Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali) Jilid 5

Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali/Rajawali sakti Dan pasangan pendekar), Jilid 5 Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali). Menurut aturan, Hoat-ong adalah satu guru besar suatu aliran tersendiri lawannya angkatan lebih muda, pula sedang terbanting di lantai dan belum bangun, dengan serangannya ini sesungguhnya tidak sesuai dengan wataknya yang tinggi hati, tapi dalam keadaan murka, tanpa terpikir lagi oleh nya kesemua itu.
Anonim
Menurut aturan, Hoat-ong adalah satu guru besar suatu aliran tersendiri lawannya angkatan lebih muda, pula sedang terbanting di lantai dan belum bangun, dengan serangannya ini sesungguhnya tidak sesuai dengan wataknya yang tinggi hati, tapi dalam keadaan murka, tanpa terpikir lagi oleh nya kesemua itu.

Syukur, sejak tadi pandangan Kwe Cing tak pernah meninggalkan diri orang, begitu dilihatnya orang melototi Nyo Ko dan sedikit angkat tangannya, segera ia tahu orang akan turun tangan keji, diam2 ia ber-siap2, tetapi biarpun ia menyerobot maju dan sekalipun dapat menangkis pukulan orang, namun tetap Nyo Ko akan terluka.

Karena waktu sudah mendesak tanpa pikir lagi segera dengan tipu "hui-liong-cay-thian" atau naga terbang ke langit, ia meloncat ke atas dan hantam batok kepala Kim-lun Hoat-ong.

Dalam keadaan begitu, kalau Hoat-ong tidak tarik kembali pukulannya, meski ia bisa binasakan Nyo Ko, tapi ia sendiripun akan melayang jiwanya dibawah Hang-liong-sip-pat-ciang orang yang maha lihay itu.

Karena itu terpaksa ia tarik kembali tenaga pukulannya tadi, sambil membentak ia alihkan telapak tangannya menyambut gablokan Kwe Cing itu.

Inilah untuk kedua kalinya saling gebrak di antara dua guru besar ilmu silat itu. Kwe Cing sendiri terapung di udara, tiada tempat yang bisa digunakan sandaran, tiada jalan lain ia pinjam tenaga pukulan orang terus berjumpalitan dan turun kembali ke belakang. sebaliknya Kim-lun Hoat-ong masih terus berdiri di tempatnya, tubuh tak bergoyang, kaki tak menggeser seperti tak terjadi sesuatu saja.

Ilmu silat Kwe Cing yang hebat cukup dikenal Hek Tay thong, Sun Put-ji dan Tiam-jong Hi-un, maka demi nampak gebrakan itu, sungguh mereka menjadi terperanjat sekali, betapa tinggi kepandaian Kim-lun Hoat-ong sesungguhnya tak bisa mereka ukur.

Padahal melompat mundurnya Kwe Cing itu otomatis telah mengelakkan tenaga pukulan orang, cara itu adalah cara yang betul dalam ilmu silat, sebaliknya Kim-lun Hoat-ong kena dikacau Nyo Ko tadi hingga kehilangan muka, ia paksakan diri hendak pulihkan malunya itu, maka benar2 ia telah sambut tenaga pukulan Kwe Cing, hal ini berarti banyak melemahkan tenaga dalamnya, meski luarnya kelihatan unggul, sebenarnya dalamnya mendapat rugi.

Kedua tokoh itu berlainan ilmu kepandaian dan sama2 gagah tiada bandingannya, kalau hanya beberapa gebrakan saja susah menentukan asor dan unggul, namun karena adu tenaga pukulan tadi, dada Kim-lun Hoat-ong rada sakit, baiknya pihak lawan mementingkan menolong orang dan tidak melanjutkan serangannya maka dengan cepat ia bisa tutup mulut rapat2 mengumpulkan tenaga untuk melancarkan dadanya yang sesak.

Di sebelah sana Nyo Ko telah terhindar dari elmaut, begitu merangkak bangun segera ia lari ke samping Siao-liong-li dan saling menanya keadaan masing2, setelah tahu tida apa2, wajah mereka unjuk senyuman, tangan mereka saling genggam penuh gembira.

"Wahai, dengarkanlah para jago Mongol," seru -Nyo Ko tiba2 sambil menyanggah roda emas rampasannya di atas gada milik Darba itu, "senjata imam negara kalian sudah dapat kurampas, apa kalian masih berani berkata lagi tentang Bu-lim Bengcu segala ? Baiknya kalian lekas enyah saja darisini.Tapi para Bu-su Mongol itu belum mau terima, sudah terang mereka saksikan Kim-lun Hoat-ong menangkan Siao-liong-li, tapi pihak lawan maju lagi seorang Nyo Ko, bahkan maju pula seorang Kwe Cing, Karena itu mereka pada ber-teriak2 mengejek.

"Hm, pihakmu main tiga lawan satu, tak kenal malu!" .

"Hoat-ong sendiri yang melemparkan roda emasnya, mana mungkin kau bocah ini bisa merebutnya?"

"Satu lawan satu, hayo kalau berani bertanding lagi, jangan pakai keroyokan"

"Betul.! Coba bertanding lagi kalau berani !"

Begitulah riuh ramai mereka ber-teriak2, tapi semuanya dalam bahasa Mongol, maka para ksatria Tionggoan tak satupun yang paham.

Sudah tentu diantaranya yang bisa berpikir tahu juga kalau soal ilmu silat sesungguhnya Kim-lun Hoat-ong masih di atas Siao-liong-Ii, tetapi sebutan Bu-lim Bengcu ini betapapun juga tidak boleh direbut seorang imam negara Mongol, hal ini bukan saja bikin malu kalangan Bu-lim daerah Tionggoan, pula berarti melemahkan perbawa sendiri di saat menghimpun kekuatan buat melawan musuh.

Maka diantara ksatria2 yang berdarah muda demi dengar jago2 Mongol ber-teriak2, merekapun balas mencacimaki dan pada lolos senjata, keadaan menjadi kacau panas dan tampaknya bakal bertempur ramai-ramai.

"Bagaimana, kau tetap tak ngaku kalah ?" seru Nyo Ko pada Kim-lun Hoat-ong sambil angkat gadanya tinggi-tinggi dengan roda emas di pucuk gada itu. " senjatamu saja sudah berada di tanganku, masih cukup tebal kulit mukamu untuk berlagak disini? Apa ada di jagat ini senjata seorang Bu-lim Bengcu kena dirampas orang ?"

Waktu itu Kiin-lun Hoat-ong lagi menjalankan tenaga dalamnya, apa yang dikatakan Nyo Ko cukup jelas didengarnya cuma ia tak berani membuka suara untuk menjawab.

Melihat keadaan lawan, Nyo Ko dapat meraba beberapa bagian, segera ia berteriak lagi: "Wahai para ksatria, dengarlah sekarang akan kutanyi dia lagi tiga kali, kalau Hoat-ong tidak menjawab, itu berarti mengaku kalah secara diam-diam."

Nyata si Nyo Ko sangat cerdik ia kuatir sebentar lagi Hoat-ong selesai menjalankan napasnya, maka tanpa berhenti ia menanya pula cepat: "Nah, bagaimana, kau ngaku kalah bukan? Bu-lim Bengcu bukan bagianmu lagi bukan? Kau bungkam terus berarti mengaku secara diam2 bukan?"

Pada saat itu kebetulan Hoat-ong sudah selesai menghilangkan rasa sesak dadanya, selagi ia hendak jawab orang, begitu melihat bibirnya bergerak cepat Nyo-Ko mendahului buka suara lagi "Baiklah, jika kau sudah mengaku kalah, kamipun tak mau bikin susah kau, kalian ber-ramai2 boleh lekas enyah saja.

Habis itu, ia angkat tinggi2 gada dan roda emas rampasannya itu dan diserahkan pada Kwe Ceng, ia pikir kalau serahkan Suhu, kuatirnya Kim-lun Hoat-ong akan menjadi murka dan merebutnya, suhu tentu tak sanggup melawannya.

Di lain pihak alangkah gusarnya Kim-lun Hoat-ong hingga mukanya. merah padam, tapi ia gentar juga terhadap ilmu silat Kwe Cing yang lihay, roda emas sudah jatuh di tangannya, kalau hendak merebutnya kembali rasanya belum tentu berhasil pula jumlah lawan terlalu banyak, kalau terjadi pertempuran besar, pihak Mongol pasti akan kalah habis2an. Agar tidak terima hinaan, terpaksa mundur teratur, kelak cari jalan lagi buat membalas.

Karena itu, dengan suara keras Hoat-ong lantas berkata: "Bangsa Han banyak tipu muslihat, menang dengan jumlah banyak, se-ka!i2 bukan "cara ksatria sejati, marilah ikut aku pergi saja."

Habis berkata, ia memberi tanda dan para jago Mongol itupun mundur keluar rumah. Dari jauh Hoat-ong masih memberi hormat pada Kwe Cing dan berkata: "Kwe-tayhiap, Ui-pangcu, tadi aku sudah belajar kenal ilmu kepandaian kalian yang hebat, Gunung selalu hijau, air sungai senantiasa mengalir, biarlah kita bersua pula kelak,"

Kwe Cing orangnya jujur dan berbudi, maka sambil membungkuk membalas hormat iapun menjawab : "Ilmu silat Taysu sungguh hebat sekali, Cayhe kagum luar biasa. Senjata kalian bolehlah diambil kembali saja."



Sembari berkata, roda emas dan gada emas itupun hendak disodorkannya.

Tapi Nyo Ko lantas menyelak: "Kim-lun Hoat-ong, apa mukamu cukup tebal untuk menerimanya kembali ?"

Lekas2 Kwe Cing membentak, tapi Kim-lun Hoat-ong sudah kebas lengan bajunya terus jalan pergi tanpa berpaling lagi.

Tiba2 Nyo Ko ingat sesuatu. "Hai, muridmu Hotu terkena racun senjata rahasiaku, lekas kau serahkan obat penawar untuk tukar obatku," ia berteriak.

Tetapi Hoat-ong yakin kepandaiannya cukup memahami ilmu pertabiban, segala racun apa saja, dapat disembuhkannya, ia benci terhadap kelicikan Nyo Ko, maka kata2 orang tak digubrisnya terus melangkah pergi.

Sementara Ui Yong melihat Cu-liu pejamkan mata dan pula bertidur, ia pikir di sini tidak sedikit terdapat ahli2 pemakai Am-gi berbisa, pasti ada diantaranya yang dapat menyembuhkan lukanya ini, maka melihat Kim-lun Hoat-ong tak mau terima ajakan Nyo Ko untuk tukar obat penawar, ia pun tidak pikirkan lebih jauh,

Tatkala itu seluruh Liok-keh ceng telah terbenam dilain suasana sorak sorai yang riuh rendah, semua memuji Nyo Ko dan Siao-Iiong-li yang telah mengalahkan Kim-lun Hoat-ong dengan gemilang itu. Kedua muda-mudi ini dirubung beratus orang yang berisik mempersoalkan pertarungan tadi, ada yang bilang-cara Nyo Komengalahkan Hotu betuI2 gunakan cara "senjata makan tuannya", ada yang berkata Ginkang Siao-liong-Ii tiada taranya hingga dapat hindarkan diri dari udakan Kim-lun Hoat-ong yang hendak menghantamnya tadi, cuma mengenai "Ih-hun-tay-hoat" yang digunakan Nyo Ko menangkan Darba hingga paderi Tibet itu dengan dan hantam dirinya sendiri, 9 dari 10 diantara mereka tiada satupun yang paham.

Kemudian perjamuan lantas diperbaharui, selama hidup Nyo Ko selalu menderita hinaan, baru hari ini ia betul2 melampiaskan deritanya itu dan unjuk keperkasaannya mendirikan pahala bagi dunia persilatan Tionggoan, maka tiada seorangpun yang tak menghormat padanya, dengan sendirinya amat girang hatinya.

Siao-liong-li suci bersih batinnya tak kenal sedikitpun tata pergaulan, ia lihat Nyo Ko gembira, maka iapun ikut bergirang. Terhadap "gadis" ini Ui Yong juga sangat suka, ia tarik tangan orang dan menanya ini dan itu, ia minta Siao-liong-li duduk semeja di sampingnya.

Ketika melihat Nyo Ko duduk diantara Tiam jong Hi-un dan Kwe Cing, jaraknya terlalu jauh dari tempatnya, segera Siao-liong-li menggapai dan memanggil: "Ko-ji, kemari duduk di sampingku sini!"

Namun Nyo Ko sedikit banyak paham perbedaan antara laki2 dan perempuan, tadi waktu bertemu sesaat ia lupa daratan dan unjuk perasaan hatinya yang murni, tapi kini di bawah pandangan orang begitu banyak, jika masih unjuk perasaan mesra, rasanya rada kurang pantas, maka demi mendengar panggilan orang, tanpa tahan wajahnya sedikit merah, ia bersenyum tapi tak mendekati.

"Ko-ji, hayo, kenapa kau tak kemari?" kembali Siao-liong-li mendesak.

"Biarlah aku duduk di sini saja, Kwe-pepek lagi bicara dengan aku," sahut Nyo Ko.

Tiba2 alis Siao-liong-li terkerut, "Aku ingin kau duduk ke sini," katanya pula.

Tampak sikap orang yang kurang senang, hati Nyo Ko terguncang hebat, ia merasa wajah orang yang rada marah itu betul2 menggiurkan, sekalipun harus hancur lebur untuknya juga rela, Dahulu karena sifat Liok Bu-siang diwaktu marah rada mirip Siao-liong-li dan Nyo Ko rela membela si gadis itu dari musuh ganas, bahkan melindunginya sejauh ribuan li, kini orang sesungguhnya sudah di depan mata, mana bisa ia membangkang lagi? Maka iapun berdirilah dan mendekati meja Siao-liong-li.

Melihat sikap kedua muda-mudi ini, diam2 Ui Yong rada curiga, namun iapun perintahkan atur tempat duduknya Nyo Ko.

"Ko-ji, ilmu silatmu yang hebat ini kau dapat belajar dari siapa?" kemudian Ui Yong tanya Nyo Ko.

"Dia inilah guruku, kenapa Kwe-pekbo tak percaya" sahut Nyp Ko sambil tunjuk Siao-liong-li.

Tapi Ui Yong sudah kenal kelicinan pemuda ini, bila dilihatnya wajah Siao-liong-li yang polos jujur, ia yakin orang tak nanti membohong, maka diapun berpaling dan tanya: "Moaymoay, betulkah ilmu silatnya dipelajarinya dari kau?"

Siao liong li sangat senang atas pertanyaan orang. "Ya, memang, bagaimana, baik tidak ajaranku?" sahutnya segera.

"Baik, baik sekali." kata Ui Yong, "Moaymoay, Siapakah gurumu?"

"Guruku sudah meninggal lama," sahut Siao-liong-li. Dan matanya tiba2 pula basah, hatinya berduka.

"Tolong tanya siapakah nama dan she gurumu yang terhormat itu ?" kembali Ui Yong menanya.

"Entah, Suhu ya Suhu," sahut Siao-liong-li sambil geleng2 kepala.

Ui Yong sangka orang tak mau mengaku, memang adalah biasa kalau orang Bu-Iim pantang bicara soal perguruan sendiri Padahal guru Siao-liong-li adalah budak pelayan pribadi Lim Tiao-eng, selamanya hanya dikenal nama kecil sebagai pelayan, she dan nama asli memangnya ia tak tahu.

Dalam pada itu para kesatria dari berbagai aliran itu be-runtun2 telah menyuguh arak pada Kwe Ceng, Ui Yong, Siao-liong-li dan Nyo Ko sebagai penghormatan dan ucapan selamat karena telah mengalahkan musuh tangguh seperti Kim-lun Hoat-ong itu.

Biasanya Kwe Hu sangat dihormati orang berkat orang tuanya, tapi dibandingkan kini, keadaannya menjadi guram, kecuali Bu-si Hengte yang masih me-nyanjung2 padanya, tiada seorang lain yang perhatikan dia, Tentu saja gadis ini menjadi kesal "Toa-Bu-Koko, Siao-Bu Koko, jangan minum arak lagi, marilah kita jalan2 keluar saja," ajaknya kemudian pada kedua saudara Bu itu.

Bu Tun-si dan Bu Siu-bun menyahut berbareng, lalu mereka bertigapun berbangkit Dan selagi mereka hendak keluar, tiba2 di dengarnya Kwe Cing sedang memanggil: "Hu-ji, mari sini!"

Waktu Kwe Hu menoleh, ia lihat sang ayah sudah pindah semeja dengan ibunya-dan lagi menggapai padanya dengan ber-seri2. Karena itu iapun mendekati kedua orang tuanya dan memanggil manja sambil bersandar di tubuh Ui Yong.

"Nah, dulu kau kuatir Ko-ji kurang baik kelakuannya dan bilang ilmu silatnya kurang tinggi hingga tak sesuai bagi Hu-ji, kini kau tidak bisa mencela lagi bukan?" demikian dengan tertawa Kwe Cing berkata pada sang isteri: "la telah berjasa besar untuk para Enghiong dari Tionggoan sekarang, jangan kata tidak punya kesalahan, sekali pun ada apa2 yang tak baik jasanya tadi jauh lebih besar untuk menutup kesalahannya itu."

"Ya, sekali ini memang salah penglihatanku" sahut Ui Yong angguk2 tertawa, "baik ilmu silat maupun sifat Ko-Ji memang bagus semua, aku sendiripun amat suka padanya."

Mendengar jawaban sang isteri yang merupakan kesanggupan perjodohan puterinya, Kwe Cing sangat senang. "Liong kohnio." katanya pada Siao liong li, mendiang ayah muridmu adalah saudara angkatku, Kedua keluarga Nyo dan Kwe turun temurun berhubungan baik, Cayhe melulu punya satu anak perempuan, soal wajah dan ilmu silat masih boleh juga..."

Begitulah dasar watak Kwe Cing memang terus terang, apa yang hendak dikatakan lantas diucapkannya begitu saja.

"Hm coba, anak sendiri dipuji-puji, apa tak takut ditertawai adik Liong ?" sela Ui Yong tertawa.

Kwe Cing ikut terbahak, lalu iapun menyambung lagi: "Maka maksud Cayhe, hendak jodohkan puteriku ini pada muridmu, ayah-bundanya sudah wafat semua, urusan ini dengan sendirinya perlu minta keputusan Liong-kohnio, Dan kebetulan para ksatria berkumpul di sini, kita bisa minta dua Eng-hiong terkemuka sebagai comblang untuk menetapkan perjodohan ini, bagaimana ?"

Hendaklah diketahui pada jaman dulu soal perjodohan umumnya tergantung perintah orang tua dan berdasarkan perantara comblang, pihak muda-mudi yang bersangkutan malahan tak berkuasa ambil keputusan.

Begitulah habis berkata, dengan ketawa2 Kwe Cing memandang Nyo Ko dan puteri sendiri, ia duga pasti Siao-liong-li akan terima perjodohan bagus itu. Tentu saja muka Kwe Hu merah jengah.

Ia sembunyikan mukanya ke pangkuan sang ibu.

Sebaliknya air muka Siao-liong-li rada berubah mendengar kata2 Kwe Cing tadi belum ia menjawab tiba2 Nyo Ko sudah berdiri ia menjura dalam2 pada Kwe Cing dan Ui Yong, lalu berkata: "Budi Kwe pepek dan Kwe-pekbo yang membesarkan aku dulu serta rasa sayang padaku ini, sekalipun hancur lebur tubuhku juga sukar membalasnya. Tetapi keluargaku miskin, kepandaianku tak berarti sekali-kali tak berani memikirkan puteri bijaksana."



Seketika Kwe Cing tercengang, sungguh tak pernah diduganya bahwa dengan nama suami-isterinya yang tersohor di kolong langit, wajah dan silat puterinya juga tergolong kelas satu, apalagi ia sendiri yang buka mulut hendak menjodohkan-nya, siapa tahu orang malah menolak mentah2.

Tapi ia lantas ingat tentu usia Nyo Ko masih muda dan merasa malu, maka pura2 menolaknya. Maka ia tertawa pula dan berkata: "Ko-ji kita bukan orang luar, urusan ini bersangkutan dengan seumur hidupmu tak perlu kau malu-malu."

Tapi lagi-lagi Nyo Ko menjura dan menjawab: "Kwe-pepek jika engkau ada perintah, ke lautan api atau masuk air mendidih, sedikitpun aku tak menolak, namun urusan perjodohan ini, betapapun tak berani ku menurut,"

Melihat pemuda ini bersikap sungguh2, alangkah herannya Kwe Cing, ia pandang sang isteri dan berharap ikut menjelaskan persoalannya.

Ui Yong sesalkan sang suami terlalu lurus, tidak selidiki dulu lantas berkata terang2an dalam perjamuan terbuka hingga kebentur tembok sendiri.

Sudah dilihatnya sikap antara Nyo Ko dan Siao liong-li yang sedang saling cinta, tapi mereka mengaku sebagai guru dan murid, apakah mungkin kedua orang ini telah tersesat dan berzinah? Tentang ini sesungguhnya ia tak berani percaya, ia pikir Nyo Ko belum pasti seorang jantan sejati, tapi juga tak nanti melakukan perbuatan terkutuk dan rendah itu.

Harus diketahui orang pada ahala Song sangat pentingkan tata susila, tingkatan antara guru dan murid dipandang seperti raja dan hambanya, seperti ayah dan anak yang se-kali2 tak boleh berbuat sembarangan.

Walaupun Ui Yong bercuriga, namun urusan ini terlalu besar artinya, seketika iapun tak berani percaya, maka ia tanya Nyo Ko: "Ko-ji, benarkah Liong-kohnio gurumu ?"

"Ya," sahut Nyo Ko pasti.

"Apakah kau angkat guru padanya dengan menjura dan menyembah?" tanya "Ui Yong lagi

"Ya," jawab Nyo Ko tegas, Mulutnya menjawab Ui Yong, tapi matanya memandang Siap-liong-li dengan penuh rasa kasih mesra, jangankan Ui Yong cerdik melebihi orang biasa, sekalipun orang lain juga dapat melihat bahwa antara kedua muda-mudi ini tentu mempunyai hubungan yang lain dari yang lain.

Namun Kwe Ceng belum juga paham maksud tujuan sang isteri ia pikir: "Bukankah sejak tadi ia bilang murid Liong-kohnio, ilmu silat mereka berdua terang juga sama, mana bisa dipalsukan lagi? Aku persoalkan perjodohan, kenapa adik Yong tanyakan perguruan dan alirannya? Em, ya, lebih dulu bocah ini masuk Coan-cin-pay, kemudian ganti angkat guru lain, meski hal ini tak baik, tapi urusannya gampang juga diselesaikan."

Dalam pada itu melihat sikap Nyo Ko terhadap Siao-liong-li, diam2 Ui Yong terperanjat sekali, lekas2 ia kedipi sang suami dan berkata: "Sudahlah, umur Hu-ji masih kecil, soal perjodohannya kenapa harus ter-buru2? Hari ini para ksatria berkumpul disini, paling betul berunding dulu masalah negara yang besar, urusan pribadi sementara boleh kesampingkan dulu."

Kwe Cing pikir betul juga, maka jawabnja: "Ya, betuI, hampir saja aku pentingkan urusan pribadi dan melupakan soal besar. Liong-kohnio, urusan perjodohan Ko-ji dan puteriku ini biarlah kita bicarakan lagi kelak."

Siapa duga mendadak Siao-liong-Ii geleng2 kepala. "Tidak, aku yang akan menjadi isteri Ko-ji, tak nanti ia menikahi anakmu," sahutnya tiba2.

Kata2 itu diucapkan cukup keras dan terang, maka ada ratusan hadirin di situ mendengarnya, keruan Kwe Cing terperanjat, seketika ia berbangkit sungguh ia tak percaya pada telinga sendiri, namun bila dilihatnya Siao-liong-li memegangi tangan Nyo Ko dengan sikap begitu hangat dan mesra, hal ini tak bisa pula tak mempercayainya.

"Ap.... apa katamu? Di... dia mu... muridmu bukan?" tanyanya cepat tak lancar.

"Ya," sahut Siao-liong-li dengan tersenyum simpul "Dahulu aku mengajarkan ilmu silat padanya, tapi kepandaiannya kini sudah sama kuatnya dengan aku, ia sangat suka padaku dan akupun suka padanya, Dulu...." sampai di sini tiba2 ia pelahankan suaranya, meski gadis ini masih polos, namun sifat malu2 anak perempuan adalah pembawaan, maka dengan lirih ia sambung: "...dulu, dulu kukira dia tak suka padaku dan tak mau aku menjadi isterinya, ak... aku menjadi sedih sekali, aku ingin mati saja lebih baik Tapi ha... hari ini barulah aku tahu ia cinta padaku sesungguh hati, ak... aku..."

Luar biasa penuturan Siao-liong-li yang keluar dari jiwa murninya ini hingga seketika beratus hadirin itu sama sunyi senyap mendengarkan kata2 si gadis. Umumnya, sekalipun seorang gadis yang sedang terbakar api asmara, namun tak nanti mengumumkannya terang2an di hadapan orang banyak. Apalagi menutur pada orang luar yang bukan sanak keluarga sendiri Tapi Siao-liong-li terlalu bersih, ia tak kenal urusan umum, apa itu tata krama atau kebiasaan manusia, segalanya tak dipahaminya, apa dirasakan perlu dikatakannya segerapun dikatakan.

Sebaliknya Nyo Ko sangat terharu melihat perasaan si gadis yang murni itu, tapi bila dilihatnya wajah orang lain nada unjuk rasa terkejut dan heran, ia menjadi kikuk dan tak bisa membenarkan pula, ia tahu Siao-liong-li terlalu hijau, sepantasnya tidak membicarakan urusan ini di tempat orang banyak, maka tangan orang lantas ditariknya, dengan suara halus iapun mengajak: "Marilah, Ko-koh, kita pergi saja !"

"Baik," sahut Siao-liong-li. Lalu kedua muda-mudi inipun bertindak keluar berendeng.

Tatkala itu meski seluruh ruangan penuh berjubel dengan orang, namun dalam pandangan Siao liong-li se-akan2 Nyo Ko seorang saja yang dilihatnya.

Kwe Cing saling pandang bingung dengan Ui Yong, tidak sedikit peristiwa aneh dan berbahaya yang pernah mereka alami selama hidup, tapi kejadian di depan mata sekarang ini sungguh tak pernah mereka duga, seketika merekapun tidak tahu bagaimana harus bertindak.

Pada waktu Siao-liong-li dan Nyo Ko sudah hampir melangkah keluar ruangan pendopo itu, mendadak Ui Yong meneriakinya: "Liong-kohnio, kau adalah Bu-lim Bengcu yang dihormat dan dipandang sebagai suri teladan semua orang, maka urusan ini hendaklah kau pikirkan lebih masak."

Tiba2 Siao-liong-li menoleh sambil tersenyum manis, sahutnya: "Aku tak sanggup menjadi Bu-lim Bengcu segala, kalau cici suka bolehlah kau ambil saja jabatan itu."

"Tidak, bila kau mau menolak, maka serahkan "saja pada ksatria angkatan tua Ang-lopangcu," kata Ui Yong.

Bu-lim Bengcu adalah gelar kehormatan yang amat agungnya, dalam dunia persilatan, tapi sedikitpun tak terpikir oleh Siao-liong-li, ia menjawab pula sekenanya: "Terserahlah kau, pendeknya aku tidak kepingin."

Habis itu tangan Nyo Ko ditariknya hendak berjalan keluar lagi.

Se-konyong2 sesosok bayangan berkelebat, dari tengah orang banyak tahu2 melompat keluar se-orang berjubah pertapaan dan tangan menghunus pedang, ia bukan lain dari pada imam Coan-cin-kau, Thio Ci-keng adanya.

"Nyo Ko," bentak Ci-keng mendadak dengan pedang melintang dan menghadang di ambang pinta "Kau durhaka dan mengkhianati perguruan, hal ini saja tak dibesarkan orang, kini kau berbuat lagi serendah binatang, apa kau masih punya muka untuk hidup di dunia ini? Asal aku Thio Ci-keng masih bisa bernapas, tidak nanti kubiarkan kau."

Nyo Ko tak suka ribut2 dengan Ci-keng di depan orang banyak, maka dengan suara tertahan ia membentak "Menyingkir!"

"In-sute," teriak Ci-keng pula, "coba kau maju, katakanlah malam itu di Cong-lam-san dengan mata kepala kita sendiri menyaksikan kedua orang ini telanjang bulat lagi berbuat apa?"

PeIahan2 Ci-peng berdiri dengan sedikit gemetar waktu ia angkat tangan kirinya, maka terlihatlah jari2 kecil dan manis tangannya telah kutung semua, meski semua orang tak tahu maksud-nya mengunjuk tangan cacat ini, namun melihat tubuh Ci-peng yang gemetar dan bersikap aneh, orangpun dapat menduga pasti di dalamnya tersangkut sesuatu yang ganjil.

Seperti diketahui, malam itu Siao-liong-li dan Nyo Ko sedang melatih Giok-li-sim-keng dalam semak2 bunga dan dipergoki Ci-keng dan Ci-peng tanpa sengaja, tatkala mana Nyo Ko telah paksa Ci-peng bersumpah agar tak bercerita pada orang kelima, siapa tahu hari ini orang telah menistanya di hadapan orang banyak, tentu saja luar biasa gusarnya Nyo Ko.

"Kau telah bersumpah tak akan ceritakan pada orang kelima, apa kau lupa?" bentak Nyo Ko segera.

Ci Keng ter-bahak2 oleh teguran ini "Ya. memang aku bersumpah tidak akan bercerita pada orang kelima." sahutnya keras, "tapi kini disini ada orang keenam, ketujuh, bahkan beratus dan beribu orang, dengan sendirinya sumpahku itu sudah batal. Kalian berdua berani berbuat, sudah tentu aku pun boleh mengomongnya bukan?"

Peristiwa itu memangnya sangat kebetulan saja, ketika tengah malam Ci-keng melihat kedua muda-mudi itu telanjang bulat berada bersama dalam semak2, ia sangka orang telah berbuat kotor, siapa tahu sesungguhnya orang lagi melatih ilmu yang tiada bandingannya itu. Dalam gusarnya kini peristiwa itu disiarkannya, sebenarnya bukan maksudnya sengaja hendak memfitnah.

Akibat kejadian malam itu, Siao-liong-li sampai muntah darah saking gusar dan hampir2 jiwanya melayang, kini mendengar Ci-keng berdebat model pokrol bambu. ia tak tahan lagi, cepat sekali ia ulur tangan dan menekan pelahan ke dada Ci-keng seraya berkata: "Baiknya kau jangan ngaco-belo ya !"

Sementara ini Giok-li-sim-keng yang dilatihnya sudah jadi, gerak tangannya ini dilakukan tanpa suara dan tak kelihatan, kebetulan juga Giok-li-sim-keng itu diciptakan sebagai lawan ilmu silat Coan-cin-pay ketika Ci-keng hendak menangkis. tak tahunya tangan Siao-liong-li telah memutar lagi dan tetap meraba ke dadanya.

Sekali tangkis tak kena, luar biasa kejut Ci-keng, namun begitu dadanya teraba tangan orang pun lantas ditarik kembali dan tiada sesuatu perasaan apa2, maka iapun tidak ambil perhatian dengan tertawa dingin ia coba meng-olok2 lagi: "Ada apa kau meraba tubuhku ? Aku toh bukan gend..."

Belum kata2 "gendakmu" selesai diucapkan, mendadak kedua matanya melotot kaku, seketika orangnya terkulai ke depan, nyata ia sudah terluka dalam yang amat parah.

Melihat sang Sutit terluka, lekas2 Sun Put-ji dan Hek Tay-thong memburu maju buat membangunkan, dilihatnya napas Ci-keng memburu dan wajahnya merah padam bagai orang mabuk

"Bagus, kau Ko-bong-pay benar2 hendak memusuhi Coan-cin-kau kami," teriak Sun Put-ji, segera pedangpun dilolosnya lantas hendak melabrak Siao-liong-li.

Lekas2 Kwe Cing melompat maju dan menyela di tengah kedua pihak "Sudahlah, orang sendiri jangan cekcok," ia coba memisah. Lalu ia berkata juga pada Nyo Ko: "Ko-ji, kedua pihak sama2 terhitung gurumu. Harap kau minta mereka kembali ke tempat duduk masing2, ada apa2 biarlah kita pertimbangkan sebenarnya siapa yang salah."

Akan tetapi Sino-liong-li sudah jemu dan benci pada segala kepalsuan manusia dengan pengalaman2 sejak ia turun gunung, maka tangan Nyo Ko digandengnya dan mengajaknya lagi "Marilah kita pergi saja, Ko-ji, selamanya jangan kita ketemu orang2 ini pula !"

Nyo Ko ikut bertindak pergi, tapi mendadak pedang Sun Put-ji berkelebat ia menghadang pula dan membentak: "Hm, enak saja, sudah melukai orang lantas hendak merat begitu saja?"

Melihat kedua pihak akan saling gebrak lagi lekas2 Kwe Cing berkata pula dengan sungguh2 -"Ko-ji, segalanya hendaklah kau pikir masak2 dan jadilah orang baik2, jangan bikin susah diri sendiri dan membikin busuk nama baikmu. Namamu Ko adalah aku yang memberi, apa kau paham maksud huruf "Ko" itu?"

Tergetar Nyo Ko oleh teguran itu, mendadak terbayang olehnya banyak kejadian di masa kecil, teringat olehnya segala hinaan yang pernah ia rasakan, pikirnya: "Aneh, mengapa namaku ini adalah pemberian Kwe-pepek?"

"lbumu dulu tentu pernah ceritakan padamu kau bernama "Ko" dan alias apa?" tegur Kwe Cing pula bengis.

Maka ingatlah Nyo Ko pernah dengat dari ibunya, cuma dulu usianya masih kecil, maka selamanya tiada orang memanggil nama aliasnya hingga ia sendiri hampir lupa, "Nama aliasku "Kay-ci" sahutnya kemudian.

"Benar," kata Kwe Cing. "Dan apa maksudnya itu?"

"Kwe-pepek maksudkan bila aku ada kesalahan (Ko) supaya bisa memperbaikinya (Kay-ci)," sahut Nyo Ko.

Karena itu lagu suara Kwe Cing berubah sedikit halus. "Ko-ji," katanya pula, "manusia mana yang tak pernah salah (Ko), tapi salah berani memperbaiki hal ini harus dipuji, ini adalah petua Nabi. Kini kau tak menghormati guru, ini adalah kesalahan maha besar, hendaklah kau bisa pikirkan secara baik-baik."

"Kalau aku ada salah sudah tentu akan kuperbaiki," sahut Nyo Ko." Tetapi dia... dia..."

ia tuding Ci-keng dan melanjutkan: "dia pukul aku, dia menghina aku, menipu aku dan benci padaku, mana mau aku mengakui dia sebagai guru? Aku dan "Liong-kokok suci bersih, Thian menjadi saksi, aku menghormati dia, kucinta padanya, apakah ini suatu kesalahan?"

Nyo Ko mencerocos dengan lancar dan bersemangat oleh rasa benarnya, kecerdasan dan bicaranya Kwe Cing tak ungkuli pemuda ini, sudah tentu ia menjadi gelagapan, Cuma perbuatan orang dirasakannya salah, hanya seketika ia tak bisa menjelaskannya.

"Ko-ji," sementara Ui Yong sudah maju juga, "Kwe-pepek ingin kau berbuat baik, hal ini hendaklah kau mengerti" suaranya halus.

Karena itu perasaan Nyo Ko terguncang, iapun lirihkan suara dan menyahut: "Ya, selamanya Kwe-pepek sangat baik padaku, hal ini aku cukup tahu." Karena terharunya, matanya merah dan hampir2 meneteskan air mata.

"Maksudnya hanya berusaha menginsafkan kau, sekali-kali jangan kau salah paham," kata Ui Yong lagi.

"Tetapi aku justru tak paham, aku tak mengerti kesalahan apakah yang kulakukan?" kata Nyo Ko pula.

Tiba2 Ui Yong menarik muka, "Apa kau benar2 tak mengerti atau kau sengaja main gila dengan kami ?" tanyanya.

Nyo Ko menjadi penasaran, ia pikir: "Jika kalian baik2 terhadapku dengan sendirinya aku pun balas dengan baik, tetapi kalian ingin aku berbuat bagaimanakah ?"

Karena itu, ia gigit bibir dan tak menjawab.

"Baiklah, bila kau ingin aku bicara terus terang, rasanya akupun tak perlu main teka-teki dengan kau," kata Ui Yong, "Liong-kokoh adalah Suhumu, itu berarti orang tua yang harus kau hormati, maka tak boleh ada hubungan pribadi antara laki2-perempuan."

Peraturan demikian itu bukannya Nyo Ko tak paham sama sekali seperti diri Siao-liong-li, cuma ia tak mengerti, sebab apa hanya lantaran Kokoh pernah mengajarkan ilmu silat padanya lantas tak boleh menjadi isterinya ? Kenapa hubungannya dengan Liong-kokoh yang suci bersih, Kwe-pepek saja tak mau percaya? Berpikir sampai disini, tak tahan lagi iapun naik darah.

Dasar Nyo Ko seorang yang tak gentar terhadap segala apa dan pantang kekerasan, sekali ia merasa penasaran, ia menjadi lebih tak mau mengerti Segera, dengan suara keras ia berkata lagi: "Dan perbuatan apa yang kulakukan yang membikin susah kalian? Siapa yang pernah kucelakai? Liong-kokoh pernah mengajarkan ilmu silat padaku, aku justru ingin dia menjadi isteriku, kau boleh bacok aku, boleh cincang aku, namun aku tetap ingin dia menjadi isteriku."

Kata2nya ini betul2 membikin seluruh hadirin terperanjat. Pada jaman Song orang sangat kukuh pada tata adat, mana ada logika yang menyimpang 180 derajat dari peraturan itu? Selama hidup Kwe Cing sendiri paling menghormat pada guru, maka ia gusar tidak kepalang oleh jawaban Nyo Ko itu, cepat sekali ia melangkah maju, segera ia jamberet dada Nyo Ko.

Siao-liong-li terkejut segera ia menangkis, Namun ilmu silat Kwe Cing masih jauh di atasnya, apalagi dalam keadaan gusar, seluruh tenaganya telah dikeluarkan semua, ketika sekali tarik terus dilemparkan, tahu2 Siao-liong-li terlempar pergi setombak lebih dan turun kembali di luar pintu menyusul mana sebelah tangan Kwe Cing pegang dada Nyo Ko tempat "Thian-tut-hiat" dan tangan lain diangkatnya tinggi2 sambil membentak: "Binatang cilik, kenapa kau berani keluarkan kata2 durhaka semacam itu?"

Seluruh tenaga Nyo Ko lenyap seketika oleh karena cekalan Kwe Cing itu, namun dalam hati sedikitpun ia tak takut "Kokoh cinta padaku sepenuh hatinya, begitu pula aku terhadapnya," katanya lantang, "Kwe-pepek, kau mau bunuh aku boleh bunuhlah, tapi keputusanku ini tak akan berubah selamanya."

"Aku anggap kau seperti anakku sendiri, tidak boleh kudiamkan kesalahanmu dan tak memperbaikinya," kata Kwe Cing.

"Aku tak salah, aku tidak melakukan sesuatu yang buruk, aku tak pernah mencelakai orang lain!" jawab Nyo Ko tegas, Tiga kalimat itu diucapkannya dengan begitu kuat dan pasti.



Seketika hati para ksatria ikut terkesiap, mereka merasa kata2 Nyo Ko ada bagian2 yang masuk di akal, umpama saja kalau kedua muda-mudi ini tidak bilang2 pada orang lain, lalu hidup menyendiri di dunia lain atau menjadi suami isteri di pulau terpencil misalnya, bukankah tidak merugikan siapapun juga.

Tapi kalau berbuat se-mena2 sesukanya tanpa menghiraukan pedapat umum, ini pun tak bisa dibenarkan dan merupakan sampah masyarakat persilatan.

Tapi berlainan pendapat Kwe Cing daripada Nyo Ko, ketika telapak tangannya sudah diangkat, ia berkata dengan pedih : "Ko-ji, betapa sayangku padamu, apakah kau mengerti? Aku lebih suka kau mati daripada kau berbuat hal2 tak baik, pahamkah kau?"

Karena kata2 Kwe Cing ini, Nyo Ko tahu bila tidak ganti lagu suara, sekali gablok pasti dirinya akan terpukul mati, kadangkala pemuda ini licin dengan macam 2 tipu akalnya, tapi kini ia justru keras kepala, maka dengan tegas ia menjawab: "Aku yakin aku tidak bersalah, kalau Pepek tak percaya biarlah kau pukul mati aku saja."

Telapak tangan kiri Kwe Cing sudah diangkat tinggi2, asal sekali gablok ke atas batok kepala Nyo Ko, mana bisa bernyawa pula? Karena itu seketika para ksatria sunyi senyap tiada yang bersuara, semuanya menatap tangan Kwe Cing apakah jadi digablokkan atau tidak.

Sejurus telapak tangan Kwe Cing tinggal terangkat tinggi2, kembali ia pandang Nyo Ko sekejap, ia lihat bocah ini gigit kencang bibirnya dan alis terkerut rapat, parasnya begitu mirip dengan mendiang ayahnya, Nyo Khong.

Mendadak Kwe Cing menghela napas panjang, ia lepaskan jambretannya dan berkata: "Sudahlah, harap kau berpikir lebih masak."

Habis itu iapun kembali ke tempat duduknya tadi, sekejap saja ia tidak pandang Nyo Ko pula, tampaknya ia begitu putus asa dan habis harapan.

"Ko-ji, orang2 ini begini kasar, jangan kau peduli mereka, marilah kita pergi saja," tiba2 Siao-liong-li menggapai Nyo Ko. Nyata sama sekali ia tidak tahu bahwa jiwa Nyo Ko tadi sudah dalam saat yang menentukan.

Dengan langkah lebar segera Nyo Ko keluar ruangan pendopo itu sambil bergandeng tangan Siao-liong-li, mereka mendapatkan kuda mereka yang kurus itu dan segera menuntunnya berlalu.

Dengan mata terpentang Iebar2 para ksatria mengikuti kepergian kedua muda-rnudi itu, ada yang memandang rendah, ada yang kagum, ada yang gusar dan ada yang simpatik dan macam2 perasaan yang tak sama.

Begitulah berendeng Nyo Ko bikin perjalanan dengan Siao-liong-li, meski hari sudah jauh malam, tapi mata kedua orang ini cukup terlatih, jalan di malam gelap mereka anggap seperti siang hari saja.

Sudah lama berpisah dan kini kedua muda-mudi ini berdua kembali, betapa senang perasaan mereka tak perlu dilukiskan lagi, segala apa yang terjadi tadi, pertempuran mati2an, perdebatan dan caci maki, semuanya sudah mereka lupakan.

Mereka berjalan terus tanpa bicam, akhirnya sampai di bawah suatu pohon Yang-liu yang rindang, tanpa berjanji keduanya mendekati dan duduk bersandarkan dahan pohon, lambat laun merekapun merasa letih dan kemudian terpulas sendirinya.

Kuda kurus itu makan rumput hijau di kejauhan dengan bebasnya, hanya kadang2 terdengar suara meringkiknya yang pelahan.

Setelah mendusin, hari sudah terang benderang, kedua muda-mudi itu saling pandang dan tertawa.

"Ke mana kita sekarang, Kokoh?" tanya Nyo Ko.

"Lebih baik kembali Ko-bong (kuburan kuno) saja," sahut Siao-liong-li sesudah merenung sejenak.

Nyata sejak ia turun gunung, ia merasa meski dunia ramai ini sangat indah, tapi tetap tidak lebih merdeka daripada hidup dalam kuburan kuno itu.

Nyo Ko juga tahu jiwa Siao-liong-li terlalu polos dan tidak cocok untuk bergaul dengan orang, ia pikir kalau selama hidup ini bisa berdampingan dengan gadis ini, selebihnya tiada yang dia inginkan lagi, dahulu ia suka kenangkan dunia luar yang ramai dan berharap bisa keluar kuburan, tetapi sesudah berkelana sekian lama, kembali ia rindu pada kehidupan yang aman tenteram dalam Ko-bong itu.

Begitulah kedua orang itupun balik ke utara, sepanjang jalan mereka bicara dan menempuh jalan pe-lahan2. Yang satu tetap panggil "Ko-ji" dan yang lain sebut "Kokoh", mereka merasa sebutan itu adalah paling cocok dan wajar.

Sampai lohor, pembicaraan mereka sampai pada ilmu silat Kim-lun Hoat-ong dan murid2nya yang lihay luar biasa.

"Ko-ji, pada bab terakhir dari Giok-li-sim-keng selamanya belum pernah kita latih, apa kau masih ingat?" tiba2 Siao-liong-li berkata.

"lngat, cuma berulang kali kita sudah pernah coba memecahkannya dan selalu gagal, agaknya pasti ada yang salah," sahut Nyo Ko.

"Sebenarnya akupun tak paham," ujar Siao-liong-li, "tetapi kemarin melihat imam wanita tua itu menggeraki pedangnya, waktu itulah mengingat kan padaku akan sesuatu."

Seketika Nyo Ko paham juga bila teringat tipu gerakan pedang yang digunakan Sun Put-ji kemarin, "Ya, ya," segera ia berteriak, "harus digunakan berbareng antara Giok-li-sim-keng dan ilmu silat Coan-cin-pay, pantas kita sudah melatih kesana kemari masih belum berhasil."

Kiranya dahulu cikal-bakal Ko-bong-pay, Lim Tiao-eng, sangat ter-gila2 pada Ong Tiong-yang, waktu tinggal sendiri dalam kuburan kuno ia ciptakan ilmu silat Giok-li-sim-keng, namun terhadap Ong Tiong-yang masih tetap tidak pernah lupa, maka sampai bab terakhir dari Giok-li-sim-keng yang dia tulis, timbul khayalannya pada suatu hari kelak pasti bisa sejajar dengan jantung hatinya menggempur musuh.

Oleh karena itu, ajaran ilmu pada bab terakhir itu melukiskan seorang menggunakan ilmu dari Giok-li-sim-keng dan yang lain memakai ilmu silat Coan-cin-pay untuk saling bahu-membahu menggempur musuh.

Begitulah dari segala isi hati yang pernah tumbuh dalam lubuk hati Lim Tiao-eng dahulu terhadap Ong Tiong-yang semuanya telah disalurkan melalui bab tarakhir dari ilmu silat ciptaannya itu.

Waktu Siao-liong-li dan Nyo Ko melatihnya mula2, karena rasa cinta mereka belum bersemi maka tak mungkin mereka paham jerih payah maksud hati Cosu-popoh mereka, lebih2 tidak bisa dimengerti bahwa di antara mereka yang satu harus pakai ilmu silat perguruan sendiri dan yang lain harus gunakan ilmu silat Coan-cin-pay yang sama sekali berlawanan itu.

Kini sesudah sadar, segera kedua muda-mudi itu jemput sebatang kayu dan sejurus demi sejurus merekapun mulai memecahkan pelajaran yang sudah lama belum berhasil itu. Dengan pelahan Siao-liong-li mainkan Giok-li-sim-keng dan Nyo Ko sebaliknya keluarkan Kiam-hoat Coan-cin-pay. Tetapi baru beberapa jurus mereka pecahkan, kembali mereka menghadapi jalan buntu karena satu dan lain tak cocok lagi

Hendaklah tahu bahwa dahulu waktu Lim Tiao-eng menciptakan ilmu pedang ini, dalam khayalannya ia berdiri sejajar dengan Ong Tiong-yang menggempur musuh, maka setiap tipu gerakan selalu bekerja sama dengan rapat, kini Nyo Ko dan Siao-liong-li saling latih dengan tangkai kayu mereka anggap masing2 sebagai pihak lawan, waktu dimainkan dengan sendirinya menyimpang dan tak cocok, meski mereka mengulanginya ber-kali2 tetap tidak betul.

"Apa mungkin kita sudah lupa, coba kita kembali Ko-bong dulu baru nanti melatihnya lagi." ujar Siao-liong-li

Selagi Nyo Ko hendak menjawab, tiba2 didengarnya di kejauhan ada suara derapan kuda, seorang penunggang secepat terbang telah mendatangi. Kuda itu seluruhnya berbulu merah, penunggangnya juga baju merah, hanya sekejap saja, orang dan tunggangannya bagai segumpal awan merah sudah lewat di samping mereka, nyata itu adalah kuda "si merah" tunggangan Ui Yong.

Nyo Ko tak ingin bertemu dengan keluarga Kwe Cing yang hanya menimbulkan rasa kesal saja, maka ia ajak Siao-liong-li pilih jalan kecil saja agar tidak kepergok dengan orang di depan sana.

Meski Siao-liong-li adalah Suhu, tapi kecuali ilmu silat, urusan2 lain sama sekali ia tak paham, kalau Nyo Ko bilang pilih jalanan kecil, dengan sendirinya iapun menurut.

Malamnya kedua orang menginap di suatu hotel kecil, Nyo Ko tidur di atas ranjang dan Siao-liong-li masih tetap tidur di atas tali yang digantung diantara dua belah dinding. Dalam hati kedua orang pasti hendak bersuami isteri tetapi karena beberapa tahun didalam kuburan kuno selalu tidur seperti demikian ini, sesudah bersua kembali mereka masih tetap tidur cara lama dan melatih diri seperti dulu2, yang mereka pikir ialah buah hati sudah berdampingan dan selanjutnya tak akan berpisah lagi, dalam hati mereka sama2 merasa girang dan terhibur tak terhingga.



Besok siangnya, tibalah mereka sampai di suatu kota besar, kota itu penuh sesak dengan lalu lintas kereta kuda dan orang jalan hingga suasana sangat ramai.

Nyo Ko ajak Siao-Iiong-li dahar ke suatu restoran, tapi baru saja mereka naik ke atas loteng. seketika Nyo Ko tercengang, ia lihat Ui Yong dan Bu-si Hengte juga sedang bersantap di situ.

Karena sudah telanjur bertemu, Nyo Ko pikir tak enak menyingkir maka ia maju memberi hormat dan menyapa.

"Kau melihat puteriku tidak?" demikian Ui Yong bertanya dengan alis terkerut rapat dan muka muram sedih.

"Tidak, apa Hu-moay tidak bersama dengan kau?" jawab Nyo Ko.

Belum lagi Ui Yong menjawab atau terdengar tangga loteng riuh ramai, beberapa orang telah naik ke atas, seorang yang jalan paling depan berperawakan tinggi besar, siapa lagi dia kalau bukan Kim-Iun Hoat-ong?

Nyo Ko cukup jeli, ia tak bicara lagi dengan Ui Yong, tapi cepat kembali ke samping Siao-Iiong-li dan membisikinya: "Berpaling ke sana, jangan pandang mereka."

Tapi betapa tajam sinar mata Kim-lun Hoat ong, begitu naik ke atas, seketika semua orang di atas loteng sudah masuk dalam pandangannya, maka terdengarlah ia tertawa-tawa dingin, dengan bebasnya ia duduk menyanding suatu meja.

sebenarnya Nyo Ko sudah berpaling ke arah lain, mendadak ia dengar Ui Yong berseru: "Hu-ji!" ia terkesiap, tanpa terasa ia menoIeh, maka terlihatlah Kwe Hu duduk semeja dengan Kim-lun Hoat-ong dengan mata terbuka lebar lagi pandang sang ibu, cuma tak berani menyeberang ke sini.

Kiranya sehabis Kim-lun Hoat-ong dikalahkan ia masih penasaran dan memikirkan daya upaya untuk tebus kekalahannya itu, di samping itu Pengeran Hotu terkena jarum berbisa dan racunnya bekerja hebat, segala obat penawar sudah digunakannya tanpa berhasil, karena itu lebih2 menambah hasratnya hendak rebut obat, maka ia tak pergi jauh melainkan menunggu kesempatan baik di sekitar Liok-keh-ceng.

Agaknya memang nasib Kwe Hu yang bakal ketimpa malang, pagi2 ia sudah jalan2 dengan kuda merahnya dan kebetulan kepergok Kim-lun Hoat-ong hingga diseret turun dari kudanya. Beruntung kuda merah itu sangat cerdik, secepat terbang binatang itu lari pulang dan mendengking pilu di hadapan sang majikan.

Kwe Cing tahu sang puteri ketemukan bahaya, keruan terkejut, segera mereka memencar mencari-nya. Meski Ui Yong sedang mengandung, tapi kasih sayangnya pada sang puteri iapun naik kuda merahnya ikut mencarinya dan hari ini lebih dulu bertemu dengan Bu-si Hengte di kota ini lalu berjumpa pula dengan Nyo Ko berdua, siapa tahu secara sangat kebetulan, kemudian Kim-lun Hoat-ong juga mendatangi restoran ini dengan tawanannya: Kwe Hu.

Nampak puterinya itu, terkejut tercampur girang Ui Yong, tapi sungguhpun ia banyak tipu akal, kini anak gadisnya jatuh dibawah cengkeraman musuh, ia hanya memanggil sekali habis itu iapun tak bicara lagi sepasang sumpit yang dia pegang itu menggores kian kemari di atas meja sembari memikirkan tipu daya untuk menolong puterinya.

Sedang ia memikir, tiba2 terdengar Kim-lun Hoat-ong berkata: "Ui-panglu, ini puteri kesayanganmu bukan? Tempo hari kulihat ia menggelendot di pangkuanmu dengan manjanya, tampaknya sangat menarik sekali."

Ui Yong menjengek, ia tidak menjawab. sebaliknya Bu Siu-bun lantas berdiri.

"Hm, percuma kau sebagai ketua suatu aliran tersendiri, bertanding kalah, kini menganiaya anak gadis orang yang masih muda, sungguh tak kenal malu?" bentak pemuda itu.

Namun Kim-lun Hoat-ong anggap kata2 orang bagai angin lalu saja dan tak menggubrisnya, kembali ia berkata pada Ui Yong: "Ui-pangcu, kau suruh orangmu antarkan dulu obat penawar racun jarum berbisa itu, kemudian kita boleh bertanding pula se-adil2nya untuk menentukan Bu-lim Beng-cu sebenarnya menjadi bagian siapa."

Ui Yong menjengek lagi, ia tetap tak menjawab Dan kembali Bu Siu-bun berdiri lagi sambil ber-teriak2 : "Kau bebaskan dulu nona Kwe dan kami lantas berikan obat, soal bertanding boleh dirundingkan nanti."

Ui Yong coba melirik Nyo Ko dan Siao-liong-li, dalam hati ia pikir: "Obat penawar ada pada kedua orang ini, tapi Siu-ji seenaknya saja menjanjikan pada lawan, siapa tahu orang mau memberi atau tidak."

Sementara itu terdengar Kim-lun Hoat-ong berkata lagi: "Am-gi beracun di jagat ini apakah hanya kalian yang punya? Kalian melukai muridku dengan jarum berbisa, akupun gunakan paku berbisa melukai puterimu. Kalian berikan obat penawarnya, kamipun obati lukanya, Tapi soal bebaskan orang, inilah tak mudah."

Melihat keadaan puterinya biasa saja, tampaknya tidak terluka, namun kasih sayang ibu, betapa pun Ui Yong bingung juga, Dan karena bingung, menjadikan kecerdasannya hilang hingga seketika sama sekali tak berdaya.

Sementara itu tiada hentinya pelayan mengantarkan daharan ke meja Kim-lun Hoat-ong, mereka makan minum se-puas2nya sambil bicara dan bergurau dalam basa Tibet. Kwe Hu duduk terpaku memandang sang ibu, mana ada napsu makan barang sesumpit saja?

Hati Ui Yong bagai di-sayat2, siapa tahu, nasib malang memang biasanya tak menyendiri tiba2 perutnya terasa melilit sakit.

Habis makan, kemudian Kim-lun Hoat-ong berbangkit dulu, tiba2 ia berkata pula: "Ui-pang-cu, marilah ikut pergi sekalian dengan kami,"

Ui Yong terkejut tapi segera iapun insaf, nyata orang bukan saja tak mau bebaskan puterinya, bahkan ia sendiripun hendak "dibawa" pergi sekalian, Kini ia hanya sendirian tanpa didampingi sang suami, Kwe Cing, hanya ada Bu-si Hengte yang terang bukan tandingan orang, terpikir akan ini, tak tertahan air mukanya berubah hebat

"Ui-pangcu," kata lagi Kim-lun Hoat-ong, "jangan takut kau adalah tokoh terkemuka Bu-lim daerah Tionggoan, sudah tentu akan kami ladeni dengan hormat. Asal kedudukan Bu-lim Beng-cu sudah selesai dirunding, seketika juga kami antarkan kembali ke selatan dengan baik-baik,"

Kiranya begitu Kim-lun Hoat-ong lihat air muka Ui Yong, segera ia bergirang dapat kesempatan bagus, asal bisa menawan orang, tiada jalan lain, semua jago Tiooggoan pasti akan menyerah, hal ini terang beratus kali lebih berharga daripada menawan Kwe Hu saja.

Di lain pihak demi nampak ibu guru mereka dihina, meski tahu bukan tandingan orang, namun Bu-si Hengte tak bisa diam begitu saja, begitu pedang dilolos, segera mereka menghadang di depan ibu guru.

"Lekas loncat jendela melarikan diri, beritahu Suhu agar datang menoIong." Ui Yong bisiki kedua saudara Bu itu.

Tapi Bu-si Hengte pandang sekejap dulu padanya, lalu pandang pula ke arah Kwe Hu, habis ini barulah lari ke jendela.

"Kenapa ragu2?" diam2 Ui Yong omeli kedua anak muda itu.

Betul saja, sedikit terlambat itu menjadi tak keburu lagi Mendadak Kim-lun Hoat-ong ulur tangan ke depan, satu tangan satu punggung mereka dijamberet bagai elang mencengkeram kelinci

Dalam keadaan begitu Bu-si Hengte masih putar pedang menusuk musuh, namun sama sekali Kim-lun Hoat-ong tak berkelit ia hanya guncang sedikit tangannya hingga serangan kedua saudara Bu itu salah arah semua, pedang Bu Tun-si menusuk Siu-bun dan pedang Siu-bun menusuk Tun-si.

Kaget sekali kedua Bu cilik itu, lekas2 mereka lepas pedang hingga menerbitkan suara nyaring, dua pedang jatuh ke lantai dan barulah selamat tak melukai mereka sendiri, ketika Kim-lun Hoat-ong angkat tangannya, kedua pemuda itu dilemparkannya sejauh setombak lebih.

"Hm, lebih baik ikut pergi Hud-ya (tuan Budha) saja," kata Hoat-ong tertawa dingin, lalu ia berpaling pada Nyo Ko dan Siao-liong-li, katanya pula: "Kalian berdua tidak sejalan dengan Ui-pangcu, bolehlah pergilah ke arah sendiri dan selanjutnya jangan ganggu urusan Hud-ya lagi."

Sebenarnya bukan Hoat-ong memberi "service istimewa" pada mereka berdua, sebaliknya inilah kelicikannya. Ia tahu Ui Yong, Siao-liong-li dan Nyo Ko sangat lihay, meski satu lawan satu tiada yang bisa menandingi dirinya, tapi kalau mereka bergotong-royong menempurnya, itulah bisa berabe baginya, sekalipun pihaknya akhirnya menang juga belum tentu akan bisa menawan Ui Yong. Sebab itulah ia sengaja memecah belah mereka dulu agar satu sama Iain tidak saling bantu.



"Ko-ji, marilah kita pergi," kata Siao-liong-li pada Nyo Ko, "Hwcsio tua ini sangat lihay, tak perlu kita cari gara2 bertempur padanya."

Nyo Ko menyahut baik, iapun bereskan rekening makanan mereka dan berdiri menuju ke tangga loteng, ia pikir dengan kembalinya ini ke kuburan kuno, boleh jadi untuk selamanya tak akan berjumpa pula dengan Ui Yong, karena itu tanpa tertahan ia menoleh memandang sekejap pada sang bibi.

Tapi karena menolehnya ini, ia lihat paras Ui Yong pucat muram, sebelah tangannya memegang perut, jelas kelihatan lagi menahan sakit.

Meski tindak-tanduk Nyo Ko suka turuti wataknya yang jahil, namun jiwanya justru dilahirkan berbudi dan setiakawan, ia pikir Kwe-pepek dan Kwe-pekbo melarang aku bergaul dengan Kokoh, hal ini memang agak terlalu, tapi sebenarnya mereka tiada maksud jahat padaku, hari ini Kwe-pekbo ada kesukaran, kenapa kutinggal pergi begini saja?

Cuma musuh sungguh terlalu kuat, meski diriku dan Kokoh maju berbareng juga belum pasti bisa melawan paderi Tibet ini, kalau sudah terang tak bisa menolong Kwe-pekbo lagi, untuk apa jiwa ku sendiri dan jiwa Kokoh ikut dikorbankan percuma? tidakkah lebih baik lekas pergi memberi tahu Kwe-pepek agar lekas datang menolong saja."

Berpikir begitu, Nyo Ko lantas kedipi Ui Yong. Maka tahulah Ui Yong pemuda ini hendak kirim kabar minta pertolongan hatinya menjadi agak lega, pelahan sekali ia mengangguk

Lalu dengan gandeng tangan Siao-liong-li lantas Nyo Ko hendak melangkah turun tangga loteng, tapi mendadak dilihatnya seorang Busu Mongol mendekati Ui Yong dan membentaknya dengan kasar: "Hayo, jalan, tunggu apa lagi?"

Segera pun tangan Ui Yong hendak ditariknya, Nyata sang bibi dianggapnya seperti pesakitan saja.

Sudah behsan tahun Ui Yong menjabat pangcu Kay-pang, betapa tinggi dan terhormat kedudukannya dalam Bu-lim. Meski kini berhalangan, tidak nanti ia mau terima dihina sembarang orang, Ketika dilihatnya tangan jago Mongol yang kasar hitam berbulu itu mengulur tiba, mendadak lengan bajunya mengebas ke atas, ia tutupi lengannya dengan kain baju itu, menyusul mana ia cekal sekalian tangan orang terus disengkelit ke samping, maka terdengarlah suara gedebukan keras, tubuh jago Mongol yang gede itu telah "terbang" keluar melalui jendela dan terbanting ke tengah jalan umum hingga setengah mampus.

Kiranya pembawaan Ui Yong suka kebersihan ia tak sudi tangannya yang putih bersih itu tersentuh tangan orang yang kasar hitam, maka dengan lengan baju ia bungkus dulu lengan sendiri baru banting orang ke bawah loteng.

Para tamu restoran itu tadinya mendengarkan percakapan mereka yang berlangsung sopan beraturan, maka tiada yang ambil perhatian, siapa tahu mendadak lantas saling labrak, keruan seketika suasana kacau baIau.

"Ha, sungguh hebat kepandaian Ui -pangcu !" jengek Kim-lun Hoat-ong.

Habis ini ia tirukan jago Mongol tadi, dengan langkah lebar iapun maju hendak tarik tangan Ui Yong.

Ui Yong tahu orang sengaja hendak pamer kepandaian, meski suatu gerakan yang sama, namun hendak membantingnya seperti Busu Mongol tadi tidaklah mungkin lagi, terpaksa ia mundur setindak.

Waktu itu Nyo Ko sudah melangkah turun beberapa tingkat tangga loteng, ketika mendadak nampak kedua pihak terjadi perkelahian dan segera Ui Yong akan dihina, terbangkitlah jiwa ksatrianva yang murni, tak terpikir lagi mati-hidup atau selamat secepat terbang ia melompat kembali ia samber pedang Bu Tun-si yang terjatuh tadi terus dengan tipu "oh-liong-jut-hiat" atau naga hitam keluar dari gua, secepat kilat ia tusuk punggung Kim-lun Hoat-ong sambil membentak.

"Ui-pangcu lagi kurang sehat, tapi kalian justru ambil kesempatan ini buat mendesaknya, kau kenal malu tidak ?"

ilmu silat Kim-lun Hoat-ong memang nyata setingkat lebih tinggi daripada orang lain, ketika mendengar dari belakang menyamber angin tajam, sama sekali ia tak menoleh, melainkan putar tangan ke belakang dan menyentil batang pedang orang, Maka terdengarlah suara "cring" yang keras Nyo Ko merasakan tangan se-akan2 kaku dan ujung pedang lantas menusuk ke bawah, ia kuatir musuh susulkan serangan lain, maka cepat melompat ke samping.

"Anak muda," kata Kim-lun Hoat-ong. "lekas kau pergi saja ! ilmu silatmu hebat, hari depanmu pasti jauh melebihi aku, tapi kini kau masih bukan tandinganku, buat apa kau paksakan diri ikut campur dan antar njawa percuma di bawah roda emasku ?"

Dengan kata2nya sekaligus ia telah umpak Nyo Ko setinggi langit dan kemudian dibanting pula dengan ancaman, Padahal roda emasnya pernah dihantam jatuh oleh Nyo Ko dan Siao-liong-Ii hingga jabatan Bu-lim Bengcu yang tinggal diduduki itu menjadi gagal, dengan sendirinya tiada taranya rasa gemasnya pada kedua muda-mudi ini.

Cuma kini ia harus pilih jalan paling menguntungkan ia ingin tawan Ui Yong sebagai tujuan pertama dan tidak ingin banyak mengikat permusuhan, ia mengharap Nyo Ko dan Siao-liong-li angkat tangan dari percecokan ini dan jangan ikut campur, tapi di kemudian hari ia masih bisa bikin perhitungan dengan kedua anak muda ini.

Harus diketahui bahwa Kim-lun Hoat-ong adalah seorang ketua dari suatu aliran yang agung, ia bisa berpikir panjang di samping ilmu silatnya yang luar biasa itu.

Dengan umpakannya tadi, bukanlah dia merendah dan juga tidak gertak sambel belaka, betapapun Nyo Ko memang masih berwatak ia dengar orang bilang kelak dirinya akan melebihinya, sudah tentu amat girang hatinya. "Ah, Hwesio tua tak terlalu rendah diri," demikian ia kata dengan tertawa, "untuk melatih setingkat kau sesungguhnya tidak gampang, Ui-pangcu ini telah pelihara aku dari kecil hingga besar, maka sukalah jangan kau persukar dia, Kalau bukan kesehatannya terganggu kini, belum tentu ilmu silatmu bisa menangkan dia, kalau kau tak percaya, kelak bila badannya sudah sehat boleh coba kau bertanding dengan dia?"

Nyo Ko sangka Kim-lun Hoat-ong sangat angkuh, deruan kata2 pancingannya ini boleh jadi lantas lepaskan Ui Yong. Siapa tahu Kim-lun Hoat-ong justru kuatir kalau Ui Yong, Siao-liong-li dan Nyo Ko bertiga mengeroyok padanya, karena itu tadi ia berlaku sungkan pada Nyo Ko, kini mendengar Ui Yong lagi sakit, ia pikir kebetulan, kalau melulu kalian berdua muda-muui ini, kenapa aku Kim-lun Hoat-ong harus takut?

Ketika ia amat-amati Ui Yong sejenak, betul juga ia lihat wajah orang pucat Iesu, terang sakitnya tidak ringan, maka sekali tertawa dingin, cepat ia mendahului berdiri ke mulut tangga loteng, "Baiklah, kalau begitu kaupun tinggal sekalian !" katanya segera.

Waktu itu Siao-liong-Ii lagi berdiri di tengah tengah tangga, karena dialing-alingi Kim-lun Hoat-ong yang memisahkan dia dan Nyo Ko, ia menjadi tak sabar "He, menyingkir kau, Hwesio, biarkan dia turun !" katanya.

Mendadak alis Kim-lun Hoat-ong menegak, dengan gerak tipu :"tan-ciang-khay-pi" atau sebelah tangan membelah pilar, cepat sekali ia memotong ke bawah, "Memangnya tenaganya amat besar, pula dari atas ke bawah, tentu saja serangan ini keras luar biasa.

Tak berani Siao-liong-li sambut pukulan itu, iapun kuatirkan Nyo Ko yang terpisah di atas Ioteng, mendadak ia tutul kedua kakinya, bukannya melompat ke bawah, sebaliknya ia mencelat ke atas menyelusup lewat di samping musuh untuk kemudian berdiri sejajar dengan Nyo Ko.

Waktu orang menyelusup lewat, cepat juga Kim-lun Hoat-ong menyikut ke belakang, tapi luput, mau-tak-mau iapun kagum pada kegesitan dan kecepatan Siao-Iiong-li.

Sementara itu Nyo Ko sudah jemput lagi pedang Bu Siu-bun yang terjatuh tadi dan diberikan pada Siao-liong-li. "Hwesio ini kurangajar, mari, Kokoh, kita hajar," ajaknya segera.

Di pihak lain Kim-lun Hoat-ong sudah keluarkan juga sebuah roda yang bersuara gemerenceng, roda ini sama besarnya dengan roda emas yang dirampas Nyo Ko itu, hanya warnanya hitam mulus seperti terbuat dari baja.

Kiranya senjata Kim-lun Hoat-ong seluruhnya ada lima roda, masing2 terbikin dari emas, perak, perunggu, timah dan besi, Bila ketemukan musuh kuat, sekaligus lima roda bisa digunakan berbareng, tapi selamanya ia hanya pakai Kim-lun atau roda emas dan entah sudah berapa banyak musuh kuat yang dia robohkan, sebab itulah ia memperoleh julukan "Kim-lun Hoat-ong" atau Raja agama Roda emas, sedang roda2 perak, perunggu, timah dan besi selamanya malah belum pernah terpakai.



"Ui-pangcu, apa kau juga akan maju sekalian ?" demikian kata Hoat-ong kemudian sambil melirik Ui Yong.

Harus diketahui meski dilihatnya Ui Yong berwajah sakit, tapi tetap ia gentar atas ilmu silat orang, sebutan "Ui-pangcu" itu maksudnya mengingatkan Ui Yong adalah ketua suatu perkumpulan besar, kalau maju mengeroyok tentu akan merosot kan kedudukannya sebagai Pangcu.

"Ui-pangcu akan pulang saja, ia tiada tempo buat main2 dengan kau," seru Nyo Ko tiba2. Habis ini iapun berpaling pada Ui Yong: "Kwe-pekbo, kau bawa Hu-moay pergi saja."

---------- ket. gbr ---------

Nyo Ko berdampingan dengan Siao-liong-li melabrak Kim-lun Hoat-ong, nyata Giok-li-sim-king yang mereka latih bersama ini menjadi semakin lancar, serasi dan bersatu-padu.

-------------------------------

Nyata pemuda ini sudah tmemperhitungkan baik2, ia sendiri dan Siao-liong-li meski belum pasti bisa menang mengeroyok Kim-lun Hoat-ong, tetapi kalau bertahan sekuat tenaga untuk kemudian berdaya melarikan diri, hal ini besar harapan bisa dilakukan.

Baiknya kini bukan bertanding silat, asal bisa melepaskan diri, peduli siapa soal kalah segala, Maka begitu pedang bergerak, segera ia menusuk lebih duIu.

Melihat Nyo Ko gunakan ilmu dari Giok-li-sim-keng, menyusul segera Siao-liong-li ikut menyerang juga dari samping, dalam hati gadis ini sebaliknya tiada sesuatu perhitungan ia melihat Nyo Ko bergebrak dengan Hwesio ini, segera iapun turun tangan membantu.


Namun sekali ayun rodanya, dua pedang sekaligus sudah ditangkis Kim-lun Hoat-ong, meja kursi di atas loteng restoran itu terlalu banyak hingga merintangi kebebasannya, maka sambil putar rodanya sembari Kim-lun Hoat-ong tendang meja kursi yang meng-halang2inya.

"Kalau tenaga lawan tenaga, pasti kami kalah, tapi bila gunakan akal, untuk sementara masih bisa bertahan," demikian pikir Nyo Ko. Maka waktu nampak meja kursi ditendang orang, sengaja ia tendang kembali alat prabot itu ke tengah untuk merintangi musuh.

Dasar Ginkang Nyo Ko dan Siao-liong-li sudah tinggi sekali, mereka menyelusup ke sana ke mari dan tidak memapak musuh dari depan, kadang2 mereka timpuk orang dengan poci arak dan tempo2 sampar mangkok piring ke muka orang.

Keruan seluruh loteng restoran itu menjadi kacau balau dan hancur berantakan

Dan karena ribut2 itu, kesempatan mana digunakan Ui Yong untuk menarik Kwe Hu ke sebelahnya.

Darba yang terkena "lh-hun-tay-hoat" Nyo Ko sementara itu masih setengah sadar, pangeran Ho-tu terluka parah oleh racun jarum tawon putih, sedang ilmu silat jago2 Busu Mongol lain terlalu rendah, mana mereka bisa menahan Ui Yong.

"Kwe-pekbo, lekas kalian pergi saja," teriak Nyo Ko.

Tapi Ui Yong saksikan daya serangan Kim-Iun Koat-ong lihay tiada taranya dan tampaknya Nyo Ko dan Siao-Iiong-li sukar bertahan meski sudah keluarkan tenaga penuh, bila sedikit lengah hingga musuh turun tangan keji, pasti jiwa kedua muda-mudi ini tak terjamin pula.

Karena itu Ui Yong tak tega tinggal pergi, ia pikir orang mati2an berusaha menolong dirinya, sebaliknya dirinya sendiri malah tinggal pergi, ini sesungguhnya tak patut, Maka ia tetap berdiri di tempatnya menyaksikan pertarungan itu, hanya Bu-si Hengte berulang kali mendesak sang ibu guru.

"Marilah, Sunio (ibu guru), kita berangkat dulu, badanmu kurang sehat, haruslah jaga diri baik2," demikian kata kedua saudara Bu.

Mula2 Ui Yong tak gubris desakan mereka, tapi ketika didesak lagi, akhirnya ia gusar, "Hm, jadi manusia tidak kenal budi, apa gunanya berlatih silat ?" demikian ia mendamperat, "Dan kau apa manfaatnya pula hidup di dunia ini? Orang she Nyo ini beratus kali lebih hebat dari kalian, Hm, sebaiknya kalian berdua menggunakan pikiran lebih banyak."

Maksud baik kedua saudara Bu itu ternyata disambut dengan damperatan oleh sang ibu guru, keruan mereka menjadi kikuk dan malu

"Bu-keh Koko, hayolah, kita maju bersama !" seru Kwe Hu tiba2 sambil samber sepotong kaki meja patah.

Tapi cepat sekali Ui Yong menarik sang puteri "Hm, dengan sedikit kepandaianmu ini apa kau hendak antarkan kematian?" katanya.

Kwe Hu tak yakin atas omelan ibunya, mulutnya menjengkit kurang percaya, ia lihat ilmu silat Nyo Ko dan Siao-liong-li biasa saja tiada sesuatu yang hebat, meski gayanya bagus, tapi gerak senjatanya lambat.

Nyata ia tak tahu bahwa ilmu silat kedua orang itu memang jauh di atasnya dan saat itu lagi gunakan Giok-li-kiam-hoat dari Ko-bong-pay yang hebat untuk menempur musuh.

Beberapa kali Kim-lun Hoat-ong merangsang maju dan setiap kali kena dirintangi meja kursi yang jungkir balik di lantai, sedang Nvo Ko dan Siao-iiong-li bisa bergerak cepat enteng ke sana kemari main kucing2an.

Tiba2 hatinya tergerak ia gunakan tenaga kakinya, maka terdengarlah suara "kraak, peletak" ber-ulang2, perabot apa saja yang merintangi diinjaknya remuk, Sedang roda besi diputar cepat menghantam terus sambil kaki keluarkan tenaga raksasa, ke mana menginjak, di sana juga meja kursi lantas hancur ber-keping2,

Hanya sekejap saja di atas loteng sudah penuh ter-timbun kayu hancur dan ketiga orang masih terus saling labrak di atas tumpukan kayu tanpa ada meja kursi yang merintangi lagi.

Kini Kim-Iun Hoat-ong bisa melangkah lebar sesukanya dan rodanya berputar kencang hingga menerbitkan suara gemerantang riuh, ia lakukan serangan cepat pada dua lawannya, sebaliknya karena kehilangan tameng meja kursi, terpaksa Nyo Ko dan Siao-liong-Ii harus lawan orang dengan ilmu kepandaian sejati.

Tiga kali Kim-lun Hoat-ong menghantam tangan Nyo Ko sampai sakit tergetar oleh tenaga orang yang kuat sementara itu serangan keempat Kim-lun Hoat-ong menghantam pula dari atas, belum tiba rodanya angin tajam sudah menyamber, dulu, betapa lihaynya sungguh sangat mengejutkan.

Lekas2 Nyo Ko dan Siao-liong-li menangkis berbareng dengan ujung pedang menahan roda orang, gabungan tenaga kedua orang barulah mampu tangkis serangan Hoat-ong itu, namun senjati merekapun sudah tertindih hampir2 bengkok.

Ketika tangan mereka menyendal, roda besi lawan digentak pergi, menyusul mana cepat Nyo Ko menusuk bagian atas orang dan Siao-liong-li membabat kaki kiri lawan.

Mendadak Kim-lun Hoat-ong malah angkat kaki terus menutul pergelangan tangan Siao-Iiong li, sedang rodanya menghantam ke samping mengarah tengkuk Nyo Ko.

Tadinya Nyo Ko sangka lawan pasti akan hindarkan serangannya dahulu baru kemudian balas menyerang, siapa tahu orang anggap tusukannya bagai tiada terjadi sesuatu, ia menjadi heran apa orang melatih ilmu sebangsa Kim-ciong-tok dan Tiat-poh-san yang lihay dan tebal ? Namun dalam saat berbahaya, tak sempat lagi buat selidiki kekebalan lawan itu sungguh2 atau palsu, terpaksa ia harus tolong diri sendiri duIu, maka iapun menunduk dan berjongkok untuk hindarkan ketokan roda besi lawan.

Tak terduga perubahan aneh lantas terjadi tiba2 Kim-lun Hoat-ong timpukkan roda besinya ke kepala Nyo Ko, sedang kedua tangan kosong lantas menjambret Siao-liong-li. serangan aneh oan cepat, ternyata sekaligus Kim-lun Hoat-ong telah serang kedua musuhnya dari arah yang sukar diduga.

Pada detik luar biasa itulah Ui Yong berteriak kaget dan segera bermaksud menyerobot maju menolong, namun tiba2 dilihatnya Nyo Ko mencelat ke samping dan belum tancap kaki ke bawah, tahu2 pedangnya lantas tusuk punggung Kim-lun Hoat-ong dengan cepat.

Tipu serangan Nyo Ko inipun sekaligus "dwi-guna", pertama hindarkan bahaya diri sendiri, berbareng paksa Kim-lun Hoat-ong tarik kemba'i serangannya pada Siao-liong-li. Tipu serangan ini di sebut "gan-hing-sif -kik: atau burung belibis terbang menggempur dari samping, inilah Kiam-hoat dari Coan-cin-pay.

Kim-lun Hoat-ong bersuara heran oleh serangan balasan Nyo Ko yang hebat ini, lekas2 ia angkat kakinya memotong ke pinggiran roda besinya yang waktu itu masih belum jatuh ke tanah hingga roda itu kena dibikin mencelat menyamber kepala Nyo Ko lagi sambil bersuara nyaring.

Pada saat berbahaya Nyo Ko tadi berhasil keluarkan tipu Kiam-hoat Coan-cin-pay, lekas ia ke luarkan pula tipu gerakan Coan-cin yang disebut "pek-hong-"keng-thian" atau pelangi putih menghiasi langit, dengan batang pedang ia sampuk roda orang.

Sebenarnya sampukan ini percuma saja karena pedang enteng dan roda berat, siapa tahu karena sedikit menyenggoI roda itu, mendadak membawa efek arah roda terus menyamber ke arah Kim-lun Hoat-ong sendiri.



Roda besi itu adalah benda mati, sudah tentu ia tidak kenal siapa majikan dan siapa musuh, keruan terus menyelonong cepat luar biasa, Saking bagusnya kejadian itu hingga Kwe Hu bertepuk tangan bersorak

Kim-lun Hoat-ong berani lepaskan senjata untuk menimpuk orang, sebabnya ia menduga tak nanti musuh sanggup merampas rodanya, bila senjata lawan kebentur, betapapun berat senjata itu pasti akan terpental dari cckalan, Siapa duga Nyo Ko ternvata punya kepandaian menyampuk roda yang hebat hingga senjata menyamber ke arah dirinya sendiri.

Dalam gusarnya roda yang membalik itu terus ditangkapnya, diam2 ia gunakan gaya me-mutar, kembali ia timpukkan roda itu pula,

Kini ia tambahi tenaga hingga putaran roda itu makin cepat hingga gotri dalam roda tidak menerbitkan suara, padahal Nyo Ko berhasil sengkelit balik roda orang tadi sebenarnya secara tidak sengaja telak keluarkan ilmu Kiu-im-cin-keng, kini ia coba mengulangi lagi maka terdengarlah suara "trang" yang keras, tahu2 pedang tergetar jatuh, berbareng dengan tenaga raksasa Kim-lun Hoat-ong telah memukul juga kearah Nyo Ko.

Kiranya Kiu-im-cin-keng yang Nyo Ko latih masih belum sempurna, maka tenaga yang dipergunakan sekali ini tidak tepat

Nampak Nyo-Ko menghadapi bahaya, sedikit mengegos pinggang, cepat sekali pedang Siao-Iiong-li lantas menusuk, tipu serangan ini bukan saja amat lihay, bahkan gayanya manis menarik, nyata ia telah gunakan kepandaian Giok-li-sim-keng ajaran bab terakhir. Saking bagus dan tepat serangan itu hingga Ui Yong dan Kwe Hu berseru memuji berbareng.

Lekas2 Kim-lun Hoat-ong melompat untuk tangkap kembali rodanya buat tangkis pedang orang, kesempatan inipun digunakan Nyo Ko menyamber kembali senjatanya yang terpental ke udara tadi.

Sungguh gebrakan barusan ini hebat sekali dan berbahaya Setiap orang kalau kepepet timbulnya akal juga lebih tajam, mendadak Nyo Ko berpikir: "Kalau aku dan Kokoh gunakan Giok-li-kiam-hoat, saat berbahaya lantas berubah menjadi selamat Apakah bab terakhir dari Giok-li-sim-keng itu memang mengajarkan cara bersilat kombinasi demikian?"

Karena pikiran itu, segera iapun berteriak:

"Kokoh, pergi-datang kita tak berhasil melatihnya, tapi kini sudah betul lihat ini tipu "Iong-jik-thian-khe" (jejak meratai jagat) !" Sembari berkata pedangnya menusuk juga dari samping.

Tidak sempat Siao-liong-li banyak berpikr, maka iapun menurut dan gunakan tipu "long-jik-thian-khe" menurut apa yang tercatat dalam Sim-keng, ia memotong dari depan, Tipu serangan Nyo Ko adalah Coan-cin-kiam-hoat yang lihay dan Siao-liong-li gunakan Giok-Ii-kiam-hoat yang tak kenal ampun, paduan serangan pedang ini ternyata luar biasa daya tekanannya.

Karena belum sempat berjaga-jaga, lekas-lekas Kim-lun Hoat-ong melompat mundur, namun terdengar juga suara "bret-bret" dua kali, kedua pedang orang telah mengenai tubuhnya semua, baju bawah bahu Hoat-ong tertusuk tembus oleh serangan itu.

Sekalipun ilmu kepandaian Kim-lun Hoat-ong sudah mencapai luar dalam yang hebat, kalau senjata guru silat biasa saja tak nanti bisa melukainya namun Lwekang Nyo Ko dan Siao-liong-li sudah terlatih tinggi, kalau sampai kena ditusuk, sukar dibayangkan bagaimana jadinya. Maka bajunya terlubang sudah cukup bikin dia berkeringat dingin,

"Hoa-cian-gwat-he (bunga mekar di bawah sinar bulan) !" terdengar Nyo Ko berteriak lagi. Berbareng itu ia membacok ke bawah cepat, sedang Siao-liong-li lantas membabat ke kanan dan ke kiri.

Mau-tak-mau Kim-lun Hoat-ong dibikin kacau oleh serangan kedua orang yang bersimpang siur itu, ia tak tahu pasti dari arah mana sebenarnya serangan orang, terpaksa ia melompat mundur lagi buat menghindar.

"Jing-im-siao-yok (minum sekedar dan jamuan sederhana) !" lagi-Iagi Nyo Ko berseru.

Berbareng ujung pedangnya mendoyong ke bawah seperti orang angkat poci lagi menuang arak, sebaliknya Siao-liong-li angkat ujung pedang ke atas menuding mulut sendiri seperti angkat cawan sedang minum.

Nampak serangan kedua orang makin lama makin aneh dan bisa kerja sama dan bantu-membantu dengan bagus, dimana ada kelemahan segera dibantu yang lain, setiap kelemahan lantas berubah menjadi tipu serangan yang lihay.

Makin dipikir Kim-lun Hoat-ong semakin terkejut. ia pikir: "Betapa besarnya jagat ini ternyata tidak sedikit orang2 kosen, Kiam-hoat hebat seperti ini tak pernah kubayangkan di Tibet, Ai, aku benar2 seperti katak di dalam tempurung dan berani pandang rendah Enghiong seluruh jagat ini."

Karena pikiran yang mengkeret ini, keruan ia semakin terdesak, Padahal dengan ilmu kepandaian Kim-lun Hoat-ong yang hebat sebenarnya sudah jarang ada tandingannya bagi ksatria2 di daerah Tionggoan.

Meski secara mujur Nyo Ko dan Siao-liong-li berhasil mempelajari berbagai ilmu silat yang bagus, tapi keuIetannya kini kalau dibanding Kim-lun Hoat-ong masih selisih sangat jauh, tapi mereka justru telah pecahkan Kiam-hoat ciptaan Lim Tiao-eng yang luar biasa itu dan mendadak dikeluarkan seketika Hoat-ong jadi kelabakan dan terdesak.

Setiap tipu gerakan dari Kiam-hoat baru ini harus dimainkan bersama laki dan perempuan, setiap gerak serangan mengandung maksud sesuatu cerita romantis, seperti "Kim-pit-siang-ho" atau dua sejoli hidup rukun, "siong-he-tui-ek" atau main catur di bawah pohong siong, "so-swan-heng-teh" atau menyapu salju menyeduh teh, dan "ti-pian-tiau ho"-atau memainkan burung Ho di tepi kolam, semuanya itu adalah hidup yang romantis.

Kiranya Lim Tiao-eng patah hati dalam soal cinta hingga melewatkan hari tuanya di dalam kuburan kuno, dengan bakatnya yang tinggi mempelajari macam2 kepandaian, akhirnya ia salurkan semuanya ke dalam ilmu silat ciptaannya ini.

Siapa duga beberapa puluh tahun kemudian ternyata ada sepasang muda-mudi yang dapat menggunakan ilmu pedangnya yang hebat ini untuk menempur musuh tangguh.

Kalau mula2 Nyo Ko dan Siao-Iiong-li memainkan ilmu pedang itu dengan rada kaku, tapi makin lama semakin lancar dan biasa, semangat merekapun bertambah kuat Semakin mereka bersatu padu, semakin Kim-lun Hoat-ong susah menahannya hingga ia menyesal tadi telah injak hancur semua perabot meja kursi, kalau masih ada rintangan perabot itu, tentunya daya serangan kedua lawan ini tak akan begini gencar dan Iihay, selanjutnya besar kemungkinan ia tak sanggup melawan lagi, terpaksa Hoat-ong mundur selangkah ke tangga loteng dan turun setingkat demi setingkat.

Tentu saja tekanan Nyo Ko dan Siao-Jiong-li semakin kuat dari atas ke bawah, tampaknya segera saja Kim-Iun Hoat-ong akan bisa diusir pergi, riba2 terdengar Ui Yong berseru: "Membasmi penjahat harus sampai akar2nya, Ko-ji, jangan lepaskan dia !"

Kiranya Ui Yong dapat melihat sebabnya Nyo Ko dan Siao-liong-li bisa menangkan Kim-hm Hoat-ong karena andalkan jurus Kiam-hoat yang bagus, sesungguhnya boleh dikatakan karena kebetulan kalau hari ini musuh dilepaskan, ilmu silat paderi asing ini sangat tinggi, bila ia pulang dan mempelajari lebih mendalam hingga mendapatkan cara mematahkan Kiam-hoat baru ini, hal ini berarti bibit penyakit kelak hendak membasminya tentu beribu kali lebih sulit, maka Ui Yong berteriak agar kedua muda-mudi itu gunakan kesempatan sekarang buat membasminya saja.

Nyo Ko menyahut sekali, segera ia lontarkan tipu2 berbahaya seperti "siau-wan-ge-kiok" (pesiar taman menikmati bunga kiok), "cian-ciok-ya-wa"" (menyanding lilin bercakap sepanjang malam), "se-jong-lian-ki" (main pantun di tepi jendela), "tiok-liam-lim-ti" (kerai bambu di tepi kolam) dan lain2 serangan mematikan hingga hampir2 Kim-Iun Hoat-ong tak mampu menangkis jangankan hendak balas menyerang.

Begitulah sebenarnya Nyo Ko hendak turut pesan Ui Yong untuk membunuh musuh tangguh ini, siapa tahu dahulu waktu Lim Tiao-eng ciptakan "Giok-li-kiam-hoat", dalam hatinya penuh rasa kasih mesra, meski lihay setiap tipu serangannya, namun tiada satupun yang merupakan tipu mengarah jiwa musuh, Karena itu meski Nyo Ko berdua mendesak Kim-lun Hoat-ong hingga paderi ini kelabakan dan serba susah, tapi untuk cabut nyawanya juga tidak gampang.

Tentu saja yang paling cemas rasanya yalah Ui Yong yang menonton disamping.

Kim-lun Hoat-ong tak mengerti darimana asal-usuI Kiam-hoat orang, ia sangka masih ada tipu serangan lihay yang belum dilontarkan Nyo Ko berdua, asal tipu2 lihay itu keluar, boleh jadi jiwanya akan melayang. Dalam keadaan kepepet tiba2 ia mendapat akal, ia melangkah mundur dan gunakan tenaga berat pada kakinya hingga tiap2 kali ia melangkah mundur, setiap papan imdak.2an tangga itu patah diinjaknya.



Karena perawakan Kim-lun Hoat-ong tinggi besar, Nyo Ko berdua tak berdaya mencegat ke belakangnya ketika undak2an tangga ketiga patah, senjata Nyo Ko dan Siao-liong-li sudah tak dapat mencapai diri orang lagi.

"Nah, har ini barulah aku kenal ilmu silat Tionggoan dan amat kagum," kata Kim-lun Hoat-ong sambil angkat rodanya: "Apa namanya ilmu pedangmu ini?"

"Masakah kau tak tahu?" sahut Nyo Ko tertawa, "llmu silat Tionggoan yang terkemuka yalah Pak-kau-pang-hoat dan Ji-lo-kiam-sut, Kiam-hoat kami tadi yalah Ji-lo-kiam-hoat-sut itu."

"Ji-lo-kiam-sut?" Kim-lun Hoat-ong tercengang ia mengulangi nama itu.

"Ya," kata Nyo Ko tertawa, "Ji-lo-kiam-sut, ilmu pedang penusuk keledai."

Karena penegasan ini barulah Kim-lun Hoat-ong sadar orang sengaja putar kayun untuk memaki padanya (biasanya kaum Hwesio dimaki sebagai keledai gunduI), keruan saja ia gusar, "Anak kurangajar, pada suatu hari pasti kau akan kenal lihaynya Hoat-ong," bentaknya sengit, Habis ini, diiringi suara gemerenceng rodanya, dengan langkah lebar iapun tinggal pergi.

Begitu cepat perginya Kim-lun Hoat-ong, hanya sekejap saja orangnya sudah menghilang di ujung jalan sana, Nyo Ko menaksir tak bisa menyandak orang, ia berpaling dan nampak Darba memayang Pengeran Hotu yang mukanya pucat lesi lagi berdiri di belakangnya.

"Toa-suheng, kau bunuh aku tidak?" demikian kata si Darba yang masih sangka Nyo Ko jelmaan Suhengnya.

Sungguhpun Nyo Ko orangnya nakal dan jahil, tapi wataknya tidak kejam, ia lihat keadaan dua orang itu cukup ngenas, ia pandang Ui Yong dan menanya: "Kwe-pekbo, bolehkah kita lepaskan mereka pergi ?"

Ui Yong mengangguk tanda setuju, Nyo Ko lihat semangat Hotu lesu lemas, ia keluarkan sebotol kecil madu tawon putih, ia tuding2 Hotu dan unjuk lagak orang minum obat, lalu madu tawon itu diberikannya pada Darba.

Tentu saja Darba amat girang, ia bicara dengan Hotu dan Hotu lantas keluarkan sebungkus obat bubuk untuk Nyo Ko. "Cianpwe yang bersenjata Pit terkena racun paku-ku, inilah obat penawarnya," katanya.

Habis itu, Darba memberi hormat sekali pada Nyo Ko, lalu Hotu diangkatnya, memangnya ia ber-tenaga raksasa, bobot seorang dianggapnya sepele saja, ia melayang turun pelahan ke bawah loteng, bersama para jago Mongol merekapun pergi semua.

"Kwe-pekbo," kata Nyo Ko sambil memberi hormat dan serahkan obat penawar pada Ui Yong, "biarlah Siautit mohon diri juga, harap Pekbo dan Pepek jaga diri baik2."

Dasar Nyo Ko berperasaan halus dan gampang tergoncang, ketika terpikir olehnya kelak tak bakal bertemu lagi, hatinya menjadi berduka.

"Kau hendak kemanakah?" tanya Ui Yong.

"Aku dan Kokoh akan mengasingkan diri ke tempat terpencil dan tidak ingin bertemu dengan khalayak ramai lagi, supaya tidak mencemarkan nama baik Kwe-pepek," sahut Nyo Ko.

Hati Ui Yong tergerak, pikirnya: "Hari ini ia tolong aku dan Hu-ji mati2an, kini ia tersesat dan berdurhaka mana boleh aku peluk tangan tak menolongnya?"

Karena itu, segera ia bilang: "Hendak pergi juga tak perlu terburu dalam sehari dua hari ini, semuanya tentu sudah letih, marilah kita mencari penginapan untuk mengaso semalam duIu, besok barulah kita berpisah."

Nampak orang begitu manis budi, tak enak Nyo Ko hendak menoIak, ia terima baik permintaan itu.

Lalu Ui Yong bereskan semua rekening dan ganti rugi semua kerusakan pemilik restoran, mereka mencari hotel untuk menginap, Malamnya sesudah dahar, Ui Yong suruh Kwe Hu pergi mengobrol dengan Bu-si Hengte, sebaliknya ia panggil Siao-liong-li ke kamarnya. "Moaycu (adik), ada suatu barang ingin kuberikan padamu," katanya.

"Beri apa?" tanya Siao-liong-li

Ui Yong tak lantas menjawab, ia tarik si nona lebih dekat, ia keluarkan sisir dan menyisir rambut orang pelahan2, ia lihat rambut Siao-liong-li hitam gombyok mengkilap sangat menarik, ia gulung hati-hati rambut Siao-liong-li dan tanggalkan sebuah gelang emas penjepit rambut dari sanggulnya sendiri "Moaymoay, aku berikan gelang ini," demikian katanya kemudian.

Gelang jepit rambut emas itu adalah pilihan dari benda mestika yang banyak dikumpulkan ayahnya, Ui Yok-su, di Tho-hoa-to, maka dapat diba yangkan betapa indah dan tinggi nilainya batang itu.

Tapi selamanya Siao-liong-li tak pakai perhiasan, sebagai pengikal rambut hanya sebuah tusuk kondai biasa saja, maka ia tidak menjadi senang oleh hadiah Ui Yong itu, namun ia ucapkan terima kasih juga.

Begitulah sambil mengenakan gelang di atas rambut orang sembari Ui Yong ajak ngobrol padanya. Sesudah berlangsung percakapan, Ui Yong merasa Siao-liong-li terlalu polos bersih, urusan keduniawian sedikitpun tak paham, ia lihat wajahnya cantik molek, ayu tapi sederhana, kalau bukannya ada hubungan guru dan murid antara Nyo Ko dengan Siao-liong-li, sesungguhnya mereka memang suatu pasangan yang setimpal. Karena itu, ia menanya lagi: "Moaycu, hatimu sangat menyukai Ko-ji, bukan ?"

Siao-liong-li ,bersenyum manis, "Ya, memang tapi kalian kenapa melarang dia membaiki aku?" sahutnya.

Ui Yong tercengang oleh jawaban itu, teringat olehnya masa remaja diri sendiri, pernah juga ayah tak boleh dirinya mendapatkan jodoh Kwe Cing, bahkan guru Kwe Cing juga mencela dirinya, tapi sesudah mengalami berbagai macam aral melintang, akhirnya dapat juga mengikat sehidup semati dengan Kwe Cing. Dan kini Nyo Ko dan Siao-liong-li saling cinta mencintai dengan hati murni, kenapa ia sendiri justru hendak merintanginya ?

Tetapi mereka telah dibatasi sebagai guru dan murid, kalau terjadi hubungan laki-perempuan di luar garis, cara bagaimana mereka harus menghadapi ksatria2 di seluruh jagat?

Sebab pikiran itu, ia menghela napas dan berkata lagi: "Moaycu, ada banyak urusan2 di dunia ini yang kau tak panam, jika kau dan Ko-ji menjadi suami-isteri, selama hidupmu akan dipandang hina oleh orang lain."

"Orang pandang hina padaku, peduli apa?" sahut Siao-liong-li tersenyum.

Kembali Ui Yong tercengang, sungguh jawaban ini rada mendekati watak ayahnya, yaitu Ui Yok-su yang paling benci pada segala ikatan adat.

"Tapi Ko-ji bagaimana, iapun akan dipandang hina orang selamanya," katanya kemudian bila ingat betapa kasih sayang sang suami pada Nyo Ko.

"la selama hidup akan tinggal dalam kuburan kuno bersama aku, kami hidup senang bahagia, peduli apa orang lain?" sahut Siao-liong-li lagi.

Ui Yong tertegun sejurus, lalu ia tanya lagi: "Kalian berdua tinggal dalam kuburan kuno selama hidup? selamanya takkan keluar lagi?"

Siao-liong-li tampaknya sangat gembira. "Ya, buat apa keluar?" katanya sambil jalan mondar-mandir dalam kamar. "Orang di luar semuanya jahat,"

"Tapi sejak kecil Ko-ji sudah ter-lunta2 ke sana ke mari selama hidup terkurung dalam kuburan kuno, apakah ia tidak kesal?" kata Ui Yong lagi.

"Bukankah ada aku menemani dia, kenapa kesal ?" jawab Siao-liong-li tertawa.

"Setahun, dua tahun, mungkin tidak kesal," demikian kata Ui Yong pula sambil menghela napas. "Tetapi lewat beberapa tahun, ia lantas pikirkan dunia fana di luar, kalau dia tidak bisa keluat, itulah akan lebih kesal rasanya."

Sebenarnya hati Siao-liong-li sangat gembira, mendengar kata2 Ui Yong ini seketika hatinya menjadi tertekan "Coba akan kutanyai Ko-ji, aku tak mau bicara lagi dengan kau," demikian katanya terus keluar kamar.

Melihat wajah orang yang cantik tiba2 seperti berubah muram, Ui Yong rada menyesal terhadap apa yang dikatakannya tadi, tapi bila terpikir lagi apa yang dikatakannya meski tak enak didengar, namun sesungguhnya demi kebaikan mereka, ia pikir, biarlah aku intip apa yang dikatakan pada Ko-ji Lalu ia mendekati jendela kamarnya Nyo Ko dan mendengarkan percakapan kedua muda-mudi itu.

"Ko-ji," terdengar Siao-liong-li lagi berkata, "selama hidupmu berada bersama dengan aku. kau akan kesal tidak? Dan akan bosan atau tidak?"

"Kenapa kau tanya begitu, Kokoh?" sahut Nyo Ko. "Bukankah kau sudah tahu betapa girang-ku yang tiada taranya, Kita berdua akan hidup terus sampai tua, sampai rambut ubanan, gigi ompong semua, tapi masih terus senang dan bahagia, tidak akan berpisah."



Kata2 Nyo Ko itu diucapkan dengan rasa sungguh2 dan timbul dari lubuk hatinya yang murni, Siao-liong-li terharu sekali hingga seketika ia ter-mangu2. "Ya, akupun begitu" katanya kemudian lewat sejenak. Lalu ia keluarkan seutas tali dan digantung di tengah ruangan kamar dan berkata lagi: "Sudahlah, kita tidur saja !"

"Kata Kwe-pekbo, malam ini kau tidur bersama dia dan puterinya, aku tidur sekamar dengan Bu-si Hengte," kata Nyo Ko tiba2.

"Tidak." sahut Siao-liong-li, "kenapa harus kedua lelaki itu yang menemani kau? Aku ingin tidur bersama dengan kau."

Sembari bicara, ketika tangannya mengebas pelita minyak telah disirapkannya.

Luar biasa terperanjatnya Ui Yong mendengar percakapan terakhir itu diluar jendela, "Ternyata mereka guru dan murid berdua sudah melakukan perbuatan yang melanggar tata susila, apa yang dikatakan imam tua Thio Ci-keng itu nyata tidak dusta, lantas bagaimana baiknya ini?" "demikian pikirnya bingung.

Ia pikir tidak enak mengintip kedua muda-mudi yang tidur seranjang dan tentu ada "main" itu, maka niatnya hendak pergi kalau tidak mendadak dilihatnya sekilas sinar putih berkelebat di dalam kamar, tahu2 seorang merebah melintang terapung di udara ruangan kamar, hanya bergoncang beberapa kali tubuh orang itu, lalu tak bergerak lagi.

Heran luar biasa Ui Yong oleh kejadian itu, waktu ia mengamati melalui sinar bulan yang menyorot masuk, kiranya yang tidur terapung itu ialah Siao-Iiong-Ii dengan menggunakan seutas tali sebaliknya Nyo Ko malah tidur di pembaringan sendirian, meski kedua orang bersatu kamar, tapi mereka berlaku sopan menurut batas2 susila.

Ui Yong tertegun di luar, ia merasa kedua orang ini sungguh luar biasa, benar atau salah sungguh sukar dikatakan. Selagi ia hendak kembali ke kamarnya sendiri, tiba2 didengarnya suara tindakan orang yang ramai, Kwe Hu dan Bu-si Heng-te sudah kembali dari luar.

"Tun-ji, Siu-ji, kalian berdua pergi tidur satu kamar dan tak perlu sekamar lagi dengan Nyo-keh Koko," kata Ui Yong.

Bu-si Hengte mengiakan, sebaliknya Kwe Hu lantas tanya: "Sebab apa, mak?"

"Jangan urus," sahut Ui Yong singkat.

"Aku justru tahu sebabnya," kata Siu-Bun tertawa tiba2. "Mereka berdua itu guru bukan guru, murid tidak murid, seperti binatang saja tidur sekamar."

----------- gambar ------------

Waktu Ui Yong memgintip ke dalam kamar, dilihatnya bayangan putih berkelebat, seseorang rebah miring terapung di udara hanya bergeming sebentar lantas tak bergerak

Meminjam sinar rembulan Ui Yong mengawasi lebih seksama, kiranya Siao-liong-li tidur diatas seutas tambang,

---------------------------------

"Siu-ji, kau bilang apa?" bentak Ui Yong sambil menarik muka.

"Kau juga terlalu lemah, Sunio, manusia rendah semacam itu buat apa mengurusnya?" sela Tun-si. "Aku sudah pasti tidak akan bicara dengan dia."

"Tapi hari ini mereka telah menolong kita, inilah budi yang harus diingat," kata Kwe Hu.

"Hm, aku lebih suka dibunuh Kim-lun Hoat-ong daripada menerima budi binatang semacam dia itu," kata Siau-Bu pula.

Ui Yong kurang senang oleh kata2 kedua saudara Bu itu. "Sudahlah, jangan banyak omong lagi, pergi tidur saja," kata akhirnya.

Percakapan itu sudah tentu didengar semua oleh Nyo Ko dan Siao-liong-li, sejak kecil Nyo Ko tidak akur dengan Bu-si Hengte, maka kata2 orang diganda tertawa saja tanpa pusing, sebaliknya Siao-liong-li yang me-mikir2 sendiri:

"Aneh, kenapa karena Ko-ji membaiki aku, lantas dia dikatakan binatang, manusia rendah segala?"

Ia pikir terus pergi-datang dan tetap tak mengerti, tengah malam tiba2 ia bangunkan Nyo Ko dan bertanya: "Ko-ji, ada suatu soal kau harus menjawab sungguh2. Bila kau tinggal dalam kuburan kuno bersama aku sampai beberapa tahun lamanya, apakah kau takkan rindu pada dunia ramai di luar?"

Nyo Ko tercengang hingga tak bisa menjawab.

"Dan bila kau tak keluar, apa kau takkan kesal?" tanya Siao-liong-li pula, "Meski cintamu padaku tak akan berubah selamanya, tapi sesudah lama tinggal dalam kuburan, apa kau takkan masgul?"

pertanyaan ini membikin Nyo Ko sulit juga menjawabnya, Saat ini sudah tentu ia merasa senang dan bahagia bisa hidup berdampingan dengan Siao-liong-Ii, tapi tinggal di kuburan kuno yang sunyi dan gelap itu sekalipun tak terasa bosan selama sepuluh tahan atau dua puluh tahun umpamanya, tapi bagaimana kalau sampai 30 tahun? Apalagi 40 tahun?

Sebenarnya untuk menjawab asal menjawab saja tidak sukar bagi Nyo Ko, tapi begitu suci bersih cintanya terhadap Siao-liong-li, dengan sendirinya ia tidak mau jawab sembarangan.

"Kokoh," katanya sesudah memikir, "kalau kita sampai masgul dan bosan, tidaklah kita bisa keluar bersama saja!"

Siao-liong-li menyahut pelahan sekali, lalu tak bicara lagi, hanya dalam hati ia pikir: "Apa yang dikatakan Kwe-hujin (nyonya Kwe) ternyata tidak dusta. Kelak kalau dia sudah bosan dan kesal hingga keluar dari kuburan, ia akan dipandang hina oleh setiap orang, lalu apa senangnya orang hidup begitu ? ia baik padaku, entah mengapa orang lain lantas pandang rendah dan hina padanya, apakah aku sendiri seorang tak membawa alamat baik? Aku suka dia dan mencintai dia, jiwaku boleh melayang, tapi kalau menjadikan dia tak bahagia, lebih baik dia tak menikahi aku saja. Kalau begitu, malam itu di Cong-lam-san dia tak mau berjanji akan peristerikan diriku, agaknya disebabkan inilah."

Sementara didengarnya Nyo Ko menggeros nyenyak maka pelahan ia melompat turun, ia dekati pembaringan dan pandang wajah orang yang cakap, hatinya cemas dan pedih, tak tertahan air matanya ber-linang2.

Besok paginya ketika Nyo Ko mendusin, terasa olehnya pundaknya rada basah, ia merasa aneh sekali, ia lihat Siao-liong-li sudah tiada di kamar, ia bangun duduk, tapi lantas tertampak di atas meja terukir delapan huruf yang halus dengan jarum yang bunyinya: "Selamat tinggal, janganlah pikirkan diriku."

Kaget luar biasa Nyo Ko, seketika ia ter-mangu2 bingung, ia lihat di atas meja masih kelihatan ada bekas air mata yang belum kering, dapat diduga rasa basah di pundaknya tentu juga karena air mata Siao-liong li, Maka dapatlah di bayangkan berapa remuk redam perasaannya tatkala ia menulis ke delapan huruf ini.

Dalam keadaan cemas Nyo Ko merasa seakan disamber petir mendadak ia dorong daun jendela terus meloncat keluar sambil ber-teriak2: "Kokoh, Kokoh !"

Nyo Ko insaf sedetik saja tak boleh di-sia2kan, kalau hari ini Siao-liong-Ii tak bisa diketemukannya, kelak mungkin sukar bersua lagi, maka cepat ia lari ke kandang kuda, ia keluarkan kudanya yang kurus itu terus dicemplaknya pergi.

Kebetulan waktu itu Kwe Hu lagi keluar dari kamarnya. ia menjadi heran melihat kelakuan pemuda ini, ia ber-teriak2 memanggil : "Nyo-koko, hendak ke mana kau?"

Tapi Nyo Ko membudek, ia larikan kudanya cepat ke utara, sekejap saja belasan li sudah dilaluinya, sepanjang jalan ia terus ber-teriak2.

"Kokoh, Kokoh!" Tapi mana ada bayangan Siao-liong-li.

Setelah berjalan tak lama, tiba2 dilihatnya rombongan Kim-lun Hoat-ong sedang menuju ke barat, ketika mendadak mereka nampak Nyo Ko seorang diri dan satu tunggangan, merekapun ter-heran2, Segera Kim-lun Hoat-ong belokan kudanya memapak datangnya Nyo Ko.

Sama sekali Nyo Ko tak bersenjata, tiba2 menghadapi musuh besar, sudah tentu sangat berbahaya. Tapi ia sedang kuatirkan keadaan Siao liong-li, apa yang dipikirkan kini tiada lain kecuali jejak Siao-liong-Ii, keselamatan diri sendiri sudah tak terpikir olehnya, maka demi nampak Kim-lun Hoat-ong mendatangi, ia malah tarik tali kuda dan memapakinya dan bertanya: "Hai, apa kau melihat guruku?"

Melihat orang tidak melarikan diri. sudah tentu Kim-lun Hoat-ong heran, kini mendengar pertanyaan itu, keruan tambah tercengang. "Tidak." sahutnya kemudian. "Apa dia tidak bersama kau!?"

Kedua orang ini sama2 cerdik luar biasa, setelah terjadi tanya jawab ini, sesaat itu keduanya sudah timbul pikiran, Nyo Ko berada sendirian tentu bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, maka setelah sinar mata kedua orang kebentrok, cepat Nyo Ko keprak kuda dan di lain pihak Kim-lun Hoat-ong sudah ulur tangan hendak menjambret nya, Namun kuda kurus itu tangkas luar biasa, bagai angin cepatnya sudah membedal lewat, lekas2 Kim-lun Hoat-ong keprak kuda mengejar, tapi Nyo Ko sudah berada sejauh satu li lebih dan sukar disusul lagi.



Tiba2 pikiran Hoat-ong tergerak pula, ia tahan kuda tak mengejar lebih jauh, ia pikir: "Kalau mereka guru dan murid terpencar, apalagi yang aku takutkan sekarang? Kalau Ui-pangcu itu masih belum pergi jauh, ha-ha..." Begitulah, segera ia bawa rombongannya balik ke tempat darimana mereka datang tadi.

Sementara itu Nyo Ko masih belum melihat bayangan Siao-liong-li, sekalipun sudah beberapa puluh li ia tempuh, ia merasa darahnya bergolak hingga rasanya gelap pandangan, hampir2 saja ia pingsan di atas kudanya, Sungguh luar biasa rasa sedih dan pilunya.

"Sebab apakah Kokoh mendadak tinggalkan aku? Di manakah aku pernah mencederai dia? Sewaktu ia hendak tinggalkan aku tidak sedikit air mata yang dia alirkan, tentunya itu bukan karena marah padaku," demikianlah ia pikir.

Lalu terpikir pula tiba2 olehnya: "Ah, tahukah aku sekarang, tentunya karena aku bilang tinggal di dalam kuburan kuno akan merasa bosan, maka ia kira aku tak mau hidup berdampingan selamanya dengan dia."

Berpikir sampai disini, tiba2 ia melihat setitik sinar harapan: "Ah, tentu dia telah kembali ke kuburan kuno, biarlah aku pergi ke sana mendampingi dia," demikian pikirnya terakhir.

Tadi dalam bingungnya ia larikan kudanya secara ngawur tanpa bedakan arah, kini ia bisa pilih jalan, ia kembali ke utara menuju Cong-lam-san. sepanjang jalan ia berpikir terus, makin pikir makin terasa benar keputusannya itu, karena itu rasa duka dan rindunya menjadi hilang beberapa bagian, bahkan kemudian iapun ber-dendang2 sendiri di atas kudanya.

Waktu lohor ia mampir di suatu kedai nasi untuk tangsal perut, habis makan semangkok bakmi waktu mau bayar, tiba2 ia melongo, Kiranya waktu berangkat terlalu buru2 hingga satu mata uang saja tak membawanya, Tapi Nyo Ko tak kurang akal, ia incar ketika pengurus kedai meleng, cepat saja ia cemplak kudanya terus lari pergi, ia dengar pemilik kedai mencaci maki kalang kabut di belakang, diam2 pemuda ini tertawa geli sendiri.

Petangnya, tibalah dia di sebuah hutan lebat. Se-konyong2 didengarnya sayup2 ada suara bentakan dan makian di dalam hutan diseling dengan suara nyaring beradunya senjata, terkejut Nyo Ko, ia coba dengarkan lebih jelas, ia kenali kemudian itulah suaranya Kim-lun Hoat-ong dan Kwe Hu.

Nyo Ko tahu pasti terjadi sesuatu, lekas2 ia melompat turun dari kudanya, ia lambat kudanya sedikit jauh, ia sendiri menyelinap masuk hutan dengan kepandaian "tah-poh-bu-seng" atau melangkah tanpa bersuara, semacam ilmu entengkan tubuh yang tinggi, ia mencari tempat dimana datangnya suara.

Setelah belasan tombak jauhnya, ia lihat di tengah hutan lebat itu Ui Yong dan puterinya beserta Bu-si Hengte lagi melawan rombongan Kim-lun Hoat-ong se-bisa2nya di suatu gundukan batu.

Ia lihat keadaan Bu-si Hengte sangat mengenaskan mukanya, bajunya, semua berlepotan darah. Ui Yong sendiri rambutnya serawutan, tampaknya kalau bukan Kim-lun Hoat-ong sengaja ingin menawan lawannya hidup2, mungkin mereka berempat sudah sejak tadi binasa di bawah roda besinya.

Setelah menyaksikan beberapa jurus lagi, diam2 Nyo Ko memikir: "Kokoh tidak di sini, kalau aku maju membantu sendiri, tentu antar jiwa percuma, lantas bagaimana baiknya ini?"

Selagi ia hendak cari akal, tiba2 dilihatnya roda Kim-lun Hoat-ong sedang menghantam, Ui Yong kelihatan tak kuat menangkis, mendadak ia mengkeret masuk ke belakang segundukan batu. Lalu Kim lun Hoat-ong terpancing masuk ke tengah gundukan batu ini dan berputar kian kemari, namun tak mampu mendekati Ui Yong lagi.

Heran sekali Nyo Ko oleh kejadian itu, dilihatnya Kwe Hu dan Bu-si Hengte juga berkelit dan berputar mengandalkan gundukan batu, bila ada bahaya. asal sembunyi di belakang batu, seketika Darba ketinggalan dan terpaksa ber-putar2 kesana kemari baru bisa menyusulnya, namun sementara itu Kwe Hu sudah sempat bernapas untuk melawan musuh lagi.

Makin melihat makin heran Nyo Ko, sungguh tak bisa dimengertinya beberapa gundukan batu dalam hutan ini ternyata begitu mukjijat. Tapi meski keselamatan Ui Yong cs, tak menjadi soal lagi, tapi hendak lari keluar barisan gundukan batu, rasanya juga susah.

Setelah lama tak bisa bobolkan pertahanan musuh, meski Bu-si Hengte dapat dilukai, tapi tak parah, sebaliknya pihak Kim-lun Hoat-ong sendiri ada seorang tertusuk mati oleh Kwee Hu. Hoat-ong tahu gundukan batu itulah letak penyakitnya yang harus dipecahkan baru bisa menangkap musuh. Hoat-ong seorang yang cerdas dan tinggi hati, ia pikir beberapa orang ini sudah seperti kura2 dalam tempurung tak nanti bisa lolos dari cengkeramannya, ia pikir bila sebentar lagi perputaran barisan gundukan batu dapat dipahami segera ia menerjang masuk dengan cepat dan sekali pukul lantas berhasil, barulah hal ini bisa perbaikan kepintarannya.

Maka mendadak ia memberi tanda rombongannva mundur, ia sendiripun mundur lebih setombak jauhnya sambil memperhatikan susunan gundukan batu yang ruwet itu. Ia pikir berapa hebat siasat vang diatur maupun barisan yang dikerahkan pasti tidak terlepas dari perhitungan Thay-kek dan Liang-gi dan meluas menjadi Ngo-heng dan Pat-kwa. Kim-lun Hoat-ong sendiri mahir macam2 ilmu aneh itu, ia pikir meski barisan gundukan batu itu rada aneh, ia yakin pasti tidak terlepas dari dasar perhitungan tersebut diatas.

Siapa tahu sudah lama ia pandang dan perhatikan, baru saja sedikit lubang dapat dilihatnya, ketika hendak dipecahkan lebih jauh, tiba2 salah lagi, sebelah kiri betul, sayap kanan sudah berubah, dapat dipecahkan bagian depan, lalu sebelah belakang sukar dipahami pula. ia ter-menung2 di tempatnya, terkejut dan kagum luar biasa atas kepandaian Ui Yong.

Tapi Kim-lun Hoat-ong adalah seorang genius, baik silat maupun surat, meski menghadapi soal sulit, ia justru ingin gunakan kecerdasan sendiri untuk memecahkannya.

Nyo Ko lihat paderi ini mencurahkan perhatian penuh atas gundukan2 batu, mendadak matanya terbeliak seperti paham di mana letak mujizat barisan batu itu dan orangnya terus melompat masuk cepat luar biasa, ketika ia ulur tangan, tahu2 Kwe Hu kena dijambret, habis ini iapun mundur lagi keluar barisan batu.

Perubahan diluar dugaan ini membikin Ui Yong terkejut hingga seketika tak berdaya, kalau keluar barisan buat menolong, terang mereka sendiri yang bakal menghadapi bahaya.

Kiranya tadi Kwe Hu melihat musuh berdiam diri, ia menjadi gegabah, tak diturut lagi pesan ibundanya agar berdiri tetap di tempatnya, tapi ia keluar garis pertahanan barisan batu dan betapa lihaynya Kim-lun Hoat-ong, begitu ada kesempatan segera ia turun tangan menawannya terus menutuk Hiat-to iganya dan diletakkan di tanah.

Sengaja Hoat-ong tak menutuk urat nadi gagu si gadis agar bisa bersuara minta tolong ibundanya untuk memancing Ui Yong keluar dari barisan batu itu.

Seketika Kwe Hu merasa seluruh badan kaku gatal luar biasa, tapi anggota badan tak bisa bergerak tiada jalan lain kecuali merintih pelahan.

Sudah tentu Ui Yong tahu akal licik musuh, tapi kasih ibu adalah pembawaan setiap manusia, ia menjadi kuatir luar biasa, tapi bibir digigitnya kencang2, sedapat mungkin menahan perasaannya

Kesemua itu disaksikan Nyo Ko dengan jelas di tempat sembunyinya, tiba2 dilihatnya Ui Yong gerakkan tongkat bambu lalu hendak terjang keluar barisan batu untuk menolong puteri kesayanganmya, tanpa pikir lagi se-konyong2 Nyo Ko melompat keluar, Kwe Hu disambernya terus melompat masuk kembali ke barisan gundukan batu itu.

Cepat juga Kim-lun Hoat-ong timpuk roda besinya menghantam punggung si Nyo Ko yang masih terapung di udara hingga sukar berkelit. Tapi mendadak Kwe Hu didorongnya ke arah Ui Yong, berbareng Nyo Ko sendiri gunakan gerakan "jian-km-tui", tubuhnya menurun cepat ke bawah dan terdengarlah suara "bluk", antap sekali tubuh Nyo Ko terbanting di atas gundukan batu itu, sementara terdengar suara gemerenceng yang nyaring, roda besi musuh tepat menyamber lewat di atas kepalanya.

Di lain pihak Ui Yong sudah merangkul puteri kesayangannya dengan perasaan girang dan duka, ia lihat Nyo Ko telah merangkak bangun dari gundukan batu, mukanya babak belur karena jatuhnya yang berat tadi, lekas2 ia tunjukkan jalan masuk ke barisan batu dengan tongkat bambunya yang panjang itu.

Melihat serangannya yang tak berhasil dan kembali gara2 si Nyo Ko, Kim-lun Hoat-ong tidak gusar, ia malah bergirang, katanya dengan tersenyum dingin: "Bagus, kau sendiri yang masuk jaring, aku dapat hemat tenaga dan tak perlu cari kau lagi kelak"



Dengan mati2an Nyo Ko menolong orang, timbulnya secara spontan, tapi sesudah masuk barisan batu itu dan teringat ikut campurnya ini berarti antarkan nyawa sendiri dan selanjutnya sukar bersua lagi dengan Siao-liong-li, diam2 ia merasa menyesal.

"Ko-ji, buat apa kau lakukan ini?" kata Ui Yong kemudian menghela napas.

"Kwe-pekbo," sahut Nyo Ko tertawa getir, "secara ketolol2 an, asal darahku panas, lantas aku tak pikirkan diri sendiri lagi."

"O, anak baik, hatimu yang baik ini dibanding ayahmu..." belum habis Ui Yong berkata, mendadak ia berhenti.

"Kwe-pekbo, ayahku seorang jahat bukan?" tanya Nyo Ko gemetar.

"Buat apa kau tanya ini?" kata Ui Yong menunduk. Habis ini mendadak ia berseru: "Awas, ke sini ikut aku!" Lalu ia tarik orang melintasi dua gunduk batu menghindari pembokongan Kim-lun Hoat-ong.

Kagum luar biasa setelah Nyo Ko meneliti sekitar gundukan batu itu. "Kwe-pekbo, kepandaianmu yang hebat ini di jagat ini tiada keduanya lagi," katanya kemudian.

Ui Yong tak menjawab, ia hanya tersenyum dan sibuk mengurut Kwe Hu yang habis ditutuk musuh tadi.

"Kau tahu apa?" sela Kwe Hu tiba2. "Kepandaian ibu adalah ajaran Gwa-kong (engkong luar), Engkong-ku itulah baru benar2 lihay."

Nyo Ko sendiri sudah saksikan kepintaran Ui Yok-su dengan tanaman2 yang teratur di Tho-hoa-to, cuma waktu itu umurnya masih kecil, maki tidak dapat dipahaminya kebagusannya, kini mendengar kata2 Kwe Hu, berulang kali ia mengangguk dan merasa kagum tak terhingga. "Ya, entah kapan berjumpa dengan beliau barulah rasanya hidupku ini tak ter-sia2," demikian katanya.

Dalam pada itu mendadak Kim-lun Hoat-ong menerjang masuk lagi, sudah dua gunduk batu dilintasinya, Nyo Ko tak bersenjata sama sekali, lekas2 tongkat bambu Ui Yong yang masih menggeletak di tanah itu disambarnya terus mendahului maju menahan musuh, beruntun2 tongkat bambu menyabet dua kali, apa yang dimainkan adalah Pak-kau-pang-hoat.

Melihat Pang-hoat orang terlalu bagus, Kim-lun Hoat-ong tak berani ayal, ia layani Nyo Ko penuh perhatian, setelah beberapa jurus, mendadak keduanya sama2 kesandung batu dan sampai hampir jatuh.

Kuatir terjebak, lekas2 Hoat-ong melompat keluar dari gundukan batu, sedang Ui Yong menunjukkan jalan masuk bagi Nvo Ko. Bu-si Hengte dan puterinya disuruh pindahkan batu2 itu untuk merubah barisan pertahanannya.

"Darimanakah kau dapat belajar Pa-kau-pang-hoat ini sebenarnya?" tanya Ui Yong kemudian pada Nyo Ko.

Maka terus teranglah Nyo Ko ceritakan pertemuannya yang aneh dengan Ang Chit-kong dulu di atas Hoa-san dan bagaimana Pak-kay dan Se-tok telah bertanding di sana hingga turunkan ilmu tongkat pemukul anjing itu padanya, cuma kuatir kalau Ui Yong terkejut, maka tentang tewasnya Ang Chit-kong tak diceritakannya sama sekali.

"Penemuanmu yang aneh itu sungguh jarang terjadi," ujar Ui Yong kemudian, Tiba2 tergerak hatinya, ia berkata pula : "Ko-ji, kau sangat pintar, cobalah kau carikan suatu akal buat lepaskan diri dari kesukaran sekarang ini."

Melihat sikap Ui Yong segera Nyo Ko tahu orang telah mendapatkan akalnya, maka iapun pura-pura tak tahu dan menanya: "Jika engkau sehat kuat, kita keroyok Hoat-ong pasti akan menang, atau bila dapat mendatangkan guruku, tentu segalanya akan beres,"

"Kesehatanku ini seketika mana bisa baik?" sahut Ui Yong, "Kokohmu juga tak diketahui ke mana perginya, Aku ada suatu akal dan harus menggunakan beberapa gundukan batu ini, barisan batu ini adalah ajaran ayahku, perubahan2 di dalamnya tiada habis2nya, sebenarnya belum ada dua bagian yang kugunakan sekarang ini."

Terkejut sekali Nyo Ko oleh keterangan itu, ia pikir ilmu pengetahuan Ui Yok-su sungguh tinggi bagai dewata, tidak kepalang rasa kagumnya.

"Pak-kau-pang-hoat ajaran guruku padamu itu hanya melulu cara memainkan saja, sedang apa yang kau dengar di atas pohon, yaitu apa yang kuuraikan adalah garis besar dari kunci2nya," kata Ui Yong lagi "Dan kini biar aku turunkan gerak perubahan yang bagus sampai sekecilnya padamu semuanya."

Tentu saja girang Nyo Ko, tapi ia pura2 menolak, "Ah, agaknya tak boleh jadi," demikian katanya, "Pak-kau-pang-hoat kecuali Pangcu dari Kay-pang tidak sembarangan diturunkan pada orang luar selamanya."

"Di hadapanku jangan kau pakai akal tengik?" kata Ui Yong sambil melototinya, "Pang-hoat ini Suhuku sudah turunkan padamu tiga bagian, kau sendiripun sudah mencuri dengar dua bagian, kini aku turunkan lagi dua bagian padamu, sisanya 3 bagian tergantung kecerdasanmu untuk mempelajarinya sendiri dan orang lain se-kali2 tak bisa mengajarkan kau, Soalnya kini terpaksa, pertama bukan orang mengajarkan Pang-hoat ini padamu kedua disebabkan kepepet, tiada jalan lain."

Segera saja Nyo Ko berlutut dan menjura beberapa kali, "Kwe-pekbo," katanya tertawa, "Dahulu waktu aku kecil pernah kau berjanji akan turunkan ilmu silat padaku, sampai hari ini barulah kau benar2 Kwe-pekbo yang baik."

"Ya, selama ini kau terus dendam padaku, bukan?" sahut Ui Yong tersenyum.

"Mana aku berani?" kata Nyo Ko.

Habis itu, dengan bisik2 Ui Yong lantas uraikan intisari Pak-kau-pang-hoat, semuanya ia beritahukan pada Nyo Ko.

Di luar gundukan batu2 sana Kim-lun Hoat-ong melihat Nyo Ko tiba2 menjura pada Ui Yong, kedua orang ini bicara sambil ter-tawa2, lalu bisik2 entah apa yang sedang dikerjakan, tampaknya seperti tak gentar dan sama sekali tak pandang sebelah mata pada dirinya.

Meski mendongkol juga Kim-lun Hoat-ong, tapi biasanya ia sangat tenang dan hati2, ia yakin nanti setelah memecahkan letak penyakit barisan batu2 itu baru akan ambil tindakan.

Karena penundaan serangannya ini, Ui Yong dan Nyo Ko tak perlu melayani musuh, maka tiada setengah jam, semua kunci intisari sudah hampir selesai diuraikannya.

Kepintaran Nyo Ko boleh dikata ratusan kali lebih tinggi dari pada Loh Yu-ka, ditambah Pak-kau-pang-Iioat ini memang sudah lama dipelajarinya, meski banyak yang belum dia pahami dan belum bisa dipecahkan, tapi setelah diberi petunjuk oleh Ui Yong, tentu saja segalanya lantas terang dengan sendirinya.

Dari jauh Kim-lun Hoat-ong melihat wajah Ui Yong tenang tapi sungguh2 sambil bibirnya bergerak komat-kamit, sebaliknya Nyo Ko kelihatan garuk2 kepala dan cakar2 kuping seperti girang tak terhingga, ia menjadi bingung apa yang dilakukan kedua orang itu, urusannya tentu tidak menguntungkan dirinya, hal ini dapat dipastikannya.

Dan sesudah Nyo Ko selesai mendengarkan uraian istilah itu disusul beberapa pertanyaannya yang rada sulit, semuanya Ui Yong menjelaskannya dengan baik, lalu katanya: "Sudahlah cukup, kau bisa bertanya beberapa persoalan ini menandakan banyak yang telah kau pahami. Tindakan selanjutnya ialah kita akan pancing Hoat-ong masuk barisan dan menawannya."

"Apa?" tanya Nyo Ko terkejut "Menawan nya?"

"Ya, apa susahnya?" kata Ui Yong, "Kini kita berdua dapat bersatu padu, soal tipu sudah menantikan dia, kekuatan pun di atasnya, Kini biar ku terangkan di mana letak kebagusan Loan-ciok-tin (barisan gundukan batu) ini seketika tentunya kaupun tak bisa paham, tapi asal kau ingat secara baik2 36 perubahannya kukira sudah cukup."

