Pedang Hati Suci Jilid 31-35 (Tamat)

Chin Yung/Jin Yong, Jilid 31-35 (Tamat) Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Hati Suci Dengan penuh hormat Djik Hong menjuguhkan tiga tjawan arak kepada Tik Hun dan diminum habis oleh ‘Sinshe’ itu.
Dengan penuh hormat Djik Hong menjuguhkan tiga tjawan arak kepada Tik Hun dan diminum habis oleh ‘Sinshe’ itu. Tiba-tiba perasaannja pilu hingga matanja memberambang, ia tahu bila tinggal lebih lama disitu mungkin air matanja bisa lantas menetes, hal mana tentu akan mengakibatkan rahasianja terbongkar.

Maka tjepat ia berbangkit dan berkata: “Sudahlah tjukup, terima kasih atas suguhanmu, sekarang aku permisi untuk pergi dan selandjutnja takkan datang lagi.”

Djik Hong agak heran oleh utjapan tabib kelilingan jang tidak genah itu. Tapi karena potongan sang tabib memang agak lutju, maka iapun tidak ambil perhatian, segera didjawabnja: “Ai, mengapa Sinshe ter-buru2 sadja? Atas budi pertolonganmu itu, kami tidak dapat membalas apa-apa, di sini ada seratus tahil perak, harap Sinshe suka terima sekedar sangu dalam perdjalanan. ” ~ sembari berkata iapun mengangsurkan sebungkus uang perak dengan penuh hormat.

Mendadak Tik Hun menengadah dan ter-bahak2 tawa, katanja: “Akulah jang telah menolong dia, akulah jang telah menghidupkan dia! Sungguh lutju, akulah jang telah menghidupkan dia! Apakah didunia ini ada orang jang lebih goblok dari diriku?”

Dan meski dia bergelak tertawa dengan menengadah, tapi tanpa merasa air matanja djuga berlinang-linang.

Keruan Djik Hong dan Go Him saling pandang dengan bingung melihat kelakuan ‘Sinshe’ jang setengah sinting itu.

Sebaliknja si dara tjilik Khong-sim-djay lantas berteriak-teriak: “Heee, Sinshe menangis, Sinshe menangis!”.

Tik Hun menjadi terkedjut, ia tahu telah ditjurigai orang, ia kuatir rahasianja akan ketahuan, maka ia tidak berani bitjara lagi dengan Djik Hong, hanja dalam hati ia berkata: “Sejak ini aku takkan bertemu lagi dengan kau”.

Diam-diam ia mengeluarkan kitab kuna jang didalamnja terselip pola sulaman sepatu jang diketemukan di dalam gua dengan Wan-leng tempo hari, ketika orang tidak memperhatikan, pelahan2 ia taruh kitab itu diatas kursi, lalu tanpa memandang lagi kepada Djik Hong ia lantas mohon diri dan tinggal pergi.

“Go-sute, harap engkau hantarkan Sinshe.” Kata Djik Hong.

Go Him mengiakan, lalu mengikut dibelakang Tik Hun.

Sambil masih memegangi bungkusan uang perak tadi, hati Djik Hong ber-debar2 tak keruan. Pikirnja: “Siapakah sebenarnja Sinshe itu tadi? Mengapa suara tertawanja mirip benar dengan orang itu? Ai, entah mengapa, meski djiwa Ban-long dalam keadaan bahaja, tapi pikiranku selalu menjeleweng dan memikirkan dia sadja, ai, dia……dia entah……”

Begitulah ia menjadi ter-menung2 sendiri, ia taruh bungkusan uang perak itu di atas medja, dengan tumpang dagu ia berduduk pula di atas kursi.

Kebetulan kursi jang didudukinja sekarang adalah kursi jang bekas diduduki Tik Hun tadi. Ketika mendadak merasa menduduki sesuatu benda, Djik Hong berbangkit lagi dan memeriksanja, maka lantas tertampaklah sedjilid kitab kuna jang sudah ke-kuning2an.

Se-konjong2 Djik Hong berseru tertahan sekali, tjepat ia djemput kitab itu dan mem-balik2 halamannja, segera terdjatuh keluar dari kitab itu sehelai pola sepatu, ia kenal itu adalah buah tangannja waktu masih tinggal dirumah dibarat Ouw-lam sana.

Ia ternganga sambil memegang kitab dan pola itu, kedua tangannja gemetar. Ketika ia mem-balik2 lagi kitab itu, kembali diketemukannja sepasang kupu2 guntingan dari kertas, seketika terbajanglah waktu berduaan dengan Tik Hun duduk berdjadjar di dalam gua, dimana ia telah menggunting kupu2 kertas itu.

Tanpa terasa ia berseru tertahan pula, katanja didalam hati: “He, dari……… dari manakah kitab ini? Sia…..siapakah jang membawanja kesini? Djangan2 Sinshe itu tadi?”.


Melihat sikap ibunja agak aneh, si dara tjilik Khong-sim-jay menjadi takut, ber-ulang2 ia memanggil: “Mak, mak, ken…kenapakah kau?”


Djik Hong terkejut oleh seruan anaknja ini, tapi tjepat ia masukkan kitab itu kedalam badjunja sambil berlari keluar rumah setjepat terbang.

Sedjak ia mendjadi anak menantu keluarga Ban, hidupnja selalu lemah-lembut halus sopan, tidak pernah ia berlari kesetanan seperti itu. Keruan kaum hamba dan dajang keluarga Ban menjadi ter-heran2 melihat njonja muda mereka berlari tjepat dengan Ginkang sekaligus dari ruangan dalam terus menjusur Tjimtjhe terus keluar rumah.

Waktu sampai dipelataran depan, kebetulan Djik Hong melihat Go Him telah masuk kembali, maka tjepat ia tanja: “Dimanakah Sinshe itu?”

“Orang itu sangat aneh, tanpa bitjara apa-apa ia sudah pergi”, sahut Go Him, “Suso, ada urusan apakah kau mentjarinja lagi? Apakah keadaan Suko berubah buruk?”

“Tidak, tidak”, sahut Djik Hong sambil memburu keluar pintu, ia menengok kesana dan mengintai kesitu, tapi bajangan tabib kelilingan itu sudah tak tertampak lagi.

Djik Hong ter-longong2 sedjenak diluar pintu, kembali ia mengeluarkan kitab kuna tadi, dan setiap kali melihat pola sepatu dan kupu2 kertas itu, seketika timbul pula pemandangan2 gembira ria dimasa mudanja. Bajangan2 itu bagaikan air bah membandjir kedalam benaknja hingga tanpa merasa air matanja bertjutjuran.

Mendadak ia berubah pikiran: “Mengapa aku begitu bodoh? Bukankah barusan Ban-long ikut kong-kong dan lain2 pergi ke Wan-leng untuk mentjari Gian-susiok, boleh jadi tanpa sengadja mereka telah masuk kedalam gua dan disanalah kita ini telah diketemukan, lalu sekalian ada jang membawa pulang kitab ini. Memangnja Sinshe jang tidak terkenal itu ada hubungan apa dengan kitab ini?”.

Tapi lantas datang pikiran lain pula: “Ah, tidak, tidak, tidak! Masakah mungkin terjadi setjara begitu kebetulan? Gua itu letaknja sangat rahasia, sekalipun ajahku juga tidak tahu, masakah Ban-long dan rombongannja dapat menemukannja? Tujuan mereka adalah mentjari Gian-supek, manabisa mereka kesasar kedalam gua rahasia itu? Tadi waktu aku membersihkan medja kursi perjamuan, sudah terang keempat kursi itu aku melapnja hingga bersih, tidak mungkin ada sedjilid kitab seperti ini. Dan kitab ini kalau bukan tabib itu jang membawanja, habis darimanakah datangnja?”

Begitulah dengan penuh tjuriga dan sangsi pelahan2 ia kembali ke kamarnja. Dilihatnja sehabis dibubuhi obat tadi, semangat Ban Ka sudah banjak lebih baik, sakitnja djuga mulai hilang.

Sambil memegangi kitab itu, sebenarnja Djik Hong bermaksud menanja sang suami, tapi lantas terpikir olehnja: “Lebih baik aku djangan ter-buru2 tjari keterangan dulu, djangan2 tabib itu……tabib itu adalah……………..”

Dalam pada itu terdengar Ban Ka sedang bitjara padanja: “Hong-moay, Sinshe itu benar2 adalah tuan penolong djiwaku, kita harus memberi penghargaan se-tinggi2nja kepadanja”

“Ja, aku tadi telah menghadiahkan dia seratus tahil perak, tapi dia djustru tidak mau terima meski kupaksa”, tutur Djik Hong, “Ai, benar2 seorang kangouw jang aneh, seorang jang berbudi. Obat penawar itu…………………… he, dimanakah botol obat itu tadi? Apakah kau simpan di dalam latji medja?”

Tadi waktu Djik Hong mau keluar untuk melayani “Shinshe” jang akan didjamunja itu, ia ingat betul botol obat itu ditaruhnja di atas medja di depan randjang Ban Ka, tapi kini sudah hilang.

Maka Ban Ka telah mendjawab: “Tidak, aku tidak menjimpannja, bukankah tadi kau taruh diatas medja?”

Tapi meski Djik Hong sudah mentjari kian kemari diseluruh kamar itu, tetap botol obat itu tidak kelihatan. Keruan ia sangat gelisah dan tjemas, pikirnja: “Djangan2 karena pikiranku tadi lagi bingung, maka obat itu kubawa serta sambil lari keluar dan jatuh? Tapi, ah, tidak bisa, aku ingat betul2 botol obat itu kutaruh di atas medja, didekat mangkok obat itu”.

Ban Ka juga sangat gugup, katanja: “Le……lekas kau mentjari lagi, masakah bisa hilang? Sungguh aneh. Tadi aku hanja terpulas sebentar dan masih ingat benar2 botol obat itu tertaruh di atas meja.”

Mendengar itu Djik Hong bertambah kuatir, segera ia keluar kamar, ia tjoba tarik puterinja dan tanja padanja: “Khong-sim-djay, tadi waktu ibu keluar, adakah siapa2 jang masuk ke kamar?”

“Ada, Go-sioksiok tadi datang, ketika melihat ajah tidur, ia lantas keluar lagi”, tutur si dara tjilik.

Djik Hong menghela napas lega mendapat keterangan itu, lapat2 ia merasa ada sesuatu jang tidak beres. Tapi Ban Ka sedang sakit, apapun jang terjadi tidak perlu dia ikut tahu hingga ikut menanggung kuatir. Maka katanja kepada Khong-sim-djay: “Anak baik, kau temani ajah di dalam kamar, ja, kalau ajah tanjakan ibu, bilanglah ibu lagi menyusul Sinshe untuk minta obat bagi ajah”.

Sidara tjilik memanggut dan menjahut: “Ja, mak, kau lekas pulang, ja!”

Dan sesudah tenangkan diri, pelahan-lahan Djik Hong membuka latji medja Ban Ka, ia ambil sebilah belati dan diselipkan dipinggang dalam badju, kemudian ia turun ke bawah loteng. Pikirnja: “Keparat Go Him itu, bila bertemu aku ditempat sepi, selalu ia tjengar-tjengir padaku dengan maksud tidak baik. Tabib tadi itu adalah dia jang mengundang, djangan2 dia bersekongkol dengan tabib itu dan telah mengatur tipu muslihat kedji apa2”.

Begitulah sambil memikir ia bertindak ketaman dibelakang rumah. Sampai diserambi samping, dilihatnja Go Him sedang ter-menung2 memandangi ikan mas di empang sambil bersandar lankan.

“Go-sute”, segera Djik Hong menegur, “lagi berbuat apa engkau di sini seorang diri”.

Ketika berpaling dan melihat penegur itu adalah Djik Hong, seketika muka Go Him berseri-seri, sahutnja: “Kukira siapa, tak tahunja adalah Suso. Engkau mengapa tidak mendjaga Suko di atas loteng, tapi masih punja tempo luang untuk djalan2 kesini?”

“Ai, aku merasa sangat kesal,” sahut Djik Hong sambil menghela napas, “Setiap hari selalu mendampingi orang sakit, dan semakin tangan Suko-mu kesakitan, perangainja djuga bertambah kasar. Maka aku perlu keluar untuk djalan2 menghibur hati dan lara”.

Mendengar jawaban itu, sungguh girang Go Him melebihi orang dapat ‘buntut’, dengan tjengar-tjengir segera ia membumbui: “Ja, memang, engkau memang perlu istirahat dan menghibur diri. Sebenarnja Suko djuga keterlaluan, punja isteri tjantik sebagai engkau masih kurang terima, tapi malah suka mengamuk sadja, sungguh keterlaluan”.

Djik Hong mendekati orang dan bersandar juga di atas lankan untuk memandangi ikan mas jang lagi berenang kian kemari dengan bebas ditengah empang itu, lalu sahutnja dengan tertawa: “Ah, Suso-mu ini sudah tua, masakah masih dikatakan tjantik apa segala, bukankah akan dibuat tertawa orang?”

“He, mana bisa, mana bisa”, tjepat Go Him berkata, “Suso benar-benar sangat tjantik. Diwaktu masih gadis engkau mempunjai ketjantikan seorang gadis, sesudah menjadi Siaunaynay (nyonja muda) juga tetap mempunjai ketjantikan sebagai Siaunaynay. Tanjakan saja diseluruh kota Heng-tjiu ini, siapa orangnja jang tidak mengatakan bahwa bunga tertjantik adalah tertanam dikeluarga Ban”.

Sampai disini mendadak Djik Hong memutar tubuh dan mengangsurkan tangannja sambil berkata: “Mana, serahkan sini”.

“Serahkan apa?”, tanja Go Him dengan tertawa.

“Obat penawar itu”, kata Djik Hong dengan muka membesi.

“Obat penawar apa? Entah, aku tidak tahu, apakah kau maksudkan obat penawar untuk luka Ban-suko itu?,” demikian Go Him berlaga pilon.

“Benar!”, sahut Djik Hong tegas. “Sudah terang kau jang mengambilnja”.

Go Him tertawa litjik, sahutnja: “Tabib itu adalah aku jang mengundangkan, obat penawar adalah aku jang mengusahakan. Kini Ban-suko dibubuhi satu kali, paling tidak ia akan terhindar dari penderitaan untuk beberapa hari”.

“Tapi Sinshe itu bilang obat itu harus dibubuhkan ber-turut2 sepuluh kali”, kata Djik Hong.

“Ja, aku sungguh menjesal, sungguh aku menjesal”, tiba-tiba Go Him gojang2 kepala.

“Menjesal tentang apa?”, tanja Djik Hong

“Semula aku menjangka tabib kelilingan jang dekil seperti itu masakah mempunjai kepandaian apa2, maka aku mau mengundang dia ke atas loteng, tudjuanku sebenarnja adalah ingin mentjari kesempatan untuk melihat Suso, siapa duga, eh, keparat itu benar2 mempunjai obat mudjarab untuk menjembuhkan ratjun disengat ketungging. Sudah tentu, sudah tentu, hal itu sangat bertentangan dengan maksud tudjuanku”, demikian tutur Go Him.

Sungguh gusar Djik Hong tak terkatakan oleh tjerita orang itu, tapi obat penawar jang ditjarinja itu masih ditangan orang, ia harus bersabar untuk mendapatkan obatnja, habis itu baru akan membikin perhitungan dengan manusia rendah itu.

Maka dengan tertawa ia mendjawab: “Habis kalau menurut kau, tjara bagaimanakah kau mengharapkan balas djasa dari Sukomu agar engkau mau menjerahkan obat penawar itu?”

Tiba2 Go Him menghela napas, sahutnja: Sam-suko sendiri sudah menikmati kebahagiaan selama beberapa tahun ini, kalau sekarang dia harus mati juga pantas rasanja”.

Air muka Djik Hong berubah seketika, tapi sedapat mungkin ia menahan perasaannja, dengan menggigit bibir ia diam saja.

Maka Go Him berkata pula: “Waktu kau datang ke Heng-tjiu untuk pertama kalinja, diantara kami berdelapan saudara seperguruan, siapakah orangnja jang tidak kesengsem padamu? Dan kami mendjadi penasaran melihat sitolol Tik Hun itu siang malam senantiasa mendampingi engkau, maka kami be-ramai2 lantas berkomplot untuk menghadjarnja hingga babak belur………………….”

“He, kiranja kalian menghadjar Sukoku itu malahan adalah disebabkan diriku?” kata Djik Hong.

“Ja, memang”, sahut Go Him, “Dan untuk menghadjarnja sudah tentu harus ditjari alasan. Maka kami sengadja menuduh dia suka menondjolkan diri buat bertempur dengan bandit Lu Thong hingga membikin malu kami jang menjadi anak murid keluarga Ban jang berkepentingan. Padahal tujuan kami adalah demi dirimu. Suso! Habis, kau menambalkan badjunja, mengajak bitjara padanja dengan mesra, tentu sadja kami ‘minum tjuka’!”.

Diam-diam Djik Hong terkesiap oleh tjerita itu, pikirnja: “Apa benar peristiwa itu adalah gara2 diriku? Ai, Ban-long, mengapa selama ini kau tidak pernah mengatakan hal ini kepadaku?”.

Tapi ia masih pura2 tidak paham dan berkata pula dengan tertawa: “Ai, Go-sute, engkau ini memang pintar berkelakar. Padahal waktu itu aku aku adalah seorang gadis desa, seorang nona jang ke-tolol2an, dandananku djuga mentertawakan orang, apanja sih jang menarik?”

“Tidak, tidak”, ujar Go Him. “Orang tjantik tulen djusteru tidak perlu berdandan atau bersolek segala. Suso, bila bukan karena kesemsem padamu, tentu tidak sampai …………” ~ berkata sampai di sini mendadak ia berhenti dan tidak meneruskan lagi.

“Apa lagi”, tanja Djik Hong

“Setelah kami dapat menahan kau dirumah keluarga Ban ini, untuk mana aku orang she Go juga tidak sedikit mengeluarkan tenaga,” kata Go Him pula, “akan tetapi, Suso, setiap kali kau bertemu muka dengan aku selalu bersikap dingin2 saja, tersenjum sekali sadja padaku juga tidak pernah, tjoba, apakah hal itu tidak membikin hatiku mendjadi panas”.

“Tjis”, semprot Djik Hong dengan tertawa, “Aku tinggal dirumah keluarga Ban, lalu aku menikah pada Suko-mu, semuanja itu adalah aku sendiri jang sukarela, tenaga apa jang pernah kau korbankan dalam urusan itu? Toh waktu itu kau tidak ikut membudjuk padaku apa segala, ai, kenapa kau sembarangan omong sadja?”

“Meng…………….. mengapa aku tidak korbankan tenaga?” bantah Go Him, “Tjuma saja engkau sendiri jang tidak tahu.”

Djik Hong tambah tjuriga, segera katanja dengan membudjuk: “Sute jang baik, tjoba katakanlah sebenarnja kau ikut mengorbankan tenaga apa, tentu Susomu ini takkan melupakan djasamu itu?”

Go Him meng-gojang2 kepala, katanja kemudian: “Urusan itu sudah lama lalu, buat apa di-ungkat2 lagi? Andaikan kau mengetahui djuga tiada gunanja”.

“Ja, sudahlah, djika kau tidak mau menerangkan, akupun tidak memaksa”, kata Djik Hong. “Nah, Go-sute, lekaslah serahkan obat penawar itu padaku, kita berada berduaan disini djangan2 akan dipergoki orang dan akan menimbulkan sangkaan djelek”.

“Kalau siang hari memang kuatir dipergoki orang, tapi kalau malam hari tentu tidak kuatir lagi”, ujar Go Him sambil tertawa.

“Apa katamu”, bentak Djik Hong tertahan dengan muka membeku sambil mundur setindak.

Tapi dengan menjengir Go Him berkata pula: “Djika kau ingin menjembuhkan penjakit Ban-suko, hal ini tidak sulit asalkan nanti tengah malam kau datang ke gudang kaju sana, aku akan menunggu engkau di sana, Djika kau mau menurut pada keinginanku itu, aku lantas memberikan kadar obat jang tjukup untuk dibubuhkan satu kali diluka Ban-suko”.

“Andjing keparat, kau berani omong begitu, apa kau tidak takut ditjintjang oleh Suhumu?” damperat Djik Hong dengan gemas.

“Memangnja aku sudah siap untuk korbankan djiwaku ini, tegasnja aku sudah nekat,” sahut Go Him. “Padahal Ban Ka sibotjah apek itu apanja sih jang dapat menangkan aku? Soalnja ia adalah putera Suhu sendiri, hanja itu sadja. Padahal semua orang toh ikut keluarkan tenaga, mengapa mesti dia sendiri jang menikmati wanita tjantik sebagai engkau ini?”

Djik Hong semakin tjuriga mendengar Go Him berulang-ulang mengatakan ‘mengeluarkan tenaga’. Tapi karena Go Him lantas menghambur dengan kata2 makian kotor, ia benar2 tidak tahan lagi, maka katanja segera: “Kau mengatjo-belo tak keruan, sebentar djika Kongkong pulang, biar akan kulaporkan padanja, lihat sadja kalau dia tak membeset kulitmu”.

“Ha-ha, aku djusteru ingin tjoba,” sahut Go Him dengan mendjengek. “Aku akan tunggu disini, asal Suhu memanggil aku, segera aku menuang isi botol ini untuk umpan ikan di dalam empang. Tadi aku sudah tanja tabib itu tentang obat penawar ini, dia bilang, obat ini hanja tinggal sebotol, untuk membuatnja lagi sedikitnja akan makan tempo setahun atau dua tahun.”

Sambil berkata ia terus mengeluarkan botol porselen itu, ia tarik sumbat botol dan didjulurkan keatas empang, asal tangannja sedikit miring, seketika obat penawar didalam botol itu akan tertuang kedalam empang, dan itu berarti djiwa Ban Ka takkan tertolong pula.

Keruan Djik Hong mendjadi kuatir, tjepat serunja: “He, he! Djangan, djangan! Lekas kau simpan kembali obat itu, kita masih dapat berunding lagi”.

“Apa jang perlu dirundingkan lagi?”, ujar Go Him dengan tersenjum iblis. “Djika kau ingin menolong djiwa suamimu, maka kau harus menurut apa jang kukatakan.”

“Ja, pabila memang betul dahulu kau menaruh hati padaku dan pernah mengeluarkan tenaga demi diriku, maka……………. mungkin aku akan…………. Tapi, ah, tidak bisa djadi, aku tidak pertjaja”, demikian Djik Hong sengadja berkata.

“He, hal itu sungguh2 seribu kali sungguh2, sedikitpun bukan omong kosong,” tjepat Go Him menegaskan. “Malahan itu adalah tipu-akalnja Samsute, dia suruh Tjiu Kin dan Bok Heng menjamar sebagai Djay-hoa-tjat untuk memantjing sitolol Tik Hun kekamarnja si Mirah. Dan orang jang menaruhkan emas-intan dibawah randjang Tik Hun itu tak lain tak bukan adalah aku Go Him sendiri. Tjoba, Suso, Djika kami tidak menggunakan akal itu, masakah kami dapat menahan engkau untuk tinggal dirumah keluarga Ban ini?”

Seketika Djik Hong merasa kepalanja pening dan pandangannja menjadi gelap. Utjapan Go Him itu mirip sebilah belati jang menikam ulu-hatinja. Tanpa merasa ia menjerit tertahan: “Oh, Allah! Djadi aku telah keliru mendakwa dia, aku salah menuduh dia jang sebenarnja tidak berdosa!”.

Sesaat itu Djik Hong agak sempojongan, untung ia masih sempat memegangi lankan.

Sebaliknja Go Him sangat senang, katanja pula dengan suara lirih: “Suso, apa jang kukatakan ini sungguh2, lho! Dan djangan kau katakan kepada orang lain. Kami berdelapan saudara sudah bersumpah bahwa siapapun tidak boleh membotjorkan rahasia ini kepada orang lain”.

Mendadak Djik Hong menjerit sekali, ia terus berlari pergi, ia mendorong pintu taman belakang terus berlari keluar dengan tjepat.

Dan Go Him masih berseru padanja: “He, kemanakah kau, Suso? Tengah malam nanti djangan lupa, ya!”.

********

Setelah keluar dari pintu belakang, Djik Hong terus menuju ketempat jang sepi dari orang, sesudah menjusur beberapa kebun sajur, akhirnja dilihatnja di arah barat sana ada sebuah Su-theng (rumah berhala pemudjaan leluhur) ketjil jang tak terawat, pintu rumah berhala itu setengah tertutup, segera ia mendorong pintu itu dan masuk kesitu.

Maksud Djik Hong adalah ingin mentjari suatu tempat jang sunji agar dia dapat memikirkan setjara tenang bahwasanja: “Tik Hun dipitenah orang atau bukan? Kitab kuna bekas miliknja itu darimanakah datangnja? Tjara bagaimana menghadapi Go Him jang bermaksud djahat dengan memperalat obat penawar penjambung njawa suaminja itu? Dan bagaimana sebenarnja dengan diri Ban-long sang suami?

Begitulah Djik Hong bersandar disebatang pohon waru jang besar, sampai lama dan lama sekali tetap ia tak dapat menarik kesimpulan dan mengambil keputusan.

Se-konjong2 terdengar suara kelotak-kelotek orang berdjalan dari dalam Su-theng itu tahu2 muntjul seseorang. Itulah seorang wanita setengah umur dengan rambutnja jang pandjang kusut terurai tak keruan, badjunja rombeng dan dekil sekali.

Melihat Djik Hong, wanita dekil itu tampak agak takut2, dengan menjisir pelahan2 ia menjelinap masuk kedalam rumah berhala itu. Dan baru ia melangkah masuk keruangan dalam, kembali ia menoleh memandang sekedjap lagi pada Djik Hong, rupanja sekali ini ia dapat mengenali siapa Djik Hong, tanpa terasa ia mendjerit kaget.

Waktu Djik Hong memandangnja hingga sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa kuasa lagi wanita itu mendadak berlutut serta memohon padanja: “Siau-naynay (njonja muda), ha……..harap djangan kau ka……..katakan aku berada di……disini.”

Keruan Djik Hong heran sebab ia merasa tidak kenal wanita dekil itu, ia tanja: “Siapakah kau? Untuk apa kau berada disini?”

“O, ti……tidak apa2, aku ……aku adalah seorang pengemis,” sahut wanita itu dengan gelagapan, habis itu, ia lantas berbangkit dan masuk keruangan dalam dengan langkah tjepat.

Pikiran Djik Hong tergerak oleh tingkah-laku wanita kotor jang tidak dikenal itu, ia merasa ada sesuatu jang tidak beres atas wanita itu. Tapi lantas berpikir pula olehnja: “Ah, aku sendiri sudah tjukup kesal menghadapi matjam2 urusan, buat apa ikut tjampur urusan orang lain lagi?”

Lalu ia membatin. “Keparat Go Him itu mengatakan tjara mereka mempitenah Tik-suko, hal itu pastilah betul dan bukan omong ksosong, lantas kitab itu ……kitab itu ……..”

Berpikir sampai disini tanpa merasa ia pegang dahan pohon waru disampingnja dan digojangkan pelahan hingga daun waru kering djatuh berserakan.

Pada saat itulah ia dengar suara orang berlari, kiranja siwanita dekil tadi telah merat melalui pintu belakang Su-theng itu.

Djik Hong semakin heran, pikirnja: “Entah mengapa wanita ini demikian takutnja padaku ………Ha, teringatlah aku, dia…….dia adalah Tho Ang, si Mirah ……..”

Demi mengenali si Mirah itu, dengan tjepat Djik Hong lantas memburu kepintu belakang sana, segera ia tjabut belatinja sambil membentak: “Tho Ang, kau berbuat apa setjara sembunji2 disini?”

Memang wanita dekil itu betul adalah Tho Ang alias si Mirah, itu gundiknja Ban Tjin-san dahulu jang katanja bergendakan dengan Tik Hun dan tertangkap basah itu.

Ketika namanja dipanggil Djik Hong, memangnja si Mirah sudah gugup, apalagi melihat njonja muda itu menghunus belati lagi, keruan ia ketakutan setengah mati, dengan gemetar ia berlutut pula sambil memohon: “Siau…….Siau-naynay, am…….. ampunilah aku!”

Djik Hong sangat heran oleh kelakuan wanita itu. Sedjak dia tinggal didalam keluarga Ban, ia hanja bertemu beberapa kali dengan Tho Ang, tidak lama kemudian lantas tidak pernah bertemu pula. Apalagi setiap kali bila teringat kedjadian Tik Hun hendak kabur bersama si Mirah itu, rasa hatinja mendjadi seperti di-sajat2, lantaran itulah maka menghilangnja Tho Ang itupun tidak pernah digubrisnja. Siapa duga wanita bedjat itu ternjata sembunji didalam Su-theng atau rumah berhala bobrok ini.

Su-theng ini djaraknja tidak djauh dari rumah keluarga Ban, tapi sedjak Djik Hong mendjadi njonja mantu, penghidupan jang dia tuntut sudah berbeda daripada waktu perawan hidup dikampung halamannja sana, ia tidak pernah kelujuran diluaran lagi, walaupun sering djuga keadaan Su-theng bobrok itu dilihat olehnja dari djauh, tapi belum pernah ia memasukinja.

Keadaan Tho Ang sekarang djuga tak keruan, rambutnja kusut masai, mukanja kurus putjat, hanja beberapa tahun tidak berdjumpa tampaknja malah sudah lebih tua beberapa puluh tahun, makanja Djik Hong pangling. Tjuma Tho Ang sendiri jang ketakutan hingga menimbulkan tjuriga Djik Hong dan sesudah di-pikir2, achirnja teringat djuga olehnja diri si Mirah itu. Tjoba kalau Tho Ang tinggal pergi pelahan2 seperti tidak terdjadi apa2, sedang Djik Hong sendiri lagi kusut pikirannja tentu dia takkan diperhatikan.

Begitulah Djik Hong lantas geraki belatinja sambil mengantjam: “Apa jang kau lakukan dengan sembunji2 disini? Hajo lekas mengaku terus terang!”

“Aku ti……tidak berbuat apa2,” sahut Thoa Ang dengan ketakutan. “Siaunaynay, aku ……aku telah diusir oleh Loya, beliau mengatakan bila kepergok aku masih berada di Hengtjiu sini, tentu aku …….aku akan dibunuh olehnja, akan tetapi……akan tetapi aku tiada mempunjai tempat lain lagi, terpaksa……terpaksa sembunji disini untuk tjari hidup dengan minta2 sesuap nasi. Siau……..Siaunaynay, selain Hengtjiu, aku tidak tahu kemana aku harus pergi? Maka sukalah……sukalah Siaunaynay berbuat badjik, djangan……djanganlah katakan pada Loya tentang diriku.”

Mendengar ratapan orang jang tjukup kasihan itu, Djik Hong lantas simpan kembali belatinja. Katanja kemudian: “Sebab apa kau diusir Loya? Mengapa aku tidak tahu?”

“Akupun tidak……..tidak tahu sebab apa mendadak Loya tidak suka padaku lagi,” tutur Tho Ang. “Padahal Tik…….urusan orang she Tik itu bukanlah salahku. Ai, tidak……..tidak seharusnja aku bertjerita tentang ini.”

“Kau tidak mau bertjerita djuga boleh, sekarang djuga kuseret kau pergi menemui Loya,” antjam Djik Hong sambil djambret lengan badju si Mirah.

Keruan si Mirah ketakutan, dengan gemetar ia berkata: “Aku …….aku akan bertjerita! Siaunaynay, apa jang kau ingin tahu?”

“Tjeritakan tentang orang…….orang she Tik itu, sebenarnja bagaimana duduknja perkara? Sebab apakah kau hendak kabur bersama dia?” demikian kata Djik Hong.

Saking takut dan gugupnja hingga Tho Ang ternganga dan terbelalak tanpa bisa bitjara.

Dengan mata tak berkesip Djik Hong pandang lekat2 wanita itu, rasa takut dalam hatinja mungkin berpuluh kali lebih hebat daripada si Mirah. Jang ditakutkan adalah tjerita si Mirah, djangan2 tjerita itu akan menjatakan bahwa: Waktu itu memang benar Tik Hun telah memperkosanja.

Tapi karena sesaat itu Tho Ang tidak dapat bitjara, maka wadjah Djik Hong mendjadi putjat lesi, djantungnja se-akan2 berhenti berdenjut, saking tegangnja.

Achirnja, mengakulah Tho Ang: “Kedjadian itu bukan……..bukan salahku, Siauya (tuan muda) jang suruh aku berbuat begitu, suruh aku peluk orang she Tik itu se-kentjang2nja serta menuduh dia hendak memperkosa diriku dan membudjuk aku agar kabur bersama. Hal ini telah kututurkan kepada Loya, sebenarnja Loya toh pertjaja djuga, tapi…….tapi achirnja tetap beliau mengusir aku.”

Sungguh Djik Hong merasa sangat terima kasih dan berduka, merasa penasaran dan merasa kasihan. Dalam hati ia meratap: “O, Suko, djadi akulah jang telah salah sangka djelek padamu, seharusnja aku mengetahui hatimu jang sutji murni, tapi toh aku telah menjangka djelek dan membikin susah padamu!”

Begitulah ia tidak dendam pada Tho Ang, sebaliknja ia malah agak berterima kasih, untunglah wanita itu jang telah membuka ikatan hatinja jang tertekan selama ini. Didalam rasa duka dan pedihnja itu tiba2 terasa pula sematjam rasa manis diantara rasa pahit getir. Meski selama ini ia telah mendjadi isterinja Ban Ka, tetapi orang jang benar2 ditjintainja didalam lubuk hatinja selalu hanja seorang jaitu Tik Hun. Sekalipun sang Suko itu mendadak berubah pikiran, sekalipun djiwanja ternjata kotor dan rendah, biarpun seribu kali pemuda itu berbuat salah, seribu kali berhati palsu, tapi hanja dia, ja hanja dia, tetap dia seoranglah jang selalu dikenangkan dan dirindukan oleh Djik Hong.

Mendadak segala rasa bentji dan dendam telah berubah mendjadi sesal dan duka pada diri sendiri, pikirnja: “Pabila sedjak dulu aku tahu duduknja perkara, sekalipun menghadapi bahaja apapun djuga pasti akan kutolong dia keluar dari pendjara. Tapi dia telah menderita sehebat itu, entah tjara bagaimana dia akan pikir atas ………atas diriku?”

Melihat Djik Hong diam sadja, Tho Ang tjoba melirik njonja muda itu, lalu katanja dengan suara gemetar: “Siaunaynay, banjak terima kasih pabila sudi membiarkan aku pergi, aku akan ……….akan tinggalkan Hengtjiu ini dan takkan kembali kesini untuk selamanja.”

Djik Hong menghela napas, katanja kemudian: “Ah, sebab apakah Loya mengusir kau? Apa kuatir aku mengetahui duduknja perkara itu? Tetapi, hai mungkin sudah takdir ilahi, setjara kebetulan harini aku telah pergoki kau disini.”

Habis berkata iapun lepaskan pegangannja pada lengan badju orang. Mestinja ia ingin memberikan persen sedikit uang perak, tapi ia keluar setjara buru2 hingga pada sakunja tidak terdapat apa2.

Melihat Djik Hong sudah melepaskan dirinja, kuatir akan terdjadi apa2 lagi, buru2 Tho Ang melangkah pergi, tapi mulutnja masih menggumam: “Habis, di waktu malam Loya tentu ketemu setan, tentu memasang tembok, mengapa aku jang disalahkan? Toh bukan aku jang sembarangan omong.”

Mendengar itu, tjepat Djik Hong memburu madju dan bertanja: “Kau omong apa? Melihat setan dan pasang tembok apa katamu?”

Tho Ang sadar telah kelepasan mulut lagi, tjepat ia menjahut: “O tidak ada apa2, tidak ada apa2. Aku bilang Loya sering melihat setan diwaktu malam, ditengah malam selalu bangun untuk memasang tembok.”

Melihat tingkah-laku orang jang angin2an itu, Djik Hong pikir mungkin sedjak si Mirah itu diusir oleh Kongkong (bapak mertua) penghidupannja sangat susah, maka pikirannja mendjadi kurang waras. Habis, masakah Kongkong dikatakan tengah malam bangun untuk pasang tembok? Padahal didalam rumah tidak pernah dilihatnja tembok jang dipasang Kongkong.

Rupanja Tho Ang kuatir njonja muda itu tidak pertjaja, maka ia mengulang lagi: “Ja, dia pasang tembok, tapi tembok …….tembok palsu. Setiap tengah malam Loya suka…….suka mendjadi tukang batu maka aku telah mengatai dia beberapa kata, dan dia lantas marah2, aku dihadjar hingga babak-belur, kemudian aku diusirnja pula……..” ~ Begitulah sambil mengomel dan menggerundel tak habis2, ia terus mengelojor pergi dengan beringsat-ingsut.

Djik Hong mendjadi terharu memandangi bajangan wanita tjelaka itu, pikirnja: “Paling banjak ia tjuma lebih tua 10 tahun daripadaku, tapi ia telah berubah sedemikian djeleknja. Entah mengapa Kongkong telah mengusirnja? Mengapa dia mengatakan Kongkong melihat setan dan pasang tembok ditengah malam buta? Ah, mungkin pikiran wanita ini memang tidak waras lagi. Ai, disebabkan seorang wanita goblok seperti ini. Suko telah merana selama hidup dan akupun menderita selama ini!” ~ Berpikir sampai disini, bertjutjuran air matanja.

Begitulah Djik Hong menangis hingga sekian lamanja sambil bersandar dibatang pohon waru itu, tapi sehabis menangis hatinja jang pepet tadi mendjadi agak lega, perlahan2 barulah ia pulang kerumah. Ia tidak melalui taman belakang lagi, tapi masuk dari pintu samping terus kembali keatas loteng sendiri.

Begitu mendengar suara tangga loteng itu, segera Ban Ka bertanja dengan tak sabar: “Hong-moay, obat penawarnja didapatkan tidak?”

Djik Hong tidak mendjawab, ia terus masuk kekamar, ia melihat Ban Ka duduk

diatas randjang dengan sikap jang tidak sabar menunggu lagi, tangannja jang terluka itu terletak ditepi randjang, darah hitam setetes demi setetes merembes keluar dari punggung tangannja dan djatuh kedalam baskom jang menadah dibawah randjang itu. Dara tjilik Khong-sim-djay sudah lama tidur disebelah kaki ajahandanja.

Tadi sesudah mendengar tjerita Go Him hingga berlari keluar rumah, dalam hati Djik Hong sebenarnja penuh rasa murka terhadap Ban Ka. Ia bentji kepada tjaranja jang kedji dan kotor itu untuk mempitenah Tik Hun. Tapi kini demi melihat air muka sang suami jang tampan putjat itu, tjinta kasih suami-isteri selama beberapa tahun ini kembali membuatnja lemah hati. Pikirnja: “Ja, betapapun adalah karena Ban-long tjinta padaku, makanja dia berusaha menjingkirkan Tik-suko, tjaranja memang kedji hingga membikin Suko kenjang menderita, tapi kesemuanja itu adalah demi diriku.”

Dan karena tiada mendapat djawaban, maka Ban Ka telah bertanja pula: “Obat penawarnja sudah dibeli lagi belum?”

Karena bingung apakah mesti memberitahukan atau tidak kepada suami tentang kelakuan Go Him jang kurangadjar itu, maka segera ia mendjawab: “O, aku sudah ketemukan tabib itu, aku telah memberikan uang lagi dan minta dia segera meramukan obatnja.”

Mendengar itu, barulah Ban Ka merasa lega hatinja, katanja. “Hong-moay, djiwaku ini akhirnja engkaulah jang menjelamatkan.”

Djik Hong paksakan diri tertawa, ia merasa bau darah berbisa jang berada didalam baskom itu sangat menusuk hidung, segera ia membawakan sebuah tempolong ludah untuk menggantikan baskom itu, lalu baskom itu dibawanja keluar.

Tapi baru beberapa langkah, bau darah berbisa itu menerdjang hidungnja hingga kepalanja terasa pening, diam2 ia mengakui betapa lihaynja ratjun ketungging itu. Tjepat ia keluar kamar, ia taruh baskom itu dilantai ditepi medja, lalu ia hendak mengambil saputangan dari badjunja untuk menutupi hidung, kemudian darah berbisa itu akan dibuangnja.

Tapi begitu tangannja mendjulur kedalam saku, segera ia memegang kitab kuno itu. Ia tertegun sedjenak, kembali hatinja ber-debar2 lagi, ia mengeluarkan kitab itu, ia duduk ditepi medja, lalu satu halaman demi satu halaman dibaliknja. Ia masih ingat dengan djelas kitab itu diambilnja dari bawah sebuah kopor rusak milik sang ajah jang penuh tersimpan badju lama, waktu itu ia sedang mentjari sesuatu badju lama dan tanpa sengadja telah diketemukan kitab itu. Padahal ia tahu ajahnja tidak banjak makan sekolah, biarpun huruf segede telur djuga tiada dua kerandjang jang dikenalnja, entah darimana sang ajah menemukan kitab seperti itu. Tatkala itu kebetulan ia baru selesai menggunting dua buah pola sulaman, maka ia lantas selipkan kertas pola kedalam buku itu. Dan ketika suatu hari ia bermain lagi kegua rahasia itu bersama Tik-suko, kitab itu sekalian lantas dibawanja kesana, sedjak itu kitab itupun selalu tertinggal didalam gua, mengapa sekarang bisa diketemukannja disini? Apakah Tik-suko menjuruh tabib kelilingan tadi menghantarkannja padaku? Tabib itu…….. djangan2 …… kelima djarinja terpapas putus semua oleh Go Him? Ja, tabib itu mengapa……. Mengapa selalu menjembunjikan tangan kanan didalam saku.”

Begitulah se-konjong2 Djik Hong teringat pada waktu itu. Di kala tabib keliling itu membubuhi obat pada Ban Ka tiada seorangpun jang memperhatikan tangan jang digunakan sitabib adalah tangan kiri dan tidak pernah memakai tangan kanan, kini demi teringat dahulu djari tangan kanan Tik Hun pernah terpapas putus oleh Go Him, seketika terbajanglah kembali adegan2 tadi waktu sitabib membuka peti obat, mengambil botol obat dan membuka sumbat botol serta menuang obat bubuk itu, ja, kesemuanja itu melulu dilakukan oleh tangan kiri sitabib.

“Djangan2……. Djangan2 tabib itu adalah Tik-suko? Tapi mengapa mukanja sedikitpun tidak sama?” demikian pikir Djik Hong. Dan saking kusut dan kesalnja, ia mendjadi berduka, air matanja bertjutjuran dan menetes diatas kitab jang dipegangnja itu.

Air matanja menetes terus hingga membasahi kitab kuno dan hal mana belum disadari oleh Djik Hong, air matanja menetes diatas sepasang kupu2 guntingan kertas, jaitu kupu2 San Pek dan Eng Tay, nasib pertjintaan mereka baru akan terdjalin sesudah keduanja mati semua ………

Dalam pada itu Ban Ka sedang berseru didalam kamar: “Hong-moay, aku merasa gerah sekali, aku ingin bangun untuk djalan2 sebentar.”

Tapi Djik Hong sendiri lagi tenggelam dalam lamunannja, maka tidak mendengar suara sang suami itu. Waktu itu ia sedang memikir: “Tempo hari dia (Tik Hun) telah mematikan seekor kupu2 hingga sepasang kekasih telah ditjerai-beraikan olehnja. Apakah dia telah ketulah oleh perbuatannja itu dan hidupnja ini diharuskan merana dan menderita!………

Dan pada saat itulah mendadak dibelakangnja seorang telah berseru dengan suara kaget. “He, itulah ……..Soh ……… Soh-sim-kiam-boh!”

Keruan Djik Hong djuga berdjingkrak kaget, tjepat ia menoleh, ia melihat Ban Ka dengan wadjah kegirangan dan penuh semangat sedang berkata: “He, Hong-moay, darimanakah kau memperoleh kitab itu? Lihatlah, aha, kiranja begitu, kiranja demikian!”

Segera ia memburu madju, dengan kedua tangannja ia memegang kitab kuno ditangan isterinja. Ia balik sampul kitab itu, dengan djelas dibatjanja djudul kitab itu adalah “Tong-si-soan-tjip” (pilihan2 sjair djaman Tong).

Kemudian ia melihat halaman jang ketetesan air mata Djik Hong itu adalah sebuah sjair jang berkalimat “Seng-ko-si” dan disamping bawahnja timbul tiga huruf ketjil ke-kuning2an, ketiga huruf itu adalah “tiga puluh tiga” atau dalam angka mendjadi “33”. Beberapa baris tulisan itu telah basah kena air mata Djik Hong.

Saking girangnja Ban Ka sampai lupa daratan, ia ber-teriak2: “Aha, disinilah letak rahasianja, ja, kiranja harus dibasahi dahulu, lalu akan timbul hurufnja. Bagus! Bagus! Tentu adalah kitab ini. He, Khong-sim-djay, Khong-sim-djay, lekas pergi mengundang Engkong kemari, katakan ada urusan penting!”

Begitulah ia lantas membangunkan sidara tjilik jang lagi tidur njenjak itu dan disuruhnja pergi mengundang sang Engkong (kakek), jaitu Ban Tjin-san.

Sambil memegangi kitab sjair itu dengan erat2, Ban Ka mendjadi lupa tangannja jang terluka dan kesakitan itu, sebaliknja ia terus bitjara sendiri: “Ja, pasti inilah kitabnja, tentu tidak salah lagi. Ajah bilang Kiam-boh itu berwudjut sedjilid Tong-si-soan-tjip, tentu tidak salah lagi, apakah perlu disangsikan lagi sekarang? Hahaha, pantas lebih dulu harus membikin basah kitab ini dan dengan sendirinja rahasianja akan timbul sendiri.”

Karena luapan rasa girang jang tak terkendalikan, maka Ban Ka telah mengotjeh tak tertahan, hal mana telah membikin Djik Hong mendjadi paham djuga duduknja perkara.

Pikirnja: “Apakah kitab ini adalah ‘Soh-sim-kiam-boh’ jang dibuat rebutan antara ajahku dan Kongkong itu? Djika begitu, sebenarnja kitab ini telah didapatkan oleh ajahku, tapi setjara tak sadar aku telah mengambilnja untuk mendjepit pola sepatu. Tapi waktu ajah kehilangan kitab pusaka ini, mengapa beliau tidak kelabakan dan mentjarinja? Ah, tentu djuga sudah ditjarinja, tjuma ditjari kesana kesitu tidak ketemu, lalu disangkanja telah ditjuri oleh Gian-supek dan diantepin sadja. Mengapa dahulu ajah tidak tanja padaku tentang kitab jang hilang itu? Sungguh sangat aneh!”

Djika Tik Hun, tentu sekarang ia takkan heran sedikitpun, sebab ia sudah tahu Djik Tiang-hoat itu adalah seorang jang litjin, seorang jang banjak tipu akalnja, sekalipun didepan puterinja djuga sedikitpun tidak mau mengundjukan sesuatu tentang kitab pusaka Soh-sim-kiam-boh itu. Waktu kitab itu hilang, tentu djuga ia berusaha mentjarinja ubek2an, tapi sesudah tidak diketemukan kembali, ia lantas pura2 tidak terdjadi apa2, hanja diam2 ia menjelidiki dengan segala djalan untuk memperhatikan apakah kitab itu bukan ditjuri oleh Tik Hun? Atau ditjuri puterinja? Tapi disebabkan Djik Hong tidak merasa mentjuri, ia tidak perlu takut sebagaimana seorang maling kuatir konangan, maka dengan sendirinja penjelidikan Djik Tiang-hoat mendjadi sia2.

Dalam pada itu Ban Tjin-san baru sadja pulang, ia sedang diruangan makan. Ketika ia dipanggil tjutju perempuannja, ia sangka luka puteranja mungkin berubah buruk, maka belum lagi sarapannja dihabiskan dia sudah lantas buru2 kebelakang sambil membopong sidara-tjilik. Dan begitu ia melangkah keatas loteng, dia lantas mendengar suara seruan Ban Ka jang kegirangan. “Haha, di-tjari2 tidak ketemu, siapa duga diperoleh setjara begini mudah. Eh, Hong-moay, mengapa engkau kebetulan membasahi kitab ini dengan air? Sungguh kebetulan, mungkin memang takdir ilahi!”

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air jang membasahi kitab itu adalah air mata sang isteri jang barusan sedang merindukan seorang laki2 lain.

Begitulah Ban Tjin-san mendjadi lega demi mendengar suara sang putera itu, segera iapun masuk kedalam kamar.

“Tia, Tia! Lihatlah, apakah ini?” seru Ban Ka segera sambil mengundjukan kitab ‘Pilihan2 sjair djaman Tong’ itu kepada sang ajah jang baru masuk itu.

Hati Ban Tjin-san tergetar demi nampak kitab ke-kuning2an jang tipis itu, tjepat ia taruh Khong-sim-djay ketanah, lalu terima kitab jang diangsurkan Ban Ka itu dengan hati ber-debar2 hebat.

Itulah dia “Soh-sim-kiam-boh” jang telah ditjarinja mati2an selama belasan tahun kini telah kembali didepan matanja.

Memang benar inilah kitabnja, kitab asli jang pernah dimilikinja bersama Djik Tiang-hoat dan Gian Tat-peng, jaitu hasil rampokan mereka bersama dengan menganiaja guru mereka.

Dahulu mereka bertiga telah mem-balik2 dan mempeladjari bersama isi kitab itu didalam hotel, akan tetapi kitab itu toh bukan “Kiam-boh” sebagaimana orang sangka, kitab itu tidak lebih hanja sedjilid kitab sjair kuno jang umum, kitab “Tong-si-soan-tjip” jang djuga dapat dibeli dengan mudah disetiap toko buku setiap tempat.

Dengan matjam2 djalan mereka bertiga saudara perguruan telah menjelidiki isi kitab itu. Pernah mereka menjorot setiap halaman kitab itu dibawah sinar matahari dengan harapan menemukan apa2 didalam lempitan kertas itu, pernah djuga mereka membatja beberapa bait sjair itu didjungkir balik, dibatja pula setjara me-lompat2 dan matjam2 tjara lagi dengan tudjuan mendapatkan sesuatu rahasia didalamnja, tapi semua usaha itu hanja sia2 belaka, hasilnja nihil. Mereka bertiga saling tjuriga mentjurigai, kuatir kalau pihak lain menemukan rahasia didalam kitab itu dan dirinja sendiri tidak tahu. Maka setiap malam diwaktu tidur, mereka lantas menguntji kitab itu didalam sebuah peti besi, peti besi itu digandeng pula dengan tiga utas rantai besi serta masing2 diikat dipergelangan tangan mereka bertiga. Akan tetapi pada suatu pagi hari, tahu2 kitab itu sudah menghilang tanpa bekas.

Akibat hilangnja kitab itu selama belasan tahun mereka bertiga saudara perguruan telah bertengkar tidak habis2, masing2 saling selidik menjelidiki. Dan mendadak kitab itu telah muntjul didepan matanja sekarang.

Ban Tjin-san tjoba membalik halaman keempat dari kitab itu. Ja, memang betul, udjung kiri halaman itu tersobek sedikit, itulah kode rahasia jang sengadja dibuatnja tempo dulu, ia kuatir kedua Sutenja itu mungkin menukarnja dengan sedjilid “Tong-si-soan-tjip” jang serupa dan dirinja tertipu, maka ia sendiri harus menaruh sesuatu tanda dulu diatas kitab asli itu.

Ketika ia membalik pula halaman ke-16, benar djuga bekas goresan kuku jang ditaruhnja dahulu itu djuga masih kelihatan. Ja, tidak salah lagi, memang betul kitab ini tulen adanja.

Begitulah ia lantas manggut2, sedapat mungkin ia menahan rasa senangnja itu, katanja kemudian kepada sang putera: “Ja, memang betul adalah kitab ini, darimana kau memperolehnja?”

Segera sorot mata Ban Ka beralih kepada Djik Hong dan bertanja: “Hong-moay, darimanakah kitab ini kau temukan?”

Djik Hong sendiri sedjak melihat sikap Ban Ka tadi, jang terpikir olehnja melulu diri ajahnja sadja, ia pikir: “Kemanakah perginja ajah selama ini? Sesudah aku mengambil kitabnja ini dan kubawa kedalam gua itu, beliau mentjari ubek2an. Padahal kitab ini jang selalu dibuat intjaran dan menjebabkan pertengkaran mereka, dalam hati ajah tentu sangat luar biasa sajang kepada kitab ini. Entah kitab kuno seperti ini mempunjai manfaat apa hingga mesti mereka ributkan? Tapi dahulu aku telah mengambilnja dari kopor ajah, sekali2 tidak boleh kubiarkan kitab ini djatuh ditangan Kongkong.”

Apabila sehari dimuka, pada waktu itu Djik Hong masih belum tahu duduknja perkara tentang penderitaan Tik Hun jang dipitenah orang, tentu ia masih sangat tjinta dan penuh kasih-sajang kepada suaminja, dan dalam penilaiannja mungkin sang suami akan lebih utama daripada ajahnja sendiri, apalagi sang ajah entah kemana perginja selama ini, entah akan pulang lagi atau tidak?

Namun keadaan sekarang sudah berubah lain. “Sekali2 kitab ajahku itu tidak boleh kubiarkan djatuh ditangan mereka. Tentu Tik-suko jang telah mengambil kitab ini dari gua dan diserahkan padaku, dengan sendirinja tidak boleh kuberikan pada mereka, hal ini bukan sadja demi ajah, tapi terutama demi Tik-suko!” demikian ia ambil keputusan.

Begitulah maka waktu Ban Ka bertanja padanja darimana diperoleh kitab itu, Djik Hong sendiri lagi memikirkan tjara bagaimana harus merebut kembali kitab jang telah dipegang oleh bapa mertuanja itu. Padahal ilmu silat Ban Tjin-san sangat tinggi, sekali2 dirinja bukan tandingannja apalagi sang suami djuga berada disitu, untuk merebutnja denggan kekerasan terang tidak mungkin.

Mendadak tertampak olehnja baskom jang terletak didekat medja sana, didalam baskom masih terisi setengah baskom air darah, jaitu sebagian adalah air tjutji muka Ban Ka dan darah berbisa jang menetes dari luka tangannja. Air didalam baskom itu berwarna merah hitam, kalau…… kalau diam2 kitab itu direndam didalam air baskom, tentu mereka takkan menemukannja kembali. Akan tetapi, tjara bagaimana, harus ditjari kesempatan untuk memasukkan kitab itu kedalam baskom?

Demikian Djik Hong sedang putar otak, sebaliknja sorot mata Ba Tjin-san dan Ban Ka djuga sedang diarahkan padanja. Kembali Ban Ka mengulangi pertanjaannja: “Hong-moay, darimanakah kau memperoleh kitab ini?”

Baru sekarang Djik Hong terkesiap, tjepat ia menjahut: “Ah, entahlah, akupun tidak tahu, tadi aku keluar dari kamar dan tahu2 melihat kitab itu diatas medja. Apakah itu bukan milikmu?”

Karena seketika itu tidak djelas duduknja perkara, maka sementara Ban Ka tidak mengusut lebih djauh, jang terpikir olehnja jalah ingin lekas memberitahukan kepada sang ajah tentang pengalamannja jang luar biasa tadi. Maka ia lantas berkata kepada Ban Tjin-san: “Lihatlah, ajah! Asal halaman kitab ini dibasahi, lantas timbul hurufnja disitu.” ~ Segera iapun menundjukkan angka “33” jang terdapat disebelah kalimat sjair “Seng-ko-si” itu. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air jang membasahi halaman kitab itu adalah air mata sang isteri, air mata rindu sang isteri kepada seorang laki2 lain jang bernama Tik Hun. Kalau dia tahu, entahlah bagaimana perasaannja, akan girang atau akan marah?

Dalam pada itu Ban Tjin-san sedang meneliti sjair “Seng-ko-si” itu, ia lagi meng-hitung2 huruf sjair satu demi satu, mulai dari suatu bait jang berbunji: “Loh-tju-tiong-hong-siang…….” hingga achirnja djatuh pada huruf “He-hong-seng…….”

Itu dia, huruf ke-33 djatuh pada huruf “Seng”!

Ban Tjin-san gablok pahanja sendiri sekali dan berseru: “Tepat! Memang beginilah tjaranja, ja beginilah tjaranja! Kiranja rahasianja terletak disini! Hai, Ka-dji, engkau benar2 sangat pintar, sjukur dapatlah kau menemukan tjaranja ini. Memang harus memakai air, ja, harus pakai air! Sungguh tolol, dahulu kami djusteru tiada seorangpun jang memikirkan tentang pemakaian air untuk menemukan rahasia didalam kitab ini!”

Melihat kedua orang itu penuh semangat asjik mempeladjari rahasia jang tersimpan didalam kitab itu, segera Djik Hong menarik puterinja kedalam kamar sana, ia pondong dara tjilik itu didalam pangkuannja dan pelahan2 berkata padanja: “Khong-sim-djay, kau lihat baskom itu bukan?”

Dara tjilik itu manggut2, sahutnja: “Ja, tahu!”

“Nah, sebentar kalau Engkong, ajah dan ibu berlari keluar semua, kau lantas melemparkan buku jang dipegang Engkong tadi kedalam baskom agar kerendam air kotor itu, djangan sampai diketahui oleh Engkong dan ajah, ja,” demikian Djik Hong mengadjarkan puterinja.

Sidara tjilik kegirangan, disangkanja sang ibu hendak mengadjarkan suatu permainan jang menarik padanja, maka dengan tertawa ia bersorak: “Bagus, bagus!”

“Tapi djangan sekali2 diketahui oleh Engkong dan ajah, lho! Kemudian kaupun djangan katakan pada mereka, ja!” pesan Djik Hong pula.

“Ja, Khong-sim-djay pasti takkan bilang pada mereka, pasti tidak!” seru sidara tjilik.

Lalu Djik Hong keluar kamar depan lagi, katanja kepada Ban Tjin-san: “Kongkong, aku merasa didalam kitab itu ada sesuatu jang gandjil.”

Tjin-san menoleh, tanjanja: “Gandjil apa sih?” ~ Memangnja ia sendiri djuga merasa was-was karena muntjulnja kitab itu setjara mendadak, datangnja terlalu mudah, hal mana bukanlah sesuatu alamat baik. Maka ia bertambah pikiran demi mendengar utjapan njonja mantunja itu.

“Íni, disini!” kata Djik Hong kemudian sambil mengulurkan tangannja.

Ban Tjin-san lantas serahkan kitab sjair itu kepadanja. Sesudah Djik Hong mem-balik2 halaman kitab itu, kemudian dikeluarkannja sepasang pola kupu2 itu dan berkata: “Kongkong, didalam kitabnja dahulu apakah terdapat sepasang kupu2 kertas sematjam ini?”

Tjin-san terima kupu2 kertas itu dan mengamat-amatinja, lalu sahutnja: “Ja, tidak ada!”

“Habis apa artinja kupu2 kertas didalam kitab ini?” udjar Djik Hong. “Apakah didalam Bu-lim terdapat seseorang tokoh jang berdjuluk ‘Hek-oh-tiap’ (kupu2 hitam) dan sebagainja? Dengan meninggalkan kupu2 kertas ini didalam kitab, mungkin adalah tanda peringatan bahwa mereka akan datang menuntut balas?”

Biasanja memang sering terdjadi didalam Kangouw bahwa sebelum menuntut balas, seorang telah mengirimkan tanda peringatan lebih dulu kepada orang jang akan didatanginja. Dan selama hidup Ban Tjin-san djusteru tak terhitung banjaknja kedjahatan jang pernah diperbuatnja, dengan sendirinja ia terkedjut mendengar utjapan Djik Hong itu, apalagi kupu2 kertas memang njata terselip didalam kitab itu. Ia tjoba meng-ingat2 apakah pernah memusuhi seorang tokoh jang berdjuluk ‘Hek-oh-tiap’ dan sebagainja? Tapi seingat dia toh tidak ada.

Selagi ia merenung, mendadak terdengar Djik Hong membentak: “Siapa itu? Ada apa main sembunji2 disitu?” ~ Segera ia tuding keatas wuwungan rumah diluar djendela, maka berbareng Ban Tjin-san dan Ban Ka memandang kearah sana, tapi toh tiada terdapat apa-apa.

Tjepat Djik Hong sambar sepasang pedang jang tergantung didinding, ia lemparkan sebatang kepada Ban Tjin-san dan sebatang kepada Ban Ka, serunja pula. “Aku melihat tiga sosok bajangan orang berkelebat kesana!”

Sementara Tjin-san dan Ban Ka menjambuti pedang jang dilemparkan Djik Hong itu, segera Djik Hong lantas tarik latji medja dan masukan kitab sjair itu kedalamnja dan sambil berbisik: “Djangan sampai ditjuri musuh!”

Ban Tjin-san berdua pertjaja sadja, mereka memanggut. Segera mereka bertiga melompat keluar djendela dan naik keatas rumah, waktu memandang sekeliling situ, namun tiada tertampak seorangpun. “Tjoba periksa kebelakang sana!” kata Tjin-san.

Bertiga orang terus menguber kerumah belakang sana. Tiba2 terlihat sesosok bajangan orang berkelebat dipengkolan sana, segera Tjin-san membentak: “Siapa itu?” ~ Dan waktu ia melesat madju, kiranja orang itu bukan lain adalah muridnja nomor enam, jaitu Go Him adanja.

“Kau melihat musuh tidak?” tanja Tjin-san pula.

Sebenarnja wadjah Go Him sudah putjat seperti majat, ia ketakutan setengah mati ketika mendadak melihat Suhu bertiga menguber kearahnja dengan sendjata terhunus, ia mengira perbuatannja jang kotor itu telah dilaporkan oleh Djik Hong. Dan demi mendengar pertanjaan sang guru itu, barulah ia merasa lega. Tjepat ia menajhut: “Ja, barusan seperti ada orang berlari lewat sini, makanja Tetju lantas memburu kemari untuk mentjari tahu apa jang telah terdjadi.”

Sebenarnja djawabannja itu adalah untuk menutupi sikapnja jang kikuk itu, sebaliknja mendjadi kebetulan bagi Djik Hong jang membohong itu.

Segera mereka berempat menguber pula kebelakang, ber-ulang2 Go Him bersuit memanggil Loh Kun, Bok Heng dan lain2, tapi meski seluruh isi rumah mereka kerahkan untuk mentjari musuh, toh tiada suatu bajanganpun jang kelihatan.

Karena kuatirkan kitab “Soh-sim-kiam-boh” jang masih tertinggal dikamar itu, segera Tjin-san suruh Loh Kun dan para Sute-nja mentjari lebih djauh djedjak musuh. Ia sendiri bersama Ban Ka dan Djik Hong lantas kembali kekamar loteng.

Segera pula ia membuka latji hendak mengambil kitab itu, tapi ……..

Sudah tentu latji itu sudah kosong melompong, kitab itu entah sudah terbang kemana?

Keruan kedjut Ban Tjin-san dan Ban Ka tak terkatakan, mereka mentjari ubek2an didalam kamar, dan sudah tentu nihil hasilnja.

“Adakah seorang masuk kesini?” Ban Tjin-san tjoba tanja Khong-sim-djay.

“Tidak ada!” sahut sidara tjilik. Kemudian ia berpaling dan main mata dengan sang ibu, hatinja sangat senang.

Sudah terang gamblang Ban Tjin-san berdua menjaksikan sendiri Djik Hong memasukan kitab itu kedalam latji, dikala menguber musuh djuga selalu njonja mantu itu berada bersama mereka, dengan sendirinja bukan Djik Hong jang main gila. Ia menduga pasti adalah tipu muslihat musuh jang “memantjing harimau meninggalkan sarang”, lalu mentjuri kitab pusaka itu.

Keruan Ban Tjin-san dan Ban Ka merasa lemas, mereka saling pandang dengan lesu dan menjesal.

Sebaliknja Djik Hong dan Khong-sim-djay sangat senang, mereka saling main mata, saling kedip penuh arti ………

Begitulah anak murid Ban Tjin-san jang lain telah sibuk mentjari djedjak musuh disetiap polosok rumah dan sudah tentu tiada suatu bajanganpun jang diketemukan.

Ban Tjin-san pesan kepada Djik Hong agar djangan sekali2 bertjerita keapda Loh Kun dan lain2 tentang diketemukannja Kiam-boh dan kemudian hilang lagi. Sudah tentu Djik Hong mengiakannja dengan baik. Selama ini Djik Hong sudah makin sadar akan hubungan guru dan murid keluarga Ban itu, begitu pula hubungan antara murid satu dengan murid lainnja selalu dilakukan dengan tidak djudjur, masing2 hanja memikirkan kepentingan sendiri2, satu sama lain saling tjuriga-mentjurigai.

Dengan rasa menjesal dan penasaran kemudian Ban Tjin-san kembali kekamarnja sendiri, jang terpikir olehnja adalah tanda kupu2 hitam kertas didalam kitab itu. Sebaliknja Ban Ka djuga pajah keadaannja, sesudah ber-lari2 menguber musuh, tekanan darahnja naik, luka ditangannja itu mendjadi kesakitan lagi, maka ia telah merebah di randjangnja untuk mengaso dan tidak lama iapun tertidur.

Diam2 Djik Hong pikir kitab sjair itu akan sangat berguna bagi ajahnja, kalau kerendam terlalu lama didalam air mungkin akan rusak. Segera ia masuk kekamar dan tjoba memanggil sang suami beberapa kali, tapi Ban Ka sudah tertidur njenjak, segera ia keluar lagi dan bawa baskom itu kebawah, ia buang air darah didalam baskom itu hingga kelihatan dasar baskom. Ia pudji si Khong-sim-djay sangat pintar dan penurut, tidak merasa wadjahnja menampilkan senjuman puas.

Sama sekali diluar dugaannja bahwa sebenarnja sudah sedari tadi Ban Ka telah tjuriga padanja.

Tadi waktu sidara tjilik main mata dengan sang ibu, kelakuan itu telah dapat diketahui oleh Ban Ka hingga timbul rasa tjuriganja. Maka ia sengadja pura2 tidur, dan begitu Djik Hong turun kebawah, segera iapun bangun dan dengan ber-djindjit2 seperti maling kuatir kepergok, ia mengawasi gerak-gerik sang isteri.

Karena kitab itu berbau amis darah jang merendamnja tadi, Djik Hong merasa muak dan tidak sudi memegangnja, ia pikir: “Dimanakah kitab ini harus kusembunjikan?”

Segera teringat olehnja ditaman belakang ada sebuah kamar podjok jang biasanja dibuat simpan barang rongsokan sebangsa patjul, tenggok, sapu dan sebagainja, pada waktu itu tentu tiada terdapat orang disitu. Segera ia petik daun bunga seruni hingga penuh satu baskom untuk menutupi kitab jang basah itu, lalu menudju ketaman.

Sesudah masuk kedalam kamar dipodjok taman itu, ia melihat kamar itu tidak terawat, temboknja banjak jang rontok, udjung dinding sana ada beberapa potong bata sudah mulai merenggang. Ia pikir: “Kalau kitab ini kusembunjikan disini tentu takkan ditjurigai siapapun djuga.” ~ Segera ia mengorek keluar beberapa potong bata itu, ia masukkan kitab itu kedalam liang dinding itu, lalu bata2 itu dipasangnja kembali hingga rapat.

Habis itu, dengan masih mendjindjing baskom itu ia berdjalan kembali sambil ber-njanji2 ketjil seperti tiada pernah terdjadi apa2.

Waktu lewat diserambi, mendadak dari pengkolan sana menjelinap keluar seorang sambil membisikinja: “Suso, tengah malam nanti djangan lupa, ja! Aku tunggu kau didalam gudang kaju sana!” ~ Siapa lagi dia kalau bukan Go Him.

Memangnja Djik Hong lagi menahan rasa kuatir kalau perbuatannja dipergoki orang, ketika mendadak muntjul seorang dan berkata begitu padanja, keruan djantungnja se-akan2 tjopot saking kagetnja.

Segera iapun mendamperatnja: “Tjis, kau tjari mampus, besar amat njalimu, apa kau sudah bosan hidup?”

Tapi dengan tjengar-tjengir Go Him mendjawab: “Demi Suso, biarpun djiwaku akan melajang djuga aku rela. Suso, engkau inginkan obat penawarnja atau tidak?”

Dengan gemes Djik Hong sudah meraba belati jang tersimpan didalam badjunja itu, sungguh ia ingin sekali tikam mampuskan manusia rendah itu dan merampas obat penawarnja.

Tapi Go Him adalah seorang litjin dan tjulas, sudah tentu ia tjukup waspada terhadap segala kemungkinan. Dengan menjengir ia berkata pula dengan pelahan: “Suso, djangan kau tjoba2 menjerang, asal kau menjerang dengan tipu ‘Wadjah manusia muntjul dari balik gunung’ dan menikam kearahku, maka aku sudah siap akan menghindar dengan gerakan ‘kepala kuda timbul disamping awan’, dan sekali tanganku bergerak begini, seketika obat penawar ini kubuang kedalam empang.” ~ Sembari berkata ia terus ulurkan tangannja dan apa jang digenggamnja memang betul adalah botol obat penawar itu. Ia kuatir Djik Hong menubruk untuk merebutnja, maka lebih dulu ia lantas mundur beberapa langkah kebelakang.

Tahu kalau pakai kekerasan djuga takkan berhasil merebut obat penawar itu, terpaksa Djik Hong batalkan niatnja, segera ia menjisir lewat dari samping orang. Dan dengan suara pelahan Go Him membisikinja lagi: “Ingat Suso, aku tjuma sanggup menanti sampai tengah malam. Lewat tengah malam kau tidak datang, djam satu malam aku lantas tinggal pergi bersama obat penawar ini, aku akan kabur sedjauh mungkin dan takkan kembali ke Hengtjiu lagi. Haha, andaikan mati djuga orang she Go ini tidak sudi mati ditangan ajah dan anak she Ban.”

Waktu Djik Hong sampai dikamarnja, ia mendengar Ban Ka sedang me-rintih2, njata ratjun ketungging telah kumat lagi dengan hebat.

Ia duduk menjanding medja dengan bertopang dagu, pikirannja bergolak tak tertahankan. Ia pikir: “Tjaranja dia (Ban Ka) mempitenah Tik-suko sungguh sangat kedji, tapi nasi sudah mendjadi bubur, apa mau dikata lagi? Selama beberapa tahun ini sesungguhnja iapun sangat baik padaku, sebagai seorang wanita, menikah ajam ikut ajam, kawin dengan bebek turut bebek, selama hidupku sudah ditakdirkan akan mendjadi suami-isteri dengan dia. Tjuma Go Him itu benar2 keparat, tjara bagaimana supaja aku dapat merebut obatnja?” ~ Ia melihat air muka Ban Ka putjat kurus, diam2 ia membatin pula: “Luka Ban-long sangat parah, djika kukatakan perbuatan Go Him itu padanja, dalam gusarnja tentu ia akan mengadu djiwa padanja dan tentu akan membuat keadaannja lebih pajah.”

Begitulah pikirannja mendjadi kusut. Sementara itu hari sudah gelap, sesudah makan malam, Djik Hong mengatur puterinja tidur, ia sendiri masih gelisah. Sesudah dipikir pulang-pergi, achirnja ia mengambil keputusan akan laporkan persoalan Go Him itu kepada Ban Tjin-san, sebagai seorang tua jang berpengalaman tentu akan dapat mentjari djalan keluar jang sempurna. Tapi urusan ini tidak boleh diketahui oleh Ban Ka, harus menunggu sesudah sang suami itu tidur njenjak, barulah akan dilaporkan kepada bapa mertuanja ini. Selama beberapa hari ia benar2 terlalu tjapek merawat luka suaminja itu siang dan malam, namun ia tidak dapat tidur. Ia menunggu setelah terdengar suara mendengkurnja Ban Ka, lalu bangun dengan pelahan2, dengan hati2 ia turun kebawah loteng, ia menudju keluar kamarnja Ban Tjin-san.

Sinar bulan menembus kedalam kamar Ban Tjin-san, melalui tjelah2 djendela dapat dilihatnja bahwa didalam kamar bapa mertua itu sudah gelap, pelita sudah dipadamkan, ia menduga orang tua itu sudah tidur.

Diluar dugaan, sesudah ia mendekati djendela, tiba2 dari dalam kamar orang tua itu terdengar suara “he-he-he” jang aneh, jaitu suara orang jang bernapas dikala mengeluarkan tenaga besar untuk berbuat sesuatu.

Djik Hong sangat heran, sebenarnja ia sudah akan memanggil, tapi segera diurungkan. Ia tjoba mengintip kedalam kamar melalui tjelah2 djendela, dibawah sinar bulan jang remang2 ia melihat Ban Tjin-san sedang merebah diatas tempat tidurnja, kedua matanja terpedjam, tapi kedua tangannja tampak men-dorong2 sekuatnja keatas.

Sungguh heran Djik Hong tak terkatakan, pikirnja dengan menahan napas: “Pasti Kongkong sedang melatih sesuatu ilmu Lwekang jang hebat. Konon diwaktu orang melatih Lwekang, jang paling dipantang adalah gangguan jang mengagetkan, djika hal mana terdjadi, seringkali orang jang sedang berlatih itu akan ‘Tjau-hwe-djip-mo’ (sesat djalan dan kemasukan api) hingga membikin tjelaka diri sendiri. Sebaiknja aku menunggu dulu, biar beliau selesai latihan barulah akan kupanggilnja.”

Ia mengikuti terus tingkah-laku Ban Tjin-san itu. Ia melihat sesudah men-dorong2 keatas sebentar, kemudian Ban Tjin-san berbangkit dan turun dari tempat tidurnja serta melangkah beberapa tindak kedepan, lalu berdjongkok dan mendjulur tangannja keatas seperti sedang mentjekeram sesuatu.

Diam2 Djik Hong membatin: “Kiranja Kongkong sedang melatih Kim-na-djiu-hoat (ilmu memegang dan menangkap)!”

Tapi sesudah diperhatikan sebentar lagi. Ia melihat gerak-gerik Ban Tjin-san makin lama makin aneh, kedua tangannja ber-ulang2 mentjengkeram entah apa jang hendak dipegangnja, habis itu lantas ditumpuknja kebawah satu persatu dengan radjin dan teratur, djadi mirip tukang batu sedang memasang bata. Namun dilantai situ toh kosong melompong tiada terdapat sesuatu benda apapun, djadi gerak-geriknja itu hanja perbuatan kosong belaka.

Dan sesudah me-megang2 sebentar lagi keudara, kemudian tampak orang tua itu meng-ukur2 dengan kedua tangannja, mungkin merasa sudah tjukup besar, lalu kedua tangannja bergaja seperti mengangkat sesuatu benda besar dari tanah dan dimasukkan kedepan.

Djik Hong merasa bingung menjaksikan itu, dengan djelas dilihatnja kedua mata Ban Tjin-san itu masih tertutup rapat, gerak-geriknja itu sekarang sudah terang bukan lagi melatih sesuatu ilmu silat apa segala, tapi lebih mirip sigagu sedang main sandiwara. Tiba2 teringat oleh Djik Hong utjapan si Mirah dirumah berhala siang tadi bahwa: “Ditengah malam Loya suka bangun untuk pasang tembok!”

Tapi gerak-gerik Ban Tjin-san sekarang toh bukan lagi pasang tembok, kalau dikatakan ada sangkut-pautnja dengan tembok, maka lebih mirip kalau dia sedang membongkar tembok.

Lapat2 Djik Hong merasakan sematjam firasat jang menakutkan. Pikirnja pula: “Ah, tentu Kongkong telah kena penjakit Li-hun-tjing (sakit ngelindur). Kabarnja orang jang dihinggap penjakit tidur seperti itu, terkadang orangnja bisa bangun ditengah malam dan djalan2 atau bekerdja tanpa disadari oleh orang jang bersangkutan sendiri. Bahkan ada jang telandjang bulat ber-djalan2 diatas rumah, ada pula jang membakar rumah dan membunuh orang dan matjam2 perbuatan lain jang aneh2, tapi sesudah mendusin, sama sekali orang jang bersangkutan tidak tahu apa2.”

Begitulah Djik Hong melihat pula sesudah Ban Tjin-san bergaja memasukan sesuatu benda besar kedalam lubang dinding jang sebenarnja tiada wudjutnja itu, kemudian tampak orang tua itu men-dorong2 lagi beberapa kali dengan kuat keatas, habis itu ia mendjemput bata dilantai jang tiada wudjud itu lalu dipasangnja, sekali ini benar2 bergaja sedang pasang batu.

Semula Djik Hong agak merinding menjaksikan perbuatan aneh jang menjeramkan itu kemudian sesudah melihat gajanja jang sedang pasang tembok, maka ia tidak begitu takut lagi sebab sebelumnja sudah diketahui akan hal itu. Katanja didalam hati: “Menurut Tho Ang, katanja Kongkong sering bangun ditengah malam untuk pasang tembok, suatu tanda penjakit tidurnja ini sudah lama dideritanja. Dan pada umumnja orang jang mempunjai sesuatu penjakit aneh tidaklah suka kalau diketahui orang lain. Tho Ang sekamar dan setempat-tidur dengan Kongkong dan tahu pula akan penjakitnja ini, dengan sendirinja Kongkong merasa kurang senang.”

Karena pikirannja itu, rasa ragu2nja tadi mendjadi hilang. Jang terpikir olehnja sekarang hanja: “Dan entah berapa lamanja penjakit tidur Kongkong itu akan berlangsung. Kalau sampai lewat tengah malam hingga sikeparat Go Him merat dengan membawa obat penawar, wah tentu tjelaka.”

Sementara itu dilihatnja Ban Tjin-san sedang bergaja mengambil bata jang dibongkarnja tadi dan dipasang kembali kelubang dinding tanpa wudjut itu, kemudian lantas bergaja seperti tukang kapur jang sedang melabur dinding. Dan sesudah segala sesuatu itu selesai dilakukannja, lalu kelihatan orang tua itu ber-senjum2 dan naik pula keatas randjang untuk tidur pula.

Pikir Djik Hong: “Setelah sibuk sekian lamanja, mungkin pikiran Kongkong belum lagi tenang kembali, biarlah aku menunggu sebentar lagi untuk memenggilnja.”

Tapi pada saat itu djuga, tiba2 terdengar pintu kamar bapa mertua itu diketok orang beberapa kali, menjusul ada orang memanggil dengan suara tertahan: “Tia-tia, Tia-tia!” ~ Itulah suara sang suami, Ban Ka.

Djik Hong agak terkedjut, ia heran pula: “Mengapa Ban-long djuga kemari? Untuk apakah dia datang?”

Ia lihat Ban Tjin-san terus mendusin dan berbangkit, setelah tenangkan diri sedjenak, lalu orang tua itu bertanja: “apakah Ka-dji disitu?”

Sebagai seorang djago silat, rupanja Ban Tjin-san sangat tjepat terdjaga bangun asal mendengar sesuatu suara pelahan sadja. Malahan djika penjakit ngelindurnja sedang kumat, pada saat itulah malah susah kalau orang hendak menjadarkan dia.

Maka terdengar Ban Ka telah mengiakan diluar kamar. Dan Tjin-san lantas turun dari tempat tidurnja dengan enteng tanpa menerbitkan suara sedikitpun, biarpun usianja sudah landjut, tapi gerak-geriknja ternjata masih gesit sekali, segera ia membukakan pintu dan membiarkan Ban Ka masuk sambil bertanja: “Apakah kau sudah memperoleh keterangan tentang Kiam-boh?” ~ Njata jang selalu terpikir olehnja adalah kitab pusaka itu.

“Tia!” terdengar Ban Ka memanggil pelahan sekali sambil melangkah masuk dengan sempojongan, tjepat ia berpegangan pada sandaran kursi jang berada disitu.

Kuatir kalau bajangan sendiri jang tersorot tjahaja rembulan itu akan dilihat oleh mereka, tjepat Djik hong meringkuk kebawah djendela sambil mendengarkan dengan tjermat, ia tidak berani mengintip gerak-gerik kedua orang itu lagi.

Ia dengar Ban Ka merandek sedjenak sesudah memanggil ajahnja tadi, lalu katanja dengan suara ter-putus2: “Tia, men…… menantumu itu bukan …….bukan orang baik2.”

Djik Hong terkedjut pula, ia heran mengapa sang suami berkata begitu?

Maka terdengar Ban Tjin-san sedang tanja: “Ada apa lagi? Suami-isteri bertengkar?”

“Kiam-boh sudah diketemukan. Tia, menantumu itulah jang mengambilnja,” sahut Ban Ka.

“Ha, sudah diketemukan? Itulah bagus, bagus!” seru Tjin-san dengan girang. “Dimana kitabnja?”

Djik Hong djuga terkedjut dan heran tak terkatakan. Ia pikir: “Mengapa dapat diketahui olehnja? Ah, tentu sibotjah Khong-sim-djay itu jang telah berkata pada ajahnja.”

Tapi utjapan Ban Ka selandjutnja telah membantah sangkaannja itu. Ban Ka telah memberitahukan kepada ajahnja bahwa dia telah mengetahui gerak-gerik Djik Hong dan Khong-sim-djay jang mentjurigakan, maka ia sengadja pura2 tidur, tapi diam2 mengawasi tingkah-laku Djik Hong, ia melihat isterinja itu membawa baskon ketaman belakang dan diam2 ia telah menguntitnja, ia menjaksikan Djik Hong menjembunjikan Kiam-boh kedalam lubang dinding didalam kamar podjok taman sana…..

Sungguh Djik Hong gegetun setengah mati: “O, ajah jang bernasib malang, kitabmu itu kembali djatuh lagi ditangan Kongkong dan Ban-long, untuk merebutnja kembali terang akan maha sulit. Baiklah, aku mengaku salah, memang Ban-long lebih lihay daripadaku.”

Kemudian terdengar Ban Tjin-san sedang berkata: “Wah, bagus sekali djika begitu, lekaslah, lekas ambil kitab itu, dan kau boleh pura2 tidak tahu apa2 untuk melihat bagaimana kelakuan isterimu itu, djika dia tidak singgung2 lagi, maka kau djuga tidak perlu katakan padanja. Aku djusteru sangat tjuriga darimanakah datangnja kitab ini, djangan2…….djangan2……….” ~ begitulah ia tidak melandjutkan djangan2 apa?

Maka Ban Ka telah berkata: “Tia!” ~ suaranja kedengaran sangat menderita.

“Ada apa?” sahut Tjin-san.

“Sebabnja menantumu mentjuri Kiam-boh itu, kiranja …….kiranja adalah untuk …….” berkata sampai disini suaranja mendjadi gemetar dan se-akan2 tersumbat.

“Untuk siapa?” Tjin-san menegas.

“Kiranja adalah untuk……untuk siandjing keparat Go Him itu!” sahut Ban Ka achirnja.

Telinga Djik Hong serasa mendengung, hampir2 ia tidak pertjaja pada telinganja sendiri. Hanja dalam hati ia berkata: “Perbuatanku itu adalah demi ajahku, mengapa bilang untuk Go Him? Mengapa menuduh aku berbuat untuk Go Him?”

Begitulah Djik Hong merasa penasaran oleh tuduhan Ban Ka itu. Ia dengar Ban Tjin-san djuga sangat heran dan kedjut, orang tua itu telah tanja: “Untuk Go Him, katamu?”

“Ja,” sahut Ban Ka. “Sesudah kulihat dia menjembunjikan Kiam-boh ditaman belakang sana, dari djauh aku menguntitnja pula, siapa duga …….siapa duga setiba diserambi situ, ternjata ia telah main kasak-kusuk dengan keparat Go Him, perempuan …….perempuan djalang itu benar2 tidak tahu malu lagi!”

“Tapi selama ini aku melihat tingkah-lakunja toh sangat baik dan sopan, tidak mirip seorang jang kotor seperti itu, apa kau tidak salah lihat? Dan apa jang dibitjarakan oleh mereka?” demikian kata Ban Tjin-san dengan ragu2.

“Anak kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani terlalu mendekat, pula diserambi sana tiada tempat sembunji, terpaksa aku mengumpet diudjung tembok untuk mendengarkan,” tutur Ban Ka. “Tapi suara pertjakapan sepasang andjing laki-perempuan itu sangat lirih, aku tidak dapat mendengar seluruhnja, hanja sebagian sadja dapat kudengar dengan djelas.”

“O,” Tjin-san bersuara, katanja: “Sudahlah, Ka-dji sabarlah dulu. Seorang laki2 masakah kuatir tidak bisa mendapat isteri lagi? Sesudah Kiam-boh itu dapat kita temukan, pula bila rahasia didalam Kiam-boh sudah kita petjahkan, dalam sekedjap sadja kita akan mendjadi kaja-raja sekaligus kau ingin membeli seratus orang isteri dan seribu selir djuga sangat gampang. Nah, duduklah kau, bitjaralah dengan pelahan2.”

Lalu terdengar suara “krak-krek” papan randjang, Ban Ka telah duduk ditepi tempat tidur itu, kemudian berkata pula dengan napas ter-engah2. “Sesudah perempuan djalang itu selesai menjembunjikan kitab, rupanja ia sangat senang, bahkan ber-njanji2 ketjil segala. Ketika ketemu gendaknja, jaitu sikeparat Go Him, segera binatang she Go itu tjengar-tjengir dan berkata padanja: ‘Suso, tengah malam nanti djangan lupa, lho! Aku menanti engkau digudang kaju sana!” ~ utjapan ini dengan terang dapat kudengar dengan baik, sedikitpun tidak salah.”

“Dan, bagaimana lagi djawab perempuan djalang itu?” tanja Tjin-san.

“Dia…….dia mendamperat: ‘Kau tjari mampus, besar amat njalimu, apakah kau sudah bosan hidup!'” tutur Ban Ka.

Sungguh hantjur hati Djik hong mendengar tjertjaan pada dirinja itu, ia tidak tahu mengapa mereka mempitenah orang baik2? Padahal ia berbuat, demi kepentingan sang suami dan ingin merebut obat penawar untuk menejmbuhkan lukanja, tapi sang suami malah menistanja setjara begitu kedji, sungguh lelaki jang tidak punja Liangsim, demikian pikir Djik Hong.

Ia dengar Ban Ka sedang melandjutkan tjeritanja lagi: “Sesudah kudengar pertjakapan mereka itu, sungguh hatiku sangat panas, kalau bisa sungguh aku ingin menubruk madju dan bunuh kedua andjing laki dan perempuan itu. Tapi aku tidak membawa sendjata, apalagi dalam keadaan terluka, aku tidak dapat menempur mereka setjara terang2an, segera aku lari kembali kekamar agar sesudah perempuan djalang itu pulang kekamar takkan mentjurigai diriku. Dan apa jang dibitjarakan sepasang andjing laki dan perempuan itu selandjutnja aku tidak tahu lagi.”

“Hm, bapa andjing tidak nanti melahirkan puteri harimau, dasar sekeluarga she Djik mereka itu adalah manusia2 rendah semua,” demikian Tjin-san memaki. “Baiklah kita pergi mengambil dulu Kiam-boh itu, kemudian kita mendjaga diluar gudang kaju untuk menangkap basah perbuatan hina sepasang andjing laki-perempuan itu, lalu habiskan djiwa mereka.”

“Rupanja perempuan djalang itu sudah tidak seranti ditunggu oleh gendaknja, maka djauh sebelum tengah malam sudah keluar sedjak tadi,” kata Ban Ka. “Sementara ini mungkin…….mungkin sedang……” ~ saking geregetan barangkali hingga terdengar giginja berkrutukan.

“Djika begitu, sekarang djuga kitapun berangkat kesana,” udjar Tjin-san. “Bawalah sendjata, tapi kau djangan turun tangan, biar aku mengutungi kaki dan tangan mereka dulu, kemudian kau sendiri menghabiskan njawa sepasang andjing laki-perempuan itu.”

Lalu kelihatan pintu kamar dibuka, sambil memajang Ban Ka, Ban Tjin-san membawa puteranja itu menudju ketaman belakang.

Sembari bersandar ditembok, sungguh pedih sekali hati Djik Hong, air matanja bertjutjuran bagai hudjan. Maksudnja ingin luka sang suami bisa lekas sembuh, siapa tahu sang suami berbalik mentjurigai dirinja berbuat serong. Sedangkan ajahnja sedjak menghilang tidak pernah kembali lagi. Tik Hun telah merana entah kemana dengan menanggung penasaran tanpa berdosa, dan kini……kini sang suami bersikap demikian pula padanja, penghidupan seperti ini entah bagaimana nasib selandjutnja?

Begitulah ia merasakan kekosongan hati, sungguh ia tidak ingin hidup lagi, sama sekali tiada pikirannja buat memberi pendjelasan pada sang suami atau minta dikonfrontir dengan Go Him sebagai saaksi, seketika ia tjuma merasa badannja lemas dan bersandar didinding.

Selang tidak lama, tiba2 terdengar suara tindakan orang, Ban Tjin-san dan Ban Ka telah kembali diruangan duduk, mereka sedang berunding pula.

“Tia,” demikian Ban Ka lagi berkata, “kenapa kita tidak bunuh Go Him sadja digudang kaju tadi?”

“Didalam gudang hanja terdapat Go Him sendiri,” sahut Tjin-san dengan suara rendah, mungkin perempuan djalang itu telah tahu gelagat djelek, maka sudah merat sendiri lebih dulu. Djika kita takbisa menangkap basah perbuatan kotor mereka, mana boleh kita sembarangan membunuh orang mengingat kita adalah keluarga terkemuka dikota Hengtjiu sini? Kau harus tahu sesudah kita mendapatkan Kiam-boh, masih banjak pekerdjaan penting lain jang harus kita lakukan dikota ini, maka kita harus sabar, djangan terburu napsu hingga menggagalkan usaha besar kita!”

“Habis, apakah kita antepin sadja urusan ini?” tanja Ban Ka. “Dan tjara bagaimana dendam anak ini harus dilampiaskan?”

“Untuk melampiaskan dendam apa sih susahnja?” ujar Tjin-san. “Kita dapat gunakan tjara lama!”

“Tjara lama?” Ban Ka menegas.

“Ja, tjara lama! Tjara kita mengerdjakan Djik Tiang-hoat dulu!” kata Tjin-san. Ia merendek sedjenak, lalu sambungnja pula: “Sementara ini kau kembali kekamar dulu, sebentar aku akan mengumpulkan para anak murid dan kau boleh datang bersama mereka keluar kamarku. Hati2lah, djangan sampai menimbulkan tjuriga orang.”

Sebenarnja pikiran Djik Hong sedang kusut tak keruan, ia sudah putus asa, jang masih terasa berat olehnja adalah puterinja jang masih ketjil itu. Dan demi tiba2 mendengar Ban Tjin-san menjatakan hendak “menggunakan tjara lama dikala mereka mengerdjakan Djik Tiang-hoat dahulu” terhadap Go Him, seketika otaknya seperti dikompres dengan es, dengan segera pikirannja djernih kembali, sekilas timbul suatu pertanjaan dalam benaknja: “Dengan tjara apakah mereka telah mengerdjakan ajahku dahulu?”

Ia pikir hal ini diselidikinja hingga terang. Dan sebentar Kongkongnja akan mengumpulkan para anak muridnja, kemanakah ia harus bersembunji?

Sementara itu terdengar Ban Ka sedang mengiakan perintah ajahnja, lalu melangkah pergi. Kemudian Ban Tjin-san menudju keluar, ia berseru menjuruh pelajan menjalakan pelita dan mengundang para muridnja.

Tidak lama kemudian dari sana-sini terdengarlah suara berisik para muridnja jang sedang mendatangi untuk berkumpul. Djik Hong tahu bila tinggal lebih lama disitu, tentu akan ada orang lalu diluar djendela dan mempergoki djedjaknja. Sesudah ragu2 sedjenak, terus sadja ia menjelinap masuk kedalam kamarnja Ban Tjin-san. Ia singkap seperei jang menutupi kolong randjang, lalu menjusup kebawah. Dengan begitu, asal tiada orang menjingkap seperei jang mendjulur hampir ketanah itu, tentu tiada seorangpun jang dapat mempergoki djedjaknja.

Ia bertiarap melintang dikolong randjang, tidak lama kemudian tertampaklah ada sinar pelita merembes masuk melalui bawah seperai, ada orang masuk dengan membawa pelita. Ia melihat sepasang kaki jang bersepatu ikut melangkah masuk, itulah kakinja BanTjin-san. Sesudah kaki itu melangkah disamping kursi, lalu terdengar suara berkeriut perlahan, Ban Tjin-san telah duduk diatas kursi. Lalu terdengarlah ia memerintahkan pelajan keluar dan menutup pintu kamar.

Tidak lama, terdengar suara Loh Kun berseru diluar kamar. “Suhu, kami sudah datang semua, silakan Suhu memberi perintah.”

“Ehm, bagus! Nah, kau boleh masuk dulu,” sahut Ban Tjin-san.

Segera Djik Hong melihat pintu kamar didorong, sepasang kakinja Loh Kun tampak melangkah masuk, kemudian pintu kamar dikantjing lagi.

“Ada musuh telah mendatangi rumah kita, apakah kau tak tahu?” demikian Tjin-san mulai bertanja.

“Siapakah musuh itu? Tetju tidak tahu,” sahut Loh Kun.

“Orang itu menjaru sebagai seorang tabib kelilingan, bahkan sudah pernah datang kemari,” udjar Ban Tjin-san.

Diam2 Djik Hong terkedjut: “Masakah dia mengenali siapakah gerangan sitabib itu?”

Maka terdengar Loh Kun sedang mendjawab: “Tetju telah mendengar djuga hal itu dari Go-sute. Dan siapakah musuh itu sebenarnja?”

“Orang itu dalam keadaan menjamar, aku tidak melihat dengan sendiri, maka aku belum dapat meraba asal-usulnja,” kata Tjin-san. “Maka besok pagi2 hendaklah kau menjelidiki kesekitar utara kota, kemudian melapor padaku hasilnja. Sekarang kau keluar dulu, sebentar aku akan memberi tugas lain lagi.”

Loh Kun mengiakan, lalu keluar kamar.

Ber-turut2 Ban Tjin-san memanggil pula murid keempat Sun Kin dan murid kelima Bok Heng, apa jang dikatakan pada mereka pada garis besarnja serupa tadi. Hanja sadja Sun Kin ditugaskan kesekitar selatan kota dan Bok Heng menjelidiki timur kota. Dikala memberi pesan pada Bok Heng sengadja ditambahkannja: “Go Him akan menjelidiki barat kota, Pang Tan dan Sim Sia akan memberi bantuan dimana perlu. Sedangkan Ban-suko kalian masih sakit, ia takbisa ikut keluar.”

“Ja, Ban-suko memang perlu istirahat dulu,” demikian sahut Bok Heng, lalu membuka pintu dan keluar kamar.

Sudah tentu Djik Hong tahu apa jang dikatakan Ban Tjin-san itu sengadja hendak diperdengarkan kepada Go Him agar pemuda itu tidak menaruh tjuriga apa-apa.

Maka terdengarlah Ban Tjin-san sedang memanggil pula: “Go Him masuk!” ~ suaranja tetap tenang dan ramah, sama seperti memanggil Loh Kun dan lain-lain.

Djik Hong melihat pintu kamar terbuka lagi, kaki kanan Go Him melangkah masuk dulu, tampaknja agak ragu2 sedetik, tapi achirnja masuk djuga. Ia melangkah madju kedepan Ban Tjin-san dan menunggu perintah.

Dari tempat sembunjinja Djik Hong melihat djubah Go Him bagian bawah itu agak keder sedikit, suatu tanda dalam hati Go Him sangat ketakutan, maka tubuhnja agak gemetar.

Maka terdengar Ban Tjin-san sedang bertanja: “Kita kedatangan musuh, kau tahu tidak?”

“Tetju sudah mendengar uraian Suhu barusan diluar kamar, katanja adalah tabib kelilingan itu,” sahut Go Him. “Orang itu adalah Tetju jang mengundangnja kemari untuk mengobati Ban-suko, sungguh tidak njana bahwa dia adalah musuh kita, harap Suhu suka memberi maaf.”

“Orang itu menjamar, pantas djuga kalau kau tidak tahu,” udjar Tjin-san. “Nah, besok pagi kau pergi kesekitar barat kota untuk menjelidiki, djika ketemukan djedjaknja, harus kau mengawasi gerak-geriknja.”

“Ja, Suhu!” sahut Go Him.

Se-konjong2 Djik Hong melihat kedua kaki Ban Tjin-san bergerak, mendadak orangnja berdiri, tanpa merasa Djik Hong menjingkap sedikit seperai randjang untuk mengintai keluar. Tapi sekali mengintip, seketika ia kaget setengah mati, hampir2 sadja ia mendjerit.

Ternjata adegan didalam kamar itu membuatnja terbelalak kesima. Ia melihat kedua tangan Ban Tjin-san lagi mentjekik leher Go Him dengan keras dan Go Him baru sadja ulur tangan sendiri hendak melawan, namun sudah keburu tidak berdaja karena kena ditjekik. Ia melihat kedua mata Go Him itu mendelik, makin lama makin mentjotot keluar hingga mirip mata ikan emas. Telapak tangan Ban Tjin-san terluka kena tjakaran kuku Go Him, tapi ia mentjekik se-kuat2nja, betapapun ia tidak mau lepas tangan.

Lambat-laun kedua tangan Go Him mulai terbuka dengan lemas, ia tak mampu berkutik lagi.

Sampai achirnja Djik Hong melihat lidah Go Him djuga mendjulur keluar, makin lama makin pandjang, keadaannja sangat mengerikan, keruan hati Djik Hong ber-debar2 hebat.

Selang sebentar lagi, pelahan2 Ban Tjin-san mengendurkan tjekikannja, ia sandarkan Go Him diatas kursi. Rupanja ia sudah sediakan apa jang perlu, maka ia telah ambil dua tjarik kertas kapas jang sudah dibasahi dulu dengan air, lalu ditutup diatas mulut dan hidung Go Him. Dengan demikian pemuda itu takkan dapat bernapas, dan dengan sendirinja djuga takkan siuman untuk selamanja.

Diam2 Djik Hong memikir: “Kongkong pernah berkata bahwa keluarga mereka adalah kaum terkemuka dikota Hengtjiu sini, tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan ajahnja Go Him kabarnja adalah hartawan disekitar kota, tentu urusan ini takkan selesai sampai disini sadja, akibatnja tentu akan geger kelak.”

Dan pada saat itu djuga, tiba2 terdengar suara bentakan Ban Tjin-san: “Bagus sekali perbuatanmu, hajolah lekas kau mengaku terus terang, apakah perlu aku hadjar kau dahulu?”

Semula Djik Hong kaget sebab mengira djedjaknja telah diketahui orang tua itu, tapi mendadak terdengar, suaranja Go Him lagi mendjawab: “Suhu, engkau suruh aku meng…….mengaku apakah?”

Sungguh kedjut Djik Hong tak terkatakan, sudah djelas dilihatnja Go Him sudah menggeletak diatas kursi tanpa bernjawa lagi, masakah sekarang bisa bitjara pula? Apakah pemuda itu telah hidup kembali? Tapi toh djelas kelihatan bukan begitu halnja, Go Him masih tetap bersandar dikursi tanpa bergerak sedikitpun.

Waktu Djik Hong mengintip pula, ia melihat bibir Ban Tjin-san sendiri jang sedang bergerak, ia mendjadi heran. “Ha, djadi Kongkong jang lagi bitjara? Tapi sudah terang tadi itu adalah suaranja Go Him.”

Maka didengarnja pula Ban Tjin-san telah membentak lagi: “Mengaku apa? Hm, djangan kau berlaga pilon. Kau sekongkol dengan musuh dan bermaksud mengerdjakan sesuatu kedjahatan dikota Hengtjiu ini, apa kau masih berani mungkir?”

“Su…….Suhu, kedja……kedjahatan apakah?” demikian suaranja Go Him.

Dan sekali ini Djik Hong dapat melihat dengan djelas dan njata, memang betul Ban Tjin-san sedang bitjara sendiri dengan menirukan suaranja Go Him, pintar amat tjara menirukannja itu hingga serupa benar.

“Kiranja Kongkong masih mempunjai kepandaian simpanan dalam hal menirukan suara orang, mengapa selama ini aku tidak tahu. Apakah maksud tudjuannja dengan menirukan suara utjapan Go Him ini?” demikian tanda2 tanja jang timbul dalam hati Djik Hong. Dalam lubuk hatinja jang dalam sana lapat2 teringatlah sesuatu olehnja, tapi itu hanja sesuatu jang samar2 jang belum dapat dipeladjari dengan baik. Dalam hati ketjilnja timbul sematjam rasa kuatir jang susah dimengerti.

Dalam pada itu terdengar Ban Tjin-san sedang berkata pula dengan suara keras: “Hm, kau sangka aku tidak tahu, ja? Kau telah sekongkol dengan tabib kelilingan jang kau bawa kemari itu, orang itu adalah seorang pendjahat besar, kau sekongkol dengan dia hendak menggerajangi ………”

“Menggerajangi apa, Suhu? Tetju benar2 tidak tahu?” demikian ia tirukan suaranja Go Him.

Habis itu kembali dengan suara sendiri Tjin-san membentak: “Kau hendak menggerajangi kantor Leng-tihu untuk mentjuri sesuatu dokumen rahasia, betul tidak? Ha, masih kau berani mungkir?”

“Su……… Suhu, darimanakah engkau mendapat tahu? Suhu, sudilah meng…… mengingat hubungan baik kita selama ini, am…….ampunilah perbuatanku ini, lain…… kali Tetju tidak berani lagi.”

“Hm, urusan sebesar ini, masakah begini gampang mengampuni kau?”

Setelah diperhatikan, Djik Hong merasa suara Go Him jang ditirukan Ban Tjin-san itu sebenarnja tidak terlalu mirip, tjuma ia sengadja menahan suaranja hingga kedengarannja agak samar2, bahkan setiap kalimat selalu ditambahi panggilan “Suhu” dan ber-ulang2 menjebut “Tetju”, maka bagi pendengaran orang diluar kantor dengan sendirinja menjangka memang betul adalah Go Him jang sedang bitjara. Apalagi dengan njata semua orang menjaksikan Go Him masuk kedalam kamar serta mendengar pertjakapan mereka, walaupun suara selandjutnja agak sedikit berlainan, namun selain Go Him masakah didalam kamar itu masih ada orang lain lagi?”

Begitulah pelahan2 Ban Tjin-san lantas mengangkat majatnja Go Him, ia berdjongkok untuk menjingkap seperai jang menutup kolong randjang itu.

Keruan Djik Hong ketakutan setengah mati bila kepergok oleh bapa mertuanja.

Sambil menahan napas ia menantikan apa jang akan terdjadi. Dibawah sinar pelita jang remang2 ia melihat sebuah kepala orang menjusup dulu kekolong randjang, itulah kepalanja Go Him dengan matanja jang mendelik bagai mata ikan mas. Karena majat Go Him itu terus didjedjalkan kekolong randjang oleh Tjin-san, terpaksa Djik Hong menggeser sedapat mungkin, namun badannja toh saling dempel djuga dengan majat itu.

Dalam pada itu sandiwara Ban Tjin-san masih main terus, terdengar ia berkata: “Nah, Go Him, apakah kau tidak lekas berlutut? Segera akan kuringkus kau untuk diserahkan kepada Leng-tihu, apakah beliau akan mengampuni kau atau tidak, itulah aku tidak berani mendjamin.”

“Suhu, apakah engkau benar2 tidak dapat mengampuni Tetju?” demikian suara Go Him tiruan.

Maka Tjin-san mendjawab: “Hm, mempunjai murid seperti kau, pamorku sudah kau bikin ludas, masakah masih ingin aku mengampuni kau?”

Lalu Djik Hong melihat orang tua itu mengeluarkan sebilah belati dari badjunja, pelahan2 Tjin-san menikam kedada sendiri. Tapi didalam badju dibagian dada itu entah sudah digandjal dengan gabus atau benda lain jang empuk maka begitu belati ia ditusukan, segera menantjap tegak disitu.

Dan baru sadja Djik Hong tahu apa jang bakal terdjadi, benar djuga segera terdengar suara bentakan Ban Tjin-san: “Masih kau tidak mau berlutut?”

Menjusul ia menirukan suara Go Him: “Suhu, engkaulah jang terlalu mendesak padaku, kau tidak dapat menjalahkan aku lagi!”

Dan mendadak Ban Tjin-san berteriak: “Aduuuuh!” berbareng ia tendang daun djendela hingga terpentang sambil berteriak pula: “Bangsat ketjil, kau……kau berani menjerang gurumu?”

Segera terdengarlah suara gedubrakan, pintu kamar telah didobrak Loh Kun dan lain2 dari luar dan be-ramai2 mereka lantas menjerbu kedalam kamar. Mereka melihat sang guru lagi memegangi dada, dari tjelah2 djarinja merembes keluar air darah (besar kemungkinan adalah tinta merah jang sudah dipegangnja lebih dulu).

“La……..lari kesana! Bangsat ketjil itu sudah lari sesudah menikam aku satu kali!” demikian seru Ban Tjin-san dengan suara ter-putus2 dan agak sempojongan. Le……lekas kedjar, ke…..kedjar!” ~ dan habis itu, segera iapun djatuhkan dirinja diatas randjang.

Ban Ka pura2 kuatir, ia ber-teriak2: “Tia-tia! Tia-tia! Parah tidak lukamu?”

Dalam pada itu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Pang Tam dan Sim Sia berlima sudah lantas melompat keluar djendela dan menguber sambil mem-bentak2. Seisi rumah sama terkedjut djuga hingga geger.

Djik Hong jang sembunji dikolong randjang itu merasa majat Go Him lambat-laun mulai dingin. Ia sangat takut, tapi sedikitpun tidak berani bergerak. Ia tahu Kongkong masih merebah diatas randjang dan sang suami djuga berdiri didepan randjang situ.

Maka terdengarlah Ban Tjin-san sedang bertanja dengan suara rendah: “Ada orang menaruh tjuriga tidak, Ka-dji?”

“Tidak,” sahut Ban Ka. “Sungguh mirip benar permainan ajah. Sama seperti waktu membunuh Djik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara.”

“Sama seperti waktu membunuh Djik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara”, kata2 ini seperti sebilah belati tadjam jang menikam ulu hati Djik Hong.

Memangnja lapat2 sudah timbul firasat tidak enak dalam hatinja, tjuma sadja ia masih tidak pertjaja akan kemungkinan itu. Ia pikir: “Selamanja Kongkong toh sangat ramah-tamah padaku, suami djuga sangat baik dan mentjintai aku, masakah mungkin mereka membunuh ajahku?”

Dengan sembunji dikolong randjang, Djik Hong dapat mengikuti Ban Tjin-san membunuh muridnja sendiri, jaitu Go Him, dengan setjara litjik. Ternjata bapa mertua itu pandai pula menirukan suara orang lain. Seketikan Djik Hong teringat kepada kedjadian ajahnja dahulu, apa barangkali ajahnja djuga telah mendjadi korban kelitjikan Ban Tjin-san itu?

Tapi sekarang ia telah mendengar dan melihat sendiri, dengan rapi mereka telah atur perangkap untuk membunuh Go Him. Pantas tempo dulu iapun mendengar suara ajahnja jang sedang bertengkar dengan Ban Tjin-san didalam kamar, kemudian melihat Ban Tjin-san terluka oleh tikaman ajahnja serta melihat daun djendela terbuka, ajahnja tentu sudah kabur melalui situ. Dan sekarang sudah djelas duduknja perkara, semuanja itu adalah sandiwara belaka jang sengadja diatur oleh Ban Tjin-san. Pada waktu itu ajahnja tentu sudah dibunuh olehnja, lalu Ban Tjin-san menirukan suara ajahnja, pantas waktu itu suara ajahnja kedengaran agak serak berbeda daripada biasanja. Dan rupanja memang sudah takdir ilahi bahwa kedjahatan Ban Tjin-san itu harus tamat riwajatnja, setjara kebetulan sekarang ia sembunji dikolong randjang hingga dengan mata kepala sendiri menjaksikan adegan jang mengerikan itu. Tjoba kalau tidak melihat sendiri, siapa orangnja jang mau pertjaja?

Begitulah maka terdengar Ban Ka lagi bitjara: “Dan perempuan hina itu, bagaimana harus ditindak? Apakah kubiarkan begitu sadja?”

“Sabar dulu, pelahan2 kita dapat bereskan dia,” udjar Tjin-san. “Harus kita lakukan dengan tak diketahui orang dan tak dilihat setan supaja tidak merusak nama baik keluarga Ban dan mentjemarkan pamor kita berdua.”

“Ja, memang tjara berpikir ajah sangat rapi,” sahut Ban Ka. Dan tiba2 ia mendjerit: “Aduuuh……..”

“Ada apa?” tanja Tjin-san tjepat.

“Luka ditangan anak ini kembali kesakitan lagi,” kata Ban Ka.

“O!” Tjin-san bersuara. Dan dalam hal ini memang dia sama sekali tak berdaja.

Bitjara tentang luka Ban Ka itu, Djik Hong lantas ingat obat penawar jang berada pada Go Him itu. Pelahan2 ia ulur tangannja untuk menggerajangi badjunja Go Him, ia merasa botol porselin ketjil itu masih berada didalam sakunja, segera ia mengambilnja dan dimasukan dalam badju sendiri. Dengan rasa pilu ia memikir: “Ban-long, o, Ban-long, hanja separoh pembitjaraan keparat Go Him ini jang kau dengar dan kau sudah lantas mendakwa aku berbuat serong dan sebab itu djuga kau tidak dengar bahwa obat penawar berada pada keparat ini. Sesudah dia dibunuh oleh ajahmu, sebenarnja dengan tanpa susah2 kau dapat mengambil obat penawar ini, tapi toh kalian tidak tahu.

Sementara itu karena tidak menemukan bajangan Go Him, tidak lama kemudian Loh Kun dan lain2 telah pulang djuga satu-persatu serta datang pada Ban Tjin-san untuk tanja keadaan sang guru itu.

Waktu itu Ban Tjin-san sudah membuka badju hingga dadanja telandjang, tampak kain pembalut membelebat dari leher memutar kedada, melingkar kepunggung, lalu membalut kembali kedada dan naik lagi keleher.

Sekali ini lukanja tidak begitu parah seperti dahulu. Habis, ilmu silat Go Him tidak mungkin lebih lihay daripada paman gurunja ~ Djik Tiang Hoat. Walaupun tikamannja itu tjukup hebat, tapi tidak membahajakan. Demikian permainan sandiwara Ban Tjin-san.

Dan sudah tentu para muridnja sangat lega melihat sang guru tidak berbahaja lukanja, mereka sama mentjatji-maki pada Go Him jang dikatakan manusia durhaka dan murtad, semuanja menjatakan besok akan pergi mentjari orang-tuanja untuk diadjak bikin perhitungan, mereka mengharap sang guru merawat diri baik2, lalu mengundurkan diri. Hanja tinggal Ban Ka jang masih duduk ditepi randjang untuk mendjaga ajahnja.

Jang gelisah adalah Djik Hong, ia ingin mentjari suatu kesempatan untuk lari keluar, ia meringkuk disebelah majat Go Him, rasanja muak dan sebal, maka sedapat mungkin ingin lekas pergi, tapi kuatir pula kalau diketahui oleh Ban Tjin-san berdua, sama sekali ia tiada akal untuk meloloskan diri.

Dalam pada itu terdengar Ban Tjin-san lagi bitjara: “Kita harus bereskan dulu majatnja, djangan sampai rahasia kita diketahui orang.”

“Apakah akan dibereskan seperti tjaranja Djik Tiang-hoat?” tanja Ban Ka.

Tjin-san memikir sedjenak, lalu katanja: “Ja, lebih baik dengan tjara lama itu.”

Djik Hong meneteskan air mata pedih, katanja didalam hati. “Dengan tjara bagaimanakah mereka telah kerdjakan ajahku?”

“Apakah akan dipasang disini? Ajah tidur disini, apakah tidak merasa risi?” tanja Ban Ka.

Sementara boleh aku pindah kekamarmu,” sahut Tjin-san. “Jang kukuatirkan jalah mungkin masih akan timbul sesuatu jang sulit, masakah orang begitu baik hati menghantarkan kembali Kiam-boh ini kepada kita? Maka kita berdua harus bersatu-padu untuk melawan musuh. Kelak kalau kita sudah kaja-raja masak kuatir tidak punja gedung jang lebih mentereng daripada ini?”

Ketika mendengar majat Go Him akan “dipasang” disitu, seketika terkilas sesuatu dalam benak Djik Hong, segera iapun paham duduknja perkara: “Ja, dia …….dia telah pasang majat ajahku didalam tembok. Dengan litjin ia telah musnakan majat ajahku, pantas selama ini tiada kabar-berita tentang djedjak ajahku. Pantas pula Kongkong…… tidak, tidak, ia bukan Kongkong lagi, tapi djahanam Ban Tjin-san itu suka bangun ditengah malam untuk pasang tembok. Rupanja dia terlalu banjak berbuat kedjahatan, pikirannja terganggu, maka telah kena penjakit tidur, dalam tidurnja ia suka bangun untuk pasang tembok……”

Kemudian ia dengar Ban Ka sedang tanja: “Tia, sebenarnja apakah manfaat jang berada pada Kiam-boh itu? Engkau mengatakan kita akan mendapatkan harta karun hingga kaja-raja mendadak? Apa barangkali kitab ini bukan……bukan kitab ilmu silat segala, tapi adalah sesuatu rahasia mengenai suatu partai harta karun terpendam?”

“Ja, sudah tentu bukan kitab ilmu silat, tapi jang dikatakan didalam Kiam-boh itu adalah suatu tempat simpanan harta karun,” sahut Tjin-san. “Dahulu situa bangka Bwe Liam-sing hendak mewariskan kitab itu kepada orang luar, hehe, benar2 tua bangka, masakah murid sendiri djuga tak dipertjajai. Eh, Ka-dji, lekas, lekas kau ambil Kiam-boh itu.”

Setelah ragu2 sedjenak, kemudian Ban Ka mengeluarkan sedjilid buku dari badjunja. Kiranja sepeninggalnja Djik Hong dari kamar podjok taman itu, segera Ban Ka masuk kesitu dan mengeluarkan kitab itu dari lubang dinding.

Kitab itu habis direndam oleh Djik Hong, maka sampulnja belum lagi kering. Ban Tjin-san menerima kitab itu sambil melirik sekedjap pada puteranja itu, pikirnja: “Barusan mengapa kau ragu2? Kenapa tak mau keluarkan kitab itu setjara blak2an? Apa kau hendak membohongi aku untuk mengangkangi sendiri kitab ini?”

Tapi sekarang ia tiada tempo buat menjelami pikiran sang putera itu, segera ia mem-balik2 kitab itu satu halaman demi satu halaman.

Sesudah terendam sekian lamanja didalam air darah jang berbisa dibaskom itu, kedua halaman sampul berikut beberapa halaman muka dan belakang dari kitab itu sudah basah semua, tapi halaman2 bagian tengah masih tetap kering.

Maka dengan suara rendah Ban Tjin-san telah berkata: “Kitab ini apakah dapat kita pertahankan atau tidak sesungguhnja sulit dipastikan. Paling penting sekarang kita harus menjelidiki rahasia jang tertulis didalam kitab ini, dan bila kemudian kitab ini dirampas orang lagi, hal mana takkan mendjadi soal bagi kita. Nah, pergilah ambil sebatang potlot dan kertas, kita harus mentjatatnja dengan baik. Nah, kau djuga harus apalkan djurus pertama dari Soh-sim-kiam-hoat berasal dari sjair ‘Djun-kui’ (Musim semi tiba pula) tjiptaan To Hu (Tu Fu, penjair tersohor didjaman dinasti Tong) ……”

Sembari berkata ia terus gunakan djarinja untuk mengambil ludah, lalu digunakan membasahi halaman kitab jang tertulis sjair To Hu itu, tiba2 ia berseru pelahan kegirangan, katanja: “Ha, angka ’empat’! Empat…….empat…….bagus! Huruf keempat adalah ‘Kang’, nah, tjatatlah jang betul. Dan djurus kedua berasal dari sjair To Hu pula jang berdjudul ‘Tiong-kang-tjiau-leng’.” ~ Kembali ia membasahi djari dengan ludah dan lagi2 ia bersorak pelahan: “Ha, angka ’51’. Nah, satu, dua, tiga, empat, lima………” ~ begitulah ia menghitung terus satu huruf demi satu huruf hingga huruf ke-51, dan ternjata djatuh pada huruf ‘Leng’. “Ha, huruf ‘Leng’, djadi ‘Kang-leng’, bagus. ‘Kang-leng’, kiranja memang betul adalah di Hengtjiu sini.”

“Tiatia, hendaklah pelahan sedikit suaramu,” kata Ban Ka ketika melihat ajahnja mendjadi lupa daratan saking girangnja.

Maka Ban Tjin-san telah tersenjum, katanja: “Ja, benar, memang tidak boleh lupa daratan saking senangnja. Nah, Ka-dji, djerih-pajah ajahmu ini achirnja tidaklah sia2, rahasia besar ini achirnja dapat kita ketemukan djuga!”


Dan se-konjong2 ia menutup kembali halaman kitab itu, katanja dengan suara tertahan: “Tapi, Ka-dji, sebab apakah musuh sengadja menghantarkan Kiam-boh ini kepada kita, sekarang aku sudah tahulah!”

“Sebab apakah?” Hal mana sampai sekarang aku masih tidak paham,” udjar Ban Ka.

“Ja, sebab setelah mendapatkan Kiam-hoat ini, tetap musuh tak dapat memetjahkan rahasia didalam kitab, dan dengan sendirinja tiada berguna, bukan?” kata Ban Tjin-san dengan ber-seri2. “Padahal Soh-sim-kiam-hoat kita setiap djurusnja memakai nama jang berasal dari sjair djaman Tong, dengan sendirinja orang dari golongan lain takkan tahu hal ini. Didunia ini sekarang hanja aku dan Gian Tat-peng jang ingat dengan baik nama2 djurus ilmu pedang kita. Hanja aku dan dia jang tahu nama setiap djurus itu berasal dari sjair jang mana. Seperti djurus pertama harus mentjarinja pada sjair ‘Djin-kui’ dan djurus kedua harus mentjari pada sjair ‘Tiong-kang-tjiau-leng’ dan begitu seterusnja.”

“Tia, kenapa kau tidak pernah mengadjarkan padaku?” demikian Ban Ka bertanja.

BanTjin-san tampak agak kikuk oleh teguran itu, segera ia mendjawab: “Habis aku mempunjai delapan anak murid, setiap hari kalian berada bersama, kalau melulu aku adjarkan padamu, tentu djuga akan diketahui oleh mereka, dan itu berarti bikin urusan runjam.”

“O, kiranja musuh mempunjai tipu muslihat tertentu, ia ingin kita menemukan rahasia didalam kitab ini dan membiarkan kita pergi mentjari harta karun itu, kemudian ia akan menjergap kita, dengan demikian ia akan keduk keuntungannja tanpa susah pajah,” demikian kata Ban Ka.

“Ja, memang betul terkaanmu,” kata Tjin-san. “Maka setiap tindakan kita harus waspada, djangan sampai usaha kita sia2 belaka, djangan2 harta karun belum diperoleh, tapi djiwa kita sudah melajang dulu ditangan musuh.”

Kemudian itu menggunakan ludah pula untuk membasahi sjair ketiga, katanja: “Djurus ketiga dari Soh-sim-kiam-hoat kita berasal dari sjair ‘Song-ko-si’ tjiptaan Dju Bek, angka kuntjinja adalah ’33’ seperti apa jang sudah kelihatan ini, nah, satu, dua, tiga, empat…….Ha, huruf tiga-puluh-tiga djatuh pada huruf ‘Seng’ (kota). Eh, djadi lengkapnja adalah ‘Kang-leng-seng’ (kota Kang-leng atau Hengtjiu). Aha, ini dia, memang benarlah, tidak salah lagi, apa jang mesti disangsikan pula? He, kenapa tanganku ini terasa sangat gatal?”

Begitulah tiba2 ia merasa punggung tangan kirinja sangat gatal, segera ia kukur2 dengan tangan kanan. Tapi punggung tangan kanan ikut terasa gatal pula, tjepat ia garuk2 lagi dengan tangan kiri dan begitulah setjara ber-ulang2, ia kukur2 sini dan garuk sana.

Sesudah kukur2 dan garuk2, sebenarnja Ban Tjin-san tidak ambil perhatian, kembali ia membatja isi Kiam-boh pula dan berkata: “Dan djurus keempat ini……….he, gatal benar?” ~ dan kembali ia kukur2 tangan kiri. Tapi sekali ini ia tjoba periksa tangan itu, ia melihat punggung tangan disitu terdapat beberapa djalur bekas tinta hitam, keruan ia heran, ia merasa tidak pernah menulis, kenapa tangannja terpertjik noda tinta?

Sementara itu ia merasa tangannja semakin gatal, waktu ia periksa tangan kanan, disitu djuga terdapat beberapa djalur bekas tinta bak jang silang melintang tak keruan.

“Ha, ajah, dari……..darimanakah noda hitam diatas tanganmu itu?” demikian teriak Ban Ka tiba2. “Tampaknja tanda itu seperti terkena ratjun ketungging Gian Tat-peng itu?”

Ban Tjin-san tersadar oleh utjapan puteranja itu, ia merasa tangannja semangkin gatal, tanpa merasa ia garuk2 lagi kesana dan kesini.

“Wah, djang………djangan digaruk, ratjun itu berasal dari kukumu itu,” seru Ban Ka.

“Ai, memang benar!’ segera Ban Tjin-san djuga berteriak. Iapun sadar seketika, katanja: “Ja, karena Kiam-boh ini direndam didalam air darah berbisa oleh siperempuan djalang itu, dengan sendirinja kitab inipun mengandung ratjun djahat itu. Ai, ku……. kurangadjar sikeparat Go Him itu, mati sadja tidak rela hingga tanganku kena ditjakarnja sampai terluka, dan sekarang ratjun ketungging telah masuk melalui luka ini, rasaku mendjadi risi, tapi agaknja tidak apa2……..Aduuuh, kenapa makin lama semakin sakit. Auuuuuh, aduuuuh!” ~ begitulah saking tak tahan achirnja ia me-rintih2 kesakitan.

“Tia, agaknja ratjun ketungging jang masuk ditanganmu itu, tidak banjak, biarlah kuambilkan air untuk ditjutji,” udjar Ban Ka.

“Ja, benar!” sahut Ban Tjin-san. Dan mendadak ia berseru: “Tho Ang! Tho Ang! Ambilkan air!”

Ban Ka mengkerut kening, ia pikir: “Ajah barangkali sudah pikun? Sudah lama Tho Ang telah diusir olehnja sendiri, kenapa sekarang me-manggil2?”

Segera iapun mengambil sebuah baskom, dengan tjepat ia menudju ketepi sumur, ia menimba air satu baskom penuh, lalu dibawa masuk kekamar dan ditaruh diatas medja. Terus sadja Ban Tjin-san masukan kedua tangannja untuk direndam didalam baskom, dan memang benar kerendam air dingin, rasa sakit dan gatalnja mendjadi djauh berkurang.

Diluar dugaan bahwa ratjun ketungging jang mengenai Ban Ka itu telah berubah sifatnja, sesudah dibubuhi obat penawar satu kali, darah hitam jang merembes keluar dari lukanja itu telah berubah sifatnja mendjadi sematjam ratjun lain djauh lebih djahat daripada ratjun semula, apalagi tangan Ban Tjin-san itu bekas luka kena tjakaran Go Him, luka tjakaran itu tergurat tjukup dalam hingga ratjun jang meresap kesitupun djauh lebih tjepat dan lebih berat.

Maka hanja sebentar sadja ia merendam tangannja, segera air didalam baskom itu berubah mendjadi hitam, bahkan lambat-laun air hitam itu berubah mendjadi ketat hingga mirip tinta bak.

Keruan Ban Tjin-san saling pandang dengan Ban Ka, mereka sangat terkedjut. Sedjenak kemudian, waktu Ban Tjin-san mengangkat tangannja, mendadak ia mendjerit kaget. Ternjata kedua tangannja itu telah abuh se-akan2 mendjadi dua bola, sekalipun luka tangan Ban Ka jang disengat ketungging tempo hari djuga tidak sedjahat sekarang ini.

“Ai, tjelaka! Mungkin tidak boleh direndam didalam air!” seru Ban Ka.

Saking kesakitan Ban Tjin-san mendjadi mata gelap, “bluk”, kontan ia tendang pinggang Ban Ka sambil memaki: “Binatang, djika tahu tidak boleh direndam dengan air, kenapa tadi kau mengambilkan air? Bukankah kau sengadja hendak bikin tjelaka padaku?”

Karena tendangan itu, saking kesakitan sampai Ban Ka mendjengking meringis sambil pegang pinggangnja. Katanja dengan suara ter-putus2: “Ak……..akupun tidak tahu, mana mungkin sengadja hendak bikin tjelaka pada ajah?”

Dengan djelas Djik Hong jang sembunji dikolong randjang itu dapat mengikuti pertjektjokan ajah dan anak itu, tapi perasaannja waktu itu tak keruan rasanja, entah merasa sedih atau girang, karena mengingat akan dapat menuntut balas.

Dalam pada itu terdengar Ban Tjin-san lagi ber-djingkrak2 sambil ber-teriak2: “Wah bagaimana ini, bagaimana ini?”

“Dikamarku sana ada sedikit obat tahan sakit, meski takbisa memunahkan ratjun, tapi dapat menghilangkan rasa sakit sementara, apakah ajah mau memakainja?” kata Ban Ka.

“Ja, ja! Lekas, lekas ambil sana!” sahut Tjin-san.

“Tapi apakah mandjur atau tidak, anak tidak berani mendjamin, lho!” kata Ban Ka. “Djangan2 tidak mandjur, nanti ajah akan marah dan menendang aku lagi!”

“Maknja!” damperat Tjin-san dengan gemas. “Bapakmu sudah hampir sekarat dan kau masih merasa penasaran karena tendangan tadi? Kau diberi gegares hingga sebesar tjetjongormu itu, hanja tendangan sekali sadja apa salah? Bangsat, hajo lekas pergi ambil, lekas!”

Terpaksa Ban Ka mengiakan, lalu putar tubuh dan keluar.

Melihat diwaktu perginja sang putera masih mengundjuk sikap penasaran, diam2 Tjin-san merasa was-was. Ia lihat kedua tangan sendiri bukan main besarnja, mirip pelembungan jang ditiup hingga penuh, kulit sebagian tangan itu sampai menitis, kerut kisutnja sampai tak kelihatan lagi, kalau abuh lagi sedikit, bukan mustahil bisa segera petjah.

“Marilah kita pergi bersama!” serunja segera kepada sang putera. Dengan demikian ia pikir akan terhindar dari kemungkinan dipermainkan oleh puteranja sendiri. Maka lebih dulu ia masukan Soh-sim-kiam-boh kedalam badju, lalu menjusul kearah Ban Ka dengan langkah tjepat.

Mendengar kedua orang itu sudah pergi djauh, segera Djik Hong merangkak keluar dari kolong randjang, pikirnja: “Kemana aku harus pergi sekarang?” ~ sesaat itu ia mendjadi bingung, ia merasa dunia seluas itu baginja se-akan2 sebesar daun kelor dan tiada tempat berteduh baginja.

“Mereka telah membunuh ajahku, sakit hati ini masakah tak kubalas? Tapi dendam sedalam lautan ini tjara bagaimana harus membalasnja? Bitjara tentang ilmu silat, terang aku selisih sangat djauh dibandingkan Kongkong dan Ban-long, apalagi mereka pertjaja penuh bahwa aku telah bergendak dengan Go Him, bukan mustahil sekali bertemu dengan mereka pasti aku akan dibunuhnja, dan tjara bagaimana aku harus melawan mereka? Djalan satu2nja sekarang jalah……..jalah pergilah mentjari dulu Tik-suko, bila sudah ketemu, tentu akan dapat ditjari djalan jang sempurna untuk menuntut balas. Dan bagaimana dengan Khong-sim-djay? Ai, mana boleh kutinggalkan dara tjilik itu?”

Begitulah demi teringat kepada puterinja jang masih ketjil itu, ia mendjadi tidak tega tinggal minggat. Segera ia berlari keloteng dibelakang sana, ia bertekad akan membawa puterinja itu untuk melarikan diri dan kelak baru akan ditjari djalan membalas dendam. Dalam hati ketjilnja iapun tidak berani pertjaja seratus prosen bahwa ajah dan anak she Ban itu benar2 adalah orang jang membunuh ajahnja. Memang Ban Tjin-san dikenalnja sebagai seorang manusia kedji dan kotor. Tapi Ban Ka? Suaminja selama ini sangat mentjintainja, betapapun hubungan suami-isteri itu susah diachiri begitu sadja.

Ketika ia ber-lari2 sampai dibawah loteng, ia mendengar suara Ban Tjin-san jang serak sedang ber-teriak2 kalap. “Begitu berisik suaranja, tentu Khong-sim-djay akan terdjaga bangun dengan kaget,” demikian pikir Djik Hong.

Tjinta kasih ibu memang sutji murni. Demi ingat kemungkinan puterinja akan terdjaga bangun dan kaget, tanpa pikirkan bahaja atas diri sendiri, segera Djik Hong naik keatas loteng dengan pelahan2, dengan hati2 ia berusaha tidak mengeluarkan suara.

Kamar tidur Khong-sim-djay terpisah dibelakang kamar tidur suami-isteri mereka, jaitu dipisah dengan selapis papan. Sesudah Djik Hong menjelinap kedalam kamar itu, dari sinar pelita jang tembus dari kamar tidurnja sendiri, ia melihat puterinja itu sudah lama terdjaga bangun, dengan mata terbelalak dara tjilik itu kelihatan sangat ketakutan, dan begitu melihat ibundanja sudah datang, segera botjah itu mewek2 hendak menangis.

Tjepat Djik Hong memburu madju terus memeluknja kentjang2, ia memberi tanda agar botjah itu djangan bersuara.

Anak dara itu memang pintar dan menurut pula, benar djuga ia lantas diam sadja. Maka ibu dan anak berdua lantas berkelonan diatas randjang.

Dalam pada itu terdengar Ban Tjin-san sedang ber-teriak2: “Wah, tjelaka! Obat tahan sakit ini makin membikin sakit malah, bagaimana baiknja ini? Hajolah lekas tjari tabib kampungan itu, harus memakai obat penawarnja itu baru dapat sembuh!”

“Ja, benar, harus memakai obatnja itu barulah ratjun itu bisa dipunahkan,” Ban Ka ikut berseru. “Nanti kalau sudah terang tanah, segera suruh Loh-toako dan lain2 keluar serentak untuk mentjari tabib kampungan itu.”

“Masakah mesti menunggu sampai terang tanah?” semprot Tjin-san dengan gusar. “Kenapa tidak……..Aduuuh………Aduuh………Aduuuuh! Aku tak tahan, aku tak tahan!” ~ dan mendadak ia terus terguling dilantai saking kesakitan sampai ia berkelodjotan kian kemari seperti orang sekarat. Dan mendadak ia berteriak pula. “Lekas, lekas ambil pedang! Potong……potonglah kedua tanganku ini, lekas potong kedua tanganku!”

Menjusul lantas terdengar suara gedubrakan dan gemerantang, suara djatuhnja medja kursi dan petjah hantjurnja perkakas rumah tangga sebangsa mangkok-tjangkir. Dengan ketakutan Khong-sim-djay peluk ibundanja dengan kentjang, mukanja putjat. Tapi pelahan2 Djik Hong telah meng-elus2 dara tjilik itu agar djangan takut, namun iapun tidak berani bersuara.

Rupanja Ban Ka djuga sangat gugup dan kuatir, terdengar ia sedang berkata: “Tia, harap kau bisa tahan sebentar sadja, masakah tanganmu boleh dipotong? Lebih baik kita harus mentjari obat penawarnja.”

Mungkin Ban Tjin-san sudah tidak tahan lagi oleh siksaan luka jang berbisa itu, mendadak ia mendjadi murka, bentaknja dengan mendelik: “Kenapa kau tidak mau memotong kedua tanganku untuk membebaskan aku dari siksaan kesakitan? Ha, tahulah aku, tentu kau……kau ingin aku lekas2 mati agar kau bisa ……bisa kangkangi sendiri Kiam-boh ini, kau ingin mendapatkan harta karun itu sendirian…….”

Ban Ka mendjadi gusar djuga karena dituduh setjara tidak se-mena2, sahutnja: “Tia, saking kesakitan hingga pikiranmu agak linglung, lebih baik engkau tidurlah sebentar. Padahal bila engkau tidak memimpin dalam urusan ini, apa sih gunanja aku mendapat Kiam-boh itu?”

“Hm, pikiranku linglung? Tapi pikiranmu sendiri sudah tidak bermaksud baik,” sahut Tjin-san sambil tiada hentinja berkelodjotan kian kemari dilantai. “Aduuuh, mati aku, sakitnja!…….Matilah aku……..Ja, toh aku akan mati, biarlah kita bubar pasar sadja, kita semua takkan mendapatkan apa2!”

Mendadak matanja merah membara, segera ia mengeluarkan Kiam-boh itu dari badjunja, lalu satu halaman demi satu halaman dirobeknja.

Keruan Ban Ka terkedjut dan merasa sajang, tjepat ia berseru: “Hai, djangan, djangan disobek!” ~ Dan segera ia mentjegahnja, terus sadja ia pegang sebelah kitab itu,

Tapi Ban Tjin-san masih pegang erat2 bagian lain dari kitab itu dengan mati2an, betapapun ia tidak mau lepas.

Kiam-boh itu habis direndam didalam air berdarah, sebegitu djauh masih belum kering, sekarang kena ditarik lagi oleh kedua orang, seketika kitab itu terobek mendjadi dua bagian. Ban Tjin-san pegang separoh djilid dan Ban Ka djuga memegang setengah buku.

Selagi Ban Ka tertegun oleh kedjadian itu, kembali Ban Tjin-san mulai me-robek2 lagi halaman kitab itu.

Sudah tentu Ban Ka merasa berat kehilangan kitab itu, ia tidak rela harta karun jang diimpikan oleh setiap orang itu akan lenjap begitu sadja, segera ia merangsang madju untuk merebut lagi bagian kitab ditangan ajahnja itu. Maka terdjadilah betot-membetot, achirnja saling gumul, dan kitab itu mendjadi makin kumal dan hantjur ber-keping2.

Se-konjong2 Ban Ka mendjerit: “Aduuuh, sakitnja!”

Kiranja setelah terdjadi tarik dan betot dan achirnja saling gumul itu, tanpa sengadja luka ditangan Ban Ka itu kena pula ratjun jang meresap didalam kitab itu. Dan ratjun jang berada didalam kitab itu sungguh bukan main djahatnja, hanja sekedjap sadja kedua tangan Ban Ka kembali abuh lagi seperti pelembungan, rasa sakitnja jang menusuk ulu hati dan merasuk tulang itu benar2 susah ditahan. Apalagi dasar ilmu silatnja selisih djauh kalau dibandingkan ajahnja, sehabis sakit tentu tenaganja djuga masih lemah. Sebab itulah, begitu ratjun itu masuk kedalam lukanja dan meresap mengikuti aliran darah, maka kumatnja mendjadi tjepat luar biasa.

Djadi sekarang kedua orang ~ ajah dan anak ~ itu sama2 berkelodjotan diatas lantai sambil men-djerit2 ngeri.

Sesudah mendengarkan agak lama, achirnja Djik Hong merasa tidak tega, betapapun hubungan suami-isteri selama itu telah mendorongnja bertindak, ia tidak dapat berpeluk tangan menonton sadja. Segera ia berbangkit dari tempat tidur dan menudju kepintu kamar. Melihat Ban Tjin-san berdua masih ber-gulung2 dilantai, segera ia menegur dengan dingin: “Ada apakah kalian? Kenapa bergulingan ditanah?”

Melihat Djik Hong, tiada tempo buat marah lagi bagi Ban Tjin-san berdua. Segera Ban Ka memohon: “Hong-moay, tolong, tolonglah lekas pergi mentjari tabib kampungan itu, mohonlah dia suka lekas meratjikan obat penawarnja, aduuuh……..sungguh sakit sekali, aku tidak tahan lagi, mo…….mohon bantuanmu…….”

Melihat keringat memenuhi djidat sang suami dengan menahan sakit, hati Djik Hong semakin lemah lagi, tanpa pikir ia lantas mengeluarkan botol porselin ketjil itu, katanja: “Obat penawarnja berada disini!”

“Wah, bagus, bagus!” serentak Ban Tjin-san dan Ban Ka berteriak girang bagaikan orang tarik lotere 150 djuta. Segera mereka me-ronta2 untuk merangkak bangun.

Melihat sorot mata Ba Tjin-san jang menampilkan sifat buasnja binatang, Djik Hong pikir kalau kesempatan ini tidak digunakan untuk memaksa pengakuannja, mungkin kelak akan susah mejelidiki duduknja perkara sebenarnja. Maka ia lantas membentak: “Tahan dulu, djangan bergerak! Asal kalian ada jang melangkah madju satu tindak sadja, segera obat penawar ini akan kulemparkan kedalam empang dibawah sana, biar kita mati semuanja!” ~ Sembari berkata ia terus membuka daun djendela dan membuka sumbat botol pula, ia angsurkan botol porselin itu keluar djendela, asal dia lepas tangan, segera botol itu akan djatuh kedalam empang dan obatnja akan bujar terkena air serta takbisa ditjari lagi.

Ban Tjin-san berdua mendjadi mati kutu, benar djuga mereka tidak berani sembarangan bergerak, mereka terpaku ditempatnja sambil saling pandang.

“Eh, menantuku jang baik, asal kau memberikan obat penawar itu, aku berdjandji akan meluluskan kau ikut pergi bersama Go Him, sedikitpun aku takkan merintangi kalian. Selain itu aku akan menghadiahkan pula seribu tahil sebagai modal untuk kalian…….aduuh, sakit……dan ……dan Ka-dji djuga takdapat menahan kau bila engkau toh sudah ingin pergi, maka……maka kau boleh tak perlu kuatir.”

Djik Hong pikir orang ini benar2 litjin dan rendah tak kenal malu, sudah terang Go Him telah ditjekik mati olehnja sendiri, tapi masih digunakannja untuk menipu orang.

Sementara itu terdengar Ban Ka djuga berkata padanja: “Ja, Hong-moay, meski aku merasa berat, tapi djiwaku lebih penting, aku berdjandji takkan membikin susah pada Go Him.”

“Hm, hati kalian barangkali sudah beku, ja? Masakah masih mempunjai pikiran djidjik seperti itu?” djengek Djik Hong. “Aku hanja ingin tanja sesuatu pada kalian, asal kalian mengaku dengan sedjudjurnja, segera aku akan memberikan obat penawar ini.”

“Baik, baik! Lekas kau tanja, pasti akan kudjawab. Aduuuuh, aduuuuuh!………” demikian sahut Ba Tjin-san sambil merintih.

Pada saat itulah tiba2 angin meniup kentjang masuk dari djendela hingga sobekan kertas jang berserakan dikantor itu bertebaran dan ada jang kabur keluar. Tiba2 sepasang kupu2 kertas itupun terbang keatas, itulah pola kupu2 guntingan Djik Hong tempo dulu jang diselipkannja ditengah kitab itu. Karena angin meniup terus, maka sepasang kupu2 kertas itupun se-akan2 terbang kian kemari dengan hidup didalam kamar, Djik Hong mendjadi pedih dan duka, terbajang olehnja suasana gembira ria waktu dia bermain dengan Tik Hun didalam gua dimasa dahulu.

Dalam pada itu Ban Ka djuga telah mendesak: “Ja, apa jang kau ingin tahu, lekaslah tanja. Asal tahu tentu akan kukatakan terus terang.”

Dan karena itu barulah Djik Hong tersadar dari lamunannja, katanja kemudian: “Tentang ajahku. Dimanakah beliau? Apa jang telah kalian perbuat atas diri beliau?”

“Ajahmu, hehe, darimana aku tahu, bukankah dahulu ia telah melarikan diri?” udjar Ban Tjin-san dengan tertawa jang di-buat2. “Tentang saudara-seperguruanku itu, aduuuh……….aku djuga sangat terkenang padanja, auuh, tjk-tjk-tjk……..Ai, toh kita sekarang djuga sudah besanan, kan sangat baik toh?”

Begitulah sambil mendjawab Ban Tjin-san sembari ber-teriak2 kesakitan.

Tapi Djik Hong tidak bisa tertipu lagi, dengan muka masam ia menjemprot: “Huh, masih berani kau berkata demikian? Ajahku sudah dibunuh oleh kau, betul tidak? Tjara kau membunuh beliau adalah sama seperti kau membunuh Go Him, betul tidak? Dan kau telah masukan djenazahnja kedalam tembok, betul tidak?”

Ber-ulang2 tiga kali pertanjaan: “Betul tidak?” telah membuat Ban Tjin-san dan Ban Ka mendjadi gelagapan dan terperandjat, sama sekali tak mereka duga bahwa Djik Hong dapat mengetahui terbunuhnja ajahnja, bahkan terbunuhnja Go Him djuga tahu.

Maka dengan suara tak lantjar Ban Ka bertanja: “Da……..darimana kau tahu?”

Dengan pertanjaan itu, sama sadja Ban Ka telah mengakui segala kedjadian itu memang betul adanja.

Dalam pedih dan gusarnja segera Djik Hong bermaksud melepaskan botol porselin jang dipegangnja itu kedalam empang. Melihat gelagat djelek, segera Ban Ka bermaksud menubruk madju untuk merebut kalau Ban Tjin-san tidak keburu membentak untuk mentjegahnja. Dalam keadaan begitu, Tjin-san tahu akan lebih runjam lagi bila memakai kekerasan.

Dan pada saat itu djuga tiba2 sidara tjilik Khong-sim-djay berlari keluar dari kamarnja sambil berseru: “Ibu, ibu!”

Segera dara tjilik itu bermaksud memburu kepangkuan ibundanja.

Sekilas Ban Ka mendapatkan akal, tjepat ia sambar Khong-sim-djay sebelum dara tjilik berlari lewat disisinja, ia angkat botjah itu dan segera mentjabut belati mengantjam diatas kepala puterinja sendiri itu sambil membentak: “Baiklah, kalau mau mati, biarlah kita tua-muda seisi rumah ini mati bersama sadja, sekarang biarlah kubunuh Khong-sim-djay dulu!”

Keruan Djik Hong kaget, puterinja itu merupakan mestika djiwanja, tjepat ia berseru: “Djangan! Lekas lepaskan dia, apa sangkut-pautnja dengan botjah jang tak berdosa itu?”

“Ja, toh kita semua tak bakal hidup lagi, maka lebih dulu biar kubunuh Khong-sim-djay sadja,” udjar Ban Ka. Dan sekali tangannja terangkat, segera belatinja hendak menikam kedada si-botjah.

“Djangan! Djangan!” saking kuatirnja Djik Hong terus memburu madju hendak menolong.

Meski Ban Tjin-san dalam keadaan tersiksa oleh karena serangan ratjun dalam tubuh, tapi ia sudah kenjang asam-garam, demi melihat Djik Hong kena dipantjing oleh Ban Ka dan berlari madju, tanpa ajal lagi ia lantas menjikut hingga tepat pinggang Djik Hong kena ditutuk olehnja, menjusul ia terus rampas botol obat penawar ditangan menantu itu dan buru2 ia bubuhkan obat penawar itu dipunggung tangan sendiri.

Tjepat Ban Ka ikut memburu madju untuk minta dibubuhi obat pemunah ratjun itu. Sebaliknja Djik Hong masih sempat mentjapai puterinja serta merangkulnja dengan erat2 tanpa menghiraukan orang lain.

Segera Ban Tjin-san ajun kakinja, Djik Hong didepaknja hingga terguling, menjusul ia lepaskan ikat pinggang sendiri untuk meringkus menantunja itu dengan menelikung kedua tangannja kebelakang, kemudian kedua kakinja diikat pula kentjang-kentjang.

Sambil men-djerit2 memanggil ibu, Khong-sim-djay memburu kearah Djik Hong. Tapi sekali Ban Tjin-san ajun tangannja, tepat dara tjilik itu kena digampar hingga kelengar. Tapi gamparan itu memakai telapak tangannja jang abuh hingga Ban Tjin-san meringis kesakitan sendiri sambil merintih tertahan.

Obat penawar ratjun ketungging itu memang “tjes-pleng”, sesudah dibubuhi obat itu, hanja sebentar sadja dari luka kedua orang itu lantas merembes keluar air berdarah, rasa sakit mulai hilang dan berubah mendjadi rasa gatal, tak lama kemudian rasa gatal itupun berkurang dan achirnja lenjap.

Sungguh lega dan senang sekali Ban Tjin-san dan Ban Ka karena djiwa mereka telah dapat dirampas kembali dari tangan radja achirat. Dan sekali djiwa mereka sudah selamat, segera timbul lagi djiwa tamak mereka. Segera mereka teringat kepada kitab pusaka jang merupakan kuntji bagi suatu partai harta karun itu.

Untuk sedjenak mereka tjelingukan kian kemari, mereka melihat didalam kamar masih banjak bertebaran sobekan2 kertas, banjak pula jang sedang kabur keluar djendela tertiup angin.

“Wah, tjelaka!” demikian se-konjong2 kedua orang berteriak bersama. Segera mereka memburu madju hendak mentjegah kaburnja sobekan2 kertas itu.

Namun kertas ketjil2 itu sudah tak keruan tempatnja, sebagian sudah djatuh kedalam empang diluar djendela sana, ada pula jang sedang me-lajang2 di udara dan hampir masuk ke air.

“Wah, tjialat! Lekas buru, lekas!” teriak Ban Tjin-san.

Dan tanpa dikomando untuk kedua kali lagi, segera mereka berdua memburu kebawah loteng setjepat terbang, saat itu mereka sudah lupa pada kelakuan mereka jang me-rengek2 setjara mendjidjikan waktu sekarat tadi.

Begitulah Ban Tjin-san dan Ban Ka telah berlari ke taman, dengan napsu mereka ingin menangkap kembali potongan2 kertas jang bertebaran itu. Tetapi be-ratus2 potong kertas jang ketjil-ketjil itu sudah terpentjar tak keruan, ada jang ketjemplung ke dalam empang, ada jang djatuh keluar pagar tembok, ada jang me-lajang2 keudara terbawa angin. Maka biarpun mereka berdua tubruk sini dan sambar sana sambil berdjingkrakan seperti orang gila, hasilnja djuga tidak seberapa, apalagi kertas jang sudah di-robek2 itu masakah dapat memulihkan kitab aseli Soh-sim-kiam-boh itu?

Begitulah meski sakit ditangan Ban Tjin-san sudah hilang, tapi sakit di dalam hatinja mendjadi tambah hebat. Dalam dongkolnja jang tak terlampiaskan itu, segera ia mendamperat puteranja: “Semuanja gara2 kau bangsat ketjil ini. Kalau kau tidak main tarik dan betot padaku, masakah Kiam-boh itu bisa hantjur seperti sekarang?”.

Ban Ka menghela napas dan tidak mengubar lagi kertas2 jang sudah hantjur itu. Sahutnja: “Tia, kalau tadi anak tidak mentjegah, mungkin Kiam-boh itu sudah lebih hantjur daripada sekarang”.

“Ah, kentut!” semprot Ban Tjin-san, walaupun dalam hati ia harus mengakui kebenaran utjapan puteranja itu, tapi dimulut ia tidak mau kalah, masih ‘kentat-kentut’ terus.

“Tia,” kata Ban Ka kemudian, “baiknja kita sudah tahu bahwa tempat jang dimaksudkan itu adalah Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), mungkin dari sisa Kiam-boh jang masih ada itu dapat kita temukan sedikit petundjuk lain, dan mungkin kita masih dapat menemukan harta terpendam itu.”

Semangat Ban Tjin-san terbangkit seketika demi mendengar peringatan puteranja itu, serunja tjepat: “He, benar, memang tempat itu adalah ‘Kang-leng-seng-lam’……..

Dan pada saat itu juga, tiba2 diluar pagar tembok sana ada suara orang mengulangi kalimat itu dengan pelahan: “Kang-leng-seng-lam!”.

Keruan kejut Ban Tjin-san berdua bukan kepalang demi mendengar suara itu. Seketika mereka memburu keluar sana. Mereka melihat dua sosok bajangan jang sedang menghilang dibalik tikungan djalan sana, tjepat Ban Tjin-san membentak: “Bok Heng, Sim Sia, berhenti!”.

Tapi djangankan berhenti, bahkan menolehpun tidak kedua orang itu lantas kabur dengan tjepat.

Dan selagi Ban Tjin-san bermaksud mengedjar, tiba2 Ban Ka berkata: “Tia, di atas loteng masih ada sisa Kiam-boh itu, pula masih ada…………. masih ada perempuan djalang itu”.

Setelah memikir, Ban Tjin-san merasa benar djuga usul puteranja itu, ia mengangguk tanda setudju dan segera mereka kembali keatas loteng.

Disana tertampak sidara tjilik Khong-sim-djay sudah mendusin dan sedang menangis dalam pangkuan ibundanja. Djik Hong sendiri tak bisa berkutik karena anggota badannja terikat, namun ia tjoba menghibur dan membudjuk puterinja jang ketjil itu.

Ketika melihat kakek dan ajahnja telah kembali, Khong-sim-djay mendjadi lebih takut hingga tangisannja makin keras.

Bukannja menimang, sebaliknja datang2 Ban Tjin-san terus depak sekali dipantat dara tjilik sambil memaki: “Kau anak sial ini, berani menangis lagi segera kutabas batang lehermu!”

Khong-sim-djay semakin ketakutan hingga mukanja putjat sebagai kertas saking ketakutan hingga dia tidak berani menangis lagi.

“Tia”, kata Ban Ka dengan suara perlahan, “perempuan djalang ini telah mengetahui engkau adalah……………. adalah pembunuh ajahnja, pula dia telah menjaksikan kematian Go Him, untuk semuanja itu terang dia takkan bisa dibiarkan hidup terus. Lantas tjara bagaimana kita harus membereskan dia?”.

Tjin-san memikir sejenak, kemudian katanja: “Kedua orang diluar tadi sudah terang adalah Bok Heng dan Sim Sia, bukan?”

“Betul, memang mereka itu, pasti tidak salah lagi,” sahut Ban Ka. “Mungkin rahasia Kiam-boh itu sudah botjor, mereka telah mengetahui Kang-leng-seng-lam adalah tempatnja.”

“Ja, urusan tidak boleh di-tunda2 lagi, kita harus lekas2 mendahului turun tangan,” ujar Tjin-san. “Baiklah, tentang perempuan djalang ini, boleh kita bereskan seperti ajahnja saja.”

Sedjak Djik Hong diringkus, ia sendiripun insaf pasti tiada harapan buat hidup lagi, terutama karena dia telah membongkar rahasia kekedjaman mereka berdua. Kini mendengar ajah mertua itu mengatakan hendak membereskan dia seperti ajahnja, maka iapun tidak pikirkan mati hidup sendiri, jang dia beratkan adalah puterinja jang masih ketjil itu.

Segera ia berkata: “Ban……………. Ban-long, djelek-djelek kita telah bersuami-isteri sekian lamanja, tidaklah mendjadi soal djiwaku melajang, tapi sesudah aku mati, hendaklah kau mendjaga baik2 pada Khong-sim-djay!”.

Ban Ka hanja mendengus saja tanpa mendjawab.

Sebaliknja Ban Tjin-san berkata: “Membabat rumput harus sampai akar-akarnja, mana boleh kita tinggalkan bibit bentjana dikemudian hari? Botjah ini sangat pintar lagi tjerdik, apa jang terdjadi hari ini telah dilihatnja semua, siapa berani mendjamin bahwa kelak takkan dibotjorkan olehnja kepada orang luar?”.

Ban Ka mengangguk pelahan-lahan. Sebenarnja ia sangat sajang kepada puteri satu-satunja itu, betapapun dara tjilik itu adalah darah dagingnja sendiri. Tapi apa jang dikatakan ajahnja itu djuga ada benarnja, kalau meninggalkan bibit bentjana ini, bukan mustahil kelak akan menimbulkan akibat jang susah dibajangkan.

Air mata Djik Hong bertjutjuran melihat kekedjaman kedua orang itu, katanja dengan suara ter-putus2: “Ka…..kalian kedji sekali, masakah anak……..anak ketjil begini djuga tak dapat kalian ampuni?”.

“Sumbat saja mulutnja daripada dia tjerewet tak habis2, djangan2 nanti dia berteriak hingga bikin geger tetangga malah.” Kata Ban Tjin-san.

Mengingat djiwa puterinja djuga akan amblas ditangan kakek dan ajahnja jang kedjam itu, mendadak Djik Hong menggembor benar2: “Tolong! Tolong!”.

Ditengah malam sunji kelam, suara teriakan ‘tolong’ jang memetjah angkasa itu kedengarannja mendjadi lebih seram.

Tjepat Ban Ka menubruk madju, dan tekap mulut Djik Hong. Tapi Djik Hong masih terus berteriak: “Tolong! Tolong!”. ~ Tjuma mulutnja ditekap tangan sang suami, maka suaranja mendjadi serak dan tertahan.

Segera Ban Tjin-san menjobek sepotong kain badju dan diberikan kepada sang putera. Terus saja Ban Ka sumbat mulut Djik Hong hingga tak bisa bersuara lagi.

“Pendam dia sekuburan dengan keparat Djik Tiang-hoat itu, sungguh bagus sekali mereka ajah dan anak bersatu liang kubur”, kata Tjin-san.

Ban Ka mengangguk, segera ia kempit Khong-sim-djay, lalu mereka menggotong Djik Hong ke kamar batja dibawah loteng.

Kamar batja itu teratur bersih, dindingnja djuga terkapur putih. Diam-diam Djik Hong membatin: “Apakah ajahku telah ditjepit oleh mereka ditengah dinding jang putih ini?”.

Dalam pada itu terdengar Ban Tjin-san sedang berkata pula: “Biarlah aku jang membongkar dinding ini, kau boleh pergi menjeret kemari majatnja Go Him itu! Hati2lah, djangan sampai diketahui oleh orang!”.

Ban Ka mengijakan dan segera berlari ke kamar tidurnja Ban Tjin-san.

Lalu Tjin-san membuka almari meja tulis, ia mengeluarkan alat2 pertukangan, ada pahat, ada palu, ada lingis dan matjam2 lainnja, komplit. Ia pandang dinding jang putih itu, kedua tangannja ber-gosok2, ia berpaling memandang sekedjap kepada Djik Hong dengan air muka jang sangat senang.

Melihat sorot mata orang jang buas sebagai binatang itu, tanpa merasa Djik Hong mengkirik sendiri.

Sementara itu Ban Tjin-san telah memegang palu dan pahat, ia periksa dulu duduk tembok jang benar, lalu ia memahat diantara sela2 bata. Sesudah sela2 bata longgar, segera ia gojang2kan dengan tangan dan dikorek keluar sepotong bata itu, tjaranja ternjata sudah sangat apal seperti bekas tukang batu sadja.

Sesudah sepotong bata itu dilolos keluar, tertampak Ban Tjin-san meng-endus2 bata itu. Mungkin ia ingin tahu apakah di dalam dinding itu masih berbau majatnja Djik Tiang-hoat atau tidak.

Melihat ketrampilan Ban Tjin-san dalam hal membongkar bata itu, Djik Hong lantas ingat waktu penjakit tidur orang itu angot tadi, waktu itu bapa mertua itupun bergaja mengorek tembok, memasukkan majat, memasang bata dan sebagainja. Memangnja Djik Hong sudah mengkirik, demi melihat Ban Tjin-san meng-endus2 pula bau majat ajahnja jang ditjepit di dalam dinding itu, maka Djik Hong mendjadi takut, gusar dan berduka pula.

“Kau bangsat keparat jang terkutuk ini!”, demikian ia memaki. Tapi karena mulutnja tersumbat, maka jang terdengar hanja suara ‘ah-uh’ jang tak djelas.

Dan selagi Ban Tjin-san hendak membongkar bata kedua, tiba-tiba terdengar suara orang berlari diluar, segera tertampak Ban Ka berlari masuk dengan langkah sempojongan dan badan gemetar, katanja dengan suara ter-putus2: “Tia, tje…………. tjelaka ! Go…….. Go Him…………….. Go Him……………..”.

“Go Him kenapa?”, tanja Ban Tjin-san sambil berpaling.

“Hi…..hilang! Go…… Go Him menghilang”, kata Ban Ka dengan ter-gagap2.

“Kentut! Masakah orang mati bisa menghilang?”, damperat Ban Tjin-san. Tapi dari suaranja jang rada gemetar itu, terang iapun kaget dan kuatir. Bahkan ‘plok’, bata jang terpegang ditangannja itu tanpa merasa djatuh kelantai.

“Aku………aku telah mengangsurkan tangan ke kolong ranjang ajah hen…..hendak menjeret majat itu”, demikian tutur Ban Ka dengan tak lantjar, “Tetapi….. tetapi tanganku tidak menjentuh apa-apa. Tjepat kunjalakan pelita dan tjoba menerangi kolong ranjang, namun…………..namun majat itu sudah menghilang tanpa bekas. Aku mentjari diseluruh pelosok didalam kamar ajah, tapi tiada……..tiada menemukan apa2”.

“Aa…………..aneh, sungguh aneh!” kata Tjin-san sambil merenung, “Apa barangkali Bok Heng dan Sim Sia jang main gila!”.

“Tia, djangan2…………….djangan2 jahanam Go Him itu belum…..belum putus napasnja, sesudah pingsan sebentar, lalu……..lalu hidup kembali!” ujar Ban Ka.

“Kentur! Mana bisa djadi!” seru Tjin San dengan gusar. “Ajahmu ini berdjuluk ‘Ngo-in-djiu’, dalam hal ilmu menggunakan tangan betapa lihaynja, masakah mentjekik seorang saja takbisa membuatnja mampus?.”

“Ja, seharusnja tidak bisa djadi”, sahut Ban Ka. “Akan tetapi, sehabis Go Him itu ditjekik mampus oleh ajah, entah mengapa………..entah mengapa majatnja sekarang bisa menghilang? Djangan2………..djangan2…….”

“Djangan2 apa?”, tanja Tjin-san.

“Djangan2 di dunia ini benar2 ada……………..ada majat hidup?”

“Hus! Ngatjo-belo belaka!”, bentak Tjin-san. “Sudahlah, lekas kita bereskan perempuan jalang dan anak setan ini dan nanti boleh kita mentjari majatnja Go Him lagi. Mungkin urusan ini sudah ketelanjur diketahui orang luar, kitapun susah menetap lagi dikota Heng-tjiu ini.”

Ban Ka mengiakan, segera ia berdjongkok dan membantu membongkar tembok kamar. Batu bata sepotong demi sepotong dikorek keluar hingga dalam sekedjap saja tertampaklah suatu lubang besar.

“Tia, ti……………tidak beres ini!” tiba2 Ban Ka berseru dengan suara gemetar.

“Apanja jang tidak beres?”, tanja Tjin-san

“Di……………..dimanakah majatnja Djik Tiang-hoat?”, sahut Ban Ka. “Umpama majatnja sudah…….sudah busuk dan lapuk, paling tidak…………….paling tidak pakaiannja dan…………..dan tulangnja toh mesti ada disini?”.

Benar juga, pikir Tjin-san. Segera ia angkat pelita minjak untuk menerangi liang dinding itu. Tapi mendadak terdengar suara njaring, hantjurnja pelita minjak djatuh ke lantai, seketika keadaan menjadi gelap gulita. Hanja sinar bulan jang remang-remang menjorot masuk ke kamar melalui djendela itu hingga menambah seramnja susasana di dalam kamar.

Kiranja Ban Tjin-san sendiripun kaget demi melihat di dalam liang dinding itu tidak diketemukan majatnja Djik Tiang Hoat. Dinding itu adalah dinding dua lapis, padahal majat itu dia sendiri jang masukkan dahulu, masakah sekarang bisa menghilang?.

Selang agak lama, barulah Ban Tjin-san pulih dari kagetnja, katanja dengan rada gemetar: “Sungguh aneh, mengapa bisa hilang? Sudah terang aku sendiri jang memasukkan majat itu kedalam dinding, masakah majatnja bisa terbang sendiri?”

“Tia, djangan2……djangan2 dinding lapisan jang sebelah sana ada djalan tembusan lagi?” ujar Ban Ka.

“Tidak, tidak ada!” kata Tjin-san. “Dinding ini adalah buntu semua, mana mungkin ada djalan tembusan? Tjoba…tjoba kau ulurkan tanganmu untuk meraba, apa benar disitu tiada sisa2 majat?”.

Ban Ka mengiakan walaupun didalam hati sebenarnja sangat ketakutan. Dengan sendirinja ia tidak berani meraba dengan tangannja, selang agak lama barulah ia berkata: “Ti…………….tidak ada apa2!”. ~ padahal tangannja tidak pernah dimasukkan kedalam liang dinding itu.

Ban Tjin-san juga dapat menduga puteranja tidak berani meraba liang dinding itu, katanja kemudian: “Tjoba njalakan pelita lagi, kita harus periksa pula hingga tahu duduknja perkara”.

Ban Ka mengiakan pula, lalu tangannja me-raba2 dilantai dan diketemukan pelita tadi, tapi pelita minjak itu sudah hantjur, djuga ketikan api hanja diketemukan batunja, sedang ketikannja entah djatuh dimana.

Begitulah kedua orang itu sibuk mentjari kian kemari dan tetap tidak menemukan apa2. Akhirnja Ban Tjin-san mendjadi aseran, katanja: “Sudahlah, tak perlu menggubris lagi tentang majat itu. Boleh kau turun tangan membunuh perempuan djalang itu dan pendam dia kedalam liang situ”.

Ban Ka mengiakan lagi. Segera ia mendekati Djik Hong dengan menghunus golok, katanja dengan suara gemetar: “Hong-moay, harap jangan kau sesalkan aku, tapi engkau sendirilah jang berdosa padaku!”.

Djik Hong tak bisa bersuara, tapi dalam hati ia sangat murka. Kalau dirinja sendiri hendak dibunuh adalah dapat dimengerti, tapi puterinja jang masih ketjil dan tak berdosa itu juga hendak dibunuh mereka, sungguh kedua manusia she Ban itu lebih mirip dengan binatang buas. Mendadak ia mendjadi nekat, sekuatnja ia menubruk maju hingga bahu Ban Ka kena disruduk.

Ban Ka tergentak mundur dua tindak. Ia mendjadi gusar, segera golok diangkatnja sambil memaki: “Perempuan djalang, adjalmu sudah tiba, masih kau berani main galak?”

Dan selagi goloknja hendak diajunkan, tiba2 didengarnja suara ‘krek-krek’, suara pintu dibuka.

Keruan Ban Ka terperandjat, tjepat ia menoleh. Dibawah sinar bulan jang remang2 dilihatnja pintu kamar batja itu sudah terpentang, tapi tiada tampak bajangan seorangpun.

“Siapa?”, segera Tjin-san juga membentak.

Tapi tiada suara sahutan seorangpun. Sebaliknja pintu berbunji ‘krek-krek’ pula.

Didalam keadaan jang remang2 itu, tertampak suatu bajangan orang menggeser pelahan2 kedepan kamar. Bajangan orang itu kaku tegak sambil me-lompat2, anehnja lututnja tidak tertekuk dikala melompat, jadi baik diwaktu menggeser maupun diwaktu melompat, bajangan itu tetap tegak.

Keruan kaget Ban Tjin-san dan Ban Ka tak terhingga, ber-ulang2 mereka mundur2 dengan ketakutan.

Dalam pada itu bajangan orang itu makin mendekat hingga kini mukanja tersorot oleh tjahaja bulan jang remang2.

“Haaaaaaa”, berbareng Tjin-san dan Ban Ka berteriak kaget.

Ternjata kedua mata orang itu mendelik, lidahnja menjulur panjang keluar, lubang hidungnja, mulutnja dan telinganja mengutjurkan darah. Siapa lagi dia kalau bukan Go Him jang telah mati ditjekik oleh Ban Tjin-san itu?

Melihat keadaan jang menjeramkan itu, Djik Hong juga merinding dan hampir2 mati kaku ketakutan.

Sesudah menggeser masuk ke dalam kamar, Go Him lantas berdiri tak bergerak lagi, kedua tangannja pelahan2 terangkat lurus kearah Ban Tjin-san.

Ban Tjin-san menjadi nekat, ia kerahkan antero keberaniannja dan membentak: “Setan Go Him, masakah Lotju takut kepada majat hidup seperti kau?” ~ berbareng ia terus lolos golok dan membatjok.

Tapi baru setengah jalan serangannja dilantjarkan, se-konjong2 pergelangan tangannja terasa kesemutan, tjekalannja menjadi kendur, golok djatuh kelantai dan menerbitkan suara gemerantang. Menjusul mana pinggangnja djuga terasa kaku pegal, lalu tubuhnja tak bisa berkutik lagi.

Sebagai seorang kawakan Kang-ouw jang sudah banjak berpengalaman, segera Ban Tjin-san sadar bahwa dibelakang majatnja Go Him itu ada seorang kosen lagi jang sangat hebat ilmunja. Ia tidak tahu siapakah gerangannja, tapi ia menduga besar kemungkinan adalah musuh jang meninggalkan tanda kupu2 kertas hitam itu.

Sebaliknja Ban Ka ternjata tidak paham duduknja perkara. Ketika dilihatnja lengan Go Him kemudian berganti arah dan menjulur kepadanja, ia mendjadi ketakutan setengah mati, sungguh ia ingin menjerit: “Go-sute, ampunilah aku!” ~ tetapi suara djeritan itu se-akan2 tersumbat ditengah tenggorokan hingga susah dikeluarkan.

Ber-ulang2 ia mundur lagi ke belakang, tapi mendadak kakinja terasa lemas, ia terbanting roboh terlentang. Ia melihat Go Him jang tegak kaku itu sudah berada didepannja, lengan kanan pelahan2 mendjulur kebawah dan mulai meraba pipinja, tangan itu terasa dingin sebagai es.

Keruan semangat Ban Ka se-akan2 terbang ke-awang2 saking takutnja, hampir2 sadja ia djatuh kelengar.

Se-konjong2 tubuh Go Him itupun ikut ambruk kedepan hingga menindih diatas badan Ban Ka untuk kemudian tidak bergerak lagi. Tapi dibelakang Go Him itu lantas bertambah seseorang.

Orang itu mendekati Djik Hong dan mengeluarkan kain sumbat mulutnja. Ketika ia pegang tali pengikat kaki dan tangan Djik Hong, sedikit ia remas, tali pengikat itu segera putus. Waktu ia putar tubuh lagi, tiba2 ia depak dua kali dipinggang Ban Ka hingga Hiat-to pemuda itu tertutuk.

Sesudah dapat bergerak, jang lebih dulu diperhatikan adalah puterinja, segera Djik Hong pondong Khong-sim-djay, lalu tanja dengan suara gemetar: “Siapakah…….siapakah In-kong (tuan penolong) jang telah menolong djiwa kami ini?”

Namun orang itu tidak mendjawab, dibawah sinar bulan jang remang2 tertampak kedua tangannja membawa sebuah pola kupu2 hitam, itulah kupu2 kertas jang terselip didalam kitab “Tong-si-soan-tjip” dan telah didjemput olehnja karena tadi telah ikut ‘terbang’ ketepi empang ketika kitab itu dibuat rebutan antara Ban Tjin-san dan Ban Ka.

Sekilas pandang tiba2 Djik Hong melihat kelima jari kanan orang itu puntul terpotong, hatinja tergetar, tanpa merasa ia berteriak: “Tik-suko!”

Ja, memang tidak salah, orang itu memang Tik Hun adanja!.

Ketika mendadak mendengar seruan: “Tik-suko” itu, seketika dada Tik Hun berombak dan air mata ber-linang2, segera ia balas menjapa: “Sumoay, sjukur kita dapat…………. dapat berdjumpa pula, kita harus berterima kasih kepada Thian jang maha murah!”.

Saat itu diri Djik Hong boleh diibaratkan sebuah sampan jang terombang-ambing ditengah samudera raja dan dibawah damparan gelombang ombak dan angin badai, tapi akhirnja dapatlah sampan itu meluncur masuk disebuah bandar dimana angin tenang dan ombak berdiam.

Terus saja Djik Hong menubruk kedalam pelukan Tik Hun sambil berseru: “O, Tik-suko, apakah…..apakah ini bukan dialam mimpi?”

“Bukan, bukan mimpi, tapi adalah kenjataan”, sahut Tik Hun. “Selama dua hari ini, senantiasa aku berada disini untuk mengintai dan mengawasi. Segala tindak-tanduk kedjahatan ajah-anak she Ban itu sudah kulihat semua. Tentang majatnja Go Him, ha, memang sengaja kugunakan untuk me-nakut2i mereka”.

“Ajah, ajah!” tiba2 Djik Hong berseru sambil ber-lari2 keliang dinding sana. Ia taruh Khong-sim-djay, lalu mengulur tangannja ke dalam liang itu untuk meraba, tapi tiada sesuatu jang didapatkannja.

Sedari tadi Tik Hun juga menguatirkan keselamatan gurunja itu, maka cepat iapun menjalakan api untuk menerangi liang dinding itu. Tapi tertampak didalam lapisan dinding rahasia itu keadaan kosong melompong tiada terdapat sesuatu, jang ada tjuma sedikit pasir dan potongan bata belaka, mana ada djenazahnja Djik Tiang-hoat?

Djik Hong masih tidak percaja, segera ia memeriksa lebih teliti lagi, tapi memang benar kosong liang di dalam lapisan dinding rahasia itu. Djangankan djenazah, sedangkan badju atau tulang belulang djuga tidak diketemukan andaikan djenazah sang ajah sudah membusuk.

Ia terkedjut, tapi bergirang pula, timbul sedikit harapannja: “Boleh djadi ajahku tidak terbunuh oleh mereka”. ~ Maka ia lantas tegur suaminja: “Ban-long, sebenarnja…… sebenarnja bagaimana dengan ajahku?”.

Ban Tjin-san dan Ban Ka tidak tahu bahwa Djik Hong tidak menemukan majat ajahnja, mereka mengira sesudah memeriksa lebih teliti di dalam liang dinding itu, akhirnja terdapat bekas djenazahnja Djik Tiang-hoat itu dan Djik Hong kini bermaksud membalas dendam pada mereka.

Maka dengan bersitegang, Ban Tjin-san mendjawab: “Seorang laki2 sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, Djik Tiang-hoat memang aku jang membunuhnja, djika mau menuntut balas boleh kau tudjukan kepadaku saja”.

“Djadi, ajahku telah kau bunuh? Dan di…….dimanakah djenazahnja?” Djik Hong menegas.

“Apa? Djenazah di dalam……di dalam liang dinding itu bukan ajahmu?”, kata Tjin-san.

“Masakah disini ada orang mati?” Djik Hong menegas.

Seketika Ban Tjin-san saling pandang dengan Ban Ka, muka mereka pucat, betapapun mereka tidak percaja, masakah di dunia ini ada majat hidup sungguh?

Segera Tik Hun menjeret Ban Tjin-san dan mendjedjalkan kepalanja kedalam liang dinding itu untuk melongok keadaan di dalam situ. Dan sudah tentu tiada sesuatu jang dapat dilihatnja.

“Masakah mungkin? Sudah……sudah terang…..”, baru sekian Tjin-san berkata, tiba2 ia berganti nada, katanja: “Ai, anak menantu jang baik, semuanja ini aku hanja…….. hanja membohongi kau saja. Biarpun kami kakak-beradik seperguruan tidak akur satu sama lain djuga tidak mungkin aku turun tangan sekedji ini untuk membunuhnja, masakah kau pertjaja saja? Haha, hahaha!”.

Biasanja Ban Tjin-san sebenarnja sangat pintar berdusta dan jarang orang tjuriga kepada apa jang dia katakan, tapi kini dalam keadaan gugup dan bingung, tjara bicaranja mendjadi agak kaku dan gelagapan, mau tidak mau menimbulkan tjuriga orang lain. Kalau dia bungkam sadja mungkin Djik Hong dan Tik Hun akan ragu2 dan mempunjai harapan kalau2 Djik Tiang-hoat memang betul masih hidup, tapi dengan utjapan Ban Tjin-san jang di-buat2 itu, Djik Hong dan Tik Hun mendjadi lebih jakin bahwa Djik Tiang-hoat sudah dibunuh oleh orang she Ban itu.

Begitulah segera Tik Hun pegang pundak Ban Tjin-san, katanja: “Ban-supek, tentang kau telah membikin aku hidup derita merana selama ini, bolehlah takkan kupersoalkan padamu lagi. Sekarang aku hanja ingin tanja suatu hal padamu: Sebenarnja kau telah membunuh Suhuku atau tidak?”

Sembari bicara terus saja Tik Hun kerahkan Lweekang dari ilmu sakti ‘Sin-tjiau-kang’ jang hebat, ber-angsur2 tenaga dalam itu menekan kedalam badan Ban Tjin-san hingga sesaat itu Ban Tjin-san merasa badannja seperti digodok di dalam anglo, bahkan darahnja djuga terasa se-akan2 mendidih, saking tak tahan, akhirnja ia mengaku: “Ja, be…. benar! Memang akulah jang membunuh Djik Tiang-hoat!”

“Dan dimanakah djenazah guruku?” tanja Tik Hun pula. “Sebenarnja telah kau buang kemana djenazah beliau?”

“Aku………… aku telah memasukkan majatnja kedalam liang sini, mungkin…….. mungkin benar2 ada majat hidup lagi”, sahut Tjin-san.

Dengan bentji Tik Hun pandang manusia durhaka itu, teringat olehnja derita sengsara dirinja selama beberapa tahun ini, semuanja gara2 perbuatan kedua orang ajah dan anak she Ban dihadapannja ini, dan kini Ban Tjin-san mengaku pula telah membunuh Djik Tiang-hoat, keruan rasa gusar Tik Hun seperti api disiram minjak. Sjukur pertemuannja kembali dengan Djik Hong ini telah membuat hatinja lebih suka daripada dukanja, kalau tidak, sekali gablok tentu ia sudah hancurkan kepala Ban Tjin-san itu.

Tiba2 Tik Hun menggertak gigi dengan gemas, terus saja ia angkat tubuh Ban Tjin-san dan dilemparkan ‘blang’, ia lempar orang she Ban itu kedalam liang dinding. Karena lubangnja agak sempit hingga beberapa potong bata ambrol tertumbuk oleh badan Ban Tjin-san, habis itu barulah ia terguling masuk ke dalam liang dinding buatannja sendiri itu.

Dan selagi Djik Hong menjerit kaget, Tik Hun sudah lantas seret Ban Ka pula dan didjedjalkan kedalam liang dinding, katanja: “Ini namanja ada ubi ada talas, ada benci kudu membalas! Mereka berdua telah membunuh suhu secara kedji, maka kitapun memperlakukan mereka dengan cara jang sama”.

Lalu ia gunakan bata jang terserak dilantai itu untuk merapatkan kembali dinding itu. Memangnja disitu sudah komplit tersedia peralatan tukang batu, maka hanja sebentar saja Tik Hun sudah selesai memasang tembok itu, bahkan ia kapur pula hingga putih bersih.

“Su….Suko”, kata Djik Hong dengan suara ter-putus2, “akhirnja engkau telah dapat membalas sakit hati ajah. Dan tentang djenazah ini, bagaimana harus diselesaikan?” ~ dan majat Go Him lantas dituding olehnja.

“Sudahlah, kita tinggal pergi saja, peduli apa dengan dia”, kata Tik Hun.

Tapi Djik Hong berkata lagi: “Dan mereka berdua jang tertutup didalam dinding itu belum lagi mati, kalau ada orang datang menolong mereka…….”.

“Orang lain darimana bisa tahu kalau di dalam dinding situ terdapat dua orang?” ujar Tik Hun. “Andaikata melihat dinding itu baru saja dipasang dan dikapur juga tentu orang akan menduga tembok ini habis diperbaiki, tidak nanti orang menjangka dibalik dinding ada rahasianja. Apalagi kalau kita pindahkan majat Go Him, orang lain lebih2 takkan mentjurigai kamar batja ini”.

Habis berkata, segera ia angkat majatnja Go Him dan keluar kamar batja itu, katanja kepada Djik Hong: “Marilah kita pergi sadja!”.

Segera mereka melompat keluar dari pagar tembok taman keluarga Ban itu, Tik Hun lemparkan majat Go Him ketanah, katanja: “Sumoay, kini sebaiknja kita harus pergi kemana?”.

“Menurut pendapatmu, apakah ajahku benar2 telah dibunuh oleh mereka?”, tanja Djik Hong.

“Ja, kuharap semoga Suhu masih hidup sehat walafiat,” ujar Tik Hun. “Tapi menurut utjapan Ban Tjin-san tadi agaknja kemungkinan itu sangat tipis”.

“Aku harus kembali kerumah untuk mengambil sesuatu, harap kau menunggu aku di dalam Su-theng bobrok disana itu”, kata Djik Hong.

“Biarlah aku mengawani kau”, ujar Tik Hun.

“Tidak, djangan!”, sahut Djik Hong. “Pabila kita dilihat orang tentu akan menimbulkan sangkaan djelek”.

“Tapi lebih baik aku mengawani kau saja, Ban Tjin-san masih mempunjai murid2 jang lain dan tiada seorangpun diantara mereka adalah manusia baik2,” kata Tik Hun.

“Tidak, tidak apa, aku tidak takut pada mereka,” kata Djik Hong. “Harap kau pondong Khong-sim-djay dan tunggu aku di sana”.

Karena mengalami kedjadian2 jang menakutkan tadi, sementara itu Khong-sim-djay sudah bobok njenjak didalam pangkuan sang ibu.

Biasanja Tik Hun memang suka menuruti segala permintaan Djik Hong, maka kini iapun enggan membantah, terpaksa ia pondong sidara tjilik Khong-sim-djay dari tangan Djik Hong. Kemudian sang Sumoay lantas melompat masuk lagi kerumah keluarga Ban itu, dan ia sendiri lantas menudju kerumah berhala jang ditundjuk itu, ia dorong pintunja jang sudah rejot itu dan masuk kedalam untuk menunggu datangnja Djik Hong.

Selang tjukup lama, masih tidak kelihatan kembalinja sang Sumoay, Tik Hun mulai gopoh dan bermaksud menjusul kerumah Ban Tjin-san. Tapi ia kuatir kalau nanti diomeli Djik Hong, maka ia menjadi bingung, ia pondong Khong-sim-djay dan berjalan mondar-mandir diserambi rumah berhala itu dengan rasa tak sabar.

Se-konjong2 didengarnja didalam ruangan rumah berhala itu ada suara kelotakan dua kali, suara orang mengerdjakan sesuatu.

Tjepat Tik Hun menjisir kepinggir dan berdiri disamping jendela dengan diam saja. Selang sebentar, terdengarlah pintu dalam sana dibuka, lalu muntjul seseorang.

Mata Tik Hun tjukup tadjam meski ditengah malam gelap, ia dapat melihat djelas bahwa orang itu adalah seorang pengemis wanita jang berambut kusut masai dan berbaju tjompang-tjamping.

Semula Tik Hun agak was-was dan kuatir kedatangan musuh, tapi demi melihat orang adalah pengemis perempuan jang umum, iapun tidak menaruh perhatian lagi. Pikirnja: “Rumah berhala bobrok ini adalah tempat meneduh pengemis wanita ini, kedatanganku ini berarti telah mengganggu padanja. Ai, mengapa Djik-sumoay masih belum datang kembali?”

Dalam pada itu, mendadak Khong-sim-djay mendjerit tangis dalam mimpinja sambil me-manggil2: “Ibu, ibu!”.

Ketika mendadak mendengar suara lengking orang, semula pengemis wanita itu terperandjat hingga mengkeret ketakutan dipodjok serambi sana sambil menangkup kepalanja sendiri.

Kuatir kalau Khong-sim-djay mendusin, pelahan2 Tik Hun menepuk bahu dara tjilik itu menimang: “Anak manis, djangan menangis! Segera ibu akan datang, djangan menangis, anak manis!”.

Sesudah mengetahui bahwa jang berteriak tadi adalah seorang dara tjilik, pula melihat Tik Hun tiada bermaksud djahat padanja, maka pengemis wanita itu mendjadi tabah, bahkan ia lantas membantu menimang Khong-sim-djay, katanja: “O, anak manis, anak pintar! Djanganlah menangis, segera ibu akan kembali!”.

Kemudian ia berkata pada Tik Hun dengan suara rendah: “Seorang dikala tidurnja memang sering melihat setan. Ada orang ditengah malam buta suka bangun untuk pasang tembok, o, djang…………djangan kau tanja…………djangan kau tanja padaku”. ~ demikian ia takut2 pula dan me-njisir2 hendak pergi.

Mendengar utjapan orang aneh itu, segera Tik Hun bertanja: “Apa jang kau katakan?”.

“Ah, tidak………tidak apa2”, kata pengemis wanita itu. “Loya telah mengusir aku, ia tidak sudi padaku lagi. Padahal, dahulu, diwaktu aku masih muda djelita, beliau sangat….sangat suka padaku. Kata orang: “Mendjadi suami-isteri semalam akan tjinta seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, tjinta kasih semakin mendalam”. Maka……maka aku tidak putus asa, pada suatu hari tentu……..tentu Loya akan mentjari padaku lagi. Ja, memang, menjadi suami-isteri semalam akan timbul tjinta seratus malam, mendjadi suami-isteri seratus malam, tjinta kasih keduanja semakin mendalam………”.

Mendengar sipengemis wanita itu ber-ulang2 menjebut ‘menjadi suami-isteri semalam timbul tjinta kasih seratus malam, menjadi suami-isteri seratus malam, tjinta kasih keduanja akan makin mendalam’, seketika hati Tik Hun tergetar, pikirnja mendadak: “Ai, djika begitu djangan2 tjinta Hong-moay kepada suaminja djuga takkan terputus begini saja?”.

Karena perasaan itu, segera ia pondong Khong-sim-djay dan berlari keluar dari rumah berhala itu.

Sudah tentu sedikitpun tak terduga oleh Tik Hun bahwa pengemis wanita jang dekil itu tak lain tak bukan adalah Tho Ang atau si Mirah jang dahulu pernah mempitenahnja hingga membuatnja hidup merana itu.

Begitulah Tik Hun berlari kembali kerumah Ban Tjin-san, segera ia melompat pagar tembok dan memburu kekamar batja Ban Tjin-san.

Keruan kejut Tik Hun tak terkatakan, tjepat ia menjalakan pelita diatas meja, dibawah sinar pelita itu dapat dilihatnja dengan jelas antero badan Djik Hong sudah mandi darah. Pada perutnja masih menantjap sebilah belati.

Waktu Tik Hun periksa sekitar kamar itu, dilihatnja lantai berserakan potongan2 bata dan kapur pasir, dinding jang baru dipasang itu telah terbongkar pula hingga berlubang dan Ban Tjin-san serta Ban Ka sudah tak kelihatan batang hidungnja, entah sudah menghilang kemana.

Sambil berjongkok Tik Hun berlutut disamping Djik Hong, seruanja: “Hong-moay! Hong-moay!”. ~ tapi saking kagetnja hingga ia gemetar dan suaranja menjadi serak.

Ia tjoba meraba mukanja Djik Hong, ia merasa masih hangat, hidungnja djuga masih bernapas pelahan sekali. Tik Hun tenangkan diri sedapat mungkin, lalu berseru pula: “Hong-moay!”.

Pe-lahan2 tampak Djik Hong membuka mata, wadjahnja sekilas menampilkan senjum getir, katanja lemah: “Su…..Suko, ma……maafkanlah aku!”.

“Sudahlah, kau djangan bitjara, aku……aku akan menolong kau”, kata Tik Hun.

Segera ia letakkan Khong-sim-djay, dengan tangan kanan ia rangkul dan bangunkan tubuh Djik Hong, tangan kiri lantas memegang belati jang menantjap diperut Djik Hong itu, ia bermaksud mentjabut belati itu.

Tapi ketika ditegaskan pula, ia melihat belati itu menantjap hampir seluruhnja didalam tubuh Djik Hong, kalau belati ditjabut, bukan mustahil njawa Djik Hong seketika djuga akan melajang. Maka ia mendjadi ragu2 dan tidak berani mentjabut belati itu, dalam gugupnja ia menjadi bingung. Ber-ulang2 ia hanja bertanja: “Bagaimana baiknja ini? Siapa….. siapakah jang mentjelakai kau?”

“Suko”, kata Djik Hong dengan senjum pahit, “kata orang: menjadi suami-isteri semalam…… Ai, sudahlah, tak perlu dikatakan pula, harap…..harap kau maafkan aku, karena aku tidak……tidak tega, maka aku telah melepaskan suamiku, tapi dia…..dia……”

“Dia…..dia malah menusuk kau dengan belati ini, betul tidak?” Tik Hun menegas dengan mengertak gigi.

Djik Hong tersenyum getir dan memanggut.

Tik Hun pedih bagai di-sajat2 menjaksikan djiwa Djik Hong hanja tinggal dalam waktu singkat sadja, tublesan belati Ban Ka itu sedemikian dalam dan lihay, terang jiwa sang Sumoay susah ditolong lagi. Dalam hati ketjilnja Tik Hun merasa di-gigit2 oleh sematjam rasa iri hati jang tak terhingga, diam2 ia menggerutu: “Ja, betapapun toh kau tetap tjinta kepada………….kepada suamimu, dan……….dan kau lebih suka korbankan dirimu sendiri untuk menjelamatkan dia”.

“Suko”, demikian terdengar Djik Hong berkata pula, “berjanjilah padaku bahwa engkau akan menjaga baik2 pada Khong-sim-djay dan akan menganggapnja sebagai….. sebagai anakmu sendiri”.

Tik Hun tidak mendjawab, dengan wajah pedih ia hanja mengangguk. Kemudian dengan mengertak gigi ia bertanja: “Dan bangsat itu telah…………telah lari kemana?”

Namun sinar mata Djik Hong sudah membujar, suaranja menjadi katjau mengigau, terdengar ia berkata dengan lemah: “Di dalam gua itu ada dua ekor kupu2 hitam, itu…… San-pek dan Eng-tay! Suko, lihatlah….lihatlah! Jang seekor itu adalah kau, dan jang seekor adalah diriku. Kita……kita akan terbang kian kemari dengan bebas dan selamanja tak terpisah. Kau setudju bukan?

Makin lama makin lemah suara Djik Hong dan makin lemas pula napasnja hingga akhirnja mengembuskan napasnja jang penghabisan.

Dengan air mata bertjutjuran Tik Hun mendekap diatas tubuh sang Sumoay, untuk sekian lamanja ia ter-menung2 disamping djenazah Djik Hong.

Akhirnja ia mengertak gigi, ia pondong Khong-sim-djay dan sebelah tangan lain mengempit djenazah Djik Hong, ia melompat keluar dari pagar tembok keluarga Ban itu. Sebenarnja ia bermaksud membakar habis rumah Ban Tjin-san jang megah dan besar itu, tapi lantas terpikir olehnja: “Djika aku membakar habis rumah ini, tentu Ban-si-hutju (ajah dan anak she Ban) takkan pulang lagi kesini dan untuk mentjarinja menjadi lebih susah. Kalau hendak membalas sakit hati Sumoay, rumah ini lebih baik dibiarkan begini sadja”.

Begitulah ia lantas berlari ketaman bobrok jang luas, dimana Ting Tian telah meninggal itu. Ia menggali sebuah liang dan mengubur Djik Hong disitu. Ia simpan baik2 belati jang menghabiskan djiwa Djik Hong itu, ia bertekad akan mentjabut njawa Ban-si-hutju dengan belati itu pula.

Saking berduka hingga air mata Tik Hun serasa sudah kering, sungguh ia menjesal sekali, ia memaki dirinja sendiri mengapa tadi tidak lantas membunuh sadja Ban-si-hutju jang terkutuk itu, habis itu barulah dilemparkan kedalam liang dinding? Ja, mengapa begitu gegabah hingga kini terdjadilah peristiwa jang menjesalkan selama hidup baginja?

Dalam pada itu Khong-sim-djay telah ber-teriak2 menangis mentjari ibunda, suara tangis dan djerit dara tjilik itu membuat pikiran Tik Hun semakin gundah. Ia bermaksud mengintai disekitar rumah Ban Tjin-san itu untuk menunggu kembalinja mereka, tapi dengan suara tangis Khong-sim-djay, terang mereka akan kabur lebih djauh pula.

Maka ia pikir harus mengatur dulu diri dara tjilik itu. Ia mendapatkan suatu keluarga petani diluar kota Heng-tjiu, ia memberikan 20 tahil perak kepada wanita tani itu dan minta dia merawat Khong-sim-djay.

********

Sang tempo lewat dengan tjepat, sudah sebulan lamanja siang-malam Tik Hun mengintai disekitar rumah Ban Tjin-san itu. Tapi selama itu tidak nampak batang hidung Ban-si-hutju. Jang lebih aneh lagi, bahkan bajangan anak murid Ban Tjin-san jang lain seperti Loh Kun, Pang Tan, Tjiu Kin dan lain2 djuga tidak kelihatan sama sekali.

Sebaliknja selama itu didalam kota Heng-tjiu (atau dengan nama lain kota Kang-leng) telah berkumpul tidak sedikit orang2 Bu-lim dari berbagai golongan dan aliran dengan aneka ragamnja pula, tua-muda, laki-perempuan, sedikitnja ada be-ratus2 djumlahnja.

Pada suatu petang, disuatu rumah makan Tik Hun mendengar pertjakapan dua orang Kangouw jang menarik hati.

Kata jang seorang: “Kiranja Soh-sim-kiam-boh itu terdapat didalam kitab: ‘Tong-si-soan-tjip’, dan empat huruf kuntji utama dari rahasia Kiam-boh itu berbunji ‘Kang-leng-seng-lam’, apakah kau sudah tahu?”

“Ja, sudah tentu tahu,” sahut kawannja. “Selama beberap hari ini entah betapa banjak tokoh Bu-lim telah berdatangan di kota Kang-leng ini. Tapi selama ini masih tiada seorangpun jang tahu bagaimana lanjutan tulisan2 dibelakang keempat huruf itu”.

“Ha, kalau menurut aku, peduli apa huruf dibelakang istana itu? Asalkan kita mentjari saja di Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), kita tunggu di sana, bila melihat ada orang berhasil menemukan sesuatu harta karun apa, segera kita turun tangan merampasnja. Ini namanja maling ketemu perampok! Mereka malingnja, kita rampoknja. Hahahaha!”.

“Benar”, sahut jang lain, “Andaikan kita tak mampu merampas dari mereka, paling tidak kita djuga dapat minta bagiannja. Ini sudah merupakan undang2 golongan kita jang tak tertulis”.

“Hehe, kalau dibitjarakan sungguh gila!” kata jang duluan tadi. “Apa kau tahu bahwa semua toko buku didalam kota selama beberapa hari ini telah ketomplok rejeki? Semua orang ingin mentjari ‘Tong-si-soan-tjip’. Malahan pagi tadi, baru saja aku melangkah masuk ke toko buku, pegawai disitu sudah lantas menegur: Apakah tuan akan membeli ‘Tong-si-soan-tjip’? Kita itu baru saja kami datangkan lagi dari Han-kau, barangnja masih hangat2, kalau ingin beli hendaklah lekas, kalau tidak tentu sebentar akan kehabisan. Tentu saja aku heran, kutanja darimana dia tahu aku hendak mentjari Tong-si-soan-tjip. Dan tahukah kau apa katanja?”

“Entah, apa jang dia katakan?, sahut kawannja.

“Kurang ajar! Pegawai itu bilang: Harap tuan maklum, karena selama beberapa hari ini toko kami telah banjak kedatangan tuan2 jang gagah perkasa dengan bersendjata, sebelas dari sepuluh orang jang datang tentu jang ditjari adalah Tong-si-soan-tjip. Oleh karena itu, kita itu benar2 seperti pisang goreng larisnja, djika tuan djuga ingin membeli silahkan lekas sadja, harganja lima tahil perak setiap buku”.

“Keparat, masakah ada kitab semahal itu?” maki kawannja tadi.

“Apakah kau tahu harga buku? Apakah kau pernah beli buku? Darimana kau tahu harga itu terlalu mahal?”

“Hahaha! Darimana aku tahu! Huruf segede telur djuga aku tidak kenal satu bakul banjaknja, selama hidup inipun tidak pernah masuk toko buku, buat apa aku membeli buku? Selama hidup Ingsun hanja suka berdjudi, kalau beli kartu sih berani, beli buku mah terima kasih. Hehehehe!”.

Begitulah diam2 Tik Hun membatin: “Rupanja rahasia tentang Soh-sim-kiam-boh sudah tersebar hingga semua orang sudah tahu. Siapakah gerangan jang menjiarkan rahasia itu? Ah, tahulah aku, tentu Ban-si-hutju membitjarakan rahasia itu dan telah didengar oleh Loh Kun dan lain-lain, ketika Ban Tjin-san menguber mereka, anak muridnja lantas kabur dan dengan begitu berita tentang harta karun dalam Soh-sim-kiam-boh lantas tersiar”.

Teringat kepada Soh-sim-kiam-boh, segera iapun teringat pada waktu ia meringkuk didalam penjara bersama Ting Tian dahulu, dimana juga banjak orang2 Kang-ouw meretjoki Ting Tian dengan tujuan hendak memperoleh rahasia Soh-sim-kiam-boh, tapi satu persatu orang2 Kang-ouw itu telah dibinasakan oleh Ting Tian.

“Ai, kenapa aku menjadi lupa? Ting-toako telah pesan agar aku menguburkan abu tulangnja bersama djenazah Leng-siotjia, maka tugas itu harus kulaksanakan dahulu”, demikian ia lantas teringat kepada pesan tinggalan saudara angkat jang ditjintainja itu.

Segera ia mulai menjelidiki dimana letak kuburannja Leng-siotjia.

Sebagai puteri Tihu (bupati) dari kota Kang-leng, dengan sendirinja kuburan Leng-siotjia itu mudah ditjari. Tik Hun hanja mentjari tahu kepada toko2 penjual peti mati jang besar dan tukang batu pembuat batu nisan jang terkenal didalam kota, maka dengan gampang ia sudah mendapat tahu letak tempat kuburan Leng-siotjia itu. Tempat itu adalah diatas sebuah bukit ketjil diluar pintu timur kota, djaraknja kira2 dua belas li.

Setelah membeli dua buah tjangkul, segera Tik Hun keluar timur kota dan tidak terlalu susah kuburan Leng-siotjia itu telah dapat diketemukan.

Ia lihat di atas batu nisan itu tertulis: “Kuburan puteri tertjinta: Leng Siang-hoa”. Sekitar kuburan itu tandus merata tiada sesuatu tanaman apa2, baik pohon maupun bunga2an. Padahal dimasa hidupnja Leng-siotjia paling suka pada bunga, namun sesudah meninggal, satupun ajahnja tidak menanam bunga disekitar kuburannja itu.

“Hehe, puteri tertjinta? Apa betul2 kau tjinta pada puterimu ini?” demikian Tik Hun mengejek Leng-tihu jang kedjam itu. Dan bila teringat kepada Ting Tian dan Djik Hong, tak tertahan lagi air matanja bertjutjuran bak hujan.

Memangnja bajunja sudah pernah lepek oleh air mata tangisannja kepada Djik Hong tempo hari, sekarang didepan kuburan Leng-siotjia telah bertambah dibasahi air mata jang baru.

Disekitar bukit itu tiada rumah penduduk, djauh terpentjil pula dari djalan raja dan tiada orang berlalu disitu. Tapi tidaklah pantas menggali kuburan disiang hari. Maka terpaksa ia menunggu sesudah magrib barulah ia menggali. Setelah membongkar batu penutup liang kubur itu, maka tertampaklah peti matinja.

Sesudah mengalami derita sengsara selama beberapa tahun ini, sebenarnja Tik Hun bukan lagi seorang jang mudah berduka dan gampang mengalirkan air mata. Tetapi dibawah sinar bulan jang remang2 itu demi melihat peti mati itu, ia lantas teringat kepada kematian Ting-toako jang djusteru akibat peti mati itu, jaitu kena ratjun jang dipoles diatasnja, mau tak mau Tik Hun berduka pula dan tak bisa mentjutjurkan air mata lagi.

Ia tahu Leng Dwe-su telah melumasi peti mati itu dengan ratjun ‘Hud-tjo-kim-lian’ jang maha djahat, meski sudah lewat sekian tahun lamanja, apalagi peti mati itu telah digotong dan dipendam disitu, besar kemungkinan ratjun diatasnja sudah dihapus lebih dulu. Namun begitu ia tetap was-was, ia tidak mau terima resiko untuk menjentuh tutup peti mati itu. Maka segera ia lolos Hiat-to (golok merah) milik Hiat-to Lotjo dahulu. Pe-lahan2 ia masukkan golok mestika itu kegaris tutup peti mati dan disajat keliling.

Golok mestika itu dapat memotong besi sebagai merajang sajur, maka dengan gampang sekali semua paku dan pantek peti mati itu telah disajat putus. Ketika ia tjungkel dengan golok itu, segera tutup peti mati bergeser dan mentjelat djatuh keluar liang kubur.

Se-konjong2 dilihatnja dibawah tutup peti mati itu dua buah tangan jang sudah berwudjut tulang kering itu menegak ke atas, ketika tutup peti mati mentjelat, kedua rangka tulang tangan itu lantas djatuh berantakan kedalam se-akan2 bisa bergerak sendiri.

Keruan Tik Hun terkedjut biarpun njalinja tjukup tabah. Pikirnja: “Diwaktu djenazah Leng-siotjia dimasukkan peti mati, mengapa kedua tangannja bisa terangkat keatas? Aneh, sungguh aneh?”

Ketika ia periksa isi peti mati itu, ia tidak melihat sebangsa bantal guling, mori belatjo jang pada umumnja dipakai orang mati. Jang ada tjuma pakaian tipis biasa dan serangka tulang-belulang.

Diam2 Tik Hun mendoa: “Ting-toako, Leng-siotjia, diwaktu hidupnja kalian tak dapat menjadi suami isteri, sesudah meninggal tjita2 kalian agar terkubur bersama kini telah tertjapai. Djika arwah kalian mengetahui hal ini di alam baka, dapatlah kiranja kalian merasa puas hendaknja”.

Lalu Tik Hun menanggalkan buntalan jang dibawanja, ia tebarkan abu jenazah Ting Tian diatas kerangka tulangnja Leng-siotjia. Ia berlutut dan menjura empat kali dengan penuh hormat, lalu ia berdiri dan hendak mengangkat tutup peti mati untuk ditutup kembali seperti semula.

Dibawah sinar bulan jang remang2 itu, tiba2 dilihatnja di bagian dalam tutup peti mati itu samar2 seperti penuh tulisan. Waktu Tik Hun mendekati dan memperhatikannja, ia lihat tulisan2 itu mentjang-mentjeng tak teratur, diantaranja tertulis: “Ting-long, biarlah kita mendjadi suami isteri pada pendjelmaan jang datang!”.

Tik Hun terkesiap dan terduduk lemas ketanah. Beberapa huruf itu terang diukir dengan kuku djari. Sesudah dipikirnja sedjenak, segera iapun paham duduknja perkara. Kiranja Leng-siotjia itu sebenarnja belum meninggal waktu itu, tapi dia telah dipendam hidup2 oleh ajahnja sendiri dan dimasukkan kedalam peti mati setjara paksa. Beberapa huruf itu terang diukirnja dengan kuku pada waktu ia belum meninggal. Sebab itulah, sampai saat matinja kedua tangannja masih terangkat keatas, jaitu karena dia lagi mengukir tulisan dibagian dalam tutup peti mati. Sungguh susah untuk dipertjaja bahwa di dunia ini ternjata ada seorang ajah jang begitu kedjam. Dengan segala tipu daja Leng Dwe-su telah berusaha mendapatkan Soh-sim-kiam-koat dari Ting Tian, tapi selama itu Ting-toakonja tidak mau tunduk, sedangkan Leng-siotjia djuga tidak mau mengingkari Ting-toako, dan karena sudah ditunggu dan tunggu lagi tetap tipu muslihat Leng Dwe-su tak berhasil, akhirnja ia menjadi gemas dan setjara kedji telah kubur puterinja sendiri dengan hidup2.

Ia tjoba meneliti tulisan2 diatas tutup peti itu, ia melihat dibawah pesan kepada Ting Tian tadi tertulis beberapa angka pula seperti: 4, 51, 33, 53, 18, 7, 34, 11, 28 dan banjak lagi.

Tik Hun menarik napas dingin, katanja didalam hati: “Ah, tahulah aku. Ternjata sampai detik terakhir Leng-siotjia masih ingat tjita2nja jang ingin berkubur bersama dengan Ting-toako. Leng-siotjia pernah berdjandji kepada siapapun asal dapat menguburkan dia bersama Ting Tian, maka ia akan memberitahukan rahasia Soh-sim-kiam-boh kepadanja. Ting-toako juga pernah mengatakan kuntji rahasia itu kepadaku, tapi belum lagi habis beliau sudah keburu meninggal. Sedangkan Kiam-boh jang diperoleh suhu dan terdapat kuntji rahasianja justeru telah di-robek2 oleh Ban-si-hutju, tadinja kukira rahasia itu sudah tiada orang jang tahu lagi di dunia ini dan untuk seterusnja akan lenjap, siapa tahu Leng-siotjia telah mentjatat setjara lengkap disini”.

Maka diam2 Tik Hun berdoa: “Leng-siotjia, engkau benar2 seorang jang bisa pegang djandji. Terima kasihlah atas maksud baikmu. Tetapi aku sendiri sekarangpun lagi putus asa, kalau bisa sungguh akupun ingin bisa menggali suatu liang kubur, lalu membunuh diri disini untuk menjusul kau dan Ting-toako. Tjuma sampai sekarang sakit hatiku belum terbalas, aku harus membunuh dulu Ban-si-hutju serta ajahmu, habis itu barulah aku rela mati. Adapun tentang harta benda bagiku adalah mirip tanah dan sampah sadja jang tiada artinja”.

Segera ia angkat tutup peti mati dan hendak ditutupkannja kembali. Tapi se-konjong2 timbul suatu akalnja: “He, bukankah aku sedang sulit mentjari Ban-si-hutju? Dan kalau sekarang aku menuliskan kuntji rahasia tentang dimana letak penjimpanan harta karun itu, kutuliskan huruf2 itu ditempat jang menjolok, dapat dipastikan Ban-si-hutju pasti akan mendengar serta datang melihatnja. Ja, benar, aku harus menggunakan kuntji rahasia Soh-sim-kiam-boh ini sebagai umpan untuk memantjing kedatangan Ban-Tjin-san dan Ban Ka. Walaupun Ban-si-hutju tentu akan tjuriga djuga, namun betapapun juga mereka pasti ingin mengetahui rahasia Soh-sim-kiam-boh, tentu mereka akan menempuh bahaja dan datang kemari”.

Setelah ambil keputusan itu, ia taruh lagi tutup peti mati itu, ia apalkan dengan baik angka2 kuntji Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan ia ukir pula angka2 itu digagang tjangkul dengan goloknja. Selesai mengukir, untuk selamatnja ia mentjotjokkan sekali pula, habis itu barulah ia tutup kembali peti mati itu serta menguruki lagi tanah pekuburan seperti semula.

“Tjita2ku jang terpenting ini kini sudah terlaksana, tugasku kepada Leng-siotjia dan Ting-toako sudah kupenuhi. Nanti bila aku sudah membalas sakit hati, tentu aku akan datang lagi kesini untuk menanami beberapa ratus pohon bunga seruni disini. Memang bunga seruni adalah bunga kesajangan Ting-toako dan Leng-siotjia dimasa hidup mereka”, demikian Tik Hun berjanji pada diri sendiri.

Besok paginja, diatas dinding benteng selatan kota Kang-leng tepat di atas pintu gerbang jang menjolok mata djelas tertampak beberapa angka jang tertjoret dengan kapur.

Huruf2 itu besar2 hingga dapat terlihat djelas dari djauh, angka2 itu antara lain dan didahului: 4, 51, 33, 53…………………..

Anehnja huruf2 itu tertulis di atas tembok jang tingginja belasan meter, mungkin diseluruh kota Kang-leng tak terdapat tangga sepandjang itu untuk mentjapai dinding dan menulisnja, ketjuali orang dikerek dari atas benteng dan orang itu menulis di dinding benteng itu dengan tergantung.

Djauh ditepi djalan raja jang menuju ke pintu gerbang kota itu tampak ada seorang pengemis sedang sibuk mentjari tuma dibadjunja jang rombeng dan berbau sambil mendjemur diri dibawah sinar matahari.

Orang itu adalah Tik Hun. Dan tulisan ditembok jang tinggi itu adalah perbuatannja.

Pintu gerbang selatan itu sangat ramai dengan orang jang berlalu lalang, apalagi diwaktu pagi, banjak bakul2 dan tukang2 sajur dari desa sama menuju kepasar di dalam kota. Maka orang2 desa dan penduduk kota merasa heran juga ketika melihat tulisan diatas tembok jang sangat tinggi itu, hanja dalam waktu singkat saja gemparlah seantero kota Kang-leng, baik dirumah makan, baik diwarung kopi dan maupun dipasar, semua orang geger membitjarakan kedjadian jang aneh itu, bahkan banjak jang ber-bondong2 datang kepintu gerbang untuk melihat tulisan itu.

Dan sudah tentu tulisan2 itu tiada jang luar biasa, ketjuali letaknja jang sangat tinggi itu, tulisan2 itu pada hakekatnja tidak mengherankan dan menarik, maka banjak diantara penonton2 itu sesudah membatja sekadarnja, lalu menggerutu dan tinggal pergi.

Sebaliknja banjak juga orang2 Kang-ouw dan tokoh2 Bu-lim jang tidak lantas tinggal pergi, mereka masing2 tampak membawa sedjilid ‘Tong-si-soan-tjip’, mereka mentjatat semua angka2 jang tertulis didinding kota itu, lalu mengkerut kening memikirkan arti angka2 itu.

Tik Hun sendiri masih asjik memitas tuma jang diketemukannja dari badjunja, tapi perhatiannja tidak pernah meninggalkan orang2 Bu-lim jang datang kesitu itu.


Akhirnja dapatlah dilihat Sun Kin dan Sim Sia telah datang, kemudian Loh Kun tiba pula.

Tapi mereka tidak tahu urutan2 djurus permainan Soh-sim-kiam-hoat, pula tidak tahu sjair mana jang mendjadi indeks daripada djurus ilmu pedang itu. Maka sekalipun mereka masing2 djuga membawa sedjilid ‘Tong-si-soan-tjip’, walaupun mereka dapat membatja angka2 jang tertulis didinding kota dan tahu pula bahwa keempat angka pertama itu adalah kuntji rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh itu, bahkan meski mereka sudah mendengar djuga pertjakapan guru mereka dengan puteranja dikala memetjahkan angka2 kuntji itu, namun mereka tidak tahu setiap angka itu harus djatuh atau ditjari di dalam sjair jang mana.

Maklum, untuk bisa mengetahui sjair mana jang dimaksudkan dari djurus2 Soh-sim-kiam-hoat itu didunia ini hanja Ban Tjin-san, Gan Tiat-peng, dan Djik Tiang-hoat bertiga jang tahu.

Tertampak Loh Kun dan para sutenja itu sedang bitjara, rupanja sedang saling tukar pikiran. Tapi sampai sekian lamanja tiada sesuatu kesimpulan jang dapat mereka tarik dari angka2 itu.

Karena djaraknja agak djauh, Tik Hun tidak dapat mendengar apa jang dipertjakapkan mereka. Ia lihat sesudah Loh Kun dan lain2 berunding lagi sebentar, kemudian mereka masuk kembali keota. Selang tidak lama, tertampak Loh Kun bertiga keluar lagi, tapi kini sudah menjamar semua. Jang satu menjamar sebagai tukang rudjak dengan memakai memikul suatu dasaran jang banjak terdapat ketimun, nanas, djeruk, dan sebagainja. Seorang lagi menjaru sebagai tukang sajur, pikulannja penuh terisi sajur2an dan seorang lain pula menjamar sebagai petani jang habis pulang dari mendjual hasil taninja di kota.

Setiba diluar pintu kota, mereka lantas pura2 mengaso disitu, tapi jang mereka perhatikan adalah orang2 jang berlalu-lalang.

Tik Hun dapat meraba maksud tudjuan mereka, tentu mereka ingin menunggu kedatangan Ban Tjin-san. Mereka sendiri tak dapat memetjahkan angka2 rahasia Soh-sim-kiam-boh itu, maka mereka hendak membontjeng sang guru sadja. Pabila Ban Tjin-san berhasil menggali harta karun itu, biarpun mereka tak dapat mengangkangi, paling tidak djuga akan kebagian redjeki.

Beberapa angka kuntji pertama dari ‘Soh-sim-kiam-boh’ itu adalah: 4, 51, 33 dan 53. Angka2 itu mempunjai arti sebagai ‘Kang-leng-seng-lam’ atau selatan kota Kang-leng, hal ini sudah tersiar luas di kalangan orang Kang-ouw melalui mulutnja Bok Heng dan Sim Sia jang dapat mendengar dari guru mereka itu. Dan kini angka2 itupun djelas tertulis diatas dinding kota itu, bahkan dibelakangnja ber-turut2 masih banjak angka2 jang lain lagi, melihat itu, biarpun orang jang paling goblok djuga akan dapat menduga bahwa angka2 itu pasti adalah rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh jang ditjari itu.

Begitulah maka orang2 jang datang kepintu selatan kota itu, makin siang makin banjak. Ada jang menjamar, ada jang blak2an menurut muka asli mereka.

Diam2 Tik Hun menghitung djumlahnja dan seluruhnja ada 78 orang. Selang tak lama lagi, ia lihat Bok Heng dan Pang Tan djuga sudah datang. Bahkan diantara mereka entah sedang mempertjektjokkan urusan apa, muka mereka tampak merah beringas, katjeknja mereka tidak sampai berkelahi. Tapi akhirnja mereka dapat sabar kembali dan duduk ditepi sungai jang mengelilingi benteng kota itu sambil merenungkan apa arti angka2 jang tertulis diatas dinding itu.

Sampai sore hari, masih tetap Ban-si-hutju tidak kelihatan batang hidungnja. Bahkan sampai dekat magrib, masih djuga Ban Tjin-san dan Ban Ka tidak nampak muntjul. Banjak diantara orang2 itu kedengaran mentjatji-maki dengan kata2 kotor.

Dan ketika hari sudah hampir gelap, tiba2 tertampak seorang jang berdandan sebagai guru sekolah telah datang dengan langkahnja mirip ‘gojang sampan’. Guru sekolah itu membawa pensil dan setjarik kertas pula. Setiba diluar pintu gerbang situ, ia lantas mentjatat semua angka2 jang dapat dibatjanja diatas dinding itu.

Ada seorang laki2 berewok dan bermuka bengis memangnja lagi mendongkol tak terlampiaskan lantaran sudah sekian lamanja menunggu dan masih tidak melihat muntjulnja Ban Tjin-san, terus sadja ia gunakan guru sekolah itu sebagai alat pelampias marahnja, segera ia bekuk guru sekolah itu sambil membentak: “Buat apa kau menurun angka2 itu?”.

“E-eh, seorang laki2 sedjati hanja boleh pakai mulut dan tidak boleh memakai tangan”, demikian sahut guru sekolah itu sambil meringis karena tengkuknja ditjengkeram laki2 kasar tadi.

“Persetan kau laki2 atau perempuan,” bentak orang itu, “Nah, djawablah, buat apa kau mentjatat angka2 itu?”

“Sudah tentu ada gunanja bagiku, orang lain mana bisa tahu,” sahut guru sekolah itu.

“Keparat, makanja aku tanja!”, teriak laki2 kasar itu dengan mendongkol, “Nah, kau mau mengaku tidak, kalau tidak, segera kutondjok kau. Nih!”. ~ dan segera ia atjungkan bogemnja ke depan hidung guru sekolah itu.

Rupanja guru sekolah itu mendjadi takut, katanja dengan gemetar: “Ja, ja, kan….akan kukatakan. Aku tjuma……tjuma orang suruhan sadja”.

“Siapa jang suruh kau?”, bentak orang itu.

“Seorang……seorang tua. Ja, kukatakan terus terang saja, orang jang menjuruh aku itu adalah tokoh terkemuka didalam kota ini, beliau jalah…………..jalah, eh, kalau kukatakan, jangan kau gemetar, lho! Beliau jalah…….jalah Ban Tjin-san, Ban-loyatju!”, demikian tutur guru sekolah itu.

Demi mendengar nama ‘Ban Tjin-san’ disebut, seketika gemparlah semua orang. Tik Hun pun ikut bergirang, tapi diantara rasa girang itu lebih besar rasa dendam kesumat dan rasa dukanja.

Begitulah guru sekolah itu lantas digusur be-ramai2 oleh orang banjak kedalam kota, ia diharuskan menunjukkan dimana beradanja Ban Tjin-san. Maka dalam sekedjap saja ratusan orang telah pergi hingga djauh. Mereka ingin mentjari Ban Tjin-san untuk memaksanja memberitahu dimana tempat penjimpanan harta karun itu, mereka akan menggalinja untuk dibagi sama rata.

Sudah tentu laki2 berewok itu mendapat banjak pujian dari para petualang jang lain, mereka memudjinja: “Saudara ini sungguh sangat tjerdik, kami sama sekali tidak menduga Ban Tjin-san bisa menjuruh orang untuk menurun angka2 rahasia ini. Tjoba kalau tiada kau saudara, biarpun kita menunggu tiga hari tiga malam suntuk disini djuga akan sia2 belaka, sebaliknja kesempatan itu sudah digunakan oleh sikeparat Ban Tjin-san untuk menggali harta karun itu”.

Dengan sendirinja makin dipudji, makin berseri siorang berewok itu, katanja dengan bangga: “Memangnja sedjak muntjulnja pelajar ketjut ini aku sudah menduga pasti ada sesuatu jang tidak beres. Dan njatanja memang benar!”.

Dalam suasana remang2nja magrib itu, rombongan orang2 itu telah pergi hingga djauh, maka diluar pintu gerbang kota itu kembali sunji-senjap. Mestinja Tik Hun bermaksud ikut diantara orang banjak itu, tapi ia mendjadi ragu2, ia merasa Ban Tjin-san jang litjik dan litjin itu tidak mungkin berlaku begitu goblok menjuruh seorang guru sekolah jang begitu gampang lantas ditangkap dan mengaku terus terang dimana ia berada. Bukan mustahil dibalik itu ada sesuatu tipu muslihatnja.

Karena itulah maka ia tidak jadi berbangkit untuk ikut diantara orang banjak itu. Dan selagi ia ragu2 apakah usahanja itu akan gagal begitu sadja atau masih harus diteruskan lagi hingga besok, tiba2 dilihatnja ditepi sungai dekat pintu gerbang kota itu, berkelebat suatu bajangan orang. Dengan tjepat bajangan orang itu terus lari kearah barat setjepat terbang.

Pikiran Tik Hun tergerak, segera iapun melesat kedepan, diam2 ia menguntit dibelakang bajangan orang itu dengan Ginkang jang tinggi hingga tak diketahui siapapun juga.

Ternjata Ginkang orang itupun sangat hebat, namun Tik Hun sekarang bukan lagi Tik Hun dulu, betapapun kepandaian orang itu masih selisih djauh kalau dibandingkan pemuda itu. Maka sama sekali orang itu tidak merasa bahwa ada seorang lain lagi sedang menguntit dibelakangnja.

Tik Hun terus menguntit hingga sampai didepan sebuah rumah ketjil. Ia lihat orang itu masuk kedalam rumah. Segera Tik Hun menjisir madju, sampai disamping rumah, ia mendjaga disitu djika orang itu keluar lagi. Tapi ternjata orang itu tidak keluar, sebaliknja didalam rumah lantas kelihatan sinar terang, orang itu telah menjalakan pelita.

Tik Hun terus menggeser keluar djendela, ia mengintip dari sela2 djendela, maka dapat dilihatnja bahwa orang tadi adalah seorang tua, Tjuma berdirinja membelakangi djendela, maka mukanya tidak kelihatan. Orang itu berduduk menghadap medja, diatas medja terletak sedjilid buku. Begitu memandang segera Tik Hun tahu buku itu adalah ‘Tong-si-soan-tjip’. Buku berisi pilihan sjair jaman Tong itu dalam beberapa hari terakhir ini telah merupakan barang paling laris di dalam kota Kang-leng, maka tidak mengherankan djika orang tua itupun memiliki suatu djilid.

Dalam pada itu, terlihat orang tua itu lagi memegang sebatang pensil, lalu sedang menulis diatas sehelai kertas kuning, jang ditulis adalah empat huruf ‘Kang-leng-seng-lam’ atau selatan kota Kang-leng, kemudian terdengar dia menjebut sebuah judul sjair dan menjebut suatu angka, habis itu ia lantas mem-balik2 halaman kitab sjair kuno itu mulai menghitung huruf2 dari sjairnya. Terdengar ia menjebut: “Satu, dua, tiga, empat……….., sebelas, dua belas……… lima belas, enam belas, tudjuh belas, delapan belas.” ~sampai disini ia lantas menulis satu huruf diatas kertasnja.

Diam2 Tik Hun terkejut melihat gerak-gerik orang tua itu, ia heran mengapa orang juga paham Soh-sim-kiam-hoat? Kalau dilihat dari belakang, terang orang ini bukanlah Ban-Tjin-san. Karena pakaian orang tua itu berwarna kelabu jang sangat umum, maka Tik Hun djuga tidak dapat menjelami siapakah gerangan si kakek.

Begitulah terlihat orang tua itu mem-balik2 terus halaman kita ‘Tong-si-soan-tjip’, lalu meng-hitung2 dan mencatat sampai akhirnja keseluruhannja ia telah menulis 28 huruf diatas kertas.

Ketika Tik Hun memperhatikan tulisan2 itu, sjukur ia dapat membatjanja. Ke-28 huruf itu maksudnja kira2 begini: “Diruangan belakang Se-tjong-si diselatan kota, bersudjudlah didepan patung Budha, panjatkanlah doa suci dan mohon Budha memberkahi agar dapat mencapai nirwana dengan selamat”.

Setelah mencatat ke-28 huruf itu dan habis membacanya, orang tua itu menjadi gusar, mendadak ia banting pensilnja kemedja sambil mengguman sendiri: “Huh, masakah suruh orang bersudjut kepada patung kaju jang tak berdjiwa, katanya agar diberkahi keselamatan, dan ada pula tentang ‘mencapai nirwana’ apa segala. Hahaha, kurangadjar, masakah dapat ‘mencapai nirwana’, bukankah itu berarti menjuruh orang menghadap radja akhirat alias mati sadja”.

Dari suara gerundel kakek itu, Tik Hun merasa suara orang seperti sudah dikenalnja. Tengah ia meng-ingat2, tiba2 orang itu miringkan mukanja. Tjepat Tik Hun mendak kebawah djendela sambil membatin: “Ha, kiranja adalah Dji-supek Gian Tat-peng. Pantas dia paham djurus2 Soh-sim-kiam-hoat. Dan rahasia apakah didalam tulisan jang diperolehnja dari angka2 kuntji rahasia itu? Bukankah tjuma untuk mempermainkan orang belaka? ~ berpikir demikian mau tak mau ia menjadi geli: “Haha, djadi sudah sekian banjak pikiran dan tenaga jang dikeluarkan oleh orang banjak itu, mereka tidak segan2 membunuh guru, mentjelakai sesama orang Bu-lim dan membinasakan kawan, tapi akhirnja jang diperoleh ternjata hanja suatu kalimat jang mempermainkan orang sadja”.

Begitulah Tik Hun tidak sampai ketawa, tapi didalam rumah Gian Tat-peng sudah ter-bahak2 dan berkata: “Hahahaha! Suruh aku mendjura dan bersudjud kepada patung, agar berdoa pada patung lempung atau kaju ini supaja memberkahi redjeki padaku? Hahaha, keparat, Lotju disuruh menuju nirwana! Padahal kami bertiga saudara seperguruan sampai melakoni membunuh guru, kemudian kami bertiga saling rebut dan saling gasak, ternjata jang diperebutkan melulu untuk ‘mentjapai nirwana’. Dan beberapa ratus kesatria Bu-lim jang berkumpul dikota Kang-leng dan saling berebut itu, jang ditudju djuga demi untuk ‘mentjapai nirwana’. Hahahahahaha!”

Suara tertawa Gian Tat-peng itu ternjata penuh rasa pilu, penuh rasa sesal, dan sembari tertawa seraja me-robek2 kertas jang dibuatnja menulis itu hingga hantjur.

Mendadak, ia berdiri tegak tanpa bergerak, kedua matanja memandang keluar djendela dengan terkesima. Lalu terdengar ia mengguman sendiri: “Keadaan sudah terlanjur begini, tiada djeleknja djuga kalau aku tjoba memeriksa Se-tjong-si itu. Memang disebelah barat dari pintu selatan kota itu terdapat sebuah kelenteng kuno seperti apa jang dimaksudkan itu”.

Segera ia padamkan pelita dan keluar dari rumah itu, dengan Ginkang jang tinggi ia lantas menudju kesebelah barat sana.

Tik Hun menjadi ragu2, pikirnja: “Apakah aku harus mentjari Ban Tjin-san saja atau menguntit Gian-supek? Ah, Ban-supek toh sudah dirubung oleh serombongan orang, maka aku lebih baik mengawasi tindak-tanduk Gian-supek saja”.

Maka iapun tjepat menjusul dibelakangnja Gian Tat-peng.

Tik Hun sendiri tidak tahu Se-tjong-si jang dimaksudkan itu terletak dimana, tapi Gian Tat-peng sudah beberapa tahun mentjari dan mendjelajahi kota Kang-leng, segala tempat jang mentjurigakan telah diselidikinja semua, maka keadaan sekitar kota baginja boleh dikata seperti rumah sendiri sadja. Maka tidak terlalu lama, sampailah ia diluar kelenteng itu.

Gian Tat-peng memang seorang tjerdik, ia tidak lantas masuk kelenteng itu, tapi ia tjelingukan kian kemari, lalu mendengarkan apakah didalam kelenteng ada sesuatu suara atau tidak, kemudian ia mengelilingi pula kelenteng itu, habis itu barulah ia mendorong pintu masuk kedalam.

Letak Se-tjong-si itu sangat terpentjil, disekitar itu sunji-senjap, pula kelenteng itu tidak terawat, tiada Hwesio dan penghuni lain. Waktu Gian Tat-peng sampai diruangan tengah, segera ia menjalakan geretan api dan hendak menjulut lilin diatas medja sembahjang.

Se-konjong2 dibawah sinar api itu dilihatnja sumbu lilin itu masih basah2 dan diudjung itu agak lumer. Hatinja tergerak, tjepat ia tjoba memegang ujung lilin itu, benar djuga terasa masih hangat dan lemas, terang tidak lama berselang baru sadja ada orang menjalakan lilin itu. Ia menjadi tjuriga dan tjepat memadamkan api. Dan selagi ia hendak melangkah keluar untuk memeriksa keadaan kelenteng itu. Tiba2 punggungnja terasa sakit sekali, sebilah belati telah menantjap ditubuhnja, ia hanja sempat mendjerit sekali terus roboh binasa.

Sementara itu Tik Hun djuga sudah melintasi pagar tembok kelenteng dan sembunji dibelakang pintu depan sana. Ia lihat sinar api menjala, lalu sirap lagi dan disusul jeritan ngeri Gian Tat-peng. Dalam kagetnja segera Tik Hun tahu Gian-supek sudah kena disergap musuh. Kedjadian itu berlangsung terlalu tjepat hingga dia sama sekali tidak sempat bertindak dan menolong. Maka iapun tidak djadi bergerak, tapi terus sembunji disitu untuk melihat siapakah gerangan jang menjergap Gian Tat-peng disitu.

Di dalam keadaan gelap, maka terdengarlah suara seorang sedang tertawa dingin. Tik Hun merasa mengkirik oleh suara tawa orang jang menjeramkan itu, tapi ia merasa suara orang seperti sudah dikenalnja juga.

Se-konjong2 sinar api berkelebat, orang itu telah menjalakan lilin hingga tubuh orang kelihatan djelas. Pelahan2 orang itupun berpaling kearah sini. Dan……..hampir saja Tik Hun mendjerit: “Suhu”.

Kiranja orang itu memang betul Djik Tiang-hoat adanja.

Maka tertampak Djik Tiang-hoat telah mendepak sekali majatnja Gian Tat-peng, bahkan ia melolos pedang dan menusuk beberapa kali pula dipunggung orang jang sudah mati itu.

Melihat gurunja begitu kedji dan kejam membunuh sesama saudara perguruan sendiri, maka jeritan “Suhu” jang hampir diteriakkan Tik Hun itu segera ia telan kembali mentah2.

Terdengar Djik Tiang-hoat sedang tertawa dingin pula, katanja: “Dji-suko, djadi kau juga sudah dapat memetjahkan rahasia didalam Soh-sim-kiam-boh, ja? Haha, Dji-suko, kata kalimat didalam Kiam-boh itu bahwa: “Budha akan memberkahi kau hingga mentjapai nirwana, dan sekarang bukankah kau benar2 sudah menuju nirwana? Bukankah Budha sudah memberkahi dan memberi redjeki padamu? Hahahahaha?”.

Kemudian ia berpaling pula, ia pandang patung Budha jang berwajah senjum simpul itu, dengan penuh mendongkol ia mendamperat: “Kau patung tjelaka ini, kau telah permainkan aku selama ini dan membikin aku menderita sengsara, akhirnja tjuma begini saja djadinja”.

Dan segera ia melompat keatas altar patung itu dengan pedang terhunus, “trang-trang-trang”, be-runtun2 ia membatjok tiga kali diperut patung Budha jang gendut itu.

Pada umumnja sesuatu patung terbuat dari tanah liat atau ukiran dari kaju, paling2 ukiran dari batu. Tapi ketiga kali batjokannja itu ternjata menimbulkan suara njaring suara benturan logam.

Untuk sedjenak Djik Tiang-hoat tertegun, tapi ia segera membatjok dua kali lagi, ia merasa tempat jang terkena pedang itu sangat keras. Segera ia ambil lilin untuk menerangi bekas batjokan diatas perut patung itu. Ia lihat dari guratan bekas batjokan itu mengeluarkan sinar kuning mengkilap. Ia terkesima sejenak. Ia tjoba mengkerik dengan kuku-djarinja ditempat bekas batjokan itu, ia lihat warna kuning mengkilap itu lebih njata lagi, ternjata didalamnja adalah emas murni belaka.

Seketika Djik Tiang-hoat mendjerit tertahan: “Ha, ini adalah patung emas raksasa, seluruhnja terbuat dari emas, emas murni seluruhnja!”.

Patung Budha itu tingginja 4-5 meter, lengannja besar dan perutnja gendut, jauh lebih besar daripada patung raksasa umumnja. Dan bila patung ini seluruhnja terbuat dari emas murni, maka dapat ditaksir paling sedikit ada 40-50 ribu kati beratnja. Dan emas sebanjak itu kalau bukan harta-karun namanja harus disebut apa lagi?

Dan sesudah memikir sedjenak, segera Djik Tiang-hoat mengitar pula kebelakang patung Budha itu, ia tjoba mengkerik pula dengan pedangnja, ia lihat dibagian pinggang patung itu seperti ada sesuatu pintu rahasia ketjil. Ber-ulang2 ia mengkerik dan memotong pula hingga debu kotoran diatas patung itu tersapu bersih, bahkan bagian pinggang patung itupun tertjatjah beberapa goresan, sesudah itu barulah bagian itu tampak bersih dan kelihatan pintu rahasianja.

Segera Djik Tiang-hoat masukkan pedangnja ke-sela2 pintu rahasia itu, ia tjungkil beberapa kali, tapi pintu rahasia itu teramat kentjang hingga sedikitpun tidak bergeming, ia tjoba menjongkel lebih keras, tapi sedikit kurang hati2, ‘pletak’, pedangnja patah malah.

Namun ia tidak putus asa, dengan pedang patah itu ia mentjungkil lagi sela2 pintu rahasia sisi lain. Dan sesudah berkutetan agak lama, lambat-laun pintu rahasia mulai longgar dan pelahan2 tertjungkil keluar. Djik Tiang-hoat membuang pedangnja jang patah itu, segera ia pegang pintu rahasia itu dan pelahan2 ditarik hingga terbuka. Ketika ia menerangi dengan lilin, ia lihat didalam perut patung Budha itu penuh terisi emas-intan dan batu permata jang gemilapan menjilaukan mata. Melihat betapa besar perut patung itu, sungguh susah dinilai berapa banjak harta benda jang tersimpan didalam situ.

Saking kesima Djik Tiang-hoat menelan ludah sendiri beberapa kali. Segera ia bermaksud meraup beberapa bidji batu permata didalam perut patung itu untuk diperiksa, tapi mendadak ia merasa altar patung itu pelahan2 berguntjang sedikit.

Djik Tiang-hoat adalah seorang jang sangat tjerdik dan waspada, segera ia tahu keadaan tidak beres, tjepat ia melontjat turun dari altar patung itu. Tapi baru sebelah kakinja mengindjak tanah, seketika perutnja terasa sakit, njata ia telah kena disergap orang dan tertutuk. Tanpa ampun lagi ia roboh terguling dan takbisa berkutik.

Maka tertampaklah seorang menerobos keluar dari bawah altar, dengan tertawa hina orang itu berkata: “Djik-sute, kiranja kau belum mati dan akhirnja sampai disini. Lo-dji (sinomor dua, maksudnja Gian Tat-peng) juga mentjari kemari, tapi mengapa kalian tidak memikir bahwa Toa-suheng kalian djuga pasti akan mentjari kesini? Hahahaha!”.

Orang itu ternjata bukan lain daripada Ban Tjin-san. Setjara diam2 ia sudah sembunji didalam kelenteng sebelum kedua Sutenja datang.

Karena mendadak ketomplok rejeki hingga Djik Tiang-hoat jang biasanja sangat hati2 dan pandai berhitung itu mendjadi lupa daratan dan sedikit lengah itu dia kena disergap oleh Ban Tjin-san. Iapun tjukup kenal kekedjian sang Suheng itu, ia tahu tiada gunanja minta ampun segala, maka dengan gemas ia berkata: “Sudah pernah satu kali kau tak bisa membinasakan aku, tak tersangka akhirnja tetap mati djuga ditanganmu”.

Ban Tjin-san senang sekali, katanja: “Memangnja aku lagi heran atas dirimu. Eh, Djik-sute, bukankah kau sudah mati kutjekik, dan kumasukkan kedalam liang dinding berlapis itu, mengapa kau bisa hidup kembali?”

Namun Djik Tiang-hoat bungkam saja tidak mendjawab, bahkan ia terus pedjamkan mata sekalian dan tidak menggubris.

“Ha, kau tidak mau menerangkan, apakah dikira aku tidak tahu?”, ujar Tjin-san dengan tertawa dingin. “Tentu waktu itu kau pura2 mati dengan menahan napasmu. Dan sesudah kumasukkan kau kedalam dinding berlapis itu, lalu kau membobol tembok dan melarikan diri, sebelumnja kau merapatkan kembali dinding itu lebih dulu. Hehe, kau benar2 lihay dan litjik, dengan mata kepalamu sendiri kau menjaksikan puterimu telah mendjadi anak menantuku, tapi selama itu kau tetap tidak undjuk diri. Nah, ingin kutanja padamu, sebab apakah kau menghilang? Sebab apa?”.

Se-konjong2 Djik Tiang-hoat meludahi sang Suheng dengan riaknja jang kental dan tidak mendjawab. Namun Tjin-san sempat berkelit, katanja dengan tertawa: “Lo-sam, bolehlah kau pilih sendiri, kau ingin mati dengan tjepat dan enak atau ingin binasa pelahan2 dan menderita?”

Bila teringat betapa kedji dan kedjamnja Suhengnja itu, mau-tak-mau air muka Djik Tiang-hoat menampilkan rasa seram djuga. Katanja kemudian: “Baiklah, biar kukatakan padamu. Sebabnja aku tidak pedulikan puteriku itu djusteru karena aku ingin menjelidiki duduknja perkara. Dan kini dapat diketahui bahwa puteriku itulah jang telah mentjuri Kiam-boh jang kusimpan itu, nah, katakanlah apakah puteriku itu anak jang baik atau bukan? Pendek kata, orang she Ban, boleh kau bereskan aku dengan tjepat sadja”.

“Baik, akan kubereskan kau dengan tjepat,” kata Ban Tjin-san dengan senjum iblis, “Menurut pantasnja, mestinja aku tidak mungkin memperlakukan kau semurah ini, tapi mengingat jelek2 kau adalah besanku, pula akupun tidak punja tempo terlalu banjak, aku masih harus menyelesaikan partai harta karun ini. Nah, baiklah Sute jang baik, kuhaturkan selamat djalan padamu”. ~ habis berkata, terus sadja ia ajun pedangnja hendak menusuk kedada Djik Tiang-hoat.

Tapi se-konjong2 suatu bajangan merah mendahului berkelebat, tahu2 buah kepala Ban Tjin-san sendiri sudah terbang, menjusul tubuhnja jang tak berkepala itu kena didepak orang hingga roboh terguling.

Kiranja orang menjelamatkan djiwa Djik Tiang-hoat itu tak lain tak bukan adalah Tik Hun dengan golok merah setjepat kilat ia telah tabas kepala Ban Tjin-san.

Kemudian ia lantas membuka Hiat-to sang guru jang tertutuk itu dan menjapa: “Suhu, baik2kah engkau?”

Perubahan itu sunggu terlalu tjepat djadinja hingga Djik Tiang-hoat ter-mangu2 sampai sekian lamanja. Dan kemudian barulah ia dapat mengenal Tik Hun, dengan suara ter-putus2 entah girang entah sedih ia berseru: “Ha, kiranja………kiranja kau, Hun-dji”.

Tik Hun sudah berpisah sekian tahun dengan gurunja itu. Kini mendengar kembali panggilan ‘Hun-dji’ itu tak tertahan lagi rasa dukanja bergolak pula dalam hatinja. Sahutnja kemudian: “Ja, suhu, memang murid adanja!”.

“Jadi, kau telah ikut menjaksikan semua kedjadian barusan ini?” tanja Djik Tiang-hoat.

“Ja, sedjak tadi murid sudah berada disini”, sahut Tik Hun tanpa pikir. “Adapun Sumoay……………..Sumoay…..dia……dia telah………”, ~tapi ia tidak sanggup meneruskan lagi, air mata lantas bertjutjuran.

Ternjata Djik Tiang-hoat sama sekali tidak tertarik oleh penuturan Tik Hun tentang puterinja itu, ia sedang memperhatikan majat kedua Suhengnja jang menggeletak dilantai itu.

“Hun-dji”, katanja kemudian, “untunglah kau telah menolong aku tepat waktunja, sungguh aku tidak tahu tjara bagaimana harus berterima kasih padamu. Eh, Hun-dji, apakah itu?”. ~demikian tiba2 ia menuding kebelakang Tik Hun.

Tanpa tjuriga apa2 Tik Hun lantas berpaling, tapi tiada sesuatu jang dilihatnja, dan selagi ia merasa heran, tiba2 punggung terasa agak sakit.

Namun Tik Hun kini sudah bukan Tik Hun dahulu lagi, betapa tjepat dan tangkas reaksinja, sekali tangannja meraup ke belakang seketika pergelangan tangan musuh jang membokong itu kena dipegangnja. Tjepat ia lantas berpaling kembali, ia lihat tangan penjerang itu memegang sebilah belati, siapa lagi dia kalau bukan Djik Tiang-hoat, gurunja sendiri.

Sesaat itu Tik Hun menjadi bingung, katanja: “Su…………Suhu, apakah kesalahan…… kesalahan Tetju hingga Suhu hendak………hendak membunuh aku?”

Baru sekarang Tik Hun ingat bahwa tusukan belati gurunja itu sebenarnja sudah tepat mengenai punggungnja, untung dia memakai Oh-djan-kah, dengan badju mestika jang tidak mempan sendjata tadjam itu, maka djiwanja sekali lagi telah lolos dari lubang djarum.

“Bagus, bagus!. Sekarang kau sudah mendjadi djagoan, ja? Ilmu silatmu sudah hebat sekali hingga gurumu tak terpandang sebelah mata lagi olehmu!” demikian Djik Tiang-hoat mengedjek dengan dendam. “Nah, lekaslah kau membunuh aku sadja, lekas, mengapa tidak lekas membunuh aku?”

Tapi Tik Hun lantas melepaskan tangan sang guru, malah ia tetap tidak paham, sahutnja: “Mana murid berani membunuh suhu?”.

“Huh, buat apa kau mesti pura2 dungu?”, djengek Djik Tiang-hoat. “Kalau aku tidak dapat membunuh kau, maka akulah jang akan kau bunuh, kenapa mesti dibuat heran? Harta karunnja sudah djelas didepan matamu, patung Budha ini adalah emas murni tulen, didalam perutnja djuga penuh terisi intan-permata jang tak ternilai. Nah, kenapa kau tidak lantas membunuh aku? Kenapa tidak lekas membunuh aku?”.

Demikian ia ber-teriak2 suaranja penuh mengandung sifat angkara-murka dan penuh penjesalan. Suaranja itu hakikatnja bukan suara manusia lagi, tapi lebih mirip suara lengking serigala jang terluka, dan mendekati adjalnja.

Namun Tik Hun menggojang kepala sambil mundur beberapa langkah, katanja: “Djadi sebabnja Suhu hendak membunuh aku adalah lantaran patung Budha raksasa buatan dari emas murni ini?”

Begitulah sekilas Tik Hun mendjadi paham seluruhnja, demi harta benda Djik Tiang-hoat tidak segan2 mentjelakai gurunja sendiri, tidak segan membunuh Suhengnja, bahkan mentjurigai puterinja sendiri, dan sudah tentu membunuh seorang murid lebih2 bukan menjadi soal baginja.

Seketika dalam benak Tik Hun menggema kembali utjapan Ting Tian dahulu: “Gurumu berjuluk ‘Tiat-soh-heng-kang’, urusan apa jang tak mungkin diperbuatnja?”

Dan sesudah melangkah mundur dua tindak pula, Tik Hun berkata lagi: Suhu, aku tidak ingin membagi redjeki jang kau peroleh ini, boleh kau menjadi hartawan sendirian sadja. Silahkan!”.

Hampir2 Djik Tiang-hoat tidak pertjaja pada telinganja sendiri, sungguh ia tidak pertjaja bahwa didunia ini ada manusia jang tidak kemaruk kepada harta. Ia menduga sibotjah Tik Hun pasti mempunjai tipu muslihat apa lagi. Maka dengan tidak sabar lagi ia lantas membentak: “Tik Hun, kau hendak main gila apa? Bukankah ini adalah suatu patung emas, didalam perut patung penuh terisi harta mestika, kenapa kau tidak mau? Apakah kau masih mempunjai tipu muslihat lain lagi?”

Tik Hun hanja gojang2 kepala sadja dan selagi ia hendak tinggal pergi, tiba2 terdengar suara ramai orang banjak sedang mendatangi. Tjepat ia melompat keatas rumah dan memandang keluar. Maka terlihatlah serombongan orang ada ratusan banjaknja dengan membawa obor sedang mendatangi dengan tjepat. Terang itulah orang2 Kangouw dan tokoh2 Bu-lim jang berkumpul dikota Kang-leng selama hari2 terakhir ini.

Bahkan terdengar ada diantaranja sedang membentak dan memaki: “Ban Ka, keparat kau, lekas djalan, lekas! Setan kau!”

Sebenarnja Tik Hun berniat tinggal pergi, tapi demi mendengar nama ‘Ban Ka’ disebut, seketika ia urungkan maksudnja, ia masih harus membalas sakit hatinja Djik Hong.

Begitulah rombongan orang itu kemudian telah membandjir masuk kedalam kelenteng. Djelas terlihat oleh Tik Hun bahwa Ban Ka kena dipegang oleh beberapa laki2 kekar serta di-dorong2. Ia lihat hidung Ban Ka botjor, mulut keluar ketjapnja dan mata matang-biru, terang habis kenjang dihadjar orang2 itu, tapi badannja masih memakai badju sebagai guru sekolah.

Maka tahulah Tik Hun akan duduknja perkara. Djadi Ban Ka sengadja menjamar sebagai guru sekolah untuk memantjing dan membilukkan perhatian orang2 Kangouw jang berkerumun diluar pintu gerbang selatan kota itu, dengan begitu agar Ban Tjin-san sempat datang ke kelenteng bobrok ini untuk menggali harta karun.

Tapi karena dibawah pengusutan orang banjak, akhirnja tipu muslihat Ban-si-hutju itu terbongkar. Sesudah dihadjar hingga babak belur, orang2 Kang-ouw itu mengantjam djiwa Ban Ka pula ketjuali kalau ia menundjukkan tempat rahasia penjimpanan harta karun dan akhirnja mereka sampai djuga ke Se-tjong-si.

Dalam pada itu, ketika mendengar suara orang banjak, segera Djik Tiang-hoat melompat keatas altar patung dengan maksud hendak menghilangkan bekas batjokan pedang diatas patung agar sinar emas tidak dilihat oleh orang2 itu. Namun sudah agak terlambat, beberapa orang diantaranja sudah keburu berlari masuk. Dan demi nampak perut patung Budha itu berwarna kuning kemilauan, terus sadja mereka ber-teriak2 dan berlari kepatung itu, mereka membersihkan debu tanah diatas patung serta mem-batjok2 dan mengkerik pula dengan senjata mereka, maka dalam sekedjap sadja tubuh patung itu lantas bersih dan mengeluarkan tjahaja emas jang gemilapan.

Menyusul ada orang melihat pula pintu rahasia dipunggung patung itu, segera ada orang membuka pintunja terus meraup segenggam batu permata terus dimasukkan kantong sendiri.

Melihat kawannja kebandjiran redjeki, sudah tentu jang lain tidak mau ketinggalan, segera orang kedua menggentak minggir orang pertama dan dia sendiri lantas mentjedok dengan kedua tangannja hingga setangkup emas-berlian dikantongi olehnja.

Keruan orang ketiga mendjadi merah matanja segera ia dorong pergi kawannja itu dan dia juga menjerbu harta mestika itu. Bahkan ia lebih serakah lagi, be-runtun2 ia meraup dan mencomot dengan kedua tangannja secara bergiliran dan dimasukkan kedalam badjunja, dan sesudah kantong badjunja penuh segera ia gunakan ujung badju untuk mewadah batu permata itu.

Begitulah suasana seketika menjadi kacau dan gempar, orang2 itu saling berebut mengambil harta mestika itu, mereka ber-djedjal2 dan desak-mendesak, jang tidak sempat mendesak madju kepintu rahasia patung untuk mengambil sendiri, segera mereka merebut milik kawan, kalau kawan melawan, segera digendjot………..

Se-konjong2 diluar kelenteng terdengar suara tiupan terompet, pintu kelenteng lantas terpentang, berpuluh peradjurit tampak menjerbu masuk, sambil berteriak: “Tihu-taydjin tiba, siapapun dilarang bergerak, diam semua!”.

Menjusul masuklah seorang dengan pakaian kebesaran dan bersikap angkuh, itulah dia Leng Dwe-su, Tihu dari kota Kang-leng, ajahnja Leng-siotjia.

Tapi demi melihat harta mestika jang menjilaukan mata itu, para orang Kang-ouw sudah lupa daratan, djangankan tjuma seorang Tihu, biarpun radja jang datang djuga tidak mereka gubris lagi. Mereka masih tetap saling berebut dengan mati2an.

Maka seluruh ruangan kelenteng itu penuh terserak harta mestika jang kemilauan, ada mutiara mestika, ada emas-intan, ada batu permata, djamrud, merah delima, ada biru safir, ja, mungkin djuga ada koh-i-noor………………..

Peradjurit2 jang dibawa datang oleh Leng Dwe-su itu djuga manusia, dan manusia mana jang tidak ngiler akan harta karun seperti itu? Keruan saja tanpa komando peradjurit2 itu ikut berebut, bahkan perwiranja djuga tidak mau ketinggalan.

Keadaan menjadi makin katjau, Djik Tiang-hoat lagi berebut harta mestika itu, Ban Ka djuga lagi berebut, malahan tuan besar Leng Dwe-su akhirnja djuga tak tahan oleh rangsangan harta karun jang memangnja telah ditjari sekian lamanja itu. Ia kuatir kehabisan, segera iapun ikut berebut.

Tik Hun melihat diantara orang2 Kang-ouw jang berebut harta karun itu terdapat pula Ong Siau-hong dan Hoa Tiat-kan.

Dan sekali sudah saling berebut, dengan sendirinja saling hantam dan sekali saling hantam sudah tentu ada jang terluka dan terbinasa. Anehnja, dalam pertarungan sengit itu, akhirnja mendadak ada orang menubruk keatas patung Budha emas itu, patung itu dirangkul terus di-gigit2 seperti andjing gila. Ada jang menggunakan kepalanja untuk membentur patung dan ada jang meng-gosok2kan mukanja.

Tik Hun sangat heran, andaikan orang2 itu sudah buta pikiran oleh harta karun itu djuga tidak perlu sampai gila sedemikian rupa.

Dan memang betul, orang2 itu memang sudah gila, mata mereka merah membelalak, mereka saling gendjot, saling gigit dan betot. Mereka telah berubah seperti segerombol binatang buas atau anjing gila.

Tiba2 Tik Hun paham duduknja perkara: “Ja, tentu diatas harta mestika itu telah dilumasi ratjun jang sangat lihay oleh raja jang menjimpannja dahulu”.

Tik Hun tidak sudi menjaksikan lebih djauh kelakuan manusia gila jang memuakkan itu, segera ia tinggal pergi. Ia membawa Khong-sim-djay dengan menunggang kuda terus menudju djauh kearah barat sana. Ia hendak mencari suatu tempat jang sunji untuk mendidik Khong-sim-djay agar kelak mendjadi seorang manusia jang berguna, seorang manusia baru.

Akhirnja ia sampai dilembah saldju diperbatasan Tibet dahulu itu. Saat itu lagi hudjan saldju dengan lebatnja, tapi ia dapat mencapai gua jang dahulu.

Se-konjong2 dari djauh dilihatnja didepan gua itu telah berdiri seorang gadis djelita. Itulah Tjui Sing adanja!.

Dengan muka ber-seri2 Tjui Sing berlari memapak sambil berseru: “Sudah sekian lamanja aku menunggumu Tik-toako! Aku jakin akhirnja engkau pasti akan kembali ke sini. Selama ini aku…… aku tidak pernah meninggalkan lembah ini!”.

Sesudah kedua muda-mudi itu saling berhadapan, Tik Hun pegang erat2 kedua tangan Tjui Sing sambil memandang Khong-sim-djay dalam pangkuannja itu dengan tersenjum.

Dan apa jang terdjadi selandjutnja, tak perlu ditjeritakan djuga, para pembatja akan tahu sendiri……………..

– TAMAT –

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar