Dengan penuh hormat Djik Hong
menjuguhkan tiga tjawan arak kepada Tik Hun dan diminum habis oleh ‘Sinshe’
itu. Tiba-tiba perasaannja pilu hingga matanja memberambang, ia tahu bila
tinggal lebih lama disitu mungkin air matanja bisa lantas menetes, hal mana
tentu akan mengakibatkan rahasianja terbongkar.
Maka tjepat ia berbangkit dan
berkata: “Sudahlah tjukup, terima kasih atas suguhanmu, sekarang aku permisi
untuk pergi dan selandjutnja takkan datang lagi.”
Djik Hong agak heran oleh
utjapan tabib kelilingan jang tidak genah itu. Tapi karena potongan sang tabib
memang agak lutju, maka iapun tidak ambil perhatian, segera didjawabnja: “Ai,
mengapa Sinshe ter-buru2 sadja? Atas budi pertolonganmu itu, kami tidak dapat
membalas apa-apa, di sini ada seratus tahil perak, harap Sinshe suka terima
sekedar sangu dalam perdjalanan. ” ~ sembari berkata iapun mengangsurkan
sebungkus uang perak dengan penuh hormat.
Mendadak Tik Hun menengadah
dan ter-bahak2 tawa, katanja: “Akulah jang telah menolong dia, akulah jang
telah menghidupkan dia! Sungguh lutju, akulah jang telah menghidupkan dia!
Apakah didunia ini ada orang jang lebih goblok dari diriku?”
Dan meski dia bergelak tertawa
dengan menengadah, tapi tanpa merasa air matanja djuga berlinang-linang.
Keruan Djik Hong dan Go Him
saling pandang dengan bingung melihat kelakuan ‘Sinshe’ jang setengah sinting
itu.
Sebaliknja si dara tjilik
Khong-sim-djay lantas berteriak-teriak: “Heee, Sinshe menangis, Sinshe
menangis!”.
Tik Hun menjadi terkedjut, ia
tahu telah ditjurigai orang, ia kuatir rahasianja akan ketahuan, maka ia tidak
berani bitjara lagi dengan Djik Hong, hanja dalam hati ia berkata: “Sejak ini
aku takkan bertemu lagi dengan kau”.
Diam-diam ia mengeluarkan
kitab kuna jang didalamnja terselip pola sulaman sepatu jang diketemukan di
dalam gua dengan Wan-leng tempo hari, ketika orang tidak memperhatikan,
pelahan2 ia taruh kitab itu diatas kursi, lalu tanpa memandang lagi kepada Djik
Hong ia lantas mohon diri dan tinggal pergi.
“Go-sute, harap engkau
hantarkan Sinshe.” Kata Djik Hong.
Go Him mengiakan, lalu
mengikut dibelakang Tik Hun.
Sambil masih memegangi
bungkusan uang perak tadi, hati Djik Hong ber-debar2 tak keruan. Pikirnja:
“Siapakah sebenarnja Sinshe itu tadi? Mengapa suara tertawanja mirip benar
dengan orang itu? Ai, entah mengapa, meski djiwa Ban-long dalam keadaan bahaja,
tapi pikiranku selalu menjeleweng dan memikirkan dia sadja, ai, dia……dia
entah……”
Begitulah ia menjadi
ter-menung2 sendiri, ia taruh bungkusan uang perak itu di atas medja, dengan
tumpang dagu ia berduduk pula di atas kursi.
Kebetulan kursi jang
didudukinja sekarang adalah kursi jang bekas diduduki Tik Hun tadi. Ketika
mendadak merasa menduduki sesuatu benda, Djik Hong berbangkit lagi dan
memeriksanja, maka lantas tertampaklah sedjilid kitab kuna jang sudah
ke-kuning2an.
Se-konjong2 Djik Hong berseru
tertahan sekali, tjepat ia djemput kitab itu dan mem-balik2 halamannja, segera
terdjatuh keluar dari kitab itu sehelai pola sepatu, ia kenal itu adalah buah
tangannja waktu masih tinggal dirumah dibarat Ouw-lam sana.
Ia ternganga sambil memegang
kitab dan pola itu, kedua tangannja gemetar. Ketika ia mem-balik2 lagi kitab
itu, kembali diketemukannja sepasang kupu2 guntingan dari kertas, seketika
terbajanglah waktu berduaan dengan Tik Hun duduk berdjadjar di dalam gua,
dimana ia telah menggunting kupu2 kertas itu.
Tanpa terasa ia berseru
tertahan pula, katanja didalam hati: “He, dari……… dari manakah kitab ini?
Sia…..siapakah jang membawanja kesini? Djangan2 Sinshe itu tadi?”.
Melihat sikap ibunja agak
aneh, si dara tjilik Khong-sim-jay menjadi takut, ber-ulang2 ia memanggil:
“Mak, mak, ken…kenapakah kau?”
Djik Hong terkejut oleh seruan
anaknja ini, tapi tjepat ia masukkan kitab itu kedalam badjunja sambil berlari
keluar rumah setjepat terbang.
Sedjak ia mendjadi anak menantu
keluarga Ban, hidupnja selalu lemah-lembut halus sopan, tidak pernah ia berlari
kesetanan seperti itu. Keruan kaum hamba dan dajang keluarga Ban menjadi
ter-heran2 melihat njonja muda mereka berlari tjepat dengan Ginkang sekaligus
dari ruangan dalam terus menjusur Tjimtjhe terus keluar rumah.
Waktu sampai dipelataran
depan, kebetulan Djik Hong melihat Go Him telah masuk kembali, maka tjepat ia
tanja: “Dimanakah Sinshe itu?”
“Orang itu sangat aneh, tanpa
bitjara apa-apa ia sudah pergi”, sahut Go Him, “Suso, ada urusan apakah kau
mentjarinja lagi? Apakah keadaan Suko berubah buruk?”
“Tidak, tidak”, sahut Djik
Hong sambil memburu keluar pintu, ia menengok kesana dan mengintai kesitu, tapi
bajangan tabib kelilingan itu sudah tak tertampak lagi.
Djik Hong ter-longong2
sedjenak diluar pintu, kembali ia mengeluarkan kitab kuna tadi, dan setiap kali
melihat pola sepatu dan kupu2 kertas itu, seketika timbul pula pemandangan2
gembira ria dimasa mudanja. Bajangan2 itu bagaikan air bah membandjir kedalam
benaknja hingga tanpa merasa air matanja bertjutjuran.
Mendadak ia berubah pikiran:
“Mengapa aku begitu bodoh? Bukankah barusan Ban-long ikut kong-kong dan lain2
pergi ke Wan-leng untuk mentjari Gian-susiok, boleh jadi tanpa sengadja mereka
telah masuk kedalam gua dan disanalah kita ini telah diketemukan, lalu sekalian
ada jang membawa pulang kitab ini. Memangnja Sinshe jang tidak terkenal itu ada
hubungan apa dengan kitab ini?”.
Tapi lantas datang pikiran
lain pula: “Ah, tidak, tidak, tidak! Masakah mungkin terjadi setjara begitu
kebetulan? Gua itu letaknja sangat rahasia, sekalipun ajahku juga tidak tahu,
masakah Ban-long dan rombongannja dapat menemukannja? Tujuan mereka adalah mentjari
Gian-supek, manabisa mereka kesasar kedalam gua rahasia itu? Tadi waktu aku
membersihkan medja kursi perjamuan, sudah terang keempat kursi itu aku melapnja
hingga bersih, tidak mungkin ada sedjilid kitab seperti ini. Dan kitab ini
kalau bukan tabib itu jang membawanja, habis darimanakah datangnja?”
Begitulah dengan penuh tjuriga
dan sangsi pelahan2 ia kembali ke kamarnja. Dilihatnja sehabis dibubuhi obat
tadi, semangat Ban Ka sudah banjak lebih baik, sakitnja djuga mulai hilang.
Sambil memegangi kitab itu,
sebenarnja Djik Hong bermaksud menanja sang suami, tapi lantas terpikir
olehnja: “Lebih baik aku djangan ter-buru2 tjari keterangan dulu, djangan2
tabib itu……tabib itu adalah……………..”
Dalam pada itu terdengar Ban
Ka sedang bitjara padanja: “Hong-moay, Sinshe itu benar2 adalah tuan penolong
djiwaku, kita harus memberi penghargaan se-tinggi2nja kepadanja”
“Ja, aku tadi telah
menghadiahkan dia seratus tahil perak, tapi dia djustru tidak mau terima meski
kupaksa”, tutur Djik Hong, “Ai, benar2 seorang kangouw jang aneh, seorang jang
berbudi. Obat penawar itu…………………… he, dimanakah botol obat itu tadi? Apakah kau
simpan di dalam latji medja?”
Tadi waktu Djik Hong mau
keluar untuk melayani “Shinshe” jang akan didjamunja itu, ia ingat betul botol
obat itu ditaruhnja di atas medja di depan randjang Ban Ka, tapi kini sudah
hilang.
Maka Ban Ka telah mendjawab:
“Tidak, aku tidak menjimpannja, bukankah tadi kau taruh diatas medja?”
Tapi meski Djik Hong sudah
mentjari kian kemari diseluruh kamar itu, tetap botol obat itu tidak kelihatan.
Keruan ia sangat gelisah dan tjemas, pikirnja: “Djangan2 karena pikiranku tadi
lagi bingung, maka obat itu kubawa serta sambil lari keluar dan jatuh? Tapi,
ah, tidak bisa, aku ingat betul2 botol obat itu kutaruh di atas medja, didekat
mangkok obat itu”.
Ban Ka juga sangat gugup,
katanja: “Le……lekas kau mentjari lagi, masakah bisa hilang? Sungguh aneh. Tadi
aku hanja terpulas sebentar dan masih ingat benar2 botol obat itu tertaruh di
atas meja.”
Mendengar itu Djik Hong
bertambah kuatir, segera ia keluar kamar, ia tjoba tarik puterinja dan tanja
padanja: “Khong-sim-djay, tadi waktu ibu keluar, adakah siapa2 jang masuk ke
kamar?”
“Ada, Go-sioksiok tadi datang,
ketika melihat ajah tidur, ia lantas keluar lagi”, tutur si dara tjilik.
Djik Hong menghela napas lega
mendapat keterangan itu, lapat2 ia merasa ada sesuatu jang tidak beres. Tapi
Ban Ka sedang sakit, apapun jang terjadi tidak perlu dia ikut tahu hingga ikut
menanggung kuatir. Maka katanja kepada Khong-sim-djay: “Anak baik, kau temani
ajah di dalam kamar, ja, kalau ajah tanjakan ibu, bilanglah ibu lagi menyusul
Sinshe untuk minta obat bagi ajah”.
Sidara tjilik memanggut dan
menjahut: “Ja, mak, kau lekas pulang, ja!”
Dan sesudah tenangkan diri,
pelahan-lahan Djik Hong membuka latji medja Ban Ka, ia ambil sebilah belati dan
diselipkan dipinggang dalam badju, kemudian ia turun ke bawah loteng. Pikirnja:
“Keparat Go Him itu, bila bertemu aku ditempat sepi, selalu ia tjengar-tjengir
padaku dengan maksud tidak baik. Tabib tadi itu adalah dia jang mengundang,
djangan2 dia bersekongkol dengan tabib itu dan telah mengatur tipu muslihat
kedji apa2”.
Begitulah sambil memikir ia
bertindak ketaman dibelakang rumah. Sampai diserambi samping, dilihatnja Go Him
sedang ter-menung2 memandangi ikan mas di empang sambil bersandar lankan.
“Go-sute”, segera Djik Hong
menegur, “lagi berbuat apa engkau di sini seorang diri”.
Ketika berpaling dan melihat
penegur itu adalah Djik Hong, seketika muka Go Him berseri-seri, sahutnja:
“Kukira siapa, tak tahunja adalah Suso. Engkau mengapa tidak mendjaga Suko di
atas loteng, tapi masih punja tempo luang untuk djalan2 kesini?”
“Ai, aku merasa sangat kesal,”
sahut Djik Hong sambil menghela napas, “Setiap hari selalu mendampingi orang
sakit, dan semakin tangan Suko-mu kesakitan, perangainja djuga bertambah kasar.
Maka aku perlu keluar untuk djalan2 menghibur hati dan lara”.
Mendengar jawaban itu, sungguh
girang Go Him melebihi orang dapat ‘buntut’, dengan tjengar-tjengir segera ia
membumbui: “Ja, memang, engkau memang perlu istirahat dan menghibur diri.
Sebenarnja Suko djuga keterlaluan, punja isteri tjantik sebagai engkau masih
kurang terima, tapi malah suka mengamuk sadja, sungguh keterlaluan”.
Djik Hong mendekati orang dan
bersandar juga di atas lankan untuk memandangi ikan mas jang lagi berenang kian
kemari dengan bebas ditengah empang itu, lalu sahutnja dengan tertawa: “Ah,
Suso-mu ini sudah tua, masakah masih dikatakan tjantik apa segala, bukankah
akan dibuat tertawa orang?”
“He, mana bisa, mana bisa”,
tjepat Go Him berkata, “Suso benar-benar sangat tjantik. Diwaktu masih gadis
engkau mempunjai ketjantikan seorang gadis, sesudah menjadi Siaunaynay (nyonja
muda) juga tetap mempunjai ketjantikan sebagai Siaunaynay. Tanjakan saja
diseluruh kota Heng-tjiu ini, siapa orangnja jang tidak mengatakan bahwa bunga
tertjantik adalah tertanam dikeluarga Ban”.
Sampai disini mendadak Djik
Hong memutar tubuh dan mengangsurkan tangannja sambil berkata: “Mana, serahkan
sini”.
“Serahkan apa?”, tanja Go Him
dengan tertawa.
“Obat penawar itu”, kata Djik
Hong dengan muka membesi.
“Obat penawar apa? Entah, aku
tidak tahu, apakah kau maksudkan obat penawar untuk luka Ban-suko itu?,”
demikian Go Him berlaga pilon.
“Benar!”, sahut Djik Hong
tegas. “Sudah terang kau jang mengambilnja”.
Go Him tertawa litjik,
sahutnja: “Tabib itu adalah aku jang mengundangkan, obat penawar adalah aku
jang mengusahakan. Kini Ban-suko dibubuhi satu kali, paling tidak ia akan
terhindar dari penderitaan untuk beberapa hari”.
“Tapi Sinshe itu bilang obat
itu harus dibubuhkan ber-turut2 sepuluh kali”, kata Djik Hong.
“Ja, aku sungguh menjesal,
sungguh aku menjesal”, tiba-tiba Go Him gojang2 kepala.
“Menjesal tentang apa?”, tanja
Djik Hong
“Semula aku menjangka tabib
kelilingan jang dekil seperti itu masakah mempunjai kepandaian apa2, maka aku
mau mengundang dia ke atas loteng, tudjuanku sebenarnja adalah ingin mentjari
kesempatan untuk melihat Suso, siapa duga, eh, keparat itu benar2 mempunjai
obat mudjarab untuk menjembuhkan ratjun disengat ketungging. Sudah tentu, sudah
tentu, hal itu sangat bertentangan dengan maksud tudjuanku”, demikian tutur Go
Him.
Sungguh gusar Djik Hong tak
terkatakan oleh tjerita orang itu, tapi obat penawar jang ditjarinja itu masih
ditangan orang, ia harus bersabar untuk mendapatkan obatnja, habis itu baru
akan membikin perhitungan dengan manusia rendah itu.
Maka dengan tertawa ia
mendjawab: “Habis kalau menurut kau, tjara bagaimanakah kau mengharapkan balas
djasa dari Sukomu agar engkau mau menjerahkan obat penawar itu?”
Tiba2 Go Him menghela napas,
sahutnja: Sam-suko sendiri sudah menikmati kebahagiaan selama beberapa tahun
ini, kalau sekarang dia harus mati juga pantas rasanja”.
Air muka Djik Hong berubah seketika,
tapi sedapat mungkin ia menahan perasaannja, dengan menggigit bibir ia diam
saja.
Maka Go Him berkata pula:
“Waktu kau datang ke Heng-tjiu untuk pertama kalinja, diantara kami berdelapan
saudara seperguruan, siapakah orangnja jang tidak kesengsem padamu? Dan kami
mendjadi penasaran melihat sitolol Tik Hun itu siang malam senantiasa
mendampingi engkau, maka kami be-ramai2 lantas berkomplot untuk menghadjarnja
hingga babak belur………………….”
“He, kiranja kalian menghadjar
Sukoku itu malahan adalah disebabkan diriku?” kata Djik Hong.
“Ja, memang”, sahut Go Him,
“Dan untuk menghadjarnja sudah tentu harus ditjari alasan. Maka kami sengadja
menuduh dia suka menondjolkan diri buat bertempur dengan bandit Lu Thong hingga
membikin malu kami jang menjadi anak murid keluarga Ban jang berkepentingan.
Padahal tujuan kami adalah demi dirimu. Suso! Habis, kau menambalkan badjunja,
mengajak bitjara padanja dengan mesra, tentu sadja kami ‘minum tjuka’!”.
Diam-diam Djik Hong terkesiap
oleh tjerita itu, pikirnja: “Apa benar peristiwa itu adalah gara2 diriku? Ai,
Ban-long, mengapa selama ini kau tidak pernah mengatakan hal ini kepadaku?”.
Tapi ia masih pura2 tidak
paham dan berkata pula dengan tertawa: “Ai, Go-sute, engkau ini memang pintar
berkelakar. Padahal waktu itu aku aku adalah seorang gadis desa, seorang nona
jang ke-tolol2an, dandananku djuga mentertawakan orang, apanja sih jang menarik?”
“Tidak, tidak”, ujar Go Him.
“Orang tjantik tulen djusteru tidak perlu berdandan atau bersolek segala. Suso,
bila bukan karena kesemsem padamu, tentu tidak sampai …………” ~ berkata sampai di
sini mendadak ia berhenti dan tidak meneruskan lagi.
“Apa lagi”, tanja Djik Hong
“Setelah kami dapat menahan
kau dirumah keluarga Ban ini, untuk mana aku orang she Go juga tidak sedikit
mengeluarkan tenaga,” kata Go Him pula, “akan tetapi, Suso, setiap kali kau
bertemu muka dengan aku selalu bersikap dingin2 saja, tersenjum sekali sadja
padaku juga tidak pernah, tjoba, apakah hal itu tidak membikin hatiku mendjadi
panas”.
“Tjis”, semprot Djik Hong
dengan tertawa, “Aku tinggal dirumah keluarga Ban, lalu aku menikah pada
Suko-mu, semuanja itu adalah aku sendiri jang sukarela, tenaga apa jang pernah
kau korbankan dalam urusan itu? Toh waktu itu kau tidak ikut membudjuk padaku
apa segala, ai, kenapa kau sembarangan omong sadja?”
“Meng…………….. mengapa aku tidak
korbankan tenaga?” bantah Go Him, “Tjuma saja engkau sendiri jang tidak tahu.”
Djik Hong tambah tjuriga,
segera katanja dengan membudjuk: “Sute jang baik, tjoba katakanlah sebenarnja
kau ikut mengorbankan tenaga apa, tentu Susomu ini takkan melupakan djasamu
itu?”
Go Him meng-gojang2 kepala,
katanja kemudian: “Urusan itu sudah lama lalu, buat apa di-ungkat2 lagi?
Andaikan kau mengetahui djuga tiada gunanja”.
“Ja, sudahlah, djika kau tidak
mau menerangkan, akupun tidak memaksa”, kata Djik Hong. “Nah, Go-sute, lekaslah
serahkan obat penawar itu padaku, kita berada berduaan disini djangan2 akan
dipergoki orang dan akan menimbulkan sangkaan djelek”.
“Kalau siang hari memang
kuatir dipergoki orang, tapi kalau malam hari tentu tidak kuatir lagi”, ujar Go
Him sambil tertawa.
“Apa katamu”, bentak Djik Hong
tertahan dengan muka membeku sambil mundur setindak.
Tapi dengan menjengir Go Him
berkata pula: “Djika kau ingin menjembuhkan penjakit Ban-suko, hal ini tidak
sulit asalkan nanti tengah malam kau datang ke gudang kaju sana, aku akan
menunggu engkau di sana, Djika kau mau menurut pada keinginanku itu, aku lantas
memberikan kadar obat jang tjukup untuk dibubuhkan satu kali diluka Ban-suko”.
“Andjing keparat, kau berani
omong begitu, apa kau tidak takut ditjintjang oleh Suhumu?” damperat Djik Hong
dengan gemas.
“Memangnja aku sudah siap
untuk korbankan djiwaku ini, tegasnja aku sudah nekat,” sahut Go Him. “Padahal
Ban Ka sibotjah apek itu apanja sih jang dapat menangkan aku? Soalnja ia adalah
putera Suhu sendiri, hanja itu sadja. Padahal semua orang toh ikut keluarkan
tenaga, mengapa mesti dia sendiri jang menikmati wanita tjantik sebagai engkau
ini?”
Djik Hong semakin tjuriga
mendengar Go Him berulang-ulang mengatakan ‘mengeluarkan tenaga’. Tapi karena
Go Him lantas menghambur dengan kata2 makian kotor, ia benar2 tidak tahan lagi,
maka katanja segera: “Kau mengatjo-belo tak keruan, sebentar djika Kongkong
pulang, biar akan kulaporkan padanja, lihat sadja kalau dia tak membeset
kulitmu”.
“Ha-ha, aku djusteru ingin
tjoba,” sahut Go Him dengan mendjengek. “Aku akan tunggu disini, asal Suhu
memanggil aku, segera aku menuang isi botol ini untuk umpan ikan di dalam
empang. Tadi aku sudah tanja tabib itu tentang obat penawar ini, dia bilang,
obat ini hanja tinggal sebotol, untuk membuatnja lagi sedikitnja akan makan
tempo setahun atau dua tahun.”
Sambil berkata ia terus
mengeluarkan botol porselen itu, ia tarik sumbat botol dan didjulurkan keatas
empang, asal tangannja sedikit miring, seketika obat penawar didalam botol itu
akan tertuang kedalam empang, dan itu berarti djiwa Ban Ka takkan tertolong
pula.
Keruan Djik Hong mendjadi
kuatir, tjepat serunja: “He, he! Djangan, djangan! Lekas kau simpan kembali
obat itu, kita masih dapat berunding lagi”.
“Apa jang perlu dirundingkan
lagi?”, ujar Go Him dengan tersenjum iblis. “Djika kau ingin menolong djiwa
suamimu, maka kau harus menurut apa jang kukatakan.”
“Ja, pabila memang betul
dahulu kau menaruh hati padaku dan pernah mengeluarkan tenaga demi diriku,
maka……………. mungkin aku akan…………. Tapi, ah, tidak bisa djadi, aku tidak
pertjaja”, demikian Djik Hong sengadja berkata.
“He, hal itu sungguh2 seribu
kali sungguh2, sedikitpun bukan omong kosong,” tjepat Go Him menegaskan.
“Malahan itu adalah tipu-akalnja Samsute, dia suruh Tjiu Kin dan Bok Heng
menjamar sebagai Djay-hoa-tjat untuk memantjing sitolol Tik Hun kekamarnja si
Mirah. Dan orang jang menaruhkan emas-intan dibawah randjang Tik Hun itu tak
lain tak bukan adalah aku Go Him sendiri. Tjoba, Suso, Djika kami tidak
menggunakan akal itu, masakah kami dapat menahan engkau untuk tinggal dirumah
keluarga Ban ini?”
Seketika Djik Hong merasa
kepalanja pening dan pandangannja menjadi gelap. Utjapan Go Him itu mirip
sebilah belati jang menikam ulu-hatinja. Tanpa merasa ia menjerit tertahan:
“Oh, Allah! Djadi aku telah keliru mendakwa dia, aku salah menuduh dia jang
sebenarnja tidak berdosa!”.
Sesaat itu Djik Hong agak sempojongan,
untung ia masih sempat memegangi lankan.
Sebaliknja Go Him sangat
senang, katanja pula dengan suara lirih: “Suso, apa jang kukatakan ini
sungguh2, lho! Dan djangan kau katakan kepada orang lain. Kami berdelapan
saudara sudah bersumpah bahwa siapapun tidak boleh membotjorkan rahasia ini
kepada orang lain”.
Mendadak Djik Hong menjerit
sekali, ia terus berlari pergi, ia mendorong pintu taman belakang terus berlari
keluar dengan tjepat.
Dan Go Him masih berseru
padanja: “He, kemanakah kau, Suso? Tengah malam nanti djangan lupa, ya!”.
********
Setelah keluar dari pintu
belakang, Djik Hong terus menuju ketempat jang sepi dari orang, sesudah
menjusur beberapa kebun sajur, akhirnja dilihatnja di arah barat sana ada
sebuah Su-theng (rumah berhala pemudjaan leluhur) ketjil jang tak terawat,
pintu rumah berhala itu setengah tertutup, segera ia mendorong pintu itu dan
masuk kesitu.
Maksud Djik Hong adalah ingin
mentjari suatu tempat jang sunji agar dia dapat memikirkan setjara tenang
bahwasanja: “Tik Hun dipitenah orang atau bukan? Kitab kuna bekas miliknja itu
darimanakah datangnja? Tjara bagaimana menghadapi Go Him jang bermaksud djahat
dengan memperalat obat penawar penjambung njawa suaminja itu? Dan bagaimana
sebenarnja dengan diri Ban-long sang suami?
Begitulah Djik Hong bersandar
disebatang pohon waru jang besar, sampai lama dan lama sekali tetap ia tak
dapat menarik kesimpulan dan mengambil keputusan.
Se-konjong2 terdengar suara
kelotak-kelotek orang berdjalan dari dalam Su-theng itu tahu2 muntjul
seseorang. Itulah seorang wanita setengah umur dengan rambutnja jang pandjang
kusut terurai tak keruan, badjunja rombeng dan dekil sekali.
Melihat Djik Hong, wanita
dekil itu tampak agak takut2, dengan menjisir pelahan2 ia menjelinap masuk
kedalam rumah berhala itu. Dan baru ia melangkah masuk keruangan dalam, kembali
ia menoleh memandang sekedjap lagi pada Djik Hong, rupanja sekali ini ia dapat
mengenali siapa Djik Hong, tanpa terasa ia mendjerit kaget.
Waktu Djik Hong memandangnja
hingga sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa kuasa lagi wanita itu mendadak
berlutut serta memohon padanja: “Siau-naynay (njonja muda), ha……..harap djangan
kau ka……..katakan aku berada di……disini.”
Keruan Djik Hong heran sebab
ia merasa tidak kenal wanita dekil itu, ia tanja: “Siapakah kau? Untuk apa kau
berada disini?”
“O, ti……tidak apa2, aku ……aku
adalah seorang pengemis,” sahut wanita itu dengan gelagapan, habis itu, ia
lantas berbangkit dan masuk keruangan dalam dengan langkah tjepat.
Pikiran Djik Hong tergerak
oleh tingkah-laku wanita kotor jang tidak dikenal itu, ia merasa ada sesuatu
jang tidak beres atas wanita itu. Tapi lantas berpikir pula olehnja: “Ah, aku
sendiri sudah tjukup kesal menghadapi matjam2 urusan, buat apa ikut tjampur
urusan orang lain lagi?”
Lalu ia membatin. “Keparat Go
Him itu mengatakan tjara mereka mempitenah Tik-suko, hal itu pastilah betul dan
bukan omong ksosong, lantas kitab itu ……kitab itu ……..”
Berpikir sampai disini tanpa
merasa ia pegang dahan pohon waru disampingnja dan digojangkan pelahan hingga
daun waru kering djatuh berserakan.
Pada saat itulah ia dengar
suara orang berlari, kiranja siwanita dekil tadi telah merat melalui pintu
belakang Su-theng itu.
Djik Hong semakin heran,
pikirnja: “Entah mengapa wanita ini demikian takutnja padaku ………Ha, teringatlah
aku, dia…….dia adalah Tho Ang, si Mirah ……..”
Demi mengenali si Mirah itu,
dengan tjepat Djik Hong lantas memburu kepintu belakang sana, segera ia tjabut
belatinja sambil membentak: “Tho Ang, kau berbuat apa setjara sembunji2
disini?”
Memang wanita dekil itu betul
adalah Tho Ang alias si Mirah, itu gundiknja Ban Tjin-san dahulu jang katanja
bergendakan dengan Tik Hun dan tertangkap basah itu.
Ketika namanja dipanggil Djik
Hong, memangnja si Mirah sudah gugup, apalagi melihat njonja muda itu menghunus
belati lagi, keruan ia ketakutan setengah mati, dengan gemetar ia berlutut pula
sambil memohon: “Siau…….Siau-naynay, am…….. ampunilah aku!”
Djik Hong sangat heran oleh
kelakuan wanita itu. Sedjak dia tinggal didalam keluarga Ban, ia hanja bertemu
beberapa kali dengan Tho Ang, tidak lama kemudian lantas tidak pernah bertemu
pula. Apalagi setiap kali bila teringat kedjadian Tik Hun hendak kabur bersama
si Mirah itu, rasa hatinja mendjadi seperti di-sajat2, lantaran itulah maka
menghilangnja Tho Ang itupun tidak pernah digubrisnja. Siapa duga wanita bedjat
itu ternjata sembunji didalam Su-theng atau rumah berhala bobrok ini.
Su-theng ini djaraknja tidak
djauh dari rumah keluarga Ban, tapi sedjak Djik Hong mendjadi njonja mantu,
penghidupan jang dia tuntut sudah berbeda daripada waktu perawan hidup
dikampung halamannja sana, ia tidak pernah kelujuran diluaran lagi, walaupun
sering djuga keadaan Su-theng bobrok itu dilihat olehnja dari djauh, tapi belum
pernah ia memasukinja.
Keadaan Tho Ang sekarang djuga
tak keruan, rambutnja kusut masai, mukanja kurus putjat, hanja beberapa tahun
tidak berdjumpa tampaknja malah sudah lebih tua beberapa puluh tahun, makanja
Djik Hong pangling. Tjuma Tho Ang sendiri jang ketakutan hingga menimbulkan
tjuriga Djik Hong dan sesudah di-pikir2, achirnja teringat djuga olehnja diri
si Mirah itu. Tjoba kalau Tho Ang tinggal pergi pelahan2 seperti tidak terdjadi
apa2, sedang Djik Hong sendiri lagi kusut pikirannja tentu dia takkan
diperhatikan.
Begitulah Djik Hong lantas
geraki belatinja sambil mengantjam: “Apa jang kau lakukan dengan sembunji2
disini? Hajo lekas mengaku terus terang!”
“Aku ti……tidak berbuat apa2,”
sahut Thoa Ang dengan ketakutan. “Siaunaynay, aku ……aku telah diusir oleh Loya,
beliau mengatakan bila kepergok aku masih berada di Hengtjiu sini, tentu aku
…….aku akan dibunuh olehnja, akan tetapi……akan tetapi aku tiada mempunjai
tempat lain lagi, terpaksa……terpaksa sembunji disini untuk tjari hidup dengan
minta2 sesuap nasi. Siau……..Siaunaynay, selain Hengtjiu, aku tidak tahu kemana
aku harus pergi? Maka sukalah……sukalah Siaunaynay berbuat badjik,
djangan……djanganlah katakan pada Loya tentang diriku.”
Mendengar ratapan orang jang
tjukup kasihan itu, Djik Hong lantas simpan kembali belatinja. Katanja
kemudian: “Sebab apa kau diusir Loya? Mengapa aku tidak tahu?”
“Akupun tidak……..tidak tahu
sebab apa mendadak Loya tidak suka padaku lagi,” tutur Tho Ang. “Padahal Tik…….urusan
orang she Tik itu bukanlah salahku. Ai, tidak……..tidak seharusnja aku
bertjerita tentang ini.”
“Kau tidak mau bertjerita
djuga boleh, sekarang djuga kuseret kau pergi menemui Loya,” antjam Djik Hong
sambil djambret lengan badju si Mirah.