Lalu iapun menjelaskan cara bagaimana berubah dari suatu pintu ke pintu lainnya dan barisan batu-batu itu.

Kiranya Loan-ciok-tin ini adalah perubahan dari Pak-tin-toh ciptaan Khong Beng di jaman Sam-kok, dahulu Khong Beng menggunakan batu2 menjadi barisan pertahanan di tepi sungai untuk menjebak pihak musuh binasa sukar meloloskan diri, kini apa yang diatur Ui Yong juga serupa tujuan Khong Beng pula, cuma karena terlalu buru2 hingga barisan batu2 itu belum rampung diaturnya. Namun begitu Kim-lun Hoat-ong sudah dibikin bingung dengan mata terbuka lebar ia pandang lima lawannya di depan sana tanpa berani turun tangan secara sembarangan.

Ke-36 perubahan dari Loan-ciok-tin itu sesungguhnya ruwet dan bagus sekali, sekalipun Nvo Ko pintar luar biasa, seketika iapun tak bisa paham semua, sudah dua kali Ui Yong ulangi uraiannya dan Nyo Ko baru bisa paham lebih 20 macam perubahan itu, sementara itu cuaca sudah remang2 sedang Kim-lun Hoat-ong kelihatan ber-gegas2 hendak bergerak pula.

"Cukup likuran kali perubahan ini saja sudah bisa kurung dia di dalam," kata Ui Yong kemudian. "Sekarang juga aku keluar memancing dia masuk barisan, sekali aku ubah baris pertahanan, segera ia akan terkurung."

Keruan girang sekali si Nyo-Ko, "Kwe-pekbo,"" katanya, " kelak kalau aku datang ke Tho-hoa-to lagi, apakah engkau bersedia mengajarkan semua ilmu pengetahuan ini padaku?"

"Jika kau sudi datang, kenapa aku tak sudi mengajarkan kau?" sahut Ui Yong tertawa, "Mati-matian kau telah tolong aku dan Hu-ji dua kali, masakah aku masih melayani kau seperti dahulu?"

Mendengar itu, senang sekali rasa hati Nyo Ko, dalam keadaan demikian seumpama Ui Yong suruh dia kerjakan apa, dapat dipastikan tanpa tawar lagi akan dilakukannya, Maka tak pikir lagi segera ia samber tongkat pemukul anjing terus lari keluar barisan,batu-batu itu.

"Hayo, Hoat-ong, bila kau berani, marilah kita bertempur 300 jurus !" demikian Nyo Ko lantas menantang,

Memangnya Kim-lun Hoat-ong lagi kuatir mereka main gila di dalam barisan batu2 itu untuk membokong dirinya, kini melihat Nyo Ko keluar menantang, keruan kebetulan baginya, Segera ia angkat roda besinya terus menghantam. ia kuatir Nyo Ko lari masuk lagi ke dalam gundukan batu maka setelah dua gebrakan, segera ia cegat jalan mundur si Nyo Ko dengan tujuan memaksa pemuda ini jauh meninggalkan barisan batu itu.

Tak ia duga baru saja Nyo Ko mempelajari Pak-kau-pang-hoat dan sekarang juga lantas dipraktekkan, nyata ilmu tongkat pemukul anjing ini memang heibat luar biasa dengan segala gaya memukul, menjojoh, menyandung, menyabet dan macam2 lagi, karena gegabah hingga sedikit meleng, segera paha Kim-lun Hoat-ong kena ditoyor sekali oleh tongkat bambu Nyo Ko, meski ilmu silatnya sangat tinggi dan cepat bisa tutup jalan darahnya hingga tidak terluka, namun terasa juga sakit sekali.

Karena kecundang ini, ia tak berani ayal lagi, roda besinya berputar cepat, ia lawan Nyo Ko sepenuh perhatian, meski lawannya kini hanya pemuda belasan tahun, tapi ia justru seperti menghadapi musuh tangguh, se-akan2 melawan seorang tokoh silat maha lihay.

Dan karena orang bertempur sungguh2, Nyo Ko segera kewalahan, sekalipun hebat Pak-kau pang-hoat, tapi baru dipelajari lantas digunakan, betapapun juga belum leluasa dimainkannya, lekas2 ia gunakan gaya "hong" atau menutup untuk menahan serangan roda orang, berbareng ia geser langkah menerobos ke sini ke sana.

Melihat pemuda ini hendak menerjang keluar, Kim-lun Hoat-ong pikir kebetulan baginya, maka ber-ulang2 iapun mundur hendak pancing Nyo Ko jauh meninggalkan barisan batu, Siapa tahu baru belasan tindak ia mundur, mendadak ia kesandung sebuah batu besar, ternyata tanpa terasa ia sendiri malah terpancing masuk ke dalam Loan-ciok-tin.

Harus diketahui bahwa setiap langkah Nyo Ko selalu turut ajaran Ui Yong tadi, ia bertindak menurut duduk Pat-kwa yang aneh, hanya beberapa kali ia menggeser dan arahnya sudah berganti, semakin ia menerjang maju, semakin masuk ke dalam barisan batu, Dan karena asyik menempur orang, seketika Kim-lun Hoat-ong, kena diselomoti,waktu ia sadar, namun sudah terjeblos di dalam Loan-ciok-tin itu.

Ia pikir bisa celaka, ia dengar Ui Yong berulang kali lagi berseru: "Cu-jiok pindah Jing-liong, Soan-wi berubah Li-wi, It-bok ganti Kui-cui," Apa yang disebut ini adalah nama tempat kedudukan yang harus dituju Nyo Ko dalam barisan batu itu. Berbareng itu, Bu-si Hengte dan Kwe Hu serentak memindahkan batu2 besar dan mengurung rapat musuh di tengah2.

Terkejut sekali Kim-lun Hoat-ong karena perubahan hebat itu, pikirnya hendak berhenti buat periksa keadaan sekitarnya, tapi tongkat bambu Nyo Ko justru selalu mengganggu, Pak-kau-pang-hoat ini belum cukup kuat buat menempurnya secara berhadapan, tapi untuk mengacaukan pikirannya justru sangat tepat.

Sementara itu Kim-lun Hoat-ong beberapa kali kesandung batu lagi hingga berdirinya tak mantap, ia tahu barisan batu2 itu sangat lihay, asal kejeblos terlalu lama, makin putar makin kacau jadinya.

Dalam keadaan bahaya, mendadak Kim-lun Hoat-ong menggertak sekali, ia keluarkan Ginkang dan melompat ke atas gundukan batu, Dengan berada di atas gundukan batu seharusnya tidak terkurung lagi oleh barisan itu, tapi anehnya barisan batu itu justru bisa mengacaukan arah, bila lari ke timur dan menyangka bisa keluar, tahu2 dari timur sampai barat dan dari selatan ke utara tetap ber-putar2 dan akhirnya hanya putar kayun terus di suatu lingkaran kecil hingga tenaga habis, akhirnya menyerah tak berdaya.

Dalam pada itu dilihatnya Nyo Ko telah ayun tongkatnya memukul betisnya, terpaksa Kim-lun Hoat-ong melompat turun ke tanah datar lagi, ia putar rodanya balas menghantam.

Setelah belasan jurus lagi, cuaca sudah mulai gelap hingga makin menambah seramnya barisan batu itu, dalam keadaan demikian sekalipun Kim-lun Hoat-ong memiliki kepandaian setinggi langit mau-tak-mau iapun berkuatir.

Mendadak menjadi nekat, ketika kedua kakinya menyapu kuat, lebih dulu sebuah batu besar lebih 20 kati kena didepak ke udara, menyusul sebuah batu besar lain terbang lagi ke angkasa, ia bergerak cepat, kedua kakinya pun bergantian menendang hingga barisan batu itu seketika pecah berantakan.

Terkejut luar biasa Ui Yong berlima, Iekas2 mereka berkelit akan timpaan batu2 terbang dari atas itu. Kini kalau Kim-lun Hoat-ong mau lari keluar barisan sebenarnya tidak susah, tapi dari terserang ia segera balas menyerang, sekali tangan mengulur, kontan Ui Yong hendak ditangkapnya.

Cepat Nyo Ko jojoh punggung orang dengan tongkatnya, ketika Hoat-ong ayun roda besinya menangkis ke belakang, sementara telapak tangannya juga sudah sampai di atas pundak Ui Yong. Kalau mau sebenarnya Ui Yong bisa hindarkan diri dengan sedikit mundur, tapi didengarnya di belakang samberan angin yang keras, dari udara sebuah batu besar lagi menimpa ke arah punggungnya, terpaksa ia keluarkan Kim-na-jiu-hoat, ilmu menangkap dan melawan, ia papaki tangan Hoat-ong terus memegangnya kencang malah.

"Bagus !" seru Hoat-ong, ia biarkan tangannya dipegang Ui Yong, ketika orang hendak membetot mendadak ia barengi menarik dengan tenaga raksasanya.

Kalau dalam keadaan biasa, tidak susah bagi Ui Yong untuk melepaskan diri, tapi kini ia tak bisa keluarkan tenaga, maka terdengarlah ia menjerit orangnya lantas jatuh juga.

Terperanjat sekali Nyo Ko, tak dihiraukan lagi mati hidup sendiri, ia menubruk maju terus merangkul kedua kaki Kim-lun Hoat-ong hingga keduanya sama2 terbanting roboh.

Betapapun juga Kim-lun Hoat-ong memang jauh lebih tinggi ilmu silatnya, belum tubuhnya menggeletak telapak tangan kanan dengan tipu pukulan berat telah hantam kena dada Nyo Koi hingga pemuda ini terpental bagai bola.

Tapi pada saat itu juga, sebuah batu besar terakhir yang terbang ke udara oleh tendangan Hoat-ong tadi justru menimpa turun juga, maka terdengarlah suara "bluk" yang keras, dengan tepat punggung Hoat-ong sendiri kena tertimpa.

Betapa hebat tenaga tumbukan batu itu, sungguhpun Lwekang Hoat-ong amat tingginya juga tak tahan, meski ia masih bisa keluarkan tenaga untuk menendang pergi batu itu, tapi setelah sempoyongan beberapa kali, akhirnya ia roboh ke depan.

Begitulah, hanya sekejap saja batu bertebaran dan barisan berantakan Ui Yong, Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong bertiga sama2 roboh terluka.

Di luar barisan batu si Darba dan para jagoan Mongol serta Kwe Hu dan Busi Hengte di dalam barisan sama2 terkejut, segera yang diluar lari masuk hendak menolong. Tenaga Darba besar luar biasa, pula diantara jagoan Mongol itu ada beberapa orang yang kuat, sudah tentu Kwe Hu dan kedua Bu cilik tak bisa melawannya.

Mendadak tertampak Kim-lun Hoat-ong berdiri sambil sempoyongan, ketika rodanya bergerak hingga menerbitkan suara nyaring, wajahnya putih pucat, tiba2 ia menengadah dan bergelak tertawa, suaranya seram membikin orang mengkirik.

"Selama hidupku belum pernah aku menderita luka sedikitpun menghadapi musuh siapa saja, tak nyana hari ini aku melukai diriku sendiri," kata Hoat-ong, suaranya serak berat. Habis ini, kembali tangannya mengulur hendak mencengkeram Ui Yong lagi.

Meski Nyo Ko kena dipukul sekali di dadanya dan cukup parah, tapi demi nampak Ui Yong terancam bahaya, sambil merangkak segera ia ayun pula tongkatnya menangkis tangan musuh, dan karena sedikit keluar tenaga ini, tak tahan lagi darah menyembur keluar dari mulutnya.

"Sudahlah, Ko-ji, kita akui kalah saja, tak perlu adu jiwa lagi, kau jaga dirimu saja baik2," ujar Ui Yong sedih.

Sementara dengan pedang terhunus Kwe Hu menjaga di samping ibunya.

"Kau lekas lari dulu, Hu-moay, paling penting beritahukan ayahmu saja," bisik Nyo Ko pelahan.

Tapi pikiran Kwe Hu sudah kusut, sekalipun tahu kepandaian diri sendiri terlalu rendah, tapi mana tega ia tinggalkan sang ibu? Dalam pada itu sedikit ayun roda besinya, tahu2 pedang Kwe Hu terpental terbentur roda Kim-lun Hoat-ong, terlihatlah sinar putih terbang mendadak dan masuk ke dalam hutan.



Selagi Kim-lun Hoat-ong hendak dorong pergi Kwe Hu buat tangkap Ui Yong, tiba2 didengarnya suara seruan seorang perempuan: "Tahan dulu !"

Menyusul mana sesosok bayangan hijau tahu2 melompat keluar dari dalam hutan terus samber pedang Kwe Hu yang sedang me-layang2 itu, beberapa kali loncatan lagi, cepat sekali orangnya sudah sampai di antara gundukan batu itu.

Melihat wajah orang seram luar biasa, tiga bagian seperti manusia, tujuh bagian mirip setan, selama hidupnya belum pernah melihat wajah orang begitu aneh dan jelek, seketika Kim-lun Hoat-ong tercengang, "Siapa kau?" iapun membentak.

Orang perempuan itu tidak menjawab, ia berjongkok terus mendorong satu batu besar hingga melintang di tengah2 Hoat-ong dan Ui Yong, kemudian buka suara : "Apakah kau ini Kim-lun Hoat-ong dari Tilbet yang tersohor itu?" - Meski wajahnya jelek, tapi suaranya ternyata amat merdunya.

"Ya, betul dan kau siapa?" sahut Hoat-ong.

"Aku hanya seorang anak dara tak bernama, sudah tentu kau tak kenal aku," sahut gadis itu. Sembari berkata, kembali ia geser satu batu lainnya ke samping.

Sementara itu dalam hutan rimba gelap gulita, tiiba2 tergerak pikiran Hoat-ong, ia membentak cepat: "Apa yang kau lakukan?"

Selagi hendak merintangi orang memindahkan batu, ia dengar gadis itu telah berseru: "Kak-bok-kau berubah menjadi Hang-kim-liong !"

Seketika Kwe Hu dan kedua saudara Bu tercengang, pikir mereka: "Aneh, darimana iapun tahu cara perubahan barisan batu ini?"

Karena suaranya membawa perbawa, seketika mereka turut perintah dan memindahkan batu yang tadinya sudah kacau berantakan segera berubah lain lagi.

Terkejut dan gusar Kim-lun Hoat-ong, tiba2 ia membentak : "Kau anak perempuan inipun berani mengacau di sini?"

Tapi lagi2 gadis itu berseru beberapa istilah tentang perubahan2 barisan batu yang semuanya cocok dengan apa yang diajarkan Ui Yong pada Nyo Ko tadi.

Mendengar orang bisa berteriak dengan betul dan teratur tiada ubahnya seperti pimpinan Ui Yong sendiri, Kwe Hu dan kedua Bu menjadi girang, dengan bersemangat mereka geser batu dan tampaknya segera Kim-lun Hoat-ong akan terkurung lagi di dalam.

Punggung Hoat-ong sudah ketimpa batu tadi, ia coba tahan lukanya itu dengan Lwekangnya yang tinggi, meski seketika belum berbahaya, tapi tidak kecil penderitaannya, maka tak sanggup lagi ia menendangi batu pula, Betapapun ia memang seorang tokoh terkemuka, ia tidak menjadi bingung dalam keadaan bahaya, ia tahu bila telat sebentar lagi hingga terjeblos pula dalam barisan batu, bukan saja Ui Yong tak jadi ditangkapnya, bahkan ia sendiri bisa2 tertangkap malah.

Walau kelihatan Ui Yong menggeletak di tanah tak berkutik, asal melangkah maju beberapa tindak segera dapat menawannya, tapi keselamatan diri sendiri jauh lebih penting, maka cepat ia putar rodanya, tiba2 ia pura2 menghantam ke atas kepala Bu Siu-bun.

Dalam keadaan terluka parah sebenarnya Kim-lun Hoat-ong tak punya tenaga lagi, asal Siu-bun berani menangkis mungkin roda besinya akan terlepas dari tangan, namun Bu Siu-bun sudah jeri, mana berani ia tangkis serangan itu, lekas2 ia buang batu yang hendak dipindahnya terus menyelinap masuk barisan batu.

Sesaat Kim-lun Hoat-ong terbingung di tempatnya, pikirnya bergolak: "Kalau kesempatan ini di-sia2kan, mungkin kelak sukar lagi diketemukan. Apa memang Thian melindungi Tay Song (ahala Song Raya) dan tugasku harus gagal begini? Tampaknya banyak sekali bibit2 muda di kalangan Bu-lim di daerah Tionggoan, melulu beberapa muda-mudi ini saja sudah pandai dalam segala hal dan tak boleh dipandang enteng, agaknya ksatria2 dari Mongol dan Tibet masih jauh kalau dibandingkan mereka!"

Karena itu ia menghela napas dan sesal diri, tiba2 ia putar tubuh terus melangkah pergi. Tapi baru belasan tindak, mendadak terdengar suara gemerenceng riuh, roda besinya terjatuh, tubuhnya pun ter-huyung2.

Terkejut sekali si Darba, "Suhu!" teriaknya cepat sambil memlburu maju memayangnya dan menanya pula : "Kenapa kau, Suhu?"

Kim-lun Hoat-ong mengerut kening tak menjawab, ia gunakan tangan menahan di atas pundak Darba, habis ini barulah bersuara pelahan: "Sayang, sungguh sayang, marilah kita pergi!"

Sementara seorang jagoan Mongol telah membawakan kuda Hoat-ong, namun karena lukanya yang parah hampir2 tiada tenaga buat naik ke atas kuda kalau tidak Darba menaikkan sang guru ke atas kudanya, kemudian rombongan merekapun kabur ke arah timur.

Setelah tolong semua orang, si gadis baju hijau tadi pe-lahan2 keluar dari gundukan batu, ketika berlalu di samping Nyo Ko yang menggeletak di tanah itu, tiba2 ia berhenti, ia ragu2 apa harus periksa luka orang tidak, ia berpikir sejenak, akhirnya ia berjongkok juga untuk memeriksa lukanya karena pukulan Kim-lun Hoat-ong tadi.

Tatkala itu hari sudah gelap, untuk bisa melihat wajah orang dengan jelas terpaksa ia menunduk dekat, ia lihat kedua mata Nyo Ko terpentang lebar, pandangannya kabur tak bersemangat pipinya merah dan napasnya memburu, tampaknya tidak ringan lukanya itu.

Dalam keadaan remang2 tak sadar tiba2 Nyo Ko melihat sepasang mata bersinar halus berada di dekat mukanya, mirip seperti sinar mata Siao-liong-li bila lagi pandang padanya, begitu halus hangat dan begitu kasih sayang, tanpa tertahan ia pentang tangan mendadak terus peluk tubuh orang sambil berteriak : "Kokoh, O, Kokoh, Ko-ji terluka, janganlah kau tinggalkan aku begitu saja!"

Sungguh tak pernah diduga si gadis baju hijau itu bahwa orang akan merangkulnya, keruan ia malu dan gugup, ia sedikit merontak, karena itu dada Nyo Ko yang terluka menjadi sakit, ia berteriak merintih.

Si gadis tak meronta lagi, dengan suara pelahan ia berkata: "Aku bukan Kokohmu, lekas lepaskan aku!"

Tapi dengan mata tak berkedip Nyo Ko masih pandang sepasang mata bola si gadis. "Kokoh, O, Kokoh, jangan kau tinggalkan aku, ak... aku adalah kau punya Ko-ji!" tiba2 ia memohon.

Hati si gadis menjadi luluh, tapi tetap dijawabnya dengan halus : "Aku bukan Kokoh-mu."

Karena hari sudah gelap, maka wajah si gadis yang jelek seram itu tenggelam ditelan kegelapan, hanya sepasang matabolanya yang kelip2 bersinar Nyo Ko masih terus tarik tangannya dan memohon lagi: "Ya, ya, kaulah Kokoh!"

Karena dipeluk tiba2 oleh seorang pemuda dan tangannya digenggam kencang pula, gadis itu malu tidak kepalang hingga seluruh tubuhnya panas dingin, ia bingung cara bagaimana harus dilakukannya.

Tak lama kemudian mendadak Nyo Ko jernih kembali pikirannya, ketika diketahui di hadapannya bukan Siao-liong-li, ia menjadi kecewa, pikirannya pepet lagi dan akhirnya jatuh pingsan.

Gadis itu terkejut, ia lihat Kwe Hu dan kedua saudara Bu lagi sibuk mengerumuni Ui Yong dan tiada yang mau gubris Nyo Ko, ia pikir luka pemuda ini sangat parah, kalau tidak dicekoki "Kiu-hoa-giok-loh-wan" (pil sari sembilan warna bunga), mungkin jiwanya tak tertolong lagi, Keadaan terpaksa, iapun tak hiraukan adat istiadat lagi, lekas2 ia angkat pinggang Nyo Ko, dengan setengah tarik dan setengah seret ia bawa Nyo Ko keluar dari barisan batu itu.

Hendaklah diketahui bahwa bukanlah Kwe Hu terlalu kejam dan tak berbudi, soalnya ibunya terluka parah karena tenaga goncangan Kim-lun Hoat-ong tadi dan menggeletak tak bisa bangun, cinta antara anak dan ibu sudah tentu Nyo Ko harus dikesampingkan dahulu, Sedang kedua saudara Bu jelas tak mau urus Nyo Ko.

Gadis itu memayang Nyo Ko keluar hutan Iebat itu, kuda kurus milik Nyo Ko memang cerdik dan kenal majikan, cepat ia mendekati mereka. Setelah Nyo Ko dinaikkan kudanya, mengingat diri sendiri masih gadis, si nona tak mau bersatu tunggangan, maka tali kendali kuda dituntunnya dan ia berjalan kaki sendiri.

Keadaan Nyo Ko tempo2 sadar, kadang2 remang2 lagi, tempo2 ia merasa gadis di sampingnya ini adalah Siao-liong-li hingga berteriak girang, tapi kadang2 tahu juga orang bukan Kokoh yang dirindukannya itu hingga ia menjadi sedih, tubuhnya menggigil kedinginan.

Entah berapa lamanya sudah, ketika tiba2 terasa olehnya bau harum segar menembus luka di dadanya melalui kerongkongannya dan rasanya menjadi nyaman luar biasa, pe-lahan2 iapun pentang matanya, ia menjadi heran dan terkejut, ternyata dirinya sudah rebah di atas sebuah ranjang, tubuhnya berlapiskan selimut pula, ia hendak bangun duduk, mendadak tulang dadanya kesakitan, nyata ia masih belum boleh bergerak ia lihat di depan jendela satu gadis benbaju hijau dengan tangan kiri menahan kertas di atas meja dan tangan kanan memegang pit lagi menulis sesuatu dengan tenang.



Gadis itu duduk mungkur hingga tak kelihatan mukanya, tapi melihat potongan tubuhnya yang langsing, pinggangnya ramping, tentu orangnya juga amat cantiknya.

Tempat beradanya sekarang ternyata ruangan dari sebuah rumah gubuk beratap aIang2, tapi cara mengaturnya ternyata sangat rajin dan necis, di dinding sebelah timur tergantung sebuah lukisan wanita cantik sedang bersolek dan beberapa lukisan pemandangan sedang dinding barat dihiasi se-perangkap lukisan tulisan.

Dalam herannya Nyo Ko tak sempat menikmati benda2 seni itu, ia lihat asap dupa mengepul dari sebuah anglo di suatu meja kecil, ia tak tahu kamar orang kosen siapa atau pujangga yang mana?

Teringat olehnya pertarungan di barisan batu di hutan lebat dengan Kim-lun Hoat-ong dan terluka, kenapa sekarang bisa berada disini, seketika ia menjadi bingung tak mengarti, ia coba meng-ingat2, lapat2 dapat diiingat dirinya waktu itu ber-tiarap di atas kuda dan ada orang menuntun kuda itu, orang itupun seorang perempuan ia lihat gadis di depannya ini lagi menulis penuh perhatian, ia merebah di atas ranjang, dengan sendirinya tak tahu apa yang sedang ditulisnya, tapi melihat gaya tangannya yang ber-gerak2 dengan manisnya dan bagus luar biasa. Keadaan kamar itu sunyi senyap, dibanding pertarungan sengit di barisan batu itu kini se-akan2 berada di suatu dunia lain.

Meski Nyo Ko sudah mendusin, tapi tak berani bersuara mengganggu si gadis itu, maka ia terus rebah diam-diam.

Sekonyong-konyong pikiran Nyo Ko tergerak lagi, ia kenali si gadis baju hijau di hadapannya ini bukan lain adalah gadis yang beberapa kali mengirim berita peringatan padanya dalam perjalanan tempo hari dan belakangan ber-sama2 menolong Liok Bu-siang itu, ia menjadi heran, bukan sanak bukan kadang, kenapa gadis ini begitu baik terhadapku ?

Terpikir akan itu, tak tahan lagi tiba2 ia berseru: "Eh, cici, kiranya kau lagi2 yang menolong jiwaku."

Gadis itu berhenti menulis, tapi tak menoleh, hanya dengan suara halus ia menjawab: "Tak dapat dikatakan menolong jiwamu, aku hanya kebetulan lewat di situ dan melihat Hwesio Tibet itu berbuat se-wenang2, pula kau terluka..." - sampai disini kepalanya me-nunduk2 malu.

"Cici," kata Nyo Ko lagi, aku... aku..." - tapi karena tergoncangnya perasaan, seketika tenggorokannya serasa tersumbat hingga tak sanggup meneruskan lagi.

"Hatimu baik, tak pikirkan jiwa sendiri dan menolong orang lain, aku hanya kebetulan saja bisa membantu sedikit padamu, ini terhitung apa?" demikian kata gadis itu.

"Kwe-pekbo berbudi karena pernah membesarkan aku, dia ada kesulitan, sudah semestinya aku membantu, tapi aku dan cici..."

"Aku bukan maksudkan Kwe-pekbomu, tapi aku maksudkan Liok Bu-siang, adik dari keluarga Liok itu," potong si gadis.

Sudah lama nama Liok Bu-siang tak pernah terpikir lagi oleh Nyo Ko, kini mendengar orang menyebutnya, cepat iapun menanya: "Eh, ya, apakah nona Liok baik2 saja? Lukanya sudah sembuh bukan?"

"Terima kasih atas perhatianmu," sahut gadis itu, "lukanya sudah lama sembuh, nyata kau masih belum lupa padanya."

Mendengar lagu suara orang seperti sangat rapat hubungannya dengan Liok Bu-siang, maka Nyo Ko bertanya lagi: "Entah hubungan apakah antara cici dan nona Liok ?"

Tapi gadis itu tak penjawab, ia tersenyum dan berkata: "Tak perlu kau panggil aku cici terus, umurku belum setua kau." ia merandek sejenak, lalu dengan tertawa disambungnya: "Ha, entah sudah berapa kali memanggil "Kokoh", kini hendak merubahnya mungkin agak terlambat."

Muka Nyo Ko menjadi merah, ia menduga waktu dirinya terluka dan dalam keadaan tak sadar tentu telah salah anggap orang sebagai Siao-liong-Ii dan terus2an memanggil "Kokoh" padanya, boleh jadi ada pula perkataan2 diluar batas, makin pikir makin tak enak perasaannya.

"Kau... kau tidak marah bukan?" tanyanya kemudian.

"Sudah tentu aku tak marah, bolehlah kau rawat lukamu tenang2 di sini," sahut si gadis tertawa, "Nanti bila lukamu sudah sembuh, boleh segera kau pergi mencari kokoh-mu."

Beberapa kata2 itu diucapkannya dengan begitu halus dan ramah, sama sekali berbeda dengan gadis2 lain yang dikenal Nyo Ko, kedengarannya begitu nyaman dan segar, rasanya bila gadis ini berada di sampingnya, segalanya menjadi aman dan damai, ia tidak lincah dan nakal seperti Liok Bu-siang, juga tidak secantik tapi tinggi hati seperti Kvve Hu.

Pula tidak sama dengan Yali Yen yang gagah terus terang atau Wanyan Peng yang lemah dan harus dikasihani Apalagi watak Siao-liong-li lebih2 lain daripada yang lain, mula2 ia bisa sedingin es, tapi akhirnya karena pengaruh cinta asmara iapun tidak segan2 ikat janji sehidup semati, wataknya itu sesungguhnya terlalu aneh dan extrim.

Hanya si gadis baju hijau inilah ternyata sangat ramah tamah dan prihatin, pintar meladeni orang, setiap kata2nya selalu memikirkan kepentingan Nyo Ko, ia tahu pemuda ini merindukan "Kokoh", lantas ia menghiburnya agar rawat lukanya baik2 dan supaya lekas sembuh dan segera pergi men-carinya.

Begitulah sesudah ia ucapkan kata2 tadi, kembali ia angkat pit dan menulis lagi.

"Cici, siapakah she-mu yang mulia?" tanya Nyo Ko.

"Ada apa kau tanya ini itu, lekas kau rebah yang tenang dan jangan berpikir yang tidak2 lagi," sahut si gadis.

"Baiklah," kata Nyo Ko, "memangnya akupun tahu percuma bertanya, wajahmu saja tak mau perlihatkan padaku, jangankan namamu."

"Parasku sangat jelek, toh bukannya kau tak pernah melihatnya," sahut gadis itu menghela napas.

"Tidak, tidak, hal itu disebabkan kau memakai kedok kulit," ujar Nyo Ko.

"Kalau wajahku secantik Kokohmu, buat apa aku memakai kedok ?" kata si gadis.

Mendengar orang puji kecantikan Siao-liong-Ii, senang sekali Nyo Ko. "Darimana kau tahu kokoh ku cantik? Apa kau pernah melihat dia?" tanyanya.

"Tak pernah aku melihatnya," kata gadis itu. "Tapi begitu kau rindu padanya, dapat dibayangkan pasti dia wanita cantik nomor satu di jagat ini."

"Jika kau pernah melihat dia, pasti kau akan lebih memuji kecantikannya," ujar Nyo Ko gegetun.

Kata2 Nyo Ko ini kalau didengar Kwe Hu atau Liok Bu-siang pasti akan dibalas dengan sindiran dan olok2, tapi gadis ini ternyata sangat jujur, ia malah berkata: "Ya, hal itu tak perlu di-sangsikan lagi." - Habis berkata kembali ia menunduk menulis pula.

Nyo Ko ter-mangu2 sejenak memandangi langit kelambunya, tak tahan lagi ia berpaling dan memandang potongan tubuh orang yang ramping itu dari belakang, "Cici, apa yang kau tulis? Apa sangat penting?" tanyanya pula.

"Aku lagi melatih tulisan," sahut si gadis.

"Kau memakai tulisan gaya apa?" tanya Nyo Ko.

"Ah, tulisanku terlalu jelek, mana bisa dibilang gaya apa segala?" kata si gadis.

"Kau suka merendah diri saja, aku menduga pasti tulisanmu sangat indah," kata Nyo Ko.

"Aneh, darimana kau bisa menduganya?" sahut gadis itu tertawa.

"Gadis sepintar kau ini, pasti gaya tulisanmu pun lain dari pada yang lain," ujar Nyo Ko. "Cici, bolehkah tulisanmu itu diperlihatkan padaku."

Gadis itu tertawa lagi, "Ah, tulisanku se-kali2 tak bisa dilihat orang, nanti bila lukamu sudah sembuh, aku masih harus minta petunjukmu," demikian katanya.

Diam2 Nyo Ko malu diri, karena itu juga ia sangat berterima kasih pada Ui Yong yang telah mengajarnya membaca dan menulis di Tho-hoa-to dulu, kalau waktu itu ia tidak giat belajar, jangan kata membedakan tulisan bagus atau jelek, mungkin sampai kini ia akan tetap buta huruf.

Setelah ter-menung2 sebentar, ia merasa dadanya rada sakit, lekas2 ia jalankan Lwekangnya hingga darah jalan lancar, pe-lahan2 ia merasa segar kembali dan akhirnya iapun tertidur.

Waktu ia mendusin, hari sudah gelap, gadis itu telah taruh nasi dan lauk pauk di atas meja teh yang terletak ditepi ranjangnya agar si Nyo Ko dahar sendiri.

Lauk-pauk itu hanya sebangsa sayur mayur, tahu, telur dan beberapa potong ikan, tapi cara mengolahnya ternyata sangat lezat sekaligus Nyo ko habiskan tiga mangkok penuh nasi ke dalam perutnya tanpa berhenti, habis itu barulah ia memuji ber-ulang2.

Meski muka gadis itu memakai kedok kulit hingga tak kelihatan sesuatu perubahan emosinya, tapi dari sinar matanya tertampak juga, menyorot cahaya yang senang.

Besok paginya keadaan luka Nyo Ko tambah baikan, gadis itu ambil sebuah kursi dan duduk di depan ranjang untuk menambal bajunya yang compang-camping tak terurus, semuanya ia tambal dengan baik.



"Orang secakap kau kenapa sengaja pakai baju serombeng ini?" kata si gadis kemudian.

Sembari berkata iapun berjalan keluar, waktu kembali, ia membawakan satu blok kain hijau, ia ukur menurut baju Nyo Ko yang sobek itu dan di-potongnya untuk membuatkan baju baru.

Dari lagu suara nona ini dan perawakan serta tingkah lakunya, umurnya tentu tidak lebih 18 -19 tahun saja, tapi terhadap Nyo Ko bukan saja mirip kakak terhadap adik, bahkan penuh kasih seorang ibu kepada anaknya.

Sudah lama Nyo Ko ditinggalkan ibundanya, kini ia menjadi terbayang masa anak2nya dahulu, ia sangat berterima kasih dan heran juga, "Cici," tanyanya, "kenapa kau begini baik padaku, sungguh aku tak berani menerimanya."

"Hanya membikinkan sepotong baju, apanya yang baik?" sahut si gadis, "Kau mati2an menolong jiwa orang tanpa pikirkan diri sendiri, itu baru pantas dibilang baik budi."

Pagi hari itu berlalu dengan tenang, lewat lohor kembali si gadis menghadapi meja dan melatih tulis pula, pingin sekali Nyo Ko hendak melihat apakah sesungguhnya yang ditulisnya, tapi beberapa kali ia memohon selalu ditolak si gadis.

Kira2 ada sejam gadis itu tekun menulis, habis selembar ditulisnya, lalu ia ter-menung2, ia robek kertasnya dan kembali menulis lagi, tapi tetap seperti tak memuaskan tulisannya, maka habis tulis lantas dirobek pula, sampai akhirnya terdengar ia menghela napas, lalu tak menulis lebih lanjut.

"Kau pingin makan apa, biar kubuatkan," tanyanya kemudian pada Nyo Ko.

Tergerak pikiran Nyo Ko tiba2. "Terima kasih, hanya membikin repot kau saja," sahutnya.

"Apakah, coba bilang," kata si gadis.

"Aku sungguh ingin makan bakcang," ujar Nyo Ko.

Gadis itu rada tertegun, tapi segera iapun berkata: "Repot apa, hanya membungkus beberapa kue bakcang saja! Aku sendiri memang juga pingin makan, Kau suka yang manis atau yang asin?"

"Boleh seadanya, asal ada makan aku sudal puas, mana berani pilih2 lagi?" sahut Nyo Ko.

Betul juga, malam itu si gadis telah membuatkan beberapa buah kue bakcang pada Nyo Ko, yang manis berisi kacang ijo gula putih, yang asin pakai daging samcan bercampur ham, rasanya lezat tiada bandingan. Keruan saja beruntung sekali mulut si Nyo Ko, sembari makan iapun tiada hentinya memuji-muji.

"Kau sungguh pintar, akhirnya dapat kau menerka asal usul diriku," kata gadis itu kemudian sambil menghela napas.

Nyo Ko menjadi heran, ia tidak sengaja menerka, kenapa bilang asal-usul orang kena diterkanya? Namun begitu, ia toh berkata: "Kenapa kau bisa tahu?"

"Ya, kampung halamanku Ohciu tersohor karena makanan kue bakcang, kau tidak minta yang lain tapi justru ingin makan bakcang," sahut si gadis.

Tergerak pikiran Nyo Ko. Teringat olehnya beberapa tahun yang lalu di Ohciu telah dijumpai Kwe Cing dan Ui Yong, pertemuannya dengan Auwyang Hong dan perkelahiannya melawan Li Bok-chiu, tapi siapakah gerangan si gadis di depan mata ini tetap tak dapat mengingatnya.

Mengenai permintaannya ingin makan bak-cang adalah karena dia mempunyai tujuan lain, pada waktu hampir selesai makan, ketika gadis itu sedikit meleng, mendadak ia lekatkan sepotong bakcang di telapak tangannya dan sedang si gadis bebenah mangkok sumpit ke dapur, cepat sekali ia ambil seutas benang yang ketinggalan ketika gadis itu menjahit baju untuknya tadi, ujung benang ia ikat bakcang yang ia sisakan tadi terus disambitkan ke meja, sepotong kertas robekan telah melekat oleh kue bakcang itu, lalu ia tarik benang-nya dan membacanya, tapi ia menjadi melongo, kiranya di atas kertas itu tertulis 8 huruf yang maksudnya terang sekali berbunyi: "Jika sudah kutemukan dikau, betapa aku tidak senang?"

Lekas2 Nyo Ko sembunyikan kertas itu, ia lemparkan ujung benang dan memancing pula selembar kertas, ia lihat tetap di atasnya tertulis 8 huruf tadi, cuma ada satu huruf yang ikut tersobek.

Hati Nyo Ko memukul keras, be-runtun2 ia sambitkan bakcang itu dan belasan lembar kertas robekan itu kena dipancingnya, tapi apa yang tertulis di atasnya bolak-b"alik tetap 8 huruf itu2 juga, ia coba selami maksud apa yang terkandung dalam tulisan itu, tanpa terasa ia ter-mangu2 sendiri. Tiba2 didengarnya suara tindakan orang, gadis tadi telah masuk kamar lagi.

Lekas2 Nyo Ko selusupkan kertas2 itu ke dalam selimutnya. sementara si gadis kumpulkan sisa2 kertas robekan tadi dan dibakarnya keluar kamar.

"Kata2 "dikau" yang ditulisnya itu jangan2 maksudkan aku?" demikian diam2 Nyo Ko berpikir sendiri, "Tapi bercakap saja belum ada beberapa patah kata aku dengan dia, apanya yang menyenangkan dia akan diriku ini? Bila bukan maksudkan diriku, toh di sini tiada orang lain."

Sedang ia ter-menung2, gadis itu telah masuk kamar lagi, setelah berdiri sejenak di pinggir jendela, kemudian api lilin disirapnya. Sinar rembulan remang2 menyorot masuk melalui jendela.

"Cici," Nyo Ko memanggil pelahan.

Tapi gadis itu tak menjawabnya, sebaliknya ia berjalan keluar, Selang tak lama, terdengar di luar ada suara seruling yang ulem, sebuah lagu merdu gayup2 berkumandang.

Pernah Nyo Ko rnelihat gadis itu memakai seruIing sebagai senjata menempur Li Bok-chiu, ilmu silatnya tidaklah lemah, siapa duga seruling yang ditiupnya ternyata juga begini enak didengar.

Dulu waktu tinggal di kuburan kuno, di kala iseng ia sering mendengarkan Siao-liong-li mena-buh khim, (kecapi) dan pernah belajar juga beberapa waktu padanya, maka boleh dikatakan iapun sedikit paham seni suara.

Waktu ia mendengarkan terus dengan cermat, akhirnya dapat diketahuinya orang lagi melagukan suatu bagian dari isi kitab "Si-keng" yang terdiri dari lima bait yang memuji seorang laki2 cakap, laki2 ini dikatakan ramah tamah dan suci bersih bagai batu jade yang telah diukir dan halus bagai gading yang sudah dikerik.

Setelah mendengarkan lagi, tak tahan Nyo Ko getol juga oleh lagu itu, ia lihat di tepi ranjang sana ada sebuah kecapi tujuh senar terletak di atas meja, pe-lahan2 ia berduduk dan mengambil kecapi itu, ia menyetel senarnya lalu ditabuhnya mengiringi suara seruling si gadis.

Kecuali lima bait dalam "Si-keng" itu sebenarnya masih ada beberapa kalimat lanjutannya yang bilang laki2 sejati yang gagah berani itu sesungguhnya sukar dilupakan orang. Selagi ia hendak menyambung kalimat2 itu, mendadak suara seruling berhenti.

Nyo Ko tertegun, tapi lapat2 ia paham juga akan maksud orang: "Ah, maksudnya meniup seruling mula2 hanya untuk menghibur diri saja, sesudah diiringi suara kecapiku ia tahu perasaannya telah dapat dipecahkan olehku, Tapi karena terputusnya suara seruling yang mendadak ini apa bukan lebih menandakan akan maksud isi hatinya itu?"

Besok paginya, ketika gadis itu mengantarkan sarapan pagi, ia lihat Nyo Ko telah memakai kedok kulit, ia menjadi heran: "He, kenapa kaupun pakai barang ini?" tanyanya tertawa.

"Bukankah ini pemberianmu ?" sahut Nyo Ko. "Kau tak mau perlihatkan muka aslimu, biarlah akupun memakai topeng saja."

Tahulah si gadis bahwa orang sengaja hendak pancing dirinya membuka kedoknya, tapi bila ingat kalau kedoknya ditanggalkan, apa yang terpikir dalam hatinya dengan sendirinya akan tertampak di-wajahnya, hal ini berarti menambah banyak susah baginya, maka kemudian ia menjawab dingin: "Boleh juga bila kau ingin memakainya."

Habis berkata itu, ia letakkan barang sarapan terus keluar lagi, Sehari itu iapun tidak bicara lagi dengan Nyo Ko. Tentu saja pemuda ini rada tak enak, ia kuatir telah membikin marah padanya, hendak minta maaf pikirnya, tapi tidak pernah lagi gadis itu tinggal sejenak di dalam kamar.

Sampai malamnya, ketika gadis itu bebanah mangkok piring dan hendak keluar lagi, tiba2 Nyo Ko memanggilnya: "Cici, tiupan serulingmu itu sangat merdu, sukalah kau meniupnya satu lagu lagi?"

Gadis itu termenung sejurus. "Baiklah," katanya kemudian.

Lalu iapun pergi mengambil serulingnya, ia duduk didepan ranjang si Nyo Ko dan meniupnya pelahan, Lagu yang ditiupnya sekali ini adalah "Geng-sian-khek" atau menyambut tamu dewata lagunya ramah dan hangat seperti tuan rumah yang lagi menjamu tetamunya dengan gembira.

"Kiranya di waktu meniup seruling kaupun memakai kedok dan sama sekali tak ingin kelihatan perasaan hatimu," demikian Nyo Ko membatin.

Tapi sebelum habis selagu ditiup, ketika sinai bulan pe-lahan2 menyorot naik ke dinding, mendadak gadis itu letakkan serulingnya dan menjerit sambil berdiri, suaranya terdengar begitu kaget dan kuatir.



Melihat perubahan orang yang hebat dan aneh ini, seketika Nyo Ko ikut terkejut, waktu ia pandang menurut arah sinar mata orang, ia lihat di atas dinding terang kelihatan ada tiga buah cap tangan merah, Ketiga cap tangan ini sangat tinggi, harus melompat baru bisa mencapnya, karena warnanya merah berdarah, di bawah sorotan sinai bulan tampaknya menjadi tambah seram.

"Cici, permainan apakah dan perbuatan siapa kah itu?" tanya Nyo Ko tak mengerti akan maksud tiga cap tangan itu.

"Kau tak tahu?" menegas si gadis, "Jik-lian sian-cu !"

"Li Bok-chiu maksudmu?" tanya Nyo Ko. "Bilakah ia tinggalkan cap tangan ini?"

"Tentunya pada waktu kau tidur semalam," kata gadis itu. "Di sini memangnya ada tiga orang."

"Tiga orang?" Nyo Ko menegas dan tidak paham.

"Ya," kata si gadis, "la tinggalkan tiga cap tangan, maksudnya ialah memberi peringatan akan membunuh tiga orang penghuni rumah ini"

"Kecuali kau dan aku, siapakah gerangan orang ketiga itu?" tanya Nyo Ko.

"Aku," sambung suara seorang tiba2 dari luar.

Ketika pintu terpentang, dari luar masuk seorang gadis berbaju kuning muda, perawakannya langsing, raut mukanya potongan daun sirih, siapa lagi dia kalau bukan Liok Bu-siang yang jiwanya pernah beberapa kali ditolong oleh Nyo Ko.

"Haha, Tolol, sekali ini giliranmu terluka, ya?" demikian Bu-siang menyapa dengan tertawa.

"Bini..." mendadak Nyo Ko berhenti, sebenarnya ia hendak panggil orang "bini cilik", tapi baru setengah ucapan tiba2 teringat olehnya masih ada gadis berbaju hijau yang ramah itu berdiri disamping, maka iapun tak berani bergurau lagi.

"Piauci, begitu aku terima beritamu, segera juga aku datang ke sini," kata Bu-siang lagi, "He, Tolol, siapakah yang melukai kau?"

Belum Nyo Ko menjawab, tiba2 si gadis baju hijau menuding cap tangan di dinding itu.

Seketika Liok Bu-siang berseru kaget, air mukanya berubah hebat bagai melihat momok, pemandangan waktu kecil di kampung halamannya Ling-oh-tin di Ohciu, di mana Li Bok-chiu meninggalkan cap tangan dan membunuh seluruh isi keluarganya tak tertinggal sejiwapun, seketika terbayang olehnya.

Begitulah dalam berdukanya air matanya ber-kilau2 hendak menetes, mendadak ia ulur kedua tangannya dan sekaligus menarik kedua kedok dari muka Nyo Ko dan si gadis baju hijau sambil berkata: "Lekasan kita berdaya menghadapi iblis jahat ini, buat apa kalian berdua masih memakai barang tak genah ini."

Karena ditanggalkannya kedok, seketika mata Nyo Ko terbeliak, ia lihat gadis itu berkulit putih bersih bagai salju, parasnya bundar telur dan pipinya terdapat dekik kecil yang manis, meski tak secantik Siao-liong-li yang tiada taranya, tapi terhitung juga satu nona yang amat ayu.

Kiranya gadis ini memang Piauci atau kakak misan Liok Bu-siang, ialah Thia Eng, si gadis cilik pemetik ubi teratai yang kita kenal pada permulaan cerita ini.

Seperti diketahui dahulu ia tertawan Li Bok-chiu dan hampir teraniaya oleh tangan kejinya. Kebetulan Tho-hoa Tocu (pemilik pulau Tho-hoa) Ui Yok-su lewat disitu dan menolong jiwanya.

Sejak puterinya (Ui Yong) menikah, Ui Yok-su lantas mengembara ke mana saja, meski jiwanya sangat sederhana dan terbuka, tapi seorang tua hidup sebatangkara mau-tak-mau terasa kesepian juga.

Tatkala itu Thia Eng yang lemah tiada sandaran telah menimbulkan rasa kasihannya, ia sembuhkan racun luka Thia Eng dan karena gadis cilik ini pintar meladeninya melebihi Ui Yong, maka dari kasihan timbullah rasa sayang hingga akhirnya Ui Yok-su menerimanya sebagai murid secara resmi.

Meski kepintaran dan kecerdasan Thia Eng tidak menimpali Ui Yong, tapi ia bisa berlaku sangat hati2 dan giat belajar, maka berhasil juga dilatih nya tidak sedikit kepandaian kebanggaan Ui Yok su.

Tahun ini baru saja ia tamat belajar ilmu silat permulaannya, ia minta ijin sang guru dan kembali ke utara mencari Piaumoay, kebetulan di tengah jalan diketemukannya Nyo Ko dan Liok Bu-siang yang sedang di-uber2 Li Bok-chiu, lantas ia bantu memberi peringatan dan tengah malam menolongnya pula.

Habis pertempuran di restoran dan mendadak Nyo Ko tinggal pergi tanpa pamit, lalu Thia Eng membawa Liok Bu-siang ke tanah pegunungan sunyi ini dan mendirikan gubuk untuk merawat lukanya, Beberapa hari yang lalu setelah luka Liok Bu-siang sembuh sama sekali, gadis ini pesiar keluar dengan seorang kawannya, siapa tahu di tengah jajan dipergokinya Ui Yong lagi bertahan melawan Kim-lun Hoat-ong dengan memasang "Loan-ciok-tin"

Tentang ilmu pengetahuan yang aneh2 itu pernah juga Thia Eng belajar dari Ui Yok-su, meski tak banyak yang dipahaminya, tapi sedikit yang dipelajarinya itu secara kebetulan Nyo Ko dapat ditolongnya.

Kini tiga muda-mudi berkumpul ketika membicarakan Li Bok-chiu barulah mereka tahu di waktu kecilnya pernah bertemu di 0hciu. Sebelah mata Li Bok-chiu buta justru karena dipatuk burung merahnya Nyo Ko.

Tatkala itu Li Bok-chiu kena diatasi Ui Yok-su hingga pernah ditempeleng empat kali oleh Thia Eng. Paling akhir ini Liok Bu-siang telah menggondol lari kitab pusakanya: "Panca-bisa", tentu saja gadis ini lebih2 ingin dibekuknya.

Kalau dibicarakan, maka ketiga muda-mudi ini semua adalah musuh besar Jik-lian-sian-cu, kini mendadak ia datang lagi, ia tak mau binasakan Nyo Ko secara diam2 selagi orang terluka, tetapi malah tinggalkan tanda peringatan tiga cap tangan, suatu tanda ia sudah yakin tiga sasarannya ini tidak nanti bisa loIos.

Nyo Ko sendiri terluka dan tak bisa berkutik, kalau melulu andalkan Thia Eng dan Liok Bu-siang sesungguhnya susah melawannya, setelah ketiga orang berunding, merekapun merasa tak berdaya.

"Aku masih ingat tempo dulu iblis ini mendatangi rumah Piaumoay waktu hari hampir terang tanah," demikian kata Thia Eng, "kini kalau dia datang juga sebelum fajar tiba, sementara ini kita masih ada waktu beberapa jam, kuda tunggangan Nyo-heng sangat bagus, biarlah sekarang juga kita lari, belum tentu iblis itu bisa menyandak kita."

"Ya, bagaimana Tolol, kau terluka, sanggup naik kuda tidak?" tanya Bu-siang.

"Terpaksa harus dicoba juga," sahut Nyo Ko. "Daripada mati konyol di tangan iblis ini."

"Piauci", kata Bu-siang pula, "kau kawani si Tolol lari ke barat, aku nanti pancing dia kejar ke timur."

"Tidak, kau saja yang temani Nyo-heng," sahut Thia Eng rada jengah, "Diantara kita bertiga permusuhanku dengan dia paling ringan, sekalipun aku tertangkap belum pasti dia membunuh aku, sebaliknya bila kau yang terpegang, dapat dipastikan kau bakal celaka,"

"Tujuan kedatangannya ini adalah diriku, kalau ia dapatkan aku bersama dengan si Tolol ini, bukankah akan bikin susah dia?" ujar Bu-siang.

Terharu sekali Nyo Ko mendengar pembicaraan mereka, ia pikir kedua nona ini ternyata berbudi luhur semua, dalam keadaan berbahaya dengan sukarela bersedia menolong jiwanya, kalau aku sampai ketangkap dan tewas oleh iblis itu, hidupku ini rasanya pun tidak sia-sia.

"He, Tolol, coba katakan, kau suka lari diiringi Piauci atau dikawani aku?" tiba2 didengar-Bu-siang bertanya.

Belum Nyo Ko menjawab, Thia Eng telah menyela: "Kenapa kau terus memanggilnya Tolol, apa kau tak takut Nyo-heng menjadi marah?"

Bu-siang melelet lidah jenaka, lalu dengan tertawa ia bilang: "Coba begitu ramah kau terhadapnya, tentu saja engkoh Tolol ini pilih diiring kau." Dari sebutan "Tolol" sekarang ia ganti dengan memanggil engkoh Tolol, hal ini boleh dikatakan Bu-siang telah menaikkan harga si Nyo Ko.

Keruan saja Thia Eng merah jengah, "Eh, bukankah orang juga panggil kau/bini cilik? Dan sebagai bini cilik tak mengurusnya, lalu kiramu siapa yang akan urus dia?" demikian batasnya menggoda

Dengan begitu giliran Liok Bu-siang kini yang merah jengah, ia ulur tangan lantas akan meng-kili2 Thia Eng dan terjadilah udak2an. Suasana dalam kamar seketika menjadi berubah, mereka bertiga tidak ketakutan lagi seperti mula2 tadi.

"Kalau nona Thia yang iringi aku lari, tentu bini cilik berbahaya jiwanya, sebaliknya bila bini cilik yang kawani aku, nona Thia juga amat ber-bahaya," demikian Nyo Ko berpikir. Karena itu, begini baik padaku, sungguh aku berterima kasih sekali. Maka kupikir paling baik kalian berdua lekas menyingkir dari sini, biar aku tinggal sendiri melayani iblis itu. Guruku dan dia adalah saudara seperguruan, rasanya ia akan ingat pada hubungan perguruan, pula ia takut pada guruku, agaknya tidak sampai berbuat apa2 padaku"



"Tidak, tidak," sela Bu-siang sebelum Nyo Ko selesai.

Nyo Ko menduga kedua nona itu tidak nanti mau melarikan diri meninggalkan dirinya, maka dengan suara lantang ia bilang lagi: "Kalau begitu biarlah kita bertiga menempuh jalan bersama, kalau benar2 terkejar oleh iblis itu, kita bertiga lawan saja mati2an, hidup atau mati biarlah terserah takdir."

"Baiklah, begini paling baik," sahut Bu-siang setuju.

"Datang dan perginya iblis itu sangat cepat, kalau kita berjalan bersama pasti akan disusul olehnya", ujar Thia Eng sesudah merenung sejenak "Daripada bergebrak dengan dia di tengah jalan, adalah lebih baik di sini saja kita tunggu dia?"

"Ya, betul," kata Nyo Ko. "Cici mahir ilmu pengetahuan yang aneh2 sampai Kim-lun Hoat-ong juga kena kau kurung, tentu Jik-lian-sian-cu juga belum bisa membobolnya."

Karena kata2 Nyo Ko ini, pada ketiga orang ini lantas timbul sinar harapan.

"Barisan batu2 itu adalah Kwe-hujin yang reka, aku hanya ikut merubahnya saja, kalau aku sendiri harus memasangnya, inilah belum cukup kepandaianku. Tapi biarlah, kita usahakan sebisanya menurut nasib," demikian kata Thia Eng, "Piaumoay, marilah kau membantu aku."

Lalu kedua saudara misan itu membawa alat2 cangkul dan sekop keluar rumah, mereka menggali tanah dan menumpuk batu. Setelah sibuk lebih satu jam, sajup2 terdengar ayam berkokok di kejauhan, sementara itu Thia Eng sudah mandi keringat karena kerja keras itu.

Waktu dipandangnya gundukan tanah yang dia tumpuk dan atur itu, kalau dibanding barisan batu yang dipasang Ui Yong, sesungguhnya daya-gunanya masih selisih jauh, diam2 Thia Eng bersedih, "Kepintaran Kwe-hujin sungguh beratus kali lebih tinggi dariku. Ai, dengan gundukan tanah yang kasar jelek ini rasanya sulit hendak merintangi Jik-lian-sian-cu itu", demikian ia mengeluh. Tapi karena kuatir Piaumoay dan Nyo Ko ikut ber-sedih, maka pikirannya ini tak diutarakannya.

Setelah sibuk "kerja-bakti", di bawah sinar bulan remang2 Bu-siang melihat wajah sang Piauci agak berlainan, ia tahu pasti orang tak yakin bisa menahan musuh. Tiba2 ia keluarkan sejilid kitab-dari bajunya, ia masuk rumah dan diangsurkan pada Nyo Ko.

"ToloI, inilah kitab "panca-bisa" guruku itu," katanya.

Melihat kulit kitab itu merah bagai darah. Nyo Ko rada terkesiap.

"Aku telah membohongi Suhu bahwa kitab itu telah direbut Kay-pang, maka kuatir bila sebentar lagi aku tertangkap olehnya bisa digeledahnya," kata Bu-siang. "Maka bolehlah kau membacanya sekali, setelah kau apalkan lalu bakar saja sekalian."

Biasanya kalau bicara dengan Nyo Ko selamanya Bu-siang suka olok2 dan main bengis, tapi disaat jiwa terancam, ia tidak sempat berkelakar Iagi.

Melihat sikap si gadis muram durja, Nyo Ko mengangguk dan terima kitab itu.

Lalu Bu-siang keluarkan lagi sepotong sapu tangan sulaman, dengan suara lirih ia bilang lagi: "Jika tak beruntung kaupun jatuh di tangan iblis itu dan dia hendak celakai jiwamu, hendaklah kau lantas unjukkan sapu tangan ini padanya."

Nyo Ko lihat sapu tangan itu yang sebelah jelas kelihatan bekas sobek, bunga merah sulam juga tersobek separoh, ia tak tahu maksud Bu-siang, maka ia bingung tak menerima. "Apakah ini?" tanyanya.

"Aku minta kau sampaikan ini padanya, maukah kau?" sahut Bu-siang.

Nyo Ko angguk2, lalu terima dan ditaroh samping bantalnya.

Tapi tiba2 Bu-siang mendekatinya dan ambil saputangan itu terus dimasukkan ke baju Nyo Ko, mendadak diciumnya bau khas orang laki2 teringat olehnya pengalaman tempo hari pernah bajunya dilepas pemuda ini dan menyambung tulangnya, malahan pernah tidur bersama seranjang, terguncanglah hatinya, ia pandang Nyo Ko sekejap, lalu keluar kamar.

Melihat kerlingan mata si gadis sebelum pergi ini penuh arti, hati Nyo Ko ikut terguncang keras.

Selang tak lama barulah ia membalik halaman2 kitab "panca-bisa", ia lihat kitab itu sudah berubah kuning saking tuanya, apa yang tertulis ialah sebangsa pelajaran cara2 menangkap makluk berbisa,merendam senjata rahasia dengan racun serta cara-cara pengobatannya.

Dari awal sampai akhir Nyo Ko baca kitab "Panca-bisa" itu sampai beberapa kali dan mengingatnya baik2. ibunya tewas karena pagutan ular berbisa, peristiwa ini meninggalkan luka yang dalam di hati sanuharinya, maka demi dilihatnya kitab itu tercatat begitu banyak dan jelas tentang cara2 membuat racun serta cara mengobatinya, tanpa terasa ia berpikir:

"Ah, jika dulu2 aku paham begini banyak cara menyembuhkan racun yang bagus ini, tentulah aku dapat menolong jiwa ibuku, Dan ia pasti akan kasih-saysng padaku dan tidak sampai ter-lunta2 menjadi yatim-piatu seperti sekarang ini." Teringat akan itu, tak tahan lagi air matanya me-netes2 ke atas kitab itu.

Tiba2 didengarnya suara pintu didorong, ketika ia memandang, ia lihat Thia Eng dengan kedua pipi merah jengah lagi mendekati pembaringan-nya, pada jidat gadis ini masih penuh butir2 keringat

"Nyo-heng, aku telah pasang barisan gundukan tanah di luar pintu, tapi paling banyak hanya sekadar merintangi saja, untuk menahan iblis terkutuk itu terang sukar," demikian kata Thia Eng perlahan sambil keluarkan sepotong saputangan sutra dari bajunya dan diangsurkan pada Nyo Ko, "Maka bila sampai iblis itu menerjang masuk, serahkanlah saputangan ini padanya."

Nyo Ko lihat saputangan ini hanya separuh juga, kainnya dan kembangnya serupa dengan potongan saputangan yang diterimanya dari Bu-siang tadi, ia menjadi heran sekali. Waktu ia angkat kepala, tiiba2 sinar matanya kebentrok dengan sinar mata -si gadis, di bawah sorot lampu dilihatnya airmata mengaca di kelopak matanya dengan wajah malu2 girang, selagi Nyo Ko hendak tanya, tiba2 muka Thia Eng merah dan berkata pula lirih:

"Se-kali2 jangan diketahui Piaumoayku." Habis ini iapun jalan keluar.

Nyo Ko keluarkan setengah saputangan yang diterimanya dari Liok Bu-siang tadi dan digabung menjadi satu, nyata kedua belah saputangan itu persis berwujud selembar, cuma saputangan itu sudah terlalu tua sutera putih sudah berubah kuning, hanya bunga merah sulaman itu kelihatan masih segar.

Nyo Ko tahu saputangan ini pasti mengandung arti yang dalam, cuma kedua gadis itu mengapa masing2 menyerahkannya separoh? Dan kenapa ingin serahkan pada Li Bok-chiu dan mengapa tidak diketahui masing2 pihak? Sedang diwaktu memberikan saputangan wajah kedua gadis itu mengunjuk rasa malu2!

Nyata karena hati Nyo Ko sudah tertambat atas diri Siao-liong-li, terhadap Liok Bu-siang dan Thia Eng hanya anggap sebagai sahabat baik saja, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa kedua gadis itu sebenarnya sangat mendalam mencintai-nya, sudah terang saputangan itu akan merindukan Li Bok-chiu pada kisah asmaranya dulu dan akan mengampuni jiwa mereka, tapi mereka justru memberikan itu padanya.

Begitulah Nyo Ko ter-mangu2 duduk di atas ranjangnya, tiba2 didengarnya suara ayam berkokok lagi di kejauhan, menyusul mana terdengar juga suara suling yang merdu, kiranya Thia Eng telah meniup serulingnya, agaknya sesudah atur barisan gundukan tanah dan merasa lega, maka ditiupnya sebuah lagu "liu-po", suara sulingnya halus tenang tak berduka, suatu tanda orang lagi merasa senang tanpa kuatir sesuatu.

Setelah dengar sejurus, tiba2 Nyo Ko ambil kecapi dan mengiringi seruling orang, suara kecapi itu nyaring hingga merupakan paduan suara yang sangat serasi dengan suara seruling.

Bu-siang duduk di belakang gundukan tanah, ia terpesona mendengarkan sang Piauci meniup seruling mengiringi suara kecapi Nyo Ko, sementara itu ufuk timur sudah remang2, fajar telah mendatang, tak tahan lagi ia berpikir:

"Ah, sekejap lagi Suhu bakal datang, jiwaku tak nanti bisa tertolong dalam sejam ini. Harap saja Suhu melihat sapu-tangan itu dan mengampuni jiwa Piauci dan dia, mereka berdua..."

Sebenarnya watak Bu-siang nakal dan licin, biasanya Thia Eng suka mengalah padanya sejak kecil. Tapi dalam keadaan bahaya sekarang, dalam hati Bu-siang justru berharap Nyo Ko bisa selamat, cintanya ternyata sudah mendalam dan diam2 berdo'a agar pemuda itu terhindar dari malapetaka.

Selagi ter-mangu2, ketika mendadak ia angkat kepalanya, tiba2 dilihatnya di luar gundukan tanah sana sudah berdiri seorang To-koh (imam wanita) berjubah putih, tangan kanan membawa kebut, siapa lagi kalau bukan Suhunya, Li Bok-chiu.

Bu-siang berseru tertahan, cepat ia lolos pedang dan berdiri, sementara itu Nyo Ko lagi tabuh khim dan sampai pada saat yang tegang, Thia Eng juga lagi asyik meniup serulingnya, perhatian mereka penuh dicurahkan pada alat musik mereka meski Bu-siang menjerit tertahan, namun ternyata tak digubrisnya.



Tapi aneh juga, Li Bok-chiu hanya berdiri tegak tak bergerak, ia malah pasang kuping mendengarkan dengan cermat.

Kiranya suara paduan khim dan siau (seruling) itu mengingatkannya pada masa mudanya waktu sama2 main musik dengan kekasihnya, Liok Tian-goan, malahan lagu "liu-po" yang dibawakan orang sekarang ini adalah lagu yang sering dibawa-kannya dahulu.

Kejadian itu sudah lalu berpuluh tahun, tapi kenangan itu sukar dilupakan, maka diam2 ia berdiri di luar sana mendengarkan suara kecapi dan seruling yang sahut menyahut dengan mesranya, tiba2 ia berduka, se-konyong2 ia menangis ter-gerung2 keras.

Tangisannya yang amat sedihnya ini membikin Liok Bu-siang tak mengerti, biasanya gurunya terkenal kejam, mana pernah mengunjuk hati lemah? Kini terang2an ia datang hendak membunuh orang, kenapa malah menangis di luar pintu? Dan bila didengarnya tangisan Li Bok-chiu begitu sedih memilukan, tak tahan iapun menangis.

Dan karena menangisnya Li Bok-chiu itu, segera Nyo Ko dan Thia Eng mengetahuinya juga, suara khim dan siau mereka rada terpengaruh hingga sedikit kacau iramanya.

Tergerak pikiran Li Bok-chiu, mendadak dari menangis ia berubah menyanyi keras dengan suaranya yang memilukan.

Sebenarnya suara khim dan siau tadi penuh membawa perasaan gembira, tapi karena nyanyian Li Bok-chiu yang bukan saja syairnya sangat sedih, nadanya pun amat memilukan, bahkan iramanya berlainan sama sekali dengan lagu Nyo Ko berdua, baru saja Li Bok-chiu mulai menyanyi, suara seruling Thia Eng segera hampir2 mengikuti iramanya.

Keruan Nyo Ko terkejut, lekas2 ia tambahi suara kecapinya lebih keras dan menarik kembali suara seruling Thia Eng.

Makin lama suara nyanyian Li Bok-chiu makin kecil, tapi makin kecil makin melengking tinggi juga nadanya, Rada kacau Nyo Ko terpengaruh oleh suara tangisnya, satu saat iapun tertarik menuruti irama orang tanpa sadar, Thia Eng memangnya lebih cetek lagi keuletannya, lebih2 ia tak bisa menguasai diri.

Diam2 Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir tanpa turun tangan, cukup dengan suara nyanyianku saja sudah bisa bikin kalian hilang semangat dan menyerah. Siapa tahu sedikit ia bergirang, suara nyanyiannya segerapun timbul reaksi dan ikut menunjuk rasa girang juga.

Kesempatan ini digunakan Nyo Ko dengan baik untuk membelok kembali iramanya, menyusul Thia Eng pun bisa menguasai diri kembali ke lagu mereka tadi.

Melihat usahanya gagal, tidak kepalang gusarnya Li Bok-chiu, suara nyanyiannya bertambah tinggi dan beberapa kalimat lanjutannya dinyatakan secara lebih pilu tapi bengis mengadung rasa marah, tapi Nyo Ko dapat melawannya dengan kuat.

Di antara empat orang ilmu silat Liok Bu siang adalah paling rendah, mula2 ia heran mengapa gurunya mendadak menarik suara dan menyanyi, baru kemudian ia paham bahwa hakikatnya kedua pihak sedang saling gebrak, cuma bukan gebrak dengan kaki tangan, melainkan adu pengaruh batin, termasuk Lwekang. ia lihat paduan suara musik Nyo Ko dan Thia Eng masih tak sanggup menahan gempuran suara nyanyi gurunya, ia tahu gurunya tak berani sembarang menyerbu masuk karena dirintangi barisan gundukan tanah di luar rumah itu, maka dengan suara nyanyian hendak bikin kacau dulu semangat mereka bertiga, habis itu tanpa banyak buang tenaga barisan gundukan tanah akan dibobolnya.

Sejenak kemudian didengarnya suara kecapi dan seruling mulai kisruh, ia tahu Nyo Ko dan Thia Eng sudah repot melawan musuh, cuma sayang ia tak berdaya buat membantunya, tiada jalan lain kecuali berkuatir saja diam-diam.

Suatu saat, tiba-tiba Li Bok-chiu meninggikan iramanya hingga lebih sedih dan seram kedengarannya, Sukar Nyo Ko dan Thia Eng hendak melawannya, ketika nada suara kecapi makin lama makin tinggi juga, akhirnya terdengarlah suara "creng", senar pertama kecapi itu telah putus.

Thia Eng terkejut, suara serulingnya rada kacau, kembali senar kedua kecapi Nyo Ko putus pula. Ketika Li Bok-chiu tarik suaranya lebih tinggi segera senar ketiga lagi2 gugur.

Dengan demikian suara seruling Thia Eng tak bisa lagi berpaduan dengan suara kecapi yang telah pincang itu.

Tadi waktu Li Bok-chiu mendatangi rumah gubuk itu, dari jauh sudah dilihatnya barisan gundukan tanah yang kelihatan tertumpuk serabutan itu, tapi di dalamnya sebenarnya penuh perubahan2 menurut lukisan Pat-kwa, cuma belum sempurna.

Sebenarnya pada waktu senar kecapi Nyo Ko putus dan suaranya rada kacau, segera ia bisa menyerbu rnasuk, tapi ia masih jeri terhadap barisan gundukan tanah itu.

Tiba2 tergerak pikirannya, cepat ia memutar ke sebelah kiri itu, dibarengi suara nyanyianrya yang bernada tinggi, ia melompati segundukan tanah terus membobol dinding rumah dan menyerbu ke dalam.

Kiranya barisan gundukan tanah yang dipasang Thia Eng itu melulu mengutamakan menjaga pintu depan dan tidak memikirkan bahwa dinding rumah reyot yang kurang kokoh.

Kini Li Bok-chiu secara cerdik hindarkan pintu depan dan main pintu belakang, ketika kedua telapak tangannva memukul keras, dinding gubuk itu kena dirobohkannya dan diterjang masuk.

Terkejut sekali Liok Bu-siang dan Thia Eng, ke-dua2nya berlari masuk ke dalam dengan pedang siap di tangan.

Melihat Li Bok-chiu masuk dengan membobol dinding Nyo Ko pun terkejut. Tapi bila ingat ia sendiri terluka dan tak mampu melawan, segera ia menjadi nekad, mati hidup tak dipikirnya lagi, ia ganti nada kecapinya dan tukar sebuah lagu "tho-yao" yang menyanyikan pasangan muda-mudi pada hari penganten baru dengan penuh rasa bahagia.

Melihat si Nyo Ko begitu tenang, musuh di depan mata masih unjuk senyuman, diam2 Li Bok-chiu kagum akan nyali orang, tapi demi mendengat suara kecapinya yang mesra menarik itu, tak tahan harinya terguncang.

"Mana kitabnya? sebenarnya direbut orang Kay-pang atau tidak?" tanya Li Bok-chiu tiba2 pada Liok Bu-siang.

Bu-siang tak menjawab. sebaliknya Nyo Ko gunakan tangan kiri buat memetik kecapi dan tangan kanan melemparkan kitab "panca-bisa" itu kepadanya.

"Ui-pangcu dari Kay-pang adalah seorang berbudi luhur dan punya harga diri, mana ia sudi melihat kitabmu yang kotor ini? Malah dia telah memberi perintah pada anak murid Kay-pang agar tidak membalik barang sehalaman bukumu ini," demikian kata Nyo Ko.

Melihat kitab pusakanya masih baik2 tak kurang suatu apapun, girang sekali Li Bok-chiu, iapun kenal kelakuan orang Kay-pang yang biasanya sangat terpuji, peraturan merekapun sangat keras, mungkin juga belum pernah ada yang membuka kitabnya dan membacanya, Karena girangnya itu pengaruh suara sedihnya tadi lantas berkurang beberapa bagian.

Kemudian Nyo Ko keluarkan lagi dua potong belahan saputangan bersulam dan dibentang di atas meja, "Saputangan inipun kau ambil saja sekalian." katanya pula.

Air muka Li Bok-chiu berubah hebat melihat saputangan itu, begitu kebutnya menyamber, kedua potong saputangan itu sudah terbelit dan sampai di tangannya, ia terkesima memandangi saputangan itu, seketika perasaannya timbul tenggelam bagai ombak mendampar.

Di lain pihak Thia Eng dan Liok Bu-siang telah saling pandang sekejap, paras merekapun merah jengah, sungguh tak terduga masing2 telah memberikan saputangan sendiri2 pada Nyo Ko, sedang pemuda ini justru unjukkan saputangan itu di hadapan mereka.

Kedua saudara misan ini siulan sama tahu masing2 jatuh hati pada Nyo Ko, tapi sifat anak gadis dengan sendirinya sukar diucapkannya terus terang.

Mendadak Li Bok-chiu merobek kedua potong saputangan itu menjadi empat potong, "Kejadian sudah lalu buat apa disesalkan pula?" katanya tiba-tiba.

Dan ketika tangannya menyobek lagi terus-dilempar ke udara, tahu2 sobekan saputangan tadi berhamburan bagai bunga rontok.

Nyo Ko terkejut, "creng", kembali terdengar suara nyaring, seutas senar kecapi yang lain kembali putus.

"Kalau kini kubunuh kau, gampang bagai membalik tanganku sendiri," bentak Li Bok-chiu.

"Tapi kau terluka, bila kubunuh kau mungkin kan pun tidak rela, Cis, putus lagi seutas !"

Betul saja senar kecapi kelima kembali putus menyusul suara ejekannya itu.

Kini kecapi yang tadinya bersenar tujuh itu tinggal dua senar saja, betapa pandai Nyo Ko memainkan kecapi sukar lagi membentuk irama pula.

"Hayo lekas petik beberapa suara sedih saja biar kalian menangis, dunia fana ini selalu membikin orang menderita, apa senangnya orang hidup?" demikian tiba2 Li Bok-chiu membentak.



Tapi watak si Nyo Ko sangat bandel, ia justru pelik kedua senar kecapinya keras2 dan tetap dengan nada nyanyian gembira kemanten baru tadi.

"Baik, biar aku bunuh seorang dulu, coba kau bakal sedih dan pilu tidak?" kata Bok-chiu pula. Karena kata2nya ini, kembali seutas senar kecapi gugur lagi.

Habis itu Bok-chiu angkat kebutnya terus hendak disabetkan ke kepala Liok Bu-siang, namun Thia Eng segera angkat pedang siap adu jiwa dengan musuh.

Insaf tak bisa menghindarkan ancaman musuh lagi, tiba2 Nyo Ko malah tertawa, "Hari ini kami bertiga bisa mati bersama di suatu tempat dan saat yang sama senang dan bahagia, sungguh jauh lebih enak daripada kau hidup sebatangkara di dunia ini dengan hati kosong," demikian ia ejek musuh.

"Hayo, Eng-moay, Siang-moay, marilah kalian ke sini!"

Segera Thia Eng dan Bu-siang mendekati Nyo Ko sebuah tangan pemuda ini memegang Thia Eng dan tangan lain pegang Bu-siang, lalu dengan tertawa ia berkata:

"Biarlah kita mati bersama, di tengah jalan menuju alam baka kita masih dapat bicara sambil bergurau, bukankah jauh lebih baik daripada perempuan jahat dan keji ini?"

"Ya, ya, Tolol, sedikitpun tak salah katamu," sahut Bu-siang tertawa, karena itu Thia Eng ikut tersenyum hangat.

Karena tangan kedua saudara misan ini dipegang Nyo Ko, seketika keberanian merekapun bertambah lipat ganda, perasaan mereka amat senangnya.

"Apa yang dikatakan bocah ini tidak salah juga, kalau mereka mati secara demikian, betul juga jauh lebih enak daripada hidupku," diam2 Bok-chiu membatin dengan wajah sedingin es. Tapi hatinya yang kejam itu segera berpikir lagi: "Ah, mana boleh begitu enak bagi mereka? Aku justru ingin membikin kalian mati dengan menderita lebih dulu."

Habis ini ia geraki kebutnya pelahan terus mulai menyanyi lagi, lagunya masih tetap seperti tadi, cuma nadanya bertambah sedih bagai keluhan janda terbuang, seperti tangisan setan gentayangan di malam sunyi.

Tangan Nyo Ko bertiga masih saling genggam hangat, setelah mendengarkan tak lama, tiba2 timbul rasa pilu mereka yang tak tertahankan lwekang Nyo Ko lebih tinggi ia coba kumpulkan semangat agar tak terpengaruh dengan pertahankan senyumannya.

Hati Bu-siang juga lebih keras dan tidak gampang terguncang, tapi Thia Eng agaknya tak tahan, air matanya meleleh.

Suara nyanyian Li Bok-chiu makin lama makin rendah, sampai akhirnya menjadi begitu lirih seperti terputus, lalu menyambung lagi Kelopak mata Nyo Ko mulai merah, hidungnya mulai basah ingusan.

Jik-lian-sian-cu sedang menunggu, asal ketiga orang mengalirkan air mata berbareng, begitu kebutnya menyabet, segera mereka akan dibinasakannya.

Tapi pada saat nyanyiannya bertambah sedih luar biasa itu, mendadak didengarnya di luar rumah ada orang datang dengan bergelak tertawa, sambil bertepuk tangan dan bendendang.

Suara nyanyian itu suara kaum wanita, kedengaran usia yang menyanyi pasti tidak muda lagi, tapi lagu yang dibawakannya justeru lagu kanak-kanak yang riang gembira, karena itu nada suara Li Bok-chiu yang sedih itu menjadi kacau balau.

Suara nyanyian itu makin mendekat, sejenak kemudian masuklah seorang perempuan setengah umur dengan rambut semrawut, kedua matanya besar bulat dan tertawa ketolol-tololan, sebelah tangannya membawa sebatang garpu besar yang biasa dipakai tukang api.

Li Bok-chiu terkejut heran perempuan itu dapat masuk ke rumah ini dengan mengitari barisan gundukan tanah yang diatur oleh Thia Eng itu, jika perempuan sinting ini bukan sekomplotan dengan Thia Eng bertiga, tentu dia mahir ilmu perhitungan bintang yang mujizat itu.

Lantaran pikirnya terganggu oleh pikiran lain, seketika pengaruh nyanyiannya yang bernada sedih itupun surut, tidak selihay tadi.

Thia Eng sangat girang melihat datangnya perempuan setengah umur itu, segera ia berseru: "Suci, orang ini hendak mencelakai diriku, lekas engkau membantu adikmu ini."

Kiranya perempuan ini, adalah murid Ui Yok-su, namanya Sah Koh (si nona tolol). ia tidak menjawab seruan Thia Eng itu, tapi melanjutkan bernyanyi sambil tertawa. Lagunya tetap lagu kanak2 yang bersuka ria sehingga tidak terpengaruh oleh nada nyanyian Li Bok-chiu yang sangat sedih itu.

Lama-lama Li Bok-chiu menjadi murka, ia pikir perempuan sinting ini harus dibereskan lebih dulu, Maka sebelum berhenti suara nyanyiannya, serentak kebutnya menyabet ke arah kepala Sah Koh.

Sungguh aneh, sama sekali Sah Koh tidak ambil pusing akan serangan Li Bok-chiu itu, sebaliknya ia angkat garpunya terus menusuk ke dada lawan.

Melihat serangan lawan sangat kuat, kembali Li Bok-chiu terkejut ia tidak paham mengapa perempuan sinting ini memiliki kekuatan sedemikian hebat. Cepat ia menggeser ke samping, menyusul kebutnya menyabet pula ke leher orang.

Tapi Sah Koh tetap tidak pedulikan serangan musuh, kembali garpunya menusuk lurus ke depan, Waktu Li Bok-chiu memutar kebutnya untuk membelit ujung garpu, namun Sah Koh anggap tidak tahu saja, ujung garpu tetap menusuk ke depan.

Kiranya Sah Koh ini aslinya adalah anak murid Ui Yok-su yang bernama Ki Leng-hong.

Watak Ui Yok-su terkenal aneh, eksentrik, Leng-hong telah menjadi korban wataknya yang luar biasa itu, Karena menyesal Ui Yok-su telah pungut anak perempuan Ki Leng-hong, yaitu Sah Koh dan berjanji pada diri sendiri akan mendidik Sah Koh dengan segenap kepandaian yang dimilikinya. Cuma sayang, lantaran syaraf nya terganggu ketika menyaksikan ayahnya tewas, maka otaknya menjadi miring, terbatas oleh bakatnya ini maka sia-sia saja jerih payah Ui Yok-su yang berusaha menurunkan segenap kepandaiannya kepada nona itu, walaupun begitu, selama belasan tahun ini dapat pula dilatihnya suatu permainan ciang-hoat (pukulan dengan telapak tangan) dan permainan Jeh-hoat (permainan garpu).

Apa yang disebut suatu permainan sebenarnya cuma terdiri dari tiga jurus saja setiap macamnya, soalnya Ui Yok-su memaklumi bakat Sah Koh yang kurang itu, kalau diajari perubahan yang aneh dan rumit tentu malah tak dapat diingatnya, Maka ia sengaja menciptakan tiga jurus ilmu pukulan dan tiga jurus serangan garpu, keenam jurus ini sangat berbahaya, tiada sesuatu perubahan sampingan dan tiada gerakan yang aneh, begitu2 melulu, letak kelihaiannya hanya soal keteguhan pikiran dan kemantapan hati saja, latih terus keenam jurus itu sekuatnya, lain tidak.

Karena itulah keenam jurus Sah Koh itu tak dapat dipandang enteng, malah ketika ujung kebut Li Bok-chiu melilit ujung garpu si Sah Koh, ternyata lawan tak ambil pusing, garpunya juga tidak berhenti, tapi tetap lurus menusuk ke depan, sekejap saja ujung garpu sudah sampai di depan dadanya.

Syukur Li Bok-chiu memang seorang tokoh maha sakti, pada detik garpu musuh sudah hampir melubangi buah dadanya itulah, mendadak ia berjumpalitan ke belakang, dengan demikian terhindarlah dia dari renggutan maut, walaupun begitu keringat dinginpun telah membasahi tubuhnya.

Setelah berjumpalitan ke belakang, malahan ia tidak berhenti, segera ia melompat maju, kebutnya menyabet pula dari atas. Tapi lagi-lagi Sah Koh tidak pedulikan serangan lawan, kembali garpunya menusuk lurus ke depan. Karena sekali ini Li Bok-chiu sedang melompat, maka garpu itu jadinya mengarah ke perutnya.

Melihat ancaman bahaya itu, terpaksa Li Bok-chiu tarik kebutnya untuk menangkis garpu orang, berbareng itu melompat ke samping. ia pandang Sah Koh dengan tidak habis mengerti apa sebabnya setiap tusukan garpu lawan yang sederhana itu seketika dapat mematahkan sabetan kebutnya yang beraneka ragam perubahannya, padahal selama ini tokoh silat manapun tidak berani meremehkan serangan kebutnya itu. jelas perempuan sinting ini memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur, jaIan paling selamat rasanya tiada pilihan Iain kecuali angkat langkah seribu saja.

Tapi baru saja Li Bok-chiu hendak kabur melalui lubang dinding yang dibobolnya tadi, tiba2 terlihat di tepi bobolan dinding itu sudah berduduk seorang berjubah hijau dan berjenggot panjang siapa lagi dia kalau bukan Tho-hoa-tocu Ui Yok su adanya.

Ui Yok-su berduduk menghadap sebuah bangku pendek, di atas bangku terletak kecapi Nyo Ko tadi, Padahal Li Bok-chiu maha cerdik, biarpun sedang bertempur juga panca inderanya selalu waspada terhadap segala gerak-gerik di sekitarnya, Tapi kini Ui Yok-su masuk rumah, mengambil kecapi dan berduduk di situ di luar tahunya sama sekali, bilamana Ui Yok-su mau menyergapnya, maka jiwanya tentu sudah melayang sejak tadi.

Sembari bertempur melawan Sah Koh tadi, kuatir kalau Thia Eng bertiga ikut mengerubutnya, maka Li Bok chiu tidak pernah menghentikan nyanyinya untuk mengganggu pemusatan pikiran Thia Eng bertiga.

Kini mendadak nampak Ui Yok-su berduduk di situ sambil memetik kecapi, saking kagetnya seketika iapun lupa menyanyi lagi.



Mendadak Ui Yok-su memetik senar kecapi hingga menimbulkan suara "creng" yang nyaring, lalu dia mulai bemyanyi, yang dibawakan ternyata adalah lagu yang dinyanyikan Li Bok-chiu tadi, padahal senar kecapi itu tinggal satu saja, tapi Ui Yok-su adalah seorang mahaguru ilmu silat, dari sebuah senar itu dapatlah dipetiknya menjadi berbagai irama yg diinginkannya, malahan nada duka suara kecapinya ini jauh, melebihi suara nyanyian Li Bok-chiu tadi.

Karena lagu ini sudah apal bagi Li Bok-chiu, sekali nadanya dikerahkan, seketika reaksi yang timbul dalam perasaannya menjadi berlipat ganda terlebih hebat daripada Nyo Ko bertiga.

Ui Yok-su tahu kejahatan yang diperbuat Li Bok-chiu, kesempatan ini akan digunakan untuk menumpasnya. Asalkan lagu yang dipetiknya itu selesai, andaikan tidak mampus juga Li Bok-chiu akan menjadi gila.

Di luar dugaan, ketika mendadak si Sah Koh melihat Nyo Ko, di bawah cahaya lilin yang remang, ia lihat wajah Nyo Ko mirip benar dengan mendiang ayah Nyo Ko, yaitu Nyo Khong.

Biasanya Sah Koh sangat takut pada setan iblis, dahulu ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika Nyo Khong mati keracunan, apa yang dilihatnya itu sukar terlupakan baginya, Kini dilihatnya Nyo Ko duduk termangu di sana, disangkanya arwah Nyo Khong hendak menggodanya, keruan ia kaget dan ketakutan, ia tuding Nyo Ko dan berseru: "He, kau... kau....saudara Nyo,jangan...jangan kau membikin... membikin susah aku... bukan aku yang mencelakai kau... pergilah kau men... mencari orang lain saja!"

Sebenarnya saat itu Ui Yok-su sudah mulai meninggikan nada kecapinya dan sejenak lagi Li Bok-chiu pasti akan celaka, tapi mendadak terganggu oleh jeritan Sah Koh dan senar kecapi yang terakhir segerapun putus.

Sah Koh sembunyi di belakang sang guru sambil berteriak: "Setan... ada setan, Suhu ! Setan saudara Nyo !"

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Li Bok-chiu, dengan kaburnya ia padamkan api lilin, cepat ia menerobos keluar melalui bobolan dinding itu. Karena gagal membinasakan iblis itu dengan suara kecapi, untuk menjaga harga diri. Ui Yok-su tidak ingin mengejarnya lagi

----------- gambar -------------

Ui Yok-su menyanyikan lagu yang dibawakan Li Bok-chiu tadi dengan iringan petikan kecapi yang tinggal seutas senar saja. Perasaan Li Bok-chiu terguncang hebat berlipat ganda dari Nyo Ko bertiga.

----------------------------------

Dalam kegelapan Sah Koh menjadi lebih takut, teriakannya bertambah keras: "Ada setan, Suhu !"

Thia Eng menyalakan pula lilin itu, lalu memberi hormat kepada sang guru serta menguraikan asal-usul Liok Bu-siang dan Nyo Ko secara singkat.

Lebih dulu Ui Yok-su membentak Sah Koh agar diam, lalu berkata kepada Nyo Ko dengan tertawa: "Dia kenal ayahmu, kau memang sangat mirip dengan ayahmu."

Nyo Ko memberi hormat di atas pembaringan dan berkata: "Maaf, karena Tecu terluka, maka tidak dapat memberi sembah kepada locianpwe !"

Dengan ramah Ui Yok-su berkata: "Dengan mati-matian kau telah menolong puteriku, kau sungguh anak yang baik."

Kiranya Ui Yok-su sudah bertemu dengan Ui Yong dan mengetahui duduknya perkara, mendengar Thia Eng telah menolong pergi si Nyo Ko, segera ia membawa Sah Koh mencarinya ke sini.

Begitulah Ui Yok-su lantas mengeluarkan obat luar dalam untuk Nyo Ko, lalu menggunakan Lwe-kangnya yang tinggi untuk mengurut urat nadi Nyo Ko, di mana teraba oleh tangan orang tua itu.

Ketika mendadak merasakan kulit daging pemuda itu bergetar dan merasakan Lwekangnya cukup kuat, segera Ui Yok-su menambahkan tenaganya. Selang tak lama, sekujur badan Nyo Ko, terasakan nyaman sekali dan akhirnya ia terpulas.

Besoknya, begitu mendusin segera Nyo Ko melihat Ui Yok-su berduduk di tepi pembaringannya. Cepat ia bangkit berduduk dan memberi hormat.

"Apakah kau tahu julukanku di kalangan Kangouw?" tanya Ui Yok-su.

"Engkau adalah Tho-hoa-tocu," jawab Nyo Ko.

"Apalagi?" tanya Ui Yok-su pula, "Semula Nyo Ko merasa sebutan "Tang Sia" (si eksentrik dari timur) kurang sedap untuk diucapkan Tapi segera terpikir olehnya, kalau orang tua ini berjuluk "Sia" atau eksentrik, maka wataknya tentu juga aneh dan lain daripada yang lain.

Karena itu, dengan tabah ia menjawab pula : "Engkau adalah Tang Sia !"

Ui Yok-su terbahak-bahak," katanya: "Benar, Akupun pernah mendengar orang berkata bahwa ilmu silatmu tidak rendah, hatimu baik, tapi tindak-tandukmu juga sangat eksentrik, Kabarnya kau hendak ambil gurumu sebagai isteri, apa betul ?"

"Betul," jawab Nyo Ko. "Locianpwe, setiap orang menganggap tidak pantas aku beristerikan guruku, tapi matipun aku ingin menikahinya."

Mendengar ucapan pemuda yang tegas dan pasti itu, Ui Yok-su memandangnya kesima sejenak, mendadak ia menengadah dan bergelak tertawa, begitu keras suara tertawanya hingga dinding rumah gubug itu bergetar.

"Apanya yang lucu?" kata Nyo Ko dengan gusar. "Kau berjuluk Tang Sia, kukira kau pasti lain daripada yang lain, siapa tahu kaupun sama buruknya dengan manusia umumnya itu."

"Bagus, bagus, bagus !" seru Ui Yok-su, habisi itu ia terus keluar rumah.

Nyo Ko duduk termenung sendirian, ia pikir apa yang diucapkannya barangkali telah membikin marah Locianpwe itu, tapi tampaknya air muka orang tua itu mengunjuk rasa senang.

Kiranya watak Ui Yok-su itu memang aneh, selama hidupnya malang melintang di dunia Kang-ouw, dia jemu dan benci pada adat istiadat yang berlaku pada jaman itu, tindak-tanduknya selalu berlawanan dengan adat umum, malahan suka menuruti keinginan hati sendiri, sebab itulah dia mendapatkan julukan "Sia"

Lantaran wataknya yang eksentrik itu, selamai hidup itu hampir boleh dikatakan tidak mempunyai sahabat karib, sekalipun anak perempuan dan menantu sendiri juga tidak seluruhnya cocok dengan pikirannya.

Siapa duga kini, dikala usianya sudah tua, tiba2 ia bertemu dengan Nyo Ko yang juga bertabiat aneh, Sudah lama ia mendengar cerita tentang Nyo Ko memberontak pada perguruannya sendiri, yaitu Coan-cin-kau, menghajar gurunya sendiri serta macam-macam perbuatan yang khianat, kini dia sempai berbicara berhadapan dengan pemuda itu dan satu dan lain ternyata sangat cocok dengan seleranya.

Begitulah petangnya kembali Ui Yok-su mendatangi kamar Nyo Ko, katanya kepada pemuda itu "Nyo Ko, bagaimana jika kau memberontak lagi pada Ko-bong-pay dan berguru saja padaku."

Sejenak Nyo Ko termangu, lalu bertanya. "Mengapa begitu?"

"Lebih dulu kau tidak mengakui Siao-liong-li sebagai gurumu, habis itu baru mengambilnya sebagai isteri, dengan begitu semuanya kan menjadi lebih pantas?"

Nyo Ko pikir usul orang memang cukup bagus, tapi bahwasanya antara guru dan murid tindak boleh terikat menjadi suami-isteri, siapakah yang menetapkan peraturan ini.

Karena pikiran yang aneh itu, dengan tegas ia menjawab: "Tidak, aku justeru ingin memanggil dia sebagai guru dan juga mengambil dia sebagai isteriku."

"Hahaha ! Bagus, bagus ! Jalan pikiranmu ini ternyata jauh lebih tinggi satu tingkat daripada jalan pikiranku !" puji Ui Yok-su sambil bergelak tertawa, lalu ia memijati tubuh Nyo Ko pula untuk menyembuhkan Iukanya.

Katanya pula dengan gegetun: "Sebenarnya aku ingin kau menjadi ahliwarisku agar dunia mengetahui bahwa sehabis Ui- losia (si eksentrik tua she Ui) ada lagi seorang Nyo siausia (eksentrik kecil she Nyo), Tapi kau menolak menjadi muridku, ya, apa boleh buat ?!"

Kini Nyo Ko benar2 memahami watak Ui Yok-Su, semakin aneh dari apa yang dikatakan dilakukan, semakin mencocoki pula selera orang tua itu, Karena itu ia lantas berkata lagi: "Antara kitapun tidak perIu harus menjadi guru dan murid untuk bisa dijadikan ahliwarisnya, jika engkau anggap usiaku terlalu muda dan kepandaianku masih rendah, maka kita boleh bersahabat atau mengangkat saudara saja."

Tapi Ui Yok-su menjadi marah, ujarnya: "Kau ini sungguh berani aku bukanlah si Lo-wan tong Ciu Pek-thong, mana boleh bergaul secara sembarangan dengan kau?"

"Siapa Lo-wan-tong Ciu Pek-thong itu?" tanya Nyo Ko.

Maka Ui Yok-su lantas menguraikan sekadarnya kisah Ciu Pek-thong yang berjuluk Lo-wan-tong (si anak nakal tua) itu, lalu menceritakan pula cara bagaimana Ciu Pek-thong mengangkat saudara dengan Kwe Cing, padahal usia antara kedua orang itu selisih sangat jauh.



Omong punya omong, ternyata keduanya menjadi sangat cocok, Dasar Nyo Ko memang pintar bicara, ditambah lagi wataknya sangat mendekati watak Ui Yok-su yang aneh itu. Setiap kata pemuda itu selalu membuat Ui Yok-su manggut2 dan merasa benar-benar menemukan sahabat sejati, saking cocoknya, malamnya ia suruh Thia Eng menyiapkan sebuah tempat tidur lagi di kamar Nyo Ko itu agar kedua orang dapat bicara sepanjang malam.

Beberapa hari kemudian, luka Nyo Ko sudah mulai sembuh, hubungannya dengan Ui Yok-su juga bertambah akrab, begitu erat seakan-akan sukar dipisahkan. sebenarnya Ui Yok-su akan membawa Sah Koh ke daerah Kanglam, tapi sekarang sama sekali tak dipikirkan lagi keberangkatannya.

Melihat kedua orang itu, yang satu tua dan yang lain muda. siang malam senantiasa bicara dan ngobrol dengan asyiknya, diam-diam Thian Eng dan Liok Bu-siang menjadi geli dan heran pula. Mereka anggap yang tua tidak jaga diri dan yang muda jugf teramat sembrono.

Bicara tentang ilmu pengetahuan dan pengalaman sebenarnya Nyo Ko tiada dapat dibandingkan dengan Ui Yok-su, cuma pemuda itu memang punya mulut manis, apa saja yang dikatakan Ui Yok-su, selalu ia menyatakan akur dan setuju, malahan terkadang ia menambahkan sedikit bumbu dan dirasakan Ui Yok-su menjadi lebih cocok lagi, maka tidak heran Ui Yok-su benar-benar menganggap Nyo Ko sebagai sahabat paling karib selama hidupnya ini.

Selama itu dengan sendirinya Ui Yok-su mengajarkan segenap kepandaiannya kepada Nyo Ko. Meski kedua orang resminya bukan guru dan murid, tapi cara Ui Yok-su mengajar Nyo Ko ternyata lebih sungguh2 daripada dia mengajar muridnya.

Selain belajar silat dan mengobrol bersama Ui Yok-su, yang selalu terpikir oleh Nyo Ko adalah apa yang diucapkan Sah Koh yang bersangkutan dengan mendiang ayahnya itu. Dari ucapan Sah Koh itu jelas dia mengetahui sebab musabab kematian ayahnya serta siapa yang membunuhnya, ia pikir dari orang sinting ini mungkin akan dapat dipancing keterangan yang lebih jelas.

Suatu hari lewat lohor, di luar rumah Nyo Ko bertemu dengan sah Koh sendirian, segera ia memanggilnya: "Sini, Sah Koh aku ingin bicara dengan kau..."

Sah Koh merasa Nyo Ko teramat mirip dengan Nyo Khong dan takut, maka ia menggeleng kepala dan menjawab : "Aku tak mau bermain dengan kau,"

"Aku bisa main sulap, kau mau lihat tidak?" bujuk Nyo Ko.

"Tidak, kau bohong," jawab Sah Koh sambit menggeleng.

Tiba-tiba Njo Ko mendapat akal, cepat ia berjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas, ia gunakan ilmu ajaran Auyang Hong, ia berjalan dengan kepala dan melompat-Iompat ke sana.

Sah Koh menjadi ketarik, tanpa pikir ia bersorak gembira dan ikut menuju ke suatu tempat yang lebat dengan pepohonan dan cukup jauh dari gubuk Thia Eng itu.

Di situ Nyo Ko lantas berhenti dan berkata: "Sah Koh, marilah kita bermain sembunyi, kita taruhan."

Sifat Sah Koh memang kekanak-kanakan, suka bermain. Tapi selama ini lebih sering ikut Ui Yok-su ke sana sini, maka hampir tidak pernah ada kawan bermain. Kini Nyo Ko mengajak dolanan dengan dia, tentu saja dia sangat senang, serentak ia bertepuk tangan menyatakan setuju, rasa takutnya tadi sudah terlupakan seluruhnya.

"Baik sekali saudara cilik, coba katakan cara bagaimana kita bermain?" jawab Sah Koh dengan gembira, Dia sebut ayah Nyo Ko sebagai saudara, kini ia pun sebut Nyo Ko sebagai saudara.

Nyo Ko mengeluarkan saputangan untuk menutup kedua mata Sah Koh, lalu berkata: "Boleh kau tangkap diriku. jika berhasil apa saja yang kau tanya tentu akan kujawab dan tidak boleh berdusta sedikitpun sebaliknya kalau kau tidak mampu menangkap aku, nanti akupun menanyai kau dan kaupun harus menjawab apa yang kutanyakan."

"Bagus, bagus!" seru Sah Koh. "Nah, mulai! Aku di sini, hayo coba tangkap!" seru Nyo Ko sambil melompat mundur.

Segera Sah Koh pentang kedua tangannya dan mengejar ke depan mengikuti suara. Ginkang yang dipelajari Nyo Ko adalah Ginkang khas dari Ko-bong-pay, jangankan mata Sah Koh ditutup dengan sapu tangan, sekalipun mata dapat memandang juga belum tentu mampu menyusulnya.

Maka setelah menguber kian kemari, bukannya Nyo Ko yang ditangkapnya, berbalik batok kepalanya benjut kebentur batang pohon yang kena dirangkulnya, keruan ia berteriak kesakitan

Kuatir Sah Koh menjadi kapok dan tidak mau bermain lagi, Nyo Ko sengaja perlambat langkahnya di depan orang diserta suara berdehem, mendengar suara itu, segera Sah Koh, melompat maju dan berhasil mencengkeram punggung si Nyo Ko jambil berseru: "Aha, tertangkap sekarang!" -berbareng ia menanggalkan saputangan yang menutupi kedua matanya itu dengan wajah ber-seri2.

"Baiklah, aku kalah," ujar Nyo Ko. "Sekarang boleh kau mengajukan pertanyaan padaku !"..

Hal ini ternyata merupakan soal sulit bagi Sah Koh, iamemandang Nyo Ko dengan melenggong bingung, ia tidak tahu apa yang harus ditanyakan. Selang agak lama barulah ia membuka uara: "Saudara cilik, kau sudah makan belum ?"

Sungguh tidak kepalang rasa geli Nyo Ko, berpikir sekian lama, yang ditanyakan ternyata adalah hal sepele ini. Tapi iapun menjawab dengan sikap sungguh-sungguh: "Sudah, aku sudah makan."

Sah Koh mengangguk lalu tidak bertanya pula.

"Kau ingin tanya apa lagi?" kata Nyo Ko.

Tapi Sah Koh menggeleng, katanya: "Tidak ada, marilah kita bermain lagi."

"Baik, lekas kau tangkap diriku !" seru Nyo Ko sambil mundur.

"Sekali ini giliranmu menangkap diriku!" ujar Sah Koh sambil meraba keningnya yang merah benjut itu.

Bahwa Sah Koh mendadak tidak bodoh lagi hal ini sungguh di luar dugaan Nyo Ko. Tapi ia pun tidak menolak, segera ia menutup mata sendiri dengan saputangan dan berlagak mengejar.

Meski bodoh dan sinting, tapi Ginkang Sah Koh ternyata sangat hebat, dalam keadaan mata tertutup sukar juga bagi Nyo Ko untuk menangkapnya. ia mendapat akal, ia pura-pura memburu ke sana sini, diam-diam ia robek sedikit saputangan itu, maka dapat dilihatnya Sah Koh bersembunyi di balik pohon besar, ia pura-pura meraba ke sana sambil berseru: "Di mana kau sembunyi?"

Sejenak kemudian mendadak ia melompat balik dan berhasil memegang tangan Sah Koh, cepat ia melepaskan saputangan dan dimasukkan saku agar kecurangannya tidak diketahui orang, Lalu dengan tertawa berkata: "Sekali ini aku yang harus bertanya padamu."

Belum sampai pertanyaan orang diajukan, lebih dulu Sah Koh sudah menjawab dengan rasa kagum: "Aku sudah makan !"

Nyo Ko tertawa, katanya : "Aku tidak tanya urusan itu, Aku ingin tanya padamu, kau kenal ayahku, bukan?"

"Ayahmu?" Sah Koh menegas.

"Ya, Seorang yang sangat mirip dengan diriku, siapakah dia?" kata Nyo Ko.

"O, itulah saudara Nyo." jawab Sah Koh, "Kau menyaksikan saudara Nyo itu dicelakai orang, bukan?" tanya Nyo Ko pula.

"Benar, tengah malam di kelenteng itu, banyak sekali burung gagak, aok, aok, aok!" Sah Koh menirukan suara burung gagak, suasana di tempat itu memangnya sunyi senyap dan rindang, suara gagak yang ditirukan Sah Koh itu menjadi seram rasanya.

Tubuh Nyo Ko rada bergetar, ia coba mengorek lagi: "Cara bagaimana saudara Nyo itu tewas?"

"Kokoh (bibi) suruh aku bicara, tapi saudara Nyo melarang aku, lalu saudara Nyo memukul Kokoh sekali, lalu dia tertawa, haha... haha....haha !" sedapatnya Sah Koh ingin menirukan suara tertawa Nyo Khong menjelang ajalnya, maka makin meniru makin tidak keruan sehingga akhirnya ia sendiri merasa mengkirik.

Nyo Ko bingung oleh uraian Sah Koh itu, ia coba tanya pula: "Siapakah Kokoh yang kau maksudkan?"

"Kokoh ya Kokoh, siapa lagi?" jawab Sah Koh.

Darah di rongga dada serasa bergolak karena Nyo Ko tahu rahasia kematian ayahnya segera akan dapat dibongkarnya, Selagi dia hendak tanya lebih Ipijut, tiba-tiba terdengar seorang berkata di belakangnya: "Kalian berdua sedang bermain apa?" Ternyata suaranya Ui Yok-su.

"Saudara Nyo sedang bermain sembunyi2-an dengan aku," jawab Sah Koh.

Ui Yok-su tersenyum sambil memandang Nyo Ko sekejap dengan penuh mengandung arti seakan akan sudah dapat menerka apa kehendak Nyo Ko itu.

Hati Nyo Ko berdebar, sedianya dia hendak berkata untuk menutupi maksud tujuannya itu, tiba2 terdengar suara orang berlari mendatangi Thia Eng dan Liok Bu-siang tampak muncul dan melapor kepada Ui Yok-su:

"Dugaan Suhu ternyata tidak keliru, dia memang masih berada di sana!" - Sembari berkata Thia Eng menuding ke balik gunung di sebelah barat sana.

"Siapa maksudmu?" tanya Nyo Ko.

"Li Bhok chiu !" jawab Thia Eng.

Nyo Ko sangat heran mendengar Li Bok-chiu, masih berada di balik gunung sana, ia pikir mengapa iblis itu begitu berani ia coba memandang Ui Yok-su dengan harapan agar orang tua itu suka memberi penjelasan.

Tapi Ui Yok-su hanya tertawa saja dan berkata: "Marilah kita melongok ke sana !"

Berada bersama orang tua itu, dengan sendirinya Nyo Ko dan lain-Iainnya tidak perlu takut terhadap Li Bok-chiu. Maka beramai-ramai mereka lantas menuju ke balik gunung di sebelah barat sana.

Thia Eng tahu rasa sangsi Nyo Ko, maka dengan suara pelahan ia berkata padanya: "Maksud Suhu, Li Bok-chiu yakin Suhu pasti menjaga harga diri sekali gagal membunuhnya di gubuk itu, tentu malu untuk bertindak kedua kalinya."

"Oh, makanya dia berani bercokol di sini untuk mencari kesempatan lagi buat membunuh kita bertiga," kata Nyo Ko.

Tidak Iama kemudian mereka berlima sudah sampai di balik bukit, tertampak di samping sebatang pohon besar ada sebuah gubuk yang sudah bobrok, pintu gubuk tertutup rapat, di daun pintu terpaku sehelai kertas yang tertulis: "Tho-hoa-tocu mempunyai anak murid banyak, dengan lima lawan satu, sungguh mentertawakan!"

Ui Yok-su tertawa melihat tulisan olok-olok itu, ia jemput dua potong batu kecil dan diselentikkan, "plak-plok", kedua batu kecil itu menghantam kedua sayap daun pintu dari jarak belasan langkah, kontan daun pintu terpentang, sungguh luar biasa tenaga jari sakti Tho-hoa-tocu yang termashur itu.

"Tertampaklah di mana pintu terpentang, Li Bok-chiu berduduk semadi di atas tikar dengan tangan memegang kebut, sikapnya agung, wajahnya kereng, seharusnya dia seorang alim yang beribadat tinggi kalau saja tidak tahu akan perbuatan yang pernah dilakukannya, siapapun pasti tidak percaya bahwa dia adalah seorang iblis yang maha jahat.

Melihat Li Bok-chiu, serentak Liok Bu-siang teringat kepada ayah bundanya yang terbunuh, segera ia melolos pedang dan berseru: "ToIol, piauci, tidak perlu Tocu turun tangan, marilah kita bertiga melabrak dia saja."

"Dan masih ada aku..." sambung Sah Koh sambil menyingsing lengan baju dan menggosok kepalan.

Li Bok-chiu membuka mata dan memandang sekejap kepada kelima orang itu, lalu memejamkan matanya lagi, sedikitpun ia tidak mengacuhkan lawan tangguh yang berada di depan mata ini.

Thia Eng memandang sang guru untuk menantikan perintahnya. Tapi Ut Yok-su berkata sambiT menghela napas: "Sudahlah, memang Ui-losia" mempunyai anak murid banyak, andaikata salah seorang muridku diantara Tan, Bwe, Ki dan Tiok berada di sini, mana kau mampu lolos dari tangannya, Ialu ia memberi tanda dan berkata pula : "Hayolah, pergi!"

Tentu saja Thia Eng berempat tidak paham maksudnya dan terpaksa ikut kembali ke gubuknya. Tertampak Ui Yok-su muram durja, makan malam pun tidak dihabiskan lantas pergi tidur.

Meski Thia Eng adalah murid Ui Yok-su, tapi dia sama sekali tidak mengetahui kejadian di masa lampau tentang Ui Yok-su pernah menganiaya dan mengusir anak muridnya dari Tho-hoa-to, ia mengira sang guru mendongkol karena diolok-olok oleh tulisan Li Bok-chiu itu, ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ui Yok-su bersedih dan menyesalkan tindakan sendiri di masa lampau, kini anak muridnya itu sudah meninggal dan cacat, kalau tidak dirinya pasti takkan diolok-olok oleh manusia macam Li.Bok-chiu.

Nyo Ko yang tidur menyebelah dengan Ui Yok-su juga sedang mengingat kembali apa yang dikatakan Sah Koh siang tadi, iapun memikirkan olok-olok Li Bok-chiu itu, ia pikir kini lukaku sudah sembuh, rasanya aku cukup kuat untuk melawannya, lebik baik diam-diam aku menempur sendiri, selain dapat menuntut balas penghinaannya terhadap Kokoh, sekaligus dapat menghilangkan rasa dongkol Ui-tocu.

Setelah ambil keputusan itu, segera ia bangun dengan pelahan, ia menyadari Li Bok-chiu adalah lawan tangguh, sedikit lengah tentu jiwa sendiri bisa melayang. Karena itu diperlukan persiapan yang baik, Segera ia duduk bersemadi di atas pembaringan sendiri untuk mengumpulkan tenaga dan nanti akan menempur Li Bok-chiu dengan mati-matian.

Bersemadi sekian lamanya, mendadak pandangannya terbeliak, di depan seperti cahaya yang terang benderang, segenap anggota badannya serasa penuh tenaga, tanpa terasa dari mulut mengeluarkan suara raungan yang keras dan berkumandang jauh, Kiranya Lwekang seorang kalau sudah mencapai tingkatan sempurna, tanpa terasa akan dapat mengeluarkan suara aneh.

Ui Yok-su sudah mengetahui gerak-gerak Nyo Ko ketika pemuda itu bangun, sungguh tak terduga olehnya bahwa Lwekang pemuda itu ternyata sudah mencapai setinggi ini, tentu saja ia terkejut dan bergirang pula..

Suara Nyo Ko yang kuat itu terus bertahan hingga lama dan pelahan mulai berhenti Ui Yok-su sangat heran akan tingkatan yang dicapai Nyo Ko itu, padahal ia sendiri baru mencapai tingkat setinggi itu setelah menginjak pertengahan umur, kini usia Nyo Ko masih muda belia, tapi sudah sehebat ini, sungguh suatu bakat yang sukar ada bandingannya, entah pengalaman dan penemuan mukjijat apa yang pernah dialami pemuda itu.

Sesudah Nyo Ko selesai berlatih, kemudian Ui Yok-su bertanya padanya : "Nyo Ko, coba katakan, apakah ilmu kepandaian Li Bok-chiu yang paling lihay?"

Nyo Ko tidak merasakan suara raungan sendiri, cuma dari pertanyaan Ui Yok-su itu, ia tahu maksud hatinya sendiri tentu sudah diketahui orang tua itu, maka iapun menjawab: "Jelas adalah Ngo-tok-sin-ciang dan permainan kebutnya"

"Benar," kata di Yok-su, "Dengan dasar Lwekangmu sekarang, rasanya tidaklah sulit jika ingin mematahkan ilmu kepandaiannya itu."

Girang sekali Nyo Ko, cepat ia menyembah, sebenarnya watak Nyo Ko sangat angkuh, meski ia mengakui Ui Yok-su sebagai kaum cianpwe dan tahu kepandaian orang yang serba mahir itu, tapi lahirnya dia tak mau tunduk padanya, Kini didengarnya kepandaian Li Bok-chiu yang maha lihay itu akan dapat dipatahkan dengan mudah, kesan ia menjadi kagum dan tunduk.

Ui Yok-su lantas mengajarkan ilmu "jari sakti" padanya, ilmu ini dapat mengatasi Ngo-tok-sin-kang, lalu diajarkan pula ilmu pedang yang diubah dari permainan seruling untuk menghadapi permainan kebut musuh.

Setelah mendapatkan petunjuk dan kunci ilmu kepandaian itu, kemudian Nyo Ko menimang, untuk bisa menggunakan kepandaian itu dengan baik, maka diperlukan latihan satu tahun dan jika pasti menang atas Li Bok-chiu, rasanya perlu dilatih tiga tahun.

Karena itu ia coba bertanya: "Ui-tocu, bila ingin segera mengalahkan dia, agaknya tiada harapam lagi"..

"Waktu tiga tahun dalam sekejap saja berlalu", ujar Ui Yok-su sambil menghela napas, kini usiamu baru 22 tahun dan sudah berhasil mencapai setingkatan ini, memangnya kau merasa belum cukup?"

Dengan kikuk Nyo Ko menjawab: "Maksudku bukan... bukan untuk diriku."

Ui Yok-su menepuk bahunya dan berkata

"Asal kau dapat membunuhnya tiga tahun yang akan datang, untuk itu aku sudah puas dan berterima kasih padamu. Dahulu aku telah menghancurkan anak muridku sendiri, jika sekarang aku mendapatkan sedikit ganjaran atas perbuatan sendiri juga pantas."

Tanpa pikir Nyo Ko lantas berlutut dan menyembah kepada Ui Yok-su sambil memanggil

"Suhu!"

Kiranya keduanya sama-sama orang yang maha cerdik dan saling memahami pikiran masing2. Nyo Ko tahu tujuan Ui Yok-su mengajarkan ilmu padanya adalah ingin dia membalaskan penghinaan Li Bok-chiu, yang telah mengolok-oloknya dengan tulisan itu, untuk mana antara Nyo Ko dan Ui Yok-su harus ada ikatan guru dan murid secara resmi.

Sebaliknya Ui Yok-su tahu keakraban hubungan Nyo Ko dengan Ko-bong-pay, betapapun pemuda ini pasti tidak mau berguru lagi pada pihak lain.

Karena itu Ui Yok-su lantas Nyo Ko dan berkata padanya: "Selanjutnya begini saja, apa bila kau bertempur dengan akan ilmu ajaranku, pada saat itulah kau muridku, di luar itu kau tetap adalah kau. Nah, adik Nyo Ko, mengerti tidak ?"



"Baiklah, kakak Yok-su, sungguh beruntung mendapatkan sahabat baik seperti engkau," jawab Nyo Ko dengan tertawa.

"Akupun merasa berbahagia dapat bertemu dengan kau!" ujar Ui Yoksu. Lalu kedua orang saling berjabat tangan dan bergelak tertawa gembira.

Ui Yok-su lantas menuturkan lebih jauh. semua kunci rahasia kedua ilmu kepandaian yang di-ajarkannya tadi. Melihat cara mengajar Ui Yok-su yang begitu jelas dan lengkap Nyo Ko tahu orang tua itu tentu akan segera pergi meninggalkan dia. Dengan murung ia lantas berkata: "Kakak Yok-su, kapan kita baru dapat berjumpa pula?"

"Jauh di mata dekat di hati, asal hati kita tetap bersatu, biarpun berpisah jauh kita tetap seperti berhadapan selalu." ujar Ui Yok-su dengan tertawa. "Kelak bila kutahu ada orang hendak merintangi perkawinanmu, biarpun jauh berada di ujung langit sana juga aku pasti memburu ke sini untuk membantu kau." ..

Nyo Ko sangat terhibur oleh dukungan moril Ui Yok-su itu, dengan tertawa ia berkata: "Tapi orang pertama yang akan merincangi maksudku itu mungkin ialah puteri kesayanganmu sendiri."

"Dia sendiri dahulu juga kepala batu ketika mendapatkan kekasih pilihan sendiri, masakah sekarang dia tidak memikirkan penderitaan rindu dendam orang lain?" ujar Ui Yok su. setelah memikir sejenak, dalam kegelapan ia lantas mengambil bungkusan alat tulis dan menuliskan sepucuk surat, lalu diserahkan kepada Nyo Ko dan berkata:

"Jika puteriku itu merintangi lagi kehendakmu, maka boleh kau perlihatkan suratku ini.".- Habis berpesan ia lantas melangkah pergi dengan bergelak tertawa, hanya sekejap saja suara tertawanya sudah berada jauh, sejenak pula orang dan suara tertawanya telah ditelan kegelapan malam.

Untuk sesaat Nyo Ko duduk termenung, mengingat kembali keadaan yang baru dipelajarinya tadi.

Tidak lama fajarpun menyingsing, tertampak di atas meja tertaruh keranjang jahitan Thia Eng. ia coba mengambil gunting di dalam keranjang rotan itu dan dibuat memain sejenak, kemudian tiba2 pintu terdorong dan masuklah Thia Eng dengan bersenyum dan membawa sepotong baju warna hijau.

"Silakan coba baju ini, apakah cocok tidak?" kata Thia Eng dengan tersenyum.

Alangkah rasa terima kasih Nyo Ko, waktu menerima baju baru- itu, tanganpun sedikit gemetar.

Ketika dia beradu pandang sekejap dengan si nona, tertampak sorot matanya yang lembut penuh arti, ia coba memakai baju baru itu dan terasa pas.

"Sungguh aku sangat ber... berterima kasih padamu," kata Nyo Ko.

Kembali Thia Eng tersenyum, tapi di antara sorot matanya lantas mengunjuk rasa sedih, katanya: "Dengan kepergian Suhu ini, entah kapan baru dapat bertemu lagi."

Mestinya ia ingin berbicara lagi dengan Nyo Ko, tapi tampak dilihatnya bayangan orang berkelebat di luar, ia tahu itulah Liok Bu-siang yang berseliweran diluar, ia tahu sang Piau-moay juga hati terhadap Nyo Ko, maka ia lantas meninggalkan kamar pemuda itu.

Kemudian Nyo Ko meneliti baju tersebut, tampak jahitannya sangat rapi, dalam ia bergetar, pikirnya: Nona ini jatuh hati padaku, bini cilik juga, namun hatiku sudah terisi dan tidak mungkin lagi, jika aku tidak lekas pergi dari sini tentu akan banyak menimbulkan kesukaran,"

Sehari suntuk ia memikirkan tindakan apa yang harus dilakukannya, ia kuatir pula bila dirinya pergi dan mendadak Li Bok-chiu melancarkan serangan, maka ia coba mengintai ke balik gunung sana, dilihatnya gubuk bekas tempat tinggal Li Bok-chiu itu hanya setumpuk puing belaka, gubuk itu sudah terbakar, rupanya Li Bok-chiu telah pergi setelah membakar gubuknya sendiri.

Maka tekad Nyo Ko menjadi bulat untuk pergi, malamnya ia menulis surat untuk ditinggalkan kepada kedua nona itu, Bila teringat kepada kebaikan hati kedua nona itu, tanpa terasa hati Nyo Ko menjadi muram.

Malam itu ia bergulang-guling tak dapat pulas. Saat pagi, selagi layap2, tiba-tiba terdengar suara Liok Bu-siang memanggilnya, suara si nona kedengaran gugup, Cepat Nyo Ko melompat bangun dan keluar.

Terasa angin pagi meniup silir, hari belum lagi terang benderang, tapi tampak jelas Liok Bu-siang merasa takut dan menuding pada daun pintu sebelah-sana. Waktu Nyo Ko memandangnya, ia menjadi kaget, Kiranya di daun pintu itu jelas tertera empat buah cap tangan merah. Terang itulah tanda pengenal Li Bok-chiu. Agaknya semalam iblis itu telah datang dan mengetahui Ui Yok-su sudah pergi, maka dia sengaja meninggalkan daftar calon yang akan dibunuhnya yaitu Nyo Ko, Thia, Eng, Liok Bu-siang dan ditambahkan pula si Sah Koh.

Tidak lama Thian Eng juga muncul, iapun merasa sedih melihat cap tangan itu. Mereka bertiga lantas masuk ke dalam rumah untuk berunding...

"Tempo hari iblis itu telah dihajar oleh "garpu api Sah Koh dan melarikan diri mengapa sekarang dia tidak takut lagi?" ujar Liok Bu-siang.

"Permainan garpu Sah Koh hanya begitu-begitu saja, setelah direnungkan tentu iblis itu sudah mendapatkan cara mematahkan serangan garpu Sah Koh" kata Thia Eng.

"Tapi luka si Tolol kini sudah sembuh, jika kedua orang tolol bergabung kan jadi maha kuat?" kata Bu-siang pula.

Nyo Ko tertawa, katanya: "Tolol laki ditambah tolol perempuan tentu keadaan menjadi tambah runyam, mana bisa menjadi kuat segala?"

Begitulah mereka menjadi tak berdaya, tapi mengingat betapapun gabungan kekuatan mereka berempat sedikitnya cukup untuk menjaga diri walaupun tak dapat mengalahkan musuh, maka mereka bertekad besok akan menempur iblis itu dengan mati-2an.

"Besok barlah kami berdua orang tolol menghadapi dia dan kalian berdua saudara mengerubutnya dari kanan dan kiri," ujar Nyo Ko, "Marilah kita mencari Sah Koh untuk berlatih lebih dulu" Mereka menyadari keganasan Li Bok-chiu yang tak kenal ampun itu, sedikit lengah saja jiwa mereka akan melayang, maka mereka tak berani gegabah.

Segera mereka mencari Sah Koh, tapi ternyata tak diketemukan. Mereka menjadi kuatir dan cepat mencari sekeliling situ.

Akhirnya di balik gundukan batu sana Thia Eng menemukan Sah Koh menggeletak dalam keadaan kempas-kempis. Waktu diperiksa, pada punggung Sah Koh ada bekas telapak tangan yang merah, jelas itulah pukulan berbisa Li Bok-chiu, Ngo-tok-sin-ciang, Cepat ia memanggil Nyo Ko dan Liok Bu-siang, segera pula ia memberi minum obat mujarab perguruannya, yaitu Giok-loh-wan.

Nyo Ko masih ingat dalam kitab pusaka milik Li Bok-chiu yang dicuri Liok Bu-siang itu tertera cara menyembuhkan akibat pukulan berbisa itu, maka cepat ia mengerahkan lwekang untuk melancarkan Hiat-to si Sah Koh.

Sejenak tampak Sah Koh tersenyum ketolol-tololan dan berkata: "Tokoh busuk itu menyerang dari... dari belakang, tapi kupersen ia dengan... dengan sekali gamparan."

Kiranya gamparan dengan tangan membalik ke belakang yang dimaksud Sah Koh adalah salah itu ilmu ajaran Ui Yok-su. Meski Li Bok-chiu berhasil menyergap Sah Koh, tapi pergelangan tangan pun juga kena digampar oleh Sah Koh, saking kesakitan ia tidak berani menyerang lebih, lanjut sehingga jiwa Sah Koh dapat diselamatkan.

Begitulah mereka lantas menggotong Sah Koh kembali ke gubuk itu, mereka berduduk terpekur sedih, antara mereka berempat kini salah seorang cidera, besok tentu lebih sukar menghadapi musuh ganas itu.

Sambil memandang Thia Eng dan lain saat memandang Bu-siang, secara iseng Nyo Ko mengambil gunting yang berada di keranjang jahitan Thia Eng itu dan mengguntingi seutas benang hingga menjadi potongan kecil-kecil.

Sekonyong-konyong Sah Koh yang rebah di pembaringan itu berseru: "Gunting saja, itu kebut si Tokoh busuk, gunting putus dia!"

Mendadak hati Nyo Ko tergerak, ia pikir kebutan iblis itu adalah benda lemas, senjata tajam apapun sukar menabasnya, jika ada sebuah gunting raksasa dan sekaligus ujung kebut musuh itu digunting putus, maka segalanya menjadi beres, iblis itu tentu akan berkurang keganasannya.

Tanpa terasa gunting yang dipegangnya itu lantas bergaya ke sana dan ke sini seperti sedang mematahkan serangan musuh

Melihat itu, pahamlah Thia Eng dan Bu-siang apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Thia Eng berkata: "Beberapa li di sebelah barat sana ada seorang pandai besi..."

"Benar marilah kita pergi ke sana dan minta dia membuatkan sebuah gunting besar" sahut Bu-siang cepat.

Nyo Ko pikir dalam waktu singkat tentu sukar juga membuat senjata demikian itu, tapi tiada jeleknya untuk dicoba, sebenarnya ia ingin pergi sendiri ke tempat pandai besi itu, tapi kuatir kalau mendadak Li Bok-chiu melakukan serangan, Kalau Sah Koh ditinggalkan sendirian tentu lebih berbahaya pula.



Kini mereka berempat tak dapat berpisah sejenakpun. Terpaksa Thia Eng dan Bu siang memasang kasur di atas kuda untuk tempat merebahkan si Sah Koh, lalu mereka berangkat ke tempat pandai besi.

Bengkel itu ternyata sangat jorok dan sederhana keadaannya, begitu memasuki pintu bengkel, segera tertampak sebuah tatakan besi, yaitu tempat untuk menggembleng, lantai penuh karatan besi dan debu arang, dinding sebelah sana tergantung beberapa buah arit dan cangkul buatan pandai besi itu, suasana sunyi senyap tiada seorangpun.

Melihat keadaan bengkel itu, Nyo Ko pikir pandai besi begini masakah mampu membuatkan senjata apa segala? Tapi sudah terlanjur datang, tiada jeleknya ditanyai dulu. Maka ia lantas berseru: "Hai, adakah yang punya rumah ?"

Sejenak kemudian keluarlah seorang kakek yang sudah ubanan meski usianya tampaknya baru 50-an, mungkin penderitaan kehidupan dan sepanjang tahun hanya menggembleng besi melulu, maka punggungnya membungkuk kedua matanya juga menyipit dan merah, malahan banyak kotoran pada kelopak matanya, sebelah kakinya juga pincang.

Sambil berjalan dengan bantuan sebuah tongkat, orang tua itu menegur: "Tuan tamu ada keperluan apa?"

Baru saja Nyo Ko hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda, dua penunggang kuda telah berhenti di depan bengkel, kedua penunggangnya adalah tentara-tentara Mongol seorang yang mukanya penuh berewok, lantas bertanya: "Mana si pandai besi she Pang?"

Orang tua bungkuk tadi mendekati dan memberi hormat, jawabnya: "Hamba adanya !"

"Perintah atasan, agar segenap pandai besi diwilayah ini dalam tiga hari harus berkumpul ke dalam kota untuk wajib dinas bagi pasukan kerajaan," seru opsir itu pula, "Nah, besok juga kau harus lapor ke kota, jelas tidak?"

"Tapi hamba sudah tua..." belum selesai pandai besi she Pang itu berkata, cepat opsir Mongol itu telah menyabetnya dengan cambuk sambil membentak: "Besok tidak datang, awas dengan kepalamu !" Habis berkata kedua opsir itu lantas membedalkan kuda mereka.

Pandai besi tua itu menghela napas dan berdiri terkesima. Thia Eng merasa kasihan padanya, ia mengeluarkan 20 tahil perak dan ditaruh di atas meja, lalu katanya : "Pak pandai besi, engkau sudah tua, jalanpun tidak leluasa, jika diwajibkan bekerja bagi pasukan Mongol tentu jiwamu akan melayang percuma. Kukira lebih baik engkau lari saja mencari selamat dengan sedikit sangu yang kuberi ini"

"Terima kasih atas kebaikan hati nona," jawab pandai besi itu sambil menghela napas, "Sebenarnya hidup atau mati bagi orang tua macam diriku ini tidak ada artinya, sayangnya dalam waktu singkat berpuluh ribu jiwa bangsa kita mungkin akan tertimpa malapetaka."

Myo Ko bertiga terkejut dan cepat bertanya: "Malapetaka? Ada urusan apa?"

"Panglima Mongol sedang mengumpulkan segenap pandai besi, jelas tujuannya senjata Mongol biasanya sangat lengkap dan cukup, kalau sekarang mereka membuat senjata baru secara besar-besaran, terang ada rencana hendak menyerbu ke selatan,"

Tutur kata pandai besi tua itu ternyata masuk di akal dan bukan ucapan seorang pandai besi kampungan biasa, Selagi mereka hendak tanya lagi, pandai besi itu telah tanya mereka ada keperluan apa?

"Sebenarnya tidak enak bagi kami untuk mengganggu orang yang sedang ada urusan, tapi lantaran terdesak keperluan penting, terpaksa kami minta pertolonggan bapak," jawab Nyo Ko. Lalu iapun menjelaskan maksud kedatangannya dan memberikan gambar contoh gunting yang diperlukan.

Kalau orang memberi pekerjaan misalnya minta dibuatkan cangkul atau arit atau golok tentulah tidak mengherankan tapi kini barang pesanan Nyo Ko adalah sebuah gunting raksasa, hal ini sebenarnya luar biasa, tapi pandai besi itu ternyata tidak mengunjuk rasa heran, setelah mendapatkan keterangan pola gunting yang diperlukan ia hanya manggut-manggut, Ialu menyalakan api tungku dan membakar dua potong besi besar untuk digembleng.

"Entar, malam ini dapat jadi tidak?" tanya Nyo Ko.

"Akan kuusahakan secepatnya," jawab si pandai besi she Pang itu. Habis itu ia percepat bara dalam tungku, hanya sekejap saja kedua potong besi tadi sudah merah dan mulai lunak.

Nyo Ko bertiga berasal dari daerah Kanglam, meski sejak kecil sudah meninggalkan kampung halaman, tapi demi mendengar kampung halaman bakal tertimpa bencana, betapapun mereka merasa masgul sedih.

Sah Koh mendekap di atas meja, setengah berduduk dan setengah bersandar, memang keadaannya sangat lelah, maka apapun yang terjadi di sekitarnya tak sempat diperhatikannya.

Selang tak lama, kedua potong besi yang dibakar itu sudah lunak, segera pandai besi Pang mengangkat potongan besi itu dan mulai digembleng dengan sebuah palu besar, Meski usianya sudah lanjut, tapi tenaga lengannya ternyata sangat kuat, palu besar itu dapat diayunnya dengan leluasa tanpa susah payah, kedua potongan besi itu digembleng lagi, kemudian memanjang dan melengkung dalam bentuk gunting.

"Tolol, tampaknya guntingmu itu dapat jadi petang nanti," kata Bn-siang dengan girang.

Pada saat itulah mendadak di belakang mereka ada suara orang berkata: "Hm, untuk apa membikin gunting sebesar itu? Hendak digunakan memotong kebutku bukan?"

Nyo Ko bertiga terkejut, cepat mereka berpaling dan ternyata Li Bok-chiu sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan memegang kebutnya yang lihay itu.

Sungguh celaka, senjata yang diandalkan belum jadi dibuat, tapi musuh tangguh sudah tiba lebih duIu. Cepat Thia Eng dan Liok Bu-sang melolos pedang, Nyo Ko juga mengincar sebatang besi di sebelahnya, asal musuh menyerang segera besi itu akan disambernya untuk digunakan sebagai senjata.

"Hm, memotong ksbutku dengan gunting, pintar juga jalan pikiranmu," demikian jengek Li Bok-chiu pula, "Tapi boleh dicoba juga, akan kutunggu di sini sampai guntingmu itu jadi, habis itu barulah kita bertempur."

Habis berkata ia seret sebuah bangku ke dekat pintu dan berduduk di situ dengan tenangnya, lawan-Iawan yang dihadapinya itu dianggapnya seperti barang sepele saja.

"Bagus sekali jika begitu, tampaknya nasib kebutmu itu harus dipotong putus oleh guntingku nanti," kata Nyo Ko.

Melihat si Sah Koh mendekap di atas meja, diam-diam Li Bok-chiu merasa heran akan kekuatan orang, padahal orang yang terkena pukulannya yang berbisa itu biasanya takkan tahan hidup beberapa jam saja, Kemudian ia bertanya pula: "Mana Ui Yok-su?"

Mendengar disebutnya nama "Ui Yok-su", si pandai besi tua itu rada bergetar dan menoleh sekejap kepada Li Bok-chiu, lalu menunduk lagi meneruskan pekerjaanmu.

"Hm, jelas kau mengetahui guruku tidak berada di sini, tapi sengaja tanya," ejek Thia Eng "Jika beliau masih tinggal di sini, hm, biarpun nyalimu sebesar gajah juga takkan berani datang."

Li Bok-chiu balas mendengus sekali, ia mengeluarkan sehelai kertas dan berkata pula: "Ui Yok-su hanya bernama kosong saja, paling-paling main kerubut karena bermurid banyak. Tapi, hm, antara murid-muridnya itu masakah ada seorangpun yang betul-betuI berguna?"

Habis berkata, sekali tangannya bergerak, kertas itu mendadak melayang ke depan dan "crit", kertas itu terpaku pada tiang kayu oleh sebuah jarum perak yang disambitkannya. Lalu Li Bok-chiu menyambung: "Nah, biarkan tulisan ini sebagai bukti. Kelak kalau Ui-losia kembali ke sini supaya dia mengetahui siapakah yang membunuh muridmu ini "

Mendadak ia berpaling dan membentak si pandai besi: "Hayo, lekas! Tempoku tidak banyak menunggu kau."

Sambil memicingkan matanya si pandai besi she Phang itu memandangi kertas yang bertuliskan kaia-kata yang mengolok-olok Ui Yok-su itu, habis itu dia menengadah dan memandangi atap rumah dengan termangu-mangu.

"Hayo, kenapa kau berhenti?" bentak Li Bok-chiu.

"Ya, ya, baik !" pandai besi itu seperti tersadar dari lamunannva, ia mulai bekerja lagi Tapi sebelah tangannya mendadak gunakan tanggam besi nya yang panjang itu untuk menjepit jarum perak berikut kertas surat tadi terus dimasukkan ke dalam tungku, tentu saja hanya sekejap kertas itu, sudah terbakar menjadi abu.

Li Bok-chiu menjadi gusar, segera kebutnya diayun hendak dihantamkan kepada pandai besi itu, Tapi dia sudah berpengalaman luas, mendadak terpikir olehnya bahwa seorang pandai besi tua renta dan kampungan ini masakan begini berani, bukan mustahil dia seorang luar biasa.



Tadinya ia sudah berbangkit, maka pelahan ia duduk kembali, lalu menegur: "Siapakah kau ini?"

"Tidakkah kau lihat sendiri, aku cuma seorang pandai besi," jawab orang she Pang itu.

"Mengapa kau membakar kertasku itu?" tanya Li Bok-chiu pula.

"Yang tertulis di situ tidak betul maka janganlah ditempel di tempatku ini," jawab si orang tua.

"Apa katamu?" bentak Li Bok-chiu.

"Tho-hoa-tocu mempunyai kepandaian maha sakti, setiap anak muridnya asalkan memperoleh sejenis kepandaiannya saja sudah cukup untuk malang melintang di dunia ini," kata pandai besi itu. "Muridnya yang tertua bernama Tan Hian-hong, sekujur badannya keras laksana otot kawat tulang besi tak mempan senjata, apakah kau pernah mendengar namanya?"

Sambil bicara palunya masih terus memukuli lempengan besi yang digemblengnya itu.

Mendengar disebutnya nama Tan Hian-hong, tidak saja Li Bok-chiu terkejut dan heran, bahkan Nyo Ko dan lain-Iain juga merasa aneh, sama sekali mereka tidak menduga secrang pandai besi tua kampungan ternyata kenal juga tokoh-tokoh Kang-ouw termashur.

Terdengar Li Bok-chiu menanggapinya : "Em, konon Tan Hian-hong mati ditusuk oleh seorang anak kecil, di mana letak kelihayannya?"

"O," terdengar pandai besi itu bersuara ragu, Lalu disambungnya: "Dan murid kedua Tho-hoa-tocu bernama Bwe Ciau-hong, terkenal dengan Ginkangnya yang maha hebat dan kecepatan menyerangnya."

"Ya, begitu cepat gerakan orang she Bwe itu sehingga lebih dulu matanya kena dibutakan oleh Kanglam-jit-koay (tujuh tokoh aneh dari Kanglam), Kemudian mampus di tangan Se-tok (si racun dari barat) Auyang Hong."

"Begitukah?" tukas si pandai besi, ia termenung haru sejenak, lalu berkata pula: "Tapi sama sekali aku tidak mengetahui kejadian itu. Dan murid ketiga Tho-hoa-tocu yang bernama Ki Leng-hong terlebih lihay lagi, terutama Pi-kong-ciang (pukulan dari jauh) terkenal amat ganas."

"Memang ada cerita di dunia Kangouw, katanya ada seorang pencuri berani masuk ke keraton raja yang bertahta sekarang dan telah dibinasakan oleh pengawal keraton, tentulah orang itu ialah Ki Leng-hong yang maha lihay dengan Pi-kong-ciang-nya? Hehe"

Tiba-tiba si pandai besi tua itu menunduk "ces-ces", dua tetes butiran air jatuh di atas lempengan besi yang membara itu dan terbakar menjadi uap.

Liok Bu-siang berduduk paling dekat dengan orang tua itu dan dapat melihat jelas kedua tetes air itu adalah air mata yang mengucur dari mata orang tua itu, Diam-diam ia merasa heran, Tertampak orang tua itu mengangkat palunya terlebih tinggi dan memukul dengan lebih keras.

Sejenak kemudian pandai besi she Pang itu membuka suara lagi: "Tho-hoa-to terkenal dengan empat murid utamanya, masing-masing she Tan, Bwe, Ki dan Liok, Murid keempat, Liok Seng-hong, selain terkenal lihay ilmu silatnya juga termashur karena kemahirannya dalam ilmu-ilmu mujizat, jika kau bertemu dengan dia tentu kau bisa celaka."

"Hm, ilmu mujizat apa gunanya?" jengek Li Bok-chiu. "Liok Seng-hong membangun sebuah perkampungan Kui-in-ceng di tepi danau Thay-ouw, tapi hanya dengan sebuah obor saja orang telah membumi hanguskan perkampungannya itu pula dia lantas kehilangan jejak, bisa jadi iapun sudah terbakar menjadi abu oleh api itu."

Mendadak si pandai besi she Pang menatap Li Bok-chiu dan berseru dengan bengis. "Kau Tokoh ini berani mengaco-belo, setiap anak murid Tho-hoa-tocu cukup lihay, manabisa semuanya terbinasa. Hm, kau kira aku orang udik dan tidak tahu apa-apa?"

"Jika tidak percaya boleh kau tanya ketiga bocah ini," jengek Li Bok-chiu.

Si pandai besi paling suka kepada Thia Eng, maka ia berpaling kepada nona itu, sorot matanya memancarkan sinar yang penuh mengandung tanda tanya.

Dengan muram Thia Eng lantas berkata: "Sungguh malang perguruanku yang telah kekurangan tenaga andalannya kini, Wanpwe juga merasa malu karena belum lama masuk perguruan sehingga belum mampu membela nama kehormatan Suhu. Apakah engkau ada hubungannya dengan Suhuku?"

Pandai besi tua itu tidak menjawab, ia hanya mengamat-amati Thia Eng dengan sikap yang sangsi, kemudian ia bertanya: "Apakah paling akhir ini Tho-hoa-tocu mengambil murid Iagi?"

Melihat sebelah kaki si pandai besi cacat, tiba-tiba hati Thia Eng tergerak, jawabnya: "Suhu merasa kesepian dan perlu orang meIayaninya. sebenarnya anak muda macam diriku ini mana berani mengaku sebagai anak murid Tho-hoa-tocu, malahan sampai detik ini Wanpwe belum pernah menginjakkan kaki di Tho-hoa-to."

Dengan ucapan Thia Eng itu sama saja ia telah mengaku dirinya memang betul adalah anak murid Tho-hoa-to.

Tertampak pandai besi tua itu manggut2, sorot matanya mengunjuk rasa simpatik terhadap si nona seperti sanak keluarga sendiri lalu menunduk dan menggembleng besi lagi beberapa kali, tampaknya sambil merenungkan sesuatu.

Melihat gerakan palu si pandai besi sangat mirip dengan gaya ilmu pukulan Lok-hoa-ciang-hoat dari Tho-hoa-to, mau-tak-mau Thia Eng menjadi lebih paham persoalannya, ia berkata: "Di waktu iseng Suhu suka bicara padaku mengenai kejadian beliau mengusir anak muridnya dahulu, bahwa Tan dan Bwe berdua Suheng itu adalah akibat perbuatannya sendiri yang jahat tidak perlu disayangkan, tapi Ki, Liok, Bu dan Pang berempat Suheng benar-benar ikut kena getahnya karena mereka berempat sebenarnya tidak berdosa, terutama Pang Bik-hong, Pang-suheng itu berusia paling muda, kisah hidupnya juga pantas dikasihi, bila teringat akan hal itu sering Suhu merasa menyesal"

Padahal watak Ui Yok-su sangat eksentrik, biarpun hatinya berpikir begitu, tidak mungkin sampai diucapkannya dengan mulut Soalnya Thia Eng adalah gadis cerdik dan berperasaan halus, di kala sang guru kesepian dan bicara iseng dengan dia, dari nada ucapan Ui Yok-su itu dapatlah diterka akan jalan pikiran sang guru itu, maka sekarang ia sengaja memperbesar apa yang didengarnya itu.

Dasar watak Li Bok-chiu memang kejam dan keji, di samping itu perasaannya sebenarnya juga mudah terguncang, dari tanya jawab dan sikap si pandai besi dan Thia Eng dapatlah diterka sembilan bagian hubungan antara kedua orang itu.

Dilihatnya si pandai besi menghela napas panjang, air matapun bercucuran dan menetes pada lempengan besi yang membara itu sehingga terdengar suara mendesis terbakarnya butiran air. Melihat keadaan itu, perasaan Li Bok-chiu ikut terharu juga, Tapi dalam sekejap saja pikirannya sudah berubah dan kembali pada wataknya yang kejam, ia pikir pihak lawan telah bertambah lagi seorang pembantu, tapi pandai besi ini cacad, betapapun kepandaiannya juga terbatas.

Begitulah Li Bok-chiu lantas menjengek "Hm., Pang Bik-hong, selamat atas pertemuan kalian sesama saudara seperguruan !"

Memang betul pandai besi tua she Pang ini adalah murid terkecil Ui Yok-su yang bernama Pang Bik-hong. Dahulu Tan Hian-hong dan Bwe Ciau-hong melarikan diri dari Tho-hoa-to dengan menggondol Kiu-im-sin-keng, tentu saja Ui Yok-su sangat murka, akibatnya semua muridnya terkena getahnya, ia patahkan kaki para muridnya itu dan mengusir mereka dari Tho-hoa-to.

Ki Leng-hong dan Liok Seng-hong dipatahkan kedua kakinya, tapi Ui Yok-su paling sayang kepada murid terkecil yaitu Pang Bik-hong, maka hanya kaki kiri saja yang dipatahkannya walaupun begitu Pang Bik-hong tidak menjadi sakit hati kepada sang guru, ia merasa utang budi karena jiwanya juga diselamatkan oleh gurunya itu, maka ia tidak dendam terhadap apa yang dilakukan sang guru kepadanya itu, hanya saking berdukanya ia lantas mengasingkan diri ke pedesaan ini dan sudah lebih 30 tahun tinggal di sini sebagai pandai besi, sama sekali ia tidak berhubungan lagi dengan orang Kangouw meskipun ilmu silatnya tak pernah dilakukannya.

Sebab itulah Liok Seng-hong dan kakak seperguruannya yang lain mengira dia sudah meninggal Tak tersangka hari ini dia dapat bertemu dengan Thia Eng dan mendengar berita tentang sang guru, saking terharunya air matanya lantas bercucuran.

Sudah tentu Nyo Ko dan Liok Bu-siang kegirangan demi mengetahui si pandai besi she Pang ini adalah Suhengnya Thia Eng, mereka yakin anak murid Ui Yok-su pasti bukan jago lemah dan itu berarti pihaknya telah bertambah bala bantuan.



Tapi Li Bok-chiu telah menjengek pula: "Hm, gurumu sudah mengusir kau, tapi kau masih terkenang padanya, sungguh aneh, pokoknya begini, ketiga bocah ini akan kubunuh, sebaiknya kau jangan ikut campur."

---------------- gambar ------------

Dengan bertopang pada tongkat besi dan berlangkah pincang, Pang Bik-hong ayun palu melawan serangan ilmu kebut Li Bok-chiu yang lihay.

--------------------------------------

"Meski aku pernah belajar silat, tapi selama hidupku tak pernah berkelahi dengan siapapun, apalagi aku sudah cacat kaki, untuk berkelahi juga tidak dapat," ujar Pang Bik-hong, si pandai besi tua.

"Ya, memang begitulah, tidak perlu jiwamu ikut dikorbankan," kata Li Bok-chiu.

"Tidak," tiba2 Pang Bik-hong menggeleng kepala, "betapapun kau tak boleh mengganggu seujung rambut Sumoayku, beberapa orang ini adalah teman Sumoayku, kaupun tidak boleh mengganggu mereka."

Screntak timbul napsu keganasan Li Bok-chiu, jengeknya: "Hehe, jika begitu kalian berempat boleh maju saja seluruhnya !" - Habis berkata ia lantas berdiri dan siap menghadapi pertempuran.

Namun Pang Bik-hong tetap tenang saja menggembleng besinya, dengan pelahan ia berkata: "Sudah lebih 30 tahun kutinggalkan perguruan, ilmu silatku sudah lama kulupakan, sekarang aku harus mengingat-ingatnya dahulu dan mengatur seperlunya."

Li Bok-chiu bergelak tertawa, katanya: "Sekian lamanya aku malang melintang di dunia ini, belum pernah kulihat orang macam kau, di medan perang baru mengasah tombak, Pang Bik-hong, apa betul selama hidupmu belum pernah bergebrak dengan orang?"

"Selamanya aku tak pernah bersalah kepada siapapun, orang memukul atau memaki aku juga kubiarkan saja, dengan sendirinya takkan terjadi perkelahian," kata Pang Bik-hong.

"Hehe, anak murid Ui-losia benar-benar tak becus semua dan memalukan," ejek Li Bok-chiu.

"Li-totiang," kata Pang Bik-hong, "kuharap engkau jangan mengolok-olok guruku."

"Hahaha, sudah lama orang tak mengakui kau sebagai murid, tapi kau masih terus menyebutnya guru ini dan itu, memangnya kau tidak malu?" jengek Li Bok-chiu pula.

Sambil menggembleng besinya, Pang Bik-hong menjawab: "Selama hidupku penuh derita, di dunia ini hanya Suhu saja sanak kadangku, jika aku tidak mengenangkan dan menghormati beliau, habis siapa yang harus kupikirkan lagi? Eh, Siau su-moay, apakah Suhu baik-baik saja?"

"Beliau sangat baik," jawab Thia Eng.

Seketika air muka Pang Bik-hong tampak mengunjuk rasa girang. sementara itu besi yang di-gemblengnya itu sudah membeku, pandai besi tua itu menanggamnya pula untuk dibakar lagi ke dalam tungku. Tapi lantaran pikirannya sedang melayang, maka yang disodorkan ke dalam tungku ternyata bukan besi yang sedang digembleng melainkan palu besar yang dipegangnya itu.

Maka Li Bok-chiu tertawa mengejek puIa: "Pang Bik-hong, boleh kau pikirkan kembali kepandaian ajaran gurumu dan tidak perlu bingung."

Pang Bik-hong tidak menanggapinya, ia memandangi api tungku dengan terkesima, selang sejenak kembali ia memasukkan pula tongkatnya ke dalam tungku.

"He, jangan keliru, itulah tongkatmu !" seru Nyo Ko dan Liok Bu-siang.

Tapi Pang Bik-hong tetap tidak menjawab dan tetap menatapi api tungku. Aneh juga, tongkatnya ternyata tidak terbakar di dalam tungku, sebaliknya lama-lama berubah merah membara, kiranya tongkatnya adalah tongkat besi.

Selang tak Iama palu besar tadi juga terbakar hingga merah, tapi tangannya yang memegangi palu dan tongkat itu ternyata tidak merasakan panasnya besi yang membara itu.

Baru sekarang Li Bok-chiu mulai waspada, ia menyadari pandai besi tua ini tidak boleh diremehkan, kuatir kalau orang mendadak melancarkan serangan dan masuk perangkapnya, segera Li Bok-chiu melompat keluar rumah dan berseru: "Pang Bik-hong, keluar sini!"

Sekali lompat Pang Bik-hong segera menyusul keluar rumah, gerak-geriknya ternyata sangat cepat sedikitpun tidak kelihatan tanda-tanda sebagai seorang cacat, Tongkatnya yang merah membara itu ditancapkannya di tanah, lalu berkata: "Li-to-tiang, kuharap jangan kau memaki guruku lagi juga jangan membikin susah sumoayku, sudilah engkau mengampuni pandai besi tua macam diriku ini!"

Sungguh heran Li Bok-chiu oleh sikap Pang Bik-hong ini, masakah sudah maju di medan perang malah minta ampun kepada lawan, Segera iapun menjawab: "Aku boleh mengampuni jiwamu, kalau kau takut sebaiknya jangan ikut campur urusanku ini."

"Jika begitu silakan kau membunuh diriku dahulu !" jawab Pang Bik-hong dengan mengertak gigi, tubuhnya tampak gemetar, agaknya disamping takut juga pantang mundur.

Li Bok-chiu angkat kebutnya terus menyabet kepala lawan, Tapi Pang Bik-hong mengelak ke samping dengan gaya yang indah, lantaran tangan gemetar, ia ternyata tidak berani balas rnenyerang,

Berturut tiga kali Li Bok-chiu menyerangnya dan Pang Bik-hong selalu menghindarkan diri dengan gerakan yang indah dan gesit, tapi tetap tidak berani balas menyerang.

Sementara itu Nyo Ko bertiga ikut keluar dan menonton di samping, mereka mencari kesempatan untuk maju membantu bila perlu.

Serangan, Li Bok-chiu semakin gencar, tapi Pang Bik-hong memang belum pernah bertempur dengan orang, ditambah wataknya memang ranah, betapapun serangannya tidak dapat dilontarkan.

Melihat gelagat jelek, Nyo Ko pikir untuk memancing semangat tempur tokoh yang berkepandaian tinggi ini tiada jalan lain kecuali membuatnya marah, karena itu ia sengaja berteriak: "Li Bok-chiu, mengapa kau memaki Tho-hoat-tocu manusia rendah, orang yang tidak berbudi dan tidak tahu diri?"

Sudah tentu Li Bok-chiu sangat penasaran karena merasa tidak pernah berkata begitu. Namun ia tidak menanggapi ocehan Nyo Ko itu, sebaliknya serangannya bertambah gencar.

Segera Nyo Ko berseru pula: "Li Bok-chiu, kau menuduh Thoa-hoa-tocu suka berzinah dengan isteri orang dan sering memperkosa anak perempuan orang, memangnya kau pernah menyaksikannya sendiri? Kau memaki beliau suka mengkhianati kawan dan menjual teman, apakah betul tuduhanmu itu?"

Sudah tentu Thia Eng merasa bingung, sebaliknya Pang Bik-hong mengira apa yang dikatakan Nyo Ko betul terjadi, ia menjadi murka terhadap Li Bok-chiu, serentak timbul keberaniannya palu dan tongkat bekerja sekaligus terus menghantam ke arah Li Bok-chiu dengan membawa hawa panas.

Li Bok-chiu tak berani menyambut serangan hebat ini, cepat ia melompat ke samping dan mencari peluang untuk balas menyerang.

Segera Nyo Ko berseru pula: "Li Bok-chiu, kau memaki Tho-hoa-tocu sebagai manusia tidak tahu malu, kulihat kau sendiri yang tidak kenal malu !"

Makin gusar Pang Bik-hong, palu dan tongkatnya terus menghantam musuh dengan tangkas luar biasa, semula dia rada kaku memainkan kedua macam senjatanya itu, tapi lambat-laun dia mulai biasa dengan permainan ilmu silatnya.

Kalau bicara tentang keuletan, sebenarnya selisih kedua orang tidak jauh, tapi Li Bok-chiu sudah lama malang melintang di dunia Kangouw: entah sudah berapa banyak pertempuran yang di-alaminya, pengetahuan dan pengalamannya entah berapa kali lebih banyak daripada Pang Bik-hong, apalagi Pang Bik-hong cacat sebelah kaki, lama-2 tentu kewalahan dan kalah.

Benar saja, setelah rasa murka Pang Bik-hong rada mereda, semangat tempurnya menjadi kendur, lambat-laun ia mulai terdesak di bawah angin. Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, mendadak kebutnya menyabet ke dada lawan, Cepat Pang Bik-hong menangkis dengan palu, tapi ujung kebut terus memutar dan melilit ujung palu.

Sebenarnya gerakan kebut itu adalah kepandaian khas Li Bok-chiu yang biasanya sangat lihay untuk merampas senjata musuh, asal ujung kebut sudah melilit terus dibetot maka senjata lawan pasti akan terlepas dari cekalan..

Tak terduga mendadak terdengar suara mencicit disertai kepulan asap yang berbau sangit, ternyata ujung kebutnya telah hangus terbakar, jadinya Li Bok-chiu tidak berhasil merampas senjata lawan, sebaliknya kehilangan senjatanya sendiri.

Namun Li Bok-chiu tidak menjadi bingung dan gugup, ia buang tangkai kebutnya yang sudah gundul itu, kini dia menggunakan ilmu pukulan andalannya, yaitu Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti panca-bisa.



Meski ilmu pukulannya yang berbisa lima macam itu sangat lihay, tapi untuk menggunakannya larus dilakukan dari jarak dekat, sedangkan lawannya sekarang bersenjatakan palu dan tongkat yang panjang serta diputar sedemikian kencangnya, tertampaklah di antara dua sosok bayangan orang itu mengepulkan asap pula.

Kiranya jubah pertapaan Li Bok-chiu telah bersentuhan dengan palu dan tongkat yang membara dan sebagian demi sebagian terbakar, Keruaa tidak kepalang gusar Li Bok-chiu, sudah jelas dirinya pasti menang, tapi justeru kewalahan dalam hal senjata, betapapun ia merasa penasaran dan bertekad akan menghantam pandai besi tua itu dengan suatu pukulan maut untuk melampiaskan rasa gemasnya.

Untuk pertama kalinya Pang Bik-hong bertempur dengan orang, jika begitu maju lantas kalah, tentu semangat tempurnya akan semakin surut, tapi sekarang dia berada di atas angin, tongkat dan palunya dimainkan sedemikian lihaynya sehingga tiada peluang bagi Li Bok-chiu untuk memukulnya, sebaliknya Li Bok-chiu sendiri beberapa kali hampir termakan oleh palunya, kalau tidak cepat berkelit tentu tangannya sudah terbakar hangus.

Sejenak kemudian, tiba2 Pang Bik-hong berseru : "Sudahlah, berhenti, aku tidak mau bertempur lagi dengan kau ! Macam apa keadaanmu ini!" Habis itu ia terus melompat mundur.

Li Bok-chiu tertegun, ketika angin meniup tiba, baju yang dipakainya sepotong demi sepotong terbang terbawa angin, ternyata bajunya telah berlubang di sana sini kelihatan jelas kulit dagingnya di bagian lengan, pundak dan dada.

Padahal tubuh Li Bok-chiu masih suci bersih, masih tubuh perawan, keruan ia menjadi malu sekali baru saja ia hendak melarikan diri mendadak dekat bokong terasa silir dingin, kiranya sepotong kain baju bagian itu robek pula terbawa angin.

Melihat keadaan orang yang runyam dan konyol itu, cepat Nyo Ko tanggalkan baju sendiri terus dilemparkan sekuatnya ke punggung Li Bok-chiu, Begitu kuat baju Nyo Ko itu melayang ke depan sehingga mirip seorang yang mendadak mendekap Li Bok-chiu dari belakang.

Cepat Li Bok-chiu memasukkan tangannya pada lengan baju itu dan mengencangkannya dengan tali pinggang, Dalam keadaan demikian, biarpun selama hidupnya sudah banyak mengalami pertempuran besar, tidak urung ia menjadi serba salah, mukanya sebentar pucat dan sebentar merah, pikirannya: "Jika kulanjutkan pertarungan ini, sebentar baju ini akan terbakar lagi, Biarlah pil pahit ini kutelan saja sekarang, kelak akan kucari kesempatan untuk menurut balas."

Ia lantas mengangguk kepada Nyo Ko sebagai tanda terima kasih atas pemberian bajunya, lalu ia berpaling dan berkata kepada Pang Bik-hong: "Caramu menggunakan senjata aneh ini ternyata sesuai benar dengan jalan pikiran Ui-losia yang eksentrik itu, Coba katakan terus terang menurut perasaanmu jika bertarung dengan kepandaian sejati, dapatkah kau mengalahkan aku? Anak Ui-losia kalau bertempur satu lawan satu dengan aku, apakah di antaranya bisa mengalahkan aku?"

Pada dasarnya Pang Bik-hong adalah orang yang jujur dan polos, maka dengan terus terang ia menjawab: "Ya, jikalau kau tidak kehilangan senjata andalanmu, lama-lama kau pasti akan mengalahkan aku."

"Asal kau tahu saja" ujar Li Bok-chiu dengan angkuh. "Dan apa yang kutulis tadi bahwa anak murid Tho-hoa-to kebanyakan memang tidak becus menjadi tepat kan?"

Pang Bik-hong berpikir sejenak, lalu berkata : "Tidak, anggapanmu itu tidak betul. Kalau saja keempat suhengku berada di sini, salah seorang di antaranya pasti lebih kuat dari padamu. Tidak perlu Tan-suheng atau Ki-suheng yang lihay, hanya Bwe-suci saja yang sesama kaum wanita seperti kau, betapapun kau tak dapat mengalahkan dia."

"Hm, orang sudah mati tak dapat dibuktikan, apa gunanya dibicarakan" jengek Li Bok-chiu. "Yang jelas kepandaian Ui-losia juga cuma begini saja, tadinya aku bermaksud menguji kepandaian puterinya yaitu Kwe-hujin, tapi sekarang kukira tidak perlu lagi." - Habis berkata ia terus hendak melangkah pergi

"Nanti dulu!" tiba-tiba Nyo Ko berseru.

"Ada apa?" jawab Li Bok-chiu dengan kurang senang.

"Kau bilang kepandaian Tho-hoa-tocu hanya begini saja, ucapanmu ini salah besar," kata Nyo Ko. "Pernah kudengar dari beliau bahwa dia punya Giok-siau-kiam-hoat (permainkan seruling sebagai ilmu pedang) sudah cukup untuk mematahkan permainan kebutmu."

Lalu ia ambil sepotong besi dan menggores-gores di atas tanah sambil memberi penjelasan misalnya Li Bok-chiu menyerang begini segera akan ditangkis dengan begitu terus disusul dengan serangan balasan begini dan seterusnya, dan dalam keadaan kepepet akhirnya kau harus membuang kebutmu dan menyerah kalah.

Lebih jauh Nyo Ko berkata: "Bicara tentang Ngo-tok-ciang-hoat andailanmu, Tho-hoa-tocu sudah siap menghadapi seranganmu - dengan kuku jarinya yang cukup panjang, setiap seranganmu akan "dipatahkan, jika pukulanmu tetap diteruskannya, segera beliau menggunakan tenaga jari sakti, dengan kuku tajam akan menyelentik telapak tanganmu dan bila kena, seketika tanganmu akan lumpuh, sedangkan beliau dapat segera memotong kukunya dan terhindarlah dari penjalaran panca-bisa pukulanmu itu."

Keterangan Nyo Ko itu membuat wajah Li Bok-chiu sebentar pucat sebentar merah padam, sebab setiap kata pemuda itu memang masuk di akal dan memang tepat benar untuk menghadapi serangannya.

Kemudian Nyo Ko menambahkan: "Tho-hoa-tocu sangat gusar akan ucapanmu yang kurangajar, cuma beliau adalah seorang tokoh maha besar dan tidak sudi bergebrak sendiri dengan kau, beliau telah mengajarkan semua kepandaian tadi kepadaku dan suruh aku membereskan kau, tapi mengingat kau dan guruku ada hubungan saudara seperguruan maka aku telah membeberkan kelihayan Tho-hoa-tocu kepadamu agar kelak bila kau bertemu dengan anak muridnya ada lebih baik menghindari saja sejauhnya,"

Li Bok-chiu termangu sejenak, akhirnya ia berkata dengan lesu: "Sudahlah!" - Segera ia memutar tubuh dan melangkah pergi, dalam sekejap saja sudah menghilang di balik bukit sana.

Diam-diam Pang Bik-hong bersyukur melihat musuh lihay itu sudah pergi, Padahal meski Ui Yok-su telah mengajarkan ilmunya kepada Nyo Ko, untuk bisa digunakan secara tepat dan mengalahkan musuh, sedikitnya Nyo Ko perlu berlatih setahun dua tahun, Tapi Li Bok-chiu ternyata gentar dan takluk benar-benar lahir batin atas uraian Nyo Ko tadi, sejak itu ia tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata menghina terhadap Ui Yok-su.

Dengan kepergian Li Bok-chiu, rasanya yang paling girang adalah Liok Bu-siang, maklumlah nona itu sudah lama berada di bawah pengaruh iblis itu, mendengar suaranya saja ketakutan jangankan lagi berhadapan dengan dia. Maka dia tidak habis kagum akan kecerdikan Nyo Ko, berulang ia memuji "si tolol" itu.

Selagi mereka hendak masuk lagi ke dalam bengkel si pandai besi mendadak terdengar suara gemuruhnya orang banyak disertai suara derapan lari kuda yang riuh.

Thia Eng terkejut Cepat Nyo Ko berkata: "Coba kupergi melihatnya!" - Segera ia mencemplak ke atas kudanya dan dilarikan ke sana, setelah membelok ke balik bukit sana dan beberapa li kemudian sampailah dia di jalan raya, Tertampak debu mengepul panji berkibaran, kiranya pasukan Mongol sedang bergerak ke arah selatan.

Selamanya Nyo Ko belum pernah menyaksikan gerakan pasukan sebanyak itu, ia menjadi terkesima. Tiba-tiba dua perajurit Mongol menyentaknya sambil menerjang ke arahnya : "Hei, kau lihat apa?"

Cepat Nyo Ko memutar kudanya dan kabur, kedua perajurit itu segera pentang busur dan melepaskan anak panah, Tapi sekali meraup ke beIakang, dengan mudah saja dua batang anak panah itu sudah kena ditangkap Nyo Ko, ia merasa sam-beran anak panah itu cukup kuat, kalau saja dirinya tidak mahir ilmu silat tentu sudah mati tertembus kedua panah itu.

Melihat Nyo Ko mampu menangkap panah mereka, kedua perajurit itu menjadi jeri terhadap kelihayan Nyo Ko, mereka menahan kuda dan memutar balik ke sana.

Nyo Ko lantas kembali ke bengkel si pandai besi dan menuturkan apa yang dilihatnya itu.

"Pasukan besar Mongol ternyata benar bergerak ke selatan, maka rakyat jelata bangsa Han kita kembali akan menderita," kata Pang Bik-hong dengan gegetun.

"Ya, ketangkasan menunggang kuda dan memanah pasukan Mongol memang sukar dilawan oleh pasukan Song, malapetaka yang bakal menimpa sungguh hebat," ujar Nyo Ko.

Pang Bik-hong berkata pula: "Nyo-kongcu muda usia, mengapa tidak pulang ke selatan untuk ikut berjuang melawan serbuan musuh?"



Nyo Ko melenggong sejenak jawabnya kemudian : "Tidak, aku harus ke utara untuk mencari Kokoh, Begitu kuat pasukan Mongol, hanya tenagaku seorang apa gunanya?"

"Tenaga seorang memang kecil, tapi kalau tenaga orang banyak bergabung kan menjadi kuat," kata Pang Bik-hong. "Apabila setiap orang berpendirian seperti Nyo-kongcu, lalu siapa lagi yang mau berjuang demi bangsa dan tanah air?"

Walaupun merasa ucapan orang tidak salah, tapi Nyo Ko tetap merasa lebih penting mencari Siao-liong-li dahulu. Sejak kecil ia hidup terlunta-lunta di daerah Kanglam dan sudah kenyang derita siksaan kaum penguasa, ia merasa meski orang Mongol tampak kejam dan jahat, tapi kaisar Song juga belum tentu manusia baik dan tidak perlu jual tenaga baginya. Karena itu ia hanya tersenyum saja dan tidak menanggapi ucapan Pang Bik-hong tadi.

Sctelah meringkaskan barang bawaannya dan dipanggul, lalu Pang Bik-hong berkata kepada Thia Eng: "Sumoay, kelak bila bertemu dengan Suhu, harap kau suka menyampaikan kepada beliau bahwa murid Pang Bik-hong tidak pernah melupakan ajaran beliau, Kini aku akan menyusup ke tengah pasukan Mongol, betapapun aku harus membinasakan satu-dua panglimanya yang telah menyerbu tanah air kita ini." Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa berpaling.

Seperginya Pang Bik-hong, mereka bertiga masuk lagi ke dalam bengkel dan melihat Sah Koh terkulai di lantai, mereka kaget dan cepat menggotongnya ke atas pembaringan Kelihatan muka Sah Koh merah padam, kedua matanya melotot tak bersinar, jelas racun pukulan sakti Li Bik-chiu telah bekerja pula.

Cepat Thia Eng memberi minum obat lagi dan Nyo Ko mengurut Hiat-tonya. Sah Koh terbeliak memandangi pemuda itu, mendadak air mukanya mengunjuk rasa ketakutan dan berteriak: "Saudara Nyo, jangan kau minta ganti nyvwa padaku, bukan aku yang mencelakai kau..."

"Jangan takut, Suci," bujuk Thia Eng dengan suara halus, "dia takkan..."

Nyo Ko pikir selagi pikiran Sah Koh dalam keadaan linglung, kesempatan ini dapat digunakan untuk memaksanya memberi keterangan Maka cepat ia cengkeram pergelangan tangan Sah Koh dan membentak dengan bengis: "Jika bukan kau, habis siapa yang mencelakai diriku? Hayo lekas mengaku jika tidak ingin kucekik mati kau untuk mengganti jiwaku!"

Dengan suara gemetar Sah Koh memohon "Jangan, saudara Nyo, jangan, bukan aku!"

"Kau tetap tidak mau mengaku?" bentak Nyo Ko pula dengan gusar "Baik, biar kucekik mampus kau!" Berbareng sebelah tangannya lantas mencengkeram tenggorokan Sah Koh sehingga perempuan itu menjerit ketakutan.

Sudah tentu Thia Eng dan Liok Bu-siang sadar tahu maksud tujuan Nyo Ko, mereka sama mencegahnya dan meminta jangan merecoki Sah Koh.

Tapi Nyo Ko tidak menggubris dan menambahi tenaga cekikannya, dengan lebih beringas ia membentak pula : "Aku adalah setan saudara Nyo, aku mati penasaran, tahukan kau?"

"Ya, ya, aku tahu," jawab Sah Koh dengan gemetar "Setelah kau mati, burung gagak memakan dagingmu."

Perasaan Nyo Ko seperti disayat sembilu, tadinya ia cuma mengira ayahnya mati secara tak wajar, siapa tahu sesudah mati mayatnya tidak terkubur pula dengan baik, bahkan menjadi mangsa burung gagak, maka ia tambah murka, dengan suara keras ia membentak pula: "Hayo lekas katakan, siapa yang membunuh diriku ?"

Dengan suara serak Sah Koh menjawab : "Kau sendiri memukul Kokoh, pada badan Kokoh ada jarum berbisa, lalu kau mati."

Duduk perkara kematian Nyo Khong dahulu terjadi secara kebetulan saja, Semula Auyang Hong menggunakan racun ular membinasakan Lam Hi-jin (salah seorang Kanglam-jit-koay dan guru Kwe Cing), waktu Lam Hi-jin hampir mati, secara tak sadar ia menghantam pundak Ui Yong satu kali sehingga darah beracun dari tangannya itu tertinggal di atas "baju landak" yang dipakai Ui Yong, hal ini sama sekali diluar tahu Ui Yong sendiri.

Maka kemudian ketika Nyo Khong juga menghantam pundak Ui Yong di suatu kelenteng di kota Kah-hin, kebetulan tempat hantamannya itu adalah bagian tempat yang dihantam Lam Hi-jin. Sebab itulah Nyo Khong mati keracunan oleh "duri baju landak!" berbisa yang dipakai Ui Yong itu.

Begitulah Nyo Ko berteriak menanya pula "Kokoh? Siapa itu Kokoh?"

Karena cekikan Nyo Ko yang tambah kencang, hampir saja Sah Koh tidak dapat bernapas dan hampir kelenger, dengan suara lemah ia menja-javvab : ""Kokoh ya Kokoh,"

"Kokoh she apa? Siapa namanya ?" desak Nyo Ko.

"Aku... aku tak tahu, kau le... lepaskan aku!" jawab Sah Koh dengan serak.

Melihat gelagat tidak enak, Liok Bu-siang bermaksud menarik tangan Nyo Ko. Tapi kini keadaan Nyo Ko menyerupai orang yang kehilangan akal sehat, sekuatnya ia mengipatkan tangannya, keruan Bu-siang tak tahan, ia terlempar ke belakang dan tertumbuk pada dinding dengan rasa sakit tidak kepalang.

Melihat Nyo Ko yang biasanya ramah tamah itu kini berubah seperti orang gila, Thia Eng menjadi ketakutan hingga kaki dan tangan terasa lemas.

Nyo Ko pikir kalau sekarang tak dapat mengetahui nama pembunuh ayah, tentu dirinya bisa mati penasaran Maka berulang ia tanya pula . "Siapa Kokohmu? Dia she Ki atau she Bwe?" - ia pikir Sah Koh adalah putri Ki Leng-hong, tentu Kokohnya (bibinya) juga she Ki, bisa jadi adalah Bwe Ciau-hong yang dimaksudkan

Maklumlah, Kwe Cing dan Isterinya memperlakukan dia seperti anaknya sendiri sejak kecil betapapun Nyo Ko tak berani membayangkan bahwa yang membinasakan ayahnya itu adalah Ui Yong adanya.

Begitulah Sah Koh meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Nyo Ko. tapi karena Hiat-to bagian pergelangan tangan juga terpegang pemuda itu, terpaksa ia tidak mampu berkutik hanya berseru dengan suara serak: "Kau minta ganti jiwa kepada Kokoh saja dan jangan mengganggu diriku."

"Kokoh berada di mana?" tanya Nyo Ko pula, "Entahlah, waktu aku dan Suhu berangkat, dia dan lakinya masih tinggal di pulau sana," jawab Sah Koh.

Mendengar keterangan yang cukup berarti ini, seketika hati Nyo Ko tergetar hebat dengan suara gemetar ia coba menegas : "Kokoh memanggil Suhumu dengan sebutan apa?"

"Sudah tentu ayah, apa lagi?" jawab Sah Koh.

Serentak air muka Thia Eng dan Liok Bu-siang juga berubah demi mendengar keterangan itu.

Kuatir salah, Nyo Ko coba mengulangi lagi pertanyaannya : "Jadi laki Kokohmu itu bernama Kwe Cing?"

"Ya, masakah kau tidak tahu?" jawab Sah Koh sambil memancal-mancalkan kakinya dan mendadak berteriak : "Tolong! ToIong!"

Kacau rasanya benak Nyo Ko, sejak kecil ia hidup sebatangkara, seketika terbayang kembali kisah deritanya di masa lalu, ia pikir kalau ayahnya tidak dibunuh orang, tentu ibunya tidak perlu hidup sengsara dengan menangkap ular dan dengan sendirinya juga takkan mati tergigit ular berbisa, tentu pula dirinya juga tidak perlu hidup merana.

Bila teringat pula kebaikan Kwe Cing dan Ui Yong waktu dirinya tinggal di Tho-hoa-to dahulu, sungguh sukar dipercaya bahwa musuh pembunuh ayah itu adalah paman dan bibi itu.

Karena gejolak perasaannya itti, cengkeramannya menjadi kendur, Sah Koh berteriak satu kali terus melompat bangun.

Cepat Thia Eng mendekati Nyo Ko dan menghiburnya: "Suci memang tidak waras pikirannya hal ini kaupun tahu, maka apa yang dikatakannya itu janganlah kau percaya." walaupun begitu katanya, namun dalam hati ia percaya penuh apa yang diucapkan Sah Koh pasti benar adanya.

Ia lihat air muka Nyo Ko sangat sedih dan seperti tidak mendengar apa yang dikatakannya itu. Setelah termenung sejenak, mendadak Nyo Ko melompat keluar rumah dan mencemplak ke atas kudanya yang kurus itu terus dilarikan dengan cepat.

Dari belakang sayup-sayup terdengar seruan Thia Eng dan Liok Bu-siang, tapi tak digubris lagi oleh Nyo Ko, yang terpikir oleh pemuda itu hanya: "Aku harus menuntut balas! Aku harus menuntut balas !"

Sekaligus ia larikan kudanya sampai ratusan li jauhnya, ketika tiba-tiba merasa bibir rada perih dan sakit, ia coba merabanya dan ternyata penuh darah. Kiranya saking sedih dan gusarnya, tanpa sadar ia menggigit bibir sendiri hingga pecah dan berdarah.

Dasarnya Nyo Ko memang benci kepada kehidupan yang dianggapnya tidak adil ini, kini dirasakan dunia ini palsu belaka dan tiada seorangpun yang baik, Bahwa bibi Kwe memang tidak begitu baik padaku, ini sudah jelas, tapi paman Kwe, paman Kwe...



Maklumlah, selama ini dia sangat kagum dan menghormat kepada Kwe Cing, ia merasa ilmu silat dan kepribadian paman Kwe itu sungguh lain daripada yang lain, lebih-lebih sang paman yang begitu baik hati padanya, tapi sekarang ia merasa tertipu habis-habisan. Saking berdukanya ia menjadi lemas, ia turun dari kuda dan duduk di tepi jalan, ia menangis tergerung sambil mendekap kepala.

Sekali sudah menangis, maka sukar dibendung lagi air matanya seakan-akan segala duka derita manusia hidup ini seluruhnya berada dalam tangisnya itu.

Sebenarnya Nyo Ko belum pernah melihat muka ayahnya dan juga belum pernah mendengar kisah hidup sang ayah, tapi sejak kecil ia mengkhayalkan sang ayah yang gagah ksatria itu, dalam lubuk hatinya ia merasa sang ayah adalah manusia yang paling baik, yang paling sempurna di dunia ini.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa semasa hidup ayahnya adalah manusia yang kotor dan rendah, seorang pengkhianat terhadap bangsa dan negara.

Begitulah Nyo Ko terus menangis sampai sekian lamanya, ketika tiba-tiba mendengar suara derapan kaki kuda, tertampak dari utara mendatangi tiga empat penunggang kuda, dari dandanannya jelas adalah Busu bangsa Mongol.

Busu paling depan memegang tumbak, pada ujung tombaknya menusuk seorang bayi berumur dua tahunan, jadi seperti sujen satai dan dianggapnya seperti permainan yang menarik.

Agaknya bayi itu belum mati terbukti masih mengeluarkan suara tangisan yang lemah, Tapi busu Mongol itu malah bergelak tertawa gembira. Ketika melihat Nyo Ko merintangi jalan lalu mereka, segera seorang di antaranya membentak.

"Hayo, minggir !" - Berbareng tumbaknya terus menusuk ke arah Nyo Ko.

Memangnya Nyo Ko keki dan tak terlampiaskan segera ia pegang ujung tumbak musuh terus dibetot, menyusul sebelah tangannya terus menampar, kontan Busu yang terberosot dari kudanya itu mencelat beberapa meter jauhnya dan mati dengan batok kepala pecah berantakan.

Keruan Busu yang lain menjadi ketakutan melihat ketangkasan Nyo Ko, mereka menjerit kaget terus memutar kuda dan kabur seperti diuber setan "Plok", bayi yang tersujen di ujung tumbak seorang Busu tadi terjatuh di tepi jalan.

Cepat Nyo Ko memondongnya, ia lihat bayi itu adalah anak bangsa Han, gemuk lagi putih, tampaknya sangat menarik, Tapi ujung tumbak Busu tadi telah menembus perutnya, walaupun seketika belum mati, tapi tidak mungkin juga disembuhkan.

Bayi itu masih dapat mengeluarkan suara tangisan lemah sambil memanggil "ibu" dengan suara lirih, Nyo Ko sendiri lagi berduka, ia bertambah sedih dan kasihan kepada bayi yang sedang sekarat itu, kembali air matanya bercucuran. Melihat bayi itu dalam keadaan menderita, terpaksa ia pukul bayi itu dengan pelahan untuk menewas-kannya, Lalu ia gunakan tumbak Busu Mnngol tadi untuk menggali tanah, maksudnya hendak mengubur jenazah bayi itu.

Tapi baru sebentar ia menggali, mendadak terdengar suara gemuruh di kejauhan sana disertai debu mengepul tinggi, di tengah suara terompet, pasukan besar Mongol tampak menerjang tiba dengan cepat.

Lekas Nyo Ko jinjing tombaknya dan mencemplak ke atas kudanya, meski kurus, tapi kudanya itu adalah kuda perang yang sudah berpengalaman.

Maka sekali meringkik segera kuda itu menerjang ke tengah pasukan Mongol Tumbak Nyo Ko bekerja cepat, sekaligus ia membinasakan beberapa perajurit musuh, tapi pasukan Mongol membanjir tak terhitung jumlahnya, terpaksa Nyo Ko membelokkan kudanya dan kabur ke tempat sepi. Dari belakang ia dihujani anak panah, namun semuanya dapat disampuk jatuh oleh tumbaknya.

Kuda kurus itu dapat berlari cepat sekali hanya sekejap saja sudah meninggalkan kejaran musuh, tapi kuda itu masih terus lari secepat terbang di ladang belukar, Tak lama haripun mulai gelap, Nyo Ko menahan kudanya dan coba memandang jauh sekelilingnya, tertampak semak belukar tumbuk melebihi batas lutut, puncak gunung dikelilingi kabut tebal di kejauhan, suasana sunyi senyap, bahkan suara burungpun tak terdengar.

Nyo Ko turun dari kudanya sambil masih memondong bayi yang sudah tak bernyawa tadi, ia pikir: "Kedua orang tua anak ini tentu sangat sayang padanya, tapi tumbak Busu Mongol itu telah membinasakan bayi tak berdosa ini. Bayi ini kini sudah mati dan tak merasakan apa-apa lagi, tinggal kedua orang tuanya yang berduka dan merana, Melihat keganasan musuh, serbuan pasukan Mongol ke selatan sekali ini entah betapa banyak korban yang akan ditimbulkannya?"

Makin dipikir makin susah hati Nyo Ko, kemudian ia menggali liang di tepi pohon untuk mengubur bayi itu. Habis itu ia menjadi teringat kepada ucapan Sah Koh tentang kematian ayahnya, bayi ini mati, tapi ada yang menguburnya, sebaliknya kematian ayahku harus diakhiri di dalam perut burung gagak, Kalian sudah membunuhnya dan mengapa tidak menguburnya puIa? Ai, kalian sungguh amat kejam !

Karena berlari seharian, Nyo Ko melihat kudanya sudah lelah, apalagi ke sananya mungkin juga sukar mendapatkan tempat pondok, terpaksa harus mencari tempat bermalam seadanya, ia kuatir di semak belukar ini akan diganggu oleh ular berbisa atau binatang buas, maka ia lantas mengeluarkan seutas tali, kedua ujung tali diikat pada dua batang pohon, ia menirukan cara tidur Siao-liong-li dengan berbaring di atas tali yang terbentang itu.

Sampai tengah malam, tiba-tiba Nyo Ko mengendus bau langu, menyusul terdengarlah suara raungan di sana sini, Nyo Ko terkejut, cepat ia memandang ke arah suara meraung itu, Kebetulan malam ini gelap gulita, syukur dia sudah biasa bertempat tinggal di kuburan kuno yang gelap itu, sudah biasa pula ia memandang sesuatu dalam keadaan gelap.

Maka dapatlah diketahui ada empat lentera kecil yang mendekatnya dengan pelahan. Waktu ia menegas pula, kiranya empat lentera kecil itu adalah sorot mata dua ekor harimau kumbang. Kedua ekor harimau kumbang itu hitam mulus dengan badan langsing dan panjang, jelas bukan harimau daerah Tionggoan yang pernah dilihatnya.

Kedua ekor mariraau itu sambil berjalan sambil mengendus-endus, sampai di tempat kuburan bayi, mendadak cakar kedua harimau itu menggaruk-garuk dengan cepat.

Nyo Ko menjadi gusar, pikiranya hendak melompat turun untuk mengusir harimau itu, ceIakanya tidak membawa senjata, tumbak rampasan dari Busu Mongol itu sudah dibuangnya tadi. Tampaknya kedua ekor kucing raksasa sangat tangkas dan buas, jika menempurnya dengan bertangan kosong mungkin diri sendiri tak terhindar dari luka parah.

Selagi sangsi, tiba-tiba terdengar di sebelah barat sana ada suara "blang" yang keras, sejenak kemudian suara "blang" itu terdengar lagi satu kali. Waktu Nyo Ko memandang ke sana, seketika ia tertegun dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri.

Ternyata yang dilihatnya adalah sebuah peti mati, anehnya peti mati itu dapat bergerak dan melompat-lompat, makin lama makin dekat

Bahwa peti mati dapat bergerak sendiri benar-benar aneh bin ajaib, Nyo Ko sampai terkesima berbaring di atas talinya sambil menahan napas.

Setelah melompat-lompat lagi beberapa kali,, kemudian peti mati itu berhenti di bawah sebatang pohon besar Tampaknya kedua ekor harimau kumbang itu menjadi heran juga melihat peti mati, mereka terus lari ke sana dan mengelilingi peti mati sambil mengeluarkan suara endusan dari hidung.

Salah seekor harimau itu coba menggaruk tutup peti mati dengan cakarnya yang tajam.

Pada saat itulah mendadak tutup peti mati bisa menjeplak sendiri, dari dalam peti melompat keluar sesosok mayat kering yang tinggi kurus, sekali kakinya menendang dengan kaku, kontan harimau kumbang di depannya jatuh terguIing.

Harimau yang lain segera menubruk maju hendak menggigit mayat hidup itu, tapi kuduk harimau malah kena dicengkeram oleh mayat hidup itu dan terlempar hingga jauh.

Melihat betapa hebat kekuatan mayat hidup itu, Nyo Ko terkejut hingga mandi keringat dingin.

Meski sudah kecundang, tapi kedua harimau kumbang itu tidak menyerah mentah-mentah, walaupun tak berani menerjang maju lagi, tapi keduanya mendekam di kejauhan sambil meraung geram.

Tiba-tiba dari lembah gunung sana timbul suara seram laksana bunyi burung hantu, sesosok bayangan hitam menggelinding tiba laksana gumpalan asap, Kedua ekor harimau kumbang lantas memapaki gumpalan asap itu dan berdiri di sampingnya dengan tingkah laku yang sangat jinak seperti anjing terhadap majikannya.



Sesudah gumpalan asap hitam itu tidak bergerak lagi barulah kelihatan dengan jelas, kiranya adalah seorang kakek pendek dengan baju hitam mulus, kulit badannya juga hitam kelam serta janggut yang hitam lebat, di atas pundaknya menghinggap seekor burung kondor besar dengan kepala botak, warna burung kondor itupun hitam mulus,

Terdengar kakek hitam pendek itu membuka suara: "Siau-siang-cu, mengapa kau memukuli kucing piaraanku? Kata pribahasa: pukul anjing juga mesti mengingat majikannya, Tindakanmu tadi bukankah terlalu ?"

Tinggi badan kakek itu hanya satu meteran, walaupun tubuhnya cebol, tapi suaranya ternyata nyaring seperti bunyi guntur sehingga anak telinga Nyo Ko pun tergetar.

Terdengar mayat hidup tadi mendengus dan menjawab dengan suara lemah: "Saudara Singh, kucingmu kan tidak sampai kulukai? Baiklah kuminta maaf padamu !" Sembari berkata iapun memberi hormat.

Kini barulah Nyo Ko dapat melihat dengan jelas, kiranya mayat hidup itu sebenarnya adalah manusia, cuma gerak-geriknya lurus kaku, mukanya pucat seperti kertas, pula muncul dari dalam peti mati maka Nyo Ko salah menyangkanya sebagai mayat hidup.

Kalau melihat gerak tendangan serta cengkeramannya tadi, dua ekor harimau kumbang dianggapnya seperti dua ekor kucing saja, jelas kepandaiannya itu adalah tokoh dunia persilatan kelas satu.

Kedua orang sama-sama menyebut harimau-kumbang sebagai "kucing", si kakek cebol berwatak keras berangasan, sebaliknya si- mayat hidup jangkung bersikap tenang, sungguh suatu perbandingan yang menyolok dan aneh.

Terdengar si kakek cebol berkata pula: "Siau-siang-cu, bagaimana dengan urusannya Kim-Iun Hoat-ong?"

Mendengar nama "Kim-lun Hoat-ong" disebut, mau-tak-mau Nyo Ko sangat tertarik dan menaruh perhatian sepenuhnya.

Maka terdengar Siau-siang-cu mendengus satu kali, lalu berduduk di atas peti mati dan berkata: "Seorang diri dia berebut pengaruh dengan jago silat Tionggoan dan telah mengalami kekalahan besar."

Kakek cebol itu terbahak-bahak, suaranya menggetar pohon, burung hantu di atas pundaknya juga mengeluarkan suara yang seram.

Habis tertawa barulah kakek cebol itu berkata : "Aku Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok (lndia sekarang) yang jauh di barat sana, tapi sampai di sini ternyata telah didahului oleh Kim-lun Hoat-ong, dia sudah diangkat sebagai Koksu (imam negara) kerajaan Mongol Hm, hm, padahal berdasarkan kepandaiannya apakah dia sesuai untuk disebut sebagai "nomor satu"?"

Dengan nada mengejek Siau-siang-cu menanggapi "Memangnya, di dunia ini selain engkau saudara Singh, siapa lagi yang sesuai dianugerahi gelar itu?"

Nimo Singh bergelak tertawa gembira, Siau-siang-cu juga terkekeh beberapa kali, tapi jelas nadanya mengejek.

Nimo Singh berkata lagi : "Siau-siang-cu, kau tinggal di Ouwlam, mengapa kau tidak berebut gelar itu padanya ?"

Siau-siang-cu menjawab: "Waktu pangeran Kubilai mengirim undangan padaku, ketika itu aku sedang berlatih Siu-bok-tiang-sing-kang (ilmu hidup abadi) dan tidak sempat hadir, jadinya kedudukan itu dapat diambil Kim-lun Hoat-ong dengan mudah."

"Dan kini ilmu saktimu itu tentu sudah selesai kau latih, mengapa kau tidak mengukur tenaga dengan dia? Apakah kau takut kepada roda emas Hwesio besar itu?" ejek Nimo Singh.

"Kenapa takut kepada Hwesio?" jawab Siau-siang-cu, "soalnya kepandaianku belum memadai, kan begitu ?"

Kembali Nimo Singh bergelak terrawa, tapi mendadak ia merasa ucapan orang bernada mengejek dengan gusar ia lantas berkata: "Siau-siang-cu, kau pandang rendah diriku. bukan? Baik, akan kucoba betapa lihaynya kau punya Siu-bok-tiang-sing-kang?"

Sekali bilang mau coba, tanpa tawar-tawar lagi segera ia mencobanya, mendadak segulung asap menerjang ke depan..

Tapi biarpun perawakan Siau-siang-cu kelihatan kaku, gerak-geriknya ternyata gesit dan cepat luar biasa, cepat ia angkat peti matinya terus mengepruk. Terdengarlah suara "blang" yang keras, kedua orang sama melompat mundur, kedua ekor harimau kumbang dan burung hantu sama meraung dan menguak sehingga menambah seramnya suasana.

Setelah benturan tadi, kedua orang sama merasakan kepandaian lawan memang lihay, Nimo Singh berkata: "Hebat sekali kepandaianmu Siau-siang-cu,"

Siau-siang-cu tertawa dingin pula dan menjawab : "Ah, aku yang mengaku kalah. Apakah namanya ilmu kepandaianmu itu?"

"lnilah Sakya-hiat-kang (ilmu sakti Sakya melempar gajah)," jawab Nimo Singh

"Ya, saudara Singh berasal dari negeri Tat-Ipo Loco (Budha Dharma), pantas memiliki ilmu sakti itu," ujar Siau-siang-cu.

Dari jarak jauh kedua orang lantas saling memberi hormat Habis itu mendadak Nimo Singh berlari cepat ke sana, dalam sekejap saja bayangannya sudah menghilang di kegelapan, kedua ekor harimau kumbang tadi juga lantas menyusul pergi.

Siau-siang-cu juga lantas melompat ke dalam peti matinya dan peti mati itu kembali berjingkrak-jingkrak menggeser sendiri ke arah berlawanan.

Tanpa sengaja Nyo Ko telah menyaksikan adegan aneh itu, diam-diam ia mengakui bahwa jagat raya yang luas ini benar-benar terdapat orang-orang maha sakti dan hal-hal yang ajaib. Coba kalau dirinya tidak berbaring tinggi di atas tali, tentu jejaknya sudah ketahuan kedua orang aneh tadi dan bukan mustahil jiwanya sudah melayang.

Sukar baginya untuk tidur lagi, ia coba merenungkan gaya ilmu silat kedua orang tadi, ia merasa ilmu mereka itu sama anehnya, tapi sangat lihay.

Sampai lama sekali Nyo Ko merenung, akhirnya ia pejamkan mata untuk menghimpun semangat. Tak lama, tiba-tiba terdengar kudanya meringkik sekali. Kuda itu sangat cerdik, ketika kedua ekor harimau kumbang tadi datang, karena mengendus bau binatang buas itu, maka kuda kuda itu mendahului menyingkir jauh, kini mendadak meringkik, tentu terjadi sesuatu pula di sekitar situ.

Dari balik semak rumput Nyo Ko coba merunduk maju ke sana, sementara itu sudah fajar hari sudah mulai remang-remang, Nyo Ko melihat di kejauhan ada seorang sedang melompat tinggi ke atas, sebelah tangannya menjulur untuk memetik buah-buahan. sesudah dekat, Nyo Ko mengenal orang itu adalah Darba, murid Kim-lun Hoat-ong.

Setiap lompatan Darba hanya dapat memetik satu buah, rupanya ia menjadi tidak sabar, akhirnya ia gunakan lengannya untuk menghantam batang pohon, seketika pohon buah itu patah dan rebah, maka dapatlah Darba memetik buahnya dengan mudah dan cepat.

Nyo Ko pikir barangkali Kim-lun Hoat-ong juga berada di sekitar situ, sebenarnya dia tiada permusuhan dengan Hoat-ong, kini setelah jelas diketahui Kwe Cing dan Ui Yong adalah musul pembunuh ayahnya, ia menjadi menyesal tempo hari telah membantu kedua orang itu menempur Kim-lun Hoat-ong.

Diam-diam Nyo Ko lantas menguntit di belakang Darba, ia lihat orang berlari secepat terbang menuju lereng bukit sana, Nyo Ko tahu ilmu silat Darba sangat hebat, maka ia tidak berani terlalu dekat, hanya menguntit dari kejauhan saja.

Tertampak Darba masuk ke tengah hutan dan makin menanjak ke atas, akhirnya sampai puncak tertinggi pegunungan itu. Di atas puncak gunung itu terdapat sebuah gubuk kecil yang tak berdinding, Kelihatan Kim-lun Hoat-ong sedang duduk bersemadi.

Darba menaruh semua buah yang dipetiknya tadi di lantai gubuk itu, lalu mengundurkan diri. Ketika berpaling dan mendadak dilihatnya Nyo Ko sedang mendatanginya, seketika air mukanya berubah dan berseru: "Hei, Toasuheng, apakah engkau hendak membikin susah Suhu?"

Berbareng itu ia terus menerjang maju dan menarik baju Nyo Ko.

Sebenarnya ilmu silat Darba terlebih kuat daripada Nyo Ko, tapi lantaran sang guru dalam keadaan semadi dan tidak boleh diganggu, apabila sampai terganggu, seketika jiwa bisa melayang, saking gugupnya ia menjadi linglung dan cara menyerangnya menjadi melanggar peraturan dasar ilmu silat, keruan ia berbalik kena dipegang oleh Nyo Ko terus disengkelit sehingga dia terbanting jatuh.

Menurur jalan pikiran Darba, ia percaya Nyo Ko adalah inkarnasi Suhengnya, apalagi sekarang ia terbanting jatuh, setelah berguling di tanah segera ia merangkak bangun dan berlari pula ke depan Nyo Ko.

Semula Nyo Ko menyangka orang hendak menyerangnya lagi, maka cepat ia melangkah mundur dan siap balas menyerang, Siapa duga mendadak Darba terus tekuk lutut dan menyembah padanya sambil memohon: "O, Toasuheng, harap engkau suka mengingat kebaikan Suhu di masa lampau, kini Suhu terluka parah dan sedang mengadakan penyembuhan diri, jika engkau mengejutkan beliau tentu bisa..." sampai di sini Darba tidak sanggup melanjutkan lagi karena tenggorokan serasa tersumbat dan air matapun bercucuran



Meski Nyo Ko tidak paham bahasa Tibet yang diucapkan Darba, tapi dari sikapnya dan suaranya, pula Kim-lun Hoat-ong tampak pucat, maka dapatlah dia memahami apa artinya itu, cepat ia membangunkan Darba dan berkata: "Aku takkan mencelakai gurumu, jangan kuatir."

Melihat sikap Nyo Ko yang ramah itu, Darba menjadi girang, meski berbeda bahasa, namun rasa permusuhan telah lenyap kini.

Pada saat itulah Kim-lun Hoat-ong tampak membuka matanya, melihat Nyo Ko, ia menjadi melenggong, Tadi dia tekun bersemadi sehingga tidak mendengar apa yang dipercakapkan antara Darba dan Nyo Ko, kini mendadak nampak musuh sudah berada di depan mata, maka sambil menghela napas iapun berkata: "Percumalah kepandaian yang kulatih berpuluh tahun ini, siapa nyana hari ini aku harus tewas di Tionggoan sini."

Kiranya Kim-lun Hoat-ong terluka parah oleh hantaman batu besar itu hingga isi perutnya terluka dalam, ia pasang gubuk dan merawat luka di atas gunung ini, tak terduga Nyo Ko mendadak bisa muncul di sini, maka ia mengira dirinya pasti celaka.

Siapa tahu Nyo Ko malah memberi hormat padanya dan menyapa: "Kedatanganku ini bukan untuk memusuhi Hoat-ong, hendaklah jangan kuatir."

Hoat-ong menggeleng kepala, baru mau bicara lagi, mendadak dada terasa kesakitan, cepat ia pejamkan mata dan mengatur pernapasan.

Melihat keadaan orang, Nyo Ko mengulurkan tangan kanan dan menempel Ci-yang-hiat di punggung Hoat-ong.

Darba kaget, cepat ia ayun kepalan hendak menyerang Nyo Ko, Tapi Nyo Ko sempat menggoyangi tangan kiri dan mengedipinya.

Ketika nampak keadaan sang guru tiada perubahan apapun, sebaliknya tampak tersenyum simpul, maka kepalan yang sudah diangkat itu tak jadi dipukulkan.

Dalam pada itu Nyo Ko telah mengerahkan tenaga dalam sehingga suatu arus hawa hangat mengalir ke berbagai Hiat-to di tubuh Kim-lun Hoat-ong.

Karena pikirannya tidak perlu kuatir lagi segera Kim-lun Hoat-ong memusatkan segenap kekuatannya untuk melancarkan aliran darahnya serta membenarkan luka dalamnya, Tidak terlalu Iama rasa sakitnya sudah mulai lenyap, wajahnya telah bersemu merah. Ia membuka mata dan mengangguk kepada Nyo Ko sebagai tanda terima kasih.

Setelah dibantu Nyo Ko sekian lama, Kim-lun Hoat-ong merasa hawa murni di dalam tubuh telah berputar dengan cepat dan lancar.

Nyo Ko merasakan perputaran dan arah aliran hawa murni di dalam tubuh Hoat-ong itu ternyata sama sekali berbeda dengan Lwekang aliran Coan- cin-pay, bahkan juga tidak sama dengan lwekang terbalik ajaran Auyang Hong. Yang jelas Lwekang Hoat-ong ini juga teratur dengan baik walaupun perputarannya terkadang berubah ke kanan dan ke kiri secara tak menentu. ia tahu ini adalah aliran ilmu tersendiri dari Tibet, diam-diam iapun mengingatnya dengan baik, hanya saja bagaimana caranya berlatih belum diketahui Nyo Ko, apalagi untuk berlatih sampai tingkatan Kim-lun Hoat-ong tentu tak dapat dicapai dalam waktu singkat.

BegituIah kemudian Kim-lun Hoat-ong memberi hormat kepada Nyo Ko dan bertanya: "Nyo-siauhiap, mengapa engkau tiba-tiba datang membantu aku?"

Nyo Ko lantas menceritakan bahwa baru saja ia mengetahui pembunuh ayahnya ternyata adalah Kwe Cing dan Ui Yong, maka kini bertekad akan menuntut balas, secara tidak sengaja tadi dia menguntit Darba sehingga akhirnya bertemu di sini.

"Syahdu ! Syahdu ! Kiranya Nyo-siauhiap sendiri dibebani dendam kesumat begitu," sabda Kim-lun Hoat-ong. "Namun Kwe-tayhiap dan isterinya itu berilmu silat maha tinggi, bagi Nyo-siauhiap kiranya tidaklah mudah untuk menuntut balas."

"Jika perlu, biarlah kami ayah dan anak mati semua di tangannya," ujar Nyo Ko setelah terdiam sejenak

"Betapapun maksud tujuanmu untuk mengukur tenaga dengan tokoh persilatan di Tionggoan sini belum terhenti, namun dengan tenagaku sendiri jelas tak sanggup melawan mereka yang berjumlah banyak, aku juga ingin mengundang tokoh persilatan dari negeri lain untuk membantu pihak kami, dengan begitu kita akan dapat mengukur tenaga dengan jago silat Tionggoan dengan sama banyak dan adil Untuk ini apakah engkau bermaksud membantu pihak kami?"

Mestinya Nyo Ko ingin menerima tawaran itu, tapi segera teringat olehnya kekejaman perajurit Mongol, segera ia menjawab: "Aku tak dapat membantu pihak MongoI."

"Tapi jika engkau ingin membunuh Kwe Cing dan isterinya dengan tenagamu sendiri terang maha sulit," kata Hoat-ong.

Untuk sejenak Nyo Ko berpikir, katanya kemudian: "Baik, akan kubantu kau merebut kedudukan Bu-lim Beng-cu, tapi kau harus membantu aku menuntut balas."

"Baik," jawab Hoat-ong sambil mengulurkan tangan "Kata-kata seorang lelaki sejati harus ditepati, Marilah kita berjanji dengan bertepuk tangan."

Segera kedua orang saling tepuk tangan tiga kali sebagai sumpah setia berserikat.

Lalu Nyo Ko berkata pula: "Aku cuma berjanji membantu kau berebut kedudukan Bu-Iirn-bengcu saja, bahwa kau akan membantu orang Mongol menyerang ke selatan dan melakukan kekejaman dan kejahatan, untuk itu aku tak dapat memberi bantuan."

"Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri dan tak dapat dipaksakan," kata Hoat-ong dengan tertawa. "Saudara Nyo, gaya ilmu silatmu terdiri dari berbagai aliran, ingin kukatakan terus terang, bahwasanya memahami berbagai ilmu memang tiada jeleknya, tapi terlalu banyak menjadi tidak murni. Dalam ilmu apa yang paling kau andalkan dan dari aliran mana? Dengan kepandaian apa kau hendak menempuh Kwe Cing dan istrinya untuk membalas sakit hatimu?"

Pertanyaan ini membikin Nyo Ko bungkam dan sukar memberi jawaban. Selama hidupnya memang banyak pengalaman aneh yang ditemuinya, wataknya juga suka menerima kepandaian apa saja asalkan bisa dipelajarinya, ilmu silat Coan-cin-pay, kepandaian Auyang Hong, Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, Kiu-im-cin-keng, ajaran Ui Yok-su dan Ang Chit-kong tak terhitung banyaknya ilmu yang telah dipeIajarinya.

Tapi setiap ilmu itu sangat luas dan dalam, biarpun dia mempelajarinya dengan segenap kepintarannya juga sukar mencapai tingkatan yang sempurna, dia hanya ambil sini sebagian dan petik sana sebagian pula, belum ada sejenis ilmu itu yang benar-benar dilatihnya hingga mencapai tingkat kelas satu.

Dengan memiliki kepandaian yang beraneka macam itu, kalau ketemu jago kelas dua memang cukup untuk membikin musuhnya itu kewalahan dan bingung, tapi kalau kebentur tokoh kelas tinggi segera kelemahannya kelihatan dan menyolok perbedaannya.

Begitulah Nyo Ko menunduk merenungkan-apa yang dikatakan Kim-lun Hoat-ong itu, ia merasa ucapan orang memang benar dan tepat mengenai kelemahan ilmu silat yang telah dipelajarinya itu, Bahwa Ang Chit-kong, Ui Yok-su, Auyang Hong, Kim-lun Hoat-ong dan tokoh terkemuka lain, dapat termashur, dan menonjol semuanya adalah karena mereka hanya meyakinkan ilmu perguruannya sendiri, jadi untuk mencapai tingkatan sempurna tidaklah perlu serakah dalam jumlah, tapi yang penting adalah kadar kepandaian itu sendiri.

Ia pikir sudah sekian banyak ilmu yang kupahami dan semuanya serba lihay, lalu ilmu manakah yang harus kupelajari secara khas? Kalau menuruti arah pikiran, sudah tentu dirinya harus melulu meyakini Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, apalagi kalau dirinya sudah bertekad akan hidup berdampingan selamanya di dalam kuburan kuno bersama Siao-tiong-li.

Tapi bila teringat betapa bagusnya Pak-kau-pang-hoat ajaran Ang Chit-kong, atau betapa indahnya Giok Siau-kiam-hoat ajaran Ui Yok-su, kalau semuanya itu dikesampingkan kan juga sayang? Apalagi Ha-mo-kang ajaran Auyang-Hong atau berbagai ilmu sakti dari kitab Kiu-im- cin-keng, ilmu yang sangat diidamkan jago silat siapapun, kini dirinya dapat mempelajarinya, masakah malah ditinggalkan begitu saja ?

Saking kesalnya ia keluar gubuk itu dan berjalan mondar-mandir dengan bersedekap-tangan, sejenak kemudian mendadak timbul suatu pikiran dalam benaknya: "Ya, mengapa aku tidak menggunakan intisari semua ilmu yang kupahami ini untuk menjadikannya suatu aliran tersendiri? setiap ilmu silat di dunia ini adalah ciptaan manusia, kalau orang lain dapat menciptakannya, mengapa aku tidak?" Berpikir sampai di sini, mendadak pikirannya terbuka, jalan terbentang terang di depan matanya.

Begitulah ia mulai memeras otak, dari pagi berpikir sampai lohor dan sampai jauh malam pula tanpa makan dan minum, Berbagai aliran ilmu silat terbayang bergantian dalam benaknya dan seakan-akan saling bertempur.

Ia pernah menyaksikan pertandingan antara Ang Chit-kong dan Auyang Hong secara lisan, ia sendiripun pernah menggertak lari Li Bok-chiu hanya dengan uraian mulut saja. Kini pertarungan berbagai aliran ilmu silat dalam benaknya itu ternyata jauh lebih dahsyat dan sengit daripada pertandingan lisan.

Begitulah bayangan pertarungan antara berbagai aliran silat terus berkecamuk di dalam benaknya sampai akhirnya tanpa terasa kaki dan tangannya juga ikut bergerak. Semula masih dapat dibedakan jurus ini berasal dari ajaran Ang Chit kong dan jurus lain dipelajari dari Auyang Hong, tapi lama-Iama menjadi kacau balau dan tak tahan lagi, mendadak ia jatuh terjungkal dan pingsan.

Dari jauh Darba mengikuti gerak-gerik Nyo Ko yang linglung dan kemudian main silat sendiri seperti orang gila, akhirnya pemuda itu mendadak jatuh, ia menjadi kaget dan memburu maju hendak menolongnya.

Tapi Kim-lun Hoat-ong telah mencegahnya dengan tertawa: "Jangan kau ganggu dia, Sayang kecerdasanmu kurang sehingga kau tidak memahami persoalannya."

Nyo Ko tidur setengah malam, esoknya setelah bangun kembali ia memeras otak pula, dalam tujuh hari ia jatuh pingsan lima kali tapi gerak tangan dan kakinya semakin lihay, telapak tangan mampu mematahkan pohon dan kaki sanggup menerbangkan batu. Sampai hari kedelapan, gerakan Nyo Ko sudah mulai pelahan, dari dahsyat berubah menjadi lemas, sekali pukul pada batang pohon, sehelai daun juga tidak bergoyang, tahu-tahu pohon itu patah.

Tahulah Nyo Ko bahwa ilmu silat ciptaannya telah jadi, sungguh girangnya tidak alang kepalang, segera ia duduk bersila dan mulai merenungkan kembali semua jurus ilmu silat ciptaannya itu dari awal sampai akhir, ia merasa semuanya terlebur menjadi satu dalam pemikirannya, baru sekarang dia tahu perbedaan antara kekuatan batin dan tenaga luar, antara kebagusan Pak-kau-pang-hoat dan Giok-siau-kiam-hoat, sesungguhnya semua itu "Bhinneka Tunggal Ika", berbeda-beda, tapi satu,

Kemudian ia berbangkit pelahan dan memandang jauh di atas puncak gunung itu, perutnya terasa sangat lapar, tanpa pikir ia makan sekenyangnya buah-buahan yang dikumpulkan Darba.

"Selamat, saudara Nyo atas berhasilnya ilmu silat ciptaanmu," kata Kim-iun Hoat-ong dengan tertawa sambil berbangkit dan memberi hormat dengan merangkap kedua telapak tangannya di depan dada. Berbareng itu serangkum angin dahsyat terus menyambar ke arah Nyo Ko.

Nyo Ko terkejut dan cepat gunakan tangannya untuk menyampuk angin pukulan lawan ke samping, Tapi begitu tenaga pukulan kedua pihak saling kontak, segera Kim-lun Hoat-ong tarik kembali tenaga pukulannya.

Hanya benturan ringan tenaga pukulan tadi Kim-lun Hoat-ong sudah dapat menarik kesimpulan bahwa hasil renungan Nyo Ko selama delapan hari ternyata luar biasa hebatnya.

Tahu bahwa orang cuma menguji kepandaian-nya, Nyo Ko tertawa dan berkata: "Akupun mengucapkan selamat padamu, kini kau sudah sehat kembali"

Bahwa seorang kalau sudah "jadi", apakah jadi kaya, atau jadi pintar, dengan sendirinya sikap dan wibawanya segera berubah, Begitu juga dalam hal ilmu silat, karena kini Nyo Ko adalah pendiri suatu aliran tersendiri meski usianya masih muda belia, namun wibawa dan sikapnya sudah jauh berbeda daripada delapan hari sebelumnya.

Diam-diam Kim-lun Hoat-ong merasa syukur dan merasa akan banyak memetik hasilnya dengan bersekutu dan mendapat bantuan anak muda ini, Maka ia lantas berkata: "Saudara Nyo, marilah kuperkenalkan seorang kepadamu, Orang ini mempunyai pengetahuan yg luar biasa dan berbakat tinggi, bijaksana lagi berbudi kutanggung engkau juga akan kagum kepadanya setelah menemuinya."

"Siapakah dia?" tanya Nyo Ko.

"Kubilai, pangeran Mongol," jawab Hoat-ong. "Dia adalah cucu Jengis Khan, putera keempat pangeran Tule."

Karena pernah menyaksikan keganasan tentara Mongol, maka Nyo Ko merasa benci kepada orang Mongol, ia menjawab: "Aku ingin selekasnya dapat membunuh musuh untuk menuntut balas. Maka tak perlulah kiranya pertemuan dengan pangeran MongoI itu."

"Aku sudah berjanji akan membantu kau, janji ini pasti akan kupegang teguh," ujar Hoat-ong dengan tertawa, "Tapi aku adalah orang undangan pangeran Kubilai, aku perlu memberi lapor sekadarnya kepada beliau. Perkemahannya terletak tidak jauh dari sini sehari saja cukup untuk mencapainya."

Nyo Ko merasa sendirian pasti bukan tandingan Kwe Cing dan Ui Yong, karena memerlukan bantuan orang, terpaksa Nyo Ko menurut dan ikut Kim-lun Hoat-ong.

Adalah kebiasaan orang Mongol bertempat tinggal dalam kemah adat ini tak dapat dilenyapkan meski mereka berhasil menyerbu ke Tiongkok dan menduduki kota, mereka tetap tidak biasa bertempat tinggal di dalam rumah bertembok. Sebab itulah Kubilai juga tinggal di dalam kemahnya.

Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu utama kerajaan Mongol, dengan sendirinya dia sangat dihormati dan disegani melihat kedatangannya cepat penjaga melapor kepada sang pangeran.

Sambil berendeng maju, Kim-lun Hoat-ong dan Nyo Ko melangkah masuk ke dalam kemah pangeran Kubilai.

Di dalam kemah itu ternyata sangat sederhana, kecuali luasnya satu kali lipat daripada kemah orang Mongol biasa, lebih dari itu tiada kelihatan tanda-tanda sesuatu yang mewah. Seorang pemuda berusia 25-26 tahun dengan dandanan orang terpelajar sedang membaca kitab.

Melihat Hoat-ong berdua datang, cepat pemuda itu berbangkit menyambut dan berkata dengan tertawa: "Sudah, beberapa hari tidak bertemu dengan Koksu, rasaku menjadi kesal."

"Ongya, ini kuperkenalkan seorang kesatria muda padamu," kata Hoat-ong. "Saudara Nyo ini adalah seorang ksatria yang sukar ada bandingannya."

Mendengar sapa menyapa itu, Nyo Ko terkejut. Tadinya ia mengira sebagai cucu Jengis Khan dan saudara raja Mongol yang bertahta sekarang, tentulah pangeran Kubilai itu pasti gagah berwibawa dan kereng, siapa tahu yang dihadapinya sekarang adalah seorang pemuda pelajar yang berdandan sebagai bangsa Han dan bicara dalam bahasa Han pula.

Kubilai mengawasi Nyo Ko sejenak, lalu sebelah tangannya menggandeng Nyo Ko dan tangan lain menarik Kim-Iun Hoat-ong serta berseru kepada anak buahnya: "Lekas ambilkan arak, aku ingin minum bersama saudara ini."

Segera anak buahnya menghaturkan tiga buah mangkuk besar serta dituangi arak khas Mongol, arak susu kuda.

Sekali tenggak Kubilai habiskan semangkuk penuh, Hoat-ong juga keringkan isi mangkuknya. Nyo Ko sendiri biasanya jarang minum arak, kini melihat tuan rumah sangat simpatik, ia merasa tidak enak untuk menolak, segera iapun habiskan isi mangkuknya, ia merasa arak itu sangat keras dan pedas, tapi mengandung rasa pahit dan kecut pula.

"Bagaimana rasanya arak ini, saudara cilik?" tanya Kubilai dengan tertawa.

"Arak ini mempunyai rasa pahit, pedas, kecut dan sepat, di dalamnya terasa perih puIa, rasanya tidak enak, tapi inilah arak minuman seorang lelaki sejati," jawab Nyo Ko cepat.

Kubilai sangat girang, berulang ia berseru kepada anak buahnya agar menuangkan arak pula dan ketiga orangpun masing-masing menghabiskan tiga mangkuk. Berkat tenaga dalamnya yang kuat, sedikitpun Nyo Ko tidak memperlihatkan tanda mabuk meski sudah habiskan arak keras itu cukup banyak.

Dengan gembira Kubilai tanya kepada Kim-lun Hoat-ong : "Koksu, dari manakah engkau mendapatkan bakat muda sebagus ini? Sungguh beruntung bagi Mongol Raya kita."

Secara ringkas Kim-lun Hoat-ong lantas menceritakan,asal usul Nyo Ko, nadanya bahkan sengaja meninggikan derajat anak muda itu seolah-olah menganggap Nyo Ko sebagai tokoh dunia persilatan di Tionggoan.

Jika orang lain tentu takkan percaya terhadap cerita Hoat-ong itu mengingat usia Nyo Ko jelas masih sangat muda, Tapi Kubilai sendiri sejak kecil sudah terkenal sebagai anak ajaib, pintar luar biasa dan bijaksana, apalagi iapun percaya penuh kepada Hoat-ong, maka ia menjadi kegirangan dan segera memerintahkan diadakan perjamuan, katanya kepada Hoat-ong dan Nyo Ko: "Sebentar akan kuperkenalkan kalian kepada beberapa orang kosen."



Kubilai sudah lama tinggal di daerah Tiong-goan dan mengagumi kebudayaan Tiongkok, hidupnya sehari-hari senantiasa bergaul dengan kaum terpelajar iapun mengumpulkan jago silat, dari berbagai penjuru dan menghimpun kaum cendekiawan sebagai staf untuk membincangkan rencana penyerbuan ke Tiongkok "selatan.

BegituIah tidak seberapa lama meja perjamuan sudah siap dengan hidangan campuran Mongol dan Han. Kubilai memberi perintah pula kepada anak buahnya: "Undanglah beberapa tuan di Ciau-hian-koan (Wisma Ksatria) itu hadir ke sini."

Setelah anak buahnya mengiakan dan pergi, Kubilai berkata pula: "Beberapa hari di Ciau-hian-koan telah berkumpul beberapa tamu yang memiliki kepandaian kosen, semuanya sangat menyenangkan hatiku, tapi tetap belum dapat memadai kepandaian Koksu dan saudara Nyo yang serba bisa."Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak.

Tidak lama penjaga memberi lapor tamu undangan telah datang, Waktu tirai kemari tersingkap, masuklah empat orang.

Nyo Ko terkejut ketika mengenali orang yang berjalan paling depan itu kaku sebagai mayat dan di sebelahnya adalah seorang cebol hitam, siapa lagi kalau bukan Siau-siang-cu dan Nimo Singh yang dipergokinya di lembah gunung tengah malam itu.

Dua orang lagi yang masuk belakangan juga mempunyai potongan yang aneh, seorang tinggi besar, tingginya lebih 2 meter, tangan kasar dan kaki besar, sungguh seorang raksasa tulen, cuma air mukanya tampak ketolol-tololan, pandangan matanya kaku buram, mirip orang tidak waras, seorang lagi berhidung besar, Iekuk matanya dalam, rambutnya keriting dan janggutnya merah keemasan, jelas seorang golongan Arab, justeru memakai pakaian bangsa Han yang perlente memakai kalung mutiara segala, malahan pakai gelang jamrud lagi. Dandanannya gemilapan dan lagaknya kebanci-bancian.

Kubilai menyilakan semua orang berduduk, lalu memperkenalkan mereka satu per satu, Kira-nya si raksasa tadi adalah suku Hwe di daerah Sin-kiang, sejak kecil memiliki tenaga besar dan sanggup membinasakan singa atau harimau dengan bertangan kosong.

Kemudian bertemu pula dengan orang kosen dan mendapatkan pelajaran ilmu silat yang kasar, cuma tenaganya memang maha kuat, meski ilmu silatnya tidak tinggi, kalau berkelahi tampaknya menjadi dahsyat sekali.

Sedangkan orang keturunan Arab itu adalah saudagar Persia dan sudah tiga turunan tinggal di Tiongkok sebagai pedagang batu permata, namanya juga menggunakan nama bangsa Han, yakni In Kik-si, dia memiliki ilmu silat gaya Persia yang aneh, ditambah lagi waktu dia berkeliling mencari barang dagangan, sering dia berbincang ilmu silat dengan jago silat Tiongkok, dari hasil tukar pikiran itu dipelajarinya lagi secara mendalam hingga akhirnya dia mengkombinasikan ilmu silat dari dua negeri, dapat diciptakannya suatu aliran silat tersendiri. Ia mendengar Kubilai sedang mencari jago silat maka iapun datang melamar.

Begitulah Nimo Singh dan Siau-siang-cu saling pandang dengan tertawa penuh arti, mereka melirik ke arah Kim-lun Hoat-ong dengan sikap yang tidak mau tunduk, Ketika melihat Nyo Ko masih muda belia itu, mereka mengira anak muda ini adalah anak cucu murid Kim-lun Hoat-ong, maka sama sekali tidak memperhatikannya.

Setelah suguhan arak berulang tiga kali, Nimo Singh yang berwatak berangasan itu tidak sabar lagi, segera ia berteriak: "Ongya, kerajaan MongoI Raya makmur jaya, ksatria di dunia ini semuanya berkumpul di sini, kalau Hwesio besar ini dianugerahi dengan gelar Koksu nomor satu, tentu ilmu silatnya tiada bandingannya, untuk itu kami justeru ingin tahu akan kesaktiannya sekadar menambah pengalaman kami."

Kubilai tersenyum dan tidak menanggapi segera Siau-siang-cu menyambung: "Saudara Nimo Singh ini datang dari negeri Thian-tiok (lndia), sedangkan ilmu silat di Tibet berasal dari negeri Thian-tiok, apakah mungkin anak didik lebih mahir dari sang guru, aku menjadi ragu dan ingin tahu pula."

Ucapan Siau-siang-cu itu jelas bernada mengadu domba, ia memang berharap agar Nimo Singh dapat bertempur dulu dengan Kim-lun Hoat-ong, dengan begitu dirinya nanti tinggal menarik keuntungannya saja, walaupun nadanya rada memihak Nimo Singh, tapi sesungguhnya dia berharap keduanya bertarung mati-matian.

Melihat air muka Siau-siang-cu pucat bersemu hijau, Kim-lun Hoat-ong yakin orang ini pasti memiliki Lwekang yg tinggi bukan mustahil diantara empat orang dia ini adalah lawan yang terkuat, Sekilas dilihatnya In Kik-si hanya tertawa saja, sejak tadi dengan lagak saudagar yang cuma mementingkan duit belaka, tampaknya sama sekali tidak mengerti ilmu silat, tapi justeru orang yang macam begini malahan tidak boleh dipandang enteng.

Maka Kim-lun Hoat-ong lantas berkata dengan tersenyum: "Bahwa diriku diangkat sebagai Kok-su, semua ini adalah berkat budi kebaikan Sri Baginda serta Paduka Pangeran, sebenarnya aku mana berani menerimanya."

"Jika tidak berani menerima, kan seharusnya kau memberikan pangkat itu kepada orang lain," ujar Siau-siang-cu sambil melirik ke arah Nimo Singh.

Hoat-ong angkat sumpitnya menyupit sepotong besar daging sampi rebus, lalu berkata dengan tertawa: "Potongan daging ini paling besar di piring ini, sesungguhnya akupun tidak ingin memakannya, hanya saja sumpitku secara kebetulan mencomotnya, dalam agama Budha disebut "ada jodoh" Sekiranya tuan yang hadir di sini ada yang berminat makan daging ini, kusilahkan menyumpitnya saja."

Habis berkata Hoat-ong tetap pegang sumpitnya yang menjepit potongan daging itu dan berhenti di atas piring sambil menunggu reaksi orang lain.

Si raksasa Be Kong-co paling polos orangnya, pikirannya terlalu sederhana dan tidak tahu kelicikan manusia umumnya, ia tidak tahu bahwa ucapan Kim-lun Hoat-ong itu bercabang makna.

Katanya saja sepotong daging, tapi yang dimaksudkan sebenarnya adalah kedudukan Koksu nomor satu yang ingin diperebutkan Nimo Singh itu.

Dasar Be Kong-co memang lugu, tanpa pikir ia menjulurkan sumpitnya untuk menjepit potongan daging disumpit Hoat-ong itu, tapi baru saja ujung sumpitnya hampir menempel daging, sekonyong-konyong ujung sebuah sumpit yang dipegang Kim-lun Hoat-ong itu, menyerong keluar dan membentur sumpitnya.

Seketika Be Kong-co merasakan tangannya tergetar sakit, sumpitnya terlepas dari cekalan dan jatuh di atas meja.

Semua orang saling memandang dengan melongo kaget, mereka kagum betapa lihaynya tenaga dalam Hoat-ong. Tapi Be Kong-co sendiri ternyata belum menyadari apa yang terjadi itu, dia jemput kembali sumpitnya dan sekali ini dipegang sekencangnya agar tidak tergetar jatuh pula, lalu sumpit dijulurkan untuk berebut daging lagi.

Kembali ujung sumpit Hoat-ong menyerong keluar, tapi sekali ini pegangan Be Kong-co sungguh kencang dan tak dapat tergetar jatuh sumpitnya, yang terdengar adalah suara "krek" sekali, sepasang sumpitnya telah patah menjadi empat seperti ditabas pisau, kedua bagian yang patah itu jatuh semua di atas meja.

Be Kong-co menjadi gusar malah, ia meraung terus hendak menubruk maju untuk melabrak Kim-lun Hoat-ong.

Namun Kubilai keburu mencegahnya dan berkata dengan tertawa: "Harap Be-cong-su jangan marah, kalau mau bertanding silat boleh nanti saja setelah dahar."

Meski orangnya kasar, tapi Be Kong-co ternyata takut kepada sang pangeran, dia kembali berduduk, katanya dengan mendongkol sambil tuding Hoat-ong: "Kau menggunakan ilmu siluman apa sehingga alat makanku terpatahkan?"

Kim-lun Hoat-ong hanya tersenyum saja tanpa menjawab, sumpitnya tetap terjulur di atas meja dengan daging yang tersumpit itu.

Semula Nimo Singh meremehkan Kim-lun Hoat-ong, tapi kini ia tak berani memandang enteng lagi padanya setelah melihat Lwekang orang yang hebat itu. Sebagai orang Thian-tiok, cara makannya tidak memakai sumpit, tapi pakai tangan belaka, segera ia berkata: "Be-heng tak mampu menyumpit daging ini, serahkan saja padaku." Mendadak kelima jarinya terus mencengkeram daging yang disumpit Hoat-ong itu.

Akan tetapi secepat kilat Kim-lun Hoat-ong tetap menyerongkan sebuah ujung sumpit, hanya sedikit bergetar saja sekaligus ia mengincar beberapa Hiat-to pada jari tangan Nimo Singh.

Namun Nimo Singh juga bukan jago rendahan, tangannya membalik terus memotong pergelangan tangan lawan.

Tangan Hoat-ong tidak bergerak, hanya sumpitnya yang diputar balik dan tetap bergetar beberapa kali, Segera Nimo Singh merasa ujung sumpit lawan hampir menyentuh urat nadi tangannya, cepat ia menarik kembali tangannya, Dalam pada itu sumpit Kim-lun Hoat-ong juga telah membalik lagi dan tetap dapat menyapit potongan daging tadi.



Nyo Ko dan lain-lain dapat menyaksikan bahwa hanya sekejap itu saja sebenarnya antara Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh sudah saling gebrak beberapa jurus, gerakan sumpit Hoat-ong sangat cepat, tapi cara Nimo Singh bergerak dan menarik tangannya juga cepat luar biasa, itulah pertarungan antara jago silat kelas satu.

Dengan nada dingin Siau-siang-co berseru memuji, sedangkan Kubilai hanya tahu kedua orang itu telah saling uji kepandaian dengan ilmu silat yang tinggi, tapi ilmu apa yang dikeluarkan mereka tak dapat diketahuinya, Be Kong-cu juga melongo bingung mengikuti pertarungan aneh itu.

Kini giliran In Kik-si, dengan tertawa ia berkata: "Ah, saudara-saudara ini mengapa sungkan-sungkan terhadap daharan lezat ini, kau tak mau makan, akupun tak mau makan, kan sebentar semua menjadi dingin."

Sambil berkata iapun menjulurkan sumpitnya dengan pelahan, gelang tangannya yang jamrud bersentuhan dengan gelang emas hingga menerbitkan suara gemerincing nyaring, Belum lagi sumpitnya menyentuh daging, Hoat-ong sudah merasakan sumpitnya tergetar oleh tenaga dalam In Kik-si.

Tapi Hoat-ong malah terus menyurung sumpitnya ke depan agar dagingnya kena disumpit In-Kik-si, berbareng itu suatu arus tenaga dalam yang maha kuat disalurkan dan menggempur lengan lawan.

Dalam hati In Kik-si berteriak celaka, kalau saja tenaga dalam dapat menggempur sampai di dadanya, maka dirinya pasti akan terluka parah, Terpaksa ia mengerahkan segenap tenaga untuk balas menggempur.

Tak terduga tenaga dalam Hoat-ong itu setelah dikerahkan secara mendadak ditarik kembali pula, karena itu daging yang sudah tersumpit oleh In Kik-si itu menjadi tertolak kembali oleh gempuran balik tenaganya sehingga dapat dicapit pula oleh sumpit Hoat-ong.

"Haha, ternyata In-heng juga sungkan dan tidak sudi makan daging ini," kata Hoat-ong dengan tertawa.

Nyata Hoat-ong telah mengalahkan In Kik-si dengan akal In Kik-si juga sangat tinggi hati setelah kena diakali, terpaksa ia mundur teratur, apa lagi kalau bergebrak pula dirinya juga belum tentu dapat menang, ia pikir lain kali saja kalau ada kesempatan akan kucoba lagi Hwesio ini.

Kemudian ia menyumpit sepotong daging yang agak kecilan dan dimakan, katanya dengan tertawa: "Selama hidupku hanya duit saja yang menarik daging sampi yang terlalu banyak gemuknya akupun tak suka, biarlah kumakan daging yang kecilan saja."

Diam-diam Kim-lun Hoat-ong juga mengakui kelihayan orang Persi ini dengan gayanya yang luwes, kalau mesti bertempur sungguh merupakan lawan yang tangguh, talu ia berpaling kepada Siau-siang-cu dan berkata: "Jika Siau-heng juga tidak sudi, terpaksa kumakan sendiri " Berbareng ia sedikit tarik mundur sumpitnya.

Kiranya Hoat-ong yakin Siau-siang-cu adalah lawan paling kuat di antara empat orang yang dihadapinya sekarang, bahwa alasannya mau makan sendiri sebenarnya dia sengaja menarik mundur tangannya, dengan demikian daya tahannya akan bertambah - kuat, sebaliknya jarak lawan menjadi tambah jauh dan dengan sendirinya pihak lawan harus lebih banyak mengeluarkan tenaga apabila mau menyerang.

Sudah tentu Siau-siang-cu mengetahui maksud tujuan orang, ia hanya mendengus saja, pelahan ia angkat sumpitnya, tapi mendadak secepat kilat bergerak ke depan dan tepat mencapit potongan daging itu terus ditarik, karena itu jarak mundurnya tangan Hoat-ong tadi kena diseret maju lagi ke posisi semula.

Meski sebelumnya Hoat-ong mengetahui tenaga dalam lawan ini sangat lihay, tapi tak menduga bahwa gerakannya bisa bergitu cepat, maka cepat iapun balas menarik. Karena kedua orang sama2 mengerahkan tenaga dalam, seketika terjadilah saling betot dan saling tahan, hanya sekejap saja tiga gebrakan sudah terjadi dan potongan daging itu masih tersumpit oleh dua pasang sumpit.

Kubilai tidak paham betapa bagusnya ilmu silat kelas wahid, ia mengira kedua orang hanya saling berebut daging rebus saja, padahal kedua orang sudah saling gebrak beberapa jurus seperti pertarungan di medan tempur. Di tengah saling uji kepandaian beberapa orang itu, sejak tadi Nyo Ko hanya menyaksikan saja dengan tersenyum, ia pikir orang kosen di dunia ini sungguh sukar dihitung banyaknya, terutama kepandaian kedua orang yang sukar dibedakan kalah dan menang sekarang ini, pada saat itulah tiba2 dari jauh berkumandang suara seorang: "Kwe Cing! Adik Kwe Cing dimana kau ? Lekas keluar! Hai, Kwe Cing, bocah she Kwe, dimana kau?"

Suara itu semula terdengar berkumandang dari sebelah timur dan sekejap kemudian kedengaran ada beberapa li jauhnya, seperti suara seorang, lalu disusul dengan suara orang kedua, cuma logatnya jelas berasal dari seorang yang sama, malahan dari timur ke barat dan dari barat ke timur suara itu terus menerus bergema tanpa berhenti maka dapat dibayangkan betapa cepat gerak tubuh orang itu sungguh jarang ada bandingannya.

Selagi semua orang saling pandang dengan melenggong, sementara itu Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu masih saling ngotot. Padahal daging rebus itu mana mampu menahan tenaga tarikan dua jago kelas satu itu, tapi nyatanya daging itu masih tetap ulet dan tidak putus.

Kiranya teramat cepat pergantian tenaga Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu, begitu saling tarik segera pula saling sodok, tapi lantaran gerakan kedua orang sama cepatnya dan sama kuat pula, maka daging itu tidak lebih hanya sebagai perantara penyaluran tenaga saja sehingga tidak hancur.

Nyo Ko dapat melihat keadaan itu, ia tunggu ketika kedua orang sedang saling betot dan daging itu tertarik hingga memanjang, mendadak ia angkat sumpitnya dan memotong daging itu, dua batang sumpit memotong daging itu menjadi tiga bagian, pada saat yang tepat ia jepit potongan daging bagian tengah, sedangkan Hoat-ong dan Siau-siang-cu masing-masing mendapatkan potongan daging ujung kanan dan kiri.

Cara turun tangan Nyo Ko ini tidak mengutamakan kekuatan tenaga dalam melainkan unggul dalam hal kejituan dan kecepatan, ia dapat menggunakan tempo yang paling tepat.

BegituIah ketiga orang saling pandang dengan tertawa dan baru saja mereka hendak memakan daging pada sumpit masing-masing, se-konyong2 tirai kemah tersingkap dan bayangan seorang berkelebat mendadak seorang mengulurkan tangan dan sekaligus-dapat merampas potongan daging pada sumpit Nyo Ko bertiga, lalu dimakan dengan lahapnya.

Orang itu terduduk bersimpuh di atas permadani di dalam kemah dan makan dengan mikmatnya, sama sekali tidak pandang sebelah mata pada orang lain yang berada di situ.

Kejadian ini membikin semua orang terkejut dan serentak berdiri Bayangkan saja, betapa lihaynya ilmu silat Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan Iain-lain, Nyo Ko kinipun sudah termasuk barisan tokoh kelas satu, tapi orang itu sekaligus dapat merampas daging mereka tanpa bisa mengelak sedikit.

Waktu Nyo Ko mengawasi kiranya orang itu adalah seorang kakek berambut dan berjenggot putih, tapi mukanya merah bercahaya dan tersenyum simpul menyenangkan, betapa usianya sukar untuk diterka.

Penjaga kemah ternyata tidak mampu merintangi kakek itu, para pengawal itu serentak membentak: "Tangkap pengacau !" Berbareng empat tumbak terus menusuk ke dada kakek itu. Tapi kakek itu cuma menggunakan tangan kirinya dan sekaligus ujung keempat tumbak sudah terpegang olehnya, Lalu katanya kepada Nyo Ko: "Eh, adik cilik, ambilkan lagi daging sampi, perutku lapar sekali."

Sudah tentu keempat pengawal Mongol itu sangat penasaran, sekuatnya mereka membetot tumbak yang dipegang si kakek, tapi sedikitpun tak bergeming meski muka mereka merah padam dan otot hijau menonjol di dahi mereka.

Nyo Ko sangat tertarik akan kepandaian kakek aneh itu, tanpapikir ia angkat piring yang berisi daging rebus itu terus, dilemparkan ke sana sambil berkata : "lni, silahkan makan!"

Dengan tangan kanan saja kakek itu menahan pantat piring yang menyambar tiba itu, mendadak sepotong daging di atas piring itu melompat-ke atas dan masuk mulut si kakek.

Kubilai sangat tertarik dan bersorak gembira, disangkanya kakek itu mahir main sulapan, sedangkan Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain dapat melihat Lwekang orang tua itu kuat luar biasa, bahwa potongan daging itu dapat melompat sendiri jelas karena getaran tenaga tangannya yang menyanggah piring itu.

Hebatnya daging yang melonjak ke atas itu hanya sepotong saja dan potongan daging yang lain tidak bergerak sedikitpun ketepatan tenaga inilah yang luar biasa dan tak dapat ditiru orang lain, Mau-tak-mau semua orang merasa kagum dan segan pula.

Tertampak kakek itu terus makan dengan Iahapnya, baru potongan daging pertama dilalap, segera sepotong daging yang lain melompat lagi dari piring dan masuk mulut si kakek. Hanya sekejap saja daging seisi piring itu sudah tersapu bersih.



Ketika tangan kanan si kakek bergerak, piring kosong yang dipegangnya itu terus melayang ke atas dan berputar satu kali, lalu menyamber ke arah Nyo Ko dan In Kik-si. Karena sudah tahu kakek itu memiliki ilmu gaib dan kuatir terdapat sesuatu pada piring itu, Nyo Ko dan In Kik-si tak berani menangkap piring itu, mereka sama mengegos ke samping.

Karena itu piring kosong itu terus menyamber lewat dan turun ke permukaan meja, tepat membentur piring lain yang berisi daging kambing panggang, piring kosong tadi berhenti di atas meja, sebaliknya piring yang berisi daging kambing panggang terus terbang menuju si kakek.

Tampaknya si kakek sangat senang, ia bergelak tertawa, seperti cara tadi setelah piring berisi daging kambing dipegangnya, kembali sepotong demi sepotong daging kambing itu melompat masuk mulutnya dan tidak lama telah dilalap habis.

Dalam keadaan begitu, yang paling konyol tentulah keempat pengawal Moegol tadi tumbak mereka terpegang si kakek, mereka membetot se-kuatnya dan tak dapat terlepas, untuk melepaskan senjata merekapun tidak berani Maklumlah disiplin tentara Mongol sangat keras, membuang senjata di medan perang hukumannya mati, apalagi keempat orang itu bertugas sebagai pengawal sang Pangeran, terpaksa mereka mengerahkan segenap tenaga untuk menarik sekuatnya.

Kakek itu ternyata sangat nakal, semakin ke empat orang itu kelabakan, semakin senang dia. Mendadak ia berseru : "Bim-salabim! Dua orang menyembah padaku, dua lagi terjengkang ! Satu-dua-tiga !"

Selesai "tiga" diucapkan, berbareng tangannya sedikit bergerak, kontan ujung keempat tumbak patah semua, Tapi tenaga yang dikeluarkan jari tangannya ternyata berbeda, dua batang tumbak ditolak ke sana, sebaliknya dua tumbak yang kiri di-betot, maka terdengarlah suara mengaduh kesakitan keempat orang Mongol itu, yang dua orang jatuh tiarap seperti orang menyembah, dua lagi jatuh terjengkang ke belakang.

Habis itu si kakek bertepuk tangan dan menyanyikan lagu kanak-kanak, yaitu lagu yang umumnya didendangkan orang tua untuk menghibur anak kecil yang menangis karena jatuh.

Tiba-tiba Siau-sang-cu teringat kepada satu orang, cepat ia bertanya: "Apakah Cianpwe she Ciu?"

Kakek itu terbahak-bahak, jawabnya: "Ya, kau kenal padaku ?"

Tanpa ayal Siau-siang-cu" berbangkit dan memberi hormat, katanya: "Kiranya Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, Ciu-locianpwe yang tiba,"

Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh baru pertama kali ini datang di Tionggoan, mereka belum kenal siapa itu Ciu Pek-thong, mereka hanya merasa ilmu silat si kakek she Ciu ini tinggi luar biasa dan sukar diukur, tapi tingkah lakunya jenaka dan nakal pula, pantas berju!uk "Lo-wang-tong", (si nakal tua).. Karena itu rasa permusuhan mereka jadi lantas berkurang, malahan mereka sama tersenyum geli oleh julukan orang yang lucu itu.

Segera Kim-lum Hoat-ong berkata: "Maafkan keteledoranku yang tidak kenal orang kosen dari dunia persilatan Bagaimana kalau silakan duduk saja di sini. Ongya sedang mencari orang pandai, kini orang kosen berada di sini, tentu Ongya merasa sangat gembira."

Kubilai juga memberi salam dan berkata: "Benar, silakan Ciu-losiansing berduduk, ada banyak persoalan yang kurang jelas perlu kuminta petunjuk padamu."

Tapi Ciu Pek-thong menggeleng kepala, jawabnya: "Tidak, aku sudah kenyang dan tidak ingin makan lagi, Di mana Kwe Cing? Apakah dia berada di sini?"

Hati Nyo Ko tergetar mendengar nama Kwe Cing disebut, dengan dingin ia tanya: "Ada urusan apa kau mencari dia?"

Dasar watak Ciu Pek-thong memang kocak dan kekanak-kanakan, dia paling suka bergaul dengan anak kecil, melihat Nyo Ko berusia paling muda diantara orang yang hadir di situ, hal ini sudah membuatnya suka lebih dahulu, kini mendengar pula Nyo Ko menyebutnya dengan kata "kau" dan tidak pakai "Locianpwe" dan "Ciu-siansing" segala, ini membuatnya lebih-lebih senang.

Maka cepat Ciu Pek-thong menjawab: "Kwe Cing adalah saudara angkatku, apakah kau kenal dia? Sejak kecil dia suka bergaul dengan orang Mongol, maka begitu melihat orang Mongol di sini segera kumenerobos ke sini untuk mencarinya."

"Ada urusan apa kau mencari Kwe Cing?" tanya Nyo Ko pula sambil mengerut kening.

Ciu Pek-thong memang orang polos dah tidak bisa berpikir, mana dia tahu urusan apa yang harus dirahasiakan atau tidak, tanpa ragu ia terus menjawab: "Dia telah kirim berita padaku agar aku menghadiri Eng-hiong-yan (perjamuan ksatria)." Jauh-jauh aku berangkat ke sana, di tengah jalan aku mampir dan pesiar sehingga terlambat datang beberapa hari, mereka ternyata sudah bubar, sungguh mengecewakan."

"Apakah mereka tidak meninggalkan surat untukmu?" ujar Nyo Ko.

Mendadak Ciu Pek-thong mendelik dan berkata: "Mengapa kau hanya bertanya melulu ? sebenarnya kau kenal Kwe Cing tidak?"

"Mengapa aku tidak kenal ?" jawab Nyo Ko. "Nyonya Kwe bernama Ui Yong, betul tidak? Anak perempuan mereka bernama Kwe Hu, ya bukan ?"

Tapi Ciu Pek-thong mendadak menggoyangkan tangannya dan berseru dengan tertawa: "Salah, salah ! Si budak Ui Yong sendiri juga seorang anak perempuan kecil, mana mereka mempunyai anak perempuan segala ?"

Nyo Ko melengak bingung, tapi ia lantas paham persoalannya, segera ia tanya pula: "Sudah berapa tahun kau tidak bertemu dengan mereka suami-isteri?"

Ciu Pek-thong tidak lantas menjawab, ia tekuk jarinya satu demi satu, sepuluh jari secara rata di-hitungnya ulang dua kali, lalu berkata: "Sudah ada 20 tahun."

"Nah, masakah sudah 20 tahun dia masih anak perempuan kecil ?" kata Nyo Ko dengan tertawa.

Ciu Pek-thong tertawa ngakak sambil garuk2 kepala, lalu berkata: "Ya, ya, kau yang benar, kau yang benar ! Apakah anak perempuan mereka itu pun cakap ?"

"Suka anak perempuan mereka itu lebih banyak mirip nyonya Kwe dan sedikit saja memper Kwe Cing, nah, cakap tidak menurut pendapatmu ?" tanya Nyo Ko.

"Hahahaha! Bagus kalau begitu !" kata Ciu Pek-thong dengan tertawa, "Anak perempuan kalau beralis tebal dan bermata besar serta bermuka hitam seperti saudaraku Kwe Cing itu, dengan sendirinya bukan cakap lagi namahya."

Nyo Ko tahu kini Ciu Pek-thong tidak ragu lagi, tapi untuk memperkuat kepercayaannya kembali ia menambahkan: "Ayah Ui Yong, yaitu Tho-hoa-tocu Ui Yok-su, kakak Yok-su ada hubungan persaudaraan denganku, apakah kau kenal dia ?"

Berganti Ciu Pek-thong melengak heran sekarang, ia pikir masakah anak muda ini berani mengaku bersaudara dengan Ui-losia, lantas apa kedudukan orang muda ini? Segera ia bertanya pada Nyo Ko: "siapakah gurumu ?"

"Kepandaian guruku teramat hebat, jika kukatakan bisa jadi kau mati ketakutan," jawab Nyo Ko.

"Masakah aku dapat ditakut-takuti?" ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa, Berbareng tangannya bergerak, piring kosong bekas wadah daging kambing tadi terus melayang ke arah Nyo Ko dengan maha dahsyat.

Sebenarnya Nyo Ko tidak tahu asal-usul aliran perguruan orang kosen macam Ciu Pek-thong ini, samberan piring "kosong yang keras itu sebenarnya tak berani ditangkapnya, tapi ketika melihat gaya Ciu Pek-thong itu ternyata berasal dari aliran Coan-cin-pay, padahal ilmu silat Coan-cin-pay baginya boleh dikatakan sudah apal di luar kepala, maka. tanpa pikir ia hanya gunakan jari telunjuk tangan kiri, ia tunggu ketika piring kosong itu melayang tiba, dengan cepat dan tepat jarinya menyanggah pantat piring, seketika laju piring itu terhenti terus berputar pada ujung jarinya.

Kejadian ini sungguh membikin Ciu Pek-thong sangat gembira, malahan Kim-lun Hoat-ong, Nimo Singh dan Iain-Iain juga melengak. Lebih-lebih Siau-siang-cu, semula ia lihat pakaian Nyo Ko kotor dan robek, usianya muda pula, maka ia tidak pandang sebelah mata padanya, tapi sekarang mau-tak-mau ia harus berubah sikap, ia heran siapakah dan dari manakah pemuda lihay ini?

Di sebelah sana Ciu Pek-thong telah berseru memuji beberapa kali kepada Nyo Ko, malahan ia pun dapat melihat gaya permainan jari Nyo Ko itu adalah gaya aliran Coan-cin-pay, maka ia lantas tanya : "Apakah kau kenal Ma Giok dan Khu Ju-ki?"

"Kedua hidung kerbau itu masakah aku tak kenal?" jawab Nyo Ko tak acuh.

Ciu Pek-thong tambah kegirangan. Maklumlah, meski dia terhitung, tokoh tertua Coan-cin-pai, tapi lantaran dia tak dapat mematuhi peraturan agama, maka selama ini dia tak pernah menjadi Tojin.



Mendiang Ong Tiong-yang, yaitu cakal bakal Coan-cin-kau yang juga Suhengnya, kenal watak Ciu Pek-thang yang polos dan suka bertindak menuruti jalan pikiran sendiri kalau saja dipaksa menjauhi dunia ramai dan memeluk agama dan menjadi Tojin, tentu kuil Tiong-yang-kiong akan tambah kacau dibuatnya.

Sebab itulah Ciu Pek-thong tidak diharuskan menjadi Tosu dan hal ini pun cuma berlaku atas diri Lo-wan-tong saja.

Walau Kwe Cing, Nyo Khong dan Nyo Ko juga belajar ilmu silat Coan-cin-pay, tapi mereka bukanlah anak murid Coan-cin-pay, kedudukan mereka berbeda dengan Ciu Pek-Thong. Meski antara Ciu Pek-thong dan Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya tiada persengketaan apapun, dia hanya menganggap mereka itu terlalu kaku dan terikat oleh macam-macam peraturan dan pantangan, maka dalam hati dia merasa cocok.

Selama hidupnya kecuali sang Suheng, yaitu Ong Tiong-yang, yang paling dihormati dan dikagumi adalah Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis sakti berjari sembilan. Selain itu iapun rada cocok dengan kelatahan Ui-Yok-su dan kejahilan Ui Yong.

Kini mendengar Nyo Ko menyebut Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya sebagai "hidung kerbau (kata olok-oIok kepada kaum Tosu), kata-kata ini ternyata sangat cocok bagi pendengaran Ciu Pek-thong, segera ia tanya pula: "Dan bagaimana dengan Hek Tay-thong?"

Mendengar nama "Hek Tay-thong", seketika Nyo Ko menjadi gusar dan memaki: "Hm, hidung kerbau ini paling brengsek, pada suatu hari pasti akan kerjai dia, agar dia tahu rasa."

Ciu Pek-thong menjadi semakin tertarik, cepat ia tanya: "Cara bagaimana akan kau kerjai dia dan apa rasanya ?"

"Akan kuringkus dia, kuikat tangan dan kaki-nya, lalu kurendam dia di kembangan kakus seharian," kata Nyo Ko.

Tidak kepalang senangnya Ciu Pek-thong, ia berbisik dengan suara tertahan: "Sst, nanti kalau dia sudah kubekuk, jangan kau rendam dia dahulu, beri kabar dulu kepadaku agar aku dapat mengintipnya secara diam-diam."

Sebenarnya tiada maksud buruknya terhadap Hek Tay-thong, hanya watak Ciu Pek-thong memang suka pada permainan yang kocak, orang lain berbuat nakal dan onar, hal ini terasa sangat cocok dengan kegemarannya, maka iapun ingin ikut ambil bagian.

Dengan tertawa Nyo Ko lantas menjawab: "Baiklah, kuingat akan pesanmu, Tapi mengapa kau harus mengintip secara diam-diam, apakah kau takut pada kawanan hidung kerbau dari Coan-cin-kau?"

Ciu Pek-thong menghela napas dan menjawab: "Aku kan paman gurunya Hek Tay-thong itu!"

Ucapan ini membikin Nyo Ko bersuara kaget.

Lalu Ciu Pek-thong menyambung lagi: "Bila dia melihat diriku, tentu dia akan minta tolong padaku. Dalam keadaan begitu, jika aku tidak menolongnya akan terasa tidak enak, sebaliknya kalau kutolong dia, pertunjukan menarik akan gagal kulihat."

Diam-diam Nyo Ko pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi meski wataknya polos dan lugu, apa pun juga dia adalah orang Coan-cin-pay, jelas tidak mungkin mengajaknya memusuhi Kwe Cing, maka jalan paling baik adalah berusaha membinasakan dia saja.

Sebenarnya pembawaan Nyo Ko tidaklah jahat, soalnya dia tak pernah melupakan sakit hati kematian ayahnya, untuk mencapai tujuan menuntut balas, segala cara dapat diIakukannya.

Sudah tentu Ciu Pek-thong tidak tahu Nyo Ko sudah berpikir jahat padanya, ia malah tanya lagi: "He, kapan kau akan menangkap si Hek Tay-thong itu?"

"Sekarang juga aku akan berangkat, kau ingin lihat keramaian, bolehlah kau ikut saja padaku," kata Nyo Ko.

Dengan girang Ciu Pek-thong lantas berbangkit tapi mendadak ia berduduk pula dengan Iesu, katanya: "Ai, tidak bisa jadi, aku harus pergi ke Siang-yang."

"Masakah menarik kota Siangyang? Kukira janganlah kau pergi ke sana," ujar Nyo Ko.

"Adik Kwe meninggalkan surat bagiku, katanya pasukan Mongol telah menyerbu ke selatan dan pasti akan menyerang Siangyang," tutur Ciu Pek-thong. "Dia telah memimpin semua pahlawan ke Siang-yang, akupun diminta ke sana untuk membantunya, sepanjang jalan kucari dia dan tidak ketemu, terpaksa kususul ke Siangyang saja."

Kubilai saling pandang sekejap dengan Kim-lun Hoat-ong, mereka sama pikir: "Adanya bala bantuan para pahlawan yang dipimpin Kwe Cing itu, mungkin Siangyang sukar diduduki."

Bicara sampai di sirii, tiba-tiba masuklah seorang Hwesio setengah umur, dari tingkah laku dan wajahnya jelas Hwesio ini adalah seorang terpelajar. Dia mendekati Kubilai, lalu kedua orang bicara dengan suara tertahan.

Kiranya Hwesio ini adalah bangsa Han, namanya Cu-cong, terhitung seorang stafnya Kubilai.

Aslinya Cu-cong bernama Lau An, menurut catatan sejarah, Lau An adalah seorang pintar dan serba tahu, karena itu dia sangat disayang oleh Kubilai.

Dari penjaga Lau An mendapat laporan bahwa di kemah Kubilai ada orang kosen, maka lebih dulu ia telah mengatur penjagaan seperlunya di luar kemah, habis itu barulah masuk menghadap Kubilai.

Ciu Pek-thong tepuk-tepuk perutnya yang rada gendut, katanya: "Eh, Hwesio, kau menyingkir dulu, aku lagi bicara dengan adik cilik itu. Hai, saudara cilik, siapa namamu?"

"Aku she Nyo bernama Ko." jawab Nyo Ko.

"Sebenarnya siapa gurumu?" tanya Ciu Pek-thong pula.

"Guruku seorang perempuan cantik, ilmu silatnya maha sakti tapi namanya tak boleh diketahui orang luar," jawab Nyo Ko.

Ciu Pek-thong merinding mendengar perempuan cantik, ia teringat kepada kekasihnya dahulu, Eng Koh, seketika ia tak berani tanya lagi ia berbangkit dan mengebut debu di tubuhnya, maka berhamburanlah debu memenuhi kemana2

Cu-cong bersin dua-tiga kali karena debu yang mengepul itu, Ciu Pek-thong tambah gembira, lengan bajunya mengebut semakin keras, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata : "Aku mau pergi!" Berbareng empat potong ujung tumbak patah tadi terus disambitkan ke arah Siau-siang-cu, Nimo Singh, In Kik-si dan Be Kong-co.

Terdengar suara mendesing menyambernya ke empat ujung tumbak itu, karena jaraknya sangat dekat, dalam sekejap saja ujung tumbak itu sudah menyamber sampai di depan mata keempat orang sasarannya.

Siau-siang-cu berempat terkejut, mereka merasa sukar untuk mengelak, terpaksa mereka mengerahkan tenaga dalam dan menangkap ujung tumbak Siapa tahu keempat tangan mereka itu ternyata menangkap angin, "plok", tahu-tahu keempat ujung tumbak itu menancap di atas tanah.

Kiranya tenaga sambitan Ciu Pek-thong itu sangat spesial, begitu disambitkan segera disertai tenaga tarikan, maka ketika ujung tumbak menyamber, sampai di depan sasarannya, mendadak terus ganti arah dan membelok ke bawah dan menancap di atas tanah.

Be Kong-co adalah seorang lugu, sekali tangkap tidak kena, ia malah merasa geli dan bergelak tertawa, serunya: "Hei, jenggot putih, sungguh hebat permainan sulapmu !"..

Tapi Siau-siang-cu bertiga menjadi tidak kepalang kagetnya, tanpa terasa air muka mereka berubah hebat. Bayangkan saja, ujung tombak itu tidak berhasil mereka tangkap, tapi sempat berganti arah, maka pada detik itu sesungguhnya jiwa sendiri sudah tergenggam di tangan lawan, kalau saja ujung tombak itu bukan menancap di tanah, tapi menyamber ke perut mereka, apakah jiwa mereka dapat diselamatkan ?

Karena berhasil mempermainkan keempat orang itu, Ciu Pek-thong sangat senang, baru saja dia mau keluar kemah, tiba2 Cu-cong berseru : "Eh, Ciu-losiansing, kesaktianmu sungguh jarang ada di dunia ini. Biarlah kuberi selamat padamu dengan suguhan secawan arak ini!"

Berbareng ia terus menyodorkan secawan arak yang sudah disiapkan ke hadapan Ciu Pek-thong.

Tanpa pikir Ciu Pek-thong terima suguhan itu dan sekali tenggak habislah isi cawan itu.

Kembali Cu-cong menghaturkan satu cawan arak dan berkata: "Sekarang aku mewakili Ongya menyuguh engkau satu cawan,"

Segera Ciu Pek-thong menghabiskan lagi arak itu, baru saja Cu-cong hendak menyuguh lagi cawan ketiga, se-konyong2 Ciu Pek-thong berteriak: "Haya, celaka ! Perutku mules, aku mau berak !" - Berbareng itu ia terus berjongkok sambil membuka kolor celana terus hendak memberak di tengah kemah.



Dengan menahan rasa gelinya Kim-lun Hoat-ong membentak untuk mencegah perbuatan Ciu Pek-thong yang tidak senonoh itu.

--------- Keterangan gambar ---------

Dengan menggunakan sumpit masing2 Siau-siang-ca adu betot daging melawan Kim-lun Hoat-ong. Dalam waktu sekejap mereka sudah beradu kekuatan tiga babak.

-------------------------------------

Ciu Pek-thong tampak melengak sejenak, habis itu berteriak pula: "He, muIesnya perut ini tidak beres, rasanya bukan kebelet mau berak !"

Nyo Ko memandang sekejap ke arah Cu-cong, pahamlah dia duduknya perkara, ia tahu Hwesio itulah menaruh racun di dalam arak yang disuguhkan kepada Ciu Pek-thong, tapi ia merasa tidak tega bila orang tua yang polos dan jenaka itu sampai mati keracunan, baru saja dia mau memperingatkan agar Kubilai ditawan untuk memaksa Cu-cong memberikan obat penawar racun, mendadak didengarnya Ciu Pek-thong berseru pula:

"Ah, salah, salah ! Kiranya arak beracun yang kuminum terlalu sedikit, lantaran itulah perut menjadi mules, Hei, Hwesio, lekas, tuangkan lagi tiga cawan arak beracun !"

Keruan semua orang saling pandang dengan bingung, sedangkan Cu-cong menjadi ketakutan kalau-kalau Ciu Pek-thong mendadak ngamuk sebelum ajalnya, mana dia berani mendekatinya, jangankan disuruh memberi arak lagi.

Karena itu Ciu Pek-thong lantas maju mendekati meja, cepat Kim-lun Hoat-ong mengadang di depan Kubilai untuk melindunginya. Tapi Ciu Pek-thong ternyata tidak bermaksud menyerang, dengan sebelah tangan memegangi celana yang kedodoran, tangan lain terus angkat poci yang berisi arak teracun, sekaligus ia tenggak habis seluruh isi poci itu, satu tetespun tidak tersisa.

Di tengah rasa bingung dan kaget semua orang, Ciu Pek-thong malah tertawa ter-bahak2, katanya: "Nah, beginilah baru segar rasanya," Perut terlalu banyak barang kotor dan beracun, harus serang racun dengan racun !" - Habis itu mendadak mulutnya terbuka, suatu arus arak terus menyembur ke arah Cu-cong.

Cepat Kim-Iun Hoat-ong samber meja di sebelahnya untuk menangkis, arak berbisa itu tepat menyerempet di muka meja dan muncrat ke mana-mana.

Sambil bergelak tertawa Ciu Pek-thong melangkah pergi, sampai di depan kemah, mendadak timbul lagi pikirannya yang jahil, ia tarik tali kemah dan dibetot sekuatnya, kontan tiang penyanggah kemah itu patah, seketika kemah besar yang terbuat dari kulit itu ambruk, Kubilai, Kim-lun Hoat-ong, Nyo Ko dan lainnya terkurung semua di bawah.

Ciu Pek-thong kegirangan, ia melompat ke atas kemah ambruk itu dan berlari-lari kian kemari beberapa kali sehingga semua orang yang terkurung di bawah kemah itu seluruhnya terinjak olehnya.

Dari bawah kemah Kim-Iun Hoat-ong melontarkan suatu pukulan dan tepat mengenai telapak kaki Ciu Pek-thong, karena tidak tersangka-sangka, Ciu Pek-thong terpental dan berjumpalitan di udara sambil berteriak: "Haha, menarik, menarik!"

Lalu pergilah dia tanpa pamit ! Waktu Kim-Iun Hoat-ong dan lainnya merangkak keluar dengan melindungi Kubilai, para pangawal juga cepat memasang kemah baru, sementara itu Ciu Pek-thong sudah menghilang.

Hoat-ong dan lainnya sama minta maaf kepada Kubilai atas kelalaian mereka yang kurang cermat mengawal sang pangeran, Namun Kubilai cukup bijaksana, sedikitpun ia tidak menyalahkan mereka, hanya berulang ia memuji kelihayan Ciu Pek-thong, dan menyesal karena tak dapat menarik orang kosen begini ke pihaknya. Dengan sendirinya Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa iri dan malu pula.

Kemudian perjamuan diperbarui, Kubilai berkata: "Sudah sekian kali pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi tak berhasil. Kabarnya para pahlawan Tionggoan sama berkumpul dan bertahan di sana, sekarang Ciu Pek-Thong ini pergi ke sana, lagi untuk membantu, sungguh sulit urusan ini, entah kalian mempunyai akal bagus tidak?"

Nimo Singh berwatak berangasan segera ia mendahului buka suara: "Meski ilmu silat tua bangka she Ciu itu sangat tinggi, tapi kepandaian kita juga tidak rendah, Harap saja Ongya melancarkan serangan sekuatnya, biarlah kita menghadapi mereka, perajurit lawan perajurit, panglima lawan panglima, biarpun di Tionggoan banyak pahlawan, tapi benua barat juga banyak jagoan."

"Meski betul juga ucapanmu, tapi segala sesuatu harus ditimbang secara masak," kata Kubilai. "untuk memenangkan suatu pertempuran kita harus dapat menilai kekuatan lawan dan kekuatan sendiri."

Bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar kemah ada orang berteriak: "Sudah kukatakan aku tak mau pergi, mengapa kalian terus memaksa saja, sekali kubilang tidak mau ya tetap tidak mau."

Dari suaranya itu jelas dialah Ciu Pek-thong.

Entah mengapa sudah pergi dia datang lagi dan sedang bicara dengan siapa? Tentu saja semua orang sangat tertarik dan lari keluar kemah untuk melihat apa yang terjadi, tapi sebelum Kubilai memberi tanda, tiada seorangpun yang berani meninggalkan tempat duduknya.

Rupanya Kubilai tahu pikiran mereka, katanya dengan tertawa: "Marilah kita melihatnya, entah sedang bertengkar dengan siapa si orang tua nakal itu?"

Waktu mereka keluar kemah, tertampaklah Ciu Pek-thong berdiri jauh di tanah lapang sebelah barat sana, ada empat orang lagi yang berdiri mengelilinginya dalam posisi mengepung, hanya sebelah timur saja yang terluang, Sambil mengepal dan ngotot, berulang Ciu Pek-thong hanya menyatakan: "Tidak mau ! Tidak mau!"

Nyo Ko menjadi heran, kalau saja orang tua nakal itu bilang tak mau pergi, siapa lagi yang mampu memaksanya dan perlu ribut mulut begitu ?!" Waktu mengawasi keempat orang itu, ternyata semuanya berseragam jubah hijau model kuno, jelas bukan pakaian model pada jaman itu, tiga di antaranya lelaki memakai kopiah besar, seorang lagi perempuan muda.

Keempat orang bersikap tenang dan ramah, Terdengar lelaki yang berdiri di sebelah utara berkata: "Kami tidak ingin membikin susah padamu, soalnya engkau telah mengobrak-abrik tempat kami, menjungkirkan tungku, mematahkan lengci (sejenis rumput obat), merusak kitab pusaka dan lainnya yang merusak, kalau engkau tidak menjelaskan sendiri duduknya perkara kepada guru kami, apabila diketahui guru kami sungguh kami tidak berani menanggung hukuman yang akan dijatuhkan beliau."

"Kau dapat mengatakan semua itu adalah perbuatan seorang hutan yang kebetulan menerobos ke situ, kan segala urusan menjadi beres ?" ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa seperti anak kecil.

"Jadi tuan sudah pasti tak mau ikut pergi ?!" tanya lelaki kekar tadi.

Ciu Pek-thong hanya menggeleng kepala saja.

Mendadak lelaki itu menuding ke belakang Ciu Pek-thong dan berseru: "He, siapa itu?" - Dan begitu Ciu Pek-thong menoleh, cepat lelaki itu beri tanda kepada kawan-kawannya, serentak keempat orang membentangkan sebuah jaring hijau terus menutup ke atas kepala Ciu Pek-thong.

Gerakan keempat orang itu sudah terlatih, caranya aneh pula, biarpun ilmu silat Ciu Pek-thong maha sakti, sekali terkurung oleh jaring ikan, seketika ia menjadi kelabakan dan tak berdaya ?

Dengan cepat keempat orang itu lantas meringkus tubuh Ciu Pek-thong dengan tali jaring, setelah kencang, dua lelaki itu lantas memanggulnya, perempuan muda dan lelaki satunya lagi mengawal dari samping, mereka terus berlari.

Kejadian ini sungguh aneh dan langkah keempat orang itu secepat terbang. Gaya Ginkang mereka ternyata belum pernah dikenal. Segera Nyo Ko memburu dan berseru: "He, kalian hendak membawanya ke mana?"

Akan tetapi keempat orang itu tidak menggubrisnya dan tetap berlari ke depan, Karena tertarik, Nyo ko terus mengejar. Hoat-ong dan lainnya juga menyusuInya. Beberapa li kemudian, sampailah ditepi sebuah sungai tertampak Ciu Pek-thong digotong ke atas sebuah perahu terus didayung pergi oleh keempat orang itu.

Cepat Nyo Ko dan lainnya mencari sebuah perahu dan memburu dengan kencang, Arus sungai itu ternyata berliku-liku, setelah memutar beberapa tikungan, mendadak kehilangan jejak perahu tadi

Nimo Singh melompat ke atas tebing, seperti kera gesitnya ia merangkak ke atas, dari situ ia memandang sekelilingnya, Dilihatnya perahu kecil yang ditumpangi keempat orang berseragam hijau tadi sedang menyusuri sebuah sungai yang sangat sempit, sungai kecil itu adalah cabang sungai tadi, ujung sungai kecil yang bertemu dengan muara sungai besaran itu tertutup oleh semak pohon yang lebat, kalau tidak dipandang dari ketinggian siapa pun takkan mengetahui di balik lembah pegunungan itu ternyata masih ada "dunia" lain.



Lekas Nimo Singh melompat turun, dengan pelahan ia tancapkan kakinya di atas perahu, perahu kecil itu hanya bergoyang sedikit saja tanpa menimbulkan guncangan berarti Hoat-ong dan lain sama berseru memuji melihat Ginkangnya yang bagus itu.

Nimo Singh lantas menunjukkan arahnya dan cepat perahu itu didayung balik, lalu menerobos semak pohon lebat itu. Perahu itu terus meluncur dengan cepat, tertampak tebing gunung menjulang tinggi di kedua tepi sungai yang sempit itu sehingga langit kelihatannya seperti satu garis saja.

Setelah beberapa li lagi, bagian depan di tengah sungai itu teralang oleh sembilan potong batu besar yang menonjol di permukaan sungai sehingga perahu mereka tidak dapat melintasi

"Wah, celaka ! Perahu ini tak dapat digunakan lagi!" seru Be Kong-co.

"Tubuhmu segede kerbau, boleh kau angkat perahu ini ke sebelah sana," kata Siau-siang-cu dengan suara melengking.

"Mana aku kuat, kecuali kau?" jawab Be Kong-co dengan gusar.

Memangnya Kim-lun Hoat-ong lagi ragu cara bagaimana melintasi rintangan kesembilan batu karang itu, Demi mendengar pertengkaran Be Kong-co dan Siau-siang-cu, -tiba2 pikirannya tergerak.

Kalau mengandalkan tenaga seorang tentu siapapun tak mampu mengangkat perahu itu, tapi kalau enam orang bergotong royong, kan segala persoalan menjadi mudah dipecahkan?

Karena itu ia lantas berkata : "He, bagaimana kalau kita berenam lakukan bersama saja? Adik Nyo, In-heng dan diriku di-sisi sini, saudara Nimo, Siau-heng dan Be-heng di sisi sana."

Serentak semua orang bersorak setuju dan menuruti petunjuk Kim-lun Hoat-ong, enam orang terbagi dan berdiri dua sisi, karena sungai itu sangat sempit, dengan berdiri di sisi tepian tangan mereka masih dapat meraih pinggir perahu. Begitulah ketika Kim-lun Hoat-ong memberi komando, serentak enam orang mengerahkan tenaga, kontan perahu itu terangkat melintasi sepotong batu karang yang mengalang di tengah sungai itu.

Tukang perahu yang berduduk di atas perahu belum lagi menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu terasa seperti terbang di udara, saking kagetnya ia jerit kuatir.

Di tengah jerit kaget dan tertawa senang, berturut perahu itu telah melintasi sembilan batu pengalang itu, lalu semua orang melompat kembali ke atas perahu dengan tertawa gembira, lalu tukang perahu yang masih melongo itu diperintahkan lekas mendayung lagi.

Sebenarnya keenam orang itu saling curiga mencurigai dan suka bertengkar, tapi setelah mendalami kerja sama ini, tanpa terasa mereka menjadi lebih akrab dan mulai pasang omong.

Kata Siau-siang-cu: "Betapapun kepandaian kita berenam ini boleh dikatakan terhitung jago kelas satu di dunia persilatan, dengan tenaga gabungan kita memang tidak sulit untuk mengangkat perahu ini, akan tetapi mereka."

"Ya, benar, mereka hanya empat orang, masakah merekapun mampu mengangkat perahu dan melintasi sembilan batu karangtadi?" tukas Ni-mo Singh.

Teringat hal itu, mereka sama merasa heran.

Tidak lama, berkatalah In Kik-si: "Perahu mereka memang lebih kecil, tapi jumlah mereka juga lebih sedikit daripada kita. Kalau mereka berempat mampu mengangkat perahu itu, maka kepandaian merekapun harus dipuji."

"Nona cantik muda belia, apapun juga pasti tidak mempunyai kemampuan sebesar itu," kata Nimo Singh. "Kukira mereka pasti mempunyai cara lain yang seketika tak dapat kita pecahkan."

Kim-Iun Hoat-ong tersenyum dan berkata: "Manusia tak boleh dinilai dari lahiriahnya, misalnya saudara Nyo kita ini, meski usianya masih muda, tapi memiliki ilmu maha tinggi, jika kita tidak menyaksikan sendiri, siapa yang mau per-caya?"

"Ah, sedikit kepandaianku ini apa artinya?" ujar Nyo Ko dengan rendah hati. "Tapi keempat orang berseragam hijau itu mampu meringkus Ciu Pek-thong yang maha sakti itu, tentu merekapun mempunyai kepandaian sejati"

Kini lagak lagu Nyo Ko sudah sejajar dengan Siau-siang-cu dan lainnya, karena semua orang sudah menyaksikan caranya menyambut samberan piring yang disambitkan Ciu Pek-thong tadi, maka tiada seorangpun yang berani lagi meremehkan dia.

Di antara keenam orang usia Nyo Ko paling muda, sedangkan Kim-lun Hoat-ong, Be Kong-co dan Nimo Singh bertiga baru sekarang ini menginjak daerah Tionggoan, Siau-siang-cu juga lebih sering tirakat di pegunungan sunyi dan jarang bergaul dengan khalayak ramai, hanya In Kik-si saja yang sangat paham terhadap kejadian di dunia persilatan daerah Tionggoan dengan aneka macam aliran serta tokohnya. Tapi bagaimana asal usul keempat orang berbaju hijau tadi ternyata tak diketahuinya.

Selagi mereka berbincang keanehan orang berbaju hijau itu, sementara itu perahu telah sampai di ujung sungai kecil itu, jalan menjadi buntu, terpaksa mereka menyuruh tukang perahu tinggal di perahunya mereka berenam lantas melempat ke tepi sungai, dengan mengikuti sebuah jalanan kecil mereka terus menyusuri lembah gunung yang rindang itu.

Untungnya jalan kecil itu hanya satu sehingga mereka tidak sampai salah arah, namun jalanan itu makin lama makin meninggi dan makin terjal, sampai akhirnya sukar dibedakan lagi mana jalannya di antara batu padas yang berserakan itu.

Kim-lun Hoat-ong dan lainnya bertenaga dalam tinggi, dengan sendirinya mereka tidak susah menempuh jalan pegunungan yang curam itu, hanya Be Kong-co seorang saja, karena Ginkangnya tidak setinggi kelima orang kawannya, ia sudah mulai terengah-engah, kalau saja dia tidak ditarik Nyo Ko, In Kik-si dan Kim-lun Hoat-ong, beberapa kali ia hampir terjerumus ke dalam jurang.

Baru sekarang Be Kong-co merasakan kelemahannya sendiri, meski memiliki tenaga sebesar kerbau, tapi bicara tentang tenaga dalam jelas masih selisih jauh dengan orang lain, Meski dia seorang kasar, tapi diam-diam japun tahu diri dan malu hati.

Sementara itu hari sudah mulai gelap, tapi jejak keempat orang berbaju hijau masih belum di ketemukan, Selagi mereka merasa gelisah, tiba-tiba di kejauan tertampak beberapa gunduk api unggun yang sedang menyala, seketika mereka bergirang bahwa di lembah pegunungan itu ada cahaya api, dengan sendirinya di sana juga ada penduduknya, Kecuali beberapa orang berbaju hijau tadi, orang biasa tentunya juga tak dapat bertempat tinggal dj tempat securam ini.

Begitulah mereka lantas berlari lebih cepat ke sana, dalam sekejap saja Be Gong-co sudah tertinggal jauh di belakang, Kecuali Nyo Ko, empat orang lainnya sudah banyak berpengalaman biar-pun berlari secepatnya, tapi merekapun menyadari sedang berada di daerah berbahaya, maka mereka sama was-was terhadap segala kemungkinan.

Namun begitu merekapun bertambah tabah mengingat kini mereka datang berenam, dengan gabungan tenaga mereka berenam, rasanya tidak perlu gentar terhadap siapapun juga.

Tidak lama sampailah mereka di suatu tanah lapang di atas puncak gunung itu, terlihat empat gundukan api yang sangat besar sedang berkobar dengan hebatnya. Waktu mereka mendekati, maka tertampaklah dengan jelas bahwa gundukan api besar itu masing-masing mengitari sebuah rumah batu kecil di tengah, di pinggir rumah batu itulah tertimbun kayu bakar yang berkobar itu. entah barang apa di dalam rumah batu itu yang lagi dibakar.

Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok, dia mahir ilmu Yoga dan tidak takut pada api, segera ia melompat maju dan mendekati rumah batu di ujung timur sana, ia mendorong pintunya dan terpentanglah seketika, tertampak rumah batu itu kosong melompong tiada isinya, hanya di lantai duduk, seorang lelaki baju hijau, kedua tangannya tersingkap di depan dada sebagai penganut agama Budha, tubuhnya kelihatan menggigil air mukanya tampak meringis menahan derita.

Heran sekali Nimo Singh, ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan orang itu? Apakah sedang berlatih semacam Lwekang? Tapi tampaknya bukan? Waktu mengamat-amati lebih jelas, kiranya kaki dan tangan orang itu terikat oleh rantai besi dan terikat pula pada tiang di belakangnya.

Ia coba memeriksa lagi rumah batu kedua dan ketiga, keadaannya ternyata serupa dengan rumah pertama, Rumah keempat rada berbeda, sebab yang terikat di situ adalah seorang gadis berbaju hijau, jelas keempat orang ini adalah orang yang menangkap Ciu Pek-thong dengan jaring ikan itu. Cuma si tua nakal itulah yang tak kelihatan bayangannya.



Nyo Ko dan lain-lain ikut memandang ke dalam rumah itu dan semuanya ikut heran dan terkesiap, kelihatan api semakin berkobar dan pasti luar biasa panasnya, keempat orang itu menjadi seperti dipanggang hidup-hidup.

Tindak-tanduk Nyo Ko biasanya memang tidak suka memikirkan bagaimana akibatnya, selain itu ia justeru dilahirkan dengan perasaan yang suka kepada keindahan dan dengan sendirinya juga suka kepada perempuan cantik ia pikir ketiga lelaki itu tidak menjadi soal biarpun mampus terpanggang, tapi nona jelita ini kan harus dikasihani.

Segera ia mengambil sepotong ranting pohon dan digunakan memadamkan api yang berkobar di tepi rumah batu yang didiami si nona. Tidak lama Be Kong-co juga menyusul tiba, tanpa bertanya iapun membedol sebatang pohon kecil dan membantu Nyo Ko memadamkan api, tidak lama api dapat diatasinya.

Nyo Ko bermaksud memadamkan api pada rumah yang lain, tiba-tiba si nona baju hijau berkata: "Tuan tamu harap berhenti agar tidak menambah dosa kami"

Selagi Nyo Ko merasa bingung dan hendak tanya apa artinya, tiba-tiba dari balik rumah muncul seorang dan berseru: "Kokcu (pemilik lembah) ada perintah, karena ada tamu, maka hukuman sementara ditunda, keempat murid diperintahkan melayani tamu sebaiknya."

Nona baju hijau itu mengiakan dan menyatakan terima kasih, Lalu orang yang bicara itu melompat masuk rumah batu, ia mengeluarkan sebuah kunci yang amat besar untuk membuka gembok pada rantai si nona, begitulah ber-turut2 keempat, orang itu telah dibebaskan, habis itu dia terus berlari pergi tapi memandang sekejap kepada Nyo Ko dan Iain-lain.

Keempat orang yang terantai di dalam rumah batu tadi lantas keluar semua dan memberi hormat seorang di antaranya berkata: "Maafkan jika tadi kami tak dapat menyambut kedatangan tuan sekalian." - lalu ia tuding tanah lapang di sebelah timur sana dan menyambung: "Silakan duduk saja di sana, rumah terlalu panas terbakar, sukar untuk menerima tamu di dalam rumah."

Kim-lun Hoat-ong mengangguk tanda setuju, baru saja mau melangkah ke sana, mendadak Nimo Singh berkata: "semakin panas semakin menyenangkan." - Habis itu dengan lagak tak takut mati ia terus melangkah masuk ke dalam rumah batu yang terletak di tengah dan masih dikelilingi oleh api yang berkobar itu.

-------- gambar ----------

"Hei, adik cilik, siapa namamu?"

"Aku she Nyo bernama Ko"

"Siapakah gurumu?"

"Guruku seorang perempuan jelita, ilmu silatnya, tinggi, orang lain dilarang menyinggung namanya."

----------------------------

Semua orang melengak dan tahu kakek keling cebol itu sengaja pamer kepandaian, Siau-siang-cu mendengus satu kali, segera iapun menyusul ke dalam rumah itu.

"Wah, jangan sampai orang Persi berubah menjadi daging panggang," ujar In Kik-si dengan tertawa, walaupun begitu katanya, tanpa ragu ia pun ikut masuk ke dalam rumah.

Kim-lun Hoat-ong paling tenang dan pendiam, tanpa bicara iapun masuk ke situ. Sudah tentu Be Kong-co juga tidak mau ketinggalan tapi baru sampai di ambang pintu, se-konyong2 hawa panas terasa membakar, ia berseru: "Ah, lebih baik kucari angin saja di bawah pohon sana." Habis itu ia terus berlari kebawah pohon dan duduk istirahat.

Kini tertinggal Nyo Ko saja, baru saja dia mau masuk ke rumah itu, mendadak si nona baju hijau tadi berkata padanya: "Jika tuan tamu ini takut panas, bagaimana kalau silakan berduduk istirahat di sana bersama tuan itu?"

Rupanya dia merasa terima kasih atas bantuan. Nyo Ko tadi yang telah memadamkan api, pula melihat usianya masih muda, ia pikir Nyo Ko pasti tidak mampu menahan hawa panas di dalam rumah yang mirip dipanggang itu.

Tak terduga Nyo Ko tetap melangkah kesana, ia Ijetpaling dengan tertawa dan berkata :" "Biarlah aku duduk sebentar di dalam, kalau tidak tahan tentu aku akan keluar,"

Sesudah di dalam rumah, ia duduk di sebelah Kim-lun Hoat-ong, keempat lelaki-perempuan berseragam hijau itupun ikut masuk dan duduk di sisi Iain sebagai tuan rumah, seorang di antaranya lantas bertanya: "Maaf, sekiranya boleh kami mengetahui nama tuan-tuan yang terhormat ?"

ln Kik-si paling lancar main mulut, dengan tersenyum ia memperkenalkan kelima orang ka-wannya, akhirnya ia berkata: "Cayhe sendiri bernama In Kik-si, berasal dari Persi, kepandaianku selain makan nasi adalah cari duit, berbeda dengan beberapa kavvanku ini, mereka memiliki ilmu sakti yang sukar kuterangkan."

"Tempat kami ini bernama Cui-sian-kok, biasanya jarang dikunjungi orang luar," kata orang tadi. "Maka kami merasa beruntung dapat kunjungan tuan-tuan sekarang. Entah tuan-tuan ini ada keperluan apa, sudilah kiranya memberitahu?"

"Kami melihat kalian meringkus Lo-wan-tong Ciu Pek-thong dan dibawa ke sini, karena rasa ingin tahu, maka kami telah ikut kesini tak terduga kami dapat menyaksikan peristiwa aneh pula di sini." jawab In Kik-si.

Selama tanya jawab kedua orang itu, suhu panas di dalam rumah telah bertambah hebat, Nimo Singh dan Siau-siang-cu sudah lantas duduk bersila begitu mereka masuk ke dalam rumah, satu patah-katapun mereka tidak buka suara, soalnya lwekang yang mereka latih itu di kala mengerahkan tenaga sekali-kali tidak boleh membuka mulut.

Dalam pada itu, akhirnya In Kik-si sendiripun terengah-engah napasnya, suarapun terputus-putus. Rupanya Lwekang keempat orang baju hijau itu berbeda Lwekang orang lain, juga sudah biasa melawan hawa panas itu, meski kepandaian mereka terbatas, tapi masih sanggup bertahan. Maka orang pertama tadi berkata pula: "Jadi orang tua yang mengacau itu she Ciu? Pantas dia berjuluk Lo-wan-tong, nyatanya sudah tua masih nakal seperti anak kecil."

"Apakah kalian juga sehaluan dengan si tua nakal itu?" tanya orang baju hijau kedua.

In Kik-si menjawab: "Kami... kami ti.... tidak..."

Melihat kawannya sudah megap-megap dan tidak sanggup melanjutkan ucapannya, cepat Kim-lun Hoat-ong menyambung: "Kami juga baru kenal dia tadi, bdleh dikatakan tiada hubungan apa-pun."

Meski perkataan Kim-Iun Hoat-ong dapat diucapkan dengan lancar, tapi sebenarnya cukup makan tenaga, Diam-diam ia mendongkol terhadap Nimo Singh yang sejak tadi duduk diam saja, padahal gara-gara Nimo Singh yang sok aksi dan mendahului masuk rumah ini, kalau tidak, tentu mereka tidak perlu tersiksa, sekarang Nimo Singh duduk terpekur tanpa menggubris orang lain, kalau sebentar para teman tak sanggup membuka mulut, bukankah akan ditertawai pihak lawan ?

Karena rasa gemas itu, tanpa terasa Kim-lun Hoat-ong melotot kepada Nimo Singh, namun orang keling itu tetap pejam mata dan bersemadi tanpa ambil pusing.

Hanya Nyo Ko saja ternyata dapat duduk dengan tenangnya, ia pernah tidur selama beberapa tahun di atas dipan kumala dingin yang terdapat di kuburan kuno itu, biarpun dalam keadaan tidur nyenyak tubuhnya secara otomatis telah biasa mengatur suhu yang berubah setiap waktu, maka untuk melawan hawa panas sekarang sedikitpun dia tidak merasa sulit.

Begitulah orang baju hijau pertama tadi membuka suara lagi: "Lo-wan-tong itu telah menyusup ke Cui-sian-kok kami ini dan membikin kacau...".

"Membikin kacau bagaimana? Apakah benar dia telah membakar rumah, merobek kitab dan sebagainya seperti tuduhan kalian?" tukas Nyo Ko.

Semua orang menjadi terheran-heran melihat Nyo Ko masih sanggup membuka suara dengan lancar, sedikit tiada ubahnya seperti biasa, padahal pemuda ini juga sudah duduk sekian lamanya di dalam rumah batu yang panas ini. Karena itu semua orang sama memandang padanya, kecuali Nimo Sing yang masih tetap memejamkan mata dan tidak pusing terhadap kejadian di sekitarnya.

Terdengar orang baju hijau tadi menjawab pula: "Memang begitulah. Waktu itu aku diperintahkan guruku menunggui anglo yang menggembleng obat, entah cara bagaimana mendadak tua bangka itu menerobos masuk ke situ dan mengajak ngobrol padaku ke timur dan ke barat, dia mengajak main teka teki segala dan menantang taruhan padaku, sungguh sinting dia. Padahal aku sedang sibuk menunggui anglo yang sedang menyala, aku tidak sempat mengusir dia, terpaksa ku anggap tidak mendengar ocehannya, Tak terduga mendadak dia mengayun kakinya, anglo yang kutunggu itu telah ditendangnva hingga terguling."

"Dan dia malah menyalahkan kau karena kau tidak menggubris dia, betul tidak ?" kata Nyo Ko dengan tertawa.



"Benar, memang begitulah," kata si nona baju hijau tadi, "Waktu kudengar suara ribut, ku tahu telah terjadi keonaran, baru aku hendak meninggalkan kamar penyimpan Leng-ci-cau yang ku tunggui itu, mendadak kakek aneh itu sudah menerobos tiba, sekali pegang, kontan dia bedol dan dipatahkan menjadi dua sebatang Leng-ci-cau yang sudah berumur lebih 400 tahun."

"Wah, Lo-wan-tong itu sungguh terlalu, sebatang Leng-ci-cau yang sudah hidup lebih 400 tahun. tentulah benda mestika yang perlu disayang" ujar Nyo Ko sambil geleng kepala dengan tertawa.

"Padahal ayahku telah merencanakan Leng-ci-cau ini akan dimakan bersama ibu tiriku pada hari pernikahan mereka nanti, siapa tahu tua nakal telah membikin kacau semuanya itu, maka tidak perlu dijelaskan lagi apabila ayahku menjadi murka!" kata si nona baju hijau.

"Apa boleh kami mengetahui nama ayahmu yang terhormat?" tanya Nyo Ko, "Tanpa sengaja kami menyusup ke sini, tapi nama tuan rumah sampai saat ini belum diketahui sungguh terasa kurang sopan."

Nona baju hijau itu tampak sangsi untuk menjawab, maka seorang lelaki baju hijau yang lain lantas berkata: "Sebelum diidzinkan Kokcu, maafkan jika kami tidak dapat memberi keterangan"

Nyo Ko pikir orang-orang ini tentulah orang kosen yang hidup di dunianya sendiri maka tidaklah heran jika mereka tidak mau menjelaskan asal usul mereka. Maka ia lantas bertanya pula: "Dan kemudian bagaimana dengan Lo-wan-tong itu?"

Pada saat itulah terlihat In Kik-si berbangkit lalu melangkah cepat ke luar rumah dengan sempoyongan. Rupanya orang Persi itu sudah tidak tahan lagi hawa panas.

Maka orang baju hijau, ketiga ikut bicara:

"Orang tua she Ciu itu tidak mau kepalang tanggung, dia menerobos lagi ke dalam kamar tulis guru kami dan merobek beberapa buah kitab pusaka, dalam pada itu kedua suhengku dan Sumoay ini telah memburu tiba, kami berempat akhirnya tetap tak dapat merintangi dia..."

Belum habis ucapannya, mendadak terlihat tubuh Siau-siang-cu melayang keluar rumah, dia tidak berdiri, tapi masih tetap duduk bersila. Gerakan tubuhnya yang gesit itu tanpa berdiri itu sungguh luar biasa.

Nyo Ko tersenyum, lalu berkata pula: "Watak lo-wan-tong itu sungguh teramat aneh, ilmu silatnya juga sudah mencapai tingkatan yang sukar di ukur, pantas kalau kalian tak dapat menghalangi dia."

"Malahan dia belum selesai, dia masuk lagi ke kamar senjata," tutur orang kedua, "tapi lantaran di situ cuma senjata melulu, dia terus menyalakan api sehingga lukisan dan seni tulisan yang bergantung di dinding semuanya terbakar. Kami sibuk memadamkan api, peluang itu telah digunakan olehnya untuk kabur."

"O, makanya kemudian kalian mengejarnya dan berhasil menawannya dengan jaring ikan," kata Nyo Ko.

Mendadak Kim-lun Hoat-ong juga berbangkit sambil menggeliat pinggang yang pegal, katanya dengan tertawa: "Adik cilik, akupun merasa tidak tahan lagi, perlu cari angin keluar saja, Kaupun jangan paksakan diri, racun api ini tidak boleh dibuat permainan" Habis berkata ia terus melangkah keluar dengan tenang.

Si nona baju hijau berkata. kepada Nyo Ko: "Hampir semua tetamu telah keluar, kami berempat sesungguhnya juga tak tahan lagi, bagaimana kalau kita bicara di bawah pohon di luar sana?"

Nyo Ko tersenyum dan mengiakan, lalu ia berdiri dan berkata kepada Nimo Singh: "He, saudara tua, kau mau keluar tidak?".

Siapa duga Nimo Singh masih tetap pejam mata dan diam saja, waktu Nyo Ko mendorong pelahan pundaknya, kontan Nimo Singh roboh di lantai Nyo Ko tetkejut, cepat ia membangunkannya.

"Rupanya dia pingsan karena hawa yang teramat panas ini, setelah mendapat angin silir di luar tentu akan siuman kembali," ujar si lelaki baju hijau pertama tadi.

Diam-diam Nyo Ko merasa geli terhadap kemampuan dengan keling tua yang sok aksi itu, segera ia jinjing tubuh Nimo Singh yang kurus kecil itu dan dibawa keluar.

Begitulah semua orang lantas duduk mengitar di bawah pohon, keempat orang baju hijau itu tiada hentinya memuji kehebatan Lwekang si Nyo Ko.

"Kami berempat harus bicara secara bergiliran," setelah buka mulut harus mengerahkan tenaga untuk melawan suhu panas dan pembicaraan disambung oleh yang lain, tapi tuan Nyo ini dapat sekaligus melayani pembicaraan kami berempat tanpa berhenti sungguh sangat mengagumkan tenaga dalamnya yang Iihay," demikian kata orang pertama tadi.

Tiba-tiba orang kedua menyambung: "Eh, Su-ko, aliran Lwekang tuan Nyo ini tampaknya sangat mirip dengan ibu guru kita yang baru itu?"

Hati Nyo Ko tergerak tanpa pikir ia terus tanya: "Siapakah ibu guru kalian ?" - Tapi segera ia menyadari ketidak sopanan pertanyaannya itu. ketika keempat orang baju hijau itu saling pandang dengan air muka yang aneh tanpa menjawab.

In Kik-si tahu Nyo Ko merasa kikuk dan perlu dialihkan pokok- pembicaraan mereka, maka cepat ia menimbrung: "Sebenarnya sebab apakah Lo-wan-tong itu mengamuk, padahal tabiatnva tidaklah jelek meski kelakuannya memang nakal"

"Dia bilang usia ayahku sudah sebanyak itu, tapi masih ingin..." belum si nona baju hijau habis berbicara, mendadak kawannya yang pertama tadi menyambung: "Ah, Lo-wan-tong itu memang sinting, mana ucapannya dapat dipegang buntutnya, O, ya, kalian datang dari jauh, tentu sudah lapar, silakan dahar sekadarnya ke sana."

"Bagus ! Bagus !" kontan Be Kong-co bersorak bicara makan, dia paling bernapsu. Sementara itu pernapasan Nimo Singh belum lagi lancar kembali dia terus angkat tubuh sang kawan yang kecil itu dan dikempit terus mendahului menuju ke arah yang ditunjuk lelaki baju hijau tadi.

Tempat bersantap juga sebuah rumah batu yang sederhana, tidak banyak alat perabotnya, tapi sangat luas. Keempat orang baju hijau tadi masuk dapur sendiri untuk menyiapkan daharan, Tidak lama perjamuan lantas dimulai, meja penuh dengan sayur mentah dan buah-buahan belaka, tiada makanan dari daging atau ikan dan juga tiada satu pun yang dimasak.

Makan tanpa ikan daging bagi Be Kong-co jelas tidak menarik, maka ia menjadi kecewa melihat meja itu tiada sesuatu daharan enak selain sayur mentah dan buah-buahan.

"Di sini selamanya tidak kenal makanan berjiwa dan tidak pakai asap api, maka diharap tuan-tuan suka maklum," kata orang pertama tadi.

"Masakah tidak pakai api segala ? Tadi kalian kan membakar rumah dengan api?" ujar Be Kong co...

"Itu adalah cara hukuman Kokcu," kata orang kedua.

Lalu lelaki baju hijau ketiga menyambung: "Silahkan dahar !" - Lalu ia ambilkan sebuah botol dan menuangkan setiap orang satu mangkoK air jernih.

Be Kong-co mengira disuguh arak, ia tidak makan daging juga tak jadi soal asalkan dapat minum arak. Tanpa pikir ia terus angkat mangkoknya dan ditenggak, tapi rasanya tawar, baru sekarang ia tahu isi mangkok itu adalah air. Dasar, wataknya memang kasar, segera ia berteriak: "He, majikan kalian itu sungguh kikir, masakah arak saja tidak disuguhkan kepada tamu."

"Di lembah ini dilarang minum arak, peraturan ini sudah turun temurun selama beratus tahun, harap tuan tamu suka memaafkan," kata orang pertama tadi.

Si nona baju hijau juga berkata: "Hanya dalam kitab saja kami pernah membaca tulisan arak, tapi sebenarnya bagaimana rasanya arak, selama hidup tak pernah kami lihat, Menurut tulisan dalam kitab, katanya arak dapat mengacaukan pikiran sehat, tentunya juga bukan barang baik"

Nyo Ko dan lainnya adalah orang yang sudah biasa hidup bebas di dunia kangouw, mereka merasa kurang cocok dengan lagak lagu keempat orang itu, apalagi sejak mulai bicara tadi belum pernah tertampak air muka mereka mengunjuk senyum, walaupun juga tidak menjemukan, tapi boleh dikatakan tidak menarik. Karena itu mereka hanya makan nasi saja.

Celakanya nasi itupun mentah, yaitu beras yang digiling halus dan dicampur air melulu, tentu saja rasa katulnya sangat terasa sehingga sukar ditelan saja sekadar tangsal perut. Hanya Be Kong co yang bertubuh besar kekar, setiap kali makan sedikitnya delapan sampai sembilan mangkok besar, tentu saja dia tidak puas akan suguhan itu, sambil makan nasi beras mentah itu ia terus menggerundel tiada hentinya.



Aneh juga, keempat orang baju hijau itu ternyata tidak ambil pusing terhadap gerundelan Be Kong-co, semula mereka masih minta maaf kepada tamunya, tapi kemudian merekapun tidak menanggapi apapun, mereka anggap makan nasi mentah dan minum air tawar adalah kehidupan yang wajar.

Selesai bersantap, Be Kong-co berkaok ingin pulang saja malam itu juga, tapi kelima orang kawannya merasa tertarik oleh macam-macam keanehan di lembab gunung ini, mereka sama ingin mencari tahu duduknya perkara, maka In Kik-si coba memberi pengertian- kepada Be Kong-co, katanya:

"Be-heng, kita sudah datang di sini dan sepantasnya besok kita harus menemui Kokcu, mana boleh pulang begitu saja,"

"Tidak ada arak tidak daging, nasipun tidak keruan, aku merasa tersiksa di sini," seru Be Kong-co pula.

Mendadak Siau-siang-cu menarik muka dan berkata: "Semua orang bilang tinggal dulu di sini, kau sendiri ribut apa?"

Be Kong-co paling takut kepada Siau-siang-cu karena potongannya yang mirip mayat hidup itu, karena itu ia tidak berani mengomel lagi

Malamnya mereka berenam lantas tidur di dalam rumah batu itu, lantai batu dingin sekali, jangankan kasur dan selimut, bahkan tikar dan sejenisnya juga tidak ada sama sekali.

"Eh, Hwesio gede," kata Nimo Singh kepada Kim-lun Hoat-ong, "kau adalah otak kita berenam, coba katakan, menurut pendapatmu orang macam apakah Kokcu ini? Apakah orang baik atau orang busuk, besok kita harus bersikap ramah tamah atau labrak dia habis-habisan?"

"Seperti juga kalian, aku sendiripun belum tahu bagaimana Kokcu mereka ini, biarlah besok kita bertindak menurut keadaan saja," jawab Kim-lun Hoat-ong tertawa.

Dengan suara pelahan In Kik-si berkata: "Kepandaian keempat orang ini sudah begini bagus, dengan sendirinya sang Kokcu akan jauh lebih lihay. Besok kita harus selalu waspada, sedikit lengah bisa jadi kita berenam akan terkubur di sini."

Tapi Be Kong-co masih terus menggerundel tentang makanan tak enak dan sebagainya, sama sekali ia tidak menghiraukan peringatan In Kik-si yang suka berpikir itu.

Maka Nyo Ko sengaja menakuti Be Kong-co, katanya: "Besok kalau kau tidak bertindak hati2 dan kena ditawan mereka, selamanya kau hanya akan merasakan air tawar dan sayur mentah belaka."

Baru sekarang Be Kong-co terkejut dan cepat menjawab: "Baik, adik cilik, baiklah, aku akan menuruti kalian!"

Karena berada di tempat berbahaya, maka tidur mereka semalaman boleh dikatakan tidak nyenyak, hanya Be Kong-co saja yang dapat pulas, suara mendengkurnya begitu keras laksana guntur

Setelah bangun pagi-pagi, Nyo Ko keluar rumah batu itu dan memandang sekelilingnya, semalam karena hari sudah gelap, maka keadaan setempat belum terlihat jelas.

Ternyata sekitar pepohonan menghijau permai dengan bunga mekar harum semerbak, sungguh suatu tempat dengan pemandangan alam yang indah.

Karena terpesona oleh pemandangan yang menarik itu, Nyo Ko mengayunkan langkah ke depan, tertampak di tepi jalan bangau putih bergerombol dua-tiga sekalian di sana sini menjangan putih berkelompok, tupai dan kelinci berlari kian kemari tanpa menghiraukan manusia yang berlalu di situ.

Setelah membelok ke sana, terlihat si nona baju hijau kemarin itu sedang memetik bunga di tepi jalan, nampak Nyo Ko, nona itu lantas menyapa: "Selamat pagi! Silakan sarapan !" - Sembari bicara ia lantas memetik dua tangkai bunga dan disodorkan kepada Nyo Ko.

Tanpa ragu Nyo Ko menerima bunga itu, ia ragu apakah mesti makan bunga ini sebagai sarapan pagi?

Melihat si nona mengeleteki kelopak bunga dan dimakan, Nyo Ko meniru dan makan juga beberapa sayap kelopak bunga itu, ia merasa kelopak itu ada rasa manis yang sangat tipis, tapi dikunyah lebih jauh, terasa pula rasa sepat dan pahit, ia merasa tidak sopan kalau memuntahkan kembali kelopak bunga yang dimakannya itu, tapi untuk ditelan rasanya sukar pula masuk tenggorokan.

Ia coba mengamati pohon bunga itu, ternyata ranting daunnya penuh duri kecil, tapi warna kelopak bunga indah sekali, mirip bunga mawar tapi lebih harum, menyerupai melati tapi lebih cantik, entah apa nama bunga yang aneh ini.

"Bunga apakah ini, belum pernah kulihat," tanya Nyo Ko,

"Namanya Bunga Cinta, memang jarang ada di dunia ini," jawab si nona. "Enak tidak rasanya dirasakan?" ,

"Mula-mula terasa manis, tapi kemudian terasa pahit," ujar Nyo Ko sembari mengulur tangannya untuk memetik bunga lagi. Karena melihat ranting bunga itu berduri, maka dia memetik dengan sangat hati-hati.

Tak terduga, di balik kuntuman bunga yang hendak dipetik itu tersembunyi juga duri yang kecil itu dan jarinya terluka hingga meneteskan beberapa tetes darah segar.

Aneh juga, batang pohon bunga itu mirip kapas saja, begitu darah menetes di dahan pohon, seketika darah segar itu terisap lenyap tanpa bekas.

"Menurut cerita ayahku, bunga cinta ini paling suka kepada darah manusia," tutur si nona baju hijau, "Dengan mengisap beberapa tetes darahmu ini, pasti bunganya akan mekar terlebih indah dan harum, Lembah ini bernama "Lembah Patah Hati", tapi di sini justeru tumbuh bunga cinta sebanyak ini, aneh bukan ?"

Nyo Ko merasa nama lembah itu sangat aneh, katanya: "Mengapa bernama lembah patah Hati, nama ini sungguh luar biasa."

Nona baju hijau itu menggeleng, jawabnya:

"Akupun tidak tahu apa maksudnya, nama ini sudah turun temurun, bisa jadi ayah, mengetahui asal-usul nama ini"

Sembari bicara mereka lantas berjalan berendeng ke depan, Hidung Nyo Ko mengendus bau harum yang sedap, terlihat pula menjangan kecil yang berlari kian kemari di tepi jalan itu sangat menarik, hatinya menjadi lapang dan semangat segar, terpikir olehnya tiba-tiba : "Alangkah bahagianya apabila yang berjalan berendeng denganku sekarang ini adalah Kokoh, sungguh aku ingin tinggal selamanya di lembah sunyi ini."

Baru berpikir sampai di sini, mendadak jari yang tertusuk duri bunga tadi terasa sakit nyeri sekali rasa sakit ini sangat aneh dan lihay, dada terasa seperti dipalu beberapa kali oleh orang, tanpa terasa ia menjerit tertahan dan cepat jari dimasukkan ke dalam mulut untuk dihisap.

"Terkenang kepada buah hatimu, bukan?" tanya si nona hambar.

Karena isi hatinya tepat dikatakan si nona, . muka Nyo Ko menjadi merah, jawabnya: "Aneh, darimana kau mendapat tahu?"

"Bila anggota badan tertusuk oleh duri bunga cinta itu, selama tiga hari tiga malam tidak boleh timbul rasa rindu, kalau tidak tentu akan merasa sakit luar biasa," tutur nona itu.

"Sungguh aneh, masakah di dunia ini terdapat hal aneh begini?" kata Nyo Ko dengan heran.

"Kata ayahku, memang begitulah arti cinta, mula-mula terasa manis, tapi kemudian akan timbul terasa pahit getir, bahkan penuh duri, biarpun kau sudah berhati-hati juga tak terhindar akan terluka olehnya, Mungkin karena bunga ini memiliki beberapa segi Khas ini, makanya orang memberi nama begini,"

"Dan mengapa selama tiga hari tiga malam tidak boleh timbul rasa rindu asmara?" tanya Nyo Ko. Betapapun dia masih muda belia, bicara mengenai "rindu asmara", tanpa terasa mukanya merah lagi.

Tapi nona baju hijau sama sekali tidak terpengaruh dengan tenang ia berkata pula: "menurut ayah, duri bunga cinta ini berbisa, Umumnya setiap orang yang tergerak cinta berahinya, bukan saja jalan darahnya akan mengalir lebih cepat, bahkan di dalam darah akan timbul sesuatu unsur yang entah apa namanya, Biasanya racun duri bunga cinta ini tidak membahayakan, tapi begitu bertemu dengan unsur itu di dalam darah, seketika akan membuat orang kesakitan tidak kepalang."

Nyo Ko merasa cerita orang juga rada masuk diakal tapi ia masih setengah ragu. Kedua orang itu terus melangkah ke dataran puncak yang terang benderang oleh sinar matahari pagi yang hangat, bunga cinta tampak mekar semarak, bahkan pohon bunga itu pun berbuah. Macam-macam warna buahnya, ada hijau, ada merah dan kombinasi merah dan hijau, malahan buahnya berbulu halus seperti bulu ulat.

"Aneh, bunga cinta itu sangat indah, mengapa buahnya begini jelek," ujar Nyo Ko.

"Buah bunga cinta ini tak dapat dimakan," kata si nona, "rasa buahnya ada yang masam, ada yang pedas, malahan ada yang bau busuk dan memuakkan."

"Masakah tiada yang manis sebagai madu?" ujar Nyo Ko dengan tertawa.

Nona itu memandang sekejap padanya, lalu menjawab : "Ada sih memang ada, cuma sukar dibedakan dari kulit buahnya, ada yang rupanya buruk, tapi rasanya manis, tapi yang rupanya bagus tidak selalu pasti manis."

Nyo Ko pikir meski apa yang dikatakan si nona itu mengenai bunga cinta, tapi sebenarnya mengandung filsafat tentang asmara lelaki dan perempuan apakah rasa cinta itu memang mula-mula manis dan akhirnya pasti pahit getir ? Apakah cinta kasih sepasang laki perempuan tentu akan berakhir dengan mimpi buruk daripada mimpi indah ?

Apakah rasa rindukan kepada Kokoh ini kelak juga akan...!

Begitu dia terkenang kepada Siao-liong-li, kontan jarinya terasa kesakitan lagi, baru sekarang ia percaya kepada apa yang diceritakan si nona baju hijau memang bukan omong kosong belaka,

Melihat Nyo Ko meringis lagi menahan sakit, si nona seperti mau tersenyum, tapi segera ditahannya, sementara itu wajahnya yang tersorot oleh sinar matahari itu telah menambah cantiknya.

"Di jaman dahulu ada seorang raja telah mengorbankan kerajaannya hanya karena ingin melihat senyuman manis seorang perempuan cantik, itulah tandanya sukarnya melihat tertawa perempuan cantik sejak jaman kuno sampai jaman kini memang sama susahnya," kata Nyo Ko dengan tertawa.

Dasar si nona memang masih muda dan polos, karena olok-olok Nyo Ko itu, tak tertahan lagi, akhirnya tertawa mengikik.

Tadinya sikap si nona tampak dingin dan kaku, maka Nyo Ko selalu merasa prihatin, kini tawa si nona telah membuat jarak hubungan mereka menjadi lebih dekat.

"Ai, bicara tentang sukarnya melihat tertawa orang perempuan yang mengakibatkan musnahnya suatu negara, padahal masih ada sesuatu pada diri perempuan cantik yang lebih sukar diperoleh dari pada tertawanya," kata Nyo Ko pula.

Nona itu tampak terbeliak heran dan ingin tahu, cepat ia tanya. "Apakah itu?"

"Ialah nama si cantik," ujar Nyo Ko. "Bahwa dapat melihat wajah si cantik sebenarnya sudah beruntung, apalagi dapat melihat tertawanya, itulah rejeki nomplok namanya, sedangkan kalau ingin si cantik sendiri mengatakan namanya, untuk itu perlu rejeki nomplok di tambah perbuatan amal bakti turun temurun."

Si nona tahu arti ucapan Nyo Ko itu hendak menuju ke mana, sambil tertawa iapun menjawab: "Aku bukan perempuan cantik segala, di lembah ini belum pernah ada orang mengatakan aku ini cantik, rupanya engkau bercanda padaku?"

Nyo Ko menarik napas panjang, katanya : "Ai, pantas lembah ini bernama Lembah Patah Hati atau Lembah Tanpa Perasaan, Menurut pendapatku lembah ini perlu ganti nama."

"Ganti nama apa?" tanya si nona.

"Lebih tepat pakai nama Lembah Orang Buta," kata Nyo Ko.

"Sebab apa?" si nona menegas.

"Kan mudah dimengerti." kata Nyo Ko. "Orang yang tidak tahu kecantikan seseorang kan namanya orang buta, Kau begini cantik, tapi mereka tidak pernah memuji kau, bukankah semua penghuni lembah ini adalah orang "buta?"

Kembali si nona tertawa terkekeh, padahal wajahnya meski tergolong kelas atas, tapi kalau dibandingkan Siao-liong-li jelas masih jauh sekali, dibandingkan kelembutan Thia Eng dan kegenitan Liok Bu-siang juga masih kalah.

Cuma nona gunung ini lebih polos, sederhana, tidak pernah makan barang berjiwa, dengan sendirinya ada sesuatu gaya yang istimewa pada dirinya.

BegituIah dengan sendirinya nona itu sekarang senang karena dipuji cantik oleh Nyo Ko, dengan tertawa ia menjawab: "kau sendirilah yang buta, masakah menganggap seorang perempuan jelek sebagai orang cantik "

Melihat tertawa si nona yang menarik, tubuhnya yang semampai rada bergetar, tanpa terasa hati Nyo Ko tergerak juga. Maklumlah, seorang pemuda berdiri di samping seorang gadis cantik dan melihat wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah, adalah jamak kalau timbul juga pikiran berahinya. Siapa duga karena goncangan perasaannya itu, mendadak jarinya yang tertusuk jari bunga cinta tadi kembali kesakitan lagi.

Melihat Nyo Ko meringis kesakitan sambil memegangi jarinya, si nona rada kurang senang, omelnya: "Aku sedang bicara dengan kau, tapi kau justeru memikirkan kekasihmu."

"Ai, sungguh mati, sakitnya jariku ini justeru akibat aku memikirkan dirimu, tapi kau malah marah padaku," kata Nyo Ko.

Mendadak muka si nona merah jengah terus berlari cepat ke depan sana.

Nyo Ko menjadi menyesal setelah ucapannya keluar, pikirnya: "cintaku telah kucurahkan seluruhnya kepada Kokoh, tapi tabiatku yang sok bangor mengapa tidak dapat berubah? Ai, dasar !"

Maklumlah, pembawaan Nyo Ko memang memiliki sebagian sifat ayahnya yang ugal-ugalan dan suka kepada kaum wanita, meski sebenarnya tidak bermaksud jahat, tapi dia suka menggoda dan merayu beberapa patah kata terhadap setiap gadis cantik, sudah tentu akibatnya si nona menjadi kacau pikirannya.

Setelah berlari tak jauh, mendadak nona tadi berhenti termenung di depan sebatang pohon bunga cinta. selang sejenak ia menoleh dan tertawa kepada Nyo Ko, lalu berkata: "Jika kuberi tahukan namaku, tapi kau tidak boleh katakan lagi kepada orang lain, lebih-lebih tidak boleh memanggil aku di depan orang lain."

"Wah, banyak amat syaratnya, baiklah, aku bersumpah." ujar Nyo Ko dengan sikapnya yang kocak

Si nona tertawa pula, lalu berkata : "Ayahku she Kongsun..." dia tetap tak mau mengatakan namanya sendiri secara langsung, tapi sengaja berputar untuk menyebut namanya,

"Dan siapakah she nona?" sela Nyo Ko.

"Entah, boleh kau terka sendiri," jawab si nona sambil tertawa geli, lalu melanjutkan: "Yang jelas ayahku memberikan nama kepada puteri tunggalnya yaitu Lik-oh".

"Sungguh nama yang bagus, secantik orangnya," puji Nyo Ko.

Setelah memperkenalkan namanya. Kongsun Lik-oh menjadi lebih akrab terhadap Nyo Ko, katanya pula: "Sebentar ayah akan bertemu dengan kau, tapi jangan kau tertawa padaku."

"Memangnya kenapa?" tanya Nyo Ko.

"Apabila ayah mengetahui aku pernah tertawa padamu, apalagi mengetahui aku telah memberitahukan namaku padamu, wah, entah cara bagaimana dia akan menghukum diriku," kata Kongsun Lik-oh.

"Masakah begitu bengis ayahmu?" ujar Nyo Ko. "Semalam kalian dihukum panggang di rumah batu itu, masakah dia tidak sayang kepada puterinya yang begini cantik ini?"

Mata Kongsun Lik-oh menjadi merah basah. jawabnya: "Dahulu ayah sangat sayang padaku, tapi sejak ibuku meninggal ketika umurku baru sepuluh tahun, selanjutnya ayah lantas makin bengis padaku, Apalagi nanti kalau ayah sudah punya isteri baru, entah bagaimana nasibku ini kelak." Habis berkata, tak tertahan lagi air matanya lantas menetes.

Nyo Ko berusaha menghiburnya: "Setelah menikah, ayahmu tentu gembira dan pasti akan perlakukan kau dengan lebih baik."

Kongsun Lik-oh menggeleng, katanya: "Aku lebih suka dia terlebih bengis padaku daripada dia mengambil isteri baru lagi."

Karena sejak kecil Nyo Ko sudah ditinggalkan ayah-bundanya. maka perasaan kekeluargaan demikian kurang dipahami olehnya, dia hanya ingin membikin senang hati si nona, maka ia berkata pula: "Ibumu yang baru tentu tiada setengahnya daripada kecantikanmu-"

"Salah kau," cepat Lik-oh menyanggah "Justeru ibuku yang baru itulah seorang wanita cantik sejati. ilmu silatnya juga bagus. Kemarin ketika kami berhasil menangkap pulang Ciu Pek-thong, kalau saja ayah dan ibu baru tidak lagi bertanding silat dan tidak sempat memeriksanya tentu si anak tua nakal tak bakalan bisa kabur."

"llmu silat ayahmu dan ibumu yang baru itu siapa lebih tinggi?" tanya Nyo Ko.

"Sudah tentu ayah lebih tinggi, kalau tidak, masakah ibu baru mau menjadi isterinya?" jawab Lik-oh, "Lusa adalah hari perkawinan mereka, besar kemungkinan ayah akan mengundang kalian tinggal dua-tiga hari lagi di sini untuk menghadiri pesta nikahnya. Ai, aku sendiri lebih baik pergi sejauhnya saja."

Setelah berbicara sekian lama, sementara itu sang surya sudah makin tinggi di ufuk timur, Lik-oh tersadar dan berkata: "Lekas kau kembali ke sana, jangan sampai kita dipergoki para suhengku dan dilaporkan kepada ayah."

Serentak timbul rasa kasihan kepada keadaan si nona, Nyo Ko genggam tangan sebelah tangan nona itu dan tangan lain menepuk pelahan pada bahunya sebagai tanda simpatik, habis itu ia terus melangkah kembali ke rumah batu itu.



Belum lagi dia memasuki pintu rumah sudah lantas mendengar suara teriakan Be Kong-co yang lagi mengomel karena makanan tidak enak dan merasa disiksa segala.

Terdengar In Kik-si lagi berkata: "Be-heng, jika kau membawa sesuatu barang yang berharga, kukira kau harus menyimpannya dengan baik, tampaknya Kokcu di sini tidak bermaksud baik."

Be Kong-co tidak tahu In Kik-si sengaja menggodanya ia mengira betul apa yang dikatakan itu, maka berulang mengiakan.

Waktu Nyo Ko masuk rumah, tertampak di atas meja batu tersedia beberapa piring kelopak bunga cinta, sudah tentu tiada seorangpun yang doyan makanan istimewa itu dan karena itu semuanya tampak bersungut.

Pada saat itu juga datanglah seorang berbaju hijau dan memberitahu bahwa sang Kokcu mengundang kehadiran Nyo Ko berenam, Kim-lun Hoat ong, Nimo Singh dan lainnya adalah tokoh terkemuka dunia persilatan, di manapun mereka selalu disambut sendiri oleh tuan rumah, bahkan pangeran yang berkuasa seperti Kubilai juga menghormati mereka, siapa duga sampai di lembah sunyi ini mereka justeru diperlakukan dengan dingin oleh tuan rumahnya, tentu saja mereka sangat mendongkol.

Namun, merekapun penuhi undangan itu, hanya dalam hati mereka sama membatin: "Sebentar kalau sudah bertemu biarlah Kokcu keparat itu disuruh rasakan kelihayanku."

Begitulah mereka berenam terus ikut orang berbaju hijau itu menuju ke belakang gunung, mendadak di depan sana terbentang hutan bambu yang luas, biasanya di daerah utara jarang ada pohon bambu, apalagi hutan bambu selebar ini.

Mereka terus menyusuri hutan bambu itu, terendus bau harum bunga yang menyegarkan semangat. Setelah menembus hutan bambu itu, terlihatlah alam luas sejauh mata memandang penuh Cui-sian-hoa (bunga dewi air) belaka.

Kiranya tanah di situ adalah empang yang dangkal, dalam air cuma sebatas betis saja dan penuh tumbuh bunga yang harum itu.

Padahal Cui-sian-hoa itu adalah tumbuhan khas daerah selatan, entah mengapa bisa muncul di atas gunung daerah utara ini? Kim-lun Hoat-ong pikir tentu di puncak gunung ini adalah sebangsa sumber air panas, karena tanahnya menjadi subur dan hawa hangat, makanya bunga daerah selatan dapat tumbuh dan mekar dengan suburnya.

Pada permukaan empang yang sangat luas itu kelihatan ada tonggak kayu yang berjajar dalam jarak dua-tiga meter, Orang berbaju hijau yang mengantar mereka itu mendahului melompat ke atas tunggak kayu pertama, seterusnya ke tunggak kedua dan ketiga dan begitu selanjutnya seperti di tanah datar saja.

Nyo Ko berenam juga menirukan cara melintasi empang itu seperti orang berbaju hijau, hanya Be Kong-co saja karena tubuhnya segede kerbau, Ginkangnya juga kurang, meski langkahnya lebar, tapi sukar mencapai dua-tiga meter sekali melangkah, akibatnya beberapa tunggak menjadi ambruk terinjak olehnya, akhirnya ia menjadi tidak sabar, diseberanginya empang itu dengan berjalan di air.

Sesudah melintasi empang bunga dewi air, tertampaklah di tempat yang rindang di kejauhan sana enam tamunya. lalu berkata: "Selamat datang, silahkan, kelihatan dua kacung berbaju hiiau dengan memegang kebut yang semula berdiri di depan pintu, seorang diantaranya segera masuk melapor, sedangkan kacung yang Iain lantas membukakan pintu untuk menyambut tamu.

Selagi Nyo Ko ragu apakah tuan rumahnya juga akan muncul menyambut kedatangan mereka atau tidak, sekonyong-konyong bayangan hijau berkelebat di depan mata, tahu-tahu seorang kakek berjenggot panjang dan berjubah hijau sudah berdiri di depan mereka.

Perawakan kakek ini sangat pendek, tidak lebih dari satu meter, mukanya jelek lagi aneh, mulutnya menjengkit, hidungnya pesek, daun telinga lebar seperti kuping gajah, memakai jubah hijau dari kain kasar, ikat pinggangnya adalah tali rumput warna hijau pula, Sungguh istimewa wajah dan dandanannya.

Nyo Ko merasa heran bahwa puterinya begitu cantik, mengapa sang Kokcu begini aneh dan jelek?

Kakek cabol itu memberi hormat kepada ke-enam tamunya, lalu berkata: "Selamat datang, silakan duduk di dalam dan sekadar minum teh !"

Nimo Singh berpikir: "Aku sendiri pendek.. tapi Kokcu di sini ternyata juga cebol, sebentar ingin kutahu apakah cebol macammu lebih hebat atau cebol macamku lebih lihay." Segera ia mendahului ke depan dan mengulurkan tangan sambil berkata: "Selamat bertemu !"

Kakek berjenggot panjang itupun menyodorkan tangannya, begitu tangan berjabat tangan, seketika Nimo Singh mengerahkan tenaganya.

Melihat kedua orang bermaksud menguji tenaga, orang lain cepat menyingkir ke samping, mereka tahu pertandingan dua tokoh lihay tentu tidak boleh diremehkan akibatnya.

Semula Nimo Singh hanya mengerahkan tiga bagian tenaganya, terasa pihak lawan tidak memberi reaksi apapun dan juga tidak balas menggempur. ia rada heran, segera ia tambahi lagi tiga bagian tenaga, terasa yang tergenggam ditangan itu seperti sepotong kayu yang keras, Waktu Nimo Singh menambahi lagi tiga bagian tenaganya, sekilas air muka kakek berjenggot panjang itu bersemu hijau, lalu tenang kembali dan tangannya tetap kaku dan keras.

Nimo Singh sangat heran, sisa tenaganya yang masih sebagian itu tidak berani dikeluarkan lagi, ia kuatir kalau mendadak pihak lawan melancarkan serangan balasan dan diri sendiri sudah tiada tenaga cadangan untuk menghadapi tentu diri sendiri akan celaka. BegituIah ia lantas tertawa, lalu me!epaskan tangan lawan".

Pertarungan halus ini ternyata tidak kelihatan pihak mana yang lebih unggul entah si kakek berjenggot sengaja mengalah atau memang cuma begitu saja kekuatannya. Nimo Singh merasa sia-sia ketika perasaannya tadi, betapa hebat kepandaian lawan ternyata sedikitpun sukar dijajaki.

Kim-lun Hoat-ong berjalan di belakang Nimo Singh, ia sangat cerdik, ia pikir kalau Nimo Singh tak dapat mengukur kepandaian lawan, maka dirinya juga tidak perlu mengujinya Iagi. Dengan tenang ia terus masuk saja kedalam rumah disusul dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si.

Menyusul adalah Be Kong-co, dilihatnya jenggot si kakek yang panjang itu terjulai sampai di atas tanah, Memangnya dia sedang dongkol karena sejak pagi belum makan apapun, rasa lapar ditambah rasa gusar, segera ia sengaja mencari gara-gara.

Waktu melangkah masuk pintu rumah itu, ia berlagak tidak tahu, sebelah kakinya terus menginjak ke atas jenggot si kakek sehingga ujung jenggot terinjak.

Tapi kakek itu tidak berbuat apapun, dia cuma berkata : "Hati-hati tuan."

Kaki Be Kong-co yang lain sengaja menginjak pula di atas jenggot orang, lalu pura-pura tidak tahu dan bertanya : "Ada apa ?"

Si kakek menggeleng pelahan, kontan Be Kong-co tergebat dan jatuh terjengkang.

Jatuhnya sesosok tubuh sebesar itu tentu saja menimbulkan suara gedebuk yang keras.

Nyo Ko berjalan paling belakang, cepat ia memburu maju, --sebelah tangannya menyanggah pantat Be Kong-co terus disodok ke depan, seketika tubuh yang besar itu melayang ke sana, dengan enteng dapatlah Be Kong-co berdiri tegak kembali sambil meraba bckong yang kesakitan itu dengan meIongo.

Si kakek berjenggot anggap tidak pernah terjadi apapun, dia menyilakan keenam tamunya mengambil tempat duduk yang telah tersedia, lalu berseru nyaring: "Para tamu sudah tiba, harap Kokcu suka menemuinya."

Nyo Ko dan lainnya sama terkesiap, baru sekarang mereka tahu bahwa si kakek cebol berjenggot panjang ini kiranya bukan sang Kokcu.

Dalam pada itu dari ruangan belakang telah muncul belasan orang lelaki perempuan berseragam baju hijau dan berdiri berjajar di sebelah kiri, Habis itu dari balik pintu anginpun keluar seorang lelaki, setelah memberi salam kepada tetamunya, lalu iapun berduduk.

Orang terakhir ini adalah sang Kokcu, usianya sekitar 45-46 tahun, wajahnya bagus, dapat dibayangkan 20 tahun yang lalu tentu dia ini seorang pemuda yang cakap, cuma sekarang air mukanya rada pucat kuning dan kurus sehingga sukar diketahui bahwa dia memiliki ilmu silat maha tinggi.

Sesudah Kokcu itu berduduk, beberapa kacung berbaju hijau lantas menyuguhkan teh. Di ruangan tamu ini segala perabotan dan pakaian seluruhnya berwarna Hijau, hanya jubah yang dipakai sang Kokcu berwarna biru manikam sehingga tampaknya sangat menyolok di tengah2 yang segalanya serba hijau itu.

Sejenak kemudian sang Kokcu mengebaskan lengan bajunya yang panjang, lalu angkat mangkok teh dan berseru. "Silakan minum tuan-tuan yang terhormat !"



Melihat air teh di dalam mangkok yang di-suguhkan padanya itu sangat cemplang, keruan hati Be Kong-co bertambah dongkol ia terus berteriak: "He, tuan rumah, daging kau tidak doyan, minum teh juga setawar ini, pantas kalau kau selalu kelihatan sakit-sakitan."

Sang Kokcu tidak memperlihatkan reaksi apa-pun, sehabis minum tehnya, ia menjawab : "Selama beberapa ratus tahun hidup di lembah ini kami melulu makan minum cara begini."

"Coba jelaskan, apa paedafanya hidup cara demikian? Apakah bisa menjadikan kau panjang umur?" tanya Be Kong-co.

"Yang pasti pantangan makan barang berjiwa dan hidup sederhana demikian sudah dimulai sejak kakek moyang kami hijrah menetap di sini pada jaman Tong-hian-cong, kami sebagai anak cucunya tiada yang berani melanggar peraturan ini," jawab sang Kokcu.

"Oh, jadi keluarga kalian sudah menetap di sini sejak dinasti Tong, sungguh lama dan kerasan sekali," kata Kim-lun Hoat-ong.

Mendadak Siau-siang-cu ikut bertanya dengan suaranya yang banci: "Eh, jika begitu kakek moyangmu itu tentu pernah melihat Nyo-kuihui (seorang selir kaisar Tong-hian-cong yang sangat cantik)?"

Suara Siau-siang-cu ini kedengaran sangat aneh, sebenarnya suaranya sudah cukup dikenal oleh Nimo Singh, In Kik-si dan lainnya, karena ini mereka menjadi heran, mereka sama memandang wajah Siau-siang-cu, serentak mereka terperanjat ternyata wajah Siau-siang-cu telah berubah sama sekali, mukanya yang memang kaku pucat sebagai mayat kini bertambah aneh luar biasa.

Diam-diam Nimo Singh dan lainnya menjadi jeri, mereka menyangka ilmu yang dilatih Siau-siang-cu itu ternyata begini lihay, apabila dikeluarkan bahkan air mukapun bisa berubah sama sekali. Bahwa sekarang Siau-siang-cu telah mulai mengerahkan ilmunya, tentu segera dia akan mulai melabrak sang Kok-cu. Karena pikiran demikian, Nimo Singh dan lainnya juga sama siap siaga.

Begitulah terdengar sang Kokcu lagi menjawab: "Leluhurku memang pejabat tinggi dan pemindahan leluhur kami ke sini ketika itu memang untuk menghindari keganasan menteri dorna Nyo Kok-tiong yang berkuasa pada masa itu."

Kembali Siau-siang-cu mengakak dan berkata: "Haha, jika begitu leluhurmu itu pasti pernah minum air cuci kaki Nyo-kuihui."

Ucapan ini sungguh membikin kaget semua orang, jelas kata-kata demikian berarti suatu tantangan terhadap sang Kokcu dan pertarungan pasti segera akan terjadi.

Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa heran, padahal mereka kenal Siau-siang-cu biasanya sangat licik dan licin, segala persoalan lebih suka ditimpakan kepada orang lain, mengapa sekarang dia mau tampil ke muka sendiri?

Kokcu itu ternyata tidak gubris ucapan Siau-siang-ciu itu, dia cuma memberi isyarat kepada si kakek jenggot panjang yang berdiri di belakangnya.

"Hm" kakek berjenggot itu berseru: "Kokcu menghormati kalian sebagai tamu, sebab itulah kalian diperlakukan dengan baik, tapi mengapa kau bicara secara ngawur ?"

Siau-siang-cu terkekeh lagi dan berkata dengan nada suara yang dibuat-buat: "Hehe, leluhurmu itu pastilah pernah minum air cuci kaki Nyo-kui-hui, aku berani bertaruh dengan potong kepalaku ini."

Be Kong-cu merasa terheran-heran, ia bertanya: "Hai, Siau-heng, darimana kau tahu begitu pasti ? Apakah waktu itu kau juga minum air cuci kaki itu bersama dia?"

Kembali Siau-siang-cu tertawa, tapi sekali ini nada suaranya berubah pula, katanya: "Jika bukan lantaran muak terlalu banyak minum air cuci kaki itu, mengapa orang hidup tidak makan minum sebagaimana lazimnya ?"

Kim-lun Hoat-ong dan lainnya sama mengerut kening dan merasa ucapan Siau-siang-cu ini keterlaluan, makan-minum adalah kebiasaan masing2 orang, mana dapat dipersamakan dan dijadikan bahan olok-olok?

Tampaknya si kakek berjenggot panjang tidak tahan lagi, ia melangkah ke tengah ruangan dan berseru : "Siau-siansing, setahuku kami tidak berbuat kesalahan apapun padamu, jika engkau benar-benar ingin coba-coba, marilah maju sini !"

"Boleh!" kata Siau-siang-cu, mendadak orangnya bersama kursinya melompati meja di depannya dan tahu-tahu berduduk di tengah ruangan, "Nah, kakek jenggot panjang, siapa namamu ? Kau kenal namaku, tapi aku tidak tahu namamu, kan tidak adil?"

Ucapan ini seperti tepat tapi juga lucu, keruan kakek berjenggot itu bertambah gusar, tapi diam2 iapun waspada setelah menyaksikan lompatan orang berikut kursinya dengan gaya yang gesit dan lihay itu.

Terdengar sang Kokcu berkata: "Boleh kau beritahukan dia, tidak soal."

"Baik," jawab si kakek berjenggot panjang, "Nah, dengarkan, aku she Hoan bernama It-hong. sekarang silakan berdiri dan marilah kita mulai!"

"Kau menggunakan senjata apa? Coba perlihatkan padaku dahulu !" kata Siau-siangcu.

"Kau ingin bertanding dengan bersenjata? Boleh juga !" ucap Hoan It-hong. Mendadak sebelah kakinya memukul lantai sambil berseru : "Ambilkan sini!"

Serentak dua kacung berbaju hijau tadi berlari ke ruangan dalam, keluarnya kedua kacung itu sudah menggotong sebatang tongkat yang pangkalnya berukirkan kepala naga, panjang tongkat sekitar, dua meter.

Tentu saja Nyo Ko dan lainnya terperanjat, mereka tidak habis paham mengapa si kakek cebol itu menggunakan senjata yang panjangnya hampir dua kali daripada panjang badannya, cara bagaimana akan dapat dimainkannya?

Ternyata Siau-siang-cu tidak ambil pusing terhadap senjata orang, ia sendiri lantas mengeluarkan dari dalam bajunya yang longgar itu sebuah gunting raksasa dan berkata: "lni senjataku, apakah kau tahu kegunaannya ?"

Kalau semua orang paling-paling cuma heran saja atas gunting besar itu, tidak demikian dengan Nyo Ko, ia terperanjat sekali, tanpa meraba rangselnya iapun yakin bahwa gunting besar miliknya itu sudah hilang.

Gunting raksasa itu khusus dipesannya pada pandai besi Pang dan ingin digunakan untuk memotong ujung kebut Li Bok-chiu, kini ternyata kena dicuri oleh Siau-siang-cu di luar tahunya?

Sementara itu Hoan It-hong telah pegang tongkat panjang yang digotong keluar kedua kacung tadi, dia pegang bagian tengah tongkat, lalu di-jungkirkan, pangkal tongkat dipukulkan pelahan pada lantai.

Karena ruangan tamu rumah batu itu sangat luas, ketokan tongkat baja itu dengan sendirinya menimbulkan suara gemerantang yang nyaring mengejutkan.

Dengan tangan kanan Siau-siang-cu memegangi guntingnya, jarinya dikerjakan sekuatnya barulah gunting itu dapat terbuka dan terkatup, lalu ia berseru : "He, orang cebol berjenggot, tentunya kau tidak kenal nama guntingku ini, apakah kau perlu kuberitahukan dahulu ?"

"Huh, senjata rombengan entah kau temukan dari mana, masakah punya nama yang baik?" jengek si kakek alias Hoan It-ong dengan mendongkol.

"Benar, namanya memang kurang enak di-dengar," ujar Siau-siang-cu dengan bergelak tertawa, "Gunting ini disebut Kau-mo-cian (gunting bulu anjing)."

Nyo Ko merasa kurang senang, pikirnya : "Brengsek ! Masakah guntingmu itu kauberi nama begitu ?"

Dalam pada itu terdengar Siau-siang-cu lagi berkata : "Karena kutahu di sini ada makhluk aneh berjenggot panjang, maka sengaja kupesan gunting bulu anjing ini untuk memotong jenggotmu".

Berbareng Nimo Singh dan Be Kong-co bergelak tertawa, In Kik-si dan Nyo Ko juga ikut tertawa walaupun tidak keras, Hanya Kim-lun Hoat-ong dan sang Kokcu saja yang tetap duduk tenang berhadapan seperti tidak mendengar apa yang terjadi itu.

Segera Hoan It-ong angkat tongkatnya dan diputar sedikit, serentak berjangkit angin keras, lalu ia berkata: "Memangnya jenggotku ini sudah terlalu panjang, jika kau ingin menjadi tukang cukur, wah, kebetulan bagiku, Nah silakan mulai !"

Siau-siang-cu seperti terkesima memandangi dinding ruangan itu dan sama sekali tidak mendengarkan ucapan Hoan It-ong, tapi begitu orang selesai bicara, mendadak guntingnya menyambit ke depan secepat kilat, "creng", kontan ia menggunting jenggot lawan.

Sama sekali Hoan It-ong tidak menyangka dalam keadaan masih berduduk mendadak Siau-siang-cu dapat melancarkan serangan, untuk menghindar jelas tidak keburu lagi, terpaksa ia menggunakan gerakan istimewa, sekuatnya tangan menahan batang tongkatnya, tubuhnya terus meloncat ke atas.



Dalam sekejap itu kedua orang telah sama2 memperlihatkan gerak kilat yang mengejutkan namun Hoan It-ong tetap rugi dalam keadaan diserang lebih dulu tanpa terduga, meski guntingan itu dapat dihindarkan, tidak urung ujung beberapa utas jenggotnya masih tergunting putus juga.

Siau-siang-cu tampak sangat senang, jenggot yang putus itu disambernya terus ditiupnya, tiga-tmpat utas jenggot itu lantas terbang ke arah mangkok teh sendiri yang terletak di meja, menyusul terdengarlah suara nyaring, mangkok teh itu jatuh dan pecah berantakan.

Nyo Ko dan lainnya cukup paham bahwa pecahnya mangkok itu adalah disebabkan hawa yang ditiupnya Siau-siang-cu itu. Tapi Be Kong-co tidak tahu hal ikhwalnya, ia mengira mangkok teh itu jatuh lantaran tersodok oleh samberan bulu jenggot yang ditiup itu. Segera ia berteriak: "Wah, hebat benar jenggotmu itu, Siau-siang-cu !"

Sambil tertawa Siau-siang-cu mengacipkan guntingnya beberapa kali hingga menimbulkan suara "creng-creng", katanya: "Hayo maju sini, jenggot cebol!"

Semua orang kini dapat melihat lebih jelas ketika Siau-siang-cu tertawa ternyata kulit mukanya sama sekali tidak bergerak keruan semua orang bertambah kejut dan heran, Bahwa orang yang memiliki Lwekang maha tinggi memang sanggup tidak memperlihatkan sesuatu tanda gusar atau gembira, tapi air muka Siau-siang-cu yang kaku dan seram meski dalam keadaan gembira, hal ini sungguh luar biasa dan belum pernah mereka alami.

Berulang kali dipermainkan, Hoan It-ong semakin murka, ia memberi hormat kepada sang Kokcu dan berkata: "Suhu, terpaksa Tecu tidak dapat menghormati tamu kita secara layak."

Nyo Ko heran mendengar kakek cebol berjenggot itu memanggil sang Kokcu sebagai Suhu, padahal umurnya jauh lebih tua, masakah malah menyebutnya sebagai guru?

Terlihat sansi Kokcu memanggut sekalian sambil melambaikan tangannya, Segera Hoan It-ong mengayun tongkatnya, "wuttt", kontan kursi yang diduduki Siau-siang-cu itu dihantam. Meski tubuhnya pendek, tapi tenaganya luar biasa hebatnya, tongkat baja yang bobotnya ratusan kati itu, bila sampai kursi itu kena dihantam, tentu akan hancur berkeping.

Walau Nyo Ko dan lainnya datang bersama Siang-siang-cu, tapi sampai di mana kepandaian smjati kawannya itu hakikatnya merekapun tidak tahu persis, Maka mereka lantas mengikuti pertarungan itu dengan penuh perhatian.

Kelihatan tongkat si kakek sudah dekat dengan kaki kursi, mendadak tangan kiri Siau-siang-cu menjulur ke bawah, ternyata tongkat itu hendak dipegangnya. Malahan sekaligus gunting di tangan lain terus menyamber ke depan untuk menggunting jenggot lawan yang panjang itu.

Tidak kepalang gusar Hoan It-ong karena merasa orang terlalu meremehkan dirinya, cepat ia miringkan kepalanya hingga jenggotnya yang panjang itu melayang ke samping dan tongkatnya tetap dipukulkan ke tangan Siau-siang-cu yang hendak menangkap senjatanya itu, serangan ini dengan tepat mengenai telapak tangan, serentak semua orang bersuara kaget dan berbangkit.

Hoan It-ong menduga tangan orang pasti akan patah kena dihantamnya, tak tahunya ketika menyentak sasarannya, rasanya tongkat seperti menghantam air, lunak dan enteng, ia sadar keadaan bisa runyam, cepat ia menarik kembali tongkatnya, namun sudah terlambat, tongkat sudah tergenggam kencang oleh tangan Siau-siang-cu.

Segera Hoan It-ong merasakan pula lawan sedang membetot, segera ia dorong sekalian tongkatnya ke depan, Tongkat itu amat panjang, maka dorongannya itu sangat kuat, tampaknya Siau-siang-cu pasti akan terdesak meninggalkan kursinya jika tidak mau roboh terjungkal.

Tak terduga sedikit Siau-siang-cu kencangkan pantatnya, serentak orang berikut kursinya meloncat lagi ke samping, seketika dorongan tongkat Hoan It-ong tidak mencapai sasarannya, sedangkan pegangan Siau-siang-cu pada tongkatnya juga lantas dilepaskan.

Cepat Hoan It-ong memutar tongkatnya yang panjang itu dan kembali menyabet ke kepala lawan, Agaknya Siau-siang-cu sengaja hendak pamer kepandaiannya kembali orang bersama kursinya meloncat setingginya dan melayang lewat di atas samberan tongkat musuh.

Melihat gerakannya yang aneh lagi gesit itu, meski duduk di atas kursi, tapi tiada bedanya seperti orang berdiri saja, tanpa terasa semua orang sama bersorak memuji.

Hoan It-ong tak berani ceroboh lagi menghadapi lawan yang lihay itu, ia putar tongkatnya sedemikian cepat, ia pikir untuk menghantam tubuh orang jelas sukar, kalau dapat menghancurkan kursinya rasanya lebih baik. Karena itu tongkatnya terus mengincar untuk menyabet kursi lawan.

Siapa tahu ilmu silat Siau-siang-cu sungguh maha sakti, gunting di tangan kanan terus mengincar jenggot lawan, sedangkan tangan kiri selalu berusaha hendak merampas tongkat baja. Kedua orang terus berkisar kian kemari di ruangan tamu yang luas itu, dalam sekejap saja berpuluh jurus sudah berlangsung, tampaknya kedua orang sama kuat dan belum ada yang lebih unggul, tapi Siau-siang-cu yang tetap berduduk saja di kursinya, serangan Hoat It-ong ternyata disepelekan olehnya.

Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya terkejut, mereka tidak mengira Siau-siang-cu yang lebih mirip mayat hidup itu ternyata memiliki kepandaian sehebat ini.

Setelah belasan jurus lagi, tongkat Hoan It-ong masih terus mengincar dan menyabet kursi lawan, terdengar suara kaki kursi yang mengetok lantai riuh ramai tiada hentinya dan makin lama makin cepat.

Mendadak sang Kokcu berseru kepada Hoan It-ong: "Jangan hantam kursinya, kau pasti bukan tandingannya !"

Hoan It-ong melengak, tapi segera ia menyadari peringatan sang guru, ia pikir: "Ya, dia duduk di atas kursi barulah aku sanggup menandingi dia dengan sama kuat, apabila kursinya hancur dan dia berdiri di tanah, mungkin dalam beberapa jurus saja jenggotku pasti sudah terpotong oleh guntingnya."

Cepat ia ganti permainan tongkatnya dan diputar semakin cepat sehingga tubuhnya yang pendek itu se-olah2 terbungkus oleh sinar tongkat, sedangkan di luar gulungan sinar perak itu adalah sesosok bayangan orang yang mirip mayat hidup sedang berlompatan, pemandangan demikian menjadi sangat aneh dan menarik

Rupanya sang Kokcu tahu Siau-siang-cu sengaja hendak mempermainkan lawannya, kalau berlangsung lagi, sebentar Hoan It-ong pasti akan kecundang.

Segera ia berbangkit dan melangkah maju, katanya: "lt-ong, kau bukan tandingan orang kosen ini, mundur saja kau !"

Karena perintah sang guru itu, Hoan It-ong mengiakan dengan suara keras, tongkatnya ditarik dan segera ia hendak mengundurkan diri.

Tak terduga Siau-siang-cu terus berteriak: "Tidak boleh ! Tidak boleh !" - Mendadak tubuhnya melayang maju meninggalkan kursinya terus menubruk ke atas batang tongkat.

Terdengarlah suara "krak" yang keras, kursi terhantam hancur oleh ujung tongkat Hoan It-hong, namun berbareng itu batang tongkat juga kena ditahan ke bawah oleh tangan kiri Siau-siang-cu terus diinjak dengan kaki kiri, menyusul gunting raksasa di tangan kanan terbuka, jenggot Hoan liong yang panjang legam itu sudah terjepit pada mata guntingnya, sekali gunting dikasipkan, tanpa ampun jenggot yang indah menarik itu pasti akan putus.

Tak tahunya jenggot panjang yang dipelihara Hoan It-ong itu sesungguhnya juga semacam senjata yang maha lihay, daya gunanya serupa dengan ruyung, cambuk dan sebagainya, Terlihat sedikit Hoan It-ong menggeleng kepalanya, serentak jenggotnya yang panjang itu terus menguntir dan terlepas dari mata gunting, malahan sempat pula balas melilit gunting lawan, menyusul kepalanya mendongak ke belakang, dengan tenaga maha kuat ia membetot untuk rebut gunting musuh.

"Haya, cebol tua, jenggotmu sungguh lihay, kagum sekali aku !" seru Siau-siang-cu sambil bertahan sekuatnya.

Begitulah jadinya jenggot seorang membelit pada gunting dengan kencang, sebaliknya seorang lain menahan batang tongkat dengan sebelah kaki dan tangan, seketika keduanya sukar melepaskan diri.

"Haha ! Menarik ! Menarik !" seru Siau-siang-cu dengan tertawa gembira.

Pada saat itulah sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan orang, cepat luar biasa seorang telah menerjang masuk, sekaligus kedua tangannya menghantam punggung Siau-siang-cu.

"Siapa itu?" bentak sang Kokcu.

Sergapan yang cepat dan ganas itu tampaknya pasti akan kena pada sasarannya, Namun kembali Siau-siang-cu memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa, tangan kirinya membalik ke belakang, dengan mudah saja ia telah dapat mematahkan tenaga pukulan musuh yang menyerangnya itu.



"Keparat, jahanam !" teriak penyergap itu dengan gusar "Biar kuadu jiwa dengan kau !"

Waktu Nyo Ko dan lainnya mengawasi penyergap ini, mereka menjadi kaget dan heran, "He, Siau-siang-cu !" seru mereka berbareng.

Kiranya penyergap ini juga Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal itu, mengapa dia bisa berubah menjadi dua dan sebab apa dia menyergap pada dirinya sendiri yang kembar itu? seketika mereka menjadi bingung.

Setelah diamat-amati pula, orang yang lagi bergelut dengan Hoan It-ong itu memang jelas memakai dandanan Siau-siang-cu, pakaiannya, sepatunya dan topinya, semuanya persis, tapi wajahnya ternyata berbeda daripada wajah asli Siau-siang-cu meski air mukanya juga kaku pucat sebagai mayat sebaliknya wajah orang yang datang belakangan itu persis dengan Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal hanya baju yang dipakainya berwarna hijau seperti seragam yang dipakai orang-orang di Cui-sian-kok ini.

Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong sama2 dapat berpikir cepat, sejenak saja mereka sudah dapat menerka apa yang terjadi sebenarnya.

Sementara itu Siau-siang-cu yang berbaju hijau tua dengan kedua tangan yang kurus laksana cakar itu kembali mencengkeram lagi ke punggung Siau-siang-cu yang memegang gunting sambil berteriak: "Keparat ! Main curang, jago macam apa kau?"

Hoan It-ong heran dan kejut juga meski mendapatkan bala bantuan, walau orang mengenakan seragam hijau, tapi mukanya tak dikenal sementara ia mundur ke pinggir dan menyaksikan kedua orang yang menyerupai mayat hidup itu saling labrak dengan serunya.

Kini Nyo Ko sudah dapat menduga bahwa orang yang memegang gunting itu pasti telah mencuri kedok kulit manusia pemberian Thia Eng tempo hari dan dipakainya, lalu ganti pakaian Siau-siang-cu dan sengaja mengacau ke ruangan ini soalnya wajah Siau-siang-cu memang kaku seperti orang mati, maka sejak mula tiada orang yang memperhatikannya.

Setelah mengamat-amati sekian lama dan dapat mengenali gaya ilmu silat orang bergunting itu, segera Nyo Ko berseru : "Hai, Ciu Pek-thong, kembalikan kedok dan guntingku !" - Berbareng ia melompat maju untuk merebut gunting.

Kiranya orang itu memang betul Ciu Pek-thong adanya, Dia tertawan oleh keempat murid Cin-sian-kok dengan jaring ikan, Meski wataknya nakal dan jahil, tapi ilmunya memang maha sakti, sedikit meleng saja keempat orang itu segera Ciu Pek-thong berhasil lolos dengan membobol jaring, akibatnya sang Kokcu menghukum keempat orang itu dengan hukum panggang.

Ciu Pek-thong tidak lantas kabur, dia sembunyi di suatu tempat, dia memang sengaja hendak mengobrak-abrik lembah sunyi itu. Tapi segera dia lihat Nyo Ko berenam juga datang ke situ, Malamnya dia melakukan sergapan, Siau-siang-cu diculiknya hingga tak bisa berkutik, lalu dipindahkan ke luar rumah dan dilucuti pakaiannya untuk dipakai sendiri.

Karena Ginkangnya maha sakti, pergi datang tanpa suara dan tak meninggalkan bekas, maka dalam tidurnya Siau-siang-cu kena dikerjai, bahkan Kim-lun Hoat-ong dan lainnya juga tidak mengetahui akan kejadian itu.

Setelah mengganti pakaian Siau-sian cu, lalu Ciu Pek-thong masuk lagi ke rumah itu dan tidur di sisi Nyo Ko, kesempatan itu digunakan pula untuk menggerayangi rangsel pemuda itu, gunting dan kedok kulit dapat dicurinya. Esoknya ternyata semua orang juga belum menyadari akan perbuatan Ciu Pek-thong itu.

Sudah tentu Siau-siang-cu berusaha melepaskan diri dari tutukan Ciu Pek-ehong, tapi lantaran ilmu Tiam-hiat yang digunakan Ciu Pek-thong itu sangat lihay, sampai tiga-empat jam kemudian barulah Siau-siang-cu berhasil melancarkan jalan darah dan dapat bergerak kembali sementara itu tubuhnya hanya memakai baju dan celana dalam saja, sudah tentu dia sangat dongkol dan murka. Ketika kebetulan seorang murid Cui-sian-kok lewat di situ, secepat kilat ia merobohkannya dan merampas bajunya untuk dipakai, lalu memburu ke rumah batu yang besar itu.

Pada saat itu dilihatnya Ciu Pek-thong dengan memakai bajunya sendiri sedang bertempur sengit dengan Hoan It-ong, dengan murka ia terus menerjang maju, sekaligus ia ingin membinasakan Ciu-Pek-thong dengan pukulannya yang dahsyat, beberapa jurus kemudian lalu Nyo Ko juga ikut maju mengeroyok.

Tapi Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian khas yang dilatihnya ketika dia disekap di Tho hoa-to dahulu oleh Ui Yok-su, yaitu dua tangan memainkan silat yang berbeda, Maka dengan tangan kiri ia layani Nyo Ko, sedang tangan kanan dengan gunting ia lawan Siau-siang-cu, guntingnya sebentar terbuka dan sebentar terkatup, betapapun Siau-siang-cu tidak berani sembarangan mendekat.

Maklumlah, gunting itu amat besar, kalau mata gunting terbuka, jaraknya hampir setengah meter, kalau saja leher tergunting, mustahil kepala takkan berpisah dengan tuannya, Karenanya, meski Siau-siang-cu sangat murka, tapi iapun tidak berani sembarangan melancarkan serangan.

Dalam pada itu sang Kokcu masih terus mengikuti pertarungan sengit itu. Sudah turun temurun Kokcu itu menetap di lembah sunyi ini, ilmu silat keluarganya juga turun-temurun semakin hebat.

Pada umumnya ada kebiasaan buruk dalam dunia persilatan, lantaran kuatir muridnya kelak berkhianat atau murtad, maka seringkali sang guru menyimpan beberapa jurus rahasia untuk menjaga kemungkinan penghianatan murid. Karena itu, beberapa keturunan saja ilmu silatnya semakin berkurang dan akhirnya habis sama sekali.

Ciri demikian tak berlaku dalam ilmu silat keturunan. Sang ayah mengajarkan kepada anak atau sang kakek mengajarkan kepada cucu pasti takkan menahan jurus simpanan, malahan setelah beberapa keturunan seringkali timbul satu-dua angkatan yang berbakat dan pintar menciptakan jurus baru sehingga satu turunan lebih hebat daripada angkatan yang lebih tua.

Begitulah dengan Kokcu ini, ilmu silatnya kini boleh dikatakan jauh lebih lihay daripada leluhurnya, ia yakin bila dirinya keluar lembah, ilmu silatnya pasti dapat menjagoi dunia.

Siapa duga lembah yang aman tenteram ini mendadak kedatangan Ciu Pek-thong sehingga suasana menjadi kacau balau, ia sudah kagum ketika menyaksikan pertarungan Ciu Pek-thong dengan Hoan It-ong, kini melihat anak tua nakal itu menempur dua orang dengan dua tangan yang bermain silat dengan cara yang berbeda, malahan sedikitpun tidak tampak lebih lemah dari kedua Iawannya, sungguh sang Kokcu menjadi kagum tak terhingga.

Dilihatnya pula ilmu silat Siau-siang-cu sangat ganas, serangannya tak kenal ampun. sedangkan gerak-gcrik Nyo Ko tenang halus dan tenang, tapi tidak kurang lihaynya. Diam-diam Kokcu itu harus mengakui bahwa dunia seluas ini ternyata tidak sedikit terdapat orang kosen.

Segera ia berdiri dengan suara lantang ia berkata : "Harap kalian bertiga suka berhenti dulu !".

Berbareng Nyo Ko dan Siau-siang-cu melompat mundur," Ciu Pek-thong lantas menanggalkan kedok kulit, berikut guntingnya terus dilemparkan kepada Nyo Ko sambil berkata: "Permainanku sudah cukup, aku hendak pergi saja!"

Sekali mengenjot kaki seperti anak panah cepatnya dia terus meloncat ke atas belandar rumah..

Karena kedoknya ditanggalkan, dengan sendirinya wajah aslinya lantas kelihatan. Keruan gemparlah para anak murid Cui-sian-kok setelah mengenali siapa dia.

"Ayah, orang tua inilah !" seru Kongsun Lik-oh.

Sementara itu Ciu Pek-thong sedang bergelak tertawa sambil duduk mengangkang di atas belandar.

Tinggi belandar rumah itu sedikitnya lima-enam, meter dari permukaan tanah, biarpun di ruangan itu tidak sedikit terdapat tokoh terkemuka, terasa sukar juga kalau ingin sekali lompat mencapai belandar itu.

Hoan It-ong adalah murid pertama Cui-sian-kok, usianya bahkan lebih tua daripada sang guru, dalam hal ilmu silat, kecuali sang Kokcu dialah terhitung nomor satu, Kini berulang dia dipermainkan oleh Ciu Pek-thong, tentu saja dia murka. walaupun tubuhnya cebol, tapi dia mahir memanjat sekali lompat ia rangkul erat-erat tiang ruangan itu terus memanjat ke atas segesit kera..

Dasar watak Ciu Pek-thong paling suka cari gara2, dia paling senang kalau ada orang mau main gila dengan dia, maka ia menjadi gembira melihat Hoan It-ong memanjat ke atas, belum lagi kakek cebol itu mencapai belandar, lebih dulu ia sudah menjulurkan tangannya untuk menariknya ke atas.

Sudah tentu Hoan It-ong tidak tahu tujuan Ciu Pek-thong sebenarnya baik, melihat tangan orang menjulur, segera ia menutuk Tay-leng-hiat pada pergelangan tangannya.

Namun ilmu silat Ciu Pek-thong sudah mencapai tingkatan yang maha sakti sedikit merasakan sesuatu, segera ia menutuk Hiat-to yang hendak ditutuk itu dan mengendorkan urat dagingnya, Karena itu tusukan Hoan It-ong itu laksana mengenai kapas yang lunak, cepat ia menarik kembali tangannya..."



Tapi Ciu Pek-thong sempat membaliki tangannya dan menepuk sekali pada tangan Hoan It-ong sambil berseru: "Keplok ami-ami! Kakak makan nasi adik cebol minta isteri!"

Dengan murka Hoan It-ong menggelengkan kepalanya, jenggotnya yang panjang itu terus menyabet ke dada lawan, Mendengat samberan angin yang keras itu, Ciu Pek-thong tahu betapa lihaynya jenggot lawan, cepat ia melompat mundur, dengan tangan kiri berpegangan pada belandar, tubuhnya bergantungan seperti anak sedang main ayunan.

Siau-siang-cu yakin Hoan It-ong pasti bukan tandingan anak tua nakal itu, sekalipun dirinya ikut mengerubut juga sukar mengaIahkannya. Segera ia berpaling kepada Nimo Singh dan Be Kong-co, katanya: "Saudara Singh dan Be, tua bangka ini tidak memandang sebelah mata kepada kita berenam sungguh keterlaluan !"

Watak Nimo Singh paling berangasan dan tidak tahan dibakar, sedangkan pikiran Be Kong-co sangat sederhana dan tidak dapat menimbang antara baik dan buruk, demi mendengar rombongannya berenam tidak dipandang sebelah mata, serentak mereka menjadi gusar dan melompat ke atas untuk menangkap kaki Ciu Pek-thong.

Namun dengan jenaka Ciu Pek-thong mengayun kakinya untuk menggoda, tapi sebenarnya menendang dengan tepat ke arah yang mematikan pada tangan Nimo Singh dan Be Kong-co sehingga gagal total usaha kedua orang itu.

"ln-heng, apakah kau sendiri hanya mau menonton saja?" jengek Siau-siang-cu terhadap In Kik-si tersenyum dan menjawab : "Baiklah, siakan Siau-heng maju lebih dulu, segera aku menyusul !"

Siau-siang-cu bersuit aneh menyeramkan, mendadak ia melompat ke atas, kedua kakinya tidak nampak tnemekuk, tubuhnya kaku lurus, kedua tangan juga menjulur lempeng ke atas terus mencengkeram ke perut Ciu Pek-thong, gaya ilmu silat yang diperlihatkannya ini ternyata tiada ubahnya seperti mayat hidup.

Melihat tibanya serangan, cepat Ciu Pek-thong mengerutkan tubuhnya, tangan kiri berganti tangan kanan dan tetap bergelantungan di belandar.

Serangan Siau-siangcu menjadi luput, ia tak dapat berhenti diudara, terpaksa anjlok ke bawah.

Siapa saja kalau jatuh ke bawah dari ketinggian begitu tentu kedua kakinya akan menekuk agar tidak keseleo dan terluka, tapi gaya Siau-siang-cu sungguh istimewa, seluruh tubuhnya tetap, kaku seperti sepotong kayu saja, begitu kaki menyentuh lantai, "tok", kembali ia meloncat lagi ke atas.

Begitulah, jadinya Hoan It-ong merangkul pada tiang dan mengayun jenggotnya untuk menyerang, sedangkan Siau-siang-cu, Nimo Singh dan Be Kong-co bertiga berloncatan naik turun bergantian menyerang dari bawah ke atas.

"Si tua ini sungguh luar biasa, biar akupun ikut bikin ramai!" kata In Kik-si, tangannya merogoh saku sejenak kemudian tertampaklah sinar kemilauan menyilaukan mata, tahu2 tangan In Kik-si sudah bertambah sebuah ruyung lemas yang terbuat dari benang emas dan perak penuh bertaburkan batu permata pula.

Sebenarnya tokoh selihay In Kik-si, melulu bertangan kosong saja sudah jarang ada tandingannya, ruyung bertaburkan batu permata demikian tidak lebih hanya pameran akan kekayaannya saja.

Ia pikir untuk menyerang Ciu Pek-thong yang berada tinggi di atas itu jelas tidak mudah, maka dengan ruyungnya itu ia coba menyerang bagian bawah lawan.

Nyo Ko tertarik" oleh pertarungan lucu ini, ia-pikir dengan kepandaian kelima orang itu ternyata tidak mampu mengalahkan seorang Lo-wan-tong, kalau aku tidak dapat menang dengan cara istimewa tentu takkan membikin takluk orang Iain.

Setelah berpikir begitu, segera ia memakai kedoknya yang tipis itu, menirukan gaya Siau-siang-cu yang mengatakan itu, ia jemput tongkat baja Hoat It-ong tadi sekali tongkat itu menahan dilantai, tubuhnya terus mengapung ke atas.

Panjang tongkat itu dua meteran, ditambah loncatannya, maka tubuh Nyo Ko kini hampir sama tingginya dengan Ciu Pek-thong yang bergelantungan di belandar itu.

"Awas gunting, Lo-wantong" seru Nyo Ko samibil mengarahkan guntingnya untuk memotong jenggot Ciu Pek-thong."

Bukannya marah, sebaliknya Ciu Pek-thong malah senang akan serangan itu, ia miringkan kepalanya untuk menghindari guntingan itu dan berseru : "Bagus sekali caramu ini, adik cilik !"

"Lo-wan-tong, aku kan tidak bersalah pada-mu, mengapa kau main gila dengan aku ?" kata Nyo Ko.

"Ada ubi ada tales, diberi harus membalas !" jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, "Kau kan tidak rugi, mungkin mendapat untung malahan tidak tahu."

"Ada ubi ada talas apa maksudmu ?" tanyanya.

"Kelak kau tentu akan tahu sendiri sekarang tidak perlu banyak omong," jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, sementara itu ruyung "in Kik-si sedang menyamber ke arahnya, segera sebelah tangannya meraup untuk menangkapnya.

Namun ruyung In Kik-si yang lemas itu terus membelit untuk menghantam punggung tangannya, sedangkan tubuhnya telah anjlok ke bawah.

Dalam pada itu jenggot Hoan it ong yang panjang juga telah menyabet tiba, kini Hoan It-ong juga bergelantungan pada belandar, kedua tangannya memegang belandar itu, melulu jenggotnya saja yang digunakan menyerang musuh.

"Eh kiranya jenggotmu sebanyak ini pula daya gunanya," ujar Ciu Pek-thong tertawa, iapun menirukan cara orang dan mengayunkan jenggot sendiri ke arah lawan. Tapi panjang jenggotnya tiada separuh panjang jenggot Hoan It-ong, pula tak pernah berlatih akan kegunaannya sebagai senjata, dengan sendirinya sabetan jenggotnya ini tidak berguna, "sret", pipinya malah kena tersabet oleh jenggot lawan sehingga terasa panas pedas kesakitan, untung lwekangnya sangat tinggi kalau tidak pasti akan kelengar seketika dan terbanting ke bawah.

walaupun merasakan pil pahit, tapi lo wan tong tidak menjadi gusar, sebaliknya malah timbul rasa laparnya kepada Hoan It-ong, katanya: "jenggot panjang, sungguh lihay kau, jenggotku tak dapat menandingi jenggotmu, sudahlah, kita tak perlu bertanding lagi !"

Tapi Hoan It-ong ternyata tidak mau kompromi, kembali jenggotnya menyabet pula, Kini Ciu Pek-thong tak berani melawannya lagi dengan jenggot, segera ia melancarkan gaya pukulan "Khong-beng-kun" angin pukulannya yang keras membikin jenggot Hoan It-ong terpencar dan melayang ke samping, kebetulan saat itu Be Kong-co lagi meloncat ke atas untuk menyerang Ciu Pek-thong, maka jenggot Hoan It-ong tepat menyabet pada muka Be Kong-co.

Cepat Be Kong-co pejamkan mata, muka terasa gatal pedas pula, dalam keadaan mata tertutup Be Kong-co memegang sekenanya sehingga jenggot Hoan It-ong itu kena dicengkeramnya.

Sebenarnya jenggot Hoan It-ong dapat melilit seperti barang hidup, tapi lantaran tenaga pukulan Ciu Pek-tiong tadi, Hoan It-ong tak dapat mengendalikan lagi jenggotnya, sehingga kena dipegang Be Kong-co, dalam kagetnya cepat Hoan It-ong membetot sekuatnya, tapi Be Kong-co juga menarik sekencangnya ketika tubuhnya anjlog ke bawah sehingga kedua orang akhirnya terbanting ke tanah.

Tubuh Be Kong-co segede kerbau, kulit kasar daging tebal, dia tidak teriak merasakan sakit, Tubuh Hoan It-ong tepat terbanting menindih badan Be Kong-co, ia menjadi gusar dan membentak : "He, apa-apaan kau? Lekas lepaskan jenggotku !"

Duduk diatas berlandar, Cui Pek-thong mempermainkan lawan2 yang terdiri dari tokoh2 dunia pesilatan secara lucu dan nakal.

"Bantingan itu tidak dirasakan oleh Be Kong-co, tapi perutnya terinjak oleh Hoan It-ong, rasanya tentu tidak enak, ia menjadi gusar juga dan batas membentak : "Aku justeru tidak mau lepas, kau mau apa?" - Berbareng itu tangannya terus memutar sehingga jenggot orang malahan melilit beberapa kali lagi pada tangannya.

Dengan gemas Hoan It-ong terus memukul ke muka lawan, Be Kong-co cepat miringkan kepalanya tak terduga pukulan Hoan It-ong itu cuma pura-pura saja, kepalan lain mendadak menyamber tiba, "plok", dengan tepat hidung Be Kong-co kera ditonjok sehingga berdarah, Sambil berkaok-kaok kesakitan Be Kong-co juga balas menjotos satu kali.



Bicara tentang ilmu silat sebenarnya Hoan It-ong jauh lebih tinggj, celakanya jenggotnya terlilit pada tangan lawan sehingga kepalanya tidak leluasa bergerak, karena itu jotosan Be Kong-co juga tepat mengenai tulang pipinya dan matang biru.

Begitulah yang satu tinggi dan yang lain pendek lantas main baku hantam, meski tubuh Hoan It-ong menindih di atas, tapi tetap sukar meloloskan diri dari betotan lawan yang terus menarik kencang jenggotnya itu.

Melihat suasana kacau balau, rombongannya berenam ternyata tidak dapat berkutik menghadapi seorang anak tua nakal, betapapun terasa memalukan maka Kim-lun Hoat-ong tidak dapat tinggal diam Iagi, segera ia mengeluarkan dua buah gelang, satu perak dan satu lagi tembaga, sekaligus kedua gelang. atau roda itu disambitkan dari kanan kiri dan menerbitkan suara mendenging.

"Barang apa ini?" kata Ciu Pek-thong, ia tidak tahu lihaynya senjata orang, maka tangannya terus meraih dan bermaksud menangkapnya.

Betapapun Nyo Ko menaruh simpatik kepada Ciu Pek-thong yang polos itu, cepat ia memperingatkan: "Hei, jangan dipegang!" Berbareng pula ia lemparkan tongkat baja yang dipegangnya itu ke atas, Maka terdengarlah suara gemerantang nyaring, tongkat baja yang panjang itu tertumbuk hingga terpental ke sudut ruangan sana, sebaliknya arah gelang tembaga yg terbentur itu tidak berubah dan masih tetap berputar menyamber ke atas be-landar.

Baru sekarang Ciu Peh-thong tahu si Hwesio besar ini tidak boleh diremehkan, ia pikir kalau dikerubuti jelas dirinya sukar melayani Segera ia berjumpalitan turun ke bawah dan berseru: "Maaf, Lo-wan-tong tak dapat menemani lebih lama, besok saja kita main-main lagi."

Habis berkata ia terus berlari ke pintu ruangan tamu, tapi dilihatnya empat orang berseragam hijau telah mengadangnya di situ dengan mementang sebuah jaring ikan.

Ciu Pek-thong sudah merasakan lihaynya jaring begitu, cepat ia membelok ke kanan dan bermaksud menerobos keluar melalui iendela, tapi bayangan hijau lantas berkelebat, kembali sebuah jaring merintangi jalannya.

Setelah melompat kembali ke tengah ruangan, Ciu Pek-thong melihat keempat penjuru sudah terentang oleh jaring ikan sehingga jalan lolosnya menjadi buntu. Segera ia melompat lagi ke atas belandar, dengan hantaman dari jauh ia bikin atap rumah berlubang besar. maksudnya hendak menerobos keluar melalui lubang itu, tapi baru saja ia mendongak, dilihatnya di atas juga sudah terpasang sebuah jaring ikan.

Terpaksa ia melompat turun ke bawah, katanya dengan tertawa sambil menuding si Kokcu: "He, untuk apakah kau menahan diriku di sini? Setiap hari melulu minum air tawar dan makan beras mentah, memangnya Lo-wan-tong dapat kau piara sampai tua?"

Kokcu itu menjawab dengan dingin : "Asalkan kau tinggalkan kitab dan obat yang kau ambil itu, segera kau boleh pergi dari sini"

Ciu Pek-thong menjadi heran, katanya : "Untuk apa kuambil kitab dan obatmu segala ? seumpama mampu berlatih sehingga selihay kau juga aku tidak kepingin."

Sang Kokcu melangkah pelahan ke tengah ruangan, ia kebut-kebut debu pada baju sendiri, lalu berkata : "Jika sekarang bukan hari bahagiaku, tentu aku akan minta petunjuk beberapa jurus padamu, sebaiknya kau tinggalkan barang yang kau ambil itu dan kau boleh pergi dengan bebas."

Dengan gusar Ciu Pek-thong berteriak: "Jadi kau tetap menuduh aku mencuri barangmu? Huh, memangnya apa barangmu yang berharga sehingga aku perlu mencurinya ? Ini, boleh kau periksa!" Sembari bicara dengan cepat ia terus membuka baju sendiri sepotong demi sepotong, dalam sekejap saja sudah telanjang bulat.

Berulang sang Kokcu membentak agar Ciu Pek-thong menghentikan perbuatannya, tapi anak tua nakal itu tidak ambil pusing, ia pentang dan membaliki baju celananya, memang benar tiada sesuatu benda apapun juga.

Sudah tentu anak murid perempuan yang hadir di situ menjadi kikuk dan sama berpaling ke jurusan lain. Kelakuan Ciu Pek-thong ini sungguh sama sekali tak terduga oleh sang Kokcu, iapun ragu apakah benar Ciu Pek-thong tidak mencuri barangnya yang hilang itu, padahal barang-barang itu besar sangkut-pautnya dengan Cui-sian-kok ini.

Selagi sang Kokcu termenung sangsi tiba-tiba Ciu Pek-thong bertepuk tangan dan berseru: "He, usiamu sudah cukup tua, mengapa kau tidak tahu harga diri ngomong sesukanya, berbuat seenak sendiri di depan umum melakukan hal memalukan begini sungguh menggelikan."

Ucapan itu sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada Ciu Pek-thong sendiri tapi justeru dia mendahului omong, keruan Kongsun Kokcu itu dibuat serba salah dan takdapat membuka suara, Ketika melihat Hoan It-ong dan Be Kong-co masih bergumul di lantai, segera ia membentaknya agar lekas berdiri.

Padahal bukanlah Hoan It-ong tidak mau melepaskan diri soalnya jenggotnya teriilit di tangan Be Kong-co dan sukar melepaskan diri.

Dalam pada itu sambil mengernyitkan dahinya Kongsun Kokcu menuding Ciu Pek-thong dan mendamperatnya. "Kukira yang tidak tahu malu adalah kau sendiri !"

"Memangnya aku kenapa ?" jawab Ciu Pek-thong, "Aku dilahirkan dengan bugil, sekarang aku telanjang bulat, putih bersih, apanya yang salah? sebaliknya kau sudah tua dan masih ingin mengawini seorang perawan muda sebagai isteri, hehe, sungguh mentertawakan !"

Ucapan ini laksana palu besar yang menghantam dada Kongsun Kokcu itu, seketika mukanya yang kuning itu bersemu merah dan tak dapat menjawab.

Mendadak Ciu Pek-thong berteriak : "Haya, celaka ! Tidak pakai baju, bisa masuk angin nih !" - Berbareng ia terus menerjang keluar.

Ketika mendadak melihat bayangan orang berkelebat ke arahnya, empat murid berbaju hijau yang siap di dekat pintu itu cepat bergerak dan membentang jaring, sekaligus jaring terus menutup ke atas kepala orang, Terasa sasarannya berontak di dalam jala, maka cepat keempat orang itu mengikat kencang empat ujung jaring dan diseret ke depan sang Kokcu.

Jala ikan itu terbuat dari benang emas yang halus dan Iemas, sekalipun golok dan pedang pusaka juga sukar membobolnya, apalagi gerakan ke empat orang itu sangat cepat dan lihay, biar tokoh maha hebat juga sukar menghadapinya.

Begitulah keempat orang itu sangat senang karena berhasil menawan sasarannya sehingga merekapun tidak memperhatikan lagi siapa sebenarnya yang terjaring itu, Tapi ketika mendadak nampak air muka sang Kokcu bersungut dari menatap tajam jaring mereka, cepat merekapun menunduk dan mereka menjadi kaget hingga berkeringat dingin, cepat pula mereka membuka jaring dan membebaskan dua orang yang sedang bergumul. Siapa lagi mereka kalau bukan Hoan It-ong dan Be Kong-co.

Kiranya tiada seorangpun yang menduga bahwa dalam keadaan telanjang bulat Ciu Pek-thong berani menerjang keluar semendadak itu. Karena gerakannya secepat kilat, sekali samber ia tarik kedua orang yang sedang bergumul itu terus dilemparkan ke dalam jaring.


Selagi keempat murid Cui-sian-kok itu sibuk mengencangkan ikatan jaring mereka, secepat angin Ciu Pek-thong terus menyelinap keluar, Gerakan aneh dan maha cepat ini sungguh luar biasa dan maha lihay.

Gara-gara perbuatan Lo-wan-tong Ciu Pek-thong ini, tidak cuma sang Kokcu saja yang kebobolan, bahkan mereka Kim-lun Hoat-ong dan kawannya juga merasa malu, masakah gabungan tokoh kelas wahid seperti mereka ini ternyata tidak mampu menangkap seorang tua yang gila-gilaan itu, sungguh terlalu tidak becus.

Hanya Nyo Ko saja yang kagum sekali terhadap kepandaian Ciu Pek-thong, tadi ia sudah bertekad akan menolong anak tua nakal itu apabila sampai tertawan, tapi kini Ciu Pek-thong sendiri dapat meloloskan diri, diam-diam Nyo Ko bersukur dan lega.

Tujuan Kim-lun Hoat-ong sebenarnya hendak mencari tahu seluk-beluk sang Kokcu, tapi setelah " dikacau" oleh Ciu Pek-thong, ia merasa rikuh untuk tinggal lebih lama lagi di situ, Setelah berunding dengan Slau-siang-cu dan In Kik-si, lalu dia berbangkit dan mohon diri.

Semula Kokcu itu menyangka keeram orang ini adalah sekomplotan dengan Ciu Pek-thong, tapi kemudian melihat Siau-siang-cu, Be Kong-co dan lainnya menempur Ciu Pek-thong dengan sengit dan menggunakan kepandaian khas masing-masing yang lihay, tampaknya memang sengaja membantu pihak sendiri maka ia lantas memberi hormat dan berkata: "Ada sesuatu permintaanku yang tidak pantas, entah kalian berenam sudi menerimanya tidak?"



"Asalkan kami sanggup, tentu akan kami terima," jawab Kim-lun Hoat-ong.

"Begini." kata sang Kokcu, "lewat lohor nanti adalah upacara pernikahanku yang kedua kalinya, maka ingin kuundang kalian ikut hadir memberi do"a restu, di lembah pegunungan ini selama beratus tahan jarang didatangi orang luar, kebetulan sekarang kalian hadir sekaligus, sungguh kurasakan sangat beruntung."

"Ada arak tidak nanti ?" seru Be Kong-co.

Belum lagi sang Kokcu menjawab, mendadak bayangan orang berkelebat masuklah seorang perempuan berbaju putih sambil bertanya: "Apakah orang yang mengacau sudah pergi?"

Kejut dan girang tidak kepalang Nyo Ko melihat perempuan ini, cepat ia melompat maju dan menarik tangannya serta berseru : "Hei, Kokoh, engkau juga datang ke sini? sungguh payah kucari kau sekian lamanya!"

Perempuan itu memandang sekejap kepada Nyo Ko dengan air muka merasa heran, lalu menjawab: "Siapakah tuan? Kau memanggil apa padaku ?" ,

Nyo Ko terperanjat ia coba mengamat-amati lagi perempuan ini, kelihatan wajahnya yang putih halus dan cantik, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li adanya ? Tanpa ragu segera ia menjawab: "Kokoh.. aku ini Nyo Ko, masakah kau sudah pangling padaku?"

Kembali perempuan itu memandang sekejap kepadanya, lalu menjawab dengan dingin: "Selamanya aku tidak pernah kenal kau, mana kuberani dipanggil sebagai Kokoh?"

Berbareng ia terus melangkah ke depan dan duduk di sebelah sang Kokcu.

Wajah sang Kokcu yang tadinya kaku dingin segera berubah berseri-seri akan kedatangan perempuan cantik itu, dia berkata kepada Kim-lun Hoat-ong: "lnilah bakal isteriku yang upacara perkawinan kami segera akan dilangsungkan lewat lohor nanti"

Habis berkata ia melirik sekejap ke arah Nyo Ko seperti kurang senang akan kecerobohan pemuda itu yang salah mengenali-orang.

Keruan kejut Nyo Ko tak terkatakan, serunya: "Kokoh, masakah engkau ini bukan Siao-liong-li? Memangnya kau bukan Suhuku?"

Perempuan itu mengawasi Nyo Ko sejenak air mukanya menampilkan perasaan heran dan bingung, sejenak kemudian barulah menjawab sambil menggeleng: "Bukan, siapakah Siao-liong-li itu?"

Kedua tangan Nyo Ko mengepal sekencangnya dan diremas-remas hingga lecet, benaknya terasa tawar sekali, ia tidak tahu apakah sang Kokoh marah padanya sehingga tidak mau mengakui dia lagi? Atau disebabkan berada di tempat berbahaya dan dia sengaja bersikap demikian untuk mencari selamat? Atau barangkali di dunia ini benar-benar ada perempuan lain yang serupa dengan dia?

Meski Nyo Ko biasanya pintar dan cerdik, tapi kini ia tak dapat mengendalikan pergolakan perasaannya teringat cintanya kepada Siao-Jiong-li, dan tanpa terasa ia menjerit.

Melihat pemuda itu bersikap kurang wajar, Kokcu itu mengernyitkan dahi dan berkata pelahan kepada perempuan baju putih itu : "Liu-ji, hari ini sungguh banyak orang yang aneh"

Perempuan itupun tidak menggubris padanya, pelahan ia menuang secawan air dan diminum, sorot matanya mengerling semua orang, tapi sampai pada Nyo Ko, pandangnya menghindarkan pemuda itu dan tidak melihatnya lagi.

Jika orang lain tentu akan bersikap tenang untuk melihat apa yang akan terjadi nanti, tapi dasar watak Nyo Ko memang tidak sabaran, apa lagi Kokcu itu menyatakan akan menikah lewat lohor nanti, dalam keadaan bingung dan tak berdaya, Nyo Ko coba berpaling dan tanya Kim-lun Hoat-ong:

"Kau pernah bertanding dengan suhuku, tentu kau kenal dia dengan baik, coba katakan, apakah aku salah mengenali dia?"

Ketika perempuan baju putih itu muncul tadi sebenarnya Kim-lun Hoat-ong sudah mengenal dia sebagai Siao-Iiong-li, tapi nona itu ternyata tidak mau gubris, meski Nyo Ko telah menegurnya sendiri, di antara pasangan muda-mudi ini tentu terjadi pertengkaran, maka ia tersenyum dan menjawab: "Entahlah, akupun tidak begitu ingat lagi."

Sudah tentu jawaban Kim-lun Hoat-ong ini mempunyai dua maksud tujuan. Dia pernah dikalahkan oleh Giok-Ii-kiam-hoat yang dimainkan bersama antara Nyo Ko dan Siao-liong-Ii, kini kepandaian Myo Ko sudah jauh lebih maju lagi, kalau kedua muda-mudi itu bergabung, jelas dirinya lebih-Iebih bukan tandingan mereka.

Tapi kalau kedua orang itu bertengkar biarpun bergabung lagi dan menempurnya, asalkan antara jiwa kedua orang itu sudah terjadi keretakan dan tidak dapat saling kontak, maka kesempatan untuk menang bagi dirinya menjadi sangat besar.

BegituIah Nyo Ko menjadi melengak oleh jawaban Hoat-ong itu, tapi ia lantas paham juga maksud tujuan orang, pikirnya dengan mendongkol: "Hati manusia benar-benar keji dan culas, Ketika kau terluka parah, aku pernah membantu menyembuhkan kau, tapi sekarang kau malah bermaksud membikin susah padaku."

Melihat sorot mata kebencian Nyo Ko, Kim- lun Hoat-ong tahu pemuda itu merasa dendam padanya, kelak pasti akan membahayakan, kalau ada kesempatan harus kubereskan sekarang juga. ia lantas balas menghormat sang Kokcu dan menjawab: "Kami berterima kasih atas undangan Kok-cu-untuk menghadiri pernikahanmu, cuma kedatangan kami hanya kebetulan sehingga tidak membawa kado apapun, sungguh kami merasa tidak enak?"

Kokcu itu merasa senang karena Kim-lun Hoat-ong dan rombongannya mau terima undangannya, segera ia memperkenalkan mereka kepada bakal isterinya, ketika giliran Nyo Ko, ia hanya menyebutnya she Nyo saja, lalu tidak diberi tambahan keterangan Iain.

Kelihatan perempuan baju putih itu cuma mengangguk pelahan saja tanpa memberi sesuatu perhatian apapun ketika diberitahu nama setiap orang, terhadap Nyo Ko iapun tidak ambil pusing seperti halnya orang Iain.

Muka Nyo Ko menjadi merah padam, jantungnya memukul keras, apa yang dibicarakan Kokcu itu sama sekali tak terdengar olehnya.

Kongsun Lik-oh yang berdiri di belakang ayahnya dapat mengikuti gerak-gerik Nyo Ko itu, ia teringat ketika pemuda itu tertusuk duri bunga cinta segera merasa sakit karena timbul rasa rindunya, melihat gelagatnya sekarang apakah memang betul bakal ibu tiriku ini adalah kekasihnya ? Masakah bisa terjadi secara begini kebetulan, jangan-jangan kedatangan orang-orang ini justeru di sebabkan oleh bakal ibu tiriku ini?

Karena pikiran itu, Kongsun Lik-oh coba mengawasi perempuan baju putih itu, terlihat air mukanya tenang-tenang saja, tidak merasa suka ria juga tidak merasa kikuk dan malu, sama sekali tidak memper sebagai seorang calon pengantin baru.

Dalam pada itu Nyo Ko merasakan dadanya sesak seakan-akan putus napasnya, tapi biarpun wataknya mudah terguncang perasaannya namun dia juga seorang yang pintar dan cerdik, ia pikir kalau sang Kokoh tidak mau mengakui dia, bisa jadi Kokoh mempunyai maksud tujuan tertentu, untuk ini aku harus menjajakinya dengan jalan lain.

Segera ia berdiri dan memberi hormat kepada sang Kokcu, katanya dengan lantang: "Karena ada seorang sanak keluargaku yang mirip dengan wajah nyonya barumu, tadi aku salah mengenalinya untuk itu kumohon maaf."

Ucapan yang cukup sopan ini diterima dengan baik oleh Kokcu itu, sikapnya lantas berubah ramah juga, ia balas hormat dan menjawab: "Salah mengenali orang adalah kejadian biasa dan tidak ada persoalan maaf segala, Cuma... cuma di dunia ini ternyata ada orang lain lagi yang serupa bakal isteriku tercinta ini, hal ini tidak hanya kebetulan saja. tapi sesungguhnya teramat aneh."

Di balik ucapannya ini dia ingin menyatakan bahwa di dunia ini mustahil ada wanita cantik lagi yang serupa dengan calon isterinya itu.

"Memangnya, maka akupun sangat heran," ujar Nyo Ko. "Maaf, apakah boleh kutanya siapakah she nyonya yang terhormat?"

"Dia she Liu, apakah kenalanmu itu juga she Liu?" kata sang Kokcu dengan tersenyum.

"Oh, bukan," jawab Nyo Ko, Diam-diam ia menimang-nimang mengapa sang Kokcu mengaku she Liu. Tapi, segera pikirannya tergerak: "Ah, soalnya aku she Nyo."

Nyoliu Yang itu adalah nama pohon, jadi jelas Siau-liong-li mengaku she liu karena dia belum lagi melupakan Nyo Ko. Terpikir akan demikian, seketika jari Nyo Ko kesakitan lagi.

Melihat Nyo Ko meringis menahan sakit, Kongsun Lik-oh merasa kasihan dan sayang padanya, sorot matanya senantiasa mengikuti perubahan aii muka pemuda itu.

Sekuatnya Nyo Ko menahan rasa sakit bekerjanya racun bunga cinta, mendadak teringat lagi sesuatu olehnya, cepat ia tanya "Apakah nona Liu ini penduduk sekitar pegunungan ini? Entah cara bagaimana Kokcu berkenalan dengan "dia?"

Sebenarnya Kokcu itu juga sangat ingin tahu asal-usuI bakal isterinya itu, ia pikir bukan mustahil bocah ini memang kenal Liu-ji dan dari dia nanti akan diperoleh keterangan lebih jelas mengenai asal-usul bakal isteri itu, segera ia menjawab: "Ya, pertemuan kami memang terjadi secara kebetulan setengah bulan yang lalu, ketika aku sedang mencari bahan obat di lereng gunung, kutemukan dia menggeletak di kaki gunung sana dalam keadaan terluka parah dan kempas-kempis. Setelah kuperiksa dia, kiranya dia menderita kesesatan lantaran berlatih lwekang kurang tepat, Aku lantas membawanya pulang dan mengobati dia dengan obat mujarab keluargaku yang sudah turun temurun, jadi perkenalan kami ini boleh dikatakan secara kebetulan, itulah yang dikatakan kalau memang sudah jodoh."

"O, kiranya di dunia ini juga ada obat mujarab yang dapat menyembuhkan nona Liu, kukira hanya dapat disembuhkan dengan bantuan darah "orang lain," kata Nyo Ko.

Mendengar ucapan ini, mendadak perempuan itu menumpahkan darah segar sehingga bajunya yang putih itu berlepotan darah, "Semua orang menjerit kaget dan sama berbangkit.

Kiranya nona Liu ini memang betul nama samaran Siao-liong-li, setelah mendengar pembicaraan Ui Yong tempo hari itu, semalam suntuk ia tak dapat tidur, setelah dipikir bolak-balik, ia merasa kalau "Nyo Ko menjadi suami isteri dengan dirinya, akibatnya pemuda itu akan dicaci maki orang dan hati sendiri merasa tidak enak jika keduanya mengasingkan diri di dalam kuburan kuno-itu, lama-lama pemuda itu tentu akan kesal dan akhirnya bukan mustahil akan meninggalkannya.

Namun cintanya terhadap Nyo Ko sesungguhnya teramat mendalam, sebab itulah dia tegas memutuskan hubungan hal inipun timbul dari cintanya yang suci murni dan demi kebahagiaan dan hari depan Nyo Ko.

Begitulah seorang diri dia mengayunkan langkah tanpa arah tujuan di ladang sepi dan lereng, pegunungan, suatu hari ia berduduk bersemadi, mendadak pikirannya bergolak dan sukar diatasi, akibatnya luka dalam yang lama kambuh lagi.

Untung Kokcu she Kongsun itu kebetulan lewat di situ dan menolongnya, kalau tidak tentu Siao-liong-li sudah tewas di pegunungan sunyi itu.

Kongsun Kokcu itu sudah lama menduda, meIihat kecantikan Siao-liong-li yang tiada taranya itu, ia menjadi tertarik sebenarnya Siao-liong-Ii sendiri juga sudah putus asa, tapi setelah dipikirkan lagi ketika dilamar oleh Kokcu ,itu, ia pikir kalau sudah menjadi isteri orang lain, jelas persoalannya dengan Nyo Ko akan menjadi putus, apalagi Cui-sian-kok ini sangat sunyi dan terpencil, selanjutnya pasti takkan bertemu lagi dengan pemuda itu.

Siapa tahu mendadak muncul Lo-wan-tong Ciu Pek-thong dan mengacaukan Cui-sian-kok itu dan memancing pula kedatangan Nyo Ko.

Kini mendadak berhadapan dengan Nyo Ko di tengah perjamuan, sungguh remuk rendam hati Siao liong-li, pikirnya: "Aku sudah menerima lamaran orang dan segera akan menikah, lebih baik aku berlagak tidak kenal dia, biar dia pergi dari sini dengan gusar dan membenci diriku selama hidup.

Sebab itulah dia tetap tidak menggubrisnya meski dilihatnya Nyo Ko sangat cemas dan bingung, Ketika mendadak Nyo Ko berkata tentang penyembuhan dengan bantuan darah orang lain, segera teringat olehnya ketika dirinya terluka parah oleh kaum Tosu Coan-cin-kau sehingga muntah darah, tapi tanpa menghiraukan keselamatan sendiri Nyo Ko telah menyalurkan darah sendiri untuk menyelamatkan jiwanya, hal ini sungguh terukir mendalam di lubuk hatinya. Karena guncangan perasaan itulah seketika iapun menumpahkan darah segar.

Dengan wajah pucat lesi ia berbangkit dan bermaksud melangkah ke ruangan belakang Kong-sun Kokcu cepat berkata padanya: "Duduk saja dan jangan bergerak agat tidak mengganggu urat nadi yang lain." - Lalu ia berpaling kepada Nyo Ko dan berkata pula: "Sebaiknya kau pergi saja dan untuk selanjutnya janganlah datang lagi ke sini"

Air mata Nyo Ko bercucuran, katanya kepada Siao-liong-li: "Kokoh, bila aku beranjak silakah kau mencaci dan memukul aku, sekalipun kau membunuh aku juga aku rela, Tapi mengapa kau tidak mau mengakui diriku lagi?"

Siao-liong-li tidak menjawab, ia menunduk dan batuk pelahan beberapa kali.

Sejak tadi Kongsun Kokcu sudah murka karena ucapan Nyo Ko telah membikin Siao-liong-li muntah darah, tapi sebisanya ia bersabar, dengan suara geram ia berkata pula: "Jika kau tidak segera pergi, jangan kau menjalankan aku tidak kenal ampun."

Tapi mata Nyo Ko hanya menatap tajam kepada Siao-liong-li dan tidak menggubris Kongsun Kokcu, ia memohon pula: "Kokoh, aku berjanji akan mendampingi kau selama hidup di kuburan kuno itu dan takkan menyesal, marilah kita berangkat sekarang."

Pelahan Siao-liong-li mengangkat kepalanya, ia lihat sorot mata Nyo Ko penuh rasa kasih sayang yang mendalam bercampurkan rasa sedih dan cemas tak terhingga, tanpa terasa hatinya bergoncang dan timbul niatnya akan terima ajakan Nyo Ko itu, tapi segera terpikir lagi olehnya: "Tidak. perpisahanku ini sudah kupikirkan dengan masak, bila aku tidak tahan sekejap ini, kelak pasti akan bikin susah dia selama hidup."

Karena itu, cepat ia berpaling lagi ke arah lain dan menghela napas panjang, katanya: "Aku tidak kenal kau. Apa yang kau katakan sama sekali aku tidak paham, sebaiknya lekas kau pergi saja !"

Beberapa kalimat itu diucapkannya dengan lemah dan lirih, namun penuh mengandung kasih sayang, kecuali orang dogol semacam Be Kong-co yang sama sekali tidak merasakannya, orang-orang lain segera mengetahui bahwa perasaan Siao-liong-li terhadap Nyo Ko sesungguhnya sangat mesra, apa yang dikatakannya itu sesungguhnya bertentangan dengan pikirannya.

Sudah tentu tidak kepalang rasa cemburu Kongsun Kokcu setelah mendengar perkataan itu, meski Siao-liong-li sudah menerima lamarannya dan bersedia menjadi isterinya, tapi belum pernah nona itu mengucapkan sesuatu perkataan yang mesra padanya.

Dengan geram ia melotot kepada Nyo Ko, dilihatnya pemuda itu memang gagah dan cakap, sesungguhnya memang pasangan yang sangat setimpal dengan Siao-liong-li, ia pikir kedua muda-mudi itu mungkin memang sudah pacaran, entah pertengkaran urusan apa sehingga berpisah dan Liu-ji mau terima lamaranku, tapi jelas hatinya belum melupakan kekasihnya yang lama. Teringat hal ini, tanpa terasa sorot, matanya memancarkan sinar kegusaran dan kebencian.

Hoan It-ong paling setia kepada sang guru, ia lihat Nyo Ko telah mengacaukan rencana pernikahan gurunya, bahkan mengakibatkan bakal ibu guru itu muntah darah dan sang guru tetap bersabar saja, segera ia tampil ke muka dan membentak: "Bocah she Nyo, jika kau tahu diri hendaklah lekas enyah dari sini, Kokcu kami tidak menyukai tamu yang tidak kenal sopan santun macam kau."

Nyo Ko anggap tidak mendengar saja, dengan suara lembut ia berkata pula kepada Siao-liong-li:

"Kokoh, apakah engkau benar-benar telah lupa kepadaku?"

Gusar sekali Hoan It-ong, sebelah tangannya terus mencengkeram ke punggung Nyo Ko dengan tenaga penuh, maksudnya sekali pegang segera Nyo Ko hendak dilemparkannya keluar.

Saat itu Nyo Ko sedang bicara kepada Siao-liong-li dengan penuh perhatian, kejadian apa di luar itu sama sekali tidak dihiraukannya, ketika jari Hoan It-ong menyentuh punggungnya barulah dia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga untuk mengerutkan badan, seketika cengkeraman Hoan It-ong mengenai tempat kosong, terdengar suara "bret" baju bagian punggung Nyo Ko telah terobek.

Karena permohonanaya yang berulang tefap tidak digubris oleh Siao-liong-li, Nyo Ko menjadi semakin cemas, apabila berada berduaan di dalam kuburan kuno, dengan sendirinya dia akan memohon dengan sabar, tapi kini berada di depan orang banyak, sedangkan Hoan It-ong terus mengganggu keruan rasa gusar Nyo Ko menjadi berpindah kepada kakek cebol itu, segera ia berpaling dari membentak: "Aku sedang bicara dengan Kokoh, kenapa kau mengganggu saja?"

Dengan suara keras Hoan It-ong balas membentak: "Kokcu suruh kau enyah, kau dengar tidak? Kalau kau tetap membangkang, jangan kau salahkan kakekmu yang tidak kenal ampun lagi padamu."

"Aku justeru tidak mau pergi, kau mau apa?" jawab Nyo Ko dengan gusar. "Selama Kokoh masih di sini akupun akan tetap tinggal di sini. Biarpun aku mati dan mayatku menjadi abu juga tetap kuikut dia."
  
Sudah tentu ucapan Nyo Ko itu sengaja di-perdengarkan kepada Siao-liong-li. Ketika Kongsun Kokcu itu melirik wajah si nona, tertampak air matanya berlinang dan akhirnya menetes, sungguh pedih hatinya, rasa cemburunya terhadap Nyo Ko juga semakin membakar, segera ia mengedipi Hoan It-ong dan memberi tanda agar segera melancarkan serangan maut untuk membinasakan Nyo Ko.

Tak terduga juga oleh Hoan It-ong bahwa sang guru akan menyuruhnya membunuh pemuda itu, semula dia hanya bermaksud mengusirnya saja, Tapi sang guru telah mendesaknya lagi, terpaksa ia angkat tongkatnya dan diketokkan ke lantai hingga menerbitkan suara nyaring, bentaknya : "Apa-kau benar-benar tidak takut mati?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar