Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali) Jilid 3

Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali/Rajawali sakti Dan pasangan pendekar), Jilid 3 Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali). "Jangan2 kamar batu yang disebut imam tua itu yalah peti batu ini ?" kata Nyo Ko.
Anonim
"Jangan2 kamar batu yang disebut imam tua itu yalah peti batu ini ?" kata Nyo Ko.

"Bukan begitu maksudnya," sahut Siao-liong-li tersenyum,

Dia sudah lama tinggal dalam kuburan kuno ini, maka dia mahir sekali tentang segala macam alat2 rahasia, ia coba memeriksa teliti peti batu itu sejenak, lalu terdengar ia berkata lagi: "Alas peti ini bisa dibuka."

Tentu saja Nyo Ko sangat girang.

"Ah, tahulah aku sekarang, itu adalah pintu yang menuju ke kamar batu itu," serunya.

Habis ini, tanpa diperintah segera ia melompat masuk ke dalam peti mati itu, ia keluarkan dahulu kedua mangkok berisi minyak wangi itu, lalu ia me-raba2 seluruh peti, betul juga, akhirnya diketemukan satu tempat dekuk yang bisa dipegang, dengan kencang ia tarik ke atas sekuatnya, tetapi sedikitpun ternyata tidak bergerak

"Putar dulu ke kiri, baru ditarik ke atas," kata Siao-liong-li.

Nyo Ko menurut, ia putar lalu ditarik, betul saja lantas terdengar suara "krak" yang keras, satu papan batu telah kena ditarik naik,

"Kokoh, berhasil sudah !" serunya girang.

"Jangan kesusu dahulu. duduklah sebentar, biar bau apek di dalam gua teruar keluar baru kita masuk," ujar Siao-liong-li.

Dalam keadaan demikian Nyo Ko menjadi tidak sabar, hanya sebentar saja dia sudah tanya. "Bagaimana Kokoh, apa sudah cukup ?"

"Ai, orang tak sabar seperti kau ini sukar dimengerti bisa tahan mengawani aku beberapa tahun," ujar Siao-liong-li dengan menghela napas.

Habis berkata, pelahan2 ia berdiri, ia angkat cektay dan turun ke bawah melalui peti batu itu, sesudah melalui satu lorong di bawah tanah yang sempit dan membelok lagi dua kali, betul saja akhirnya mereka sampai di satu kamar batu.

Kamar batu itu ternyata tiada sesuatu yang sepesial, waktu mereka sama2 mendongak ke atas, maka tertampaklah oleh mereka di langit2an kamar itu penuh tertulis huruf2 dan tanda2, sedang ujung paling kanan tertuliskan empat huruf besar : "Kiu-im-cin-keng".

Siao-liong-li dan Nyo Ko tidak mengerti bahwa "Kiu-im-cin-keng" adalah suatu kitab ilmu silat paling tinggi di seluruh kolong langit, tetapi sesudah mereka melihat tulisan serta tanda2 itu, mereka merasakan tiada terbilang bagusnya intisari yang terkandung di dalamnya, seketikapun mereka tak bisa memahami seluruhnya.

"Sekalipun ilmu kepandaian ini dapat mengalahkan Giok-li-sim-keng, namun kitapun tak keburu lagi mempelajarinya," ujar Siao-Iiong-li.

Karena itu Nyo Ko menjadi kecewa dan putus asa lagi, sebenarnya ia tidak mau melihat lagi, tak disengaja, sekilas mendadak terlihat olehnya pada ujung barat langit2 kamar itu terlukis satu yang tampaknya tiada hubungannya dengan ilmu silat. Oleh karena tertarik, kembali ia kumpulkan perhatian memandang lebih jauh, agaknya gambar itu seperti sebuah peta.

"Kokoh, apakah itu ?" katanya kemudian pada Siao-liong-li.

Siao-liong-li berpaling, ia pandang menurut arah yang ditunjuk, tiba2 ia pandang peta itu dengan ter-mangu2, tubuhnya sedikitpun tidak bergerak Lama dan lama sekali masih tetap tidak bergerak

Akhirnya Nyo Ko sendiri menjadi ngeri, ia coba tarik2 lengan baju orang dan menanya : Ko-koh, kenapakah kau ?"

Tetapi Siao-liong-li masih tetap memandang dengan terkesima, kira2 lewat beberapa lama, mendadak ia mendeprok terduduk, ia menangis ter-guguk2 bersandar di tubuh Nyo Ko.

"Apakah badanmu sakit lagi, Kokoh?" pemuda itu tanya dengan bingung.

"Bukan, bu... bukan," sahut Siao-liong-li tersenggak-sengguk, Selang tak lama lalu dia sambung lagi: "Ki... kita kini bisa keluar sudah."

Keruan bukan buatan rasa girang Nyo Ko, seketika ia ber-jingkrak2.

"Betulkah katamu ?" teriaknya gembira, Dengan masih mengembeng air mata Siao-liong-li mengangguk2. Tentu saja Nyo Ko semakin ber-girangan.

"Dan kenapa engkau malah menangis ?" tanyanya kemudian.

"Entah, akupun tak tahu, mungkin terlalu bergirang," sahut Siao-liong-li tersenyum manis dalam menangisnya, "Ko-ji, dahulu tak pernah aku gentar mati, sebab seumur hidupku toh pasti akan tinggal di dalam kuburan ini, mati sekarang atau mati kelak toh tiada bedanya ? Tetapi aneh, dalam beberapa hari ini selalu timbul pikiran ingin pergi me-lihat2nya keluar,"

"Marilah Kokoh, kita keluar bersama, aku nanti petik bunga untukmu, tangkap jangkrik buat kau, mau tidak ?" kata Nyo Ko sambil tarik kencang tangan orang.

Nyata meski usia Nyo Ko sudah menanjak, namun pikirannya masih tetap kanak2.

Sebaliknya Siao-liong-li selamanya tidak pernah bermain dengan anak lain, kini mendengar cerita Nyo Ko yang menarik dan begitu bernapsu, ia sendiripun merasa senang.

Dalam keadaan buntu mendadak kedua orang ini mendapatkan jalan hidup, mereka menjadi lupa daratan, bukannya mereka lantas cari jalan keluarnya itu, sebaliknya mereka duduk bersandaran pundak, mereka bercerita tentang aneka macam permainan kanak2, makin cerita Nyo Ko semakin bernapsu hingga akhirnya Siao-liong-li lupa letih dan lupa capek, tetapi apapun juga ia habis luka parah, sesudah setengah jam mendengarkan cerita, akhirnya ia tak tahan lagi, tanpa berasa ia terpulas bersandaran di pundak Nyo Ko.

Sesudah bercerita sendiri dan mendapatkan orang tidak tanya-jawab seperti semula, waktu Nyo Ko menoleh, ia lihat Siao-liong-li sudah menggeros, nona itu ternyata sudah tertidur.

Oleh karena tekanan batinnya sudah lapang, akhirnya Nyo Ko sendiri merasa letih, kemudian iapun terpulas.

Keadaan itu entah lewat berapa lama, ketika mendadak Nyo Ko merasakan pinggangnya sakit linu, "jiau-yao-hiat" di pinggangnya tahu2 kena di| tutuk orang sekali, Dalam kagetnya ia terjaga dari tidurnya, selagi ia hendak melompat bangun buat melawan, tahu2 tengkuknya telah kena dicekal orang dengan kencang hingga Nyo Ko tak mampu berkutik.

Waktu Nyo Ko sedikit melengos, ia lihat Li Bok-chiu dan Ang Iing-po berdua sudah berdiri di samping dengan ter-tawa2, sebaliknya gurunya, Siao-liong-li, sudah kena ditutuk orang juga hingga tak berdaya.

Kiranya Nyo Ko dan Siao-Iiong-li berdua sama sekali tak punya pengalaman Kangouw yang selalu harus waspada terhadap musuh dan berjaga-jaga diri, dalam girangnya mereka ternyata lupa daratan hingga tutup peti batu tadi belum mereka tutup kembali: karena itulah kemudian dapat diketahui Li Bhok chiu bahwa di bawah tanah ini masih terdapat kamar lagi dan berhasil dia menyergapnya selagi mereka tertidur.

"Ha, bagus, bagus, kiranya disini masih terdapat tempat seenak ini, kalian berdua lantas bersembunyi untuk senang2 sendiri," demikian Li Bok-chiu mengejek "Sumoay, cara bagaimanakah, keluarnya dari sini, tentu kau mengetahuinya, jika kau masih merahasiakannya, jangan kau sesalkan Enci-mu berlaku kejam nanti."

Namun Siao-liong-li sama sekali tak gentar oleh gertakan orang.

"Jangan kata memang aku tak tahu, seumpama tahupun tak sudi kukatakan padamu." sahutnya ketus.

Li Bok-chiu cukup kenal watak sang Sumoay yang kepala batu, sekalipun Suhu mereka dahulu suka mengalah juga padanya, maka bila menggunakan kekerasan, pasti tak bethasil, tetapi dalam keadaan demikian, soalnya menyangkut ma-ti-hidupnya, bagaimanapun juga dia harus memaksa sang Sumoay.

Karena itu, segera ia keluarkan dua jarum Peng-pek-sin-ciam, ia lemparkan jarum2 itu ke lantai hingga mengeluarkan suara gemerincing yang halus.

"Awas, jika aku menghitung dari satu sampai sepuluh dan kau masih belum bicara, terpaksa kusuruh kau mengicipi rasanya jarum perak ini," demikian ia mengancam.

Namun Siao-liong-Ii tetap tak menjawab, bahkan ia pejamkan matanya dan tidak gubris gertakan orang.

"Satu... dua... tiga... empat..." demikian Li Bok-chiu mulai menghitung.

"Jika Kokoh kenal jalan keluarnya, kenapa kami tidak melarikan diri sejak tadi, sebaliknya masih tinggal di sini ?" tiba2 Nyo Ko membentak.

"Hm, pandai juga kau bicara," jengek Li Bok-chiu, "Aku sudah mempelajari keadaan tempat ini, aku taksir tentu ada jalan keluar yang dirahasiakan kalian bermaksud tidur dahulu, sesudah semangat pulih, bukankah kalian lantas angkat kaki ?" Lalu ia menyambung perhitungannya lagi:

"lima... enam... tujuh... delapan... sembilan..."

Sampai di sini ia berhenti sejenak, ia coba peringatkan orang lagi : "Sumoay, apa betul2 tak mau kau katakan ?"

Pada saat itu juga, tiba2 di lorong bawaf itu meniup angin dingin yang menghembus masuk hingga lilin yang dipegang Ang Ling-po tersirap.

"Hmmm, aku masih ngantuk, jangan kau bikin ribut lagi," kata Siao-liong-li tiba2 dia sengaja menguap keras.

"Baiklah, Peng-pek-ciam ini adalah warisan Cosu-popoh kita sendiri, maka jangan kau sesal kan aku, kini aku sudah menghitung sampai sepuluh," demikian kata Li Bok-chiu.

Sembari berkata, ia gunakan ujung jarum peraknya yang berbisa jahat itu menggosok sekali "Ciang-tay-hiat" di punggung Nyo Ko, menyusul "Hian-ki-hiat" di dada Siao-liong-li ia gosok sekali juga dengan cara yang sama.

Walaupun biasanya sifat Siao-liong-li sangat dingin dan tenang, tetapi kini tidak urung ia merasa ngeri juga, sebab racun jarum perak ini pe-Iahan2 akan merembes masuk melalui jalan darah di pinggangnya itu dan lambat laun merata ke seluruh tubuh, tatkala itu akan terasa seluruh tubuh se-akan2 ribuan semut menggerogoti tulang sumsum dan be-ribu2 bisul tumbuh di seluruh badan, dalam keadaan demikian rasanya tiada yang lebih lihay daripada siksaan ini.

Sebenarnya Siao-liong-li punya obat pemunah racunnya, sebab asalnya jarum berbisa ini dari perguruannya sendiri, tetapi kini Hiat-to kena ditutuk orang dan tak mampu berkutik, cara bagaimana ia bisa berdaya buat menolong diri sendiri?

Di lain pihak Li Bok-chiu memang keji juga kejam, sesudah gosok jarum berbisa itu di atas badan orang, ia terus duduk di samping untuk menantikan bekerjanya racun jarumnya, ia pikir orang tentu akan bicara terus terang.

Selang tak lama, aliran darah di tubuh Siao-liong-li dan Nyo Ko berjalan tambah cepat, pelahan-lahan pun terasa panas, Siao-liong-li tahu racun mulai bekerja, tidak Iama lagi tentu akan merembet lagi lebih dalam, Akan tetapi kini ia djustru merasakan enak yang tak terkatakan.

"Kokoh, jangan kau katakan rahasia keluar kuburan ini pada mereka, kedua perempuan jahat5 itu betapapun tidak boleh lepas begitu saja," dengan suara pelahan Nyo Ko bisiki Siao-liong-li.

"Ya," sahut nona itu.

Teringat tentang rahasia jalan keluar kuburan itu, tanpa terasa ia menengadah dan memandang ke langit-langitan kamar yang terdapat peta bumi itu.

Kiranya dahulu demi mengetahui Lim Tiao-eng telah meninggal dunia di dalam kuburan itu, walaupun dia sudah bersumpah tidak akan memasuki lagi, akhirnya Ong Tiong-yang masuk lagi ke kuburan itu secara diam2 melalui jalan rahasia, Teringat oleh Ong Tiong-yang betapa cintanya Lim Tiao-eng kepada dirinya dan suka-duka mereka semasa mudanya, maka menangislah Cosu dari Coan-cin-kau itu di hadapan jenazah bekas kekasihnya itu.

Setelah puas menangis seorang diri dan sesudah melihat untuk penghabisan kalinya wajah kekasihnya yang sudah tak bernyawa, kemudian Ong Tiong-yang memeriksa lagi keadaan kuburan raksasa buah karyanya itu, di situ bukan saja ia melihat gambar dirinya sendiri yang dilukis oleh Lim Tiao-eng, bahkan dia dapatkan pula ukir2an di langit2an kamar yang ditinggalkan kekasihnya itu, ketika diketahuinya betapa bagus dan betapa hebat ilmu kepandaian yang terkandung dalam Giok-li-sim-keng, setiap gerakan dan setiap tipu pukulan ternyata merupakan lawan dan khusus anti ilmu silat Coan-cin-pay, dalam kagetnya muka Ong Tiong-yang menjadi pucat, lekas2 ia keluar dari kuburan itu.

Lalu seorang diri dia tirakat di puncak gunung, selama tiga tahun selangkahpun tidak turun gunung, dengan memusatkan pikirannya dia mempelajari cara2 untuk memecahkan ilmu Giok-li-sim-keng itu, namun demikian, hasilnya terlalu kecil, bagaimanapun juga dia tak mendapatkan semacam ilmu yang sempurna untuk mengalahkannya. Dalam putus asanya, terhadap kecerdikan dan kepintaran Lim Tiao-eng ia menjadi sangat kagum, lalu ia terima menyerah dan tidak melanjutkan pelajarannya lagi.

Siapa tahu belasan tahun kemudian, karena adanya "Hoa-san-lun-kiam" atau pertandingan pedang di atas Hoa-san, di mana Ong Tiong-yang telah keluar sebagai juara dan dapat merebut kitab tertinggi dari ilmu silat, yaitu "Kiu-im cin-keng".. sebenarnya dia sudah bersumpah tidak akan berlatih ilmu yang terdapat di dalam kitab itu, tetapi terdorong oleh rasa ingin tahu, tidak urung ia balik-balik halaman kitab itu dan membacanya.

ilmu silat Ong Tiong-yang waktu itu sudah diakui sebagai juara dunia, dengan sendirinya inti sari dari apa yang tertulis di dalam Kiu-im-cin-keng itu dengan gampang saja dapat dia pahami, hanya sepuluh hari saja seluruhnya sudah dapat dia selami dengan baik, ia tertawa panjang sambil menengadah lalu masuk lagi ke Hoat-su-jin-bong, di langit2 kamar batu yang paling dirahasiakannya telah dia ukir bagian penting dari Kiu-im-cin-keng dan satu per satu dia tunjuk cara2 untuk mematahkan ilmu Giok-li-sim-keng. Kemudian pada jari tangan lukisan dirinya itu dia tinggalkan pula beberapa baris tulisan, dia bilang jika keturunan Lim Tiao-eng ada jodoh, biarlah orang itu mengetahui bahwa ilmu silat dari pendiri Coan-cin-kau itu. Sekali-kali tidak bisa dikalahkan Giok-li-sim-keng dengan begitu saja.

Sesudah Ong Tiong-yang keluar lagi dari kuburan, ia coba memenangkan pula bekas tulisan dengan jari yang dilakukan Lim Tiao-eng di atas batu gunung Cong-lam-san, terpikir lagi olehnya kata2 yang ditinggalkan di atas lukisan yang terlalu halus itu, belum pasti orang keturunan Ko-bong-pay dapat melihatnya, tetapi kalau ditunjukkan secara terang2an, apakah itu bukan berarti kitab Kiu-im-tin-keng yang hebat itu sengaja dia siarkan pada umum ?

Tengah ia ter-menung2, tiba2 terdengar olehnya ada suara orang perempuan sedang menangis dengan sedih sekali, ia coba mendekatinya dan ditanya, kiranya wanita itu she Sun, dahulu jiwanya pernah ditolong Lim Tiao-eng, maka kini sengaja naik gunung hendak menemuinya, demi mengetahui Lim Tiao-eng sudah meninggal, ia bermaksud masuk kuburan buat sembahyang, namun jalan masuknya tidak diketemukan.

Ong Tiong-yang telah tunjuk cara memasuki Hoat-su-jin-bong itu dan pesan pula: "Aku memberi enambelas huruf, hendaklah kau ingat2 dengan baik, tetapi jangan dibocorkan pada orang lain, Kelak bila dekat hari tuamu baru boleh kau beritahukan tuan rumah dari kuburan kuno itu."

Wanita she Sun itu menghaturkan terima kasih dan ingat baik2 ke-16 huruf itu dan kemudian berziarah ke dalam Hoat-su-jin-bong, belakangan ia diterima oleh dayang Lim Tiao-eng yang kemudian menjadi gurunya Siao-liong-li untuk tinggal terus di dalam kuburan, dia inilah lalu dikenal sebagai Sun-popoh.



Enambelas huruf tinggalan Ong Tiong-yang itu kemudian oleh Sun-popoh telah ditulis di atas secarik kain putih dan dijahit dalam baju kapasnya dan pada saat sebelum ajalnya baju kapasnya telah dia berikan pada Nyo Ko, 16 huruf itu yang berarti: "Guru besar Tiong-yang, meninggalkan ilmu kepandaian, periksa lukisannya dan pelajari jari tangannya,".

Tetapi karena bakat Sun-popoh tidak pintar, maka terhadap enam-belas huruf itu tidak pernah dia selidiki hingga tidak mengetahui rahasia yang terpendam di dalam kamar batu itu, Sedang mengenai peta bumi rahasia yang terukir di atas langit-langit kamar itu memeng sudah ada sejak kuburan kuno ini dibangun muIa2, hal ini malahan Lim Tiao-eng sendiripun tidak mengetahuinya.

Begitulah ketika Siao-liong-li dapat melihatnya, maka segera dia menjadi jelas jalan rahasia untuk keluar dari kuburan itu, hanya sayang jalan darahnya ditutuk Li Bok-chiu, sekalipun sudah mendapatkan jalan hidup toh percuma juga, ia menjadi menyesal kenapa tadi tidak lantas melarikan diri bersama Nyo Ko, sebaliknya malah duduk2 saja untuk mengobrol segala permainan anak2 yang tak berguna.

Lambat-laun seluruh badannya menjadi makin panas, ia memandang lagi beberapa kali peta bumi itu, ia menghela napas panjang, pandangan matanya beralih lagi pada tulisan pelajaran Kiu-im-cin-keng yang berada di sebelah peta bumi itu.

Mendadak matanya jadi terbelalak seperti sinar kilat yang mendadak berkelebat tiba2 dapat dilihatnya ada empat huruf yang bertuliskan "Kay-hiat-pit-koat" atau kunci rahasia membuka jalan darah. seketika hatinya tergerak, ia coba mengamat-amati beberapa kali lagi pelajaran ilmu itu. keruan bukan buatan senangnya, saking girangnya hampir2 saja dia berteriak.

Kiranya ilmu itu telah menjelaskan cara2 untuk melancarkan jalan darahnya sendiri, sebenarnya bagi seorang yang melatih Kiu-im-cin-keng, ilmu silatnya pasti juga sudah mencapai tingkatan kelas wahid dan se-kali2 tidak nanti kena ditutuk orang, tetapi dalam keadaan kepepet seperti Siao-liong-li sekarang ini, ilmu ini justru merupakan bintang penolong baginya.

Tetapi bila terpikir lagi olehnya meski bisa melepaskan diri dari tutukan toh tak lebih ungkuIan daripada sang Suci, bukankah percuma juga? Karenanya dia lantas baca lagi lebih cermat tulisan2 di atas kamar itu, ia bermaksud mencari lagi semacam ilmu silat yang praktis, yang begitu dipelajari segera dapat dipergunakan dan sekaligus bisa mengalahkan Li Bok-chiu.

Tetapi meski dia ulangi membaca dari awal sampai akhir dan dari akhir kembali ke awal sampai dua kali ulangan, ia dapatkan meski ilmu yang-paling gampang dipelajari sedikitnya juga harus makan beberapa puluh hari baru bisa jadi.

Dalam keadaan putus harapan itu, tiba2 ia merasakan tubuh Nyo Ko yang bersandaran dengan tubuhnya itu rada2 gemetar, agaknya racun jarum perak sudah merembes masuk, pada saat genting ini, tiba2 pikirannya menjadi jauh lebih tajam dari biasanya, tergerak pikirannya dan dapat diperoleh sesuatu akal bagus, dengan cepat ia menengadah lagi, ia apalkan baik2 "Kay-hiat-pi-koat" dan "Pi-gi-pit-koat", yakni dua macam ilmu membuka jalan darah dan menutup jalan pernapasan, lalu dengan apa yang dia apalkan ini dia bisikkan ke telinga Nyo Ko untuk mengajarkan pemuda ini.

Dasar Nyo Ko memang sangat pintar, sedikit diberi petunjuk saja dia lantas mengerti, diberi tahu awalnya, segera ia paham lanjutannya.

"Nah, sekarang kita membuka jalan darah dahulu," kata Siao-Iiong-li kemudian dengan pelahan.

Nyo Ko manggut2 sebagai tanda mengerti.

Dalam pada itu seluruh kamar dalam keadaan gelap gulita, Li Bok-chiu berdua hanya menanti bila Siao-liong-li dan Nyo Ko tidak tahan oleh serangan racun dalam badannya, tentu dengan sendirinya akan mengatakan rahasia jalan keluar kuburan itu, sudah tentu tidak dia duga bahwa mereka justru sedang main gila secara diam-diam.

Begitulah, maka Siao-liong-li dan Nyo Ko telah menuruti petunjuk Ong Tiong-yang pada ukiran2 itu, diam2 mereka menjalankan darah menurut ajaran "Kay-hiat-pit-koat". Memangnya Lwekang mereka berdua sudah cukup kuat, maka hanya sebentar saja dua tempat Hiat-to yang tertutuk tadi sudah berhasil mereka Iepaskan.

Lalu Siao-liong-li ulur tangan pelahan2 ke dalam bajunya, ia ambil dua pil penawar racun jarum itu, lebih dulu ia jejalkan sebutir ke mulut Nyo Ko, kemudian ia sendiri telan sebutir.

Meski perbuatannya ini dilakukan dengan sangat pelahan dan hati2, tapi Li Bok-chiu mana bisa dikelabui, segera hal ini dapat diketahuinya.

"Apa yang kau lakukan ?" bentaknya tiba2 terus melompat maju.

Namun Siao-liong-li sudah siap sedia, segera ia papaki orang dengan sekali gablokan, ini adalah ilmu silat tertinggi dari Giok-li-sim-keng, pundak Li Bok-chiu tahu2 telah kena hantam sekali walau pun hanya pelahan.

Sungguh tidak pernah Li Bok-chiu duga bahwa sang Sumoay ini ternyata mampu melepaskan Hiat-to sendiri, dalam kagetnya kena pukulan itu, lekas2 ia melompat mundur lagi.

"Suci, kami hendak keluar, kau mau ikut keluar tidak ?" demikian Siao-liong-li berkata padanya.

Li Bok-chiu menjadi mati kutu menghadapi sang Sumoay, biasanya ia suka unggulkan ilmu silatnya sendiri yang tiada tandingannya di seluruh jagat, pula kecantikannya susah dicari lawannya, siapa tahu kini bisa dipermainkan oleh sang sumoay yang masih muda-belia dan belum pernah kenal muka jagat itu, keruan tidak kepalang gusar dan dongkolnya.

Akan tetapi karena kepepet, ia kuatir bila sampai sang Sumoay menjadi marah, mungkin sungguh2 dirinya tidak dibawa keluar, hal ini berarti dirinya bakal celaka, karena itu ia tak berani berlaku kasar, ia pikir paling penting keluar dulu dari kuburan ini, ilmu silat sendiri toh lebih tinggi daripada Sumoaynya, nanti kalau sudah di luar, tidak sukar untuk bikin perhitungan dengan dia.

Maka Li Bok-chiu coba menahan amarahnya, dengan tertawa ia coba membujuk: "Nah, beginilah baru betul2 seorang Sumoay yang baik, biarlah aku minta maaf padamu dan bawalah aku keluar dari sini !"

"Tetapi Kokoh bilang, hanya satu orang saja diantara kalian berdua yang bisa ikut, maka katakan saja, bawa kau atau bawa muridmu itu ?" sahut Nyo Ko tiba2.

Nyata Nyo Ko ini sangat licin, melihat ada kesempatan, segera ia berusaha memecah-belah antara guru dan murid itu.

"Anak keparat, tutup bacotmu !" damperat Li Bok-chiu gusar.

Kata2 Nyo Ko tadi sebenarnya belum dipahami Siao-Iiong-li, tetapi selamanya ia membela pendirian pemuda itu, maka segera ia menyambung: "Ya, memang, aku hanya dapat membawa seorang saja, tidak bisa lebih ?"

"Nah, apa kataku," ujar Nyo Ko dengan tertawa. "Supek, menurut pendapatku, biarkan Suci saja yang ikut kami keluar, kau toh sudah tua, sudah hidup cukup lama bukan ?"

Sungguh tidak kepalang gusar Li Bok-chiu hingga dadanya se-akan2 meledak, namun soalnya menyangkut mati hidupnya, maka sedapat mungkin ia coba menahan api amarahnya, ia bungkam dan tidak menjawab lagi.

"Baiklah, sekarang kita berangkat," kata Nyo Ko. "Kokoh jalan di depan sebagai penuntun jalan, aku nomor dua, dan siapa yang berada paling belakang, dia yang tak akan bisa keluar."

Maka tahulah sekarang Siao-liong-Ii maksud kata2 Nyo Ko, karena itu, ia tersenyum manis, lalu dengan gandeng tangan Nyo Ko mereka mendahului keluar dari kamar batu itu.

Saat itu juga, Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah sama2 berlari menyusul sehingga kedua orang ini berdesakan di ambang pintu, mereka berebutan lebih dahulu, mereka takut kalau benar2 Siao-liong-li menggerakkan alat perangkap rahasia sehingga ada seorang diantara mereka yang tertutup di bagian dalam.

"Berani kau berebutan dengan aku ?" bentak Li Bok-chiu menjadi gusar, Berbareng sebelah tangannya telah cekal pula pundak Ang Ling-po.

Walaupun keadaan sangat berbahaya, namun Ang Ling-po kenal watak gurunya yang tidak segan turun tangan kejam, jika dirinya tidak mengalah, pasti segera terbinasa di tangan gurunya sendiri, maka terpaksa ia mundur selangkah dan mempersilahkan Li Bok-chiu jalan di depan, sudah tentu dengan perasaan mendongkol tetapi takut pula.

Begitulah, maka dengan rapat Li Bok-chiu mengintil di belakang Nyo Ko, sedikitpun tak berani ketinggalan jauh, ia merasa jalan yang ditempuh Siao-liong-li itu seperti belok ke sini dan putar ke sana, makin jauh makin menurun ke bawah, sementara itu kakinya terasa pula menginjak tempat becek, dalam hati dia mengerti telah berada diluat kuburan kuno itu, hanya saja dalam kegelapan itu, remang2 cuma kelihatan di mana2 jalannya selalu me-lingkar2 dan ber-putar2.



Tak lama jalanan menjadi aneh pula, kini menurun lurus, syukur ilmu silat keempat orang cukup tinggi, maka mereka tiada yang sampai ter-peleset, jika orang Iain, tentu sejak tadi sudah jatuh keserimpet.

"Cong-lam-san ini memang tidak terlalu tinggi, dengan jalan cara begini, tidak lama tentu sudah berada di bawah gunung, apakah kami kini sudah berada di dalam perut gunung ?" demikian diam2 Li Bok-chiu berpikir sendiri.

Sesudah jalan menurun agak lama, akhirnya jalanan mulai lapang, hanya rasa basah itu semakin banyak hingga akhirnya terdengar suara gemerciknya air, lalu betis merekapun terendam dalam air.

Tidak hanya begitu, makin jauh air makin dalam, dari betis bertambah sampai paha, dari paha terus perut dan pe-lahan2 naik lagi sampai setinggi dada.

"ltu Pi-gi-pit-koat (rahasia menutup jalan napas) apa sudah kau apalkan dengan baik ?" dengan suara pelahan Siao-liong-li tanya Nyo Ko.

"lngat," sahut Nyo Ko lirih.

"Baik," ujar Siao-liong-li. "Dan sebentar lagi kau tutup jalan napasmu, jangan sampai kemasukan air."

"Ya, engkau sendiri juga harus hati2, Kokoh," kata Nyo Ko,

Siao-liong-li angguk2.

Sedang mereka bicara, air di bawah itu sudah merembes sampai di tenggorokan. Keruan yang paling kaget adalah Li Bok-chiu, ia menjadi bingung pula.

"Sumoay, apa kau bisa berenang ?" teriaknya kuatir.

"Selamanya aku hidup di dalam kuburan, mana bisa berenang ?" sahut Siao-liong-li.

Mendengar jawaban ini, hati Li Bok-chiu rada lega, ia melangkah maju lagi, tak terduga air mendadak mendampar sampai mulutnya, Dalam kagetnya lekas2 ia mundur ke belakang.

Tetapi pada saat itu juga Siao-liong-li dan Nyo Ko malahan terus menyelam ke dalam air.

Dalam keadaan demikian, sungguhpun di depan sana sudah menanti gunung golok atau lautan pedang, terpaksa Li Bok-chiu juga menerjang maju. Dalam pada itu, mendadak ia merasakan baju di pungungnya tiba2 menjadi kencang, kiranya tangan Ang Ling-po telah menjamberetnya. Li Bok-chiu menjadi dongkol, diri sendiri saja dalam keadaan bahaya, apalagi diganduli seorang, ia coba meronta sekuatnya, namun tak bisa terlepas.

Maklumlah, seorang yang tak bisa berenang, bila kelelap di dalam air, tentu orang itu akan bergolak sebisanya dan bila ada sesuatu benda sampai terpegang, maka sampai mati sekalipun tidak bakal dilepaskannya, Begitulah halnya dengan Ang Ling-po sekarang.

Dengan bergandengan tangan Siao-Iiong-li bersama Nyo Ko menyelam ke bawah air, sementara Li Bok-chiu menyekal kencang tangan Nyo Ko, sedang Ang Ling-po tetap menjambret baju, punggungnya, matipun tidak dilepaskan.

Tatkala itu suara menggerujuknya air sudah terdengar sangat keras, walaupun ini adalah sungai di bawah tanah, namun suara yang berkumandang keras itu cukup mengejutkan orang, Dan karena terdampat oleh arus ait yang keras, Li Bok-chiu dan Ang ling-po berdua menjadi terapung ke atas.

Meskipun ilmu silat Li Bok-chiu sangat bagus, tetapi dalam keadaan demikian ia menjadi gugup dan bingung, ia ulur tangan menjamberet dan menarik serabutan, mendadak berhasil disentuhnya sesuatu, keruan saja ia pegang dengan kencang, matipun tidak dilepaskannya.

Kiranya itu adalah tangan kiri Nyo Ko tatkala itu Nyo Ko sedang menahan napas dan sedang melangkah maju setindak demi setindak di dalam air dengan menggandeng tangan Siao-liong-li, kini mendadak dipegang Li Bok-chiu, lekas2 ia pakai Kim-na-jiu-hoat untuk melepaskan diri. Akan tetapi sekali Li Bok-chiu sudah pegang, mana mau dilepaskan pula, meski air dingin terus-menerus masuk ke mulut dan hidungnya, bahkan sampai jatuh" pingsan juga masih dipegangnya erat2 tangan Nyo Ko itu.

Beberapa kali Nyo Ko coba kipatkan lengannya terlepas, tetapi tidak berhasil Karena kuatir terlalu banyak buang tenaga hingga air masuk perutnya, akhirnya iapun membiarkan lengannya dipegang orang.

Begitulah secara bererotan seperti kereta gandengan mereka berempat jalan terus di dasar sungai, sesudah agak lama, akhirnya terasa sesak juga napas Siao-liong-li dan Nyo Ko, mereka mulai tak tahan hingga perut merekapun kenyang minum air.

Syukur lambat laun arus air mulai reda, keadaan tanahpun makin tinggi, tidak lama kemudian mereka dapat menongol ke permukaan air. Mereka berjalan terus, makin jauh keadaan di depan sana bertambah terang, akhirnya merekapun keluar melalui sebuah gua gunung.

Bukan main rasa letih Siao-Iiong-li dan Nyo Ko, boleh dikatakan tenaga mereka sudah habis, apalagi terendam lama di dalam air, maka lebih dulu mereka kumpulkan tenaga untuk memuntahkan air dalam perut yang kembung itu, kemudian mereka merebah di tanah dengan napas terempas-empis.

Tatkala itu dengan kencang tangan Li Bok-chiu ternyata masih pegang erat2 di lengan Nyo Ko, jari tangannya harus dipentang satu per satu oleh Siao-liong-Ii barulah bisa terlepas.

Lalu Siao-liong-li menutuk Hiat-to di bahu Li Bok-chiu dan muridnya, habis ini baru taruh mereka di atas satu batu, dengan demikian air di dalam perut mereka pe-lahan2 mengalir keluar

Selang agak lama, dengan mengeluarkan suara serak Li Bok-chiu mendusin dahulu, tiba2 sinar matahari menjilaukan matanya, sekarang dia betul2 sudah di alam terbuka, bila ingat tadi terkurung di dalam kuburan kuno itu dan terancam berbagai macam bahaya, mau-ta-mau ia merasa ngeri pula, kini meski separuh tubuhnya bagian atas dalam keadaan lumpuh karena ditutuk Siao-liong-Ii, namun hatinya malah jauh lebih lega daripada tadinya.

Tidak antara lama Ang Ling-po pun tersadar juga, tetapi karena ditutuk jalan darahnya, tangannya sudah tak bertenaga lagi, maka sebelah tangannya masih terletak di atas punggung Suhunya.

Cara menutuk Siao-liong-li sekali ini hanya dapat dilepaskan dengan "Kay-hiat-pit-koat" seperti ajaran Kiu-im-cin-keng yang ditinggalkan Ong Tiong-yang itu atau ditolong oleh kaum ahli, hila tidak harus tunggu 7 X 7 = 49 hari lagi baru bisa sembuh sendiri


"Sekarang kau boleh pergi, Suci!" demikian kemudian Siao-liong-li berkata pada Li Bok-chiu.

Walaupun kedua tangan Li Bok-chiu dan Ang Ling-po sudah lumpuh, tetapi setengah badan bagian bawah masih baik2 saja dan bisa bergerak seperti biasa, karena itu dengan bungkam guru dan murid itu saling pandang sekejap, entah rasa girang atau gusar dalam hati mereka waktu itu, lalu pergilah mereka ber-iring2an.

Menghadapi alam semesta dengan pemandangan yang indah permai itu, sungguh tidak terbilang rasa girang Nyo Ko.

"Kokoh, bagus tidak pemandangan sekitar ini ?" tanya Nyo Ko,

Tetapi Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya bersenyum simpul.

Bila teringat oleh mereka kejadian selama beberapa hari ini rasa mereka seperti menjelma lagi di dunia Iain.

Malam itu mereka berdua tidur seadanya dibawah pohon yang rindang. Kiranya gua gunung ini sudah berada di bawah Cong-lam-san, hanya tempatnya sangat sepi dan terpencil.

Besok paginya, sehabis mereka buang air, racun yang mengalir dalam tubuh mereka ternyata sudah ikut lenyap, Kalau menuruti Nyo Ko, segera pemuda ini ajak pergi pesiar, tetapi selamanya Siao-liong-li belum pernah berkenalan dengan dunia fana, entah mengapa, ia menjadi takut2.

"Tidak, kita harus melatih dulu Giok-Ii-sim-keng hingga selesai," kata Siao-liong-li.

Betul juga, pikir Nyo Ko, ia menurut, memang kalau berada di tempat ramai dan banyak orang, untuk melatih Giok-li-sim-keng dengan mencopot pakaian bersama gurunya sesungguhnya tak pantas dipandang Maka mereka lantas mencari dan mendapatkan satu tempat semak2 yang lebat sekali, malam itu juga mereka lantas mulai melatih diri lagi dengan di-aling2i oleh semak2 rumput bunga itu.

Begitulah mereka lantas mendirikan gubuk, mereka meneruskan latihan ilmu di gunung sunyi ini, siang mereka tidur dan malam hari berlatih dengan giat, sekejap saja beberapa bulan sudah lalu tanpa sesuatu kejadian, Mula2 Siao-liong-li mendahului berhasil dengan ilmunya, lewat sebulan lagi Nyo Ko pun menyusul selesai dengan sangat memuaskan.

Meski begitu mereka berdua masih mengulangi lagi, nyata tiada sesuatu lagi yang kurang, karena itu Nyo Ko lagi2 bicara tentang pesiar sebagai kesenangan hidup manusia.



Tetapi bagi Siao-liong-li, hidup secara aman tenteram seperti sekarang ini rasanya di dunia ini sudah tiada lagi yang melebihi. namun dilihatnya Nyo Ko selalu suka pada keramaian, tampaknya sukar untuk tinggal di gunung sunyi untuk selamanya.

"Ko-ji", akhirnya ia berkata, "meski ilmu silat kita sudah berbeda jauh dari pada dahulu, tetapi kalau dibandingkan dengan kau punya paman dan bibi Kwe kira2 bagaimana ?"

"Tentu saja kita masih jauh ketinggalan," jawab Nyo Ko.

"Kalau begitu, kau punya paman Kwe sudah turunkan kepandaiannya pada puterinya dan kedua saudara Bu, kalau kelak saling bertemu lagi, tetap kita akan dihina mereka," kata Siao-liong-li pula.

Mendengar kata2 ini, seketika Nyo Ko menjadi gusar.

"Kokoh, jika mereka berani hina diriku lagi, mana bisa aku menyerah mentah2 ?" teriaknya melonjak bangun.

"Tetapi kau tak dapat menandingi mereka, bisa apa kau ?" ujar Siao-liong-Ii.

"Jika begitu, kau bantu aku, Kokoh," kata Nyo Ko.

"Akupun tak bisa menangkan kau punya paman Kwe, percuma saja," sahut Siao-1iong-1i.

Nyo Ko tak bisa buka suara lagi, ia menunduk dengan bungkam, ia coba pikirkan cara bagaimana harus menghadapinya kelak.

"Sudahlah, demi Kwe-pepek, aku takkan berkelahi dengan mereka," katanya kemudian sesudah merenung sebentar.

"Tetapi kalau mereka tidak mau lepaskan dirimu, bagaimana ?" kata Siao-liong-li lagi.

"Biar aku menghindari mereka saja," sahut Nyo Ko. "Betapapun juga dengan mereka aku toh tiada permusuhan apa2, Tidak nanti mereka sampai incar jiwaku."

"Sudah tentu, bagaimanapun mereka toh besar hubungannya dengan kau," kata Siao-liong-li sambil menghela napas, "Cuma orang2 di Tho-hoan to itu bukan sanak dan bukan kadangku."

Dengar kata2 orang yang terakhir ini, hati Nyo Ko jadi tertekan

"Kokoh, apa kau maksudkan mereka bakal menghina kau ?" tanyanya ragu2.

"Ya, kalau sampai mereka tahu aku telah rebut anak murid Coan-cin-kau dan Tho-hoa-to, mana bisa mereka antapi dirimu begitu saja,," sahut Siao-liong-Ii.

"Jangan kuatir, Kokoh!" teriak Nyo Ko tiba-tiba. "Tak peduli siapa saja yang berani menyenggol seujung rambutmu, pasti aku akan adu jiwa dengan dia."

"Tetapi sayang kita tak punya modal untuk mengadu jiwa itu," sahut Siao-liong-li.

Nyo Ko adalah anak yang sangat cerdik, demi mendengar kata2 gurunya ini, maka tahulah dia akan maksud orang.

"Kokoh," katanya lagi dengan bersenyum, "kalau kita berhasil melatih baik2 ilmu yang ditingalkan Ong Tiong-yang itu, pasti kita akan dapat kalahkan orang2 Tho-hoa-to itu, bukan ?"

Tiba2 alis Siao-Iiong-li bergerak, ia tertawa,

"Tentu saja, memangnya orang2 di Tho-hoa-to itu punya tiga kepala dan berenam tangan ?" sahutnya kemudian.

Dan oleh karena percakapan mereka inilah, Nyo Ko telah tinggal setahun lebih lama dengan Siao-liong-li di lembah pegunungan ini.

Dalam setahun ini, baik Lwekang maupun Gwakang mereka berdua telah mencapai kemajuan pesat, sering kali mereka berdua mengambil tangkai2 bunga terus saling serang menyerang dan gempur-menggempur untuk melatih diri di lembah gunung, Tangkai bungai itu sebenarnya adalah benda yang lemas saja, tetapi berada di tangan mereka berdua yang sudah memiliki Lwekang kelas wahid, maka serupa saja seperti golok tajam atau pedang pusaka.

Pada suatu hari, sehabis berlatih, Siao-liong-li kelihatan bermuka muram durja, nyata hatinya tak senang. Nampak perubahan wajah orang ini, terus-menerus Nyo Ko berusaha menghiburnya agar tertawa, namun tetap Siao-liong-Ii bungkam tanpa ber-kata2.

Nyo Ko menjadi bingung, ia kehabisan akal, Setelah pikir pergi-datang, akhirnya ia menduga tentu karena ilmu tinggalan Ong Tiong-yang yang mereka latih sudah berakhir, maka Siao-Iiong-li merasa berat kalau ditinggalkan dirinya, sebaliknya untuk menahannya juga tiada alasan, oleh karena itu menjadi kesal hatinya.

"Kokoh, jika engkau tak ingin aku turun gunung, biar kita tinggal di sini saja untuk selamanya," demikian dikatakannya kemudian

Keruan saja Siao-liong-Ii menjadi girang karena memang itulah yang menjadikan kesal pikirannya.

"Baik sekali..." demikian serunya, tetapi baru sepatah dua kata dia ucapkan, mendadak ia berhenti, ia mengerti pula apa yang dikatakan Nyo Ko itu sukar dilaksanakan, sungguhpun Nyo Ko terpaksa tinggal terus disitu, tentu pula hati pemuda itu tidak gembira, Maka dengan suara lirih ia lanjutkan: "Sudahlah, kita bicarakan besok saja,"

Malam itu Siao-liong-Ii tiada napsu makan, ia kembali ke gubugnya sendiri untuk tidur.

Gubuk yang mereka dirikan di bawah pohon besar itu ada dua, Melihat gurunya kesal, maka Nyo Ko ikut muram, ia duduk sendirian di depan gubuk sendiri dengan ter-mangu2, lama sekali baru dia masuk tidur.

Sampai tengah malam, se-konyong2 ia terjaga bangun oleh suara deru angin yang santar, suara angin yang lain dari pada jang lain, Keruan ia kaget, lekas2 ia pasang kuping lebih cermat, akhirnya dapat dikenali itu adalah angin pukulan orang yang sedang saling berhantam.

Lekas2 Nyo Ko menerobos keluar dari gubuknya, ia lari ke gubuk Siao-liong-li, dari luar segera ia memanggil dengan suara pelahan: "Kokoh, Kokoh, kau dengar tidak ?"

Waktu itu menderunya angin pukulan telah bertambah keras, sepantasnya Siao-liong-li mendengar juga, tetapi aneh, dalam gubuk tidak terde" ngar sesuatu suara sahutan, Nyo Ko memanggil dua kali lagi dan masih tetap sunyi, akhirnya ia tak sabar, ia dorong pintu dan melongok ke dalam, tetapi yang dia dapatkan hanya dipan yang kosong, ternyata gurunya sudah menghilang.

Dalam kejutnya Nyo Ko berlari menuju ke tempat dimana datangnya suara angin pukulan, setelah belasan tombak dia lari, meski orang yang sedang saling labrak itu belum kelihatan, namun dari angin pukulannya Nyo Ko dapat membedakan satu diantaranya bukan lain adalah gurunya, jakni Siao-liong-li. Tetapi lawannya ternyata terlebih hebat angin pukulannya, agaknya kepandaiannya masih diatas gurunya.

Nyo Ko percepat larinya, Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya kini sudah terlatih masak, jauh berlainan daripada dulu, maka sekejap saja lereng gunung itu sudah dilintasinya, tertampaklah olehnya di bawah sinar bulan yang remang2 itu Siao-liong-li yang berbaju putih mulus sedang bertempur melawan seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar.

Tinggi sekali ilmu silat orang itu hingga meski Siao-liong-li berlaku sangat gesit dan enteng, namun selalu terkurung di dalam angin pukulan orang dan hanya bertahan sebisanya saja.

"Suhu, jangan kuatir, kubantu kau !" demikian segera Nyo Ko berseru sambil melompat maju.

Tetapi sesudah sampai di samping kedua orang dan melihat muka Iaki2 itu, tanpa terasa Nyo Ko menjadi kesima, orang itu ternyata penuh berewok yang pendek kaku seperti sikat kawat,hingga mukanya se-akan2 kulit landak, siapa lagi dia kalau bukan ayah angkatnya yang sudah lama berpisah, Auwyang Hong !

"Berhenti, orang sendiri semua, jangan berkelahi lagi!" teriak Nyo Ko.

Siao-liong-li tertegun mendengar seruan Nyo Ko ini, ia pikir lelaki gila bermuka berewok ini mana bisa orangnya sendiri ? Dan karena sedikit melengnya ini, secepat kilat Auwyang Hong telah mengirim serangan yang mengarah muka Siao-liong-li dengan kekuatan luar biasa.

Kaget sekali Nyo Ko, lekas ia melompat maju hendak memisah, tetapi Siao-liong-li sudah keburu angkat tangannya buat menangkis hingga kedua tangan mereka jadi saling dorong.

Nyo Ko tahu tenaga gurunya masih jauh tak bisa menandingi ayah angkatnya, kalau bertahan lama, tentu akan terluka dalam, karena itu, segera ia ulur lima jarinya dan menyabet pelahan ke lengan Auwyang Hong, ini adalah ilmu "jiu-hun-ngo-hian" atau tangan mengebut lima senar, kepandaian yang baru dipelajarinya dari kitab Kiu im-cin-keng.

Meski ilmu itu belum matang dilatihnya, namun datangnya cepat dan tempatnya jitu, maka tiba2 Auwyang Hong merasakan lengannya rada bui hingga tenaganya hilang.

Setiap kesempatan selalu digunakan Siao-liong-li dengan cepat sekali, begitu ia merasa daya tekanan musuh menjadi kendur, segera pula ia balas menghantam. Dalam keadaan begitu Auwyang Hong yang seluruh tubuhnya tak bertenaga hanya ditutuI pelahan saja pasti akan terluka parah.



Syukur Nyo Ko menyelak lagi, ia putar tangannya terus cekal lengan Siao-liong-li, berbareng ia nyelip ke-tengah2 kedua orang itu.

"Berhentilah kalian berdua, semuanya orang sendiri," demikian dengan tertawa ia berkata pula.

Dilain pihak Auwyang Hong masih belum mengenali Nyo Ko, ia hanya merasa ilmu silat pemuda ini terlalu aneh dan sangat tinggi se-kali2 tidak boleh dipandang enteng. Maka dengan gusar dia membentak : "Siapa kau ? Orang sendiri apa ?"

Nyo Ko sudah kenal kelakuan Auwyang Hong yang linglung dan gila2an, ia kuatir orang betuI2 lupa padanya, maka segera iapun berseru memanggil: "Akulah, ayah ! Anakmu sendiri apa kau tak kenal lagi ?"

Kata2 Nyo Ko ini membawa lagu suara yang mengguncangkan perasaan, seketika Auwyang Hong tercengang, ia tarik tangan si Nyo Ko, ia putar muka pemuda ini ke arah sinar bulan, kemudian baru dikenalnya memang betul dia ini anak angkatnya sendiri yang selama beberapa tahun ini telah dicarinya kian kemari karena perawakan Nyo Ko kini sudah tumbuh tinggi pula ilmu silatnya hebat, maka semula tak dikenalnya.

Dasar Auwyang Hong juga seorang yang suka umbar perasaannya, seketika juga dia rangkul Nyo Ko sambil ber-teriak2: "O, anakku, sudah lama sekali aku mencari kau !"

BegituIah kedua orang itu saling rangkul dan sama mengulurkan air mata.

Kiranya sejak Auwyang Hong berpisah dengan Nyo Ko di kelenteng bobrok di daerah Kanglam dahulu, di mana dia sembunyi di dalam genta raksasa untuk menghindari pencarian Kwa Tin-ok Setelah dia menjalankan ilmu saktinya untuk menyembuhkan luka dalamnya selama tujuh hari tujuh malam, akhirnya lukanya telah pulih kembali, ya Iuka2 luar yang babak-belur karena dihajar Kwa Tin-ok itu seketika masih belum sembuh.

Sesudah dia angkat genta raksasa itu dan keluar, ia merawat lukanya lagi selama dua puluhan hari di dalam hotel, habis ini kesehatannya baru pulih seluruhnya, Karena dia pernah berjanji pada Nyo Ko bahwa tidak peduli ke mana bocah ini pergi, ke sana juga akan dicarinya, tetapi sudah sebulan, bumi begitu luas, ke mana dia bisa mencari jejaknya.

Auwyang Hong pikir bocah ini tentu telah pergi ke Tho-hoa-to, turuti wataknya yang suka berlaku cepat, maka segera juga ia cari satu perahu kecil dan berlayar ke pulau itu. ia tahu juga dirinya se-kali2 bukan tandingan Kwe Cing beserta isterinya, Ui Yong, apalagi ditambah seorang Ui Yok-su, ayah Ui Yong (tentang kepergian Ui Yok-su dari pulau itu tak diketahui Auwyang Hong), sekalipun kepandaiannya sekali lipat lebih tinggi lagi juga tidak ungkuIan melawan ketiga orang itu.

Oleh sebab itulah ia tunggu malam tiba batu berani mendarat, siang hari ia sembunyi di dalam gua pegunungan pulau itu, kalau malam baru diam2 kelayapan keluar dengan harapan bisa ketemukan Nyo Ko.

Meski secara hati2 sekali dia sembunyi selama lebih dua tahun tanpa berani keluar selangkah pun di waktu siang hari toh tetap tak diketemukan kabar beritanya Nyo Ko. Kemudian pada suatu malam, secara kebetulan ia dengar percakapan diantara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si berdua saudara, ia baru tahu bahwa Nyo Ko sudah dikirim oleh Kwe Cing kepada Coan-cin-kau untuk belajar silat.

Tentu saja Auwyang Hong sangat girang memperoleh kabar itu, malam itu juga dia tinggalkan pulau itu dan memburu ke Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san. Siapa duga tatkala itu Nyo Ko sudah bikin ribut dengan imam2 Coan-cin-kau dan sudah masuk ke Hoat-su-jin-bong.

Peristiwa itu oleh Coan-cin-kau dianggap sebagai suatu noda besar yang sangat memalukan, maka seluruh imam Coan-cin-kau tiada satupun yang mau bicara, meski Auwyang Hong sudah berusaha dengan segala daya-upaya untuk mencari tahu toh tetap tiada satu kabarpun yang dia peroleh.

Selama beberapa tahun seluruh gunung Cong-lam-san boleh dikatakan sudah dijelajahi oleh kaki Auwyang Hong, siapa tahu Nyo Ko justru bersembunyi di bawah tanah gunung itu dan sedang melatih ilmu sakti secara giat.

Sangat kebetulan juga malam itu, ketika Auwyang Hong lalu di lembah gunung, mendadak dilihatnya ada satu gadis berbaju putih mulus sedang menghela napas sambil duduk tepekur mengidapi bulan.

"Hai, di manakah anakku ? Kau lihat dia tidak ?" demikian dengan kelakuan kasar dan gila Auwyang Hong telah menegur.

Gadis itu adalah Siao-liong-li, memangnya dia sedang kesal ia menjadi tambah sebal demi melihat seorang gila menegur padanya, maka dia hanya melotot saja dan tak digubrisnya.

Tak terduga Auwyang Hong tiba2 melompat maju, ia pegang lengan Siao-liong-li dan membentak pula: "He, dimanakah anakku ?"

Siao-liong-li menjadi kaget demi merasakan tenaga cengkeraman orang yang sangat kuat, nyata ilmu silat orang tinggi luar biasa dan belum pernah dilihatnya seumur hidup, sekalipun jago paling lihay dari Coan-cin-kau juga masih jauh di bawahnya.

Dalam terkejutnya itu, lekas2 ia lepaskan diri dengan Kim-na-jiu-hoat (ilmu cara menawan dan memegang) yang lihay.

Dengan sekali pegang tadi Auwyang Hong mengira lawan pasti akan terpegang kencang, siapa tahu dengan gampang saja orang bisa mengelakkan diri, dasar dia memang linglung, iapun tidak tanya2 lagi, segera sebelah tangannya menyerang pula, dan begitulah tanpa sebab musabab mereka berdua lantas saling labrak

Kembali tadi Karena sudah beberapa tahun berpisah, maka Nyo Ko dan Auwyang Hong lantas saling menceritakan rasa kangennya masing2 selama ini, pikiran Auwyang Hong masih tetap setengah jernih dan setengah butek, kejadian yang lalu sudah tak banyak lagi yang bisa diceritakan, terhadap cerita Nyo Ko iapun tak begitu mengerti, yang dia tahu hanya selama beberapa tahun ini Nyo Ko telah belajar silat pada Siao-liong-Ii.

Meski usianya sudah lanjut toh Auwyang Hong masih bersifat kanak2, segera dia bilang lagi: "llmu kepandaiannya tidak bisa mengungkuli aku, untuk apa belajar padanya, biar aku sendiri yang mengajar kau."

Baiknya watak Siao-liong-li dingin saja, maka ia tidak merecoki urusan ini, meski dengar, ia hanya tersenyum saja terus menyingkir pergi.

Sebaliknya Nyo Ko menjadi rikuh terhadap Siao-liong-li. "Tetapi Suhu sanggat baik terhadap diriku, ayah !" demikian Iekas2 ia jelaskan.

Tiba2 Auwyang Hong menjadi cemburu, "Dia baik, apa aku tidak ?" teriaknya.

"Baik, kaupun baik," sahut Nyo Ko cepat dan tertawa, "Di dunia ini hanya kalian berdua saja yang baik terhadap diriku."

Karena itu, dengan memegangi tangan Nyo Ko, Auwyang Hong menyengir.

"Ilmu silat yang kau pelajari sebenarnya tidak jelek juga," katanya kemudian, "cuma sayang dua macam ilmu paling hebat di dunia ini tak kau pelajari satupun."

"llmu apakah itu," tanya Nyo Ko. Se-konyong2 Auwyang Hong tarik muka, alisnya yang tebal se-akan2 menegak.

"Percuma kau sebagai seorang berilmu silat, sampai dua ilmu sakti di jagat ini saja tak kan kenal, lalu apa gunanya kau angkat dia sebagai guru ?" bentaknya tiba-tiba.

Nampak orang sebentar girang sebentar marah, hati Nyo Ko bukan menjadi takut, sebaliknya ia merasa sedih, "Nyata penyakit ayah sudah terlalu mendalam, entah kapan baru bisa sembuh kembali ?" demikian ia berpikir.

Dalam pada itu tiba2 terdengar Auwyang Hong bergelak ketawa.

"Ha, ini biar ayah mengajar kau," katanya, "Kedua macam ilmu mujijat itu yalah Ha-mo-kang dan Kiu-im-cin-keng. Semasa kecilmu, pernah ku ajarkan kau sedikit penuntunnya dasar, sekarang coba kau berjungkir dan berlatih di hadapanku !"

Memang sejak masuk kuburan kuno itu, sudah lama Nyo Ko tidak berlatih lagi ilmu menjungkir dengan kepala di bawah itu, kini diingatkan kembali tentu saja dengan senang hati ia menurut.

Dahulu semasih di Tho-hoa-to saja Nyo Ko sudah berlatih dengan masak sekali, kini ditambah lagi Lwekangnya telah tinggi sekali, keruan seperti macan tumbuh sayap saja, ia bisa berputar kayun secepat kitiran dengan kepala menjungkir dibawah.

"Bagus, bagus ! Segera kuajarkan kau pula seluruh intisari yang paling hebat!" seru Auwyang Hong kegirangan.



Habis ini betul saja dia lantas geraki kaki dan tangannya, ia mencerocos tiada hentinya, dia tidak urus apakah Nyo Ko bisa ingat seluruhnya atau tidak, tetapi sejak mulai ia terus menutur seperti mitraliur.

Di Iain pihak setelah mendengar beberapa kali ajaran Auwyang Hong itu, hati Nyo Ko mendadak tergerak, ia merasa setiap kata, setiap istilah ternyata luas sekali artinya, seketika mana bisa paham begitu banyak, terpaksa ia gunakan ketajaman otaknya untuk mengingatnya dengan paksa.

Sesudah Auwyang Hong mencerocos tak lama, tiba2 ia tepuk tangan dan berseru pula : "He, celaka, jangan2 si budak cilik itu ikut mencuri dengar !"

Segera pula ia pergi ke belakang pohon sana, ia dekati Siao-liong-li dan bilang padanya: "Eh, budak cilik, aku sedang mengajarkan ilmu kepandaian kepada anakku, jangan kau mencuri dengar."

"Macam apakah kepandaianmu itu ? Siapa pingin mendengarkan ?" sahut Siao-liong-Ii dengan sikap dingin saja.

Sejenak Auwyang Hong tertegun oleh jawaban orang.

"Baik, kalau begitu kau menyingkir yang jauh," katanya kemudian,

Tetapi sama sekali siao-liong-li tidak gubris padanya, ia masih bersandar pada batang pohon besar itu. "Hm, kenapa aku harus turut perintahmu ? jika aku suka pergi segera aku akan pergi, kalau tidak suka, tak nanti aku pergi," demikian sahutnya ketus.

Keruan Auwyang Hong gusar hingga rambut alisnya se-akan2 berdiri, ia ulur tangan hendak mencakar muka Siao-liong-li. Tetapi Siao-liong-li masih tidak gubris padanya, bahkan dia pura2 tidak tahu atas serangan orang.

Tentu saja dengan cepat jari tangan Auwyang Hong menyelonong ke mukanya, tetapi sesudah dekat, tiba2 Auwyang Hong mendapatkan pikiran lain. "Ah, dia kan Suhu anakku, tidak baik kalau aku melukai dia, Tetapi seketika akupun tak bisa berbuat apa2 jika dia tak mau menyingkir pergi," demikian ia membatin

Karena itu, segera tangan yang dia ulur itu ditarik lagi kembali.

"Baiklah, kalau begitu kami saja yang menyingkir tetapi kau jangan mengintip, ya ?" kata-nya.

Siao-Iiong-li pikir meski orang ini sangat tinggi ilmu silatnya, tetapi orangnya dogol, maka iapun malas buat meladeninya, ia malah berpaling ke jurusan lain dan tak menjawab.

Siapa tahu begitu dia melengos, mendadak punggungnya terasa kesemutan. Kiranya Auwyang Hong tiba2 telah ulur tangan dan menutuk sekali pada Hiat-to di punggungnya, Oleh karena gerak tangannya terlalu cepat dan aneh, pula sama sekali Siao-liong-li tidak me-nyangka2, ketika dia kaget dan bermaksud tutup jalan darahnya buat menolak tutukan orang, namun sudah terlambat, seketika setengah badannya bagian atas terasa tak bebas lagi. Bahkan menyusul Auwyang Hong menambahi pula sekali tutukan di pinggangnya.

"Nah, budak cilik, jangan kau kuatir, sebentar saja sesudah selesai aku ajarkan ilmu pada anakku, segera aku datang melepaskan kau," demikian terdengar Auwyang Hong berkata dengan tertawa sambil berjalan pergi.

Tatkala itu Nyo Ko sedang mengingat2 Ha-mo-kang dan Kiu-im-cm-keng yang diajarkan oleh ayah angkatnya tadi, ia merasa apa yang diajarkan dari Cin-keng atau kitab asli itu, bukan saja berlainan dengan apa yang terukir di kamar batu oleh Ong Tiong-yang, bahkan seluruhnya berlawanan dan terbalik, maka ia sedang peras otaknya untuk menyelaminya lebih mendalam hingga sedikitpun dia tak mengetahui sang guru kena diserang Auwyang Hong.

"Marilah kita menyingkir kesana, jangan sampai didengar oleh Suhu-mu." demikian kata Auwyang Hong sambil tarik tangan Nyo Ko.

Tetapi Nyo Ko cukup kenal tabiatnya Siao-liong-li yang aneh dan menyendiri jangan kata tidak nanti si gadis ini sudi mencuri dengar, sekali pun dipertontonkan di hadapannya, belum tentu dia mau lihat dan pasti dia akan menyingkir juga.

Tetapi karena pikiran ayah angkatnya dalam keadaan kurang waras, iapun merasa tidak perlu banyak berdebat, segera ia ikut pergi.

Sementara itu karena kena ditutuk jalan darahnya, dengan lemas Siao-liong-li telah terkulai di tanah, sungguh tidak kepalang rasa mengkalnya pula geli, ia pikir ilmu silatnya sendiri meski sudah terlatih masak dan bagus, namun apapun juga masih kekurangan pengalaman menghadapi musuh, sehingga sudah kena dibokong oleh Li Bok-chiu, kini mengalami pembokongan lagi oleh makhluk aneh si berewok ini.

Maka diam2 ia kumpulkan tenaga sakti dari apa yang dia pelajari dalam Kiu-im-cin-keng, yakni "Kay-hiat-pi-koat", rahasia caranya melepaskan tutukan, ia sedot napasnya da1am2 terus menggem-pur aliran jalan darahnya.

Tetapi aneh, susudah dua kali dia ulangi, bukan saja Hiat-to yang tertutuk itu tidak menjadi lancar dan terbuka, bahkan bertambah pegal dan linu, Keruan saja tidak kepalang terkejutnya oleh kejadian yang tak dimengerti ini.

Kiranya cara tutukan Auwyang Hong itu justru berlawanan dengan jalan darah biasa, sebab memang dia melatih Kiu-im-cin-keng secara terbalik kini Siao-liong-li pakai cara biasa untuk melepaskan diri, dengan sendirinya bukan menjadi kendor, sebaliknya bertambah kencang dan makin rapat. Dan karena sudah coba dan dicoba lagi masih belum berhasil, bahkan bertambah sakit, akhirnya Siao-liong-li tak berani coba2 lagi.

Terpikir pula olehnya nanti sehabis si gila ini selesai mengajarkan ilmu pada Nyo Ko. dengan sendirinya dia akan kembali buat menolongnya, biasanya Siao-liong-li memang tidak suka banyak pikiran, maka kini iapun tidak menjadi kuatir atau gugup, ia malah ter-mangu2 sambil menengadah untuk memandang bintang2 yang tinggi di langit, hingga lapat2 akhirnya ia tertidur.

Entah sudah berapa lama ia terpulas, ketika terasa kelopak matanya pelahan2 seperti tergosok sesuatu, ia terjaga dari tidurnya, ia coba buka matanya, Biasanya dalam kegelapan Siao-liong-li bisa pandang sesuatu seperti di siang hari, tetapi kini sedikitpun ternyata tak dilihatnya, kiranya kedua matanya telah kena ditutup orang dengan selapis kain.

Luar biasa kaget Siao-liong-li sekali ini, malah menyusul ini segera terasa pula ada orang memeluk dirinya, Diwaktu memeluk, mula-mula orang ini agaknya rada2 takut, tetapi belakangan lambat laun menjadi tabah dan pelahan2 menjadi berani

Dalam kagetnya itu niat Siao-Iiong-Ii hendak berteriak, Tetapi percuma sebab mulutnya susah dipentang karena tutukannya Auwyang Hong tadi. Segera pula, ia merasa orang itu berani mencium pipinya.

SemuIa Siao-iiong-ii menyangka Auwyang Hong yang mendadak telah pakai kekerasan hendak perkosa dirinya, tetapi ketika muka orang itu menyentuh pipinya, ia merasa muka orang halus licin saja tanpa berewok seperti Auwyang Hong, Hatinya terguncang juga, rasa terkejutnya tadi pe-lahan2 pun hilang, maklum Siao-liong-li sendiri pun muda, dalam hati iai pikir tentu ini perbuatan si Nyo Ko.

Dalam pada itu ia merasa kelakuan orang itu mulai tidak sopan, tangan meraba sini dan menarik sana,

"Kurangajar, si Nyo Ko ini !" demikian diam-diam Siao-liong-li mengelak

Tetapi karena tubuhnya sedikitpun tak bisa berkutik, maka tiada jalan lain ia serahkan diri apa yang hendak diperbuat orang, Hanya tidak karuan rasa dalam hatinya, ia terkejut girang, malu dan rada-rada sakit.

Sementara itu di sebelah sana Auwyang Hong sedang asyik memberi pelajaran ilmu silatnya pada Nyo Ko. ia menjadi senang demi nampak bakat Nyo Ko sangat pintar, sedikit diberitahu saja, lanjutannya dengan sendirinya dipahami Oleh karena itulah, makin mengajar Auwyang Hong semakin bersemangat hingga fajar menyingsing barulah selesai pokok2 kedua ilmu mujijat itu diajarkan

"Ayah, pernah juga kupelajari Kiu-im-cin-keng, tetapi kenapa berlainan sekali dengan apa yang kau uraikan ini ?" tanya Nyo Ko kemudian sesudah diulangi dan diapalkan pula pelajaran yang baru diperolehnya.

"Apa ? Pernah kau pelajari ? Ah, bohong, kecuali ajaranku ini, mana ada lagi Kiu-im-cin-keng lain ?" sahut Auwyang Hong membentak.

"Tetapi betul, seperti cara melatih melemaskan otot dan kuatkan tulang, menurut kau, langkah ketiga harus sedot napas dan jalankan darah ke arah atas. Tetapi Suhu sebaliknya bilang napas harus dipusatkan di perut dan darah dilancarkan ke bawah," kata Nyo Ko.

"Mana bisa begitu, salah, salah..." teriak Auwyang Hong sambil geleng kepala, tetapi baru sampai di sini tiba2 ia berhenti ia memikir sejenak, lalu disambungnya lagi: "He, ehm, nanti dulu..."

Habis ini ia coba melakukan apa yang dikatakan Nyo Ko tadi, betul saja seluruh badannya dirasakan sangat nyaman dan segar, ternyata sangat berbeda dengan caranya sendiri.

Sudah tentu tak pernah dia pikir bahwa dahulu dia telah dipermainkan Kwe Cing atas suruhan Ang Chit-kong (salah satu gurunya Kwe Cing) telah menuliskan kitab palsu Kiu-im-cin-keng yang telah diubah sana sini dan diputar-balik tak keruan untuk kemudian baru diserahkan padanya, dengan sendirinya hasil dari apa yang dilatihnya menjadi terjungkir-balik juga dan berlawanan dengan intisari Kiu-im-cin-keng yang asIi.



BegituIah, maka Auwyang Hong menjadi bingung, pikirannya kacau lagi.

"He, kenapa bisa begini ? Ah, mana bisa ? sebenarnya aku yang salah atau dia yang keliru ? Ah, mana bisa, mana bisa jadi begini ?" demikianlah Auwyang Hong mengomel sendiri tiada hentinya.

Nyo Ko menjadi kaget melihat kelakuan orang yang tak beres ini. "Ayah, ayah !" ia coba memanggil beberapa kali, tetapi tiada sahutan yang dia peroleh, Nyo Ko menjadi kuatir penyakit ayah angkatnya ini kumat lagi.

Sedang ia terkejut itu, tiba2 terdengar olehnya suara gemerisik diantara semak2 rumput sana, berbareng itu dilihatnya berkelebatnya bayangan orang, lapat2 diantara semak2 itu tertampak pula sebagian dari ujung jubah imam yang ke-kuning2-an.

Tempat ini sebenarnya sunyi senyap dan terpencil kenapa sekarang bisa didatangi orang luar ? pula kelakuan orang itu celingukan tidak beres, terang tidak mengandung maksud baik Demikianlah Nyo Ko menjadi curiga, maka dengan langkah cepat segera ia memburu ke sana.

Namun dengan cepat orang itu sudah kabur ke jurusan sana, kalau melihat bagian belakangnya, nyata seorang Tojin atau imam.

"Hai, siapa kau ?" segera Nyo Ko membentak. "Hayo, berhenti ! Apa kerjamu disini ?"

Sambil berteriak, dengan Ginkang yang tinggi segera Nyo Ko mengudak.

Dilain pihak demi mendengar suara bentakan Nyo Ko, imam itu semakin percepat larinya, Tetapi mana sanggup dia balapan lari dengan Nyo Ko, hanya sedikit "tancap gas" saja tahu2 Nyo Ko sudah melompat sampai di belakangnya, begitu pundaknya dia cekal dan diputar balik, seketika Nyo Ko menjadi heran, sebab imam ini dapat dikenalnya bukan dari pada In Ci-peng, itu murid Khu Ju-ki dari Coan-cin-kau.

Nyo Ko semakin tak mengerti ketika dilihatnya pakaian In Ci-peng kusut tak teratur, mukanya sebentar merah dan sebentar pucat.

"He, katakan, kerja apa kau di sini ?" Nyo Ko menegur lagi.

In Ci-peng terhitung salah satu jago utama dari anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, ilmu silatnya tinggi, tindak tanduknya biasanya juga cukup gagah, tetapi entah mengapa, kini sama sekali berubah lain, kena di-bentak2 Nyo Ko tadi, kelihatan dia menjadi gugup hingga tak sanggup bicara.

Melihat orang tetap tak menjawab meski beberapa kali ia mengulangi pertanyaannya, keruan Nyo Ko tambah tidak mengerti Tetapi segera teringat olehnya dahulu In Ci-peng pernah menanam budi atas dirinya ketika dia melarikan diri dari Tiong-yang-kiong. Oleh karenanya ia tak tega untuk membentak lebih lanjut lagi.

"Baiklah, kalau tiada apa2, bolehlah kau pergi !" demikian katanya kemudian sambil melepaskan In Ci-peng.

Keruan saja In Ci-peng seperti terlepas dari genggaman elmaut, sambil menoleh beberapa kali memandang Nyo Ko, segera ia lari pergi dengan langkah cepat dan ketakutan seperti orang berdosa.

"Sungguh menggelikan kelakuan imam ini." demikian diam2 Nyo Ko tertawai orang.

Lalu ia menuju ke gubuk mereka, tetapi diantara semak2 di depan gubuk sana tiba2 dilihatnya kedua kaki Siao-liong-Ii melonjor keluar tanpa bergerak sedikitpun, agaknya seperti tertidur nyenyak.

"Kokoh, Kokoh !" Nyo Ko coba memanggil.

Akan tetapi tiada jawaban. ia berjongkok dan menyingkap semak2 yang lebat itu, maka terlihat Siao-liong-li rebah terlentang di tanah, sedang kedua matanya tertutup oleh selapis kain biru.

Rada kaget juga Nyo Ko melihat keadaan sang guru lekas2 ia melepaskan ikatan kain biru dari muka orang, dilihatnya wajah dan sorot mata berlainan sekali dengan biasanya, kedua pipinya pun bersemu merah seperti ke-malu2an.

"Kokoh, siapakah yang ikat kain ini atas dirimu ?" tanya Nyo Ko kemudian.

Namun Siao-liong-li tak menjawab, hanya sorot matanya tertampak mengandung maksud mengomelinya.

Melihat tubuh orang seperti lemas lunglai, agaknya seperti tertutuk jalan darahnya oleh orang, Nyo Ko coba menariknya, betul juga sama sekali Siao-liong-li tak bisa bergerak.

Nyo Ko memang pintar, melihat keadaan orang, segera dapat diterka apa sebab-musababnya, "Tentu dia ditutuk ayah angkatku dengan Tiam-hiat-hoat yang terbalik, kalau tidak, dengan kepandaian Kokoh, Tiam-hiat-hoat yang lebih lihay sekalipun dapat dibukanya sendiri," demikian pikirnya.

Maka dengan cara yang telah dipelajarinya dari Auwyang Hong tadi, lantas Nyo Ko membukakan Hiat-to Siao-liong-li yang tertutuk itu.

Siapa tahu, waktu tertutuk tubuh Siao-liong-li oleh Nyo Ko, toh Siao-liong-li tetap lemah lunglai dan meringkuk di dalam pangkuan Nyo Ko seperti seluruh tubuhnya tidak bertulang lagi.

"Kokoh," kata Nyo Ko dengan suara halus sambil pegang lengan orang, "kelakuan ayah angkatku memang tak genah, maka jangan kau sesalkan dia."

"Kau sendiri yang tak genah, Tak malu, masih kau bilang orang Iain!" sahut Siao-liong-li tiba2 secara samar2 dan menyembunyikan mukanya ke dalam pangkuan pemuda itu.

Melihat kelakuan sang guru semakin aneh dan berbeda sekali dengan se-hari2nya, Nyo Ko mulai bingung.

"Kokoh, ak... aku..." demikian kata2-nya menjadi tak lancar.

"Masih kau panggil aku Kokoh ?" omel Siao-liong-li tiba2 sambil mendongak.

Keruan saja Nyo Ko semakin bingung dan gugup.

"He, tidak panggil kau Kokoh, lalu panggil apa ? Apa panggil Suhu saja ?" sahutnya heran.

"Kau perlakukan aku cara begitu, mana bisa lagi aku menjadi gurumu ?" kata Siao-liong-li dengan senyum malu-malu.

"Aku ? Aku kenapa ?" Nyo Ko tambah tak mengerti.

Tetapi Siao-liong-li tak menjawab lagi, ia gulung lengan bajunya, maka tertampaklah tangannya yang berkulit putih "bersih seperti salju.

"Lihat!" katanya dengan wajah ke-malu2an sambil menunjuk lengannya yang putih mulus itu. Ternyata andeng2 merah "Siu-kiong-seh" yang dahulu terdapat di lengannya itu kini sudah hilang tanpa bekas.

Tetapi Nyo Ko masih bingung, ia cakar2 kuping dan garuk2 kepala.

"Kokoh, apakah artinya ini ?" demikian katanya.

"Dengarkan, tidak boleh lagi kau panggil aku Kokoh," ujar Siao-liong-li setengah mengomel Dan demi dilihatnya wajah Nyo Ko penuh mengunjuk bingung, entah mengapa hati gadis ini tiba2 timbul rasa cinta mesra yang tak terkatakan.

"Ahliwaris Ko-bong-pay kita selamanya turun-temurun adalah gadis yang suci bersih," kemudian dengan suara pelahan Siao-liong-li berkata pula.

"Oleh sebab itu Suhu telah menisik setitik andeng2 merah itu di tanganku, Tetapi semalam... semalam kau perlakukan aku begitu, mana bisa lagi andeng2 merah itu tinggal di atas tanganku ?"

"Aku perlakukan kau apa semalam ?" tanya Hyo Ko rapat dan bingung.

Muka Siao-liong-li menjadi merah jengah.

"Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi," sahutnya kemudian, dan sesudah sejenak pula, dengan pelahan ia berkata lagi: "DahuIu aku takut2 untuk turun gunung, tetapi kini sudah lain, tidak perduli ke mana kau pergi, dengan rela aku akan mengikuti kau."

"Bagus sekali, Kokoh, kalau begitu!" seru Nyo Ko girang

"He, kenapa kau masih memanggil aku Ko-koh ?" tegur Siao-liong-li dengan wajah sungguh2, "Apa kau tidak dengan hati murni terhadap diriku ?"

Karena Nyo Ko tidak menjawab, akhirnya Siao-liong-Ii menjadi tak sabar lagi "Sebenarnya kau anggap diriku ini apamu ?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Kau adalah guruku, kau sayang padaku, aku sudah bersumpah bahwa selama hidupku ini pasti menghormati kau dan suka padamu," demikian dengan sungguh2 dan tulus Nyo Ko menjawab.

"Apa kau tidak anggap aku sebagai isterimu?" teriak Siao-liong-li tak tahan.

Sungguh hal ini belum pernah terlintas dalam pikiran Nyo Ko, kini mendadak ditanya orang, keruan ia kelabakan dan tak mengerti cara bagaimana harus menjawabnya.

"Ti... tidak, tak mungkin kau adalah isteriku, mana aku cakap ?" demikian sahutnya kemudian dengan tak lancar, "Tetapi kau adalah Suhu, adalah Kokoh-ku".



Tidak kepalang gusarnya Siao-liong-li mendengar jawaban ini hingga seluruh tubuhnya gemetar, mendadak darah segar menyembur keluar dari mulutnya.

"Kokoh, Kokoh !" Nyo Ko ber-teriak2 bingung melihat keadaan orang.

Mendengar orang terus-menerus masih panggil demikian padanya, dengan sorot mata yang gemas tiba2 Siao-liong-li angkat telapak tangannya terus hendak digablokkan ke kepala Nyo Ko. Tetapi, pe-lahan2, sorot matanya dari gemas dan menyesal tadi berubah menjadi benci dan dendam, lalu dari benci dan dendam berganti lagi menjadi sayang dan kasihan.

"Baiklah kalau begitu, selanjutnya jangan kau bertemu dengan aku lagi," dengan menghela napas panjang akhirnya ia berkata dengan lirih dan lemah.

Habis berkata, ia kebas lengan bajunya yang panjang terus putar tubuh dan lari pergi dengan cepat turun ke bawah gunung.

"Kokoh, Kokoh! Ke mana kau ? Akut ikut bersama kau !" Nyo Ko ber-teriak2.

"Jika kau ketemu lagi dengan aku, mungkin sulit ku ampuni jiwamu," sahut Siao-liong-li tiba2 sambil menoleh.

Dalam bingungnya Nyo Ko semakin tak tahu apa yang harus dilakukannya. Karena tertegunnya ini, sementara bayangan Siao-liong-li sudah menghilang diantara jalan pegunungan yang menurun itu. Sungguh tidak kepalang berdukanya Nyo Ko hingga dia menangis ter-gerung2.

Sungguh tidak dimengerti olehnya sebab apakah dia membikin gurunya begitu marah hingga kelakuannya begitu aneh. Kenapa sang guru bilang mau jadi isterinya, pula melarang dia memanggil Kokoh lagi padanya ? Semua ini membuatnya bingung.

"Ya, tentu urusan ini ada hubungannya dengan ayah angkatku, pasti dia yang bikin marah Suhu." demikian akhirnya Nyo Ko menarik kesimpulan sesudah berpikir lama.

Lalu ia pergi ke dekat Auwyang Hong lagi, di sana ia lihat orang tua ini sedang berdiri tegak dengan kedua matanya terbelalak tanpa berkedip.

"Ayah, sebab apakah kau membikin marah guruku ?" segera Nyo Ko bertanya.

Akan tetapi Auwyang Hong tidak menjawab, hanya terdengar mulutnya menggumam sendiri: "Kiu-im-cin-keng, Kiu-im-cin-keng !"

"He, kenapa kau tutuk jalan darah guruku hingga bikin dia begitu marah ?" kembali Nyo Ko tanya lagi.

Namun Auwyang Hong tetap tak menjawab, ia berkata seorang diri pula: "Sebenarnya harus dijalankan ke atas atau ditekan ke bawah ?"

"He, ayah," teriak Nyo Ko akhirnya, ia menjadi tak sabar, "aku tanya kau tentang Suhu, katakanlah, apa yang telah kau lakukan terhadap dia?"

"Siapa gurumu ? Siapa aku ? siapakah Auwyang Hong ?" tiba2 Auwyang Hong ber-teriak2 sendiri.

Melihat penyakit gila orang kumat lagi, Nyo Ko jadi kuatir tercampur kasihan.

"Ayah, tentu kau sudah letih, marilah mengaso ke dalam gubuk," ajaknya kemudian.

Tetapi mendadak Auwyang Hong berjumpalitan dan tahu2 tubuhnya sudah menjungkir sambil ber-teriak2 : "Siapakah aku ini ? siapakah aku ini ? Dimanakah Auwyang Hong ?"

Berbareng itu kedua tangannya bergerak tak keruan, tubuhnya yang menjungkir pun berputar cepat, dengan kepala di bawah secepat angin Auwyang Hong ber-lari2 ke bawah gunung.

"Ayah, ayah!" dalam bingungnya Nyo Ko coba menarik orang.

Siapa duga mendadak Auwyang Hong memancal dengan sebelah kakinya dan dengan tepat mengenai rahang Nyo Ko, Depakan ini sedikitpun ternyata tak kenal ampun hingga Nyo Ko tak tahan berdiri tegak lagi, ia jatuh terjengkang.

Ketika dia berdiri lagi, sementara itu Auwyang Hong sudah pergi jauh dan sekejap saja lantas menghilang dari pandangan.

Dengan terkesima Nyo Ko terpaku di tempatnya, entah perasaan apa waktu itu yang dia rasakan. Suasana sekelilingnya se-akan2 sunyi senyap, sayup2 hanya diselingi oleh suara berkicaunya burung.

"Kokoh ! Ayah ! Kokoh ! Ayah !" akhirnya Nyo Ko ber-teriak2 seorang diri.

Sudah tentu tiada sesuatu sahutan dari kedua orang yang dipanggil itu, yang ada hanya suaranya sendiri yang berkumandang balik dari lembah pegunungan yang luas itu.

Dalam keadaan demikian Nyo Ko menjadi putus asa, perasaannya se-akan2 hancur. Maklumlah, selama beberapa tahun ini boleh dikatakan tak pernah dia berpisah dengan Siao-liong-li, hubungan mereka begitu rapat bagai ibu dan anak, kini mendadak tanpa diketahui apa sebabnya orang pergi begitu saja, sudah tentu tidak keruan rasa hatinya.

Dalam putus asanya itu dan memang perasaan halus Nyo Ko lain dari pada orang biasa, maka hampiri saja dia mau bunuh diri. Syukur dia masih bisa berpikir panjang, lapat2 timbul semacam harapan bahwa gurunya yang pergi mendadak itu mungkin akan kembali juga secara mendadak.

Meski Kokoh dibikin marah ayah angkatnya, namun dirinya toh tiada berbuat sesuatu kesalahan, tentu sang guru akan kembali lagi mencari padanya, begitulah dia pikir.

Tentu saja malam itu ia lewatkan sendirian dengan tak bisa tidur, beberapa kali, asal terdengar sesuatu suara gemerisik, segera ia melompat bangun menyangka Siao-liong-li yang kembali, ia berteriak dan me-manggil2 dan berlari keluar, namun setiap kali selalu ia kecewa dan cemas.

Begitulah dia sibuk semalam suntuk merindukan Siao-liong-li sampai fajar menyingsing.

"Jika Suhu tidak mau kembali, biarlah aku yang pergi mencari dia," tiba2 terpikir olehnya, "Asal bisa ketemukan dia, tidak peduli bagaimana dia akan menghajar atau mendamperat aku, yang pasti aku tak akan berpisah lagi dengan dia."

Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ketabahannya banyak bertambah. Segera ia bebenah seperlunya, ia bugkus pakaian sendiri dan milik Siao-liong-li kedalam sepotong kain, ia gendong di punggungnya lalu dengan langkah lebar ia turun ke bawah gunung.

Sepanjang jalan ia coba menanya penduduk di tepi jalan apakah ada melihat seorang nona putih yang cantik lewat di situ, Tetapi beruntun ia tanya beberapa orang, semuanya hanya goyang kepala menyatakan tak tahu.

Karena itu, akhirnya Nyo Ko menjadi gopoh, dengan sendirinya cara bertanya kemudian menjadi kurang sopan, Dan para penduduk yang ditanya itu sebaliknya mendongkol juga melihat pemuda seperti Nyo Ko ini selalu mencari tahu tentang nona cantik segala, dengan sendirinya lalu ada orang yang ingin tahu untuk apa dia cari dan siapa nona ayu itu, pernah apakah dengan dia.

Sebaliknya Nyo Ko jadi marah2 oleh pertanyaan kembali itu. "ltu kau tak perlu urus, aku hanya ingin tahu kau melihat dia lewat di sini tidak ?" demikian dalam gusarnya Nyo Ko tak sadar kata2nya ini halus atau tidak."

Sedang orang yang ditanya tentu saja marah juga melihat sikap Nyo Ko ini, syukur setelah terjadi ribut2, dari samping seorang tua telah memisah, lalu orang tua ini menunjuk ke satu jalanan kecil di jurusan timur dan berkata pada Nyo Ko:

"Semalam aku melihat satu gadis secantik bidadari menuju ke arah timur, tadinya aku menyangka dia itu Koan-im-po-sat (Budha Satwa) yang menjelma, siapa tahu dia kenalan baik saudara..."

Mendengar kabar ini, tidak menanti orang selesai bicara, Iekas2 Nyo Ko menghaturkan terimakasih terus memburu ke jalan kecil menurut arah yang ditunjuk itu.

Tetapi begitu ia mungkur, orang banyak tertawa ramai, Kiranya karena kelakuan Nyo Ko yang tak punya sopan santun, maka orang tua tadi sengaja mempermainkan dia.

Namun Nyo Ko sama sekali tak tahu kalau dirinya telah didustai orang, ia masih memburu ke jurusan itu dengan cepat, Lewat tak lama, tiba2 didepan terdapat simpang jalan tiga jurusan, ia menjadi bingung ke arah mana harus dia tempuh.

"Biasanya Kokoh tak suka tempat ramai, tentu dia pilih jalanan kecil yang sepi," demikian Nyo Ko pikir sendiri, Habis ini lantas dipilihnya jalanan kecil yang membelok ke kiri.

Siapa duga jalanan kecil ini makin Iama makin lebar dan sesudah menikung beberapa kali, akhirnya malah menembus satu jalan raya.

Waktu itu hari sudah magrib, Nyo Ko sendiri sudah sehari semalam tak makan tak minum, perutnya sudah keruyukan, dilihatnya di depan sana rumah ber-deret2 dan gedung ber-jajar2, nyata ada satu kota yang cukup ramai.



Cepat Nyo Ko menuju ke kota dan masuk sebuah hotel (pada umumnya hotel merangkap restoran), lalu ia menggembor minta disediakan daharan.

Tak lama pelayan sudah antar santapan sederhana ke hadapan Nyo Ko, tetapi baru beberapa kali sumpitan saja anak muda ini tak punya napsu maka lagi, karena merasa kesal, tenggorokannya penjadi seret dan tak bisa menelan.

"Meski hari sudah mulai gelap, tapi lebih baik lekas aku pergi mencari Kokoh saja, bila malam ini dibiarkan lewat, untuk selanjutnya mungkin sukar bertemu lagi," demikian pikir Nyo Ko. Oleh karenanya segera ia taruh mangkok nasinya dan memanggil pelayan."


"Aku ingin tanya kau, pelayan," kata anak muda ini sesudah petugas itu datang.

"Boleh saja, tuan, katakanlah ! Apakah karena santapan ini tidak cocok dengan lidah tuan, biarlah hamba membuatkan yang lain, tuan suka masakan apakah ?" demikian sahut si pelayan mencerocos.

"Tidak, aku tidak maksudkan makanan," kata Nyo Ko sambil goyang2 tangannya "Tetapi aku ingin tanya, apakah kau melihat seorang gadis jelita berbaju putih lewat di sini ?"

"Baju putih ?" si pelayan menggumam sendiri "He, apakah nona itu sedang berkabung ? Ada keluarganya yang meninggal bukan ?"

Begitulah si pelayan mencerocos tak keruan dari menyimpang dari pertanyaan orang, Keruan Nyo Ko sangat mendongkol.

"Aku hanya tanya kau, lihat atau tidak ?" mengulanginya lagi.

"Wanita sih memang ada, juga orang pakai baju putih"

"Dan menuju ke arah mana ?" tanya Nyo Ko cepat dan girang.

"Tetapi sudah hampir setengah hari dia lewat tadi!" sahut pelayan itu. Habis ini tiba2 ia pelahankan suaranya seperti kuatir didengar orang, lalu menyambung lagi: "Adalah lebih baik jangan pergi mencari dia !"

Merasa mendapatkan jejak Kokoh yang dicari, dalam girangnya Nyo Ko terkejut pula mendengar perkataan orang itu, "Se... sebab apa ?" tanyanya dengan suara rada gemetar

"Coba aku tanya dahulu, tuan tahu bahwa wanita itu pandai silat ?" tiba2 pelayan itu menanya.

"Kenapa aku tak tahu ?" demikian Nyo Ko membatin, Maka dengan cepat ia menjawab : "Su-dah tentu tahu, dia memang pandai silat."

"Nah, kalau begitu untuk apa kau mencari dia ? Bukankah sangat berbahaya ?" kata si pelayan pula.

"Sebab apakah sebenarnya ?" Nyo Ko menjadi bingung.

"Coba terangkan dulu, pernah apakah gadis baju putih itu dengan tuan ?" tanya si pelayan.

Nyo Ko mengerti kalau tidak sekadar menerangkan, agaknya orang tak mau ceritakan ke mana perginya Siao-liong-li, maka terpaksa ia menjawab: "Dia adalah Enci-ku, aku sedang cari dia."

Mendengar jawaban ini, seketika pelayan itu berubah sangat hormat pada Nyo Ko, Tetapi hanya sekejap saja, sebab segera si pelayan geleng2 kepala "Tidak, tidak sama !" katanya tiba2.

Bukan main mendongkolnya Nyo Ko oleh kelakuan si pelayan, saking gopohnya sekali jamberet dia cengkeram baju orang.

"Sebenarnya kau mau katakan tidak ?" bentaknya gusar.

Melihat Nyo Ko naik darah, mendadak si pelayan me-lelet2 Iidahnya.

"Persis, persis ! Kalau begini baru sama !" demikian katanya.

"Kurangajar, apa2an ini sebentar sama sebentar tidak sama, apa maksudmu ?" damperat Nyo Ko.

"Le lepaskan dahulu, siauya (tuan mu-da), leherku tercekik.,.he he... aku tak bisa buka suara," sahut si pelayan dengan suara ter-putus2.

Melihat rupa orang dasarnya memang ceriwis, percuma saja meski pakai kekerasan, maka Nyo Ko lantas lepaskan tangannya.

"Siauya," tutur si pelayan kemudian sesudah berdehem beberapa kali, "aku bilang tidak sama, soalnya karena perempuan... eh, Enci-mu itu, tampaknya lebih cakap dan lebih muda daripada kau, pantasnya dia mirip adikmu dan bukan kakak. Aku bilang sama, sebab kalian berdua sama2 berwatak keras, sama2 bertabiat suka angkat senjata dan main kepalan."

Nyo Ko tertawa oleh cerita itu.

"Apakah Enci-ku telah berkelahi dengan orang ?" tanyanya kemudian.

"Betapa tidak ?" sahut pelayan itu, "Tidak hanya berkelahi, bahkan telah melukai orang. Coba lihat itu !" - Berbareng ia menunjuk beberapa bekas bacokan senjata tajam di bawah meja, lalu dengan muka ber-seri2 ia sambung pula : "Walau kejadian tadi itu sunguh berbahaya, memang kepandaian Enci-mu sangat hebat, hanya sekali ta-bas saja sebelah kuping Toya (tuan imam) itu lantas kena di-irisnya."

"Apa katamu ? Toya apa ?" tanya Nyo Ko terkejut.

"Ya, dia itu..." baru berkata sampai disini, se-konyong2 muka si pelayan berubah hebat, seketika ia mengkeret terus mengeluyur pergi.

Nyo Ko memang luar biasa cerdiknya, melihat kelakuan si pelayan tadi, ia tak menegur juga tak menyusulnya, sebaliknya ia angkat mangkok nasi-nya tadi terus menyumpit daharannya lagi, Pada saat lain, terlihatlah olehnya ada dua Tojin muda masuk ke dalam hotel.

Usia kedua imam ini kira 26-27 tahun saja, jubah pertapaan mereka bersih dan rajin sekali, mereka ambil tempat duduk pada meja disamping Nyo Ko. Lalu imam yang beralis tebal panjang tiada hentinya berteriak2 mendesak diantari arak dan daharan.

Dengan muka ber-seri si pelayan lekas2 meladeni kedua tetamunya itu, pada suatu kesempatan ia mengedipi matanya pada Nyo Ko sambil mulutnya merot2 ke jurusan kedua imam itu.

Nyo Ko pura2 tidak tahu, ia masih terus menyumpit santapannya dengan asyik, Kini dia betul2 merasa lapar, apalagi kabar Siao-liong-Ii sudah diperoleh, hatinya menjadi lega dan gembira, maka tanpa terasa beberapa kali isi mangkoknya telah ditambah dan dilangsir ke dalam perutnya.

Baiknya pakaian Nyo Ko memang sederhana, apalagi sudah sehari semalam ia susul Siao-liong-li hingga seluruh badannya penuh debu dan mukanya kotor, oleh sebab itu kedua imam tadi sama sekali tidak perhatikan padanya melainkan asyik ber-cakap2 sendiri dengan suara pelahan.

Sebaliknya Nyo Ko semakin pura2, ia kecap2 mulutnya dan mainkan lidahnya, dia sengaja makan begitu rupa hingga mengeluarkan suara keras, habis itu ia angkat semangkok wedang panas dan diseruput dengan bernapsu, akan tetapi telinganya justru dia pasang, untuk mendengarkan apa yang sedang dipercakapkan kedua Tojin atau imam itu.

"Bi-sute, menurut pendapatmu, malam ini Han-cecu dan Tan-lokunsu bakal datang tidak ?" demikian ia dengar imam yang beralis tebal tadi sedang berkata.

Imam satunya lagi bermulut Iebar, suaranya kasar serak dan terdengar dia menjawab: "Kedua orang ini adalah laki2 gagah perkasa yang bersahabat kental dengan Thio-susiok, kalau Thio-susiok sudah mengundangnya, tidak boleh tidak mereka pasti akan datang."

Nyo Ko terkesiap hatinya demi mendengar orang menyinggung nama "Thio-susiok". pikirnya dalam hati: "Jangan2 Thio-susiok yang mereka maksudkan adalah guruku yang dahulu, Thio Ci-keng ?"

Ia jadi curiga kenapa kedua imam ini belum pernah dilihatnya di Tiong-yang-kiong, ketika ia melirik dan mengamat-amati orang, ternyata tiada yang dia kenal.

"Boleh jadi karena jauhnya perjalanan, dia tak keburu datang" demikian imam alis tebal tadi berkata lagi.

"He, Ki-suheng, kau ini memang suka takut ini dan kuatir itu," demikian sahut imam she Bi tadi, "Hanya seorang perempuan saja, berapa besarkah kemampuannya."

"Ya, sudahlah, marilah minum, jangan dibicarakan lagi," begitulah imam she Ki memotong.

Kemudian ia memanggil pelayan hotel dan minta disediakan satu kamar kelas satu, nyata mereka juga bermalam disini.

Sementara itu Nyo Ko sedang memikirkan isi percakapan kedua imam tadi, ia dapat meraba tentu orang bermaksud cari setori pada Suhu-nya, mungkin disebabkan ada kawan kecundang, maka "Thio-susiok" tampil kemuka untuk mengundang seseorang she Han dan seorang she Tan sebagai bala bantuan, kalau terus kintil kedua imam ini, tentunya akan bisa bertemu dengan Suhu.

Berpikir akan ini, hati Nyo Ko menjadi gembira sekali, Sudah jelas kedua imam ini adalah musuh gurunya, tapi dengan petunjuk mereka nanti akan ketemukan sang guru, maka terhadap mereka ternyata tiada timbul perasaan benci, ia tunggu sesudah kedua imam itu masuk kamar mereka, kemudian ia sendiripun minta disediakan sebuah kamar di sebelah kamar imam2 itu.



"Siauya, baiklah kau hati2 sedikit, Enci-mu telah iris kuping seorang Toya, tentu mereka akan menuntut balas," demikian si pelayan membisiki Nyo Ko ketika datang ke kamarnya membawakan lampu.

"Sungguh aku tidak mengerti, Enci-ku biasanya sangat sabar, kenapa mendadak dia bisa me-ngiris kuping orang ?" kata Nyo Ko dengan suara lirih.

"Terhadap kau tentu saja baik, tetapi terhadap orang lain mungkin tidak menjadi baik," kata si pelayan pula dengan suara yang di-bikin2 "Enci-mu tadi sedang bersantap disini dan Toya yang sial itu duduk di sebelahnya, hanya disebabkan Toya itu melirik beberapa kali pada kaki Enci-mu, siapa tahu Enci-mu lantas naik darah terus lolos senjata dan melabrak orang."

BegituIah si pelayan mencerocos terus, dan masih hendak dilanjutkannya, namun Nyo Ko sudah mendengar lampu di kamar sebelah telah disirapkan, maka cepat ia memberi tanda agar si pelayan tak perlu cerita lagi.

"Kurangajar, tentu imam busuk itu terus-menerus mengincar Kokoh karena kecantikannya hingga akhirnya Kokoh menjadi marah," demikian Nyo Ko menggerutu sendiri setelah pelayan itu pergi.

Habis ini segera iapun padamkan lampunya, malam ini ia memang tidak ingin tidur lagi, ia hanya duduk sambil pasang kuping untuk mengikuti sesuatu gerak-gerik di kamar sebelah.

BegituIah Nyo Ko berjaga sampai tengah malam, tiba2 didengarnya pelataran luar bersuara keresek dua kali, menyusul seperti ada orang melompat masuk ke bagian dalam melintasi pagar tembok. Habis itu jendela kamar sebelah terdengar dibuka dan imam yang she Ki itu membuka suara : "Apakah Han dan Tan berdua ?"

"Ya," terdengar suara sahutan seorang yang berada di pelataran sana.

"Silakan masuklah!" demikian kata imam she Ki lagi.

Menyusul itu pintu kamar pelahan dibuka, lampu telah dinyalakan juga.

Tentu saja Nyo Ko sangat tertarik, ia kumpulkan seluruh perhatiannya untuk mendengarkan percakapan mereka berempat itu.

"Tecu Ki Jing-hi dan Bi Jing-hian memberi hormat pada Han-cecu dan Tan-lokunso," terdengar imam she Ki bersuara pula.

Mendengar nama kedua imam itu, diam2 Nyo Ko membatin: "Ternyata mereka bukan orang dari Tiong-yang-kiong, tetapi nama mereka memakai urut2an Jing, mereka terhitung juga orang dari Coan-cin-pay."

"Begitu kami terima undangan Thio-susiok kalian, segera kami memburu kesini," terdengar suara sahutan yang tajam "Apakah betul perempuan hina itu sangat sulit dilawan ?"

"Sungguh memalukan untuk diceritakan," demikian kata Ki Jing-si lagi, "Dari golongan kami sudah ada dua anak murid yang ber-turut2 dilukai perempuan hina-dina itu."

"Sebenarnya dari aliran manakah ilmu silat perempuan itu ?" tanya orang yang bersuara tajam tadi.

"Thio-susiok bilang dia adalah ahli waris dari Ko-bong-pay, oleh sebab itu, meski usianya masih muda, namun kepandaiannya sesungguhnya sangat hebat," sahut Ki Jing-si.

Diam2 Nyo Ko menjengek demi mendengar orang sebut "Ko-bong-pay."

"Ko-bong-pay apakah ?" rupanya orang yang bersuara tajam itu tak mengerti.

"Menurut Thio-susiok, orang dari golongan mereka itu selamanya jarang sekali berkecimpung di kalangan Kangouw, sebab itu nama mereka tidak terkenal dalam Bu-lim, pantas kalau Han-cecu tidak kenal," demikian sahut Ki Jing-si.

"O, kalau begitu, agaknya tiada perlu dipandang berat," kata orang yang dipanggil Han-cecu itu. "Dan di mana besok harus bertemu ? Pihak lawan mendatangkan berapa orang ?"

"Thio-susiok telah janji dengan wanita itu untuk bertemu besok lohor di lembah Cay-long-kok yang 40 li jauhnya dari sini ke jurusan barat, di sana kedua pihak akan menentukan siapa yang unggul dan siapa yang asor," Ki Jing-si menjelaskan.

"Soal pihak lawan ada berapa orang, itulah aku tidak tahu. Tetapi kalau sudah ada Han-cecu dan Tan-lokunsu yang membantu kami, tak perlu lagi kita takut meski mereka berkawan banyak."

Lalu terdengar suara seorang tua berkata : "Baiklah kalau begitu, kami pasti datang tepat besok lohor, Marilah, Han-laute, kita pergi."

Lalu Ki Jing-si mengantar tetamunya keluar kamar, sampai di depan pintu, dengan suara bisik2 terdengar ia pesan orang: "Tidak jauh ke Tiong-yang-kiong, urusan kita akan bertanding dengan orang se-kali2 jangan sampai diketahui Ma, Khu dan Ong (maksudnya Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it), kalau sampai konangan, pasti kita akan didamperat habis2an."

Han-cecu bergelak ketawa oleh pesan itu. "Kalian takut pada Ma Giok dan Khu Ju-ki imam2 tua itu, kami sebaliknya tidak berada dibawah perintahnya," demikian katanya.

"Sudahlah, jangan kau kuatir," demikian Tan-lokunsu menjelak, "pasti kami tidak membocorkan rahasia ini."

Mendengar percakapan terakhir mereka ini, diam2 Nyo Ko membatin, kiranya mereka hendak keroyok Kokoh dan para imam tua sebangsa Ma Giok itu tiada yang mengetahui. Meski Nyo Ko tidak berkesan baik pada Coan-cin-kau, tetapi bila mengingat Ma Giok dan Khu Ju-ki toh tidak jelek juga terhadap dirinya, karenanya terhadap kedua imam tua itu dia tidak dendam, hanya kepada Hek Tay-thong yang membinasakan Sun-popoh itulah dia telah ambil keputusan kelak pasti akan menuntut balas.

Dalam pada itu keempat orang yang diluar itu sesudah berunding dengan suara pelahan lagi, kemudian Han-cecu dan Tan-lokunsu pergi dengan melompati pagar tembok lagi, Ki Jing-si dan Bi Jing-hian mengantar juga keluar, keadaan menjadi sepi.

Tiba2 pikiran Nyo Ko tergerak, segera ia buka pintu pelahan, dengan cepat ia menyelinap masuk kamar kedua imam di sebelah itu,

Ia lihat di atas pembaringan kamar itu terletak dua buntalan, ia ambil satu bungkusan itu dan merogoh isinya, kiranya di dalam ada uang perak sekira 20 tahil.

"Ha, kebetulan, memangnya aku lagi kekurangan duit," demikian pikir Nyo Ko, Lalu ia pin-dahkan uang perak itu kedalam sakunya sendiri.

Ia lihat lain bungkusan rada panjang, kiranya berisi dua batang pedang, sengaja Nyo Ko lolos pedang itu satu per satu dan dengan tekanan tenaga berat ia patahkan garan pedang lalu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya dan dibungkus lagi dengan rapi.

Selagi ia hendak keluar kembali, tiba2 pikirannya tergerak pula, ia lepas kolor dan buka celana terus kencingi kasur di kolong selimut kedua imam itu hingga basah kuyup.

Sementara itu ia dengar di luar ada suara orang melompati pagar, ia tahu tentu kedua imam itu telah kembali, dapat diketahuinya pula bahwa ilmu entengkan tubuh kedua imam itu ternyata biasa saja, sebab tak mampu sekali lompat melintasi pagar tembok, melainkan harus tancapkan kaki dahulu di atas pagar untuk kemudian baru loncat turun.

Lekas2 Nyo Ko menyelusup kembali ke kamarnya sendiri, ia tutup pintu kamarnya dengan pelahan, nyata sama sekali kedua imam itu tak merasa bahwa mereka sedang diincar orang, sesudah di kamarnya sendiri, Nyo Ko pasang kuping ke dinding kamar untuk mendengarkan gerak-gerik dan suara2 apa yang bakal terjadi di kamar sebelah.

Ia dengar kedua imam itu masih berembuk dengan suara rendah, agaknya mereka cukup yakin bakal menang akan pertarungan besok, maka sembari bicara merekapun buka baju dan naik pembaringan untuk tidur.

Tetapi baru saja Bi Jing-hian memasukkan kakinya ke dalam selimut, mendadak ia berteriak: "He, apa ini basah2 becek di dalam selimut ? Ai, baunya! He, Ki-suheng, sudah tua, kenapa kau masih ngompol ?"

"Apa? Ngompol?" sahut Ki Jing-si bingung, Tetapi segera pula ia sendiri ikut berteriak: "He, ya, darimanakah kucing keparat yang kencing di sini ?"

"Kencing kucing mana bisa begini banyak," ujar Bi Jing-hian.

"Ya, memang aneh," kata Ki Jing-sin habis ini tibal ia berteriak pula : "He, dimanakah uang perak kita ?"

BegituIah seluruh kamar menjadi geger dan kacau-balau, kedua imam ini sibuk mencari uang perak mereka, Sudah tentu mereka tidak bakal menemukannya.

Diam2 Nyo Ko sangat senang dan merasa geli, sementara itu ia dengar Bi Jing-hian sedang ber-teriak2 lagi. "He, pelayan, pelayan ! Apakah hotelmu ini hotel perampok, mengapa tengah malam buta mencuri uang tamu ?"

Karena suara ribut2 ini, pelayan hotel datang menanyakan sambil masih kucek2 matanya yang sepat.

Tak terduga segera Bi Jing-hian pegang baju dada si pelayan dan menuduh hotel ini adalah hotel perampok, kenapa malam2 gasak uang tetamu.

Tentu saja si pelayan tak mau terima tuduhan itu, terdengar dia berteriak penasaran, dengan sendirinya pegawai hotel lainnya dimulai dari tukang api sampai pada kuasa hotel lantas terjaga semua dari tidur mereka dan merubung datang, menyusul pula para tetamu lainpun be-runtun2 ikut terbangun dan be-ramai2 datang menonton keributan itu. Dan diantara mereka terdapat pula si nakal, Nyo Ko.

Begitulah dengan menahan perasaan geli Nyo Ko melihat pelayan hotel itu sedang "main pidato", dasar pelayan ini memang ceriwis pula pandai bicara, maka Bi Jing-hian dan Ki Jing-si berdua telah terdesak oleh debatannya hingga tak sanggup berkata lagi.

Dari malu Bi Jing-hian menjadi gusar, begitu ayun tangannya, kontan ia persen si pelayan dengan sekali tamparan. Keruan pelayan itu menjadi kalap tanpa pikir lagi ia menubruk maju hendak adu jiwa. Namun sebelum dia datang dekat, menyusul kaki Bi Jing-hian sudah melayang, ia tambahi si pelayan dengan sekali tendangan hingga pelayan itu terjungkal.

Melihat imam ini tanpa sebab memukul orang, keruan pegawai2 hotel lainnya sama solider, mereka berteriak dan be-ramai2 merangsang maju hendak mengeroyok.

Sudah tentu beberapa orang yang tak masuk hitungan ini se-kali2 bukan tandingan kedua imam itu, hanya sekejap saja, baik kuasa hotel, tukang api dan Iain2nya telah mendapat hajaran malah.

Senang sekali Nyo Ko menyaksikan peristiwa hasil perbuatannya itu, dengan geli ia kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur lagi, ia tidak pusingkan apa yang terjadi lebih lanjut dari lelakon di luar itu.

Besoknya, selagi Nyo Ko sarapan pagi, dilihatnya si pelayan yang ceriwis itu sedang mendatangi dan menyapa padanya, mukanya tampak babak-belur dan hidung bengkak, meski demikian toh pelayan ini masih tiada hentinya mencaci maki tentang kejadian semalam.

"Mana kedua imam bangsat itu ?" dengan tertawa Nyo Ko coba bertanya.

"Hm, memang imam bangsat keparat, sudah pukul orang, masih gegares percuma dan tinggal gratis, habis itu lantas angkat kaki," demikian kata si pelayan dengan marah2. "Hm, hari ini pasti akan kulaporkan ke Tiong-yang-kiong, biasanya imam2 di Cong-lam-san ini semuanya sopan-santun, entah darimana mendadak bisa muncul imam bangsat liar seperti mereka ini."

Nyo Ko tidak ketarik lagi oleh obrolan orang, segera ia bereskan rekening hotel dan menanya jalan yang menuju ke Cay-long-kok atau lembah srigala, kesanalah dia lantas pergi.

Tidak antara lama Nyo Ko sudah menempuh perjalanan sejauh dua puluhan li, Cay-long-kok atau "lembah srigala" itu sudah tidak jauh lagi di depan, cuaca waktu itu agaknya masih pagi, maka keadaan sepi-sepi saja.

"Biarlah aku sembunyi dahulu dan menyaksikan cara bagaimana Kokoh bereskan kawanan pengganas itu, paling baik kalau Kokoh seketika tak bisa mengenali aku," demikian diam2 Nyo Ko berpikir.

Segera pula teringat olehnya tempo hari pernah menyamar sebagai anak gunung dan telah berhasil mengingusi Ang Ling-po, teringat akan ini hati Nyo Ko menjadi geli, ia ambil keputusan hendak meniru cara itu sekali lagi, segera dia mendatangi satu rumah petani, ia longak-longok ke sana ke sini, tiada seorang pun yang dia lihat, di kandang hewan di belakang rumah itu ia lihat ada seekor sapi jantan yang besar yang rupanya sedang mengamuk, binatang ini sedang tunduk kepala dan gunakan tanduknya untuk menyongkel dan menumbuk pagar kayu yang melingkarinya, begitu keras tumbukannya hingga terdengar suara gedubrakan yang tiada henti2nya.

Nampak adanya sapi jantan besar ini, tiba2 Nyo Ko mendapatkan satu pikiran. "He, kenapa aku tidak menyamar sebagai penggembala sapi saja, biar Kokoh melihat diriku juga pasti tak kenal aku lagi." demikian keputusannya.

Begitulah diam2 Nyo Ko lantas melompat masuk ke dalam rumah, ia cari barang lain yang sekiranya cocok baginya, akhirnya dapatlah dia ambil sepasang baju petani yang sudah robek, ia ganti pakai sepatu rumput pula dan poles mukanya dengan lumpur agar kelihatan kotor dan lebih mirip bocah angon, habis ini ia mendekati kandang sapi tadi.

Di dinding kandang dapat dilihatnya pula tergantung sebuah caping dan sebatang suling, kedua ini memang barang yang biasa suka dipakai oleh anak gembala. Keruan Nyo Ko sangat girang, ia pikir penyamarannya sekali ini pasti akan menjadi mirip sangat Karena itu tanpa pikir lagi ia pakai caping yang diketemukannya itu, ia ambil seutas tali rumput pula dan dipakai sebagai ikat pinggang, lalu suling bambu itu ia selipkan di pinggangnya dan kemudian dia membuka pintu kandang sapi.

Sementara itu sapi jantan raksasa itu sedang mengamuk, binatang ini jadi lebih beringas lagi ketika melihat ada orang membuka pintu kandang, tanpa ayal lagi segera ia pentang kaki terus menerjang keluar hendak menyeruduk Nyo Ko.

Namun Nyo Ko sudah siap sedia, dengan telapak tangan kiri ia tahan kepala sapi jantan (atau banteng) itu, di lain saat ia sudah meloncat ke atas punggung binatang itu.

Sapi ini ternyata sangat tinggi dan besar, bulunya panjang dan tanduknya lancip tajam, tampaknya sangat perkasa sekali, maka dengan sekali terjang sekejap saja sudah menyelonong sampai di jalan besar dengan Nyo Ko masih menunggang di atas punggungnya.

Rupanya sapi jantan ini sedang birahi, maka wataknya menjadi beringas luar biasa, tiada hentinya ia me-loncat2 dan ber-jingkrak2 dengan maksud hendak banting Nyo Ko ke bawah. Akan tetapi mana begitu gampang Nyo Ko bisa dibikin terperosot dari tempatnya, bahkan ia menjadi senang oleh kelakuan si binatang.

"Ha, rupanya kau minta digebuk," dengan tertawa Nyo Ko membentak. Habis ini ia angkat telapak tangan dan dengan pinggiran telapak tangan ia hantam pundak sapi itu dengan pelahan.

Kalaupun pukulan ini hanya memakan sedikit tenaga saja, namun bagi sapi itu sudah tak tertahan rasa sakitnya, keempat kakinya seketika lemas dan hampiri mendoprok tekuk lutut, tentu saja binatang ini tak mau menyerah begitu saja, masih melompat dan hendak mengamuk lagi, tak terduga kembali Nyo Ko beri persen sekali potong lagi dengan telapak tangan.

Dan begitulah seterusnya, sesudah merasakan belasan kali gebukan seperti itu, akhirnya sapi jantan itu menjadi kapok dan tak berani ngotot lagi.

Kemudian Nyo Ko mencoba jojoh kiri leher binatang itu dengan jari tangannya, segera sapi itu membelok ke kanan dan bila menjojoh sebelah kanan lantas dia menikung ke kiri, kalau diketok pantatnya, segera ia lari ke depan, dan jika digebuk depan pundaknya, sapi ini lantas mundur ke belakang, nyata binatang yang tadinya liar itu kini sudah menjadi jinak dan dapat dikendalikan menurut keinginannya.

Bukan maki girang Nyo Ko, dengan keras ia tepuk pantat sapi itu, maka larilah binatang itu ke depan seperti kesetanan, begitu cepat larinya hingga boleh dikatakan tidak kalah dengan kuda pacuan yang paling bagus. Maka sebentar saja sesudah menyusuri sebuah rimba lebat, sampailah Nyo Ko di suatu lembah gunung yang sekitarnya dilingkungi oleh bukit2 yang menghijau permai.

Melihat keindahan alam tempat ini, diami Nyo Ko heran kenapa lembah sebagus ini diberi nama "lembah srigala" yang sama sekali tidak tepat dengan keadaannya. Kemudiari iapun giring sapi jantan tadi ke lereng bukit yang terdekat biar makan rumput sendiri Nyo Ko sengaja pura2 tidur dengan merebah di tanah rumput dengan hati ber-debar2 ia menantikan ketika sang surya sudah menggeser sampai di tengah langit, tetapi keadaan masih tenang dan sepi nyenyak, hanya kadang2 terdengar suara menguaknya sapi jantan itu.

Tengah Nyo Ko bertambah gelisah mendadak didengarnya di mulut lembah sana sayup2 berkumandang beberapa kali suara tepukan tangan, menyusul di belakang bukit sebelah selatan pun membalas beberapa kali. Maka tahulah Nyo Ko sudah tiba waktunya, ia tetap rebah di tanah rumput yang miring itu, sebelah kakinya sengaja dia tumpangkan keatas kaki yang lain, capingnya untuk tutupi kaki yang menumpang dan sebagian mukanya, maka yang kelihatan hanya kaki kanan saja yang menjulur lurus.

Selang tak lama, tertampaklah dari mulut lembah sana mendatangi tiga orang Tojin, Dua diantaranya ternyata sudah Nyo Ko kenal di hotel semalam, yakni Ki Jing-si dan Bi Jing-hian, sedang seorang lagi berumur sekira setengah abad, perawakannya pendek buntek, agaknya ialah apa yang mereka sebut sebagai "Thio-susiok" itu.

Melihat "Thio-susiok" yang dimaksudkan orang bukan Thio Ci-keng yang diduga semula, dalam hatinya timbul semacam perasaan aneh, entah rasa kecewa atau rasa syukur karena orang itu lain guru silat tua she Tan.

Habis ketiga imam ini, lalu dari lereng bukit sana muncul lagi dua orang, yang satu berperawakan kekar, agaknya dia inilah Han-cecu, Dan yang lain bersilat tua she Tan.

Meski kelima orang ini sudah datang dekat dan sudah berhadapan pula, namun mereka hanyasaling kiongchiu (merangkap kedua tangan saling memberi hormat), tiada satupun yang buka suara, hanya terus berbaris sejajar dan menghadap ke barat.



Ketika selintas Thio-susiok mendongak memandang matahari hingga sinar terang menyorot mukanya, dari samping Nyo Ko dapat melihatnya lebih jelas, ternyata imam tua ini bermuka kuning, sikapnya tenang sekali dan ber-sungguh2, sedikitpun tidak punya perasaan memandang enteng bakal lawannya nanti.

Pada saat itulah, dari mulut lembah sana pula sayup2 terdengar suara menderapnya kaki binatang yang makin mendekat, ketika kemudian sesosok bayangan putih berkelebat maka tertampaklah seekor keledai hitam dengan membawa seorang gadis berbaju putih sedang mendatangi dengan cepat.

"Ah, dia bukan Kokoh !" hati Nyo Ko seketika lemas demi melihat siapa yang mendatangi ini. "Apakah dia ini juga bala bantuan mereka ?" demikian ia pikir dan berharap demikian pula.

Sementara gadis berbaju putih tadi dengan cepat sudah makin mendekat, sesudah berjarak antara 78 tombak dari kelima orang yang duluan tadi, tiba2 ia tahan keledainya, dengan sorot mata yang dingin tetapi tajam ia pandang sekejap pada mereka, dari muka si gadis nyata tertampak sikap yang memandang hina dan seperti hakikat-nya tiada harganya mengajak bicara mereka.

Rupanya Ki Jing-si sudah tak sabar, segera ia berteriak : "Orang she Liok, nyata kau cukup tabah untuk memenuhi janji ini, maka boleh sekalian kau suruh keluar saja semua pembantumu !"

Namun gadis itu tidak menjawab, ia hanya menjengek sekali dengan tertawa dingin, Berbareng itu, "sret", entah darimana datangnya, tahu2 ia telah lolos keluar sebilah golok melengkung yang kecil dan tipis laksana bulan sabit dengan memancarkan sinar putih ke-hijau2an dan menyilaukan mata.

"lni, kami seluruhnya ada lima orang, dan pembantumu ada berapa dan kapan datangnya, kami tak sabar lagi buat tunggu lebih lama," demikian kata Ki Jing-sj pula memandang.

"lnilah pembantuku yang utama !" sahut gadis itu tiba2 sambil mengayun golok tipisnya tadi.

Begitu tipis dan agaknya saking tajamnya hingga begitu golok diputar, seketika udara di atas kepala gadis itu seperti digenangi oleh lingkaran sinar putih dan mengeluarkan suara mendenging yang nyaring tajam.

Karena jawaban tadi, enam orang termasuk Nyo Ko - yang lain semuanya menjadi terperanjat.

Kelima orang di sana terkejut oleh sebab seorang gadis seperti dia ini ternyata begitu besar nyalinya, tanpa mengajak barang seorang pembantupun berani mengadakan pertandingan silat dengan lima jago tinggi. Sedang Nyo Ko sebaliknya terperanjat bercampur kecewa, mula2 dia yakin bahwa Siao-liong-Ii pasti akan diketemukannya di sini, siapa tahu apa yang disebut "si gadis cantik berbaju putih" itu ternyata adalah seorang nona lain.

Saking masgulnya, seketika dada Nyo Ko se-akan2 menjadi sesak, perasaannya yang mudah terguncang itu tak terkendalikan lagi, tiba2 ia meng-gerung2 menangis keras.

Mendengar suara tangisan Nyo Ko yang mendadak ini, keenam orang itupun terkejut, tapi sesudah mereka tahu yang menangis adalah seorang bocah gembala yang mungkin karena ketakutan melihat ada orang hendak berkelahi, maka mereka pun tidak mengambil perhatian kepadanya.

Sementara itu terdengar Ki Jing-si telah buka suara sambil menunjuk Han-cecu: "lni Wi-cin-lam-pak Han-cecu, yang ini adalah Tan-lokunsu, tertua dari Ho-siok-sam-hiong, dan ini adalah Liong-kim-kiam Tio Put-hoan, Tio-totiang !"

Demikian Ki Jing-si memperkenalkan ketiga jagonya kepada gadis itu, ia mengira sesudah orang mendengar nama ketiga kawannya itu, tentu akan menjadi jeri dan mundur teratur. Siapa tahu gadis itu anggap saja seperti tidak mendengar dan tidak menggubris, ia hanya mengerling orang dengan sorot mata yang tajam dingin, ia anggap kelima orang di hadapannya seperti barang2 sepele belaka

"Karena kau hanya datang seorang diri, kami pun tak mau bergebrak dengan kau," terdengar Tio Put-hoan angkat bicara, "Maka kami beri kau tempo sepuluh hari, sepuluh hari kemudian kau boleh ajak empat orang pembantu dan datang lagi bertemu kesini."

"Aku sudah bilang ada pembantuku," sahut gadis itu sambil ayun2 golok-sabitnya lagi. "untuk melayani kalian sebangsa gentong nasi dan guci arak ini masakah perlu pakai bantuan orang ?" . Keruan Tio Put-hoan menjadi gusar.

"Kau anak dara ini sungguh keterlaluan..."

Sebenarnya ia hendak mendamperat orang, syukur sebelum diucapkan ia masih bisa menahan api amarahnya dan menanya pula: "Kau sebenarnya orang Ko-bong-pay atau bukan ?"

"Kalau betul mau apa dan kalau bukan ada apa ?" sahut gadis itu ketus. "Hayo, imam tua hidung kerbau, katakan lekas, kau berani tidak bergebrak dengan nonamu ?"

Tio Put-hoan sudah rada berumur, maka orangnya cukup bisa kendalikan diri, ia lihat orang meski seorang diri, tetapi bukannya jeri, bahkan menantang, maka ia kuatir kalau2 sebelumnya si gadis telah atur perangkap dengan menyembunyikan bala bantuan.

Oleh sebab itulah lantas dijawabnya: "Nona, aku ingin tanya kau dahulu. Tanpa alasan kau telah lukai anak murid golongan kami, sebenarnya disebabkan urusan apakah ? jika kesalahannya terletak pada pihak kami, tanpa segan2 pasti aku akan minta maaf pada gurumu. Tetapi kalau nona tak bisa mengatakan sesuatu alasannya, hm, jangan kau sesalkan kami kurang sopan."

"Sudah tentu disebabkan kedua hidung kerbau golonganmu itu yang kurang ajar, maka kuberi sedikit hajaran pada mereka," sahut gadis itu dengan tertawa mengejek, "Kalau tidak, di jagat ini tidak sedikit terdapat sebangsa kutu busuk, kenapa harus hidung mereka yang ku-iris ?"

Mendengar jawaban yang semakin ketus dan bersifat menantang ini, Tio Put-hoan menjadi lebih ragu2 terhadap kemampuan lawannya,

Dalam pada itu meski usia Tan-lokunsu sudah lanjut, namun tabiatnya ternyata berangasan.

"Eeeh, bicara dengan kaum Cianpwe, kenana tidak turun dari keledaimu ?" demikian segera ia menyerobot maju dan cari2 persoalan. Menyusul itu tahu2 ia sudah berada di depan binatang tunggangan orang dan ulur tangannya buat menarik lengan kanan si gadis.

Karena gerak tangannya itu sangat cepat hingga gadis itu tak sempat menghindarkan diri, seketika lengannya kena dicekal, dan karena lengan kanannya dipakai untuk memegang golok-sabitnya, maka goloknya tak bisa dipakai menangkis.

Tak tersangka se-konyong2 sinar tajam berkelebat sedikit gadis itu tekuk sikutnya, golok-sabitnya tahu2 memotong dari samping, dari jurusan yang sama sekali tak terduga.

Tentu saja tidak kepalang kagetnya Tan-lokunsu, lekas2 ia lepaskan cekalannya bila ia tidak mau merasakan tajamnya golok itu. sungguhpun begitu, tidak urung dua jari tangannya sudah terluka.

Dengan cepat segera ia melompat mundur terus cabut goloknya sendiri, dalam gusarnya ia ber-teriak2 mendamperat: "Perempan bangsat, agaknya kau sudah bosen hidup !"

Melihat kawannya dilukai, mau-tak-mau yang lain2 ikut mengangkat senjata, Han-cecu pakai sepasang ganden berantaai, sedang Tio Put-hoan lolos pedangnya, begitu pula Ki Jing-si dan Bing-hiam juga lantas tarik pedang mereka.

Akan tetapi mereka menjadi kaget ketika merasa senjata yang mereka genggam itu bobotnya sangat enteng, ketika mereka tegasi, celaka tiga-belas, kiranya yang terpegang di tangan mereka melainkan garan pedang belaka, sedang bagian yang tajam ketinggalan di dalam sarungnya.

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa itu adalah perbuatan Nyo Ko semalam di mana pedang mereka diam2 dipatahkan dan selimut mereka dikencingi juga, sedang kini musuh tangguh sudah berhadapan senjata saja mereka tak punya.

Rupanya melihat kelakuan kedua imam yang kikuk dan serba salah itu, si gadis tadi tertawa ngikik geli.

Waktu itu Nyo Ko sendiri lagi berduka, tetapi demi mendengar suara tertawa gadis itu dan melihat kelakuan kedua imam yang lucu itu, tak tertahan iapun tertawa maski sebenarnya ia masih tersenggak-sengguk.

Sementara itu terlihat si gadis telah membuka serangan, se-konyong2 ia ayun goloknya terus memotong ke telinga Bi Jing-hian.

Dengan sendirinya lekas2 Bi Jing-hian tarik badan dan mengkerut kepala buat hindarkan elmaut, siapa tahu gaya serangan golok itu ternyata sangat hebat, ketika tangan si gadis sedikit memutar senjatanya yang aneh itu tiba2 membelok di tengah jalan terus mengiris ke bawah lagi karena tidak ter-duga2 akan perubahan serangan ini, tidak urung sebelah kuping Bi Jing-hian tetap menjadi korban.

Keruan saja keempat kawannya terkejut, sama sekali tak mereka duga bahwa To-hoat atau ilmu permainan golok orang bisa begitu bagus dan aneh. Keadaan sudah memaksa, kini mereka tak pikirkan lagi keroyokan atau tidak, segera mereka mengerubut maju terus kepung si gadis bersama keledainya di tengah2.

Cuma yang mengeroyok hanya tiga orang saja, Bi Jing-hian dan Ki Jing-si terpaksa mundur ke belakang karena mereka tak bersenjata, yang mereka pegang hanya garan pedang, hendak dibuang sayang, tidak dibuang toh tidak terpakai mereka menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus di-buatnya.



Dalam pada itu tiba2 terdengar gadis itu bersiul nyaring sekali, ia tarik tali kendali keledainya terus melompat pergi sejauh beberapa tombak dengan maksud memboboIkan garis kepungan orang. Namun dengan cepat Tan-lokusu bertiga lantas mengerubut maju lagi. Bahkan sebelum tiba orangnya, lebih dulu Han-cecu timpukkan ganden besinya yang berantai itu.

Melihat senjata orang cukup berat, pula tipu serangannya cukup ganas, diam2 gadis itu merasa heran juga, maka tak berani lagi ia memandang enteng, ketika tubuhnya mengegos, timpukkan ganden tadi telah dia hindari.

Memang senjata "Lian-cu-tui" (ganden berantai) Han-cecu itu bukan senjata ringan dan mempunyai daya tekanan yang sukar ditahan. Sebaliknya ilmu pukulan Tan-lokunsu sebenarnya lebih tinggi dari pada permainan goloknya, pula jarinya sudah terluka, maka serangan goloknya boleh dikatakan tak seberapa, hanya Kiam-hoat Tio Put-hoan sebaliknya tidak bisa dipandang rendah, serangannya jitu lagi keji, setiap tipu serangannya selalu mengincar tempat2 yang berbahaya.

Tatkala itu hati Nyo Ko rada tenang, kini baru dia amat-amati wajah gadis itu, ia lihat raut muka orang potongan daun sirih dan sanggat cantik, usianya agaknya setahun dua tahun lebih muda dari pada dirinya, pantas kalau si pelayan hotel tidak percaya bahwa itu "gadis cantik berbaju putih" adalah kakak perempuannya.

Di samping muka orang yang cantik itu, kulit badannya sebaliknya rada hitam2 manis, sama sekali berlainan dengan kulit Siao-Iiong-li yang putih bersih.

Senjata yang dipakai gadis inipun sangat aneh dan lain dari pada yang Iain, ilmu permainan goloknya sangat gesit, meski dikatakan golok, tetapi yang dipakai adalah gerak tipu permainan pedang, lebih banyak menusuk dan memotong dari pada membacok dan membabat.

Hanya menyaksikan beberapa jurus permainan golok orang, segera Nyo Ko tahu orang memang menggunakan ilmu silat dari golongan yang sama dengan dirinya, yakni Ko-bong-pay. Apakah dia ini juga muridnya Li Bok-chiu ? demikian Nyo Ko menjadi heran.

Semula sebenarnya Nyo Ko sangat penasaran karena lima orang lelaki mengeroyok seorang gadis cilik, tetapi kemudian sesudah mengetahui dari mana asal-usul ilmu silat orang, karena menduga orang pasti muridnya Li Bok-chiu, seketika timbul rasa antipatinya Nyo Ko, ia pikir biarkan saja pihak mana yang bakal menang, semuanya tidak kugubris.

Begitulah dia lantas berbaring lagi dengan sikunya sebagai bantal, hanya kadang2 saja ia melirik pertarungan yang sedang berlangsung dengan sengit itu.

Untuk belasan jurus permulaan, karena gadis itu berada lebih tinggi di atas keledainya, maka kelima lawannya dipaksa harus melompat kian ke mari untuk menghindari sabetan golok-sabit yang diayun pergi datang.

Sesudah belasan jurus lagi, karena senjata yang dipegangnya hanya gagang pedang yang sudah patah dan tak sanggup membantu kawannya, tiba2 hati Ki Jing-si tergerak "Mari Bi-sute, ikut padaku !" ia teriaki Bi Jing-hian.

Habis itu ia berlari menuju ke tempat yang banyak tumbuh pohon, di sana ia pilih satu pohon muda dan sekuat tenaganya ia patahkan bongkot-nya, ia hilangkan tangkai dan daunnya, maka ber-wujutlah kini sebatang pentung yang dapat dipakainya sebagai gaman.

Tentu saja Bi Jing-hian sangat girang, iapun tiru2 sang Suheng dan patahkan satu pohon yang lain untuk digunakan sebagai senjata.

"Hantam keledainya dan tidak orangnya!" demikian Ki Jing-si beri petunjuk lagi, Habis ini, dua pentung kayu mereka lantas menyerampang dari kanan dan kiri dengan cepat mereka arah kaki keledai tunggangan gadis tadi.

"Hm, tak punya malu !" dengan pelahan gadis itu menjengek berbareng ia ayun goloknya buat tangkis pentung orang.

Karena sedikit melengnya ini, dari samping lain ganden berantai Han-cecu sudah menyerang juga bersama dengan pedang Tio Put-hoan. Dalam keadaan terancam, lekas2 gadis itu keluarkan gerak tipu yang berbahaya, ia tunduk kepala dan luputkan ganden yang menyamber, saat lain terdengar pula suara "trang" yang nyaring, goloknya telah ditangkiskan pedang lawan yang lain.

Tetapi pada waktu itu juga keledainya telah melengking kesakitan terus menegak dengan kaki belakang, kiranya binatang ini telah kena ditoyor sekali oleh pentungnya Ki Jing-si.

Melihat ada kesempatan, segera Tan-lokunsu menjatuhkan diri terus menggelundung mendekati musuhnya, ia keluarkan ilmu golok dan berhasil menghantam sekali paha keledai hitam dengan punggung goloknya.

Dengan demikian tak mungkin lagi bagi si gadis mengandalkan keledainya, dalam pada itu senjata lawan baik pedang maupun ganden berbareng telah menyamber datang pula, terpaksa ia meloncat ke atas, sedang tangan kiri menyamber dan pentung Bi Jing-hian berhasil dicekalnya, ketika ia gunakan tenaga dalamnya, tahu2 pentung itu telah patah menjadi dua potong. Dan begitu kedua kakinya tancap kembali di atas tanah, sekalian pula goloknya dia babat ke samping untuk patahkan bacokan Tan-lokunsu yang sementara itu telah menyerang.

"He, kenapa ? Dia sudah terluka ?" tiba2 Nyo Ko kaget demi nampak gaya berjalan si nona.

Kiranya kaki kiri si gadis rada pincang, dengan sendirinya untuk berjalan, apa lagi buat melompat menjadi tidak leluasa. Dan dengan sendiri-nya, sebab inilah maka sejak tadi dia tidak mau turun dari keledainya.

Tahu akan ciri gadis ini, seketika rasa keadilan Nyo Ko tergugah, ia niat turun tangan buat membantunya, Tetapi ketika dia pikir dan ingat pengacauan Li Bok-chiu hingga dirinya yang tinggal aman tenteram bersama Siao-liong-li di dalam kuburan itu berakibat seperti keadaan sekarang ini, kembali hatinya menjadi panas Iagi, ia berpaling ke jurusan lain dan tak mau menyaksikan lebih lanjut

Namun telinga toh mendengar suara "crang-creng", suara beradunya senjata tajam yang nyaring dan tiada hentinya, rasa ingin tahunya tak bisa ditahan, kembali ia berpaling buat menonton lagi, Hanya sejenak tadi ternyata keadaan pertarungan itu sudah banyak berubah, gadis itu telah terdesak lari kian kemari, sudah lebih banyak menangkisnya daripada balas menyerang.

Dalam pada itu mendadak Han-cecu telah tim-puk sebelah gandennya, terpaksa gadis itu miringkan kepalanya, tetapi pada saat yang sama juga pedang Tio Put-hoan sudah menusuk pula, terdengarlah suara "cring" yang nyaring pelahan, ternyata gelang perak pengikal rambut gadis itu telah kena ditabas kutung hingga sebagian rambutnya yang panjang terurai.

Maka tertampaklah alis si gadis yang lentik itu menjengkit, bibirnya pun sedikit bergerak dan digigit, mukanya seketika seperti tertutup oleh selapis awan hitam, kontan goloknya membabat, ia balas sekali serangan orang.

Melihat tarikan alis dan gerakan bibir si gadis, seketika hati Nyo Ko terguncang keras, "Di waktu Kokoh marah padaku, persis mimik wajahnyapun begitu," demikian pikirnya.

Oleh karena melihat rasa gusar yang diunjuk gadis itu, tanpa pikir lagi Nyo Ko ambil keputusan pasti akan membantu padanya.

Sementara itu ia lihat keadaan gadis itu semakin terdesak, gerak-geriknya tak teratur lagi.

"Hayo, lekas katakan, sebutan apa sebenarnya antara kau dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu ?" demikian terdengar Tio Put-hoan memperingatkan lawannya, "Jika masih tetap tidak menjelaskan jangan kau sesalkan senjata kami tak bermata."

Di luar dugaannya, bukan saja gadis itu tidak menjawab, bahkan goloknya tahu2 menabas dari belakang kepala karena senjata ini memang me-lengkung, Terkejut sekali Tio Put-hoan oleh serangan yang aneh itu, syukur dengan cepat Tan-lo-kunsu keburu wakilkan dia menangkis hingga dengan demikian jiwa Tio Put-hoan dapat diselamatkan.

Melihat tipu serangan si gadis begitu keji, ketiga lawannya kinipun tidak pakai murah hati lagi, Maka dalam sekejap saja, gadis itu sudah ber-ulang2 menghadapi serangan berbahaya, Tio Put-hoan pikir gadis ini pasti ada hubungan rapat dengan Li Bok-chiu, kalau kelak diketahui oleh Li Bok-chiu, tentu dikemudian hari akan menjadikan bibit bencana saja, oleh sebab itu serangan2nya kini selalu mengincar tempat2 yang berbahaya.

Melihat keadaan si gadis sudah dalam detik yang sangat genting, segera Nyo Ko melompat ke atas punggung sapi jantan tadi, ia jojoh sekali pantat binatang itu dengan jerijinya, karena kesakitan dengan sekali menguak sapi jantan itu pentang kaki dan menerjang ke jurusan enam orang yang sedang saling labrak itu.



"Haya, celaka ! Sapiku kesetanan, tolong, tolong !" demikian Nyo Ko sengaja ber-teriak2. Baru saja selesai ia berteriak, orangnya berikut sapinya sudah menyerbu sampai di kalangan pertempuran sana.

Tatkala itu keenam orang itu asyik bertempur mati-matian, ketika mendadak melihat seekor banteng menyeruduk tiba dengan kalap, niat mereka hendak melompat ke samping buat hindarkan diri, namun secepat kilat banteng itu sudah menerjang sampai di belakang Ki Jing-si dan Bi Jing-hian.

Nyo Ko sendiri tengkurap di atas sapinya, tangan dan kakinya bergerak naik turun seperti orang kebingungan dan ketakutan setengah mati, sesudah dekat dengan kedua orang tadi, dengan cepat "hong-gan-hiat" di punggung kedua orang dicengkeramnya.

"Hong-gan-hiat" adalah salah satu jalan darah penting di tubuh manusia, karena kena dicekal, seketika Ki Jing-si dan Bi Jing-hian menjadi lemas kesemutan dan tak bisa berkutik, Dengan pelahan Nyo Ko angkat tangannya, kedua orang itu dia tarik keatas terus digantung pada kedua tanduk sapi jantan itu, sedang mulutnya masih tiada hentinya berteriak "Tolong ! Tolong!"

Kemudian dengan ujung kaki ia tendang pantat sapi itu, maka berlari kesetanan lagi binatang itu ke lereng bukit dengan membawa tiga orang, satu tengkurap di punggungnya dan yang dua ter-cantol pada tanduknya.

Melihat perubahan yang mendadak dan aneh ini, baik si gadis tadi maupun Tio Put-hoan seketika berhenti dari pertempuran mereka.

Nyata ilmu silat Nyo Ko masih jauh lebih tinggi daripada keenam orang itu, apa yang dilakukannya ternyata tiada seorangpun yang mengetahuinya.

Ketika sampai di tanah rumput dimana dia angon sapi tadi, Nyo Ko buang kedua imam itu ke tanah terus giring sapi itu menerjang ke bawah puIa, sekali ini yang dia incar adalah Han-cecu dan Tan-Iokunsu.

Rupanya Han-cecu pikir tenaganya cukup besar untuk menundukkan binatang yang mengganas ini, maka gandennya yang berantai dia libat di pinggangnya, lalu dengan pasang kuda2 kuat ia tunggu sapi itu mendekat, se-konyong2 ia melangkah maju setindak terus tanduk binatang itu dia pegang erat2 dengan kedua tangannya, dengan demikian ia hendak taklukkan banteng ngamuk itu.

Dilain pihak Nyo Ko masih bertingkah serabutan sambil berteriak2, namun pada saat yang jitu sekali, "cian-tay-hiat" di pinggang Tan-lokunsu dia tutuk pula dengan tendangan. Dan sebelum kedua sasarannya ini roboh atau mereka sudah dia samber terus digantung lagi di atas tanduk sapi dan diangkut pula ke tanah rumput tadi.

Melihat banteng ngamuk ini begitu aneh, mau tak mau si gadis dan Tio Put-hoan saling pandang dengan tak mengarti, jika tadi mereka saling labrak dengan adu jiwa, maka kini sebaliknya ada persamaan perasaan diantara mereka, yakni "senasib."

Dalam pada itu dilihatnya banteng ngamuk tadi sudah balik kembali, suara teriakan bocah angon yang tengkurap di atas binatang itu kedengarannya sudah serak, terang sekali keadaan sangat genting.

Segera Tio Put-hoan ber-siap2, ia menunggu banteng itu menyeruduk tiba kira2 setengah tombak sebelum tubuhnya, sekonyong-konyong pedangnya berputar, ia hindari serudukan banteng itu dari depan, dengan cepat tubuhnya melangkah ke samping sambil pedangnya menusuk, begitu cepat dan tepat saat yang digunakan, dengan segera banteng ngamuk itu bakal tembus tertusuk perutnya.

Siapa tahu, baru saja ujung pedangnya hampir menyentuh kulit sapi itu, se-konyong2 bocah angon itu tangannya bergerak pontang-panting sambil pegang sulingnya dan dengan persis batang suling membentur ujung pedang, karena itu, arah pedang menjadi menceng,

Karena luput serangannya, Tio Put-hoan terkejut untuk menghindar agar tidak diserempet banteng itu, lekas2 ia melompat ke atas dengan maksud melewati binatang itu, siapa duga selagi orangnya terapung di udara, se-konyong2 mata kakinya terasa kaku kesemutan, ketika tubuhnya jatuh ke bawah, dengan tepat menyangkol di ujung tanduk banteng hingga kena dibawa binatang yang berlari itu ke tanah lapang tadi untuk kemudian dilemparkan di sana.

Habis itu, Nyo Ko putar haluan sapi itu, kembali menerjang cepat pula ke arah si gadis yang masih tersisa itu.

Di lain pihak sesudah menyaksikan kelima jago seperti Tio Put-hoan kena diseruduk jatuh semua oleh banteng ngamuk itu, meski gadis itu merasa curiga juga, tetapi ia pikir hanya seekor sapi jantan saja, kena apa harus ditakuti ? Segera dia bersiap-siap.

Dilihatnya dengan mulut berbusa binatang itu telah memyeruduk tiba pula, Pada saat yang tepat mendadak ia meloncat ke atas, berbareng itu goloknya terus membacok leher banteng itu.

"Haya, celaka, jangan bunuh sapiku !" jerit Nyo Ko mendadak Berbareng itu diam2 ia jojoh pundak sapi itu dengan jarinya, karena sakit, dengan sendirinya kepala sapi itu meleng ke samping dan dengan persis bacokan orang dapat dihindarinya.

Sedangkan Nyo Ko sendiri pura2 jatuhkan diri tergelincir ke bawah sambil ber-teriak2 : "Tolong ! tolong !"

Sebaliknya sapi jantan itu rupanya sudah terlalu letih, sesudah beberapa tindak berlari lagi dia lantas berhenti dengan napas empas-empis.

Melihat binatang itu tidak main gila lagi, setelah tenangkan diri mendadak gadis itu jinjing goloknya terus berlari ke tanah datar sana.

"Celaka, kelima orang itu pasti akan teraniaya," pikir Nyo Ko diam-diam.

Karena itu, sebelum gadis itu sampai di tem-patnya, lebih dulu Nyo Ko sudah jemput beberapa batu kecil, sekali ayun batu2 itu ditimpukkan ke badan kelima orang yang rebah tak berkutik itu.

Meski umur Nyo Ko masih kecil, tetapi ilmu silatnya sudah terlatih sampai tingkatan yang tiada taranya, walaupun jaraknya dengan kelima orang itu sangat jauh, namun tiap2 batu yang ditimpukkan itu dengan tepat mengenai Hiat-to di tubuh masing2.

Ketika Tio Put-hoan cs. mendadak merasakan tubuh kesakitan, tetapi rasa kesemutan juga segera hilang, mereka menyangka gadis itu diami sembunyikan bala bantuan yang sangat lihay, cara mereka kena ditutuk dan mendadak terlepas pula jalan darahnya tentu perbuatan jagoan yang tersembunyi itu, kini orang suka memberi jalan hidup, mana berani lagi mereka terlibat dalam pertarungan pula ? Maka begitu mereka merangkak bangun, tanpa pikir lagi segera mereka angkat langkah seribu alias kabur.

Dalam gugupnya karena ketakutan itu, rupanya Bi Jing-hian menjadi bingung hingga tak bisa bedakan arah timur dan barat, bukannya dia lari ke jurusan yang selamat, sebaliknya ia malah lari ke arah si gadis yang sedang memarani mereka itu.

"Bi-sute, lekas kembali !" seru Ki Jing-si kuatir.

Ketika Bi Jing-hian sadar keliru jalan dan berniat putar kemudi, namun sudah terlambat, si gadis sudah datang dekat, goloknya sudah diangkat dan dibacokkan padanya.

Sungguh luar biasa kaget Bi Jing-hian, ia sendiri sudah tak bersenjata, Iekas2 ia mengegos buat luputkan diri dari ancaman maut, tak terduga arah serangan yang dilontarkan gadis itu ternyata susah dipastikan, mula2 seperti mengarah ke kiri, tahu2 telah sampai di kanan, disertai berkelebat-nya sinar dingin, tahu2 golok-sabit telah berada di depan mukanya.

Dalam keadaan kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa Bi Jing-hian angkat sebelah tangannya buat menangkis, maka tidak ampun lagi terdengar sekali suara "cret", telapak tangannya tertabas putus oleh golok-sabit si nona.

Walaupun demikian Jing-hian masih belum merasakan sakit, ia masih sempat putar tubuh terus lari ter-birit2 lagi, Waktu itu Tio Put-hoan sudah berpaling juga, dengan pedang melintang di dada ia berusaha melindungi kawannya.

Rupanya gadis itu telah kenal juga lihaynya orang, maka tak berani ia mendekati, ia menyaksikan Bi Jing-hian dipayang pergi oleh Ki Jing-si untuk kemudian menghilang di balik gunung sana.

Nampak musuh sudah pergi, gadis itu masih ketawa2 dingin, sedang dalam hati penuh curiga, ia pikir apakah mungkin ada orang luar yang bersembunyi di sekitar sini ? Dengan cepat ia mengelilingi sekitar sana, tetapi keadaan sunyi senyap tanpa satu bayangan pun, Dia kembali lagi ke lembah sana, ia lihat Nyo Ko masih duduk di tanah dengan muka mewek2 seperti mau menangis.

"Hai, bocah angon, apa yang kau keluh-kesahkan ?" tegur gadis itu.

"Sapi ini tadi telah gila hingga tubuhnya babak belur, kalau pulang nanti pasti aku akan dihajar setengah mati oleh majikan." sahut Nyo Ko.

Tetapi waktu si gadis periksa keadaan sapi jantan, ia lihat kulit tubuh binatang itu halus bersih, tiada kelihatan sesuatu luka.



"Baiklah, hitung2 sapimu ini telah menolong aku tadi, ini, aku beri serenceng uang perak," kata si gadis pula.

Habis itu ia keluarkan serenceng uang perak yang berbobot sekira lima tahil terus dilemparkan ke tanah, ia menduga "bocah angon" itu pasti akan girang tidak kepalang dan mnghaturkan terima ka-sih, siapa tahu orang masih bermuka muram durja, sambil geleng2 kepala, tetapi tidak mengambil uang perak itu.

"Kenapakah kau ?" tanya gadis itu tak sabar, "lni uang perak, tahu tidak kau, tolol ?"

"Hanya serenceng tidak cukup !" sahut Nyo Ko kemudian

Waktu gadis itu merogoh sakunya, kembali ia keluarkan serenceng uang perak lain yang masih ada dan dilemparkan ke tanah lagi.

Tapi Nyo Ko sengaja goda padanya, dia masih tetap goyang kepala.

Akhirnya gadis itu menjadi marah, alisnya tertarik tegak dan mukanya merengut.

"Sudah habis, tolol!" damperatnya, Habis ini ia putar tubuh dan berjalan pergi.

Melihat sikap orang sewaktu marah, seketika hati Nyo Ko terguncang, teringat tiba2 olehnya sikap Siao-liong-li waktu mendamperat dirinya, karenanya ia telah ambil suatu keputusan: "Jika seketika tak bisa ketemukan Kokoh, biarlah aku senantiasa menyaksikan wajah nona ini saja yang suka marah2."

Maka sebelum orang melangkah pergi, tiba2 Nyo Ko merangkul kaki kanan si gadis sambil ber teriak2 : "Tidak, kau jangan pergi!"

Dengan kuat gadis itu coba meronta kakinya, tetapi saking kencangnya Nyo Ko merangkul, ia tak berhasil melepaskan diri, keruan ia bertambah gusar.

"Lepas, ada apa kau merangkul kakiku ?" dengan suara garang gadis itu membentak.

Melihat air muka orang yang sedang marah2, bukannya Nyo Ko melepaskan, sebaliknya ia malah senang.

"Tidak, aku tak bisa pulang rumah lagi, kau harus tolong aku," demikian sahutnya.

Sudah gusar gadis itu menjadi geli pula melihat kelakuan Nyo Ko.

"Jika kau tak lepaskan, segera aku bacok mati kau," dengan angkat golok-sabitnya si gadis coba menakut-nakuti.

Tetapi rangkulan Nyo Ko berbalik tambah kencang, ia malah pura2 menangis sekalian.

"Baiklah, boleh kau bacok mati aku saja, toh kalau pulang akupun tak bakal hidup lagi," serunya sambil meng-gerung2.

"Lalu apa yang kau kehendaki ?" tanya si gadis kewalahan.

"Entahlah, aku ikut kau saja." sahut Nyo Ko.

Rupanya gadis itu menjadi sebal karena di-ganduli orang, "Kenapa harus berurusan dengan si tolol semacam ini," demikian pikirnya, Habis ini ia angkat goloknya terus membacok sungguh2.

Semula Nyo Ko menduga orang tidak nanti bacok padanya secara sungguh2, maka ia masih pegang kaki orang erat2, siapa duga hati gadis itu ternyata keji, bacokannya ini betul2 diarahkan ke atas kepalanya, meski tiada niatnya untuk menewaskan jiwa orang, tetapi ia bermaksud memberi bacokan di batok kepala agar "si tolol" ini tahu rasa dan tak berani main gila lagi.

Syukur Nyo Ko sangat cekatan, begitu golok orang tinggal beberapa senti lagi bakal berkenalan dengan batok kepalanya, mendadak ia jatuhkan diri terus menggelinding pergi, " "Haya, tolong, tolong !" demikian ia menjerit-jerit pula.

Karena bacokannya tadi luput, si gadis menjadi tambah sengit, ia melangkah maju, kembali sekali bacokan diberikan pada Nyo Ko.

Nyo Ko telentang di atas tanah, kedua kakinya mancal2 serabutan.

"Mati aku ! Mati aku !" demikian ia berteriak-teriak, sedang kedua kakinya terus memancal dan mendepak tak keruan, tampaknya seperti tak teratur tetapi pergelangan tangan gadis itu ternyata beberapa kali hampir kena ditendang, meski berulang kali ia hendak bacok pula, namun tidak sekalipun bisa mengenai sasarannya, sudah tentu ia bertambah gusar.

Melihat muka orang penuh mengunjuk marah, Nyo Ko justru ingin menikmati wajah orang semacam ini, karena itu, tanpa terasa ia terkesima dan memandangi orang.

Gadis itu juga seorang yang pintar luar biasa, ketika melihat kelakuan Nyo Ko yang aneh, tiba2 ia membentak : "Hayo, bangun !"

"Tetapi kau bunuh aku tidak ?" tanya Nyo Ko ke-tolol2an.

"Baiklah, aku tak bunuh kau," sahut si gadis.

Karena janji ini, dengan pelahan Nyo Ko merangkak bangun, napasnya sengaja dia bikin ter-engah2, diam2 ia kumpul tenaga dalam dan bendung aliran darahnya, maka mukanya seketika berubah menjadi putih lesi, begitu pucat hingga tiada warna darah sedikitpun, seperti orang yang ketakutan.

Melihat rupa orang, diam2 si gadis sangat senang. "Hm, berani lagi tidak kau main gila ?" demikian ejeknya sambil angkat golok-sabitnya terus menuding pada telapak tangan Bi Jing-hian yang terkutung dan masih ketinggalan di tanah datar itu, lalu ia mengancam: "Coba, orang begitu galak dan bengis, toh cakarnya kena ditabas oleh golokku tadi."

Sambil bicara, goloknya yang melengkung itu diulurkan, tiba2 ia kesut senjatanya di atas baju Nyo Ko yang memang dekil, kiranya ia gunakan baju Nyo Ko sebagai lap untuk menghilangkan noda darah goloknya.

Diam2 Nyo Ko geli oleh lagak si gadis. "Hm, kau anggap aku ini orang macam apa, berani kau begini kurangajar padaku ?" demikian ia membatin.

Walaupun begitu, pada mukanya tetap ia pura-pura mengunjuk rasa keder, ia sengaja mengkeret mundur seperti takut pada senjata orang yang mengkilap itu.

Gadis itu masukkan goloknya ke sarungnya, lalu dengan sebelah kakinya ia cukit renceng uang perak tadi ke arah Nyo Ko.

"Nih, sambuti!" serunya dengan tertawa, dengan membawa sinar putih yang gemerdep, serenceng uang perak itu menyamber ke arah muka Nyo Ko.

Menyambernya perak itu sebenarnya tidak keras, orang biasa saja pasti sanggup menangkapnya. Tetapi Nyo Ko justru pura2 bodoh, ia melangkah mundur dan menubruk maju secara gugup, sedang tangannya diulur ke atas buat menangkap, tiba2 terdengar suara "plok" sekali, uang perak itu kena menimpuk dia punya batok kepala.

"Aduh !" jerit Nyo Ko sambil mendekap batok kepalanya.

Sementara itu jatuhnya uang perak itu kena menindih pula di atas kakinya, Maka dengan sebelah tangan pegang batok kepala dan lain tangan tarik sebelah kaki, Nyo Ko ber-jingkrak2 dengan kaki tunggal sambil ber-teriak2: "Auuuh, kau pukul aku, kau pukul aku !"

Begitulah Nyo Ko pura2 meng-gerung2 menangis.

Nampak ketololan orang sudah begitu rupa hingga tiada obatnya, dengan suara pelahan gadis itu mencemoohnya sekali: "Tolol !" - Habis ini ia putar tubuh dan pergi mencari keledai hitam-nya.

Akan tetapi binatang itu sejak tadi entah sudah kabur kemana sewaktu dia bergebrak dengan Tio Put-hoan, terpaksa ia pergi dengan jalan kaki.

Nyo Ko jemput uang perak tadi dan masukkan ke sakunya, lalu dengan menuntun sapinya ia ikut di belakang si gadis.

"Bawa serta aku, nona !" demikian ia berseru.

Namun gadis itu tak gubris padanya, sebaliknya ia percepat langkahnya, hanya sekejap saja Nyo Ko sudah ketinggalan hingga tak kelihatan.

Tak terduga, baru saja ia berhenti sebentar, tiba2 Nyo Ko sudah muncul lagi dari jauh dan masih tetap menuntun sapinya.

"Bawalah aku, bawalah aku !" demikian Nyo Ko masih terus ber-teriak2.

Mendongkol sekali gadis itu karena orang mengintil terus, sambil kerut kening, segera ia keluarkan Ginkang, sekaligus ia berlari sejauh beberapa li, dengan demikian ia yakin "si tolol" itu pasti tak sanggup menyusulnya.

Diluar dugaan, tidak antara lama, sajup2 kembali terdengar pula suara teriakan: "Bawalah aku !" - Luar biasa rasa gemasnya gadis itu, sekali ini ia tidak lari menyingkir sebaliknya ia putar balik mendatangi Nyo Ko, "sret", golok-sabit-nya dia loIos.

"Haya, celaka !" teriak Nyo Ko pura2 ketakutan, berbareng ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.

Maksud si gadis asal orang tidak selalu mengintip sudah cukup, Oleh karena itu, ia masukkan kembali golok ke sarungnya, ia putar kembali dan melanjutkan pula perjalanannya.



Tetapi belum seberapa jauh ia berjalan, tiba2 didengarnya di belakang ada suara menguaknya sapi, waktu ia menoleh, ia lihat Iagi2 Nyo Ko mengintil di belakang sambil masih tuntun binatang angonnya itu, jarak dengan dirinya kira2 beberapa puluh tindak saja.

Sungguh tak terbilang mengkal si gadis, sekali ini ia sengaja berhenti di tempatnya untuk menunggu datangnya Nyo Ko.

Akan tetapi, demi nampak orang tak berjalan, segera pula Nyo Ko berhenti kalau si nona melangkah Nyo Ko lantas menyusul lagi apabila dia putar balik dan hendak hajar padanya, segera Nyo Ko kabur pula.

Begitulah terjadi kucing-kucingan diantara Nyo Ko dan gadis itu, sebentar mereka kejar mengejar dan sebentar lagi berhenti sementara itu hari sudah magrib dan gadis itu masih tetap tak bisa melepaskan diri dari godaan Nyo Ko.

Keruan tidak kepalang gemasnya gadis itu, ia lihat meski bocah angon ini tolol2 goblok, tetapi gerak kakinya ternyata cepat luar biasa, mungkin sudah terlalu bisa berlarian di tanah pegunungan beberapa kali ia kejar orang hendak menutuk jalan darahnya atau melukai kedua kakinya, tetapi setiap kali selalu Nyo Ko bisa meloloskan diri dengan menggelinding dan merangkak pergi dengan cepat.

Sebenarnya ilmu silat Nyo Ko jauh di atas gadis itu, cuma dia sengaja lari kalau sudah dalam keadaa yang paling berbahaya, dengan demikian ia gadis itu tidak menjadi curiga.

Begitulah maka sesudah beberapa kali digoda lagi, karena kaki kiri gadis itu memang pincang, sesudah jalan lama ia menjadi payah, Tiba2 ia mendapat satu akal, dengan suara keras dia teriaki Nyo Ko: "Baiklah, kubawa serta kau, tetapi kau harus turut segala perkataanku,"

"Apa betul kau mau membawa aku ?" dengan girang Nyo Ko menegas.

"Ya, siapa dustai kau ?" sahut si gadis. "Aku sudah letih, kau menunggang sapimu dan biar aku ikut membonceng."

Betul saja Nyo Ko lantas tuntun sapinya mendekati dengan cepat, dibawah cuaca senja yang re-mang2 Nyo Ko dapat melihat mata si gadis menyorot tajam, ia tahu pasti orang tak bermaksud baik, maka diam2 ia berlaku waspada, dengan cara yang susah pajah ia merambat ke atas punggung sapinya.

Sebaliknya gadis itu hanya sedikit menutul kakinya, dengan enteng sekali ia telah melompat ke atas dan menunggang di depan Nyo Ko.

"Keledaiku sudah hilang, tidak jelek juga menunggang sapi jantan ini saja," pikir gadis itu, kemudian dengan ujung kakinya ia tendang iga banteng itu, karena kesakitan, maka sapi itu membedal ke depan seperti kesetanan.

Melihat tibanya kesempatan baik, diam2 gadis itu tersenyum dingin, mendadak sikutnya dengan kuat menyodok ke belakang, dengan tepat sekali kena sodok "ki-bun-hiat" di dada Nyo Ko.

"Aduuh !" jerit Nyo Ko, menyusul mana ia pun terjungkal dari punggung sapinya.

Gadis itu sangat senang karena serangannya berhasil "Betapapun kau berlaku bambungan, sekarang kau kena juga kuingusi," demikian katanya dalam hati Lalu ia sogok pula iga sapi itu dengan jari tangannya, karena merasa sakit, sapi jantan itu kabur terlebih cepat lagi.

Sekali jari si gadis menjojoh punuk kerbau itu, lari si kerbau semakin kencang, tiba-tiba didengarnya Nyo Ko masih berkaok-kaok di belakangnya, waktu ia berpaling, tampak dengan kedua tangannya Nyo Ko ganduli ekor kerbau ikut lari berlompatan naik turun, lucu sekali tingkah lakunya.

Diluar dugaan, tiba2 terdengar Nyo Ko men-jerit2 dan berteriak2, suaranya terdengar berada di belakang saja, waktu gadis itu menoleh, ia lihat Nyo Ko sedang menggendoli ekor sapi dengan kedua tangannya, saking cepatnya dibawa kabur sapi itu hingga kedua kakinya sedikitpun tidak menempel tanah, jadi seperti terbang saja Nyo Ko inL hanya keadaannya sangat mengenaskan, mukanya penuh debu pasir, ingus dan air mata membasahi mata hidungnya.

Karena merasa tak ada jalan lain lagi, tiba2 gadis itu kertak gigi, ia tegakan hati, golok dia angkat terus hendak membacok tangan Nyo Ko yang menggendoli ekor sapi dengan kencang, Tetapi sebelum serangannya dilontarkan tiba2 didengarnya suasana sekitarnya riuh ramai, kiranya sapi itu telah berlari sampai disuatu pasar.

Oleh karena pasar itu penuh berjubel dengan orang hingga tiada jalan lewat, akhirnya sapi itu berhenti sendiri dengan Nyo Ko masih tetap "me-lengket" di belakangnya.

Karena sengaja hendak goda si gadis untuk menikmati wajah orang diwaktu marah2, maka Nyo Ko lantas rebahkan diri di tanah sambil ber-teriak2 : "Aduh, dadaku sakit, kenapa kau pukul aku ?"

Karena suara teriakannya ini, orang2 di pasar itu lantas berkerumun untuk mencari tahu sebab-musababnya dan apa yang terjadi.

Karena dirubung orang banyak, dengan sekali menyelusup segera gadis itu bermaksud mengeluyur pergi.

Tak terduga Nyo Ko lebih cerdik dari dia, mendadak Nyo Ko merangkak maju, sebelah kaki si gadis dia pegang dengan erat2.

"Jangan pergi, jangan pergi!" demikian ia ber-teriak-teriak pula.

"He, ada apakah ? Apa yang kalian ribut-kan ?" beramai-ramai orang yang merubung itu bertanya.

"Dia adalah biniku, biniku ini tak suka pada-ku, bahkan dia pukul aku pula," teriak Nyo Ko dengan lagak lagu yang toloI.

Mendengar orang berani mengaku bini atas dirinya, sungguh tidak kepalang gusar gadis itu hingga kedua alisnya seakan-akan menegak, tanpa segan2 lagi sebelah kakinya melayang, segera ia hendak tendang Nyo Ko.

Akan tetapi Nyo Ko tidak kurang akal, mendadak lelaki yang berdiri di sebelahnya didorong nya ke depan, karena itu, tendangan si gadis dengan tepat mengenai pinggang lelaki itu. Keruan saja lelaki itu sangat gusar.

"Perempuan keparat, berani kau tendang aku ?" damperatnya kontan, Menyusul kepelannya sebesar mangkok lantas menjotos.

Namun gadis itu tak gampang dihantam, tiba2 tangan orang dipegangnya, sebelah tangannya menyusul mengangkat lelaki itu terus dilempar pergi dengan meminjam tenaga pukulan orang tadi, Dengan sekali sengkelit ini, tubuh lelaki yang gede itu se-konyong2 melayang ke atas udara sambil tiada hentinya berteriak-teriak dan kemudian pun jatuhlah dia di antara orang banyak yang berkerumun itu hingga keadaan menjadi tuggang langgang karena ada beberapa orang pula yang ke-tindih oleh tubuh lelaki itu.

Dengan sekuat tenaga sebenarnya si gadis tadi ingin melepaskan diri dari Nyo Ko, tetapi karena digendoli Nyo Ko dengan mati-matian seketika ia menjadi kewalahan Dalam pada itu dilihat-nya ada lima-enam orang lagi yang maju dan rupanya akan bikin perhitungan padanya karena di-sengkelitnya si lelaki tadi, dalam keadaan demiki-an, mau-tak-mau ia berkuatir juga.

"Tolol, baiklah aku bawa serta kau, lekas kau lepaskan kakiku !" terpaksa dengan kata halus ia mengalah pada Nyo Ko.

"Dan kau masih akan hantam aku tidak ?" Nyo Ko sengaja tanya lagi.

"Baiklah, tak pukul lagi," sahut si gadis.

Sehabis itu barulah Nyo Ko melepaskan kaki orang yang dia pegang erat2 tadi, kemudian iapun merangkak bangun, Lalu dengan cepat mereka ber dua menerobos keluar diantara orang banyak dan tinggalkan pasar itu, dari belakang mereka mendengar ramai suara teriakan2 orang yang penasaran tadi.

"Lihatlah, sekarang sapiku telah hilang pula, tak bisa tidak lagi aku harus ikut kau," kata Nyo Ko kemudian sesudah di tempat sepi.

"Hm, sekal, lagi kau ngaco-belo bilang aku adalah binimu segala, awas, kalau aku tidak penggal kepalamu," dengan sengit gadis itu mengancam. Berbareng goloknya diayun pula ke arah kepala Nyo Ko.

"Haya, jangan," teriak Nyo Ko sambil melompat pergi dan kepalanya dipegang dengan kedua tangannya, "Baiklah, nona manis, tak berani lagi aku bilang begitu."

"Hm, melihat macammu yang kotor ini, siluman yang paling jelek juga tak sudi menjadi bini-mu," demikian cemooh si gadis.

Nyo Ko tak menjawab, ia hanya me-nyengir2 tolol saja.

Tatkala itu hari sudah mulai gelap, dengan berdiri di ladang yang luas, dari jauh tertampak mengepulnya asap dapur di rumah2 penduduk karena itu barulah mereka merasa perut sudah lapar.

"Aku sudah lapar, pergilah kau ke pasar tadi membelikan barang makanan," kata si gadis kemudian

"Tidak, tak mau aku pergi," sahut Nyo Ko meng-geleng2 kepala,



"Kenapa tak mau ?" damperat gadis itu dengan tarik muka.

"Masak aku tolol, kau tipu aku pergi beli makanan, lalu kau sendiri mengeluyur kabur," sahut Nyo Ko.

"Aku bilang tak kabur, tentu tak kabur," ujar si gadis.

Tetapi Nyo Ko masih geleng kepala saja.

Karena merasa jengkel, gadis itu ajun bogemnya hendak meninju, tetapi dengan cepat Nyo Ko bisa menyingkir pula.

Sebelah kaki gadis itu pincang, dengan sendirinya jalannya tidak begitu leluasa, percuma saja dia memiliki Ginkang, tetapi selalu tak bisa me nyandak orang, Tentu saja ia sangat mendongkol ia pikir sia2 saja memiliki ilmu silat yang tinggi dan percuma mengaku dirinya cerdik dan banyak akal, nyatanya kini digoda seorang anak tolol yang kotor dan berbau busuk tanpa bisa berbuat apa2.

Begitulah dengan pelahan ia meneruskan perjalanan dengan mengikuti jalan besar, dalam hati ia pikir cara bagaimana nanti secara mendadak beri sekali bacokan dan bunuh si tolol ini.

Selang tak lama, cuaca menjadi gelap seluruhnya, tiba2 dilihatnya di pinggir jalan ada sebuah rumah batu yang bobrok, agaknya sudah tiada penghuninya, mendadak ia dapat satu akal "Biarlah malam ini aku menginap di sini, tengah malam nanti kalau si tolol sudah pulas, sekali bacok saja kubunuh dia," demikian pikirnya.

Setelah ambil keputusan, segera ia menuju ke rumah batu itu, waktu pintu didorong, tiba2 tercium bau apek yang menyenggerok hidung, terang sekali rumah ini sudah terlalu lama ditinggalkan penghuninya.

Kemudian gadis itu pergi mencari segenggam rumput kering dan lap bersih sebuah meja, di atas meja inilah dia berbaring, ia pejamkan mata untuk mengumpul tenaganya.

"Tolol, tolol !" panggilnya ketika dilihatnya Nyo Ko tidak ikut masuk ke dalam.

Akan tetapi tiada sahutan yang dia peroleh, "Jangan2 si tolol ini mengetahui aku hendak membunuh dia, maka telah kabur lebih dulu ?" demikian ia pikir.

Sesudah agak lama, ketika lajap2 hendak pulas, mendadak tercium olehnya bau sedap yang sangat menusuk hidung, Dalam terkejutnya segera pula ia melompat bangun, waktu dia lari keluar, dilihatnya di bawah sinar bulan yang terang Nyo Ko sedang berduduk sambil mencekal sepotong entah paha binatang apa dan sedang pentang mulut menggerogoti dengan lahap, di samping sana menyala segunduk api unggun dan di pinggir gundukan api itu terletak bahan makanan itu dan sedang dipanggang, dari situlah bau sedap tadi menguar.

"Mau tidak ?" tanya Nyo Ko dengan tertawa demi nampak gadis itu keluar, Habis itu ia ambil sepotong daging paha yang telah dipanggang hingga berbau sedap itu terus dilemparkan kepadanya.

Waktu gadis itu menyambutinya, ia lihat daging paha itu seperti paha kijang, memangnya perut sudah lapar, maka tanpa sungkan2 lagi ia sebret daging itu dan dimakan sepotong demi sepotong, meski kurang asin karena tidak digarami, tetapi dalam keadaan lapar rasanya sangat lezat juga. Maka dengan duduk di tepi api unggun itu ikutlah dia makan dengan bernapsu.

Tetapi dasar anak gadis, maka cara makannya tidak main lalap seperti Nyo Ko, lebih dulu ia sobek2 daging paha itu dalam potongan kecil2, kemudian dengan pelahan baru dia memakannya, Tetapi bila dilihatnya cara makan Nyo Ko yang lahap hingga air liurnya ikut mencerocos, ia menjadi mual dan jijik, kalau tak jadi makan, perutnya terasa lapar, karena itu, terpaksa ia berpaling ke jurusan lain dan tidak pandang Nyo Ko lagi.

Sesudah sepotong daging itu habis, kembali Nyo Ko lemparkan sepotong lagi kepadanya.

"He, tolol, kau bernama siapa ?" tiba2 gadis itu menanya.

"Eh, apa kau ini dewa ? Kenapa kau tahu bahwa aku bernama Tolol ?" dengan lagak bebal yang di-bikin2 berbalik Nyo Ko menanya.

"Haha, jadi kau memang bernama si tolol ?" gadis itu tertawa demi mendengar jawaban orang, rupanya ia menjadi gembira, "Dan dimanakah Bapa dan Mak-mu ?"

"Sudah mati semua," sahut Nyo Ko. "Dan kau sendiri bernama siapa ?"

"Tak tahu, Buat apa kau tanya ?" kata si gadis.

"Dia tak mau katakan, biarlah aku pancing dia," demikian pikir Nyo Ko karena orang tak mau memberitahukan namanya. Lalu dengan berlagak ber-seri2 ia berkata pula : "Hahaa, aku tahu, kaupun bernama si tolol, maka kau tak mau mengatakan namamu."

Tentu saja gadis itu menjadi gusar, segera ia melompat maju, ia angkat kepalan terus menggetok dengan keras ke atas kepala Nyo Ko.

"Siapa bilang aku bernama si tolol, kau sendiri yang tolol," demikian damperatnya pula.

Karena kepala digetok orang, Nyo Ko pura2 kesakitan sambil menutup kepala dengan tangan-nya.

"Ya, sebab kalau orang tanya nama ku, bila aku katakan tak tahu, lantas orang panggil aku si tolol, sekarang kaupun bilang tak tahu, dengan sendirinya kaupun bernama si tolol," kata Nyo Ko dengan mewek2 bikinan.

"Siapa bilang aku tak tahu ?" bentak si gadis sengit "Hanya aku tak suka katakan padamu, Aku she Liok, mengarti tidak ?"

Kiranya gadis ini adalah Liok Bu-siang, itu gadis cilik pemetik ubi teratai yang sudah kita kenal pada permulaan cerita ini.

Sebagaimana masih ingat, dahulu waktu dia main panjat pohon bersama Piaoci-nya, yaitu Thia Eng, dan kedua saudara Bu, ia telah jatuh dari atas pohon hingga tulang kakinya patah, Syukur secara kebetulan Bu-samnio numpang menginap dirumahnya dan telah menyambungkan tulang kakinya yang patah itu.

Tetapi karena ayah Bu-siang, jakni Liok Lip-ting mencurigai Bu-samnio, akhirnya mereka saling gebrak sehingga sambungan tulang kaki Bu-siang rada terganggu dan sedikit meleset sesudah sembuh, kaki kirinya yang patah itu telah mengker sekira satu senti, maka bila berjalan menjadi sedikit pincang pula.

Walaupun kulit badan Liok Bu-siang tidak begitu putih, tetapi dasar pembawaannya cantik raut mukanya, setelah besar ia bertambah manis pula, tapi karena pincang kakinya, inilah yang menjadi penyesalan selama hidupnya.

Sesudah seluruh keluarganya dibunuh habis oleh Li Bok-chiu, sebenarnya Bu-siang pun tidak terluput dari kematian, tetapi setiap kali bila melihat saputangan sulaman yang menggubet di leher Bu-siang, lantas Li Bok-chiu teringat pada cinta Liok Tian-goan dahulu hingga selalu ia tak tega menghabisi jiwa anak dara itu.

Liok Bu-siang sendiri meski usianya masih kecil, tetapi ia sudah pandai berpikir, ia mengerti dirinya terjeblos di dalam cengkeraman iblis perempuan ini, jiwanya boleh dikatakan seperti telur di ujung tanduk yang setiap saat terancam bahaya, oleh sebab itu ia berlaku sangat hati2 dan berusaha sedapat mungkin me-narik2 hati orang, dan karena pintarnya Bu-siang membawa diri dan rajin melayani sehingga Jik-lian-sian-cu yang biasanya bunuh orang tanpa berkedip itu lambat laun menjadi reda juga maksud membunuhnya pada Liok Bu-siang.

Kadang2 Li Bok-chiu terkenang pada peristiwa di masa mudanya yang sangat menyesatkan itu, segera Bu-siang dipanggil ke hadapannya, lalu nona kecil itu disiksa dan dihina untuk melampiaskan dendamnya.

Namun Bu-siang pintar pura2, ia sengaja bikin mukanya kotor dan rambutnya serawutan sambil berjalan pincang sebagaimana seorang gadis yang harus dikasihani maka bila melihat macamnya ini, mestinya Li Bok-chiu hendak umbar dendamnya lantas tak sampai hati dilontarkan lagi.

Begitulah caranya Liok Bu-siang mencari selamat bagi dirinya sendiri, beruntung juga seorang gadis cilik seperti dia itu ternyata bisa hidup terus berdampingan dengan Li Bok-chiu yang kejam itu. sungguhpun demikian, dalam hati Bu-siang tidak pernah melupakan sakit hati ayah-bundanya yang dibunuh Li Bok-chiu secara kejam, sebaliknya apabila Li Bok-chiu coba menanyakan tentang ayah-ibunya, selalu Bu-siang berlagak linglung dan pura-pura tidak mengingatnya lagi.

Bila Li Bok-chiu sedang mengajarkan ilmu silat pada Ang Ling-po, ia lantas menunggunya di samping untuk melayani bila orang perlu diambilkan handuk atau Iain2, atau dia pura2 menyapu dan bersihkan meja kursi. Memangnya ilmu silat Bu-siang sudah ada dasarnya, maka diam2 ia mengingatnya dengan baik apa yang dilatih kedua orang tadi, lalu di waktu malam diam2 ia sendiri lantas melatihnya kembali.

Ditambah lagi di waktu biasa ia sengaja membaiki Ang Ling-po hingga belakangan ketika sang guru sedang gembira, Ang Ling-po lantas memohon bagi Liok Bu-siang untuk diterima sekalian sebagai murid Li Bok-chiu.

Dengan begitulah beberapa tahun telah lalu, ilmu silat Bu-siang sudah banyak maju pula, hanya perasaan Li Bok-chiu betapapun masih terdapat sisa-sisa rasa benci padanya, jangankan ilmu silat yang paling tinggi, meski ilmu kepandaian kelas dua saja tak sudi diajarkan padanya, baiknya ada Ang Ling-po yang merasa kasihan padanya dan diam2 suka memberi petunjuk2, maka ilmu silatnya walau tak bisa dikatakan tinggi, namun dibilang rendah pun tidak rendah.



Hari itu, ber-turut2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah berangkat ke Hoat-su-jin-bong untuk mencuri "Giok-li-sim-keng", karena sampai lama belum nampak kedua orang itu kembali, maka Bu-siang telah ambil keputusan untuk pulang ke daerah Kanglam buat mencari tahu mati-hidup ayah-bundanya yang sebenarnya, sebab waktu kecil ia hanya melihat ayah-ibunya dipukul Li Bok-chiu hingga luka parah, tentunya banyak celaka daripada selamatnya, tetapi karena belum melihat meninggalnya kedua orang tua dengan mata kepala sendiri, bagaimanapun dalam hatinya masih selalu menaruh sedikit sinar harapan semoga ayah-bundanya masih hidup, maka ingin sekali dia mencari tahu keadaan yang sebenarnya.

Oleh karena kaki kirinya cacat, yakni pincang, ciri2 ini telah merubah sifatnya hingga rada rendah diri, dia paling benci apabila ada orang memandang kakinya pincang itu.

Hari itu di tengah jalan justru kedua imam telah memandang beberapa kali pada kakinya yang cacat itu hingga menimbulkan amarahnya, kontan Bu-siang melontarkan kata2 yang menghina, dasar kedua imam itu juga bertabiat buruk, maka dari perang mulut akhirnya berubah menjadi perang senjata, dalam pertarungan itu, dengan golok-sabitnya yang melengkung itu Bu-siang telah tabas daun kuping dan batang hidung kedua imam itu, sebagai ekornya kemudian terjadi pertarungan sengit di Cay-long-kok itu.

Dulu tatkala Bu-siang digondol pergi oleh Li Bok-chiu, di gua pegunungan dekat Oh-chiu sebenarnya dia sudah pernah berjumpa sekali dengan Nyo Ko, tetapi waktu itu sama2 masih kecil, sekarang keadaan mereka berdua pun sudah banyak berubah, dengan sendirinya perkenalan kilat dahulu itu sudah tidak mereka ingat lagi.

BegituIah setelah Bu-siang menghabiskan dua potong daging paha kijang panggang, iapun merasa kenyang.

Di lain pihak sebaliknya Nyo Ko sedang memandangi wajah si nona yang manis, "Saat ini Kokoh, entah berada di mana ? Gadis di depanku ini kalau Kokoh adanya, lalu kuberi dia paha kijang panggang, bukankah akan sangat menyenangkan ?" demikian pikirnya diam2. Karena hatinya memikir, maka matapun menatap orang terlebih kesima.

Melihat begitu rupa orang pandang padanya, Bu-siang menjengek sekali, habis ini ia berdiri hendak menyingkir Mendadak dari jauh terdengar seorang sedang mendatangi dengan menyeret sandalnya yang menerbitkan suara "srat-sret, srat-sret", sambil mendekat orang itu sembari gunakan hidungnya untuk mengendus se-keras2nya.

"Ehm, wangi, sedap !" demikian ia berseru.

Dan sesudah dekat, maka jelas kelihatanlah baju yang dipakai orang itu penuh tambal-sulam di sana-sini, kiranya seorang kere, seorang pengemis.

Walaupun kere, tetapi dia mendekati orang dengan lagak tuan besar, lalu dia duduk di samping Nyo Ko, tanpa disuruh pun tanpa permisi segera dia samber sepotong daging kijang panggang yang masih digarang di atas api unggun tadi terus digeragoti dengan lahap seperti orang yang sudah tujuh hari tujuh malam tidak makan.

Nyo Ko sih tidak menggubris diri orang, tetapi Bu-siang yang mencium bau busuk tubuh orang yang kotor, memangnya dia sudah mendongkol, kini melihat kelakuannya yang tak kenal aturan, rasa mendongkolnya bertambah lipat, mendadak dia berdiri lantas tinggalkan orang hendak masuk kedalam rumah untuk tidur.

Rupanya sikap Bu-siang ini dapat diketahui si jembel tadi, tiba2 ia mendongak dan memandang sekejap pada si gadis sambil tersenyum, habis ini ia menunduk kembali untuk makan daging panggangnya.

Bu-siang menjadi gusar melihat kelakuan orang.

"Apa yang kau tertawakan ?" damperatnya segera.

"Aku tertawa sendiri, sangkut-paut apa dengan kau ?" sahut pengemis itu dengan dingin.

Dalam gusarnya Bu-siang sudah pegang goloknya dan berniat bunuh orang, syukur dia memikir pula: "Jangan dulu, kalau aku bunuh dia si tolol itu tentu akan ketakutan dan melarikan diri, biarlah aku bersabar sementara."

Maka dengan menahan rasa gusarnya, tanpa berpaling lagi ia lantas masuk ke rumah batu itu.

Di luar dugaan, baru saja dia melangkahi am-bang pintu, tiba2 terdengar si pengemis membuka suara pula dan sedang bertanya pada Nyo Ko : "Siapakah dia tadi, apa dia binimu ? Kenapa kakinya pincang ? Tidak laku dijual ?"

Sungguh tidak kepalang rasa gusar Liok Bu-siang oleh serentetan kata2 yang semuanya sangat menusuk hatinya, per-tama2 orang bilang dia adalah bini si tolol yang kotor dan berbau busuk itu, kedua, kakinya yang cacat di-olok2 dan ketiga dia dianggap seperti khewan saja, bukan saja harus dijual, bahkan dikatakan tidak laku.

Sejak kecil Bu-siang sudah kenyang oleh segala siksa-derita yang diperoleh dari Li Bok-chiu, oleh sebab itu, dalam pandangannya setiap orang di jagat ini dianggap sebagai musuh semua dan setiap orang pasti akan membikin susah padanya, ditambah kakinya pincang sehingga tabiatnya berubah aneh, yakni merasa rendah harga diri, maka bila siapa saja berani coba2 memandang sekejap pada kakinya yang cacat itu, tentu akan menimbulkan amarahnya, apa lagi si pengemis tadi telah mengeluarkan kata-kata yang sangat menghina itu, keruan dia tak tahan lagi, dengan cepat golok-sabitnya dilolos, begitu memutar, secepat angin dilabraknya si jembel itu.

Si pengemis itu terhitung anak murid Kay-pang (Persatuan Pengemis) angkatan keenam, di kalangan pengemis mereka ilmu silatnya tergoIong tengahan, maka kepandaiannya pun tidak terlalu rendah.

Persatuan Pengemis itu sejak Ang Chit-kong menjabat ketua, anggotanya banyak terpengaruh-oleh sifat ketua mereka, yakni menganggap di mana-mana adalah kediaman mereka, berpikiran jujur dan suka terus terang, suka bersahabat dengan siapapun juga yang dijumpai.

Oleh sebab itulah demi bertemu dengan Nyo Ko yang lagi panggang daging di tempat sepi, pula melihat pakaian Nyo Ko compang-camping, maka pengemis tadi pikir meski orang bukan sesama anggota, sedikitnya masih terhitung segolongan, golongan kere.

Karena itu iapun tidak sungkan2 lagi, begitu datang ia lantas duduk terus ikut makan, siapa tahu Bu-siang telah mengunjuk muka jemu dan kurang senang, bahkan terus berdiri dan menyingkir pergi karena tak tahan ia telah tertawai orang beberapa kata, tak terduga si gadis ternyata sangat pemarah, begitu putar kembali lantas main senjata.

BegituIah, maka atas serangan Bu-siang tadi pengemis itu telah berteriak sambil melompat bangun: "Haya, jangan ngamuk, jangan ngamuk, aku telah makan panggang daging lakimu. biarlah aku muntahkan kembali saja!"

Justru Bu-siang paling benci kalau orang berkelakar atas dirinya, keruan ia bertambah murka, tanpa berhenti lagi goloknya membabat dari kiri dan memotong pula dari kanan, be-runtun2 dua kali mengarah tempat lawan yang berbahaya.

Namun dengan cepat pengemis itu dapat menghindarkan diri, ketika serangan ketiga menyamber lagi, karena arah yang dituju tidak tetap, sedikit meleset saja dugaan pengemis itu, maka terdengarlah suara merobeknya kain, ternyata bajunya yang memang rombeng telah tertabas robek.

Keruan pengemis itu terkejut, "Eh, tidak nyana ilmu silat anak dara ini ternyata sangat lihay," demikian katanya dalam hati.

Dalam pada itu untuk keempat kalinya Bu-siang telah menyerang lagi, maka tak berani pula si pengemis pandang enteng lawannya, segera tongkat yang terselip di pinggangnya dia cabut terus ditangkiskan.

Tetapi setelah saling gebrak belasan jurus, rangsakan Bu-siang semakin lama semakin ganas, diam2 pengemis itu mengelak.

"Anak dara ini entah dari golongan dan aliran mana datangnya, perlu apa aku terlibat permusuhan dengan dia tanpa sebab ? Asal aku tancap gas se-kencang2nya terus mengeluyur pergi, masakan gadis pincang ini sanggup mengejar padaku ?" demikian pikirnya, Demi ingat kaki orang pincang, tanpa terasa ia memandang sekejap lagi ke arah anggota badan orang yang cacat itu.

Sebenarnya kalau dia sudah ambil keputusan buat angkat kaki, asal dia putar tubuh terus kabur mungkin segala persoalan akan menjadi selesai, tetapi celaka baginya, justru karena pandangannya tanpa sengaja itu kepada kaki orang yang pincang, habis ini baru dia melarikan diri, kelakuannya ini telah menyinggung perasaan Liok Bu-siang yang paling benci kalau kakinya yang cacat itu dipandang orang, sebab inilah dikemudian hari telah banyak menimbulkan ekor panjang.

Ketika Bu-siang mengetahui orang menatap kakinya yang pincang sambil mengunjuk rasa senang, habis ini tongkat ditarik terus kabur, keruan rasa gusarnya me-Iuap2 tak bisa ditahan lagi.



"Pengemis maling, apa kau kira aku tak bisa berjalan leluasa dan tak sanggup mengejar kau ?" damperatnya sengit. Habis ini segera dia mengudak.

Melihat pengemis itu lari ke arah utara, segera Bu-siang putar goloknya yang melengkung itu, setelah diayun beberapa kali, se-konyong2 ia lepaskan se-keras2nya ke arah tenggara hingga membawa samberan angin yang santer.

Tatkala itu dengan se-enaknya Nyo Ko sedang makan daging panggang dan menyaksikan perkelahian orang sambil duduk, ia menjadi sangat senang melihat si pengemis sengaja bikin Bu-siang marah2. Tetapi ia menjadi heran ketika mendadak melihat Bu-siang menimpukkan goloknya ke arah tenggara, namun baru saja ia tercengang atau tiba2 terlihat golok-sabit itu memutar sendiri di udara seperti dikemudikan saja.

Golok-sabit yang melengkung ini bentuknya sangat aneh, mata goloknya begitu tipis seperti kertas, diwaktu Liok Bu-siang menimpuk, tenaga yang digunakan sangat tepat pula, maka tertampaklah golok itu membawa suara ngaungan terus menyamber ke tubuh si pengemis tadi.

Saat itu si jembel sedang berlari dengan cepat, siapa duga golok ini seperti punya mata saja, se-konyong2 menyamber tiba terus menancap di atas punggungnya.

Saking sakitnya oleh tusukan golok itu, tanpa ampun lagi pengemis itu jatuh terjungkal.

Tentu saja Bu-siang tidak sia2kan kesempatan itu, dengan gunakan ilmu entengkan tubuh ia memburu maju dengan niat cabut goloknya yang menancap di punggung orang untuk kemudian menambahi orang dengan sekali bacokan lagi.

Namun pengemis itu tidak menyerah mentah2, belum sampai orang datang dekat, sekuat tenaganya ia telah merangkak bangun terus berlari pula ke depan seperti kesetanan, sekejap kemudian orangnya sudah menghilang tanpa bekas di kegelapan.

Sesudah dicoba dan merasa tidak bisa menyandak larinya orang, akhirnya Liok Bu-siang tidak mengudak lebih jauh, ia kembali ke tempatnya tadi.

"Lekas pergi mengambil kembali golokku itu." bentaknya tiba-tiba sesudah berhadapan dengan Nyo Ko.

"Golok apa ? Aku tak tahu !" sahut Nyo Ko acuh tak acuh.

"Bukankah kau melihat golokku menancap di punggungnya ?" kata Bu-siang pula, "Lekas pergi mengambil !"

"Tak bisa mengambilnya lagi," ujar Nyo Ko sambil goyang2 tangannya.

Bu-siang tahu percuma saja meski banyak bicara, karena itu, ia putar tubuh terus masuk rumah batu tadi untuk tidur sendiri, Baiknya padanya masih terdapat sebilah belati, maka katanya dalam hati: "Walaupun golok-sabit sudah tak ada, dengan belati inipun cukup untuk bikin beberapa lubang di badanmu."

Tengah malam, diam2 Bu-siang bangun, dengan ber-indap2 ia keluar rumah, ia lihat Nyo Ko sedang menggeros di tepi gundukan api itu tanpa bergerak sedikitpun. Gundukan api itu sudah lama padam, rembulan pun mulai doyong ke barat, hanya remang2 masih kelihatan bayangannya.

Segera Bu-siang cabut belatinya, dengan pelahan ia mendekati orang, begitu sudah dekat, tanpa pikir lagi belati diangkat terus ditusukkan se-keras2nya ke punggung orang, tapi mendadak tangannya kesemutan, tangannya terguncang sakit, karena itu tak kuat lagi ia genggam lebih kencang, dengan menerbitkan suara nyaring, belatinya terlepas dari cekalan, terasa olehnya tempat yang kena tusukan belatinya itu seperti mengenai besi atau batu yang keras.

Keruan saja bukan buatan terkejutnya Bu-siang, tanpa pikir lagi ia putar tubuh terus lari menyingkir dalam hati ia pikir: "Jangan2 Si tolol ini telah melatih diri begitu rupa sehingga tubuhnya kebal tak mempan senjata ?"

Sesudah berlari pergi beberapa tombak jauhnya, karena tak mendengar suara kejaran Nyo Ko, kemudian Bu-siang menoleh, dilihatnya masih meringkik di samping gundukan api yang sudah padam itu tanpa bergerak sedikitpun.

Dengan sendirinya Bu-siang menjadi curiga, "Tolol, he, Tolol !" ia ber-teriak2 memanggil

Tetapi meski sudah berulang kali ia memanggil toh orang masih tetap tidak menyahut Waktu Bu-siang menegasi, ia lihat tubuh Nyo Ko dalam keadaan meringkuk, bentuknya sangat aneh dan mencurigakan. Maka dengan tabahkan hati ia mendekati. Setelah dekat, nyatanya barang yang meringkuk itu tidak mirip bentuk manusia, ketika ia coba meraba, rasanya sangat keras, barang yang berada di bawah baju itu laksana batu.

Tanpa ayal lagi segera Bu-siang singkap baju itu, betul saja di dalamnya berisi sebuah batu padas yang panjang besar, jadi hanya baju membungkus batu, tetapi bayangan Nyo Ko sudah tak kelihatan.

Seketika Bu-siang terkesima oleh kejadian di luar dugaan itu, kembali ia memanggil pula : "He, Tolol."

Namun tetap tiada jawaban, Ketika ia coba pasang kuping mendengarkan tiba2 terdengar dalam rumah batu itu sayup2 seperti ada suara orang mengorek. Keruan saja Bu-siang ter-heran2, segera ditujunya tempat datangnya suara itu, betul saja ia lihat Nyo Ko sedang tidur pulas di atas meja yang tadi digunakan dirinya.

Karena serangannya tadi tidak mengenai sasarannya, dalam gusarnya Bu-siang tidak berpikir pula secara teliti kenapa orang bisa mendadak tidur di atas mejanya, mendadak ia melompat maju, belati diangkat dengan sekali tusuk kembali ia tikam pula punggung orang.

Bu-siang menjadi senang karena sekali ini ia telah tepat menikam orang yang sesungguhnya ia lihat Nyo Ko tidak melompat bangun pula tidak menjerit kesakitan, maka tanpa ayal ia cabut belatinya dan tambahi pula sekali, tempat dimana melatinya menusuk terang sekali adalah daging tubuh orang, sedikitpun tiada perbedaan lain, cuma aneh, sama sekali tidak tertampak mengalirnya darah.

Karena itu, kembali Bu-siang terkejut tetapi gusar pula, susul menyusul ia menusuk lagi beberapa kali, tetapi yang terdengar malah suara meng-gerosnya Nyo Ko yang semakin keras.

"Ai, siapakah yang mengitik-ngitik punggungku ? Hihi, jangan guyon ! Haha jangan main2, aku tak tahan geli!" demikian terdengar Nyo Ko malah menginggau.

Saking terperanjatnya Bu-siang sampai mukanya pucat lesi, akhirnya kedua tangannya pun menjadi gemetar sendiri "Jangan2 orang ini adalah setan atau siluman ?" katanya dalam hati.

Oleh karena pikiran itu, segera ia putar tubuh hendak melarikan diri, akan tetapi, entah saking takutnya atau mengapa, seketika kedua kakinya seperti tak mau turut perintahnya, dia masih terpaku di tempatnya.

"Ai, pungungku kenapa begini geli, tentu ada tikus yang hendak colong daging kijangku," demikian kembali terdengar Nyo Ko menempati lagi.

Habis itu ia malah ulur tangan ke punggung, dari dalam bajunya ditarik keluar sepotong dagang kijang panggang terus dibanting ke lantai.

Melihat ini barulah Bu-siang menarik napas Iega, kini baru dia mengerti duduknya perkara, "Kiranya si tolol ini simpan daging kijang dekat punggungnya, pantas belasan kali tikamanku tidak membikin jiwanya melayang sebab semuanya mengenai daging kijang, sebaliknya aku sendiri malah dibikin takut!" begitulah ia pikir.

Karena dua kali menikam dan dua kali tidak berhasil tewaskan orang, rasa benci Bu-siang terhadap Nyo Ko menjadi tambah pula, "Si tolol busuk, lihat sekali ini jiwamu melayang tidak ?" dengan geregeten Bu-siang berkata dengan suara pelahan, menyusul ini tiba2 ia menubruk maju, lagi2 dengan belatinya ia menikam punggung Nyo Ko, ia menduga sekali ini pasti Nyo Ko tak terluput dari kematian.

Siapa tahu pada waktu belatinya hampir mengenai tubuh Nyo Ko, mendadak dalam keadaan masih mengorek pemuda itu telah membaliki tubuhnya, keruan tusukannya menjadi luput hingga mengenai meja sampai ambles sebatas gagang belati

Selagi Bu-siang sekuatnya hendak cabut kembali belatinya, di lain pihak Nyo Ko seperti mimpi saja, tiba2 berteriak : "Tolong, Mak ! Tolong, ada tikus busuk hendak gigit aku !"

Menyusul itu kedua kakinya yang kotor dan bau itu bahkan menjulur ke depan, tahu2 kaki kiri tepat ditaruh di atas siku Bu-siang tempat kiok-ci -hiat" dan kaki kanan sebaliknya menggeletak di atas pundak si gadis tepat mengenai tempat "ko-cing-hiat".

Kedua tempat yang disebut itu adalah kedua Hiat-to yang berbahaya di tubuh manusia, ketika Nyo Ko ulur kedua kakinya, entah sengaja atau secara kebetulan, secara persis telah membentur kedua tempat jalan darah itu. Keruan seketika Bu-siang merasakan tubuhnya menjadi kesemutan lalu tak bisa berkutik lagi ia hanya berdiri membisu saja di tempatnya dan dijadikan penyanggah kaki Nyo Ko.

Sungguh bukan buatan murka Liok Bu-siang oleh kejadian ini, meski tubuhnya tak bisa bergerak, tetapi mulutnya masih bisa buka suara, Karena itu segera ia membentak mendamperat: "Hai, ToloI, lekas singkirkan kakimu yang bau ini!"



Tetapi jawaban yang dia peroleh hanya suara mengoroknya Nyo Ko yang semakin keras.

Tidak kepalang gemasnya Bu-siang hingga dia kehabisan akal, dalam keadaan murka, tiba2 ia pentang mulut terus meludahi tubuh Nyo Ko.

Tak kira lagi2 Nyo Ko membaliki tubuhnya, sedang ujung kaki kanannya seperti tak disengaja saja tiba2 melayang dan dengan tepat membentur pelahan "pi-su-hiat" di bawah dagu Liok Bu-siang.

Karena benturan itu, seketika seluruh tubuh Bu-siang menjadi kaku semua, kini mulut saja tak bisa dipentang lagi, hanya hidungnya yang kenyang mencium bau kaki Nyo Ko yang bacin.

Bcgitulah gadis itu telah dibuat tempat penyanggah kaki Nyo Ko hingga sekian lama, saking dongkolnya sampai Bu-siang hampir semaput, Dalam hati tiada hentinya ia mengutuk dan menyumpahi Nyo Ko: "Jahannam kau si Tolol ini, besok kalau aku sudah bisa bergerak bebas, pasti kucincang kau hingga menjadi baso."

Tidak lama, rasanya Nyo Ko sudah cukup puas mempermainkan orang, tiba2 ia membaliki tubuh lagi berbareng melepaskan kedua kakinya dari atas tubuh orang, kini ia membalik menghadap keluar, karena itu, meski dalam keadaan gelap Nyo Ko masih bisa melihat cukup jelas air muka si nona yang penuh gusar dan mangkel itu.

Tetapi semakin Bu-siang mengunjuk gusar, rupanya semakin mirip Siao-liong-li hingga dengan ter-mangu2 Nyo Ko menikmati wajahnya seperti orang yang kehilangan semangat

Di lain pihak, karena waktu itu rembulan mendoyong ke barat hingga sinar sang dewi malam menyorot masuk melalui pintu, maka muka Nyo Ko dapat dilihat dengan jelas oleh Liok Bu-siang, ia lihat pemuda ini sedang pentang kedua matanya lebar2 dan lagi memandang padanya dengan tersenyum-simpul.

Keruan hati Bu-siang terkesiap, "Jangan2 si Tolol ini sengaja berlagak bodoh dan pura2 bebal ? Memang tak disengaja tadi ia menutuk jalan darahku ?" demikian ia ber-tanya2 pada diri sendiri.

Oleh karena pikiran itu, tanpa tertahan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.

Justru pada saat itu juga, tiba2 dilihatnya Nyo Ko sedang melirik ke lantai, waktu Bu-siang ikut melirik ke arah yang diincar Nyo Ko itu, maka tertampaklah olehnya di atas lantai itu terdapat tiga bayangan hitam yang sejajar, kiranya ada tiga orang telah berdiri di ambang pintu sana.

Waktu ia menegasi lagi, ternyata ketiga orang itu semuanya bersenjata.

"Celaka, celaka, ada musuh lagi menunggu, tetapi justru Hiat-to kena ditutuk si Tolol ini," diam2 Bu-siang mengeluh.

Nyata, meski tadi dia sudah curiga, namun apapun juga sukar dipercaya bahwa seorang bocah angon yang bodoh dan kotor seperti dia ini memiliki ilmu silat yang tinggi

Dalam pada itu demi dilihatnya bayangan orang2 itu, segera Nyo Ko pejamkan mata lagi dan pura2 tidur.

"Hayo, budak hina, lekas keluar, apa dengan berdiri tegak begitu saja lantas dikira Toya (tuan imam) bisa mengampuni kau ?" demikian terdengar salah seorang di luar itu berteriak.

"Ah, kiranya kaum imam lagi," kata Nyo Ko di dalam hati demi mendengar tantangan orang itu.

"Kamipun tidak inginkan jiwamu, asal iris juga batang hidungmu, potong sebelah daun kuping dan sebelah telapak tangan saja sudah cukup," terdengar seorang Iain berkata lagi.

"Kami sudah menunggu di sini, lekas keluar kau untuk turun tangan saja," demikian kata orang ketiga.

Habis itu, ketiga orang itu lantas melompat pergi, mereka kepung pintu keluar itu dengan rapat.

"He, suara teriakan apakah di luar itu, di manakah kau nona Liok ?" demikian kemudian Nyo Ko bangun terduduk dengan mengulet ke-maIas2-an. "Eh, nona Liok, kenapa kau berdiri saja di situ ?"

Habis berkata, seperti tidak sengaja ia tarik2 lengan baju si gadis dan digoyangkan beberapa kali, Maka terasalah tiba2 oleh Liok Bu Siang ada suatu kekuatan yang besar sekali telah menggun-cang2kan seluruh tubuhnya hingga ketiga tempat Hiat-to yang tertutuk tadi seketika lancar kembali dan dapat bergerak bebas lagi.

Bu-siang pun tidak sempat berpikir secara teliti, segera ia jemput belatmya dari lantai terus melompat keluar rumah, di bawah sinar rembulan itu terlihatlah olehnya tiga orang lelaki sudah menantikan di situ, iapun tidak bicara lagi, begitu tangannya bergerak belatinya segera menusuk pada orang yang berdiri di sebelah kiri.

Orang itu bersenjatakan ruyung besi, karena serangan Bu-siang itu, ia incar2 dengan baik ruyungnya terus disebetkan ke bawah.

Ruyungnya ini memang cukup berat, ditambah lagi tenaganya juga besar, sabetannya itupun diincar dengan tepat sekaii, maka terdengarlah suara "trang" yang keras, belati Bu-siang seketika terlepas dari tangan.

Waktu itu Nyo Ko masih merebah miring di atas mejanya, ia lihat Bu-siang melompat ke samping, sedang tangan kirinya diangkat miring ke depan, segerapun Nyo Ko menduga imam yang diarah itu pasti tak mampu pertahankan goloknya.

Memang betul, ketika Bu-siang membaliki tangannya lagi, dengan ilmu silat Ko-bong-pay yang sangat hebat itu, tahu2 golok salah satu imam itu sudah kena disebutnya dan bahkan dibarengi pula sekali membacok, tidak ampun lagi pundak imam itu telah merasakan tajam goloknya sendiri.

Dengan disertai caci maki, lekas2 imam itu melompat ke samping untuk merobek kain bajunya buat membalut lukanya itu.

Sesudah mendapatkan goIok, seketika semangat Bu-siang bertambah, tanpa ayal lagi ia tempur lelaki yang memakai ruyung besi itu dengan sengit, Sedang seorang lainnya adalah lelaki pendek kecil dan memakai senjata tumbak, iapun tidak berpeluk tangan ia ikut terjun ke dalam pertempuran, tumbaknya bekerja cepat menusuk ke sini sana untuk bantu kawannya, cuma dia tak berani terlalu mendekati Bu-siang.

Ilmu silat lelaki yang pakai ruyung itu ternyata sangat tinggi, setelah belasan jurus, lambat laun Liok Bu-siang merasa kewalahan Agaknya lelaki itu mempunyai tingkat yang tidak rendah di kalangan Bu-lim, hal ini terbukti gerak-geriknya ternyata sangat beraturan, meski beberapa kali Bu-siang berbuat kesalahan dalam serangannya, namun orang itu ternyata tidak mau terlalu mendesak dan gunakan kesempatan itu untuk melukai Liok Bu-siang.

Sementara itu imam tadi sudah selesai membalut lukanya, dengan tangan kosong ia menerjang maju lagi.

"Darimana datangnya perempuan keparat seperti kau ini, kenapa cara turun tanganmu begitu keji ?" demikian dengan tangan menuding Bu-siang mencaci-maki, Habis ini, begitu kepalanya menunduk, segera ia menyeruduk Liok Bu-siang dengan cepat.

"Celaka !" diam2 Nyo Ko berteriak demi dilihat keadaan pertarungan keempat orang diluar itu.

Betul saja dibawah berkelebatnya sinar senjata, punggung imam itu kembali merasakan sekali bacokan lagi, bersamaan dengan itu tumbak si lelaki pendek itupun menusuk sampai di belakang Liok- Bu-siang, sedang telapak tangan si lelaki kuat tadipun sudah menghantam ke dada si gadis.

Karena keadaan berbahaya itu, dengan cepat dua batu kecil disamber Nyo Ko terus ditumpukkan sekaligus, sambitannya ini ternyata sangat jitu, yang sebuat tepat mengenai tumbak musuh hingga senjata ini terguncang pergi, sedang batu yang lain kena pula pergelangan tangan lelaki kuat tadi.

Lelaki itu ternyata sangat tinggi ilmu silatnya, meski tangan kanan kena sambitan batu dan seketika lemas tak bertenaga, tapi telapak tangan yang lain masih bisa bergerak secepat kilat dan mendadak dipukulkan lagi, maka terdengarlah suara "plak", dada Bu-siang kena digenjot dengan keras.

Keruan Nyo Ko terkejut Ya, bagaimanapun usia Nyo Ko masih muda dan pengalamannya cetek, sama sekali tak diduganya bahwa lelaki itu memiliki kepandaian lihay "Lian-goan-siang-ciang" atau pukulan berganda secara susul-menyusul.

Ketika pukulan kedua orang itu dilontarkan lekas2 Nyo Ko melayang maju buat menolong Liok Bu-siang, dengan sekali tarik saja ia dapat jambret baju leher lelaki itu, lalu dengan tenaga raksasa nya terus dilempar pergi se-jauh2nya.

Tubuh lelaki itu beratnya sedikitnya lebih dua ratus kati, tetapi oleh lemparan Nyo Ko ini, seketika ia ter-apung2 di udara untuk kemudian jatuh terbanting sejauh beberapa tombak

Melihat Nyo Ko begini lihay, imam tadi dan si lelaki pendek menjadi jeri, Iekas2 mereka membangunkan kawannya terus pergi tanpa berpaling lagi.

Kemudian Nyo Ko memeriksa keadaan Bu-siang, ia lihat muka si gadis pucat kuning, napasnya sangat lemah, nyata lukanya tidak ringan. ia ulur sebelah tangan ke bahu orang dengan maksud memayang Bu-siang supaya duduk kembali, siapa tahun tiba2 terdengar suara "gemerutuk" dua kali, suara saling gosoknya tl!ang, kiranya dua tulang iga Bu-siang telah patah oleh hantaman lelaki tangkas tadi.

Sebenarnya Bu-siang sudah jatuh pingsan, tapi karena terguncangnya tulang iga yang patah hingga menimbulkan sakit hebat, saking sakitnya berbalik ia sadar dari pingsannya itu, lalu ia merintih-rintih dengan kepala tunduk.

"Kenapa ? Apa sangat sakit ?" lekas2 Nyo Ko bertanya.

Dalam sakitnya sampai jidatnya Bu-siang penuh berkeringat kini mendengar pertanyaan Nyo Ko, keruan ia mendongkol.

"Masih tanya, sudah tentu sangat sakit! demikian dengan mengertak gigi menahan sakit dia mendamperat, "Hayo pondong aku ke dalam rumah !"

Nyo Ko tak membantah Iagi, ia pondong tubuh si nona, tapi tidak urung terjadi juga guncangan hingga tulang iga yang patah itu kembali saling gosok hingga Bu-siang kesakitan Iagi.

"Bagus ya kau si Tolol setan alas, kau sengaja siksa aku, ya ?" demikian ia me-maki2. "Dan, dimanakah ketiga orang tadi ?"

Nyata pada waktu Nyo Ko turun tangan menolongnya, waktu itu ia kebetulan jatuh semaput oleh hantaman musuh, sebab itu tak diketahuinya "si Tolol" inilah yang telah menolong jiwanya.

"Mereka mengira kau sudah mati, maka mereka lantas pergi," dengan tertawa Nyo Ko menjawab.

Mendengar keterangan ini hati Bu-siang merasa lega.

"Apa yang kau tertawa ?" damperatmya pula demi dilihatnya Nyo Ko menyengir2. "Kau kesenangan ya melihat aku kesakitan ?"

Mendengar orang mendamperat dan memaki terus-menerus padanya, setiap kali orang memaki, Nyo Ko lantas teringat pada kejadian dahulu ketika dirinya didamperat Siao-liong-li.

Selama beberapa tahun ia hidup berdampingan dengan Siao-liong-Ii di dalam kuburan Hoat-su-jin-bong, hari yang dilewatkannya itu dianggap masa yang paling menyenangkan selama hidupnya, sungguhpun Siao-liong-Ii selalu mendamperatnya dengan bengis, tapi karena, diketahuinya sang guru mengajarnya dengan sesungguh hati, meski mendapat damperatan, toh tetap dirasakannya sangat senang.

Kini karena tidak bisa ketemukan Siao-liong-li yang dia cari, tetapi kebetulan ada seorang gadis lagi yang mendamperatnya dengan kata2 yang bengis, tanpa terasa hati kecilnya lantas anggap orang sebagai duplikatnya Siao-liong-li sekedar pelipur hati yang kosong, dengan demikian rasa deritanya menjadi sedikit berkurang.

Begitulah, maka terhadap cacimaki Liok Bu-siang tadi, Nyo Ko hanya tertawa saja tanpa di-gubrisnya.

Melihat wajah orang mengunjuk ketawa, Bu-siang teringat pada dirinya sendiri yang sudah cacat, kini menderita luka parah pula, sebaliknya bocah angon ini meski kotor namun seluruh anggota badannya dalam keadaan baik.

Memangnya tabiat Bu-siang sudah ada kelainan, kini dalam keadaan luka ia menjadi iri terhadap Nyo Ko, ia gemas sekali bisa2 dengan sekali bacok hendak dibunuhnya Nyo Ko.

Nyo Ko pondong Bu-siang dan direbahkan di atas meja tadi, Karena gerakan merebahkan itu, kembali tulang iganya yang patah itu berbunyi lagi saling gosok, saking sakitnya Bu-siang men-jerit2 tak tahan. Dan justru waktu menjerit itu pernapasannya menjadi tambah keras hingga menarik urat2 iganya, maka rasa sakitnya menjadi lebih hebat lagi.

"Maukah kusambungkan tulangmu yang patah ini ?" tanya Nyo Ko kemudian.

"Anak angon bau busuk, kau mampu sambung tulang apa ?" damperat Bu-siang.

"Pernah anjing piaraanku yang borokan berkelahi dengan anjing tetangga dan tulang kakinya patah tergigit, maka akulah yang sambungkan tuIangnya," kata Nyo Ko. "Dan ada lagi, babi betina kepunyaan tetanggaku terbanting patah tulang iganya, itupun aku yang menyambungkan tulangnya."

Bu-siang menjadi gusar karena dirinya disamakan dengan khewan, tetapi ia tak berani berteriak sebab akan mengakibatkan rasa sakit, terpaksa dengan suara tertahan ia mendamperat lagi: "Kurangajar, kau memaki aku sebagai anjing borokan dan maki aku pula sebagai babi betina, Kau sendirilah yang anjing borokan dan babi betina."

"Tidak, salah, seumpamanya babi, aku kan babi jantan," sahut Nyo Ko dengan tertawa, "Lagipula, anjing borokan itupun betina, anjing jantan tak bisa borokan kulitnya."

Biasanya Bu-siang sangat pintar bicara dan pandai adu mulut, tetapi karena rasa sakitnya tidak kepalang setiap ia buka mulut, maka maksudnya balas makian orang itu ia urungkan, terpaksa ia pejamkan mata dan menahan rasa sakit, ia tak gubris lagi keceriwisan Nyo Ko.

"Tahukah kau, tulang anjing totokan itu lantas sembuh dalam beberapa hari saja sesudah ku sambung, ketika berkelahi lagi dengan anjing tetangga, keadaannya seperti tulangnya tak pernah patah," demikian Nyo Ko sengaja menerocos terus. "Eh, nona Liok, bagaimana dengan kau, mau tidak akupun sambung tulangmu ?"

Dalam keadaan kepepet, dalam hati Bu-siang berpikir juga: "Boleh jadi bocah angon kotor ini betul2 bisa menyambung tulang, apa lagi disinipun tiada tabib, kalau tiada yang mengobati aku, tentu aku akan mati konyol kesakitan."

Tetapi lantas terpikir lagi olehnya: "Tulang igaku yang putus, kalau dia menyambungkan tulangku ini tentu tubuhku akan kelihatan, bukankah ini sangat memalukan ? Hm, kalau dia tak bisa menyembuhkan Iuka2ku, biar kuhabiskan jiwaku bersama dia. Dan kalau bisa sembuh, akupun tidak membiarkan seorang yang pernah melihat tubuhku tetap hidup di jagat ini,"

Dasar sifat Bu-siang memang sudah menyendiri karena penderitaannya sejak kecil pula begitu lama ikut Li Bok-chiu hingga terpengaruh juga oleh sifat2 Jik-lian-sian-cu yang kejam dan enteng tangan, walaupun umurnya masih sedikit, tapi dalam pikirannya penuh dengan angan2 yang keji.

Begitulah, maka dengan suara rendah lalu ia berkata : "Baiklah, boleh coba kau menyambungkan tulangku, sebenarnya kau bisa atau tidak ? jangan kau coba membohongi aku, bocah angon busuk, awas kau !"

Nyo Ko menjadi senang melihat orang akhirnya menyerah Katanya dalam hati: "Jika dalam keadaan begini aku tidak goda dia, mungkin selanjutnya tiada kesempatan baik lagi."

Oleh karena itu, dengan lagak dingin saja dia berkata lagi: "Sewaktu babi betinanya wak Ong tetanggaku itu patah tulang iganya, beribu kali anak gadisnya memohon padaku dan beruntun memanggil aku seratus kali "engkoh yang baik" baru aku mau menyambungkan tulangnya."

"Cis, cis, bocah angon busuk, cis... auuh..." damperat Bu-siang ber-ulang2, tetapi mendadak ia menjerit karena dadanya terasa sakit pula.

"Kau tak mau panggil aku, tak mengapalah," kata Nyo Ko dengan tertawa. "Nah, aku akan pulang sajalah, nona Liok, selamat tinggal, sampai ketemu lagi."

Sambil bicara, betul saja Nyo Ko lantas melangkah keluar pintu.

"Celaka, dengan kepergiannya ini, pasti aku akan mampus kesakitan di sini," demikian pikir Bu-siang. Karena itu, terpaksa ia tanya dengan menahan amarahnya : "Lalu apa yang kau kehendaki ?"

"Sebenarnya kaupun harus panggil aku seratus kali "engkoh yang baik", tetapi sepanjang jalan aku sudah kenyang dicaci maki olehmu, maka kau harus panggil aku seribu kali baru jadi," sahut Nyo Ko.

Betul2 Bu-siang mati kutu, "BIarlah kusanggupi semuanya, nanti kalau aku sudah sembuh, satu persatu baru kubikin perhitungan padanya,"

Demikian pikirnya diam2. Karena itu, segera ia menurut: "Baiklah, Engkoh yang baik, engkoh yang baik, engkoh yang baik... auuh..."

"Sudahlah, masih ada 997 kali, sementara ku catat saja sebagai utangmu, nanti kalau kau sudah baik barulah dilunaskan lagi," kata Nyo Ko.

Habis berkata, ia lantas mendekati Bu-siang terus hendak membuka bajunya.

Karena kelakuan Nyo Ko ini, tanpa terasa Bu-siang sedikit mengkeret dan membentak: "Pergi, apa yang hendak kau lakukan ?"

Karena bentakan itu, Nyo Ko menyurut mundur. "Untuk menyambung tulangmu, kenapa bajumu tak boleh dibuka ? Aku pernah dengar orang bilang ada ilmu "ke-san-pak-gu" (memukul kerbau dari balik gunung), tetapi tak pernah mendengar ada ilmu "ke-ih-ti-gu" (mengobati kerbau dari balik baju)," demikian katanya dengan tertawa.

Mendengar kata2 ini, Bu-siang merasa lucu juga akan kelakuannya tadi, tetapi kalau dibiarkan orang membuka bajunya, sesungguhnya rada malu juga. Karena itu ia menjadi ragu-ragu.



"Baiklah, tak bisa kutolak kau," katanya kemudian dengan kepala menunduk dan berpikir lama.

"Kalau kau tak mau disembuhkan boleh tak usah saja, akupun tidak kepingin..."

Baru saja Nyo Ko berkata sampai disini, mendadak didengarnya di luar sana ada suara orang sedang berbicara : "Budak hina ini pasti berada di sekitar sini, kita harus lekas menemukannya."

Bu-siang menjadi pucat lesi mendengar suara orang itu, dalam keadaan demikian rasa sakit dadanya tak terpikir lagi olehnya, dengan cepat ia mendekap mulut Nyo Ko yang sedang berkata tadi

Kiranya yang bicara di luar itu tidak lain dari pada Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu, gurunya yang sangat ditakutinya itu.

Nyo Ko sendiripun sangat terkejut setelah dikenalnya suara siapa orang itu.

"Yang menancap di punggung pengemis itu terang adalah "Gin-ko-to" milik Sumoay, cuma sayang tak keburu kita mencabutnya buat mengenalinya lebih pasti," demikian terdengar suara seorang wanita lain. Orang ini dengan sendirinya Ang Ling-po adanya.

Kiranya sejak mereka guru dan murid terlolos dari kematian di Hoat-su-jin-bong, kemudian mereka telah pulang ke Jik-keh-ceng yang menjadi kediamannya, di sana diketahui bahwa Liok Bu-siang meninggalkan perkampungan mereka itu tanpa pamit, bahkan sebuah kitab Li Bok-chiu, yaitu "Ngo-tok-pit-toan" (kitab rahasia "Panca-bisa") telah ikut dicuri juga.

Sebabnya Li Bok-chiu disegani di seluruh jagat hingga tokoh2 Bu-lim pada jeri bila mendengar namanya, titik pokoknya bukan karena ilmu silat-nya, tetapi pada bisa jahat "Ngo-tok-sin-ciang" "pukulan sakti panca-bisa, yakni lima macam racun) dan senjata "Peng-pek-gin-ciam" (jarum perak batu es).

Justru kitab "Ngo-tok-pit-toan" itu memuat resep obat racun pembuatan jarum perak dan pukulan saktinya yang berbisa itu dengan obat pemunahnya pula, kalau kitab itu teruar di kalangan umum, lalu ditaruh kemana lagi nama baik dan wibawa Jik-Iian-sian-cu yang disegani itu?

Li Bok-chiu sendiri sudah apal di luar kepala semua isi kitab pusakanya itu, dengan sendirinya tak perlu kitab itu selalu dibawa, pula penyimpanannya di Jik-he-ceng sangat dirahasiakan siapa tahu Liok Bu-siang yang pintar dan cerdik, segala apa selalu diperhatikannya hingga tempat penyimpanan benda2 rahasia gurunya telah diketahui olehnya, dan karena sudah ada niatannya hendak melarikan diri, maka jarum perak berbisa dan obat pemunah sang guru, bahkan kitab "Panca-bisa" itupun dicuri dan dibawa lari sekalian

Keruan amarah Li Bok-chiu bukan buatan oleh perbuatan Liok Bu-siang itu, dengan membawa Ang Ling-po, siang malam segera diubemya, Terapi sudah lama Bu-siang kabur, pula yang ditempuh adalah jalanan kecil yang sepi, meski Li Bok-chiu berdua sudah menguber dari utara sampai selatan dan dari selatan kembali ke utara untuk mencegatnya, namun tetap tak kelihatan bayangan si gadis yang dicari itu.

Kebetulan juga malam hari itu, waktu mereka berdua sampai di sekitar kota Cingkoan, mereka mendengar berita dari anak murid Kay-pang yang mengatakan bahwa ada pertemuan golongan mereka di sesuatu tempat.

Li Bok-chiu pikir anggota persatuan kaum pengemis itu tersebar di mana2, kabar berita merekapun sangat cepat dan tajam, tentu diantara mereka ada yang pernah melihat Liok Bu-siang. Oleh karena itu mereka berdua lantas pergi ke tempat pertemuan itu dengan maksud mencari kabar.

Tetapi di tengah jalan mereka telah ketemukan satu anak murid Kay-pang dari angkatan ke-enam yang digendong lari oleh seorang kawannya dalam keadaan luka2, selain itu ada belasan pengemis yang mengawalnya.

Dengan kejelian mata Li Bok-chiu, sekilas dapat dilihatnya di punggung pengemis yang di gendong itu menancap sebilah golok yang melengkung dan dapat dikenalinya adalah "Gin-ko-to" atau golok perak melengkung milik Liok Bu-siang.

Oleh karena tak ingin bikin onar dengan kaum pengemis yang berpengaruh besar itu, maka diam2 Li Bok-chiu mengintil dari belakang untuk mengintai kebetulan lapat2 dapat didengar percakapan kawanan pengemis itu dalam keadaan marah2, katanya yang melukai kawan mereka itu adalah seorang gadis pincang yang menimpukkan golok melengkung itu.

Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir kalau pengemis itu baru saja dilukai, tentu Liok Bu-siang masih berada juga di sekitar sini, Karena itu dengan langkah cepat segera ia menguber lagi hingga sampai di depan rumah batu bobrok itu.

Disini tertampak olehnya ada segundukan abu bekas api unggun, hidungnya pun mengendus bau darah yang anyir, lekas2 ia nyalakan api dan coba periksa sekitarnya, betul saja di atas tanah diketemukannya lagi bekas2 noda darah yang masih baru, terang sekali terjadinya pertarungan sengit itu belum lama berselang.

Dari itu segera Li Bok-chiu tarik2 ujung baju sang murid sambil menuding ke arah rumah bobrok itu.

Ang Ling-po mengerti maksud sang guru, ia mengangguk habis itu pintu ramah yang setengah tertutup itu ia dorong, dengan putar pedang untuk melindungi tubuhnya segera ia terjang ke dalam.

Di Iain pihak, demi mendengar, suara percakapan antara Suhu dan Sucinya, Bu-siang insaf sekali ini tak luput lagi dari kematian, karena itu, ia malah kuatkan hatinya dan berlaku tenang saja merebah untuk menantikan ajalnya.

Begitulah ketika terdengar suara pintu didorong, menyusul satu bayangan orang menyelinap masuk yang bukan lain adalah sang Suci - Ang Ling-po.

Sejak kecil Bu-siang pandai ambil hatinya, maka terhadap sang Sumoay tidak jelek juga kasih sayang Ang Ling-po. Sekali ini sang Sumoay telah melanggar peraturan besar perguruannya, pasti gurunya akan siksa habis2an dengan macam2 cara yang keji terhadap Bu-siang, habis itu sedikit demi sedikit baru dihukum mati, kini nampak si gadis masih rebah di atas meja, segera Ang Ling-po angkat pedangnya terus menusuk ke ulu hati sang sumoay, dengan demikian ia pikir anak dara ini boleh terbebas dari segala siksaan guru mereka.

Siapa duga, baru saja ujung pedangnya hampir menempel ulu hari Liok Bu-siang, tiba2 Li Bok-chiu telah tepuk pelahan pundaknya, karena ini, seketika Ling-Po merasakan tangannya menjadi lemas tak bertenaga, segera pula tangannya melambai ke bawah.

"Hm, apa aku sendiri tak bisa membinasakan dia ? Perlu apa kau kesusu ?" kata Li Bok-chiu dengan tertawa dingin. Habis ini ia berpaling dan ditujukan pada Liok Bu-siang. "Hm, apa di hadapan Suhu kau tak melakukan penghormatan lagi?"

Tetapi Bu-siang sudah teguhkan hatinya. "Hari ini aku sudah jatuh ke tangannya, baik minta ampun atau membangkang pasti juga akan merasakan siksaan yang kejam," demikian pikirnya, Karena itu, dengan dingin saja ia jawab: "Keluarga kami dengan kau sudah menanam dendam sedalam lautan, tidak perlu lagi kau banyak bicara."

Tetapi Li Bok-chiu hanya pandang anak dara itu dengan diam, entah rasa suka atau duka yang terkandung pada sorot matanya itu. sebaliknya Ang Ling-po memandangi sang Sumoay dengan wajah yang penuh rasa duka dan kasihan, namun Bu-siang ternyata tidak gentar sedikitpun oleh sikap sang guru itu, bibirnya sedikit terjibir, tampaknya malah mengunjuk sikap yang angkuh dan menantang Dengan begitulah mereka bertiga telah saling pandang.

"Mana kitab itu, serahkan !" kata Li Bok-chiu kemudian sesudah terdiam agak lama.

"Sudah direbut seorang Tosu (imam) dan seorang pengemis !" sahut Bu-siang.

Terkejut sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu.

Dengan kaum pengemis itu meski tak pernah Li Bok-chiu bermusuhan, tetapi dengan "Coan-cin-kau" tidak sedikit dendamnya, iapun tahu antara Kay-pang dan Coan-cin-kau mempunyai hubungan yang sangat rapat, kalau kitab "Ngo-tok-pit-toan" itu sampai jatuh di tangan mereka, itulah sungguh celaka !

Sayup2 Bu-siang dapat mendengar suara tertawa dingin sang guru, ia tahu pasti orang sedang memikirkan akal keji untuk siksa dirinya. jika waktu melarikan diri sepanjang jalan selalu ketakutan ditangkap oleh gurunya, kini setelah betul2 tertangkap, ia malah tidak begitu takut lagi seperti semuIa.

"Eh, kemanakah si tolol itu telah pergi ?" demikian tiba2 ia jadi teringat pada Nyo Ko.

Dalam keadaan jiwanya terancam maut ini, tanpa terasa timbul semacam perasaan hangat terhadap bocah angon yang tolol dan kotor itu.

Pada saat itu juga, mendadak ada berkelebatnya sinar api, menyusul mana dengan membawa suara gedebukan tiba2 seekor banteng ngamuk menerjang masuk dari luar.

Waktu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po menoleh, maka tertampaklah seekor sapi jantan yang tinggi besar telah menyerobot masuk, pada ujung tanduk kanan binatang itu terikat sebilah belati dan sebelah tanduk yang lain terikat pula seikat kayu dengan api yang me-nyala2.



Terjangan binatang itu ternyata hebat sekali, walaupun ilmu silat Li Bok-chiu sangat tinggi, tetapi tak berani juga ia menghadapi serudukan sapi jantan itu dari depan, segera ia berkelit ke samping, ia lihat binatang itu mengitar sekali di ruangan rumah itu, habis ini lantas berputar keluar lagi.

Tatkala menerjang masuk sapi itu main seruduk seenaknya, waktu keluarpun berlari secepat keranjingan setan, karenanya hanya sekejap saja sapi itu sudah lari pergi sejauh belasan tombak.

Dengan memandangi bayangan binatang itu mula2 Li Bok-chiu rada heran, tetapi segera terpikir olehnya: "He, siapakah yang mengikat pisau dan kayu berapi itu di tanduknya ?"

Waktu mereka berpaling kembali, tanpa berjanji mereka - guru dan murid - menjerit berbareng, ternyata Liok Bu-siang yang tadi masih rebah di atas meja itu, kini sudah lenyap tanpa bekas.

Lekas Ling-po menggeledah seluruh rumah bobrok itu, habis ini ia melompat lagi ke atas atap rumah. sebaliknya Li Bok-chiu menduga pasti sapi tadi yang bikin gara2, maka dengan sekali melayang, dengan enteng dan gesit segera diuber-nya binatang itu.

Dalam keadaan gelap itu, sinar api yang menyala pada tanduk sapi itu cukup jelas kelihatan nyata binatang itu sudah menerobos masuk ke sebuah hutan, Dari sorot api terlibat juga oleh Li Bok-chiu bahwa di atas punggung sapi itu tiada penunggangnya, tampaknya Liok Bu-siang toh bukan kabur dengan menunggang sapi Tetapi segera tergerak pikirannya: "Ah, tentu tadi ada orang yang sembunyi di luar, sapi aneh itu digunakan untuk mengalihkan perhatianku dan dalam keadaan kacau budak hina itu lantas ditolongnya pergi."

Namun seketika ia menjadi bingung karena tak tahu ke jurusan mana harus mengejar, hanya langkahnya dia percepat hingga sebentar saja sapi jantan itu sudah dapat disusulnya, Waktu ia melompat ke atas punggung binatang itu dan diperiksanya teliti namun tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan.

Kemudian ia lompat turun dan tendang sekali bokong binatang itu, lalu dengan tekap bibir ia bersuit memberi tanda pada Ang Ling-po, mereka lantas menguber lagi dari dua jurusan, yang satu dari utara ke selatan dan yang lain dari barat ke timur.

Munculnya sapi jantan itu dengan sendirinya adalah perbuatan si Nyo Ko.

Tadi begitu mendengar suara Li Bok-chiu berdua, diam2 ia mengeluyur keluar melalui pintu belakang dan mengintip dari luar, mendengar satu kata saja segera ia tahu Li Bok-chiu mau membunuh Liok Bu-siang.

Meski Li Bok-chiu masih terhitung Supek atau "paman" guru Nyo Ko sendiri namun bencinya terhadap perempuan kejam itu sudah terlalu mendalam. Semula ia bingung cara bagaimana harus menolong jiwa Liok Bu-siang, mendadak dilihatnya "dari jauh sapi jantan yang kemarin itu sedang menguak tak bertuan, keruan saja ia bergirang, ia ber-Iari2 memarani binatang itu, ia ikat belatinya Bu-siang dan seikat kayu yang dinyatakan dulu tanduk sapi, ia sendiri terlentang menggempit di bawah perut binatang itu, ia giring sapi itu menerjang ke dalam rumah.

Waktu sapi itu berlari mengitari ruangan, tubuh Bu-siang telah disambernya dengan masih tetap menggemblok sembunyi di bawah perut sapi. Dasar ilmu silat Nyo Ko sudah terlalu hebat, gerak-geriknya pun dilakukan dengan cepat sekali, ditambah lagi rupa sapi jantan itupun aneh, maka sekalipun Li Bok-chiu luar biasa lihaynya, sesaat itu ia kena dikelabui juga oleh Nyo Ko.

Dan ketika ia berhasil menyusul sapi jantan yang kabur itu, tatkala mana Nyo Ko sudah menyembunyikan diri diantara semak2 rumput sambil pondong Liok Bu-siang.

Sudah tentu, karena guncangan hebat itu, rasa sakit Bu-siang menjadi melebihi di-sayat2, cara bagaimana Nyo Ko menolong dan cara membawa dirinya menggemblok di bawah perut sapi dan cara bagaimana melompat turun dan sembunyi di semak alang2, semuanya itu tak diketahuinya oleh karena keadaannya yang setengah pingsan. Sesudah agak lama kemudian baru pikirannya sedikit pulih kembali, dalam sakitnya segera ia hendak berteriak.

"Jangan bersuara !" lekas2 Nyo Ko dekap mulutnya sambil membisikinya.

Betul saja lantas terdengar suara tindakan orang yang tidak jauh dari tempat sembunyi mereka.

"He, kenapa sekejap saja sudah tak kelihatan ?" itulah suaranya Ang Ling-po.

"Marilah kita pergi saja, budak hina ini tentu sudah kabur jauh," terdengar Li Bok-chiu menyahut dari jauh.

Habis itu lantas terdengar pula suara tindakan Ang Ling-po yang makin menjauh.

Saking sesak oleh karena mulutnya ditutup rapat orang, segera Bu-siang meronta dan hendak berteriak lagi, namun sedikitpun Nyo Ko tak melepaskannya, tangannya masih dekap kencang2 pada mulutnya.

Ketika Bu-siang meronta lagi dan merasa dirinya berada dalam pelukan si pemuda, ia menjadi malu tercampur gugup, segera ia bermaksud memukul orang, Namun sebelumnya tiba2 terdengar Nyo Ko membisikinya lagi: "Ssst, jangan kau tertipu, gurumu sengaja akali kau !"

Baru selesai ia bicara, betul saja lantas terdengar Li Bok-chiu lagi berkata: "Ah, rupanya memang tiada di sini lagi." - Begitu dekat suara nya se-akan2 berada di samping mereka saja.

Keruan Bu-siang terkejut "Untung ada si tolol ini, kalau tidak, tentu aku sudah tertawan oIehnya."

Kiranya Li Bok-chiu memang cerdik, ia sangsi Bu-siang masih sembunyi di sekitar sini, maka sengaja ia bilang pergi, padahal dengan ilmu entengi tubuh "Chau-siang-hui" (terbang di atas rumput) diam2 ia putar kembali lagi tanpa terbitkan sesuatu suarapun, dan karena ini hampir saja Bu-siang terjebak kalau Nyo Ko kurang cerdik.

Sesudah Nyo Ko pasang kuping mendengarkan, kemudian dapat diketahuinya Li Bok-chiu berdua sekali ini betuI2 sudah pergi, barulah ia lepaskan tangannya yang mendekap mulut si nona,

"Baiklah sekarang tak perlu kuatir lagi." dengan tertawa ia berkata.

"Lepaskan aku," bentak Bu-siang karena badannya masih dalam pelukan orang.

Maka dengan pelahan Nyo Ko meletakkan Bu-siang ke tanah rumput itu.

"Segera juga kusambung tulangmu, kita harus lekas meninggalkan tempat ini, kalau sampai fajar mendatang mungkin tak bisa meloloskan diri lagi," katanya.

Bu-siang manggut2 tanda setuju.

Karena kuatir orang kesakitan pada waktu menyambung tulangnya dan me-ronta2 hingga diketahui oleh Li Bok-chiu, segera Nyo Ko tutuk dulu jalan darah Bu-siang hingga gadis ini tak mampu berkutik, habis ini baru baju orang dibukanya. "Se-kaIi2 jangan bersuara," demikian ia pesan, Sesudah baju luar dibuka, tertampaklah baju dalam si gadis yang berwarna biru muda.

Tiba2 kedua tangan Nyo Ko rada gemetar, tak berani ia membuka baju orang lebih jauh, Waktu ia pandang si gadis, ia lihat Bu-siang pejamkan kedua matanya lengan alis berkerut rapat

Dasar Nyo Ko memang baru menginjak masa remaja, ketika mencium bau wangi badan gadis, tak tertahan jantungnya memukul keras.

"Sembuhkanlah aku !" kata Bu-siang tiba-tiba sambil buka matanya, Hanya sepatah kata saja, lalu ia pejamkan matanya pula dan berpaling ke jurusan lain.

Akan tetapi Nyo Ko berhenti lagi tak berani meraba badan orang ketika badan si gadis yang putih halus tertampak olehnya, ia berdiri terpesona.

Karena sudah lama menunggu, pula terasa angin silir menghembusi badannya yang sudah terbuka hingga rada sejuk rasanya, tiba2 Bu-siang membuka matanya lagi hingga kelakuan Nyo Ko yang ter-mangu2 seperti patung itu dapat dilihatnya.

"A...apa yang kau... kau lihat ?" bentaknya gusar.

Nyo Ko terkejut, lekas2 ia ulur tangan buat meraba tulang iga orang yang patah, tetapi baru menyentuh kulit badan orang yang halus itu, Nyo Ko merasa seperti kena aliran listrik, tangannya cepat ditarik kembali lagi.

"Lekas tutup matamu, jika kau pandang aku lagi segera ku... ku..." bentak Bu-siang puia dengan suara ter-putus2, sampai disini tak tahan lagi air matanya lantas menetes.

"Ba... baiklah, jangan kau menangis," sahut Nyo Ko gugup,

Habis itu betul saja ia pejamkan matanya, lalu tangannya meraba lagi tulang iga orang, di pasang dengan tepat kedua tulang iga yang patah itu, lalu baju si gadis lekas2 ia tarik buat menutupi bagian badannya itu.

Sesudah rada tenang perasaannya Nyo Ko mendapatkan pula empat potong kayu, dua batang diapit di bagian depan dada dan yang dua batang di punggung, dengan kulit pohon yang dia beset ia pakai sebagai perban, lalu diikatnya dengan kencang supaya tulang yang patah itu tidak tergeser lagi. Habis ini baru dia betulkan baju si gadis dan lepaskan tutukannya tadi.

Waktu Bu-siang pentang matanya, remangl ia lihat muka Nyo Ko yang tersorot sinar bulan bersemu merah dan dengan rasa kikuk2 sedang mengintip meliriknya, tetapi begitu sinar mata kedua belah pihak kebentrok, dengan cepat Nyo Ko melengos ke samping.



Meski sekarang tulang iganya sudah tersambung betul, namun masih dirasakan sakit jarem, cuma sudah jauh berkurang daripada rasa sakit waktu tulangnya saling gosok hendak disambung tadi.

"Si tolol ini ternyata punya sedikit kepandaian juga," demikian ia pikir.

Sebenarnya Bu-siang bukannya gadis bodoh, kini sudah dapat dilihat juga bahwa se-kali2 Nyo Ko bukan anak udik biasa, lebih2 bukan anak tolol segala, tetapi karena sejak mula ia sudah perlakukan orang dengan caci maki dan pandang hina, kini meski sudah ditolong ia tetap belum mau merubah sikapnya.

"Lalu bagaimana baiknya sekarang, Tolol ?" demikian ia tanya, "Apa kita harus terpaku disini atau harus menyingkir pergi yang jauh ?"

"Bagaimana menurut kau ?" balas Nyo Ko tanya.

"Sudah tentu pergi saja, apa tunggu kematian di sini ?" sahut Bu-siang tertawa.

Keruan girang sekali si gadis hingga ia tertawa riang.

"Tolol, daerah Kanglam begitu jauh letaknya, apa bisa kau pondong aku terus sampai di sana ?" ujar Bu-siang. walaupun berkata demikian, namun iapun tidak bantah lagi dan membiarkan tubuhnya meringkuk dalam pelukan Nyo Ko.

Karena kuatir kepergok Li Bok-chiu berdua, maka jalan yang dipilih Nyo Ko adalah jalanan kecil yang sepi, Dasar Ginkang Nyo Ko memang sudah sangat tinggi, meski langkahnya cepat, namun bagian tubuh yang atas sedikitpun tidak ter-kocak sehingga sama sekali Bu-siang tidak merasakan sakit lagi.

Begitu cepat larinya Nyo Ko hingga Bu-siang melihat pepohonan di tepi jalan berkelebat lewat ke belakang, sungguh cepatnya seperti kuda balap, kalau dibandingkan malahan Ginkang pemuda ini tidak dibawah gurunya, keruan diam2 Bu-siang sangat heran dan terkejut.

"Ha, kiranya si Tolol ini memiliki ilmu yang tinggi luar biasa, dengan umurnya semuda ini, mengapa sudah dapat melatih diri sampai begini lihay ?" demikian ia bertanya di dalam hati.

Sementara itu hari sudah mulai terang, waktu "Bu-siam" menengadah ia lihat muka Nyo Ko meski kotor, namun tidak menutupi mata dan alisnya yang cukup jelas bukan anak tolol sebagaimana dia anggap, melainkan pemuda yang ganteng.

Betapapun juga hatinya tergerak, lambat laun iapun lupa rasa sakit di dadanya, selang tak lama.

"Pergi ke mana ?" tanya Nyo Ko.

"Aku mau pulang ke Kanglam, mau tidak kau antar aku ke sana ?" kata Bu-siang lagi.

"Aku harus mencari Kokoh, tak dapat ku pergi begitu jauh", sahut Nyo Ko.

Mendengar jawaban ini, tiba2 Bu-siang tarik muka.

"Baiklah, kalau begitu lekas kau pergi ! Biarkan aku mati di sini saja," demikian katanya kemudian.

Kalau si gadis ini memohon dengan kata2 halus dan membujuk umpamanya, dapat dipastikan Nyo Ko tidak nanti mau terima, tetapi kini melihat wajah orang mengunjuk rasa gusar dan alisnya ter-kerut rapat, lapat2 memper sekali dengan sikap Siao-Iiong-li diwaktu marah, tak tertahan ia lantas menerima baik permintaan orang.

"Bisa jadi Kokoh kebetulan juga berada di daerah Kanglam, biar kuantar nona Liok ini ke sana, siapa tahu kalau Thian kasihan padaku dan berhasil ketemukan Kokoh di sana ?" demikian ia pikir, walaupun demikian, sebenarnya dalam hati ia cukup tahu juga bahwa harapan itu terlalu kecil sekali, cuma tiada jalan buat menolak permintaan Liok Bu-siang, maka pikirannya tadi boleh dibilang hanya untuk menghibur dirinya sendiri saja.

Karena itulah, sambil menghela napas, kemudian iapun pondong lagi tubuh Bu-siang.

"Untuk apa kau pondong aku ?" bentak Bu-siang dengan gusar.

"Pondong kau ke Kanglam," sahut Nyo Ko lagi, lapat2 iapun terpulas dalam pelukan Nyo Ko.

Sampai hari sudah terang benderang, akhirnya Nyo Ko merasa letih juga, ia lari sampai dibawah satu pohon besar, ia turunkan Bu-siang dengan pelahan dan ia sendiri duduk di samping si gadis untuk mengaso.

Setelah Bu-siang mendusin, dengan tersenyum manis tiba2 ia berkata pada Nyo Ko : "Aku lapar, kau lapar tidak ?"

"Sudah tentu lapar," sahut Nyo Ko, "Baiklah, kita mencari kedai nasi untuk tangsal perut."

Lalu ia pondong lagi si gadis, sudah sepanjang malam ia pondong orang, maka kedua lengannya terasa pegal, maka tubuh si gadis ia angkat dan didudukkan di atas pundaknya, dengan demikian ia melanjutkan perjalanan dengan pelahan.

"He, Tolol, siapa namamu ?" tanya Bu-siang dengan tertawa sambil kedua kakinya menggeduk-geduk dada Nyo Ko. "Rasanya tidak baik di hadapan umum selalu kupanggil kau si Tolol saja!"

"Memangnya aku tiada nama lain, semua orang panggil aku si Tolol," sahut Nyo Ko.

"Hm, tak percaya aku, tak mau kau katakan juga masa bodoh," kata Bu-siang dengan mendongkol "Kalau begitu, siapakah Suhumu ?"

,Mendengar orang menyebut "Suhu", karena terhadap Siao-liong-Ii luar biasa menghormatnya, maka Nyo Ko tak berani bergurau atas nama gurunya itu.

"Suhuku adalah Kokoh," demikan ia jawab dengan sungguh2

Atas jawaban ini, Bu-siang mau percaya, "Kiranya ilmu silatnya ini adalah keturunan keluarga sendiri," demikian ia pikir.

"Dari tempat mana dan aliran manakah Ko-kohmu itu ?" segera ia tanya pula.

"Tempatnya di rumah," sahut Nyo Ko pura2 tolol "Dan aliran apa itulah aku tak tahu."

"Hm, pura2 bodoh kau," omel si gadis. "Yang aku tanya yalah ilmu kepandaianmu itu dipelajari dari pintu perguruan mana ?"

"Pintu? Apa kau tanya pintu rumahku itu ?" sahut Nyo Ko berlagak linglung, "Pintu itu bukankah terbikin dari kayu ?"

Mendengar jawaban yang tak keruan juntrung-nya ini, diam2 Bu-siang pikir: "Jangan2 orang ini memang betul2 tolol, hanya karena terlahir bisa lari cepat dan bukannya memiliki ilmu silat yang tinggi ? Tetapi salah juga, terang sekali ia mampu menutuk dan menyambung tulang, sudah tentu dia adalah jagoan Bu-lim, jangan2 ilmu silatnya meski hebat, namun orangnya memang dasarnya dungu".

BegituIah Bu-siang berpikir dengan bingung, Kemudian dengan kata2 halus ia coba menanya lagi: "Coba katakanlah baik2 padaku, tolol, sebab apakah kau menolong jiwaku ?"

Pertanyaan ini seketika sulit dijawab Nyo Ko, karena itu ia telah pikir sejenak, habis ini baru ia berkata : "Kokoh suruh aku menolong kau, maka aku lantas menolong kau !"

"Siapakah kau punya Kokoh itu ?" tanya Bu-siang.

"Kokoh ya Kokoh, dia suruh aku kerja apa lantas kukerjakan apa," kata Nyo Ko.

Si gadis menghela napas lagi oleh jawaban yang tak genah ini, ia pikir : "Ah, kiranya orang ini memang betul2 toloI."

Dan karena pikiran ini, rasa marahnya terhadap Nyo Ko yang mulai timbul tadi, kini mendadak berubah lagi menjadi jemu dan gemas.

Melihat orang terdiam, tiba2 Nyo Ko malah tanya : "Hei, kenapa kan tak bicara lagi ?"

Bu-siang tak menjawab, ia hanya menjengek saja sekali, Karena itu Nyo Ko mengulangi pula pertanyaannya,

Kalau aku tak suka bicara lantas tak bicara, tahu, Tolol ? Lekas kau tutup mulut !" bentak Bu siang tiba-tiba.

Nyo Ko pikir wajah orang dalam keadaan muring2 demikian tentu enak sekali dipandang, tetapi si nona duduk di atas pundaknya, maka sukar dilihat, diam2 ia merasa sayang.

Begitulah sambil bicara itu, kemudian tibalah mereka di suatu kota kecil.

Melihat cara sepasang muda-mudi ini, yaitu Bu-siang didukung dengan duduk di atas pundak Nyo Ko, semua orang di jalan sama ter-heran2. Akan tetapi Nyo Ko tak peduli, ia mencari satu restoran dan minta disediakan daharan, mereka duduk berhadapan

Mendadak Bu-siang mengkerut kening ketika terendus olehnya bau tapi sapi yang menghembus keluar dari badan Nyo Ko.

"He, Tolol, kau duduk ke meja sana saja, jangan duduk semeja dengan aku," katanya pada si pemuda dengan sikap mual.

Nyo Ko tidak membantah, dengan tertawa ia duduk ke meja yang lain.

Walaupun demikian, melihat duduk orang masih menghadap ke arahnya, makin dipandang tampang tolol orang semakin menjemukan, maka dengan tarik muka Bu-siang berkata lagi: "Jangan kau pandang aku," habis ini ia menuding meja yang lebih jauh letaknya dan menyambung : "Sana, pindah ke meja itu !"



Nyo Ko menurut, dengan tertawa sambil membawa mangkok nasinya ia malah pindah ke ambang pintu dan duduk di sana lalu makan nasinya.

"Nah, begitulah seharusnya," kata Bu-siang.

Sungguhpun perut si gadis terasa lapar, tapi dadanya terasa sakit oleh tulang yang patah itu, ia menjadi uring2an dan maunya melampiaskan marah2nya pada Nyo Ko saja, tetapi karena orang sudah duduk begitu jauh, ia tak ada alasan lagi untuk mem-bentak2 atau mengomel padanya.

Begitulah selagi ia kesel sekali, tiba2 didengarnya di luar pintu sana ada suara orang ber-dendang : "Nona cilik berlakulah murah hati."

Habis ini ada seorang lagi terus menyambung: "Sedekahlah semangkok nasi pada si pengemis !"

Waktu Bu-siang angkat kepalanya, terlihatlah empat pengemis berdiri sejajar di luar pintu, ada yang tinggi, ada yang pendek, semuanya sedang memandang ke arahnya.

Karena dia pernah melukai seorang pengemis dengan senjatanya "Gin-ko-to" atau golok perak melengkung, kini nampak kedatangan empat orang ini tidak mengandung maksud baik, diam2 ia terkejut.

Sementara itu ia dengar orang ketiga dari pengemis2 itu sedang menyambung dendangan kawannya tadi: "Jalan ke sorga tidak kau tempuh !" Lalu orang keempat lantas menyambung juga : "Neraka tak berpintu hendak kau masuki!"

Begitulah lagu yang dinyanyikan keempat pengemis itu adalah lagu minta2 yang biasa disuara-kan kaum pengemis, Pada tangan kanan tiap2 pengemis itu membawa sebuah mangkok rusak dan tangan kiri mencekal sepotong kayu yang masih berkulit, pundak mereka masing2 menggendong 6 buah kantong goni.

Melihat dandanan pengemis2 ini, teringat oleh Bu-siang apa yang pernah dia dengar dari cerita sang Suci - Ang Ling-po, bahwa anggota Kay-pang mem-beda2kan tingkatan dengan menghitung kantong goni yang digendong mereka, melihat empat pengemis yang membawa 6 kantong ini, maka dapatlah diketahui mereka adalah anak murid 6 kantong yang tergolong tinggi tingkatannya dalam Kay-pang.

Pengaruh Kay-pang di daerah utara dan selatan sungai - Yangce - waktu itu sangat besar, maka demi nampak sekaligus didatangi empat jago2 Kay-pang berkantong 6, kuasa hotel lantas tahu bakal terjadi peristiwa besar, keruan ia menjadi gugup dan tegang, Iekas2 ia memberi tanda pada kawan2 pelayannya dan suruh mereka sekali2 jangan membikin marah tokoh2 Kay-pang itu.

Di samping Iain Liok Bu-siang tidak lagi memandang empat pengemis itu, ia hanya pandang daharan yang berada di mejanya, sedang dalam hati ia memikirkan tipu-daya untuk meloloskan diri, Tetapi musuh ada empat orang, dirinya sendiri terluka, sedang si Tolol itu apa betul2 pandai ilmu silat masih sukar dipastikan sekalipun betul bisa silat, namun kelakuannya gila-gilaan tak genah, tidak nanti tinggi ilmu silatnya dan susah juga melawan empat jagoan Kay-pang.

Begitulah meski Bu-siang biasanya sangat pintar dan cerdik, kini terasa tak berdaya juga seketika.

Sebaliknya Nyo Ko lagi sibuk urusi isi mangkoknya dan sama sekali tidak ambil pusing terhadap empat pengemis itu, sehabis "langsir" isi se mangkok ke dalam perutnya, ia mendekati mejanya Bu-siang dan tambah nasi lagi semangkok penuh, berbareng itu ia samber sepotong ikan (laut), karena ikan itu masak kuah, maka airnya menetes-netes di atas meja.

"Hehe, makan ikan !" dengan ke-tawa2 tolol ia berkata.

Melihat rupa orang, alis Bu-siang terkerut terlebih rapat, tetapi kini tiada banyak tempo lagi buat mendamperat orang, sebab terdengar olehnya keempat pengemis tadi sesudah melagukan "si nona cilik" tadi secara sambung-menyambung hingga berulang tiga kali, empat pasang mata merekapun terus membelalak ke arahnya.

Oleh karena masih belum mendapatkan sesuatu akal untuk melayani orang, terpaksa Bu-siang pura2 tidak dengar saja dan dengan kepala menunduk menyumpit nasinya dengan pelahan.

"Nona cilik, jika semangkok nasi saja tak kau beri, maka harap memberi sedekah sebilah golok lengkung saja," kata seorang diantara pengemis itu tiba2, rupanya mereka sudah tak sabar.

"Marilah kau ikut bersama kami, takkan kami persulit kau, kami hanya ingin tanya duduknya perkara dan tentu ada keputusan secara adil," demikian kata yang lain pula.

Selang tak lama, pengemis yang ketiga pun mendesak lagi: "Hayo, lekaslah, apa perlu kami gunakan kekerasan ?"

Dalam keadaan demikian Bu-siang menjadi serba salah, ia tidak tahu apa harus menjawab atau tidak.

"Tidak nanti kami minta2 secara paksa dan empat laki2 menghina seorang nona cilik, kami hanya ingin kau ikut pergi untuk menimbang siapa kiranya di pihak yang benar," akhirnya pengemis yang keempat pun ikut berkata.

Mendengar lagu suara orang, Bu-siang insaf sebentar lagi tentu pakai kekerasan, meski tahu tak ungkulan, namun tak bisa mandah menerima kematian, maka dengan tangan kiri memegang bangku ia, tunggu bila lawan berani maju, segera dengan bangku itu akan kuhantamkan dahulu kepada musuh.

"Sudah tiba waktunya kini," demikian Nyo Ko juga sedang pikir, Kemudian ia mendekati meja Bu-siang lagi, ia angkat piring ikan orang untuk mengambil lauk-pauk.

"Ah aku minta kuahnya," demikian dengan samar2 ia bicara karena mulutnya sedang mengunyah sepotong ikan dengan lezatnya.

Sembari berkata, piring ikan yang dia angkat tadi sengaja ia miringkan hingga setengah mangkok kuah yang masih panas tertuang semua di atas lengan Bu-siang.

Karena kejadian ini, tiba2 Bu-siang berpaling dan menggeser sedikit tubuhnya untuk periksa kuah yang menuang badannya itu.

"Ai, celaka !" seru Nyo Ko pura2 kaget, habis ini ia berlagak kelabakan hendak membersihkan noda kuah itu, Pada saat itu juga, dengan sedikit miringkan mukanya keluar, tiba2 ia menguap terus menyemprot hingga belasan duri tulang ikan yang tajam menyamber keluar dengan cepat ke arah keempat pengemis tadi.

Sama sekali keempat pengemis itu tidak menduga akan kejadian ini, sedikitpun mereka tidak nampak jelas atau tiba2 siku mereka tempat "kiok-ti-hiat" terasa kesemutan, lalu terdengar suara gedubrakan, empat mangkok mereka yang bobrok itu terbanting ke lantai hingga pecah berantakan be-himpun empat pentung kayu mereka.

Sementara itu dengan bajunya yang sudah rombeng Nyo Ko tiada hentinya menyeka air kuah yang menuang lengan Bu-siang tadi sambil dengan ter-putus2 ia berkata: "Ja... jangan kau marah, aku... aku bersihkan kau."

"Pergi!" mendadak Bu-siang membentak.

Ketika ia menoleh kembali untuk melihat keempat pengemis tadi menghilang di simpang jalan raya sana, sedang empat pentung dan mangkok yang sudah pecah berantakan terserak di lantai Bu-siang menjadi ragu2 dan heran oleh kelakuan pengemis2 itu, mengapa tanpa sebab lantas pergi begitu saja ?

Dalam pada itu ia lihat Nyo Ko dengan kedua tangannya yang kotor dengan kuah ikan dan air sayur lainnya masih mengusap dan menyeka serabutan di atas meja, ia menjadi marah dan men-damperat lagi. "Pergi menyingkir apa kau kira tak kotor ?"

"Ya, ya !" sahut Nyo Ko ber-ulang2 sambil kedua tangannya menggosok2 bajunya untuk menghilangkan kotorannya.

"Cara bagaimanakah keempat pengemis itu pergi ?" tanya Bu-siang kemudian sambil mengkerut kening.

"Tentunya karena nona tak mau memberi sedekah, toh tiada gunanya minta2 terus, maka mereka lantas pergi," ujar Nyo Ko.

Si gadis ber-pikir2 sejenak lagi dan tetap tak diketahui apa sebabnya, Lalu ia ambil serenceng uang perak dan suruh Nyo Ko membeli seekor keledai sesudah bayar uang daharan, dia lantas menunggang keledai yang baru dibeli ini untuk berangkat.

Tetapi tulang iga dekat dadanya yang patah itu belum sembuh, maka baru saja ia naik, terasa lah sakit sekali sampai mukanya putih pucat.

"Sayang aku terlalu kotor lagi bau, kalau tidak, boleh juga kudukung kau di atas pundak", demikian kata Nyo Ko.

"Hm, omong yang tidak2," Bu-siang menjengek berbareng ia tarik tali kendali menjalankan keledainya.

Siapa duga binatang itu ternyata sangat bandel, tabiatnya pun buruk, bukannya ia jalan ke depan, sebaliknya tubuhnya me-nyirik2 minggir hingga mepet tembok bahkan badan Bu-siang di-gosok2kan lagi pada tembok itu.



Memaognya Bu-siang masih lemas karena luka, keruan ia berteriak kaget dan terbanting jatuh. Untung ilmu silatnya cukup hebat, begitu sebelah kakinya menginjak tanah, dengan segera ia bisa berdiri tegak, cuma ia menjadi kesakitan lagi lukanya

"Sudah terang kau lihat aku jatuh terbanting kenapa kau tidak memayang diriku ?" dengan gusar ia melampiaskan rasa dongkolnya pada Nyo Ko.

"Bu.... bukankah badanku kotor!" sahut Nyo Ko,

"Apa kau tak bisa cuci dulu ?" kata Bu-siang lagi

Nyo Ko tidak menjawab melainkan nyengir saja.

"Lekas kau dukung aku ke atas keledai," bentak si gadis pula.

Nyo Ko menurut, ia menaikkan ke punggung keledai Tetapi begitu merasa punggungnya ada penunggang, segera keledai itu hendak main gila.

"Lekas kau tuntun keledai ini," kata Bu-siang.

"Ti... tidak, aku takut didepak olehnya." sahut Nyo Ko.

Bu-siang menjadi dongkol "Kurangajar si tolol ini, bilang dia tolol nyatanya dia tidak tolol, bilang tidak ia justru tolol, sudah terang maksudnya ingin memondong diriku," demikian pikirnya.

Karena terpaksa, akhirnya ia berkata lagi: "Baiklah, kaupun menunggang ke atas sini."

"Nah, kau sendiri yang suruh aku, tapi jangan kau bilang aku kotor, lalu mendamperat dan memukul aku lagi," ujar Nyo Ko.

"Ya, ya, cerewet saja !" sahut Bu-siang mengkal.

Maka dengan tertawa kecil barulah Nyo Ko melompat ke atas keledai dengan pelahan, dengan kedua tangannya ia rangkul si gadis yang duduk di depannya, ketika kedua kakinya sedikit mengempit karena kesakitan, maka keledai itu tak berani binal lagi, dengan jinak berjalan menurut perintah.

"Pergi ke mana ?" tanya Nyo Ko.

"Sana," sahut Bu-siang sambil menunduk ke arah tenggara. ia sudah mencari tahu sebelumnya tentang perjalanan sebenarnya hendak ditempuhnya arah timur melalui Ciongkoan dan kemudian baru memutar ke daerah selatan, ini memang jalan raya yang biasa dilalui.

Tetapi sejak ketemu empat pengemis yang lain, adalah lebih baik menempuh jalan kecil saja, walaupun sedikit lebih jauh, paling perlu cari selamat.

Begitulah terdengar suara tapak kaki keledai yang ketuprak2 berjalan pelahan ke arah yang dipilihnya itu.

Baru saja mereka keluar dari kota, tiba2 dari tepi jalan ber-Iari2 mendatangi satu anak petani yang berumur belasan, "Nona Liok, ini sesuatu barang buat kau," demikian seru bocah itu sambil mapaki keledai yang mereka tunggangi. Berbareng itu menimpukkan seikat bunga ke arah Bu-siang, habis ini ia angkat kaki dan berlari pergi lagi

Waktu karangan bunga itu diterima Bu-siang dan diperiksa, ia lihat hanya seikat bunga biasa saja dan disamping terikat sepucuk surat dengan benang, lekas si gadis membuka sampulnya dan keluarkan selembar kertas kuning dari dalamnya, ia lihat surat itu tertulis: "Sekejap lagi gurumu bakal datang, lekas sembunyikan diri, lekas !"

Kertas surat itu sangat kasar, sebaliknya tulisannya ternyata bergaya sangat bagus. Bu-siang ter-heran2 dan ragu2 mengapa orang kenal dia she Liok dan siapakah anak itu ? Mengapa mengetahui juga gurunya segera bakal datang ?"

"Apa kau kenal anak tadi ?" demikian ia lantas tanya Nyo Ko. "Apa Kokohmu yang suruh dia ke sini ?"

Sementara itu dari belakang Bu-siang si Nyo Ko juga dapat membaca isi surat itu, maka iapun sedang memikir : "Terang sekali anak tadi hanya anak petani biasa, tentu datangnya ini disuruh orang lain untuk mengirim surat. Cuma entah siapakah orang yang menulis surat itu ? Tampak-orang memang bermaksud baik, kalau betul sampai Li Bok-chiu mengejar datang, lalu bagaimana baiknya ?"

Harus diketahui meski Nyo Ko sudah mempelajari Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng, seorang diri memiliki dua macam ilmu silat yang paling tinggi di dunia persilatan, sejak dulu hingga kini boleh dikatakan hanya dia sendiri saja, cuma sayang karena waktunya belum Iama, meski sudah dipahami intisari pelajaran ilmu silat yang hebat itu, namun latihannya masih kurang matang, maka belum banyak hasilnya untuk digunakan. Kalau sampai kena disusul Li Bok-chiu, terang ia masih bukan tandingan orang, karena inilah ia sedang pikir dan ragu-ragu.

Mendengar pertanyaan Bu-siang tadi, maka Nyo Ko menjawab: "Entah, aku tak kenal dia, tampaknya juga bukan Kokoh yang menyuruh dia."

Baru habis ia menjawab, tiba2 terdengar bunyi alat2 tetabuhan dan tiupan, menyusul mana dari depan muncul sebuah joli yang digotong dengan belasan orang pengiringnya, kiranya ada orang sedang melangsungkan perkawinan, "

Meski alat2 musik yang dibunyikan itu berbau kampungan, tetapi suasana cukup riang gembira.

Nampak keadaan ini, tiba2 pikiran Nyo Ko tergerak, ia pikir kalau betul2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po mengejar tiba, di siang hari bolong sesungguhnya tiada tempat untuk bersembunyi lagi, Karena itu segera ia tanya Bu-siang: "Nona Liok, kau ingin menjadi pengantin tidak ?"

Bu-siang sendiri memangnya lagi bingung karena kuatir tertangkap gurunya yang kejam itu, kini mendengar orang bertanya secara tolol, kemari ia gusar. "ToIol, kau mengaco-belo apa lagi ?"j damperatnya.

"Haha, maukah kita main sembayang dan jadi pengantin ?" demikian sahut Nyo Ko dengan tertawa, "Mau tidak kau menyamar pengantin perempuan ? Sungguh cantik sekali tampaknya, muka ditutup kudung merah, pasti orang lain takkan mengenali kau."

Karena kata2 Nyo Ko terakhir ini, Bu-siang tergerak hatinya.

"ToIol, apa kau suruh aku menyamar untuk menghindari guruku ?" ia tanya.

"Aku tak tahu, hihi, kalau kau jadi pengantin perempuan, aku akan jadi pengantin Ielakinya," sahut Nyo Ko.

Dalam keadaan terpaksa, Bu-siang tak sempat lagi mendamperat orang, ia pikir: "Kelakuan si Tolol ini sungguh aneh sekali, tapi kecuali jalan ini memang tiada cara lain lagi."

Karena itu segera ia tanya: "lalu cara bagaimana menyamarnya ?"

Nyo Ko tidak menjawab, ia tak berani membuang tempo lagi, segera ia pecut bokong keledai mereka maka binatang ini lantas kabur ke depan dengan cepat.

Pada umumnya jalan pedusunan memang sempit, sebuah joli besar dengan digotong delapan orang dengan sendirinya memenuhi jalan, kedua sampingnya sudah tentu tiada lowongan lagi, kini nampak ada keledai berlari memapak dari depan, keruan pengiring2 kemanten itu menjadi ribut, mereka berteriak dan membentak dengan maksud menyuruh penunggang keledai menahan tali kendalinya.

Tetapi bukannya Nyo Ko menahan keledainya. bahkan ia mengempit semakin kencang hingga lari binatang itu bertambah cepat, maka sekejap saja sudah menerjang sampai di depan pengiring kemanten itu.

Dengan sendirinya mereka tidak tinggal diam, segera ada dua lelaki kekar menyerobot maju hendak menarik tali kendali keledai supaya jangan menubruk joIi pengantin yang digotong.

Mendadak Nyo Ko ayun cambuknya, dengan tepat ujung cambuk itu melilit betis kedua lelaki itu, ketika Nyo Ko menarik dan diulur lagi, maka kedua orang itu lantas terlempar ke pinggir jalan.

"Sekarang aku mau menyamar jadi pengantin !" demikian katanya pada Bu-siang. Habis ini mendadak ia mendoyong ke depan, ketika sebelah tangannya mengulur, tahu2 pengantin laki2 yang menunggang seekor kuda putih itu kena dicengkeramnya.

Pengantin laki2 itu usianya antara 17-18 tahun, badannya lengkap memakai baju pengantin baru, di atas kepalanya tertancap hiasan bunga2 emas, kini mendadak kena dicengkeram oleh Nyo Ko, keruan bukan main kagetnya.

Bukan begitu saja, bahkan Nyo Ko sengaja lemparkan tubuh pengantin laki2 itu ke udara setinggi dua tombak lebih, ketika jatuh ke bawah, di tengah2 ramai suara jeritan orang banyak tahu2 Nyo Ko ulur tangannya dan menangkapnya lagi pengantin laki2 itu,

Pengiring2 pengantin itu seluruhnya hampir tiga puluhan orang, sebagian besar bertubuh tinggi besar dan kekar kuat, tetapi melihat ketangkasan Nyo Ko, pula pengintin laki2 jatuh dalam cengkeraman orang, tentu saja mereka ketakutan dan tiada yang berani maju.

Seorang diantara mereka rupanya lebih banyak merasakan asam garam, ia menduga Nyo Ko pasti begal besar, maka dengan cepat ia lantas tampil ke depan.



"Mohon "Tay Ong" suka ampuni pengantin-nya," demikian pintanya sambil memberi hormat, "Berapa banyak kiranya "Tay Ong" perlu pakai ongkos, pasti kami turut perintah dengan baik."

"Hihi, nona Liok, kenapa mereka panggil aku "Tay Ong" ! (raja besar, sebutan bagi pembegal) ? Aku kan tidak she Ong ?" kata Nyo Ko pada Bu-siang dengan tertawa.

"Sudahlah, jangan main gila Iagi, aku seperti sudah mendengar suara keleningan keledai tunggangan Suhu," sahut Bu-siang.

Nyo Ko kaget oleh jawaban itu, ia coba pasang kuping, betul saja sajup2 terdengar suara berkumandangnya keleningan

Kiranya Li Bok-chiu suka unggulkan ilmu silatnya yang tiada tandingannya di seluruh Kang ouw, maka setiap tindak tanduknya selalu main gertak dahulu, misalnya sebelum dia bunuh sasarannya, lebih dulu ia memberi tanda cap tangan berdarah di rumah orang itu, tiap cap tangannya berarti jumlah jiwa yang akan dibunuh dan sama sekali tak gentar meski lawannya mengundang pembantu atau melarikan diri meninggalkan rumah, sedang keledai belang yang dia tunggangi sengaja dia pasangi tiga belas keleningan emas pada lehernya, suara keleningan ini bisa berkumandang jauh sampai beberapa li, belum tiba orangnya, suara keleningannya sudah terdengar lebih dulu, dengan demikian supaya musuh sebelum lihat mukanya tapi lebih dulu sudah ketakutan setengah mati

"Sungguh cepat sekali datangnya," begitulah Nyo Ko berpikir, Tetapi ia masih berlagak bodoh atas peringatan Bu-siang tadi: "Keleningan ? Keleningan apa maksudmu ? Apa keleningan tukang jual jamu, kenapa aku tak mendengarnya ?"

Habis ini, dengan sikap mengancam ia berpaling dan berkata pada orang tua tadi: "Kalian harus turut perintahku dengan begitu aku lantas bebaskan dia, kalau tidak, hm..." mendadak ia lemparkan pengantin laki2 tadi ke udara lagi

Rupanya saking ketakutan, pengantin laki2 itu sampai menjerit dan menangis ter-gerung2. Sedang si orang tua tadipun terus-menerus memberi hormat sambil memohon : "Ya, ya, pasti kami turut segala perintah Tay Ong"

"Dia adalah biniku," kata Nyo Ko tiba2 sambil tuding Bu-siang, "la lihat kalian main sembahyang jadi pengantin segala, maka diapun ketarik dan ingin main2 juga."

"Apa kau bilang, Tolol ?" damperat Bu-siang dari samping.

Akan tetapi Nyo Ko tak mengurusnya, ia meneruskan pembicaraannya tadi: "Maka kalian lekas copot pakaian pengantin perempuan itu dan biarkan dipakai dia, akupun main menjadi pengantin lelaki."

Keruan para pengiring kemanten itu menjadi bingung hingga saling pandang, sungguh mereka tidak mengerti mengapa pembegal di tengah jalan ini tiba2 ingin main kemanten2an. Waktu mereka awasi Nyo Ko dan Liok Bu-siang, yang satu pemuda cakap dan yang lain gadis jelita, kalau dibilang sepasang suami isteri, memangnya sangat mirip juga.

Selagi kejadian itu berlangsung, tiba2 Nyo Ko dengar suara keleningan sudah semakin dekat, lekas2 ia lompat turun dari keledainya dan membiarkan Bu-siang yang menjaganya, ia sendiri lantas pergi ke - joli kemanten, tiba2 ia tarik tirai joli dan tarik keluar pengantin perempuannya.

Tentu saja pengantin itu kaget hingga menjerit tetapi mukanya pakai kerudung kain merah, maka tak diketahuinya apa yang terjadi sesungguhnya.

Di lain pihak Nyo Ko tidak berhenti begitu saja, sekalian ia tarik pula kain penutup muka orang, maka tertampaklah muka pengantin perempuan itu yang bundar bak bulan purnama, badan tampak montok pula.

"Ha, sungguh ayu kemantinnya," demikian Nyo Ko menggoda pula tertawa, bahkan ia towel pipi orang dengan jarinya, Dalam ketakutannya pengantin perempuan itu malah menjadi bungkam tak berani berkutik sedikitpun.

"Jika ingin kuampuni jiwanya, lekas kau tukar pakaian biniku itu dengan pakaian kemantin-mu," Nyo Ko mengancam lagi sambil tarik tubuh perempuan itu dan diangkat ke atas.

Sementara Bu-siang mendengar juga suara keleningan keledai belang gurunya sudah tambah dekat lagi datangnya, ia mendelik pada Nyo Ko ketika mendengar kata2 Nyo Ko tadi, pikirnya: "Si Tolol ini sungguh tak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit, sudah dalam keadaan demikian masih terus bergurau ?"

Dalam pada itu didengarnya juga suara si orang tua tadi sedang mendesak kawan2nya : "Lekas tukar pakai pengantin padanya !"

Maka dengan gugup para pengiring lantas lepaskan pakaian pengantin dengan perlengkapannya dari gadis tadi dan dikenakan pada Liok Bu-siang.

Di sebelah sana Nyo Ko tidak perlu bantuan lagi, ia sendiri lantas mencopot topi pakaian kemantin laki2 tadi terus dipakainya sendiri.

"Nah, isteriku yang baik, sekarang masuklah ke dalam joIi," demikian ia berkata pada Bu-siang sesudah selesai penyamarannya.

Tetapi Bu-siang menyuruh pengantin perempuan tadi masuk dulu ke joli, ia sendiri lantas duduk dipangkuan orang, habis itu tirai joli baru ia tutup.

Semetara itu sebenarnya Nyo Ko masih ingin ganti sepatunya dulu, tetapi sudah tak keburu lagi, suara keleningan sudah berada di tikungan jalan sana.

"Lekas menuju ke arah tenggara, lekas tiup dan tabuh lagi!" segera ia memberi perintah, berbareng ini iapun melompat ke atas kuda putih yang dipakai kemantin Iaki2 tadi.

Karena sepasang kemantin baru sudah berada dalam cengkeraman kawanan "penjahat", tentu saja para pengiring itu tak berani membantah, segera mereka tabuh gembreng dan meniup trompet lagi hingga keadaan berubah riuh ramai

Dan baru saja joli itu putar kembali ke jalan lain, belum ada belasan tombak ditempuh atau suara keleningan sudah berbunyi dengan kencang di belakang mereka, dua keledai belang dengan langkah cepat telah memburu datang.

Hati Bu-siang ber-debar2 keras demi mendengar suara keleningan yang sudah berada di belakang itu, ia pikir bisa tidaknya lolos dari elmaut hanya tergantung sedetik ini saja, maka dengan penuh perhatian ia dengarkan gerak-gerik yang terjadi di luar joli.

Di lain pihak Nyo Ko yang menyamar sebagai pengantin laki2, ia pura2 malu dengan kepala menunduk.

"Hai, kalian melihat satu gadis pincang lewat disini tidak ?" demikian terdengar Ang Ling-po bertanya.

"Ti... tidak !" sahut si orang tua tadi dengan suara tak lancar.

"Apa tidak melihat seorang gadis jelita menunggang keledai lewat sini ?" tanya Ang Ling-po lagi.

"Tidak," sahut orang tua itu tetap.

Karena itu, Li Bok-chiu berdua lantas keprak keledai mereka melampaui iring2an kemantin itu dan kabur ke depan dengan cepat.

Tetapi hanya sebentar saja tiba2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah putar balik kembali, sesudah dekat joli, mendadak Li Bok-chiu ayun kebutnya, dengan ekor ketat ia lilit kain tirai joIi terus ditarik pelahan, maka terdengarnya suara memberebet, sebagian tirai itu telah robek.

Terkejut sekali Nyo Ko oleh kejadian itu, ia larikan kudanya mendekati joli, ia tunggu apabila Li Bok-chiu ayun ketatnya untuk kedua kalinya, dengan segera ia akan turun tangan buat menolong orang.

Siapa duga Li Bok-chiu tidak geraki tangannya kgi, ia hanya melongok sekejap ke dalam joli, lalu dengan tertawa ia berkata: "Hah, kemantin-nya sungguh cantik !" - Habis ini ia menoleh dan berkata pula kepada Nyo Ko : "He, rejekimu sungguh tidak jelek !"

Tetapi dengan cepat Nyo Ko telah menunduk, tak berani ia kesamplok pandang dengan orang. .

Lalu terdengar pula suara keteprak2 kaki binatang, Li Bok-chiu berdua telah pergi lagi.

Keruan Nyo Ko ter-heran2 oleh kejadian itu. "Aneh, kenapa dengan begitu saja ia lepaskan nona Liok ?" demikian pikirnya tidak habis mengerti.

Waktu ia melongok juga ke dalam joli, ia lihat si kemantin perempuan asli mukanya pucat lesi saking ketakutan dan badannya gemetaran pula, sedang Liok Bu-siang ternyata tak diketahui ke mana perginya, Keruan saja Nyo Ko bertambah heran.

"He, nona Liok, dimanakah kau ?" segera ia berseru memanggil.

"Aku sudah hilang," terdengar suara sahutan li gadis dengan tertawa.

Ketika kain panjang yang dipakai pengantin perempuan itu tersingkap, tahu2 Bu-siang muncul dari bawah, kiranya ia sembunyi di bawah kain panjang pengantin perempuan itu.

Nyata nona ini memang cerdik, ia cukup kenal sang guru yang biasanya berlaku sangat teliti dan tidak gampang diingusi meski barang yang kecil saja, ia menduga selewatnya sang guru, tentu sebentar akan balik kembali oleh karena itu ia telah sembunyi lebih dulu.



"Nah, boleh kau menjadi kemanten perempuan dengan tenang, naik joli bukankah jauh lebih enak daripada menunggang keledai ?" kata Nyo Ko.

Bu-siang memanggut tanda setuju, lalu ia berkata juga pada si kemanten perempuan itu : "Kau berdesakan di sini dan membikin aku sum-pek, lekas kau enjah keluar!"

Karena terpaksa, mau-tak-mau perempuan itu menurut, ia turun joli dan ganti menunggang keledai yang tadinya dipakai Nyo Ko itu.

Begitulah iring2an itu melanjutkan perjalanan, setelah belasan li dilalui pula, cuaca pelahan mulai gelap.

Dengan tiada hentinya si orang tua tadi memohon pada Nyo Ko agar suka bebaskan tawanan nya supaya tidak bikin kacau waktu upacara mereka, Tetapi Nyo Ko masih belum mau sudah, ia mendongkol oleh kerewelan orang.

"Apa yang kau cerewetkan terus ?" demikian ia mendamperat, tetapi baru sekecap saja, tiba2 dilihatnya ada bayangan orang berkelebat di pinggir jalan, ada dua orang dengan tangkas cepat telah lari masuk hutan.

Nyo Ko menjadi curiga, ia tarik tali kendali kudanya dan memburu dengan cepat, lapat2 dapat dilihatnya bayangan kedua orang itu berbaju compang-camping dengan dandanan sebagai kaum pengemis.

"Jangan2 orang Kay-pang sudah mengetahui penyamaranku dan menyiapkan orang di depan sana ?" demikian pikir Nyo Ko sambil tahan kudanya, "Tetapi urusan sudah terlanjur, terpaksa harus diteruskan sampai akhirnya."

Tidak lama kemudian joli kemanten itupun sudah menyusul datang, karena sebagian tirai joli sudah terobek oleh kebut li Bok-chiu, maka Bu-siang melongok keluar dan tanya Nyo Ko : "Apa kau melihat sesuatu ?"

Nyo Ko tidak memberi penjelasan sebaliknya ia berkata menyimpang: "Sebagai temanten, layaknya kau menangis, sekalipun hatimu seribu kali ingin kawin, seharusnya kau menangis tak mau meninggalkan rumah, mana ada temanten perempuan di jagat ini tak malu seperti kau ini ?"

Bu-siang pun seorang gadis yang sangat pintar, demi mendengar kata2 orang se-akan2 bilang sasarannya sudah diketahui orang, maka dengan pelahan ia mengomel sekali, lalu tidak membuka para pula.

Setelah berjalan tak lama, jalan pegunungan di depan mulai sempit dan menanjak hingga sangat susah ditempuh, para pengiring kemanten itu sudah dalam keadaan letih, tapi karena kuatir betapa marah Nyo Ko, maka mereka tak berani mengunjuk rasa dongkol.

Tak lama lagi sang dewi malam mulai menongol di ufuk timur, burung gagak dengan suara yang serak terbang di udara kembali ke sarangnya.

Sepasang temanten yang kini menjadi tawanan Nyo Ko itu selamanya belum pernah bertemu muka, kini yang lelaki melihat yang perempuan mengunjuk rasa takut2 namun tak menutupi paras yang cantik, sedang yang perempuan memandang si lelaki yang juga cakap, kedua orang itu disamping merasa kuatir, diam2 pun merasa girang.

Begitulah sedang mereka melanjutkan perjalanan, tiba2 dari balik bukit sana terdengar suara berdendang belasan orang lagi melagukan : "Nona cilik berbuatlah murah hati, berikanlah sedekah sebelah kuping dan sebuah hidung !"

Mendengar suara nyanyian itu, seketika muka Bu-siang berubah, "Ha, kiranya keempat pengemis itu bersembunyi di sini," demikian pikirnya."

Sesudah joli kemanten itu melintasi bukit, tertampaklah di depan sana menanti tiga pengemis yang berperawakan tinggi jangkung, sama sekali berlainan dengan keempat pengemis yang dilihatnya siang tadi.

Waktu Nyo Ko meneliti kantong goni yang berada di pundak ketiga pengemis itu, ia lihat masing2 menggendong tujuh buah, "Tentu ketiga pengemis tujuh kantong ini jauh lebih lihay dari pada empat orang yang berenam kantong itu, tampaknya tidak bisa tidak harus turun tangan sungguh2" pikirnya.

Dalam pada itu karena sudah letih dan sedang uring2an, keruan para pengiring kemanten itu menjadi lebih mendongkol demi nampak ketiga pengemis itu mengadang di tengah jalan, segera ada diantaranya ayun cambuk menyabet kepala salah satu pengemis itu.

"Hai, lekas enyah, lekas minggir !" demikian bentak mereka.

Akan tetapi pengemis itu tidak berkelit, hanya sekali tarik pucuk cambuk terus dibetot, maka tidak ampun lagi orang yang menyabet itu jatuh ngusruk ke depan seperti anjing menubruk tahi. Melihat kawan mereka dijungkalkan, kalau dalam keadaan biasa, tentu ramai2 para pengiring itu akan mengerubut maju, tetapi kini mereka sedang ketakutan karena sudah dihajar Nyo Ko tadi, mereka pikir ketiga pengemis ini tentu juga sekomplotan dengan pembegal ini, maka tiada seorang pun yang berani maju, sebaliknya malah pada menyurut mundur.

"Selamat dan bahagialah nona, kami tukang minta2 ini ingin mohon diberi persen beberapa duit," demikian salah satu pengemis itu membuka suara dengan lantang,

"Tolol," kata Bu-siang pada Nyo Ko, "aku terluka dan tak bisa turun tangan sendiri, kau saja wakilkan aku enyahkan mereka."

"Baik," sahut Nyo Ko tanpa rewel. Habis ini kudanya lantas dilarikan ke depan terus membentak: "He, hari ini adalah hari baikku sedang kalian pengemisl ini jangan banyak cerewet, lekas pergi dari sini!"

Karena dibentak, salah satu pengemis itu mengamat-amati Nyo Ko, namun mereka tak dapat meraba siapakah gerangan pemuda yang berani mem-bentak2 mereka ini.

Kiranya keempat pengemis kentong enam yang tertutuk oleh duri tulang ikan itu, semuanya menyangka Bu-siang yang menyerang mereka, maka sama sekali mereka tak sebut2 tentang Nyo Ko pada paman2 guru mereka, yakni ketiga pengemis kantong tujuh ini.

Dalam pada itu, salah seorang pengemis itu tiba2 angkat tangannya, karena itu kuda yang ditunggangi Nyo Ko menjadi kaget hingga berdiri dengan kaki belakang, Nyo Ko pura2 terperosot dari kuda dan terbanting jatuh dengan keras2, dan sampai lama tak sanggup bangun.

"Ha, kiranya orang ini memang pengantin laki2nya," pikir ketiga pengemis itu demi menyaksikan jatuhnya Nyo Ko itu.

Kay-pang sebenarnya adalah perkumpulan kaum jembel yang selamanya membela keadilan kaum lemah dan memberantas kaum penindas, sebabnya mereka bermusuhan dengan Liok Bu-siang adalah karena gadis ini tanpa sebab telah melukai orang mereka.

Kini melihat Nyo Ko tak pandai silat, malahan telah jatuh terbanting dengan berat? rasa mereka menjadi menyesal, satu diantara pengemis itu telah menariknya bangun.

"Ai, kalian ini terlalu..." demikian Nyo Ko pura2 mengomel, "minta ya minta, kenapa biki kaget binatang tungganganku?"

Sambil berkata iapun rogoh keluar tiga mata uang dan diberikan kepada pengemis2 itu, Mengingat peraturan Kay-pang, ketiga pengemis itu terima pemberian itu dan menghaturkan terima kasih.

"Nah, kau suruh aku bereskan mereka, sekarang sudah kuIakukan," dengan menyengir kemudian Nyo Ko berkata pada Liok Bu-siang.

"Hm, untuk apa kau berlagak tolol padaku?" omel Bu-siang.

Tetapi Nyo Ko hanya mengia saja dan mundur kepinggk jalan sambil mengebut debu yang berada di badannya.

"Sebenarnya kalian inginkan apa ?" dengan sikap dingin kemudian Bu-siang tegur ketiga pengemis itu, karena orang masih menghadang di tengah jalan.

"Anak murid golongan kami bilang nona adalah jago dari Ko-bong-pay, karena kagum, maka kami ingin minta petunjuk beberapa gebrakan dari nona," sahut satu diantaranya.

"Aku dalam keadaan terluka, cara bagaimana bisa bergebrak dengan kalian ?" kata Bu-siang. "Jika betul2 kalian penasaran, bolehlah tetapkan harinya, nanti kalau lukaku sudah sembuh, pasti ku datang minta pengajaran kalian, Kalian bertiga adalah jago dari Kay-pang, kini sengaja hendak mengeroyok satu gadis yang sedang luka parah, apakah ini terhitung orang gagah perkasa ?"

Dengan kedudukan yang cukup tinggi ketiga pengemis itu, mereka jadi terdesak oleh debat Bu-siang ini.

"Baiklah, nanti kalau lukamu sudah sembuh, kami cari kau lagi," kata pengemis yang kedua.

"Nanti dulu," tiba2 pengemis yang ketiga berpikir lain: "Dimanakah lukamu ? Apa betul atau pura2, kami harus periksa dulu, kalau benar kau terluka, hari ini kami boleh ampuni kau."

Ia berkata begitu karena tak diketahuinya luka Bu-siang berada di bagian dadanya, maka tidak sengaja ingin mengetahui tempat luka ini, tapi bagi Bu-siang seketika mukanya menjadi merah, iapun menjadi gusar hingga untuk sesaat tak bisa bicara.



"Hm, orang Kangouw bilang sahabat2 dari Kay-pang semuanya ksatria sejati, siapa tahu semuanya adalah manusia2 yang tak kenal malu," kemudian Bu-siang mendamperat.

Mendengar nama baik perkumpulan mereka dihina, air muka ketiga pengemis itu berubah semua, satu diantaranya yang berwatak berangasan segera melompat maju, dan hendak tarik Bu-siang keluar dari jolinya.

"Eeeeh, nanti duIu, nanti dulu !" tiba2 Nyo Ko menyela demi dilihatnya keadaan sudah mendesak "Kalian minta duit, bukankah aku sudah memberi tadi, kenapa sekarang masih merecoki biniku ?"

Sembari berkata iapun maju menghadang di depan joli, lalu ia sambung lagi, "Tampaknya kalian meski pengemis, tapi tampangmu gagah, potonganmu pun banyak rejeki, kelak banyak harapan akan menjadi orang kaya atau orang berpangkat, kenapa sekarang berani goda biniku dan melakukan perbuatan2 rendah seperti bajingan ini ?"

Teguran ini membikin ketiga pengemis menjadi tercengang hingga mereka tak bisa menjawab.

"Kau menyingkir, kami hanya ingin belajar kenal dengan ilmu silatnya dari Ko-bong-pay, siapa yang melakukan perbuatan rendah ?" sahut si pengemis yang berangasan tadi Sambil berkata, berbareng ia mendorong Nyo Ko.

"Haya !" Nyo Ko berteriak dan pura2 jatuh ke tepi jalan.

Dalam perserikatan kaum pengemis itu ada peraturan yang melarang bergebrak dengan orang yang tak mahir ilmu silat, Sungguh tak terduga oleh pengemis itu bahwa "pengantin laki2" ini ternyata begitu tak becus. hanya sekali dorong pelahan saja sudah terbanting jatuh, kalau terbanting luka, tentu bakal terima hukuman berat dari perkumpulan, dua kawannya pun tidak terluput dari tanggung jawab ini.

Karena itu mereka terkejut, lekas2 mereka memburu maju buat bangunkan orang, sebaliknya Nyo Ko sengaja menjerit kesakitan Karena hari sudah gelap waktu itu, maka pengemis itupun tak jelas apa betul2 orang terluka - atau tidak.

"Ai, kalian bertiga inipun orang tolol, biniku baru jadi pengantin dan masih malu2. mana mau dia bicara dengan orang yang tak dikenalnya," demikian sambil ber-teriak2 sakit masih Nyo Ko berkata lagi, "Begini saja, pelajaran apakah yang kalian inginkan ? Coba katakan padaku, nanti aku yang bicara dengan biniku yang baru ini. habis itu nanti kuberitahukan lagi pada kalian bukankah baik begitu ?"

Melihat macam Nyo Ko yang dibilang tolol toh tidak tolol, akhirnya mereka tak sabar Iagi.

"Kau mau menyingkir tidak ?" pengemis yang berwatak keras tadi membentak pula.

Akan tetapi Nyo Ko sengaja pentang kedua tangannya malah.

"Tidak, kalian hendak hina biniku, itulah jangan harap," sahutnya dengan suara keras.

"Nona Liok," kata pengemis yang lain, "kau pakai si tolol ini sebagai tamengmu, apa dia bisa merintangi kami ? Lekas kau berterus terang saja, apa yang hendak kau katakan !"

"Eh, darimana kaupun tahu namaku si Tolol? Sungguh aneh bin ajaib !" tukas Nyo Ko tiba2 dengan lagak heran.

Tetapi pengemis yang berangasan tadi tak gubris padanya, ia masih berteriak pada Liok Bu-siang: "Kami tidak ingin belajar lain, cukup asal belajar kenal dengan tipu seranganmu dengan golok membacok punggung itu saja, apakah nama tipu serangan itu?"

Bu-siang tahu juga bahwa dengan caranya Nyo Ko menggoda mereka itu, sukar juga urusan ini diselesaikan, karena itu dalam hati sedang memikirkan sesuatu jalan meloloskan diri, ketika mendengar orang menanya lagi, tanpa terasa ia telah menjawab : "Namanya "Tiau-siang-pay-gwe", ada apakah ?"

"Ya, betul, namanya "Tiau-sian-pay-gwe", begini gerak goloknya, bet, lantas kena bacok di punggungmu," tiba2 Nyo Ko menyambung sambil mulutnya "bat-bet, bat-bet", tangan pun mendadak memotong ke belakang pundak orang "plok", dengan pinggiran telapak tangan ia hantam punggung pengemis itu.

Keruan saja ketiga pengemis itu sangat terkejut oleh gerak serangan Nyo Ko, berbareng mereka melompat mundur.

"Ha, kiranya orang ini pura2 menyamar sebagai pengantin untuk mempermainkan kami," demikian pikir mereka.

Walaupun tak banyak tenaga yang dikeluarkan Nyo Ko, namun punggung pengemis itupun terasa sakit.

"Bagus, anak keparat, kau pura2 tolol Mari, mari sini, biar kubelajar kenal dulu dengan kepandaianmu yang tinggi," segera pengemis itu ber-teriak2 menantang, berbareng tongkat diketokkan ke tanah hingga menerbitkan suara nyaring keras.

"Tadi kau bilang ingin belajar pada biniku, kenapa sekarang hendak belajar kenal padaku ?" sahut Nyo Ko berlagak bodoh.

"Belajar kenal dengan kau pun sama saja," kata pengemis itu dengan gusar.

"Wah, bisa celaka, aku tak bisa apa2," ujar Nyo Ko, habis ini ia berpaling dan tanya Bu-siang : "Bini cilik yang baik, menurut kau, apa yang harus kuajarkan padanya?"

Kini Bu-siang sudah tidak ragu2 lagi akan si Nyo Ko yang pasti memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, kalau tidak, mana berani ia cengar cengir berlagak bodoh menggoda ketiga jago Kay-pang ini? Tetapi karena belum kenal aliran ilmu silat orang, maka sekenanya ia menjawab pula: "Kau unjuk sekali lagi jurus Tiau-sian-pay-gwe !"

"Baik !" sahut Nyo Ko, berbareng ini, tiba2 ia membungkuk ke depan, tangan mengulur, "plok", dengan tipu "Tiau-sian-pay-gwe" atau Tiau-sian menyembah rembulan, kembali ia gebuli sekali lagi punggung si jembel itu.

Melihat serangan Nyo Ko, semua orang bertambah kaget dan heran pula, Terang Nyo Ko berdiri berhadapan dengan lawan dan sama sekali tak menggeser selangkahpun tetapi hanya sedikit membungkuk dan tangan mengulur, tahu2 tangannya berhasil menggebuk punggung orang, sungguh ilmu pukulan yang sangat aneh dan mengherankan.

Bukan saja orang2 itu heran, bahkan Bu-siang pun tergetar hatinya. "Bukankah ilmu pukulannya ini adalah aliran Ko-bong-pay kami, kenapa diapun bisa ?" demikian ia bertanya dalam hati.

Dengan ragu segera ia berkata lagi: "Coba sekali Iagi, sekarang jurus "Se-si-hong-sim !"

"Baik !" sambut Nyo Ko cepat.

Ketika tinjunya menyodok ke depan, dengan tepat kena pukul ulu hati lawan, itulah tipu serangan "Se-si-hong-sim" atau Se Si meraba dada.

Karena genjotan itu, maka terasalah oleh pengemis itu didorong suatu kekuatan yang maha besar hingga tubuhnya mencelat pergi sejauh lebih setombak, anehnya disana ia bisa berdiri dengan tegak, tempat yang terkena pukulan pun tidak terasa sakit.

Walaupun begitu, kedua pengemis yang lain segera menerjang maju berbareng.

"Haya, celaka, bini cilik, tak sanggup aku melawan mereka, lekas ajarkan tipu padaku," Nyo Ko ber-teriak2.

"Ciau-kun-jut-sat, Moa-koh-hian-siu !" tiba2 Bu-siang menyebut dua nama tipu serangan.

Maka dengan cepat Nyo Ko ulur tangan diri, lima jarinya menjentik berbareng seperti orang menabuh Pi-peh dan lima jari itu juga dengan tepat kena menyentil tubuh pengemis sebelah kanan memang betul itulah tipu "Ciau-kun-jut-sat" atai Ciau-kun keluar negeri MenyusuI mana, tubuhnya tiba2 mengegos ke samping, ia hindarkan tendangan si pengemis sebelah kiri yang sementara itu sudah melayang, sedangkan kedua kepalan telah disodokkan ke atas, "plak", dengan jitu sekali dagu pengemis sebelah kiri itupun kena ditonjok.

"lni "Moa-koh-hian-siu", betul tidak ?" teriak "Nyo Ko, Karena tak ada niat buat celakai pengemis itu, maka tenaga hantamannya tadipun tidak keras.

Begitulah ber-turut2 Nyo Ko telah unjuk empat kali serangan dan tiap2 tipu serangan adalah "Bi-li-hoat" "dari Ko-bong-pay,

Ko-bong-pay dimulai sejak cakal-bakalnya, ya itu Lim Tiao-eng, selamanya hanya terima murid wanita dan tidak lelaki, Lim Tiao-eng telah ciptakan ilmu pukulan yang disebut "Bi-li-kun-hoat" atau ilmu pukulan gadis ayu, maka tiap2 tipu serangannya diberi nama dengan mengambil nama2 wanita cantik jaman purbakala, waktu ilmu pukulan itu dimainkan, orangnya lemah gemulai gayanya indah luar biasa.

Sebab Siao-Iiong-li sudah melanggar kebiasaan menerima murid wanita dan telah terima Nyo Ko sebagai murid, dengan sendirinya "Bi-li-kun-hoat" itupun diajarkan padanya, Tetapi Nyo Ko merasa tipu2 serangan itu meski lihay, namun gayanya selalu kiyat-kiyut, tidak pantas dilakukan orang Ielaki, maka waktu ia melatih ilmu pukulan itu, ia sendiri telah tambahi dengan tenaga besar dan gaya kaum lelaki, dari gaya yang lemah gemulai itu ia rubah menjadi gaya lelaki yang gagah perkasa, walaupun gayanya lain, tetapi intilnya masih tetap.



Begitulah, sesudah kena diserang Nyo Ko dengan cara2 yang sukar dimengarti, ketiga pengemis yang terhitung jago kelas tinggi dari Kay-pang itu masih belum mau menyerah begitu saja, sekali bersuit berbareng mereka mengerubut maju Iagi.

"Haya, celaka, bini cilik, sekali ini kau bisa menjadi janda!" teriak Nyo Ko sambil berkelit ke sana kemari.

Bu-siang terkikik geli oleh teriakan itu, "Thian-sun-cit-kim!" tiba-tiba ia menyebut satu nama tipu serangan lagi.

Tanpa pikir Nyo Ko mengayun tangan kanan ke kiri dan tangan kiri menyodok ke kanan, ia bergaya seperti orang memintal, sesuai dengan nama tipu "Thian-sun-cit-kim" atau Thian-sun memintal sutera, maka sekaligus pundak kedua pengemis itu kena dihantam semua.

"Bun-kun-taog-lo, Kui-hui-cui-ciu!" kembali Bu-siang menyebut dua nama Iagi.

Eh, betul juga, si Nyo Ko lantas angkat tangan seperti menuang arak dan ketok ke atas kepala si pengemis yang bertabiat berangasan itu, menyusul tubuhnya ter-huyung2 dan miring ke kiri, maka perut si pengemis yang lain dengan tepat kena ditumbuk oleh pundak kanannya. itulah tipu2 "Bun-kun-tang-lo" dan "Kui-hui-cui-ciu" atau Bun-kun mengipas anglo dan Kui-hui mabuk arak.

Terkejut dan gusar pula ketiga pengemis itu, mereka telah keluarkan ilmu silat seluruhnya, tapi sedikitpun tak bisa menghantam orang, sebaliknya lawannya bebas mengayun tangan atau melayangkan kakinya, ke mana dipukulnya, di situ tentu kena, meski tak sakit tempat yang kena serangan, namun luar biasa anehnya.

Kemudian ber-ulang2 Bu-siang menyebut lagi beberapa tipu serangan yang satu per satu dilakukan Nyo Ko lagi dengan betul. Sungguh kagum sekali Liok Bu-siang oleh kepandaian "si ToIol", Segera timbul juga kejadiannya untuk permainkan "si Tolol", ia lihat Nyo Ko waktu itu sedang ulur kepalan menghantam ke depan, mendadak ia berteriak : "Cek-thian-sui-liam !"

Menurut keadaan Nyo Ko waktu itu se-kali2 tidak mungkin bisa memakai tipu serangan yang disebut itu, tetapi betapa tinggi Lwekang Nyo Ko sekarang, bisa saja dilakukan tipu apa yang orang inginkan, se-konyong2 tubuhnya menubruk ke depan, kedua tangannya memotong ke bawah dengan gaya seperti menurunnya kerai, tidak salah lagi ini memang tipu "Cek-tbian-sui-Iiam" atau Bu Cek-thian menurunkan kerai.

Sebelum itu sebenarnya ketiga pengemis itu lagi menubruk maju karena melihat ada kesempatan, siapa tahu oleh tubrukan Nyo Ko ini, mereka terbalik terdesak mundur beberapa langkah.

Luar biasa heran dan senangnya Liok Bu-siang oleh kemahiran "si Tolol" ini, kembali ia berseru : "lt-siau-cing-kok !"

"lt-siau-cing-kok" atau sekali tertawa meruntuhkan negara, inilah satu tipu pilihan Bu-siang sendiri yang tak pernah ada dalam pelajaran "Bi-li-kun-hoat", sebab meski wanita cantik dengan senyum dan tawanya bisa meruntuhkan suatu negara: tapi mana dapat digunakan untuk bergebrak dengan pihak lawan ?

Akan tetapi disinilah Nyo Ko unjuk kemahirannya, sesudah tertegun sedetik karena nama tipu yang aneh itu, namun segera ia menengadah dan tertawa: "hahaha...hehehehe... huhuhu... hohoho... hahahaha !"

Sungguh aneh sekali suara tertawanya ini, ternyata Nyo Ko telah keluarkan Lwekang yang paling tinggi dari "Kiu-im-cin-keng" yang dilatihnya walau latihannya belum bisa dibilang masak dan belum dapat dipakai untuk melawan jago kelas wahid, tetapi ketiga pengemis itu hanya anak murid Kay-pnng kelas dua-tiga saja, ketika mendengar suara ketawa yang aneh itu, tak tahan lagi telinga mereka se-akan2 pekak dan kepala pusing, mereka ter-huyung2 untuk kemudian terguling'jatuh semua saking tak tahan.

Bukan saja tiga pengemis itu, bahkan Bu-siang ikut terkena juga akbiatnya, iapun merasa pusing hingga hampir jatuh semaput, lekas2 ia pegang erat2 tiang joiij sementara itu di bagian luar keadaan sudah kacau balau, suara jeritan dan gedubrakan bercampur aduk, para pengiring kemanten dan kedua penganten baru itu sudah jatuh terguling semua karena tak tahan oleh suara tertawa Nyo Ko.

Setelah Nyo Ko hentikan tertawanya, dengan cepat ketiga pengemis itu melompat bangun, tanpa berpaling lagi segera mereka angkat kaki.

Dan sesudah mengaso lagi tak lama, kemudian iring2an joli penganten itu melanjutkan perjalanan agi, terhadap Nyo Ko kini para pengiring itu menganggapnya seperti malaikat dewata saja, tiada seorangpun yang berani membangkang lagi.

Menjelang tengah malam, barulah mereka sampai di satu kota, di situlah Nyo Ko membubarkan para pengiring kemanten itu, ia dan Bu-siang antas mendapatkan sebuah hotel untuk menginap."

Waktu mereka hendak bersantap dulu, baru saja mereka duduk, tiba2 Nyo Ko melihat di depan pintu ada berkelebatnya bayangan orang, satu orang telah longak-longok ke dalam dan demi nampak Nyo Ko dan Bu-siang, cepat orang itu meng-eret dan putar pergi.

Nyo Ko jadi curiga, dengan cepat ia menyusul keluar, maka tertampaklah olehnya di pelataran hotel sana berdiri dua Tojin atau imam. Begitu melihat Nyo Ko keluar, segera kedua imam itu menubruk maju ke arahnya.

Kedua imam itu dapat dikenali Nyo Ko sebagai Tio Put-hoan dan Ki Jing-si yang pernah saling labrak dengan Liok Bu-siang di lembah Srigala tempo hari.

"He, ada apakah kalian marah padaku ?" |nikian Nyo Ko heran karena orang menubruk ke jurusannya, ia berdiri tegak saja tanpa gubris mereka.

Tak terduga tujuan kedua imam itu ternyata bukan diri Nyo Ko, tiba2 mereka mengegos lewat di sampingnya terus melompat ke depan Bu-siang.

Akan tetapi sebelum terjadi sesuatu, pada saat itu juga, tiba2 terdengar suara keleningan yang nyaring.

Suara kelenengan ini datangnya mendadak dan tahu2 sudah berada dalam jarak yang dekal sekali. Muka kedua Tosu itu berubah hebat demi mendengar suara kelenengan, sesudah saling pandang sekejap, segera mereka lari kembali ke kamar yang berada di sebelah barat sana, dengan keraj mereka gabrukan daun pintu dan dikunci rapat untuk kemudian tak berani keluar lagi.

"Ha, imam2 busuk ini tentu pernah merasakan pahit getir tangannya Li Bok-chiu, makanya mereka begitu takut padanya," diam2 Nyo Ko membatin.

"Suhu sudah datang, bagaimana baiknya, Tolol ?" dengan suara tertahan Bu-siang menanya Rupanya iapun berkuatir.

"Bagaimana baiknya ?"

Dan selagi ia hendak pondong si gadis, mendadak suara kelenengan tadi sudah berhenti di depan "pintu hotel"

Betul saja lantas terdengar suara Li Bok-chi sedang berkata: "Ling-po, kau menjaga atas wuwungan rumah !"

Terdengar Ang Ling-po menyahut sekali, dengan cepat sang murid melompat ke atas.

Menyusul terdengar lagi suara kasir hotel yang berkata: "Sian-koan, engkau orang tua.. aduh... Aku..."

Suara si kasir hotel ternyata terputus sampai di situ saja, sebab orangnya mendadak terguling ke lantai dan jiwanya sudah melayang.

Kiranya Li Bok-chiu paling benci bila orang menyebut kata2 "tua" di hadapannya, apalagi orang terang2an katakan dia "orang tua", keruan tanpa ampun lagi, sekali kebutnya menyabet, seketika jiwa kasir hotel itu melayang.

"Ada seorang nona pincang tinggal di sini tidak ?" lalu Li Bok-chiu tanya pelayan hotel.

Tetapi pelayan itu sudah ketakutan melihat keganasannya. "Aku... aku..." demikian sahutnya tak terang.

Li Bok-chiu menjadi tak sabar, sekali dorong ia sengkelit pelayan itu hingga cium tanah, habis ini lantas terdengar suara "bang" yang keras, pintu kamar pertama di sebelah barat itu didobraknya hingga terpentang, itulah kamar para imam.

"lnilah kesempatan untuk melarikan diri melalui pintu belakang, meski akan dipergoki Ang Ling-po, tetapi aku tak takut padanya," diam2 Nyo Ko terpikir. Karena itu, dengan suara lirih ia berkata pada Liok Bu-siang: "Bini cilik, lekas ikut aku melarikan diri"

Si gadis pelototi Nyo Ko karena orang berulang kali panggil "bini cilik" padanya, tetapi ia berdiri juga, ia pikir sekali ini kalau bisa selamat pula, betul2 Tuhan yang melindungiNya.

Pada saat itu juga, dari pojok ruangan hotel, itu satu tetamu telah berdiri, waktu ia jalan melalui samping Nyo Ko dan Bu-siang, tiba2 dengan suara tertahan ia berkata : "Aku pancing dia pergi, lekas cari jalan buat selamatkan diri."

Orang ini sejak tadi duduk di satu meja di pojok yang rada gelap, maka Nyo Ko dan Bu-siang sama sekali tak perhatikan muka orang, Kini waktu bicara mukanya pun berpaling ke jurusan lain, baru selesai bicara, dengan cepat orangnya sudah melangkah keluar, hanya potongan belakangnya yang tertampak jelas bahwa perawakannya tidak tinggi, malahan lebih pendek sedikit dari pada Liok Bu-siang, baju yang dipakainya berwarna hijau dan rada kebesaran.

Tentu saja Nyo Ko dan Bu-siang terkejut oleh kata2 orang tadi, sedang mereka bingung, mendadak terdengar suara kelenengan keledai berbunyi riuh terus menjauh menuju ke utara.

"Suhu, ada orang mencuri keledai kita !" terdengar Ang Ling-po berteriak.

Dengan cepat pula satu bayangan berkelebat dari dalam kamar tadi, Li Bok-chiu melayang keluar terus mengudak ke arah perginya si pencuri keledai.

"Lekas kita lari!" segera Bu-siang mengajak.

Akan tetapi Nyo Ko berpandangan lain, ia pikir: "llmu entengkan tubuh Li Bok-chiu cepat luar biasa, tentu segera orang tadi akan dicandaknya dan segera pula ia bisa balik kembali. Kalau aku pondong nona pincang ini, karena tak bisa cepat berlari, sukar juga buat meloloskan diri."

Mendadak ia mendapat akal, dengan cepat kamar pertama di sebelah barat sana dimasukinya.

Di kamar itu ia lihat Tio Put-hoan dan Ki Jing-si dalam keadaan ketakutan sedang duduk di atas pembaringan. Tahu keadaan mendesak tanpa menunggu kedua imam itu bersuara, dengan cepat Nyo Ko menubruk maju, sekali ia tutuk roboh kedua orang itu.

"Bini cilik, masuk sini!" teriaknya pada Bu-siang.

Tanpa pikir lagi si gadis menurut, pintu kamar dengan cepat dirapatkan kembali oleh Nyo Ko.

"Lekas copot pakaian !" katanya pula.

Apa kau bilang, Tolol ?" Bu-siang mengomel dengan muka merah jengah.

"Terserah ksu mau copot pakaian tidak, tetapi aku sendiri akan mencopot!" sahut Nyo Ko sambil melepaskan baju luarnya, menyusul jubah Tosu yang dipakai Tio Put-hoan telah dia lucuti dan dikenakan sendiri, malahan kopiah orang ia samber, dan dipakainya pula.

Nampak perbuatan Nyo Ko ini, segera Bu-siang mengerti, "Baiklah, kita menyamar sebagai Tosu buat mengelabui Suhu," katanya kemudian.

Habis itu bajunya sendiri lantas hendak dibukanya, tetapi mukanya menjadi merah pula, tiba2 ia depak Ki Jing-si sekali sambil mendamperat: "Pejamkan matamu, imam keparat !"

Meski badan kedua imam itu tertutuk dan tak bisa berkutik, namun pancaindera mereka masih bisa bekerja biasa, maka mata lantas mereka pejamkan mana berani mereka mengintip tubuh Liok Bu-siang ?

"Tolol, kaupun berpaling ke sana," kata Bu-siang pula pada Nyo Ko.

"Takut apa ? Waktu aku sambung tulangmu, bukankah aku sudah melihatnya," sahut Nyo Ko dengan tertawa.

Tetapi sesudah berkata, segera Nyo Ko merasa kata2nya itu terlalu bambungan, maka ia menjadi rikuh.

Di lain pihak Bu-siang menjadi marah, "plek", kontan ia baliki telapak tangannya dan tempeleng orang.

Sebenarnya sedikit menunduk saja Nyo Ko bisa hindarkan tamparan itu, tetapi dalam keadaan linglung, ia tak menghindar hingga pukulan itu kena pipi kirinya dengan antap. Kiranya mendadak Nyo ko teringat pada Siao-liong-li karena mimik wajah Liok Bu-siang yang sedang marah2 itu, maka ia menjadi ternganga diam.

Sebaliknya Bu-siang menyangka pukulannya tentu mengenai tempat kosong, siapa tahu justru tepat kena sasarannya dengan keras, mau-tak-mau iapun tertegun.

"Sakit tidak, Tolol ? Makanya jangan ngaco-belo dan ngoceh semaunya," katanya kemudian dengan tersenyum.

Nyo Ko tidak menjawab, ia raba2 pipinya sendiri yang panas pedas itu, lalu berpaling ke jurusan lain.

"Coba lihat, aku mirip imam kecil tidak ?" tanya Bu-siang dengan tertawa sesudah jubah pertapaan orang dikenakannya.

"Tak kelihatan, manaku tahu," sahut Nyo Ko.

"Balik sini, Tolol," omel si gadis.

Kefika Nyo Ko berpaling kembali, ia lihat jubah itu terlalu besar dipakai Bu-siang, tapi makin menunjukkan betapa ramping tubuh Bu-siang.

Selagi Nyo Ko hendak buka suara, sekonyong-konyong terdengar Bu-siang menjerit tertahan sambil menuding ke atas pembaringan.

Eh, kurangajar, kiranya dari dalam selimut di atas pembaringan itu kelihatan menongol satu kepala imam yang dapat Nyo Ko kenali sebagai Bi Jing-hian, imam yang tertabas tangannya oleh Bu- siang di lembah Srigala itu. Rupanya ia rebah di atas pembaringan karena lukanya, tadi waktu melihat Bu-siang, dalam takutnya ia telah mengkeret ke dalam selimut Karena Nyo Ko dan si gadis sedang sibuk menukar pakaian, maka tak memperhatikan kalau di situ masih ada satu imam lagi.

"Dia... dia..." demikian dengan suara samar2 Bu-siang hendak bicara, sebenarnya ia hendak bilang: "dia mengintip aku tukar pakaian", tetapi tak enak diucapkannya.

Pada saat itu juga, kembali suara kelenengan keledai belang milik Li Bok-chiu terdengar lagi.

Nyo Ko tahu iblis perempuan itu kembali lagi, tiba2 tergerak kecerdasannya, ia tarik Bi Jing-hian yang meringkuk di dalam selimut itu, dengan sekali cekal dan tarik itu berbareng ia sudah tutuk jalan darah orang, lalu ia buka rongga pembaringan dan masukkan imam sial itu ke dalam.

Hendaklah diketahui bahwa balai2 atau pembaringan yang biasa digunakan di daerah utara itu terbuat dari tanah liat dan dibawahnya berlubang, karena daerah utara hawa sangat dingin, maka rongga balai2 itu dinyalakan api unggun untuk memanaskan badan bagi yang rebah di atasnya. Tetapi waktu itu bukan musim dingin, di bawah kolong balai2 itu tak ada api, sungguhpun begitu di dalamnya hitam gelap penuh debu arang, keruan Bi Jing-hian seluruh muka dan kepalanya berubah menjadi hitam.

Sementara itu suara keleningan tadi sudah berhenti. Li Bok-chiu telah sampai di depan hotel. "Naiklah ke atas baIai2," kata Nyo Ko pada Bu-siang.

"Tak mau, sudah digunakan imam busuk itu, "tentu kotor dan bau." sahut si gadis.

"Jika tak mau, terserah kau !" ujar Nyo Ko,

Sembari berkata, tangan pun bekerja, Tio Put-hoan telah dijebloskan pula kedalam koIong, sebaliknya tutukan Ki Jing-si malah dia lepaskan.

Di lain pihak, walaupun merasa selimut bekas terpakai itu kotor dan bau, namun bila ingat kekejian gurunya yang tak kenal ampun, terpaksa Bu-siang merangkak ke atas balai2, ia tiduran dengan muka menghadap ke bagian dalam dan baru saja ia rebah, pintu kamar sudah ditendang Li Bok-chiu, untuk kedua kalinya iblis ini melakukan penggeledahan.

Di sebelah sana Nyo Ko pura2 memegangi sebuah cangkir dan dengan kepala tunduk sedang minum, padahal sebelah tangannya ia tekan punggung Ki Jing-si pada Hiat-to yang mematikan hingga imam ini tak berani berkutik.

Melihat isi kamar itu masih tetap tiga imam, pula melihat wajah Li Jing-si pucat lesi seperti mayat dan dalam ketakutan maka Li Bok-chiu hanya tersenyum, lalu pergilah dia menggeledah ke kamar yang Iain.

Tadi waktu pertama kali Li Bok-chiu menggeledah wajah ketiga imam itu sudah jelas dilihatnya, sebab ia kuatir Liok Bu-siang, ganti pakaian dan menyamar, maka waktu menggeledah lagi untuk kedua kalinya, ia tidak memeriksa pun dengan teliti, karena sedikit lengahnya ini ia kena dikelabuhi oleh Nyo Ko.

Malam itu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po berdua telah obrak-abrik seluruh kota itu hingga setiap rumah merasa terganggu sebaliknya dengan aman sentausa Nyo Ko merebah di baIai2 berendeng dengan Liok Bu-siang, alangkah senangnya dia waktu mencium bau harum yang menggiurkan dari si gadis.

Pikiran Bu-siang sendiripun timbul tenggelam seperti mendamparnya ombak, ia rebah tanpa berani bergerak sedikitpun, ia pikir kalau si ToIol ini dibilang goblok, nyatanya pintar tiada bandingannya, dikatakan dia pintar, sebaliknya kelakuannya agak2an, sungguh aneh orang ini ia rada kikuk juga karena bertiduran berendeng dengan pemuda, tetapi sampai lama sedikitpun tiada sesuatu gerak-gerik dari Nyo Ko, barulah ia merasa lega hingga akhirnya ia terpulas.

Besok paginya Nyo Ko mendusin lebih dulu, ia lihat Ki Jing-si masih menggeros mendekam di atas meja, sedang Bu-siang dengan napasnya yarig pelahan kelihatan masih nyenyak juga, kedua pipi gadis ini semu merah, bibirnya mungil tanpa terasa jantung Nyo Ko memukul keras.

"Jika pelahan2 aku mencium dia sekali, tentu dia tak akan tahu," demikian ia pikir.

Dasar Nyo Ko baru injak dewasa, walaupun tiada maksud jahat yang terkandung padanya, namun ingin juga mengecup sekali bibir si gadis yang merah mungil itu. Maka dengan hati2 ia menjulurkan kepalanya, bau harum yang teruar dari badan si gadis membikin Nyo Ko makin lupa daratan.



Tetapi baru saja kedua bibir hampir bersentuh, se-konyong2 Nyo Ko merasakan punggungnya tertimpuk sesuatu Am-gi atau senjata gelap, Luar biasa kaget Nyo Ko hingga ia meloncat bangun.

Sebenarnya dengan kepandaian Nyo Ko sekarang, segala macam senjata rahasia pasti akan diketahuinya sebelum mendekati, tetapi tadi ia sedang lupa daratan hingga pikirannya kabur, maka tak heran senjata rahasia orang bisa mengenai punggungnya.

BegituIah, waktu ia meloncat kaget, segera dapat dilihatnya sebuah wajah sekilas melintas di balik lubang jendela, Wajah itu aneih luar biasa, seperti manusia tapi bukan manusia, dibilang setan pun bukan setan.

Dalam herannya Nyo Ko menguber keluar, namun tiada satu bayangan yang dia dapatkan "jangan2 ini tipu pancingan belaka ?" tiba2 terpikir olehnya.

Ketika ia kembali ke kamar dan periksa senjata rahasia tadi, ia lihat di atas lantai hanya terdapat segelintir kertas saja, ia menjemputnya dan diperiksa, ternyata di atas kertas yang dilinting itu tertulis sesuatu.

Waktu itu Bu-siang sudah terjaga bangun, ia pun mendekati Nyo Ko untuk melihat isi surat itu, Maka tertampaklah apa yang tertulis itu berbunyi". "Kalau berani kurangajar, segera jiwamu melayang !"

Seperti diketahui sehari sebelumnya ada satu anak petani menghantarkan seikat bunga pada Liok Bu-siang dengan secarik surat pengantar yang memberi peringatan, bahwa gurunya segera tiba dan gadis ini disuruh lekas sembunyi. Gaya tulisan surat itu ternyata mirip dengan tulisan yang sekarang ini.

Heran sekali Nyo Ko tercampur malu demi membaca kata2 surat itu, pikirnya: "Kiranya diam2 ada jagoan tinggi sedang melindungi dia, semalam kalau aku melakukan sesuatu yang tak pantas, bukankah..." Berpikir sampai disini, tanpa terasa seluruh mukanya merah semua.

"Hm, tolol busuk, kau didamperat Kokohmu bukan ?" tanya Bu-siang.

"He, ya, jangan2 memang Kokoh ?" terkesiap hati Nyo Ko. Tetapi lantas teringat lagi olehnya : "Ah, tak mungkin, muka orang itu luar biasa aneh-nya, bukan lelaki juga tidak perempuan, seperti manusia, tapi juga bukan setan, terang bedanya seperti langit dan bumi dengan Kokoh, apapula tulisan ini pun bukan tulisan tangan Kokoh !"

Pada saat itu juga suara kelenengan keledai belang Li Bok-chiu berkumandang lagi dan menuju ke arah barat laut

Rupanya karena kitab "Ngo-tok-pit-toan" (kitab pelajaran "panca-bisa") digondoI Liok Bu-siang, kitab itu belum didapatkan kembali, selama itu pula ia tak tenteram, maka selama beberapa hari ini Li Bok-chiu boleh dikatakan tidur tak nyenyak dan makan tak enak, meski hari masih sangat pagi, dengan keledainya ia telah berangkat mencari Liok Bu-siang.

"Kalau kembalinya ke sana tak ketemukan kau, pasti dia akan balik ke sini puIa," kata Nyo Ko. "Cuma sayang kau terluka parah dan tak boleh terguncang keras, kalau tidak, kita bisa menunggang dua ekor kuda dan kabur secepat2nya".

"Bukankah kau sendiri tak luka, kenapa tak kau curi kuda dan kabur sekaligus sehari semalam?" Bu-siang mengomel

Melihat orang marah, Nyo Ko menjadi senang, ia sengaja memancing pula: "Kalau bukan kau yang mohon diantar ke Kanglam, mana aku mau menghadapi bahaya ini."

"Kalau begitu, bolehlah kau pergi, Tolol, melihat macammu saja aku lantas marah, biar lebih baik aku mati saja," sahut Bu-siang.

"Wah, jika kau mati, akulah yang rugi," kata Nyo Ko tertawa.

Tetapi kuatir si gadis betul naik darah hingga tulangnya yang sudah tersambung itu patah lagi, maka tak digodanya lebih jauh, ia ke kantor hotel dan pinjam tinta bak, dengan bahan tulis ini ia campur air baskom yang akan dibuat cuci muka Bu-Siang, mendadak Nyo Ko celup tangannya pada air baskom dan dengan cepat diusapkan ke muka si gadis.

Sama sekali Bu-siang tak ber-jaga2 kalau orang akan berbuat begitu, 1ekas2 ia keluarkan saputangan buat bersihkan air kotor itu sambil tiada pentinya ia mendamperat "si Tolol". Dalam pada itu dilihatnya Nyo Ko sendiripun menggosok tangannya kekolong balai2 yang penuh arang itu, lalu ia campur dengan lak dan dipoles pada mukanya sendiri, karena itu, wajahnya yang tadinya ganteng, kini berubah menjadi jelek.

Bu-siang adalah gadis pintar dan cerdas, nampak kelakuan Nyo Ko itu, segera iapun mendusin. "Ah, memang betul meski aku sudah salin pakaian-kaum imam, tetapi mukaku masih bisa dikenalnya, kalau tersusul Suhu, mana bisa mengelabui matanya ?"

Maka tak sangsi2 lagi air bak tadi ia poles, rata di mukanya, dasar anak gadis memang suka akan kecantikan, meski poles muka dengan air bak, toh masih dilakukannya seperti biasa kalau bersolek dengan bedak dan gincu.

Selesai kedua orang menyamar, Nyo Ko ulur kakinya dan menendang ke kolong balai2 buat lepaskan Hiat-to kedua imam yang dia tutuk itu.

Menyaksikan caranya Nyo Ko melepaskan tutukan orang, tanpa lihat sedikitpun, hanya kakinya menendang beberapa kali sekenanva, lalu kedua imam itu bisa bersuara dan bergerak lagi, sungguh tidak kepalang kagum Bu-siang. "Si Tolol ini berpuluh kali lebih tinggi kepandaiannya dari pada aku," demikian ia betul2 menyerah kini.

Walaupun begitu, mukanya sama sekali tak mengunjuk sesuatu tanda bahkan ia masih me-maki2 orang "tolol".

Sementara luka Bu-siang sudah baikan, ia sudah bisa menunggang keledai sendiri dengan jaIan pelahan, karena tak ingin setunggangan lagi dengan Nyo Ko, maka masing2 lalu mengambil seekor keledai sendiri dan melanjutkan perjalanan ke tenggara, Apabik letih, mereka mengaso, lalu meneruskan lagi menunggang keledai.

Siapakah gerangan orang yang telah dua kali kirim surat itu ?" begitulah sepanjang jalan Ko selalu ber-tanya2 dalam hati. "Hai, Tolol, kenapa kau diam saja tak bicara?" tiba2 Bu-siang menegur. Waktu itu memang Nyo Ko lagi ter-menung2, karena teguran orang, mendadak ia ingat sesuatu, "Ai, celaka, sungguh aku terlalu ceroboh!" ia berteriak.

"Memangnya kau ceroboh, siapa yang bilang kau pintar!" kata si gadis.

"Kita sudah menyamar dan ganti rupa, tetapi semua ini telah dilihat ketiga Tojin itu, kalau dia lapor pada gurumu, bukankah kita bakal celaka ?" ujar Nyo Ko.

Bu-siang tertawa geli oleh pikiran orang ini. "Tiga imam busuk itu sudah mendahului kabur ke depan sana, mana berani dia tinggal di sana menunggu datangnya Suhu," sahutnya kemudian. "Kau ter-menung2 saja seperti orang gendeng sejak tadi, masakah mereka sudah mendahului di depan sana kau tak melihatnya?"

"Oh !" kata Nyo Ko sambil tertawa ke arah Bu-siang.

Gadis itu menjadi bingung oleh tertawaan itu yang tampaknya mengandung arti yang dalam.

Pada saat itu mendadak keledai yang ditungganginya itu meringkik keras, Waktu Bu-siang menoleh, ia lihat di tikungan jalan sana sudah berdiri Iima pengemis, mereka berdiri berjajar merintangi jalannya,

Mata Nyo Ko sangat jeli, sekilas saja dapat dilihatnya dibalik jalan sana ada dua orang lain yang mengkeret kembali sesudah melongok sekejap kedua orang itu bukan lain adalah Tio Put-hoan dan Ki Jing-si.

"Ah, kiranya tiga imam busuk itu telah beritahu orang Kay-pang mengenai penyamaran kami sebagai Tojin." demikian segera ia jadi terang duduknya perkara.

Karena itu, ia lantas melompat turun dari keledainya dan memapak maju.

"Tuan2 besar pengemis, kalian minta2 di delapan penjuru, maka hari ini mohon kalian suka menderma pada kami," segera Nyo Ko buka suara dahulu.

"Hm, sekalipun kalian cukur gundul menjadi Hwesio, jangan harap bisa mengelabui mata-telinga kami," satu diantara pengemis2 itu menyahut, suaranya keras bagai genta, "Sudahlah, jangan berlagak bodoh lagi, baiknya terus terang saja dan ikut kami pergi menghadap Pangcu (ketua perserikatan)."

Mendengar orang menyebut Pangcu, diam Nyo Ko memikir: "Menurut cerita Kokoh, Pangcu dari Kay-pang bernama Kiu-ci-sin-kay Ang Chit kong, betapa tinggi ilmu silatnya orang tak mampu merabanya, walaupun Kokoh sendiri tak pernah tinggalkan kuburan kuno, tapi pernah juga Sui popoh bercerita padanya, agaknya Pangcu mereka ini sangat lihay, kalau betul2 ada disini, rasanya susah buat loloskan diri lagi"

Kedua pengemis yang mencegat di jalan seberang ini adalah murid berkantong delapan dari Kay-pang, menjadi ragu2 melihat Nyo Ko dan Liok Bu-siang hanya anak2 muda yang belum genap 20 tahun usianya, tapi bisa kalahkan empat murid Kay-pang dari kantong enam dan tiga murid kantong tujuh.



Begitulah, sedang kedua belah pihak sama2 ragu2, tiba2 suara kelenengan nyaring berkumandang lagi dari jurusan barat laut, suaranya begitu tajam dan riuh menusuk telinga.

"Celaka, sekali ini bisa celaka," demikian Bu-siang pikir, "Meski aku sudah ganti rupa dan tukar corak, tapi justru dirintangi kedua pengemis setan ini kalau rahasia penyamaran kami dibongkar olehnya, cara bagaimana aku bisa lolos dari tangab Suhu yang kejam ? Ai, betul2 sial."

Bukannya Bu-siang sesalkan dirinya sendiri yang tanpa sebab melukai anak murid Kay-pang hingga menanam bibit permusuhan, kini ia malah salahkan orang Kay-pang yang merintangi dia. Memang anak gadis kadang2 lebih suka menyalahkan orang lain daripada koreksi diri sendiri, ditambah pula tabiat Bu-siang memang aneh hingga apa yang diperbuatnya dianggapnya pasti betul dan apa yang dilakukan orang tentu salah.

Dalam pada itu, sekejap saja suara kelenengan Li Bok-chiu sudah tambah dekat,

"Terang aku bukan tandingan Li Bok-chiu itu, tiada jalan lain lagi kecuali terjang ke depan saja," pikir Nyo Ko.

Sungguhpun dalam hati ia berkuatir, tapi pada lahirnya ia masih bisa berlaku tenang.

"Haha, kalau kalian tak sudi memberi sedekah itupun tak apalah, harap memberi jalan saja," ia berkata lagi pada kedua pengemis tadi dengan lagak setengah tolol. Habis berkata, dengan langkah lebar iapun jalan ke depan.

Melihat tindakan orang yang enteng dan seperti tak paham ilmu silat sedikitpun kedua pengemis itu mengulur tangan kanan hendak jambret Nyo Ko.

Namun Nyo Ko sudah siap, tiba2 telapak tangannya mendorong maju, maka beradunya tiga tangan tak terhindarkan lagi, hanya sekali gebrak, ke-tiga2nya sama-sama tergetar mundur semua.

Kiranya murid Kay-pang kantong delapan itu sudah punya keuletan latihan beberapa puluh tahun, tenaga dalam mereka begitu hebat dan jarang ada tandingan lagi di kalangan Kangouw, kalau melulu soal keuletan, boleh dikatakan puluhan kali lebih kuat dari Nyo Ko. Cuma hal kebagusan dan keanehan gerak serangan, hal ini berbalik jauh di bawah pemuda kita.

Oleh sebab itulah, dengan pinjam tenaga pukulan orang untuk memukul balik, Nyo Ko dapat patahkan tenaga pukulan orang tadi tetapi untuk menerjang lewat begitu saja juga sukar baginya, Karenanya, ketiga orang sama-sama terkejut.

Pada saat itu juga Li Bok-chiu dan Ang Lmg-po sudah datang dekat.

"Hai, pengemis, imam cilik, kalian melihat seorang gadis pincang lewat disini tidak ?" segera Ang Ling-po berteriak tanya.

Kedudukan kedua pengemis itu di kalangan Bulim tergolong tinggi tentu saja mereka mendongkol oleh cara tanya Ang Ling-po, cuma terikat oleh peraturan Kay-pang yang keras yang melarang sianak muridnya berkelahi dengan orang dalam persoalan kecil, maka mereka menyahut juga dengatt pendek : "Tak melihat!"

Namun mata Li Bok-chiu sangat tajam, ia lihat perawakan kedua Tosu muda ini seperti pernah dilihatnya entah di mana, maka timbul rasa curiganya.

Dalam pada itu dilihatnya pula keempat orang itu sedang berhadapan dalam keadaan siap hendak saling labrak, maka diambilnya keputusan akan menonton perkelahian itu, pertama ia ingin menyaksikan sampai dimanakah ilmu silat anak murid Kay-pang, kedua ingin tahu juga dari aliran manakah kedua Tosu cilik itu.

Di lain pihak Nyo Ko pun sedang pikir karena datangnya iblis perempuan itu, waktu ia melirik, ia lihat wajah orang mengunjuk senyum dan hendak menyaksikan perkelahian tiba2 pikirannya tergerak : "Ah, begini, tentu akan hilang rasa curiganya."

Lalu didekatnya Ang Ling-po, ia memanggut memberi salam, Karena itu, Ang ting-po membalas hormat orang.

"Siauto (imam kecil) kebetulan lewat disini dan tanpa sebab dicegat kedua pengemis galak ini serta ditantang berkelahi" demikian kata Nyo Ko, "Tetapi Siauto tidak membawa senjata, maka tolong Tosu (kawan dalam agama toa) sudilah memberi pinjam pedangmu."

Melihat muka orang benjal-benjol sangat jelek, tetapi budi bahasanya sopan, ditambah lagi orang mengemukakan agama, maka Ang Ling-po merasa tak enak buat menolak permintaan orang pedang lantas dilolosnya, ia berpaling dulu pada gurunya, waktu melihat Li Bok-chiu mengangguk maka disodorkan pedangnya kepada Nyo Ko..

"Terima kasih sebelumnya," kata Nyo Ko pula sambil terima senjata orang, "dan bila Siauto tak ungkulan, masih mengharap Tosu memandang pada sesama agama kita, sudilah memberi bantuan sedikit"

Ang Ling-po mengkerut kening oleh ceriwis-nya Njo Ko, ia hanya menjengek sekali dan tidak menjawab.

Sementara itu Nyo Ko sudah putar balik kesana, dengan suara keras ia berkata pula pada Bu-siang: "Hai Sute, kau saksikan kutempur mereka dan tak usah ikut turun tangan, biar pengemis2 Kay-pang ini berkenalan dengan ilmu kepandaian anak murid Coan-cin-pay kita."

"Ha, kiranya kedua imam cilik ini adalah orang Coan-cin-kau," Li Bok-chiu terkesiap mendengar Nyo Ko ngaku sebagai anak murid Coan-cin-kau, "Tetapi biasanya hubungan Coan-cin-kau dan Kay-pang sangat baik, kenapa sekarang saling labrak ?"

Dalam pada itu kuatir kalau kedua pengemis itu ber-teriak2 menyingkap rahasianya Bu-siang, dengan cepat Nyo Ko lantas merangsang maju.

"Hayo, majulah Iekas, biar aku seorang diri lawan kalian berdua", segera ia menantang.

Mendengar kata2 Nyo Ko semakin temberang, hati Bu-siang menjadi kuatir.

"Si Tolol ini sudah menyamar sebagai Tosu, masa berani mengaku dari Coan-cin-kau," demikian pikir gadis itu. "la tak tahu bahwa guruku entah sudah berapa puluh kali berkelahi dengan imam2 Coan-cin-kau, ilmu silat Coan-cin-pay mana yang tak dikenalnya? sungguh kelewat berani dia memalsukan nama orang lain."

Di sebelah sana, demi mendengar Nyo Ko mengaku sebagai anak murid "Coan-cin", seketika juga kedua pengemis itu terkejut, berbareng mereka membentak tanya: "Apa betul2 kau anak murid Coan-cin? Kau dan dia..."

Tak nanti Nyo Ko memberi kesempatan pada mereka untuk menyebut Liok Bu-siang, maka sebelum selesai perkataan orang, secepat kilat pedangnya menusuk, sekaligus ia mengarah perut kedua pengemis itu, dan itu memang betul adalah tipu serangan dari "TIong-yang-kiam-hoat" yang tulen.

Sebenarnya dengan kedudukan mereka yang tinggi di kalangan Bu-lim, kedua pengemis itu tidak nanti mau tempur Nyo Ko dengan dua lawan satu, akan tetapi serangan Nyo Ko ini datangnya terlalu cepat dan aneh, mau-tak-mau mereka berdua harus angkat tongkat untuk menangkisnya. Nyata, tongkat mereka yang tadinya tak menarik perhatian itu, kiranya terbikin dari besi

Tetapi baru saja mereka angkat tongkat, tahu2 pedang Nyo Ko sudah menerobos lewat melalui sela2 tongkat mereka dan masih terus menusuk ke dada kedua orang itu.

Sama sekali tak diduga kedua pengemis itu bahwa ilmu pedang orang bisa begitu cepat, terpaksa mereka mundur ke belakang.

Tetapi Nyo Ko sedikitpun tak kenal ampun, ia mendesak terus setiap detik hingga sekejap saja sudah menusuk 18 kali, bahkan tiap2 tusukan sekaligus membagi dua jurusan puIa, yakni mengarah lawan yang berjumlah dua orang. itu adalah ilmu silat Coan-cin-pay yang paling hebat yang disebut "lt-gi-hoa-sam-jing" atau satu menjelma menjadi tiga, bila sudah terlatih sampai tingkat yang paling hebat, maka sekali serangan bisa berubah menjadi tiga tipu gerakan, dengan begitu, seorang sama dengan tiga orang maju berbareng.

Begitulah, maka tiap2 Nyo Ko menusuk, saban2 kedua pengemis itu dipaksa mundur, sekali saja ternyata tak mampu mereka balas menyerang.

Nampak betapa bagus Kiam-hoat imam cilik ini, diam2 Li Bok-chiu terperanjat katanva dalam hati: "Pantas nama Coan-cin-kau disegani di seluruh jagat, sebab anak muridnya memang semuanya pilihan, kepandaian orang ini kalau sepuluh tahun lagi pasti aku sendiri tak bisa menandinginya, Tampaknya jabatan Ciangkau (ketua) Coan-cin-kau kelak pasti akan jatuh di tangan orang ini."

Jika Li Bok-chiu saja begitu kagum pada kepandaian Nyo Ko, maka jangan ditanya lagi Ang Ling-po dan Liok Bu-siang, mereka berdua Iebih2 terpesona dan ternganga.

Dalam pada itu Nyo Ko sendiri sedang berpikir: "Jika sedikit aku main kendur, pasti mereka akan buka suara, dan kalau mereka pentang mulut pasti banyak celaka dari pada selamatnya."



Karena itulah sesudah 18 jurus "Tiong-yang-kiam-hoat" habis dimainkan, dengan cepat Kiam-hoatnya berubah, tiba2 ia memutar ke belakang kedua lawannya dan kembali pedangnya menusuk lagi sekali-dua-gerakan, terpaksa kedua pengemis itu membalik tubuh dengan cepat untuk menangkis, namun sebelum tongkat mereka menyentuh pedang, tiba2 Nyo Ko sudah melesat pergi, lagi2 ia mengitar ke belakang orang dan kembali menusuk pula, bila kedua orang itu memutar menangkis, segera Nyo Ko menggeser ke belakang mereka lagi.

Kiranya Nyo Ko insaf bila melulu mengandalkan keuletan, jangan kata satu lawan dua, melawan seorang pengemis itu saja tak nanti bisa menandinginya, oleh sebab itu, ia sengaja main putar dengan Ginkang untuk mengitari kedua lawannya.

Cara Nyo Ko memutar dan menggeser ini, bagi tiap2 anak murid Coan-cin-kau yang sudah cukup matang memang diwajibkan melatih Ginkang semacam ini untuk kelak digunakan dalam barisan bintang2 "Thian-keng-pak-tau-tin". Hanya saja sekarang Nyo Ko kombinasikan cara bernapasnya dengan inti pelajaran "Giok-li sim-keng" yang dilatihnya.

Harus diketahui bahwa Ginkang atau ilmu entengkan badan dari Ko-bong-pay adalah ilmu yang tiada bandingannya, oleh sebab itulah kecepatan Nyo Ko memutar dan berganti tempat se-kali2 tak bisa diikuti oleh kedua jago Kay-pang itu, yang kelihatan hanya bayangan Nyo Ko yang berlari secepat kilat dengan sinar mengkilap menyamber

Karena tusukan pedangnya yang silih bergilir. Dalam keadaan demikian, bila Nyo Ko sungguh2 hendak celakai jiwa kedua pengemis itu, sekalipun berjumlah dua puluh orang juga gampang saja dibunuhnya semua.

Tentu saja kedua orang itu kewalahan, sembari ikut memutar cepat, mereka berusaha ayun tongkat untuk melindungi tempat2 bahaya di tubuh sendiri, kini mereka sudah tak pikirkan buat tangkis serangan orang lagi, mereka hanya berusaha melindungi diri sendiri sepenuh tenaga dan terserah nasib.

Dengan begitu, setelah ratusan kali berputar cepat, akhirnya kedua pengemis itu kepalanya menjadi puyeng dan mata ber-kunang2, tindakan merekapun mulai sempoyongan, tampaknya sudah akan jatuh semaput.

"Hai, kawan dari Kay-pang," tiba2 Li Bok-chiu berseru dengan tertawa, "nih, kuajarkan satu akal, kalian punggung berdempetan punggung, dengan begitu tak perlu lagi ikut putar2.

Karena peringatan ini, kedua pengemis itu sangat girang, dengan segera mereka akan turut akal itu.

"Celaka, jika mereka berbuat begitu, tentu aku akan kalah," pikir Nyo Ko.

Maka sebelum kedua lawannya berganti tempat, mendadak ia ganti siasatnya, ia tidak geser lagi, melainkan pedangnya sekali serang-dua-gerakan, ia tusuk punggung kedua orang.

Merasa angin santar menyamber dari belakang, tak sempat kedua pengemis itu menangkis, terpaksa mereka melompat maju, tak terduga, baru saja kakinya menginjak tanah, kembali tusukan orang sudah tiba pula, keruan saja tidak kepalang kaget kedua pengemis itu, tanpa pikir lagi mereka angkat kaki terus lari ke depan seperti diudak setan.

Siapa duga ujung pedang Nyo Ko bagaikan bayangan saja yang selalu melengket dengan tubuh mereka, tidak peduli mereka berlari betapa cepatnya, senantiasa Nyo Ko geraki pedangnya di belakang mereka, bila sedikit lambat saja mereka melangkah, segera daging di punggung mereka terasa sakit-tertusuk ujung senjata.

Merekapun tahu kini bahwa tiada maksud Nyo Ko buat membunuh, kalau tidak, asal tangan pemuda ini sedikit diulur lebih panjang saja, pasti punggung mereka akan tertembus oleh ujung pedang walaupun begitu, sedikitpun mereka tak berani berhenti dan masih berlari kesetanan.

Ketiga orang yang udak2an ini memiliki ilmu entengkan badan yang sangat tinggi, maka sekejap saja mereka sudah berlari beberapa li, hingga Li Bok-chiu ditinggalkan jauh di belakang.

Ketika itulah mendadak Nyo Ko tambah "gas" sedikit, tahu2 ia sudah mendahului di depan kedua pengemis itu.

"Eeeeeh, kenapa buru2, pe!ahan2 sedikit, jangan jatuh kesandung !" demikian dengan menyengir ia hadang di depan orang.

Tanpa berjanji kedua pengemis itu mengemplang berbareng dengan tongkat mereka, namun sekali meraup, dengan tangan kiri Nyo Ko dapat menangkap sebuah tongkat orang, berbareng itu pedang di tangan kanan ia tempelkan tongkat yang satu dari didorong sedikit ke kiri hingga dengan tepat dua tongkat sekaligus kena dicekal pula olehnya.

Tahu gelagat jelek, lekas2 kedua pengemis itu berusaha membetot sekuatnya, Tapi Nyo Ko cukup cerdik, ia tahu keuletannya masih belum memadat kedua pengemis itu, tentu saja ia tak mau betot2an dengan orang, dengan pedang sekonyong-konyong ia membabat mengikuti batang tongkat yang lempeng itu, dalam keadaan demikian, jika kedua pengemis itu tidak lepas tangan, delapan jari mereka pasti akan tertabas kutung.

Karena itu, terpaksa mereka lepaskan senjata dan melompat ke belakang, habis ini dengan mata melotot mereka pandang Nyo Ko dengan gusar, sikap merekapun kikuk dan serba salah, hendak tempur orang tak ungkulan, kalau lari rasanya merendahkan derajat.

Dalam pada itu terdengar Nyo Ko berkata pada mereka: "Kami dengan perkumpulan kalian biasanya bersahabat hendaklah kalian jangan percaya omongan yang sengaja mengadu-domba. Siapa yang utang harus bayar, bukankah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chtu dari Ko-bong-pay itu berada di sana, kalian berdua kenapa tidak mencari padanya saja ?"

Kedua pengemis itu tak kenal Li Bok-chiu, tetapi cukup tahu betapa lihay iblis perempuan itu, karena itu, mereka terkesiap demi mendengar penuturan Nyo Ko.

"Apa betul katamu ?" sahut mereka bersama.

"Buat apa aku berdusta," kata Nyo Ko. "Justru Siauto sendiri kepepet oleh desakan iblis itu, maka tadi telah bergebrak dengan kalian berdua," Berkata sampai disini, dengan laku sangat hormat dikembalikannya tongkat2 rampasannya tadi dan disambungnya pula: "Jik-lian-sian-uu itu selalu membawa benda2 pertandaannya yang terkenal di seluruh jagat, masakah kalian tidak mengenalnya ?"

"Aha, tak salah lagi," kata salah satu pengemis itu, "la membawa kebut keledai belangnya pakai kelenengan emas, bukankah dia itu yang memakai baju kuning tadi ?"

"Betul-betul," sahut Nyo Ko tertawa, "Dan nona yang melukai anak murid perkumpulan kalian dengan golok melengkung itu, bukan lain adalah muridnya Li Bok-chiu..." sampai disitu mendadak ia berhenti dan pura2 memikir sejenak lalu dilanjutkannya : "Cuma saja, jangan2... ah, sulit, sulit..."

"Jangan2 apa ?" tanya si pengemis yang berwatak aseran.

"Ah, sulit, sulit," kata Nyo Ko lagi.

"Sulit apa ?" kembali pengemis itu mendesak.

"Coba pikir saja, Li Bok-chiu itu malang melintang di jagat ini dan siapa di kalangan Kangouw yang tidak pecah nyalinya bila mendengar namanya," demikian sahut Nyo Ko. "Sungguhpun golonganmu sangat lihay, tapi terang tiada satupun yang bisa menandinginya. Sebab yang melukai kawanmu itu adalah muridnya, maka baiknya kalian anggap sial saja."

Karena, kata2 yang bersifat memancing pengemis itu dibikin murka hingga ber-teriak2.

"Hm, peduli dia setan iblis, hari ini pasti kami tempur dia," demikian teriaknya sambil tarik tongkatnya terus hendak lari kembali ke tempat tadi.

Syukur pengemis yang satu bisa berlaku tenang, ia pikir, melawan seorang bocah ini saja kami berdua tak ungkulan, apalagi hendak perang tanding dengan Jik-lian-sian-cu, apa itu bukan berarti menghantarkan jiwa belaka ?

Karena itu, segera ia tarik tangan kawannya dan mencegah: "Tak perlu buru2 marilah kita kembali dulu buat berunding lebih jauh." - Habis ini ia rangkap tangan memberi hormat pada Nyo Ko sambil tanya : "Dapatkah mengetahui nama Toyu (sahabat dalam agama) yang terhormat?"

"Siauto she Sat dan bernama Hua-cu," sahut Nyo Ko. "Sampai ketemu lagi."

Habis berkata, iapun mohon diri dan balik ke jurusan tadi.

""Sat Hua-cu, Sat Hua-cu ? Aneh sekali nama ini, kenapa tak pernah kudengar, dengan usianya yang masih begitu muda, ilmu silatnya ternyata sudah sangat hebat."

Begitulah kedua pengemis itu menggumam mengulangi nama palsu Nyo Ko yang mengherankan Tetapi sesaat kemudian, mendadak satu diantaranya berjingkrak sambil mencaci maki: "Ku-rangajar, jahanam, keparat!."



"Ada apakah ?" tanya kawannya.

"Bukankah dia mengaku bernama Sat Hua-cu ? itu artinya Sat-hua-cu (menyembelih pengemis)! Kurangajar, kita dicucimaki olehnya tanpa merasa !"

Karena itu, ke-dua2nya lantas mengumpat Nyo Ko, namun demikian merekapun tak berani mencari orang lagi buat bikin perhitungan.

Di lain pihak Nyo Ko sedang tertawa geli sendiri. Kuatir keselamatan Bu-siang terjadi sesuatu, lekas2 ia kembali ke tempat tadi, di sana ia lihat Bu-siang sedang longak-longok ke arahnya di atas keledainya, tampaknya si gadis kuatir luar biasa. Tetapi demi melihat Nyo Ko sudah kembali, mukanya berubah girang, lekas2 ia keprak keledainya memapaki.

"Tolol, bagus ya kau, aku ditinggalkan sendirian," dengan suara tertahan ia mengomeli Nyo Ko.

Tetapi pemuda ini tak menjawabnya melainkan tersenyum saja, lalu pedang yang dia pinjam dari Ang Ling-po tadi disodorkan kembali kepada pemiliknya sambil memberi hormat dan menyatakan terima kasih.

Setelah senjata itu diterima kembali Ang Ling-po, selagi Nyo Ko hendak putar tubuh, se-konyong2 Li Bok-chiu berkata : "Nanti dulu!"

Kiranya karena melihat ilmu silat Nyo Ko sangat bagus, ia pikir kalau orang ini dibiarkan hidup, kelak pasti akan bikin susah dirinya saja, ada baiknya mumpung ilmu-silatnya masih belum memadai dirinya, sekarang juga dibunuh kan beres urusannya, ?

Tetapi betapa cerdiknya Nyo Ko, begitu mendengar orang berkata "nanti du!u", segera diketahuinya keadaan bakal runyam, lekas2 pedang yang dia serahkan di tangan Ang Ling-po itu dilepaskan.

Sebenarnya Li Bok-chiu hendak pancing orang agar bergebrak padanya, dengan begitu sekali ke-but akan dibunuhnya Nyo Ko, tetapi kini Nyo Ko sudah tak bersenjata, dengan kedudukan Li Bok-chiu, tidak nanti ia sudi mencelakai orang dengan senjatanya.

"Kau ini murid siapa di antara Coan-cin-chit-cu itu?" tanyanya kemudian sembari tancapkan ke-butnya ke baju Iehernya.

"Aku adalah murid Ong Tiong-yang cinjin," sahut Nyo Ko tertawa.

Seperti diketahui sebenarnya Nyo Ko adalah murid Tio Ci-keng dan cucu murid Coan-cin Ghit-cu, tetapi terhadap imam2 Coan-cin-kau itu ia sudah mendapat kesan jelek, dalam hati sedikitpun imam2 itu tak dihormatinya lagi, walaupun Khu Ju-ki tidak jelek terhadap dirinya, namun waktu berkumpulnya dengan imam tua itu terlalu singkat, maka sedikit kebaikan itu sudah habis ludes tertutup oleh kesan2 jelek yang dia dapat dari Tio Ci-keng dan Hek Tay-thong, sebab itulah ia, tak sudi mengaku sebagai muridnya Ci-keng.


Tetapi sewaktu berdiam di dalam kuburan kuno, ia telah melatih inti ilmu "Kiu-im-cin-keng" yang diukir Ong Tiong-yang dahulu, maka bila dia mengatakan anak murid-cakal bakal Coan-cin-kau itu, sebenarnya juga tidak berlebihan."

Sebenarnya kalau menurut umur Nyo Ko, pa-ling banyak hanya sesuai menjadi murid tingkatannya Tio Ci-keng dan In Ci-peng, tapi melihat ilmu silatnya tidak lemah, maka Li Bok-chiu telah tanya dia murid siapa diantara Coan-cin Chit-cu, yaitu tujuh imam utama murid Ong Tiong-yang, dengan pertanyaan ini sebetulnya sudah meninggikan diri Nyo Ko, kalau pemuda ini menjawab salah satu nama umpamanya Khu Ju-ki atau Ong Ju-it, pasti Li Bok-chiu dapat mempercainya.

Siapa tahu hati muda Nyo Ko masih belum hilang, ia tak sudi lebih rendah tingkatannya daripada Hek Tay-thong yang telah membunuh Sun-popoh yang dicintainya itu, maka nama Ong Tiong-yang sengaja ditonjolkan olehnya.

Padahal Ong Tiong-yang adalah cakal bakal Coan-cin-kau, semua orang Bu-lim tahu kalau dia hanya mempunyai tujuh orang murid yaitu seperti apa yang disebut "Coan-cin Chit-cu" itu, sewaktu Nyo Ko lahir malahan Tiong-yang cinjin sudah lama meninggal dunia.

Begitulah, maka Li Bok-chiu menjadi sangsi "Hm, kau imam cilik ini sungguh tak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit, rupanya kau tak kenal aku ini siapa, maka berani main gila dengan aku," demikian ia pikir, Tetapi lantas teringat lagi olehnya: "Namun imam2 Coan-cin-kau se-kaIi2 tak nanti berani main gila dengan nama Cosuya mereka. Kalau dia ini bukan anak murid Coan-cin, mengapa tipu2 ilmu silatnya tadi jelas adalah keluaran Coan-cin-pay ?"

Melihat orang mengkerut kening sedang ber-pikir, Nyo Ko kuatir nanti dikenali Ang Ling-po yang dahulu pernah dikibulinya dengan menyamar sebagai anak gembala, maka tak berani ia tinggal lama2, ia pikir paling perlu kabut dulu, Maka dengan cepat ia cemplak ke atas keledainya tetus hendak dilarikan

"Turun dulu, ada yang hendak kutanyakan padamu" demikian kata Li Bok-chiu.

"Tak perlu kau bicara juga, aku sudah tahu apa yg hendak kau tanyakan," sahut Nyo Ko tiba2.

"Bukankah kau hendak tanya apa aku melihat seorang gadis pincang atau tidak? Dan tahu tidak kitab yang dibawanya itu, bukan?"

Li Bok-chiu terkejut mengapa orang tahu akal maksud hatinya, Namun dengan adem saja ia menyahut: "Ya, kau sungguh pintar. Kemanakah kitab itu dibawanya ?"

"Tadi waktu aku dan Suteku ini beristirahat di tepi jalan, kami melihat gadis pincang itu saling gebrak dengan tiga pengemis," sahut Nyo Ko dengan karangannya. "Satu diantara pengemis itu terkena timpukan goloknya yang melengkung, walaupun demikian, karena masih ada dua pengemis yang lain, maka gadis itu tak ungkulan, akhirnya ia tertawan"

Biasanya Li Bok-chiu selalu berlaku tenang, tetapi kini mendengar Liok Bu-siang tertawan pengemis2 dari Kay-pang, sedang pada gadis itu membekal "Ngo-tok-pit-toan" yang tentu akan terjatuh di tangan mereka juga, ingat akan hal ini mau-tak-mau mukanya mengunjuk rasa kuatir juga.

Melihat obrolannya berhasil, keruan Nyo Ko sengaja obral ceritanya yang ditambah dan di bumbu2i pula, ia bilang: "Dan sesudah tertawan, seorang pengemis telah geledah keluar satu kitab dari badan gadis pincang itu, tapi karena nona itu tak mau menyerahkannya, maka pengemis itu telah persen dia dengan sekali tamparan."

Mendengar dirinya dibuat buIan2an mengobrol tidak kepalang mendongkolnya Bu-siang, lebih2 Nyo Ko bilang dirinya ditempeleng oleh pengemis, maka dengan gemas ia mendeliki Nyo Ko, sedang dalam hati ia berkata: "Bagus, kau tolol ini, berani kau fitnah diriku, lihat saja kelak kalau aku tidak hajar kau?"

Di lain pihak si Nyo Ko ternyata sangat jahil, ia tahu betul2 hati si gadis waktu itu pasti sangat ketakutan karena berhadapan dengan gurunya yang kejam, tapi ia justru sengaja menanya padanya: "Betul tidak, Sute? Bukankah itu sangat menggemaskan orang ? Bukankah nona itu telah dipegang sini dan diraba sana oleh beberapa pengemis itu, betul tidak?"

Bukan buatan dongkolnya Bu-siang, tapi ia tak berani membantah, terpaksa ia mengiakan sambil kepala menunduk.

Tengah berbicara, tiba2 terdengar suara derapan kuda yang ramai, menyusul muncul sepasukan tentara dari balik bukit sana dengan persenjataan lengkap dan berbaris sangat rapi, kiranya adalah pasukan tentara Mongol.

Tatkala itu negeri Kim dari Manchu sudah dibasmi oleh bangsa Mongol, maka daerah utara sungai seluruhnya berada dibawah pemerintahan Mongol.

Sudah tentu Li Bok-chiu tidak pandang sebelah mata pada pasukan tentara itu, tetapi karena tujuannya ingin lekas mendapatkan jejaknya Bu siang, maka ia tak ingin banyak cecok lagi dengan pihak lain, ia menyingkir ke tepi jalan untuk menghindari pasukan tentara itu.

Sejenak kemudian, di bawah derapan kuda yang riuh dan mengepulnya debu yang tinggi, ratusan serdadu yang mengiringi seorang pembesar Mongol telah dapat lewat disamping mereka. pembesar itu berdandan sebagai pembesar sipil, tetapi kepandaiannya menunggang kuda ternyata sangat bagus, meski wajahnya tak kelihatan jelas, namun sikapnya di waktu melarikan kudanya ternyata sangat gagah dan perkasa.

Menunggu setelah pasukan itu lewat, kemudian Li Bok-chiu angkat kebutnya buat membersihkan debu yang mengotori bajunya.

Tiap-tiap kali kebutnya mengebas, tiap-tiap kali juga jantung Bu-siang memukul keras, Ya harus diketahui, bila kebut itu bukan dibuat membersihkan debu melainkan jatuh diatas kepala orang, maka tak perlu disangsikan lagi kepala sasarannya itu seketika pasti pecah berantakan.

"Lalu bagaimana?" Li Bok-chiu tanya lagi.

"Lalu pergilah pengemis2 itu menuju ke utara dengan membawa nona itu," sahut Nyo Ko menuding ke utara, "Aku dengar, katanya mereka pergi ke Ciong-koan."

"Em, bagus, terima kasih," Li Bok-chiu memanggil dan tersenyum. "Aku she Li bernama Bok-chiu, orang Kangouw menyebut aku Jik-lian-sian-cu, tetapi ada juga yang panggil aku Jik-lian- mo-tau (iblis ular belang rantai), pernah tidak kau mendengar namaku ?"



"Tak pernah." sahut Nyo Ko menggeleng kepala, "Nona, kau begini cantik pantasnya kau disebut Sian-cu (dewi), mana boleh dipanggil Mo-tau (iblis)?"

Memang dengan paras Li Bok-chiu yang cantik, meski umurnya sudah lebih setengah abad, tapi karena lwekangnya sudah terlatih tinggi, maka kulitnya yang putih halus tanpa keriput sedikitpun kalau dipandang laksana wanita berumur 30 tahun saja.

Selama hidup Li Bok-chiu memang sangat bangga atas kecantikannya, kini mendengar Nyo Ko memujinya, dengan sendirinya ia sangat senang.

"Kau berani main gila dengan aku, sebenarnya kau harus diberi rasa sedikit," katanya kemudian sambil goyangi kebutnya, "Tetapi mengingat kau pintar bicara, biarlah aku melulu gunakan kebut ini untuk hajar kau,"

"Ah, jangan, jangan, mana bisa tanpa sebab Siauto bergebrak dengan kaum Siaupwe (tingkatan muda)," sahut Nyo Ko geleng kepala.

"Hm, ajalmu sudah di depan mata, masih berani kau main gila. Cara bagaimana kau anggap aku ini kaum Siaupwe?" damperat Bok-chiu.

"Guruku Tiong-yang cinjin setingkat dengan nenek gurumu Lim-popoh, bukankah aku setingkat lebih tinggi dari kau?" kata Nyo Ko.

Gusar sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu, tetapi ia tetap tersenyum saja dan berpaling kepada Ang Ling-po: "Pinjamkan lagi pedangmu padanya."

"Eh, tak boleh jadi, tak.... boleh jadi..." ia berteriak sambil goyangl tangannya, akan tetapi di sebelah sana Ang Ling-po sudah cabut pedang-nya, maka terdengarlah suara "kraak", yang terpegang di tangannya melulu garan pedang saja, sedang mata pedangnya masih ketinggalan di dalam sarungnya.

Sesaat Ang Ling-po tercengang, tetapi segera ia mendusin bahwa itu adalah perbuatan Nyo Ko tadi yang secara diam2 telah bikin patah garan pedang sewaktu mengembalikan padanya, kini mendadak dicabut, dengan sendirinya lantas terpisah menjadi dua.

Keruan saja berubah hebat air muka Li Bok-chiu.

"Nah, memangnya aku tak bisa bergebrak dengan kaum Siaupwe, tapi kau memaksa hendaki saling gebrak dengan aku," ujar Nyo Ko, "Baiklah begini saja, dengan tangan kosong aku sambut tiga kali serangan kebutmu, Kita berjanji yang terang, hanya tiga gebrakan saja, selewatnya tiga gebrakan, asal kau sanggup bertahan, aku lantai lepaskan kau pergi. Tetapi sehabis itu, kaupun tak boleh recoki aku terus."

Kiranya dalam hati Nyo Ko tahu dalam keadaan demikian tak bisa tidak harus saling gebrak tetapi bila bergebrak sungguh2, dirinya masih bukan tandingan Li Bok-chiu, maka sengaja ia berlagak orang tua, pura2 sebagai kaum Locianpwe ditambah pula kata2 yang tajam, asal Li Bok-chj berjanji hanya bergebrak tiga jurus saja dan tidak lebih.

-------------------------

Keterangan gambar.

Dengan menjungkir dan berputar Nyo Ko patahkan serangan "Sam-bu-put-jiu" Li Bok-chiu dengan kebutnya, malah kakinya sempat balas menendang dan jari menutuk Wi-tiong-kiat,

-------------------------

Li Bok-chiu bukan orang bodoh, dengan sendirinya iapun tahu maksud tujuan orang, cuma ia pikir masakah bocah ini sanggup terima tiga kali seranganku ? Sebab itulah iapun tidak banyak bicara, segera ia buka serangan sambil berseru: "Bagus, Locianpwe, berikanlah petunjuk pada Siau-pwe."

"Ah, tak berani..." sambut Nyo Ko.

Maka berkelebatlah bayangan orang, sekitarnya penuh dengan bayangan kebut, Li Bok-chiu telah serang dengan tipu "bu-khong-put-jin" (tiada lubang yang tak dimasuki) yang mengarah setiap tempat maut di tubuh Iawan, meski hanya sekali gerakan, sebenarnya luar biasa perubahannya dan berbareng mengincar 36 Hiat-to di tubuh Nyo Ko.

Li Bok-chiu melihat Nyo Ko melawan anggota Kay-pang kantong delapan tadi dengan Kiam-hoat yang sangat bagus, tampaknya memang bukan lawan lemah, dalam tiga gebrakan hendak merobohkan dia, agaknya tidak gampang juga oleh sebab itu, sekali serang segera digunakannya tipu yang paling dibanggakan selama hidupnya, yakni yang disebut "Sam-bu-put-jiu" atau serangan tiga serangkai "aksara tidak"

Kaget sekali Nyo Ko oleh serangan yang sangat aneh itu, begitu hebat tipu serangan itu hingga boleh dikatakan tak tertahankan lagi kalau berkelit ke kiri, pasti Hiat-to di kanan akan tersabet dan begitu pula sebaliknya, dalam kepepetnya itu mendadak, ia berjumpalitan dan menjungkir.

Dengan cepat dikeluarkannya ilmu mujija ajaran Auwyang Hong dahulu itu, ia menjalankan darahnya secara terbalik dan tutup rapat semua Hiat-to di tubuhnya, walaupun segera terasa ke-36 Hiat-to rada kesemutan berbareng, namun segera pula tidak berhalangan, Bahkan tubuhnya yang memutar cepat itu tiba2 balas menendang sekali.

Heran sekali Li Bok-chiu, dengan jelas ia sudah berhasil tutuk Hiat-to orang, siapa duga masih bisa Nyo Ko balas menyerang, Karena itu, menyusul tipu serangan kedua dilontarkan lagi, tipu ini disebut "Bu-so-put-ci" (tiada sesuatu yang tak didatangi), yang diarah adalah 72 tempat Hiat-to di seluruh badan lawan.

Akan tetapi mendadak Nyo Ko malah mengukir tangan kirinya, dengan jarinya segera ia jojoh "wi-tiong-hiat" di lutut kanan Li Bok-chiu.

Keruan Li Bok-chiu bertambah heran, lekas2 a berkelit, menyusul segera serangan ke tiga "Bu-so-put-wi" (tiada sesuatu yang tak diperbuatnya). Serangan ini tidak lagi menutuk Hiat-to, melainkan mengincar mata, tenggorokan perut dan bagian belakangan yang lemah, oleh sebab itu disebut tipu Bu-so-put-wi" atau "tiada sesuatu yang tak di-perbuatnya", yang berarti mendekati cara2 yang rendah dan kotor.

Cuma diwaktu Li Bok-chiu lontarkan serangan itu, ia lupa bahwa di dunia ini ternyata ada orang yang berkelahi secara menjungkir seperti Nyo Ko ini, maka serangannya yang dilontarkan secara ter-gesa2 itu bagian mata yang diarah lantas mengenai telapak kaki Nyo Ko, tenggorokan yang diserang berbalik kena betis, begitu pula perut, yang kena pahanya, selangkangan yang diserang, yang kena dadanya, maka sedikitpun tidak membawa hasil yang diharapkan.

Sungguh tidak kepalang kejut Li Bok-chiu sekali ini, selama hidupnya entah berapa banyak pertempuran besar yang pernah dia hadapi, malahan orang yang ilmu silatnya lebih tinggipun pernah dilawannya, segala tindak-tanduknya selalu diperhitungkannya dengan teliti sebelumnya, tapi kini sama sekali tak terpikir olehnya, seorang imam cilik ternyata memiliki ilmu silat yang sukar dijajaki.

Karena sedikit tertegunnya itu, mendadak Nyo Ko mengap mulutnya, tahu2 buntut kebutnya kena dicokot kencang, lalu pemuda itupun membalik, berdiri kembali. Bahkan sedikit Nyo Ko menarik, tiba2 tangan Li Bok-chiu terguncang hingga kebutnya kena dirampas olehnya.

Hendaklah diketahui bahwa tenaga mana saja dari anggota badan manusia tiada yang bisa lebih kuat daripada gigi, dengan gigi orang biasa sanggup kertak pecah sesuatu benda yang keras sebaliknya betapa kuat tangan seseorang tak bisa membikin remuk dengan remasan tangannya, Oleh sebab itulah, meski tenaga dalam Nyo Ko masih jauh di bawah Li Bok-chiu, namun dengan giginya yang menggigit ujung kebut, senjata kebanggaan Li Bok-chiu ini ternyata kena direbutnya.

Kejadian yang sama sekali tak terduga ini membikin Ang Ling-po dan Liok Bu-siang sama menjerit kaget.

Sebaliknya meski Li Bok-chiu terkejut juga namun sedikitpun ia tak gentar, ketika telapak tangannya ia gosok, dengan "Jik-Iian-sin-cianJ atau pukulan sakti ular belang, segera ia memburu maju buat merebut kembali kebutnya.

Tetapi baru saja pukulannya hendak dilontarkan mendadak ia berteriak: "He, kiranya kau! Di-manakah gurumu?"

Kiranya muka Nyo Ko yang tadinya terpoles dengan debu arang, setelah dia berjungkir dan berputar tanpa sengaja debu arang mukanya itu tergesut hilang sebagian hingga wajah aslinya dapat dikenali orang.

"He, dia adalah Sumoay, Suhu!" mendadak Ang Ling-po berteriak juga, sebab waktu itupun Liok Bu-siang dapat dikenaIinya.

Namun Nyo Ko bertindak cepat sekali, kakinya sedikit mengenjot, keledai Li Bok-chiu diceng-klaknya dan terus dilarikan, bahkan sekalian tangan kirinya menjentik, sebuah "Giok-hong-ciam" jarum tawon putih) telah ditimpukkan dan dengan jitu masuk di kepala keledainya Ang Ling-po.



Dalam murkanya, tanpa pikir lagi Li Bok-chiu lantas menguber, sekuat tenaga ia melayang ke depan dan tubruk si Nyo Ko dari belakang.

Lekas2 Nyo Ko meloncat dan tinggalkan binatang tunggangan itu, garan kebut rampasannya tadi dia gunakan untuk ketok kepala keledai itu hingga pecah dan otak berhamburan.

"Hayo, lekas, bini cilik, lekas lari ikut lakimu !" Nyo Ko ber-teriak2 pula sambil turunkan tubuhnya di atas keledainya, lalu kebut rampasannya digunakan menyabet serabutan ke belakang untuk menahan uberan Li Bok-chiu.

Di sebelah sana, tanpa menunggu perintah lagi, Liok Bu-siang telah keprak keledainya dilarikan secepatnya.

Sebenarnya dengan Ginkang Li Bok-chiu, dalam satu-dua li saja dia pasti dapat menyusul binatang tunggangan orang, cuma tadi ia sudah merasakan tipu serangan aneh dari Nyo Ko hingga hatinya rada jeri maka tak berani ia terlalu mendesak melainkan dengan "Kim-na-jm-hoat" ia rebut kembali kebutnya saja.

Di pihak lain, keledai Ang Ling-po yang kepalanya tertimpuk jarum tawon putih yang sangat lembut itu, mendadak binatang ini berjingkrak terus menyeruduk ke arah Li Bok-chiu, bahkan pentang mulut hendak menggigit.

"Hai, Ling-po, ada apakah?" bentak Li Bok-chiu.

"Binatang ini menjadi gila," sahut Ling-po sambil tarik tali kendali sekuat tenaga hingga seluruh mulut keledai itu penuh darah.

Sejenak kemudian se-konyong2 keledai itu menjadi lemas, terguling mati.

"Kita kejar saja, Suhu!" seru Ang Ling-po melompat bangun.

Tetapi waktu itu Nyo Ko dan Bu-siang sudah berlari pergi hampir satu li jauhnya, hendak mengejar pun tak bisa menyandak lagi.

Sesudah melarikan keledai mereka se-keras2-nya, kemudian Nyo Ko dan Bu-siang berpaling, namun tak tertampak bayangan Li Bok-chiu yang mengejar.

"ToIol, dadaku sangat sakit, tak tahan lagi aku," seru Bu-siang. . Nyo Ko tidak menjawab, ia melompat turun dan mendekam ke tanah untuk mendengarkan tetapi tiada suara derapan kuda yang didengarnya.

"Tak perlu takut lagi, kita lanjutkan lengan pe-lahan2 saja," ujarnya.

Habis itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan berendeng.

Tetapi hanya sebentar saja, karena kuatir disusul Li Bok-chiu, kembali mereka keprak keledai dan dilarikan pula, Begitulah, sebentar cepat dan lain saat alon2 hingga haripun sudah magrib.

"Bini cilik, jika kau ingin selamat, hendaklah kau tahan sakit dan lari terus semalaman ini," kata Nyo Ko.

"Ngaco-belo! Awas, kalau aku tidak iris lidah-mu?" damperat Bu-siang karena terus-menerus Nyo Ko sebut "bini" padanya,

Nyo Ko me-lelet2 lidah, tetapi ia berkata lagi: "Hanya sayang binatang2 ini sudah terlalu letih, kalau semalam berlari terus mungkin akan mampus di tengah jalan."

Dalam pada itu haripun mulai gelap, mendadak terdengar di depan sana ada suara meringkiknya kuda.

"Haha, itu dia, marilah kita tukar kuda ke sana!" seru Nyo Ko girang.

Segera mereka kencangkan lari keledai lagi lewat beberapa li, tertampaklah di depan sana ada sebuah perkampungan dan di bagian luar tertambat ratusan ekor kuda. Kiranya pasulcan berkuda Mongol yang dilihat mereka siang tadi berhenti di sini.

"Kau tunggu di sini, biar aku masuk ke kampung sana menyelidiki keadaan dulu," kata Nyo Ko

Lalu ia turun dari keledainya dan masuk sendiri ke perkampungan itu, Pada jendela sebuah gedung besar dilihatnya ada sinar lampu, dengan cepat Nyo Ko menyelinap ke sana, ia mengintip melalui jendela itu, ia lihat seorang pembesar MongoI sedang berduduk di dalam dengan mungkur.

Tiba2 tergerak pikiran Nyo Ko, "He, daripada tukar kuda, tidakkah lebih baik tukar orang saja," demikian pikirnya.

Tidak antara lama, ia lihat pembesar Mongol itu berdiri, lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamar.

Umur pembesar ini ternyata masih sangat muda, hanya likuran saja, tetapi sikap dan tidak tanduknya ternyata sangat kereng, tampaknya pangkatnya tidak rendah.

Nyo Ko menunggu pada waktu pembesar itu mungkur lagi, dengan pelahan ia dorong daun jendela, lalu melompatlah dia ke dalam terus ulur jari buat tutuk punggung orang.

Siapa duga, begitu mendengar ada suara angin menyamber dari belakang, secepat kilat pembesar itu melangkah maju, dengan sendirinya tutukan Nyo Ko menjadi luput, kesempatan itu telah dipergunakan pembesar itu untuk mengayun tangan kirinya buat menangkis, menyusul mana iapun putar tubuh dan sepuluh jari tangannya laksana kaitan-lantas mencakar ke muka Nyo Ko, ternyata yang dipakai adalah tipu serangan yang lihay dari "Tay lik-eng-jiau-kang" atau ilmu cakar elang bertenaga raksasa.

Rada terkejut juga Nyo Ko, sungguh tak nyana bahwa seorang pembesar Mongol ternyata memiliki ilmu silat begitu tinggi Karena itu, sedikit mengegos iapun berkelit menghindarkan cakaran tadi.

BeruIang kali pembesar Mongol itu mencengkeram lagi, tetapi selalu dapat dielakkan Nyo Ko.

Biasanya pembesar Mongol itu sangat bangga atas ilmu silatnya yang hebat karena sejak kecil mendapat pelajaran guru pandai dari golongan Eng-jiau-bun. Siapa duga, begitu bergebrak dengan Nyo Ko, sama sekali ia tak bisa berbuat apa2.

Sementara itu Nyo Ko melihat lawan mencakarnya lagi secara tak kenal ampun, cepat ia melompat ke atas, dengan kedua tangannya ia tahan atas pundak orang sambil menggertak "Duduk saja!"

Tiba2 pembesar itu merasakan kekuatan yang maha besar menekan dari atas, ia tak bisa tahan lagi, kedua lututnya terasa lemas hingga akhirnya, ia duduk terkulai di lantai, dadanya terasakan sumpek, darah serasa akan menyembur keluar.

Tetapi kemudian Nyo Ko remas2 dua kali di bawah bahunya, tiba2 pembesar itu merasa dadanya lapang kembali dan bisa bernapas lancar, tanpa ayal lagi segera ia melompat bangun, dengan tercengang ia memandangi Nyo Ko.

"Siapakah kau? Ada keperluan apa kedatanganmu ini?" tanyanya kemudian ternyata bahasa Han yang diucapkannya bagus dan lancar sekali, tiada ubahnya seperti bangsa Han asli.

"Kau bernama siapa? jabatan apa yang kau pangku?" berbalik Nyo Ko menanya dengan tertawa.

Pembesar itu melotot dengan gusar, segera hendak dilabrak pula si Nyo Ko.

Tetapi Nyo Ko tak gubris padanya, ia malahan mendahului ambil tempat duduk pada kursi yang tadinya dipakai pembesar itu. Ketika pembesar itu menyerang beberapa kali, namun selalu dipatahkan oleh Nyo Ko tanpa banyak buang te-naga.

"Hai, pundakmu sudah terluka, baiknya kau jangan banyak keluarkan tenaga," kata Nyo Ko tiba2.

"Ha, apa? Terluka?" tanya pembesar itu kaget.

Ketika pundak kiri diraba, ia merasa ada satu tempat yang rada jarem sakit, lekas2 ia raba sebelah yang lain, sama saja terasa sakit pegal, kalau tak disentuh sedikitpun tidak terasa, tetapi bila ditekan dengan jari, segera terasa ada sesuatu yang sangat lembut yang menusuk sampai ke tulang sungsum.

Kaget sekali pembesar itu, dengan cepat ia robek bajunya, waktu ia melirik, ia lihat di atas pundak kirinya terdapat titik merah yang kecil sekali, begitu pula sebelah pundak yang lain.

Segera iapun sadar bahwa ketika Nyo Ko menahan pundaknya tadi, diam2 pada tangannya tergenggam senjata rahasia hingga dirinya telah dikibuli.

"Am-gi apa yang kau pakai? Berbisa atau tidak ?" cepat ia membentak dengan gusar tercampur kuatir.

Tetapi Nyo Ko tersenyum saja.

"Kau belajar silat, kenapa sedikit pengetahuan umum itu saja tak mengerti," sahutnya kemudian "Kalau Am-gi besar tak beracun, maka Am-gi kecil dengan sendirinya berbisa."

Dalam hati pembesar itu sembilan bagian percaya atas kata2 ini, namun demikian, ia mengharap juga kata2 itu bohong belaka, maka air mukanya lantas tertampak mengunjuk setengah percaya setengah sangsi.

"Pundakmu sudah terkena jarum saktiku, racun itu akan meluas setiap hari, kira2 enam hari sesudah racunnya menyerang jantung, maka jiwamu tak tertolong Iagi," demikian kata Nyo Ko sembari memainkan sebuah pensil di atas meja.

Watak pembesar itu ternyata sangat keras kepala, sungguhpun dalam hati ia mengharapkan pertolongan orang, namun tak sudi diucapkannya.

"Jika begitu, biarlah tuan besarmu mati bersama dengan kau," mendadak ia membentak Iagi. Habis ini, sekali bergerak, segera Nyo Ko hendak ditubruknya pula.



Namun sebelum ia bertindak, tiba2 di luar ada suara bentakan orang yang keras: "Hai Yalu Cin, pembesar anjing dari Mongol, berpalinglah ke sini!"

Mendengar namanya disebut pembesar itu menoleh, segera pula sinar putih yang gemerlapan be-runtun2 menyamber masuk melalui jendela.

Hujan Am-gi atau senjata gelap itu dihamburkan dengan kuat lagi terlalu banyak jumlahnya, dalam keadaan demikian, meski pembesar itupun tidak lemah, namun seketika itu mana sanggup menyambut hujan Am-gi yang begitu banyak?

Sebenarnya tiada maksud Nyo Ko buat menolong pembesar Mongol yang bernama Yalu Cin ini, karena dilihatnya senjata rahasia begitu banyak menghambur masuk, tiba2 ia keluarkan ilmu "Boan-thian-hoa-uh" (hujan gerimis memenuhi langit), sesuatu ilmu dari Giok-li-sim-keng yang dilatihnya, ia menangkap ke kanan dan membentuk ke kiri, sekejap saja senjata2 rahasia yang tertangkap olehnya telah ditimpuk kembali maka terdengarlah suara gemerincing nyaring dan ramai belasan macam senjata rahasia telah memenuhi meja dan lantai

"Kepandaian bagus, semoga kelak kita bertemu lagi, dapatlah mengetahui nama saudara?" terdengar suara pertanyaan seorang lelaki di luar jendela.

"Aku adalah kaum yang tak terpandang, maka tak punya nama dan tiada she," sahut Nyo Ko.

Karena jawaban ini, terdengar lagi suara jengekan seorang lain di luar.

"Marilah pergi!" kata orang ketiga, sekali ini suara orang perempuan.

Habis itu, lantas terdengar suara tindakan kaki yang pelahan sekali di atas rumah, ketiga orang itu sudah pergi melintasi pagar rumah.

Tadi waktu Nyo Ko bergebrak dengan Yalu Cin hingga sama2 mencurahkan seluruh perhatian, maka tiada yang mendengar bahwa ada orang laki lagi mengintip di samping, hal ini menandakan pula ilmu entengkan tubuh ketiga orang itupun sangat hebat.

Meski pembesar Mongol bernama Yali Cin itu sudah ditolong jiwanya oleh Nyo Ko, tetapi ketika pundaknya terasa sakit, ia menjadi gusar pula karena telah dikibuli Nyo Ko tadi, mendadak senjata2 rahasia yang berserakan itu, ia samber terus ditumpukkan ke arah Nyo Ko.

Menghamburnya senjata2 rahasia "dari luar jendela tadi dilakukan oleh tiga orang bersama, kepandaian menimpuk pun jauh lebih tinggi dari pada Yali Cin, untuk itu saja Nyo Ko sanggup menangkap dan membenturnya kembali, apalagi kini Yali Cin menimpuk dengan satu per satu, mana bisa serangannya mengenai Nyo Ko, malahan satu per satu telah ditangkap olehnya tanpa luput satupun.

"Awas!" seru Nyo Ko kemudian.

Ketika tangannya mengayun, tahu2 beberapa puluh senjata rahasia yang ditangkapnya itu dihamburkan kembali

Melihat datangnya senjata rahasia itu mengarah dari kanan-kiri maupun atas atau bawah, walaupun berkelit atau mengegos pasti akan terkena juga beberapa diantaranya, tentu saja Yali Cin terkejut, dalam keadaan kepepet, mendadak ia melompat mundur, maka terdengarlah suara "blang" yang keras, punggungnya menumbuk dinding dengan keras, Lalu terdengar suara bertok-tok riuh, beberapa puluh senjata rahasia itu telah mengenai dinding semua.

Suara gemerutuk di atas dinding itu ternyata sangat aneh dan berlainan satu sama lain, karena-senjata2 rahasia itu memang beraneka macamnya, Dalam kagetnya itu, lekas2 Yali Cin melompat ke samping Iagi, ketika ia berpaling memandang ke dinding, mau-tak-mau ia ternganga saking herannya.

Ternyata beberapa puluh senjata rahasia itu ambles semua ke dalam dinding, jarak dengan tubuhnya tadi hanya selisih beberapa senti saja, hingga potongan badannya se-akan2 terlukis di atas dinding itu, sedang tubuhnya seujung rambutpun tak terluka, bahkan baju pun tak terobek barang sedikitpun

Dalam kaget dan herannya, tak tertahan lagi Yali Cin kagum luar biasa, tiba2 ia jatuhkan diri dan berlutut memberi hormat pada Nyo Ko.

"Terimalah hormatku, Enghiong, hari ini aku betul2 menyerah padamu," demikian katanya.

Sungguhpun ilmu silat Nyo Ko sangat tinggi tetapi selama hidupnya itu biasanya selalu dimaki dan didamperat orang, sampai Liok Bu-siang yang berulang kali ditolong olehnya juga selalu berlaku sangat bengis padanya tanpa mau mengalah sedikitpun kini mendadak ada orang menjura padanya dan menyatakan takluk betul2. tentu saja hati mudanya menjadi girang luar biasa, saking senangnya ia tertawa ter-bahak2.

"Dapatkah mengetahui nama Enghiong yang mulia?" tanya Yali Cin.

"Aku bernama Nyo Ko, dan kau apakah bernama Yali Cin? jabatan apa yang kau pangku di MongoI?" sahut Nyo Ko.

Kiranya pembesar muda ini adalah putera Yali Cu-cay, perdana menteri kerajaan Mongol! Yali Cu-cay telah banyak membantu Jengis Khan dan puteranya membangun kerajaan Mongol yang namanya disegani sampai di daerah barat itu, jadinya sungguh sangat besar, sebab itulah meski umur Yali Cin masih muda, namun berkat jasa sang banyak, ia telah diangkat menjadi Keng-Iiat-su di HoIam, keberangkatannya sekarang ini menuju ke HoIam untuk memangku jabatan.

BegituIah ia telah ceritakan apa yang sebenarnya.

Meski ilmu silat Nyo Ko tinggi, tapi terhadap segala nama jabatan itu sama sekali tak dimengertinya, maka ia hanya angguk2 saja dan bilang bagus.

"Hekoan (aku pembesar rendah) entah sebab apa telah membikin marah Nyo-enghiong? Kalau ada sesuatu, harap Nyo-enghiong suka katakan terus terang," kata Yali Cin.

"Tak ada apa2 yang bikin marah," sahut Nyo to sambil ketawa.

Habis ini, mendadak ia meloncat keluar melalui jendela terus menghilang. Keruan saja Yali Cin kaget.

"Nyo-enghiong..." ia berteriak sambil memburu ke pinggir jendela, namun bayangan Nyo Ko sudah tak kelihatan

"Aneh, orang ini pergi-dataag secara tiba2 saja, padahal tubuhku sudah terkena jarum beracunnya, lalu bagaimana baiknya ?" Yali Cin menjadi ragu2.

Tetapi baru sejenak ia ter-menung2, mendadak daun jendela bergerak, tahu2 Nyo Ko sudah kembali lagi, malahan di dalam kamar kini sudah bertambah dengan satu orang.

"Ah, kau telah kembali!" seru Yali Cin girang.

"Dia adalah biniku, lekas kau menjura padanya!" kata Nyo Ko tiba2 sambil menunjuk Liok Bu-siang.

"Apa kau bilang?" bentak Bu-siang gusar berbareng itu, kontan ia tampar muka Nyo Ko.

Sebenarnya kalau Nyo Ko menghindar dengan gampang saja hal itu bisa dilakukannya, Tetapi entah mengapa, ia merasa lebih senang menerima tamparan atau dicaci maki si gadis. Oleh sebah itulah, sama sekali ia tidak berkelit maka "plok" pipinya telah merasakan tamparan itu hingga pana pedas.

Yali Cin tak tahu kalau kelakuan kedua orang itu sudah biasa begitu, ia mengira ilmu silat Bu siang tentu lebih tinggi dari pada Nyo Ko, maka dengan terpesona ia pandang orang dan tak berani bersuara.

"Kau sudah terkena racun jarumku, tapi sementara masih belum sampai mampus," kata Nyo Ko kemudian sembari elus2 pipinya, "Asal kau dengar kataku dan menurut, pasti aku akan menyembuhkan kau."

"Hekoan biasanya paling kagum terhadap kaum Enghiong, hari ini bisa berkenalan dengan Nyo enghiong, sekalipun Hekoan tak bakal hidup lagi, rasanya pun rela," sahut Yali Cin.

"Haha," Nyo Ko tertawa senang karena orang pintar menjilat, "tidak nyana, kau terhitung juga seorang gagah berani. Baiklah, sekarang juga ku sembuhkan kau." , Habis itu, ia keluarkan sebuah batu sembrani dan menyedot keluar dua jarum tawon putih orang menancap di pundak orang itu dan dibubuhi obat pula.

Selamanya belum pernah Bu-siang melihat Giok-hong-ciam atau jarum tawon putih itu, kini nampak bentuk jarum itu selembut rambut, ia menjadi heran dan tidak habis mengarti benda seringan itu kenapa bisa dipakai sebagai senjata rahasia?

Karena itu, rasa kagumnya pada Nyo Ko pun tanpa terasa bertambah setingkat pula, walaupun begitu, di mulutnya ia sengaja ber-olok2, katanya: "Hm, pakai senjata rahasia begitu, tiada sedikitpun semangat jantan, apa tak kuatir ditertawakan orang?"

Tetapi Nyo Ko hanya tersenyum, ia tidak bantah kata2 orang, sebaliknya ia berpaling dan berkata pada Yali Cin: "Kami berdua ingin mengabdi padamu."

Yali Cin terkejut "Ah, Nyo-enghiong suka berkelakar saja, ada apakah. silakan berkata terus siang saja," sahutnya kemudian

"Aku tak berkelakar, tapi sungguh2, kami ingin menjadi pengawalmu," kata Nyo Ko pula.



"Eh, kiranya kedua orang ini ingin cari pangkat dan kedudukan," demikian pikir Yali Cin. Karena itu segera sikapnya berubah lain, sebab disangkanya orang tentu membutuhkan bantuannya maka dengan sungguh2 dia lantas berkata: "Enghiong sesudah belajar silat memang harus diabdikan kerajaan, hal ini memang jalan yang tepat."

"Kau telah salah tangkap maksudku," ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Kami bukan hendak mencari pangkat kami sedang dikejar oleh musuh yang sangat lihay sepanjang jalan, karena kami tak ungkulan melawannya, maka ingin menyamar sebagai pengawalmu untuk menghindarinya sementara."

Yali Cin sangat kecewa sebab dugaannya salah, mukanya segera berubah lagi dan tak berani berlagak..."

"Ah, kalian suka merendah diri saja, masakah seorang musuh perlu ditakuti?" katanya dengan tertawa, "Tetapi kalau mereka berjumlah banyak, Hekoan dapat kirim pasukan dan menangkap mereka untuk diserahkan padamu."

"Aku saja tak bisa menandingi dia, sebaiknya tak perlu kau ikut repot," sahut Nyo Ko. "Lekas kau perintah pelayanmu mengambilkan pakaian agar kami bisa menyamar."

Yali Cin tak berani membantah, ia perintah pengawalnya mengambilkan pakaian yang diminta dan silakan Nyo Ko dan Bu-siang salin ke kamar lain.

Sesudah tukar pakaian, waktu Bu-siang bercermin, nyata ia telah berubah menjadi perwira muda bangsa Mongol yang cakap.

Besok paginya berangkatlah mereka ikut rombongan pasukan tentara itu, Nyo Ko dan Bu-siang masing2 digotong dengan sebuah Joli mentereng, sebaliknya Yali Cin malah menunggang kuda.

Sebelum lohor, terdengarlah suara kelenengan nyaring dari jauh, tapi sekejap saja suara itu sudah lewat melampaui rombongan mereka, Tentu saja Bu-siang sangat girang, pikirnya: "Sungguh nikmat sekali merawat luka di dalam joli ini, biarlah aku digotong mereka sampai daerah Kanglam saja"

Dua hari kemudian, suara kelenengan keledai yang sangat ditakuti itu sudah tak terdengar lagi, agaknya Li Bok-chiu sudah mengejar terus ke desa dan tidak kembali pula. Begitu juga para Tojin dan anggota Kay-pang yang ingin menuntut balas pada Liok Bu-siang pun tidak menemukan jejaknya.

Pada hari ketiga, sampailah mereka di Liong-Se, satu kota persimpangan jalan yang penting dan ramai.

Sehabis bersantap malam, iseng2 Yali Cin mendatangi kamarnya Nyo Ko untuk meminta petunjuk tentang ilmu silat.

Dasar Yali Cin ini pandai bicara, ia sengaja menyanjung dan mengumpak Nyo Ko setinggi langit, maka untuk jasa itu Nyo Ko telah memberikan sekali dua petunjuk padanya, walaupun hanya dasar2 yang tidak berarti, tapi bagi Yali Cin sudah tterupakan pelajaran yang tak pernah didengarnya, tentu saja tidak sedikit faedah baginya. Selagi Yali Cin mencurahkan seluruh perhatiannya mendengarkan "kuliah" Nyo Ko, tiba2 datanglah seorang pengawalnya melapor bahwa dari orang-tuanya di kotataja ada mengirim utusan baginya.

"Baiklah, segera aku datang," sahut Yali Cin girang, Sedang ia hendak mohon diri pada Nyq Ko, mendadak ia timbul pikirannya: "Ah, kenapa aku tidak menerima kurir pengantar surat itu M hadapannya, dengan begitu bisa menandakan akuj tidak pandang dia sebagai orang asing, dan cara dia" mengajarkan ilmu silatnya padaku tentu akan ber-sungguh2 juga."

Segera pengawalnya diberi perintah: "Panggil dia menghadap padaku di sini."

Pengawal itu merasa aneh oleh karena perintah itu, "Ma... mana..." demikian dengan samar2 ia hendak menjelaskan

Namun Yali Cin lantas lambaikan tangannya dan bilang lagi: "Tak apa, bawalah dia ke sini!"

"Tetapi Lotayjin sendiri yang..." kata si pengawal pula.

"Ah, kau hanya banyak omong saja," sela Yali Cin tak sabar, "Lekas pergi...."

Belum habis ia bicara, tahu2 tirai kamar tersingkap dan masuklah seorang dengan tertawa.

"Anak Cin, tentu kau tak menduga akan diri ku, bukan ?" demikian kata orang itu segera.

Girang dan kejut Yali Cin demi mengenali siapa adanya orang itu, Iekas2 ia berlari memapak dan menyembah.

"Ah, kiranya Ayah..."

"Ya, memang aku sendiri yang datang," potong orang itu.

Kiranya orang ini memang bukan lain adalah ayah Yali Cin, itu perdana menteri negeri Mongol Yali Cu-cay.

Mendengar Yali Cin panggil orang itu sebagai ayah, Nyo Ko tak tahu bahwa orang adalah Perdana Menteri yang sangat berkuasa di negeri Mongol, ia lihat alis jenggot orang sudah putih, wajahnya alim menandakan seorang yang beribadat, mau-tak-mau dalam hati Nyo Ko timbul juga semacam perasaan menghormat.

Dan baru saja orang itu berduduk, dari luar kembali masuk lagi dua orang terus memberi hormat pada Yali Cin dan menyebutnya sebagai "Toa-ko."

Kedua orang ini yang satu laki2 dan yang lain wanita. Yang lelaki berumur antara 25-26 tahun, sedang usia yang perempuan kira2 sebaya dengan Nyo Ko.

"Ah, Ji-te dan Sam-moay, kalian pun ikut datang!" sapa Yali Cin kepada muda-mudi itu dengan girang.

Pemuda itu adalah putera Yali Cu-cay kedua, namanya Yali Ce, dan puterinya bernama Yali Yen. perawakan Yali Ce kurus jangkung, tetapi sikapnya gagah dan wajahnya cakap, Yali Yen pun berpotongan ramping tinggi, tampaknya mereka sekeluarga memang berketurunan perawakan tinggi.

Meskipun perawakan Yali Yen tinggi, namun wajahnya masih membawa sifat kanak2, dibilang cantik, sebenarnya tak begitu cantik, tetapi di antara senyumannya terdapat juga semacam gayfa yang menggiurkan.

"Ayah, keberangkatanmu dari kotaraja, sedikitpun anak tidak mengetahui." sementara itu Yali Cin berkata pula.

"Ya," Yali Cu-cay mengangguk "karena ada suatu urusan besar, kalau bukan aku sendiri yang memimpinnya, betapapun rasa hatiku tak lega."

"Sambil berkata, pandangannya telah merata Nyo Ko beserta para pengawal yang berada di situ, maksudnya agar mereka diperintahkan menyingkir.

Tentu saja Yali Cin menjadi serba salah, seharusnya ia mengibaskan tangan menyuruh para pengawalnya pergi, tapi Nyo Ko adalah orang yang tak boleh dipersamakan dengan bawahannya, karena itu, sikapnya menjadi kikuk dan ragu-ragu.

Namun Nyo Ko cukup tahu diri, dengan tersenyum ia mengundurkan diri atas kemauan sendiri.

"Siapakah dia tadi?" tanya Yali Cu-cay pada Yali Cin segera sesudah Nyo Ko menyingkir.

"Kenalan baru yang bertemu di tengah jalan tadi," sahut Yali Cin samar2 untuk menghindari kehilangan pamor di hadapan adik2nya, "Ada urusan penting apakah sebenarnya, sampai ayah berangkat sendiri ke selatan?"

Yali Cu-cay menghela napas atas pertanyaan sang putera.

"Ya, pertama-tama untuk menghindari bahaya, kedua demi keutuhan negeri kita yang sudah tertanam kukuh oleh cakal-bakal kita itu," sahutnya kemudian.

Yali Cin terdiam karena jawaban itu, ia saling pandang sekejap dengan adik2nya, wajah mereka pun mengunjuk rasa duka.

Kiranya sesudah cakal-bakal negeri Mongol, Jengis Khan wafat, putera kedua, Gotai menggantikan tahta, setelah Gotai meninggal, kedudukan-nya diganti oleh puteranya yang pendek umur, tatkala pemerintahan dikuasai permaisuri dan karena permaisuri main konco2an dan percaya pada sekelompok kecil orang, banyak pembesar lama dan panglima yang berjasa malah tergencet hingga suasana pemerintahan sangat kacau.

Yali Cu-cay adalah pembesar tiga angkatan sejak Jengis Khan dan berjasa besar sebagai orang yang ikut membangun kerajaan Mongol, karena itu setiap permaisuri membuat kesalahan, ia suka memberi kritik secara jujur. Tetapi permaisuri menjadi kurang senang karena tindak tanduknya selalu dirintangi.

Sudah tentu Yali Cu-cay juga insaf bahwa keselamatannya dengan sendirinya selalu terancam, tetapi demi kepentingan negara yang dahulu ikut didirikannya dengan susah payah, ia telah berpikir siang dan malam untuk mencari jalan keluar yang paling baik

Suatu malam sesudah dia baca kitak "Cu-ti-thong-kam" karangan Suma Kong dari ahala Song, mendadak tergerak pikirannya, ia mendapatkan satu akal bagus. Besok paginya dalam sidang ia mengajukan usul agar dirinya diutus ke daerah Ho-lam untuk menenteramkan keadaan di sana yang sedang bergolak.

Dengan sendirinya usul itu sangat cocok dengan keinginan permaisuri yang sudah lama bermaksud menyingkirkan dia, maka diutuslah Yali Cu-cay ke Holam dengan kuasa penuh.



Yali Cu-cay mengadakan perundingan dengan para sahabat lama dan akalnya ternyata disetujui dan didukung dengan suara bulat oleh kawan2 lama itu.

Kiranya akal yang Yali Cu-cay rencanakan itu yalah pada suatu saat permaisuri hendak dirobohkan dan mengangkat raja baru, yakni meniru cara apa yang terjadi pada jamannya Bu-cek-thian dari ahala Tong.

Mula2 ia mengusulkan dirinya di utus ke Holam dan disetujui permaisuri tetapi di sana ia menghimpun pasukan dan panglima2 yang perkasa, setelah kekuasaan militer berada di tangannya, segera ia mengangkat raja baru dan mendesak permaisuri mengundurkan diri. Tatkala itu calon raja yang mereka dukungi adalah cucu Jengis Khan, putera Dule yang bernama Monka.

Begitulah, dengan suara pelahan Yali Cu-cay ceritakan rencananya pada sang putera. Yali Cin merasa girang dan kuatir, sebab kalau rencana itu terlaksana, dengan sendirinya mereka berjasa besar, sebaliknya kalau gagal, itu berarti bahaya bagi kehancuran keluarga mereka.

Selagi mereka berempat sedang berunding secara rahasia, waktu itu juga Nyo Ko sedang duduk semadi di kamar Liok Bu-siang dengan memusatkan pendengarannya mengikuti pembicaraan Yali Cu-cay berempat.

Bagi orang yang sudah tinggi Lwekang yang dilatihnya, penglihatan dan pendengaran atas sesuatu selalu lebih tajam dari pada orang biasa.

Oleh sebab itulah, meski kamar di mana Nyo Ko dan Bu-siang berada masih diseling dengan sebuah ruangan lain, suara bicara Yali Cu-cay pun sangat perlahan, bagi Liok Bu-siang sedikitpun tak kedengaran, tapi untuk Nyo Ko sebaliknya dapat didengar dengan jeIas.

Walaupun apa yang dibicarakan keempat orang itu adalah rahasia pemerintahan Mongol dan tiada sangkut pautnya dengan Nyo Ko, namun uraian Yali Cu-cay itu sangat menarik, Nyo-Ko jadi ingin mendengarkan terus.

"Hai, ToloI, kenapa kau bersemadi di sini.". tegur Bu-siang. sesudah menunggu dan melihat orang hingga sekian lama tak bergerak.

Tetapi saat itu justru Nyo Ko lagi pusatkan-perhatiannya untuk mendengarkan pembicaraan orang, terhadap kata2 Bu-siang itu sebaliknya malah tak didengarnya.

Sesudah ulangi lagi tegurannya dan masih tiada jawaban, akhirnya Bu-siang menjadi marah.

"Hai, Tolol, kau mau bicara dengan aku tidak?" omelnya.

Karena Nyo Ko tetap tidak menyahut, ia bermaksud mengitik2nya, tapi se-konyong2 Nyo Ko-melompat bangun.

"Ssssttt, diluar ada orang mengintip," katanya, tiba2 dengan suara mendesis.

Akan tetapi sedikitpun Bu-siang tidak mendengar sesuatu suara yang mencurigakan.

"Kau mau dustai aku?" sahut si gadis dengan suara rendah.

"Bukan di sini, tetapi di rumah yang sana" kata Nyo Ko.

Namun Bu-siang lebih2 tak percaya, ia tersenyum sambil mengomel: "Tolol!"

"Ssst, jangan2 gurumu yang mencari kemari lekas jkita sembunyi dahuIu," dengan suara bisik Nyo Ko peringatkan pula sembari tarik2 baju nona.

Mendengar gurunya di-sebut2, mau tak mau Bu-siang menurut, ia ikut Nyo Ko mendekam di luar jendela untuk mengintai

Tiba2 Nyo Ko menuding ke arah barat waktu Bu-siang mendongak, betul saja dilihatnya dari atas rumah yang agak jauh sana mendekam sesosok bayangan orang, Tatkala itu tiada sinar bulan hingga malam gelap gulita, kalau tidak memandang dengan seluruh perhatian, memang sukar untuk membedakan apakah itu bayangan orang atau bukan.

Baru sekaranglah Bu-siang mau menyerah, alangkah kagumnya pada "si Tolol" yang tak di-mengerti cara bagaimana bisa mengetahui datangnya orang itu?

"Bukan Suhu," katanya kemudian pada Nyo Ko. Sebab ia tahu gurunya sangat tinggi hati, baju peranti jalan malam yang dipakainya kalau bukan berwarna kuning langsat tentu berwarna putih mulus, sama sekali tak mau mengenakan pakaian hitam.

Belum selesai ia berkata, mendadak orang berbaju hitam itu melompat ke sana dan sekejap saja sudah melintasi tiga deret rumah, sampai di luar jendela kamar di mana terdapat ayah dan anak keluarga Yali, segera sebelah kakinya melayang, ia depak terpentang daun jendelanya, lalu dengan senjata "Liu-yap-to" (golok bentuk sempit panjang dan sedikit melengkung) terhunus, dengan cepat sekali ia melompat masuk.

"Yali Cu-cay, hari ini biarlah aku mati bersama kau," terdengar orang itu berteriak. Waktu menyaksikan gerak tubuh orang itu yang cepat, tetapi bergaya lemas, Nyo Ko menduga tentu seorang perempuan. Ketika mendengat suara teriakannya, ia menjadi terang memang suara kaum wanita.

"Ha, ilmu silat orang itu jauh di atas Yali Cin, jiwa orang tua berjenggot putih itu sukar dipertahankan lagi," demikian terpikir olehnya.

"Lekas kita pergi melihatnya," ajaknya pada Bu-siang.

Dengan cepat mereka lantas menyusup ke sana, dari luar jendela mereka melihat Yali Cin sementara itu sudah angkat sebuah bangku sebagai senjata untuk menempui wanita berbaju hitam itu.

Ilmu permainan golok wanita baju hitam itu bagus sekali, golok Liu-yap-to yang dia pakai pun tajam luar biasa, hanya beberapa kali bacokan, empat kaki bangku itu sudah tertabas kutung.

"Lekas Iari, ayah !" teriak Yali Cin insaf tak bisa menandingi orang. Habis ini ia berteriak pula. "Mana orangnya, maju lekas!"

Karena teriakan ini wanita itu kuatir kalau bala bantuan membanjir datang dan tentu tak leluasa lagi bagi tujuannya, maka sebelah kakinya mendadak menendang gerak kakinya cepat, sekali tanpa kelihatan, karena tak ber-jaga2 dengan tepat Yali Cin tertendang pinggangnya dan roboh menggelongsor.

Kesempatan itu tak di-sia2kan oleh wanita muda itu, begitu menyerobot maju, ia angkat goloknya terus membacok kepala Yali Cu-cay.

"Celaka!" teriak Nyo Ko di dalam hati.

Segera ia siapkan segenggam Giok-hong-ciam atau jarum tawon putih dan selagi hendak disambitkan tangan si nona yang memegang senjata, tiba2 puteri Yali Cu-cay, Yali Yen yang berdiri di samping itu mendahului membentak: "Jangan sembrono!"

Berbareng itu sebelah tangannya menghantam ke muka nona baju hitam itu dan tangan yang lain diulur buat merebut senjata orang.

Gerak serangan ini sungguh tepat sekali, terpaksa nona itu harus mengegos menghindari hantaman, namun tidak urung pergelangan tangan yang memegang senjata kena dipegang Yali Yen, walaupun demikian, secara sebat sekali kakinya lantas melayang, Karena tendangan yang mengarah tempat berbahaya ini, Yali Yen dipaksa lepaskan tangan dan melompat mundur, karena inilah Liu-yap-to gadis itu tidak sampai kena direbut.

Melihat gebrakan kedua nona itu sama sebat dan sama lihay, dalam hati Nyo Ko menjadi heran sekali. sementara itu, sekejap saja kedua gadis itu sudah saling gebrak belasan jurus bergantian.

Waktu itu juga, dari luar telah membanjir masuk belasan orang pengawal karena teriakan Yali Cin tadi, demi melihat kedua nona itu sedang bertarung dengan sengitnya, mereka hendak maju membantu.

"Nanti dulu," tiba2 Yali Ce mencegah mereka. "Samsiocia (puteri ketiga) tidak perlu bantuan kalian"

Di lain pihak, sesudah menyaksikan ilmu silat kedua nona itu, Nyo Ko menoleh dan berkata pada Liok Bu-siang: "Bini cilik, kepandaian kedua orang itu lebih tinggi dari pada kau."

Bu-siang menjadi gusar karena orang menyebut lagi "bini" padanya, begitu tangan diangkat kontan ia hendak tempeleng orang. "Ssstt, jangan ribut, lebih baik menonton perkelahian saja," kata Nyo Ko pelahan dengan tertawa sambil mengelakkan diri.

Sebenarnya ilmu silat kedua nona itu kalau dibilang lebih tinggi dari pada Liok Bu-siang juga belum tentu tepat Cuma kedua nona itu memang mendapatkan didikan guru pandai kalau dibandingkan Yali Cin, terang jauh lebih tinggi.

Begitulah maka Yali Cu-cay dan Yali Cin tidak kepalang heran dan terperanjat, sebab sama sekali mereka belum pernah tahu Yali Yen berlatih silat, siapa tahu si gadis memiliki ilmu silat yang begitu bagus, saking herannya hingga mereka ternganga.

Tak Iama lagi, karena Yali Yen tak bersenjata, beberapa kali ia hendak rebut golok orang, namun tak berhasil sebaliknya ia malah terdesak melompat sini dan berkelit ke sana tanpa bisa membalas.

"Sam-moay, biarkan aku yang mencobanya, kata Yali Ce tiba2, Berbareng ini mendadak ia menyela maju, dengan tangan kanan melulu, beruntun2 tiga kali memukul

"Baik, coba kau bagaimana," sahut Yali Yen setelah mundur ke pinggir.

Tadi waktu Yali Yen bergebrak dengan gadis baju hitam itu, Nyo Ko hanya bersenyum dan menonton pertarungan itu dengan sikap dingin, tetapi kini begitu Yali Ce turun tangan, hanya tiga kali serangan saja sudah bikin hatinya terkesiap.

Ia lihat tangan kiri Yali Ce bertolak pinggang, sama sekali tak ikut bergerak, melulu tangan kanan saja yang digunakan buat melawan nona baju hitam itu, kakinya pun tidak pernah menggeser barang selangkahpun secara tenang dan seenaknya mencari kesempatan buat rebut golok lawan, tipu gerakannya sangat aneh, bahkan tempat dan waktu yang digunakannya pun jitu sekali, sungguh suatu ilmu kepandaian yang lain daripada yang lain.

Tentu saja Nyo Ko ter-heran2. "Mengapa orang ini begini lihay?" demikian pikirnya.

"Tolol, kepandaian orang ini jauh melebihi kau!" Bu-siang balas mengejek si Nyo Ko.

Namun Nyo Ko sedang tercengang, maka tak didengarnya apa yang dikatakan si nona.

"Sam-moay, lihatlah yang jelas," terdengar Yali Ce berkata pada adiknya sambil melayani si gadis baju hitam. "Kalau aku tepuk dia punya "pi-su-hiat", tentu dia akan menghindar mundur ke samping, menyusul aku lantas pegang dia punya "ki-kut-hiat", mau-tak-mau dia harus angkat golok-nya buat membacok. Pada saat itulah kita harus turun tangan secara cepat dan dapatlah merebut senjatanya."

"Cis, belum tentu bisa begitu gampang," damperat gadis baju hitam dengan gusar.

"Tetapi memang begitulah, lihatlah ini," kata Yali Ce. sambil berkata, betul juga ia hantam "pi-sui-hiat" si gadis.

Pukulan ini tampaknya seperti menceng dan miring, tetapi justru mengurung rapat segala jalan mundur lawannya, hanya pada ujung belakang kiri sedikit ke samping itulah ada peluang, karena si gadis hendak hindarkan pukulan itu, terpaksa ia mundur miring ke samping sana.

Yali Ce angguk2 suatu tanda pukulannya membawa hasil, menyusul betul juga ia ulur tangan hendak pegang "Ki-kut-hiat" lawan.

Sebenarnya dalam hati si gadis itu sudah memperingatkan dirinya sendiri agar "se-kali2 jangan angkat golok balas membacok" seperti apa yang direncanakan Yali Ce. Akan tetapi keadaan pada waktu itu sangat berbahaya, jalan lain memang tidak ada kecuali angkat goloknya buat balas membacok yang merupakan satu2-nya gerak tipu yang jitu.

Karena itulah, tanpa bisa pikir banyak, segera goloknya mengayun, ia balas menyerang.

"Nah, begitu bukan?" dengan sungguh2 Yali Ce berkata.

Mendengar perkataannya ini, semua orang menduga pasti Yali Ce akan ulur tangan buat merebut senjata si gadis, siapa tahu tangan kanannya malah dia tarik kembali dan dimasukkan ke dalam lengan baju.

Maka luputlah bacokan gadis baju hitam itu, sebaliknya ia lihat kedua tangan orang malah bersedakap seenaknya, keruan saja ia rada tertegun.

Pada saat itu juga, se-konyong2 Yali Ce ulur tangan kanan lagi dengan dua jari ia menjepit punggung golok si gadis dan sedikit diangkat ke atas, karena itu, gadis itu tak mampu pegang kencang senjatanya hingga kena direbut orang secara mentah2.

---------- Gambar ------------

"Wanyen Ping, "Beberapa kali kami ampuni jiwamu, kau selalu cari perkara, apa sih maksudmu sebenarnya?" demikian kata Yali Yen sambil menahan pukulan orang.

---------------------------------

Menyaksikan pertunjukan ilmu sakti itu, seketika semua orang terkesima, menyusul suara sorak sorai memecah kesunyian memuji kepandaian Yali Ce tadi.

"Nah, sekarang iapun tak bersenjata," kata Yali Ce pada adik perempuannya sambil melangkah mundur, "kau maju lagi menjajal dia, tabah sedikit dan hati2 terhadap tendangan kilatnya."

Karena goloknya direbut orang, wajah gadis baju hitam itu kelihatan muram, untuk sejenak terpaku di tempat.

Semua orang menjadi heran oleh kelakuannya, mereka pikir: "Kalau Jikongcu (tuan muda kedua) tidak menangkap dia sekaligus, terang maksudnya sengaja membebaskan dia lari, tapi dia justru tak mau kabur, lalu apa kehendaknya?"

Dalam pada itu, karena kata2 abangnya tadi, Yali Yen telah tampil ke depan lagi.

"Wanyen Peng, berulang kali kami telah ampuni kau, tapi kau selalu merecoki kami, apa sampai hari ini kau masih belum mau mengakhiri maksudmu itu?" begitulah kata Yali Yen pada gadis baju hitam itu.

Mendengar nama yang disebut Yali Yen, diam2 Nyo Ko sangat heran oleh nama beberapa orang yang aneh itu.

Nyata, karena masih muda dan cetek pengalamannya, Nyo Ko tak tahu bahwa "Yali" adalah nama keluarga kerajaan negeri Liau, sedang "Wan-yen", adalah nama keluarga kerajaan negeri Kim, beberapa orang yang berada di dalam kamar itu memang keturunan bangsawan kedua negeri itu.

Cuma tatkala itu negeri Liau sudah ditelan kerajaan Kim, dan negeri Kim telah dicaplok pula oleh Mongol. Oleh sebab itu, baik Yali maupun Wan-yen, semuanya adalah keluarga raja2 yang sudah musnah negerinya.

Begitulah Wanyen Peng ternyata tak menjawab kata2 Yali Yen tadi, ia masih menunduk dan termenung-menung.

"Baiklah, jika kau memang ingin tentukan unggul dan asor dengan aku, marilah kita mulai lagi," kata Yali Yen kemudian. Berbareng itu, melompat maju terus menjotos susul-menyusul dua kaIi.

"Kembalikan golokku itu," serunya tiba2 dengan nada suara memelas.

Yali Yen tertegun karena permintaan itu, katanya dalam hati: "Kakakku sengaja rebut senjata mu agar kau bergebrak rangan kosong dengan aku, kenapa sekarang kau malah minta kembali senjatamu ?"

Walaupun begitu, karena wataknya memang berbudi, maka iapun tidak menolak "Baiklah", demikian sahutnya, Habis itu, dari tangan abangnya ia ambil golok Liu-yap-to itu dan dilemparkan pada Wanyen Peng.

"Sam-siocia, kaupun gunakan senjata," kata seorang pengawal sambil menyerahkan goloknya.

"Tak perlu," sahut Yali Yen. Tetapi setelah dipikir lagi, segera ia menambahkan: "Baiklah, dengan tangan kosong aku memang bukan tandinganmu biarlah kita bertanding golok."

Lalu golok pengawal tadi diterimanya, walau pun beratnya sedikit terasa antap, namun boleh juga sekedar dipakai.

Di lain pihak setelah terima kembali senjatanya sendiri, muka Wanyen Peng tampak putih pucat, dengan tangan kiri memegang golok, tangan kanan menuding Yali Cu-cay dan berkata: "YaIi Cu-cay, kau telah bantu orang Mongol dan tewaskan ayah-bundaku, selama hidupku ini terang aku tak sanggup menuntut batas lagi padamu, Biarlah kita bikin perhitungan nanti diakhirat saja !"

Begitu selesai bicara, mendadak golok di tangan itu terus menggorok ke lehernya sendiri.

Waktu mendengar kata2 si gadis tadi dengan sorot matanya yang guram, seketika hati Nyo Ko memukul keras, dadapun terasa sesak dan tanpa tertahan berseru : "Kokoh !"

Pada saat ia berseru itulah Wanyen Peng telah angkat goloknya hendak membunuh diri. Namun gerak tangan Yali Ce cepat tiada bandingan-nya, ketika tubuhnya sedikit mendoyong dan tangannya menjulur, dengan dua jari saja ia berhasil merebut golok si gadis, bahkan orangnya ditutuk pula hingga tak bisa berkutik.

"Baik2 saja begini, kenapa lantas berpikiran pendek?" demikian katanya.

Terjadinya beberapa peristiwa tadi, yakni Wanyen Peng hendak menggorok leher sendiri dan Yali Ce merebut senjatanya dengan jepitan jarinya, semuanya terjadi dalam sekejap saja, ketika dapat melihat jelas oleh semua orang, sementara itu golok si gadis sudah berpindah ke tangan Yali Ce Iagi.

Karena itulah, seketika ramai suara jeritan kaget dari orang banyak hingga seruan "Kokoh" yang diucapkan Nyo Ko itu tidak diperhatikan orang sebaliknya Liok Bu-siang yang berada di samping nya dapat mendengar dengan terang.

"Apa kau sebut dia? ia adalah kokohmu?" "tanyanya dengan suara tertahan.

"Bukan......bukan!" sahut Nyo Ko cepat.

Kitanya tadi waktu Nyo Ko nampak sorot mata Wanyen Peng yang menunjuk perasaan penuh sunyi dan hampa, seperti sudah putus asa, hal ini mirip sekali dengan sorot mata Siao-liong-li dahulu sewaktu hendak berpisah dengan dia itu.

Dan karena melihat sorot mata orang itu tadi, tanpa terasa Nyo Ko terkesima seperti orang ling-lung hingga lupa dirinya berada di mana pada waktu itu.

Melihat keadaan Nyo Ko yang aneh itu, Bu siang tak menanya lebih lanjut, sebaliknya ia dengar di dalam sana Yali Cu-cay sedang buka suara dengan pelahan.

"Nona Wanyen, sudah tiga kali kau hendak membunuh aku, tetapi setiap kali selalu gagal," demikian kata orang tua itu. "Dalam persoalan ini, sebagai perdana menteri negara Mongol, akulah yang musnahkan tanah airmu dan membunuh ayah-bundamu. Tetapi sebaliknya apa kau tahu siapa lagi yang telah "bunuh leluhurku dan menghancurkan negeriku?"



"Aku tak tahu," sahut Wanyen Peng.

"Baiklah kuterangkan," tutur Yali Cu-cay, "Leluhurku adalah keluarga raja Liau dan negeri Liau kami itu telah dimusnahkan oleh negeri Kim bangsamu, Keturunan Yali dari keluarga kami itu habis dibunuh oleh keluarga Wan-yen kalian hingga tidak seberapa gelintir orang yang ketinggalan.

Karena itu, pada waktu muda akupun bersumpah buat tuntut balas sakit hati ini, karenanya aku telah bantu raja Mongol menghancurkan negaramu Kim. Ai, cara balas-membalas ini entah akan berakhir kapan ?"

Pada waktu mengucapkan kata2 terakhir itu, Yali Cu-cay mendongak memandang keluar jendela, terbayang olehnya beratus bahkan beribu jiwa yang telah melayang akibat saling bunuh-membunuh tanpa ada habisnya itu.

Sewaktu mendengarkan tadi, tiba2 Wanyen Peng gigit bibirnya hingga beberapa giginya yang putih bersih bagai mutiara tertampak jelas.

"Hm", tiba2 ia menjengek terhadap Yali Ce. "Tiga kali menuntut balas dan tidak berhasil, kusesalkan kepandaianku sendiri yang tak becus, Tetapi aku hendak bunuh diri, kenapa kau ikut campur tangan pula?"

"Asal selanjutnya nona berjanji tidak akan merecoki kami lagi, segera aku bebaskan kau," sahut Yali Ce.

Wanyen Peng mendengar ia tidak menjawab melainkan matanya yang mendelik gusar.

Kemudian Yali Ce baliki Liu-yap-to rampasannya itu, dengan garan senjata itu ia ketok pelahan beberapa kali pinggang si gadis untuk melepaskan jalan darahnya.

Kiranya Yali Ce ini memang laki2 sejati, tadi dalam keadaan terpaksa, maka dia menutuk dengan jari tangan, tetapi kini ia tak berani menyentuh tubuh si gadis lagi melainkan menggunakan garan golok untuk melepaskan Hiat-to yang tertutup itu.

Sesudah itu segera Yali Ce angsurkan golok itu kepada pemiliknya.

Semula Wanyen Peng rada ragu2, tetapi akhirnya diterimanya kembali juga.

"Yali-kongcu, sudah beberapa kali kau berlaku murah hati dan melayani aku dengan sopan, hal ini aku cukup mengetahuinya", demikian katanya kemudian "Tetapi sakit hati antara keluarga Wanyen kami dengan keluargamu Yali sedalam lautan, betapapun juga, sakit hati orang tua tak bisa tak dibalas".

Yali Ce pikir: "Nyata gadis ini masih akan bikin ribut tiada hentinya, ilmu silatnya juga tinggi, padahal aku tak bisa selalu disamping ayah untuk melindungi selama hidupnya, Ah, kenapa aku tidak pancing dia agar dia tuntut sajalah saja padaku."

"Nona Wanyen, begitulah ia berkata "kau hendak membalas dendam orang tua, cita2mu itu sungguh harus dipuji Cuma persengketaan angkatan tua, hendaklah orang tua itu selesaikan sendiri dan kita yang menjadi orang angkatan muda, masing2 pun ada budi dan dendamnya sendiri2. Maka bila kau akan menuntut balas, utang darah antara keluarga kita itu bolehlah kau cari saja padaku sendiri tetapi kalau ayahku yang kau recoki, kelak kalau kita bertemu pula, soalnya tentu akan menjadi sulit."

"Hm, enak saja kau bicara, ilmu silatku jelas tak bisa mengungkuli kau, mana bisa aku balas dendam padamu, sudahlah sudahlah!" sahut Wan-yen Peng sambil tutup mukanya terus bertindak

Yali Ce mengarti dengan perginya si gadis, tentu orang akan cari jalan buat bunuh diri lagi, karena bermaksud menolong jiwa orang, maka ia sengaja berkata pula dengan tertawa dingin: "Huh, wanita keluarga Wanyen kenapa tak punya pambekan!"

"Kenapa tak punya kambekan?" tanya Wanyen Peng tiba2 sembari berpaling.

"Soal ilmu silatku lebih tinggi dari kau, ya, itu memang betul, tetapi apanya yang perlu dibuat heran? Hal ini oleh karena aku pernah mendapat ajaran dari guru pandai, dan bukan karena aku memepunyai bakat yang melebihi orang lain," kata Yali Ce.

"Kau masih semuda ini, asal kau mau mencari guru dengan penuh keyakinan, apa tak Msa kau mendapatkannya?"

Sebenarnya hati Wanyen Peng penuh mendongkol dan gusar tidak kepalang, tapi mendengar beberapa kata itu, diam2 ia memanggut juga.

"Setiap kali aku bergebrak dengan kau, selalu aku hanya gunakan tangan kanan saja, hal ini bukannya aku sengaja berlaku sombong," kata Yali, Ce lagi. "Tetapi sebabnya karena tipu serangan tangan kiriku terlalu aneh, bila sampai bergebrak, tentu akan melukai orang, oleh karenanya aku bersumpah kalau tidak dalam detik yang berbahaya, se-kali2 aku tidak sembarangan menggunakan tangan kiri, Maka begini saja sebaiknya, biarlah kalau kau sudah belajar lagi dari guru pandai, setiap saat kau boleh datang mencari aku lagi, asal kau mampu memaksa aku menggunakan tangan kiri seketika juga aku potong leherku sendiri tanpa menyesal"

Dengan uraian ini sungguh2 Yali Ce ingin menolong jiwa orang, ia tahu ilmu silat Wanyen Peng masih berselisih jauh dengan dirinya, sekalipun dapatkan guru pandai juga susah hendak menangkan dirinya. Maka tujuannya hanya untuk mengulur tempo belaka agar sesudah lewat agak lama, rasa dendam Wanyen Peng bisa mereda hingga tak perlu membunuh diri lagi.

Oleh karena itu, Wanyen Peng berpikir: "Kau toh bukan dewa, kalau aku berlatih secara sungguh2 masakan dengan dua tanganku tak bisa menangkan sebelah tanganmu itu?"

Maka goloknya segera ia angkat ke atas dan berseru : "Baik! Laki2 sejati sekali kata..."

"Kuda cepat sekali pecut!" sambung Yali Ge tanpa ragu-ragu.

Dengan istilah "Laki2 sejati sekali kata, kuda cepat sekali pecut", artinya apa yang telah diucapkan itu tak akan dipungkiri lagi.

Habis itu, dengan bersitegang lalu Wanyen Peng bertindak pergi walaupun begitu, pada air mukanya tidak terhindar dari rasa pedih dan lesu.

Melihat tuan muda mereka membebaskan si gadis, sudah tentu para pengawal tak berani merintangi, sehabis memberi hormat pada Yali Cu-cay, kemudian merekapun keluar kamar.

Peristiwa tadi terjadi dengan ramainya, namun sama sekali Nyo Ko tak nampakkan diri, diam2 Yali Cin menjadi heran sekali.

"Ji-ko, kenapa kau bebaskan dia lagi?" terdengar Yali Yen tanya abangnya, Yali Ce, dengan tertawa.

"Tidak bebaskan dia, apa harus bunuh dia?" sahut Yali Ce.

"Tetapi salah besar kalau kau bebaskan dia," kata Yali Yen lagi.

"Sebab apa?" tanya Yali Ce heran.

"Ji-ko, kau kehendaki dia menjadi isteri seharusnya jangan kau lepaskan dia," ujar Yali Yen tertawa.

"Ngaco-belo!" omel Yali Ce dengan sungguh2. Meiihat abangnya ber-sungguh2, kuatir orang marah, maka tak berani lagi Yali Yen bergurau

Percakapan kedua orang itu semuanya didengar jelas oleh Nyo Ko yang masih mengintip di luar jendela itu demi mendengar apa yang dikatakan Yali Yen bahwa "kehendaki dia menjadi isteri", aneh, dalam hatinya tanpa sebab timbul semacam rasa iri, rasa cemburu, ia menjadi begitu benci terhadap si Yali Ce itu.

Padahal ilmu silat Yali Ce sangat tinggi, tingkah lakunya pun berbudi dan sesungguhnya adalah satu laki2 sejati, sebenarnya Nyo Ko diam2 kagum padanya. Tetapi kini demi terpikir Wanyen Peng akan diperisterikan dia, ia merasa semakin tinggi ilmu silat Yali Ce dan semakin baik prilakunya, hal ini semakin menandakan kemalangan nasib dirinya sendiri

Oleh sebab itulah, begitu dilihatnya sorot mata Wanyen Peng sangat mirip Siao-Iiong-li, tanpa terasa bibit asmaranya bersemi dan terlibat pada diri gadis itu.

Tengah ia tertegun, tiba2 dilihatnya berkelebat bayangan Wanyen Peng di atas rumah sana yang menuju ke jurusan tenggara.

"Coba aku pergi melihatnya," katanya tiba2 pada Liok Bu-siang.

"Melihat apa?" tanya si nona.

Namun Nyo Ko tak menjawab, dengan cepat Wanyen Peng disusulnya.

Meski ilmu silat Wanyen Peng tak terlalu tinggi, tetapi Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya ternyata amat bagus, sesudah Nyo Ko mengejar dengan "poIgas" hingga di luar kota barulah dapat disusulnya.

Ia melihat Wanyen Peng masuk ke sebuah rumah penduduk Dengan cepat Nyo Ko ikut melompat masuk ke pelataran rumah itu dan sembunyi di pinggir tembok, Lewat tak lama, kamar di sebelah barat sana kelihatan sinar lampu yang dinyatakan, menyusul mana lantas terdengar suara orang menghela napas panjang.

Dari helaan napas panjang itu jelas orangnya lagi berhati duka dan menderita batin.

Mendengar suara helaan napas panjang itu, seketika Nyo Ko tertegun seperti orang linglung di luar jendela kamar itu, tanpa terasa iapun ikut menghela napas panjang.



Mendadak mendengar ada orang menghela napas juga di kamar, Wanyen Peng terperanjat, lekas2 ia sirapkan lampu dan mundur ke pojok kamar.

"Siapa?" bentaknya kemudian dengan suara tertahan.

"Kalau tidak berduka, mana bisa menghela napas?" sahut Nyo Ko.

Wanyen Peng semakin heran, dan lagu suara orang agaknya tidak bermaksud jahat, maka ia tanya lagi: "Siapakah kau sebenarnya?"

"Untuk membalas sakit hati, orang kuno pernah rebah sambil merasakan pahitnya empedu, tetapi kau, gagal sekali sudah hendak bunuh diri, bukankan harus malu dibandingkan orang kuno itu?" kata Nyo Ko dari luar.

Dahulu di Tho-hoa-to pernah Nyo Ko bersekolah pada Ui Yong dan banyak diceritakan oleh bibinya itu tentang hikayat orang2 jaman dahulu, diantaranya ialah Wat-ong dari jaman Ciankok yang tertawan musuh, tetapi tanpa putus asa dan dengan penuh sabar menantikan saat baik untuk membalas dendam, sebagai gemblengan atas cita2-nya itu", Wat-ong setiap hari mengicip2 rasa pahitnya empedu sambil merebah, Cerita itulah kini di-sitir oleh Nyo Ko.

Karena itu, lalu terdengar suara pintu kamar dibuka, Wanyen Peng menyalakan lagi lampunya, "Silakan masuk," begitulah ia sambut Nyo Ko.

Lebih dulu Nyo Ko memberi hormat, habis itu baru dia masuk ke kamar orang.

Wanyen Peng rada heran melihat Nyo Ko memakai seragam perwira bangsa Mongol, lagi pula usianya masih muda.

"Petunjuk tuan memang tepat, dapatkah mengetahui nama dan she tuan yang mulia?" tanyanya kemudian.

Akan tetapi Nyo Ko tidak menjawab, sebaliknya kedua tangannya ia masukkan ke dalam lengan baju, habis itu baru ia buka suara, tetapi menyimpang dari pertanyaan orang.

"ltulah Yali Ce telah membual secara tak tahu malu, ia kira dengan tangan kanan saja sudah hebat sekali kepandaiannya, padahal kalau mau rebut golok orang dan menutuk Hiat-to orang, apa susahnya meski sebelah tangan tak diperguna-kan?" demikian katanya.

Namun Wanyen Peng tidak sependapat dengan uraian Nyo Ko yang lebih sombong dari Yali Ce itu, tetapi karena belum kenal asal usul orang, maka ia merasa tidak enak mendebatnya.

"Aku ajarkan kau tiga jurus sakti, dengan ini kau lantas bisa paksa Yali Ce memakai kedua tangannya," kata Nyo Ko lagi "Tetapi kau tentu tak percaya, bukan ? Nah, sekarang juga aku boleh coba2 dengan kau. Aku sama sekali tak menggunakan kaki-tanganku untuk bergebrak dengan kau, bagaimana ?"

Luar biasa heran Wanyen Peng oleh ucapan Nyo Ko, katanya dalam hati: "Masakan kau bisa rami gaib hingga dengan sekali tiup kau bisa robohkan aku?"

Melihat sikap si gadis, Nyo Ko tahu apa yang dipikir olehnya.

"Kau boleh bacok dengan golok sesukamu, atau aku tak bisa hindarkan diri biar matipun ku tidak menyesal" katanya untuk menghiIangkan rasa sangsi si nona.

"Baiklah, cuma akupun tak pakai golok, balas dengan tangan kosong saja kulukai kau," sahut Wanyen Peng.

"Tidak, tidak," kata Nyo Ko lagi sambil menggeleng kepala, "aku harus rebut golokmu tanpa geraki tangan dan kakiku, dengan begitu barulah kau mau percaya."

Melihat sikap Nyo Ko yang anggap perkara itu seperti hal sepele saja, mau tak-mau Wanyeng Peng mendongkol juga.

"Tuan begini lihay, sungguh, dengar saja aku tak pernah" katanya

Habis ini, tanpa sungkan2 lagi ia lolos golok terus membacok ke pundak Nyo Ko.

Ketika melihat kedua tangan Nyo Ko masih terselubung di dalam lengan baju dan anggap seperti tidak terjadi apa2, ia menjadi kuatir betulI melukai orang, maka arah goloknya sedikit dimiringkan ke samping.

Gerak senjatanya ini ternyata dapat dilihat jelas oleh Nyo Ko, iapun tidak bergerak sedikitpun.

"Jangan kau sungkan2, kau harus membacok sungguhan." demikian katanya.

Wanyen Peng menjadi kagum melihat orang sama sekali tak hkaukan serangannya itu, "Apakah ia seorang dogol?" pikirnya.

Menyusul itu, goloknya bergerak pula, sekali ini ia membabat dari samping dengan sungguh2

Tak terduga, secepat kilat mendadak Nyo sedikit berjongkok hingga golok menyamber lewat di atas kepalanya, jaraknya cuma selisih satu-dua senti saja.

Sekarang Wanyen Peng tidak sungkan2 lagi, ia kumpulkan semangat, goloknya diangkat terus membacok pula.

"Dalam bacokanmu boleh diselingi pula dengan Thi-cio (pukulan telapak besi)," kata Nyo Ko sembari hindarkan golok.

Luar biasa kaget Wanyen Peng oleh kata2 Nyo Ko itu, dengan golok terhunus ia melompat ke pinggir

"Da... dari mana kau bisa tahu?," tanyanya cepat dengan suara tak lancar.

"Kau punya Ginkang adalah dari golongan Thi-cio-cui-siang-biau, maka aku hanya coba menerkanya saja," sahut Nyo Ko.

"Baik," kata Wanven Peng kemudian. Berbareng itu goloknya membacok pula diikuti dengan tangan kiri lantas memotong betul2 diantara goloknya ia selingi dengan Thi-cio.

Namun dengan gampang saja Nyo Ko mengegos lagi

"Boleh lebih cepat sedikit." katanya malah.

Wanyen Peng menjadi makin heran, ilmu goloknya lantas dikeluarkan seluruhnya, makin menyerang makin cepat nyata dia memang anak murid kaum ahli yang tersohor, gerak serangannya tidak boleh dipandang enteng.

Sungguhpun begitu, namun kedua tangan Nyo Ko masih terselubung di dalam lengan baju, hanya tubuhnya saja vang berkelit kian kemari di antara samberan golok dan hantaman orang, jangan kata hendak melukainya, ujung baju saja Wanyen Peng tak mampu menyenggolnya.

Sesudah sebagian besar ilmu golok si nona dilontarkan, tiba2 Nyo Ko berkata: "Awas, dalam tiga jurus ini, golokmu akan kurebut!"

Kini Wanyen Peng sudah kagum luar biasa terhadap Nyo Ko, tetapi kalau bilang dalam tiga jurus saja goloknya hendak direbut, inilah dia masih belum mau percaya, maka senjatanya ia genggam terlebih kencang.

"Coba saja rebut!" sahutnya, berbareng ia memotong dari samping dengan kuat, tipu serangan ini adalah "Ling-hing-cin-nia" (dengan gesit melintasi bukit Cin).

Siapa tahu, dengan sedikit menunduk Nyo Ko malah menerobos di bawah goloknya, menyusul ini kepalanya sedikit melengos ke atas, dengan batok kepalanya ia bentur siku Wanyen Peng yang memegang golok itu.

Tempat yang dibentur itu adalah "kiok-ti-hiat", keruan lengan Wanyen Peng menjadi lemas tak bertenaga, ketika Nyo Ko mendongak dan mangap mulutnya, dengan jitu sekali punggung golok kena digigitnya, maka secara gampang saja senjata itupun kena direbutnya, bahkan menyusul kepalanya melengos lagi, dengan garan golok ia tumbuk iga Wanyen Peng, maka tertutuklah Hiat-to si gadis.

Dengan tersenyum Nyo Ko segerapun melompat pergi, waktu kepalanya bergerak, tiba2 ia mengayun ke atas hingga golok yang dia gigit tadi terbang ke udara, dengan melemparkan golok ini, perlunya agar bisa bicara dengan mulutnya.

"Bagaimana, menyerah tidak?" begitu ia tanya.

Habis berkata, golok itupun sudah menurun ke bawah, Nyo Ko buka mulut dan dapat menggigitnya kembali

Terkejut dan bergirang Wanyen Peng, ia angguk2 oleh pertanyaan Nyo Ko tadi.

Melihat kerlingan mata si gadis sungguh mirip sekali dengan Siao-liong-li, tak tertahan Nyo Ko ingin sekali bisa peluk orang dan menciumnya, cuma perbuatan ini terlalu kurangajar, maka sambil gigit golok, mukanya menjadi merah jengah.

Sudah tentu Wanyen Peng tak tahu apa yang sedang dipikir Nyo Ko, hanya dilihatnya sikap orang yang aneh itu, dalam hati ia ter-heran2, namun seluruh badan sendiri terasa kaku, kedua kaki lemas se-akan2 hendak jatuh.

Nyo Ko melangkah maju dan melamun, tiba2 teringat olehnya: "Ah, jangan, dia pernah berterima kasih pada Yali Ce karena sopan santunnya, memang aku lebih rendah daripada Yali Ce itu? Hm, aku justru hendak melebihi dia dalam hal apapun juga."

Begitulah tabiat Nyo Ko yang gampang ter-singgung, sejak kecil tak pernah memperoleh didikan orang tua, tentang sopan santun dan tata krama sama sekali tak diketahui, setiap tindak tanduknya bergantung pada pendapatnya apakah itu baik atau buruk. Waktu itu kalau bukan pikirannya ingin melebihi Yali Ce, boleh jadi ia sudah peluk Wanyen Peng dan menciumnya.



Kemudian dengan garan golok ia tumbuk lagi sekali pinggang Wanyen Peng untuk melepaskan Hiat-to yang ditutuk tadi, lalu golok itu ia angsurkan kembali padanya.

"Siapa tahu, bukannya Wanyen Peng terima kembali goloknya, sebaliknya ia terus berlutut di hadapan Nyo Ko.

"Mohon Suhu terima aku sebagai murid, kalau aku dapat membalas sakit hati orang tua, budi ini pasti takkan kulupakan," katanya tiba2.

Nyo Ko menjadi kelabakan oleh kelakuan orang, lekas2 ia bangunkan Wanyen Peng.

"Mana bisa aku menjadi gurumu?" sahutnya, "Tetapi, dapatlah kuajarkan satu akal padamu untuk membunuh Yali-kongcu." Girang sekali Wanyen Peng oleh keterangan itu.

"Bagus sekali, asal bisa bunuh Yali-kongcu, abang dan adiknya bukan tandinganku semua, dengan sendirinya aku dapat membunuh lagi ayahnya... berkata sampai disini, tiba2 terpikir lagi olehnya: "Ah, kalau sampai aku memiliki kepandaian untuk membunuh dia, apa mungkin Yali tua masih hidup di dunia ini? Bagaimanapun juga, sakit hati ayah-bundaku tak dapat dibalas,"

Tetapi sehari ini saja Yali tua itu rasanya masih tetap hidup," kata Nyo Ko dengan tertawa.

"Apa maksudmu?" tanya Wanyen Peng.

"Untuk membunuh Yali Ce, apa susahnya?" Sahut Nyo Ko. "Sekarang juga aku ajarkan tiga tipu padamu dan malam ini juga kau dapat membunuhnya."

Sudah tiga kali Wanyen Peng berusaha membunuh Yali Cu-cay, tetapi ketiga kalinya selalu dikalahkan Yali Ce secara mudah saja, maka ia cukup kenal ilmu kepandaian orang yang berpuluh kali lebih tinggi dari dirinya. Ia pikir, sungguhpun ilmu silat Nyo Ko tinggi, tapi belum tentu melebihi Yali Ce.

Sekalipun bisa menangkan dia, tidak nanti juga hanya tiga tipu saja lantas bisa digunakan buat membunuh orang, apalagi malam ini pula katanya bisa membunuhnya, ini lebih2 tak mungkin.

Begitulah ia menjadi sangsi, karena kuatir Nyo Ko marah, maka tak berani Wanyen Peng mendebatnya, hanya kepalanya menggeleng sedikit, sedang kerlingan matanya yang menggilakan Nyo-Ko tadi semakin menggiurkan.

Betapa pintarnya Nyo Ko, segera iapun tahu apa yang dipikirkan si gadis.

"Ya, memang ilmu silatku belum pasti bisa diatasnya," demikian katanya, "kalau saling gebrak, boleh jadi aku malah banyak kalahnya daripada menangnya, Tetapi untuk mengajarkan tiga tipu padamu dan buat membunuhnya malam ini juga, hal ini sebaliknya tidak perlu buang tenaga, Soalnya hanya bergantung padamu yang pernah mendapat pengampunan tiga kali dari dia, aku kuatir kau tak tega membunuhnya."

Hati Wanyen Peng tergerak, segera ia keraskan hatinya dan menyahut: "Meski dia ada budi padaku, namun sakit hati orang tua tidak bisa tidak dibalas."

"Baik, kalau begitu tiga jurus tipu ini segera kuajarkan padamu," kata Nyo Ko. "Tetapi kalau kau mestinya bisa membunuh dia dan tidak kau lakukan, lalu bagaimana nanti?"

"Bila terjadi begitu, terserahlah kau untuk berbuat sesukamu, toh kepandaianmu begini tinggi kau mau pukul atau mau bunuh aku, apa aku sanggup melarikan diri?" sahut Wanyen Peng tegas.

"Mana aku tega pukul, apalagi membunuh kau?" demikian pikir Nyo Ko dalam hati. Maka dengan tersenyum ia menjawab: "Sebenamya tiga jurus tipu inipun tiada yang mengherankan Nih, kau lihat yang jelas!"

Habis itu, golok orang lantas diambilnya kembali, dengan pelahan ia membabat dari kiri ke kanan.

"Tipu pertama yalah "hun-hing-cin-nia"," kata Nyo Ko.

Melihat tipu serangan ini, diam2 Wanyen Peng berpikir: "Tipu serangan ini aku sudah bisa, perlu apa kau mengajarkan?" - Maka dengan mengegos ia hindarkan serangan itu.

"Dan kini tipu kedua," kata Nyo Ko sambil mendadak ulur tangan kiri buat pegang tangan kanan si gadis, "ini adalah tipu "ko-tin-jiau-jiu" (akar rotan melingkar pohon) dari ilmu pukulanmu Thi-cio-kang."

"Aneh, tipu inipun satu diantara 18 gerakan Kim-na-jiu dari Thi-cio-kang kami, buat apa kau mengajarkan lagi?" kembali Wanyen Peng berpikir "Tetapi aneh juga, darimana dia mempelajari ilmu pukulan golongan Thi-cio-bun kami?"

"Ilmu kepandaian golongan Thi-cio-bun, pertama adalah Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh, Kedua yalah Cio-hoat atau ilmu pukulan tangan kosong, lebih2 18 jurus Kim-na-jiu (cara mencekal dan memegang) juga sangat lihay, Karena Kiu-im-cin-keng adalah himpunan dari inti2 itmu silat seluruh jagat, asal satu dipelajari maka semuanya paham dengan sendirinya.

Nyo Ko sudah berhasil melatih Kiu-im-cin-keng, maka iapun kenal Kim-na-jiu-hoat dari Thi-cio-bun itu, hanya cara yang lebih mendalam belum diketahuinya.

Begitulah, maka Wanyen Peng menjadi heran karena tangannya dipegang tadi ia merasa Kim-na-jiu-hoat yang diunjuk Nyo Ko ini sebenarnya tidak lebih lihay dari apa yang dia pernah belajar, karena itu, dengan mata terbuka lebar ia menantikan tipu serangan ketiga yang akan diajarkan padanya itu.

Belum lagi Nyo Ko perlihatkan tipu ketiganya, Wanyen Peng telah membatin pula: "Jurus seranganmu yang pertama dan kedua semuanya adalah ilmu kepandaian Thi-cio-bun kami sendiri hakekatnya tiada sesuatu yang luar biasa, apakah mungkin melulu andalkan tipu serangan ketiga ini lantas bisa membunuh Yali-kongcu?"

"Nah, sekarang lihatlah yang jelas !" begitulah terdengar Nyo Ko berseru padanya, Habis itu goloknya diangkat terus menggorok tenggorokan sendiri.

Keruan saja tidak kepalang kaget Wanyen Peng, "Hai, apa yang kau lakukan ?" jeritnya cepat Dan karena tangan kanannya masih dipegang ken-cang2 oleh Nyo Ko, maka dengan tangan kiri ia merebut senjata yang hendak dibuat bunuh diri oleh Nyo Ko itu.

Meski dalam keadaan gugup, namun gerak tangan Wanyen Peng tetap sangat cepat, sekali cekal, pergelangan tangan si Nyo Ko sudah dipegangnya terus ditekuk, dengan demikian mata golok itu tak dapat dipakai membunuh diri lagi.

Nyo Ko lantas kendurkan kedua tangannya dan melompat mundur. "Nah, sekarang kau sudah tahu bukan ?" dengan tertawa ia tanya.

Wanyen Peng sendiri masih ber-debar2 hati-nya oleh karena kagetnya tadi, maka ia belum paham apa maksud kata2nya.

"Pertama kau gunakan tipu "hun-hing-cin-nia" untuk membabat, lalu dengan tipu ^oh-tu-jiau-jiu" kau cekal tangan kanannya dengan kencang, dan tipu ketiga yalah angkat golok buat bunuh diri.

"Dalam keadaan begitu, pasti dia akan gunakan tangan kiri buat menolong kau, ia pernah bersummpah padamu bahwa asal kau bisa memaksa dia menggunakan tangan kiri, ia akan serahkan jiwanya padamu, itu namanya mati tanpa menyesal dan bukankah urusan menjadi selesai ?" demikian Nyo Ko menjelaskan.

Betul juga pikir Wanyen Peng, tetapi dengan ter-mangu2 ia memandang Nyo Ko, dalam hati ia pikir: "Usiamu masih semuda ini, mengapa dapat kau pikirkan cara2 yang begini aneh dan nakal ?"

Dalam pada itu Nyo Ko telah berkata lagi:

"Ketiga tipu tadi tanggung berhasil dengan baik, kalau gagal, aku nanti menyembah padamu!"

"Tidak," tiba2 Wanyen Peng menyahut dengan goyang kepala, "sekali dia bilang tak akan pakai tangan kiri, tentu tak digunakannya, lalu bagaimana?"

"Lalu bagaimana? Kalau kau tak bisa membalas dendam, bukankah lebih baik mati saja, beres." kata Nyo Ko.

"Kau betul," sahut Wanyen Peng dengan suara pilu, "Terima kasih atas petunjukmu sebenarnya kau ini siapakah ?"

"Dia bernama si Tolol, jangan kau turut ocehannya," belum sampai Nyo Ko menjawab, tiba2 suara seorang perempuan menyela di luar jendela.

Nyo Ko dapat mengenali itu adalah suara Liok Bu-siang, maka ia hanya tersenyum dan tidak gubris.

Sementara itu Wanyen Peng telah melompat ke pinggir jendela, sekilas masih dapat dilihat berkelebatnya bayangan orang yang melompat keluar pagar.

Hendak dikejar oleh Wanyen Peng sebenarnya, namun Nyo Ko telah mencegahnya.

"Tak perlu kau uber dia," kata Nyo Ko dengan tertawa, "Dia adalah kawan-ku. Dia memang selalu ingin mengacau padaku."

"Tak apalah kalau kau tak mau menerang-kan," ujar Wanyen Peng sesudah termenung sejenak sambil memandangi Nyo Ko. "Tetapi aku yakin kau tiada maksud jahat padaku."



Watak Nyo Ko suka menyerah pada kelunakan dan se-kali2 tidak sudi tunduk pada kekerasan kalau ada orang menghina dia, memaksa dia, sekalipun mati tak nanti dia menyerah, tetapi kini oleh karena kerlingan mata Wanyen Peng dengan wajahnya yang sayu mengharukan, tanpa terasa timbul rasa kasih sayang dalam hati Nyo Ko.

Maka dengan tarik tangan si gadis, dengan berendeng mereka duduk di dipan, lalu dengan suara halus ia menerangkan : "Aku she Nyo dan bernama Ko, ayah-bundaku sudah meninggal semua, serupa saja dengan hidupmu..."

Mendengar sampai disini, hati Wanyen Peng tak tertahan lagi air matanya mengucur. Dasar perasaannya Nyo Ko juga gampang terguncang, mendadak iapun menangis hingga menggerung.

Karena itu, Wanyen Peng keluarkan saputangan dan disodorkan pada Nyo Ko.

Waktu mengusap air mata dengan saputangan orang, Nyo Ko mencium bau harum yang sedap, tetapi ketika ingat pada kisah hidupnya sendiri, air matanya semakin lama semakin mengucur.

"Nyo-ya (tuan Nyo), kaupun ikut2 menangis --gara2 urusanku," kata Wanyen Peng.

"Jangan panggil aku Nyo-ya," sahut Nyo Ko.

"Betapa umurmu tahun ini?"

"Delapan belas," kata si gadis. "Dan kau?"

"Akupun delapan belas," sahut Nyo Ko, Dalam hati ia berpikir: "Kalau bulan lahirku lebih muda dari dia hingga aku dipanggil adik olehnya, rasanya kurang nikmat." - Karena inilah, lantas di sambungnya lagi: "Aku terlahir dalam bulan pertama, maka selanjutnya kau panggil aku Toako saja, Akupun tak akan sungkan 2 lagi dan panggil kau sebagai adik perempuan."

Muka Wanyen Peng menjadi merah, ia merasa si Nyo Ko ini segala apa selalu terang2an, sungguh sangat aneh, tetapi memang nyata tiada maksud jahat terhadap dirinya, maka kemudian iapun: mengangguk tanda setuju.

Mendapatkan seorang adik baru, rasa senang hati Nyo Ko sungguh tak terkatakan.

Begitulah watak Nyo Ko, kalau Liok Bu-siang suka mendamperat dan marah2 padanya, maka ia pun tiada hentinya menggoda, Tetapi kini wajah Wanyen Peng cantik molek, perawakannya kurus lencir, nasibnya pun malang, seperti dilahirkan supaya dikasihani orang, yang paling penting lagi, jalan kerlingan sepasang mata-bolanya yang begitu mirip seperti Siao-liong-li.

Dengan ter-mangu2 Nyo Ko memandangi mata Wanyen Peng, dalam khayalannya ia anggap gadis berbaju hitam di hadapannya itu seperti berbaju putih, wajah orang yang cantik kurus itu se-akan2 kelihatan seperti muka Siao-liong-li tanpa terasa terunjuklah perasaannya yang mengharap, perasaan rindu rasa kasih sayang yang halus.

Karena guncangan perasaan itulah, maka air mukanya pun menjadi aneh luar biasa, akhirnya Wanyen Peng menjadi takut, pelahan ia lepaskan tangan dari cekalan orang dan menegur: "Kenapakah kau?"

"Tak apa2," sahut Nyo Ko seperti tersadar dari mimpi, sambil menghela napas. "Sekarang kau pergi membunuh dia tidak?"

"Segera juga aku pergi," sahut Wanyen Peng cepat, "Nyo-toako, kau ikut serta tidak?"

Sebenarnya Nyo Ko hendak berkata : "sudah tentu ikut serta", tetapi bila terpikir lagi kalau dirinya ikut, tentu hal ini akan membesarkan hati Wanyen Peng, dan lagaknya membunuh diri tentu menjadi tak sungguhan Yali Ce juga tak bisa terjebak akalnya lagi

Sebab itu, maka dijawabnya : "Rasanya tak enak aku ikut pergi."

Karena jawaban ini, tiba2 sorot mata Wanyen Peog menjadi guram

Hati Nyo Ko menjadi lemas, hampir2 ia menyanggupi untuk ikut serta kalau tidak keburu si gadis berkata lagi: "Baiklah, Nyo-toako, cuma aku tak akan bersua lagi dengan kau."

"Mana, ma... mana bisa begitu? ak,..aku...." sahut Nyo Ko cepat dan tak lancar.

Namun Wanyen Peng sudah keluarkan serenceng uang perak, ia lemparkan ke atas meja sebagai biaya menginap di rumah penduduk itu, habis mana iapun melompat keluar.

Dengan ilmu entengkan tubuhnya yang hebat, sekejap saja ia sudah berada lagi ditempat tinggalnya Yali Ce.

Tatkala itu Yali Cu-cay dll sudah kembali ke kamarnya sendiri2, Yali Ce baru saja hendak me-ngaso, tiba2 pintu kamarnya diketok orang.

"Wanyen Peng mohon bertemu Yali-kongcu," demikian terdengar suara si gadis yang nyaring.

Segera ada empat pengawal datang merintangi Wanyen Peng, namun Yali Ce sudah keburu membuka pintu kamarnya.

"Ada keperluan apa lagi, nona Wanyen?" tanyanya segera.

"Aku ingin belajar beberapa gebrak lagi dengan kau," sahut Wanyen Peng.

Heran sekali Yali Ce, ia pikir mengapa orang tak tahu diri? Namun tidak urung ia menyingkir ke samping sambil memberi tanda dengan tangan: "Silakan masuk!"

Begitu masuk, tanpa bicara lagi Wanyen Peng lantas lolos senjata terus mencecar tiga kali, diantara goloknya, ia selingi pula dengan pukulan telapak tangan besinya.

Tetapi Yali Ce memang jauh lebih tinggi ilmu silatnya, dengan tangan kiri lurus ke bawah, ia layani si gadis dengan tangan kanan melulu, ia balas memukul dan hendak menangkap senjata orang, dengan gampang saja semua serangan Wanyen Peng dapat dipatahkannya.

Dalam hati iapun sedang pikirkan sesuatu daya-upaya agar bisa membikin Wanyen Peng kapok dan mundur teratur untuk selanjutnya tak datang merecokinya lagi .

Lewat tak lama, selagi Wanyen Peng hendak keluarkan tiga tipu akal ajaran Nyo Ko, mendadak di luar pintu suara seorang wanita berseru: "Hmm Yali-kongcu, dia hendak menipu kau menggunakan tangan kiri." Tidak salah lagi itulah suaranya Liok Bu-siang.

Untuk sesaat Yali Ce tercengang, akan tetapi Wanyen Peng tak memberikan kesempatan padannya untuk berpikir, segera dengan tipu "hun-hmg-cin-nia" ia membabat, selagi Yali Ce mengegos, se-konyong2 ia ulur tangan kiri terus cekal tangan kanan Yali Ce dengan tipu "koh-tin-jiau-jiu", menyusul golok diangkat terus menggorok ke lehernya sendiri!

Maka insaflah Yali Ce oleh seruan di luar pintu tadi, untuk sesaat pikirannya sudah bergantian beberapa kali: "Harus kutolong dia! - Tetapi inilah tipunya untuk pancing aku menggunakan tangan kiri, kalau aku geraki tangan kiri, itu berarti aku menyerahkan jiwaku untuk diperbuat sesuka hatinya. Biarlah, laki2 sejati mati biarlah mati, mana boleh melihat orang mau bunuh diri tanpa menolongnya ?"

Sebenarnya Nyo Ko sudah mentafsirkan jalan pikiran Yali Ce, asal mendadak tiga tipu serangan ajarannya itu dilontarkan, maka tak bisa tidak pasti ia akan gunakan tangan kirinya buat menolong,

Siapa tahu Liok Bu-siang sengaja mengacau dan sebelumnya memperingatkan Yali Ce.

Sungguhpun begitu, namun Yali Ce memang manusia yang berbudi dan berhati mulia, sudah terang diketahuinya begitu ia keluarkan tangan kiri buat tolong Wanyen Peng, maka jiwanya tak terjamin lagi. Tetapi pada saat yang berbahaya itu, toh masih tetap tangan kirinya diulur untuk menangkis pergelangan tangan Wanyen Peng, menyusul tangannya membalik dan Liu-yap-to itu dapat direbutnya.

Sesudah saling gebrak tiga jurus itu, kemudian masing2 pun melompat mundur berbareng, Dan sejenak menunggu si gadis buka suara, Yali Ce segera mendahului melemparkan golok rampasannya padanya.

"Nyata kau dapat paksa aku menggunakan tangan kiri maka jiwaku kuserahkan padamu sekarang, cuma ada sesuatu permohonanku padamu," demikian katanya.

"Urusan apa?" tanya Wanyen Peng dengan muka pucat.

"Aku mohon kau jangan celakai ayahku lagi," pinta Yali Ce.

Wanyen Peng menjengek sekali, lalu dengan ia melangkah maju, golok ia angkat, di sinar lampu ia lihat sikap Yali Ce biasa saja tanpa jeri sedikitpun, bahkan penuh berwibawa.

Wanyen Peng adalah gadis yang cantik dan halus budinya, melihat seorang Iaki2 sejati sedemikian ini, teringat olehnya sebabnya orang menggunakan tangan kiri tak lain tak bukan adalah karena hendak menolong jiwanya, keruan goloknya itu tak tega dibacokkan.


Tiba2 napsu membunuhnya yang membakar tadi menjadi ludes, Liu-yap-to yang sudah dia angkat itu mendadak dilempar ke lantai, dengan menutup mukanya iapun berlari pergi.

Dalam keadaan begitu, Wanyen Peng menjadi seperti orang linglung, ia melangkah setibanya hingga akhirnya sampai di tepi sebuah sungai, sambil memandangi sinar bintang yang ber-kelip2 guram tercermin di air sungai itu, pikirannya kusut tidak keruan.

Lewat lama dan lama sekali, Wanyen Peng menghela napas panjang, Tiba2 ia dengar di belakangnya ada orang menghela napas juga, di malam yang sunyi itu, kedengarannya menjadi sangat seram.

Dalam kagetnya segerapun Wanyen Peng berpaling, maka terlihatlah satu orang berdiri di belakangnya, siapa lagi dia kalau bukan Nyo Ko ! "Nyo-toako," ia menyapa sekali, lalu kepala menunduk dan tidak buka suara pula.



"Moaycu (adik), urusan membalas dendam orang tua memang bukan perkara gampang, maka tak perlu ter-gesa2 ingin lekas terlaksana," kata Nyo Ko sambil maju dan menggenggam tangan si gadis.

"Kau sudah menyaksikan semuanya?" tanya Wanyen Peng.

Nyo Ko mengangguk.

"Manusia seperti aku ini, soal balas dendam sudah tentu bukan urusan gampang." kata pula si gadis, "Tetapi kalau aku bisa mempunyai setengah kepandaianmu rasanya tak nanti aku bernasib begini,"

"Sekalipun bisa memiliki ilmu silat seperti aku, apa guna?" ujar Nyo Ko sambil gandeng tangan orang dan duduk berendeng di bawah satu pohon rindang, "Meski kau belum bisa membalas dendam, namun sedikitnya kau sudah tahu siapa musuhmu. sebaliknya aku? Sampai cara bagaimana ayahku tewas, hingga kini akupun tidak tahu, begitu pula siapa pembunuhnya juga tak tahu, jangankan hendak menuntut balas, lebih2 tak perlu disebut lagi"

"Ayah-bundamu juga dibunuh orang?" tanya Wanyen Peng dengan tercengang.

"Bukan, ibuku tewas digigit ular berbisa, sedangkan ayahku mati secara tak jelas, malahan selamanya belum pernah aku melihat mukanya," sahut Nyo Ko sambil menghela napas.

"Kenapa bisa begitu ?" tanya si gadis.

"Ya sebab waktu aku dilahirkan ayahku sudah keburu mati," tutur Nyo Ko. "Sering aku tanya ibu sebab apakah sebenarnya ayah mati dan siapa musuhnya, Tetapi setiap kali aku tanya, selalu ibu mengucurkan air mata dan tak menjawab, belakangan akupun tak berani bertanya lagi. Aku pikir biarlah kelak kalau aku sudah dewasa barulah aku tanya pula, siapa tahu ibu mendadak di-gigit ular, pada sebelum ajalnya kembali aku bertanya tentang kematian ayah. Kata ibu: "Sepak terjang ayahmu memang tidak baik, maka kematiannya itu merupakan ganjarannya, Orang yang membunuhnya berkepandaian tinggi sekali, pula adalah orang baik. Sudahlah, nak, seumur hidupmu ini jangan se-kali2 kau berpikir tentang balas dendam segala", Ai, coba, cara bagaimana sebaiknya aku ini?"

Dengan penuturannya ini, maksud Nyo Ko hendak menghibur Wanyen Peng, tetapi akhirnya ia sendiri menjadi berduka juga.

"Lalu siapakah yang membesarkan kau?" tanya Wanyen Peng.

"Siapa lagi? Sudah tentu kubesarkan diriku sendiri," sahut Nyo Ko. "Sejak wafatnya ibu, aku lantas ter-lunta2 di kalangan Kangouw, disini aku mengemis sesuap nasi, di sana kulewatkan semalam, kadang2 saking tak tahan lapar aku lantas curi sebuah semangka atau sepotong ubi sekedar tangsal perut, namun sering kali kena ditangkap pemiliknya dan dihajar babak belur, lihat ini, di sini masih ada bekasnya, dan yang ini tulangnya... sampai menonjol, semua ini akibat dihajar orang semasih kecil"

Sambil berkata sembari lengan celananya di gulung untuk menunjukkan tempatnya pada si gadis, tetapi keadaan remang2, Wanyen Peng tak jelas melihatnya, Nyo Ko memegang tangannya dan diletakkan pada belang bekas luka di betisnya itu.

Wanyen Peng berhati Iemah, ia memang dilahirkan sebagai gadis perasa dan suka bersedih, sambil meraba bekas luka betis orang, tak tertahan hatinya terasa pilu, diam2 ia pikir nasib dirinya yang meski negara hancur dan rumah runtuh, namun masih tidak sedikit terdapat sanak kadang serta tidak sedikit kekayaan yang ditinggalkan sang ayah, kalau dibandingkan dengan nasib pemuda di depannya ini dirinya masih boleh dikatakan jauh lebih beruntung.

Begitulah mereka saling diam sejenak, kemudian pelahan2 Wanyen Peng tarik tangannya dari betis orang, hanya masih membiarkan digenggam Nyo Ko.

"Dan cara bagaimana lagi kau berhasil melatih ilmu silat seperti sekarang ini? Dan kenapa menjadi perwira Mongol pula?" tanyanya dengan lirih.

"Aku bukan perwira MongoI," sahut Nyo Ko. "Aku sengaja pakai baju bangsa Mongol, sebabnya hendak menghindari pencarian seorang musuh."

"Bagus kalau begitu ?" kata Wanyen Peng tiba2 dengan girang.

"Kenapa bagus?" Nyo Ko bingung.

Sedikit merah muka Wanyen Peng. "Bangsa Mongol adalah musuh besar negara kami, dengan sendirinya aku mengharap kau bukan perwira mereka," sahutnya kemudian.

Hati Nyo Ko terguncang sambil genggam tangan si gadis yang halus dan lunak itu.

"Moaycu, jika aku adalah perwira Mongol, lalu bagaimana perasaanmu terhadapku?" tanya Nyo Ko tiba-tiba.

Sejak mula Wanyen Peng melihat tampan Nyo Ko yang gagah dan ilmu silatnya tinggi, memangnya ia sudah suka, belakangan mendengar lagi kisah hidupnya yang mengharukan itu, hal ini lebih menambah rasa kasihannya, maka iapun tidak menjadi marah meski mendengar kata2 Nyo Ko tadi rada blak-blakan.

"Jika ayahku masih hidup, apa yang kau inginkan tentu akan menjadi mudah, tetapi kini ayah-bundaku sudah tiada semua, apalagi yang dapat kukatakan?" sahutnya kemudian dengan menghela napas.

Mendengar lagu suara orang lemah Iembut, si Nyo Ko menjadi dapat hati, ia berani ulur tangannya buat memegang pundak orang.

"Moaycu, bolehkah kumohon sesuatu," rayu-nya dengan bisik2.

Ber-debar2 hati si gadis, sudah beberapa bagian dapat diduganya apa yang dikehendaki Nyo Ko.

"Hal apa?" sahutnya rendah.

"Aku mohon diperkenankan mencium matamu ! Ya, mata saja, yang lain2 tak nanti aku melanggarnya," kata Nyo Ko.

Semula Wanyen Peng menyangka tentu si Nyo Ko hendak meminang dirinya, malahan ia kuatir juga jangan2 pemuda ini menjadi lupa daratan dan main kasar terus melakukan perbuatan2 yang tak senonoh di tempat terbuka ini, kalau sampai hal ini terjadi terang sekali dirinya tak bisa melawannya.

Siapa tahu orang hanya mohon mencium matanya, maka terasa lega sedikit baginya, namun entah mengapa, rasa dalam hatipun rada2 kecewa dan sedikit heran pula, sungguh perasaan yang sangat ruwet dan aneh.

Karena itu, dengan tercengang ia pandang Nyo Ko dengan kerlingan matanya yang basah2 sayu dan sedikit rasa malu.

Melihat kerlingan mata Wanyen Peng, tiba2 Nyo Ko teringat pada saat sebelum perpisahannya yang terakhir dengan Siao-Iiong-li, di mana Siao-liong-li pun pernah memandang padanya dengan kerlingan mata yang maIu2 dan mengandung arti yang dalam, Tak tertahan lagi ia menjerit orangnya pun melompat bangun.

Tentu saja Wanyen Pcng kaget oleh kelakuan si Nyo Ko itu, ingin dia tanya oleh sebab apa, namun sukar membuka mulut rasanya.

Dalam pikiran yang kacau itu, Nyo Ko merasa kerlingan mata di depannya itu adalah kerlingan mata Siao-liong-li melulu.

Dahulu waktu pertama kali ia melihat kerlingan mata seperti demikian ini, saat itu ia masih hijau pelonco dan sama sekali tak mengarti arti kerlingan mata demikian itu, tetapi sejak ia turun gunung, sesudah berkumpul beberapa hari dengan Liok Bu-siang, pula hari ini bergaul dengan Wanyen Peng, maka mendadak jadi teringat olehnya maksud baik dan cinta halus dari Siao-liong-li dahulu, semua itu baru dia pahami sekarang.

Keruan ia menyesal tidak kepalang, bisa2 kepalanya hendak ditumbukkan saja ke batang pohon di sampingnya biar mati sekalian "Begitu tulus cinta Kokoh padaku, pula ia sudah bilang hendak menjadi isteriku, tetapi aku telah kecewakan maksud baiknya itu, sekarang ke mana harus kucari dia?" demikian terpikir olehnya.

Karena itu, mendadak ia menjerit sekali lagi, tiba2 Wanyen Peng ditubruknya dan dipeluk ken-cang2, dengan bernapsu kelopak mata si gadis di-ciumnya.

Melihat orang seperti kalap dan seperti gila Wanyen Peng terkejut tercampur girang, hendak meronta pun sukar karena didekap Nyo Ko dengan kencang, akhirnya iapun pejamkan matanya dan membiarkan orang mencium sepuasnya, terasa olehnya selalu kelopak matanya itu saja yang ke kanan dan ke kiri diciumi Nyo Ko, ia pikir orang ini meski kasar dan seperti gila, namun apa yang sudah dikatakannya tadi ternyata dapat dipercaya juga, sungguh aneh, sebab apakah melulu mata saja yang terus diciuminya?"

"Kokoh, Kokoh!" se-konyong2 didengarnya Nyo Ko ber-teriak2, suaranya penuh rasa hangat dan menggelora, tetapi terasa juga seperti sangat menderita.

Selagi Wanyen Peng hendak tanya siapa yang dipanggilnya itu, mendadak terdengar suara seorang perempuan berkata di belakang mereka: "Ma'af, kalian berdua!"

Nyo Ko dan Wanyen Peng sama2 kaget, segera tangan mereka yang saling genggam tadi terlepas kian melompat pergi, waktu mereka berpaling, maka tertampaklah di bawah pohon itu berdiri seorang gadis berbaju hijau yang dapat dikenali Nyo Ko sebagai orang yang beberapa kali mengirim berita serta menolong Liok Bu-siang itu.



"Berulang kali mendapat bantuanmu, budi ini tak nanti kulupakan," cepat Nyo Ko menyapa sambil memberi hormat.

Dengan laku sangat sopan gadis itu membalas hormat orang.

"Rupanya Nyo-ya sedang senang2 karena ada kenalan baru, tetapi apa masih ingat pada kawan lama yang pernah mengalami mati-hidup bersama itu?" begitu katanya.

"Kau maksudkan..."

"Li Bok-chiu guru bermurid tadi telah menawannya pergi!" potong gadis itu sebelum Nyo Ko selesai berkata.

Keruan Nyo Ko terkejut.

"Apa betul?" ia menegas dengan suara gemetar "Dia... dia ditawan ke mana?"

"Waktu kau sedang asyik-masyuk dengan nona ini, saat itulah nona Liok ditawan Li Bok-chiu," sahut gadis itu.

"Apa... apa tidak berhalangan atas dirinya?" tanya Nyo Ko pula.

"Untuk sementara rasanya tidak mengapa bagi keselamatannya," kata si gadis, "Nona Liok tetap mengatakan kitab pusakanya itu telah direbut oleh Kay-pang, maka Jik-lian-mo-tau itu telah giring dia pergi pada kaum pengemis itu, jiwanya sementara tak menjadi soal tetapi siksaan badan rasanya sukar dihindarkan."

Nyo Ko adalah seorang yang gampang terguncang, maka segera ia mengajak : "Marilah, lekas kita pergi menolongnya."

Siapa duga gadis itu hanya menggoyang kepala.

"Meski ilmu silat Nyo-ya tinggi, tapi rasanya masih bukan tandingan iblis itu," demikian sahutnya, "Mungkin jiwa kita hanya akan melayang percuma, sedang urusannya masih belum bisa ditolong,"

Walau dalam kegelapan, namun mata "Nyo- Ko sangat tajam seperti memandang benda di siang hari saja, maka wajah si gadis baju hijau ini dapat dilihatnya sangat jelek dan aneh luar biasa, otot daging di mukanya kaku tanpa bergerak sedikitpun seperti mayat hingga membikin seram orang yang memandangnya, Karena itu, Nyo Ko tak berani memandang lebih lama.

"Orang ini sangat baik terhadapku, tetapi aneh, mukanya kenapa terlahir begini rupa?" demikian pikirnya, Maka kemudian iapun bertanya: "Dapatkah mengetahui she dan nama nona? selamanya kita belum kenal, kenapa begitu mendapat perhatian nona?"

"Namaku tiada harganya buat di-sebut2, kelak Nyo-ya tentu akan tahu juga, kini yang paling penting yalah lekas berdaya-upaya buat menolong orang saja," sahut gadis itu.

Diwaktu berkata air mukanya sedikitpun tidak tampak perubahannya, kalau bukan mendengar suara keluar dari mulutnya, sungguh orang bisa menyangka dia adalah mayat hidup. Namun aneh juga, suaranya ternyata nyaring merdu menarik.

"Jika begitu, cara bagaimana menoIongnya, terserahlah pada keputusan nona, dengan hormat aku menurut petunjukmu saja," kata Nyo Ko kemudian.

"Nyo-ya hendaklah jangan sungkan2," sahut gadis itu. "Ilmu silatmu berpuluh kali lipat di atasku berpuluh kali lebih pintar juga dari padaku, pula usiamu lebih tua, dan seorang laki2 lagi, apa yang kau bilang baik tentunya baik, kedatanganku justru untuk terima perintahmu saja,"

Mendengar kata2 orang yang merendah dan menyenangkan ini, sungguh Nyo Ko menjadi senang sekali

"Kalau begitu, kita mengintilnya secara diam2 saja, kita mencari kesempatan baik untuk turun tangan," sahutnya kemudian sesudah berpikir.

"ltulah paling baik," kata si gadis, "Tetapi entah bagaimana pendapat nona Wanyen?"

Habis berkata, ia sendiri lantas menyingkir pergi dan membiarkan Nyo Ko berunding dengan Wanyen Peng.

"Moaycu. aku hendak pergi menolong seorang kawan, kelak saja kita bertemu puIa," demikian kata Nyo Ko pada gadis itu.

"Tidak, Nyo-toako, meski kepandaianku rendah, mungkin dapat juga aku memberi bantuan sekadarnya, biarlah aku ikut serta dengan kalian." sahut Wanyen Peng.

Memangnya Nyo Ko merasa berat kalau harus berpisah dengan dia, mendengar orang mau ikut, tentu saja ia amat girang.

"Bagus kalau begitu !" serunya senang.

Habis ini, dengan suara keras ia teriaki si gadis baju hijau tadi: "Nona, adik Wanyen Peng suka bantu kita dan ikut pergi menolong orang!"

"Wanyen-kohnio, kau adalah puteri bangsawan sebelum bertindak hendaklah kau suka pikir dahulu," dengan laku sangat hormat gadis baju hijau itu berkata pada Wanyen Peng, "Harus kau ketahui bahwa musuh yang akan kami hadapi ini kejam luar biasa, orang Kangouw memanggil dia Jik-lian Sian-cu, yalah mengumpamakan dia sekeji ular belang rantai, sungguh tidak mudah untuk menghadapinya,"

"Jangan cici berkata begitu, jangankan Nyo-toako ada budi padaku, apa yang menjadi urusannya adalah urusanku juga, walaupun seorang kawan seperti cici saja, aku Wanyen Peng pun ingin kenal Maka biarlah aku ikut pergi bersama cici, asal segalanya kita berlaku hati2" demikian sahut Wanyen Peng.

"Baik sekali kalau begitu," kata gadis itu dengan suara halus sambil tarik tangan Wanyen Peng, "Cici, umurmu lebih banyak dari padaku, boleh kau panggil aku Moaycu saja,"

Dalam keadaan gelap Wanyen Peng tak bisa melihat wajah orang yang sangat jelek itu, tetapi mendengar suaranya yang begitu merdu, tangannya yang menggenggam padanya terasa juga sangat halus dan lemas, maka disangkanya orang tentu gadis yang cantik moIek, dalam hati iapun sangat senang.

"Berapakah umurmu tahun ini?" ia tanya.

"Ah, tak perlu kita merecoki umur, paling perlu segera pergi menolong orang saja, bukankah begitu, Nyo-ya?" sahut gadis itu bersenyum.

"Ya, silakan nona menunjuk jalannya," kata Nyo Ko.

"Aku melihat mereka menuju ke arah tenggara, tentu pergi ke Hengcikoan," ujar gadis itu.

Segera mereka keluarkan Ginkang dan dengan cepat memburu ke arah tenggara.

Bahwa Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay yang dipelajari Nyo Ko itu terkenal karena Ginkang yang hebat dan boleh disebut nomor satu di seluruh kolong langit, hal ini tak perlu dijelaskan lagi. Sedang Wanyen Peng adalah anak murid Thi-cio-pang, dahulu pangcu atau pemimpin Thi-cio-pang yang bernama Kiu Jian-yim berjuluk "Thi-cio-cui-siang-biau" atau Telapak tangan besi me-layang2 di atas air, kalau bisa disebut "melayang di atas air", dengan sendirinya Ginkangnya pasti terhitung kelas satu juga.

Siapa tahu si gadis baju hijau itu, senantiasa cepat tidak, lambat pun tidak, tapi selalu mengintil di belakang Wanyen Peng. Kalau Wanyen Peng cepat, maka iapun cepat, jika lambat, iapun ikut lambat, jarak antara mereka selalu dipertahankan dua-tiga tindak.

Keruan Nyo Ko terperanjat "Anak murid dari aliran manakah nona ini? Kalau melihat Ginkangnya ini, tampaknya sudah di atasnya Wanyen Peng," demikian ia heran, Dan karena tak mau main menang2an dengan kedua nona itu, maka ia sengaja tertinggal saja di belakang.

Sampai hari sudah terang, gadis baju hijau itu keluarkan rangsum kering dan dibagikan kedua kawannya,

Melihat baju orang meski terbikin dari kain biasa saja, tapi potongannya sangat serasi dengan perawakan pemakainya, pula perbekalannya seperti rangsum kering, botol air dan sebagainya diatur secara begitu baik, semua ini menunjukkan ketelitian seorang gadis yang rajin.

Di lain pihak, ketika Wanyen Peng melihat wajah orang begitu aneh, ia menjadi tak berani-memandang lebih jauh. "Di dunia ini kenapa ada wanita bermuka sejelek ini?"

"Nyo-ya Li Bok-chiu itu kenal padamu, bukan?" kata gadis baju hijau itu sesudah menunggu kedua orang habis makan.

"Ya, beberapa kali ia pernah bertemu dengan aku," sahut Nyo Ko.

Gadis itu mengeluarkan sehelai benda tipis seperti kain sutera, lalu berkata pula pada Nyo Ko: "lni adalah topeng kulit manusia, sesudah kau pakai, tentu dia tak kenal kau lagi."

Waktu Nyo Ko periksa topeng itu, ia lihat di atasnya ada lubang2 tempat mata, mulut dan hidung, bila dipakai maka topeng ini bagaikan karet saja mencetak muka si pemakainya dengan persis seperti wajah asli, tentu saja Nyo Ko sangat girang dan menghaturkan terima kasih.

Melihat wajah Nyo Ko seketika berubah menjadi jelek luar biasa setelah memakai topeng itu, barulah kini Wanyen Peng sadar.



"Ah, Moaycu, kiranya kaupun memakai topeng seperti ini, sungguh aku sangat goblok, aku mengira wajahmu memang terlahir begitu aneh," demikian katanya pada gadis baju hijau.

"Muka Nyo-ya yang ganteng dan bagus ini, sesungguhnya sayang dan merendah dirinya saja bila pakai topeng ini," sahut gadis baju hijau, "Mengenai diriku, memangnya mukaku adalah begini, pakai topeng atau tidak serupa saja."

"Ah, aku tak percaya," ujar Wanyen Peng. "Moaycu, maukah kau copot topengmu dan unjukkan muka aslimu ?"

Dalam herannya Nyo Ko pun ingin tahu wajah asli si gadis itu, namun permintaan itu ternyata ditolak.

"Jangan, mukaku yang jelek ini mungkin akan bikin kalian kaget," sahut gadis itu."

Melihat orang berkeras tak mau perlihatkan mukanya, terpaksa Wanyen Peng sudahi permintaannya.

Pada waktu lohor, mereka bertiga sudah sampai di kota Bukoan, mereka masuk ke atas loteng sebuah restoran untuk mengisi perut.

Melihat Nyo Ko berdandan sebagai perwira Mongol, pengurus restoran itu tak berani ayal dan cepat memberi pelayanan.

Tetapi baru setengah jalan mereka bersantap, ketika kerai pintu tersingkap, tiba2 masuk pula tiga wanita yang bukan lain daripada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po yang menggiring Liok Bu-siang.

Nyo Ko sangat cerdik, ia tahu meski saat itu Li Bok-chiu tak kenali dirinya, namun mukanya yang aneh karena memakai topeng tentu akan menimbulkan rasa curiga orang, karena itu segera ia berpaling ke jurusan lain sambil menjumpit nasi terus, ia hanya pasang kuping tajam2 untuk mendengarkan percakapan mereka.

Siapa tahu sama sekali Bu-siang tidak buka suara, bahkan Li Bok-chiu berdua pun tidak bicara sehabis pesan daharan seperlunya,

Nampak orang yang mereka cari sudah berada di depan mata, Wanyen Peng gunakan sumpitnya dan mencelup ujung sumpit pada air kuwah, lalu ia corat-coret beberapa huruf di atas meja dengan maksud: "turun tangan tidak?"

Nyo Ko diam2 sedang memikir: "Dengan kekuatan kami bertiga, ditambah lagi dengan "bini cilik", rasanya masih susah melawan mereka guru dan murid berdua, urusan ini hanya bisa dimenangkan dengan akal dan tak mungkin dengan kekerasan."

Oleh sebab itu, ia goyangi sumpitnya pelahan-lahan sebagai tanda "jangan".

Li Bok-chiu juga orang cerdik, sesudah berada, di loteng restoran itu, ia lihat sorot mata Bu-siang seperti bersinar harapan, tentu saja ia merasa heran hingga tiada hentinya Wanyen Peng bertiga di-diincar olehnya.

Tapi Nyo Ko duduk mungkur dan tidak bergerak sedikitpun maka tiada sesuatu tanda yang menimbulkan curiganya.

Begitulah sedang kedua belah pihak sama2 menantikan kesempatan baik, tiba2 suara tangga loteng berbunyi, kembali orang masuk pula ke situ.

Waktu Wanyen Peng melirik, ia lihat yang datang adalah Yali Ce dan Yali Yen kakak beradik.

Ketika nampak Wanyen Peng juga berada di situ, kedua orang itu rada terperanjat, tetapi sesudah memanggut, lalu mereka mengambil tempat duduknya sendiri.

Diam2 Li Bok-chiu sangat kagum terhadap sepasang muda-mudi yang ganteng dan cantik itu, ia menyangka orang adalah suami isteri, tak tahunya hanya saudara saja.

Kiranya setelah peristiwa Wanyen Peng mencari balas pada ayahnya, Yali Ce menduga si gadis tak berani datang lagi, maka bersama adik perempuannya, Yali Yen, mereka pesiar keluar untuk menikmati keindahan alam daerah Kanglam ini, disini pula bertemu dengan Wanyen Peng, tentu saja mereka bertambah lega meninggalkan ayah mereka.

Sementara itu karena "Ngo-tok-pit-toan" atau "Kitab Panca-bisa" yang tercuri itu disangkanya terjatuh di tangan orang Kay-pang, Li Bok-chiu sedang masgul, dalam beberapa hari ini boleh dikatakan tak doyan makan dan tak nyenyak tidur, oleh karenanya, baru setengah mangkok bakmi yang dia pesan itu dimakan, kemudian ia taruh sumpitnya dan memandang iseng keluar restoran itu.

Tiba2 tertampak olehnya di simpang jalan sana berdiri sejajar dua pengemis, pada punggung mereka masing2 menggendong tujuh buah kantong kain, nyata mereka adalah "Chit-te-tecu" atau anak murid berkantong tujuh dari Kay-pang.

Dalam pada itu muncul lagi satu pengemis yang lain, dengan ter-gesa2 pengemis belakangan ini mendekati kedua kawannya dan bisik2 sejenak, habis itu dengan langkah cepat lantas pergi lagi.

Ter gerak pikiran Li Bok-chiu, tiba2 ia memanggil kedua pengemis itu melalui jendela loteng: "Kedua Enghiong dari Kay-pang, silakan naik ke atas sini, ada sesuatu yang ingin kuminta tolong kalian sampaikan pada pangcu perkumpulanmu."

Li Bok-chiu tahu kalau memanggil orang begitu saja pasti kedua pengemis itu tak mau gubris padanya, tapi kalau bilang ada pesan untuk pangcu mereka, sekalipun harus menghadapi bahaya betapapun besarnya pasti anak murid Kay-pang itu akan datang padanya.

Karena mendengar gurunya memanggil orang dari Kay-pang yang diduga tentu hendak ditanyai kemana dibawanya kitab "panca-bisa", tanpa tertahan lagi muka Liok Bu-siang menjadi pucat, ia insaf sekali ini kebohongannya pasti akan terbongkar.

Di sebelah sana Yali Ce juga sedang merasa heran oleh kelakuan Li Bok-chiu. ia kenal nama Kay-pang yang pengaruhnya sangat besar di daerah utara, tetapi satu Tokoh setengah umur yang biasa seperti ini ternyata bilang ada sesuatu pesan hendak disampaikan pada Pangcu mereka itu, ia menjadi tertarik untuk mengetahui macam apakah diri si To-koh ini maka ia berhenti minum araknya, ia melirik dan memperhatikan gerak-gerik orang.

Selang tak lama, naiklah kedua pengemis yang dipanggil tadi, mereka memberi hormat pada Li Bok-chiu dan menanya: "Ada pesan apakah Sian-koh, tentu akan kami sampaikan,"

Sesudah berdiri tegak, salah satu pengemis itu melihat Liok Bu-siang berada bersama juga dengan imam wanita itu, keruan saja air mukanya seketika berubah.

Kiranya pengemis ini pernah ikut mencegat Bu-siang di tengah jalan dengan beberapa kawannya berkantong tujuh itu. Karena itu, cepat ia tarik pengemis satunya, keduanya lantas melompat ke dekat tangga, dengan sebelah telapak tangan berlindung di depan dada, mereka siap buat melayani musuh.

Li Bok-chiu tersenyum melihat kelakuan kedua pengemis itu.

"Coba kalian berdua melihat punggung tanganmu," dengan suara halus ia berkata.

Berbareng kedua pengemis itu memandang balik tangan mereka, maka terlihatlah setiap telapak tangan mereka masing2 telah tercetak sebuah cap tangan yang merah darah, nyata, entah dengan cara bagaimana, tahu 2 Li Bok-chiu telah unjuk pukulan saktinya: Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti panca bisa.

Cara turun tangan Li Bok-chiu bukan saja di luar tahu kedua pengemis itu, bahkan Nyo Ko dan Yali Ce juga tidak melihatnya dengan jelas.

"Kau... kau adalah Jik-Iian-sian-cu?" teriak kedua pengemis itu berbareng sesudah terkejut sejenak.

Li Bok-chiu tidak menjawab melainkan dengan pelahan ia tuang setengah cawan araknya, ia angkat cawannya, ketika jarinya menyentil, mendadak cawan arak itu terbang ke atas, isi cawan terus mancur turun lurus ke bawah.

Ketika Bok-chiu menengadah, setengah cawan arak itu masuk semua ke mulutnya tanpa menciprat keluar setetespun, Yang lebih aneh, cawan arak yang terbang disentil itu, tahu2 menyamber balik lagi ke tangannya sesudah berputar di udara.

Ternyata tenaga menyentil yang dipakai Li Bok-chiu begitu tepat, inilah ilmu kepandaian tertinggi dari cara menimpuk senjata rahasia, meski termasuk juga ilmu dari Ko-bong-pay, tapi Nyo Ko harus malu diri karena belum bisa memadai sang Supek dan masih jauh daripada sanggup "menyentil cawan dan menenggak arak" itu.

"Nah, bilanglah pada pangcu kalian," kata Li Bok-chiu kemudian sesudah unjuk ilmu saktinya tadi "bahwa Kay-pang kalian dengan aku orang she Li selamanya "air sungai tak menggenangi air sumur", selamanya akupun mengagumi kawan2 Kay-pang yang gagah perkasa, cuma sayang tiada kesempatan untuk bertemu dan minta petunjuk sungguh hal ini harus dibuat menyesal..."

"Enak saja kata2nya itu, tetapi kenapa tanpa sebab tiada alasan kau turun tangan keji kepada kami?" demikian pikir kedua pengemis itu sambil saling pandang.

"Kalian berdua sudah kena pukulanku Ngo-tok-sin-ciang, tapi hal ini tak perlu dibuat kuatir asal kitab yang direbut itu dikembalikan, tentu akan kusembuhkan kalian berdua," kata Li Bok chiu lagi setelah berhenti sejenak.



"Kitab apa?" tanya salah satu pengemis itu.

"Kalau diceritakan kitab itupun tak laku beberapa duit, jika perkumpulan kalian berkeras tak mau kembalikan, sebenarnya pun tidak menjadi soal," demikian sahut Bok-chiu dengan tertawa, "Cuma sebagai gantinya, terpaksa kuminta bayar dengan seribu jiwa pengemis goIonganmu."

Walaupun kedua pengemis itu masih belum merasakan tangan mereka ada tanda2 aneh, tapi tiap2 Li Bok-chiu berkata, tanpa tertahan mereka pun memandang ke tangan yang terpukul itu, saking jerinya terhadap Jik-lian-sin-ciang yang maha kesohor karena kejinya itu, dalam bayangan kedua pengemis itu se-akan2 merasakan tanda merah di telapak tangan mereka peIahan2 sedang meluas.

Kini mendengar lagi Li Bok-chiu bilang hendak minta ganti seribu jiwa kawan mereka, mereka pikir tiada jalan lain kecuali lekas2 kembali melapor pada Pangcu. Maka setelah saling memberi tanda, segera mereka berlari turun ke bawah.

Nampak orang melarikan diri, Li Bok-chiu pikir: "Kalian sudah terkena aku punya pukulan maut, di jagat ini kecuali It-ting Taysu tiada lagi yang mampu mengobati, jika Pangcu kalian inginkan jiwa kalian tentu dia akan menurut dan serahkan Ngo-tok-pit-toan padaku. Tapi, nah, celaka, kalau mereka menyalin kitab itu dan kitab aslinya baru dikembalikan padaku, bukankah aku kena ditipu mentah2?"

Segera ia berpikir pula: "Memang celaka, padahal segala macam cara memunahkan racun pukulan dan senjata rahasia, semuanya sudah kutulis di dalam kitab itu dengan jelas, kalau mereka sudah dapat memiliki kitab itu, buat apa mereka datang memohon pertolonganku?"

Teringat akan itu, tanpa terasa mukanya menjadi pucat, begitu tubuhnya melesat, tahu2 ia mencelat dan menghadang di tengah tangga di depan kedua pengemis yang sedang melarikan diri itu.

Begitu kedua tangannya bekerja, susul menyusul dua kali pukulan telah paksa kedua pengemis itu balik lagi ke atas loteng.

Tindakan Li Bok-chiu ternyata cepat luat biasa, hanya terlihat bayangannya berkelebat tahu2 sebelah lengan salah satu pengemis sudah dia pegang terus ditekuk sekuatnya, maka terdengarlah suara gemelutuk, tulang lengan orang sudah patah hingga tangannya melambai ke bawah dengan lemas.

Tentu saja pengemis yang lain sangat kaget, tetapi disinilah terbukti betapa setia kawan antara kaum pengemis itu, bukannya dia melarikan diri, sebaliknya ia menubruk maju untuk melindungi kawannya yang terluka, ketika melihat Li Bok-chiu merangsak maju lagi, kontan iapun mendahului memukul.

Tak terduga, kembali tangan Li Bok-chiu bergerak pelahan, kepalan si pengemis yang memukul ini kena ditangkapnya dan sekalian pula ditekuk, maka tulang lengannya segera senasib dengan kawannya, kena dipatahkan lagi.

Hanya sekali gebrak saja kedua pengemis itu sudah dihajar Li Bok-chiu hingga luka parah, maka insaflah mereka bahwa hari ini mereka tentu celaka, namun demikian, mereka tidak menyerah mentah2, dengan punggung menempel punggung mereka berdempetan satu sama lain dan dengan sebelah tangan masing2 yang masih sehat itu siap menempur musuh.

"Kalian berdua baiknya tinggal di sini dulu, tunggu saja Pangcu kalian datang sendiri dengan membawa kitabku itu untuk tukar menukar," terdengar Li Bok-chiu berkata dengan lembut.

Melihat orang habis berkata terus kembali ke mejanya buat minum arak, malahan duduknya mungkur ke arah mereka, maka kedua pengemis itu menggeser pelahan ke tepi tangga dengan maksud kalau ada kesempatan terus hendak kabur. Tak terduga mendadak Li Bok-chu berpaling.

"Tampaknya tulang kaki kalian berdua harus dipatahkan juga, dengan begitu baru kalian kerasan tinggal di sini." katanya dengan tersenyum, sembari berkata iapun berdirilah.

"Suhu, biarlah aku, menjaga mereka, tak nanti mereka bisa kabur," tukas Ang Ling-po trba2. Rupanya ia tak tega juga melihat kekejian sang guru.

"Hm, bajik juga hatimu," jengek Li Bok-chiu, pelahan2 ia masih terus mendekati kedua pengemis itu.

Saking murkanya mata kedua pengemis itu merah berapi, mereka sudah ambil keputusan tiada jalan lain daripada adu jiwa dengan musuh.

Sejak tadi Yali Ce kakak beradik hanya menonton dengan tenang, watak mereka berdua sebenarnya sangat keras, kini tak tahan lagi, serentak mereka berdiri.

"Sam-moay, lekas kau pergi, perempuan ini terlalu lihay," dengan suara pelahan Yali Ce pesan adiknya.

"Dan kao?" tanya Yali Yen.

"Sesudah tolong kedua pengemis ini, segera aku melarikan diri," sahut Yali Ce.

Biasanya Yali Yen menjunjung sang kakak ini bagai malaikat dewata, tetapi kini mendengar orangpun nanti akan selamatkan diri dalam hati si gadis menjadi ragu-ragu.

Pada saat itulah, dengan keras mendadak Nyo Ko gebrak meja, lalu didekatnya Yali Ce.

"Yali-heng (saudara Yali), marilah kita turun tangan bersama untuk menolong orang, bagaimana?" ajak Nyo Ko.

Melihat Nyo Ko mengenakan pakaian Mongol dan mukanya sangat jelek, Yali Ce merasa belum pernah kenal orang demikian ini, ia pikir kalau orang berada bersama Wanyen Peng, tentu saja kenal siapakah dirinya.

Tetapi ilmu silat Li Bok-chiu sudah dia saksikan tadi, ia yakin tak bisa menandinginya, kalau sembarangan turun tangan, itu berarti antar jiwa belaka, oleh karena itu, seketika ia ragu2 tak menjawab ajakan Nyo Ko tadi.

Di lain pihak demi mendengar Nyo Ko membuka suara, segera Li Bok-chiu mengamat-amati si pemuda dari kepala sampai ke kaki dan sebaliknya, ia merasa lagu suara orang sudah dikenalnya entah dimana.

Akan tetapi muka orang begitu rupa, kalau pernah dikenalnya, tidak mungkin bisa melupakannya, maka dapat dipastikan memang belum pernah kenal.

"Aku tak bersenjata, terpaksa harus pinjam dulu," sementara Nyo Ko berkata lagi.

Habis itu, mendadak tubuhnya melesat cepat, ia menyerempet lewat samping Ang Ling-po, wak-tu tangannya menguIur, tahu2 kerangka pedang yang tergantung di pinggang orang sudah dia ambil malahan pipi Ang Ling-po dia kecup pula sekali.

"Ehm, wanginya!" demikian seru Nyo Ko sengaja.

Keruan Ang Ling-po sangat murka, tangannya membalik terus menggablok, namun sedikit menunduk Nyo Ko sudah hindarkan serangan itu dan menerobos pergi untuk kemudian berdiri diantara kedua pengemis itu dan Li Bok-chiu.

Tindakan dan perbuatan Nyo Ko itu dilakukan secara cepat luar bisa, keruan dalam hati Li Bok-chiu diam2 terperanjat sebaliknya Yali Ce menjadi girang.

"Siapakah she dan nama saudara yang mulia ini?" segera ia berseru menanya.

"Siaute she Nyo," sahut Nyo Ko sembari geraki tangannya, ia angkat kerangka pedang samberan dari pinggang Ang Ling-po itu dan menyambung pula: "Aku tahu isi di dalamnya adalah pedang buntung!"

Dan waktu pedang ia IoIos, betul saja pedangnya memang kutungan.

Mendadak Ang Ling-po mendusin "Anak keparat," serunya cepat. "Suhu, dia inilah yang kita cari."

Karena orang sudah kenali dirinya, Nyo Ko tak perlu maut sandiwara pula, topeng kulit yang dia pakai segera ditanggalkan.

"Supek, Suci, Tecu Nyo Ko memberi hormat," katanya segera pada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po.

Mendengar Nyo Ko panggil Supek dan Suci, bukan saja Yali Ce menjadi bingung, begitu pula Liok Bu-siang pun luar biasa kagetnya.

"He, kenapa si Tolol ini panggil mereka Supek dan Suci?" demikian Bu-siang tidak habis mengerti.

Sementara itu dengan tersenyum dingin Li Bok-chiu telah menjawab: "Em, gurumu baik2-kah?"

Mendengar Siao-liong-li ditanyakan, seketika hati Nyo Ko berduka hingga matanya pun basah.

"Gurumu sungguh pintar mengajar murid," demikian kata Li Bok-chiu pula dengan tertawa.

Kiranya kemarin setelah saling gebrak tiga jurus di tengah jalan itu, dengan tipu gerakan yang aneh Nyo Ko telah patahkan tiga kali serangan "Sam-bu-sam-put-jiu", ia telah berpikir dan tetap tak bisa meraba "dari aliran manakah tipu2 Nyo Ko itu, Oleh sebab itu ia menjadi ragu2 apakah imam kecil yang bertarung dengan dirinya itu Nyo Ko adanya? ia pikir bila betul murid sang Sumoay itu, lalu darimana bisa memiliki ilmu silat yang begitu tinggi dan aneh?



Kini setelah mendengar si Nyo Ko memanggil "Supek" dan "Suci", maka percayalah dia memang betul ialah si pemuda yang beberapa tahun yang lalu dilihatnya di kuburan kuno itu. Keruan saja diam2 ia terperanjat, pikirnya: "Sekarang saja bocah ini sudah begini lihay, apa Iagi Sumoay sendiri, lebih2 jangan ditanya betapa hebat kepandaiannya,"

Walaupun berpikir begitu, namun mukanya sedikitpun tidak mengunjukkan perasaan hatinya itu.

Namun Nye Ko sangat cerdik, ia dapat menerka apa yang orang sedang pikir, maka kembali ia memberi hormat dan berkata lagi: "Suhu suruh aku menjampaikan salam pada Supek!"

"O, dimanakah dia?" tanya Li Bok-chio, "Kami berdua sudah lama tak berjumpa."

"Suhu berada di sekitar sini saja, tak lama tentu beliau akan datang menemui Supek," sahut -Nyo Ko.

Nyata pemuda ini tahu dirinya jauh bukan tandingan Li Bok-chiu, sekalipun ditambah dengan Yali Ce masih sukar memperoleh kemenangan maka ia sengaja pakai akal "gertak sumber, ia coba tonjolkan gurunya - Siao-liong-li - untuk menakuti orang.

"Aku lagi berurusan dengan murid sendiri, sangkut paut apa dengan gurumu?" demikian kata Li Bok-chiu, Dari lagu suaranya ini nyata ia rada miring terhadap Siao-Iiong-li.

"Tetapi Suhu ingin minta kemurahan hati Supek agar suka ampuni Sumoay (maksudnya Liok Bu-siang) saja," kata Nyo Ko.

"Huh, kau telah main gila dan melakukan perbuatan terkutuk seperti binatang dengan gurumu sendiri, kini kau masih panggil dia Suhu terus menerus di hadapan orang banyak, sungguh tidak tahu malu?" ejek Li Bok-chiu tiba2 dengan tertawa.

Tiba2 Li Bok-chiu merobah gerakan, badannya mencelat naik kaki kirinya menginjak mulut cangkir, berbareng kebutnya menyapu ke belakang, katanya menggoda : "Apakah gendakmu tidak ajarkan jurus ini kepadamu?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar