Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali) Jilid 6

Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali/Rajawali sakti Dan pasangan pendekar), Jilid 6 Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali). Dalam pada itu Nyo Ko merasakan darah panas, bergolak di rongga dadanya, seperti halnya Siao liong-li, rasanya darah itu akan tertumpah keluar.
Anonim
Dalam pada itu Nyo Ko merasakan darah panas, bergolak di rongga dadanya, seperti halnya Siao liong-li, rasanya darah itu akan tertumpah keluar.

Kiranya aliran lwekang Ko-bong-pay itu sangat mengutamakan soal mengekang perasaan dan pengendalikan napsu, sebab itulah waktu Siao-liong-li diajarkan oleh gurunya dahulu, ia diharuskan menjauhi segala macam perasaan suka-duka dan pengaruh dari Iuar. Belakangan ketika Siao-liong-li tak dapat menahan perasaannya sehingga beberapa kali ia telah tumpah darah.

Nyo Ko sendiri mendapat ajaran dari Siao-liong-li, aliran Lwekangnya sama, karena gejolak perasaannya itu, kini kaki dan tangannya terasa dingin dan darah hampir tersembur dari mulutnya.

Ia menjadi nekat ingin mati saja di hadapan sang Kokoh yang tidak mau gubris lagi padanya itu, Tapi segera terpikir olehnya: "Betapa mesranya Kokoh padaku biasanya, bahwa sekarang dia bersikap sedingin ini padaku, kuyakin pasti-ada sebab musababnya, besar kemungkinan dia mendapat tekanan dari Kokcu bangsat ini dan terpaksa tidak berani mengakui diriku. Kalau aku tidak bersabar dan cari jalan keluar, tentu sukar menghadapi orang-orang di sini."

Karena pikiran itu, serentak semangat jantannya timbul, ia bertekad akan melabrak musuh dan menyelamatkan Siao-liong-li keluar dari tempat berbahaya ini. Segera ia mengumpulkan semangat dan menenangkan diri, kemudian ia tersenyum dan berkata kepada Hoan It-ong: "He, ada apa kau gembat-gembor tadi? Pegunungan sunyi seperti kuburan ini, kalau tuan muda mau datang masakah kau mampu mengalangi dan jika kuingin pergi masakah kau dapat menahan diriku?"

Tadi semua orang menyaksikan keadaan Nyo Ko yang sedih dan kalap seperti orang gila, tap mendadak bisa berubah menjadi sabar dan tenang sungguh mereka sangat heran, Karena Hoart It-ong memang tiada maksud membunuh Nyo Ko sebagai mana perintah sang guru, maka tongkatnya segera disabetkan ke kaki Nyo Ko.

Kongsun Lik-oh kenal kepandaian Toasuhengnya itu sangat lihay, meski tubuhnya pendek, tap memiliki tenaga raksasa pembawaan semalam pun menyaksikan ketahanan Nyo Ko digarang di dalam rumah batu itu, Lwekangnya jelas tidak rendah, tapi mengingat usianya yang masih muda, rasanya sukar melawan permainan tongkat Toasu-hengnya, apabila kedua orang sudah bergebrak untuk menolong pemuda itu pasti sangat sukar.

Karena hasratnya ingin menolong Nyo Ko, walaupun nampak sang ayah sedang gusar, namun Kongsun Lik-oh tetap nekat dan tampil ke muka, katanya kepada Nyo Ko: "Nyo-kongcu, tiada gunanya kau buang waktu di sini dan mengorbankan jiwamu."

Nyo Ko hanya mengangguk dan tersenyum, jawabnya: "Terima kasih atas maksud baik nona, Tapi aku ingin main-main beberapa jurus dengan si jenggot panjang ini, eh, apakah kau suka mainan kuncir, biar kupotong jenggot si cebol ini untukmu."

Kejut sekali Kongsun Lik-oh dan tidak berani menanggapi ucapan Nyo Ko itu, ia anggap kelakar pemuda itu keterlaluan dan benar-benar sudah bosan hidup barangkali.

Dalam pada itu Hoan It-ong menjadi gusar juga karena jenggotnya itu diremehkan Nyo Ko, mendadak ia membuang tongkatnya dan melompat maju sambil membentak: "Bocah kurangajar! rasakan dulu jenggotku ini!"

Belum habis ucapannya, mendadak jenggot yang panjang itu menyabet ke muka si Nyo Ko.

Aembari berkelit Nyo Ko berkata dengan tertawa: "Lo-wang-tong tidak berhasil memotong jenggotmu, biarlah akupun mencobanya."

Segera ia mengeluarkan gunting raksasa dari rangselnya terus menggunting, Tapi sekali miringkan kepalanya, Hoan It-ong putar jenggotnya terus menghantam kepala lawan dengan kekuatan yang hebat.

Cepat Nyo Ko melompat ke samping, sebalikya guntingnya terus membalik dan "creng", guntingnya telah mengatup.

Kejut Hoan It-ong tak terkatakan, secepat kilat ia berjumpalitan ke belakang, sedikit ayal saja jenggotnya pasti sudah tergunting putus.

Sebenarnya gunting Nyo Ko itu dia pesan dari Pang Bik-hong untuk digunakan melawan senjata kebut Li Bok-chiu, untuk itu dia sudah mempelajari gaya permainan kebut lawan dan cara, bagaimana guntingnya harus bekerja.

Siapa tahu Li Bok-chiu yang diharapkan itu belum pernah bertemu, kini guntingnya harus menghadapi si kakek cebol yang menggunakan jenggot panjang sebagai senjata.

Nyo Ko sangat senang, ia yakin betapapun lihaynya jenggot si kakek juga pasti tidak lebih lihay daripada kebut Li Bok-chiu, karena itu dia tidak menjadi gentar, guntingnya terus mendesak lawan.

Hoan It-ong sendiri sudah lebih 30 tahun menggunakan jenggotnya sebagai senjata, apalagi kedua tangannya juga ikut menyerang, tentu saja tambah lihay.

Malahan Ciu Pek-thong yang maha sakti itupun tidak berhasil menggunting jenggot Hoan It-ong, maka semua orang menyangka Nyo Ko pasti juga akan gagal.

Tak terduga permainan gunting Nyo Ko ternyata lebih lincah dan hidup serta lain dari pada Ciu Pek-thong. tentu saja hal ini membikin semua orang merasa heran, Padahal bukanlah Nyo Ko lebih tinggi ilmu silatnya daripada Ciu Pek-thong, soalnya sebelum itu dia sudah mempelajari gaya permainan kebut Li Bok-chiu dan sudah merancangkan cara bagaimana akan menggunakan guntingnya, sedangkan gerakan jenggot Hoan It-ong justeru hampir sama dengan permainan kebut Li Bok-chiu, maka sekali Nyo Ko mulai memainkan guntingnya, dengan sendirinya terasa sangat lancar dan berada di atas angin.

Begitulah beberapa kali jenggot Hoan It-ong tampak kena digunting putus, kini ia tak berani lagi meremehkan Nyo Ko yang masih muda itu. Segera, ia ganti serangan jenggotnya disertai dengan pukulan yang dahsyat, terkadang sabetan jenggotnya cuma gerak pura-pura, lalu disusul dengan pukulan lihay sungguhan tapi ada kalanya pukulannya cuma pancingan, lalu jenggotnya menyabet, sungguh kepandaian yang luar biasa dan lain daripada yang lain.

Setelah beberapa puluh jurus lagi, diam2 Nyo Ko mulai gelisah, ia pikir Kokcu she Kongsun itu jelas manusia culas dan kejam, ilmu silatnya pasti juga jauh di atas kakek cebol ini, kalau muridnya tak dapat dikalahkan lalu cara bagaimana melawan gurunya nanti?

Nyo Ko coba memperhatikan gerak-gerik lawan, tertampak kelakuan kakek cebol itu sangat lucu dikala menggoyangkan kepala untuk menya-betkan jenggotnya, semakin keras sabetan jenggot-nya, semakin lucu pula kepalanya itu bergoyang.

Tiba-tiba hari Nyo Ko tergerak ia telah menemukan cara mematahkan serangan lawan itu, "cret", ia katupkan guntingnya sambil melompat mundur dan berseru: "Berhenti dulu !"

Hoan It-ong tidak mengudaknya, ia bertanya: "Adik cilik jika kau menyerah kalah, nah lekas pergi saja dari sini!"

Tapi Nyo Ko menggeleng dan menjawab: "Aku ingin tanya, setelah jenggotmu ini dipotong, berapa lama baru dapat tumbuh lagi sepanjang itu?"

"Itu bukan urusanmu?" sahut Hoan lt-ong dengan gusar. "Selamanya aku tidak pernah cukur!"

"Sayang, sayang ! sungguh sayang!" ujar Nyo Ko sambil menggeleng.

"Sayang apa ?" tanya Hoan It-ong melengak.

"Cukup di dalam tiga jurus saja segera jenggotmu yang panjang ini akan kugunting putus," kata Nyo Ko.

Mana Hoan It-ong mau percaya dalam tiga-jurus saja dirinya akan dikalahkan oleh Nyo Ko, bukankah sejak tadi mereka sudah bergebrak beberapa puluh jurus? Dengan pusar ia membentak: "Lihat seranganku!"--Sebelah tangannya segera memukul.

Cepat Nyo Ko menangkis dengan tangan kiri, gunting di tangan kanan balas menghantam batok kepala lawan, perawakan Nyo Ko lebih tinggi, untuk memukul lawan dengan sendirinya mesti dari atas ke bawah, karena itu Hoan I-ong memiringkan kepalanya untuk menghindar, tak terduga tangan kiri Nyo Ko lantas menghantam pula kepeIipis kanannya, untuk mengelak terpaksa Hoan It-ong memiringkan kepala lagi, tapi lantaran serangan lawan teramat cepat dan caranya memiringkan kepala juga sangat cepat, dengan sendirinya jenggotnya yang panjang itu ikut tergertak ke atas, padahal gunting Nyo Ko sudah disiapkan di sebelah kanannya "cret", tanpa ampun lagi jenggotnya tergunting sepanjang setengah meter.

Semua orang menjerit kaget, ternyata benar Nyo Ko telah memotong jenggot Hoan It-ong hanya dalam tiga jurus saja seperti apa yang dikatakan sebelumnya tadi.

Kiranya menurut pengamatan Nyo Ko tadi, diketahuinya apabila Hoan It-ong hendak menyabet dengan jenggotnya ke kiri misalnya, maka kepalanya pasti meleng dulu ke sebelah kanan, jika jenggot hendak menyabet ke atas, maka kepala tentu menunduk lebih dulu.

Dari situlah dia menetapkan siasatnya untuk memotong jenggot lawan harus pura-pura menghantam kepalanya dengan begitu barulah dia berani sesumbar akan menggunting jenggot lawan dalam tiga jurus saja.

Hoan It-ong terkesima sejenak, ia merasa sayang dan murka pula karena jenggot yang sudah dirawatnya selama hidup itu telah digunting begitu saja, Cepat ia samber kembali tongkatnya, dengan kalap ia serampang pinggang Nyo Ko.

Waktu masuk tadi Be Kong-co telah dijatuhkan oleh jenggot Hoan It-ong, maka ia sangat senang melihat jenggot orang terguling putus, serunya sambil tertawa: "He, Hoan cebol, tampangmu memangnya jelek, tanpa jenggotmu itu kau menjadi semakin buruk rupa!"

Hoan It-ong tambak gemas sehingga serangannya bertambah dahsyat pula.

Selama Nyo Ko bergebrak dengan Hoan It-ong, yang dipikirkan hanya jenggot orang saja sehingga belum diketahui sampai dimana kekuatan yang sesungguhnya, kini menghadapi tongkat lawan, ia ingin tahu bagaimana tenaganya, ketika tongkat lawan menyabet tiba, segera ia menangisnya dengan gunting, "trang", lengan terasa kesemutan dan gunting raksasa itu telah bengkok. Hanya satu jurus itu saja gunting itu sudah tak dapat digunakan lagi.

Melihat perubahan itu, Kongsun Lik-oh menguatirkan pula keselamatan Nyo Ko, cepat ia berseru: "Nyo-kongcu, tenagamu tidak memadai Toasuhengku, buat apa kau menempurnya lagi?"

Kegusaran Kongsun Kokcu bertambah sengit karena puterinya berulang kali membela orang luar, ia pelototi anak perempuannya itu, tertampak si nona mengawasi -Nyo Ko dengan penuh perhatian, ketika ia memandang Siao-liong-li, tertampak sikapnya hambar saja se-akan2 tidak ambil pusing terhadap keselamatan Nyo Ko.

Karena itu Kong-sun Kokcu menjadi girang, ia pikir Siao-liong-li ternyata tidak mencintai Nyo Ko, terbukti keselamatan pemuda itu sedikitpun tidak dihiraukannya.

Padahal Siao-Iiong-Ii cukup kenal kepintaran dan kecerdikan Nyo Ko, ilmu silatnya juga pasti tidak dibawah Hoan-It-ong, ia yakin pertarungan mereka pasti akan dimenangkan pemuda itu, makanya ia sama sekali tidak berkuatir.

Dalam pada itu Nyo Ko telah membuang guntingnya yang sudah bengkok itu, lalu berkita: "Hoan-heng, kau pasti bukan tandinganku lebih baik kau menyerah saja!"

Dengan gusar Hoan It-ong menjawab: "Asalkan kau sanggup mengalahkan tongkatku ini, segera aku membunuh diri!" Berbareng tongkatnya terus mengemplang sekerasnya.

Namun sedikit Nyo Ko miringkan tubuhnya, tongkat itu jatuh disebelahnya, sekali kaki kiri Nyo Ko menginjak, dengan tepat batang tongkat itu terpijak.

Sekuatnya Hoan It-ong mengangkat tongkatnya ke atas, tapi tubuh Nyo Ko juga lantas mengikuti gerakan tongkat itu dan terbawa ke udara, dengan mantap ia berdiri diatas tongkat dengan satu kaki, yaitu kaki kiri. Beberapa kali Koan it-ong menggerakkan tongkatnya agar Nyo Ko tergetar jatuh, tapi tak berhasil.

Dengan murka Hoan It-ong hendak memutar tongkatnya, tapi Nyo Ko keburu melangkah maju melalui batang tongkatnya.

Keruan gerakan aneh Nyo Ko ini sangat mengejutkan Hoan It-ong, sementara itu Nyo Ko sudah melangkah maju lagi satu tindak, mendadak kaki kanan melayang ke depan untuk menendang hidung-nya.

Keadaan Hoan It-ong menjadi serba salah, musuh seperti melengket pada batang tongkatnya, kalau dirinya melompat mundur sama juga seperti membawa musuh lebih maju, kalau tidak melompat mundur jelas sukar menghindarkan tendangan lawan, sedang kedua tangan memegangi tongkat dan tak dapat digunakan menangkis, apalagi jenggotnya sudah tergunting sehingga tiada senjata buat menghela diri lagi.

Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia membuang tongkatnya dan melompat mundur untuk menghindari tendangan musuh, "trang", ujung tongkat mengetok lantai, ujung lain belum lagi jatuh sudah keburu dipegang oleh Nyo Ko.

Be Kong-co, Nimo Singh dan lainnya bersorak memuji. Segera Nyo Ko ketokkan tongkat rampasannya itu ke lantai dan bertanya dengan tertawa "Apa abamu sekarang ?

Muka Hoan It-ong merah padam, jawabnya penasaran: "Kau main licik, aku tetap tidak merasa kalah !"

"Baik, boleh kita coba lag" ujar Nyo Ko sambil melemparkan tongkat kepada Hoan It-ong.

Ketika Hoan It-ong hendak menangkap tongkat itu, tak terduga mendadak tongkat itu melompat ke atas sehingga tangan Hoa It-ong menangkap angin, sekali ulur tangannya kembali Nyo Ko samber lagi tongkat itu.



Serentak Be Kong-co dan lainnya bersorak pada lebih keras, sebaliknya muka Hoan It-ong semakin merah padam.

Kim-lun Hoat-ong dan In Kek-si saling pandang dengan tersenyum, diam-diam mereka memuji kepintaran Nyo Ko. Kemarin mereka menyaksikan Ciu Pek-thong menimpuk orang dengan ujung tombak yang patab, tapi ujung tombak itu bisa berubah arah di tengah jalan sebelum mencapai sasarannya, jelas Nyo Ko telah menirukan cara Ciu Pek-thong itu.

Dengan sendirinya Kongsun Kokcu dan anak muridnya tidak mengetahui seluk-beluk itu, mereka menjadi kaget dan heran atas kepandaian Nyo Ko.

"Bagaimana, apakah perlu satu kali lagi ?" tanya Nyo Ko dengan tertawa.

Hoan It-ong merasa terguntingnya jenggot dan terampasnya tongkat adalah karena tertipu oleh kelicikan lawan, dengan sendirinya ia tidak mau mengaku kalah. Dengan suara keras dan gemas ia menjawab: "Jika kau dapat mengalahkan aku dengan kepandaian sejati barulah aku menyerah padamu."

"Ilmu silat harus mengutamakan kecerdikan," jengek Nyo Ko, "gurumu sendiri teramat tolol, anak muridnya dengan sendirinya goblok, makanya aku memberi nasehat lebih baik kau cari guru lain yang lebih pandai saja," jelas ucapannya ini sama saja memaki Kongsun Kokcu.

Keruan Hoan It-ong bertambah murka, dengan nekat ia menerjang maju. Dengan melintangkan tongkat Nyo Ko angsurkan senjata rampasannya itu kepada si kakek sambil berkata : "Sekali ini kau harus hati-hati, kalau sampai kurebut lagi jangan kau sesalkan orang."

Hoan It-ong tidak berani menjawab, ia genggam tongkat sekencangnya dan siap siaga, ia pikir untuk dapat merampas lagi tongkat kecuali kau potong sekalian tanganku ini.

"Awas ! " terdengar Nyo Ko berseru sambil menubruk ke depan, tahu-tahu tangan kirinya sudah menempel ujung tongkat lawan, berbareng jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan terus menyolok kedua mata musuh, malahan kaki kirinya juga ikut menginjak batang tongkat. Inilah jurus "Go kau-toat-tiang" (merampas tongkat dari mulut anjing galak), suatu jurus maha sakti dari Pak~kau-pang-hoat kebanggaan K,ay-pang itu.

Dahulu ketika pertemuan besar Kay-pang (kaum pengemis)-di Kue-san, dengan jurus inilah Ui Yong telah merebut tongkat penggebuk anjing dari tangan Nyo Kong (ayah Nyo Ko) dan jadilah dia ketua Kay-pang yang disegani.

Cara merebut senjata lawan dengan jurus sakti itu boleh di katakan tidak pernah meleset, seratus kali tembak seratus kali kena.

Kalau dua kali yang duluan Nyo Ko berhasil merebut tongkat lawannya, walaupun caranya juga aneh, tapi gerakannya dapat diikuti dengan jelas oleh penonton, tapi sekali ini bahkan Hoa It-ong sendiri tidak tahu bagaimana caranya, sekejap mata saja tahu-tahu tongkatnya sudah berpindah ke tangan musuh.

"Nah, cebol tua, sekali ini kau takluk tidak?" seru Be Kong-co.

"Dia pakai ilmu sihir dan bukan kepandaian sejati, mana aku mau menyerah ?" jawab Hoan lt-ong penasaran.

"Habis cara bagaimana baru kau mau takluk?" tanya Nyo Ko dengan tertawa.

"Kecuali kau merobohkan aku dengan kepandaian sejati," sahut Hoan It-ong.

Nyo Ko mengembalikan lagi tongkatnya dan berkata: "Baikiah, kita boleh coba-coba lagi beberapa jurus"

Hoan It-ong sudah kapok terhadap cara orang merebut senjatanya dengan bertangan kosong, ia pikir sebaiknya bertanding senjata saja. Segera ia berkata pula: "Aku sendiri menggunakan senjata sebesar ini, sebaiknya kau bertangan kosong, andaikata aku menang juga kau merasa penasaran."

"Jelas kau sudah kapok pada caraku merebut senjatamu dengan bertangan kosong," ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Baiklah, biar akupun menggunakan senjata untuk melayani kau." ia coba memandang sekeliling ruangan, dilihatnya dinding sekitarnya tiada sesuatu pajangan apapun, apalagi senjata yang dapat digunakan Hanya di halaman sana ada dua pohon Liu dengan ranting pohon yang berlambaian menghijau permai.

Ia pandang sekejap kepada Siao-liong-li dan berkata: "Kau ingin she Liu, biarlah kugunakan ranting pohon liu sebagai senjata," Segera ia melompat ke halaman sana dan mengambil sepotong ranting liu yang bulat tengahnya sekira tiga senti dan panjang satu meteran sehingga mirip pentung penggebuk anjing milik Kay-pang, mana daun Liu tidak dihilangkannya dari ranting itu sehingga kelihatannya lebih luwes.

Diam-diam Hoan It-ong sangat mendongkol, ternyata Nyo Ko tidak menggunakan senjata yang umum, sebaliknya memakai ranting kayu seperti mainan anak kecil saja, cara ini jelas sangat meremehkan dia.

Sementara itu Be Kong-co telah berseru: "Adik Nyo, kau pakai golokku ini!" Segera pula ia melolos goloknya sehingga memancarkan cahaya kemilauan, sungguh sebatang golok-pusaka yang tajam.

"Terima kasih," kata Nyo Ko, "Si cebol ini belum mendapatkan guru sakti, kepandaiannya masih terbatas, ranting kayu ini saja sudah cukup untuk mengajar dia,"

Tidak kepalang gusar Hoan It-ong dengan nada ucapan Nyo Ko itu kembali menghina nama baik gurunya, ia pikir pertarungan selanjutnya tidak ada ampun lagi.

Segera ia putar tongkatnya dengan kencang, ia mainkan ilmu tongkat "Boat-cui-tiang-hoat (permainan tongkat gebyur air) yang meliputi 9 x 9 ~ 81 jurus.

Permainan tongkatnya itu disebut "gebyur air" maksudnya air digebyurkan juga takkan tembus, suatu tanda betapa kencang dan rapat putaran tongkatnya itu.

Semula angin tongkatnya menyamber dahsyat, tapi setelah belasan jurus, lambat-laun terasa arah tongkatnya rada tergeser ujung tongkatnya.

Kiranya Nyo Ko telah menggunakan gaya "lengket" dari Pak - kau - pang - hoat, ujung ranting kayu menempel pada ujung tongkat, ke timur tongkat itu mengarah, ke timur pula ranting kayunya mengikut dan begitu pula seterusnya, tapi berbareng itu dia tambahi tenaga betotan atau tolakan menurut gerakan tongkat lawan sehingga mau-tak-mau ujung tongkat selalu tergeser arahnya.

ilmu ini adalah sejalan dengan "Si-nio-boat-jian-kin" (empat tahil menolak ribuan kati), sejenis ilmu "pinjam tenaga musuh untuk menghantam musuh sendiri) yang pasti diyakinkan oleh setiap jago silat.

Gaya "lengket" dalam ilmu permainan pentung kaum Kay-pang itu diciptakan juga menurut kunci ilmu silat tadi, gayanya bagus dan tenaganya sukar diukur.



Tentu saja Kongsun Kokcu semakin heran sama sekali tak terduga olehnya bahwa seorang muda belia bisa memiliki ilmu sakti sehebat itu. Dilihat nya tenaga pada tongkat Hoan It-ong semakin lemah, sebaliknya kekuatan pada ranting kayu Nyo Ko bertambah dahsyat, belasan jurus lagi seluruh badan Hoan It-ong sudah terkekang oleh setiap gerakan ranting kayu anak muda itu, semakin kuat Hoan It-ong putar tongkatnya, semakin berat pula rasanya untuk menguasai diri sendiri.

Sampai akhirnya dia merasa seperti tersedot ke tengah pusaran angin lesus yang dahyat sehingga kepala terasa pusing dan pandangan kabur.

"Mundur, It-ong!" mendadak Kongsun Kokcu menepuk meja sambil berseru, suaranya menggelegar mengagetkan orang.

Hati NyoKo juga terkesiap, ia pikir masakah begitu mudah muridmu akan lolos dari tanganku, Sedikit tangannya bergerak, dan gaya "lengket" dia ganti dengan gaya "putar", ia berdiri tegak, tapi pergelangan tangannya terus bergerak dalam putaran kecil sehingga Hoan It-ong ikut terbawa dari kiri ke kanan dan berputar dengan cepat seperti gasingan.

Semakin cepat Nyo Ko putar tangannya, semakin kencang pula putaran Hoan It-ong, tongkat baja yang dipegangnya itu juga berputar menegak seperti poros gasingan saja.

"Kau sanggup berdiri tegak tanpa roboh, betapapun kau terhitung jagoan!" seru Nyo Ko sambil menyesakkan ranting kayunya ke atas, lalu ia melompat mundur.

Dalam pada itu lahir batin Hoan It-ong serasa tak terkuasai Iagi, langkahnya semponyongan, kalau berputar beberapa kali lagi pasti akan terbanting roboh.

Se-konyong2 Kongsun Kokcu melompat ke atas, selagi terapung di udara, sebelah tangannya terus menggablok ujung tongkat, lalu melompat kembali ke tempatnya semula dengan enteng.

Gablokannya kelihatan pelahan, tapi membawa tenaga maha dahsyat, kontan tongkat baja itu ambles ke tanah hampir semeter dalamnya dan seketika tidak berputar Iagi. Dengan berpegangan pada tongkat itu barulah Hoan It-ong tidak jadi jatuh, namun begitu tubuhnya tetap terhuyung kian kemari laksana orang mabuk.

Siau-siang-cu, In Kik-si dan lainnya sebentar memandang Nyo Ko, lain saat memandang Kongsun Kokcu, mereka pikir kedua orang ini sama hebatnya dan sukar ditandingi, biarkan saja keduanya saling genjot, bahkan mereka berharap kedua orang itu mampus semua.

Hanya Be Kong-co saja yang berhati polos, jika bisa ia ingin membantu Nyo Ko. Mendadak Hoan It-ong berlari dan berlutut di hadapan sang guru, ia menyembah beberapa kali, tanpa bicara kepalanya terus dibenturkan ke tiang rumah.

Perbuatannya ini sungguh tak terduga oleh siapapun, tiada yang menyangka bahwa watak kakek cebol itu ternyata begitu keras, kalah bertanding terus menempuh jalan pendek dengan membunuh diri.

Kongsun Kokcu menjerit kaget sambil meloncat maju untuk menjambret punggung Hoan It-ong tapi lantaran jaraknya terlalu jauh, pula benturan Hoan It~ong itu dilakukan dengan sangat cepat, jambretnya itu ternyata luput.

Sementara itu kepala Hoan It-ong telah dibenturkan dengan sepenuh tenaga, tampaknya kepalanya pasti akan pecah berantakan Tapi mendadak terasa tempat yang terbentur oleh batok kepalanya itu sangat lunak, empuk seperti kasur.

Waktu ia menengadah, terlihat Nyo Ko telah berdiri di depannya dengan menjulurkan kedua tangannya, rupanya pemuda ini berdiri paling dekat dengan Hoan It-ong, ketika melihat gerak-gerik kakek itu mencurigakan segara ia bersiap dan sempat mengadang di depan untuk menyelamatkannya.

"Hoan-heng, apakah kau tahu kejadian apa yang paling menyedihkan di dunia ini?" tanya Nyo Ko.

"Apa itu?" Hoan It-ong balik bertanya dengan melenggong.

"Akupun tidak tahu." ujar Nyo Ko dengan pedih, "Hanya duka hatiku berpuluh kali lebih hebat daripadamu, sedangkan aku sendiri belum lagi bunuh diri, mengapa kau malah melakukan hal demikian?"

"Kau menang bertanding, apa yang membuatmu berduka?" kata Hoan It-ong.

Nyo Ko menggeleng jawabnya: "Kalah atau menang bertanding bukan soal bagiku, selama hidupku ini entah sudah berapa kali dihajar orang. Yang jelas betapa cemas dan kuatirnya gurumu ketika melihat kau hendah membunuh diri, kalau aku yang membunuh diri tapi guruku sama sekali tidak ambil pusing. inilah hal yang paling menyedihkan bagiku."

Belum lagi Hoan It-ong paham apa yang dimaksudkan si Nyo Ko, terdengar Kongsun Kokcu membentaknya:" It-ong; jika kau berbuat bodoh lagi berarti kau tidak taat kepada perintah garu, Kau berdiri saja disamping sana, saksikan gurumu membereskan bocah ini."

Hoan It-ong paling hormat kepada sang guru, ia tak berani membantah dan segera berdiri ke sana sambil melotot kepada Nyo Ko.

Mendengar Nyo Ko mengatakan kalau dia membunuh diri juga gurunya tidak ambil pusing seketika mata Siao-Iiong-li basah ber-kaca2, pikirnya: "Jika kau mati, masakah aku mau hidup sendiri?"

Setiap selang sejenak Kongsun Kokcu tentu memandang sekejap kepada Siao-liong-li untuk mengawasi gerak-geriknya, ketika mendadak nampak si nona hendak meneteskan air mata lagi segera ia menepuk tangan tiga kali dan berseru: "Tangkap bocah ini!"

Tepuk tangan tiga kali adalah tanda perintah kepada anak muridnya, Rupanya Kongsun Kokcu ingin menjaga harga diri dan merasa tidak sesuai untuk bertempur dengan anak muda seperti Nyo Ko.

Begitulah anak muridnya serentak mengiakan, 16 orang terbagi berdiri di empat sudut, setiap empat orang lantas membentangkan sebuah jaring ikan.

Datangnya Nyo Ko berombongan dengan Kim-lun Hoat-ong dan lain2, kalau persoalannya sudah lanjut begini, pantasnya Kim-lun Hoat-ong harus membuka suara untuk melerai, tapi dia cuma tersenyum dingin saja dan tetap menonton belaka.

Kongsun Kokcu tidak tahu maksud sikap Hoat-ong yang tak acuh itu, ia kira orang mengejeknya takkan mampu menandingi Nyo Ko, diam-diam ia mendongkol dan hendak memperlihatkan kemahirannya.

Segera ia menepuk tangan lagi tiga kali, serentak ke-16 anak muridnya tadi bergeser bertukar tempat sehingga lingkaran kepungan mereka terhadap Nyo Ko semakin ciut.



Melihat empat jaring lawan semakin mendekat, seketika Nyo Ko menjadi bingung dan tak berdaya, Ciu Pek-thong yang maha sakti itu saja tertawan oleh jaring lawan apalagi diriku? Pula Ciu Pek-thong cuma berusaha meloloskan diri saja dan dapat melemparkan Be Kong-co dan Hoan It-ong ke dalam jaring, lalu dia berhasil kabur sebaliknya sekarang aku justeru ingin tinggal di sini dan, tak ingin lari.

Terdengar diantara anak murid Cui-sian-kok berseragam hijau itu ada yang bersuit, empat buah jaring mereka serentak bergeser lagi berganti posisi, sebentar bersilang, lain saat melintang atau menegak, mendatar atau menyerang dan terus mendesak maju.

Seketika sukar bagi Nyo Ko untuk melanyani kepungan jaring2 itu, terpaksa ia berputar kayun lari di ruangan itu, dengan Ginkang maha tinggi aliran Ko-bong-pay ia terus melayang kian kemari, ia menghindari pertarungan dari depan, tapi berusaha membuat musuh merasa bingung dan tak dapat meraba ke mana dia hendak bergeser

Namun ke-16 orang itu ternyata tidak ikut berputar seperti Nyo Ko melainkan terus memper-sempit kepungan mereka.

Sambil berlari Nyo Ko memeriksa pula tempat kelemahan barisan musuh, setelah mengikuti beberapa kali perubahan, segera dapat ditarik kesimpulan bahwa barisan jaring musuh itu menirukan jaring labah2, biasanya labah2 bersembunyi lebih dulu, kalau musuh sudah terjebak barulah mangsanya ditangkap. ia pikir untuk memboboI-nya harus digunakan senjata rahasia.

Maka sambil berputar cepat segera ia menyiapkan segenggam Giok-hong-ciam (jarum tawon putih), ketika empat orang di sebelah kiri mulai mendekat, mendadak tangannya bergerak, tapi yang diincar justeru empat orang di sebelah kanan.

Senjata rahasia jarum lembut ini biasanya tak pernah meleset, apalagi jaraknya sekarang sangat dekat, Nyo Ko yakin keempat orang itu pasti akan termakan oleh jarumnya itu.

Tak terduga gerakan keempat orang itupun sangat cepat, begitu nampak tangan lawan bergerak serentak mereka mengangkat jaringnya ke atas, terdengarlah suara gemerincing nyaring pelahan.

Jarum2 itu tersedot seluruhnya oleh jaring.

Kiranya jaring itu teranyam dari benang emas dan baja yang sebagian bertenaga semberani yang amat kuat, sekali jaring itu dibentangkan, betapapun lihay senjara rahasia lawan tentu akan tertahan seluruhnya.

Nyo Ko mengira serangannya pasti berhasil tak terduga jaring musuh ternyata memiliki daya guna sehebat itu, dalam seribu kesibukannya ia sempat melotot kearah Kongsun Kokcu, ia pikir orang ini sungguh maha lihay dan dapat menciptakan senjata yang begitu aneh.

Gagal dengan rahasianya, terpaksa Nyo Ko memikirkan jalan lain untuk membobol kepungan musuh.

Sementara itu jaring lawan sebelah kanan sudah mendekat, sekali pimpinannya berseru, terlihatlah gemerdepnya cahaya, sehelai jaring terus menyambar tiba.

Segera Ny Ko mengegos dan bermaksud menerobos ke sebelah sana, tapi jaring depan dan belakang juga menubruk tiba bersama.

Mau-tak-mau Nyo Ko mengeluh juga, ia pikir sekali ini diriku pasti akan disiksa habis-habisan oleh Kokcu jahanam ini apabila aku sampai tertawan olehnya.

Selagi Nyo Ko berkuatir, tiba-tiba terdengar seorang pemegang jaring di belakang menjerit, waktu dia menoleh, dilihatnya Kongsun Lik-oh telah jatuh tersungkur, ujung jaring yang dipegangnya menjadi tertarik juga ke bawah.

Itulah suatu peluang ditengah barisan jaring musuh, tanpa pikir lagi Nyo Ko, secepat kilat ia melompat ke sana dan menerobos keluar dari kepungan musuh, Sekilas dilihatnya Kongsun Lik-oh lagi merintih kesakitan, tapi berulang nona itu memberi isyarat kedipan mata agar Nyo Ko lekas lari meninggalkan tempat berbahaya itu.

Tergerak hati Nyo Ko, pikirnya: "Nona ini telah menyelamatkan diriku dengan mengorbankan dirinya, budi kebaikannya sungguh sukar kubalas, Jika kupergi begini saja, tentu Kokoh akan menikah dengan Kokcu jahanam itu, Biarlah ku-labrak dia dengan mati-matian, andaikata tertawan dan tersiksa juga takkan kutinggalkan tempat ini."

Berkorban bagi cinta suci, matipun dia tidak menyesal. Dia terus berdiri di ujung ruangan sana sambil menatap tajam kepada Siao-liong-Ii, ia pikir masakah kau sama sekali tidak ambil pusing menyaksikan aku bergumul dengan malapetaka yang akan menimpa diriku ini.

Terlihat Siao-liong-li tetap menunduk tanpa bersuara. Akan tetapi rasa sedih dan duka nestapa dalam hatinya saat itu sesungguhnya jauh melebihi Nyo Ko.

Kalau Nyo Ko tanpa tedeng aling-aling mengutarakan isi hatinya secara terus terang, biarpun menderita juga tekanan batinnya sudah terlampiaskan sebagian. Tapi Siao-liong-li hanya tutup mulut saja, padahal dalam hati penuh rasa kasih sayang kepada pemuda, namun pemuda itu mana bisa mengetahuinya.

Dalam pada itu Kongsun Kokcu telah menepuk tangan lagi dua kail keempat jaring ikan yang terbentang tadi serentak mundur, Lalu katanya terhadap Kongsun Lik-oh. "Mengapa kau ?"

"Kakiku mendadak kejang dan kesakitan," jawab Kongsun Lik-oh.

Sudah tentu Kongsun Kokcu tahu puterinya jatuh hati kepada Nyo Ko sehingga pada detik yang menentukan tadi sengaja memberi peluang kepada pemuda itu untuk lolos, Lantaran dihadapan orang luar, ia merasa tidak enak untuk mengumbar rasa gusarnya, segera ia mendengus dan berkata. "Baik, kau mundur saja. Capsiji maju, gantikan tempatnya !"

Dengan Kepala menunduk Kongsun Lik-oh mengundurkan diri, sedangkan seorang anak muda yang rambutnya dikucir dua mengiakan maju dan memegang ujung jaring yang dipegang Kongsun Lik-oh tadi.

Kongsun Lik-oh sempat melirik sekejap kepada "Nyo Ko dengan penuh rasa menyesal. Diam2 Nyo Ko merasa bersalah dan menyesal juga tak dapat memenuhi maksud baik si nona yang sengaja hendak menolongnya itu.

Kembali Kongsun Kokcu bertepuk tangan lagi empat kali, mendadak ke-16 anak muridnya tadi mengundurkan diri ke ruangan dalam, Nyo Ko melengak, ia heran apakah orang mengaku kalah begitu saja?



Ketika ia berpaling, dilihatnya air muka Kongsun Lik-oh penuh rasa cemas dan kuatir serta berulang memberi isyarat pula kepadanya agar lekas melarikan diri saja. Melihat sikap nona itu, tampaknya sebentar lagi bakal datang bencana maut yang sukar dihindarinya.

Nyo Ko hanya tersenyum, sebaliknya ia seret sebuah kursi, lalu duduk di situ.

Dalam pada itu terdengar di ruangan dalam ada suara gemerincing nyaring, sejenak kemudian ke-16 anak murid tadi telah muncul lagi, tangan mereka tetap memegangi jaring, Hanya saja jaring mereka sudah berganti dengan jaring yang penuh terpasang kaitan dan pisau kecil, melihat sinarnya yang gemerlapan, jelas kaetan dan pisau2 itu sangat tajam, asal terkurung ditengah jaring, tentu seluruh tubuh akan tersayat dan mustahil bisa hidup lagi.

Segera Be Kong-co berteriak "He, sahabat Kokcu, mengapa kau menggunakan senjata sekeji itu terhadap tamu, kau tahu malu tidak?"

Sambil menuding Kyo Ko, Kongsun Kokcu berkata: "Bukan keinginanku hendak membunuh kau, soalnya berulang kali telah kusuruh kau pergi saja dari sini dan kau tidak mau."

Betapapun Be Kong-co juga ngeri melihat ke-empat jaring yang berkait tajam itu, segera ia berbangkit dan menarik "Nyo Ko, katanya: "Adik Nyo, orang busuk macam begini sebaiknya kita jauhi saja, buat apa kau merecoki dia lagi?"

Nyo Ko tidak menjawab, ia menatap ke arah Siao-liong-li dan ingin dengar apa yang dikatakan si nona.

Siao-liong-li sendiri memang merasa bimbang, Bahwa dia mau menikah dengan Kongsun Kokcu adalah karena dia berterima kasih atas pertolongan jiwanja, pula tempat kediamannya yang indah permai dan terpencil ini juga cocok sebagai tempat untuk menghindari pencarian Nyo Ko, apalagi setelah berdiam beberapa hari, ia merasa sang Kokcu adalah seorang yang berpengetahuan luas dan pandai, jelas seorang yang serba pintar, maka sedikit banyak timbul juga rasa sukanya dam merasa mantap untuk hidup bersamanya.

Siapa tahu dunia yang luas ini terkadang juga seperti sangat ciut, justeru Nyo Ko bisa muncul ditanah sunyi ini. Kini menyaksikan Kongsun Kokcu mengeluarkan barisan jaring berkait itu, ia pikir Nyo Ko pasti tak terhindar dari kematian, iapun sudah bertekad, asalkan Nyo Ko terkurung oleh jaring, segera ia sendiripun akan menubruk ke atas jaring itu untuk mati bersama pemuda itu.

Berpikir sampai disini tanpa terasa ia tersenyum simpul dan berhati lega.

Sudah tentu lika-liku yang dipikir Sian-liong-li itu tidak diketahui oleh Nyo Ko, pemuda itu justeru menyangka kebalikannya, ia pikir diriku sedang terancam bahaya maut, tapi kau masih dapat tersenyum gembira, keruan rasa pedih hatinya bertambah hebat.

Namun pada saat dia merasa pedih, dongkol dan gelisah itulah, sekilas timbul sesuatu pikiran pada benaknya, Keputusan apapun yang diambilnya selalu dilakukannya dengan sangat cepat, tanpa pikir lagi untuk kedua kalinya, langsung ia mendekati Siao-liong-li, dengan sedikit membungkuk uf: berkata: "Kokoh, Ko-ji sedang menghadapi kesukaran, mohon pinjam Kim-Ieng-soh (selendang bergenta emas) dan Ciang-doh (sarung tangan) untuk kupakai sebentar."

Yang terpikir oleh Siao-liang-Ii pada saat itu adalah betapa bahagianya dapat mati bersama Nyo Ko, selain itu tiada sesuatu lagi yang terpikir-olehnya. Karena itu tanpa menjawab ia terus mengeluarkan sepasang sarung tangan putih dan sehelai selendang sutera putih serta diangsurkan kepada pemuda itu.

Dengan tenang Nyo Ko menerima benda2 itu, katanya pula sambil menatap tajam wajah Siao-liong-Ii: "Sekarang engkau telah mengakui di-riku?"

Dengan penuh kasih sayang Siao-liong-li menjawab dengan tersenyum : "Di dalam hati sejak tadi sudah kukenali dirimu !"

Seketika semangat Nyo Ko terbangkit, tanyanya pula dengan suara gemetar: "Jadi kau pasti akan ikut pergi bersamaku dan takkan menikah dengan Kokcu ini, bukan?

"Ya, aku bertekad akan ikut pergi bersamamu dengan sendirinya takkan menikah dengan orang lain," jawab Siao-liong-li dengan tersenyum. "Ko-ji, jelas aku ini adalah isterimu."

Jawaban Siao-liong-li yang cukup tegas ini sudah tentu sangat mengejutkan orang, terutama Kongsun Kokcu, mukanya menjadi pucat pasi, mendadak ia bertepuk tangan empat kali dengan keras sebagai tanda perintah kepada anak muridnya agar melancarkan serangan serentak.

"Tanpa bicara lagi ke-16 anak muridnya tadi terus bergerak sambil membentang jaring mereka.

Bagi Nyo Ko, ucapan Siao-liong-Ii bagaikan obat mujarab yang telah menghidupkan dia dari kematian, seketika keberaniannya berlipat ganda, andaikan di depannya sekarang mengadang lautan api atau minyak mendidih juga tak terpikir lagi olehnya.

Segera ia memakai sarung tangan yang kebal senjata itu, sedang Kim-leng-seh pada tangan kanan terus digentakkan hingga menimbulkan suara "ting-ting" yang nyaring, laksana ular putih saja selendang sutera putih itu terus menyambar ke depan.

Pada ujung selendang putih itu terikat sebuah keleningan emas yang dapat berbunyi ketika selendang itu menjulur dan mengkeret lagi, kontan keleningan emas itu telah tepat mengetok "lm-kok-hiat" lawan yang berada di sebelah kanan, ketika selendang itu tertarik balik, kembali seorang lawan di sebelah kiri juga tertutuk, seketika lengan orang itu lemas tak bertenaga dan dengan sendirinya jaring yang dipegangnya terlepas dari tangannya.

Dua kali serangan kilat ini benar2 luar biasa, sekaligus selendang berkeleningan itu bergerak, seketika barisan jaring musuh kena dibobolkan. Waktu keempat orang yang memegangi jaring sebelah barat tertegun sejenak, sementara itu Kim-leng-soh yang disabetkan Nyo Ko telah menyambar tiba pula, "ting-ting", kembali dua orang diantaranya tertotok roboh lagi.

Tapi pada saat itu juga jaring di sebelah belakang telah menubruk tiba, kaitan dan pisau kecil yang terpasang di jaring itu segera akan melukainya, terpaksa Nyo Ko gunakan tangan kiri untuk mencengkeram jaring musuh terus di betot sekuatnya, Karena dia bersarung tangan pusaka, meski kaitan dan pisau tajam itu tercengkeram olehnya juga takkan melukainya.

Sejak dia menciptakan aliran ilmu silatnya sendiri, setiap gerak-geriknya boleh dikatakan selalu timbul secara otomatis dan tanpa ragu. Kini jaring yang kena dicengkeramnya itu segera digentakkan sehingga jaring berbalik menyamber ke arah para pemegangnya.



Yang dilatih anak murid Cui-sin~kok itu adalah menyerang dengan jaring serta kemungkinan lolosnya musuh, sama sekaki tak terpikir oleh mereka bahwa jaring dapat terbalik hendak makan mereka, keruan mereka terkejut ketika melihat pisau dan kaitan tajam di dalam jaring yang menyambar kepala mereka itu, sambil menjerit ketakutan cepat mereka melompat mundur dan melepaskan jaring yang mereka pegang.

Anak muda yang berkuncir kecil tadi lebih lemah, tidak urung pahanya terluka oleh pisau sehingga mengucurkan darah, ia jatuh tersungkur dan menangis kesakitan.

"Jangun takut, adik cilik, takkan kulukai kau," kata Nyo Ko sambil tertawa, Segera ia taburkan kait jaring yang dirampasnya itu, sedang tangan lain memutar Kim-leng-soh, terdengar suara gemerincing nyaring bunyi keleningan serta benturan pisau dan kaitan tajam pada jaring rampasan itu.

Melihat lceperkasaan Nyo Ko, mana anak murid itu berani maju lagi, mereka berdiri di sudut sana, cuma tanpa perintah sang guru, biarpun takut merekapun tak berani melarikan diri, Keadaan yang sesungguhnya mereka sudah dikalahkan Nyo Ko walaupun secara resmi mereka belum mengaku kaIah.

Be Kong-co terus bertepuk tangan dan bersorak, tapi hanya dia sendiri saja yang bersorak sehingga terasa kesepian, ia menjadi rikuh sendiri ia melotot pada Kim-Iun Hoat-ong dan menegur: "He, Hwesio gede, memangnya kepandaian adik Nyo itu kurang bagus? Mengapa tidak bersorak memuji?"

"Bagus, bagus sekali kepandaiannya!" jawab Hoat-ong tertawa, "Tapi kan juga tidak perlu gembar-gembor begitu rupa, toh!"

"Sebab apa?" omel Be Kong-co pula dengan mendelik.

Sementara itu Kim-lun Hoat-ong melihat Kongsun Kokcu sedang melangkah ke tengah ruangan, maka ia tidak gubris lagi apa yang dikatakan Be Kong-co.

Setelah mendengar ucapan Siao-liong-li yang menyatakan bertekad ikut pergi bersama Nyo Ko, maka sadarlah Kongsun Kok-cu bahwa impiannya yang muluk2 selama setengah bulan ini akhirnya cuma kosong belaka, ia menjadi sangat kecewa dan gusar pula, pikirnya : "Jika kugagal mendapatkan hatimu. paling tidak aku harus mendapatkan tubuh-mu, Biarlah kubinasakan binatang cilik ini, dengan begitu mau-tak-mau kau harus ikut padaku, lama2 pikiranmu tentu juga akan berubah."

Meski wataknya kereng dan kejam, tapi iapun dapat membedakan antara yang benar dan salah. Gadis cantik seperti Siao-liong-li itu telah menyanggupi sendiri menjadi isterinya dan hari ini akan berlangsung upacara nikahnya, tapi mendadak muncul si Nyo Ko dan mengacaukan semuanya itu tentu saja ia sangat murka.

Melihat kedua alis sang Kokcu yang menegak dan merapat sehingga mata-alisnya seakan-akan tegak semua, Nyo No terkejut dan waswas, sambil memegang Kim-leng-soh dan jaring rampasannya ia siap siaga sepenuhnya, ia menyadari mati-sendiri dan sengsara atau bahagia Siao-liong-li hanya bergantung pada pertarungan yang menentukan ini, maka sedikitpun ia tak berani gegabah.

Dengan pelahan Kongsun kokcu terus mengitari Nyo Ko, sebaliknya Kyo Ko juga berputar dengan pelahan, panjangnya sedikitpun tak pernah meninggalkan tatapan musuh yang tajam itu, Ternyata sang Kokcu masih belum mau turun tangan, tapi ia tahu sekali musuh sudah menyerang tentu digunakan jurus serangan yang maha lihay.

Sejenak kemudian, mendadak kedua tangan sang Kokcu menjulur lurus ke depan tiga kali, lalu bertepuk dan menimbulkan suara "creng" laksana bunyi dua potong besi yang dibenturkan.

Nyo Ko terkesiap dan melangkah mundur setindak, tapi tangan kanan Kongsun Kokcu mendadak menyamber tiba, tahu-tahu jaring ikan rampasan itu kena dicengkeramnya terus dibetot sekuatnya.

Merasa tenaga betotan lawan luar biasa dahsyatnya, tangan sendiri sampai terasa sakit, terpaksa Nyo Ko melepaskan jaring itu.

Kongsun Kokcu melemparkan jaring itu kepada anak muridnya tadi sambil membentak: "Mundur-semua!"

Kaku sitam tepukan tangan Kongsun Kokcu itu sangat mengejutkan orang, sekarang semua orang bertambah kaget dan heran pula bahwa tangan sang Kokcu yang jelas telanjang itu ternyata tidak gentar akan ketajaman pisau dan kaitan yang terdapat pada jaring itu.


Biarpun Kongsun Lik-oh adalah anak perempuannya juga diketahui ilmu silat sang ayah memang sangat tinggi dan tidak tahu ayahnya memiliki kepandaian sehebat itu, Hanya Hoan It-ong saja sebagai muridnya yang tertua kenal kepandaian sejati sang guru, ia pandang Nyo Ko dan berkata dalam hati: "Hari ini kau pasti mampus!"

Setelah jaringnya terebut, Nyo Ko tidak beri kesempatan lagi kepada lawan untuk mendahuluinya, selendang sutera bergerak, keleningan berbunyi "ting-ting", sekaligus ia incar dua Hiat-to di bagian leher dan bahu, serangan ini hanya penjajagan saja, karena Nyo Ko belum tahu betul betapa lihaynya lawan.

Ilmu silat Kongsun Kokcu memang menyendiri serangan Nyo Ko itu ternyata tidak digubris olehnya, malahan sebelah tangannya terus menjulur ke depan. dan mencengkeram lengan Nyo Ko. Terdengar suara "ting-ting" dua kali, kedua tempat Hiat-to yang diincar Nyo Ko itu dengan tepat terketok oleh keleningan namun Kongsun Kokcu seperti tidak merasakan apa2, cengkeramannya tadi mendadak terbuka terus menyodok ke dagu kiri anak muda itu.

Nyo Ko tahu kalau Lwekang seseorang sudah berlatih sempurna, maka setiap saat dapat menutup Hiat-to di tubuh sendiri apabila menghadapi serangan musuh. Ada juga Lwekang yang aneh seperti apa yang dilatih Auyang Hong secara terbalik itu sehingga membingungkan serangan musuhnya.

Tapi cara Kongsun Kokcu menghadapi serangannya yang sama sekali se-akan tidak merasakan sesuatu, seperti di tubuhnya tidak terdapat Hiat-to, kepandaian ini benar2 sangat luar biasa, Nyo Ko mengkeret dan jeri.

Sementara itu kedua tangan Kongsun Kokcu bergerak naik turun, telapak tangan samar2 bersemu hitam. Angin pukulannya terasa menyamber dengan dahsyat.

Nyo Ko tahu kelihayan lawan dan tak berani menangkisnya dengan keras lawan keras, sembari menggunakan Kim-leng-soh untuk melayani serangan musuh, tangan yang lain digunakan menjaga diri dengan rapat.

Dalam sekejap saja belasan jurus sudah berlangsung, Nyo Ko memperhatikan setiap serangan musuh dengan cermat, tiba2 hatinya tergerak "ilmu pukulan Kokcu ini tidak aneh, rasanya aku pernah melihatnya entah di mana?"



Pada suatu kesempatan mendadak ia melompat mundur sambil berseru: "He, apakah engkau kenal Wany&n Peng?"

Kiranya Nyo Ko melihat gaya pukulan Kokcu ini serupa dengan ilmu silat Wanyan Peng, hanya kekuatan Kokcu ini jauh berbeda dengan Wanyan Peng yang lemah itu.

Kongsun Kokcu tidak menjawab, sebaliknya ia terus menubruk maju lagi dan melancarkan pukulan dahsyat. Sekali ini Nyo Ko melihat gaya pukulannya tidak sama dengan Wanyan Peng, untuk menghindar terasa tidak keburu lagi, terpaksa Nyo Ko menangkisnya dengan tangan kiri.

"PIak", kedua tangan beradu, Nyo Ko tergetar mundur dua-tiga tindak, sebaliknya Kongsun Kokcu tetap berdiri di tempatnya, hanya tubuhnya tergeliat sedikit

Kedua tangan begitu beradu terus berpisah pula tapi kontan Nyo Ko merasakan suatu arus hawa panas menyusup ke tangannya, keruan ia terkejut pikirnya: "Hebat benar tenaga pukulan jahanam ini, padahal sarung tangan Kokoh yang kupinjam ini kebal terhadap senjata tajam macam apapun, tapi ternyata tidak mampu menahan tenaga pukulannya."

Meski kelihatan Kongsun Kokcu berdiri tanpa terhuyung dan seperti lebih unggul, tapi sesungguhnya dadanya juga terasa sakit karena getaran tenaga pukulannya Nyo Ko, iapun terkejut dan heran: "Bocah ini masih muda belia, ternyata mampu menahan pukulanku yang dahsyat ini. Jika terlibat lebih lama, rasanya belum tentu dapat membinasakan dia, sebaliknya kalau berakhir sama kuat maka musnahlah pamorku ini."

Mendadak ia bertepuk tangan pula dua kali sehingga menimbulkan nyaring, ia menoleh kepada puterinya dan berseru: "Ambilkan senjataku!"

Kongsun Lik-oh menyadari apabila senjata sang ayah dikeluarkan, maka bagi Nyo Ko hanya ada kematian saja dan tak mungkin bisa selamat.

Karena sedikit ragu dan merandeknya itu, dengan suara bengis Kongsun Kokcu membentak pu!a: "Ambilkan senjataku, kau dengar tidak ?"

Dengan muka pucat Kongsun Lik-oh mengiakan dan cepat berlari keruangan belakang.

Nyo Ko telah mengikuti sikap ayah beranak itu, ia pikir dengan bertangan kosong saja aku tidak dapat melawannya, apalagi sekarang akan digunakan lagi senjata apa, mana aku dapat lolos dengan hidup. Mumpung ada kesempatan, biarlah kulari saja sekarang.

Segera ia mendekati Siao-lioag-li dan mengulurkan tangan, katanya: "Kokoh, marilah ikut padaku."

Kongsun Kokcu sudah siap pukulannya yang maha dahsyat, asalkan Siao-liong-li berbangkit dan menggenggam tangan Nyo Ko, seketika dia akan menubruk maju untuk menghancurkan punggung anak muda itu, ia sudah ambil keputusan akan membinasakan Nyo Ko andaikan diri sendiri juga akan terluka parah. Ia pikir kalau sampai calon isteri itu ikut pergi bersama Nyo Ko, lalm apa artinya pula hidup ini baginya ?

Tak terduga Siao-liong-li tidak lantas berbangkit, ia hanya menjawab dengan hambar: "Kini belum waktunya, Ko-ji, selama beberapa hari ini apakah kau baik2 saja?" - Betapa mesranya pertanyaannya yang terakhir itu jelas tertampak.

"Engkau tidak marah lagi padaku, Kokoh?" jawab Nyo Ko.

Siao-Iiong-li tersenyum hambar, katanya: "Mana aku dapat marah padamu? Coba sini, putar tubuhmu!"

Nyo Ko menurut dan memutar tubuhnya, ia tidak tahu apa kehendak si nona, tiba2 Siao-liong-li mengeluarkan benang dan jarum, kemudian diukurnya baju bagian punggung Nyo Ko yang robek tercengkeram oleh Koagsun Kokcu tadi.

"Sudah sekian lamanya kuingin membuatkan S(itaah baju baru bagimu, tapi mengingat selanjutnya tak bakalan bertemu lagi dengan kau, untuk apa kubuatkan baju baru? Ai, sungguh tidak nyana engkau akan mencari ke sini," sembari berkata dengan gegetun, Siao-liong-li lantas menggunakan sebuah gunting kecil untuk memotong sebagian lengan baju sendiri untuk menambal baju Nyo Ko yang robek itu.

Dahulu waktu mereka masih tinggal di kuburan kuno, apabila baju Nyo Ko robek, selalu Siao-liong-li menambalkan bajunya dengan cara demikian, Kinl kedua orang sudah tidak memikirkan mati hidup lagi dan se~akan2 berada berduaan saja mesti di ruangan itu sorot mata semua orang sedang memperhatikan gerak-gerik mereka.

Kim-lun Hoat ong lain2 saling pandang dengan heran dan kagum pula, Kongsun Kokcu juga terkesima, seketika tak tahu apa yang harus dilakukannya.

"Selama beberapa hari ini aku telah bertemu dengan beberapa orang yang menarik," tutur Nyo Ko pula, "Coba terka, Kokoh, darimanakah kuperoleh gunting raksasa itu?"

"Ya, memangnya akupun heran seakan2 kau sudah menduga sebelumnya bakal bertemu dengan si jenggot cebol itu di sini, maka sengaja pesan sebuah gunting raksasa untuk memotong jengggotnya," ujar Siao-liong-Ii.

"Ai, kau sungguh nakal orang memiara jenggotnya dengan susah payah selama berpuluh tahun, tapi sekejap saja sudah kau potong, bukankah sangat sayang?"

Melihat betapa kedua orang itu bicara dengan mesranya, rasa cemburu Kongsun Kokcu seketika berkobar, segera sebelah tangannya mencengkeram kedada Nyo Ko sambil membentak: "Anak jadah, terlalu temberang kau, memangnya kau anggap tiada orang lain di sini?"

Tapi kini biarpun langit ambruk atau bumi amblas juga takkan digubris oleh Nyo Ko, serangan Kongsun Kokcu itu ternyata tidak dihiraukannya! sama sekali, ia hanya menjawab: "Tunggu sebentar, setelah bajuku ditambal segera kulayani kau."

Sementara itu jari Kongsun Kokcu sudah tinggal beberapa senti saja di depan dada Nyo Ko.

Bagaimanapun juga dia harus menjaga harga diri sebagai seorang guru besar ilmu silat, walaupun murka, betapapun serangannya itu tak dapat diteruskan lagi ke tubuh lawan yang sama sekali tidak menangkis itu.

Pada saat itulah tiba2 terdengar Kongsua Lik-oh berkata di belakang: "Ayah, senjatamu ini!"

Kongsua Kokcu tidak berpaling, dia melangkah mundur dua tindak dan dapatlah menerima senjata yang disodorkan puterinya itu.

Waktu semua orang mengamati terlihat tangan kirinya telah memegang sebatang golok tebal dengan bagian yang tajam itu berbentuk gergaji dan mengerdepkan cahaya keemasan, rupanya terbuat dari emas, sedangkan tangan kanannya memegangi senjata berwarna hitam panjang kecil, senjata aneh itu tidak mirip golok juga tidak memper pedang, kelihatan bergetar pelahan, tampaknya batang senjata itu sangat lemas.



Nyata kedua macam senjata itu berbeda satu sama lain secara terbalik, kalau yang satu, berat dan keras, maka satunya lagi enteng dan lemas.

Seperti diketahui, bobot emas jauh lebih berat dari pada besi senjata yang bentuknya sama dan terbuat dari emas bobotnya akan lipat satu kali dari pada senjata terbuat dari besi biasa.

Tampaknya golok emas bergerigi itu sedikitnya ada 50-60 kati sedangkan pedang atau anggar hitam itu entah terbuat dari logam apa?

Nyo Ko memandang sekejap, sepasang senjata lawan yang aneh itu, lalu berkata pula kepada Siao-liong-li: "Kokoh, tempo hari aku bertemu dengan seorang perempuan gendeng, dia telah memberitahukan padaku musuh pembunuh ayahku."

Hati Siao-liong-li terkesiap, cepat ia bertanya: "Siapa Musuhmu itu?"

Sambil mengertak gigi Nyo Ko berkata dengan penuh dendam: "Bagaimana juga kau pasti tak-kan menduga akan mereka, selama ini akupun menganggap mereka sangat baik padaku."

"Mereka? Mereka siapa?" Siao-liong-li menegas.

"Siapa lagi mereka kalau bukan..." belum sempat Nyo Ko menerangkan nama yang akan disebutnya, terdengarlah suara mendenging nyaring memekak teIinganya, itulah suara benturan antara golok emas dan pedang hitam yang dipegang Kongsun Kokcu itu.

Sekali bergerak, susul menyusul Kongsun Kokcu menusuk tiga kali, pertama menusuk atas kepala, kedua menusuk leher sebelah kanan dan ketiga sebelah kiri leher, semuanya menyamber lewat satu-dua senti di atas kulit.

Rupanya Kokcu itu ingin menjaga diri, kalau lawan tidak menangkis, maka iapun tidak sudi melukainya, cuma tiga kali tusukannya itu sungguh amat cepat dan jitu, benar2 kepandaian hebat.

"Sudah!" ucap Siao-Iiong-Ii selesai menambal baju Nyo Ko sambil menepuk pelahan punggung anak muda itu, Nyo Ko menoleh dan tersenyum, lalu melangkah maju dengan menenteng Kim-leng-soh.

Meski Kongsun Kokcu sudah lama mengasingkan diri di lembah sunyi, tapi pandangannya sedikitpun tidak kurang tajamnya, orang yang mengajarkan ilmu silat padanya itu paham benar berbagai aliran ilmu silat di dunia dan dahulu pernah berkata padanya bahwa bisa jadi jago kelas satu di jaman ini mampu menandingi Kangfau (Kungfu) tangan besinya, tapi untuk membobol barisan jaring ikannya itu belum tentu bisa kecuali Pak~tau-tin dari Coan-cin-kau yang mungkin dapat menandinginya dengan sama kuat dan siapa lebih ulet akhirnya akan menang.

Tapi kalau dua macam senjatanya yang berlainan itu dikeluarkan diduga di dunia ini tiada orang yang sanggup melawannya.

Karena itu ia menduga betapapun tinggi kepandaian Nyo Ko, dalam sepuluh jurus saja pasti akan dibinasakan olehnya. Tapi ketika menyaksikan sikap Siao-liong-li yang mesra tadi terhadap anak muda itu, iapun tahu apabila Nyo Ko mati, maka berarti putus harapan pula rencana pemikahan nona itu dengan dirinya.

Setelah merenung sejenak, akhirnya ia mendapat akal: "Harus kupaksa dia (Siao-liong-li) memohon ampun padaku bagi bocah ini, dalam keadaan begitu, biarpun hatinya tidak rela, mau-tak mau dia harus menikah juga dengan aku"

Kalau Kongsun Kokcu merenung untuk mencari akal, di pihak lain Nyo Ko juga sedang memikirkan cara melawan orang, ia pikir orang tidak takut Hiat-to tertutuk, ini berarti daya guna Kim leng soh tidak banyak artinya. Meski diri sendiri sudah menciptakan suatu aliran ilmu silat, tapi belum sempat dipelajari secara matang, sedangkan senjata musuh kelihatan sangat aneh, sekali dimainkan tentu sangat lihay.

Selagi Nyo Ko merasa tak berdaya, sementara itu terdengar Kongsun Kokcu telah berseru: "Awas serangan!" Berbareng pedang emas begerak terus menusuk dada.

Anehnya tusukan itu tidak langsung ke depan, tepi ujung pedang bergetar dalam lingkaran kecil di depan tubuhnya, Nyo Ko terkejut dan melompat mundur.

"Maklumlah kalau ujung pedang itu ditusukkan biarpun hebat jurus seranganya tentu juga akan dapat dipatahkannya, tapi kini ujung pedang itu terus berputar dalam lingkaran sehingga sukar diraba arah tujuan ujung pedangnya kalau menangkis ke kiri kuatir musuh menusuk ke kanan malah, bila menangkis ke atas, siapa tahu kalau dia berbalik menyerang bagian bawah, Karena ragu2, terpaksa ia melompat mundur saja untuk menghindar.

Tapi Kongsun Kokcu juga sangat gesit, begitu Nyo Ko melompat mundur, segera dia membayangi lawan, kembali lingkaran pedangnya bergetar lagi didepan Nyo Ko, makin lama lingkaran ujung pedang itu makin besar, semula hanya lingkaran seluas dada, beberapa putaran lagi sudah mencakup bagian perutnya dan kemudian meluas pula ke bagian leher.

Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si dan lainnya adalah maha guru ilmu silat terkemuka, namun ilmu pedang yang mendesak musuh dengan lingkaran ujung pedang begitu boleh dikatakan belum pernah mereka lihat, maka mereka menjadi heran dan terkejut.

Begitulah setiap kali Kongsun Kokcu melancarkan suatu tusukan, setiap kali pula Nyo Ko terpaksa melompat mundur, belasan kali Nyo Ko harus menghindar secara begitu tanpa sanggup balas menyerang, Tampaknya serangan Kongsun Kokcu semakin lihay, apalagi golok bergerigi pada tangannya yang lain belum pula digunakan, kalau sampai golok emas itupun ikut menyerang, pasti sukar bagi Nyo Ko untuk menahannya.

Tanpa pikir lagi segera Nyo Ko melompat ke kiri sambil mengayun Kim-leng-soh, "tring", genta kecil itu menyamber ke depan untuk mengetok mata kiri musuh. Biarpun Kongsun Kokcu tidak gentar Hiat-to tertutuk, tapi mata adalah tempat yang lemah dan harus dijaga, cepat ia miringkan kepala dan segera balas menyerang pula dengan pedang hitam.

Nyo Ko sangat girang, sekali Kim-leng-soh menyendal, terbelitlah kaki kanan musuh, bara saja hendak dibetot sekuatnya, mendadak pedang hitam Kongsun Kokcu memotong ke bawah, "sret", selendang sutera Nyo Ko itu putus dibagian tengah, pedang hitam yang tampaknya mirip seutas tali itu ternyata tajamnya tidak kepalang.



Terdengar semua orang menjerit kaget, berbareng itu terdengar pula samberan angin, golok bergerigi sang Kokcu telah membacok ke arah Nyo Ko, sebisanya Nyo Ko menjatuhkan diri ke lantai dan berguling ke sana, "trang", suara nyaring menggetar telinga, kiranya Nyo Ko sempat menyamber tongkat baja Hoan It-ong tadi dan digunakan menangkis ke atas. Karena benturan golok dan tongkat itu, tangan kedua orang sama sakit kesemutan.

Diam2 Kongsun Kokcu kejut dan heran akan kemampuan Nyo Ko yang sanggup menahan berpuluh jurus serangannya, Segera goloknya menabas lagi dari samping, berbareng pedang hitam juga menusuk dari depan.

Supaya diketahui bahwa permainan golok mengutamakan kekerasan dan kekuatan, sedangkan permainan pedang mengutamakan kelincahan dan kelemahan, jadi watak kedua jenis senjata itu sama sekali berbeda, maka adalah hal yang tidak mungkin bahwa seorang dapat menggunakan dua macam senjata itu sekaligus.

Tapi kini Kongsun Kokcu ternyata dapat memainkan golok dan pedang dengan lihay, sungguh suatu kepandaian khas yang jarang terdapat di dunia persilatan.

Sambil mengertak, Nyo Ko putar tongkat baja dan menggunakan kunci "menutup" dari Pak~kau-pang-hoat, ia bertahan dengan rapat sehingga seketika pedang dan golok Kongsun Kokcu tidak mampu menembus pertahanan anak muda itu.

Cuma Pak-kau-pang-hoat mengutamakan pertahanan gerak serangan, dengan pentung bambu yang enteng, tentu dapat dimainkan dengan gesit dan lincah sesuka hati, kini Nyo Ko memegang tongkat baja sebagai pengganti pentung bambu, tentu saja gerak-geriknya tidak leluasa, setelah belasan jurus ia mulai merasa payah.

Suatu peluang dilihat oleh Kongsun Kokcu mendadak goloknya menahan keatas, berbareng pedang hitam menabas kebawah, "krek", kontan tongkat baja tertabas kutung.

"Bagus" teriak Nyo Ko, "Memangnya aku lagi merasa keberatan memegangi potongan besi ini." - Segera ia putar setengah potongan tongkat baja itu dan terasa lebih enteng dan lincah.

"Hm, bagus atau tidak, boleh lihat saja nanti!" jengek Kongsun Kokcu dengan mendongkol, kembali goloknya membacok lagi dari depan.

Bacokan ini teramat lugu, asalkan Nyo Ko mengegos saja dengan mudah dapat menghindarkan serangan itu Tak terduga lingkaran ujung pedang hitam ternyata juga mengurung tubuh Nyo Ko sehingga anak muda itu tidak dapat bergerak sembarangan, Terpaksa Nyo Ko angkat potongan tongkat untuk menangkis.

"Trang" suara nyaring keras benturan golok sama tongkat menerbitkan lelatu api pula. Habis bacokan pertama, menyusul bacokan kedua dilontarkan lagi oleh Kongsun Kokcu dengan cara yang sama tanpa variasi.

Bahwa pengetahuan ilmu silat Nyo Ko sangat luas, otaknya juga cerdas, tapi aneh sama sekali ia tidak berdaya mematahkan bacokan lawan yang begitu2 saja, kecuali menangkis dengan cara seperti tadi terasa tiada jalan lain yang lebih bagus.

Untuk kedua kalinya golok dan tongkat kutung beradu, diam2 Nyo Ko mengeluh. Kiranya bacokan kedua kali ini tampaknya begitu saja tapi tenaganya ternyata bertambah sebagian, ia pikir kalau bacokan begini berlangsung beberapa kali lagi tentu otot tulang lenganku bisa putus tergetar oleh tenaga Kokcu ini.

Belum habis terpikir benar saja bacokan ke tiga Kongsun Kokcu sudah nyambar tiba pula dan tenaganya memang bertambah lagi sebagian.

Kiranya ilmu permainan golok Kongsun kokcu itu meliputi 18 jurus, tenaga setiap jurus selalu bertambah kuat daripada jurus yang duIuan.

Walaupun tenaganya cuma sebagian saja, tapi kalau terus bertambah dan menumpuk, jadinya bisa berlipat ganda dan sukar ditahan.

Setelah menangkis beberapa kali lagi, tongkat kutung di tangan Nyo Ko sudah babak belur oleh bacokan golok emas lawan, tangan Nyo Ko pun tergetar lecet.

Melihat tenaga tangkisan Nyo Ko tidak berkurang, dalam keadaan bahaya anak muda itu masih tetap mengulum senyum, diam2 Kongsun Kokcu sangat mendongkol, ia merasa kalau beberapa kali bacokan lagi tak dapat menaklukan Nyo Ko akan kelihatan dirinya sendiri yang terlalu tak becus,

Maka ketika golok membacok lagi, mendadak pedang hitam terus menusuk ke perut lawan.

Saat itu Nyo Ko sudah terdesak sampai di pojok ruangan, melihat ujung pedang menyamber tiba, cepat ia menangkis dengan telapak tangan, ujung pedang tepat menusuk di tengah telapak tangan, tapi pedang hitam itu lantas melengkung dan terpental balik. Kiranya sarung tangan dari Siao-liong-li yang terbuat dari anyaman benang emas itu tidak tertembuskan oleh pedang hitam yang tajam itu.

Setelah mengetahui sarung tangannya tidak takut pada senjata lawan, cepat Nyo Ko membaliki tangan untuk menarik ujung pedang musuh, Tak terduga Kongsun Kokcu telah sedikit menyendal pedangnya yang melengkung tadi sehingga batang pedang yang lemas itu membaik ke bawah dan melukai lengan Nyo Ko, darah seketika bercucuran.

Nyo Ko terkejut dan cepat melompat mundur. sebaliknya Kongsun Kokcu juga tidak mendesak maju, ia mendengus beberapa kali, habis itu baru melangkah maju dengan pelahan.

Jika Kongsun Kokcu hanya menggunakan salah sebuah senjatanya saja, tentu Nyo Ko mempunyai akal untuk meIawannya. sekarang musuh memakai dua macam senjata yang justeru berlawanan, satu keras dan satu lemas dengan gerak serangan yang berbeda, keruan Nyo Ko tak berdaya dan tercecar hingga kelabakan.

Walau Nyo Ko terdesak dan serba repot tapi Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si dan lain-lain yang mengikuti pertarungannya itu bertambah kagum.

Dalam hati mereka sama berpikir "jika aku sendiri yang harus melayani kedua macam senjata yang berbeda itu, mungkin sejak tadi jiwaku sudah melayang. Tapi bocah ini ternyata mampu meIayaninya dengan berbagai cara yang cerdas dan dapat menghindari sekian kali serangan maut,"

Begitulah Kongsun Kokco masih terus meIancarkan serangan dengan golok dan secara bergantian kembali bahu Nyo Ko tertusuk lagi satu kali sehingga bajunya berlepotan darah.



"Kau menyerah tidak?" bentak Kongsun Kokcu.

"Kau bertanding dengan cara yang jauh menguntungkan kau, tapi masih berani tanya padaku menyerah atau tidak, hahaha, mengapa kau begini tebal muka, Kongsun Kokcu?" ejek Nyo Ko dengan tersenyum.

Mendadak Kongsun Kokcu menarik kedua serangannya dan bertanya: "Apa yang menguntungkan aku? Coba katakan." tanya Sang Kokcu.

"Kau menggunakan senjata se-hari2, sepasang senjata yang aneh ini mungkin sukar dicari lagi didalam dunia, betul tidak?" ujar Nyo Ko.

"Memangnya kenapa? Kan senjata di tanganmu itu juga luar biasa," jawab Kongsun Kokcu,

Nyo Ko membuang tongkat kutung itu dan berkata dengan tertawa: "Ini kan milik muridmu si jenggot tadi." - Lalu ia menanggalkan sarung tangan kedua potong selendang sutera yang putus tadi dijemputnya pula dan dilemparkan kepada Siao-liong-li, kemudian berkata pula: "Dan ini adalah milik Kokoh yang kupinjam tadi,"

Habis itu Nyo Ko keplok2 tangannya dia kebut2 debu pada badannya tanpa menghiraukan datrah yang masih mengucur dari lukanya, lalu berkata pula dengan tertawa: "Nah, kudatang ke sini dengan bertangan kosong, masakan aku bermaksud memusuhi kau ? sekarang terserah kau, mau bunuh boleh bunuh. tidak perlu banyak omong lagi."

Melihat sikap anak muda itu tenang sabar, wajahnya cakap, mesti terluka tapi bicara dan tertawa sesukanya seperti tidak terjadi sesuatu kalau dibandingkan dirinya sendiri terasa memalukan dan rendah.

"Jika anak muda ini tetap dibiarkan hidup, tentu Liu-ji akan condong dan jatuh hati padanya."

Tanpa pikir ia mengangguk dari berkata: "Baiklah." segera pedangnya menusuk ke dada Nyo Ko.

Karena merasa tidak sanggup melawan orang, kyo Ko sudah ambil keputusan biar dibunuh saja oleh lawannya itu, maka iapun tidak menghindar ketika tusukan orang tiba, sebaliknya ia menoleh ke sana untuk memandang Sio-liong-li, pikiranya "Sambil memandangi Kokoh, biar matipun aku tidak menyesal."

Dilihatnya Sio-liong-Ii sedang melangkah ke arahnya setindak demi setindak dengan tersenyum manis, kedua pasang mata saling menatap, sama sekali tidak menghiraukan ancaman pedang hitam Kongsun Kokcu.

Sesungguhnya Kokcu itu belum pernah kenal Nyo Ko sehingga hakikatnya tidak ada dendam permusuhan apapun, sebabnya dia ingin membinasakan anak muda itu semuanya gara2 Siao-liong li belaka, sebab itulah ketika tusukan terakhir itu di lontarkan, tanpa terasa iapun memandang sekejap ke arah Siao-liong li

Sekali pandang seketika rasa cemburunya berkobar hebat, tertampak si nona menatap Nyo Ko dengan penuh kasih sayang mesra, waktu ia melirik Nyo Ko, kelihatan sorot anak muda itupun serupa dengan Siao-liong-Ii, padahal ujung pedang kini sudah menempel dadanya, asalkan tangannya sedikit mendorong ke depan, seketika ujung pedang itu akan menembus dadanya, tapi Siao-liong li ternyata tidak menjadi kuatir dan cemas, Nyo Ko juga tidak berusaha menangkis kedua orang hanya saling pandang dengan kesan penuh jalinan perasaan dan melupakan segala apa yang berada di sekitarnya.

Gemas dan dongkol Kongsun Kokcu tak terkirakan, pikirnya: "Jika kubunuh kau sekarang, akan membuat kau merasa puas dan bahagia ketika menghadapi ajalnya, aku justru ingin kau menyaksikan sendiri pemikahanku dengan Liu-ji, habis malaman pengantin barulah kubunoh kau!"

Karena pikiran itu, segera ia berteriak : "Lui - ji, kau ingin kubunuh dia atau menghendaki ku-ampuni dia?"

Siao-liong-li memandangi Nyo Ko dengan segenap cita-rasanya dan sama sekali tidak memikirkan Kongsun Kokcu, karena mendadak mendengar suaranya barulah ia tersadar, katanya cepat dengan kuatir. "Lekas kesampingkan pedangmu untuk apa kau mengacungkan pedangmu di depan dadanya?"

Kongsun Kokcu mendengus dan berkata: "Baik, tidaklah sukar untuk mengampuni jiwanya asalkan kau suruh dia segera pergi dari sini dan tidak merintangi detik bahagia pernikahan kita nanti."

Sebelum bertemu dengan Nyo Ko sebenarnya Siao-liong-li sudah bertekad takkan berjumpa lagi dengan anak muda itu, Tapi kini setelah bertemu kembali mana dia mau lagi menikah dengan Kongsun Kokcu? ia tahu apa yang menjadi keputusannya akhir2 ini jelas sukar dilaksanakannya, lebih baik mati saja daripada menikah dengan orang lain, ia lantas berpaling dan berkata kepada Kongsun Kokcu "Kongsun-siansing aku sangat berterima kasih atas pertolonganmu, tapi aku tak dapat menikah dengan kau."

Meski sudah tahu alasannya, tapi Kongsun Kokcu masih bertanya: "Sebab apa?"

Siao-liong-Ii berdiri sejajar dengan Nyo Ko dan memegangi tangan anak muda itu, dengan tersenyum ia menjawab: "Aku sudah bertekad akan menjadi suami-isteri dengan dia dan hidup berdampingan selamanya, masakah kau tak dapat melihat sikap kami ini?"

Tergetar tubuh Kongsun Kokcu, katanya dengan geram : "Kalau saja tempo hari kau sendiri tidak menyanggupi aku, masakah aku paksa kau pada waktu kau terancam elmaut? Tapi kau sendiri yang terima lamaranku, itu, dan timbul dari perasaan sukarela dan iklas?"


Pada dasarnya Siao - liong li masih polos dan belum paham seluk beluk kehidupan insaniah, tanpa ragu ia menjawab: "Memang betul begitu, tapi aku merasa berat meninggalkan dia. Nah, kami akan pergi saja, harap kau jangan marah," Habis itu ia tarik tangan Nyo Ko dan diajaknya pergi.

Ucapan Siao-liong-li ini membikin semua orang saling pandang dengan melongo, Kongsun Kokcu terus melompat maju dan mengadang di ambang pintu, serunya dengan serak "untuk bisa keluar dari lembah ini kecuali kau harus membunuh diriku lebih dulu..."

Siao liong li tersenyum, katanya: "Kau berbudi menoIong jiwaku, mana boleh kubunuh kau? Lagipula, ilmu silatmu tinggi betapapun aku takdapat mengalahkan kau."

Sembari bicara ia terus merobek kain baju sendiri untuk membalut luka Nyo Ko.

"Kongsun-heng," mendadak Kim-lun Hoat-ong berseru: "lebih baik kau membiarkan mereka pergi saja"

Kongsun Kokcu mendengus tanpa menjawab, dengan air mukanya penuh gusar, ia tetap menghadang di ambang pintu.

Segera Hoat-ong berkata pula: "Jika ia main pada dengan sepasang pedangnya, pasti kedua macam senjatamu itupun tak dapat menandingi mereka, Daripada kalah bertanding memberi tembok isteri lagi, ada lebih baik kau mengalah saja dan serahkan si dia padanya."

Rupanya Kim lun Hoat-ong masih penasaran karena dia pernah kalah dibawah ilmu pedang yang dimainkan secara berganda oleh Nyo Ko dan Siao-liong-li tempo hari, kejadian itu dianggap sebagai hal yang memalukan baginya. Kini menyaksikan im-yang-siang-to (sepasang senjata berlainan) yang dimainkan Kongsun Kokcu ternyata sangat lihay dan tidak kalah hebatnya daripada permainan rodanya sendiri maka ia sengaja memancingnya dengan kata2 untuk mengadu domba mereka dan dia sendiri dapat menarik keuntungannya.

Padahal seumpamanya dia tidak membakarnya dengan kata2 itu juga Kongsun Kokcu tidak sampai membiarkan Siao-liong-Ii dan Nyo Ko pergi begitu saja. Karena itu ia melotot gusar kepada Hoat-ong, dalam hati ia memaki Hoat-ong yang berani mengucapkan kata2 yang meremehkan dirinya, ia ingin kelak kalau ada kesempatan tentu akan ku-bikin perhitungan dengan kau si Hwesio ini.

Begitulah watak Kongsun Kokcu itu memang tinggi hati dan congkak, selamanya dia maha kuasa di Cui-sian-kok ini tanpa seorangpun berani membangkang perintahnya, sekalipun puteri kandung sendiri juga akan dihukum badan apabila berbuat salah, maka dapat dibayangkan marahnya.

Semakin murka semakin nekat pula Kongsun Kokcu itu, betapapun ia harus menikah dengan Siao-liong-li meski apapun yang akan terjadi, dengan gregetan, ia pikir: "sekalipun hatimu tidak kau serahkan padaku, sedikitnya tubuhmu harus diberikan padaku, Kau tidak mau menikah dengan aku waktu hidup, sesudah kau mati juga akan kunikahi kau."

Semula dia ingin menggunakan jiwa Nyo Ko sebagai senjata untuk memaksa Siao-liong-li menyerah kepada keinginannya tapi setelah melihat kedua muda-mudi itu sama sekali tak takut mati, maka iapun ambil keputusan takkan melepaskan mereka andaikan kedua orang itu harus dibunuhnya semua.

Bagi Nyo Ko, tanpa terasa semangat tempurnya seketika berkobar setelah melihat Siao-liong li hanya mencintainya seperti semula, dengan mantap sigap ia bertanya: "Kongsun-Kokcu, dengan cara bagaimana barulah engkau mau membiarkan kami pergi?"

Pertanyaan Nyo Ko ini membuat Kongsun Kokcu bertambah murka, napsu membunuhnya semakin berkobar.

Mendadak terdengar Be Kong-co berseru: "Hei Kongsun-Kokcu, orang sudah mengatakan tidak mau menjadi isterimu, mengapa kau merintangi orang?"

Dengan suara banci Siao-siang-cu berkata:

"Jangan sembarangan omong, Be-Kong co, kan Kongsun kokcu sudah menyiapkan perjamuan besar ini, Kita diundang meramaikan pestanya yang meriah ini."

"Aha, perjamuan apa? Paling air tawar dan sayur mentah, apanya yang dapat dirasakan?" seru Be Kong-co, "Jika aku menjadi nona cantik ini pasti juga aku tidak sudi menjadi isterinya. Nona cantik melek seperti dia, menjadi permaisuri juga setimpal, untuk apa hidup susah2 ikut seorang kakek?"

Meski dogol, tapi apa yang dikatakan itupun cukup masuk diakal Siao-liong-li menoleh dan berkata dengan suara lembut padanya: "Be-toaya, soalnya Kongsun-siansing telah menyelamatkan jiwaku, betapapun dalam hatiku tetap... tetap berterima kasih padanya."

"Bagus, si tua Kongsun," seru Be Kong~co pula, "Jika kau memang seorang berbudi dan bijaksana, lebih baik sekarang juga kau membiarkan kedua muda-mudi itu melangsungkan pernikahan di sini, kalau dengan alasan kau telah menolong jiwa si nona, lalu tubuhnya hendak kau gagahi, huh, jiwa ksatria macam apakah begitu?"

Karena orangnya dogol, ucapannya juga tanpa tedeng aling2 dan sangat menusuk hati, tapi juga sukar dibantah.

Tentu saja Kongsun Kokcu sangat murka, diam2 ia bertekad semua orang yang memasuki tempatnya ini harus dibunuh seluruhnya, Tapi iapun tidak memberi reaksi apa2, dengan hambar ia berkata: "Ah, sebenarnya lembah pegununganku ini bukan sesuatu tempat yang luar biasa, tapi kalau kalian boleh datang dan pergi sesukanya, rasanya orang terlalu meremehkan diriku, Nona liu...."

Dengan tersenyum Siao-liong-li memotong. "Sebenarnya aku tidak she Liu, yang benar she Liong, Soalnya dia she Nyo, maka aku sengaja dusta padamu bahwa aku she Liu."

Rasa cemburu Kongsun Kokcu bertambah membakar, ia anggap tidak mendengar ucapan Siao liong-li itu dan berkata: "Nona Liu...."

Tapi belum lanjut ucapannya, mendadak Be Kong-co menimbrung: "He, sudah jelas nona itu she Liong, mengapa kau tetap menyebut dia nona Liu?"

Cepat Siao-liong-li menanggapi: "Ya, mungkin Kongsun-siansing sudah biasa memanggil begitu padaku, Memang salahku karena aku telah berdusta padanya. Maka biarlah, apa yang dia suka boleh..."

Kongsun Kokcu tetap tidak urus perkataan mereka dan menyambung: "Nona, Liu, asalkan bocah she Nyo itu mampu mengalahkan Im-yang-siang-to di tanganku ini, segera kubiarkan dia pergi, Urusan ini harus kita selesaikan sendiri dan tiada sangkut pautnya dengan orang lain."

Siao-liong-li menghela napas dan berkata "Kongsun-siansing, sebenarnya aku tidak ingin bertempur dengan kau, tapi dia sendirian bukan tandinganmu, terpaksa aku membantu dia,"

Kontan alis Kongsun Kokcu terkerut rapat, katanya "jika kau tidak kuatir karena kau tadi telah muntah darah, maka boleh juga kau maju sekalian."

Dalam hati Siao-liong-li rada gegetun, terhadap masalah ini, segera ia berkata pula: "Kami bertarung tidak bersenjata lagi, kami pasti kalah jika melayani kau dengan tangan kosong, Engkau adalah orang baik, harap lepaskan saja kepergian kami"

Tiba2 Kim-lun Hoat-ong menyela: "Kongsun-heng, di tempatmu ini serba ada, masakah kekurangan dua senjata? Cuma perlu kuperingatkan kau lebih dulu, jika mereka bermain ganda, sepasang pedang mereka menjadi maha lihay, mungkin jiwamu bisa melayang."



Kongsun Kokcu tidak menanggapi, ia kemudian ke sebelah kiri dan berkata kepada Nyo Ko. "Kamar di sebelah sana itu adalah kamar senjata, kalian boleh pilih sendiri senjata apa yang kalian kehendaki"

Nyo Ko saling pandang sekejap dengan Siao-liong-li dan sama berpikir: "Alangkah baiknya jika dapat berada berduaan di tempat yang sepi dari orang lain."

Segera mereka bergandengan tangan dan memasuki kamar yang di tunjuk, pandangan Siao-liong-li selama itu tidak pernah meninggalkan wajah Nyo Ko, ketika tiba di depan kamar itu dan nampak pintu kamar tertutup, tanpa pikir ia terus mendorong pintu dan baru saja hendak melangkah masuk ke dalam, mendadak Nyo Ko ingat sesuatu dan cepat mencegahnya: "Nanti dulu!"

"Ada apa?" tanya Siao-liong-li merandek. "Apa kau kuatir Kokcu itu menjebak kita? Dia sangat baik, tampaknya takkan berbuat begitu."

Nyo Ko tidak menjawab, ia menggunakan kakinya untuk mencoba lantai di bagian dalam pintu dan mendadak terdengar suara mencicit nyaring disertai gemerdepnya cahaya, delapan pedang tajam tahu2 menusuk keluar dari kanan kiri pintu, dalam keadaan begitu apabila orang sedang melangkah ke dalam kamar itu tentu seluruh tubuh akan tertancap oleh pedang2 tajam itu

Siao-liong-li menghela napas dan berkata.

"Ah Ko-ji, kiranya begitu keji hati Kokcu itu, sungguh aku telah salah menilainya, sudahlah kitapun tidak perlu bertanding lagi dengan dia dan pergi saja sekarang.."

Mendadak seorang bersuara di belakang mereka: "Kokcu menyilahkan kalian memilih senjata ke dalam kamar."

Waktu mereka menoleh, tertampak delapan anak murid berseragam hijau dengan membentang jaring ikan sudah menghadang dibeIakang. Tampaknya Kongsun Kokcu itu sudah memperhitungkan kemungkinan kaburnya mereka, maka sengaja mengirimkan anak muridnya untuk mencegat di belakang mereka.

Terpaksa Slao-liong li berkata kepada Nyo Ko. "Menurut pendapatmu, apakah di kamar senjata ini ada lagi sesuatu yang aneh?"

Nyo Ko genggam kencang tangan Siao-liong-li, katanya: "Kokoh, kita telah berkumpul lagi, apa yang perlu kita sesalkan pula? Biarpun ditembus oleh beribu senjata, paling tidak kita toh mati bersama."

Perasaan Siao-liong-li pun penuh kasih mesra, tanpa pikir mereka lantas melangkah ke dalam kamar, lalu Nyo Ko merapatkan pintu.

Terlihat baik di dinding, di atas meja, dan di rak senjata penuh berjajar macam2 senjata, tapi hampir sembilan dari sepuluh adalah pedang kuno, ada yang panjang dan ada yang pendek sekali, ada yang sudah karatan, banyak pula yaag mengkilat menyilaukan mata.

Siao-liong-li berdiri berhadapan dengan Nyo Ko dan saling pandang sejenak, mendadak ia bersuara tertahan terus menubruk ke dalam pelukan anak muda itu.

Tanpa ayal Nyo Ko mendekap kencang tubuh si nona dan menciumnya, seketika jiwa raga Siao-liong-Ii serasa dimabuk oleh ciuman itu, kedua tangannya terus merangkut leher Nyo Ko dan balas mencium dengan mesranya.

"Blang", mendadak pintu kamar didobrak orang, seorang murid seragam hijau berseru dengan bengis: "Perintah Kokcu, setelah memilih pedang segera kalian harus keluar lagi!"

Muka Nyo Ko menjadi merah, cepat ia melepaskan Siao-liong-li.

Tapi Siao-liong-li adalah nona yang berpikiran polos dan suci, ia pikir kalau kumenyukai Nyo Ko, apa salahnya kalau kami berdua saling peluk dan berciuman, cuma sekarang diganggu orang luar sehingga sukar mencapai kepuasan Dengan gegetun ia berkata pelahan: "Ko-ji, setelah kita kalahkan Kokcu itu, bolehlah kau mencium aku lagi seperti barusan ini."

Nyo Ko mengangguk dengan tersenyum, katanya: "Marilah kita pilih senjata."

"Tampaknya senjata yang tersimpan di sini memang betul benda mestika seluruhnya," ujar Siao-liong-li, lalu ia mengelilingi kamar itu untuk mengamati dengan teliti.

Maksud Siao-liong-li hendak memilih sepasang pedang yang sama panjang dan bobotnya agar nanti digunakan bersama Nyo Ko akan dapat mendatangkan hasil sebanyaknya. Tapi setelah diperiksa kian kemari ternyata pedang yang berada disitu tiada yang serupa, Sembari mengamati senjata iapun bertanya kepada Nyo Ko: "Waktu masuk kamar ini tadi, darimana kan mengetahui di ambang pintu terpasang jebakan?"

"Aku dapat menerkanya dari air muka Kokcu itu," tutur Nyo Ko, "Dia ingin memperisterikan dirimu, tapi sorot matanya ternyata penuh rasa benci dan dendam. Melihat kepribadiannya, itu aku tidak percaya dia mau membiarkan kita memilih senjata kita secara rela,"

Kcmbali Siao-liong-li menghela napas pelahan dan berkata pula: "Menurut kau, apakah kita dapat mengalahkan dia, dengan Giok-li-kiam-hoat?"

"Meski tinggi ilmu silatnya, tampaknya juga tidak lebih hebat daripada Kim-lun Hoat-ong." ujar Nyo Ko. "Jika kita bergabung dapat mengalahkan Hoat-ong, tentu saja kita dapat mengalahkan dia."

"Ya, sebabnya Hoat-ong terus menerus membakar agar dia bertarung dengan kita, jelas iapun bermaksud jahat!" kata Siao-liong-Ii.

"Hati manusia pada umumnya memang jahat tampaknya kaupun mulai paham," kata Nyo-Ko dengan tersenyum. Tapi ia lantas menyambung pula dengan rasa kuatir: "Tapi bagaimana dengan kesehatanmu, tadi kau tumpah darah lagi."

Siao-liong-li tertawa manis, jawabnya: "Kau tahu, di waktu berduka barulah aku muntah darah, Sekarang aku sangat gembira, apa artinya sedikit sakit bagiku? Oya, Ko-ji, tampaknya kepandaianmu sudah jauh lebih maju, jauh berbeda daripada waktu kita bertempur dengan Hoat-ong dahulu. Kalau waktu itu saja kita dapat mengalahkan dia, apalagi sekarang ?"

Nyo Ko juga yakin pasti akan menang dalam pertarungan ini, ia genggam kencang tangan si nona dan berkata: "Kokoh, kuharap engkau berjanji sesuatu padaku"

"Mengapa kau bertanya secara begini?" kata Siao-liong-li dengan suara lembut "Aku kan bukan lagi gurumu, tapi adalah isterimu. Apa yang kau kehendaki tentu akan kuturuti."

"Ah... baik sekali, baru... baru sekarang aku tahu," kata Nyo Ko.



"Sejak malam itu di Cong-lam-san kau berbuat begitu mesra padaku, sejak itu pula aku sudah bukan lagi gurumu." ucap Siao-liong-li, "Meski kau tidak mau memperisterikan diriku, dalam hatiku sudah lama kuakui sebagai isterimu,"

Sesungguhnya pada waktu itu Nyo Ko memang tidak tahu sebab apakah tiba2 Siau liong-li mengajukan pertanyaan begitu padanya, ia pikir mungkin hati si nona mendadak terguncang atau bisa jadi dirinya yang lama tertahan itu mendadak tak bisa dikendalikan lagi, sama sekali tak pernah terpikir olehnya bahwa In Ci-peng yang telah menggagahi Siao-liong li secara diam2. Nyo Ko sendiri merasa tidak pernah berbuat apa2 yang melampaui batas terhadap nona itu.

Tapi kini mendengar suaranya yang halus dan manis itu, hatinya terguncang juga dan seketika tak dapat menjawab.

Siao-liong-li merapatkan tubuhnya ke dada Nyo Ko, lalu bertanya: "Kau ingin aku berjanji apa?"

Nyo Ko membelai rambut Siao liong li yg indah itu, katanya: "Setelah kita mengalahkan Kokcu ini, segera kita pulang ke kuburan kuno itu untuk selanjutnya engkau tak boleh berpisah lagi dariku biar apapun yang bakal terjadi..."

Sambil menengadah dan menatap anak muda itu, Siao-liong-li menjawab: "Memangnya kau kira aku suka berpisah dengan kau? jika berpisah dengan kau, apa kau kira dukaku tidak melebihi kau ? Sudah tentu kuterima permintaanmu ini, biarpun langit bakal ambruk atau bumi ambles dan dunia kiamat juga aku tetap bersamamu."

Girang Nyo Ko sukar dilukiskan selagi dia hendak bicara pula, tiba2 salah seorang seragam hijau di luar kamar itu berseru: "Senjata sudah terpilih belum?"

Dengan tersenyum Siao-Iiong-li berkata kepada Nyo Ko: "Marilah kita lekas pergi saja."-Baru saja ia hendak mengambil dua pedang seadanya, tiba2 dilihatnya dinding di sebelah kiri sana sebagian besar terdapat bekas hangus terbakar beberapa buah meja kursi juga rusak bekas terbakar, ia menjadi rada heran.

Segera Nyo Ko menutur lo-wan-tong itu pernah menerobos ke dalam kamar senjata ini dan membakarnya serta mengambil sesuatu benda di sini, bekas hangus terbakar ini jelas hasil perbuatannya itu."

Tiba2 dilihatnya di bawah lukisan di pojok dinding sana yang tersisa dari bekas hangus itu menonjol keluar dua sarung pedang, tergerak pikiran Nyo Ko: "Kedua pedang ini semula teraling oleh lukisan itu, tapi lantaran sebagian lukisan itu terbakar sehingga kelihatanlah bagian pedang itu, jika pemilik pedang sengaja mengatur begini, jelas sepasang pedang ini pasti benda mestika."

Ia coba mendekati dan menanggalkan kedua pedang itu, sebuah ia berikan kepada Siao-liong-li, ia pegang gagang pedang satunya terus dilolos.

Begitu pedang itu terlolos dari sarungnya, seketika kedua orang merasakan hawa dingin, batang pedang itu hitam mulus tanpa mengkilat sedikitpun sehingga mirip sepotong kayu belaka.

Waktu Siao-Iiong li juga melolos pedang yang diterimanya itu, ternyata serupa benar dengan pedang Nyo Ko, baik besar maupun panjangnya. Ke-dua pedang itu dijajarkan, seketika menambah hawa segar di dalam ruangan kamar, cuma kedua pedang itu tak terdapat ujung yang runcing melainkan puntuI, begitu pula mata pedangnya tidak tajam.

Nyo Ko membalik pedang itu dan terlihat pada batang pedang terukir dua huruf "Kun-cu" (lelaki), waktu memeriksa pedang Siao-liong-Ii, di atasnya juga terukir dua huruf "Siok-li" (perempuan). sebenarnya Nyo Ko tidak menyukai bentuk kedua pedang ini, ia pandang Siao-liong-li dan ingin tahu bagaimana pikirannya.

Dengan girang Siao-liong-li berkata: "Pedang ini tidak tajam, kebetulan dapat digunakan melawan Kokcu itu, dia pernah menolong jiwaku, aku tidak ingin mencelakai dia,"

"Pedang adalah senjata pembunuh, tapi diberi nama Kun-cu dan Siok-li, aneh" ujar Nyo Ko dengan tertawa, ia coba angkat pedangnya dan bergaya menusuk dua kali, rasanya sangat cocok dengan bobotnya dan enak dipakai. Segera ia menambahkan: "Baiklah, biar kita gunakan sepasang pedang ini."

Siao-liong-li memasukkan kembali pedang ke sarungnya dan baru akan keluar, tiba2 dilihatnya di atas meja ada sebuah pot bunga dengyi serangkaian bunga yang cantik sekali, hanya sayang merangkainya awut2an tak keruan, tanpa pikir lantas dibenahinya rangkaian bunga itu lebih teratur.

"Hai, jangan!" mendadak Nyo No berseru, namun sudah terlambat, jari Siao-hong-li sudah tertusuk beberapa kali oleh duri bunga.

Dengan bingung Siao-liong-li menoleh dan bertanya "Ada apa?"

"ltu adalah bunga cinta, kau sudah tinggal sekian lama di lembah ini, masakah tidak tahu?" ujar Nyo Ko.

Siao-liong-li mengisap jarinya yang kesakitan itu dan menjawab sambil menggeleng : "Aku tidak tahu."

Selagi Kyo Ko hendak memberi keterangan, sementara itu orang berseragam hijau telah mendesak puIa, Terpaksa mereka ikut kembali ke ruangan besar tadi.

Tampakhya Kongsun Kokcu sudah tidak sabar menunggu, dia melotot gusar kepada anak muridnya itu, jelas ia marah karena anggap mereka kurang tegas dan membiarkan Nyo Ko berdiam sekian lama di kamar senjata itu. Anak muridnya tampak sangat ketakutan sehingga airmuka sama pucat.

Setelah Nyo Ko berdua sudah dekat, lalu Kongsun Kokcu berkata: "Nona Liu, sudah kau dapatkan senjata pilihanmu?"

Siao-liong-li mengeluarkan Siok-li-kiam (pedang perempuan) pilihannya itu dan mengangguk: "Kami akan menggunakan sepasang pedang puntul ini, kamipun tidak berani bertarung sungguhan dengan Kokcu, cukup asalkan saling menyentuh tubuh saja,"

Kokcu itu terkesiap melihat yang dipilih ternyata Siok-li-kiam itu, dengan suara bengis ia bertanya: "Siapa yang suruh kau ambil pedang ini?"

Sembari bertanya sinar matanya terus mengerling ke arah Kongsun Lik-oh, tapi segera ia menatap tajam lagi terhadap Siao-liong-li.

Dengan rada heran Siao-liong-li menjawab. "Tiada yang menyuruh aku. Memangnya pedang ini tidak boleh dipakai? jika begitu biarlah kami menukar yang lain saja."

Kongsun Kokcu melirik gusar sekejap ke arah Nyo Ko dan berkata: "Untuk menukar pedang kan kalian akan berdiam setengah hari lagi disana? Tidak perlu tukar, hayolah mulai!"



"Konsun-siansing," kata Siao-liong-li, "sebaiknya kita bicara di muka dulu, bahwa dia atau aku sekali2 bukan tandinganmu jika satu lawan satu, sekarang kami berdua melawan kau seorang, jelas keuntungan di pihak kami, sekalipun kami menang juga tak dapat dianggap sebagai kemampuan kamu."

"Boleh kau katakan begitu jika nanti kalian sudah terbukti menang," jengek sang Kokcu, "Kalau kalian dapat mengalahkan golok dan pedangku ini, tentu kupasrah untuk kalian perbuat sesukamu sebaliknya kalau kalian yang kalah, maka janji nikah tak boleh lagi kau ingkari"

Siao-liong-ii tersenyum tawar, katanya: "Jika kami kalah, biar dia dan aku terkubur saja di lembah ini."

Tanpa bicara lagi Kongsun Kokcu lantas angkat senjata, golok emas menyamber, segera ia membacok ke arah Nyo Ko.

Cepat Nyo Ko angkat pedangnya, dengan jurus "Pek-ho-hiang-ih" (bunga putih pentang sayap) ia balas menyerang, itulah jurus asli ilmu pedang Coan-cin-pay.

Walaupun kuat dan tenang sekali jurus pedang Nyo Ko itu, tapi juga cuma jurus yang jamak saja, diam2 Kongsun Kokcu mendongkol terhadap Kim-lun Hoat-ong yang telah membual akan kelihayan anak muda itu, Segera pedang hitam ia tusukkan ke depan, ternyata Siao-liong-li dikesampingkan olehnya, hanya Nyo Ko yang terus menerus diserangnya.

Dengan penuh perhatian Nyo Ko melayani serangan musuh, yang digunakannya adalah melulu Coan-sin-kiam-hoat (ilmu pedang Coan-sin-pay) yang pernah dipelajarinya di kuburan kuno dahulu itu, tapi sejak dia menemukan intisari ilmu silat dalam renungannya tempo hari itu, cara memainkan ilmu pedangnya sekarang sudah jauh berbeda daripada waktu menempur Kim-lun Hoat-ong dahulu.

Menunggu setelah Kongsun Kokcu menyerang tiga kali barulah Siao-liong-li ikut maju dan menyerangnya. Ternyata Kongsun Kokcu tidak menangkis serangannya dengan golok emasnya itu, hanya pada waktu serangan Siao-liong-li tampak gencar dan berbahaya barulah dia menggunakan pedang hitam untuk menangkis, tampaknya Kongsun Kokcu sengaja mengalah.

Setelah mengikuti beberapa gebrakan, dengan tersenyum Kim-Iun Hoat-ong berkata: "Kongsun-heng, jika kau masih sayangi si cantik, akhirnya mungkin kau sendiri yang harus menelan pil pahit."

Dengan mendongkol Kongsun Kokcu menjawab: "Hwesio gede, kau jangan banyak bacot, bila perlu sebentar boleh kita coba2, sekarang tidak perlu kau memberi nasihat."

Beberapa jurus lagi, kerja sama kedua pedang,, Nyo Ko dan Siao-liong-Ii semakin baik, suatu ketika pedang Siao~liong-li menabas dari kanan dan mendadak pula pedang Nyo Ko juga menabas dari kiri, dalam keadaan terjepit tanpa pikir Kongsun Kokcu menggunakan golok untuk menangkis serangan Nyo Ko, berbareng itu ia menggeser mundur sedikit dan pedang hitam digunakan menangkis serangan Siao-Iiong-li.

"Trang", di luar dugaan, ujung golok emas terbatas kutung sebagian oleh pedang lawan, Keruan semua orang terkejut, sama sekali tak tersangka bahwa pedang puntul yang digunakan Siao-liong li itu bisa begitu tajam.

Nyo Ko dan Siao-liong-li juga merasa heran, padahal semula mereka memilih sepasang pedang pantul itu hanya oleh karena tertarik pada namanya saja serta bentuknya yang serupa, tak tahunya secara tidak sengaja malahan dapat memilih sepasang pedang mestika.

Keruan semangat mereka terbangkit seketika, mereka menyerang dengan lebih gencar.

Betapapun ilmu silat Kongsun Kokcu memang sangat tinggi dan dalang sepasang senjatanya yang lemas dan keras itu juga lain daripada yang lain, makin lama daya tekanannya juga makin kuat, Tapi diam2 iapun heran bahwa ilmu silat kedua anak muda yang jelas selisih jauh dengan dirinya itu ternyata bisa begitu lihay dalam permainan ganda itu, ia pikir apa yang dikatakan Hwesio gede tadi agaknya memang tidak salah, kalau saja aku dikalahkan mereka, wah, bisa jadi.... sampai di sini ia tak berani membayangkan lebih lanjut.

Se-konyong2 golok di tangan kirinya menyerang ke kanan dan pedang di tangan kanan menyerang ke kiri, ia keluarkan permainan Im-yang-to-hoat.

Dengan pedang hitam di tangan kanan Kongsun Kokcu menyerang Nyo Ko di sebelah kiri dan golok bergigi di tangan kiri menyerang Siao-liong-li di sebelah kanan yang lihay, pedang hitam yang tadinya lemas itu kini mendadak berubah lurus keras dan digunakan membacok segala mirip golok, sebaliknya goloknya yang besar bergigi itu justeru menabas dan menusuk seperti pedang, Dalam pertarungan sengit itu kelihatan golok se-akan2 berubah pedang dan pedang seperti berobah menjadi golok, sungguh aneh dan sukar diraba.

Biasanya In Kik-si suka bangga karena mengetahui ilmu silat apapun di dunia ini, tapi Im-yang-to-hoat yang dimainkan Kongsun Kokcu ini sungguh belum pernah dilihatnya selama hidup, bahkan mendengarpun belum pernah.

Segera Be Kong-co berteriak lagi: "He, kakek sialan, permainanmu yang kacau tak teratur itu ilmu silat apaan?"

Sebenarnya usia Kongsun-Kokcu belum ada 50 tahun, jadi baru - terhitung setengah umur, malahan dia ingin kawin lagi dengan Siao-liong-li, tapi berulang kali si dogol Be Kong-co telah berkaok memanggilnya si "kakek", tentu saja dalam hati ia sangat gemas.

Cuma sekarang iapun tidak sempat urus Be Kong-co, ia mainkan Im-yang-to-hoat yang telah dilatihnya selama berpuluh tahun ini dengan tekad mengalahkan dulu Nyo Ko dan Siao-liong-li.

Tadinya permainan ganda sepasang pedang Nyo Ko dan Siao-liong-li sebenarnya sudah mulai unggul, tapi mendadak pihak lawan berganti cara bertempur, golok dan pedangnya menyerang secara kacau dengan tipu serangan yang aneh, seketika mereka menjadi kelabakan terdesak dan berulang menghadapi bahaya.

Kepandaian Nyo Ko sekarang sudah melebihi Siao-liong-li, ia lihat daya tekanan pedang lawan lebih kuat daripada golok bergigi, karena itu ia sengaja menyambuti semua serangan pedang lawan dan membiarkan Siao-liong-li melayani serangan golok bergigi, ia pikir golok itu jelas tidak berani lagi diadu dengan pedangnya dan pula takkan besar resikonya.

Cuma permainan golok musuh sangat aneh, ilmu pedang Coan-cin-kau asli juga sukar menandinginya, terpaksa harus bertindak menurut keadaan dan melihat gelagat, ia layani musuh dgn ilmu pedang ciptaannya sendiri.



padahal dahulu Lim Tiau-eng, yaitu kakek guru Siao-liong-li ketika menciptakan Giok-li-kiam-hoat berdasarkan khayalnya ketika malang melintang di dunia Kangoow berduaan bersama Ong Tiong-yang, itu cakal-bakai Coan-cin-kau, sebab itulah yang laki memainkan Coan-cin-kiam-hoat dan yang perempuan memainkan Giok-Ii-kiam-hoat, dengan demikian keampuhannya sukar ditandingi oleh jago silat manapun juga.

Tapi sekarang Nyo Ko menyampingkan Coan-cin-kiam-hoat dan menggunakan ilmu pedang ciptaan sendiri untuk melayani musuh, meski Kiam-hoat ciptaannya ini juga tidak kurang lihaynya, namun setiap jurus serangannya hanya cocok dengan cita-rasa pribadinya saja dan tidak cocok main ganda dengan Giok-li-kiam-hoat yang dimainkan Siao-liong-li, dengan demikian jadinya mereka se-akan2 bertempur sendiri2 dan dengan sendirinya daya tempurnya menjadi jauh berkurang.

Kongsun Kokcu- menjadi girang, "trang-trang-trang", beruntun ia membacok tiga kali dengan pe-dangnya, berbareng itu golok di tangan lain berturut menyerang juga empat kali dengan gaya tusukan pedang, serangan aneh ini masih dapat dilayani oleh Nyo Ko, namun Siao-liong-li menjadi bingung karena tiada kerja sama yang baik dari Nyo Ko, pikirnya juga ingin menabas lagi ujung golok musuh tapi gerakan golok Kongsun Kokcu sekarang teramat cepat dan Iincah, betapapun sukar dibentur lagi.

Nyo Ko menyadari gelagat jelek, tanpa pikirkan keadaan sendiri yang terluka itu, mendadak ia melancarkan suatu jurus serangan Coan-cin-kiam-hoat yang disebut "Ma-ciu-lok-hoa" (Kuda meloncat merontokkan bunga), dengan tekanan yang kuat ia paksa Kongsun Kokcu melayani serangannya dengan kedua senjatanya, dengan demikian Siao-Iiong-li menjadi ringan.

Siao-liong-li sangat berterima kasih melihat anak muda itu membantunya tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, segera iapun melancarkan serangan untuk membantu, dengan demikian mereka telah kembali ke posisi tadi dengan cara menyerang dan bertahan bersama, daya tempur mereka mendadak tambah kuat pula.

Setelah beberapa jurus berlangsung lagi, dahi Kongsun Kokcu mulai berkeringat, sebaliknya daya tempur Siao-liong-li dan Nyo Ko semakin lancar dan kerja sama lebih rapat Ketika Nyo Ko melontarkan suatu serangan dengan menusuk pinggang lawan, cepat Siao-liong-li membarengi dengan serangan menusuk muka musuh, jurus ini dilakukan dengan penuh perasaan manis sambil melirik anak muda itu.

Tapi mendadak dada Siao-liong-li serasa dipukul oleh palu besar, jari tangan kanan kesakitan dan hampir tidak kuat memegangi pedangnya, air mukanya seketika berubah dan cepat melompat mundur.

"Hm, rasakan bunga cinta!" jengek Kongsun Kokcu.

Siao-liong-li tidak paham ucapannya itu. tapi Kyo Ko mengetahuinya bahwa kesakitan Siao-liong-Ii itu adalah akibat bekerjanya racun bunga cinta yang dirrinya telah melukai jari tadi, Waktu melancarkan jurus serangan yang romantis dan perasaan terangsang, maka jarinya lantas kesakitan sekali.

Karena Nyo Ko sendiri sudah pernah merasakan sakitnya tertusuk duri bunga cinta itu, ia menjadi kasihan kepada Siao-liong-li, cepat ia bertanya. "Apakah sangat sakit?"

Kesempatan itu segera digunakan Kongsun Kokcu uutuk melancarkan serangan gencar dengan golok dan pedang, sementara itu rasa sakit jari Siao-liong-li sudah berkurang, cepat ia menubruk maju lagi untuk membantu.

"Biarlah kau mengaso lagi sebentar," ujar Nyo Ko dengan penuh kasih sayang, Diluar dugaan, karena rangsangan perasaannya ini, jarinya sendiri menjadi kesakitan juga.

Bctapa cerdik dan lihaynya Kongsun Kokcu begitu melihat ada pduang, segera pedangnya mem-bacok, "cring", Kun-cu-kiam (pedang lelaki) yang dipegang Nyo Ko terbentur jatuh, menyusul pedang hitamnya terus menyamber tiba dan mengancam di depan dada anak muda itu.

Siao-liong-Ii terkejut dan hendak menolongnya, tapi dia teralang oleh golok musuh dan takdapat mendekat

"Tangkap dia !" seru Kongsun Kokcu. serentak empat murid seragam hijau menubruk maju dengan membentang jaring, sekali tebar, seketika Nyo Ko tertawan di dalam jaring mereka.

"Bagaimana kau, Liu-ji?" Kongsun Kokcu berpaling dan bertanya kepada Siao-liong-li

Siao-liong-li menyadari sendirian pasti bukan tandingan sang Kokcu, ia buang Siok-li-kiam (pe-dang perempuan) ke lantai, terdengar suara "cring" nyaring, tahu2 Kun-cu-kiam dan Siok-lt-kiam saling menyerot terus lengket menjadi satu. Rupanya pada kedua pedang itu terdapat daya semberani yang sangat kuat

Dengan tegas Siao-liong-li lalu berkata: "Pedang" saja begitu, masakah manusia tidak? Bolehlah kau bunuh saja kami berdua!"

Kongsun Kokcu mendengus sekali, katanya:

"lkut padaku, sini!" Lalu ia memberi salam kepada Kim-lun Hoat-ong dan lainnya dan berkata : "Maaf kutinggalkan sebentar,"

Segera ia mendahului melangkah ke ruangai belakang, dengan menyeret jaringnya keempat anak muridnya lantas: ikut ke sana". Karena Nyo Ko sudah tertawan, dengan sendirinya Siao-liong-li juga ikut masuk.

"Hayo, Hwesio Gede dan Mayat Hidup, Kita harus berdaya menolong kawan kita," seru Be Kong-co kepada Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang ~cu

Hoat-ong hanya tersenyum saja tanpa menjawab, sedang Siau-siang-cu lantas menjengek "Hm, kau sendiri berbadan segede gajah, apakah kau pikir mampu menandingi tuan rumahnya?"

Be Kong-co menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan merasa tidak berdaya, terpaksa hanya menjawab: "Tidak mampu menandingi juga harus labrak dia, harus!"

Kongsun Kokcu terus melangkah ke sana dengan bersitegang leher dan masuk sebuah kamar batu kecil, lalu berkata kepada Siao-Iiong-li: "Liu-ji, bukan maksudku hendak bikin susah kau, aku cuma berusaha mencegah kalau2 kau bunuh diri,"

Segera ia memberi tanda, empat muridnya berseragam hijau terus menutupi tubuh Siao-liong-li dengan sebuah jaring dan diringkus, kemudian sang Kokcu berkata puIa: "Bawakan sini beberapa ikat bunga cinta,"

Nyo Ko dan Siao-liong-Ii sudah bertekad ingin mati bersama, keduanya hanya saling pandang dengan tersenyum saja dan tidak ambil pusing terhadap segala tindak perbuatan Kongsun Kokcu.



Selang tidak lama, se-konyong2 dari luar kamar teruar bau harum semerbak yang memabokkan, Waktu Nyo Ko berdua menoleh, terlihatlah belasan anak murid seragam hijau membawa masuk ber-ikat2 rangkuman bunga cinta, Tangan mereka memakai sarung kulit untuk menjaga tusukan duri bunga itu.

Ketika Kongsun Kokcu memberi tanda perintah agar rangkuman bunga cinta itu diuruk semuanya di atas badan Nyo Ko, seketika Nyo Ko merasa sekujur badan se-akan2 digigit oleh be-ribu2 lebah sekaligus, kaki tangan dan segenap ruas tulang terasa sakit tak tertahan, sampai akhirnya ia mengerang kesakitan.

Siao-liong-li merasa pedih dan kasihan serta gusar pula, ia membentak Kongsun Kokcu: "Kau-berbuat apaan ini?"

Dengan tegas Kongsun Kokcu berkata: "Liu-ji, sekarang adalah waktu upacara pernikahan kita harus berlangsung, tapi bocah ini telah mengacau ke sini sehingga saat bahagia kita telah dibikin berantakan olehnya, Sebenarnya aku tidak pernah kenal dia dan tiada permusuhan apapun, apalagi dia adalah kenalanmu yang lama, asalkan dia mau taat kepada sopan santun sebagai seorang tamu, dengan sendirinya akupun akan melayani dia dengan hormat, tapi sekarang urusan sudah begini terpaksa...". sampai di sini ia memberi tanda agar anak muridnya keluar semua, ia menutup pintu kamar, lalu menyambung pula: "sekarang aku minta kau memilih sendiri, ingin dia mati atau hidup, semuanya bergantung kepada keputusanmu."

Di bawah tusukan duri bunga cinta yang tak terhitung banyaknya itu, sungguh rasa derita Nyo Ko tak tertahankan, cuma dia tidak ingin si nona menyusahkannya, maka sebisanya dia mengertak gigi dan tutup mulut menahan rasa sakit.

Siao-liong li memandangi muka anak muda itu dengan penuh rasa kasih mesra, pada saat itu juga racun duri bunga cinta yang melukai jarinya itu kumat lagi sehingga kesakitan, diam2 ia pikir: "Aku cuma tertusuk sedikit saja sudah begini sakit, apalagi dia sekarang sekujur badan ditusuki duri itu, mana dia tahan!"

Rupanya Kongsun Kokcu tahu isi hati si nona, katanya: "Liu-ji, dengan setulus hati aku ingin mengikat perjodohan denganmu, semua itu timbul dari cintaku padamu secara murni dan sama sekali tiada maksud buruk, dalam hal ini kau sendiri tentu paham."

Siao liong-li-mengangguk dan menjawab dengan pilu "Kau memang sangat baik padaku, sebelum dia datang ke sini senantiasa kau menuruti segala keinginanku." - ia menunduk sejenak dan menghela napas panjang, lalu berkata pula:" Kongsun siansing, kalau saja engkau tidak menemukan diriku tempo hari dan tidak menyelamatkan jiwaku sehingga aku sudah mati tanpa persoalan, maka segalanya tentu akan lebih baik bagi kita bertiga-Tapi sekarang kalau engkau memaksa aku menikah denganmu, tentu aku tidak akan gembira selama hidup ini dan apa manfaatnya pula hal ini bagimu?"

Kembali kedua alis Kongsun Kokcu mengerut rapat, dengan berat ia berkata: "Selamanya aku bicara satu tetap satu, bilang dua tetap dua, se-kali2 tidak sudi ditipu dan dihina orang, Kau sendiri sudah berjanji akan menikah dengan aku, maka janji itu harus ditepati Mengenai suka duka atau sedih bahagia memang dapat berubah dan sukar diduga, biarlah kita ikuti saja kelanjutannya nanti"

Kemudian dia menyambung pula: "Sekujur badan orang ini telah terluka oleh duri bunga cinta, selang setiap satu jam rasa, sakitnya akan bertambah satu bagian puIa, sesudah 6 x 6 - 36 hari nanti dia akan mati karena rasa sakit tak tertahankan. Tapi dalam waktu 12 jam aku akan dapat menyembuhkan dia dengan obat mujizat buatanku sendiri, selewatnya 12 jam biarpun malaikat dewata juga tidak sanggup menolongnya. Maka dia harus mati atau hidup semuanya bergantung padamu" sembari bicara ia melangkah pelahan ke pintu , kamar dan membuka pintu, lalu menoleh dan berkata lagi: "Jikalau lebih suka dia mati kesakitan secara tersiksa, ya, terserah juga kepadamu, bolehlah kau menunggunya 36 hari di sini dan menyaksikan kematiannya. Li-ji, sama sekali aku tiada bermaksud membikin celaka dirimu, untuk ini kau tidak perlu kuatir." - Habis berkata segera ia hendak melangkah keluar

Siao-liong-li percaya apa yang dikatakan itu bukan omong kosong belaka, ia pikir kalau saja dirinya dapat mati bersama Nyo Ko, maka segala urusan akan menjadi beres seluruhnya, Tapi Kongsun Kokcu justeru memakai cara keji ini, tampaknya Nyo Ko sedang menahan rasa sakit, hal ini jelas kelihatan dari tubuh anak muda itu yang gemetaran, bibirnya tergigit hingga berdarah, kedua matanya yang jeli dan bersinar tajam itu kini tampak guram.