Keruan si Mirah ketakutan,
dengan gemetar ia berkata: “Aku …….aku akan bertjerita! Siaunaynay, apa jang
kau ingin tahu?”
“Tjeritakan tentang
orang…….orang she Tik itu, sebenarnja bagaimana duduknja perkara? Sebab apakah
kau hendak kabur bersama dia?” demikian kata Djik Hong.
Saking takut dan gugupnja
hingga Tho Ang ternganga dan terbelalak tanpa bisa bitjara.
Dengan mata tak berkesip Djik
Hong pandang lekat2 wanita itu, rasa takut dalam hatinja mungkin berpuluh kali
lebih hebat daripada si Mirah. Jang ditakutkan adalah tjerita si Mirah,
djangan2 tjerita itu akan menjatakan bahwa: Waktu itu memang benar Tik Hun
telah memperkosanja.
Tapi karena sesaat itu Tho Ang
tidak dapat bitjara, maka wadjah Djik Hong mendjadi putjat lesi, djantungnja
se-akan2 berhenti berdenjut, saking tegangnja.
Achirnja, mengakulah Tho Ang:
“Kedjadian itu bukan……..bukan salahku, Siauya (tuan muda) jang suruh aku
berbuat begitu, suruh aku peluk orang she Tik itu se-kentjang2nja serta menuduh
dia hendak memperkosa diriku dan membudjuk aku agar kabur bersama. Hal ini
telah kututurkan kepada Loya, sebenarnja Loya toh pertjaja djuga, tapi…….tapi
achirnja tetap beliau mengusir aku.”
Sungguh Djik Hong merasa
sangat terima kasih dan berduka, merasa penasaran dan merasa kasihan. Dalam
hati ia meratap: “O, Suko, djadi akulah jang telah salah sangka djelek padamu,
seharusnja aku mengetahui hatimu jang sutji murni, tapi toh aku telah menjangka
djelek dan membikin susah padamu!”
Begitulah ia tidak dendam pada
Tho Ang, sebaliknja ia malah agak berterima kasih, untunglah wanita itu jang
telah membuka ikatan hatinja jang tertekan selama ini. Didalam rasa duka dan
pedihnja itu tiba2 terasa pula sematjam rasa manis diantara rasa pahit getir.
Meski selama ini ia telah mendjadi isterinja Ban Ka, tetapi orang jang benar2
ditjintainja didalam lubuk hatinja selalu hanja seorang jaitu Tik Hun.
Sekalipun sang Suko itu mendadak berubah pikiran, sekalipun djiwanja ternjata
kotor dan rendah, biarpun seribu kali pemuda itu berbuat salah, seribu kali
berhati palsu, tapi hanja dia, ja hanja dia, tetap dia seoranglah jang selalu
dikenangkan dan dirindukan oleh Djik Hong.
Mendadak segala rasa bentji
dan dendam telah berubah mendjadi sesal dan duka pada diri sendiri, pikirnja:
“Pabila sedjak dulu aku tahu duduknja perkara, sekalipun menghadapi bahaja
apapun djuga pasti akan kutolong dia keluar dari pendjara. Tapi dia telah
menderita sehebat itu, entah tjara bagaimana dia akan pikir atas ………atas diriku?”
Melihat Djik Hong diam sadja,
Tho Ang tjoba melirik njonja muda itu, lalu katanja dengan suara gemetar:
“Siaunaynay, banjak terima kasih pabila sudi membiarkan aku pergi, aku akan
……….akan tinggalkan Hengtjiu ini dan takkan kembali kesini untuk selamanja.”
Djik Hong menghela napas,
katanja kemudian: “Ah, sebab apakah Loya mengusir kau? Apa kuatir aku
mengetahui duduknja perkara itu? Tetapi, hai mungkin sudah takdir ilahi,
setjara kebetulan harini aku telah pergoki kau disini.”
Habis berkata iapun lepaskan
pegangannja pada lengan badju orang. Mestinja ia ingin memberikan persen
sedikit uang perak, tapi ia keluar setjara buru2 hingga pada sakunja tidak
terdapat apa2.
Melihat Djik Hong sudah
melepaskan dirinja, kuatir akan terdjadi apa2 lagi, buru2 Tho Ang melangkah
pergi, tapi mulutnja masih menggumam: “Habis, di waktu malam Loya tentu ketemu
setan, tentu memasang tembok, mengapa aku jang disalahkan? Toh bukan aku jang
sembarangan omong.”
Mendengar itu, tjepat Djik
Hong memburu madju dan bertanja: “Kau omong apa? Melihat setan dan pasang
tembok apa katamu?”
Tho Ang sadar telah kelepasan
mulut lagi, tjepat ia menjahut: “O tidak ada apa2, tidak ada apa2. Aku bilang
Loya sering melihat setan diwaktu malam, ditengah malam selalu bangun untuk
memasang tembok.”
Melihat tingkah-laku orang
jang angin2an itu, Djik Hong pikir mungkin sedjak si Mirah itu diusir oleh
Kongkong (bapak mertua) penghidupannja sangat susah, maka pikirannja mendjadi
kurang waras. Habis, masakah Kongkong dikatakan tengah malam bangun untuk pasang
tembok? Padahal didalam rumah tidak pernah dilihatnja tembok jang dipasang
Kongkong.
Rupanja Tho Ang kuatir njonja
muda itu tidak pertjaja, maka ia mengulang lagi: “Ja, dia pasang tembok, tapi
tembok …….tembok palsu. Setiap tengah malam Loya suka…….suka mendjadi tukang
batu maka aku telah mengatai dia beberapa kata, dan dia lantas marah2, aku
dihadjar hingga babak-belur, kemudian aku diusirnja pula……..” ~ Begitulah
sambil mengomel dan menggerundel tak habis2, ia terus mengelojor pergi dengan
beringsat-ingsut.
Djik Hong mendjadi terharu
memandangi bajangan wanita tjelaka itu, pikirnja: “Paling banjak ia tjuma lebih
tua 10 tahun daripadaku, tapi ia telah berubah sedemikian djeleknja. Entah
mengapa Kongkong telah mengusirnja? Mengapa dia mengatakan Kongkong melihat
setan dan pasang tembok ditengah malam buta? Ah, mungkin pikiran wanita ini
memang tidak waras lagi. Ai, disebabkan seorang wanita goblok seperti ini. Suko
telah merana selama hidup dan akupun menderita selama ini!” ~ Berpikir sampai
disini, bertjutjuran air matanja.
Begitulah Djik Hong menangis
hingga sekian lamanja sambil bersandar dibatang pohon waru itu, tapi sehabis
menangis hatinja jang pepet tadi mendjadi agak lega, perlahan2 barulah ia
pulang kerumah. Ia tidak melalui taman belakang lagi, tapi masuk dari pintu
samping terus kembali keatas loteng sendiri.
Begitu mendengar suara tangga
loteng itu, segera Ban Ka bertanja dengan tak sabar: “Hong-moay, obat
penawarnja didapatkan tidak?”
Djik Hong tidak mendjawab, ia
terus masuk kekamar, ia melihat Ban Ka duduk
diatas randjang dengan sikap
jang tidak sabar menunggu lagi, tangannja jang terluka itu terletak ditepi
randjang, darah hitam setetes demi setetes merembes keluar dari punggung
tangannja dan djatuh kedalam baskom jang menadah dibawah randjang itu. Dara tjilik
Khong-sim-djay sudah lama tidur disebelah kaki ajahandanja.
Tadi sesudah mendengar tjerita
Go Him hingga berlari keluar rumah, dalam hati Djik Hong sebenarnja penuh rasa
murka terhadap Ban Ka. Ia bentji kepada tjaranja jang kedji dan kotor itu untuk
mempitenah Tik Hun. Tapi kini demi melihat air muka sang suami jang tampan
putjat itu, tjinta kasih suami-isteri selama beberapa tahun ini kembali
membuatnja lemah hati. Pikirnja: “Ja, betapapun adalah karena Ban-long tjinta
padaku, makanja dia berusaha menjingkirkan Tik-suko, tjaranja memang kedji
hingga membikin Suko kenjang menderita, tapi kesemuanja itu adalah demi
diriku.”
Dan karena tiada mendapat
djawaban, maka Ban Ka telah bertanja pula: “Obat penawarnja sudah dibeli lagi
belum?”
Karena bingung apakah mesti
memberitahukan atau tidak kepada suami tentang kelakuan Go Him jang kurangadjar
itu, maka segera ia mendjawab: “O, aku sudah ketemukan tabib itu, aku telah
memberikan uang lagi dan minta dia segera meramukan obatnja.”
Mendengar itu, barulah Ban Ka
merasa lega hatinja, katanja. “Hong-moay, djiwaku ini akhirnja engkaulah jang
menjelamatkan.”
Djik Hong paksakan diri
tertawa, ia merasa bau darah berbisa jang berada didalam baskom itu sangat
menusuk hidung, segera ia membawakan sebuah tempolong ludah untuk menggantikan
baskom itu, lalu baskom itu dibawanja keluar.
Tapi baru beberapa langkah,
bau darah berbisa itu menerdjang hidungnja hingga kepalanja terasa pening,
diam2 ia mengakui betapa lihaynja ratjun ketungging itu. Tjepat ia keluar
kamar, ia taruh baskom itu dilantai ditepi medja, lalu ia hendak mengambil
saputangan dari badjunja untuk menutupi hidung, kemudian darah berbisa itu akan
dibuangnja.
Tapi begitu tangannja
mendjulur kedalam saku, segera ia memegang kitab kuno itu. Ia tertegun sedjenak,
kembali hatinja ber-debar2 lagi, ia mengeluarkan kitab itu, ia duduk ditepi
medja, lalu satu halaman demi satu halaman dibaliknja. Ia masih ingat dengan
djelas kitab itu diambilnja dari bawah sebuah kopor rusak milik sang ajah jang
penuh tersimpan badju lama, waktu itu ia sedang mentjari sesuatu badju lama dan
tanpa sengadja telah diketemukan kitab itu. Padahal ia tahu ajahnja tidak
banjak makan sekolah, biarpun huruf segede telur djuga tiada dua kerandjang
jang dikenalnja, entah darimana sang ajah menemukan kitab seperti itu. Tatkala
itu kebetulan ia baru selesai menggunting dua buah pola sulaman, maka ia lantas
selipkan kertas pola kedalam buku itu. Dan ketika suatu hari ia bermain lagi
kegua rahasia itu bersama Tik-suko, kitab itu sekalian lantas dibawanja kesana,
sedjak itu kitab itupun selalu tertinggal didalam gua, mengapa sekarang bisa
diketemukannja disini? Apakah Tik-suko menjuruh tabib kelilingan tadi
menghantarkannja padaku? Tabib itu…….. djangan2 …… kelima djarinja terpapas
putus semua oleh Go Him? Ja, tabib itu mengapa……. Mengapa selalu menjembunjikan
tangan kanan didalam saku.”
Begitulah se-konjong2 Djik
Hong teringat pada waktu itu. Di kala tabib keliling itu membubuhi obat pada
Ban Ka tiada seorangpun jang memperhatikan tangan jang digunakan sitabib adalah
tangan kiri dan tidak pernah memakai tangan kanan, kini demi teringat dahulu
djari tangan kanan Tik Hun pernah terpapas putus oleh Go Him, seketika
terbajanglah kembali adegan2 tadi waktu sitabib membuka peti obat, mengambil
botol obat dan membuka sumbat botol serta menuang obat bubuk itu, ja,
kesemuanja itu melulu dilakukan oleh tangan kiri sitabib.
“Djangan2……. Djangan2 tabib
itu adalah Tik-suko? Tapi mengapa mukanja sedikitpun tidak sama?” demikian
pikir Djik Hong. Dan saking kusut dan kesalnja, ia mendjadi berduka, air
matanja bertjutjuran dan menetes diatas kitab jang dipegangnja itu.
Air matanja menetes terus
hingga membasahi kitab kuno dan hal mana belum disadari oleh Djik Hong, air
matanja menetes diatas sepasang kupu2 guntingan kertas, jaitu kupu2 San Pek dan
Eng Tay, nasib pertjintaan mereka baru akan terdjalin sesudah keduanja mati
semua ………
Dalam pada itu Ban Ka sedang
berseru didalam kamar: “Hong-moay, aku merasa gerah sekali, aku ingin bangun
untuk djalan2 sebentar.”
Tapi Djik Hong sendiri lagi
tenggelam dalam lamunannja, maka tidak mendengar suara sang suami itu. Waktu
itu ia sedang memikir: “Tempo hari dia (Tik Hun) telah mematikan seekor kupu2
hingga sepasang kekasih telah ditjerai-beraikan olehnja. Apakah dia telah ketulah
oleh perbuatannja itu dan hidupnja ini diharuskan merana dan menderita!………
Dan pada saat itulah mendadak
dibelakangnja seorang telah berseru dengan suara kaget. “He, itulah ……..Soh ………
Soh-sim-kiam-boh!”
Keruan Djik Hong djuga
berdjingkrak kaget, tjepat ia menoleh, ia melihat Ban Ka dengan wadjah
kegirangan dan penuh semangat sedang berkata: “He, Hong-moay, darimanakah kau
memperoleh kitab itu? Lihatlah, aha, kiranja begitu, kiranja demikian!”
Segera ia memburu madju,
dengan kedua tangannja ia memegang kitab kuno ditangan isterinja. Ia balik
sampul kitab itu, dengan djelas dibatjanja djudul kitab itu adalah
“Tong-si-soan-tjip” (pilihan2 sjair djaman Tong).
Kemudian ia melihat halaman
jang ketetesan air mata Djik Hong itu adalah sebuah sjair jang berkalimat
“Seng-ko-si” dan disamping bawahnja timbul tiga huruf ketjil ke-kuning2an,
ketiga huruf itu adalah “tiga puluh tiga” atau dalam angka mendjadi “33”.
Beberapa baris tulisan itu telah basah kena air mata Djik Hong.
Saking girangnja Ban Ka sampai
lupa daratan, ia ber-teriak2: “Aha, disinilah letak rahasianja, ja, kiranja
harus dibasahi dahulu, lalu akan timbul hurufnja. Bagus! Bagus! Tentu adalah
kitab ini. He, Khong-sim-djay, Khong-sim-djay, lekas pergi mengundang Engkong
kemari, katakan ada urusan penting!”
Begitulah ia lantas
membangunkan sidara tjilik jang lagi tidur njenjak itu dan disuruhnja pergi
mengundang sang Engkong (kakek), jaitu Ban Tjin-san.
Sambil memegangi kitab sjair
itu dengan erat2, Ban Ka mendjadi lupa tangannja jang terluka dan kesakitan
itu, sebaliknja ia terus bitjara sendiri: “Ja, pasti inilah kitabnja, tentu
tidak salah lagi. Ajah bilang Kiam-boh itu berwudjut sedjilid
Tong-si-soan-tjip, tentu tidak salah lagi, apakah perlu disangsikan lagi
sekarang? Hahaha, pantas lebih dulu harus membikin basah kitab ini dan dengan
sendirinja rahasianja akan timbul sendiri.”
Karena luapan rasa girang jang
tak terkendalikan, maka Ban Ka telah mengotjeh tak tertahan, hal mana telah
membikin Djik Hong mendjadi paham djuga duduknja perkara.
Pikirnja: “Apakah kitab ini
adalah ‘Soh-sim-kiam-boh’ jang dibuat rebutan antara ajahku dan Kongkong itu?
Djika begitu, sebenarnja kitab ini telah didapatkan oleh ajahku, tapi setjara
tak sadar aku telah mengambilnja untuk mendjepit pola sepatu. Tapi waktu ajah
kehilangan kitab pusaka ini, mengapa beliau tidak kelabakan dan mentjarinja?
Ah, tentu djuga sudah ditjarinja, tjuma ditjari kesana kesitu tidak ketemu,
lalu disangkanja telah ditjuri oleh Gian-supek dan diantepin sadja. Mengapa
dahulu ajah tidak tanja padaku tentang kitab jang hilang itu? Sungguh sangat
aneh!”
Djika Tik Hun, tentu sekarang
ia takkan heran sedikitpun, sebab ia sudah tahu Djik Tiang-hoat itu adalah
seorang jang litjin, seorang jang banjak tipu akalnja, sekalipun didepan
puterinja djuga sedikitpun tidak mau mengundjukan sesuatu tentang kitab pusaka
Soh-sim-kiam-boh itu. Waktu kitab itu hilang, tentu djuga ia berusaha
mentjarinja ubek2an, tapi sesudah tidak diketemukan kembali, ia lantas pura2
tidak terdjadi apa2, hanja diam2 ia menjelidiki dengan segala djalan untuk
memperhatikan apakah kitab itu bukan ditjuri oleh Tik Hun? Atau ditjuri
puterinja? Tapi disebabkan Djik Hong tidak merasa mentjuri, ia tidak perlu
takut sebagaimana seorang maling kuatir konangan, maka dengan sendirinja
penjelidikan Djik Tiang-hoat mendjadi sia2.
Dalam pada itu Ban Tjin-san
baru sadja pulang, ia sedang diruangan makan. Ketika ia dipanggil tjutju
perempuannja, ia sangka luka puteranja mungkin berubah buruk, maka belum lagi
sarapannja dihabiskan dia sudah lantas buru2 kebelakang sambil membopong
sidara-tjilik. Dan begitu ia melangkah keatas loteng, dia lantas mendengar
suara seruan Ban Ka jang kegirangan. “Haha, di-tjari2 tidak ketemu, siapa duga
diperoleh setjara begini mudah. Eh, Hong-moay, mengapa engkau kebetulan
membasahi kitab ini dengan air? Sungguh kebetulan, mungkin memang takdir
ilahi!”
Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa air jang membasahi kitab itu adalah air mata sang isteri jang barusan
sedang merindukan seorang laki2 lain.
Begitulah Ban Tjin-san
mendjadi lega demi mendengar suara sang putera itu, segera iapun masuk kedalam
kamar.
“Tia, Tia! Lihatlah, apakah
ini?” seru Ban Ka segera sambil mengundjukan kitab ‘Pilihan2 sjair djaman Tong’
itu kepada sang ajah jang baru masuk itu.
Hati Ban Tjin-san tergetar
demi nampak kitab ke-kuning2an jang tipis itu, tjepat ia taruh Khong-sim-djay
ketanah, lalu terima kitab jang diangsurkan Ban Ka itu dengan hati ber-debar2
hebat.
Itulah dia “Soh-sim-kiam-boh”
jang telah ditjarinja mati2an selama belasan tahun kini telah kembali didepan
matanja.
Memang benar inilah kitabnja,
kitab asli jang pernah dimilikinja bersama Djik Tiang-hoat dan Gian Tat-peng,
jaitu hasil rampokan mereka bersama dengan menganiaja guru mereka.
Dahulu mereka bertiga telah
mem-balik2 dan mempeladjari bersama isi kitab itu didalam hotel, akan tetapi
kitab itu toh bukan “Kiam-boh” sebagaimana orang sangka, kitab itu tidak lebih
hanja sedjilid kitab sjair kuno jang umum, kitab “Tong-si-soan-tjip” jang djuga
dapat dibeli dengan mudah disetiap toko buku setiap tempat.
Dengan matjam2 djalan mereka
bertiga saudara perguruan telah menjelidiki isi kitab itu. Pernah mereka
menjorot setiap halaman kitab itu dibawah sinar matahari dengan harapan
menemukan apa2 didalam lempitan kertas itu, pernah djuga mereka membatja
beberapa bait sjair itu didjungkir balik, dibatja pula setjara me-lompat2 dan
matjam2 tjara lagi dengan tudjuan mendapatkan sesuatu rahasia didalamnja, tapi
semua usaha itu hanja sia2 belaka, hasilnja nihil. Mereka bertiga saling
tjuriga mentjurigai, kuatir kalau pihak lain menemukan rahasia didalam kitab
itu dan dirinja sendiri tidak tahu. Maka setiap malam diwaktu tidur, mereka
lantas menguntji kitab itu didalam sebuah peti besi, peti besi itu digandeng
pula dengan tiga utas rantai besi serta masing2 diikat dipergelangan tangan
mereka bertiga. Akan tetapi pada suatu pagi hari, tahu2 kitab itu sudah
menghilang tanpa bekas.
Akibat hilangnja kitab itu
selama belasan tahun mereka bertiga saudara perguruan telah bertengkar tidak
habis2, masing2 saling selidik menjelidiki. Dan mendadak kitab itu telah
muntjul didepan matanja sekarang.
Ban Tjin-san tjoba membalik
halaman keempat dari kitab itu. Ja, memang betul, udjung kiri halaman itu
tersobek sedikit, itulah kode rahasia jang sengadja dibuatnja tempo dulu, ia
kuatir kedua Sutenja itu mungkin menukarnja dengan sedjilid “Tong-si-soan-tjip”
jang serupa dan dirinja tertipu, maka ia sendiri harus menaruh sesuatu tanda
dulu diatas kitab asli itu.
Ketika ia membalik pula
halaman ke-16, benar djuga bekas goresan kuku jang ditaruhnja dahulu itu djuga
masih kelihatan. Ja, tidak salah lagi, memang betul kitab ini tulen adanja.
Begitulah ia lantas manggut2,
sedapat mungkin ia menahan rasa senangnja itu, katanja kemudian kepada sang
putera: “Ja, memang betul adalah kitab ini, darimana kau memperolehnja?”
Segera sorot mata Ban Ka
beralih kepada Djik Hong dan bertanja: “Hong-moay, darimanakah kitab ini kau
temukan?”
Djik Hong sendiri sedjak
melihat sikap Ban Ka tadi, jang terpikir olehnja melulu diri ajahnja sadja, ia
pikir: “Kemanakah perginja ajah selama ini? Sesudah aku mengambil kitabnja ini
dan kubawa kedalam gua itu, beliau mentjari ubek2an. Padahal kitab ini jang
selalu dibuat intjaran dan menjebabkan pertengkaran mereka, dalam hati ajah
tentu sangat luar biasa sajang kepada kitab ini. Entah kitab kuno seperti ini
mempunjai manfaat apa hingga mesti mereka ributkan? Tapi dahulu aku telah
mengambilnja dari kopor ajah, sekali2 tidak boleh kubiarkan kitab ini djatuh
ditangan Kongkong.”
Apabila sehari dimuka, pada
waktu itu Djik Hong masih belum tahu duduknja perkara tentang penderitaan Tik
Hun jang dipitenah orang, tentu ia masih sangat tjinta dan penuh kasih-sajang
kepada suaminja, dan dalam penilaiannja mungkin sang suami akan lebih utama
daripada ajahnja sendiri, apalagi sang ajah entah kemana perginja selama ini,
entah akan pulang lagi atau tidak?
Namun keadaan sekarang sudah
berubah lain. “Sekali2 kitab ajahku itu tidak boleh kubiarkan djatuh ditangan
mereka. Tentu Tik-suko jang telah mengambil kitab ini dari gua dan diserahkan
padaku, dengan sendirinja tidak boleh kuberikan pada mereka, hal ini bukan
sadja demi ajah, tapi terutama demi Tik-suko!” demikian ia ambil keputusan.
Begitulah maka waktu Ban Ka
bertanja padanja darimana diperoleh kitab itu, Djik Hong sendiri lagi
memikirkan tjara bagaimana harus merebut kembali kitab jang telah dipegang oleh
bapa mertuanja itu. Padahal ilmu silat Ban Tjin-san sangat tinggi, sekali2
dirinja bukan tandingannja apalagi sang suami djuga berada disitu, untuk
merebutnja denggan kekerasan terang tidak mungkin.
Mendadak tertampak olehnja
baskom jang terletak didekat medja sana, didalam baskom masih terisi setengah
baskom air darah, jaitu sebagian adalah air tjutji muka Ban Ka dan darah
berbisa jang menetes dari luka tangannja. Air didalam baskom itu berwarna merah
hitam, kalau…… kalau diam2 kitab itu direndam didalam air baskom, tentu mereka
takkan menemukannja kembali. Akan tetapi, tjara bagaimana, harus ditjari
kesempatan untuk memasukkan kitab itu kedalam baskom?
Demikian Djik Hong sedang
putar otak, sebaliknja sorot mata Ba Tjin-san dan Ban Ka djuga sedang diarahkan
padanja. Kembali Ban Ka mengulangi pertanjaannja: “Hong-moay, darimanakah kau
memperoleh kitab ini?”
Baru sekarang Djik Hong
terkesiap, tjepat ia menjahut: “Ah, entahlah, akupun tidak tahu, tadi aku
keluar dari kamar dan tahu2 melihat kitab itu diatas medja. Apakah itu bukan
milikmu?”
Karena seketika itu tidak
djelas duduknja perkara, maka sementara Ban Ka tidak mengusut lebih djauh, jang
terpikir olehnja jalah ingin lekas memberitahukan kepada sang ajah tentang
pengalamannja jang luar biasa tadi. Maka ia lantas berkata kepada Ban Tjin-san:
“Lihatlah, ajah! Asal halaman kitab ini dibasahi, lantas timbul hurufnja
disitu.” ~ Segera iapun menundjukkan angka “33” jang terdapat disebelah kalimat
sjair “Seng-ko-si” itu. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air jang membasahi
halaman kitab itu adalah air mata sang isteri, air mata rindu sang isteri
kepada seorang laki2 lain jang bernama Tik Hun. Kalau dia tahu, entahlah
bagaimana perasaannja, akan girang atau akan marah?
Dalam pada itu Ban Tjin-san
sedang meneliti sjair “Seng-ko-si” itu, ia lagi meng-hitung2 huruf sjair satu
demi satu, mulai dari suatu bait jang berbunji: “Loh-tju-tiong-hong-siang…….”
hingga achirnja djatuh pada huruf “He-hong-seng…….”
Itu dia, huruf ke-33 djatuh
pada huruf “Seng”!
Ban Tjin-san gablok pahanja
sendiri sekali dan berseru: “Tepat! Memang beginilah tjaranja, ja beginilah
tjaranja! Kiranja rahasianja terletak disini! Hai, Ka-dji, engkau benar2 sangat
pintar, sjukur dapatlah kau menemukan tjaranja ini. Memang harus memakai air,
ja, harus pakai air! Sungguh tolol, dahulu kami djusteru tiada seorangpun jang
memikirkan tentang pemakaian air untuk menemukan rahasia didalam kitab ini!”
Melihat kedua orang itu penuh
semangat asjik mempeladjari rahasia jang tersimpan didalam kitab itu, segera
Djik Hong menarik puterinja kedalam kamar sana, ia pondong dara tjilik itu
didalam pangkuannja dan pelahan2 berkata padanja: “Khong-sim-djay, kau lihat
baskom itu bukan?”
Dara tjilik itu manggut2,
sahutnja: “Ja, tahu!”
“Nah, sebentar kalau Engkong,
ajah dan ibu berlari keluar semua, kau lantas melemparkan buku jang dipegang
Engkong tadi kedalam baskom agar kerendam air kotor itu, djangan sampai
diketahui oleh Engkong dan ajah, ja,” demikian Djik Hong mengadjarkan
puterinja.
Sidara tjilik kegirangan,
disangkanja sang ibu hendak mengadjarkan suatu permainan jang menarik padanja,
maka dengan tertawa ia bersorak: “Bagus, bagus!”
“Tapi djangan sekali2
diketahui oleh Engkong dan ajah, lho! Kemudian kaupun djangan katakan pada
mereka, ja!” pesan Djik Hong pula.
“Ja, Khong-sim-djay pasti
takkan bilang pada mereka, pasti tidak!” seru sidara tjilik.
Lalu Djik Hong keluar kamar
depan lagi, katanja kepada Ban Tjin-san: “Kongkong, aku merasa didalam kitab
itu ada sesuatu jang gandjil.”
Tjin-san menoleh, tanjanja:
“Gandjil apa sih?” ~ Memangnja ia sendiri djuga merasa was-was karena
muntjulnja kitab itu setjara mendadak, datangnja terlalu mudah, hal mana
bukanlah sesuatu alamat baik. Maka ia bertambah pikiran demi mendengar utjapan
njonja mantunja itu.
“Íni, disini!” kata Djik Hong
kemudian sambil mengulurkan tangannja.
Ban Tjin-san lantas serahkan
kitab sjair itu kepadanja. Sesudah Djik Hong mem-balik2 halaman kitab itu,
kemudian dikeluarkannja sepasang pola kupu2 itu dan berkata: “Kongkong, didalam
kitabnja dahulu apakah terdapat sepasang kupu2 kertas sematjam ini?”
Tjin-san terima kupu2 kertas
itu dan mengamat-amatinja, lalu sahutnja: “Ja, tidak ada!”
“Habis apa artinja kupu2
kertas didalam kitab ini?” udjar Djik Hong. “Apakah didalam Bu-lim terdapat
seseorang tokoh jang berdjuluk ‘Hek-oh-tiap’ (kupu2 hitam) dan sebagainja?
Dengan meninggalkan kupu2 kertas ini didalam kitab, mungkin adalah tanda peringatan
bahwa mereka akan datang menuntut balas?”
Biasanja memang sering
terdjadi didalam Kangouw bahwa sebelum menuntut balas, seorang telah
mengirimkan tanda peringatan lebih dulu kepada orang jang akan didatanginja.
Dan selama hidup Ban Tjin-san djusteru tak terhitung banjaknja kedjahatan jang
pernah diperbuatnja, dengan sendirinja ia terkedjut mendengar utjapan Djik Hong
itu, apalagi kupu2 kertas memang njata terselip didalam kitab itu. Ia tjoba
meng-ingat2 apakah pernah memusuhi seorang tokoh jang berdjuluk ‘Hek-oh-tiap’
dan sebagainja? Tapi seingat dia toh tidak ada.
Selagi ia merenung, mendadak
terdengar Djik Hong membentak: “Siapa itu? Ada apa main sembunji2 disitu?” ~
Segera ia tuding keatas wuwungan rumah diluar djendela, maka berbareng Ban
Tjin-san dan Ban Ka memandang kearah sana, tapi toh tiada terdapat apa-apa.
Tjepat Djik Hong sambar
sepasang pedang jang tergantung didinding, ia lemparkan sebatang kepada Ban
Tjin-san dan sebatang kepada Ban Ka, serunja pula. “Aku melihat tiga sosok
bajangan orang berkelebat kesana!”
Sementara Tjin-san dan Ban Ka
menjambuti pedang jang dilemparkan Djik Hong itu, segera Djik Hong lantas tarik
latji medja dan masukan kitab sjair itu kedalamnja dan sambil berbisik:
“Djangan sampai ditjuri musuh!”
Ban Tjin-san berdua pertjaja
sadja, mereka memanggut. Segera mereka bertiga melompat keluar djendela dan
naik keatas rumah, waktu memandang sekeliling situ, namun tiada tertampak
seorangpun. “Tjoba periksa kebelakang sana!” kata Tjin-san.
Bertiga orang terus menguber
kerumah belakang sana. Tiba2 terlihat sesosok bajangan orang berkelebat
dipengkolan sana, segera Tjin-san membentak: “Siapa itu?” ~ Dan waktu ia
melesat madju, kiranja orang itu bukan lain adalah muridnja nomor enam, jaitu
Go Him adanja.
“Kau melihat musuh tidak?”
tanja Tjin-san pula.
Sebenarnja wadjah Go Him sudah
putjat seperti majat, ia ketakutan setengah mati ketika mendadak melihat Suhu
bertiga menguber kearahnja dengan sendjata terhunus, ia mengira perbuatannja
jang kotor itu telah dilaporkan oleh Djik Hong. Dan demi mendengar pertanjaan
sang guru itu, barulah ia merasa lega. Tjepat ia menajhut: “Ja, barusan seperti
ada orang berlari lewat sini, makanja Tetju lantas memburu kemari untuk
mentjari tahu apa jang telah terdjadi.”
Sebenarnja djawabannja itu adalah
untuk menutupi sikapnja jang kikuk itu, sebaliknja mendjadi kebetulan bagi Djik
Hong jang membohong itu.
Segera mereka berempat
menguber pula kebelakang, ber-ulang2 Go Him bersuit memanggil Loh Kun, Bok Heng
dan lain2, tapi meski seluruh isi rumah mereka kerahkan untuk mentjari musuh,
toh tiada suatu bajanganpun jang kelihatan.
Karena kuatirkan kitab
“Soh-sim-kiam-boh” jang masih tertinggal dikamar itu, segera Tjin-san suruh Loh
Kun dan para Sute-nja mentjari lebih djauh djedjak musuh. Ia sendiri bersama
Ban Ka dan Djik Hong lantas kembali kekamar loteng.
Segera pula ia membuka latji
hendak mengambil kitab itu, tapi ……..
Sudah tentu latji itu sudah
kosong melompong, kitab itu entah sudah terbang kemana?
Keruan kedjut Ban Tjin-san dan
Ban Ka tak terkatakan, mereka mentjari ubek2an didalam kamar, dan sudah tentu
nihil hasilnja.
“Adakah seorang masuk kesini?”
Ban Tjin-san tjoba tanja Khong-sim-djay.
“Tidak ada!” sahut sidara
tjilik. Kemudian ia berpaling dan main mata dengan sang ibu, hatinja sangat
senang.
Sudah terang gamblang Ban
Tjin-san berdua menjaksikan sendiri Djik Hong memasukan kitab itu kedalam
latji, dikala menguber musuh djuga selalu njonja mantu itu berada bersama
mereka, dengan sendirinja bukan Djik Hong jang main gila. Ia menduga pasti
adalah tipu muslihat musuh jang “memantjing harimau meninggalkan sarang”, lalu
mentjuri kitab pusaka itu.
Keruan Ban Tjin-san dan Ban Ka
merasa lemas, mereka saling pandang dengan lesu dan menjesal.
Sebaliknja Djik Hong dan
Khong-sim-djay sangat senang, mereka saling main mata, saling kedip penuh arti
………
Begitulah anak murid Ban
Tjin-san jang lain telah sibuk mentjari djedjak musuh disetiap polosok rumah
dan sudah tentu tiada suatu bajanganpun jang diketemukan.
Ban Tjin-san pesan kepada Djik
Hong agar djangan sekali2 bertjerita keapda Loh Kun dan lain2 tentang
diketemukannja Kiam-boh dan kemudian hilang lagi. Sudah tentu Djik Hong
mengiakannja dengan baik. Selama ini Djik Hong sudah makin sadar akan hubungan
guru dan murid keluarga Ban itu, begitu pula hubungan antara murid satu dengan
murid lainnja selalu dilakukan dengan tidak djudjur, masing2 hanja memikirkan
kepentingan sendiri2, satu sama lain saling tjuriga-mentjurigai.
Dengan rasa menjesal dan
penasaran kemudian Ban Tjin-san kembali kekamarnja sendiri, jang terpikir
olehnja adalah tanda kupu2 hitam kertas didalam kitab itu. Sebaliknja Ban Ka
djuga pajah keadaannja, sesudah ber-lari2 menguber musuh, tekanan darahnja
naik, luka ditangannja itu mendjadi kesakitan lagi, maka ia telah merebah di
randjangnja untuk mengaso dan tidak lama iapun tertidur.
Diam2 Djik Hong pikir kitab
sjair itu akan sangat berguna bagi ajahnja, kalau kerendam terlalu lama didalam
air mungkin akan rusak. Segera ia masuk kekamar dan tjoba memanggil sang suami
beberapa kali, tapi Ban Ka sudah tertidur njenjak, segera ia keluar lagi dan
bawa baskom itu kebawah, ia buang air darah didalam baskom itu hingga kelihatan
dasar baskom. Ia pudji si Khong-sim-djay sangat pintar dan penurut, tidak
merasa wadjahnja menampilkan senjuman puas.
Sama sekali diluar dugaannja
bahwa sebenarnja sudah sedari tadi Ban Ka telah tjuriga padanja.
Tadi waktu sidara tjilik main
mata dengan sang ibu, kelakuan itu telah dapat diketahui oleh Ban Ka hingga
timbul rasa tjuriganja. Maka ia sengadja pura2 tidur, dan begitu Djik Hong
turun kebawah, segera iapun bangun dan dengan ber-djindjit2 seperti maling
kuatir kepergok, ia mengawasi gerak-gerik sang isteri.
Karena kitab itu berbau amis
darah jang merendamnja tadi, Djik Hong merasa muak dan tidak sudi memegangnja,
ia pikir: “Dimanakah kitab ini harus kusembunjikan?”
Segera teringat olehnja
ditaman belakang ada sebuah kamar podjok jang biasanja dibuat simpan barang
rongsokan sebangsa patjul, tenggok, sapu dan sebagainja, pada waktu itu tentu
tiada terdapat orang disitu. Segera ia petik daun bunga seruni hingga penuh
satu baskom untuk menutupi kitab jang basah itu, lalu menudju ketaman.
Sesudah masuk kedalam kamar
dipodjok taman itu, ia melihat kamar itu tidak terawat, temboknja banjak jang
rontok, udjung dinding sana ada beberapa potong bata sudah mulai merenggang. Ia
pikir: “Kalau kitab ini kusembunjikan disini tentu takkan ditjurigai siapapun
djuga.” ~ Segera ia mengorek keluar beberapa potong bata itu, ia masukkan kitab
itu kedalam liang dinding itu, lalu bata2 itu dipasangnja kembali hingga rapat.
Habis itu, dengan masih
mendjindjing baskom itu ia berdjalan kembali sambil ber-njanji2 ketjil seperti
tiada pernah terdjadi apa2.
Waktu lewat diserambi,
mendadak dari pengkolan sana menjelinap keluar seorang sambil membisikinja:
“Suso, tengah malam nanti djangan lupa, ja! Aku tunggu kau didalam gudang kaju
sana!” ~ Siapa lagi dia kalau bukan Go Him.
Memangnja Djik Hong lagi
menahan rasa kuatir kalau perbuatannja dipergoki orang, ketika mendadak muntjul
seorang dan berkata begitu padanja, keruan djantungnja se-akan2 tjopot saking
kagetnja.
Segera iapun mendamperatnja:
“Tjis, kau tjari mampus, besar amat njalimu, apa kau sudah bosan hidup?”
Tapi dengan tjengar-tjengir Go
Him mendjawab: “Demi Suso, biarpun djiwaku akan melajang djuga aku rela. Suso,
engkau inginkan obat penawarnja atau tidak?”
Dengan gemes Djik Hong sudah
meraba belati jang tersimpan didalam badjunja itu, sungguh ia ingin sekali
tikam mampuskan manusia rendah itu dan merampas obat penawarnja.
Tapi Go Him adalah seorang
litjin dan tjulas, sudah tentu ia tjukup waspada terhadap segala kemungkinan.
Dengan menjengir ia berkata pula dengan pelahan: “Suso, djangan kau tjoba2
menjerang, asal kau menjerang dengan tipu ‘Wadjah manusia muntjul dari balik
gunung’ dan menikam kearahku, maka aku sudah siap akan menghindar dengan
gerakan ‘kepala kuda timbul disamping awan’, dan sekali tanganku bergerak
begini, seketika obat penawar ini kubuang kedalam empang.” ~ Sembari berkata ia
terus ulurkan tangannja dan apa jang digenggamnja memang betul adalah botol
obat penawar itu. Ia kuatir Djik Hong menubruk untuk merebutnja, maka lebih
dulu ia lantas mundur beberapa langkah kebelakang.
Tahu kalau pakai kekerasan
djuga takkan berhasil merebut obat penawar itu, terpaksa Djik Hong batalkan
niatnja, segera ia menjisir lewat dari samping orang. Dan dengan suara pelahan
Go Him membisikinja lagi: “Ingat Suso, aku tjuma sanggup menanti sampai tengah
malam. Lewat tengah malam kau tidak datang, djam satu malam aku lantas tinggal
pergi bersama obat penawar ini, aku akan kabur sedjauh mungkin dan takkan
kembali ke Hengtjiu lagi. Haha, andaikan mati djuga orang she Go ini tidak sudi
mati ditangan ajah dan anak she Ban.”
Waktu Djik Hong sampai
dikamarnja, ia mendengar Ban Ka sedang me-rintih2, njata ratjun ketungging
telah kumat lagi dengan hebat.
Ia duduk menjanding medja
dengan bertopang dagu, pikirannja bergolak tak tertahankan. Ia pikir: “Tjaranja
dia (Ban Ka) mempitenah Tik-suko sungguh sangat kedji, tapi nasi sudah mendjadi
bubur, apa mau dikata lagi? Selama beberapa tahun ini sesungguhnja iapun sangat
baik padaku, sebagai seorang wanita, menikah ajam ikut ajam, kawin dengan bebek
turut bebek, selama hidupku sudah ditakdirkan akan mendjadi suami-isteri dengan
dia. Tjuma Go Him itu benar2 keparat, tjara bagaimana supaja aku dapat merebut
obatnja?” ~ Ia melihat air muka Ban Ka putjat kurus, diam2 ia membatin pula:
“Luka Ban-long sangat parah, djika kukatakan perbuatan Go Him itu padanja,
dalam gusarnja tentu ia akan mengadu djiwa padanja dan tentu akan membuat
keadaannja lebih pajah.”
Begitulah pikirannja mendjadi
kusut. Sementara itu hari sudah gelap, sesudah makan malam, Djik Hong mengatur
puterinja tidur, ia sendiri masih gelisah. Sesudah dipikir pulang-pergi,
achirnja ia mengambil keputusan akan laporkan persoalan Go Him itu kepada Ban
Tjin-san, sebagai seorang tua jang berpengalaman tentu akan dapat mentjari
djalan keluar jang sempurna. Tapi urusan ini tidak boleh diketahui oleh Ban Ka,
harus menunggu sesudah sang suami itu tidur njenjak, barulah akan dilaporkan
kepada bapa mertuanja ini. Selama beberapa hari ia benar2 terlalu tjapek
merawat luka suaminja itu siang dan malam, namun ia tidak dapat tidur. Ia
menunggu setelah terdengar suara mendengkurnja Ban Ka, lalu bangun dengan
pelahan2, dengan hati2 ia turun kebawah loteng, ia menudju keluar kamarnja Ban
Tjin-san.
Sinar bulan menembus kedalam
kamar Ban Tjin-san, melalui tjelah2 djendela dapat dilihatnja bahwa didalam
kamar bapa mertua itu sudah gelap, pelita sudah dipadamkan, ia menduga orang
tua itu sudah tidur.
Diluar dugaan, sesudah ia
mendekati djendela, tiba2 dari dalam kamar orang tua itu terdengar suara
“he-he-he” jang aneh, jaitu suara orang jang bernapas dikala mengeluarkan
tenaga besar untuk berbuat sesuatu.
Djik Hong sangat heran,
sebenarnja ia sudah akan memanggil, tapi segera diurungkan. Ia tjoba mengintip
kedalam kamar melalui tjelah2 djendela, dibawah sinar bulan jang remang2 ia
melihat Ban Tjin-san sedang merebah diatas tempat tidurnja, kedua matanja
terpedjam, tapi kedua tangannja tampak men-dorong2 sekuatnja keatas.
Sungguh heran Djik Hong tak
terkatakan, pikirnja dengan menahan napas: “Pasti Kongkong sedang melatih
sesuatu ilmu Lwekang jang hebat. Konon diwaktu orang melatih Lwekang, jang
paling dipantang adalah gangguan jang mengagetkan, djika hal mana terdjadi, seringkali
orang jang sedang berlatih itu akan ‘Tjau-hwe-djip-mo’ (sesat djalan dan
kemasukan api) hingga membikin tjelaka diri sendiri. Sebaiknja aku menunggu
dulu, biar beliau selesai latihan barulah akan kupanggilnja.”
Ia mengikuti terus
tingkah-laku Ban Tjin-san itu. Ia melihat sesudah men-dorong2 keatas sebentar,
kemudian Ban Tjin-san berbangkit dan turun dari tempat tidurnja serta melangkah
beberapa tindak kedepan, lalu berdjongkok dan mendjulur tangannja keatas
seperti sedang mentjekeram sesuatu.
Diam2 Djik Hong membatin:
“Kiranja Kongkong sedang melatih Kim-na-djiu-hoat (ilmu memegang dan
menangkap)!”
Tapi sesudah diperhatikan
sebentar lagi. Ia melihat gerak-gerik Ban Tjin-san makin lama makin aneh, kedua
tangannja ber-ulang2 mentjengkeram entah apa jang hendak dipegangnja, habis itu
lantas ditumpuknja kebawah satu persatu dengan radjin dan teratur, djadi mirip
tukang batu sedang memasang bata. Namun dilantai situ toh kosong melompong
tiada terdapat sesuatu benda apapun, djadi gerak-geriknja itu hanja perbuatan
kosong belaka.
Dan sesudah me-megang2
sebentar lagi keudara, kemudian tampak orang tua itu meng-ukur2 dengan kedua
tangannja, mungkin merasa sudah tjukup besar, lalu kedua tangannja bergaja
seperti mengangkat sesuatu benda besar dari tanah dan dimasukkan kedepan.
Djik Hong merasa bingung
menjaksikan itu, dengan djelas dilihatnja kedua mata Ban Tjin-san itu masih
tertutup rapat, gerak-geriknja itu sekarang sudah terang bukan lagi melatih
sesuatu ilmu silat apa segala, tapi lebih mirip sigagu sedang main sandiwara.
Tiba2 teringat oleh Djik Hong utjapan si Mirah dirumah berhala siang tadi
bahwa: “Ditengah malam Loya suka bangun untuk pasang tembok!”
Tapi gerak-gerik Ban Tjin-san
sekarang toh bukan lagi pasang tembok, kalau dikatakan ada sangkut-pautnja
dengan tembok, maka lebih mirip kalau dia sedang membongkar tembok.
Lapat2 Djik Hong merasakan
sematjam firasat jang menakutkan. Pikirnja pula: “Ah, tentu Kongkong telah kena
penjakit Li-hun-tjing (sakit ngelindur). Kabarnja orang jang dihinggap penjakit
tidur seperti itu, terkadang orangnja bisa bangun ditengah malam dan djalan2
atau bekerdja tanpa disadari oleh orang jang bersangkutan sendiri. Bahkan ada
jang telandjang bulat ber-djalan2 diatas rumah, ada pula jang membakar rumah
dan membunuh orang dan matjam2 perbuatan lain jang aneh2, tapi sesudah
mendusin, sama sekali orang jang bersangkutan tidak tahu apa2.”
Begitulah Djik Hong melihat
pula sesudah Ban Tjin-san bergaja memasukan sesuatu benda besar kedalam lubang
dinding jang sebenarnja tiada wudjutnja itu, kemudian tampak orang tua itu
men-dorong2 lagi beberapa kali dengan kuat keatas, habis itu ia mendjemput bata
dilantai jang tiada wudjud itu lalu dipasangnja, sekali ini benar2 bergaja
sedang pasang batu.
Semula Djik Hong agak
merinding menjaksikan perbuatan aneh jang menjeramkan itu kemudian sesudah
melihat gajanja jang sedang pasang tembok, maka ia tidak begitu takut lagi
sebab sebelumnja sudah diketahui akan hal itu. Katanja didalam hati: “Menurut
Tho Ang, katanja Kongkong sering bangun ditengah malam untuk pasang tembok,
suatu tanda penjakit tidurnja ini sudah lama dideritanja. Dan pada umumnja
orang jang mempunjai sesuatu penjakit aneh tidaklah suka kalau diketahui orang
lain. Tho Ang sekamar dan setempat-tidur dengan Kongkong dan tahu pula akan
penjakitnja ini, dengan sendirinja Kongkong merasa kurang senang.”
Karena pikirannja itu, rasa
ragu2nja tadi mendjadi hilang. Jang terpikir olehnja sekarang hanja: “Dan entah
berapa lamanja penjakit tidur Kongkong itu akan berlangsung. Kalau sampai lewat
tengah malam hingga sikeparat Go Him merat dengan membawa obat penawar, wah
tentu tjelaka.”
Sementara itu dilihatnja Ban
Tjin-san sedang bergaja mengambil bata jang dibongkarnja tadi dan dipasang
kembali kelubang dinding tanpa wudjut itu, kemudian lantas bergaja seperti
tukang kapur jang sedang melabur dinding. Dan sesudah segala sesuatu itu
selesai dilakukannja, lalu kelihatan orang tua itu ber-senjum2 dan naik pula
keatas randjang untuk tidur pula.
Pikir Djik Hong: “Setelah
sibuk sekian lamanja, mungkin pikiran Kongkong belum lagi tenang kembali,
biarlah aku menunggu sebentar lagi untuk memenggilnja.”
Tapi pada saat itu djuga,
tiba2 terdengar pintu kamar bapa mertua itu diketok orang beberapa kali,
menjusul ada orang memanggil dengan suara tertahan: “Tia-tia, Tia-tia!” ~
Itulah suara sang suami, Ban Ka.
Djik Hong agak terkedjut, ia
heran pula: “Mengapa Ban-long djuga kemari? Untuk apakah dia datang?”
Ia lihat Ban Tjin-san terus
mendusin dan berbangkit, setelah tenangkan diri sedjenak, lalu orang tua itu
bertanja: “apakah Ka-dji disitu?”
Sebagai seorang djago silat,
rupanja Ban Tjin-san sangat tjepat terdjaga bangun asal mendengar sesuatu suara
pelahan sadja. Malahan djika penjakit ngelindurnja sedang kumat, pada saat
itulah malah susah kalau orang hendak menjadarkan dia.
Maka terdengar Ban Ka telah
mengiakan diluar kamar. Dan Tjin-san lantas turun dari tempat tidurnja dengan
enteng tanpa menerbitkan suara sedikitpun, biarpun usianja sudah landjut, tapi
gerak-geriknja ternjata masih gesit sekali, segera ia membukakan pintu dan
membiarkan Ban Ka masuk sambil bertanja: “Apakah kau sudah memperoleh
keterangan tentang Kiam-boh?” ~ Njata jang selalu terpikir olehnja adalah kitab
pusaka itu.
“Tia!” terdengar Ban Ka
memanggil pelahan sekali sambil melangkah masuk dengan sempojongan, tjepat ia
berpegangan pada sandaran kursi jang berada disitu.
Kuatir kalau bajangan sendiri
jang tersorot tjahaja rembulan itu akan dilihat oleh mereka, tjepat Djik hong
meringkuk kebawah djendela sambil mendengarkan dengan tjermat, ia tidak berani
mengintip gerak-gerik kedua orang itu lagi.
Ia dengar Ban Ka merandek
sedjenak sesudah memanggil ajahnja tadi, lalu katanja dengan suara ter-putus2:
“Tia, men…… menantumu itu bukan …….bukan orang baik2.”
Djik Hong terkedjut pula, ia
heran mengapa sang suami berkata begitu?
Maka terdengar Ban Tjin-san
sedang tanja: “Ada apa lagi? Suami-isteri bertengkar?”
“Kiam-boh sudah diketemukan. Tia,
menantumu itulah jang mengambilnja,” sahut Ban Ka.
“Ha, sudah diketemukan? Itulah
bagus, bagus!” seru Tjin-san dengan girang. “Dimana kitabnja?”
Djik Hong djuga terkedjut dan
heran tak terkatakan. Ia pikir: “Mengapa dapat diketahui olehnja? Ah, tentu
sibotjah Khong-sim-djay itu jang telah berkata pada ajahnja.”
Tapi utjapan Ban Ka
selandjutnja telah membantah sangkaannja itu. Ban Ka telah memberitahukan
kepada ajahnja bahwa dia telah mengetahui gerak-gerik Djik Hong dan
Khong-sim-djay jang mentjurigakan, maka ia sengadja pura2 tidur, tapi diam2
mengawasi tingkah-laku Djik Hong, ia melihat isterinja itu membawa baskon
ketaman belakang dan diam2 ia telah menguntitnja, ia menjaksikan Djik Hong
menjembunjikan Kiam-boh kedalam lubang dinding didalam kamar podjok taman
sana…..
Sungguh Djik Hong gegetun
setengah mati: “O, ajah jang bernasib malang, kitabmu itu kembali djatuh lagi
ditangan Kongkong dan Ban-long, untuk merebutnja kembali terang akan maha
sulit. Baiklah, aku mengaku salah, memang Ban-long lebih lihay daripadaku.”
Kemudian terdengar Ban
Tjin-san sedang berkata: “Wah, bagus sekali djika begitu, lekaslah, lekas ambil
kitab itu, dan kau boleh pura2 tidak tahu apa2 untuk melihat bagaimana kelakuan
isterimu itu, djika dia tidak singgung2 lagi, maka kau djuga tidak perlu
katakan padanja. Aku djusteru sangat tjuriga darimanakah datangnja kitab ini,
djangan2…….djangan2……….” ~ begitulah ia tidak melandjutkan djangan2 apa?
Maka Ban Ka telah berkata:
“Tia!” ~ suaranja kedengaran sangat menderita.
“Ada apa?” sahut Tjin-san.
“Sebabnja menantumu mentjuri
Kiam-boh itu, kiranja …….kiranja adalah untuk …….” berkata sampai disini
suaranja mendjadi gemetar dan se-akan2 tersumbat.
“Untuk siapa?” Tjin-san
menegas.
“Kiranja adalah untuk……untuk
siandjing keparat Go Him itu!” sahut Ban Ka achirnja.
Telinga Djik Hong serasa
mendengung, hampir2 ia tidak pertjaja pada telinganja sendiri. Hanja dalam hati
ia berkata: “Perbuatanku itu adalah demi ajahku, mengapa bilang untuk Go Him?
Mengapa menuduh aku berbuat untuk Go Him?”
Begitulah Djik Hong merasa
penasaran oleh tuduhan Ban Ka itu. Ia dengar Ban Tjin-san djuga sangat heran
dan kedjut, orang tua itu telah tanja: “Untuk Go Him, katamu?”
“Ja,” sahut Ban Ka. “Sesudah
kulihat dia menjembunjikan Kiam-boh ditaman belakang sana, dari djauh aku
menguntitnja pula, siapa duga …….siapa duga setiba diserambi situ, ternjata ia
telah main kasak-kusuk dengan keparat Go Him, perempuan …….perempuan djalang
itu benar2 tidak tahu malu lagi!”
“Tapi selama ini aku melihat
tingkah-lakunja toh sangat baik dan sopan, tidak mirip seorang jang kotor
seperti itu, apa kau tidak salah lihat? Dan apa jang dibitjarakan oleh mereka?”
demikian kata Ban Tjin-san dengan ragu2.
“Anak kuatir dipergoki mereka,
maka tidak berani terlalu mendekat, pula diserambi sana tiada tempat sembunji,
terpaksa aku mengumpet diudjung tembok untuk mendengarkan,” tutur Ban Ka. “Tapi
suara pertjakapan sepasang andjing laki-perempuan itu sangat lirih, aku tidak
dapat mendengar seluruhnja, hanja sebagian sadja dapat kudengar dengan djelas.”
“O,” Tjin-san bersuara,
katanja: “Sudahlah, Ka-dji sabarlah dulu. Seorang laki2 masakah kuatir tidak
bisa mendapat isteri lagi? Sesudah Kiam-boh itu dapat kita temukan, pula bila
rahasia didalam Kiam-boh sudah kita petjahkan, dalam sekedjap sadja kita akan
mendjadi kaja-raja sekaligus kau ingin membeli seratus orang isteri dan seribu
selir djuga sangat gampang. Nah, duduklah kau, bitjaralah dengan pelahan2.”
Lalu terdengar suara
“krak-krek” papan randjang, Ban Ka telah duduk ditepi tempat tidur itu,
kemudian berkata pula dengan napas ter-engah2. “Sesudah perempuan djalang itu
selesai menjembunjikan kitab, rupanja ia sangat senang, bahkan ber-njanji2
ketjil segala. Ketika ketemu gendaknja, jaitu sikeparat Go Him, segera binatang
she Go itu tjengar-tjengir dan berkata padanja: ‘Suso, tengah malam nanti
djangan lupa, lho! Aku menanti engkau digudang kaju sana!” ~ utjapan ini dengan
terang dapat kudengar dengan baik, sedikitpun tidak salah.”
“Dan, bagaimana lagi djawab
perempuan djalang itu?” tanja Tjin-san.
“Dia…….dia mendamperat: ‘Kau
tjari mampus, besar amat njalimu, apakah kau sudah bosan hidup!'” tutur Ban Ka.
Sungguh hantjur hati Djik hong
mendengar tjertjaan pada dirinja itu, ia tidak tahu mengapa mereka mempitenah
orang baik2? Padahal ia berbuat, demi kepentingan sang suami dan ingin merebut
obat penawar untuk menejmbuhkan lukanja, tapi sang suami malah menistanja
setjara begitu kedji, sungguh lelaki jang tidak punja Liangsim, demikian pikir
Djik Hong.
Ia dengar Ban Ka sedang
melandjutkan tjeritanja lagi: “Sesudah kudengar pertjakapan mereka itu, sungguh
hatiku sangat panas, kalau bisa sungguh aku ingin menubruk madju dan bunuh
kedua andjing laki dan perempuan itu. Tapi aku tidak membawa sendjata, apalagi
dalam keadaan terluka, aku tidak dapat menempur mereka setjara terang2an,
segera aku lari kembali kekamar agar sesudah perempuan djalang itu pulang
kekamar takkan mentjurigai diriku. Dan apa jang dibitjarakan sepasang andjing
laki dan perempuan itu selandjutnja aku tidak tahu lagi.”
“Hm, bapa andjing tidak nanti
melahirkan puteri harimau, dasar sekeluarga she Djik mereka itu adalah manusia2
rendah semua,” demikian Tjin-san memaki. “Baiklah kita pergi mengambil dulu
Kiam-boh itu, kemudian kita mendjaga diluar gudang kaju untuk menangkap basah
perbuatan hina sepasang andjing laki-perempuan itu, lalu habiskan djiwa
mereka.”
“Rupanja perempuan djalang itu
sudah tidak seranti ditunggu oleh gendaknja, maka djauh sebelum tengah malam
sudah keluar sedjak tadi,” kata Ban Ka. “Sementara ini mungkin…….mungkin
sedang……” ~ saking geregetan barangkali hingga terdengar giginja berkrutukan.
“Djika begitu, sekarang djuga
kitapun berangkat kesana,” udjar Tjin-san. “Bawalah sendjata, tapi kau djangan
turun tangan, biar aku mengutungi kaki dan tangan mereka dulu, kemudian kau
sendiri menghabiskan njawa sepasang andjing laki-perempuan itu.”
Lalu kelihatan pintu kamar
dibuka, sambil memajang Ban Ka, Ban Tjin-san membawa puteranja itu menudju
ketaman belakang.
Sembari bersandar ditembok,
sungguh pedih sekali hati Djik Hong, air matanja bertjutjuran bagai hudjan.
Maksudnja ingin luka sang suami bisa lekas sembuh, siapa tahu sang suami
berbalik mentjurigai dirinja berbuat serong. Sedangkan ajahnja sedjak
menghilang tidak pernah kembali lagi. Tik Hun telah merana entah kemana dengan
menanggung penasaran tanpa berdosa, dan kini……kini sang suami bersikap demikian
pula padanja, penghidupan seperti ini entah bagaimana nasib selandjutnja?
Begitulah ia merasakan
kekosongan hati, sungguh ia tidak ingin hidup lagi, sama sekali tiada
pikirannja buat memberi pendjelasan pada sang suami atau minta dikonfrontir
dengan Go Him sebagai saaksi, seketika ia tjuma merasa badannja lemas dan
bersandar didinding.
Selang tidak lama, tiba2
terdengar suara tindakan orang, Ban Tjin-san dan Ban Ka telah kembali diruangan
duduk, mereka sedang berunding pula.
“Tia,” demikian Ban Ka lagi
berkata, “kenapa kita tidak bunuh Go Him sadja digudang kaju tadi?”
“Didalam gudang hanja terdapat
Go Him sendiri,” sahut Tjin-san dengan suara rendah, mungkin perempuan djalang
itu telah tahu gelagat djelek, maka sudah merat sendiri lebih dulu. Djika kita
takbisa menangkap basah perbuatan kotor mereka, mana boleh kita sembarangan
membunuh orang mengingat kita adalah keluarga terkemuka dikota Hengtjiu sini?
Kau harus tahu sesudah kita mendapatkan Kiam-boh, masih banjak pekerdjaan
penting lain jang harus kita lakukan dikota ini, maka kita harus sabar, djangan
terburu napsu hingga menggagalkan usaha besar kita!”
“Habis, apakah kita antepin
sadja urusan ini?” tanja Ban Ka. “Dan tjara bagaimana dendam anak ini harus
dilampiaskan?”
“Untuk melampiaskan dendam apa
sih susahnja?” ujar Tjin-san. “Kita dapat gunakan tjara lama!”
“Tjara lama?” Ban Ka menegas.
“Ja, tjara lama! Tjara kita
mengerdjakan Djik Tiang-hoat dulu!” kata Tjin-san. Ia merendek sedjenak, lalu
sambungnja pula: “Sementara ini kau kembali kekamar dulu, sebentar aku akan mengumpulkan
para anak murid dan kau boleh datang bersama mereka keluar kamarku. Hati2lah,
djangan sampai menimbulkan tjuriga orang.”
Sebenarnja pikiran Djik Hong
sedang kusut tak keruan, ia sudah putus asa, jang masih terasa berat olehnja
adalah puterinja jang masih ketjil itu. Dan demi tiba2 mendengar Ban Tjin-san
menjatakan hendak “menggunakan tjara lama dikala mereka mengerdjakan Djik
Tiang-hoat dahulu” terhadap Go Him, seketika otaknya seperti dikompres dengan
es, dengan segera pikirannja djernih kembali, sekilas timbul suatu pertanjaan
dalam benaknja: “Dengan tjara apakah mereka telah mengerdjakan ajahku dahulu?”
Ia pikir hal ini diselidikinja
hingga terang. Dan sebentar Kongkongnja akan mengumpulkan para anak muridnja,
kemanakah ia harus bersembunji?
Sementara itu terdengar Ban Ka
sedang mengiakan perintah ajahnja, lalu melangkah pergi. Kemudian Ban Tjin-san
menudju keluar, ia berseru menjuruh pelajan menjalakan pelita dan mengundang
para muridnja.
Tidak lama kemudian dari
sana-sini terdengarlah suara berisik para muridnja jang sedang mendatangi untuk
berkumpul. Djik Hong tahu bila tinggal lebih lama disitu, tentu akan ada orang
lalu diluar djendela dan mempergoki djedjaknja. Sesudah ragu2 sedjenak, terus
sadja ia menjelinap masuk kedalam kamarnja Ban Tjin-san. Ia singkap seperei
jang menutupi kolong randjang, lalu menjusup kebawah. Dengan begitu, asal tiada
orang menjingkap seperei jang mendjulur hampir ketanah itu, tentu tiada
seorangpun jang dapat mempergoki djedjaknja.
Ia bertiarap melintang
dikolong randjang, tidak lama kemudian tertampaklah ada sinar pelita merembes
masuk melalui bawah seperai, ada orang masuk dengan membawa pelita. Ia melihat
sepasang kaki jang bersepatu ikut melangkah masuk, itulah kakinja BanTjin-san.
Sesudah kaki itu melangkah disamping kursi, lalu terdengar suara berkeriut
perlahan, Ban Tjin-san telah duduk diatas kursi. Lalu terdengarlah ia
memerintahkan pelajan keluar dan menutup pintu kamar.
Tidak lama, terdengar suara
Loh Kun berseru diluar kamar. “Suhu, kami sudah datang semua, silakan Suhu
memberi perintah.”
“Ehm, bagus! Nah, kau boleh
masuk dulu,” sahut Ban Tjin-san.
Segera Djik Hong melihat pintu
kamar didorong, sepasang kakinja Loh Kun tampak melangkah masuk, kemudian pintu
kamar dikantjing lagi.
“Ada musuh telah mendatangi
rumah kita, apakah kau tak tahu?” demikian Tjin-san mulai bertanja.
“Siapakah musuh itu? Tetju
tidak tahu,” sahut Loh Kun.
“Orang itu menjaru sebagai
seorang tabib kelilingan, bahkan sudah pernah datang kemari,” udjar Ban
Tjin-san.
Diam2 Djik Hong terkedjut:
“Masakah dia mengenali siapakah gerangan sitabib itu?”
Maka terdengar Loh Kun sedang
mendjawab: “Tetju telah mendengar djuga hal itu dari Go-sute. Dan siapakah
musuh itu sebenarnja?”
“Orang itu dalam keadaan
menjamar, aku tidak melihat dengan sendiri, maka aku belum dapat meraba
asal-usulnja,” kata Tjin-san. “Maka besok pagi2 hendaklah kau menjelidiki
kesekitar utara kota, kemudian melapor padaku hasilnja. Sekarang kau keluar
dulu, sebentar aku akan memberi tugas lain lagi.”
Loh Kun mengiakan, lalu keluar
kamar.
Ber-turut2 Ban Tjin-san
memanggil pula murid keempat Sun Kin dan murid kelima Bok Heng, apa jang
dikatakan pada mereka pada garis besarnja serupa tadi. Hanja sadja Sun Kin
ditugaskan kesekitar selatan kota dan Bok Heng menjelidiki timur kota. Dikala
memberi pesan pada Bok Heng sengadja ditambahkannja: “Go Him akan menjelidiki
barat kota, Pang Tan dan Sim Sia akan memberi bantuan dimana perlu. Sedangkan
Ban-suko kalian masih sakit, ia takbisa ikut keluar.”
“Ja, Ban-suko memang perlu
istirahat dulu,” demikian sahut Bok Heng, lalu membuka pintu dan keluar kamar.
Sudah tentu Djik Hong tahu apa
jang dikatakan Ban Tjin-san itu sengadja hendak diperdengarkan kepada Go Him
agar pemuda itu tidak menaruh tjuriga apa-apa.
Maka terdengarlah Ban Tjin-san
sedang memanggil pula: “Go Him masuk!” ~ suaranja tetap tenang dan ramah, sama
seperti memanggil Loh Kun dan lain-lain.
Djik Hong melihat pintu kamar
terbuka lagi, kaki kanan Go Him melangkah masuk dulu, tampaknja agak ragu2
sedetik, tapi achirnja masuk djuga. Ia melangkah madju kedepan Ban Tjin-san dan
menunggu perintah.
Dari tempat sembunjinja Djik
Hong melihat djubah Go Him bagian bawah itu agak keder sedikit, suatu tanda
dalam hati Go Him sangat ketakutan, maka tubuhnja agak gemetar.
Maka terdengar Ban Tjin-san sedang
bertanja: “Kita kedatangan musuh, kau tahu tidak?”
“Tetju sudah mendengar uraian
Suhu barusan diluar kamar, katanja adalah tabib kelilingan itu,” sahut Go Him.
“Orang itu adalah Tetju jang mengundangnja kemari untuk mengobati Ban-suko,
sungguh tidak njana bahwa dia adalah musuh kita, harap Suhu suka memberi maaf.”
“Orang itu menjamar, pantas
djuga kalau kau tidak tahu,” udjar Tjin-san. “Nah, besok pagi kau pergi
kesekitar barat kota untuk menjelidiki, djika ketemukan djedjaknja, harus kau
mengawasi gerak-geriknja.”
“Ja, Suhu!” sahut Go Him.
Se-konjong2 Djik Hong melihat
kedua kaki Ban Tjin-san bergerak, mendadak orangnja berdiri, tanpa merasa Djik
Hong menjingkap sedikit seperai randjang untuk mengintai keluar. Tapi sekali
mengintip, seketika ia kaget setengah mati, hampir2 sadja ia mendjerit.
Ternjata adegan didalam kamar
itu membuatnja terbelalak kesima. Ia melihat kedua tangan Ban Tjin-san lagi
mentjekik leher Go Him dengan keras dan Go Him baru sadja ulur tangan sendiri
hendak melawan, namun sudah keburu tidak berdaja karena kena ditjekik. Ia
melihat kedua mata Go Him itu mendelik, makin lama makin mentjotot keluar
hingga mirip mata ikan emas. Telapak tangan Ban Tjin-san terluka kena tjakaran
kuku Go Him, tapi ia mentjekik se-kuat2nja, betapapun ia tidak mau lepas
tangan.
Lambat-laun kedua tangan Go
Him mulai terbuka dengan lemas, ia tak mampu berkutik lagi.
Sampai achirnja Djik Hong
melihat lidah Go Him djuga mendjulur keluar, makin lama makin pandjang,
keadaannja sangat mengerikan, keruan hati Djik Hong ber-debar2 hebat.
Selang sebentar lagi, pelahan2
Ban Tjin-san mengendurkan tjekikannja, ia sandarkan Go Him diatas kursi.
Rupanja ia sudah sediakan apa jang perlu, maka ia telah ambil dua tjarik kertas
kapas jang sudah dibasahi dulu dengan air, lalu ditutup diatas mulut dan hidung
Go Him. Dengan demikian pemuda itu takkan dapat bernapas, dan dengan sendirinja
djuga takkan siuman untuk selamanja.
Diam2 Djik Hong memikir:
“Kongkong pernah berkata bahwa keluarga mereka adalah kaum terkemuka dikota
Hengtjiu sini, tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan ajahnja Go Him
kabarnja adalah hartawan disekitar kota, tentu urusan ini takkan selesai sampai
disini sadja, akibatnja tentu akan geger kelak.”
Dan pada saat itu djuga, tiba2
terdengar suara bentakan Ban Tjin-san: “Bagus sekali perbuatanmu, hajolah lekas
kau mengaku terus terang, apakah perlu aku hadjar kau dahulu?”
Semula Djik Hong kaget sebab
mengira djedjaknja telah diketahui orang tua itu, tapi mendadak terdengar,
suaranja Go Him lagi mendjawab: “Suhu, engkau suruh aku meng…….mengaku apakah?”
Sungguh kedjut Djik Hong tak
terkatakan, sudah djelas dilihatnja Go Him sudah menggeletak diatas kursi tanpa
bernjawa lagi, masakah sekarang bisa bitjara pula? Apakah pemuda itu telah
hidup kembali? Tapi toh djelas kelihatan bukan begitu halnja, Go Him masih
tetap bersandar dikursi tanpa bergerak sedikitpun.
Waktu Djik Hong mengintip
pula, ia melihat bibir Ban Tjin-san sendiri jang sedang bergerak, ia mendjadi
heran. “Ha, djadi Kongkong jang lagi bitjara? Tapi sudah terang tadi itu adalah
suaranja Go Him.”
Maka didengarnja pula Ban
Tjin-san telah membentak lagi: “Mengaku apa? Hm, djangan kau berlaga pilon. Kau
sekongkol dengan musuh dan bermaksud mengerdjakan sesuatu kedjahatan dikota
Hengtjiu ini, apa kau masih berani mungkir?”
“Su…….Suhu, kedja……kedjahatan
apakah?” demikian suaranja Go Him.
Dan sekali ini Djik Hong dapat
melihat dengan djelas dan njata, memang betul Ban Tjin-san sedang bitjara
sendiri dengan menirukan suaranja Go Him, pintar amat tjara menirukannja itu
hingga serupa benar.
“Kiranja Kongkong masih
mempunjai kepandaian simpanan dalam hal menirukan suara orang, mengapa selama
ini aku tidak tahu. Apakah maksud tudjuannja dengan menirukan suara utjapan Go
Him ini?” demikian tanda2 tanja jang timbul dalam hati Djik Hong. Dalam lubuk
hatinja jang dalam sana lapat2 teringatlah sesuatu olehnja, tapi itu hanja
sesuatu jang samar2 jang belum dapat dipeladjari dengan baik. Dalam hati
ketjilnja timbul sematjam rasa kuatir jang susah dimengerti.
Dalam pada itu terdengar Ban
Tjin-san sedang berkata pula dengan suara keras: “Hm, kau sangka aku tidak
tahu, ja? Kau telah sekongkol dengan tabib kelilingan jang kau bawa kemari itu,
orang itu adalah seorang pendjahat besar, kau sekongkol dengan dia hendak
menggerajangi ………”
“Menggerajangi apa, Suhu?
Tetju benar2 tidak tahu?” demikian ia tirukan suaranja Go Him.
Habis itu kembali dengan suara
sendiri Tjin-san membentak: “Kau hendak menggerajangi kantor Leng-tihu untuk
mentjuri sesuatu dokumen rahasia, betul tidak? Ha, masih kau berani mungkir?”
“Su……… Suhu, darimanakah
engkau mendapat tahu? Suhu, sudilah meng…… mengingat hubungan baik kita selama
ini, am…….ampunilah perbuatanku ini, lain…… kali Tetju tidak berani lagi.”
“Hm, urusan sebesar ini,
masakah begini gampang mengampuni kau?”
Setelah diperhatikan, Djik
Hong merasa suara Go Him jang ditirukan Ban Tjin-san itu sebenarnja tidak
terlalu mirip, tjuma ia sengadja menahan suaranja hingga kedengarannja agak
samar2, bahkan setiap kalimat selalu ditambahi panggilan “Suhu” dan ber-ulang2
menjebut “Tetju”, maka bagi pendengaran orang diluar kantor dengan sendirinja
menjangka memang betul adalah Go Him jang sedang bitjara. Apalagi dengan njata
semua orang menjaksikan Go Him masuk kedalam kamar serta mendengar pertjakapan
mereka, walaupun suara selandjutnja agak sedikit berlainan, namun selain Go Him
masakah didalam kamar itu masih ada orang lain lagi?”
Begitulah pelahan2 Ban
Tjin-san lantas mengangkat majatnja Go Him, ia berdjongkok untuk menjingkap
seperai jang menutup kolong randjang itu.
Keruan Djik Hong ketakutan
setengah mati bila kepergok oleh bapa mertuanja.
Sambil menahan napas ia
menantikan apa jang akan terdjadi. Dibawah sinar pelita jang remang2 ia melihat
sebuah kepala orang menjusup dulu kekolong randjang, itulah kepalanja Go Him
dengan matanja jang mendelik bagai mata ikan mas. Karena majat Go Him itu terus
didjedjalkan kekolong randjang oleh Tjin-san, terpaksa Djik Hong menggeser
sedapat mungkin, namun badannja toh saling dempel djuga dengan majat itu.
Dalam pada itu sandiwara Ban
Tjin-san masih main terus, terdengar ia berkata: “Nah, Go Him, apakah kau tidak
lekas berlutut? Segera akan kuringkus kau untuk diserahkan kepada Leng-tihu,
apakah beliau akan mengampuni kau atau tidak, itulah aku tidak berani
mendjamin.”
“Suhu, apakah engkau benar2
tidak dapat mengampuni Tetju?” demikian suara Go Him tiruan.
Maka Tjin-san mendjawab: “Hm,
mempunjai murid seperti kau, pamorku sudah kau bikin ludas, masakah masih ingin
aku mengampuni kau?”
Lalu Djik Hong melihat orang
tua itu mengeluarkan sebilah belati dari badjunja, pelahan2 Tjin-san menikam
kedada sendiri. Tapi didalam badju dibagian dada itu entah sudah digandjal
dengan gabus atau benda lain jang empuk maka begitu belati ia ditusukan, segera
menantjap tegak disitu.
Dan baru sadja Djik Hong tahu
apa jang bakal terdjadi, benar djuga segera terdengar suara bentakan Ban
Tjin-san: “Masih kau tidak mau berlutut?”
Menjusul ia menirukan suara Go
Him: “Suhu, engkaulah jang terlalu mendesak padaku, kau tidak dapat menjalahkan
aku lagi!”
Dan mendadak Ban Tjin-san
berteriak: “Aduuuuh!” berbareng ia tendang daun djendela hingga terpentang
sambil berteriak pula: “Bangsat ketjil, kau……kau berani menjerang gurumu?”
Segera terdengarlah suara
gedubrakan, pintu kamar telah didobrak Loh Kun dan lain2 dari luar dan
be-ramai2 mereka lantas menjerbu kedalam kamar. Mereka melihat sang guru lagi
memegangi dada, dari tjelah2 djarinja merembes keluar air darah (besar
kemungkinan adalah tinta merah jang sudah dipegangnja lebih dulu).
“La……..lari kesana! Bangsat
ketjil itu sudah lari sesudah menikam aku satu kali!” demikian seru Ban
Tjin-san dengan suara ter-putus2 dan agak sempojongan. Le……lekas kedjar,
ke…..kedjar!” ~ dan habis itu, segera iapun djatuhkan dirinja diatas randjang.
Ban Ka pura2 kuatir, ia ber-teriak2:
“Tia-tia! Tia-tia! Parah tidak lukamu?”
Dalam pada itu Loh Kun, Sun
Kin, Bok Heng, Pang Tam dan Sim Sia berlima sudah lantas melompat keluar
djendela dan menguber sambil mem-bentak2. Seisi rumah sama terkedjut djuga
hingga geger.
Djik Hong jang sembunji
dikolong randjang itu merasa majat Go Him lambat-laun mulai dingin. Ia sangat
takut, tapi sedikitpun tidak berani bergerak. Ia tahu Kongkong masih merebah
diatas randjang dan sang suami djuga berdiri didepan randjang situ.
Maka terdengarlah Ban Tjin-san
sedang bertanja dengan suara rendah: “Ada orang menaruh tjuriga tidak, Ka-dji?”
“Tidak,” sahut Ban Ka.
“Sungguh mirip benar permainan ajah. Sama seperti waktu membunuh Djik Tiang
Hoat, sedikitpun tidak kentara.”
“Sama seperti waktu membunuh
Djik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara”, kata2 ini seperti sebilah belati
tadjam jang menikam ulu hati Djik Hong.
Memangnja lapat2 sudah timbul
firasat tidak enak dalam hatinja, tjuma sadja ia masih tidak pertjaja akan
kemungkinan itu. Ia pikir: “Selamanja Kongkong toh sangat ramah-tamah padaku,
suami djuga sangat baik dan mentjintai aku, masakah mungkin mereka membunuh
ajahku?”
Dengan sembunji dikolong
randjang, Djik Hong dapat mengikuti Ban Tjin-san membunuh muridnja sendiri,
jaitu Go Him, dengan setjara litjik. Ternjata bapa mertua itu pandai pula
menirukan suara orang lain. Seketikan Djik Hong teringat kepada kedjadian
ajahnja dahulu, apa barangkali ajahnja djuga telah mendjadi korban kelitjikan
Ban Tjin-san itu?
Tapi sekarang ia telah mendengar
dan melihat sendiri, dengan rapi mereka telah atur perangkap untuk membunuh Go
Him. Pantas tempo dulu iapun mendengar suara ajahnja jang sedang bertengkar
dengan Ban Tjin-san didalam kamar, kemudian melihat Ban Tjin-san terluka oleh
tikaman ajahnja serta melihat daun djendela terbuka, ajahnja tentu sudah kabur
melalui situ. Dan sekarang sudah djelas duduknja perkara, semuanja itu adalah
sandiwara belaka jang sengadja diatur oleh Ban Tjin-san. Pada waktu itu ajahnja
tentu sudah dibunuh olehnja, lalu Ban Tjin-san menirukan suara ajahnja, pantas
waktu itu suara ajahnja kedengaran agak serak berbeda daripada biasanja. Dan
rupanja memang sudah takdir ilahi bahwa kedjahatan Ban Tjin-san itu harus tamat
riwajatnja, setjara kebetulan sekarang ia sembunji dikolong randjang hingga
dengan mata kepala sendiri menjaksikan adegan jang mengerikan itu. Tjoba kalau
tidak melihat sendiri, siapa orangnja jang mau pertjaja?
Begitulah maka terdengar Ban
Ka lagi bitjara: “Dan perempuan hina itu, bagaimana harus ditindak? Apakah
kubiarkan begitu sadja?”
“Sabar dulu, pelahan2 kita
dapat bereskan dia,” udjar Tjin-san. “Harus kita lakukan dengan tak diketahui
orang dan tak dilihat setan supaja tidak merusak nama baik keluarga Ban dan
mentjemarkan pamor kita berdua.”
“Ja, memang tjara berpikir
ajah sangat rapi,” sahut Ban Ka. Dan tiba2 ia mendjerit: “Aduuuh……..”
“Ada apa?” tanja Tjin-san
tjepat.
“Luka ditangan anak ini
kembali kesakitan lagi,” kata Ban Ka.
“O!” Tjin-san bersuara. Dan
dalam hal ini memang dia sama sekali tak berdaja.
Bitjara tentang luka Ban Ka
itu, Djik Hong lantas ingat obat penawar jang berada pada Go Him itu. Pelahan2
ia ulur tangannja untuk menggerajangi badjunja Go Him, ia merasa botol porselin
ketjil itu masih berada didalam sakunja, segera ia mengambilnja dan dimasukan
dalam badju sendiri. Dengan rasa pilu ia memikir: “Ban-long, o, Ban-long, hanja
separoh pembitjaraan keparat Go Him ini jang kau dengar dan kau sudah lantas
mendakwa aku berbuat serong dan sebab itu djuga kau tidak dengar bahwa obat
penawar berada pada keparat ini. Sesudah dia dibunuh oleh ajahmu, sebenarnja
dengan tanpa susah2 kau dapat mengambil obat penawar ini, tapi toh kalian tidak
tahu.
Sementara itu karena tidak
menemukan bajangan Go Him, tidak lama kemudian Loh Kun dan lain2 telah pulang djuga
satu-persatu serta datang pada Ban Tjin-san untuk tanja keadaan sang guru itu.
Waktu itu Ban Tjin-san sudah
membuka badju hingga dadanja telandjang, tampak kain pembalut membelebat dari
leher memutar kedada, melingkar kepunggung, lalu membalut kembali kedada dan
naik lagi keleher.
Sekali ini lukanja tidak
begitu parah seperti dahulu. Habis, ilmu silat Go Him tidak mungkin lebih lihay
daripada paman gurunja ~ Djik Tiang Hoat. Walaupun tikamannja itu tjukup hebat,
tapi tidak membahajakan. Demikian permainan sandiwara Ban Tjin-san.
Dan sudah tentu para muridnja
sangat lega melihat sang guru tidak berbahaja lukanja, mereka sama
mentjatji-maki pada Go Him jang dikatakan manusia durhaka dan murtad, semuanja
menjatakan besok akan pergi mentjari orang-tuanja untuk diadjak bikin
perhitungan, mereka mengharap sang guru merawat diri baik2, lalu mengundurkan
diri. Hanja tinggal Ban Ka jang masih duduk ditepi randjang untuk mendjaga
ajahnja.
Jang gelisah adalah Djik Hong,
ia ingin mentjari suatu kesempatan untuk lari keluar, ia meringkuk disebelah
majat Go Him, rasanja muak dan sebal, maka sedapat mungkin ingin lekas pergi,
tapi kuatir pula kalau diketahui oleh Ban Tjin-san berdua, sama sekali ia tiada
akal untuk meloloskan diri.
Dalam pada itu terdengar Ban
Tjin-san lagi bitjara: “Kita harus bereskan dulu majatnja, djangan sampai
rahasia kita diketahui orang.”
“Apakah akan dibereskan
seperti tjaranja Djik Tiang-hoat?” tanja Ban Ka.
Tjin-san memikir sedjenak,
lalu katanja: “Ja, lebih baik dengan tjara lama itu.”
Djik Hong meneteskan air mata
pedih, katanja didalam hati. “Dengan tjara bagaimanakah mereka telah kerdjakan
ajahku?”
“Apakah akan dipasang disini?
Ajah tidur disini, apakah tidak merasa risi?” tanja Ban Ka.
Sementara boleh aku pindah
kekamarmu,” sahut Tjin-san. “Jang kukuatirkan jalah mungkin masih akan timbul
sesuatu jang sulit, masakah orang begitu baik hati menghantarkan kembali
Kiam-boh ini kepada kita? Maka kita berdua harus bersatu-padu untuk melawan
musuh. Kelak kalau kita sudah kaja-raja masak kuatir tidak punja gedung jang
lebih mentereng daripada ini?”
Ketika mendengar majat Go Him
akan “dipasang” disitu, seketika terkilas sesuatu dalam benak Djik Hong, segera
iapun paham duduknja perkara: “Ja, dia …….dia telah pasang majat ajahku didalam
tembok. Dengan litjin ia telah musnakan majat ajahku, pantas selama ini tiada
kabar-berita tentang djedjak ajahku. Pantas pula Kongkong…… tidak, tidak, ia
bukan Kongkong lagi, tapi djahanam Ban Tjin-san itu suka bangun ditengah malam
untuk pasang tembok. Rupanja dia terlalu banjak berbuat kedjahatan, pikirannja
terganggu, maka telah kena penjakit tidur, dalam tidurnja ia suka bangun untuk
pasang tembok……”
Kemudian ia dengar Ban Ka
sedang tanja: “Tia, sebenarnja apakah manfaat jang berada pada Kiam-boh itu? Engkau
mengatakan kita akan mendapatkan harta karun hingga kaja-raja mendadak? Apa
barangkali kitab ini bukan……bukan kitab ilmu silat segala, tapi adalah sesuatu
rahasia mengenai suatu partai harta karun terpendam?”
“Ja, sudah tentu bukan kitab
ilmu silat, tapi jang dikatakan didalam Kiam-boh itu adalah suatu tempat
simpanan harta karun,” sahut Tjin-san. “Dahulu situa bangka Bwe Liam-sing
hendak mewariskan kitab itu kepada orang luar, hehe, benar2 tua bangka, masakah
murid sendiri djuga tak dipertjajai. Eh, Ka-dji, lekas, lekas kau ambil
Kiam-boh itu.”
Setelah ragu2 sedjenak,
kemudian Ban Ka mengeluarkan sedjilid buku dari badjunja. Kiranja
sepeninggalnja Djik Hong dari kamar podjok taman itu, segera Ban Ka masuk
kesitu dan mengeluarkan kitab itu dari lubang dinding.
Kitab itu habis direndam oleh
Djik Hong, maka sampulnja belum lagi kering. Ban Tjin-san menerima kitab itu
sambil melirik sekedjap pada puteranja itu, pikirnja: “Barusan mengapa kau
ragu2? Kenapa tak mau keluarkan kitab itu setjara blak2an? Apa kau hendak
membohongi aku untuk mengangkangi sendiri kitab ini?”
Tapi sekarang ia tiada tempo
buat menjelami pikiran sang putera itu, segera ia mem-balik2 kitab itu satu
halaman demi satu halaman.
Sesudah terendam sekian
lamanja didalam air darah jang berbisa dibaskom itu, kedua halaman sampul
berikut beberapa halaman muka dan belakang dari kitab itu sudah basah semua,
tapi halaman2 bagian tengah masih tetap kering.
Maka dengan suara rendah Ban
Tjin-san telah berkata: “Kitab ini apakah dapat kita pertahankan atau tidak
sesungguhnja sulit dipastikan. Paling penting sekarang kita harus menjelidiki
rahasia jang tertulis didalam kitab ini, dan bila kemudian kitab ini dirampas
orang lagi, hal mana takkan mendjadi soal bagi kita. Nah, pergilah ambil
sebatang potlot dan kertas, kita harus mentjatatnja dengan baik. Nah, kau djuga
harus apalkan djurus pertama dari Soh-sim-kiam-hoat berasal dari sjair
‘Djun-kui’ (Musim semi tiba pula) tjiptaan To Hu (Tu Fu, penjair tersohor
didjaman dinasti Tong) ……”
Sembari berkata ia terus
gunakan djarinja untuk mengambil ludah, lalu digunakan membasahi halaman kitab
jang tertulis sjair To Hu itu, tiba2 ia berseru pelahan kegirangan, katanja:
“Ha, angka ’empat’! Empat…….empat…….bagus! Huruf keempat adalah ‘Kang’, nah,
tjatatlah jang betul. Dan djurus kedua berasal dari sjair To Hu pula jang
berdjudul ‘Tiong-kang-tjiau-leng’.” ~ Kembali ia membasahi djari dengan ludah
dan lagi2 ia bersorak pelahan: “Ha, angka ’51’. Nah, satu, dua, tiga, empat,
lima………” ~ begitulah ia menghitung terus satu huruf demi satu huruf hingga
huruf ke-51, dan ternjata djatuh pada huruf ‘Leng’. “Ha, huruf ‘Leng’, djadi
‘Kang-leng’, bagus. ‘Kang-leng’, kiranja memang betul adalah di Hengtjiu sini.”
“Tiatia, hendaklah pelahan
sedikit suaramu,” kata Ban Ka ketika melihat ajahnja mendjadi lupa daratan
saking girangnja.
Maka Ban Tjin-san telah
tersenjum, katanja: “Ja, benar, memang tidak boleh lupa daratan saking
senangnja. Nah, Ka-dji, djerih-pajah ajahmu ini achirnja tidaklah sia2, rahasia
besar ini achirnja dapat kita ketemukan djuga!”
Dan se-konjong2 ia menutup
kembali halaman kitab itu, katanja dengan suara tertahan: “Tapi, Ka-dji, sebab
apakah musuh sengadja menghantarkan Kiam-boh ini kepada kita, sekarang aku
sudah tahulah!”
“Sebab apakah?” Hal mana
sampai sekarang aku masih tidak paham,” udjar Ban Ka.
“Ja, sebab setelah mendapatkan
Kiam-hoat ini, tetap musuh tak dapat memetjahkan rahasia didalam kitab, dan
dengan sendirinja tiada berguna, bukan?” kata Ban Tjin-san dengan ber-seri2.
“Padahal Soh-sim-kiam-hoat kita setiap djurusnja memakai nama jang berasal dari
sjair djaman Tong, dengan sendirinja orang dari golongan lain takkan tahu hal
ini. Didunia ini sekarang hanja aku dan Gian Tat-peng jang ingat dengan baik
nama2 djurus ilmu pedang kita. Hanja aku dan dia jang tahu nama setiap djurus
itu berasal dari sjair jang mana. Seperti djurus pertama harus mentjarinja pada
sjair ‘Djin-kui’ dan djurus kedua harus mentjari pada sjair
‘Tiong-kang-tjiau-leng’ dan begitu seterusnja.”
“Tia, kenapa kau tidak pernah
mengadjarkan padaku?” demikian Ban Ka bertanja.
BanTjin-san tampak agak kikuk
oleh teguran itu, segera ia mendjawab: “Habis aku mempunjai delapan anak murid,
setiap hari kalian berada bersama, kalau melulu aku adjarkan padamu, tentu
djuga akan diketahui oleh mereka, dan itu berarti bikin urusan runjam.”
“O, kiranja musuh mempunjai
tipu muslihat tertentu, ia ingin kita menemukan rahasia didalam kitab ini dan
membiarkan kita pergi mentjari harta karun itu, kemudian ia akan menjergap
kita, dengan demikian ia akan keduk keuntungannja tanpa susah pajah,” demikian
kata Ban Ka.
“Ja, memang betul terkaanmu,”
kata Tjin-san. “Maka setiap tindakan kita harus waspada, djangan sampai usaha
kita sia2 belaka, djangan2 harta karun belum diperoleh, tapi djiwa kita sudah
melajang dulu ditangan musuh.”
Kemudian itu menggunakan ludah
pula untuk membasahi sjair ketiga, katanja: “Djurus ketiga dari
Soh-sim-kiam-hoat kita berasal dari sjair ‘Song-ko-si’ tjiptaan Dju Bek, angka
kuntjinja adalah ’33’ seperti apa jang sudah kelihatan ini, nah, satu, dua,
tiga, empat…….Ha, huruf tiga-puluh-tiga djatuh pada huruf ‘Seng’ (kota). Eh,
djadi lengkapnja adalah ‘Kang-leng-seng’ (kota Kang-leng atau Hengtjiu). Aha,
ini dia, memang benarlah, tidak salah lagi, apa jang mesti disangsikan pula?
He, kenapa tanganku ini terasa sangat gatal?”
Begitulah tiba2 ia merasa
punggung tangan kirinja sangat gatal, segera ia kukur2 dengan tangan kanan.
Tapi punggung tangan kanan ikut terasa gatal pula, tjepat ia garuk2 lagi dengan
tangan kiri dan begitulah setjara ber-ulang2, ia kukur2 sini dan garuk sana.
Sesudah kukur2 dan garuk2,
sebenarnja Ban Tjin-san tidak ambil perhatian, kembali ia membatja isi Kiam-boh
pula dan berkata: “Dan djurus keempat ini……….he, gatal benar?” ~ dan kembali ia
kukur2 tangan kiri. Tapi sekali ini ia tjoba periksa tangan itu, ia melihat
punggung tangan disitu terdapat beberapa djalur bekas tinta hitam, keruan ia
heran, ia merasa tidak pernah menulis, kenapa tangannja terpertjik noda tinta?
Sementara itu ia merasa
tangannja semakin gatal, waktu ia periksa tangan kanan, disitu djuga terdapat
beberapa djalur bekas tinta bak jang silang melintang tak keruan.
“Ha, ajah, dari……..darimanakah
noda hitam diatas tanganmu itu?” demikian teriak Ban Ka tiba2. “Tampaknja tanda
itu seperti terkena ratjun ketungging Gian Tat-peng itu?”
Ban Tjin-san tersadar oleh
utjapan puteranja itu, ia merasa tangannja semangkin gatal, tanpa merasa ia
garuk2 lagi kesana dan kesini.
“Wah, djang………djangan digaruk,
ratjun itu berasal dari kukumu itu,” seru Ban Ka.
“Ai, memang benar!’ segera Ban
Tjin-san djuga berteriak. Iapun sadar seketika, katanja: “Ja, karena Kiam-boh
ini direndam didalam air darah berbisa oleh siperempuan djalang itu, dengan
sendirinja kitab inipun mengandung ratjun djahat itu. Ai, ku……. kurangadjar
sikeparat Go Him itu, mati sadja tidak rela hingga tanganku kena ditjakarnja
sampai terluka, dan sekarang ratjun ketungging telah masuk melalui luka ini,
rasaku mendjadi risi, tapi agaknja tidak apa2……..Aduuuh, kenapa makin lama
semakin sakit. Auuuuuh, aduuuuh!” ~ begitulah saking tak tahan achirnja ia
me-rintih2 kesakitan.
“Tia, agaknja ratjun
ketungging jang masuk ditanganmu itu, tidak banjak, biarlah kuambilkan air
untuk ditjutji,” udjar Ban Ka.
“Ja, benar!” sahut Ban
Tjin-san. Dan mendadak ia berseru: “Tho Ang! Tho Ang! Ambilkan air!”
Ban Ka mengkerut kening, ia
pikir: “Ajah barangkali sudah pikun? Sudah lama Tho Ang telah diusir olehnja
sendiri, kenapa sekarang me-manggil2?”
Segera iapun mengambil sebuah
baskom, dengan tjepat ia menudju ketepi sumur, ia menimba air satu baskom
penuh, lalu dibawa masuk kekamar dan ditaruh diatas medja. Terus sadja Ban
Tjin-san masukan kedua tangannja untuk direndam didalam baskom, dan memang
benar kerendam air dingin, rasa sakit dan gatalnja mendjadi djauh berkurang.
Diluar dugaan bahwa ratjun
ketungging jang mengenai Ban Ka itu telah berubah sifatnja, sesudah dibubuhi
obat penawar satu kali, darah hitam jang merembes keluar dari lukanja itu telah
berubah sifatnja mendjadi sematjam ratjun lain djauh lebih djahat daripada
ratjun semula, apalagi tangan Ban Tjin-san itu bekas luka kena tjakaran Go Him,
luka tjakaran itu tergurat tjukup dalam hingga ratjun jang meresap kesitupun
djauh lebih tjepat dan lebih berat.
Maka hanja sebentar sadja ia
merendam tangannja, segera air didalam baskom itu berubah mendjadi hitam,
bahkan lambat-laun air hitam itu berubah mendjadi ketat hingga mirip tinta bak.
Keruan Ban Tjin-san saling
pandang dengan Ban Ka, mereka sangat terkedjut. Sedjenak kemudian, waktu Ban
Tjin-san mengangkat tangannja, mendadak ia mendjerit kaget. Ternjata kedua
tangannja itu telah abuh se-akan2 mendjadi dua bola, sekalipun luka tangan Ban
Ka jang disengat ketungging tempo hari djuga tidak sedjahat sekarang ini.
“Ai, tjelaka! Mungkin tidak
boleh direndam didalam air!” seru Ban Ka.
Saking kesakitan Ban Tjin-san
mendjadi mata gelap, “bluk”, kontan ia tendang pinggang Ban Ka sambil memaki:
“Binatang, djika tahu tidak boleh direndam dengan air, kenapa tadi kau
mengambilkan air? Bukankah kau sengadja hendak bikin tjelaka padaku?”
Karena tendangan itu, saking
kesakitan sampai Ban Ka mendjengking meringis sambil pegang pinggangnja.
Katanja dengan suara ter-putus2: “Ak……..akupun tidak tahu, mana mungkin
sengadja hendak bikin tjelaka pada ajah?”
Dengan djelas Djik Hong jang
sembunji dikolong randjang itu dapat mengikuti pertjektjokan ajah dan anak itu,
tapi perasaannja waktu itu tak keruan rasanja, entah merasa sedih atau girang,
karena mengingat akan dapat menuntut balas.
Dalam pada itu terdengar Ban
Tjin-san lagi ber-djingkrak2 sambil ber-teriak2: “Wah bagaimana ini, bagaimana
ini?”
“Dikamarku sana ada sedikit
obat tahan sakit, meski takbisa memunahkan ratjun, tapi dapat menghilangkan
rasa sakit sementara, apakah ajah mau memakainja?” kata Ban Ka.
“Ja, ja! Lekas, lekas ambil
sana!” sahut Tjin-san.
“Tapi apakah mandjur atau
tidak, anak tidak berani mendjamin, lho!” kata Ban Ka. “Djangan2 tidak mandjur,
nanti ajah akan marah dan menendang aku lagi!”
“Maknja!” damperat Tjin-san
dengan gemas. “Bapakmu sudah hampir sekarat dan kau masih merasa penasaran
karena tendangan tadi? Kau diberi gegares hingga sebesar tjetjongormu itu,
hanja tendangan sekali sadja apa salah? Bangsat, hajo lekas pergi ambil,
lekas!”
Terpaksa Ban Ka mengiakan,
lalu putar tubuh dan keluar.
Melihat diwaktu perginja sang
putera masih mengundjuk sikap penasaran, diam2 Tjin-san merasa was-was. Ia
lihat kedua tangan sendiri bukan main besarnja, mirip pelembungan jang ditiup
hingga penuh, kulit sebagian tangan itu sampai menitis, kerut kisutnja sampai
tak kelihatan lagi, kalau abuh lagi sedikit, bukan mustahil bisa segera petjah.
“Marilah kita pergi bersama!”
serunja segera kepada sang putera. Dengan demikian ia pikir akan terhindar dari
kemungkinan dipermainkan oleh puteranja sendiri. Maka lebih dulu ia masukan
Soh-sim-kiam-boh kedalam badju, lalu menjusul kearah Ban Ka dengan langkah
tjepat.
Mendengar kedua orang itu
sudah pergi djauh, segera Djik Hong merangkak keluar dari kolong randjang,
pikirnja: “Kemana aku harus pergi sekarang?” ~ sesaat itu ia mendjadi bingung,
ia merasa dunia seluas itu baginja se-akan2 sebesar daun kelor dan tiada tempat
berteduh baginja.
“Mereka telah membunuh ajahku,
sakit hati ini masakah tak kubalas? Tapi dendam sedalam lautan ini tjara
bagaimana harus membalasnja? Bitjara tentang ilmu silat, terang aku selisih
sangat djauh dibandingkan Kongkong dan Ban-long, apalagi mereka pertjaja penuh
bahwa aku telah bergendak dengan Go Him, bukan mustahil sekali bertemu dengan
mereka pasti aku akan dibunuhnja, dan tjara bagaimana aku harus melawan mereka?
Djalan satu2nja sekarang jalah……..jalah pergilah mentjari dulu Tik-suko, bila
sudah ketemu, tentu akan dapat ditjari djalan jang sempurna untuk menuntut
balas. Dan bagaimana dengan Khong-sim-djay? Ai, mana boleh kutinggalkan dara
tjilik itu?”
Begitulah demi teringat kepada
puterinja jang masih ketjil itu, ia mendjadi tidak tega tinggal minggat. Segera
ia berlari keloteng dibelakang sana, ia bertekad akan membawa puterinja itu
untuk melarikan diri dan kelak baru akan ditjari djalan membalas dendam. Dalam
hati ketjilnja iapun tidak berani pertjaja seratus prosen bahwa ajah dan anak
she Ban itu benar2 adalah orang jang membunuh ajahnja. Memang Ban Tjin-san
dikenalnja sebagai seorang manusia kedji dan kotor. Tapi Ban Ka? Suaminja selama
ini sangat mentjintainja, betapapun hubungan suami-isteri itu susah diachiri
begitu sadja.
Ketika ia ber-lari2 sampai
dibawah loteng, ia mendengar suara Ban Tjin-san jang serak sedang ber-teriak2
kalap. “Begitu berisik suaranja, tentu Khong-sim-djay akan terdjaga bangun
dengan kaget,” demikian pikir Djik Hong.
Tjinta kasih ibu memang sutji
murni. Demi ingat kemungkinan puterinja akan terdjaga bangun dan kaget, tanpa
pikirkan bahaja atas diri sendiri, segera Djik Hong naik keatas loteng dengan
pelahan2, dengan hati2 ia berusaha tidak mengeluarkan suara.
Kamar tidur Khong-sim-djay
terpisah dibelakang kamar tidur suami-isteri mereka, jaitu dipisah dengan
selapis papan. Sesudah Djik Hong menjelinap kedalam kamar itu, dari sinar
pelita jang tembus dari kamar tidurnja sendiri, ia melihat puterinja itu sudah
lama terdjaga bangun, dengan mata terbelalak dara tjilik itu kelihatan sangat
ketakutan, dan begitu melihat ibundanja sudah datang, segera botjah itu mewek2
hendak menangis.
Tjepat Djik Hong memburu madju
terus memeluknja kentjang2, ia memberi tanda agar botjah itu djangan bersuara.
Anak dara itu memang pintar
dan menurut pula, benar djuga ia lantas diam sadja. Maka ibu dan anak berdua
lantas berkelonan diatas randjang.
Dalam pada itu terdengar Ban
Tjin-san sedang ber-teriak2: “Wah, tjelaka! Obat tahan sakit ini makin membikin
sakit malah, bagaimana baiknja ini? Hajolah lekas tjari tabib kampungan itu,
harus memakai obat penawarnja itu baru dapat sembuh!”
“Ja, benar, harus memakai
obatnja itu barulah ratjun itu bisa dipunahkan,” Ban Ka ikut berseru. “Nanti
kalau sudah terang tanah, segera suruh Loh-toako dan lain2 keluar serentak
untuk mentjari tabib kampungan itu.”
“Masakah mesti menunggu sampai
terang tanah?” semprot Tjin-san dengan gusar. “Kenapa tidak……..Aduuuh………Aduuh………Aduuuuh!
Aku tak tahan, aku tak tahan!” ~ dan mendadak ia terus terguling dilantai
saking kesakitan sampai ia berkelodjotan kian kemari seperti orang sekarat. Dan
mendadak ia berteriak pula. “Lekas, lekas ambil pedang! Potong……potonglah kedua
tanganku ini, lekas potong kedua tanganku!”
Menjusul lantas terdengar
suara gedubrakan dan gemerantang, suara djatuhnja medja kursi dan petjah
hantjurnja perkakas rumah tangga sebangsa mangkok-tjangkir. Dengan ketakutan
Khong-sim-djay peluk ibundanja dengan kentjang, mukanja putjat. Tapi pelahan2
Djik Hong telah meng-elus2 dara tjilik itu agar djangan takut, namun iapun
tidak berani bersuara.
Rupanja Ban Ka djuga sangat
gugup dan kuatir, terdengar ia sedang berkata: “Tia, harap kau bisa tahan
sebentar sadja, masakah tanganmu boleh dipotong? Lebih baik kita harus mentjari
obat penawarnja.”
Mungkin Ban Tjin-san sudah
tidak tahan lagi oleh siksaan luka jang berbisa itu, mendadak ia mendjadi
murka, bentaknja dengan mendelik: “Kenapa kau tidak mau memotong kedua tanganku
untuk membebaskan aku dari siksaan kesakitan? Ha, tahulah aku, tentu kau……kau
ingin aku lekas2 mati agar kau bisa ……bisa kangkangi sendiri Kiam-boh ini, kau
ingin mendapatkan harta karun itu sendirian…….”
Ban Ka mendjadi gusar djuga
karena dituduh setjara tidak se-mena2, sahutnja: “Tia, saking kesakitan hingga
pikiranmu agak linglung, lebih baik engkau tidurlah sebentar. Padahal bila
engkau tidak memimpin dalam urusan ini, apa sih gunanja aku mendapat Kiam-boh
itu?”
“Hm, pikiranku linglung? Tapi
pikiranmu sendiri sudah tidak bermaksud baik,” sahut Tjin-san sambil tiada
hentinja berkelodjotan kian kemari dilantai. “Aduuuh, mati aku, sakitnja!…….Matilah
aku……..Ja, toh aku akan mati, biarlah kita bubar pasar sadja, kita semua takkan
mendapatkan apa2!”
Mendadak matanja merah
membara, segera ia mengeluarkan Kiam-boh itu dari badjunja, lalu satu halaman
demi satu halaman dirobeknja.
Keruan Ban Ka terkedjut dan
merasa sajang, tjepat ia berseru: “Hai, djangan, djangan disobek!” ~ Dan segera
ia mentjegahnja, terus sadja ia pegang sebelah kitab itu,
Tapi Ban Tjin-san masih pegang
erat2 bagian lain dari kitab itu dengan mati2an, betapapun ia tidak mau lepas.
Kiam-boh itu habis direndam
didalam air berdarah, sebegitu djauh masih belum kering, sekarang kena ditarik
lagi oleh kedua orang, seketika kitab itu terobek mendjadi dua bagian. Ban
Tjin-san pegang separoh djilid dan Ban Ka djuga memegang setengah buku.
Selagi Ban Ka tertegun oleh
kedjadian itu, kembali Ban Tjin-san mulai me-robek2 lagi halaman kitab itu.
Sudah tentu Ban Ka merasa
berat kehilangan kitab itu, ia tidak rela harta karun jang diimpikan oleh
setiap orang itu akan lenjap begitu sadja, segera ia merangsang madju untuk
merebut lagi bagian kitab ditangan ajahnja itu. Maka terdjadilah
betot-membetot, achirnja saling gumul, dan kitab itu mendjadi makin kumal dan
hantjur ber-keping2.
Se-konjong2 Ban Ka mendjerit:
“Aduuuh, sakitnja!”
Kiranja setelah terdjadi tarik
dan betot dan achirnja saling gumul itu, tanpa sengadja luka ditangan Ban Ka
itu kena pula ratjun jang meresap didalam kitab itu. Dan ratjun jang berada
didalam kitab itu sungguh bukan main djahatnja, hanja sekedjap sadja kedua
tangan Ban Ka kembali abuh lagi seperti pelembungan, rasa sakitnja jang menusuk
ulu hati dan merasuk tulang itu benar2 susah ditahan. Apalagi dasar ilmu
silatnja selisih djauh kalau dibandingkan ajahnja, sehabis sakit tentu
tenaganja djuga masih lemah. Sebab itulah, begitu ratjun itu masuk kedalam
lukanja dan meresap mengikuti aliran darah, maka kumatnja mendjadi tjepat luar
biasa.
Djadi sekarang kedua orang ~
ajah dan anak ~ itu sama2 berkelodjotan diatas lantai sambil men-djerit2 ngeri.
Sesudah mendengarkan agak
lama, achirnja Djik Hong merasa tidak tega, betapapun hubungan suami-isteri
selama itu telah mendorongnja bertindak, ia tidak dapat berpeluk tangan
menonton sadja. Segera ia berbangkit dari tempat tidur dan menudju kepintu
kamar. Melihat Ban Tjin-san berdua masih ber-gulung2 dilantai, segera ia
menegur dengan dingin: “Ada apakah kalian? Kenapa bergulingan ditanah?”
Melihat Djik Hong, tiada tempo
buat marah lagi bagi Ban Tjin-san berdua. Segera Ban Ka memohon: “Hong-moay,
tolong, tolonglah lekas pergi mentjari tabib kampungan itu, mohonlah dia suka
lekas meratjikan obat penawarnja, aduuuh……..sungguh sakit sekali, aku tidak
tahan lagi, mo…….mohon bantuanmu…….”
Melihat keringat memenuhi
djidat sang suami dengan menahan sakit, hati Djik Hong semakin lemah lagi,
tanpa pikir ia lantas mengeluarkan botol porselin ketjil itu, katanja: “Obat
penawarnja berada disini!”
“Wah, bagus, bagus!” serentak
Ban Tjin-san dan Ban Ka berteriak girang bagaikan orang tarik lotere 150 djuta.
Segera mereka me-ronta2 untuk merangkak bangun.
Melihat sorot mata Ba Tjin-san
jang menampilkan sifat buasnja binatang, Djik Hong pikir kalau kesempatan ini
tidak digunakan untuk memaksa pengakuannja, mungkin kelak akan susah mejelidiki
duduknja perkara sebenarnja. Maka ia lantas membentak: “Tahan dulu, djangan
bergerak! Asal kalian ada jang melangkah madju satu tindak sadja, segera obat
penawar ini akan kulemparkan kedalam empang dibawah sana, biar kita mati
semuanja!” ~ Sembari berkata ia terus membuka daun djendela dan membuka sumbat
botol pula, ia angsurkan botol porselin itu keluar djendela, asal dia lepas
tangan, segera botol itu akan djatuh kedalam empang dan obatnja akan bujar
terkena air serta takbisa ditjari lagi.
Ban Tjin-san berdua mendjadi
mati kutu, benar djuga mereka tidak berani sembarangan bergerak, mereka terpaku
ditempatnja sambil saling pandang.
“Eh, menantuku jang baik, asal
kau memberikan obat penawar itu, aku berdjandji akan meluluskan kau ikut pergi
bersama Go Him, sedikitpun aku takkan merintangi kalian. Selain itu aku akan
menghadiahkan pula seribu tahil sebagai modal untuk kalian…….aduuh, sakit……dan
……dan Ka-dji djuga takdapat menahan kau bila engkau toh sudah ingin pergi,
maka……maka kau boleh tak perlu kuatir.”
Djik Hong pikir orang ini
benar2 litjin dan rendah tak kenal malu, sudah terang Go Him telah ditjekik
mati olehnja sendiri, tapi masih digunakannja untuk menipu orang.
Sementara itu terdengar Ban Ka
djuga berkata padanja: “Ja, Hong-moay, meski aku merasa berat, tapi djiwaku
lebih penting, aku berdjandji takkan membikin susah pada Go Him.”
“Hm, hati kalian barangkali
sudah beku, ja? Masakah masih mempunjai pikiran djidjik seperti itu?” djengek
Djik Hong. “Aku hanja ingin tanja sesuatu pada kalian, asal kalian mengaku
dengan sedjudjurnja, segera aku akan memberikan obat penawar ini.”
“Baik, baik! Lekas kau tanja,
pasti akan kudjawab. Aduuuuh, aduuuuuh!………” demikian sahut Ba Tjin-san sambil
merintih.
Pada saat itulah tiba2 angin
meniup kentjang masuk dari djendela hingga sobekan kertas jang berserakan
dikantor itu bertebaran dan ada jang kabur keluar. Tiba2 sepasang kupu2 kertas
itupun terbang keatas, itulah pola kupu2 guntingan Djik Hong tempo dulu jang
diselipkannja ditengah kitab itu. Karena angin meniup terus, maka sepasang
kupu2 kertas itupun se-akan2 terbang kian kemari dengan hidup didalam kamar,
Djik Hong mendjadi pedih dan duka, terbajang olehnja suasana gembira ria waktu
dia bermain dengan Tik Hun didalam gua dimasa dahulu.
Dalam pada itu Ban Ka djuga
telah mendesak: “Ja, apa jang kau ingin tahu, lekaslah tanja. Asal tahu tentu
akan kukatakan terus terang.”
Dan karena itu barulah Djik
Hong tersadar dari lamunannja, katanja kemudian: “Tentang ajahku. Dimanakah
beliau? Apa jang telah kalian perbuat atas diri beliau?”
“Ajahmu, hehe, darimana aku
tahu, bukankah dahulu ia telah melarikan diri?” udjar Ban Tjin-san dengan
tertawa jang di-buat2. “Tentang saudara-seperguruanku itu, aduuuh……….aku djuga
sangat terkenang padanja, auuh, tjk-tjk-tjk……..Ai, toh kita sekarang djuga
sudah besanan, kan sangat baik toh?”
Begitulah sambil mendjawab Ban
Tjin-san sembari ber-teriak2 kesakitan.
Tapi Djik Hong tidak bisa
tertipu lagi, dengan muka masam ia menjemprot: “Huh, masih berani kau berkata
demikian? Ajahku sudah dibunuh oleh kau, betul tidak? Tjara kau membunuh beliau
adalah sama seperti kau membunuh Go Him, betul tidak? Dan kau telah masukan
djenazahnja kedalam tembok, betul tidak?”
Ber-ulang2 tiga kali
pertanjaan: “Betul tidak?” telah membuat Ban Tjin-san dan Ban Ka mendjadi
gelagapan dan terperandjat, sama sekali tak mereka duga bahwa Djik Hong dapat
mengetahui terbunuhnja ajahnja, bahkan terbunuhnja Go Him djuga tahu.
Maka dengan suara tak lantjar
Ban Ka bertanja: “Da……..darimana kau tahu?”
Dengan pertanjaan itu, sama
sadja Ban Ka telah mengakui segala kedjadian itu memang betul adanja.
Dalam pedih dan gusarnja
segera Djik Hong bermaksud melepaskan botol porselin jang dipegangnja itu
kedalam empang. Melihat gelagat djelek, segera Ban Ka bermaksud menubruk madju
untuk merebut kalau Ban Tjin-san tidak keburu membentak untuk mentjegahnja.
Dalam keadaan begitu, Tjin-san tahu akan lebih runjam lagi bila memakai
kekerasan.
Dan pada saat itu djuga tiba2
sidara tjilik Khong-sim-djay berlari keluar dari kamarnja sambil berseru: “Ibu,
ibu!”
Segera dara tjilik itu
bermaksud memburu kepangkuan ibundanja.
Sekilas Ban Ka mendapatkan
akal, tjepat ia sambar Khong-sim-djay sebelum dara tjilik berlari lewat
disisinja, ia angkat botjah itu dan segera mentjabut belati mengantjam diatas
kepala puterinja sendiri itu sambil membentak: “Baiklah, kalau mau mati,
biarlah kita tua-muda seisi rumah ini mati bersama sadja, sekarang biarlah
kubunuh Khong-sim-djay dulu!”
Keruan Djik Hong kaget,
puterinja itu merupakan mestika djiwanja, tjepat ia berseru: “Djangan! Lekas
lepaskan dia, apa sangkut-pautnja dengan botjah jang tak berdosa itu?”
“Ja, toh kita semua tak bakal
hidup lagi, maka lebih dulu biar kubunuh Khong-sim-djay sadja,” udjar Ban Ka.
Dan sekali tangannja terangkat, segera belatinja hendak menikam kedada
si-botjah.
“Djangan! Djangan!” saking
kuatirnja Djik Hong terus memburu madju hendak menolong.
Meski Ban Tjin-san dalam
keadaan tersiksa oleh karena serangan ratjun dalam tubuh, tapi ia sudah kenjang
asam-garam, demi melihat Djik Hong kena dipantjing oleh Ban Ka dan berlari
madju, tanpa ajal lagi ia lantas menjikut hingga tepat pinggang Djik Hong kena ditutuk
olehnja, menjusul ia terus rampas botol obat penawar ditangan menantu itu dan
buru2 ia bubuhkan obat penawar itu dipunggung tangan sendiri.
Tjepat Ban Ka ikut memburu
madju untuk minta dibubuhi obat pemunah ratjun itu. Sebaliknja Djik Hong masih
sempat mentjapai puterinja serta merangkulnja dengan erat2 tanpa menghiraukan
orang lain.
Segera Ban Tjin-san ajun
kakinja, Djik Hong didepaknja hingga terguling, menjusul ia lepaskan ikat
pinggang sendiri untuk meringkus menantunja itu dengan menelikung kedua
tangannja kebelakang, kemudian kedua kakinja diikat pula kentjang-kentjang.
Sambil men-djerit2 memanggil
ibu, Khong-sim-djay memburu kearah Djik Hong. Tapi sekali Ban Tjin-san ajun
tangannja, tepat dara tjilik itu kena digampar hingga kelengar. Tapi gamparan
itu memakai telapak tangannja jang abuh hingga Ban Tjin-san meringis kesakitan
sendiri sambil merintih tertahan.
Obat penawar ratjun ketungging
itu memang “tjes-pleng”, sesudah dibubuhi obat itu, hanja sebentar sadja dari
luka kedua orang itu lantas merembes keluar air berdarah, rasa sakit mulai
hilang dan berubah mendjadi rasa gatal, tak lama kemudian rasa gatal itupun
berkurang dan achirnja lenjap.
Sungguh lega dan senang sekali
Ban Tjin-san dan Ban Ka karena djiwa mereka telah dapat dirampas kembali dari
tangan radja achirat. Dan sekali djiwa mereka sudah selamat, segera timbul lagi
djiwa tamak mereka. Segera mereka teringat kepada kitab pusaka jang merupakan
kuntji bagi suatu partai harta karun itu.
Untuk sedjenak mereka
tjelingukan kian kemari, mereka melihat didalam kamar masih banjak bertebaran
sobekan2 kertas, banjak pula jang sedang kabur keluar djendela tertiup angin.
“Wah, tjelaka!” demikian
se-konjong2 kedua orang berteriak bersama. Segera mereka memburu madju hendak
mentjegah kaburnja sobekan2 kertas itu.
Namun kertas ketjil2 itu sudah
tak keruan tempatnja, sebagian sudah djatuh kedalam empang diluar djendela
sana, ada pula jang sedang me-lajang2 di udara dan hampir masuk ke air.
“Wah, tjialat! Lekas buru,
lekas!” teriak Ban Tjin-san.
Dan tanpa dikomando untuk
kedua kali lagi, segera mereka berdua memburu kebawah loteng setjepat terbang,
saat itu mereka sudah lupa pada kelakuan mereka jang me-rengek2 setjara
mendjidjikan waktu sekarat tadi.
Begitulah Ban Tjin-san dan Ban
Ka telah berlari ke taman, dengan napsu mereka ingin menangkap kembali
potongan2 kertas jang bertebaran itu. Tetapi be-ratus2 potong kertas jang
ketjil-ketjil itu sudah terpentjar tak keruan, ada jang ketjemplung ke dalam
empang, ada jang djatuh keluar pagar tembok, ada jang me-lajang2 keudara
terbawa angin. Maka biarpun mereka berdua tubruk sini dan sambar sana sambil
berdjingkrakan seperti orang gila, hasilnja djuga tidak seberapa, apalagi
kertas jang sudah di-robek2 itu masakah dapat memulihkan kitab aseli
Soh-sim-kiam-boh itu?
Begitulah meski sakit ditangan
Ban Tjin-san sudah hilang, tapi sakit di dalam hatinja mendjadi tambah hebat.
Dalam dongkolnja jang tak terlampiaskan itu, segera ia mendamperat puteranja:
“Semuanja gara2 kau bangsat ketjil ini. Kalau kau tidak main tarik dan betot
padaku, masakah Kiam-boh itu bisa hantjur seperti sekarang?”.
Ban Ka menghela napas dan
tidak mengubar lagi kertas2 jang sudah hantjur itu. Sahutnja: “Tia, kalau tadi
anak tidak mentjegah, mungkin Kiam-boh itu sudah lebih hantjur daripada
sekarang”.
“Ah, kentut!” semprot Ban
Tjin-san, walaupun dalam hati ia harus mengakui kebenaran utjapan puteranja
itu, tapi dimulut ia tidak mau kalah, masih ‘kentat-kentut’ terus.
“Tia,” kata Ban Ka kemudian,
“baiknja kita sudah tahu bahwa tempat jang dimaksudkan itu adalah
Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), mungkin dari sisa Kiam-boh jang
masih ada itu dapat kita temukan sedikit petundjuk lain, dan mungkin kita masih
dapat menemukan harta terpendam itu.”
Semangat Ban Tjin-san
terbangkit seketika demi mendengar peringatan puteranja itu, serunja tjepat:
“He, benar, memang tempat itu adalah ‘Kang-leng-seng-lam’……..
Dan pada saat itu juga, tiba2
diluar pagar tembok sana ada suara orang mengulangi kalimat itu dengan pelahan:
“Kang-leng-seng-lam!”.
Keruan kejut Ban Tjin-san
berdua bukan kepalang demi mendengar suara itu. Seketika mereka memburu keluar
sana. Mereka melihat dua sosok bajangan jang sedang menghilang dibalik tikungan
djalan sana, tjepat Ban Tjin-san membentak: “Bok Heng, Sim Sia, berhenti!”.
Tapi djangankan berhenti,
bahkan menolehpun tidak kedua orang itu lantas kabur dengan tjepat.
Dan selagi Ban Tjin-san
bermaksud mengedjar, tiba2 Ban Ka berkata: “Tia, di atas loteng masih ada sisa
Kiam-boh itu, pula masih ada…………. masih ada perempuan djalang itu”.
Setelah memikir, Ban Tjin-san
merasa benar djuga usul puteranja itu, ia mengangguk tanda setudju dan segera
mereka kembali keatas loteng.
Disana tertampak sidara tjilik
Khong-sim-djay sudah mendusin dan sedang menangis dalam pangkuan ibundanja.
Djik Hong sendiri tak bisa berkutik karena anggota badannja terikat, namun ia
tjoba menghibur dan membudjuk puterinja jang ketjil itu.
Ketika melihat kakek dan
ajahnja telah kembali, Khong-sim-djay mendjadi lebih takut hingga tangisannja
makin keras.
Bukannja menimang, sebaliknja
datang2 Ban Tjin-san terus depak sekali dipantat dara tjilik sambil memaki:
“Kau anak sial ini, berani menangis lagi segera kutabas batang lehermu!”
Khong-sim-djay semakin
ketakutan hingga mukanja putjat sebagai kertas saking ketakutan hingga dia
tidak berani menangis lagi.
“Tia”, kata Ban Ka dengan
suara perlahan, “perempuan djalang ini telah mengetahui engkau adalah…………….
adalah pembunuh ajahnja, pula dia telah menjaksikan kematian Go Him, untuk
semuanja itu terang dia takkan bisa dibiarkan hidup terus. Lantas tjara
bagaimana kita harus membereskan dia?”.
Tjin-san memikir sejenak,
kemudian katanja: “Kedua orang diluar tadi sudah terang adalah Bok Heng dan Sim
Sia, bukan?”
“Betul, memang mereka itu,
pasti tidak salah lagi,” sahut Ban Ka. “Mungkin rahasia Kiam-boh itu sudah
botjor, mereka telah mengetahui Kang-leng-seng-lam adalah tempatnja.”
“Ja, urusan tidak boleh
di-tunda2 lagi, kita harus lekas2 mendahului turun tangan,” ujar Tjin-san.
“Baiklah, tentang perempuan djalang ini, boleh kita bereskan seperti ajahnja
saja.”
Sedjak Djik Hong diringkus, ia
sendiripun insaf pasti tiada harapan buat hidup lagi, terutama karena dia telah
membongkar rahasia kekedjaman mereka berdua. Kini mendengar ajah mertua itu
mengatakan hendak membereskan dia seperti ajahnja, maka iapun tidak pikirkan
mati hidup sendiri, jang dia beratkan adalah puterinja jang masih ketjil itu.
Segera ia berkata: “Ban…………….
Ban-long, djelek-djelek kita telah bersuami-isteri sekian lamanja, tidaklah
mendjadi soal djiwaku melajang, tapi sesudah aku mati, hendaklah kau mendjaga
baik2 pada Khong-sim-djay!”.
Ban Ka hanja mendengus saja
tanpa mendjawab.
Sebaliknja Ban Tjin-san
berkata: “Membabat rumput harus sampai akar-akarnja, mana boleh kita tinggalkan
bibit bentjana dikemudian hari? Botjah ini sangat pintar lagi tjerdik, apa jang
terdjadi hari ini telah dilihatnja semua, siapa berani mendjamin bahwa kelak
takkan dibotjorkan olehnja kepada orang luar?”.
Ban Ka mengangguk
pelahan-lahan. Sebenarnja ia sangat sajang kepada puteri satu-satunja itu,
betapapun dara tjilik itu adalah darah dagingnja sendiri. Tapi apa jang
dikatakan ajahnja itu djuga ada benarnja, kalau meninggalkan bibit bentjana
ini, bukan mustahil kelak akan menimbulkan akibat jang susah dibajangkan.
Air mata Djik Hong
bertjutjuran melihat kekedjaman kedua orang itu, katanja dengan suara
ter-putus2: “Ka…..kalian kedji sekali, masakah anak……..anak ketjil begini djuga
tak dapat kalian ampuni?”.
“Sumbat saja mulutnja daripada
dia tjerewet tak habis2, djangan2 nanti dia berteriak hingga bikin geger
tetangga malah.” Kata Ban Tjin-san.
Mengingat djiwa puterinja
djuga akan amblas ditangan kakek dan ajahnja jang kedjam itu, mendadak Djik
Hong menggembor benar2: “Tolong! Tolong!”.
Ditengah malam sunji kelam,
suara teriakan ‘tolong’ jang memetjah angkasa itu kedengarannja mendjadi lebih
seram.
Tjepat Ban Ka menubruk madju,
dan tekap mulut Djik Hong. Tapi Djik Hong masih terus berteriak: “Tolong!
Tolong!”. ~ Tjuma mulutnja ditekap tangan sang suami, maka suaranja mendjadi
serak dan tertahan.
Segera Ban Tjin-san menjobek
sepotong kain badju dan diberikan kepada sang putera. Terus saja Ban Ka sumbat
mulut Djik Hong hingga tak bisa bersuara lagi.
“Pendam dia sekuburan dengan
keparat Djik Tiang-hoat itu, sungguh bagus sekali mereka ajah dan anak bersatu
liang kubur”, kata Tjin-san.
Ban Ka mengangguk, segera ia
kempit Khong-sim-djay, lalu mereka menggotong Djik Hong ke kamar batja dibawah
loteng.
Kamar batja itu teratur
bersih, dindingnja djuga terkapur putih. Diam-diam Djik Hong membatin: “Apakah
ajahku telah ditjepit oleh mereka ditengah dinding jang putih ini?”.
Dalam pada itu terdengar Ban
Tjin-san sedang berkata pula: “Biarlah aku jang membongkar dinding ini, kau
boleh pergi menjeret kemari majatnja Go Him itu! Hati2lah, djangan sampai
diketahui oleh orang!”.
Ban Ka mengijakan dan segera
berlari ke kamar tidurnja Ban Tjin-san.
Lalu Tjin-san membuka almari
meja tulis, ia mengeluarkan alat2 pertukangan, ada pahat, ada palu, ada lingis
dan matjam2 lainnja, komplit. Ia pandang dinding jang putih itu, kedua
tangannja ber-gosok2, ia berpaling memandang sekedjap kepada Djik Hong dengan
air muka jang sangat senang.
Melihat sorot mata orang jang
buas sebagai binatang itu, tanpa merasa Djik Hong mengkirik sendiri.
Sementara itu Ban Tjin-san
telah memegang palu dan pahat, ia periksa dulu duduk tembok jang benar, lalu ia
memahat diantara sela2 bata. Sesudah sela2 bata longgar, segera ia gojang2kan
dengan tangan dan dikorek keluar sepotong bata itu, tjaranja ternjata sudah
sangat apal seperti bekas tukang batu sadja.
Sesudah sepotong bata itu
dilolos keluar, tertampak Ban Tjin-san meng-endus2 bata itu. Mungkin ia ingin
tahu apakah di dalam dinding itu masih berbau majatnja Djik Tiang-hoat atau
tidak.
Melihat ketrampilan Ban
Tjin-san dalam hal membongkar bata itu, Djik Hong lantas ingat waktu penjakit
tidur orang itu angot tadi, waktu itu bapa mertua itupun bergaja mengorek
tembok, memasukkan majat, memasang bata dan sebagainja. Memangnja Djik Hong
sudah mengkirik, demi melihat Ban Tjin-san meng-endus2 pula bau majat ajahnja
jang ditjepit di dalam dinding itu, maka Djik Hong mendjadi takut, gusar dan
berduka pula.
“Kau bangsat keparat jang
terkutuk ini!”, demikian ia memaki. Tapi karena mulutnja tersumbat, maka jang
terdengar hanja suara ‘ah-uh’ jang tak djelas.
Dan selagi Ban Tjin-san hendak
membongkar bata kedua, tiba-tiba terdengar suara orang berlari diluar, segera
tertampak Ban Ka berlari masuk dengan langkah sempojongan dan badan gemetar,
katanja dengan suara ter-putus2: “Tia, tje…………. tjelaka ! Go…….. Go Him……………..
Go Him……………..”.
“Go Him kenapa?”, tanja Ban
Tjin-san sambil berpaling.
“Hi…..hilang! Go…… Go Him
menghilang”, kata Ban Ka dengan ter-gagap2.
“Kentut! Masakah orang mati
bisa menghilang?”, damperat Ban Tjin-san. Tapi dari suaranja jang rada gemetar
itu, terang iapun kaget dan kuatir. Bahkan ‘plok’, bata jang terpegang
ditangannja itu tanpa merasa djatuh kelantai.
“Aku………aku telah mengangsurkan
tangan ke kolong ranjang ajah hen…..hendak menjeret majat itu”, demikian tutur
Ban Ka dengan tak lantjar, “Tetapi….. tetapi tanganku tidak menjentuh apa-apa.
Tjepat kunjalakan pelita dan tjoba menerangi kolong ranjang, namun…………..namun
majat itu sudah menghilang tanpa bekas. Aku mentjari diseluruh pelosok didalam
kamar ajah, tapi tiada……..tiada menemukan apa2”.
“Aa…………..aneh, sungguh aneh!”
kata Tjin-san sambil merenung, “Apa barangkali Bok Heng dan Sim Sia jang main
gila!”.
“Tia, djangan2…………….djangan2
jahanam Go Him itu belum…..belum putus napasnja, sesudah pingsan sebentar,
lalu……..lalu hidup kembali!” ujar Ban Ka.
“Kentur! Mana bisa djadi!”
seru Tjin San dengan gusar. “Ajahmu ini berdjuluk ‘Ngo-in-djiu’, dalam hal ilmu
menggunakan tangan betapa lihaynja, masakah mentjekik seorang saja takbisa
membuatnja mampus?.”
“Ja, seharusnja tidak bisa
djadi”, sahut Ban Ka. “Akan tetapi, sehabis Go Him itu ditjekik mampus oleh
ajah, entah mengapa………..entah mengapa majatnja sekarang bisa menghilang?
Djangan2………..djangan2…….”
“Djangan2 apa?”, tanja
Tjin-san.
“Djangan2 di dunia ini benar2
ada……………..ada majat hidup?”
“Hus! Ngatjo-belo belaka!”,
bentak Tjin-san. “Sudahlah, lekas kita bereskan perempuan jalang dan anak setan
ini dan nanti boleh kita mentjari majatnja Go Him lagi. Mungkin urusan ini
sudah ketelanjur diketahui orang luar, kitapun susah menetap lagi dikota
Heng-tjiu ini.”
Ban Ka mengiakan, segera ia
berdjongkok dan membantu membongkar tembok kamar. Batu bata sepotong demi
sepotong dikorek keluar hingga dalam sekedjap saja tertampaklah suatu lubang besar.
“Tia, ti……………tidak beres ini!”
tiba2 Ban Ka berseru dengan suara gemetar.
“Apanja jang tidak beres?”,
tanja Tjin-san
“Di……………..dimanakah majatnja
Djik Tiang-hoat?”, sahut Ban Ka. “Umpama majatnja sudah…….sudah busuk dan
lapuk, paling tidak…………….paling tidak pakaiannja dan…………..dan tulangnja toh
mesti ada disini?”.
Benar juga, pikir Tjin-san.
Segera ia angkat pelita minjak untuk menerangi liang dinding itu. Tapi mendadak
terdengar suara njaring, hantjurnja pelita minjak djatuh ke lantai, seketika keadaan
menjadi gelap gulita. Hanja sinar bulan jang remang-remang menjorot masuk ke
kamar melalui djendela itu hingga menambah seramnja susasana di dalam kamar.
Kiranja Ban Tjin-san
sendiripun kaget demi melihat di dalam liang dinding itu tidak diketemukan
majatnja Djik Tiang Hoat. Dinding itu adalah dinding dua lapis, padahal majat
itu dia sendiri jang masukkan dahulu, masakah sekarang bisa menghilang?.
Selang agak lama, barulah Ban
Tjin-san pulih dari kagetnja, katanja dengan rada gemetar: “Sungguh aneh,
mengapa bisa hilang? Sudah terang aku sendiri jang memasukkan majat itu kedalam
dinding, masakah majatnja bisa terbang sendiri?”
“Tia, djangan2……djangan2
dinding lapisan jang sebelah sana ada djalan tembusan lagi?” ujar Ban Ka.
“Tidak, tidak ada!” kata
Tjin-san. “Dinding ini adalah buntu semua, mana mungkin ada djalan tembusan?
Tjoba…tjoba kau ulurkan tanganmu untuk meraba, apa benar disitu tiada sisa2
majat?”.
Ban Ka mengiakan walaupun
didalam hati sebenarnja sangat ketakutan. Dengan sendirinja ia tidak berani
meraba dengan tangannja, selang agak lama barulah ia berkata: “Ti…………….tidak
ada apa2!”. ~ padahal tangannja tidak pernah dimasukkan kedalam liang dinding
itu.
Ban Tjin-san juga dapat
menduga puteranja tidak berani meraba liang dinding itu, katanja kemudian:
“Tjoba njalakan pelita lagi, kita harus periksa pula hingga tahu duduknja
perkara”.
Ban Ka mengiakan pula, lalu
tangannja me-raba2 dilantai dan diketemukan pelita tadi, tapi pelita minjak itu
sudah hantjur, djuga ketikan api hanja diketemukan batunja, sedang ketikannja
entah djatuh dimana.
Begitulah kedua orang itu
sibuk mentjari kian kemari dan tetap tidak menemukan apa2. Akhirnja Ban
Tjin-san mendjadi aseran, katanja: “Sudahlah, tak perlu menggubris lagi tentang
majat itu. Boleh kau turun tangan membunuh perempuan djalang itu dan pendam dia
kedalam liang situ”.
Ban Ka mengiakan lagi. Segera
ia mendekati Djik Hong dengan menghunus golok, katanja dengan suara gemetar:
“Hong-moay, harap jangan kau sesalkan aku, tapi engkau sendirilah jang berdosa
padaku!”.
Djik Hong tak bisa bersuara,
tapi dalam hati ia sangat murka. Kalau dirinja sendiri hendak dibunuh adalah
dapat dimengerti, tapi puterinja jang masih ketjil dan tak berdosa itu juga
hendak dibunuh mereka, sungguh kedua manusia she Ban itu lebih mirip dengan
binatang buas. Mendadak ia mendjadi nekat, sekuatnja ia menubruk maju hingga
bahu Ban Ka kena disruduk.
Ban Ka tergentak mundur dua
tindak. Ia mendjadi gusar, segera golok diangkatnja sambil memaki: “Perempuan
djalang, adjalmu sudah tiba, masih kau berani main galak?”
Dan selagi goloknja hendak
diajunkan, tiba2 didengarnja suara ‘krek-krek’, suara pintu dibuka.
Keruan Ban Ka terperandjat,
tjepat ia menoleh. Dibawah sinar bulan jang remang2 dilihatnja pintu kamar
batja itu sudah terpentang, tapi tiada tampak bajangan seorangpun.
“Siapa?”, segera Tjin-san juga
membentak.
Tapi tiada suara sahutan
seorangpun. Sebaliknja pintu berbunji ‘krek-krek’ pula.
Didalam keadaan jang remang2
itu, tertampak suatu bajangan orang menggeser pelahan2 kedepan kamar. Bajangan
orang itu kaku tegak sambil me-lompat2, anehnja lututnja tidak tertekuk dikala
melompat, jadi baik diwaktu menggeser maupun diwaktu melompat, bajangan itu
tetap tegak.
Keruan kaget Ban Tjin-san dan
Ban Ka tak terhingga, ber-ulang2 mereka mundur2 dengan ketakutan.
Dalam pada itu bajangan orang
itu makin mendekat hingga kini mukanja tersorot oleh tjahaja bulan jang
remang2.
“Haaaaaaa”, berbareng Tjin-san
dan Ban Ka berteriak kaget.
Ternjata kedua mata orang itu
mendelik, lidahnja menjulur panjang keluar, lubang hidungnja, mulutnja dan
telinganja mengutjurkan darah. Siapa lagi dia kalau bukan Go Him jang telah
mati ditjekik oleh Ban Tjin-san itu?
Melihat keadaan jang
menjeramkan itu, Djik Hong juga merinding dan hampir2 mati kaku ketakutan.
Sesudah menggeser masuk ke
dalam kamar, Go Him lantas berdiri tak bergerak lagi, kedua tangannja pelahan2
terangkat lurus kearah Ban Tjin-san.
Ban Tjin-san menjadi nekat, ia
kerahkan antero keberaniannja dan membentak: “Setan Go Him, masakah Lotju takut
kepada majat hidup seperti kau?” ~ berbareng ia terus lolos golok dan
membatjok.
Tapi baru setengah jalan
serangannja dilantjarkan, se-konjong2 pergelangan tangannja terasa kesemutan,
tjekalannja menjadi kendur, golok djatuh kelantai dan menerbitkan suara gemerantang.
Menjusul mana pinggangnja djuga terasa kaku pegal, lalu tubuhnja tak bisa
berkutik lagi.
Sebagai seorang kawakan
Kang-ouw jang sudah banjak berpengalaman, segera Ban Tjin-san sadar bahwa
dibelakang majatnja Go Him itu ada seorang kosen lagi jang sangat hebat
ilmunja. Ia tidak tahu siapakah gerangannja, tapi ia menduga besar kemungkinan
adalah musuh jang meninggalkan tanda kupu2 kertas hitam itu.
Sebaliknja Ban Ka ternjata
tidak paham duduknja perkara. Ketika dilihatnja lengan Go Him kemudian berganti
arah dan menjulur kepadanja, ia mendjadi ketakutan setengah mati, sungguh ia
ingin menjerit: “Go-sute, ampunilah aku!” ~ tetapi suara djeritan itu se-akan2
tersumbat ditengah tenggorokan hingga susah dikeluarkan.
Ber-ulang2 ia mundur lagi ke
belakang, tapi mendadak kakinja terasa lemas, ia terbanting roboh terlentang.
Ia melihat Go Him jang tegak kaku itu sudah berada didepannja, lengan kanan
pelahan2 mendjulur kebawah dan mulai meraba pipinja, tangan itu terasa dingin
sebagai es.
Keruan semangat Ban Ka
se-akan2 terbang ke-awang2 saking takutnja, hampir2 sadja ia djatuh kelengar.
Se-konjong2 tubuh Go Him
itupun ikut ambruk kedepan hingga menindih diatas badan Ban Ka untuk kemudian
tidak bergerak lagi. Tapi dibelakang Go Him itu lantas bertambah seseorang.
Orang itu mendekati Djik Hong
dan mengeluarkan kain sumbat mulutnja. Ketika ia pegang tali pengikat kaki dan
tangan Djik Hong, sedikit ia remas, tali pengikat itu segera putus. Waktu ia
putar tubuh lagi, tiba2 ia depak dua kali dipinggang Ban Ka hingga Hiat-to
pemuda itu tertutuk.
Sesudah dapat bergerak, jang
lebih dulu diperhatikan adalah puterinja, segera Djik Hong pondong
Khong-sim-djay, lalu tanja dengan suara gemetar: “Siapakah…….siapakah In-kong
(tuan penolong) jang telah menolong djiwa kami ini?”
Namun orang itu tidak
mendjawab, dibawah sinar bulan jang remang2 tertampak kedua tangannja membawa
sebuah pola kupu2 hitam, itulah kupu2 kertas jang terselip didalam kitab
“Tong-si-soan-tjip” dan telah didjemput olehnja karena tadi telah ikut ‘terbang’
ketepi empang ketika kitab itu dibuat rebutan antara Ban Tjin-san dan Ban Ka.
Sekilas pandang tiba2 Djik
Hong melihat kelima jari kanan orang itu puntul terpotong, hatinja tergetar,
tanpa merasa ia berteriak: “Tik-suko!”
Ja, memang tidak salah, orang
itu memang Tik Hun adanja!.
Ketika mendadak mendengar
seruan: “Tik-suko” itu, seketika dada Tik Hun berombak dan air mata
ber-linang2, segera ia balas menjapa: “Sumoay, sjukur kita dapat…………. dapat
berdjumpa pula, kita harus berterima kasih kepada Thian jang maha murah!”.
Saat itu diri Djik Hong boleh
diibaratkan sebuah sampan jang terombang-ambing ditengah samudera raja dan
dibawah damparan gelombang ombak dan angin badai, tapi akhirnja dapatlah sampan
itu meluncur masuk disebuah bandar dimana angin tenang dan ombak berdiam.
Terus saja Djik Hong menubruk
kedalam pelukan Tik Hun sambil berseru: “O, Tik-suko, apakah…..apakah ini bukan
dialam mimpi?”
“Bukan, bukan mimpi, tapi
adalah kenjataan”, sahut Tik Hun. “Selama dua hari ini, senantiasa aku berada
disini untuk mengintai dan mengawasi. Segala tindak-tanduk kedjahatan ajah-anak
she Ban itu sudah kulihat semua. Tentang majatnja Go Him, ha, memang sengaja
kugunakan untuk me-nakut2i mereka”.
“Ajah, ajah!” tiba2 Djik Hong
berseru sambil ber-lari2 keliang dinding sana. Ia taruh Khong-sim-djay, lalu
mengulur tangannja ke dalam liang itu untuk meraba, tapi tiada sesuatu jang
didapatkannja.
Sedari tadi Tik Hun juga
menguatirkan keselamatan gurunja itu, maka cepat iapun menjalakan api untuk
menerangi liang dinding itu. Tapi tertampak didalam lapisan dinding rahasia itu
keadaan kosong melompong tiada terdapat sesuatu, jang ada tjuma sedikit pasir
dan potongan bata belaka, mana ada djenazahnja Djik Tiang-hoat?
Djik Hong masih tidak percaja,
segera ia memeriksa lebih teliti lagi, tapi memang benar kosong liang di dalam
lapisan dinding rahasia itu. Djangankan djenazah, sedangkan badju atau tulang
belulang djuga tidak diketemukan andaikan djenazah sang ajah sudah membusuk.
Ia terkedjut, tapi bergirang
pula, timbul sedikit harapannja: “Boleh djadi ajahku tidak terbunuh oleh
mereka”. ~ Maka ia lantas tegur suaminja: “Ban-long, sebenarnja…… sebenarnja
bagaimana dengan ajahku?”.
Ban Tjin-san dan Ban Ka tidak
tahu bahwa Djik Hong tidak menemukan majat ajahnja, mereka mengira sesudah
memeriksa lebih teliti di dalam liang dinding itu, akhirnja terdapat bekas
djenazahnja Djik Tiang-hoat itu dan Djik Hong kini bermaksud membalas dendam
pada mereka.
Maka dengan bersitegang, Ban
Tjin-san mendjawab: “Seorang laki2 sejati berani berbuat berani bertanggung
jawab, Djik Tiang-hoat memang aku jang membunuhnja, djika mau menuntut balas
boleh kau tudjukan kepadaku saja”.
“Djadi, ajahku telah kau
bunuh? Dan di…….dimanakah djenazahnja?” Djik Hong menegas.
“Apa? Djenazah di dalam……di
dalam liang dinding itu bukan ajahmu?”, kata Tjin-san.
“Masakah disini ada orang
mati?” Djik Hong menegas.
Seketika Ban Tjin-san saling
pandang dengan Ban Ka, muka mereka pucat, betapapun mereka tidak percaja,
masakah di dunia ini ada majat hidup sungguh?
Segera Tik Hun menjeret Ban
Tjin-san dan mendjedjalkan kepalanja kedalam liang dinding itu untuk melongok
keadaan di dalam situ. Dan sudah tentu tiada sesuatu jang dapat dilihatnja.
“Masakah mungkin? Sudah……sudah
terang…..”, baru sekian Tjin-san berkata, tiba2 ia berganti nada, katanja: “Ai,
anak menantu jang baik, semuanja ini aku hanja…….. hanja membohongi kau saja.
Biarpun kami kakak-beradik seperguruan tidak akur satu sama lain djuga tidak
mungkin aku turun tangan sekedji ini untuk membunuhnja, masakah kau pertjaja
saja? Haha, hahaha!”.
Biasanja Ban Tjin-san
sebenarnja sangat pintar berdusta dan jarang orang tjuriga kepada apa jang dia
katakan, tapi kini dalam keadaan gugup dan bingung, tjara bicaranja mendjadi
agak kaku dan gelagapan, mau tidak mau menimbulkan tjuriga orang lain. Kalau dia
bungkam sadja mungkin Djik Hong dan Tik Hun akan ragu2 dan mempunjai harapan
kalau2 Djik Tiang-hoat memang betul masih hidup, tapi dengan utjapan Ban
Tjin-san jang di-buat2 itu, Djik Hong dan Tik Hun mendjadi lebih jakin bahwa
Djik Tiang-hoat sudah dibunuh oleh orang she Ban itu.
Begitulah segera Tik Hun
pegang pundak Ban Tjin-san, katanja: “Ban-supek, tentang kau telah membikin aku
hidup derita merana selama ini, bolehlah takkan kupersoalkan padamu lagi.
Sekarang aku hanja ingin tanja suatu hal padamu: Sebenarnja kau telah membunuh
Suhuku atau tidak?”
Sembari bicara terus saja Tik
Hun kerahkan Lweekang dari ilmu sakti ‘Sin-tjiau-kang’ jang hebat, ber-angsur2
tenaga dalam itu menekan kedalam badan Ban Tjin-san hingga sesaat itu Ban
Tjin-san merasa badannja seperti digodok di dalam anglo, bahkan darahnja djuga
terasa se-akan2 mendidih, saking tak tahan, akhirnja ia mengaku: “Ja, be….
benar! Memang akulah jang membunuh Djik Tiang-hoat!”
“Dan dimanakah djenazah
guruku?” tanja Tik Hun pula. “Sebenarnja telah kau buang kemana djenazah
beliau?”
“Aku………… aku telah memasukkan
majatnja kedalam liang sini, mungkin…….. mungkin benar2 ada majat hidup lagi”,
sahut Tjin-san.
Dengan bentji Tik Hun pandang
manusia durhaka itu, teringat olehnja derita sengsara dirinja selama beberapa
tahun ini, semuanja gara2 perbuatan kedua orang ajah dan anak she Ban
dihadapannja ini, dan kini Ban Tjin-san mengaku pula telah membunuh Djik
Tiang-hoat, keruan rasa gusar Tik Hun seperti api disiram minjak. Sjukur
pertemuannja kembali dengan Djik Hong ini telah membuat hatinja lebih suka
daripada dukanja, kalau tidak, sekali gablok tentu ia sudah hancurkan kepala
Ban Tjin-san itu.
Tiba2 Tik Hun menggertak gigi
dengan gemas, terus saja ia angkat tubuh Ban Tjin-san dan dilemparkan ‘blang’, ia
lempar orang she Ban itu kedalam liang dinding. Karena lubangnja agak sempit
hingga beberapa potong bata ambrol tertumbuk oleh badan Ban Tjin-san, habis itu
barulah ia terguling masuk ke dalam liang dinding buatannja sendiri itu.
Dan selagi Djik Hong menjerit
kaget, Tik Hun sudah lantas seret Ban Ka pula dan didjedjalkan kedalam liang
dinding, katanja: “Ini namanja ada ubi ada talas, ada benci kudu membalas!
Mereka berdua telah membunuh suhu secara kedji, maka kitapun memperlakukan
mereka dengan cara jang sama”.
Lalu ia gunakan bata jang
terserak dilantai itu untuk merapatkan kembali dinding itu. Memangnja disitu
sudah komplit tersedia peralatan tukang batu, maka hanja sebentar saja Tik Hun
sudah selesai memasang tembok itu, bahkan ia kapur pula hingga putih bersih.
“Su….Suko”, kata Djik Hong
dengan suara ter-putus2, “akhirnja engkau telah dapat membalas sakit hati ajah.
Dan tentang djenazah ini, bagaimana harus diselesaikan?” ~ dan majat Go Him
lantas dituding olehnja.
“Sudahlah, kita tinggal pergi
saja, peduli apa dengan dia”, kata Tik Hun.
Tapi Djik Hong berkata lagi:
“Dan mereka berdua jang tertutup didalam dinding itu belum lagi mati, kalau ada
orang datang menolong mereka…….”.
“Orang lain darimana bisa tahu
kalau di dalam dinding situ terdapat dua orang?” ujar Tik Hun. “Andaikata
melihat dinding itu baru saja dipasang dan dikapur juga tentu orang akan
menduga tembok ini habis diperbaiki, tidak nanti orang menjangka dibalik
dinding ada rahasianja. Apalagi kalau kita pindahkan majat Go Him, orang lain
lebih2 takkan mentjurigai kamar batja ini”.
Habis berkata, segera ia
angkat majatnja Go Him dan keluar kamar batja itu, katanja kepada Djik Hong:
“Marilah kita pergi sadja!”.
Segera mereka melompat keluar
dari pagar tembok taman keluarga Ban itu, Tik Hun lemparkan majat Go Him
ketanah, katanja: “Sumoay, kini sebaiknja kita harus pergi kemana?”.
“Menurut pendapatmu, apakah
ajahku benar2 telah dibunuh oleh mereka?”, tanja Djik Hong.
“Ja, kuharap semoga Suhu masih
hidup sehat walafiat,” ujar Tik Hun. “Tapi menurut utjapan Ban Tjin-san tadi
agaknja kemungkinan itu sangat tipis”.
“Aku harus kembali kerumah
untuk mengambil sesuatu, harap kau menunggu aku di dalam Su-theng bobrok disana
itu”, kata Djik Hong.
“Biarlah aku mengawani kau”,
ujar Tik Hun.
“Tidak, djangan!”, sahut Djik
Hong. “Pabila kita dilihat orang tentu akan menimbulkan sangkaan djelek”.
“Tapi lebih baik aku mengawani
kau saja, Ban Tjin-san masih mempunjai murid2 jang lain dan tiada seorangpun
diantara mereka adalah manusia baik2,” kata Tik Hun.
“Tidak, tidak apa, aku tidak
takut pada mereka,” kata Djik Hong. “Harap kau pondong Khong-sim-djay dan
tunggu aku di sana”.
Karena mengalami kedjadian2
jang menakutkan tadi, sementara itu Khong-sim-djay sudah bobok njenjak didalam
pangkuan sang ibu.
Biasanja Tik Hun memang suka
menuruti segala permintaan Djik Hong, maka kini iapun enggan membantah,
terpaksa ia pondong sidara tjilik Khong-sim-djay dari tangan Djik Hong.
Kemudian sang Sumoay lantas melompat masuk lagi kerumah keluarga Ban itu, dan
ia sendiri lantas menudju kerumah berhala jang ditundjuk itu, ia dorong
pintunja jang sudah rejot itu dan masuk kedalam untuk menunggu datangnja Djik
Hong.
Selang tjukup lama, masih
tidak kelihatan kembalinja sang Sumoay, Tik Hun mulai gopoh dan bermaksud
menjusul kerumah Ban Tjin-san. Tapi ia kuatir kalau nanti diomeli Djik Hong,
maka ia menjadi bingung, ia pondong Khong-sim-djay dan berjalan mondar-mandir
diserambi rumah berhala itu dengan rasa tak sabar.
Se-konjong2 didengarnja
didalam ruangan rumah berhala itu ada suara kelotakan dua kali, suara orang
mengerdjakan sesuatu.
Tjepat Tik Hun menjisir
kepinggir dan berdiri disamping jendela dengan diam saja. Selang sebentar,
terdengarlah pintu dalam sana dibuka, lalu muntjul seseorang.
Mata Tik Hun tjukup tadjam
meski ditengah malam gelap, ia dapat melihat djelas bahwa orang itu adalah
seorang pengemis wanita jang berambut kusut masai dan berbaju
tjompang-tjamping.
Semula Tik Hun agak was-was
dan kuatir kedatangan musuh, tapi demi melihat orang adalah pengemis perempuan
jang umum, iapun tidak menaruh perhatian lagi. Pikirnja: “Rumah berhala bobrok
ini adalah tempat meneduh pengemis wanita ini, kedatanganku ini berarti telah
mengganggu padanja. Ai, mengapa Djik-sumoay masih belum datang kembali?”
Dalam pada itu, mendadak
Khong-sim-djay mendjerit tangis dalam mimpinja sambil me-manggil2: “Ibu, ibu!”.
Ketika mendadak mendengar
suara lengking orang, semula pengemis wanita itu terperandjat hingga mengkeret
ketakutan dipodjok serambi sana sambil menangkup kepalanja sendiri.
Kuatir kalau Khong-sim-djay
mendusin, pelahan2 Tik Hun menepuk bahu dara tjilik itu menimang: “Anak manis,
djangan menangis! Segera ibu akan datang, djangan menangis, anak manis!”.
Sesudah mengetahui bahwa jang
berteriak tadi adalah seorang dara tjilik, pula melihat Tik Hun tiada bermaksud
djahat padanja, maka pengemis wanita itu mendjadi tabah, bahkan ia lantas
membantu menimang Khong-sim-djay, katanja: “O, anak manis, anak pintar!
Djanganlah menangis, segera ibu akan kembali!”.
Kemudian ia berkata pada Tik
Hun dengan suara rendah: “Seorang dikala tidurnja memang sering melihat setan.
Ada orang ditengah malam buta suka bangun untuk pasang tembok, o,
djang…………djangan kau tanja…………djangan kau tanja padaku”. ~ demikian ia takut2
pula dan me-njisir2 hendak pergi.
Mendengar utjapan orang aneh
itu, segera Tik Hun bertanja: “Apa jang kau katakan?”.
“Ah, tidak………tidak apa2”, kata
pengemis wanita itu. “Loya telah mengusir aku, ia tidak sudi padaku lagi.
Padahal, dahulu, diwaktu aku masih muda djelita, beliau sangat….sangat suka
padaku. Kata orang: “Mendjadi suami-isteri semalam akan tjinta seratus malam,
menjadi suami-isteri seratus malam, tjinta kasih semakin mendalam”. Maka……maka
aku tidak putus asa, pada suatu hari tentu……..tentu Loya akan mentjari padaku
lagi. Ja, memang, menjadi suami-isteri semalam akan timbul tjinta seratus
malam, mendjadi suami-isteri seratus malam, tjinta kasih keduanja semakin
mendalam………”.
Mendengar sipengemis wanita
itu ber-ulang2 menjebut ‘menjadi suami-isteri semalam timbul tjinta kasih
seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, tjinta kasih keduanja akan makin
mendalam’, seketika hati Tik Hun tergetar, pikirnja mendadak: “Ai, djika begitu
djangan2 tjinta Hong-moay kepada suaminja djuga takkan terputus begini saja?”.
Karena perasaan itu, segera ia
pondong Khong-sim-djay dan berlari keluar dari rumah berhala itu.
Sudah tentu sedikitpun tak
terduga oleh Tik Hun bahwa pengemis wanita jang dekil itu tak lain tak bukan
adalah Tho Ang atau si Mirah jang dahulu pernah mempitenahnja hingga membuatnja
hidup merana itu.
Begitulah Tik Hun berlari
kembali kerumah Ban Tjin-san, segera ia melompat pagar tembok dan memburu
kekamar batja Ban Tjin-san.
Keruan kejut Tik Hun tak
terkatakan, tjepat ia menjalakan pelita diatas meja, dibawah sinar pelita itu
dapat dilihatnja dengan jelas antero badan Djik Hong sudah mandi darah. Pada
perutnja masih menantjap sebilah belati.
Waktu Tik Hun periksa sekitar
kamar itu, dilihatnja lantai berserakan potongan2 bata dan kapur pasir, dinding
jang baru dipasang itu telah terbongkar pula hingga berlubang dan Ban Tjin-san
serta Ban Ka sudah tak kelihatan batang hidungnja, entah sudah menghilang
kemana.
Sambil berjongkok Tik Hun
berlutut disamping Djik Hong, seruanja: “Hong-moay! Hong-moay!”. ~ tapi saking
kagetnja hingga ia gemetar dan suaranja menjadi serak.
Ia tjoba meraba mukanja Djik Hong,
ia merasa masih hangat, hidungnja djuga masih bernapas pelahan sekali. Tik Hun
tenangkan diri sedapat mungkin, lalu berseru pula: “Hong-moay!”.
Pe-lahan2 tampak Djik Hong
membuka mata, wadjahnja sekilas menampilkan senjum getir, katanja lemah:
“Su…..Suko, ma……maafkanlah aku!”.
“Sudahlah, kau djangan
bitjara, aku……aku akan menolong kau”, kata Tik Hun.
Segera ia letakkan
Khong-sim-djay, dengan tangan kanan ia rangkul dan bangunkan tubuh Djik Hong,
tangan kiri lantas memegang belati jang menantjap diperut Djik Hong itu, ia
bermaksud mentjabut belati itu.
Tapi ketika ditegaskan pula,
ia melihat belati itu menantjap hampir seluruhnja didalam tubuh Djik Hong,
kalau belati ditjabut, bukan mustahil njawa Djik Hong seketika djuga akan
melajang. Maka ia mendjadi ragu2 dan tidak berani mentjabut belati itu, dalam
gugupnja ia menjadi bingung. Ber-ulang2 ia hanja bertanja: “Bagaimana baiknja
ini? Siapa….. siapakah jang mentjelakai kau?”
“Suko”, kata Djik Hong dengan
senjum pahit, “kata orang: menjadi suami-isteri semalam…… Ai, sudahlah, tak
perlu dikatakan pula, harap…..harap kau maafkan aku, karena aku tidak……tidak
tega, maka aku telah melepaskan suamiku, tapi dia…..dia……”
“Dia…..dia malah menusuk kau
dengan belati ini, betul tidak?” Tik Hun menegas dengan mengertak gigi.
Djik Hong tersenyum getir dan
memanggut.
Tik Hun pedih bagai di-sajat2
menjaksikan djiwa Djik Hong hanja tinggal dalam waktu singkat sadja, tublesan
belati Ban Ka itu sedemikian dalam dan lihay, terang jiwa sang Sumoay susah
ditolong lagi. Dalam hati ketjilnja Tik Hun merasa di-gigit2 oleh sematjam rasa
iri hati jang tak terhingga, diam2 ia menggerutu: “Ja, betapapun toh kau tetap
tjinta kepada………….kepada suamimu, dan……….dan kau lebih suka korbankan dirimu
sendiri untuk menjelamatkan dia”.
“Suko”, demikian terdengar
Djik Hong berkata pula, “berjanjilah padaku bahwa engkau akan menjaga baik2
pada Khong-sim-djay dan akan menganggapnja sebagai….. sebagai anakmu sendiri”.
Tik Hun tidak mendjawab,
dengan wajah pedih ia hanja mengangguk. Kemudian dengan mengertak gigi ia
bertanja: “Dan bangsat itu telah…………telah lari kemana?”
Namun sinar mata Djik Hong
sudah membujar, suaranja menjadi katjau mengigau, terdengar ia berkata dengan
lemah: “Di dalam gua itu ada dua ekor kupu2 hitam, itu…… San-pek dan Eng-tay!
Suko, lihatlah….lihatlah! Jang seekor itu adalah kau, dan jang seekor adalah
diriku. Kita……kita akan terbang kian kemari dengan bebas dan selamanja tak
terpisah. Kau setudju bukan?
Makin lama makin lemah suara
Djik Hong dan makin lemas pula napasnja hingga akhirnja mengembuskan napasnja
jang penghabisan.
Dengan air mata bertjutjuran
Tik Hun mendekap diatas tubuh sang Sumoay, untuk sekian lamanja ia ter-menung2
disamping djenazah Djik Hong.
Akhirnja ia mengertak gigi, ia
pondong Khong-sim-djay dan sebelah tangan lain mengempit djenazah Djik Hong, ia
melompat keluar dari pagar tembok keluarga Ban itu. Sebenarnja ia bermaksud
membakar habis rumah Ban Tjin-san jang megah dan besar itu, tapi lantas
terpikir olehnja: “Djika aku membakar habis rumah ini, tentu Ban-si-hutju (ajah
dan anak she Ban) takkan pulang lagi kesini dan untuk mentjarinja menjadi lebih
susah. Kalau hendak membalas sakit hati Sumoay, rumah ini lebih baik dibiarkan
begini sadja”.
Begitulah ia lantas berlari
ketaman bobrok jang luas, dimana Ting Tian telah meninggal itu. Ia menggali
sebuah liang dan mengubur Djik Hong disitu. Ia simpan baik2 belati jang
menghabiskan djiwa Djik Hong itu, ia bertekad akan mentjabut njawa Ban-si-hutju
dengan belati itu pula.
Saking berduka hingga air mata
Tik Hun serasa sudah kering, sungguh ia menjesal sekali, ia memaki dirinja
sendiri mengapa tadi tidak lantas membunuh sadja Ban-si-hutju jang terkutuk
itu, habis itu barulah dilemparkan kedalam liang dinding? Ja, mengapa begitu
gegabah hingga kini terdjadilah peristiwa jang menjesalkan selama hidup
baginja?
Dalam pada itu Khong-sim-djay
telah ber-teriak2 menangis mentjari ibunda, suara tangis dan djerit dara tjilik
itu membuat pikiran Tik Hun semakin gundah. Ia bermaksud mengintai disekitar
rumah Ban Tjin-san itu untuk menunggu kembalinja mereka, tapi dengan suara
tangis Khong-sim-djay, terang mereka akan kabur lebih djauh pula.
Maka ia pikir harus mengatur
dulu diri dara tjilik itu. Ia mendapatkan suatu keluarga petani diluar kota
Heng-tjiu, ia memberikan 20 tahil perak kepada wanita tani itu dan minta dia
merawat Khong-sim-djay.
********
Sang tempo lewat dengan
tjepat, sudah sebulan lamanja siang-malam Tik Hun mengintai disekitar rumah Ban
Tjin-san itu. Tapi selama itu tidak nampak batang hidung Ban-si-hutju. Jang
lebih aneh lagi, bahkan bajangan anak murid Ban Tjin-san jang lain seperti Loh
Kun, Pang Tan, Tjiu Kin dan lain2 djuga tidak kelihatan sama sekali.
Sebaliknja selama itu didalam
kota Heng-tjiu (atau dengan nama lain kota Kang-leng) telah berkumpul tidak
sedikit orang2 Bu-lim dari berbagai golongan dan aliran dengan aneka ragamnja
pula, tua-muda, laki-perempuan, sedikitnja ada be-ratus2 djumlahnja.
Pada suatu petang, disuatu
rumah makan Tik Hun mendengar pertjakapan dua orang Kangouw jang menarik hati.
Kata jang seorang: “Kiranja
Soh-sim-kiam-boh itu terdapat didalam kitab: ‘Tong-si-soan-tjip’, dan empat
huruf kuntji utama dari rahasia Kiam-boh itu berbunji ‘Kang-leng-seng-lam’,
apakah kau sudah tahu?”
“Ja, sudah tentu tahu,” sahut
kawannja. “Selama beberap hari ini entah betapa banjak tokoh Bu-lim telah
berdatangan di kota Kang-leng ini. Tapi selama ini masih tiada seorangpun jang
tahu bagaimana lanjutan tulisan2 dibelakang keempat huruf itu”.
“Ha, kalau menurut aku, peduli
apa huruf dibelakang istana itu? Asalkan kita mentjari saja di
Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), kita tunggu di sana, bila melihat
ada orang berhasil menemukan sesuatu harta karun apa, segera kita turun tangan
merampasnja. Ini namanja maling ketemu perampok! Mereka malingnja, kita
rampoknja. Hahahaha!”.
“Benar”, sahut jang lain,
“Andaikan kita tak mampu merampas dari mereka, paling tidak kita djuga dapat
minta bagiannja. Ini sudah merupakan undang2 golongan kita jang tak tertulis”.
“Hehe, kalau dibitjarakan
sungguh gila!” kata jang duluan tadi. “Apa kau tahu bahwa semua toko buku
didalam kota selama beberapa hari ini telah ketomplok rejeki? Semua orang ingin
mentjari ‘Tong-si-soan-tjip’. Malahan pagi tadi, baru saja aku melangkah masuk
ke toko buku, pegawai disitu sudah lantas menegur: Apakah tuan akan membeli
‘Tong-si-soan-tjip’? Kita itu baru saja kami datangkan lagi dari Han-kau,
barangnja masih hangat2, kalau ingin beli hendaklah lekas, kalau tidak tentu sebentar
akan kehabisan. Tentu saja aku heran, kutanja darimana dia tahu aku hendak
mentjari Tong-si-soan-tjip. Dan tahukah kau apa katanja?”
“Entah, apa jang dia katakan?,
sahut kawannja.
“Kurang ajar! Pegawai itu
bilang: Harap tuan maklum, karena selama beberapa hari ini toko kami telah
banjak kedatangan tuan2 jang gagah perkasa dengan bersendjata, sebelas dari
sepuluh orang jang datang tentu jang ditjari adalah Tong-si-soan-tjip. Oleh
karena itu, kita itu benar2 seperti pisang goreng larisnja, djika tuan djuga
ingin membeli silahkan lekas sadja, harganja lima tahil perak setiap buku”.
“Keparat, masakah ada kitab
semahal itu?” maki kawannja tadi.
“Apakah kau tahu harga buku?
Apakah kau pernah beli buku? Darimana kau tahu harga itu terlalu mahal?”
“Hahaha! Darimana aku tahu!
Huruf segede telur djuga aku tidak kenal satu bakul banjaknja, selama hidup
inipun tidak pernah masuk toko buku, buat apa aku membeli buku? Selama hidup
Ingsun hanja suka berdjudi, kalau beli kartu sih berani, beli buku mah terima
kasih. Hehehehe!”.
Begitulah diam2 Tik Hun
membatin: “Rupanja rahasia tentang Soh-sim-kiam-boh sudah tersebar hingga semua
orang sudah tahu. Siapakah gerangan jang menjiarkan rahasia itu? Ah, tahulah
aku, tentu Ban-si-hutju membitjarakan rahasia itu dan telah didengar oleh Loh
Kun dan lain-lain, ketika Ban Tjin-san menguber mereka, anak muridnja lantas
kabur dan dengan begitu berita tentang harta karun dalam Soh-sim-kiam-boh
lantas tersiar”.
Teringat kepada
Soh-sim-kiam-boh, segera iapun teringat pada waktu ia meringkuk didalam penjara
bersama Ting Tian dahulu, dimana juga banjak orang2 Kang-ouw meretjoki Ting
Tian dengan tujuan hendak memperoleh rahasia Soh-sim-kiam-boh, tapi satu
persatu orang2 Kang-ouw itu telah dibinasakan oleh Ting Tian.
“Ai, kenapa aku menjadi lupa?
Ting-toako telah pesan agar aku menguburkan abu tulangnja bersama djenazah
Leng-siotjia, maka tugas itu harus kulaksanakan dahulu”, demikian ia lantas
teringat kepada pesan tinggalan saudara angkat jang ditjintainja itu.
Segera ia mulai menjelidiki
dimana letak kuburannja Leng-siotjia.
Sebagai puteri Tihu (bupati)
dari kota Kang-leng, dengan sendirinja kuburan Leng-siotjia itu mudah ditjari.
Tik Hun hanja mentjari tahu kepada toko2 penjual peti mati jang besar dan
tukang batu pembuat batu nisan jang terkenal didalam kota, maka dengan gampang
ia sudah mendapat tahu letak tempat kuburan Leng-siotjia itu. Tempat itu adalah
diatas sebuah bukit ketjil diluar pintu timur kota, djaraknja kira2 dua belas
li.
Setelah membeli dua buah
tjangkul, segera Tik Hun keluar timur kota dan tidak terlalu susah kuburan
Leng-siotjia itu telah dapat diketemukan.
Ia lihat di atas batu nisan
itu tertulis: “Kuburan puteri tertjinta: Leng Siang-hoa”. Sekitar kuburan itu
tandus merata tiada sesuatu tanaman apa2, baik pohon maupun bunga2an. Padahal
dimasa hidupnja Leng-siotjia paling suka pada bunga, namun sesudah meninggal,
satupun ajahnja tidak menanam bunga disekitar kuburannja itu.
“Hehe, puteri tertjinta? Apa
betul2 kau tjinta pada puterimu ini?” demikian Tik Hun mengejek Leng-tihu jang
kedjam itu. Dan bila teringat kepada Ting Tian dan Djik Hong, tak tertahan lagi
air matanja bertjutjuran bak hujan.
Memangnja bajunja sudah pernah
lepek oleh air mata tangisannja kepada Djik Hong tempo hari, sekarang didepan kuburan
Leng-siotjia telah bertambah dibasahi air mata jang baru.
Disekitar bukit itu tiada
rumah penduduk, djauh terpentjil pula dari djalan raja dan tiada orang berlalu
disitu. Tapi tidaklah pantas menggali kuburan disiang hari. Maka terpaksa ia
menunggu sesudah magrib barulah ia menggali. Setelah membongkar batu penutup
liang kubur itu, maka tertampaklah peti matinja.
Sesudah mengalami derita
sengsara selama beberapa tahun ini, sebenarnja Tik Hun bukan lagi seorang jang
mudah berduka dan gampang mengalirkan air mata. Tetapi dibawah sinar bulan jang
remang2 itu demi melihat peti mati itu, ia lantas teringat kepada kematian
Ting-toako jang djusteru akibat peti mati itu, jaitu kena ratjun jang dipoles
diatasnja, mau tak mau Tik Hun berduka pula dan tak bisa mentjutjurkan air mata
lagi.
Ia tahu Leng Dwe-su telah
melumasi peti mati itu dengan ratjun ‘Hud-tjo-kim-lian’ jang maha djahat, meski
sudah lewat sekian tahun lamanja, apalagi peti mati itu telah digotong dan
dipendam disitu, besar kemungkinan ratjun diatasnja sudah dihapus lebih dulu.
Namun begitu ia tetap was-was, ia tidak mau terima resiko untuk menjentuh tutup
peti mati itu. Maka segera ia lolos Hiat-to (golok merah) milik Hiat-to Lotjo
dahulu. Pe-lahan2 ia masukkan golok mestika itu kegaris tutup peti mati dan
disajat keliling.
Golok mestika itu dapat
memotong besi sebagai merajang sajur, maka dengan gampang sekali semua paku dan
pantek peti mati itu telah disajat putus. Ketika ia tjungkel dengan golok itu,
segera tutup peti mati bergeser dan mentjelat djatuh keluar liang kubur.
Se-konjong2 dilihatnja dibawah
tutup peti mati itu dua buah tangan jang sudah berwudjut tulang kering itu
menegak ke atas, ketika tutup peti mati mentjelat, kedua rangka tulang tangan
itu lantas djatuh berantakan kedalam se-akan2 bisa bergerak sendiri.
Keruan Tik Hun terkedjut
biarpun njalinja tjukup tabah. Pikirnja: “Diwaktu djenazah Leng-siotjia
dimasukkan peti mati, mengapa kedua tangannja bisa terangkat keatas? Aneh,
sungguh aneh?”
Ketika ia periksa isi peti
mati itu, ia tidak melihat sebangsa bantal guling, mori belatjo jang pada
umumnja dipakai orang mati. Jang ada tjuma pakaian tipis biasa dan serangka
tulang-belulang.
Diam2 Tik Hun mendoa:
“Ting-toako, Leng-siotjia, diwaktu hidupnja kalian tak dapat menjadi suami
isteri, sesudah meninggal tjita2 kalian agar terkubur bersama kini telah
tertjapai. Djika arwah kalian mengetahui hal ini di alam baka, dapatlah kiranja
kalian merasa puas hendaknja”.
Lalu Tik Hun menanggalkan
buntalan jang dibawanja, ia tebarkan abu jenazah Ting Tian diatas kerangka tulangnja
Leng-siotjia. Ia berlutut dan menjura empat kali dengan penuh hormat, lalu ia
berdiri dan hendak mengangkat tutup peti mati untuk ditutup kembali seperti
semula.
Dibawah sinar bulan jang
remang2 itu, tiba2 dilihatnja di bagian dalam tutup peti mati itu samar2
seperti penuh tulisan. Waktu Tik Hun mendekati dan memperhatikannja, ia lihat
tulisan2 itu mentjang-mentjeng tak teratur, diantaranja tertulis: “Ting-long,
biarlah kita mendjadi suami isteri pada pendjelmaan jang datang!”.
Tik Hun terkesiap dan terduduk
lemas ketanah. Beberapa huruf itu terang diukir dengan kuku djari. Sesudah
dipikirnja sedjenak, segera iapun paham duduknja perkara. Kiranja Leng-siotjia
itu sebenarnja belum meninggal waktu itu, tapi dia telah dipendam hidup2 oleh
ajahnja sendiri dan dimasukkan kedalam peti mati setjara paksa. Beberapa huruf
itu terang diukirnja dengan kuku pada waktu ia belum meninggal. Sebab itulah,
sampai saat matinja kedua tangannja masih terangkat keatas, jaitu karena dia
lagi mengukir tulisan dibagian dalam tutup peti mati. Sungguh susah untuk
dipertjaja bahwa di dunia ini ternjata ada seorang ajah jang begitu kedjam.
Dengan segala tipu daja Leng Dwe-su telah berusaha mendapatkan
Soh-sim-kiam-koat dari Ting Tian, tapi selama itu Ting-toakonja tidak mau tunduk,
sedangkan Leng-siotjia djuga tidak mau mengingkari Ting-toako, dan karena sudah
ditunggu dan tunggu lagi tetap tipu muslihat Leng Dwe-su tak berhasil, akhirnja
ia menjadi gemas dan setjara kedji telah kubur puterinja sendiri dengan hidup2.
Ia tjoba meneliti tulisan2
diatas tutup peti itu, ia melihat dibawah pesan kepada Ting Tian tadi tertulis
beberapa angka pula seperti: 4, 51, 33, 53, 18, 7, 34, 11, 28 dan banjak lagi.
Tik Hun menarik napas dingin,
katanja didalam hati: “Ah, tahulah aku. Ternjata sampai detik terakhir
Leng-siotjia masih ingat tjita2nja jang ingin berkubur bersama dengan
Ting-toako. Leng-siotjia pernah berdjandji kepada siapapun asal dapat
menguburkan dia bersama Ting Tian, maka ia akan memberitahukan rahasia
Soh-sim-kiam-boh kepadanja. Ting-toako juga pernah mengatakan kuntji rahasia
itu kepadaku, tapi belum lagi habis beliau sudah keburu meninggal. Sedangkan
Kiam-boh jang diperoleh suhu dan terdapat kuntji rahasianja justeru telah
di-robek2 oleh Ban-si-hutju, tadinja kukira rahasia itu sudah tiada orang jang
tahu lagi di dunia ini dan untuk seterusnja akan lenjap, siapa tahu
Leng-siotjia telah mentjatat setjara lengkap disini”.
Maka diam2 Tik Hun berdoa:
“Leng-siotjia, engkau benar2 seorang jang bisa pegang djandji. Terima kasihlah atas
maksud baikmu. Tetapi aku sendiri sekarangpun lagi putus asa, kalau bisa
sungguh akupun ingin bisa menggali suatu liang kubur, lalu membunuh diri disini
untuk menjusul kau dan Ting-toako. Tjuma sampai sekarang sakit hatiku belum
terbalas, aku harus membunuh dulu Ban-si-hutju serta ajahmu, habis itu barulah
aku rela mati. Adapun tentang harta benda bagiku adalah mirip tanah dan sampah
sadja jang tiada artinja”.
Segera ia angkat tutup peti
mati dan hendak ditutupkannja kembali. Tapi se-konjong2 timbul suatu akalnja:
“He, bukankah aku sedang sulit mentjari Ban-si-hutju? Dan kalau sekarang aku
menuliskan kuntji rahasia tentang dimana letak penjimpanan harta karun itu,
kutuliskan huruf2 itu ditempat jang menjolok, dapat dipastikan Ban-si-hutju
pasti akan mendengar serta datang melihatnja. Ja, benar, aku harus menggunakan
kuntji rahasia Soh-sim-kiam-boh ini sebagai umpan untuk memantjing kedatangan
Ban-Tjin-san dan Ban Ka. Walaupun Ban-si-hutju tentu akan tjuriga djuga, namun
betapapun juga mereka pasti ingin mengetahui rahasia Soh-sim-kiam-boh, tentu
mereka akan menempuh bahaja dan datang kemari”.
Setelah ambil keputusan itu,
ia taruh lagi tutup peti mati itu, ia apalkan dengan baik angka2 kuntji
Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan ia ukir pula angka2 itu digagang tjangkul dengan
goloknja. Selesai mengukir, untuk selamatnja ia mentjotjokkan sekali pula,
habis itu barulah ia tutup kembali peti mati itu serta menguruki lagi tanah
pekuburan seperti semula.
“Tjita2ku jang terpenting ini
kini sudah terlaksana, tugasku kepada Leng-siotjia dan Ting-toako sudah
kupenuhi. Nanti bila aku sudah membalas sakit hati, tentu aku akan datang lagi
kesini untuk menanami beberapa ratus pohon bunga seruni disini. Memang bunga
seruni adalah bunga kesajangan Ting-toako dan Leng-siotjia dimasa hidup
mereka”, demikian Tik Hun berjanji pada diri sendiri.
Besok paginja, diatas dinding
benteng selatan kota Kang-leng tepat di atas pintu gerbang jang menjolok mata
djelas tertampak beberapa angka jang tertjoret dengan kapur.
Huruf2 itu besar2 hingga dapat
terlihat djelas dari djauh, angka2 itu antara lain dan didahului: 4, 51, 33,
53…………………..
Anehnja huruf2 itu tertulis di
atas tembok jang tingginja belasan meter, mungkin diseluruh kota Kang-leng tak
terdapat tangga sepandjang itu untuk mentjapai dinding dan menulisnja, ketjuali
orang dikerek dari atas benteng dan orang itu menulis di dinding benteng itu
dengan tergantung.
Djauh ditepi djalan raja jang
menuju ke pintu gerbang kota itu tampak ada seorang pengemis sedang sibuk mentjari
tuma dibadjunja jang rombeng dan berbau sambil mendjemur diri dibawah sinar
matahari.
Orang itu adalah Tik Hun. Dan
tulisan ditembok jang tinggi itu adalah perbuatannja.
Pintu gerbang selatan itu
sangat ramai dengan orang jang berlalu lalang, apalagi diwaktu pagi, banjak
bakul2 dan tukang2 sajur dari desa sama menuju kepasar di dalam kota. Maka
orang2 desa dan penduduk kota merasa heran juga ketika melihat tulisan diatas
tembok jang sangat tinggi itu, hanja dalam waktu singkat saja gemparlah seantero
kota Kang-leng, baik dirumah makan, baik diwarung kopi dan maupun dipasar,
semua orang geger membitjarakan kedjadian jang aneh itu, bahkan banjak jang
ber-bondong2 datang kepintu gerbang untuk melihat tulisan itu.
Dan sudah tentu tulisan2 itu
tiada jang luar biasa, ketjuali letaknja jang sangat tinggi itu, tulisan2 itu
pada hakekatnja tidak mengherankan dan menarik, maka banjak diantara penonton2
itu sesudah membatja sekadarnja, lalu menggerutu dan tinggal pergi.
Sebaliknja banjak juga orang2
Kang-ouw dan tokoh2 Bu-lim jang tidak lantas tinggal pergi, mereka masing2
tampak membawa sedjilid ‘Tong-si-soan-tjip’, mereka mentjatat semua angka2 jang
tertulis didinding kota itu, lalu mengkerut kening memikirkan arti angka2 itu.
Tik Hun sendiri masih asjik
memitas tuma jang diketemukannja dari badjunja, tapi perhatiannja tidak pernah
meninggalkan orang2 Bu-lim jang datang kesitu itu.
Akhirnja dapatlah dilihat Sun
Kin dan Sim Sia telah datang, kemudian Loh Kun tiba pula.
Tapi mereka tidak tahu urutan2
djurus permainan Soh-sim-kiam-hoat, pula tidak tahu sjair mana jang mendjadi
indeks daripada djurus ilmu pedang itu. Maka sekalipun mereka masing2 djuga
membawa sedjilid ‘Tong-si-soan-tjip’, walaupun mereka dapat membatja angka2 jang
tertulis didinding kota dan tahu pula bahwa keempat angka pertama itu adalah
kuntji rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan meski mereka sudah
mendengar djuga pertjakapan guru mereka dengan puteranja dikala memetjahkan
angka2 kuntji itu, namun mereka tidak tahu setiap angka itu harus djatuh atau
ditjari di dalam sjair jang mana.
Maklum, untuk bisa mengetahui
sjair mana jang dimaksudkan dari djurus2 Soh-sim-kiam-hoat itu didunia ini
hanja Ban Tjin-san, Gan Tiat-peng, dan Djik Tiang-hoat bertiga jang tahu.
Tertampak Loh Kun dan para
sutenja itu sedang bitjara, rupanja sedang saling tukar pikiran. Tapi sampai
sekian lamanja tiada sesuatu kesimpulan jang dapat mereka tarik dari angka2
itu.
Karena djaraknja agak djauh,
Tik Hun tidak dapat mendengar apa jang dipertjakapkan mereka. Ia lihat sesudah
Loh Kun dan lain2 berunding lagi sebentar, kemudian mereka masuk kembali keota.
Selang tidak lama, tertampak Loh Kun bertiga keluar lagi, tapi kini sudah
menjamar semua. Jang satu menjamar sebagai tukang rudjak dengan memakai memikul
suatu dasaran jang banjak terdapat ketimun, nanas, djeruk, dan sebagainja.
Seorang lagi menjaru sebagai tukang sajur, pikulannja penuh terisi sajur2an dan
seorang lain pula menjamar sebagai petani jang habis pulang dari mendjual hasil
taninja di kota.
Setiba diluar pintu kota,
mereka lantas pura2 mengaso disitu, tapi jang mereka perhatikan adalah orang2
jang berlalu-lalang.
Tik Hun dapat meraba maksud
tudjuan mereka, tentu mereka ingin menunggu kedatangan Ban Tjin-san. Mereka
sendiri tak dapat memetjahkan angka2 rahasia Soh-sim-kiam-boh itu, maka mereka
hendak membontjeng sang guru sadja. Pabila Ban Tjin-san berhasil menggali harta
karun itu, biarpun mereka tak dapat mengangkangi, paling tidak djuga akan
kebagian redjeki.
Beberapa angka kuntji pertama
dari ‘Soh-sim-kiam-boh’ itu adalah: 4, 51, 33 dan 53. Angka2 itu mempunjai arti
sebagai ‘Kang-leng-seng-lam’ atau selatan kota Kang-leng, hal ini sudah tersiar
luas di kalangan orang Kang-ouw melalui mulutnja Bok Heng dan Sim Sia jang dapat
mendengar dari guru mereka itu. Dan kini angka2 itupun djelas tertulis diatas
dinding kota itu, bahkan dibelakangnja ber-turut2 masih banjak angka2 jang lain
lagi, melihat itu, biarpun orang jang paling goblok djuga akan dapat menduga
bahwa angka2 itu pasti adalah rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh jang ditjari
itu.
Begitulah maka orang2 jang
datang kepintu selatan kota itu, makin siang makin banjak. Ada jang menjamar,
ada jang blak2an menurut muka asli mereka.
Diam2 Tik Hun menghitung
djumlahnja dan seluruhnja ada 78 orang. Selang tak lama lagi, ia lihat Bok Heng
dan Pang Tan djuga sudah datang. Bahkan diantara mereka entah sedang
mempertjektjokkan urusan apa, muka mereka tampak merah beringas, katjeknja
mereka tidak sampai berkelahi. Tapi akhirnja mereka dapat sabar kembali dan
duduk ditepi sungai jang mengelilingi benteng kota itu sambil merenungkan apa
arti angka2 jang tertulis diatas dinding itu.
Sampai sore hari, masih tetap
Ban-si-hutju tidak kelihatan batang hidungnja. Bahkan sampai dekat magrib,
masih djuga Ban Tjin-san dan Ban Ka tidak nampak muntjul. Banjak diantara
orang2 itu kedengaran mentjatji-maki dengan kata2 kotor.
Dan ketika hari sudah hampir
gelap, tiba2 tertampak seorang jang berdandan sebagai guru sekolah telah datang
dengan langkahnja mirip ‘gojang sampan’. Guru sekolah itu membawa pensil dan
setjarik kertas pula. Setiba diluar pintu gerbang situ, ia lantas mentjatat
semua angka2 jang dapat dibatjanja diatas dinding itu.
Ada seorang laki2 berewok dan
bermuka bengis memangnja lagi mendongkol tak terlampiaskan lantaran sudah
sekian lamanja menunggu dan masih tidak melihat muntjulnja Ban Tjin-san, terus
sadja ia gunakan guru sekolah itu sebagai alat pelampias marahnja, segera ia
bekuk guru sekolah itu sambil membentak: “Buat apa kau menurun angka2 itu?”.
“E-eh, seorang laki2 sedjati
hanja boleh pakai mulut dan tidak boleh memakai tangan”, demikian sahut guru
sekolah itu sambil meringis karena tengkuknja ditjengkeram laki2 kasar tadi.
“Persetan kau laki2 atau
perempuan,” bentak orang itu, “Nah, djawablah, buat apa kau mentjatat angka2
itu?”
“Sudah tentu ada gunanja
bagiku, orang lain mana bisa tahu,” sahut guru sekolah itu.
“Keparat, makanja aku tanja!”,
teriak laki2 kasar itu dengan mendongkol, “Nah, kau mau mengaku tidak, kalau
tidak, segera kutondjok kau. Nih!”. ~ dan segera ia atjungkan bogemnja ke depan
hidung guru sekolah itu.
Rupanja guru sekolah itu
mendjadi takut, katanja dengan gemetar: “Ja, ja, kan….akan kukatakan. Aku tjuma……tjuma
orang suruhan sadja”.
“Siapa jang suruh kau?”,
bentak orang itu.
“Seorang……seorang tua. Ja,
kukatakan terus terang saja, orang jang menjuruh aku itu adalah tokoh terkemuka
didalam kota ini, beliau jalah…………..jalah, eh, kalau kukatakan, jangan kau
gemetar, lho! Beliau jalah…….jalah Ban Tjin-san, Ban-loyatju!”, demikian tutur
guru sekolah itu.
Demi mendengar nama ‘Ban
Tjin-san’ disebut, seketika gemparlah semua orang. Tik Hun pun ikut bergirang,
tapi diantara rasa girang itu lebih besar rasa dendam kesumat dan rasa dukanja.
Begitulah guru sekolah itu
lantas digusur be-ramai2 oleh orang banjak kedalam kota, ia diharuskan
menunjukkan dimana beradanja Ban Tjin-san. Maka dalam sekedjap saja ratusan
orang telah pergi hingga djauh. Mereka ingin mentjari Ban Tjin-san untuk
memaksanja memberitahu dimana tempat penjimpanan harta karun itu, mereka akan
menggalinja untuk dibagi sama rata.
Sudah tentu laki2 berewok itu
mendapat banjak pujian dari para petualang jang lain, mereka memudjinja:
“Saudara ini sungguh sangat tjerdik, kami sama sekali tidak menduga Ban
Tjin-san bisa menjuruh orang untuk menurun angka2 rahasia ini. Tjoba kalau
tiada kau saudara, biarpun kita menunggu tiga hari tiga malam suntuk disini
djuga akan sia2 belaka, sebaliknja kesempatan itu sudah digunakan oleh
sikeparat Ban Tjin-san untuk menggali harta karun itu”.
Dengan sendirinja makin
dipudji, makin berseri siorang berewok itu, katanja dengan bangga: “Memangnja
sedjak muntjulnja pelajar ketjut ini aku sudah menduga pasti ada sesuatu jang
tidak beres. Dan njatanja memang benar!”.
Dalam suasana remang2nja
magrib itu, rombongan orang2 itu telah pergi hingga djauh, maka diluar pintu
gerbang kota itu kembali sunji-senjap. Mestinja Tik Hun bermaksud ikut diantara
orang banjak itu, tapi ia mendjadi ragu2, ia merasa Ban Tjin-san jang litjik
dan litjin itu tidak mungkin berlaku begitu goblok menjuruh seorang guru
sekolah jang begitu gampang lantas ditangkap dan mengaku terus terang dimana ia
berada. Bukan mustahil dibalik itu ada sesuatu tipu muslihatnja.
Karena itulah maka ia tidak
jadi berbangkit untuk ikut diantara orang banjak itu. Dan selagi ia ragu2
apakah usahanja itu akan gagal begitu sadja atau masih harus diteruskan lagi
hingga besok, tiba2 dilihatnja ditepi sungai dekat pintu gerbang kota itu,
berkelebat suatu bajangan orang. Dengan tjepat bajangan orang itu terus lari
kearah barat setjepat terbang.
Pikiran Tik Hun tergerak,
segera iapun melesat kedepan, diam2 ia menguntit dibelakang bajangan orang itu
dengan Ginkang jang tinggi hingga tak diketahui siapapun juga.
Ternjata Ginkang orang itupun
sangat hebat, namun Tik Hun sekarang bukan lagi Tik Hun dulu, betapapun
kepandaian orang itu masih selisih djauh kalau dibandingkan pemuda itu. Maka
sama sekali orang itu tidak merasa bahwa ada seorang lain lagi sedang menguntit
dibelakangnja.
Tik Hun terus menguntit hingga
sampai didepan sebuah rumah ketjil. Ia lihat orang itu masuk kedalam rumah.
Segera Tik Hun menjisir madju, sampai disamping rumah, ia mendjaga disitu djika
orang itu keluar lagi. Tapi ternjata orang itu tidak keluar, sebaliknja didalam
rumah lantas kelihatan sinar terang, orang itu telah menjalakan pelita.
Tik Hun terus menggeser keluar
djendela, ia mengintip dari sela2 djendela, maka dapat dilihatnja bahwa orang
tadi adalah seorang tua, Tjuma berdirinja membelakangi djendela, maka mukanya
tidak kelihatan. Orang itu berduduk menghadap medja, diatas medja terletak
sedjilid buku. Begitu memandang segera Tik Hun tahu buku itu adalah
‘Tong-si-soan-tjip’. Buku berisi pilihan sjair jaman Tong itu dalam beberapa hari
terakhir ini telah merupakan barang paling laris di dalam kota Kang-leng, maka
tidak mengherankan djika orang tua itupun memiliki suatu djilid.
Dalam pada itu, terlihat orang
tua itu lagi memegang sebatang pensil, lalu sedang menulis diatas sehelai kertas
kuning, jang ditulis adalah empat huruf ‘Kang-leng-seng-lam’ atau selatan kota
Kang-leng, kemudian terdengar dia menjebut sebuah judul sjair dan menjebut
suatu angka, habis itu ia lantas mem-balik2 halaman kitab sjair kuno itu mulai
menghitung huruf2 dari sjairnya. Terdengar ia menjebut: “Satu, dua, tiga,
empat……….., sebelas, dua belas……… lima belas, enam belas, tudjuh belas, delapan
belas.” ~sampai disini ia lantas menulis satu huruf diatas kertasnja.
Diam2 Tik Hun terkejut melihat
gerak-gerik orang tua itu, ia heran mengapa orang juga paham Soh-sim-kiam-hoat?
Kalau dilihat dari belakang, terang orang ini bukanlah Ban-Tjin-san. Karena
pakaian orang tua itu berwarna kelabu jang sangat umum, maka Tik Hun djuga
tidak dapat menjelami siapakah gerangan si kakek.
Begitulah terlihat orang tua
itu mem-balik2 terus halaman kita ‘Tong-si-soan-tjip’, lalu meng-hitung2 dan
mencatat sampai akhirnja keseluruhannja ia telah menulis 28 huruf diatas
kertas.
Ketika Tik Hun memperhatikan
tulisan2 itu, sjukur ia dapat membatjanja. Ke-28 huruf itu maksudnja kira2
begini: “Diruangan belakang Se-tjong-si diselatan kota, bersudjudlah didepan
patung Budha, panjatkanlah doa suci dan mohon Budha memberkahi agar dapat
mencapai nirwana dengan selamat”.
Setelah mencatat ke-28 huruf
itu dan habis membacanya, orang tua itu menjadi gusar, mendadak ia banting
pensilnja kemedja sambil mengguman sendiri: “Huh, masakah suruh orang bersudjut
kepada patung kaju jang tak berdjiwa, katanya agar diberkahi keselamatan, dan
ada pula tentang ‘mencapai nirwana’ apa segala. Hahaha, kurangadjar, masakah
dapat ‘mencapai nirwana’, bukankah itu berarti menjuruh orang menghadap radja
akhirat alias mati sadja”.
Dari suara gerundel kakek itu,
Tik Hun merasa suara orang seperti sudah dikenalnja. Tengah ia meng-ingat2,
tiba2 orang itu miringkan mukanja. Tjepat Tik Hun mendak kebawah djendela
sambil membatin: “Ha, kiranja adalah Dji-supek Gian Tat-peng. Pantas dia paham
djurus2 Soh-sim-kiam-hoat. Dan rahasia apakah didalam tulisan jang diperolehnja
dari angka2 kuntji rahasia itu? Bukankah tjuma untuk mempermainkan orang
belaka? ~ berpikir demikian mau tak mau ia menjadi geli: “Haha, djadi sudah
sekian banjak pikiran dan tenaga jang dikeluarkan oleh orang banjak itu, mereka
tidak segan2 membunuh guru, mentjelakai sesama orang Bu-lim dan membinasakan
kawan, tapi akhirnja jang diperoleh ternjata hanja suatu kalimat jang
mempermainkan orang sadja”.
Begitulah Tik Hun tidak sampai
ketawa, tapi didalam rumah Gian Tat-peng sudah ter-bahak2 dan berkata:
“Hahahaha! Suruh aku mendjura dan bersudjud kepada patung, agar berdoa pada
patung lempung atau kaju ini supaja memberkahi redjeki padaku? Hahaha, keparat,
Lotju disuruh menuju nirwana! Padahal kami bertiga saudara seperguruan sampai
melakoni membunuh guru, kemudian kami bertiga saling rebut dan saling gasak,
ternjata jang diperebutkan melulu untuk ‘mentjapai nirwana’. Dan beberapa ratus
kesatria Bu-lim jang berkumpul dikota Kang-leng dan saling berebut itu, jang
ditudju djuga demi untuk ‘mentjapai nirwana’. Hahahahahaha!”
Suara tertawa Gian Tat-peng
itu ternjata penuh rasa pilu, penuh rasa sesal, dan sembari tertawa seraja
me-robek2 kertas jang dibuatnja menulis itu hingga hantjur.
Mendadak, ia berdiri tegak
tanpa bergerak, kedua matanja memandang keluar djendela dengan terkesima. Lalu
terdengar ia mengguman sendiri: “Keadaan sudah terlanjur begini, tiada
djeleknja djuga kalau aku tjoba memeriksa Se-tjong-si itu. Memang disebelah
barat dari pintu selatan kota itu terdapat sebuah kelenteng kuno seperti apa
jang dimaksudkan itu”.
Segera ia padamkan pelita dan
keluar dari rumah itu, dengan Ginkang jang tinggi ia lantas menudju kesebelah
barat sana.
Tik Hun menjadi ragu2,
pikirnja: “Apakah aku harus mentjari Ban Tjin-san saja atau menguntit
Gian-supek? Ah, Ban-supek toh sudah dirubung oleh serombongan orang, maka aku
lebih baik mengawasi tindak-tanduk Gian-supek saja”.
Maka iapun tjepat menjusul
dibelakangnja Gian Tat-peng.
Tik Hun sendiri tidak tahu
Se-tjong-si jang dimaksudkan itu terletak dimana, tapi Gian Tat-peng sudah
beberapa tahun mentjari dan mendjelajahi kota Kang-leng, segala tempat jang
mentjurigakan telah diselidikinja semua, maka keadaan sekitar kota baginja boleh
dikata seperti rumah sendiri sadja. Maka tidak terlalu lama, sampailah ia
diluar kelenteng itu.
Gian Tat-peng memang seorang
tjerdik, ia tidak lantas masuk kelenteng itu, tapi ia tjelingukan kian kemari,
lalu mendengarkan apakah didalam kelenteng ada sesuatu suara atau tidak,
kemudian ia mengelilingi pula kelenteng itu, habis itu barulah ia mendorong
pintu masuk kedalam.
Letak Se-tjong-si itu sangat
terpentjil, disekitar itu sunji-senjap, pula kelenteng itu tidak terawat, tiada
Hwesio dan penghuni lain. Waktu Gian Tat-peng sampai diruangan tengah, segera
ia menjalakan geretan api dan hendak menjulut lilin diatas medja sembahjang.
Se-konjong2 dibawah sinar api
itu dilihatnja sumbu lilin itu masih basah2 dan diudjung itu agak lumer.
Hatinja tergerak, tjepat ia tjoba memegang ujung lilin itu, benar djuga terasa
masih hangat dan lemas, terang tidak lama berselang baru sadja ada orang
menjalakan lilin itu. Ia menjadi tjuriga dan tjepat memadamkan api. Dan selagi
ia hendak melangkah keluar untuk memeriksa keadaan kelenteng itu. Tiba2
punggungnja terasa sakit sekali, sebilah belati telah menantjap ditubuhnja, ia
hanja sempat mendjerit sekali terus roboh binasa.
Sementara itu Tik Hun djuga
sudah melintasi pagar tembok kelenteng dan sembunji dibelakang pintu depan
sana. Ia lihat sinar api menjala, lalu sirap lagi dan disusul jeritan ngeri
Gian Tat-peng. Dalam kagetnja segera Tik Hun tahu Gian-supek sudah kena
disergap musuh. Kedjadian itu berlangsung terlalu tjepat hingga dia sama sekali
tidak sempat bertindak dan menolong. Maka iapun tidak djadi bergerak, tapi
terus sembunji disitu untuk melihat siapakah gerangan jang menjergap Gian
Tat-peng disitu.
Di dalam keadaan gelap, maka
terdengarlah suara seorang sedang tertawa dingin. Tik Hun merasa mengkirik oleh
suara tawa orang jang menjeramkan itu, tapi ia merasa suara orang seperti sudah
dikenalnja juga.
Se-konjong2 sinar api
berkelebat, orang itu telah menjalakan lilin hingga tubuh orang kelihatan
djelas. Pelahan2 orang itupun berpaling kearah sini. Dan……..hampir saja Tik Hun
mendjerit: “Suhu”.
Kiranja orang itu memang betul
Djik Tiang-hoat adanja.
Maka tertampak Djik Tiang-hoat
telah mendepak sekali majatnja Gian Tat-peng, bahkan ia melolos pedang dan
menusuk beberapa kali pula dipunggung orang jang sudah mati itu.
Melihat gurunja begitu kedji
dan kejam membunuh sesama saudara perguruan sendiri, maka jeritan “Suhu” jang
hampir diteriakkan Tik Hun itu segera ia telan kembali mentah2.
Terdengar Djik Tiang-hoat
sedang tertawa dingin pula, katanja: “Dji-suko, djadi kau juga sudah dapat
memetjahkan rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh, ja? Haha, Dji-suko, kata kalimat
didalam Kiam-boh itu bahwa: “Budha akan memberkahi kau hingga mentjapai
nirwana, dan sekarang bukankah kau benar2 sudah menuju nirwana? Bukankah Budha
sudah memberkahi dan memberi redjeki padamu? Hahahahaha?”.
Kemudian ia berpaling pula, ia
pandang patung Budha jang berwajah senjum simpul itu, dengan penuh mendongkol
ia mendamperat: “Kau patung tjelaka ini, kau telah permainkan aku selama ini
dan membikin aku menderita sengsara, akhirnja tjuma begini saja djadinja”.
Dan segera ia melompat keatas
altar patung itu dengan pedang terhunus, “trang-trang-trang”, be-runtun2 ia
membatjok tiga kali diperut patung Budha jang gendut itu.
Pada umumnja sesuatu patung terbuat
dari tanah liat atau ukiran dari kaju, paling2 ukiran dari batu. Tapi ketiga
kali batjokannja itu ternjata menimbulkan suara njaring suara benturan logam.
Untuk sedjenak Djik Tiang-hoat
tertegun, tapi ia segera membatjok dua kali lagi, ia merasa tempat jang terkena
pedang itu sangat keras. Segera ia ambil lilin untuk menerangi bekas batjokan
diatas perut patung itu. Ia lihat dari guratan bekas batjokan itu mengeluarkan
sinar kuning mengkilap. Ia terkesima sejenak. Ia tjoba mengkerik dengan
kuku-djarinja ditempat bekas batjokan itu, ia lihat warna kuning mengkilap itu
lebih njata lagi, ternjata didalamnja adalah emas murni belaka.
Seketika Djik Tiang-hoat mendjerit
tertahan: “Ha, ini adalah patung emas raksasa, seluruhnja terbuat dari emas,
emas murni seluruhnja!”.
Patung Budha itu tingginja 4-5
meter, lengannja besar dan perutnja gendut, jauh lebih besar daripada patung
raksasa umumnja. Dan bila patung ini seluruhnja terbuat dari emas murni, maka
dapat ditaksir paling sedikit ada 40-50 ribu kati beratnja. Dan emas sebanjak
itu kalau bukan harta-karun namanja harus disebut apa lagi?
Dan sesudah memikir sedjenak,
segera Djik Tiang-hoat mengitar pula kebelakang patung Budha itu, ia tjoba
mengkerik pula dengan pedangnja, ia lihat dibagian pinggang patung itu seperti
ada sesuatu pintu rahasia ketjil. Ber-ulang2 ia mengkerik dan memotong pula
hingga debu kotoran diatas patung itu tersapu bersih, bahkan bagian pinggang
patung itupun tertjatjah beberapa goresan, sesudah itu barulah bagian itu
tampak bersih dan kelihatan pintu rahasianja.
Segera Djik Tiang-hoat
masukkan pedangnja ke-sela2 pintu rahasia itu, ia tjungkil beberapa kali, tapi
pintu rahasia itu teramat kentjang hingga sedikitpun tidak bergeming, ia tjoba
menjongkel lebih keras, tapi sedikit kurang hati2, ‘pletak’, pedangnja patah
malah.
Namun ia tidak putus asa,
dengan pedang patah itu ia mentjungkil lagi sela2 pintu rahasia sisi lain. Dan
sesudah berkutetan agak lama, lambat-laun pintu rahasia mulai longgar dan
pelahan2 tertjungkil keluar. Djik Tiang-hoat membuang pedangnja jang patah itu,
segera ia pegang pintu rahasia itu dan pelahan2 ditarik hingga terbuka. Ketika
ia menerangi dengan lilin, ia lihat didalam perut patung Budha itu penuh terisi
emas-intan dan batu permata jang gemilapan menjilaukan mata. Melihat betapa
besar perut patung itu, sungguh susah dinilai berapa banjak harta benda jang
tersimpan didalam situ.
Saking kesima Djik Tiang-hoat
menelan ludah sendiri beberapa kali. Segera ia bermaksud meraup beberapa bidji
batu permata didalam perut patung itu untuk diperiksa, tapi mendadak ia merasa
altar patung itu pelahan2 berguntjang sedikit.
Djik Tiang-hoat adalah seorang
jang sangat tjerdik dan waspada, segera ia tahu keadaan tidak beres, tjepat ia
melontjat turun dari altar patung itu. Tapi baru sebelah kakinja mengindjak
tanah, seketika perutnja terasa sakit, njata ia telah kena disergap orang dan
tertutuk. Tanpa ampun lagi ia roboh terguling dan takbisa berkutik.
Maka tertampaklah seorang
menerobos keluar dari bawah altar, dengan tertawa hina orang itu berkata:
“Djik-sute, kiranja kau belum mati dan akhirnja sampai disini. Lo-dji (sinomor
dua, maksudnja Gian Tat-peng) juga mentjari kemari, tapi mengapa kalian tidak
memikir bahwa Toa-suheng kalian djuga pasti akan mentjari kesini? Hahahaha!”.
Orang itu ternjata bukan lain
daripada Ban Tjin-san. Setjara diam2 ia sudah sembunji didalam kelenteng
sebelum kedua Sutenja datang.
Karena mendadak ketomplok
rejeki hingga Djik Tiang-hoat jang biasanja sangat hati2 dan pandai berhitung
itu mendjadi lupa daratan dan sedikit lengah itu dia kena disergap oleh Ban
Tjin-san. Iapun tjukup kenal kekedjian sang Suheng itu, ia tahu tiada gunanja
minta ampun segala, maka dengan gemas ia berkata: “Sudah pernah satu kali kau
tak bisa membinasakan aku, tak tersangka akhirnja tetap mati djuga ditanganmu”.
Ban Tjin-san senang sekali,
katanja: “Memangnja aku lagi heran atas dirimu. Eh, Djik-sute, bukankah kau
sudah mati kutjekik, dan kumasukkan kedalam liang dinding berlapis itu, mengapa
kau bisa hidup kembali?”
Namun Djik Tiang-hoat bungkam
saja tidak mendjawab, bahkan ia terus pedjamkan mata sekalian dan tidak
menggubris.
“Ha, kau tidak mau
menerangkan, apakah dikira aku tidak tahu?”, ujar Tjin-san dengan tertawa
dingin. “Tentu waktu itu kau pura2 mati dengan menahan napasmu. Dan sesudah
kumasukkan kau kedalam dinding berlapis itu, lalu kau membobol tembok dan
melarikan diri, sebelumnja kau merapatkan kembali dinding itu lebih dulu. Hehe,
kau benar2 lihay dan litjik, dengan mata kepalamu sendiri kau menjaksikan
puterimu telah mendjadi anak menantuku, tapi selama itu kau tetap tidak undjuk
diri. Nah, ingin kutanja padamu, sebab apakah kau menghilang? Sebab apa?”.
Se-konjong2 Djik Tiang-hoat
meludahi sang Suheng dengan riaknja jang kental dan tidak mendjawab. Namun
Tjin-san sempat berkelit, katanja dengan tertawa: “Lo-sam, bolehlah kau pilih
sendiri, kau ingin mati dengan tjepat dan enak atau ingin binasa pelahan2 dan
menderita?”
Bila teringat betapa kedji dan
kedjamnja Suhengnja itu, mau-tak-mau air muka Djik Tiang-hoat menampilkan rasa
seram djuga. Katanja kemudian: “Baiklah, biar kukatakan padamu. Sebabnja aku
tidak pedulikan puteriku itu djusteru karena aku ingin menjelidiki duduknja
perkara. Dan kini dapat diketahui bahwa puteriku itulah jang telah mentjuri
Kiam-boh jang kusimpan itu, nah, katakanlah apakah puteriku itu anak jang baik
atau bukan? Pendek kata, orang she Ban, boleh kau bereskan aku dengan tjepat
sadja”.
“Baik, akan kubereskan kau
dengan tjepat,” kata Ban Tjin-san dengan senjum iblis, “Menurut pantasnja,
mestinja aku tidak mungkin memperlakukan kau semurah ini, tapi mengingat jelek2
kau adalah besanku, pula akupun tidak punja tempo terlalu banjak, aku masih
harus menyelesaikan partai harta karun ini. Nah, baiklah Sute jang baik,
kuhaturkan selamat djalan padamu”. ~ habis berkata, terus sadja ia ajun
pedangnja hendak menusuk kedada Djik Tiang-hoat.
Tapi se-konjong2 suatu
bajangan merah mendahului berkelebat, tahu2 buah kepala Ban Tjin-san sendiri
sudah terbang, menjusul tubuhnja jang tak berkepala itu kena didepak orang
hingga roboh terguling.
Kiranja orang menjelamatkan
djiwa Djik Tiang-hoat itu tak lain tak bukan adalah Tik Hun dengan golok merah
setjepat kilat ia telah tabas kepala Ban Tjin-san.
Kemudian ia lantas membuka
Hiat-to sang guru jang tertutuk itu dan menjapa: “Suhu, baik2kah engkau?”
Perubahan itu sunggu terlalu
tjepat djadinja hingga Djik Tiang-hoat ter-mangu2 sampai sekian lamanja. Dan
kemudian barulah ia dapat mengenal Tik Hun, dengan suara ter-putus2 entah
girang entah sedih ia berseru: “Ha, kiranja………kiranja kau, Hun-dji”.
Tik Hun sudah berpisah sekian
tahun dengan gurunja itu. Kini mendengar kembali panggilan ‘Hun-dji’ itu tak
tertahan lagi rasa dukanja bergolak pula dalam hatinja. Sahutnja kemudian: “Ja,
suhu, memang murid adanja!”.
“Jadi, kau telah ikut
menjaksikan semua kedjadian barusan ini?” tanja Djik Tiang-hoat.
“Ja, sedjak tadi murid sudah
berada disini”, sahut Tik Hun tanpa pikir. “Adapun
Sumoay……………..Sumoay…..dia……dia telah………”, ~tapi ia tidak sanggup meneruskan
lagi, air mata lantas bertjutjuran.
Ternjata Djik Tiang-hoat sama
sekali tidak tertarik oleh penuturan Tik Hun tentang puterinja itu, ia sedang
memperhatikan majat kedua Suhengnja jang menggeletak dilantai itu.
“Hun-dji”, katanja kemudian,
“untunglah kau telah menolong aku tepat waktunja, sungguh aku tidak tahu tjara
bagaimana harus berterima kasih padamu. Eh, Hun-dji, apakah itu?”. ~demikian
tiba2 ia menuding kebelakang Tik Hun.
Tanpa tjuriga apa2 Tik Hun
lantas berpaling, tapi tiada sesuatu jang dilihatnja, dan selagi ia merasa
heran, tiba2 punggung terasa agak sakit.
Namun Tik Hun kini sudah bukan
Tik Hun dahulu lagi, betapa tjepat dan tangkas reaksinja, sekali tangannja meraup
ke belakang seketika pergelangan tangan musuh jang membokong itu kena
dipegangnja. Tjepat ia lantas berpaling kembali, ia lihat tangan penjerang itu
memegang sebilah belati, siapa lagi dia kalau bukan Djik Tiang-hoat, gurunja
sendiri.
Sesaat itu Tik Hun menjadi
bingung, katanja: “Su…………Suhu, apakah kesalahan…… kesalahan Tetju hingga Suhu
hendak………hendak membunuh aku?”
Baru sekarang Tik Hun ingat
bahwa tusukan belati gurunja itu sebenarnja sudah tepat mengenai punggungnja,
untung dia memakai Oh-djan-kah, dengan badju mestika jang tidak mempan sendjata
tadjam itu, maka djiwanja sekali lagi telah lolos dari lubang djarum.
“Bagus, bagus!. Sekarang kau
sudah mendjadi djagoan, ja? Ilmu silatmu sudah hebat sekali hingga gurumu tak
terpandang sebelah mata lagi olehmu!” demikian Djik Tiang-hoat mengedjek dengan
dendam. “Nah, lekaslah kau membunuh aku sadja, lekas, mengapa tidak lekas
membunuh aku?”
Tapi Tik Hun lantas melepaskan
tangan sang guru, malah ia tetap tidak paham, sahutnja: “Mana murid berani
membunuh suhu?”.
“Huh, buat apa kau mesti pura2
dungu?”, djengek Djik Tiang-hoat. “Kalau aku tidak dapat membunuh kau, maka akulah
jang akan kau bunuh, kenapa mesti dibuat heran? Harta karunnja sudah djelas
didepan matamu, patung Budha ini adalah emas murni tulen, didalam perutnja
djuga penuh terisi intan-permata jang tak ternilai. Nah, kenapa kau tidak
lantas membunuh aku? Kenapa tidak lekas membunuh aku?”.
Demikian ia ber-teriak2
suaranja penuh mengandung sifat angkara-murka dan penuh penjesalan. Suaranja
itu hakikatnja bukan suara manusia lagi, tapi lebih mirip suara lengking
serigala jang terluka, dan mendekati adjalnja.
Namun Tik Hun menggojang
kepala sambil mundur beberapa langkah, katanja: “Djadi sebabnja Suhu hendak
membunuh aku adalah lantaran patung Budha raksasa buatan dari emas murni ini?”
Begitulah sekilas Tik Hun
mendjadi paham seluruhnja, demi harta benda Djik Tiang-hoat tidak segan2
mentjelakai gurunja sendiri, tidak segan membunuh Suhengnja, bahkan mentjurigai
puterinja sendiri, dan sudah tentu membunuh seorang murid lebih2 bukan menjadi
soal baginja.
Seketika dalam benak Tik Hun
menggema kembali utjapan Ting Tian dahulu: “Gurumu berjuluk
‘Tiat-soh-heng-kang’, urusan apa jang tak mungkin diperbuatnja?”
Dan sesudah melangkah mundur
dua tindak pula, Tik Hun berkata lagi: Suhu, aku tidak ingin membagi redjeki
jang kau peroleh ini, boleh kau menjadi hartawan sendirian sadja. Silahkan!”.
Hampir2 Djik Tiang-hoat tidak
pertjaja pada telinganja sendiri, sungguh ia tidak pertjaja bahwa didunia ini
ada manusia jang tidak kemaruk kepada harta. Ia menduga sibotjah Tik Hun pasti
mempunjai tipu muslihat apa lagi. Maka dengan tidak sabar lagi ia lantas
membentak: “Tik Hun, kau hendak main gila apa? Bukankah ini adalah suatu patung
emas, didalam perut patung penuh terisi harta mestika, kenapa kau tidak mau?
Apakah kau masih mempunjai tipu muslihat lain lagi?”
Tik Hun hanja gojang2 kepala
sadja dan selagi ia hendak tinggal pergi, tiba2 terdengar suara ramai orang
banjak sedang mendatangi. Tjepat ia melompat keatas rumah dan memandang keluar.
Maka terlihatlah serombongan orang ada ratusan banjaknja dengan membawa obor
sedang mendatangi dengan tjepat. Terang itulah orang2 Kangouw dan tokoh2 Bu-lim
jang berkumpul dikota Kang-leng selama hari2 terakhir ini.
Bahkan terdengar ada
diantaranja sedang membentak dan memaki: “Ban Ka, keparat kau, lekas djalan,
lekas! Setan kau!”
Sebenarnja Tik Hun berniat
tinggal pergi, tapi demi mendengar nama ‘Ban Ka’ disebut, seketika ia urungkan
maksudnja, ia masih harus membalas sakit hatinja Djik Hong.
Begitulah rombongan orang itu
kemudian telah membandjir masuk kedalam kelenteng. Djelas terlihat oleh Tik Hun
bahwa Ban Ka kena dipegang oleh beberapa laki2 kekar serta di-dorong2. Ia lihat
hidung Ban Ka botjor, mulut keluar ketjapnja dan mata matang-biru, terang habis
kenjang dihadjar orang2 itu, tapi badannja masih memakai badju sebagai guru
sekolah.
Maka tahulah Tik Hun akan
duduknja perkara. Djadi Ban Ka sengadja menjamar sebagai guru sekolah untuk
memantjing dan membilukkan perhatian orang2 Kangouw jang berkerumun diluar
pintu gerbang selatan kota itu, dengan begitu agar Ban Tjin-san sempat datang ke
kelenteng bobrok ini untuk menggali harta karun.
Tapi karena dibawah pengusutan
orang banjak, akhirnja tipu muslihat Ban-si-hutju itu terbongkar. Sesudah
dihadjar hingga babak belur, orang2 Kang-ouw itu mengantjam djiwa Ban Ka pula
ketjuali kalau ia menundjukkan tempat rahasia penjimpanan harta karun dan
akhirnja mereka sampai djuga ke Se-tjong-si.
Dalam pada itu, ketika
mendengar suara orang banjak, segera Djik Tiang-hoat melompat keatas altar
patung dengan maksud hendak menghilangkan bekas batjokan pedang diatas patung
agar sinar emas tidak dilihat oleh orang2 itu. Namun sudah agak terlambat,
beberapa orang diantaranja sudah keburu berlari masuk. Dan demi nampak perut
patung Budha itu berwarna kuning kemilauan, terus sadja mereka ber-teriak2 dan
berlari kepatung itu, mereka membersihkan debu tanah diatas patung serta
mem-batjok2 dan mengkerik pula dengan senjata mereka, maka dalam sekedjap sadja
tubuh patung itu lantas bersih dan mengeluarkan tjahaja emas jang gemilapan.
Menyusul ada orang melihat
pula pintu rahasia dipunggung patung itu, segera ada orang membuka pintunja
terus meraup segenggam batu permata terus dimasukkan kantong sendiri.
Melihat kawannja kebandjiran
redjeki, sudah tentu jang lain tidak mau ketinggalan, segera orang kedua
menggentak minggir orang pertama dan dia sendiri lantas mentjedok dengan kedua
tangannja hingga setangkup emas-berlian dikantongi olehnja.
Keruan orang ketiga mendjadi
merah matanja segera ia dorong pergi kawannja itu dan dia juga menjerbu harta
mestika itu. Bahkan ia lebih serakah lagi, be-runtun2 ia meraup dan mencomot
dengan kedua tangannja secara bergiliran dan dimasukkan kedalam badjunja, dan
sesudah kantong badjunja penuh segera ia gunakan ujung badju untuk mewadah batu
permata itu.
Begitulah suasana seketika
menjadi kacau dan gempar, orang2 itu saling berebut mengambil harta mestika
itu, mereka ber-djedjal2 dan desak-mendesak, jang tidak sempat mendesak madju
kepintu rahasia patung untuk mengambil sendiri, segera mereka merebut milik
kawan, kalau kawan melawan, segera digendjot………..
Se-konjong2 diluar kelenteng
terdengar suara tiupan terompet, pintu kelenteng lantas terpentang, berpuluh
peradjurit tampak menjerbu masuk, sambil berteriak: “Tihu-taydjin tiba,
siapapun dilarang bergerak, diam semua!”.
Menjusul masuklah seorang
dengan pakaian kebesaran dan bersikap angkuh, itulah dia Leng Dwe-su, Tihu dari
kota Kang-leng, ajahnja Leng-siotjia.
Tapi demi melihat harta
mestika jang menjilaukan mata itu, para orang Kang-ouw sudah lupa daratan,
djangankan tjuma seorang Tihu, biarpun radja jang datang djuga tidak mereka
gubris lagi. Mereka masih tetap saling berebut dengan mati2an.
Maka seluruh ruangan kelenteng
itu penuh terserak harta mestika jang kemilauan, ada mutiara mestika, ada
emas-intan, ada batu permata, djamrud, merah delima, ada biru safir, ja,
mungkin djuga ada koh-i-noor………………..
Peradjurit2 jang dibawa datang
oleh Leng Dwe-su itu djuga manusia, dan manusia mana jang tidak ngiler akan
harta karun seperti itu? Keruan saja tanpa komando peradjurit2 itu ikut
berebut, bahkan perwiranja djuga tidak mau ketinggalan.
Keadaan menjadi makin katjau,
Djik Tiang-hoat lagi berebut harta mestika itu, Ban Ka djuga lagi berebut,
malahan tuan besar Leng Dwe-su akhirnja djuga tak tahan oleh rangsangan harta
karun jang memangnja telah ditjari sekian lamanja itu. Ia kuatir kehabisan,
segera iapun ikut berebut.
Tik Hun melihat diantara
orang2 Kang-ouw jang berebut harta karun itu terdapat pula Ong Siau-hong dan
Hoa Tiat-kan.
Dan sekali sudah saling
berebut, dengan sendirinja saling hantam dan sekali saling hantam sudah tentu ada
jang terluka dan terbinasa. Anehnja, dalam pertarungan sengit itu, akhirnja
mendadak ada orang menubruk keatas patung Budha emas itu, patung itu dirangkul
terus di-gigit2 seperti andjing gila. Ada jang menggunakan kepalanja untuk
membentur patung dan ada jang meng-gosok2kan mukanja.
Tik Hun sangat heran, andaikan
orang2 itu sudah buta pikiran oleh harta karun itu djuga tidak perlu sampai
gila sedemikian rupa.
Dan memang betul, orang2 itu
memang sudah gila, mata mereka merah membelalak, mereka saling gendjot, saling
gigit dan betot. Mereka telah berubah seperti segerombol binatang buas atau
anjing gila.
Tiba2 Tik Hun paham duduknja
perkara: “Ja, tentu diatas harta mestika itu telah dilumasi ratjun jang sangat
lihay oleh raja jang menjimpannja dahulu”.
Tik Hun tidak sudi menjaksikan
lebih djauh kelakuan manusia gila jang memuakkan itu, segera ia tinggal pergi.
Ia membawa Khong-sim-djay dengan menunggang kuda terus menudju djauh kearah
barat sana. Ia hendak mencari suatu tempat jang sunji untuk mendidik
Khong-sim-djay agar kelak mendjadi seorang manusia jang berguna, seorang
manusia baru.
Akhirnja ia sampai dilembah
saldju diperbatasan Tibet dahulu itu. Saat itu lagi hudjan saldju dengan
lebatnja, tapi ia dapat mencapai gua jang dahulu.
Se-konjong2 dari djauh
dilihatnja didepan gua itu telah berdiri seorang gadis djelita. Itulah Tjui
Sing adanja!.
Dengan muka ber-seri2 Tjui
Sing berlari memapak sambil berseru: “Sudah sekian lamanja aku menunggumu
Tik-toako! Aku jakin akhirnja engkau pasti akan kembali ke sini. Selama ini
aku…… aku tidak pernah meninggalkan lembah ini!”.
Sesudah kedua muda-mudi itu
saling berhadapan, Tik Hun pegang erat2 kedua tangan Tjui Sing sambil memandang
Khong-sim-djay dalam pangkuannja itu dengan tersenjum.
Dan apa jang terdjadi
selandjutnja, tak perlu ditjeritakan djuga, para pembatja akan tahu
sendiri……………..
– TAMAT –