Alas peti ini bisa
dibuka."
Tentu saja Nyo Ko sangat girang.
"Ah, tahulah aku sekarang, itu adalah pintu yang
menuju ke kamar batu itu," serunya.
Habis ini, tanpa diperintah segera ia melompat masuk ke
dalam peti mati itu, ia keluarkan dahulu kedua mangkok berisi minyak wangi itu,
lalu ia me-raba2 seluruh peti, betul juga, akhirnya diketemukan satu tempat
dekuk yang bisa dipegang, dengan kencang ia tarik ke atas sekuatnya, tetapi sedikitpun
ternyata tidak bergerak
"Putar dulu ke kiri, baru ditarik ke atas,"
kata Siao-liong-li.
Nyo Ko menurut, ia putar lalu ditarik, betul saja lantas
terdengar suara "krak" yang keras, satu papan batu telah kena ditarik
naik,
"Kokoh, berhasil sudah !" serunya girang.
"Jangan kesusu dahulu. duduklah sebentar, biar bau
apek di dalam gua teruar keluar baru kita masuk," ujar Siao-liong-li.
Dalam keadaan demikian Nyo Ko menjadi tidak sabar, hanya
sebentar saja dia sudah tanya. "Bagaimana Kokoh, apa sudah cukup ?"
"Ai, orang tak sabar seperti kau ini sukar
dimengerti bisa tahan mengawani aku beberapa tahun," ujar Siao-liong-li
dengan menghela napas.
Habis berkata, pelahan2 ia berdiri, ia angkat cektay dan
turun ke bawah melalui peti batu itu, sesudah melalui satu lorong di bawah
tanah yang sempit dan membelok lagi dua kali, betul saja akhirnya mereka sampai
di satu kamar batu.
Kamar batu itu ternyata tiada sesuatu yang sepesial,
waktu mereka sama2 mendongak ke atas, maka tertampaklah oleh mereka di langit2an
kamar itu penuh tertulis huruf2 dan tanda2, sedang ujung paling kanan
tertuliskan empat huruf besar : "Kiu-im-cin-keng".
Siao-liong-li dan Nyo Ko tidak mengerti bahwa
"Kiu-im-cin-keng" adalah suatu kitab ilmu silat paling tinggi di
seluruh kolong langit, tetapi sesudah mereka melihat tulisan serta tanda2 itu,
mereka merasakan tiada terbilang bagusnya intisari yang terkandung di dalamnya,
seketikapun mereka tak bisa memahami seluruhnya.
"Sekalipun ilmu kepandaian ini dapat mengalahkan Giok-li-sim-keng,
namun kitapun tak keburu lagi mempelajarinya," ujar Siao-Iiong-li.
Karena itu Nyo Ko menjadi kecewa dan putus asa lagi,
sebenarnya ia tidak mau melihat lagi, tak disengaja, sekilas mendadak terlihat
olehnya pada ujung barat langit2 kamar itu terlukis satu yang tampaknya tiada
hubungannya dengan ilmu silat. Oleh karena tertarik, kembali ia kumpulkan
perhatian memandang lebih jauh, agaknya gambar itu seperti sebuah peta.
"Kokoh, apakah itu ?" katanya kemudian pada
Siao-liong-li.
Siao-liong-li berpaling, ia pandang menurut arah yang
ditunjuk, tiba2 ia pandang peta itu dengan ter-mangu2, tubuhnya sedikitpun
tidak bergerak Lama dan lama sekali masih tetap tidak bergerak
Akhirnya Nyo Ko sendiri menjadi ngeri, ia coba tarik2
lengan baju orang dan menanya : Ko-koh, kenapakah kau ?"
Tetapi Siao-liong-li masih tetap memandang dengan
terkesima, kira2 lewat beberapa lama, mendadak ia mendeprok terduduk, ia
menangis ter-guguk2 bersandar di tubuh Nyo Ko.
"Apakah badanmu sakit lagi, Kokoh?" pemuda itu
tanya dengan bingung.
"Bukan, bu... bukan," sahut Siao-liong-li
tersenggak-sengguk, Selang tak lama lalu dia sambung lagi: "Ki... kita
kini bisa keluar sudah."
Keruan bukan buatan rasa girang Nyo Ko, seketika ia
ber-jingkrak2.
"Betulkah katamu ?" teriaknya gembira, Dengan
masih mengembeng air mata Siao-liong-li mengangguk2. Tentu saja Nyo Ko semakin
ber-girangan.
"Dan kenapa engkau malah menangis ?" tanyanya
kemudian.
"Entah, akupun tak tahu, mungkin terlalu
bergirang," sahut Siao-liong-li tersenyum manis dalam menangisnya,
"Ko-ji, dahulu tak pernah aku gentar mati, sebab seumur hidupku toh pasti
akan tinggal di dalam kuburan ini, mati sekarang atau mati kelak toh tiada
bedanya ? Tetapi aneh, dalam beberapa hari ini selalu timbul pikiran ingin pergi
me-lihat2nya keluar,"
"Marilah Kokoh, kita keluar bersama, aku nanti petik
bunga untukmu, tangkap jangkrik buat kau, mau tidak ?" kata Nyo Ko sambil
tarik kencang tangan orang.
Nyata meski usia Nyo Ko sudah menanjak, namun pikirannya
masih tetap kanak2.
Sebaliknya Siao-liong-li selamanya tidak pernah bermain
dengan anak lain, kini mendengar cerita Nyo Ko yang menarik dan begitu
bernapsu, ia sendiripun merasa senang.
Dalam keadaan buntu mendadak kedua orang ini mendapatkan
jalan hidup, mereka menjadi lupa daratan, bukannya mereka lantas cari jalan
keluarnya itu, sebaliknya mereka duduk bersandaran pundak, mereka bercerita
tentang aneka macam permainan kanak2, makin cerita Nyo Ko semakin bernapsu
hingga akhirnya Siao-liong-li lupa letih dan lupa capek, tetapi apapun juga ia
habis luka parah, sesudah setengah jam mendengarkan cerita, akhirnya ia tak
tahan lagi, tanpa berasa ia terpulas bersandaran di pundak Nyo Ko.
Sesudah bercerita sendiri dan mendapatkan orang tidak
tanya-jawab seperti semula, waktu Nyo Ko menoleh, ia lihat Siao-liong-li sudah
menggeros, nona itu ternyata sudah tertidur.
Oleh karena tekanan batinnya sudah lapang, akhirnya Nyo
Ko sendiri merasa letih, kemudian iapun terpulas.
Keadaan itu entah lewat berapa lama, ketika mendadak Nyo
Ko merasakan pinggangnya sakit linu, "jiau-yao-hiat" di pinggangnya
tahu2 kena di| tutuk orang sekali, Dalam kagetnya ia terjaga dari tidurnya,
selagi ia hendak melompat bangun buat melawan, tahu2 tengkuknya telah kena
dicekal orang dengan kencang hingga Nyo Ko tak mampu berkutik.
Waktu Nyo Ko sedikit melengos, ia lihat Li Bok-chiu dan
Ang Iing-po berdua sudah berdiri di samping dengan ter-tawa2, sebaliknya
gurunya, Siao-liong-li, sudah kena ditutuk orang juga hingga tak berdaya.
Kiranya Nyo Ko dan Siao-Iiong-li berdua sama sekali tak
punya pengalaman Kangouw yang selalu harus waspada terhadap musuh dan
berjaga-jaga diri, dalam girangnya mereka ternyata lupa daratan hingga tutup
peti batu tadi belum mereka tutup kembali: karena itulah kemudian dapat
diketahui Li Bhok chiu bahwa di bawah tanah ini masih terdapat kamar lagi dan
berhasil dia menyergapnya selagi mereka tertidur.
"Ha, bagus, bagus, kiranya disini masih terdapat
tempat seenak ini, kalian berdua lantas bersembunyi untuk senang2
sendiri," demikian Li Bok-chiu mengejek "Sumoay, cara bagaimanakah,
keluarnya dari sini, tentu kau mengetahuinya, jika kau masih merahasiakannya,
jangan kau sesalkan Enci-mu berlaku kejam nanti."
Namun Siao-liong-li sama sekali tak gentar oleh gertakan
orang.
"Jangan kata memang aku tak tahu, seumpama tahupun
tak sudi kukatakan padamu." sahutnya ketus.
Li Bok-chiu cukup kenal watak sang Sumoay yang kepala
batu, sekalipun Suhu mereka dahulu suka mengalah juga padanya, maka bila
menggunakan kekerasan, pasti tak bethasil, tetapi dalam keadaan demikian,
soalnya menyangkut ma-ti-hidupnya, bagaimanapun juga dia harus memaksa sang
Sumoay.
Karena itu, segera ia keluarkan dua jarum
Peng-pek-sin-ciam, ia lemparkan jarum2 itu ke lantai hingga mengeluarkan suara
gemerincing yang halus.
"Awas, jika aku menghitung dari satu sampai sepuluh
dan kau masih belum bicara, terpaksa kusuruh kau mengicipi rasanya jarum perak
ini," demikian ia mengancam.
Namun Siao-liong-Ii tetap tak menjawab, bahkan ia
pejamkan matanya dan tidak gubris gertakan orang.
"Satu... dua... tiga... empat..." demikian Li
Bok-chiu mulai menghitung.
"Jika Kokoh kenal jalan keluarnya, kenapa kami tidak
melarikan diri sejak tadi, sebaliknya masih tinggal di sini ?" tiba2 Nyo
Ko membentak.
"Hm, pandai juga kau bicara," jengek Li
Bok-chiu, "Aku sudah mempelajari keadaan tempat ini, aku taksir tentu ada
jalan keluar yang dirahasiakan kalian bermaksud tidur dahulu, sesudah semangat
pulih, bukankah kalian lantas angkat kaki ?" Lalu ia menyambung
perhitungannya lagi:
"lima... enam... tujuh... delapan...
sembilan..."
Sampai di sini ia berhenti sejenak, ia coba peringatkan
orang lagi : "Sumoay, apa betul2 tak mau kau katakan ?"
Pada saat itu juga, tiba2 di lorong bawaf itu meniup
angin dingin yang menghembus masuk hingga lilin yang dipegang Ang Ling-po
tersirap.
"Hmmm, aku masih ngantuk, jangan kau bikin ribut
lagi," kata Siao-liong-li tiba2 dia sengaja menguap keras.
"Baiklah, Peng-pek-ciam ini adalah warisan
Cosu-popoh kita sendiri, maka jangan kau sesal kan aku, kini aku sudah menghitung
sampai sepuluh," demikian kata Li Bok-chiu.
Sembari berkata, ia gunakan ujung jarum peraknya yang
berbisa jahat itu menggosok sekali "Ciang-tay-hiat" di punggung Nyo
Ko, menyusul "Hian-ki-hiat" di dada Siao-liong-li ia gosok sekali
juga dengan cara yang sama.
Walaupun biasanya sifat Siao-liong-li sangat dingin dan
tenang, tetapi kini tidak urung ia merasa ngeri juga, sebab racun jarum perak
ini pe-Iahan2 akan merembes masuk melalui jalan darah di pinggangnya itu dan
lambat laun merata ke seluruh tubuh, tatkala itu akan terasa seluruh tubuh
se-akan2 ribuan semut menggerogoti tulang sumsum dan be-ribu2 bisul tumbuh di
seluruh badan, dalam keadaan demikian rasanya tiada yang lebih lihay daripada
siksaan ini.
Sebenarnya Siao-liong-li punya obat pemunah racunnya,
sebab asalnya jarum berbisa ini dari perguruannya sendiri, tetapi kini Hiat-to
kena ditutuk orang dan tak mampu berkutik, cara bagaimana ia bisa berdaya buat
menolong diri sendiri?
Di lain pihak Li Bok-chiu memang keji juga kejam, sesudah
gosok jarum berbisa itu di atas badan orang, ia terus duduk di samping untuk
menantikan bekerjanya racun jarumnya, ia pikir orang tentu akan bicara terus
terang.
Selang tak lama, aliran darah di tubuh Siao-liong-li dan
Nyo Ko berjalan tambah cepat, pelahan-lahan pun terasa panas, Siao-liong-li
tahu racun mulai bekerja, tidak Iama lagi tentu akan merembet lagi lebih dalam,
Akan tetapi kini ia djustru merasakan enak yang tak terkatakan.
"Kokoh, jangan kau katakan rahasia keluar kuburan
ini pada mereka, kedua perempuan jahat5 itu betapapun tidak boleh lepas begitu
saja," dengan suara pelahan Nyo Ko bisiki Siao-liong-li.
"Ya," sahut nona itu.
Teringat tentang rahasia jalan keluar kuburan itu, tanpa
terasa ia menengadah dan memandang ke langit-langitan kamar yang terdapat peta
bumi itu.
Kiranya dahulu demi mengetahui Lim Tiao-eng telah
meninggal dunia di dalam kuburan itu, walaupun dia sudah bersumpah tidak akan
memasuki lagi, akhirnya Ong Tiong-yang masuk lagi ke kuburan itu secara diam2
melalui jalan rahasia, Teringat oleh Ong Tiong-yang betapa cintanya Lim
Tiao-eng kepada dirinya dan suka-duka mereka semasa mudanya, maka menangislah
Cosu dari Coan-cin-kau itu di hadapan jenazah bekas kekasihnya itu.
Setelah puas menangis seorang diri dan sesudah melihat untuk
penghabisan kalinya wajah kekasihnya yang sudah tak bernyawa, kemudian Ong
Tiong-yang memeriksa lagi keadaan kuburan raksasa buah karyanya itu, di situ
bukan saja ia melihat gambar dirinya sendiri yang dilukis oleh Lim Tiao-eng,
bahkan dia dapatkan pula ukir2an di langit2an kamar yang ditinggalkan
kekasihnya itu, ketika diketahuinya betapa bagus dan betapa hebat ilmu
kepandaian yang terkandung dalam Giok-li-sim-keng, setiap gerakan dan setiap
tipu pukulan ternyata merupakan lawan dan khusus anti ilmu silat Coan-cin-pay,
dalam kagetnya muka Ong Tiong-yang menjadi pucat, lekas2 ia keluar dari kuburan
itu.
Lalu seorang diri dia tirakat di puncak gunung, selama
tiga tahun selangkahpun tidak turun gunung, dengan memusatkan pikirannya dia
mempelajari cara2 untuk memecahkan ilmu Giok-li-sim-keng itu, namun demikian,
hasilnya terlalu kecil, bagaimanapun juga dia tak mendapatkan semacam ilmu yang
sempurna untuk mengalahkannya. Dalam putus asanya, terhadap kecerdikan dan
kepintaran Lim Tiao-eng ia menjadi sangat kagum, lalu ia terima menyerah dan
tidak melanjutkan pelajarannya lagi.
Siapa tahu belasan tahun kemudian, karena adanya
"Hoa-san-lun-kiam" atau pertandingan pedang di atas Hoa-san, di mana
Ong Tiong-yang telah keluar sebagai juara dan dapat merebut kitab tertinggi
dari ilmu silat, yaitu "Kiu-im cin-keng".. sebenarnya dia sudah
bersumpah tidak akan berlatih ilmu yang terdapat di dalam kitab itu, tetapi
terdorong oleh rasa ingin tahu, tidak urung ia balik-balik halaman kitab itu
dan membacanya.
ilmu silat Ong Tiong-yang waktu itu sudah diakui sebagai
juara dunia, dengan sendirinya inti sari dari apa yang tertulis di dalam
Kiu-im-cin-keng itu dengan gampang saja dapat dia pahami, hanya sepuluh hari
saja seluruhnya sudah dapat dia selami dengan baik, ia tertawa panjang sambil
menengadah lalu masuk lagi ke Hoat-su-jin-bong, di langit2 kamar batu yang
paling dirahasiakannya telah dia ukir bagian penting dari Kiu-im-cin-keng dan
satu per satu dia tunjuk cara2 untuk mematahkan ilmu Giok-li-sim-keng. Kemudian
pada jari tangan lukisan dirinya itu dia tinggalkan pula beberapa baris
tulisan, dia bilang jika keturunan Lim Tiao-eng ada jodoh, biarlah orang itu
mengetahui bahwa ilmu silat dari pendiri Coan-cin-kau itu. Sekali-kali tidak
bisa dikalahkan Giok-li-sim-keng dengan begitu saja.
Sesudah Ong Tiong-yang keluar lagi dari kuburan, ia coba
memenangkan pula bekas tulisan dengan jari yang dilakukan Lim Tiao-eng di atas
batu gunung Cong-lam-san, terpikir lagi olehnya kata2 yang ditinggalkan di atas
lukisan yang terlalu halus itu, belum pasti orang keturunan Ko-bong-pay dapat
melihatnya, tetapi kalau ditunjukkan secara terang2an, apakah itu bukan berarti
kitab Kiu-im-tin-keng yang hebat itu sengaja dia siarkan pada umum ?
Tengah ia ter-menung2, tiba2 terdengar olehnya ada suara
orang perempuan sedang menangis dengan sedih sekali, ia coba mendekatinya dan
ditanya, kiranya wanita itu she Sun, dahulu jiwanya pernah ditolong Lim
Tiao-eng, maka kini sengaja naik gunung hendak menemuinya, demi mengetahui Lim
Tiao-eng sudah meninggal, ia bermaksud masuk kuburan buat sembahyang, namun
jalan masuknya tidak diketemukan.
Ong Tiong-yang telah tunjuk cara memasuki
Hoat-su-jin-bong itu dan pesan pula: "Aku memberi enambelas huruf,
hendaklah kau ingat2 dengan baik, tetapi jangan dibocorkan pada orang lain,
Kelak bila dekat hari tuamu baru boleh kau beritahukan tuan rumah dari kuburan
kuno itu."
Wanita she Sun itu menghaturkan terima kasih dan ingat
baik2 ke-16 huruf itu dan kemudian berziarah ke dalam Hoat-su-jin-bong,
belakangan ia diterima oleh dayang Lim Tiao-eng yang kemudian menjadi gurunya
Siao-liong-li untuk tinggal terus di dalam kuburan, dia inilah lalu dikenal
sebagai Sun-popoh.
Enambelas huruf tinggalan Ong Tiong-yang itu kemudian
oleh Sun-popoh telah ditulis di atas secarik kain putih dan dijahit dalam baju
kapasnya dan pada saat sebelum ajalnya baju kapasnya telah dia berikan pada Nyo
Ko, 16 huruf itu yang berarti: "Guru besar Tiong-yang, meninggalkan ilmu
kepandaian, periksa lukisannya dan pelajari jari tangannya,".
Tetapi karena bakat Sun-popoh tidak pintar, maka terhadap
enam-belas huruf itu tidak pernah dia selidiki hingga tidak mengetahui rahasia
yang terpendam di dalam kamar batu itu, Sedang mengenai peta bumi rahasia yang
terukir di atas langit-langit kamar itu memeng sudah ada sejak kuburan kuno ini
dibangun muIa2, hal ini malahan Lim Tiao-eng sendiripun tidak mengetahuinya.
Begitulah ketika Siao-liong-li dapat melihatnya, maka
segera dia menjadi jelas jalan rahasia untuk keluar dari kuburan itu, hanya
sayang jalan darahnya ditutuk Li Bok-chiu, sekalipun sudah mendapatkan jalan
hidup toh percuma juga, ia menjadi menyesal kenapa tadi tidak lantas melarikan
diri bersama Nyo Ko, sebaliknya malah duduk2 saja untuk mengobrol segala
permainan anak2 yang tak berguna.
Lambat-laun seluruh badannya menjadi makin panas, ia
memandang lagi beberapa kali peta bumi itu, ia menghela napas panjang,
pandangan matanya beralih lagi pada tulisan pelajaran Kiu-im-cin-keng yang
berada di sebelah peta bumi itu.
Mendadak matanya jadi terbelalak seperti sinar kilat yang
mendadak berkelebat tiba2 dapat dilihatnya ada empat huruf yang bertuliskan
"Kay-hiat-pit-koat" atau kunci rahasia membuka jalan darah. seketika
hatinya tergerak, ia coba mengamat-amati beberapa kali lagi pelajaran ilmu itu.
keruan bukan buatan senangnya, saking girangnya hampir2 saja dia berteriak.
Kiranya ilmu itu telah menjelaskan cara2 untuk
melancarkan jalan darahnya sendiri, sebenarnya bagi seorang yang melatih
Kiu-im-cin-keng, ilmu silatnya pasti juga sudah mencapai tingkatan kelas wahid
dan se-kali2 tidak nanti kena ditutuk orang, tetapi dalam keadaan kepepet
seperti Siao-liong-li sekarang ini, ilmu ini justru merupakan bintang penolong
baginya.
Tetapi bila terpikir lagi olehnya meski bisa melepaskan
diri dari tutukan toh tak lebih ungkuIan daripada sang Suci, bukankah percuma
juga? Karenanya dia lantas baca lagi lebih cermat tulisan2 di atas kamar itu,
ia bermaksud mencari lagi semacam ilmu silat yang praktis, yang begitu
dipelajari segera dapat dipergunakan dan sekaligus bisa mengalahkan Li
Bok-chiu.
Tetapi meski dia ulangi membaca dari awal sampai akhir
dan dari akhir kembali ke awal sampai dua kali ulangan, ia dapatkan meski ilmu
yang-paling gampang dipelajari sedikitnya juga harus makan beberapa puluh hari
baru bisa jadi.
Dalam keadaan putus harapan itu, tiba2 ia merasakan tubuh
Nyo Ko yang bersandaran dengan tubuhnya itu rada2 gemetar, agaknya racun jarum
perak sudah merembes masuk, pada saat genting ini, tiba2 pikirannya menjadi
jauh lebih tajam dari biasanya, tergerak pikirannya dan dapat diperoleh sesuatu
akal bagus, dengan cepat ia menengadah lagi, ia apalkan baik2
"Kay-hiat-pi-koat" dan "Pi-gi-pit-koat", yakni dua macam
ilmu membuka jalan darah dan menutup jalan pernapasan, lalu dengan apa yang dia
apalkan ini dia bisikkan ke telinga Nyo Ko untuk mengajarkan pemuda ini.
Dasar Nyo Ko memang sangat pintar, sedikit diberi
petunjuk saja dia lantas mengerti, diberi tahu awalnya, segera ia paham
lanjutannya.
"Nah, sekarang kita membuka jalan darah
dahulu," kata Siao-Iiong-li kemudian dengan pelahan.
Nyo Ko manggut2 sebagai tanda mengerti.
Dalam pada itu seluruh kamar dalam keadaan gelap gulita,
Li Bok-chiu berdua hanya menanti bila Siao-liong-li dan Nyo Ko tidak tahan oleh
serangan racun dalam badannya, tentu dengan sendirinya akan mengatakan rahasia
jalan keluar kuburan itu, sudah tentu tidak dia duga bahwa mereka justru sedang
main gila secara diam-diam.
Begitulah, maka Siao-liong-li dan Nyo Ko telah menuruti
petunjuk Ong Tiong-yang pada ukiran2 itu, diam2 mereka menjalankan darah
menurut ajaran "Kay-hiat-pit-koat". Memangnya Lwekang mereka berdua
sudah cukup kuat, maka hanya sebentar saja dua tempat Hiat-to yang tertutuk
tadi sudah berhasil mereka Iepaskan.
Lalu Siao-liong-li ulur tangan pelahan2 ke dalam bajunya,
ia ambil dua pil penawar racun jarum itu, lebih dulu ia jejalkan sebutir ke
mulut Nyo Ko, kemudian ia sendiri telan sebutir.
Meski perbuatannya ini dilakukan dengan sangat pelahan
dan hati2, tapi Li Bok-chiu mana bisa dikelabui, segera hal ini dapat
diketahuinya.
"Apa yang kau lakukan ?" bentaknya tiba2 terus
melompat maju.
Namun Siao-liong-li sudah siap sedia, segera ia papaki
orang dengan sekali gablokan, ini adalah ilmu silat tertinggi dari
Giok-li-sim-keng, pundak Li Bok-chiu tahu2 telah kena hantam sekali walau pun
hanya pelahan.
Sungguh tidak pernah Li Bok-chiu duga bahwa sang Sumoay
ini ternyata mampu melepaskan Hiat-to sendiri, dalam kagetnya kena pukulan itu,
lekas2 ia melompat mundur lagi.
"Suci, kami hendak keluar, kau mau ikut keluar tidak
?" demikian Siao-liong-li berkata padanya.
Li Bok-chiu menjadi mati kutu menghadapi sang Sumoay,
biasanya ia suka unggulkan ilmu silatnya sendiri yang tiada tandingannya di
seluruh jagat, pula kecantikannya susah dicari lawannya, siapa tahu kini bisa
dipermainkan oleh sang sumoay yang masih muda-belia dan belum pernah kenal muka
jagat itu, keruan tidak kepalang gusar dan dongkolnya.
Akan tetapi karena kepepet, ia kuatir bila sampai sang
Sumoay menjadi marah, mungkin sungguh2 dirinya tidak dibawa keluar, hal ini
berarti dirinya bakal celaka, karena itu ia tak berani berlaku kasar, ia pikir
paling penting keluar dulu dari kuburan ini, ilmu silat sendiri toh lebih
tinggi daripada Sumoaynya, nanti kalau sudah di luar, tidak sukar untuk bikin
perhitungan dengan dia.
Maka Li Bok-chiu coba menahan amarahnya, dengan tertawa
ia coba membujuk: "Nah, beginilah baru betul2 seorang Sumoay yang baik,
biarlah aku minta maaf padamu dan bawalah aku keluar dari sini !"
"Tetapi Kokoh bilang, hanya satu orang saja diantara
kalian berdua yang bisa ikut, maka katakan saja, bawa kau atau bawa muridmu itu
?" sahut Nyo Ko tiba2.
Nyata Nyo Ko ini sangat licin, melihat ada kesempatan,
segera ia berusaha memecah-belah antara guru dan murid itu.
"Anak keparat, tutup bacotmu !" damperat Li
Bok-chiu gusar.
Kata2 Nyo Ko tadi sebenarnya belum dipahami
Siao-Iiong-li, tetapi selamanya ia membela pendirian pemuda itu, maka segera ia
menyambung: "Ya, memang, aku hanya dapat membawa seorang saja, tidak bisa
lebih ?"
"Nah, apa kataku," ujar Nyo Ko dengan tertawa.
"Supek, menurut pendapatku, biarkan Suci saja yang ikut kami keluar, kau
toh sudah tua, sudah hidup cukup lama bukan ?"
Sungguh tidak kepalang gusar Li Bok-chiu hingga dadanya
se-akan2 meledak, namun soalnya menyangkut mati hidupnya, maka sedapat mungkin
ia coba menahan api amarahnya, ia bungkam dan tidak menjawab lagi.
"Baiklah, sekarang kita berangkat," kata Nyo
Ko. "Kokoh jalan di depan sebagai penuntun jalan, aku nomor dua, dan siapa
yang berada paling belakang, dia yang tak akan bisa keluar."
Maka tahulah sekarang Siao-liong-Ii maksud kata2 Nyo Ko,
karena itu, ia tersenyum manis, lalu dengan gandeng tangan Nyo Ko mereka
mendahului keluar dari kamar batu itu.
Saat itu juga, Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah sama2 berlari
menyusul sehingga kedua orang ini berdesakan di ambang pintu, mereka berebutan
lebih dahulu, mereka takut kalau benar2 Siao-liong-li menggerakkan alat
perangkap rahasia sehingga ada seorang diantara mereka yang tertutup di bagian
dalam.
"Berani kau berebutan dengan aku ?" bentak Li
Bok-chiu menjadi gusar, Berbareng sebelah tangannya telah cekal pula pundak Ang
Ling-po.
Walaupun keadaan sangat berbahaya, namun Ang Ling-po
kenal watak gurunya yang tidak segan turun tangan kejam, jika dirinya tidak mengalah,
pasti segera terbinasa di tangan gurunya sendiri, maka terpaksa ia mundur
selangkah dan mempersilahkan Li Bok-chiu jalan di depan, sudah tentu dengan
perasaan mendongkol tetapi takut pula.
Begitulah, maka dengan rapat Li Bok-chiu mengintil di belakang
Nyo Ko, sedikitpun tak berani ketinggalan jauh, ia merasa jalan yang ditempuh
Siao-liong-li itu seperti belok ke sini dan putar ke sana, makin jauh makin
menurun ke bawah, sementara itu kakinya terasa pula menginjak tempat becek,
dalam hati dia mengerti telah berada diluat kuburan kuno itu, hanya saja dalam
kegelapan itu, remang2 cuma kelihatan di mana2 jalannya selalu me-lingkar2 dan
ber-putar2.
Tak lama jalanan menjadi aneh pula, kini menurun lurus,
syukur ilmu silat keempat orang cukup tinggi, maka mereka tiada yang sampai
ter-peleset, jika orang Iain, tentu sejak tadi sudah jatuh keserimpet.
"Cong-lam-san ini memang tidak terlalu tinggi,
dengan jalan cara begini, tidak lama tentu sudah berada di bawah gunung, apakah
kami kini sudah berada di dalam perut gunung ?" demikian diam2 Li Bok-chiu
berpikir sendiri.
Sesudah jalan menurun agak lama, akhirnya jalanan mulai
lapang, hanya rasa basah itu semakin banyak hingga akhirnya terdengar suara
gemerciknya air, lalu betis merekapun terendam dalam air.
Tidak hanya begitu, makin jauh air makin dalam, dari
betis bertambah sampai paha, dari paha terus perut dan pe-lahan2 naik lagi
sampai setinggi dada.
"ltu Pi-gi-pit-koat (rahasia menutup jalan napas)
apa sudah kau apalkan dengan baik ?" dengan suara pelahan Siao-liong-li
tanya Nyo Ko.
"lngat," sahut Nyo Ko lirih.
"Baik," ujar Siao-liong-li. "Dan sebentar
lagi kau tutup jalan napasmu, jangan sampai kemasukan air."
"Ya, engkau sendiri juga harus hati2, Kokoh,"
kata Nyo Ko,
Siao-liong-li angguk2.
Sedang mereka bicara, air di bawah itu sudah merembes
sampai di tenggorokan. Keruan yang paling kaget adalah Li Bok-chiu, ia menjadi
bingung pula.
"Sumoay, apa kau bisa berenang ?" teriaknya
kuatir.
"Selamanya aku hidup di dalam kuburan, mana bisa
berenang ?" sahut Siao-liong-li.
Mendengar jawaban ini, hati Li Bok-chiu rada lega, ia
melangkah maju lagi, tak terduga air mendadak mendampar sampai mulutnya, Dalam
kagetnya lekas2 ia mundur ke belakang.
Tetapi pada saat itu juga Siao-liong-li dan Nyo Ko
malahan terus menyelam ke dalam air.
Dalam keadaan demikian, sungguhpun di depan sana sudah
menanti gunung golok atau lautan pedang, terpaksa Li Bok-chiu juga menerjang
maju. Dalam pada itu, mendadak ia merasakan baju di pungungnya tiba2 menjadi
kencang, kiranya tangan Ang Ling-po telah menjamberetnya. Li Bok-chiu menjadi
dongkol, diri sendiri saja dalam keadaan bahaya, apalagi diganduli seorang, ia
coba meronta sekuatnya, namun tak bisa terlepas.
Maklumlah, seorang yang tak bisa berenang, bila kelelap
di dalam air, tentu orang itu akan bergolak sebisanya dan bila ada sesuatu
benda sampai terpegang, maka sampai mati sekalipun tidak bakal dilepaskannya,
Begitulah halnya dengan Ang Ling-po sekarang.
Dengan bergandengan tangan Siao-Iiong-li bersama Nyo Ko
menyelam ke bawah air, sementara Li Bok-chiu menyekal kencang tangan Nyo Ko,
sedang Ang Ling-po tetap menjambret baju, punggungnya, matipun tidak
dilepaskan.
Tatkala itu suara menggerujuknya air sudah terdengar
sangat keras, walaupun ini adalah sungai di bawah tanah, namun suara yang
berkumandang keras itu cukup mengejutkan orang, Dan karena terdampat oleh arus
ait yang keras, Li Bok-chiu dan Ang ling-po berdua menjadi terapung ke atas.
Meskipun ilmu silat Li Bok-chiu sangat bagus, tetapi
dalam keadaan demikian ia menjadi gugup dan bingung, ia ulur tangan menjamberet
dan menarik serabutan, mendadak berhasil disentuhnya sesuatu, keruan saja ia
pegang dengan kencang, matipun tidak dilepaskannya.
Kiranya itu adalah tangan kiri Nyo Ko tatkala itu Nyo Ko
sedang menahan napas dan sedang melangkah maju setindak demi setindak di dalam
air dengan menggandeng tangan Siao-liong-li, kini mendadak dipegang Li
Bok-chiu, lekas2 ia pakai Kim-na-jiu-hoat untuk melepaskan diri. Akan tetapi
sekali Li Bok-chiu sudah pegang, mana mau dilepaskan pula, meski air dingin
terus-menerus masuk ke mulut dan hidungnya, bahkan sampai jatuh" pingsan
juga masih dipegangnya erat2 tangan Nyo Ko itu.
Beberapa kali Nyo Ko coba kipatkan lengannya terlepas,
tetapi tidak berhasil Karena kuatir terlalu banyak buang tenaga hingga air
masuk perutnya, akhirnya iapun membiarkan lengannya dipegang orang.
Begitulah secara bererotan seperti kereta gandengan
mereka berempat jalan terus di dasar sungai, sesudah agak lama, akhirnya terasa
sesak juga napas Siao-liong-li dan Nyo Ko, mereka mulai tak tahan hingga perut
merekapun kenyang minum air.
Syukur lambat laun arus air mulai reda, keadaan tanahpun
makin tinggi, tidak lama kemudian mereka dapat menongol ke permukaan air.
Mereka berjalan terus, makin jauh keadaan di depan sana bertambah terang,
akhirnya merekapun keluar melalui sebuah gua gunung.
Bukan main rasa letih Siao-Iiong-li dan Nyo Ko, boleh
dikatakan tenaga mereka sudah habis, apalagi terendam lama di dalam air, maka
lebih dulu mereka kumpulkan tenaga untuk memuntahkan air dalam perut yang
kembung itu, kemudian mereka merebah di tanah dengan napas terempas-empis.
Tatkala itu dengan kencang tangan Li Bok-chiu ternyata
masih pegang erat2 di lengan Nyo Ko, jari tangannya harus dipentang satu per
satu oleh Siao-liong-Ii barulah bisa terlepas.
Lalu Siao-liong-li menutuk Hiat-to di bahu Li Bok-chiu
dan muridnya, habis ini baru taruh mereka di atas satu batu, dengan demikian
air di dalam perut mereka pe-lahan2 mengalir keluar
Selang agak lama, dengan mengeluarkan suara serak Li
Bok-chiu mendusin dahulu, tiba2 sinar matahari menjilaukan matanya, sekarang
dia betul2 sudah di alam terbuka, bila ingat tadi terkurung di dalam kuburan
kuno itu dan terancam berbagai macam bahaya, mau-ta-mau ia merasa ngeri pula,
kini meski separuh tubuhnya bagian atas dalam keadaan lumpuh karena ditutuk
Siao-liong-Ii, namun hatinya malah jauh lebih lega daripada tadinya.
Tidak antara lama Ang Ling-po pun tersadar juga, tetapi
karena ditutuk jalan darahnya, tangannya sudah tak bertenaga lagi, maka sebelah
tangannya masih terletak di atas punggung Suhunya.
Cara menutuk Siao-liong-li sekali ini hanya dapat
dilepaskan dengan "Kay-hiat-pit-koat" seperti ajaran Kiu-im-cin-keng
yang ditinggalkan Ong Tiong-yang itu atau ditolong oleh kaum ahli, hila tidak
harus tunggu 7 X 7 = 49 hari lagi baru bisa sembuh sendiri
"Sekarang kau boleh pergi, Suci!" demikian
kemudian Siao-liong-li berkata pada Li Bok-chiu.
Walaupun kedua tangan Li Bok-chiu dan Ang Ling-po sudah
lumpuh, tetapi setengah badan bagian bawah masih baik2 saja dan bisa bergerak
seperti biasa, karena itu dengan bungkam guru dan murid itu saling pandang
sekejap, entah rasa girang atau gusar dalam hati mereka waktu itu, lalu
pergilah mereka ber-iring2an.
Menghadapi alam semesta dengan pemandangan yang indah
permai itu, sungguh tidak terbilang rasa girang Nyo Ko.
"Kokoh, bagus tidak pemandangan sekitar ini ?"
tanya Nyo Ko,
Tetapi Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya bersenyum
simpul.
Bila teringat oleh mereka kejadian selama beberapa hari
ini rasa mereka seperti menjelma lagi di dunia Iain.
Malam itu mereka berdua tidur seadanya dibawah pohon yang
rindang. Kiranya gua gunung ini sudah berada di bawah Cong-lam-san, hanya
tempatnya sangat sepi dan terpencil.
Besok paginya, sehabis mereka buang air, racun yang
mengalir dalam tubuh mereka ternyata sudah ikut lenyap, Kalau menuruti Nyo Ko,
segera pemuda ini ajak pergi pesiar, tetapi selamanya Siao-liong-li belum
pernah berkenalan dengan dunia fana, entah mengapa, ia menjadi takut2.
"Tidak, kita harus melatih dulu Giok-Ii-sim-keng
hingga selesai," kata Siao-liong-li.
Betul juga, pikir Nyo Ko, ia menurut, memang kalau berada
di tempat ramai dan banyak orang, untuk melatih Giok-li-sim-keng dengan
mencopot pakaian bersama gurunya sesungguhnya tak pantas dipandang Maka mereka
lantas mencari dan mendapatkan satu tempat semak2 yang lebat sekali, malam itu
juga mereka lantas mulai melatih diri lagi dengan di-aling2i oleh semak2 rumput
bunga itu.
Begitulah mereka lantas mendirikan gubuk, mereka
meneruskan latihan ilmu di gunung sunyi ini, siang mereka tidur dan malam hari
berlatih dengan giat, sekejap saja beberapa bulan sudah lalu tanpa sesuatu
kejadian, Mula2 Siao-liong-li mendahului berhasil dengan ilmunya, lewat sebulan
lagi Nyo Ko pun menyusul selesai dengan sangat memuaskan.
Meski begitu mereka berdua masih mengulangi lagi, nyata
tiada sesuatu lagi yang kurang, karena itu Nyo Ko lagi2 bicara tentang pesiar
sebagai kesenangan hidup manusia.
Tetapi bagi Siao-liong-li, hidup secara aman tenteram
seperti sekarang ini rasanya di dunia ini sudah tiada lagi yang melebihi. namun
dilihatnya Nyo Ko selalu suka pada keramaian, tampaknya sukar untuk tinggal di
gunung sunyi untuk selamanya.
"Ko-ji", akhirnya ia berkata, "meski ilmu
silat kita sudah berbeda jauh dari pada dahulu, tetapi kalau dibandingkan
dengan kau punya paman dan bibi Kwe kira2 bagaimana ?"
"Tentu saja kita masih jauh ketinggalan," jawab
Nyo Ko.
"Kalau begitu, kau punya paman Kwe sudah turunkan kepandaiannya
pada puterinya dan kedua saudara Bu, kalau kelak saling bertemu lagi, tetap
kita akan dihina mereka," kata Siao-liong-li pula.
Mendengar kata2 ini, seketika Nyo Ko menjadi gusar.
"Kokoh, jika mereka berani hina diriku lagi, mana
bisa aku menyerah mentah2 ?" teriaknya melonjak bangun.
"Tetapi kau tak dapat menandingi mereka, bisa apa
kau ?" ujar Siao-liong-Ii.
"Jika begitu, kau bantu aku, Kokoh," kata Nyo
Ko.
"Akupun tak bisa menangkan kau punya paman Kwe,
percuma saja," sahut Siao-1iong-1i.
Nyo Ko tak bisa buka suara lagi, ia menunduk dengan
bungkam, ia coba pikirkan cara bagaimana harus menghadapinya kelak.
"Sudahlah, demi Kwe-pepek, aku takkan berkelahi
dengan mereka," katanya kemudian sesudah merenung sebentar.
"Tetapi kalau mereka tidak mau lepaskan dirimu,
bagaimana ?" kata Siao-liong-li lagi.
"Biar aku menghindari mereka saja," sahut Nyo
Ko. "Betapapun juga dengan mereka aku toh tiada permusuhan apa2, Tidak
nanti mereka sampai incar jiwaku."
"Sudah tentu, bagaimanapun mereka toh besar
hubungannya dengan kau," kata Siao-liong-li sambil menghela napas,
"Cuma orang2 di Tho-hoan to itu bukan sanak dan bukan kadangku."
Dengar kata2 orang yang terakhir ini, hati Nyo Ko jadi
tertekan
"Kokoh, apa kau maksudkan mereka bakal menghina kau ?"
tanyanya ragu2.
"Ya, kalau sampai mereka tahu aku telah rebut anak
murid Coan-cin-kau dan Tho-hoa-to, mana bisa mereka antapi dirimu begitu
saja,," sahut Siao-liong-Ii.
"Jangan kuatir, Kokoh!" teriak Nyo Ko
tiba-tiba. "Tak peduli siapa saja yang berani menyenggol seujung rambutmu,
pasti aku akan adu jiwa dengan dia."
"Tetapi sayang kita tak punya modal untuk mengadu
jiwa itu," sahut Siao-liong-li.
Nyo Ko adalah anak yang sangat cerdik, demi mendengar
kata2 gurunya ini, maka tahulah dia akan maksud orang.
"Kokoh," katanya lagi dengan bersenyum,
"kalau kita berhasil melatih baik2 ilmu yang ditingalkan Ong Tiong-yang
itu, pasti kita akan dapat kalahkan orang2 Tho-hoa-to itu, bukan ?"
Tiba2 alis Siao-Iiong-li bergerak, ia tertawa,
"Tentu saja, memangnya orang2 di Tho-hoa-to itu
punya tiga kepala dan berenam tangan ?" sahutnya kemudian.
Dan oleh karena percakapan mereka inilah, Nyo Ko telah
tinggal setahun lebih lama dengan Siao-liong-li di lembah pegunungan ini.
Dalam setahun ini, baik Lwekang maupun Gwakang mereka
berdua telah mencapai kemajuan pesat, sering kali mereka berdua mengambil
tangkai2 bunga terus saling serang menyerang dan gempur-menggempur untuk
melatih diri di lembah gunung, Tangkai bungai itu sebenarnya adalah benda yang
lemas saja, tetapi berada di tangan mereka berdua yang sudah memiliki Lwekang
kelas wahid, maka serupa saja seperti golok tajam atau pedang pusaka.
Pada suatu hari, sehabis berlatih, Siao-liong-li
kelihatan bermuka muram durja, nyata hatinya tak senang. Nampak perubahan wajah
orang ini, terus-menerus Nyo Ko berusaha menghiburnya agar tertawa, namun tetap
Siao-liong-Ii bungkam tanpa ber-kata2.
Nyo Ko menjadi bingung, ia kehabisan akal, Setelah pikir
pergi-datang, akhirnya ia menduga tentu karena ilmu tinggalan Ong Tiong-yang
yang mereka latih sudah berakhir, maka Siao-Iiong-li merasa berat kalau
ditinggalkan dirinya, sebaliknya untuk menahannya juga tiada alasan, oleh
karena itu menjadi kesal hatinya.
"Kokoh, jika engkau tak ingin aku turun gunung, biar
kita tinggal di sini saja untuk selamanya," demikian dikatakannya kemudian
Keruan saja Siao-liong-Ii menjadi girang karena memang
itulah yang menjadikan kesal pikirannya.
"Baik sekali..." demikian serunya, tetapi baru
sepatah dua kata dia ucapkan, mendadak ia berhenti, ia mengerti pula apa yang
dikatakan Nyo Ko itu sukar dilaksanakan, sungguhpun Nyo Ko terpaksa tinggal
terus disitu, tentu pula hati pemuda itu tidak gembira, Maka dengan suara lirih
ia lanjutkan: "Sudahlah, kita bicarakan besok saja,"
Malam itu Siao-liong-Ii tiada napsu makan, ia kembali ke
gubugnya sendiri untuk tidur.
Gubuk yang mereka dirikan di bawah pohon besar itu ada
dua, Melihat gurunya kesal, maka Nyo Ko ikut muram, ia duduk sendirian di depan
gubuk sendiri dengan ter-mangu2, lama sekali baru dia masuk tidur.
Sampai tengah malam, se-konyong2 ia terjaga bangun oleh
suara deru angin yang santar, suara angin yang lain dari pada jang lain, Keruan
ia kaget, lekas2 ia pasang kuping lebih cermat, akhirnya dapat dikenali itu
adalah angin pukulan orang yang sedang saling berhantam.
Lekas2 Nyo Ko menerobos keluar dari gubuknya, ia lari ke
gubuk Siao-liong-li, dari luar segera ia memanggil dengan suara pelahan:
"Kokoh, Kokoh, kau dengar tidak ?"
Waktu itu menderunya angin pukulan telah bertambah keras,
sepantasnya Siao-liong-li mendengar juga, tetapi aneh, dalam gubuk tidak
terde" ngar sesuatu suara sahutan, Nyo Ko memanggil dua kali lagi dan
masih tetap sunyi, akhirnya ia tak sabar, ia dorong pintu dan melongok ke
dalam, tetapi yang dia dapatkan hanya dipan yang kosong, ternyata gurunya sudah
menghilang.
Dalam kejutnya Nyo Ko berlari menuju ke tempat dimana
datangnya suara angin pukulan, setelah belasan tombak dia lari, meski orang
yang sedang saling labrak itu belum kelihatan, namun dari angin pukulannya Nyo
Ko dapat membedakan satu diantaranya bukan lain adalah gurunya, jakni
Siao-liong-li. Tetapi lawannya ternyata terlebih hebat angin pukulannya,
agaknya kepandaiannya masih diatas gurunya.
Nyo Ko percepat larinya, Ginkang atau ilmu entengkan
tubuhnya kini sudah terlatih masak, jauh berlainan daripada dulu, maka sekejap
saja lereng gunung itu sudah dilintasinya, tertampaklah olehnya di bawah sinar
bulan yang remang2 itu Siao-liong-li yang berbaju putih mulus sedang bertempur
melawan seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar.
Tinggi sekali ilmu silat orang itu hingga meski
Siao-liong-li berlaku sangat gesit dan enteng, namun selalu terkurung di dalam
angin pukulan orang dan hanya bertahan sebisanya saja.
"Suhu, jangan kuatir, kubantu kau !" demikian
segera Nyo Ko berseru sambil melompat maju.
Tetapi sesudah sampai di samping kedua orang dan melihat
muka Iaki2 itu, tanpa terasa Nyo Ko menjadi kesima, orang itu ternyata penuh
berewok yang pendek kaku seperti sikat kawat,hingga mukanya se-akan2 kulit
landak, siapa lagi dia kalau bukan ayah angkatnya yang sudah lama berpisah,
Auwyang Hong !
"Berhenti, orang sendiri semua, jangan berkelahi
lagi!" teriak Nyo Ko.
Siao-liong-li tertegun mendengar seruan Nyo Ko ini, ia
pikir lelaki gila bermuka berewok ini mana bisa orangnya sendiri ? Dan karena
sedikit melengnya ini, secepat kilat Auwyang Hong telah mengirim serangan yang
mengarah muka Siao-liong-li dengan kekuatan luar biasa.
Kaget sekali Nyo Ko, lekas ia melompat maju hendak
memisah, tetapi Siao-liong-li sudah keburu angkat tangannya buat menangkis
hingga kedua tangan mereka jadi saling dorong.
Nyo Ko tahu tenaga gurunya masih jauh tak bisa menandingi
ayah angkatnya, kalau bertahan lama, tentu akan terluka dalam, karena itu,
segera ia ulur lima jarinya dan menyabet pelahan ke lengan Auwyang Hong, ini
adalah ilmu "jiu-hun-ngo-hian" atau tangan mengebut lima senar,
kepandaian yang baru dipelajarinya dari kitab Kiu im-cin-keng.
Meski ilmu itu belum matang dilatihnya, namun datangnya
cepat dan tempatnya jitu, maka tiba2 Auwyang Hong merasakan lengannya rada bui
hingga tenaganya hilang.
Setiap kesempatan selalu digunakan Siao-liong-li dengan
cepat sekali, begitu ia merasa daya tekanan musuh menjadi kendur, segera pula
ia balas menghantam. Dalam keadaan begitu Auwyang Hong yang seluruh tubuhnya
tak bertenaga hanya ditutuI pelahan saja pasti akan terluka parah.
Syukur Nyo Ko menyelak lagi, ia putar tangannya terus
cekal lengan Siao-liong-li, berbareng ia nyelip ke-tengah2 kedua orang itu.
"Berhentilah kalian berdua, semuanya orang
sendiri," demikian dengan tertawa ia berkata pula.
Dilain pihak Auwyang Hong masih belum mengenali Nyo Ko,
ia hanya merasa ilmu silat pemuda ini terlalu aneh dan sangat tinggi se-kali2
tidak boleh dipandang enteng. Maka dengan gusar dia membentak : "Siapa kau
? Orang sendiri apa ?"
Nyo Ko sudah kenal kelakuan Auwyang Hong yang linglung
dan gila2an, ia kuatir orang betuI2 lupa padanya, maka segera iapun berseru
memanggil: "Akulah, ayah ! Anakmu sendiri apa kau tak kenal lagi ?"
Kata2 Nyo Ko ini membawa lagu suara yang mengguncangkan
perasaan, seketika Auwyang Hong tercengang, ia tarik tangan si Nyo Ko, ia putar
muka pemuda ini ke arah sinar bulan, kemudian baru dikenalnya memang betul dia
ini anak angkatnya sendiri yang selama beberapa tahun ini telah dicarinya kian
kemari karena perawakan Nyo Ko kini sudah tumbuh tinggi pula ilmu silatnya
hebat, maka semula tak dikenalnya.
Dasar Auwyang Hong juga seorang yang suka umbar
perasaannya, seketika juga dia rangkul Nyo Ko sambil ber-teriak2: "O,
anakku, sudah lama sekali aku mencari kau !"
BegituIah kedua orang itu saling rangkul dan sama
mengulurkan air mata.
Kiranya sejak Auwyang Hong berpisah dengan Nyo Ko di
kelenteng bobrok di daerah Kanglam dahulu, di mana dia sembunyi di dalam genta
raksasa untuk menghindari pencarian Kwa Tin-ok Setelah dia menjalankan ilmu
saktinya untuk menyembuhkan luka dalamnya selama tujuh hari tujuh malam,
akhirnya lukanya telah pulih kembali, ya Iuka2 luar yang babak-belur karena
dihajar Kwa Tin-ok itu seketika masih belum sembuh.
Sesudah dia angkat genta raksasa itu dan keluar, ia
merawat lukanya lagi selama dua puluhan hari di dalam hotel, habis ini
kesehatannya baru pulih seluruhnya, Karena dia pernah berjanji pada Nyo Ko
bahwa tidak peduli ke mana bocah ini pergi, ke sana juga akan dicarinya, tetapi
sudah sebulan, bumi begitu luas, ke mana dia bisa mencari jejaknya.
Auwyang Hong pikir bocah ini tentu telah pergi ke
Tho-hoa-to, turuti wataknya yang suka berlaku cepat, maka segera juga ia cari
satu perahu kecil dan berlayar ke pulau itu. ia tahu juga dirinya se-kali2
bukan tandingan Kwe Cing beserta isterinya, Ui Yong, apalagi ditambah seorang
Ui Yok-su, ayah Ui Yong (tentang kepergian Ui Yok-su dari pulau itu tak
diketahui Auwyang Hong), sekalipun kepandaiannya sekali lipat lebih tinggi lagi
juga tidak ungkuIan melawan ketiga orang itu.
Oleh sebab itulah ia tunggu malam tiba batu berani
mendarat, siang hari ia sembunyi di dalam gua pegunungan pulau itu, kalau malam
baru diam2 kelayapan keluar dengan harapan bisa ketemukan Nyo Ko.
Meski secara hati2 sekali dia sembunyi selama lebih dua
tahun tanpa berani keluar selangkah pun di waktu siang hari toh tetap tak
diketemukan kabar beritanya Nyo Ko. Kemudian pada suatu malam, secara kebetulan
ia dengar percakapan diantara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si berdua saudara, ia baru
tahu bahwa Nyo Ko sudah dikirim oleh Kwe Cing kepada Coan-cin-kau untuk belajar
silat.
Tentu saja Auwyang Hong sangat girang memperoleh kabar
itu, malam itu juga dia tinggalkan pulau itu dan memburu ke Tiong-yang-kiong di
Cong-lam-san. Siapa duga tatkala itu Nyo Ko sudah bikin ribut dengan imam2
Coan-cin-kau dan sudah masuk ke Hoat-su-jin-bong.
Peristiwa itu oleh Coan-cin-kau dianggap sebagai suatu
noda besar yang sangat memalukan, maka seluruh imam Coan-cin-kau tiada satupun
yang mau bicara, meski Auwyang Hong sudah berusaha dengan segala daya-upaya
untuk mencari tahu toh tetap tiada satu kabarpun yang dia peroleh.
Selama beberapa tahun seluruh gunung Cong-lam-san boleh
dikatakan sudah dijelajahi oleh kaki Auwyang Hong, siapa tahu Nyo Ko justru
bersembunyi di bawah tanah gunung itu dan sedang melatih ilmu sakti secara
giat.
Sangat kebetulan juga malam itu, ketika Auwyang Hong lalu
di lembah gunung, mendadak dilihatnya ada satu gadis berbaju putih mulus sedang
menghela napas sambil duduk tepekur mengidapi bulan.
"Hai, di manakah anakku ? Kau lihat dia tidak
?" demikian dengan kelakuan kasar dan gila Auwyang Hong telah menegur.
Gadis itu adalah Siao-liong-li, memangnya dia sedang
kesal ia menjadi tambah sebal demi melihat seorang gila menegur padanya, maka
dia hanya melotot saja dan tak digubrisnya.
Tak terduga Auwyang Hong tiba2 melompat maju, ia pegang
lengan Siao-liong-li dan membentak pula: "He, dimanakah anakku ?"
Siao-liong-li menjadi kaget demi merasakan tenaga
cengkeraman orang yang sangat kuat, nyata ilmu silat orang tinggi luar biasa
dan belum pernah dilihatnya seumur hidup, sekalipun jago paling lihay dari
Coan-cin-kau juga masih jauh di bawahnya.
Dalam terkejutnya itu, lekas2 ia lepaskan diri dengan
Kim-na-jiu-hoat (ilmu cara menawan dan memegang) yang lihay.
Dengan sekali pegang tadi Auwyang Hong mengira lawan
pasti akan terpegang kencang, siapa tahu dengan gampang saja orang bisa
mengelakkan diri, dasar dia memang linglung, iapun tidak tanya2 lagi, segera
sebelah tangannya menyerang pula, dan begitulah tanpa sebab musabab mereka
berdua lantas saling labrak
Kembali tadi Karena sudah beberapa tahun berpisah, maka
Nyo Ko dan Auwyang Hong lantas saling menceritakan rasa kangennya masing2 selama
ini, pikiran Auwyang Hong masih tetap setengah jernih dan setengah butek,
kejadian yang lalu sudah tak banyak lagi yang bisa diceritakan, terhadap cerita
Nyo Ko iapun tak begitu mengerti, yang dia tahu hanya selama beberapa tahun ini
Nyo Ko telah belajar silat pada Siao-liong-Ii.
Meski usianya sudah lanjut toh Auwyang Hong masih
bersifat kanak2, segera dia bilang lagi: "llmu kepandaiannya tidak bisa
mengungkuli aku, untuk apa belajar padanya, biar aku sendiri yang mengajar
kau."
Baiknya watak Siao-liong-li dingin saja, maka ia tidak
merecoki urusan ini, meski dengar, ia hanya tersenyum saja terus menyingkir
pergi.
Sebaliknya Nyo Ko menjadi rikuh terhadap Siao-liong-li.
"Tetapi Suhu sanggat baik terhadap diriku, ayah !" demikian Iekas2 ia
jelaskan.
Tiba2 Auwyang Hong menjadi cemburu, "Dia baik, apa
aku tidak ?" teriaknya.
"Baik, kaupun baik," sahut Nyo Ko cepat dan
tertawa, "Di dunia ini hanya kalian berdua saja yang baik terhadap
diriku."
Karena itu, dengan memegangi tangan Nyo Ko, Auwyang Hong
menyengir.
"Ilmu silat yang kau pelajari sebenarnya tidak jelek
juga," katanya kemudian, "cuma sayang dua macam ilmu paling hebat di
dunia ini tak kau pelajari satupun."
"llmu apakah itu," tanya Nyo Ko. Se-konyong2
Auwyang Hong tarik muka, alisnya yang tebal se-akan2 menegak.
"Percuma kau sebagai seorang berilmu silat, sampai
dua ilmu sakti di jagat ini saja tak kan kenal, lalu apa gunanya kau angkat dia
sebagai guru ?" bentaknya tiba-tiba.
Nampak orang sebentar girang sebentar marah, hati Nyo Ko
bukan menjadi takut, sebaliknya ia merasa sedih, "Nyata penyakit ayah
sudah terlalu mendalam, entah kapan baru bisa sembuh kembali ?" demikian
ia berpikir.
Dalam pada itu tiba2 terdengar Auwyang Hong bergelak
ketawa.
"Ha, ini biar ayah mengajar kau," katanya,
"Kedua macam ilmu mujijat itu yalah Ha-mo-kang dan Kiu-im-cin-keng. Semasa
kecilmu, pernah ku ajarkan kau sedikit penuntunnya dasar, sekarang coba kau
berjungkir dan berlatih di hadapanku !"
Memang sejak masuk kuburan kuno itu, sudah lama Nyo Ko
tidak berlatih lagi ilmu menjungkir dengan kepala di bawah itu, kini diingatkan
kembali tentu saja dengan senang hati ia menurut.
Dahulu semasih di Tho-hoa-to saja Nyo Ko sudah berlatih
dengan masak sekali, kini ditambah lagi Lwekangnya telah tinggi sekali, keruan
seperti macan tumbuh sayap saja, ia bisa berputar kayun secepat kitiran dengan
kepala menjungkir dibawah.
"Bagus, bagus ! Segera kuajarkan kau pula seluruh
intisari yang paling hebat!" seru Auwyang Hong kegirangan.
Habis ini betul saja dia lantas geraki kaki dan
tangannya, ia mencerocos tiada hentinya, dia tidak urus apakah Nyo Ko bisa
ingat seluruhnya atau tidak, tetapi sejak mulai ia terus menutur seperti
mitraliur.
Di Iain pihak setelah mendengar beberapa kali ajaran
Auwyang Hong itu, hati Nyo Ko mendadak tergerak, ia merasa setiap kata, setiap
istilah ternyata luas sekali artinya, seketika mana bisa paham begitu banyak,
terpaksa ia gunakan ketajaman otaknya untuk mengingatnya dengan paksa.
Sesudah Auwyang Hong mencerocos tak lama, tiba2 ia tepuk
tangan dan berseru pula : "He, celaka, jangan2 si budak cilik itu ikut
mencuri dengar !"
Segera pula ia pergi ke belakang pohon sana, ia dekati
Siao-liong-li dan bilang padanya: "Eh, budak cilik, aku sedang mengajarkan
ilmu kepandaian kepada anakku, jangan kau mencuri dengar."
"Macam apakah kepandaianmu itu ? Siapa pingin
mendengarkan ?" sahut Siao-liong-Ii dengan sikap dingin saja.
Sejenak Auwyang Hong tertegun oleh jawaban orang.
"Baik, kalau begitu kau menyingkir yang jauh,"
katanya kemudian,
Tetapi sama sekali siao-liong-li tidak gubris padanya, ia
masih bersandar pada batang pohon besar itu. "Hm, kenapa aku harus turut
perintahmu ? jika aku suka pergi segera aku akan pergi, kalau tidak suka, tak
nanti aku pergi," demikian sahutnya ketus.
Keruan Auwyang Hong gusar hingga rambut alisnya se-akan2
berdiri, ia ulur tangan hendak mencakar muka Siao-liong-li. Tetapi
Siao-liong-li masih tidak gubris padanya, bahkan dia pura2 tidak tahu atas
serangan orang.
Tentu saja dengan cepat jari tangan Auwyang Hong
menyelonong ke mukanya, tetapi sesudah dekat, tiba2 Auwyang Hong mendapatkan
pikiran lain. "Ah, dia kan Suhu anakku, tidak baik kalau aku melukai dia,
Tetapi seketika akupun tak bisa berbuat apa2 jika dia tak mau menyingkir
pergi," demikian ia membatin
Karena itu, segera tangan yang dia ulur itu ditarik lagi
kembali.
"Baiklah, kalau begitu kami saja yang menyingkir
tetapi kau jangan mengintip, ya ?" kata-nya.
Siao-Iiong-li pikir meski orang ini sangat tinggi ilmu
silatnya, tetapi orangnya dogol, maka iapun malas buat meladeninya, ia malah
berpaling ke jurusan lain dan tak menjawab.
Siapa tahu begitu dia melengos, mendadak punggungnya
terasa kesemutan. Kiranya Auwyang Hong tiba2 telah ulur tangan dan menutuk
sekali pada Hiat-to di punggungnya, Oleh karena gerak tangannya terlalu cepat
dan aneh, pula sama sekali Siao-liong-li tidak me-nyangka2, ketika dia kaget
dan bermaksud tutup jalan darahnya buat menolak tutukan orang, namun sudah
terlambat, seketika setengah badannya bagian atas terasa tak bebas lagi. Bahkan
menyusul Auwyang Hong menambahi pula sekali tutukan di pinggangnya.
"Nah, budak cilik, jangan kau kuatir, sebentar saja
sesudah selesai aku ajarkan ilmu pada anakku, segera aku datang melepaskan
kau," demikian terdengar Auwyang Hong berkata dengan tertawa sambil
berjalan pergi.
Tatkala itu Nyo Ko sedang mengingat2 Ha-mo-kang dan
Kiu-im-cm-keng yang diajarkan oleh ayah angkatnya tadi, ia merasa apa yang
diajarkan dari Cin-keng atau kitab asli itu, bukan saja berlainan dengan apa
yang terukir di kamar batu oleh Ong Tiong-yang, bahkan seluruhnya berlawanan
dan terbalik, maka ia sedang peras otaknya untuk menyelaminya lebih mendalam
hingga sedikitpun dia tak mengetahui sang guru kena diserang Auwyang Hong.
"Marilah kita menyingkir kesana, jangan sampai
didengar oleh Suhu-mu." demikian kata Auwyang Hong sambil tarik tangan Nyo
Ko.
Tetapi Nyo Ko cukup kenal tabiatnya Siao-liong-li yang
aneh dan menyendiri jangan kata tidak nanti si gadis ini sudi mencuri dengar,
sekali pun dipertontonkan di hadapannya, belum tentu dia mau lihat dan pasti
dia akan menyingkir juga.
Tetapi karena pikiran ayah angkatnya dalam keadaan kurang
waras, iapun merasa tidak perlu banyak berdebat, segera ia ikut pergi.
Sementara itu karena kena ditutuk jalan darahnya, dengan
lemas Siao-liong-li telah terkulai di tanah, sungguh tidak kepalang rasa
mengkalnya pula geli, ia pikir ilmu silatnya sendiri meski sudah terlatih masak
dan bagus, namun apapun juga masih kekurangan pengalaman menghadapi musuh,
sehingga sudah kena dibokong oleh Li Bok-chiu, kini mengalami pembokongan lagi
oleh makhluk aneh si berewok ini.
Maka diam2 ia kumpulkan tenaga sakti dari apa yang dia
pelajari dalam Kiu-im-cin-keng, yakni "Kay-hiat-pi-koat", rahasia
caranya melepaskan tutukan, ia sedot napasnya da1am2 terus menggem-pur aliran
jalan darahnya.
Tetapi aneh, susudah dua kali dia ulangi, bukan saja
Hiat-to yang tertutuk itu tidak menjadi lancar dan terbuka, bahkan bertambah
pegal dan linu, Keruan saja tidak kepalang terkejutnya oleh kejadian yang tak
dimengerti ini.
Kiranya cara tutukan Auwyang Hong itu justru berlawanan
dengan jalan darah biasa, sebab memang dia melatih Kiu-im-cin-keng secara
terbalik kini Siao-liong-li pakai cara biasa untuk melepaskan diri, dengan
sendirinya bukan menjadi kendor, sebaliknya bertambah kencang dan makin rapat.
Dan karena sudah coba dan dicoba lagi masih belum berhasil, bahkan bertambah
sakit, akhirnya Siao-liong-li tak berani coba2 lagi.
Terpikir pula olehnya nanti sehabis si gila ini selesai
mengajarkan ilmu pada Nyo Ko. dengan sendirinya dia akan kembali buat
menolongnya, biasanya Siao-liong-li memang tidak suka banyak pikiran, maka kini
iapun tidak menjadi kuatir atau gugup, ia malah ter-mangu2 sambil menengadah
untuk memandang bintang2 yang tinggi di langit, hingga lapat2 akhirnya ia
tertidur.
Entah sudah berapa lama ia terpulas, ketika terasa
kelopak matanya pelahan2 seperti tergosok sesuatu, ia terjaga dari tidurnya, ia
coba buka matanya, Biasanya dalam kegelapan Siao-liong-li bisa pandang sesuatu
seperti di siang hari, tetapi kini sedikitpun ternyata tak dilihatnya, kiranya
kedua matanya telah kena ditutup orang dengan selapis kain.
Luar biasa kaget Siao-liong-li sekali ini, malah menyusul
ini segera terasa pula ada orang memeluk dirinya, Diwaktu memeluk, mula-mula
orang ini agaknya rada2 takut, tetapi belakangan lambat laun menjadi tabah dan
pelahan2 menjadi berani
Dalam kagetnya itu niat Siao-Iiong-Ii hendak berteriak,
Tetapi percuma sebab mulutnya susah dipentang karena tutukannya Auwyang Hong
tadi. Segera pula, ia merasa orang itu berani mencium pipinya.
SemuIa Siao-iiong-ii menyangka Auwyang Hong yang mendadak
telah pakai kekerasan hendak perkosa dirinya, tetapi ketika muka orang itu
menyentuh pipinya, ia merasa muka orang halus licin saja tanpa berewok seperti
Auwyang Hong, Hatinya terguncang juga, rasa terkejutnya tadi pe-lahan2 pun
hilang, maklum Siao-liong-li sendiri pun muda, dalam hati iai pikir tentu ini
perbuatan si Nyo Ko.
Dalam pada itu ia merasa kelakuan orang itu mulai tidak
sopan, tangan meraba sini dan menarik sana,
"Kurangajar, si Nyo Ko ini !" demikian
diam-diam Siao-liong-li mengelak
Tetapi karena tubuhnya sedikitpun tak bisa berkutik, maka
tiada jalan lain ia serahkan diri apa yang hendak diperbuat orang, Hanya tidak
karuan rasa dalam hatinya, ia terkejut girang, malu dan rada-rada sakit.
Sementara itu di sebelah sana Auwyang Hong sedang asyik
memberi pelajaran ilmu silatnya pada Nyo Ko. ia menjadi senang demi nampak
bakat Nyo Ko sangat pintar, sedikit diberitahu saja, lanjutannya dengan sendirinya
dipahami Oleh karena itulah, makin mengajar Auwyang Hong semakin bersemangat
hingga fajar menyingsing barulah selesai pokok2 kedua ilmu mujijat itu
diajarkan
"Ayah, pernah juga kupelajari Kiu-im-cin-keng,
tetapi kenapa berlainan sekali dengan apa yang kau uraikan ini ?" tanya
Nyo Ko kemudian sesudah diulangi dan diapalkan pula pelajaran yang baru
diperolehnya.
"Apa ? Pernah kau pelajari ? Ah, bohong, kecuali
ajaranku ini, mana ada lagi Kiu-im-cin-keng lain ?" sahut Auwyang Hong
membentak.
"Tetapi betul, seperti cara melatih melemaskan otot
dan kuatkan tulang, menurut kau, langkah ketiga harus sedot napas dan jalankan
darah ke arah atas. Tetapi Suhu sebaliknya bilang napas harus dipusatkan di
perut dan darah dilancarkan ke bawah," kata Nyo Ko.
"Mana bisa begitu, salah, salah..." teriak
Auwyang Hong sambil geleng kepala, tetapi baru sampai di sini tiba2 ia berhenti
ia memikir sejenak, lalu disambungnya lagi: "He, ehm, nanti dulu..."
Habis ini ia coba melakukan apa yang dikatakan Nyo Ko
tadi, betul saja seluruh badannya dirasakan sangat nyaman dan segar, ternyata
sangat berbeda dengan caranya sendiri.
Sudah tentu tak pernah dia pikir bahwa dahulu dia telah
dipermainkan Kwe Cing atas suruhan Ang Chit-kong (salah satu gurunya Kwe Cing)
telah menuliskan kitab palsu Kiu-im-cin-keng yang telah diubah sana sini dan
diputar-balik tak keruan untuk kemudian baru diserahkan padanya, dengan
sendirinya hasil dari apa yang dilatihnya menjadi terjungkir-balik juga dan
berlawanan dengan intisari Kiu-im-cin-keng yang asIi.
BegituIah, maka Auwyang Hong menjadi bingung, pikirannya
kacau lagi.
"He, kenapa bisa begini ? Ah, mana bisa ? sebenarnya
aku yang salah atau dia yang keliru ? Ah, mana bisa, mana bisa jadi begini
?" demikianlah Auwyang Hong mengomel sendiri tiada hentinya.
Nyo Ko menjadi kaget melihat kelakuan orang yang tak
beres ini. "Ayah, ayah !" ia coba memanggil beberapa kali, tetapi
tiada sahutan yang dia peroleh, Nyo Ko menjadi kuatir penyakit ayah angkatnya
ini kumat lagi.
Sedang ia terkejut itu, tiba2 terdengar olehnya suara
gemerisik diantara semak2 rumput sana, berbareng itu dilihatnya berkelebatnya
bayangan orang, lapat2 diantara semak2 itu tertampak pula sebagian dari ujung
jubah imam yang ke-kuning2-an.
Tempat ini sebenarnya sunyi senyap dan terpencil kenapa
sekarang bisa didatangi orang luar ? pula kelakuan orang itu celingukan tidak
beres, terang tidak mengandung maksud baik Demikianlah Nyo Ko menjadi curiga,
maka dengan langkah cepat segera ia memburu ke sana.
Namun dengan cepat orang itu sudah kabur ke jurusan sana,
kalau melihat bagian belakangnya, nyata seorang Tojin atau imam.
"Hai, siapa kau ?" segera Nyo Ko membentak.
"Hayo, berhenti ! Apa kerjamu disini ?"
Sambil berteriak, dengan Ginkang yang tinggi segera Nyo
Ko mengudak.
Dilain pihak demi mendengar suara bentakan Nyo Ko, imam
itu semakin percepat larinya, Tetapi mana sanggup dia balapan lari dengan Nyo
Ko, hanya sedikit "tancap gas" saja tahu2 Nyo Ko sudah melompat
sampai di belakangnya, begitu pundaknya dia cekal dan diputar balik, seketika
Nyo Ko menjadi heran, sebab imam ini dapat dikenalnya bukan dari pada In
Ci-peng, itu murid Khu Ju-ki dari Coan-cin-kau.
Nyo Ko semakin tak mengerti ketika dilihatnya pakaian In
Ci-peng kusut tak teratur, mukanya sebentar merah dan sebentar pucat.
"He, katakan, kerja apa kau di sini ?" Nyo Ko
menegur lagi.
In Ci-peng terhitung salah satu jago utama dari anak
murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, ilmu silatnya tinggi, tindak tanduknya
biasanya juga cukup gagah, tetapi entah mengapa, kini sama sekali berubah lain,
kena di-bentak2 Nyo Ko tadi, kelihatan dia menjadi gugup hingga tak sanggup
bicara.
Melihat orang tetap tak menjawab meski beberapa kali ia
mengulangi pertanyaannya, keruan Nyo Ko tambah tidak mengerti Tetapi segera
teringat olehnya dahulu In Ci-peng pernah menanam budi atas dirinya ketika dia
melarikan diri dari Tiong-yang-kiong. Oleh karenanya ia tak tega untuk
membentak lebih lanjut lagi.
"Baiklah, kalau tiada apa2, bolehlah kau pergi
!" demikian katanya kemudian sambil melepaskan In Ci-peng.
Keruan saja In Ci-peng seperti terlepas dari genggaman
elmaut, sambil menoleh beberapa kali memandang Nyo Ko, segera ia lari pergi
dengan langkah cepat dan ketakutan seperti orang berdosa.
"Sungguh menggelikan kelakuan imam ini."
demikian diam2 Nyo Ko tertawai orang.
Lalu ia menuju ke gubuk mereka, tetapi diantara semak2 di
depan gubuk sana tiba2 dilihatnya kedua kaki Siao-liong-Ii melonjor keluar
tanpa bergerak sedikitpun, agaknya seperti tertidur nyenyak.
"Kokoh, Kokoh !" Nyo Ko coba memanggil.
Akan tetapi tiada jawaban. ia berjongkok dan menyingkap
semak2 yang lebat itu, maka terlihat Siao-liong-li rebah terlentang di tanah,
sedang kedua matanya tertutup oleh selapis kain biru.
Rada kaget juga Nyo Ko melihat keadaan sang guru lekas2
ia melepaskan ikatan kain biru dari muka orang, dilihatnya wajah dan sorot mata
berlainan sekali dengan biasanya, kedua pipinya pun bersemu merah seperti
ke-malu2an.
"Kokoh, siapakah yang ikat kain ini atas dirimu
?" tanya Nyo Ko kemudian.
Namun Siao-liong-li tak menjawab, hanya sorot matanya
tertampak mengandung maksud mengomelinya.
Melihat tubuh orang seperti lemas lunglai, agaknya
seperti tertutuk jalan darahnya oleh orang, Nyo Ko coba menariknya, betul juga
sama sekali Siao-liong-li tak bisa bergerak.
Nyo Ko memang pintar, melihat keadaan orang, segera dapat
diterka apa sebab-musababnya, "Tentu dia ditutuk ayah angkatku dengan
Tiam-hiat-hoat yang terbalik, kalau tidak, dengan kepandaian Kokoh,
Tiam-hiat-hoat yang lebih lihay sekalipun dapat dibukanya sendiri,"
demikian pikirnya.
Maka dengan cara yang telah dipelajarinya dari Auwyang
Hong tadi, lantas Nyo Ko membukakan Hiat-to Siao-liong-li yang tertutuk itu.
Siapa tahu, waktu tertutuk tubuh Siao-liong-li oleh Nyo
Ko, toh Siao-liong-li tetap lemah lunglai dan meringkuk di dalam pangkuan Nyo
Ko seperti seluruh tubuhnya tidak bertulang lagi.
"Kokoh," kata Nyo Ko dengan suara halus sambil
pegang lengan orang, "kelakuan ayah angkatku memang tak genah, maka jangan
kau sesalkan dia."
"Kau sendiri yang tak genah, Tak malu, masih kau
bilang orang Iain!" sahut Siao-liong-li tiba2 secara samar2 dan
menyembunyikan mukanya ke dalam pangkuan pemuda itu.
Melihat kelakuan sang guru semakin aneh dan berbeda
sekali dengan se-hari2nya, Nyo Ko mulai bingung.
"Kokoh, ak... aku..." demikian kata2-nya
menjadi tak lancar.
"Masih kau panggil aku Kokoh ?" omel
Siao-liong-li tiba2 sambil mendongak.
Keruan saja Nyo Ko semakin bingung dan gugup.
"He, tidak panggil kau Kokoh, lalu panggil apa ? Apa
panggil Suhu saja ?" sahutnya heran.
"Kau perlakukan aku cara begitu, mana bisa lagi aku
menjadi gurumu ?" kata Siao-liong-li dengan senyum malu-malu.
"Aku ? Aku kenapa ?" Nyo Ko tambah tak
mengerti.
Tetapi Siao-liong-li tak menjawab lagi, ia gulung lengan
bajunya, maka tertampaklah tangannya yang berkulit putih "bersih seperti
salju.
"Lihat!" katanya dengan wajah ke-malu2an sambil
menunjuk lengannya yang putih mulus itu. Ternyata andeng2 merah
"Siu-kiong-seh" yang dahulu terdapat di lengannya itu kini sudah
hilang tanpa bekas.
Tetapi Nyo Ko masih bingung, ia cakar2 kuping dan garuk2
kepala.
"Kokoh, apakah artinya ini ?" demikian katanya.
"Dengarkan, tidak boleh lagi kau panggil aku
Kokoh," ujar Siao-liong-li setengah mengomel Dan demi dilihatnya wajah Nyo
Ko penuh mengunjuk bingung, entah mengapa hati gadis ini tiba2 timbul rasa
cinta mesra yang tak terkatakan.
"Ahliwaris Ko-bong-pay kita selamanya turun-temurun
adalah gadis yang suci bersih," kemudian dengan suara pelahan
Siao-liong-li berkata pula.
"Oleh sebab itu Suhu telah menisik setitik andeng2
merah itu di tanganku, Tetapi semalam... semalam kau perlakukan aku begitu,
mana bisa lagi andeng2 merah itu tinggal di atas tanganku ?"
"Aku perlakukan kau apa semalam ?" tanya Hyo Ko
rapat dan bingung.
Muka Siao-liong-li menjadi merah jengah.
"Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi,"
sahutnya kemudian, dan sesudah sejenak pula, dengan pelahan ia berkata lagi:
"DahuIu aku takut2 untuk turun gunung, tetapi kini sudah lain, tidak
perduli ke mana kau pergi, dengan rela aku akan mengikuti kau."
"Bagus sekali, Kokoh, kalau begitu!" seru Nyo
Ko girang
"He, kenapa kau masih memanggil aku Ko-koh ?"
tegur Siao-liong-li dengan wajah sungguh2, "Apa kau tidak dengan hati
murni terhadap diriku ?"
Karena Nyo Ko tidak menjawab, akhirnya Siao-liong-Ii
menjadi tak sabar lagi "Sebenarnya kau anggap diriku ini apamu ?"
tanyanya dengan suara gemetar.
"Kau adalah guruku, kau sayang padaku, aku sudah
bersumpah bahwa selama hidupku ini pasti menghormati kau dan suka padamu,"
demikian dengan sungguh2 dan tulus Nyo Ko menjawab.
"Apa kau tidak anggap aku sebagai isterimu?"
teriak Siao-liong-li tak tahan.
Sungguh hal ini belum pernah terlintas dalam pikiran Nyo
Ko, kini mendadak ditanya orang, keruan ia kelabakan dan tak mengerti cara
bagaimana harus menjawabnya.
"Ti... tidak, tak mungkin kau adalah isteriku, mana
aku cakap ?" demikian sahutnya kemudian dengan tak lancar, "Tetapi
kau adalah Suhu, adalah Kokoh-ku".
Tidak kepalang gusarnya Siao-liong-li mendengar jawaban
ini hingga seluruh tubuhnya gemetar, mendadak darah segar menyembur keluar dari
mulutnya.
"Kokoh, Kokoh !" Nyo Ko ber-teriak2 bingung
melihat keadaan orang.
Mendengar orang terus-menerus masih panggil demikian
padanya, dengan sorot mata yang gemas tiba2 Siao-liong-li angkat telapak
tangannya terus hendak digablokkan ke kepala Nyo Ko. Tetapi, pe-lahan2, sorot
matanya dari gemas dan menyesal tadi berubah menjadi benci dan dendam, lalu
dari benci dan dendam berganti lagi menjadi sayang dan kasihan.
"Baiklah kalau begitu, selanjutnya jangan kau
bertemu dengan aku lagi," dengan menghela napas panjang akhirnya ia
berkata dengan lirih dan lemah.
Habis berkata, ia kebas lengan bajunya yang panjang terus
putar tubuh dan lari pergi dengan cepat turun ke bawah gunung.
"Kokoh, Kokoh! Ke mana kau ? Akut ikut bersama kau
!" Nyo Ko ber-teriak2.
"Jika kau ketemu lagi dengan aku, mungkin sulit ku
ampuni jiwamu," sahut Siao-liong-li tiba2 sambil menoleh.
Dalam bingungnya Nyo Ko semakin tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Karena tertegunnya ini, sementara bayangan Siao-liong-li sudah
menghilang diantara jalan pegunungan yang menurun itu. Sungguh tidak kepalang
berdukanya Nyo Ko hingga dia menangis ter-gerung2.
Sungguh tidak dimengerti olehnya sebab apakah dia
membikin gurunya begitu marah hingga kelakuannya begitu aneh. Kenapa sang guru
bilang mau jadi isterinya, pula melarang dia memanggil Kokoh lagi padanya ?
Semua ini membuatnya bingung.
"Ya, tentu urusan ini ada hubungannya dengan ayah
angkatku, pasti dia yang bikin marah Suhu." demikian akhirnya Nyo Ko
menarik kesimpulan sesudah berpikir lama.
Lalu ia pergi ke dekat Auwyang Hong lagi, di sana ia
lihat orang tua ini sedang berdiri tegak dengan kedua matanya terbelalak tanpa
berkedip.
"Ayah, sebab apakah kau membikin marah guruku
?" segera Nyo Ko bertanya.
Akan tetapi Auwyang Hong tidak menjawab, hanya terdengar
mulutnya menggumam sendiri: "Kiu-im-cin-keng, Kiu-im-cin-keng !"
"He, kenapa kau tutuk jalan darah guruku hingga
bikin dia begitu marah ?" kembali Nyo Ko tanya lagi.
Namun Auwyang Hong tetap tak menjawab, ia berkata seorang
diri pula: "Sebenarnya harus dijalankan ke atas atau ditekan ke bawah
?"
"He, ayah," teriak Nyo Ko akhirnya, ia menjadi
tak sabar, "aku tanya kau tentang Suhu, katakanlah, apa yang telah kau
lakukan terhadap dia?"
"Siapa gurumu ? Siapa aku ? siapakah Auwyang Hong
?" tiba2 Auwyang Hong ber-teriak2 sendiri.
Melihat penyakit gila orang kumat lagi, Nyo Ko jadi
kuatir tercampur kasihan.
"Ayah, tentu kau sudah letih, marilah mengaso ke
dalam gubuk," ajaknya kemudian.
Tetapi mendadak Auwyang Hong berjumpalitan dan tahu2
tubuhnya sudah menjungkir sambil ber-teriak2 : "Siapakah aku ini ?
siapakah aku ini ? Dimanakah Auwyang Hong ?"
Berbareng itu kedua tangannya bergerak tak keruan,
tubuhnya yang menjungkir pun berputar cepat, dengan kepala di bawah secepat
angin Auwyang Hong ber-lari2 ke bawah gunung.
"Ayah, ayah!" dalam bingungnya Nyo Ko coba
menarik orang.
Siapa duga mendadak Auwyang Hong memancal dengan sebelah
kakinya dan dengan tepat mengenai rahang Nyo Ko, Depakan ini sedikitpun
ternyata tak kenal ampun hingga Nyo Ko tak tahan berdiri tegak lagi, ia jatuh
terjengkang.
Ketika dia berdiri lagi, sementara itu Auwyang Hong sudah
pergi jauh dan sekejap saja lantas menghilang dari pandangan.
Dengan terkesima Nyo Ko terpaku di tempatnya, entah
perasaan apa waktu itu yang dia rasakan. Suasana sekelilingnya se-akan2 sunyi
senyap, sayup2 hanya diselingi oleh suara berkicaunya burung.
"Kokoh ! Ayah ! Kokoh ! Ayah !" akhirnya Nyo Ko
ber-teriak2 seorang diri.
Sudah tentu tiada sesuatu sahutan dari kedua orang yang
dipanggil itu, yang ada hanya suaranya sendiri yang berkumandang balik dari
lembah pegunungan yang luas itu.
Dalam keadaan demikian Nyo Ko menjadi putus asa,
perasaannya se-akan2 hancur. Maklumlah, selama beberapa tahun ini boleh
dikatakan tak pernah dia berpisah dengan Siao-liong-li, hubungan mereka begitu
rapat bagai ibu dan anak, kini mendadak tanpa diketahui apa sebabnya orang
pergi begitu saja, sudah tentu tidak keruan rasa hatinya.
Dalam putus asanya itu dan memang perasaan halus Nyo Ko
lain dari pada orang biasa, maka hampiri saja dia mau bunuh diri. Syukur dia
masih bisa berpikir panjang, lapat2 timbul semacam harapan bahwa gurunya yang
pergi mendadak itu mungkin akan kembali juga secara mendadak.
Meski Kokoh dibikin marah ayah angkatnya, namun dirinya
toh tiada berbuat sesuatu kesalahan, tentu sang guru akan kembali lagi mencari
padanya, begitulah dia pikir.
Tentu saja malam itu ia lewatkan sendirian dengan tak
bisa tidur, beberapa kali, asal terdengar sesuatu suara gemerisik, segera ia
melompat bangun menyangka Siao-liong-li yang kembali, ia berteriak dan
me-manggil2 dan berlari keluar, namun setiap kali selalu ia kecewa dan cemas.
Begitulah dia sibuk semalam suntuk merindukan
Siao-liong-li sampai fajar menyingsing.
"Jika Suhu tidak mau kembali, biarlah aku yang pergi
mencari dia," tiba2 terpikir olehnya, "Asal bisa ketemukan dia, tidak
peduli bagaimana dia akan menghajar atau mendamperat aku, yang pasti aku tak
akan berpisah lagi dengan dia."
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ketabahannya banyak
bertambah. Segera ia bebenah seperlunya, ia bugkus pakaian sendiri dan milik
Siao-liong-li kedalam sepotong kain, ia gendong di punggungnya lalu dengan
langkah lebar ia turun ke bawah gunung.
Sepanjang jalan ia coba menanya penduduk di tepi jalan
apakah ada melihat seorang nona putih yang cantik lewat di situ, Tetapi
beruntun ia tanya beberapa orang, semuanya hanya goyang kepala menyatakan tak
tahu.
Karena itu, akhirnya Nyo Ko menjadi gopoh, dengan
sendirinya cara bertanya kemudian menjadi kurang sopan, Dan para penduduk yang
ditanya itu sebaliknya mendongkol juga melihat pemuda seperti Nyo Ko ini selalu
mencari tahu tentang nona cantik segala, dengan sendirinya lalu ada orang yang
ingin tahu untuk apa dia cari dan siapa nona ayu itu, pernah apakah dengan dia.
Sebaliknya Nyo Ko jadi marah2 oleh pertanyaan kembali
itu. "ltu kau tak perlu urus, aku hanya ingin tahu kau melihat dia lewat
di sini tidak ?" demikian dalam gusarnya Nyo Ko tak sadar kata2nya ini
halus atau tidak."
Sedang orang yang ditanya tentu saja marah juga melihat
sikap Nyo Ko ini, syukur setelah terjadi ribut2, dari samping seorang tua telah
memisah, lalu orang tua ini menunjuk ke satu jalanan kecil di jurusan timur dan
berkata pada Nyo Ko:
"Semalam aku melihat satu gadis secantik bidadari
menuju ke arah timur, tadinya aku menyangka dia itu Koan-im-po-sat (Budha
Satwa) yang menjelma, siapa tahu dia kenalan baik saudara..."
Mendengar kabar ini, tidak menanti orang selesai bicara,
Iekas2 Nyo Ko menghaturkan terimakasih terus memburu ke jalan kecil menurut
arah yang ditunjuk itu.
Tetapi begitu ia mungkur, orang banyak tertawa ramai,
Kiranya karena kelakuan Nyo Ko yang tak punya sopan santun, maka orang tua tadi
sengaja mempermainkan dia.
Namun Nyo Ko sama sekali tak tahu kalau dirinya telah
didustai orang, ia masih memburu ke jurusan itu dengan cepat, Lewat tak lama,
tiba2 didepan terdapat simpang jalan tiga jurusan, ia menjadi bingung ke arah
mana harus dia tempuh.
"Biasanya Kokoh tak suka tempat ramai, tentu dia
pilih jalanan kecil yang sepi," demikian Nyo Ko pikir sendiri, Habis ini
lantas dipilihnya jalanan kecil yang membelok ke kiri.
Siapa duga jalanan kecil ini makin Iama makin lebar dan
sesudah menikung beberapa kali, akhirnya malah menembus satu jalan raya.
Waktu itu hari sudah magrib, Nyo Ko sendiri sudah sehari
semalam tak makan tak minum, perutnya sudah keruyukan, dilihatnya di depan sana
rumah ber-deret2 dan gedung ber-jajar2, nyata ada satu kota yang cukup ramai.
Cepat Nyo Ko menuju ke kota dan masuk sebuah hotel (pada
umumnya hotel merangkap restoran), lalu ia menggembor minta disediakan daharan.
Tak lama pelayan sudah antar santapan sederhana ke
hadapan Nyo Ko, tetapi baru beberapa kali sumpitan saja anak muda ini tak punya
napsu maka lagi, karena merasa kesal, tenggorokannya penjadi seret dan tak bisa
menelan.
"Meski hari sudah mulai gelap, tapi lebih baik lekas
aku pergi mencari Kokoh saja, bila malam ini dibiarkan lewat, untuk selanjutnya
mungkin sukar bertemu lagi," demikian pikir Nyo Ko. Oleh karenanya segera
ia taruh mangkok nasinya dan memanggil pelayan."
"Aku ingin tanya kau, pelayan," kata anak muda
ini sesudah petugas itu datang.
"Boleh saja, tuan, katakanlah ! Apakah karena
santapan ini tidak cocok dengan lidah tuan, biarlah hamba membuatkan yang lain,
tuan suka masakan apakah ?" demikian sahut si pelayan mencerocos.
"Tidak, aku tidak maksudkan makanan," kata Nyo
Ko sambil goyang2 tangannya "Tetapi aku ingin tanya, apakah kau melihat
seorang gadis jelita berbaju putih lewat di sini ?"
"Baju putih ?" si pelayan menggumam sendiri
"He, apakah nona itu sedang berkabung ? Ada keluarganya yang meninggal
bukan ?"
Begitulah si pelayan mencerocos tak keruan dari
menyimpang dari pertanyaan orang, Keruan Nyo Ko sangat mendongkol.
"Aku hanya tanya kau, lihat atau tidak ?"
mengulanginya lagi.
"Wanita sih memang ada, juga orang pakai baju
putih"
"Dan menuju ke arah mana ?" tanya Nyo Ko cepat
dan girang.
"Tetapi sudah hampir setengah hari dia lewat
tadi!" sahut pelayan itu. Habis ini tiba2 ia pelahankan suaranya seperti
kuatir didengar orang, lalu menyambung lagi: "Adalah lebih baik jangan
pergi mencari dia !"
Merasa mendapatkan jejak Kokoh yang dicari, dalam
girangnya Nyo Ko terkejut pula mendengar perkataan orang itu, "Se... sebab
apa ?" tanyanya dengan suara rada gemetar
"Coba aku tanya dahulu, tuan tahu bahwa wanita itu
pandai silat ?" tiba2 pelayan itu menanya.
"Kenapa aku tak tahu ?" demikian Nyo Ko
membatin, Maka dengan cepat ia menjawab : "Su-dah tentu tahu, dia memang
pandai silat."
"Nah, kalau begitu untuk apa kau mencari dia ?
Bukankah sangat berbahaya ?" kata si pelayan pula.
"Sebab apakah sebenarnya ?" Nyo Ko menjadi
bingung.
"Coba terangkan dulu, pernah apakah gadis baju putih
itu dengan tuan ?" tanya si pelayan.
Nyo Ko mengerti kalau tidak sekadar menerangkan, agaknya
orang tak mau ceritakan ke mana perginya Siao-liong-li, maka terpaksa ia
menjawab: "Dia adalah Enci-ku, aku sedang cari dia."
Mendengar jawaban ini, seketika pelayan itu berubah
sangat hormat pada Nyo Ko, Tetapi hanya sekejap saja, sebab segera si pelayan
geleng2 kepala "Tidak, tidak sama !" katanya tiba2.
Bukan main mendongkolnya Nyo Ko oleh kelakuan si pelayan,
saking gopohnya sekali jamberet dia cengkeram baju orang.
"Sebenarnya kau mau katakan tidak ?" bentaknya
gusar.
Melihat Nyo Ko naik darah, mendadak si pelayan me-lelet2
Iidahnya.
"Persis, persis ! Kalau begini baru sama !"
demikian katanya.
"Kurangajar, apa2an ini sebentar sama sebentar tidak
sama, apa maksudmu ?" damperat Nyo Ko.
"Le lepaskan dahulu, siauya (tuan mu-da), leherku
tercekik.,.he he... aku tak bisa buka suara," sahut si pelayan dengan
suara ter-putus2.
Melihat rupa orang dasarnya memang ceriwis, percuma saja
meski pakai kekerasan, maka Nyo Ko lantas lepaskan tangannya.
"Siauya," tutur si pelayan kemudian sesudah
berdehem beberapa kali, "aku bilang tidak sama, soalnya karena
perempuan... eh, Enci-mu itu, tampaknya lebih cakap dan lebih muda daripada
kau, pantasnya dia mirip adikmu dan bukan kakak. Aku bilang sama, sebab kalian
berdua sama2 berwatak keras, sama2 bertabiat suka angkat senjata dan main
kepalan."
Nyo Ko tertawa oleh cerita itu.
"Apakah Enci-ku telah berkelahi dengan orang ?"
tanyanya kemudian.
"Betapa tidak ?" sahut pelayan itu, "Tidak
hanya berkelahi, bahkan telah melukai orang. Coba lihat itu !" - Berbareng
ia menunjuk beberapa bekas bacokan senjata tajam di bawah meja, lalu dengan
muka ber-seri2 ia sambung pula : "Walau kejadian tadi itu sunguh
berbahaya, memang kepandaian Enci-mu sangat hebat, hanya sekali ta-bas saja
sebelah kuping Toya (tuan imam) itu lantas kena di-irisnya."
"Apa katamu ? Toya apa ?" tanya Nyo Ko
terkejut.
"Ya, dia itu..." baru berkata sampai disini,
se-konyong2 muka si pelayan berubah hebat, seketika ia mengkeret terus
mengeluyur pergi.
Nyo Ko memang luar biasa cerdiknya, melihat kelakuan si
pelayan tadi, ia tak menegur juga tak menyusulnya, sebaliknya ia angkat mangkok
nasi-nya tadi terus menyumpit daharannya lagi, Pada saat lain, terlihatlah
olehnya ada dua Tojin muda masuk ke dalam hotel.
Usia kedua imam ini kira 26-27 tahun saja, jubah
pertapaan mereka bersih dan rajin sekali, mereka ambil tempat duduk pada meja
disamping Nyo Ko. Lalu imam yang beralis tebal panjang tiada hentinya
berteriak2 mendesak diantari arak dan daharan.
Dengan muka ber-seri si pelayan lekas2 meladeni kedua
tetamunya itu, pada suatu kesempatan ia mengedipi matanya pada Nyo Ko sambil
mulutnya merot2 ke jurusan kedua imam itu.
Nyo Ko pura2 tidak tahu, ia masih terus menyumpit santapannya
dengan asyik, Kini dia betul2 merasa lapar, apalagi kabar Siao-liong-Ii sudah
diperoleh, hatinya menjadi lega dan gembira, maka tanpa terasa beberapa kali
isi mangkoknya telah ditambah dan dilangsir ke dalam perutnya.
Baiknya pakaian Nyo Ko memang sederhana, apalagi sudah
sehari semalam ia susul Siao-liong-li hingga seluruh badannya penuh debu dan
mukanya kotor, oleh sebab itu kedua imam tadi sama sekali tidak perhatikan
padanya melainkan asyik ber-cakap2 sendiri dengan suara pelahan.
Sebaliknya Nyo Ko semakin pura2, ia kecap2 mulutnya dan
mainkan lidahnya, dia sengaja makan begitu rupa hingga mengeluarkan suara
keras, habis itu ia angkat semangkok wedang panas dan diseruput dengan
bernapsu, akan tetapi telinganya justru dia pasang, untuk mendengarkan apa yang
sedang dipercakapkan kedua Tojin atau imam itu.
"Bi-sute, menurut pendapatmu, malam ini Han-cecu dan
Tan-lokunsu bakal datang tidak ?" demikian ia dengar imam yang beralis
tebal tadi sedang berkata.
Imam satunya lagi bermulut Iebar, suaranya kasar serak
dan terdengar dia menjawab: "Kedua orang ini adalah laki2 gagah perkasa
yang bersahabat kental dengan Thio-susiok, kalau Thio-susiok sudah
mengundangnya, tidak boleh tidak mereka pasti akan datang."
Nyo Ko terkesiap hatinya demi mendengar orang menyinggung
nama "Thio-susiok". pikirnya dalam hati: "Jangan2 Thio-susiok
yang mereka maksudkan adalah guruku yang dahulu, Thio Ci-keng ?"
Ia jadi curiga kenapa kedua imam ini belum pernah
dilihatnya di Tiong-yang-kiong, ketika ia melirik dan mengamat-amati orang,
ternyata tiada yang dia kenal.
"Boleh jadi karena jauhnya perjalanan, dia tak
keburu datang" demikian imam alis tebal tadi berkata lagi.
"He, Ki-suheng, kau ini memang suka takut ini dan
kuatir itu," demikian sahut imam she Bi tadi, "Hanya seorang
perempuan saja, berapa besarkah kemampuannya."
"Ya, sudahlah, marilah minum, jangan dibicarakan
lagi," begitulah imam she Ki memotong.
Kemudian ia memanggil pelayan hotel dan minta disediakan
satu kamar kelas satu, nyata mereka juga bermalam disini.
Sementara itu Nyo Ko sedang memikirkan isi percakapan
kedua imam tadi, ia dapat meraba tentu orang bermaksud cari setori pada
Suhu-nya, mungkin disebabkan ada kawan kecundang, maka "Thio-susiok"
tampil kemuka untuk mengundang seseorang she Han dan seorang she Tan sebagai
bala bantuan, kalau terus kintil kedua imam ini, tentunya akan bisa bertemu
dengan Suhu.
Berpikir akan ini, hati Nyo Ko menjadi gembira sekali,
Sudah jelas kedua imam ini adalah musuh gurunya, tapi dengan petunjuk mereka
nanti akan ketemukan sang guru, maka terhadap mereka ternyata tiada timbul
perasaan benci, ia tunggu sesudah kedua imam itu masuk kamar mereka, kemudian
ia sendiripun minta disediakan sebuah kamar di sebelah kamar imam2 itu.
"Siauya, baiklah kau hati2 sedikit, Enci-mu telah
iris kuping seorang Toya, tentu mereka akan menuntut balas," demikian si
pelayan membisiki Nyo Ko ketika datang ke kamarnya membawakan lampu.
"Sungguh aku tidak mengerti, Enci-ku biasanya sangat
sabar, kenapa mendadak dia bisa me-ngiris kuping orang ?" kata Nyo Ko
dengan suara lirih.
"Terhadap kau tentu saja baik, tetapi terhadap orang
lain mungkin tidak menjadi baik," kata si pelayan pula dengan suara yang
di-bikin2 "Enci-mu tadi sedang bersantap disini dan Toya yang sial itu
duduk di sebelahnya, hanya disebabkan Toya itu melirik beberapa kali pada kaki
Enci-mu, siapa tahu Enci-mu lantas naik darah terus lolos senjata dan melabrak
orang."
BegituIah si pelayan mencerocos terus, dan masih hendak
dilanjutkannya, namun Nyo Ko sudah mendengar lampu di kamar sebelah telah
disirapkan, maka cepat ia memberi tanda agar si pelayan tak perlu cerita lagi.
"Kurangajar, tentu imam busuk itu terus-menerus
mengincar Kokoh karena kecantikannya hingga akhirnya Kokoh menjadi marah,"
demikian Nyo Ko menggerutu sendiri setelah pelayan itu pergi.
Habis ini segera iapun padamkan lampunya, malam ini ia
memang tidak ingin tidur lagi, ia hanya duduk sambil pasang kuping untuk
mengikuti sesuatu gerak-gerik di kamar sebelah.
BegituIah Nyo Ko berjaga sampai tengah malam, tiba2
didengarnya pelataran luar bersuara keresek dua kali, menyusul seperti ada
orang melompat masuk ke bagian dalam melintasi pagar tembok. Habis itu jendela
kamar sebelah terdengar dibuka dan imam yang she Ki itu membuka suara :
"Apakah Han dan Tan berdua ?"
"Ya," terdengar suara sahutan seorang yang
berada di pelataran sana.
"Silakan masuklah!" demikian kata imam she Ki
lagi.
Menyusul itu pintu kamar pelahan dibuka, lampu telah
dinyalakan juga.
Tentu saja Nyo Ko sangat tertarik, ia kumpulkan seluruh
perhatiannya untuk mendengarkan percakapan mereka berempat itu.
"Tecu Ki Jing-hi dan Bi Jing-hian memberi hormat
pada Han-cecu dan Tan-lokunso," terdengar imam she Ki bersuara pula.
Mendengar nama kedua imam itu, diam2 Nyo Ko membatin:
"Ternyata mereka bukan orang dari Tiong-yang-kiong, tetapi nama mereka
memakai urut2an Jing, mereka terhitung juga orang dari Coan-cin-pay."
"Begitu kami terima undangan Thio-susiok kalian,
segera kami memburu kesini," terdengar suara sahutan yang tajam
"Apakah betul perempuan hina itu sangat sulit dilawan ?"
"Sungguh memalukan untuk diceritakan," demikian
kata Ki Jing-si lagi, "Dari golongan kami sudah ada dua anak murid yang
ber-turut2 dilukai perempuan hina-dina itu."
"Sebenarnya dari aliran manakah ilmu silat perempuan
itu ?" tanya orang yang bersuara tajam tadi.
"Thio-susiok bilang dia adalah ahli waris dari
Ko-bong-pay, oleh sebab itu, meski usianya masih muda, namun kepandaiannya
sesungguhnya sangat hebat," sahut Ki Jing-si.
Diam2 Nyo Ko menjengek demi mendengar orang sebut
"Ko-bong-pay."
"Ko-bong-pay apakah ?" rupanya orang yang
bersuara tajam itu tak mengerti.
"Menurut Thio-susiok, orang dari golongan mereka itu
selamanya jarang sekali berkecimpung di kalangan Kangouw, sebab itu nama mereka
tidak terkenal dalam Bu-lim, pantas kalau Han-cecu tidak kenal," demikian
sahut Ki Jing-si.
"O, kalau begitu, agaknya tiada perlu dipandang
berat," kata orang yang dipanggil Han-cecu itu. "Dan di mana besok
harus bertemu ? Pihak lawan mendatangkan berapa orang ?"
"Thio-susiok telah janji dengan wanita itu untuk
bertemu besok lohor di lembah Cay-long-kok yang 40 li jauhnya dari sini ke
jurusan barat, di sana kedua pihak akan menentukan siapa yang unggul dan siapa
yang asor," Ki Jing-si menjelaskan.
"Soal pihak lawan ada berapa orang, itulah aku tidak
tahu. Tetapi kalau sudah ada Han-cecu dan Tan-lokunsu yang membantu kami, tak
perlu lagi kita takut meski mereka berkawan banyak."
Lalu terdengar suara seorang tua berkata : "Baiklah
kalau begitu, kami pasti datang tepat besok lohor, Marilah, Han-laute, kita
pergi."
Lalu Ki Jing-si mengantar tetamunya keluar kamar, sampai
di depan pintu, dengan suara bisik2 terdengar ia pesan orang: "Tidak jauh
ke Tiong-yang-kiong, urusan kita akan bertanding dengan orang se-kali2 jangan
sampai diketahui Ma, Khu dan Ong (maksudnya Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it),
kalau sampai konangan, pasti kita akan didamperat habis2an."
Han-cecu bergelak ketawa oleh pesan itu. "Kalian
takut pada Ma Giok dan Khu Ju-ki imam2 tua itu, kami sebaliknya tidak berada
dibawah perintahnya," demikian katanya.
"Sudahlah, jangan kau kuatir," demikian
Tan-lokunsu menjelak, "pasti kami tidak membocorkan rahasia ini."
Mendengar percakapan terakhir mereka ini, diam2 Nyo Ko
membatin, kiranya mereka hendak keroyok Kokoh dan para imam tua sebangsa Ma
Giok itu tiada yang mengetahui. Meski Nyo Ko tidak berkesan baik pada
Coan-cin-kau, tetapi bila mengingat Ma Giok dan Khu Ju-ki toh tidak jelek juga
terhadap dirinya, karenanya terhadap kedua imam tua itu dia tidak dendam, hanya
kepada Hek Tay-thong yang membinasakan Sun-popoh itulah dia telah ambil
keputusan kelak pasti akan menuntut balas.
Dalam pada itu keempat orang yang diluar itu sesudah
berunding dengan suara pelahan lagi, kemudian Han-cecu dan Tan-lokunsu pergi dengan
melompati pagar tembok lagi, Ki Jing-si dan Bi Jing-hian mengantar juga keluar,
keadaan menjadi sepi.
Tiba2 pikiran Nyo Ko tergerak, segera ia buka pintu
pelahan, dengan cepat ia menyelinap masuk kamar kedua imam di sebelah itu,
Ia lihat di atas pembaringan kamar itu terletak dua
buntalan, ia ambil satu bungkusan itu dan merogoh isinya, kiranya di dalam ada
uang perak sekira 20 tahil.
"Ha, kebetulan, memangnya aku lagi kekurangan
duit," demikian pikir Nyo Ko, Lalu ia pin-dahkan uang perak itu kedalam
sakunya sendiri.
Ia lihat lain bungkusan rada panjang, kiranya berisi dua
batang pedang, sengaja Nyo Ko lolos pedang itu satu per satu dan dengan tekanan
tenaga berat ia patahkan garan pedang lalu dimasukkan kembali ke dalam
sarungnya dan dibungkus lagi dengan rapi.
Selagi ia hendak keluar kembali, tiba2 pikirannya
tergerak pula, ia lepas kolor dan buka celana terus kencingi kasur di kolong
selimut kedua imam itu hingga basah kuyup.
Sementara itu ia dengar di luar ada suara orang melompati
pagar, ia tahu tentu kedua imam itu telah kembali, dapat diketahuinya pula
bahwa ilmu entengkan tubuh kedua imam itu ternyata biasa saja, sebab tak mampu
sekali lompat melintasi pagar tembok, melainkan harus tancapkan kaki dahulu di
atas pagar untuk kemudian baru loncat turun.
Lekas2 Nyo Ko menyelusup kembali ke kamarnya sendiri, ia
tutup pintu kamarnya dengan pelahan, nyata sama sekali kedua imam itu tak
merasa bahwa mereka sedang diincar orang, sesudah di kamarnya sendiri, Nyo Ko
pasang kuping ke dinding kamar untuk mendengarkan gerak-gerik dan suara2 apa
yang bakal terjadi di kamar sebelah.
Ia dengar kedua imam itu masih berembuk dengan suara
rendah, agaknya mereka cukup yakin bakal menang akan pertarungan besok, maka
sembari bicara merekapun buka baju dan naik pembaringan untuk tidur.
Tetapi baru saja Bi Jing-hian memasukkan kakinya ke dalam
selimut, mendadak ia berteriak: "He, apa ini basah2 becek di dalam selimut
? Ai, baunya! He, Ki-suheng, sudah tua, kenapa kau masih ngompol ?"
"Apa? Ngompol?" sahut Ki Jing-si bingung,
Tetapi segera pula ia sendiri ikut berteriak: "He, ya, darimanakah kucing
keparat yang kencing di sini ?"
"Kencing kucing mana bisa begini banyak," ujar
Bi Jing-hian.
"Ya, memang aneh," kata Ki Jing-sin habis ini
tibal ia berteriak pula : "He, dimanakah uang perak kita ?"
BegituIah seluruh kamar menjadi geger dan kacau-balau,
kedua imam ini sibuk mencari uang perak mereka, Sudah tentu mereka tidak bakal
menemukannya.
Diam2 Nyo Ko sangat senang dan merasa geli, sementara itu
ia dengar Bi Jing-hian sedang ber-teriak2 lagi. "He, pelayan, pelayan !
Apakah hotelmu ini hotel perampok, mengapa tengah malam buta mencuri uang tamu
?"
Karena suara ribut2 ini, pelayan hotel datang menanyakan
sambil masih kucek2 matanya yang sepat.
Tak terduga segera Bi Jing-hian pegang baju dada si
pelayan dan menuduh hotel ini adalah hotel perampok, kenapa malam2 gasak uang
tetamu.
Tentu saja si pelayan tak mau terima tuduhan itu,
terdengar dia berteriak penasaran, dengan sendirinya pegawai hotel lainnya
dimulai dari tukang api sampai pada kuasa hotel lantas terjaga semua dari tidur
mereka dan merubung datang, menyusul pula para tetamu lainpun be-runtun2 ikut
terbangun dan be-ramai2 datang menonton keributan itu. Dan diantara mereka
terdapat pula si nakal, Nyo Ko.
Begitulah dengan menahan perasaan geli Nyo Ko melihat
pelayan hotel itu sedang "main pidato", dasar pelayan ini memang
ceriwis pula pandai bicara, maka Bi Jing-hian dan Ki Jing-si berdua telah
terdesak oleh debatannya hingga tak sanggup berkata lagi.
Dari malu Bi Jing-hian menjadi gusar, begitu ayun
tangannya, kontan ia persen si pelayan dengan sekali tamparan. Keruan pelayan
itu menjadi kalap tanpa pikir lagi ia menubruk maju hendak adu jiwa. Namun
sebelum dia datang dekat, menyusul kaki Bi Jing-hian sudah melayang, ia tambahi
si pelayan dengan sekali tendangan hingga pelayan itu terjungkal.
Melihat imam ini tanpa sebab memukul orang, keruan
pegawai2 hotel lainnya sama solider, mereka berteriak dan be-ramai2 merangsang
maju hendak mengeroyok.
Sudah tentu beberapa orang yang tak masuk hitungan ini
se-kali2 bukan tandingan kedua imam itu, hanya sekejap saja, baik kuasa hotel,
tukang api dan Iain2nya telah mendapat hajaran malah.
Senang sekali Nyo Ko menyaksikan peristiwa hasil
perbuatannya itu, dengan geli ia kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur lagi,
ia tidak pusingkan apa yang terjadi lebih lanjut dari lelakon di luar itu.
Besoknya, selagi Nyo Ko sarapan pagi, dilihatnya si
pelayan yang ceriwis itu sedang mendatangi dan menyapa padanya, mukanya tampak
babak-belur dan hidung bengkak, meski demikian toh pelayan ini masih tiada
hentinya mencaci maki tentang kejadian semalam.
"Mana kedua imam bangsat itu ?" dengan tertawa
Nyo Ko coba bertanya.
"Hm, memang imam bangsat keparat, sudah pukul orang,
masih gegares percuma dan tinggal gratis, habis itu lantas angkat kaki,"
demikian kata si pelayan dengan marah2. "Hm, hari ini pasti akan
kulaporkan ke Tiong-yang-kiong, biasanya imam2 di Cong-lam-san ini semuanya
sopan-santun, entah darimana mendadak bisa muncul imam bangsat liar seperti
mereka ini."
Nyo Ko tidak ketarik lagi oleh obrolan orang, segera ia
bereskan rekening hotel dan menanya jalan yang menuju ke Cay-long-kok atau
lembah srigala, kesanalah dia lantas pergi.
Tidak antara lama Nyo Ko sudah menempuh perjalanan sejauh
dua puluhan li, Cay-long-kok atau "lembah srigala" itu sudah tidak
jauh lagi di depan, cuaca waktu itu agaknya masih pagi, maka keadaan sepi-sepi
saja.
"Biarlah aku sembunyi dahulu dan menyaksikan cara
bagaimana Kokoh bereskan kawanan pengganas itu, paling baik kalau Kokoh
seketika tak bisa mengenali aku," demikian diam2 Nyo Ko berpikir.
Segera pula teringat olehnya tempo hari pernah menyamar
sebagai anak gunung dan telah berhasil mengingusi Ang Ling-po, teringat akan
ini hati Nyo Ko menjadi geli, ia ambil keputusan hendak meniru cara itu sekali
lagi, segera dia mendatangi satu rumah petani, ia longak-longok ke sana ke
sini, tiada seorang pun yang dia lihat, di kandang hewan di belakang rumah itu
ia lihat ada seekor sapi jantan yang besar yang rupanya sedang mengamuk,
binatang ini sedang tunduk kepala dan gunakan tanduknya untuk menyongkel dan
menumbuk pagar kayu yang melingkarinya, begitu keras tumbukannya hingga
terdengar suara gedubrakan yang tiada henti2nya.
Nampak adanya sapi jantan besar ini, tiba2 Nyo Ko
mendapatkan satu pikiran. "He, kenapa aku tidak menyamar sebagai
penggembala sapi saja, biar Kokoh melihat diriku juga pasti tak kenal aku
lagi." demikian keputusannya.
Begitulah diam2 Nyo Ko lantas melompat masuk ke dalam
rumah, ia cari barang lain yang sekiranya cocok baginya, akhirnya dapatlah dia
ambil sepasang baju petani yang sudah robek, ia ganti pakai sepatu rumput pula
dan poles mukanya dengan lumpur agar kelihatan kotor dan lebih mirip bocah
angon, habis ini ia mendekati kandang sapi tadi.
Di dinding kandang dapat dilihatnya pula tergantung
sebuah caping dan sebatang suling, kedua ini memang barang yang biasa suka
dipakai oleh anak gembala. Keruan Nyo Ko sangat girang, ia pikir penyamarannya
sekali ini pasti akan menjadi mirip sangat Karena itu tanpa pikir lagi ia pakai
caping yang diketemukannya itu, ia ambil seutas tali rumput pula dan dipakai
sebagai ikat pinggang, lalu suling bambu itu ia selipkan di pinggangnya dan
kemudian dia membuka pintu kandang sapi.
Sementara itu sapi jantan raksasa itu sedang mengamuk,
binatang ini jadi lebih beringas lagi ketika melihat ada orang membuka pintu
kandang, tanpa ayal lagi segera ia pentang kaki terus menerjang keluar hendak
menyeruduk Nyo Ko.
Namun Nyo Ko sudah siap sedia, dengan telapak tangan kiri
ia tahan kepala sapi jantan (atau banteng) itu, di lain saat ia sudah meloncat
ke atas punggung binatang itu.
Sapi ini ternyata sangat tinggi dan besar, bulunya
panjang dan tanduknya lancip tajam, tampaknya sangat perkasa sekali, maka
dengan sekali terjang sekejap saja sudah menyelonong sampai di jalan besar
dengan Nyo Ko masih menunggang di atas punggungnya.
Rupanya sapi jantan ini sedang birahi, maka wataknya
menjadi beringas luar biasa, tiada hentinya ia me-loncat2 dan ber-jingkrak2
dengan maksud hendak banting Nyo Ko ke bawah. Akan tetapi mana begitu gampang
Nyo Ko bisa dibikin terperosot dari tempatnya, bahkan ia menjadi senang oleh
kelakuan si binatang.
"Ha, rupanya kau minta digebuk," dengan tertawa
Nyo Ko membentak. Habis ini ia angkat telapak tangan dan dengan pinggiran
telapak tangan ia hantam pundak sapi itu dengan pelahan.
Kalaupun pukulan ini hanya memakan sedikit tenaga saja,
namun bagi sapi itu sudah tak tertahan rasa sakitnya, keempat kakinya seketika
lemas dan hampiri mendoprok tekuk lutut, tentu saja binatang ini tak mau
menyerah begitu saja, masih melompat dan hendak mengamuk lagi, tak terduga
kembali Nyo Ko beri persen sekali potong lagi dengan telapak tangan.
Dan begitulah seterusnya, sesudah merasakan belasan kali
gebukan seperti itu, akhirnya sapi jantan itu menjadi kapok dan tak berani
ngotot lagi.
Kemudian Nyo Ko mencoba jojoh kiri leher binatang itu
dengan jari tangannya, segera sapi itu membelok ke kanan dan bila menjojoh
sebelah kanan lantas dia menikung ke kiri, kalau diketok pantatnya, segera ia
lari ke depan, dan jika digebuk depan pundaknya, sapi ini lantas mundur ke
belakang, nyata binatang yang tadinya liar itu kini sudah menjadi jinak dan
dapat dikendalikan menurut keinginannya.
Bukan maki girang Nyo Ko, dengan keras ia tepuk pantat
sapi itu, maka larilah binatang itu ke depan seperti kesetanan, begitu cepat
larinya hingga boleh dikatakan tidak kalah dengan kuda pacuan yang paling
bagus. Maka sebentar saja sesudah menyusuri sebuah rimba lebat, sampailah Nyo
Ko di suatu lembah gunung yang sekitarnya dilingkungi oleh bukit2 yang
menghijau permai.
Melihat keindahan alam tempat ini, diami Nyo Ko heran
kenapa lembah sebagus ini diberi nama "lembah srigala" yang sama
sekali tidak tepat dengan keadaannya. Kemudiari iapun giring sapi jantan tadi
ke lereng bukit yang terdekat biar makan rumput sendiri Nyo Ko sengaja pura2
tidur dengan merebah di tanah rumput dengan hati ber-debar2 ia menantikan
ketika sang surya sudah menggeser sampai di tengah langit, tetapi keadaan masih
tenang dan sepi nyenyak, hanya kadang2 terdengar suara menguaknya sapi jantan
itu.
Tengah Nyo Ko bertambah gelisah mendadak didengarnya di
mulut lembah sana sayup2 berkumandang beberapa kali suara tepukan tangan,
menyusul di belakang bukit sebelah selatan pun membalas beberapa kali. Maka
tahulah Nyo Ko sudah tiba waktunya, ia tetap rebah di tanah rumput yang miring
itu, sebelah kakinya sengaja dia tumpangkan keatas kaki yang lain, capingnya
untuk tutupi kaki yang menumpang dan sebagian mukanya, maka yang kelihatan
hanya kaki kanan saja yang menjulur lurus.
Selang tak lama, tertampaklah dari mulut lembah sana
mendatangi tiga orang Tojin, Dua diantaranya ternyata sudah Nyo Ko kenal di
hotel semalam, yakni Ki Jing-si dan Bi Jing-hian, sedang seorang lagi berumur
sekira setengah abad, perawakannya pendek buntek, agaknya ialah apa yang mereka
sebut sebagai "Thio-susiok" itu.
Melihat "Thio-susiok" yang dimaksudkan orang
bukan Thio Ci-keng yang diduga semula, dalam hatinya timbul semacam perasaan aneh,
entah rasa kecewa atau rasa syukur karena orang itu lain guru silat tua she
Tan.
Habis ketiga imam ini, lalu dari lereng bukit sana muncul
lagi dua orang, yang satu berperawakan kekar, agaknya dia inilah Han-cecu, Dan
yang lain bersilat tua she Tan.
Meski kelima orang ini sudah datang dekat dan sudah
berhadapan pula, namun mereka hanyasaling kiongchiu (merangkap kedua tangan
saling memberi hormat), tiada satupun yang buka suara, hanya terus berbaris
sejajar dan menghadap ke barat.
Ketika selintas Thio-susiok mendongak memandang matahari
hingga sinar terang menyorot mukanya, dari samping Nyo Ko dapat melihatnya
lebih jelas, ternyata imam tua ini bermuka kuning, sikapnya tenang sekali dan
ber-sungguh2, sedikitpun tidak punya perasaan memandang enteng bakal lawannya
nanti.
Pada saat itulah, dari mulut lembah sana pula sayup2
terdengar suara menderapnya kaki binatang yang makin mendekat, ketika kemudian
sesosok bayangan putih berkelebat maka tertampaklah seekor keledai hitam dengan
membawa seorang gadis berbaju putih sedang mendatangi dengan cepat.
"Ah, dia bukan Kokoh !" hati Nyo Ko seketika
lemas demi melihat siapa yang mendatangi ini. "Apakah dia ini juga bala
bantuan mereka ?" demikian ia pikir dan berharap demikian pula.
Sementara gadis berbaju putih tadi dengan cepat sudah
makin mendekat, sesudah berjarak antara 78 tombak dari kelima orang yang duluan
tadi, tiba2 ia tahan keledainya, dengan sorot mata yang dingin tetapi tajam ia
pandang sekejap pada mereka, dari muka si gadis nyata tertampak sikap yang
memandang hina dan seperti hakikat-nya tiada harganya mengajak bicara mereka.
Rupanya Ki Jing-si sudah tak sabar, segera ia berteriak :
"Orang she Liok, nyata kau cukup tabah untuk memenuhi janji ini, maka
boleh sekalian kau suruh keluar saja semua pembantumu !"
Namun gadis itu tidak menjawab, ia hanya menjengek sekali
dengan tertawa dingin, Berbareng itu, "sret", entah darimana
datangnya, tahu2 ia telah lolos keluar sebilah golok melengkung yang kecil dan
tipis laksana bulan sabit dengan memancarkan sinar putih ke-hijau2an dan
menyilaukan mata.
"lni, kami seluruhnya ada lima orang, dan pembantumu
ada berapa dan kapan datangnya, kami tak sabar lagi buat tunggu lebih
lama," demikian kata Ki Jing-sj pula memandang.
"lnilah pembantuku yang utama !" sahut gadis
itu tiba2 sambil mengayun golok tipisnya tadi.
Begitu tipis dan agaknya saking tajamnya hingga begitu
golok diputar, seketika udara di atas kepala gadis itu seperti digenangi oleh
lingkaran sinar putih dan mengeluarkan suara mendenging yang nyaring tajam.
Karena jawaban tadi, enam orang termasuk Nyo Ko - yang
lain semuanya menjadi terperanjat.
Kelima orang di sana terkejut oleh sebab seorang gadis
seperti dia ini ternyata begitu besar nyalinya, tanpa mengajak barang seorang
pembantupun berani mengadakan pertandingan silat dengan lima jago tinggi.
Sedang Nyo Ko sebaliknya terperanjat bercampur kecewa, mula2 dia yakin bahwa
Siao-liong-Ii pasti akan diketemukannya di sini, siapa tahu apa yang disebut
"si gadis cantik berbaju putih" itu ternyata adalah seorang nona
lain.
Saking masgulnya, seketika dada Nyo Ko se-akan2 menjadi
sesak, perasaannya yang mudah terguncang itu tak terkendalikan lagi, tiba2 ia
meng-gerung2 menangis keras.
Mendengar suara tangisan Nyo Ko yang mendadak ini, keenam
orang itupun terkejut, tapi sesudah mereka tahu yang menangis adalah seorang
bocah gembala yang mungkin karena ketakutan melihat ada orang hendak berkelahi,
maka mereka pun tidak mengambil perhatian kepadanya.
Sementara itu terdengar Ki Jing-si telah buka suara sambil
menunjuk Han-cecu: "lni Wi-cin-lam-pak Han-cecu, yang ini adalah
Tan-lokunsu, tertua dari Ho-siok-sam-hiong, dan ini adalah Liong-kim-kiam Tio
Put-hoan, Tio-totiang !"
Demikian Ki Jing-si memperkenalkan ketiga jagonya kepada
gadis itu, ia mengira sesudah orang mendengar nama ketiga kawannya itu, tentu
akan menjadi jeri dan mundur teratur. Siapa tahu gadis itu anggap saja seperti
tidak mendengar dan tidak menggubris, ia hanya mengerling orang dengan sorot
mata yang tajam dingin, ia anggap kelima orang di hadapannya seperti barang2
sepele belaka
"Karena kau hanya datang seorang diri, kami pun tak
mau bergebrak dengan kau," terdengar Tio Put-hoan angkat bicara,
"Maka kami beri kau tempo sepuluh hari, sepuluh hari kemudian kau boleh
ajak empat orang pembantu dan datang lagi bertemu kesini."
"Aku sudah bilang ada pembantuku," sahut gadis
itu sambil ayun2 golok-sabitnya lagi. "untuk melayani kalian sebangsa
gentong nasi dan guci arak ini masakah perlu pakai bantuan orang ?" .
Keruan Tio Put-hoan menjadi gusar.
"Kau anak dara ini sungguh keterlaluan..."
Sebenarnya ia hendak mendamperat orang, syukur sebelum
diucapkan ia masih bisa menahan api amarahnya dan menanya pula: "Kau
sebenarnya orang Ko-bong-pay atau bukan ?"
"Kalau betul mau apa dan kalau bukan ada apa ?"
sahut gadis itu ketus. "Hayo, imam tua hidung kerbau, katakan lekas, kau
berani tidak bergebrak dengan nonamu ?"
Tio Put-hoan sudah rada berumur, maka orangnya cukup bisa
kendalikan diri, ia lihat orang meski seorang diri, tetapi bukannya jeri, bahkan
menantang, maka ia kuatir kalau2 sebelumnya si gadis telah atur perangkap
dengan menyembunyikan bala bantuan.
Oleh sebab itulah lantas dijawabnya: "Nona, aku
ingin tanya kau dahulu. Tanpa alasan kau telah lukai anak murid golongan kami,
sebenarnya disebabkan urusan apakah ? jika kesalahannya terletak pada pihak
kami, tanpa segan2 pasti aku akan minta maaf pada gurumu. Tetapi kalau nona tak
bisa mengatakan sesuatu alasannya, hm, jangan kau sesalkan kami kurang
sopan."
"Sudah tentu disebabkan kedua hidung kerbau
golonganmu itu yang kurang ajar, maka kuberi sedikit hajaran pada mereka,"
sahut gadis itu dengan tertawa mengejek, "Kalau tidak, di jagat ini tidak
sedikit terdapat sebangsa kutu busuk, kenapa harus hidung mereka yang ku-iris ?"
Mendengar jawaban yang semakin ketus dan bersifat
menantang ini, Tio Put-hoan menjadi lebih ragu2 terhadap kemampuan lawannya,
Dalam pada itu meski usia Tan-lokunsu sudah lanjut, namun
tabiatnya ternyata berangasan.
"Eeeh, bicara dengan kaum Cianpwe, kenana tidak turun
dari keledaimu ?" demikian segera ia menyerobot maju dan cari2 persoalan.
Menyusul itu tahu2 ia sudah berada di depan binatang tunggangan orang dan ulur
tangannya buat menarik lengan kanan si gadis.
Karena gerak tangannya itu sangat cepat hingga gadis itu
tak sempat menghindarkan diri, seketika lengannya kena dicekal, dan karena
lengan kanannya dipakai untuk memegang golok-sabitnya, maka goloknya tak bisa
dipakai menangkis.
Tak tersangka se-konyong2 sinar tajam berkelebat sedikit
gadis itu tekuk sikutnya, golok-sabitnya tahu2 memotong dari samping, dari
jurusan yang sama sekali tak terduga.
Tentu saja tidak kepalang kagetnya Tan-lokunsu, lekas2 ia
lepaskan cekalannya bila ia tidak mau merasakan tajamnya golok itu. sungguhpun
begitu, tidak urung dua jari tangannya sudah terluka.
Dengan cepat segera ia melompat mundur terus cabut
goloknya sendiri, dalam gusarnya ia ber-teriak2 mendamperat: "Perempan
bangsat, agaknya kau sudah bosen hidup !"
Melihat kawannya dilukai, mau-tak-mau yang lain2 ikut
mengangkat senjata, Han-cecu pakai sepasang ganden berantaai, sedang Tio
Put-hoan lolos pedangnya, begitu pula Ki Jing-si dan Bing-hiam juga lantas
tarik pedang mereka.
Akan tetapi mereka menjadi kaget ketika merasa senjata
yang mereka genggam itu bobotnya sangat enteng, ketika mereka tegasi, celaka
tiga-belas, kiranya yang terpegang di tangan mereka melainkan garan pedang
belaka, sedang bagian yang tajam ketinggalan di dalam sarungnya.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa itu adalah perbuatan
Nyo Ko semalam di mana pedang mereka diam2 dipatahkan dan selimut mereka
dikencingi juga, sedang kini musuh tangguh sudah berhadapan senjata saja mereka
tak punya.
Rupanya melihat kelakuan kedua imam yang kikuk dan serba
salah itu, si gadis tadi tertawa ngikik geli.
Waktu itu Nyo Ko sendiri lagi berduka, tetapi demi
mendengar suara tertawa gadis itu dan melihat kelakuan kedua imam yang lucu
itu, tak tertahan iapun tertawa maski sebenarnya ia masih tersenggak-sengguk.
Sementara itu terlihat si gadis telah membuka serangan,
se-konyong2 ia ayun goloknya terus memotong ke telinga Bi Jing-hian.
Dengan sendirinya lekas2 Bi Jing-hian tarik badan dan
mengkerut kepala buat hindarkan elmaut, siapa tahu gaya serangan golok itu
ternyata sangat hebat, ketika tangan si gadis sedikit memutar senjatanya yang
aneh itu tiba2 membelok di tengah jalan terus mengiris ke bawah lagi karena
tidak ter-duga2 akan perubahan serangan ini, tidak urung sebelah kuping Bi
Jing-hian tetap menjadi korban.
Keruan saja keempat kawannya terkejut, sama sekali tak
mereka duga bahwa To-hoat atau ilmu permainan golok orang bisa begitu bagus dan
aneh. Keadaan sudah memaksa, kini mereka tak pikirkan lagi keroyokan atau
tidak, segera mereka mengerubut maju terus kepung si gadis bersama keledainya
di tengah2.
Cuma yang mengeroyok hanya tiga orang saja, Bi Jing-hian
dan Ki Jing-si terpaksa mundur ke belakang karena mereka tak bersenjata, yang
mereka pegang hanya garan pedang, hendak dibuang sayang, tidak dibuang toh
tidak terpakai mereka menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus di-buatnya.
Dalam pada itu tiba2 terdengar gadis itu bersiul nyaring
sekali, ia tarik tali kendali keledainya terus melompat pergi sejauh beberapa
tombak dengan maksud memboboIkan garis kepungan orang. Namun dengan cepat
Tan-lokusu bertiga lantas mengerubut maju lagi. Bahkan sebelum tiba orangnya,
lebih dulu Han-cecu timpukkan ganden besinya yang berantai itu.
Melihat senjata orang cukup berat, pula tipu serangannya
cukup ganas, diam2 gadis itu merasa heran juga, maka tak berani lagi ia memandang
enteng, ketika tubuhnya mengegos, timpukkan ganden tadi telah dia hindari.
Memang senjata "Lian-cu-tui" (ganden berantai)
Han-cecu itu bukan senjata ringan dan mempunyai daya tekanan yang sukar
ditahan. Sebaliknya ilmu pukulan Tan-lokunsu sebenarnya lebih tinggi dari pada
permainan goloknya, pula jarinya sudah terluka, maka serangan goloknya boleh
dikatakan tak seberapa, hanya Kiam-hoat Tio Put-hoan sebaliknya tidak bisa
dipandang rendah, serangannya jitu lagi keji, setiap tipu serangannya selalu mengincar
tempat2 yang berbahaya.
Tatkala itu hati Nyo Ko rada tenang, kini baru dia
amat-amati wajah gadis itu, ia lihat raut muka orang potongan daun sirih dan
sanggat cantik, usianya agaknya setahun dua tahun lebih muda dari pada dirinya,
pantas kalau si pelayan hotel tidak percaya bahwa itu "gadis cantik
berbaju putih" adalah kakak perempuannya.
Di samping muka orang yang cantik itu, kulit badannya
sebaliknya rada hitam2 manis, sama sekali berlainan dengan kulit Siao-Iiong-li
yang putih bersih.
Senjata yang dipakai gadis inipun sangat aneh dan lain
dari pada yang Iain, ilmu permainan goloknya sangat gesit, meski dikatakan
golok, tetapi yang dipakai adalah gerak tipu permainan pedang, lebih banyak
menusuk dan memotong dari pada membacok dan membabat.
Hanya menyaksikan beberapa jurus permainan golok orang,
segera Nyo Ko tahu orang memang menggunakan ilmu silat dari golongan yang sama
dengan dirinya, yakni Ko-bong-pay. Apakah dia ini juga muridnya Li Bok-chiu ?
demikian Nyo Ko menjadi heran.
Semula sebenarnya Nyo Ko sangat penasaran karena lima
orang lelaki mengeroyok seorang gadis cilik, tetapi kemudian sesudah mengetahui
dari mana asal-usul ilmu silat orang, karena menduga orang pasti muridnya Li
Bok-chiu, seketika timbul rasa antipatinya Nyo Ko, ia pikir biarkan saja pihak
mana yang bakal menang, semuanya tidak kugubris.
Begitulah dia lantas berbaring lagi dengan sikunya
sebagai bantal, hanya kadang2 saja ia melirik pertarungan yang sedang
berlangsung dengan sengit itu.
Untuk belasan jurus permulaan, karena gadis itu berada
lebih tinggi di atas keledainya, maka kelima lawannya dipaksa harus melompat
kian ke mari untuk menghindari sabetan golok-sabit yang diayun pergi datang.
Sesudah belasan jurus lagi, karena senjata yang
dipegangnya hanya gagang pedang yang sudah patah dan tak sanggup membantu
kawannya, tiba2 hati Ki Jing-si tergerak "Mari Bi-sute, ikut padaku
!" ia teriaki Bi Jing-hian.
Habis itu ia berlari menuju ke tempat yang banyak tumbuh
pohon, di sana ia pilih satu pohon muda dan sekuat tenaganya ia patahkan
bongkot-nya, ia hilangkan tangkai dan daunnya, maka ber-wujutlah kini sebatang
pentung yang dapat dipakainya sebagai gaman.
Tentu saja Bi Jing-hian sangat girang, iapun tiru2 sang
Suheng dan patahkan satu pohon yang lain untuk digunakan sebagai senjata.
"Hantam keledainya dan tidak orangnya!"
demikian Ki Jing-si beri petunjuk lagi, Habis ini, dua pentung kayu mereka
lantas menyerampang dari kanan dan kiri dengan cepat mereka arah kaki keledai
tunggangan gadis tadi.
"Hm, tak punya malu !" dengan pelahan gadis itu
menjengek berbareng ia ayun goloknya buat tangkis pentung orang.
Karena sedikit melengnya ini, dari samping lain ganden
berantai Han-cecu sudah menyerang juga bersama dengan pedang Tio Put-hoan.
Dalam keadaan terancam, lekas2 gadis itu keluarkan gerak tipu yang berbahaya,
ia tunduk kepala dan luputkan ganden yang menyamber, saat lain terdengar pula
suara "trang" yang nyaring, goloknya telah ditangkiskan pedang lawan
yang lain.
Tetapi pada waktu itu juga keledainya telah melengking
kesakitan terus menegak dengan kaki belakang, kiranya binatang ini telah kena
ditoyor sekali oleh pentungnya Ki Jing-si.
Melihat ada kesempatan, segera Tan-lokunsu menjatuhkan
diri terus menggelundung mendekati musuhnya, ia keluarkan ilmu golok dan berhasil
menghantam sekali paha keledai hitam dengan punggung goloknya.
Dengan demikian tak mungkin lagi bagi si gadis
mengandalkan keledainya, dalam pada itu senjata lawan baik pedang maupun ganden
berbareng telah menyamber datang pula, terpaksa ia meloncat ke atas, sedang
tangan kiri menyamber dan pentung Bi Jing-hian berhasil dicekalnya, ketika ia
gunakan tenaga dalamnya, tahu2 pentung itu telah patah menjadi dua potong. Dan
begitu kedua kakinya tancap kembali di atas tanah, sekalian pula goloknya dia
babat ke samping untuk patahkan bacokan Tan-lokunsu yang sementara itu telah
menyerang.
"He, kenapa ? Dia sudah terluka ?" tiba2 Nyo Ko
kaget demi nampak gaya berjalan si nona.
Kiranya kaki kiri si gadis rada pincang, dengan
sendirinya untuk berjalan, apa lagi buat melompat menjadi tidak leluasa. Dan
dengan sendiri-nya, sebab inilah maka sejak tadi dia tidak mau turun dari
keledainya.
Tahu akan ciri gadis ini, seketika rasa keadilan Nyo Ko
tergugah, ia niat turun tangan buat membantunya, Tetapi ketika dia pikir dan
ingat pengacauan Li Bok-chiu hingga dirinya yang tinggal aman tenteram bersama
Siao-liong-li di dalam kuburan itu berakibat seperti keadaan sekarang ini,
kembali hatinya menjadi panas Iagi, ia berpaling ke jurusan lain dan tak mau
menyaksikan lebih lanjut
Namun telinga toh mendengar suara
"crang-creng", suara beradunya senjata tajam yang nyaring dan tiada
hentinya, rasa ingin tahunya tak bisa ditahan, kembali ia berpaling buat
menonton lagi, Hanya sejenak tadi ternyata keadaan pertarungan itu sudah banyak
berubah, gadis itu telah terdesak lari kian kemari, sudah lebih banyak
menangkisnya daripada balas menyerang.
Dalam pada itu mendadak Han-cecu telah tim-puk sebelah
gandennya, terpaksa gadis itu miringkan kepalanya, tetapi pada saat yang sama
juga pedang Tio Put-hoan sudah menusuk pula, terdengarlah suara
"cring" yang nyaring pelahan, ternyata gelang perak pengikal rambut
gadis itu telah kena ditabas kutung hingga sebagian rambutnya yang panjang
terurai.
Maka tertampaklah alis si gadis yang lentik itu
menjengkit, bibirnya pun sedikit bergerak dan digigit, mukanya seketika seperti
tertutup oleh selapis awan hitam, kontan goloknya membabat, ia balas sekali
serangan orang.
Melihat tarikan alis dan gerakan bibir si gadis, seketika
hati Nyo Ko terguncang keras, "Di waktu Kokoh marah padaku, persis mimik
wajahnyapun begitu," demikian pikirnya.
Oleh karena melihat rasa gusar yang diunjuk gadis itu,
tanpa pikir lagi Nyo Ko ambil keputusan pasti akan membantu padanya.
Sementara itu ia lihat keadaan gadis itu semakin
terdesak, gerak-geriknya tak teratur lagi.
"Hayo, lekas katakan, sebutan apa sebenarnya antara
kau dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu ?" demikian terdengar Tio Put-hoan
memperingatkan lawannya, "Jika masih tetap tidak menjelaskan jangan kau sesalkan
senjata kami tak bermata."
Di luar dugaannya, bukan saja gadis itu tidak menjawab,
bahkan goloknya tahu2 menabas dari belakang kepala karena senjata ini memang
me-lengkung, Terkejut sekali Tio Put-hoan oleh serangan yang aneh itu, syukur
dengan cepat Tan-lo-kunsu keburu wakilkan dia menangkis hingga dengan demikian
jiwa Tio Put-hoan dapat diselamatkan.
Melihat tipu serangan si gadis begitu keji, ketiga
lawannya kinipun tidak pakai murah hati lagi, Maka dalam sekejap saja, gadis
itu sudah ber-ulang2 menghadapi serangan berbahaya, Tio Put-hoan pikir gadis
ini pasti ada hubungan rapat dengan Li Bok-chiu, kalau kelak diketahui oleh Li
Bok-chiu, tentu dikemudian hari akan menjadikan bibit bencana saja, oleh sebab
itu serangan2nya kini selalu mengincar tempat2 yang berbahaya.
Melihat keadaan si gadis sudah dalam detik yang sangat
genting, segera Nyo Ko melompat ke atas punggung sapi jantan tadi, ia jojoh
sekali pantat binatang itu dengan jerijinya, karena kesakitan dengan sekali
menguak sapi jantan itu pentang kaki dan menerjang ke jurusan enam orang yang
sedang saling labrak itu.
"Haya, celaka ! Sapiku kesetanan, tolong, tolong
!" demikian Nyo Ko sengaja ber-teriak2. Baru saja selesai ia berteriak,
orangnya berikut sapinya sudah menyerbu sampai di kalangan pertempuran sana.
Tatkala itu keenam orang itu asyik bertempur mati-matian,
ketika mendadak melihat seekor banteng menyeruduk tiba dengan kalap, niat
mereka hendak melompat ke samping buat hindarkan diri, namun secepat kilat
banteng itu sudah menerjang sampai di belakang Ki Jing-si dan Bi Jing-hian.
Nyo Ko sendiri tengkurap di atas sapinya, tangan dan
kakinya bergerak naik turun seperti orang kebingungan dan ketakutan setengah
mati, sesudah dekat dengan kedua orang tadi, dengan cepat
"hong-gan-hiat" di punggung kedua orang dicengkeramnya.
"Hong-gan-hiat" adalah salah satu jalan darah
penting di tubuh manusia, karena kena dicekal, seketika Ki Jing-si dan Bi
Jing-hian menjadi lemas kesemutan dan tak bisa berkutik, Dengan pelahan Nyo Ko
angkat tangannya, kedua orang itu dia tarik keatas terus digantung pada kedua
tanduk sapi jantan itu, sedang mulutnya masih tiada hentinya berteriak
"Tolong ! Tolong!"
Kemudian dengan ujung kaki ia tendang pantat sapi itu,
maka berlari kesetanan lagi binatang itu ke lereng bukit dengan membawa tiga
orang, satu tengkurap di punggungnya dan yang dua ter-cantol pada tanduknya.
Melihat perubahan yang mendadak dan aneh ini, baik si
gadis tadi maupun Tio Put-hoan seketika berhenti dari pertempuran mereka.
Nyata ilmu silat Nyo Ko masih jauh lebih tinggi daripada
keenam orang itu, apa yang dilakukannya ternyata tiada seorangpun yang
mengetahuinya.
Ketika sampai di tanah rumput dimana dia angon sapi tadi,
Nyo Ko buang kedua imam itu ke tanah terus giring sapi itu menerjang ke bawah
puIa, sekali ini yang dia incar adalah Han-cecu dan Tan-Iokunsu.
Rupanya Han-cecu pikir tenaganya cukup besar untuk
menundukkan binatang yang mengganas ini, maka gandennya yang berantai dia libat
di pinggangnya, lalu dengan pasang kuda2 kuat ia tunggu sapi itu mendekat,
se-konyong2 ia melangkah maju setindak terus tanduk binatang itu dia pegang
erat2 dengan kedua tangannya, dengan demikian ia hendak taklukkan banteng
ngamuk itu.
Dilain pihak Nyo Ko masih bertingkah serabutan sambil
berteriak2, namun pada saat yang jitu sekali, "cian-tay-hiat" di
pinggang Tan-lokunsu dia tutuk pula dengan tendangan. Dan sebelum kedua
sasarannya ini roboh atau mereka sudah dia samber terus digantung lagi di atas
tanduk sapi dan diangkut pula ke tanah rumput tadi.
Melihat banteng ngamuk ini begitu aneh, mau tak mau si
gadis dan Tio Put-hoan saling pandang dengan tak mengarti, jika tadi mereka
saling labrak dengan adu jiwa, maka kini sebaliknya ada persamaan perasaan
diantara mereka, yakni "senasib."
Dalam pada itu dilihatnya banteng ngamuk tadi sudah balik
kembali, suara teriakan bocah angon yang tengkurap di atas binatang itu
kedengarannya sudah serak, terang sekali keadaan sangat genting.
Segera Tio Put-hoan ber-siap2, ia menunggu banteng itu
menyeruduk tiba kira2 setengah tombak sebelum tubuhnya, sekonyong-konyong
pedangnya berputar, ia hindari serudukan banteng itu dari depan, dengan cepat
tubuhnya melangkah ke samping sambil pedangnya menusuk, begitu cepat dan tepat
saat yang digunakan, dengan segera banteng ngamuk itu bakal tembus tertusuk
perutnya.
Siapa tahu, baru saja ujung pedangnya hampir menyentuh
kulit sapi itu, se-konyong2 bocah angon itu tangannya bergerak pontang-panting
sambil pegang sulingnya dan dengan persis batang suling membentur ujung pedang,
karena itu, arah pedang menjadi menceng,
Karena luput serangannya, Tio Put-hoan terkejut untuk
menghindar agar tidak diserempet banteng itu, lekas2 ia melompat ke atas dengan
maksud melewati binatang itu, siapa duga selagi orangnya terapung di udara,
se-konyong2 mata kakinya terasa kaku kesemutan, ketika tubuhnya jatuh ke bawah,
dengan tepat menyangkol di ujung tanduk banteng hingga kena dibawa binatang
yang berlari itu ke tanah lapang tadi untuk kemudian dilemparkan di sana.
Habis itu, Nyo Ko putar haluan sapi itu, kembali
menerjang cepat pula ke arah si gadis yang masih tersisa itu.
Di lain pihak sesudah menyaksikan kelima jago seperti Tio
Put-hoan kena diseruduk jatuh semua oleh banteng ngamuk itu, meski gadis itu
merasa curiga juga, tetapi ia pikir hanya seekor sapi jantan saja, kena apa
harus ditakuti ? Segera dia bersiap-siap.
Dilihatnya dengan mulut berbusa binatang itu telah
memyeruduk tiba pula, Pada saat yang tepat mendadak ia meloncat ke atas,
berbareng itu goloknya terus membacok leher banteng itu.
"Haya, celaka, jangan bunuh sapiku !" jerit Nyo
Ko mendadak Berbareng itu diam2 ia jojoh pundak sapi itu dengan jarinya, karena
sakit, dengan sendirinya kepala sapi itu meleng ke samping dan dengan persis
bacokan orang dapat dihindarinya.
Sedangkan Nyo Ko sendiri pura2 jatuhkan diri tergelincir
ke bawah sambil ber-teriak2 : "Tolong ! tolong !"
Sebaliknya sapi jantan itu rupanya sudah terlalu letih,
sesudah beberapa tindak berlari lagi dia lantas berhenti dengan napas
empas-empis.
Melihat binatang itu tidak main gila lagi, setelah
tenangkan diri mendadak gadis itu jinjing goloknya terus berlari ke tanah datar
sana.
"Celaka, kelima orang itu pasti akan
teraniaya," pikir Nyo Ko diam-diam.
Karena itu, sebelum gadis itu sampai di tem-patnya, lebih
dulu Nyo Ko sudah jemput beberapa batu kecil, sekali ayun batu2 itu ditimpukkan
ke badan kelima orang yang rebah tak berkutik itu.
Meski umur Nyo Ko masih kecil, tetapi ilmu silatnya sudah
terlatih sampai tingkatan yang tiada taranya, walaupun jaraknya dengan kelima
orang itu sangat jauh, namun tiap2 batu yang ditimpukkan itu dengan tepat
mengenai Hiat-to di tubuh masing2.
Ketika Tio Put-hoan cs. mendadak merasakan tubuh
kesakitan, tetapi rasa kesemutan juga segera hilang, mereka menyangka gadis itu
diami sembunyikan bala bantuan yang sangat lihay, cara mereka kena ditutuk dan
mendadak terlepas pula jalan darahnya tentu perbuatan jagoan yang tersembunyi
itu, kini orang suka memberi jalan hidup, mana berani lagi mereka terlibat
dalam pertarungan pula ? Maka begitu mereka merangkak bangun, tanpa pikir lagi
segera mereka angkat langkah seribu alias kabur.
Dalam gugupnya karena ketakutan itu, rupanya Bi Jing-hian
menjadi bingung hingga tak bisa bedakan arah timur dan barat, bukannya dia lari
ke jurusan yang selamat, sebaliknya ia malah lari ke arah si gadis yang sedang
memarani mereka itu.
"Bi-sute, lekas kembali !" seru Ki Jing-si
kuatir.
Ketika Bi Jing-hian sadar keliru jalan dan berniat putar
kemudi, namun sudah terlambat, si gadis sudah datang dekat, goloknya sudah
diangkat dan dibacokkan padanya.
Sungguh luar biasa kaget Bi Jing-hian, ia sendiri sudah
tak bersenjata, Iekas2 ia mengegos buat luputkan diri dari ancaman maut, tak
terduga arah serangan yang dilontarkan gadis itu ternyata susah dipastikan, mula2
seperti mengarah ke kiri, tahu2 telah sampai di kanan, disertai berkelebat-nya
sinar dingin, tahu2 golok-sabit telah berada di depan mukanya.
Dalam keadaan kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa Bi
Jing-hian angkat sebelah tangannya buat menangkis, maka tidak ampun lagi
terdengar sekali suara "cret", telapak tangannya tertabas putus oleh
golok-sabit si nona.
Walaupun demikian Jing-hian masih belum merasakan sakit,
ia masih sempat putar tubuh terus lari ter-birit2 lagi, Waktu itu Tio Put-hoan
sudah berpaling juga, dengan pedang melintang di dada ia berusaha melindungi
kawannya.
Rupanya gadis itu telah kenal juga lihaynya orang, maka
tak berani ia mendekati, ia menyaksikan Bi Jing-hian dipayang pergi oleh Ki
Jing-si untuk kemudian menghilang di balik gunung sana.
Nampak musuh sudah pergi, gadis itu masih ketawa2 dingin,
sedang dalam hati penuh curiga, ia pikir apakah mungkin ada orang luar yang
bersembunyi di sekitar sini ? Dengan cepat ia mengelilingi sekitar sana, tetapi
keadaan sunyi senyap tanpa satu bayangan pun, Dia kembali lagi ke lembah sana,
ia lihat Nyo Ko masih duduk di tanah dengan muka mewek2 seperti mau menangis.
"Hai, bocah angon, apa yang kau keluh-kesahkan
?" tegur gadis itu.
"Sapi ini tadi telah gila hingga tubuhnya babak
belur, kalau pulang nanti pasti aku akan dihajar setengah mati oleh
majikan." sahut Nyo Ko.
Tetapi waktu si gadis periksa keadaan sapi jantan, ia
lihat kulit tubuh binatang itu halus bersih, tiada kelihatan sesuatu luka.
"Baiklah, hitung2 sapimu ini telah menolong aku
tadi, ini, aku beri serenceng uang perak," kata si gadis pula.
Habis itu ia keluarkan serenceng uang perak yang berbobot
sekira lima tahil terus dilemparkan ke tanah, ia menduga "bocah
angon" itu pasti akan girang tidak kepalang dan mnghaturkan terima ka-sih,
siapa tahu orang masih bermuka muram durja, sambil geleng2 kepala, tetapi tidak
mengambil uang perak itu.
"Kenapakah kau ?" tanya gadis itu tak sabar,
"lni uang perak, tahu tidak kau, tolol ?"
"Hanya serenceng tidak cukup !" sahut Nyo Ko
kemudian
Waktu gadis itu merogoh sakunya, kembali ia keluarkan
serenceng uang perak lain yang masih ada dan dilemparkan ke tanah lagi.
Tapi Nyo Ko sengaja goda padanya, dia masih tetap goyang
kepala.
Akhirnya gadis itu menjadi marah, alisnya tertarik tegak
dan mukanya merengut.
"Sudah habis, tolol!" damperatnya, Habis ini ia
putar tubuh dan berjalan pergi.
Melihat sikap orang sewaktu marah, seketika hati Nyo Ko
terguncang, teringat tiba2 olehnya sikap Siao-liong-li waktu mendamperat
dirinya, karenanya ia telah ambil suatu keputusan: "Jika seketika tak bisa
ketemukan Kokoh, biarlah aku senantiasa menyaksikan wajah nona ini saja yang
suka marah2."
Maka sebelum orang melangkah pergi, tiba2 Nyo Ko
merangkul kaki kanan si gadis sambil ber teriak2 : "Tidak, kau jangan
pergi!"
Dengan kuat gadis itu coba meronta kakinya, tetapi saking
kencangnya Nyo Ko merangkul, ia tak berhasil melepaskan diri, keruan ia
bertambah gusar.
"Lepas, ada apa kau merangkul kakiku ?" dengan
suara garang gadis itu membentak.
Melihat air muka orang yang sedang marah2, bukannya Nyo
Ko melepaskan, sebaliknya ia malah senang.
"Tidak, aku tak bisa pulang rumah lagi, kau harus
tolong aku," demikian sahutnya.
Sudah gusar gadis itu menjadi geli pula melihat kelakuan
Nyo Ko.
"Jika kau tak lepaskan, segera aku bacok mati
kau," dengan angkat golok-sabitnya si gadis coba menakut-nakuti.
Tetapi rangkulan Nyo Ko berbalik tambah kencang, ia malah
pura2 menangis sekalian.
"Baiklah, boleh kau bacok mati aku saja, toh kalau
pulang akupun tak bakal hidup lagi," serunya sambil meng-gerung2.
"Lalu apa yang kau kehendaki ?" tanya si gadis
kewalahan.
"Entahlah, aku ikut kau saja." sahut Nyo Ko.
Rupanya gadis itu menjadi sebal karena di-ganduli orang,
"Kenapa harus berurusan dengan si tolol semacam ini," demikian
pikirnya, Habis ini ia angkat goloknya terus membacok sungguh2.
Semula Nyo Ko menduga orang tidak nanti bacok padanya
secara sungguh2, maka ia masih pegang kaki orang erat2, siapa duga hati gadis
itu ternyata keji, bacokannya ini betul2 diarahkan ke atas kepalanya, meski
tiada niatnya untuk menewaskan jiwa orang, tetapi ia bermaksud memberi bacokan
di batok kepala agar "si tolol" ini tahu rasa dan tak berani main
gila lagi.
Syukur Nyo Ko sangat cekatan, begitu golok orang tinggal
beberapa senti lagi bakal berkenalan dengan batok kepalanya, mendadak ia
jatuhkan diri terus menggelinding pergi, " "Haya, tolong, tolong
!" demikian ia menjerit-jerit pula.
Karena bacokannya tadi luput, si gadis menjadi tambah
sengit, ia melangkah maju, kembali sekali bacokan diberikan pada Nyo Ko.
Nyo Ko telentang di atas tanah, kedua kakinya mancal2
serabutan.
"Mati aku ! Mati aku !" demikian ia
berteriak-teriak, sedang kedua kakinya terus memancal dan mendepak tak keruan,
tampaknya seperti tak teratur tetapi pergelangan tangan gadis itu ternyata
beberapa kali hampir kena ditendang, meski berulang kali ia hendak bacok pula,
namun tidak sekalipun bisa mengenai sasarannya, sudah tentu ia bertambah gusar.
Melihat muka orang penuh mengunjuk marah, Nyo Ko justru
ingin menikmati wajah orang semacam ini, karena itu, tanpa terasa ia terkesima
dan memandangi orang.
Gadis itu juga seorang yang pintar luar biasa, ketika
melihat kelakuan Nyo Ko yang aneh, tiba2 ia membentak : "Hayo, bangun
!"
"Tetapi kau bunuh aku tidak ?" tanya Nyo Ko
ke-tolol2an.
"Baiklah, aku tak bunuh kau," sahut si gadis.
Karena janji ini, dengan pelahan Nyo Ko merangkak bangun,
napasnya sengaja dia bikin ter-engah2, diam2 ia kumpul tenaga dalam dan bendung
aliran darahnya, maka mukanya seketika berubah menjadi putih lesi, begitu pucat
hingga tiada warna darah sedikitpun, seperti orang yang ketakutan.
Melihat rupa orang, diam2 si gadis sangat senang.
"Hm, berani lagi tidak kau main gila ?" demikian ejeknya sambil
angkat golok-sabitnya terus menuding pada telapak tangan Bi Jing-hian yang
terkutung dan masih ketinggalan di tanah datar itu, lalu ia mengancam:
"Coba, orang begitu galak dan bengis, toh cakarnya kena ditabas oleh
golokku tadi."
Sambil bicara, goloknya yang melengkung itu diulurkan,
tiba2 ia kesut senjatanya di atas baju Nyo Ko yang memang dekil, kiranya ia
gunakan baju Nyo Ko sebagai lap untuk menghilangkan noda darah goloknya.
Diam2 Nyo Ko geli oleh lagak si gadis. "Hm, kau
anggap aku ini orang macam apa, berani kau begini kurangajar padaku ?"
demikian ia membatin.
Walaupun begitu, pada mukanya tetap ia pura-pura
mengunjuk rasa keder, ia sengaja mengkeret mundur seperti takut pada senjata
orang yang mengkilap itu.
Gadis itu masukkan goloknya ke sarungnya, lalu dengan
sebelah kakinya ia cukit renceng uang perak tadi ke arah Nyo Ko.
"Nih, sambuti!" serunya dengan tertawa, dengan
membawa sinar putih yang gemerdep, serenceng uang perak itu menyamber ke arah
muka Nyo Ko.
Menyambernya perak itu sebenarnya tidak keras, orang
biasa saja pasti sanggup menangkapnya. Tetapi Nyo Ko justru pura2 bodoh, ia
melangkah mundur dan menubruk maju secara gugup, sedang tangannya diulur ke
atas buat menangkap, tiba2 terdengar suara "plok" sekali, uang perak
itu kena menimpuk dia punya batok kepala.
"Aduh !" jerit Nyo Ko sambil mendekap batok
kepalanya.
Sementara itu jatuhnya uang perak itu kena menindih pula
di atas kakinya, Maka dengan sebelah tangan pegang batok kepala dan lain tangan
tarik sebelah kaki, Nyo Ko ber-jingkrak2 dengan kaki tunggal sambil ber-teriak2:
"Auuuh, kau pukul aku, kau pukul aku !"
Begitulah Nyo Ko pura2 meng-gerung2 menangis.
Nampak ketololan orang sudah begitu rupa hingga tiada
obatnya, dengan suara pelahan gadis itu mencemoohnya sekali: "Tolol
!" - Habis ini ia putar tubuh dan pergi mencari keledai hitam-nya.
Akan tetapi binatang itu sejak tadi entah sudah kabur
kemana sewaktu dia bergebrak dengan Tio Put-hoan, terpaksa ia pergi dengan
jalan kaki.
Nyo Ko jemput uang perak tadi dan masukkan ke sakunya,
lalu dengan menuntun sapinya ia ikut di belakang si gadis.
"Bawa serta aku, nona !" demikian ia berseru.
Namun gadis itu tak gubris padanya, sebaliknya ia
percepat langkahnya, hanya sekejap saja Nyo Ko sudah ketinggalan hingga tak
kelihatan.
Tak terduga, baru saja ia berhenti sebentar, tiba2 Nyo Ko
sudah muncul lagi dari jauh dan masih tetap menuntun sapinya.
"Bawalah aku, bawalah aku !" demikian Nyo Ko
masih terus ber-teriak2.
Mendongkol sekali gadis itu karena orang mengintil terus,
sambil kerut kening, segera ia keluarkan Ginkang, sekaligus ia berlari sejauh
beberapa li, dengan demikian ia yakin "si tolol" itu pasti tak
sanggup menyusulnya.
Diluar dugaan, tidak antara lama, sajup2 kembali
terdengar pula suara teriakan: "Bawalah aku !" - Luar biasa rasa
gemasnya gadis itu, sekali ini ia tidak lari menyingkir sebaliknya ia putar
balik mendatangi Nyo Ko, "sret", golok-sabit-nya dia loIos.
"Haya, celaka !" teriak Nyo Ko pura2 ketakutan,
berbareng ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.
Maksud si gadis asal orang tidak selalu mengintip sudah
cukup, Oleh karena itu, ia masukkan kembali golok ke sarungnya, ia putar
kembali dan melanjutkan pula perjalanannya.
Tetapi belum seberapa jauh ia berjalan, tiba2 didengarnya
di belakang ada suara menguaknya sapi, waktu ia menoleh, ia lihat Iagi2 Nyo Ko
mengintil di belakang sambil masih tuntun binatang angonnya itu, jarak dengan
dirinya kira2 beberapa puluh tindak saja.
Sungguh tak terbilang mengkal si gadis, sekali ini ia
sengaja berhenti di tempatnya untuk menunggu datangnya Nyo Ko.
Akan tetapi, demi nampak orang tak berjalan, segera pula
Nyo Ko berhenti kalau si nona melangkah Nyo Ko lantas menyusul lagi apabila dia
putar balik dan hendak hajar padanya, segera Nyo Ko kabur pula.
Begitulah terjadi kucing-kucingan diantara Nyo Ko dan gadis
itu, sebentar mereka kejar mengejar dan sebentar lagi berhenti sementara itu
hari sudah magrib dan gadis itu masih tetap tak bisa melepaskan diri dari
godaan Nyo Ko.
Keruan tidak kepalang gemasnya gadis itu, ia lihat meski
bocah angon ini tolol2 goblok, tetapi gerak kakinya ternyata cepat luar biasa,
mungkin sudah terlalu bisa berlarian di tanah pegunungan beberapa kali ia kejar
orang hendak menutuk jalan darahnya atau melukai kedua kakinya, tetapi setiap
kali selalu Nyo Ko bisa meloloskan diri dengan menggelinding dan merangkak
pergi dengan cepat.
Sebenarnya ilmu silat Nyo Ko jauh di atas gadis itu, cuma
dia sengaja lari kalau sudah dalam keadaa yang paling berbahaya, dengan
demikian ia gadis itu tidak menjadi curiga.
Begitulah maka sesudah beberapa kali digoda lagi, karena
kaki kiri gadis itu memang pincang, sesudah jalan lama ia menjadi payah, Tiba2
ia mendapat satu akal, dengan suara keras dia teriaki Nyo Ko: "Baiklah,
kubawa serta kau, tetapi kau harus turut segala perkataanku,"
"Apa betul kau mau membawa aku ?" dengan girang
Nyo Ko menegas.
"Ya, siapa dustai kau ?" sahut si gadis.
"Aku sudah letih, kau menunggang sapimu dan biar aku ikut
membonceng."
Betul saja Nyo Ko lantas tuntun sapinya mendekati dengan
cepat, dibawah cuaca senja yang re-mang2 Nyo Ko dapat melihat mata si gadis
menyorot tajam, ia tahu pasti orang tak bermaksud baik, maka diam2 ia berlaku
waspada, dengan cara yang susah pajah ia merambat ke atas punggung sapinya.
Sebaliknya gadis itu hanya sedikit menutul kakinya,
dengan enteng sekali ia telah melompat ke atas dan menunggang di depan Nyo Ko.
"Keledaiku sudah hilang, tidak jelek juga menunggang
sapi jantan ini saja," pikir gadis itu, kemudian dengan ujung kakinya ia
tendang iga banteng itu, karena kesakitan, maka sapi itu membedal ke depan
seperti kesetanan.
Melihat tibanya kesempatan baik, diam2 gadis itu
tersenyum dingin, mendadak sikutnya dengan kuat menyodok ke belakang, dengan
tepat sekali kena sodok "ki-bun-hiat" di dada Nyo Ko.
"Aduuh !" jerit Nyo Ko, menyusul mana ia pun
terjungkal dari punggung sapinya.
Gadis itu sangat senang karena serangannya berhasil
"Betapapun kau berlaku bambungan, sekarang kau kena juga kuingusi,"
demikian katanya dalam hati Lalu ia sogok pula iga sapi itu dengan jari
tangannya, karena merasa sakit, sapi jantan itu kabur terlebih cepat lagi.
Sekali jari si gadis menjojoh punuk kerbau itu, lari si
kerbau semakin kencang, tiba-tiba didengarnya Nyo Ko masih berkaok-kaok di
belakangnya, waktu ia berpaling, tampak dengan kedua tangannya Nyo Ko ganduli
ekor kerbau ikut lari berlompatan naik turun, lucu sekali tingkah lakunya.
Diluar dugaan, tiba2 terdengar Nyo Ko men-jerit2 dan
berteriak2, suaranya terdengar berada di belakang saja, waktu gadis itu
menoleh, ia lihat Nyo Ko sedang menggendoli ekor sapi dengan kedua tangannya,
saking cepatnya dibawa kabur sapi itu hingga kedua kakinya sedikitpun tidak
menempel tanah, jadi seperti terbang saja Nyo Ko inL hanya keadaannya sangat
mengenaskan, mukanya penuh debu pasir, ingus dan air mata membasahi mata
hidungnya.
Karena merasa tak ada jalan lain lagi, tiba2 gadis itu
kertak gigi, ia tegakan hati, golok dia angkat terus hendak membacok tangan Nyo
Ko yang menggendoli ekor sapi dengan kencang, Tetapi sebelum serangannya
dilontarkan tiba2 didengarnya suasana sekitarnya riuh ramai, kiranya sapi itu
telah berlari sampai disuatu pasar.
Oleh karena pasar itu penuh berjubel dengan orang hingga
tiada jalan lewat, akhirnya sapi itu berhenti sendiri dengan Nyo Ko masih tetap
"me-lengket" di belakangnya.
Karena sengaja hendak goda si gadis untuk menikmati wajah
orang diwaktu marah2, maka Nyo Ko lantas rebahkan diri di tanah sambil
ber-teriak2 : "Aduh, dadaku sakit, kenapa kau pukul aku ?"
Karena suara teriakannya ini, orang2 di pasar itu lantas
berkerumun untuk mencari tahu sebab-musababnya dan apa yang terjadi.
Karena dirubung orang banyak, dengan sekali menyelusup
segera gadis itu bermaksud mengeluyur pergi.
Tak terduga Nyo Ko lebih cerdik dari dia, mendadak Nyo Ko
merangkak maju, sebelah kaki si gadis dia pegang dengan erat2.
"Jangan pergi, jangan pergi!" demikian ia
ber-teriak-teriak pula.
"He, ada apakah ? Apa yang kalian ribut-kan ?"
beramai-ramai orang yang merubung itu bertanya.
"Dia adalah biniku, biniku ini tak suka pada-ku,
bahkan dia pukul aku pula," teriak Nyo Ko dengan lagak lagu yang toloI.
Mendengar orang berani mengaku bini atas dirinya, sungguh
tidak kepalang gusar gadis itu hingga kedua alisnya seakan-akan menegak, tanpa
segan2 lagi sebelah kakinya melayang, segera ia hendak tendang Nyo Ko.
Akan tetapi Nyo Ko tidak kurang akal, mendadak lelaki
yang berdiri di sebelahnya didorong nya ke depan, karena itu, tendangan si
gadis dengan tepat mengenai pinggang lelaki itu. Keruan saja lelaki itu sangat
gusar.
"Perempuan keparat, berani kau tendang aku ?"
damperatnya kontan, Menyusul kepelannya sebesar mangkok lantas menjotos.
Namun gadis itu tak gampang dihantam, tiba2 tangan orang
dipegangnya, sebelah tangannya menyusul mengangkat lelaki itu terus dilempar
pergi dengan meminjam tenaga pukulan orang tadi, Dengan sekali sengkelit ini,
tubuh lelaki yang gede itu se-konyong2 melayang ke atas udara sambil tiada
hentinya berteriak-teriak dan kemudian pun jatuhlah dia di antara orang banyak
yang berkerumun itu hingga keadaan menjadi tuggang langgang karena ada beberapa
orang pula yang ke-tindih oleh tubuh lelaki itu.
Dengan sekuat tenaga sebenarnya si gadis tadi ingin
melepaskan diri dari Nyo Ko, tetapi karena digendoli Nyo Ko dengan mati-matian
seketika ia menjadi kewalahan Dalam pada itu dilihat-nya ada lima-enam orang
lagi yang maju dan rupanya akan bikin perhitungan padanya karena
di-sengkelitnya si lelaki tadi, dalam keadaan demiki-an, mau-tak-mau ia
berkuatir juga.
"Tolol, baiklah aku bawa serta kau, lekas kau
lepaskan kakiku !" terpaksa dengan kata halus ia mengalah pada Nyo Ko.
"Dan kau masih akan hantam aku tidak ?" Nyo Ko
sengaja tanya lagi.
"Baiklah, tak pukul lagi," sahut si gadis.
Sehabis itu barulah Nyo Ko melepaskan kaki orang yang dia
pegang erat2 tadi, kemudian iapun merangkak bangun, Lalu dengan cepat mereka
ber dua menerobos keluar diantara orang banyak dan tinggalkan pasar itu, dari
belakang mereka mendengar ramai suara teriakan2 orang yang penasaran tadi.
"Lihatlah, sekarang sapiku telah hilang pula, tak
bisa tidak lagi aku harus ikut kau," kata Nyo Ko kemudian sesudah di
tempat sepi.
"Hm, sekal, lagi kau ngaco-belo bilang aku adalah
binimu segala, awas, kalau aku tidak penggal kepalamu," dengan sengit
gadis itu mengancam. Berbareng goloknya diayun pula ke arah kepala Nyo Ko.
"Haya, jangan," teriak Nyo Ko sambil melompat
pergi dan kepalanya dipegang dengan kedua tangannya, "Baiklah, nona manis,
tak berani lagi aku bilang begitu."
"Hm, melihat macammu yang kotor ini, siluman yang
paling jelek juga tak sudi menjadi bini-mu," demikian cemooh si gadis.
Nyo Ko tak menjawab, ia hanya me-nyengir2 tolol saja.
Tatkala itu hari sudah mulai gelap, dengan berdiri di
ladang yang luas, dari jauh tertampak mengepulnya asap dapur di rumah2 penduduk
karena itu barulah mereka merasa perut sudah lapar.
"Aku sudah lapar, pergilah kau ke pasar tadi
membelikan barang makanan," kata si gadis kemudian
"Tidak, tak mau aku pergi," sahut Nyo Ko
meng-geleng2 kepala,
"Kenapa tak mau ?" damperat gadis itu dengan
tarik muka.
"Masak aku tolol, kau tipu aku pergi beli makanan,
lalu kau sendiri mengeluyur kabur," sahut Nyo Ko.
"Aku bilang tak kabur, tentu tak kabur," ujar
si gadis.
Tetapi Nyo Ko masih geleng kepala saja.
Karena merasa jengkel, gadis itu ajun bogemnya hendak
meninju, tetapi dengan cepat Nyo Ko bisa menyingkir pula.
Sebelah kaki gadis itu pincang, dengan sendirinya
jalannya tidak begitu leluasa, percuma saja dia memiliki Ginkang, tetapi selalu
tak bisa me nyandak orang, Tentu saja ia sangat mendongkol ia pikir sia2 saja
memiliki ilmu silat yang tinggi dan percuma mengaku dirinya cerdik dan banyak
akal, nyatanya kini digoda seorang anak tolol yang kotor dan berbau busuk tanpa
bisa berbuat apa2.
Begitulah dengan pelahan ia meneruskan perjalanan dengan
mengikuti jalan besar, dalam hati ia pikir cara bagaimana nanti secara mendadak
beri sekali bacokan dan bunuh si tolol ini.
Selang tak lama, cuaca menjadi gelap seluruhnya, tiba2
dilihatnya di pinggir jalan ada sebuah rumah batu yang bobrok, agaknya sudah
tiada penghuninya, mendadak ia dapat satu akal "Biarlah malam ini aku
menginap di sini, tengah malam nanti kalau si tolol sudah pulas, sekali bacok
saja kubunuh dia," demikian pikirnya.
Setelah ambil keputusan, segera ia menuju ke rumah batu
itu, waktu pintu didorong, tiba2 tercium bau apek yang menyenggerok hidung,
terang sekali rumah ini sudah terlalu lama ditinggalkan penghuninya.
Kemudian gadis itu pergi mencari segenggam rumput kering
dan lap bersih sebuah meja, di atas meja inilah dia berbaring, ia pejamkan mata
untuk mengumpul tenaganya.
"Tolol, tolol !" panggilnya ketika dilihatnya
Nyo Ko tidak ikut masuk ke dalam.
Akan tetapi tiada sahutan yang dia peroleh, "Jangan2
si tolol ini mengetahui aku hendak membunuh dia, maka telah kabur lebih dulu
?" demikian ia pikir.
Sesudah agak lama, ketika lajap2 hendak pulas, mendadak
tercium olehnya bau sedap yang sangat menusuk hidung, Dalam terkejutnya segera
pula ia melompat bangun, waktu dia lari keluar, dilihatnya di bawah sinar bulan
yang terang Nyo Ko sedang berduduk sambil mencekal sepotong entah paha binatang
apa dan sedang pentang mulut menggerogoti dengan lahap, di samping sana menyala
segunduk api unggun dan di pinggir gundukan api itu terletak bahan makanan itu
dan sedang dipanggang, dari situlah bau sedap tadi menguar.
"Mau tidak ?" tanya Nyo Ko dengan tertawa demi
nampak gadis itu keluar, Habis itu ia ambil sepotong daging paha yang telah
dipanggang hingga berbau sedap itu terus dilemparkan kepadanya.
Waktu gadis itu menyambutinya, ia lihat daging paha itu
seperti paha kijang, memangnya perut sudah lapar, maka tanpa sungkan2 lagi ia
sebret daging itu dan dimakan sepotong demi sepotong, meski kurang asin karena
tidak digarami, tetapi dalam keadaan lapar rasanya sangat lezat juga. Maka
dengan duduk di tepi api unggun itu ikutlah dia makan dengan bernapsu.
Tetapi dasar anak gadis, maka cara makannya tidak main
lalap seperti Nyo Ko, lebih dulu ia sobek2 daging paha itu dalam potongan
kecil2, kemudian dengan pelahan baru dia memakannya, Tetapi bila dilihatnya
cara makan Nyo Ko yang lahap hingga air liurnya ikut mencerocos, ia menjadi
mual dan jijik, kalau tak jadi makan, perutnya terasa lapar, karena itu,
terpaksa ia berpaling ke jurusan lain dan tidak pandang Nyo Ko lagi.
Sesudah sepotong daging itu habis, kembali Nyo Ko
lemparkan sepotong lagi kepadanya.
"He, tolol, kau bernama siapa ?" tiba2 gadis
itu menanya.
"Eh, apa kau ini dewa ? Kenapa kau tahu bahwa aku
bernama Tolol ?" dengan lagak bebal yang di-bikin2 berbalik Nyo Ko
menanya.
"Haha, jadi kau memang bernama si tolol ?"
gadis itu tertawa demi mendengar jawaban orang, rupanya ia menjadi gembira,
"Dan dimanakah Bapa dan Mak-mu ?"
"Sudah mati semua," sahut Nyo Ko. "Dan kau
sendiri bernama siapa ?"
"Tak tahu, Buat apa kau tanya ?" kata si gadis.
"Dia tak mau katakan, biarlah aku pancing dia,"
demikian pikir Nyo Ko karena orang tak mau memberitahukan namanya. Lalu dengan
berlagak ber-seri2 ia berkata pula : "Hahaa, aku tahu, kaupun bernama si
tolol, maka kau tak mau mengatakan namamu."
Tentu saja gadis itu menjadi gusar, segera ia melompat
maju, ia angkat kepalan terus menggetok dengan keras ke atas kepala Nyo Ko.
"Siapa bilang aku bernama si tolol, kau sendiri yang
tolol," demikian damperatnya pula.
Karena kepala digetok orang, Nyo Ko pura2 kesakitan
sambil menutup kepala dengan tangan-nya.
"Ya, sebab kalau orang tanya nama ku, bila aku
katakan tak tahu, lantas orang panggil aku si tolol, sekarang kaupun bilang tak
tahu, dengan sendirinya kaupun bernama si tolol," kata Nyo Ko dengan
mewek2 bikinan.
"Siapa bilang aku tak tahu ?" bentak si gadis
sengit "Hanya aku tak suka katakan padamu, Aku she Liok, mengarti tidak
?"
Kiranya gadis ini adalah Liok Bu-siang, itu gadis cilik
pemetik ubi teratai yang sudah kita kenal pada permulaan cerita ini.
Sebagaimana masih ingat, dahulu waktu dia main panjat
pohon bersama Piaoci-nya, yaitu Thia Eng, dan kedua saudara Bu, ia telah jatuh
dari atas pohon hingga tulang kakinya patah, Syukur secara kebetulan Bu-samnio
numpang menginap dirumahnya dan telah menyambungkan tulang kakinya yang patah
itu.
Tetapi karena ayah Bu-siang, jakni Liok Lip-ting
mencurigai Bu-samnio, akhirnya mereka saling gebrak sehingga sambungan tulang
kaki Bu-siang rada terganggu dan sedikit meleset sesudah sembuh, kaki kirinya
yang patah itu telah mengker sekira satu senti, maka bila berjalan menjadi
sedikit pincang pula.
Walaupun kulit badan Liok Bu-siang tidak begitu putih,
tetapi dasar pembawaannya cantik raut mukanya, setelah besar ia bertambah manis
pula, tapi karena pincang kakinya, inilah yang menjadi penyesalan selama hidupnya.
Sesudah seluruh keluarganya dibunuh habis oleh Li
Bok-chiu, sebenarnya Bu-siang pun tidak terluput dari kematian, tetapi setiap
kali bila melihat saputangan sulaman yang menggubet di leher Bu-siang, lantas
Li Bok-chiu teringat pada cinta Liok Tian-goan dahulu hingga selalu ia tak tega
menghabisi jiwa anak dara itu.
Liok Bu-siang sendiri meski usianya masih kecil, tetapi
ia sudah pandai berpikir, ia mengerti dirinya terjeblos di dalam cengkeraman
iblis perempuan ini, jiwanya boleh dikatakan seperti telur di ujung tanduk yang
setiap saat terancam bahaya, oleh sebab itu ia berlaku sangat hati2 dan
berusaha sedapat mungkin me-narik2 hati orang, dan karena pintarnya Bu-siang
membawa diri dan rajin melayani sehingga Jik-lian-sian-cu yang biasanya bunuh
orang tanpa berkedip itu lambat laun menjadi reda juga maksud membunuhnya pada
Liok Bu-siang.
Kadang2 Li Bok-chiu terkenang pada peristiwa di masa
mudanya yang sangat menyesatkan itu, segera Bu-siang dipanggil ke hadapannya,
lalu nona kecil itu disiksa dan dihina untuk melampiaskan dendamnya.
Namun Bu-siang pintar pura2, ia sengaja bikin mukanya
kotor dan rambutnya serawutan sambil berjalan pincang sebagaimana seorang gadis
yang harus dikasihani maka bila melihat macamnya ini, mestinya Li Bok-chiu hendak
umbar dendamnya lantas tak sampai hati dilontarkan lagi.
Begitulah caranya Liok Bu-siang mencari selamat bagi
dirinya sendiri, beruntung juga seorang gadis cilik seperti dia itu ternyata
bisa hidup terus berdampingan dengan Li Bok-chiu yang kejam itu. sungguhpun
demikian, dalam hati Bu-siang tidak pernah melupakan sakit hati ayah-bundanya
yang dibunuh Li Bok-chiu secara kejam, sebaliknya apabila Li Bok-chiu coba
menanyakan tentang ayah-ibunya, selalu Bu-siang berlagak linglung dan pura-pura
tidak mengingatnya lagi.
Bila Li Bok-chiu sedang mengajarkan ilmu silat pada Ang
Ling-po, ia lantas menunggunya di samping untuk melayani bila orang perlu
diambilkan handuk atau Iain2, atau dia pura2 menyapu dan bersihkan meja kursi.
Memangnya ilmu silat Bu-siang sudah ada dasarnya, maka diam2 ia mengingatnya
dengan baik apa yang dilatih kedua orang tadi, lalu di waktu malam diam2 ia
sendiri lantas melatihnya kembali.
Ditambah lagi di waktu biasa ia sengaja membaiki Ang
Ling-po hingga belakangan ketika sang guru sedang gembira, Ang Ling-po lantas
memohon bagi Liok Bu-siang untuk diterima sekalian sebagai murid Li Bok-chiu.
Dengan begitulah beberapa tahun telah lalu, ilmu silat
Bu-siang sudah banyak maju pula, hanya perasaan Li Bok-chiu betapapun masih
terdapat sisa-sisa rasa benci padanya, jangankan ilmu silat yang paling tinggi,
meski ilmu kepandaian kelas dua saja tak sudi diajarkan padanya, baiknya ada
Ang Ling-po yang merasa kasihan padanya dan diam2 suka memberi petunjuk2, maka
ilmu silatnya walau tak bisa dikatakan tinggi, namun dibilang rendah pun tidak
rendah.
Hari itu, ber-turut2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah
berangkat ke Hoat-su-jin-bong untuk mencuri "Giok-li-sim-keng",
karena sampai lama belum nampak kedua orang itu kembali, maka Bu-siang telah ambil
keputusan untuk pulang ke daerah Kanglam buat mencari tahu mati-hidup
ayah-bundanya yang sebenarnya, sebab waktu kecil ia hanya melihat ayah-ibunya
dipukul Li Bok-chiu hingga luka parah, tentunya banyak celaka daripada
selamatnya, tetapi karena belum melihat meninggalnya kedua orang tua dengan
mata kepala sendiri, bagaimanapun dalam hatinya masih selalu menaruh sedikit
sinar harapan semoga ayah-bundanya masih hidup, maka ingin sekali dia mencari
tahu keadaan yang sebenarnya.
Oleh karena kaki kirinya cacat, yakni pincang, ciri2 ini
telah merubah sifatnya hingga rada rendah diri, dia paling benci apabila ada
orang memandang kakinya pincang itu.
Hari itu di tengah jalan justru kedua imam telah
memandang beberapa kali pada kakinya yang cacat itu hingga menimbulkan
amarahnya, kontan Bu-siang melontarkan kata2 yang menghina, dasar kedua imam
itu juga bertabiat buruk, maka dari perang mulut akhirnya berubah menjadi
perang senjata, dalam pertarungan itu, dengan golok-sabitnya yang melengkung
itu Bu-siang telah tabas daun kuping dan batang hidung kedua imam itu, sebagai
ekornya kemudian terjadi pertarungan sengit di Cay-long-kok itu.
Dulu tatkala Bu-siang digondol pergi oleh Li Bok-chiu, di
gua pegunungan dekat Oh-chiu sebenarnya dia sudah pernah berjumpa sekali dengan
Nyo Ko, tetapi waktu itu sama2 masih kecil, sekarang keadaan mereka berdua pun
sudah banyak berubah, dengan sendirinya perkenalan kilat dahulu itu sudah tidak
mereka ingat lagi.
BegituIah setelah Bu-siang menghabiskan dua potong daging
paha kijang panggang, iapun merasa kenyang.
Di lain pihak sebaliknya Nyo Ko sedang memandangi wajah
si nona yang manis, "Saat ini Kokoh, entah berada di mana ? Gadis di
depanku ini kalau Kokoh adanya, lalu kuberi dia paha kijang panggang, bukankah
akan sangat menyenangkan ?" demikian pikirnya diam2. Karena hatinya
memikir, maka matapun menatap orang terlebih kesima.
Melihat begitu rupa orang pandang padanya, Bu-siang
menjengek sekali, habis ini ia berdiri hendak menyingkir Mendadak dari jauh
terdengar seorang sedang mendatangi dengan menyeret sandalnya yang menerbitkan
suara "srat-sret, srat-sret", sambil mendekat orang itu sembari
gunakan hidungnya untuk mengendus se-keras2nya.
"Ehm, wangi, sedap !" demikian ia berseru.
Dan sesudah dekat, maka jelas kelihatanlah baju yang
dipakai orang itu penuh tambal-sulam di sana-sini, kiranya seorang kere,
seorang pengemis.
Walaupun kere, tetapi dia mendekati orang dengan lagak
tuan besar, lalu dia duduk di samping Nyo Ko, tanpa disuruh pun tanpa permisi
segera dia samber sepotong daging kijang panggang yang masih digarang di atas
api unggun tadi terus digeragoti dengan lahap seperti orang yang sudah tujuh
hari tujuh malam tidak makan.
Nyo Ko sih tidak menggubris diri orang, tetapi Bu-siang
yang mencium bau busuk tubuh orang yang kotor, memangnya dia sudah mendongkol,
kini melihat kelakuannya yang tak kenal aturan, rasa mendongkolnya bertambah
lipat, mendadak dia berdiri lantas tinggalkan orang hendak masuk kedalam rumah
untuk tidur.
Rupanya sikap Bu-siang ini dapat diketahui si jembel
tadi, tiba2 ia mendongak dan memandang sekejap pada si gadis sambil tersenyum,
habis ini ia menunduk kembali untuk makan daging panggangnya.
Bu-siang menjadi gusar melihat kelakuan orang.
"Apa yang kau tertawakan ?" damperatnya segera.
"Aku tertawa sendiri, sangkut-paut apa dengan kau
?" sahut pengemis itu dengan dingin.
Dalam gusarnya Bu-siang sudah pegang goloknya dan berniat
bunuh orang, syukur dia memikir pula: "Jangan dulu, kalau aku bunuh dia si
tolol itu tentu akan ketakutan dan melarikan diri, biarlah aku bersabar
sementara."
Maka dengan menahan rasa gusarnya, tanpa berpaling lagi
ia lantas masuk ke rumah batu itu.
Di luar dugaan, baru saja dia melangkahi am-bang pintu,
tiba2 terdengar si pengemis membuka suara pula dan sedang bertanya pada Nyo Ko
: "Siapakah dia tadi, apa dia binimu ? Kenapa kakinya pincang ? Tidak laku
dijual ?"
Sungguh tidak kepalang rasa gusar Liok Bu-siang oleh
serentetan kata2 yang semuanya sangat menusuk hatinya, per-tama2 orang bilang
dia adalah bini si tolol yang kotor dan berbau busuk itu, kedua, kakinya yang
cacat di-olok2 dan ketiga dia dianggap seperti khewan saja, bukan saja harus
dijual, bahkan dikatakan tidak laku.
Sejak kecil Bu-siang sudah kenyang oleh segala
siksa-derita yang diperoleh dari Li Bok-chiu, oleh sebab itu, dalam
pandangannya setiap orang di jagat ini dianggap sebagai musuh semua dan setiap
orang pasti akan membikin susah padanya, ditambah kakinya pincang sehingga
tabiatnya berubah aneh, yakni merasa rendah harga diri, maka bila siapa saja
berani coba2 memandang sekejap pada kakinya yang cacat itu, tentu akan
menimbulkan amarahnya, apa lagi si pengemis tadi telah mengeluarkan kata-kata
yang sangat menghina itu, keruan dia tak tahan lagi, dengan cepat
golok-sabitnya dilolos, begitu memutar, secepat angin dilabraknya si jembel
itu.
Si pengemis itu terhitung anak murid Kay-pang (Persatuan
Pengemis) angkatan keenam, di kalangan pengemis mereka ilmu silatnya tergoIong
tengahan, maka kepandaiannya pun tidak terlalu rendah.
Persatuan Pengemis itu sejak Ang Chit-kong menjabat
ketua, anggotanya banyak terpengaruh-oleh sifat ketua mereka, yakni menganggap
di mana-mana adalah kediaman mereka, berpikiran jujur dan suka terus terang,
suka bersahabat dengan siapapun juga yang dijumpai.
Oleh sebab itulah demi bertemu dengan Nyo Ko yang lagi
panggang daging di tempat sepi, pula melihat pakaian Nyo Ko compang-camping,
maka pengemis tadi pikir meski orang bukan sesama anggota, sedikitnya masih
terhitung segolongan, golongan kere.
Karena itu iapun tidak sungkan2 lagi, begitu datang ia
lantas duduk terus ikut makan, siapa tahu Bu-siang telah mengunjuk muka jemu
dan kurang senang, bahkan terus berdiri dan menyingkir pergi karena tak tahan
ia telah tertawai orang beberapa kata, tak terduga si gadis ternyata sangat
pemarah, begitu putar kembali lantas main senjata.
BegituIah, maka atas serangan Bu-siang tadi pengemis itu
telah berteriak sambil melompat bangun: "Haya, jangan ngamuk, jangan
ngamuk, aku telah makan panggang daging lakimu. biarlah aku muntahkan kembali
saja!"
Justru Bu-siang paling benci kalau orang berkelakar atas
dirinya, keruan ia bertambah murka, tanpa berhenti lagi goloknya membabat dari
kiri dan memotong pula dari kanan, be-runtun2 dua kali mengarah tempat lawan
yang berbahaya.
Namun dengan cepat pengemis itu dapat menghindarkan diri,
ketika serangan ketiga menyamber lagi, karena arah yang dituju tidak tetap,
sedikit meleset saja dugaan pengemis itu, maka terdengarlah suara merobeknya
kain, ternyata bajunya yang memang rombeng telah tertabas robek.
Keruan pengemis itu terkejut, "Eh, tidak nyana ilmu
silat anak dara ini ternyata sangat lihay," demikian katanya dalam hati.
Dalam pada itu untuk keempat kalinya Bu-siang telah
menyerang lagi, maka tak berani pula si pengemis pandang enteng lawannya,
segera tongkat yang terselip di pinggangnya dia cabut terus ditangkiskan.
Tetapi setelah saling gebrak belasan jurus, rangsakan
Bu-siang semakin lama semakin ganas, diam2 pengemis itu mengelak.
"Anak dara ini entah dari golongan dan aliran mana
datangnya, perlu apa aku terlibat permusuhan dengan dia tanpa sebab ? Asal aku
tancap gas se-kencang2nya terus mengeluyur pergi, masakan gadis pincang ini
sanggup mengejar padaku ?" demikian pikirnya, Demi ingat kaki orang
pincang, tanpa terasa ia memandang sekejap lagi ke arah anggota badan orang
yang cacat itu.
Sebenarnya kalau dia sudah ambil keputusan buat angkat
kaki, asal dia putar tubuh terus kabur mungkin segala persoalan akan menjadi
selesai, tetapi celaka baginya, justru karena pandangannya tanpa sengaja itu
kepada kaki orang yang pincang, habis ini baru dia melarikan diri, kelakuannya
ini telah menyinggung perasaan Liok Bu-siang yang paling benci kalau kakinya
yang cacat itu dipandang orang, sebab inilah dikemudian hari telah banyak
menimbulkan ekor panjang.
Ketika Bu-siang mengetahui orang menatap kakinya yang
pincang sambil mengunjuk rasa senang, habis ini tongkat ditarik terus kabur,
keruan rasa gusarnya me-Iuap2 tak bisa ditahan lagi.
"Pengemis maling, apa kau kira aku tak bisa berjalan
leluasa dan tak sanggup mengejar kau ?" damperatnya sengit. Habis ini
segera dia mengudak.
Melihat pengemis itu lari ke arah utara, segera Bu-siang
putar goloknya yang melengkung itu, setelah diayun beberapa kali, se-konyong2
ia lepaskan se-keras2nya ke arah tenggara hingga membawa samberan angin yang
santer.
Tatkala itu dengan se-enaknya Nyo Ko sedang makan daging
panggang dan menyaksikan perkelahian orang sambil duduk, ia menjadi sangat
senang melihat si pengemis sengaja bikin Bu-siang marah2. Tetapi ia menjadi
heran ketika mendadak melihat Bu-siang menimpukkan goloknya ke arah tenggara,
namun baru saja ia tercengang atau tiba2 terlihat golok-sabit itu memutar
sendiri di udara seperti dikemudikan saja.
Golok-sabit yang melengkung ini bentuknya sangat aneh, mata
goloknya begitu tipis seperti kertas, diwaktu Liok Bu-siang menimpuk, tenaga
yang digunakan sangat tepat pula, maka tertampaklah golok itu membawa suara
ngaungan terus menyamber ke tubuh si pengemis tadi.
Saat itu si jembel sedang berlari dengan cepat, siapa
duga golok ini seperti punya mata saja, se-konyong2 menyamber tiba terus
menancap di atas punggungnya.
Saking sakitnya oleh tusukan golok itu, tanpa ampun lagi
pengemis itu jatuh terjungkal.
Tentu saja Bu-siang tidak sia2kan kesempatan itu, dengan
gunakan ilmu entengkan tubuh ia memburu maju dengan niat cabut goloknya yang
menancap di punggung orang untuk kemudian menambahi orang dengan sekali bacokan
lagi.
Namun pengemis itu tidak menyerah mentah2, belum sampai
orang datang dekat, sekuat tenaganya ia telah merangkak bangun terus berlari
pula ke depan seperti kesetanan, sekejap kemudian orangnya sudah menghilang
tanpa bekas di kegelapan.
Sesudah dicoba dan merasa tidak bisa menyandak larinya
orang, akhirnya Liok Bu-siang tidak mengudak lebih jauh, ia kembali ke
tempatnya tadi.
"Lekas pergi mengambil kembali golokku itu."
bentaknya tiba-tiba sesudah berhadapan dengan Nyo Ko.
"Golok apa ? Aku tak tahu !" sahut Nyo Ko acuh
tak acuh.
"Bukankah kau melihat golokku menancap di
punggungnya ?" kata Bu-siang pula, "Lekas pergi mengambil !"
"Tak bisa mengambilnya lagi," ujar Nyo Ko
sambil goyang2 tangannya.
Bu-siang tahu percuma saja meski banyak bicara, karena
itu, ia putar tubuh terus masuk rumah batu tadi untuk tidur sendiri, Baiknya
padanya masih terdapat sebilah belati, maka katanya dalam hati: "Walaupun
golok-sabit sudah tak ada, dengan belati inipun cukup untuk bikin beberapa
lubang di badanmu."
Tengah malam, diam2 Bu-siang bangun, dengan ber-indap2 ia
keluar rumah, ia lihat Nyo Ko sedang menggeros di tepi gundukan api itu tanpa
bergerak sedikitpun. Gundukan api itu sudah lama padam, rembulan pun mulai
doyong ke barat, hanya remang2 masih kelihatan bayangannya.
Segera Bu-siang cabut belatinya, dengan pelahan ia
mendekati orang, begitu sudah dekat, tanpa pikir lagi belati diangkat terus
ditusukkan se-keras2nya ke punggung orang, tapi mendadak tangannya kesemutan,
tangannya terguncang sakit, karena itu tak kuat lagi ia genggam lebih kencang,
dengan menerbitkan suara nyaring, belatinya terlepas dari cekalan, terasa
olehnya tempat yang kena tusukan belatinya itu seperti mengenai besi atau batu
yang keras.
Keruan saja bukan buatan terkejutnya Bu-siang, tanpa
pikir lagi ia putar tubuh terus lari menyingkir dalam hati ia pikir:
"Jangan2 Si tolol ini telah melatih diri begitu rupa sehingga tubuhnya
kebal tak mempan senjata ?"
Sesudah berlari pergi beberapa tombak jauhnya, karena tak
mendengar suara kejaran Nyo Ko, kemudian Bu-siang menoleh, dilihatnya masih
meringkik di samping gundukan api yang sudah padam itu tanpa bergerak
sedikitpun.
Dengan sendirinya Bu-siang menjadi curiga, "Tolol,
he, Tolol !" ia ber-teriak2 memanggil
Tetapi meski sudah berulang kali ia memanggil toh orang
masih tetap tidak menyahut Waktu Bu-siang menegasi, ia lihat tubuh Nyo Ko dalam
keadaan meringkuk, bentuknya sangat aneh dan mencurigakan. Maka dengan tabahkan
hati ia mendekati. Setelah dekat, nyatanya barang yang meringkuk itu tidak
mirip bentuk manusia, ketika ia coba meraba, rasanya sangat keras, barang yang
berada di bawah baju itu laksana batu.
Tanpa ayal lagi segera Bu-siang singkap baju itu, betul
saja di dalamnya berisi sebuah batu padas yang panjang besar, jadi hanya baju
membungkus batu, tetapi bayangan Nyo Ko sudah tak kelihatan.
Seketika Bu-siang terkesima oleh kejadian di luar dugaan
itu, kembali ia memanggil pula : "He, Tolol."
Namun tetap tiada jawaban, Ketika ia coba pasang kuping
mendengarkan tiba2 terdengar dalam rumah batu itu sayup2 seperti ada suara
orang mengorek. Keruan saja Bu-siang ter-heran2, segera ditujunya tempat
datangnya suara itu, betul saja ia lihat Nyo Ko sedang tidur pulas di atas meja
yang tadi digunakan dirinya.
Karena serangannya tadi tidak mengenai sasarannya, dalam
gusarnya Bu-siang tidak berpikir pula secara teliti kenapa orang bisa mendadak
tidur di atas mejanya, mendadak ia melompat maju, belati diangkat dengan sekali
tusuk kembali ia tikam pula punggung orang.
Bu-siang menjadi senang karena sekali ini ia telah tepat
menikam orang yang sesungguhnya ia lihat Nyo Ko tidak melompat bangun pula
tidak menjerit kesakitan, maka tanpa ayal ia cabut belatinya dan tambahi pula
sekali, tempat dimana melatinya menusuk terang sekali adalah daging tubuh
orang, sedikitpun tiada perbedaan lain, cuma aneh, sama sekali tidak tertampak
mengalirnya darah.
Karena itu, kembali Bu-siang terkejut tetapi gusar pula,
susul menyusul ia menusuk lagi beberapa kali, tetapi yang terdengar malah suara
meng-gerosnya Nyo Ko yang semakin keras.
"Ai, siapakah yang mengitik-ngitik punggungku ?
Hihi, jangan guyon ! Haha jangan main2, aku tak tahan geli!" demikian
terdengar Nyo Ko malah menginggau.
Saking terperanjatnya Bu-siang sampai mukanya pucat lesi,
akhirnya kedua tangannya pun menjadi gemetar sendiri "Jangan2 orang ini
adalah setan atau siluman ?" katanya dalam hati.
Oleh karena pikiran itu, segera ia putar tubuh hendak
melarikan diri, akan tetapi, entah saking takutnya atau mengapa, seketika kedua
kakinya seperti tak mau turut perintahnya, dia masih terpaku di tempatnya.
"Ai, pungungku kenapa begini geli, tentu ada tikus
yang hendak colong daging kijangku," demikian kembali terdengar Nyo Ko
menempati lagi.
Habis itu ia malah ulur tangan ke punggung, dari dalam
bajunya ditarik keluar sepotong dagang kijang panggang terus dibanting ke
lantai.
Melihat ini barulah Bu-siang menarik napas Iega, kini
baru dia mengerti duduknya perkara, "Kiranya si tolol ini simpan daging
kijang dekat punggungnya, pantas belasan kali tikamanku tidak membikin jiwanya
melayang sebab semuanya mengenai daging kijang, sebaliknya aku sendiri malah
dibikin takut!" begitulah ia pikir.
Karena dua kali menikam dan dua kali tidak berhasil
tewaskan orang, rasa benci Bu-siang terhadap Nyo Ko menjadi tambah pula,
"Si tolol busuk, lihat sekali ini jiwamu melayang tidak ?" dengan
geregeten Bu-siang berkata dengan suara pelahan, menyusul ini tiba2 ia menubruk
maju, lagi2 dengan belatinya ia menikam punggung Nyo Ko, ia menduga sekali ini
pasti Nyo Ko tak terluput dari kematian.
Siapa tahu pada waktu belatinya hampir mengenai tubuh Nyo
Ko, mendadak dalam keadaan masih mengorek pemuda itu telah membaliki tubuhnya,
keruan tusukannya menjadi luput hingga mengenai meja sampai ambles sebatas
gagang belati
Selagi Bu-siang sekuatnya hendak cabut kembali belatinya,
di lain pihak Nyo Ko seperti mimpi saja, tiba2 berteriak : "Tolong, Mak !
Tolong, ada tikus busuk hendak gigit aku !"
Menyusul itu kedua kakinya yang kotor dan bau itu bahkan
menjulur ke depan, tahu2 kaki kiri tepat ditaruh di atas siku Bu-siang tempat
kiok-ci -hiat" dan kaki kanan sebaliknya menggeletak di atas pundak si
gadis tepat mengenai tempat "ko-cing-hiat".
Kedua tempat yang disebut itu adalah kedua Hiat-to yang
berbahaya di tubuh manusia, ketika Nyo Ko ulur kedua kakinya, entah sengaja
atau secara kebetulan, secara persis telah membentur kedua tempat jalan darah
itu. Keruan seketika Bu-siang merasakan tubuhnya menjadi kesemutan lalu tak
bisa berkutik lagi ia hanya berdiri membisu saja di tempatnya dan dijadikan
penyanggah kaki Nyo Ko.
Sungguh bukan buatan murka Liok Bu-siang oleh kejadian
ini, meski tubuhnya tak bisa bergerak, tetapi mulutnya masih bisa buka suara,
Karena itu segera ia membentak mendamperat: "Hai, ToloI, lekas singkirkan
kakimu yang bau ini!"
Tetapi jawaban yang dia peroleh hanya suara mengoroknya
Nyo Ko yang semakin keras.
Tidak kepalang gemasnya Bu-siang hingga dia kehabisan
akal, dalam keadaan murka, tiba2 ia pentang mulut terus meludahi tubuh Nyo Ko.
Tak kira lagi2 Nyo Ko membaliki tubuhnya, sedang ujung
kaki kanannya seperti tak disengaja saja tiba2 melayang dan dengan tepat
membentur pelahan "pi-su-hiat" di bawah dagu Liok Bu-siang.
Karena benturan itu, seketika seluruh tubuh Bu-siang
menjadi kaku semua, kini mulut saja tak bisa dipentang lagi, hanya hidungnya
yang kenyang mencium bau kaki Nyo Ko yang bacin.
Bcgitulah gadis itu telah dibuat tempat penyanggah kaki
Nyo Ko hingga sekian lama, saking dongkolnya sampai Bu-siang hampir semaput,
Dalam hati tiada hentinya ia mengutuk dan menyumpahi Nyo Ko: "Jahannam kau
si Tolol ini, besok kalau aku sudah bisa bergerak bebas, pasti kucincang kau
hingga menjadi baso."
Tidak lama, rasanya Nyo Ko sudah cukup puas mempermainkan
orang, tiba2 ia membaliki tubuh lagi berbareng melepaskan kedua kakinya dari
atas tubuh orang, kini ia membalik menghadap keluar, karena itu, meski dalam
keadaan gelap Nyo Ko masih bisa melihat cukup jelas air muka si nona yang penuh
gusar dan mangkel itu.
Tetapi semakin Bu-siang mengunjuk gusar, rupanya semakin
mirip Siao-liong-li hingga dengan ter-mangu2 Nyo Ko menikmati wajahnya seperti
orang yang kehilangan semangat
Di lain pihak, karena waktu itu rembulan mendoyong ke
barat hingga sinar sang dewi malam menyorot masuk melalui pintu, maka muka Nyo
Ko dapat dilihat dengan jelas oleh Liok Bu-siang, ia lihat pemuda ini sedang
pentang kedua matanya lebar2 dan lagi memandang padanya dengan
tersenyum-simpul.
Keruan hati Bu-siang terkesiap, "Jangan2 si Tolol
ini sengaja berlagak bodoh dan pura2 bebal ? Memang tak disengaja tadi ia
menutuk jalan darahku ?" demikian ia ber-tanya2 pada diri sendiri.
Oleh karena pikiran itu, tanpa tertahan keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya.
Justru pada saat itu juga, tiba2 dilihatnya Nyo Ko sedang
melirik ke lantai, waktu Bu-siang ikut melirik ke arah yang diincar Nyo Ko itu,
maka tertampaklah olehnya di atas lantai itu terdapat tiga bayangan hitam yang
sejajar, kiranya ada tiga orang telah berdiri di ambang pintu sana.
Waktu ia menegasi lagi, ternyata ketiga orang itu
semuanya bersenjata.
"Celaka, celaka, ada musuh lagi menunggu, tetapi
justru Hiat-to kena ditutuk si Tolol ini," diam2 Bu-siang mengeluh.
Nyata, meski tadi dia sudah curiga, namun apapun juga
sukar dipercaya bahwa seorang bocah angon yang bodoh dan kotor seperti dia ini
memiliki ilmu silat yang tinggi
Dalam pada itu demi dilihatnya bayangan orang2 itu,
segera Nyo Ko pejamkan mata lagi dan pura2 tidur.
"Hayo, budak hina, lekas keluar, apa dengan berdiri
tegak begitu saja lantas dikira Toya (tuan imam) bisa mengampuni kau ?"
demikian terdengar salah seorang di luar itu berteriak.
"Ah, kiranya kaum imam lagi," kata Nyo Ko di
dalam hati demi mendengar tantangan orang itu.
"Kamipun tidak inginkan jiwamu, asal iris juga
batang hidungmu, potong sebelah daun kuping dan sebelah telapak tangan saja
sudah cukup," terdengar seorang Iain berkata lagi.
"Kami sudah menunggu di sini, lekas keluar kau untuk
turun tangan saja," demikian kata orang ketiga.
Habis itu, ketiga orang itu lantas melompat pergi, mereka
kepung pintu keluar itu dengan rapat.
"He, suara teriakan apakah di luar itu, di manakah
kau nona Liok ?" demikian kemudian Nyo Ko bangun terduduk dengan mengulet
ke-maIas2-an. "Eh, nona Liok, kenapa kau berdiri saja di situ ?"
Habis berkata, seperti tidak sengaja ia tarik2 lengan
baju si gadis dan digoyangkan beberapa kali, Maka terasalah tiba2 oleh Liok Bu
Siang ada suatu kekuatan yang besar sekali telah menggun-cang2kan seluruh
tubuhnya hingga ketiga tempat Hiat-to yang tertutuk tadi seketika lancar
kembali dan dapat bergerak bebas lagi.
Bu-siang pun tidak sempat berpikir secara teliti, segera
ia jemput belatmya dari lantai terus melompat keluar rumah, di bawah sinar
rembulan itu terlihatlah olehnya tiga orang lelaki sudah menantikan di situ,
iapun tidak bicara lagi, begitu tangannya bergerak belatinya segera menusuk
pada orang yang berdiri di sebelah kiri.
Orang itu bersenjatakan ruyung besi, karena serangan
Bu-siang itu, ia incar2 dengan baik ruyungnya terus disebetkan ke bawah.
Ruyungnya ini memang cukup berat, ditambah lagi tenaganya
juga besar, sabetannya itupun diincar dengan tepat sekaii, maka terdengarlah
suara "trang" yang keras, belati Bu-siang seketika terlepas dari
tangan.
Waktu itu Nyo Ko masih merebah miring di atas mejanya, ia
lihat Bu-siang melompat ke samping, sedang tangan kirinya diangkat miring ke
depan, segerapun Nyo Ko menduga imam yang diarah itu pasti tak mampu
pertahankan goloknya.
Memang betul, ketika Bu-siang membaliki tangannya lagi,
dengan ilmu silat Ko-bong-pay yang sangat hebat itu, tahu2 golok salah satu
imam itu sudah kena disebutnya dan bahkan dibarengi pula sekali membacok, tidak
ampun lagi pundak imam itu telah merasakan tajam goloknya sendiri.
Dengan disertai caci maki, lekas2 imam itu melompat ke
samping untuk merobek kain bajunya buat membalut lukanya itu.
Sesudah mendapatkan goIok, seketika semangat Bu-siang
bertambah, tanpa ayal lagi ia tempur lelaki yang memakai ruyung besi itu dengan
sengit, Sedang seorang lainnya adalah lelaki pendek kecil dan memakai senjata
tumbak, iapun tidak berpeluk tangan ia ikut terjun ke dalam pertempuran,
tumbaknya bekerja cepat menusuk ke sini sana untuk bantu kawannya, cuma dia tak
berani terlalu mendekati Bu-siang.
Ilmu silat lelaki yang pakai ruyung itu ternyata sangat
tinggi, setelah belasan jurus, lambat laun Liok Bu-siang merasa kewalahan
Agaknya lelaki itu mempunyai tingkat yang tidak rendah di kalangan Bu-lim, hal
ini terbukti gerak-geriknya ternyata sangat beraturan, meski beberapa kali
Bu-siang berbuat kesalahan dalam serangannya, namun orang itu ternyata tidak
mau terlalu mendesak dan gunakan kesempatan itu untuk melukai Liok Bu-siang.
Sementara itu imam tadi sudah selesai membalut lukanya,
dengan tangan kosong ia menerjang maju lagi.
"Darimana datangnya perempuan keparat seperti kau
ini, kenapa cara turun tanganmu begitu keji ?" demikian dengan tangan
menuding Bu-siang mencaci-maki, Habis ini, begitu kepalanya menunduk, segera ia
menyeruduk Liok Bu-siang dengan cepat.
"Celaka !" diam2 Nyo Ko berteriak demi dilihat
keadaan pertarungan keempat orang diluar itu.
Betul saja dibawah berkelebatnya sinar senjata, punggung
imam itu kembali merasakan sekali bacokan lagi, bersamaan dengan itu tumbak si
lelaki pendek itupun menusuk sampai di belakang Liok- Bu-siang, sedang telapak
tangan si lelaki kuat tadipun sudah menghantam ke dada si gadis.
Karena keadaan berbahaya itu, dengan cepat dua batu kecil
disamber Nyo Ko terus ditumpukkan sekaligus, sambitannya ini ternyata sangat
jitu, yang sebuat tepat mengenai tumbak musuh hingga senjata ini terguncang
pergi, sedang batu yang lain kena pula pergelangan tangan lelaki kuat tadi.
Lelaki itu ternyata sangat tinggi ilmu silatnya, meski
tangan kanan kena sambitan batu dan seketika lemas tak bertenaga, tapi telapak
tangan yang lain masih bisa bergerak secepat kilat dan mendadak dipukulkan
lagi, maka terdengarlah suara "plak", dada Bu-siang kena digenjot
dengan keras.
Keruan Nyo Ko terkejut Ya, bagaimanapun usia Nyo Ko masih
muda dan pengalamannya cetek, sama sekali tak diduganya bahwa lelaki itu
memiliki kepandaian lihay "Lian-goan-siang-ciang" atau pukulan
berganda secara susul-menyusul.
Ketika pukulan kedua orang itu dilontarkan lekas2 Nyo Ko
melayang maju buat menolong Liok Bu-siang, dengan sekali tarik saja ia dapat
jambret baju leher lelaki itu, lalu dengan tenaga raksasa nya terus dilempar
pergi se-jauh2nya.
Tubuh lelaki itu beratnya sedikitnya lebih dua ratus
kati, tetapi oleh lemparan Nyo Ko ini, seketika ia ter-apung2 di udara untuk
kemudian jatuh terbanting sejauh beberapa tombak
Melihat Nyo Ko begini lihay, imam tadi dan si lelaki
pendek menjadi jeri, Iekas2 mereka membangunkan kawannya terus pergi tanpa
berpaling lagi.
Kemudian Nyo Ko memeriksa keadaan Bu-siang, ia lihat muka
si gadis pucat kuning, napasnya sangat lemah, nyata lukanya tidak ringan. ia
ulur sebelah tangan ke bahu orang dengan maksud memayang Bu-siang supaya duduk
kembali, siapa tahun tiba2 terdengar suara "gemerutuk" dua kali,
suara saling gosoknya tl!ang, kiranya dua tulang iga Bu-siang telah patah oleh
hantaman lelaki tangkas tadi.
Sebenarnya Bu-siang sudah jatuh pingsan, tapi karena
terguncangnya tulang iga yang patah hingga menimbulkan sakit hebat, saking
sakitnya berbalik ia sadar dari pingsannya itu, lalu ia merintih-rintih dengan
kepala tunduk.
"Kenapa ? Apa sangat sakit ?" lekas2 Nyo Ko
bertanya.
Dalam sakitnya sampai jidatnya Bu-siang penuh berkeringat
kini mendengar pertanyaan Nyo Ko, keruan ia mendongkol.
"Masih tanya, sudah tentu sangat sakit! demikian
dengan mengertak gigi menahan sakit dia mendamperat, "Hayo pondong aku ke
dalam rumah !"
Nyo Ko tak membantah Iagi, ia pondong tubuh si nona, tapi
tidak urung terjadi juga guncangan hingga tulang iga yang patah itu kembali
saling gosok hingga Bu-siang kesakitan Iagi.
"Bagus ya kau si Tolol setan alas, kau sengaja siksa
aku, ya ?" demikian ia me-maki2. "Dan, dimanakah ketiga orang tadi
?"
Nyata pada waktu Nyo Ko turun tangan menolongnya, waktu
itu ia kebetulan jatuh semaput oleh hantaman musuh, sebab itu tak diketahuinya
"si Tolol" inilah yang telah menolong jiwanya.
"Mereka mengira kau sudah mati, maka mereka lantas
pergi," dengan tertawa Nyo Ko menjawab.
Mendengar keterangan ini hati Bu-siang merasa lega.
"Apa yang kau tertawa ?" damperatmya pula demi
dilihatnya Nyo Ko menyengir2. "Kau kesenangan ya melihat aku kesakitan
?"
Mendengar orang mendamperat dan memaki terus-menerus
padanya, setiap kali orang memaki, Nyo Ko lantas teringat pada kejadian dahulu
ketika dirinya didamperat Siao-liong-li.
Selama beberapa tahun ia hidup berdampingan dengan
Siao-liong-Ii di dalam kuburan Hoat-su-jin-bong, hari yang dilewatkannya itu
dianggap masa yang paling menyenangkan selama hidupnya, sungguhpun
Siao-liong-Ii selalu mendamperatnya dengan bengis, tapi karena, diketahuinya
sang guru mengajarnya dengan sesungguh hati, meski mendapat damperatan, toh
tetap dirasakannya sangat senang.
Kini karena tidak bisa ketemukan Siao-liong-li yang dia
cari, tetapi kebetulan ada seorang gadis lagi yang mendamperatnya dengan kata2
yang bengis, tanpa terasa hati kecilnya lantas anggap orang sebagai duplikatnya
Siao-liong-li sekedar pelipur hati yang kosong, dengan demikian rasa deritanya
menjadi sedikit berkurang.
Begitulah, maka terhadap cacimaki Liok Bu-siang tadi, Nyo
Ko hanya tertawa saja tanpa di-gubrisnya.
Melihat wajah orang mengunjuk ketawa, Bu-siang teringat
pada dirinya sendiri yang sudah cacat, kini menderita luka parah pula,
sebaliknya bocah angon ini meski kotor namun seluruh anggota badannya dalam
keadaan baik.
Memangnya tabiat Bu-siang sudah ada kelainan, kini dalam
keadaan luka ia menjadi iri terhadap Nyo Ko, ia gemas sekali bisa2 dengan
sekali bacok hendak dibunuhnya Nyo Ko.
Nyo Ko pondong Bu-siang dan direbahkan di atas meja tadi,
Karena gerakan merebahkan itu, kembali tulang iganya yang patah itu berbunyi
lagi saling gosok, saking sakitnya Bu-siang men-jerit2 tak tahan. Dan justru
waktu menjerit itu pernapasannya menjadi tambah keras hingga menarik urat2
iganya, maka rasa sakitnya menjadi lebih hebat lagi.
"Maukah kusambungkan tulangmu yang patah ini ?"
tanya Nyo Ko kemudian.
"Anak angon bau busuk, kau mampu sambung tulang apa
?" damperat Bu-siang.
"Pernah anjing piaraanku yang borokan berkelahi
dengan anjing tetangga dan tulang kakinya patah tergigit, maka akulah yang
sambungkan tuIangnya," kata Nyo Ko. "Dan ada lagi, babi betina
kepunyaan tetanggaku terbanting patah tulang iganya, itupun aku yang menyambungkan
tulangnya."
Bu-siang menjadi gusar karena dirinya disamakan dengan
khewan, tetapi ia tak berani berteriak sebab akan mengakibatkan rasa sakit,
terpaksa dengan suara tertahan ia mendamperat lagi: "Kurangajar, kau
memaki aku sebagai anjing borokan dan maki aku pula sebagai babi betina, Kau
sendirilah yang anjing borokan dan babi betina."
"Tidak, salah, seumpamanya babi, aku kan babi
jantan," sahut Nyo Ko dengan tertawa, "Lagipula, anjing borokan
itupun betina, anjing jantan tak bisa borokan kulitnya."
Biasanya Bu-siang sangat pintar bicara dan pandai adu
mulut, tetapi karena rasa sakitnya tidak kepalang setiap ia buka mulut, maka
maksudnya balas makian orang itu ia urungkan, terpaksa ia pejamkan mata dan
menahan rasa sakit, ia tak gubris lagi keceriwisan Nyo Ko.
"Tahukah kau, tulang anjing totokan itu lantas
sembuh dalam beberapa hari saja sesudah ku sambung, ketika berkelahi lagi
dengan anjing tetangga, keadaannya seperti tulangnya tak pernah patah,"
demikian Nyo Ko sengaja menerocos terus. "Eh, nona Liok, bagaimana dengan
kau, mau tidak akupun sambung tulangmu ?"
Dalam keadaan kepepet, dalam hati Bu-siang berpikir juga:
"Boleh jadi bocah angon kotor ini betul2 bisa menyambung tulang, apa lagi
disinipun tiada tabib, kalau tiada yang mengobati aku, tentu aku akan mati
konyol kesakitan."
Tetapi lantas terpikir lagi olehnya: "Tulang igaku
yang putus, kalau dia menyambungkan tulangku ini tentu tubuhku akan kelihatan,
bukankah ini sangat memalukan ? Hm, kalau dia tak bisa menyembuhkan Iuka2ku,
biar kuhabiskan jiwaku bersama dia. Dan kalau bisa sembuh, akupun tidak
membiarkan seorang yang pernah melihat tubuhku tetap hidup di jagat ini,"
Dasar sifat Bu-siang memang sudah menyendiri karena
penderitaannya sejak kecil pula begitu lama ikut Li Bok-chiu hingga terpengaruh
juga oleh sifat2 Jik-lian-sian-cu yang kejam dan enteng tangan, walaupun
umurnya masih sedikit, tapi dalam pikirannya penuh dengan angan2 yang keji.
Begitulah, maka dengan suara rendah lalu ia berkata :
"Baiklah, boleh coba kau menyambungkan tulangku, sebenarnya kau bisa atau
tidak ? jangan kau coba membohongi aku, bocah angon busuk, awas kau !"
Nyo Ko menjadi senang melihat orang akhirnya menyerah
Katanya dalam hati: "Jika dalam keadaan begini aku tidak goda dia, mungkin
selanjutnya tiada kesempatan baik lagi."
Oleh karena itu, dengan lagak dingin saja dia berkata
lagi: "Sewaktu babi betinanya wak Ong tetanggaku itu patah tulang iganya,
beribu kali anak gadisnya memohon padaku dan beruntun memanggil aku seratus
kali "engkoh yang baik" baru aku mau menyambungkan tulangnya."
"Cis, cis, bocah angon busuk, cis... auuh..."
damperat Bu-siang ber-ulang2, tetapi mendadak ia menjerit karena dadanya terasa
sakit pula.
"Kau tak mau panggil aku, tak mengapalah," kata
Nyo Ko dengan tertawa. "Nah, aku akan pulang sajalah, nona Liok, selamat
tinggal, sampai ketemu lagi."
Sambil bicara, betul saja Nyo Ko lantas melangkah keluar
pintu.
"Celaka, dengan kepergiannya ini, pasti aku akan
mampus kesakitan di sini," demikian pikir Bu-siang. Karena itu, terpaksa
ia tanya dengan menahan amarahnya : "Lalu apa yang kau kehendaki ?"
"Sebenarnya kaupun harus panggil aku seratus kali
"engkoh yang baik", tetapi sepanjang jalan aku sudah kenyang dicaci
maki olehmu, maka kau harus panggil aku seribu kali baru jadi," sahut Nyo
Ko.
Betul2 Bu-siang mati kutu, "BIarlah kusanggupi
semuanya, nanti kalau aku sudah sembuh, satu persatu baru kubikin perhitungan
padanya,"
Demikian pikirnya diam2. Karena itu, segera ia menurut:
"Baiklah, Engkoh yang baik, engkoh yang baik, engkoh yang baik...
auuh..."
"Sudahlah, masih ada 997 kali, sementara ku catat
saja sebagai utangmu, nanti kalau kau sudah baik barulah dilunaskan lagi,"
kata Nyo Ko.
Habis berkata, ia lantas mendekati Bu-siang terus hendak
membuka bajunya.
Karena kelakuan Nyo Ko ini, tanpa terasa Bu-siang sedikit
mengkeret dan membentak: "Pergi, apa yang hendak kau lakukan ?"
Karena bentakan itu, Nyo Ko menyurut mundur. "Untuk
menyambung tulangmu, kenapa bajumu tak boleh dibuka ? Aku pernah dengar orang
bilang ada ilmu "ke-san-pak-gu" (memukul kerbau dari balik gunung),
tetapi tak pernah mendengar ada ilmu "ke-ih-ti-gu" (mengobati kerbau
dari balik baju)," demikian katanya dengan tertawa.
Mendengar kata2 ini, Bu-siang merasa lucu juga akan
kelakuannya tadi, tetapi kalau dibiarkan orang membuka bajunya, sesungguhnya
rada malu juga. Karena itu ia menjadi ragu-ragu.
"Baiklah, tak bisa kutolak kau," katanya
kemudian dengan kepala menunduk dan berpikir lama.
"Kalau kau tak mau disembuhkan boleh tak usah saja,
akupun tidak kepingin..."
Baru saja Nyo Ko berkata sampai disini, mendadak
didengarnya di luar sana ada suara orang sedang berbicara : "Budak hina
ini pasti berada di sekitar sini, kita harus lekas menemukannya."
Bu-siang menjadi pucat lesi mendengar suara orang itu, dalam
keadaan demikian rasa sakit dadanya tak terpikir lagi olehnya, dengan cepat ia
mendekap mulut Nyo Ko yang sedang berkata tadi
Kiranya yang bicara di luar itu tidak lain dari pada
Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu, gurunya yang sangat ditakutinya itu.
Nyo Ko sendiripun sangat terkejut setelah dikenalnya
suara siapa orang itu.
"Yang menancap di punggung pengemis itu terang
adalah "Gin-ko-to" milik Sumoay, cuma sayang tak keburu kita
mencabutnya buat mengenalinya lebih pasti," demikian terdengar suara seorang
wanita lain. Orang ini dengan sendirinya Ang Ling-po adanya.
Kiranya sejak mereka guru dan murid terlolos dari
kematian di Hoat-su-jin-bong, kemudian mereka telah pulang ke Jik-keh-ceng yang
menjadi kediamannya, di sana diketahui bahwa Liok Bu-siang meninggalkan
perkampungan mereka itu tanpa pamit, bahkan sebuah kitab Li Bok-chiu, yaitu
"Ngo-tok-pit-toan" (kitab rahasia "Panca-bisa") telah ikut
dicuri juga.
Sebabnya Li Bok-chiu disegani di seluruh jagat hingga
tokoh2 Bu-lim pada jeri bila mendengar namanya, titik pokoknya bukan karena
ilmu silat-nya, tetapi pada bisa jahat "Ngo-tok-sin-ciang"
"pukulan sakti panca-bisa, yakni lima macam racun) dan senjata
"Peng-pek-gin-ciam" (jarum perak batu es).
Justru kitab "Ngo-tok-pit-toan" itu memuat
resep obat racun pembuatan jarum perak dan pukulan saktinya yang berbisa itu
dengan obat pemunahnya pula, kalau kitab itu teruar di kalangan umum, lalu
ditaruh kemana lagi nama baik dan wibawa Jik-Iian-sian-cu yang disegani itu?
Li Bok-chiu sendiri sudah apal di luar kepala semua isi
kitab pusakanya itu, dengan sendirinya tak perlu kitab itu selalu dibawa, pula
penyimpanannya di Jik-he-ceng sangat dirahasiakan siapa tahu Liok Bu-siang yang
pintar dan cerdik, segala apa selalu diperhatikannya hingga tempat penyimpanan
benda2 rahasia gurunya telah diketahui olehnya, dan karena sudah ada niatannya
hendak melarikan diri, maka jarum perak berbisa dan obat pemunah sang guru,
bahkan kitab "Panca-bisa" itupun dicuri dan dibawa lari sekalian
Keruan amarah Li Bok-chiu bukan buatan oleh perbuatan
Liok Bu-siang itu, dengan membawa Ang Ling-po, siang malam segera diubemya,
Terapi sudah lama Bu-siang kabur, pula yang ditempuh adalah jalanan kecil yang
sepi, meski Li Bok-chiu berdua sudah menguber dari utara sampai selatan dan dari
selatan kembali ke utara untuk mencegatnya, namun tetap tak kelihatan bayangan
si gadis yang dicari itu.
Kebetulan juga malam hari itu, waktu mereka berdua sampai
di sekitar kota Cingkoan, mereka mendengar berita dari anak murid Kay-pang yang
mengatakan bahwa ada pertemuan golongan mereka di sesuatu tempat.
Li Bok-chiu pikir anggota persatuan kaum pengemis itu
tersebar di mana2, kabar berita merekapun sangat cepat dan tajam, tentu
diantara mereka ada yang pernah melihat Liok Bu-siang. Oleh karena itu mereka
berdua lantas pergi ke tempat pertemuan itu dengan maksud mencari kabar.
Tetapi di tengah jalan mereka telah ketemukan satu anak
murid Kay-pang dari angkatan ke-enam yang digendong lari oleh seorang kawannya
dalam keadaan luka2, selain itu ada belasan pengemis yang mengawalnya.
Dengan kejelian mata Li Bok-chiu, sekilas dapat
dilihatnya di punggung pengemis yang di gendong itu menancap sebilah golok yang
melengkung dan dapat dikenalinya adalah "Gin-ko-to" atau golok perak
melengkung milik Liok Bu-siang.
Oleh karena tak ingin bikin onar dengan kaum pengemis
yang berpengaruh besar itu, maka diam2 Li Bok-chiu mengintil dari belakang
untuk mengintai kebetulan lapat2 dapat didengar percakapan kawanan pengemis itu
dalam keadaan marah2, katanya yang melukai kawan mereka itu adalah seorang
gadis pincang yang menimpukkan golok melengkung itu.
Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir kalau
pengemis itu baru saja dilukai, tentu Liok Bu-siang masih berada juga di
sekitar sini, Karena itu dengan langkah cepat segera ia menguber lagi hingga
sampai di depan rumah batu bobrok itu.
Disini tertampak olehnya ada segundukan abu bekas api
unggun, hidungnya pun mengendus bau darah yang anyir, lekas2 ia nyalakan api
dan coba periksa sekitarnya, betul saja di atas tanah diketemukannya lagi
bekas2 noda darah yang masih baru, terang sekali terjadinya pertarungan sengit
itu belum lama berselang.
Dari itu segera Li Bok-chiu tarik2 ujung baju sang murid
sambil menuding ke arah rumah bobrok itu.
Ang Ling-po mengerti maksud sang guru, ia mengangguk
habis itu pintu ramah yang setengah tertutup itu ia dorong, dengan putar pedang
untuk melindungi tubuhnya segera ia terjang ke dalam.
Di Iain pihak, demi mendengar, suara percakapan antara
Suhu dan Sucinya, Bu-siang insaf sekali ini tak luput lagi dari kematian,
karena itu, ia malah kuatkan hatinya dan berlaku tenang saja merebah untuk
menantikan ajalnya.
Begitulah ketika terdengar suara pintu didorong, menyusul
satu bayangan orang menyelinap masuk yang bukan lain adalah sang Suci - Ang
Ling-po.
Sejak kecil Bu-siang pandai ambil hatinya, maka terhadap
sang Sumoay tidak jelek juga kasih sayang Ang Ling-po. Sekali ini sang Sumoay
telah melanggar peraturan besar perguruannya, pasti gurunya akan siksa habis2an
dengan macam2 cara yang keji terhadap Bu-siang, habis itu sedikit demi sedikit
baru dihukum mati, kini nampak si gadis masih rebah di atas meja, segera Ang
Ling-po angkat pedangnya terus menusuk ke ulu hati sang sumoay, dengan demikian
ia pikir anak dara ini boleh terbebas dari segala siksaan guru mereka.
Siapa duga, baru saja ujung pedangnya hampir menempel ulu
hari Liok Bu-siang, tiba2 Li Bok-chiu telah tepuk pelahan pundaknya, karena
ini, seketika Ling-Po merasakan tangannya menjadi lemas tak bertenaga, segera
pula tangannya melambai ke bawah.
"Hm, apa aku sendiri tak bisa membinasakan dia ?
Perlu apa kau kesusu ?" kata Li Bok-chiu dengan tertawa dingin. Habis ini
ia berpaling dan ditujukan pada Liok Bu-siang. "Hm, apa di hadapan Suhu
kau tak melakukan penghormatan lagi?"
Tetapi Bu-siang sudah teguhkan hatinya. "Hari ini
aku sudah jatuh ke tangannya, baik minta ampun atau membangkang pasti juga akan
merasakan siksaan yang kejam," demikian pikirnya, Karena itu, dengan
dingin saja ia jawab: "Keluarga kami dengan kau sudah menanam dendam
sedalam lautan, tidak perlu lagi kau banyak bicara."
Tetapi Li Bok-chiu hanya pandang anak dara itu dengan
diam, entah rasa suka atau duka yang terkandung pada sorot matanya itu.
sebaliknya Ang Ling-po memandangi sang Sumoay dengan wajah yang penuh rasa duka
dan kasihan, namun Bu-siang ternyata tidak gentar sedikitpun oleh sikap sang
guru itu, bibirnya sedikit terjibir, tampaknya malah mengunjuk sikap yang
angkuh dan menantang Dengan begitulah mereka bertiga telah saling pandang.
"Mana kitab itu, serahkan !" kata Li Bok-chiu
kemudian sesudah terdiam agak lama.
"Sudah direbut seorang Tosu (imam) dan seorang
pengemis !" sahut Bu-siang.
Terkejut sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu.
Dengan kaum pengemis itu meski tak pernah Li Bok-chiu
bermusuhan, tetapi dengan "Coan-cin-kau" tidak sedikit dendamnya,
iapun tahu antara Kay-pang dan Coan-cin-kau mempunyai hubungan yang sangat
rapat, kalau kitab "Ngo-tok-pit-toan" itu sampai jatuh di tangan
mereka, itulah sungguh celaka !
Sayup2 Bu-siang dapat mendengar suara tertawa dingin sang
guru, ia tahu pasti orang sedang memikirkan akal keji untuk siksa dirinya. jika
waktu melarikan diri sepanjang jalan selalu ketakutan ditangkap oleh gurunya,
kini setelah betul2 tertangkap, ia malah tidak begitu takut lagi seperti
semuIa.
"Eh, kemanakah si tolol itu telah pergi ?"
demikian tiba2 ia jadi teringat pada Nyo Ko.
Dalam keadaan jiwanya terancam maut ini, tanpa terasa
timbul semacam perasaan hangat terhadap bocah angon yang tolol dan kotor itu.
Pada saat itu juga, mendadak ada berkelebatnya sinar api,
menyusul mana dengan membawa suara gedebukan tiba2 seekor banteng ngamuk
menerjang masuk dari luar.
Waktu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po menoleh, maka
tertampaklah seekor sapi jantan yang tinggi besar telah menyerobot masuk, pada
ujung tanduk kanan binatang itu terikat sebilah belati dan sebelah tanduk yang
lain terikat pula seikat kayu dengan api yang me-nyala2.
Terjangan binatang itu ternyata hebat sekali, walaupun
ilmu silat Li Bok-chiu sangat tinggi, tetapi tak berani juga ia menghadapi
serudukan sapi jantan itu dari depan, segera ia berkelit ke samping, ia lihat
binatang itu mengitar sekali di ruangan rumah itu, habis ini lantas berputar
keluar lagi.
Tatkala menerjang masuk sapi itu main seruduk seenaknya,
waktu keluarpun berlari secepat keranjingan setan, karenanya hanya sekejap saja
sapi itu sudah lari pergi sejauh belasan tombak.
Dengan memandangi bayangan binatang itu mula2 Li Bok-chiu
rada heran, tetapi segera terpikir olehnya: "He, siapakah yang mengikat pisau
dan kayu berapi itu di tanduknya ?"
Waktu mereka berpaling kembali, tanpa berjanji mereka -
guru dan murid - menjerit berbareng, ternyata Liok Bu-siang yang tadi masih
rebah di atas meja itu, kini sudah lenyap tanpa bekas.
Lekas Ling-po menggeledah seluruh rumah bobrok itu, habis
ini ia melompat lagi ke atas atap rumah. sebaliknya Li Bok-chiu menduga pasti
sapi tadi yang bikin gara2, maka dengan sekali melayang, dengan enteng dan
gesit segera diuber-nya binatang itu.
Dalam keadaan gelap itu, sinar api yang menyala pada
tanduk sapi itu cukup jelas kelihatan nyata binatang itu sudah menerobos masuk
ke sebuah hutan, Dari sorot api terlibat juga oleh Li Bok-chiu bahwa di atas
punggung sapi itu tiada penunggangnya, tampaknya Liok Bu-siang toh bukan kabur
dengan menunggang sapi Tetapi segera tergerak pikirannya: "Ah, tentu tadi
ada orang yang sembunyi di luar, sapi aneh itu digunakan untuk mengalihkan
perhatianku dan dalam keadaan kacau budak hina itu lantas ditolongnya
pergi."
Namun seketika ia menjadi bingung karena tak tahu ke
jurusan mana harus mengejar, hanya langkahnya dia percepat hingga sebentar saja
sapi jantan itu sudah dapat disusulnya, Waktu ia melompat ke atas punggung
binatang itu dan diperiksanya teliti namun tiada menemukan sesuatu tanda yang
mencurigakan.
Kemudian ia lompat turun dan tendang sekali bokong
binatang itu, lalu dengan tekap bibir ia bersuit memberi tanda pada Ang
Ling-po, mereka lantas menguber lagi dari dua jurusan, yang satu dari utara ke
selatan dan yang lain dari barat ke timur.
Munculnya sapi jantan itu dengan sendirinya adalah
perbuatan si Nyo Ko.
Tadi begitu mendengar suara Li Bok-chiu berdua, diam2 ia
mengeluyur keluar melalui pintu belakang dan mengintip dari luar, mendengar
satu kata saja segera ia tahu Li Bok-chiu mau membunuh Liok Bu-siang.
Meski Li Bok-chiu masih terhitung Supek atau
"paman" guru Nyo Ko sendiri namun bencinya terhadap perempuan kejam
itu sudah terlalu mendalam. Semula ia bingung cara bagaimana harus menolong
jiwa Liok Bu-siang, mendadak dilihatnya "dari jauh sapi jantan yang
kemarin itu sedang menguak tak bertuan, keruan saja ia bergirang, ia ber-Iari2
memarani binatang itu, ia ikat belatinya Bu-siang dan seikat kayu yang
dinyatakan dulu tanduk sapi, ia sendiri terlentang menggempit di bawah perut
binatang itu, ia giring sapi itu menerjang ke dalam rumah.
Waktu sapi itu berlari mengitari ruangan, tubuh Bu-siang
telah disambernya dengan masih tetap menggemblok sembunyi di bawah perut sapi.
Dasar ilmu silat Nyo Ko sudah terlalu hebat, gerak-geriknya pun dilakukan
dengan cepat sekali, ditambah lagi rupa sapi jantan itupun aneh, maka sekalipun
Li Bok-chiu luar biasa lihaynya, sesaat itu ia kena dikelabui juga oleh Nyo Ko.
Dan ketika ia berhasil menyusul sapi jantan yang kabur
itu, tatkala mana Nyo Ko sudah menyembunyikan diri diantara semak2 rumput
sambil pondong Liok Bu-siang.
Sudah tentu, karena guncangan hebat itu, rasa sakit
Bu-siang menjadi melebihi di-sayat2, cara bagaimana Nyo Ko menolong dan cara
membawa dirinya menggemblok di bawah perut sapi dan cara bagaimana melompat
turun dan sembunyi di semak alang2, semuanya itu tak diketahuinya oleh karena
keadaannya yang setengah pingsan. Sesudah agak lama kemudian baru pikirannya
sedikit pulih kembali, dalam sakitnya segera ia hendak berteriak.
"Jangan bersuara !" lekas2 Nyo Ko dekap
mulutnya sambil membisikinya.
Betul saja lantas terdengar suara tindakan orang yang
tidak jauh dari tempat sembunyi mereka.
"He, kenapa sekejap saja sudah tak kelihatan ?"
itulah suaranya Ang Ling-po.
"Marilah kita pergi saja, budak hina ini tentu sudah
kabur jauh," terdengar Li Bok-chiu menyahut dari jauh.
Habis itu lantas terdengar pula suara tindakan Ang
Ling-po yang makin menjauh.
Saking sesak oleh karena mulutnya ditutup rapat orang,
segera Bu-siang meronta dan hendak berteriak lagi, namun sedikitpun Nyo Ko tak
melepaskannya, tangannya masih dekap kencang2 pada mulutnya.
Ketika Bu-siang meronta lagi dan merasa dirinya berada
dalam pelukan si pemuda, ia menjadi malu tercampur gugup, segera ia bermaksud
memukul orang, Namun sebelumnya tiba2 terdengar Nyo Ko membisikinya lagi:
"Ssst, jangan kau tertipu, gurumu sengaja akali kau !"
Baru selesai ia bicara, betul saja lantas terdengar Li
Bok-chiu lagi berkata: "Ah, rupanya memang tiada di sini lagi." -
Begitu dekat suara nya se-akan2 berada di samping mereka saja.
Keruan Bu-siang terkejut "Untung ada si tolol ini,
kalau tidak, tentu aku sudah tertawan oIehnya."
Kiranya Li Bok-chiu memang cerdik, ia sangsi Bu-siang
masih sembunyi di sekitar sini, maka sengaja ia bilang pergi, padahal dengan
ilmu entengi tubuh "Chau-siang-hui" (terbang di atas rumput) diam2 ia
putar kembali lagi tanpa terbitkan sesuatu suarapun, dan karena ini hampir saja
Bu-siang terjebak kalau Nyo Ko kurang cerdik.
Sesudah Nyo Ko pasang kuping mendengarkan, kemudian dapat
diketahuinya Li Bok-chiu berdua sekali ini betuI2 sudah pergi, barulah ia
lepaskan tangannya yang mendekap mulut si nona,
"Baiklah sekarang tak perlu kuatir lagi."
dengan tertawa ia berkata.
"Lepaskan aku," bentak Bu-siang karena badannya
masih dalam pelukan orang.
Maka dengan pelahan Nyo Ko meletakkan Bu-siang ke tanah
rumput itu.
"Segera juga kusambung tulangmu, kita harus lekas
meninggalkan tempat ini, kalau sampai fajar mendatang mungkin tak bisa
meloloskan diri lagi," katanya.
Bu-siang manggut2 tanda setuju.
Karena kuatir orang kesakitan pada waktu menyambung
tulangnya dan me-ronta2 hingga diketahui oleh Li Bok-chiu, segera Nyo Ko tutuk
dulu jalan darah Bu-siang hingga gadis ini tak mampu berkutik, habis ini baru
baju orang dibukanya. "Se-kaIi2 jangan bersuara," demikian ia pesan,
Sesudah baju luar dibuka, tertampaklah baju dalam si gadis yang berwarna biru
muda.
Tiba2 kedua tangan Nyo Ko rada gemetar, tak berani ia
membuka baju orang lebih jauh, Waktu ia pandang si gadis, ia lihat Bu-siang
pejamkan kedua matanya lengan alis berkerut rapat
Dasar Nyo Ko memang baru menginjak masa remaja, ketika
mencium bau wangi badan gadis, tak tertahan jantungnya memukul keras.
"Sembuhkanlah aku !" kata Bu-siang tiba-tiba
sambil buka matanya, Hanya sepatah kata saja, lalu ia pejamkan matanya pula dan
berpaling ke jurusan lain.
Akan tetapi Nyo Ko berhenti lagi tak berani meraba badan
orang ketika badan si gadis yang putih halus tertampak olehnya, ia berdiri
terpesona.
Karena sudah lama menunggu, pula terasa angin silir
menghembusi badannya yang sudah terbuka hingga rada sejuk rasanya, tiba2
Bu-siang membuka matanya lagi hingga kelakuan Nyo Ko yang ter-mangu2 seperti
patung itu dapat dilihatnya.
"A...apa yang kau... kau lihat ?" bentaknya
gusar.
Nyo Ko terkejut, lekas2 ia ulur tangan buat meraba tulang
iga orang yang patah, tetapi baru menyentuh kulit badan orang yang halus itu,
Nyo Ko merasa seperti kena aliran listrik, tangannya cepat ditarik kembali
lagi.
"Lekas tutup matamu, jika kau pandang aku lagi
segera ku... ku..." bentak Bu-siang puia dengan suara ter-putus2, sampai
disini tak tahan lagi air matanya lantas menetes.
"Ba... baiklah, jangan kau menangis," sahut Nyo
Ko gugup,
Habis itu betul saja ia pejamkan matanya, lalu tangannya
meraba lagi tulang iga orang, di pasang dengan tepat kedua tulang iga yang
patah itu, lalu baju si gadis lekas2 ia tarik buat menutupi bagian badannya
itu.
Sesudah rada tenang perasaannya Nyo Ko mendapatkan pula
empat potong kayu, dua batang diapit di bagian depan dada dan yang dua batang
di punggung, dengan kulit pohon yang dia beset ia pakai sebagai perban, lalu
diikatnya dengan kencang supaya tulang yang patah itu tidak tergeser lagi.
Habis ini baru dia betulkan baju si gadis dan lepaskan tutukannya tadi.
Waktu Bu-siang pentang matanya, remangl ia lihat muka Nyo
Ko yang tersorot sinar bulan bersemu merah dan dengan rasa kikuk2 sedang
mengintip meliriknya, tetapi begitu sinar mata kedua belah pihak kebentrok,
dengan cepat Nyo Ko melengos ke samping.
Meski sekarang tulang iganya sudah tersambung betul,
namun masih dirasakan sakit jarem, cuma sudah jauh berkurang daripada rasa
sakit waktu tulangnya saling gosok hendak disambung tadi.
"Si tolol ini ternyata punya sedikit kepandaian
juga," demikian ia pikir.
Sebenarnya Bu-siang bukannya gadis bodoh, kini sudah
dapat dilihat juga bahwa se-kali2 Nyo Ko bukan anak udik biasa, lebih2 bukan
anak tolol segala, tetapi karena sejak mula ia sudah perlakukan orang dengan
caci maki dan pandang hina, kini meski sudah ditolong ia tetap belum mau
merubah sikapnya.
"Lalu bagaimana baiknya sekarang, Tolol ?"
demikian ia tanya, "Apa kita harus terpaku disini atau harus menyingkir
pergi yang jauh ?"
"Bagaimana menurut kau ?" balas Nyo Ko tanya.
"Sudah tentu pergi saja, apa tunggu kematian di sini
?" sahut Bu-siang tertawa.
Keruan girang sekali si gadis hingga ia tertawa riang.
"Tolol, daerah Kanglam begitu jauh letaknya, apa
bisa kau pondong aku terus sampai di sana ?" ujar Bu-siang. walaupun
berkata demikian, namun iapun tidak bantah lagi dan membiarkan tubuhnya
meringkuk dalam pelukan Nyo Ko.
Karena kuatir kepergok Li Bok-chiu berdua, maka jalan
yang dipilih Nyo Ko adalah jalanan kecil yang sepi, Dasar Ginkang Nyo Ko memang
sudah sangat tinggi, meski langkahnya cepat, namun bagian tubuh yang atas
sedikitpun tidak ter-kocak sehingga sama sekali Bu-siang tidak merasakan sakit
lagi.
Begitu cepat larinya Nyo Ko hingga Bu-siang melihat
pepohonan di tepi jalan berkelebat lewat ke belakang, sungguh cepatnya seperti
kuda balap, kalau dibandingkan malahan Ginkang pemuda ini tidak dibawah
gurunya, keruan diam2 Bu-siang sangat heran dan terkejut.
"Ha, kiranya si Tolol ini memiliki ilmu yang tinggi
luar biasa, dengan umurnya semuda ini, mengapa sudah dapat melatih diri sampai
begini lihay ?" demikian ia bertanya di dalam hati.
Sementara itu hari sudah mulai terang, waktu
"Bu-siam" menengadah ia lihat muka Nyo Ko meski kotor, namun tidak
menutupi mata dan alisnya yang cukup jelas bukan anak tolol sebagaimana dia
anggap, melainkan pemuda yang ganteng.
Betapapun juga hatinya tergerak, lambat laun iapun lupa
rasa sakit di dadanya, selang tak lama.
"Pergi ke mana ?" tanya Nyo Ko.
"Aku mau pulang ke Kanglam, mau tidak kau antar aku
ke sana ?" kata Bu-siang lagi.
"Aku harus mencari Kokoh, tak dapat ku pergi begitu
jauh", sahut Nyo Ko.
Mendengar jawaban ini, tiba2 Bu-siang tarik muka.
"Baiklah, kalau begitu lekas kau pergi ! Biarkan aku
mati di sini saja," demikian katanya kemudian.
Kalau si gadis ini memohon dengan kata2 halus dan
membujuk umpamanya, dapat dipastikan Nyo Ko tidak nanti mau terima, tetapi kini
melihat wajah orang mengunjuk rasa gusar dan alisnya ter-kerut rapat, lapat2
memper sekali dengan sikap Siao-Iiong-li diwaktu marah, tak tertahan ia lantas
menerima baik permintaan orang.
"Bisa jadi Kokoh kebetulan juga berada di daerah
Kanglam, biar kuantar nona Liok ini ke sana, siapa tahu kalau Thian kasihan
padaku dan berhasil ketemukan Kokoh di sana ?" demikian ia pikir, walaupun
demikian, sebenarnya dalam hati ia cukup tahu juga bahwa harapan itu terlalu
kecil sekali, cuma tiada jalan buat menolak permintaan Liok Bu-siang, maka
pikirannya tadi boleh dibilang hanya untuk menghibur dirinya sendiri saja.
Karena itulah, sambil menghela napas, kemudian iapun
pondong lagi tubuh Bu-siang.
"Untuk apa kau pondong aku ?" bentak Bu-siang
dengan gusar.
"Pondong kau ke Kanglam," sahut Nyo Ko lagi,
lapat2 iapun terpulas dalam pelukan Nyo Ko.
Sampai hari sudah terang benderang, akhirnya Nyo Ko
merasa letih juga, ia lari sampai dibawah satu pohon besar, ia turunkan
Bu-siang dengan pelahan dan ia sendiri duduk di samping si gadis untuk mengaso.
Setelah Bu-siang mendusin, dengan tersenyum manis tiba2
ia berkata pada Nyo Ko : "Aku lapar, kau lapar tidak ?"
"Sudah tentu lapar," sahut Nyo Ko,
"Baiklah, kita mencari kedai nasi untuk tangsal perut."
Lalu ia pondong lagi si gadis, sudah sepanjang malam ia
pondong orang, maka kedua lengannya terasa pegal, maka tubuh si gadis ia angkat
dan didudukkan di atas pundaknya, dengan demikian ia melanjutkan perjalanan
dengan pelahan.
"He, Tolol, siapa namamu ?" tanya Bu-siang
dengan tertawa sambil kedua kakinya menggeduk-geduk dada Nyo Ko. "Rasanya
tidak baik di hadapan umum selalu kupanggil kau si Tolol saja!"
"Memangnya aku tiada nama lain, semua orang panggil
aku si Tolol," sahut Nyo Ko.
"Hm, tak percaya aku, tak mau kau katakan juga masa
bodoh," kata Bu-siang dengan mendongkol "Kalau begitu, siapakah
Suhumu ?"
,Mendengar orang menyebut "Suhu", karena
terhadap Siao-liong-Ii luar biasa menghormatnya, maka Nyo Ko tak berani
bergurau atas nama gurunya itu.
"Suhuku adalah Kokoh," demikan ia jawab dengan
sungguh2
Atas jawaban ini, Bu-siang mau percaya, "Kiranya
ilmu silatnya ini adalah keturunan keluarga sendiri," demikian ia pikir.
"Dari tempat mana dan aliran manakah Ko-kohmu itu
?" segera ia tanya pula.
"Tempatnya di rumah," sahut Nyo Ko pura2 tolol
"Dan aliran apa itulah aku tak tahu."
"Hm, pura2 bodoh kau," omel si gadis.
"Yang aku tanya yalah ilmu kepandaianmu itu dipelajari dari pintu
perguruan mana ?"
"Pintu? Apa kau tanya pintu rumahku itu ?"
sahut Nyo Ko berlagak linglung, "Pintu itu bukankah terbikin dari kayu
?"
Mendengar jawaban yang tak keruan juntrung-nya ini, diam2
Bu-siang pikir: "Jangan2 orang ini memang betul2 tolol, hanya karena
terlahir bisa lari cepat dan bukannya memiliki ilmu silat yang tinggi ? Tetapi
salah juga, terang sekali ia mampu menutuk dan menyambung tulang, sudah tentu
dia adalah jagoan Bu-lim, jangan2 ilmu silatnya meski hebat, namun orangnya
memang dasarnya dungu".
BegituIah Bu-siang berpikir dengan bingung, Kemudian
dengan kata2 halus ia coba menanya lagi: "Coba katakanlah baik2 padaku,
tolol, sebab apakah kau menolong jiwaku ?"
Pertanyaan ini seketika sulit dijawab Nyo Ko, karena itu
ia telah pikir sejenak, habis ini baru ia berkata : "Kokoh suruh aku
menolong kau, maka aku lantas menolong kau !"
"Siapakah kau punya Kokoh itu ?" tanya
Bu-siang.
"Kokoh ya Kokoh, dia suruh aku kerja apa lantas
kukerjakan apa," kata Nyo Ko.
Si gadis menghela napas lagi oleh jawaban yang tak genah
ini, ia pikir : "Ah, kiranya orang ini memang betul2 toloI."
Dan karena pikiran ini, rasa marahnya terhadap Nyo Ko
yang mulai timbul tadi, kini mendadak berubah lagi menjadi jemu dan gemas.
Melihat orang terdiam, tiba2 Nyo Ko malah tanya :
"Hei, kenapa kan tak bicara lagi ?"
Bu-siang tak menjawab, ia hanya menjengek saja sekali,
Karena itu Nyo Ko mengulangi pula pertanyaannya,
Kalau aku tak suka bicara lantas tak bicara, tahu, Tolol
? Lekas kau tutup mulut !" bentak Bu siang tiba-tiba.
Nyo Ko pikir wajah orang dalam keadaan muring2 demikian
tentu enak sekali dipandang, tetapi si nona duduk di atas pundaknya, maka sukar
dilihat, diam2 ia merasa sayang.
Begitulah sambil bicara itu, kemudian tibalah mereka di
suatu kota kecil.
Melihat cara sepasang muda-mudi ini, yaitu Bu-siang
didukung dengan duduk di atas pundak Nyo Ko, semua orang di jalan sama
ter-heran2. Akan tetapi Nyo Ko tak peduli, ia mencari satu restoran dan minta
disediakan daharan, mereka duduk berhadapan
Mendadak Bu-siang mengkerut kening ketika terendus
olehnya bau tapi sapi yang menghembus keluar dari badan Nyo Ko.
"He, Tolol, kau duduk ke meja sana saja, jangan
duduk semeja dengan aku," katanya pada si pemuda dengan sikap mual.
Nyo Ko tidak membantah, dengan tertawa ia duduk ke meja
yang lain.
Walaupun demikian, melihat duduk orang masih menghadap ke
arahnya, makin dipandang tampang tolol orang semakin menjemukan, maka dengan
tarik muka Bu-siang berkata lagi: "Jangan kau pandang aku," habis ini
ia menuding meja yang lebih jauh letaknya dan menyambung : "Sana, pindah
ke meja itu !"
Nyo Ko menurut, dengan tertawa sambil membawa mangkok
nasinya ia malah pindah ke ambang pintu dan duduk di sana lalu makan nasinya.
"Nah, begitulah seharusnya," kata Bu-siang.
Sungguhpun perut si gadis terasa lapar, tapi dadanya
terasa sakit oleh tulang yang patah itu, ia menjadi uring2an dan maunya
melampiaskan marah2nya pada Nyo Ko saja, tetapi karena orang sudah duduk begitu
jauh, ia tak ada alasan lagi untuk mem-bentak2 atau mengomel padanya.
Begitulah selagi ia kesel sekali, tiba2 didengarnya di
luar pintu sana ada suara orang ber-dendang : "Nona cilik berlakulah murah
hati."
Habis ini ada seorang lagi terus menyambung:
"Sedekahlah semangkok nasi pada si pengemis !"
Waktu Bu-siang angkat kepalanya, terlihatlah empat
pengemis berdiri sejajar di luar pintu, ada yang tinggi, ada yang pendek,
semuanya sedang memandang ke arahnya.
Karena dia pernah melukai seorang pengemis dengan
senjatanya "Gin-ko-to" atau golok perak melengkung, kini nampak
kedatangan empat orang ini tidak mengandung maksud baik, diam2 ia terkejut.
Sementara itu ia dengar orang ketiga dari pengemis2 itu
sedang menyambung dendangan kawannya tadi: "Jalan ke sorga tidak kau
tempuh !" Lalu orang keempat lantas menyambung juga : "Neraka tak
berpintu hendak kau masuki!"
Begitulah lagu yang dinyanyikan keempat pengemis itu
adalah lagu minta2 yang biasa disuara-kan kaum pengemis, Pada tangan kanan
tiap2 pengemis itu membawa sebuah mangkok rusak dan tangan kiri mencekal
sepotong kayu yang masih berkulit, pundak mereka masing2 menggendong 6 buah
kantong goni.
Melihat dandanan pengemis2 ini, teringat oleh Bu-siang
apa yang pernah dia dengar dari cerita sang Suci - Ang Ling-po, bahwa anggota
Kay-pang mem-beda2kan tingkatan dengan menghitung kantong goni yang digendong
mereka, melihat empat pengemis yang membawa 6 kantong ini, maka dapatlah
diketahui mereka adalah anak murid 6 kantong yang tergolong tinggi tingkatannya
dalam Kay-pang.
Pengaruh Kay-pang di daerah utara dan selatan sungai -
Yangce - waktu itu sangat besar, maka demi nampak sekaligus didatangi empat
jago2 Kay-pang berkantong 6, kuasa hotel lantas tahu bakal terjadi peristiwa
besar, keruan ia menjadi gugup dan tegang, Iekas2 ia memberi tanda pada kawan2
pelayannya dan suruh mereka sekali2 jangan membikin marah tokoh2 Kay-pang itu.
Di samping Iain Liok Bu-siang tidak lagi memandang empat
pengemis itu, ia hanya pandang daharan yang berada di mejanya, sedang dalam
hati ia memikirkan tipu-daya untuk meloloskan diri, Tetapi musuh ada empat
orang, dirinya sendiri terluka, sedang si Tolol itu apa betul2 pandai ilmu
silat masih sukar dipastikan sekalipun betul bisa silat, namun kelakuannya
gila-gilaan tak genah, tidak nanti tinggi ilmu silatnya dan susah juga melawan empat
jagoan Kay-pang.
Begitulah meski Bu-siang biasanya sangat pintar dan
cerdik, kini terasa tak berdaya juga seketika.
Sebaliknya Nyo Ko lagi sibuk urusi isi mangkoknya dan
sama sekali tidak ambil pusing terhadap empat pengemis itu, sehabis
"langsir" isi se mangkok ke dalam perutnya, ia mendekati mejanya
Bu-siang dan tambah nasi lagi semangkok penuh, berbareng itu ia samber sepotong
ikan (laut), karena ikan itu masak kuah, maka airnya menetes-netes di atas
meja.
"Hehe, makan ikan !" dengan ke-tawa2 tolol ia
berkata.
Melihat rupa orang, alis Bu-siang terkerut terlebih
rapat, tetapi kini tiada banyak tempo lagi buat mendamperat orang, sebab
terdengar olehnya keempat pengemis tadi sesudah melagukan "si nona
cilik" tadi secara sambung-menyambung hingga berulang tiga kali, empat
pasang mata merekapun terus membelalak ke arahnya.
Oleh karena masih belum mendapatkan sesuatu akal untuk
melayani orang, terpaksa Bu-siang pura2 tidak dengar saja dan dengan kepala
menunduk menyumpit nasinya dengan pelahan.
"Nona cilik, jika semangkok nasi saja tak kau beri,
maka harap memberi sedekah sebilah golok lengkung saja," kata seorang
diantara pengemis itu tiba2, rupanya mereka sudah tak sabar.
"Marilah kau ikut bersama kami, takkan kami persulit
kau, kami hanya ingin tanya duduknya perkara dan tentu ada keputusan secara
adil," demikian kata yang lain pula.
Selang tak lama, pengemis yang ketiga pun mendesak lagi:
"Hayo, lekaslah, apa perlu kami gunakan kekerasan ?"
Dalam keadaan demikian Bu-siang menjadi serba salah, ia
tidak tahu apa harus menjawab atau tidak.
"Tidak nanti kami minta2 secara paksa dan empat
laki2 menghina seorang nona cilik, kami hanya ingin kau ikut pergi untuk
menimbang siapa kiranya di pihak yang benar," akhirnya pengemis yang
keempat pun ikut berkata.
Mendengar lagu suara orang, Bu-siang insaf sebentar lagi
tentu pakai kekerasan, meski tahu tak ungkulan, namun tak bisa mandah menerima
kematian, maka dengan tangan kiri memegang bangku ia, tunggu bila lawan berani
maju, segera dengan bangku itu akan kuhantamkan dahulu kepada musuh.
"Sudah tiba waktunya kini," demikian Nyo Ko
juga sedang pikir, Kemudian ia mendekati meja Bu-siang lagi, ia angkat piring
ikan orang untuk mengambil lauk-pauk.
"Ah aku minta kuahnya," demikian dengan samar2
ia bicara karena mulutnya sedang mengunyah sepotong ikan dengan lezatnya.
Sembari berkata, piring ikan yang dia angkat tadi sengaja
ia miringkan hingga setengah mangkok kuah yang masih panas tertuang semua di
atas lengan Bu-siang.
Karena kejadian ini, tiba2 Bu-siang berpaling dan
menggeser sedikit tubuhnya untuk periksa kuah yang menuang badannya itu.
"Ai, celaka !" seru Nyo Ko pura2 kaget, habis
ini ia berlagak kelabakan hendak membersihkan noda kuah itu, Pada saat itu
juga, dengan sedikit miringkan mukanya keluar, tiba2 ia menguap terus
menyemprot hingga belasan duri tulang ikan yang tajam menyamber keluar dengan
cepat ke arah keempat pengemis tadi.
Sama sekali keempat pengemis itu tidak menduga akan
kejadian ini, sedikitpun mereka tidak nampak jelas atau tiba2 siku mereka
tempat "kiok-ti-hiat" terasa kesemutan, lalu terdengar suara
gedubrakan, empat mangkok mereka yang bobrok itu terbanting ke lantai hingga
pecah berantakan be-himpun empat pentung kayu mereka.
Sementara itu dengan bajunya yang sudah rombeng Nyo Ko tiada
hentinya menyeka air kuah yang menuang lengan Bu-siang tadi sambil dengan
ter-putus2 ia berkata: "Ja... jangan kau marah, aku... aku bersihkan
kau."
"Pergi!" mendadak Bu-siang membentak.
Ketika ia menoleh kembali untuk melihat keempat pengemis
tadi menghilang di simpang jalan raya sana, sedang empat pentung dan mangkok
yang sudah pecah berantakan terserak di lantai Bu-siang menjadi ragu2 dan heran
oleh kelakuan pengemis2 itu, mengapa tanpa sebab lantas pergi begitu saja ?
Dalam pada itu ia lihat Nyo Ko dengan kedua tangannya
yang kotor dengan kuah ikan dan air sayur lainnya masih mengusap dan menyeka
serabutan di atas meja, ia menjadi marah dan men-damperat lagi. "Pergi
menyingkir apa kau kira tak kotor ?"
"Ya, ya !" sahut Nyo Ko ber-ulang2 sambil kedua
tangannya menggosok2 bajunya untuk menghilangkan kotorannya.
"Cara bagaimanakah keempat pengemis itu pergi
?" tanya Bu-siang kemudian sambil mengkerut kening.
"Tentunya karena nona tak mau memberi sedekah, toh
tiada gunanya minta2 terus, maka mereka lantas pergi," ujar Nyo Ko.
Si gadis ber-pikir2 sejenak lagi dan tetap tak diketahui
apa sebabnya, Lalu ia ambil serenceng uang perak dan suruh Nyo Ko membeli
seekor keledai sesudah bayar uang daharan, dia lantas menunggang keledai yang
baru dibeli ini untuk berangkat.
Tetapi tulang iga dekat dadanya yang patah itu belum
sembuh, maka baru saja ia naik, terasa lah sakit sekali sampai mukanya putih
pucat.
"Sayang aku terlalu kotor lagi bau, kalau tidak,
boleh juga kudukung kau di atas pundak", demikian kata Nyo Ko.
"Hm, omong yang tidak2," Bu-siang menjengek
berbareng ia tarik tali kendali menjalankan keledainya.
Siapa duga binatang itu ternyata sangat bandel, tabiatnya
pun buruk, bukannya ia jalan ke depan, sebaliknya tubuhnya me-nyirik2 minggir
hingga mepet tembok bahkan badan Bu-siang di-gosok2kan lagi pada tembok itu.
Memaognya Bu-siang masih lemas karena luka, keruan ia
berteriak kaget dan terbanting jatuh. Untung ilmu silatnya cukup hebat, begitu
sebelah kakinya menginjak tanah, dengan segera ia bisa berdiri tegak, cuma ia
menjadi kesakitan lagi lukanya
"Sudah terang kau lihat aku jatuh terbanting kenapa
kau tidak memayang diriku ?" dengan gusar ia melampiaskan rasa dongkolnya
pada Nyo Ko.
"Bu.... bukankah badanku kotor!" sahut Nyo Ko,
"Apa kau tak bisa cuci dulu ?" kata Bu-siang
lagi
Nyo Ko tidak menjawab melainkan nyengir saja.
"Lekas kau dukung aku ke atas keledai," bentak
si gadis pula.
Nyo Ko menurut, ia menaikkan ke punggung keledai Tetapi
begitu merasa punggungnya ada penunggang, segera keledai itu hendak main gila.
"Lekas kau tuntun keledai ini," kata Bu-siang.
"Ti... tidak, aku takut didepak olehnya." sahut
Nyo Ko.
Bu-siang menjadi dongkol "Kurangajar si tolol ini,
bilang dia tolol nyatanya dia tidak tolol, bilang tidak ia justru tolol, sudah
terang maksudnya ingin memondong diriku," demikian pikirnya.
Karena terpaksa, akhirnya ia berkata lagi: "Baiklah,
kaupun menunggang ke atas sini."
"Nah, kau sendiri yang suruh aku, tapi jangan kau
bilang aku kotor, lalu mendamperat dan memukul aku lagi," ujar Nyo Ko.
"Ya, ya, cerewet saja !" sahut Bu-siang
mengkal.
Maka dengan tertawa kecil barulah Nyo Ko melompat ke atas
keledai dengan pelahan, dengan kedua tangannya ia rangkul si gadis yang duduk
di depannya, ketika kedua kakinya sedikit mengempit karena kesakitan, maka
keledai itu tak berani binal lagi, dengan jinak berjalan menurut perintah.
"Pergi ke mana ?" tanya Nyo Ko.
"Sana," sahut Bu-siang sambil menunduk ke arah
tenggara. ia sudah mencari tahu sebelumnya tentang perjalanan sebenarnya hendak
ditempuhnya arah timur melalui Ciongkoan dan kemudian baru memutar ke daerah
selatan, ini memang jalan raya yang biasa dilalui.
Tetapi sejak ketemu empat pengemis yang lain, adalah
lebih baik menempuh jalan kecil saja, walaupun sedikit lebih jauh, paling perlu
cari selamat.
Begitulah terdengar suara tapak kaki keledai yang
ketuprak2 berjalan pelahan ke arah yang dipilihnya itu.
Baru saja mereka keluar dari kota, tiba2 dari tepi jalan
ber-Iari2 mendatangi satu anak petani yang berumur belasan, "Nona Liok,
ini sesuatu barang buat kau," demikian seru bocah itu sambil mapaki
keledai yang mereka tunggangi. Berbareng itu menimpukkan seikat bunga ke arah
Bu-siang, habis ini ia angkat kaki dan berlari pergi lagi
Waktu karangan bunga itu diterima Bu-siang dan diperiksa,
ia lihat hanya seikat bunga biasa saja dan disamping terikat sepucuk surat
dengan benang, lekas si gadis membuka sampulnya dan keluarkan selembar kertas
kuning dari dalamnya, ia lihat surat itu tertulis: "Sekejap lagi gurumu
bakal datang, lekas sembunyikan diri, lekas !"
Kertas surat itu sangat kasar, sebaliknya tulisannya
ternyata bergaya sangat bagus. Bu-siang ter-heran2 dan ragu2 mengapa orang
kenal dia she Liok dan siapakah anak itu ? Mengapa mengetahui juga gurunya
segera bakal datang ?"
"Apa kau kenal anak tadi ?" demikian ia lantas
tanya Nyo Ko. "Apa Kokohmu yang suruh dia ke sini ?"
Sementara itu dari belakang Bu-siang si Nyo Ko juga dapat
membaca isi surat itu, maka iapun sedang memikir : "Terang sekali anak
tadi hanya anak petani biasa, tentu datangnya ini disuruh orang lain untuk
mengirim surat. Cuma entah siapakah orang yang menulis surat itu ? Tampak-orang
memang bermaksud baik, kalau betul sampai Li Bok-chiu mengejar datang, lalu
bagaimana baiknya ?"
Harus diketahui meski Nyo Ko sudah mempelajari
Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng, seorang diri memiliki dua macam ilmu
silat yang paling tinggi di dunia persilatan, sejak dulu hingga kini boleh
dikatakan hanya dia sendiri saja, cuma sayang karena waktunya belum Iama, meski
sudah dipahami intisari pelajaran ilmu silat yang hebat itu, namun latihannya
masih kurang matang, maka belum banyak hasilnya untuk digunakan. Kalau sampai
kena disusul Li Bok-chiu, terang ia masih bukan tandingan orang, karena inilah
ia sedang pikir dan ragu-ragu.
Mendengar pertanyaan Bu-siang tadi, maka Nyo Ko menjawab:
"Entah, aku tak kenal dia, tampaknya juga bukan Kokoh yang menyuruh
dia."
Baru habis ia menjawab, tiba2 terdengar bunyi alat2
tetabuhan dan tiupan, menyusul mana dari depan muncul sebuah joli yang digotong
dengan belasan orang pengiringnya, kiranya ada orang sedang melangsungkan
perkawinan, "
Meski alat2 musik yang dibunyikan itu berbau kampungan,
tetapi suasana cukup riang gembira.
Nampak keadaan ini, tiba2 pikiran Nyo Ko tergerak, ia
pikir kalau betul2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po mengejar tiba, di siang hari
bolong sesungguhnya tiada tempat untuk bersembunyi lagi, Karena itu segera ia
tanya Bu-siang: "Nona Liok, kau ingin menjadi pengantin tidak ?"
Bu-siang sendiri memangnya lagi bingung karena kuatir
tertangkap gurunya yang kejam itu, kini mendengar orang bertanya secara tolol,
kemari ia gusar. "ToIol, kau mengaco-belo apa lagi ?"j damperatnya.
"Haha, maukah kita main sembayang dan jadi pengantin
?" demikian sahut Nyo Ko dengan tertawa, "Mau tidak kau menyamar
pengantin perempuan ? Sungguh cantik sekali tampaknya, muka ditutup kudung
merah, pasti orang lain takkan mengenali kau."
Karena kata2 Nyo Ko terakhir ini, Bu-siang tergerak
hatinya.
"ToIol, apa kau suruh aku menyamar untuk menghindari
guruku ?" ia tanya.
"Aku tak tahu, hihi, kalau kau jadi pengantin
perempuan, aku akan jadi pengantin Ielakinya," sahut Nyo Ko.
Dalam keadaan terpaksa, Bu-siang tak sempat lagi
mendamperat orang, ia pikir: "Kelakuan si Tolol ini sungguh aneh sekali,
tapi kecuali jalan ini memang tiada cara lain lagi."
Karena itu segera ia tanya: "lalu cara bagaimana
menyamarnya ?"
Nyo Ko tidak menjawab, ia tak berani membuang tempo lagi,
segera ia pecut bokong keledai mereka maka binatang ini lantas kabur ke depan
dengan cepat.
Pada umumnya jalan pedusunan memang sempit, sebuah joli
besar dengan digotong delapan orang dengan sendirinya memenuhi jalan, kedua
sampingnya sudah tentu tiada lowongan lagi, kini nampak ada keledai berlari
memapak dari depan, keruan pengiring2 kemanten itu menjadi ribut, mereka
berteriak dan membentak dengan maksud menyuruh penunggang keledai menahan tali
kendalinya.
Tetapi bukannya Nyo Ko menahan keledainya. bahkan ia
mengempit semakin kencang hingga lari binatang itu bertambah cepat, maka
sekejap saja sudah menerjang sampai di depan pengiring kemanten itu.
Dengan sendirinya mereka tidak tinggal diam, segera ada
dua lelaki kekar menyerobot maju hendak menarik tali kendali keledai supaya
jangan menubruk joIi pengantin yang digotong.
Mendadak Nyo Ko ayun cambuknya, dengan tepat ujung cambuk
itu melilit betis kedua lelaki itu, ketika Nyo Ko menarik dan diulur lagi, maka
kedua orang itu lantas terlempar ke pinggir jalan.
"Sekarang aku mau menyamar jadi pengantin !"
demikian katanya pada Bu-siang. Habis ini mendadak ia mendoyong ke depan,
ketika sebelah tangannya mengulur, tahu2 pengantin laki2 yang menunggang seekor
kuda putih itu kena dicengkeramnya.
Pengantin laki2 itu usianya antara 17-18 tahun, badannya
lengkap memakai baju pengantin baru, di atas kepalanya tertancap hiasan bunga2
emas, kini mendadak kena dicengkeram oleh Nyo Ko, keruan bukan main kagetnya.
Bukan begitu saja, bahkan Nyo Ko sengaja lemparkan tubuh
pengantin laki2 itu ke udara setinggi dua tombak lebih, ketika jatuh ke bawah,
di tengah2 ramai suara jeritan orang banyak tahu2 Nyo Ko ulur tangannya dan
menangkapnya lagi pengantin laki2 itu,
Pengiring2 pengantin itu seluruhnya hampir tiga puluhan
orang, sebagian besar bertubuh tinggi besar dan kekar kuat, tetapi melihat
ketangkasan Nyo Ko, pula pengintin laki2 jatuh dalam cengkeraman orang, tentu
saja mereka ketakutan dan tiada yang berani maju.
Seorang diantara mereka rupanya lebih banyak merasakan
asam garam, ia menduga Nyo Ko pasti begal besar, maka dengan cepat ia lantas
tampil ke depan.
"Mohon "Tay Ong" suka ampuni
pengantin-nya," demikian pintanya sambil memberi hormat, "Berapa
banyak kiranya "Tay Ong" perlu pakai ongkos, pasti kami turut
perintah dengan baik."
"Hihi, nona Liok, kenapa mereka panggil aku "Tay
Ong" ! (raja besar, sebutan bagi pembegal) ? Aku kan tidak she Ong ?"
kata Nyo Ko pada Bu-siang dengan tertawa.
"Sudahlah, jangan main gila Iagi, aku seperti sudah
mendengar suara keleningan keledai tunggangan Suhu," sahut Bu-siang.
Nyo Ko kaget oleh jawaban itu, ia coba pasang kuping,
betul saja sajup2 terdengar suara berkumandangnya keleningan
Kiranya Li Bok-chiu suka unggulkan ilmu silatnya yang
tiada tandingannya di seluruh Kang ouw, maka setiap tindak tanduknya selalu
main gertak dahulu, misalnya sebelum dia bunuh sasarannya, lebih dulu ia
memberi tanda cap tangan berdarah di rumah orang itu, tiap cap tangannya
berarti jumlah jiwa yang akan dibunuh dan sama sekali tak gentar meski lawannya
mengundang pembantu atau melarikan diri meninggalkan rumah, sedang keledai
belang yang dia tunggangi sengaja dia pasangi tiga belas keleningan emas pada
lehernya, suara keleningan ini bisa berkumandang jauh sampai beberapa li, belum
tiba orangnya, suara keleningannya sudah terdengar lebih dulu, dengan demikian supaya
musuh sebelum lihat mukanya tapi lebih dulu sudah ketakutan setengah mati
"Sungguh cepat sekali datangnya," begitulah Nyo
Ko berpikir, Tetapi ia masih berlagak bodoh atas peringatan Bu-siang tadi:
"Keleningan ? Keleningan apa maksudmu ? Apa keleningan tukang jual jamu,
kenapa aku tak mendengarnya ?"
Habis ini, dengan sikap mengancam ia berpaling dan
berkata pada orang tua tadi: "Kalian harus turut perintahku dengan begitu
aku lantas bebaskan dia, kalau tidak, hm..." mendadak ia lemparkan
pengantin laki2 tadi ke udara lagi
Rupanya saking ketakutan, pengantin laki2 itu sampai
menjerit dan menangis ter-gerung2. Sedang si orang tua tadipun terus-menerus
memberi hormat sambil memohon : "Ya, ya, pasti kami turut segala perintah
Tay Ong"
"Dia adalah biniku," kata Nyo Ko tiba2 sambil
tuding Bu-siang, "la lihat kalian main sembahyang jadi pengantin segala,
maka diapun ketarik dan ingin main2 juga."
"Apa kau bilang, Tolol ?" damperat Bu-siang
dari samping.
Akan tetapi Nyo Ko tak mengurusnya, ia meneruskan pembicaraannya
tadi: "Maka kalian lekas copot pakaian pengantin perempuan itu dan biarkan
dipakai dia, akupun main menjadi pengantin lelaki."
Keruan para pengiring kemanten itu menjadi bingung hingga
saling pandang, sungguh mereka tidak mengerti mengapa pembegal di tengah jalan
ini tiba2 ingin main kemanten2an. Waktu mereka awasi Nyo Ko dan Liok Bu-siang,
yang satu pemuda cakap dan yang lain gadis jelita, kalau dibilang sepasang
suami isteri, memangnya sangat mirip juga.
Selagi kejadian itu berlangsung, tiba2 Nyo Ko dengar
suara keleningan sudah semakin dekat, lekas2 ia lompat turun dari keledainya
dan membiarkan Bu-siang yang menjaganya, ia sendiri lantas pergi ke - joli
kemanten, tiba2 ia tarik tirai joli dan tarik keluar pengantin perempuannya.
Tentu saja pengantin itu kaget hingga menjerit tetapi
mukanya pakai kerudung kain merah, maka tak diketahuinya apa yang terjadi
sesungguhnya.
Di lain pihak Nyo Ko tidak berhenti begitu saja, sekalian
ia tarik pula kain penutup muka orang, maka tertampaklah muka pengantin
perempuan itu yang bundar bak bulan purnama, badan tampak montok pula.
"Ha, sungguh ayu kemantinnya," demikian Nyo Ko
menggoda pula tertawa, bahkan ia towel pipi orang dengan jarinya, Dalam
ketakutannya pengantin perempuan itu malah menjadi bungkam tak berani berkutik
sedikitpun.
"Jika ingin kuampuni jiwanya, lekas kau tukar
pakaian biniku itu dengan pakaian kemantin-mu," Nyo Ko mengancam lagi
sambil tarik tubuh perempuan itu dan diangkat ke atas.
Sementara Bu-siang mendengar juga suara keleningan
keledai belang gurunya sudah tambah dekat lagi datangnya, ia mendelik pada Nyo
Ko ketika mendengar kata2 Nyo Ko tadi, pikirnya: "Si Tolol ini sungguh tak
kenal tebalnya bumi dan tingginya langit, sudah dalam keadaan demikian masih
terus bergurau ?"
Dalam pada itu didengarnya juga suara si orang tua tadi
sedang mendesak kawan2nya : "Lekas tukar pakai pengantin padanya !"
Maka dengan gugup para pengiring lantas lepaskan pakaian
pengantin dengan perlengkapannya dari gadis tadi dan dikenakan pada Liok
Bu-siang.
Di sebelah sana Nyo Ko tidak perlu bantuan lagi, ia
sendiri lantas mencopot topi pakaian kemantin laki2 tadi terus dipakainya
sendiri.
"Nah, isteriku yang baik, sekarang masuklah ke dalam
joIi," demikian ia berkata pada Bu-siang sesudah selesai penyamarannya.
Tetapi Bu-siang menyuruh pengantin perempuan tadi masuk
dulu ke joli, ia sendiri lantas duduk dipangkuan orang, habis itu tirai joli
baru ia tutup.
Semetara itu sebenarnya Nyo Ko masih ingin ganti
sepatunya dulu, tetapi sudah tak keburu lagi, suara keleningan sudah berada di
tikungan jalan sana.
"Lekas menuju ke arah tenggara, lekas tiup dan tabuh
lagi!" segera ia memberi perintah, berbareng ini iapun melompat ke atas
kuda putih yang dipakai kemantin Iaki2 tadi.
Karena sepasang kemantin baru sudah berada dalam
cengkeraman kawanan "penjahat", tentu saja para pengiring itu tak
berani membantah, segera mereka tabuh gembreng dan meniup trompet lagi hingga
keadaan berubah riuh ramai
Dan baru saja joli itu putar kembali ke jalan lain, belum
ada belasan tombak ditempuh atau suara keleningan sudah berbunyi dengan kencang
di belakang mereka, dua keledai belang dengan langkah cepat telah memburu
datang.
Hati Bu-siang ber-debar2 keras demi mendengar suara
keleningan yang sudah berada di belakang itu, ia pikir bisa tidaknya lolos dari
elmaut hanya tergantung sedetik ini saja, maka dengan penuh perhatian ia
dengarkan gerak-gerik yang terjadi di luar joli.
Di lain pihak Nyo Ko yang menyamar sebagai pengantin
laki2, ia pura2 malu dengan kepala menunduk.
"Hai, kalian melihat satu gadis pincang lewat disini
tidak ?" demikian terdengar Ang Ling-po bertanya.
"Ti... tidak !" sahut si orang tua tadi dengan
suara tak lancar.
"Apa tidak melihat seorang gadis jelita menunggang
keledai lewat sini ?" tanya Ang Ling-po lagi.
"Tidak," sahut orang tua itu tetap.
Karena itu, Li Bok-chiu berdua lantas keprak keledai
mereka melampaui iring2an kemantin itu dan kabur ke depan dengan cepat.
Tetapi hanya sebentar saja tiba2 Li Bok-chiu dan Ang
Ling-po telah putar balik kembali, sesudah dekat joli, mendadak Li Bok-chiu
ayun kebutnya, dengan ekor ketat ia lilit kain tirai joIi terus ditarik
pelahan, maka terdengarnya suara memberebet, sebagian tirai itu telah robek.
Terkejut sekali Nyo Ko oleh kejadian itu, ia larikan
kudanya mendekati joli, ia tunggu apabila Li Bok-chiu ayun ketatnya untuk kedua
kalinya, dengan segera ia akan turun tangan buat menolong orang.
Siapa duga Li Bok-chiu tidak geraki tangannya kgi, ia
hanya melongok sekejap ke dalam joli, lalu dengan tertawa ia berkata:
"Hah, kemantin-nya sungguh cantik !" - Habis ini ia menoleh dan
berkata pula kepada Nyo Ko : "He, rejekimu sungguh tidak jelek !"
Tetapi dengan cepat Nyo Ko telah menunduk, tak berani ia
kesamplok pandang dengan orang. .
Lalu terdengar pula suara keteprak2 kaki binatang, Li
Bok-chiu berdua telah pergi lagi.
Keruan Nyo Ko ter-heran2 oleh kejadian itu. "Aneh,
kenapa dengan begitu saja ia lepaskan nona Liok ?" demikian pikirnya tidak
habis mengerti.
Waktu ia melongok juga ke dalam joli, ia lihat si
kemantin perempuan asli mukanya pucat lesi saking ketakutan dan badannya
gemetaran pula, sedang Liok Bu-siang ternyata tak diketahui ke mana perginya,
Keruan saja Nyo Ko bertambah heran.
"He, nona Liok, dimanakah kau ?" segera ia
berseru memanggil.
"Aku sudah hilang," terdengar suara sahutan li
gadis dengan tertawa.
Ketika kain panjang yang dipakai pengantin perempuan itu
tersingkap, tahu2 Bu-siang muncul dari bawah, kiranya ia sembunyi di bawah kain
panjang pengantin perempuan itu.
Nyata nona ini memang cerdik, ia cukup kenal sang guru
yang biasanya berlaku sangat teliti dan tidak gampang diingusi meski barang
yang kecil saja, ia menduga selewatnya sang guru, tentu sebentar akan balik
kembali oleh karena itu ia telah sembunyi lebih dulu.
"Nah, boleh kau menjadi kemanten perempuan dengan
tenang, naik joli bukankah jauh lebih enak daripada menunggang keledai ?"
kata Nyo Ko.
Bu-siang memanggut tanda setuju, lalu ia berkata juga
pada si kemanten perempuan itu : "Kau berdesakan di sini dan membikin aku
sum-pek, lekas kau enjah keluar!"
Karena terpaksa, mau-tak-mau perempuan itu menurut, ia
turun joli dan ganti menunggang keledai yang tadinya dipakai Nyo Ko itu.
Begitulah iring2an itu melanjutkan perjalanan, setelah
belasan li dilalui pula, cuaca pelahan mulai gelap.
Dengan tiada hentinya si orang tua tadi memohon pada Nyo
Ko agar suka bebaskan tawanan nya supaya tidak bikin kacau waktu upacara
mereka, Tetapi Nyo Ko masih belum mau sudah, ia mendongkol oleh kerewelan
orang.
"Apa yang kau cerewetkan terus ?" demikian ia
mendamperat, tetapi baru sekecap saja, tiba2 dilihatnya ada bayangan orang
berkelebat di pinggir jalan, ada dua orang dengan tangkas cepat telah lari
masuk hutan.
Nyo Ko menjadi curiga, ia tarik tali kendali kudanya dan
memburu dengan cepat, lapat2 dapat dilihatnya bayangan kedua orang itu berbaju
compang-camping dengan dandanan sebagai kaum pengemis.
"Jangan2 orang Kay-pang sudah mengetahui
penyamaranku dan menyiapkan orang di depan sana ?" demikian pikir Nyo Ko
sambil tahan kudanya, "Tetapi urusan sudah terlanjur, terpaksa harus
diteruskan sampai akhirnya."
Tidak lama kemudian joli kemanten itupun sudah menyusul
datang, karena sebagian tirai joli sudah terobek oleh kebut li Bok-chiu, maka
Bu-siang melongok keluar dan tanya Nyo Ko : "Apa kau melihat sesuatu
?"
Nyo Ko tidak memberi penjelasan sebaliknya ia berkata
menyimpang: "Sebagai temanten, layaknya kau menangis, sekalipun hatimu
seribu kali ingin kawin, seharusnya kau menangis tak mau meninggalkan rumah,
mana ada temanten perempuan di jagat ini tak malu seperti kau ini ?"
Bu-siang pun seorang gadis yang sangat pintar, demi
mendengar kata2 orang se-akan2 bilang sasarannya sudah diketahui orang, maka
dengan pelahan ia mengomel sekali, lalu tidak membuka para pula.
Setelah berjalan tak lama, jalan pegunungan di depan
mulai sempit dan menanjak hingga sangat susah ditempuh, para pengiring kemanten
itu sudah dalam keadaan letih, tapi karena kuatir betapa marah Nyo Ko, maka
mereka tak berani mengunjuk rasa dongkol.
Tak lama lagi sang dewi malam mulai menongol di ufuk
timur, burung gagak dengan suara yang serak terbang di udara kembali ke
sarangnya.
Sepasang temanten yang kini menjadi tawanan Nyo Ko itu
selamanya belum pernah bertemu muka, kini yang lelaki melihat yang perempuan mengunjuk
rasa takut2 namun tak menutupi paras yang cantik, sedang yang perempuan
memandang si lelaki yang juga cakap, kedua orang itu disamping merasa kuatir,
diam2 pun merasa girang.
Begitulah sedang mereka melanjutkan perjalanan, tiba2
dari balik bukit sana terdengar suara berdendang belasan orang lagi melagukan :
"Nona cilik berbuatlah murah hati, berikanlah sedekah sebelah kuping dan
sebuah hidung !"
Mendengar suara nyanyian itu, seketika muka Bu-siang
berubah, "Ha, kiranya keempat pengemis itu bersembunyi di sini,"
demikian pikirnya."
Sesudah joli kemanten itu melintasi bukit, tertampaklah
di depan sana menanti tiga pengemis yang berperawakan tinggi jangkung, sama
sekali berlainan dengan keempat pengemis yang dilihatnya siang tadi.
Waktu Nyo Ko meneliti kantong goni yang berada di pundak
ketiga pengemis itu, ia lihat masing2 menggendong tujuh buah, "Tentu
ketiga pengemis tujuh kantong ini jauh lebih lihay dari pada empat orang yang
berenam kantong itu, tampaknya tidak bisa tidak harus turun tangan sungguh2"
pikirnya.
Dalam pada itu karena sudah letih dan sedang uring2an,
keruan para pengiring kemanten itu menjadi lebih mendongkol demi nampak ketiga
pengemis itu mengadang di tengah jalan, segera ada diantaranya ayun cambuk
menyabet kepala salah satu pengemis itu.
"Hai, lekas enyah, lekas minggir !" demikian
bentak mereka.
Akan tetapi pengemis itu tidak berkelit, hanya sekali
tarik pucuk cambuk terus dibetot, maka tidak ampun lagi orang yang menyabet itu
jatuh ngusruk ke depan seperti anjing menubruk tahi. Melihat kawan mereka
dijungkalkan, kalau dalam keadaan biasa, tentu ramai2 para pengiring itu akan
mengerubut maju, tetapi kini mereka sedang ketakutan karena sudah dihajar Nyo
Ko tadi, mereka pikir ketiga pengemis ini tentu juga sekomplotan dengan pembegal
ini, maka tiada seorang pun yang berani maju, sebaliknya malah pada menyurut
mundur.
"Selamat dan bahagialah nona, kami tukang minta2 ini
ingin mohon diberi persen beberapa duit," demikian salah satu pengemis itu
membuka suara dengan lantang,
"Tolol," kata Bu-siang pada Nyo Ko, "aku
terluka dan tak bisa turun tangan sendiri, kau saja wakilkan aku enyahkan
mereka."
"Baik," sahut Nyo Ko tanpa rewel. Habis ini
kudanya lantas dilarikan ke depan terus membentak: "He, hari ini adalah
hari baikku sedang kalian pengemisl ini jangan banyak cerewet, lekas pergi dari
sini!"
Karena dibentak, salah satu pengemis itu mengamat-amati
Nyo Ko, namun mereka tak dapat meraba siapakah gerangan pemuda yang berani
mem-bentak2 mereka ini.
Kiranya keempat pengemis kentong enam yang tertutuk oleh
duri tulang ikan itu, semuanya menyangka Bu-siang yang menyerang mereka, maka
sama sekali mereka tak sebut2 tentang Nyo Ko pada paman2 guru mereka, yakni
ketiga pengemis kantong tujuh ini.
Dalam pada itu, salah seorang pengemis itu tiba2 angkat
tangannya, karena itu kuda yang ditunggangi Nyo Ko menjadi kaget hingga berdiri
dengan kaki belakang, Nyo Ko pura2 terperosot dari kuda dan terbanting jatuh
dengan keras2, dan sampai lama tak sanggup bangun.
"Ha, kiranya orang ini memang pengantin
laki2nya," pikir ketiga pengemis itu demi menyaksikan jatuhnya Nyo Ko itu.
Kay-pang sebenarnya adalah perkumpulan kaum jembel yang
selamanya membela keadilan kaum lemah dan memberantas kaum penindas, sebabnya
mereka bermusuhan dengan Liok Bu-siang adalah karena gadis ini tanpa sebab
telah melukai orang mereka.
Kini melihat Nyo Ko tak pandai silat, malahan telah jatuh
terbanting dengan berat? rasa mereka menjadi menyesal, satu diantara pengemis
itu telah menariknya bangun.
"Ai, kalian ini terlalu..." demikian Nyo Ko
pura2 mengomel, "minta ya minta, kenapa biki kaget binatang
tungganganku?"
Sambil berkata iapun rogoh keluar tiga mata uang dan
diberikan kepada pengemis2 itu, Mengingat peraturan Kay-pang, ketiga pengemis
itu terima pemberian itu dan menghaturkan terima kasih.
"Nah, kau suruh aku bereskan mereka, sekarang sudah
kuIakukan," dengan menyengir kemudian Nyo Ko berkata pada Liok Bu-siang.
"Hm, untuk apa kau berlagak tolol padaku?" omel
Bu-siang.
Tetapi Nyo Ko hanya mengia saja dan mundur kepinggk jalan
sambil mengebut debu yang berada di badannya.
"Sebenarnya kalian inginkan apa ?" dengan sikap
dingin kemudian Bu-siang tegur ketiga pengemis itu, karena orang masih
menghadang di tengah jalan.
"Anak murid golongan kami bilang nona adalah jago
dari Ko-bong-pay, karena kagum, maka kami ingin minta petunjuk beberapa
gebrakan dari nona," sahut satu diantaranya.
"Aku dalam keadaan terluka, cara bagaimana bisa
bergebrak dengan kalian ?" kata Bu-siang. "Jika betul2 kalian
penasaran, bolehlah tetapkan harinya, nanti kalau lukaku sudah sembuh, pasti ku
datang minta pengajaran kalian, Kalian bertiga adalah jago dari Kay-pang, kini
sengaja hendak mengeroyok satu gadis yang sedang luka parah, apakah ini
terhitung orang gagah perkasa ?"
Dengan kedudukan yang cukup tinggi ketiga pengemis itu,
mereka jadi terdesak oleh debat Bu-siang ini.
"Baiklah, nanti kalau lukamu sudah sembuh, kami cari
kau lagi," kata pengemis yang kedua.
"Nanti dulu," tiba2 pengemis yang ketiga
berpikir lain: "Dimanakah lukamu ? Apa betul atau pura2, kami harus
periksa dulu, kalau benar kau terluka, hari ini kami boleh ampuni kau."
Ia berkata begitu karena tak diketahuinya luka Bu-siang
berada di bagian dadanya, maka tidak sengaja ingin mengetahui tempat luka ini,
tapi bagi Bu-siang seketika mukanya menjadi merah, iapun menjadi gusar hingga
untuk sesaat tak bisa bicara.
"Hm, orang Kangouw bilang sahabat2 dari Kay-pang
semuanya ksatria sejati, siapa tahu semuanya adalah manusia2 yang tak kenal
malu," kemudian Bu-siang mendamperat.
Mendengar nama baik perkumpulan mereka dihina, air muka
ketiga pengemis itu berubah semua, satu diantaranya yang berwatak berangasan
segera melompat maju, dan hendak tarik Bu-siang keluar dari jolinya.
"Eeeeh, nanti duIu, nanti dulu !" tiba2 Nyo Ko
menyela demi dilihatnya keadaan sudah mendesak "Kalian minta duit,
bukankah aku sudah memberi tadi, kenapa sekarang masih merecoki biniku ?"
Sembari berkata iapun maju menghadang di depan joli, lalu
ia sambung lagi, "Tampaknya kalian meski pengemis, tapi tampangmu gagah,
potonganmu pun banyak rejeki, kelak banyak harapan akan menjadi orang kaya atau
orang berpangkat, kenapa sekarang berani goda biniku dan melakukan perbuatan2
rendah seperti bajingan ini ?"
Teguran ini membikin ketiga pengemis menjadi tercengang
hingga mereka tak bisa menjawab.
"Kau menyingkir, kami hanya ingin belajar kenal
dengan ilmu silatnya dari Ko-bong-pay, siapa yang melakukan perbuatan rendah
?" sahut si pengemis yang berangasan tadi Sambil berkata, berbareng ia
mendorong Nyo Ko.
"Haya !" Nyo Ko berteriak dan pura2 jatuh ke
tepi jalan.
Dalam perserikatan kaum pengemis itu ada peraturan yang
melarang bergebrak dengan orang yang tak mahir ilmu silat, Sungguh tak terduga
oleh pengemis itu bahwa "pengantin laki2" ini ternyata begitu tak
becus. hanya sekali dorong pelahan saja sudah terbanting jatuh, kalau
terbanting luka, tentu bakal terima hukuman berat dari perkumpulan, dua
kawannya pun tidak terluput dari tanggung jawab ini.
Karena itu mereka terkejut, lekas2 mereka memburu maju
buat bangunkan orang, sebaliknya Nyo Ko sengaja menjerit kesakitan Karena hari
sudah gelap waktu itu, maka pengemis itupun tak jelas apa betul2 orang terluka
- atau tidak.
"Ai, kalian bertiga inipun orang tolol, biniku baru
jadi pengantin dan masih malu2. mana mau dia bicara dengan orang yang tak
dikenalnya," demikian sambil ber-teriak2 sakit masih Nyo Ko berkata lagi,
"Begini saja, pelajaran apakah yang kalian inginkan ? Coba katakan padaku,
nanti aku yang bicara dengan biniku yang baru ini. habis itu nanti
kuberitahukan lagi pada kalian bukankah baik begitu ?"
Melihat macam Nyo Ko yang dibilang tolol toh tidak tolol,
akhirnya mereka tak sabar Iagi.
"Kau mau menyingkir tidak ?" pengemis yang
berwatak keras tadi membentak pula.
Akan tetapi Nyo Ko sengaja pentang kedua tangannya malah.
"Tidak, kalian hendak hina biniku, itulah jangan
harap," sahutnya dengan suara keras.
"Nona Liok," kata pengemis yang lain, "kau
pakai si tolol ini sebagai tamengmu, apa dia bisa merintangi kami ? Lekas kau
berterus terang saja, apa yang hendak kau katakan !"
"Eh, darimana kaupun tahu namaku si Tolol? Sungguh
aneh bin ajaib !" tukas Nyo Ko tiba2 dengan lagak heran.
Tetapi pengemis yang berangasan tadi tak gubris padanya,
ia masih berteriak pada Liok Bu-siang: "Kami tidak ingin belajar lain,
cukup asal belajar kenal dengan tipu seranganmu dengan golok membacok punggung
itu saja, apakah nama tipu serangan itu?"
Bu-siang tahu juga bahwa dengan caranya Nyo Ko menggoda
mereka itu, sukar juga urusan ini diselesaikan, karena itu dalam hati sedang
memikirkan sesuatu jalan meloloskan diri, ketika mendengar orang menanya lagi,
tanpa terasa ia telah menjawab : "Namanya "Tiau-siang-pay-gwe",
ada apakah ?"
"Ya, betul, namanya "Tiau-sian-pay-gwe",
begini gerak goloknya, bet, lantas kena bacok di punggungmu," tiba2 Nyo Ko
menyambung sambil mulutnya "bat-bet, bat-bet", tangan pun mendadak
memotong ke belakang pundak orang "plok", dengan pinggiran telapak
tangan ia hantam punggung pengemis itu.
Keruan saja ketiga pengemis itu sangat terkejut oleh
gerak serangan Nyo Ko, berbareng mereka melompat mundur.
"Ha, kiranya orang ini pura2 menyamar sebagai
pengantin untuk mempermainkan kami," demikian pikir mereka.
Walaupun tak banyak tenaga yang dikeluarkan Nyo Ko, namun
punggung pengemis itupun terasa sakit.
"Bagus, anak keparat, kau pura2 tolol Mari, mari
sini, biar kubelajar kenal dulu dengan kepandaianmu yang tinggi," segera
pengemis itu ber-teriak2 menantang, berbareng tongkat diketokkan ke tanah
hingga menerbitkan suara nyaring keras.
"Tadi kau bilang ingin belajar pada biniku, kenapa
sekarang hendak belajar kenal padaku ?" sahut Nyo Ko berlagak bodoh.
"Belajar kenal dengan kau pun sama saja," kata
pengemis itu dengan gusar.
"Wah, bisa celaka, aku tak bisa apa2," ujar Nyo
Ko, habis ini ia berpaling dan tanya Bu-siang : "Bini cilik yang baik,
menurut kau, apa yang harus kuajarkan padanya?"
Kini Bu-siang sudah tidak ragu2 lagi akan si Nyo Ko yang
pasti memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, kalau tidak, mana berani ia
cengar cengir berlagak bodoh menggoda ketiga jago Kay-pang ini? Tetapi karena
belum kenal aliran ilmu silat orang, maka sekenanya ia menjawab pula: "Kau
unjuk sekali lagi jurus Tiau-sian-pay-gwe !"
"Baik !" sahut Nyo Ko, berbareng ini, tiba2 ia
membungkuk ke depan, tangan mengulur, "plok", dengan tipu
"Tiau-sian-pay-gwe" atau Tiau-sian menyembah rembulan, kembali ia
gebuli sekali lagi punggung si jembel itu.
Melihat serangan Nyo Ko, semua orang bertambah kaget dan
heran pula, Terang Nyo Ko berdiri berhadapan dengan lawan dan sama sekali tak
menggeser selangkahpun tetapi hanya sedikit membungkuk dan tangan mengulur,
tahu2 tangannya berhasil menggebuk punggung orang, sungguh ilmu pukulan yang
sangat aneh dan mengherankan.
Bukan saja orang2 itu heran, bahkan Bu-siang pun tergetar
hatinya. "Bukankah ilmu pukulannya ini adalah aliran Ko-bong-pay kami,
kenapa diapun bisa ?" demikian ia bertanya dalam hati.
Dengan ragu segera ia berkata lagi: "Coba sekali
Iagi, sekarang jurus "Se-si-hong-sim !"
"Baik !" sambut Nyo Ko cepat.
Ketika tinjunya menyodok ke depan, dengan tepat kena
pukul ulu hati lawan, itulah tipu serangan "Se-si-hong-sim" atau Se
Si meraba dada.
Karena genjotan itu, maka terasalah oleh pengemis itu
didorong suatu kekuatan yang maha besar hingga tubuhnya mencelat pergi sejauh
lebih setombak, anehnya disana ia bisa berdiri dengan tegak, tempat yang
terkena pukulan pun tidak terasa sakit.
Walaupun begitu, kedua pengemis yang lain segera
menerjang maju berbareng.
"Haya, celaka, bini cilik, tak sanggup aku melawan
mereka, lekas ajarkan tipu padaku," Nyo Ko ber-teriak2.
"Ciau-kun-jut-sat, Moa-koh-hian-siu !" tiba2
Bu-siang menyebut dua nama tipu serangan.
Maka dengan cepat Nyo Ko ulur tangan diri, lima jarinya
menjentik berbareng seperti orang menabuh Pi-peh dan lima jari itu juga dengan
tepat kena menyentil tubuh pengemis sebelah kanan memang betul itulah tipu
"Ciau-kun-jut-sat" atai Ciau-kun keluar negeri MenyusuI mana,
tubuhnya tiba2 mengegos ke samping, ia hindarkan tendangan si pengemis sebelah
kiri yang sementara itu sudah melayang, sedangkan kedua kepalan telah
disodokkan ke atas, "plak", dengan jitu sekali dagu pengemis sebelah
kiri itupun kena ditonjok.
"lni "Moa-koh-hian-siu", betul tidak
?" teriak "Nyo Ko, Karena tak ada niat buat celakai pengemis itu,
maka tenaga hantamannya tadipun tidak keras.
Begitulah ber-turut2 Nyo Ko telah unjuk empat kali
serangan dan tiap2 tipu serangan adalah "Bi-li-hoat" "dari
Ko-bong-pay,
Ko-bong-pay dimulai sejak cakal-bakalnya, ya itu Lim
Tiao-eng, selamanya hanya terima murid wanita dan tidak lelaki, Lim Tiao-eng
telah ciptakan ilmu pukulan yang disebut "Bi-li-kun-hoat" atau ilmu
pukulan gadis ayu, maka tiap2 tipu serangannya diberi nama dengan mengambil
nama2 wanita cantik jaman purbakala, waktu ilmu pukulan itu dimainkan, orangnya
lemah gemulai gayanya indah luar biasa.
Sebab Siao-Iiong-li sudah melanggar kebiasaan menerima
murid wanita dan telah terima Nyo Ko sebagai murid, dengan sendirinya
"Bi-li-kun-hoat" itupun diajarkan padanya, Tetapi Nyo Ko merasa tipu2
serangan itu meski lihay, namun gayanya selalu kiyat-kiyut, tidak pantas
dilakukan orang Ielaki, maka waktu ia melatih ilmu pukulan itu, ia sendiri
telah tambahi dengan tenaga besar dan gaya kaum lelaki, dari gaya yang lemah
gemulai itu ia rubah menjadi gaya lelaki yang gagah perkasa, walaupun gayanya
lain, tetapi intilnya masih tetap.
Begitulah, sesudah kena diserang Nyo Ko dengan cara2 yang
sukar dimengarti, ketiga pengemis yang terhitung jago kelas tinggi dari
Kay-pang itu masih belum mau menyerah begitu saja, sekali bersuit berbareng
mereka mengerubut maju Iagi.
"Haya, celaka, bini cilik, sekali ini kau bisa
menjadi janda!" teriak Nyo Ko sambil berkelit ke sana kemari.
Bu-siang terkikik geli oleh teriakan itu,
"Thian-sun-cit-kim!" tiba-tiba ia menyebut satu nama tipu serangan
lagi.
Tanpa pikir Nyo Ko mengayun tangan kanan ke kiri dan
tangan kiri menyodok ke kanan, ia bergaya seperti orang memintal, sesuai dengan
nama tipu "Thian-sun-cit-kim" atau Thian-sun memintal sutera, maka
sekaligus pundak kedua pengemis itu kena dihantam semua.
"Bun-kun-taog-lo, Kui-hui-cui-ciu!" kembali
Bu-siang menyebut dua nama Iagi.
Eh, betul juga, si Nyo Ko lantas angkat tangan seperti
menuang arak dan ketok ke atas kepala si pengemis yang bertabiat berangasan
itu, menyusul tubuhnya ter-huyung2 dan miring ke kiri, maka perut si pengemis
yang lain dengan tepat kena ditumbuk oleh pundak kanannya. itulah tipu2
"Bun-kun-tang-lo" dan "Kui-hui-cui-ciu" atau Bun-kun
mengipas anglo dan Kui-hui mabuk arak.
Terkejut dan gusar pula ketiga pengemis itu, mereka telah
keluarkan ilmu silat seluruhnya, tapi sedikitpun tak bisa menghantam orang,
sebaliknya lawannya bebas mengayun tangan atau melayangkan kakinya, ke mana
dipukulnya, di situ tentu kena, meski tak sakit tempat yang kena serangan,
namun luar biasa anehnya.
Kemudian ber-ulang2 Bu-siang menyebut lagi beberapa tipu
serangan yang satu per satu dilakukan Nyo Ko lagi dengan betul. Sungguh kagum
sekali Liok Bu-siang oleh kepandaian "si ToIol", Segera timbul juga
kejadiannya untuk permainkan "si Tolol", ia lihat Nyo Ko waktu itu
sedang ulur kepalan menghantam ke depan, mendadak ia berteriak :
"Cek-thian-sui-liam !"
Menurut keadaan Nyo Ko waktu itu se-kali2 tidak mungkin
bisa memakai tipu serangan yang disebut itu, tetapi betapa tinggi Lwekang Nyo
Ko sekarang, bisa saja dilakukan tipu apa yang orang inginkan, se-konyong2
tubuhnya menubruk ke depan, kedua tangannya memotong ke bawah dengan gaya
seperti menurunnya kerai, tidak salah lagi ini memang tipu
"Cek-tbian-sui-Iiam" atau Bu Cek-thian menurunkan kerai.
Sebelum itu sebenarnya ketiga pengemis itu lagi menubruk
maju karena melihat ada kesempatan, siapa tahu oleh tubrukan Nyo Ko ini, mereka
terbalik terdesak mundur beberapa langkah.
Luar biasa heran dan senangnya Liok Bu-siang oleh kemahiran
"si Tolol" ini, kembali ia berseru : "lt-siau-cing-kok !"
"lt-siau-cing-kok" atau sekali tertawa
meruntuhkan negara, inilah satu tipu pilihan Bu-siang sendiri yang tak pernah
ada dalam pelajaran "Bi-li-kun-hoat", sebab meski wanita cantik
dengan senyum dan tawanya bisa meruntuhkan suatu negara: tapi mana dapat
digunakan untuk bergebrak dengan pihak lawan ?
Akan tetapi disinilah Nyo Ko unjuk kemahirannya, sesudah
tertegun sedetik karena nama tipu yang aneh itu, namun segera ia menengadah dan
tertawa: "hahaha...hehehehe... huhuhu... hohoho... hahahaha !"
Sungguh aneh sekali suara tertawanya ini, ternyata Nyo Ko
telah keluarkan Lwekang yang paling tinggi dari "Kiu-im-cin-keng"
yang dilatihnya walau latihannya belum bisa dibilang masak dan belum dapat dipakai
untuk melawan jago kelas wahid, tetapi ketiga pengemis itu hanya anak murid
Kay-pnng kelas dua-tiga saja, ketika mendengar suara ketawa yang aneh itu, tak
tahan lagi telinga mereka se-akan2 pekak dan kepala pusing, mereka ter-huyung2
untuk kemudian terguling'jatuh semua saking tak tahan.
Bukan saja tiga pengemis itu, bahkan Bu-siang ikut
terkena juga akbiatnya, iapun merasa pusing hingga hampir jatuh semaput, lekas2
ia pegang erat2 tiang joiij sementara itu di bagian luar keadaan sudah kacau
balau, suara jeritan dan gedubrakan bercampur aduk, para pengiring kemanten dan
kedua penganten baru itu sudah jatuh terguling semua karena tak tahan oleh
suara tertawa Nyo Ko.
Setelah Nyo Ko hentikan tertawanya, dengan cepat ketiga
pengemis itu melompat bangun, tanpa berpaling lagi segera mereka angkat kaki.
Dan sesudah mengaso lagi tak lama, kemudian iring2an joli
penganten itu melanjutkan perjalanan agi, terhadap Nyo Ko kini para pengiring
itu menganggapnya seperti malaikat dewata saja, tiada seorangpun yang berani
membangkang lagi.
Menjelang tengah malam, barulah mereka sampai di satu
kota, di situlah Nyo Ko membubarkan para pengiring kemanten itu, ia dan
Bu-siang antas mendapatkan sebuah hotel untuk menginap."
Waktu mereka hendak bersantap dulu, baru saja mereka
duduk, tiba2 Nyo Ko melihat di depan pintu ada berkelebatnya bayangan orang,
satu orang telah longak-longok ke dalam dan demi nampak Nyo Ko dan Bu-siang,
cepat orang itu meng-eret dan putar pergi.
Nyo Ko jadi curiga, dengan cepat ia menyusul keluar, maka
tertampaklah olehnya di pelataran hotel sana berdiri dua Tojin atau imam.
Begitu melihat Nyo Ko keluar, segera kedua imam itu menubruk maju ke arahnya.
Kedua imam itu dapat dikenali Nyo Ko sebagai Tio Put-hoan
dan Ki Jing-si yang pernah saling labrak dengan Liok Bu-siang di lembah Srigala
tempo hari.
"He, ada apakah kalian marah padaku ?" |nikian
Nyo Ko heran karena orang menubruk ke jurusannya, ia berdiri tegak saja tanpa
gubris mereka.
Tak terduga tujuan kedua imam itu ternyata bukan diri Nyo
Ko, tiba2 mereka mengegos lewat di sampingnya terus melompat ke depan Bu-siang.
Akan tetapi sebelum terjadi sesuatu, pada saat itu juga,
tiba2 terdengar suara keleningan yang nyaring.
Suara kelenengan ini datangnya mendadak dan tahu2 sudah
berada dalam jarak yang dekal sekali. Muka kedua Tosu itu berubah hebat demi
mendengar suara kelenengan, sesudah saling pandang sekejap, segera mereka lari
kembali ke kamar yang berada di sebelah barat sana, dengan keraj mereka
gabrukan daun pintu dan dikunci rapat untuk kemudian tak berani keluar lagi.
"Ha, imam2 busuk ini tentu pernah merasakan pahit
getir tangannya Li Bok-chiu, makanya mereka begitu takut padanya," diam2
Nyo Ko membatin.
"Suhu sudah datang, bagaimana baiknya, Tolol ?"
dengan suara tertahan Bu-siang menanya Rupanya iapun berkuatir.
"Bagaimana baiknya ?"
Dan selagi ia hendak pondong si gadis, mendadak suara
kelenengan tadi sudah berhenti di depan "pintu hotel"
Betul saja lantas terdengar suara Li Bok-chi sedang
berkata: "Ling-po, kau menjaga atas wuwungan rumah !"
Terdengar Ang Ling-po menyahut sekali, dengan cepat sang
murid melompat ke atas.
Menyusul terdengar lagi suara kasir hotel yang berkata:
"Sian-koan, engkau orang tua.. aduh... Aku..."
Suara si kasir hotel ternyata terputus sampai di situ
saja, sebab orangnya mendadak terguling ke lantai dan jiwanya sudah melayang.
Kiranya Li Bok-chiu paling benci bila orang menyebut
kata2 "tua" di hadapannya, apalagi orang terang2an katakan dia
"orang tua", keruan tanpa ampun lagi, sekali kebutnya menyabet,
seketika jiwa kasir hotel itu melayang.
"Ada seorang nona pincang tinggal di sini tidak
?" lalu Li Bok-chiu tanya pelayan hotel.
Tetapi pelayan itu sudah ketakutan melihat keganasannya.
"Aku... aku..." demikian sahutnya tak terang.
Li Bok-chiu menjadi tak sabar, sekali dorong ia sengkelit
pelayan itu hingga cium tanah, habis ini lantas terdengar suara
"bang" yang keras, pintu kamar pertama di sebelah barat itu
didobraknya hingga terpentang, itulah kamar para imam.
"lnilah kesempatan untuk melarikan diri melalui
pintu belakang, meski akan dipergoki Ang Ling-po, tetapi aku tak takut
padanya," diam2 Nyo Ko terpikir. Karena itu, dengan suara lirih ia berkata
pada Liok Bu-siang: "Bini cilik, lekas ikut aku melarikan diri"
Si gadis pelototi Nyo Ko karena orang berulang kali
panggil "bini cilik" padanya, tetapi ia berdiri juga, ia pikir sekali
ini kalau bisa selamat pula, betul2 Tuhan yang melindungiNya.
Pada saat itu juga, dari pojok ruangan hotel, itu satu
tetamu telah berdiri, waktu ia jalan melalui samping Nyo Ko dan Bu-siang, tiba2
dengan suara tertahan ia berkata : "Aku pancing dia pergi, lekas cari
jalan buat selamatkan diri."
Orang ini sejak tadi duduk di satu meja di pojok yang
rada gelap, maka Nyo Ko dan Bu-siang sama sekali tak perhatikan muka orang,
Kini waktu bicara mukanya pun berpaling ke jurusan lain, baru selesai bicara,
dengan cepat orangnya sudah melangkah keluar, hanya potongan belakangnya yang
tertampak jelas bahwa perawakannya tidak tinggi, malahan lebih pendek sedikit
dari pada Liok Bu-siang, baju yang dipakainya berwarna hijau dan rada
kebesaran.
Tentu saja Nyo Ko dan Bu-siang terkejut oleh kata2 orang
tadi, sedang mereka bingung, mendadak terdengar suara kelenengan keledai
berbunyi riuh terus menjauh menuju ke utara.
"Suhu, ada orang mencuri keledai kita !"
terdengar Ang Ling-po berteriak.
Dengan cepat pula satu bayangan berkelebat dari dalam
kamar tadi, Li Bok-chiu melayang keluar terus mengudak ke arah perginya si
pencuri keledai.
"Lekas kita lari!" segera Bu-siang mengajak.
Akan tetapi Nyo Ko berpandangan lain, ia pikir:
"llmu entengkan tubuh Li Bok-chiu cepat luar biasa, tentu segera orang
tadi akan dicandaknya dan segera pula ia bisa balik kembali. Kalau aku pondong
nona pincang ini, karena tak bisa cepat berlari, sukar juga buat meloloskan
diri."
Mendadak ia mendapat akal, dengan cepat kamar pertama di
sebelah barat sana dimasukinya.
Di kamar itu ia lihat Tio Put-hoan dan Ki Jing-si dalam
keadaan ketakutan sedang duduk di atas pembaringan. Tahu keadaan mendesak tanpa
menunggu kedua imam itu bersuara, dengan cepat Nyo Ko menubruk maju, sekali ia
tutuk roboh kedua orang itu.
"Bini cilik, masuk sini!" teriaknya pada
Bu-siang.
Tanpa pikir lagi si gadis menurut, pintu kamar dengan
cepat dirapatkan kembali oleh Nyo Ko.
"Lekas copot pakaian !" katanya pula.
Apa kau bilang, Tolol ?" Bu-siang mengomel dengan
muka merah jengah.
"Terserah ksu mau copot pakaian tidak, tetapi aku
sendiri akan mencopot!" sahut Nyo Ko sambil melepaskan baju luarnya,
menyusul jubah Tosu yang dipakai Tio Put-hoan telah dia lucuti dan dikenakan
sendiri, malahan kopiah orang ia samber, dan dipakainya pula.
Nampak perbuatan Nyo Ko ini, segera Bu-siang mengerti,
"Baiklah, kita menyamar sebagai Tosu buat mengelabui Suhu," katanya
kemudian.
Habis itu bajunya sendiri lantas hendak dibukanya, tetapi
mukanya menjadi merah pula, tiba2 ia depak Ki Jing-si sekali sambil
mendamperat: "Pejamkan matamu, imam keparat !"
Meski badan kedua imam itu tertutuk dan tak bisa
berkutik, namun pancaindera mereka masih bisa bekerja biasa, maka mata lantas
mereka pejamkan mana berani mereka mengintip tubuh Liok Bu-siang ?
"Tolol, kaupun berpaling ke sana," kata
Bu-siang pula pada Nyo Ko.
"Takut apa ? Waktu aku sambung tulangmu, bukankah
aku sudah melihatnya," sahut Nyo Ko dengan tertawa.
Tetapi sesudah berkata, segera Nyo Ko merasa kata2nya itu
terlalu bambungan, maka ia menjadi rikuh.
Di lain pihak Bu-siang menjadi marah, "plek",
kontan ia baliki telapak tangannya dan tempeleng orang.
Sebenarnya sedikit menunduk saja Nyo Ko bisa hindarkan
tamparan itu, tetapi dalam keadaan linglung, ia tak menghindar hingga pukulan
itu kena pipi kirinya dengan antap. Kiranya mendadak Nyo ko teringat pada
Siao-liong-li karena mimik wajah Liok Bu-siang yang sedang marah2 itu, maka ia
menjadi ternganga diam.
Sebaliknya Bu-siang menyangka pukulannya tentu mengenai
tempat kosong, siapa tahu justru tepat kena sasarannya dengan keras,
mau-tak-mau iapun tertegun.
"Sakit tidak, Tolol ? Makanya jangan ngaco-belo dan
ngoceh semaunya," katanya kemudian dengan tersenyum.
Nyo Ko tidak menjawab, ia raba2 pipinya sendiri yang
panas pedas itu, lalu berpaling ke jurusan lain.
"Coba lihat, aku mirip imam kecil tidak ?"
tanya Bu-siang dengan tertawa sesudah jubah pertapaan orang dikenakannya.
"Tak kelihatan, manaku tahu," sahut Nyo Ko.
"Balik sini, Tolol," omel si gadis.
Kefika Nyo Ko berpaling kembali, ia lihat jubah itu
terlalu besar dipakai Bu-siang, tapi makin menunjukkan betapa ramping tubuh
Bu-siang.
Selagi Nyo Ko hendak buka suara, sekonyong-konyong terdengar
Bu-siang menjerit tertahan sambil menuding ke atas pembaringan.
Eh, kurangajar, kiranya dari dalam selimut di atas
pembaringan itu kelihatan menongol satu kepala imam yang dapat Nyo Ko kenali
sebagai Bi Jing-hian, imam yang tertabas tangannya oleh Bu- siang di lembah
Srigala itu. Rupanya ia rebah di atas pembaringan karena lukanya, tadi waktu
melihat Bu-siang, dalam takutnya ia telah mengkeret ke dalam selimut Karena Nyo
Ko dan si gadis sedang sibuk menukar pakaian, maka tak memperhatikan kalau di
situ masih ada satu imam lagi.
"Dia... dia..." demikian dengan suara samar2
Bu-siang hendak bicara, sebenarnya ia hendak bilang: "dia mengintip aku
tukar pakaian", tetapi tak enak diucapkannya.
Pada saat itu juga, kembali suara kelenengan keledai
belang milik Li Bok-chiu terdengar lagi.
Nyo Ko tahu iblis perempuan itu kembali lagi, tiba2
tergerak kecerdasannya, ia tarik Bi Jing-hian yang meringkuk di dalam selimut
itu, dengan sekali cekal dan tarik itu berbareng ia sudah tutuk jalan darah
orang, lalu ia buka rongga pembaringan dan masukkan imam sial itu ke dalam.
Hendaklah diketahui bahwa balai2 atau pembaringan yang
biasa digunakan di daerah utara itu terbuat dari tanah liat dan dibawahnya
berlubang, karena daerah utara hawa sangat dingin, maka rongga balai2 itu
dinyalakan api unggun untuk memanaskan badan bagi yang rebah di atasnya. Tetapi
waktu itu bukan musim dingin, di bawah kolong balai2 itu tak ada api,
sungguhpun begitu di dalamnya hitam gelap penuh debu arang, keruan Bi Jing-hian
seluruh muka dan kepalanya berubah menjadi hitam.
Sementara itu suara keleningan tadi sudah berhenti. Li
Bok-chiu telah sampai di depan hotel. "Naiklah ke atas baIai2," kata
Nyo Ko pada Bu-siang.
"Tak mau, sudah digunakan imam busuk itu,
"tentu kotor dan bau." sahut si gadis.
"Jika tak mau, terserah kau !" ujar Nyo Ko,
Sembari berkata, tangan pun bekerja, Tio Put-hoan telah
dijebloskan pula kedalam koIong, sebaliknya tutukan Ki Jing-si malah dia
lepaskan.
Di lain pihak, walaupun merasa selimut bekas terpakai itu
kotor dan bau, namun bila ingat kekejian gurunya yang tak kenal ampun, terpaksa
Bu-siang merangkak ke atas balai2, ia tiduran dengan muka menghadap ke bagian
dalam dan baru saja ia rebah, pintu kamar sudah ditendang Li Bok-chiu, untuk
kedua kalinya iblis ini melakukan penggeledahan.
Di sebelah sana Nyo Ko pura2 memegangi sebuah cangkir dan
dengan kepala tunduk sedang minum, padahal sebelah tangannya ia tekan punggung
Ki Jing-si pada Hiat-to yang mematikan hingga imam ini tak berani berkutik.
Melihat isi kamar itu masih tetap tiga imam, pula melihat
wajah Li Jing-si pucat lesi seperti mayat dan dalam ketakutan maka Li Bok-chiu
hanya tersenyum, lalu pergilah dia menggeledah ke kamar yang Iain.
Tadi waktu pertama kali Li Bok-chiu menggeledah wajah
ketiga imam itu sudah jelas dilihatnya, sebab ia kuatir Liok Bu-siang, ganti
pakaian dan menyamar, maka waktu menggeledah lagi untuk kedua kalinya, ia tidak
memeriksa pun dengan teliti, karena sedikit lengahnya ini ia kena dikelabuhi
oleh Nyo Ko.
Malam itu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po berdua telah
obrak-abrik seluruh kota itu hingga setiap rumah merasa terganggu sebaliknya
dengan aman sentausa Nyo Ko merebah di baIai2 berendeng dengan Liok Bu-siang,
alangkah senangnya dia waktu mencium bau harum yang menggiurkan dari si gadis.
Pikiran Bu-siang sendiripun timbul tenggelam seperti
mendamparnya ombak, ia rebah tanpa berani bergerak sedikitpun, ia pikir kalau
si ToIol ini dibilang goblok, nyatanya pintar tiada bandingannya, dikatakan dia
pintar, sebaliknya kelakuannya agak2an, sungguh aneh orang ini ia rada kikuk
juga karena bertiduran berendeng dengan pemuda, tetapi sampai lama sedikitpun
tiada sesuatu gerak-gerik dari Nyo Ko, barulah ia merasa lega hingga akhirnya
ia terpulas.
Besok paginya Nyo Ko mendusin lebih dulu, ia lihat Ki
Jing-si masih menggeros mendekam di atas meja, sedang Bu-siang dengan napasnya
yarig pelahan kelihatan masih nyenyak juga, kedua pipi gadis ini semu merah,
bibirnya mungil tanpa terasa jantung Nyo Ko memukul keras.
"Jika pelahan2 aku mencium dia sekali, tentu dia tak
akan tahu," demikian ia pikir.
Dasar Nyo Ko baru injak dewasa, walaupun tiada maksud
jahat yang terkandung padanya, namun ingin juga mengecup sekali bibir si gadis
yang merah mungil itu. Maka dengan hati2 ia menjulurkan kepalanya, bau harum
yang teruar dari badan si gadis membikin Nyo Ko makin lupa daratan.
Tetapi baru saja kedua bibir hampir bersentuh,
se-konyong2 Nyo Ko merasakan punggungnya tertimpuk sesuatu Am-gi atau senjata
gelap, Luar biasa kaget Nyo Ko hingga ia meloncat bangun.
Sebenarnya dengan kepandaian Nyo Ko sekarang, segala
macam senjata rahasia pasti akan diketahuinya sebelum mendekati, tetapi tadi ia
sedang lupa daratan hingga pikirannya kabur, maka tak heran senjata rahasia
orang bisa mengenai punggungnya.
BegituIah, waktu ia meloncat kaget, segera dapat
dilihatnya sebuah wajah sekilas melintas di balik lubang jendela, Wajah itu
aneih luar biasa, seperti manusia tapi bukan manusia, dibilang setan pun bukan
setan.
Dalam herannya Nyo Ko menguber keluar, namun tiada satu
bayangan yang dia dapatkan "jangan2 ini tipu pancingan belaka ?"
tiba2 terpikir olehnya.
Ketika ia kembali ke kamar dan periksa senjata rahasia
tadi, ia lihat di atas lantai hanya terdapat segelintir kertas saja, ia
menjemputnya dan diperiksa, ternyata di atas kertas yang dilinting itu tertulis
sesuatu.
Waktu itu Bu-siang sudah terjaga bangun, ia pun mendekati
Nyo Ko untuk melihat isi surat itu, Maka tertampaklah apa yang tertulis itu
berbunyi". "Kalau berani kurangajar, segera jiwamu melayang !"
Seperti diketahui sehari sebelumnya ada satu anak petani
menghantarkan seikat bunga pada Liok Bu-siang dengan secarik surat pengantar
yang memberi peringatan, bahwa gurunya segera tiba dan gadis ini disuruh lekas
sembunyi. Gaya tulisan surat itu ternyata mirip dengan tulisan yang sekarang
ini.
Heran sekali Nyo Ko tercampur malu demi membaca kata2
surat itu, pikirnya: "Kiranya diam2 ada jagoan tinggi sedang melindungi
dia, semalam kalau aku melakukan sesuatu yang tak pantas, bukankah..."
Berpikir sampai disini, tanpa terasa seluruh mukanya merah semua.
"Hm, tolol busuk, kau didamperat Kokohmu bukan
?" tanya Bu-siang.
"He, ya, jangan2 memang Kokoh ?" terkesiap hati
Nyo Ko. Tetapi lantas teringat lagi olehnya : "Ah, tak mungkin, muka orang
itu luar biasa aneh-nya, bukan lelaki juga tidak perempuan, seperti manusia,
tapi juga bukan setan, terang bedanya seperti langit dan bumi dengan Kokoh,
apapula tulisan ini pun bukan tulisan tangan Kokoh !"
Pada saat itu juga suara kelenengan keledai belang Li
Bok-chiu berkumandang lagi dan menuju ke arah barat laut
Rupanya karena kitab "Ngo-tok-pit-toan" (kitab
pelajaran "panca-bisa") digondoI Liok Bu-siang, kitab itu belum
didapatkan kembali, selama itu pula ia tak tenteram, maka selama beberapa hari
ini Li Bok-chiu boleh dikatakan tidur tak nyenyak dan makan tak enak, meski
hari masih sangat pagi, dengan keledainya ia telah berangkat mencari Liok
Bu-siang.
"Kalau kembalinya ke sana tak ketemukan kau, pasti
dia akan balik ke sini puIa," kata Nyo Ko. "Cuma sayang kau terluka
parah dan tak boleh terguncang keras, kalau tidak, kita bisa menunggang dua
ekor kuda dan kabur secepat2nya".
"Bukankah kau sendiri tak luka, kenapa tak kau curi
kuda dan kabur sekaligus sehari semalam?" Bu-siang mengomel
Melihat orang marah, Nyo Ko menjadi senang, ia sengaja
memancing pula: "Kalau bukan kau yang mohon diantar ke Kanglam, mana aku
mau menghadapi bahaya ini."
"Kalau begitu, bolehlah kau pergi, Tolol, melihat
macammu saja aku lantas marah, biar lebih baik aku mati saja," sahut
Bu-siang.
"Wah, jika kau mati, akulah yang rugi," kata
Nyo Ko tertawa.
Tetapi kuatir si gadis betul naik darah hingga tulangnya
yang sudah tersambung itu patah lagi, maka tak digodanya lebih jauh, ia ke
kantor hotel dan pinjam tinta bak, dengan bahan tulis ini ia campur air baskom
yang akan dibuat cuci muka Bu-Siang, mendadak Nyo Ko celup tangannya pada air
baskom dan dengan cepat diusapkan ke muka si gadis.
Sama sekali Bu-siang tak ber-jaga2 kalau orang akan
berbuat begitu, 1ekas2 ia keluarkan saputangan buat bersihkan air kotor itu
sambil tiada pentinya ia mendamperat "si Tolol". Dalam pada itu
dilihatnya Nyo Ko sendiripun menggosok tangannya kekolong balai2 yang penuh
arang itu, lalu ia campur dengan lak dan dipoles pada mukanya sendiri, karena
itu, wajahnya yang tadinya ganteng, kini berubah menjadi jelek.
Bu-siang adalah gadis pintar dan cerdas, nampak kelakuan
Nyo Ko itu, segera iapun mendusin. "Ah, memang betul meski aku sudah salin
pakaian-kaum imam, tetapi mukaku masih bisa dikenalnya, kalau tersusul Suhu,
mana bisa mengelabui matanya ?"
Maka tak sangsi2 lagi air bak tadi ia poles, rata di
mukanya, dasar anak gadis memang suka akan kecantikan, meski poles muka dengan
air bak, toh masih dilakukannya seperti biasa kalau bersolek dengan bedak dan
gincu.
Selesai kedua orang menyamar, Nyo Ko ulur kakinya dan
menendang ke kolong balai2 buat lepaskan Hiat-to kedua imam yang dia tutuk itu.
Menyaksikan caranya Nyo Ko melepaskan tutukan orang,
tanpa lihat sedikitpun, hanya kakinya menendang beberapa kali sekenanva, lalu
kedua imam itu bisa bersuara dan bergerak lagi, sungguh tidak kepalang kagum
Bu-siang. "Si Tolol ini berpuluh kali lebih tinggi kepandaiannya dari pada
aku," demikian ia betul2 menyerah kini.
Walaupun begitu, mukanya sama sekali tak mengunjuk sesuatu
tanda bahkan ia masih me-maki2 orang "tolol".
Sementara luka Bu-siang sudah baikan, ia sudah bisa
menunggang keledai sendiri dengan jaIan pelahan, karena tak ingin setunggangan
lagi dengan Nyo Ko, maka masing2 lalu mengambil seekor keledai sendiri dan
melanjutkan perjalanan ke tenggara, Apabik letih, mereka mengaso, lalu
meneruskan lagi menunggang keledai.
Siapakah gerangan orang yang telah dua kali kirim surat
itu ?" begitulah sepanjang jalan Ko selalu ber-tanya2 dalam hati.
"Hai, Tolol, kenapa kau diam saja tak bicara?" tiba2 Bu-siang
menegur. Waktu itu memang Nyo Ko lagi ter-menung2, karena teguran orang,
mendadak ia ingat sesuatu, "Ai, celaka, sungguh aku terlalu ceroboh!"
ia berteriak.
"Memangnya kau ceroboh, siapa yang bilang kau
pintar!" kata si gadis.
"Kita sudah menyamar dan ganti rupa, tetapi semua
ini telah dilihat ketiga Tojin itu, kalau dia lapor pada gurumu, bukankah kita
bakal celaka ?" ujar Nyo Ko.
Bu-siang tertawa geli oleh pikiran orang ini. "Tiga
imam busuk itu sudah mendahului kabur ke depan sana, mana berani dia tinggal di
sana menunggu datangnya Suhu," sahutnya kemudian. "Kau ter-menung2
saja seperti orang gendeng sejak tadi, masakah mereka sudah mendahului di depan
sana kau tak melihatnya?"
"Oh !" kata Nyo Ko sambil tertawa ke arah
Bu-siang.
Gadis itu menjadi bingung oleh tertawaan itu yang
tampaknya mengandung arti yang dalam.
Pada saat itu mendadak keledai yang ditungganginya itu
meringkik keras, Waktu Bu-siang menoleh, ia lihat di tikungan jalan sana sudah
berdiri Iima pengemis, mereka berdiri berjajar merintangi jalannya,
Mata Nyo Ko sangat jeli, sekilas saja dapat dilihatnya
dibalik jalan sana ada dua orang lain yang mengkeret kembali sesudah melongok
sekejap kedua orang itu bukan lain adalah Tio Put-hoan dan Ki Jing-si.
"Ah, kiranya tiga imam busuk itu telah beritahu
orang Kay-pang mengenai penyamaran kami sebagai Tojin." demikian segera ia
jadi terang duduknya perkara.
Karena itu, ia lantas melompat turun dari keledainya dan
memapak maju.
"Tuan2 besar pengemis, kalian minta2 di delapan
penjuru, maka hari ini mohon kalian suka menderma pada kami," segera Nyo
Ko buka suara dahulu.
"Hm, sekalipun kalian cukur gundul menjadi Hwesio,
jangan harap bisa mengelabui mata-telinga kami," satu diantara pengemis2
itu menyahut, suaranya keras bagai genta, "Sudahlah, jangan berlagak bodoh
lagi, baiknya terus terang saja dan ikut kami pergi menghadap Pangcu (ketua
perserikatan)."
Mendengar orang menyebut Pangcu, diam Nyo Ko memikir:
"Menurut cerita Kokoh, Pangcu dari Kay-pang bernama Kiu-ci-sin-kay Ang
Chit kong, betapa tinggi ilmu silatnya orang tak mampu merabanya, walaupun
Kokoh sendiri tak pernah tinggalkan kuburan kuno, tapi pernah juga Sui popoh
bercerita padanya, agaknya Pangcu mereka ini sangat lihay, kalau betul2 ada disini,
rasanya susah buat loloskan diri lagi"
Kedua pengemis yang mencegat di jalan seberang ini adalah
murid berkantong delapan dari Kay-pang, menjadi ragu2 melihat Nyo Ko dan Liok
Bu-siang hanya anak2 muda yang belum genap 20 tahun usianya, tapi bisa kalahkan
empat murid Kay-pang dari kantong enam dan tiga murid kantong tujuh.
Begitulah, sedang kedua belah pihak sama2 ragu2, tiba2
suara kelenengan nyaring berkumandang lagi dari jurusan barat laut, suaranya
begitu tajam dan riuh menusuk telinga.
"Celaka, sekali ini bisa celaka," demikian
Bu-siang pikir, "Meski aku sudah ganti rupa dan tukar corak, tapi justru
dirintangi kedua pengemis setan ini kalau rahasia penyamaran kami dibongkar
olehnya, cara bagaimana aku bisa lolos dari tangab Suhu yang kejam ? Ai, betul2
sial."
Bukannya Bu-siang sesalkan dirinya sendiri yang tanpa
sebab melukai anak murid Kay-pang hingga menanam bibit permusuhan, kini ia
malah salahkan orang Kay-pang yang merintangi dia. Memang anak gadis kadang2
lebih suka menyalahkan orang lain daripada koreksi diri sendiri, ditambah pula
tabiat Bu-siang memang aneh hingga apa yang diperbuatnya dianggapnya pasti
betul dan apa yang dilakukan orang tentu salah.
Dalam pada itu, sekejap saja suara kelenengan Li Bok-chiu
sudah tambah dekat,
"Terang aku bukan tandingan Li Bok-chiu itu, tiada
jalan lain lagi kecuali terjang ke depan saja," pikir Nyo Ko.
Sungguhpun dalam hati ia berkuatir, tapi pada lahirnya ia
masih bisa berlaku tenang.
"Haha, kalau kalian tak sudi memberi sedekah itupun
tak apalah, harap memberi jalan saja," ia berkata lagi pada kedua pengemis
tadi dengan lagak setengah tolol. Habis berkata, dengan langkah lebar iapun
jalan ke depan.
Melihat tindakan orang yang enteng dan seperti tak paham
ilmu silat sedikitpun kedua pengemis itu mengulur tangan kanan hendak jambret
Nyo Ko.
Namun Nyo Ko sudah siap, tiba2 telapak tangannya
mendorong maju, maka beradunya tiga tangan tak terhindarkan lagi, hanya sekali
gebrak, ke-tiga2nya sama-sama tergetar mundur semua.
Kiranya murid Kay-pang kantong delapan itu sudah punya
keuletan latihan beberapa puluh tahun, tenaga dalam mereka begitu hebat dan
jarang ada tandingan lagi di kalangan Kangouw, kalau melulu soal keuletan,
boleh dikatakan puluhan kali lebih kuat dari Nyo Ko. Cuma hal kebagusan dan keanehan
gerak serangan, hal ini berbalik jauh di bawah pemuda kita.
Oleh sebab itulah, dengan pinjam tenaga pukulan orang
untuk memukul balik, Nyo Ko dapat patahkan tenaga pukulan orang tadi tetapi
untuk menerjang lewat begitu saja juga sukar baginya, Karenanya, ketiga orang
sama-sama terkejut.
Pada saat itu juga Li Bok-chiu dan Ang Lmg-po sudah
datang dekat.
"Hai, pengemis, imam cilik, kalian melihat seorang
gadis pincang lewat disini tidak ?" segera Ang Ling-po berteriak tanya.
Kedudukan kedua pengemis itu di kalangan Bulim tergolong
tinggi tentu saja mereka mendongkol oleh cara tanya Ang Ling-po, cuma terikat
oleh peraturan Kay-pang yang keras yang melarang sianak muridnya berkelahi
dengan orang dalam persoalan kecil, maka mereka menyahut juga dengatt pendek :
"Tak melihat!"
Namun mata Li Bok-chiu sangat tajam, ia lihat perawakan
kedua Tosu muda ini seperti pernah dilihatnya entah di mana, maka timbul rasa
curiganya.
Dalam pada itu dilihatnya pula keempat orang itu sedang
berhadapan dalam keadaan siap hendak saling labrak, maka diambilnya keputusan
akan menonton perkelahian itu, pertama ia ingin menyaksikan sampai dimanakah
ilmu silat anak murid Kay-pang, kedua ingin tahu juga dari aliran manakah kedua
Tosu cilik itu.
Di lain pihak Nyo Ko pun sedang pikir karena datangnya
iblis perempuan itu, waktu ia melirik, ia lihat wajah orang mengunjuk senyum
dan hendak menyaksikan perkelahian tiba2 pikirannya tergerak : "Ah,
begini, tentu akan hilang rasa curiganya."
Lalu didekatnya Ang Ling-po, ia memanggut memberi salam,
Karena itu, Ang ting-po membalas hormat orang.
"Siauto (imam kecil) kebetulan lewat disini dan
tanpa sebab dicegat kedua pengemis galak ini serta ditantang berkelahi"
demikian kata Nyo Ko, "Tetapi Siauto tidak membawa senjata, maka tolong Tosu
(kawan dalam agama toa) sudilah memberi pinjam pedangmu."
Melihat muka orang benjal-benjol sangat jelek, tetapi
budi bahasanya sopan, ditambah lagi orang mengemukakan agama, maka Ang Ling-po
merasa tak enak buat menolak permintaan orang pedang lantas dilolosnya, ia
berpaling dulu pada gurunya, waktu melihat Li Bok-chiu mengangguk maka
disodorkan pedangnya kepada Nyo Ko..
"Terima kasih sebelumnya," kata Nyo Ko pula
sambil terima senjata orang, "dan bila Siauto tak ungkulan, masih
mengharap Tosu memandang pada sesama agama kita, sudilah memberi bantuan
sedikit"
Ang Ling-po mengkerut kening oleh ceriwis-nya Njo Ko, ia
hanya menjengek sekali dan tidak menjawab.
Sementara itu Nyo Ko sudah putar balik kesana, dengan
suara keras ia berkata pula pada Bu-siang: "Hai Sute, kau saksikan
kutempur mereka dan tak usah ikut turun tangan, biar pengemis2 Kay-pang ini
berkenalan dengan ilmu kepandaian anak murid Coan-cin-pay kita."
"Ha, kiranya kedua imam cilik ini adalah orang
Coan-cin-kau," Li Bok-chiu terkesiap mendengar Nyo Ko ngaku sebagai anak
murid Coan-cin-kau, "Tetapi biasanya hubungan Coan-cin-kau dan Kay-pang
sangat baik, kenapa sekarang saling labrak ?"
Dalam pada itu kuatir kalau kedua pengemis itu
ber-teriak2 menyingkap rahasianya Bu-siang, dengan cepat Nyo Ko lantas
merangsang maju.
"Hayo, majulah Iekas, biar aku seorang diri lawan
kalian berdua", segera ia menantang.
Mendengar kata2 Nyo Ko semakin temberang, hati Bu-siang
menjadi kuatir.
"Si Tolol ini sudah menyamar sebagai Tosu, masa
berani mengaku dari Coan-cin-kau," demikian pikir gadis itu. "la tak
tahu bahwa guruku entah sudah berapa puluh kali berkelahi dengan imam2
Coan-cin-kau, ilmu silat Coan-cin-pay mana yang tak dikenalnya? sungguh kelewat
berani dia memalsukan nama orang lain."
Di sebelah sana, demi mendengar Nyo Ko mengaku sebagai
anak murid "Coan-cin", seketika juga kedua pengemis itu terkejut,
berbareng mereka membentak tanya: "Apa betul2 kau anak murid Coan-cin? Kau
dan dia..."
Tak nanti Nyo Ko memberi kesempatan pada mereka untuk menyebut
Liok Bu-siang, maka sebelum selesai perkataan orang, secepat kilat pedangnya
menusuk, sekaligus ia mengarah perut kedua pengemis itu, dan itu memang betul
adalah tipu serangan dari "TIong-yang-kiam-hoat" yang tulen.
Sebenarnya dengan kedudukan mereka yang tinggi di
kalangan Bu-lim, kedua pengemis itu tidak nanti mau tempur Nyo Ko dengan dua
lawan satu, akan tetapi serangan Nyo Ko ini datangnya terlalu cepat dan aneh,
mau-tak-mau mereka berdua harus angkat tongkat untuk menangkisnya. Nyata,
tongkat mereka yang tadinya tak menarik perhatian itu, kiranya terbikin dari
besi
Tetapi baru saja mereka angkat tongkat, tahu2 pedang Nyo
Ko sudah menerobos lewat melalui sela2 tongkat mereka dan masih terus menusuk
ke dada kedua orang itu.
Sama sekali tak diduga kedua pengemis itu bahwa ilmu
pedang orang bisa begitu cepat, terpaksa mereka mundur ke belakang.
Tetapi Nyo Ko sedikitpun tak kenal ampun, ia mendesak
terus setiap detik hingga sekejap saja sudah menusuk 18 kali, bahkan tiap2
tusukan sekaligus membagi dua jurusan puIa, yakni mengarah lawan yang berjumlah
dua orang. itu adalah ilmu silat Coan-cin-pay yang paling hebat yang disebut
"lt-gi-hoa-sam-jing" atau satu menjelma menjadi tiga, bila sudah
terlatih sampai tingkat yang paling hebat, maka sekali serangan bisa berubah
menjadi tiga tipu gerakan, dengan begitu, seorang sama dengan tiga orang maju
berbareng.
Begitulah, maka tiap2 Nyo Ko menusuk, saban2 kedua
pengemis itu dipaksa mundur, sekali saja ternyata tak mampu mereka balas
menyerang.
Nampak betapa bagus Kiam-hoat imam cilik ini, diam2 Li
Bok-chiu terperanjat katanva dalam hati: "Pantas nama Coan-cin-kau
disegani di seluruh jagat, sebab anak muridnya memang semuanya pilihan,
kepandaian orang ini kalau sepuluh tahun lagi pasti aku sendiri tak bisa menandinginya,
Tampaknya jabatan Ciangkau (ketua) Coan-cin-kau kelak pasti akan jatuh di
tangan orang ini."
Jika Li Bok-chiu saja begitu kagum pada kepandaian Nyo
Ko, maka jangan ditanya lagi Ang Ling-po dan Liok Bu-siang, mereka berdua
Iebih2 terpesona dan ternganga.
Dalam pada itu Nyo Ko sendiri sedang berpikir: "Jika
sedikit aku main kendur, pasti mereka akan buka suara, dan kalau mereka pentang
mulut pasti banyak celaka dari pada selamatnya."
Karena itulah sesudah 18 jurus
"Tiong-yang-kiam-hoat" habis dimainkan, dengan cepat Kiam-hoatnya
berubah, tiba2 ia memutar ke belakang kedua lawannya dan kembali pedangnya
menusuk lagi sekali-dua-gerakan, terpaksa kedua pengemis itu membalik tubuh
dengan cepat untuk menangkis, namun sebelum tongkat mereka menyentuh pedang,
tiba2 Nyo Ko sudah melesat pergi, lagi2 ia mengitar ke belakang orang dan
kembali menusuk pula, bila kedua orang itu memutar menangkis, segera Nyo Ko
menggeser ke belakang mereka lagi.
Kiranya Nyo Ko insaf bila melulu mengandalkan keuletan,
jangan kata satu lawan dua, melawan seorang pengemis itu saja tak nanti bisa
menandinginya, oleh sebab itu, ia sengaja main putar dengan Ginkang untuk
mengitari kedua lawannya.
Cara Nyo Ko memutar dan menggeser ini, bagi tiap2 anak
murid Coan-cin-kau yang sudah cukup matang memang diwajibkan melatih Ginkang
semacam ini untuk kelak digunakan dalam barisan bintang2
"Thian-keng-pak-tau-tin". Hanya saja sekarang Nyo Ko kombinasikan
cara bernapasnya dengan inti pelajaran "Giok-li sim-keng" yang
dilatihnya.
Harus diketahui bahwa Ginkang atau ilmu entengkan badan
dari Ko-bong-pay adalah ilmu yang tiada bandingannya, oleh sebab itulah
kecepatan Nyo Ko memutar dan berganti tempat se-kali2 tak bisa diikuti oleh
kedua jago Kay-pang itu, yang kelihatan hanya bayangan Nyo Ko yang berlari
secepat kilat dengan sinar mengkilap menyamber
Karena tusukan pedangnya yang silih bergilir. Dalam
keadaan demikian, bila Nyo Ko sungguh2 hendak celakai jiwa kedua pengemis itu,
sekalipun berjumlah dua puluh orang juga gampang saja dibunuhnya semua.
Tentu saja kedua orang itu kewalahan, sembari ikut
memutar cepat, mereka berusaha ayun tongkat untuk melindungi tempat2 bahaya di
tubuh sendiri, kini mereka sudah tak pikirkan buat tangkis serangan orang lagi,
mereka hanya berusaha melindungi diri sendiri sepenuh tenaga dan terserah
nasib.
Dengan begitu, setelah ratusan kali berputar cepat,
akhirnya kedua pengemis itu kepalanya menjadi puyeng dan mata ber-kunang2,
tindakan merekapun mulai sempoyongan, tampaknya sudah akan jatuh semaput.
"Hai, kawan dari Kay-pang," tiba2 Li Bok-chiu
berseru dengan tertawa, "nih, kuajarkan satu akal, kalian punggung
berdempetan punggung, dengan begitu tak perlu lagi ikut putar2.
Karena peringatan ini, kedua pengemis itu sangat girang,
dengan segera mereka akan turut akal itu.
"Celaka, jika mereka berbuat begitu, tentu aku akan
kalah," pikir Nyo Ko.
Maka sebelum kedua lawannya berganti tempat, mendadak ia
ganti siasatnya, ia tidak geser lagi, melainkan pedangnya sekali
serang-dua-gerakan, ia tusuk punggung kedua orang.
Merasa angin santar menyamber dari belakang, tak sempat
kedua pengemis itu menangkis, terpaksa mereka melompat maju, tak terduga, baru
saja kakinya menginjak tanah, kembali tusukan orang sudah tiba pula, keruan
saja tidak kepalang kaget kedua pengemis itu, tanpa pikir lagi mereka angkat
kaki terus lari ke depan seperti diudak setan.
Siapa duga ujung pedang Nyo Ko bagaikan bayangan saja
yang selalu melengket dengan tubuh mereka, tidak peduli mereka berlari betapa
cepatnya, senantiasa Nyo Ko geraki pedangnya di belakang mereka, bila sedikit
lambat saja mereka melangkah, segera daging di punggung mereka terasa
sakit-tertusuk ujung senjata.
Merekapun tahu kini bahwa tiada maksud Nyo Ko buat
membunuh, kalau tidak, asal tangan pemuda ini sedikit diulur lebih panjang
saja, pasti punggung mereka akan tertembus oleh ujung pedang walaupun begitu,
sedikitpun mereka tak berani berhenti dan masih berlari kesetanan.
Ketiga orang yang udak2an ini memiliki ilmu entengkan
badan yang sangat tinggi, maka sekejap saja mereka sudah berlari beberapa li,
hingga Li Bok-chiu ditinggalkan jauh di belakang.
Ketika itulah mendadak Nyo Ko tambah "gas"
sedikit, tahu2 ia sudah mendahului di depan kedua pengemis itu.
"Eeeeeh, kenapa buru2, pe!ahan2 sedikit, jangan
jatuh kesandung !" demikian dengan menyengir ia hadang di depan orang.
Tanpa berjanji kedua pengemis itu mengemplang berbareng
dengan tongkat mereka, namun sekali meraup, dengan tangan kiri Nyo Ko dapat
menangkap sebuah tongkat orang, berbareng itu pedang di tangan kanan ia
tempelkan tongkat yang satu dari didorong sedikit ke kiri hingga dengan tepat
dua tongkat sekaligus kena dicekal pula olehnya.
Tahu gelagat jelek, lekas2 kedua pengemis itu berusaha
membetot sekuatnya, Tapi Nyo Ko cukup cerdik, ia tahu keuletannya masih belum
memadat kedua pengemis itu, tentu saja ia tak mau betot2an dengan orang, dengan
pedang sekonyong-konyong ia membabat mengikuti batang tongkat yang lempeng itu,
dalam keadaan demikian, jika kedua pengemis itu tidak lepas tangan, delapan
jari mereka pasti akan tertabas kutung.
Karena itu, terpaksa mereka lepaskan senjata dan melompat
ke belakang, habis ini dengan mata melotot mereka pandang Nyo Ko dengan gusar,
sikap merekapun kikuk dan serba salah, hendak tempur orang tak ungkulan, kalau
lari rasanya merendahkan derajat.
Dalam pada itu terdengar Nyo Ko berkata pada mereka:
"Kami dengan perkumpulan kalian biasanya bersahabat hendaklah kalian
jangan percaya omongan yang sengaja mengadu-domba. Siapa yang utang harus
bayar, bukankah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chtu dari Ko-bong-pay itu berada di
sana, kalian berdua kenapa tidak mencari padanya saja ?"
Kedua pengemis itu tak kenal Li Bok-chiu, tetapi cukup
tahu betapa lihay iblis perempuan itu, karena itu, mereka terkesiap demi
mendengar penuturan Nyo Ko.
"Apa betul katamu ?" sahut mereka bersama.
"Buat apa aku berdusta," kata Nyo Ko.
"Justru Siauto sendiri kepepet oleh desakan iblis itu, maka tadi telah
bergebrak dengan kalian berdua," Berkata sampai disini, dengan laku sangat
hormat dikembalikannya tongkat2 rampasannya tadi dan disambungnya pula:
"Jik-lian-sian-uu itu selalu membawa benda2 pertandaannya yang terkenal di
seluruh jagat, masakah kalian tidak mengenalnya ?"
"Aha, tak salah lagi," kata salah satu pengemis
itu, "la membawa kebut keledai belangnya pakai kelenengan emas, bukankah
dia itu yang memakai baju kuning tadi ?"
"Betul-betul," sahut Nyo Ko tertawa, "Dan
nona yang melukai anak murid perkumpulan kalian dengan golok melengkung itu,
bukan lain adalah muridnya Li Bok-chiu..." sampai disitu mendadak ia
berhenti dan pura2 memikir sejenak lalu dilanjutkannya : "Cuma saja,
jangan2... ah, sulit, sulit..."
"Jangan2 apa ?" tanya si pengemis yang berwatak
aseran.
"Ah, sulit, sulit," kata Nyo Ko lagi.
"Sulit apa ?" kembali pengemis itu mendesak.
"Coba pikir saja, Li Bok-chiu itu malang melintang
di jagat ini dan siapa di kalangan Kangouw yang tidak pecah nyalinya bila
mendengar namanya," demikian sahut Nyo Ko. "Sungguhpun golonganmu
sangat lihay, tapi terang tiada satupun yang bisa menandinginya. Sebab yang
melukai kawanmu itu adalah muridnya, maka baiknya kalian anggap sial
saja."
Karena, kata2 yang bersifat memancing pengemis itu
dibikin murka hingga ber-teriak2.
"Hm, peduli dia setan iblis, hari ini pasti kami
tempur dia," demikian teriaknya sambil tarik tongkatnya terus hendak lari
kembali ke tempat tadi.
Syukur pengemis yang satu bisa berlaku tenang, ia pikir,
melawan seorang bocah ini saja kami berdua tak ungkulan, apalagi hendak perang
tanding dengan Jik-lian-sian-cu, apa itu bukan berarti menghantarkan jiwa
belaka ?
Karena itu, segera ia tarik tangan kawannya dan mencegah:
"Tak perlu buru2 marilah kita kembali dulu buat berunding lebih
jauh." - Habis ini ia rangkap tangan memberi hormat pada Nyo Ko sambil
tanya : "Dapatkah mengetahui nama Toyu (sahabat dalam agama) yang
terhormat?"
"Siauto she Sat dan bernama Hua-cu," sahut Nyo
Ko. "Sampai ketemu lagi."
Habis berkata, iapun mohon diri dan balik ke jurusan
tadi.
""Sat Hua-cu, Sat Hua-cu ? Aneh sekali nama
ini, kenapa tak pernah kudengar, dengan usianya yang masih begitu muda, ilmu
silatnya ternyata sudah sangat hebat."
Begitulah kedua pengemis itu menggumam mengulangi nama
palsu Nyo Ko yang mengherankan Tetapi sesaat kemudian, mendadak satu
diantaranya berjingkrak sambil mencaci maki: "Ku-rangajar, jahanam,
keparat!."
"Ada apakah ?" tanya kawannya.
"Bukankah dia mengaku bernama Sat Hua-cu ? itu
artinya Sat-hua-cu (menyembelih pengemis)! Kurangajar, kita dicucimaki olehnya
tanpa merasa !"
Karena itu, ke-dua2nya lantas mengumpat Nyo Ko, namun
demikian merekapun tak berani mencari orang lagi buat bikin perhitungan.
Di lain pihak Nyo Ko sedang tertawa geli sendiri. Kuatir
keselamatan Bu-siang terjadi sesuatu, lekas2 ia kembali ke tempat tadi, di sana
ia lihat Bu-siang sedang longak-longok ke arahnya di atas keledainya, tampaknya
si gadis kuatir luar biasa. Tetapi demi melihat Nyo Ko sudah kembali, mukanya
berubah girang, lekas2 ia keprak keledainya memapaki.
"Tolol, bagus ya kau, aku ditinggalkan
sendirian," dengan suara tertahan ia mengomeli Nyo Ko.
Tetapi pemuda ini tak menjawabnya melainkan tersenyum
saja, lalu pedang yang dia pinjam dari Ang Ling-po tadi disodorkan kembali
kepada pemiliknya sambil memberi hormat dan menyatakan terima kasih.
Setelah senjata itu diterima kembali Ang Ling-po, selagi
Nyo Ko hendak putar tubuh, se-konyong2 Li Bok-chiu berkata : "Nanti
dulu!"
Kiranya karena melihat ilmu silat Nyo Ko sangat bagus, ia
pikir kalau orang ini dibiarkan hidup, kelak pasti akan bikin susah dirinya
saja, ada baiknya mumpung ilmu-silatnya masih belum memadai dirinya, sekarang
juga dibunuh kan beres urusannya, ?
Tetapi betapa cerdiknya Nyo Ko, begitu mendengar orang
berkata "nanti du!u", segera diketahuinya keadaan bakal runyam,
lekas2 pedang yang dia serahkan di tangan Ang Ling-po itu dilepaskan.
Sebenarnya Li Bok-chiu hendak pancing orang agar
bergebrak padanya, dengan begitu sekali ke-but akan dibunuhnya Nyo Ko, tetapi
kini Nyo Ko sudah tak bersenjata, dengan kedudukan Li Bok-chiu, tidak nanti ia
sudi mencelakai orang dengan senjatanya.
"Kau ini murid siapa di antara Coan-cin-chit-cu
itu?" tanyanya kemudian sembari tancapkan ke-butnya ke baju Iehernya.
"Aku adalah murid Ong Tiong-yang cinjin," sahut
Nyo Ko tertawa.
Seperti diketahui sebenarnya Nyo Ko adalah murid Tio Ci-keng
dan cucu murid Coan-cin Ghit-cu, tetapi terhadap imam2 Coan-cin-kau itu ia
sudah mendapat kesan jelek, dalam hati sedikitpun imam2 itu tak dihormatinya
lagi, walaupun Khu Ju-ki tidak jelek terhadap dirinya, namun waktu berkumpulnya
dengan imam tua itu terlalu singkat, maka sedikit kebaikan itu sudah habis
ludes tertutup oleh kesan2 jelek yang dia dapat dari Tio Ci-keng dan Hek
Tay-thong, sebab itulah ia, tak sudi mengaku sebagai muridnya Ci-keng.
Tetapi sewaktu berdiam di dalam kuburan kuno, ia telah
melatih inti ilmu "Kiu-im-cin-keng" yang diukir Ong Tiong-yang
dahulu, maka bila dia mengatakan anak murid-cakal bakal Coan-cin-kau itu,
sebenarnya juga tidak berlebihan."
Sebenarnya kalau menurut umur Nyo Ko, pa-ling banyak
hanya sesuai menjadi murid tingkatannya Tio Ci-keng dan In Ci-peng, tapi
melihat ilmu silatnya tidak lemah, maka Li Bok-chiu telah tanya dia murid siapa
diantara Coan-cin Chit-cu, yaitu tujuh imam utama murid Ong Tiong-yang, dengan
pertanyaan ini sebetulnya sudah meninggikan diri Nyo Ko, kalau pemuda ini
menjawab salah satu nama umpamanya Khu Ju-ki atau Ong Ju-it, pasti Li Bok-chiu
dapat mempercainya.
Siapa tahu hati muda Nyo Ko masih belum hilang, ia tak
sudi lebih rendah tingkatannya daripada Hek Tay-thong yang telah membunuh Sun-popoh
yang dicintainya itu, maka nama Ong Tiong-yang sengaja ditonjolkan olehnya.
Padahal Ong Tiong-yang adalah cakal bakal Coan-cin-kau,
semua orang Bu-lim tahu kalau dia hanya mempunyai tujuh orang murid yaitu
seperti apa yang disebut "Coan-cin Chit-cu" itu, sewaktu Nyo Ko lahir
malahan Tiong-yang cinjin sudah lama meninggal dunia.
Begitulah, maka Li Bok-chiu menjadi sangsi "Hm, kau
imam cilik ini sungguh tak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit, rupanya
kau tak kenal aku ini siapa, maka berani main gila dengan aku," demikian
ia pikir, Tetapi lantas teringat lagi olehnya: "Namun imam2 Coan-cin-kau
se-kaIi2 tak nanti berani main gila dengan nama Cosuya mereka. Kalau dia ini
bukan anak murid Coan-cin, mengapa tipu2 ilmu silatnya tadi jelas adalah keluaran
Coan-cin-pay ?"
Melihat orang mengkerut kening sedang ber-pikir, Nyo Ko
kuatir nanti dikenali Ang Ling-po yang dahulu pernah dikibulinya dengan
menyamar sebagai anak gembala, maka tak berani ia tinggal lama2, ia pikir
paling perlu kabut dulu, Maka dengan cepat ia cemplak ke atas keledainya tetus
hendak dilarikan
"Turun dulu, ada yang hendak kutanyakan padamu"
demikian kata Li Bok-chiu.
"Tak perlu kau bicara juga, aku sudah tahu apa yg
hendak kau tanyakan," sahut Nyo Ko tiba2.
"Bukankah kau hendak tanya apa aku melihat seorang
gadis pincang atau tidak? Dan tahu tidak kitab yang dibawanya itu, bukan?"
Li Bok-chiu terkejut mengapa orang tahu akal maksud
hatinya, Namun dengan adem saja ia menyahut: "Ya, kau sungguh pintar.
Kemanakah kitab itu dibawanya ?"
"Tadi waktu aku dan Suteku ini beristirahat di tepi
jalan, kami melihat gadis pincang itu saling gebrak dengan tiga pengemis,"
sahut Nyo Ko dengan karangannya. "Satu diantara pengemis itu terkena
timpukan goloknya yang melengkung, walaupun demikian, karena masih ada dua
pengemis yang lain, maka gadis itu tak ungkulan, akhirnya ia tertawan"
Biasanya Li Bok-chiu selalu berlaku tenang, tetapi kini
mendengar Liok Bu-siang tertawan pengemis2 dari Kay-pang, sedang pada gadis itu
membekal "Ngo-tok-pit-toan" yang tentu akan terjatuh di tangan mereka
juga, ingat akan hal ini mau-tak-mau mukanya mengunjuk rasa kuatir juga.
Melihat obrolannya berhasil, keruan Nyo Ko sengaja obral
ceritanya yang ditambah dan di bumbu2i pula, ia bilang: "Dan sesudah
tertawan, seorang pengemis telah geledah keluar satu kitab dari badan gadis
pincang itu, tapi karena nona itu tak mau menyerahkannya, maka pengemis itu
telah persen dia dengan sekali tamparan."
Mendengar dirinya dibuat buIan2an mengobrol tidak
kepalang mendongkolnya Bu-siang, lebih2 Nyo Ko bilang dirinya ditempeleng oleh
pengemis, maka dengan gemas ia mendeliki Nyo Ko, sedang dalam hati ia berkata:
"Bagus, kau tolol ini, berani kau fitnah diriku, lihat saja kelak kalau
aku tidak hajar kau?"
Di lain pihak si Nyo Ko ternyata sangat jahil, ia tahu
betul2 hati si gadis waktu itu pasti sangat ketakutan karena berhadapan dengan
gurunya yang kejam, tapi ia justru sengaja menanya padanya: "Betul tidak,
Sute? Bukankah itu sangat menggemaskan orang ? Bukankah nona itu telah dipegang
sini dan diraba sana oleh beberapa pengemis itu, betul tidak?"
Bukan buatan dongkolnya Bu-siang, tapi ia tak berani
membantah, terpaksa ia mengiakan sambil kepala menunduk.
Tengah berbicara, tiba2 terdengar suara derapan kuda yang
ramai, menyusul muncul sepasukan tentara dari balik bukit sana dengan
persenjataan lengkap dan berbaris sangat rapi, kiranya adalah pasukan tentara
Mongol.
Tatkala itu negeri Kim dari Manchu sudah dibasmi oleh
bangsa Mongol, maka daerah utara sungai seluruhnya berada dibawah pemerintahan
Mongol.
Sudah tentu Li Bok-chiu tidak pandang sebelah mata pada
pasukan tentara itu, tetapi karena tujuannya ingin lekas mendapatkan jejaknya
Bu siang, maka ia tak ingin banyak cecok lagi dengan pihak lain, ia menyingkir
ke tepi jalan untuk menghindari pasukan tentara itu.
Sejenak kemudian, di bawah derapan kuda yang riuh dan
mengepulnya debu yang tinggi, ratusan serdadu yang mengiringi seorang pembesar
Mongol telah dapat lewat disamping mereka. pembesar itu berdandan sebagai
pembesar sipil, tetapi kepandaiannya menunggang kuda ternyata sangat bagus,
meski wajahnya tak kelihatan jelas, namun sikapnya di waktu melarikan kudanya
ternyata sangat gagah dan perkasa.
Menunggu setelah pasukan itu lewat, kemudian Li Bok-chiu
angkat kebutnya buat membersihkan debu yang mengotori bajunya.
Tiap-tiap kali kebutnya mengebas, tiap-tiap kali juga
jantung Bu-siang memukul keras, Ya harus diketahui, bila kebut itu bukan dibuat
membersihkan debu melainkan jatuh diatas kepala orang, maka tak perlu disangsikan
lagi kepala sasarannya itu seketika pasti pecah berantakan.
"Lalu bagaimana?" Li Bok-chiu tanya lagi.
"Lalu pergilah pengemis2 itu menuju ke utara dengan
membawa nona itu," sahut Nyo Ko menuding ke utara, "Aku dengar,
katanya mereka pergi ke Ciong-koan."
"Em, bagus, terima kasih," Li Bok-chiu
memanggil dan tersenyum. "Aku she Li bernama Bok-chiu, orang Kangouw
menyebut aku Jik-lian-sian-cu, tetapi ada juga yang panggil aku Jik-lian-
mo-tau (iblis ular belang rantai), pernah tidak kau mendengar namaku ?"
"Tak pernah." sahut Nyo Ko menggeleng kepala,
"Nona, kau begini cantik pantasnya kau disebut Sian-cu (dewi), mana boleh
dipanggil Mo-tau (iblis)?"
Memang dengan paras Li Bok-chiu yang cantik, meski
umurnya sudah lebih setengah abad, tapi karena lwekangnya sudah terlatih
tinggi, maka kulitnya yang putih halus tanpa keriput sedikitpun kalau dipandang
laksana wanita berumur 30 tahun saja.
Selama hidup Li Bok-chiu memang sangat bangga atas
kecantikannya, kini mendengar Nyo Ko memujinya, dengan sendirinya ia sangat
senang.
"Kau berani main gila dengan aku, sebenarnya kau
harus diberi rasa sedikit," katanya kemudian sambil goyangi kebutnya,
"Tetapi mengingat kau pintar bicara, biarlah aku melulu gunakan kebut ini
untuk hajar kau,"
"Ah, jangan, jangan, mana bisa tanpa sebab Siauto
bergebrak dengan kaum Siaupwe (tingkatan muda)," sahut Nyo Ko geleng
kepala.
"Hm, ajalmu sudah di depan mata, masih berani kau
main gila. Cara bagaimana kau anggap aku ini kaum Siaupwe?" damperat
Bok-chiu.
"Guruku Tiong-yang cinjin setingkat dengan nenek
gurumu Lim-popoh, bukankah aku setingkat lebih tinggi dari kau?" kata Nyo
Ko.
Gusar sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu, tetapi ia
tetap tersenyum saja dan berpaling kepada Ang Ling-po: "Pinjamkan lagi
pedangmu padanya."
"Eh, tak boleh jadi, tak.... boleh jadi..." ia
berteriak sambil goyangl tangannya, akan tetapi di sebelah sana Ang Ling-po
sudah cabut pedang-nya, maka terdengarlah suara "kraak", yang
terpegang di tangannya melulu garan pedang saja, sedang mata pedangnya masih
ketinggalan di dalam sarungnya.
Sesaat Ang Ling-po tercengang, tetapi segera ia mendusin
bahwa itu adalah perbuatan Nyo Ko tadi yang secara diam2 telah bikin patah
garan pedang sewaktu mengembalikan padanya, kini mendadak dicabut, dengan
sendirinya lantas terpisah menjadi dua.
Keruan saja berubah hebat air muka Li Bok-chiu.
"Nah, memangnya aku tak bisa bergebrak dengan kaum
Siaupwe, tapi kau memaksa hendaki saling gebrak dengan aku," ujar Nyo Ko,
"Baiklah begini saja, dengan tangan kosong aku sambut tiga kali serangan
kebutmu, Kita berjanji yang terang, hanya tiga gebrakan saja, selewatnya tiga
gebrakan, asal kau sanggup bertahan, aku lantai lepaskan kau pergi. Tetapi
sehabis itu, kaupun tak boleh recoki aku terus."
Kiranya dalam hati Nyo Ko tahu dalam keadaan demikian tak
bisa tidak harus saling gebrak tetapi bila bergebrak sungguh2, dirinya masih
bukan tandingan Li Bok-chiu, maka sengaja ia berlagak orang tua, pura2 sebagai
kaum Locianpwe ditambah pula kata2 yang tajam, asal Li Bok-chj berjanji hanya
bergebrak tiga jurus saja dan tidak lebih.
-------------------------
Keterangan gambar.
Dengan menjungkir dan berputar Nyo Ko patahkan serangan
"Sam-bu-put-jiu" Li Bok-chiu dengan kebutnya, malah kakinya sempat
balas menendang dan jari menutuk Wi-tiong-kiat,
-------------------------
Li Bok-chiu bukan orang bodoh, dengan sendirinya iapun
tahu maksud tujuan orang, cuma ia pikir masakah bocah ini sanggup terima tiga
kali seranganku ? Sebab itulah iapun tidak banyak bicara, segera ia buka
serangan sambil berseru: "Bagus, Locianpwe, berikanlah petunjuk pada
Siau-pwe."
"Ah, tak berani..." sambut Nyo Ko.
Maka berkelebatlah bayangan orang, sekitarnya penuh
dengan bayangan kebut, Li Bok-chiu telah serang dengan tipu
"bu-khong-put-jin" (tiada lubang yang tak dimasuki) yang mengarah
setiap tempat maut di tubuh Iawan, meski hanya sekali gerakan, sebenarnya luar
biasa perubahannya dan berbareng mengincar 36 Hiat-to di tubuh Nyo Ko.
Li Bok-chiu melihat Nyo Ko melawan anggota Kay-pang
kantong delapan tadi dengan Kiam-hoat yang sangat bagus, tampaknya memang bukan
lawan lemah, dalam tiga gebrakan hendak merobohkan dia, agaknya tidak gampang
juga oleh sebab itu, sekali serang segera digunakannya tipu yang paling
dibanggakan selama hidupnya, yakni yang disebut "Sam-bu-put-jiu" atau
serangan tiga serangkai "aksara tidak"
Kaget sekali Nyo Ko oleh serangan yang sangat aneh itu,
begitu hebat tipu serangan itu hingga boleh dikatakan tak tertahankan lagi
kalau berkelit ke kiri, pasti Hiat-to di kanan akan tersabet dan begitu pula
sebaliknya, dalam kepepetnya itu mendadak, ia berjumpalitan dan menjungkir.
Dengan cepat dikeluarkannya ilmu mujija ajaran Auwyang
Hong dahulu itu, ia menjalankan darahnya secara terbalik dan tutup rapat semua
Hiat-to di tubuhnya, walaupun segera terasa ke-36 Hiat-to rada kesemutan
berbareng, namun segera pula tidak berhalangan, Bahkan tubuhnya yang memutar
cepat itu tiba2 balas menendang sekali.
Heran sekali Li Bok-chiu, dengan jelas ia sudah berhasil
tutuk Hiat-to orang, siapa duga masih bisa Nyo Ko balas menyerang, Karena itu,
menyusul tipu serangan kedua dilontarkan lagi, tipu ini disebut
"Bu-so-put-ci" (tiada sesuatu yang tak didatangi), yang diarah adalah
72 tempat Hiat-to di seluruh badan lawan.
Akan tetapi mendadak Nyo Ko malah mengukir tangan
kirinya, dengan jarinya segera ia jojoh "wi-tiong-hiat" di lutut
kanan Li Bok-chiu.
Keruan Li Bok-chiu bertambah heran, lekas2 a berkelit,
menyusul segera serangan ke tiga "Bu-so-put-wi" (tiada sesuatu yang
tak diperbuatnya). Serangan ini tidak lagi menutuk Hiat-to, melainkan mengincar
mata, tenggorokan perut dan bagian belakangan yang lemah, oleh sebab itu
disebut tipu Bu-so-put-wi" atau "tiada sesuatu yang tak
di-perbuatnya", yang berarti mendekati cara2 yang rendah dan kotor.
Cuma diwaktu Li Bok-chiu lontarkan serangan itu, ia lupa
bahwa di dunia ini ternyata ada orang yang berkelahi secara menjungkir seperti
Nyo Ko ini, maka serangannya yang dilontarkan secara ter-gesa2 itu bagian mata
yang diarah lantas mengenai telapak kaki Nyo Ko, tenggorokan yang diserang
berbalik kena betis, begitu pula perut, yang kena pahanya, selangkangan yang
diserang, yang kena dadanya, maka sedikitpun tidak membawa hasil yang
diharapkan.
Sungguh tidak kepalang kejut Li Bok-chiu sekali ini,
selama hidupnya entah berapa banyak pertempuran besar yang pernah dia hadapi,
malahan orang yang ilmu silatnya lebih tinggipun pernah dilawannya, segala
tindak-tanduknya selalu diperhitungkannya dengan teliti sebelumnya, tapi kini
sama sekali tak terpikir olehnya, seorang imam cilik ternyata memiliki ilmu
silat yang sukar dijajaki.
Karena sedikit tertegunnya itu, mendadak Nyo Ko mengap
mulutnya, tahu2 buntut kebutnya kena dicokot kencang, lalu pemuda itupun
membalik, berdiri kembali. Bahkan sedikit Nyo Ko menarik, tiba2 tangan Li
Bok-chiu terguncang hingga kebutnya kena dirampas olehnya.
Hendaklah diketahui bahwa tenaga mana saja dari anggota
badan manusia tiada yang bisa lebih kuat daripada gigi, dengan gigi orang biasa
sanggup kertak pecah sesuatu benda yang keras sebaliknya betapa kuat tangan
seseorang tak bisa membikin remuk dengan remasan tangannya, Oleh sebab itulah,
meski tenaga dalam Nyo Ko masih jauh di bawah Li Bok-chiu, namun dengan giginya
yang menggigit ujung kebut, senjata kebanggaan Li Bok-chiu ini ternyata kena direbutnya.
Kejadian yang sama sekali tak terduga ini membikin Ang
Ling-po dan Liok Bu-siang sama menjerit kaget.
Sebaliknya meski Li Bok-chiu terkejut juga namun
sedikitpun ia tak gentar, ketika telapak tangannya ia gosok, dengan
"Jik-Iian-sin-cianJ atau pukulan sakti ular belang, segera ia memburu maju
buat merebut kembali kebutnya.
Tetapi baru saja pukulannya hendak dilontarkan mendadak
ia berteriak: "He, kiranya kau! Di-manakah gurumu?"
Kiranya muka Nyo Ko yang tadinya terpoles dengan debu
arang, setelah dia berjungkir dan berputar tanpa sengaja debu arang mukanya itu
tergesut hilang sebagian hingga wajah aslinya dapat dikenali orang.
"He, dia adalah Sumoay, Suhu!" mendadak Ang
Ling-po berteriak juga, sebab waktu itupun Liok Bu-siang dapat dikenaIinya.
Namun Nyo Ko bertindak cepat sekali, kakinya sedikit
mengenjot, keledai Li Bok-chiu diceng-klaknya dan terus dilarikan, bahkan
sekalian tangan kirinya menjentik, sebuah "Giok-hong-ciam" jarum
tawon putih) telah ditimpukkan dan dengan jitu masuk di kepala keledainya Ang
Ling-po.
Dalam murkanya, tanpa pikir lagi Li Bok-chiu lantas
menguber, sekuat tenaga ia melayang ke depan dan tubruk si Nyo Ko dari
belakang.
Lekas2 Nyo Ko meloncat dan tinggalkan binatang tunggangan
itu, garan kebut rampasannya tadi dia gunakan untuk ketok kepala keledai itu
hingga pecah dan otak berhamburan.
"Hayo, lekas, bini cilik, lekas lari ikut lakimu
!" Nyo Ko ber-teriak2 pula sambil turunkan tubuhnya di atas keledainya,
lalu kebut rampasannya digunakan menyabet serabutan ke belakang untuk menahan
uberan Li Bok-chiu.
Di sebelah sana, tanpa menunggu perintah lagi, Liok
Bu-siang telah keprak keledainya dilarikan secepatnya.
Sebenarnya dengan Ginkang Li Bok-chiu, dalam satu-dua li
saja dia pasti dapat menyusul binatang tunggangan orang, cuma tadi ia sudah
merasakan tipu serangan aneh dari Nyo Ko hingga hatinya rada jeri maka tak
berani ia terlalu mendesak melainkan dengan "Kim-na-jm-hoat" ia rebut
kembali kebutnya saja.
Di pihak lain, keledai Ang Ling-po yang kepalanya
tertimpuk jarum tawon putih yang sangat lembut itu, mendadak binatang ini
berjingkrak terus menyeruduk ke arah Li Bok-chiu, bahkan pentang mulut hendak
menggigit.
"Hai, Ling-po, ada apakah?" bentak Li Bok-chiu.
"Binatang ini menjadi gila," sahut Ling-po
sambil tarik tali kendali sekuat tenaga hingga seluruh mulut keledai itu penuh
darah.
Sejenak kemudian se-konyong2 keledai itu menjadi lemas,
terguling mati.
"Kita kejar saja, Suhu!" seru Ang Ling-po
melompat bangun.
Tetapi waktu itu Nyo Ko dan Bu-siang sudah berlari pergi
hampir satu li jauhnya, hendak mengejar pun tak bisa menyandak lagi.
Sesudah melarikan keledai mereka se-keras2-nya, kemudian
Nyo Ko dan Bu-siang berpaling, namun tak tertampak bayangan Li Bok-chiu yang
mengejar.
"ToIol, dadaku sangat sakit, tak tahan lagi
aku," seru Bu-siang. . Nyo Ko tidak menjawab, ia melompat turun dan
mendekam ke tanah untuk mendengarkan tetapi tiada suara derapan kuda yang
didengarnya.
"Tak perlu takut lagi, kita lanjutkan lengan
pe-lahan2 saja," ujarnya.
Habis itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan
berendeng.
Tetapi hanya sebentar saja, karena kuatir disusul Li
Bok-chiu, kembali mereka keprak keledai dan dilarikan pula, Begitulah, sebentar
cepat dan lain saat alon2 hingga haripun sudah magrib.
"Bini cilik, jika kau ingin selamat, hendaklah kau
tahan sakit dan lari terus semalaman ini," kata Nyo Ko.
"Ngaco-belo! Awas, kalau aku tidak iris
lidah-mu?" damperat Bu-siang karena terus-menerus Nyo Ko sebut
"bini" padanya,
Nyo Ko me-lelet2 lidah, tetapi ia berkata lagi:
"Hanya sayang binatang2 ini sudah terlalu letih, kalau semalam berlari
terus mungkin akan mampus di tengah jalan."
Dalam pada itu haripun mulai gelap, mendadak terdengar di
depan sana ada suara meringkiknya kuda.
"Haha, itu dia, marilah kita tukar kuda ke
sana!" seru Nyo Ko girang.
Segera mereka kencangkan lari keledai lagi lewat beberapa
li, tertampaklah di depan sana ada sebuah perkampungan dan di bagian luar
tertambat ratusan ekor kuda. Kiranya pasulcan berkuda Mongol yang dilihat
mereka siang tadi berhenti di sini.
"Kau tunggu di sini, biar aku masuk ke kampung sana
menyelidiki keadaan dulu," kata Nyo Ko
Lalu ia turun dari keledainya dan masuk sendiri ke
perkampungan itu, Pada jendela sebuah gedung besar dilihatnya ada sinar lampu,
dengan cepat Nyo Ko menyelinap ke sana, ia mengintip melalui jendela itu, ia
lihat seorang pembesar MongoI sedang berduduk di dalam dengan mungkur.
Tiba2 tergerak pikiran Nyo Ko, "He, daripada tukar
kuda, tidakkah lebih baik tukar orang saja," demikian pikirnya.
Tidak antara lama, ia lihat pembesar Mongol itu berdiri,
lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamar.
Umur pembesar ini ternyata masih sangat muda, hanya
likuran saja, tetapi sikap dan tidak tanduknya ternyata sangat kereng,
tampaknya pangkatnya tidak rendah.
Nyo Ko menunggu pada waktu pembesar itu mungkur lagi,
dengan pelahan ia dorong daun jendela, lalu melompatlah dia ke dalam terus ulur
jari buat tutuk punggung orang.
Siapa duga, begitu mendengar ada suara angin menyamber
dari belakang, secepat kilat pembesar itu melangkah maju, dengan sendirinya
tutukan Nyo Ko menjadi luput, kesempatan itu telah dipergunakan pembesar itu
untuk mengayun tangan kirinya buat menangkis, menyusul mana iapun putar tubuh
dan sepuluh jari tangannya laksana kaitan-lantas mencakar ke muka Nyo Ko,
ternyata yang dipakai adalah tipu serangan yang lihay dari "Tay
lik-eng-jiau-kang" atau ilmu cakar elang bertenaga raksasa.
Rada terkejut juga Nyo Ko, sungguh tak nyana bahwa
seorang pembesar Mongol ternyata memiliki ilmu silat begitu tinggi Karena itu,
sedikit mengegos iapun berkelit menghindarkan cakaran tadi.
BeruIang kali pembesar Mongol itu mencengkeram lagi,
tetapi selalu dapat dielakkan Nyo Ko.
Biasanya pembesar Mongol itu sangat bangga atas ilmu
silatnya yang hebat karena sejak kecil mendapat pelajaran guru pandai dari
golongan Eng-jiau-bun. Siapa duga, begitu bergebrak dengan Nyo Ko, sama sekali
ia tak bisa berbuat apa2.
Sementara itu Nyo Ko melihat lawan mencakarnya lagi
secara tak kenal ampun, cepat ia melompat ke atas, dengan kedua tangannya ia
tahan atas pundak orang sambil menggertak "Duduk saja!"
Tiba2 pembesar itu merasakan kekuatan yang maha besar
menekan dari atas, ia tak bisa tahan lagi, kedua lututnya terasa lemas hingga
akhirnya, ia duduk terkulai di lantai, dadanya terasakan sumpek, darah serasa
akan menyembur keluar.
Tetapi kemudian Nyo Ko remas2 dua kali di bawah bahunya,
tiba2 pembesar itu merasa dadanya lapang kembali dan bisa bernapas lancar,
tanpa ayal lagi segera ia melompat bangun, dengan tercengang ia memandangi Nyo
Ko.
"Siapakah kau? Ada keperluan apa kedatanganmu
ini?" tanyanya kemudian ternyata bahasa Han yang diucapkannya bagus dan
lancar sekali, tiada ubahnya seperti bangsa Han asli.
"Kau bernama siapa? jabatan apa yang kau
pangku?" berbalik Nyo Ko menanya dengan tertawa.
Pembesar itu melotot dengan gusar, segera hendak dilabrak
pula si Nyo Ko.
Tetapi Nyo Ko tak gubris padanya, ia malahan mendahului
ambil tempat duduk pada kursi yang tadinya dipakai pembesar itu. Ketika
pembesar itu menyerang beberapa kali, namun selalu dipatahkan oleh Nyo Ko tanpa
banyak buang te-naga.
"Hai, pundakmu sudah terluka, baiknya kau jangan
banyak keluarkan tenaga," kata Nyo Ko tiba2.
"Ha, apa? Terluka?" tanya pembesar itu kaget.
Ketika pundak kiri diraba, ia merasa ada satu tempat yang
rada jarem sakit, lekas2 ia raba sebelah yang lain, sama saja terasa sakit
pegal, kalau tak disentuh sedikitpun tidak terasa, tetapi bila ditekan dengan
jari, segera terasa ada sesuatu yang sangat lembut yang menusuk sampai ke
tulang sungsum.
Kaget sekali pembesar itu, dengan cepat ia robek bajunya,
waktu ia melirik, ia lihat di atas pundak kirinya terdapat titik merah yang
kecil sekali, begitu pula sebelah pundak yang lain.
Segera iapun sadar bahwa ketika Nyo Ko menahan pundaknya
tadi, diam2 pada tangannya tergenggam senjata rahasia hingga dirinya telah
dikibuli.
"Am-gi apa yang kau pakai? Berbisa atau tidak
?" cepat ia membentak dengan gusar tercampur kuatir.
Tetapi Nyo Ko tersenyum saja.
"Kau belajar silat, kenapa sedikit pengetahuan umum
itu saja tak mengerti," sahutnya kemudian "Kalau Am-gi besar tak
beracun, maka Am-gi kecil dengan sendirinya berbisa."
Dalam hati pembesar itu sembilan bagian percaya atas
kata2 ini, namun demikian, ia mengharap juga kata2 itu bohong belaka, maka air
mukanya lantas tertampak mengunjuk setengah percaya setengah sangsi.
"Pundakmu sudah terkena jarum saktiku, racun itu
akan meluas setiap hari, kira2 enam hari sesudah racunnya menyerang jantung,
maka jiwamu tak tertolong Iagi," demikian kata Nyo Ko sembari memainkan
sebuah pensil di atas meja.
Watak pembesar itu ternyata sangat keras kepala,
sungguhpun dalam hati ia mengharapkan pertolongan orang, namun tak sudi
diucapkannya.
"Jika begitu, biarlah tuan besarmu mati bersama
dengan kau," mendadak ia membentak Iagi. Habis ini, sekali bergerak,
segera Nyo Ko hendak ditubruknya pula.
Namun sebelum ia bertindak, tiba2 di luar ada suara
bentakan orang yang keras: "Hai Yalu Cin, pembesar anjing dari Mongol,
berpalinglah ke sini!"
Mendengar namanya disebut pembesar itu menoleh, segera
pula sinar putih yang gemerlapan be-runtun2 menyamber masuk melalui jendela.
Hujan Am-gi atau senjata gelap itu dihamburkan dengan
kuat lagi terlalu banyak jumlahnya, dalam keadaan demikian, meski pembesar
itupun tidak lemah, namun seketika itu mana sanggup menyambut hujan Am-gi yang
begitu banyak?
Sebenarnya tiada maksud Nyo Ko buat menolong pembesar
Mongol yang bernama Yalu Cin ini, karena dilihatnya senjata rahasia begitu
banyak menghambur masuk, tiba2 ia keluarkan ilmu "Boan-thian-hoa-uh"
(hujan gerimis memenuhi langit), sesuatu ilmu dari Giok-li-sim-keng yang
dilatihnya, ia menangkap ke kanan dan membentuk ke kiri, sekejap saja senjata2
rahasia yang tertangkap olehnya telah ditimpuk kembali maka terdengarlah suara gemerincing
nyaring dan ramai belasan macam senjata rahasia telah memenuhi meja dan lantai
"Kepandaian bagus, semoga kelak kita bertemu lagi,
dapatlah mengetahui nama saudara?" terdengar suara pertanyaan seorang
lelaki di luar jendela.
"Aku adalah kaum yang tak terpandang, maka tak punya
nama dan tiada she," sahut Nyo Ko.
Karena jawaban ini, terdengar lagi suara jengekan seorang
lain di luar.
"Marilah pergi!" kata orang ketiga, sekali ini
suara orang perempuan.
Habis itu, lantas terdengar suara tindakan kaki yang
pelahan sekali di atas rumah, ketiga orang itu sudah pergi melintasi pagar
rumah.
Tadi waktu Nyo Ko bergebrak dengan Yalu Cin hingga sama2
mencurahkan seluruh perhatian, maka tiada yang mendengar bahwa ada orang laki
lagi mengintip di samping, hal ini menandakan pula ilmu entengkan tubuh ketiga
orang itupun sangat hebat.
Meski pembesar Mongol bernama Yali Cin itu sudah ditolong
jiwanya oleh Nyo Ko, tetapi ketika pundaknya terasa sakit, ia menjadi gusar
pula karena telah dikibuli Nyo Ko tadi, mendadak senjata2 rahasia yang
berserakan itu, ia samber terus ditumpukkan ke arah Nyo Ko.
Menghamburnya senjata2 rahasia "dari luar jendela
tadi dilakukan oleh tiga orang bersama, kepandaian menimpuk pun jauh lebih
tinggi dari pada Yali Cin, untuk itu saja Nyo Ko sanggup menangkap dan
membenturnya kembali, apalagi kini Yali Cin menimpuk dengan satu per satu, mana
bisa serangannya mengenai Nyo Ko, malahan satu per satu telah ditangkap olehnya
tanpa luput satupun.
"Awas!" seru Nyo Ko kemudian.
Ketika tangannya mengayun, tahu2 beberapa puluh senjata
rahasia yang ditangkapnya itu dihamburkan kembali
Melihat datangnya senjata rahasia itu mengarah dari
kanan-kiri maupun atas atau bawah, walaupun berkelit atau mengegos pasti akan
terkena juga beberapa diantaranya, tentu saja Yali Cin terkejut, dalam keadaan
kepepet, mendadak ia melompat mundur, maka terdengarlah suara "blang"
yang keras, punggungnya menumbuk dinding dengan keras, Lalu terdengar suara
bertok-tok riuh, beberapa puluh senjata rahasia itu telah mengenai dinding
semua.
Suara gemerutuk di atas dinding itu ternyata sangat aneh
dan berlainan satu sama lain, karena-senjata2 rahasia itu memang beraneka
macamnya, Dalam kagetnya itu, lekas2 Yali Cin melompat ke samping Iagi, ketika
ia berpaling memandang ke dinding, mau-tak-mau ia ternganga saking herannya.
Ternyata beberapa puluh senjata rahasia itu ambles semua
ke dalam dinding, jarak dengan tubuhnya tadi hanya selisih beberapa senti saja,
hingga potongan badannya se-akan2 terlukis di atas dinding itu, sedang tubuhnya
seujung rambutpun tak terluka, bahkan baju pun tak terobek barang sedikitpun
Dalam kaget dan herannya, tak tertahan lagi Yali Cin
kagum luar biasa, tiba2 ia jatuhkan diri dan berlutut memberi hormat pada Nyo
Ko.
"Terimalah hormatku, Enghiong, hari ini aku betul2
menyerah padamu," demikian katanya.
Sungguhpun ilmu silat Nyo Ko sangat tinggi tetapi selama
hidupnya itu biasanya selalu dimaki dan didamperat orang, sampai Liok Bu-siang
yang berulang kali ditolong olehnya juga selalu berlaku sangat bengis padanya
tanpa mau mengalah sedikitpun kini mendadak ada orang menjura padanya dan
menyatakan takluk betul2. tentu saja hati mudanya menjadi girang luar biasa,
saking senangnya ia tertawa ter-bahak2.
"Dapatkah mengetahui nama Enghiong yang mulia?"
tanya Yali Cin.
"Aku bernama Nyo Ko, dan kau apakah bernama Yali
Cin? jabatan apa yang kau pangku di MongoI?" sahut Nyo Ko.
Kiranya pembesar muda ini adalah putera Yali Cu-cay,
perdana menteri kerajaan Mongol! Yali Cu-cay telah banyak membantu Jengis Khan
dan puteranya membangun kerajaan Mongol yang namanya disegani sampai di daerah
barat itu, jadinya sungguh sangat besar, sebab itulah meski umur Yali Cin masih
muda, namun berkat jasa sang banyak, ia telah diangkat menjadi Keng-Iiat-su di
HoIam, keberangkatannya sekarang ini menuju ke HoIam untuk memangku jabatan.
BegituIah ia telah ceritakan apa yang sebenarnya.
Meski ilmu silat Nyo Ko tinggi, tapi terhadap segala nama
jabatan itu sama sekali tak dimengertinya, maka ia hanya angguk2 saja dan
bilang bagus.
"Hekoan (aku pembesar rendah) entah sebab apa telah
membikin marah Nyo-enghiong? Kalau ada sesuatu, harap Nyo-enghiong suka katakan
terus terang," kata Yali Cin.
"Tak ada apa2 yang bikin marah," sahut Nyo to
sambil ketawa.
Habis ini, mendadak ia meloncat keluar melalui jendela
terus menghilang. Keruan saja Yali Cin kaget.
"Nyo-enghiong..." ia berteriak sambil memburu
ke pinggir jendela, namun bayangan Nyo Ko sudah tak kelihatan
"Aneh, orang ini pergi-dataag secara tiba2 saja,
padahal tubuhku sudah terkena jarum beracunnya, lalu bagaimana baiknya ?"
Yali Cin menjadi ragu2.
Tetapi baru sejenak ia ter-menung2, mendadak daun jendela
bergerak, tahu2 Nyo Ko sudah kembali lagi, malahan di dalam kamar kini sudah
bertambah dengan satu orang.
"Ah, kau telah kembali!" seru Yali Cin girang.
"Dia adalah biniku, lekas kau menjura padanya!"
kata Nyo Ko tiba2 sambil menunjuk Liok Bu-siang.
"Apa kau bilang?" bentak Bu-siang gusar
berbareng itu, kontan ia tampar muka Nyo Ko.
Sebenarnya kalau Nyo Ko menghindar dengan gampang saja
hal itu bisa dilakukannya, Tetapi entah mengapa, ia merasa lebih senang
menerima tamparan atau dicaci maki si gadis. Oleh sebah itulah, sama sekali ia
tidak berkelit maka "plok" pipinya telah merasakan tamparan itu
hingga pana pedas.
Yali Cin tak tahu kalau kelakuan kedua orang itu sudah
biasa begitu, ia mengira ilmu silat Bu siang tentu lebih tinggi dari pada Nyo
Ko, maka dengan terpesona ia pandang orang dan tak berani bersuara.
"Kau sudah terkena racun jarumku, tapi sementara
masih belum sampai mampus," kata Nyo Ko kemudian sembari elus2 pipinya,
"Asal kau dengar kataku dan menurut, pasti aku akan menyembuhkan
kau."
"Hekoan biasanya paling kagum terhadap kaum
Enghiong, hari ini bisa berkenalan dengan Nyo enghiong, sekalipun Hekoan tak bakal
hidup lagi, rasanya pun rela," sahut Yali Cin.
"Haha," Nyo Ko tertawa senang karena orang
pintar menjilat, "tidak nyana, kau terhitung juga seorang gagah berani.
Baiklah, sekarang juga ku sembuhkan kau." , Habis itu, ia keluarkan sebuah
batu sembrani dan menyedot keluar dua jarum tawon putih orang menancap di
pundak orang itu dan dibubuhi obat pula.
Selamanya belum pernah Bu-siang melihat Giok-hong-ciam
atau jarum tawon putih itu, kini nampak bentuk jarum itu selembut rambut, ia
menjadi heran dan tidak habis mengarti benda seringan itu kenapa bisa dipakai
sebagai senjata rahasia?
Karena itu, rasa kagumnya pada Nyo Ko pun tanpa terasa
bertambah setingkat pula, walaupun begitu, di mulutnya ia sengaja ber-olok2,
katanya: "Hm, pakai senjata rahasia begitu, tiada sedikitpun semangat
jantan, apa tak kuatir ditertawakan orang?"
Tetapi Nyo Ko hanya tersenyum, ia tidak bantah kata2
orang, sebaliknya ia berpaling dan berkata pada Yali Cin: "Kami berdua
ingin mengabdi padamu."
Yali Cin terkejut "Ah, Nyo-enghiong suka berkelakar
saja, ada apakah. silakan berkata terus siang saja," sahutnya kemudian
"Aku tak berkelakar, tapi sungguh2, kami ingin
menjadi pengawalmu," kata Nyo Ko pula.
"Eh, kiranya kedua orang ini ingin cari pangkat dan
kedudukan," demikian pikir Yali Cin. Karena itu segera sikapnya berubah
lain, sebab disangkanya orang tentu membutuhkan bantuannya maka dengan sungguh2
dia lantas berkata: "Enghiong sesudah belajar silat memang harus diabdikan
kerajaan, hal ini memang jalan yang tepat."
"Kau telah salah tangkap maksudku," ujar Nyo Ko
dengan tertawa, "Kami bukan hendak mencari pangkat kami sedang dikejar
oleh musuh yang sangat lihay sepanjang jalan, karena kami tak ungkulan
melawannya, maka ingin menyamar sebagai pengawalmu untuk menghindarinya
sementara."
Yali Cin sangat kecewa sebab dugaannya salah, mukanya
segera berubah lagi dan tak berani berlagak..."
"Ah, kalian suka merendah diri saja, masakah seorang
musuh perlu ditakuti?" katanya dengan tertawa, "Tetapi kalau mereka
berjumlah banyak, Hekoan dapat kirim pasukan dan menangkap mereka untuk
diserahkan padamu."
"Aku saja tak bisa menandingi dia, sebaiknya tak
perlu kau ikut repot," sahut Nyo Ko. "Lekas kau perintah pelayanmu
mengambilkan pakaian agar kami bisa menyamar."
Yali Cin tak berani membantah, ia perintah pengawalnya
mengambilkan pakaian yang diminta dan silakan Nyo Ko dan Bu-siang salin ke
kamar lain.
Sesudah tukar pakaian, waktu Bu-siang bercermin, nyata ia
telah berubah menjadi perwira muda bangsa Mongol yang cakap.
Besok paginya berangkatlah mereka ikut rombongan pasukan
tentara itu, Nyo Ko dan Bu-siang masing2 digotong dengan sebuah Joli mentereng,
sebaliknya Yali Cin malah menunggang kuda.
Sebelum lohor, terdengarlah suara kelenengan nyaring dari
jauh, tapi sekejap saja suara itu sudah lewat melampaui rombongan mereka, Tentu
saja Bu-siang sangat girang, pikirnya: "Sungguh nikmat sekali merawat luka
di dalam joli ini, biarlah aku digotong mereka sampai daerah Kanglam saja"
Dua hari kemudian, suara kelenengan keledai yang sangat
ditakuti itu sudah tak terdengar lagi, agaknya Li Bok-chiu sudah mengejar terus
ke desa dan tidak kembali pula. Begitu juga para Tojin dan anggota Kay-pang
yang ingin menuntut balas pada Liok Bu-siang pun tidak menemukan jejaknya.
Pada hari ketiga, sampailah mereka di Liong-Se, satu kota
persimpangan jalan yang penting dan ramai.
Sehabis bersantap malam, iseng2 Yali Cin mendatangi
kamarnya Nyo Ko untuk meminta petunjuk tentang ilmu silat.
Dasar Yali Cin ini pandai bicara, ia sengaja menyanjung
dan mengumpak Nyo Ko setinggi langit, maka untuk jasa itu Nyo Ko telah
memberikan sekali dua petunjuk padanya, walaupun hanya dasar2 yang tidak
berarti, tapi bagi Yali Cin sudah tterupakan pelajaran yang tak pernah
didengarnya, tentu saja tidak sedikit faedah baginya. Selagi Yali Cin
mencurahkan seluruh perhatiannya mendengarkan "kuliah" Nyo Ko, tiba2
datanglah seorang pengawalnya melapor bahwa dari orang-tuanya di kotataja ada
mengirim utusan baginya.
"Baiklah, segera aku datang," sahut Yali Cin
girang, Sedang ia hendak mohon diri pada Nyq Ko, mendadak ia timbul pikirannya:
"Ah, kenapa aku tidak menerima kurir pengantar surat itu M hadapannya,
dengan begitu bisa menandakan akuj tidak pandang dia sebagai orang asing, dan
cara dia" mengajarkan ilmu silatnya padaku tentu akan ber-sungguh2
juga."
Segera pengawalnya diberi perintah: "Panggil dia
menghadap padaku di sini."
Pengawal itu merasa aneh oleh karena perintah itu,
"Ma... mana..." demikian dengan samar2 ia hendak menjelaskan
Namun Yali Cin lantas lambaikan tangannya dan bilang
lagi: "Tak apa, bawalah dia ke sini!"
"Tetapi Lotayjin sendiri yang..." kata si
pengawal pula.
"Ah, kau hanya banyak omong saja," sela Yali
Cin tak sabar, "Lekas pergi...."
Belum habis ia bicara, tahu2 tirai kamar tersingkap dan
masuklah seorang dengan tertawa.
"Anak Cin, tentu kau tak menduga akan diri ku, bukan
?" demikian kata orang itu segera.
Girang dan kejut Yali Cin demi mengenali siapa adanya
orang itu, Iekas2 ia berlari memapak dan menyembah.
"Ah, kiranya Ayah..."
"Ya, memang aku sendiri yang datang," potong
orang itu.
Kiranya orang ini memang bukan lain adalah ayah Yali Cin,
itu perdana menteri negeri Mongol Yali Cu-cay.
Mendengar Yali Cin panggil orang itu sebagai ayah, Nyo Ko
tak tahu bahwa orang adalah Perdana Menteri yang sangat berkuasa di negeri
Mongol, ia lihat alis jenggot orang sudah putih, wajahnya alim menandakan
seorang yang beribadat, mau-tak-mau dalam hati Nyo Ko timbul juga semacam
perasaan menghormat.
Dan baru saja orang itu berduduk, dari luar kembali masuk
lagi dua orang terus memberi hormat pada Yali Cin dan menyebutnya sebagai
"Toa-ko."
Kedua orang ini yang satu laki2 dan yang lain wanita.
Yang lelaki berumur antara 25-26 tahun, sedang usia yang perempuan kira2 sebaya
dengan Nyo Ko.
"Ah, Ji-te dan Sam-moay, kalian pun ikut
datang!" sapa Yali Cin kepada muda-mudi itu dengan girang.
Pemuda itu adalah putera Yali Cu-cay kedua, namanya Yali
Ce, dan puterinya bernama Yali Yen. perawakan Yali Ce kurus jangkung, tetapi
sikapnya gagah dan wajahnya cakap, Yali Yen pun berpotongan ramping tinggi,
tampaknya mereka sekeluarga memang berketurunan perawakan tinggi.
Meskipun perawakan Yali Yen tinggi, namun wajahnya masih
membawa sifat kanak2, dibilang cantik, sebenarnya tak begitu cantik, tetapi di
antara senyumannya terdapat juga semacam gayfa yang menggiurkan.
"Ayah, keberangkatanmu dari kotaraja, sedikitpun
anak tidak mengetahui." sementara itu Yali Cin berkata pula.
"Ya," Yali Cu-cay mengangguk "karena ada
suatu urusan besar, kalau bukan aku sendiri yang memimpinnya, betapapun rasa
hatiku tak lega."
"Sambil berkata, pandangannya telah merata Nyo Ko
beserta para pengawal yang berada di situ, maksudnya agar mereka diperintahkan
menyingkir.
Tentu saja Yali Cin menjadi serba salah, seharusnya ia
mengibaskan tangan menyuruh para pengawalnya pergi, tapi Nyo Ko adalah orang
yang tak boleh dipersamakan dengan bawahannya, karena itu, sikapnya menjadi
kikuk dan ragu-ragu.
Namun Nyo Ko cukup tahu diri, dengan tersenyum ia
mengundurkan diri atas kemauan sendiri.
"Siapakah dia tadi?" tanya Yali Cu-cay pada
Yali Cin segera sesudah Nyo Ko menyingkir.
"Kenalan baru yang bertemu di tengah jalan
tadi," sahut Yali Cin samar2 untuk menghindari kehilangan pamor di hadapan
adik2nya, "Ada urusan penting apakah sebenarnya, sampai ayah berangkat
sendiri ke selatan?"
Yali Cu-cay menghela napas atas pertanyaan sang putera.
"Ya, pertama-tama untuk menghindari bahaya, kedua
demi keutuhan negeri kita yang sudah tertanam kukuh oleh cakal-bakal kita
itu," sahutnya kemudian.
Yali Cin terdiam karena jawaban itu, ia saling pandang
sekejap dengan adik2nya, wajah mereka pun mengunjuk rasa duka.
Kiranya sesudah cakal-bakal negeri Mongol, Jengis Khan
wafat, putera kedua, Gotai menggantikan tahta, setelah Gotai meninggal,
kedudukan-nya diganti oleh puteranya yang pendek umur, tatkala pemerintahan
dikuasai permaisuri dan karena permaisuri main konco2an dan percaya pada
sekelompok kecil orang, banyak pembesar lama dan panglima yang berjasa malah
tergencet hingga suasana pemerintahan sangat kacau.
Yali Cu-cay adalah pembesar tiga angkatan sejak Jengis
Khan dan berjasa besar sebagai orang yang ikut membangun kerajaan Mongol,
karena itu setiap permaisuri membuat kesalahan, ia suka memberi kritik secara
jujur. Tetapi permaisuri menjadi kurang senang karena tindak tanduknya selalu
dirintangi.
Sudah tentu Yali Cu-cay juga insaf bahwa keselamatannya
dengan sendirinya selalu terancam, tetapi demi kepentingan negara yang dahulu
ikut didirikannya dengan susah payah, ia telah berpikir siang dan malam untuk
mencari jalan keluar yang paling baik
Suatu malam sesudah dia baca kitak
"Cu-ti-thong-kam" karangan Suma Kong dari ahala Song, mendadak
tergerak pikirannya, ia mendapatkan satu akal bagus. Besok paginya dalam sidang
ia mengajukan usul agar dirinya diutus ke daerah Ho-lam untuk menenteramkan
keadaan di sana yang sedang bergolak.
Dengan sendirinya usul itu sangat cocok dengan keinginan
permaisuri yang sudah lama bermaksud menyingkirkan dia, maka diutuslah Yali
Cu-cay ke Holam dengan kuasa penuh.
Yali Cu-cay mengadakan perundingan dengan para sahabat
lama dan akalnya ternyata disetujui dan didukung dengan suara bulat oleh kawan2
lama itu.
Kiranya akal yang Yali Cu-cay rencanakan itu yalah pada
suatu saat permaisuri hendak dirobohkan dan mengangkat raja baru, yakni meniru
cara apa yang terjadi pada jamannya Bu-cek-thian dari ahala Tong.
Mula2 ia mengusulkan dirinya di utus ke Holam dan
disetujui permaisuri tetapi di sana ia menghimpun pasukan dan panglima2 yang
perkasa, setelah kekuasaan militer berada di tangannya, segera ia mengangkat
raja baru dan mendesak permaisuri mengundurkan diri. Tatkala itu calon raja
yang mereka dukungi adalah cucu Jengis Khan, putera Dule yang bernama Monka.
Begitulah, dengan suara pelahan Yali Cu-cay ceritakan
rencananya pada sang putera. Yali Cin merasa girang dan kuatir, sebab kalau
rencana itu terlaksana, dengan sendirinya mereka berjasa besar, sebaliknya
kalau gagal, itu berarti bahaya bagi kehancuran keluarga mereka.
Selagi mereka berempat sedang berunding secara rahasia,
waktu itu juga Nyo Ko sedang duduk semadi di kamar Liok Bu-siang dengan
memusatkan pendengarannya mengikuti pembicaraan Yali Cu-cay berempat.
Bagi orang yang sudah tinggi Lwekang yang dilatihnya,
penglihatan dan pendengaran atas sesuatu selalu lebih tajam dari pada orang
biasa.
Oleh sebab itulah, meski kamar di mana Nyo Ko dan
Bu-siang berada masih diseling dengan sebuah ruangan lain, suara bicara Yali
Cu-cay pun sangat perlahan, bagi Liok Bu-siang sedikitpun tak kedengaran, tapi
untuk Nyo Ko sebaliknya dapat didengar dengan jeIas.
Walaupun apa yang dibicarakan keempat orang itu adalah
rahasia pemerintahan Mongol dan tiada sangkut pautnya dengan Nyo Ko, namun
uraian Yali Cu-cay itu sangat menarik, Nyo-Ko jadi ingin mendengarkan terus.
"Hai, ToloI, kenapa kau bersemadi di sini.".
tegur Bu-siang. sesudah menunggu dan melihat orang hingga sekian lama tak
bergerak.
Tetapi saat itu justru Nyo Ko lagi pusatkan-perhatiannya
untuk mendengarkan pembicaraan orang, terhadap kata2 Bu-siang itu sebaliknya
malah tak didengarnya.
Sesudah ulangi lagi tegurannya dan masih tiada jawaban,
akhirnya Bu-siang menjadi marah.
"Hai, Tolol, kau mau bicara dengan aku tidak?"
omelnya.
Karena Nyo Ko tetap tidak menyahut, ia bermaksud
mengitik2nya, tapi se-konyong2 Nyo Ko-melompat bangun.
"Ssssttt, diluar ada orang mengintip," katanya,
tiba2 dengan suara mendesis.
Akan tetapi sedikitpun Bu-siang tidak mendengar sesuatu
suara yang mencurigakan.
"Kau mau dustai aku?" sahut si gadis dengan
suara rendah.
"Bukan di sini, tetapi di rumah yang sana" kata
Nyo Ko.
Namun Bu-siang lebih2 tak percaya, ia tersenyum sambil
mengomel: "Tolol!"
"Ssst, jangan2 gurumu yang mencari kemari lekas
jkita sembunyi dahuIu," dengan suara bisik Nyo Ko peringatkan pula sembari
tarik2 baju nona.
Mendengar gurunya di-sebut2, mau tak mau Bu-siang
menurut, ia ikut Nyo Ko mendekam di luar jendela untuk mengintai
Tiba2 Nyo Ko menuding ke arah barat waktu Bu-siang
mendongak, betul saja dilihatnya dari atas rumah yang agak jauh sana mendekam
sesosok bayangan orang, Tatkala itu tiada sinar bulan hingga malam gelap
gulita, kalau tidak memandang dengan seluruh perhatian, memang sukar untuk
membedakan apakah itu bayangan orang atau bukan.
Baru sekaranglah Bu-siang mau menyerah, alangkah kagumnya
pada "si Tolol" yang tak di-mengerti cara bagaimana bisa mengetahui
datangnya orang itu?
"Bukan Suhu," katanya kemudian pada Nyo Ko.
Sebab ia tahu gurunya sangat tinggi hati, baju peranti jalan malam yang dipakainya
kalau bukan berwarna kuning langsat tentu berwarna putih mulus, sama sekali tak
mau mengenakan pakaian hitam.
Belum selesai ia berkata, mendadak orang berbaju hitam
itu melompat ke sana dan sekejap saja sudah melintasi tiga deret rumah, sampai
di luar jendela kamar di mana terdapat ayah dan anak keluarga Yali, segera
sebelah kakinya melayang, ia depak terpentang daun jendelanya, lalu dengan
senjata "Liu-yap-to" (golok bentuk sempit panjang dan sedikit
melengkung) terhunus, dengan cepat sekali ia melompat masuk.
"Yali Cu-cay, hari ini biarlah aku mati bersama
kau," terdengar orang itu berteriak. Waktu menyaksikan gerak tubuh orang
itu yang cepat, tetapi bergaya lemas, Nyo Ko menduga tentu seorang perempuan.
Ketika mendengat suara teriakannya, ia menjadi terang memang suara kaum wanita.
"Ha, ilmu silat orang itu jauh di atas Yali Cin,
jiwa orang tua berjenggot putih itu sukar dipertahankan lagi," demikian
terpikir olehnya.
"Lekas kita pergi melihatnya," ajaknya pada
Bu-siang.
Dengan cepat mereka lantas menyusup ke sana, dari luar
jendela mereka melihat Yali Cin sementara itu sudah angkat sebuah bangku
sebagai senjata untuk menempui wanita berbaju hitam itu.
Ilmu permainan golok wanita baju hitam itu bagus sekali,
golok Liu-yap-to yang dia pakai pun tajam luar biasa, hanya beberapa kali
bacokan, empat kaki bangku itu sudah tertabas kutung.
"Lekas Iari, ayah !" teriak Yali Cin insaf tak
bisa menandingi orang. Habis ini ia berteriak pula. "Mana orangnya, maju
lekas!"
Karena teriakan ini wanita itu kuatir kalau bala bantuan
membanjir datang dan tentu tak leluasa lagi bagi tujuannya, maka sebelah
kakinya mendadak menendang gerak kakinya cepat, sekali tanpa kelihatan, karena
tak ber-jaga2 dengan tepat Yali Cin tertendang pinggangnya dan roboh menggelongsor.
Kesempatan itu tak di-sia2kan oleh wanita muda itu,
begitu menyerobot maju, ia angkat goloknya terus membacok kepala Yali Cu-cay.
"Celaka!" teriak Nyo Ko di dalam hati.
Segera ia siapkan segenggam Giok-hong-ciam atau jarum
tawon putih dan selagi hendak disambitkan tangan si nona yang memegang senjata,
tiba2 puteri Yali Cu-cay, Yali Yen yang berdiri di samping itu mendahului
membentak: "Jangan sembrono!"
Berbareng itu sebelah tangannya menghantam ke muka nona
baju hitam itu dan tangan yang lain diulur buat merebut senjata orang.
Gerak serangan ini sungguh tepat sekali, terpaksa nona
itu harus mengegos menghindari hantaman, namun tidak urung pergelangan tangan
yang memegang senjata kena dipegang Yali Yen, walaupun demikian, secara sebat
sekali kakinya lantas melayang, Karena tendangan yang mengarah tempat berbahaya
ini, Yali Yen dipaksa lepaskan tangan dan melompat mundur, karena inilah
Liu-yap-to gadis itu tidak sampai kena direbut.
Melihat gebrakan kedua nona itu sama sebat dan sama
lihay, dalam hati Nyo Ko menjadi heran sekali. sementara itu, sekejap saja
kedua gadis itu sudah saling gebrak belasan jurus bergantian.
Waktu itu juga, dari luar telah membanjir masuk belasan
orang pengawal karena teriakan Yali Cin tadi, demi melihat kedua nona itu sedang
bertarung dengan sengitnya, mereka hendak maju membantu.
"Nanti dulu," tiba2 Yali Ce mencegah mereka.
"Samsiocia (puteri ketiga) tidak perlu bantuan kalian"
Di lain pihak, sesudah menyaksikan ilmu silat kedua nona
itu, Nyo Ko menoleh dan berkata pada Liok Bu-siang: "Bini cilik,
kepandaian kedua orang itu lebih tinggi dari pada kau."
Bu-siang menjadi gusar karena orang menyebut lagi
"bini" padanya, begitu tangan diangkat kontan ia hendak tempeleng
orang. "Ssstt, jangan ribut, lebih baik menonton perkelahian saja,"
kata Nyo Ko pelahan dengan tertawa sambil mengelakkan diri.
Sebenarnya ilmu silat kedua nona itu kalau dibilang lebih
tinggi dari pada Liok Bu-siang juga belum tentu tepat Cuma kedua nona itu
memang mendapatkan didikan guru pandai kalau dibandingkan Yali Cin, terang jauh
lebih tinggi.
Begitulah maka Yali Cu-cay dan Yali Cin tidak kepalang
heran dan terperanjat, sebab sama sekali mereka belum pernah tahu Yali Yen
berlatih silat, siapa tahu si gadis memiliki ilmu silat yang begitu bagus, saking
herannya hingga mereka ternganga.
Tak Iama lagi, karena Yali Yen tak bersenjata, beberapa
kali ia hendak rebut golok orang, namun tak berhasil sebaliknya ia malah
terdesak melompat sini dan berkelit ke sana tanpa bisa membalas.
"Sam-moay, biarkan aku yang mencobanya, kata Yali Ce
tiba2, Berbareng ini mendadak ia menyela maju, dengan tangan kanan melulu,
beruntun2 tiga kali memukul
"Baik, coba kau bagaimana," sahut Yali Yen
setelah mundur ke pinggir.
Tadi waktu Yali Yen bergebrak dengan gadis baju hitam
itu, Nyo Ko hanya bersenyum dan menonton pertarungan itu dengan sikap dingin,
tetapi kini begitu Yali Ce turun tangan, hanya tiga kali serangan saja sudah
bikin hatinya terkesiap.
Ia lihat tangan kiri Yali Ce bertolak pinggang, sama
sekali tak ikut bergerak, melulu tangan kanan saja yang digunakan buat melawan
nona baju hitam itu, kakinya pun tidak pernah menggeser barang selangkahpun
secara tenang dan seenaknya mencari kesempatan buat rebut golok lawan, tipu
gerakannya sangat aneh, bahkan tempat dan waktu yang digunakannya pun jitu
sekali, sungguh suatu ilmu kepandaian yang lain daripada yang lain.
Tentu saja Nyo Ko ter-heran2. "Mengapa orang ini
begini lihay?" demikian pikirnya.
"Tolol, kepandaian orang ini jauh melebihi
kau!" Bu-siang balas mengejek si Nyo Ko.
Namun Nyo Ko sedang tercengang, maka tak didengarnya apa
yang dikatakan si nona.
"Sam-moay, lihatlah yang jelas," terdengar Yali
Ce berkata pada adiknya sambil melayani si gadis baju hitam. "Kalau aku
tepuk dia punya "pi-su-hiat", tentu dia akan menghindar mundur ke
samping, menyusul aku lantas pegang dia punya "ki-kut-hiat",
mau-tak-mau dia harus angkat golok-nya buat membacok. Pada saat itulah kita
harus turun tangan secara cepat dan dapatlah merebut senjatanya."
"Cis, belum tentu bisa begitu gampang,"
damperat gadis baju hitam dengan gusar.
"Tetapi memang begitulah, lihatlah ini," kata
Yali Ce. sambil berkata, betul juga ia hantam "pi-sui-hiat" si gadis.
Pukulan ini tampaknya seperti menceng dan miring, tetapi
justru mengurung rapat segala jalan mundur lawannya, hanya pada ujung belakang
kiri sedikit ke samping itulah ada peluang, karena si gadis hendak hindarkan
pukulan itu, terpaksa ia mundur miring ke samping sana.
Yali Ce angguk2 suatu tanda pukulannya membawa hasil,
menyusul betul juga ia ulur tangan hendak pegang "Ki-kut-hiat" lawan.
Sebenarnya dalam hati si gadis itu sudah memperingatkan
dirinya sendiri agar "se-kali2 jangan angkat golok balas membacok"
seperti apa yang direncanakan Yali Ce. Akan tetapi keadaan pada waktu itu sangat
berbahaya, jalan lain memang tidak ada kecuali angkat goloknya buat balas
membacok yang merupakan satu2-nya gerak tipu yang jitu.
Karena itulah, tanpa bisa pikir banyak, segera goloknya
mengayun, ia balas menyerang.
"Nah, begitu bukan?" dengan sungguh2 Yali Ce
berkata.
Mendengar perkataannya ini, semua orang menduga pasti
Yali Ce akan ulur tangan buat merebut senjata si gadis, siapa tahu tangan
kanannya malah dia tarik kembali dan dimasukkan ke dalam lengan baju.
Maka luputlah bacokan gadis baju hitam itu, sebaliknya ia
lihat kedua tangan orang malah bersedakap seenaknya, keruan saja ia rada
tertegun.
Pada saat itu juga, se-konyong2 Yali Ce ulur tangan kanan
lagi dengan dua jari ia menjepit punggung golok si gadis dan sedikit diangkat
ke atas, karena itu, gadis itu tak mampu pegang kencang senjatanya hingga kena
direbut orang secara mentah2.
---------- Gambar ------------
"Wanyen Ping, "Beberapa kali kami ampuni
jiwamu, kau selalu cari perkara, apa sih maksudmu sebenarnya?" demikian
kata Yali Yen sambil menahan pukulan orang.
---------------------------------
Menyaksikan pertunjukan ilmu sakti itu, seketika semua
orang terkesima, menyusul suara sorak sorai memecah kesunyian memuji kepandaian
Yali Ce tadi.
"Nah, sekarang iapun tak bersenjata," kata Yali
Ce pada adik perempuannya sambil melangkah mundur, "kau maju lagi menjajal
dia, tabah sedikit dan hati2 terhadap tendangan kilatnya."
Karena goloknya direbut orang, wajah gadis baju hitam itu
kelihatan muram, untuk sejenak terpaku di tempat.
Semua orang menjadi heran oleh kelakuannya, mereka pikir:
"Kalau Jikongcu (tuan muda kedua) tidak menangkap dia sekaligus, terang
maksudnya sengaja membebaskan dia lari, tapi dia justru tak mau kabur, lalu apa
kehendaknya?"
Dalam pada itu, karena kata2 abangnya tadi, Yali Yen
telah tampil ke depan lagi.
"Wanyen Peng, berulang kali kami telah ampuni kau,
tapi kau selalu merecoki kami, apa sampai hari ini kau masih belum mau
mengakhiri maksudmu itu?" begitulah kata Yali Yen pada gadis baju hitam
itu.
Mendengar nama yang disebut Yali Yen, diam2 Nyo Ko sangat
heran oleh nama beberapa orang yang aneh itu.
Nyata, karena masih muda dan cetek pengalamannya, Nyo Ko
tak tahu bahwa "Yali" adalah nama keluarga kerajaan negeri Liau,
sedang "Wan-yen", adalah nama keluarga kerajaan negeri Kim, beberapa
orang yang berada di dalam kamar itu memang keturunan bangsawan kedua negeri
itu.
Cuma tatkala itu negeri Liau sudah ditelan kerajaan Kim,
dan negeri Kim telah dicaplok pula oleh Mongol. Oleh sebab itu, baik Yali
maupun Wan-yen, semuanya adalah keluarga raja2 yang sudah musnah negerinya.
Begitulah Wanyen Peng ternyata tak menjawab kata2 Yali
Yen tadi, ia masih menunduk dan termenung-menung.
"Baiklah, jika kau memang ingin tentukan unggul dan
asor dengan aku, marilah kita mulai lagi," kata Yali Yen kemudian.
Berbareng itu, melompat maju terus menjotos susul-menyusul dua kaIi.
"Kembalikan golokku itu," serunya tiba2 dengan
nada suara memelas.
Yali Yen tertegun karena permintaan itu, katanya dalam
hati: "Kakakku sengaja rebut senjata mu agar kau bergebrak rangan kosong
dengan aku, kenapa sekarang kau malah minta kembali senjatamu ?"
Walaupun begitu, karena wataknya memang berbudi, maka
iapun tidak menolak "Baiklah", demikian sahutnya, Habis itu, dari
tangan abangnya ia ambil golok Liu-yap-to itu dan dilemparkan pada Wanyen Peng.
"Sam-siocia, kaupun gunakan senjata," kata
seorang pengawal sambil menyerahkan goloknya.
"Tak perlu," sahut Yali Yen. Tetapi setelah
dipikir lagi, segera ia menambahkan: "Baiklah, dengan tangan kosong aku
memang bukan tandinganmu biarlah kita bertanding golok."
Lalu golok pengawal tadi diterimanya, walau pun beratnya
sedikit terasa antap, namun boleh juga sekedar dipakai.
Di lain pihak setelah terima kembali senjatanya sendiri,
muka Wanyen Peng tampak putih pucat, dengan tangan kiri memegang golok, tangan
kanan menuding Yali Cu-cay dan berkata: "YaIi Cu-cay, kau telah bantu
orang Mongol dan tewaskan ayah-bundaku, selama hidupku ini terang aku tak
sanggup menuntut batas lagi padamu, Biarlah kita bikin perhitungan nanti
diakhirat saja !"
Begitu selesai bicara, mendadak golok di tangan itu terus
menggorok ke lehernya sendiri.
Waktu mendengar kata2 si gadis tadi dengan sorot matanya
yang guram, seketika hati Nyo Ko memukul keras, dadapun terasa sesak dan tanpa
tertahan berseru : "Kokoh !"
Pada saat ia berseru itulah Wanyen Peng telah angkat
goloknya hendak membunuh diri. Namun gerak tangan Yali Ce cepat tiada
bandingan-nya, ketika tubuhnya sedikit mendoyong dan tangannya menjulur, dengan
dua jari saja ia berhasil merebut golok si gadis, bahkan orangnya ditutuk pula
hingga tak bisa berkutik.
"Baik2 saja begini, kenapa lantas berpikiran
pendek?" demikian katanya.
Terjadinya beberapa peristiwa tadi, yakni Wanyen Peng
hendak menggorok leher sendiri dan Yali Ce merebut senjatanya dengan jepitan
jarinya, semuanya terjadi dalam sekejap saja, ketika dapat melihat jelas oleh
semua orang, sementara itu golok si gadis sudah berpindah ke tangan Yali Ce
Iagi.
Karena itulah, seketika ramai suara jeritan kaget dari
orang banyak hingga seruan "Kokoh" yang diucapkan Nyo Ko itu tidak
diperhatikan orang sebaliknya Liok Bu-siang yang berada di samping nya dapat
mendengar dengan terang.
"Apa kau sebut dia? ia adalah kokohmu?"
"tanyanya dengan suara tertahan.
"Bukan......bukan!" sahut Nyo Ko cepat.
Kitanya tadi waktu Nyo Ko nampak sorot mata Wanyen Peng
yang menunjuk perasaan penuh sunyi dan hampa, seperti sudah putus asa, hal ini
mirip sekali dengan sorot mata Siao-liong-li dahulu sewaktu hendak berpisah
dengan dia itu.
Dan karena melihat sorot mata orang itu tadi, tanpa
terasa Nyo Ko terkesima seperti orang ling-lung hingga lupa dirinya berada di
mana pada waktu itu.
Melihat keadaan Nyo Ko yang aneh itu, Bu siang tak
menanya lebih lanjut, sebaliknya ia dengar di dalam sana Yali Cu-cay sedang
buka suara dengan pelahan.
"Nona Wanyen, sudah tiga kali kau hendak membunuh
aku, tetapi setiap kali selalu gagal," demikian kata orang tua itu.
"Dalam persoalan ini, sebagai perdana menteri negara Mongol, akulah yang
musnahkan tanah airmu dan membunuh ayah-bundamu. Tetapi sebaliknya apa kau tahu
siapa lagi yang telah "bunuh leluhurku dan menghancurkan negeriku?"
"Aku tak tahu," sahut Wanyen Peng.
"Baiklah kuterangkan," tutur Yali Cu-cay,
"Leluhurku adalah keluarga raja Liau dan negeri Liau kami itu telah
dimusnahkan oleh negeri Kim bangsamu, Keturunan Yali dari keluarga kami itu
habis dibunuh oleh keluarga Wan-yen kalian hingga tidak seberapa gelintir orang
yang ketinggalan.
Karena itu, pada waktu muda akupun bersumpah buat tuntut
balas sakit hati ini, karenanya aku telah bantu raja Mongol menghancurkan
negaramu Kim. Ai, cara balas-membalas ini entah akan berakhir kapan ?"
Pada waktu mengucapkan kata2 terakhir itu, Yali Cu-cay
mendongak memandang keluar jendela, terbayang olehnya beratus bahkan beribu
jiwa yang telah melayang akibat saling bunuh-membunuh tanpa ada habisnya itu.
Sewaktu mendengarkan tadi, tiba2 Wanyen Peng gigit
bibirnya hingga beberapa giginya yang putih bersih bagai mutiara tertampak
jelas.
"Hm", tiba2 ia menjengek terhadap Yali Ce.
"Tiga kali menuntut balas dan tidak berhasil, kusesalkan kepandaianku
sendiri yang tak becus, Tetapi aku hendak bunuh diri, kenapa kau ikut campur
tangan pula?"
"Asal selanjutnya nona berjanji tidak akan merecoki
kami lagi, segera aku bebaskan kau," sahut Yali Ce.
Wanyen Peng mendengar ia tidak menjawab melainkan matanya
yang mendelik gusar.
Kemudian Yali Ce baliki Liu-yap-to rampasannya itu,
dengan garan senjata itu ia ketok pelahan beberapa kali pinggang si gadis untuk
melepaskan jalan darahnya.
Kiranya Yali Ce ini memang laki2 sejati, tadi dalam
keadaan terpaksa, maka dia menutuk dengan jari tangan, tetapi kini ia tak
berani menyentuh tubuh si gadis lagi melainkan menggunakan garan golok untuk
melepaskan Hiat-to yang tertutup itu.
Sesudah itu segera Yali Ce angsurkan golok itu kepada
pemiliknya.
Semula Wanyen Peng rada ragu2, tetapi akhirnya
diterimanya kembali juga.
"Yali-kongcu, sudah beberapa kali kau berlaku murah
hati dan melayani aku dengan sopan, hal ini aku cukup mengetahuinya",
demikian katanya kemudian "Tetapi sakit hati antara keluarga Wanyen kami
dengan keluargamu Yali sedalam lautan, betapapun juga, sakit hati orang tua tak
bisa tak dibalas".
Yali Ce pikir: "Nyata gadis ini masih akan bikin
ribut tiada hentinya, ilmu silatnya juga tinggi, padahal aku tak bisa selalu
disamping ayah untuk melindungi selama hidupnya, Ah, kenapa aku tidak pancing
dia agar dia tuntut sajalah saja padaku."
"Nona Wanyen, begitulah ia berkata "kau hendak
membalas dendam orang tua, cita2mu itu sungguh harus dipuji Cuma persengketaan
angkatan tua, hendaklah orang tua itu selesaikan sendiri dan kita yang menjadi
orang angkatan muda, masing2 pun ada budi dan dendamnya sendiri2. Maka bila kau
akan menuntut balas, utang darah antara keluarga kita itu bolehlah kau cari
saja padaku sendiri tetapi kalau ayahku yang kau recoki, kelak kalau kita
bertemu pula, soalnya tentu akan menjadi sulit."
"Hm, enak saja kau bicara, ilmu silatku jelas tak
bisa mengungkuli kau, mana bisa aku balas dendam padamu, sudahlah
sudahlah!" sahut Wan-yen Peng sambil tutup mukanya terus bertindak
Yali Ce mengarti dengan perginya si gadis, tentu orang
akan cari jalan buat bunuh diri lagi, karena bermaksud menolong jiwa orang,
maka ia sengaja berkata pula dengan tertawa dingin: "Huh, wanita keluarga
Wanyen kenapa tak punya pambekan!"
"Kenapa tak punya kambekan?" tanya Wanyen Peng
tiba2 sembari berpaling.
"Soal ilmu silatku lebih tinggi dari kau, ya, itu
memang betul, tetapi apanya yang perlu dibuat heran? Hal ini oleh karena aku
pernah mendapat ajaran dari guru pandai, dan bukan karena aku memepunyai bakat
yang melebihi orang lain," kata Yali Ce.
"Kau masih semuda ini, asal kau mau mencari guru
dengan penuh keyakinan, apa tak Msa kau mendapatkannya?"
Sebenarnya hati Wanyen Peng penuh mendongkol dan gusar
tidak kepalang, tapi mendengar beberapa kata itu, diam2 ia memanggut juga.
"Setiap kali aku bergebrak dengan kau, selalu aku
hanya gunakan tangan kanan saja, hal ini bukannya aku sengaja berlaku
sombong," kata Yali, Ce lagi. "Tetapi sebabnya karena tipu serangan
tangan kiriku terlalu aneh, bila sampai bergebrak, tentu akan melukai orang,
oleh karenanya aku bersumpah kalau tidak dalam detik yang berbahaya, se-kali2
aku tidak sembarangan menggunakan tangan kiri, Maka begini saja sebaiknya,
biarlah kalau kau sudah belajar lagi dari guru pandai, setiap saat kau boleh
datang mencari aku lagi, asal kau mampu memaksa aku menggunakan tangan kiri
seketika juga aku potong leherku sendiri tanpa menyesal"
Dengan uraian ini sungguh2 Yali Ce ingin menolong jiwa
orang, ia tahu ilmu silat Wanyen Peng masih berselisih jauh dengan dirinya,
sekalipun dapatkan guru pandai juga susah hendak menangkan dirinya. Maka
tujuannya hanya untuk mengulur tempo belaka agar sesudah lewat agak lama, rasa
dendam Wanyen Peng bisa mereda hingga tak perlu membunuh diri lagi.
Oleh karena itu, Wanyen Peng berpikir: "Kau toh
bukan dewa, kalau aku berlatih secara sungguh2 masakan dengan dua tanganku tak
bisa menangkan sebelah tanganmu itu?"
Maka goloknya segera ia angkat ke atas dan berseru :
"Baik! Laki2 sejati sekali kata..."
"Kuda cepat sekali pecut!" sambung Yali Ge
tanpa ragu-ragu.
Dengan istilah "Laki2 sejati sekali kata, kuda cepat
sekali pecut", artinya apa yang telah diucapkan itu tak akan dipungkiri
lagi.
Habis itu, dengan bersitegang lalu Wanyen Peng bertindak
pergi walaupun begitu, pada air mukanya tidak terhindar dari rasa pedih dan
lesu.
Melihat tuan muda mereka membebaskan si gadis, sudah
tentu para pengawal tak berani merintangi, sehabis memberi hormat pada Yali
Cu-cay, kemudian merekapun keluar kamar.
Peristiwa tadi terjadi dengan ramainya, namun sama sekali
Nyo Ko tak nampakkan diri, diam2 Yali Cin menjadi heran sekali.
"Ji-ko, kenapa kau bebaskan dia lagi?"
terdengar Yali Yen tanya abangnya, Yali Ce, dengan tertawa.
"Tidak bebaskan dia, apa harus bunuh dia?"
sahut Yali Ce.
"Tetapi salah besar kalau kau bebaskan dia,"
kata Yali Yen lagi.
"Sebab apa?" tanya Yali Ce heran.
"Ji-ko, kau kehendaki dia menjadi isteri seharusnya
jangan kau lepaskan dia," ujar Yali Yen tertawa.
"Ngaco-belo!" omel Yali Ce dengan sungguh2.
Meiihat abangnya ber-sungguh2, kuatir orang marah, maka tak berani lagi Yali
Yen bergurau
Percakapan kedua orang itu semuanya didengar jelas oleh
Nyo Ko yang masih mengintip di luar jendela itu demi mendengar apa yang
dikatakan Yali Yen bahwa "kehendaki dia menjadi isteri", aneh, dalam
hatinya tanpa sebab timbul semacam rasa iri, rasa cemburu, ia menjadi begitu
benci terhadap si Yali Ce itu.
Padahal ilmu silat Yali Ce sangat tinggi, tingkah lakunya
pun berbudi dan sesungguhnya adalah satu laki2 sejati, sebenarnya Nyo Ko diam2
kagum padanya. Tetapi kini demi terpikir Wanyen Peng akan diperisterikan dia,
ia merasa semakin tinggi ilmu silat Yali Ce dan semakin baik prilakunya, hal
ini semakin menandakan kemalangan nasib dirinya sendiri
Oleh sebab itulah, begitu dilihatnya sorot mata Wanyen
Peng sangat mirip Siao-Iiong-li, tanpa terasa bibit asmaranya bersemi dan
terlibat pada diri gadis itu.
Tengah ia tertegun, tiba2 dilihatnya berkelebat bayangan
Wanyen Peng di atas rumah sana yang menuju ke jurusan tenggara.
"Coba aku pergi melihatnya," katanya tiba2 pada
Liok Bu-siang.
"Melihat apa?" tanya si nona.
Namun Nyo Ko tak menjawab, dengan cepat Wanyen Peng
disusulnya.
Meski ilmu silat Wanyen Peng tak terlalu tinggi, tetapi
Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya ternyata amat bagus, sesudah Nyo Ko
mengejar dengan "poIgas" hingga di luar kota barulah dapat
disusulnya.
Ia melihat Wanyen Peng masuk ke sebuah rumah penduduk
Dengan cepat Nyo Ko ikut melompat masuk ke pelataran rumah itu dan sembunyi di
pinggir tembok, Lewat tak lama, kamar di sebelah barat sana kelihatan sinar
lampu yang dinyatakan, menyusul mana lantas terdengar suara orang menghela
napas panjang.
Dari helaan napas panjang itu jelas orangnya lagi berhati
duka dan menderita batin.
Mendengar suara helaan napas panjang itu, seketika Nyo Ko
tertegun seperti orang linglung di luar jendela kamar itu, tanpa terasa iapun
ikut menghela napas panjang.
Mendadak mendengar ada orang menghela napas juga di
kamar, Wanyen Peng terperanjat, lekas2 ia sirapkan lampu dan mundur ke pojok
kamar.
"Siapa?" bentaknya kemudian dengan suara
tertahan.
"Kalau tidak berduka, mana bisa menghela
napas?" sahut Nyo Ko.
Wanyen Peng semakin heran, dan lagu suara orang agaknya
tidak bermaksud jahat, maka ia tanya lagi: "Siapakah kau sebenarnya?"
"Untuk membalas sakit hati, orang kuno pernah rebah
sambil merasakan pahitnya empedu, tetapi kau, gagal sekali sudah hendak bunuh
diri, bukankan harus malu dibandingkan orang kuno itu?" kata Nyo Ko dari
luar.
Dahulu di Tho-hoa-to pernah Nyo Ko bersekolah pada Ui
Yong dan banyak diceritakan oleh bibinya itu tentang hikayat orang2 jaman
dahulu, diantaranya ialah Wat-ong dari jaman Ciankok yang tertawan musuh,
tetapi tanpa putus asa dan dengan penuh sabar menantikan saat baik untuk
membalas dendam, sebagai gemblengan atas cita2-nya itu", Wat-ong setiap
hari mengicip2 rasa pahitnya empedu sambil merebah, Cerita itulah kini di-sitir
oleh Nyo Ko.
Karena itu, lalu terdengar suara pintu kamar dibuka,
Wanyen Peng menyalakan lagi lampunya, "Silakan masuk," begitulah ia
sambut Nyo Ko.
Lebih dulu Nyo Ko memberi hormat, habis itu baru dia
masuk ke kamar orang.
Wanyen Peng rada heran melihat Nyo Ko memakai seragam perwira
bangsa Mongol, lagi pula usianya masih muda.
"Petunjuk tuan memang tepat, dapatkah mengetahui
nama dan she tuan yang mulia?" tanyanya kemudian.
Akan tetapi Nyo Ko tidak menjawab, sebaliknya kedua
tangannya ia masukkan ke dalam lengan baju, habis itu baru ia buka suara,
tetapi menyimpang dari pertanyaan orang.
"ltulah Yali Ce telah membual secara tak tahu malu,
ia kira dengan tangan kanan saja sudah hebat sekali kepandaiannya, padahal
kalau mau rebut golok orang dan menutuk Hiat-to orang, apa susahnya meski
sebelah tangan tak diperguna-kan?" demikian katanya.
Namun Wanyen Peng tidak sependapat dengan uraian Nyo Ko
yang lebih sombong dari Yali Ce itu, tetapi karena belum kenal asal usul orang,
maka ia merasa tidak enak mendebatnya.
"Aku ajarkan kau tiga jurus sakti, dengan ini kau
lantas bisa paksa Yali Ce memakai kedua tangannya," kata Nyo Ko lagi
"Tetapi kau tentu tak percaya, bukan ? Nah, sekarang juga aku boleh coba2
dengan kau. Aku sama sekali tak menggunakan kaki-tanganku untuk bergebrak dengan
kau, bagaimana ?"
Luar biasa heran Wanyen Peng oleh ucapan Nyo Ko, katanya
dalam hati: "Masakan kau bisa rami gaib hingga dengan sekali tiup kau bisa
robohkan aku?"
Melihat sikap si gadis, Nyo Ko tahu apa yang dipikir
olehnya.
"Kau boleh bacok dengan golok sesukamu, atau aku tak
bisa hindarkan diri biar matipun ku tidak menyesal" katanya untuk
menghiIangkan rasa sangsi si nona.
"Baiklah, cuma akupun tak pakai golok, balas dengan
tangan kosong saja kulukai kau," sahut Wanyen Peng.
"Tidak, tidak," kata Nyo Ko lagi sambil
menggeleng kepala, "aku harus rebut golokmu tanpa geraki tangan dan
kakiku, dengan begitu barulah kau mau percaya."
Melihat sikap Nyo Ko yang anggap perkara itu seperti hal
sepele saja, mau tak-mau Wanyeng Peng mendongkol juga.
"Tuan begini lihay, sungguh, dengar saja aku tak
pernah" katanya
Habis ini, tanpa sungkan2 lagi ia lolos golok terus
membacok ke pundak Nyo Ko.
Ketika melihat kedua tangan Nyo Ko masih terselubung di
dalam lengan baju dan anggap seperti tidak terjadi apa2, ia menjadi kuatir
betulI melukai orang, maka arah goloknya sedikit dimiringkan ke samping.
Gerak senjatanya ini ternyata dapat dilihat jelas oleh
Nyo Ko, iapun tidak bergerak sedikitpun.
"Jangan kau sungkan2, kau harus membacok
sungguhan." demikian katanya.
Wanyen Peng menjadi kagum melihat orang sama sekali tak
hkaukan serangannya itu, "Apakah ia seorang dogol?" pikirnya.
Menyusul itu, goloknya bergerak pula, sekali ini ia
membabat dari samping dengan sungguh2
Tak terduga, secepat kilat mendadak Nyo sedikit
berjongkok hingga golok menyamber lewat di atas kepalanya, jaraknya cuma
selisih satu-dua senti saja.
Sekarang Wanyen Peng tidak sungkan2 lagi, ia kumpulkan
semangat, goloknya diangkat terus membacok pula.
"Dalam bacokanmu boleh diselingi pula dengan Thi-cio
(pukulan telapak besi)," kata Nyo Ko sembari hindarkan golok.
Luar biasa kaget Wanyen Peng oleh kata2 Nyo Ko itu,
dengan golok terhunus ia melompat ke pinggir
"Da... dari mana kau bisa tahu?," tanyanya
cepat dengan suara tak lancar.
"Kau punya Ginkang adalah dari golongan
Thi-cio-cui-siang-biau, maka aku hanya coba menerkanya saja," sahut Nyo
Ko.
"Baik," kata Wanven Peng kemudian. Berbareng
itu goloknya membacok pula diikuti dengan tangan kiri lantas memotong betul2
diantara goloknya ia selingi dengan Thi-cio.
Namun dengan gampang saja Nyo Ko mengegos lagi
"Boleh lebih cepat sedikit." katanya malah.
Wanyen Peng menjadi makin heran, ilmu goloknya lantas
dikeluarkan seluruhnya, makin menyerang makin cepat nyata dia memang anak murid
kaum ahli yang tersohor, gerak serangannya tidak boleh dipandang enteng.
Sungguhpun begitu, namun kedua tangan Nyo Ko masih
terselubung di dalam lengan baju, hanya tubuhnya saja vang berkelit kian kemari
di antara samberan golok dan hantaman orang, jangan kata hendak melukainya,
ujung baju saja Wanyen Peng tak mampu menyenggolnya.
Sesudah sebagian besar ilmu golok si nona dilontarkan,
tiba2 Nyo Ko berkata: "Awas, dalam tiga jurus ini, golokmu akan
kurebut!"
Kini Wanyen Peng sudah kagum luar biasa terhadap Nyo Ko,
tetapi kalau bilang dalam tiga jurus saja goloknya hendak direbut, inilah dia
masih belum mau percaya, maka senjatanya ia genggam terlebih kencang.
"Coba saja rebut!" sahutnya, berbareng ia
memotong dari samping dengan kuat, tipu serangan ini adalah
"Ling-hing-cin-nia" (dengan gesit melintasi bukit Cin).
Siapa tahu, dengan sedikit menunduk Nyo Ko malah
menerobos di bawah goloknya, menyusul ini kepalanya sedikit melengos ke atas,
dengan batok kepalanya ia bentur siku Wanyen Peng yang memegang golok itu.
Tempat yang dibentur itu adalah "kiok-ti-hiat",
keruan lengan Wanyen Peng menjadi lemas tak bertenaga, ketika Nyo Ko mendongak
dan mangap mulutnya, dengan jitu sekali punggung golok kena digigitnya, maka
secara gampang saja senjata itupun kena direbutnya, bahkan menyusul kepalanya
melengos lagi, dengan garan golok ia tumbuk iga Wanyen Peng, maka tertutuklah
Hiat-to si gadis.
Dengan tersenyum Nyo Ko segerapun melompat pergi, waktu
kepalanya bergerak, tiba2 ia mengayun ke atas hingga golok yang dia gigit tadi
terbang ke udara, dengan melemparkan golok ini, perlunya agar bisa bicara
dengan mulutnya.
"Bagaimana, menyerah tidak?" begitu ia tanya.
Habis berkata, golok itupun sudah menurun ke bawah, Nyo
Ko buka mulut dan dapat menggigitnya kembali
Terkejut dan bergirang Wanyen Peng, ia angguk2 oleh
pertanyaan Nyo Ko tadi.
Melihat kerlingan mata si gadis sungguh mirip sekali
dengan Siao-liong-li, tak tertahan Nyo Ko ingin sekali bisa peluk orang dan
menciumnya, cuma perbuatan ini terlalu kurangajar, maka sambil gigit golok,
mukanya menjadi merah jengah.
Sudah tentu Wanyen Peng tak tahu apa yang sedang dipikir
Nyo Ko, hanya dilihatnya sikap orang yang aneh itu, dalam hati ia ter-heran2,
namun seluruh badan sendiri terasa kaku, kedua kaki lemas se-akan2 hendak
jatuh.
Nyo Ko melangkah maju dan melamun, tiba2 teringat
olehnya: "Ah, jangan, dia pernah berterima kasih pada Yali Ce karena sopan
santunnya, memang aku lebih rendah daripada Yali Ce itu? Hm, aku justru hendak
melebihi dia dalam hal apapun juga."
Begitulah tabiat Nyo Ko yang gampang ter-singgung, sejak
kecil tak pernah memperoleh didikan orang tua, tentang sopan santun dan tata
krama sama sekali tak diketahui, setiap tindak tanduknya bergantung pada
pendapatnya apakah itu baik atau buruk. Waktu itu kalau bukan pikirannya ingin
melebihi Yali Ce, boleh jadi ia sudah peluk Wanyen Peng dan menciumnya.
Kemudian dengan garan golok ia tumbuk lagi sekali
pinggang Wanyen Peng untuk melepaskan Hiat-to yang ditutuk tadi, lalu golok itu
ia angsurkan kembali padanya.
"Siapa tahu, bukannya Wanyen Peng terima kembali
goloknya, sebaliknya ia terus berlutut di hadapan Nyo Ko.
"Mohon Suhu terima aku sebagai murid, kalau aku
dapat membalas sakit hati orang tua, budi ini pasti takkan kulupakan,"
katanya tiba2.
Nyo Ko menjadi kelabakan oleh kelakuan orang, lekas2 ia
bangunkan Wanyen Peng.
"Mana bisa aku menjadi gurumu?" sahutnya,
"Tetapi, dapatlah kuajarkan satu akal padamu untuk membunuh
Yali-kongcu." Girang sekali Wanyen Peng oleh keterangan itu.
"Bagus sekali, asal bisa bunuh Yali-kongcu, abang
dan adiknya bukan tandinganku semua, dengan sendirinya aku dapat membunuh lagi
ayahnya... berkata sampai disini, tiba2 terpikir lagi olehnya: "Ah, kalau
sampai aku memiliki kepandaian untuk membunuh dia, apa mungkin Yali tua masih
hidup di dunia ini? Bagaimanapun juga, sakit hati ayah-bundaku tak dapat
dibalas,"
Tetapi sehari ini saja Yali tua itu rasanya masih tetap
hidup," kata Nyo Ko dengan tertawa.
"Apa maksudmu?" tanya Wanyen Peng.
"Untuk membunuh Yali Ce, apa susahnya?" Sahut
Nyo Ko. "Sekarang juga aku ajarkan tiga tipu padamu dan malam ini juga kau
dapat membunuhnya."
Sudah tiga kali Wanyen Peng berusaha membunuh Yali
Cu-cay, tetapi ketiga kalinya selalu dikalahkan Yali Ce secara mudah saja, maka
ia cukup kenal ilmu kepandaian orang yang berpuluh kali lebih tinggi dari
dirinya. Ia pikir, sungguhpun ilmu silat Nyo Ko tinggi, tapi belum tentu
melebihi Yali Ce.
Sekalipun bisa menangkan dia, tidak nanti juga hanya tiga
tipu saja lantas bisa digunakan buat membunuh orang, apalagi malam ini pula
katanya bisa membunuhnya, ini lebih2 tak mungkin.
Begitulah ia menjadi sangsi, karena kuatir Nyo Ko marah,
maka tak berani Wanyen Peng mendebatnya, hanya kepalanya menggeleng sedikit,
sedang kerlingan matanya yang menggilakan Nyo-Ko tadi semakin menggiurkan.
Betapa pintarnya Nyo Ko, segera iapun tahu apa yang
dipikirkan si gadis.
"Ya, memang ilmu silatku belum pasti bisa
diatasnya," demikian katanya, "kalau saling gebrak, boleh jadi aku
malah banyak kalahnya daripada menangnya, Tetapi untuk mengajarkan tiga tipu
padamu dan buat membunuhnya malam ini juga, hal ini sebaliknya tidak perlu
buang tenaga, Soalnya hanya bergantung padamu yang pernah mendapat pengampunan
tiga kali dari dia, aku kuatir kau tak tega membunuhnya."
Hati Wanyen Peng tergerak, segera ia keraskan hatinya dan
menyahut: "Meski dia ada budi padaku, namun sakit hati orang tua tidak
bisa tidak dibalas."
"Baik, kalau begitu tiga jurus tipu ini segera
kuajarkan padamu," kata Nyo Ko. "Tetapi kalau kau mestinya bisa membunuh
dia dan tidak kau lakukan, lalu bagaimana nanti?"
"Bila terjadi begitu, terserahlah kau untuk berbuat
sesukamu, toh kepandaianmu begini tinggi kau mau pukul atau mau bunuh aku, apa
aku sanggup melarikan diri?" sahut Wanyen Peng tegas.
"Mana aku tega pukul, apalagi membunuh kau?"
demikian pikir Nyo Ko dalam hati. Maka dengan tersenyum ia menjawab:
"Sebenamya tiga jurus tipu inipun tiada yang mengherankan Nih, kau lihat
yang jelas!"
Habis itu, golok orang lantas diambilnya kembali, dengan
pelahan ia membabat dari kiri ke kanan.
"Tipu pertama yalah
"hun-hing-cin-nia"," kata Nyo Ko.
Melihat tipu serangan ini, diam2 Wanyen Peng berpikir:
"Tipu serangan ini aku sudah bisa, perlu apa kau mengajarkan?" - Maka
dengan mengegos ia hindarkan serangan itu.
"Dan kini tipu kedua," kata Nyo Ko sambil
mendadak ulur tangan kiri buat pegang tangan kanan si gadis, "ini adalah
tipu "ko-tin-jiau-jiu" (akar rotan melingkar pohon) dari ilmu
pukulanmu Thi-cio-kang."
"Aneh, tipu inipun satu diantara 18 gerakan Kim-na-jiu
dari Thi-cio-kang kami, buat apa kau mengajarkan lagi?" kembali Wanyen
Peng berpikir "Tetapi aneh juga, darimana dia mempelajari ilmu pukulan
golongan Thi-cio-bun kami?"
"Ilmu kepandaian golongan Thi-cio-bun, pertama
adalah Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh, Kedua yalah Cio-hoat atau ilmu
pukulan tangan kosong, lebih2 18 jurus Kim-na-jiu (cara mencekal dan memegang)
juga sangat lihay, Karena Kiu-im-cin-keng adalah himpunan dari inti2 itmu silat
seluruh jagat, asal satu dipelajari maka semuanya paham dengan sendirinya.
Nyo Ko sudah berhasil melatih Kiu-im-cin-keng, maka iapun
kenal Kim-na-jiu-hoat dari Thi-cio-bun itu, hanya cara yang lebih mendalam
belum diketahuinya.
Begitulah, maka Wanyen Peng menjadi heran karena
tangannya dipegang tadi ia merasa Kim-na-jiu-hoat yang diunjuk Nyo Ko ini
sebenarnya tidak lebih lihay dari apa yang dia pernah belajar, karena itu,
dengan mata terbuka lebar ia menantikan tipu serangan ketiga yang akan
diajarkan padanya itu.
Belum lagi Nyo Ko perlihatkan tipu ketiganya, Wanyen Peng
telah membatin pula: "Jurus seranganmu yang pertama dan kedua semuanya
adalah ilmu kepandaian Thi-cio-bun kami sendiri hakekatnya tiada sesuatu yang
luar biasa, apakah mungkin melulu andalkan tipu serangan ketiga ini lantas bisa
membunuh Yali-kongcu?"
"Nah, sekarang lihatlah yang jelas !" begitulah
terdengar Nyo Ko berseru padanya, Habis itu goloknya diangkat terus menggorok
tenggorokan sendiri.
Keruan saja tidak kepalang kaget Wanyen Peng, "Hai,
apa yang kau lakukan ?" jeritnya cepat Dan karena tangan kanannya masih
dipegang ken-cang2 oleh Nyo Ko, maka dengan tangan kiri ia merebut senjata yang
hendak dibuat bunuh diri oleh Nyo Ko itu.
Meski dalam keadaan gugup, namun gerak tangan Wanyen Peng
tetap sangat cepat, sekali cekal, pergelangan tangan si Nyo Ko sudah
dipegangnya terus ditekuk, dengan demikian mata golok itu tak dapat dipakai
membunuh diri lagi.
Nyo Ko lantas kendurkan kedua tangannya dan melompat
mundur. "Nah, sekarang kau sudah tahu bukan ?" dengan tertawa ia
tanya.
Wanyen Peng sendiri masih ber-debar2 hati-nya oleh karena
kagetnya tadi, maka ia belum paham apa maksud kata2nya.
"Pertama kau gunakan tipu
"hun-hing-cin-nia" untuk membabat, lalu dengan tipu
^oh-tu-jiau-jiu" kau cekal tangan kanannya dengan kencang, dan tipu ketiga
yalah angkat golok buat bunuh diri.
"Dalam keadaan begitu, pasti dia akan gunakan tangan
kiri buat menolong kau, ia pernah bersummpah padamu bahwa asal kau bisa memaksa
dia menggunakan tangan kiri, ia akan serahkan jiwanya padamu, itu namanya mati
tanpa menyesal dan bukankah urusan menjadi selesai ?" demikian Nyo Ko
menjelaskan.
Betul juga pikir Wanyen Peng, tetapi dengan ter-mangu2 ia
memandang Nyo Ko, dalam hati ia pikir: "Usiamu masih semuda ini, mengapa
dapat kau pikirkan cara2 yang begini aneh dan nakal ?"
Dalam pada itu Nyo Ko telah berkata lagi:
"Ketiga tipu tadi tanggung berhasil dengan baik,
kalau gagal, aku nanti menyembah padamu!"
"Tidak," tiba2 Wanyen Peng menyahut dengan
goyang kepala, "sekali dia bilang tak akan pakai tangan kiri, tentu tak
digunakannya, lalu bagaimana?"
"Lalu bagaimana? Kalau kau tak bisa membalas dendam,
bukankah lebih baik mati saja, beres." kata Nyo Ko.
"Kau betul," sahut Wanyen Peng dengan suara
pilu, "Terima kasih atas petunjukmu sebenarnya kau ini siapakah ?"
"Dia bernama si Tolol, jangan kau turut
ocehannya," belum sampai Nyo Ko menjawab, tiba2 suara seorang perempuan
menyela di luar jendela.
Nyo Ko dapat mengenali itu adalah suara Liok Bu-siang,
maka ia hanya tersenyum dan tidak gubris.
Sementara itu Wanyen Peng telah melompat ke pinggir
jendela, sekilas masih dapat dilihat berkelebatnya bayangan orang yang melompat
keluar pagar.
Hendak dikejar oleh Wanyen Peng sebenarnya, namun Nyo Ko
telah mencegahnya.
"Tak perlu kau uber dia," kata Nyo Ko dengan
tertawa, "Dia adalah kawan-ku. Dia memang selalu ingin mengacau
padaku."
"Tak apalah kalau kau tak mau menerang-kan,"
ujar Wanyen Peng sesudah termenung sejenak sambil memandangi Nyo Ko.
"Tetapi aku yakin kau tiada maksud jahat padaku."
Watak Nyo Ko suka menyerah pada kelunakan dan se-kali2
tidak sudi tunduk pada kekerasan kalau ada orang menghina dia, memaksa dia,
sekalipun mati tak nanti dia menyerah, tetapi kini oleh karena kerlingan mata
Wanyen Peng dengan wajahnya yang sayu mengharukan, tanpa terasa timbul rasa
kasih sayang dalam hati Nyo Ko.
Maka dengan tarik tangan si gadis, dengan berendeng
mereka duduk di dipan, lalu dengan suara halus ia menerangkan : "Aku she
Nyo dan bernama Ko, ayah-bundaku sudah meninggal semua, serupa saja dengan
hidupmu..."
Mendengar sampai disini, hati Wanyen Peng tak tertahan
lagi air matanya mengucur. Dasar perasaannya Nyo Ko juga gampang terguncang,
mendadak iapun menangis hingga menggerung.
Karena itu, Wanyen Peng keluarkan saputangan dan
disodorkan pada Nyo Ko.
Waktu mengusap air mata dengan saputangan orang, Nyo Ko
mencium bau harum yang sedap, tetapi ketika ingat pada kisah hidupnya sendiri,
air matanya semakin lama semakin mengucur.
"Nyo-ya (tuan Nyo), kaupun ikut2 menangis --gara2
urusanku," kata Wanyen Peng.
"Jangan panggil aku Nyo-ya," sahut Nyo Ko.
"Betapa umurmu tahun ini?"
"Delapan belas," kata si gadis. "Dan
kau?"
"Akupun delapan belas," sahut Nyo Ko, Dalam
hati ia berpikir: "Kalau bulan lahirku lebih muda dari dia hingga aku
dipanggil adik olehnya, rasanya kurang nikmat." - Karena inilah, lantas di
sambungnya lagi: "Aku terlahir dalam bulan pertama, maka selanjutnya kau
panggil aku Toako saja, Akupun tak akan sungkan 2 lagi dan panggil kau sebagai
adik perempuan."
Muka Wanyen Peng menjadi merah, ia merasa si Nyo Ko ini
segala apa selalu terang2an, sungguh sangat aneh, tetapi memang nyata tiada
maksud jahat terhadap dirinya, maka kemudian iapun: mengangguk tanda setuju.
Mendapatkan seorang adik baru, rasa senang hati Nyo Ko
sungguh tak terkatakan.
Begitulah watak Nyo Ko, kalau Liok Bu-siang suka
mendamperat dan marah2 padanya, maka ia pun tiada hentinya menggoda, Tetapi
kini wajah Wanyen Peng cantik molek, perawakannya kurus lencir, nasibnya pun
malang, seperti dilahirkan supaya dikasihani orang, yang paling penting lagi,
jalan kerlingan sepasang mata-bolanya yang begitu mirip seperti Siao-liong-li.
Dengan ter-mangu2 Nyo Ko memandangi mata Wanyen Peng,
dalam khayalannya ia anggap gadis berbaju hitam di hadapannya itu seperti
berbaju putih, wajah orang yang cantik kurus itu se-akan2 kelihatan seperti
muka Siao-liong-li tanpa terasa terunjuklah perasaannya yang mengharap,
perasaan rindu rasa kasih sayang yang halus.
Karena guncangan perasaan itulah, maka air mukanya pun
menjadi aneh luar biasa, akhirnya Wanyen Peng menjadi takut, pelahan ia
lepaskan tangan dari cekalan orang dan menegur: "Kenapakah kau?"
"Tak apa2," sahut Nyo Ko seperti tersadar dari
mimpi, sambil menghela napas. "Sekarang kau pergi membunuh dia
tidak?"
"Segera juga aku pergi," sahut Wanyen Peng
cepat, "Nyo-toako, kau ikut serta tidak?"
Sebenarnya Nyo Ko hendak berkata : "sudah tentu ikut
serta", tetapi bila terpikir lagi kalau dirinya ikut, tentu hal ini akan
membesarkan hati Wanyen Peng, dan lagaknya membunuh diri tentu menjadi tak
sungguhan Yali Ce juga tak bisa terjebak akalnya lagi
Sebab itu, maka dijawabnya : "Rasanya tak enak aku
ikut pergi."
Karena jawaban ini, tiba2 sorot mata Wanyen Peog menjadi
guram
Hati Nyo Ko menjadi lemas, hampir2 ia menyanggupi untuk
ikut serta kalau tidak keburu si gadis berkata lagi: "Baiklah, Nyo-toako,
cuma aku tak akan bersua lagi dengan kau."
"Mana, ma... mana bisa begitu? ak,..aku...."
sahut Nyo Ko cepat dan tak lancar.
Namun Wanyen Peng sudah keluarkan serenceng uang perak,
ia lemparkan ke atas meja sebagai biaya menginap di rumah penduduk itu, habis
mana iapun melompat keluar.
Dengan ilmu entengkan tubuhnya yang hebat, sekejap saja
ia sudah berada lagi ditempat tinggalnya Yali Ce.
Tatkala itu Yali Cu-cay dll sudah kembali ke kamarnya
sendiri2, Yali Ce baru saja hendak me-ngaso, tiba2 pintu kamarnya diketok
orang.
"Wanyen Peng mohon bertemu Yali-kongcu,"
demikian terdengar suara si gadis yang nyaring.
Segera ada empat pengawal datang merintangi Wanyen Peng,
namun Yali Ce sudah keburu membuka pintu kamarnya.
"Ada keperluan apa lagi, nona Wanyen?" tanyanya
segera.
"Aku ingin belajar beberapa gebrak lagi dengan
kau," sahut Wanyen Peng.
Heran sekali Yali Ce, ia pikir mengapa orang tak tahu
diri? Namun tidak urung ia menyingkir ke samping sambil memberi tanda dengan
tangan: "Silakan masuk!"
Begitu masuk, tanpa bicara lagi Wanyen Peng lantas lolos
senjata terus mencecar tiga kali, diantara goloknya, ia selingi pula dengan
pukulan telapak tangan besinya.
Tetapi Yali Ce memang jauh lebih tinggi ilmu silatnya,
dengan tangan kiri lurus ke bawah, ia layani si gadis dengan tangan kanan
melulu, ia balas memukul dan hendak menangkap senjata orang, dengan gampang
saja semua serangan Wanyen Peng dapat dipatahkannya.
Dalam hati iapun sedang pikirkan sesuatu daya-upaya agar
bisa membikin Wanyen Peng kapok dan mundur teratur untuk selanjutnya tak datang
merecokinya lagi .
Lewat tak lama, selagi Wanyen Peng hendak keluarkan tiga
tipu akal ajaran Nyo Ko, mendadak di luar pintu suara seorang wanita berseru:
"Hmm Yali-kongcu, dia hendak menipu kau menggunakan tangan kiri."
Tidak salah lagi itulah suaranya Liok Bu-siang.
Untuk sesaat Yali Ce tercengang, akan tetapi Wanyen Peng
tak memberikan kesempatan padannya untuk berpikir, segera dengan tipu
"hun-hmg-cin-nia" ia membabat, selagi Yali Ce mengegos, se-konyong2
ia ulur tangan kiri terus cekal tangan kanan Yali Ce dengan tipu
"koh-tin-jiau-jiu", menyusul golok diangkat terus menggorok ke
lehernya sendiri!
Maka insaflah Yali Ce oleh seruan di luar pintu tadi,
untuk sesaat pikirannya sudah bergantian beberapa kali: "Harus kutolong
dia! - Tetapi inilah tipunya untuk pancing aku menggunakan tangan kiri, kalau
aku geraki tangan kiri, itu berarti aku menyerahkan jiwaku untuk diperbuat
sesuka hatinya. Biarlah, laki2 sejati mati biarlah mati, mana boleh melihat
orang mau bunuh diri tanpa menolongnya ?"
Sebenarnya Nyo Ko sudah mentafsirkan jalan pikiran Yali
Ce, asal mendadak tiga tipu serangan ajarannya itu dilontarkan, maka tak bisa
tidak pasti ia akan gunakan tangan kirinya buat menolong,
Siapa tahu Liok Bu-siang sengaja mengacau dan sebelumnya
memperingatkan Yali Ce.
Sungguhpun begitu, namun Yali Ce memang manusia yang
berbudi dan berhati mulia, sudah terang diketahuinya begitu ia keluarkan tangan
kiri buat tolong Wanyen Peng, maka jiwanya tak terjamin lagi. Tetapi pada saat
yang berbahaya itu, toh masih tetap tangan kirinya diulur untuk menangkis
pergelangan tangan Wanyen Peng, menyusul tangannya membalik dan Liu-yap-to itu
dapat direbutnya.
Sesudah saling gebrak tiga jurus itu, kemudian masing2
pun melompat mundur berbareng, Dan sejenak menunggu si gadis buka suara, Yali
Ce segera mendahului melemparkan golok rampasannya padanya.
"Nyata kau dapat paksa aku menggunakan tangan kiri
maka jiwaku kuserahkan padamu sekarang, cuma ada sesuatu permohonanku
padamu," demikian katanya.
"Urusan apa?" tanya Wanyen Peng dengan muka
pucat.
"Aku mohon kau jangan celakai ayahku lagi,"
pinta Yali Ce.
Wanyen Peng menjengek sekali, lalu dengan ia melangkah
maju, golok ia angkat, di sinar lampu ia lihat sikap Yali Ce biasa saja tanpa
jeri sedikitpun, bahkan penuh berwibawa.
Wanyen Peng adalah gadis yang cantik dan halus budinya,
melihat seorang Iaki2 sejati sedemikian ini, teringat olehnya sebabnya orang
menggunakan tangan kiri tak lain tak bukan adalah karena hendak menolong
jiwanya, keruan goloknya itu tak tega dibacokkan.
Tiba2 napsu membunuhnya yang membakar tadi menjadi ludes,
Liu-yap-to yang sudah dia angkat itu mendadak dilempar ke lantai, dengan
menutup mukanya iapun berlari pergi.
Dalam keadaan begitu, Wanyen Peng menjadi seperti orang
linglung, ia melangkah setibanya hingga akhirnya sampai di tepi sebuah sungai,
sambil memandangi sinar bintang yang ber-kelip2 guram tercermin di air sungai
itu, pikirannya kusut tidak keruan.
Lewat lama dan lama sekali, Wanyen Peng menghela napas
panjang, Tiba2 ia dengar di belakangnya ada orang menghela napas juga, di malam
yang sunyi itu, kedengarannya menjadi sangat seram.
Dalam kagetnya segerapun Wanyen Peng berpaling, maka
terlihatlah satu orang berdiri di belakangnya, siapa lagi dia kalau bukan Nyo
Ko ! "Nyo-toako," ia menyapa sekali, lalu kepala menunduk dan tidak
buka suara pula.
"Moaycu (adik), urusan membalas dendam orang tua
memang bukan perkara gampang, maka tak perlu ter-gesa2 ingin lekas
terlaksana," kata Nyo Ko sambil maju dan menggenggam tangan si gadis.
"Kau sudah menyaksikan semuanya?" tanya Wanyen
Peng.
Nyo Ko mengangguk.
"Manusia seperti aku ini, soal balas dendam sudah
tentu bukan urusan gampang." kata pula si gadis, "Tetapi kalau aku
bisa mempunyai setengah kepandaianmu rasanya tak nanti aku bernasib
begini,"
"Sekalipun bisa memiliki ilmu silat seperti aku, apa
guna?" ujar Nyo Ko sambil gandeng tangan orang dan duduk berendeng di
bawah satu pohon rindang, "Meski kau belum bisa membalas dendam, namun
sedikitnya kau sudah tahu siapa musuhmu. sebaliknya aku? Sampai cara bagaimana
ayahku tewas, hingga kini akupun tidak tahu, begitu pula siapa pembunuhnya juga
tak tahu, jangankan hendak menuntut balas, lebih2 tak perlu disebut lagi"
"Ayah-bundamu juga dibunuh orang?" tanya Wanyen
Peng dengan tercengang.
"Bukan, ibuku tewas digigit ular berbisa, sedangkan
ayahku mati secara tak jelas, malahan selamanya belum pernah aku melihat
mukanya," sahut Nyo Ko sambil menghela napas.
"Kenapa bisa begitu ?" tanya si gadis.
"Ya sebab waktu aku dilahirkan ayahku sudah keburu
mati," tutur Nyo Ko. "Sering aku tanya ibu sebab apakah sebenarnya
ayah mati dan siapa musuhnya, Tetapi setiap kali aku tanya, selalu ibu
mengucurkan air mata dan tak menjawab, belakangan akupun tak berani bertanya
lagi. Aku pikir biarlah kelak kalau aku sudah dewasa barulah aku tanya pula,
siapa tahu ibu mendadak di-gigit ular, pada sebelum ajalnya kembali aku
bertanya tentang kematian ayah. Kata ibu: "Sepak terjang ayahmu memang
tidak baik, maka kematiannya itu merupakan ganjarannya, Orang yang membunuhnya
berkepandaian tinggi sekali, pula adalah orang baik. Sudahlah, nak, seumur
hidupmu ini jangan se-kali2 kau berpikir tentang balas dendam segala", Ai,
coba, cara bagaimana sebaiknya aku ini?"
Dengan penuturannya ini, maksud Nyo Ko hendak menghibur
Wanyen Peng, tetapi akhirnya ia sendiri menjadi berduka juga.
"Lalu siapakah yang membesarkan kau?" tanya
Wanyen Peng.
"Siapa lagi? Sudah tentu kubesarkan diriku sendiri,"
sahut Nyo Ko. "Sejak wafatnya ibu, aku lantas ter-lunta2 di kalangan
Kangouw, disini aku mengemis sesuap nasi, di sana kulewatkan semalam, kadang2
saking tak tahan lapar aku lantas curi sebuah semangka atau sepotong ubi
sekedar tangsal perut, namun sering kali kena ditangkap pemiliknya dan dihajar
babak belur, lihat ini, di sini masih ada bekasnya, dan yang ini tulangnya...
sampai menonjol, semua ini akibat dihajar orang semasih kecil"
Sambil berkata sembari lengan celananya di gulung untuk
menunjukkan tempatnya pada si gadis, tetapi keadaan remang2, Wanyen Peng tak
jelas melihatnya, Nyo Ko memegang tangannya dan diletakkan pada belang bekas
luka di betisnya itu.
Wanyen Peng berhati Iemah, ia memang dilahirkan sebagai
gadis perasa dan suka bersedih, sambil meraba bekas luka betis orang, tak
tertahan hatinya terasa pilu, diam2 ia pikir nasib dirinya yang meski negara
hancur dan rumah runtuh, namun masih tidak sedikit terdapat sanak kadang serta
tidak sedikit kekayaan yang ditinggalkan sang ayah, kalau dibandingkan dengan
nasib pemuda di depannya ini dirinya masih boleh dikatakan jauh lebih
beruntung.
Begitulah mereka saling diam sejenak, kemudian pelahan2
Wanyen Peng tarik tangannya dari betis orang, hanya masih membiarkan digenggam
Nyo Ko.
"Dan cara bagaimana lagi kau berhasil melatih ilmu
silat seperti sekarang ini? Dan kenapa menjadi perwira Mongol pula?"
tanyanya dengan lirih.
"Aku bukan perwira MongoI," sahut Nyo Ko.
"Aku sengaja pakai baju bangsa Mongol, sebabnya hendak menghindari
pencarian seorang musuh."
"Bagus kalau begitu ?" kata Wanyen Peng tiba2
dengan girang.
"Kenapa bagus?" Nyo Ko bingung.
Sedikit merah muka Wanyen Peng. "Bangsa Mongol
adalah musuh besar negara kami, dengan sendirinya aku mengharap kau bukan
perwira mereka," sahutnya kemudian.
Hati Nyo Ko terguncang sambil genggam tangan si gadis
yang halus dan lunak itu.
"Moaycu, jika aku adalah perwira Mongol, lalu
bagaimana perasaanmu terhadapku?" tanya Nyo Ko tiba-tiba.
Sejak mula Wanyen Peng melihat tampan Nyo Ko yang gagah
dan ilmu silatnya tinggi, memangnya ia sudah suka, belakangan mendengar lagi
kisah hidupnya yang mengharukan itu, hal ini lebih menambah rasa kasihannya,
maka iapun tidak menjadi marah meski mendengar kata2 Nyo Ko tadi rada
blak-blakan.
"Jika ayahku masih hidup, apa yang kau inginkan
tentu akan menjadi mudah, tetapi kini ayah-bundaku sudah tiada semua, apalagi
yang dapat kukatakan?" sahutnya kemudian dengan menghela napas.
Mendengar lagu suara orang lemah Iembut, si Nyo Ko
menjadi dapat hati, ia berani ulur tangannya buat memegang pundak orang.
"Moaycu, bolehkah kumohon sesuatu," rayu-nya
dengan bisik2.
Ber-debar2 hati si gadis, sudah beberapa bagian dapat
diduganya apa yang dikehendaki Nyo Ko.
"Hal apa?" sahutnya rendah.
"Aku mohon diperkenankan mencium matamu ! Ya, mata
saja, yang lain2 tak nanti aku melanggarnya," kata Nyo Ko.
Semula Wanyen Peng menyangka tentu si Nyo Ko hendak
meminang dirinya, malahan ia kuatir juga jangan2 pemuda ini menjadi lupa
daratan dan main kasar terus melakukan perbuatan2 yang tak senonoh di tempat
terbuka ini, kalau sampai hal ini terjadi terang sekali dirinya tak bisa
melawannya.
Siapa tahu orang hanya mohon mencium matanya, maka terasa
lega sedikit baginya, namun entah mengapa, rasa dalam hatipun rada2 kecewa dan
sedikit heran pula, sungguh perasaan yang sangat ruwet dan aneh.
Karena itu, dengan tercengang ia pandang Nyo Ko dengan
kerlingan matanya yang basah2 sayu dan sedikit rasa malu.
Melihat kerlingan mata Wanyen Peng, tiba2 Nyo Ko teringat
pada saat sebelum perpisahannya yang terakhir dengan Siao-Iiong-li, di mana
Siao-liong-li pun pernah memandang padanya dengan kerlingan mata yang maIu2 dan
mengandung arti yang dalam, Tak tertahan lagi ia menjerit orangnya pun melompat
bangun.
Tentu saja Wanyen Pcng kaget oleh kelakuan si Nyo Ko itu,
ingin dia tanya oleh sebab apa, namun sukar membuka mulut rasanya.
Dalam pikiran yang kacau itu, Nyo Ko merasa kerlingan
mata di depannya itu adalah kerlingan mata Siao-liong-li melulu.
Dahulu waktu pertama kali ia melihat kerlingan mata
seperti demikian ini, saat itu ia masih hijau pelonco dan sama sekali tak
mengarti arti kerlingan mata demikian itu, tetapi sejak ia turun gunung,
sesudah berkumpul beberapa hari dengan Liok Bu-siang, pula hari ini bergaul
dengan Wanyen Peng, maka mendadak jadi teringat olehnya maksud baik dan cinta
halus dari Siao-liong-li dahulu, semua itu baru dia pahami sekarang.
Keruan ia menyesal tidak kepalang, bisa2 kepalanya hendak
ditumbukkan saja ke batang pohon di sampingnya biar mati sekalian "Begitu
tulus cinta Kokoh padaku, pula ia sudah bilang hendak menjadi isteriku, tetapi
aku telah kecewakan maksud baiknya itu, sekarang ke mana harus kucari
dia?" demikian terpikir olehnya.
Karena itu, mendadak ia menjerit sekali lagi, tiba2
Wanyen Peng ditubruknya dan dipeluk ken-cang2, dengan bernapsu kelopak mata si
gadis di-ciumnya.
Melihat orang seperti kalap dan seperti gila Wanyen Peng
terkejut tercampur girang, hendak meronta pun sukar karena didekap Nyo Ko dengan
kencang, akhirnya iapun pejamkan matanya dan membiarkan orang mencium
sepuasnya, terasa olehnya selalu kelopak matanya itu saja yang ke kanan dan ke
kiri diciumi Nyo Ko, ia pikir orang ini meski kasar dan seperti gila, namun apa
yang sudah dikatakannya tadi ternyata dapat dipercaya juga, sungguh aneh, sebab
apakah melulu mata saja yang terus diciuminya?"
"Kokoh, Kokoh!" se-konyong2 didengarnya Nyo Ko
ber-teriak2, suaranya penuh rasa hangat dan menggelora, tetapi terasa juga
seperti sangat menderita.
Selagi Wanyen Peng hendak tanya siapa yang dipanggilnya
itu, mendadak terdengar suara seorang perempuan berkata di belakang mereka:
"Ma'af, kalian berdua!"
Nyo Ko dan Wanyen Peng sama2 kaget, segera tangan mereka
yang saling genggam tadi terlepas kian melompat pergi, waktu mereka berpaling,
maka tertampaklah di bawah pohon itu berdiri seorang gadis berbaju hijau yang
dapat dikenali Nyo Ko sebagai orang yang beberapa kali mengirim berita serta
menolong Liok Bu-siang itu.
"Berulang kali mendapat bantuanmu, budi ini tak
nanti kulupakan," cepat Nyo Ko menyapa sambil memberi hormat.
Dengan laku sangat sopan gadis itu membalas hormat orang.
"Rupanya Nyo-ya sedang senang2 karena ada kenalan
baru, tetapi apa masih ingat pada kawan lama yang pernah mengalami mati-hidup
bersama itu?" begitu katanya.
"Kau maksudkan..."
"Li Bok-chiu guru bermurid tadi telah menawannya
pergi!" potong gadis itu sebelum Nyo Ko selesai berkata.
Keruan Nyo Ko terkejut.
"Apa betul?" ia menegas dengan suara gemetar
"Dia... dia ditawan ke mana?"
"Waktu kau sedang asyik-masyuk dengan nona ini, saat
itulah nona Liok ditawan Li Bok-chiu," sahut gadis itu.
"Apa... apa tidak berhalangan atas dirinya?"
tanya Nyo Ko pula.
"Untuk sementara rasanya tidak mengapa bagi
keselamatannya," kata si gadis, "Nona Liok tetap mengatakan kitab
pusakanya itu telah direbut oleh Kay-pang, maka Jik-lian-mo-tau itu telah
giring dia pergi pada kaum pengemis itu, jiwanya sementara tak menjadi soal
tetapi siksaan badan rasanya sukar dihindarkan."
Nyo Ko adalah seorang yang gampang terguncang, maka
segera ia mengajak : "Marilah, lekas kita pergi menolongnya."
Siapa duga gadis itu hanya menggoyang kepala.
"Meski ilmu silat Nyo-ya tinggi, tapi rasanya masih
bukan tandingan iblis itu," demikian sahutnya, "Mungkin jiwa kita
hanya akan melayang percuma, sedang urusannya masih belum bisa ditolong,"
Walau dalam kegelapan, namun mata "Nyo- Ko sangat
tajam seperti memandang benda di siang hari saja, maka wajah si gadis baju
hijau ini dapat dilihatnya sangat jelek dan aneh luar biasa, otot daging di
mukanya kaku tanpa bergerak sedikitpun seperti mayat hingga membikin seram
orang yang memandangnya, Karena itu, Nyo Ko tak berani memandang lebih lama.
"Orang ini sangat baik terhadapku, tetapi aneh,
mukanya kenapa terlahir begini rupa?" demikian pikirnya, Maka kemudian
iapun bertanya: "Dapatkah mengetahui she dan nama nona? selamanya kita
belum kenal, kenapa begitu mendapat perhatian nona?"
"Namaku tiada harganya buat di-sebut2, kelak Nyo-ya
tentu akan tahu juga, kini yang paling penting yalah lekas berdaya-upaya buat
menolong orang saja," sahut gadis itu.
Diwaktu berkata air mukanya sedikitpun tidak tampak
perubahannya, kalau bukan mendengar suara keluar dari mulutnya, sungguh orang
bisa menyangka dia adalah mayat hidup. Namun aneh juga, suaranya ternyata
nyaring merdu menarik.
"Jika begitu, cara bagaimana menoIongnya,
terserahlah pada keputusan nona, dengan hormat aku menurut petunjukmu
saja," kata Nyo Ko kemudian.
"Nyo-ya hendaklah jangan sungkan2," sahut gadis
itu. "Ilmu silatmu berpuluh kali lipat di atasku berpuluh kali lebih
pintar juga dari padaku, pula usiamu lebih tua, dan seorang laki2 lagi, apa
yang kau bilang baik tentunya baik, kedatanganku justru untuk terima perintahmu
saja,"
Mendengar kata2 orang yang merendah dan menyenangkan ini,
sungguh Nyo Ko menjadi senang sekali
"Kalau begitu, kita mengintilnya secara diam2 saja,
kita mencari kesempatan baik untuk turun tangan," sahutnya kemudian
sesudah berpikir.
"ltulah paling baik," kata si gadis,
"Tetapi entah bagaimana pendapat nona Wanyen?"
Habis berkata, ia sendiri lantas menyingkir pergi dan
membiarkan Nyo Ko berunding dengan Wanyen Peng.
"Moaycu. aku hendak pergi menolong seorang kawan,
kelak saja kita bertemu puIa," demikian kata Nyo Ko pada gadis itu.
"Tidak, Nyo-toako, meski kepandaianku rendah,
mungkin dapat juga aku memberi bantuan sekadarnya, biarlah aku ikut serta
dengan kalian." sahut Wanyen Peng.
Memangnya Nyo Ko merasa berat kalau harus berpisah dengan
dia, mendengar orang mau ikut, tentu saja ia amat girang.
"Bagus kalau begitu !" serunya senang.
Habis ini, dengan suara keras ia teriaki si gadis baju
hijau tadi: "Nona, adik Wanyen Peng suka bantu kita dan ikut pergi
menolong orang!"
"Wanyen-kohnio, kau adalah puteri bangsawan sebelum
bertindak hendaklah kau suka pikir dahulu," dengan laku sangat hormat
gadis baju hijau itu berkata pada Wanyen Peng, "Harus kau ketahui bahwa
musuh yang akan kami hadapi ini kejam luar biasa, orang Kangouw memanggil dia
Jik-lian Sian-cu, yalah mengumpamakan dia sekeji ular belang rantai, sungguh
tidak mudah untuk menghadapinya,"
"Jangan cici berkata begitu, jangankan Nyo-toako ada
budi padaku, apa yang menjadi urusannya adalah urusanku juga, walaupun seorang
kawan seperti cici saja, aku Wanyen Peng pun ingin kenal Maka biarlah aku ikut
pergi bersama cici, asal segalanya kita berlaku hati2" demikian sahut
Wanyen Peng.
"Baik sekali kalau begitu," kata gadis itu
dengan suara halus sambil tarik tangan Wanyen Peng, "Cici, umurmu lebih
banyak dari padaku, boleh kau panggil aku Moaycu saja,"
Dalam keadaan gelap Wanyen Peng tak bisa melihat wajah
orang yang sangat jelek itu, tetapi mendengar suaranya yang begitu merdu,
tangannya yang menggenggam padanya terasa juga sangat halus dan lemas, maka
disangkanya orang tentu gadis yang cantik moIek, dalam hati iapun sangat
senang.
"Berapakah umurmu tahun ini?" ia tanya.
"Ah, tak perlu kita merecoki umur, paling perlu
segera pergi menolong orang saja, bukankah begitu, Nyo-ya?" sahut gadis
itu bersenyum.
"Ya, silakan nona menunjuk jalannya," kata Nyo
Ko.
"Aku melihat mereka menuju ke arah tenggara, tentu
pergi ke Hengcikoan," ujar gadis itu.
Segera mereka keluarkan Ginkang dan dengan cepat memburu
ke arah tenggara.
Bahwa Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay yang dipelajari Nyo
Ko itu terkenal karena Ginkang yang hebat dan boleh disebut nomor satu di
seluruh kolong langit, hal ini tak perlu dijelaskan lagi. Sedang Wanyen Peng
adalah anak murid Thi-cio-pang, dahulu pangcu atau pemimpin Thi-cio-pang yang
bernama Kiu Jian-yim berjuluk "Thi-cio-cui-siang-biau" atau Telapak
tangan besi me-layang2 di atas air, kalau bisa disebut "melayang di atas
air", dengan sendirinya Ginkangnya pasti terhitung kelas satu juga.
Siapa tahu si gadis baju hijau itu, senantiasa cepat
tidak, lambat pun tidak, tapi selalu mengintil di belakang Wanyen Peng. Kalau
Wanyen Peng cepat, maka iapun cepat, jika lambat, iapun ikut lambat, jarak
antara mereka selalu dipertahankan dua-tiga tindak.
Keruan Nyo Ko terperanjat "Anak murid dari aliran
manakah nona ini? Kalau melihat Ginkangnya ini, tampaknya sudah di atasnya
Wanyen Peng," demikian ia heran, Dan karena tak mau main menang2an dengan
kedua nona itu, maka ia sengaja tertinggal saja di belakang.
Sampai hari sudah terang, gadis baju hijau itu keluarkan
rangsum kering dan dibagikan kedua kawannya,
Melihat baju orang meski terbikin dari kain biasa saja,
tapi potongannya sangat serasi dengan perawakan pemakainya, pula perbekalannya
seperti rangsum kering, botol air dan sebagainya diatur secara begitu baik, semua
ini menunjukkan ketelitian seorang gadis yang rajin.
Di lain pihak, ketika Wanyen Peng melihat wajah orang
begitu aneh, ia menjadi tak berani-memandang lebih jauh. "Di dunia ini
kenapa ada wanita bermuka sejelek ini?"
"Nyo-ya Li Bok-chiu itu kenal padamu, bukan?"
kata gadis baju hijau itu sesudah menunggu kedua orang habis makan.
"Ya, beberapa kali ia pernah bertemu dengan
aku," sahut Nyo Ko.
Gadis itu mengeluarkan sehelai benda tipis seperti kain
sutera, lalu berkata pula pada Nyo Ko: "lni adalah topeng kulit manusia,
sesudah kau pakai, tentu dia tak kenal kau lagi."
Waktu Nyo Ko periksa topeng itu, ia lihat di atasnya ada
lubang2 tempat mata, mulut dan hidung, bila dipakai maka topeng ini bagaikan
karet saja mencetak muka si pemakainya dengan persis seperti wajah asli, tentu
saja Nyo Ko sangat girang dan menghaturkan terima kasih.
Melihat wajah Nyo Ko seketika berubah menjadi jelek luar
biasa setelah memakai topeng itu, barulah kini Wanyen Peng sadar.
"Ah, Moaycu, kiranya kaupun memakai topeng seperti
ini, sungguh aku sangat goblok, aku mengira wajahmu memang terlahir begitu
aneh," demikian katanya pada gadis baju hijau.
"Muka Nyo-ya yang ganteng dan bagus ini,
sesungguhnya sayang dan merendah dirinya saja bila pakai topeng ini,"
sahut gadis baju hijau, "Mengenai diriku, memangnya mukaku adalah begini,
pakai topeng atau tidak serupa saja."
"Ah, aku tak percaya," ujar Wanyen Peng.
"Moaycu, maukah kau copot topengmu dan unjukkan muka aslimu ?"
Dalam herannya Nyo Ko pun ingin tahu wajah asli si gadis
itu, namun permintaan itu ternyata ditolak.
"Jangan, mukaku yang jelek ini mungkin akan bikin
kalian kaget," sahut gadis itu."
Melihat orang berkeras tak mau perlihatkan mukanya,
terpaksa Wanyen Peng sudahi permintaannya.
Pada waktu lohor, mereka bertiga sudah sampai di kota
Bukoan, mereka masuk ke atas loteng sebuah restoran untuk mengisi perut.
Melihat Nyo Ko berdandan sebagai perwira Mongol, pengurus
restoran itu tak berani ayal dan cepat memberi pelayanan.
Tetapi baru setengah jalan mereka bersantap, ketika kerai
pintu tersingkap, tiba2 masuk pula tiga wanita yang bukan lain daripada Li
Bok-chiu dan Ang Ling-po yang menggiring Liok Bu-siang.
Nyo Ko sangat cerdik, ia tahu meski saat itu Li Bok-chiu
tak kenali dirinya, namun mukanya yang aneh karena memakai topeng tentu akan
menimbulkan rasa curiga orang, karena itu segera ia berpaling ke jurusan lain
sambil menjumpit nasi terus, ia hanya pasang kuping tajam2 untuk mendengarkan
percakapan mereka.
Siapa tahu sama sekali Bu-siang tidak buka suara, bahkan
Li Bok-chiu berdua pun tidak bicara sehabis pesan daharan seperlunya,
Nampak orang yang mereka cari sudah berada di depan mata,
Wanyen Peng gunakan sumpitnya dan mencelup ujung sumpit pada air kuwah, lalu ia
corat-coret beberapa huruf di atas meja dengan maksud: "turun tangan
tidak?"
Nyo Ko diam2 sedang memikir: "Dengan kekuatan kami
bertiga, ditambah lagi dengan "bini cilik", rasanya masih susah
melawan mereka guru dan murid berdua, urusan ini hanya bisa dimenangkan dengan
akal dan tak mungkin dengan kekerasan."
Oleh sebab itu, ia goyangi sumpitnya pelahan-lahan
sebagai tanda "jangan".
Li Bok-chiu juga orang cerdik, sesudah berada, di loteng
restoran itu, ia lihat sorot mata Bu-siang seperti bersinar harapan, tentu saja
ia merasa heran hingga tiada hentinya Wanyen Peng bertiga di-diincar olehnya.
Tapi Nyo Ko duduk mungkur dan tidak bergerak sedikitpun
maka tiada sesuatu tanda yang menimbulkan curiganya.
Begitulah sedang kedua belah pihak sama2 menantikan
kesempatan baik, tiba2 suara tangga loteng berbunyi, kembali orang masuk pula
ke situ.
Waktu Wanyen Peng melirik, ia lihat yang datang adalah
Yali Ce dan Yali Yen kakak beradik.
Ketika nampak Wanyen Peng juga berada di situ, kedua
orang itu rada terperanjat, tetapi sesudah memanggut, lalu mereka mengambil
tempat duduknya sendiri.
Diam2 Li Bok-chiu sangat kagum terhadap sepasang
muda-mudi yang ganteng dan cantik itu, ia menyangka orang adalah suami isteri,
tak tahunya hanya saudara saja.
Kiranya setelah peristiwa Wanyen Peng mencari balas pada
ayahnya, Yali Ce menduga si gadis tak berani datang lagi, maka bersama adik
perempuannya, Yali Yen, mereka pesiar keluar untuk menikmati keindahan alam
daerah Kanglam ini, disini pula bertemu dengan Wanyen Peng, tentu saja mereka
bertambah lega meninggalkan ayah mereka.
Sementara itu karena "Ngo-tok-pit-toan" atau
"Kitab Panca-bisa" yang tercuri itu disangkanya terjatuh di tangan
orang Kay-pang, Li Bok-chiu sedang masgul, dalam beberapa hari ini boleh
dikatakan tak doyan makan dan tak nyenyak tidur, oleh karenanya, baru setengah
mangkok bakmi yang dia pesan itu dimakan, kemudian ia taruh sumpitnya dan
memandang iseng keluar restoran itu.
Tiba2 tertampak olehnya di simpang jalan sana berdiri
sejajar dua pengemis, pada punggung mereka masing2 menggendong tujuh buah
kantong kain, nyata mereka adalah "Chit-te-tecu" atau anak murid
berkantong tujuh dari Kay-pang.
Dalam pada itu muncul lagi satu pengemis yang lain,
dengan ter-gesa2 pengemis belakangan ini mendekati kedua kawannya dan bisik2
sejenak, habis itu dengan langkah cepat lantas pergi lagi.
Ter gerak pikiran Li Bok-chiu, tiba2 ia memanggil kedua
pengemis itu melalui jendela loteng: "Kedua Enghiong dari Kay-pang,
silakan naik ke atas sini, ada sesuatu yang ingin kuminta tolong kalian
sampaikan pada pangcu perkumpulanmu."
Li Bok-chiu tahu kalau memanggil orang begitu saja pasti
kedua pengemis itu tak mau gubris padanya, tapi kalau bilang ada pesan untuk
pangcu mereka, sekalipun harus menghadapi bahaya betapapun besarnya pasti anak
murid Kay-pang itu akan datang padanya.
Karena mendengar gurunya memanggil orang dari Kay-pang
yang diduga tentu hendak ditanyai kemana dibawanya kitab
"panca-bisa", tanpa tertahan lagi muka Liok Bu-siang menjadi pucat,
ia insaf sekali ini kebohongannya pasti akan terbongkar.
Di sebelah sana Yali Ce juga sedang merasa heran oleh
kelakuan Li Bok-chiu. ia kenal nama Kay-pang yang pengaruhnya sangat besar di
daerah utara, tetapi satu Tokoh setengah umur yang biasa seperti ini ternyata
bilang ada sesuatu pesan hendak disampaikan pada Pangcu mereka itu, ia menjadi
tertarik untuk mengetahui macam apakah diri si To-koh ini maka ia berhenti
minum araknya, ia melirik dan memperhatikan gerak-gerik orang.
Selang tak lama, naiklah kedua pengemis yang dipanggil
tadi, mereka memberi hormat pada Li Bok-chiu dan menanya: "Ada pesan
apakah Sian-koh, tentu akan kami sampaikan,"
Sesudah berdiri tegak, salah satu pengemis itu melihat
Liok Bu-siang berada bersama juga dengan imam wanita itu, keruan saja air
mukanya seketika berubah.
Kiranya pengemis ini pernah ikut mencegat Bu-siang di
tengah jalan dengan beberapa kawannya berkantong tujuh itu. Karena itu, cepat
ia tarik pengemis satunya, keduanya lantas melompat ke dekat tangga, dengan
sebelah telapak tangan berlindung di depan dada, mereka siap buat melayani
musuh.
Li Bok-chiu tersenyum melihat kelakuan kedua pengemis
itu.
"Coba kalian berdua melihat punggung tanganmu,"
dengan suara halus ia berkata.
Berbareng kedua pengemis itu memandang balik tangan
mereka, maka terlihatlah setiap telapak tangan mereka masing2 telah tercetak
sebuah cap tangan yang merah darah, nyata, entah dengan cara bagaimana, tahu 2
Li Bok-chiu telah unjuk pukulan saktinya: Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti
panca bisa.
Cara turun tangan Li Bok-chiu bukan saja di luar tahu
kedua pengemis itu, bahkan Nyo Ko dan Yali Ce juga tidak melihatnya dengan
jelas.
"Kau... kau adalah Jik-Iian-sian-cu?" teriak
kedua pengemis itu berbareng sesudah terkejut sejenak.
Li Bok-chiu tidak menjawab melainkan dengan pelahan ia
tuang setengah cawan araknya, ia angkat cawannya, ketika jarinya menyentil,
mendadak cawan arak itu terbang ke atas, isi cawan terus mancur turun lurus ke
bawah.
Ketika Bok-chiu menengadah, setengah cawan arak itu masuk
semua ke mulutnya tanpa menciprat keluar setetespun, Yang lebih aneh, cawan
arak yang terbang disentil itu, tahu2 menyamber balik lagi ke tangannya sesudah
berputar di udara.
Ternyata tenaga menyentil yang dipakai Li Bok-chiu begitu
tepat, inilah ilmu kepandaian tertinggi dari cara menimpuk senjata rahasia,
meski termasuk juga ilmu dari Ko-bong-pay, tapi Nyo Ko harus malu diri karena
belum bisa memadai sang Supek dan masih jauh daripada sanggup "menyentil
cawan dan menenggak arak" itu.
"Nah, bilanglah pada pangcu kalian," kata Li
Bok-chiu kemudian sesudah unjuk ilmu saktinya tadi "bahwa Kay-pang kalian
dengan aku orang she Li selamanya "air sungai tak menggenangi air
sumur", selamanya akupun mengagumi kawan2 Kay-pang yang gagah perkasa,
cuma sayang tiada kesempatan untuk bertemu dan minta petunjuk sungguh hal ini
harus dibuat menyesal..."
"Enak saja kata2nya itu, tetapi kenapa tanpa sebab
tiada alasan kau turun tangan keji kepada kami?" demikian pikir kedua
pengemis itu sambil saling pandang.
"Kalian berdua sudah kena pukulanku
Ngo-tok-sin-ciang, tapi hal ini tak perlu dibuat kuatir asal kitab yang direbut
itu dikembalikan, tentu akan kusembuhkan kalian berdua," kata Li Bok chiu
lagi setelah berhenti sejenak.
"Kitab apa?" tanya salah satu pengemis itu.
"Kalau diceritakan kitab itupun tak laku beberapa
duit, jika perkumpulan kalian berkeras tak mau kembalikan, sebenarnya pun tidak
menjadi soal," demikian sahut Bok-chiu dengan tertawa, "Cuma sebagai
gantinya, terpaksa kuminta bayar dengan seribu jiwa pengemis goIonganmu."
Walaupun kedua pengemis itu masih belum merasakan tangan
mereka ada tanda2 aneh, tapi tiap2 Li Bok-chiu berkata, tanpa tertahan mereka
pun memandang ke tangan yang terpukul itu, saking jerinya terhadap
Jik-lian-sin-ciang yang maha kesohor karena kejinya itu, dalam bayangan kedua
pengemis itu se-akan2 merasakan tanda merah di telapak tangan mereka peIahan2
sedang meluas.
Kini mendengar lagi Li Bok-chiu bilang hendak minta ganti
seribu jiwa kawan mereka, mereka pikir tiada jalan lain kecuali lekas2 kembali
melapor pada Pangcu. Maka setelah saling memberi tanda, segera mereka berlari
turun ke bawah.
Nampak orang melarikan diri, Li Bok-chiu pikir:
"Kalian sudah terkena aku punya pukulan maut, di jagat ini kecuali It-ting
Taysu tiada lagi yang mampu mengobati, jika Pangcu kalian inginkan jiwa kalian
tentu dia akan menurut dan serahkan Ngo-tok-pit-toan padaku. Tapi, nah, celaka,
kalau mereka menyalin kitab itu dan kitab aslinya baru dikembalikan padaku,
bukankah aku kena ditipu mentah2?"
Segera ia berpikir pula: "Memang celaka, padahal
segala macam cara memunahkan racun pukulan dan senjata rahasia, semuanya sudah
kutulis di dalam kitab itu dengan jelas, kalau mereka sudah dapat memiliki
kitab itu, buat apa mereka datang memohon pertolonganku?"
Teringat akan itu, tanpa terasa mukanya menjadi pucat,
begitu tubuhnya melesat, tahu2 ia mencelat dan menghadang di tengah tangga di
depan kedua pengemis yang sedang melarikan diri itu.
Begitu kedua tangannya bekerja, susul menyusul dua kali
pukulan telah paksa kedua pengemis itu balik lagi ke atas loteng.
Tindakan Li Bok-chiu ternyata cepat luat biasa, hanya
terlihat bayangannya berkelebat tahu2 sebelah lengan salah satu pengemis sudah
dia pegang terus ditekuk sekuatnya, maka terdengarlah suara gemelutuk, tulang
lengan orang sudah patah hingga tangannya melambai ke bawah dengan lemas.
Tentu saja pengemis yang lain sangat kaget, tetapi
disinilah terbukti betapa setia kawan antara kaum pengemis itu, bukannya dia
melarikan diri, sebaliknya ia menubruk maju untuk melindungi kawannya yang
terluka, ketika melihat Li Bok-chiu merangsak maju lagi, kontan iapun
mendahului memukul.
Tak terduga, kembali tangan Li Bok-chiu bergerak pelahan,
kepalan si pengemis yang memukul ini kena ditangkapnya dan sekalian pula
ditekuk, maka tulang lengannya segera senasib dengan kawannya, kena dipatahkan
lagi.
Hanya sekali gebrak saja kedua pengemis itu sudah dihajar
Li Bok-chiu hingga luka parah, maka insaflah mereka bahwa hari ini mereka tentu
celaka, namun demikian, mereka tidak menyerah mentah2, dengan punggung menempel
punggung mereka berdempetan satu sama lain dan dengan sebelah tangan masing2
yang masih sehat itu siap menempur musuh.
"Kalian berdua baiknya tinggal di sini dulu, tunggu
saja Pangcu kalian datang sendiri dengan membawa kitabku itu untuk tukar
menukar," terdengar Li Bok-chiu berkata dengan lembut.
Melihat orang habis berkata terus kembali ke mejanya buat
minum arak, malahan duduknya mungkur ke arah mereka, maka kedua pengemis itu
menggeser pelahan ke tepi tangga dengan maksud kalau ada kesempatan terus
hendak kabur. Tak terduga mendadak Li Bok-chu berpaling.
"Tampaknya tulang kaki kalian berdua harus
dipatahkan juga, dengan begitu baru kalian kerasan tinggal di sini."
katanya dengan tersenyum, sembari berkata iapun berdirilah.
"Suhu, biarlah aku, menjaga mereka, tak nanti mereka
bisa kabur," tukas Ang Ling-po trba2. Rupanya ia tak tega juga melihat
kekejian sang guru.
"Hm, bajik juga hatimu," jengek Li Bok-chiu,
pelahan2 ia masih terus mendekati kedua pengemis itu.
Saking murkanya mata kedua pengemis itu merah berapi,
mereka sudah ambil keputusan tiada jalan lain daripada adu jiwa dengan musuh.
Sejak tadi Yali Ce kakak beradik hanya menonton dengan
tenang, watak mereka berdua sebenarnya sangat keras, kini tak tahan lagi,
serentak mereka berdiri.
"Sam-moay, lekas kau pergi, perempuan ini terlalu
lihay," dengan suara pelahan Yali Ce pesan adiknya.
"Dan kao?" tanya Yali Yen.
"Sesudah tolong kedua pengemis ini, segera aku
melarikan diri," sahut Yali Ce.
Biasanya Yali Yen menjunjung sang kakak ini bagai
malaikat dewata, tetapi kini mendengar orangpun nanti akan selamatkan diri
dalam hati si gadis menjadi ragu-ragu.
Pada saat itulah, dengan keras mendadak Nyo Ko gebrak
meja, lalu didekatnya Yali Ce.
"Yali-heng (saudara Yali), marilah kita turun tangan
bersama untuk menolong orang, bagaimana?" ajak Nyo Ko.
Melihat Nyo Ko mengenakan pakaian Mongol dan mukanya
sangat jelek, Yali Ce merasa belum pernah kenal orang demikian ini, ia pikir
kalau orang berada bersama Wanyen Peng, tentu saja kenal siapakah dirinya.
Tetapi ilmu silat Li Bok-chiu sudah dia saksikan tadi, ia
yakin tak bisa menandinginya, kalau sembarangan turun tangan, itu berarti antar
jiwa belaka, oleh karena itu, seketika ia ragu2 tak menjawab ajakan Nyo Ko
tadi.
Di lain pihak demi mendengar Nyo Ko membuka suara, segera
Li Bok-chiu mengamat-amati si pemuda dari kepala sampai ke kaki dan sebaliknya,
ia merasa lagu suara orang sudah dikenalnya entah dimana.
Akan tetapi muka orang begitu rupa, kalau pernah
dikenalnya, tidak mungkin bisa melupakannya, maka dapat dipastikan memang belum
pernah kenal.
"Aku tak bersenjata, terpaksa harus pinjam
dulu," sementara Nyo Ko berkata lagi.
Habis itu, mendadak tubuhnya melesat cepat, ia
menyerempet lewat samping Ang Ling-po, wak-tu tangannya menguIur, tahu2
kerangka pedang yang tergantung di pinggang orang sudah dia ambil malahan pipi
Ang Ling-po dia kecup pula sekali.
"Ehm, wanginya!" demikian seru Nyo Ko sengaja.
Keruan Ang Ling-po sangat murka, tangannya membalik terus
menggablok, namun sedikit menunduk Nyo Ko sudah hindarkan serangan itu dan
menerobos pergi untuk kemudian berdiri diantara kedua pengemis itu dan Li
Bok-chiu.
Tindakan dan perbuatan Nyo Ko itu dilakukan secara cepat
luar bisa, keruan dalam hati Li Bok-chiu diam2 terperanjat sebaliknya Yali Ce
menjadi girang.
"Siapakah she dan nama saudara yang mulia ini?"
segera ia berseru menanya.
"Siaute she Nyo," sahut Nyo Ko sembari geraki
tangannya, ia angkat kerangka pedang samberan dari pinggang Ang Ling-po itu dan
menyambung pula: "Aku tahu isi di dalamnya adalah pedang buntung!"
Dan waktu pedang ia IoIos, betul saja pedangnya memang
kutungan.
Mendadak Ang Ling-po mendusin "Anak keparat,"
serunya cepat. "Suhu, dia inilah yang kita cari."
Karena orang sudah kenali dirinya, Nyo Ko tak perlu maut
sandiwara pula, topeng kulit yang dia pakai segera ditanggalkan.
"Supek, Suci, Tecu Nyo Ko memberi hormat,"
katanya segera pada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po.
Mendengar Nyo Ko panggil Supek dan Suci, bukan saja Yali
Ce menjadi bingung, begitu pula Liok Bu-siang pun luar biasa kagetnya.
"He, kenapa si Tolol ini panggil mereka Supek dan
Suci?" demikian Bu-siang tidak habis mengerti.
Sementara itu dengan tersenyum dingin Li Bok-chiu telah
menjawab: "Em, gurumu baik2-kah?"
Mendengar Siao-liong-li ditanyakan, seketika hati Nyo Ko
berduka hingga matanya pun basah.
"Gurumu sungguh pintar mengajar murid,"
demikian kata Li Bok-chiu pula dengan tertawa.
Kiranya kemarin setelah saling gebrak tiga jurus di
tengah jalan itu, dengan tipu gerakan yang aneh Nyo Ko telah patahkan tiga kali
serangan "Sam-bu-sam-put-jiu", ia telah berpikir dan tetap tak bisa
meraba "dari aliran manakah tipu2 Nyo Ko itu, Oleh sebab itu ia menjadi
ragu2 apakah imam kecil yang bertarung dengan dirinya itu Nyo Ko adanya? ia
pikir bila betul murid sang Sumoay itu, lalu darimana bisa memiliki ilmu silat
yang begitu tinggi dan aneh?
Kini setelah mendengar si Nyo Ko memanggil
"Supek" dan "Suci", maka percayalah dia memang betul ialah
si pemuda yang beberapa tahun yang lalu dilihatnya di kuburan kuno itu. Keruan
saja diam2 ia terperanjat, pikirnya: "Sekarang saja bocah ini sudah begini
lihay, apa Iagi Sumoay sendiri, lebih2 jangan ditanya betapa hebat
kepandaiannya,"
Walaupun berpikir begitu, namun mukanya sedikitpun tidak
mengunjukkan perasaan hatinya itu.
Namun Nye Ko sangat cerdik, ia dapat menerka apa yang
orang sedang pikir, maka kembali ia memberi hormat dan berkata lagi: "Suhu
suruh aku menjampaikan salam pada Supek!"
"O, dimanakah dia?" tanya Li Bok-chio,
"Kami berdua sudah lama tak berjumpa."
"Suhu berada di sekitar sini saja, tak lama tentu
beliau akan datang menemui Supek," sahut -Nyo Ko.
Nyata pemuda ini tahu dirinya jauh bukan tandingan Li
Bok-chiu, sekalipun ditambah dengan Yali Ce masih sukar memperoleh kemenangan
maka ia sengaja pakai akal "gertak sumber, ia coba tonjolkan gurunya -
Siao-liong-li - untuk menakuti orang.
"Aku lagi berurusan dengan murid sendiri, sangkut
paut apa dengan gurumu?" demikian kata Li Bok-chiu, Dari lagu suaranya ini
nyata ia rada miring terhadap Siao-Iiong-li.
"Tetapi Suhu ingin minta kemurahan hati Supek agar
suka ampuni Sumoay (maksudnya Liok Bu-siang) saja," kata Nyo Ko.
"Huh, kau telah main gila dan melakukan perbuatan
terkutuk seperti binatang dengan gurumu sendiri, kini kau masih panggil dia
Suhu terus menerus di hadapan orang banyak, sungguh tidak tahu malu?" ejek
Li Bok-chiu tiba2 dengan tertawa.
Tiba2 Li Bok-chiu merobah gerakan, badannya mencelat naik
kaki kirinya menginjak mulut cangkir, berbareng kebutnya menyapu ke belakang,
katanya menggoda : "Apakah gendakmu tidak ajarkan jurus ini
kepadamu?"