Terbayang olehnya betapa menderitanya anak muda itu, apabila rasa sakit itu semakin bertambah pada setiap jam dan terus menerus tersiksa hingga 36 hari lamanya, mungkin di akhirat sekalipun tiada siksa derita sehebat itu.

Mengingat begitu, ia menjadi nekat dia berkata: "Baiklah, Kongsun-siansing, kujanji akan menikah dengan kau, lekas kau membebaskan dia dan ambilkan obat untuk menolongnya,"

Sejak tadi Kongsun Kokcu mendesak Siao-liong li, tujuannya justeru ingin si nona mengucapkan demikian, apa yang didengarnya sekarang membuatnya bergirang tapi juga iri dan gemas, ia tahu sejak kini perempuan ini hanya akan merasa benci dan dendam padanya dan se-kali2 takkan ada rasa cinta.

Namun begitu iapun mengangguk dan menjawab: "Baik, pikiranmu sudah berubah, betapapun ada baiknya bagi kita! Malam nanti setelah resmi kita menjadi suami-isteri, besok pagi segera kuberikan obat penawar padanya."

"Silahkan kau mengobati dia lebih dahulu," ujar Siao-liong-li

"Liu-ji, tampaknya kau terlalu memandang rendah padaku," kata Kongsun Kokcu, "Biarpun kau sudah berjanji akan menjadi isteriku, tapi sebenarnya kau tidak sukarela, memangnya aku tidak tahu isi hatimu dan masakah aku dapat menyembuhkan dia lebih dulu?" sembari berkata ia terus melepaskan jaring ikan yang membungkus tubuh Siao-liong-li itu. lalu meninggalkan nona itu bersama Nyo Ko di dalam kamar.

Kedua muda-mudi saling pandang dengan bungkam, sampai sekian lama barulah Nyo Ko membuka suara dengan pelahan: "Kokoh, aku sangat bahagia mendapatkan cintamu yang murni, biarpun di alam baka juga aku akan terhibur, BoIehlah kau pukul mati saja dan engkau lekas kabur sejauhnya dari sini,"

Siao-liong-li pikir gagasan ini juga baik, setelah kupukul mati dia, segera akupun membunuh diri. Segera ia mengangkat tangannya dan mengerahkan tenaga dalam.



Dengan tersenyum simpul dan sorot mata yang halus Nyo Ko memandangi Siao-liong-li dengan rasa bahagia, desisnya dengan lirih: "Saat ini adalah malaman pengantin kita berdua,"

Melihat wajah si Nyo Ko yang bersuka ria itu, tiba2 timbul lagi pikiran Siao-liong-li: "Anak muda yang begini cakap, apa dosanya sehingga Thian harus membuat dia mati konyol sekarang."

Tiba2 dada terasa sesak, tenggorokan terasa anyir, darah segar hampir tertumpah lagi, tenaga dalam yang sudah terhimpun di tangan Siao-liong-li itu lenyap seketika, Mendadak ia menubruk ke atas tubuh yang terbungkus jaring dan penuh bunga cinta itu, seketika beribu duri bunga itu mencocok tubuhnya, tapi dengan suara halus dia berbisik "Ko-ji biarlah kita sama-sama menderita."

"Buat apa kau berbuat begitu?" tiba2 suara seorang menjengek di belakangnya. "Apakah rasa sakit tubuhmu itu dapat mengurangi rasa deritanya?"

Jelas itulah suara Kongsun Kokcu. Siao-liong li memandang Nyo Ko sekejap dengan perasaan remuk rendam, pe-lahan2 ia memutar tubuh dan melangkah keluar kamar dengan menunduk dan tanpa berpaling lagi.

"Adik Nyo," kata Kongsun kokcu kepada -Nyo Ko, "lewat enam jam lagi nanti kubawakan obat mujarab untuk menolong kau. Selama enam jam ini kau harus berpikiran tenang dan bersih, sedikitpun tidak boleh timbul pikiran menyeleweng atau napsu birahi, dengan begitu walaupun ada rasa sakit juga tidak seberapa hebat,"

Habis berkata ia terus keluar dan merapatkan pintu kembali. Begitulah tubuh Nyo Ko tersiksa dan hatipun sakit.

"Tadi mengapa Kokoh tidak jadi memukul mati aku saja?" demikian ia pikir. "Segala macam siksa derita yang pernah kurasakan kalau dibandingkan apa yang kurasakan sekarang sungguh bukan apa2. Kokcu ini sungguh keji, mana aku boleh mati begitu saja dan meninggalkan Kokoh berada dalam cengkeramannya dan menderita selama hidup. Apalagi, sakit hati kematian ayahnya belum terbalas, mana boleh manusia munafik sebangsa Kwe Cing dan Ui Yong tidak diberi ganjaran yang setimpal.

Berpikir begitu, serentak timbul semangatnya: "Tidak, aku tidak boleh mati betapapun tidak boleh mati sekalipun Kokoh menjadi nyonya rumah di sini juga akan kubebaskan dia dari cengkeraman Kokcu yang keji itu. Selain itu aku masih harus giat berlatih untuk menuntut balas sakit hati kematian ayah-ibu."

Dengan tekad harus tetap hidup, segera ia duduk bersila, meski terjaring dan tidak dapat berduduk dengan baik, namun tenaga dalam dapat juga dikerahkan dan mulailah dia bersemedi.

Selang agak lama, sudah lewat lohor, datanglah seorang murid seragam hijau dengan membawa sebuah piring berisi empat potong roti tawar. Katanya kepada Nyo Ko: "Kokcu mengadakan pesta nikah, biar kaupun ikut makan yang kenyang,"

Segera ia ambilkan panganan seperti roti tawar itu dan menyuapi Nyo Ko melalui lubang jaring itu, Tangannya terbungkus oleh kain tebal untuk menjaga cocokan duri bunga cinta.

Tanpa ragu Nyo Ko menghabiskan empat potong kue itu, ia pikir kalau hendak perang tanding dengan Kokcu bangsat itu, maka aku tidak boleh kelaparan dan merusak tubuhku sendiri.

"Eh, tampaknya napsu makanmu cukup besar juga," ujar murid seragam nyau itu dengan tertawa, pada saat itulah tiba2 bayangan hijau berkelebat, secara diam2 telah menyelinap masuk pula seorang murid baju hijau, dengan berjinjit ia mendekati orang pertama tadi, mendadak ia hantam sekuatnya di punggung orang itu, sebelum orang pertama sempat melihat siapa pendatang itu sudah lebih dulu dipukul pingsan.

Waktu Nyo Ko mengamati, ternyata penyergap itu bukan lain daripada Kongsun Lik-oh, ia berseru kaget. "He, kau..."

"Sssst, jangan bersuara, Nyo-toako, kudatang untuk menolong kau!" desis Kongsun Lik-oh.

Ia menutup dulu pintu kamar, menyusul ia membukakan ikatan jaring dan menyingkirkan timbunan bunga cinta serta mengeluarkan Nyo Ko.

Nyo Ko menjadi ragu2 dan berkata: "Wah, jika diketahui ayahmu...."

"Biarlah kutanggung akibatnya," ujar Kongsun Lik-oh sambil memetik secomot bunga cinta dan dijejalkan ke dalam mulut murid baju hijau agar tidak dapat berteriak bila sudah siumafi nanti.. Habis itu ia bungkus pula orang itu dengan jaring ikan serta ditimbuni bunga cinta, Lalu bisiknya kepada Nyo Ko: "Nyo-toako, kalau ada orang datang, hendaklah, kau sembunyi di belakang pintu. Kau keracunan bunga cinta, akan kuambilkan obat penawarnya ke kamar obat ayah sana."

Nyo Ko sangat berterima kasih, iapun tahu si nona sengaja menghadapi bahaya besar itu untuk menolongnya padahal mereka berkenalan belum ada satu hari, tapi nona itu rela mengkhianati bahaya sendiri untuk menolongnya, dengan terharu ia berkata pula: "Nona, aku....aku....". namun ia tidak mampu meneruskan lagi.

Kongsun Iik-oh. tersenyum bahagia, ia rela dlhukum mati ayahnya melihat betapa terima kasih anak muda itu kepadanya. Segera ia berkata pula:

"Kau tunggu sebentar segera kukembali ke sini."

Habis itu ia menyelinap keluar.

"Mengapa dia begitu baik terhadapku?" demikian Nyo Ko ter-mangu2 dan merenungkan nasibnya sendiri, ia pikir meski dirinya berulang mengalami nasib buruk dan sejak kecil dihina dan dianiaya orang, namun di dunia ini ternyata juga tidak sedikit orang yang berbaik hati padanya.

Selain Kokoh, ada pula Sun-popoh. Ang Chit-kong, juga ayah angkatnya, yaitu Auyang Hong serta Ui Yok-su ditambah lagi nona cantik seperti Thia Eng, Liok Bu-siang serta Kongsun Lik-oh sekarang ini, semuanya sangat baik padanya.

Nyo Ko menjadi heran sendiri apa barangkali bintang kelahirannya yang terlalu aneh sehingga ada manusia yang begitu kejam padanya, tapi juga banyak manusia yang teramat baik padanya.

Padahal sebenarnya pengalamannya yang terlalu luar biasa, orang yang pernah dikenalnya kalau tidak teramat baik padanya tentu terlalu jahat padanya, soalnya karena wataknya yang cenderung ke sudut ekstrim, siapa yang cocok dengan wataknya akan dihadapi dengan tulus ikhlas, sebaliknya kalau tidak cocok akan dipandangnya sebagai musuh.

Cara beginilah dia menghadapi orang lain dan dengan sendirinya orang lain juga membalasnya dengan cara yang sama.



Begitulah dia menunggu sampai sekian lama dengan sembunyi di belakang pintu, tapi sampai lama Kongsun Lik-oh masih belum nampak muncul lagi, sementara itu si murid baju hijau sudah siuman sejak tadi, karena terbungkus oleh jaring ikan dan ditimbuni pula bunga cinta, kelihatan dia merasa cemas dan gusar pula.

Semakin lama menunggu semakin kuatir pula Nyo Ko, semula ia pikir mungkin di kamar obat itu ada orang sehingga belum ada peluang bagi Kongsun Lik-oh untuk mencuri obat, tapi lama2 ia pikir, urusannya tentu tidak begitu sederhana, biarpun gagal mencuri obat tentu si nona akan kembali memberitahukannya, tampaknya urusan banyak buruk daripada selamatnya, Kalau si nona mati menghadapi bahaya bagiku, mengapa kudiam saja di sini dan tidak berdaya untuk menolongnya.

Ia coba membuka pintu sedikit, dari celah pintu ia mengintip keluar, syukur di luar sunyi senyap tiada seorangpun dengan pelahan ia terus menyelinap keluar. Tapi ia menjadi bingung karena tidak tahu di mana beradanya Kongsun Lik-oh.

Sedang bingung, tiba2 terdengar suara tindakan orang di tikungan sana, cepat ia sembunyi di balik tikungan sebelah sini sejenak kemudian dua anak murid seragam hijau tampak mendatangi dengan jalan berjajar, tangan masing2 memegang sebilah pentung yang biasanya dipakai sebagai alat perangkat pesakitan..."

Tergerak hati Nyo Ko: "Apakah mungkin Kongsun Lik-oh tertangkap oleh ayahnya dan sedang akan diberi hukuman?" Segera ia mengikuti kedua orang itu dengan hati-hati.

Kedua orang itu sama sekali tidak tahu, mereka berjalan terus dan membelok kesana dan menikung kesini, akhirnya sampai di depan sebuah kamar, segera mereka berseru: "Lapor Kokcu, alat rangket sudah siap" - Lalu mereka mendorong pintu dan masuk ke dalam.

Hati Nyo Ko menjadi berdebar, "Kokcu bangsat itu ternyata benar ada di sini," katanya di dalam hati.

Dilihatnya sebelah timur kamar itu ada jendela, segera ia merunduk ke bawah jendela dan melongok ke dalam, benar juga kelihatan Kongsun Lik-oh sudah tertawan di situ. Tertampak Kokcu duduk di tengah, dua muridnya dengan pedang terhunus berjaga di kanan-kiri Kongsun Lik-oh

Setelah alat rangket diterima, segera Kongsun Kokcu mendengus: "Lik-ji, kau adalah darah daging-ku sendiri, sebab apa kau tega mengkhianati ayahmu?"

Kongsun Lik-oh hanya menunduk dan tidak menjawab.

"Kau telah jatuh hati kepada bocah she Nyo itu, memangnya kau kira aku tidak tahu?" jengek pula Kongsun Kokcu, "Aku kan sudah menyatakan akan membebaskan dia, mengapa kau ter-buru2. Bagaimana kalau besok juga ayah bicara dengan dia dan menjodohkan kau padanya?"

Nyo Ko bukan pemuda dungu, dengan sendirinya iapun mengetahui Kongsun Lik-oh itu jatuh cinta padanya, sekarang mendengar orang lain mengutarakan hal itu secara terang2an, betapapun jantungnya berdetak keras dan air muka menjadi merah.

Se-konyong2 Kongsun Lik-oh angkat kepalanya dan berkata nyaring: "Ayah, saat ini engkau lagi memikirkan "perkawinanmu" sendiri, mana engkau sempat memikirkan kepentingan putrimu?"

Kongsun Kokcu hanya mendengus saja dan tidak menanggapi.

Segera Kongsun Lik-oh menyambung pula: "Ya, memang, anak memang kagum terhadap kepribadian Nyo-kongcu yang setia dan berbudi itu, Tapi anakpun tahu dalam hatinya sudah terisi oleh Liong-kokoh seorang, sebabnya anak menolong dia hanya karena tidak setuju atas tindak tanduk ayah dan tiada tujuan lain."

Hati Nyo Ko sangat terharu mendengar ucapan itu, ia pikir Kokcu bangsat dan jahat ini ternyata melahirkan puteri yang baik hati

Air muka Kongsun Kokcu kelihatan kaku tanpa menunjuk sesuatu perasaan, katanya dengan hambar. "Jadi menurut pandanganmu ayahmu ini orang jahat, tidak berbudi, begitu?"

"Mana anak berani menuduh ayah demikian." ujar Kongsun Lik-oh, "Cuma... cuma..."

"Cuma apa?" desak Kongsun Kokcu.

"Nyo-kongcu tersiksa oleh tusukan duri bunga cinta, mana dia sanggup menahan rasa sakitnya," kata Kongsun Lik-oh. "Ayah, kumohon engkau suka berbuat bajik dan kasihan padanya, sudilah engkau membebaskan dia."

"Hm, besok aku sendiri dapat membebaskan dia, buat apa kau ikut campur?" jengek sang ayah.

Untuk sejenak Kongsun Lik-oh termangu diam seperti sedang memikirkan sesuatu yang diragukan apakah harus diutarakannya atau tidak, tapi mendadak air mukanya mengunjuk penuh rasa keyakinan secara tegas ia berkata kepada sang, ayah: "Ayah, anak telah dibesarkan engkau, sedangkan Nyo-kongcu baru kukenal, sebab apa anak malah membela dia? Apabiia besok ayah sungguh2 mau mengobati dia dan membebaskan dia, masakah anak berani lagi datang ke kamar obat ini?"

"Habis apa maksud kedatanganmu ini?" tanya Kokcu dengan bengis.

"Soalnya anak tahu ayah tidak bermaksud baik padanya," jawab Lik-oh lantang, "malam nanti setelah ayah kawin dengan Liong-kokoh, tentu engkau akan membinasakan Nyo-kongcu dengan keji untuk menghilangkan segala harapan Liong-kokoh,"

Sehari-harinya Kongsun Kokcu jarang memperlihatkan rasa senang atau gusarnya, segala urusan biasanya diselesaikan secara adil dan baik, terhadap anak muridnya juga sangat baik, sebab itulah anak buahnya sangat tunduk padanya.

Tapi Kongsun Lik-oh juga cukup kenal isi hati sang ayah, menghadapi pengacauan Nyo Ko sekarang jelas ayahnya pasti akan membinasakan anak muda itu.

Karena isi hatinya dengan jitu kena dikorek oleh anak perempuannya, Kongsun Kokcu menjadi gusar, jengeknya: "Benar2 piara macan mendatangkan bencana. Sudah kubesarkan kau, siapa tahu sekarang kau malah menggigit ayahmu sendiri serahkan sini" Berbareng sebelah tangannya dijulurkan.

"Apa yang ayah inginkan?" tanya Likoh,

"Masih kau berlagak pilon?" bentak sang Kokcu, "Goat-ceng-tan (pil putus cinta)! Obat penawar racun bunga cinta itu!"

"Anak tidak mengambilnya," jawab Lik-oh.

"Habis siapa yang mencurinya?" teriak Kongsun Kokcu sambil berdiri.

Nyo Ko mengamati isi kamar itu, terlihat di atas meja, almari, penuh terderet botol obat, dinding juga banyak tergantung rumput obat yang tidak dikenal namanya, Di sebelah kiri sana bejajar tiga buah anglo pemasak obat, tentu kamar inilah yang disebut kamar obat.



Melihat muka Kongsun Kokcu yang bersungut itu, jelas Kongsun Lik-oh pasti akan mendapat hukuman berat Terdengar nona itu berkata pula: "Ayah, memang betul anak masuk ke sini ingin mencuri obat untuk menolong Nyo-kongcu, tapi sekian lamanya kucari dan tidak menemukan obat nya, kalau tidak masakah dapat dipergoki Ayah?"

Dengan suara bengis Kongsun Kokcu membentak "Tempat obat ini sangat dirahasiakan, beberapa orang luar sejak tadi juga berada di ruangan tamu, tapi sekarang Coat-ceng-tan bisa hilang mendadak, memangnya obat itu punya kaki dan dapat lari ?"

Tiba2 Lik-oh bertekuk lutut di depan sang ayah, katanya sambil menangis. "Ayah, sudilah engkau mengampuni jiwa Nyo-kongcu, suruhlah dia pergi dari sini dan dilarang datang lagi selamanya."

"Hm, jika keselamatan ayahmu terancam, belum tentu kau sudi berlutut dan mintakan ampun kepada orang," jengek Kongsun Kokcu.

Lik-oh tidak menjawab lagi, ia hanya menangis sembari merangkul kedua kaki ayahnya.

"Coat-ceng-tan sudah kau ambil, cara bagaimana aku dapat menolongnya seperti permintaanmu?" uj'ar Kongsun Kokcu. "Baiklah, kau tidak mau mengaku juga terserah padamu. Boleh kau tinggal satu hari di sini, Obat itu sudah kau curi, tapi tak dapat kau antar kepada bocah itu, selewatnya 12 jam barulah kulepaskan kau nanti." - Habis berkata ia terus melangkah ke pintu kamar.

Kongsun Lik-oh tahu lihaynya racun bunga cinta itu, sedikit tercocok durinya saja akan menderita tiga hari, apalagi sekarang sekujur badan Nyo Ko tertusuk beribu durinya, dalam waktu 12 jam tak diberi obat tentu akan mati kesakitan, sekarang ayahnya hendak pergi begitu saja, itu berarti hukuman mati bagi Nyo Ko. Maka cepat ia berseru: "Nanti dulu, ayah!"

"Apalagi yang hendak kau katakan ?" tanya sang ayah.

"Ayah, singkirkan dulu mereka," kata Lik-oh sambil menuding keempat murid baju hijau.

"Setiap penghuni lembah kita ini adalah orang sendiri dan bersatu hati, tiada sesuatu yang perlu dirahasiakan," ujar Kokcu.

Wajah Lik-oh tampak merah padam, tapi segera berubah menjadi pucat, katanya kemudian: "Baiklah engkau tidak percaya kepada perkataan anak, silakan engkau periksa apakah obat itu ada padaku atau tidak?" Segera ia membuka baju sendiri, lalu melepaskan gaunnya.

Sama sekali Konasun Kokcu tidak menduga puterinya bisa berbuat senekat itu, cepat ia memberi tanda agar keempat muridnya keluar, lalu pintu kamarpun ditutup, Hanya sekejap saja Kongsun Lik-oh sudah menanggalkan pakaiannya kecuali kutang dan celana dalam, benar juga tidak nampak sesuatu benda apapun pada tubuhnya.

Dari tempat sembunyinya Nyo Ko dapat melihat seluruh tubuh si nona yang putih bersih ltu, seketika jantungnya berdetak keras. Dia adalah pemuda perkasa, sedangkan tubuh Kongsun Lik-oh sangat montok serta berwajah cantik, betapapun darahnya menjadi bergolak.

Tapi segera teringat pula olehnya: "Ah, dia ingin menyelamatkan jiwaku sehingga rela membuka baju, wahai Nyo Ko, apabila kau memandangnya lagi sekejap, maka lebih rendahlah kau daripada bintang." Cepat ia pejamkan mata, namun karena pikiran kacau, tanpa sengaja dahinya telah membentur daun jendela.

Betapa lihainya Kongsun Kokcu, hanya suara benturan sedikit itu saja sudah diketahuinya, diam2 ia mendapatkan akal, ia mendekati ketiga anglo pemasak obat, anglo yang tengah didorongnya ke samping, anglo bagian kanan ditariknya ke tengah dan anglo sebelah kiri digeser ke kanan. Habis itu anglo yang tengah tadi di dorong ke sebelah kiri.

"Baiklah, jika begitu kuterima permintaanmu untuk mengampuni jiwa bocah itu," kata sang Kokcu kemudian.

Lik-oh sangat girang dan berulang menyembah "Ayah!" katanya dengan suara gemetar.

Kokcu duduk kembali pada kursi di dekat dinding, lalu berkata pula: "Tapi peraturanku tentu pula sudah kau ketahui, apa akibatnya jika sembarangan masuk kamar obat ini tanpa idzinku?"

"Hukuman mati," jawab Lik-oh sambil menunduk.

"Meski kau adalah puteri kandungku, namun peraturan harus dilaksanakan kau mangkat baik2 saja," kata Kongsun Kokcu dengan menghela napas sambil melolos pedang hitam dan diangkat ke atas, tiba2 ia berkata pula dengan suara halus: "Ai, anak Lik, kalau saja selanjutnya kau tidak membela bocah she Nyo itu, maka jiwamu dapat kuampuni, Diantara kau dan dia hanya satu saja yang dapat diampuni, coba katakan, mengampunkan dia atau kau?"

"Dia!" jawab Kongsun Lik-oh dengan suara pelahan tanpa ragu.

"Bagus, puteriku sungguh seorang yang maha berbudi dan jauh melebihi ayahmu ini," kata Kokcu, pedangnya terus membacok ke kepala Lik-oh.

"Nanti dulu." seru Nyo Ko dengan terkejut, tanpa pikir lagi ia mendobrak jendela dan melompat ke dalam, Selagi tubuh masih terapung di udara iapun berseru pula: "Persoalan ini tiada sangkut pautnya dengan nona Kongsun, silakan kau membunuh aku saja,"

Sebelah kakinya telah menutul lantai dan baru tangannya hendak meraih pedang hitam Kongsun Kokcu, tiba2 tempat kakinya berpijak itu terasa lembek, seperli menginjak tempat kosong.

Diam2 Nyo Ko mengeluh bisa celaka, dengan mengerahkan tenaga dalam, sekuataya ia angkat tubuhnya ke atas, dalam keadaan kaki tidak mendapatkan tempat berpijak, caranya mengangkat tubuh ke atas itu sungguh ilmu mengentengkan tubuh yang maha hebat.

"Sayang kepandaian sebagus itu!" terdengar Kongsun Kofccu berseru, mendadak ia dorong Lik-oh sehingga tubuh nona itu terdoyong ke belakang dan menumbuk badan Nyo Ko.

Nyo Ko dapat merasakan dorongan Kokcu itu sangat keras apabila tubuh kedua orang tertumbuk tentu Kongsun Lik-oh akan terluka parah, cepat Nyo Ko menahan pelahan punggung si nona, dengan tenaga dalam yang lunak ia elakkan daya dorongan itu, tapi karena itu juga ia sendiri menjadi sukar menggeser lagi ke samping, bersama Kongsun Lik-oh mereka berdua terus anjlok lurus ke bawah, terasa kosong di bawah kaki, tiada sesuatu yang terinjak, mereka terus anjlok ke bawah hingga berpuluh meter dan masih belum mencapai tanah.

Meski cemas dan gugup, tapi dalam hati Nyo Ko masih memikirkan keselamatan jiwa Kongsun Lik-oh, dalam keadaan gawat ia angkat tubuh si nona ke atas, pandangannya terasa gelap gulita dan entah akan terjatuh di tempat mana, entah dibawah kaki nanti apakah lautan api atau rimba belati?



Belum habis berpikir, "byar", tahu2 mereka berdua terjeblos ke dalam air dan terus tenggelam ke bawah dengan cepat. Kiranya di bawah kamar obat itu adalah sebuah sumur yang sangat dalam.

Pada detik tubuhnya menyentuh air itupun hati Nyo Ko lantas bergirang, ia tahu jiwanya dapatlah selamat untuk sementara Bayangkan saja, mereka terjerumus dari ketinggian ber-puluh2 meter, sekalipun memiliki kepandaian tinggi juga akan terluka parah apabila terbanting.

Lantaran anjiokan mereka itu sangat keras, dengan sendiri terceburnya ke dalam air juga dalam mereka terus tenggelam ke bawah se-akan2 tiada hentinya, Sekuatnya Nyo Ko menahan napas, ia tunggu setelah daya menurunnya sudah rada lambat, dengan tangan kiri ia rangkul Lik-oh dan tangan kanan digunakan menggayuh air agar dapat timbul ke permukaan air.

Pada saat itu juga hidungnya lantas mengendus bau amis busuk, berbareng itu terdengar suara percikan gelombang air seperti ada makhluk raksasa air yang akan menyerangnya.

Sekilas timbul suatu pikiran dalam benak Nyo Ko: "Kokcu bangsat ini menjebloskan kami berdua ke sini, mana dia bermaksud baik?" Tanpa pikir tangan kanan terus menghantam ke sebelah, maka terdengar suara keras disertai berdeburnya air, dengan meminjan daya tolakan pukulan itu Nyo Ko dapat menongol ke permukaan air dengan merangkul Kongsun Lik-oh

Sebenarnya Nyo Ko tidak dapat berenang, sebabnya dia sanggup bertahan dalam adalah berkat menahan napas dengan Lwekangnya yang tinggi itulah, maka keadaan gelap gulita, hanya terdengar di sebelah kiri dan belakang suara percikan air yang sangat keras, cepat tangan kanannya menabok kesana dan mendadak tangannya menahan pada sesuatu benda yang kaku, keras dan dingin, sungguh tidak kepalang kagetnya, ia pikir: "Masakah betul di dunia ini ada naga?"

Sekuatnya ia menolak ke bawah sehingga tubuh nya mencelat ke atas, sebaliknya makhluk air itu kena ditekannya ke bawah air.

Nyo Ko menarik napas panjang2 dan bersiap untuk terjebur lagi ke dalam air, Tak terduga di mana kakinya menginjak ternyata berada di atas batu karang, Hal ini sama sekali tak terduga olehnya, Lantaran salah menggunakan tenaga pada ka-kinya, kakinya menjadi sakit malah menginjak batu.

Saking girangnya rasa sakitpun terlupakan, ia coba meraba dengan tangan, kiranya batu karang itu terletak di tepi sumur yang dalam itu. Kuatir diserang lagi oleh makhluk aneh tadi, cepat ia merangkak ke tepian yang lebih tinggi, di situ ia berduduk untuk mengaso.

Kongsun Lik-oh telah minum beberapa ceguk air dan dalam keadaan setengah pingsan, Nyo Ko membiarkan nona itu mendekap di atas pahanya dan memutahkan air.

Terdengar suara batu karang itu dicakar dan digaruk oleh kuku besar disertai bau busuk amis yang menusuk hidung, kembali dua ekor makhluk aneh itu merangkak ke atas.

"He, apa itu?" seru Kongsun Lik-oh kaget sambil bangkit berduduk dan merangkul leher Nyo Ko.

"Jangan takut, sembunyi saja di belakangku," ujar Nyo Ko,

Kongsun lik-oh tidak berani bergerak, ia merangkul semakin kencang, "He,buaya... buaya..." serunya dengan suara gemetar

Ketika masih tinggal di Tho-hoa-to, pernah juga-Nyo Ko melihat buaya dan tahu binatang itu sangat kejam dan ganas, jauh lebih lihay daripada serigala atau harimau di daratan, Di kala bermain dengan Kwe Hu dan kedua saudara Bu, sering mereka bertemu dengan- buaya, tapi merekapun tak berani mengusiknya dan lebih suka menyingkirinya.

Tak terduga sumur di bawa tanah ini ternyata juga ada buayanya,

Segera ia berduduk dan mengerahkan tenaga pada kedua tangan serta mendengarkan dengan cermtat, ia lihat tiga ekor buaya sedang mendekat.

"Nyo-toako, tidak terduga akan mati bersama di sini," bisik Kongsun Lik-oh.

"Btarpun mati juga harus kita bunuh beberapa ekor buaya ini," kata Nyo Ko dengan tertawa.

Dalam pada itu buaya yang paling depan sudah dekat, cepat Lik-oh berani: "Hantam dia!"

"sebentar Iagi," ujar Nyo Ko sambil menjulurkan sebelah kaki ke bawah batu karang, setelah merambat lebih dekat lagi, mendadak buaya pertama tadi membuka mulut hendak menggigit Nyo Ko.

Cepat sekali Nyo Ko menarik kakinya terus menendang ke bagian tenggorokan binatang itu. Tanpa ampun buaya ita terjungkal dan tercebur ke dalam sumur, Terdengar suara berdeburnya air, kawanan buaya di dalam sumur menjadi kacau, sementara itu kedua ekor buaya yang Iain juga sudah mendekat.

Walaupun menderita keracunan bunga cinta, tapi ilmu silat Nyo Ko sedikitpun tidak terganggu, tendangannya tadi sungguh sangat kuat, habis kena sasarannya, ia sendiri merasa ujung kaki amat kesakitan. sedangkan buaya yang tercebur lagi ke sumur itu masih dapat berenang dengan bebas, maka dapat dibayangkan betapa keras dan kuat kulit dagingnya.

Nyo Ko pikir kalau cuma bertangan kosong tentu sukar melayani buaya sebanyak itu, akhirnya dirinya dan si nona pasti akan menjadi isi perut binatang buas itu, rasanya harus mencari akal agar kawasan buaya itu dapat dibinasakan semua, ia coba meraba batu karang sekitarnya dengan mencari sepotong batu sebagai senjata, Tapi batu karang itu terasa halus licin, sebutir pasirpun tiada.

Dalam pada itu dua ekor buaya telah mendekat puIa, cepat ia tanya Kongsun lik-oh: "Apakah kau membawa senjata?"

"Aku?" si nona mengulang, segera teringat olehnya tubuh sendiri sekarang hanya mengenakan kutang dan celana dalam saja, tapi sedang berada dalam pelukan si Nyo Ko, seketika ia merasa malu, namun dalam hatipun merasa manis bahagia.

Karena perhatiannya tercurah kepada kawanan buaya, Nyo Ko tidak memperhatikan sikap nona yang kikuk itu, mendadak kedua tangannya menghantam sekaligus dan tepat mengenai kepala kedua ekor buaya yang sudah dekat itu, kedua buaya itu kurang gesit dan juga tidak berusaha menghindari namun kulit dan sisiknya sangat keras, buaya2 itu cuma kelengar saja, lalu terperosot ke dalam kolam walaupun tidak mati.

Pada saat lain dua ekor buaya merayap tiba, "Pola- cepat:" sebelah kaki Nyo Ko,mendepak sehingga salah seekor terpental ke dalam kolam, lantaran terlalu keras menggunakan tenaga sehingga rangkulannya kepada Kongsun Lik-oh menjadi kurang kencang, tubuh si nona ikut tergeser miring ke samping dan tergelincir ke bawah

Keruan Kongsun Lik-oh menjerit kaget, syukur sebelah tangannya sempat menahan pada batu karang, sekuatnya ia meloncat ke atas, pula Nyo Ko telah bantu menahan punggungnya sehingga dapat-lah si nona tertolong ke atas. Tapi karena selingan itu, buaya terakhir tadi sudah berada di samping Nyo Ko, mulutnya terpentang lebar terus menggigit pundak anak muda itu.

Dalam keadaan begitu Nyo Ko tidak sempat memukul atau menendangnya lagi, walaupun dapat melompat untuk menghindar tapi bila mulut buaya yang lebar itu terkatup, bukan mustahil badan Kongsun Lik-oh yang akan menjadi mangsanya, Tiada jalan lain, terpaksa kedua tangan Nyo Ko bekerja sekaligus, ia pentang mulut buaya itu se-kuatnya, mendadak ia menggertak keras dan mengerahkan tenaga, terdengarlah suara "kletak" moncong buaya yang panjang itu sempal dan robek, seketikapun mati.

Walaupun sudah membinasakan buaya buas itu, namun Nyo Ko sendiripun berkeringat dingin.

"Kau tidak cidera bukan?" tanya Lik-oh kuatir.

"Tidak," jawab Nyo Ko, hatinya sedikit terguncang mendengar suara si nona yang halus dan penuh simpatik itu. Karena terlalu kuat mengeluarkan tenaga, kedua lengan sendiri terasa rada sakit.

Memandangi bangkai buaya yang menggeletak diatas batu karang itu, dalam hati Kongsun Lik-oh sangat kagum, katanya: "Dengan bertangan kosong cara bagaimana engkau dapat membinasakan dia? Dalam kegelapan engkau ternyata dapat melihatnya dengan jelas."

"Cukup lama kutinggal di kuburan kuno bersama Kokoh, asal ada sedikit sinar terang saja dapatlah aku melihatnya," kata Nyo Ko. Teringat kuburan kuno dan Siao-liong-li, tanpa terasa ia menghela napas, mendadak seluruh badan kesakitan tak tertahankan ia menjerit sekerasnya.

Dua ekor buaya sebenarnya sedang merambat ke atas karang, karena jeritan Nyo Ko yang menyeramkan itu, buaya2 itu kaget dan melompat kembali ke dalam kolam.

Cepat Kongsun Lik-oh memegangi lengan Nyo Ko, tangan yang lain mengusap pelahan dahi anak muda itu dengan harapan akan dapat mengurangi rasa sakitnya.

Nyo Ko menyadari tubuhnya sendiri yang keracunan itu, sekalipun tidak terjeblos ke dalam sumur di bawah tanah ini juga hidupnya takkan lama, menurut ceritera Kongsun Kokcu itu, katanya akan menderita selama 36 hari baru mati, namun rasa sakit yang sukar ditahan ini, asal kumat beberapa kali lagi terpaksa aku akan membunuh diri saja.

Tapi sesudah ku mati, nona ini akan kehilangan teman dan pelindung, bukankah harus dikasihani ? padahal beradanya dia di sini adalah disebabkan membela diriku, Ya, apapun penderitaanku aku harus bertahan dan tetap hidup, semoga Kokcu itu mempunyai perasaan sebagai ayah dan akhirnya berubah pikiran dan mau menolong puterinya keluar dari sini

Karena memikirkan Kongsun Lik-oh, sementara melupakan Siao-liong-li sehingga rasa sakitnya segera mereda. Katanya kemudian: "Nona Kongsun jangan kuatir, kuyakin ayahmu pasti akan menolong kau nanti. Dia cuma benci padaku seorang, terhadapmu dia tentu sayang, kini pasti menyesali."

Dengan air mata berlinang Kongsun Lik-oh berkata: "Ketika ibuku masih hidup memang ayah sangat sayang padaku. Tapi setelah ibu meninggal makin hari makin dinginlah ayah terhadapku Na-mun kutahu dalam... dalam hatinya tidaklah... tidaklah benci padaku." - ia berhenti sejenak dan teringat kepada macam2 kejadian aneh, tiba2 ia berkata puIa: "Nyo-toako, bila kupikir sekarang rasa2nya ayah sebenarnya takut padaku."

"Mengapa dia bisa takut padamu? Sungguh aneh." ujar Nyo Ko.

"Memang begitulah," kata Lik-oh "Dahulu selalu kurasakan gerak-gerik ayah kurang wajar apabila bertemu denganku, se-akan2 di dalam hatinya tersimpan sesuatu rahasia dan kuatir diketahui olehku."

Walaupun sudah lama Lik-oh merasa heran atas sikap ayahnya itu, tapi setiap kali bila memikirkan hal itu, selalu ia anggap mungkin ayahnya merasa sedih karena wafatnya ibunya sehingga perangainya juga rada berubah, Tapi terceburnya dia ke dalam kolam buaya ini jelas perangkap yang telah diatur ayahnya.

Ketika ayahnya menggeser ketiga anglo di kamar obat itu, jelas itulah pesawat rahasianya. Kalau dikatakan ayah cuma dendam kepada Nyo Ko dan harus membunuhnya, maka anak muda ini sudah terkena racun bunga cinta, asalkan tidak diberi obat penawar tentu dia akan binasa, apalagi dia terjeblos ke dalam kolam buaya, lantas apa sebabnya ayah mesti mendorong diriku pula ke dalam kolam ini? Tenaga dorongannya yang keras itu jelas tiada lagi punya perasaan seorang ayah terhadap anak perempuannya.

Begitulah makin dipikir makin sedih hatinya, tapi dalam hati iapun semakin jelas duduknya perkara, semua tindak dan kata sang ayah dahulu yang membingungkan dan sering dianggapnya aneh, kalau terpikir sekarang jelas semua itu disebabkan oleh rasa "takut", cuma apa sebabnya seorang ayah bisa merasa takut terhadap puteri kandungnya sendiri inilah yang sukar dipahami.

Dalam pada itu di dalam kolam sedang terjadi hiruk pikuk, kawanan buaya sedang pesta pori mengganyang bangkai buaya yang dibunuh Nyo Ko tadi sehingga tiada seekorpun yang menyerang ke atas karang.

Melihat si nona termangu-mangu, Nyo Ko bertanya: "Apakah mungkin ada sesuatu rahasia ayahmu yang dipergoki olehmu tanpa sengaja?"

"Tidak," jawab Lik-oh sambil menggeleng "Tindak tanduk ayah sangat kereng dan tertib, cara menyelesaikan sesuatu urusan juga adil dan bijaksana sehingga setiap orang sangat hormat dan segan padanya. Tindakannya terhadap dirimu memang tidak baik, tapi biasanya beliau tidak pernah berbuat hal2 kurang wajar."

Karena tidak tahu seluk beluk keadaan Cui-sian-kok di masa Ialu, dengan sendirinya Nyo Ko lebih2 tidak dapat ikut memecahkan persoalan yang dipikirkan si nona.

Kolam buaya itu berada di bawah tanah yang sangat dalam, dinginnya menyerupai gua es, apalagi kedua orang basah kuyup, tentu saja, rasa dinginnya merasuk tulang. Bagi Nyo Ko yang sudah pernah berlatih Lwekang dengan tidur di dipan batu kemala di kuburan kuno tempat Siao liong-fif itu, sedikit rasa dingin ini tidaklah menjadi soal, tapi Kongsun Lik-oh jelas tidak tahan, ia menggigil kedinginan dan meringkuk dalam pelukan NyoKo untuk mencari hangat



Nyo Ko pikir jiwa anak perempuan ini dalam bahaya, dalam hati tentu merasa sedih dan takut pula, maka ia sengaja berkelekar untuk menyenangkan hati Lik-oh, dilihatnya kawanan buaya sedang merebut pangan di dalam kolam secara ganas dan menyeramkan maka dengan tertawa ia berkata: "Nona Kongsun, jika nanti kita mati semua, pada jelmaan hidup yang akan datang kau ingin menjelma menjadi apa? Kalau buaya yang buruk ini, terang aku tidak mau."

Lik-oh tersenyum dan menjawab: "Jika begita boleh kau menjelma menjadi bunga Cui-sian saja, harum lagi cantik dan disukai setiap orang."

"Hanya engkau yang sesuai menjelma menjadi bunga." ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Kalau aku umpama menjelma menjadi bunga juga paling2 menjadi bunga terompet atau bunga tahi sapi."

Kongsun Lik-oh terkekeh geli, katanya: "Kalau Giam-lo ong (raja akhirat) suruh kau menjelma menjadi bunga cinta, kau mau tidak?"

Nyo Ko terdiam dan tidak menjawab, diam2 ia merasa gemas, pikirnya: "Sebenarnya gabungan ilmu pedangku dengan Kokoh pasti akan dapat menusukkan Kokcu bangsat itu, konyolnya justeru Kokoh tertusuk oleh duri bunga cinta di kamar senjata itu, sedangkan Giok-li-kiam-hoat justeru harus dimainkan oleh dua orang yang bersatu hati dengan penuh rasa mesra baru nampak daya kerjanya. Ai, agaknya memang sudah takdir dan apa daya, Hanya Kokoh entah berada di mana sekarang.

Teringat kepada Siao-licng-li, tiba2 luka-di berbagai tempat tubuhnya menjadi kesakitan lagi.

Melihat anak muda itu diam saja, Kongsun Lik-oh tahu seharusnya dirinya jangan menyebut lagi bunga cinta, maka cepat ia menyimpangkan pokok bicara, katanya: "Nyo-toako, engkau dapat melihat buaya, tapi pandanganku terasa gelap dan tidak melihat apa2"

"Moncong kawanan buaya itu sangat buruk, lebih baik jangan kau melihatnya. "ujar Nyo Ko tertawa sambil menepuk pelahan bahu si nona sebagai tanda simpatiknya, Tak terduga kalau tanganya menyentuh badan yang halus licin tanpa baju, rupanya Kongsun Lik-oh telah membuka pakaiannya ketika ayahnya menuduh dia mencuri obat sehingga yang dia pakai hanya tinggal kutang saja, dengan sendirinya dari pundak hingga lengan tiada tertutup oleh sesuatu.

Nyo Ko terkejut dan cepat menarik kembali tangannya, Lik-oh membayangkan keadaan dirinya tentu telah dapat dilihat seluruhnya oleh anak muda yang sanggup melihat sesuatu di tempat gelap itu, betapapun ia menjadi malu.

Kalau tadi mereka saling meringkuk menjadi satu ketika berusaha menghalau kawanan buaya tanpa memikirkan soal lelaki dan perempuan, kini yang satu menarik kembali tangannya dan yang lain merasa malu, keadaan menjadi serba kikuk malah.

Nyo Ko menggeser rada jauh berduduknya dan menanggalkan baju sendiri untuk diselampirkan pada tubuh si nona. Waktu membuka baju ia menjadi teringat kepada Siao-liong-li dan juga terbayang si Thia Eng yang telah menjahitkan bajunya itu, terpikir pula Liok Bu - siang yang rela mati baginya itu, ia menjadi gegetun takdapat membalas budi kebaikan nona2 itu.

Kongsun Lik-oh lantas memakai baju Nyo Ko itu dan mengikat tali pinggangnya, tiba2 ia merasa dalam saku baju Nyo Ko itu ada suatu bungkus kecil, segera ia merogohnya keluar dan diserahkan kepada yang empunya, katanya: "Apakah ini? Apakah kau takkan menggunakannya?"

Nyo Ko menerimanya dan berkata dengan heran: "Barang apakah ini?"

"Kan barang di dalam sakumu, masakah kau malah tanya padaku?" ujar Lik-oh dengan heran.

Waktu Nyo Ko mengamati, kiranya adalah suatu bungkusan kecil dari kain kasar warna biru yang selamanya belum pernah diIihatnya. Segera ia membukanya, mendadak pandangannya terbeliak, ternyata bungkusan itu berisi empat macam barang, di antaranya sebilah belati kecil, pada gagang belati itu terbingkai sebutir mutiara sebesar biji buah kelengkeng yang mengeluarkan sinar.

"Hei!" seru Lik-oh sambil mencomot sebuah botol kecil warna hijau dalam bungkusan itu: "lnilah Coat-ceng-tan!"

Terkejut dan girang pula Nyo Ko, tanyanya : "lnikah Coat-ceng-tan yang dapat menyembuhkan racun bunga cinta itu?"

"Ya, sampai lama sekali aku mencarinya di kamar obat ayah dan tidak menemukannya, mengapa malah sudah diambil olehmu?" jawab Lik - oh kegirangan.

"Cara bagaimana kau mengambilnya ? Kanapa tidak kau minum saja? Ah, barangkali kau tidak tahu bahwa inilah Coat-ceng-tan yang kita cari itu?"

Nyo Ko meng-garuk2 kepala, katanya: "Memangnya sama sekali aku tidak... tidak tahu, botol... botol obat ini mengapa bisa berada didalam saku bajuku, sungguh aneh."

Berkat cahaya yang terpantul dari belati yang mengkilat itu, dapat pula Kongsun Lik-oh mehhat benda2 dekatnya, terlihat isi bungkusan itu kecuali belati dan Coat-ceng-tan masih ada pula secarik kertas dan setengah potong Lengci (sejenis obat tumbuh2an yang berkhasiat seperti kolesom dsb."

Tergerak pikiran Lik-oh, katanya: "He, potongan Lengci itu jelas dipetik oleh Lo-wan-tong itu."

"Lo-wan-tong? Kau tidak keliru?" kata Nyo Ko.

"Ya, pasti dia," jawab Lik-oh. "Kamar penyimpan Lengci di bawah pengurusanku, Lengci ini jelas2 berasal dari sana, waktu Lo-wan-tong mengobrak-abrik sini, membakar kitab dan lukisan, mencuri pedang, merusak anglo dan memetik Lengci, semua adalah perbuatannya."

"Ya, ya tahulah aku!" tiba2 Nyo Ko berseru menyadari duduknya perkara.

"Ada apa?" tanya Lik-oh.

"Sekarang kutahu Ciu-locianpwe itulah yang menaruh bungkusan kecil ini ke dalam bajuku," kata Nyo Ko. sekarang iapun tahu sesungguhnya Ciu Pek-tong bermaksud membantunya secara diam2,maka dari sebutan "Lo-wan-tong" telah digantinya dengan sebutan "Ciu~locianpwe"

Kongsun Lik-oh juga mulai paham persoalannya, ia tanya: "Dia yang menyerahkan padamu?"

"Tidak," sahut Nyo Ko. "Tokoh Ba-Iim yang jenaka ini sungguh sukar dijajaki tindak tanduknya Dia telah mengambil gunting dan kedokku di luar tahuku, malahan akupun tidak tahu sama sekali kalau dia juga menaruh bungkusan kecil ini dalam bajuku, Ai, sungguh kepandaianku teramat jauh kalau dibandingkan orang tua itu."



"Agaknya memang begitulah" kata Lik~oh, "Ketika ayah menuduh dia mencuri dan suruh dia mengembalikan barangnya, namun Lo~wan~tong itu telah mem... membuka baju di depan orang banyak dan memang tidak membekal sesuatu benda apapun."

"Dia membuka baju dan telanjang bulat sehingga Kokcu juga kena dikelabuhi, kiranya bungkusan, ini sudah dia alihkan ke dalam bajuku," kata Nyo Ko dengan tertawa.

Lik-oh membuka gabus tutup botol itu, dengan hati2 ia menuang obat pada telapak tangannya ternyata cuma tertuang keluar satu butir pil yang berbentuk persegi seperti dadu, warnanya hitam mulus, baunya amis dan busuk.

Pada umumnya obat pil tentu berbentuk bundar agar mudah meminumnya, jika obat kapsul tentu juga berbentuk lonjong, tapi pil berbentuk persegi begini sungguh tidak pernah dilihat oleh Nyo Ko. ia coba mengambilnya dari tangan si nona dan diamat-amatinya.

"Kemudian Kongsun Lik-oh meng-goyak2 botol itu, lalu dituang pula serta di-ketok2 pada telapak tangahnya, namun ternyata tiada isinya lagi.

"Sudah kosong, hanya satu biji ini melulu," katanya. "Lekas engkau meminumnya, bisa runyam kalau sampai jatuh ke kolam."

Selagi Nyo Ko hendak memasukkan pil itu ke mulut, ia jadi merandek mendengar si nona menyatakan obat itu cuma sata biji melulu, segera ia menegas: "Mengapa isi botol cuma satu biji? Masih ada tidak di tempat ayahmu?"

"Justeru cuma ada satu biji ini, maka sangat berharga, kalau tidak, buat apa ayah marah2 padaku," kata Lik-oh.

Nyo Ko terkejut, katanya: "Jika begitu, dengan cara bagaimana ayahmu akan menolong Kokohku yang sekujur badan tercocok duri bunga cinta itu?"

"Pernah kudengar ceritera Toasuhengku, katanya pil ini mestinya dua biji, tapi entah mengapa kemudian cuma sisa satu biji ini saja," tutur Lik-oh, "Bahkan resep pembuatan obat ini sudah bilang, "ayahku sendiripun tidak tahu, sebab itu Toasuheng memberi peringatan agar waspada dan jangan sampai terkena racun duri bunga itu"

"Wah, jika begitu, kenapa ayahmu belum datang menolong kau," seru Nyo Ko gegetun.

Kongsun Lik-oh cukup cerdas, ia paham isi hati anak muda itu, melihat Nyo Ko mengembalikan lagi pil itu ke dalam botol, dengan menghela napas pelahan ia berkata: "Nyo-toako, sedemikian cintamu terhadap nona Liong, masakan ayahku tidak tahu diri? Kutahu, engkau bukan mengharapkan ayahku datang menolong diriku, lebih dari itu engkau justru mengharapkan kubawa serta Coat-ceng-tan ini ke atas sana untuk menyelamatkan jiwa nona Liong."

Karena isi hatinya dengan tepat dikatai, Nyo Ko tersenyum dan berkata pula: "Seumpama racun di dalam tubuhku dapat disembuhkan, tapi sukar juga bagiku untuk hidup di kolam buaya ini, dengan sendiri nya lebih penting menolong jiwa Kokohku saja,"

Lik-oh tahu tiada gunanya membujuk anak muda itu meminum pil itu, diam2 ia menyesal tadi telanjur bicara terus terang tentang satu2nya pil itu, segera ia berkata pula.

"Meski Lengci ini tak dapat menawar racun, tepi sangat berpaedah bagi kesehatan tubuh, lekas kau memakannya saja."

Nyo Ko mengiakan ia memotong Lengci itu menjadi dua, ia sendiri makan sebagian, sebagian lagi dijejalkan ke mulut Lik-oh dan berkata: "Entah kapan baru ayahmu akan datang menolong kau, maka kaupun makan sepotong Lengci ini untuk menghalau hawa dingin."

Melihat kesungguhan hati anak muda itu, Lik-oh tidak tega menolaknya, segera ia membuka mulut dan makan potongan Lengci itu.

Umur Lengci itu ada ratusan tahun, setelah makan Lengci, seketika kedua orang merasakan badan segar dan hangat, semangat terbangkit segera dan pikiranpun ferang, Tiba2 Lik-oh berkata: "Setelah Coat-ceng-tan ini dicuri Lo-wan-tong, jelas ayah sudah tahu juga, janjinya menyembuhkan kau hanya sekadar menipu nona Liong, bahkan memaksa aku menyerahkan obat ini juga cuma pura2 saja."

Sebenarnya sudah sejak tadi hal ini terpikir oleh Nyo Ko, cuma dia tidak ingin menambah rasa sedih si nona, maka belum dibeberkannya. Kini hal itu terucap dari Lik-oh sendiri, maka iapun berkata: "Setelah kau dilepaskan ayahmu, kelak kau perlu hati2, paling baik kalau berusaha meninggalkan tempatnya ini."

"O, agaknya kau tidak kenal pribadi ayah," ujar Lik-oh. "Sekali dia telah mendorong aku ke kolam buaya ini, betapapun dia takkan melepaskan aku lagi, Nyo-toako, masakah engkau melarang aku mati bersama kau di sini?"

Selagi Nyo Ko hendak menghiburnya lagi, tiba2 seekor buaya merambat lagi ke atas karang dan sebelah kakinya tepat meraih kertas yang jatuh dari bungkusan kecil tadi, Tergerak hati Nyo Ko, katanya: "Coba kita lihat apa yang tertulis di kertas itu." -- Segera ia angkat belatinya dan menusukannya pada bagian antara kedua mata buaya, "bles", dengan mudah saja belati itu menembus kulit buaya yang keras dan tebal itu. Ternyata belati itu adalah senjata mestika yang sangat tajam.

Buaya itu berkelojotan beberapa kali dan terguling ke dalam kolam serta binasa.

"Kita mempunyai belati ini, maka celakalah bagi kawanan buaya itu", ujar Nyo Ko dengan girang, Pelahan ia ambil kertas yang sudah rada basab itu, belati yang dipegangnya itu dipepetkan pada kertas, dari pantulan cahaya mutiara di gagang belati itu dapatlah terbaca tulisan di atas kertas-itu.

Tapi setelah mereka mengamati, satu huruf saja tidak tertampak, yang ada cuma lukisan menyerupai pemandangan alam, ada rumahnya, ada bukitnya dan sebagainya.

Nyo Ko merasa lukisan yang berupa corat-coret itu tiada sesuatu yang menarik, maka kertas itu ditaruhnya lagi ke atas karang, Tapi Kongsun Lik-oh yang ikut membaca itu mendadak berkata : "lni adalah denah bangunan perkampungan Cui-sian-kok kita ini, lihatlah, inilah sungai kecil ketika kalian datang ke sini, yang ini ruangan depan, ini kamar senjata, itu kamar obat dan..." sembari bicara si nona juga menunjukkan bagian peta yang dimaksud itu.

"He, lihat ini, lihat!" tiba2 Nyo Ko berseru heran sambil menunjuk kolam besar yang terlukis di bawah kamar obat itu.

"Ya, inilah kolam buaya dan... ah, malahan ada jalan tembusannya di sini" kata Lik-oh.



Menurut peta itu, ditepi kolam buaya terlukis sebuah tembusan, seketika mereka bersemangat, cepat Nyo Ko mengambil peta itu dan dicocokkan dengan keadaan disekitar kolam, katanya kemudian:

"Jika apa yang terlukis dalam peta ini tidak bohong, maka selewatnya jalan tembus ini, di sana tentu ada lagi jalan keluarnya, Cuma..."

"Di sinilah letak keanehannya," sambung Lik-oh. "Jalan tembus ini terlukis menyerong ke bawah, padahal kolam buaya ini sudah jauh di bawah tanah, menyerong turun lagi, lalu menembus ke mana?"

Setelah mereka mengamati lagi peta itu, jalan tembus yang dilukis itupun berhenti sampai di tepi kertas sehingga tidak diketahui menembus ke mana akhirnya.

"Apakah soal kolam buaya ini pernah kau dengar dari ayahmu atau Toasuhengmu?" tanya Nyo Ko.

Lik-oh menggeleng, jawabnya: "Sampai sekarang baru kuketahui di bawah kamar obat terdapat makhluk buas sebanyak ini, mungkin Toasuheng sendiripun tidak mengetahui"

Nyo Ko mengamati keadaan sekeliling, terlihat di depan sana ada segulung bayangan yang kelam, agaknya di situlah terletak mulut jalan tembusan yang dimaksudkan itu, cuma jaraknya agak jauh sehingga tidak kelihatan dengan jelas, ia menjadi sangsi jangan2 di lorong itu terdapat makhluk buas lainnya dan bukan mustahil jauh lebih berbahaya daripada kawanan buaya ini.

Tapi daripada duduk menanti ajal ada lebih baik kalau menyerempet bahaya, asalkan nona Kongsun dapat diselamatkan keluar dari sini dan dapat mengantar pil ini kepada Kokoh, maka tercapailah sudah cita-citaku.

Segera ia menyerahkan belati ke tangan Lik-oh dan berkata: "Coba kulihat ke seberang sana." Sekali loncat, tahu2 ia sudah melayang ke tengah kolam.

Lik-oh menjerit kaget, tertampak sebelah kaki Nyo Ko menginjak bangkai buaya yang masih mengambang di kolam itu dan sekali Ioncat lagi, kaki yang Iain, menutul punggung seekor buaya, ketika toaya itu ambles ke bawah air, namun Nyo Ko juga sudah melayang sampai di seberang, ia berdiri mepet dinding karang, sebelah tangannya coba meraba ke sana terasa kosong, segera ia berseru: "Ya, memang betul inilah jalannya-"

Ginkang Kongsun Lik-oh tidak setinggi Nyo Ko, ia tak berani melompat ke sana menurut cara anak muda itu.

Nyo Ko pikir kalau melompat kembali ke sana untuk menggendong si nona kesini, karena bobot tubuh kedua orang bertambah berat, tentu gerak~ geriknya tidak leluasa dan juga sukar menggunakan: buaya sebagai batu loncatan.

Tapi urusan sudah telanjur, segera ia berseru: "Nona Kongsun, coba kau lemparkan bajuku itu ke sini setelah kau celup air."

Walaupun tidak tahu apa maksud tujuannya tapi Lik-oh melakukan juga permintaan anak muda. itu, ia menanggalkan baju Nyo Ko yang dipakainya itu, dan dicelup ke dalam kolam, lalu ia gulung2 dan berseru: "lni terimalah!" Sekuatnya ia lantas-menyambitkan gulungan baju basah itu ke seberang.

Setelah menerima baju itu, segera Nyo Ko melompat ke sisi sana dan berdiri pada suatu tempat dekukan dinding karang, tangan kiri memegang kencang pada sebuah tonjolan karang, tangan kanan terus memutar bajunya yang sudah dibasahi dan diluruskan menjadi sepotong tali besar, serunya. "Coba kau memperhatikan suaranya!"

Segera ia menyabetkan bajunya ke depan terus ditarik kembang "bluk", bajunya basah itu tepat memukul pada mulut lorong itu, berturut ia berbuat begitu tiga kali, lalu bertanya: "Sudah jelas letak mulut gua ini?"

Dari suara "bluk-bluk" tadi Lik-oh membedakan arah dan jauh dekat tempatnya, segera ia menjawab: "Ya, kutahu jelas."

"Sekarang melompatlah dan pegang ujung baju yang kuayunkan ini, akan kulemparkan kau keseberang sana," kata Nyo Ko.

Sehabis Lik-oh memandang ke sana, tapi keadaan di sana tetap gelap kelam, ia rada takut dan berkata: "Aku... aku tak..."

"Jangan takut," kata Nyo Ko dengan tertawa.

"Jika kau gagal memegang ujung baju dan tcrjebfos ke ko!am, segera kuterjun, ke sana untuk menolong kau, Kalau tadi saja kira tidak takut pada kawanan buaya itu, apalagi sekarang sudah mempunyai belati mestika ini, kenapa takut?"

Segera ia mengayunkan gulungan bajunya lagi.

Terpaksa Kongsun Lik~oh harus loncat, kedua kakinya mengencot sekuatnya pada batu karang, segera tubuhnya melayang ke udara, didengarnya suara menyambernya gulungan baju itu di udara, kedua tangannya terus merath, syukur tangan kanan dapat memegang ujung baju itu.

Ketika Nyo Ko merasa tangannya terbetot, sekuatnya ia terus menyendal sehingga tubuh si nona dapat dilontarkan ke mulut gua tadi, Kuatir kalau nona itu kurang mantap berdirinya, sesudah mengayunkan bajunya ia terus melompat pula ke sana dan menolak pelahan pada pinggang si nona untuk kemudian duduklah mereka di mulut gua.

"Bagus sekali gagasanmu ini," seru Lik-oh kegirangan.

"Tapi di dalam gua ini entah ada makhluk buas apa, terpaksa kita pasrah nasib saja," ujar Nyo Ko dengan tertawa, Segera ia menerobos ke dalam lorong gua itu dengan membungkuk badan.

"Gunakan senjata ini untuk membuka jalan," kata Lik-oh sambil menyodorkan belati kepada Nyo Ko.

Mulut gua itu sangat sempit, terpaksa kedua orang merangkak maju, Lantaran hawa lembab kolam buaya, dalam gua ternyata berlumut dan licin, bahkan berbau apek dan busuk.

"Pagi tadi kita masih menikmati pemandangan alam dengan bunga yang mekar semerbak, siapa tahu beberapa jam kemudian kita telah berada di tempat seperti ini, sungguh aku telah membikin susah saja padamu," kata Nyo Ko sembari merangkak ke depan.

"Ini bukan salahmu," ujar Lik-oh, Setelah merangkak sekian Iamanya, terasalah lorong gua itu memang terus menyerong turun ke bawah, tapi makin jauh makin kering dan bau busuk juga mulai lenyap.

"Ah, tampaknya habis merasakan pahit kini telah mulai merasakan manisnya, kita sudah mulai memasuki wilayah bahagia."

"Nyo-toako," kata Lik-oh sambil menghela napas, "kutahu hatimu sendiri susah, tidak perlu engkau sengaja membikin senang hatiku."



Belum habis ucapannya, mendadak dari sebelah kiri sana berkumandang suara gelak tertawa seorang perempuan: "Hahaha-hahahaaah!"

Jelas sekali suara itu adalah suara orang tertawa, tapi kedengarannya justeru mirip orang menangis, suara "haha" itu bernadakan rasa sedih memilukan luar biasa.

Selamanya Nyo Ko dan Kongsun Lik-oh tak pernah mendengar suara yang bukan tangis dan bukan tawa itu, apalagi di dalam goa yang gelap dan seram itu mendadak mendengar suara aneh itu, tentu saja lebih mengejutkan daripada tiba2 keper-gok binatang buas dan makhluk yang menakutkan.

Nyo Ko sebenarnya pemuda yang tabah dan pemberani tapi tidak urung juga kaget oleh suara itu sehingga ubun2 kepalanya kesakitan membentur atap gua itu, Lebih2 Lik-oh, ia bahkan mengkilik dan merangkul kencang kaki Nyo Ko.

Untuk sejenak Nyo Ko berhenti merangkak dan pasang telinga, tapi sedikitpun tiada suara orang lagi. Kedua orang menjadi serba salah, ingin maju terus terasa takut, mau mundur terasa penasaran

"Apakah setan?" bisik Lik-oh dengan suara lirih sekali.

Siapa tahu suara "tangis-tawa" tadi kembali perkumandang pula, lalu terdengar perkataannya:

"BetuI, aku ini setan, aku ini setan! Haha, ha-hahaaah!"

Nyo Ko pikir kalau dia mengaku sebagai setan maka pasti bukanlah setan, dengan berani segera ia menanggapi dengan suara lantang: "Cayhe bernama Nyo Ko, bersama nona Kongsun ini kami lagi tertimpa bencana, yang kami harapkan hanya cari selamat dan sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap orang lain."

"Nona Kongsun?" tiba2 orang itu menyela, "Nona Kongsun apa?"

"Puteri Kongsun Kokcu, namanya Kongsun Lik-oh," jawab Nyo Ko.

Habis tanya jawab ini, lalu lenyaplah suara di sebelah sana, se-akan2 orang itu mendadak hilang sirna tanpa bekas.

Ketika orang itu mengeluarkan suara "tangis bukan dan tawa tidak" itu, sebenarnya Nyo Ko berdua sangat takut, kini keadaan menjadi sunyi senyap mendadak, dalam kegelapan kedua orang merasa lebih ngeri sehingga mereka meringkuk ber-dekapan tanpa berani bergerak.

Selang agak lama, se-konyong2 orang ita membentak "Kongsun Kokcu apa maksudmu? Apakah Kongsun Ci?" Nadanya penuh rasa gusar dan dendam.

Dengan menabahkan hati Kongsun Lik-oh menjawab: "Betul, memang ayahku bernama Ci, apakah Locianpwe kenal ayahku?"

"Hehehe, apakah kukenal dia? Apakah kukenal dia? Hehe!" demikian orang itu terkekeh aneh.

Lik-oh tak berani menanggapi lagi, terpaksa diam saja.

Selang sejenak pula, mendadak orang itu membentak: "Dan kau bernama siapa?"

"Wanpwe bernama Lik-oh, Lik artinya hijau dan Oh artinya kelopak bunga," demikian Lik-oh menjelaskan.

Orang itu mendengus: "Hm! Coba katakan, kau dilahirkan tahun kapan, bulan dan hari apa serta waktunya?"

Tentu saja Lik-oh ter-heran2, ia tidak mengerti untuk apakah orang aneh ini menanyakan waktu kelahirannya, apakah bermaksud jahat padaku ia coba membisiki Nyo Ko: "Bolehkah kukatakan padanya?"

Belum lagi Nyo Ko menjawab, tiba2 orang itu menjengek lagi: "Tahun ini kau berumur 18, lahir pada pukul 12 siang tanggal 3 bulan 2, betul tidak?"

Lik-oh sangat terkejut serunya tersendat Dari... darimana engkau meng... mengerti?"

Tiba2 timbul semacam firasat aneh yang sukar terkatakan, ia merasa yakin manusia aneh ini pasti takkan membikin susah dirinya, cepat ia mendahului Nyo Ko merangkak ke sana, sesudah berputar beberapa belokan, tiba2 pandangannya terbeliak, terlihat seorang nenek botak dan setengah badan telanjang berduduk di atas tanah dengan gusar tapi berwibawa.

Lik-oh menjerit kaget sambil berdiri dengan melenggong, Kuatir si nona mengalami apa2, cepat Nyo Ko menyusul ke sana.

Terlihat tempat di mana si nenek botak itu berduduk adalah suatu lekukan batu alam, sebuah gua yang tak diketahui berapa dalamnya, di bagian atas ada sebuah lubang besar yang bulat tengahnya seluas dua-tiga meter, dari situlah cahaya matahari memancar masuk, Cuma lubang besar itu terletak ratusan meter tingginya dari permukaan tanah, besar kemungkinan nenek ini terjatuh dari lubang besar itu dan untuk seterusnya tidak dapat keluar lagi.

Karena gua itu terletak jauh dibawah tanah, sekalipun berteriak dan menjerit sekerasnya disitu juga sukar didengar oleh orang lalu di atas sana. Cuma aneh juga, jatuh dari tempat setinggi itu ternyata nenek botak ini tidak terbanting mampus, sungguh luar biasa dan sukar dimengerti.

Nyo Ko melihat si nenek menutupi tubuh bagian bawah dengan kulit pohon dan daun2an, barangkali sudah terlalu lama dia meringkuk di dalam gua ini sehingga pakaiannya sudah hancur semua.

Nenek itu tahu juga munculnya Nyo Ko, tapi tidak digubrisnya, melulu Kongsun Lik-oh saja yang diamat-amatinya, tiba2 ia tertawa sedih, katanya: "Cantik amat kau, nona..."

Lik-oh membalasnya dengan tersenyum manis, ia melangkah maju dan memberi hormat serta menyapa: "Selamat, Locianpwe!"

Kembali Nenek itu menengadah dan mengeluarkan suara "tangis bukan tawa tidak" tadi, lalu berkata: "Locianpwe apa? Hahaha, selamat? Aku selamat! Ahahahahaah!" Habis ini mendadak wajahnya penuh rasa gusar dan mata melotot

Tentu saja Lik-oh merasa bingung dan takut karena tidak tahu dimana ucapannya tadi telah membikin marah si nenek, ia menoleh kepada Nyo Ko sebagai tanda minta bantuan.

Nyo Ko berpendapat mungkin si nenek sudah terlalu lama hidup terpencil dan tersiksa lahir batin di gua ini sehingga pikirannya menjadi abnormal, maka ia menggeleng kepada Lik-oh dengan tersenyum sebagai tanda agar nona itu jangan pikirkan sikap si nenek yang aneh itu.

Disamping itu Nyo Ko justeru lagi berpikir cara bagaimana dapat merambat kemar lubang di atas itu. Namun letak lubang teramat tinggi, sekalipun dengan Ginkang yang maha tinggi juga sukar mencapainya.

Dalam pada itu Lik-oh sedang memperhatikan si nenek dengan penuh perhatian, dilihatnya di atas kepala si nenek yang botak itu cuma ada beberapa utas rambut yang sangat jarang2, mukanya penuh keriput, namun kedua matanya bersinar tajam, dari raut mukanya dapat dibayangkan di masa dahulu si nenek pasti seorang wanita cantik.



Sementara nenek itupun masih memandangi Kongsun Lik-oh tanpa berkedip. jadinya kedua orang hanya sa'ing pandang saja dan tidak menggubris Nyo Ko sama sekali.

Sejenak kemudian, tiba2 nenek itu berkata: "Di sebelah kiri pinggangmu ada sebuah toh merah, betul tidak?"

Kembali Lik-oh terkejut, pikirnya: "Toh merah pada tubuhku ini sekalipun ayah kandungku juga belum tentu tahu, mengapa nenek yang terasing di gua bawah tuiah ini malah tahu dengan jelas? Dia juga tahu waktu kelahiranku, tampaknya dia pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keluargaku,"

Karena itu, segeru ia bertanya dengan suara lembut: "Nenek, engkau pasti kenal ayahku dan tentu juga kenal pada mendiang ibuku, bukan?"

Nenek itu melengak, lalu menggumam: "Mendiang ibumu, mendiang ibumu? Hahaha, sudah tentu kukenal" Mendadak suaranya berubah bengis, ia membentak: "Hm pinggangmu ada toh merah seperti kutanyakan tadi tidak? Lekas buka pakaianmu dan perlihatkan padaku, kalau berbohong sedikit saja akan kubinasakan kau seketika di sini"

Lik-oh berpaling sekejap kepada Nyo Ko dengan muka merah jengah, Cepat Nyo Ko membalik tubuh ke sana, Maka Lik-oh membuka baju Nyo Ko yang dipakainya, lalu menyingkapkan sebagian kutang dan celananya, kelihatanlah pinggangnya yang putih bersih itu memang betul ada sebuah toh merah sebesar ibu jari.

Melihat sekejap saja toh merah itu, seketika tubuh si nenek gemetarah, air matanya mendadak bercucuran terus merangkul Lik-oh dengan erat sambil berseru: "O, permata hatiku, betapa ibu merindukan kau selama ini."

Melihat sikap dan air muka si nenek saja, secara otomatis telah menggugah watak alamiah seorang anak terhadap ibunya, terus saja Lik-oh mendekap si nenek sekencangnya dan berseru sambil menangisi "O, ibu!"

Mendengar orang dibelakangnya saling berseru, yang seorang memanggil "permata hati" dan yang lain menyebut ibu. Nyo Ko terkejut dan cepat berpaling dilihatnya kedua orang saling mendekap kencang, jelas Kongsun Lik-oh sedang menangis tersedat dan muka si nenek juga kelihatan penuh ingus dan air mata, ia menjadi heran apakah nenek botak ini benar2 ibu nona Kongsun?

Pada saat lain mendadak tertampak alis nenek itu menegak dan air mukanya berubah beringas, mirip sekali dengan Kongsun Kokcu apabila hendak menyerang orang, Nyo Ko menjadi kuatir kalau nenek ini akan mencelakai Kongsun Lik-oh, cepat ia melangkah maju.

Tapi segera terlihat si nenek menepuk pelahan bahu Lik-oh dan membentak: "Coba berdiri sana, aku hendak tanya kau."

Lik-oh tercengang dan menjauhi tubuh si nenek sambil memanggil lagi sekali: "lbu"

Mendadak nenek itu menbentak dengan bengis. "Untuk maksud apa Kongsun Ci menyuruh kau ke sini? Suruh kau membohongi aku dengan kata2 manis, bukan?"

Lik-oh menggeleng dan berseru: "O, ibu, kiranya engkau masih hidup di dunia ini. O, ibu!" Air mukanya jelas memperlihatkan rasa girang dan haru, inilah perasaan murni seorang anak dengan ibunya, sedikitpun tidak pura2.

Tapi nenek botak itu tetap membentak lagi: "Kongsun Ci bilang aku sudah mati, bukan?"

"Anak telah menderita selama belasan tahun dan mengira sudah piatu tak beribu, ternyata ibu toh masih hidup dengan baik sungguh girang hatiku sekarang," kata Lik-oh.

"Dan siapa dia?" tanya si nenek sambil menuding Nyo Ko. "Untuk apa kau membawanya ke sini?"

"Dengarkan dulu ceritaku, ibu," kata Lik-oh lalu iapun menguraikan cara bagaimana Nyo Ko datang ke Cui-sian-kok serta terkena racun duri bunga cinta, cara bagaimana kedua orang kejeblos dalam kolam buaya, Hanya mengenai Kongsun Kokcu hendak menikah dengan Siao-liong-li tidak diceritakannya untuk menjaga agar sang ibu tidak menaruh dendam dan cemburu.

Air muka si nenek tertampak lebih tenang setelah mendengar cerita itu, pandangannya terhadap Nyo Ko juga semakin simpatik Sampai akhirnya ketika mengetahui Nyo Ko telah membinasakan buaya dan menyelamatkan Lik-ohr ber-ulang2 nenek itu manggut2 dan berkata: "Bagus, anak muda, bagus tidak sia2 puteriku penujui kau."

Wajah Lik-oh menjadi merah dan menunduk malu. Nyo Ko pun merasa serba kikuk untuk menuturkan seluk beluk dirinya, hanya dikatakannya: "Kongsun-pekbo (bibi), sebaiknya kita mencari akal untuk bisa keluar dari sini,"

Mendadak si nenek menarik muka dan berkata: "Kongsun-pekbo apa katamu? selanjutnya jangan lagi kau menyebut perkataan Kongsun segala, jangan kau kira kaki tanganku ini tak bertenaga, jika ku-hendak bunuh kau, boleh dikatakan teramat mudah bagiku."

"Crot", mendadak dari mulutnya menyomprot keluar sesuatu dan terdengarlah suara "cring" yang nyaring, belati yang terpegang di tangan Nyo Ko itu dengan tepat terbentur, seketika tangan Nyo Ko terasa kesemutan, "trang", tahu2 belati itu terlepas dan jatuh ke tanah, Dalam kagetnya cepat Nyo Ko melompat mundur, waktu ia mengawasi, kiranya di tepi belati ada satu butir biji kurma.

Nyo Ko terkejut dan sangsi pula, pikirnya: "Dengan tenaga yang kugunakan untuk memegangi belati ini, biarpun roda emas Kim-Ium Hoat-ong, gada si Darba atau golok bergigi Kongsun Kokcu juga sukar menggetar jatuh belatiku ini, tapi satu biji kurma yang disemburkan dari mulut nenek ini mampu menjatuhkan senjata dalam cekalanku, meski aku sendiri memang tidak bersiaga, namun dari sinipun dapat dibayangkan betapa hebat ilmu silat si nenek yang sukar diukur ini,"

Melihat kegugupan air muka Nyo Ko, cepat Lik-oh berkata padanya: "jangan kuatir, Nyo-toako, ibuku pasti takkan mencelakai kau." Segera ia mendekati dan pegang tangan anak muda itu, lalu berpaling dan berkata kepada sang ibu : "Engkau jangan marah, ibu, boleh engkau suruh dia ganti sebutan saja. Dia kan tidak tahu persoalannya."

"Baiklah," ujar nenek itu dengan tertawa, "nyonya selamanya tidak pernah ganti nama atau she, Thi-cio-lian-hoa (si bunga teratai bertangan besi) Kiu Jian-jiu ialah diriku ini. Dan cara bagaimana kau memanggil aku, hehe, memangnya masih perlu tanya? Tidak lekas kau menyembah dan menyebut "ibu mertua" padaku?



Cepat Lik-oh menyela: "lbu, sebenarnya Nyo-toako dan anak tiada apa2, dia hanya... hanya bermaksud baik saja kepada anak dan tiada kehendak..."

"Hm," si nenek alias Kiu Jian-jio mendengus, "tiada apa2 katamu dan tiada kehendak lain? Habis mengapa kau cuma memakai baju dalam dan sebaliknya memakai bajunya," - Mendadak ia per-keras suaranya dan setengah menjerit: "Jika bocah she Nyo ini berani meniru cara kotor dan rendah seperti Kongsun Ci, hm, tentu akan kubinasakan dia disini. Nah, orang she Nyo, kau menikahi anakku atau tidak?"

Melihat cara bicaranya seperti orang gila dan sukar diberi penjelasan, Nyo Ko menjadi serba salah.

Sungguh aneh, baru pertama kali kenal sudah memaksa dirinya menikahi puterinya? Kalau ditolak secara terang2an, dikuatirkan pula akan menyinggung perasaan Lik-oh. Apalagi ilmu silat nenek ini sangat tinggi dan perangainya aneh juga, kalau sampai membikin marah padanya bukan mustahil seketika akan dibunuh olehnya. Padahal mereka sekarang bernasib sama yakni terkurung di goa bawah tanah ini, yang penting hanya mencari jalan meloloskan diri.

Maka dengan tersenyum berkatalah Nyo Ko "Hendaklah Locianpwe jangan kuatir, nona Kongsun telah menolong aku dengan segala pengorbanan, Nyo Ko bukanlah manusia yang tidak berperasaan, betapapun budi kebaikan nona Kongsun takkan kulupakan selama hidup ini,"


Ucapan Nyo Ko ini cukup licin, meski tidak jelas menyanggupi akan menikahi Kongsun Lik-oh, tapi terasa puas bagi pendengaran Kiu Jian-Jiu. nenek ini manggut2 dan berkata: "Baiklah kalau begitu."

Kongsun Lik-oh paham isi hati Nyo Ko, dipandangnya sekejap anak muda itu dengan sorot yang menyesal dan perasaan hampa, lalu menunduk dan tidak bicara kgi. Selang sejenak baru dia berkata kepada Kiu Jian-Jio: "Mengapa engkau bisa berada di sini, ibu? Sebab apa ayah justeru bilang engkau sudah meninggal dunia sehingga membikin anak berduka selama belasan tahun ini, Bila anak mengetahui engkau berada di sini, dengan cara apapun juga anak pasti akan mencari ke sini."

Dilihatnya bagian atas tubuh sang ibu telanjang, kalau baju Nyo Ko itu diberikan padanya berarti ia sendiri yang kurang pakaian, terpaksa Lik-oh merobek sebagian baju itu untuk disampirkan di atas bahu ibu.

Diam2 Nyo Ko menyayangkan nasib baju yang dibuatkan oleh Siao-liong-li itu, hatinya menjadi berduka sehingga merangsang racun dari bunga cinta, seketika sejujur badan terasa kesakitan.

Melihat itu, tiba2 Kiu Jian-jio meraba pangkuannya seperti hendak mengambil sesuatu, tapi setelah dipikir lagi akhirnya tangan ditarik kembali dalam keadaan kosong.

Dari gerakan sang ibu Lik-oh melihat sesuatu, segera ia memohon: "Oh ibu, tentunya engkau dapat menyembuhkan racun bunga cinta itu, bukan?"

Dengan hambar Kiu Jian-jio menjawab: "Aku sendiri dalam keadaan susah, orang lain tidak mampu menolong aku, mana aku dapat pula menolong orang lain?"

"Tapi, asalkan ibu menolong dia, tentu dia akan berusaha menolong ibu" kata Lik-oh cepat "Andaikah engkau tidak menolong dia juga Nyo-toako akan membantu kau sepenuh tenaga, BetuI tidak Nyo-toako."

Sesungguhnya Nyo Ko tidak menaruh simpatik terhadap Kiu Jian-jio yang eksentrik itu, cuma mengingat si Lik-oh, dengan sendirinya ia harus membantu sebisanya, maka jawabnya: "Ya, sudah tentu locianpwe telah berdiam sekian lamanya di sini, keadaan tempat ini tentu sudah sangat apal, apakah dapat memberi petunjuk sekedarnya?"

Kim Jian-jio menghela napas, katanya: "Meski tempat ini sangat dalam di bawah tanah, tapi tidaklah sulit jika mau keluar dari sini."

Ia memandang Nyo Ko sekejap, lalu menyambung. "Tentu dalam hati kau sedang berpikir, kalau tidak sulit untuk keluar, mengapa engkau masih menongkrong saja di sini? Ai, ketahuilah bahwa urat nadi kaki dan tanganku sudah putus, seluruh ilmu silat ku sudah punah"

Sejak tadi Nyo Ko memang melihat anggota badan nenek itu rada kurang wajar, maka iapun tidak heran mendengar keterangan itu, Tapi Lik-oh menjerit lantas berseru: "Oh, ibu, siapakah yang mencelakai engkau? "Kita harus menuntut balas."

"Hmm, menuntut balas? Apakah kau tega membalasnya?" jengek Kiu Jian-jio, "orang yang memutuskan urat kaki dan tanganku justeru bukan Iain daripada Kongsun Ci adanya."

Setelah mengetahui nenek itu adalah ibu kandung sendiri, dalam hati Lik-oh samar2 sudah mulai membayangkan hal demikian, kini sang ibu mengatakannya sendiri, tidak urung hati Lik-oh tergetar juga, segera ia bertanya :"Apa sebabnya ayah berbuat begitu terhadap ibu?".

Kiu Jian-jio melirik Nyo Ko sekejap, talu berkata: "Sebab aku telah membunuh satu orang, seorang perempuan muda cantik jelita, Hm, sebab aku telah membunuh perempuan yang dicintai Kongsun Ci."

Bicara sampai di sini ia menggertak gigi hingga berbunyi gemertak.

Lik~oh menjadi takut dan rada menjauhi sang ibu dan menyurut mendekati Nyo Ko.

Seketika dalam gua itu suasana menjadi sunyi senyap. Mendadak Kiu Jian-jio berkata: "Kalian sudah lapar bukan? Di sini hanya bisa mengisi perut dengan kurma.

Habis-berkata ia terus berjongkok dan merangkak ke depan dengan gerakan yang sangat cepat seperti binatang.

Pedih dan haru hati Nyo Ko dan Lik-oh melihat kelakuan orang tua itu, sebaliknya Kiu Jian-jio sudah biasa merangkak cara begitu selama belasan tahun ini, maka bukan soal lagi baginya.

Segera Lik-oh bermaksud menyusul ke sana untuk memayang ibunya, tapi terlihat orang tua itu sudah berhenti di bawah sebatang pohon kurma yang besar.

Sukar dibayangkan entah berapa tahun yang lalu dari udara telah jatuh satu biji bibit kurma dan mulai tumbuh di dalam gua ini, lalu mulai menjalar dan berkembang biak sehingga seluruhnya di dalam gua kini tumbuh beberapa puluh pohon kurma.

Kalau saja dahulu tidak pernah terjatuh satu biji kurma atau bibit kurma itu tidak dapat tumbuh, maka kedatangan Nyo Ko dan Lik-oh di dalam gua sekarang ini hanya akan menyaksikan setumpuk tulang belulang belaka, siapakah takkan menduga tulang ini adalah seorang tokoh Bu-lim yang maha sakti, bahkan Lik-oh juga takkan mengetahui tulang belulang inilah ibu kandungnya sendiri.



Begitulah Kiu Jian-jio telah menjemput satu biji buah kurma terus dimakan. Kemudian ia menengadah, sekali semprot biji kurma terbidik ke atas dan tepat mengenai suatu dahan pohon, dahan pohon kurma itu terguncang dan rontoklah buah kurma disana hujan.

Nyo Ko manggut2 dan membatin: "Kiranya cacat anggota badannya telah memaksa dia berlatih ilmu menyemprot biji kurma yang lihay ini, ini menandakan Thian (Tuhan) memang tidak pernah membikin buntu kehidupan manusia," - Terpikir demikian, seketika semangatnya terbangkit.

Segera pula Lik-oh mengumpulkan buah kurma dan dibagikan kepada sang ibu dan Nyo Ko untuk dimakan bersama.

Di dalam gua bawah tanah Lik-oh bertindak secara tertib sebagai anak yang meladeni sang ibu sebagaimana layaknya seorang nyonya rumah. Kiu Jian-jio telah mengalami musibah yang mengenaskan sudah beberapa tahun rasa dendam dan benci terkumpul di dalam hatinya, jangankan dasar wataknya keras, sekalipun perempuan yang lemah lembut juga akan berubah menjadi eksentrik apabila mengalami nasib seperti dia.

Namun apapun juga kasih sayang antara ibu dan anak adalah pembawaan alamiah, apalagi dilihatnya anak perempuan, yang dirindukannya selama ini ternyata begini cantik dan lemah lembut, akhirnya kelembutan kasih sayang seorang ibu mengatasi segala perasaannya, dengan suara halus Kiau jian-jiu lantas bertanya: "Hal busuk apa saja yang dikatakan Kongsun Ci atas diriku?"

"Selamanya ayah tidak pernah menyinggung persoalan ibu," tutur Lik~oh- "Waktu kecil pernah kutanya beliau apakah wajahku mirip ibu dan ku tanyakan pula penyakit apa yang menyebabkan kematian ibu? Tapi ayah menjadi gusar, aku didamperat habis2an dan seterusnya aku dilarang menyebut urusan ibu lagi, Beberapa tahun kemudian kucoba bertanya pula dan kembali ayah marah dan mendamprat diriku."

"Oh bagaimana pikiranmu sendiri ?" tanya Kian Jiao-jio.

Air mata Lik-oh berlinang, katanya: "Senantiasa anak berpikir ibu tentu sangat baik dan cantik, tentu ayah dan ibu saling cinta mencintai, sebab itu ayah suka berduka apabila ada orang lain menyinggung meninggalnya ibu, dan sebab itulah seterusnya akupun tidak berani bertanya pula."

"Hm, sekarang kau pasti kecewa sekali, bukan?^ jengek Liu Jian-jio "ibumu ternyata tidak cantik dan juga tidak ramah, tapi adalah seorang nenek bermuka jelek, galak lagi ganas. Tahu begitu, kukira kau lebih suka tidak bertemu dengan aku."

Lik-oh merangkul leher sang ibu dan berkata dengan suara lembut "O, ibu betapapun anak tidak pernah berpikir begitu." -Lalu ia berpaling dan berkata kepada Nyo Ko: "Nyo-toako, ibuku sangat cantik, bukan? Dia sangat baik padaku dan juga sangat baik padamu, betul tidak?"

Pertanyaan si nona diucapkan dengan sungguh2 dan penuh ketulusan hati, dalam batinnya ternyata benar2 menganggap sang ibu adalah perempuan yang paling sempurna di dunia ini.

Nyo Ko pikir waktu mudanya mungkin si nenek memang cantik, tapi sekarang apanya yang dapat dikatakan cantik? Mungkin dia baik pada Lik-oh, tapi baik tidak terhadapku masih harus diuji dahulu. Namun ia tidak ingin membikin kikuk si nona, terpaksa menjawab: "Memang betul ucapanmu."

Tapi jelas pada ucapan Nyo Ko tidak setulus ucapan Lik-oh tadi, hal ini segera dapat dibedakan oleh Kiu Jian-jio, diam2 ia bersyukur dirinya masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan puterinya, maka segala sebab musabab penderitaannya haruslah diceritakan kepadanya dengan sejelasnya.

Begitulah Kiu Jian-jio lantas bertutur. "Anak Lik, tadi kau bertanya mengapa aku terkurung di sini dan sebab apa Kongsun Ci mengatakan akui sudah mati, Nah, duduklah yang baik, biar kuceritakan kisahnya padamu.

Leluhur Kongsun Ci adalah pembesar jaman dinasti Tong, karena kekacauan negara pada waktu itu keluarga Kongsun berpindah ke lembah pegunungan sunyi ini. Leluhurnya adalah pembesar militer, maka iapun belajar ilmu silat keluarga sendiri, bahkan lebih tinggi daripada leluhurnya, namun ilmu silatnya yang benar2 lihay itu justeru akulah yang mengajarkan dia."

Nyo Ko dan Dk-oh berseru heran bersama, sungguh hal itu sama sekali diluar dugaan mereka.

Dengan bangga Kiu Jian-jio menyambung pula. "Kalian masih kecil, dengan sendirinya tak paham seluk-beluknya Hm, di dunia persilatan siapa yang tidak kenal Thi-cio-pang (perserikatan telapak besi)? Nah, Pangcu dari organisasi besar itu, Thi-cio-cui-siang-biau (si telapak besi melayang di atas air ) Kiu Jian-yim adalah kakak kandungku, Coba Nyo Ko, ceritakan sekadarnya tentang Thi-cio-pang kepada anak Lik biar dia tahu,"

Nyo Ko melengak dan menjawab: "Oh, Wanpwe kurang pengalaman dan pengetahuan, entah apakah Thi-cio-pang yang dimaksud itu?"

"Kurangajar, kau berani membohongi damperat Kiu Jian-jiu. "Nama Thi-cio-pang terkenal di mana2, sama tersohornya seperti Kay-pang, masakah kau tidak tahu?"

"Kalau Kay-pang sih Wanpwe memang pernah dengar" jawab Nyo Ko, "tapi Thi-cio-pang wah.."

Kiu Jian-jio tambah gusar, kembali ia memaki "Hehe, percuma kau belajar silat segala, masakah Thi-cio-pang saja tidak tahu, sungguh..."

Melihat sang ibu marah2, cepat Lik-oh menyela: "Bu, Nyo-toako masih muda, sejak kecil tinggal di pegunungan yang terpencil maka tibaklah heran jika seluk-beluk dunia persilatan memang kurang diketahuinya."

Tapi Kiu Jian-jio tidak menggubrisnya dan masih terus mengomel

Dimasa diketahui 20-an tahun yang lalu Thi-cio-pang memang sangat terkenal di dunia Kangouw, tapi kemudian pimpinannya yaitu Thi-cio-ciu siang biau Kiu Jian-yim telah berguru kepada It teng Taysu dan memeluk agama Budha, maka anak buah Thi-cio-pang lantas kocar-kacir juga dan bubar.

Tatkala itu Nyo Ko baru lahir, dengan sendirinya belum tahu apa2. padahal bertemunya ayah-ibu kandungnya besar sangkut-pautnya dengan Thi-cio pang itu. Kini dia ditanya oleh Kiu Jian-jio, sudah tentu dia melongo tak dapat menjawab.

Kiu Jian-jio sendiri sudah menyepi selama 30-an tahun di Cui-sian-kok, segala kejadian di dunia Kangouw hampir tidak diketahuinya, dia mengira Thi-cio-pang yang bersejarah ratusan tahun itu sekarang itu tentu bertambah jaya, maka tidaklah heran dia berjingkrak marah2 ketika Nyo Ko menjawab tidak tahu "Thi-cio-pang" segala.

Biasanya Nyo Ko tidak tahan dibikin sirik orang lain, kalau sudah gusar, sekalipun gurunya seperti Tio Ci-keng juga dilabraknya habis-habisan. sekarang Kiu Jiac-jio mendamperatnya tanpa alasan, semula dia masih tahan, tapi lama2 ia menjadi gregetan juga, segera ia bermaksud balas memaki nenek itu, tapi baru saja hendak membuka mulut, dilihatnya Lik-oh sedang memandangnya dengan sorot mata yang lembut penuh rasa menyesal atas sikap ibunya itu.



Mau tak-mau hati Nyo Ko menjadi lunak kembali, terpaksa ia hanya angkat bahu sebagai tanda apa boleh buat-saja, ia pikir semakin keji ibumu memaki aku, semakin baik pula kau terhadapku Omelan si nenek ku anggap angin lalu saja, hati si cantik harus dihormati ia menjadi lapang dada setelah ambil keputusan itu, tiba2 otaknya menjadi tajam juga dan berpikir "He, ilmu silat nona Wanyan Peng tempo hari itu mirip benar dengan Kongsun Ci, jangan2 mereka sama2 orang Thi-cio-pang?"

Ia coba merenungkan kembali ilmu silat yang pernah dimainkan Wanyan Peng dahulu ketika mendesak Yalu Ce, rasanya ia masih ingat sebagian, segera ia berseru "Aha, ingatlah aku!"

Kiu Jiu-jie terkejut oleh teriakan Nyo Ko itu, damperatnya keras: "Kau menjerit apa?"

"Tentang Thi-cio-pang aku menjadi ingat kepada seorang tokoh aneh," tutur Nyo Ko. "Kira2 tiga tahun yang lalu, kulihat tokoh itu bergebrak melawan belasan orang, sendirian dia hajar orang2 itu, akhirnya sembilan di antaranya luka parah dan sembilan orang lagi dibinasakan olehnya, Konon tokoh Bu-lim yang hebat itu adalah orang Thi-cio-pang."

"Bagaimana macamnya orang itu?" tanya Kiu Jian-jio cepat,padahal Nyo Ko cuma membual belaka, tapi sudah telanjur omong, pula tidak bakal ada saksi, segera ia meneruskan dongengnya: "Orang itu berkepala botak, usianya antara 60~an, wajahnya merah,perawakannya tinggi besar, memakai jubah hijau dan mengaku she Kiu."

"Omong kosong!" mendadak Kiu Jian-jio membentak, "Kedua kakakku sama sekali tidak botak, perawakannya juga tidak tinggi, selamanya tidak pernah memakai baju hijau, Hm, kau melihat aku botak, maka kau sangka kakakku juga botak, begitu bukan?"

Diam2 Nyo Ko mengeluh karena dongengnya bisa terbongkar tapi airmukanya tetap tenang2 saja, jawabnya dengan tertawa. "Ah, sabar dulu, Locian-pwe, dengarkan lebih lanjut ceritaku ini. Kan Wan-pwe tidak bilang orang itu adalah kakakmu, memangnya setiap orang she Kiu di dunia ini mesti kakakmu?"

Kiu Jian-jio menjadi bungkam malah oleh debatan anak muda itu, terpaksa ia tanya: "Jika, begitu, coba katakan bagaimana ilmu silatnya?"

Nyo Ko berdiri dan memainkan beberapa jurus silat yang pernah dilihatnya dari Wanyan Peng itu, akhirnya permainannya semakin lancar dan menimbulkan samberan angin yang keras, gayanya ilmu tiruan dari Wanyan Peng, tapi tenaganya adalah milik Nyo Ko dan jauh lebih kuat, bagian kelemahan Wanyan Peng dapat dicukupi oleh kepandaian Nyo Ko yang memang sudah tinggi sekarang, maka permainannya menjadi sangat rapi.

Keruan Kiu Jian-jio sangat senang, ia berseru: "Anak Lik, lihatlah, memang inilah ilmu silat Thi-cio-pang kita, ikutilah yang cermat!"

Diam2 Nyo Ko merasa geli, ia pikir kalau main lebih lama lagi bisa jadi rahasianya akan terbongkar maka ia lantas berhenti dan berkata: "sampai di smi tokoh aneh itu sudah menang total dan selesailah, pertaruhan dahsyat yang kusaksikan itu."

"BoIeh juga kau dapat mengingatnya sedemikian jelas," kata Kiu Jian~jio dengan gembira "Eh, siapakah nama tokoh itu, apakah dia menerangkan padamu?"

"Tokoh aneh itu juga lucu kelakuannya, habis menang beliau terus pergi begitu saja," sahut Nyo-Ko "Hanya dari korbannya yang terluka daa menggeletak itu kudengar saling menggerundel dan saling menyalahkan katanya seharusnya mereka jangan mengganggu Kiu-loyacu dari Thi-cio-pang, sebab hal itu berarti mereka mencari mampus sendiri."

"Ya, kukira orang she Kiu itu besar kemungkinan adalah anak murid kakakku," ujar Kiu Jian~ jio dengan girang, Dasarnya dia memang keranjingan ilmu silat, selama berpuluh tahun dia tak dapat bergerak, kini menyaksikan Nyo Ko memainkan ilmu silat keluarganya itu, tentu saja ia sangat senang, maka dengan bersemangat ia membicarakan ilmu telapak tangan besi andalan Thi-cio-pang mereka dengan Nyo Ko dan Lik-oh.

Nyo Ko sendiri sangat gelisah dan ingin cepat2 meninggalkan gua agar dapat antar Coat-ceng-tan kepada Siao - liong - li, maka ia tidak sabar mengikuti ocehan nenek botak itu. Segera ia memberi isyarat kepada Lik-oh, Si nona paham maksudnya, segera ia berkata: "lbu, cara bagaimana engkau mengajarkan ilmu silatmu kepada ayah?"

"Panggil dia Kongsun Ci, tidak perlu menyebutnya ayah segala!" bentak Kiu Jian-jio dengan gusar.

"Baiklah, harap ibu suka menerangkan," sahut Lik-oh.

UHm," Kiu Jian-jio mendengus dengan penuh dendam, selang sejenak baru dia menyambung: "itulah kejadian lebih 20 tahun yang lalu. Karena kedua kakakku berselisih paham..."

"Wah jadi aku mempunyai dua paman?" sela Lik-oh.

"Memangnya kau tidak tahu?" Kiu Jian-jio menegas dengan suara bengis dan menyalahkan sinona.

"Darimana kudapat tahu?" demikian ia membatin dalam hati. Segera iapun menjawab: "Ya, sebab selama ini tak pernah ada orang memberi tahukan padaku."

Teringat bahwa sejak kecil Lik-oh tidak mendapat kasih sayang ibu, betapapun Kiu Jian-jio menjadi terharu juga, segera suaranya berubah halus, katanya: "Kedua pamanmu itu adalah saudara kembar, Toaku (paman pertama) bernama Jian-li dan Jiku (paman kedua) bernama Jian-yim. Karena kembar, maka wajah mereka dan pakaiannya juga serupa seperti pihang dibelah dua.

Namun watak kedua orang justeru sangat berbeda, ilmu silat Ji-kumu sangat tinggi, sedangkan kepandaian Toaku hanya biasa saja- Kepandaianku adalah ajaran langsung dari Jiko (kakak kedua), namun Toako (kakak pertama) lebih rapat dengan aku, soalnya Jiko menjabat sebagai pangcu Thi-cio-pang, wataknya keras, pekerjaannya sibuk dan giat berlatih ilmu silatnya sehingga jarang bertemu muka dengan aku, sebaliknya Toako suka berkumpul dengan aku, setiap hari selalu memanggil "adik sayang" padaku. Tapi kemudian antara Toako dan Jiko terjadi selisih paham dan ribut mulut dengan sendirinya aku rada condong pada pihak Toako."

"Sebab apakah kedua paman itu berselisih paham?" tanya Lik-oh.



Tiba2 wajah Kiu Jian-jio menampilkan senyuman, katanya: "persoalannya tidak dapat dikatakan penting, tapi juga tidak boleh dianggap remeh, Jiko sendiri juga teramat kukuh pada pendiriannya. Maklumlah bahwa nama Thi-cio-ciu-siang-biau Kiu Jian-yim sudah sangat terkenal didunia Kang-ouw, sedangkan nama Kiu Jian-li justeru jarang yang tahu diluaran.

Sebab itulah apabila Toako mengembara di luaran, terkadang dia suka menggunakan nama Jiko, wajah keduanya memang mirip dan saudaranya sekandung pula, sebenarnya juga tidak apa2 jika meminjam nama saudaranya sendiri. Namun Jiko justeru sering mengomel mengenai hal itu dan menganggap Toako suka berdusta dan menipu orang sehingga merugikan nama baiknya, Sifat Toako memang sabar dan periang, kalau Jiko marah2 dan ngomel, selalu Toako tertawa dan minta maaf.

Suatu kali Jiko mendamperat Toako secara keterlaluan, aku tidak tahan dan menimbrung untuk membela Toako, akibatnya aku sendiri bertengkar dengan Jiko, dalam gusarku terus saja aku meninggalkan Thi-cio-san dan seterusnya tak pernah pulang lagi kesana.

"Seorang diri aku terlunta-lunta di dunia Kang ouw, suatu kali aku mengudak seorang penjahat dan sampai di Cui-sian-kok ini, mungkin sudah suratan nasib, di sini kubertemu dengan Kongsun Gi dan keduanya lantas menikah.

Usiaku lebih tua beberapa tahun daripada dia, ilmu silatku juga lebih tinggi, sehabis menjadi suami-isteri kuanggap dia seperti adikku saja kuajarkan seluruh kepandaianku kepadanya, bahkan kuladeni dan mencukupi segala kehendaknya sebagai seorang istri yang baik.

Siapa duga kalau bangsat Kongsun Ci itu ternyata manusia berhati binatang, air susu dibalasnya dengan air tuba, setelah dia menjadi kuat, ia tidak ingat lagi ilmu silatnya itu berasal dari siapa?"

Sampai disini ia terus saja menghamburkan caci maki kepada Kongsun Ci dengan istilah2 kasar dan kotor, semakin memaki semakin menjadi-jadi.

Muka Lik-oh menjadi merah, ia merasa caci maki sang ibu itu agak kurang pantas didengar oleh Nyo ko, maka cepat ia memanggil "Ibu!". Namun hamburan kata- kasar Kiu Jian-jio itu sukar dicegah lagi.

Nyo Ko sendiri juga sangat benci kepada Kongsun Ci, maka caci maki Kiu Jian-jio terasa sangat mencocoki seleranya, malahan terkadang ia sengaja membumbui untuk menambah semangat Kiu Jian-jio, kalau saja tidak rikuh di hadapan Lik-oh, bisa jadi iapun ikut mencaci maki.

BegituIah Kiu Jian-jio terus mencaci maki dengan istilah yang paling kasar dan aneh sehingga hampir kehabisan bahan makian barulah dia berhenti, katanya: "Pada tahun aku mengandung kau, wanita yang sedang hamil dengan sendirinya bersifat agak aseram Tak terduga, lahirnya saja Kongsun Ci sangat penurut padaku, tapi diam2 main gila dengan seorang pelayan muda.

SemuIa, aku tidak tahu hubungan gelap mereka, kukira setelah memperoleh seorang puteri yang menyenangkan dia jadi tambah sayang padaku. Dua tahun kemudian, waktu kau mulai dapat bicara, pada suatu ketika tanpa sengaja kudengar bangsat Kongsun Ci sedang berembuk dengan pelayan hina itu akan meninggalkan Cui-sian kok dan meninggalkan anak isterinya."

"Aku sembunyi dibalik sebatang pohon besar dan mendengar Kongsun Ci mengatakan jeri kepada kelihayan ilmu silatku, maka ingin minggat sejauhnya untuk menghindari pencarianku, katanya aku telah mengawasi dia dengan ketat tanpa kebebasan sedikitpun dia merasa bahagia kalau berada bersama budak hina itu, tadinya kukira Kongsun Ci mencintai aku dengan segenap jiwa raganya, keruan hampir saja aku jatuh semaput mendengar ucapannya itu, sungguh aku ingin menerjang maju dan membinasakan sepasang anjing laki perempuan yang tidak tahu malu itu.

Namun kemudian aku dapat bersabar mengingat hubungan baik suami isteri sekian lama, kupikir Kongsun Ci adalah orang baik, tentu dia tergoda oleh mulut manis budak sisa itu sehingga lupa daratan.

"Maka dengan menahan rasa murka aku tetap mendengarkan pembicaraan mereka, Kudengar mereka mengambil keputusan akan minggat bersama tiga hari lagi pada waktu aku mengasingkan diri di kamar untuk berlatih ilmu, biasanya selama tujuh hari tujuh malam aku mengurung diri di dalam kamar dan tak pernah keluar, pada kesempatan itulah mereka akan kabur dan bila kemudian kuketahui toh mereka sudah minggat selama tujuh hari, tentu aku tak dapat mencari atau menyusul mereka.

Aku benar2 mengkirik mendengar keputusan mereka itu, diam2 aku bersyukur kepada Tuhan yang maha pengasih yang telah memberi kesempatan padaku untuk mengetahui rencana busuk mereka itu, kalau tidak, selewatnya tujuh hari, ke mana lagi aku harus mencari mereka?" - Berkata sampai di sini Kiu Jian-jio terus mengertak gigi dengan penuh rasa gemas dan dendam.

"Siapakah nama pelayan muda itu? Apakah dia sangat cantik?" tanya Lik-oh.

"Huh, cantik apa? Dia cuma penurut saja, apa saja yang dikatakan Kongsun Ci dia hanya menurut belaka, entah dia mempunyai ilmu silat apa sehingga bangsat Kongsun Ci itu sampai tergoda olehnya. Hm, budak hina itu bernama Yu-ji."

Diam2 sekarang Nyo Ko menaruh kasihan kepada Kongsun Ci, ia pikir bukan mustahil Kiu Jian-jio sendiri terlalu bawel dan main kuasa sehingga menimbulkan rasa benci suaminya sendiri.

Dalam pada itu Lik-oh telah tanya pula. "Kemudian bagaimana, Bu?"

"Ya, kedua manusia rendah itu telah berjanji lohor besoknya akan bertemu lagi di situ, cuma selama dua hari keduanya harus bersikap wajar seperti tidak terjadi apa2 agar rahasia mereka tidak terbongkar olehku," tutur Kiu Jian-jio pula.

"Habis itu kedua manusia rendah itu asyik rnasyuk dengan kata2 mesra yang membikin aku hampir saja kelengar saking gusarnya.Pada esok hari ketiga aku pura2 bersemedi di kamar latihanku, kutahu Kongsun Ci beberapa kali mengintip di luar jendela dan dapat kuduga dia pasti sangat gembira sebab mengira rencana mereka akan berhasil.

Tapi begitu dia pergi, segera aku mendahului menuju ketempat pertemuan mereka yang sudah ditentukan itu. Benar saja Yu-ji sudah menunggu di situ, Tanpa bicara aku terus seret dia dan kulemparkan ke semak2 bunga cinta."

Nyo Ko dan Lik-oh berseru kaget bersama demi mendengar Yu-ji juga terkena racun duri bunga cinta.

Kui Jian-jio melototi kedua orang sekejap, lalu menyambung ceritanya: "Selang tak lama Kongsun Ci juga menyusul tiba, ketika melihat kekasihnya menjerit dan berkelojotan di tengah semak2 bunga, tentu saja dia juga kelabakan. Segera aku meloncat keluar dari balik pohon dan kucengkeram urat nadi pergelangan tangannya dan membanting dia ke semak2 bunga pula, sebenarnya keluarga Kongsun mereka mempunyai obat penawar racun bunga cinta, namanya Coa Keng-tan, maka tepat Kongsun Ci merangkak bangun dan memayang budak hina itu sembari berlari ke kamar obat, maksudnya ingin mengambil Coat-ceng-tan. Tapi, hahaha, coba terka, apa yang dilihatnya di sana?"

"Aku tidak tahu," sahut Lik-oh menggeleng. "Apa yang dilihatnya?"

Nyo Ko sendiri membatin tentu Coat-ceng-tan itu sudah dimusnahkannya dan tidak bisa lain.

Benar saja segera terdengar Kiu Jian-jio me-nutur lagi: "Hahaha, di sana dia melihat di atas meja ada sebuah mangkok besar berisi air warangan, beberapa ratus pil Coat-ceng-tan terendam di dalam air tuba itu. Kalau minum Coat-ceng-tan tentu juga akan kena racun Warangan, kalau tidak minum pil itu juga mati akhirnya, sebenarnya tidak sulit bagi Kongsun Ci untuk meracik lagi Coat-ceng-tan, sebab obat itu berasal dari resep warisan leluhurnya namun bahan2 obatnya seketika sukar dikumpulkan untuk meraciknya juga memerlukan waktu ber-bulan2.

Karena putus asa, segera ia berlari ke-kamarku dan berlutut dihadapanku, ia minta aku mengampuni jiwa mereka berdua, Rupanya dia yakin aku pasti tidak tega memusnahkan semua Coat-ceng-tan mengingat hubungan suami-isteri selama ini dan tentu akan disisakan beberapa biji obat itu.

"Begitulah ber-ulang2 dia menampar pipi sendiri dan mengutuki perbuatannya, ia bersumpah pula, katanya bila aku mangampuni jiwa keduanya, segera ia akan mengusir Yu-ji dan takkan bertemu selamanya serta selanjutnya tak berani timbul pikiran tidak senonoh !agi, Waktu minta ampun padaku masih di-sebut pula nama Yu-ji, tentu saja aku sangat gusar, segera kukeluarkan satu biji Coat-ceng-tan kutaruh di atas meja dan berkata padanya: "Coat-ceng-tan hanya bersisa satu biji ini dan cuma dapat menyelamatkan jiwa seorang saja, Nah kau boleh pilih sendiri, tolong jiwamu sendiri atau jiwanya, terserah padamu?"

Dia melenggong sejenak, lalu mengambil obat itu dan berlari kembali ke kamar obat, segera aku menyusul ke sana, sementara budak hina itu sedang kelojotan saking kesakitan. Kudengar Kongsun Ci berkata: "Yu-ji, mangkatlah kau dengan baik, biar kumati bersamamu!"

Habis itu lantas melolos pedang, Melihat Kongsun Ci begitu setia padanya, Yu-ji tampak sangat berterima kasih dan menjawab dengan setengah merintih: "Baiklah, mari kita menjadi suami isteri di akhirat saja."

Segera, Kongsun Ci menusukkan pedangnya ke dada Yu-ji dan matilah dia.

"Diam2 aku terkejut menyaksikan itu dari luar jendela, kukuatir dia akan menggorok pula lehernya sendiri, sementara itu kulihat dia sudah angkat pedangnya, baru hendak kucegah dia, tiba2 pedangnya di-gosok2kannya pada mayat Yu-ji untuk menghilangkan noda darah, lalu pedang dimasukkan kembali ke sarungnya, kemudian ia berpaling ke arah jendela dan berkata:

"Niocu (isteriku), aku sudah insaf dengan setulus hati, Budak hina ini telah kubunuh, sekarang hendaklah engkau mengampuni diriku." -Habis berkata ia terus minum sendiri Coat-ceng-tan yang diambilnya tadi.

"Tindakannya sungguh diluar dugaanku, meski aku merasa perbuatannya itu rada kelewat kejam dan keji, tapi urusan dapat diselesaikan cara begitu, betapapun aku merasa puas. Malamnya dia mengadakan perjamuan di kamar dan ber-ulang2 dia me-nyuguh arak padaku sebagai tanda permintaan maaf padaku, Aku telah mendamperat dia secara pedas, dia juga mengaku salah dan bersumpah macam2, ia berjanji selanjutnya tak berani berbuat lagi."

Sampai di sini, air mata Lik-oh tampak berlinang-linang.

"Memangnya kenapa? Apa kau kasihan kepada budak hina itu?" tanya Kiu Jian-jio dengan gusar.

Lik-oh menggeleng dan tidak menjawab, yang dia sedihkan sesungguhnya adalah kekejian hati ayahnya itulah.

Lalu Kiu Jian-jio menyambung pula: "Setelah kuminum dua cawan arak, dengan tersenyum kukeluarkan pula satu biji Coat-ceng-tan, kutaruh di atas meja dan berkata padanya: "Caramu membunuh dia tadi agaknya terlalu buru napsu sedikit, sebenarnya aku cuma ingin menguji pikiranmu, asalkan kau memohon lagi dengan setulus hati, waktu itu tentu akan kuberikan kedua biji obat sekaligus untuk menyelamatkan jiwa si cantik itu."

"lbu," cepat Lik-oh bertanya, "jika dia benar2 memohon begitu padamu apakah betul kau akan memberikan kedua biji obat itu padanya?"

Kiu Jian-jio termenung sejenak, lalu menjawab "Entah, aku sendiri pun tak tahu, Pernah juga timbul pikiran pada waktu itu untuk menyelamatkan jiwa budak hina itu, dengan demikian kupikir Kongsun Ci akan berterima kasih padaku, lalu tergugah perasaan padaku. Tapi dia untuk jiwanya sendiri dia telah buru2 menghabisi kekasihnya itu, tentunya aku tak dapat disalahkan"

"BegituIah dia termenung memegangi Coat-ceng-tan kedua itu, kemudian dia angkat cawan dan berkata padaku dengan tertawa: "Jio-cici, urusan yang sudah selesai buat apa dibicarakan lagi, Marilah kita menghabiskan secawan ini." Dia-terus membujuk aku minum, akupun tidak menolak karena merasa suatu ganjelan hati telan kubereskan tanpa terasa aku telah mabok dan tak sadarkan diri. Waktu aku smman kembali, ternyata aku sudah berada di gua ini, urat kaki tanganku sudah putus, tapi bangsat keparat Kongsun Ci itupun tidak berani lagi bertemu dengan aku? Hm tentu dia mengira aku sudah menjadi tulang belulang disini."

Habis menuturkan kisahnya itu, sorot mata Kiui Jian-jio menjadi beringas, sikapnya sangat menakutkan.

"lbu, selama belasan tahun engkau hidup di gua ini, apakah berkat buah korma inilah engkau bisa bertahan sampai sekarang?" tanya Lik-oh.

"Ya, memangnya kaukira Kongsun Ci mau mengirim nasi padaku setiap hari?" kata Kiu Jian-jio.



Tidak kepalang pedih dan haru hati Lik-oh, ia memeluk sang ibu dan berseru: "O, lbu!"

"Apakah Kongsun Ci itu dahulu pernah bicara padamu tentang gua di dalam tanah ini serta jalan keluarnya?" tanya Nyo Ko.

"Hm, sekian lamanya menjadi suami-isteri, belum pernah dia mengatakan di bawah perkampungannya ini ada sebuah gua sebesar ini, lebih2 tidak diketahui di kolam sana banyak buayanya," jawab Kiu Jian-jio, "Tentang jalan keluar gua ini kukira ada, cuma aku adalah orang cacat, apa dayaku."

Girang sekali Nyo Ko, cepat ia berseru: "Dengan tenaga kita bertiga tentu bisa."

Segera Lik-oh menggendong sang ibu, dengan petunjuk nenek itu mereka segera menyusur keujung gua sebelah sana, setiba disamping sebatang pohon kurma raksasa, Kiu Jian-jio menuding lubang gua bagian atas dan mengejek: "Nah, jika kau mampu boleh coba kau melompat keluar dari situ!"

Waktu Nyo Ko menengadah, terlihat lubang gua itu sedikitnya ada ratusan meter tingginya, andaikan dapat memanjat sampai pucuk pohon juga tak berguna.

Diam2 Nyo Ko mendongkol melihat sikap Kiu Jian-jio yang sinis, sikap yang mencemoohkan itu, ia pikir kalau aku tidak mampu keluar toh kau juga takkan bisa keluar, kenapa mesti menyindir?,

Ia coba berpikir sejenak, ia merasa memang serba susah dan tak berdaya, akhirnya ia berkata: "Coba kupanjat ke atas pohon, sekiranya dapat kulihat sesuatu di sana."

Segera ia melompat keatas pohon kurma besar itu dan memanjat ke pucuknya, dilihatnya dinding gua itu berlekak-lekuk tidak merata dan tidak selicin di bagian bawah, ia coba menarik napas panjang2, lalu melompat ke dinding goa terus merambat ke atas. makin merayap makin tinggi, diam2 ia girang. ia menoleh dan berseru kepada Lik - oh : "Nona Kongsun, jika aku berhasil keluar goa ini, segera kuturunkan tali untuk mengerek kalian ke atas."

ia terus merayap hingga ratusan meter, berkat Ginkangnya yang tinggi segala rintangan dapatkah diatasinya, Tapi ketika 20-an meter hampir mencapai mulut gua itu, dinding gua itu ternyata licin luar biasa dan tiada tempat lagi yang dapat dipegang atau dipijak, bahkan dindingnya miring ke bagian dalam, dalam keadaan begitu hanya cecak, lalat atau sebangsanya saja yang dapat merayap ke atas tanpa kuatir akan terpeleset ke bawah.

Nyo Ko mengamati sekitar situ, diam2 ia mendapatkan akal. Segera ia merosot turun ke dasar gua dan berkata kepada Lik-oh berdua: "Mungkin dapat keluar. Cuma kita harus membuat seutas tambang yang panjang dan kuat,"

Segera ia mengeluarkan belati dan mengumpulkan kulit pohon kurma untuk dipintal menjadi tambang yang kuat Lik-oh juga membantunya. Menjelang magrib barulah mereka berhasil memintal seutas tambang kulit pohon kurma yang sangat panjang, Nyo Ko menarik dan membetot sekuatnya tambang buatannya itu, lalu berkata: "Cukup kuat, takkan putus."

Lalu ia memotong sebatang dahan pohon sepanjang tiga meteran, sebelah ujung tambang itu di-ikatnya di tengah dahan pohon itu, lalu di bawanya serta memanjat lagi ke atas dinding gua. Setiba di tempat yang dapat dicapainya tadi, ia pasang kuda2 dan berdiri dengan mantap pada dinding, ia kumpulkan tenaga pada tangannya, lalu membentak: "Naik!"

Sekuatnya ia lemparkan dahan pohon bertali tadi keluar mulut gua.

Tenaga yang dia gunakan ternyata sangat tepat, waktu dahan pohon itu jatuh ke bawah lagi, dengan tepat melintang dan menyangkut di mulut gua itu, Cepat Nyo Ko menarik tambang panjang itu beberapa kali dan terasa cantolan dahan pohon sangat kukuh dan cukup kuat menahan bobot tubuhnya. Dengan girang ia menoleh ke bawah dan berseru: "Aku naik ke atas!"

Habis itu kedua tangannya bekerja cepat bergantian, dengan gesit ia merambat ke atas. Waktu ia memandang lagi ke bawah, samar2 ia melihat bayangan kepala Lik-oh dan ibunya telah berubah menjadi dua titik kecil.

Girang dan lega sekali hati Nyo Ko mengingat tidak lama lagi dapat menyampaikan Coat-ceng-taa kepada Siao-liong-Ii, karena itu ia merambat terlebih giat, hanya sebentar saja tangannya sudah dapat meraih dahan pohon yang melintang di mulut gua itu, sekali tarik, cepat sekali tubuhnya melayang keluar gua dan menancapkan kakinya di atas tanah.

Ia menarik napas dan membusungkan dada, di lihatnya rembulan baru muncul dari balik gunung, Hampir sehari terkurung di gua bawah tanah yang ampek dan gelap itu kini mendapatkan kembali kebebasan terasalah segar tak terkatakan. Segera ia mengulurkan tali panjang itu kebawah.

Melihat Nyo Ko berhasil keluar gua, kontan Kiu Jian-jio marah2 dan mendamprat anak perempuannya: "Goblok, mengapa kau membiarkan dia keluar sendirian? Sesudah keluar masakah dia ingat lagi pada kita?"

"Jangan kuatir, ibu, Nyo-toako bukanlah manusia begitu," ujar Lik-oh.

"Huh, semua lelaki di dunia ini sama saja, mana ada yang baik?" kata Kiu Jian-jio dengan gusar Mendadak ia berpaling dan mengamat-amati Lik-oh dari ubun2 hingga ujung kaki, lalu menatap wajahnya dan berkata pula: "Anak bodoh, kau telah kena digasak olehnya, bukan?"

Muka Lik-oh" menjadi merah, jawabnya: "Apa yang kau maksudkan, ibu, aku tidak paham."

Kiu Jian-jio tambah gusar, damperatnya: "Kau tidak paham? Tapi mengapa mukamu merah? Ketahuilah bahwa terhadap lelaki sedikitpun tidak boleh longgar, harus kau pegang ekornya kencang2, tidak boleh lena, cermin yang paling baik adalah nasib ibumu ini!"

Tengah mengomel, mendadak Lik-oh memburu kesana dan menangkap ujung tali yang dijulurkan Nyo Ko itu, cepat ia mengikat kencang pinggang sang ibu, katanya dengan tertawa: "Lihatlah-ibu, bukankah Nyo-toako tetap ingat kepada kita?"

"Hm," Kiu Jian-jio, "kau harus dengar pesan ibumu ini, nanti setelah berada diluar sana, kau harus kuntit dia serapatnya, selangkahpun tidak boleh berpisah tahu tidak?"

Lik-oh merasa dongkol, geli dan duka pula, ia tahu maksud baik sang ibu, tapi iapun pikir masakah Nyo Ko mau memperhatikan dia? Tiba2 matanya menjadi merah dan basah, cepat ia berpaling ke sana,

Kiu Jian-jio hendak mengoceh pula, tapi mendadak pinggangnya terasa kencang, tubuhnya lantas melayang ke atas.

Sambil mendongak Lik-oh mengikuti sang ibu yang dikerek ke atas itu. meski yakin sebentar lagi Nyo Ko pasti akan menurunkan lagi talinya untuk menolong dirinya. namun berada seorang diri di dalam gua sekarang, mau - tak - mau ia menjadi gemetar dan takut.




Setelah mengerek Kiu Jian-jio keluar gua, ce-pat Nyo Ko melepaskan tali dari pinggang orang tua itu, lalu di ulur lagi ke dalam gua. Girang sekali Lik-oh, ia ikat pinggang sendiri dengan tali kulit pohon itu, lalu ia sendal tali itu beberapa kali sebagai tanda siap, segera terasa tali itu tertarik kencang, tubuhnya terus mengapung keatas.

Lik-oh melihat pohon kurma dibawah itu makin mengecil, sebaliknya titik2 bintang di atas sana makin terang, rasanya sebentar lagi dirinya pasti dapat keluar gua.

Pada saat itulah mendadak terdengar gertakan seorang, menyusul tali kulit pohon itu lantas mengendus tubuh Lik-oh terus anjlok ke bawah dengan cepat Terjatuh dari ketinggian ratusan meter itu, mustahil tubuhnya takkan hancur lebur?

Keruan Lik-oh menjerit kaget, hampir saja ia pingsan, dirasakan tubuhnya terjerumus terus ke bawah, sedikitpun tak berkuasa.

Sungguh kejutnya tidak kepalang, ia tidak sempat memikirkan membalik tubuh untuk menghadapi musuh, tapi kedua tangannya bergantian dengan cepat menarik talinya, Namun segera terdengar angin menyamber, sebatang tongkat baja yang amat berat telah menghantam tubuhnya.

Dari suara samberan senjata itu Nyo Ko lantasr tahu penyerang itu ialah Hoat It-ong, dalam keadaan kepepet terpaksa ia gunakan tangan kiri untuk menangkis, ia berusaha mendorong tongkat lawan ke samping agar hantaman itu dapat dipatahkan

Hoat lt-ong merasa dendam karena jenggot kesayangannya kena dikacip oleh Nyo Ko, maka serangannya tidak mengenal ampun. Sekali putar tongkatnya membalik terus menyabet lagi ke pinggang Nyo Ko dengan sepenuh tenaga, kalau kena, maka tubuh Nyo Ko pasti akan patah menjadi dua.

Dalam keadaan cuma tangan kanan saja digunakan untuk menahan bobot tubuh Kongsun Lik-oh, ditambah lagi tali yang panjangnya ratusan meter itupun cukup berat, lama2 terasa payah juga bagi Nyo Ko. Ketika melihat tongkat musuh menyamber tiba pula, terpaksa ia gunakan tangan kiri pula untuk menahannya.

Di luar dugaan bahwa samberan tongkat Hoan It-ong sekali ini sungguh luar biasa dahsyatnya, begitu tangan kiri Nyo Ko menyentuh tongkat, seketika tubuhnya tergetar, tangan kanan menjadi kendur, tali yang dipegangnya terlepas, tanpa ampun tubuh Lik-oh terus anjlok ke bawah dengan cepat.

Di dalam gua itu Lik-oh menjerit kaget, di luar gua Nyo Ko dan Kiu Jian-jio juga berteriak kuatir, Nyo Ko tidak sempat memikirkan lagi serangan tongkat musuh, cepat tangan kirinya meraih, dengan setengah berjongkok ia berusaha memegang tali panjang itu, namun daya jatuh Lik-oh itu sungguh hebat sekali, bobot tubuh yang ratusan kati itu ditambah daya jatuhnya yang keras itu total jenderal bisa mencapai ribuan kati beratnya.

Ketika Nyo Ko berhasil memegang tali dan bertahan, segera iapun kena dibetot oleh daya anjloknya tubuh Lik-oh yang hebat itu, tanpa kuasa ia sendiripun ikut terjerumus ke dalam gua dengan terjungkir, kepala dibawah dan kaki di atas.

Meski sekarang ilmu silat Nyo Ko sudah mencapai tingkatan kelas satu, tapi lantaran tubuh terapung di udara, pula daya turun tubuh Lik-oh itu se-akan2 membetotnya kebawah, maka ia menjadi mati kutu, kecuali ikut jatuh ke bawah, kepandaiannya sedikitpun tak dapat di keluarkannya.

Menyaksikan kejadian itu, sungguh rasa kaget dan kuatir Kiu Jian-jio tidak kurang dari pada Nyo Ko dan Lik-oh. Karena dia lumpuh, ilmu silatnya sudah punah, sama sekali ia tak dapat berbuat apa2 dan cuma kuatir belaka. Dilihat tali yang panjangnya beratus meter itu masih terus melorot dan makin pendek, asalkan tali itu ha-bis, maka riwayat Nyo Ko dan Kangsun Lik-oh juga tamat

Karena tali itu hampir habis terserot ke dalam gua, saking kerasnya tertarik oleh bobot tubuh Nyo Ko dan Lik-oh, mendadak bagian tali yang masih tersisa belasan meter itu beterbangan menyebar kesamping Kiu Jian-jio. Tergerak pikiran nenek itu, ia pikir keparat cebol itu telah membikin celaka anak perempuannya, biarlah ku-bikin kau mampus juga.

Sungguh hebat daya jatuh Lik-oh dan berat tali ratusan meter itu, sehingga Nyo Ko ikut terjerumus jungkir balik ke dalam sumur.

Begitulah ia lantas incar tali itu, sebelah tangannya menyampuk pelahan, sampukan itu tak memerlukan banyak tenaga, tapi arahnya sangat tepat, ketika bagian tali itu menyamber ke sana, dengan tepat terus melilit beberapa putaran di pinggang Hoan It-ong.

Maksud tujuan Kiu Jian-jio sebenarnya ingin membikin Hoan lt-ong ikut terseret ke dalam gua dan mati terbanting, sebab ia merasa tidak dapat menyelamatkan jiwa putrinya, Siapa tahu si kakek cebol yang berwajah jelek ini ternyata memiliki tenaga sakti yang luar biasa kuatnya, ketika mendadak merasa pinggangnya terbelit tali dan mengencang, cepat ia menggunakan kepandaian Jian-kin tui ( ilmu membikin berat tubuh laksana ribuan kati ) untuk menahan geseran tubuhnya.

Namun gabungan bobot tubuh Nyo Ko bersama Lik-oh ditambah lagi daya anjlokan ke bawah yang maha dahsyat itu tetap menyeretnya ke depan selangkah demi selangkah menuju mulut gua, tampaknya kalau dia melangkah lagi satu-dua tindak tentu dia akan ikut terjungkel masuk gua itu, Saking kagetnya ia pegang tali itu sekuat-kuatnya sambil ditarik kebelakang, bahkan disertai dengan bentakan menggelegar dan sungguh hebat, tali itu ternyata kena ditariknya hingga berhenti seketika.

Padahal waktu itu jarak Lik-oh dengan permukaan tanah hanya tinggal belasan meter saja, boleh dikatakan mendekati detik terakhir ajalnya, Maklumlah, justru daya anjlokan itulah yang paling berbahaya, biarpun sepotong batu kecil saja jika dijatuhkan dari tempat setinggi itu juga akan membawa kekuatan yang amat besar, apalagi bobot tubuh manusia.

Ketika Hoan It-ong berhasil menahan daya anjlokan itu dengan tenaga saktinya, maka bobot dua tubuh manusia ditambah tali panjang beratus meter yang seluruhnya paling2 cuma dua-tiga ratus kati saja boleh dikatakan tiada artinya lagi baginya.

Dengan sebelah tangannya segera ia hendak melepaskan lilitan tali pada pinggangnya itu dan akan menjerumuskan lagi kedua orang,

Tapi sebelum dia sempat berbuat lebih banyak, se-konyong2 punggungnya terasa sakit sebuah benda runcing tepat mengancam pada Leng-tay-hiat dibagian tulang punggung, Suara seorang wanita lantas membentaknya pula: "lekas tarik ke atas!"



Sekali Leng-tay tertusuk, segenap urat nadi putus semua !

Tidak kepalang kaget Hoan It-ong, "sekali Leng-tay-hiap tertusuk, segenap urat nadi putus semua" adalah istilah yang sering diucapkan gurunya di waktu mengajarkan ilmu Tiam-hiat padanya, artinya kalau Hiat-to yang dimaksud itu terserang, maka binasalah orangnya.

Maka Hoat It-ong tidak berani membangkang terpaksa kedua tangannya bekerja cepat untuk menarik Nyo Ko dan Lik-oh ke atas. Tapi ketika menahan daya anjlokan tadi ia sudah terlalu hebat mengeluarkan tenaga, kini dada terasa sesak dan darah bergolak akan tersembur keluar, ia tahu dirinya telah terluka dalam, celakanya bagian mematikan terancam musuh pula, terpaksa ia berusaha mati2an menarik tali.

Dengan susah payah akhirnya Nyo Ko dapat ditarik ke atas, hatinya menjadi rada lega, seketika tangannya menjadi lemas, kontan darah tertumpah dari mulutnya, dengan lemas iapun roboh terkulai.

Karena robohnya Hoat It-ong itu, tali yang dipegangnya itu terlepas dan merosot lagi ke dalam gua. Keruan Kiu Jian-jio terkejut, cepat ia berteriak "Lekas tolong Lik-ji!"

Tanpa disuruh juga Nyo Ko lantas menubruk maju dan syukur masih keburu memegang tali itu, akhirnya Lik-oh dapat dikerek ke atas.

Mengalami naik turun beberapa kali di lorong sumur itu, Lik-oh seperti bercanda saja dengan maut, keruan ia pingsan saking ketakutan.

Cepat Nyo Ko menutuk Hiat-to Hoan It-ong agar kakek cebol itu tidak dapat berkutik, habis itu barulah dia tolong Lik-oh, ia pijat Jin-tiong-hiat (antara atas bibir dan bawah hidung ) nona itu, tidak Iama nona itupun siuman.

Pelahan2 Lik-oh membuka matanya, ia tidak tahu lagi dirinya berada dimana sekarang, di bawah sinar bulan samar2 dilihatnya Nyo Ko berdiri di depannya dan sedang memandangnya dengan tersenyum simpul.

Tanpa tahan ia terus menubruk ke dalam pelukan pemuda itu sambil berseru: "O, Nyo-toako, apakah kita sudah berada di akhirat?"

Sambil merangkul si cantik, dengan tertawa Nyo Ko menjawab: "Ya, kita sudah mati semua,"

Mendengar ucapan Nyo Ko itu mengandung nada kelakar, cepat Lik-oh mendongak untuk memandang muka pemuda itu, tapi segera dilihatnya pula sang ibu sedang menatap padanya dengan senyum2 aneh, ia menjadi jengah dan cepat melepaskan diri dari pelukan Nyo Ko.

Betapapun Nyo Ko sangat kagumi terhadap Kiu Jian-jio yang lumpuh itu tapi dapat mengatasi Hoan-It-ong untuk menyelamatkan jiwanya, segera ia bertanya: "Dengan cara bagaimana tadi engkau membikin kakek cebol ini mati kutu?".

Kiu Jian-jio tersenyum dan angkat sebelah tangannya, kiranya yang dipegangnya ada sepotong batu kecil yang ujungnya runcing. Karena kepandaian Kongsun Ci adalah ajaran Kiu Jian-jio sendiri, sedangkan Hoan It-ong adalah murid Kongsun Ci, maka tidak heran kalau Hoan It-ong dibikin mati kutu oleh ancaman Kiu Jian-jio walaupun sebenarnya nenek itu tak bertenaga sama sekali.

Kini yang terpikir oleh Nyo Ko hanya keselamatan Siao-liong-li saja, sedangkan Kongsun Lik-oh dan Kiu Jian-jio sudah berada di tempat yang aman, Hoan It-ong juga sudah dibuatnya tak berkutik, segera ia berkata: "Harap kalian berdua menunggu sebentar, aku perlu mengantarkan Coat-ceng-tan lebih dulu."

Kiu Jian-jio menjadi heran, tanyanya: "Coat-ceng-tan apa? Kau juga punya?"

"Ya, lihatlah ini, bukankah ini Coat-eeng-tan tulen?" jawab Nyo Ko. Lalu ia mengeluarkan botol kecil dan menuang pil yang berbentuk persegi itu.

Setelah mengambilnya dan diendus beberapa kali, Kiu Jian-jio berkata: "Betul, inilah Coat-ceng tan, Mengapa obat ini bisa berada padamu? Kau sendiri terkena racun bunga cinta, mengapa pula kau tidak meminumnya sendiri?"

"Soal ini cukup panjang untuk diceritakan." ujar Nyo Ko, "nanti setelah kuantarkan obat ini akan kuceritakan kepada Locianpwe." Habis itu ia terima kembali obat itu terus hendak melangkah pergi.

Sedih dan prihatin pula hati Lik-oh, dengan perasaan hampa ia berkata: "Nyo-toako, kalau ayahku merintangi kau, kukira kau harus mencari suatu akal yang baik."

"Kembali ayah!" bentak Kiu Jian-jio, "Jika kau memanggjl dia ayah lagi, selanjutnya kau jangan memanggil ibu padaku,"

"Kuantar obat untuk menyembuhkan Kokoh yang keracunan itu, tentu Kongsun Kokcu takkan merintangiku," ujar Nyo Ko.

"Tapi kalau dia menjebak dengan cara lain?" kata Lik-oh pula.

"Apa boleh buat, terpaksa kubertindak menurut keadaan," jawab Nyo Ko.

Kiu Jian-jio menjadi curiga melihat tekad Nyo Ko itu, segera ia bertanya: "Jadi kau perlu menemui Kongsun Ci, begitu?"

Nyo Ko mengatakan tanpa sangsi.

"Baik, aku ikut kesana, mungkin dapat kubantu kau apabila perlu," kata Kiu Jian-jio

Maksud tujuan Nyo Ko hanya ingin menyelamatkan Siao-liong-ii belaka dan tidak pernah memikirkan urusan Jain, sekarang mendengar Kiu Jian-jio ingin ikut, mendadak timbul setitik cahaya dalam benaknya, pikirnya: "Kalau saja isteri pertama Kokcu bangsat muncul mendadak, masakah dia dapat menikahi Kokoh lagi?"

Sungguh girangnya tak terkatakan, Tapi tiba2 teringat puia: "Coat-ceng-tan hanya ada satu biji, meski dapat menyelamatkan jiwa Kokoh, diriku tetap tak terhindar dari kematian." - Berpikir demikian, seketika ia menjadi sedih pula.

Melihat air muka Nyo Ko sebentar gembira dan lain saat sedih, Lik-oh menjadi bingung, apalagi ayah-ibunya sebentar lagi bakal bertemu kembali dan entah bagaimana jadinya nanti, sungguh kacau benar pikirannya.

Sebaliknya Kiu Jian-jio tampak sangat senang dan bersemangat, ia berseru: "Hayo anak Lik, lekas gendong aku ke sana!"

"Kukira ibu perlu mandi dulu dan berganti pakaian," ujar Lik-oh.

Sesungguhnya dia cuma takut menyaksikan adegan pertemuan kembali ayah-bundanya nanti, maka maksudnya sengaja mengulur tempo belaka.

Kiu Jian-jio menjadi gusar, omelnya: "Memangnya bajuku hancur dan badanku kotor begini karena perbuatan siapa? Apakah..." Sampai disini, tiba2 teringat olehnya dahulu Toako Kiu Jian-li sering menyamar menjadi Jiko Kiu Jian-yim untuk menggertak orang di dunia Kangouw dan tidak sedikit tokoh persilatan yang mengkerut kena di-gertaknya.



Kini diri sendiri dalam keadaan lumpuh dan pasti bukan tandingan Kongsun Ci, sekalipun nanti berhadapan juga sakit hati sukar terbalas, jalan satu2nya hanya menyaru sebagai Jiko untuk menggertak Kongsun Ci, biar nyalinya pecah dan ketakutan setengah mati, habis itu barulah kuturun tangan menurut gelagat nanti, untungnya Kongsun Ci tidak pernah kenal Jiko, pula mengira diriku sudah mati di dalam gua bawah tanah itu, dia pasti tidak curiga.

Begitulah diam2 Kiu Jian-jio merencanakan cara menundukkan Kongsun Ci nanti, Tapi segera berpikir pula :"Sekian tahun menjadi isterinya, masakah dia akan pangling padaku?"

Melihat si nenek ter-mangu2 ragu Nyo Ko dapat menerka sebagian apa yang dipikirkan orang tua itu, katanya kemudian: "Apakah engkau takut dikenali Kongsun Ci? Haha, jangan kuatir aku mempunyai sesuatu barang mestika."

Segera ia mengeluarkan kedok kulit dan dipakai pada mukanya sendiri, benar saja wajahnya lantas berubah sama sekali, seram menakutkan tanpa emosi.

Kau Jian -jio sangat girang, cepat ia terima kedok kulit tipis itu, katanya: "Anak Lik, kau mendekati belakang perkampungan dan sembunyi dihutan sana, lalu kau menyusup kesana mengambilkan sehelai baju coklat serta sebuah kipas bulu, jangan lupa."

Lik-oh mengiakan, lalu ia berjongkok dan menggendong sang ibu

Waktu Nyo Ko memandang sekeiilingnya, kiranya mereka berada di atas bukit yang dikelilingi hutan yang lebat, perkampungan Cui-sinkouw tampak remang2 di sebelah bukit sana.

Sambil menghela napas Kiu Jian - jio berkata "Bukit ini bernama Le-kui-hong (bukit hantu) konon dipuncak bukit ini sering ada hantu yang mengganggu orang, maka biasanya tiada orang berani naik ke sini. Tak tersangka bahwa kelahiranku kembali didunia ini justeru berada di bukit-ini."

Segera Nyo Ko membentak Hoan It-ong untuk mengorek keterangannya: "Lekas katakan, untuk apa kau datang ke sini?"

Meski berada dalam cengkeraman musuh, sedikitpun Hoan It - ong tidak gentar, ia balas membentak: " Tidak perlu banyak omong, lekas kau bunuh saja diriku!"

"Kongsun Kokcu yang mengirim kau kesini, bukan?" desak pula Nyo Ko.

"Benar." jawab Hoan It-ong dengan gusar, "Suhu memerintahkan aku memeriksa sekitar bukit ini untuk menjaga penyusupan musuh ke sini, Ternyata dugaan beliau tidak meleset, memang betul ada orang sedang main gila disini,"

Sembari bicara ia terus mengawasi Kiu Jian-jio, ia heran siapakah nenek botak ini, mengapa nona Kongsun memanggil ibu padanya?

Maklumlah usia Hoan It-ong memang jauh lebih tua dari pada Kiu Jiang-jio dan Kongsun Ci, dia sudah mahir ilmu silat sebelum berguru pada Kongsun Ci, waktu masuk perguruan ia tidak pernah bertemu dengan Kiu Jian-jio karena sudah dijebloskan ke dalam gua bawah tanah oleh Kongsun Ci. Tapi dari percakapan Nyo Ko bertiga Hoan It-ong yakin mereka pasti akan memusuhi sang guru.

Kiu Jian-jio menjadi gusar, dari nada ucapan Hoan It-ong dapat diketahuinya kakek cebol itu jelas sangat setia kepada Kongsun Ci, segera ia berseru kepada Nyo Ko: "Lekas binasakan dia daripada menanggung risiko dikemudian hari."

Nyo Ko menoleh, dilihatnya Hoan It-ong tidak gentar menghadapi kemungkinan dibunuhnya, diam2 ia kagum akan sikapnya yang jantan itu, iapun tidak ingin membantah keinginan Kiu Jian-jio, maka katanya kepada Lik-oh: "Nona Kongsun, boleh kau gendong ibumu turun dulu ke sana, segera aku menyusul setelah kubereskan si cebol ini."

Kongsun Lik-oh kenal pribadinya Toa-suheng-nya yang baik itu, ia tidak tega melihat Hoan It-ong mati konyol, maka ia mohon ampun: "Nyo-toako..."

"Lekas berangkat... lekas!" mendadak Kiu Jian-jio menyentaknya dengan gusar, "Apa yang kukatakan selalu kau bantah, percuma punya anak perempuan seperti kau."

Lik-oh tak berani bicara Iagi, cepat ia menggendong sang ibu dan turun dari bukit itu.

Nyo Ko mendekati Hoan It-ong dan membuka Hiat-to bagian lengan yang ditutuknya tadi, lalu berkata dengan suara tertahan: "Hoan-heng, Hiat-to pada kakimu yang kututuk tadi akan buyar dengan sendirinya setelah lewat 6 jam, selamanya kita tidak ada permusuhan apapun, aku tidak ingin mencelakai kau," Habis berkata ia terus menyusul Lik-oh dengan Ginkangnya yang tinggi.

Sebenarnya Hoan It-ong sudah pejamkan mata dan menunggu ajal, sama sekali ia tidak menduga Nyo Ko akan berlaku begitu baik padanya, seketika ia melenggong kesima dan memandangi bayangan ketiga orang menghilang dibalik pepohonan yang kelam sana.

Setelah menyusuInya, Nyo Ko merasa langkah Lik-oh terlalu lambat, segera ia berkata: "Kiu-locianpwe, biar aku saja yang menggendong engkau."

Tadinya Lik-oh merasa kuatir antara Nyo Ko dan ibunya sering tidak cocok dalam pembicaraan kini pemuda itu menyatakan mau menggendong sang ibu, tentu saja ^Lik-oh sangat girang, katanya: "Wah, bikin susah kau saja."

"Dengan susah payah aku mengandung sepuluh bulan barulah melahirkan anak perempuan secantik ini, sekarang tanpa kau minta sudah kuberikan padamu, masakah menggendong sebentar bakal mertua juga enggan?" demikian omel Kiu Jian-jio.

Nyo Ko melengak dengan perasaan kikuk, ia merasa tidak enak untuk menanggapi ucapan orang tua itu, Segera ia mengangkat tubuh Kiu Jian-jio ke punggung sendiri, lalu dibawanya berlari secepat terbang ke bawah bukit.

Kiu Jian-yim, yaitu kakak kedua Kiu Jian-Jio yang menjabat ketua Thi-cio-pang dahulu terkenal dengan julukan Thi-cio-cui-siang-biau, sitelapak tangan besi melayang di permukaan air, julukan yang menggambarkan kelihayan Ginkangnya. DahuIu dia pernah berkelahi dengan Ciu Pek-thong secara maraton dimulai dari daerah Tionggoan sampai ke wilayah barat dekat Tibet, Tokoh yang berkepandaian tinggi seperti Lo-wan-tong saja sukar menyusulnya.



Sedangkan Kanghu (kepandaian silat-Kungfu) Kiu Jian-jio adalah ajaran sang kakak, Ginkangnya juga kelas satu, tapi sekarang berada di punggung Kyo Ko, rasanya pemuda itu berlari sedemikian cepat dan mantap langkahnya se-olah2 kaki tidak menempel tanah, mau-tak-mau Kiu Jian-jio sangat kagum dan heran puIa, ia pikir Ginkang anak muda ini jelas tidak sama dengan Ginkang perguruanku sebagaimana ilmu pukulan yang pernah ia mainkan kemarin, namun jelas kepandaiannya tidak dibawah kanghu Thi-cio-pang dan sama sekali tidak boleh diremehkan.

Tadinya Kiu Jian jio merasa rugi kalau anak perempuannya mendapatkan suami seperti Nyo Ko, soalnya puterinya sudah suka, ia merasa apa boleh buat. Tapi sekarang ia mulai merasakan bakal menantu ini sedikitpun tidak merendahkan harga diri anak perempuannya.

BegituIah hanya sebentar saja Nyo Ko sudah membawa Kiu Jian-jio sampai dibawah bukit, waktu ia menoleh, tertampak Lik-oh masih tertinggal di pinggang bukit, sejenak kemudian barulah nona itu dapat menyusulnya dan kelihatan napas memburu dan dahi berkeringat.

Dengan hati2 mereka bertiga memutar ke belakang perkampungan Cui-sian-kok, Lik-oh tidak berani masuk ke sana melainkan pergi kepada seorang tetangga untuk meminjam baju buat dipakai sendiri, selain itu iapun meminjam baju dan kipas yang diperlukan sang ibu.

Kiu Jian-jio mengembalikan bajunya kepada Nyo Ko, lalu memakai kedok kulit serta memakai baju coklat, dengan tangan memegang kipas serta dipayang Nyo Ko dan Lik-oh di kanan-kiri, menujulah mereka ke pintu gerbang perkampungan.

Waktu memasuki pintu itu, pikiran ketiga orang sama2 bergolak hebat, sudah belasan tahun Kiu Jian-jio meninggalkan perkampungan ini dan sekarang berkunjung lagi ke sini, sungguh sukar dilukiskan perasaannya pada waktu itu.

Terlihat pintu gerbang perkampungan itu ada beberapa pasang lampu kerudung warna merah yang sangat besar, jelas itulah pajangan pada rumah yang sedang berpesta perkawinan, suara tetabuhan juga terdengar berkumandang dari ruangan pendopo sana.

Ketika para centeng melihat Kiu Jian-jio dan Nyo Ko, mereka sama melengak bingung, Tapi lantaran mereka didampingi Kongsun Lik-oh, dengan sendirinya para centeng itu tak berani merintanginya.

Langsung mereka masuk ke ruangan pendopo yang penuh dengan tetamu dan dalam suasana riang gembira itu.

Kelihatan Kongsun Ci memakai baju merah dan berdandan sebagai pengantin laki2 berdiri di sebelah kiri Di sebelah kanan pengantin perempuan bertopi bertabur mutiara dan kembang goyang, meski wajahnya tidak kelihatan karena memakai kerudung, tapi dilihat dari perawakannya yang ramping, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li?

Se-konyong2 sinar api berkelebat menyusul terdengar suara letusan beberapa kali, suara mercon.

"Tiba saat bahagia, pengantin baru disilakan bersembahyang!" demikian pembawa upacara berseru.

Pada waktu itulah mendadak Kiu Jian-jio bergelak tertawa, suaranya menggetar hingga genting rumah sama berkelotek, cahaya lilin juga berguncang, Menyusul ia berseru lantang: "pengantin baru bersembahyang, pengantin lama lantas bagaimana?"

Meski urat kaki tangannya sudah putus, namun Lwekangnya sama sekali belum punah, apalagi selama belasan tahun ia tekun berlatih dalam gua bawah tanah tanpa terganggu, maka hasil latihan belasan tahun itu boleh dikatakan satu kali lipat lebih kuat daripada latihan orang biasa.

Maka suara seruannya itu sungguh keras luar biasa sehingga anak telinga semua orang serasa mendenging, suasana menjadi suram, sebagian besar lilin yang memenuhi sudut2 ruangan itu sama padam.

Semua orang terkejut dan berpaling ke sana, Kongsun Ci juga kaget mendengar suara bentakan hebat itu, ia menjadi bingung dan waswas. Ketika nampak Nyo Ko dan anak perempuannya muncul di situ tanpa kekurangan sesuatu mendampingi orang berkedok yang aneh itu.

"Siapakah saudara?" segera Kongsun Ci membentak.

Kiu Jian-jio sengaja membikin serak suaranya dan menjengek: "Hm, aku adalah sanak pamilimu yang terdekat, masakah kau pura2 tidak kenal padaku?"

Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain2 juga sama tertarik oleh suara Kiu Jian-jio yang hebat itu, mereka tahu orang aneh ini pasti bukan sembarang orang, serentak mereka memusatkan perhatian.

Melihat Kiu Jian-jio memakai baju coklat dan membawa kipas, dandanannya persis seperti Kiu-Jian-yim yang pernah diceritakan oleh isterinya dahulu, Namun ia merasa janggal bahwa Kiu Jian-yim bisa mendadak datang ke sini.

Tampaknya kedatangan orang tidak bermaksud baik, diam2 ia siap siaga, Dengan dingin iapun berkata pula: "Selamanya kita tidak kenal, mengapa kau mengaku sanak pamiliku segala? Sungguh menggelikan!"

Di antara hadirin itu In Kik-si paling paham kisah dunia persilatan di masa lampau, melihat dandanan Kiu Jian-jio itu, seketika pikirannya tergerak, legera iabertanya: "Apakah tuan ini Thi-cio-cui-siang-biau Kiu Jian-yim, Kiu-locianpwe?"

Kiu Jian-jio sengaja ter-bahak2 dan menggoyang-goyang kipasnya, lalu menjawab: "Hahahaha! Kukira orang yang kenal diriku sudah mati semua, kiranya masih sisa seorang kau ini!"

Kongsun Ci tenang saja, katanya kemudian: "Apakah betul saudara ini Kiu Jian-yim? Hah, kukira tiruan belaka!"

Kiu Jian-jio terkejut akan kecerdikan orang, ia menjadi ragu pula jangan2 penyamarannya itu telah diketahui Maka ia cuma mendengus saja tanpa menjawab.

Sementara itu Nyo Ko tidak pedulikan permainan apa yang sedang terjadi pada bekas suami~ isteri itu, ia menyerobot ke samping Siao-liong-li, dengan tangan kanan membawa Coat-ceng-tan, tangan kiri-terus menyingkap kerudung muka si nona sambil berseru : "Kokoh, lekas buka mulut -mu!"

Jantung Siao-liong-li berdebar juga ketika mendadak nampak Nyo Ko berada di depannya, WHe, engkau betul sudah sembuh!" serunya girang bercampur kejut.

Kini Siao-liong-Ii sudah tahu betapa keji hati Kongsun Ci serta tindak tanduknya yang tidak baik, sebabnya dia menyanggupi akan menjadi istrinya hanya demi menyelamatkan jiwa Nyo Ko saja, kini nampak anak muda itu muncul mendadak, disangkanya Kongsun Ci benar pegang janji telah menyembuhkan racun dalam tubuh Nyo Ko.



Dalam pada itu Nyo Ko terus menyodorkan Coat-ceng-tan kemulut Siao-ttoog-li sambil berseru: "Lekas telan !"

Siao-liong-li tidak tahu barang apa yang di -suruh makan itu, namun dia menurut dan menelannya ke dalam perut, Segera terasa suatu arus hawa segar langsung menyusup kedalam perut.

"He kau berikan dia, kau sendiri lantas bagaimana ?" seru Lik-oh kuatir.

Seketika Siao-liong-li paham duduknya, perkara, tanyanya dengan kaget: "Jadi kau sendiri belum pernah minum obat penawarnya?"

Nyo Ko tersenyum saja tanpa menjawabnya, sementara itu ruangan pendopo sedang kacau baIau. Mestinya Kongsun Ci hendak mencegah pendekatan Nyo Ko dengan Siao~liong-li, tapi iapun jeri pada tokoh berkedok yang aneh itu, sebelum tahu siapakah lawannya ia tak berani sembarangan bertindak.

Dalam pada itu Nyo Ko lantas menanggalkan topi pengantin Siao~liong~li dan di-robek2, lalu nona itu digandeng ke samping ruangan, katanya: "Kokoh, Kokcu bangsat itu bakal ketemu batunya, marilah kita menonton permainan yang menarik saja.

Hati Siao-liong li sendiri merasa kacau, ia menggelendot di tubuh Nyo Ko dan tidak tahu apa yang harus diucapkan.

Yang paling senang melihat kedatangan Nyo Ko adalah si dogol Be Kong-co, ia tidak ambil pusing anak muda itu sedang asyik masyuk dengan Siao-liong-li dan sepantasnya jangan diganggu, ia justeru mendekati mereka serta bertanya ini dan itu tanpa habis2

Pada 20-an tahun yang lalu In Kik-si sudah dengar nama Kiu Jian-yim yang termashur dan disegani setiap orang Bu-lim, kini melihat Lwe-kangnya memang sangat tinggi, diam2 ia ingin berkenalan dengan dia, segera ia melangkah maju dan memberi hormat, sapanya: "Hari ini adalah hari bahagia Kongsun Kokcu, apakah Kiu-locianpwe hadir untuk minum arak bahagia pernikahannya ini?"

"Apakah kau tahu dia pernah apa dengan aku?" jawab Kiu Jian-jio sambil menuding Kongsun Ci.

In Kik-si menggeIeng. "Tidak tahu, justeru Cayhe ingin minta penjelasan," katanya.

"Coba kau suruh dia katakan sendiri," ujar Kiu Jian~jio.

"Apakah kau betul2 Thi-cio-ciu-siang-biau?" terdengar Kongsun Ci menegas pula, Mendadak ia bertepuk tangan dan berkata kepada seorang muridnya "Ambilkan kotak surat yang tertaruh di rak sebelah timur dikamar tulisku!"

Dalam keadaan bingung Lik~oh menarik sebuah kursi untuk berduduk ibunya.

Kongsun Ci sangat heran anak perempuannya dan Nyo Ko yang di jerumuskannya ke dalam kolam buaya itu ternyata tidak mati, malahan sekarang muncul lagi dengan seorang yang mengaku sebagai Kiu Jian-yim.

Tidak lama muridnya telah membawakan kotak surat yang diminta, Kongsun Ci membuka kotak itu dan mengeluarkan sepucuk surat, katanya dengan dingin: "Beberapa tahun yang lalu pernah kuterima surat dari Kiu Jian-yim, kalau benar engkau Kiu Jian-yim, maka surat inilah yang palsu."

Kiu Jian-jio terkejut, pikirnya: "Sejak Jiko bertengkar dengan aku, selama itu tak pernah memberi kabar, mengapa dia bilang menerima surat dari Jiko? Dan entah apa yang dikatakan didalam suratnya itu."

Karena itu segera ia berseru: "Huh, bila kupernah menulis surat padamu? Benar2 omong kosong belaka!"

Dari logat bicaranya, tiba2 Kongsun Ci teringat kepada seorang, ia terkejut, seketika keringat dingin membasahi punggungnya. Tapi segera ia berpikir pula. "Ah, tidak mungkin. Dia sudah mati di gua bawah tanah itu, tulang belulangnya sekalipun sudah lapuk, manabisa hidup lagi? Tapi orang ini sebenarnya siapa?"

Segera iapun membentang surat tadi dan di bacanya dengan suara lantang: "Kepada adik Ci dan adik Jio, sejak Toako tewas di tangan Kwe Cing dan Ui yong di Thi-cio-hong...."

Mendengar kalimat pertama isi surat itu, seketika hati Kiu Jian-jio menjadi pedih dan berduka, bentaknya cepat: "Apa katamu? Siapa bilang Toakoku sudah mati?" selamanya dia berhubungan paling akrab dengan Kiu Jian-li, kini mendadak mendengar berita kematiannya, dengan sendirinya ia sangat sedih, tubuhnya gemetar dan suarapun berubah, mau-tak-mau keluar juga suara kewanitaannya.

Kongsun Ci sangat cerdik, begitu yakin orang yang dihadapinya ini adalah perempuan meski dalam hatinya bertambah kejut dan waswas, namun iapun tambah yakin orang pasti bukan Kiu Jian-yim, Maka iapun meneruskan membaca isi surat tadi: "kakakmu ini merasa menyesal telah berselisih paham dengan kau sehingga selama ini kita tak pernah berkumpul. Kini kakak sudah disadarkan oleh It-teng Taysu, golok jagal sudah kubuang, kakak telah tunduk pada ajaran Budha. Pada hari tua sekarang sering terkenang olehku betapa senangnya ketika kita berkumpul dahulu, Mudah2-an saja kalian hidup bahagia dan banyak rejeki...."

Sembari mengikuti bunyi isi surat itu, diam2 Kiu Jian-jio meneteskan air mata, setelah surat itu habis di baca Kongsun Ci, ia tidak dapat menahan tangisnya lagi, segera ia berteriak : "O, Toako dan Jiko, tahukah kalian betapa penderitaanku ini! " mendadak iapun menanggalkan kedoknya dan membentak :"Kongsun Ci, masih kenal tidak padaku ?"

Suara bentakan yang menggelegar ini seketika membikin sebagian api lilin padam lagi, sisa api lilin yang lain juga terguncang goyang dan suram, pada saat itulah mendadak wajah seorang nenek2 yang bengis muncul di hadapan semua orang.

Seketika mereka terkejut, siapapun tidak berani bersuara, suasana menjadi sunyi senyap, hati setiap orang ikut berdebar-debar

Sekonyong2 seorang budak tua yang berdiri di pojok sana ber-lari2 maju sambil berseru: "Cubo," Cubo (majikan perempuan, Cukong - majikan Iaki-Iaki), kiranya engkau masih segar bugar!"

"Ya, Thio-jiok, syukur kau masih ingat padaku," sahut Kiu Jian-jio sambil mengangguk.

Rupanya budak itu sangat setia, ia kegirangan melihat majikan perempuannya belum mati, berulang2 ia menyembah dan menyatakan syukur, Di antara tetamu yang hadir itu kecuali rombongan Kim-lun Hoat-ong, selebihnya kebanyakan adalah para tetangga perkampungan Cui-sian-kok, orang yang berusia setengah tua kebanyakan masih kenal Kiu Jian-jio, maka serentak mereka merubung maju untuk bertanya ini dan itu.

"Minggir semua!" bentak Kongsun Ci mendadak.

Semua orang kaget dan terpaksa menyingkir Kongsun Ci menuding Kiu Jian-jio dan membentak pula: "perempuan hina, mengapa kau kembali lagi ke sini? Kau masih punya muka bertemu dengan aku?"

Sejak mula Lik-oh berharap ayahnya mau mengaku salah dan rujuk kembali dengan sang ibu, siapa duga ayahnya telah mengucapkan kata2 yang begitu kasar dan ketus, saking sedihnya ia berlari ke depan sang ayah, ia berlutut dan berseru: "O, ayah, ibu tak meninggal beliau tak meninggal. Lekas ayah minta maaf dan mohon beliau mengampuni!"



"Mohon dia mengampuni?" jengek Kongsun Ci. "Hm, mengampuni siapa? Memangnya apa salahku?"

"Ayah telah memutuskan urat kaki tangan ibu dan mengeramnya di gua bawah tanah selama belasan tahun sehingga beliau tersiksa dalam keadaan mati tidak hidup tidak, betapapun ayah telah membikin susah ibu," kata Lik-oh dengan terguguk.

"Hm, dia sendiri yang mencelakai aku lebih dulu, kau tahu tidak?" jengek Kongsun Ci. "Dia melemparkan aku ke semak2 bunga cinta sehingga aku tersiksa oleh duri bunga itu. Dia merendam obat penawar di dalam air warangan, aku menjadi serba salah, minum obat penawar itu akan mati, tok minum juga mati, Apakah kau tahu semua kejadian ini? Dia malah memaksa aku membunuh... membunuh orang yang kucintai, tahu tidak kau?"

"Tahu, anak sudah tahu semua," sahut Lik-oh sambil menangisi "Dia bernama Yu-ji."

Sudah belasan tahun Kongsun Ci tidak pernah dengar orang menyebut nama itu, air mukanya menjadi berubah hebat, ia menengadah dan menggumam: "Yu-ji ya benar, Yu-Ji kekasihku, perempuan hina yang keji inilah yang memaksa aku membunuh dia."

Kelihatan air muka Kongsun Ci semakin beringas dan penuh rasa duka pula ber-ulang2 ia menggumam pelahan: "Yu-ji... Yu-ji..."

Nyo Ko pikir suami-isteri konyol itu jelas bukan manusia baik2. sedangkan dirinya sendiri mengidap racun dan takkan hidup terlalu lama lagi di dunia ini, pada kesempatan terakhir ini hanya diharap akan berkumpul dengan Siao-Iiong-li di suatu tempat yang sunyi dan melewatkan tempo yang tak lama lagi itu dengan tenteram, maka sama sekali tiada minatnya buat ikut campur persoalan Kongsun Ci dan isterinya, segera ia menarik Siao-liong-li dan mengajaknya pergi saja.

"Apakah betul wanita ini adalah isterinya dan benar2 telah dikurung olehnya selama belasan tahun?" tanya Siao-liong-li tiba2 dengan hati yang tulus, sungguh ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang sejahat itu.

"Ya, mereka suami-isteri cuma saling balas dendam belaka," kata Nyo Ko.

Siao-liong-li termenung sejenak, lalu berkata dengan suara tertahan: "Sungguh aku tidak paham. Masakah wanita ini serupa aku dan juga dipaksa menikah dengan dia?"

Menurut jalan pikirannya, kalau dua orang tidak dipaksa untuk menikah, seharusnya pasangan itu akan berkasih sayang, mana mungkin saling menyiksa secara begitu kejam.

"Di dunia ini sedikit sekali orang baik dan lebih banyak orang jahat," ujar Nyo Ko sambil menggeleng. "Hati orang2 begini memang sukar juga dijajaki orang lain."

Baru saja berkata sampai di sini, mendadak terdengar Kongsun Ci membentak: "Minggir!" -Berbareng sebelah kakinya mendepak, kontan tubuh Lik-oh mencelat.

Arah mencelatnya tubuh Kongsun Lik-oh tepat menuju ke dada Kiu Jian-jio. padahal Kiu Jian-jio dalam keadaan lumpuh, kaki tangannya lemas tak bertenaga, terpaksa ia menunduk dan ingin mengelak namun tubrukan Lik-oh itu datangnya teramat cepat, "bIang" dengan tepat tubuh si nona menumbuk badan ibunya, kontan Kiu Jian-jio jatuh terjengkang bersama kursinya kepalanya yang botak itu tepat membentur tiang batu dan seketika darah muncrat serta tak dapat bangun.

Lik-oh sendiri juga jatuh tersungkur dan pingsan karena depakan sang ayah. Dalam keadaan begitu mau-tak-mau Nyo Ko menjadi gusar menyaksikan keganasan Kongsun Ci itu, Baru saja ia hendak memburu maju, tiba2 Siao-liong-li melompat maju lebih dulu untuk membangunkan Kiu Jian-jio serta mengurut beberapa kali di belakang kepala nenek itu untuk membikin mampet darahnya yang mengucur itu, habis itu ia merobek ujung baju untuk membalut lukanya dan kemudian ia membentak Kongsun Ci: "Kongsun-siansing, dia adalah isterimu yang sah, mengapa kau perlakukan dia begini? jika kau sudah beristeri, kenapa ingin menikahi aku pula? seumpama aku jadi nikah dengan kau, bukankah kelak kaupun akan perlakukan diriku seperti dia ini?"

Beberapa pertanyaan yang tepat ini membikin Kongsun Ci melongo dan tak dapat - menjawab, serentak Be Kong-co bersorak memuji, sedangkan Siau-siaug-cu hanya menanggapi dengan ucapan: "Hm, jitu benar kata2 nona ini."

Dasar Kongsun Ci sudah ter-gila2 kepada Siao-liong-li maka iapun tidak menjadi gusar oleh pertanyaan itu, dengan suara halus ia menjawab: "Liu-ji, mana kau dapat dibandingkan dengan perempuan busuk ini? cintaku padamu tanpa batas, jika aku mempunyai pikiran buruk padamu, biarlah aku mati tak terkubur."

"Di dunia ini bagiku cukup hanya dia seorang saja yang mencintai aku, sekalipun kau suka padaku seratus kali lipat juga aku tidak kepingin," jawab Siao-liong-li hambar sembari mendekati Nyo Ko dan menggenggam tangannya.

Tidak kepalang rasa gembira hati Nyo Ko melihat betapa cinta Siao-liong-li kepadanya, tapi rasa gemasnya kepada Kongsun Ci juga memuncak bila ingat umurnya tinggal berapa hari saja dan semua itu gara2 perbuatan Kongsun Ci, maka dengan gusar ia menuding dan memaki: "Hm, kau berani bilang tiada pikiran buruk kepada Kokoh ? Hm, kau menjebloskan aku ke kolam buaya itu, lalu menipu Kokoh agar mau menikah dengan kau, apakah perbuatanmu ini baik? Kokoh terkena racun bunga cinta, padahal kau tahu tiada obat lagi untuk menyelamatkan dia, namun hal ini tidak kau katakan padanya, apakah ini maksud baikmu?"

Siao-liong-li terkejut mendengar ucapan Nyo -Ko itu dengan suara gemetar ia menegas: "Apakah betul begitu ?"

"Tapi tidak soal lagi, kau sudah minum obat penawarnya tadi," ujar Nyo Ko sambil tersenyum.

Senyuman yang pedih dan girang pula mengingat obat Coat-ceng-tan akhirnya dapat disampaikan dan diminum oleh Siao-Iiong~li, maka matipun dia rela sekarang?

Kongsun Ci memandang ke sana dan ke sini, sorot matanya mengusap wajah Kiu Jian-jio, Siao--liong-li dan Nyo Ko bertiga, hatinya penuh rasa cemburu dan benci serta napsu berahi, ya kecewa, ya malu, macam2 perasaan berkecamuk menjadi satu. Meski biasanya dia sangat sabar, namun kini dia sudah berpikiran gelap dan setengah gila, Se-konyong2 ia berjongkok dan melolos keluar sepasang senjatanya dari bawah selimut merah yang digunakan alas kaki waktu upacara tadi, "trang." ia bentrok kedua senjata dan membentak:




"Baik, baik sekali! Biarlah hari ini kita gugur bersama saja."

Karena sama sekali tidak menyangka Kongsun Ci akan menyembunyikan senjata dibawuh perabot sembahyang pernikahannya itu, maka semua orang sama berseru kaget

Segera Siao-Iiong-Ii menjengek: "Ko-ji, orang jahat begini buat apa sungkan2 lagi padanya ?"

"Creng", dari dalam baju pengantinnya iapun mengeluarkan sepasang pedang hitam lemas itu.

Kun-cu~kiam dan Siok-li~kiam.

"Aha, bagus! jadi demi menolong diriku, maka Kokoh pura2 mau menikah dengan dia?" seru Nyo Ko girang.

Perlu dimaklumi bahwa meski Siao-liong-li tidak paham seluk beluk kehidupan manusia umumnya, namun terhadap orang yang dibencinya, cara turun tangannya sedikitpun tidak kenal ampun, seperti dahulu waktu dia menuntut balas bagi kematian Sun-popoh, pernah dia mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong dan membikin kalang-kabut para imam Coan-cin-kau, malahan jiwa Kong-leng-cu Hek Tay-thong hampir melayang ditangannya, sekarang Kongsun Ci telah membikin dia merana dan tak dapat berkumpul dengan Nyo Ko, diam2 ia sudah bertekad akan melabrak orang meski harus korbankan jiwa sendiri.

Sebab itulah di dalam baju pengantinnya itu diam2 ia sembunyikan sepasang pedang, asalkan Nyo Ko telah diobati, segera ia mencari kesempatan untuk membunuh Kong-sun Ci, kalau gagal, maka iapun akan membunuh diri dan takkan mengorbankan kesuciannya di Cui-siang-kok ini.

Para hadirin juga heran dan kaget melihat kedua calon pengantin itu sama menyembunyikan senjata, hanya beberapa tokoh lihay seperti Kim-lun Hoat-ong saja sudah menduga pesta nikah ini pasti akan berakhir dengan keonaran.

Tapi melihat Kiu Jian-jio hanya tertumbuk oleh tubuh Kongsun Lik-oh saja lantas roboh, jauh tidak seimbang dengan Lwekang yang maha-tinggi yang diperlihatkannya tadi, mau-tak-mau semua orang mendjadi heran.

Nyo Ko lantas menerima Kun-cu-kiam dari tangan Siao-liong-li, katanya: "Kokoh, marilah kita bunuh bangsat ini untuk membalas sakit hatiku."

"Membalas sakit hatimu?" Siao~liong-li menegas sambil menggetar pedang Siok-li-kiam.

Diam2 hati Nyo Ko berduka, tapi mengingat hal itu tak dapat dijelaskan kepada Siao-liong-li, terpaksa ia hanya menjawab: "Ya, sudah tidak sedikit bangsat ini mencelakai orang baik2"

Habis berkata, Kun-cu-kiam bergerak, langsung ia menusuk iga kiri Kongsun Ci, ia tahu pertarungan sekarang pasti akan berlangsung sangat dahsyat dan berbahaya pula, ia sendiri mengidap racun, bila kedua orang memainkan "Giok-li-kiam-hoat" dan merangsang perasaan cinta, maka mereka akan kesakitan seketika.

Karena itu pandangannya lurus menatap musuh, yang dimainkan adalah "Coan-cin-kiam-hoat".

Kongsun Ci juga tahu betapa lihaynya ilmu pedang gabungan kedua muda-mudi itu, maka begitu gebrak segera ia lancarkan serangan Im-yang-to-hoat yang terbalik itu, pedang hitam bermain dengan gaya golok, sedangkan golok bergigi bermain dengan gaya pedang, setiap jurus serangannya lihay luar biasa,

Namun ilmu pedang Coan-cin-pay yang dimainkan Nyo Ko itu adalah ciptaan Ong Tiong-yang, itu cakal bakal Coan-cin-pay, walaupun tidak seganas serangan musuh, namun gayanya indah dan perubahannya rumit, dia berjaga saja dengan rapat dan menyambut setiap serangan musuh dengan baik.

Sudah tentu Siao-liong-li juga tidak kurang lihaynya, ia membentak nyaring, Siok-Ii-kiam segera menusuk punggung Kongsun Ci.

Dongkol dan menyesal Kongsun Ci tak terperikan, nona secantik bidadari ini mestinya sudah menjadi isterinya kalau Nyo Ko tidak muncul, tapi sekarang justeru bergabung dengan anak muda ini untuk mengerubutnya.

BegituIah makin dipikir makin murka Kongsun Ci, namun serangannya tetap berjalan dengan ganas.

Di pihak lain Siao~Iiong-li memainkan Giok li-kiam-hoat, maksudnya ingin mengadakan kontak batin dengan Nyo Ko agar daya ilmu pedang bisa dikeluarkan seluruhnya, siapa tahu anak muda itu selain menghindarkan adu pandang dengan dia juga cuma bertempur dengan caranya sendiri.

Siao-liong-li menjadi heran danbersero: "Ko ji, mengapa kau tidak memandang padaku? Karena rangsangan perasaannya yang penuh kasih mesra itu, sinar pedangnya memanjang seketika dan serangannya tambah kuat.

Sebaliknya demi mendengar nada si nona yang menggiurkan itu, hati Nyo Ko terguncang, dada kesakitan seketika, gerak pedangnya juga berubah lambat "Bret", tahu2 lengan bajunya tertabas robek oleh pedang hitam Kongsun Ci.

Siao-Iiong-li terkejut, cepat ia melancarkan tiga kali serangan untuk mengalangi gempuran Kongsun Ci.

"Aku tak dapat memandang kau dan juga tak dapat mendengarkan perkataanmu " kata Nyo-Ko.

"Sebab apa?" tanya Siao~liong-li dengan lemah lembut.

Kuatir terancam bahaya lagi, Nyo Ko sengaja menjawab dengan suara kasar: "Jika kau ingin aku mati, maka bolehlah kau bicara dengan aku." Karena timbul amarahnya, rasa sakitnya lantas berhenti seketika, semua serangan Kongsun Ci dapat ditangkisnya.

"Baiklah, aku tidak bicara lagi," ujar Siao-liong-li dengan rasa menyesal Tapi mendadak pikirannya tergerak: "Ah, aku sendiri sudah sembuh dari racun bunga cinta itu, apakah dia belum meminum obat penawarnya?"

Berpikir begitu, sungguh rasa terima kasih dan kasih sayangnya tak terbatas mendalamnya, perasaan mesra ini mendorong tenaga, seketika daya tempur Giok-li-kiam-boatnya bertambah hebat, setiap jurus serangannya segera melindungi seluruh tubuh Nyo Ko.

Dalam keadaan begitu, seharusnya Nyo Ko harus bergilir untuk menahan serangan musuh bagi Siao-liong-li, tapi lantaran dia tak berani melirik, jadinya Siao-liong-li tak terjaga sama sekali dan selalu menjadi ancaman musuh.

Betapa tajam pandangan Kongsun Ci, hanya beberapa gebrak sadja ia sudah dapat melihat peluang itu, namun dia tidak ingin mencelakai Siao liong-li sedikitpun, setiap serangannya selalu dilontarkan kepada Nyo Ko. Walaupun begitu serangan yang dahsyat itu dapat juga dihadapi oleh pedang nan lawan yang kuat, dalam beberapa puluh jurus ternyata sedikitpun Kongsun Ci takdapat berbuat apa2.



Sementara itu Kongsun Lik-oh sudah siuman dan ikut menonton di sebelah ibunya, dilihatnya Siao-liong-li terus melindungi Nyo Ko melulu tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, diam2 ia bertanya pada dirinya sendiri: "Jika aku yang menjadi dia, dalam keadaan gawat antara hidup dan mati, apakah akupun sanggup mengorbankan diriku untuk membela dia?" ia menghela napas pelahan dan menjawab sendiri pula:

"Aku pasti akan berbuat sama seperti nona liong ini kepadanya, tapi dia yang tidak mungkin berbuat begitupula terhadap diriku."

Tengah mengelamun, tiba2 terdengar Kiu Jian-jiu berseru: "Golok bukan golok, pedang bukan pedang!"

Sudah tentu Nyo Ko dan Siao-liong-li merasa bingung oleh seruan itu, mereka tidak paham apa maksudnya.

Terdengar Kiu Jian jio berteriak pula: "Golok adalah golok, pedang adalah pedang!"

Setelah bertempur dua kali melawan Kongsun Ci, memang sejak tadi Nyo Ko sudah memikirkan di mana letak keajaiban permainan golok Kongsun Ci itu, ia merasa anehnya serangan musuh, pedang hitam yang enteng digunakan membacok dan menabas dengan keras seperti golok, sebaliknya golok yang berat itu digunakan menusuk dan menyabet secara gesit Kalau saja golok dimainkan sebagai pedang dan pedang digunakan sebagai golok masih dapat dimengerti anehnya dalam sekejap permainannya bisa berubah lagi, dalam serangan pedang nya tampak gaya ilmu pedang dan serangan golok tetap bergaya ilmu golok, sungguh berubah tak menentu dan sukar diraba.

Kini mendadak mendengar seruan Kiu Jian--jio itu, cepat juga timbul ilham dalam benak Nyo Ko, diam2 ia membatin apakah maksud Kia Jian-jio itu hendak mengatakan bahwa gaya pedang dalam permainan golok dan gaya golok dalam permainan pedang Kongsun Ci itu cuma gaya kembangan belaka ? jika begitu halnya, biarlah aku mencobanya ?

Begitulah ketika dilihatnya pedang hitam lawan membacok tiba pula seperti golok, maka Nyo Ko menganggapnya tetap sebagai pedang, segera ia menangkisnya dengan Kun-cu-kiam, "trang", kedua pedang beradu dan kedua orang sama tergetar mundur setindak.

Nyata dugaan Nyo Ko tidak keliru, gaya serangan golok dari pedang hitam itu pada dasarnya tetap pedang, gerakan sebagai bacokan golok itu cuma gerakan kembangan belaka untuk membikin kabur pandangan lawan, kalau saja kepandaian pihak lawan kurang, tinggi dan tak dapat melayani dengan tepat, maka gerakan kembangan seperti golok itupun dapat mencelakai kakinya.

Sekali coba lantas berhasil menjajaki ilmu silat lawan, Nyo Ko menjadi girang, segera ia perhatikan kelemahan musuh, ia pikir betapa anehnya serangan musuh, tapi lantaran gerakan kembangannya terlalu banyak, akhirnya pasti kacau dan kelihatan titik kelemahannya.

Setelah bergebrak beberapa kali lagi, "tiba2 terdengar Kiu Jian- jio berseru pula : "Serang kaki kanannya, kaki kanannya"

Akan tetapi Nyo Ko merasa bagian kaki lawan sedikitpun tiada peluang untuk dapat diserang, apalagi golok musuh diputar sedemikian kencang, hakekatnya sukar ditembus. Tapi lantas teringat olehnya bahwa ilmu silat Kongsun Ci itu adalah ajaran Kiu Jian-jio, meski kaki tangan nenek botak itu sudah cacat, namun ilmu silat yang dipahaminya sedikitpun tidak pernah terlupa, tentu nenek itu dapat melihat titik kelemahan Kongsun Ci. Karena pikiran itu segera ia menurut dan menyerang kaki kanan musuh.

Cepat Kongsun Ci menangkis dengan goloknya kaki kanannya ternyata berjaga rapat Tapi lantaran harus menangkis, bahu kiri dan iga kiri lantas tak terjaga, peluang itu tidak di-sia2kan oleh Nyo Ko, tanpa menunggu petunjuk Kiu Jian-jio segera ia menyerang dan berhasil merobek baju bawah ketiak musuh.

Kongsun Ci mengomel gusar sambil melompat mundur, dengan mendelik ia membentak Kiu Jian-jio: "perempuan hina, lihat nanti kalau aku tidak membinasakan kau!" Habis itu segera ia menerjang Nyo Ko Iagi.

Selagi Nyo Ko menangkis, terdengar Kiu Jian-jio berseru pula: Tendang punggungnya!"

Padahal waktu itu kedua orang sedang berhadapan muka, untuk menendang bagian punggung jelas tidak mungkin, namun sekarang Nyo Ko sudah rada menaruh kepercayaan kepada petunjuk Kiu Jian-jio, ia pikir ucapan nenek itu tentu mempunyai arti tertentu, maka tanpa banyak ulah segera ia menyusup ke belakang musuh.

Cepat Kongsun Ci memutar balik goloknya din menabas ke belakang. Tapi Kiu Jian-jio sudah lantas berteriak lagi: "Tusuk dahinya.!"

Nyo Ko menjadi heran, baru saja memutar ke belakang orang, masakah sekarang diharuskan menusuk dahi lawan di bagian muka, Namun keadaan sudah mendesak, tanpa pikir segera ia menyerobot ke depan musuh dan baru saja hendak menusuk tempat yang dianjurkan, se-konyong2 Kiu Jian-jio berseru pula. "Tabas pantatnya!"

Lik-oh ikut berdebar menyaksikan pertarungan itu, diam2 iapun heran mengapa ibunya bergembar-gembor begitu, bukankah caranya itu berbalik hendak membantu ayahnya malah?

Dalam pada itu Be Kong co lantas berteriak "He, jangan kau tertipu nenek itu, adik Nyo, dia sengaja membikin lelah kau."

Namun Nyo Ko justeru percaya kepada seruan Kiu Jian-jio yang mempunyai tujuan jitu itu, begitu si nenek berseru suruh dia ke depan, segera ia menyerobot ke depan, bila disuruh memutar ke belakang cepat ia menyelinap ke belakang.

Benar saja, sesudah berputar beberapa kali cara begitu, akhirnya iga kanan Kongsun Ci tertampak kelemahan tanpa ayal pedang Nyo Ko terus menusuk "cret", baju tertembus dan ujung pedang masuk kulit daging musuh beberapa senti dalamnya, seketika darah segar mengucur dari iga Kongsun Ci.

Semua orang sama berteriak heran dan berbangkit Kim-lun Hoat-ong dan Iain2 tahu persoalannya bahwa Kiu lian-jio sebenarnya bukan memberi petunjuk kepada Nyo Ko caranya memperoleh kemenangan, tapi mengajarkan dia mencari kesempatan menang dari keadaan yang tidak mungkin menang itu, bukan ditujukan titik kelemahan Kongsun Ci, tapi suruh Nyo Ko mendesak musuh yang sama sekali tiada kelemahan itu agar terpaksa memberi titik kelemahan,

Hanya beberapa kali saja Kiu Jian-jio memberi petunjuk, karena Nyo Ko memang anak yang cerdik dan pintar, segera ia dapat menangkap di mana letak intisari ilmu silat yang bagus itu, dalam hati ia sangat kagum dan bersyukur akan petunjuk Kiu Jian-jio yang besar manfaatnya itu.

Cuma untuk bisa memaksa Kongsun Ci memperlihatkan titik kelemahannya selain lawannya harus lebih unggul ilmu silatnya dan harus pula paham akan setiap gerak serangan Kongsun Ci, dengan begini barulah dapat menapsirkan jurus serangan mana yang bakal dilontarkan musuh itu dan memancingnya menuju kearah yang keliru.

Untuk ini memang cuma Kiu Jian-jio saja yang sanggup, Nyo Ko sendiri hanya paham maksudnya tapi tidak mampu melakukannya sendiri tanpa petunjuk nenek itu. Karena itulah dia turut setiap petunjuk Kiu Jian-jio dan melancarkan serangan berantai mengitari Kongsun Ci, setelah belasan jurus lagi, kembali kaki Kongsun Ci tertusuk oleh pedangnya.

Meski tidak parah, namun lukanya cukup panjang, diam2 Kongsun Ci sangat mendongkol ia pikir dalam waktu singkat jelas dirinya sukar mendapat kemenangan malahan kalau bertempur lebih lama bukan mustahil jiwanya sendiri yang akan melayang dibawah pedang bocah ini.

Dahulu, demi untuk menyelamatkan jiwa sendiri pernah juga dia membunuh Yu-ji yang dicintainya itu, sekarang keadaan sudah kepepet, maka iapun tidak memikirkan Siao-liong-li lagi, segera pedang hitam bergerak ke depan, tapi mendadak goloknya yang membacok ke bahu Siao-Iiong li.

Nyo Ko terkejut, cepat ia menangisnya.

"Tusuk pinggangnya." mendadak Kiu Jian-jio berseru pula.

Nyo Ko melengak, ia pikir Kokoh sedang terancam, mana boleh kudiamkan saja? Tapi setiap petunjuk Kiu-locianpwo selalu mengandung arti yang dalam, bisa jadi cara ini adalah jurus penolong yang bagus, Karena itu pedangnya terus berputar ke bawah untuk menusuk pinggang musuh.

Pada saat itulah terdengar Siao-Iiong-ii menjerit kesakitan, lengannya telah terluka, "trang", Siok-li-kiam terjatuh pula. Menyusul itu Kongsun Ci sempat menangkis serangan Nyo Ko dengan pedangnya.

Nyo Ko sangat kuatir akan luka Siao-Iiong-li itu, serunya: "Kokoh, kau mundur saja, biar aku sediri melayani dia!"-Karena rangsangan perasaannya terhadap Siao-liong-Ii, tiba2 dadanya terasa sakit.

Dalam keadaan tcrluka, terpaksa Siao-liong-li mundur kesamping untuk membalut lukanya dengan robekan baju.

Nyo Ko terus bertempur dengan gagah berani, ia sangat mendongkol terhadap petunjuk Kiu Jian-jio yang keliru itu, pada suatu kesempatan ia melotot gusar terhadap nenek itu.

Sudah tentu Kiu Jiau-jio paham maksud anak muda itu, ia menjengek: "Hm, kenapa kau menyalahkan aku? Aku cuma membantu kau menggem-pur musuh, peduli apa dengan dia? Hmm, biarpun mampus juga aku tidak peduli nona itu!"

"Kalian suami-isteri benar2 suatu pasangan manusia yang keji dan kejam!" damperat Nyo Ko dengan gusar.

Makian Nyo Ko kini sungguh sangat tepat dan tajam, namun Kiu Jian-jio hanya mendengus saja dan tidak marah, ia tetap tenang2 saja mengikuti pertarungan kedua orang.

Sekilas Nyo Ko melihat Siao-liong-li sedang membalut lukanya, tampaknya tidak begitu parah, seketika serangannya berubah dengan bersemangat.

Dari Coan-cin-kiam-hoat ia ganti menyerang dengan Giok-li-kiam-hoat.

Kongsun Ci rada heran melihat serangan Nyo Ko sekarang hampir seluruhnya berbeda daripada tadi, kini tampak lebih gesit dan lincah dan lebih bergaya dibanding tadi yang kereng dan tenang. ia menjadi curiga jangan2 Nyo Ko sengaja main gila untuk memancingnya

Tapi setelah bergebrak lagi beberapa jurus, ternyata gaya tempur Nyo Ko sekarang serupa dengan Siao-liong-li tadi, segera rasa curiga Kongsun Ci lenyap, golok dan pedangnya lantas menyerang pula sekaligus.

Maka setelah belasan jurus, lambat laun Nyo Ko terdesak lagi di bawah angin dan berulang terdesak mundur.

Beberapa kali Kiu Jian-jio berseru memberi petunjuk lagi, namun Nyo Ko sudah telanjur khe-ki karena nenek itu sengaja membikin susah Siao-liong-li, maka petunjuknya itu tak digubrisnya lagi, "Sret-sret", mendadak ia melancarkan serangan empat kali ber-turut2, ketika Kongsun Ci menangkis secepatnya Nyo Ko menubruk maju, "trang", ia selentik golok lawan, seketika Kongsun Ci merasa lengannya kesemutan dan golok hampir terlepas dari pegangan, Pada saat itu juga mendadak Nyo Ko menubruk maju, jari kirinya menutuk bagian pusarnya.

Nyo Ko kegirangan dan yakin musuh pasti akan roboh dan terluka parah, Tak terduga, sambil mendoyongkan tubuhnya, mendadak sebelah kaki Kongsun Ci menendang ke dagu Nyo Ko.

Keruan kejut Nyo Ko tak terkatakan cepat ia melompat ke samping. Segera teringat olehnya bahwa Hiat-to di tubuh musuh memang sangat aneh, tadi Sia liong li juga pernah menghantam Hiat-ta orang dengan genta kecil yang terikat pada ujung selendangnya, jelas Hiat-to yang di arah itu kena dengan tepat, tapi Kongsun Ci tetap tidak roboh.

Selagi Nyo Ko merasa bingung cara bagaimana untuk bisa mengalahkan musuh, sementara itu golok dan pedang Kongsun Ci sudah membura tiba pula, sedangkan Kiu Jian-jio lagi2 berseru: "Golok dan pedangnya menyilang, pedangnya akan menyerang ke kiri dan goloknya menyerang kanan!"

Tanpa pikir Nyo Ko mengadakan penjagaan rapat seperti peringatan Kiu Jian-jio itu sehingga buyarlah setiap serangan Kongsun Ci. .



Bicara tentang Kanghu sejati sebenarnya Nyo Ko tak dapat melawan keuletan Kongsun Ci, hanya berkat petunjuk Kiu Jian-jio saja dapatlah Nyo Ko mematahkan setiap serangan Kongsun Ci yang lihay itu.

Sementara itu kedua orang sudah bertempur sampai beberapa ratus jurus, para penonton sama berdebar dan sukar menduga siapa di antaranya yang bakal menang dan kalah, Kongsun Ci dan Nyo Ko tampaknya sama payahnya, napas Kongsun Ci kelihatan mulai terengah, sedangkan Nyo Ko juga sudah mandi keringat, gerak-gerik mereka tidak segesit dan secepat tadi.

Lik-oh pikir kalau pertempuran itu berlangsung lagi, akhirnya satu diantara dua pasti celaka. Dia tidak mengharapkan Nyo Ko kalah, tapi iapun tidak tega menyaksikan ayah sendiri celaka, Maka dengan suara pelahan ia memohon kepada Kiu Jian-jio: "lbu, sebaiknya engkau suruh mereka berhenti saja, biarlah kita bicara baik2 saja untuk menentukan yang salah dan benar."

Kiu Jian-jio hanya mendengus saja tanpa menjawab. Sejenak kemudian barulah ia berkata: "Coba ambilkan dua mangkok teh,"

Dengan pikiran kacau Lik-oh pergi menuangkan dua mangkok teh dan dibawa ke depan sang ibu, Segera Kiu Jian-jio menanggalkan kain pembalut lukanya yang berlepotan darah itu. seperti diketahui Siao liong-li yang merobek baju sendiri untuk membalutkan lukanya itu, sekarang kain pembalut dilepaskan, darah lantas merembes keluar lagi dari kepalanya.

"Bu!" Lik-oh berseru kuatir.

"Jangan bersuara," kata Kiu Jian-jio, lalu ia memeras beberapa tetes darah dari kain pembalut itu ke dalam mangkuk Waktu melihat Lik-oh merasa heran dan curiga, segera ia memeras sedikit darah lagi ke mangkuk yang lain. ia guncang sedikit mangkuk itu sehingga tetesan darah itu lantas terbaur dalam air teh, dalam sekejap saja tiada kelihatan apa-apa lagi.

Habis itu Kiu Jian-jio menempelkan lagi kain pembalut pada lukanya, segera ia berseru: "Tentu mereka sudah lelah bertempur biarkan masing2 minum semangkuk teh dulu." Lalu ia berkata kepada Lik-oh: "Antarkan teh ini kepada mereka, seorang semangkuk!"

Lik-oh tahu betapa benci dan dendam sang ibu terhadap ayah, kalau bisa sang-ayah hendak membinasakan seketika, maka ketika melihat ibunya meneteskan darah ke dalam mangkuk meski tidak paham apa maksudnya, tapi ia pikir perbuatan ini tentu tidak menguntungkan ayahnya, tapi kemudian dilihatnya kedua mangkuk teh itu sama2 diberi tetesan darah, maka rasa curiganya menjadi lenyap, segera ia membawa kedua mangkuk teh itu ke tengah ruangan dan berseru: "Ayah, Nyo-toako, sjlakan kalian minum teh dahulu!"

Memangnya Kongsun Ci dan Nyo Ko lagi kehausan, mendengar seruan itu, serentak mereka berhenti bertempur dan melompat mundur, lebih dulu Lik-oh menyodorkan semangkuk teh kepada ayahnya.

Kongsun Ci merasa sangsi, ia pikir teh ini diantarkan kepadanya atas suruhan Kiu Jian -jio di dalam hal ini pasti ada sesuatu yang tidak beres, bukan mustahil diberi racun, karena itu ia tidak mau menerima teh itu, tapi katanya kepada Nyo Ko: "Kau minum dulu."

Sedikitpun Nyo Ko tidak gentar dan sangsi,ia terima mangkuk itu terus hendak diminumnya, mendadak Kongsun Ci berkata pula "Baiklah, biar kuminum semangkuk itu!" - Segera pula ia ambil mangkuk yang dipegang Nyo Ko itu.

Nyo Ko tahu apa artinya itu, dengan tertawa ia berkata: "Anak perempuanmu sendiri yang menuangkan teh ini, masakah dia menaruh racun?" Habis berkata ia terus terima mangkuk teh yang lain dan ditenggak hingga habis.

Kongsun Ci melihat air muka Lik-oh tenang2 saja tanpa mengunjuk sesuatu perasaan kuatir Nyo Ko akan keracunan, maka percayalah dia bahwa teh itu tidak berbahaya. Segera iapun minum habis isi mangkuk itu. "Creng", ia membentrok kedua senjatanya dan berkata:

"Nah, tak perlu mengaso lagi, marilah kita mulai bertempur pula, Hm, kalau saja perempuan hina itu tidak memberi petunjuk pada-mu, biarpun kau mempunyai jiwa serep juga sudah melayang sejak tadi."

Pada saat itulah mendadak Kiu Jian-jio menanggapi deagan suara dingin: "Sekarang ilmu kebalnya sudah pecah, boleh kau incar saja Hiat-tonya."

Kongsun Ci melengak, segera ia merasakan ujung lidahnya ada rasa amisnya darah, sungguh kejutnya tak terkatakan. Kiranya ilmu kebal tutukan Hiat-to yang dilatihnya itu pantang makan minum barang berjiwa, untuk menjaga segala kemungkinan, maka ia melarang setiap anak buahnya di Cui-sian-kok untuk makan daging dan barang apa saja yang berbau darah. Meski orang lain tidak melatih ilmu kebal itu, tapi terpaksa mesti ikut tersiksa.

Walaupun Kongsun Ci sudah berjaga dan hati2 sama sekali tak terduga olehnya bahwa Kiu Jian~jio akan menaruh darah dalam teh yang diminumnya itu. Bagi Nyo Ko tentu tidak menjadi soal tapi bagi Kongsun Ci, teh campur tetesan darah itu seketika membuat ilmu kebalnya itu hancur...

Saking murkanya ia berpaling dan melihat Kiu Jian-jio sedang komat kamit asyik makan kurma, tangan yang satu menggengam kurma, tangan yang lain melangsir buah kurma itu ke mulut dan dimakan dengan nikmatnya.

"Ilmu itu adalah pemberianku dan sekarang aku yang memusnahkannya, kan tidak perlu heran dan kaget toh?" kata Kiu Jian-jiu dengan tersenyum.

Kedua mata Kongsun Ci merah berapi, ia angkat kedua senjatanya terus menerjang ke arak Kiu Jian-jio.

Lik-oh terkejut, cepat ia memburu maju hendak melindungi sang ibu. Tapi mendadak terdengar angin keras menyamber di sebelah telinga, menyusul terdengar Kongsun Ci menjerit keras2, senjatanya terlepas dari tangan, sambil menutupi mata kanannya terus berlari keluar, terdengar suara jerit tangisnya yang mengaung ngeri dan makin menjauh, akhirnya lenyap di tengah pegunungan.

Para hadirin saling pandang dengan bingung karena tidak tahu dengan cara bagaimana Kiu Jian-Jiu melukai Kongsun Ci, Hanya Nyo Ko dan Lik-oh saja yang tahu duduknya perkara, jelas Kiu Jian-Jio menggunakan biji kurma yang disemprotkan dari mulutnya itu, untuk membutakan mata bekas suaminya itu, Waktu Nyo Ko bertempur dengan Kongsun Ci, diam2 Kiu Jian-jio sudah mengumpulkan beberapa biji kurma di dalam mulutnya, cuma waktu itu dia tidak berani sembarangan bertindak, ia lihat ilmu silat Kongsun Ci sudah jauh lebih maju, ia kuatir kalau sekali serang tidak kena maka akan membikin runyamnya urusan dan selanjutnya pasti sukar lagi hendak melukai Kongsun Ci.



Sebab itulah lebih dulu Kiu Jian-jio memunahkan ilmu kebal Tiam-hiat yang dilatih Kongsun Ci itu dengan teh berdarah, lalu pada saat Kongsud Ci menjadi murka, mendadak iapun menyerangnya dengan semburan biji kurma yang merupakan satunya senjata yang dilatihnya selama belasan tahun ini, baik kekuatannya maupun kejituannya tidak kalah daripada senjata rahasia manapun juga.

Kalau saja tadi Lik-oh tidak memburu maju mendadak dan mengalang di depan, bukan mustahil kedua mata Kongsun Ci sudah buta semua, bahkan kalau dahinya yang kena biji kurma, tentu jiwanya juga melayang seketika.

Melihat ayahnya mendadak lari pergi, Lik-oh merasa tidak tega, ia terkesima dan berseru: "Ayah, ayah!"

Segera ia bermaksud berlari keluar untuk melihat kepergian sang ayah, tapi Kiu Jian-jio lantas menghardiknya dengan suara bengis: "Jika kau ingin ayah, bolehlah kau pergi bersama dia dan jangan menemui aku lagi selamanya."

Lik-oh menjadi serba salah, tapi mengingat persoalan ini memang terpangkal pada kesalahan sang ayah, sedangkan siksa derita sang ibu jauh melebihi ayah, pula ayahnya sudah pergi jauh, untuk menyusulnya juga tidak dapat Iagi. terpaksa ia melangkah kembali dan menuuduk dengan diam.

Dengan angkuhnya Kiu Jian-jio duduk di kursinya, dipandangnya sini dan diliriknya sana, lalu mengejeknya: "Hm, bagus! Kalian datang untuk pesta pora bukan? Tapi pestanya buyar tanpa jamuan, kalian tentu kecewa, bukan?"

Semua orang sama ngeri tersapu oleh sorot matanya yang tajam itu, semuanya kuatir kalau mendadak nenek itu menyemburkan senjata rahasianya yang aneh dan jiwa bisa melayang seketika. Hanya Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si dan Siau-siang-cu saja yang sama siap siaga.

Bahwa akhirnya Kongsun Ci mengalami nasib begitu, hal inipun tak terduga oleh Siao-liong-li dan Nyo Ko, mereka sama menghela napas panjang, lalu saling genggam tangan dengan kencang. walaupun begitu Siao-liong-Ii tidak lupa kepada budi pertolongan jiwa Kongsun Ci, kini penolong itu terluka parah dan telah kabur, mau-tak-mau iapun rada menyesal, segera ia mengedipi Nyo Ko, kedua orang lantas melangkah pergi.

Tapi baru sampai di ambang pintu, mendadak Kiu Jian-jio membentaknya "Nyo Ko hendak ke mana?"

Nyo Ko memutar balik dan memberi hormat, katanya: "Kiu-locianpwe, nona Lik-oh, sekarang juga kami mohon diri."-ia tahu umur sendiri takkan lama lagi, maka iapun tidak mengucapkan "sampai berjumpa" segala.

Lik~oh membalas hormat anak muda itu tanpa berkata. sedangkan Kiu Jian-jio lantas menghardik pula dengan gusar "Sudah kujodohkan puteriku satunya ini padamu, mengapa kau tidak sebut aku sebagai ibu mertua, bahkan sekarang mau pergi begitu saja?"

Nyo Ko melengak bingung, ia merasa tidak pernah menyatakan mau terima si nona meski nenek itu memaksa untuk menjodohkan Lik-oh padanya.

Segera Kiu Jian-jio berkata pula: "Ruangan upacara di sini sudah tersedia, segala sesuatu juga sudah disiapkan, tamu undanganpun sudah hadir sekian banyak, kaum persilatan kita juga tidak perlu banyak adat, sekarang juga kalian berdua boleh menikah saja."


Padahal demi Siao-liong-li, Nyo Ko telah menempur mati2an dengan Kongsun Ci, ini telah disaksikan sendiri oleh Kim-Iun Hoat-ong dan lain2.

Kini Kiu Jian-jio memaksa Nyo Ko menjadi mantunya, mereka tahu sebentar pasti akan terjadi keonaran lagi. Mereka saling pandang dengan tersenyum dan ada pula yang geleng2 kepala.

Dengan sebuah tangan merangkul bahu Siao-liong-li dan tangan lain memegangi tangkai Kun-cu-kiam, berkatalah Nyo Ko: "Maksud baik Kiu-locianpwe kuterima dengan terima kasih, namun hati wanpwe sudah terisi, sesungguhnya aku tidak jodoh dengan puterimu."

Sembari bicara iapun melangkah mundur pelahan, ia tahu watak Kiu Jian-jio sangat aneh, bukan mustahil nenek itu mendadak menyemprotkan biji kurma, maka ia sudah siapkan pedangnya untuk menangkis.

Kiu Jian-jio melotot gusar sekejap ke arah Siao-liong-Ii, lalu berkata pula: "Hm, rase cilik ini memang amat cantik, pantas yang tua bangka ter-gila2, yang muda juga kesemsem padanya."

Cepat Lik-oh menyela: "Bu, sudah lama Nyo-toako dan nona Liong ini terikat oleh janji pernikahan, persoalan mereka biarlah nanti kuceritakan padamu."

Tapi Kiu Jian-jio lantas mendamperatnya: "Cis, memangnya kau anggap ibumu ini siapa? Apa yang sudah kukatakan masakah boleh diubah? Nah, orang she Nyo, mau-tak-mau kau harus tinggal di sini, jangankan anak perempuanku cukup cantik dan cocok bagimu, sekalipun dia bermuka jelek juga hari ini kau mesti memper isteri kan dia."

Mendengar ucapan si nenek botak yang tidak se-mena2 itu, Be Kong-co ter-bahak2 dan berseru: "Haha, suami-isteri yang tinggal di sini ini benar2 suatu pasangan manusia ajaib, yang laki memaksa perawan orang untuk menjadi isterinya, yang perempuan juga memaksa pemuda untuk mengawini puteri-nya. Hahaha, sungguh lucu! Eh, kalau orang menolak boleh tidak?"

"Tidak boleh!" jengek Kiu Jian-jio mendadak.

Dan selagi Be Kong-co bergelak tertawa pula dengan mulut terbuka, se-konyong2 terdengar suara mendesisnya suatu benda kecil, satu biji kurma telah menyamber ke dahinya secepat kilat dan tampaknya sukar dihindarkan.

Saking kagetnya cepat Be Kong-co menjongkok, "plok", dua buah gigi depannya rompal seketika terkena biji kurma itu, Keruan Be Kong-co menjadi murka, ia mengerang dan menubruk maju.

"Awas, Be-heng!" cepat In Kik-si memperingat kan.

Namun sudah terlambat, "plak - plok", tahu2 dua tempat Hiat-to pada kedua kaki Be Kong-co tepat terbidik oleh biji kurma yang disemprotkan Kiu Jian-jio, kontan kakinya lemas dan jatuh ter-sungkur tak dapat bangun.

Menyambernya biji2 kurma itu sungguh cepat luar biasa, Waktu Be Kong-co bergelak tertawa tadi Nyo Ko sudah memperkirakan Kiu Jian-jio pasti akan menghajar si dogol, segera ia melolos pedang hendak menolongnya, tapi tetap terlambat sedikit cepat ia membuka Hiat-to kaki Be Kong-co yang terbidik biji kurma itu dan membangunkannya.



Orang dogol biasanya berhati jujur, begitu pula Be Kong-co, dia berani mengaku kalah, apalagi melihat Kiu Jian-jio tanpa bergerak, hanya pentang mulut saja lantas dapat merobobkaanya, hatinya menjadi sangat kagum, sambil mengacungkan ibu jari ia memuji: "Kau sungguh hebat, nenek botak, kepandaianmu jauh lebih tinggi daripadaku aku mengaku kalah dan tak berani lagi padamu,"

Kiu Jian-jio tidak menggubrisnya, ia mendelik pada Nyo Ko dan bertanya: "Jadi kau tetap tidak mau menikahi puteriku?"

Merasa dibikin malu di depan orang banyak, Kongsun Lik-oh tidak tahan lagi, ia melolos belati dan mengancam dada sendiri sambil berteriak: "Ibu, jika engkau tanya dia lagi, segera anak membunuh diri di depanmu!"

Mendadak Kiu Jiati-jio pentang mulutnya "berrr", satu biji kurma terus menyamber ke sana dan tepat menghantam belati yang di pegang Lik-oh itu, begitu hebat tenaganya sehingga belati itu mencelat dan menancap pada tiang batu. Semua orang sama berseru kaget dan kagum betapa lihaynya senjata rahasia si nenek.

Nyo Ko pikir tiada gunanya tinggal lebih lama di situ, segera ia gandeng Siao-liong-li dan diajaknya berangkat

Dengan perasaan pedih cepat Lik-oh mendekati Nyo Ko dan menyodorkan baju robek yang dipinjamnya dari Nyo Ko tempo tari, katanya dengan sedih "Nyo toako inilah bajumu!"

"Oh, terima kasih," jawab Nyo Ko dan menerima kembali baju itu, ia dan Siau-liong-li cukup memahami maksud Lik-oh, yaitu sengaja mengaling di depan Nyo Ko agar Kiu Jian-jio tidak dapat menyerangnya dengan biji kurma.

Dengan tersenyum simpul Siao-liong-li juga menyatakan terima kasihnya dengan mengangguk pelahan. Lik-oh memberi isyarat pula dengan mulutnya agar kedua orang itu lekas pergi saja.

Akan tetapi mendadak Kiu Jian-jio berteriak pula: "Nyo Ko, kau tidak mau menikati puteriku, apakah jiwamu juga kau tidak mau lagi?"

Nyo Ko tersenyum pedih dan melangkah mundur keluar pintu, Tiba2 Siao-liong-li merandek, hatinya terkesiap, katanya: "Nanti dulu!" Lalu ia bertanya dengan suara lantang: "Kiu-iocianpwe, apakah engkau mempunyai obat penawar racun bunga cinta?"

Sebenarnya hal ini sudah terpikir oleh Lik-oh, ia menduga sang ibu pasti akan menggunakan obat penawar sebagai alat pemeras kepada Nyo Ko agar anak muda itu mau menikahinya, sebab itulah sejak tadi ia tak berani memohonkan obat itu bagi Nyo Ko, betapapun ia adalah gadis suci bersih, dengan sendirinya tidak pantas membela Nyo Ko di depan umum tapi sekarang urusan sudah gawat, ia tidak dapat memikirkan hal2 itu lagi, segera ia berkata kepada sang ibu: "Kalau saja Nyo-toako tidak memberi bantuan, tentu saat ini ibu masih terkurung di gua bawah tanah itu, utang budi harus membalasnya dengan budi, haraplah ibu suka berusaha menyembuhkan racun yang diidap oleh Nyo-toako itu,"

"Hm, utang budi balas budi, utang jiwa balas jiwa? Masakah di dunia ini dapat membedakan budi dan dendam sejelas itu?" jengek Kiu Jian-jio, "Coba katakan, apakah Kongsun Ci memperlakukan diriku secara begitu keji juga termasuk balas budinya padaku?"

Mendadak Lik~oh berteriak: "Anak paling benci terhadap lelaki yang tidak beriman. Kalau orang she Nyo ini juga sengaja meninggalkan kekasih lama dan ingin menikahi anak, biarpun mati juga anak tidak sudi menjadi isterinya."

Sebenarnya ucapan Lik-oh ini sangat cocok dengan jalan pikiran Kiu Jian-jio, tapi segera iapun tahu maksud tujuan Lik-oh, nona itu teramat cinta kepada Nyo Ko, kalau anak muda itu mau menikahinya tentu saja ia bersedia pula, cuma terpaksa oleh keadaan sekarang, yang diharapkan adalah menolong dulu jiwa Nyo Ko.

Kim-Iun Hoat-ong, In Kik-si dan lain-Iain saling pandang dengan tersenyum menyaksikan adegan "kawin paksa" yang menarik ini. Sampai sekarang baru Kim~1um Hoat-ong mengetahui Nyo Ko mengidap racun, diam2 ia bergirang dan berharap anak muda itu tetap kepala batu, dengan begitu orang yang berwatak seperti Kiu Jian-jio itu juga pasti takkan memberi obat penawarnya apabila tiada mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kehendaknya.

Begitulah sorot mata Kiu Jian-jio mengusap pelahan muka seriap orang secara bergilir, kemudian ia berkata "Nyo Ko, kulihat orang yang hadir ini ada yang menginginkan kematianmu, ada juga yang berharap kau akan hidup terus, Nah. kau sendiri ingin mati atau ingin hidup, hendaklah kau memikirkan dengan baik!"

Sambil merangkul pinggang Siao-Iiong-li, dengan lantang Nyo Ko menjawab: "Kalau dia tidak menjadi milikku dan aku tidak dapat memiliki dia, kami berdua lebih suka mati bersama saja."

"Benar!" tukas Siao-liong-li, dengan tertawa manis, Keduanya sudah ada perpaduan batin, cinta mereka sudah sedemikian mendalam, mati-hidup bagi mereka sudah bukan soal lagi.

Tapi Kiu Jian-jio tetap sukar memahami isi hati Siao-liong li, ia membentak: "Jika bocah itu tidak kutoIong, maka jiwanya pasti akan melayang, kau tahu tidak hal ini? Dia cuma dapat hidup 36 hari lagi, kau mengerti tidak?"

"Kalau kau sudi menolongnya dan kami dapat berkumpul lebih lama beberapa tahun lagi untuk itu sudah tentu kami sangat berterima kasih," kata Siao-1iong-1i. "Jika kau tidak mau menolongnya maka biarlah kami berkumpul lagi selama 36 hari juga boleh. Toh kalau dia mati aku sendiripun tidak bakal hidup terus,"

Waktu bicara, wajahnya yang cantik molek itu sama sekali tidak memberi sesuatu perasaan kuatir dan sedih, soal mati dan hidup itu dianggapnya seperti sepele saja.

Tentu Kiu Jian-jio merasa bingung, sebentar ia pandang Nyo Ko, lain saat ia pandang Siao liong-li pula, dilihatnya kedua muda-mudi itu saling menatap dengan penuh kasih sayang, rasa cinta murni begini selamanya belum pernah terasakan oleh Kiu Jian-jio sendiri, bahkan juga tidak pernah terpikir olehnya ternyata di dunia ini toh ada lelaki dan perempuan yang begitu mendalam cintanya.

Tanpa terasa ia teringat nasibnya sendiri yang bersuamikan Kongsun Ci, akhirnya ternyata begini jadinya. Mendadak ia menghela napas panjang dan air matanya bercucuran.



Segera Lik-oh menubruk maju dan merangkul sang ibu, katanya dengan menangis: "O, ibu, obatilah dia. Nanti kita pergi mencari Jiku saja, beliau sangat rindu padamu bukan?"

Karena air matanya itu terangsang pula perasaan halusnya sebagai wanita segera Kiu Jian-Jio ingat kepada kedua kakaknya, kakak pertama menurut surat kakak kedua yang di bacakan Kongsun Ci itu katanya sudah tewas di tangan Kwe Cing dan Ui Yong, sedangkan dirinya sendiri lumpuh dan kakak kedua sekarang sudah menjadi Hwesio, itu berarti sakit hati kematian kakak pertama itu sukar dibalas lagi.

Tiba2 teringat oleh Kiu Jian-jio bahwa ilmu silat bocah she Nyo ini tidak lemah, kalau dia berkeras tidak mau menikahi Lik-oh, boleh juga kusuruh dia membalaskan sakit hatiku kepada Kwe Cing dan Ui Yong sebagai imbalannya?

Setelah ambil keputusan demikian, pelahan ia lantas mengeluarkan sisa satunya Coat-ceng-tan yang masih ada itu, ia potong pil persegi sebesar gundu itu menjadi dua dengan kukunya ia ambil setengah potong obat itu dan ditaruh pada telapak tangannya tahi berkata: "Nah, Nyo Ko, obat akan kuberikan padamu, kau tidak sudi menjadi menantuku juga tak apalah, tapi kau harus berjanji untuk melakukan sesuatu urusan bagiku."

Nyo Ko saling pandang sekejap dengan Siao-Iiong-li, sama sekali tak terduga bahwa nenek botak itu mendadak bisa berhati baik kepada mereka, walaupun kedua orang tidak memikirkan soal mati dan hidup lagi, tapi kalau ada jalan untuk tetap hidup, sudah tentu hal ini sangat menggembirakan.

Segera ia bertanya: "Urusan apa yang perlu kulakukan bagi Kiu locianpwe, kalau mampu tentu akan kami kerjakan sepenuh tenaga"

"Aku ingin kau menanggalkan kepala dua orang dan diserahkan padaku di sini," jawab Kiu Jian-jio.

Mendengar itu, seketika Nyo Ko dan Siao-jiong-li sama berpikir bahwa satu di antara kedua orang yang ingin dibunuhnya itu pasti Kongsun Ci adanya. Sudah tentu Nyo Ko tidak mempunyai kesan baik terhadap Kongsun Ci, setelah buta sebelah mata dan punah pula ilmu kebal Tiam-hiatnya, dalam waktu singkat keadaan Kongsun Ci tentu sangat payah, untuk mencari dan membunuhnya rasanya tidak sukar.

Tapi mengingat dia ayah Lik-oh sedangkan nona itu sangat kesemsem pada dirinya, rasanya menjadi tidak enak kalau ayahnya harus dibunuh.

Dalam hati Siao-liong-li juga merasa utang budi kepada Kongsun Ci meski orang itu memang jahat dan pantas dibinasakan Tapi melihat sikap Kiu Jian-jio yang ketus itu, kalau permintaannya tidak dilaksanakan betapapun obat yang dimilikinya itu pasti takkan diberikan kepada Nyo Ko, tampaknya urusan ini harus di sanggupi lebih dulu.

Melihat kedua orang itu mengunjuk rasa ragu, Kiu Jian-jio lantas menjengek: "Akupun tidak tahu antara kalian dengan kedua orang itu apakah ada hubungan baik atau tidak, yang pasti aku harus membunuh kedua orang itu." sembari bicara, tangannya memainkan setengah potong pil Coat-ceng-tan itu dengan -di-lempar2kan ke atas secara padahal Nyo Ko merasa nada ucapan Kiu Jian-Jio itu seperti bakau Kongsua Ci yang dimaksud segera iapun bertanya: "Siapakah musuh2 Kiu-locianpwe itu?"

"Masakah kau tidak mendengar isi surat yang dibaca tadi?" jawab Kiu Jian-jiu, "Yang membunuh Toakoku kan bernama Kwe Cing dan Ui Yong"

"Aha, bagus sekali, sangat kebetulan!" seru Nyo Ko kegirangan "Kedua orang itu adalah pembunuh ayahku, seumpama tiada permintaanmu juga Wanpwe akan menuntut balas kepada kedua orang itu."

Hati Kiu Jian-jio terkesiap, "Apa betul katamu?" ia menegas.

"Taysu ini juga pernah bersengketa dengan kedua orang itu, urusanku juga pernah kuceritakan padanya," kata Nyo Ko sambil menuding Kim-lun Hoat-ong.

Kiu Jian-jio memandang kearah Hoat-ong sebagai tanda tanya.

"Ya, memang betul, " jawab Hoat-ong sambil mengangguk, "Tapi saudara Nyo ini waktu itu jelas membantu Kwe Cing dan Ui Yong serta memusuhiku."

Siao-liong-li dan Kongsun Lik-oh menjadi gemas karena Hwesio ini senantiasa berusaha mengadu domba, berbareng mereka melototinya. Namun Kim-lun Hoat-ong anggap tidak tahu saja, dengan tersenyum ia tanya Nyo Ko: "Saudara Nyo, coba katakan, betul tidak ucapanku tadi?"

"Benar," jawab Nyo Ko dengan tertawa, "Sesudah kubalas sakit hati ayah-bundaku, kelak aku masih harus minta petunjuk beberapa jurus lagi kepada Taysu."

"Baik, baik!" ujat Hoat-ong sambil merangkap kedua tangannya didepan dada.

Kalau kedua orang itu sedang adu mulut, Kiu Jian-jio sendiri sedang merenungkan persoalannya sendiri, tiba2 ia menyodorkan obat yang di pegangnya dan berkata kepada Nyo Ko: "Aku tidak urus apakah ucapanmu benar atau tidak, bolehlah kau makan obat ini."

Nyo Ko mendekatinya dan menerima obat itu, ia menerima obat itu cuma setengah potong saja, diam2 iapun paham maksud si nenek, katanya dengan tertawa: "Jadi setengah potong obat lagi harus kutukar dengan kepala kedua orang itu."

"Benar, kau memang pintar," jawab Kiu Jian-jio mengangguk.

Nyo Ko pikir minum saja setengah potong obat ini dari pada sama sekali tidak ada, Maka ia terus memasukkan obat itu ke mulut dan di telannya kedalam perut.

"Di dunia ini Coat-ceng-tan ini cuma sisa satu biji saja, sekarang setengahnya sudah kau minum, masih ada separoh akan kusimpan pada suatu tempat, 18 hari lagi akan kuberikan obat itu jika kau membawa kepala kedua orang yang kuminta itu," kata Kiu Jian-jio kemudian "Jika kau tidak melaksanakan perintahku itu, biarpun nanti kau dapat menawan aku serta menyiksa ku dengan cara apapun juga, maka jangan kau harap akan mendapatkan separoh pil itu. Nah, cukup sampai di sini saja, selamanya aku bicara dengan tegas, para tamu silahkan pulang, Nyo-toaya dan nona Liong, kita berjumpa 18 hari lagi." Habis bicara fa terus memejamkan mata tanpa menggubris orang lain jelas sikapnya itu adalah mengusir tetamu.

"Mengapa memberi batas waktu 18 hari"? tanya Siao-Iiong-Ii.

Sambil memejamkan mata Kiu Jian-jio menjawab: "Racun bunga cinta yang mengeram dalam tubuhnya itu mestinya baru akan bekerja 36 hari lagi. Tapi sekarang dia telah makan separoh pil Coat-ceng-tan sehingga kadar racun dalam tubuhnya mengumpul menjadi satu, masa kerjanya menjadi tambah cepat sekali lipat. Maka 18 hari lagi kalau dia makan sisa obat ini seketika racun dalam tubuh nya akan punah, kalau tidak..." sampai di sini ia tidak meneruskan lagi melainkan memberi tanda agar semua orang lekas pergi.



Nyo Ko dan SiaoIiong-li tahu orang ini sukar diajak bicara dengan baik2, segera mereka melangkah pergi, setiba di mulut lembah dan menemukan kudanya yang di tinggalkan oleh Nyo Ko ketika datang itu, sekali Nyo Ko bersuit, segera kuda itu berlari keluar dari hutan sana..

Meski Nyo Ko hanya tiga hari saja berada di Cui-sian-kok itu, namun selama tiga hari itu telah banyak mengalami bahaya dan beberapa kali hampir melayang jiwanya, kini dapat meninggalkan tempat berbahaya ini dengan buah hatinya, sungguh ia merasa seperti hidup di dunia lain.

Sementara itu fajar sudah menyingsing, berdiri di tempat tinggi memandangi perkampungan yang penuh dikeliligi pepohonan yang rindang itu di bawah sinar sang surya pagi, pemandangan yang menghijau permai itu sungguh sangat menarik.

Nyo Ko menggandeng Siao-liong-li ke bawah pohon yang rindang, katanya- "Kokoh "

"Kukira kau jangan memanggil Kokoh lagi padaku," ujar Siao-liong-li sambil menggelendot di tubuh anak muda itu.

Dalam hati Nyo Ko memang sudah lama tidak menganggap Siao-liong-li sebagai guru lagi, dia masih memanggil "Kokoh" (bibi) padanya adalah karena kebiasaan. Maka senang sekali dia mendengar ucapan si nona tadi, ia berpaling dan menatap bola mata Siao-liong-li yang hitam itu, lalu bertanya: "Habis aku mesti panggil apa padamu?"

"Kau suka memanggii apa boleh terserah padamu?" kata Siao-Iiong-Ii.

Nyo Ko termenung sejenak. lalu berkata pula: "Saat2 yang paling menyenangkan selama hidupku adalah pada waktu kita tinggal bersama di kuburan kuno itu. Tatkala itu kupanggil engkau Kokoh, sampai matipun biarlah tetap ku panggil kau Kokoh,"

"Eh, kau masih ingat tidak ketika kupukul pantatmu, apakah waktu itu kaupun sangat senang?" ujar Siao-liong-li dengan tertawa.

Mendadak Nyo Ko merangkul Siao-liong-li ke dalam pelukannya terasa bau harum lembut dari tubuh si nona berbaur dengan hawa segar tetumbuhan pegunungan sungguh membikin orang mabuk dan syur serta sukar mengendalikan diri.

Dengan pelahan Nyo Ko berkata "Kalau kita berada bersama seperti ini selama 18 hari, kukira kita akan mati bahagia dan tidak perlu membunuh Kwe Cing dan Ui Yong segala, daripada susah2 pergi ke sana dan bertempur mati?an, lebih baik kita hidup aman tenteram untuk menikmati kebahagiaan selama 18 hari ini."

"Terserah bagaimana kehendakmu!" ujar Siao liong-li, "Dahulu aku selalu menyuruh kau tunduk pada perintahku, sejak kini aku cuma menuruti perkataanmu."

Biasanya Siao-liong-li sangat dingin, sekarang perasaannya penuh kasih mesra, mata alisnya hingga badannya serta tangan dan kaki pun terasa hangatnya cinta kasih, ia merasa bahagia apabila menuruti perkataan Nyo Ko dengan segenap jiwa raganya.

Nyo Ko termangu memandangi Siao liong-li agak lama barulah ia berkata dengan pelahan: "Mengapa matamu menggenang air?"

Siao-liong-Ii pegang sebelah tangan anak muda itu dan ditempelkan pelahan pada pipi sendiri, jawabnya kemudian dengan suara lambat: "Aku.... aku sendiri tidak tahu" Selang sejenak ia menyambung pula: "Tentunya disebabkan aku teramat suka padamu."

"Kutahu kau sedang berduka bagi sesuatu persoalan," ujar Nyo Ko.

Mendadak Siao-liong~Ii mengangkat kepalanya dan air matapun bercucuran ia mendekap dalam pelukan Nyo Ko, katanya dengan tersedu-sedan: "Ko-ji. Ko-ji, kau... kita hanya ada waktu 18 hari, mana bisa cukup."

Nyo Ko mengusap bahu si nona dan berkata: "Ya, akupun bilang tidak cukup."

"Kuingin kau senantiasa perlakukan aku begini, selamanya, seratus tahun, seribu tahun," kata Siao-liong-li dengan ter-sedat2.

Nyo Ko pegang muka Siao-liong-li dan dike-cupnya pelahan bibirnya yang merah delima itu, lalu berkata dengan tegas: "Baik, betapapun harus kubunuh Kwe Cing dan Ui Yong."

Ketika ujung lidahnya merasakan asinnya air mata si nona, seketika cinta berahinya bergejolak, serentak dadanya kesakitan, seluruh tubuhnya se-akan2 meledak.

Pada saat itulah tiba2 di dengar suara seorang berkata di tempat ketinggian sebelah sana: "Huh, seumpama ingin ber-kasih2an, kan harus mencari tempat yang baik dan tidak perlu di tempat terbuka seperti ini."

Cepat Nyo Ko menoleh, dilihatnya di atas tanjakan bukit sana berdiri Kim-lun Hoat-ong, ln Kik-si, Siau-siang-cu, Nimo Singh dan Be Kong co. Yang membuka suara tadi jelas adalah Kim-lun Hoat-ong.

Kiranya waktu Nyo Ko dan Siao-liong li meninggalkan Cui-sian-kok secara ter-buru2 tanpa menghiraukan orang lain, maka Kim lun Hoat-ong dan rombongannya diam2 mengikuti di belakang mereka, Saking asyiknya Nyo Ko dan Siao-liong li- menumpahkan rasa cinta masing2 sehingga mereka tidak tahu kalau perbuatan mereka itu telah dilihat seluruhnya oleh Hoat-ong dan rombongannya.

Teringat kepada sikap Kim lun Hoat-ong yang kurang simpatik, beberapa kali sengaja mengadu domba Nyo Ko dengan Kongsun Ci dan hampir saja Nyo Ko dicelakai, diam2 Nyo Ko merasa menyesal telah bantu menyembuhkan luka Hoat-ong ketika dia bersemadi di pegunungan sunyi tempo hari, tahu begitu tentu Hwesio gede itu sudah dibinasakannya waktu itu.

Melihat sorot mata Nyo Ko yang gusar itu, cepat Siao-liong-li menghiburnya: "jangan urus orang macam begitu, orang begitu biarpun hidup selamanya juga tidak lebih bahagia daripada kita hidup selama 18 hari."

Dalam pada itu terdengar Be Kong-co berseru: "Adik Nyo dan nona Liong, marilah kita pergi ber-sama. pegunungan sunyi begini masakah ada yang menarik?"

Tapi yang diharapkan Nyo Ko sekarang hanya dapat berkumpul bersama Siao-liong-li selama masih ada kesempatan, namun orang2 itu justeru datang mengganggunya, ia tahu Be Kong-co bermaksud baik, maka lantas ia menjawab: "Silakan Be-toako berangkat dahulu, sebentar Siaute lantas menyusul."

"Baiklah, lekas ya!" kata Be Kong-co, "Hahaha, kenapa kau ikut ribut?" ujar Kim lun Hoat-ong sambil bergelak ketawa, "Mereka lebih suka bergadang selama 18 hari di pegunungan sunyi ini, tapi kau justeru merecoki mereka."

Tentang batas waktu 18 hari seperti apa yang dikatakan Kiu Jian-jio itu dapat didengar setiap orang, maka Be Kong-co menjadi gusar mendengar ucapan Kira-lun Hoat-ong itu, mendadak ia menubruk maju dan menjamberet baju di dada Hoat-eng dan mendamperat.



"Bangsat gundul, hatimu sungguh keji! Kita datang ke sini suatu rombongan dengan adik Nyo, kau tidak membantu dia saja kudu dimaki, sekarang kau malah mengejek dan meng-olok2 dia lagi, sebenarnya apa kehendakmu?"

"Hm, kau lepaskan tidak?" jengek Hoat-ong.

Tidak, kau mau apa?" jawab Be Kong-co dengan gusar bahkan ia tarik baju orang dengan lebih kencang,

Mendadak kepalan kanan Hoat-ong menjotos ke muka lawan.

"Bagus! Kau ingin berkelahi ya?" seru Be Kong-co sambil angkat telapak tangannya yang besar itu untuk menangkap kepalan Hoat-ong.

Tak terduga jotosan Hoat-ong itu ternyata pancingan belaka, tiba2 tangan kirinya menolak sekuatnya di punggung Be Kong-co, kontan tubuh Be Kong-co yang besar itu terus mencelat ke sana dan terguling ke bawah tanjakan bukit itu.

Untunglah lereng bukit itu penuh rumput tebal dan panjang, pula kulit daging Be Kong-co kasar lagi tebal sehingga tidak mengalami luka parah, walaupun begitu tidak urung kepalanya juga benjot dan muka matang biru sampai lama ia tidak sanggup bangun.

Ketika melihat kedua orang mulai bergebrak Nyo Ko tahu Be Kong-co pasti akan kecundang, saat ia memburu ke sana, namun sudah terlambat, Be Kong-co sudah telanjur terguling ke bawah, Segera Nyo Ko memayangnya bangun, ke dua orang lantas naik lagi ke atas bukit.

Meski dongkol, tapi orang dogol juga punya akal dogoI, ia tahu berkelahi secara berhadapan pasti bukan tandingan Hwesio besar itu, maka sambil berjalan iapun pura2 merintih kesakitan "Aduh tanganku patah dipukul bangsat gundul!"

Bahwa Kim-Iun Hoat-ong diundang oleh pangeran MongoI, yaitu Kubilai, serta diangkat menjadi Koksu kerajaan MongoI, hal ini memangnya sudah menimbulkan rasa dongkol tokoh2 lain seperti Siau siang-cu, Nimo Singh dan lain2, sekarang mereka melihat pula Hoat-ong bertindak secara tidak se-mena2 terhadap kawan sendiri, keruan Siau-siang-cu dan Nimo Singh bertambah gusar, segera keduanya saling memberi isyarat.

"Hm, kepandaian Taysu memang hebat, pantas mendapatkan gelar Koksu nomor satu kerajaan MongoI," demikian Sian-siang-cu lantas mengejek.

"Ah, mana aku..." Hoat-ong berendah hati ia dapat melihat gelagat bahwa kedua orang ini ada maksud menyerangnya sedangkan Nyo Ko dan Siao liong-Ii di sebelah lain juga siap2 akan me-labrak, bagaimana dengan In Kik-si belum lagi diketahui.

Kalau saja dirinya dikerubut, walaupun belum tentu kalah, namun untuk menang jelas juga sukar, Maka sambil berjalan diam2 iapun mencari akal untuk meloloskan diri.

Diluar dugaan, sambil berlagak merintih ke-sakitan, diam2 Be Kong-co mendekati belakang Hoat -ong dan mendadak menghantam tepat mengenai kepalanya.

Dengan kepandaian Kim-Iun Hoat-ong yang maha tinggi itu, sebenarnya sukar bagi Be Kong-co untuk menyergapnya, tapi sekarang perhatian Hoat-cng lagi dicurahkan untuk menghadapi kemungkinan kerubutan Nyo Ko, Siau-siang-cu dan lain2, ia tidak memperhatikan kelakuan si dogol dan akibatnya kena dihantam keras dari belakang.

Hantaman keras itu membuat kepala Hiat-ong kesakitan dan mata ber-kunang2, dengan murka tanpa pikir Hoat-ong menyikut ke belakang dan tepat dada Be Kong-co tersodok, tanpa ampun si dogol menjerit dan rebah ke bagian depan.

Perawakan Hoat-ong lebih pendek, tubuh Be Kong-co yang tinggi besar itu tepat rebah dan bersandarkan pada pundaknya Tanpa pikir lagi Hoat -ong terus panggul tubuh yang gede itu dan di bawa lari ke bawah bukit.

Tindakan Hoat-ong ini benar2 diluar dugaan siapapun juga, dengan pedang terhunus Nyo Ko yang per-tama2 mengudak ke sana,

Kepandaian Kim-Iun Hoat-ong benar2 luar biasa, meski memanggul seorang raksasa yang beratnya hampir 300 kati, namun larinya secepat terbang, Nyo Ko, Siau-liong-li, Nimo Singh dan lain2 juga memiliki Ginkang yang tinggi, tapi dalam jarak berpuluh meter itu sukar bagi mereka untuk menyusulnya.

Nyo Ko mempercepat Iangkahnya, lambat laun dapat ia memperpendek jaraknya dengan Hoat-ong. Ketika sudah dekat, se-konyong2 Hoat-ong berhenti dan berpaling, katanya dengan menyeringai : "Baik, kalian ingin maju sekaligus atau suka satu lawan satu?" - Habis berkata ia terus angkat tubuh Be Kong-co dan mengarahkan kepalanya pada sepotong batu padas yang besar dengan gerakan akan membenturkan kepala Be Kong-co itu.

Lebih dulu Nyo Ko mengitar ke belakang Hoat-ong untuk merintangi jalan kaburnya, lalu menjawab: "Jika kau membunuhnya, dengan sendirinya kami akan mengerubuti kau."

Hoat-ong ter-bahak2 dan melemparkan tubuh Be Kong co ke tanah, katanya: "Orang dogol begini buat apa kumusuhinya?" - Segera ia mengeluarkan senjatanya yang khas, yaitu sebuah roda perak dan sebuah lagi roda tembaga, ia benturkan kedua roda sehingga menerbitkan suara nyaring, lalu berkata pula dengan angkuh: "Nah, siapa diantara kalian yang ingin maju lebih dulu?"

"Hihihi, kalau kalian hendak berlatih, orang dagang seperti diriku lebih suka menjadi peninjau dan menonton saja," kata In Kik-si dengan tertawa.

Diam2 Hoat-ong merasa lega, ia pikir kalau orang Persia ini tidak membantu sana sini, maka berkuranglah seorang lawan berat baginya.

Siau-siang-cu paling licin, ia sendiri merasa tidak yakin dapat menandingi Kim-lun H-oat-ong dan sengaja membiarkan orang lain maju lebih dulu untuk menghabiskan tenaga musuh, kemudian barulah ia maju lagi untuk menarik keuntungannya.

Maka ia lantas berkata: "Saudara Singh, kepandaianmu jauh lebih tinggi, silakan maju lebih dulu!"

Meski watak Nimo Singh sangat berangasan tapi dia bukan orang bodoh, segera ia tahu maksud Sing siang-cu. Tapi iapun merasa ilmu silat sendiri cukup tinggi, andaikan tidak dapat menang, rasanya juga takkan kalah, segera ia pegang sebuah batu padas yang besar, lalu berteriak.



"Baik, biar kucoba kelihayan kedua rodamu itu!" Berbareng batu padas yang diangkatnya itu terus dikeprukkan ke dada Kim-lun Hoat-ong.

Memangnya perawakan Nimo Singh pendek, sedangkan batu padas yang dipegangnya itu sangat besar dan tingginya melebihi dia malah, bobotnya sedikitnya ada tiga-empat ratus kati. Semua orang terkejut melihat dia menggunakan batu begitu sebagai senjata.

Kemarin waktu menahan panas di rumah batu itu Nimo Singh pernah pingsang tergarang, Kim-lun Hoat-ong pikir Lwekang orang cebol ini tidak seberapa kuat, tak terduga tenaganya ternyata sangat besar dan sanggup mengangkat batu raksasa itu untuk menghantamnya, ia merasa tidak menguntungkan keras lawan keras, cepat ia memutar ke samping, sedangkan roda tembaga di tangan kanan terus memukul ke punggung lawan.

Batu sebesar itu ternyata dapat diputar oleh Nimo Singh dengan enteng saja, segera ia menangkis dengan batu padas itu, Roda tembaga dan batu kebentur dan menerbitkan lelatu api disertai suara nyaring memekak telinga.

Lengan rada kesemutan diam2 ia membatin: "llmu silat setan hitam ini rada aneh, harus kuhadapi dengan hati2. Tapi dia mengangkat batu sebesar itu, masakah dia dapat bertahan lama?"

Karena pikiran itu, segera ia putar kedua roda-nya dengan cepat sambil mengitari Nimo Singh dengan Ginkangnya. .

Setelah menolong bangun Be Kong co, Nyo-Ko berdiri berjajar Siao-liong-li mengikuti pertaruhan seru itu, dilihatnya tenaga sakti "Nimo Singh beruang luar biasa, ilmu silatnya juga aneh, diam2 mereka rada heran.

Setelah berlangsung lagi sekian Iama, tenaga Nimo Singh sedikipun tidak berkurang, bahkan mendadak ia menggertak satu kali, batu padas raksasa itu terus dikeprakkanya ke dada Hoat-ong.

Betapapun lihaynya Kim-lun Hoat-ong juga tidak berani menahan samberan batu sebesar itu, cepat ia melompat ke samping. Tak terduga, tiba2 Nimo Singh juga ikut melayang maju, batu itu dapat disusulnya, kedua tangannya mendadak menghantam batu sehingga batu itu menggeser arah dan memburu ke jurusan Hoat-ong.

Daya samberan batu itu adalah sisa lemparan pertama ditambah lagi tenaga dorongan kedua kalinya sebab itu lebih hebat daripada samberan pertama kali tadi.

Bicara tentang ilmu silat sejati sebenarnya Kim-lun Hoat-ong memang di atas Nimo Singh, cuma tenaga raksasa melempar batu yang disebut "Sikya-hiat-siang-kang" (llmu Budha melempar gajah) ini memang luar biasa dan belum pernah dilihatnya seketika ia menjadi kelabakan, terpaksa ia melompat berkelit pula ketika batu itu menyambar tiba.

Selagi menang segera Nimo Singh mendesak lagi lebih lanjut, ber-kali2 ia hantam batu itu sehingga daya sambernya bertambah hebat.

Hoat-ong pikir kalau pertarungan begitu terus, akhirnya dia pasti akan dikalahkan orang keling cebol itu kalau tidak lekas berdaya lain.

Begitulah sambil bertempur iapun memikirkan upaya cara berganti serangan untuk memperoleh kemenangan. Pada saat itulah tiba2 terdengar suara derapan kuda yang riuh disusul dengan panji2 yang berkibar, serombongan orang berkuda tampak muncul di tempat ketinggian sana.

Nimo Singh dan Kim-lun Hoat-ong sedang bertarung dengan sengit dan tidak sempat memandang ke sana, tapi Nyo Ko dan lain2 sudah dapat melihat jelas rombongan itu adalah sepasukan tentera MongoI yang tangkas, di bawah panji besar yang berkibar itu berdiri seorang perwira muda berjubah kuning dan membawa busur.

"Hei, berhenti, berhenti!" mendadak perwira itu berseru sambil melarikan kudanya ke kalangan pertempuran Hoat-ong berdua. Siapa lagi dia kalau bukan pangeran Mongol, Kubilai.

Mendengar suara itu, Nimo Singh melompat maju lagi dan menghantam batu padas dengan kedua tangannya batu itu terus melayang ke sana dan jatuh ke bawah bukit dengan menerbitkan suara gemuruh.

Kubilai melompat turun dari kudanya, sebelah tangannya menarik Hoat-ong dan tangan lain menggandeng Nimo Singh, katanya dengan tertawa: "Kiranya kalian sedang berlatih di sini, sungguh banyak menambah pengalamanku akan kelihaian kalian."

Sudah tentu ia tahu kedua orang itu sedang bertempur mati2an, tapi demi kehormatan kedua pihak, ia sengaja melerai.

"llmu silat saudara Singh sungguh hebat, bagus, bagus!" ujar Hoat-ong dengan tersenyum.

Dengan mendelik Nimo Singh menjawab: "Memangnya kukira Koksu nomer satu pasti luar biasa, kiranya cuma begini saja,Hm!"

Hoat-ong menjadi gusar dan segera akan menanggapi pula, tapi Kubilai telah menyela: " Wah, pemandangan di sini sungguh indah, harus di ramaikan dengan minum arak, Hayo, bawakan arak nya, biar kita minum tiga cawan bersama!"

Bangsa MongoI sudah biasa berkenalan di padang Iuas, makan minum di manapun tidak menjadi soal, Segera ada pengawal menghaturkan arak dan dendeng.

Kubilai memandang sekejap ke arah Siao-liong li, diam2 ia terkesiap akan kecantikannya, Melihat Nyo Ko berdiri sejajar dengan si nona dengan bergandengan tangan, tampaknya sangat mesra, segera ia tanya Nyo Ko: "Siapakah nona ini?"

"lnilah nona Liong, guruku dan bakal isteriku," jawab Nyo Ko. Sejak pergulatan dengan maut di gua bawah tanah dan akhirnya selamat, maka watak Nyo Ko menjadi semakin nyentrik, segala tata adat tidak terpikir olehnya, ia justeru ingin mengumumkan kepada dunia bahwa: inilah Nyo Ko yang memperistrikan bekas gurunya.

Kalau bangsa Han memang sangat kolot dalam adat kekeluargaan, maka bangsa Mongol tidak begitu mementingkan tata adat begitu, sebab itulah Kubilai tidak merasa heran pada ucapan Nyo Ko, malahan bertambah rasa hormat dalam hatinya demi mendengar nona cantik itu pernah mengajarkan ilmu silat kepada Nyo Ko.

Dengan tertawa ia ber-kata: "Yang laki gagah dan yang perempuan caritik, sungguh pasangan yang setimpal Bagus, bagus! Marilah kita habiskan semangkuk arak ini sebagai ucapan selamatku!" - Habis berkata, ia angkat mangkuk arak sendiri dan ditenggak hingga habis.



Kim-Iun Hoat-ong tersenyum, iapun habiskan mangkuknya. Dengan sendirinya yang lain2 juga ikut minum, malahan sekaligus Be Kong-co menghabiskan tiga mangkuk.

Sebenarnya Siao-liong-li tidak suka kepada orang Mongol, sekarang didengarnya pujian Kubilai bahwa perjodohannya dengan Nyo Ko setimpal, betapapun ia menjadi kegirangan dan ikut minum semangkuk arak sehingga semakin menambah moleknya. Pikirnya: "Orang Han semuanya menganggap aku tidak boleh menikah dengan Koji, tapi pangeran Mongol ini justeru menyatakan bagus, tampaknya pandanan orang Mongol jauh lebih luas daripada orang Han." Karena itu diam2 timbul hasratnya untuk membantu orang Mongol.

Dengan tertawa kemudian Kubilai berkata pula. "Kalian tidak pulang selama tiga hari, aku kuatir terjadi sesuatu. soalnya situasi di Siangyang cukup genting sehingga aku tidak dapat selalu mendampingi kalian, tapi sudah kutinggalkan pesan di markas agar kalian diharap segera menuju garis depan di Siangyang apabila kalian sudah pulang. Kebetulan sekarang kita bertemu di sini, sungguh hatiku sangat lega,"

"Apakah gempuran pasukan kita atas Siangyang cukup Iancar?" tanya Hoat-ong.

"Sebenarnya panglima yang menjaga Siangyang, yaitu Lu Bun-hoan adalah seorang bodoh, yang kukuatiri hanyalah Kwe Cing seorang saja," tutur Kubilai.

Hati Nyo Ko tcrkesiap, cepat ia bertanya: "jadi Kwe Cing memang berada di Siangyang? Kwe Cing ini adalah pembunuh ayahku, jika boleh, maka kumohon diberi tugas untuk membunuhnya,"

"Memangnya begitulah maksud tujuan undanganku kepada para ksatria." kata Kubilai dengan girang. "Cuma kabarnya ilmu silat Kwe Cing itu tergolong nomor satu di seluruh Tinggoan, banyak pula orang kosen yang membantunya, beberapa kali pahlawan yang kusuruh membunuhnya mengalami kegagalan, ada yang tertangkap dan ada yang terbunuh. Sudah tentu kupercaya pada ketangkasan saudara Nyo, tapi seorang diri terasa kurang kuat, maka maksudku kalau bisa para ksatria di sini sekaligus menyusup di Siangyang, dengan begitu kalian dapat turun tangan bersama. Asalkan orang she Kwe itu terbunuh, dengan mudah pula Siangyang akan dapat kita duduki."

Serentak Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain2 berdiri, kata mereka sambil menyilang tangan di depan dada. "Kami siap mengikuti semua perintah Ongya dan bertempur sekuat tenaga."

"Bagus, bagus!" seru Kubilai dengan girang, "Tak peduli siapa yang akan membunuh Kwe Cing nanti, yang pasti setiap orang yang ikut pergi juga berjasa, Hanya orang yang membunuhnya itulah akan kuusulkan kepada Sri Baginda agar diberi gelar dan diangkat menjadi jago nomor satu dari kerajaan Mongol Raya kita."

Gelar bangsawan sih tidak begitu menarik bagi Siao-siang-cu, Nimo Singh dan lain2, tapi sebutan "jago nomor satu kerajaan Monggol" adalah cita2 yang mereka harapkan, sebab dengan begitu namanya akan tersohor ke seluruh jagat

Maklumlah waktu itu kerajaan Mongol lagi jaya2nya, wilayah kekuasaannya sangat luas dan belum ada bandingannya dalam sejarah, kecuali benua barat, waktu itu dua pertiga wilayah Tiongkok juga telah didudukinya, sebagai ukuran luasnya wilayah pendudukan kerajaan Mongol waktu itu dapat dilukiskan: perjalanan dari pusat pemerintah kerajaan ke empat penjuru wilayah pendudukannya diperlukan tempo satu tahun sekalipun dengas kuda yang paling cepat.

Karena itulah dapat dibayangkan betapa membamggakan gelar "jago nomor satu" itu bagi setiap manusia. Semua orang menjadi tertarik dan bersemangat setelah mendengar janji Kubilai itu.

Hanya Siao-liong li saja yang memandangi Nyo Ko dengan rasa cinta yang tak terhingga, ia pikir sebutan dengan gelar bangsawan dan jago nomor satu segala, yang kuharapkan hanya semoga engkau dapat hidup terus.

BegituIah semua orang terus menenggak arak lagi beberapa mangkuk, lalu berangkat, Para Busu Mongol membawakan kuda dan Nyo Ko, Siao-Iiong li serta Kim-lun Hoat-ong dan lain2 sama naik ke atas kuda, mereka ikut di belakang Kubilai dan dilarikan cepat ke arah Siangyang.

Sepanjang jalan rumah penduduk hampir seluruhnya kosong melompong dan hangus terbakar, mayat bergelimpangan memenuhi jalan, Setiap berjumpa orang Han, tanpa kenal ampun prajurit Mongol melakukan pembunuhan.

Tidak kepalang gusar Nyo Ko menyaksikan idaman itu, ia ingin mencegah perbuatan kejam itu, tapi segan terhadap Kubilai. Diam2 ia hanya membatin: "Kawanan perajurit Mongol ini sungguh kejam dan menganggap bangsa Han kami lebih rendah daripada binatang. Nanti setelah kubunuh Kwe Cing dan Ui Yong, akupun akan membunuh beberapa perwira Mongol yang paling kejam untuk melampiaskan rasa dendamku."

Kuda tunggangan mereka adalah kuda peran Mongol pilihan, maka beberapa hari kemudian merekapun sampailah di luar kota Siangyang, Sementara itu pertempuran pasukan kedua pihak sudah berlangsung sebulan lebih, di medan peran penuh senjata rusak dan darah berceceran sudah membeku, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran.

Ketika pasukan Mongol diberitahu oleh kurir bahwa pangeran Kubilai datang sendiri di garis depan, para panglima perang segera menyambutnya. Kubilai menyatakan rasa penyesalannya karena kota Siang yang sudah sekian lama belum dapat diduduki, para panglima itu sama berlutut dan minta ampun, Kubilai terus keprak kudanya dan dilarikan ke depan dengan cepat. Para panglima itu tetap berlutut dan tidak berani bangun, semuanya merasa kebat-kebit.

Diam2 Nyo Ko sangat mengagumi wibawa Kubilai yang luar biasa itu, biasanya Kubilai sangat ramah tamah terhadap dirinya serta Kim-Iun Hoat-ong dan lain2, tapi menghadapi para panglimanya ternyata berubah menjadi sangat kereng dan disegani.

Sementara itu hari sudah terang, pasukan mendapatkan aba2 menyerang, seketika terjadilah hujan panah dan batu yang berhamburan ke benteng kota, menyusul tembok2 benteng banyak ditempeli tangga panjang, be-ramai2 perajurit Mongol berusaha manjat ke-atas benteng.

Akan tetapi penjagaan benteng juga kuat, beberapa perajurit Han memegangi kayu besar dan banyak tangga melangit itu didorong terpental dari tembok benteng.



Akhirnya ada beberapa ratus perajurit berhasil menyerbu ke atas benteng, sorak-sorai pasukan Mongol menggelegar setiap Pek-hu-tiang (komandan seratus orang, setingkat kapten) Mongol memimpin pasukannya merayap ke atas sebagai bala bantuan.

Mendadak terdengar suara genderang dipukul keras, sepasukan pemanah kerajaan Song muncul di balik tembok sana dapat menahan majunya pasukan Mongol, menyusul sepasukan lain dengan obor be-ramai2 membakar tangga panjang sehingga perajurit Mongol yang sedang merayap ke atas benteng sama jatuh terjungkal ke bawah.

Suasana menjadi gaduh, di tengah pertempuran dahsyat itu, tiba2 di atas benteng muncul sepasukan Iaki2 gagah perkasa bersenjata golok, tombak dan pedang, serentak pasukan Mongol yang berhasil menyerbu ke aras benteng itu disergapnya.

Pasukan laki2 itu tidak memakai seragam pasukan Song ada yang berbaju hitam ringkas, ada yang berjubah panjang dengan warna yang berbeda, waktu bertempur juga tidak menuruti peraturan pasukan, namun semuanya sangat tangkas, jelas tiap2 orang itu memiliki ilmu silat yang terlatih.

Perajurit Mongol yang menyerbu ke atas benteng itu adalah perajurit pilihan yang sudah berpengalaman dan gagah berani, namun sama sekali bukan tandingan pasukan laki2 itu, hanya beberapa gebrakan saja satu persatu mereka dapat dikalahkan dan terbunuh, ada yang menggeletak di atas benteng, ada yang terlempar ke bawah benteng.

Di antara pasukan laki2 itu ada seorang setengah umur berjubah abu2 kelihatan paling tangkas, tanpa bersenjata, tapi berlari kian kemari tanpa.tandingan, di situ pula musuh tercerai berani laksana harimau menyerbu ke tengah kawanan domba.

Kubilai mengawasi sendiri pertempuran itu, melihat betapa gagahnya lelaki setengah tua itu, ia menjadi kesima, katanya dengan gegetun: "Siapa di antara jago2 di dunia ini ada yang lebih hebat daripada orang ini?"

Nyo Ko berdiri di samping Kubilai, ia lantas berkata: "Apakah Ongya tahu siapakah dia?"

"Apa mungkin dia ini Kwe Cing?" jawab Kubilai terkejut.

"Betul, memang dia," kata Nyo Ko.

Sementara itu beberapa ratus perajurit Mongol yang menyerbu ke atas benteng itu sudah terbunuh dan bersisa beberapa orang saja, hanya tiga orang Pik-hu-tiang dengan bertumbak dan membawa perisai masih terus bertempur dengan mati2an.

Ban-hu-tiang (komandan selaksa orang, setingkat kolonel) yang memimpin pertempuran di bawah benteng kuatir didamperat Kubilai, cepat ia memerintah agar meniupkan tanduk dan memberi aba2 penyerbuan lagi, serentak pasukan Mongol menyerang dengan gagah berani untuk menyelamatkan ketiga Pek-hu-tiang.

Mendadak Kwe Cing bersiul nyaring dan melangkah maju, ketika salah seorang Pek-hu-tiang menusuknya dengan tumbak, dengan tepat gagang tumbak kena dipegang Kwe Cing terus didorong ke depan, menyusul sebelah kakinya melayang dan tepat menendang pada perisai Pek-hu-tiang kedua, meski kedua Pek-hu-tiang itu sangat gagah, tapi sukar menahan tenaga sakti Kwe Cing, seketika keduanya mencelat terjungkal ke bawah benteng dan binasa dengan kepala pecah dan tubuh remuk.

Pek-hu-tiang ketiga berusia lebih tua, rambutnya sudah ubanan, iapun insaf dirinya tak terluput dari kematian, tapi sekuatnya ia putar goloknya dan menyerang dengan kalap, Se-konyong2 Kwe Cing menubruk maju, dengan tepat tangan lawan yang memegang golok itu kena dicengkeramnya, selagi ia hendak menyusuli dengan sekali hantaman untuk membinasakan Pek-hu-tiang itu, tiba2 ia melengak Pek-hu-tiang itupun dapat mengenali Kwi Cing cepat ia berseru: "He, engkau, Kim-to Hunji (menantu raja bergolok emas)!"

Kiranya Pek-hu-tiang ini adalah bekas anak buah Kwe Cing ketika dahulu Kwe Cing ikut Jengis Khan menyerbu ke wilayah barat Segera Kwe Cing turun dari kuda dan berlari mendekati benteng, mereka menarik busur dan membidikan dua panah ke arah Kwe Cing.

Kepandaian memanah kedua orang itu memang lihay, baru saja terdengar suara teriakan perajurit di atas benteng, tahu2 kedua panah itu sudah menyamber sampai di depan dada Kwe Cing, tampaknya sukar lagi bagi Kwe Cing untuk mengelak, tak terduga mendadak kedua tangan Kwe Cing meraih, satu tangan satu panah telah kena dipegangnya menyusul kedua panah itu berbaIik- disambit ke musuh..

Belum lagi kedua jago pengawal Mongol tadi melihat jelas apakah Kwe Cing jadi mati kena panah mereka atau tidak, mendadak kedua panah sudah menyamber tiba dan menembus dada mereka, kontan mereka binasa. serentak terdengarlah, suara sorak gemuruh pasukan Song di atas benteng disertai bunyi genderang yang ber-talu2 sebagai tanda kemenangan.

Kubilai menjadi kesal dan memimpin pasukannya mundur ke tempat yang diperintahkan tadi, ditengah jalan tiba2 Nyo Ko berkata: "Ongya tidak perlu masgul, biarlah sebentar Cayhe masuk ke kota sana untuk membunuh Kwe Cing."

"Tapi Kwe Cing itu serba lihay, namanya memang bukan omong kosong belaka, kurasa rencanamu hendak membunuhnya rada sukar," ujar Kubilai sambil menggeleng.

"Beberapa tahun pernah kutinggal di rumahnya, pula pernah menolong anggota keluarganya, dia pasti tidak curiga apapun padaku," kata Nyo Ko.

"Tadi kau berdiri di sampingku, mungkin sudah dilihat olehnya," kata Kubilai pula.

"Sebelumnya sudah kupikirkan hal ini, maka tadi aku dan nona Liong memakai topi lebar untuk menutupi muka dan pakai mantei bulu puIa, dia pasti pangling padaku," ujar Nyo Ko.

"Baiklah, jika begitu kuharap kau akan berhasil, tentang janji anugrah pasti kupenuhi" kata Kubilai.

Nyo Ko mengucapkan terima kasih, Baru saja ia hendak berangkat bersama Siao-b'ong-li, sekilas dilihatnya Kim-lun Hoat-ong, Siau~siang-cu dan lain2 menghunjuk rasa kurang senang, segera terpikir oleh Nyo Ko bahwa orang2 itu tentu kuatir kalau gelar "jago nomor satu" itu akan direbutnya karena berhasil membunuh Kwe Cing, untuk itu orang2 itu pasti akan menjegalnya supaya usahanya gagal. Maka Nyo Ko lantas berkata pula kepada Kubilai: "Ada sesuatu pula ingin kutegaskan kepada Yang Mulia."

"Urusan apa, katakan saja," jawab Kubilai.

"Maksudku membunuh Kwe Cing hanya demi membalas sakit hati pribadiku," tutur Nyo Ko. "selain itu juga kepalanya kuperlukan untuk menukar obat penolong jiwa Kokohku, Maka kalau usahaku berhasil berkat doa restu Ongya, namun gelar jago nomor satu itu sama sekali tak berani kuterima."

"Apa sebabnya? "tanya Kubilai heran.

"Betapapun kepandaianku belum dapat dibandingkan dengan tokoh2 yang hadir di sini ini, mana kuberani mengaku sebagai jago nomor satu?" kata Nyo Ko.

"Sebab itulah Ongya harus terima dulu permohonanku ini barulah kuberani melaksanakan tugas"

Karena Nyo Ko bicara dengan sungguh2 dan tegas, pula melihat sikap Siau-siang-cu dan yang lain itu, diam2 Kubilai juga dapat menerka apa yang menjadi pertimbangan anak muda itu, maka berkatalah dia: "Baiklah, setiap orang memang mempunyai cita2 sendiri, jika begitu kehendakmu akupun tidak ingin memaksakan."

Segera Nyo Ko memohon diri dan berangkat bersama Siao-liong-li. Ditengah jalan mereka membuang topi dan mantel bulu yang mereka pakai sehingga dandanan sekarang adalah bangsa.

Sampai dibawah benteng kota hari sudah menjelang magrib, terlihat pintu gerbang benteng tertutup rapat, di atas benteng satu regu prajurit sedang ronda kian kemari."

"Hei, aku bernama Nyo Ko dan ingin bertemu dengan Kwe~toaya, Kwe Cing," teriak Nyo Ko.

Ketika mendengar suaranya, perwira yang dinas jaga coba melongok ke bawah dan melihat Nyo Ko cuma bersama dengan seorang perempuan, ia percaya pasti bukan musuh yang sengaja hendak menyusup ke kota, segera ia melaporkan hal itu kepada Kwe Cing.

Tidak lama kemudian dua pemuda muncul diatas benteng dan melongok keluar, seorang lantas bersuara: "Oh, kiranya Nyo-toako, apakah cuma kalian berdua?"

Kiranya kedua pemuda itu adalah Bu Tun-it-dan Bu Siu-bun. Dengan tertawa Nyo Ko lantas meryawabr "Eh, kiranya Bu jiko, Apakah Kwe-pepek ada di situ?"

"Ada, silahkan masuk saja" Jawab Siu Bun.

Segera ia memberi perintah agar membukakan pintu benteng dan menurunkan jembatan untuk menyambut datangnya Nyo Ko dan Siao-liong li

Kedua saudara Bu membawa Nyo Ko ke sebuah rumah besar, dengan wajah berseri Kwe Cing menerima kedatangan mereka, lebih dulu Kwe Cing memberi hormat kepada Siao-liong-li lalu menarik tangan Nyo Ko, katanya dengan tertawa girang: "Ko-ji, kedatangan kalian sangat kebetuIan, Musuh sedang menyerang kota, kedatangan kalian berarti bantuan yang dapat diandalkan bagiku, sungguh bahagia sekali segenap penduduk kota ini."

Siao-liong-li adalah guru Nyo Ko, maka Kwe Cing menghormatinya sebagai angkatan yang sama dengan ramah ia menyilakan dia masuk kedalam rumah, terhadap Nyo Ko iapun sangat sayang dan menggandeng tangannya.

Ketika teringat bahwa orang yang menggandeng tangannya ini adalah pembunuh ayahnya, sungguh tidak kepalang gemas hati Nyo Ko, kalau bisa sekali tusuk akan dibinasakannya. Cuma jeri kepada kelihaian Kwe Cing, maka tidak berani sembarangan bergerak, dengan air mukanya yang gembira, iapun menanyakan kesehatan sang paman dan tidak lupa pula menanyakan Ui Yong.

Lantaran rasa dendamnya sebegitu jauh ia tidak memberi sembah hormat kepada Kwe Cing. Namun Kwe Cing memang orang baik, sedikitpun ia tidak memperhatikan tata adat begitu.

Sampai di ruangan besar, Nyo Ko hendak menemui Ui Yong ke dalam, namun Kwe Cing telah mencegahnya, katanya: "Bibimu sudah hampir melahirkan, beberapa hari akhir2 ini kesehatannya ada terganggu, boleh kau menemuinya lain hari saja."

Diam2 Nyo Ko bergirang, ia justeru kuatir akan kecerdikan Ui Yong, bukan mustahil maksud kedatangannya ini akan diketahuinya, kalau bibi itu sedang sakit, maka kebetulan baginya.

Tengah bicara, datanglah utusan panglima kota yaitu Lu Bun-hoan, yang mengundang Kwe Cing untuk menghadiri perjamuan merayakan kemenangan yang tadi.

Namun Kwe Cing telah menolak undangan itu dengan alasan dia sendiri lagi menerima tamu, sudah tentu utusan panglima itu sangat heran, dilihatnya usia Nyo Ko masih muda dan tiada sesuatu yang luar biasa, entah mengapa justru anak ini mendapat perhatian Kwe Cing sebesar itu sehingga menolak undangan sang panglima hanya untuk melayani anak muda itu, Terpaksa utusan itu pulang melaporkan hal itu kepada Lu Bun-hoan.

Kwe Cing lantas mengadakan perjamuan sederhana di rumah sendiri untuk merayakan kedatangan Nyo Ko dan Siao-liong-li, ikut hadir di meja perjamuan adalah Cu Cu-liu, Loh Yu-kah, kedua saudara Bu, Kwe Hu dan lainnya.

Ber-ulang2 Cu Cu-liu mengucapkan terima kasih pada Nyo Ko yang pernah menolongnya dgn memaki pangeran Hotu dari Mongol itu menyerahkan obar penawar sehingga Cu Cu-liu terbebas dari renggutan maut.

Sikap Kwe Hu ternyata tawar saja terhadap Nyo Ko, ia cuma memanggil sekali, lalu tidak bicara pula. Dalam perjamuan itu alis si nona kelihatan terkerot seperti dirundung suatu persoaIan. Kedua saudara Bu juga, selalu menghindari adu pandang dengan Nyo Ko, ketiga orang juga tidak berbicara sejak awal hingga berakhirnya perjamuan.

Sebaliknya Loh Yu-kah dan Cu Cu-liu sangat gembira ria dan. asyik ngobrol tentang kemenangan gemilang atas pasukan Mongol siangnya.



Waktu perjamuan selesai, sementara itu sudah lewat tengah malam. Kwe Cing menyuruh Kwe Hu mengawani Siao liong-li tidur sekamar, ia sendiri menarik Nyo Ko untuk tidur bersama satu ranjang.

Ketika akan pergi Siao-liong-li sempat melirik sekejap pada Nyo Ko dan agar anak muda itu ber-hati2. Nyo Ko kuatir rahasianya diketahui orang, cepat ia berpaling dan tidak berani menatap Siao~liong-li

Kwe Cing menggandeng Nyo Ko ke kamar tidurnya, ber-ulang2 ia memuji anak muda itu melawan Kim-lun Hoat-ong di barisan batu2 itu dan berhasil menyelamatkan Ui Yong, Kwe Hu serta kedua saudara Bu. Habis itu ia lantas tanya pengalaman Nyo Ko setelah berpisah.

Teringat kejadian tempo hari, diam2 Nyo Ko menyesal telah menolong Ui Yong dengan matian apabila sudah mengetahui Ui Yong adalah musuhnya ia kuatir kalau banyak bicara mungkin rahasia tujuannya akan diketahui Kwe Cing, maka tentang pertemuannya dengan Thia Eng, Liok Bo-siang, Sah Kho dan Ui Yok-su tak diceritakannya, ia hanya mengaku merawat lukanya di pegunungan sunyi, kemudian bertemu dengan Kokoh, lalu bersama ke sini untuk mencari paman.

Sembari membuka baju dan mapan tidur, Kwe Cing berkata: "Ko-ji, saat ini musuh sudah berada di depan mata, keadaan Song Raya kita benar2 berbahaya, seperti telur di ujung tanduk. Siangyang adalah perisai bagi tanah air kita, kalau kota ini jatuh, mungkin ber-juta2 rakyat kita akan menjadi budak orang Mongol. Dengan mataku sendiri kulihat keganasan orang MongoI, sungguh darahku menjadi mendidih menyaksikan kekejaman musuh itu...."

Segera Nyo Ko teringat juga keganasan perajurit Mongol yang dilihatnya sepanjang perjalanan, saking gusarnya iapun mengertak gigi.

"Kaum kita belajar silat dengan sepenuh tenaga, walaupun tujuannya ingin berbuat kebajikan dan membela kaum kecil, namun ini hanya sebagian kecil saja daripada tugas kita yang sebenarnya," kata Kwe Cing pula, "Sebabnya orang Kangouw menyebut aku "Kwe-tayhiap", kukira bukan disebabkan kepandaianku yang tinggi melainkan menghormati diriku yang berjuang mati2an demi negara dan rakyat.

Namun aku sendiri merasa tenagaku seorang teramat kecil dan belum dapat membebaskan rakyat dari kesengsaraan sesungguhnya aku malu untuk disebut "Tayhiap", Kau masih muda, kepintaranmu dan kecerdasanmu berlipat ganda daripadaku, hari depanmu pasti cemerlang dan tentu jauh melebihi diriku. Hanya kuharap kau selalu ingat kepada pesanku ini: "Demi negara dan rakyat, itulah tugas utama kita", Semoga kelak namamu termashur dan menjadi seorang Tayhiap (pendekar besar) sejati yang dihormati segenap rakyat jelata.


Uraian Kwe Cing itu sangat mengena di lubuk hati Nyo Ko, dilihatnya Kwe Cing bicara dengan sungguh2, simpatik, tapi juga kereng, meski jelas dia adalah musuh yang membunuh ayahnya, tapi tanpa terasa timbul juga rasa hormat dan segannya. Segera ia menjawab: "Kwe-pepek, jika engkau sudah meninggal aku pasti akan ingat selalu perkataanmu ini."

Sudah tentu Kwe Cing tak mengira bahwa malam ini juga si Nyo Ko akan membunuhnya, dengan rasa sayang ia membelai kepala anak muda itu dan berkata pula "Ya, memang, berjuang sampai titik darah penghabisan kalau negara kita runtuh, jiwa pamanmu ini jelas juga takkan tertinggal lagi. Baiklah, sudah jauh malam, marilah tidur. Kabarnya Kubilai sangat pandai mengatur pasukan, kemunduran pasukannya tadi mungkin cuma siasat belaka, dalam beberapa hari ini pasti akan ada pertempuran dahsyat, kau perlu kumpulkan dan memupuk semangat untuk memperlihatkan segenap kepandaianmu di medan perang."

Nyo Ko mengiakan saja, lalu membuka baju dan mapan tidur. Belati yang dibawanya dari Coat-ceng-kok itu diam2 diselipkan nya di pinggang, ia pikir biar ilmu silatmu beratus kali lebih tinggi, kalau sudah tertidur, sekali tikam dengan belati ini, masakah kau mampu mengelak?

Karena siangnya bertempur sengit, maka Kwe Ceng rada lelah, begitu menempel bantal dia terus terpulas. Sebaliknya Nyo Ko bergolak-golik tak dapat tidur. Dia tidur di bagian dalam, didengarnya pernapasan Kwe Cing sangat teratur, tarikan dan hembusan napasnya terselang agak lama, diam2 ia kagum terhadap Lwekang sang paman yang hebat itu.

Agak lama kemudian, suasana terasa hening, hanya dari jauh terdengar suara peronda sedang melakukan tugasnya pelahan Nyo Ko berduduk dan meraba belatinya, ia pikir kalau dia sudah kutikam mati, segera kupergi membunuh Ui Yong pula, rasanya membereskan seorang wanita hamil tak terlalu sulit, selesai semuanya segera bersama Kokoh kembali ke Coat-ceng-kok untuk mengambil setengah biji obat itu.

Kemudian kami akan mengasingkan diri di kuburan kuno itu untuk menikmati kebahagiaan hidup dan takkan peduli apakah dunia ini akan menjadi milik Song atau direbut Mongol.

Begitulah hatinya sangat senang berpikir sampai di sini, Tiba2 terdengar suara tangisan seorang anak kecil di rumah tetangga sana,menyusul suata sang ibu sedang meminang anaknya, suara tangis anak itupun mulai mereda dan kemudian sunyi senyap pula.

Seketika hati Nyo Ko tergetar, mendadak teringat olehnya apa yang dilihatnya di perjalanan tempo hari, di mana seorang Busu Mongol telah menyudet perut seorang bayi dan diangkat ke udara seperti sundukan satai, bayi itu tidak lantas mati, tapi masih dapat menjerit ngeri.

Segera terpikir olehnya: "Untuk membunuh Kwe Cing sekarang bagiku sangat mudah. Tapi kalau dia mati, kota ini takkan dapat dipertahankan lagi dan be-ribu2 anak kecil dalam kota ini tentu akan menjadi mangsa keganasan perajurit Mongol. Aku sendiri berhasil membalas dendam, tapi akibatnya jiwa rakyat jelata yang tak terhitung banyaknya akan menjadi korban, apakah perbuatanku ini dapat dipuji?"

Tapi lantas terpikir pula: "Kalau tidak kubunuh dia, tentu pula Kiu Jian-jio tak mau memberikan obatnya padaku dan kalau aku mati pasti juga Kokoh tak dapat hidup lagi," Betapa mendalam cintanya kepada Siao-liong-li boleh dikatakan tiada taranya, karena itulah menjadi nekat:

"Sudahlah, biar peduli amat dengan jiwa rakyat Siangyang dan negara segala, ketika aku menderita sengsara, selain Kokoh seorang siapa lagi yang pernah menaruh belas kasihan padaku? Orang lain tidak pernah sayang padaku, buat apa aku mesti sayang pada orang lain?"

Begitulah ia lantas angkat belati nya. tenaga dikumpulkan pada tangan itu, ujung belati mengincar tepat pada dada Kwe Cing.

Lilin di dalam kamar itu sudah dipadamkan tapi Nyo Ko sudah biasa melihat dalam kegelapan, waktu belatinya akan ditusukan, sekilas ia memandang wajah Kwe Cing, dilihatnya air muka paman sangat tenang, wajah seorang welas asih dan berbudi.

Belati sudah tergenggam di tangan Nyo Ko, tapi ia ragu2 untuk turun tangan mengingat keselamatan laksaan jiwa bangsa Han yang akan menjadi korban keganasan serdadu Mongol yang kejam itu.



----------- nggak nyambung

tidurnya sangat nyenyak. Tiba2 terbayang pula dalam benak Nyo Ko semua kejadian di masa lampau, betapa kasih sayang paman padanya waktu tinggal di Tho-hoa-to dan tanpa mengenal lelah sang paman mengantarnya ke Cong-lam-san untuk belajar siIat, malahan berniat menjodohkan puteri tunggalnya kepadanya.

Tanpa terasa timbul pikirannya: "Selamanya Kwe pepek bertindak jujur dan terus terang, beliau adalah seorang tua yang baik budi, Pribadi seperti dia ini seharusnya tidak mungkin mencelakai ayahku, Apakah mungkin Sah Koh yang tidak waras itu sembarangan omong? Kalau saja tikaman ini jadi kulaksanakan dan mungkin ternyata salah membunuh orang baik, bnkankah dosaku sukar lagi diampuni? Wah, nanti dulu kukira urutan ini harus kuselidiki dulu.

Pelahan2 ia lantas menyimpan kembali belatinya, ia coba merenungkan pula satu demi satu kejadian di masa lalu sejak dia bertemu dengan Kwe Cing dan Ui Yong.

Teringat olehnya sikap Ui Yong yang kurang simpatik padanya, beberapa kali dipergoki suami isteri ku sedang membicarakan sesuatu soal apa2, tapi pokok pembicaraan lantas dihentikan begitu dia muncul. Kalau dipikir, tentu ada sesuatu diantara suami isteri itu sengaja dirahasiakannya.

lngat pula sang bibi resminya menerimanya sebagai murid, tapi yang diajarkan hanya membaca dan menulis, sedikitpun tidak diajarkan silat. Apakah keramahan paman Kwe kepadaku itu bukan lantaran dia telah mencelakai ayahku dan hatinya merasa tidak tenteram, maka sengaja membaiki aku sekedar menenangkan hatinya yang merasa berdosa itu?

Begitulah Nyo Ko terus bergulang-guling tak dapat pulas. Dalam pada itu Kwe Cing masih tidur dengan nyenyaknya, namun pada suatu ketika itu, dapat mengetahui pernapasan Nyo Ko yang rada memburu itu mendadak ia membuka mata dan bertanya: "Ada apa, Ko-ji? kau tak dapat tidur?"

Badan Nyo Ko rada bergetar, jawabnya: "Oh tidak apa2"

"Kalau kau tidak biasa tidur bersama orang lain, bolehlah kutidur di meja saja," kata Kwe Cing dengan tertawa.

"Wah, tidak, tidak apa2" sahut Nyo Ko cepat

"Baiklah, jika begitu lekas tidur." ujar Kwe Cing. "Orang belajar silat harus mengutamakan menenangkan batin dan memusatkan pikiran."

Nyo Ka mengiakan. Akan tetapi pikirannya tetap bergoIak akhirnya ia tidak tahan dan bertanya: "Kwe-pepek, dahulu waktu kau mengantar diriku ke Cong lam-san,- sampai kuil di kaki gunung itu pernah kutanyakan sesuatu padamu, apakah paman masih ingat?"

Hati Kwe Cing terkesiap, jawabnya: "Ya, ada apa?"

"Tatkala mana Kwe-pepek marah2 dan menghantam sebuah pilar batu sehingga menimbulkan salah paham para Tosu hari Coan-cin-kau, apakah paman masih ingat persoalanku yang kutanyakan itu?"

"Ya, kalau tidak salah kau tanyai cara bagaimana meninggalnya ayahmu,"

Dengan tatapan tajam Nyo Ko berkata pula. "Waktu yang kutanyakan padamu adalah siapa kah yang membunuh ayahku."

"Darimana kau mengetahui bahwa ayahmu di bunuh orang?" kata Kwe Cing.

"Memangnya ayahku meninggal secara baik2?" tanya Nyo Ko dengan suara agak serak.

Kwe Cing terdiam sejenak, ia menghela napas panjang, lalu berkata pula: "Ayahmu meninggal secara menyedihkan, akan tetapi tiada siapapun yang membunuhnya, dia sendirilah yang membunuh dirinya sendiri"

Mendadak Nyo Ko bangun berduduk, dengan perasaan yang sangat terangsang ia berkata: "Tidak Kwe-pepek dusta padaku, mana mungkin di dunia ini ada orang membunuh dirinya sendiri? seumpama ayahku membunuh diri, tentu juga ada orang-lain yang menyebabkan kematiannya."

Kwe Cing menjadi berduka dan meneteskan air mata, katanya pelahan: "Anak Ko, kakekmu dan ayahku adalah saudara angkat, ayahmu dan diriku juga mengikat persaudaraan. Kalau ayahmu mati secara penasaran masakah aku tidak berusaha membalas dendam baginya?"

Tubuh Nyo Ko rada gemetar, saking menahan perasaannya hampir saja ia berucap: "Kau sendiri yang membunuh ayahku dengan sendirinya kau tidak mungkin membalaskan dendamnya."

Tapi ia tahu sekali ucapannya itu dikeluarkan tentu Kwe Cing akan waspada dan selanjutnya pasti sukar hendak membunuhnya. Maka Nyo Ko hanya diam saja, lalu tidak bicara lagi.

"Persoalan ayahmu sebenarnya sangat banyak lika-likunya dan sukar diceritakan dalam waktu singkat." kata Kwe Cing pula. "Dahulu waktu kau bertanya, karena kupikir usiamu masih terlalu muda dan belum dapat memahami sebab musababnya dengan jelas, lantaran itulah aku tidak mau menjelaskan padamu, sekarang kau sudah dewasa, sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang Jahat, maka setelah orang MongoI dipukul mundur, biarlah nanti kuceritakan dari awal hingga akhir." jeIasnya. Habis berkata ia terus membalik dan tidur lagi.

Nyo Ko cukup kenal perangai sang paman yang tegas itu, sekali dia bilang satu, tidak mungkin berubah menjadi dua, Tapi ia menjadi ragu2 lagi dan memaki dirinya sendiri: "Wahai, Nyo Ko, biasanya kau bertindak sesuatu selalu tegas dan berani, mengapa sekarang kau bimbang dan takut2 ? Apakah kau jeri terhadap ilmu silatnya yang lihay? Bukan saja kesempatan bagus malam ini kau sia2 kan, besok bila Ui Yong mengetahui maksud tujuanmu mungkin Kokohmu akan ikut menjadi korban.

Teringat kepada Siao liong li, seketika ia bersemangat lagi, ia meraba pula belatinya, belati yang menempel kulit perutnya itu serasa panas oleh suhu badannya. Baru saja ia hendak mencabut belatinya, tiba2 terdengar daun jendela diketok orang tiga tali dengan sangat pelahan.

"Cepat Nyo Ko pura2 tidur, sedangkan Kwe Ceng, lantas terjaga bangun berduduk serta bertanya "Apakah Yong-ji di situ? Ada urusan apa?"

Namun suara di luar jendela lantas berhenti, Kwe Ceng terus berbangkit, dilihatnya Nyo Ko tertidur nyvnyak, ia pikir anak muda itu baru saja pulas, sebaiknya jangan diganggu lagi. pelahan2 ia lantas membuka pintu kamar dan keluar, diiihatnya Ui Yong sedang menunggunya di serambi sana, Kwe Cing mendekati sang isteri dan bertanya dengan suara tertahan "Ada urusan apa?"

Ui Yong tidak menjawabnya, ia menarik tangan suaminya ke halaman belakang, setelah memandang sekelilingnya, habis itu baru berkata: "Percakapanmu dengan Ko-ji sudah kudengar semua. Dia mengandung maksud buruk, apakah kau tidak tahu?"



Kwe Cing terkejut "Apa? Dia bermaksud buruk bagaimana? " ia menegas.

"Dari ucapannya itu, tampaknya dia mencurigai kita berdua yang membunuh ayahnya," tutur Ui Yong.

"Ya bisa jadi dia curiga," Ujar Kwe Cing sambil menggeleng, "tapi aku sudah berjanji akan menceritakan sebab musabab kematian ayahnya."

"Memangnya kau benar2 akan menceritakan padanya tanpa menutupi sesuatu apapun ?" tanyanya.

"Begitu mengenaskan kematian ayahnya, selama ini akupun selalu merasa bersalah," kata Kwe Cing, "Meski adik Nyo Khong tersesat ke jalan yang salah, tapi kita juga tidak berusaha menyadarkan dia dan tidak berdaya menyelamatkan dia."

"Hmm orang macam begitu masakah ada harganya dibantu?" jengek Ui Yong, "Malahan aku justeru menyesal tidak membunuhnya sedini mungkin, kalau tidak masakah beberapa gurumu itu sampai tewas di Thoa hoa-to gara2 perbuatannya?"

Teringat kepada peristiwa yang mengenaskan itu, tanpa terasa Kwe Cing menghela napas panjang

"Dari anak Hu kudengar kedatangan Ko-ji ini kelihatan agak aneh, katanya pula kau tidur sekamar dengan dia, Aku menjadi kuatir terjadi sesuatu, maka sejak tadi aku sudah mengawasi di luar jendela. Kukira sebaiknya jangan tidur bersamanya, harus diketahui bahwa hati manusia sukar dijajaki, pula ayahnya... meninggal akibat keracunan karena memukul bahuku. "

"Yong-ji, itupun tidak dapat dikatakan kau yang mencelakai dia." ujar Kwe Cing.

"Walau kita memang ada maksud membunuhnya, akhirnya dia juga mati akibat diriku, maka soal kita sendiri yang turun tangan membunuhnya atau bukan menjadi tidak penting lagi." kata Ui Yong.

Kwe Cing berpikir sejenak, katanya kemudian "Betul juga ucapanmu. Kalau begitu sementara ini takkan kuceritakan terus terang padanya, Yong ji, sudah jauh malam, lekas kembali ke kamarmu dan mengaso, besok malam biar kupindah tidur ke-markas saja."

Biasanya Kwe Ging memang menuruti segala nasehat Ui Yong, soalnya ia tahu kecerdasan dan pengetahuan sang isteri memang berkali lipat lebih pintar daripada dirinya, dugaannya selalu tepat, perhitungannya tak pernah meleset, meski ia tidak percaya bahwa Nyo Ko bermaksud jahat kepada-nya, tapi sang isteri sudah bilang begitu, maka ia lantas menurut saja.

Segera Kwe Cing memayang sang isteri kembali ke kamarnya, katanya: "Kukira selekasnya Hu-ji dinikahkan saja dengan Ko-ji agar selesailah persoalan kita ini."

"Aku sendiripun bingung menghadapi urusan ini!" ujar Ui Yong sambil menghela napas. "Kakak Cing, dalam hatiku hanya ada engkau seorang begitu pula dalam hatimu sama ada aku, akan tetapi puteri kita itu ternyata tidak seperti kau, juga tak seperti aku, dalam hatinya justeru sekaligus terisi dua kekasih yang sukar dibedakan mana yang harus dipilih, inilah yang membuat kita sebagai ayah-bundanya serba susah."

"Dua kekasih" yang dimaksud Ui Yong bukan lain daripada Bu Tun-si dan Bu Siu-bun. Kedua anak muda ini sama jatuh cinta kepada Kwe Hu. sebaliknya Kwe hu juga tidak pilih kasih terhadap kedua saudara Bu-itu.

Waktu masih kecil memang tidak menjadi soal, tetapi ketiganya kini sudah dewasa, persoalan cinta segi tiga inipun menjadi semakin rumit dan serba sulit.

Menurut pikiran Kwe Cing, dia ingin menjodohkan, puterinya kepada Nyo Ko dan, untuk kedua saudara Bu akan dicarikan gadis lain yang setimpal. Namun pikiran Ui Yong terlebih cermat, ia tahu banyak kesulitan dalam persoalan jodoh ini. Kendatipun dia sangat pintar, menghadapi soal rumit inipun dia merasa bingung dan tak berdaya.

Begitulah Kwe Cing mengantar isterinya ke dalam kamar, setelah berbaring dan menyelimutinya, ia duduk di tepi ranjang sambil menggenggam tangan sang isteri dengan tersenyum bahagia. Selama sebulan ini keduanya sama sibuk urusan tugas, suami-isteri jarang berkumpul dengan tenang, sekarang keduanya berhadapan tanpa bicara, namun terasa sangat tenang.

Ui Yong memegangi tangan Kwe Cing dan di-gosok2kannya pada pipi sendiri, lalu berkata dengan suara lirih: "Engkoh Cing, anak kita yang kedua ini bolehlah kau berikan suatu nama yang baik."

"Kau tahu aku tidak sanggup, mengapa kau menggoda aku," jawab Kwe Cing dengan tertawa.

"Kau selalu mengatakan dirimu tidak sanggup apa2, padahal, engkoh Cing, lelaki diseluruh jagat ini tiada keduanya yang mampu melebihi kau," kata Ui Yong dengan mesra dan sungguh2

Kwe Cing menunduk dan mencium pelahan muka sang isteri katanya: "Kalau anak laki2 kita beri sama Boh-to saja, tapi bila perempuan...." Dia berpikir sejenak, lalu menyambung "Kau saja yang memberikan namanya."

"Saat ini kita sedang mempertahankan kota Siang yang ini menghadapi serbuan orang MongoI, karena anak dilahirkan di sini, maka kita beri nama Yang saja, agar kelak kalau sudah besar anak ini akan selalu ingat bahwa dia dilahirkan di kota yang sedang berkecamuk peperangan."

"Bagus, diharap saja anak perempuan ini tidak senakal Tacinya, sudah begitu besar masih membikin repot orang tua saja," ujar Kwe Cing.

"Kafau cuma repot sih tidak jadi soal." ujar Ui Yong dengan tersenyum, "justeru dia.... .ahhh aku malah berharap anak ini adalah laki2 saja"

Kwe Cing me-raba2 tangan sang isteri dan ber-kata: "Anak laki2 atau anak perempuan kan sama saja? Sudahlah, lekas tidur, jangan berpikir macam2"

Setelah menyelimuti sang isteri dan memadamkan lilin, lalu Kwe Cing kembali ke kamarnya, dilihatnya Nyo Ko masih tidur dengan lelapnya, di-dengarnya bunyi kentongan tiga kali, segera ia naik tempat tidur lagi.

Tak diketahuinya bahwa percakapan mereka suami-isteri dihalaman tadi telah dapat didengar semua oleh Nyo Ko yang sembunyi di balik pintu.

Waktu Kwe Cing dan Vi Yong menuju ke ruangan dalam Nyo Ko masih berdiri kesima di balik pintu sambil merenungkan ucapan Ui Yong: "Aku justeru menyesal tidak membunuhnya lebih dini, ayahnya mati keracunan akibat memukul bahuku, kita sama ada maksud membunuhnya, tapi akhirnya dia juga mati akibat diriku."

Dari kata2 itu jadi sudah jelas bahwa ayahku memang tewas di tangan mereka berdua, hal ini tidak perlu diragukan lagi, demikian pikir Nyo Ko, Diam2 iapun merasa Ui Yong benar2 maha lihay karena mencurigai dirinya, kalau malam ini tidak turun tangan, mungkin kelak tiada kesempatan baik lagi. Begitulah ia lantas berbaring lagi di tempat tidurnya dan menunggu sampai kembalinya Kwe Cing.



Setelah Kwe Cing merebahkan diri dan memakai selimut, didengarnya Nyo Ko mengeluarkan suara mengorok pelahan. Diam2 ia pikir anak muda ini nyenyak benar tidurnya.

Karena itu ia mapan tidur dengan pelahan, kuatir kalau mengganggu Nyo Ko. Selang tak lama, selagi layap2 akan terpulas, tiba2 terasa Nyo Ko membalik tubuh dengan pelahan, tapi waktu membalik tubuh tetap mengeluarkan suara mendengkur

Kwe Cing melengak heran, umumnya orang tidur kalau membalik tubuh tentu suara mendengkurnya akan berhenti mengapa pernapasan bocah ini lain daripada yang lain, apakah mungkin latihan Lwekangnya mengalami kesalahan? jika betul demikian bisa celaka.

Hati Kwe Cing memang polos, sama sekali ia tidak pernah menyangka Nyo Ko sengaja pura2 mendengkur

Begitulah ketika Nyo Ko membalik tubuh pula pelahan dan melihat Kwe Cing tetap diam saja, segera ia mengeluarkan suara dengkuran lagi sambil turun dari tempat tidur. Semula ia berniat menikam Kwe Cing dalam selimut, tapi diurungkan karena merasa berbahaya menyerangnya dari jarak dekat, kalau saja sebelum ajalnya Kwe Cing membalas sekali hantam, tentu jiwa sendiri juga akan melayang. Karena itu ia mengambil keputusan turun tempat tidur dulu, begitu tikamannya mengenai tempat yang mematikan segera ia akan melompat keluar jendela dan melarikan diri, Tapi iapun kuatir kalau suara mendengkurnya berhenti mungkin akan menimbulkan curiga Kwe Cing jika dalam tidurnya itu merasakan sesuatu yang tidak beres maka sambil turun dari tempat tidur ia tetap pura2 ngorok.

Karena kelakuannya inilah membikin Kwe Cing semakin bingung, ia pikir jangan2 bocah ini mengidap penyakit "mimpi berjalan" Kalau sekarang kubiarkan dia. karena kagetnya bukan mustahil tenaga dalamnya akan bergolak dan tersesat ke jalan yang keliru, itu berarti maut bagi anak muda itu.

Karena itulah ia tidak berani bergerak dan tetap pasang kuping untuk mengikuti gerak gerik Nyo Ko.

Pelahan Nyo Ko mengeluarkan belatinya danbdigenggamnya kencang di depan dada, dengan hati2 ia mendekati tempat tidur, mendadak ia angkat belatinya terus hendak ditikamkan ke ulu hati Kwe Cing.

"Ko ji, kau mimpi buruk apa?" pada saat itu juga mendadak Kwe Cing berseru padanya dengan suara halus.

Sungguh kaget Nyo Kotak terkatakan, begitu ke dua kakinya menutul, secara membalik tubuhnya terus menerobos keluar jendela. Akan tetapi kecepatannya tetap kalah cepat daripada Kwe Cing sebelum dia tancapkan kakinya di luar, tahu2 kedua bahunya sudah dipegang oleh kedua tangan Kwe Cing.

Seketika Nyo Ko putus asa, ia tahu ilmu silat sendiri se-kali2 bukan tandingan sang paman, melawan juga tiada gunanya, maka ia cuma pejam mata dan menunggu ajal saja.

Tak terduga Kwe Cine terus mengangkat tubuhnya dan melompat masuk pula ke dalam kamar, didudukkannya Nyo Ko di tempat tidur dalam posisi seperti orang lagi semadi.

Diam2 Nyo Ko heran, ia tidak tahu dengan cara bagaimana dirinya akan disiksa oleh Kwe Cing, Tiba2 teringat pada Siao-liong-li, ia menarik napas panjang dan segera bermaksud berteriak memperingatkan nona itu agar lekas melarikan diri.

Melihat si Nyo Ko menghimpun tenaga, Kwe Cing semakin salah paham bahwa anak muda itu sedang menahan sakit. Cepat ia gunakan tangannya untuk menahan perut Nyo Ko.

Mestinya Nyo Ko hendak berteriak: tapi perutnya ditekan sehingga sukar bersuara, sedangkan dalam hati menguatirkan keadaan Siao-liong-li, ia menjadi kelabakan tapi perutnya ditahan oleh kwe Cing, ingin merontapun tidak dapat.

Dengan pelahan kemudian Kwe Cing berkata: "Ko-ji, kau ter-buru2 berlatih, akibatnya malah macet sebaiknya jangan banyak bergerak, tenangkan pikiranmu, akan kubantu kau meredakan pergolakan tenaga dalammu."

Nyo Ko tercengang heran karena tidak tahu apa maksud ucapannya, ia hanya merasakan hawa hangat tersalur dari tangan sang paman ke dalam perutnya dan terasa sangat menyegarkan.

Segera tahulah Nyo Ko bahwa Kwe Cing sedang membantunya dengan Lwekang yang tinggi untuk melancarkan tenaga dalamnya. Diam2 ia merasa geli dan malu diri pula, Nyata sang paman salah sangka latihan Lwekangnya tersesat sehingga kelakuannya seperti orang sinting.

Agar tidak menimbulkan curiga orang segera ia mengerahkan tenaga dalam sendiri dan sengaja disalurkan ke sana ke sini tanpa teratur dan seperti sukar diatasi.

Tehtu saja Kwe Cmg bertambah kuatir, ia kerahkan tenaganya lebih kuat untuk menghimpun tenaga dalam Nyo Ko yang terpencar itu. Karena Nyo Ko sudah telanjur berlagak begitu mau-tak mau ia harus berbuat supaya lebih sungguh2 tampaknya. Dasar Lwekang si Nyo Ko sekarang sudah sangat tinggi, seketika Kwe Cing kena dikelabui sampai agak lama barulah ia berhasil melancarkan tenaga dalam si Nyo Ko yang disangkanya nyasar itu.

Setelah kerja keras begitu, akhirnya Nyo Ko merasa kehabisan tenaga, Kwe Cing juga merasa letih, kedua orang sama2, bersemadi sehingga fajar barulah segar kembali.

"Sudah baik belum, Ko-ji?" tanya Kwe Cing dengan tersenyum. "Sungguh tak terduga bahwa tenaga dalammu sudah begini hebat, hampir saja aku tidak sanggup menolong kau."

Tahu bahwa sang paman tidak sayang mengorbankan tenaga murninya demi untuk menolongnya mau - tak - mau hati Nyo Ko sangat terharu, katanya: "Terima kasih atas pertolongan Kwe-pepek, semalam aku hampir saja celaka."

Diam2 Kwe Cing bersyukur bahwa anak muda ini tidak menyadari bahwa semalam dia telah angkat belati hendak menikamnya, kalau tahu, tentu anak muda itu akan menyesal tak terhingga.

Nyata Kwe Cing yang berhati jujur dan baik budi itu tetap tidak mencurigai perbuatan Nyo Ko itu, ia malahan kuatir kalau Nyo Ko mengetahui kejadian itu, maka sengaja membelokkan pembicaraan, katanya segera: "Marilah kau ikut padaku keluar untuk mengontrol pertahanan pasukan kita."

Nyo Ko mengiakan dan ikut keluar. Kedua orang masing2 menunggang kuda perang dan dilarikan keluar benteng kota.

"Ko-ji," kata Kwe Cing ditengah jalan, "Lwe-kang kaum Coan-cin-pay adalah ilmu yang baik, meski kemajuannya lambat, tapi jarang terjadi kemacetan. Kukira kuncinya sudah cukup kau pahami, nanti kalau musuh sudah mundur akan kujelaskan lebih lanjut."

"Baiklah, kumohon Kwe-pepek jangan menceritakan kejadian semalam kepada bibi, kalau beliau tahu tentu akan mentertawakan diriku yang mempelajari ilmu sesat dari Kokoh segala," kata Nyo Ko.

"Teatu takkan kuceritakan," kata Kwe Cing.



"Padahal Kanghu nona Liong itupun bukan kepandaian jelek, soalnya kau sendiri yang banyak memikirkan hal2 lain dan tidak dapat memusatkan pelajaranmu pada itu saja."

Nyata ocehan Nyo Ko telah berhasil membohongi Kwe Cing sehingga tidak bercuriga sedikitpun, ia tahu bila urusan ini diketahui Ui Yong, maka sukar akan mengelabuhi nyonya maha cerdik itu, ia merasa lega setelah Kwe Cing berjanji takkan memberitahukan kejadian semalam kepada Ui Yong.

Begitulah kedua orang terus melarikan kuda mereka ke barat kota, terlihat sebuah sungai kecil terbentang di kaki bukit sana.

"Sungai ini bernama Tan-keh," tutur Kwe Cing, "Konon dahulu Lau Pi pada jaman Sam-kok itu dikejar pasukan musuh sampai di tepi sungai ini, Kuda yang ditunggangi Lau Pi bernama Tek-loh, menurut peramal kuda, katanya kuda itu kurang baik bagi sang majikan. Tak terduga pada saat gawat itulah sang kuda mampu melompat melintasi sungai kecil itu sehingga Lau Pi lolos dari kejaran musuh dan selamatlah jiwanya." - Bicara sampai disini, tiba2 ia turingat kepadar ayah Nyo Ko, katanya pula dengan gegetun: "Sebenarnya manusia juga sama dengan kuda yang bernama Tek-loh itu, baik atau buruk sukar diramal, segala sepatu hanya bergatung pada ketentuan pikiran sekejap saja."

Hati Nyo Ko terkesiap, ia melirik Kwe Cing sekejap, tampaknya wajah sang paman mengunjuk rasa duka dan menyesal, agaknya ucapan itu tidak sengaja ditujukan kepadanya, Diam2 ia membatin: "Meski tidak salah ucapannya, tapi baik itu apakah, buruk itu apa pula? Kalian suami isteri telah mencelakai ayahku apakah juga perbuatan baik?" -~ sesungguhnya ia sangat kagum terhadap tindak tanduk Kwe Cing, tapi bila ingat sang ayah yang mati di tangan suami isteri itu, mau-tak-mau timbul rasa dendamnya.

Begitulah mereka terus melarikan kuda ke atas sebuah bukit dan memandang jauh ke sana kelihatan air sungai Hansui mengalir memanjang ke selatan, tertampak pula rakyat ber-kelompok2 mengungsi membanjiri Siangyang.

Sambil menuding kaum pengungsi itu, Kwe Cing berkata: "Pasukan Mongol pasti mengganas di perkampungan sana sehingga rakyat jelata kita terpaksa mengungsi menyelamatkan diri, betapa kejamnya orang Mongol sungguh menggemaskan."

Pada saat itulah, tiba2 dilihatnya rombongan pengungsi yang menuju pintu benteng itu ber-lari balik, tapi arus pengungsi dari belakang masih terus membanjir tiba sehingga di luar kota Siangyan seketika kacau balau dan hiruk pikuk.

Kwe Cing terkejut, ia heran mengapa penjaga pintu gerbang kota itu tidak membukakan pintu dan membiarkan kaum pengungsi itu masuk.

Cepat ia melarikan kudanya ke sana, terlihat lah satu regu pemanah berdiri di atas benteng dengan mementang busur menghadap kaum pengungsi itu.

"Hai, ada apa kalian? Lekas membuka pintu!" teriak Kwe Cing.

Melihat Kwe Cing, perwira penjaga cepat memerintahkan membuka pintu gerbang, dan membiarkan Kwe Cing dan Nyo Ko masuk.

"Rakyat dijagal secara kejam oleh musuh, mengapa tidak membiarkan mereka masuk?" tegur Kwe Cing.

Perwira piket itu menjawab: "Lu-tayswe menguatirkan diantara kawanan ptngungsi ada mata2 musuh, maka betapapun mereka dilarang masuk kota agar tidak menimbulkan bencana."

"Andaikata betul ada satu-dua mata2 musuh. yang terselundup masuk juga tidak boleh mengakibatkan jiwa be-ribu2 rakyat jelata menjadi korban?" ujar Kwe Cing, "Hayo lekas membuka pintu."

"Sudah lama Kwe Cing ikut berjasa mempertahankan kota Siangyang, namanya sangat tersohor dan disegani kawan maupun lawan, perwira itu tidak berani membantah perintahnya, terpaksa ia membukakan pintu benteng disamping mengirim berita kepada Lu Bun-hoan.

Seketika terjadilah lautan manusia membanjir ke dalam kota, ketika kawanan pengungsi itu hampir masuk kota semua, mendadak dari jauh debu mengepul tinggi, pasukan Mongol menyerbu tiba dari arah utara, Perajurit Song segera siap siaga di belakang tembok benteng, terlihat di depan pasukan Mongol itu didahului oleh suatu rombongan orang yang berpakaian compang camping dan tangan membawa pentung dan sebagainya, tapi tiada sesuatu senjata tajam betul2, cara berjalannya juga tidak teratur, rombongan kaum jembel itu ber-teriak2: "Jangan memanah, kami adalah rakyat Song!" - Dan pasukan Mongol yang tangkas itu ternyata berlindung di belakang barisan rakyat itu.

Sejak Jengis Khan memang pasukan Mongol selalu menggunakan siasat begitu, yakni memakai rakyat negara musuh sebagai perisai untuk menyerbu kedudukan musuh, asalkan penjaga tidak tega hati dan berhenti memanah, maka pasukan Mongol lantas menyerbu maju, Cara itu sangat keji dan ganas, tapi lebih sering berhasil dengan baik, Begitulah maka kelihatan barisan rakyat itu telah digiring pasukan Mongol dan dipaksa mendekati benteng, makin lama makin dekat malahan sebagian sudah mulai memanjat tangga.

Saat itu Lu Bun-hoan, panglima pertahanan kota Siangyang, sedang berkeliling mengawasi penjagaan pasukannya, melihat keadaan berbahaya, segera ia memberi perintah agar melepaskan panah, seketika terjadilah hujan panah di tengah jerit tangis rakyat jelata yang jatuh bergelimpangan, rakyat lainnya lantas membalik dan lari serawutan.

Namun merekapun menjadi mangsa perajurit Mongol yang menabasnya dgn golok atau menusuknya dgn tumbak, barisan rakyat itu tetap didesak agar menyerbu ke atas benteng.

Nyo Ko berdiri di samping Kwe Cing. gusar sekali ia menyaksikan adegan menyedihkan itu.

"Panah! Pahahl" terdengar Lu Bun-hoan berteriak2 pula memberi perintah. Segera suatu baris anak panah menyamber lagi ke bawah.

"Hai berhenti! jangan salah membunuh orang baik," seru Kwe Cing.

"Keadaan segawat ini, andaikan orang baik juga terpaksa salah membunuhnya," ujar Lu Bun-Hoan.

"Jangan, orang baik mana boleh salah membunuhnya." kata Kwe Cing pula.

Tergetar hati Nyo Ko, diam2 ia menggumam: "jangan salah membunuh orang baik, jangan salah membunuh orang baik."

Mendadak Kwe Cing berseru: "Hayo saudara2 anggota Kay-pang, ikut padaku!"

Segera ia berlari turun dari atas benteng, Nyo Ko juga akan ikut, tapi Kwe King berkata padanya: "Semalam kau kelihatan kurang sehat, sebaiknya kau berjaga di sini saja untuk mengawasi keadaanku."

Sebenarnya Nyo Ko ingin ikut Kwe Cing menghajar p rajurit Mongol yang kejam itu, ia tercengang mendengar ucapan Kwe Cing itu, tapi iapun tidak dapat berterus terang kejadian semalam, terpaksa ia tetap tinggal di tempatnya dan menyaksikan Kwe Cing memimpin suatu pasukan tanpa seragam menerjang keluar benteng terus menyergap sayap kanan pasukan Mongol.



Siasat pasukan Mongol yang "meminjam golok untuk membunuh orang" adalah cara sekali bertindak mendapat dua hasil, disamping menjagal bangsa Han juga dapat menggoyahkan hati pasukan Song, Tapi mendadak terlihat Kwe Cing memimpin pasukan menyerbu tiba, setiap orang berkepandaian tinggi dan gagah berani.

Pasukan Mongol yang digiring barisan di belakang itu lantas membagi pasukannya untuk menahan serbuan Kwe Cing itu. Namun pasukan Kwe Cing itu sebagian besar adalah jago2 pilihan dari Kay-pang, sebagian kecil lainnya adalah para ksatria yang sengaja datang ke Siangyang untuk ikut berjuang, serentak mereka menyerbu maju sambil ber-teriak2, semangat tempur mereka yang menyala-nyala itu sudah membikin pasukan Mongol merasa keder. Maka begitu kedua pihak bergebrak segera ratusan perajurit Mongol dibinasakan.

Tampaknya pasukan Mongol itu sukar menahan pasukan Kwe Cing, tiba2 dari samping sana menerjang tiba pula pasukan Mongol lain, Pasukan Mongol itu memang tangkas dan sudah terlatih, meski barisan pejuang yang dipimpin Kwe Cing itu berilmu silat tinggi, seketika merekapun sukar mengalahkan musuh, sementara itu barisan rakyat yang dipaksa menyerbu ke benteng kota itu lantas berlari serabutan karena pasukan Mongol yang menggiring mereka itu sebagian terpencar untuk menempur pasukan Kwe Cing.

Pada saat itulah terdengar suara tiupan tanduk disebelah timur sana, suara derapan kuda pasukan bergemuruh, dan pasukan Jian-jin-tui (barisan ribuan orang, batalion) Mongol menerjang tiba, menyusul dari sebelah barat kembali dua pasukan Jian-jin-tui menyerbu datang sehingga rombongan Kwe Cing itu terkurung di tengah.

Melihat betapa hebatnya pasukan Mongol itu, saking jerinya Lu Bun-hoan menjadi bingung dan tidak berani mengirim pasukan penolong.

Sambil berdiri di atas benteng, Nyo Ko terus merenungkan ucapan Kwe Cing tadi: "jangan salah membunuh orang baik! jangan salah membunuh orang baik?" sementara itu ia melihat sang paman terkepung rapat oleh pasukan Mongol ia pikir: "Sebabnya Kwe-pepek terkepung musuh sekarang adalah karena dia tidak mau salah membunuh orang baik2. Padahal rakyat ini bukan sanak kadangnya, tapi dia toh menyelamatkan mereka tanpa menghiraukan jiwa sendiri, Lantas apa sebabnya dia mencelakai ayahku?"

Ia memandangi pertempuran sengit di luar benteng itu, tapi dalam hati terus memikirkan teka-teki yang sukar dipecahkan ini : "Dia dan ayah adalah saudara angkat, dengan sendirinya hubungan mereka lain daripada yang lain, tapi akhirnya toh Kwe-pepek mencelakai jiwa ayah, apakah ayahku memang orang busuk yang sama sekali tak dapat diampuni?"

Selama hidup Nyo Ko tidak pernah melihat ayah-bundanya sendiri, sejak kecil ia membayangkan sang ayah adalah seorang pendekar budiman, gagah berani, seorang lelaki sejati di dunia ini, kalau mendadak dia disuruh mengakui ayahnya adalah orang busuk, betapapun dia tak dapat terima.

Padahal samar2 dalam lubuk hatinya sudah lama terasa bahwa ayahnya jauh untuk dibandingkan Kwe-pepek, cuma setiap kali kalau timbul pikiran demikian selalu ia menekannya sekuatnya dan sekarang perasaan ini mau tak-mau timbul pula dalam benaknya.

Dalam pada itu medan perang di bawah sana masih berlangsung dengan sengit, suara hiruk pikuk menggelegar menggetar bumi, rombongan Kwe Cing tampak menerjang kian kemari, tapi tetap sukar menembus kepungan musuh.

Cu Cu-liu dan kedua saudara Bu masing2 siap memimpin suatu pasukan hendak keluar benteng untuk membantu, tiba2 terdengar suara tiupan tanduk yang keras dan sahut menyahut, kembali empat pasukan Jian jin-tui Mongol menerjang tiba pula.

Cara Kubilai mengatur pasukannya memang lain daripada yang lain, asalkan pintu gerbang benteng dibuka untuk mengeluarkan bala bantuan, maka pasukan Mongol yang sudah siap itu segera akan menyerbu masuk kota.

Keruan Lu Bun-hoan kebat-kebit ketakutan, cepat ia memberi perintah agar pintu gerbang jangan dibuka. Diperintahkan pula dua regu perajurit khusus berjaga di pintu gerbang, siapa yang berani membuka pintu segera akan dibinasakannya.

Suasana diluar dan didalam benteng menjadi kacau balau, macam2 pikiran juga bertarung seru dalam benak Nyo Ko, sebentar ia berharap Kwe Cing dilalap saja oleh pertempuran gaduh itu, lain saat ia berharap pula agar sang paman berhasil mendobrak kepungan musuh.

Tiba2 kelihatan pasukan Mongol rada kacau, be-ribu2 perajurit berkudanya tersiak mundur laksana gelombang surut, dengan sebatang tumbak panjang Kwe Cing memacu kudanya keluar dari kepungan disertai barisan orang2 gagah yang dipimpinnya itu, mereka terus menerjang sampai di bawah tembok benteng, Ketika dekat pintu benteng, Kwe Cing terus memutar balik berjaga di belakang pasukan, di mana tumbaknya menyamber, beberapa perajurit dan perwira Mongol lantas terjungkal dari kudanya. Melihat betapa lihaynya Kwe Cing, seketika pasukan Mongol itu menahan kuda mereka dan tak berani terlalu mendekat.

Pertahanan kota Siangyang boleh dikatakan tiada artinya tanpa Kwe Cing, maka Lu Bun-hoan menganggap Kwe Cing sebagai tulang punggungnya, ia sangat girang melihat Kwe Cing lolos dari kepungan musuh, cepat ia berseru membuka pintu gerbang.

Tapi pintu gerbang itu hanya dibuka selebar Satu-dua meter saja dan cuma cukup dimasuki suatu penunggang kuda saja, para ksatria itu ber turut2 lari ke arah pintu dan menyelinap masuk satu persatu.

Melihat siasat mereka gagal total, pasukan MongcI tidak tinggal diam, panji komando Kubilai tampak bergerak, dua pasukannya lantas menyerbu tiba dari kanan-kiri pintu gerbang.

"Lekas masuk, Kwe-tayhiap, kita tidak menunggu orang lain lagi!" seru Lu Bun-hoan kuatir.

Tapi sebelum seluruh anak buahnya selamat, mana Kwe Cing mau masuk benteng lebih dulu, ia berbalik menerjang kembali ke sana dan membinasakan dua jago Mongol yang mengudak paling dekat.

Namun pasukan besar sungguh seperti gelombang samudera saja di medan perang itu, betapapun tinggi ilmu silat Kwe Cing juga sukar menahan terjangan pasukan besar itu.

Melihat keadaan sangat berbahaya, Cu Cu-liu yang berdiri diatas benteng cepat menurunkan seutas tali panjang dan berseru: "Naik ke sini, adik Kwe!"

Waktu menoleh, Kwe Cing melihat anggota Kay-pang yang terakhir sudah berhasil menyelinap masuk pintu gerbang, tapi ada balasan perajurit Mongol sempat ikut menerjang ke dalam, Segera regu penjaga pintu sibuk menghalau musuh disamping berusaha menutup pintu gerbang sekuatnya! pelahan2 daun pintu benteng yang tebalnya lebih, setengah meter itu dapatlah dirapatkan.



Mendadak Kwe Cing membentak keras2, tumbaknya membinasakan seorang musuh, berbareng itu ia terus meloncat ke atas dan berhasil berpegang pada tali yang dijulurkan Cu Cu-liu tadi

Dengan cepat Cu Cu-liu menarik talinya ke atas, seketika tubuh Kwc Cing terapung beberapa meter tingginya ke atas.

"Gunakan panah!" segera Ban-hu tiang pasukan Mongol yang memimpin pertempuran itu memberi komando, dalam sekejap saja be-n"bu2 anak panah terus menyamber ke arah Kwe Cing.

Namun sebelumnya Kwe Cing juga sudah memperhitungkan kemungkinan ini,- ia sudah menanggalkan jubahnya, dengan tangan kanan berpegangngan tali, tangan kiri memegang jubahnya terus diputar dan dikebutkan sekuatnya laksana sebuah perisai raksasa. Hanya kuda tunggangannya tadi yang menjadi korban, berpuluh anak panah bersarang di badan binatang itu hingga mirip landak.

Cu Cu-liu terus menarik talinya dengan cepat dari semakin tingginya Kwe Cing terkerek ke atas, tampaknya tinggal beberapa meter lagi dia akaa mencapai benteng, pada saat itulah tiba2 di tengah pasukan MongoI itu muncul seorang Hwesio besar dengan berjubah kuning emas, siapa lagi dia kalau bukan Kim-lum Hoat-ong.

Dari seorang perwira Mongol di sebelahnya Hoat Ong mengambil busur dan panahnya, ia tahu kepandaian Cu Cu-liu dan Kwe Cing sangat tinggi kalau memanah mereka tentu tidak berhasil maka anak panah yang dibidikkan itu justeru mengincar tali yang mengerek Kwe Cing ke atas itu.

Tindakan Kim-lun Hoat-ong ini sungguh keji, anak panah itu menyambar bagian tali yang sukar dicapai oleh Cu Cu-liu dan Kwe Cing sehingga kedua orang sukar menangkisnya. Malahan Kim-lun Hoat-ong kuatir kalau kedua orang itu mendadak menggunakan cara aneh untuk mematahkan serangannya, maka cepat ia susulkan pula panah kedua dan ketiga, panah kedua mengincar Cu Cu-liu dan panah ketiga mengarah Kwe Cing.

"Plok", dengan tepat panah pertama telah mengenai tali sehingga putus, sedangkan panah kedua dan ketiga juga menyambar secepat kilat ke arah sasarannya. Dan karena talinya putus, dengan sendirinya tubuh Kwe Cing anjlok ke bawah sehingga dia terluput dari panah ketiga, sedangkan Cu Cu-liu merasa tangannya yang memegang tali itu mendadak menjadi ringan, ia berseru kaget dan tahu2 panah kedua juga sudah menyambar tiba.

Panah ini kuat luar biasa, jelas pemanahnya memiliki tenaga dalam yang lihay, Cu Cu-liu tahu di atas benteng penuh berjubel orang, baginya tidak sulit untuk menghindar tapi akibatnya panah itu pasti akan mengenai orang di belakangnya, Cepat ia gunakan dua jarinya untuk menyampuk pelahan pada batang panah itu sehingga anak panah itu terjatuh ke bawah.

Sementara itu Kwe Cing terkejut ketika merasa tali yang mengereknya ke atas itu putus, ia tidak cidera sekalipun terjatuh ke bawah benteng tapi terjeblos di tengah kepungan musuh sebesar itu, betapapun sukar baginya untuk menerjang keluar.

Sementara itu pasukan musuh sudah berada di depan pintu gerbang kota, kalau dari dalam benteng dikirim keluar bala bantuan, kesempatan itu pasti akan digunakan pasukan Mongol untuk menyerbu ke dalam kota.

Dalam keadaan demikian Kwe Cing tidak dapat berpikir banyak lagi, mendadak sebelah kakinya menutul dinding benteng sehingga tubuhnya terapung ke atas, menyusul kaki yang lain memancal pula dan begitu sejenisnya kedua kaki bergantian memanjat.

Ilmu "naik tangga langit" yang hebat ini jarang yang bisa, andaikan bisa juga setiap panjatan itu hanya sanggup naik satu-dua meter saja ke atas, tapi Kwe Cing memanjat dinding benteng yang halus licin itu, bahkan sekali naik dapat tiga-meter tingginya, sungguh kepandaian yang luar biasa dan mengejutkan seketika suasana di atas dan di bawah benteng menjadi sunyi senyap ber-ribu2 pasang mata sama memandang Kwe Cing seorang..

Kim-lun Hoat-ong terperanjat akan kelihayan Kwe Cing itu, ia tahu ilmu naik tangga langit kekuatannya terletak pada loncatan ke atas secara sekaligus, asal sedikit merandek dan kendur, langkah selanjutnya menjadi sulit dan gagal. Maka cepat ia membidikkan panah pula ke punggung Kwe Cing, secepat kilat anak panah itu terus menyambar ke sasarannya.

"Jangan memanah!" serentak pasukan kedua pihak sama berteriak. Rupanya mereka menjadi sangat kagum menyaksikan kehebatan Kwe Cing itu dan semua berharap dia akan dapat mencapai benteng dengan selamat Meski pasukan Mongol itu adalah musuh, tapi merekapun menghormati ksatria dan pahlawan gagah, serangan secara tidak jujur itu menimbulkan rasa ketidak adilan mereka.

Ketika merasakan panah menyamber dari belakang dengan kuat, diam2 Kwe Cing mengeluh, terpaksa ia membaliki tangan untuk menyampuk panah. Sampukan ke belakang dengan tepat membuat panah itu mencelat pergi, serentak bergemuruhlah sorak sorai pujian atas ketangkasan Kwe Cing itu. Akan tetapi di tengah suara riuh ramai itu pula tubuh Kwe Cing telah rada merandek, puncak benteng yang tertinggal beberapa meter lagi ternyata tak dapat dicapainya lagi.

Ketika pasukan kedua pihak bertempur dengan sengit, hati Nyo Ko juga bertentangan seperti pertempuran di medan perang, dilihatnya Kwe Cing terancam bahaya, sekilas timbul beberapa kali pikiran Nyo Ko: "Dia adalah musuhku, harus kubunuh dia atau tidak?"

Waktu Kwe Cing sudah hampir mencapai benteng, asalkan Nyo Ko menghantamnya sekali dari atas, dalam keadaan terapung di udara Kwe Cing pasti akan terluka dan jatuh binasa, Tapi sedikit ragu saja, Kwe Cing sudah terperosot lagi ke bawah oleh panah Kim-lun Hoat-ong, dalam keadaan pikiran kacau, Nyo Ko mendadak memegang kutungan tali di tangan Cu Cu-liu itu terus menubruk ke bawah benteng dan syukur sebelah tangannya masih keburu mencengkeram tangan Kwe Ceng.

Perubahan kejadian ini cepat luar biasa, tapi Cu Cu-liu adalah murid It-teng Taysu, betapa cepat dan tangkas tindakannya, tanpa ayal ia terus menarik sekuatnya kutungan tali yang masih ditangannya itu. sekali sendal, segera Nyo Ko dan Kwe Cing terangkat ke atas, laksana dua ekor burung raksasa kedua orang lantas melayang di udara?

Menyaksikan kejadian luar biasa itu, pasukan kedua pihak seketika melongo kesima.

Dalam keadaan "terbang" di udara, Kwe Cing merasa penasaran kalau tidak dapat membalas kelicikan Hoat-ong tadi. Dilihatnya" Hoat-ong sudah penteng busur dan hendak memanah lagi, maka begitu dia tancapkan kaki di atas benteng, segera ia rebut busur dan panah dari seorang perajurit, secepat kilat iapun lepaskan panah ke arah panah yang sudah di bidikkan Hoat-ong itu, "Prak", panah Kim-lun Hoat-ong tertembak patah menjadi dua. Ketika Hoat-ong melengak kaget "creng", tahu2 busur yang dipegangnya juga patah, oleh panah berikutnya yang dilepaskan Kwe Cing.



Sebenarnya kepandaian Kwe Cing dan Kim-lun Hoat-ong boleh dikatakan seimbang, tapi waktu kecilnya Kwe Cing pernah mendapat pelajaran memanah dari Cepe, si pemanah sakti kesayangan Jengis Khan, ditambah tenaga dalam Kwe Cing sendiri maha kuat, maka kepandaiannya memanah sungguh sukar dicari bandingannya di dunia ini, dengan sendirinya pula Kim-lun Hoat-ong bukan tandingannya. Ber-turut2 tiga kali, panah pertama mematahkan panah lawan, panah kedua mematahkan busur dan panah ketiga segera dilepaskan pula dengan mengincar panji kebesaran Kubilai.

Panji itu sedang ber-kibar2 tertiup angin dan tampaknya sangat angker di tengah ber-ratus2 ribu perajurit itu, mendadak anak panah menyambar tiba dan tepat memutuskan tali panji itu, seketika panji kebesaran Kubilai itu melorot ke bawah dari tiangnya, serentak pula pasukan kedua pihak berteriak2 gemuruh.

Menyaksikan kelihayan Kwe Cing itu, pula semangat tempur pasukan sendiri sudah runtuh, cepat Kubilai memberi perintah pasukan mundur.

Kwe Cing berdiri di atas benteng dan menyaksikan pasukan Mongol mundur dengan teratur, dengan disiplin yang sangat kuat, sedikitpun tidak kacau, tanpa terasa ia menghela napas dan mengakui kehebatan pasukan Mongol yang sukar di tandingkan pasukan Song itu.

Teringat kepada situasi negara, ia menjadi sedih dan mengkerut kening.

Setelah mengundurkan pasukannya hingga ber-puluh li jauhnya, diam2 Kubilai merenungkan pula akal menggempur Siangyang, ia pikir dengan adanya Kwe Cing jelas kota itu sukar dibobolkan.

Melihat Kubilai termenung, Kim-lun Hoat~ong lantas berkata: "Yang Mulia menyaksikan sendiri kalau bocah she Nyo itu tidak menolongnya, jelas jiwa Kwe Cing sudah melayang di bawah panahku. Memang sudah kuduga bahwa bocah she Nyo itu adalah manusia yang tak dapat dipercaya.

"Belum tentu begitu halnya," ujar Kubilai. "Bisa jadi Nyo Ko ingin membunuh sendiri orang she Kwe itu untuk membalas sakit hati ayahnya, maka ia tidak ingin musuhnya mati ditangan orang lain,"

Meski Kim-lun Hoat-ong tidak sependapat tapi iapun tidak berani membantah, terpaksa iapun menyatakan semoga begitulah hendaknya.

"Mundurnya pasukan Mongol sudah tentu membuat girang Lu Bu-hoan, ia mengadakan perjamuan besar pula untuk merayakan kemenangan itu. Sekali ini Nyo Ko juga diundang sebagai tamu terhormat, semua orang sama memuji betapa gagah beraninya menolong Kwe Cing itu. .

Kedua saudara Bu juga ikut hadir dalam pesta itu, melihat Nyo Ko baru datang sudah lantas berjasa, mereka merasa iri. Mereka menjadi kuatir pula setelah peristiwa ini Kwe Cing akan semakin berniat menjodohkan anak perempuannya kepada Nyo Ko, hati mereka menjadi kesal.

Selesai pesta itu, Ui Yong mengundang Nyo Ko keruangan dalam untuk menemuinya, iapun memberi pujian dengan kata2 halus.

"Ko-ji," kata Kwe Cing, "Tadi kau terlalu keras menggunakan tenaga, apakah dadamu sekarang terasa sakit?" - Rupanya dia kuatir kalau Nyo Ko akan tambah parah penyakitnya setelah semalam mengalami gangguan latihan Lwekang.

Kuatir Ui Yong akan mengusut lebih lanjut apa yang terjadi semalam, cepat Nyo Ko menyatakan tidak apa2 dan segera pula membelokkan pembicaraan, katanya: "Kwe-pepek, kepandaianmu memanjat dinding benteng itu sungguh luar biasa dan tiada bandingannya."

"Sudah beberapa tahun aku tidak berlatih kepandaian itu sehingga gerak gerikku rada kaku, maka hampir terjadi malapetaka tadi," ujar Kwe Cing tersenyum. "Sungguh tidak nyana ilmu yang kupelajari dari Ma-toliang di Mongol dahulu dapat dimanfaatkan sekarang. Kalau kau suka, Hehehe kuajarkan ilmu itu padamu nanti."

Ui Yong dapat melihat sikap Nyo Ko yang kikuk, waktu bicara juga seperti sedang memikirkan sesuatu, meski semua orang menyaksikan anak muda itu menyelamatkan sang suami dengan sepenuh tenaga, tapi ia tetap waswas, katanya kemudian "Engkoh Cing, malam ini kurasa kurang enak badan, hendaklah kau suka menjaga di sini."

Kwe Cing lantas ingat pesan sang isteri, segera ia mengangguk setuju lalu katanya kepada Nyo Ko: "Ko-ji, tentu kau sudan lelah, bolehlah kau kembali ke kamar untuk mengaso."

Setelah kembali ke kamamya, Nyo Ko duduk termenung menghadapi meja, sementara itu sudah dekat tengah malam, memandangi api lilin yang sebentar terang sebentar gelap itu, macam pikiran berkecamuk dalam benaknya.

Tiba2 terdengar suara ketokan pintu yang pelahan, suara Siao-liong-li mendesir di luar. "Belum tidur kau?"

Dengan girang Nyo Ko lantas membuka pintu. dilihatnya Siao-liong-li sudah berdiri di depan pintu dengan baju hijau pupus dan wajah berseri "Ada urusan apa, Kokoh?" tanya Nyo Ko.

"Aku ingin menjenguk kau," jawab Siao-liong-li dengan tertawa.

"Akupun merindukan kau," ujar Nyo Ko dengan suara lembut dan menggenggam tangan si nonar pelahan keduanya lantas ke taman bunga.

Tetumbuhan di taman bunga itu jarang2 saja, namun bunga sedap malam mekar semerbak me-ngasyikkan, Siao-liong-li memandang rembulan yang menghiasi cakrawala, katanya kemudian dengan suara lirih. "Apakah kau harus membunuhnya dengan tanganmu sendiri? Rasanya waktu sudah sangat mendesak."

Cepat Nyo Ko mendesis: "Ssst, jangan mempersoalkan ini, hati2 dengan mata telinga yang tak kelihatan di sini."

Siao-liong-li menatap anak muda itu dengan kesima, katanya kemudian: "Jika bulan sudah bulat nanti, maka tibalah batas waktu 18 hari."

Sembilan hari sejak ia berpisah dengan Kiu-Jian-jio, kalau dalam satu-dua hari ini tak dapat membunuh Kwe Cing dan Ui Yong, maka sukar kembali lagi ke Coa-ceng~kok sebelum racun dalam tubuhnya bekerja, ia menghela napas dan bersama Siao-Iiong-li mengambil tempat duduk pada sepotong batu besar. Keduanya berhadapan dengan bungkam, namun kasih mesra yang timbul dalam hati sukar dibendung, seketika keduanya melupakan urusan permusuhan dan pertempuran segala.

Lewat lama dan lama sekali, tampaknya sang dewi malam sudah mulai mendoyong ke barat, malam sunyi dengan hawa yang dingin, tiba2 di balik gunung2an sana ada suara kaki orang, dua orang mendatangi cuma tidak kelihatan karena teraling oleh semak bunga, Terdengar suara seorang gadis berkata: "Jika kau mendesak aku lagi, lebih baik kau gorok leherku saja dengan pedangmu agar aku terhindar dari penderitaan."



"Hm, hatimu bercabang, memangnya kau sangka aku tidak tahu?" terdengar seorang lelaki menjawab "Begitu bocah she Nyo itu datang ke sini, segera ia pamer kepandaian didepan orang banyak, tentu saja segala sumpah setia dimasa lalu telah kau lupakan semua,"

Dari suara mereka itu jelas ialah Kwe Hu dan Bu Siau-huan berdua. Siao-liong-Ii mencebir kepada Nyo Ko, maksudnya mencemoohkan anak muda itu yang digilai oleh gadis di mana saja dia berada.

Nyo Ko tersenyum, ia tarik Siao-liong-li lebih rapat dengan dirinya dan memberi tanda agar jangan sampai bersuara, maksudnya akan mendengarkan lebih lanjut percakapan Kwe Hu berdua.

Tampaknya Kwe Hu menjadi marah setelah mendengar ucapan Bu Siu-bun tadi, dengan suara keras ia menjawab: "Jika begitu, anggaplah apa yang kita bicarakan dahulu cuma omong kosong saja, Biarlah nanti kupergi sejauhnya, selamanya takkan bertemu dengan Nyo Ko, kitapun takkan bertemu selamanya."

Lalu terdengar suara kebasan baju, mungkin Bu Siu-bun ingin menarik lengan baju Kwe Hu, tapi nona itu telah mengebutkannya dengan keras.

Dengan suara marah Kwe Hu berkata pula: "Kenapa kau pegang2 segala? Orang datang atau tidak peduli apa dengan aku?" Andaikan ayah ibu menjodohkan aku kepadanya, biar matipun aku tidak mau menurut. Kalau ayah memaksa aku, segera aku minggat saja. Hm, sejak kecil si Nyo Ko sombong meremehkan diriku hm, aku justeru tidak memandang sebelah mata padanya, Ayah selalu menganggap dia anak baik, hm, aku justeru anggap dia bukan manusia baik2."

Dengan girang Bu Siu-bun lantas membumbui: "Benar, benar, bocah itu memang congkak dan mengira dunia ini dia punya, Adik Hu, anggaplah aku yang salah omong, harap engkau jangan marah. selanjutnya aku takkan sembarangan omong lagi, kalau berbuat begini lagi, biarlah aku menjelma menjadi.... menjadi kura2." - Lalu ia bergaya seperti kura merangkak.

Dari nada ucapan Kwe Hu itu, meski omelannya pada Bu Siu-bun itu membuat anak muda itu bertambah menyembah di telapak kakinya, tapi hati nona itu tampaknya juga sayang padanya.

Terdengar Bu Siu-bun berkata pula: "Subo (ibu guru) paling sayang padamu, asalkan kau memohon bantuannya dan beliau berjanji takkan menjodohkan kau pada bocah she Nyo itu, maka Suhu pasti tak dapat berbuat apa2"

"Hm, kau tahu apa" jengek Kwe Hu, "Meski ayah suka menuruti kehendak ibu, tapi kalau meng-hadapi urusan penting, biasanya ibu selalu mengikuti kemauan ayah."

"Oh, langkah bahagiaku jika kaupun begitu" terdengar ucapan Bu Siu-bun dengan menghela napas.

Mendadak terdengar suara "plok" disertai jerit kesakitan Bu Siu-bun, serunya: "He, kenapa kau memukul aku?"

"Habis, mengapa kau bicara seenakmu?" omel Kwe Hu. "Aku tidak sudi pada si Nyo Ko, akupun takkan menjadi isteri monyong macammu ini."

"Bagus, baru sekarang kau bicara blak2an kau tidak sudi menjadi isteriku, tapi lebih suka menjadi isteriku kakakku, ingin kukatakan... ingin kukatakan..." tapi saking gugupnya Bu Siu-bun tidak sanggup melanjutkan.

Tiba2 nada ucapan Kwe Hu berubah halus, katanya: "Bu-jiko, kau baik padaku, ini sudah kau katakan beratus dan beribu kali dengan sendirinya kutahu perasaanmu yang sungguh2 itu, Meski kakakmu tidak pernah menyatakan isi hatinya padaku, tapi akupun tahu dia jatuh hati padaku, Nah, jadi betapa sulitku menghadapi kalian ini, siapapun antara kalian kupilih, satu di antara kalian tentu akan kecewa dan berduka. Kau sayang padaku dan memanjakan diriku, tapi kau tidak pernah tahu betapa serba salahku menghadapi hal ini."

Sejak kecil Bu Tun-si dan Bu Siu bun ditinggalkan ayah-bundanya, hubungan kakak beradik itu selamanya sangat baik, tapi akhir2 ini keduanya sama2 jatuh cinta pada Kwe Hu sehingga- timbul perang dingin antara mereka.. Maka Bu Siu bun tidak enak bicara lagi demi Kwe Hu menyinggung tentang kakaknya itu. Karena gugup dan cemas air matapun ber~linang2.

Kwe Hu ambil saputangan dan dilemparkan kepada anak muda itu, katanya pula dengan gegetun: "Bu-jiko, kita dibesarkan bersama, aku hargai kakakmu, tapi aku lebih cocok dengan tutur katamu, Terhadap kalian berdua sama sekali aku tidak mem-beda2kan, jika sekarang kau memaksa aku bicara terus terang, coba kalau kau yang menjadi aku, lalu cara bagaimana kau akan bicara?"

"Aku tidak tahu," ujar Siu-bun. "Aku cuma ingin katakan padamu, kalau kau dipersunting orang lain, maka aku takkan hidup lagi."

"Baiklah, malam ini sudah cukup. Siang tadi ayah bertempur mati2an, tapi kita malah bicara hal yang tidak penting di sini, kalau diketahui ayah tentu kita akan diomeli. Bu-jiko, ingin kukatakan bagimu, jikalau kau ingin memperoleh pujian dari-ibuku, mengapa kau tidak berjuang dan berjasa, sebaliknya setiap hari hanya merecoki diriku saja, bukankah kau akan dipandang enteng oleh ayah."

"Benar!" seru Bu Siu-bun sambil melonjak. "Akan kubunuh Kubilai untuk membebaskan Siang-yang dari kepungan musuh, setelah berhasil masakah kau takkan terima lamaranku?"

"Jika begitu kau berjasa sebesar itu, andaikan aku tidak mau juga tidak bisa," ujar Kwe Hu dengan tertawa, "Namun di sekeliling Kubilai tidak sedikit pengawal2 lihay, melulu seorang Kim-lun Hoat-ong saja sukar dilawan, sebaiknya kau jangan berkhayal dan pergilah tidur saja."

Akan tetapi Bu Siu-bun sudah mempunyai perhitungan sendiri, ia pandang pula wajah Kwe Hu yang molek itu, lalu berkata: "Baiklah. kaupun lekas tidur saja." - ia melangkah pergi beberapa tindak tiba2 menoleh dan berkata pula: "Adik Hu malam ini kau mimpi atau tidak?"

"Mana aku tahu?" jawab Kwe Hu tertawa.

"Jika bermimpi, coba kau terka apa yang kau impikan?" tanya Siu bun. .

"Besar kemungkinan aku akan mimpi melihat seekor monyet kecil" ujar Kwe Ku dengan tersenyum.

Girang sekali Bu Siu-bun, ia tahu kata2 "monyet" itu adalah kata olok2 si nona padanya, Maka melangkah pergilah dia dengan setengah berjingkrak.

Siao-liong-Ii dan Nyo Ko saling pandang dengan tersenyum mengikuti roman kedua muda-mudi itu. Betapapun mereka merasa bangga pada cinta sendiri yang sukar dibandingi oleh cinta kasih antara Bu Siu-bun dan Kwe Hu yang tidak menentu itu.

Setelah Siu-bun pergi, Kwe Hu berduduk sendirian sambil termenung memandangi rembulan. Selang agak lama, ia menghela napas panjang.

Pada saat itulah tiba2 dari balik gunungku muncul seorang dan menegurnya: "Apa yang sedang kaupikirkan, adik Hu?" Kiranya ialah Bu Tun-si.

Nyo Ko dan Siac~liong-li terkesiap, kiranya dibalik gunung2an sana masih ada lagi seorang, dapat diperkirakan sudah sejak tadi Bu Tun si berada di situ lebih dulu daripada Nyo Ko berdua, kalau tidak, mustahil Nyo Ko berdua tidak mengetahui kedatangannya..


Dengan mengomel Kwe Hu menjawab: "Kau selalu main sembunyi. Tentunya sudah kau dengar semua percakapanku dengan Bu-jiko bukan?"

Bu Tun-si mengangguk ia berdiri agak jauh di depan Kwe Hu, tapi sorot matanya penuh rasa cinta yang tak terhingga.

Kedua orang terdiam sampai sekian lama, kemudian Kwe Hu bertanya: "Apa yang hendak kau katakan padaku?"

"O, tidak apa2. tanpa kukatakan juga kau sudah tahu," ujar Bu Tun-si sambil melangkah pergi.

Nyata watak kedua saudara Bu itu sama sekali berbeda, yang satu pendiam dan yang lain banyak omong, Kwe Hu ter-mangu2 mengikuti kepergian Bu Tun-si itu hingga lenyap di balik gunung2 an sana, ia pikir alangkah baiknya jika di dunia ini tidak ada Bu tua dan Bu muda itu melainkan cuma ada seorang saja, ia menghela napas gegutun. Dilihatnya rembulan sudah semakin men-doyong ke barat, ia lantas kembali kekamarnya.

Sesudah Kwe Hu pergi Nyo Ko tanya Siao-liong-li dengan tertawa: "Jika kau menjadi dia, kau pilih yang mana?"

Siao-Iiong-li berpikir sejenak, kemudian menjawab: "Pilih kau."

"Aku di luar hitungan," ujar Nyo Ko dengan tertawa "Nona Kwe sedikitpun tidak suka pada-ku, tidak mungkin aku terpilih Yang ku maksud-kan jika kau menjadi nona Kwe lalu kau pilih mana antara kedua saudara Bu itu?"

Siao-liong-li terdiam dan membandingkan kedua saudara Bu itu, tapi akhirnya ia menjawab: "Aku tetap memilih kau."

Nyo Ko menjadi geli dan terharu pula, Di-rangkulnya Siao-liong-li dan berkata dengan suara lembut: "Ya, orang lain selalu berbimbang hati, namun Kokohku hanya menyukai diriku saja."

Begitulah kedua orang itu terus terduduk mengobrol di situ dengan perasaan bahagia, sementara itu fajar sudah menyingsing tetap merasa berat untuk berpisah.

Tiba2 datang seorang centing memberitahu bahwa Kwe Cing mengundang Nyo Ko untuk merundingkan sesuatu urusan.

Melihat centing itu rada gugup dan ter-gesa2, Nyo Ko pikir pasti ada urusan penting, ia coba tanya: "Apakah paman Kwe sudah lama mencari aku?"

"Ya, kedua Bu-siauya mendadak menghilang," tutur centing itu, "Tentu saja Kwe-toaya dan Kwe-hujin sangat kuatir, nona Kwe juga menangis saja tadi."

Nyo Ko terkejut, segera iapun paham duduknya perkara, tentu kedua saudara Bu itu bersaing merebut hati Kwe Hu dan sama2 ingin berjasa besar, maka mereka telah menuju ke kemah pasukan musuh dengan tujuan membunuh Kubilai..

Cepat Nyo Ko menuju ke ruangan dalam dan melihat Ui Yong duduk di sebelah sana dengan cemas, Kwe Cing tampak berjalan mondar mandir, sedangkan Kwe Hu tampak mengucek matanya yang merah bendol, Diatas meja tertaruh dua batang pedang.

Melihat kedatangan Nyo Ko, segera Kwe Cing berkata: "Ko-ji, apakah kau tahu untuk apa kedua saudara Bu itu pergi ke kemah pasukan musuh? Antara kalian mungkin ada pembicaraan apa2, bisa jadi sebelumnya kau telah mengetahui sesuatu kehendak mereka?"

"Tapi siautit tidak melihat sesuatu tanda mencurigakan atas diri kedua adik Bu itu," tutur Nyo~Ko. "Mungkin mereka ikut sedih-karena kepungan musuh yang sudah sekian lamanya, maka mereka sengaja menyusup ke markas pasukan musuh, jika mereka berhasil membunuh seseorang panglima musuh, kan suatu jasa juga."

Kwe Cing menghela napas, katanya sambil menuding kedua pedang di atas meja: "seumpama maksud tujuan mereka memang baik, tapi sesungguhnya mereka terlalu tidak tahu diri, senjata mereka saja dirampas orang dan sengaja dikirim ke sini"

Hal ini rada di luar dugaan Nyo Ko, dia memang sudah menduga maksud tujuan kedua saudara Bu itu pasti gagal, sebab kepandaian mereka jelas bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain2. Tapi tidak menyangka dalam waktu sesingkat itu senjata mereka sudah dikirim pulang oleh musuh.

Kwe Cing mengambil sepucuk surat yang tertindih dibawah pedang itu dan disodorkaa kepada Nyo Ko agar membacanya, Kiranya surat itu dari Kim-lum Hoat ong yang ditujukan kepada Kwe Cing, isinya menyatakan bahwa kedua saudara Bu kepergok olehnya dan sementara menjadi tamu kehormatan pihak Mongol, untuk itu Kwe Cing diundang agar suka berkunjung ke sana sekedar omong2, habis itu dapatlah kedua muridnya itu dibebaskan.

Walaupun nada surat itu sangat ramah, namun jelas maksudnya kedua saudara Bu itu dijadikan sebagai sandera, hanya kalau Kwe Cing datang sendiri barulah kedua anak muda itu dapat dilepaskan.

"Bagai mana pendapatmu?" tanya Kwe Cing setelah Nyo Ko membaca surat itu.

Nyo Ko cukup cerdik, ia tahu Ui Yong jauh lebih pintar daripada dia, tindakan apa yang harus dilakukan masakah nyonya itu tidak tahu? Bahwa sekarang dirinya diundang ke sini, maksudnya pasti tidak lain agar dia mau mengiringi Kwe Cing ke markas musuh, Setiba di sana, sekalipun Kim-lun Hoat-ong dan kawannya dapat mengalahkan Kwe-Cing, tapi untuk membunuh atau menangkapnya rasanya sulit.

Dah jika dirinya dan Kokoh ikut pergi membantu, pasti sang paman akan dapat meloloskan diri.

Akan tetapi segera berpikir pula olehnya? tapi kalau aku dan Kokoh mendadak berbalik memiha sana, maka untuk membunuhnya boleh dikatakan teramat mudah, seumpama aku tidak tega membinasakan dia dengan tanganku sendiri, kan tidak jelek jika kupinjam tangan Hoat-ong dan lain2 untuk mencelakai dia?"

Berpikir deraikian, ia tersenyum dan berkata: "Kwe-pepek, baiklah aku dan Suhu mengiringi engkau ke sana, Kwe-pekbo sudah pernah menyaksikan paduan pedang kami dapat mengalahkan Kim-lun Hoat-ong, kalau kita bertiga pergi bersama, rasanya musuh tidak mampu menahan kita."



Dengan girang Kwe Cing berkata: "Sungguh kecerdikanmu sukar dibandingi kecuali bibimu, Memang begitulah maksud bibimu mengundang kau ke sini."

Diam2 Nyo Ko menjengek biarpun bibimu secerdik setan juga sekali tempo akan terjungkal di tanganku, Namun dia tenang2 saja dan menjawab: "Urusan tidak boleh terlambat, marilah kita berangkat saja sekarang, Aku dan Suhu menyamar sebagai kacungmu agar musuh tidak menaruh curiga apa2."

Kwe Cing menyatakan setuju, ia berpaling dan berkata kepada sang isteri: "Yong-ji, kau jangan kuatir, ada Ko-ji dan nona Liong mendampingiku ke sana, apapun yang terjadi kami akan pulang aku ke sini dengan selamat," -Habis ini segera ia suruh mengundang Siau-Iiong-li.

Tiba2 Ui Yong berkata: "Tidak, maksudku cuma Ko-ji saja yang mengiringi kau ke sana. Nona cantik molek seperti nona Liong jangan kita membiarkan dia ikut menyerempet bahaya, Aku ingin dia tinggal disini bersamaku."

Nyo Ko melengak, akan tetapi ia lantas paham maksudnya, nyata sang bibi juga waswas padanya, maka Siao-liong-li sengaja ditahan sebagai sandera agar dia tidak berani berbuat sembarangan.

Agar tidak menimbulkan curiga, Nyo Ko juga tak mendesak agar Siao-liong-lj harus ikut, ia hanya diam saja. Tapi Kwe Cing lantas berkata: "Ilmu pedang nona Liong hebat luar biasa kalau dia ikut pergi tentu akan banyak menambah kekuatan kita,"

"Badanku terasa kurang enak, mungkin akan melahirkan dalam sehari dua ini, kalau nona Liong tinggal disini, tentu aku takkan kuatir apa2" . ujar Ui Yong.

"Benar, benar," ujar Kwe Cing, "Ko-ji, marilah kita berangkat."

Nyo Ko merasa kewalahan mengadu kepintaran dengan Ui Yong, tapi Kwe Cing yang jujur dan polos itu pasti bukan tandingan dirinya, setelah dibereskan di tempat musuh sana, nanti kembali lagi ke sini untuk menolong Siao-Iiong-Ii kiranya tidak sukar. Maka ia lantas meringkasi pakaiannya dan ikut berangkat bersama Kwe Cing.

Nyo Ko menunggang kudanya yang kurus itu, sedangkan Kwe Cing menunggang kuda merah kesayangannya, Kedua ekor kuda itu dapat berlari cepar, tidak sampai setengah jam mereka sudah sampai di markas besar pasukan Mongol.

Mendengar kedatangan Kwe Cing, Kubilai terkejut dan bergirang, cepat ia mengundangnya masuk ke dalam kemah.

Kwe Cing tercengang ketika melihat seorang pangeran muda berduduk di tengah kemah, mukanya lebar dan daun kupingnya besar, kedua matanya cekung, ternyata mirip sekali wajah ayahnya,yaitu Tulai. Kwe Cing jadi teringat pada persaudaraannya dengan Tulai di masa muda dahulu. Tanpa terasa matanya menjadi merah dan hampir meneteskan air mata.

Cepat Kubilai meninggalkan tempat duduknya dan memberi hormat kepada Kwe Cing, katanya, "Mendiang ayahku sering berceritera tentang keperkasaan paman Kwe dan sangat kagum luar biasa, kini dapat berjumpa dengan paman, sungguh bahagia bagiku."

Kwe Cing membalas hormat dan berkata "hubunganku dengan Tulai Anda (anda - saudara angkat dalam bahasa MongoI), laksana saudara sekandung, waktu kecil kami ibu dan anak-bernaung dibawah lindungan haycou (Jengis Khan) dan telah banyak menerima bantuan beliau. Siapa duga ayahmu yang gagah perwira itu mendadak wafat dalam usia muda, sungguh aku sangat menyesal dan ikut berduka cita."

Ucapan Kwe Cing yang sunguh2 dan tulus itu membikin hati Kubilai terharu juga, segera ia-pun memperkenalkan Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2, Kwe Cing disilakan duduk pada tempat yang paling terhormat, sedangkan Nyo Ko berdiri di belakang Kwe Cing dan pura2 tidak kenal dengan semua orang.

Kim-lun Hoat-ong dan lain2 tidak tahu maksud tujuan ikut sertanya Nyo Ko ini, tapi merekapun tidak menegurnya ketika melihat anak muda itu tidak menggubris mereka, hanya Be Kong-co saja, dasarnya memang orang dogol, segera ia berseru: "Eh, Nyo-heng..."

Belurn lanjut ucapannya, mendadak In Kik-si mencubit sekerasnya pada pantat Be Kong-co, saking kesakitan Be Kong-co menjerit, akan tetapi In Kik-si lantas berpaling ke sana dan tidak menggubrisnya, karena tidak tahu siapa yang menyakitinya, Be Kong-co, ngomel dan marah2 sehingga lupa menyapa Nyo Ko.

Setelah minum secawan arak susu kuda khas Mongok segera Kwe Cing bermaksud tanya tentang kedua saudara Bu, namun Kubilai sudah lantas berseru kepada anak buahnya. "Lekas mengundang kedua tuan Bu ke sini."

Para pengawal mengiakan, tidak lama Bu-Tun-Si dan Bu-Siu-bun tampak digusur masuk, Kaki dan tangan diikat dengan tali kulit, tali kulit yang bagian kaki panjangnya tidak lebih dari setengah meter sehingga terpaksa kedua anak muda itu harus melangkah dengan pelahan.

Melihat sang guru berada disitu, kedua saudara Bu itu terkejut dan malu, mereka memanggil "Suhu", lalu menunduk dan tidak berani membuka suara.

Sebenarnya Kwe Cing sangat marah pada kecerobohan tindakan kedua anak muda itu, tapi demi melihat pakaian mereka lusuh, badan berlepotan darah, suatu tanda mereka mengalami pertarungan sengit dan akhirnya baru tertawan, pula melihat kedua orang itu diringkus secara mengenaskan, dari rasa gusar Kwe Cing menjadi merasa kasihan kepada mereka, ia pikir meski tindakan mereka terlalu sembrono, tapi tujuannya luhur demi bangsa dan negara, betapapun jiwa patriotik mereka harus dipuji. Maka dengan suara halus ia lantas berkatai "Orang persilatan adalah jamak mengalami berbagai gemblengan jiwa dan raga serta mengalami berbagai kegagalan, semua ini bukan soal apa2"

Kubilai pura2 mengomeli anak buahnya: "Sudah kuperintahkan melayani kedua tuan Bu ini dengan baik, mengapa kalian berlaku sekasar ini, lekas membuka ikatan mereka."

Anak buahnya mengiakan dan segera hendak membuka tali kulit yang meringkus kedua saudara Bu itu. Namun tali kulit itu sangat kencang, apalagi sebelumnya telah dibasahi dengan air sehingga sukar dibuka begitu saja. Segera Kwe Cing mendekatinya, ia pegang tali kulit yang mengisi di dada Bu Tun-si dan dibetotnya ke kanan-kiri, "plok", seketika tali kulit itu putus, menyusul ia-pun putuskan tali ikatan di tubuh Bu Tun-si dengan cara yang sama.

Cara Kwe Cing memutuskan tali kulit itu tampaknya sangat mudah, tapi sebenarnya sukar dilaksanakan jika tak memiliki tenaga dalam yang kuat. Siau-siang-cu, Nimo Singh dan lain2 saling pandang sekejap, dalam hati masing2 sama bertambah waswas.

"Lekas bawakan arak dan meminta maaf kedua tuan Bu," seru Kubilat kepada anak buahnya.

Dalam hati Kwe Cing mulai menimang bahwa pertempuran ini pasti takkan berakhir dengan damai, sebentar pasti terjadi pertempuran sengit, kalau kedua saubara Bu itu tidak lekas pergi tentu akan menjadi beban malah baginya.



Segera Kwe Cing berbangkit dan memberi hormat kepada Kubilai dan para hadirin katanya "Terima kasihku kepada Ongya dan saudara2 sekalian yang telah memberi pengajaran atas kelancangan murid2ku ini."

Lalu ia berpaling kepada kedua saudara Bu: "Nah, lekas kalian pulang dan lekas beritahukan kepada Subo bahwa di sini aku berjumpa dengan putera saudara angkatku, sebentar lagi aku pulang setelah berbincang dengan sahabat lama ini."

"Tapi Suhu..." karena sudah kapok menghadapi musuh2 tangguh, Bu Siu-bun menjadi kuatir juga atas keselamatan Kwe Cing.

Tapi Kwe Cing lantas melambaikan tangannya dan membentak : "Lekas pergi kalian! Lapor kepada Lu-ciang-kun bahwa pertahanan perlu diperkuat apapun yang bakal terjadi jangan se-kali2 pintu gerbang dibuka untuk menjaga sergapan musuh secara mendadak."

Ucapan Kwe Cing itu lantang lagi berwibawa dan sengaja diperdengarkan kepada Kubilai dan anak buahnya, artinya kalau sampai terjadi apa2 atas diri Kwe Cing, betapapun kota Siangyang tetap harus dipertahankan.

Kedua saudara Bu tahu arti pesan sang guru, mereka tak berani bicara lagi dan segera memohon diri untuk pulang ke Siangyang.

Dengan tertawa kemudian Kubilai berkata: "Mungkin paman Kwe belum tahu bahwa kedua saudara itu datang ke sini hendak membunuh diriku?"

Kwe Cing mengangguk, jawabnya: "Ya, sebelumnya aku memang tidak tahu, dasar anak kecil, terlalu sembrono."

"Memangnya sudah kuduga pasti paman Kwe tidak mengetahui perbuatan mereka, kuyakin paman Kwe pasti takkan menyuruh mereka berbuat demikian mengingat hubungan baik paman dengan mendiang ayahku," kata Kubilai.

"Belum tentu begitu," ujar Kwe Cing tegas. "Urusan dinas harus diutamakan daripada urusan pribadi. Dahulu Tulai Anda juga pernah memimpin pasukannya menyerbu Siangyang, waktu itu akupun punya pikiran hendak melakukan pembunuhan gelap terhadap kakak angkat sendiri agar pasukan musuh dapat digempur mundur.

Tapi kebetulan Thaycou jatuh sakit, terpaksa pasukan Mongol mundur kembali ke wilayah sendiri, karena itu persaudaraanku dengan Tulai Anda tetap terpelihara dengan baik. Di jaman dahulu, seorang pahlawan tega membunuh anggota keluarga sendiri demi kesetiaannya kepada negara, kalau anggota keluarga saja boleh dibunuh, apalagi cuma sahabat atau saudara angkat"

Hati Nyo Ko tergetar mendengar ucapan tegas dan sungguh2 itu, pikirnya: "Pantas saja, memangnya membunuh saudara angkat adalah kebiasaannya, Entah mendiang ayahku itu berbuat kekalahan apa sehingga tewas di tangannya, Wahai Kwe Cing, apakah dalam hidupmu sendiri selamanya tak pernah berbuat sesuatu kesalahan?" BegituIah rasa dendam dan bencinya seketika timbul lagi dalam benaknya.

Ternyata Kubilai sama sekali tidak marah atas ucapan Kwe Cing tadi, ia menanggapi dengan tersenyum: "Jika begitu, mengapa paman Kwe bilang kedua muridmu tadi terlalu sembrono?"

"Mengapa tidak," jawab Kwe Cing. "Kepandaian mereka masih cetek, mereka tidak tahu diri dan melakukan pembunuhan gelap, tentu saja gagal, Bahwa mereka pasti akan gagal bukan soal, yang pasti kau menjadi tambah waspada dan untuk selanjutnya tentu sukar jika hendak membunuh kau."

Kubilai bergelak tertawa, ia pikir Kwe Cing ini terkenal polos dan kurang mahir bercakap, tapi nyatanya kata2nya ini teramat tajam.

" Padahal Kwe Cing hanya bicara sesuai dengan kenyataannya, apa yang dia pikirkan saat itu segera dikatakannya." Kim-lun Hoat-ong merasa kagum juga melihat sikap Kwe Cing yang tanpa gentar itu meski berada di tengah pasukan musuh.

Begitu juga Kubilai sangat senang dan menyukai tokoh macam Kwe Cing ini, ia pikir kalau orang ini dapat dirangkul menjadi pembantuku, maka nilainya jauh melebihi sepuluh buah kota Siangyang.

Segera ia berkata pula: "Paman Kwe, saat ini kerajaan Song sedang kemelut, rajanya dan rakyatnya sengsara, banyak pembesar dorna berkuasa secara se-wenang2. Paman Kwe sendiri adalah ksatria yang gagah perkasa, mengapa engkau sudi diperbudak oleh raja lalim dan pembesar dorna itu?"

Mendadak Kwe Cing berdiri dan berseru: "Se-jeIek2nya orang she Kwe mana kusudi diperalat oleh kaum dorna dan raja lalim. Soalnya aku benci kepada orang Mongol yang menjajah wilayah negeri kami dan melakakan keganasan tanpa batas. Darah mendidih dalam rongga dadaku ini bergolak siap berkorban bagi bangsa dan negaraku."

"Bagus?" seru Kubilai sembil menggebrak meja. "Marilah kita minum satu cawan bagi keperwiraan paman Kwe." - Habis ini lantas mendahului menenggak habis semangkuk arak susu kuda.

Walaupun tidak semuanya setuju atas sikap Kubilai itu, tapi terpaksa semua orang mengiringi minum satu mangkuk. Segera para pengawal menuangkan lagi mangkuk yang sudah kosong itu.

Segera Kwe Cing berkata pula: "Negara kami luas dan rakyat banyak dengan peradaban yang tinggi, sejak jaman baheula hingga sekarang belum pernah bertekuk lutut kepada bangsa lain, Meski orang Mongol mendapatkan kemenangan untuk sementara, kelak pasti juga akan dienyahkan dari sini dengan kehancuran yang sukar dibayangkan. Untuk itulah hendaklah Ongya suka merenungkannya lebih masak agar tidak menyesal di kemudian hari."

"Terima kasih atas petua paman," jawab Kubilai dengan tertawa.

Melihat sikap orang yang meremehkan ucapannya jtu, segera Kwe Cing berkata pula: "Baiklah-kumobon diri sekarang juga, sampai bertemu pula."

"Antar tamu!" seru Kubilai kepada anak buahnya.

Hoat ong dan lain2 saling pandang dengan bingung dan semuanya menatap ke arah Kubilai, mereka pikir dengan susah payah Kwe Cing sudah dipancing masuk perangkap, masakah sekarang akan dilepaskan begitu saja?

Tapi jelas kelihatan Kubilai telah mengantar Kwe Cing keluar kemah dengan penuh hormat, betapapun mereka juga tak berani sembarangan bertindak.

Sambil melangkah keluar kemah, diam2 Kwe Cing mengakui kehebatan Kubilai yang tidak boleh diremehkan itu, ia mcngedipi Nyo Ko sambil mempercepat langkahnya ke tempat kuda.

Mendadak dari samping muncul delapan orang Mongol yang kekar, seorang diantaranya menegur "He, kau ini Kwe Cing bukan? Kau telah banyak menewaskan saudara2 kami di Siangyang, sekarang kau berani berlagak ke sini Ongya membiarkan kau pergi, tapi kami tidak dapat tinggal diam."

Sekali menggertak, serentak kedelapan orang terus menubruk maju, dengan Judo gaya Mongol mereka terus hendak menjambret baju Kwe Cing.



Berkelahi secara Mongol ini adalah kebanggaan orang MongoI, kedelapan orang ini bahkan adalah jago Judo Mongol yang paling lihay dan sengaja disiapkan oleh Kubilai di situ untuk menangkap Kwe Cing.

Namun Kwe Cing yang sejak kecil tinggal di Mongol juga mahir kepandaian orang Mongol seperti menunggang kuda, memanah dan bantingan: (Judo) ala Mongol. Begitu melihat orang2 itu hendak memegangnya, cepat kedua tangannya meraih ke kanan dan kiri, kaki kanan berbareng menyapu, hanya sekejap saja empat orang telah dipegangnya terus dibanting, empat orang lagi kena diserampang oleh kakinya hingga terjungkal.

Yang digunakan Kwe Cing adalah kepandaian bantingan gaya Mongol asli, cuma dia mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi, tenaganya kuat luar biasa, tentu saja kedelapan orang itu bukan tandingannya.

"Di luar kemah berjaga seribu perajurit pribadi Kubilai, seribu orang ini semuanya mahir bantingan, maka bersorak sorailah mereka demi menyaksikan sekaligus Kwe Cing dapat merobohkan delapan jagoan mereka itu.

Kwe Cing mengepalkan kedua tangannya dan menanggalkan kopiahnya sambil berputar satu keliling, ini adalah adat orang MongoI sebagai balas menghormat kepada sorak pujian para penonton setelah berhasil membanting jatuh lawannya.

Karena sikap Kwe Cing itu, sorak sorai pasukan Mongol itu bertambah gemuruh.

Setelah merangkak bangun, kedelapan orang Mongol itu memandangi Kwe Cing dengan terkesima bingung, entah mesti menubruk maju lagi atau disudahi sampai di sini saja?

Segera Kwe Cing memberi tanda kepada Nyo Ko agar berangkat Tapi pada saat itu juga terdengarlah suara tiupan tanduk sahut menyahut di sana sini, beberapa pasukan Mongol tampak berseliweran di kejauhan sana, rupanya Kubilai telah mengerahkan pasukannya, Kwe Cing dan Nyo Ko sudah terkepung rapat di tengah.

Melihat kekuatan musuh yang hebat itu, diam2 Kwe Cing terkejut ia pikir biarpun berkepandaian setinggi langit juga sukar menembus kepungan musuh seketat itu, Sungguh tak tersangka bahwa Kubilai akan mengerahkan pasukannya sebanyak itu hanya untuk melayani Kwe Cing seorang saja, ia kuatir Nyo Ko merasa gentar maka ia sendiri sedapatnya bersikap tenang, katanya kepada anak muda itu: "Kuda kita cukup cepat, marilah kita terjang saja dan rampas dua buah perisai musuh untuk menjaga kalau musuh memanah kuda kita," - Lalu ia membisiki pula "Lekas menerjang dulu ke selatan, habis itu kita putar balik ke utara,"

Semula Nyo Ko melengak heran, Siangyang terletak di selatan, mengapa sang paman mengajaknya menerjang ke utara malah? Tapi ia lantas paham maksud Kwe Cing itu, tentu sebelumnya Kubilai telah pusatkan pasukannya di sebelah selatan untuk mengadang dia yang jelas akan kabur pulang ke Siangyang, sebab itulah penjagaan di sebelah utara tentu kosong.

Terjang dulu ke selatan, lalu membalik terjang ke utara secara tak terduga", dengan demikian kepungan musuh pasti akan dapat dibobolkan. "Wah, cara bagaimana harus kugagalkan rencananya ini?" demikian pikir Nyo Ko

Baru saja timbul pikiran Nyo Ko ini, tiba2 dari kemah Kubilai sudah melayang keluar beberapa orang dalam sekejap saja orang2 itu sudah mengadang di depan Kwe Cing, menyusul terdengar suara meraung di udara, sebuah roda tembaga dan sebuah roda besi menyamber berbareng ke arah kuda Kwe Cing dan Nyo Ko.

Nyata Kim-lun Hoat-ong sudah ikut turun tangan untuk merintangi lolosnya mereka.

Melihat samberan kedua roda itu sangat keras, Kwe Cing tak berani menangkapnya dengan tangan, ia menunduk ke bawah, kedua tangannya menekan sekuatnya pada leher kedua kuda mereka. seketika kaki depan kuda2 itu bertekuk lutut dan sepasang roda musuh pun menyamber lewat di atas kepala kuda.

Roda2 itu berputar satu kail di udara, lalu terbang kembali ke tangan Hoat-ong, Karena rintangan itu pula, tahu2 Nimo Singh dan In Kik-si sudah menyusul tiba, habis itu Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu juga memburu datang. Mereka berempat terus mengelilingi Kwe Cing dan Nyo Ko.

Sebagai tokoh kelas satu di dunia Kangow, Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain2 sama sekali tidak sudi merosotkan derajat mereka dengan cara main kerubut. Akan tetapi lantaran Kanghu Kwe Cing terlalu lihay, pula setiap orang mereka ingin sekali mendapatkan gelar "jago nomor satu Mongol", dengan sendirinya mereka saling berlomba mendahului.

Segera kelihatan sinar senjata gemerlapan menyilaukan mata, kecmpat orang sudah menyiapkan senjata masing2.

Kini yang dipegang Kim-lun Hoat-ong adalah senjata roda emas, In Kik-si bersenjata Kim-pian (ruyung emas) bertaburkan mutiara dan batu permata. Siau-siang-cu memegang sebatang pentung, pendekar pentung yang biasa dibawa anggota keluarga yang kematian orang tua. Adapun senjata Nimo Singh paling aneh, senjatanya melilit pada lengannya dan dapat mulur mengkeret, tampaknya seperti ular hidup,

Kwe Cing menyadari kalau keempat lawan ini tidak dibereskan tentu sukar dirinya untuk lolos. Kedudukan kedua pihak adalah 2 lawan 4, untuk menang jelas sulit, tapi asalkan dapat merobohkan salah seorang musuh, untuk lolos rasanya tidak susah, ia coba mengamat-amati gerakan keempat lawan dan cara memegang senjata, tampaknya diantara empat lawan itu In Kik-si adalah paling lemah. Secara mendadak Kwe Cing terus menghantam sekaligus dengan kedua tangan menuju muka Siau~siang-cu..

Tanpa mengelak Siau-siang-cu malah menegakkan pentungnya dan menutuk telapak tangan Kwe Cing, Sudah tentu Kwe Cing tak berani meremehkan musuh ini, ia tahu semakin sepele senjata yang digunakan, semakin tinggi pula ilmu silat orang itu.

Maka ia tidak berani menyambut pentung orang, cepat ia membaitki tangannya ke sana, dengan gerakan "Sinliong-pah-bwe",(naga sakti menggoyang ekor), dengan tepat senjata ruyung In Kik-si kena dicengkeramnya. caranya membaliki tangan untuk rebut senjata musuh sungguh cepat dan gesit luar biasa.

Segera ln Kik-si bermaksud menyendal ruyungnya untuk menggempur musuh, namun sudah terlambat, ujung ruyung sudah terpegang Kwe Cing.

Tapi pengalaman In Kik-si sangat luar, hampir ilmu silat dari aliran manapun diketahuinya, meski tidak semuanya dilatihnya dengan baik, namun kepandaiannya memang banyak ragamnya, begitu terasa senjatanya terpegang musuh, segera ia ikuti gaya tarikan Kwe Cing terus menubruk maju malah, berbareng itu tangan lain telah bertambah dengan sebatang belati.

"Bagus!" seru Kwe Cing, kedua tangannya digunakan sekaligus, tangan kanan tetap memegangi ujung ruyung lawan, tangan kiri berusaha merebut belati. Dalam keadaan tangan kanan merebut senjata kanan dan tangan kiri merebut senjata kiri lawan jadi kedua tangan Kwe Cing telah berada dalam keadaan bersilang.

Tadinya In Kik-si mengira dengan tikaman belatinya pasti dapat memaksa musuh melepaskan ruyungnya, siapa tahu bukannya Kwe Cing menghindar, sebaliknya belati itupun hendak dirampasnya, jadi bukan saja ruyung takdapat dipertahankan bahkan belati juga akan terlepas.



Pada saat bahaya itulah tiba2 roda emas Hoat~ong dan pentung Siau-siang-cu juga menyerang tiba berbareng. Diam2 Kwe Cing kagum terhadap kelihayan lawan karena tak berhasil membetot lepas ruyung musuh.

Mendadak ia menggertak dan mengerahkan tenaga dalam sekuatnya melalui ruyung itu, seketika In Kik-si merasa dadanya seperti dipalu, mata berkunang2 dan darah segar lantas tersembur dari mulutnya.

Pada saat itu pula Kwe Cing lantas melepaskan pegangannya pada ruyung dan membaliki tangannya untuk melayani serangan roda emas serta pentung.

In Kik-si tahu lukanya tidak ringan, pelahan ia meninggalkan kalangan pertempuran dan duduk bersila ditepi sana untuk menahan muntah lebih lanjut.

Melihat In Kik-si dilukai oleh Kwe Cing, Hoat-ong dan Siau-siang-cu disamping senang ju-Ift merasa keder. Mereka senang karena berkurang dengan seorang saingan yang ikut berebut "jago nomor satu Mongol", tapi melihat betapa lihaynya Kwe Cing, mereka juga keder dan kuatir kalau merekapun terjungkal di tangan lawan itu.

Begitulah ketiga orang sama2 tidak berani sembarangan bertindak, mereka sama berjaga dengan rapat. Disamping melayani kedua lawan, diam2 Kwe Cirig menyelami kedua macam senjata aneh yang dipegang Siau-siang-cu dan Nimo Singh itu, pantang pendek yang dibawa Siau-siang-cu itu terbuat dari baja, kecuali keras dan berat seketika sukar diketahui keanehan yang Iain, sedangkan senjata bentuk ular milik Nimo Singh itu menyerang dengan jurus yang aneh sekali.

Senjata itu berbentuk ular berbisa yang berkepala segitiga, badan ular dapat melingkar dengan lemas, kepala dan ekor ular tampak runcing dan sangat tajam, yang lihay adalah sukar diduga bilamana badan ular itu akan melingkar dan ke arah mana kepala atau ekor ular itu akan menyerang.

Tapi di tangan Nimo Singn senjata ular itu berterbangan naik turun dan berputar2 dengan aneka macam perubahan yang hebat

Dahulu Kwe Cing pernah bertempur melawan tongkat ular milik Auyang Hong ular aneh yang melilit pada tongkatnya itu adalah ular tulen dan berbisa luar biasa. Tapi senjata ular2an Nimo Singh sekarang meski juga aneh, namun cuma bentuknya saja seperti ular, tapi sebenarnya benda mati, betapapun pasti ada titik kelemahannya. Sebab itulah Kwe Cing lebih jeri terhadap serangan roda Kim-lun Hoat~ong daripada Nimo Singh.

Setelah berlangsung belasan gebrakan, se~konyong2 terdengar suara raungan seorang, kelihatan seorang tinggi besar menerjang tiba, siapa lagi dia kalau bukan Be Kong-co. senjata Be Kong-co adalah sebatang toya yang panjang lagi besar, tanpa bicara ia terus mengemplang kepala Kwe Cing dari belakang Nimo Singh.

Padahal waktu itu empat tokoh itu sedang bertempur dengan sengitnya dan sama2 berjaga dengan sangat rapat, hakikatnya tiada peluang sedikitpun bagi orang lain. Tenaga pukulan dan samberan senjata mereka sudah berbentuk menjadi satu jaringan kekuatan yang maha dahsyat.

Maka kemplangan toya Be Kong-co itu kontan terbentur oleh jaringan tenaga yang dibentuk empat orang yang sedang saling gempur lagi.

meski tanpa mengeluarkan suara, namun toya itu mendadak terpental balik, kalau saja Be Kong-6a tidak memiliki tenaga sakti, tentu toya itu sudah mencelat terlepas dari tangannya atau bisa jadi toya itu akan mengemplang kepalanya sendiri hingga pecah berantakan.

Tapi begitu merasa gelagat jelek. Be Kong-co terus berteriak keras dan mengerahkan kekuatannya untuk menahan toyanya sehingga tidak sampai merugikan diri sendiri, walaupun begitu juga tangannya terasa kesemutan dan lecet berdarah.

"Aneh, aneh.!" ia berseru, dan mengerahkan tenaga pula, sekuatnya ia mengemplang lagi.

Ia, mengemplang Kwe Cing dengan berdiri di belakang Nimo Singh, yang berdiri di depannya sana adalah Kim-lun Hoat-ong, diduganya kemplangan Be Kong-co ini pasti akan menimbulkan kekuatan lebih besar, tapi ia cuma menyeringai saja dan tidak mencegahnya.

Nyo Ko juga menyaksikan keadaan itu, ia tahu kepandaian Be Kong-co terlalu jauh dibandingkan keempat tokoh itu, kalau ikut bertempur akan bikin susah dirinya sendiri ia suka kepada orang dogol yang barhati polos itu, pula beberapa kali Be Kong-co membelanya, maka ia tidak tega menyaksikan si dogoI dicelakai Segera ia membentak: "Be Kong-co awas seranganku!"

Berbareng pedangnya terus menusuk ke punggung orang dogol itu.

Be Kong-co melengak bingung, katanya: "Adik Nyo, mengapa kau menyerang padaku?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar