Nyo Ko tertegun, lekas dia merendahkan badan sarung
pedang menyapu seraya membentak : "Gendak apa ?"
Alangkah murkanya Nyo Ko mendengar nista itu, mukanya
seketika pucat lesi, Dalam hati ia junjung Siao-Iiong-li bagai malaikat dewata,
kini orang berani menista gurunya itu, seketika darah se-akan2 mendidih, tanpa
pikir lagi kerangka pedang rampasannya tadi segera dipakai sebagai pedang terus
ditusukannya pada Li Bok-chiu,
"Haha, perbuatanmu yang kotor itu memangnya takut
dibongkar orang, ya?" Li Bok-chiu tertawa meng-olok2 lagi
Namun dengan Kiam-hoat dari Coan-cin-pay, Nyo Ko
melontarkan serangan yang gencar dan lihay luar biasa, itu adalah ilmu silat
warisan mendiang Ong Tiong-yang khusus untuk mengalahkan ilmu pedang
"Giok-li-kiam-hoat" ciptaan Ong Tiao-eng, setiap serangannya selalu
diarahkan tempat yang berbahaya di tubuh Li Bok-chiu.
Sedikitpun Li Bok-chiu tak berani ayal, ia putar kebutnya
dengan sama cepatnya, ia tangkis setiap serangan dan menyambut pertempuran itu
dengan seluruh perhatiannya.
Setelah lewat beberapa jurus, Li Bok-chiu merasakan
Kiam-hoat lawannya ternyata hebat luar biasa, daya tekanannya pun semakin
berat, setiap gerak-gerik dirinya se-akan2 sudah dapat diketahui sebelumnya
oleh lawan hingga selalu kena didahului orang, kalau bukan dirinya memang lebih
ulet, mungkin sejak tadi sudah terkalahkan.
"Suhu betul2 pilih kasih, Kiam-hoat sebagus ini
hanya diajarkan pada Sumoay saja," demikian pikir Li Bok-chiu dengan
gemas. ia menyangka itu adalah Kiam-hoat golongan mereka sendiri.
Mendadak permainan silatnya berubah, tiba2 ia melompat ke
atas meja, ketika kaki kanan menendang kesamping, kaki kiri lantas berdiri di
atas sebuah cawan arak, Cara mengajaknya di atas cawan, arak itu begitu tepat
dan tantangan badannya begitu bagus, maka cawan itu sama sekali tak tumpah atau
miring barang sedikitpun
"Haha, gendakmu itu pernah mengajarkan kepandaian
seperti ini tidak?" dengan gelak tertawa Bok-chiu menyindir pula,
Nyo Ko tercengang bingung sejenak Tetapi segera ia
menjadi gusar, "Gendak apa maksudmu?" damperatnya kemudian,
"Ha, pura2 bodoh," sahut Bok-chiu,
"Sumoay-ku pernah bersumpah takkan turun gunung kalau Siu-kiong-seh belum
lenyap dari lengannya, kini dia telah turun gunung ikut kau, siapa lagi dia itu
kalau bukan gendakmu ?"
Tidak kepalang murka Nyo Ko oleh tambahan nista orang
yang keji itu, tanpa berkata lagi, kerangka pedang dia putar, begitu enjot
tubuhnya segera iapun melompat ke atas meja.
Cuma Ginkangnya masih belum memadai orang, maka tak
berani Nyo Ko berdiri di atas cawan arak melainkan di atas sebuah mangkok, lalu
kerangka pedang dia angkat terus menyerang dengan kalap.
"Ehm, tidak jelek juga Ginkangmu ini!" dengan
tertawa Li Bok-chiu mengejek pula sembari menangkis serangan orang, "Nyata
baik sekali gendakmu itu terhadapmu, sudah cinta lagi berbudi semuanya telah
diajarkan padamu."
Mendengar makin lama makin menjadi orang menistanya,
sungguh tak tertahankan asa murka Nyo Ko.
"Orang she Li kau ini manusia atau binatang?, Kau
mau bicara secara manusia tidak ?" teriaknya murka, sembari memaki iapun
menyerang lebih nekad.
"Hm, kalau ingin orang lain tak tahu kecuali kalau
diri sendiri tak berbuat" jengek Li Bok-chiu. "Ko-bong-pay kami bisa
timbul dua manusia sampah seperti kalian ini, boleh dikata telah mencoreng muka
habis-habisan."
Begitulah, seraya menyambut setiap serangan Nyo Ko,
sambil tiada hentinya Li Bok-chiu menyindir dan meng-olok2.
Karena tak tahu hal ikhwalnya, Yali Ce kakak beradik dan
Liok Bu-siang hanya saling pandang, kemudian karena Nyo Ko tak sanggup membantah
lagi sepatah-katapun, mereka berpikir tentu apa yang dikatakan Li Bok-chiu itu
adalah kejadian sebenamya, maka tanpa terasa timbul rasa hina terhadap Nyo Ko.
Harus diketahui meski ilmu silat Nyo Ko sudah jauh maju,
tetapi sama sekali Li Bok-chiu tak gentar terhadapnya, yang dia kuatirkan ialah
kalau Siao-Iiong-li sembunyi di sekitar situ hingga mendadak muncul, ini
berarti sukar baginya untuk melawannya, oleh sebab itu ia sengaja menista
mereka dengan kata2 yang se-kotornya dengan tujuan agar Siao-liong-Ii menjadi
malu dan tak berani menampakkan diri.
Dasar sifat Nyo Ko memang gampang tersinggung dan
wataknya keras, karena dinista secara kotor itu, perasaannya menjadi terpukuI,
kaki tangannya menjadi lemas dan gemetar, tiba2 kepala pun terasa puyeng, lalu
pandangannya menjadi gelap, ia menjerit sekali kerangka pedang terlepas dari
cekalannya dan orangnya pun roboh ke bawah.
Melihat ada kesempatan, Li Bok-chiu menjengek sekali,
kebutnya bekerja cepat, sekali pukul kepala Nyo Ko segera disabetnya.
Tahu keadaan sangat berbahaya, lekas Yali Ce samber dua
cawan arak dari meja terus ditimpukkan ke punggung Li Bok-chiu, kedua cawan itu
menghantam "Ci-yang-hiat" dan "Yang-koen-hiat" yang
merupakan urat nadi penting di tubuh manusia.
Mendengar dari belakang ada samberan angin Am-gi atau
senjata rahasia, namun Li Bok-cIiu cukup tinggi Lwekangnya, tiba2 ia tarik
napasnya dalam2 untuk menahan semua jalan darahnya, ia pikir sekali pukul
mampuskan Nyo Ko dahulu, sekalipun Am-gi pembokong itu mengenai punggungnya
juga takkan melukainya.
Tak tahunya, belum tiba cawannya atau arak di dalam cawan
itu sudah muncrat datang lebih dulu hingga terasa kedua urat nadi tadi rada
kesemutan.
"Celaka! Kiranya Sumoay telah datang, Araknya saja
begini lihay, apa lagi cawannya?" demikian keluhnya dalam hati.
Maka lekas2 ia putar tubuh dan ayun kebutnya ke belakang,
dengan tepat kedua cawan arak itu kena disampuknya, namun terasa juga lengannya
terguncang hebat, keruan hatinya bertambah kuatir, ia heran mengapa tenaga sang
Sumoay bisa begitu kuat kini?
Tapi sesudah dia mengawasi ia lihat orang yang
menimpukkan cawan arak itu ternyata bukan Siao-liong-li melainkan si pemuda
ganteng berdandan bangsa Mongol itu. Tentu saja hal ini semakin menambah
terperanjatnya.
"Kenapa dari angkatan muda bisa muncul begini banyak
jago2 lihay?" demikian ia membatin.
Sementara itu ia lihat pemuda, Mongol itu sudah lolos
pedang dan dengan suara nyaring membuka suara: "Cara turun tangan Sian-koh
sesungguhnya terlalu keji, maka cayhe ingin minta pengajaran beberapa
jurus."
Ia lihat si pemuda pelahan2 mendekati dirinya, langkahnya
mantap, melihat umurnya baru antara dua puluhan, tetapi gerak-geriknya cara
menimpuk cawan arak tadi ternyata sudah memiliki keuletan latihan beberapa
puluh tahun.
"Siapakah kau? siapakah gurumu ?" tanya Li
Bok-chiu dengan sorot mata yang tajam.
"Cayhe Yali Ce, anak murid Coan-cin-pay," sahut
Yali Ce dengan sedikit membungkuk tubuh.
Saat itu Nyo Ko sudah siuman kembali, ia lihat Wanyen
Peng lagi memandang padanya dengan berjongkok, matanya tertampak basah dan muka
muram durja. Dan ketika mendadak dengar Yali Ce mengaku sebagai anak murid
Coan-cin-pay, keruan Nyo Ko terperanjat.
"Apa gurumu Ma Giok atau Khu Ju-ki?" tanya Li
Bok-chiu.
"Bukan semua", jawab Yali Ce.
"Kalau begitu, tentunya Ong Ju-it bukan?" tanya
Bok-chiu pula,
"Bukan." sahut Yali Ce tetap.
Tiba2 Li Bok-chiu ketawa terkekeh.
"Dia sendiri mengaku murid Ong Tiong-yang kalau
begitu kalian berdua ini tentunya Su-heng-te (saudara seperguruan),"
katanya sambil menunjuk Nyo Ko.
"Mana bisa?" sahut Yali Ce terkejut "Sudah
lama Ong-cinjin wafat, mana bisa saudara ini adalah muridnya?"
"Huh, anak murid Coan-cin-pay memang tiada
seorangpun yang baik. Awas senjata!" ejek Li Bok-chiu, berbareng kebutnya
lantas memukul.
Dengan cepat Yali Ce melangkah ke samping, tangan kirinya
bergaya pedang segera menusuk dengan tipu "ting-yang-ciam" yang
merupakan serangan asli dari Coan-cin-tiam-hoat.
Nampak gerak tangan orang begitu jitu dan lihay, sebagai
seorang tokoh segera Li Bok-chiu tahu telah ketemukan lawan tangguh, bahwa
orang mengaku anak murid Coan-cin-pay memang bukanlah palsu, oleh karena itu,
lekas2 ia menggeser lagi, kebutnya menyabet pula secepat kilat, hanya sekejap
saja segala penjuru se-akan2 penuh dengan bayangan kebutnya yang menyamber kian
ke mari, asal lawannya sedikit kesenggol ujung kebutnya kalau tidak mati
sedikitnya akan terluka parah juga.
Meski tinggi ilmu silatnya, namun pengalaman Yali Ce
masih cetek, kini untuk pertama kalinya menghadapi lawan kuat, ia kumpulkan
seluruh semangatnya untuk menempur orang.
Maka sebentar saja mereka sudah saling gebrak lebih 40
jurus, makin merangsak Li Bok-chiu semakin maju, sebaliknya lingkaran
pertahanan Yali Ce semakin ciut, namun secara gigih ia masih bertahan,
tampaknya kekalahannya sudah pasti, tetapi seketika Li Bok-chiu hendak
merobohkan dia juga belum bisa.
"Ya, ilmu silat bocah ini memang dari Coan-cin-pay
yang murni, meski belum setingkat Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, tetapi
dibanding Sun Put-ji dan Hek Tay-thong terang tidak kalah, sungguh anak murid
Coan-cin angkatan muda banyak yang pandai," demikian Li Bok-chiu
terheran-heran.
Dan sesudah saling labrak beberapa jurus lagi, sengaja Li
Bok-chiu memberi suatu kesempatan dan membiarkan orang menyerang maju.
Yali Ce tak tahu orang sengaja memancing, tanpa pikir
pedangnya terus menusuk, siapa duga mendadak kaki Li Bok-chiu lantas melayang
hingga pergelangan tangannya kena ditendang, saking sakitnya Yali Ce tak kuasa
pegang kencang senjatanya. sungguhpun begitu, namun Yali Ce tidak menjadi
bingung, tiba2 telapak tangan kirinya memotong dari samping, sedang tangan
kanan dengan ilmu menangkap dan menawan segera digunakan untuk merebut kebut Li
Bok-chiu.
"Hah, ilmu silat yang bagus!" Li Bok-chiu
tertawa memuji.
Tatkala itu Nyo Ko sudah tak merasa puyeng lagi, segera
ia memaki: "Perempuan bangsat, selama hidupku ini tak sudi aku mengaku kau
sebagai Supek lagi!"
Habis itu, ia jinjing kerangka pedang rampasan dari Ang
Llng-po tadi terus maju mengerubut.
"Ya, ya, kau adalah laki gurumu, boleh juga kau
panggil aku Suci saja," dengan tertawa Li Bok-chiu menyindir.
Dalam pada itu, pedang Yali Ce telah menyamber tiba,
Iekas2 Li Bok-chiu angkat kebutnya, dengan ujung kebut tiba2 batang pedang kena
direbut, bahkan terus dia tarik dan ditimpukkan ke arah Nyo Ko,
Namun Nyo Ko tidak menjadi gugup, ia incar baik2
datangnya pedang itu, mendadak ia angkat kerangka sarung pedangnya terus
memapaknya.
Tanpa terasa Liok Bu-siang dan Wanyen Peng menjerit
kuatir, tetapi segera terdengar suara "sret", ternyata dengan tepat
sekali pedang itu masuk ke dalam sarung yang disodorkan ke depan oleh Nyo Ko
itu.
Dengan kerangka sarung untuk menyambut pedang,
sesungguhnya perbuatan ini terlalu berbahaya, asal pedang itu sedikit meleset
saja ditambah Iagi tenaga timpukan ti Bok-chiu itu, maka dapat dipastikan dada
Nyo Ko akan tertembus.
Harus diketahui sewaktu tinggal di kuburan kuno dahuIu,
dengan giat Nyo Ko telah melatih ilmu menggunakan Am-gi, maka soal ketajaman
mata, ketepatan waktu yang digunakan dan kejituan menaksir tempat yang diarah,
semuanya sudah terlatih begitu rupa hingga boleh dikatakan bisa dipergunakan
sesuka hatinya, sebab itulah kini ia berani unjuk ketangkasannya ini di depan
Li Bok-chiu.
Dan begitulah, segera Nyo Ko melolos pedang yg
ditancapkan, tadi dan tangan yg lain tetap pegang sarung pedang ia merangsak
maju lagi bersama Yali Ce.
Restoran itu menjadi kacau balau, meja kursi jungkir
balik tak keruan, para tamu lain sudah sejak tadi lari menyelamatkan diri Hanya
Ang Ling-po saja yang masih ikut menonton gurunya bertempur, selama Ling-po
ikut gurunya merantau, belum pernah ia saksikan gurunya dikalahkan orang, oleh
sebab itu, meski gurunya kini dikeroyok dua rausuh, namun sedikitpun Ling Po
tak kuatir, ia menonton dengan tenang di samping.
Sementara itu pertarungan ketiga orang bertambah seru,
kemudian tipu serangan Li Bok-chiu berubah lagi dengan angin pukulannya ia
desak kedua lawannya hingga sukar berdiri sekejap saja Yali Ce dan Nyo Ko
berulang kali menghadapi serangan bahaya.
"Celaka," seru Yali Yen dan Wanyen Peng,
berbareng merekapun melompat maju buat bantu kedua kawannya
Akan tetapi bertambahnya tenaga baru ini susah juga
merubah kedudukan yang sudah kalah itu, mendadak kaki Yali Yen sendiri malah
terserempet oleh ujung kebut Li Bok-chiu, saking sakitnya sampai sebelah kaki
gadis ini berlutut dan hampiri terjungkal
Melihat adiknya terpukul pikiran Yali Ce menjadi kacau,
ia kena dicecar beberapa kali oleh Li Bok-chiu, terpaksa ia mundur terus,
tampak keadaan sangat genting, dengan cepat si gadis baju hijau tadi melompat
maju untuk memayang mundur Yali Yen.
Meski dalam pertarungan sengit, namun mata telinga Li
Bok-chiu betul2 dapat bekerja dengan tajam, begitu melihat gadis baju hijau itu
melompat secara gesit dan enteng, segera ia tahu orang adalah anak murid guru
pandai, kontan saja kebutnya menyabet muka si gadis.
"She apakah nona ini? siapakah gurumu?"
demikian ia bertanya.
Jarak diantara mereka ada setombak lebih, tetapi
menyambernya kebut ternyata cepat luar biasa, sekejap saja ujung kebut itu
sudah sampai di depan muka gadis itu.
Agaknya gadis baju hijau itu terkejut, secepat kilat
tangannya bergerak, tahu2 ia lolos sebatang senjata dan kebut musuh dapat
ditangkisnya.
Melihat senjata orang yang aneh itu sepanjang kira2 tiga
kaki dan mengkilap seperti sebatang seruling, diam2 Li Bok-chiu berpikir:
"Senjata macam ini dari aliran mana ini?"
Karena curiganya itu, segera ia tambahi serangan kilat
dengan maksud memaksa gadis itu mengeluarkan kepandaian aslinya, Dan karena
gadis itu kewalahan, lekas2 Nyo Ko dan Yali Ce menubruk maju buat menolong.
Tapi sesungguhnya mereka memang tak bisa tandingi Li
Bok-chiu, hanya sekejap saja kembali kedua pemuda ini sudah terdesak dibawah
angin.
"Dalam keadaan begini, asal salah satu diantara kami
berdua ini sedikit meleng, pasti semua orang yang berada di sini akan melayang
jiwanya," demikan Nyo Ko pikir, Oleh karena itu, segera ia ber-teriak2 :
"Bini cilik, adikku sayang, Enci yang baik, Yali-sumoay, lekas kalian melarikan
diri, perempuan keparat ini terlalu lihay."
Mendengar Nyo Ko ber-teriak2 serabutan, ke-empat gadis
itu ada yang senang dan ada pula yang mengkal, tetapi melihat keadaan memang
sangat berbahaya, tanpa perintah lagi Liok Bu-siang yang per-tama2 turun loteng
restoran itu, habis itu si gadis baju hijau dengan memayang Yali Yen juga ikut
lari.
Dalam pada itu kedua pengemis tadi menyaksikan kedua
pemuda gagah perkasa ini telah melabrak Li Bok-chiu karena membela mereka,
terpikir oleh kedua pengemis ini hendak maju membantu, cuma sayang lengan
mereka sudah patah dan tak dapat berkutik Namun demikian, kedua pengemis ini
cukup setia kawan. meski Li Bok-chiu tiada tempo buat urus mereka lagi, tapi
mereka masih terus berdiri di tempatnya dan tak mau kabur mendahului Nyo Ko.
Begitulah dengan gigih Nyo Ko bertempur sejajar dengan
Yali Ce, sekuat tenaga mereka menahan serangan Li Bok-chiu yang makin lama
semakin lihay hingga akhirnya Wanyen Peng pun sudah undurkan diri dari restoran
itu.
Meski Li Bok-chiu merangsak terus dan berada di pihak
yang unggul namun dalam hati iapun gusar luar biasa. "Kurangajar kedua
bocah ini, selama hidupku siapapun tak berani merintangi kehendakku kalau
sampai Liok Bu-siang bisa lolos, sungguh gelarku Jik-lian-sian-cu bakal lenyap
tersapu bersih," demikian ia pikir dengan gemas.
Begitulah mereka terus bertempur mati-matian, dari loteng
restoran berpindah ke tengah jalan dan dari tengah jalan sampai di ladang,
"Bini cilik, adikku sayang, pergi lekas, makin jauh
makin baik! Yali-sumoay, nona baju hijau, kalianpun lekas melarikan diri, kami
berdua lelaki tak nanti mati," begitulah si Nyo Ko masih terus berteriak.
Sebaliknya Yali Ce sama sekali tak buka suara
sepatah-katapun. Usianya hanya setahun dua lebih tua daripada Nyo Ko, tetapi
yang satu bersikap keren dan sungguh2, sedang yang lain gagah dan lincah, watak
kedua pemuda ini ternyata sama sekali berbeda.
Di lain pihak karena Siao-liong-li masih tidak muncul, Li
Bok-chiu menjadi lebih berani lagi, senjata kebutnya diputar semakin kencang
menurut keinginannya.
Betapapun juga Nyo Ko dan Yali Ce memang masih selisih
jauh dibandingkan Li Bok-chiu, meski kedua pemuda itu bisa mengeluarkan
serangan yang aneh untuk mengacaukan perhatian Li Bok-chiu, namun kini mereka
berdua juga mulai payah.
Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, pikirnya:
"Tidak usah setengah jam lagi pasti jiwa kedua orang ini akan kubereskan
semua."
Dalam pada itu, tiba2 didengarnya beberapa kali suara
burung, tahu2 dua ekor rajawali menyamber ke atas kepalanya.
Kedua rajawali itu ternyata sangat tangkas dan lihay,
waktu menubruk turun, debu pasir ikut bertebaran hingga keadaan sangat
mengejutkan orang.
Nyo Ko kenal kedua ekor rajawali itu adalah binatang
piaraan Kwe Cing suami-isteri dahulu waktu dirinya masih kecil dan tinggal di
Tho-hoa-to, pernah juga bermain bersama kedua rajawali ini, ia pikir kalau kini
rajawali2 ini datang, tentu pula Kwe Cing suami-isteri berada juga di sekitar
sini, karena dirinya sudah berontak keluar dari Coan-cin-kau, sesungguhnya tak ingin
bertemu lagi dengan mereka, maka lekas2 Nyo Ko melompat mundur, ia keluarkan
topeng kulitnya dan dipakai segera.
Tatkala itu kedua ekor rajawali itu sudah menyerang pula
dari kanan-kiri dan terbang naik-turun dengan sengitnya menempur Li Bok-chiu.
Ternyata ingatan kedua rajawali itu sangat baik, mereka
masih dendam terhadap timpukkan "Peng-pok-sin-ciam" yang mengenai
kaki mereka dahulu, kini pergoki Li Bok-chiu di tengah jalan, segera juga
mereka menubruk dengan sengit, cuma kuatir merasakan lagi jarum orang yang
berbisa, maka bila Li Bok-chiu ayun tangannya segera kedua binatang itu pentang
sajap menjulang ke angkasa.
Diam2 Yali Ce menjadi heran oleh datangnya kedua rajawali
itu, melihat binatang itu susah memperoleh kemenangan, segera ia berseru: "Nyo-heng,
mari kita maju lagi bersama, kita keroyok dia dari atas dan bawah bersama
rajawali2 itu, coba bagaimana ia akan,lawan kita?"
Dan selagi ia hendak merangsak maju, se-konyong2
terdengar dari arah timur sana ramai suara derapan kuda, seorang penunggangnya
mendatangi secepat terbang.
Nyata itulah seekor kuda merah yang berkaki panjang dan
tinggi, larinya cepat tiada bandingannya, baru dengar suara menderapnya atau
tahu2 kudanya sudah sampai di depan. Semua orang menjadi heran kenapa kuda ini
bisa begini cepat larinya ?
Sementara tertampak penunggangnya adalah seorang nona
berbaju merah, kuda dan penung-gangnya bagaikan sesosok arang yang membara,
hanya muka si nona yang putih halus.
BegituIah gadis itu tarik tali kendalinya, seketika kuda
merah itu berhenti dengan cepat kuda ini bisa mendadak berhenti sewaktu berlari
keras, tanpa meringkik juga tidak berjingkrak, kelakuannya tenang dan biasa
saja, sungguh binatang bagus yang jarang diketemukan.
Sejak kecil Yali Ce dibesarkan di daerah Mongol, tidak
sedikit kuda pilihan yang sudah dilihatnya, tetapi binatang sebagus ini sungguh
belum pernah disaksikannya, keruan iapun luar biasa terkejutnya.
Hendaklah diketahui bahwa kuda merah ini adalah
"Han-hiat-po-ma" (kuda mestika berkeringat merah darah) yang
didapatkan Kwe Cing secara kebetulan di gurun pasir diwaktu mudanya.
Tatkala itu kuda merah inipun masih kecil, kini boleh
dikatakan sudah menginjak usia tua, akan tetapi binatang bagus memang tak bisa
disamakan dengan kuda biasa, sungguhpun usianya sudah tua, namun larinya masih
cepat dan kuat tak kalah dengan masa mudanya.
Dan dengan sendirinya nona penunggangnya ini bukan lain
dari pada Kwe Hu, puteri tunggal Kwe Cing dan Ui Yong dari Tho-hoa-to.
Sudah beberapa tahun Nyo Ko berpisah dengan Kwe Hu, apabila
ia ingat si gadis, selalu Nyo Ko masih sangka Kwe Hu adalah anak perempuan yang
nakal dan sombong, siapa tahu kini sudah berupa satu nona yang cantik jelita.
Di lain pihak, sesudah tahan kudanya, Kwe Hu saksikan
kedua burungnya sejenak menempur Li Bok-chiu, lalu ia melirik ke arak Yali Ce,
waktu sinar matanya sampai di muka Nyo Ko, dilihatnya Nyo Ko memakai baju orang
Mongol, mukanya sangat jelek dan aneh karena memakai kedok, tanpa terasa si
gadis mengkerut kening, wajahnya mengunjuk rasa hina pada Nyo Ko.
Sejak kecil memangnya Nyo Ko tak cocok dengan Kwe Hu,
kini setelah bertemu kembali dan melihat si gadis masih tetap benci padanya,
maka bertambah hebat rasa rendah dirinya Nyo Ko dan berduka pula. Katanya dalam
hati: "Kau pandang hina padaku, memangnya aku lantas minta2 kasihanmu?
ilmu silat ayahmu tiada bandingannya di seluruh jagad, ibumu juga pendekar
wanita pada jaman ini, Gwakongmu adalah maha guru ilmu silat, semua orang dari
segala aliran di kolong langit ini siapa yang tidak menaruh hormat pada
sekeluargamu itu? Akan tetapi, dimana ayah-bundaku? ibuku hanya wanita
penangkap ular pedusunan saja, ayahku pun tak diketahui siapa dia, matinya pun
tidak terang apa sebabnya. Hm, sudah tentu aku tak bisa dibandingkan dengan
kau, memang aku dilahirkan dengan nasib malang dan harus selalu dihina orang,
kini kau menghina aku lagi, rasanya pun tidak menjadi soal!"
Begitulah Nyo Ko berdiri terpaku dan berduka hati, ia
merasa di dunia ini tiada seorangpun yang menghargai dirinya lagi, meski hidup
rasanya pun tidak berguna. Hanya Suhu Siao-llong-li saja seorang yang
bersungguh hati terhadap dirinya, tetapi saat ini entah berada dimana sang guru
itu? Sisa hidup ini entah masih dapat bertemu tidak dengan beliau ?
Sedang Nyo Ko bersedih hati, tiba2 terdengar lagi suara
derapan kuda yang lebih riuh, kembali ada dua penunggang mendatangi.
Kedua ekor kuda ini satu kelabu dan yang lain coklat,
meski tergolong kuda bagus juga, tetapi kalau dibandingkan kuda merah
tunggangan Kwe Hu, terang selisihnya terlalu jauh. Tiap-tiap kuda itu ternyata
ditunggangi seorang pemuda dan semuanya mengenakan baju kuning.
"Bu-keh-koko (engkoh keluarga Bu), perempuan jahat
ini kembali kita ketemukan lagi," segera Kwe Hu berseru pada kedua pemuda
itu.
Kiranya pemuda2 penunggang kuda ini memang adalah Bu
Tun-si dan Bu Siu-bun kakak beradik Dan begitu melihat Li Bok-chhi, kedua
saudara Bu itu terkejut.
Li Bok-chiu adalah musuh pembunuh ibu mereka, selama
beberapa tahun ini siang malam boleh dikatakan tak pernah mereka melupakan
dendam itu, siapa tahu mendadak bisa kepergok di sini. Keruan saja mereka
menjadi murka, serentak mereka melompat turun dari kuda, pedang dan segera
mereka memapak maju tanpa bicara lagi.
"Akupun bantu kalian," teriak Kwe Hu. iapun
lolos pedangnya dan melompat turun buat bantu kawan2nya.
Melihat makin lama musuh bertambah banyak, apalagi kedua
pemuda yang datang terus merangsak maju dengan muka merah dan mata melotot
seperti hendak mengadu jiwa, bahkan Kiam-hoat yang mereka mainkan sangat bagus,
terang adalah anak murid dari guru ternama, malahan si gadis cantik tadi ikut2
menyerbu juga, pedang yang dipakai gemilapan menyilaukan mata, ternyata adalah
sebatang Pokiam atau pedang pusaka, begitu juga Kiam-hoat yang dilontarkan
lihay luar biasa. Tentu saja Li Bok-chiu terkesiap oleh semuanya ini.
"He, kau adalah nona keluarga Kwe dari Tho-hoa-to,
bukan?" tanyanya segera.
"Kau kenal juga padaku!" sahut Kwe Hu tertawa
sambil melompat ke atas terus menusuk cepat.
"Hmm, sungguh sombong kau bocah perempuan ini",
jengek Li Bok-chiu dalam hati, sembari kecutnya menangkis. "Dengan sedikit
kepandaianmu ini, kalau bukannya keder terhadap orang tuamu, jangan kata kau
hanya satu, meski sepuluh orang pun sekaligus kumampuskan semua."
Selagi ujung kebutnya diayun hendak melilit pedang orang,
sekonyong-konyong ada angin tajam menyamber lagi dari samping.
Harus diketahui bahwa ilmu silat kedua saudara Bu dan Kwe
Hu adalah sama2 ajaran Kwe Cing sendiri, ketiga muda-mudi ini tinggal setempat
di Tho-hoa-to, Kiam-hoat yang mereka pelajari adalah serupa, oleh sebab itu
setiap gerak serangan mereka bisa bekerja sama dengan rapat sekali.
Di-tambah lagi ada kedua rajawali ikut mengerubut hingga
Li Bok-chiu rada kerepotan, sebenarnya kalau lewat sedikit lama lagi pasti
salah satu diantara mereka bisa dirobohkan Li Bok-chiu dan tinggal dua yang
lain tentu sukar buat selamatkan diri.
Tetapi Li Bok-chiu berhadapan dengan orang banyak, ia
kuatir kalau lawannya mengerubut maju semua, inilah susah baginya untuk
melayani apalagi kalau Kwe Cing suami-isteri menyusul datang lagi inilah lebih
celaka baginya.
Karena pikiran itulah, begitu kebutnya menyabet lagi,
dengan tertawa ia berkata: "Lihatlah sekarang, biar nonamu unjuk permainan
joget monyet!"
Menyusul itu kebutnya menyamber ber-turut2 enam kali,
setiap serangannya selalu mengincar tempat2 yang berbahaya, maka Kwe Hu dan
Bu-si Hengte didesak hingga kelabakan dan tiada hentinya me-lompat2 menghindari
tampaknya menjadi seperti monyet.
Kemudian Li Bok-chiu menyabet lagi sekali dengan keras,
lalu ia putar tubuh sambil berseru: "Ling-po, marilah pergi!" - Habis
itu, guru dan murid inipun kabur ke arah barat laut.
"Haha, Bu-si-koko, ia ketakutan pada kita, hayo,
kejar lekas!" teriak Kwe Hu.
Selesai berkata, dengan pedang terhunus iapun mengudak cepat
Dengan ilmu entengkan tubuh segera Bu-si Hengte menyusul juga.
Namun larinya Li Bok-chiu dan Ang Ling-po ternyata cepat
luar biasa, tampaknya mereka berlenggang kangkung seenaknya, tetapi sedikitpun
tiada debu yang mengepul di bawah kaki mereka, meski Kwe Hu dan Bu-si Hengte
"tancap gas" se-kencang2nya, namun jarak diantara mereka dengan Li
Bok-chiu berdua makin lama semakin jauh.
Hanya kedua ekor rajawali itulah yang masih bisa
menyandak orang, kadang2 kedua binatang itu masih menubruk kebawah buat
memagut.
Agaknya Bu Tun-si lebih bisa berpikir, ia tahu harapan
membalas dendam hari ini tak mungkin bisa terlaksana, maka dia bersuit panjang
memanggil kembali kedua rajawali itu.
Karena kuatir ketiga orang itu terjadi sesuatu, maka Yali
Ce dan lain2nya ikut menyusul juga. Demi nampak Kwe Hu dan Bu-si Hengte sudah
balik kembali, segera mereka saling memberi hormat Dan karena mereka sama2
berwatak muda, maka begitu bicara merekapun sangat cocok satu sama lain.
"He, dimanakah Nyo-heng?" seru Yali Ce tiba-tiba
teringat pada Nyo Ko.
"Seorang diri dia sudah pergi," kata Wanyen
Peng, "Aku tanya dia hendak ke mana, tetapi dia tak gubris lagi
padaku."
Habis berkata, Wanyen Peng menunduk kesal
Waktu Yali Ce berlari ke atas tanah tinggi buat
memandang, ia lihat si gadis baju hijau itu sedang jalan berendeng dengan Liok
Bu-siang dan sudah rada jauh, karena mereka sedang bercakap dengan asyiknya,
maka tak enak Yali Ce hendak manggilnya, sebaliknya bayangan Nyo Ko sama sekali
tak kelihatan.
Sesaat itu perasaan Yali Ce se-akan2 kehilangan sesuatu
saja. Meski baru pertama kali ini ia bertemu Nyo Ko, tetapi melihat ilmu
silatnya tinggi dan wataknya jujur terus terang, sekali bertemu saja rasanya
sudah sangat cocok, walaupun didengarnya Li Bok-chiu menista orang berbuat
sesuatu yang tak senonoh dengan gurunya, tetapi betapapun juga rasa
persahabatannya dengan Nyo Ko menangkan pandangan hina karena kata2 Li Bok-chiu
itu. ia pikir:
"Seorang muda gagah perkasa seperti dia (Nyo Ko) ini
sesungguhnya susah diketemukan. Seumpama betul2 ada sesuatu perbuatannya yang
kurang baik, kalau aku menasihati dia dan asal dia mau perbaiki diri, rasanya
masih belum kecewa sebagai seorang Iaki2 sejati."
Dan kini mendadak Nyo Ko pergi tanpa pamit, Yali Ce
menjadi seperti kehilangan seorang sahabat lama.
Kiranya tadi waktu Nyo Ko melihat Bu-si Heng-te menyusul
datang dan bersama Kwe Hu mengeroyok Li Bok-chiu, kelakuan ketiga muda-mudi itu
seperti rapat dan rukun sekali, Kiam-hoat merekapun bagus luar biasa hingga
dalam beberapa gebrak saja sudah bikin Li Bok-chiu melarikan diri.
Ia tidak tahu larinya Li Bok-chiu sebab takut pada Kwe
Cing dan Ui Yong, sebaliknya ia menyangka Kiam-hoat ketiga orang itu yang
membikin Li Bok-chiu dipaksa kabur.
Pikiran ini disebabkan dahulu waktu Nyo Ko diantar ke
Cong-lam-san oleh Kwe Cing, di sana Kwe Cing telah unjuk ketangkasannya
mengalahkan tidak sedikit imam dari Coan-cin-kau, ilmu silat yang sangat tinggi
itu terlalu berkesan dalam hati kecilnya Nyo Ko, oleh sebab itu ia pikir murid
ajaran Kwe Cing sudah tentu kepandaiannya berpuluh kali lebih hebat dari pada
dirinya.
Begitulah makin dipikir makin mendongkol teringat lagi
oleh Nyo Ko dahulu di Tho-hoa-to telah dihajar Bu-si Hengte babak belur sampai
sembunyi di dalam gua semalam sehari pula terpikir olehnya Ui Yong sengaja tak
mau mengajarkan ilmu silat padanya, sebalikiya Kwe Cing malah mengirim dirinya
ke Tiong-yang-kiong untuk disiksa oleh kawanan imam jahat itu, semuanya ini
membikin perasaannya bergolak ditambah lagi dilihatnya Wanyen Peng, Liok
Bu-siang dan si gadis baju hijau serta Yali Ce sedang memandang kepada dirinya
dengan muka yang sangsi2, Nyo Ko sendiri berpikir pula. "Hm, tentu kalian
mengejek dan pandang hina padaku!"
Begitulah timbul rasa benci pada dirinya Nyo Ko, mendadak
ia angkat kaki dan lari seperti keranjingan setan, iapun tidak turuti jalanan
umum, melainkan alas pegunungan yang diterobosnya tanpa tujuan.
Dalam keadaan kehilangan pribadinya itu, Nyo Ko anggap di
seluruh kolong langit semua orang bermusuhan padanya, padahal mukanya memakai
kedok kulit, meski wajahnya berubah, Wanyen Peng dan lain2 mana bisa
mengetahuinya?
Kenapa tanpa sebab orang mengejek dan menghina padanya?
Sebenarnya Nyo Ko dari utara hendak menuju ke selatan,
tetapi kini karena ingin bisa tinggalkan orang2 itu sejauh mungkin, maka dia
malah balik menuju ke jurusan utara.
Dalam kusutnya pikiran dan benci pada sesamanya, Nyo Ko
tanggalkan kedok yang dia pakai terus gentayangan seorang diri diantara
pegunungan yang sepi, kalau perutnya lapar, ia petik buah2-an untuk mengisi
perut.
Semakin jalan semakin jauh dan makin lamapun makin
menanjak tinggi. Tiada sebulan, kondisi badan Nyo Ko sudah berubah hebat, kini
tubuhnya mulai kurus kering, pakaiannya compang-camping tak terurus, akhirnya
iapun berada di sebuah gunung besar yang tinggi.
Ia tidak tahu bahwa waktu itu dirinya berada di atas
Hoa-san (gunung Hoa), satu diantara lima gunung terbesar di kolong langit ini,
ia lihat keadaan gunung sangat curam dan terjal, tetapi dengan perasaan beku,
ia justru makin menanjak ke atas ke bagian yang tertinggi.
Walaupun Ginkang Nyo Ko sangat tinggi, tetapi Hoa-san
adalah pegunungan yang terkenal terjalnya di kolong langit ini, kalau hendak
ditanjaki begitu saja oleh Nyo Ko rasanya tak dapat dilakukannya dengan mudah.
Dan baru dia sampai di tengah gunung atau cuaca menjadi
gelap, awan mendung menutup tebal, menyusul mana turunlah hujan salju yang
berhamburan.
Tetapi dalam keadaan masgul, Nyo Ko justru semakin
menyiksa diri se-bisa2nya, bukannya dia mencari tempat meneduh, tetapi semakin
besar turunnya salju, ia melanjutkan perjalanan semakin nekad ke tempat yang
paling curam dan berbahaya, sampai hari sudah gelap, turunnya salju bertambah
lebat hingga jalanan sangat licin dan susah dikenali lagi.
Dalam keadaan begitu, kalau sedikit salah langkah saja,
dapat dipastikan Nyo Ko akan tergelincir ke dalam jurang dan badan hancur
lebur.
Namun demikian, sama sekali hal mana tak dipikirkan Nyo
Ko, ia pandang jiwanya waktu itu seperti tiada harganya dan masih terus menanjak
ke atas dengan nekat.
Tak lama pula, tiba2 Nyo Ko dengar di belakangnya ada
suara gemerisik yang sangat pelahan sekali seperti ada sesuatu binatang yang
berjalan di tanah salju itu. Waktu Nyo Ko menoleh, tiada sesuatu yang
dilihatnya, tetapi di tanah salju itu tertampak ada serentetan bekas tapak kaki
disamping bekas tapak kaki dirinya sendiri.
Nyo Ko terperanjat melihat bekas tapak kaki itu, terang
ada orang sedang menguntit dirinya, tetapi waktu ia menoleh kenapa tak sesuatu
bayangan yang dilihatnya? Kalau dibilang setan seharusnya tidak sampai
meninggalkan bekas kaki, tetapi bila manusia, kenapa gerak tubuhnya bisa begitu
cepat dan mendadak menghilang ?
Sesudah merandek sejenak, kemudian Nyo Ko berjalan lagi,
tetapi baru belasan tindak, suara gemerisik di belakangnya berbunyi pula, nyata
sekali itu adalah suara orang yang berjalan di atas salju.
Mendadak Nyo Ko menoleh lagi, dengan tindakan yang cepat
dan diluar dugaan ini, ia pikir sekali ini pasti bisa tahu siapakah gerangan
orang itu.
Siapa duga, tetap yang dia lihat hanya dua baris bekas
kaki saja di tanah salju, sedang ujung baju orang sedikitpun tak tertampak
olehnya.
Kalau orang lain, menghadapi keadaan begitu, sungguhpun
ilmu silatnya tinggi, tentu juga akan merasa takut dan mengkirik, tetapi Nyo Ko
sudah tak sayangkan jiwanya lagi, ia malah sangat ketarik oleh kejadian itu, ia
justru ingin cari tahu sampai ke-akar2nya. ia pikir di sekitarnya tiada tumbuh
pepohonan dan tempat2 lain yang bisa dibuat sembunyi pada sebelah adalah gunung
tinggi dan sebelah lain adalah jurang, apa mungkin orang itu bisa terbang ke
atas? sekalipun bisa terbang pasti akan kelihatan juga!
Begitulah sambil jalan sembari Nyo Ko memikir, sementara
itu suara gemerisik di belakang terdengar berjangkit lagi.
"Orang ini pasti berilmu silat sangat tinggi, begitu
melihat pundakku bergerak, segera ia tahu aku akan berpaling terus mendahului
sembunyi" demikian Nyo Ko membatin, "Sekali ini biar pundakku tak
bergerak, coba dia bisa lari kemana lagi?"
Lalu dengan tabah ia merangkak ke atas pula, satu saat,
mendadak ia membungkuk ke depan dan memandang ke belakang melalui sela
selangkangan.
Gaya ini adalah ajaran Auwyang Hong diwaktu melatih ilmu
secara menjungkir itu, karena sudah biasa dilatihnya, cara membungkuk dan
memandang ke belakang tadi dilakukan dengan kecepatan luar biasa, maka sekilas
dapat dilihat olen Nyo Ko ada satu bayangan orang melesat ke dalam jurang.
"Haya, celaka, sekali ini bisa tewas dia,"
teriak Nyo Ko dalam hati saking kaget.
Ketika ia melongok ke dalam jurang, tiba2 dilihatnya ada
satu orang dengan sebuah jari tangan saja menggantol di tepian batu dengan
tubuhnya tergantung Kiranya beberapa kali orang itu menggoda dan selalu dengan
cara demikianlah orang ini menyembunyikan diri.
Melihat orang sanggup menggunakan satu jari saja untuk
menahan bobot tubuhnya dan tergantung di udara yang beralaskan jurang,
sesungguhnya kepandaian orang sudah sampai taraf yang tak dapat diukur.
Oleh karenanya, dengan laku sangat hormat Nyo Ko
membungkuk tubuh dan berkata : "Silakan naiklah Locianpwe!"
Se-konyong2 orang itu ketawa ter-bahak2, begitu keras
hingga lembah pegunungan se-akan2 bergemuruh, ketika jari tangannya menarik,
orangnya seperti burung saja lantas meloncat naik dari tebing jurang itu.
"Apa kau begundalnya Ngo-kui dari Tibet? Kenapa
tengah malam buta berkeliaran di sini?" mendadak ketawa orang itu berubah
membentak.
Karena bentakan orang yang tanpa sebab tiada alasan ini,
seketika Nyo Ko tersinggung lagi perasaannya hingga mendadak ia menangis
ter-gerung2, terkenang oleh nasibnya yang malang hingga selalu dihina orang,
seorang Siao-liong-li yang dihormati dan dicintai itu tanpa sebab pula telah
mendamperat padanya dan selanjutnya tak dapat bersua lagi, saking dukanya
hingga menangisnya makin men-jadi2 se-akan2 seluruh kesedihan dari dahulu
hingga sekarang hendak dilampiaskan dalam tangisnya ini
Melihat Nyo Ko mendadak meng-gerung2 mula-mula orang itu
rada tercengang, tetapi demi mendengar tangis orang makin lama semakin duka, ia
merasa heran puk, Melihat tangis Nyo Ko men-jadi2 dan tiada habis2nya, mendadak
ia tertawa panjang se~keras2nya, paduan suara tertawa dan menangis ini menjadi
begitu hebat hingga saling berkumandang di antara Iebah2 pegunungan itu, sampai
gumpalan2 salju sama longsor oleh karena geloranya.
"Dan kau menangisi apa?" balas tanya orang itu
tetap tertawa.
Sebenarnya Nyo Ko masih hendak memaki orang dengan kata2
kasar, syukur segera teringat olehnya ilmu silat orang yang tak terukur
tingginya itu, seketika api amarahnya ditahan, malahan dengan hormat sekali ia
menjura.
"Siaujin (aku yang rendah) Nyo Ko memberi hormat
pada Locianpwe," demikian sapanya.
Tangan orang itu memegang sebatang tongkat bambu, tiba2
ia mencungkit pelahan lengan Nyo Ko, tanpa terasa tahu2 Nyo Ko "telah
terbanting kebelakang meski tenaga tongkat orang tak berapa besar.
Menurut daya bantingan itu, seharusnya Nyo-Ko akan
terbanting hingga tak sanggup berdiri lagi, namun pemuda ini sudah biasa
dilatih Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak dengan tubuh menjungkir, maka di tengah
udara ia masih bisa berjumpalitan, lalu dengan tegak ia berdiri kembali
Kejadian ini sama2 diluar dugaan kedua orang.
Dengan ilmu silat Nyo Ko sekarang ini, sekali serang
hendak bikin pemuda ini terjungkal biarpun tokoh seperti Li Bok-chiu atau segolongan
Khu Ju-ki, rasanya juga tak nanti bisa, Melihat usia Nyo Ko semuda ini sudah
melatih silat sampai tingkat begini tinggi dalam hati orang itu menjadi sangat
kagum.
"Apa yang kau tangisi tadi?" demikian orang itu
bertanya lagi
Nyo Ko amat-amati orang, ia lihat orang adalah kakek2
yang rambut jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya compang-camping seperti
seorang pengemis, walaupun malam gelap, namun di bawah pantulan sinar salju
yang memutih, lapat2 terlihat mukanya yang merah bercahaya, semangatnya pun
masih me-nyala2, tanpa terasa Nyo Ko sangat menaruh hormat padanya.
"Aku adalah seorang yang bernasib malang, hidup di
jagat ini sesungguhnya tiada gunanya, lebih baik mati saja beres,"
sahutnya kemudian.
"Siapakah yang bikin susah kau, coba katakan pada
Kongkong (kakek)," kata si pengemis tua itu.
"Ayahku dibunuh orang, tetapi aku tak tahu siapa
pembunuhnya, ibuku pun mati digigit ular, di dunia ini tiada orang lagi yang
sayang dan cinta padaku," sahut Nyo Ko.
"Em, sebatangkara, sungguh harus dikasihani,"
ujar si pengemis,tua, "Dan siapakah gurumu yang mengajarkan ilmu silat
padamu?"
Dengar orang menanyakan Suhunya, pikir Nyo Ko:
"Resminya Kwe-pekbo adalah guruku, tetapi sedikitpun ia tak ajarkan ilmu
silat padaku. Para imam busuk Coan-cin-kau itu lebih menggemaskan pula, Auwyang
Hong adalah ayah angkat dan bukan guruku, sedang Kokoh yang telah ajarkan ilmu
silat padaku, kini telah berakhir dengan demikian ini, mana bisa kuceritakan
hal ini pada orang luar?" Ong Tiong-yang Siansu (guru marhum) dan
Lim-popoh menurunkan ilmu padaku melalui ukiran2 di kamar kuburan itu, rasanya
juga belum dapat dikatakan sebagai Suhuku, sungguhpun guruku begitu banyak,
tetapi satupuh ternyata tak bisa di-sebutkan."
Demikianlah pertanyaan pengemis tua itu jadi menusuk
perasaannya lagi hingga mendadak ia me-nangis2 ter-gerung2 pula, "Aku tak
punya Suhu, aku tak punya Suhu!" ia ber-teriak2.
"Baiklah, baiklah! Kau tak mau mengaku juga tak
mengapalah!" ujar pengemis tua.
"Bukan aku tak mau katakan, tetapi aku tak punya,"
sahut Nyo Ko ter-guguk2.
"Tidak punya ya sudah, perlu apa menangis
lagi?" kata si pengemis tua. "Melihat kau berjalan seorang diri di
malam gelap, tadi aku sangka kau adalah begundalnya Ngo-kui dari Tibet, kini
ternyata bukan, biarlah Lokiauhoa (pengemis tua) terima kau sebagai murid
saja."
Kiranya orang ini bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang
Chit-kong, Si pengemis sakti berjari sembilan, namanya sejajar dengan Tang-sia,
Setok, Lam-te dan Ong Tiong-yang.
DahuIu sesudah kedudukan Pangcu (ketua persatuan
pengemis) dia turunkan pada Ui Yong, lalu seorang diri ia merantau ke timur dan
ke barat untuk mencari makanan2 yang paling aneh dan enak seluruh jagat.
Memang ciri satu2nya Ang Chit-kong yalah suka makan,
untuk mencari makanan enak, ia tak segan2 memasuki keraton raja untuk mencuri
masakan yang ingin dicicipinya itu, jadi sebelum raja makan, setiap masakan
tentu dia cicipi dahulu.
Bahkan untuk penganan enak ia tidak sungkan untuk berebut
tanpa pikirkan akibat-nya, saking rakusnya terhadap penganan, suatu kali dalam
gemasnya ia sampai hukum dirinya sendiri dengan memotong sebuah jari telunjuk,
oleh karena inilah ia disebut "Kiu-ci-sin-kay" atau Si-pengemis sakti
berjari sembilan, walaupun demikian, toh cirinya yang rakus itu masih belum
bisa hilang,
Begitulah, oleh karena daerah Kwitang terkenal nyaman dan
paling banyak terdapat makanan yang aneh2, maka Ang Chit-kong sampai di
propinsi ini, ia menjadi kerasan dan sudah belasan tahun tak pernah kembali ke
daerah utara lagi.
0rang2 Bu-lim menyangka usia Ang Chit-kong sudah lanjut,
mungkin sudah lama wafat, siapa tahu ia justru hidup sehat di Kwitang merasai
segala macam penganan di mulai dari sebangsa semut, tikus sampai ular2 berbisa
dan lain sebagainya semua dimakannya, rejeki mulutnya sungguh tidak sedikit.
Tahun itu dua "Kui" dari
Cong-pian-ngo-kui" atau lima momok dari Tibet melakukan pembunuhan
se-wenang2 di Kwitang, Dasar Ang Chit-kong benci pada kejahatan seperti
musuhnya, sebenarnya kedua Kui atau kedua momok itu sekaligus hendak dibunuhnya,
tapi karena ingin juga sekalian bisa bereskan yang lain2, maka sengaja ia
kuntit orang, ia tunggu bila kelima momok itu sudah berkumpul semua baru
sekaligus akan dibasminya semua, siapa tahu karena menguntitnya itu akhirnya
sampai di atas Hoa-san.
Waktu itu, empat momok dari Tibet itu sudah berkumpuI,
hanya Toa Kui, si momok pertama, yang belum datang, siapa tahu di tengah malam
Nyo Ko yang dia ketemukan di tanah salju itu, kini mendengar pemuda ini begitu
sedih menangis, tiba2 hatinya tertarik dan hendak-terima Nyo Ko sebagai murid.
Selama hidup Ang Chit-kong, murid yang diterimanya secara
resmi hanya Kwe Cing dan Ui Yong berdua, kini entah mengapa, tiba2 ia
mengatakan sendiri ingin terima Nyo Ko. ia pikir bocah ini pasti girang luar
biasa dan menghaturkan terima kasih.
Siapa tahu, sedikitpun Nyo Ko tak pernah melupakan
Siao-liong-li, ia sudah ambil keputusan tak mau lagi mengangkat guru "yang
kedua.
Sebab itulah ia telah geleng2 kepala dan menjawab :
"Terima kasih atas maksud baikmu, tetapi aku tak mau angkat kau sebagai
guru."
Jawaban Nyo Ko ini sangat mengherankan Ang Chit-kong,
dasar pengemis tua ini wataknya sangat berkeras pada kata2nya sendiri, maka ia
bilang lagi: "Kau tak mau angkat guru padaku, tetapi aku justru ingin kau
menjadi muridku."
"Kau mau pukul mati aku, boleh silakan memukul saja,
tetapi ingin aku angkat guru, itulah tidak bisa," sahut Nyo Ko tetap.
Nampak tabiat orang sama kerasnya dan kukuh pada
pendiriannya sendiri, Ang Chit-kong bertambah suka padanya.
"Sudahlah, kita jangan bicara urusan ini dulu,
agaknya kaupun sudah lapar, marilah kita makan dulu baru berunding lagi,"
katanya,
Habis itu, ia berjongkok di tanah salju dan
menggaruk-garuk untuk mendapatkan beberapa kayu kering, dengan inilah lalu
dinyalakan api.
"Hendak makan masakan apakah kita?" tanya Nyo
Ko sambil bantu orang mengumpulkan kayu,
"Kelabang!" sahut Chit-kong singkat
"Kelabang? Ah, mana mungkin!" demikian Nyo Ko
pikir, ia sangka orang cuma berguyon saja, maka ia hanya tersenyum dan tak
tanya Iagi.
"Dengan susah payah aku kintil Cong-pian Ngo-kui
dari Linglam (nama lain dari Kwitang) sampai di Hoa-san sini, kalau tidak
mencari beberapa macam makanan enak yang aneh2, rasanya tak enak terhadap
kawanku ini!" kata Chit-kong sambil tepuk2 perut sendiri.
Nyo Ko lihat perawakan pengemis tua ini kekar kuat, hanya
perutnya yang rada gendut
"Hoa-san adalah tempat yang paling teduh, tempat
paling dingin di kolong langit ini, produksi kelabangnya adalah paling gemuk
dan halus pula.
Hawa di Kwitang sebaliknya panas, segala makhluk hidup di
sana lebih cepat tumbuh besar, maka daging kelabangnya pun rada kasar,"
demikian Ang Chit-kong mencerocos pula dengan teori ilmu makannya
Mau-tak-mau Nyo Ko rada heran mendengar orang berkata
secara sungguh2 dan kelihatan bukan bergurau belaka.
Sembari berkata Ang Chit-kong tambahi kayu pada api
unggunnya, kemudian ia keluarkan sebuah wajan kecil dari buntalannya dan
ditaruh di atas api, ia mengepal dua gelondong salju dan dimasukkan kedalam
wajan.
"Mari ikut pergi mengambil kelabang," kata-nya.
Selesai berkata, sekali melesat, tahu2 orangnya sudah melompat ke atas tebing
gunung setinggi lebih dua tombak.
Melihat tebing gunung itu begitu terjal, seketika Nyo Ko
ragu2 tak berani ikut manjat ke atas.
"Anak tak berguna, lekas naik sini!" seru Ang
Chit-kong.
Nyo Ko paiing benci kalau ada orang pandang hina padanya,
kini dikatai tak berguna oleh Ang Chit-kong, tiba2 ia kertak gigi terus ikut
merangkak ke atas.
"Hm, memangnya aku sudah tak pikirkan mati atau
hidup lagi, biarkan mati tergelincir juga tak apalah," diam2 ia berpikir.
Karena marahnya itu, nyalinya menjadi besar, Ginkang yang
dia keluarkan bisa digunakan lebih hebat, maka dengan kencang ia ikut di
belakang Ang Chit-kong, meski tempat2 yang paiing curam dan berbahaya, akhirnya
dapat dipanjatnya juga.
Hanya sebentar saja mereka berdua sudah memanjat sampai
di atas puncak gunung yang tak pernah diinjak manusia.
Melihat Nyo Ko memiliki Ginkang yang bagus dan hatinya
begitu tabah, Ang Chit-kong menjadi tambah suka padanya.
"Anak bagus, tak bisa tidak aku harus terima kau
sebagai murid," demikian ia memuji.
"Terima kasih Locianpwe, kalau locianpwe ada
perintah apa2, siaujin tidak nanti bantah, tentang soal angkat guru, harap
jangan disebut puIa," sahut Nyo Ko.
Ang Chit-kong tahu pasti ada ganjelan hati orang yang
sukar diucapkan, sebenarnya ia hendak menanya, tetapi teringat akan makanan
enak yang harus diberi "prioritas" lebih dulu, maka cepat ia
mendekati sebuah batu padas, ia gali tanah di bawah batu itu, maka tertampaklah
seekor ayam jago yang sudah mati
Luar biasa herannya Nyo Ko.
"Eh, kenapa ada bangkai ayam jago disitu?"
katanya heran, Namun iapun segera mengerti: "Ah, engkau sendirilah yang
memendamnya."
Ang Ching-kong tak menjawab, ia hanya tersenyum dan angkat
bangkai ayam jago itu.
Mata Nyo Ko sudah terlatih memandang di waktu malam,
apalagi kini di bawah sorotan sinar salju yang membalik itu, maka tertampaklah
olehnya di bawah perut bangkai jago itu penuh lengket beratus ekor kelabang
yang panjangnya rata2 belasan senti dengan warna merah-hitam yang
belang-bonteng.
Sejak kecil Nyo Ko sudah berkawan dengan ular, sebenarnya
ia tidak takut terhadap binatang berbisa, tetapi demi mendadak nampak kelabang
sebanyak ini, saking seramnya tidak urung ia mengkirik juga.
"Haha," sebaliknya Ang Chit-kong lantas tertawa
riang, "Kelabang ini memang musuh kawakan ayam jago, kemarin di sini
sengaja kupendam seekor bangkai jago, betul saja keIabang2 ini kena dipancing
datang semua."
Habis ini diapun mengeluarkan kain pembungkus, bangkai
ayam jago berikut kelabang2 yang masih melengket itu ia buntal seluruhnya, lalu
dengan riang gembira ia merosot turun dari puncak gunung itu.
"Apa benar2 akan makan kelabang? Kalau melihat
sikapnya, tampaknya bukannya sengaja buat menakuti aku," pikir Nyo Ko
diam2 sambil ikut di belakang orang.
Sementara itu air salju yang digodok dengan wajan Ang
Chit-kong tadi sudah mendidih, Ang Chit-kong buka buntalannya tadi, ia tarik
ekor tiap2 ke!abang dan dicemplungkan ke dalam wajan. Kelabang2 itu semula
kerupukan dalam air mendidih, tapi sekejap saja lantas kaku dan tak berkutik.
"Sebelum mati, kelabang2 ini telah muntahkan semua
racun yang berada padanya, oleh sebab itu, air salju dalam wajan ini luar biasa
jahat bisanya," ujar Chit-kong.
Kemudian ia gali sebuah lobang di tanah salju itu, ia
tuang air berbisa itu ke dalamnya, saking dingin suhu di atas gunung ini, maka
sebentar saja air beracun itu sudah membeku menjadi es.
Habis itu Ang Chit-kong keluarkan sebilah pisau kecil, ia
potong kepala dan buntut tiap2 kelabang, lalu dipelocoti satu per satu, dengan
gampang saja kulit kelabang2 itu mengelotok hingga daging kelabang kelihatan
putih bersih seperti daging udang.
"Dengan caranya rnengolah ini, boleh jadi memang
dapat dimakan?" demikian pikir Nyo Ko, akhirnya ia jadi ketarik.
Ia lihat Ang Chit-kong menggodok lagi dua wajan air
salju, daging kelabang itu dia cuci bersih tanpa ketinggalan setetes air racun,
habis itu ia keluarkan lagi beberapa kaleng kecil dari buntalannya Kaleng2 kecil
ini ternyata berisi bumbul masak sebangsa minyak, garam, kecap, cuka dan lain2.
Lebih dulu wajan dibikin panas dengan minyak mendidih, kemudian daging kelabang
itu dituang ke dalamnya untuk digoreng, begitu daging kelabang itu masuk wajan,
maka terciumlah bau sedap yang bikin orang mengilar.
Melihat macamnya Ang Chit-kong yang berulang kali telan
air liur, biji lehernya tampak naik turun, sifat rakusnya nyata2 kelihatan,
mau-tak-mau Nyo Ko ter-heran2 dan merasa geli pula.
Setelah kelabang2 itu digoreng sampai berwarna kuning,
kemudian Ang Chit-kong tambah bumbunya, selesai itu, tanpa tunggu2 lagi ia
comot seekor terus dimasukkan ke mulutnya, dengan pelahan ia mengunyah, matanya
meram-melek, begitu nikmatnya sampai ia menghela napas, rasanya tiada sesuatu
lagi di dunia ini yang lebih nikmat dari pada saat ini.
Sekaligus bet-turut2 ia pindahkan belasan ke-labang ke
perutnya, habis itu baru ia katakan pada Nyo Ko: "Hayo, makan! Sungkan2
apa lagi?"
Akan tetapi Nyo Ko menggeleng kepala, "Tidak, aku
tak doyan," sahutnya.
Ang Chit-kong tertegun sejenak, tapi segera ia ketawa
ter-bahak2.
"Ya, ya, betul, tidak sedikit orang gagah perkasa
yang pernah kujumpai sekalipun mereka dipenggal kepala dan alirkan darah tidak
nanti mereka mengkerut kening, tetapi kalau bicara soal makan kelabang, tiada
seorangpun yang berani tiru aku Ang Chit-kong. Ha, kau bocah ini hanya bermulut
besar saja, sesungguhnya kau juga setan cilik bernyali kecil," demikian
katanya.
Dikatai bernyali kecil, Nyo Ko menjadi dongkol, pikirnya
: "Biar aku pejamkan mata dan tanpa mengunyah terus telan saja beberapa
ekor kelabang itu, supaya tidak dipandang rendah olehnya."
Maka dengan menggunakan dua tangkai lidi sebagai sumpit,
cepat ia jepit seekor kelabang goreng itu.
Siapa tahu, sebelum kelabang itu masuk mulutnya, rupanya
Ang Chit-kong sudah bisa menerka apa yang dia pikirkan tadi.
"Tanpa mengunyah sedikitpun sambil tutup mata kau
telan sekaligus belasan kelabang, ini namanya akal bulus dan bukan cara gagah
kesatria," kata pengemis tua itu.
"Masakah makan kelabang saja ada soal gagah kesatria
segala?" sahut Nyo Ko tertawa dingin.
"Ya, di jagat ini tidak sedikit orang yang tanpa
malu2 mengaku dirinya gagah kesatria, tetapi yang berani makan kelabang rasanya
tiada seberapa orang," kata Chit-kong.
Nyo Ko menjadi nekat karena dipandang rendah oleh orang,
ia pikir paling banyak hanya mati, kenapa harus takut.
Maka kelabang yang dia sumpit tadi segera dimasukkan ke
dalam mulut terus dikunyah.
Kalau tak dikunyah masih tak mengapa, tetapi karena jadi
dikunyahnya ini, seketika terasa daging kelabang itu sedemikian gurih, begitu
wangi dan begitu enak, sungguh selama hidupnya belum pernah mengenyam makanan
yang begitu lezat rasanya. Karuan ia tidak mau sudah, cepat ia telan daging
kelabang itu, lalu sumpitnya menyamber lagi kelabang yang kedua.
"Em, hebat, sungguh hebat rasanya!" demikian
berulang kali ia memuji.
Nampak bocah ini telah kenal rasa dan menjadi tuman, Ang
Chit-kong girang sekali, segerapun ia berebut duluan dengan Nyo Ko, hanya sekejap
saja ratusan kelabang itu sudah mereka sapu bersih.
Bagi Ang Chit-kong kelabang sebanyak itu rasanya masih
belum Cukua, lidahnya menggigit bibir, sungguh kalau bisa ia pingin isi
perutnya 100 ekor kelabang lagi.
"Biar aku pendam bangkai jago ini buat pancing
kelabang yang Iain," kata Nyo Ko tiba2. ia betul sudah tuman oleh rasa
gurihnya kelabang goreng tadi.
"Tak bisa jadi lagi," sahut Chit-kong,
"bangkai jago itu sudah hilang daya penariknya, pula di sekitar sini
kelabang2 yang gemuk sudah tak tersisa lagi.
Habis berkata, mendadak ia menguap sambil mengulet
ngantuk, tahu2 iapun merebahkan diri ke tanah salju.
"Sudah ada 7 hari 7 malam aku tak tidur,"
demikian ia kata, "setelah makan enak besarZan ini, biarlah aku tidur
se-puas2nya selama tiga hari, seandainya langit bakal ambruk juga jangan kau
bangunkan aku."
Sembari berkata suara menggeros pun mulai terdengar,
ternyata lantas pulas begitu saja.
"Cianpwe ini sungguh orang yang sangat aneh,"
batin Nyo Ko. "Baiklah akupun tiada tempat tujuan, ia bilang mau tidur
tiga hari, biar akupun tunggu tiga hari padanya."
Sementara itu bunga salju terus turun tiada hentinya,
seluruh tubuh Ang Chit-kong sudah penuh tertutup salju yang putih seperti
kapas.
Tubuh manusia bersuhu panas, bunga salju tentu akan cair
karena hawa panas itu, tetapi kenapa bisa tertimbun di atas muka dan tubuhnya,
hal ini mula2 bikin Nyo Ko tak mengerti tetapi setelah ia pikir, segera iapun
tahulah.
"Ya, ya, tentu diwaktu tidur ia telah keluarkan
tenaga sakti untuk menghimpun suhu panas ke dalam badannya, Seorang yang masih
hidup segar waktu tidur ternyata bisa kaku seperti mayat, lwekang semacam ini
sesungguhnya sangat hebat, mungkin mendiang Suhu Ong Tiong-yang hidup kembali
juga tidak selihay dia ini," demikianlah pikirnya.
Sementara itu hari sudah hampir pagi, tubuh Ang Chit-kong
telah terkubur di dalam salju, di atas tanah hanya kelihatan sedikit tonjolan,
bekas badannya sudah tak kelihatan lagi
Nyo Ko sendiri tidak merasa letih, waktu ia mendongak, ia
lihat keadaan gelap gulita dan-sunyi senyap.
Mendadak ia dikejutkan oleh suara gemerisik seperti orang
berjalan di jurusan timur gunung itu, Waktu ia tegasi, dari jauh kelihatan
mendatangi lima bayangan orang dengan kecepatan luar biasa, terang sekali
semuanya berilmu silat amat tinggi
"Ah, tentu inilah Ngo-kui dari daerah Tibet yang
dikatakan Locianpwe ini tadi," pikiran Nyo Ko tergerak tiba2. Karena itu,
lekas2 ia sembunyi di belakang batu padas.
Tidak lama kelima orang itu sudah sampai di depan batu
padas tempat sembunyi Nyo Ko, seorang diantaranya terdengar bersuara heran.
"He, wajan pengemis tua itu ada di sini, pasti dia
berada di sekitar sini saja," kata orang itu.
Rupanya kelima orang itu merasa heran dan jeri, lalu
mereka berkumpul untuk berunding dengan bisik2. Habis ini, mendadak mereka
terpencar pergi buat memeriksa keadaan sekitar tempat ini.
Karena tempat di atas puncak gunung itu memang sempit,
maka tidak seberapa langkah mereka mencari, seorang di antaranya kena injak
badan Ang Chit-ong yang tertutup salju itu. Karena kakinya tiba2 menginjak
tempat Iunak, dalam kagetnya sampai ia menjerit.
Dengan serta merta keempat saudaranya lantas merubung dan
menggali timbunan salju itu, maka tertampaklah Ang Chit-kong yang kaku dan
seperti sudah mati. Tentu saja kelima orang itu sangat girang, mereka coba
periksa pernapasan Ang Chit-kong, terasa sudah berhenti tubuhpun dingin
membeku.
"Pengemis tua ini terus menguntit aku sepanjang
jalan hingga aku menjadi sebal digodanya, tak tahunya kini sudah mampus di
sini," kata seorang diantaranya.
"Orang ini sangat hebat ilmu silatnya, tanpa sebab
kenapa mati?" ujar yang lain ragu2.
"ilmu silat bagus apa tidak bisa mati?" debat
yang kin pula, "Pikir saja, umurnya kini sudah berapa?"
Karena kata2 terakhir ini, empat orang yang lain
menyatakan benar, kata mereka: "Ya, beruntung ia telah dipanggil raja
akherat, kalau tidak, sesungguhnya sukar dilawan."
"Hayo, kita masing2 bacok tua bangka ini sekali buat
lampiaskan mendongkol kita! Biarkan dia gagah perkasa, sesudah mati mayatnya
pun tak bisa utuh," ajak orang yang pertama tadi.
Saat itu sebenarnya Nyo Ko sudah siapkan segenggam
Giok-hong-ciam, ia pikir untuk melawan lima orang agak sulit, tiada jalan lain
kecuali cari kesempatan menyerang dulu dengan Am-gi, kalau dua-tiga orang sudah
dirobohkan, sisanya tentu akan menjadi gampang dibereskan.
Tetapi dasar usianya masih muda dan kurang sabar, ketika
didengarnya orang bilang hendak bacok tubuh Ang Chit-kong, ia kuatir orang
benar2 mencelakai pengemis tua itu, maka Am-gi belum sempat dihamburkan
satupun, dengan sekali gertak ia sudah melompat keluar dari tempat sembunyinya.
Karena tak bersenjata, terpaksa Nyo Ko samber sekenanya
dua tangkai kayu dan digunakan sebagai Boan-koan-pit, begitu kedua tangannya
bergerak be-runtun2 ia menyerang lima kali, tiap2 serangannya mengincar Hiat-to
kelima orang itu.
Lirna serangannya ini boleh dikatakan dilakukan secepat
kilat, cuma sayang ia telah membentak dahulu hingga Ngo-kui keburu ber-jaga2,
kalau tidak, sedikitnya satu-dua orang diantara mereka pasti ada yang
dirobohkan.
Sekalipun begitu, tidak urung Ngo-kui kaget hingga
berkeringat dingin, lekas2 mereka melompat.
Ngo-kui semuanya memakai senjata golok tebal, ilmu silat
mereka didapat dari satu guru, meski kepandaian masing2 ada beda antara tinggi
dan rendah, tetapi cara2nya adalah sama.
Ketika mereka berpaling dan melihat Nyo Ko hanya satu
pemuda "ingusan" yang bajunya rombeng, senjata yang dipakai hanya dua
kayu bakar, sikapnya kikuk-kikuk, wajahnya biasa, seketika rasa kaget mereka
pun hilang.
"Hai, anak busuk, apa kau adalah pengemis kecil dari
Kay-pang?" segera Tay-kui, si Kui (setan jelek) tertua membentak:
"Cosuya-mu sudah melayang jiwanya, lekas kau berlutut dan minta ampun
saja."
"Ya, baik, biar aku menjura padamu", sahut Nyo
Ko tiba2.
Tadi waktu menyaksikan caranya Ngo-kui berkelit Nyo Ko
sudah dapat meraba sampai dimana ilmu silat mereka. ia menaksir kalau seorang
lawan seorang, kelima orang ini tiada yang bisa menangkan dirinya, tetapi kalau
main keroyok, ia sendiri pun tak ungkuIan.
Tetapi Nyo Ko memang anak cerdik, ketika mendengar
Tay-kui berteriak agar menjura padanya, segera ia sambut baik terus melangkah
maju dan berlagak menjura. Tak terduga mendadak kedua tangannya terus menyabet
ke samping secepat kilat dengan gerak tipu "tui-jong-bong-goat"
(mendorong jendela memandang rembulan).
Waktu itu yang berdiri di sisi kirinya adalah Go-kui dan
sisi kanan Sam-kui.
Tipu serangan "Tui-jong-bong-goat" ini
dilontarkan secara tak kenal ampun, Sam-kui lebih tinggi kepandaiannya ia sempat
angkat goloknya buat menangkis, tetapi begitu punggung goloknya kena disabet
tangkai kayu Nyo Ko, ia merasa lengannya kesakitan hingga goloknya hampir tak
kuat digenggam Iagi.
Sebaliknya Go-kui telah kena disaber tulang kakinya,
terdengar suara "keletak", meski tulang kaki tak sampai patah, namun
saking sakitnya Go-kui telah berjingkrak memegangi kakinya.
Empat saudaranya menjadi gusar, senjata mereka menyamber
menghujam Nyo Ko dengan kalap.
Tetapi dengan gesit Nyo Ko dapat lompat kian kemari untuk
berkelit hingga seketika empat "Kui" itu tak mampu berbuat apapun.
Tak lama dengan kaki pincang Go-kui ikut masuk kalangan
pertempuran lagi. ia adalah jagoan Bu-lim, tetapi kena dikibuli seorang anak
kemarin, tentu saja gusarnya bukan buatan.
Nyo Ko sudah mendapatkan pelajaran asli Giok-li-sim-keng,
Ginkangnya jauh di atas Ngo-kui dari Tibet ini, kalau ia niat lari, sebenarnya
tidak sukar baginya, tetapi ia kuatir Ang Chit-kong kalau ditinggal pergi tentu
dicelakai Ngo-kui, oleh karena itu ia tak berani menyingkir jauh hingga sebab
itu pula ia tak bisa bertempur secara Ieluasa, akhirnya ia sendiri berulang
kali harus menghadapi serangan bahaya.
Tetapi kemudian terpikir lagi olehnya, tiada jalan lain
kecuali melarikan diri, maka pada suatu kesempatan se-konyong2 ia samber tubuh
Ang Chit-kong, ia putar tangkai kayu terus menerjang pergi sekaligus ia berlari
sampai beberapa tombak jauhnya.
Tentu saja Ngo-kui lantas mengudak, cuma kepandaian
mereka ada yang tinggi dan ada yang rendah, maka sekejap saja yang tiga orang
berada di depan dan yang dua ketinggalan di belakang.
Merasakan tubuh Ang Chit-kong yang dia kempit itu
sedingin es, mau-tak-mau Nyo Ko menjadi kuatir, ia pikir betapapun nyenyak
tidurnya seharusnya akan terbangun juga, aku diudak musuh, kenapa ia diam saja
tak mau menolong? Jangan2 pengemis tua ini memang benar2 telah mati?
"Locianpwe, Locianpwe!" ia coba teriaki Ang
Chit-kong.
Tetapi pengemis tua ini tetap tak bergerak sedikitpun
seperti mayat saja, cuma tidak kaku.
Dan karena sedikit merandeknya Nyo Ko, di belakang
Tay-kui sudah menyusul datang, karena takut pada kepandaian Nyo Ko yang lihay,
seorang diri Tay-kui tak berani terlalu dekat, ketika ia tunggu datangnya kedua
saudaranya yang lain, sebaliknya Nyo Ko sudah lari lagi sejauh beberapa puluh
tombak.
Melihat jalan yang diambil Nyo Ko yalah panjat terus ke
puncak gunung, puncak itu melulu ada satu jalan kecil, maka Ngo-kui menjadi
heran, apa bocah ini bisa terbang ke langit?
Sebab itulah merekapun tak perlu buru2 mengejar mereka
menyusul dari belakang dengan pelahan saja.
Jalan pegunungan itu makin jauh makin curam, sampai suatu
tempat tikungan, tiba2 Nyo Ko melihat di kedua samping adalah jurang yang
beribu tombak dalamnya, di tengah hanya ada sebuah jembatan batu sempit yang
hanya cukup dilalui seorang saja.
"Aha, bagus sekali tempat ini, biar disini juga aku
tahan mereka selama tiga hari," demikian pikir Nyo Ko. "Tetapi kalau
hari ke-4 Locianpwe ini masih belum bangun, aku... aku..."
Sampai disini ia tak berani berpikir lagi, sungguh ia tak
tahu apa yang harus diperbuatnya apa bila sampai saatnya Ang Chit-kong masih
belum sadar.
Segera pula ia percepat larinya melintasi jembatan batu
ciptaan alam itu, ia rebahkan Ang Chit-kong di bawah satu batu padas di ujung
jembatan sana, lalu dengan cepat ia putar balik, sementara itu Tay-kui sudah
menyusul sampai di ujung jembatan.
"Siluman jelek, berani kau maju?" bentak Nyo Ko
tiba2 sambil menerjang ke depan.
Karena takut ketumbuk dengan Nyo Ko hingga ke-dua2nya
tergelincir masuk jurang, lekas2 Tay-kui mundur ke belakang.
Waktu itu fajar sudah menyingsing, sang surya sudah
menampakkan diri di ufuk timur dengan cahayanya yang kuning ke-emas2an, salju
sudah berhenti turun, lapisan salju yang menutupi seluruh gunung di bawah
sorotan sinar matahari, sungguh pemandangan indah yang tiada bandingannya.
Dengan berdiri di tengah jembatan langit itu, tiba2 Nyo
Ko pasang kedok kulit manusia di mukanya.
"Hayo, siapa yang lebih jelek, kau atau aku?"
bentaknya.
Wajah Ngo-kui dari Tibet ini semuanya memang sangat
jelek, tetapi lebih jelek lagi adalah sepak terjang mereka yang jahat, Kini
mendadak melihat Nyo Ko berubah wajah yang lain, pucat kuning, kaku tanpa
perasaan, mirip seperti mayat hidup yang baru muncul dari kuburan, Seketika
Ngo-kui saling pandang dengan kaget.
Pelahan Nyo Ko mundur ke tengah jembatan batu itu, dengan
gaya "Kim-ke-tok-lip" atau ayam emas berdiri dengan kaki tunggal, ia
berdiri dengan kaki kiri dan kaki kanan sengaja menendang pelahan ke atas
sambil ber-gerak.2 diantara hembusan angin pegunungan yang silir, tampaknya
alangkah gembiranya pemuda ini.
"Darimanakah Kay-pang mendadak bisa muncul seorang
kesatria muda ini?" demikian diam2 Ngo-kui berpikir.
Dan karena tak berani menerjang ke jembatan alam itu,
kemudian mereka lantas berunding. Keputusan diambil: mereka akan berjaga secara
bergilir untuk mencari bahan makanan ke bawah gunung, dengan demikian tidak
sampai dua hari "mereka yakin pemuda itu pasti akan kewalahan karena
kelaparan.
Begitulah, lalu empat saudara mereka menjaga rapat di
ujung jembatan alam itu dan Ji-kui yang diutus pergi mencari bahan makanan ke
bawah gunung.
Dengan cara demikian kedua pihak saling bertahan sampai
setengah harian, Nyo Ko tak berani menyeberang ke sana, sebaliknya Su-kui juga
tak berani menyeberang kesini."
Sampai lewat lohor, Nyo Ko duduk bersemadi untuk
kumpulkan tenaga. Sampai besok paginya, Ji-kui datang kembali dengan membawa
makanan, kelima saudara itu sengaja makan dengan bernapsu untuk meng-iming2 Nyo
Ko.
Memangnya Nyo Ko sudah kelaparan, tentu saja ia mengiler,
menyaksikan orang makan begitu enak. Waktu ia Berpaling memandang Ang
Chit-kong, ia lihat pengemis tua ini masih tetap serupa saja seperti hari
pertama, pikirnya: "Jika betul2 tidur, adalah lazim kalau suatu ketikapun
akan membalik tubuh, tetapi ia justru tidak bergerak sedikitpun jangan2 memang
benar2 telah mati? Kalau aku bertahan lagi satu hari, bila lebih lapar dan tak
bertenaga, tentu lebih susah lagi untuk lawan kelima musuh itu. Tidaklah lebih
baik terjang pergi sekarang saja mungkin masih bisa menyelamatkan diri."
Pelahan2 Nyo Ko berdiri, tetapi lantas terpikir lagi
olehnya: "la bilang akan tidur selama tiga hari, kini baru hari kedua,
lebih baik jangan kutinggalkan pergi begitu saja."
Maka dengan menahan perut yang keroncongan tiada
hentinya, ia pejamkan mata melatih lwekang sendiri, tak dipandangnya lagi
Ngo-kui yang sedang makan itu.
Sampai hari ketiga, Ang Chit-kong masih merebah saja
seperti hari pertama, makin melihat Nyo Ko menjadi semakin sangsi.
"Sudah terang ia telah mati, kalau aku berkeras tak
mau pergi, sesungguhnya terlalu bodoh, kalau sampai kelaparan setengah hari
lagi, tanpa mereka turun tangan, mungkin aku sendiri akan mati kelaparan,"
demikian Nyo Ko membatin.
Namun ia tidak putus asa, ia telan dua kepal salju untuk
sekedar mengisi perut yang kosong itu, lalu terpikir lagi olehnya:
"Terhadap negara aku belum bersetia, terhadap ayah-bunda akupun tak
berbakti, pula aku tak punya sanak saudara sekedar menyampaikan rasa hatiku,
kini soal "kepercayaan" ini betapapun juga jadinya aku harus
menjaganya sampai saat terakhir, apalagi aku Nyo Ko selama hidup ini selalu
dipandang hina saja oleh orang, kalau aku tak bisa tepati janji ini, lebih2 aku
akan dibuat buah tertawaan mereka, sekalipun aku harus mati, janji tiga hari
ini harus kulaksanakan."
Dan karena keputusannya ini, rasa menderitanya lapar
menjadi rada ringan.
Sehari semalam ini dengan cepat dilalui lagi, pagi hari
keempat, segera Nyo Ko mendekati tubuh Ang Chit-kong, ia raba badan pengemis
tua itu dan terasa tetap dingin seperti es. Tanpa tertahan pemuda ini menghela
napas.
"Locianpwe," demikian ia memberi hormat kepada
badan Ang Chit-kong, "janji tiga hari ini sudah kulakukan, cuma sayang
cianpwe sudah terlanjur meninggal dunia, Tecu kuatir tak sanggup menjaga
keutuhan jenazahmu, maka terpaksa melemparkan kau ke dalam jurang supaya tidak
dibuat hinaan orang2 jahat itu."
Habis ini, dengan cepat ia angkat tubuh Ang Chit-kong dan
berjalan ke jembatan alam, tubuh pengemis tua itu hendak dilemparkannya ke
jurang.
Pada saat itu juga, melihat Nyo Ko tiba2 hendak
tinggalkan jembatan alam itu, Ngo-kui menyangka pemuda ini tak tahan lapar,
maka ingin melarikan diri. Dengan cepat mereka saling memberi tanda, segera
mereka merubung maju memapaki Nyo Ko.
Tatkala itu Nyo Ko sudah menerjang ke tengah jembatan,
sementara itu Tay-kui juga sudah menghadang di tengah jembatan
Dengan sekali gertak mendadak Nyo Ko melemparkan Ang
Ching-kong ke bawah jembatan, menyusul ini Tay-kui pun diterjangnya secara be-ringas.
Tak terduga mendadak angin santar berkesiur, tahu2 ada
seorang telah melayang lewat melalui kepalanya terus tancapkan kaki di tengah2
antara Nyo Ko dan Ngo-kui.
"Haha, tidurnya Lokiauhoa sekali ini sungguh nyenyak
dan puas sekali!" kata orang itu sambil bergelak ketawa, Nyata ia bukan
lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong.
Kejadian ini sungguh membikin Nyo Ko girang tidak
kepalang, sebaliknya Ngo-kui terkejut dan ketakutan
Kiranya pada waktu Ang Chit-kong dilemparkan ke bawah
jembatan tadi, pada saat hampir terjerumus ke bawah, mendadak ia mendusin dan
dengan tepat lengannya yang panjang keburu menahan di atas jembatan, berbareng
itu orangnya pun melompat lewat di atas kepala Nyo Ko.
Maka tertampaklah Ang Ching-kong menggerak tangan kiri ke
depan, menyusul tangan kanan didorong maju, ini adalah satu diantara tipu
serangan "Hang-liong-sip-pat-ciang" atau delapan-belas tipu pukulan
penakluk naga, yang menjadi kebanggaan hidupnya, yakni yang disebut
"kang-liong-yu-hwe".
Tay-kui yang berhadapan pertama dengan Ang Chit-kong,
hendak menghindarkan diri juga tak ke buru lagi meski insaf serangan pengemis
tua ini tak sanggup disambutnya secara keras, namun tiada jalan lain kecuali
berbuat sehisanya, terpaksa ia gunakan kedua telapak tangan untuk tangkis
pukulan Ang Chit-kong tadi.
Walaupun begitu toh Tay-kui merasakan kedua lengannya
kaku kesemutan dan dada sakit.
Nampak gelagat jelek, kuatir kalau saudara tuanya
dihantam terjungkal ke dalam jurang, lekas2 Ji-kui ulur tangannya mendorong
punggung sang toako. namun demikian, ketika Ang Chit-kong tambahi tenaga
telapak tangannya, tiba2 Ji-kui kena didorong mendoyong ke belakang dan hampiri
terbanting jatuh.
Si-kui yang berdiri di belakang Ji-kui, terpaksa pula
maju mendukung kedua saudaranya, Dan karena menempel tangannya ini, ia menjadi
ikut kontak oleh tenaga pukulan Ang Chit-kong, menyusul mana Si-kui menular
pada Sam-kui dan paling akhir Sam-kui menularkan juga pada Go-kui
Kelima orang ini hendak lari tak bisa lari, mau hindarkan
diri tak dapat menghindarkan diri, sekejap itu saja, bila Ang Chit-kong tambahi
tenaganya sedikit, sekaligus mereka pasti akan kena dipukul mati oleh tenaga
pukulan raksasa si pengemis tua itu.
Menyaksikan betapa hebat daya pukulan itu, Nyo Ko menjadi
tercengang sambit ternganga kagum.
"Kalian berlima setan jahat ini selamanya melakukan
berbagai kejahatan dan kekejaman, kini terpukul mati di bawah tangan Lokiauhoa,
agaknya mati pun tidak penasaran," kata Ang Chit-kong dengan tertawa.
Namun Ngo-kui tak menyerah mentah2, mereka pasang kuda2
dengan kuat, dengan mata mendelik mereka melawan telapak tangan Ang Chit-kong
yang tunggal itu dengan gabungan tenaga mereka berlima.
Siapa tahu daya tekanan Ang Chit-kong makin Iama makin
berat hingga dada Ngo-kui terasa sesak, buat bernapas saja rasanya sukar.
Pada saat yang sangat genting itu, tiba2 dari jauh sana
berkumandang suara "tok-tok-tok" yang keras, dari tikungan jalan sana
tahu2 muncul seorang aneh yang berjalan dengan kepala, Siapa gerangan dia kalau
bukan Auwyang Hong.
"Ayah!" seru Nyo Ko tanpa pikir.
Akan tetapi Auwyang Hong seperti tak dengar saja,
mendadak ia melompat ke belakang Go-kui.
Ia ulur kaki kanan terus menahan kepunggungnya, maka-
terasalah tiba2 satu kekuatan yang maha besar telah disalurkan melalui tubuh
kelima orang itu.
Melihat Auwyang Hong mendadak muncul di sini, Ang
Chit-kong menjadi kaget, apalagi Nyo Ko memanggil padanya "ayah",
diam2 pengemis tua ini pikir kiranya bocah ini adalah anak Auwyang Hong, pantas
memiliki ilmu silat tinggi.
Dalam pada itu tangannya sudah terasa berat, tenaga
pukulan pihak lawan telah menembus datang melalui tubuh Ngo-kui, mau-tak-mau
Ang Chit-kong tambahi tenaga dan balas menghantam.
Sejak "Hoa-san-lun-kiam" kedua rampung, selama
belasan tahun ini Ang Chit-kong dan Auwyang Hong belum pernah bertemu lagi
Meski otak Auwyang Hong rada kurang waras, tetapi karena ia melatih
Kiu-im-cin-keng secara terbalik hingga ilmu silatnya makin dilatih makin aneh
dan kuat.
Sebaliknya Ang Chit-kong sendiri pernah mendengar sebagian
isi kitab Kiu-im-cin-keng itu dari Kwe Cing serta Ui Yong yang ternyata banyak
persamaannya dengan dasar ilmu silatnya sendiri, maka iapun sudah jauh lebih
maju.
Kini satu sama lain bertemu lagi, apapun juga yang baik
selalu mengalahkan yang jahat, meski isi Kiu-im-cin-keng yang asli tak banyak
di-pahami Ang Chit-kong, tapi sudah tak kalah dengan Se-tok Auwyang Hong, Si
racun tua dari barat.
Beberapa puluh tahun yang lalu kedua orang ini sudah
sukar dibedakan siapa yang lebih unggul, sesudah itu masing2 pun bertambah
lebih hebat lagi kepandaiannya sendiri2, kini untuk ketiga kalinya mereka
bersua di Hoa-san, sesudah saling gebrak, keadaan masih tetap sama kuatnya.
Sudah tentu yang paling celaka adalah Ngo-kui yang
tergencet di tengah, mereka menjadi terombang-ambing diantara aduan kekuatan
dua "raksasa" ini, tubuh mereka sebentar dingin, sebentar lagi panas,
napas merekapun sebentar kencang sebentar kendur, sungguh penderitaan yang
mereka rasakan waktu itu beribu kali lebih hebat melebihi siksaan badan.
Beberapa kali Ang Chit-kong mengerahkan tenaganya, secara
keras dan secara pelahan, tetapi setiap kali kena dipatahkan oleh tenaga kaki
Auw-yang Hong yang memancal di sebelah sana, Ketika kakinya bertambah kuat
memancalnya, namun sukar juga bikin Ang Chit-kong mundur sedikitpun
Sesudah saling adu kekuatan ini, kedua orang pun sama
kagumnya, maka berbareng mereka melompat ke belakang sambil ketawa ter-bahak2.
Dan karena "lepas tangan" kedua
"raksasa" ini, daya tekanan pada Ngo-kui tadi seketikapun hilang
hingga tubuh kelima orang itu ter-huyung2 kehilangan imbangan bagai orang mabuk
saja.
Sesudah badan kelima orang itu kena digencet ke sana ke
mari oleh tenaga raksasa Ang Chit-kong dan Auwyang Hong, isi perut mereka sudah
menderita luka parah semua, otot tulang mereka pun lemas dan menjadi orang
cacat, sekalipun menghadapi seorang biasa merekapun tak sanggup melawan lagi.
"Bangsat, hitung2 ajalmu belum sampai, baiknya
selanjutnya kalian tak bisa membikin celaka orang lagi, lekas enyah dari
sini!" demikian Ang Chit-kong membentak
Maka dengan Iesu dan tindakan sempoyongan, Ngo-kui
bertindak pergi pelahan dengan saling dukung-mendukung.
Dalam pada itu, setelah Auwyang Hong berdiri tegak, ia
lirik Ang Chit-kong dan lapat2 seperti pernah kenal, maka segera ia menegurnya:
"Hai, bagus amat ilmu silatmu, siapakah nama-mu?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat air muka orang yang
linglung, Ang Chit-kong tahu selama belasan tahun ini Auwyang Hong masih belum
waras dari otaknya yang miring.
"Aku bernama Auwyang Hong, dan kau siapa?"
demikian sengaja Ang Chit-kong menjawab.
Hati Auwyang Hong tergetar, ia merasa nama "Auwyang
Hong" itu seperti sudah dikenalnya betul, cuma dirinya sendiri bernama
apa, itulah ia tak bisa ingat lagi.
"Entah, aku lupa," demikian sahutnya kemudian
"Eh, ya, siapakah namaku ya?"
"Hahahaha!", Ang Chit-kong tertawa geli.
"Namamu sendiri kenapa tak tahu? lekas kau pulang saja buat
meng-ingat2nya".
Auwyang Hong menjadi gusar ditertawai orang.
"Tentu kau tahu, hayo beritahukan padaku," bentaknya.
"Baiklah, aku kasih tahu, kau bernama Hamo katak
busuk," sahut Ang Chit-kong.
"Ha-mo, Ha-mo", nama ini memang sangat dikenal
Auwyang Hong, kedengarannya rada mirip namanya sendiri, tetapi bila dipikir
lagi, rasanya pun bukan.
Seperti diketahui ilmu mujijatnya Auwyang Hong yang
sangat diunggulkan yalah "Ha-mo-kang" atau ilmu weduk katak, bila
digunakan harus berjongkok seperti lakunya katak Oleh sebab itu Ang Chit-kong
sengaja goda dan olok2 padanya.
Auwyang Hong dan Ang Chit-kong adalah musuh kebuyutan
selama berpuluh tahun, rasa benci masing2 sudah tertahan dalam di hati mereka,
meski dalam keadaan linglung, namun dengan sendirinya Auwyang Hong menjadi
gusar demi melihat macamnya Ang Chit-kong.
Di lain pihak demi nampak orang berdiri menjublek, habis
itu matanya tiba2 menyorotkan sinar bengis, diam2 Ang Chit-kong telah
ber-jaga2.
Betul saja, sekejap kemudian, mendadak terdengar Auwyang
Hong menggeram sekali dengan kalapnya ia menubruk maju. Ang Chit-kong tak
berani ayal, sekali tangannya bergerak, segera
"Hang-liong-sip-pat-ciang" dikeluarkannya.
Cara begitulah kedua jago tua ini memulai dengan
pertarungan yang maha sengit di atas jembatan alam di puncak tertinggi dari
Hoa-san itu, di kedua sisi mereka adalah jurang yang dalamnya ber-ribu2 tombak,
asal sedikit ada yang berlaku meleng, tentu orangnya akan hancur lebur
tergelincir ke dalam jurang.
Oleh karena resiko itulah, maka begitu saling gebrak,
segera kedua orang mengeluarkan tipu serangan yang paling hebat untuk mengadu
jiwa, kalau dibanding dengan pertandingan Hoa-san-lun-kiam yang dilakukan
secara halusan, terang sekali ini sudah lain keadaannya.
Kedua jago tua ini kini sudah lanjut umurnya, meski ilmu
silat yang dilatih semakin sempurna, tetapi soal tenaga justru berkurang
daripada tadinya. Oleh sebab itu, pertarungan sekali ini terutama tidak
ditentukan oleh besar-kecilnya tenaga masing2, tetapi semuanya ingin menang
dengan tipu2 pukulannya sendiri yang paling bagus.
Dan karena inilah rasanya yang paling untung ialah si Nyo
Ko, ia bisa menyaksikan segala kebagusan dari tiap2 ilmu pukulan kedua jago tua
itu hingga tidak sedikit intisari yang dia petik, apa lagi dasarnya Nyo Ko
memang pintar, pula sudah memahami inti2 Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng,
sudah tentu ia menjadi lebih gampang menerima dimana letak inti ilmu silat
kedua jago tua yang hebat itu.
Sewaktu kedua jago tua itu mulai bergebrak Nyo Ko rada
kuatir Auwyang Hong akan terjerumus ke dalam jurang mengingat tempat
pertempuran yang berbahaya itu, tetapi sesudah saling gebrak, kadang2 ia malah
melihat Ang Chit-kong terdesak di pihak terserang, tanpa terasa ia mengharap
agar pengemis tua itu diberkahi selamat.
Harus diketahui bahwa Auwyang Hong adalah ayah angkatnya,
perasaan kekeluargaan mereka sudah begitu rapat dan melekat, tetapi tindak
tanduk Ang Chit-kong juga membawa semacam perbawa yang besar dan agung, hal ini
mau-tak-mau membikin Nyo Ko menjadi kagum dan menghormat padanya.
Begitulah sesudah beratus jurus kedua jago tua itu
bergebrak, meski kedua orang berulang kali sama2 menghadapi serangan lihay,
namun selalu mereka sanggup menyelamatkan diri dengan baik, maka Nyo Ko
akhirnya tak perlu berkuatir lagi atas keselamatan kedua orang tua itu, ia
justru memusatkan pikirannya untuk mengingat baik2 tipu silat yang diunjuk
mereka.
Sudah lama Nyo Ko apalkan isi Kiu-im-cin-keng dengan
baik, kini menyaksikan setiap gerak-gerik tipu yang dikeluarkan kedua jago tua
itu ternyata cocok sekali dengan intisari pelajaran kitab sakti itu, sungguh
bukan buatan rasa girang Nyo Ko, pikirnya: "Satu istilah saja dalam kitab
yang disangka cuma biasa saja, siapa tahu mempunyai perubahan2 yang begini luas
dan banyak,"
Dan sesudah ribuan jurus pertandingan itu berlangsung,
meski kepandaian kedua jago tua itu belum habis dikeluarkan, namun, karena usia
yang sudah lanjut, mau-tak-mau napas mereka mulai memburu dan jantung memukul
cepat, gerak-gerik merekapun mulai kendur.
"Kalian berdua sudah setengah hari berkelahi,
tentunya perut sudah lapar, marilah kita makan yang keyang dulu, nanti bertanding
lagi!" demikian Nyo Ko coba teriaki mereka.
Bagi Auwyang Hong segala makanan itu tidak menarik, lain
halnya dengan Ang Chit-kong, begitu mendengar kata2 "makan", segera
ia melompat mundur sambil berseru: "Bagus, bagus! Memang harus makan
duIu!"
Tadi Nyo Ko melihat bakul bambu berisi barang makanan
yang dibawa Ngo-kui itu masih berada di situ, maka dengan cepat bakul itu
disambernya ke hadapan Ang Chit-kong, waktu ia buka tutup bakul bambu itu,
ternyata isinya banyak sekali, ajam-daging komplit dengan nasi dan arak segala.
Soal makan, selamanya Ang Chit-kong tak pernah sungkan2,
tanpa permisi lagi ia samber seekor ayam beku, baik daging berikut tulangnya
terus dilalap semua hingga bersuara keletak-keletuk.
"Ayah, selama ini berada di manakah kau?"
dengan suara lembut Nyo Ko bertanya sambil menyodorkan sepotong daging beku
pada Auwyang Hong.
"Aku mencari kau," sahut Auwyang Hong dengan
mata mendelong.
Nyo Ko jadi terharu oleh jawaban orang, ia pikir di dunia
ini ternyata masih ada juga seorang yang begini cinta padaku dengan sesungguh
hati.
Maka sambil merangkul tangan orang, Nyo Ko berkata lagi:
"Ayah, Ang-locian-pwe ini adalah orang baik, janganlah kau berkelahi lagi
dengan dia."
"Dia, dia ialah Auwyang Hong, Auwyang Hong adalah
manusia jahat," kata Auwyang Hong sambil tuding Ang Chit-kong.
Melihat pikiran orang memang abnormal, sungguh pedih
sekali hati Nyo Ko.
"Ya, ya, betul Auwyang Hong adalah manusia busuk dan
janat, Auwyang Hong pantas mampas!" Ang Ching-kong ter-bahak2 geli.
Tentu saja Auwyang Hong semakin bingung, ia pandang Ang
Chit-kong, lalu pandang lagi pada Nyo Ko, matanya menyorotkan sinar yang guram
dan hampa, pikirannya pun menjadi kacau, sebisanya ia bermaksud meng-ingat2
sesuatu, tetapi selalu tak bisa mengingatnya.
"Ang-locianpwe," kata Nyo Ko sesudah melayani
Auwyang Hong memakan sedikit, "dia adalah ayah angkatku, harap engkau
kasihan dia sedang menderita sakit ingatan, sukalah jangan bikin susah lagi
padanya."
Ang Chit-kong adalah seorang berbudi demi mendengar
permohonan Nyo Ko, berulang kali ia mengangguk "Anak baik, anak
baik," demikian pujinya.
Siapa tahu Auwyang Hong yang abnormal itu mendadak
melompat bangun lagi.
"Hayo, Auwyang Hong, sekarang maju lagi."
demikian ia ber-teriak2 atas nama sendiri kepada Ang Chit-kong, "Daiam hal
pukulan kita sama kuat, kini kita boleh coba2 senjata."
"Tak usahlah sudah, anggaplah kau yang menang",
sahut Ang Chit-kong sambil geleng2 kepala.
"Menang apa segala? Aku justru ingin bunuh
kau," teriak Auwyang Hong tiba-tiba.
Habis itu, ia samber sepotong kayu digunakan sebagai
pentung terus menghantam ke atas kepala Ang Chit-kong.
Dahulu, dengan tongkat ular, senjata khasnya, pernah
Auwyang Hong malang melintang di dunia persilatan, ilmu permainan tongkatnya
itu lihay luar biasa, kini meski tongkatnya tak berular pada ujungnya, namun
hantamannya sekali ini ternyata sangat keras, belum tiba pentungnya atau Nyo Ko
sudah merasakan samberan angin yang menekan dada.
Lekas2 Nyo Ko melompat minggir, waktu ia pandang Ang
Chit-kong, dilihatnya pengemis tua ini sudah samber juga sepotong kayu pendek
dan dipakai sebagai senjata, lalu kedua jago tua itupun saling labrak lagi
dengan serunya.
"Pak-kau-pang-hoat", ilmu permainan pentung
pemukul anjing yang dimiliki Ang Chit-kong adalah ilmu silat yang tiada
bandingannya di kolong langit ini, cuma tidak sembarangan mau dia keluarkan
selain ini iapun punya ilmu permainan pentung lain yang bagus dan lihay, kini
satu persatu ia keluarkan untuk labrak Auwyang Hong, maka pertarungan sekali
ini menjadi berbeda lagi dengan gebrakan dengan tangan dan kaki tadi, begitu
hebat samber-menyambernya tongkat dan pentung hingga Nyo Ko yang menonton di
samping ikut berdebat dan ternganga.
Pertarungan sengit ini terus berlangsung sampai magrib,
tetapi masih tiada yang lebih unggul atau asor.
Melihat keadaan tempat itu sangat berbahaya, seluruh
gunung hanya tanah salju belaka yang halus licin, kedua jago tua itu sudah
lanjut usianya, kalau terjadi sedikit meleng, mungkin akan menjadikan
penyesalan selama hidup, maka dengan suara keras Nyo Ko ber-teriak2 minta
mereka berhenti.
Namun Ang Chit-kong dan Auwyang Hong sedang bertempur
dengan napsunya, mana bisa mereka berhenti begitu saja?
Kemudian Nyo Ko dapat akal, ia ingat kegemaran Ang
Chit-kong satu2nya: "makan", ia pikir kalau pancing pengemis tua ini
dengan makanan enak tentu orang akan mengiler dan boleh jadi untuk sementara
bisa diadakan "gencatan senjata".
Maka dengan cepat ia pergi mencari di alas belukar
pegunungan itu, ia dapatkan beberapa potong ubi dan singkong, segera ia
nyalakan api dan dibakar hingga menguarkan bau sedap.
Betul saja, demi bau sedap itu, segera Ang Chit-kong
berteriak: "Ha-mo, busuk, tak mau lagi berkelahi dengan kau, makan dulu
paling perlu !"
Habis itu, iapun mendekati Nyo Ko terus samber saja dua
potong ubi bakar itu terus digeragoti meski mulutnya sakit kebakar oleh
panasnya ubi itu, sambil tiada hentinya ia puji Nyo Ko yang pintar cari barang
santapan.
Di sebelah sana Auwyang Hong tidak mau berhenti begitu
saja, ia susul Ang Chit-kong terus mengemplang kepala orang dengan tongkatnya.
Namun sama sekali Ang Chit-kong tak berkelit sebaliknya
ia samber sepotong singkong bakar terus dilemparkan ke arah Auwyang Hong sambil
berseru : "Nih, makanlah !"
Auwyang Hong menjadi tertegun sebelum tongkatnya
diayunkan, sebelah tangannya otomatis pun tangkap singkong yang dilemparkan
padanya itu terus dimakan, seketika iapun lupa pada pertarungan sengit tadi.
Malam itu mereka bertiga pun tidur di dalam suatu gua,
Nyo Ko berusaha agar Auwyang Hong bisa ingat kembali pada kejadian2 masa
dahulu, maka beberapa kali ia sengaja memancingnya, tetapi Auwyang Hong selalu
hanya ter-menung2 saja tanpa menjawab Kadang2 orang tua ini ketok2 batok
kepalanya sendiri dengan kepalan, tampaknya sebisanya hendak mengingat, namun
percuma saja karena otaknya se-akan2 sudah pantul ia menjadi sangat masgul.
Karena kuatir orang makin pikir makin gila, lekas2 Nyo Ko
menghibur Auwyang Hong buat tidur saja, sebaliknya ia sendiri hanya
guIang-guling tak bisa pulas, ia sedang pikirkan ilmu pukulan kedua jago tua
yang dilihatnya siang tadi, makin mengingatnya makin bersemangat, sampai
akhirnya diam2 ia bangun sendiri dan menjalankan gerak-gerik pukulan itu
menurut apa yang dilihatnya, ia merasakan kebagusan ilmu silat yang tiada taranya
itu, sampai tengah malam, sesudah sangat lebih, barulah Nyo Ko pergi tidur.
Besoknya pagi2 sekali, waktu Nyo Ko masih layap2 dalam
tidurnya, tiba2 didengarnya diluat gua ada suara samberan angin yang men-deru2
di selingi dengan suara bentakan dan lompatan, Lekas Nyo Ko meloncat bangun, di
depan gua terlihat Ang Chit-kong dan Auwyang Hong kembali sedang saling labrak
dengan ramainya.
Melihat kebandelan kedua orang tua itu, Nyo Ko menghela
napas tanpa berdaya, dengan kesal ia duduk menunggu di samping, diam2 iapun
ingat baik2 gerak tipu permainan tongkat kedua orang itu, ia merasa setiap
gerakan Ang Chit-kong semuanya dapat dibedakan dengan jelas, sebaliknya
ge-rak-gerik Auwyang Hong sangat sulit diduga, seringkali kalau Ang Chit-kong
berada di atas angin, tahu2 Auwyang Hong keluarkan tipu gerakan aneh dengan
cepat, lalu kedudukan merekapun berubah sama kuat Iagi.
Begitulah cara pertandingan mereka yang ber-larut2 ini,
siang berkelahi dan malam tidur, terus-menerus berlangsung selama enam hari,
begitu payah keadaan dua orang tua ini hingga semangat lesu dan tenaga habis,
namun toh masih tiada satupun yang mau mengalah barang sekali serangan saja.
"Jika pertarungan secara demikian berlangsung lagi,
dua harimau bertengkar, akhirnya tentu ada satu yang celaka," demikian Nyo
Ko membatin.
Karena itu, malamnya ia tunggu sesudah Auwyang Hong
tidur, diam2 ia berkata pada Ang Chit-kong : "Marilah Locianpwe keluar,
ingin aku bicara sedikit."
Ang Chit-kong tak menolak permintaan itu, ia ikut Nyo Ko
keluar gua, mendadak pemuda ini berlutut di hadapannya sambil menjura tiada
hen-tinya, tetapi sepatah katapun tak dikatakannya.
Ang Chit-kong adalah orang pintar, segera ia pun tahu
maksud hati orang, ia tahu pemuda ini memohon agar kasihan pada Auwyang Hong
yang menderita sakit ingatan itu dan suka mengaku kalah saja padanya.
"Baiklah, aku turut permintaanmu," demikian
katanya kemudian sambil ketawa ter-bahak2.
Habis itu, dengan menyeret pentungnya iapun bertindak
pergi turun ke bawah gunung.
Tak tahunya, baru beberapa langkah ia ber-tindak,
se-konyong2 dari belakang ada angin me-nyamber, ternyata Auwyang Hong sudah
melompat keluar dari gua terus menyabet dengan tongkatnya.
"Bangsat tua, kau mau lari ya?" bentak Auwyang
Hong dengan gusar.
Ang Chit-kong hindarkan tiga serangan orang ber-ulang2,
ia bermaksud cari jalan buat pergi, siapa tahu selalu dicegat dan kena dikurung
oleh tongkat Auwyang Hong hingga tak sempat meloloskan diri.
Pertandingan silat diantara jago kelas tinggi sebenarnya
sedikitpun tidak boleh saling mengalah, kini karena Chit-kong bermaksud
mengalah, keruan saja ia menjadi kececar, beberapa kali ia malah hampir
dicelakai oleh tongkat lawannya.
Pada suatu ketika, ia lihat Auwyang Hong menyodok cepat
dengan tongkatnya ke perutnya, Chit-kong tahu di belakang serangan ini masih
disusul serangan yang lebih lihay dan se-kali2 tak boleh dihindari begitu saja,
maka terpaksa ia angkat tongkatnya sendiri buat menangkis.
Tak terduga, tiba2 terasa olehnya pada tongkat Auwyang
Hong membawa semacam tenaga dalam yang maha kuat dan lihay, sungguh tidak
kepalang kejut Ang Chit-kong. "He, kau hendak adu lwekang dengan
aku?" demikian sekilas pikiran ini terlintas olehnya.
Betul saja, baru tergerak pikirannya, tahu-tahu tenaga
dalam musuh sudah mendesak, dalam keadaan demikian, kecuali melawannya juga
dengan tenaga dalam, memang tiada jalan lain Iagi. Segera iapun kumpulkan
Lwekangnya buat lawan serangan tenaga dalam Auwyang Hong itu.
Dengan ilmu silat setinggi Ang Chit-kong dan Auwyang Hong
ini, kalau hanya terluka oleh sekali pukulan atau pentungan juga belum pasti
membahayakan jiwa mereka, tetapi kini dengan adu tenaga dalam, keadaan telah
meningkat sampai detik yang tidak bisa saling mengalah Iagi, hanya ada pilihan
untuk mereka: "hidup atau mati", lain tidak.
Pemah juga dahulu mereka saling bertanding, tetapi karena
sama2 jeri terhadap kelihayan pihak lain, kalau tidak yakin bakal menang, tiada
yang berani sembarangan melakukan tindakan berbahaya ini. Siapa tahu dalam
keadaan sinting, karena sudah beberapa hari bertanding masih belum bisa menang,
mendadak Auwyang Hong menyerang dengan Lwekang asli.
Belasan tahun yang lalu, benci Ang Chit-kong terhadap
Se-tok Auwyang Hong boleh dikatakan meresap sampai ke tulang, tetapi kini
usianya sudah lanjut, tabiat kerasnya sudah berkurang, pula melihat musuh
kawakan itu tak waras otaknya, sedang Nyo Ko berulang kali mohon kasihan
baginya, sesungguhnya tiada maksud lagi pada Ang Chit-kong untuk membunuhnya.
Oleh sebab itu, ia hanya pusatkan tenaga dalamnya di
perut, ia hanya bertahan dan tidak menyerang, ia tunggu biar Auwyang Hong
sendiri yang kepayahan kehabisan tenaga dalam.
Tak terduga, bukan tenaga Auwyang Horg berkurang,
sebaliknya seperti ombak samudera saja yang menggelombang tiada henti2nya, satu
gelombang didorong dengan gelombang yang lain, makin lama pun makin keras.
Mendadak Ang Chit-kong teringat pada sesuatu, tak
tertahan lagi ia terkejut sekali. Kiranya teringat olehnya pertarungan siang
tadi waktu adu tenaga dengan Auwyang Hong dengan Ngo-kui di tengah sebagai alat
mengukur, tatkala itu berulang Auwyang Hong memancal tiga kali dengan kakinya
dan tenaga yang dikeluarkan itupun yang satu lebih besar dari yang lain, kini
tampaknya sama seperti tadi itu, belum reda tenaga serangan pertama, gelombang
serangan kedua sudah menyusul tiba dan begitu seterusnya, tenaga serangan kedua
masih kuat, segera tenaga gelombang ketiga datang lagi.
Teringat akan itu, Ang Chit-kong tak berani ayal, segera
iapun pusatkan tenaga dalamnya melakukan serangan balasan, dan karena keras
lawan keras ini, tubuh kedua orang sama2 terguncang.
Melihat air muka kedua orang tua itu sangat tegang,
terang mereka sedang adu tenaga dalam yang maha hebat secara mati-matian, diam2
Nyo Ko sangat kuatir, Kalau dia mau bela Auwyang Hong sebagai ayah angkatnya,
asal dia serang Ang Chit-kong dari belakang dengan jarinya saja, pasti jago tua
itu akan luka parah. Tetapi dilihatnya Ang Chit-kong berjiwa jantan sejati, ia
menjadi ragu2 dan tak tega turun tangan.
Lewat tak lama, mendadak Auwyang Hong menggertak sekali,
berbareng itu ia terus menjungkir tegak dengan kepala dibawah, malahan sepatu
dan kaos kaki ia buang juga, dengan sepasang kaki yang telanjang inilah ia
meng-gejol2 dan meng-ayun2 cepat di udara hingga menerbitkan angin.
Sebaliknya Ang Chit-kong kelihatan tenang saja, tanpa
bergerak sedikitpun bagai patung.
Sesudah saling ngotot lagi tak lama, akhirnya telapak
kaki Auwyang Hong sampai menguap seperti digodok, nyata ia telah kerahkan
segenap tenaga dalamnya melakukan serangan total. Begitu juga Ang Chit-kong,
iapun melawan dengan sepenuh kekuatan yang ada padanya.
Dalam keadaan demikian ia tak bisa lagi memikirkan bakal
mencelakai jiwa lawan atau tidak, yang dia harap asal dirinya sendiri tak
terluka, sudah sangat beruntung baginya.
Cara begitulah mereka bertanding dari fajar menyingsing
sampai lewat lohor, lambat laun Ang Chit-kong merasakan tenaga dalamnya mulai
"kering", sebaliknya daya tekanan lawan masih terus menerus membanjir
seperti gelombang ombak yang tiada habis2nya.
"Celaka, Si Racun tua ini semakin gila ternyata
semakin lihay, hari ini jiwa Lokiauhoa (pengemis tua) bisa melayang di
sini," diam2 Chit-kong mengeluh.
Nyata ia sudah menduga pertarungan ini bakal kalah,
sayangnya tiada jalan buat melepaskan diri, terpaksa ia bertahan sekuatnya, Tak
ia sangka, keadaan Auwyang Hong pun sudah bagai pelita yang kehabisan minyak,
tinggal sirapnya saja. Kedua orang menjadi sama2 mengeluh dan sukar dipisahkan
lagi kecuali diakhiri dengan "mati atau hidup"
Setelah dua jam lagi, hari sudah mulai sore, seluruh
tenaga yang ada pada Ang Ching-kong sudah dikeluarkan semua tanpa ketinggalan
"setetes" pun. Begitu juga Auwyang Hong sudah napas lemah dan tenaga
habis.
Nampak wajah kedua jago tua itu berubah hebat, Nyo Ko
menaksir sebentar lagi kedua orang itu pasti akan gugur bersama, tetapi kalau
maju buat memisahkan mereka, rasanya ilmu silat sendiri masih terlalu jauh
selisihnya, kalau sampai di-bentur kembali oleh tenaga dalam mereka, mungkin ia
sendiri bisa terluka parah kalau tidak mampus.
Karena itulah ia menjadi ragu2. Tetapi bila menyaksikan
air muka Auwyang Hong yang tampak sangat menderita, napas Ang Chit-kong juga
memburu senin-kemis, betapapun Nyo Ko tak tega, ia ambil keputusan:
"Sekalipun harus mati, biarlah kutolong mereka"
Segera ia samber sebatang kayu, ia mendekati tengah kedua
orang tua itu dan duduk bersila, ia turuti inti pelajaran Lwekang yang pernah
diperolehnya dari Siao-liong-li dan kumpulkan tenaga buat melindungi seluruh
tubuhnya sendiri. habis itu, sambil kuatkan hatinya mendadak ia ulur kayu tadi
terus mencungkit ke tengah2 kedua pentung orang.
Sungguh tak pernah diduga bahwa mencungkitnya ini
sedikitpun ternyata tak makan tenaga, ketika tenaga dalam kedua jago tua itu
kontak melalui batang kayunya dan kena ditangkis Lwekang yang sudah dia
kumpulkan, segera dapat dipatahkan dengan gampang saja.
Kiranya itu disebabkan sisa tenaga kedua orang tua itu
sudah lapuk dan tiada artinya lagi. Meski ilmu silat Se-tok dan Pak-kay (Si
Racun dari Barat dan Si pengemis dari Utara) setinggi langit, namun setelah
dikuras selama beberapa hari dalam pertandingan mati-matian ini, sisa tenaga
mereka hanya buat serang seorang biasa saja sukar melukainya, apalagi melawan
si Nyo Ko?
Maka tertampaklah kedua orang tua itu men-doprok ke tanah
dengan lemas, muka mereka pucat seperti mayat dan tak bisa berkutik lagi.
"Hai, Ang-locianpwe, Ayah, baik2kah kalian?"
teriak Nyo Ko kuatir.
Akan tetapi bernapas saja kedua orang tua itu merasa
sulit, apalagi menjawabnya?
Nyo Ko hendak angkat mereka ke dalam gua, namun Ang
Chit-kong telah goyang kepalanya pelahan.
Nyo Ko tahu luka kedua orang itu terlalu berat, maka tak
berani lagi geser mereka, malam itu iapun tidur di tengah2 kedua orang, ia
kuatir tengah malam jangan2 keduanya bangun saling labrak lagi. Padahal hendak
sembuhkan luka dengan menjalankan lwekang saja susah, mana mungkin mereka
sanggup bertempur pula?
Besok paginya, setelah Nyo Ko mendusin, ia lihat napas
kedua orang tua itu terempas-empis, keadaan mereka lebih buruk dari pada
kemarinnya, keruan saja pemuda ini sangat kuatir, lekas2 ia panggang beberapa
singkong lagi dan layani mereka makan.
Setelah dilolohi makanan sedikit, sampai hari ketiga,
semangat kedua jago tua itu baru mulai rada baik, ber-turut2 Nyo Ko pindahkan
mereka ke dalam gua, ia taruh yang satu di sebelah timur dan yang lain sebelah
barat, ia sendiri tidur di tengah2 sebagai "garis pemisah".
Cara begitulah mereka beristirahat beberapa hari Karena
Ang Chit-kpng memang doyan makan, maka pulihnya pun lebih cepat sebaliknya se-hari2
Auwyang Hong hanya bungkam saja dengan muka muram, Nyo Ko ajak bicara padanya,
iapun tak menjawab.
Hari itu, ketika kedua orang itu rebah berhadapan tiba2
Ang Ching-kong berteriak pada Auwyang Hong: "Hai, Ha-mo busuk, kau
menyerah padaku belum?"
"Menyerah apa?" sahut Auwyang Hong. "Masih
banyak ilmu kepandaianku yang belum kukeluarkan, kalau sempat kumainkan semua,
pasti aku akan hajar kau hingga kau minta ampun."
"Haha, sungguh kebetulan, akupun masih banyak ilmu
silat yang belum dikeluarkan," kata Ang Chit-kong dengan ketawa lebar.
"Pernah tidak kau mendengar Pak-kau-pang-hoat?"
Auwyang Hong terkesiap oleh pertanyaan itu, pikirnya:
"Ya, menurut Cerita, pangcu dari Kay-pang memiliki sejurus
Pak-kau-pang-hoat, kalau dimainkan bukan maki lihaynya. Tetapi dalam
pertarungan sengit dengan aku tadi, selamanya belum dikeluarkannya, agaknya dia
cuma omong kosong saja, atau kalau tidak, hakekatnya ia tak bisa memainkan ilmu
tongkat itu."
Karena pikiran itu, segera ia menjengek: "Hm,
Pak-kau-pang-hoat apa gunanya?"
Di lain pihak Ang Chit-kong menjadi menyesal juga kenapa
tidak mengeluarkan ilmu permainan tongkatnya yang sakti itu pada waktu
bertarung sengit kemarinnya, kalau sampai Pak-kau-pang-hoat dikeluarkan, pasti
Se-tok sudah dia robohkan, cuma sayang karena terlalu percaya pada kemampuan
sendiri, bahwa tidak usah dengan ilmu pusaka Kay-pang itu juga bisa menang atas
lawannya, siapa tahu akibatnya berakhir dengan ke-ke-dua2-nja sama2 luka parah,
Kini hendak dikeluarkan namun tenaga sudah habis, sedang orang telah menjengek
padanya, tentu saja ia penasaran.
Tiba2 tergerak kecerdasannya, ia menggapai Nyo Ko ke
dekatnya, lalu dengan bisik2 ia tanya pemuda ini: "Aku adalah penjabat
ketua Kay-pang yang lalu, apa kau tahu?"
Nyo Ko memanggut tanda tahu. Memang dari imam2
Coan-cin-kau di Tiong-yang-kiong dahulu ia pernah mendengar bahwa pejabat
Pangcu dari Kay-pang yang dulu Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis sakti
berjari sembilan, ilmu silatnya tiada taranya, jiwanya jujur berani, adalah
seorang gagah kesatria pada jaman itu.
"Sekarang juga ada sejurus ilmu silat akan kuajarkan
padamu," demikian kata Ang Chit-kong pula, "Cuma ilmu silat ini
selamanya hanya diturunkan pada Pangcu perkumpulan pengemis dan tidak diajarkan
pada orang luar, Tapi lantaran ayah angkatmu itu berani pandang rendah padaku,
aku justru ingin kau unjukkan ilmu silat ajarannya ini padanya."
"Jika ilmu silat Lociapwe ini tak boleh diturunkan
orang luar, biar Tecu tak pelajari saja," sahut Nyo Ko. "Pikiran ayah
angkatku belum jernih, haraplah Locianpwe jangan sepandangan dengan dia."
"Tidak, meskipun kau sudah pelajari gerak-gerik tipu
silat ini, tetapi kalau belum paham rahasia menggunakan tenaganya, di saat
menghadapi musuh akan tiada gunanya juga," kata Ang Chit-kong lagi sambil
goyang kepala, "Kini akupun tidak suruh kau gunakan ilmu ini buat pukul
ayah angkatmu, cukup asal kau goyangi tangan dan geraki kaki menurut gaya yang
kukatakan, tentu ia akan paham. Oleh sebab itu tak bisa dikatakan kuajarkan
kepandaian ini padamu."
Namun Nyo Ko masih ragu, pikirnya : "Kalau ilmu
silat ini adalah pusaka Kay-pang, belum pasti ayah angkatku sanggup
menangkisnya, lalu mengapa aku bantu kau buat mengalahkan ayah angkat
sendiri?"
Oleh sebab itu, ia tetap menolak dengan alasan tak ingin
pelajari ilmu pusaka Kay-pang yang dibanggakan itu.
Rupanya Ang Chit-kong dapat meraba apa yang dipikirkan
Nyo Ko, maka kepada Auwyang Hong ia berteriak: "Hai, katak busuk, anak
angkatmu tahu kalau kau tak bisa lawan aku punya Pak-kau-pang-hoat, maka ia tak
berani pertunjukkan cara2nya padamu."
Auwyang Hong menjadi gusar oleh pancingan ini.
"Jangan kuatir, Nak, akupun masih banyak ilmu sakti
yang belum dipergunakan lekas kau tunjukkan menurut ajarannya padaku, kenapa
harus takut ?" demikian teriaknya.
Karena didesak sini dan dipaksa sana, Nyo Ko menjadi
serba salah, terpaksa ia mendekati Ang Chit-kong untuk menantikan pelajaran apa
yang hendak diturunkan padanya.
Ang Chit-kong suruh Nyo Ko jemput sebatang kayu, lalu ia
jelaskan caranya sebuah tipu lihay dari Pak-kau-pang-hoat yang disebut
"pang-tah-siang-kau" atau sekali pentung dua anjing.
Dasar Nyo Ko memang cerdas, sekali belajar lantas bisa,
segera pula ia pertunjukkan gerak tipu itu menurut cara2 yang diajarkan Ang
Chit-kong itu.
Melihat gerak tipu serangan pentung pemukuI anjing ini
sangat aneh dan nyata memang lihay, seketika Auwyang Hong menjadi susah
mendapatkan jalan untuk mematahkannya, setelah ia pikir sejenak, kemudian baru
dia katakan suatu gerak tipu juga pada Nyo Ko.
Nyo Ko menurut, ia pertunjukkan menurut apa yang
dikatakan Auwyang Hong itu.
"Bagus," dengan tersenyum Ang Chit-kong memuji,
"dan sekarang satu tipu lagi."
Lalu iapun ajarkan sebuah tipu pula pada Nyo-Ko dari
Pak-kau-pang-hoat.
Dan begitulah seterusnya, kedua jago tua itu bertanding
secara tak langsung, hanya menggunakan mulut saja dengan Nyo Ko sebagai
"penyambung lidah", Karena sama lihaynya, sampai hari sudah petang
baru belasan jurus saja berlangsung, walaupun begitu, bagi Nyo Ko sudah terlalu
payah hingga keringat gemerobyos. Maka untuk sementara pertandingan ditunda.
Besok paginya pertandingan dilanjutkan lagi. Tidak sampai
lohor, 36 jurus ilmu pentung pemukuI anjing sudah selesai dikeluarkan Ang
Chit-kong, tetapi meski ilmu pentung itu hanya 36 jurus saja, namun perubahan2
ikutan tiap2 tipu gerakannya ternyata hebat dan tiada habis2nya. Sampai
akhirnya, waktu yang dipakai berpikir Auwyang Hong buat menangkis gerak
serangan itu semakin panjang, jika pertandingan dilangsungkan sungguh2 dan tipu
serangan datangnya susul-menyusul secara cepat, mana ia bisa menggunakan
otaknya secara begitu bebas ?
Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa meski lama
berpikir, namun setiap kali tipu2 tangkisannya juga selalu luar biasa bagusnya,
baik untuk menjaga diri maupun buat balas menyerang, hal inipun bikin Ang
Chit-kong sangat kagum.
Secara begitulah pertandingan lain dari yang lain itu
terus berlangsung selama tiga hari, sampai petang hari keempat, Ang Chit-kong
sudah katakan pada Nyo Ko tipu perubahan terakhir dari 36 jurus ilmu pentung
pemukul anjing yang disebut "boat-jau-keng-coa" atau menyontek rumput
kejutkan ular, ini adalah tipu ikutan terakhir dari Pat-kau-pang-hoat yang
paling lihay, menurut teori ilmu silat sudah pasti tiada jalan buat
mematah-kannya, dengan sendirinya Auwyang Hong pun sukar hendak menangkisnya.
Malamnya ia guIang-guling tak bisa pulas, semalam suntuk
ia peras otak memikirkan cara menangkis tipu terakhir Ang Chit-kong yang lihay
itu.
Besok paginya, belum Nyo Ko mendusin atau tiba2 terdengar
Auwyang Hong telah ber-teriak2: "Ha, bisa, bisa, begini caranya ! Nak, kau
boleh gunakan tipu ini untuk patahkan serangannya!"
Suaranya terdengar begitu bersemangat, tetapi juga
ter-sengal2.
Mendengar suaranya rada aneh, waktu Nyo Ko pandang muka
orang, sungguh kejutnya bukan buatan.
Kiranya usianya Auwyang Hong sudah lanjut, tetapi karena
Lwekangnya terlatih dalam sekali, maka rambut dan kumisnya hanya sedikit putih
kelabu saja, siapa tahu karena terlalu memeras otak semalam saja, tahu2 seluruh
alis, kumis dan rambutnya kini menjadi putih semua, seketika orangnya seperti
bertambah tua berpuluh tahun.
Berduka sekali hati Nyo Ko melihat keadaan orang tua itu,
ia bermaksud memohon Ang Chit-kong agar jangan meneruskan pertandingan,
sebaliknya terus-menerus Auwyang Hong telah mendesak lagi, mau-tak-mau terpaksa
ia pertunjukkan pula tipu ciptaan baru dalam semalam oleh Auwyang Hong ini.
Demi nampak tipu baru ini, seketika muka Ang Chit-kong
menjadi pucat bagai mayat, memangnya ia sudah menggeletak di tanah dan sukar berkutik,
kini entah mengapa dan darimana datangnya tenaga, se-konyong2 ia melompat
bangun terus menubruk ke arah Auwyang Hong sambil berteriak: "Haha, Si
Racun tua, Auwyang Hong, Lokiauhoa hari ini betul2 takluk padamu!"
Dan begitu saling bergumul, Ang Chit-kong merangkul erat2
tubuh Auwyang Hong.
Terkejut sekali Nyo Ko oleh kejadian itu, ia sangka orang
bermaksud mencelakai ayah angkat-nya, lekas ia tarik2 punggung pengemis tua
itu, siapa tahu rangkulannya malah semakin kencang hingga tak dapat ditarik lepas
sedikitpun.
"Hahaha, Auwyang Hong, si Racun tua, tak nyana kau
bisa mendapatkan tipu serangan lihay yang baru ini, hari ini Lokiauhoa betul2
menyerah. Bagus, Auwyang Hong, bagus!" demikianlah Ang Chit-kong masih
terus ber-teriak2 sambil terbahak-bahak.
Memangnya umur Auwyang Hong sudah tua, ditambah lagi
pertarungan sengit selama beberapa hari dan semalam suntuk memeras otak, hal
ini sudah bikin semangatnya lemah dan tenaga habis, kini mendadak dengar Ang
Chit-kong berseru namanya "Auwyang Hong" sampai beberapa kali,
mendadak seperti sinar refleksi yang membalik, otaknya yang miring seketika
waras kembali, kejadian selama berpuluh tahun tiba2 seperti sebuah cermin yang
menerangi alam pikirannya dan se-akan2 terpentas di depan matanya.
"Haha! Ya, ya! Aku adalah Auwyang Hong, aku Auwyang
Hong! Hahahaaaa!" demikian kemudian iapun ketawa ter-bahak2, suaranya
lantang bagai bunyi genta dan sangat menusuk telinga.
Tertampaklah kedua kakek ubanan saling rangkul-merangkul
sambil ketawa ter-bahak2 tiada hentinya.
Selang tak lama, suara tertawa mereka makin lama makin
rendah dan makin lemah, sampai akhirnya mendadak pun berhenti, lalu tak
bergerak lagi kedua orang tua itu.
Luar biasa kejut Nyo Ko melihat keadaan itu.
"Ayah, ayah! Locianpwe, Lociapwe!" demikian ia
berteriak2, tetapi tiada seorangpun yang menyahut.
Waktu ia tarik lengan Ang Chit-kong, mendadak tubuh orang
tua ini dengan gampang saja dapat ditariknya terus ambruk, nyata orangnya sudah
tak bernyawa lagi
Ketika ia periksa Auwyang Hong, serupa saja, orang tua
inipun sudah berhenti bernapas.
Meski suara tertawa kedua orang tadi sudah berhenti tapi
pada wajah mereka masih terlukiskan senyuman, di antara lembah gunung sayup2
masih terdengar juga suara tertawaan mereka yang berkumandang membalik.
Begitulah lelakon dua jago tua, Pak-kay dan Se-tok atau
Si Pengemis dari Utara dan Si Racun dari Barat, satu baik dan yang lain jahat,
selama puluhan tahun mereka saling berkelahi dan tidak pernah ada yang
terkalahkan siapa duga kini bisa tewas bersama di puncak teratas Hoa-san.
Selama hidup kedua orang itu saling membenci dan
bermusuhan, tetapi pada ajalnya sebaliknya saling rengkul sambil ketawa
ter-bahak2, rupanya benci dan dendam selama puluhan tahun itu telah tamat
terbawa oleh suara tertawaan mereka yang terakhir itu !
Seketika itu Nyo Ko malah menjadi bingung, teringat
olehnya Ang Chit-kong pernah tidur selama tiga hari tiga malam, kini kedua
orang tua ini jangan2 juga mati buatan? Tetapi kalau melihat keadaannya,
agaknya bukanlah mati palsu.
"Ah, lebih baik anggap dia palsu, daripada
menyangkanya sungguh2," demikian akhirnya Nyo Ko ambil keputusan.
Lalu ia pindahkan mayat kedua jago tua itu ke dalam gua,
ia sendiri menjaga di situ selama 7 hari 7 malam, sampai akhirnya wajah kedua
mayat itu sudah mulai berubah barulah pemuda ini mau percaya orang sudah mati
sungguh2. Ia menangis ter-gerung2, kemudian ia gali dua liang dalam gua itu dan
kubur kedua jago kosen dunia persilatan itu.
Waktu ia keluar gua ia lihat bekas2 tapak kaki di atas
salju dimana Ang Chit-kong menem-pur Auwyang Hong kini sudah membeku menjadi
es. Bekas tapak kakinya masih, namun orangnya sudah masuk liang kubur,
Menghadapi bekas tapak kaki ini, Nyo Ko jadi terbayang pada pertarungan kedua
jago tua itu tempo hari, tanpa terasa ia berduka pula.
Ia masuk gua pula, di depan kuburan kedua jago tua itu ia
berlutut dan menjura masing2 empat kali.
"Ayah angkat meski hebat, tapi apapun juga memang
masih selisih setingkat dengan Ang-locian-pwe. Di waktu Pak-kau-pang-hoatnya
menyerang, ayah harus memeras otak berpikir sejenak baru bisa mematahkan tipu
pukulannya, jika pertarungan itu dilangsungkan secara sungguh2, sudah tentu ia
tak diberi kesempatan untuk memikir se-maunya!" demikian Nyo Ko membatin.
Sesudah menghela napas terharu, kemudian ia pun cari
jalan buat turun ke bawah gunung,
Turunnya ke bawah gunung sekarang ini dilakukan Nyo Ko
dengan seenaknya saja, iapun tidak beda2kan timur atau barat, utara atau
selatan, yang terpikir olehnya hanya bumi seluas ini melulu aku sendirilah yang
sebatangkara, biar aku terlunta-lunta ke mana saja, kalau sudah tiba ajalnya,
biarlah di mana aku rebah, di situlah aku mati.
Meski tinggal di atas Hoa-san tidak lebih setengah bulan,
namun bagi Nyo Ko rasanya sudah lewat beberapa tahun, Pada waktu naik gunung ia
merasa dirinya selalu dipandang hina orang dengan penuh rasa penyesalan, tetapi
kini waktu turun gunung ia merasa segala keduniawian ini sama saja seperti awan
yang terapung di udara, biarlah orang mau pandang berharga atau pandang hina,
ada sangkut paut apa dengan aku?
Begitulah dalam usianya semuda itu ternyata sudah timbul
semacam rasa benci pada sesamanya dan anggap sepi mati-hidupnya sendiri.
Tidak seberapa hari, tibalah dia pada suatu hutan yang
sepi di daerah Siamsay, mendadak terdengar olehnya di arah barat gemuruh dengan
suara larinya binatang dengan debu mengepul tinggi. Tidak antara lama, beberapa
ratus kuda liar kelihatan berlari lewat di depannya dengan cepat.
Kuda2 liar senang hidup bebas tanpa kekangan apapun ini
membikin Nyo Ko menjadi kagum dan tertarik. Selagi ia ikut gembira oleh
kelincahan kuda2 liar itu, tiba2 didengarnya di belakangnya ada suara
meringkiknya kuda lain yang lemah.
Waktu Nyo Ko berpaling, ia lihat seekor kuda kurus
menyeret sebuah kereta bermuatan kayu sedang mendatangi dengan pelahan melalui
jalan raya, agaknya kuda kurus ini tertarik oleh sebangsanya yang hidup merdeka
itu, sedang dirinya sendiri harus susah menderita hidupnya, maka telah
meringkik sedih.
Kuda ini sudah kurus lagi tinggi, tulang2 iganya sampai
kelihatan nyata ber-deret2, bulu badan pun tak rata penuh borok2, semua ini
menjadikan rupanya jelek sekali
Di atas kereta itu duduk seorang laki2 kasar, mungkin
jalan kuda kurus itu dianggapnya terlalu lambat, maka tiada hentinya, ia ayun
cambuknya memecut terus.
Selama hidup Nyo Ko sendiri sudah kenyang dihina dan
dihajar orang, kini mendadak nampak penderitaan kuda ini, aneh, tanpa terasa
timbul rasa simpatiknya, ia menjadi "solider" melihat kuda itu
dipecut terus, saking terharunya sampai matanya merah basah.
"Hai, kau! Kenapa kau pecut kuda ini terus?"
bentaknya gusar sambil menghadang di tengah jalan ketika kereta itu sudah
dekat.
Melihat yang merintangi adalah pemuda dengan pakaian
compang-camping dekil serupa orang minta2, lelaki kasar itu anggap sepi saja
atas teguran itu.
"Lekas minggir, apa kau cari mampus?" batasnya
membentak.
Lalu cambuknya diangkat, kuda kurus itu di-hujani pecutan
lagi.
Keruan Nyo Ko tambah gusar.
"Jika kau pecut kuda ini lagi, segera kubunuh
kau!" teriaknya sengit.
"Hahaha!" lelaki itu malah tertawa, berbareng
pecutnya" lantas menyabet ke atas kepala Nyo Ko.
Tentu saja pecut yang tiada artinya ini tak mungkin bisa
mengenai Nyo Ko, sekali pemuda ini ulur tangannya, segera cambuk orang
direbut-nya, bahkan ia putar kembali pecut itu, dengan menerbitkan suara
"tarrr", tiba2 leher lelaki tadi kena terlibat oleh pecutnya sendiri
dan kena diseret ke tanah, menyusul Nyo Ko lantas menghujam orang dengan
cambukan.
Kuda kurus itu meski jelek rupanya, tetapi seperti sangat
cerdik, melihat lelaki itu dihajar Nyo Ko, binatang ini telah berjingkrak
meringkik riang, bahkan ia gosok2 kepalanya pada Nyo Ko sebagai tanda terima
kasihnya.
"Pergilah kau ke sana hidup di alam bebas!"
kata Nyo Ko kemudian setelah putuskan tali penarik kereta sambil tepuk2
punggung binatang itu dan menuding ke arah debu yang beterbangan oleh karena
lari gerombolan kuda liar tadi.
Tiba2 kuda kurus ini meringkik dan berdiri tegak, habis
ini terus lari cepat ke depan, Tapi mungkin saking lama menderita lapar,
sekarang mendadak lari keras hingga tenaga tak cukup, maka baru belasan meter
berlari, tiba2 kaki belakangnya terasa lemas, lalu jatuh terbanting.
Nyo Ko merasa kasihan, ia mendekati binatang itu dan
mengangkatnya berdiri.
Nampak si Nyo Ko begitu perkasa, lelaki tadi ketakutan
setengah mati, begitu merangkak bangun, kereta dan kayunya tak dipikir lagi,
segera ia lari ter-birit2 sambil ber-teriak2 minta tolong.
Nyo Ko merasa geli oleh kelakuan orang. Lalu dicabutnya
beberapa comot rumput segar dan memberi makan kuda kurus tadi.
"O, kuda yang harus dikasihani selanjutnya kau ikut
padaku saja," demikian Nyo Ko berkata sambil meng-elus2 punggung binatang
iru, Nyata karena penderitaan kuda itu, tanpa terasa timbul simpatiknya yang
senasib.
Kemudian pelahan2 ia tuntun kuda itu menuju ke satu kota,
ia beli sedikit bahan makanan kuda agar binatang ini bisa makan enak dan
kenyang, Besok paginya kuda ini sudah kelihatan sehat kuat dan bersemangat
habis ini baru Nyo Ko menungganginya dengan jalan pelahan2.
Kuda buduk ini tadinya tak bisa lari kalau tidak
kesandung kakinya, tentu kepeleset jatuh, siapa tahu makin jauh berjalan makin
baik, sampai 78 hari kemudian, sesudah diberi makan cukup hingga tenaga penuh,
mulai kelihatanlab kepandaiannya berlari secepat terbang.
Tentu saja Nyo Ko sangat girang, ia menjadi tambah sayang
dan memberi perawatan yang lebih baik.
Hari itu Nyo Ko berhenti pada suatu kedai arak untuk
tangsal perut dan suruh pelayan menyediakan semangkok arak Tiba2 kudanya
mendekati mejanya sambil meringkik dan memandangi mangkok araknya itu seperti
ingin minum.
Nyo Ko menjadi ketarik, ia coba berikan araknya itu
sambil mengelus leher binatang itu, Betul saja kuda itu telah pentang mulut
lebar, tanpa sungkan2 sekejap saja semangkok arak itu telah dilahap kering,
habis ini ekornya men-jengkit2 dan kakinya meng-ketok2, tampaknya binatang ini
senang sekali.
Nyo Ko menjadi makin ketarik, ia suruh pelayan ambilkan
arak lagi, beruntun kuda itu habiskan belasan mangkok arak dan masih belum mau
sudah, rupanya pelayan kedai itu meragukan kemampuan Nyo Ko membayar uang arak
itu, karena pakaiannya tompang-camping, maka waktu disuruh tambah arak lagi ia
telah menolak.
Waktu perjalanan dilanjutkan mungkin karena pengaruh
arak, tiba jadi itu berlari cepat seperti kranjingan setan, begitu cepat hingga
pepohonan di tepi jalan berkelebat lewat seperti terbang saja, Malahan binatang
ini seperti punya watak yang aneh, yakni tidak pedili apa saja, asal dilihatnya
ada sesuatu binatang di depannya, pasti ia kan pentang kaki secepatnya
mendahului ke depan.
Agaknya wataknya suka menang itu bukan mustahil
disebabkan karena selama ini ia dipandang rendah dan cukup menderita segala
hinaan, maka kini begitu dapat kesempatan ia justru ingin unjuk ketangkasannya
yang tidak mau kalah dengan kuda yang lain.
Tabiat dogol demikian ini rupanya sangat cocok dengan
watak Nyo Ko, maka satu orang dan satu kuda ini telah menjadi kawan yang sangat
baik.
Tadinya Nyo Ko merasa sangat masgul dan kosong, tetapi
setelah mendapatkan kawan kuda yang membikin hatinya riang, betapapun juga
memang hati anak muda, tidak seberapa hari ia sudah kembali gembira seperti
sediakala.
Tanpa terasa sudah jalan beberapa hari, akhirnya ia ambil
jalan lama melalui Liong-kik-ce terus menuju ke Hing-ci-koan.
Sepanjang jalan bila Nyo Ko ingat waktu menggoda Liok
Bu-siang dan permainan Li Bok-chiu, kadang2 ia tertawa geli sendiri di atas
kudanya.
Suatu hari waktu lohor, sepanjang jalan selalu Nyo Ko
ketemukan kawanan pengemis secara ber-kelompok2, melihat sikap mereka itu jelas
banyak diantaranya adalah golongan jago silat yang tinggi
Tiba2 Nyo Ko terkesiap, pikirnya: "Jangan2
percekcokan antara Liok Bu-siang dan kawanan pengemis ini masih belum
selesai?" Atau boleh jadi Li Bok-chiu hendak tentukan mati-hidupnya dengan
kawanan pengemis yang lagi himpun kekuatan ini? Ha, keramaian ini tidak boleh
kulewatkan!"
Teringat olehnya bahwa Ang Chit-kong adalah Pangcu kaum
pengemis yang dulu, meski tidak ketarik oleh kawanan pengemis itu, namun
teringat akan kesatriaan Ang Chit-kong yang pernah dia lihat, tanpa terasa
timbul juga perasaan persaudaraannya dengan Kay-pang, ia pikir bila ada
kesempatan seharusnya aku beritahukan mereka tentang wafatnya Ang Chit-kong di
atas Hoa-san.
Setelah berjalan tak lama lagi, ia lihat kawanan pengemis
itu makin lama makin banyak kalau diantara pengemis itu ada yang menggendong
kantong kain, pengemis2 lain pada umumnya lantas sangat hormat padanya.
Sebaliknya melihat macamnya Nyo Ko, para pengemis itu
rada heran, jika melihat dandanan Nyo Ko, memang tiada ubahnya seperti
pengemis, tetapi diantara anggota Kay-pang itu se-kali2 tiada orang yang naik
kuda.
Namun Nyo Ko tak peduli mereka, ia tetap melarikan
kudanya dengan pelahan.
Tiba2 terdengar suara mencicitnya burung, dua ekor rajawali
kelihatan menukik ke depan sana.
"Ah, Ui-pangcu sudah datang, malam ini besar
kemungkinan akan ada rapat," terdengar satu pengemis di samping Nyo Ko
berkata.
"Entah Kwe-tayhiap ikut datang tidak?" sela
seorang pengemis lain.
"Tentu datang," ujar pengemis yang pertama
tadi. "Suami-isteri mereka adalah seperti timbangan dengan anak batunya,
yang satu tidak bisa kehilangan yang lain."
Selagi hendak meneruskan perkataannya, tiba-tiba
dilihatnya Nyo Ko menahan kuda sedang mengawasi mereka, maka pengemis itu
melotot sekejap pada Nyo Ko, lalu tutup mulut tak jadi menyambung.
Kiranya demi mendengar nama Kwe Cing dan Ui Yong,
seketika hati Nyo Ko rada terperanjat, cuma wataknya sekarang sudah jauh
berbeda dari dulu, maka diam2 ia tertawa dingin: "Hm, dahulu aku makan
menganggur di rumahmu hingga kenyang dihina dan dipermainkan kalian, Tatkala
itu aku masih kecil dan tak punya kepandaian, maka tidak sedikit pahit getir
yang kurasakan. Tetapi kini aku anggap jagat ini sebagai rumahku, tak perlu
lagi aku mengandalkan kau?"
Tiba2 terpikir lagi olehnya: "Ah, lebih baik aku
pura2 jatuh sengsara dan pergi minta pertolongan mereka, ingin kulihat cara
bagaimana mereka melayani aku."
Lalu dicarinya tempat yang sepi, ia bikin rambutnya
menjadi kusut semrawut, ia jotos mukanya sendiri sekali hingga ujung mata
kirinya matang biru, ia cakar lagi mukanya sendiri hingga babak belur.
Memangnya pakaiannya sudah tak necis, kini ia sengaja
dirobek pula, malahan ia mengguling beberapa kali di tanah hingga tambah kotor,
dengan macamnya ini ditambah berjodoh dengan kuda buduk yang jelek, maka
tampaknya menjadi benar2 seorang rudin yang sengsara dan tinggal mampus saja.
Selesai menyamar, dengan jalan pincang dan bikinan Nyo Ko
kembali ke jalan besar, ia tidak tunggangi kudanya lagi melainkan jalan bersama
kawanan pengemis, Kadang2 ada pengemis yang menegur padanya apakah ikut pergi
ke rapat besar, Nyo Ko tak bisa menjawab, ia hanya melongo saja. Tetapi ia
tetap campurkan dirinya di antara kawanan pengemis itu dan meneruskan perjalanan
bersama mereka.
Sampai hari sudah magrib, rombongan mereka tiba sampai di
depan sebuah kelenteng besar yang bobrok, dua ekor rajawali tadi kelihatan
menghinggap di atas satu pohon besar, sedang Bu-si Hengte sedang sibuk memberi
makan pada mereka, yang satu membawa nampan dan yang lain lemparkan potongan
daging yang berada di dalam nampan itu.
Tempo hari waktu kakak-beradik she Bu itu menempur Li
Bok-chiu bersama Kwe Hu, pernah juga Nyo Ko menonton dari samping, cuma waktu
itu hanya Kwe Hu seorang yang dia perhatikan maka terhadap kedua pemuda ini tak
begitu di-urusnya.
Kini berhadapan lagi, Nyo Ko melihat gerak-gerik Bu
Tun-si cukup tangkas dengan semangat penuh, sebaliknya Bu Siu-bun enteng dan
gesit, lincah tak pernah diam. Tun-si mengenakan baju satin berwarna wungu tua,
sedang Siu-bun berbaju satin warna biru safir, pinggang mereka pakai ikat kain
sutera bersulam, maka tampaknya menjadi gagah dan cakap.
Nyo Ko coba mendekati mereka.
"Ke... kedua Bu-heng, ter... terimalah hormatku,
apa, apa......selama ini baik2 saja!" demikian ia menyapa dahulu dengan
suara tak lancar.
Tatkala itu kelenteng rusak itu baik dalam maupun luar
sudah penuh berjubel dengan kawanan pengemis yang semuanya berpakaian penuh
tambal sulam, dengan dandanan Nyo Ko yang sudah disiapkan itu, maka tidaklah
menyolok ia bercampur diantara orang banyak.
Dan karena sapaan Nyo Ko tadi, Tun-si balas menghormat
dengan sopan, ia tak kenal siapakah orang yang menegur dirinya ini, maka dengan
sinar mata yang tajam ia coba mengamat-amati orang.
"Siapakah saudara yang terhormat ini, maafkan aku
tak ingat Iagi," demikian sahutnya kemudian.
"Ah, namaku rendah ini tiada harganya buat disebut,
Siaute... Siaute hanya mohon bertemu dengan Ui-pangcu," sahut Nyo Ko
merendah.
Mendengar suara orang seperti sudah pernah dikenalnya dan
selagi Tun-si hendak tanya lebih jauh, tiba2 didengarnya dari dalam kelenteng
itu ada suara orang memanggil padanya.
"Toa-Bu-koko (engkoh Bu yang tua), ikal kucirmu tak
diikat dengan baik, coba lihat, sudah kusut lagi," demikian kata suara
nyaring itu.
Karena mendengar suara ini, lekas2 Bu Tun-si meninggalkan
Nyo Ko terus memapak ke sana.
Waktu Nyo Ko berpaling, ia lihat seorang gadis jelita
berbaju hijau muda dengan langkah lebat sedang keluar dari dalam kelenteng,
Kedua alis gadis ini panjang lentik, hidungnya yang mancung sedikit menjengat,
mukanya putih, pipinya merah bagai pauh dilayang, siapa lagi dia kalau bukan
puterinya Kwe Cing, Kwe Hu adanya.
Dandanan Kwe Hu sebenarnya tak seberapa mewah, hanya
serenceng kalung mutiara yang dipakai di lehernya itu yang mengeluarkan sinar
mengkilap hingga wajah si gadis tertampak lebih molek.
Hanya sekejap saja Nyo Ko pandang si gadis, segera ia
merasa dirinya terlalu kotor dan jelek, maka tak berani ia pandang terus.
Sementara itu Bu-si Hengte sudah lantas papak datangnya
Kwe Hu, mereka menyanjung-nyanjung sebisanya, kalau tindak tanduk Bu Tun-si
sedikit membawa sifat angkuh dan rada pegang derajat, sebaliknya Bu Siu-bun
suka me-rendah2 menjilat asal dapat pujian si gadis.
Sesudah berjalan pergi beberapa langkah, tiba-tiba Tun-si
ingat lagi pada diri Nyo Ko, ia menoleh dan menanya: "Apa kau datang
menghadiri "Eng-hiong-yan" (perjamuan kaum kesatria)?"
Sebenarnya Nyo Ko tak paham apa "Eng-hiong-yan"
yang dikatakan orang itu, namun sekenanya ia mengiakan saja.
Karena itu, Tun-si memanggil seorang pengemis dan memesan
padanya: "Sobat ini hendaklah dilayani baik2, besok ajak dia pergi ke
Hing-ci-koan sekalian."Habis ini, ia asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu
dan tidak urus Nyo Ko Iagi.
Karena pesan itu, lekas pengemis itu datang menyapa Nyo
Ko dan menanya nama orang, oleh Nyo Ko dijawab dengan terus terang,
Di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, Nyo Ko adalah
orang yang tak dikenal namanya, dengan sendirinya pengemis itupun tak pernah
mendengar namanya, maka tak diperhatikannya anak muda ini.
Pengemis itu mengaku bernama Ong Capsah atau Ong nomor
13, karena urut2annya dalam keluarganya nomor 13, dan she Ong, maka dipanggil
Ong Capsah. Di Kay-pang ia tergolong anak murid berkantong dua.
Karena ilmu silat Ong Capsah tak tinggi, tingkatannya pun
rendah, hanya pintar bicara dan bisa bekerja cepat, maka anak murid Kay-pang
tingkatan tinggi menugaskan dia sebagai penyambut tamu.
"Darimanakah asalnya Nyo-toako?" demikian Ong
Capsah tanya lagi.
"Baru saja datang dari barat-laut," sahut Nyo
Ko.
"Eh, apa Nyo-toako anak murid Coan-cin-pay?"
tanya Ong Capsah.
"Bukan," sahut Nyo Ko tanpa pikir sambil geleng
kepala. Ya, pemuda ini sudah terlalu -benci pada Coan-cin-kau, bila mendengar
nama itu saja ia sudah kepala pusing, apalagi suruh mengaku sebagai anak murid
nya.
"Dan apakah Nyo-toako membawa Eng-hiong-tiap (kartu
undangan kesatria)?" tanya Ong Cap-sah pula.
Nyo Ko jadi tetcengang, ia tak mengerti apa
"Eng-hiong-tiap" itu?
"Siaute biasanya hanya luntang-Iantung merantau di
Kangouw, mana bisa disebut sebagai Enghiong?" demikian sahutnya kemudian,
"Cuma dahulu pernah bertemu muka sekali dengan Ui-pangcu kalian, maka kini
sengaja datang menemui-nya lagi buat meminjam sedikit sangu untuk pulang
kampung."
Ong Capsah mengkerut kening mendengar keterangan itu.
"Ui-pangcu sedang sibuk menerima para kesatria dari
segenap penjuru, mungkin tiada tempo buat menerima kau," sahutnya kemudian
sesudah berpikir sejenak.
Kedatangan Nyo Ko sekali ini memang sengaja pura2 rudin,
semakin orang memandang rendah padanya, semakin senang hatinya. Oleh sebab itu
ia justru sengaja mohon belas kasihannya Ong Capsah agar suka membantu.
Salah satu sikap yang dijunjung tinggi oleh orang2
Kay-pang yalah baik budi dan setia kawan, pula anggota Kay-pang itu semuanya
berasal dari kaum tak punya, selamanya mereka suka bantu yang lemah dan
menolong yang susah, se-kali2 tidak boleh pandang hina pada orang miskin. Oleh
sebab itulah, demi nampak Nyo Ko memohon dengan sangat, mau-tak-mau Ong Capsah
menyanggupinya.
"Baiklah, Nyo-hengte, sekarang kau makan yang
kenyang dahulu, besok pagi kita berangkat ke Hing-ci-koan bersama,"
katanya kemudian "Di sana nanti aku melapor pada Pangcu dan terserah
bagaimana keputusan beliau, baik tidak kalau begini ?"
Tadinya Ong Capsah menyebut Nyo Ko sebagai
"Toako" atau saudara tua, tetapi kini mendengar pemuda ini bukan
orang yang diundang menghadiri Eng-hiong-yan, pula umur dirinya lebih tua, maka
ia ganti memanggil orang sebagai Nyo-heng-te atau adik Nyo.
Di lain pihak karena orang sudah mau membantu, ber-ulang2
Nyo Ko menghaturkan terima kasinnya.
Kemudian Ong Capsah mengajak Nyo Ko masuk ke dalam
kelenteng dan membawakan daharan seperlunya.
Menurut peraturan Kay-pang, sekalipun waktu pesta pora,
cara makan para anggotanya tetap harus bikin kocar-kacir segala macam daharan,
baik ayam- daging, ikan dan iain2 dan baru dimakan kalau sudah berwujud seperti
barang restan orang.
Cara ini adalah tanda bahwa "kacang tak pernah lupa
pada lanjarannya", artinya tidak boleh lupa pada sumbernya, yakni sekali
pengemis tetap penge-mis, baik hidupnya dan cara makannya, Tetapi terhadap
tetamu, daharan yang mereka suguhkan adalah biasa dan lengkap.
Begitulah, selagi Nyo Ko makan seorang diri, tiba2
matanya terbeliak, ia lihat Kwe Hu masuk lagi dari luar dengan muka ber-seri2,
waktu gadis itu melihat Nyo Ko sedang makan nasi di tepi patung Budha, tanpa
melirik lagi ia ajak bicara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.
"Baiklah, kita berjalan malam dan berangkat ke
Hing-ci-koan," demikian terdengar Siu-bun berkata. "Aku pergi
mengeluarkan kuda merahmu."
Ketiga orang itu sembari bicara sambil bertindak ke
belakang, Tidak antara lama, sesudah bawa bekal dan senjata, mereka keluar lagi
kelenteng itu, lalu terdengar suara derapan kuda yang riuh, nyata ketiga orang
itu sudah berangkat.
Dengan ter-mangu2 Nyo Ko mengikuti derapan kuda yang
sayup2 mulai menjauh, tetapi sepasang sumpitnya masih tertancap di dalam
mangkok sayur, ia tidak tahu perasaannya waktu itu apa suka atau duka, apa
sedih atau gusar?
Besok paginya Ong Capsah datang membawanya pergi ke
Hing-ci-koan, sepanjang jalan kecuali orang2 dari Kay-pang sendiri, tidak
sedikit pula tokoh2 Bu-lim yang mereka ketemukan baik laki2 maupun perempuan,
tua atau muda, ada yang berperawakan gagah tegap, ada yang kurus kecil tetapi
setiap orang jalannya cepat dan kuat, agaknya semuanya diundang untuk
menghadiri apa yang disebut Eng-hiong-yan atau perjamuan kesatria itu.
Nyo Ko sendiri tidak tahu apa itu Eng-hiong-yan dan
Eng-hiong-tiap, ia menduga meski ditanya tidak nanti Ong Capsah mau terangkan,
maka ia pun tidak merecoki urusan itu, sepanjang jalan ia hanya pura2 bodoh dan
berlagak dungu saja.
Petangnya Nyo Ko dan Ong Capsah sudah sampai di
Hing-ci-koan. Kota Hing-ci-koan ini meski tempat yang penting dalam arti
kemiliteran, namun kotanya sendiri ternyata tak begitu ramai.
Ong Capsah membawa Nyo Ko melalui kota itu dan berjalan
lagi 7-8 li, akhirnya sampai di suatu perkampungan besar dengan gedung2
ber-deret2 dilingkungi oleh beberapa ratus pohon wa-ringin yang rindang, Ke
dalam kampung inilah para kesatria itu masuk.
Perkampungan itu begitu besar dengan gedung gedungnya
yang sambung menyambung dan ber-jajar2, tampaknya kalau hanya tetamu beberapa
ribu saja masih cukup luang.
Ong Capsah sangat rendah kedudukannya dalam Kay-pang, ia
tahu waktu itu Pangcu mereka terlalu sibuk, sudah tentu tak berani ia laporkan
permintaan Nyo Ko yang hendak "pinjam sangu" segala, Maka setelah
atur tempat tidurnya Nyo Ko dan sediakan makan, kemudian ia sendiripun pergilah
mencari kawannya yang lain.
Sesudah makan, Nyo Ko lihat gedung yang begini megahnya
dengan centeng yang tidak terhitung banyaknya hilir mudik melayani tetamu,
diami ia merasa heran siapakah tuan rumahnya, kenapa begini besar pengaruhnya ?
Dalam pada itu dapat didengarnya disampingnya ada orang
sedang berkata: "Suami isteri cengcu sendiri sedang menyambut tetamu,
marilah kita juga pergi melihat gerangan siapa kesatria yang datang ini?"
Sementara itu di luar sana terdengar suara tambur
berdentum, lalu musik pun berbunyi para centeng berbaris di kedua samping,
ucacara pembukaan ternyata sangat meriah dan khidmat.
Tertampak dari belakang pintu muncul satu laki2 dan satu
perempuan yang semuanya berusia antara 40 tahun, yang lelaki tinggi kekar pakai
jubah sulam, bibirnya sedikit berkumis, kereng berwibawa. Sedang yang perempuan
berkulit putih bersih seperti wanita bangsawan.
"lni adalah Liok-cengcu dan itu Liok-hujin,"
demikian Nyo Ko dengar pembicaan di antara tetamu yang hadir.
Di belakang kedua orang ini kembali adalah sepasang suami
isteri, seketika hati Nyo Ko terkesiap demi nampak suami isteri yang belakang
ini hingga mukanya serasa panas, Mereka bukan lain ialah Kwe Cing dan Ui Yong
adanya.
Selama beberapa tahun tak berjumpa, tampaknya Kwe Cing
terlebih sabar lagi sedang Ui Yong bermuka terang dan ter-senyum2, tampaknya
bertambah montok daripada dahulu waktu di Tho-hoa-to.
Pakaian yang digunakan Kwe Cing terbuat dari kain kasar,
sebaliknya Ui Yong memakai kain sutera merah jambon, tetapi sebagai Pangcu dari
Kay-pang, menurut tradisi kaum pengemis, terpaksa ia berikan beberapa tambalan
pada bajunya di tempat yang tak terlalu menyolok.
Di belakang Kwe Cing dan Ui Yong ikut Kwe Hu dan Bu-si
Hengte, tatkala itu ruangan besar itu terang benderang dengan api lilin, di
bawah cahaya api lilin, gadis itu tertampak lebih cantik molek dan pemudanya
bertambah gagah ganteng.
"lni adalah Kwe-tayhiap dan itu Ui-pangcu!"
"Dan nona yang cantik itu siapa lagi?"
"lalah puteri Kwe-tayhiap dan Ui-pangcu!"
"Hei dan kedua pemuda itu apa puteranya?"
"Bukan, tapi muridnya!"
Begitulah percakapan di antara para tetamu sambil tunjuk
sini dan tuding sama.
Nyo Ko tak ingin berjumpa dengan Kwe Cing suami isteri di
depan orang banyak, maka ia sengaja sembunyi di belakang seorang lelaki tinggi
besar untuk mengintip.
Dalam pada itu, di bawah iringan suara musik, dari luar
telah masuk empat orang Tojin atau imam.
Nampak Imam ini, seketika timbul semacam rasa aneh dalam
hati Nyo Ko.
Kiranya yang paling depan itu adalah seorang imam yang
sudah ubanan rambut alisnya mukanya berwarna merah hangus, ia bukan lain dari
pada Kong-ling-cu Hek Tay-thong, satu diantara Coan-cin-chit-cu, sedang di
belakangnya adalah imam wanita tua ubanan juga, imam wanita ini belum pernah
dikenal Nyo Ko. Dan di belakang mereka ini ikut pula dua imam setengah umur
dengan jalan berjajar, mereka adalah Thio Ci-keng dan In Ci-peng.
Dengan cepat Liok-ceng-cu suami isteri sambut imam wanita
itu sambil menjura dan memanggilnya sebagai Suhu, menyusul serta Kwe Cing suami
isteri, Kwe Hu dan Bu-si Hengte juga maju memberi hormat.
Telinga Nyo Ko cukup tajam, maka percakapan antara para
tetamu itu dapat pula diikutinya dengan terang.
"lmam wanita tua ini adalah pendekar wanita
Coan-cin-kau, ia she Sun bernama Put-ji," demikian terdengar kata seorang
tua.
"Aha, kiranya dialah Jin-ceng Sanjin yang namanya
tersohor di daerah utara dan selatan sungai!" ujar tamu yang lain.
"Ja, dia adalah Suhu Liok-hujin, sedang ilmu silat Liok-ceng-cu
sendiri bukan belajar dari dia," kata si orang tua tadi.
Kiranya Liok-cengcu ini bernama Khoan-eng, ayahnya
bernama Liok Seng-hong adalah murid Ui Yok-su, ayah Ui Yong, maka kalau diurut,
Liok-cengcu masih lebih rendah setingkat dari pada Kwe Cing dan Ui Yong.
Sedang Liok-hujin, isteri Liok Khoan-eng, Thia Yao-keh,
adalah muridnya Sun Put-ji.
Dahulu Thia Yao-keh pernah mendapat pertolongan Kwe Cing,
Ui Yong dan orang2 Kay-pang sewaktu ia mengalami marabahaya, oleh sebab itu ia
merasa utang budi terhadap orang2 Kay-pang, Kini Kay-pang menyebarkan undangan
pada kestria2 di seluruh jagat dan mengadakan perjamuan besar menjelang rapat
raksasa dari Kay-pang me-reka, maka Liok Khoan-eng suami isteri telah pikul
semua biaya itu dan mengadakan perjamuan itu di tempat kediamannya, sekalipun
perjamuan ini mungkin akan makan separuh dari kekayaan mereka, namun Liok
Khoan-eng adalah seorang gagah yang terbuka tangannya, dengan sendirinya hal
demikian ini tak dipikir olehnya.
Begitulah, maka sesudah menjalankan penghormatan, lalu
Kwe Cing ikut Hek Tay-thong dan Sun Put-ji ke ruangan pendopo untuk
diperkenalkan kepada para kesatria yang hadir.
"Khu, Ong dan Lauw para Suheng sudah menerima kartu
undangan Ui-pangcu, mereka bilang seharusnya memenuhi undangan, cuma paling
belakang ini badan Lauw-suheng kurang sehat dan Ma-suheng harus bantu dia
menjalankan tenaga penyembuhan maka perjalanan ini terpaksa tak bisa dilakukan,
diharap Ui-pangcu suka memaafkan," demikian terdengar Hek Tay-thong
berkata dengan mengelus jenggotnya.
"Ah, para cianpwe itu terlalu merendah diri
saja," sahut Ui Yong.
Harus diketahui meski usia Ui Yong masih muda, tetapi dia
adalah pemimpin dari suatu organisasi besar Kay-pang, dengan sendirinya Hek
Tay-thong dan lain2 sangat menghormat padanya.
Kwe Cing sendiri sudah sejak mudanya kenal dengan In
Ci-peng, kini bisa berjumpa pula, sudah tentu mereka sangat girang dan
mengobrol dengan asyiknya.
Lekas2 Liok-cengcu memerintahkan perjamuan dimulai segera
para tetamu mengambil tempat duduk masing2, maka suasana ruangan pendopo itu
menjadi ramai luar biasa.
Dalam pada itu In Ci-peng sendiri lagi longak-longok kian
kemari seperti sedang mencari seseorang diantara orang banyak itu.
"ln-sute, entah orang she Liong itu ikut hadir atau
tldak?" tiba2 Ci-keng berkata lirih sambil tersenyum dingin.
Berubah hebat air muka Ci-peng karena sindiran itu, namun
ia tak menjawab.
"Kesatria she Liong yang manakah ? Apakah sahabat
kalian berdua?" tanya Kwe Cing, nyata tak diketahuinya bahwa orang yang
mereka bicarakan ialah Siao-iiong-li.
"Sahabat In-sute, aku sendiri mana berani bergaul
dengan dia," sahut Ci-keng.
Melihat sikap kedua imam ini rada aneh, Kwe Cing tahu di
dalamnya tentu tersangkut urusan2 lain, maka iapun tidak menanya lebih jauh.
Mendadak, di antara orang banyak itu Ci-peng dapat
melihat Nyo Ko, seketika tubuhnya bergetar seperti kena disamber petir, Kiranya
disangkanya jika Nyo Ko berada di situ, dengan sendirinya Siao-Jiong-li juga
datang.
Ketika Kwe Cing dan Ci-keng memandang ke arah yang
menarik perhatian Ci-peng itu hingga kesamplok pandang dengan Nyo Ko, seketika
merekapun tercengang.
Dalam kejutnya Kwe Cing merasa girang pula, maka ia
lantas mendekati anak muda itu sambil menarik tangannya.
"He, Ko-ji, kiranya kau juga datang?" demikian
ia menyapa. "Tadinya aku kuatir kau terlantarkan pelajaranmu maka tak
berani mengundang kau, kini gurumu sudah membawa kau ke sini, inilah baik
sekali,"
Kiranya jaman dulu karena tak lancarnya lalu lintas, maka
urusan tentang Nyo Ko berontak keluar dari Coan-cin-pay, Kwe Cing yang tinggal
jauh di Thohoa-to sedikitpun tak mendapat kabar.
Kehadiran Ci-keng ke Eng-hiong-yan sekali ini sebenarnya
justru akan merundingkan urusan itu dengan Kwe Cing, siapa duga di sinilah
malah kepergok dengan Nyo Ko, Semula ia kuatir Kwe Cing percaya pada ocehan Nyo
Ko secara sepihak, demi mendengar apa yang dikatakan Kwe Cing tadi ia pun
tahulah bahwa merekapun baru pertama kali bertemu sekarang ini, maka dengan
muka merah adam Ci-keng menengadah sambil berkata: "Ada kepandaian apa dan
kebajikan apa pada diriku. mana berani aku menjadi guru Nyo-ya?"
Kaget sekali Kwe Cing oleh kata2 ini
"Apa? Kenapa Thio-suheng berkata demikian ? Apakah
anak kecil tidak mau menutul ajaranmu?" tanyanya cepat.
Melihat ruangan pendopo ini penuh dengan tetamu, kalau
sampai urusaa itu diceritakan hingga terjadi perdebatan dengan Nyo Ko, rasanya
hal ini bisa menghilangkan pamor Coan-cin-kau, maka Ci-keng tak mau menjawab
melainkan tertawa dingin saja.
Di lais pihak, waktu Kwe Cing periksa keadaan Nyo Ko, ia
lihat matanya bengkak dan mukanya babak belur, pakaiannya compang-camping dan
kotor, terang sekali bocah ini kenyang merasakan penderitaan yang tidak ringan,
Kwe Cing sangat pedih, sekali tarik ia rangkul kencang Nyo Ko ke dalam
pelukannya.
Waktu ditarik, segera Nyo Ko kumpulkan seluruh tenaga
dalamnya untuk melindungi tempati berbahaya di tubuhnya. Siapa tahu Kwe Cing
benar2 sayang dan kasihan padanya dan tiada maksud hendak mencelakainya,
malahan paman angkat ini telah berseru pada Ui Yong : "Yong-ji, lihatlah
siapa ini yang datang?"
Ui Yong tercengang juga demi nampak Nyo Ko, berlainan
dengan Kwe Cing yang kegirangan bisa berjumpa dengan Nyo Ko, sebaliknya ia
sambut orang dengan adem saja.
"Bagus, kiranya kaupun datang." demikian sahutnya
tawar
Dalam pada itu dengan pelahan Nyo Ko melepaskan diri dari
pelukan Kwe Cing.
"Tubuhku kotor, jangan sampai membikin kumal
pakaianmu," demikian katanya pada sang paman, Kata2 ini diucapkan dengan
dingin, bahkan bernada menyindir.
Namun hal itu tak terpikir oleh Kwe Cing, ia hanya merasa
terharu, waktu itu juga teringat olehnya : Anak ini sebatangkara dan yatim
piatu, tentu sudah kenyang merasakan pahit getir."
Karena itu, ia tarik tangan Nyo Ko dan mengajak agar
pemuda ini duduk semeja dengan dirinya.
Nyo Ko duduk di suatu tempat yang terpencil maka iapun
menolak
"Biarlah aku duduk di sini saja, silakan Kwe-pepek
pergi menemani tetamu," sahutnya dingin.
Kwe Cing merasa tak enak harus meninggalkan tetamu yang
begitu banyak, maka ia tepuk pelahan pundak si Nyo Ko, lalu pergilah dia ke
tempat duduknya semula.
Setelah tiga keliling para tamu mengeringkan isi cawan,
sebagai ketua lalu Ui Yong mulai angkat bicara: "Besok adalah hari
diadakannya Eng-hiong-yan, kini masih ada beberapa kawan dari berbagai penjuru
yang belum datang, mungkin besok siang baru bisa tiba, Maka kini silakan para
hadirin makan minum sepuasnya, besok baru kita bicarakan urusan pokok."
Selesai pidato ini, seketika para tamu itu bersorak sorai
kemudian perjamuan lantas dimulai.
Setelah bubar perjamuan, para tamu itu dengan sendirinya
ada penyambutnya sendiri2 yang mengantarkan pergi mengaso.
Maka kelihatanlah Ci-keng bisik2 pada Hek Tay-thong dan
imam tua ini balas meng-angguk2, lalu Ci-keng berdiri dan membungkuk memberi hormat
pada Kwe Cing.
"Kwe-tayhiap, Pinto merasa mengecewakan tugas berat
yang pernah dipikirkan padaku itu, sungguh hal ini sangat memalukan, maka hari
ini sengaja datang buat terima hukuman atas dosaku," demikian kata
Ci-keng.
"Ah, Thio-suheng terlalu merendah diri saja,"
sahut Kwe Cing segera sambil balas hormat. "Marilah kita bicara ke kamar
baca saja, apabila anak kecil ada yang bikin marah Thio-suheng, pasti Siaute
akan beri hukuman yang setimpal padanyak agar amarah Thio-suheng bisa padam."
Beberapa kata Kwe Cing ini diucapkan dengan suara
lantang, karena jaraknya Nyo Ko tidak begitu jauh, maka semuanya dapat
didengarnya dengan cukup terang, Diam2 dalam hati pemuda ini pun sudah ambil
suatu keputusan:
"Jika dia mendamperat sepatah kata saja padaku,
segera aku berbangkit dan angkat kaki dari sini dan untuk selanjutnya tak mau
bertemu muka lagi dengan dia. Bila dia pukul aku, meski ilmu silatku bukan
tandingannya, pasti aku akan adu jiwa juga dengan dia".
Karena sudah ambil keputusan demikian, maka Nyo Ko
menjadi lebih tenang, tidak lagi ketakutan seperti waktu bertemu dengan Thio
Ci-keng untuk pertama kalinya dahulu, Dan demi nampak Kwe Cing menggapai
padanya, maka iapun ikut di belakang mereka.
Tatkala itu Kwe Hu bersama Bu-si Hengte juga sedang makan
di suatu meja makan, semula gadis ini tak kenal lagipada Nyo Ko belakangan
sesudah ayah-bundanya mengenali pemuda itu, barulah Kwe Hu ingat pemuda itu
bukan lain daripada kawan memainnya, waktu kecil di Tho-hoa-to dahulu.
Dasar anak muda yang cepat berubah wajahnya, apalagi
sudah sekian tahun berpisah, pula Nyo Ko sengaja menyamar dengan rupa yang
sengsara dan bercampur di antara orang banyak, tentu saja Kwe Hu tak
mengenalinya.
Kini nampak Nyo Ko telah kembali tanpa terasa hatinya
terguncang, terkenang olehnya kejadian dahulu di Tho-hoa-to di mana karena
urusan jangkrik telah terjadi perkelahian, entah kejadian ini apa masih membuat
dendam pemuda itu atau tidak?"
Tetapi bila dilihatnya keadaan Nyo Ko yang begitu rudin,
lesu dan kotor, jauh berlainan dengan wajah Bu-si Heng-te yang ganteng dan
bersemangat, diam2 timbul juga perasaan kasihannya pada pemuda itu.
"Ayah telah kirim dia belajar silat pada
Coan-cin-pay, entah bagaimana dengan hasil pelajarannya dibanding kita?"
demikian ia bisiki Bu Tun-si
"llmu silat Suhu tiada tandingannya di kolong langit
ini, pula kepandaian Subo (ibu guru) diperoleh dari ajaran Engkong-luarmu, mana
bisa dia dibandingkan dengan kita?" tiba2 Bu Siu-bun menyambung pertanyaan
si nona sebelum sang kakak menjawab.
"Ya, dasarnya memang juga tidak terpupuk baik,
agaknya sukar juga ia hendak mendapat kemajuan," Kwe Hu angguk2.
"Tetapi kenapa keadaannya menjadi begitu mengenaskan."
"Para imam itu melotot terus padanya seperti hendak
menelannya mentah2, dasar anak she Nyo ini tabiatnya buruk, tentu dia telah
melakukan sesuatu onar lagi di sana," demikian kata Siu-bun.
Begitulah ketiga orang ini berbicara sendiri, waktu
mendengar Kwe Cing mengundang Hek Tay-thong dan lain2 ke kamar baca buat bicara
dan bilang Nyo Ko akan diberi hukuman setimpal pula, Kwe Hu menjadi heran dan
ketarik.
"Ayo, lekas kita mendahului sembunyi dulu di kamar
baca itu untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan," segera gadis ini
mengajak.
Tetapi Bu Tun-si takut konangan sang Suhu dan didamperat,
maka ia tak berani, sebaliknya Bu Siu-bun lantas berteriak akur, malahan ia
mendahului bertindak pergi.
"Kau memang selalu tak turut perkataanku," Kwe
Hu mengomeli Tun-si.
Nampak si nona rada marah, tapi malah menambah
kecantikannya yang menggiurkan seketika hati Tun-si memukul keras, ia tak
berani membantah lagi terpaksa ikut di belakang Kwe-hu.
Dan baru saja ketiga orang itu sembunyi di belakang rak
buku, sementara itu Kwe Cing dan Ui Yong sudah datang dengan membawa Hek
Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng dan In Ci-peng berempat, lalu ambil tempat
duduknya sendiri2.
"Ko-ji, kaupun duduk sana!" kata Kwe Cing
sesudah Nyo Ko ikut masuk
"Tidak, aku tak usah," sahut Nyo Ko. sekalipun
nyalinva besar, tapi menghadapi enam tokoh dunia persilatan ini, tidak urung
hatinya ber-debar2 tak tenteram.
"Anak kecil kenapa kurangajar, berani kau bandel
terhadap Suhu," demikian Kwe Cing lantas damperat sambil tarik muka,
"Tidak lekas kau berlutut menjura minta maaf pada Susiokco (kakek guru),
Suhu dan Susiok!"
Kwe Cing berhati jujur, ia pandang Nyo Ko seperti anaknya
sendiri, pula terhadap Coan-cin-chit-cu biasanya ia sangat menaruh hormat, maka
tanpa bertanya ia pikir tentu anak muda yang telah berbuat salah.
Sebenarnya kalau menurut adat istiadat jaman kuno itu,
ikatan peraturan antara ayah dan anak atau guru dan murid luar biasa kerasnya,
jangankan membantah, sekalipun ayah atau guru menghendaki kematian anak atau
murid juga tidak boleh membangkang.
Kini Kwe Cing hanya mendamperat Nyo Ko secara begitu,
sesungguhnya boleh dikatakan luar biasa ramahnya, kalau orang lain, tentu sudah
menggunakan kata2 "binatang, anak haram" dan macam2 lagi atau
dibarengi dengan gebukan dan pukulan.
Siapa duga, mendadak Ci-keng berdiri.
"Pinto mana berani menjadi guru Nyo-ya? Kwe-tayhiap,
hendakkh jangan kau sengaja menyindir," demikian katanya ketawa dingin.
"Coan-cin-kau kami selama ini tidak pernah bersalah terhadap Kwe-tayhiap,
kenapa engkau ejek kami di hadapan orang banyak? Nyo-toaya, biarlah imam tua
ini menjura padamu dan minta maaf, anggaplah aku yang picik dan tak kenal kaum
Enghiong dan orang gagah...."
Melihat wajah imam ini berubah begitu rupa, kata2nya juga
semakin kasar menandakan betapa gusarnya, Kwe Cing dan Ui Yong menjadi heran
sekali. Mereka pikir kalau murid berbuat sesuatu kesalahan, sang guru mau
damperat atau menghajar padanya juga lumrah, tapi kenapa harus berlaku secara
begini kasar?"
Ui Yong adalah seorang pintar luar biasa, ia tahu pasti
Nyo Ko berbuat sesuatu kesalahan yang luar biasa besarnya, Kini nampak Kwe Cing
menjadi bungkam karena serentetan kata2 Ci-keng tadi, mau-tidak-mau ia
mewakilkan sang suami membuka suara.
"Thio-suheng hendaklah jangan marah dahulu, cara
bagaimanakah bocah ini berbuat salah terhadap sang guru, silakan duduk dan
terangkan yang jelas," demikian katanya dengan tenang.
"Aku Thio Ci-keng hanya punya sedikit kepandaian
mana aku berani menjadi guru orang? Bukankah akan ditertawai semua orang gagah
seluruh jagad hingga copot giginya?" teriak Ci-keng tiba-tiba.
Ui Yong mengkerut kening melihat kekasaran orang, ia
menjadi rada kurang senang.
Hek Tay-kong dan Sun Put-ji mengetahui duduknya perkara,
mereka merasa pantas kalau Ci-keng marah2, tetapi kalau ribut2 secara kasar,
sesungguhnya juga bukan corak asli kaum imam yang beribadat.
"Ci-keng." kata Sun Put-ji kemudian, "kau
harus terangkan secara baik di hadapan Kwe-tay-hiap dan Ui-pangcu, caramu
marah2 dan ribut2 ini, apa macam jadinya ini? Apakah itu menjadi kebiasaan
orang berigama seperti kita ini?"
Meski Sun Put-ji adalah wanita, tetapi karena wataknya
yang keras, maka angkatan muda sangat segan padanya, maka Ci-keng jadi
mengkeret, ia tak berani muring2 lagi sesudah mengia beberapa kali, lalu ia
kembali duduk ke tempatnya tadi.
"Lihatlah Ko-ji, begitu hormat gurumu terhadap orang
tua, kenapa kau tidak belajar contoh ini?" kata Kwe Cing.
Kontan sebenarnya Ci-keng hendak menyelak lagi bahwa
dirinya bukan guru orang, tetapi demi dipandangnya Sun Put-ji, kata2 yang
hendak diucapkan ia telan kembali.
Tak tetduga, mendadak Nyo Ko berteriak "Dia bukan
guruku!"
Karena teriakan ini, bukan saja Kwe Cing dan Ui Yong
kaget, bahkan Kwe Hu dan Bu-si Hengte yang sembunyi di belakang rak buku juga
terkejut.
Maklumlah, pada jaman itu, di kalangan Bu-lim terutama,
soal guru dan murid diatur dengan tata adat yang sangat keras, seorang guru
dapat dipersamakan dengan seorang ayah yang harus di-turut dan dihormati, Siapa
tahu kini bukan saja Nyo Ko tak mau mengaku guru, bahkan berani berteriak
terang2an pula.
Keruan Kwe Cing sangat gusar, mendadak ia berdiri sambil
tuding Nyo Ko dan mendamperat:
"Apa... apa yang... yang kau katakan?"
Dasar Kwe Cing memang tak pandai bicara, juga tak biasa
mendamperat orang, maka mukanya menjadi merah padam, amarahnya boleh dikatakan
memuncak, jarang sekali Ui Yong melihat suaminya begitu gusar, maka dengan
suara halus ia coba menghiburnya: "Cing-koko, anak ini memang buruk
jiwa-nya, perlu apa harus marah2 karenanya ?"
Mula2 tadi sebenarnya Nyo Ko rada takut, tetapi kini
seorang Kwe-pepek yang sebenarnya sangat sayang padanya juga marah2 mendamperat
padanya, tiba2 pemuda ini menjadi nekat, pikirnya: "Paling2 mati apa yang
perlu kutakuti paling banyak juga boleh kau bunuh aku saja."
Karena pikiran itu, dengan suara lantang segera ia
menjawab "Ya, memang jiwaku buruk, namun tidak pernah aku minta belajar
ilmu silat padamu, Kalian semua ini adalah tokoh2 Bu-lim yang terkenal, kenapa
karus gunakan tipu muslihat untuk menjebak seorang bocah yatim piatu?"
Waktu ia berkata sampai "yatim piatu", saking
sedih akan nasib sendiri seketika mata Nyo Ko rada merah basah, tetapi segera
ia gigit bibir se-kencang2nya, ia pikir sekalipun hari ini harus mati tidak
boleh aku alirkan setengah tetes air matapun.
Di lain pihak Kwe Cing menjadi tambah marah.
"Apa kau bilang?" demikian damperatnya pula.
"lsteriku dan gurumu dengan sungguh2 ajarkan ilmu silat padamu, semuanya
ini karena mengingat pada persahabatanku dengan mendiang ayahmu, siapa lagi
yang bertipu muslihat ? Dan... dan siapa yang menjebak kau?"
Memangnya Kwe Cing tak pandai bicara, dalam keadaan
marah, ia menjadi lebih gelagapan.
Melihat orang tambah marah, sebaliknya Nyo Ko tambah
tenang dan pelahan bicaranya.
"Ya, engkau Kwe-pepek sudah tentu baik terhadapku,
hal ini selamanya pasti takkan kulupakan!"
"Dan Kwe-pekbo dengan sendirinya tidak baik
terhadapmu jika kau mau dendam untuk selamanya, hal inipun terserah
padamu," sela Ui Yong tiba2 dengan sekata demi sekata.
Dalam keadaan demikian, Nyo Ko tambah tak gentar lagi,
sekali lagi ia berbicara terlebih berani.
"Kwe-pekbo tidak baik terhadapku, tetapi juga tidak
jelek terhadapku", demikian katanya Iagi. "Tetapi kau bilang ajarkan
ilmu silat padaku, sebenarnya hanya ajarkan aku membaca, sedang ilmu silat
sedikitpun tidak diturunkan. Namun demikian, membaca juga baik, sedikitnya
siautit (keponakan) bertambah kenal beberapa huruf. Tetapi, tetapi beberapa
imam tua ini..." sampai disini mendadak ia tuding Hek Tay-thong dan Thio
Ci-keng, lalu dengan gemas ia sambung: "pada suatu hari, pasti aku akan
menuntut balas utang berdarah dan dendam sedalam lautan itu."
"Apa... apa kau bilang?" tanya Kwe Cing cepat
dan terkejut
"lmam she Thio ini katanya adalah guruku, tetapi
sedikitpun tidak menurunkan ilmu silat padaku, hal inipun tak menjadi soal,
tetapi ia malah suruh imam2 cilik menghajar diriku," tutur Nyo Ko.
"Kwe-pekbo tidak mengajarkan kepandaian padaku, Coan-cin-pay tidak
mengajarkan ilmu silat pula padaku, dengan sendirinya tidak bisa lain aku
kecuali dihajar sekenyang mereka, Ada lagi, imam she Hek ini, ia lihat seorang
nenek2 tua merasa sayang dan kasihan padaku, orangtua itu malah dia pukul
hingga mati, Hai, imam busuk she Hek, katakanlah sekarang, semuanya ini benar
atau tidak?"
Bila Nyo Ko ingat matinya Sun-popoh tidak lain disebabkan
karena membela dirinya, sungguh ia menjadi gemas dan mengertak gigi, ingin
sekali ia menubruk maju mengadu Jiwa dengan Hek Tay-thong.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong tergolong imam beribadat
diantara imam2 Coan-cin-kau, baik agamanya maupun ilmu silatnya sudah
dilatihnya sampai tingkat yang sangat tinggi, soalnya hanya karena salah tangan
hingga Sun-popoh tewas, hal ini selama beberapa tahun selalu membikin dia
merasa tak tenteram dan dianggapnya sebagai suatu perbuatan yang sangat
disesalkan selama hidupnya.
Kini mendadak Nyo Ko meng-ungkat2 kejadian itu, keruan
seketika mukanya menjadi pucat bagai mayat, peristiwa ngeri dahulu, di mana
Sun-popoh muntah darah kena pukulannya itu se-akan2 terbayang di depan matanya.
Karena ia tak membawa senjata, maka tiba2 ia lolos pedang
yang tergantung di pinggang Ci-keng.
Semua orang menyangka pedang itu tentu akan ditusukkan
pada Nyo Ko, maka dengan cepat Kwe Cing sudah melangkah maju hendak melindungi
bocah itu. Siapa duga mendadak Hek Tay-thong membaliki pedangnya, ia sodorkan
garan pedang pada Nyo Ko sambil berkata: "Ya, memang betul, aku telah
salah membunuh orang, bolehlah kau balaskan dendam Sun-popoh dengan pedang ini,
pasti aku tidak akan menangkisnya."
Nampak kelakuan Hek Tay-thong ini, semua orang luar biasa
terperanjatnya.
Karena kuatir betul2 Nyo Ko menerima pedang itu dan
melukai orang, lekas2 Kwe Cing berseru : "Ko-ji, jangan kurangajar."
Tetapi betapa cerdiknya Nyo Ko, ia tahu di hadapan Kwe
Cing dan Ui Yong, soal membalas dendam ini tak nanti terlaksana, maka dengan
dingin ia lantas menjawab : "Hm, sudah terang kau tahu Kwe-pepek pasti tak
perkenankan aku turut tangan, kau sengaja berlagak gagah sekarang?"
Hek Tay-thong adalah Bu-lim-cianpwe atau angkatan tua
dari kalangan persilatan, kini kena didebat oleh kata2 yang begitu menusuk ia
menjadi bungkam tak bisa menjawab, pedang yang dia sodorkan menjadi serba
salah, diangsurkan terus orang tak terima, ditarik kembali rasanya malu.
Mendadak ia salurkan tenaga dalamnya, maka terdengarlah suara
"peletak" yang keras, tahu2 pedang itu patah menjadi dua.
"Sudahlah, sudahlah!" katanya sambil menghela
napas, iapun lempar pedang patah itu ke tanah, habis ini dengan langkah lebar
ia bertindak pergi.
Kwe Cing masih bermaksud menahannya, namun orang sudah
pergi tanpa menoleh lagi.
Tentu saja Kwe Cing mulai ragu2, ia pandang Nyo Ko lalu
pandang lagi pada Sun Put-ji bertiga, pikir agaknya apa yang dikatakan Nyo Ko
bukannya bikinan belaka.
"Kenapa para guru dari Coan-cin-kau tak mengajarkan
kepandaian padamu ? Lalu selama beberapa tahun ini apa yang kau kerjakan?"
ia tanya setelah lewat sejenak, lagu suaranya sekarang sudah berubah lunak.
"Waktu Kwe-pepek membawa aku ke Cong-lam-san,
beberapa ratus Tosu di sana telah kau pukul pontang-panting tanpa bisa
membalas, umpama Ma, Khu, Ong dan 1ain2 Cinjin tidak pikirkan peristiwa ini,
apakah imam2 yang lain juga tidak dendam?" demikian sahut Nyo Ko.
"Sudah tentu mereka tak berani padamu Kwe-pepek, lalu apa mereka tak bisa
melampiaskan dongkol mereka atas diriku? Malahan mereka bisa2 ingin mampuskan
aku baru merasa puas, Karena itu mana mereka mau mengajarkan ilmu silat lagi
padaku ? Kalau selama ini penghidupan yg kulewatkan adalah gelap tak pernah
melihat sinar dan kini masih bisa berjumpa dengan Kwe-pepek, hal ini boleh
dikatakan terlalu beruntung sekali."
Begitulah, meski usia Nyo Ko masih muda, tetapi cara
bicaranya masih lebih pintar dari pada Thio Ci-keng, hanya beberapa patah kata
itu saja, secara enteng ia telah timpahkan semua sebab musabab memberontak
keluar dari Coan-cin-kau itu kepada diri Kwe Cing, Dan apa yang dibilang
"gelap tak pernah melihat sinar" sebenarnya juga tidak membohong,
selama itu ia tinggal di dalam kuburan kuno, dengan sendirinya sinar matahari
sukar dilihatnya. Tetapi dalam pendengaran Kwe Cing, rasa kasihannya pada anak
muda ini menjadi ber-limpah2.
Di lain pihak Ci-keng melihat Kwe Cing sembilan bagian
sudah mau percaya terhadap penuturan Nvo Ko, ia menjadi gugup,
"Kau... kau ngaco belo... Hm Coan-cin-kau kami
adalah golongan kesatria sejati, mana... mana bisa..." demikian ia coba
membela diri dengan suara tak lancar.
Kwe Cing terlalu lurus orangnya, ia anggap apa yang
dikatakan Nyo Ko itu tentu benar2 terjadi sebaliknya Ui Yong yang kecerdasannya
masih jauh di atas Nyo Ko, hanya melihat air muka pemuda ini saja segera Ui
Yong tahu ada udang di balik batu kata2nya itu, ia pikir bocah ini sangat
licin, tentu di dalamnya masih ada sesuatu yang tidak benar, Maka segera iapun
menjela:
"Jika begitu, jadi sedikit ilmu silatpun kau tak
bisa? Lalu selama beberapa tahun ini di Coan-cin-kau tentunya terbuang percuma
bukan?" demikian sambil berkata, pelahan2 iapun berdiri, mendadak sebelah
tangannya menjulur terus meng-gablok ke atas kepala Nyo Ko.
Pukulan ini dilontarkan dengan jari tangan tepat mengarah
"pek-hwe-hiat" di atas ubun2 kepala, sedang telapak tangan menepok
"siang-seng-hiat" pada batok kepala, kedua Hiat-to ini adalah tempat
yang mematikan, asal kena digablok tangan Ui Yong, maka tak perlu sangsikan
lagi pasti nyawa Nyo Ko akan melayang tanpa tertolong.
Tentu saja Kwe Cing terperanjat ia menjerit:
"Yong-ji!"
Akan tetapi cepat luar biasa Ui Yong mengayun tangannya,
tipu pukulan ini adalah satu diantara "lok-eng-cio-hoat" ajaran
ayahnya, sebelum dilakukan sedikitpun tidak memberi tanda2 dahulu, bergitu
bergerak, begitu pula telapak tangannya sudah sampai di tempat sasarannya, Kwe
Cing ingin menolong pun tak keburu lagi.
Namun Nyo Ko tidak biarkan dirinya dihantam begitu saja,
dengan segera tubuhnya sedikit mendoyong ke belakang bermaksud menghindarkan
diri, tetapi betapa hebat kepandaian Ui Yong, sekali ia turun tangan, tidak
nanti sasarannya dapat mengelakkan diri, maka dengan segera telapak tangannya
sudah berada di atas ubun2 Nyo Ko.
Sungguh bukan buatan kejut Nyo Ko, cepat hendak
ditangkisnya pukulan itu, namun mendadak pikirannya tergerak, tangan yang sudah
sedikit diangkat tiba2 ia luruskan ke bawah lagi.
Hendaklah diketahui bahwa Kwe Cing berilmu silat maha
tinggi, namun pembawaan otaknya puntul, kalau dia menjadi Nyo Ko, tentu sebelum
mengerti apa yang harus diperbuatnya lebih dulu tangannya pasti diangkat buat
menangkis dulu.
Tetapi lain dengan si Nyo Ko, pemuda ini cerdik luar
biasa, otaknya pun bisa bekerja cepat, begitu tangannya hendak mcnangkis,
segera terkilas dalam pikirannya: "Ah, kiranya Kwe-pekbo bermaksud
menjajal ilmu silatku, kalau aku menangkis pukulannya, ini berarti aku mengakui
kata2ku tadi bohong belaka."
Sungguhpun begitu, namun pukulan yang dilontarkan Ui Yong
ini adalah tipu mematikan yang sangat lihay, kalau orang bukan bermaksud menjajal
kepandaiannya dan dirinya tidak menangkis. apakah ini bukan bergurau dengan
jiwanya sendiri.
Begitulah dalam sekejapan itu bagaikan tarikan api
cepatnya, pikiran Nyo Ko telah bolak-balik berubah beberapa kali, tetapi
akhirnya ia tak hiraukan jiwanya lagi dan pukulan itu tak ditangkis-nya,
Harus diketahui bahwa dengan kepandaian Nyo Ko sekarang
ini, walaupun masih belum bisa memadai Ui Yong, kalau menangkis pukulan itu
saja rasanya tidak sulit, tetapi ternyata pemuda ini berani ambil resiko itu,
ia luruskan tangan tak bergerak dan menantikan pukulan orang, kalau bukan watak
Nyo Ko memang keras kepala serta suka turuti maksud hatinya, sungguh tak nanti
dilakukannya.
Dan ternyata memang betul pukulan Ui Yong ini hanya
percobaan saja untuk menjajal ilmu silat Nyo Ko, pada waktu telapak tangannya
sudah hampir nempel kepala orang, tiba2 ia berhentikan dan tahan pukulannya, ia
lihat wajah Nyo Ko rada mengunjuk takut dan bingung, sama sekali tidak angkat
tangan buat menangkis, juga tidak mengumpulkan Lwekang untuk melindungi tempat2
yang berbahaya, terang memang sikap seorang yang tak paham ilmu silat
sedikitpun.
"Ya, aku tidak ajarkan ilmu silat padamu, itu
disebabkan aku ingin kau menjadi orang baik," demikian Ui Yong berkata
dengan bersenyum, sambil tarik kembali tangannya, "Dan para Toya dari
Coan-cin-pay rupanya juga berpikir sama dengan aku,"
Habis ini ia balik kembali ke tempat duduknya tadi,
dengan suara pelahan ia bisiki Kwe Cing pula: "Memang betul dia tidak
peroleh ajaran ilmu silat dari Coan-cin-pay."
Akan tetapi Ui Yong adalah wanita secerdik kancil, baru
selesai ia berkata, mendadak dalam hatinya menjerit: "Ah, celaka, salah !
salah! Hampir saja aku kena diketahui setan cilik ini,"
Kiranya ia menjadi ingat dahulu waktu Nyo Ko tinggal di
Tho-hoa-to, dimana bocah itu pernah tewaskan seorang pengemis anak murid
Kay-pang dengan Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak, ilmu silatnya pada waktu itu
sudah mempunyai dasar yang kuat, sekalipun selama beberapa tahun ini tidak
peroleh sesuatu kemajuan, namun dengan pukulannya tadi yang mengarah ubun2 di
atas kepala, betapapun juga pasti bocah ini akan menangkisnya.
Katanya dalam hati: "Ha, kau betul2 setan Cerdik
yang luar biasa, kalau tadi kau tangkis pukulanku dengan lagak kelabakan,
mungkin aku kena kau kelabuhi, tetapi kini kau pura-pura tak paham sama sekali,
hal ini berbalik mencurigakan aku."
Apapun juga memang Ui Yong masih setingkat lebih pintar,
untuk bisa menimpali kecerdasannya Nyo Ko harus hidup belasan tahun lagi dan
sesudah bertambah pengalamannya.
Begitulah Ui Yong juga tidak mau bongkar rahasia Nyo Ko,
ia pikir biar aku lihat sandiwara apa yang hendak kau mainkan. Karena itu, ia
hanya pandang Ci-keng, lalu pandang lagi Nyo Ko, ia bersenyum, tetapi tak
berkata.
Ci-keng menjadi murka, ia lihat Ui Yong telah menjajal
dengan pukulannya dan sama sekali tak ditangkis Nyo Ko, ia menyangka Ui Yong
telah kena diingusi pemuda itu, hal ini berarti lebih menunjukkan pihaknya yang
bersalah, maka ia tak tahan lagi, dengan suara keras ia ber-teriak2.
"Anak haram ini banyak tipu muslihatnya kau tak
berhasil menjajalnya, Ui-pangcu, biarlah aku yang mencobanya," demikian
teriaknya sengit, Lalu ia mendekati Nyo Ko, ia tuding hidung pemuda ini sambil
memaki: "Anak haram, apa benar2 kau tak bisa ilmu silat ? Nah, baiklah,
jika kau tak sambut pukulanku ini, maka Toya pun tidak bermurah hati, mau mati
atau ingin hidup tergantung kau sendiri"
Ci-keng tahu ilmu silat Nyo Ko kini sudah di atas
dirinya, ia pikir asal dirinya mendadak menyerang dengan tipu yang mematikan,
dalam keadaan demikian mau-tidak-mau pasti Nyo Ko akan unjuk kepandaian
aslinya, tetapi bila masih berlagak pikun, maka sekali pukul biar lenyapkan
saja jiwanya, paling banter nanti ribut dengan Kwe Cing suami isteri dan
didamperat oleh Suhu dan Kaucu (ketua agama).
Bcgitulah jalan pikiran Ci-keng waktu itu, nyata saking
gemasnya pada si Nyo Ko mengakibatkan timbulnya pikiran jahat, ia pikir pula:
"Me-mangnya kau menduga Ui-pangcu tidak akan celakai jiwamu, maka kau
berani pura2 bodoh, tetapi kini jatuh di tanganku, coba kau masih berani main
pura-pura tidak?"
Segera ia hendak turun tangan. "Nanti dulu,"
tiba-tiba Kwe Cing mencegah.
Rupanya Kwe Cing kuatir jiwa Nyo Ko bisa melayang, selagi
ia hendak mencegah lebih jauh, mendadak Ui Yong menarik tangannya.
"Jangau kau urus dia," dengan suara pelahan Ui
Yong membisikinya.
Nyata Ui Yong menduga pukulan Thio Ci-keng yang sedang
murka itu tentu dilontarkan dengan cara tak kenal ampun, se-kali2 Nyo Ko tak
berani ambil risiko untuk bergurau dengan jiwanya sendiri dan terpaksa tentu
akan balas menyerang, tatkala itu, bagaimana duduknya perkara tentu pula akan
menjadi terang.
Dengan sendirinya Kwe Cing tak bisa menyelami hal2
ber-Iiku2 itu, ia masih merasa tak tenteram, tetapi biasanya sang isteri dapat
mengatur tepat, apa yang dikatakannya pasti tidak meleset, maka iapun tidak
buka suara lagi, ia berdiri di samping sambil was-was, ia tunggu bila keadaan
betul2 berbahaya baharulah akan turun tangan buat menoIongnya.
Sementara itu sebelum Ci-keng bertindak lebih dulu ia
telah berkata pada Sun Put-ji dan In Ci-peng : "Sun-susiok, In-sute, anak
haram ini berlagak tak bisa ilmu silat, aku terpaksa menjajal kepandaiannya,
jika dia tetap kepala batu sampai titik terakhir, maka sekali hantam
kubinasakan dia, hendaklah nanti dihadapan Suhu, Khu-supek dan Kaucu sukalah
kalian berdua menjadi saksi."
Tentang memberontaknya Nvo Ko dari Coan-cin-kau, dengan
sendirinya Sun Put-ji mengetahui seluruhnya, kini melihat kelicinan Nyo Ko yang
keterlaluan hingga Ci-keng terdesak tak berdaya, hingga Coan-cin-kau kelihatan
di pihak salah, maka iapun berharap Ci-keng berhasil paksa bocah itu
menunjukkan corak asIinya, Maka dengan tertawa dingin ia menjawabnya: "Ya.
murid murtad yang durhaka begini binasakan saja!"
Dengan kedudukan Sun Put-ji sebagai satu imam yang
beribadat, mana mungkin ia suruh orang membunun begitu saja? Beberapa kata2nya
itu tujuannya tidak lain hanya untuk me-nakut2i Nyo Ko agar pemuda ini tak
berani lagi pura-pura.
Di lain pihak karena mendapat dukungan paman gurunya ini,
nyali Ci-keng menjadi besar, tanpa sungkan2 lagi, begitu kaki kanan diangkat,
segera ia tendang perut Nyo Ko dengan tipu gerakan
"Thian-san-hui-toh" (terbang melintasi Thian-san), tendangan yang
membawa tenaga keras dan tenaga tersembunyi ini sesungguhnya lihay luar biasa.
Tipu tendangan ini adalah pelajaran pertama bagi orang
yang belajar ilmu silat Coan-cin pay, meski cara menyerangnya biasa saja tiada
yang aneh, asal sedikit paham silat saja pasti dapat mematahkannya, Tetapi
lihaynya suatu aliran ilmu silat letaknya justru pada tipu serangan dasar
pertama yang dipelajarinya mula2, dari sinilah baru kemudian diikuti dengan
perubahan2 lainnya untuk menangkan musuh.
Dengan tipu serangannya ini, terutama Ci-keng sengaja
pertunjukkan pada Kwe Cing dan Ui Yong supaja kedua orang ini tahu bahwa:
Sekali pun aku tidak ajarkan ilmu silat yang tinggi pada-nya, masakan pelajaran
dasar pertama saja tak mengajarkan padanya?
Sebaliknya demi nampak tendangan orang ini, Nyo Ko tidak
mengelakkan diri dengan gaya "twe-ma-se" atau kuda2 yang bergaya
mundur, satu gerakan yang tepat untuk hindarkan tendangan
"Thian-san-hui-toh", malahan mendadak ia berteriak: "Aduh!"
Berbareng itu tangan kirinya lurus ke bawah menahan di
depan perut yang hendak ditendang orang.
Melihat Nyo Ko begitu berani tanpa hindarkan diri juga
tidak berkelit, maka Ci-keng juga tidak sungkan2 lagi segera tendangannya
diayun ke de-pan, pada saat ujung kakinya tinggal beberapa senti dari perut Nyo
Ko, di bawah sinar pelita tiba2 dilihatnya pemuda ini sedikit acungkan jari
jempol tangan kiri ke atas dan dengan tepat mengincar "Thay-kok-hiat"
pada tungkak kakinya.
Jika tendangan ini dengan kuat diteruskan niscaya sebelum
kakinya mengenai sasarannya dia sendiri sudah kena ditutuk dulu, dengan demikian,
bukannya pemuda itu menutuk Hiat-tonya melainkan ia sendiri yang sodorkan
Hiat-tonya untuk di-tutuk.
Ci-keng adalah jago utama dari anak murid Coan-cin-pay
angkatan ketiga, dalam keadaan berbahaya itu segera ia ubah serangannya, ia
membelokkan arah kakinya hingga tendangannya menyerempet lewat di samping Nyo
Ko, dengan demikian boleh dikatakan ia telah hindarkan tutukan yang berbahaya,
namun tubuhnya toh menjadi sempoyongan hingga mukanya merah jengah.
Kwe Cing dan Ui Yong berdiri di belakang Nyo Ko, mereka
tak melihat jari jempol yang di-acungkan bocah ini, mereka menyangka Ci-keng
sengaja berlaku murah hati dan tidak menggunakan tipu lihay, sebaliknya Sun
Put-ji dan iri Ci-peng dapat menyaksikannya dengan terang.
Ci-peng bungkam saja tak bersuara, sedang Sun Put-ji
dengan segera berjingkrak, "Bagus kau!" demikian teriaknya.
Dalam pada itu Ci-keng pun tidak berhenti begitu saja,
tangan kirinya diajun, dengan cepat ia potong ke pelipis kiri Nyo Ko, sekali
ini ia menyerang dengan cara teliti, telapak tangan sampai tengah jalan baru
mendadak ia ganti arah, tampaknya ia hantam pelipis kiri orang, tetapi telapak
tangannya mendadak memotong ke leher sebelah kanan.
Tak ia duga bahwa Nyo Ko sudah masak sekali mengapalkan
Giok-li-sim-keng di luar kepala, Sim-keng atau kitab suci itu justru diciptakan
untuk anti ilmu silat Coan-cin-pay. Dahulu setiap tipu serangan lihay dari Ong
Tiong-yang tiada satupun yang dilewatkan Lim Tiao~eng untuk menciptakan sesuatu
tipu gerakan buat mematahkannya.
Melihat tangan kiri orang mengayun, dengan segera Nyo Ko
merangkul kepalanya sendiri seperti orang yang ketakutan setengah mampus,
sedangkan jari telunjuk kiri diam2 ia sembunyikan dibawah lehernya sebelah
kanan, ia gunakan tangan yang lain untuk menutupnya supaja tak diketahui
Ci-keng.
Ketika hampir tiba telapak tangan Iawan, mendadak Nyo Ko
kesampingkan sedikit tangan kanan-nya, maka dengan tepat sekali jari telunjuk
kiri yang sudah disiapkan itu telah kena menutuk "ho-khe-hiat" tangan
Ci-keng.
Kejadian inipun bukannya Nyo Ko yang menyerang, tetapi
Ci-keng sendiri yang mengantarkan tangannya untuk ditutuk, Nyo Ko hanya menduga
sebelumnya kemana serangan orang hendak ditujukan maka jarinya ia taruh dulu di
tempat yang jitu.
Dan karena Hiat-to tangannya tertutuk, seketika Ci-keng
merasa lengannya pegal linu, ia insaf terkena akal licik orang, dalam gusarnya
iapun tak pikir panjang lagi, dengan cepat ia ayun kaki kiri terus
menyerampang.
"Haya, celaka!" teriak Nyo Ko pura-pura.
Mendadak ia sedikit tekuk lengan kirinya, ia papak
sikunya ke bawah pinggangnya.
Dan begitu tendangan Ci-keng sampai, tahu2
"Ciau-hay-hiat" dan "Tha-ke-hiat" ditungkak kakinya persis
mengenai ujung siku Nyo Ko.
Tendangan ini dilakukan Ci-keng dengan gusar, dengan
sendirinya kekuatannya sangat keras, dan karena itu juga tutukan Hiat-tonya itu
menjadi sangat keras pula, seketika kakinya menjadi kaku dan tanpa berkuasa
orangnya terus berlutut.
Melihat sang Sutit (murid keponakan) membikin malu di
depan orang banyak, Iekas2 Sun Put-ji jambret dan diberdirikannya, ia tepuk
punggung Ci-keng buat melepaskan tutukannya tadi.
Melihat sehat dan jitu sekali tindakan hitam wanita ini,
terang kepandaiannya berpuluh kali lebih tinggi dari Ci-keng, Nyo Ko menjadi
jeri dan cepat mundur ke samping.
Sungguhpun Sun Put-ji sudah lanjut usianya, tetapi
wataknya ternyata sangat keras dan kaku, ia lihat kepandaian Nyo Ko aneh luar
biasa, sekalipun ia sendiri ikut turun tangan juga belum tentu bisa menang,
maka segera ia berseru : "Hayo, pergi!"
Habis itu, tanpa permisi lagi ia kebas lengan jubahnya,
sekali lompat, seperti burung saja ia melayang keluar melalui jendela terus
naik kewuwungan rumah.
In Cie-peng seperti orang kehilangan semangat ia hendak
memberi penjelasan pada Kwe Cing, namun Ci-keng sudah tak sabar,
"Berkata apa lagi?" bentaknya gusar, berbareng
ini ia tarik sang Sute terus melompat keluar melalui jendela menyusul Sun
Put-ji.
Sebenarnya mata Kwe Cing dan Ui Yong cukup jeli dengan
sendirinya mereka tahu Ci-keng tadi telah kena ditutuk Hiat-tonya, cuma
kelihatan Nyo Ko tidak menggeraki tangannya, apa mungkin ada orang kosen yang
membantunya dari samping?
Segera Kwe Cing melongok keluar jendela, tetapi tiada
seorangpun yang dilihatnya, Waktu Ui Yong membalik, tiba2 dilihatnya di bawah
rak buku menonjol keluar ujung sepatu hijau yang dipakai Kwe Hu.
"Hayo, keluar Hu-ji, apa yang kau lakukan di
situ?" serunya segera.
Dengan nakal Kwe Hu melompat keluar dari tempat
sembunyinya sambil ketawa ngikik.
"Aku dan Bu-keh Koko sedang mencari buku bacaan di
sini," demikian ia coba beralasan.
Akan tetapi Ui Yong tidak gampang dibohongi, ia tahu
tentu mereka sengaja mencuri dengar.
Di lain pihak Kwe Cing yang berjiwa lurus jujur selalu
mengukur orang lain dengan jiwanya sendiri yang kesatria sejati, ia sangka tadi
Ci-keng mendadak tak tega gunakan pukulan yang mematikan dan pura2 terkena
tutukan untuk tinggalkan tempat ini. sebaliknya Ui Yong sudah bisa mem-bade
pasti Nyo Ko telah pakai tipu muslihat cuma berdirinya tadi di belakang Nyo Ko
hingga tak dapat melihat cara bagaimana pemuda itu geraki tangannya, pula ia
tidak tahu bahwa di jagat ini ternyata masih ada ilmu silat dari
Giok-li-sim-keng yang bisa menduga segala tipu apa yang hendak dilontarkan
musuh hingga ilmu silat kaum Coan-cin-pay sedikitpun tak bisa berkutik maka
seketikapun ia tak habis mengerti oleh kejadian tadi
Begitulah, selagi ia ter-menung2, tiba2 ada anak murid
Kay-pang melaporkan kedatangan tamu jauh, Sesudah Ui Yong pandang Nyo Ko
sekejap, lalu bersama Kwe Cing mereka pergi menyambut tetamu.
"Nyo-koko adalah teman memain kalian waktu kecil,
kalian harus melayaninya baik2", pesan Kwe Cing pada Bu-si Hengte sebelum
pergi.
Tetapi karena dahulu sudah tak akur dengan Nyo Ko, kini
melihat macam orang yang menjijikkan, Bu-si Hengte semakin pandang hina pemuda
ini ia panggil seorang centing dan suruh mengatur tempat tidurnya Nyo Ko,
sedang mereka asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu.
Sebaliknya Kwe Hu ternyata sangat aneh, ia ketarik oleh
datangnya Nyo Ko.
"Nyo-toako," demikian ia tanya, "sebab
apakah gurumu tak mau terima dirimu?".
"Sebabnya terlalu banyak," sahut Nyo Ko,
"Pertama aku memang goblok dan malas, kepandaian
yang Suhu ajarkan padaku selalu tak bisa apal, pula aku tak bisa pura2 rendah,
tak bisa menjilat dan membaiki orangnya Suhu..."
Mendengar kata2 Nyo Ko rada menusuk, per-tama2 Bu Siu-bun
yang tak tahan.
"Apa kau bilang?" bentaknya segera.
"Aku bilang diriku sendiri tak becus, maka tidak
disukai Suhu," sahut Nyo Ko.
"Gurumu adalah Tosu dan tidak kawin, masakah dia
punya anak?" ujar Kwe Hu sembari tertawa genit.
Melihat tertawa si gadis bagaikan sekuntum bunga mawar
yang mendadak mekar berubah merah sedikit, lekas2 ia berpaling ke jurusan lain.
"Nyo-toako, baiklah kau pergi mengaso saja, besok
kita bicara lagi," kata Kwe Hu kemudian dengan suara lembut.
Nyo Ko mengiakan, ia ikut centing yang melayaninya itu
dan pergi tidur, Dari belakang lapat2 terdengar olehnya suaranya Kwe Hu lagi
Dan mengomel : "Aku suka bicara padanya, kalian peduli apa? ilmu silatnya
baik atau tidak, biar kelak aku minta ayah ajarkan padanya."
Nyata si nona sedang omeli Bu-si Hengte, agaknya kedua
saudara Bu merasa cemburu karena si gadis mengajak bicara Nyo Ko.
Besok paginya, sesudah Nyo Ko sarapan, ia lihat Kwe Hu
menyapa padanya di pekarangan depan, sedang Bu-si Hengte tampak longak-longok
di samping sana.
Diam2 Nyo Ko tertawa geli, iapun mendekati Kwe Hu dan
bertanya : "Kau mencari aku?"
"Ya," sahut Kwe Hu tersenyum manis,
"marilah kita jalan2 keluar, aku ingin tanya kau apa yang kau lakukan selama
beberapa tahun ini."
Nyo Ko menjadi berduka mendengar orang menyinggung
pengalamannya selama ini, ia pikir pengalamannya selama ini sungguh terlalu
banyak untuk diceritakan pula apa yang terjadi itu mana bisa diceritakan padamu
?
Begitulah, Nyo Ko dan Kwe Hu berjalan keluar, waktu Nyo
Ko melirik, ia lihat Bo-si Hengte terus mengikuti dari jauh. Kwe Hu tahu, namun
kedua anak muda itu tak digubrisnya, sebaliknya ia mencerocos menanyai Nyo Ko.
Dasar Nyo Ko memang pintar bicara, ia sengaja obrol segala
apa yang tak penting, ia bum-bu2i pula hingga Kwe Hu dibikin senang dan ketawa
ter-kikih2.
Dengan pelahan akhirnya mereka berdua sampai di bawah
satu pohon Liu, tiba2 terdengar me-ringkiknya kuda, seekor kuda buduk kurus
mendekati Nyo Ko sambil menggosok2 moncongnya pada tubuh pemuda ini, tampaknya
kasih sayang. sekali antara mereka.
Melihat kuda sejelek ini, tiba2 Bu-si Hengte ketawa
ter-bahak2 sambil mendekati Kwe Hu dan Nyo Ko.
"Nyo-heng," demikian Siu-bun berkata lebih
dulu, "kuda mestikamu ini sungguh hebat amat, beruntung kau dapat
memperolehnya. Bilakah kau pun mencarikan seekor untuk aku."
"Kuda ini datang dari negeri Langka, mana mampu kau
membelinya?" sela Bu Tun-si berlagak sungguh-sungguh.
Mendengar orang menyebut kuda, tanpa terasa Kwe Hu
memandang Nyo Ko, lalu pandang lagi kuda jelek itu, ia lihat ke-dua2nya sama2
kotor dan dekil, ia tertawa geli juga.
Namun Nyo Ko tak marah, sebaliknya ia pua bergelak
ketawa.
"Haha, kudaku jelek, orangnya pun jelek,
sesungguhnya memang jodoh yang setimpal," demikian katanya, "Dan
binatang tunggangan Bu-heng berdua tentunya bagus luar biasa?"
"Kuda kami sesungguhnya tidak banyak lebih bagus
dari kudamu yang buduk ini," sahut Siu-bun. "Tetapi kuda merah
Hu-moay (adik Hu) itulah baru kuda mestika sungguh2. Dahulu kau pernah tinggal
di Tho-hoa-to, tentu kau sudah melihatnya."
"O, kiranya Kwe-pepek telah memberikan kuda merahnya
kepada gadisnya," sahut Nyo Ko.
Sembari bicara mereka berempat terus berjalan.
"He, lihat, ibuku hendak pergi memberi pelajaran Pang-hoat
(ilmu permainan pentung) lagi," tiba2 Kwe Hu berkata sembari tunjuk ke
arah barat.
Waktu Nyo Ko menoleh, ia lihat Ui Yong bersama seorang
pengemis tua sedang jalan berendeng menuju ke lembah gunung, tangan mereka
sama2 membawa sebatang pentung.
"Loh-tianglo sungguh terlalu goblok, sudah sekian
lamanya ia belajar Pak-kau-pang-hoat masih juga belum bisa," ujar Bu
Siu-bun.
Mendengar kata2 "Pak-kau-pang-hoat", seketika
Nyo Ko terkesiap hatinya, cuma lahirnya sedikitpun ia tidak unjuk sesuatu
tanda, ia malah berpaling ke jurusan lain pura2 sedang menikmati pemandangan
alam yang indah.
"Pak-kau-pang-hoat adalah pusaka Kay-pang yang
hebat", demikian ia dengar Kwe Hu berkata lagi. "Kata ibuku,
Pang-hoat ini luar biasa bagus-nya dan adalah permainan yang paling lihay dalam
hal senjata di seluruh jagat ini, dengan sendirinya kepandaian sehebat ini tak
bisa dipelajari dalam sepuluh hari atau setengah bulan saja, Kau bilang dia
goblok, memangnya kau sendiri pintar?"
Siu-bun menjadi bungkam dan menyengir.
"Sayang kecuali Pangcu dari Kay-pang, Pang-hoat ini
tidak diturunkan lagi kepada orang lain," ujar Bu Tun-si.
"Kelak kalau kau menjadi Pangcu dari Kay-pang,
dengan sendirinya Loh-tianglo akan ajarkan padamu," sahut Kwe Hu.
"Pang-hoat ini ayahku saja tak bisa, rasanya kaupun tak perlu
menyesal."
"Dengan macam ku ini mana bisa menjadi Pangcu
Kay-pang?" kata Tun-si "Hu-moay, coba katakan, mengapa Subo bisa
pilih Loh-tianglo sebagai calon penggantinya?"
"Selama beberapa tahun ini, hakikatnya ibuku hanya
namanya saja Pangcu, padahal segala urusan Kay-pang baik besar atau kecil
seluruhnya diserahkan pada Loh-tianglo," sahut Kwe Hu. "Begitu banyak
urusan Kay-pang yang tetek bengek, asal dengar saja ibuku sudah merasa pusing,
maka dia bilang lebih baik suruh Loh-tianglo yang menjadi Pangcu saja sekalian
ia tunggu nanti kalau Loh-tianglo sudah paham mempelajari Pak-kau-pang-hoat,
lalu jabatan Pangcu itupun akan diserahkannya secara resmi."
"Hu-moay," kata Siu-bun lagi,
"bagaimanakah macamnya Pak-kau-pang-hoat sebenarnya, kau pernah melihat
belum?"
"Belum pernah," sahut Kvve Hu. Tetapi segera ia
bilang lagi: "Eh, pernah."
Habis ini ia jemput sebatang kayu, lalu ia pukul pelahan
ke pundak Siau-bun dan menyambung lagi dengan tertawa: "Nah, begini!"
Keruan saja Siau-bun berjingkrak, "Bagus, kau anggap
aku sebagai anjing, ya?" teriaknya, berbareng ia pura2 hendak jamberet si
gadis.
Dengan tertawa Kwe Hu lari menyingkir terus diudak oleh
Siu-bun. Dan sesudah berputar, kedua orang lalu kembali lagi ketempat semula.
"Siao Bu-koko, jangan kau ribut lagi, aku mempunyai
suatu gagasan sekarang," dengan tertawa Kwe Hu mengatakan.
"Coba katakan," ujar Siu-bun.
"Kita pergi mengintip, coba itu Pak-kau-pang-hoat
sebenarnya apa macamnya," Kwe Hu menerangkan.
Seketika Siu-bun menyatakan akur, sebaliknya Tun-si
geleng2 kepala dan Nyo Ko tak memberi suara.
"Jangan, jika sampai konangan Subo, tentu akan
didamperat habis2an," kata Tun-si.
"Kau memang penakut, kita hanya melihat saja, toh
tidak mencuri belajar," debat Kwe Hu, "Lagipula, iimu silat yang
begitu hebat dan tinggi apa hanya mengintip begitu saja lantas bisa?"
Karena di-olok2, Tun-si hanya menyengir saja dan tak bisa
menjawab.
"Kemarin bukankah kita juga mengintip di kamar baca
dan ibuku mendamperat kau tidak ?" Kwe Hu menambahi pula, "Memang
nyalimu terlalu kecil seperti tikus, Siao Bu-koko, mari kita berdua
pergi."
"Baik, baik, kau yang benar, aku ikut," seru
Tun-si.
"Emangnya, ilmu silat kelas satu dari jagat ini kau
tak ingin melihatnya?" dengan tertawa Kwe Hu mengomel lagi.
Mereka bertiga memang sudah lama kagumi Pak-kau-pang-hoat
yang lihay, cuma macamnya apa, selamanya belum pernah lihat, Pernah Kwe Cing
ceritakan pada mereka tentang kejadian dulu dimana Ui Yong dengan
Pak-kau-pang-hoat menaklukkan para kesatria dari Kay-pang hingga berhasil
merebut kedudukan Pangcu, cerita ini bikin ketiga muda-mudi ini sangat
terpesona.
Kini Kwe Hu mengusulkan pergi mengintip, meski di mulut
Tun-si tak setuju, padahal dalam hati seribu kali kepingin, Cuma pemuda ini
rada licin, sebelumnya ia sengaja tumpahkan tanggung jawab atas diri orang,
supaya bila konangan Ui Yong takkan salahkan dia.
"Nyo-toako, marilah kaupun ikut bersama kami."
demikian Kwe Hu berkata lagi.
Tetapi Nyo Ko pura2 memandang jauh se-akan2 sedang
memikirkan sesuata, apa yang dikatakan si gadis seperti tak didengarnya Waktu
Kwe Hu mengulangi tanya lagi barulah Nyo Ko menoIeh.
"Apa... apa? Ikut? Ke mana?" demikian ia tanya
pura2 tak mengerti.
"Tak usah kau tanya, asal ikut saja," sahut Kwe
Hu.
"Hu-moay, buat apa dia ikut?" tiba2 Tun-si
mendadak. "Toh dia tak akan mengerti, ia ketolol-tololan begini, kalau
sampai menerbitkan suara, bukankah akan konangan Subo nanti?"
"Jangan kau kuatir, biar aku jaga dia," ujar
Kwe Hu. "Kalian berdua boleh jalan dulu, segera aku dan Nyo-toako
menyusul. Kalau empat orang bersama tentu lebih mudah menerbitkan suara,"
Tentu saja Bu-si Hengte tak rela disuruh jalan dahulu,
tetapi mereka cukup kenal wataknya Kwe Hu yang tak bisa dibantah, jika sedikit
bikin marah dia, tanggung selama belasan hari kau tak digubrisnya apabila tidak
me-mohon2 dan me-minta2 hingga si gadis tertawa senang.
Karena itu, terpaksa Bu-si Hengte berjalan dahulu dengan
kurang senang.
"Kita putar ke belakang pohon besar di tepi jalan
itu, untuk sementara ibu tentu tak akan mengetahui," demikian Kwe Hu
teriaki mereka.
Dari jauh Bu-si Hengte menyahut, lalu mereka bertindak
cepat ke depan.
Maka kini tinggal Kwe Hu dan Nyo Ko saja yang jalan
berendeng, melihat baju pemuda ini compang-camping tak keruan, Kwe Hu berkata:
"Nanti kuminta ibu membikinkan kau beberapa baju baru, sesudah kau
berdandan, tentu kau tak akan begini jelek lagi,"
"Tidak, memang aku dilahirkan jelek, berdandanpun
tak ada gunanya," sahut Nyo Ko geleng kepala.
Tiba2 Kvve Hu menghela napas pelahan.
"Sebab apa kau berkeluh-kesah?" tanya Nyo Ko.
"Hatiku sangat masgul, apa kau tak tahu," sahut
si gadis.
Melihat pipi si gadis bersemu merah, alisnya lentik
lembut, betul2 nona yang ayu luar biasa, kalau melulu soal muka saja, dibanding
Liok Bu-siang, Wanyen Peng dan Yali Yan, boleh dikatakan Kwe Hu terlebih
cantik, tanpa tertahan hati si Nyo Ko rada terguncang.
"Aku tahu sebab apa hatimu kesal," katanya
kemudian.
"Aneh, darimana kau tahu? Ah, kau membual
belaka!" sahut Kwe Hu tertawa.
"Baiklah, bila aku jitu menerkanya, jangan kau
pungkir ya?" ujar Nyo Ko.
"Baik, coba kau terka," kata Kwe Hu lagi dengan
tersenyum manis.
"Kenapa susah2 membade," kata Nyo Ko kemudian,
"Kedua saudara Bu itu semuanya suka padamu, semuanya suka cari muka
padamu, sebab itulah kau menjadi serba susah memilihnya."
Hati Kwe Hu ber-debar2 karena isi hatinya dengan jitu
kena dikatai.
Nyata memang soal yang menjadikan kesal hatinya adalah
diri kedua saudara Bu itu. Urusan ini ia sendiri tahu, ayah-bundanya tahu, Bu-si
Hengte tahu, sampai kakek guru mereka Kwa Tin-ok juga tahu, cuma urusan ini
semua merasa sukar diucapkan maka semuanya hanya berpikir dalam hati, selamanya
tak pernah menyinggung barang sekecap urusan ini.
Kini mendadak kena dikatai Nyo Ko, tanpa terasa muka Kwe
Hu menjadi merah jengah, tetapi terasa senang pula dan macam2 perasaan lain.
"Ya, memang sukar dipilih," demikian sambung
Nyo Ko lagi. "Yang satu pendiam, yang lain lincah, yang satu pandai main
cinta, yang lain pintar cari muka, yang satu dapat kau percaya selama hidup,
yang lain bisa menghilangkan kesalmu, Keduanya sama2 cakap, ilmu silat tinggi,
sungguh masing2 ada kelebihan sendiri2, cuma sayang, aku seorang diri, mana
bisa menikah dengan dua lelaki ?"
Sebenarnya Kwe Hu sedang mendengarkan dengan ternganga,
ketika mendengar ucapan yang terakhir itu, tiba2 ia mengomelnya: "Ah,
mulutmu selalu usil, tak mau gubris kau lagi."
Melihat air muka orang, sejak tadi Nyo Ko sudah tahu
terkaannya pasti kena seluruhnya, maka ia menembang pelahan mengulangi kata2nya
tadi yang terakhir.
Walaupun begitu, meski ia sudah ulangi beberapa kali, si
gadis seperti sedang tenggelam pikirannya sendiri dan tak mendengarkan
"Nyo-toako," katanya kemudian lewat sejenak,
"menurut kau, Toa Bu-koko lebih baik atau Siao Bu-koko yang baik?"
"Haha, kalau menurut aku, ke-dua2nya tidak baik
semua," sahut Nyo Ko tiba-tiba.
"Sebab apa?" Kwe Hu tercengang.
"Ya, sebab kalau mereka baik, lalu aku Nyo Ko apa
ada harapan?" ujar Nyo Ko dengan tertawa.
Nyata karena si Nyo Ko sudah biasa menggoda Liok Bu-siang
sepanjang jalan, padahal dalam hatinya sedikitpun tak punya pikiran serong,
kini dalam keadaan berkdakar dengan Kwe Hu, tanpa terasa ia terlanjur omong,
kelepasan mulut.
Keruan seketika Kwe Hu tertegun, ia adalah gadis aleman yang
biasanya sangat dimanjakan siapapun tak ada yang berani berkata sesuatu yang
bersifat kotor kepadanya, maka iapun tidak tahu harus marah atau tidak oleh apa
yang dikatakan Nyo Ko tadi, tapi ia lantas tarik muka dan menyahut: "Jika
kau tak mau bilang, boleh kau tutup mulut, siapa ingin bergurau dengan kau ?
Hayo, lekas kita ke sana.!"
Sembari berkata ia lantas keluarkan ilmu entengi tubuh
dan berlari ke lereng gunung sana melalui jalan kecil.
Karena "kebentur batu", Nyo Ko menjadi serba
kikuk, ia pikir: "Buat apa aku menyelip di antara mereka bertiga ? Lebih
baik aku pergi yang lain saja !"
Maka ia putar tubuh dan berjalan pelahan ke arah lain,
dalam hati ia berpikir pula: "Bu-si Heng-te boleh dikatakan memandang nona
Kwe se-olah2 bidadari saja dan kuatir kalau si gadis tak mau jadi isterinya.
Padahal kalau betul2 sudah menikah dan sepanjang hari harus temani seorang
perempuan yang begini bandel dan manja, akhirnya pasti akan lebih banyak susah
daripada senangnya. Ha,.mereka sungguh orang tolol, betul2 menggelikan",
BegituIah diam2 Nyo Ko tertawai orang, padahal ia tak
tahu bahwa siapa saja kalau sudah jatuh ke dalam jaring asmara, maka sukar
sekali untuk menarik diri, sekalipun dia orang pandai atau nabi juga sukar
memecahkan godaan demikian ini.
Sementara itu Kwe Hu sudah berlari pergi, ia menyangka
Nyo Ko tentu akan menyusul dan minta maaf padanya, siapa duga sesudah ditunggu
dan tunggu lagi masih belum kelihatan bayangan si Nyo Ko, tiba2 ia berpikir
lain: "Ah, orang ini tak bisa Ginkang, dengan sendirinya ia tak dapat
menyandak aku."
Segera ia putar balik ke jalan tadi, tapi tiba2
dilihatnya Nyo Ko malah berjalan ke arah sana, keruan saja ia merasa heran.
"He, kenapa kau tak susul aku?" tanyanya sambil
berlari ke depan Nyo Ko.
"Kwe-kohnio, harap kau sampaikan ayah-bundamu,
bilangkan aku sudah pergi," sahut Nyo Ko.
"Tanpa sebab kenapa kau hendak pergi ?" tanya
Kwe Hu terkejut.
"Tak apa2, memangnya aku datang tidak untuk apa2,
maka perginya juga tiada apa2." sahut Nyo Ko adem.
Sebenarnya Kwe Hu suka ramai, meski dalam hati tidak
pandang hormat pada Nyo Ko, cuma ia merasa pemuda ini pandai berkelakar,
dibandingkan Bu-si Hengte terasa ada hal baru yang menarik, maka sesungguhnya
ia tidak ingin orang pergi begitu saja.
Maka ia berkata, "sudah sekian lamanya kita tak
berjumpa, masih banyak yang ingin kutanyakan. Lagi pula, malam ini akan
diadakan Eng-hiong-yan, dari segenap penjuru tidak sedikit Einghiong-Hohan
(orang gagah dan para kesatria) yang datang berkumpul, masakah kau tak ingin
menambah pengalamanmu?"
"Aku toh bukan Enghiong, kalau ikut hadir, apa tidak
akan menjadi buah tertawaan para Eng-hiong yang sungguhan itu?" sahut Nyo
Ko tertawa.
"ltupun betul," kata Kwe Hu. Dan sesudah
merenung sebentar, kemudian ia sambung lagi : "Ya, baiknya di rumah
Liok-pepek masih banyak orang tak bisa silat, kau boleh ikut empek Kasir dan
para pengurus rumah makan minum bersama, bukankah sangat baik !"
Gusar sekali Nyo Ko oleh kata2 orang, "Bagus, kau
anggap aku ini sebangsa orang yang rendahan saja!" demikian pikirnya
dongkol.
Sebenarnya ia sudah pikir hendak pergi, tetapi kini ia
malah balik pikiran, ia justru ingin lakukan sesuatu untuk bikin malu si gadis
yang menyinggung perasaannya ini.
Padahal Kwe Hu sejak kecil sangat dimanjakan sama sekali
tak kenal akan pergaulan, beberapa kata2nya itupun tidak sengaja hendak melukai
hatinya, siapa tahu watak Nyo Ko memang perasa, tanpa sengaja membikin marah
padanya.
Sebaliknya melihat Nyo Ko sudah berubah pikiran, Kwe Hu
menjadi senang.
"Marilah, lekas, jangan terlambat kalau ibu datang
lebih dulu, tentu tak gampang lagi hendak mengintip," katanya kemudian
dengan tertawa.
Segera iapun mendahului lari lagi, sedang Nyo Ko
mengikuti dari belakang dengan pura2 bernapas empas-empis, langkahnya berat
hingga kelihatannya sangat goblok.
Dengan susah payah akhirnya mereka tiba juga di tempat
yang biasa Ui Yong mengajarkan Pang-hoat pada Loh-tianglo yang bernama Loh
Yu-ka, sementara itu Bu-si Hengte kelihatan lagi Iongak-Iongok di atas pohon
sana.
Sekali lompat Kwe Hu mendahului panjat ke atas pohon,
lalu ia ulur tangannya buat tarik Nyo Ko.
Waktu tangan menyentuh tangan, Nyo Ko merasakan tangan si
gadis begitu halus empuk se-akan2 tak bertulang, tanya terasa hatinya
terguncang keras, Tetapi segera ia pikir pula: "Ah, sekalipun kau lebih
cantik lagi juga tak dapat mencapai separohnya Kokoh-ku (maksudnya
Siao-Iiong-li)."
Tatkala itu ilmu silat Kwe Hu sudah ada dasarnya yang
kuat, maka dengan enteng Nyo Ko dapat ditariknya ke atas pohon.
"Apa ibuku belum datang?" dengan suara tertahan
ia tanya.
"Sudah," sahut Siu-bun menunjuk ke arah barat
"Loh-tianglo sedang mainkan pentung di sana, sedang Suhu dan Subo berada
di sana sedang pasang omong."
selamanya Kwe Hu paling takut pada ayah-nya, kini
mendengar Kwe Cing juga datang, ia menjadi kebat-kebit tak enak, sementara ia
lihat Loh Yu-ka seorang diri dengan sebatang pentung bambu sedang main sendiri,
ia menutul ke timur dan menjojoh ke barat dengan pentung bambunya, tipu2
gerakannya tiada sesuatu yang mengejutkan orang.
"Apakah ini yang disebut Pak-kau-pang-hoat?"
dengan suara pelahan Kwe Hu menanya.
"Besar kemungkinan betul", sahut Bu Tun-si.
"Tadi Subo sedang memberi petunjuk2 padanya, lalu Suhu datang ada sesuatu
hendak berunding dengan Subo dan mengajaknya menyingkir maka Loh-tianglo
seorang diri lantas berlatih seperti itu."
Sctelah Kwe Hu memandang lagi beberapa gerakan pengemis
tua itu dan merasa semuanya biasa saja tiada sesuatu yang menarik, segera iapun
berkata: "Ah, Loh-tianglo belum pandai main, rasanya tiada yang bisa
dilihat lagi, marilah kita pergi saja."
Tetapi lain halnya dengan pikiran Nyo Ko, ia lihat
Pang-hoat yang dimainkan Loh-tianglo itu sedikitpun tidak berbeda seperti apa
yang pernah di-dapatnya dari Ang Chit-kong tempo hari di Hoa-san, ia cukup kenal
betapa hebat ilmu silat ini, maka diam2 ia mentertawai si gadis yang tak tahu
apa2, tetapi berani bermulut besar.
Di lain pihak Bu-si Hengte yang selamanya selalu menurut
apa yang dikatakan Kwe Hu, waktu mendengar si gadis bilang mau pergi, segera mereka
pun ber-gegas2 hendak lompat turun, tetapi tiba2 mereka mendengar di bawah
pohon ada suara tindakan orang, lalu terdengar suara Kwe Cing lagi berkata :
"Urusan jodoh Hu-ji sudah tentu tak bisa diputuskan secara ter-buru2, usia
Ko-ji masih kecil, kaupun tak dapat mengalahkan sedikit kekeliruannya lalu
memastikan keburukannya."
Lantas terdengar Ui Yong menjawab : "Kau pikirkan
hubungan turun temurun keluarga Kwe dan Nyo, hal ini sudah sepantasnya, Tetapi
Nyo Ko si bocah ini, semakin kulihat, rasaku semakin mirip ayahnya, mana aku
rela menjodohkan Hu-ji pada-nya?"
Terkejut sekali mendengar percakapan suami isteri ini,
baik Kwe Hu, Bu-si Hengte maupun Nyo Ko, sama sekali mereka taktahu ada
hubungan apa antara keluarga Kwe dan Nyo, lebih2 tak menduga bahwa Kwe Cing ada
maksud menjodohkan puterinya pada Nyo Ko, Karena percakapan mereka itu ada
hubungan erat sekali dengan masing2, maka empat muda-mudi itu tak jadi pergi
melainkan berdiam di atas pohon.
"Ya, Nyo Khong-hengte tak beruntung terjeblos ke
dalam istana pangeran negeri Kim hingga salah bergaul dengan orang jahat,
akibatnya terjadilah drama yang mengenaskan dengan mayat tak utuh dan menjadi
isi perut gagak, kalau sejak kecil ia dipelihara paman Nyo Thi-sim sendiri,
rasanya pasti takkan terjadi seperti itu," demikian terdengar Kwe Cing
berkata lagi.
"ltupun benar." sahut Ui Yong rendah sambil
menghela napas, Agaknya ia menjadi terbayang pada kejadian ngeri dahulu dengan
matinya Nyo Khong, ayah Nyo Ko.
Nyo Ko sendiri selamanya tak tahu bagaimana asal-usul
keluarganya, ia hanya tahu ayahnya meninggal terlalu cepat, sedang cara
bagaimana matinya dan siapa musuhnya, hal itu sekalipun ibu kandungnya juga tak
mau bilang terus terang padanya, Kini mendadak dengar Kwe Qng menyinggung
ayahnya "terjeblos ke istana pangeran negeri Kim dan bergaul dengan orang
jahat" lalu bilang lagi "mayatnya tak utuh hingga menjadi isi perut
burung gagak" dll., seketika pemuda ini merasa seperti disamber petir,
seluruh tubuhnya gemetar, mukanya pucat pasi.
Waktu itu Kwe Hu kebetulan melirik Nyo Ko, demi melihat
wajah pemuda ini sedemikian rupa, Kwe Hu sangat ketakutan, ia kuatir pemuda ini
mendadak terbanting jatuh ke bawah terus mati.
Dementara itu Kwe Cing dan Ui Yong duduk berendeng di
atas sebuah batu dan membelakangi pohon yang dibuat sembunyi empat muda-mudi
itu, dengan meraba tangan sang isteri terdengar Kwe Cing berkata pula:
"Sejak kau mengandung anak kedua ini kesehatanmu sudah jauh mundur dari
pada dulu, lekasan kau serahkan segala urusan Kay-pang pada Loh Yun-ka sekaligus,
supaya kau dapat merawat diri se-baik2nya".
"He, kiranya ibu akan punya anak lagi, ehm, senang
sekali kalau aku tambah adik," kata Kwe Hu dalam hati, ia menjadi girang
sekali.
Dalam pada itu Ui Yong telah menjawab: "Urusan
Kay-pang memangnya tak banyak kuperhatikan sebaliknya urusan perjodohan Hu-ji
yang bikin aku tak tenteram."
"Jika Coan-cin-kau tak terima Koji, biarlah aku
sendiri yang mengajar dia," kata Kwe Cing.
"Tampaknya pemuda ini sangat pintar, kelak aku
turunkan seluruh kepandaianku padanya, dengan begitu tak percumalah aku angkat
saudara dengan ayahnya."
Kini baru tahulah Nyo Ko bahwa Kwe Cing ternyata adalah
saudara angkat ayahnya sendiri kalau begitu, "Kwe-pepek" ini
sesungguhnya mengandung arti yang besar sekali Dan demi mendengar Kwe Cing
begitu baik hati dan berbudi pada dirinya, hati Nyo Ko sangat terharu, hampiri
ia meneteskan air mata.
"Tetapi aku justru kuatir dia tersesat oleh karena
pintarnya," ujar Ui Yong menghela napas, "sebab itu juga aku hanya
ajarkan membaca padanya dan tidak turunkan ilmu silat dengan harapan kelak dia
akan menjadi seorang yang bijaksana dan pandai mem-beda2kan yang salah dan yang
benar, supaya menjadi seorang lelaki sejati, dengan begitu sekalipun tak bisa
ilmu silat juga aku akan lega dan puas menjodohkan Hu-ji padanya."
"Ya, segala apa kau memang lebih pintar dari aku,
Yong-ji," sahut Kwe Cing. "Apa yang kau pikirkan selalu berpandangan
jauh, tetapi Hu-ji kita sedemikian wataknya, ilmu silatnya juga begitu, kalau
dia diharuskan mendampingi seorang anak sekolahan yang lemah, coba pikir apa
dia tak penasaran? Apa dia bisa menghormati Ko-ji kelak? Menurut hematku, suami
isteri demikian ini pasti susah akurnya."
"Huh, tak malu," kata Ui Yong tertawa,
"Emangnya kita berdua bisa akur karena ilmu silatmu lebih unggul dari aku?
Hayo, Kwe-tayhiap, marilah kita coba-coba !"
"Bagus, Ui pangcu, katakanlah apa yang kau
kehendaki," sahut Kwe Cing tertawa.
Lalu terdengar suara "plok" sekali, mungkin Ui
Yong telah tepok sekali tubuh Kwe Cing, Selang tak lama, lalu Ui Yong berkata
lagi.
"Ai, urusan ini sesungguhnya sukar diputuskan
seandainya tanpa Ko-ji, urusan kedua saudara Bu saja juga sulit diselesaikan?
Coba katakan, Toa Bu lebih baik atau Siao Bu lebih baik?"
Seketika hati Kwe Hu dan Bu-si Hengte ber-debar2. Meski
urusan ini tiada sangkut paut dengan Nyo Ko, tetapi iapun ingin tahu bagaimana
pendapat Kwe Cing terhadap kedua saudara Bu itu.
Tetapi Kwe Cing hanya menyahut lirih sekali, selang
sekian Iama masih tiada jawabannya.
"Urusan kecil belum bisa kelihatan," demikian
kemudian terdengar ia menyahut, "harus tunggu menghadapi urusan besar,
baik atau busuk, barulah bisa diketahui." - Habis ini perkataannya berubah
menjadi lemah lembut dan menyambung lagi: "Baiklah usia Hu-ji masih kecil,
lewat beberapa tahun lagi masih belum terlambat, boleh jadi pada waktu itu
dapat diputuskan dengan ca.ra yang lebih baik dan kita yang menjadi orang tua
tak perlu lagi ribut Kau mengajar Loh-tianglo dan tentu banyak keluarkan
tenaga, beberapa hari ini aku selalu melihat napasmu tak lancar, aku sampai
kuatirkan kesehatanmu sekarang biarlah kupergi mencari Ko-ji buat ajak bicara
sedikit padanya." -Habis berkata iapun bertindak pergi.
Sesudah Ui Yong atur pernapasannya sejenak, kemudian ia
panggil Loh-tianglo lagi dan memberi petunjuk Pak-kau-pang-hoat.
Tatkala itu Loh Yu-ka sudah selesai memainkan 36 gerakan
Pak-kau-pang-hoat, cuma dimana dan cara bagaimana menggunakan inti kebagusan
ilmu silat itulah belum dipahaminya. Maka dengan sabar dan telaten Ui Yong
memberi penjelasan padanya sejurus demi sejurus.
Tipu serangan Pak-kau-pang-hoat ini memang bagus, Iebih2
kunci yang diuraikan Ui Yong ini terlebih hebat luar biasa, kalau tidak, hanya
sebatang pentung bambu hijau yang kecil mana bisa menjadi pusaka Kay-pang ?
Sudah hampir sebulan Ui Yong turunkan tipu gerakan ilmu
pentung pemukul anjing itu pada Loh Yu-ka, kini ia menerangkan pula kunnya dan
perubahan2nya sampai berulang kali dan suruh mengingatnya baik-baik.
Kwe Hu dan Bu-si Hertgte tak paham Pang-hoat segala, maka
mereka merasa tak tertarik mereka tidak tahu tentang perubahan2 ilmu silat yang
hebat itu, maka beberapa kali mereka sudah ingin berosot turun pohon, namun
kuatir konangan Ui Yong, maka mereka meng-harap2 lekas Ui Yong selesai
mengertikan istiIah2nya dan lekas pergi bersama Loh Yu-ka.
Siapa tahu Ui Yong bermaksud malam ini juga menyerahkan
jabatan Pangcu pada Loh Yu-ka dalam perjamuan "Eng-hiong-yan", maka
ia ingin turunkan seluruhnya baik istilah maupun permainannya kepada Loh Yu-ka,
sekalipun masih belum paham, kelak masih bisa diberi petunjuk lagi, cuma
menurut peraturan Kay-pang turun-temurun, Pang-cu baru waktu menerima jabatan
harus sudah bisa memainkan Pak-kau-pang-hoat, oleh sebab itu sedapat mungkin Ui
Yong ingin turunkan apa mestinya, maka sudah lebih satu jam masih belum juga
selesai menguraikannya.
Dasar Loh Yu-ka ini juga bakatnya kurang ditambah usianya
sudah lanjut, daya ingatannya sudah mundur, seketika mana bisa mengingat begitu
banyak ajaran yang diberikan itu? Meski Ui Yong sudah bolak-balik mengulangi,
masih belum juga diingatnya semua.
Baiknya Ui Yong sudah lama berdampingan dengan seorang
suami yang bakatnya tak tinggi, ia sudah biasa dengan orang yang kurang tajan
otaknya, maka kebebalan Loh Yu-ka tidak menjadikan amarahnya. Celakanya ia
dibatasi oleh peraturan perkumpulan yang mengharuskan inti Pang hoat itu
diturunkan secara lisan dan se-kali2 tak boleh secara tertulis, kalau boleh,
sesungguhnya ia bisa menulisnya dan dibaca sendiri oleh Loh Yu-ka sampai apal,
hal ini pasti akan hemat tidak sedikit tenaganya.
Dalam pada itu yang paling beruntung rasanya adalah Nyo
Ko.
Seperti diketahui, tempo hari waktu Ang Chit kong
bertanding dengan Auwyang Hong di Hoa san, pada saat terakhir pernah
mengajarkan setiap tipu berikut perubahannya pada Nyo Ko dan disuruh
mempertunjukkannya pada Auwyang Hong, hanya kunci diwaktu menghadapi musuh saja
yang belum dijelaskan. Siapa tahu, secara kebetulan sekali di sini Nyo Ko
justru bisa mendengar kekurangan itu dari mulutnya Ui Yong yang lagi mengajarkannya
pada Loh Yu-ka.
Sudah tentu bakat Nyo Ko beratus kali lebih tinggi dari
Loh Yu-ka, hanya tiga kali ia dengar, satu kata saja tak bisa dilupakan lagi
oleh pemuda ini, sebaliknya Loh Yu-ka masih bolak-balik mengulangi dan masih
tetap salah.
Setelah hamil untuk kedua kalinya, mungkin karena terlalu
sibuk menurunkan Pak-kau-pang-hoat pada Loh Yu-ka, akhirnya Ui Yong merasa
letih juga, ia coba bersandar pada baru sambil pejamkan mata untuk mengumpulkan
semangat.
"Hu-ji, Si-ji, Bun-ji, Ko-ji, semuanya turun
sini!" mendadak ia berseru.
Tentu saja Kwe Hu berempat sangat kaget, mereka heran
mengapa orang diam2 saja, tetapi sebenarnya sudah tahu mereka sembunyi di atas
pohon.
"Kau sungguh hebat, Mak! Segala apa tak bisa
membohongi kau!" demikian Kwe Hu berkata tertawa.
Berbareng itu, dengan gerakan
"Ling-yan-tau-lim" atau burung walet menerobos Hutan, dengan enteng
sekali ia meloncat ke hadapan sang ibu.
Menyusul Bu-si Hengte juga ikut melompat turun, hanya Nyo
Ko saja yang merangkak turun dengan pelahan.
"Hm, hanya sedikit kepandaianmu ini berani
mengintip?" sahut Ui Yong menjengek "Jika menghadapi kalian beberapa
setan cilik saja tak tahu, apalagi kalau merantau Kangouw, bukankah tidak
sampai setengah hari sudah terjebak musuh?"
Kwe Hu menjadi kikuk, tetapi ia tahu sang ibu biasanya
sangat manjakan dirinya maka iapun tidak takut didamperat, sebaliknya ia maju
dan berkata lagi dengan tertawa:
"Mak, sengaja aku ajak mereka datang ke sini untuk
melihat Pak-kau-pang-hcat yang disegani di seluruh jagat itu, siapa tahu apa
yang dimainkan Loh-Lianglo itu sedikitpun tak menarik Coba, jika permainanmu
tentu sangat menarik."
Ui Yong tertawa, betul juga segera ia ambil pentung bambu
dari Loh Yu-ka.
"Baik, lihatlah aku bikin anjing cilik
terjungkal" katanya sambil ulurkan pentung bambu ke arah Kwe Hu.
Segera Kwe Hu perhatikan bagian bawah, ia tunggu bila
pentung menyamber, segera ia akan melompat ke atas supaya tidak kesandung.
Dalam pada itu Ui Yong telah geraki pentung bambunya,
lekas-2 Kwe Hu melompat siapa tahu baru setengah kaki meninggalkan tanah,
dengan tepat kena disabet pentung itu dan dengan enteng ia jatuh menggeletak.
"Tidak, tidak mau aku, itu salahku sendiri,"
teriak Kwe Hu aleman sambil melompat bangun.
"Baiklah, coba, kau ingin cara bagaimana?" kata
Ui Yong tertawa.
Segera si gadis pasang kuda2 dengan kuat, habis itu ia
berseru pada Bu-si Hengte. "Toa Bu-koko dan Siao Bu-koko, kalian berdua
berdiri di sampingku sini, juga pasang kuda2 yang kukuh."
Busi Hengte menurut, mereka berdiri dengan kuda2 yang
kuat, Kwe Hu pentang tangannya saling gantol dengan tangan kedua pemuda itu,
dengan tenaga mereka bertiga, sungguh sangat kukuh tampaknya.
"Mak, sekarang tak takut lagi, kecuali ayah punya
Hang-liong-sip-pat-ciang barulah bisa bikin kami bergerak," kata Kvve Hu.
Ui Yong tak menjawab, ia tersenyum, habis ini mendadak
pentungnya menyapu ke muka tiga orang itu dengan kcncang.
Karena kuatir muka mereka yang habis menjadi babak belur,
lekas2 ke-tiga2-nya mendoyong ke belakang buat berkelit dengan demikian kuda2
mereka menjadi kendur. Tanpa ayal lagi pentung Ui Yong berputar kembali dan
menyereet kaki ketiga orang, karena tak kuat lagi kuda2nya, mereka bertiga
jatuh menubruk tanah semua, ilmu silat mereka cukup hebat, maka baru jatuh
segera mereka melompat bangun dengan gaya yang manis.
"Mak, caramu ini hanya tipuan saja, aku tak
mau," kata Kwe Hu lagi.
"Memangnya," ujar Ui Yong, "apa yang aku
ajarkan pada Loh-tianglo tadi, tipu manakah yang pakai tenaga sungguh2? Kau
bilang gerakanku ini hanya tipuan. memang tidak salah, dalam ilmu silat, 9 dari
10 bagian memang akal belaka, asal bisa robohkan lawan, itu berarti sudah
menang. Hanya ilmu Han-liong-sip-pat-ciang ayahmu itulah betul2 silat sejati
yang berani main keras lawan keras tanpa pakai akal. Tetapi untuk melatih
sampai tingkat itu, di jagat ini terdapat berapa orang?"
Kata2 ini membikin Nyo Ko diam2 memanggut, sebaliknya Kwe
Hu bertiga meski mengerti toh mereka belum paham di mana letak intisari
penjelasan itu.
"Pak-kau-pang-hoat ini adalah ilmu silat paling
aneh, ia tercipta secara tersendiri dan tiada hubungannya dengan silat2 aliran
lain," kata Ui Yong lagi, "Kalau melulu belajar tipu gerakannya tanpa
mengerti inti rahasianya, maka percumalah meski belajar selama hidup, Maka selanjutnya
kalau aku lagi ajarkan ilmu silat lain, sebelum dapat ijinku jangan se-kali2
mengintip lagi, tahu?"
Berulang Kwe Hu mengiakan, tapi dengan tertawa segera ia
bilang lagi: "Ah, buat apa aku mengintip kepandaian ibu, apa mungkin
engkau tak mengajarkan padaku kelak?"
Ui Yong terlalu sayang pada gadisnya ini, maka ia hanya
tepuk pelahan bebokong Kwe Hu.
"Hayo, pergi bermain lagi dengan Bu-keh Ko-ko,"
katanya kemudian "dengan tertawa, "Ko-ji, aku ingin bicara sedikit
dengan kau, Loh-tianglo, kau ulangi saja sendiri, kalau masih ada yang Iupa,
kelak akan kuajarkan lagi."
Maka Loh Yu-ka dan Kwe Hu berempat lantas mendahului
kembali ke Liok-keh-ceng atau perkampungan keluarga Liok, hanya Nyo Ku yang
masih berdiri menjublek di tempatnya, sesaat itu hatinya ber-debar2, ia kuatir
kalau2 Ui Yong akan ambil jiwanya sebab berani mencuri belajar
Pak-kau-pang-hoat.
Namun dugaannya ternyata meleset. Waktu melihat wajah
pemuda ini rada sangsi2, dengan lemah lembut Ui Yong tarik tangannya dan suruh
duduk di sampingnya.
"Ko-ji," Ui Yong mulai bertanya, "banyak
sekali urusanmu yang kurasa tidak mengerti, seandainya kutanya, tentu kaupun
tak mau menjelaskan. Cuma, hal ini akupun tak menyalahkan kau. Di waktu kecil
,watakku pun sangat aneh dan menyendiri semua itu berkat kau punya Kwe-pepek
yang telah banyak mengalah padaku."
Berkata sampai di sini, Ui Yong menghela napas pelahan,
mulutnya tersungging senyuman, rupanya ia menjadi teringat pada waktu kecilnya
yang nakal itu, lalu ia sambung lagi.
"Jika aku tak mau turunkan ilmu silat padamu, itu
tujuannya untuk kebaikanmu, siapa tahu hal itu malah bikin kau menjadi banyak
menderita Ko-ji, kau punya Kwe-pepek sayang dan cinta padaku, budi kebaikannya
ini sudah tentu akan kubalas sebisanya, ia menaruh suatu harapan atas dirimu,
yalah mengharap kelak kau bisa menjadi seorang laki2 sejati, untuk ini pasti
aku akan bantu kau menuju ke jalan yang baik supaya cita2 Kwe-pepek terlaksana.
Dan kau, hendaklah kaupun jangan kecewakan harapannya, maukah kau
berjanji?"
Belum pernah Nyo Ko mendengar Ui Yong berbicara secara
begitu halus dan sungguh2 terhadap dirinya, ia lihat sorot mata orang penuh
mengandung rasa kasih sayang, tanpa tertahan hatinya terguncang. Pada dasarnya
Nyo Ko ini berperasaan halus, maka terus saja ia menangis keras.
"Ko-ji," sambil mengelus kepalanya, Ui Yong
berkata lagi: "Rasanya tidak perlu kubohongi kau, dahulu aku tak suka pada
ayahmu, juga tak senang pada ibumu, oleh sebab itu juga terus tak suka padamu.
Tetapi sejak kini pasti aku akan perlakukan kau baik2, nanti kalau kesehatanku
sudah pulih, biarlah kuturunkan segala kepandaianku padamu."
Nyo Ko semakin terharu, tangisnya semakin keras.
"Kvve-pekbo. ba... banyak hal2 yang kubohongi kau,
biar ku... kukatakan padamu," kalanya kemudian dengan masih ter-guguk2.
"Hari ini aku sudah Ietih, boleh ceritakan kelak
saja, asal kau menjadi anak yang baik bagiku sudah senang," sahut Ui Yong
sambil membelai rambutnya "Malam nanti akan ada rapat besar Kay-pang,
kaupun boleh hadir menyaksikan keramaian itu."
Nyo Ko pikir wafatnya Ang Chit-kong memang termasuk suatu
berita besar dan sudah seharusnya diucapkan di hadapan rapat, maka sembari
mengusap air matanya, ia memanggut.
Dengan percakapan mereka yang keluar dari lubuk hati
mereka ini, hingga segala rasa tak puas yang dulu2 seketika buyar semua. Sampai
akhirnya Nyo Ko mulai bisa ke-tawa2 lagi, sejak perpisahannya dengan
Siao-liong-li, agaknya untuk pertama kali inilah ia merasakan perlakuan yang
hangat.
Di lain pihak, sesudah bicara panjang ini, Ui Yong
merasakan perutnya rada sakit, maka pe-lahan2 ia berdiri.
"Marilah kita pulang" ajaknya kemudian. Lalu ia
gandeng tangan Nyo Ko dan berjalan pelahan.
"Kwe-pekbo, ada sesuatu urusan penting ingin
kuberitahukan padamu," kata Nyo Ko sambil berjalan ia pikir berita tentang
kematian Ang Chit-kong pantasnya diberitahukan lebih dahulu kepada bibinya ini.
Akan tetapi Ui Yong merasakan perutnya makin lama makin
meliiit, maka napasnya menjadi rada terganggu.
"Katakan saja besok, aku... aku rada kurang enak
badan." katanya sambil mengkerut kening.
Melihat wajah orang putih lesi, Nyo Ko menjadi kuatir, ia
merasa tangan orang rada dingin, maka diam2 ia kumpulkan tenaga dalam, ia
salurkan semacam hawa hangat ke tangan orang yang menggandengnya itu.
Dahulu waktu melatih Giok-li-sim-keng bersama
Siao-liong-li di Cong-lam-san, kepandaian cara menyalurkan ilmu melalui telapak
tangan sudah dilatihnya dengan apal sekali, Tetapi kuatir kalau Lwekang yang Ui
Yong pelajar bertentangan dengan apa yang diapalkannya, mula2 ia hanya gunakan
sedikit tenaga saja, sesudah merasa tiada halangan barulah ia tambah tenaga
dalamnya.
Ketika mendadak merasa tenaga tangan Nyo Ko menyalurkan
hawa hangat yang terus-menerus, sungguh heran sekali Ui Yong, tetapi akibat
hawa hangat itu, segera pula rasa sakit dan napasnya menjadi teratur kembali.
Dalam herannya ia hanya tersenyum pada Nyo Ko sebagai
tanda terima kasihnya. Dan selagi ia hendak tanya orang darimana mendapatkan
ilmu itu, tiba2 dilihatnya Kwe Hu sedang berlari mendatang.
"Mak, mak, coba terka siapa yang telah datang?"
demikian gadis itu ber-teriak2 sembari berlari.
"Hari ini tidak sedikit kesatria dari seluruh jagat
yang hadir, dari mana aku tahu siapa dia yang datang," sahut Ui Yong
tertawa, Tetapi tiba2 tergerak pikirannya, ia sambung lagi : "Ah, tentu
para Susiok dan Supek kedua saudara Bu, Hayo, lekas, sudah lama kita tak
bertemu dengan mereka."
"Baik. kau sungguh hebat, sekali tebak lantas
kena." kata Kwe Hu.
"Apanya yang sukar?" sahut Ui Yong tertawa,
"Kedua saudara Bu itu selamanya tak pernah meninggalkan kau, kini tiba2
tiada di sampingmu, tentunya ada sanak saudaranya yang datang,"
Selamanya Nyo Ko anggap dirinya sendiri cerdik dan
pintar, kini melihat Ui Yong bisa berpikir seperti dewa dan masih jauh di atas
dirinya, sungguh ia menjadi amat kagumnya.
"Hu-ji, selamat padamu, kau bakal tambah semacam
ilmu kepandaian yang hebat lagi," tiba2 Ui Yong berkata pula.
"Ilmu kepandaian apa?" tanya Kwe Hu.
"lt-yang Ci !" mendadak Nyo Ko menyela.
"Kau mengerti apa?" omel Kwe Hu, kata2 Nyo Ko
tak digubrisnya: "Mak, kau bilang ilmu apa?"
"Bukankah Nyo-koko sudah bilang tadi," sahut Ui
Yong tertawa.
"Ha, kiranya ibu sudah bilang padamu," ujar Kwe
Hu pada Nyo Ko.
Tetapi Nyo Ko dan Ui Yong hanya tersenyum. Dalam hati Ui
Yong memikir: "Ko-ji ini sungguh berpuluh kali lebih pintar dan cerdik
dari pada Bu-si Hengte, Hu-ji juga goblok, lebih2 tak masuk hitungan."
Akan tetapi Kwe Hu masih tetap heran sebab apa ibunya
memberitahukan Nyo Ko tentang hal itu.
Kiranya It-teng Taysu yang berjuluk Lam-te atau raja dari
selatan, yang namanya sejajar dengan Ui Yok-su, Ang Chit-kong dan Auwyang Hong,
seluruhnya ia mempunyai empat murid yang disebut "Hi-Jiau-Keng-Thok"
atau nelayan, tukang kayu, petani dan sastrawan
Ayah Bu-si Hengte, Bu Sam-thong adalah si petani dari
urut2an nomor tiga itu. Sejak ia terluka waktu menempur Li Bok-chiu, sampai
kini tak pernah kelihatan bayangannya hingga mati-hidup-nya tak diketahui.
Sekali ini yang datang menghadiri Eng-hiong-yan adalah
Hi-jin dan Su-seng atau si nelayan dan si sastrawan berdua.
Setiap kali si sastrawan itu bertemu Ui Yong segera ingin
adu mulut dan ukur kepandaian, kini berjumpa pula setelah berpisah hampir dua
puluh tahun, sudah tentu mereka ingin unjuk kepandaian masing2 lagi dan
berdebat. Sedang si nelayan itu betul saja lantas mencari satu kamar dan
menurunkan ilmu lt-yang-ci kepada Bu-si Hengte.
Sehabis makan siang, lalu kawanan pengemis anggota
Kay-pang be-ramai2 berkumpul -di depan Liok-keh-ceng. Sekali ini dilakukan
timbang-terima jabatan Pangcu baru dan lama, hal ini merupakan upacara yang
paling tinggi dalam kalangan Kay-pang, maka kecuali semua anak murid dari
seluruh penjuru diundang hadir, ada pula jago2 dari aliran lain dan perkumpulan
lain yang diundang sebagai "peninjau"
Selama belasan tahun ini, Loh Yu-ka selalu mewakili Ui
Yong mengatur segala urusan Kay-pang dan berlaku sangat adil, berani bertindak
berani bertanggung jawab, dua golongan dalam Kay-pang, yakni yang disebut
Ut-ih-pay dan Ceng-ih-pay," golongan baju kotor dan golongan baju bersih,
semuanya tunduk dan percaya penuh padanya, maka upacara penyerahan jabatan yang
dilakukan hari ini sebenarnya hanya upacara resmi saja.
Kemudian menurut peraturan, Ui Yong lantas umumkan
penyerahan jabatan itu, lalu ia serahkan Pa-kau-pang atau pentung pemukul
anjing, yakni bambu hijau yang menjadi pusaka Pangcu turun temurun itu kepada
Loh Yu-ka, disusul segera para anak murid meludahi Yoh Yu-ka masing2 sekali,
hingga pengemis tua ini seluruh muka dan kepala penuh air lendir, dengan begitu
selesailah upacara timbang-terima jabatan Pangcu lama kepada yang baru.
Melihat cara penggantian Pangcu yang aneh ini, diam2 Nyo
Ko ter-heran2. Dan selagi ia hendak tampil ke muka untuk mengumumkan berita
tentang wafat nya Ang Chit-kong, tiba2 dilihatnya seorang pengemis tua telah
melompat ke atas sebuah batu besar, tangan kirinya menyunggih tinggi2 sebuah
Holo besar yang berwarna coklat.
Nampak benda ini, seketika hati Nyo Ko tergetar dapat
dikenalnya Holo ini bukan lain adalah benda pengisi araknya Ang Chit-kong,
waktu bertemu di atas Hoa-san, dengan jelas ia lihat barang ini selalu
menggemblok di punggung pengemis tua itu, belakangan waktu ia pendam mayat
pengemis tua itu, iapun tanam Hiolo itu disamping tubuhnya, tetapi mengapa
mendadak bisa muncul lagi di sini? Apa mungkin ada sebuah Hiolo lain yang
secorak dan serupa?
Sementara itu didengarnya sorak-sorai gegap gempita para
pengemis demi nampak Hiolo simboI Pangcu tua mereka itu.
Selagi Nyo Ko ragu2. terdengar si pengemis tua itu sudah
membuka suara lagi dengan keras: "Ada perintah dari Ang-lopangcu, aku
disuruh menyampaikan nya kepada para hadirin!"
Mendengar itu, sorak-surai para pengemis itu menjadi
lebih hebat lagi. Memangnya mereka sudah belasan tahun tak pernah menerima
kabar berita pangcu tua mereka itu, kini mendadak dengar ada perintahnya, sudah
tentu semuanya terbangun semangatnya.
"Pujikan Ang-lopangcu selamat dan panjang
umur!" segera terdengar seruan salah seorang pengemis diantara orang
banyak itu.
Seketika suara sorak gemuruh berkumandang lagi hingga mengguncangkan
bumi. Maklumlah Ang Chit-kong adalah seorang kesatria, seorang gagah perkasa di
jaman itu, dari aliran apa dan lapisan apapun tiada seorangpun yang tak kagum
padanya, lebih2 anggota Kay-pang, cinta mereka padanya boleh dikatakan melebihi
orang tua sekandung sendiri.
Setelah sorak-sorai seminuman teh, suara gemuruh itu
pe-lahan2 baru mereda kembali. Melihat setiap anggota Kay-pang itu sangat
bersemangat dan terharu, bahkan ada yang mengalirkan air mata, diam2 Nyo Ko
pikir sendiri: "Seorang laki2 kalau bisa begini barulah tidak percuma
hidup di dunia ini. Semua orang sedang riang gembira, mana aku tega
memberitahukan mereka tentang wafatnya Ang-lo-cianpwe?"
Sementara itu ia dengar si pengemis tua tadi telah
berkata lagi : "Tiga hari yang lalu, di Liong-ki-ce aku telah bertemu
dengan Ang-lopangcu..."
Luar biasa kejut Nyo Ko oleh kata2 orang,
"Ang-lopangcu sudah lama meninggal cara bagaimana ia bisa bertemu dengan
beliau tiga hari yang lalu?" demikian Nyo Ko tidak habis mengerti
Dalam pada itu pengemis tua itu telah meneruskan:
"Waktu beliau tahu Ui-pangcu hendak menyerahkan jabatannya kepada
Loh-pangcu, ia bilang keputusan ini sangat baik dan sangat cocok dengan
maksudnya..."
Sampai di sini mendadak Loh Yu-ka berlutut ke hadapan
pengemis itu sambil berkata dengan suara gemetar: "Tecu pasti akan lakukan
sepenuh tenaga untuk membalas budi kebaikan Lopangcu, asal pekerjaan itu
berpaedah bagi perkumpulan kita, sekalipun mati tak gentar."
Pengemis tua itu sudah tentu tingkatannya lebih rendah
daripada Loh Yu-ka, Pangcu yang baru ini, tetapi ia membawa Hiolo milik Ang
Chit-kong, maka Loh Yu-ka berlutut terhadap Hiolo yang menjadi simbolnya
Chit-kong dan bukan berlutut kepada pengemis itu.
"Ang-lopangcu bilang," demikian pengemis tua
itu melanjutkan lagi, "dalam keadaan negara kacau balau ini, bangsa Mongol
lambat laun mulai menjajah ke selatan hendak caplok negeri Song-raya kita, maka
diharap semua anggota perkumpulan kita hendaklah berhati setia dan bernyali
berani, harus bersumpah akan membunuh musuh dan melawan penjajah dari
luar."
Serentak anggota2 Kay-pang itu berteriak lagi menyatakan
akur, semangat mereka sangat tinggi dan sikap mereka berani.
"Pemerintah dalam keadaan kacau, pembesar dorna
berkuasa, kalau kita cuma percaya para pembesar busuk itu akan melindungi
rakyat, itu sekali-kali tak bisa terlaksana," demikian pengemis tua itu
bicara lagi, "Kini negara dalam bahaya, setiap orang hendaklah berjiwa
patriot, sedia korban untuk nusa dan bangsa, Sayang Lopangcu lagi ada sesuatu keperluan
ke daerah Utara dan tak bisa datang ke pertemuan ini, maka aku disuruh
menganjurkan kalian hendaklah ingat baik2 dua huruf, yakni Tiong Gi".
Seketika para pengemis bergemuruh menyambut anjuran itu,
be-ramai2 mereka berteriak: "Kami bersumpah menerima petunjuk Ang-lopangcu
itu !"
Sejak kecil Nyo Ko tak mendapatkan pendidikan, maka ia
tak tahu apa arti "Tiong Gi" atau setia dan berbakti itu betapa besar
hubungannya dengan negara, tetapi bila dilihatnya anggota2 Kay-pang itu
bersikap gagah berani, tanpa terasa iapun merasakan sesuatu, ia menjadi
menyesal tempo hari telah permainkan beberapa anak murid Kay-pang.
Mengenai kematian Ang Chit-kong dengan mata kepala
sendiri ia saksikan betul2 terjadi malahan dia sendiri yang mengubur jenazah
orang, kenapa pengemis tua ini bisa bilang tiga hari yang lalu pernah bertemu
dengan dia? jika perintah itu palsu, tetapi perintah ini justru mengenai tugas
yang mulia?
Begitulah Nyo Ko menjadi curiga dan tak mengerti ia pikir
hal ini terpaksa dibicarakan pada Ui Yong nanti.
Sehabis itu, lantas diteruskan dengan urusan2 Kay-pang
tentang kenaikan pangkat dan lain2 bagi para anggota, dan karena tiada sangkut
pautnya dengan orang luar, para tetamu lantas pada undurkan diri.
Malamnya, luar maupun dalam Liok-keh-ceng telah dihias dengan
lampu2 lampion yang indah seperti orang punya hajat saja, meja2 perjamuan
memenuhi seluruh ruangan gedung dari depan sampai belakang, seluruhnya lebih
200 meja, semua kesatria dan orang gagah dari seluruh jagat tampaknya ada
separah yang hadir.
Hendaklah diketahui bahwa Eng-hiong-yan atau perjamuan
kaum kesatria ini dalam beberapa puluh tahun sukar diketemukan barang sekali
saja, kalau bukan tuan rumahnya luas bergaul, tidak nanti bisa mengundang
tetamu yang begini banyak.
Sampai saatnya, Kwe Cing dan Ui Yong keluar mengawani
tetamu utama mereka yang berada di ruangan tengah.
Tempat Nyo Ko sudah diatur oleh Ui Yong dan duduk di
samping mejanya, sebaliknya Kwe Hu dan Bu-si Hengte malah sangat jauh tempat
duduknya.
Semula Kwe Hu rada heran, ia pikir orang toh tak bisa
ilmu silat, untuk apa dia hadiri Eng-hiong-yan ini? Tetapi bila terpikir lagi
olehnya, seketika hatinya terkesiap.
"Haya, celaka, bukanlah ayah bilang mau menjodohkan
aku padanya, jangan2 ibu sudah setuju lengan maksud ayah?" demikian ia
membatin.
Sebab itu, makin dipikir Kwe Hu semakin takut, apalagi
teringat olehnya betapa hangatnya hubungan mereka ketika ibunya menggandeng
tangan Nyo Ko. selamanya ayah-bundanya saling hormat menghormati dan
harga-menghargai, kalau ayahnya berkeras dengan maksudnya, pasti ibunya tak
bisa memgelak. Karena itu, berulang kali ia melirik si Nyo Ko dengan sorot mata
yang penuh marah.
KebetuIan waktu itu Bu Siu-Bun bertanya padanya:
"Hu-moay, lihat itu bocah she Nyo juga duduk di situ, ia terhitung Enghiong
darimana sih?"
"Entah," sahut Kwe Hu mendongkol "Jika kau
mampu, boleh kau mengusirnya !"
Tadinya Bu-si Hetigte hanya pandang rendah pada Nyo Ko,
tetapi sesudah mendengar Kwe Cing bilang hendak jodohkan puterinya padanya,
tanpa terasa dalam hati mereka timbul rasa permusuhan hal ini memang bisa
terjadi antara saingan rebut pacar, maka tak bisa mengalahkan mereka.
Kini mendengar kata2 Kwe Hu tadi, segera Siu-bun
berpikir: "Kenapa aku tidak bikin malu dia di hadapan orang banyak ini?
Subo adalah seorang yang suka unggul, kalau bocah she Nyo terjungkal di bawah
tanganku, pasti ia tak akan mau terima dia sebagai menantunya."
Setelah ambil keputusan itu, dengan It-yang-ti yang baru
saja ia pelajari dari paman gurunya itu kebetulan bisa digunakan Nyo Ko sebagai
kelinci percobaan.
Maka segera berkatalah Siu-bun: "la mengaku
Enghiong, mengusirnya rasanya susah, adalah lebih baik naikkan dia sekalian
supaya dia bisa dikenal orang banyak."
Habis berkata, ia menuang dua cawan arak dan segera
didekatinya Nyo Ko.
"Nyo-toako, marilah kusuguh kau secawan,"
demikian ia berkata.
Kecerdasan Nyo Ko jauh sekali di atasnya Bu-si Hengte,
waktu dilihatnya orang mendekati dirinya dengan mata memandang Kwe Hu, sedang
air mukanya mengunjuk rasa senang yang aneh, ia menduga orang pasti akan pakai
akal licik ia pikir "Tentu dia tidak bermaksud baik dengan menyuguh arak
padaku ini, Tetapi taruh racun di dalam arak rasanya iapun tidak berani."
Maka suguhan orang tak ditolaknya, ia berdiri dan terima
pemberian itu terus diminum.
Siapa duga, pada saat itu juga mendadak Siu-bun ulur
jarinya dan menutuk ke pinggangnya, Siu-bun sengaja tutupi pandangan orang lain
dengan tubuhnya, ia pikir asal sekali tutuk kena "Jiau-yao-hiat"
tentu Nyo Ko akan ber-teriak2 dan ter-tawa2 tak keruan di hadapan orang banyak.
Namun waktu ia mendekati lebih dulu Nyo Ko sudah
memperhatikan gerak-geriknya, jangankan Nyo Ko sudah ber-jaga2, sekalipun
mendadak musuh membokong, dalam tingkat kepandaian Nyo Ko sekarang juga sukar
hendak merobohkannya, jika turuti watak Nyo Ko yang tak mau kalah sedikitpun
dengan orang lain, pasti kontan dia batas hantam orang, kalau tidak bikin
Siu-bun tersungkur, tentu pula "Jiau-yao-hiat" ia tutuk balik.
Cuma sesudah percakapannya dengan Ui Yong itu, hatinya
sedang gembira, maka ia menddak tak enak merobohkan orang di hadapan orang
banyak, ia pikir jeIek2" Bu-si Hengte adalah anak murid paman dan bibinya.
Sebab itu, diam2 ia hanya jalankan darahnya secara
terbalik menurut ilmu ajaran Auwyang Hong.
Betul saja, ketika jari Siu-bun ditutukkan, meski Hiat-to
yang diarah sangat jitu, tetapi Nyo to anggap seperti tak terjadi apa2 saja.
Sekali kena, bukannya Nyo Ko roboh atau tertawa seperti
yang diharapkan, bahkan pemuda ini hanya tersenyum terus duduk kembali ke
tempatnya tadi. Keruan saja Bu Siu bun ter-heran2. terpaksa iapun kembali
kemejanya.
"Koko, kenapa ilmu ajaran Supek tidak manjur?"
demikian ia tanya saudaranya dengan suara tertahan.
"Apa? Tak manjur?" sahut Bu Tun-si bingung Lalu
Siu-bun menceritakan pengalamannya tadi
"Ah, tentu jarimu tak benar atau Hiat-to yang kau
arah menceng," ujar Tun-si.
"Menceng? Mana bisa, lihat nih," bantah
Siu-bun.
Berbareng ia angkat jarinya terus bergaya menutuk ke
pinggang sang kakak, baik gayanya mau pun tenaganya, semuanya tepat dan jitu,
sedikitpun tidak salah seperti apa yang diajarkan Supek mereka.
"Ha, tadinya aku kira It-yang-ci tentu permainan
yang amat lihay, huh agaknya juga tak berguna," terdengar Kwe Hu
mencemoohkan dengan mulut menjengkit.
Karena sindiran ini. Tun-si merasa penasaran mendadak ia
berdiri dan menuang dua cawan arak, iapun mendekati Nyo Ko.
"Nyo-toako, sudah lama kita tak bertemu kini bersua
kembali, sungguh harus dibuat girang, maka siaute juga ingin suguh kau
secawan," demikian ia kata.
Diam2 Nyo Ko tertawa geli, adiknya sudah ke bentur batu,
apa sang kakak juga ingin ketumbuk tembok?
Maka iapun tak menolak, dengan sumpit jepit dulu sepotong
daging dan tangan yang lain ia sambut arak suguhan orang sambil ucapkan terima
kasih.
Tun-si lebih kasar lagi dari pada sang adik, tanpa tedeng
aling2 lagi mendadak ia ulur tangan kanan dan secepat kilat menjojoh ke
pinggang Nyo Ko.
Sekali ini Nyo Ko tak perlu jalankan darahnya secara
terbalik lagi, dengan tenang saja ia luruskan tangannya yang memegang sumpit
itu, ia gunakan potongan daging sampi yang dia cepit tadi sebagai tameng di
pinggangnya yang diarah.
Saking cepatnya Nyo Ko bertindak, maka sama sekali Tun-si
tak berasa, ketika jarinya kena menjojoh, dengan tepat menembus potongan daging
sampi itu.
"Minum arak dengan jojoh daging sampi paling
enak," kata Nyo Ko tertawa sambil meletakkan sumpitnya.
Waktu Tun-si angkat tangannya, ia lihat daging sampi itu
masih mencantol di jarinya dengan air kuwah masih menetes, ia menjadi serba
salah, dibuang sayang, tak dibuang bikin malu saja, ia pelototi Nyo Ko dengan
gemas, lalu cepat2 kembali ke mejanya.
Melihat jari orang bertambah sepotong daging, Kwe Hu
menjadi heran.
"Apakah itu?" demikian ia tanya.
Tentu saja Tun-si merah jengah tak bisa menjawab.
Begitulah selagi pemuda ini serba salah kehilangan muka,
tiba2 terlihat seorang pengemis tua telah angkat cawan arak sambil berdiri.
Nyata pengemis tua ini bukan lain adalah Loh Yu-ka,
pangcu baru Kay-pang.
"Seperti saudara2 sudah mendengar tadi, Ang-lopangcu
telah mengirim perintah bahwa bangsa Mongol semakin nyata akan menjajah ke
selatan, maka para saudara diminta berjuang mati2an untuk melawan musuh,"
demikian ia angkat bicara sesudah ajak minum para kesatria. "Kini para
kesatria dari seluruh jagat hampir semua berkumpul di sini semua orang berhati
setia negara, maka kita harus merundingkan suatu daya-upaya untuk mencegah
penjajah bangsa asing itu, dan supaya peristiwa Ong-Khong (maksudnya kedua raja
Song yang ditawan negeri Kim) tak terulang lagi."
Karena beberapa patah kata ini, keadaan hadirin seketika
ramai lagi dan sama menyatakan akur.
Dalam pada itu terlihat seorang tua dengan jenggot putih
perak telah berdiri juga.
"Kata pribahasa, ular tanpa kepala tak bisa
berjalan, percuma saja kalau kita hanya ber-cita2 tinggi, tetapi tiada seorang
pemimpin yang bijaksana, tentu pekerjaan kita akan sia2," demikian ia
kata, suaranya lantang bagai genta, "Kini para kesatria berkumpul di sini,
harus kita angkat seorang yang bernama tinggi, seorang gagah yang dihormati
semua orang untuk menjadi pemimpin dan kita semua akan mendengar
perintahnya."
Seketika suara sorak-sorai riuh gemuruh lagi, segera pula
ada yang berteriak: "Baiklah, engkau orang tua saja yang menjadi
pemimpinnya !"
"Ya, tak perlu lagi angkat yang lain !" sambung
yang lain.
Tetapi orang tua itu bergelak tertawa.
"Haha, aku si tua bangka ini terhitung manusia macam
apa?" ,demikian katanya, "Selama ini di kalangan Kangouw mengakui
ilmu silat lima tokoh : Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay, Tiong-sin-thong
adalah yang paling tinggi Tiong-sin-thong Ong Tiong-yang sudah lama meninggal
Tang-sia dan Se-tok bukan orang golongan kita, sedang Lam-te jauh di negeri
Tay-li, dengan sendirinya ketua serikat ini kecuali Pak-kay Ang-locianpwe tiada
yang lebih sesuai lagi."
Memang Ang Chit-kong adalah jago utara yang tertinggi dan
betul2 memenuhi harapan semua orang, maka tepuk tangan segera gemuruh lagi
tanpa ada yang berlainan pendapat.
"Ya, Ang-locianpwe sudah pasti cocok untuk menjadi
Ketua serikat para kesatria ini, kecuali dia, siapa lagi yang bisa taklukkan
semua orang dengan ilmu silatnya dan melebihi orang Iain dengan budi
pekertinya?"
Demikian tiba2 di antara orang banyak itu ada seorang
lagi yang berteriak, meski suaranya sangat keras, tetapi waktu pandangan orang
diarahkan ke tempat datangnya suara, orangnya ternyata tidak kelihatan. Kitanya
orang itu adalah seorang cebol yang sangat pendek hingga tertutup oleh orang di
sekitarnya.
"Siapakah itu yang bicara ?" segera ada yang
bertanya.
Dengan cepat si cebol itu melompat ke atas meja, maka
tertampaklah perawakannya yang tingginya tiada satu meter, umurnya dekat
setengah abad, sebaliknya wajahnya bercahaya penuh semangat.
Sebenarnya banyak yang hendak tertawai si cebol ini,
tetapi demi nampak sinar matanya yang tajam, suara tertawa mereka telah
tertelan kembali mentah2.
"Cuma tindak-tanduk Ang-lopangcu sangat aneh, dalam
sepuluh tahun sukar untuk ketemu dia sekali kalau dia orang tua tak di tempat,
lalu jabatan Ketua serikat ini harus dipegang siapa?" demikian si cebol
itu berkata pula.
Betul juga pikir semua orang. "Scgala apa yang kita
perbuat kini seluruhnya adalah untuk membela tanah air, sedikitpun kita tak
punya kepentingan pribadi, maka kita harus angkat seorang Ketua muda, supaya
kalau Ang-lopangcu tidak ada, kita lantas tunduk pada wakilnya ini."
"Bagus, bagus !" demikian terdengar sorak-sorai
lagi dengan ramai. Lalu banyak lagi yang ber-teriak2 mengemukakan calonnya,
"Kwe Cing, Kwe-tayhiap saja!"
"Paling baik Loh-pangcu !"
"Liok-cengcu, tuan rumah ini saja!"
"Tidak, sebaiknya Ma-kaucu dari Coan-cin-kau!"
"Atau Pangcu dari Thi-cio-pang saja!" Begitulah
terdengar seruan yang simpang-siur, Selagi suasana rada kacau, tiba2 dari luar
ruangan kelihatan bayangan orang berkelebat, empat tojin telah lari masuk
dengan cepat, ternyata mereka adalah Hek Tay-thong, Sun Put-ti, Thio Ci-keng
dan In Ci-peng berempat.
Melihat mereka sudah pergi dan mendadak kembali lagi, Nyo
Ko menjadi heran, sebaliknya Kwe Cing dan Liok Khoan-eng girang luar biasa.
Lekas2 mereka meninggalkan meja dan menyambutnya.
"Ada musuh hendak mengacau ke sini, kami sengaja
datang memberi kabar, hendaklah kalian berlaku waspada dan ber-jaga2,"
demikian Hek Tay-thong bisiki Kwe Cing.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong dalam Coan-cin kau terhitung
jagoan kelas terkemuka, di kalangan Kangouw orang yang berilmu silat lebih
tinggi dari dia bisa dihitung dengan jari, kini cara mengucapkan berita itu
kedengarannya rada gemetar dan kuatir, maka Kwe Cing pikir tentu yang akan
datang ini pasti musuh tangguh adanya.
"Apa Auwyang Hong?" demikian Kwe Cing tanya
dengan suara rendah.
"Bukan, tetapi orang Mongol yang aku sendiri pernah
jatuh ditangannya itu," sahut Hek Tay-thong.
"Pangeran Hotu?" kata Kwe Cing dengan hati
lega.
Dan sebelum Hek Tay-thong buka suara lagi, mendadak di
luar terdengar suara tiupan tanduk yang ber-talu2, menyusul mana diselingi pula
oleh suara genta yang ter-putus2 nyaring.
"Sambut tetamu agung!" segera Liok Khoan-eng
berteriak.
Baru saja berhenti suaranya, tahu2 di depan ruangan
pendopo itu sudah berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam lagaknya,
ada yang tinggi besar, ada yang pendek kecil.
Para kesatria yang hadir ini sebenarnya lagi sorak-sorai
dalam pesta pora yang ria, kini mendadak nampak munculnya orang begitu banyak,
mereka rada heran, tetapi mereka sangka orang juga hendak menghadiri
Eng-hiong-yan ini, setelah melihat tiada kenalan di antara orang2 itu,
kemudianpun tak diperhatikan lebih jauh.
Berlainan dengan Kwe Cing yang sudah tinggi ilmu silatnya
dan tajam penglihatannya, segera ia tahu gelagat tidak sewajarnya.
"Jang datang ini terlalu keras, mereka tidak
mengandung maksud baik," demikian ia bisiki sang isteri Ui Yong.
Habis itu iapun berbangkit suami isteri mereka bersama
Liok Khoan-eng lantas menyambut keluar.
Kwe Cing mengenali orang yang bermuka cakap berdandan
sebagai putera bangsawan itu adalah Pengeran Hotu dari Mongol, sedang padri
yang berjubah merah dan berkopiah emas, mukanya kurus, adalah Ciangkau atau
ketua Bit-cong dari Tibet, Darba namanya.
Kedua orang ini dahulu sudah pernah dijumpainya di
Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san, meski mereka terhitung jago kelas satu,
tetapi ilmu silatnya masih lebih rendah dari pada dirinya, maka tak perlu
ditakuti.
Cuma di tengah2 kedua orang ini masih berdiri lagi
seorang padri Tibet yang juga tinggi kurus dan berjubah merah pula, kepalanya
gundul licin berminyak, ubun2 atau mercu kepala tampak dekuk ke dalam.
Melihat macamnya orang, Kwe Cing dan Ui Yong telah saling
pandang, pernah mereka dengar dari Ui Yok-su yang berbicara tentang ilmu silat
aneh kaum Lama sekte Bit-cong di Tibet bahwa kalau sudah terlatih sampai
tingkatan yang sangat tinggi, mercu kepala bisa sedikit dekuk ke dalam, kini
melihat ubun2 orang ini begitu dalam dekuk-nya, apa mungkin ilmu silatnya sudah
sampai tingkatan yang sukar diukur?
Tetapi di kalangan Kang-ouw kenapa selama ini hanya
terdengar Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, sebaliknya tak
pernah dengar bahwa di Tibet terdapat seorang jago seperti dia ini?
Karena itulah, mereka berdua diam2 berlaku waspada, lalu
mereka membungkuk memberi hormat sambil mengucapkan selamat datang dan
menyilakan duduk.
Segera Liok Khoan-eng memberi tanda perintah, para
centeng segera sibuk menyediakan meja baru dan daharan2.
Bu-si Hengte sudah biasa membantu bapak dan ibu guru
mereka mengurusi pekerjaan rumah tangga, Iebih2 Bu Siu-bun yang serba cepat dan
giat, maka kedua saudara Bu segera pimpin para centeng itu mengatur tempat dan
sediakan beberapa meja yang terhormat buat tamu agung, mereka pun minta maaf
pada tetamu yang duluan supaya suka menggeser sedikit tempat luang.
Dalam pada itu, melihat Nyo Ko ikut2 hadir dalam
perjamuan ini, dalam pandangan Kwe Hu rasanya kurang senang, "Hm, kau
terhitung Eng-hiong macam apa? Meski Enghiong seluruh jagat mati ludas juga
tidak bergilir pada dirimu?" demikian ia membatin. Habis ini ia kedipi Bu
Siu-bun sambil mulutnya merot2 ke jurusan Nyo Ko. Maka tahulah Siu-bun maksud
si gadis, segera Nyo Ko didekatinya,
"Nyo-toako, tempat ini hendaklah digeser
sedikit," demikian ia kata.
Habis ini, tanpa menunggu apa Nyo Ko bilang boleh atau
tidak, segera ia suruh centeng memindahkan mangkok sumpit si Nyo Ko ke suatu
tempat di pojok.
Tentu saja hati Nyo Ko terbakar, tetapi iapun tidak bicara,
melainkan diam2 ia tertawa dingin.
Sementara itu terdengar Pengeran Hotu telah buka suara.
"Suhu, ini kuperkenalkan engkau kepada dua Enghiong
dari Tionggoan yang namanya gilang-gemilang..."
Kwe Cing terkejut, pikirnya: "Oh, kiranya paderi
Tibet tinggi kurus ini adalah gurunya."
Dalam pada itu dilihatnya paderi Tibet itu sedang
manggut2, kedua matanya melek tidak meram tidak, pangeran Hotu lantas
menyambung lagi: "dan yang ini adalah Kwe Cing, Kwe-tayhiap yang pernah
menjadi Ceng-se-goanswe di negeri Mongol kita, Dan yang ini lagi adalah
Ui-pangcu."
Ketika mendengar Hotu menyebut
"Ceng-se-goanswe" mendadak paderi itu pentang kedua matanya hingga
menyorotkan sinar tajam, ia pandang beberapa saat pada Kwe Cing, habis itu
kelopak matanya menurun pula setengah menutup, sebaliknya terhadap Pangcu dari
Kay-pang ternyata sama sekali tak diperhatikannya.
"lni adalah guruku, orang Tibet menyebutnya Kim-lun
Hoat-ong dan oleh Hong-thayhou (ibusuri) negeri MongoI sekarang diangkat dengan
gelar Houkok Taysu," demikian Pangeran Hotu berkata lagi dengan suara
lantang, (Houkok Taysu = imam besar pelindung negara)
Karena kerasnya suara, seluruh hadirin dengan jelas dapat
mendengarnya hingga semua orang merasa heran dan saling pandang, kata mereka
dalam hati: "Baru saja kita berunding untuk melawan penjajahan Mongol ke
selatan, kenapa mendadak lantas datang seorang Koksu (iman negara) dari
Mongol?"
Kwe Cing sendiri karena memang kurang cerdas, maka
seketika ia menjadi bingung cara bagaimana harus melayani tetamu yang tak
diundang ini, tiada jalan lain ia hanya menuang arak dan mengajak minum pada
mereka seorang demi seorang sambil mengucapkan selamat datang dan kata2 kagum.
Setelah tiga keliling menyuguh arak, tiba2 Pangeran Hotu
berdiri, waktu kipas lempitnya ia pentang, tertampaklah pada kipasnya
terlukiskan setangkai bunga Bo-tan yang indah sekali.
"Kedatangan kami guru dan murid hari ini untuk
menghadiri Eng-hiong-yan ini walaupun dilakukan dengan muka tebal karena tidak
diundang, tetapi mengingat bisa berkumpul dengan para kesatria begini banyak,
terpaksa kamipun tak pikirkan lagi malu atau tidak," demikian ia bicara.
"Perjamuan demikian ini memang susah diadakan,
waktunya pun susah dicari, kini kebetulan kesatria dari seluruh jagat berkumpul
di sini, menurut pendapatku harus diangkat seorang Beng-cu (ketua serikat) dari
para kesatria untuk memimpin Bu-Iim dan menjadi kepala para orang gagah di bumi
ini, entah bagaimana pikiran kalian dengan pendapatku ini?"
"Usulmu memang tepat," seru si cebol tadi,
"Tadi kami baru saja angkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu dan kini sedang
pilih wakil ketuanya, bagaimana pendapat saudara tentang soal ini?"
"Ang Chit-kong sudah lama mati, kini pilih setan
sebagai Beng-cu, apa kau anggap kami ini setan juga?" sela Darba tiba2
sambil berdiri
Karena kata2nya ini, seketika para kesatria itu menjadi
gempar, lebih2 para anggota Kay-pang luar biasa gusarnya, mereka pada
ber-teriak2.
"Baikiah, jika Ang Chit-kong belum mati, sekarang
juga silakan dia tampil ke muka untuk bertemu," kata Darba pula.
Loh Yu-ka tak bisa kuasai dirinya lagi, sambil angkat
tinggi2 tongkat bambu "Pak-kau-pang", segera ia berdiri.
"Selamanya Ang-pangcu berkelana dengan tiada tentu
kediamannya, kau bilang mau bertemu dengan dia, apa kau anggap gampang permintaan
mu ini?" demikian debatnya.
"Hm," tiba2 Darba menjengek "Jangankan
mati-hidupnya Ang Chit-kong sekarang sukar diketahui, sekalipun dia berada di
sini sekarang juga dengan ilmu silatnya maupun namanya, apa bisa dia memadai
Suhuku Kim-Iun Hoat-ong?"
Hendaklah dengarkan para kesatria yang hadir ini, Beng-cu
pilihan Eng-hiong-yan hari ini, kecuali Kim-lun Hoat-ong tiada orang lain lagi
yang bisa menjabatnya."
Sampai di sini, para kesatria menjadi tahulah maksud
tujuan kedatangan orang2 ini, terang mereka mendapat tahu bahwa Eng-hiong-yan
ini bakal mengambil keputusan yang tidak menguntungkan pihak Mongol, maka
mereka sengaja datang mengacau dan ikut berebut kedudukan Beng-cu, jika dengan
ilmu silatnya Kim-lun Hoat-ong berhasil merebut kedudukan Beng-cu, meski para
orang gagah perkasa dari Tionggoan tak takluk pada perintahnya, namun
sedikitnya sudah melemahkan kekuatan bangsa Han, dalam perlawanannya terhadap
Mongol.
Dalam keadaan demikian, seketika mereka sama memandang Ui
Yong, mereka kenal kepandaian Ui Yong yang banyak tipu akalnya, mereka pikir
walaupun tetamu berpuluh orang ini setinggi langit ilmu silatnya, tetapi
menghadapi lawan ribuan orang yang hadir ini, tak peduli satu lawan satu
ataupun secara keroyokan, pasti pihak kita tak ikan terkalahkan Maka biarlah
dengarkan saja perintah Ui-pangcu serta menurut petunjuknya.
Melihat gelagatnya, Ui Yong sendiri sudah tahu utusan ini
sukar diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan, maka segera iapun mulai bicara.
"Para kesatria yang hadir di sini memang sudah
angkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu, sebaiknya Taysu (maksudnya Darba) ini
mendukung Kim-lun Hoat-ong sebagai calonnya, Kalau Ang-lopangcu ada di sini,
sebenarnya bisa saksikan beliau mengukur tenaga dengan Kim-lun Hoat-ong! tetapi
beliau justru pergi-datang tiada ketentuan tempatnya, pula tak menyangka bahwa
hari ini bakal kedatangan tamu agung hingga tak bisa menunggu di sini
sebelumnya, kelak kalau beliau tahu akan kejadian ini, pasti dia akan menyesal
tak terhingga.
Baiknya di antara Ang-lopangcu maupun Kim-lun Hoat-ong
masing2, sudah menurunkan anak murid. Nah, sekarang biarlah murid kedua belah
pihak saja yang mewakilkan guru mereka untuk bertanding?"
Sebagian besar para kesatria dari Tionggoan ini cukup
kenal kepandaiannya Kwe Cing yang maha tinggi, pula umurnya sedang kuat2nya,
jago2 tertinggi pada jaman ini agaknya tiada lagi yang bisa menangkan dia,
sekalipun Ang Chit-kong sendiri yang datang juga belum pasti bisa lebih kuat
dari pada Kwe Cing, kini kalau bertanding dengan murid Kim-lun Hoat-ong, maka
kemenangan sudah pasti dalam genggaman sendiri, tidak nanti bakal kalah, maka
seketika mereka sama berseru akur, hingga genteng rumah tergetar oleh suara
sorak gemuruh mereka.
Tetamu yang duduk di ruangan belakang ketika mendapat
kabar itu, ber-duyun2 membanjir keluar juga hingga seluruh ruangan pendopo
sampai keluar pintu penuh orang.
Karena pihaknya kalah suara, maka Kim-lun Hoat-ong
menjadi terdesak oleh suasana itu.
Pangeran Hotu sendiri sudah pernah saling gebrak dengan
Kwe Cing di Tiong-yang-kiong dahulu, ia insaf kepandaiannya masih dibawah
orang.
Begitu pula silat Suhengnya, Darba, juga sebaya dengan
dirinya, tidak peduli siapa diantara mereka yang maju pasti akan dikalahkan
Tetapi bila menolak usul Ui Yong itu, kedudukan Beng-cu terang tak bisa lagi
direbut. Karena itu, ia menjadi bingung tak berdaya.
"Baik, Hotu, kau boleh maju coba bertanding dengan
murid Ang Chit-kong," tiba2 Kim-Iun Hoat-ong berkata.
Ternyata paderi yang jauh tinggal di Tibet ini menyangka
muridnya, Pangeran Hotu pasti jarang ada tandingannya, paling banyak hanya
kalah terhadap Tang-sia, Se-tok dan lain jago angkatan tua saja, sama sekali
tak diketahuinya bahwa muridnya itu justru pernah terjungkal di bawah tangannya
Kwe Cing.
Karena perintah sang guru itu, mau-tak-mau pangeran Hotu
mengiakan, namun ia toh belum berdiri.
"Suhu," demikian ia berbisik, "murid Ang
Chit-kong itu terlalu hebat, Tecu mungkin sukar mengalahkan dia, jangan2 akan
bikin malu nama baik Suhu saja."
Karena penuturan ini, Kim-lun Hoat-ong rada kurang
senang.
"Hm, masakah murid orang itu kau tak bisa
mengalahkannya?" demikian jengeknya, "Lekas maju sana !"
Hotu betul2 serba salah, ia jadi menyesal juga, tadinya
tidak bilang terus terang pada sang guru tentang pengalamannya dahulu, ia menyangka
dengan kepandaian gurunya yang tiada tandingannya di kolong langit, menghadiri
perjamuan Eng-hiong-yan, kedudukan Beng-cu pasti akan direbutnya dengan mudah
saja, siapa tahu ia sendiri justru disuruh maju melawan Kwe Cing.
Begitulah, sedang ia ragu2, tiba2 seorang laki2 gemuk
dengan pakaian bangsa Mongol telah mendekatinya dan bisik2 beberapa kata di
telinganya, Karena kisikan ini, seketika Hotu menjadi girang, tiba2 ia berdiri,
ia pentang kipasnya dan meng-kipas-kipas.
"Selama ini kudengar Kay-pang memiliki semacam
kepandaian pusaka yang disebut Pak-kau-pang-hoat, bahwa ilmu itu adalah
kepandaian paling lihay yang menjadi kebanggaan Ang-Iopangcu," demikian ia
berkata dengan lantang. "Kini Siau-ong (pangeran yang rendah) yang tak
becus ini ingin gunakan sebuah kipas untuk mematahkannya. Kalau aku bisa
patahkan ilmu pusakanya itu, suatu tanda kemahiran Ang Chit-kong tidak lebih
hanya sebegitu saja !"
Waktu orang itu kisiki Hotu mula2 Ui Yong, tak
memperhatikan, tetapi mendadak orang menyinggung tentang Pak-kau-pang-hoat dan
hanya beberapa patah kata saja, Kwe Cing yang ilmu silatnya paling kuat di
pihak sendiri segera dikesampingkan, ia menjadi heran siapa yang kemukakan
tipu-daya itu.
Waktu ia menegas, maka tahulah dia, kiranya laki2 gemuk
itu bukan lain adalah Peng- tianglo, satu diantara empat Tianglo atau tertua,
dalam Kay-pang. Kini Peng-tianglo memihak Mongol hingga sudah tukar dandanan
bangsa Mongol puIa, hanya dia ini saja yang tahu bahwa Pa kau-pang-hoat tidak
pernah diturunkan kepada orang Iain kecuali Pangcu dari Kay-pang sendiri,
sedangkan Kwe Cing meski tinggi kepandaiannya, Pak-kau-pang-hoat ini ia justru
tak paham.
Kini Hotu singgung2 Pak-kau-pang-hoat, terang ia
menantang terhadap dirinya yang menjadi pangcu lama dan Loh Yu-ka yang menjadi
Pangcu baru, Loh Yu-ka belum lengkap mempelajari ilmu permainan pentung itu dan
belum dapat dipergunakan menghadapi musuh, dengan sendirinya ia sendirilah yang
harus maju.
Kwe Cing cukup tahu Pak-kau-pang-hoat sang isteri
tiadatandingannya di kolong langit ini, menduga dan yakin pasti bisa kalahkan
Hotu, cuma beberapa bulan paling akhir ini semangat sang isteri selalu lesu dan
tenaga kurang, kandungannya baru tumbuh, Se-kali2 tak-boleh bergebrak dengan
orang.
Karena itu, segera ia melangkah maju ke tengah.
"Pak-kau-pang-hoat Ang-lopangcu selamanya tak
sembarangan digunakan, baiknya kau belajar kenal saja dengan
Hang-liong-sip-pat-ciang ajaran beliau ini," segera ia menantang.
Melihat langkah Kwe Cing kuat bertenaga, diam2 Kim-Iun
Hoat-ong terkejut, meski matanya kelihatan meram tidak melek tidak "Orang
ini memang nyata bukan lawan lemah," demikian ia membatin.
Sementara itu Hotu telah bergelak ketawa.
"Haha, di Cong lam-san dahulu Siau-ong sudah pernah
berjumpa sekali denganmu, tatkala itu kau mengaku anak murid Ma Giok dan Khu
Ju-It, kenapa sekarang memalsukan diri sebagai muridnya Ang Chit-kong
lagi?" tegurnya pada Kwe Cing.
Dan sebelum orang menjawab, Hotu mendahului menyambung
lagi: "Ya, satu orang angkat beberapa guru juga lumrah Cuma hari ini
adalah gilran Kim-lun Hoat-ong bertanding dengan Ang Chit-kong, meski tinggi
ilmu silatmu, tapi kau dapat dari beberapa perguruan, rasanya sukar
memperlihatkan ilmu kepandaian sejati dari Ang-lopangcu."
Demikian debatnya panjang lebar dan beralasan juga, dasar
Kwe Cing memang tak pandai bicara, ia menjadi Iebih tergagap tak bisa menjawab,
sebaliknya para kesatria lain seketika menjadi ramai sambil ber-teriak2.
"Kalau berani, hayo, bertanding saja dengan
Kwe-tayhiap! Kalau tak berani boleh lekas kempit ekor dan enyah dari
sini!"
"Kwe-tayhiap adalah anak murid lurus Ang-lopangcu,
kalau dia tak bisa mewakilkan gurunya siapa lagi yang cocok mewakili ?"
"Kau boleh coba rasakan enak tidaknya
Hangliong-sip-pat-ciang, habis itu baru kau cicipi lagi Pak-kau-pang-hoat juga
belum terlambat!"
Begitulah teriakan mereka yang simpang-siur.
Namun pangeran Mongol itu tiba2 tertawa mengadah, waktu
ia tertawa diam2 ia kerahkan tenaga dalamnya hingga suara "hahaha"
yang kera2 lantang bikin genting rumah se-akan2 tergetar dan suara ribut para
kesatria itu sama terdesak tenggelam.
Tentu saja semut orang sangat terkejut sungguh mereka
tidak nyana dengan umur semuda orang dan berdandan sebagai bangsawan, ternyata
memiliki Lwekang begini lihay. Karena itu seketika mereka bungkam dan tenang
kembali.
"Suhu, agaknya kita telah kecewaan orang." kata
Hotu tiba2 pada Kim-lun Hoat-ong. "Tadinya "kita menyangka hari ini
benar2 diadakan Eng-hiong-yan, maka tanpa kenal capek datang dari jauh untuk
ikut serta, siapa tahu yang ada di sini tidak lebih hanya manusia2 yang tamak
hidup dan takut mati. Lebih baik kita lekas pergi saja, kalau sial sampai
menjadi Beng-cu manusia ini kelak diketahui oleh orang2 gagah di seluruh jagad
dan mentertawai kau sudi menjadi pemimpin kawanan "kantong nasi" ini,
bukankah cuma bikin noda nama baik engkau saja?"
Semua orang tahu Hotu sengaja memancing agar Ui Yong mau
tampil ke muka sendiri, cuma kata2nya yang terlalu menghina itu membikin semua
orang sangat marah. Tanpa pikir lagi, sekali geraki pentungnya, segera Loh
Yu-ka melangkah maju.
"Cayhe adalah Pangcu bara dari Kay-pang, Loh
Yu-ka," demikian ia perkenalkan diri, "Pak-kau-pang-hoat belum ada
1/10 bagian yang kupahami maka sesungguhnya belum mampu untuk di pergunakan
Tetapi kau berkeras ingin cicipi rasanya pentung, baiklah, biar kupentung kau
beberapa kali."
Sebenarnya ilmu silat Loh Yu-ka sangat bagus, tetapi
Pak-kau-pang-hoat atau ilmu pentung pemukul anjing biar lengkap dipelajarinya,
namun tidaknya sudah menambah tidak sedikit kekuatannya," kini dilihatnya
umur Hotu baru 30-an tahun, ia menduga orang sekalipun mendapatkan ajaran guru
kosen, belum tentu latihannya sudah cukup ulet, ditambah iapun tahu kesehatan
Ui Yong terganggu, tidak peduli kalah atau menang, tidak nanti Ui Yong disuruh maju
untuk menghadapi bahaya itu.
Di lain pihak Hotu hanya berharap tidak bergebrak dengan
Kwe Cing, orang lain boleh dikatakan tiada yang dia takuti karena itu, segera
ia sambut baik majunya Loh Yu-ka.
"Selamat, selamat, Loh-pangcu," demikian ia pun
memberi hormat.
Sementara itu centeng Liok-keh-ceng sudah menyingkirkan
meja2 hingga merupakan suatu kalangan pertandingan di tengah, mereka menambahi
lilin pula hingga keadaan terang benderang bagai siang hari.
"Silakanlah !" seru Hotu segera.
Berbareng itu tiba2 kipasnya mengebas, seketika angin
kipasnya menyamber ke muka Loh Yu-ka, di antara angin kipasnya ternyata,
membawa bau wangi.
Kuatir kalau angin itu membawa hawa beracun, lekas2 Loh
Yu-ka mengegos.
Namun Hotu cepat luar biasa, mendadak kipasnya dilempit
kembali hingga berwujud sebatang potlot peranti Tiam-hiat yang panjangnya 7-8
dim, terus ditutukannya ke iga lawan.
Tetapi tutukan ini ternyata tak dihiraukan Loh Yu-ka,
sebaliknya ia angkat pentung bambunya terus menyabet kaki orang.
Pak-kau-pang-hoat ini memang bagus luar biasa, arah yang
dituju juga sama sekali tak bisa diduga orang, maka ketika pangeran Hotu
melompat enteng hendak berkelit, tak terduga pentung bambu itu mendadak memutar
balik secepat kilat hingga betisnya kena tersabet, ia ter-huyung2 dan lekas2
melompat mundur, dengan begitu baru ia bisa berdiri tegak lagi.
Senang sekali para kesatria melihat Loh Yu-ka berhasil
hajar orang.
"Ha, anjingnya kena gebuk, tuh !"
"Nah, biar kau rasakan enaknya Pak-kau-pang-hoat
!"
Begitulah mereka bersorak memberi semangat pada Loh
Yu-ka.
Di lain pihak Hotu menjadi merah jengah karena kekalahan
itu, ketika dengan enteng ia membalik tubuh, cepat sekali ia balas hantam orang
dengan tangan kirinya.
Namun tahu2 Loh Yu-ka telah menendang habis itu
pentungnya menyamber kian kemari dengan perubahan2 yang sukar ditangkap.
"Nyata Pak-kau-pang-hoat memang bukan omong kosong
belaka !" diam2 Hotu terperanjat oleh ilmu permainan pentung itu.
Maka tak berani lagi ia pandang rendah lawannya, ia kumpulkan
seluruh semangat dan tempur orang sungguh2.
Betapapun juga memang belum masak betul Loh Yu-ka
mempelajari ilmu permainan pentung itu, beberapa kali dengan gampang saja
sebenarnya ia bisa jungkalkan lawan, tetapi karena kalah ulat hingga serangannva
gagal di tengah jalan.
Menyaksikan itu, diam2 Ui Yong dan Kwe Cing meraba
sayang,
Sesudah belasan jurus lagi, lambat laun kelemahan Loh
Yu-ka menjadi tertampak lebih terang, Meski Nyo Ko duduk di pojok ruangan itu,
tapi setiap gerak tipu orang dapat dilihatnya semua.
Kini nampak keadaan toh Yu-ka itu, diam2 ia ikut kuatir,
Untung pangeran Hotu kena dihajat betisnya pada permulaan ia menjadi jeri
terhadap, Pak-kau-pang-hoat yang aneh ini, maka tak berani ia terlalu mendesak
kalau tidak, sejak tadi Loh Yu-ka tentu sudah dirobohkan.
Melihat gelagatnya makin jelek, Ui Yong menjadi kuatir,
selagi ia hendak teriaki Loh Yu-ka undurkan diri mendadak Loh Yu-ka menggunakan
suatu tipu yang disebut "sia-ta-kau-pwe" "atau menggebuk
punggung anjing dari samping, begitu pentung bambu berkelebat, dengan sengit ia
hantam dan tepat kena pipi kiri Hotu.
Tentu saja pangeran Mongol itu malu tercampur sakit,
tanpa pikir ia pegang pentung orang, menyusul mana sebelah tangannya terus
menghantam, maka terdengarlah suara "bluk" yang keras, tepat dada Loh
Yu-ka kena dipukul sekali. Habis itu, sebelah kaki Hotu menyerampang pula,
segera terdengar lagi suara "krak", nyata tulang kaki Loh-Yu-ka telah
patah, darah segar menyembur pula dari mulutnya, orangnya terus terguling
roboh.
Dua anak murid Kay-pang berkantong delapan lekas2
menubruk maju untuk membangunkan Pangcu mereka.
Melihat cara turun tangan Hotu begitu keji, semua orang
merasa gusar sekali.
Sementara itu dengan memegang pentung bambu hijau
mengkilap yang baru dapat merampas itu, Pangeran Hotu tampak ber-seri2 saking
senangnya.
"Ha, Pak-kau-pang-hoat yang menjadi pusaka
kebanggaan Kay-pang ternyata tidak lebih hanya begini saja," demikian ia
menyindir.
Karena maksudnya ingin hina perkumpulan kaum jembel
pembela keadilan ini, segera ia pegang kedua ujung tongkat bambu itu, segera
penting bambu itu hendak ditekuk patah di hadapan orang banyak
Tak ia duga, se-konyong2 pandangannya menjadi silau,
tahu2 seorang wanita muda lemah lembut telah berdiri di hadapannya.
"Nanti dulu !" terdengar wanita itu berseru.
Nyata, ia bukan lain daripada Ui Yong adanya.
Nampak gerak tubuh orang begitu cepat. Hotu kaget.
"Kau..." demikian baru ia buka mulut mendadak Ui Yong ulur tangannya
dan kedua matanya hendak dicoloknya.
Lekas Hotu menangkis, karena itu dengan enteng pentung
bambu itu telah berpindah tangan direbut kembali Ui Yong.
Tipu gerakan yang dipakai Ui Yong ini disebut
"Kau-go-toat-theng" atau merebut tongkat dari mulut anjing, termasuk
satu di antara tipu Pak-kau-pang-hoat yang paling lihay, tipu ini bisa berubah
tanpa bisa diraba sebelumnya hingga betapa hebat lawannya pasti tak dapat
hindarkan diri.
Begitulah, diiringi suara sorak sorai para kesatria,
kemudian Ui Yong kembali ke tempatnya semula dan taruh tongkat bambu di sampingnya,
Hotu yang ditinggalkan sendirian terpaku di tengah kalangan dengan rasa kikuk
dan serba salah.
Sungguh, meski ilmu silatnya sudah terhitung-tingkat
tertinggi, tetapi dengan cara bagaimana sebenarnya Ui Yong dapat merebut
pentung bambu dari tangannya, hal ini bikin dia tetap bingung, ia pikir apakah
wanita ini bisa ilmu sihir.
Dalam pada itu suara orang menyindir mencemoohkan yang
riuh ramai, wajah gurunya lama kelamaan pun bersungut, sungguh gusar Hotu sukar
dikatakan.
Tetapi iapun seorang sangat cerdik, dengan suara keras
segera ia berseru: "Ui-pangcu, tongkat-mu itu sudah kukembalikan, sekarang
silakan maju lagi buat coba-coba."
Dengan kata2nya ini, betul saja ada orang menyangka tadi
bukannya Ui Yong yang merebut, tetapi Hotu yang kembalikan tongkat bambu itu
untuk minta bertanding secara teratur. Hanya beberapa orang yang sangat tinggi
kepandaiannya yang dapat melihat sebenarnya Ui Yong telah merebut pentung itu
dengan ilmu silat yang maha tinggi.
------------ Gambar ---------------
Sementara Kwe Cing dan lain2 berunding jago2 mana yang
akan mereka ajukan dalam pertandingan tiga babak, di sana Bu-si Hengte sudah
lolos pedang melabrak pangeran Hotu.
-------------------------------------
Di samping sana Kwe Hu menjadi dongkol mendengar kata2
Hotu itu, selamanya belum pernah gadis ini melihat seorang berani berlaku
kurangajar terhadap ibunya, maka tanpa pikir, dengan cepat pedangnya telah
dilolosnya.
"Hu-moay, biar aku gantikan kau maju," kata
Siu-bun tiba-tiba.
Tun-si juga berpikir sama, tanpa janji kedua saudara Bu
itu telah melompat ke tengah berbareng.
"lbu guruku adalah orang terhormat," demikian
kata yang satu, lalu yang lain menyambung: "mana sudi dia bergebrak dengan
manusia liar seperti kau ini ?"
Dan yang duluan segera sambung lagi: "Kau boleh coba
dulu ilmu kepandaian Siauya (tuan muda) ini!"
Melihat umur kedua saudara Bu ini meski muda, tetapi
gerak-geriknya tangkas dan kuat, tampaknya pernah mendapat ajaran guru pandai,
diam-diam Hotu berpikir: "Kedatangan kami hari ini memang bertujuan pamer
kepandaian untuk jatuhkan nama jago silat bangsa Han, kalau bisa bertarung
beberapa babak adalah lebih baik. Cuma mereka berjumlah lebih banyak, kalau
terjadi keroyokan pasti sukar untuk menang."
Karena pikiran itu, segera iapun berkatalah: "Para
Enghiong yang hadir, kedua anak bawang ini ingin bertanding dengan aku, jika
Siau-ong terima tantangannya, mungkin orang akan bilang aku orang tua akali
anak kecil, tetapi bila tak bertanding, rasanya seperti jeri terhadap dua bocah
saja, baiknya begini saja, kita janji dulu bertanding tiga babak, pihak mana
bisa menangkan dua babak, itu berarti menang dan memperoleh kedudukan Beng-cu.
pertandingan Siau-ong tadi dengan Loh-pangcu boleh tak usah dihitung, sekarang
juga kita mulai pertandingan yang baru, bagaimana pendapat kalian dengan usulku
ini ?"
Beberapa kata2 itu diucapkan dengan mengagulkan
kedudukannya dan menonjolkan pihaknya yang suka mengalah.
Maka Kwe Cing dan Ui Yong lantas bisik2 berunding dengan
para tetamunya, mereka mengusulkan Kwe Cing, Hek Tay-thong dan si Su-seng,
sastrawan murid It-teng Taysu itu sebagai tiga jago mereka, si Su-seng maju
dalam babak pertama melawan Hotu, Hek Tay-thong babak kedua menempur Darba dan
Kwe Cing terakhir menandingi Kim-lun Hoat-ong.
Dengan barisan jago mereka ini apa pasti menang atau
tidak, sesungguhnya merekapun belum yakin, jika ilmu silat Kim-lun Hoat-ong
benar2 tinggi luar biasa hingga Kwe Cing tak mampu menandingi boleh jadi tiga
babak akan kalah semua, hal ini benar2 suatu kekalahan yang mengenaskan."
Karena itu semua orang menjadi ragu2 tak berani ambil
keputusan.
"Aku ada suatu akal dan pasti akan menang."
tiba2 Ui Yong berkata.
Girang sekali Kwe Cing, selagi ia mau tanya, tiba2
didengarnya angin senjata sudah samber menyamber, ia lihat Bu-si Hengte dengan
pedang mereka sudah mulai menempur Hotu dengan serunya.
Kwe Cing, Ui Yong dan si Su-seng murid It-teng Taysu
merasa kuatir atas keselamatan murid mereka, mau-tak-mau mereka mengikuti
pertandingan seru itu dengan penuh perhatian.
Kiranya setelah mendengar Hotu menghina mereka sebagai
bocah vang masih ingusan, Bn-si Hengte menjadi tidak kepalang murkanya, lebih2
karena kata2 itu diucapkan di hadapan "si dia", bukankah hal itu
membikin mereka sangat malu? Maka tanpa pikir lagi segera mereka lolos pedang
terus merangsang maju.
Nyata mereka sangka ilmu silat Hotu tidak seberapa
lihaynya, buktinya dengan gampang saja ibu gurunya telah dapat merebut tongkat
bambu dari tangannya, mereka pikir meski Loh Yu-ka kena dikalahkan olehnya, hal
ini mungkin ilmu silat Loh Yu-ka yang tak berguna, mereka juga mengunggulkan
sudah mendapatkan pelajaran silat dari Kwe Cing, seorang diri mungkin bukan
tandingannya, tetapi kalau dua orang maju bersama, se-kali2 tidak terkalahkan.
Siapa tahu, baru beberapa jurus saja, kedua pedang mereka
sudah terkurung oleh kipasnya Hotu hingga tak bisa berkutik
Hotu sengaja pamerkan kepandaiannya di depan orang banyak
ia tunggu waktu Bu Siu-bun menusuk, tiba2 jari telunjuk kirinya menahan batang
pedang orang ke atas, berbareng itu kipasnya mendadak diayun dari samping dan
menghantam pedang orang, maka terdengarlah suara nyaring sekali, tahu2 pedang
panjang itu patah menjadi dua.
Kaget sekali Bu-si Hengte, lekas2 Siu-bun melompat pergi,
sebaliknya Tun-si kuatir adiknya di lukai, dari belakang segera ia tusuk
punggung orang untuk memaksa musuh tak sempat mengejar
Diluar dugaannya, tipu serangannya ini sudah
diperhitungkan Motu sebelumnya, tanpa berpaling sedikitpun, kipas lempitnya
tahu2 diputar ke belakang, dengan tepat sekali pedang Tun-si kena terkacip,
berbareng itupun Hotu puntir dengan jarinya.
Kalau Tun-si memutar mengikuti puntiran kipas Hotu maka
tulang pundaknya sudah pasti akan keseleo, Karena itu terpaksa ia lepaskan
pedang dan melompat ke belakang, Maka tertampak-lah pedangnya mencelat ke udara
sembari mengeluarkan sinar yang gemilapan untuk kemudian baru jatuh kembali.
Terkejut sekali Bu-si Hengte tercampur gusar, Tun-si
siapkan telapak tangan kiri di depan dan pasang kuda2 gaya Hang-liong-sip
ciang, sebaliknya Siu-bun meluruskan tangan kanan ke bawah dengan jari telunjuk
menjengkit sedikit, ia menunggu bila musuh berani merangsang maju segera akan
dilayaninya dengan It-yang-ci.
Melihat kuda2 kedua pemuda yang kukuh, agaknya Hotu tak
berani juga memandang ringan ia pikir kemenangannya sudah cukup, lebih baik
disudahi saja untuk menjaga segala kemungkinan.
Hendaklah diketahui bahwa Hang-liong-sip-pat-ciang (18
jurus ilmu pukulan penakluk naga) ajaran Ang Chit-kong dan It-yang-ci (ilmu
jari betara surya) ajaran It-teng Taysu yang berjuluk Lam-tie atau raja dari
selatan itu, kedua ilmu itu terhitung ilmu kelas wahid dalam dunia silat, meski
latihan Bu-si Hengte masih cetek, tetapi kuda2 yang mereka pasang sudah begitu
kuat untuk orang biasa mungkin tak mengetahui di mana letak kelihayannya,
tetapi bagi Hotu tergolong ahli, diinsafinya tidak mudah untuk mengalahkannya.
"Hahaha," demikian ia bergelak ketawa,
"kalian berdua silakan kembali saja, kita hanya tentukan unggul dan asor
sampai di sini, tetapi tidak perlu adu jiwa !"
Nyata lagu suaranya sudah banyak lebih halus daripada
tadi.
Bu-si Hengte juga insaf bila menempur orang dengan tangan
kosong, kekalahan mereka pasti akan lebih menyedihkan, maka dengan muka merah
terpaksa mereka undurkan diri dengan lesu, mereka menyingkir ke samping, tetapi
tidak berdiri di se-keliling Kwe Hu lagi.
"Bu-keh Koko, mari kita bertiga tempur dia
lagi," mendadak Kwe Hu berteriak sambil mendekat mereka.
Semua orang jadi ketarik oleh teriakan si gadis, sedang
Kwe Hu dengan cepat sudah lolos pedangnya.
"Hu-ji, jangan sembrono !" lekas2 Kwe Cing
membentak.
Memang Kwe Hu paling takut pada sang ayah, terpaksa ia
mundur kembali sambil pelototi Hotu dengan marah.
Melihat rupa si gadis yang cantik molek, dengan tersenyum
Hotu memanggut. Tetapi sekali lagi Kwe Hu pelototi orang, habis ini ia
berpaling dan tak menggubrismu.
Tadinya Bu-si Hengte kuatir ditertawai Kwe Hu karena
kekalahan mereka, kini melihat si gadis membela mereka dengan sesungguh hati,
suatu tanda hati si gadis menaruh simpatik juga pada mereka, tentu saja mereka
sangat terhibur.
"Pertandingan tadi dengan sendirinya tak terhitung
juga," sementara Hotu membuka suara lagi sambil pentang kipasnya,
"Kwe-tayhiap, pihak kami adalah guruku, suhengku dan Cayhe sendiri bertiga
ilmu silatku paling rendah, maka babak pertama juga aku yang maju dahulu, dari
pihakmu siapakah yang sudi turun kalangan memberi petunjuk sedikit padaku? Cuma
harus diingat, siapa yang bakal menang atau kalah, sekarang bukan main2
lagi."
Karena tadi mendengar Ui Yong bilang "ada akal"
yang pasti akan menang, Kwe Cing yakin sang isteri yang pintar cerdik dan
banyak akal, walau pun benar, diketahui apa tipu daya yang hendak di aturnya,
namun dalam hati ia sudah tak takluk:
"Baik," segera iapun menjawab tantangan-orang,
"kita lantas tentukan unggul dan asor dalam tiga babak, pihak mana yang
kalah, selanjutnya harus tunduk pada perintah Beng-cu, se-kali2 tak boleh
menolak."
Hotu tahu ilmu silat yang paling tinggi di pihak lawan
adalah Kwe Cing, tetapi gurunya yakin bisa menangkannya. Ada lagi Ui Yong, mesl
tadi gunakan tipu aneh merebut tongkat dari tangannya, tetapi melihat gaya
orang yang lemah lembut, kalau betul2 saling gebrak, belum tentu akan begitu
lihay, sedang yang lain2 sama sekali tak terpikir olehnya.
"Baiklah, apa para hadirin yang lam ada usul pula,
silakan berkata lekas," begitulah ia menanya sembari matanya memandang
sekeliling ruangan "Dan nanti kalau unggul atau asor sudah diputuskan,
hendaklah kalian juga tunduk pada perintah Beng-cu."
Sebenarnya banyak kesatria2 yang hendak menjawab
tantangannya, tetapi menyaksikan Loh Yu-ka dan Bu-si Hengte dikalahkan dia
secara gampang saja, agaknya kepandaiannya juga belum dikeluarkan semua hingga
tak diketahui masih berapa banyak ilmu silatnya yang tersimpan, maka seorangpun
segan buka mulut, mereka hanya memandang Kwe Cing dan Ui Yong dan pasrah saja
kepada suami isteri ini.
"Kau bilang mau maju pada bahak pertama, lalu
suhengmu babak kedua dan akhirnya gurumu babak ketiga, apakah acara ini sudah pasti
dan tak digeser lagi bukan?" tiba2 Ui Yong menanya.
"Ya, betul." sahut Hotu.
"Kemenangan pasti berada pada kita sudah," kata
Ui Yong, tetapi bukan kepada Hotu melainkan membisiki orang2 yang berada
disampingnya.
"Tipu akal apakah yang kau atur?" tanya Kwe
Cing bingung.
"Jangan kuatir," sahut Ui Yong pelahan.
"Kita pasang kuda rendahan untuk menandingi kuda bagus mereka..."
berkata sampai disini, tiba2 Ui Yong pandang si Su-seng dari Tay-li, karena
itu, dengan tersenyum Su-seng itu menyambung dengan pelahan: "dengan kuda
bagus kita menandingi kuda tengahannya dan dengan kuda tengahan kita menandingi
kuda jeleknya. jika tiga babak berakhir maka tanpa susah2 Dian Ki- mendapatkan
hadiah seribu emas dari raja."
Kwe Cing tak pandai dalam hal kesusastraan, ia menjadi
bingung entah apa yang mereka maksudkan.
Melihat sang suami masih belum paham, segera Ui Yong
membisikinya: "Cing-koko, kau pandai dalam ilmu militer, kenapa kau
melupakan tipu akal bagus dari kakek-moyang ilmu militer Sun-cu?"
Karena peringatan ini barulah Kwe Cing ingat pada kitab
militer yang dahulu pernah dibacanya, dimana Ui Yong pernah ceritakan suatu
kisah padanya bahwa di jaman Cian-kok, panglima dari negeri Ce, Dian Ki,
berlomba kuda dengan raja Ce sendiri dengan taruhan seribu tail emas. Untuk ini
Sun-cu telah ajarkan suatu akal yang pasti menang pada Dian Ki, yakni gunakan
kuda paling jelek buat lawan kuda terpilih raja Ce, sebaliknya gunakan kuda
pilihan sendiri untuk melawan kuda terjelek lawan dan kuda cukupan buat
menandingi kuda jelek sang raja, dengan demikian hasilnya yalah menang 2 kalah
l, maka hadiah 1000 tahil emas telah digondol Dian Ki.
Kini maksud Ui Yong juga mencontoh siasat Sun-cu itu.
"Cu-suheng, dengan ilmu kepandaianmu It-yang-ci,
untuk mengalahkan pangeran Mongol ini tentunya tidak sulit," demikian kata
Ui Yong.
Su-seng dari negeri Tay-li itu she Cu bernama Cu-liu,
dahulu ilmu sastranya menjagoi negerinya dan terpilih sebagai Conggoan (suatu
gelar kebesaran dlm ujian kestssasteraan tertinggi di hadapan raja dan pernah
juga menjabat sebagai Caysiang (perdana menteri negeri Tayli daerah Hunlam),
dengan sendirinya kepintarannya dan kecerdasannya melebihi orang biasa.
Waktu mula2 ia masuk perguruan It-teng Taysu (yang
tadinya adalah Sri Bagindanya), diantara empat saudara seperguruan
ber-turut2" direbut "Hi-Jiau-Keng-Tok" atau si Nelayan, si
Tukang Kayu, si Petani dan si Sastrawam jadi ilmu silatnya terhitung paling
rendah. Akan tetapi sepuluh tahun kemudian ia sudah menanjak sebagai orang
kedua diantara empat saudara perguruan itu, Dan kini, ilmu silatnya malah sudah
jauh di atas sesama saudara seperguruan yang lain.
Lebih2 ilmu It-yang-ci boleh dikatakan sudah mewariskan
seluruh kemahiran It-teng Taysu, Diambil secara rata2 ilmu silatnya meski belum
setingkat dengan Kwe Cing, tetapi sudah jauh melebihi jago segolongan Ong
Ju-it, Hek Tay-thong, Loh Yu-ka dan lain2.
Begitulah, maka demi mendengar kata2 sang isteri, Kwe
Cing yang selamanya berpikir sederhana dan bicara terus terang, segera ia
menyambung ucapan Ui Yong tadi: "Ya, Cu-suheng pasti bisa menangkan orang
Mongol ini, akupun dapat mengalahkan padri Tibet Darba itu, tetapi Hek-susiok
yang harus melawan Kim-lun Hoat-ong, inilah yang terlalu berbahaya, meski
kalah-menang tidak banyak hubungannya lagi dengan keadaan seluruhnya, tetapi
dikuatirkan musuh terlalu keji hingga Hek-susiok sukar melawannya."
Namun Hek Tay-thung adalah seorang berjiwa besar, ia tahu
pertandingan ini berhubungan dengan soal nasib negara, berbeda sama sekali dari
pada perebutan nama dan keuntungan diri sendiri seperiti umumnya terjadi di
kalangan Bu-lim, kalau pertandingan ini sampai dimenangkan imam negara MongoI,
hal ini bukan saja dunia persilatan bangsa Han kehilangan muka, bahkan susah
juga untuk bersatu padu buat melawan musuh dan membela nasib negara.
Karena itu, dengan keras segera iapun berkata. "Soal
diriku tak perlu dikuatirkan, asal bermanfaat bagi negara. sekalipun aku harus
mati di tangan musuh tidaklah menjadikan pikiranku."
"Soal itu jangan kuatir," kata Ui Yong,
"Bila dalam pertandingan tiga babak kita sudah menangkan dua babak, maka
babak ketiga dengan sendirinya tak perlu dilangsungkan lagi."
Kwe Cing menjadi girang oleh penjelasan ini, berulang
kali ia menyatakan benar.
"Jika begitu tugas Cayhe nyata tidak ringan kalau
tidak bisa menangkan pangeran Mongol itu tentu bakal dicaci maki oleh kesatria
seluruh jagat buat selamanya," kata Cu Cu-liu dengan tertawa.
"Jangan kau merendah diri, silakan majulah,"
ujar Ui Yong.
Lalu Cu Cu-liu majulah ke tengah, ia kiong-chiu memberi
salam kepada Hotu lebih dulu.
"Babak pertama, biarlah aku yang belajar kenal
dengan Tianhe (Putera Pengeran)" demikian ia berkata, "Aku she Cu
bernama Cu-iiu. asal orang Kimbeng, Hunlam, murid It-teng Taysu, hidupku paling
suka bersyair dan membaca, maka soal ilmu silat banyak yang- terlantar, hal ini
hendaklah Tianhe suka banyak memberi petunjuk."
Habis berkata, ia membungkuk memberi hormat pula, lalu
dari bajunya ia keluarkan sebatang pit, ia menggores2 beberapa kali di udara,
lagaknya tepat sekali sebagai seorang terpelajar.
"Semakin aneh orangnya, semakin tinggi
kepandaiannya. agaknya tidak boleh pandang enteng padanya," demikian pikir
Hotu: Karena itu, iapun balas memberi hormat dan membuka suara: "Siau-ong
minta belajar sedikit pada Cianpwe, silakan keluarkan senjata saja !"
"Mongol adalah negeri yang masih biadab dan belum
mendapat ajaran Nabi, kalau Tiante minta belajar, sudah tentu akan kuberi
petunjuk seperlunya," sahut Cu-liu.
Mendongkol sekali hati Hotu oleh kata2 orang yang
menghina negerinya.
"Baiklah, dan ini adalah senjataku, kau memakai
golok atau pedang ?" tantangnya segera sembari kebas-kebas kipasnya.
Cu-liu tidak lantas menjawab, ia angkat dulu pit-nya dan
menulis di udara satu huruf "pit", lalu dengan tertawa ia menyahut:
"Selama hidupku selalu berdampingan dengan batang pit, senjata apa yang
bisa kugunakan?"
Waktu Hotu menegasi, ia lihat alat tulis orang memang
benar2 sebatang pit yang terbuat dari garan bambu dengan ujung bulu kambing,
pada bagian ujung bulu masih berlepotan tinta bak pula, sama sekali berlainan
dengan Boan-koan-pit atau potlot jaksa yang terbikin dari baja yang biasa
digunakan untuk Tiam-hiat oleh jago silat
Dan karena merasa heran, selagi ia hendak menanya,
mendadak matanya terbeliak, tahu2 dan depan dilihatnya berjalan masuk seorang
gadis berbaju putih.
Setelah masuk gadis itu berdiri di depan pintu, sinar matanya
mengerling pelahan pada setiap orang, agaknya ada seseorang yang sedang
di-carinya.
Waktu itu sebenarnya pandangan semua orang lagi
dicurahkan pada Cu-liu dan Hotu yang hampir saling gebrak itu, tetapi begitu si
gadis baju putih itu masuk, tanpa tertahan sinar mata semua orang beralih
kepadanya, wajah gadis itu kelihatan putih lesi seperti orang habis sakit,
dibawah sinar lilir yang terang benderang, wajahnya sedikitpun tiada warna
darah, namun hal ini semakin menunjukkan kehalusan si gadis yang lain dari pada
yang lain, wajahnya pun cantik luar biasa.
Biasanya orang suka menggunakan kata2 "secantik
bidadari" sebagai bahasa hiasan untuk wanita cantik tetapi betapa
cantiknya bidadari sebenarnya, siapapun tiada yang tahu. Kini demi nampak si
gadis, tanpa terasa dalam hati semua orang lantas timbul kesan seperti apa yang
dikatakan ""secantik bidadari" itu.
Dalam pada itu, demi nampak si gadis baju putih itu,
girang Nyo Ko bukan buatan, dadanya se-akan2 mendadak dipukul sekali dengan
palu, bagaikan orang gila saja ia melompat keluar dari pojok ruangan itu terus
merangkul erat2 gadis itu.
"Kokoh! Kokoh! O! Kokoh!" demikian ia
berteriak-teriak.
Kiranya gadis ini memang betul Siao-Iiong-li adanya.
Setelah meninggalkan Nyo Ko di gunung Cong-lam-san, seorang
diri ia telah kembali ke kamar batu dalam kuburan kuno itu dengan selulup lagi
melalui lorong di bawah sungai itu.
Dahulu waktu ia masih tinggal dalam kuburan itu bersama
Sun-popoh, hatinya waktu itu boleh dikatakan setenang air berhenti, sedikitpun
tak berbuat tetapi sejak bertemu Nyo Ko dan sesudah mengalami banyak rintangan,
hendak kembali lagi kepada ketentraman batinnya yang dulu itu ternyata sudah
tidak mungkin lagi Asai dia berlatih di atas ranjang batu pualam, segera ia
ingat Nyo Ko pernah tidur juga diatas ranjang itu, bila ia sedang makan
menyanding meja, segera ia ingat pula si Nyo Ko selalu mendampinginya makan.
Karena itulah, ia menjadi uring2an sendiri, tidak
seberapa lama ia berlatih, segera ia merasa hatinya menjadi gelisah dan sukar
melatih diri lagi.
Keadaan begitu dapat dilewatkan sebulan, akhirnya ia tak
tahan lagi, ia ambil keputusan buat pergi mencari Nyo Ko, kalau ketemu, cara
bagaimana ia akan hadapi pemuda itu, hal ini ia sendiripun tidak tahu.
Setelah turun gunung, ia melihat segalanya serba baru
baginya, sudah tentu ia tak kenal jalan pula, apalagi ke mana harus mencari si
Nyo Ko? Dan karena kurang pergaulan, iapun tidak kenal tata-krama segala, siapa
yang dia ketemukan segera ia tanya: "Kau melihat Nyo Ko tidak?"
Bila perutnya lapar, ia ambil saja milik orang dan
dimakan, ia tidak kenal apa harus membayar atau tidak. karena itu tidak sedikit
keonaran dan lelucon yang terjadi sepanjang perjaIanannya. Baiknya semua orang
melihat rupanya begitu cantik molek, siapa saja suka mengalah padanya dan tidak
menarik panjang persoalannya.
Suatu hari, tanpa sengaja di dalam hoteI ia mendengar
percakapan dua lelaki bahwa para kesatria dari seluruh jagat hendak pergi
menghadiri Eng-hiong-yan di Liok-keh-ceng, ia menduga boleh jadi Nyo Ko berada
di sana juga, maka sesudah menanya arah jalannya iapun berangkatlah menuju
Liok-keh-ceng.
Diantara para kesatria yang hadir itu, kecuali Hek
Tay-thong, In Ci-peng dan Thio Ci-keng bertiga, tiada orang lain lagi yang
mengetahui dari mana asal usulnya Slao liong-li, cuma melihat kecantikannya
sungguh luar biasa, dalam hati mereka timbul kesan yang aneh.
Dalam pada itu demi kenali Siao-liong-li, muka In Ci-peng
mendadak menjadi pucat bagai mayat, tubuhnya pun gemetar, sebaliknya Ci-keng
me-lirik2 sang Sute sambil tertawa dingin.
Kwe Cing dan Ui Yong juga rada heran.
"Ko-ji, nyata kau memang berada di sini, sungguh
susah payah aku mencari kau," demikian kata Siao-liong-li.
Saking terharunya, Nyo Ko mengalirkan air mata.
"Kau... kau tak akan meninggalkan aku lagi
bukan?" tanyanya dengan terguguk-guguk.
"ltulah aku tak tahu," sahut Siao-liong-li
sambil geleng kepala.
"Kemana kau pergi, ke sana juga aku ikut kau,"
kata Nyo Ko pasti.
Begitulah, meski dalam ruangan pendopo itu ber-jubel2
dengan tetamu yang ribuan jumlahnya, tetapi kedua muda-mudi itu se-akan2 berada
berduaan saja dan ber-cakap2 dengan seenaknya. Siao-liong-li memegangi tangan
Nyo Ko, hatinya entah lagi suka atau duka waktu itu.
Melihat Siao-liong-ii yang menggiurkan, meski Hotu terguncang
juga hatinya, tetapi ia tidak tahu gadis ini bukan lain adalah orang yang
dahulu pernah dilamarnya ke Cong-lam-san itu, ia lihat pakaian Nyo Ko
compang-camping berbau busuk, tetapi sikapnya begitu kasih sayang pada si
gadis, tanpa terasa timbul rasa cemburunya dan dongkoI pula.
"Hai, kami hendak adu kepandaian, kalian hendaklah
menyingkir dahulu," demikian ia lantas berseru.
Tak sempat lagi Nyo Ko menjawab, iapun tidak banyak
cingcong, ia gandeng tangan Siao-liong-li dan diajaknya duduk di samping kalangan
untuk menceritakan pengalaman masing2 sesudah berpisah selama ini.
Nampak orang sudah minggir, lalu Hotu berpaling dan
berkata lagi pada Cu Cu-liu: "Baiklah, jika kau tak pakai senjata, boleh
juga kita bertanding dengan tangan kosong."
"Bukan begitu maksudku," sahut Cu-liu se-akan2
sedang bersanjak. "Negeri Tionghoa kami adalah negeri bermartabat tinggi
dan berlainan dengan negeri Mongol yang masih liar, laki2 sejati hanya bicara
secara halus, pertemuan antara sobat cukup dengan pakai pit, kini milikku hanya
pit saja, buat apa harus pakai senjata?"
"Kalau begitu, awas, serangan!" kata Hotu
mendadak, kipasnya terpentang, segera ia menyabet ke depan.
Lekas2 Cu-liu melangkah ke samping sambil geleng2 kepala,
sedang tangan kiri mendadak meraba ke depan dengan tangan kanan yang memegang
pit terus mencoret ke muka Pangeran Hotu.
Melihat gerak-gerik orang enteng gesit, tipu serangannya
aneh, Hotu tak berani main merangsang, ia ingin pahami dulu cara bersilat orang
barulah mengambil siasat perlawanannya.
"Awas, Tianhe, pit-ku ini biasanya menjapu bersih
beribu perajurit!" kata Cu-liu tertawa, berbareng itu ujung pit-nya lantas
menutul lagi ke depan.
Ilmu silat Hotu meski dipelajari di daerah Tibet, tetapi
gurunya, yaitu Kim-lun Hoat-ong luas sekali pengalamannya, setiap cabang,
setiap aliran persilatan di daerah Tionggoan tiada yang tak dipahaminya, dan
karena mulai belajar Hotu sudah ber-cita2 mau tonjolkan nama besarnya ke daerah
Tionggoan, maka Kim-lun Hoat-ong pernah memberikan perincian semua tipu2
serangan lihay dari berbagai cabang dan aliran silat pada muridnya ini.
Tak terduga Cu-liu pakai senjata aneh, tipu serangannya
juga lain dari yang lain, gerak-geriknya bebas, ujung pit-nya menggores ke sana
dan mencoret ke sini di udara, tampaknya seperti lagi menulis saja, tetapi
tempat dimana ujung pit-nya mengarah justru adalah Hiat-to atau jalan darah
berbahaya di tubuh lawan.
Kiranya Cu Cu-liu ini adalah ahli seni-tulis (disamping
seni-lukis, di Tiongkok dikenal juga seni-tulis, yakni mengutamakan tulisan
bagus dengan gaya tersendiri yang indah dan bertenaga, ada yang disebut
"Cau-su", yakni tulisan yang mendekati "coretan" secara
bebas dan ada lagi yang disebut "thay-su" yang ditulis secara lugu
dan orisinil) di daerah selatan, meski ia belajar silat, tetapi ilmu sastranya
tak pernah dikesampingkan semakin tinggi ilmu silatnya. akhirnya ia malah
menciptakan sendiri semacam kepandaian yang dia lebur antara It-yang-ci dengan
seni-tulisnya. Karena itu, kalau lawannya tidak cukup punya dasar ilmu sastra,
sungguh susah hendak melawan ilmu silatnya yang aneh ini.
Baiknya Pengeran Hotu suka berlagak terpelajar sejak
kecil iapun pernah bersekolah dengan guru sastra bangsa Han, karena itu ia
masih bisa menahan serangan Cu-liu, ia lihat diantara gaya tulisan orang
terseling pula gaya menutuk dan di antara menutuk bergaya pula menuIis,
sehingga diantara kegagahannya tercampur juga gaya lembutnya orang terpelajar.
Kwe Cing tidak paham ilmu sastra, dengan sendirinya ia
ter-heran2 oleh permainan silat itu. sebaliknya Ui Yong keturunan keluarga
cendekia-wan, baik silat maupun surat lengkap dipelajari semua, kini dilihatnya
ilmu silat Cu-liu yang aneh tetapi hebat ini, ia menjadi kagum tak terhingga.
Dalam pada itu, Kwe Hu yang ikut saksikan pertarungan itu
agaknya merasa bingung, ia mendekati sang ibu dan menanya: "Mak, ia
corat-coret dengan pit-nya kian-kemari, permainan apakah ini?"
Karena seluruh perhatiannya lagi dicurahkan ke kalangan
pertempuran, maka sekenanya Ui Yong menjawab : "Pang-hian-ling-pi."
"Pang-hian-ling-pi apakah itu?" tanya lagi Kwe
liu semakin bingung.
Tetapi Ui Yong lagi terpesona oleh pertarungan itu maka
tak dijawabnya pertanyaan Kwe Hu.
Kiranya "Pang-hian-ling-pi" adalah suatu judul
karangan yang ditulis pada suatu pilar oleh pembesar ahala Tong yang bernama di
Sui-liong, tulisan itu dilakukan dengan gaya "Khay-su" yang amat
bagusnya.
Dan sekarang Cu-liu telah mencemooh karangan itu dengan
menulisnya pakai "It-yang-su" atau tulisan dengan It-yang-ci, ia
gunakan ujung pit sebagai gantinya jari, maka setiap coretan, setiap goresan,
dilakukan dengan menurut aturan dan mirip sekali seperti lagi menitis secara
"Khay-su".
Meski Hotu tak kenal lihaynya It-yang-ci, tetapi
sedikitnya ia masih paham setiap huruf dalam karangan "Pang-hian-ling-pi",
maka sebelum alat tulis orang bergerak, ia sudah bisa menduga ke mana goresan
dan coretan hendak dilakukan, dengan begitu ia bisa menjaga diri secara rapat
dan belum tertampak tanda2 bakal kalah.
"Bagus!" seru Cu-liu demi nampak kepandaian
Hotu memang tinggi "Dan sekarang datanglah "Chau-su", awas
sedikit!"
Habis ini mendadak ia copot kopiahnya terus dilempar ke
lantai, lalu iapun berlari cepat ke sana kemari hingga lengan bajunya yang
besar lebat ikut beterbangan, tipu2 serangan yang dilontarkan juga secara bebas
di luar aturan.
Karena itu, tampaknya ia menjadi seperti orang linglung,
seperti orang mabuk dan bagai orang keranjingan padahal pit-nya menggores terus
sambung menyambung tak berhenti bagai ular laga yang me-lingkar2.
"Mak, apa dia sudah gendeng?" tiba2 Kwe Hu
menanya lagi.
"Ehm," jawab Ui Yong acuh tak acuh, "Kalau
tambahi minum arak tiga cawan, tentu gaya tulisannya akan lebih bagus."
Habis berkata, ia angkat poci arak terus menuangi penuh2
secawan
"Cu-toako," teriak Ui Yong, ""silakan
minum tiga cawan buat menambah semangatmu."
Berbareng itu, tangan kirinya memegang cawan, dengan jari
kanan mendadak ia menyentil cawan itu, maka tertampaklah cawan arak itu terbang
ke depan dengan antengnya, itu adalah ilmu tenaga jari sakti ajaran ayah Ui
Yong yang tak ada bandingannya.
Mendadak Cu-liu tutul sekali pit-nya hingga Hotu terdesak
mundur, pada saat itu pula cawan arak itu disambernya terus ditenggak habis,
menyusui mana Ui Yong sudah menyentilkan cawan kedua dan ketiga be-runtun2.
Alangkah gusarnya Pangeran Hotu melihat kedua orang itu
main suguhkan arak dalam keadaan bertempur, sama sekali tak pandang sebelah
mata atas dirinya, segera ia bermaksud sampuk jatuh cawan arak orang, tetapi
diwaktu Ui Yong menyentilkan cawannya tadi, selalu ia iringi gaya coretan
pit-nya Cu-liu dan selalu menerobos di tempat luang, maka sama sekali Hotu tak
mampu menyampuknya.
"Banyak terima kasih," seru Cu-liu sesudah
keringkan tiga cawan arak "Sungguh tenaga jari sakti yang hebat!"
"Kau juga. Sweih-tiap yang tajam sekali!" balas
Ui Yong memuji dengan tertawa.
Cu-liu tertawa senang, dalam hati iapun kagum sekali
terhadap kepintaran Ui Yong, hanya sekali lihat saja sudah dapat mengetahui
ilmu silat ciptaannya yang terlatih selama belasan tahun ini.
Di lain pihak sejak tadi Kim-lun Hoat-ong mengikuti juga
pertarungan itu dengan cermat, melihat muridnya lambat laun mulai terdesak di
bawah angin, mendadak ia berseru: "Akuskintel mimoasten, cilcialci!"
-------- gambar -------------
Cu Cu-liu kembangkan gaya seni-tulis yang dikombinasikan
It-yang-ci menggoda dan mempermainkan Hotu.
-------------------------------
Semua orang menjadi bingung, tiada yang paham apa arti
bahasa Tibet yang diucapkan itu. sebaliknya Pangeran Hotu tahu bahwa gurunya
sedang memperingatkan agar jangan mau bertahan saja, tetapi harus main serobot
ikut menyerang dan keras lawan keras dengan ilmu "Hong-hong
siok-lui-kang" atau ilmu badai menderu dan petir menyamber.
Karena peringatan itu, Hotu bersuit panjang, diantara
suaranya itu se-akan2 membawa suara topan dan guntur yang gemuruh, berbareng
kipasnya menyabet dan lengan baju mengebas hingga menerbitkan samberan angin
keras, secepat kilat ia tubruk Cu Cu-liu.
Begitu keras tenaga pukulan dan samberan angin yang
dikeluarkan serangan Hotu hingga semua orang yang menonton lambat-laun terdesak
minggir sedang mulut Hotu masih tiada hentinya mem-bentak2 dengan gelegar untuk
menambah semangat.
Kiranya ilmu yang disebut
"Hong-liong-siok-lui-kang" ini memang mengutamakan bentakan2 dan
gertakan2 keras sebagai salah satu cara mengalahkan musuh yang lihay.
Namun Cu-liu gesit luar basa, ia melompat kian kemari
dengan bebas dan tak gentar, kekuatan mereka ternyata sembabat.
Begitulah, setelah ratusan jurus lewat, mendadak Cu-liu
ubah lagi gaya menulisnya, tiba2 gerak tangannya menjadi lamban, coretan
pit-nya seperti menjadi sempit dan kaku.
Sebaliknya Hotu masih terus gunakan ilmu
Hong-hong-siok-lui-kang" untuk melawan, cuma tenaga lawannya makin
bertambah kuat, terpaksa iapun kerahkan seluruh tenaga pada kipasnya, suara
bentakan2 dan geramannya juga semakin hebat.
Karena itu, penonton2 yang sedikit rendah, ilmu silatnya
menjadi tak tahan berdiri terlalu dekat, setindak demi setindak mereka terpaksa
mundur terus ke belakang.
Sementara itu, ketika Ui Yong berpaling, ia lihat Nyo Ko
sedang duduk berendeng dengan Siao-liong-li di samping sebuah tiang ruangan
rumah itu, Meski jarak mereka tidak lebih setombak dari kalangan pertempuran,
namun mereka masih tetap ber-cakap2 dengan asyiknya, terhadap pertarungan
sengit di samping ternyata tak diperhatikannya sama sekali, bahkan angin
pukulan yang diterbitkan oleh Hotu juga sedikitpun tak mengganggu mereka, hanya
ujung baju Siao-liong-li saja yang kelihatan rada ber-goyang2 tertiup angin,
tetapi gadis ini tetap seperti anggap sepele saja, dengan wajah penuh rasa
cinta asmara ia sedang memandang Nyo Ko dengan mesra.
Makin dilihat, Ui Yong menjadi semakin heran, sampai
akhirnya ia menjadi lebih banyak memandang si Nyo Ko dan Siao-liong-li berdua
dari pada memperhatikan pertarungan antara Hotu dan Cu-liu.
"Tampaknya anak dara ini memiliki ilmu silat yang
maha tinggi, sedang Ko-ji begitu rapat hubungannya dengan dia, entah dia anak
murid siapakah ?" demikian ia membatin.
Begitulah, Siao-liong-li dalam pandangan Ui Yong masih
dianggap anak dara saja, padahal waktu itu umur Siao-liong-li sudah lebih 20
tahun, cuma karena sejak kecil ia dibesarkan di dalam kuburan kuno yang tak
tertembus sinar matahari, maka kulit badannya menjadi halus luar biasa.
Lwekangnya juga tinggi, maka tampaknya menjadi sepandan
nona yang berumur 17-18 tahun.
Sebenarnya kalau Siao-liong-li tidak ketemukan Nyo Ko dan
turut ajaran gurunya melatih diri tanpa sesuatu gangguan perasaan, bukan saja
umur 100 tahun pasti bisa dicapainya, bahkan kalau sudah berumur seabad, badan
dan wajahnya serupa saja dengan orang yang berumur 50-an.
Oleh sebab itulah, dalam pandangan Ui Yong tampaknya
Siao-liong-li malah lebih muda daripada Nyo Ko, sedang gerak-geriknya, wajahnya
yang polos dan masih ke-kanak2an malahan lebih nyata kelihatan dibanding Kwe
Hu, pantas kalau Siao-liong-li disangkanya masih anak dara cilik.
Dalam pada itu, goresan pit Cu-liu makin lama makin
lambat, tetapi bertambah kuat, diam2 Hotu terkejut dan mulai kewalahan.
"Mamipami, kushis !" tiba2 Kim-lun Hoat-ong
membentak.
Meski apa yang dikatakan itu tiada yang paham, namun
suara bentakannya itu terlalu keras hingga memekak telinga.
Mendengar Kim-lun Hoat-ong berulang kali memberi petunjuk
pada muridnya, akhirnya Cu-liu menjadi gopoh juga, ia pikir kalau orang
berganti permainannya lagi, pertandingan ini harus berlangsung sampai kapan?
Se-konyong2 ia mendahului ganti corat-coret tulisannya,
kini gayanya tidak seperti orang menulis lagi melainkan seperti orang sedang
menatah sesuatu di atas batu.
Gaya ini agaknya sekarang dapat dipahami Kwe Hu.
"Mak, apakah Cu-pepek lagi mengukir tulisan ?"
demikian ia tanya sang ibu lagi.
"Ha, agaknya anakku toh tidak terlalu bo-doh,"
sahut Ui Yong tertawa, "Permainan Cu-pepek ini memang tulisan tatah "Ciok-ko-bun"
(tulisan batu), ini adalah tulisan di atas batu di jaman Chunchiu. Coba kau
perhatikan, kenal tidak huruf apa yang sedang ditatah Cu-pepe?"
Waktu Kwe Hu memperhatikan menurut gaya goresan pit-nya
Cu-Iiu, ia lihat setiap huruf kelihatan melingkar dan lebih mirip sebuah
gambar, satu huruf saja tak dikenalnya.
"Ya, ini adalah tulisan gambar dari jaman purbakala,
jangankan kau, aku sendiripun tak kenal," kata Ui Yong kemudian dengan
tertawa.
"Haha, apalagi si tolol orang Mongol itu, sudah
tentu ia lebih2 tak paham," sorak Kwe Hu sembari bertepuk tangan,
"Mak, lihatlah, bukankah dia sudah mandi keringat dan kerupukan tak
keruan."
Nyata, memang terhadap tulisan gambar jaman kuno ini,
Hotu hanya paham satu-dua huruf saja, Dan karena tak mengetahui huruf apa yang
bakal ditulis Cu-liu, dengan sendirinya Hotu tak bisa ber-jaga2 lebih dahulu,
keruan saja seketika ia terdesak.
Sebaliknya makin lama gaya tulisan Cu-liu semakin beraksi
dan bertambah kuat terutama daya tekanan It-yang-ci yang dikombinasikan itu.
Suatu ketika Hotu mengibas kipasnya ke depan dan sedikit terlambat menarik
kembali, tahu2 Cu-liu sudah menutulkan pit-nya, seketika di atas kipasnya telah
bertambah dengan satu huruf besar.
Ketika Hotu memeriksa tulisan itu, ia menjadi bingung.
"Apakah ini huruf "Bong"?" tanyanya
tak paham.
"Bukan," sahut Cu-liu tertawa. "lni adalah
huruf "ni" !"
Menyusul mana pit-nya menggores lagi, kembali kipas orang
kena ditulis pula satu huruf.
"Dan ini huruf "goat" tentunya?" kata
Hotu.
"Salah," ujar Cu-liu menggoyang kepala,
"ltu adalah huruf "goan" !"
Hotu menjadi lesu dan kewalahan, ia goyangi kipasnya
dengan maksud menghindari ujung pit orang supaya jangan menulis lagi, siapa
tahu justru Cu-liu mendadak memukul dengan tangan kirinya yang kosong, dan ketika
Hotu menangkis, pada kesempatan itu Cu-liu telah ulur pit-nya lagi dan Kembali
tambahi dua huruf di atas kipasnya.
Sekali ini benar2 Hotu kenal kedua huruf itu.
"Eh ini adalah "ban-ih" bukan!"
serunya tiba-tiba.
"Haha, memang betul "ni-goar-ban-ih"
!" sahut Cu-liu dengan gelak tertawa.
Memangnya para kesatria yang hadir ini semuanya benci
pada penjajahan bangsa Mongol yang secara kejam membunuh rakyat tak berdosa,
kini mendengar Cu-liu memaki Hotu "ni-goan-ban-ih" atau "kau
adalah bangsa biadab", keruan suara sorak sorai bergemuruh seketika.
Hotu memang sudah kewalahan melayani daya serangan orang
dengan ilmu "lt-yang-su-ci", kini mendengar lagi sorak sorai para
kesatria itu, tentut saja semangatnya semakin kacau, selagi ia pikir paling
selamat angkat kaki saja, se-konyong2, lututnya terasa kesemutan kaku, kiranya
sudah kena ditutuk Cu-liu dengan gagang pit-nya.
Betapapun juga Hotu adalah anak murid tokoh terkemuka,
ketika terasa lututnya lemas dan segera bakal berlutut ke hadapan orang, ia
pikir jika sampai berlutut pamornya pasti akan lenyap, maka sekuatnya ia coba
tarik napas panjang2 menembus Hiat-to lututnya itu, habis ini ia bermaksud
melompat pergi dan mengaku kalah, siapa tahu, gerakan pit Cu-liu ternyata
secepat kilat, menyusul ia sudah menutuk lagi, ia gunakan pit sebagai jari dan
pakai gagang pit untuk menyerang secara berantai dengan ilmu It-yang-ci, maka
tak mungkin lagi Hotu bisa menangkisnya, akhirnya iapun jadi berlutut hingga
saking malunya mukanya merah padam.
Karena itu, gemuruh lagi suara sorak sorai para kesatria.
"Akalmu telah berhasil," kata Kwe Cing pada
sang isteri, Ui Yong tersenyum gembira.
Disamping sana, melihat Susiok mereka begitu hebat dengan
ilmu It-yang-cinya, Bu-si Hengte juga kagum luar biasa, meski ilmu jari sakti
itu sudah mereka pelajari juga, namun kekuatannya terang berbeda seperti langit
dan bumi dibanding sang paman guru, Saking kagumnya segera mereka hendak
berseru memuji, tapi mendadak terdengar suara jeritan ngeri Cu Cu-liu, dengan
cepat Bu-si Hengte menoleh, tiba2 Susiok mereka sudah menggeletak di lantai
dengan kedua kakinya berkelejetan.
Perubahan yang luar biasa dan cepat ini bikin semua orang
ikut kaget.
Kiranya tadi sesudah Hotu dikalahkan, Cu-liu yang baik
budi bermaksud memunahkan tutukan-nya atas Hotu, sebab tutukan It-yang-ci
ajaran It-teng Taysu itu berlainan dengan ilmu Tiam-hiat biasa dan orang lain
sukar menolongnya, maka ia telah memijat beberapa kali bagian iga Hotu untuk
menjalankan darahnya.
Siapa tahu justru hatinya yang berbudi ini mengakibatkan
marabahaya bagi dirinya sendiri, ketika Hiat-tonya lancar kembali, se-konyong2
timbul maksud jahat Hotu, ia pura2 merintih sakit, sesudah berdin, mendadak ia
tekan alat rahasia pada kipasnya hingga empat buah paku berbisa menyambar
keluar dan menancap semua di atas badan Cu-liu.
Sebenarnya pertandingan diantara jago silat, kalau salah
satu pihak sudah terkalahkan tentunya tak boleh turun tangan lagi, apalagi di
bawah pandangan orang begitu banyak, siapa yang menduga Hotu mendadak akan
membokong ?
Jika Am-gi atau senjata rahasia itu dilepaskan Hotu waktu
bertanding, sekalipun paku berbisa itu tersembunyi diantara ruji2 kipasnya,
dapat dipastikan tidak nanti Cu-liu bisa dicelakainya. Tetapi kini Cu-liu lagi
memunahkan Hiat-to yang ditutuknya, jaraknya tidak lebih dari satu kaki, dalam
keadaan demikian sungguhpun kepandaian Cu-liu setinggi langit juga sukar
menghindarkan pcmbokongan Hotu itu.
Hebatnya keempat paku berbisa itu adalah rendaman dengan
lendir beracun semacam ular jahat yang hidup di daerah Tibet, lihay luar biasa
kerjanya racun itu. Begitu terkena paku itu, seketika Cu-liu merasakan seluruh
badannya sakit dan gatal luar biasa, saking tak tahan ia ber-gulung2 di lantai
Tentu saja gusar sekali para kesatria tercampur terkejut,
be-ramai2 mereka menuding Hotu sambil mencaci maki atas perbuatannya yang keji
dan tak kenal malu itu.
Namun Hotu tidak kurang alasan.
"Siau-ong dari kalah menjadikannya kemenangan kenapa
harus malu?" demikian katanya dengan ketawa, "Toh sebelum bertanding
kita tidak berjanji tak boleh menggunakan Am-gi. jika tadi Cu-heng ini
menggunakan Am-gi dan merobohkan Siau-ong dulu, tentu juga aku akan terima
kalah dan pasrah nasib."
Meski merasa alasan Hotu ini terlalu di-cari2 saja,
tetapi seketika semua orang juga tiada jalan buat mendebatnya.
Dalam pada itu cepat sekali Kwe Cing telah maju
membangunkan Cu-Iiu, ia lihat empat buah paku kecil lembut itu menancap empat
segi di atas dadanya, wajah Cu-liu seperti tertawa, tetapi bukan tertawa, Kwe
Cing tahu racun paku itu sangat aneh, maka lekas2 ia tutuk dulu tiga tempat
Hiat-to orang sebagai pertolongan pertama untuk melambatkan jalannya darah dan
menutup nadinya agar hawa racun tidak merembes ke dalam.
"Bagaimana baiknya, Yong-ji?" tanyanya kepada
sang isteri.
Ui Yong tak menjawab, ia mengkerut kening, ia tahu kalau
hendak memunahkan racun paku ini harus minta obat pada Hotu atau Kim-lun
Hoat-ong, tetapi cara begaimana merebut obat pemunahnya, inilah yang seketika
membikin dia tak berdaya.
Di samping lain, demi nampak sang Sute terluka oleh racun
jahat, si Nelayan menjadi kuatir dan murka, tanpa pikir lagi ia kencangkan
bajunya terus hendak melompat maju buat melabrak Hotu.
Syukur sebelum ia bertindak keburu dicegah Ui Yong yang
bisa berpikir panjang, ia pertimbangkan kedudukan pihak sendiri dan pihak lawan
secara keseluruhannya, ia pikir pihak lawan sudah menang sebabak, kalau si
Hi-jin (nelayan) Suheng ini maju melawan Darba, soal menang atau kalah sungguh
sukar diduga, karena itulah ia minta si Nelayan suka bersabar.
"Kenapa?" tanya si Nelayan.
Namun Ui Yong tidak menjawab, sungguhpun ia adalah wanita
yang pintar luar biasa dengan tipu akalnya yang beraneka macamnya, tetapi
sesudah mengalami kekalahan dalam babak pertama, untuk kedua babak selanjutnya
betapapun juga telah membikin dia serba sulit.
Di lain pihak setelah merobohkan Cu-liu dengan akal
licik, Hotu ber-seri2 berdiri di tengah kalangan sambil matanya menjalang ke
sana ke mari dengan lagak yang mentang2 sudah menang.
Tiba2 dilihatnya Siao-liong-li dan Nyo Ko sedang pasang
omong dengan asyiknya sambil tangan bergandeng tangan seperti sama sekali tak
pandang sebelah mata padanya, keruan hati Hotu menjadi panas.
"Binatang cilik, berdiri!" bentaknya mendadak
sambil menuding Nyo Ko dengan kipasnya.
Akan tetapi tatkala itu seluruh perhatian Nyo Ko lagi
tercurahkan pada Siao-liong-li seorang, ia merasa dunia ini meski luas, namun
tiada sesuatu urusan lain yang bisa membagi pikirannya waktu itu, Oleh
karenanya, meski pertarungan Hotu lawan Cu-liu tadi begitu seru dan gempar,
namun semua itu seperti tak dilihat dan tak didengar olehnya.
Selama beberapa tahun Nyo Ko tinggal di dalam kuburan
kuno itu dengan Siao-liong-li, sesungguhnya ia tak tahu bahwa dirinya sudah
begitu mendalam mencintai si gadis dan mengikat sehidup semati, Hari itu waktu
Siao-liong-li bertanya apa mau memperisterikan dia atau tidak, karena
pertanyaan itu diajukan secara mendadak dan hal mana selamanya belum pernah
terbayang dalam benaknya, maka ia menjadi bingung tak bisa menjawab. Belakangan
sesudah Siao-liong-li menghilang, ia menjadi menyesal tak kepalang, pada saat
itulah dalam hati beratus kali ia berkata: "Mau, tentu saja aku mau.
sekalipun aku harus mati, pasti aku inginkan Kokoh menjadi isteriku."
Cinta asmara antara Nyo Ko dan Siao-Iiong-li timbulnya
memang dalam keadaan tak terasa antara kedua muda-mudi itu, setelah saling
berpisah barulah perasaan itu membakar dan sukar ditahan, Iebih2 Siao-liong-li
yang sejak kecil telah mengekang diri dalam hal perasaan dan napsu, tidak punya
pikiran senang juga tak pernah marah, tetapi perasaan cinta yang berasal dari
pembawaan itu siapapun sukar menghindarinya, maka ketika mendadak jatuh cinta
pada Nyo Ko, perasaan itu menjadi lebih hangat berpuluh kali daripada orang
biasa.
Nyo Ko sendiri tak pernah kenal takut, sedang
Siao-liong-li sedikitpun tak kenal segala macam tatakrama umum, ia pikir kalau
aku jatuh cinta, aku boleh main cinta, mau senang boleh senang, ada sangkut
paut apa dengan orang lain?
Begitulah cara berpikir kedua muda-mudi itu, yang satu
tak peduli, yang lain tak mau mengerti, meski berada di tengah2 ribuan orang
yang sedang asyik menyaksikan pertarungan sengit itu, mereka pasang omong
sendiri dengan mesra.
Bentakan Hotu tadi oleh si Nyo Ko masih tetap tak didengarnya,
Keruan saja Hotu semakin murka, segera ia hendak mendamperat lagi ketika tiba2
terdengar Kim-iun Hoat-ong berseru pula dalam bahasa Tibet dengan maksud bahwa
pihak sendiri sudah menangkan satu babak, maka babak kedua boleh diteruskan
saja.
Sebab itu, Hotu melotot sekali pada Nyo Ko, habis ini
iapun undurkan diri ke mejanya sambil berteriak: "Pihak kami sudah menang
satu babak, untuk babak kedua ini yang maju adalah suhengku Darba, dan pihak
kalian siapa yang akan maju?"
Dalam pada itu segerapun Darba melangkah ke tengah, dari
kasa (jubah padri) merahnya ia mengeluarkan semacam senjata.
Nampak senjata Darba yang hebat ini, diam2 semua orang
terperanjat. Kiranya senjata yang dia pakai adalah sebatang gada besar yang
disebut "Kim-kong-hang-mo-cu" (penggada penakluk iblis) yang biasa
dikenal sebagai senjata Hou-hoat Cuncia dalam agama Budha.
Hang-mo-cu senjata Darba ini panjangnya kira-kira empat
kaki, pangkal gada itu sebesar mulut mangkok, batang gadanya mengkilap seperti
terbikin dari emas murni, maka dapat dibayangkan bobot senjata ini pasti jauh
lebih berat dari pada terbikin dari besi baja.
Sesudah berada di tengah kalangan, Darba merangkap
tangannya menjalankan penghormatan pada semua orang, lalu gadanya dia lemparkan
ke atas, maka terdengarlah suara gedombrangan yang keras, jatuhnya gada itu
telah bikin beberapa ubin -besar ruangan pendopo itu pecah berantakan bahkan
batang gada itu ambles hampir separuh ke dalam tanah.
Dengan mengunjuk gertakan ini, dapat diketahui betapa
hebat berat gada itu, sungguh tidak nyana bahwa seorang Hwesio yang kurus
kering seperti Darba ternyata kuat menggunakan senjata seberat itu, maka dapat
dibayangkan betapa hebat tenaga pukulannya.
"Cing-koko sudah tentu bisa taklukkan Hwesio kasar
ini, cuma babak ketiga nanti kalau Hoat-ong turun tangan sendiri dan pihak kita
tiada yang sanggup melawannya, maka pertandingan ini pasti kalah."
demikian Ui Yong berpikir "Tetapi, biarlah aku tempur Hwesio ini dengan
akal saja."
Habis ini, begitu angkat tongkat bambunya Pak-kau-pang,
pentung pemukul anjing, segera ia bermaksud maju.
"Jangan... jangan," lekas2 Kwe Cing mencegah
"Kesehatanmu terganggu, mana bisa kau bergebrak dengan orang?"
Sebenarnya Ui Yong sendiri juga tidak yakin pasti akan
menang, jika sampai babak kedua ini kalah lagi, maka babak ketiga tidak perlu
diteruskan pula, karena itu ia menjadi ragu-ragu.
"Ui-pangcu, biar aku melayani padri jahat ini,"
Tiba2 Tiam-jong Hi-un atau si Nelayan Pertapa murid pertama It-teng Taysu,
telah menyelak maju.
Nyata sejak sutenya terkena jarum berbisa musuh hingga
mengenaskan sekali penderitaannya, si Nelayan ini sudah tak sabar lagi dan
ingin bisa membalas dendam itu.
Sesungguhnya Ui Yong juga sedang kerupukan tak berdaya,
ia pikir tiada jalan lain lagi kecuali adu kekuatan sebisanya, kalau si Nelayan
mi bisa menangkan padri Tibet, nanti Cing-koko masih bisa keras lawan keras
untuk menentukan rrenang dan kalah dengan Kim-lun Hoat-ong.
"Baiklah, kalau begitu Suheng hendaklah hati2,"
demikian katanya kemudian.
Dalam pada itu Bu-si Hengte sudah siapkan kedua batang
penggayu baja yang merupakan senjata Supek mereka, ketika dengar Ui Yong
pertahankan orang maju, dengan cepat sepasang penggayu itu lantas diangsurkan
kepada Tiam-gong Ki-un.
Dengan mengempit penggayu itu, majulah nian atau si
Nelayan Pertana ini, tetapi ia tidak lantas menyerang, dengan muka yang merah
menyala ia kelilingi Darba sekali putaran.
Keruan Darba menjadi bingung, ia tidak tahu apa2an maksud
orang ini, ia lihat si Nelayan mengitar, maka iapun ikut memutar
Mendadak si Nelayan menggertak sekali, kedua penggayunya
diputar terus mengepruk ke atas kepala musuh.
Namun cepat sekali gerak tubuh Darba, sekali angkat
tangannya, gada emas telah dia tangkiskan, Maka terdengarlah suara nyaring
keras beradunya senjata gada dan penggayu, begitu hebat suaranya hingga anak
telinga semua orang se-akan2 pekak.
Seketika tangan kedua belah pihak sama2 terasa pedas
karena beradunya senjata itu, mereka pun sama2 tahu telah ketemukan lawan yang
bertenaga raksasa, karena itu mereka sama2 melompat mundur.
Tiba2 Darba berkata sekali dalam bahasa tibet, karena tak
paham apa yang diucapkan, si nelayan balas memaki orang dengan bahasa daerah
Tay-li, kedua orang sama2 tak mengerti kata2 pihak lawan, Mendadak mereka
saling menubruk maju lagi, senjata masing2 bergerak dan kembali suara nyaring
keras terdengar.
Pertarungan seru sekali ini berlainan lagi dengan cara
pertandingan Cu-liu melawan Hotu tadi yang dilakukan secara "halus",
Kini boleh dikatakan keras lawan keras, masing2 sama ketemukan tandingan dan
saling labrak dengan Gwakang yang lihay, saking serunya pertarungan ini hingga
membikin penonton lain sama ber-debar2 dan pada terkejut.
Sebagai anak murid It-teng Taysu yang kerjanya se-hari2
hanya menggayu perahu hilir mudik melawan arus air hingga kedua lengannya
terlatih kuat dengan otot2 kelihatan menonjol. Dan karena wataknya yang polos
sederhana, maka biasanya si Nelayan sangat disukai It-teng Taysu, cuma bakatnya
kurang baik. Lwekangnya tidak gampang terlatih seperti Cu Cu-liu yang cerdas,
namun soal Gwakang sebaliknya lihay luar biasa.
Kini ia tempur Darba dengan gunakan Gwakang untuk saling
labrak, hal ini kebetulan cocok dengan kemahirannya, maka tertampaklah sepasang
penggayunya terputar dan merangsak terus secara hebat.
kedua penggayu itu setiap batang beratnya lebih 50 kati,
tetapi ia bisa mengangkatnya seperti barang enteng saja bagai orang biasa
menggunakan senjata ringan.
Sebenarnya Darba sangat mengagulkan tenaga raksasanya
yang tiada bandingan, siapa duga kini ia justru ketemukan seorang
"raksasa" juga, bukan saja tenaga lawannya besar, malahan tipu
serangannya juga aneh dan hebat.
Karena itu iapun tak berani ayal, ia putar Kim-kong-cu
atau gada emasnya untuk menandingi penggayu orang, kedua orang sama2 banyak me-rangsak
daripada menjaga diri saja.
Tadi waktu Cu-liu melawan Hotu, para kesatria yang
menyaksikan pertandingan itu sudah banyak yang menyingkir mundur karena
samberan angin yang terlalu kuat, kini lebih2 lagi, tiga senjata berat saling
beradu, jangankan tak tahan akan angin pukulannya, sekalipun suara benturan
gada dan penggayu yang nyaring menusuk itupun terasa sukar ditahan. Karena itu
banyak diantaranya tekap kuping mereka dengan tangan untuk menyaksikan
pertandingan itu.
Manusia yang bertenaga begitu besar seperti Tiam-jong
Hi-un ini sesungguhnya jarang diketemukan apalagi orang yang memiliki tenaga
besar yang seimbang diantara kedua tangannya serta seimbang pula dengan ilmu
silat yang dipahami lalu bertempur dengan mati2an, hal ini lebih2 susah diketemukan.
Saking serunya pertempuran itu, sampai Kwe Ceng dan Ui
Yong juga ikut berkeringat.
"Yong-ji, bagaimana, apa kita ada harapan
menang?" tanya Kwe Cing.
"Sekarang masih belum kelihatan," sahut Ui
Yong.
Padahal Kwe Cing bukannya tidak tahu saat ini masih sukar
membeda2kan kalah dan menang, tetapi ia akan merasa lega dan terhibur apabila
bisa mendengar jawaban sang isteri yang menyatakan si Nelayan bakal menang.
Ketika berpuluh jurus sudah lewat, tenaga kedua orang itu
ternyata sedikitpun tak berkurang sebaliknya semangat mereka bertambah
menyala2, setiap kali Tiam-jong Hi-un menghantam dengan penggayunya, selalu
diikuti dengan bentakan dan teriakan untuk menambah daya serangannya.
"Kau bilang apa?" tiba-tiba Darba menanya.
Ia berkata dengan basa Tibet, sudah tentu Hi-un tidak
paham, karena itu iapun balas menanya: "Kau berkata apa?"
Dengan sendirinya Darba juga tak menyaru ucapan orang,
maka terjadilah cacimaki tak keruan diantara kedua orang itu sambil senjata
mereka beterbangan menyamber hingga meja kursi pecah berantakan tak peduli
barang apa saja, asal terkena hantaman gada atau penggayu, maka dapat
dipastikan barang itu akan hancur luluh, malahan banyak yang kuatir kalau2
senjata mereka akan menghantam tiang rumah hingga gedung itu akan ambruk
karenanya.
Di lain pihak Kim-lun Hoat-ong dan pangeran Hotu tidak
urung juga terperanjat diam2. tampaknya kalau pertarungan sengit itu diteruskan
sekalipun Darba nanti bisa menang, namun sedikitpun tidak terhindar dari luka
parah. Tetapi dalam keadaan pertarungan seru itu, seketika sukar hendak
memberhentikannya!
Pertarungan mati2an itu makin lama semakin hebat, kedua
orang sama meloncat ke sini dan melompat ke sana sambil menghantam dibarengi
dengan suara bentakan. Mendadak terdengar suara menggelegar keras, kedua orang
sama2 membentak. lalu ke-dua2nya sama2 melompat mundur.
Kiranya penggayu si Nelayan yang kanan telah membentur
keras dengan gada emas orang karena keduanya sama2 memakai tenaga penuh, batang
penggayu itu juga sedikit lebih kecil dan tidak sekukuh gada, maka penggayu itu
telah patah menjadi dua. Kutungan penggayu itu mencelat terbang dan terjatuh di
hadapan Siao-liong-li hingga mengeluarkan suara nyaring.
Tatkala itu Siao-liong-li sedang bicara dengan Nyo Ko
dengan asyiknya, sedikitpun ia tidak perhatikan bahwa ada sepotong besi
penggayu jatuh di depannya, ketika kepingan besi itu menindih jari kakinya,
dalam kagetnya ia menjerit terus meloncat bangun.
Oleh karena jeritan Siao-liong-li ini barulah Nyo Ko ikut
tersadar.
"Apa kau terluka?" tanyanya cepat dan kuatir.
Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya meraba jari kakinya
sembari mengunjuk rasa sakit.
Tentu saja Nyo Ko menjadi gusar, segera ia membalik tubuh
hendak mencari siapa gerangan berani bikin sakit jari kaki Siao-liong-li tetapi
begitu ia berpaling, ia lihat Tiam-jong Hi-tm dengan memegang penggayu patah
sedang bertengkar dengan Darba dan masih ingin melanjutkan pertempuran itu
dengan sebuah penggayu saja.
Naman Darba terus meng-geleng2 kepala, ia tak mau
teruskan pertandingan itu lagi nyata ia tahu tenaga raksasa musuh dengan
dirinya adalah setali-tiga-wang alias sama kuat, kalau bertanding terus dirinya
sukar memperoleh kemenangan kini dalam hal senjata ia sudah lebih unggul, maka
pertandingan ini boleh dihitung atas kemenangannya.
"Nah, dalam tiga bahak pertandingan pihak kami sudah
menang dua babak, maka Bu-lim Beng-cu (ketua serikat dunia persilatan) ini
dengan sendirinya jatuh atas diri guruku," demikian dengan suara lantang
segera Hotu berdiri dan bicara lagi. "Maka para...."
Tetapi belum habis ia berkata, mendadak Nyo Ko menyela
dan menegur si Nelayan : "Hai, kenapa kau pukul Kokoh-ku dengan
penggayumu?"
"Aku... aku ti..." demikian si Nelayan itu
menjadi tergagap.
"Kau telan menyakiti kakinya lekas kau minta maaf
padanya," kata Nyo Ko lagi.
Nampak orang hanya seorang bocah, si Nelayan anggap Nyo
Ko hanya mengoceh semaunya saja, maka tidak digubrisnya.
Tak terduga, mendadak Nyo Ko ulur tangannya dan tahu2
penggayu patah itu sudah kena di-rebutnya. "lekas kau minta maaf pada
Kokoh-kui" seru Nyo Ko pula.
Dalam pada itu bukan buatan rasa mendongkolnya Hotu oleh
karena pembicaraannya tadi di-bikin terputus oleh Nyo Ko.
"Binntang cilik, lekas minggir !" demikian ia
membentak.
"Binatang cilik memaki siapa?" sahut Nyo Ko
tiba2 sembari ayun penggayu patah itu dan menghantam.
Mendengar Nyo Ko balas tanya "binatang cilik memaki
siapa", tanpa pikir Hotu terus menjawab : "Binatang cilik memaki kau
!"
Nyata ia telah terjebak, ia tidak tahu bahwa anak2 di
daerah selatan suka menggunakan jeratan kata2 itu untuk mengadu mulut, kalau
lengah sedikit, dengan sendirinya lantas tertipu.
Karena itu, maka tertawalah Nyo Ko terbahak-bahak.
"Hahaha, betul, betul, binatang cilik yang memaki
aku," demikian katanya geli.
Suasana di ruangan pendopo itu sebenarnya sedang tegang,
tetapi karena dikacau oleh majunya Nyo Ko ini, seketika para kesatria itu ikut
ketawa.
Tentu saja Hotu bertambah gusar, begitu kipas lempitnya
dipentang, segera ia sabet ke atas kepala Nyo Ko.
Para kesatria yang hadir di situ semuanya berhati mulia,
tadi mereka sudah menyaksikan ilmu silat Hotu yang sangat lihay, maka dapat
diduga bila kipasnya ini betul2 berkenalan dengan kepala Nyo Ko, kalau tidak
mampus sedikitnya pemuda ini akan terluka parah, Karena itulah be-ramai2 mereka
telah ber-teriak2 : "Jangan berkelahi dengan anak kecil, tak tahu malu,
besar melawan kecil !"
Di samping sana secepat terbang Kwe Cing juga sudah
melompat maju, selagi tangannya benak merebut kipasnya Hotu, tahu2 Nyo Ko telah
unduk kepala dan dengan gampang saja menerobos di bawah tangan Hotu, malahan
ketika penggayu patah itu ia tarik, dengan gaya "sian" atau
menyerempet, suatu gaya istimewa dari Pak-kau-pang-hoat, tiba2 ia menjegal kaki
Hotu dengan penggayu patah itu.
Karena tak men-duga2, dengan tepat Hote kesandung, ia
ter-huyung2 dan hampir2 terguling jatuh, untung ilmu silatnya memang tinggi
luar biasa, tubuh yang sudah kehilangan itnbangan itu secara paksa ia enjot
sekuatnya ke atas untuk kemudian turun ke bawah lagi dengan tegak
"Bagaimana, Ko-ji." "tanya Kwe Cing kuatir
dan tercengang atas kejadian itu.
"Tak apa2", sahut Nyo Ko tertawa, "la
pandang rendah Ang Chit kong punya Pak-kau-pang-hoat, maka aku lantas banting
dia dengan gerak tipu Pak-kau-pang-hoat, biar dia kapok."
Heran sekali Kwe Cing mendengar jawaban itu.
"Aneh, darimana kau bisa Pak-kau-pang hoat?"
tanyanya.
"Tadi waktu Loh-pangcu berkelahi dengan dia, begitu
lihat aku lantas berhasil mempelajarinya," demikian Nyo Ko membohong.
Kwe Cing sendiri bakatnya terlalu puntul, tetapi ia
percaya tidak sedikit orang pandai di jagat ini, maka terhadap kata2 si Nyo Ko
ia hanya setengah percaya setengah sangsi2.
Di lain pihak Hotu yang kena disandung sekali oleh Nyo Ko
ia kira dirinya sendiri yang kurang hati2 hingga kejegal sama sekali tak
dipikirnya bahwa pemuda yang usianya belum ada 20 tahun bisa memiliki ilmu
silat begitu tinggi, ia pikir urusan paling penting sekarang yalah merebut
Beng-cu, setelah soal ini selesai barulah bocah ini akan dibereskannya pula.
Maka dengan langkah lebar segera ia mendekati Kwe Cing.
"Kwe-tayhiap," demikian katanya lantang,
"pertandingan, hari ini sudah terang dimenangkan pihak kami, maka guruku
Kim-lun Hoat-ong sejak kini adalah Beng-cu dunia persilatan apakah masih ada
yang belum mau menyerah?"
Sebelum selesai ia bicara, diam2 Nyo Ko mendatangi
belakangnya, tiba2 pengayu ia sodokkan pula, ia keluarkan salah satu tipu
Pak-kau-pang-hoat dan mendadak jojoh bohong orang.
Tetapi betapa hebat kepandaian Hotu, masakah ia kena
dibokong orang dari belakang? Cuma ilmu pentung pemukul anjing itu memang bagus
tiada bandingannya, sungguhpun ia tahu dibokong, tetapi hendak berkelit
ternyata sama sekali tak dapat, maka terdengarlah suara "blek",
dengan tepat pantatnya kena disodok oleh pengayunya Nyo Ko. sekalipun
Lwekangnya sudah sangat tinggi, tapi pantat adalah tempat yang banyak dagingnya
tidak urung ia kesakitan juga, ditambah kejadian itu tak ter-sangka2, sebab ia
kira pasti bisa menghindarinya. tapi justru kena disodok, maka tanpa terasa ia
berteriak.
"Hm, manusia macam apa kau? Aku justru tidak
menyerah !" demikian terdengar Nyo Ko menjengek
Karena kejadian itu, para kesatria itu ter heran2 dan
merasa geli pula, mereka pikir pemuda ini bukan saja nakal, orangnya pun
pemberani.
Pangeran Mongol ini ternyata dua kali kena di-kibuli.
Sampai di sini Hotu tak bisa tinggal diam lagi, tetapi ia
masih belum anggap Nyo Ko sebagai lawan, hanya tangannya mendadak menampar ke
belakang dengan maksud hendak tempeleng bocah ini untuk lampiaskan rasa
mendongkolnya.
Tetapi waktu itu Kwe Cing berdiri di samping-nya, sudah
tentu ia tidak biarkan Nyo Ko dihantam. mendadak ia angkat tangannya terus
cekal telapak tangan Hotu sambil berkata: "Kenapa kau main2 dengan anak
muda?"
Seketika Hotu rasakan separah badannya kaku kesemutan,
dalam gusarnya iapun sangat terkejut.
Dalam pada itu Nyo Ko tidak sia2kan kesempatan itu, ia
ayun penggayunya lagi terus gebuk pula pantat orang sambil ber-teriak2:
"Binatang cilik tak dengar kata, biar bapak hajar pantatmu !"
"Ko-ji lekas undurkan diri, jangan main gila
lagi," cepat Kwe Cing bentak si Nyo Ko.
Para kesatria kembaii ter-pingkal2 karena ke-lakuan Nyo
Ko itu. sebaliknya para begundal dari Mongol be-ramai2 pada berteriak2.
"Apa? Dua keroyok satu maunya?"
"Hm, tak malu !"
"Apa minta pertandingan diulang kembali,
bukan?"
Begitulah mereka mengejek riuh rendah, karena itu Kwe
Cing tertegun, lalu iapun lepaskan tangan Hotu.
Sementara itu mata Ui Yong memang sangat jeli itu, ketika
dilihatnya Nyo Ko menyandung orang dan menjojoh lagi sekali, gaya serangannya
memang betul2 tipu bagus dari Pak-kau-pang-hoat, keruan saja ia curiga.
"Darimanakah ia dapat mencuri belajar
Pak-kau-pang-hoat? Apakah mungkin ia telah mengintip waktu aku mengajarkan pada
Loh Yu-ka? Tetapi setiap kali sebelumnya pasti kuperiksa dulu sekitar tempat
itu, mana bisa ia mengelabuhi mataku?" demikian Ui Yong tidak habis
mengarti.
Tetapi segera iapun berseru : "Cing-koko, coba kau
ke sini!"
Kwe Cing menurut, ia kembali ke samping sang isteri, tapi
kuatir akan keselamatannya Nyo Ko, maka pandangannya tidak pernah meninggalkan
diri pemuda itu dan Hotu, ia lihat pangeran Mongol itu telah merangsang maju
lagi dan menyerang Nyo Ko dengan hebat.
Tetapi Nyo Ko benar2 jahil, sembari berkelit ia masih
terus berteriak : "Hantam pantatmu, hantam pantatmu !"
Dan betul juga, selalu ia ayun penggayunya menggebuk
pantat orang, cuma waktu itu Hotu sudah keluarkan kepandaiannya, dengan
sendirinya tak bisa lagi kena sasarannya, setiap pukulannya selalu mengenai
tempat kosong.
Kalau Hotu ingin pukul kepala Nyo Ko dengan kipasnya,
sebaliknya Nyo Ko ayun penggayunya hendak gebuk pantat Hotu, kedua orang lalu
uber2-an di tengah ruangan pendopo itu siapapun tiada yang bisa pukul yang
lain.
Mula2 semua orang merasa heran dan anggap lucu, tetapi
sesudah menyaksikan kedua orang uber2an beberapa lingkaran, akhirnya semuanya
terkejut ternyata Nyo Ko yang bajunya compang camping, usianya pun masih muda,
tetapi langkahnya sangat enteng, gerak-geriknya gesit, hakikatnya tidak kalah
cepat daripada Hotu, Beberapa kali Hotu mengejar maju hendak pukul, tetapi
dengan sigap dan bagus selalu dapat dihindarkan Nyo Ko.
Tiam-jong Hi-un dan Darba sebenarnya masih saling melotot
dengan senjata terhunus. yang siap menerjang maju lagi buat bertanding dan yang
lain siap sedia dengan penuh perhatian untuk menjaga serbuan musuh yang
mendadak, tetapi nampak Hotu tak bisa berkutik melawan seorang anak muda yang
tak terkenal semuanya menjadi heran, yang satu tertawa lebar dan yang lain
mengomel terus dalam bahasa Tibet yang tak dimengerti.
Sesudah Nyo Ko dan Hotu ubek2an beberapa kali lagi,
lambat laun dapat juga Hotu mengetahui Ginkang atau ilmu entengkan tubuhnya Nyo
Ko sangat hebat, kalau terus main hadapan lari boleh jadi akhirnya ia sendiri
akan terjungkal. Karena itu mendadak ia terus putar balik dengan tangan kiri ia
pegang penggayu orang dan kipas ditangan-yang lain segera menutuk kaki Nyo Ko
pada tempat "goan-riau-hiat".
Dengan serangan ini, caranya bukan lagi sekedar hajaran
pada anak nakal saja, tetapi tipu serangan antara jagoan sungguh2.
Namun Nyo Ko tidak gampang diarah, meski usianya kecil,
tapi nyalinya cukup besar, ia lihat lawannya mengeluarkan ilmu silat yang
hebat, ia tak mau lawan orang berhadapan ia berkelit hindarkan tutukan tadi,
menyusul dengan ayun penggayunya ia masih terus ber-teriak2 : "Bapak pukul
pantatmu !"
Dengan caranya Nyo Ko mempermainkan lawannya ini,
sebenarnya kepandaiannya harus berlipat ganda lebih tinggi dari orang barulah
"sip", meski Nyo Ko tidak sedikit pelajari ilmu silat yang paIing
bagus dan tinggi, tetapi soal keuletan ia masih belum bisa menimpali Hotu,
dengan caranya menggoda orang itu sebenarnya bisa berabe.
Tetapi karena kelakuannya yang jenaka itu, semua orang
yang menonton sama bergelak ketawa, dan karena tertawa orang banyak inilah Hotu
malah dibikin bingung hingga pikirannya tak tenang, ia betul2 kuatir pantatnya
kena digebuk lagi di hadapan para kesatria itu, hal ini berarti akan
menghilangkan pamornya, maka seluruh perhatiannya dicurahkan untuk menghindarkan
diri hingga lupa untuk memutarkan serangan balasan, dengan demikian barulah Nyo
Ko tidak mengalami bahaya.
Sampai disini Ui Vong sudah dapat melihat bahwa Nyo Ko
pasti pernah mendapat ajaran dari orang kosen, pengalamannya pasti lain dari
pada yang lain, ilmu silatnya tentu susah diukur. Ia pikir biarkan bocah ini
kacaukan pihak musuh, mungkin untuk sementara masih bisa pertahankan kedudukan
sendiri yang sudah kalah dua babak tadi.
Maka dengan suara keras ia lantas berseru : "Ko-ji,
coba kau bertanding secara baik2 dengan toako ini, kulihat se-kali2 dia bukan
tandinganmu !"
Karena seruan itu, segera Nyo Ko berhenti "Hayo,
berani kau?" katanya segera sambil me lelet2 lidah mengejek serta tuding
hidung Hotu.
Namun Hotu sangat licin, ia pikir pihaknya sudah menang
dua babak be-runtun2, kedudukan Beng-cu sudah terang dapat direbutnya, kenapa
perlu cari gara2 lain ?
Maka ia lantas menjawab : "Binatang cilik kau begini
nakal, pasti akan kuhajar kau, cuma tak perlu buru2, kita minta Bu-lim Beng-cu
Kim-lun Hoat-ong memberi petua dan kita semua akan menurut segala
perintahnya."
Tetapi dengan riuh para kesatria sama membangkang hingga
suaranya sangat berisik.
"Kita tadi sudah berjanji siapa yang menangkan dua
babak dialah yang mendapatkan sebutan Beng-cu, nah, janji tadi dianggap kata2
manasi atau bukan ?" dengan suara keras segera Hotu berteriak.
Seketika para kesatria menjadi bungkam, meski kemenangan
musuh yang pertama tadi dilakukan dengan cara licik dan babak kedua baru sampai
pada senjata patah, tapi kalau menyangkal kekalahan itu, sebagai kesatria
rasanya juga sungkan, maka mereka- terpaksa tak bisa menjawab.
"Kenapa Hwesio tua ini bisa menjadi Bu-lim Beng-cu,
kulihat dia tidak cocok" kata Nyo Ko tiba-tiba.
"Siapa guru bocah ini, lekas dipanggil dan diberi
hajaran, kalau masih terus mengacau disini, jangan sesalkan aku tidak bermurah
hati padanya !" teriak Hotu dengan gusar.
"Haha, justru guruku barulah cocok untuk di- angkat
menjadi Bu-lim Beng-cu, gurumu sih punya kepandaian apa?" kata Nyo Ko lagi
dengan tertawa.
"Siapa gurumu, silakan maju buat belajar kenal"
sahut Hotu.
Nyata ia sudah kenal kepandaian Nyo Ko tidak rendah, ia
pikir guru orang pasti seorang tokoh besar, maka dia gunakan kata2
"silakan"
Tetapi Nyo Ko tidak menjawab, sebaliknya ia tanya lagi:
"Perebutan Bu-lim Beng-cu hari ini, bukankah setiap murid boleh mewakilkan
sang guru?"
"Ya", sahut Hotu. "Maka tadi kami sudah
menangkan dua babak dari tiga babak, dengan sendirinya guruku adalah
Beng-cu."
"Baiklah, anggap benar kau telah menangkan mereka,
tetapi apa gunanya ? Murid guruku toh belum pernah kau kalahkan," kata Nyo
Ko.
"Siapa dia murid gurumu?" tanya Hotu.
"Goblok." sahut Nyo Ko ter-kakah2. "Murid
guruku dengan sendirinya ialah aku ini!"
Mendengar banyolan ini, para kesatria kembali bergelak
ketawa lagi.
"Nah, sekarang kita juga bertanding dalam tiga
babak, kalau kalian menang dua babak lagi, barulah aku mau ngaku Hwesio tua itu
sebagai Beng-cu," dengan tertawa Nyo Ko berkata pula. Tetapi kalau aku
yang menang dua babak, maaf, sebutan Bu-lim Beng-cu itu tidak bisa lain kecuali
guruku yang mendudukinya."
Mendengar kata2 Nyo Ko ini, semua orang pikir jangan2
gurunya memang betul seorang tokoh ternama dan sengaja datang buat merebut
gelar Bu-lim Beng-cu dengan Ang Chit-kong dan Kim-lun Hoat-ong, tetapi peduli
siapa gurunya, se-tidak2nya toh bangsa Han daripada Beng-cu kena direbut oleh
imam negara bangsa Mongol. Karena itu, segera semua orang berseru menyokongnya.
"Ya, ya, betul! Coba kau menangkan dua babak
lagi!"
"Memang tepat apa yang dikatakan engkoh cilik
ini!"
"Jagoan Tionggoan memangnya sangat banyak, secara
beruntung kau menang dua babak, apanya yang perlu dibuat heran ?"
Diam2 Hotu memikirkan akal, ia menduga dua jago tertinggi
pihak musuh sudah dikalahkan kalau maju dua lagi juga tak perlu takut,
kuatirnya kalau orang main giliran, dua kalah segera maju lagi dua.
Sebab itu, lantas ia jawab: "Gurumu hendak berebut
kedudukan Beng-cu ini, memangnya boleh juga, cuma orang gagah di jagat ini
entah berapa ribu banyaknya, kalau harus bertanding sebabak dan sebabak lagi,
lalu harus bertanding sampai ka-pan?"
"Kalau orang lain yang menjadi Beng-cu, pasti guruku
tak ambil pusing, soalnya asal dia lihat gurumu itu, hatinya lantas gemas"
sahut Nyo Ko.
"Siapakah gurumu, apa dia,ada disini?" tanya
Hotu.
"Dia orang tua sekarang juga btrada di depan
matamu," sahut Nyo Ko tertawa, Lalu ia menoleh pada Siao-liong-Ii:
"Hai, Kokoh, dia menanyakanmu!"
Siao-liong-li menyahut sekali, iapun angguk2 kepada Hotu.
MuIa2 para kesatria tercengang, tetapi segera mereka
ter-bahak2 lagi, sebab wajah Siao-Iiong-li yang cantik molek, usianya tampaknya
malah lebih muda daripada Nyo ko, mana bisa menjadi guru-nya? jelas Nyo Ko
sengaja bergurau untuk goda Hotu.
Hanya Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng dan In
Ci-peng yang tahu bahwa apa yang dikatakan Nyo Ko itu memang betul"
Ui Yong sendiri meski menduga ilmu silat Nyo Ko pernah
dapat ajaran dari orang kosen, tetapi apun tak percaya bahwa gadis lemah lembut
sebaik Sieo-liong-Ii ini bisa menjadi gurunya ? Dan dengan sendirinya Hotu
lebih2 tak percaya, ia menjadi gusar.
"Siau-wan-tong (anak kecil nakal) ngaco-belo"
demikian bentaknya. "Hari ini para kesatria berkumpul semua di sini, masih
banyak urusan2 besar yang akan diselesaikan mana boleh kau mengacau terus di
sini? Lekas kau enyah pergi!"
Tetapi Nyo Ko tak gubris orang, ia berkata lagi:
"Ha, gurumu hitam lagi jelek, kalau bicara lurak-kelurak tak ada orang
tahu, Coba kau lihat guruku cantik, begini manis, kalau dia yang menjadi Bu-lim
Beng-cu, bukankah jauh lebih baik daripada gurumu si Hwesio hitam pelontos
itu?"
Terhadap urusan keduniawian sama sekali Siao-liong-li tak
pahami tapi demi mendengar Nyo Ko memuji kecantikannya tiba2 hatinya menjadi
senang dan bersenyum, betul saja ia bertambah cantik bagai bunga mawar yang
baru saja mekar.
Melihat cara Nyo Ko mempermainkan musuh semakin berani
semua orang pada merasa senang dan bersyukur, tetapi ada juga yang diam2
berkuatir kalau2 mendadak Hotu turun tangan keji
Betul saja, digoda sedemikian rupa, Hotu tak tahan lagi.
"Dengarlah para Enghiong seluruh jagat, kalau
Siau-ong bunuh anak nakal ini, itu adalah salah dia sendiri dan jangan salahkan
Siau-ong !" demikian ia berteriak.
Habis ini, kipasnya mengebas segera kepala Nyo Ko hendak
dihantamnya.
Tak terduga mendadak Nyo Ko juga berlaga seperti Iawan,
ia busungkan dada dan pelembungkan perut terus berteriak juga: "Dengarlah
para Enghiong seluruh jagat, kalau Siau-wan-tong (anak nakal) bunuh pangeran
ini, itu adalah salah dia sendiri dan jangan salahkan Siau-wan-tong!"
Dan di bawah suara tertawaan orang yang gemuruh, mendadak
iapun ayun penggayunya terus menyabet ke pantat Hotu.
Lekas2 Hotu mengegos, lalu kipasnya menutuk pula dari
samping, sebelah tangannya dengan cepat juga menghantam batok kepala Iawan,
serangan kipas hanya pancingan, tetapi hantaman telapak tangannya yang hebat,
pukulan ini digunakan sepenuh tenaganya, niatnya memang ingin hancurkan batok
kepala Nyo Ko.
Namun si Nyo Ko cukup sigap, sekali berkelit sekalian ia
tarik sebuah meja terus didorong ke depan, maka terdengarlah suara
"blang" yang keras, pukulan Hotu itu mengenai meja hingga remukan
kayu berceceran, meja itu sempal separuh
Melihat betapa hebat tenaga pukulannya, para ksatria
mau-tak-mau sama melelet lidah.
Sementara itu Hotu telah tendang pergi meja tadi,
menyusul ia berangsang maju lagi.
Nampak hantaman orang tadi begitu lihay, Nyo Ko juga tak
berani pandang enteng pula, ia ayun penggayu patah dan keluarkan
Pak-kau-pang-toat buat tempur orang.
Tipu2 Pak-kau-pang-hoat itu sudah dipelajari Nyo Ko
seluruhnya dan Ang Chit-kong, cara perubahannya dan inti rahasianya telah
diperolehnya pula dari Ui Yong sewaktu orang mengajar Loh Yu-ka, dasar Nyo Ko
cerdas dan pintar, begitu kedua hajaran itu digabung, ternyata ilmu permainan
tentung dapat digunakannya dengan leluasa dan teratur. Cuma sayang penggayu itu
sedikit berat, pula patah sebagian, pemakaiannya kurang leluasa, maka sesudah
belasan jurus ia kena dikurung diantara kipas dan telapak tangan Hotu.
Melihat tipu permainan Nyo Ko memang benar-benar ajaran
asli Pak-kau-pang-hoat meski cara memainkannya belum masak dan tipu serangannya
kurang tajam, tetapi gerak-geriknya sedikitpun tak salah maka tahulah Ui Yong
tentu senjata yang orang cocok, segera ia maju ke tengah, ia ulur pentung
bambunya menyela di tengah2 kedua orang.
"Ko-ji, kalau pukul anjing harus gunakan pentung
pemukul anjing, nah, biar pentungku ini kupinjamkan, kalau selesai kau hajar
anjing galak ini harus segera kau kembalikan," demikian kata Ui Yong.
Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing adalah senjata
pusaka Kay-pang yang tak dapat di gunakan orang lain kecuali Pang-cu sendiri,
maka lebih dulu Ui Yong kemukakan syaratnya hanya memberi pinjam saja.
Tentu saja Nyo Ko sangat girang, cepat ia sambut pentung
bambu itu.
"Paksa dia keluarkan obat pemunah," tiba Ui
Yong bisiki telinganya.
Nyo Ko tidak perhatikan pertarungan antar Hotu melawan Cu
Cu-liu, tadi maka ia tak mengerti obat penawar apa itu, selagi ia hendak tanya
atau dengan cepat, Hotu sudah memukul pula dari depan.
Namun Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing telah Nyo
Ko angkat ke atas terus menutuk ke perut orang.
Pentung bambu itu sangat keras lagi ulet dengan
Pak-kau-pang untuk main Pak-kau-pang hoat, dengan sendirinya sangat cocok dan
leluasa tentu saja daya tekanan Nyo Ko bertambah lipat.
Sebenarnya Hotu sedang hantam kepala orang tetapi demi
nampak pentung orang menjojoh perutnya di tempat "koan-goan-hiat" di
bawah pusar, tempat ini adalah urat nadi yang mematikan, bocah semuda ini
ternyata begitu jitu mengarah Hiat-to, mau-tak mau Hotu menjadi kaget.
Sudah beberapa kali ia bergebrak dengan Nyo Ko sejak tadi
tetapi karena marahnya ia tidak pandang berat bocah ini, kini nampak caranya
menutuk begitu jitu barulah ia pandang orang betul2 lawan yang tangguh, ia tak
berani ayal lagi, segera ia tarik tangan melindungi perut dan baliki kipas buat
menutupi dadanya.
Tidak sedikit tokoh silat terkemuka yang ikut menonton di
samping, demi melihat Hotu keluar kan gerak tipu itu untuk melindungi diri dan
terang mulai jeri terhadap Nyo Ko, semuanya semakin menjadi heran.
"Nanti duIu," "tiba2 Nyo Ko berhentikan
serangannya. "Siau-wan-tong tidak mau bergebrak percuma dengan orang, kita
harus pakai taruhan."
"Baik," sahut Hotu, "Kalau kau kalah, kau
harus menjura tiga kali padaku dan memanggil Yaya (engkong) tiga kali". .
"Panggil apa?" tanya Nyo Ko tiba2 pura2 tak
dengar.
Nyata ia keluarkan jebakan lagi - yang biasa di-gunakan
anak nakal di daerah Kanglam, jebakan semacam ini dikeluarkan secara mendadak,
bagi orang yang tak tahu sangat gampang tertipu.
Hotu sendiri dibesarkan di daerah Mongol dan Tibet yang
biasa bergaul dengan orang2 yang polos dan sederhana, dengan sendirinya ia tak
kenal cara kenakalan anak2-daerah Kanglam, maka seenaknya saja ia lantas
menjawab : "Panggil Yaya !"
"Em, cucu baik, coba panggil lagi sekali!",
tiba2 Nyo Ko menyahut.
Karena itu Hotu menjadi merah mukanya, ia insaf telah
"tertipu lagi, dengan murka kipas dan telapak tangannya segera menyerang
pula dengan hebat.
"Kalau kau kalah, kau harus berikan obat penawar
padaku," demikian kata si Nyo Ko sembari tangkis setiap serangan orang.
"Aku" kalah padamu?" teriak Hotu gusar.
"Hm, jangan kau mimpi, binatang cilik !"
"Binatang cilik memaki siapa?" mendadak Nyo Ko
membentak sambil angkat pentungnya.
"Binatang cilik memaki..." untung Hotu sempat
mengerem, kata2 "kau" belum sampai tercetus dari mulutnya mendadak ia
ingat dan kata2 terakhir itu ditelannya kembali mentah2.
"Haha, sekarang kau sudah pintar, ya !" ejek
Nyo Ko tertawa.
Meski kata2nya masih terus membanyol, tetapi tangkisannya
makin lama semakin berat dan sulit.
Maklumlah pangeran Hotu adalah murid kesayangan Kim-lun
Hoat-ong dan mendapat pelajaran ilmu silat kaum Lama dari Tibet, kalau dia bisa
bergebrak be-ratus2 jurus dengan murid It-teng Tay-su yang paling kuat, Cu
Cu-liu, maka betapa tinggi keuletannya sudah tentu Nyo Ko tak bisa
menimpaIinya.
Kalau mula2 Nyo Ko bisa permainkan orang itu karena Hotu
dibikin naik darah dengan akal liciknya yang nakal, tetapi kini bergebrak
dengan sungguh2, hanya beberapa puluh jurus saja lantas kelihatan Nyo Ko
terdesak di bawah angin.
Sungguhpun begitu, melihat bocah semuda ini bisa bertahan
begitu lama melawan Hotu, para kesatria sangat kagum dan sama memujinya setinggi
langit mereka pada bertanya anak murid siapakah pemuda itu?
Dalam pada itu melihat lawannya sudah mulai terdesak,
pukulan2 Hotu semakin diperkuat
Menurut aturan, dengan Pak-kau-pang-hoat lihay yang Nyo
Ko mainkan itu, seharusnya ia bisa menangkan musuh, tetapi ilmu permainan
tongkat itu ia dapatkan cara2nya dari Ang Chit-kong, sedang mengenai inti
permainannya baru saja ia dengar dari Ui Yong, kini ia gabungkan ajaran kedua
orang itu untuk melawan musuh dengan baik, tapi kalau mendadak hendak keluarkan
daya tekanan yang tiada tandingan dari Pang-hoat itu, dengan sendirinya masih
belum dapat Maka tak lama lagi, akhirnya Nyo Ko mulai kewalahan.
Sejak tadi Kwe Hu dan Bu-si Hengte ikut menyaksikan
pertarungan itu, mula2 mereka tidak menduga bahwa Nyo Ko berani tampil ke muka,
Bu-si Hengte angap Nyo Ko tolol dan berani mati, pasti akan tahu rasa oleh
hajaran musuh, tetapi Kwe Hu justru membantah mereka dan bilang Nyo Ko seorang
pemberani serta cerdik.
Tentu saja kedua saudara Bu itu merasa cemburu. MuIa2
mereka merasa lega ketika melihat datangnya Siao-liong-li yang begitu rapat dan
hangat dengan Nyo Ko, tetapi belakangan Nyo Ko panggil Siao-liong-li sebagai
"Suhu", walaupun belum tahu benar atau tidak, namun perasaan kedua
pemuda ini menjadi berat lagi. Kini melihat Nyo Ko kena didesak Hotu hingga
kalang ,kabut, merekah tahu tidak seharusnya bergirang, tetapi aneh, dalam hati
mereka justru mengharap Nyo Ko bisa dihajar orang sekeras-kerasnya.
Begitulah perasaan Bu-si Hengte yang kusut, sebentar senang
lain saat muram, dalam sekejap saja sudah beberapa kali berubah perasaan.
Kwe Hu sendiri meski tak tertarik oleh Nyo Ko, tetapi
iapun tidak membenci, ia anggap orang tak perlu dipikirkan meski ayahnya bilang
dirinya hendak dijodohkan pada pemuda itu, tetapi ia percaya akhirnya urusan
ini pasti tak jadi, demi dilihatnya ilmu silat Nyo Ko bukan main hebatnya, hal
ini juga membuatnya ter-heran2, ketika dilihatnya Nyo Ko akan kalah, ia ikut
berkuatir atas diri pemuda ini.
Dalam pada itu Nyo Ko juga sadar dalam sepuluh jurus lagi
pasti dirinya akan terjungkal dihantam musuh.
Selagi berbahaya, tiba2 dilihatnya Siao-liong-li sedang
memperhatikan dirinya sembari bersandar pada tiang rumah, tampaknya setiap saat
juga gadis ini akan turun tangan buat membantu. Nyo Ko tergerak pikirannya,
mendadak pentungnya menyabet, habis ini tubuhnya terus mencelat pergi, ia
melompat lewat di atas kaki Siao-liong-li yang duduk bersandarkan tiang itu.
"Lari ke mana?" bentak Hotu sambil mengudak.
Tak terduga sedikit Siao-liong-li angkat kedua kakinya,
Kaki kanan menendang "kun-lun-hiat" di mata kaki kanan Hotu, sedang
ujung kaki kiri mengarah pula "Yong-coan-hiat" di kakinya yang kiri.
Memangnya ilmu silat Hotu memang sangat hebat, batu
sedikit kala Siao-liong-li menjengkit, sebelum orang tak memperhatikan atau dia
sudah tahu orang hendak serang dirinya dengan tipu yang sangat lihay.
Dalam sibuknya itu ia sempat gunakan gerakan
"wan-yan-Iian-goan-tui atau tendangan berantai yang mengapung di udara,
dengan demikian barulah serangan Siao-liong-Ii yang tak kelihatan itu dapat
dihindarkannya.
Nyo Ko sendiri sewaktu melompat lewat kaki Siao-lioag-li
sudah menduga bakal terjadi peristiwa itu, maka tidak menunggu musuhnya turun,
pentung bambunya terus menyodok lagi.
Tetapi dengan kipasnya Hotu tahan ujung pentung orang
terus melompat ke samping, ia berdiri jauh dari Siao-liong-li dan memandang
beberapa kali pada gadis ini, pikirnya: "Daerah Tionggoan nyata memang
banyak orang pandai, hanya kedua muda-mudi ini saja, kenapa ilmu silatnya
begini hebat?"
Dalam pada itu dengan menggunakan keuntungan kejadian
itu, segera Nyo Ko melontarkan tipu2 serangan Pak-kau-pang-hoat, beruntun ia
keluarkan tiga serangan yang mematikan hingga Hotu kececar kalang kabut dan
terpaksa bertahan sekuatnya, siapa tahu serangan keempat Nyo Ko tak bisa lagi
menggunakan kebagusan Pang-hoat itu hingga sedikit terlambat gerakannya,
kesempatan ini digunakan Hotu untuk melakukan serangan balasan, maka kembali
Nyo Ko terdesak di pihak asor lagi.
Bagi orang yang tak kenal Pak-kau-patig-hoat tak menjadi
soal, tetapi Ui Yong merasa sayang akan kelambatan Nyo Ko itu, segera ia
menembang: "Putar pentung cepat pakai gerakan bagus, hantam anjing galak
dari samping tanpa menoleh"
Apa yang diuraikan Ui Yong ini adalah istilah
Pak-kau-pang-hoat yang sangat dalam artinya, Nyo Ko belum pernah mendapatkan
petunjuk2 dari orang pandai, ia tak tahu cara bagaimana dan kapan tipu serangan
itu harus dilontarkan tetapi demi mendengar uraian Ui Yong, betul saja
pentungnya segera menyamber dan menyodok dengan cepat.
Gerak serangannya sangat aneh, namun Nyo Ko sendiri belum
tahu bagaimana hasilnya, siapa tahu, dengan tepat pentungnya justru memapaki
kipas Hotu yang waktu itu lagi mengebas hingga terpaksa Hotu Iekas2 meloncat
pergi menghindarkan diri.
"Bagaimana cara pukul anjing kelabakan yang
meloncati dinding? Hantam pantat anjing dan gebuk ekornya!" kembali Ui
Yong menembang pula.
Harus diketahui Pang-hoat turun temurun dari Kay-pang
ini, diantara kaum pengemis dengan sendirian tiada cendekia, atau terpelajar
maka kata2nya sudah tentu biasa saja, orang lain2 mengira setelah Ui Yong itu
digunakan memaki musuh sebagai anjing, tak tahunya justru Nyo Ko lagi diberi
petunjuk.
"Pak-kau-pang-hoat itu meski dibilang tak
"diturunkan pada orang luar kecuali Pangcu, tetapi pertama Nyo Ko mahir
sendiri, kedua, pertandingan ini besar hubungannya dengan nasib negara dan
harus dimenangkan maka Ui Yong tidak pikirkan batas peraturan Kay-pang lagi, ia
masih terus mengutarakan istiiah2 Pang-hoat untuk memberi petunjuk pada Nyo Ko
disesuaikan dengan keadaan masing2 yang lagi saling labrak itu.
Dan karena setiap uraiannya adalah intisari yang tepat,
ditambah Nyo Ko memang cerdik, beberapa kali berhasil, maka iapun tidak sangsi
lagi, begitu dengar kata Ui Yong, segera dilontarkan tipu serangannya.
Daya kekuatan Pak-kau-pang-hoat ini memang nyata luar
biasa hebatnya, percuma saja Hotu memiliki ilmu silat tinggi, ia terdesak
hingga main putar terus oleh ancaman pentung bambunya Nyo Ko tanpa bisa membalas.
Karena itu, tampaknya dua-tiga gebrak lagi pasti Hotu
akan jatuh kalah, dengan mata terpentang lebar2 para kesatria itu menjadi
girang luar biasa tercampur kagum.
"Nanti du!u!" teriak Hotu mendadak sambil desak
Nyo Ko mundur setindak.
"Ada apa? Sudah ngaku kalah?" kata Nyo Ko
tertawa.
"Kau bilang berebut Beng-cu untuk gurumu kenapa yang
kau pakai adalah ilmu silatnya Ang Chit-kong?" sahut Hotu dingin, mukanya
muram gelap. Dan kalau bilang berebut Beng-cu untuk Ang Chit-kong, bukankah
tadi sudah terjadi bertanding dua babak sebenarnya kau sengaja main kelit dan
ngawur atau ada maksud lain?"
Betul juga pikir Ui Yong, kata2 orang memang susah
didebat, selagi hendak main pokrol2an untuk membantah orang, mendadak Nyo Ko
membuka suara.
"Ya, apa-yang kau katakan sekali ini masih terhitung
masuk akal" demikian sahut Nyo Ko, "Pang-hoat ini memang ajaran
Suhuku, sekalipun mengalahkan kau agaknya kaupun belum mau takluk. Kalau kau
mau berkenalan dengan ilmu silat perguruanku, hal inipun tidak susah. Kalau aku
tadi pinjam ilmu silat aliran lain sebab aku takut kau akan lebih celaka jika
aku keluarkan kepandaian perguruanku sendiri."
Kiranya demi mendengar teguran Hotu, segera Nyo Ko ingat
kalau menangkan orang dengan Pak-kau-pang-hoat, kepandaian Kokoh mana bisa
dikenal orang? Dan bukankah Kokoh akan mengomeli aku lupa pada kebaikannya?
Padahal pikiran Siao-liong-li polos, dalam hatinya penuh
rasa hangat dan manis madu terhadap Nyo Ko, asal bisa pandang si pemuda rasanya
sudah puas dan tidak terpikir lagi segala urusan lain, baik Nyo Ko menang atau
kalah juga boleh, segalanya tak dianggap penting olehnya, apalagi soal ilmu
silat yang digunakan itu, apakah itu diberi petunjuk Ui Yong atau tidak, hal
ini lebih2 tak di-perhatikannya.
Dan karena jawaban Nyo Ko tadi, diam2 Hotu membatin:
"Bagus, kalau kau tak menggunakan Pak-kau-pang-hoat, dalam sepuluh jurus
juga aku nanti cabut njawamu."
Maka dengan tertawa dingin iapun berkatalah:
"Baiklah kalau begitu, aku ingin belajar kenal dengan ilmu silat
perguruanmu yang hebat" ilmu kepandaian yang paling apal dan paling bagus
yang dilatih Nyo Ko dalam kuburan kuno itu adalah Kiam-hoat, dengan sendirinya
ia lawan orang dengan kemahirannya ini.
"Diantara Tuan2 siapa yang sudi memberi pinjam
sebatang pedang ?" demikian segera ia berkata terhadap para kesatria.
Antara hadirin sebanyak ribuan orang itu sedikitnya ada
dua ratusan yang membawa pedang, maka be-ramai2 mereka sama menyahut dan ingin
memberi pinjam.
"Kau pakai pedang ini saja!" kata Sun Put-ji
tiba2 sambil melompat maju dan angsurkan pedangnya yang bersinar mengkilap
tajam.
Nyata meski Hek Tay-thong dan Sun Put-ji sangat marah
terhadap khianatnya Nyo Ko pada Coan-cin-kau mereka, tetapi kini melihat si
pemuda melawan musuh sepenuh tenaga dan membela nama negara, seketika juga
mereka kesamping-kan urusan pribadi itu dan Sun Put-ji lantas angsurkan pedang
pusakanya pemberian mendiang gu-runya, Ong Tiong-yang.
Melihat pedang itu begitu bagus, Nyo Ko menduga pasti
pedang wasiat yang bisa potong emas dan rajang batu, kalau dipakai melawan Hotu
tentu tidak sedikit keuntungannya, Tetapi ketika dilihatnya jubah imam yang
dipakai Sun Put-ji, seketika teringat olehnya hinaan dan penderitaan yang
pernah dia rasakan di Tiong-yang-kiong dulu dan terbayang juga kematian Sun-popoh
di bawah tangan Hek Tay-thong, mendadak matanya mendelik pedang itu tak
diterimanya, sebaliknya dari tangan seorang murid Kay-pang ia ambil sebatang
pedang tua hitam karatan.
"Biarlah kupinjam pedang Toako ini," demikian
ia berkata.
Tentu saja Sun Put-ji serba salah hingga terpaku di
tempatnya. sungguh tidak kepalang amarahnya, dengan maksud baik ia pinjamkan
pedangnya tetapi orang berbalik begitu kurangajar, baiknya ia bisa kuasai
dirinya, ia merasa tidak enak cekcok sendiri selagi musuh luar berada di depan
mata, maka dengan menahan amarahnya ia kembali lagi ke tempatnya tadi.
Sikap Nyo Ko tadi juga terlalu keras, terlalu menyolok ia
unjukkan perasaannya. sebenarnya kesempatan itu dapat dipergunakannya untuk
memperbaiki hubungannya dengan Coan-cin-kau, tetapi lantaran tindakannya itu,
hubungan mereka semakin menjadi renggang.
Di lain pihak ketika melihat Nyo Ko tidak terima Pokiam,
sebaliknya ambil pedang bejat yang sudah karatan, hati Hotu terkesiap dan
bertambah jeri, sebab seorang yang ilmu silatnya sudah sampai puncaknya, setiap
gerakan, setiap tindakan sudah cukup untuk melukai orang dan tak perlu
lagidengan senjata tajam, maka ia pikir apa orang betul2 begitu temberang,
cukup menggunakan sebatang pedang karatan saja?..
Segera iapun pantang kipas lempitnya, ia-kebas2 beberapa
kali dan segera hendak membuka suara menantang." Tiba2 dengan ujung pedang
Nyo Ko menuding empat huruf di atas kipasnya yang ditulis Cu Cu-liu itu.
"Haha, kau adalah bangsa biadab, semua orang sudah
tahu, tak perlu kau pamer." demikian ejek Nyo Ko tertawa.
Muka Hotu menjadi merah, "cret", mendadak
kipasnya ia lempit kembali hingga berwujud sebuah pentung pendek, terus saja ia
tutuk pelahan ke "koh-cing-hiat" di pundak Nyo Ko, berbareng telapak
tangan kiripun memukul dengan tenaga penuh. Selama beberapa tahun Nyo-Ko giat
berlatih dalam kuburan kuno, semua inti pokok dari ilmu silat aliran
Ko-bong-pay itu telan dipelajarinya: ilmu silat Giok-li-sim-keng ciptaan Lim
Tiao-eng yang dilatihnya sendirian dalam kuburan kuno, sampai Ong Tiong-yang,
itu jago silat yang diakui nomor satu di seluruh jagat juga kalah padanya, baru
kemudian sesudah Ong Tiong-yang mendapatkan "Kiu-im-cin-keng", Lim
Tiao-eng dapat dikalahkannya lagi.
Setelah Lim Tiao-eng ciptakan ilmu silatnya itu iapun tidak
pernah keluar lagi dari kuburan, belakangan hanya diturunkan pada dayang
kepercayaannya dan dayangnya itu menurunkannya pada Siao-liong-Ii, ketiga
perempuan ini bukan saja tak pernah berpijak di kalangan Bu-lim, bahkan Cong
lam-san pun tak pernah turun selangkahpun. Meski Li Bok-chiu adalah Suci atau
kakak seperguruan Siao-liong-li, tetapi gurunya sudah keburu tahu jiwanya yang
busuk, maka ilmu silat yang paling tinggi belum diturunkan padanya.
Kini Nyo Ko keluarkan ilmu silat Ko-bong-pay yang tiada tandingannya
itu, diantara para hadirin yang berkumpul dari segala golongan dan segala
aliran itu, kecuali Siao-liong-li sendiri ternyata tiada seorangpun yang kenal
Kiam-hoat apa yang dimainkan Nyo Ko itu.
Pencipta ilmu silat yang hebat ini asalnya seorang
wanita, pula dua keturunan muridnya juga wanita semua, mau-tak-mau gayanya
menjadi lemah-lembut dan kurang ganas. Begitu juga ketika Siao-liong-li ajarkan
gerak tipunya pada Nyo Ko, gerak-geriknya membawa gaya perempuan yang lemah
gemulai Tetapi setelah Nyo Ko dapat memahami seluruhnya, ia telah ubah semua
gaya wanita itu hingga lebih gesit dan lebih cekatan.
Dasar Ginkang dari Ko-bong-pay memang tiada taranya, maka
tertampaklah Nyo Ko lari mengitari ruapgan dengan cepat, belum selesai tipu
yang satu, serangan kedua sudah menyusul lagi ke sana pedangnya mengarah, tahu2
orangnya pun sudah sampai, baru belasan jurus dari Kiam-hoat--nya yang hebat
itu dilontarkan, para kesatria itu tiada satupun yang tak kagum.
Sebenarnya ilmu silat kipas pangeran Hotu terhitung juga
satu keistimewaan dalam dunia silat, cara2 menyerangnya juga mengutamakan
kelemasan dan kegesitan, tetapi kini kebentur Ginkang dari Ko-bong-pay yang
hebat, nyatalah sedikitpun ia tak bisa berkutik ditambah lagi kipasnya kena
ditulis empat huruf oleh Cu Cu-liu dan tadi telah di-olok2 Nyo Ko, maka tak
berani lagi dipentang, hingga karena itu ilmu silat kipasnya kena dikorting
lagi.
Di sebelah sana, setelah tahu ilmu silat Nyo Ko ternyata
begitu lihay, Bu-si Hengte menjadi mati kutu, bersama Kwe Hu, enam mata
terpentang lebar2 dan tak bisa bicara lagi.
Diantara para penonton itu, orang yang paling girang
rasanya tiada lain daripada Kwe Cing, sungguh tak diduganya bahwa putera adik
angkatnya yang sudah almarhum itu bisa melatih silat sebegitu tinggi sampai ia
sendiri tak mengetahui dari aliran mana, bila teringat hubungan keluarga Nyo Ko
dan Kwe, tanpa terasa, ia menjadi terharu bercampur girang.
Waktu Ui Yong melirik sang suami dan melihat matanya rada
merah, sedang ujung mulutnya tersungging senyuman, ia tahu akan pikiran sang
suami, maka tangan Kwe Cing digenggamnya erat2.
Merasa tak ungkulan, Hotu menjadi gelisah sekali, ia
pikir kalau hari ini terjungkal di tangan bocah ini, maka namanya boleh
dikatakan terhanyut seluruhnya, jangan lagi hendak menjagoi Bu-lim?
Dalam pada itu dilihatnya Nyo Ko telah menyerang pula,
sekali tusuk mengarah tiga tempat bagian atas, kalau dia melompat berkelit itu
berarti jatuh di bawah angin, maka tak dihiraukan lagi akan oIok2 orang, segera
kipasnya dipentang untuk tangkis tiga tusukan orang, berbareng itu ia
meng-gertak2, iapun balas menyerang dengan "Hong hong-siok-lui-kang"
(ilmu angin badai dan petir kilat), ia kebas lengan baju dari kiri dan kipas
dari kanan menerbitkan angin santar, sedang mulutnya terus meng-gertak2 keras
seorang jagoan Bu-lim menandingi pemuda tak terkenal ternyata terpaksa harus
keluarkan ilmu kepandaian terakhirnya untuk membela diri, seumpama akhirinya
menang pasti juga akan kehilangan pamor, Akan tetapi asal tak kalah saja Hotu
sudah terima, mana bisa dipikir yang Iain-lain.
Maka sembari mem-bentak2, serangan2nya juga semakin
ganas, sebaliknya Nyo Ko berlaku tenang saja dengan sikapnya yang gagah
menarik, memangnya ilmu pedang "Bi-li-kiam-hoat" atau ilmu pedang si
gadis ayu mengutamakan gaya manis, kini dibentak2 Hotu tentu saja semakin
menambah kehalusan dan keindahannya.
Tetapi karena Nyo Ko hanya mengutamakan gaya serangannya
yang indah, dalam hal daya tekanan menjadi sukar dilontarkan seluruhnya,
sebaliknya Hotu sudah nekat, makin tempur makin kalap dan tidak sayang buat adu
jiwa, karenanya lambat laun Nyo Ko jadi payah sendiri.
Melihat cara pertarungan itu, Kwe Cing dan Ui Yong yang
ilmu silatnya sangat tinggi lantas tahu Nyo Ko bakal kecundang, maka alis
mereka terkerut semakin rapat, lebih2 ketika dilihatnya angin pukulan Hotu
semakin keras dan tambah cepat, diam2 mereka kuatir.
Tak terduga mendadak Nyo Ko ayun pedang-nya, lalu
terdengar ia berseru : "Awas, aku akan melepas Am-gi!"
Tadi Hotu telah robohkan Gu-liu dengan pakunya yang
berbisa, kini demi mendengar peringatan Nyo Ko, ia sangka pedang orang juga
sama seperti kipas lempitnya yang di dalamnya tersembunyi Am-gi atau senjata
rahasia, kalau tadi ia menang dengan cara yang licik, maka kini tidak bisa
salahkan lawan kalau cara itu ditiru, Karena itu, ketika dilihatnya Nyo Ko ayun
pedangnya, lekas ia melompat ke kiri.
Siapa tahu gerak tangan Nyo Ko hanya palsu belaka,
sebaliknya pedangnya terus menusuk, mana ada bayangan senjata rahasia yang
dikatakannya ?
Tahu tertipu, Hotu menjadi gusar, ia mendamperat:
"Binatang cilik !"
"Binatang cilik memaki siapa ?" tanya Nyo Ko.
Tetapi Hotu sudah pintar sekarang ia tidak menjawab,
hanya serangannya bertambah gencar.
"Awas senjata rahasia !" kembali Nyo Ko berseru
sembari ayun tangan kirinya.
Dengan cepat Hotu melompat ke kanan, di sangkarnya sekali
ini benar2 orang menghamburkan Am-gi, siapa tahu pedang Nyo Ko justru menusuk
dari kanan secepat kilat, lekas2 ia membungkuk dan mengkeret tubuh, ujung
pedang orang tahu2 menyamber lewat di bahunya jaraknya tidak lebih hanya
satu-dua senti saja.
Tusukan itu sangat berbahaya dan cukup keji, tetapi
karena tak kena sasarannya, para kesatria itu sama berteriak : "Sayang
!" sebaliknya para Bu su atau jago silat Mongol pada bersyukur.
Meski Hotu bisa lolos dari "lubang jarum",
namun tidak urung keringat dingin sudah membasahi tubuhnya.
"Awas Am-gi !" lagi2 ia dengar Nyo Ko berseru
dengan tertawa sembari ayun tangan kiri.
Sekali ini tak digubrisnya, Hotu terus ayun tangan
memapaki orang, betul juga kembali lawannya mengapusi belaka.
Karena gagal tipunya, mendadak Nyo Ko menubruk maju,
untuk kesekian kalinya ia ayun tangan lagi dan memperingatkan pula dengan
tertawa : "Awas Am-gi!"
"Bin..." belum sampai suku kata pertama ini
diucapkan atau mendadak pandangan Hotu menjadi silau, tahu2 sinar perak
gemerdep menyamber dari depan.
Sekali ini jaraknya sudah terlalu dekat, lagi pula ia
sama sekali tak ber-jaga2 sesudah beberapa kali kena diapusi, maka tiada jalan
lain kecuali melompat ke atas, tetapi tahu2 kakinya terasa sakit tertusuk,
beberapa benda kecil lembut sudah menancap di kakinya.
Tertipunya ini persis mirip dengan caranya melukai Cu-liu
dengan akal licik tadi, tetapi dipikirnya- senjata orang hanya lembut kecil,
meski kena tentunya tidak besar alangannja, dalam gusarnya Hotu menjadi kalap,
kipasnya menutul dan tangannya memukul hebat dengan tujuan mematikan Nyo Ko
seketika.
Tahu serangannya sudah berhasil, mana mau Nyo Ko terlibat
dalam pertarungan lagi, ia putar pedangnya menjaga diri dengan rapat.
"Hahaha, sayang dengan ilmu silatmu setinggi ini,
kini harus terbinasa di sini, sungguh sayang, sayang sekali!" demikian Nyo
Ko tertawa terbahak-bahak.
Sedang Hotu hendak merangsang maju, se-konyong2 pahanya
terasa kaku dan gatal seperti kena digigit nyamuk besar saja, ia coba menahan
rasa gatal itu buat tetap melontarkan serangannya, siapa tahu tempat yang kaku
gatal itu cepat sekali bertambah hebat.
"Celaka, Am-gi binatang cilik ini berbisa"
seketika ia terkejut Baru terpikir demikian atau rasa gatal pahanya sudah tak
bisa ditahan lagi, saking tak tahan tanpa menghiraukan ada musuh besar berada
di depan mata, kipas ia lempar dan tangan diulur untuk meng-garuk2 tempat yang
gatal itu.
"Kalau tak digatuk masih mendingan, sekali digaruk,
celaka tigabelas, rasa gatal-geli seketika meresap sampai tuIang-sungsum."
saking tak tahan ia ber-teriak2 dan ber-kaok2 sembari bergulingan di ruangan
pendopo.
Hendaklah diketahui bahwa racun Giok-hong" atau atau
jarum tawon putih yang sakti dari Ko bong-pay itu jarang dilihat dan didengar
di jagat ini, terkena sebuah saja tak tahan, apa lagi kini terkena beberapa
buah?
Saking lembutnya Giok-hong-tiam itu, waktu Nyo Ko
menyerang, sebagian besar para kesatria itu tak tahu, hanya mendadak terlihat
Hotu jatuh ber-guling2 hingga tak mengerti kepandaian apa yang digunakan Nyo Ko
untuk merobohkan lawannya.
Sementara paderi Tibet si Darba telah lari maju, ia
angkat sang Sute dan diserahkan pada gurunya, habis ini ia putar balik dan
berkata pada Nyo Ko: "Anak kecil mari aku coba2 kau !" -sambil
berkata gada emas segerapun menyerampang ke pinggang Nyo Ko.
Gada itu sangat berat dan begitu menyamber lantas
menerbitkan sinar emas, maka betapa besar tenaga dan betapa cepat gerak tangan
Darba dapat dikira-kirakan.
Namun Nyo Ko tidak berkelit ia berdiri tegak, hanya
pinggangnya mendadak menekuk ke dalam dan dengan tepat gada orang menyamber
lewat di depan perutnya.
Siapa tahu Darba memang hebat gerak tangan-nya, begitu
gada tak kena sasaran, mendadak senjata itu ia tahan di tengah jalan, dari
menyerampang tadi tiba2 berubah menyodok ke depan, ke perut Nyo Ko.
Perubahan serangan ini sama sekali di luar dugaan semua
orang, Nyo Ko sendiri juga terkejut lekas2 ia tahan pedangnya ke atas gada
orang dan tubuhnya lantas mencelat ke atas dengan meminjam tenaga lawan.
Sekali sodok tak kena, tanpa menunggu turunnya Nyo Ko,
dengan kencang Darba sudah menghantam lagi, tetapi lagi2 Nyo Ko menahan ke atas
padanya dan untuk kedua kalinya mencelat ke atas,
"Lari ke mana ?" bentak Darba sengit Menyusul
gada emasnya mengemplang pula.
Dengan tubuh terapung di udara, dengan sendirinya Nyo Ko
tak leluasa buat bergerak, nampak keadaan sangat berbahaya, terpaksa ia
keluarkan gerakan untung2an, mendadak ia tangkap ujung gada orang, berbareng itu
pedangnya terus memotong lurus ke bawah mengikuti batang gada itu.
Dengan cara ini, kalau tenaganya tak banyak selisih
dengan Darba, tiada jalan lain bagi Darba kecuali lepaskan gadanya. Tetapi kini
tenaga Darba berkali lipat lebih kuat dari pada Nyo Ko, ketika sekuatnya ia
menarik, dengan cepat Darba melompat mundur.
Melihat Ginkang Nyo Ko begitu tinggi, gerak-geriknva
gesit, tiba2 Darba menanya: "Tidak jelek kepandaian anak kecil, siapakah
yang mengajarkan kau?"
Ia berkata dalam bahasa Tibet, sudah tentu sepatah kata
saja Nyo Ko tak paham, ia menyangka orang lagi memaki dirinya, maka iapun
menirukan suara orang, iapun ucapkan apa yang dikatakan Darba.
Dasar pembawaan Nyo Ko memang pintar, beberapa kata2
Tibet itu diucapkannya dengan fasih sekali susunannya juga tiada yang terbalik
sedikitpun, maka dalam pendengaran Darba kata2 Nyo Ko itu menjadi: "Tidak
jelek kepandaian anak kecil, siapakah yang mengajarkan kau?"
Oleh karena itu, tanpa pikir Darba menjawab. "Suhuku
ialah Kim-lun Hoat-ong. Aku bukan anak kecil, kau harus panggil aku Hwesio
besar."
Dengan sendirinya Nyo Ko tak mengerti pula. tapi
sedikitpun ia tak mau diakal, ia pikir: "Pendeknya tak peduli kau mencaci
maki aku dengan kata2 yang paling keji, asal aku kembali mangkok penuh, maka
tidaklah kalah dalam cacimaki Meski kau gunakan bahasa asing memaki aku anjing
babi, binatang, kontan bulat akupun maki kau ahjing, babi binatang."
Maka ia dengarkan kata2 orang dengan cermat, begitu orang
selesai bicara, dengan lagu suara yang sama dalam bahasa Tibet iapun berkata:
"Suhuku ialah Kim-lun Hoat-ong. Aku bukan anak kecil, kau harus panggil
aku Hwesio besar."
Keruan saja Darba ter-heran2, dengan kepala miring2 ia
mengamat-amati orang dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan, ia pikir, aneh,
terang kau ini anak kecil, kenapa bilang Hwesio besar! Dan kenapa bilang gurumu
juga Kim-lun Hoat-ong?
Segera ia berkata lagi: "Aku adalah murid angkatan
pertama Hoat-ong, dan kau angkatan berapa ?"
---------- gambar -------------
Betapa hebat tenaga Darba, gada emas yang berat itu
terayun enteng mengepruk kepala Nyo Ko.
Kedua kaki Nyo Ko tidak bergerak, dia mendak miring
berbareng pedang besi ditekan ke atas gada, , meminjam tenaga badannya terbang
ke atas
---------------------------------
Kontan Nyo Ko juga menjawab : "Aku adalah murid
angkatan pertama Hoat-ong, dan kau angkatan ke berapa ?"
Supaya diketahui bahwa dalam ajaran agama Lama di Tibet,
biasanya terdapat apa yang disebut "reinkarnasi" atau penjelmaan
kembali. Tatkala itu Dalai dan Pancen Lama belum ada, tetapi kepercayaan
tentang menitis kembali biasanya sangat dipuja oleh setiap pemeluk agama Lama.
Kebetulan waktu mudanya Kim-lun Hoat-ong pernah menerima
seorang murid, murid ini mati sebelum umur 20 tahun, Darba dan Hotu belum
pernah kenal Suheng itu, hal ini cuma sekadar diketahui saja.
Kini mendengar apa yang dikatakan Nyo Ko tadi, Darba
mengira Nyo Ko betul2 reinkarnasi Suhengnya, ia pikir kalau orang bukan anak
sakti yang menitis dengan membawa kepandaian, mana mungkin pemuda seperti ini memiliki
ilmu silat begini tinggi ? Lagipula dia adalah pemuda Han, kenapa fasih bicara
bahasa Tibet?
Karena itulah, ia terus ngira2 mengamat-amati orang
sambil kepala miring2, makin dilihat makin sama dan semakin percaya, sampai
akhirnya mendadak ia lemparkan gada emasnya terus berlutut menyembah2 pada Nyo
Ko.
Kelakuan Darba ini sungguh membikin Nyo Ko ter-heran2, ia
pikir apa Hwesio ini tak ungkulan cacimaki dan kini terima tunduk mengaku kalah
padaku? Dan bagi penonton yang banyak itu keruan saja terlebih heran luar
biasa. Lucunya semua tak paham dan tidak diketahui tanya jawab dalam bahasa
"Mikuluk - kikiluluk" antara Nyo Ko dengan Darba tadi
Dalam pada itu yang paling terang duduknya perkara
rasanya hanya Kim-lun Hoat-ong, ia- tahu Darba terlalu polos hingga kena ditipu
Nyo Ko.
"Darba," segera ia buka suara, "ia bukan
titisan Suhengmu, lekas bangun dan bertanding dengan dia,"
"Suhu," seru Darba sambil meloncat bangun
terkejut, "aku lihat ia pasti Toa-suheng, kalau tidak, umur semuda ini
mana bisa mempunyai kepandaian seperti ini?"
"Toa-suhengmu jauh lebih kuat ilmu silatnya dari
pada kau, sebaliknya bocah ini se-kali2 dibawahmu," kata Kim-lun Hoat-ong.
Tetapi Darba geleng2 kepala, tetap tak mau percaya.
Kim-lun Hoat-ong kenal watak muridnya ini teramat lurus,
untuk memberi penjelasan seketika juga tak bisa terang, maka ia katakan pula:
"Jika kau tak percaya, kau jajal dia tentu lantas tahu."
Terhadap apa yang dikatakan sang Suhu biasanya Darba
percaya bagai malaikat dewata, kalau dia bilang Nyo Ko- bukan inkarnasi
Toa-suheng tentunya memang bukan, Tetapi umur semuda ini memiliki ilmu silat
begitu hebat, hal ini membikin Darba tak bisa tidak percaya, tetapi ia turut
juga perintah sang guru dan bertanding pula untuk menjajal kepandaian asli
orang, ia ingin lihat siapa yang menang dan siapa kalah dengan begitu soalnya
lantas bisa diputus.
Maka lebih dulu ia angkat tangan dan berkata pada Nyo Ko:
"Baiklah, biar kucoba ilmu silatmu tulen atau palsu, kita tentukan
berdasarkan menang dan kalah ini,"
Melihat Darba berdiri lalu "kilakiluk" entah
berkata apa lagi, hanya sikapnya sangat menghormat Nyo Ko sangka orang telah
ucapkan beberapa patah kata yang sopan, maka tanpa merubah sedikitpun ia
tirukan lagu suara orang dan mengulangi mengucapkan sekali lagi
Tentu saja dalam pendengaran Darba menjadi "Baiklah,
biar kucoba ilmu silatmu, tulen atau palsu, kita tentukan berdasarkan menang
atau kalah ini" - Maka Darba juga lantas menjawab-"Harap kau berlaku
murah hati."
Segera Nyo Ko tiru dan menyahut: "Harap kau berlaku
murah hati,"
Melihat kedua orang itu mengoceh terus dalam bahasa
Tibet, Kwe Hu jadi heran, ia mendekati Ui Yong dan tanya sang ibu: "Mak,
apa yang mereka percakapkan?"
Sejak tadi Ui Yong sudah mengetahui Nyo Ko hanya
menirukan lagu suara orang secara komplit dan untuk main2 saja sebagai orang
muda umum-nya, kenapa mendadak Darba sembah2 padanya hal inipun membikin dia
bingung tak habis mengerti.
Maka ketika ditanya puterinya, ia menjawab singkat saja:
"O, Nyo-koko hanya berkelakar saja dengan dia."
Belum habis ia berkata, mendadak dilihatnya Darba angkat
gada terus mengemplang ke arah Nyo Ko.
Darba anggap sebelumnya sudah dikatakan hendak menjajal
tentunya lawan sudah siap sedia, sebaliknya melihat sikap orang tadi ramah dan
menghormat Nyo Ko tidak menduga orang akan mendadak melakukan serangan, maka
pukulan itu hampir2 saja kena kepalanya, untung sempat ia melompat ke belakang.
Tetapi segera ia merangsang maju lagi terus menusuk tiga
kali susul menyusul. Darba sendiri sudah punya rasa jeri, ia kuatir Nyo Ko
sudah lama, ikut gurunya, ilmu silatnya tentu lain daripada yang lain, maka ia
berjaga rapat tanpa berani ayal.
Sesudah beberapa jurus lagi, Nyo Ko tahu lawan hanya
menjaga diri saja tanpa menyerang, meski tak mengerti maksud tujuan orang, tapi
kebetulan baginya untuk melancarkan serangan2, tanpa sungkan2 lagi ia tusuk
sini dan bacok sana, ilmu pedang "si gadis ayu" menjadi lebih indah
gayanya dan menarik.
Akhirnya Kim-lun Hoat-ong menjadi tak sabar, ia
membentak: "Darba, lekas kau balas hantam, ia bukan Toa-suhengmu !"
Sebenarnya kepandaian Darba masih di atas Nyo Ko, cuma
merasa takut, ilmu silatnya lantas surut separoh, sebaliknya Nyo Ko bisa
keluarkan seluruh kemahirannya, jadi yang satu makin menyerang makin hebat dan
jitu, sebaliknya yang lain makin takut dan makin mengkeret.
"Balas serang segera !" bentak Hoat-ong
mendadak, ia telah gusar.
Bentakannya begitu keras hingga telinga semua orang
se-akan2 pekak. Begitu juga Darba menjadi jeri, ia tak berani membantah lagi,
begitu Kim-kong-cu atau gada emas diputar, segera ia balas menghujam serangan.
Dengan hantaman balasan ini betul juga Nyo Ko terdesak
hingga berkelit terus, lubang kelemahannya pe-lahan2 mulai kentara. Ketika
melihat gerak pedang Nyo Ko sedikit lengah, cepat sekali Darba mengemplang,
karena tak sempat hindarkan diri, terpaksa Nyo Ko menangkis dan terjadi
benturan keras kedua senjata.
Sebenarnya beradunya senjata kedua pihak diwaktu
bertanding adalah soal biasa saja, tetapi gada Darba terlalu antap, maka selalu
Nyo Ko putar pedangnya tak berani membentur senjata orang, kini mendadak
kesamplok, terasalah segera suatu tenaga yang maha besar menindihnya hingga
lengannya sakit linu, "krak", mendadak pedangnya patah menjadi dua.
"Aku yang menang!" teriak Darba segera sembari
undurkan diri.
"Aku yang menang!" mendadak Nyo Ko tirukan
orang dalam basa Tibet, Berbareng itu separuh pedang patah itu ditimpukkan
sekalian pada Darba.
Keruan Darba tertegun, pikirnya: "Kenapa dia yang
menang? Apa tipunya tadi hanya pancingan belaka ?"
Sementara itu dengan tangan, kosong Nyo Ko merangsak maju
lagi, maka Darba tak berani ayal ia putar gadanya rapat melindungi tubuhnya.
Dahulu waktu ikut Siao liong li belajar ilmu pukulan
dengan tangan kosong di dalam kuburan kuno itu, sampai tingkat terakhir ia
diharuskan pentang kedua telapak tangan buat tahan terbangnya 9X9 81 ekor
burung gereja hingga tiada seekor pun yang lolos.
Ilmu pukulan itu adalah ciptaan Lim Tiao-eng dan
selamanya belum pernah dikenal di dunia ramai, kini Nyo Ko telah mainkan di
hadapan umum, nyata daya tekanannya memang luar biasa," meski bertangan
kosong, tetapi jauh lebih kuat daripada tadi ia memakai pedang. Kalau Darba
putar gadanya begitu hebat hingga membawa samberan angin tinggi menerobos kian
kemari di antara ruangan.
Sebaliknya Nyo Ko gunakan Ginkang yang sangat tinggi
menerobos kian kemari diantara ruangan senjata orang, walaupun tampaknya sangat
berbahaya tetapi gada emas orang tetap tak mampu menyenggolnya seujung
rambutpun sebaliknya ia bisa mencengkeram, menarik, membeset dan macam2 gerak
serangan lain bercampurkan "tang-hok-mi-cin atau ilmu pukulan halus
penahan burung gereja, ia terus menyerang dengan cepat.
Tak lama lagi, tenaga raksasa Darba semakin tambah,
sebaliknya lari Nyo Ko juga semakin cepat dan enteng, Nyatalah sekarang, paedah
yang dia peroleh daripada kegunaannya berlatih di atas ranjang-batu pualam di
dalam kuburan kuno itu kini telah kentara semua.
Di sebelah sana sejak tadi Siao-liong li duduk
bersandarkan tiang menyaksikan pertarungan kedua orang itu dengan
tersenyum-simpul, demi nampak sudah lama Nyo Ko masih belum menang, tiba2 dari
bajunya ia keluarkan sepasang kaos tangan putih yang tipis dan lemas.
"Ko-ji, sambut ini." serunya pada Nyo Ko,"
berbareng itu ia lemparkan kaos tangan itu ke tengah kalangan
Kaos tangan Siao-liong-li ini adalah rajutan benang emas
putih yang sangat halus dan ulet, meski lemas dan tipis, tapi tidak mempan
segala macam senjata, Melihat berkelebatnya kaos tangan itu di udara, air muka
Hek Tay-thong mendadak berubah.
Seperti diketahui, ketika saling gebrak di
Tiohg-yang-kiong dulu, dengan kaos tangan ini pernah Siao-liong-li patahkan
pedang Hek Tay-thong hingga ia terdesak dan hampir saja gorok leher sendiri,
sebab itu demi nampak kaos tangan seketika kejadian dulu terbayang lagi
olehnya.
Dalam pada itu dengan cepat kaos tangan itu sudah
disambut Nyo Ko, ia mundur selangkah dan cepat pakai kaos tangan itu, ketika
kemudian ia mengegol pinggang bagai wanita, maka dimainkan-lah
"Bi-Ii-kun-hoat" atau ilmu pukulan si gadis ayu yang paling hebat dan
paling indah gayanya dari Ko-bong-pay itu.
Setiap gerak-gerik ilmu pukulan ini meniru kan gaya
seorang wanita ayu dari jaman purbakala, bila dilakukan kaum lelaki, sebenarnya
kurang pantas, tetapi waktu dilatih Nyo Ko, setiap gayanya sudah diubahnya,
meski nama2 tipu gerakan masih tetap, namun gerak-geriknya dari lemah gemulai
sudah berubah menjadi gagah luwes.
Dengan demikian, para penonton menjadi lebih tidak
mengerti, tiba2 dilihatnya Nyo Ko berlari cepat, kadang2 berdiri tegak, sekejap
saja sikapnya berubah lagi. Harus diketahui bahwa jiwa kaum wanita memang
banyak ragamnya dan cepat pula berobahnya, lebih2 wanita ternama, tertawanya,
di waktu suka atau duka, semuanya lebih2 sukar di-duga.
Karena itu, sekali digunakan tipu "Hong
giok-kik-koh" (Ang Hong-giok memukul genderang), kedua tangan Nyo Ko cepat
menghantam, dengan sendirinya Darba angkat gadanya menangkis tetapi cepat
sekali Nyo Ko sudah ganti tipu "Hong-hut-ya-ping" (Hong-hut minggat
malam2), di luar dugaan orang ia terus menubruk maju.
Ketika Darba menyabet gadanya dari samping, mendadak Nyo
Ko gunakan gaya "Lok-cu-tui-lau" (Lok-tu jatuh dari loteng), tahu2 ia
menubruk bagian bawah musuh.
Darba terkejut, ia tidak mengerti tipu serangan orang
mengapa begini aneh perubahannya dan susah diraba ? Maka lekas2 ia melompat
buat hindarkan hantaman tangan orang yang telah memotong dari kiri lagi.
Tak terduga Nyo Ko lantas menepuk tangan beberapa kali
dan susul-menyusul menggablok kedepan, kiranya ini adalah gaya "Bun-gwe-kui-han
atau Bun-gwe kembali ke negeri Han yang berirama musik Ohka, seluruhnya
meliputi 18 kali tepukan.
Setiap gerakan Nyo Ko semuanya ada asal-usulnya sejarah,
Darba adalah paderi Tibet, sudah tentu ia tat paham kisah kuno negeri
Tionggoan, ia diserang ke atas dan ke bawah, tiba2 dari timur, tahu2 dari barat
hingga ia kelabakan.
Tangan Nyo Ko memakai kaos benang emas, maka bila ada
kesempatan segera ia menubruk maju hendak rebut gada Darba, paderi ini terdesak
hingga ber-kaok2 dan kalang kabut.
Dengan sendirinya para pahlawan lain sangat girang,
mereka pada berseru memberi semangat pada Nyo Ko.
Kim-lun Hoat-ong tahu ilmu silat muridnya berada di atas
pemuda ini, cuma berhati jeri, maka selalu kena didahului lawan dan terdesak di
bawah angin.
"Gunakan Bu-siang-tay-lik-cu-hoat!" bentaknya
tiba2.
"Baik," sahut Darba menurut. Mendadak gadanya
ia pegang dengan kedua tangan terus diayun cepat.
Waktu gada diputar dengan sebelah tangan saja sudah hebat
sekali tenaga raksasanya, kini di-tambah tenaga kedua tangan sekaligus, keruan
suara samberan angin sampai men-deru2.
"Bu-siang-tay-lik-cu-hoat" atau ilmu gada
bertenaga raksasa ini, tipu serangannya sangat sederhana, hanya
menyerampang" delapan jurus dan menghantam delapan kali, seluruhnya hanya
2 X 8 - 16 jurus, tetapi 16 jurus ini bisa boIak-balik di-ulangi, maka Nyo Ko
terdesak menyingkir jauh2, jangankan menghadapi secara keras lawan keras, untuk
menahan angin gada saja susah.
Di sebelah sana, sejak penggayu besinya patah tadi, Tiam
jong Hi-un, masih terus merasa penasaran tapi kini setelah menyaksikan
"Bu-siang-tay-lik-cu-hoat". orang yang luar biasa ini ia pikir ilmu
permainan penggayu sendiri sesungguhnya tiada tipu2 serangan" yang begini
keras dan begini kuat.
maka mau-tak-mau ia kagum juga.
Setelah berlangsung lama pertarungan itu, lilin yang
menyala di ruangan pendopo itu sudah ada 7-8 batang yang sirap tersamber angin
gada. Nyo Ko hanya andalkan Ginkang untuk melompat kian kemari asalkan bisa
hindarkan diri harapannya asal tak kena dihantam gada orang, mana sempat lagi
ia balas menyerang ?
Karena itu, para pahlawan Tionggoan menjadi bungkam,
sebaliknya berganti para jago Mongol yang sorak-sorai.
Melihat ilmu pukulan "Bi-li-kun-hoat" sukar
memperoleh kemenangan, sedang musuh mendesak terlalu kencang, terpaksa Nyo Ko
main mundur terus hingga akhirnya terdesak sampai ujung ruangan, ia hendak
ganti tipu gerakan, namun tak bebas lagi gerak-geriknya di tempat sempit itu.
ilmu permainan gada Darba ini memangnya beberapa bagian
bersifat kalap, setelah Darba mengamuk, ia lupa apakah orang di depannya ini
mungkin reinkamasi suhengnya atau bukan, waktu melihat Nyo Ko terdesak di pojok
ruangan hingga tiga jurusan sudah terkurung, mendadak ia membentak :
"Mampus kau !" ~ Berbareng itu gada-nya menyabet dari samping, maka
terdengarlah suara gemuruh dan debu pasir berhamburan, kiranya dinding ruangan
itu kena dihantam hingga berlubang besar..
Pada saat berbahaya, syukur Nyo Ko masih sempat melompat
lewat di atas kepala orang, dalam seribu kerepotannya iru, ia tak lupa pula
membalas kata2: "Mampus kau!" dalam bahasa Tibet.
Gerak lompatannya ini adalah ilmu kepandaian dari
"Kiu-im-cin-keng", sejak huruf ukiran di langit ruangan kuburan tatoo
itu dilihatnya bila senggang Nyo Ko lantas melatihnya baik2, hanya tiada orang
yang memberi petunjuk tambahan, maka apa yang dilatihnya tidak tahu apa betul
atau salah.
Kini menghadapi musuh tangguh, sudah tentu tak berani
sembarangan digunakan. Siapa tahu saat terancam elmaut itu, dengan sendirinya
ia menggunakan ilmu sakti itu hingga jiwanya tertolong.
Semua orang menyangka hantaman Darba tadi pasti berhasil,
maka sebelum serangan orang dilontarkan seluruhnya, secepat kilat Kwe Cing
melompat maju hendak hantam punggung orang, mendadak jubah merah berkelebat di
depannya, tahu-tahu Kim-lun Hoat-ong memukulnya juga.
Kwe Cing terkejut oleh serangan orang yang aneh dan cepat
ini lekas2 ia gunakan tipu "Maa-liong-cay-dian" atau melihat naga di
sawah, ia tangkis dulu serangan Kim-lun Hoat-ong. Keduanya memang tokoh terkemuka
dunia persilatan, maka begitu kedua tangan beradu, ternyata sedikit suara saja
tak ada, hanya tubuh masing2 bergoncang semua, Kwe Cing mundur tiga tindak,
sebaliknya Kim-lun Hoat-ong tetap berdiri tegak di tempatnya.
Kiranya tenaga Kim-lun Hoat-ong jauh lebih besar dari
pada Kwe Cing, latihannya juga lebih dalam, cuma ilmu pukulannya sebaliknya
kalah bagus. Kwe Cing melangkah mundur buat mengelak tenaga hantaman lawan
supaya tidak terluka, sebaliknya Hoat-ong sambut tenaga orang sekuatnya dengan
menahan rasa sakit di dada, maka masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
Melulu soal gebrakan ini saja Kwe Cing boleh dikatakan
sudah kalah, tetapi kalau pertarungan dilanjutkan, siapa unggul atau asor masih
belum tahu.
Tapi demi nampak Nyo Ko sudah bisa patahkan serangan
Darba tadi, kedua orang ini terhenyak, yang satu girang lega, yang lain
menyesal dan merasa sayang, lalu merekapun mundur kembali
Tokoh2 seperti Kwe Cing dan Kim-lun Hoat-ong juga
menyangka Nyo Ko pasti akan celaka maka yang satu hendak menolong dan yang lain
hendak mencegah, siapa tahu Nyo Ko ternyata punya tipu aneh, dari tempat luang
yang sempit bisa meloloskan diri.
Dan sekali hantam tak kena, Darba tidak memutar lagi,
sekalian gadanya terus mengayun ke belakang sekuatnya. Melihat serangan orang
cepat luar biasa, otomatis Nyo Ko lantas meloncat ke atas, maka melayang
lewatlah gada Darba beberapa senti di bawah kakinya. Kembali gerak tipunya ini
adalah ilmu silat dari "Kiu-im-cin-keng"
Keruan Ui Yong ter-heran2 menyaksikan kepandaian Nyo Ko
ini. "Engkoh Cing, kenapa Ko-ji mahir Kiu-im-cin-keng juga? Apa kau yang
ajarkan dia?" demikian ia tanya sang suami.
Nyata, ia sangka Kwe Cing mengingat kebaikan persaudaraan
dengan ayah Nyo Ko, maka pada waktu antar bocah itu ke Cong-lam-san, ilmu sakti
dari kitab pusaka itu telah diturunkan padanya.
"Tidak, kalau diajarkan padanya, tentu kuberitahukan
kau," sahut Kwe Cing.
Ui Yong cukup kenal jiwa sang suami yang setia dan jujur,
kepada orang lain saja bilang satu tetap satu, terhadap isteri sendiri sudah
tentu lebih lebih jujur, Tetapi dilihatnya Nyo Ko selalu melompat kian kemari
buat berkelit, setiap kali ketemu bahaya, selalu gunakan ilmu kepandaian
Cin-keng untuk melindungi diri.
Cuma terang ilmu itu belum terlatih baik, maka tidak bisa
gunakan ilmu silat Cin-keng itu untuk balas menyerang dan menangkan orang,
meski sementara jiwanya bisa selamat, namun tampaknya pasti kalah akhirnya.
Diam2 Ui Yong menghela napas gegetun, pikirnya :
"Bakat Ko-ji sungguh luar biasa, kalau dia bisa ikut setahun atau setengah
tahun padaku dan bisa mempelajari Pak-kau-pang-hoat dan ilmu silat dalam
Cin-keng secara lengkap, mana bisa paderi Tibet ini menandinginya?"
Begitulah, selagi ia masgul, sekilas tiba2 dilihatnya
Peng-tianglo, itu anggota pimpinan Kay-pang yang murtad, dengan pakaian bangsa
Mongol mencampurkan diri di antara jago2 Mongol dan wajahnya kelihatan
ber-seri2.
Tiba2 tergerak kecerdasan Ui Yong, segera serunya:
"Koji Di-hun-tay-hoat! Ih-hun-tay-hoat!"
Kiranya dalam Kiu-im-cin-keng ada semacam ilmu yang
disebut "lh-hun-tay-hoat", yakni menggunakan tenaga pikiran untuk
atasi musuh dan mendapatkan kemenangan, dasarnya tiada ubahnya seperti ilmu
hipnotis pada jaman sekarang ini. Dahulu Ui Yong pernah gunakan ilmu ini untuk
taklukkan Peng-tianglo pada waktu ia berebut jabatan Pangcu, maka begitu nampak
orang, segera ia ingat akan ilmu mujijat itu.
Nyo Ko masih ingat cara melatih "Ih-hun-tay
hoat" itu, cuma ia tak percaya melulu meng-gunakan pandangan mata saja
bisa menundukkan musuh, makanya tak pernah ia melatihnya dengan baik2, tetapi
ia sangat kagum terhadap kepintaran Ui Yong, pikirnya: -- "Jika Kwe-pekbo
berkata demi-kian, tentu ada alasannya, Toh aku sudah pasti kalah, biarlah aku
mencobanya."
Karena itu, ia masih terus lompat ke sana ke mari untuk
berkelit tetapi batinnya terpisah dari segala perasaan, pikirannya terpusat
menjadi satu, ia turut apa yang pernah dibacanya dalam kitab Kiu-im-cin-keng
itu. Dalam keadaan demikian ia hanya menangkis dengan sendirinya dan berkelit
turut datangnya suara, sebaliknya sinar matanya terus menatap musuh secara
tajam.
Setelah beberapa jurus, Darba mulai merasakan pihak lawan
rada aneh, tanpa kuasa ia pandang orang sekejap, berbareng itu gadanya
menghantam juga.
Tadi sedikit Nyo Ko mengegol pinggul dengan gaya
"Ban-yo-sian-sian" atau pinggang si Ban ramping, sedikit ia goyang
pinggul hantaman Darba sudah dihindarinya dengan tepat, dan karena ia, sudah
gunakan "lh-hun-tay-hoat", jiwa-raganya sudah menjadi satu, setiap
gerak-geriknya yang dia unjuk, pada mimik wajahnya lantas bersikap sama pula.
Maka ketika Darba melihat wajah si Nyo Ko, tiba2
mengunjuk gaya genit, ia tak tahu bahwa orang sedang tirukan gaya menarik Siao
Ban, seorang selir ayu penyait Pek Lok-thian dari ahala" Tong yang
terkenal, tanpa terasa ia tertegun sejenak tetapi segera gadanya mengemplang
lagi ke atas kepala Nyo Ko.
Lekas2 Nyo Ko, mengegos, menyusul ia pentang lima jarinya
terus menyisir rambutnya sendiri, sedang lima jari lainnya mencakar ke depan
diselingi dengan senyuman manis, itulah tipu gerakan "Le-hwa-se-cong"
atau Thio Le-hwa menyisir rambut.
Dan karena tersenyumnya Nyo Ko itu, memangnya Darba sudah
terpengaruh oleh sinar matanya yang tajam, tanpa terasa iapun ikut bersenyum,
Cuma bedanya Nyo Ko cakap ganteng, tersenyumnya sudah tentu menambah bagusnya,
sebaliknya tulang pelipis Darba menonjol tinggi, pipinya kempot, senyumnya yang
menirukan Nyo Ko membikin wajahnya semakin seram, sampai penonton ikut
mengkirik.
Melihat lawannya sudah dlbawah pengaruhnya, segera Nyo Ko
jojoh ke depan dengan jarinya dengan tipu "Peng-ki-ciam-sin" atau
Peng Ki pintar menjahit. Lekas2 Darba berkelit, tetapi air mukanya menirukan
lagak orang seperti lagi tekun menjahit.
Melihat Nyo Ko bisa memahami maksudnya dan ternyata
sanggup atasi musuh dengan ilmu "lh-hun-tay-hoat", sungguh Ui Yong
girang tidak kepalang.
"Penemuan Ko-ji sungguh luar biasa," demikian
ia membisiki sang suami "Dahulu, semasa usiamu sebaya dia sekarang belum
sebagus dia ilmu silatmu." .
Kwe Cing juga lagi girang, maka ia anggukan
Harus diketahui bahwa ilmu "lh-hun-tay-hoat"
ini melulu menggunakan pengaruh tenaga kejiwaan, kalau perasaan tak lawan
tenang dan tetap, seringkali ilmu ini tidak berhasil, kalau tenaga dalam lawan
lebih tinggi hingga sampai terpukul kembali, "pasti orang gunakan ilmu ini
akan terpengaruh sendiri. Tapi Darba sudah bingung oleh ocehan Nyo Ko dalam
basa Tibet tadi, ia ragu2 orang adalah re-inkarnasi Suhengnya, maka dalam
hatinya sudah timbul rasa jeri, dengan sendirinya pengaruh ilmu
"Ih-hun-tay-hoat" juga lebih cepat hingga sekali coba Nyo Ko telah
berhasil.
Begitulah karena melihat Nya Ko mainkan Bi-li-kun-hoat
yang lemah gemulai menirukan gerak-gerik wanita ayu, tahu2 ditirukan oleh Darba
secara lucu, semua orang yang menyaksikan terheran-2
Kwe -Hu tak tahan, ia ketawa ter-pingkal2
"Mak," katanya pada sang ibu, "Nyo-koko punya kepandaian ini
bagus sekali, kenapa tak kau ajarkan padaku?"
"Jika kau bisa Ih-hun-tay-hoat, tentu kau akan bikin
geger dan akhirnya kau sendiri bisa celaka," sahut Ui Yong. Lalu ia tarik
tangan sang puteri dan berkata pula sungguh2: "Tapi jangan kau anggap
lucu, Nyo-koko justru lagi bertarung mati2an dengan musuh, caranya ini jauh
lebih berbahaya dari pada memakai senjata !"
Kwe Hu melelet lidah oleh penuturan itu, ia pandang pula
si Nyo Ko dan rasanya semakin ketarik, ia lihat bila Nyo Ko tertawa, si Darba
ikut tertawa, kalau Nyo Ko gusar, Darba idem dito.
Karena itu iapun ikut2 menirukan mimik orang.
Siapa tahu "lh-hun-tay-hoat" ini memang lihay
luar biasa, baru saja ia menirukan orang dua kali, segera perasaannya menjadi
remang2 dan semangatnya kabur, tanpa kuasa setindak demi setindak Kwe Hu
melangkah ke tengah.
Kaget sekali Ui Yong melihat kelakuan puteri-nya, lekas2
ia jambret Kwe Hu erat2.
Tatkala itu jiwa Kwe Hu sudah dibawah pengaruh Nyo Ko, ia
coba meronta melepaskan diri dari pegangan sang ibu, baiknya ilmu silat Ui Yong
sangat tinggi, pula tahu akan bahaya apa bila sampai Kwe Hu maju lebih dekat
lagi, waktu sudah terlalu mendesak, tanpa ayal ia baliki tangan terus pencet
urat nadi tangan Kwe Hu dan diseretnya kembali mentah2 agar tidak nampak
gerak-gerik Nyo Ko.
Kwe Hu masih meronta2 beberapa kali, tapi pergelangan
tangannya telah digenggam kencang hingga tak berkutik, pikirannya menjadi kabur
dan akhirnya ia mendekam dalam pelukan sang ibu dan pulas."
Di pihak Darba waktu itu sudah dipengaruhi Nyo Ko
seluruhnya, apa yang Nyo Ko Iakukan, ditirukannya pula tanpa tawar, Melihat
saatnya sudah tiba, mendadak Nyo Ko gunakan tipu gerakan
"Co-Leng-kwa-pi" atau Co Leng mengiris hidung, mendadak ia pukul
batang hidungnya sendiri-susul-menyusul dengan dua tangan bergantian.
Kiranya jaman dahulu isteri seorang bernama Co Leng,
ketika sang suami meninggal lantas mengiris batang hidung sebagai tanda setia
tak mau kawin lagi.
Kini Nyo Ko gunakan gerak tipu itu buat hantam hidungnya
sendiri dengan pelahan, sudah tentu Darba tak tahu, mendadak iapun tirukan
orang menghantam hidung sendiri se-keras2nya. Dasar tenaganya luar biasa,
setiap pukulannya bertenaga ratusan kati, maka habis belasan kali ia gebuk
batang hidung sendiri, akhirnya-ia tak tahan hingga roboh pingsan.
Sungguh girang tidak kepalang para ksatria, mereka
bersorak-sorai: "Hura, kita telah menangkan babak kedua !" -
"Nah, Bu-lim-Bencu sudah pasti di pihak kita !" -- "Bangsa
Mongol lekas enyah dari bumi Tiongkok dan jangan bikin malu disini!"
Dalam pada itu dua Bu-su bangsa MongoI telah melompat ke
tengah dan menggotong mundur si Darba.
Melihat kedua muridnya terjungkal semua di bawah tangan
pemuda ini, bahkan cara kalahnya sukar dimengerti, luar biasa mendongkol dan
gusar Kim-Iun Hoat-ong, cuma wajahnya tiada mengunjuk sesuatu tanda, "Hai,
anak muda, siapa suhumu ?" segera ia membentak dari tempat duduknya.
Kim-lun Hoat-ong ini seorang cendekia, ilmu silatnya tinggi,
bakatnya baik dan luas pengetahuannya, ternyata fasih bicara basa Han.
"Suhuku ialah dia ini," sahut Nyo Ko tertawa
sambil menunjuk Siao-liong-li "Nah, lekas kau menyembah pada Bu-lim Bengcu
!"
Melihat Siao-liong-Ii cantik molek, bahkan usianya, seperti
lebih muda daripada Nyo Ko, tidak nanti Kim-lun Hoat-ong mau percaya dialah
guru-nya, pikirnya: "Ah, bangsa Han banyak tipu muslihatnya, jangan aku
tertipu !"
Mendadak iapun berdiri, ketika terdengar suara
gemerincing riuh, tahu2 dari bajunya ia keluarkan sebuah roda emas.
Roda emas ini terbuat dari emas murni dan di dalamnya
terdapat 9 goteri, maka begitu tergoncang, segera keluar suara gemerincing yang
membisingkan.
"Hm, kau adalah Bulim-Bengcu juga baik, asal kau
sanggup terima sepuluh jurus roda emasku ini," aku lantas akui kau sebagai
Bu-lim Bengcu !" demikian kata Kim-lun Hoat-ong kemudian sambil tuding
Siao-liong-li
"Hi aneh katamu ini, aku sudah menang dua babak,
menang dua dari tiga babak, kau sendiri sudah berjanji, kenapa sekarang pungkir
janji?" kata Nyo Ko tertawa.
"Aku hanya ingin jajal ilmu silatnya dan ingin tahu
apa dia sesuai dengan jabatannya tidak," sahut Kim-lun Hoat-ong dengan
suara tertahan.
Siao-liong li masih terlalu hijau, ia tak tahu ilmu silat
Kim-Iun Hoat-ong beraliran tersendiri dan sudah terlatih sampai tingkatan yang
sangat mengejutkan, iapun tak tahu apa itu "Bu-lim Bengcu" segala,
lebih2 tak pernah terpikir olehnya apa dirinya harus terima jabatan itu atau
tidak, kini mendengar orang mau jajal ilmu kepandaiannya dan ingin tahu sanggup
tidak terima 10 jurus roda emas orang, tanpa pikir segera iapun berdiri.
"Jika begitu, segera aku mencobanya," demikian
sahutnya tak arak
"Tapi kalau kau tak mampu sambut 10 jurus -
senjataku ini, lalu bagaimana?" tanya Kim-lun-Hoat-ong.
"Kalau tak mampu ya sudah, ada apa lagi?" sahut
Siao-Iiong-li.
Sejak kecil Siao-liong-li sudah melatih diri sedemikian
rupa sehingga apa yang menjadi perasaannya, suka atau duka, sama sekali tidak
kentara.
Segala hal selalu dianggapnya sepele, kini meski katanya
rada Nyo Ko, naraui tidak mendapatkan perhatian-nya.
Para ksatria dan para Bu-su Mongol tak tahu bahwa itu
adalah tabiat pembawaannya, tetapi melihat ia acuh tak acuh dan tidak pandang
sebelah mata pada Kim-lun Hoat-ong, mereka malah menyangka ilmu silat
Siao-liong-li benar2 tinggi tak terkirakan.
Bahkan setelah menyaksikan Nyo Ko kalahkan Darba dengan
"lh-hun-tay-hoat", ada orang yang menyangka Siao-liong-li bisa ilmu
hitam dan mungkin pula siluman, maka suasana seketika menjadi berisik.
Kim-lun Hoat-ong sendiri kuatir juga bila Siao-liong-li
benar2 bisa gunakan ilmu sihir, maka mulutnya segera komat-kamit membaca
mantera penolak sihir dalam basa Tibet.
Nyo Ko dapat mendengar jelas di samping, ia sangka Hwesio
gundul ini lagi maki sang guru dalam basa Tibet, maka ia ingat baik2 setiap
kata yang diucapkan orang.
Ketika Kim-lun Hoat-ong selesai membacakan mantera,
begitu Kim-lun atau roda emas bergerak, kembali terbitlah suara gemerincing
yang riuh nyaring.
"Hai, orang muda, lekas minggir, segera aku akan
turun tangan," bentaknya pada Nyo Ko. Kata-kata ini diucapkannya dalam
basa Han.
"Nanti dulu, nanti dulu," kata Nyo Ko tiba2.
Lalu sekata demi sekata iapun mengucapkan mantera orang
tadi.
Kebetulan waktu itu Darba mulai siuman, ia lihat sang
Suhu memegang Kim-lun lagi, akan bergebrak dengan orang, sebaliknya didengarnya
Nyo Ko lagi membaca mantera dalam basa Tibet. mantera itu adalah ilmu rahasia
perguruannya dan tidak nanti diturunkan pada orang luar, kalau Nyo Ko bukan
reinkarnasi Toa suheng-nya, darimana ia mahir mantera itu ?
"Karena pikiran itu, cepat sekali ia melompat bangun
terus berlutut ke hadapan gurunya dan berseru: "Suhu, ia betul2 jelmaan
Toasuheng, sudilah engkau menerimanya kembali!"
"Ngaco-belo, kau tertipu olehnya masih belum
tahu," bentak Kim-lun Hoat-ong gusar.
"Tapi betul Suhu, hal ini betul tak salah
lagi?" sahut Darba!.
Melihat Darba masih ngotot, Hoat-ong menjadi sengit
dicekal saja punggung sang murid terus diIempar pergi tubuh Darba yang beratnya
ratusan kati itu dilemparkan dengan enteng saja.
Semua orang menyaksikan Darba bertarung melawan Tiam-jong
Hi-un dan Nyo Ko dengan tenaga raksasanya tapi lemparan Hoat-ong ini nyata
kepandaian yang berpuluh kali lebih kuat tampaknya Siao-liong-li yang gayanya lemah
gemulai ini, jangankan bergebrak sepuluh jurus, mungkin kena dikebut sekali
saja bisa mencelat roboh. Karena itu semua orang ikut berkuatir atas diri si
gadis.
Tidak sedikit jago2 Mongol yang sudah pernah saksikan
ilmu sakti Kim-lun Hoat-ong yang boleh dikatakan tenaganya melebihi 9 ekor
kerbau. Meski Siao-liong-li adalah musuh mereka, tapi melihat parasnya yang
jelita, sudah menjadi pembawaan manusia suka akan rupa cantik, maka semua orang
sama2 mengharap Hoat-ong jangan turun tangan.
Dalam pada itu, habis Nyo Ko bacakan mantera, dengan
pelahan ia bisiki Siao-liong-li: "Kokoh, hati-hati terhadap Hwesio
ini."
Di lain pihak demi mendengar Nyo Ko bisa membaca mantera
tanpa salah sekatapun, Kim-lun Hoat-ong amat kagum sekali "Orang muda,
hebat kau," ia memuji.
"Ya, Hwesio, kau juga hebat," sahut Nyo Ko.
"Hebat apa?" Kim-lun Hoat-ong melotot.
"Hebat karena kau cukup besar nyali untuk bergebrak
dengan guruku," kata Nyo Ko. "la adalah reinkarnasi Budha, punya
kesaktian setinggi langit mahir ilmu taklukkan naga dan tundukkan harimau, maka
sebaiknya kau ber-hati2 !"
Kiranya Nyo Ko sangat licin, ia tahu musuh terlalu lihay,
ia sengaja membual agar orang rada selempang hingga tak berani turun tangan
habis2-an, dengan demikian gurunya lantas Iebih gampang melawannya..
Siapa tahu Kim-lun Hoat-ong adalah seorang gagah perkasa
yang jarang diketemukan dari Tibet, baik sastra maupun silat lengkap
dipelajarinya, mana bisa ia tertipu begitu saja, "Awas, serangan pertama,
lekas kau lolos senjata !" segera ia berseru.
Nyo Ko telah copot sarung tangan dari benang emas halus
itu dan masukkan sekalian pada tangan Siao-liong-li, lalu ia mundur ke
belakang.
Siao-liong-li segera keluarkan sehelai selendang sutera
putih terus diayun ke udara, pada ujung selendang sutera terikat sebuah bola
emas kecil dan didalamnya berisi gotri, ketika selendan itu bergerak, bola itu
lantas berbunyi kelinting2 bagai keleningan.
------------- gambar ------------
"Kelinting" tiba - tiba bola kecil di ujung
selendang Siao-liong-li menukik turun laksana-kepala ular menutuk ke
Hap-kok-hiat di tengah2 antara jari jempol dan telunjuk
-----------------------------------
Melihat senjata kedua orang sama2 aneh, semua penonton
menjadi tertarik, kalau senjata yang satu sangat panjang, adalah senjata yang
laki sangat pendek, yang satu sangat keras, yang lain sangat lemas dan
kebetulan kedua senjata masing2 sama-sama bersuara gemerincing pula.
Roda emas yang digunakan sebagai senjata Kim-lun Hoat-ong
itu adalah senjata aneh yang belum pernah dilihat para jago silat Tionggoan,
tak peduli golok tumbak, pedang, toya atau lain2, asal kebentur Kim-lun atau
roda emas sama sekali tak berdaya, asal Kim-lun Hoat-ong mencakup sekali dengan
rodanya terus ditarik, maka senjata lawan pasti akan terlepas dari cekalan,
maka orang yang bertempur dengan dia lewat satu jurus saja pasti segera
kehilangan senjata. ia bilang agar Siao-liong-li sambut sepuluh jurus
serangannya, sebenarnya sama sekali bukan omong besar,,kalau bukan melihat ilmu
silat Nyo Ko memang hebat, tidak nanti ia bilang 10 jurus. Hendaklah diketahui
sejak ia keluar Tibet belum pernah ada seorang jago yang mampu terima tiga kali
serangan roda emasnya.
Dalam pada itu Siao-liong-li telah ayun selendang
suteranya, ia mendahului membuka serangan.
"Barang apakah ini?" ujar Hoat-ong melihat
senjata lawannya itu. Segera dengan tangan kiri ia hendak tarik selendang itu,
ia lihat kain selendang itu lemas dan hidup, ia tahu pasti banyak perubahannya,
tapi ia sudah siap sedia, dengan tarikannya itu ia sudah jaga2 dari berbagai
jurusan, tak perduli ke mana kain selendang berkelebat tidak nanti terlepas
dari genggamannya.
Tak ia duga bola kecil di ujung selendang itu tiba2
"kelinting" berbunyi sekali terus mendal ke atas hendak ketok
"tiong-cu-hiat" pada balik telapak tangannya.
Tapi cepat sekali Klm-lun Hoat-ong ganti gerak tangannya,
ia baliki telapak tangan terus hendak tangkap pula bola kecil itu.
Kembali sedikit Siao-Iiong-li sendal tangannya, bola
kecil itu memutar pula dari bawah ke atas hendak ketok "Hap-kok-hiat"
di-tengah2 antara jari jempol dan telunjuk.
Tapi lagi2 Hoat-ong baliki tangannya, sekali ini ia
gunakan kedua jarinya itu hendak jepit bola emas itu.
Namun Siao-liong-li juga sangat jeli, setiap perubahan
musuh dapat dilihatnya jelas, sedikit ia ulur selendangnya, bola kecil itu
malah menyelonong ke depan buat tutuk "kiok-tik-hiat" di sikut lawan.
Beberapa gebrakan itu betul2 dilakukan dalam sekejap saja
dan hanya terbatas diantara telapak tangan Kim-lun Hoat-ong yang bolak-balik,
tiap kali Kim-lun Hoat-ong membaliki telapak tangan dan tiga kali Siao-liong-li
sendal selendangnya, tapi masing2 sudah saling gebrak lima jurus.
Nyo Ko cukup terang menyaksikan pertarungan itu, maka
dengan suara keras ia menghitung:
"Satu-dua-tiga-empat-lima.." nah, sudah lima
jurus, tinggal lima jurus lagi !"
Padahal Kim-lun Hoat-ong bilang agar orang sambut 10
jurus maksudnya ialah menyambut 10 jurus serangannya, tapi Nyo Ko main licik,
ia hitung-serang-menyerang kedua belah pihak dan dihitung semua.
Meski Hoat-ong tahu bocah ini licik, tapi ia adalah
seorang cakal bakal satu aliran tersendiri mana ia sudi tawar menawar soal itu
dengan orang ? Segera ia sedikit geser sikutnya hingga bola Siao-liong-li tadi
luput mengenai jalan darahnya, sebaliknya roda emasnya terus saja menyerang ke
depan.
Siao-liong-li mendengar suara gemerincing riuh dan sinar
emas berkelebat dari depan, tahu2 "roda emas" orang cepat luar biasa
sudah berada di depan mukanya.
Kejadian ini sungguh tak ter-duga2, jangan kata hendak
menangkis, untuk berkelit saja sudah telat, dalam keadaan bahaya, otomatis ia
sendal kain selendangnya hingga melingkar dari samping, bola emasnya terus
ketok "Hong-ti-hiat" di belakang kepala musuh, Tempat ini adalah urat
nadi mematikan di tubuh manusia, betapapun tinggil ilmu silatnya asal kena
dihantam pasti tak terjamin jiwanya, serangan ini sesungguhnya dilakukan
terpaksa oleh Siao-liong-li, yakni dengan resiko gugur bersama untuk memaksa
lawannya tarik kembali serangannya.
Betul saja Kim-lun Hoat-ong tak mau adu jiwa dengan
orang, ia menunduk berkelit, karena menunduknya ini roda yang dia hantamkan ke
depan menjadi sedikit lambat, kesempatan ini telah digunakan Siao-liong-li buat
tarik kembali selendang-nya, terdengarlah klinting2 yang riuh, bola emas pada ujung
selendangnya telah saling bentur dengan roda emas hingga tipu serangan Kim-lun
Hoat-ong itu kena dielakkan.
Hanya sekejap itu saja keselamatan Siao-liong-li sudah
bergulir dari hidup menuju jalan kematian dan dari mati kembali hidup, lekas2
ia gunakan Ginkang atau ilmu entengi tubuhnya melompat ke samping, saking
gentarnya hingga wajahnya yang memang pucat itu terlebih pucat pula.
Padahal Kim lun Hoat-ong baru menyerang sekali namun di
samping Nyo Ko lantas berteriak-teriak: "...enam, tujuh, delapan,
sembilan, sepuluh. Nah, sudah cukup, guruku sudah bisa sambut sepuluh jurus,
apalagi yang bisa kau katakan?"
Hanya beberapa gebrakan itu, Kim-lun Hoat-ong lantas tahu
meski ilmu silat Siao-liong-li tinggi, tapi masih jauh belum bisa imbangi
dirinya, kalau bertanding benar2, dalam 10 jurus pasti ia bisa kalahkan si
gadis, yang paling menjemukan yalah Nyo Ko terus mengacau di samping hingga
pikirannya dibikin tak tenteram. ia pikir: "Biarkan pemuda ini ngaco-belo,
asal aku perkencang seranganku dan kalahkan dulu anak perempuan ini, segala nya
akan menjadi beres sendirinya."
Tapi lagi2 Nyo Ko ber-teriak2 : "Tak malu, sudah
bilang 10 jurus, sekarang menyerang lagi. Sebelas, duabelas, tigabelas,
empatbelas..."
Ia tak perduli berapa banyak kedua belah pihak sudah
saling labrak tapi mulutnya mencerocos menghitung semaunya seperti mitralyur
Siao-liong-li sendiri menjadi ketakutan sesudah sambut,
sejurus serangan musuh, betapapun ia tak berani lagi tahan serangan orang yang
kedua dari depan, lekas2 keluarkan ilmu entengi tubuh yang dari Ko-bong-pay
terus berlari cepat mengitari ruangan sambil selendang suteranya ikut bergulat
dan bola emas berbunyi riuh hingga berwujut sesosok kabut putih diseling sinar
emas.
Bunyi kelintang-kelinting dari bola emasnya itu kadang2
cepat dan tempo pelahan, mendadak lirih, tahu2 keras, ternyata tersusun.,
menjadi suatu irama lagu.
Diantara penonton itu ada yang paham seni suara, segera
ada yang berteriak "He, ini adalah "Uh-ltat-ling-kiok" ciptaan
Tong-beng-hong !"
Waktu yang lain memperhatikan, betul saja, sedikitpun tak
meleset, malahan segera ada yang ikut2an tepuk2 tangan dan goyang2 kaki
menuruti irama musik keleningan itu.
Kiranya Siao-liong-li wataknya suka seni musik, diwaktu
iseng dalam kuburan kuno itu ia suka tabuh rebab menurut lagu tinggalan
Cosu-popoh Lim Tiau-eng dan banyak mendapat kemajuan dalam jurusan ini.
Belakangan waktu ia melatih bola emas dengan selendang sutera, ia dengar bola
itu menerbitkan suara kelinting2 yang mendekati irama musik, dasar hati anak muda,
di antara ilmu silatnya itu ia kombinasikan dengan irama musik!
Dari karena paduan ilmu silat dan musik ini, waktu
dimainkan menjadi lebih luwes dan teratur.
Kini Siao-liong-Ii tahu lawan terlalu lihay, ia tak
berani melawan dari depan, ia putar selendang suteranya cepat dan berlari kian
kemari untuk menghindar!
Ginkang ajaran Ko-bong-pay adalah suatu di antara ilmu
tertinggi dari Bu-lim yang tak bisa dicapai aliran silat lain, Meski ilmu silat
Kim-lun Hoat-ong jauh di atas Siao-liong-li, tapi selama hidup gadis
ini-dilakukan dalam kuburan kuno dan melatih diri di tempat sempit, kini ia
terus lari ke sana jemari sambil melompat dan berlari, ternyata sedikitpun
Hoat-ong tak berdaya, ia dengar suara ting2 keleningan orang se-akan2 tersusun
sifat lagu, tanpa tertahan hatinya tergerak ia pusatkan pikiran buat menyerang
menuruti irama musik orang, lekas2 ia goyang roda emasnya hingga terbitkan
suara gemerincing yang riuh.
Maka seketika dalam ruangan itu timbul paduan dua macam
suara, kadang2 pelahan dan tiba2 keras, tempo2 tinggi nadanya, tahu2 rendah
lagi, nyata mereka menjadi bertanding dalam irama musik jika suara keleningan
Siao-liong-li nyaring merdu, kedengarannya membikin semangat menjadi segar,
sebaliknya suara roda emas gemerantang keras bagai besi dipukul dan seperti
golok dikikir, seperti babi disembelih dan mirip anjing dipentung, aneh luar
biasa suara itu dan tak enak didengar. Yang satu ulem, yang lain berisik kedua
pihak ternyata sama kuatnya.
Dalam pada itu Nyo Ko masih terus mencerocos menghitung,
kini sudah dihitungnya sampai:
"1005, 1006, 1007 ..."
Tapi karena Siao liong-li tak berani bergebrak berhadapan
dengan musuh, maka hakikatnya 10 jurus bagi Kim-lun Hoat-ong saja belum genap.
Lama2 Kim-lun Hoat-ong tidak sabar lagi, ia merasa dengan
kedudukannya sebagai tokoh besar suatu aliran tersendiri sampai lama sekali
masih belum bisa menangkan satu gadis jelita, kalau sampai ber-Iarut2 terus,
sekalipun akhirnya menang, pasti tidak gemilang juga bagi kemenangannya, maka
mendadak tangan kiri ia ulur ke samping, sedang roda emas tiba2 menghantam dari
bawah ke atas.
Dalam keadaan bahaya, se-konyong2 Siao-liong-li ayun
selendang suteranya hingga menerbitkan bayangan putih, tubuhnya cepat pula
melompat. Tapi roda emas Kim-lun Hoat-ong mendadak. berputar balik terus
menggubet kain selendangnya
Kalau senjata biasa pasti segera akan terebut olehnya,
justru kain sutera ini lemas serta licin, maka dengan enteng tahu2 meluncur
keluar lagi dari lubang rodanya.
"ltulah serangan kedua, dan kini yang ketiga !"
bentak Hoat-ong tiba2 berbareng ia melangkah maju, roda emas mendadak terlepas
dari tangannya terus menyamber ke arah Siao-liong-li.
Serangan luar biasa ini sama sekali diluar dugaan, maka
terdengarlah suara mendenging yang memekak telinga, roda itu menyamber ke arah
Siao-liong-li. Terkejut sekali gadis ini, lekas2 ia mendekam ke bawah sambil
melompat mundur, tahu2 sinar emas menyamber lewat depan mukanya membawa suara
mendenging nyaring, begitu keras angin samberannya hingga kulit mukanya ikut terasa
pedas.
Di bawah seruan kaget semua orang, tiba2 Hoat-ong turun
tangan dan tepi roda itu didorong dengan telapak tangannya, seperti benda hidup
saja tahu2 roda itu memutar balik terus menyusul ke arah Siao-liong-li.
Insaf kalau gaya putaran roda emas ini sangat keras,
Siao-liong-li tak berani coba membelit dengan kain selendangnya, terpaksa ia
berkelit kesamping.
"Ginkang bagus !" seru Hoat-ong setelah dua
kali serangan tak berhasil cepat sekali ia menyerobot maju terus memotong pula
tepi rodanya, habis itu beberapa kali pukulannya mencegat di depan
Siao-liong-li pula, sebaliknya roda emas ini lantas putar kembali menghantam
belakang kepala karena gaya potongan Hoat-ong tadi.
Meski terbangnya Kim-lun itu tak begitu cepat, tapi
membawa suara gemerincing, maka tampaknya menjadi hebat luar biasa, pula
sebelumnya Hoat-ong sudah menduga ke mana Siao-liong-Ii hendak berkelit, maka
roda itu menjadi seperti tumbuh mata saja, setelah berputar sekali di udara,
segera memburu sasarannya dari belakang.
Tahu akan bahaya mengancam, sekali meloncat dan berkelit
Siao-liong-li keluarkan seluruh kemahirannya, siapa tahu mendadak Kim-lun
Hoat-ong pentang tangan menghadang di depannya pula.
Melihat keadaan itu ditambah telinga se-akan2 pekak oleh
suara mendengung roda emas, para ksatria itu sama terperanjat dan ikut
ber-debar2.
Nampak sang Kokoh terancam maut, tentu saja Nyo Ko tak
tinggal diam, mendadak ia samber gada yang ditinggalkan Darba di lantai itu
terus meloncat ke atas sekuatnya, ia angkat gada itu dan-roda emas yang
menyamber datang itu disodoknya, maka terdengarlah suara gemerantang yang
keras, persis gada itu telah memasuki lubang roda itu, cuma tenaga roda itu
terlalu besar hingga kedua tangan Nyo Ko tergetar lecet dan alirkan darah,
orangnya berikut gada dan roda emas itupun terbanting semua ke lantai.
Sekilas Siao-liong-li melihat roda emas itu terpukul
jatuh oleh Nyo Ko, ancaman dari belakang sudah tak ada lagi, tapi waktu ia lagi
meloncat mana bisa musuh di bagian depan itu dihindarinya?
Orang yang terancam bahaya seringkali timbul akal
mendadak, tiba2 selendang suteranya ia sabet ke depan dan melilit satu tiang di
sebelah barat terus ditariknya kuat2, dengan tenaga ayunan itu tubuhnya lantas
melayang ke tiang rumah itu, dan dengan tepat sekali ia lolos dari lubang jarum
tenaga pukulan Kim-lun Hoat-ong yang maha hebat.
Sudah terang2an hampir berhasil serangannya siapa tahu
kena dikacau lagi oleh Nyo Ko, bukan saja musuh bisa menyelamatkan diri, bahka
senjatanya yang malang melintang tanpa tandingan malah kena dipukul jatuh
mentah2 ke lantai sungguh suatu pengalaman pahit yang selamanya tak pernah
dialami Kim-lun Hoat-ong. Biasanya ia bisa berlaku tenang dan sabar, bisa
berpikir biasanya.
Tapi kini sama sekali sudah lupa daratan, tidak tunggu
sampai Nyo Ko berbangkit, cepat sekali ia hantam pemuda ini dari jauh.
Meski pukulan ini dilakukan dari tempat sejauh setombak
lebih, tapi angin pukulannya mengurung dari segala penjuru, sudah pasti
sasarannya susah berkelit.