Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali) Jilid 7

Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali/Rajawali sakti Dan pasangan pendekar), Jilid 7 Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali). "Orang goblok, lekas kau enyah dari sini!" damperat Nyo Ko sambil melancarkan pula beberapa kali tusukan sehingga Be Kong-co kelabakan berusaha mengelak dan terpaksa melompat mundur sehingga cukup jauh dari kalangan pertempuran Kwe Cing berempat.
Anonim
"Orang goblok, lekas kau enyah dari sini!" damperat Nyo Ko sambil melancarkan pula beberapa kali tusukan sehingga Be Kong-co kelabakan berusaha mengelak dan terpaksa melompat mundur sehingga cukup jauh dari kalangan pertempuran Kwe Cing berempat.

Setelah mendesak lagi beberapa langkah, kemudian Nyo Ko membisiki Be Kong-co dengan suara tertahan: "Be-toako, jiwamu sudah kuselamatkan, kau tahu tidak?"

"Apa katamu?" tanya Be Kong-co dengan bingung.

"Ssst, jangan keras2, nanti didengar mereka," desis Nyo Ko.

"Ada apa?" kembali Be Kong-co menegas dengan mata terbelaIak. "Apa yang mesti kutakuti terhadap Hwesio gede piaraan biang anjing itu?" - suaranyatetap keras, bahaya adalah bicara biasa,namun bagi orang lain sudah serupa orang berteriak.

"Baiklah, kalau begitu kau jangan bicara lagi, turut saja perkataanku," kata Nyo Ko.

Penurut juga Be Kong-co, ia mengangguk dan tidak bersuara pula.

Nyo Ko lantas berkata padanya: "Kwe Cing bisa ilmu sihir, begitu dia membaca mantera segera kepala lawan dapat dipenggalnya. Maka lebih baik kau berdiri sejauhnya dari dia.

Mata Be Kong-co terbelalak lebar, setengah percaya dan setengah tidak.

Karena ingin menolong jiwa si dogol, Nyo-Ko tahu jalan paling baik adalah mengibulinya, kalau dikatakan ilmu silat Kwe Cing sangat hebat tentu dia tidak mau menyerah kalah, tapi kalau bilang Kwe Cing mahir ilmu sihir, besar kemungkinan si dogol mau percaya.

Karena itu, untuk lebih meyakinkan kepercayaan Be Kong-co, Nyo-Ko berkata pula: "Tadi kau mengemplangnya dengan toyamu, toyamu tidak membentur apa2 terus terpental balik malah, kan aneh bukan? saudagar Persi itu sangat tinggi ilmu silatnya, mengapa sekali gebrak juga dilukainya?"

Be Kong-co mau percaya ucapan Nyo Ko ini, ia manggut2, lalu memandang Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan Iain2 deogan agak ragu.



Nyo Ko tahu apa yang sedang dipikirkan Be-Kong-co, segera ia menambahi pula. "Hwesio gede itu punya jimat dan telah diberikan kepada mayat hidup serta setan cebol itu, mereka membawa jimat, dengan sendirinya tidak gentar terhadap ilmu sihir lawannya. Apa Hwesio gede itu tidak memberi jimatnya padamu?"

Dengan gemas Be Kong-co menjawab "Tidak!"

"Ya, bangsat gundul itu memang tidak dapat diajak bersahabat, ia juga tidak memberi jimatnya padaku, biarlah nanti kita bikin perhitungan dengan dia," kata Nyo Ko.

"Benar!" seru Be Kong-co, "Lantas bagaimana sekarang?"

"Kita menonton saja, makin jauh makin baik," ujar Nyo Ko.

"Kau memang orang baik, adik Nyo," kata Be Kong-co. "Syukur kau mau memberitahukan padaku."

Segera ia seret toyanya dan mundur lebih jauh untuk mengikuti pertarungan Kwe Cing berempat itu.

Sementara itu Kwe Cing sedang mengeluarkan ilmu silat yang terkenal: "Hang-liong-cap-pek-ciang" (delapan belas jurus penakluk naga), meski tinggi juga ilmu silat Hoat-ong bertiga, tapi biasanya mereka tinggal terpencil di daerah yang jarang bergaul dengan orang luar, pengalaman dan pengetahuan mereka terbatas, dibandingkan In Kik-si jelas pengetahuan mereka boleh dikatakan teramat dangkal.

Melihat ilmu pukulan yang dahsyat itu, mereka bertiga sama sekali tidak kenal asal-usulnya, mereka hanya mengepung Kwe Cing di tengah, mereka pikir asalkan mereka mengepung sekuatnya, tentu lawan takkan tahan lama mengerahkan tenaga pukulan sehebat itu.

Pendapat mereka memang masuk diakal, umumnya angin badai tak pernah berlangsung sepanjang hari, hujan keras juga jarang semalam suntuk, semakin keras tenaga yang dikeluarkan semakin sukar pula berlangsung lama.

Tak tahunya selama 20-an tahun Kwe Ong giat berlatih "Kiu-im-cin-keng?" itu kitab pusaka kunci saripati ilmu silat yang tak terkatakan hebatnya, semula tenaga yang dikeluarkannya tidak begitu menonjol, tapi setelah belasan jurus, tahu- tenaga pukulan Hang-liong-cap-pek-ciang bisa ber-ubah kadang2 kuat, tiba2 menjadi enteng lagi, mendadak membadai, tahu2 mereda lagi, dari maha kuat bisa berubah menjadi maha lunak, inilah ilmu sakti yang belum sempat dipahami oleh mendiang Ang Chit-kong dahulu.

Nyata sedikitpun dia tidak terdesak oleh ketiga lawannya yang amat tangguh itu, sebaliknya Kwe Cing malah terus menyerang, makin bertempur makin leluasa.

Sungguh kejut dan kagum Nyo Ko tak terhingga, Ketika di kuburan kuno dahulu pernah juga dia mempelajari "Kiu-im-cin-keng", cuma tiada petunjuk dari orang lain sehingga tidak diketahui kehebatan kitab pusaka yang begini luar biasa, ia coba mengikuti ilmu pukulan Kwe Cing itu dan dicocokkan dengan kunci ilmu yang dipelajarinya dari Kiu-im-cin-keng itu, seketika ia banyak mendapatkan teori baru yang sangat bermanfaat dan diingatnya dengan baik2, seketika iapun lupa akan membunuh Kwe Cing untuk menuntut balas sakit hatinya.

Ilmu silat antara Kim - lun Hoat-ong dan Kwe Cing sebenarnya setingkat, meski Kwe Cing lebih banyak mendapatkan penemuan aneh, tapi usia Hoat-ong lebih tua 20-an tahun, itu berarti keuletannya lebih tua 20 tahun pula, kalau satu lawan satu sedikitnya ribuan jurus baru dapat menentukan menang kalah.

Hoat-ong dibantu Siau-siang-cu dan Nimo Singh, sebenarnya tidak ada baginya mengalahkan lawannya, cuma Hang liong-cap-pek-ciang yang dimainkan Kwe Cing itu teramat lihay, ditambah lagi langkah Pak~tau-tin ajaran Coan-cin-kau yang digunakan Kwe Cing itu sukar diraba arahnya, seorang se-akan2 berubah menjadi tujuh orang, selain itu pertama kali In Kik-si sudah dilukainya lebih dulu, hal ini telah membikin jeri lawan pula, maka Hoat-ong bertiga menjadi tidak berani sembarangan menyerang, dengan begitu Kwe Cing dapat bertahan dengan satu lawan ketiga orang itu.

Setelah beberapa puluh jurus lagi, lambat-laun roda emas Kim-lun Hoat-ong mulai memperlihatkan daya tekanannya, ular besi Nimo Singh juga makin kencang menyerang, diam2 Kwe Cing mengeluh kalau pertarungan berlangsung lebih lama dan tiba2 pihak lawan datang lagi seorang pembantu, maka pasti dirinya tak sanggup bertahan lagi, sedangkan Nyo Ko yang menempur si gede itu entah bagaimana keadaannya.

Maklumlah, terpaksa ia harus memusatkan perhatian untuk melayani lawannya sehingga tidak sempat mengikuti pertarungan Nyo, Ko melawan Be Kong co di sebelah sana itu.

Tiba2 terdengar suara suitan aneh, kedua kaki Siau-siang-cu kaku menegak dan meloncat ke atas, dari udara pentungnya terus menutuk. Cepat Kwe Cing mengegos ke samping, mendadak pandangannya terasa gelap, dari ujung pentung orang tersembur keluar asap hidup, seketika hidungnya mencium bau busuk amis, kepala menjadi rada pening Kwe Cing mengeluh, ia tahu pentung lawan itu tersimpan barang racun, cepat ia melangkah mundur.

Siau-siang-cu menjadi heran sekali, sudah jelas Kwe Cing telah mengendus racun yang disemburkan dari pentungnya, tapi tidak jatuh kelengar dan bahkan seperti tidak berhalangan apa2, padahal biarpun singa harimau atau binatang buas apapun juga akan jatuh pingsan jika tersembur oleh racun yang disemburkannya itu.

Segera ia meloncat lagi ke atas, untuk kedua kalinya ia menutuknya pula dengan pentungnya yang berbisa itu.

Dahulu waktu dia berlatih ilmu "mayat hidup" di daerah pegunungan yang sunyi, kebetulan dilihatnya seekor katak kecil sedang bertempur melawan seekor ular besar, katak pura itu menyemburkan hawa berbisa dan merobohkan lawannya yang jauh lebih besar itu.

Dari situlah Siau-siang-cu mendapatkan ilham, ia menangkap katak puru dan diambil lendir berbisanya untuk disembunyikan di dalam pentungnya.

Pangkal pentung ini ada pesawat rahasianya, sekali ditekan dengan jari akan segera menyemburkan asap berbisa, waktu menyemburkan asap berbisa itu Siau-siang-cu sengaja meloncat ke atas supaya daya guna racun itu tambah keras.

Biasanya asap berbisa itu tidak pernah meleset merobohkan musuh, siapa tahu tenaga dalam Kwe Cing sedemikian kuatnya dan sanggup bertahan.

Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh meski bukan sasaran racun Siau-siang-cu itu, tapi merekapun ikut mengendus racun dan terasa muak, cepat mereka melompat mundur, Siau-siang-cu sendiri sudah memakai obat penawar sehingga tidak kuatir keracunan, ia angkat pentungnya dan menubruk maju lagi.

Sebelum lawan menggunakan racun pula, mendadak Kwe Cing menyambutnya dengan pukulan dahsyat ke dengkul musuh. Terpaksa Siau-siang-cu tarik kembali pentungnya untuk menangkis, walaupun begitu tidak urung tubuhnya tergentak mundur beberapa langkah oleh tenaga pukulan Kwe Cing yang lihay itu.

Waktu Kwe Cing berpaling ke sana, dilihatnya senjata ular Nimo Singh sedang menyambar tiba.



di siang hati bolong jelas kelihatan ular besi lawan itu dapat mulur mengkeret, tampaknya juga ada sesuatu yang aneh, jika mendadak membidikkan senjata rahasia, seketika sukar ditahan. Cepat Kwe Cing mendahului menghantam ke dada musuh sebelum senjata ular lawan itu mendekat.

Nimo Sing menyadari betapa hebat tenaga pukulan Kwe Cing, lekas2 ia tarik kembali senjata ularnya, kedua tangan memegangi kedua ujung senjata dan berusaha menangkis pukulan lawan. Akan tetapi cara Kwe Cing menggunakan tenaga pukulannya ternyata lain daripada yang lain, bagian tengah tidak membawa tenaga, sebaliknya tenaga pakaiannya memencar ke sekeliling titik sasaran jadi tangkisan Nimo Singh lantas terasa hampa, sebaliknya perut dan muka segera merasakan samberan tenaga pukulan yang dahsyat.

Untung gerak-gerik Nimo Singh juga cepat dan gesit, pula tubuhnya pendek kecil, lekas ia menjatuhkan diri, disertai dengan beberapa kali jumpalitan laksana boIa saja ia menggelinding ke sana sehingga luput dari hantaman Kwe Cing itu.

Melihat ada kesempatan baik, cepat Kwe Cing melompat pergi saja - Tanpa ayal ia melangkah ketempat peluang yang di tinggalkan Nimo Sing tadi.

Kim-lun Hoat-ong terkejut melihat musuhnya loIos dari kepungan, cepat ia menubruk maju.

Sementara itu Kwe Cing telah dicegat oleh barisan pasukan Mongol, belasan tumbak telah di tusukkan kearahnya, Mendadak Kwe Cing angkat kedua tangannya, beberapa tombak disampuk pergi, sekali tangannya membalik, dua prajurit kena dicengkeramnya terus dilemparkan ke arah Hoat ong sambil berseru: "Awas, tangkap ini."

Kalau Kim-lun Hoat-ong tidak pegang kedua perajurit Mongol itu, tentu keduanya akan terbanting mampus, sebaliknya kalau kedua orang itu di tangkapnya, itu berarti dia teralang dan kesempatan itu akan digunakan Kwe Cing untuk kabur lebih jauh.

Dasarnya memang keji, tanpa pikir Hoat-ong terus memiringkan tubuh ke samping dan ditunjuknya kedua perajurit itu dengan bahunya, kontan kedua orang itu terpental beberapa meter jauhnya dan terguling binasa. Segera pula roda emas mengepruk ke punggung Kwe Cing. Asalkan Kwe Cing menangkis atau balas menyerang maka sukar lagi untuk kabur.

Cepat Kwe Cing merampas dua tumbak dan menusuk ke belakang, Caranya merampas dan menyerang dilakukannya dalam sekejap saja, sedang kakinya tidak pernah berhenti, tusukannya ke belakang seperti punggungnya bermata saja, tumbak yang satu menusuk bahu kanan Hoat-ong sedang tombak lain menusuk kaki kirinya, jitu lagi keras.

Diam2 Hoat-ong memuji ketangkasan lawan, segera menggunakan roda emas untuk menghantam, "krak-krak", kedua tumbak itu patah semua, karena sedikit merandek itulah Kwe Cing sempat menyusup ke tengah pasukan MongoI.

Pasukan Mongol itu mendapat perintah Kubilai agar menawan hidup2 Kwe Cing, sekarang sasarannya itu malah menerobos ke tengah barisan, dengan sendirinya mereka menjadi serba salah, menawannya sukar, melukainya tidak boleh.

Yang terdengar hanya suara benturan senjata dan bentakan di sana-sini yang riuh, keadaan menjadi kacau dan Hoat-ong bertiga malah teralang.

Dengan sembunyi di tengah pasukan musuh. Kwe Cing malah dapat lolos dengan leluasa seperti menyusup ke tengah rimba lebat saja. Beberapa kali lompat dapatlah dia mendekati seorang Pek-hu-tiang, sekali betot ia seret orang itu dari kudanya segera ia cemplak ke atas kuda rampasan itu terus menerjang ke sana-sini, sebentar saja ia sudah menerobos keluar barisan musuh dan membedakan kudanya secepat terbang.

Waktu ia bersuit, kuda merah kesayangan yang menunggu jauh disana itu lalu berlari mendatangi. Asalkan Kwe Cing sudah berada di atas kuda mestikanya, biarpun Kubilai mengerahkan segenap pasukannya yang paling tangkas juga sukar menyusulnya lagi

Dari jauh Nyo Ko dapat melihat kuda merah itu sedang menghampiri Kwe Cing, diam2 ia me-ngeluh, tiba2 ia mendapat akal, oepat ia berteriak: "Aduh, mati aku!"- Habis ini ia sengaja sempoyongan seperti akan roboh, berbareng ia membisiki Be Kong-oo: "Lekas menyingkir, jangan bicara padaku, lekas pergi sejauhnya!"

Jeritannya mengaduh itu dilakukan dengan tenaga dalam yang kuat, meski di medan perang yang gaduh itu juga pasti didengar oleh Kwe Cing, ia yakin sang paman pasti akan putar balik untuk menolongnya, tapi kalau Be Kong-co masih berada jadi sekali dipukul oleh Kwe Cing jiwanya dogol itu akan melayang, sebab itulah dia suruh Be Kong-co lekas pergi.

SemuIa Be Kong-co melengak heran, tapi segera ia pikir Nyo Ko pasti mempunyai maksud tertentu, tanpa membantah lagi terus angkat langkah seribu dan berlari ke kemah Kubilai.

Benar juga setelah mendengar jeritan Nyo Ko tadi Kwe Cing menjadi kuatir, tanpa menunggu mendekatnya kuda merah segera ia putar kuda rampasannya tadi dan menerjang lagi ke tengah pasukan, ke arah beradanya Nyo Ko.

Sedikit pikir saja Kim-lun Hoat-ong lantas paham maksud tujuan Nyo Ko itu, maka ia tidak merintanginya melainkan membiarkan Kwe Cing menerjang lewat di sampingnya, tapi kemudian baru ia mencegat jalan mundur lawan itu.

Setiba di dekat Nyo Ko, dengan kuatir Kwe Cing lantas berseru: "Ko-ji, bagaimana kau?"

Nyo Ko pura2 sempoyongan dan menjawab: "sebenarnya orang gede itu bukan tandinganku tapi entah mengapa, mendadak dadaku sesak dan perutku sakit" Alasannya ini cukup masuk diakal, sebab ilmu silat Be Kong-co tidak tinggi, kalau dia bilang dikalahkan orang dogol itu tentu Kwe Cing takkan percaya, tapi kalau menyatakan tenaganya mau-tak-mau Kwe Cing akan percaya terutama dihubungkan dengan kejadian semalam, di mana Kwe Cing menyangka lwekang anak muda jta mengalami kemacetan, kalau sekarang penyakitnya komat lagi adalah lazim.

Segera Kwe Cing melompat turun dari kudanya dan berseru: "lekas naik di punggungku, biar kugendong kau!"

"Tidak, Kwe-pepek," jawab Nyo Ko pucat "jiwaku tidak soal, tapi engkau adalah tulang punggung pertahanan kota Siangyang, segenap perajurjt dan rakyat jelata di sana sedang menantikan kepulanganmu, engkaulah tumpuan harapan mereka."

"Kau datang bersamaku, mana boleh kutinggalkan kau di sini?" ujar Kwe Cing," hayo lekas menggemblok di punggungku."

Ketika nampak Nyo Ko masih ragu2, segera Kwe Cing berjongkok dan menarik anak muda-itu ke atas punggungnya. Pada saat itu juga kuda rampasannya tadi telah roboh binasa oleh beberapa panah musuh.

Sudah biasa Kwe Cing menyerempet bahaya, semakin gawat keadaannya semakin gagah berani pula dia dan menghadapinya dengan tenang. "Jangan takut, Ko ji, kita pasti dapat menerjang keluar." demikian katanya kepada Nyo Ko, segera ia berdiri dan menerjang ke sebelah utara.



Sementara itu Hoat-ong, Nimo Singh dan Siau siang~cu juga sudah menyusul tiba, Kwe Cing melihat kepungan musuh di sekelilingnya terlebih rapat daripada tadi. Di bawah panji kebesaran di depan kemah sana tampak Kubilai sedang menyaksikan pertarungan sengit itu sambil bicara dengan seorang Hwesio, melihat sikapnya yang "adem ayem" itu jelas Kubilai yakin kemenangan sudah pasti berada ditangannya.

Kwe Cing menjadi gusar, ia menggertak keras dan mendadak menerjang ke arah Kubilai dengan menggendong Nyo Ko, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah sampai di depan Kubilai. Keruan para pengawal Kubilai terkejut, be-ramai2 mereka mengacungkan tumbak untuk menerjang Kwe Cing

Akan tetapi pukulan Kwe Cing luar biasa dahsyatnya, siapa yang berani merintanginya pasti celaka, Ketika seorang pengawal pribadi Kubilai kena dihatiam terpental asal dia menyerobot maju lagi beberapa langkah, tentu pukulannya dapat mengena.

Beberapa pengawal itu berusaha mengadang dengan mati-matian, namun sukar juga menandingi Kwe Cing yang perkasa itu. Melihat keadaan berbahaya, cepat Kim-lun Hoat-ong menyambitkan toda emasnya dari kejauhan. Namun sedikit menunduk kepala dapatlah roda itu dihindari oleh Kwe Cing sambil masih terus menerjang maju.

Nyo Ko pikir sampai Kubilai kena ditawan Kwe Cing sebagai sandera, dalam keadaan terpaksa tentu pihak Mongol akan melepaskannya. Kalau sekarang aku tidak turun tangan, mau tunggu kapan lagi? Dalam keadaan agak ragu2 ia toh bertanya lagi: "Paman Kwe, apakah ayahku berniat amat jahat dan berdosa sehingga engkau harus membinasakan dia?"

Melengak juga Kwe Cing atas pertanyaan itu, tapi keadaan tidak mengidzinkannya untuk berpikir ia menjawab: "Dia mengaku musuh sebagai ayah, berkhianat dan melakukan kejahatan setiap orang dapat membunuhnya,"

"O, begituI" kata Nyo Ko, tanpa ragu ia terus angkat pedangnya dan hendak menikam ke kuduk sang paman.

Pada saat itulah mendadak bayangan berkelebat, sebuah pentung menghantam pedangnya sehingga pedangnya tertangkis ke samping. Waktu Nyo Ko melirik, kiranya yang bertindak itu adalah Siau~siang-cu. ia menjadi heran mengapa oranj| berbuat begitu, tapi segera iapun sadar: "Ya, kail sengaja menggagalkan usahaku membunuh Kwe Cing agar gelar jago nomor satu itu tidak jatuh kepadaku, Huh, kau mayat hidup ini mana tahu tujuanku hanya ingin menuntut balas saja, tentang nama kosong itu masakah pernah kupikirkan?".

Segera ia putar pedangnya, beberapa kali gebrakan ia desak pentung Siau-siang-cu ke samping menyusul ia hendak menikam lagi ke punggung Kwe Cing.

Waktu itu Kwe Cing lagi melayani gempuran kim-Iun Hoat-ong dan Nimo Singh, ia tidak maut tahu Nyo Ko sedang main gila di atas punggungnya disangkanya anak muda itu lagi menempur Siau~ siang cu dengan mati2an, malahan ia lantas memperingatkan Nyo Ko: "Awas, Ko-ji, pentungnya itu dapat menyemburkan asap berbisa!"

Nyo Ko mengiakan, sementara itu pentung Siau-siang-cu menyambar tiba pula. Keadaan itu dapat dilihat dengan jelas oleh Kim-lun Hoat-ong.

Nimo Singh yang berdiri di depan sana, jelas Nyo Ko akan berhasil, tapi selalu digagalkan.oleh Siau-siang cu, dengan gusar mereka lantas membentak: "Hai, Siau-siang cu, kau main gila apa?"

Siau-siang-cu menyeringai seram, mendadak pentungnya menghantam Kwe Cing, ketika untuk ketiga kalinya Nyo Ko hendak menikam punggung Kwe Cing, mendadak Siau-siang~cu menangkis lagi pedangnya.

Mengingat Nyo Ko lagi kurang sehat, Kwe Cing menguatirkan anak muda itu tidak sanggup melayani serangan Siau-siang-cu, segera ia membaiki tangan kiri dan menghantam ke dada musuh itu, seketika tubuh Siau-siang-cu tergetar dan terpaksa mundur dua-tiga tindak.

Dalam keadaan bebas tanpa rintangan, asal ditikam lagi tujuan Nyo Ko pasti akan tercapai tapi dilihatnya iga kiri Kwe Cing menjadi tidak terjaga karena serangannya kepada Siau-siang-cu, kesempatan itu telah digunakan Nimo Simgh untuk menerobos maju, senjata ularnya terus me-nusuk.

Karena kuatir tikaman akan berhasil setelah mundur segera Siau-siang-cu menubruk lagi dengan cepat, pentungnya terus menutuk hiatto maut di punggung Nyo Ko untuk membuat anak muda itu mau-tak-mau harus menjaga lebih dulu.

Sementara itu tangan kanan Kwe Cing sedang melayani Hoat-ong, kedua orang sedang mengadu tenaga dalam, tapi dia dan Nyo Ko justeru terancam bahaya sekaligus, dasar watak Kwe Cing memang berbudi luhur, dia tidak menyelamatkan diri sendiri, tapi menolong Nyo Ko lebih dulu, tangan kirinya terus menyampuk dengan jurus Sin-Iiong-pah-bwe" (naga sakti goyang ekor), dengan tepat pentung Siau-siang-cu terhantam, sekujur badan Siau-siang~cu terasa panas, mukanya yang pucat seketika berubah merah.

Tapi pada saat yang sama, senjata ular Nimo Singh juga sudah menyamber tiba, Kwe Cing sedang mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk melayani Kim-lun Hoat-ong serta menghantam Siau-siang-cu sehingga tiada sisa tenaga untuk menahan serangan Nimo Singh itu, dalam keadaan kepepet sedapatnya menarik tubuhnya sedikit ke belakang.

Serangan Nimo Singh itu dapat dielakkan, walaupun begitu kepala ular besi itu toh masuk juga pada iganya sedalam dua tiga senti-seketika Kwe Cing mengerahkan tenaga dan otot tangannya mengencang, daya tusuknya senjata ular tertahan dan sukar menancap lebih dalam dan sebelah kaki Kwe Cing lantas menendang hingga Nimo Singh terjungkal.

Tadinya Nimo Sing sudah bergirang melihat serangannya berhasil mengenai sasarannya dan yakin Kwe Cing pasti akan binasa dan gelar jago nomor satu akan jatuh padanya, sungguh tak terduga. bahwa dalam keadaan kepepet Kwe Cing sanggup mengeluarkan kepandaian lihay dan ia sendiri malah kena di tendang tepat pada dadanya kontan tiga tulang rusuknya patah.

Kalau disebelah sini ber-turut2 Siau-siang-cu dan Nimo Singh kecundang, di sebelah sana Kim-lun Hoat-ong terus mendesak lebih kuat dengan tenaga pukuIannya, lantaran luka pada iga kiri sehingga tenaga dalam Kwe Cing banyak terkuras, Kwe Cing tidak sanggup bertahan lagi, terasa suatu tenaga maha dahsyat menimpanya, kalau paksakan diri mengadu tenaga tentu jiwa sendiri akan melayang Terpaksa dilepaskan pertahanannya dan menerima sebuah pukulan dengan Lwekang tingkat tinggi telah dilatih selama sepuluh tahun ini. "Wuaakkk", tumpahlah darah segar keluar dari muIutnya.

Walaupun jiwa sendiri terancam bahaya namun Kwe Cing masih tetap memikirkan keselamatan Nyo Ko, serunya: "Lekas rebut kuda dan lari, Ko-ji, akan kutahan kejaran musuh bagimu!"

Betapapun hati Nyo Ko tergetar dan darah bergolak dalam rongga dadanya demi menyaksikan sang paman membelanya mati2an tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, tak terpikir lagi olehnya tentang dendam kesumat segala, ia pikir sedemikian luhur budi paman Kwe, kalau aku tidak membalas budi kebaikannya ini berarti percumalah hidupku ini.!



Segera ia melompat turun dari gendongan sang paman, ia putar pedangnya sedemikian kencang untuk melindungi Kwe Cing. ia mengamuk seperti banteng ketaton, ia menyerang mati2an.."

Kim-lun Hoat ong dan Siau-siang-cu tercengang melihat tindakan anak muda itu, seru mereka: "Hai, Nyo Ko, apa2an kau ini?"

Nyo Ko tidak menjawab "sret", ia menusuk Hoat-ong, begitu musuh mengelak "sret" serangannya beralih ke arah Siau-siang-cu.

Melihat Nyo Ko seperti orang kalap, tanpa terasa mereka sama melompat mundur.

"Jangan urus diriku, Ko-ji, lekas kau menyelamatkan dirimu!" seru Kwe Cing.

"Kwe-pepek, akulah yang bikin susah padamu, biarlah aku mati bersama kau saja," teriak Nyo Ko sambil putar pedangnya dengan kencang dia hanya melindungi Kwe Cing saja tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam dirinya sendiri

Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu sama2 ingin berebut gelar "jago nomor satu", karena itu mereka saling berlomba menawan atau membunuh Kwe Cing, senjata mereka berbareng menyerang. Tapi Nyo Ko telah putar pedangnya begitu hebat sehingga kedua orang itu tak dapat mendekat.

Di sekeliling mereka be-ribu2 perajurit Mangol bersorak sorai riuh rendah mengikuti pertarungan sengit itu. Ber-ulang2 Kwe Cing mendesak Nyo Ko lekas lari, tapi anak muda itu tetap bertempur membelanya, ia menjadi cemas dan berterima kasih pula, akhirnya ia merasa lemah dan tidak sanggup bertahan Iagi, kedua kakinya terasa lemas,jatuh terduduk.

Nimo Singh benar2 tangkas, meski tulang rusuknya patah tiga buah, ia angkat senjata ular dan mendekat dengan pelahan untuk membunuh Kwe Cing, Sekuatnya Nyo Ko menghalau ini, ia tahu sendirian sukar menahan tiga lawan, mendadak ia menarik Kwe Cing ke punggungnya dengan nekat ia terus menerjang keluar.

Kepandaian Nyo Ko memangnya bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, kini dia menggendong Kwe Cing, tentu saja dia tidak sanggup bertahan, Beberapa gebrakan kemudian lengan kirinya telah kena dilukai oleh roda emas Hoat-ong.

Pada detik yang berbahaya itulah se-konyong2 pasukan Mongol yang mengepung itu tersiak ke samping, seorang tua berkaki pincang bertongkat besi tampak menerjang datang dengan memutar senjatanya yang berbentuk palu besar.

"Lekas terjang keluar, Nyo Ko, akan kulindungi kau dari belakang!" seru kakek pincang itu. Kiranya dia adalah Pang Bik-hong, murid Ui Yok-su.

Seperti diketahui, dia dipaksa wajib kerja bagi pasukan Mongol untuk menggembleng dan membuat senjata, tapi diam2 ia bercita2 akan membunuh beberapa perwira Mongol namun selama ini belum ada kesempatan. Kebetulan hari ini ia terdengar suara pertempuran yang sengit, dari tempat ketinggian ia melihat Kwe Cing dan Nyo Ko dikepung, segera ia menerjang ke sisi untuk membantu merek.,

Ia putar palunya yang besar itu dengan kencang, siapa yang kebentur pasti kepala remuk dan tulang patah, karena itu dia berhasil membuka suatu jalan berdarah, Tentu saja Nyo Ko bergirang, cepat ia menerobos ke sana. Tapi Kim-lun Hoat ong tidak tinggal diam, ia putar rodanya dan sekaligus mengadang di depan Nyo Ko dan Pang Bik-hong, ia sambut semua serangan kedua orang itu..

Hanya kalau pentung Siau-siang-ou menghantam ke punggung Kwe Cing, maka Hoat-ong lantas memberi kesempatan pada Nyo Ko untuk menangkisnya agar serangan Siau-siang-cu itu gagal mengenai Kwe Cing.

Tapi jika rodanya mengepruk Kwe Cing, Siau-siang-cu juga lantas ayun pentungnya untuk menangkiskannya, untunglah kedua orang itu saling berlomba membunuh Kwe Cing, kalau tidak biarpun Nyo Ko bertempur mat2an juga sukar untuk menyelamatkan jiwa Kwe Cing.

sementara itu Kwe Cing dan Nyo Ko sudah bertempur sekian lamanya di tengah kepungan musuh yang ketat itu, Kim-lun Hoat-ong tidak sangsi lagi, cepat ia menubruk maju, rodanya terus menghantam dan beradu dengan pedang Nyo-Ko Kun-cu-kiam yang didapatkan Nyo Ko dari Coat-ceng-kok itu sangat tajam, roda Hoat-ong tertabas secuil, tapi Hoat-ong terus mendorong rodanya ke depan dengan tenaga kuat, kuatir Kwe Cing terluka, Nyo Ko tak berani mengegos ke samping, terpaksa ia menangkis pula dengan pedangnya, karena roda itu sudah menyerang dulu ke samping belakangnya, maka lengannya kembali tergores luka dan mengucurkan darah.

Meski lukanya tidak parah, namun sekali ini, pembuluh darah teriris oleh tepian roda yang tajam, darah terus mengalir, lambat laun Nyo Ko merasa lemas, tenaga juga semakin kurang, sedangkan musuh menyerang lebih gencar sehingga tak sempat membalut lukanya.

Dengan putar tongkat dan palunya Pang Bik-hong bermaksud membantu, namun pukulan Hoat-ong telah membuatnya kelabakan.

Melihat kesempatan baik, mendadak Siau-siang cu melompat ke atas, pentungnya terus menutuk kepala Kwe Cing, segera ia hendak menggunakan asap berbisa. Tentu saja Nyo Ko terkejut, dengan menggendong Kwe Cing, gerak-geriknya menjadi kurang gesit, tanpa pikir ia mengulur tangan kiri untuk menangkap ujung pentung musuh menyusul pedang di tangan kanan terus menusuk.

Keadaan Nyo Ko sekarang sama sekali tidak terjaga, kalau mau dengan mudah saja Hoat-ong dapat membinasakan anak muda itu, tapi Hoat-ong sengaja hendak memperalat Nyo Ko untuk menghalau serangan Siau-siang-cu, maka setelah mendesak mundur Pang Bik-hong, segera ia mencengkeram punggung Kwe Cing, dengan menawan Kwe Cing hidup2 berarti suatu jasa maha besar.

Dalam pada itu Nyo Ko telah mengeluarkan segenap kemahirannya, ia merebut pentung dan menusuk dengan pedang, kedua gerakan ini dilakukan dengan sekaligus belum lagi kaki Siau-siang-cu menancap kembali di atas tanah, tahu2 pentungnya sudah dipegang lawan, malahan pandangannya menjadi silau, ujung pedang Nyo Ko sudah nyamber tiba di depan

Dalam keadaan kepepet, tiada jalan lain kecuali pentung diIepaskannya, tubuhnya terus balik ke belakang dan dengan begitu jiwanya dipertahankan.

Sementara itu Pang Bik-hong menjadi melihat keadaan cukup gawat, kembali tongkat dan palunya menghantam ke punggung Kim-Iun Hoat-ong, Terpaksa Hoat-ong membaliki rodanya untuk menangkis, "trang~trang", tangan tergetar sakit namun sebelah tangannya masih terus mencengkeram ke punggung Kwe Cing.

Pang Bik-hong meraung keras, tongkat dan palu dibuangnya terus menubruk maju dengan kalap, ia rangkul tubuh Kim-Iun Hoat-ong se-kencang2nya, seketika kedua orang jatuh terguling, Tidak kepalang gusar Hoat-ong, "blang". ia hantam pundak Pang Bik-hong hingga isi perut murid Ui Yok su itu serasa terjungkir balik dan rontok.



Namun Pang Bik-hong benar2 sudah nekat, ia telah menyaksikan keganasan pasukan Mongol dan betapa hebatnya Siangyang digempur serta cara Kwe Cing berusaha menghalau musuh dengan mati2an, ia tidak kenal Kwe Cing dan juga tidak orang adalah menantu gurunya, cuma ia pikir kalau Kwe Cing mati, tentu kota Siangyang juga jatuh, sebab itulah ia sudah bertekad akan menoIong Kwe Cing sekalipun jiwa sendiri harus terbunuh...

Begitulah tanpa ampun Kim-lun Hoat-ong menghantam beberapa kali, seketika otot Pang Bik-hong putus dan tulang remuk, walaupun terluka parah, namun rangkulannya tidak menjadi kendur, bahkan semakin kencang sehingga kesepuluh jarinya ambles ke dalam daging tubuh Kim-lun Hoat-ong.

Tadinya perwira dan perajurit Mongol hanya menyaksikan pertarungan sengit itu, mereka yakin Kim-lun Hoat-ong dan Lain2 pasti akan berhasil kini mendadak tampak Hoat-ong terguling dan Siau-siang-cu melompat mundur, serentak mereka terus mengerubut maju. Dalam keadaan demikian, sekalipun tidak terluka juga Kwe Cing dan Nyo Ko sukar menahan terjangan beribu2 orang itu.

Diam2 Nyo Ko mengeluh nasibnya sekali ini pasti akan tamat Tapi sebelum ajal ia pantang menyerah, tanpa pikir ia putar pentung rampasannya dari Siau-siang-cu. Mendadak terdengar mendesis dari ujung pentung itu tersembur keluar asap, kontan sepuluh perajurit Mongol yang paling depan itu roboh terguIing.

Kiranya tanpa sengaja Nyo Ko telah menyentuh pesawat rahasianya itu dan menyemprotkan asap berbisa yang tersimpan di dalamnya.

Tercengang juga Nyo Ko, tapi segera iapun sadar apa artinya itu, cepat ia gendong Kwe Cing dan melangkah ke depan. Dilihatnya pasukan musuh membanjir tiba pula dari kanan-kiri, cepat ia tekan pesawat rahasia pentung itu, asap hitam tersembul keluar lagi dan berpuluh perajurit musuh kembali terguling.

Meski perwira dan perajurit Mongol, pada umumnya sangat tangkas di medan perang, tapi rata2 percaya tahayul, serentak mereka ber-teiak2: "Awas, dia bisa ilmu sihir, lekas menyingkir lekas!.."

Dengan leluasa dapatlah Nyo Ko menerjang lagi ke depan, ketika ia persuit, kudanya yang kurus itu mendekatinya dari sana, Nyo Ko sendiri sudah lelah, ia taruh Kwe Cing di atas kuda, ia sendiri tidak sanggup lagi lomoat ke atas kudanya, ia hanya tepuk pelahan pantat kuda itu dan berkata: "Kuda baik, lekas lari !"

Kuda itu sangat cerdik pula, dahulu Nyo Ko menyelamatkan jiwanya maka iapun cinta kepada majikannya, sebelum sang majikan naik di punggungnya, ia hanya angkat kepala dan meringkik saja, betapapun tidak mau lari dengan cepat.

Karena keadaan sangat gawat, pasukan Mongol sedang mengejar datang, terpaksa Nyo Ko gunakan pentungnya untuk menjojoh pantat kuda agar berlari, "Lekas kabur, kuda baik." serunya

Tak terduga karena ulahnya, tutukan pentung itu rada menceng dan mengenai kaki Kwe Ceng. sebenarnya Kwe Cing dalam keadaan hampir tak sadar, tutukan pentung itu membuatnya membuka matanya, segera ia tarik Kyo Ko ke atas kuda.

Merasakan sang majikan sudah berada di punggungnya, kuda itu meringkik girang dan membeda secepat terbang.

Terdengar suara tiupan tanduk riuh rendah di sana sini, pasukan Mongol mengejar dengan kencang, segera Kwe Cing bersuit, kuda merahnya berlari mendekati kuda kurus itu dan menggosokkan moncongnya pada tubuh Kwe Cing...

Nyo Ko tahu kuda sendiri itu betapapun tak dapat menandingi kecepatan kuda merah Kwe Cing itu, sementara itu pasukan Mongol melepaskan panah dari belakang. ia rangkul Kwe Cing dan sekuatnya melompat keatas kuda merah.

Pada saat itu juga terdengar suara mendengung di belakang, roda emas Hoat-ong sedang menyambar tiba.

Sedih juga Nyo Ko, ia tahu si pandai besi she Pang jelas telah menjadi korban keganasan Kim-lun Hoat-ong. Dalam pada itu roda musuh sudah semakin mendekat, ia berusaha mendekam di atas kuda dengan harapan roda itu menyamber lewat di atas tubuhnya, Tapi dari suara mendengung itu kedengaran berada di bagian bawah, agaknya sasaran roda itu adalah kaki kuda.

Serangan Kim-lun Hoat-ong ini sungguh keji, Setelah memukul mati Pang Bik-hong tadi, waktu ia berdiri kembali, dilihatnya Kwe Cing dan Nyo Ko sudah menyemplak ke atas kuda, untuk mengubernya jelas tidak keburu lagi segera ia mengumpulkan tenaga dan menyambitkan roda emasnya.

Yang diarah adalah kaki kuda, ia pikir andaikan Nyo Ko atau Kwe Cing tentu korbannya akan tetap dibawa lari oleh kuda itu, hanya kalau kaki tertabas patah barulah maksud tujuannya akan tercapai

Begitulah ketika mendengar roda musuh semakin mendekat, terpaksa Nyo Ko membaliki pedang ke belakang untuk menangkis, ia menyadari tenaga sendiri sudah lemah, tangkisan itu tetap sukar menahan roda musuh, soalnya sudah kepepet ia hanya berbuat sebisanya saja.

Tampaknya roda itu semakin mendekati tinggal satu meteran saja dari kaki kuda, suara mendengungnya terdengar mengejutkan Nyo Ko coba, mengacungkan pedangnya ke bawah untuk melindungi kaki kuda. Siapa duga kuda merah itu seperti sudah keranjingan setan saja, larinya semakin kencang, sekejap kemudian jarak roda dan kaki itu-tetap semeteran dan tidak bertambah dekat

Sungguh girang Nyo Ko tak terpikirkan, ia tahu samberan roda emas musuh itu makin lama tentu ma-kin lemah. Benar juga, sejenak pula jarak roda ini dengan kaki kuda itu sudah bertambah jauh, kini sudah ada dua meteran, habis itu lantas tiga meter, empat meter dan semakin jauh tertinggal di belakang Akhirnya "trang" roda emas itu jauh ke tanah.

Selagi bergirang, Yo Ko mendengar suara ringkikan kuda, waktu ia menoleh ke belakang, dilihatnya kudanya sendiri tadi telah terkapar dengan panah menancap di perut. Hati Nyo Ko menjadi pedih dan tanpa terasa mencucurkan air mata mengingat jasa kuda kurus itu.

Dalam pada itu kuda merah masih terus membedal secepat terbang, dalam sekejap saja pasukan Mongol yang mengejar itu sudah jauh tertinggal di belakang. Sambil merangkul tubuh Kwe Cing, kemudian Nyo Ko bertanya "Bagaimana keadaanmu Kwe-pepek?"

Kwe Cing hanya bersuara lemah sekali dan tidak menjawabnya. Waktu Nyo Ko memeriksa pernapasannya, terasa napasnya cukap keras, agaknya tidak menjadi soal sementara ini, hatinya terasa lega dan ia sendiri lantas pingsan malah.

Entah berapa lama ia mendekap di atas kuda dalam keadaan lelap, ketika mendadak dilihatnya di depan be-ribu2 perajurit musuh mengadang pula hendak menangkap Kwe Cing, segera ia memutar pedangnya sambil ber-teriak2: "Jangan mencelakai paman Kwe!" - ia memudar pedangnya serabutan dan mendadak pandangannya menjadi samar2 di sana-sini banyak wajah orang yang sedang memperhatikannya, waktu ia mengawasi lebih jelas, tiba2 sebuah wajah yang sangat dikenalnya tampak tersenyum padanya. Siapa lagi dia kalau bukan Siao~liong li.

Nyo Ko merasa sepeiti dalam mimpi saja, serunya: "He, Kokoh, engkau juga berada disini. Lekas - lari, jangan pikirkan diriku, Kwe~pepek, mana Kwe-pepek?"

"Tenanglah, Ko-ji, kau sudah pulang di sini, Kwe-pepekmu juga selamat, jangan kuatir," kata Siao-liong-li dengan suara lembut

Sangat lega hati Nyo Ko mendengar keterangan itu, baru sekarang ia merasakan tubuhnya lemas lunglai, ruas tulangnya se-akan2 terlepas semua, segera ia pejamkan mata pula.

Didengarnya suara Ui Yong sedang berkata: "Dia sudah siuman dan tak beralangan lagi, engkau masih mengawasi dia di sini."

Terdengar Siao-liong-li mengiakan, lalu Ui Yong melangkah pergi. Tapi sebelum keluar kamar, tiba2 terdengar suara kresek di atap ramah, air muka Ui Yong berubah, sekali ayun tangannya tiup padam api lilin.

Nyo Ko juga kaget dan cepat berduduk, dia cuma terluka luar lantaran banyak mengeluarkan tenaga pula terlalu seIama daIam pertempuran, sebab itulah dia jatuh pingsan. Tapi setelah istirahat sekian lama, pula Ui Yong telah memberi obat mujarab buatan Tho-hoa-to. tenaganya sudah pulih sebagian besar, maka begitu mendengar suara mencurigakan segera ia berbangkit hendak menghadapi musuh.

Namun dalam keadaan gelap Siao-liong-li sudah mengadang di depannya dengan pedang terhunus desisnya kepada Nyo Ko: "jangan bergerak, Ko-ji, kujaga kau di sini!"

Dalam pada itu terdengar suara gelak tertawa seorang di atas rumah, katanya: "kedatangan ku adalah untuk menyampaikan surat, tak kuduga bahwa menurut adat menerima tamu kalian adalah dalam keadaan gelap gulita." -Dari suaranya dapat dikenali orang ini adalah murid Kim-lun Hoat-ong, yakni pangeran Hotu.

"Menurut adat istiadat bangsa kami, menerima tamu yang terhormat harus di tempat yang terang, untuk menghadapi tamu yang suka main sembunyi paling baik dilakukan pada malam gelap gulita," jawab Ui Yong.

Seketika Hotu tak dapat berdebat lagi, pelahan ia melompat turun ke pelataran dan berscru: "Sepucuk surat ini diaturkan kepada: Kwe-Tayhiap."

Ui Yong membuka pintu kamar dan menjawab: "Baiklah, silakan masuk!"

Namun Hotu ragu2 karena kamar itu gelap gulita, ia berdiri di luar kamar dan berkata pula: "lnilah suratnya, harap diterima saja?"

"Kau mengaku sebagai tamu, mengapa tidak mau masuk kemari?" tanya Ui Yong.

"Laki2 sejati tidak sudi tersudut di tempat berbahaya, perlu waspada kemungkinan di jebak" ujar Hotu.

"Huh, masakah ada laki2 sejati mengukur orang lain dengan jiwa rendah seorang pengecut?" jengek Ui Yong.

Muka Hotu menjadi merah, diam2 ia mengakui ketajaman mulut Ui Yong, kalau berdebat pasti bakal kalah, daripada malu lebih baik mundur teratur saja. Maka ia tidak bicara pula, dengan pandangan tajam ke arah pintu ia menyodorkan surat yang dibawanya itu.

Ui Yong menjulurkan pentung bambunya dan mendadak menutuk kemuka orang, keruan Hotu terkejut dan cepat melompat mundur, tahu2 tangannya terasa kosong, surat yang dipegangnya entah kabur kemana?

Kiranya ketika pentingnya menutuk, berbareng Ui Yong terus memutar ujung pentung ke bawah untuk menyanggah surat yang disodorkan Hotu itu, ketika Hotu melompat mundur, surat itu seperti meiengket di ujung pentung dapat ditarik oleh Ui Yong. soalnya dia sedang hamil tua dan tidak ingin menemui tamu, sebab itulah dia tidak mau berhadapan dengan musuh.

Setelah terkejut segera pula dia berubah menjadi lesu, semangatnya yang menyala ketika memasuki Siangyang seketika lenyap sebagian besar menghadapi kelihayan Ui Yong itu, segera ia berseru: "Surat sudah kuserahkan sampai bertemu pula petang besok!"

Diam2 Ui Yong mendongkol atas kekurang-ajaran orang yang berani datang dan pergi sesukanya di kota Siangyang mi, mendadak ia ambil poci teh yang terletak di atas meja itu, air teh yang masih panas didalam poci itu terus dipancur-kan ke sana.

Sebenarnya sejak tadi Hotu sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan kalau ada senjata rahasia menyambar keluar dari dalam kamar, akan tetapi pancuran air teh panas itu datangnya tanpa suara apa2, tiada suara mendenging seperti senjata rahasia tajam umum nya, maka ketika dia mengetahui apa yang terjadi, tahu2 leher, dada dan lengannya sudah basah kuyup oleh air teh yang panas itu, ia menjerit terkejut dan cepat mengegos puja ke samping.

Namun Ui Yong sudah berdiri ditepi pintu sebelum Hotu berdiri tegak, cepat pentung bambunya menjulur ke lengan gaya "menjegal" dari Pak~kau-pang-hoat (ilmu permainan pentung penggebuk anjing), "plok", ia sabet kaki Hotu hingga pangeran Mongol itu jatuh terjungkal.

Cepat Hctu melompat bangun, tapi gaya menjegal pentung Ui Yong masih terus bekerja dengan cepat, belum lagi dia berdiri sudah dirobohkan pula dan begitu seterusnya dia jatuh bangun hingga kepala pusing tujuh keliling.

Sebenarnya ilmu silat Hotu tidaklah rendah, kalau bertempur benar2 dengan Ui Yong rasanya takkan dirobohkan secara begitu mengenaskan walaupun kepandaiannya memang masih kalah tinggi dan dibawah pangcu kaum jembel yang sedang hamil tua ini. Tapi lantaran mendadak dia disembur air teh panas, dia mengira kena serangan obat berbisa yang sangat lihay dan bisa jadi jiwanya akan melayang, kalau tertahan lebih lama dan air racun itu bekerja, bukan mustahil badannya akan membusuk dan entah bagaimana dia akan tersiksa.



Dalam keadaan kejut dan ragu2 itulah mendadak Ui Yong menyerangnya pula, bahkan pentungnya menyambet ber-turut2 tanpa berhenti, sama sekali dia tidak sempat balas menyerang, keruan dalam kegelapan itu ia jatuh bangun hingga hidung bocor kepala benjut.

Sementara kedua saudara Bu juga mendengar keributan itu dan memburu tiba, segera Ui Yong menyuruh mereka meringkus Hotu.

Mendadak Hotu mendapat akal, ia tahu kalau bangun lagi pasti akan di jegal jatuh pula, maka ia pura2 menjerit dan terbanting jatuh, padahal tubuhnya memang sudah kesakitan maka sekalian ia lantas berbaring di situ untuk mengaso, Ketika kedua saudara Bu menubruk maju hendak menawannya, se-konyong2 Hotu menjulurkan kipasnya dan sekaligus tutuk Hiat-to kaki kedua orang, menyusul ia dorong tubuh kedua saudara Bu untuk merintangi pentung Ui Yong, ia sendiri terus melompat ke sana dan naik ke atas pagar tembok.

"Ui pangcu, lihay benar permainan pentung-mu, tapi goblok amat anak didikmu!" serunya dengan tertawa.

"Huh, tubuhmu sudah terkena air beracun, mana orang lain mau menyentuh tubuhmu?" jengek Ui Yong.

Seketika Hotu melengak kaget, ia merasa air panas yang mengenai tubuhnya itu berbau teh, entah air racun macam apa?

Rupanya Ui Yong dapat menerka pikirannya, ia berkata pula: "Kau terkena racun, tapi sama sekali kau tak tahu nama racunnya, tentu matipun kau tidak rela, Baiklah, biar kuberitahukan, air racun itu bernama Cu-ngo-kian-kut teh (teh pembusuk tulang sampai lohor)."

"Cu-ngo-kian-kut-teh?" Hotu mengulang istilah itu..

"Benar," ujar Ui Yong. "Setetes saja racun itu mengenai tubuh, maka sekujur badan akan membusuk hingga kelihatan tulangnya pada waktu Iohor. Nah, kau masih ada waktu beberapa jam, lekas pulang saja untuk mengurus tempat kuburanmu."

Hotu tahu Ui-pangcu dari Kay-pang ini terkenal lihay dan cerdik, bahwa dia mampu meracik obat racun seperti apa yang dikatakan itu memang tidak perlu disangsikan lagi, seketika ia menjadi termangu bingung, apa mesti pulang menanti ajal atau merendah diri untuk mohon obat penawarnya?

Ui Yong juga tahu pangeran Mongol itu bukan orang bodoh, tentang air racun segala hanya dapat menipunya sementara, lama2 tentu juga akan diketahui kebohongannya. Maka ia lantas berkata pula. "Sebenarnya kita tiada dendam apa2, kalau kata2mu tidak kasar, tentu jiwamu takkan melayang."

Dari naga ucapan orang Hotu merasa ada setitik sinar harapan untuk hidup, tanpa pikir harga diri lagi segera ia melompat turun dari pagar tembok, ia memberi hormat dan berkata: "Ya,Cayhe-tadi berlaku kasar padamu, mohon Ui-pangcu sudi memaafkan."

Berdin di belakang pintu dapatlah Ui Yong meraba secomot kotoran debu, lebih dulu ia ludahi dan dipelintir menjadi butiran, Dengan pelahan ia selentikkan "obat pil" itu kepada Hotu sambil feerkata: "Baiklah, lekas minum!"

Cepat Hotu menangkap "pil" itu dan tanpa pikir terus ditelan mentah2, walaupun rasanya agak pahit namun jiwa selamat paling perlu, ia memberi hormat pula dan mengucapkan terima kasih kepada Ui Yong, Kini ia sudah patah semangat ia mundur2 ke tepi pagar tembok baru melompat ke atas dan angkat kaki.

Ui Yong menghela napas gegetun setelah Ho tu pergi, dibukanya Hiat-to kedua saudara Bu yang terkutuk tadi. Teringat olehnya kata2 ejekan Hotu tadi, "Iihay sangat permainan pentung Ui-pangcu, tapi goblok amat anak didikmu", ia menjadi sedih melihat kedua saudara Bu. Meski caranya menjatuhkan Hotu tadi tidak menggunakan tenaga, tapi perutnya terasa rada sakit juga, ia duduk mengaso di kursi.

Sementara itu Siao-liong-li telah menyalakan api lilin, Ui Yong coba membuka surat antaran Hotu itu dan dibacanya, Kiranya surat itu dari Kim-lun Hoat ong yang menyatakan kagum atas ketangkasan Kwe Cing, yang dapat datang dan pergi di tengah pasukan Mongol itu, untuk itulah Kim-lun Hoat-ong menyatakan hendak mengadakan kunjungan balasan ke Siangyang besok.

Tentu saja Ui Yong terkejut, ia perlihatkan surat itu kepada Nyo Ko dan Siao-liang li- Katanya: "Meski tembok benteng Siangyang sangat kuat, tapi sukar menahan tokoh2 persilatan. Paman Kwe terluka parah, akupun tidak mampu berbuat banyak, sedangkan musuh akan datang secara benar2 bagaimana baiknya nanti?"

"Paman Kwe..." belum lanjut ucapan Nyo-Ko, tiba2 dilihatnya Siao liong li melirik padanya dengan sinar mata yang mengandung arti menyalahkannya menyelamatkan jiwa Kwe Cing, seketika ia tidak melanjutkan perkataannya.

Ui Yong menjadi curiga, ia tanya pula: "Nona-Liong, kesehatan Ko-ji juga belum pulih, nanti terpaksa harus mengandalkan engkau dan Cu Cu-liu, Cu-toako menghadapi kedatangan musuh."

Siao-liong-li tidak biasa berdusta dan ber-pura2, apa yang dipikirkan. itu pula yang dikatakan, dengan tak acuh ia lantas menjawab: "Aku cuma melindungi Ko-ji seorang, mati-hidup orang lain tiada sangkut paut dengan kami.."

Tentu saja Ui Yong bertambah heran, seketika iapun tidak dapat bertanya lebih banyak, hanya dikatakan kepada Nyo Ko: "Menurut paman Kwe, semuanya berkat perjuanganmu."

Teringat kepada maksudnya hendak membunuh Kwe Cing, Nyo Ko merasa malu diri, jawabnya: "Ah siautit tidak becus hingga membikin Kwe pepek terluka."

"Kau sendiri istirahat dulu, kalau musuh datangi jika tidak mampu melawan dengan tenaga dapatkah kita mengalahkan mereka dengan akal," ujar Ui Yong, Lalu ia berpaling kepada Siao-liontg-Ii "Nona Liong, marilah ikut padaku, aku ingin bicara sebentar dengan kau."

"Tapi dia....." Siao-liong-li ragu2 memandangi Nyo Ko. Sejak pulangnya anak muda itu, Siao-liong-li terus menunggunya di situ, maka ia merasa berat meninggalkan anak muda itu.

"Musuh menyatakan akan datang besok, ku-yakin malam ini pasti takkan terjadi sesuatu," ujar Ui Yong, "Marilah ikut, apa yang hendak kubicarakan ada hubungannya dengan Ko-ji."

Siao-liong-li mengangguk. Lebih dulu ia membisik beberapa pesan kepada Nyo Ko, habis itu baru ikut Ui Yong keluar kamar, Ui Yong membawanya ke kamarnya sendiri, letelab menutup pintu kamar barulah ia berkata: "Nona Liong, kau bermaksud membunuh kami suami istri, bukan?"

Walaupun watak siao-liong-li polos bersih, tapi dia bukanlah orang bodoh, dia bertekad akan membunuh Kwe Cing dan Ui Yong untuk menolong jiwa Nyo Ko, kalau Ui Yong memancingnya dengan kata2 mana dapat mengelabuinya, tapi sekarang Ui Yong dapat meraba wataknya yang lugu, tanpa tedeng aling2 ia tanya secara langsung, Karuan Siao-liong-li menjadi melengak dan menjawab dengan tergagap "Ka... kalian baik kepada kami, mengapa kami...kami membunuh kalian?"



Melihat sikap orang, Ui Yong tambah yakin akan dugaannya segera ia berkata pula: "Kau tidak perlu merahasiakannya lagi, sudah kuketahui maksud kalian, Ko-ji menganggap kami yang membinasakan ayahnya, maka dia ingin membunuh kami untuk menuntut balas, Kau suka kepada Ko-ji dan hendak membantu terlaksana cita2nya itu."

Karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai, dasar Siao-liong-li memang tidak bisa berdustai, seketika ia terdiam, sejenak kemudian barulah ia menghela napas dan berkata: "Sungguh aku tidak paham!"

"Tidak paham apa? tanya Ui Yong.

"Sebab apa tadi Ko ji menyelamatkan Kwe-tayhiap dengan mati2an, padahal dia sudah berjanji dengan Kim-lun Hoat-ong akan membunuh Kwe- tayhiap," kata Siao-liong-li.

Terkejut juga Ui Yong mendengar keterangan itu, bahwa dia sudah menduga ada maksud jahat pada Nyo Ko, tapi sama sekali tak tersangka anak muda itu akan bersekongkol dengan pihak Mongol. Maka iapun tenang2 saja dan berlagak sudah mengetahui semuanya, katanya: "Mungkin dia melihat Kwe-tayhiap sangat baik hati padanya, akhirnya dia sendiri tidak tega turun tangan."

Siao-liong-li mensangguk, katanya dengan sedih: "Urusan sudah telanjur begini, apa mau dikatakan lagi? Kalau dia tidak memikirkan jiwanya sendiri, ya terserah padanya, Aku sudah tahu dia adalah orang paling baik di dunia ini, dia lebih suka mati sendiri daripada mencelakai musuhnya."

Sekilas timbul beberapa pertanyaan dalam benak Ui Yong, tapi sukar juga menarik kesimpulan dari arti ucapan Siao-liong-li itu. Dilihatnya air muka si nona sangat sedih dan cemas, sedapatnya iapun menghiburnya: "Tentang kematian ayah Ko-ji itu memang banyak lika-likunya, biarlah kelak kita membicarakannya secara lebih jelas, Lukanya tidak parah, setelah istirahat beberapa hari tentu akan sehat kembali, kau tidak perlu berduka."

Siao-liong-li memandangi Ui Yong dengan ter-mangu2, sejenak kemudian mendadak air matanya bercucuran, katanya dengan ter-gagap2: "Tapi... tapi jiwanya hanya... hanya tinggal tujuh hari, mana mungkin istirahat lagi hehe... beberapa hari segala..."

"Jiwanya tinggal tujuh hari apa maksudmu?" Ui Yong menegas dengan terkejut "Lekas jelaskan. kita pasti dapat menolongnya."

Siao-liong-li menggeleng pelahan, tapi akhirnya ia menceritakan juga kejadian di Cui-sian-kok itu tentang cara bagaimana Nyo Ko terkena racun bunga cinta dan Kiu Jian-jio cuma memberinya setengah butir pil Coat-ceng-tan serta memberi waktu 18 hari untuk membunuh Kwe Cing dan Ui Yong, habis itu baru setengah butir Coat-ceng-tan yang lain akan diberikan lagi.

Diceritakan juga betapa tersiksanya apabila racun bunga cinta itu mulai bekerja dan bahwa di dunia ini hanya tersisa separoh Coat-ceng-tan itu yang dapat menolong jiwa Nyo Ko.

Semakin kejut dan heran Ui Yong oleh cerita itu, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Kiu Jian-jiu itu tokoh Bu-Iim yang terkenal belasan tahun yang lalu itu masih mempunyai seorang adik perempuan serta membangkitkan malapetaka sehebat itu.

Setelah bercerita secara ringkas, akhirnya Siao liong-li berkata: "Jadi umurnya tinggal tujuh hari lagi, seumpama malam ini kalian suami-istri dapat dibunuh juga tak sempat lagi untuk kembali ke Coat-ceng-kok, lalu untuk apa lagi kubikin celaka kalian? Tujuanku hanya menolong Ko-ji, mengenai dendam kematian ayahnya segala aku tidak urus."

SemuIa Ui Yong mengira maksud tujuan Nyo-Ko hanya ingin menuntut balas kematian ayahnya jtu, siapa tahu di dalam urusan ini masih banyak lika-liku soal lain, jika begitu berarti anak muda itu membunuh diri kalau dia batalkan niatnya membunuh Kwe Cing, sungguh luhur pengorbanan Nyo Ko yang tiada bandingannya ini.

Begitulah Ui Yong mondar mandir di dalam kamar dengan bingung, betapapun cerdik pandainya, tak berdaya juga menghadapi keadaan yang serba sulit ini ia pikir beberapa jam lagi musuh akan menyerbu tiba secara besar2an, meski tadi ia menghibur Nyo Ko agar jangan kuatir dan bahwa dapat mengalahkan musuh dengan akal andaikan tidak mau melawannya dengan kekuatan. Tapi bagaimana akalnya itu sungguh sukar diperoleh.

Bahwasanya Siao-liong-li hanya memikir dan mencintai Nyo Ko dengan setulus hatinya, sedangkan pikiran Ui Yong justeru bercabang dua, setengahnya ia berikan kepada sang suami dan separuh lain terbagi kepada anak perempuannya. Yang dipikirkannya kini hanya "Bagaimana caranya menyelamatkan kakak Cing dan anak Hu?"

Tiba2 terpikir olehnya: Kalau Ko-ji dapat mengorbankan dirinya sendiri demi orang lain, mengapa aku tidak? Karena pikiran ini, segera ia berpaling kepada Siao-liong-Ii dan berkata, dengan ikhlas: "Nona Liong, aku mempunyai akal yang dapat menolong jiwa Ko-ji, apakah kau mau menurut padaku?"

Saking girangnya tubuh Siao-liong-li sampai gemetar, jawabnya "Biarpun aku harus.... harus matipun... Ai, sebenarnya matipun bukan apa2 bagiku, sekalipun berpuluh kali lebih susah daripada mati juga aku... aku akan menurut."

"Baik," kata Ui Yong, "Urusan ini hanya kau dan aku saja yang tahu, jangan sekali2 kau bocorkan kepada orang lain, Ko-ji sekalipun tidak boleh kau beritahu. Kalau tidak semuanya akan gagal total."

Ber-uIang2 Siao-liong-li mengiakan lalu Ui Yong berkata pula: "Jika musuh datang nanti, hendaklah kau dan Ko-ji melindungi Kwe-tayhiap sekuat tenaga, bila bahaya ini sudah lalu, segera kuserahkan kepalaku ini padamu dan Ko-ji dapat menggunakan kuda merah ke Coat-ceng-kok untuk menukarkan sisa obat yang diperlukannya itu.

Siao-liong-li melengak, "Apa katamu?" ia menegas karena belum paham apa maksudnya.

Dengan suara halus Ui Yong menjelaskan "Cintamu kepada Ko-ji melebihi jiwamu sendiri, bukan? Asalkan dia selamat, biarpun kau sendiri akan mati juga kau rela dan gembira, bukan?"

Ucapan Ui Yong dengan jitu mengenai lubuk hati Siao liong-li, nona itu mengangguk dan berkata.

"Sebab serupa kau, akupun cinta kepada suamiku," ucap Ui Yong dengan tersenyum hambar. Kau tidak punya anak sehingga tidak tahu perasaan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya sesungguhnya tidak kurang daripada kasih sayang antara suami isteri. Aku cuma minta kau melindungi keselamatan suami dan putriku, selebihnya apa lagi yang kuharapkan?"

Siao-liong-li berpikir sejenak, belum lagi ia menjawab Ui Yong telah berkata pula: "Kalau kau mau bergabung dengan Ko-ji tentu tidak sukar mengalahkan si gundul Kin lun Hoat-ong, Sudah beberapa kali Ko-ji menolong jiwa kami suami istri, masakah sekali saja aku tak dapat menolong jiwanya? Kuda merah itu sehari dapat berlari ratusan li, tidak sampai tiga hari tentu dapat mencapai Coat~ceng-kok, ingin kukatakan padamu, Kiu Jian-li dan Nyo Khong semuanya mati di tanganku dan tiada sangkut pautnya dengan Kwe-tayhiap. jika kepalaku sudah diserahkan, walaupun masih belum puas tentu juga Kiu Jian-jio akan memberikan obatnya kepada Ko-ji. selanjutnya kalian berdua semoga dapat berjuang bagi negara dan bangsat andaikan tidak dapat dan ingin mengasingkan diri dipegunungan sunyi juga aku merasa berterima kasih."



Cukup tegas ucapan Ui Yong, kecuali itu memang tiada jalan lain lagi, Beberapa hari terakhir ini Siao-liong-li selalu memikirkan cara bagaimana akan membunuh Kwe Cing dan Ui Yong untuk menyelamatkan jiwa Nyo Ko, tapi sekarang hal itu terucap dari mulut Ui Yong sendiri, ia menjadi merasa tidak enak malah ber-ulang2 ia menggeleng dan berkata: "Tidak, tidak bisa!"

Selagi Ui Yong hendak membujuknya lebih lanjut, tiba2 terdengar Kwe Hu berseru di luar kamar "lbu, ibu! Engkau di mana?"suaranya kedengaran gelisah dan bingung.

Ui Yong terkejut cepat ia menjawab: "Ada urusan apa, Hu-ji?"

Kwe Hu mendorong pintu dan melangkah masuk, tanpa pedulikan hadirnya Siao-lieng-li di situ, ia terus menubruk ke dalam pelukan sang ibu dan berseru: "lbu, kedua kakak Bu telah..." mendadak ia menangis dan tidak dapat melanjutkan.

"Ada api lagi?" tanya Ui Yong sambil mengerutkan dahi.

"Mereka . . . mereka kakak beradik telah keluar... keluar benteng untuk ber... berkelahi," tutur Kwe Hu dengan ter sendat2.

"Berkelahi apa?" bentak Ui Yong dengan bengis saking gusarnya. "Maksudmu mereka kakak beradik saling berhantam?"

Jarang sekali Kwe Hu melihat ibunya marah, ia menjadi takut, jawabnya dengan suara gemetar:

"Ya... ya, kuminta mereka jangan berkelahi tapi mereka tidak mau menurut Katanya akan berkelahi mati2an, mereka menyatakan diantara mereka hanya akan pulang seorang saja, yang kalah, andaikan tidak mati juga takkan pulang Idgi untuk menemuiku."

Ui Yong tambah gusar, ia pikir musuh berada di depan mata, jiwa segenap penduduk kota berada di ujung tanduk, tapi kedua saudara Bu itu masih sempat saling bunuh untuk berebut seorang nona. Saking gusarnya hingga mengganggu kandungannya yang sudah besar itu, seketika keringat dingin memenuhi dahinya.

"Tentu kau lagi yang mengacau." kata Ui Yong dengan suara berat "coba ceritakan yang jelas, apa yang telah kau lakukan, sedikitpun tidak boleh dusta."

Kwe Hu melirik sekejap ke arah Siao-Iiong-!i, mukanya berubah merah dan ragu2 untuk bicara.

Siao-liong-li sendiri lagi memikirkan Nyo Ko dan tiada minat buat mendengarkan cerita tentang saling hantamnya kedua saudara Bu itu, segera ia mohon diri dan menuju ke kamar Nyo Ko, sepanjang jalan ia terus merenungkan apa yang diuraikan Ui Yong tadi.

Sesudah Siao-liong-Ii pergi barulah Kwe Hu berkata pula: "Bu, setelah kedua kakak Bu gagal berusaha membunuh Kubilai dan tertawan musuh sehingga membikin susah ayah, semua itu adalah kesalahan anak. Kalau persoalan ini tidak ku tuturkan bukankah sia2 saja kasih sayang ayah-ibu padaku?"

BegttuIah ia lantas bercerita tentang persaingan kedua saudara Bu kepadanya dan cara bagaimana dia menyuruh mereka membunuh musuh sebagai syarat utama untuk mendapatkan dirinya, tapi akibatnya kedua pemuda itu tertawan musuh.

Ui Yong tahu anak perempuannya ini terlalu dimanjakan sejak kecil, meski berbuat salah juga tidak mau mengaku salah, Maka iapun tidak mengungkat kejadian yang sudah lalu itu, ia hanya berkata: "Mereka sudah pulang dengan selamat, mengapa keluar benteng lagi untuk berkelahi?"

"Hal ini adalah salahmu, Bu," ujar Kwe Hu.

"Sebab engkau mengatakan mereka adalah murid yang goblok."

"Kapan pernah kukatakan demikian?" jawab Ui Yong melengak.

"Menurut cerita mereka, tadi Hotu datang menyampaikan surat tantangan, ibu menyuruh mereka menangkap Hotu, tapi Hiat-to mereka malah kena ditutuk dan engkau mengomeli mereka sebagai "murid goblok"

Ui Yong menghela napas, katanya: "Kepandaian mereka memang kalah tinggi, apa mau di-katakan lagi? "Mund goblok" adalah olok2 yang diucapkan Hotu,"

"Pantas," ucap Kwe Hu "lbu tidak membalas olok2 Hotu itu berarti mengakui kebenaran - ucapannya, Maka kedua saudara Bu merasa penasaran keduanya bertengkar sendiri dan saling menyalahkan, yang satu bilang saudaranya kurang cepat menawan Hotu, yang lain menuduh sang kakak merintangi pandangannya sehingga sukar bertindak.

Dari ribut mulut akhirnya mereka meloIos senjata, Aku mengomeli mereka, jika perbuatan mereka dilihat orang dan dilaporkan kepada ayah, kuancam akan menghajar mereka, Karena itu mereka menyatakan akan berkelahi keluar benteng saja."

"Banyak persoalan penting yang harus kuselesaikan, urusan mereka tak dapat kupikirkan lagi, mereka suka ribut, biarkan saja," ujar Ui Yong.

"Tapi... tapi kalau terjadi apa2 antara mereka, lantas bagaimana, ibu"? kata Kwe Hu sambil merangkul pundak sang ibu.

"Kalau mereka terluka di medan perang barulah perlu dikuatirkan sekarang mereka saling berhantam antara saudara sendiri, biar mampus juga syukur," kata Ui Yong dengan gusar.

Melihat sikap sang ibu yang bengis itu berbeda sekali dengan biasanya yang sangat memanjakan dirinya, Kwe Hu tidak berani bicara lagi, ia menangis dan berlari pergi...

Sementara itu fajar sudah tiba, Ui Yong berduduk sendiri di dalam kamar, meski dalam hati sangat gemas terhadap perbuatan kedua saudara Bu, tapi mengingat kedua kedua anak muda itu dibesarkannya sejak kecil, betapapun ia merasa kuatir.

Teringat pula bencana yang bakal menimpa, tanpa terasa ia mencucurkan air mata, Kemudian iapun teringat kepada keadaan Kwe Cing, cepat ia menuju kamar sang suami untuk menjenguknya.

Dilihatnya Kwe Cing sedang duduk semadi di atas ranjang, walau mukanya rada pucat, tapi napasnya teratur, tampaknya setelah istirahat beberapa hari lagi dapatlah sehat kembali.

Pelahan2 Kwe Cing membuka matanya, ketika melihat sang isteri ada tanda bekas air mata, namun tersenyum simpul, ia lantas berkata: "Yong-ji, kau tahu lukaku tidak beralangan, kenapa kau berkuatir?, kukira kau sendiri yang perlu mengaso se-baik2nya."



"Ya, beberapa hari terakhir ini perutku terasa mengencang, agaknya putera atau puterimu segera akan berjumpa ayah,-" ujar Ui Yong dengan tertawa. Agar Kwe Cing tidak berkuatir, maka soal Hotu datang menyampaikan surat tantangan dan kepergian kedua saudara Bu untuk berkelahi itu sama sekali tak diceritakannya.

"Hendaklah kau suruh kedua saudara Bu perketat patroli di atas benteng, musuh tahu aku terluka, mungkin kesempatan ini akan digunakan mereka untuk menyerang," ujar Kwe Cing.

Ui Yong mengiakan. Lalu Kwe Cing bertanya pula tentang keadaan Nyo Ko.

Bclum lagi Ui Yong menjawab, terdengar suara tindakan orang dari luar, suara Nyo Ko telah menanggapi "Kwe-pepek, aku cuma terluka luar saja, setelah minum obat pemberian Kwe-pekbo, kini sudah sehat kembali" Habis itu anak muda itupun melangkah masuk dan berkata pula- "Baru saja kuperiksa keadaan penjagaan di atas benteng, tampaknya semangat tempur segenap saudara kita ber-kobar2, hanya kedua saudara..." Sampai di sini mendadak Ui Yong berdehem dan mengedipinya, Nyo Ko dapat menerima arti isyarat itu,cepat ia menyambung: "kedua saudara Bu menyatakan bahwa paman terluka demi menolong jiwa mereka, kalau musuh berani menyatron ke sini, mereka pasti akan bertempur mati2an untuk membalas budi kebaikan paman."

"Ai, setelah peristiwa itu tentunya merekapun bertambah pengalaman sedikit dan tidak terlalu meremehkan orang lain," kata Kwe Cing.

Tiba2 Nyo Ko bertanya: "Kwe-pekbo, apakah Kokoh tidak datang ke sini?"

Tadi kami bicara sebentar, mungkin dia kembali ke kamarnya untuk mengaso." jawab Ui Yong, "Sejak kau terluka dia terus menunggui kau tanpa tidur."

Nyo Ko pikir apa yang dibicarakan antara Siao-liong li dengan Ui Yong itu tentu akan diberitahukan padanya, bisa jadi kembalinya Siao-liong-li tadi kebetulan dirinya sedang pergi tidak bertemu.

Rupanya setelah berkumpul lagi beberapa hari dengan Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko merasa suami-isteri itu benar2 berjuang bagi negara dan bangsa tanpa memikirkan kepentingan pribadi, hati Nyo Ko menjadi sangat terharu, apalagi setelah kejadian di tengah pasukan Mongol itu, di mana Kwe Cing telah menyelamatkannya dengan mati2an, maka maksudnya hendak membunuh Kwe Cing seketika dibuang seluruhnya dan berbalik ia bertekad akan membalas budi kebaikan Kwe Cing dengan segenap tenaganya.

Ia tahu racun bunga cinta dalam tubuhnya akan bekerja tujuh hari lagi, tapi ia sengaja melupakannya dan sedapatnya ingin berbuat sesuatu yang baik di dalam tujuh hari ini agar tidak sia2 menjadi manusia. Sebab itulah begitu dia sadar kembali dan merasa sehat, segera ia ikut ronda akan kemungkinan serbuan musuh.

Begitulah ia menjadi kuatir akan diri Siao-liong-li, segera ia hendak pergi mencarinya. Pada saat itulah tiba2 di atas wuwungan rumah sana seorang bergelak tertawa dengan suaranya yaag nyaring menggetar telinga, menyusul terdengar pula suara benturan logam yang mendengking, jelas Kim-lun Hoat-ong yang telah tiba.

Air muka Kwe Cing berubah seketika, cepat ia tarik Ui Yong ke belakangnya. Dengan suara tertahan Ui Yong berkata: "Engkoh Cing mana lebih penting mempertahankan Siangyang atau cinta kasih kita? Lebih penting keselamatanmu atau ke-sdamatanku?"

"Benar, kepentingan negara lebih utama," jawab Kwe Cing sambil melepaskan pegangannya kepada sang isteri

Segera Ui Yong siapkan pentung bambu dan mengadang diambang pintu, ia menjadi ragu2 pula pada Nyo Ko, anak muda ini entah akan ikut menghalau musuh atau berbalik akan menuntut batas dendam pribadi pada saat orang sedang terancam bahaya.

Karena itulah meski dia berjaga di ambang pintu, tapi pandangannya justeru mengawasi gerak-gerik Nyo Ko.

Tanya jawab singkat Kwe Cing dan Ui Yong tadi ternyata seperti bunyi guntur yang menggelegar dalam pendengaran Nyo Ko, Bahwa dia sebenarnya sudah bertekad akan membantu Kwe Cing hanya disebabkan dia terharu oleh budi luhur sang paman dan rela berkorban baginya.

Tapi kini mendadak didengarnya sang paman menyatakan: "Kepentingan negara lebih utama", segera teringat pula ucapan Kwe Cing di luar Siangyang kemarin yang menganjurkannya mengabdi bagi rakyat dan negara, seketika pikiran Nyo Ko terbuka dan paham arti semua luapan itu.

Dilihatnya betapa kasih sayang paman dan bibinya itu, disaat menghadapi bahaya mereka tetap mengutamakan kepentingan negara dan bangsa, sebaliknya dirinya senantiasa melulu memikirkan sakit hati pribadi dan tidak melupakan cinta ibunya dengan Siao liong-Ii, bilakah dirinya pernah ingat kepada kepentingan negara yang lebih utama dan penderitaan rakyat jelata di bawah keganasan musuh? Kalau dibandingkan, maka dirinya sendiri sungguh rendah dan memalukan sekali.

Setelah menginsafi semua itu, seketika lega dadapun lapang terngiang kembali ajaran Ui Yong di Tho-hoa-to dahulu yang mengutamakan pendidikan budi pekerti itu, semua itu kini menjadi sangat jalas dan terang dalam benaknya, tanpa terasa ia menjadi malu, tapi bangkit juga semangatnya.

Maklumlah watak Nyo Ko memang ekstrim, sejak kecil kenyang siksa derita, sebab itu tindak tanduknya sering rada nyentrik. Tapi setelah mendengar percakapan Ui Yong dan Kwe Cing tadi, kepalanya seperti mendadak dikemplang, pikirannya menjadi terbuka, seketika dia memasuki hidup baru.

Meski apa yang dipikirnya itu hanya terjadi sekilas saja, tapi Ui Yong dapat melihat perobahan air muka Nyo Ko itu dari rasa bimbang menjadi malu, dari bersemangat berubah menjadi tenang, tapi entah apa yang dipikirkan anak muda itu.

"Jangan kuatir," tiba2 Nyo Ko mendesis kepada Ui Yong, mendadak ia bersuit nyaring dan menuju ke depan pintu dengan pedang terhunus- Dilihatnya Kim-lun Hoat-ong berdiri di atas rumah dengan memegang sepasang rodanya.

"Adik Nyo, kau suka miring ke sana dan doyong ke sini, pagi merah sore biru, bagus ya rasanya menjadi pengecut yang. bolak-balik?" ejek Hoat-ong.

0i waktu biasa tentu Nyo Ko akan gusar mendengar ejekan itu, tapi sekarang pikirannya sudah terang, ia tidak gubris sindiran orang, dengan tertawa malahan ia menjawab : "Ucapanmu memang benar, Hoat-ong, entah mengapa aku menjadi kesetanan dan membantu Kwe Cing lari ke sini, Begitu sampai dt sini ia lantas menghilang entah ke mana dan tak dapat kuketemukan Iagi. Aku menjadi menyesal, apakah kau tahu dia sembunyi di mana?"

Habis itu ia lantas melompat ke atas rumah dan berdiri tidak jauh di sebelah Hoat-ong.



Dengan perasaan sangsi Kim - lun Hoat - ong melirik Nyo Ko, ia pikir anak muda ini banyak tipu akalnya, entah benar tidak ucapannya itu, dengan tertawa ia lantas berkata: "Dan bagaimana kalau dapat menemukan dia?"

"Segera kutusuk dengan pedangku ini," jawali Nyo Ko.

"Hm, kau berani menusuk dia?" jengek Hoat-ong.

"Siapa bilang menusuk dia?" ujar Nyo Ko.

"Habis menusuk siapa?" Hoat-ong menegas dengan bingung.

"Sret", mendadak Kun~cu~kiam yang terhunus di tangan Nyo Ko itu menusuk iga kiri Hoat-ong dengan cepat luar biasa. "Sudah tentu menusuk kau!" seru Nyo Ko sekaligus

Di tengah sendau guraunya mendadak Nyo Ko melancarkan serangan lihay itu, kalau saja Kim-lun Hoat-ong kurang tinggi kepandaiannya tentu jiwanya sudah melayang oleh tusukan itu. Untung dia dapat bergerak dengan cepat, dalam keadaan bahaya itu dia kerahkan tenaga pada lengan kiri dan menyampuk ke samping, dengan demikian ujung pedang Nyo Ko dapat ditangkis, walaupun begitu tidak urung lengannya terluka juga oleh pedang pusaka itu, darahpun bercucuran.

Meski sudah tahu Nyo Ko banyak tipu akalnya, tapi sama sekali Hoat-ong tidak menduga anak muda itu akan menyerangnya sekarang secara mendadak, segera roda emas ditangan kanannya bergerak dan ber-turut2 ia balas menyerang dua kali, berbareng itu roda perak di tangan kiri juga menghantam.

Nyo Ko tidak gentar sedikitpun, musuh menyerang tiga kali, kontan iapun batas menusuk tiga kali, katanya dengan tertawa: "Ketika di tengah pasukan Mongol kau telah melukai aku dengan rodamu, sekarang beruntung aku dapat membalas kau dengan sekali tusukan, Cuma ujung pedangku ini ada sesuatu yang aneh, kau tahu tidak?"

Dengan gusar Hoat-ong melancarkan serangan gencar sambil bertanya: "Sesuatu yang aneh apa maksudmu?"

"Kau tahu pedangku ini kuperoleh dari Coat-ceng-kok tempat Kongsun Ci yang mahir menggunakan racun itu," kata Nyo Ko dengan ber-seri2. "Nah, kelak kau boleh mencari dia untuk membikin perhitungan."

Hoat-ong terkejut, ia menjadi sangsi apakah benar Kongsun Ci telah memoles racun pada ujung pedang, karena bimbang hatinya, serangannya menjadi rada kendur.

Padahal pedang Nyo Ko itu sama sekali tidak berbisa. soalnya ia ingat pada cara Ui Yong menggertak lari Hotu dengan air teh itu, maka iapun menirukan cara itu untuk mengacaukan pikiran musuh yang lihay ini.

Meski lukanya tidak terlalu parah, tapi darah mengucur terus, seumpama pedang Nyo Ko itu tidak berbisa, lama2 kalau darah keluar terlalu banyak tentu akan lemah tenaganya, maka Kim-lun Hoat-ong lantas menyerang dengan lebih gencar agar bisa mengalahkan Nyo Ko.

Namun Nyo Ko cukup cerdik, ia bertahan dengan rapat sedangkan serangan roda Hoat- ong itu semakin dahsyat. Mendadak roda emasnya itu menghantam bagian atas dan roda peraknya menyabet dari samping. Merasa tidak sanggup menangkisnya, cepat Nyo Ko melompat mundur.

Kcsempatan itu segera digunakan Hoat-ong untuk merobek kain baju buat membalut luka, akan tetapi Nyo Ko segera menubruk maju dan menyerang lagi, sedapatnya ia mengganggu Hoat-ong agar tidak sempat mengurus lukanya, Begitulah beberapa, kali Hoat-ong tidak berhasil membalut lukanya, tiba2 ia mendapat akal, ketika Nyo Ko dipaksa melompat mundur, ia sendiri juga lantas melompat - mundur, menyusul ia menimpukkan roda emas untuk mendesak Nyo Ko terpaksa harus menghindari lagi, dengan begitu jarak kedua orang bertambah jauh, ketika Nyo Ko memburu maju lagi, sekejap itu telah dapat digunakan Hoat-ong untuk membalut lukanya.

Pada saat itu juga di sebelah sana terdengar suara nyaring benturan senjata, waktu Nyo Ko memandang ke sana, dilihatnya Siao-liong-li sedang menandingi kerubutan Siau-siang-cu dan Nimo Singh. Meski pentung Siau-siang-cu sudah dirampas Nyo Ko kemarin, tapi sekarang dia memegang pentung yang serupa, hanya pentung ini entah juga berbisa atau tidak.

Nyo Ko pikir Kwe Cing dan Ui Yong berada dalam kamar di bawah, kalau diketahui Kim-Iun Hoat-ong tentu urusan bisa runyam, ia pikir Hoat-ong harus dipancing pergi sejauhnya, cuma tindakan ini harus dilakukan, secara wajar tanpa menimbulkan curiga musuh, Karena itulah ia sengaja berseru: "Jangan kuatir, Kokoh, akan kubantu kau!" Habis ini ia sengaja meninggalkan Kim-lun Hoat-ong dan melompat ke sana, begitu sampai di belakang Nimo Singh. segera pedangnya menusuk punggung musuh itu.

Setelah dilukai Nyo Ko sudah tentu hati Kim lun Hoat-ong sangat gusar, kalau orang lain tentu akan menguber Nyo Ko untuk membalas dendam.

Tapi dia memang seorang pemimpin besar, setiap tindak tanduknya selalu dipikir secara panjang, ia pikir tujuan utama kedatangannya ini adalah membunuh ICwe Cing, sakit hati pada anak muda nakal yang telah melukainya ini biarlah kubalas kelak. Begitulah ia lantas berteriak keras2: "Wahai, Kwe Cing? Ada tamu datang dari jauh, mengapa kau tidak sudi menemuinya?"

Dia berteriak beberapa kali dan tetap tiada jawaban orang, hanya dari sebelah lain ada suara orang bertempur yaitu kedua muridnya, Darba dan Hotu, sedang mengeroyok Cu Cu-Iiu. Dilihatnya pertempuran antara Siau-siang-cu dan Nimo Singh melawan Nyo Ko serta Siao liong-li juga sukar di tentukan kalah menang dalam waktu singkat, sementara itu di bawah rumah sudah ramai orang banyak, agaknya pasukan penjaga benteng juga mendengar datangnya musuh, maka dikerahkan ke sini untuk menangkap musuh penyelundup ini.

Biarpun tidak gentar terhadap perajurit yang tidak mahir ilmu silat itu, tapi kalau berjumlah banyak tentu juga repot menghadapinya, segera Hoat-ong berteriak pula: "Wahai Kwe Cing, percumalah nama kepahlawananmu yang termashur selama ini, mengapa sekarang kau terima menjadi kura2 yang mengerutkan kepala!"

Ia ber-teriak2 dengan tujuan memancing keluar Kwe Cing, akan tetapi Kwe Cing tetap tidak mau muncul Tiba2 Hoat-ong mendapat akal keji, ia melompat turun ke pekarangan belakang, di situ ada kayu bakar yang mudah dijilat api, segera ia mengeluarkan alat ketikan api dan membakar kayu dan benda2 lain yang mudah terbakar, Dengan gesit ia lari kian kemari, ber-turut2 ia menyalakan api di beberapa tempat, lalu ia melompat lagi ke atas rumah, ia pikir kalau api sudah berkobar masakah kau Kwe Cing takkan menongol ?


Walaupun Nyo Ko sedang menempur Siau~ siang-cu berdua, tapi pandangannya tidak pernah meninggalkan gerak-gerik Kim-lun Hoat-ong, ketika melihat orang mulai membakar rumah, bagian utara dan selatan tempat berdiam Kwe Ciag itupun mengepulkan asap api, ia menjadi kuatir, karena sedikit lengah hampir saja dadanya tersabet oleh ular baja Nimo Singh, syukur pada detik terakhir ia sempat menarik dadanya sedikit hingga terhindar dari maut



Diam2 Nyo Ko berkeringat dingin dan bersyukur dapat menyelamatkan diri., Segera terpikir pula olehnya Kwe pepeknya terluka parah dan sang bibi sedang menantikan kelahirannya, di tengah api yang sudah berkobar itu, kalau tidak lekas lari tentu akan terkurung oleh api. Tapi kalau lari keluar tentu pula akan dipergoki oleh Kim-lun Hoat-ong.

Terpaksa ia meninggalkan Siao-liong-li sendiri menghadapi kedua lawan tangguhnya lebih duIu ia menyerang Siau-siang-cu, habis itu ia terus melompat turun ke rumah dan maju ke tengah asap api itu, untuk mencari Kwe Cing.

Dilihatnya Ui Yong berduduk di tepi ranjang menjagai Kwe Cing, asap tebal ber-gulung2 me-rembes ke dalam kamar. Kwe Cing memejamkan mata sedang menghimpun tenaga, kedua alis Ui-Yong berkerut rapat, namun air mukanya tampak tenang2 saja, ia tersenyum ketika melihat Nyo Ko.

Hati Nyo Ko rada lega melihat kedua orang itu tidak merasa cemas atau gugup, segera ia berkata kepada Ui Yong: "Akan kupancing pergi musuh, harap bibi memindahkan paman ke tempat yang aman."

Habis berkata dengan pelahan ia menanggalkan kopiah Kwe Cing, cepat pula ia berlari keluar ruang.

Ui Yong tercengang dan tidak paham tingkah itu, tapi ia tahu anak muda itu banyak tipu akal2 nya, dilihatnya api sudah semakin berkobar mendekati kamar, cepat ia memayang Kwe Cing dan berkata: "Marilah kita pindah ke tempat lain." -Tapi baru saja ia mengangkat sang suami, tiba2 perutnya kesakitan keras, tanpa tertahan ia mengaduh dan terduduk kembali di tepi ranjang.

Diam2 ia mendongkol terhadap jabang bayi yang berada dalam kandungannya itu, sungguh brengsek, tidak lambat tidak cepat, justeru mau lahir pada saat segenting ini, bukankah sengaja hendak bikin celaka kedua orang tua?

Padahal hari lahirnya sebenarnya masih beberapa hari lagi, tapi lantaran beberapa hari terakhir ini ia terus sibuk sehingga menggoncangkan janin dalam kandungannya itu lahir terlebih cepat...

Begitulah Nyo Ko keluar kamar Kwe Cing dilihatnya para perajurit sedang ber-teriak2 dan sibuk memadamkan api, ada pula yang memanah ke atas rumah dan ada pula yang memutar senjata berjaga di bawah rumah.

Ia incar seorang pemira muda yang sedang memanah, mendadak ia tutuk Hiat-to perwira itu, menyusul kopiah Kwe Cing terus dipasang pada kepala perwira itu, kemudian ia menggendongnya terus melompat ke atas rumah.

Saat itu Siau-siang-cu dan Nimo Singn yang mengerubut Siao-liong-li serta Darba dan Hotu mengroyok Cu Cu-Iiu sudah tampak unggul, sedangkan Kim-lun Hoat ong sedang mempermainkan Kwe Hu dengan ancaman sepasang rodanya, ia sengaja tidak mencelakai jiwa nona itu, hanya tepian roda yang tajam sengaja mengiris kian kemari di depan wajah Kwe Hu, jaraknya cuma satu-dua senti meter saja, kalau tersenggol pasti rusaklah muka Kwe Hu yang cantik itu, dengan begitu ber-ulang Kim-lun Koat-ong membentak agar nona itu mengaku di mana ayah-bundanya bersembunyi.

Rambut Kwe Hu tampak semerawut, pedangnya sudah kutung sebagian, tapi ia masih terus bertahan dengan nekat, ia anggap tidak mendengar semua pertanyaan Kim-lun Hoat-ong.

Selagi Kim-lun Hoat-ong berusaha memaksa pengakuan Kwe Hu, se-konyong2 dilihatnya Nyo Ko menggendong seorang dan berlari cepat ke barat-laut. Ah, Orang yang digendongnya itu tidak bergerak, tentu Kwe Cing adanya.

Sambil bersiul panjang Hoat-ong terus meninggalkan Kwe Hu dan mengudak kesana.

Melihat itu, Siau-siang-cu, Nimo Singh, Darba dan Hotu berempat juga meninggalkan lawan mereka dan ikut mengejar, Cu Cu liu menguatirkan Nyo Ko yang sendirian itu pasti bukan tandingan musuh sebanyak itu, cepat iapun menyusul ke sana untuk membantu Nyo Ko dan melindungi Kwe Cing.

Waktu melompat ke atas rumah dan lewat di samping Siao-liong-li tadi, Nyo Ko sempat mengedipi Siao-liong-li disertai senyuman yang aneh penuh arti, Siao-liong li tahu anak muda itu sedang "main" lagi, hanya tidak tahu tipu daya apa yang sedang dilakukannya.

Tampaknya kekuatan musuh terlalu besar, maka iapun bermaksud mengejar kesana untuk membantunya. Tapi pada saat itu juga tiba2 di bawah rumah ada suara tangisan jabang bayi.

"He, ibu telah melahirkan adik!" seru Kwe Hu dengan girang sambil melompat turun.

Siao-liong-li menjadi tertarik dan ingin tahu orang melahirkan, pula ia yakin isyarat Nyo Ko yang banyak tipu akalnya itu pasti mempunyai makna tertentu, maka segera iapun ikut ke dalam rumah untuk melihat anak yang dilahirkan Ui Yong.

Sementara itu Kim-lun Hoat-ong mengejar dengan kencang, tampaknya jaraknya dengan Nyo Ko makin dekat, ia menjadi gjrang, pikirnya: "Coba sekali ini apakah kau mampu lolos dari tangan ku!"

Ginkang aliran Ko-bong pay (kuburan kuno) yang dipelajari Nyo Ko itu boleh dikatakan tiada tandingannya di dunia ini, meski dia menggendong seorang, tapi mengingat semakin jauh meninggalkan Kwe-pepeknya berarti keselamatan sang paman ter-jamin, karena itu ia berlari secepatnya seperti kesetanan, seketika Kim-lun Hoat-ong tak dapat menyusulnya.

Begitulah Nyo Ko terus ber-Iari2 di atas deretan rumah, ketika kemudian mendengar langkah orang dibelakangnyn semakin mendekat, segera ia melompat ke bawah rumah, lalu dia berputar kian kemari diantara gang2 sempit dan main kucing2an dengan Kim-lun Hoat-ong.

Meski Ginkang Nyo Ko lebih tinggi setingkat daripada Hoat-ong, tapi dia dibebani menggendong seorang, kalau kejar mengejar ditanah datar tentu sejak tadi sudah disusul oleh Hoat-ong, untung dia lari putar sini-dan belok sana di antara gang dan lorong sempit rumah2 penduduk sehingga Hoat-ong tetap tak dapat menangkapnya.

Segera Hoat-ong berkata: "Saudara Sing, cepat jaga dimulut gang ini, biar kumasuk ke sana untuk menangkap setan cilik itu."

Mendadak Nimo Singh mendelik dan menjawab: "Memangnya aku mesti tunduk kepada perintahmu?"

Hoat-ong pikir si Hindu cebol ini sukar di-ajak berunding, tanpa berkata lagi ia terus melompat ke atas rumah, dari ketinggian ia memandang sekitarnya, kebetulan dilihatnya Nyo Ko meringkuk pada pojok tembok dengan menggendong "Kwe Cing", agaknya sedang melepas lelah.

Girang sekali Hoat-ong, dengan ber-jinjit, ia merunduk maju, bara saja ia hendak menubruk ke bawah, mendadak Nyo Ko menjerit sekali, dengan cepat sekali anak muda itu menyusup ke tengah kabut asap yang tebal dan seketika kehilangan jejaknya.

Tujuannya Hoat-eng mengobarkan api adalah untuk memaksa keluarnya Kwe Cing, sekarang dimana2 api berkobar dan asap tebal ber-gulung2, jadinya malah sukar menemukan Kwe Cing.



Selagi dia celingukan ke sana-sini, tiba2 terdengar seruan Darba: "lni dia, di sini!"

Cepat Hoat-ong memburu ke sana, dilihatnya Darba dengan gadanya yang berat itu sedang kececar oleh serangan pedang Kyo Ko. Dua kali lompatan saja dapatlah Hoat-ong tiba di sana dan mencegatnya dulu jalan lari anak muda itu.

Diluar dugaan mendadak Nyo Ko menerjang ke depan, "bluk", tahu2 Darba diterjangnya hingga terjungkal pada saat itu juga roda perak Hoat-ong juga sudah disambitkan

Samberan roda perak itu cepat luar biasa, Nyo Ko tidak sempat mengelak, "cret", dengan tepat pundak Kwe Cing tergores luka yang cukup dalam.

Dengan girang Hoat-ong berseru: "Kena kau sekali ini!"

Tak tahunya Nyo Ko sedikitpun tidak peduli- akan mati hidupnya Kwe Cing dan masih terus ber-Uri ke depan. Tapi begitu sampai di ujung lorong sana, mendadak seorang bersuara seram menghaIanginya: "Menyerahlah, anak kecil!" - Kiranya Siao-siang -cu adanya.

Keadaan Nyo Ko sekarang benar2 kepepet bagian depan diadang musuh, jalan mundur juga tersumbat, waktu ia mendongak, diatas pagar tembok pun berdiri Nimo Singh, Tanpa Nyo Ko melompat ke atas, kontan Nimo Singh mengemplangnya dengan ular bajanya, untuk mendesak anak muda itu turun ke lorong buntu lagi.

Nyo Ko pikir setelah sekian lamanya tentu Kwe Cing dan Ui Yong sudah lolos dari bahaya, segera ia cengkeram perwira yang digendongnya itu terus disodorkan kepada Nimo Sinnh sambil terseru: "lni, kuserahkan Kwe Cing padamu!"

Kaget bercampur girang Nimo Singh, disangkanya Nyo Ko memang suka bolak-balik memihak sana-sini dan sekarang mendadak anak muda itu berputar haluan lagi serta memberikan pahala besar padanya, maka tanpa pikir ia terus tangkap tubuh orang yang dilemparkan padanya itu.

Tak terduga Nyo Ko terus menyusuli dengan sekali tendang dan tepat mengenai pantat Nimo-Singh, kontan Hindu cebol terjungkal ke bawah tembok dan tentu pula kesaktiannya, tapi Nimo-Singh sama sekali tidak memusingkan sakit atau tidak, bahkan ia terus ber-teriak2 girang: "Kwe Cing berhasil kutangkap! Kwe Cing sudah kutangkap!"

Tentu saja Siau-siang-su dan Darba tidak membiarkan pahala besar itu dicaplok sediri oleh Nimo Singh, cepat mereka memburu maju untuk merebut, ketiga orang sama memegangi anggota badan perwira tadi, ada yang pegang tangan, ada yang memegang kaki, sekali mereka membetot, karena tenaga mereka sama2 kuat, seketika tubuh perwira itu terbeset menjadi tiga bagian.

Kopiah yang dipakainya lantas terjatuh, Nimo Singh bertiga dapat melihat jelas orang yang mereka rebut-kan itu ternyata bukan Kwe Cing adanya, keruan mereka melengak dan tak dapat bersuara.

Ketika melihat Nyo Ko membuang Kwe Cing yang digendongnya terus melarikan diri, segera Hoat-ong menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres, maka waktu melihat ketiga kawannya itu melengak kesima, ia lantas memaki: "Goblok"

Segera Hoat-ong mengudak lagi ke arah Nyo Ko, ia pikir andaikan Kwe Cing, tidak berhasil ditangkap, kalau dapat menawan Nyo Ko juga tidak sia2 kedatangannya ke Siangyang ini.

Namun sementara itu Nyo Ko entah sudah kabur ke mana, jelas sukar menemukannya. Hoat-ong berpikir sejenak, segera ia dapat menarik kesimpulan "Bocah itu sengaja menggendong seorang Kwe Cing palsu dan main kucing2an dengan aku, tentu tujuannya memancing aku mengejarnya, jika begitu jelas Kwe Cing pasti berada ditempat yang kubakar tadi. Dia memakai akal licik, biarlah akupun menggunakan akalnya itu untuk menjebak dia." - Karena itu ia tidak peduli lagi ke mana kaburnya Nyo Ko, ia terus menuju ke tempat yang paling ganas dimakan api.

Padahal saat itu Nyo Ko sedang mengawasi gerak-gerik Hoat-ong, ia bergelantungan di bawah emper rumah, ketika melihat Hoat-ong berlari cepat ke tempat sembunyi Kwe Cing, ia menjadi kuatir, ia tidak tahu waktu itu Ui Yong sudah memindahkan suaminya ke tempat lain atau belum, maka cepat iapun mengintil Hoat-ong.

Setiba di dekat tempat Kwe Cing tadi, mendadak Hoat-ong melompat ke bawah sambil membentak: "Bagus, kau Kwe Cing! Kiranya kau berada di sini, lekas ikut saja padaku?"

Keruan Nyo Ko kaget, selagi hendak melompat turun, tiba2 terdengar suara gemerincing, suara beradunya senjata, lalu terdengar pula suara bentakan Hoat-ong: "Nah, Kwe Cing lekas menyerah saja kau."

Menyusul suara mendering benturan senjata berbunyi pula ber-turut2. seketika Nyo Ko tahu apa yang terjadi, ia tertawa sendiri dan mengomel di daIam hati: "Setan gundul, hampir saja kuterjebak olehmu, Sayang akalmu yang busuk itu kurang cermat, kau pura2 mengeluarkan suara benturan senjata segala, padahal dalam keadaan terluka mana Kwe~ pepek sanggup menempur kau dengan senjata, Hnw kau ingin menipu aku, aku justeru sembunyi di sini untuk menonton sandiwaramu."

Begitulah mendadak terdengar Hoat-ong berteriak pula: "Aha, sekali ini kau pasti mampus, NyoKo!"

Tentu saja Nyo Ko terkejut, ia heran mengapa dirinya dikatakan pasti mampus? Tapi segera ia paham maksudnya, agaknya Kim - lun Hoat - ong tidak berhasil memancing dirinya keluar, sekarang berbalik hendak memancing munculnya Kwe Cing muncul menolongnya.

Terdengar Hoat-ong bergelak tertawa dan berkata pula: "Hahaha, Nyo Ko, sekali ini jiwamu melayang di tanganku, agaknya memang nasibmu begini."

Belum habis ucapannya^ se-kenyong2 bayangan putih berkelebat seorang gadis menerobos keluar dari tengah gumpalan asap sana dan menubruk ke arah Hoat-ong, Cepat Nyo Ko berseru: "Aku berada di sini, Kokoh!"

Gadis itu memang Siao-liong-li adanya, Hoat ong lantas putar rodanya dan mencegat di depan Siao-liong-li. Rupanya suara Hoat-ong yang mengatakan jiwa Nyo Ko pasti akan melayang itu telah membikin kuatir Siao - liong - li, tanpa pikir ia terus menerjang keluar untuk menolongnya.

Terpaksa Nyo Ko ikut menerjang maju untuk mengerubuti Hoat-ong, Kedua muda-mudi saling pandang dengan tersenyum bahagia, seketika Giok-ii-kiam-hoat dimainkan dengan sangat indah, sinar pedang mereka mengurung rapat Kim-lun Hoat~ong.

Diam2 Hoat-ong mengeluh: "CeIaka, ini benar2 mengundang bahaya untuk mencelakai diri sendiri!"

Sementara itu api masih berkobar dengan hebatnya, banyak tiang dan belandar berjatuhan Mendadak Hoat-ong perlihatkan keperkasaannya, sekali kedua rodanya diangkar sekaligus ia tangkis kedua pedang lawannya, habis itu cepat ia mundur ke kiri sana.



"Sekali ini jangan membiarkan dia lolos lagi, harus binasakan bibit bencana ini!" seru Nyo Ko kepada Siao-liong-Ii sambil memburu maju, "sret", kontan ia menusuk punggung Hoat-ong.

Sejak kecundang oleh Giok-li-kiam-hoat tempo hari dengan tekun lioat-ong telah merenungkan sejurus ilmu silat yang dapat mematahkan ilmu pedang itu, walaupun begitu ia mengakui Giok-li-kiam-hoat yang dimainkan secara berganda itu teramat lihay, apakah dirinya dapat mematahkannya atau tidak sesungguhnya iapun tidak berani memastikannya, sekarang keadaan berbahaya tanpa pikir ia keluarkan ilmu silat ciptaannya yang baru itu: Ngo-lun-tay-coan" (putaran Iima roda sekaligus) untuk mencobanya,

Begitulah serentak ia keluarkan semua senjata rodanya, terdengar suara gemerincing nyaring, tiga buah rodanya terus melayang di udara, sedangkan setiap tangannya tetap memegangi sebuah roda pula.

Kelima rodanya itu terbuat dari emas, perak, besi, tembaga dan-timah, bobotnya tidak sama, besar kecilnya juga rada berbeda, akan tetapi secara bergiliran ia menyambitkan dan menangkap kembali rodanya, lalu disambitkan pula dan begitu seterusnya, samberan roda itu terkadang lurus dan terkadang miring, seketika Nyo Ko dan Siao-liong-Ii dibikin bingung.

Melihat cara serangan musuh sangat aneh dan lihay, sedapatnya Nyo Ko dan Siao liong-li mendempel punggung, mereka berjaga sedapatnya untuk mengamati serangan musuh, habis itu baru mencari jalan untuk mematahkannya.

Kelima roda Kim-lun Hoat-ong itu terus beterbangan, akan tetapi Nyo Ko dan Siao-Iiong-li telah memutar pedangnya hingga berwujud sebuah jaringan sinar perak, betapapun hebatnya roda Hoat-ong itu tetap sukar menembus pertahanan lawan. Diam2 Hoat-ong patah semangat, ia pikir percumalah latihanku selama ini, ternyata lima rodaku sekaligus juga sukar menandingi permainan ganda ilmu pedang mereka.

Selagi Hoat-ong merasa lesu, se-konyong dari pangkuan Siao-liong~li ada suara menguak beberapa kali, itulah suara tangisan jabang bayi.

Hal ini tidak saja membuat Hoat-ong terkejut, bahkan Nyo Ko juga melengak heran. Ketiga orang sama tertegun sehingga pertarungan mereka menjadi mengendur dengan sendirinya.

Dengan tangan kiri Siao-liong-li menepuk pelahan pangkuannya sambil berkata: "Jangan menangis sayang, lihatlah kuhajar Hwesio tua ini." -Tak tahunya bayi itu malah menangis semakin keras.

"Anak Kwe-pekbo?" tanya Nyo Ko dengan suara lirih.

Siao-liong-li mengangguk dan menusuk satu kali pada Kim-lun Hoat-ong.

Kim-lun Hoat-ong menangkis dengan roda emasnya ia tidak dengar jelas pertanyaan Nyo Ko tadi seketika ia tidak paham untuk apakah Siao-liong-Ii membawa seorang bayi, tapi mengingat nona itu dibebani seorang bayi, tentu daya ilmu pedangnya akan berkurang dan sebaliknya sangat menguntungkan dirinya, maka cepat ia lancarkan serangan gencar kepada Siao-liong-li.

Lekas Nyo Ko balas menyerang beberapa kali agar tekanan musuh kepada Siao-liong li berkurang berbareng ia mendesis pula kepada Siao-liong-li.

"Apa paman dan bibi Kwe baik2 saja?"

"Ui-pangcu sempat memayang Kwe-tayhiap menyelamatkan diri dari lautan api....." trang" ia tangkis roda musuh yang menyerangnya, lalu menyambung: "Keadaan waktu itu sangat gawat, belandar rumah sudah hampir runtuh, syukur aku sempat menyelamatkan anak perempuan ini dari tempat tidur.

"Anak ini perempuan?" Nyo Ko menegas sambil menabas kaki Hoat-ong untuk memaksa musuh menarik kembali serangannya kepada Siao-liong-li.

Tadinya ia pikir Kwe Cing sudah punya anak perempuan, anaknya yang bakal lahir tentu anak laki2, siapa tahu kembali mendapatkan anak perempuan, hal ini rada diluar dugaannya.

Siao-liong-Ii mengangguk dan menjawab: "Ya, perempuan, lekas kau membawanya..." sembari berkata tangan kirinya terus menjulur ke pangkuannya dan bermaksud menyerahkan orok itu kepada Nyo Ko.

Akan tetapi bayi itu menangis keras, sedang saat serangan Hoat-paig semakin gencar, tiga buah roda ber-putar2 di atas kepala, begitu ada peluang lantas menyerang ke bawah, kedua roda yang di-peganginya terlebih lihay pula cara menyerangnya, Nyo Ko juga cuma dapat bertahan sekadarnya dengan segenap tenaganya, sehingga sukar menerima penyerahan bayi dari Siao-liong-li. .

Karena itu ber-ulang2 Siao-liong-li berseru pula "Lekas bawa bayi ini dan gunakan kuda merah itu ke..." trang-trang, roda Hoat-ong menyerang lebih gencar hingga Siao-liong-li tidak dapat melanjutkan ucapannya.

Dalam keadaan demikian, apa yang terpikir oleh Nyo Ko dan Siao-liong-li menjadi berbeda sehingga daya tempur Giok-li-kiam-hoat sukar dikerahkan.

Nyo Ko pikir bayi itu harus diterima dulu agar Siao-liong-li tidak terpencar perhatiannya, maki pelahan ia menggeser ke sana, Siao - liong-li juga ingin menyerahkan bayi itu kepada Nyo Ko, jadi kedua orang ada perpaduan pikiran, segera daya tempur ilmu pedang mereka bertambah kuat, Kim lun Hoat-ong terdesak mundur lagi.

Segera Siao - liong - li menyodorkan bayi itu kepada Nyo Ko dan baru saja anak muda itu mengulur tangan hendak menerimanya, se-konyong2 bayangan hitam berkelebat roda besi Hoat-ong menghitam ke badan bayi itu, Kuatir bayi itu terluka, Siao-liong-li lepaskan bayi itu, berbareng tangannya Iurus memutar ke atas untuk mencengkeram roda isi itu.

Samberan roda besi itu sangat keras, pula tepian cukup tajam, kalau orang lain pasti tidak berani menyentuhnya, tapi Siao-liong-li memakai sarung tangan buatan dari benang emas yang halus, sekalian pedang dan golok pusaka juga berani dipegangnya dan dipatahkan olehnya.

Maka waktu menempel roda musuh, sekapan ia tolak ke samping lalu dengan gerakan miring ia hentikan putaran roda.

Pada saat itu juga Nyo Ko sudah dapat memondong bayi tadi dan berseru memuji demi menyaksikan Siao-liong-li merampas roda musuh, Kalau saja roda itu langsung menghantam Siao-liong-Ii tentu sukar dipegangnya tapi lantaran sasaran roda itu adalah si bayi, maka Siao-liong-li berhasil menangkapnya dari samping, Tampaknya inilah kelemahan permainan "panca-roda" Kim-lun Hcat-ong,

Siao liong-li sangat senang karena dapat menangkap senjata lawan, tiba2 ia menirukan gaya permainan Hoat-ong, roda besi itu terus menghantam musuh, ia pikir biar "senjata makan tuannya".

Hoat-ong menjadi kejut dan malu karena senjatanya terampas musuh, dengan sendirinya pula ii tidak dapat memainkan "panca roda" dengan begitu ia terus simpan kembali kedua roda yang lain, hanya dua roda saja yang dipegangnya untuk menyerang.

Sambil merangkul bayi itu, Nyo Ko berseri kepada Siao-liong-li agar membinasakan dulu musuh gundul itu. Siao-liong-li mengiakan, segera mereka menyerang dengan sepasang pedang ditambah lagi roda rampasan.



Tak terduga, makin Iaraa daya serangan mereka bukanlah bertambah kuat, sebaliknya malal sering kacau, kerja sama terasa kurang "sreg", keruan Siao-liong-li merasa bingung, ia tidak tahu apa sebabnya.

Ia lupa bahwa Giok-li-kiam-hoat itu memiliki daya tempur yang hebat adalah karena adanya perpaduan perasaan antara pasangan yang memainkan ilmu pedang itu. sekarang di antara sepasang pedang mereka bertambah lagi roda besi, hal ini menjadi seperti di antara sepasang kekasih telah di susupi oleh orang ketiga yang menimbulkan gangguan, dengan sendirinya paduan pikiran "menreka menjadi teralang dan kerja sama merekapun menjadi kacau.

Setelah beberapa jurus lagi dan terasa semakin payah, Siao-liong-li menjadi gelisah, katanya kepada Nyo Ko: "Hari ini kita tak dapat mengalahkan dia, lekas kau membawa anak ini ke Coat-ceng-kok..."

Segera Nyo Ko paham maksudnya, kalau sekarang juga berangkat dengan kuda merah itu tentu dalam tujuh hari dapat mencapai Coat-ceng-kok, meski kepala Kwe Cing dan Ui Yong tak dapat di bawanya, tapi anak perempuan mereka yang dibawa ke sana, tentu Kwe Cing dan isterinya akan segera menyusul ke sana dan Kiu Jian-jio dapat berusaha menuntut batas kepada mereka.

Dalam keadaan begitu mau tak-mau Kiu Jian-jio harus memberikan separoh obatnya kepada Nyo Ko dan bila racun dalam tubuhnya sudah punah, kelak ia masih dapat berdaya untuk menyelamatkan anak bayi ini.

Usaha mengulur waktu ini rasanya dapat diterima oleh Kiu Jian-jio, sebab kalau Kwe Cing dan Ui Yong datang kesana untuk mencari anaknya, dalam keadaan lumpuh dan ingin menuntut balas, mau-tak-maii Kiu Jian-jio mengharapkan bantuan Nyo Ko, sebab itulah sisa obat yang masih ada itu betapapun harus diberikan kepada anak muda itu.

Jika hal ini terjadi dua hari yang lalu tentu tanpa ragu2 Nyo Ko akan melaksanakannya, tapi sekarang dia benar2 sangat kagum dan hormat kepada jiwa kepahlawanan Kwe Cing, sungguh ia tidak ingin membikin susah anak perempuan orang demi untuk kepentingannya sendiri, karena itulah ia menjadi ragu dan berkata: "Kokoh, urusan ini tidak boleh begitu..."

"Kau... kau..." belum lanjut ucapan Siao-liong li, "bret", mendadak baju bahu kirinya ter-robek oleh roda emas Kim-lun Hoat ong.

"Jika kulakukan hal ini, sungguh aku malu terhadap Kwe-pepek," kata Nyo Ko pula. "Pula aku tidak sesuai lagi untuk menggunakan pedangku ini!" Sembari berkata iapun acungkan Kun-cu-kiam (pedang laki2 sejati) ke atas.

Sudah tentu Siao-liong-li sama sekali tidak tahu bahwa jalan pikiran Nyo Ko telah berubah mendadak segenap usahanya hanya ditujukan untuk menyelamatkan Nyo Ko, sekarang mendengar anak muda itu segan kepada musuh pembunuh ayahnya dan ingin menjadi laki2 sejati, sejenak Siao~liong-li menjadi bingung.

Dan karena tiada kesatuan pikiran antara mereka, ilmu pedang yang mereka mainkan menjadi kurang baik, segera Hoat-ong melangkah maju, sikutnya lantas menyodok bahu kiri Nyo Ko.

Betapa lihay tenaga Hoat-ong, keruan saja Nyo Ko merasakan setengah tubuhnya kaku kesemutan, bayi yang dipondongnya itu terlepas dan jatuh. Padahal waktu itu mereka bertempur di atas rumah, langsung saja orok itu terbanting ke bawah.

Nyo Ko dan Siao-liong-li menjerit kaget dan segera bermaksud melompat ke sana untuk menyelamatkan bayi itu, namun sudah terlambat.

Sementara itu dari percakapan Nyo Ko berdua. dapatlah Hoat-ong mengetahui bahwa bayi itu adalah anak Kwe Cing dan Ui Yong, ia pikir bila Kwe Cing tak dapat ditangkap, boleh juga anak perempuannya diculik untuk di jadikan sandera agar dia menyerah, dan sama saja suatu jasa besar bagiku?

Dalam pada itu keadaan bayi yang terjatuh ibawah itu tampaknya sangat berbahaya, cepat ia sambitkan roda emasnya ke sana, dengan tepat roda itu menyangah di bawah gurita bayi itu dan terus melayang ke sana satu meteran di atas permukaan tanah, bayi itu tersanggah di atas dengan antengnya.

Serentak tiga orang melompat turun buat berebut roda itu, Tempat berdiri Nyo Ko paling dekat. Ginkangnya juga tinggi, ia melihat roda itu makin melayang makin rendah, sebentar bagi pasti akan jatuh ke tanah. Cepat ia menubruk ka sana, badannya berguling maju roda bayi itu hendak dirangkulnya sekaligus agar bayi itu tidak terluka.

Ketika tangannya hendak meraih, mendadak roda emas Hoat-ong itu mengapung ke atas, sebuah tangan menjulur dari samping, roda emas itu terpegang dan bayi itupun diserobot lagi..

Waktu Nyo Ko melompat bangun, sementara itu Hoat-ong dan Siao-liong-li juga sudah memburu tiba, "He, itulah Suciku!" seru Siao-liong-li.

Dari jubah orang yang berwarna kuning dan tangan lain membawa kebut, Nyo Ko juga tidak sangsi lagi memang benar penyerobot bayi itu ia adalah Li Bok chiu. Mengingat watak Li Bok-chiu yang kejam, nasib bayi itu pasti celaka bila berada dalam cengkeraman iblis itu, tanpa pikir ia terus mengudak ke sana.

Siao-liong-li juga lantas ber-teriak2. "Suci, Suci bayi itu besar artinya bagiku, untuk apa kau menyerobotnya?"

Li Bok-chiu tidak menoleh, dari jauh ia menjawab: "Hm, turun temurun ahli waris Ko-bong pay kita adalah perawan yang suci bersih, tapi anak saja sudah kau iahirkan, sungguh tidak tahu malu."

"ltu bukan anakku, lekas kau kembalikan padaku" teriak Siao-liong-li.

Selagi dia hendak mengejar sekuat tcnaga, tiba2 sesosok bayangan melompat keluar dari samping sambil berseru: "Selamat bertemu pula, nona Liong!"

Sama sekali Siao-liong-li tidak memandang siapa gerangan orang ini, sedikit mengegos segera ia bermaksud menyelinap lewat di sebelah orang.

Tapi orang itu telah mengulur kipasnya dan menutuk pelahan ke Koh-eng-hiat dibahunya sambil berseru: "Ah, masakah nona cantik bersikap dingin"

"Jangan merecoki aku!" bentak Siao-liong-li sambil menangkis dengan pedang dan tetap tidak memandang orang itu.

Kembali kipas orang itu menutuk lengannya katanya sambil tertawa: "Sungguh malang, mengharapkan pandangan mesra si cantik sekejap saja tak dapat kuperoleh."

Sementara itu Li Bok-chiu, Hoat-ong dan Nyo Ko sudah cukup jauh di depan, tampaknya sukar untuk menyusul mereka, baru sekarang Siao liong-li berpaling, kiranya orang yang mengadangnya dengan memegang kipas ini adalah pangeran Hotu,

Biasanya Siao-liong-li memang tidak pernah unjuk rasa gusar atau gembira, kecuali cinta kasihnya kepada Nyo Ko, urusan lain sama sekali tak pernah terpikir olehnya. Maka melihat Hotu bicara dengn cengar-cengir, iapun tidak ambil pusing, hanya dikatakannya dengan tak acuh: "Aku lagi ada urusan penting, masakah kau tidak melihatnya?"

Melihat sikap si nona ramah tamah tanpa marah, Hotu bergirang, segera ia berkata pular.

"Sejak berpisah, betapa rindu hatiku akan dikau, Siau-ong ingin bicara sesuatu, entah nona sudi mendengarkan tidak?"

Tapi Siao-liong-li sedang menguatirkan Nyo Ko serta bayi itu, ia hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya lagi sekali mengegos segera ia menyelinap lewat samping orang.

Sejak pertama kali Hotu mengunjungi Cong-lam-san untuk meminang Siao - liong - li, sebelum bertemu muka si nona dia sudah lari ter-birit2 karena diusir oleh gerombolan tawon, hal ini sungguh membikin pamornya merosot habiskan, kemudian di perjamuan Eng - hiong - yan dia melihat sendiri wajah Siao-liong-li yang cantik molek, dia benar2 kesemsem dan rindu kasmaran pula siang dan malam, sekarang kebetulan dapat berjumpa berhadapan sendirian, mana dia mau membiarkan si nona pergi begitu saja tanpa mengutarakan isi hatinya yang rindu dendam itu.

BegituIah ketika Siao - liong - li hendak tewat, cepat ia pentang kedua tangannya dan mengadangnya-katanya sambil tertawa: "Siau - ong benar2 ingin mengutarakan cinta pada nona, masakah nona sama sekali tidak sudi mendengarkan?"

Siao-liong-li menjadi aseran melihat orang merecokinya, "sret", segera ia menusuk kekiri dan mendadak berputar pula ke kanan, kontan pundak kanan Hotu berlumuran darah.

Sambil menahan sakit Hotu balas menyerang satu kali sambil berkata: "Mcngapa engkau setega ini?"

Kembali Siao-liong-Ii hanya mendengus saja, pedangnya berputar pula, sekali ini menusuk pinggang lawan.

Melihat tipu serangan si nona cukup keji, tapi air mukanya tetap tenang dan ramah tamah, Hotu menyangka orang sengaja hendak menguji ketulusan cintanya, maka ia sengaja menurunkan kipasnya dan tidak balas menyerang pula, namun masih mengadang di depan si nona.

Kembali Siao-liong-li menusuk pula, tapi Hotu malah membusungkan dada menyambut serangan itu, ia pikir si nona pasti takkan membunuhnya. Keruan Siao-liong-li menjadi melengak malah dan tidak tahu apa maksud orang, sedikit ia miringkan ujung pedang, "cret", bahu Hotu yang tertusuk pedangnya.

Tusukan ini cukup parah, seketika Hotu merasa kesakitan luar biasa, tapi hatinya malah bergirang, pikirnya: "Nyata dia memang sengaja menguji ketulusan hatiku dan tidak menusuk dadaku."

Sementara itu Siao-liong-li lantas menggeser cepat ke belakang Hotu, kuatir digoda lagi, pedangnya terus membalik lagi menusuk, sedangkan kakinya melangkah tanpa berhenti.

Dari suara angin yang keras itu Hotu merasa tusukan si nona sekali ini tampaknya bukan cuma menguji saja, tapi bila kena bukan mustahil jiwa akan melayang, maka cepat ia mendoyongkan tubuh ke belakang, waktu ia berdiri tegak lagi, ternyata Siao-liong-li sudah kabur jauh dan sukar disusul.

Walaupun pedang Siao-liong-li berhasil menusuk Hotu, tapi pikirannya lagi tertuju kepada keselamatan Nyo Ko, apa yang terjadi dengan Hotu itu sama sekali tidak diperhatikan olehnya. ia lihat Li Bok-chiu bertiga berlari menuju ke utara, maka cepat iapun memburu ke jurusan sana.

Sementara itu suasana dalam kota sedang ribut, di mana2 pasukan dikerahkan menangkap mata2 musuh, Namun, Siao-liong-li tidak ambil pusing semua ituy ia terus berlari ke pintu benteng-

waktu itu Loh Yu-kah sedang ronda dengan sekelompok anggota Kay-pang. Melihat Siao-liong-li, segera Loh Yu-kah bertanya: "Nona Liong, apakah Ui pangcu dan Kwe-tayhiap baik2 saja?"

Siao-liong-li tidak menjawab, sebaliknya ia malah bertanya: "Apakah kau melihat Nyo-kongcu dan Kim-lun Hoat~ong serta seorang tokoh yang membawa anak bayi?"

"Semuanya melompat ke sana," jawab Loh-Yu-kah sambil menuding keluar benteng.

Siao-Iiong-li melengak, ia pikir tembok benteng begitu tinggi, cara bagaimana ketiga orang itu turun ke sana, apakah mereka takkan patah tulang dan pecah kepala?

Sekilas dilihatnya seorang perajurit sedang menyikat bulu kuda merah, itu kuda mestika kesayangan Kwe Cing, terkesiap hati Siao-liong-Ii, ia pikir kalau Nyo Ko tidak menggunakan kuda mestika ini jelas sukar mencapai Coat-ceng-kok dalam waktu singkat, segera ia memburu maju dan menarik tali kendali kuda itu, katanya kepada Loh Yu-kah: "Aku ada urusan penting keluar kota, sementara ku pinjam pakai kuda ini."

Yang dikuatirkan Loh Yu-kah hanya keselamatan Ui Yong dan Kwe Cing saja, kembali ia tanya: "Apakah Ui-pangcu dan Kwe-tayhiap baik2 saja!"

"Mereka tidak kurang apa2," jawab Siao-Iiong li. "Bayi yang baru dilahirkan Ui- pangcu telah di culik orang, aku harus merampasnya kembali."

Loh Yu-kah terkejut cepat ia memerintahkan membuka pintu benteng, baru saja pintu geybang terbuka sedikit dan sebelum jembatan gantung di-turunkan lurus, cepat sekali Siao-lion-li sudah membedakan kuda merah itu keluar benteng secepat terbang,

Waktu Siao-liong-li memandang ke kaki tembok benteng sana, di lihatnya dua mayat perajurit hancur mumur menggeletak di saaa, di sebelahnya ada pula bangkai seekor kuda juga terbanting hancur, selain itu tiada sesuatu tanda lain yang men-curigakan. Diam2 ia merasa heran cara bagai mana Nyo Ko, Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun tembok benteng yang tinggi itu.

Tapi mengingat Nyo Ko bertiga tidak beralangan apa2, segera ia mengejar ke sana cepat untuk membantu anak muda itu merebut kembali anak bayi itu.

Akan tetapi sejauh pandangannya ke depan suasana sunyi senyap tiada bayangan seorang, entah ketiga orang itu sudah lari ke mana. Dalam keadaan bingung tak berdaya, Siao-liong-li tepuk2 leher kuda merah itu sambil berguman: "Wahai kudaku sayang, aku hendak menyelamatkan majikan mudamu yang baru lahir itu, lekas membawaku ke sana."

Entah kuda itu benar2 paham perkataannya atau tidak, mendadak kuda merah itu menegak kepala dan meringkik keras, segera pula membelai ke arah timur laut sana.

Kiranya waktu Nyo Ko dan Hoat-ong mengejar Li Bok-chiu, sampai di atas benteng, mereka pikir menghadapi jalan buntu, Li Bok-chiu pasti akan dapat di bekuk.



Tak terduga Li Bok-chiu memang kejam tapi juga cerdik, setiba diatas benteng, se-konyong2 ia tangkap seorang perajurit terus dilemparkan kebawah, menyusul iapun melompat turun. Ketika perajurit itu hampir menyentuh tanah, pada saat itulah sebelah kaki Li Bok-chiu menutul pada punggung perajurit itu sehingga daya turunnya itu berkurang, habis itu ia terus melompat ke depan dan turun diatas tanah dengan enteng, bahkan bayi dalam pangkuan nya juga tidak terkaget sementara itu perajurit tadi telah terbanting mampus.

Diam2 Heat-ong mengakui kelihayan Li Bok chiu, iapun menirukan cara orang, iapun mencengkeram seorang perajurit dan dilemparkan ke bawah benteng, akhirnya iapun dapat melompat turun dengan selamat.

Nyo Ko menjadi ragu2 menyaksikan kejadian itu, kecuali dahulu ia membinasakan seorang anggota Kay-pang secara tidak sengaja, selama ini dia belum pernah lagi membunuh seorangpun, apalagi harus mengorbankan jiwa orang lain untuk dipakai sebagai batu loncatan dirinya, betapapun ia tak tega.

Namun keadaan sudah mendesak, tiba2 ia mendapat akal, ia dorong seekor kuda keluar benteng, ketika kuda itu hampir jatuh ke tanah barulah dia menutul punggung kuda terus mengejar ke sana mengikuti jejak Hoat-ong.

Sebenarnya keadaan Nyo Ko rada lemah karena sebelumnya telah bertempur sengit di tengah pasukan Mongol dan terluka oleh roda Kim-lun Hoat-ong, darah mengucur cukup banyak, apalagi tadi bertempur lagi sekian lama, sesungguhnya ia hampir tidak kuat.

Tapi mengingat puteri Kwe Cing diculik musuh, ia pikir apapun yang terjadi bayi itu harus direbut kembali.

Sebenarnya kekuatan lari ketiga orang sangat cepatnya, Li Bok-chiu dibebani seorang bayi, Hoat-ong terluka dan kuatir racun bekerja pada lukanya itu, maka ia tidak berani mengerahkan segenap tenaga untuk mengejar. Sebab itulah kecepatan lari mereka bertiga tidak seperti biasanya, setelah belasan li meninggalkan kota Siangyang, jarak mereka bertiga tetap bertahan belasan meter jauhnya, Hoat-ong tidak sanggup menyusul Li Bok chiu, Nyo Ko juga tidak mampu menyusul Hoat-ong.

Setelah ber-lari2 pula, Li Bok-chiu melihat Hoat-ong dan Nyo Ko masih terus mengintil di belakangnya dilihatnya di depan sana banyak bukit2an. beberapa li lagi akan dapat mencapai lereng bukit itu, maka ia percepat larinya, ia pikir kalau sudah masuk ke lembah pegunungan sana tentu akan mudah mencari tempat sembunyi.

Meski Siao-liong-li menyatakan bayi itu bukan anaknya, tapi melihat cara Nyo Ko mengudaknya dengan mati2an, ia menduga bayi itu pasti anak haram hasil hubungan gelap antara Nyo Ko dengan siao-liong-li, asalkan bayi ini dipegangnya sebagai sandera, rasanya kitab pusaka Giok-li-sim-keng oleh sumoay akan terpaksa ditukarkan pada bayi itu.

Begitulah makin lama mereka makin menanjak ke dataran yang tinggi, sekitar pepohonan lebat melulu, jalan juga lika-liku. Hoat-ang menjadi kuatir kalau sebentar lagi Li Bok-chiu akan menyusup ke semak2 pepohonan itu sukar lagi ditemukan.

Selama ini Hoat-ong belum pernah bergebrak dengan Li Bok-chiu, tapi dari Ginkangnya yang tinggi itu, ia yakin orang pasti seorang lawan yang tangguh. Dia sudah kehilangan dua rodanya, sebenarnya tidak ingin menyambitkan roda yang bersisa tiga itu, namun keadaan sudah mendesak dan tidak boleh ragu2 lagi, segera ia membentak sekerasnya: "Hai perempuan itu, lekas taruh anak itu dan jiwamu akan kuampuni, kalau tidak menurut, jangan kau salahkan aku tidak kenal kasihan!"

Tapi Li Bok-chiu menyambut dengan ngikik tawa, larinya bahkan tambah cepat.

Dengan gemas Hoat ong mengayun tangannya sebuah rodanya terus menyamber ke punggung Li Bok-chiu, samberan itu sungguh amat dahsyat, mau tak-mau Li Bik-chiu harus menyelamatkan diri, terpaksa ia membalik dan memutar kebutnya, baru saja kebutan hendak mengebas ke roda musuh, dilihatnya roda itu berputar dan memancarkan cahaya kemilau, kalau kebut sendiri kebentur bukan mustahil akan terhantam putus, cepat ia mengegos ke samping untuk menghindari serangan roda itu.

Saat itu juga Hoat-ong telah menubruk maju, roda tembaganya menyamber pula, sekali ini roda itu terbanting ke samping lebih dulu, habis itu memutar balik dan menyambar ke arah Li Bok-chiu.

Li Bok-chiu juga belum berani menangkis roda itu, ia melompat mundur dan sedikit membungkuk, kembali samberan roda itu dapat dihindari dengan Ginkang yang tinggi. Sementara itu Hoat-ong sudah menubruk maju lagi, roda perak tadi ditangkapnya kembali lebih dulu, sedangkan roda timah terus mengepruk ke pundak musuh..

Namun kebut Li Bok-chiu juga lantas mengebas hingga bulu kebut itu berubah menjadi be-ribu bintik emas dan bertebaran ke muka Hoat-ong, Terpaksa Hoat ong lemparkan roda timah tadi ke atas untuk menangkis kebut lawan berbareng ia tangkap kembali roda tembaga, menyusul ia benturkan roda tembaga dan roda perak yang dipegangnya itu hingga menerbitkan suara nyaring menggetar sukma, suaranya berkumandang jauh di lembah pegunungan itu sahut-menyahut hingga lama.

Habis itu Hoat ong putar kedua rodahya dan menyerang lebih gencar lagi.

Menghadapi lawan tangguh, semangat Li Bok chiu terbangkit, tak diduganya Hwesio gemuk besar ini memiliki tenaga sekuat ini, bahkan tipu serangannya juga cepat lagi lihay. Segera ia mengeluarkan segenap kemahirannya untuk menempurnya.

Dalam pada itu Nyo Ko juga sudah menyusul tiba, dilihatnya kedua orang sedang bertempur dengan sengit, tiga buah roda terbang kian kemari diselingi sebuah kebut yang naik turun dengan cepat-nya. Untuk sementara Nyo Ko hanya mengikuti pertarungan mereka sambil melepaskan lelah serta cari kesempatan baik untuk merebut kembali si bayi.

Bicara tentang tenaga dalam dan ilmu silat sebenarnya Hoat-ong lebih tinggi setingkat daripada li Bok-chiu, apalagi Li Bok-chiu memondong seorang bayi, sepantasnya dalam beberapa puluh jurus saja dia pasti akan keok.

Tak di sangkanya bayi yang tadinya selalu dilindunginya dan kuatir di celakai oleh Hoat-ong, setiap kali bila roda mendekati badan bayi itu, cepat lawan lantas menarik kembali serangannya malah.

Sedikit berpikir saja Li Bok-chiu lantas paham duduknya perkara, rupanya Hwesio gede ingin merebut bayi ini, makanya tidak ingin mencelakainya, dasar watak Li Bok-chiu memang keji dan kejam.

Sudah tentu ia tidak pedulikan mati hidup orang lain, apalagi sekarang setelah mengetahui jalan pikiran Hoat-ong, diam2 ia bergirang, Setiap kali bila dia terdesak seperti tidak sengaja ia lantas menggunakan si jabang bayi sebagai tameng untuk menggagalkan serangan maut musuh.

Dengan demikian bayi ini bukan lagi merupakan beban, bahkan berubah menjadi perisai yang sangat berguna baginya, asalkan dia angkat bayi itu untuk menangkis betapapun lihay jurus serangan musuh juga akan di gagalkan seluruhnya.



Begitulah beberapa kali serangan maut Hoat Ong telah di tangkis oleh perisai bayi Li Bok-chiu, karuan Nyo Ko kelabakan, ia kuatir kalau terjadi sedikit kekeliruan antara kedua orang itu, maka bayi yang berusia belum genap satu hari itu pasti akan melayang jiwanya.

Baru mencari akal buat rebut kembali bayi itu, dilihatnya roda perak Hoat-ong ditengah kanan mendadak menghantam dari luar ke bagian dalam, sedangkan roda tembaga di tengah kiri menyodok ke depan. Gerakan kedua roda seperti merangkul hingga Li Bok-chiu terkurung antara kedua tangan Hoat-ong.

Muka Li Bok-chiu menjadi merah dan memaki gerakan serangan si Hwesio yang kurang ajar itu, cepat kebutnya menyabet ke belakang untuk menangkis roda perak, sedangkan bayi di bawa di depan dada untuk membela diri, Namun sebelumnya Hoat-ong sudah memperhitungkan gerakan susulannya, mendadak tangan kiri melepaskan roda tembaga ke atas untuk menyerang muka Li Bok-chiu.

Jarak roda itu dengan Li Bok-chiu hanya satu-dua kaki saja dan mendadak disambitkan dengan cepat sekali, tentu saja sukar di tangkis, untung Li Bok-chiu sudah berpengalaman luas, sudah berpuluh tahun malang melintang di dunia Kangouw, dalam keadaan gawat mendadak ia doyongkan tubuhnya ke belakang, kedua kakinya memaku kencang di tanah, kebutnya terus balas menyerang pundak musuh.

Hoat-ong sempat mengegos hingga kebut itu menyerempet lewat pundaknya sementara itu tangan kiri yang kosong itu sempat memotong ke lengan kiri Li Bok-chiu, seketika Li Bok-chiu merasakan lengannya kaku linu, ia menjerit tertahan dan melompat mundur, namun tangannya sudah terasa kosong, bayi itu sudah direbut oleh Kim-lun Hoat-ong.

Selagi Hoat-ong bergirang, se-konyong2 dari samping menubruk tiba seorang, Nyo Ko telah samber bayi itu dari tangan Hoat-ong terus bergulingan ke tanah, pedangnya diputar kencang untuk melindungi anak bayi itu, lalu melompat bangun dan siap menghadapi musuh.

Rupanya Nyo Ko melihat saat yang bagus sebelum Hoat-ong dapat memondong si bayi dengan baik, tanpa menghiraukan jiwa sendiri ia terus menerjang maju dan sekali serobot ternyata berhasil dengan baik.

Begitulah dalam sekejap saja bayi itu telah berpindah tangan antara ketiga orang itu, Li Bok~ chiu berseru memuji: "Bagus, Ko-ji!"

Hoat-ong menjadi gusar, benturan rodanya menerbitkan suara berdering pula, menyusul roda di tangan kanan terus menghantam, Sambil mengegos segera Nyo Ko bermaksud angkat kaki Tiba2 terdengar suara angin menyamber, kiranya Li Bok-chiu dengan mengayun kebutnya telah mengadangnya sambil berkata dengan tertawa: "Jangan pergi dulu, Ko-ji, kita harus melabrak Hoat ong ini!?

Karena roda Hoat-ong sudah menghatam pula, terpaksa Nyo Ko memutar pedangnya untuk menangkis. Setelah bertempur beberapa hari ber-turut2 kedua pihak sudah sama apal tipu serangan masing2, begitu saling labrak segera terjadilah serangan kilat, dalam sekejap saja berpuluh jurus sudah berlangsung.

Diam2 Li Bok-chiu terkejut, ia heran mengapa dalam waktu sesingkat ini kepandaian Nyo Ko sudah maju sedemikian pesat, tampaknya aku bukan lagi tandingannya, bahkan mendiang Suhu juga belum tentu bisa melebihi dia.

Akan tetapi karena Nyo Ko harus memikirkan keselamatan si bayi, betapapun dayi itu adalah puteri sang paman yang dihormatinya itu, maka sedikitpun ia tak berani menirukan cara Li Bok-chiu memperalat bayi itu sebagai tameng. Dan justeru inilah akhirnya Hoat-ong dapat melihat kelemahannya, kini ia lebih banyak mengerahkan serangannya kepada si bayi, dengan demikian Nyo Ko menjadi kelabakan dan sukar bertahan.

"Li-supek, lekas bantu aku rnenghalau bangsat gundul ini, urusan lain boleh kita bicarakan nanti"

-Sekilas Hoat-ong melirik Li Bok-chiu, tertampak perawakan yang ramping menggiurkan meski usianya sudah lewat setengah umur, tapi gayanya tetap menarik, dengan tersenyum simpul ia mengikuti pertarungan mereka dan tampaknya tidak bermaksud membantu pihak manapun.

Diam2 Hoat ong sangat heran bahwa To-koh ini ternyata paman guru si Nyo Ko, tapi mengapa tidak membantu anak muda itu? jangan2 ada rencana licin di balik persoalan ini? Paling penting sekarang bocah she Nyo ini harus lekas dikalahkan dan bayi itu direbut kembali.

Begitulah Hoat-ong lantas pergencar serangannya sehingga Nyo K-o terkurung rapat di bawah cahaya rodanya.

Li Bok-chiu tahu musuh takkan mencelakai si bayi maka ia tidak ambil pusing terhadap teriakan minta tolong Nyo Ko itu, ia hanya, tersenyum saja sambil bersimpuh tangan dengan adem ayem.

Setelah bertempur lagi sebentar, dada Nyo Ko mulai terasa sakit, ia tahu tenaga dalam sendiri tak dapat menandingi lawan, kalau bertempur lebih lama lagi jelas sukar bertahan. Sudah sekian lama ia tidak mendengar suara tangis si bayi, ia menjadi takut terjadi apa2, dalam seribu kesibukannya itu ia coba memandang sekejap kepada si bayi, tertampak wajah si kecil itu putih bersemu merah, molek menyenangkan, kedua matanya yang hitam itu sedang memandang padanya.

Padahal bayi itu belum genap satu hari dilahirkan dengan sendirinya belum tahu apa2 tapi air mukanya kelihatan tenang dan tenteram, sama sekali tak mirip seorang bayi yang baru saja dilahirkan.

Biasanya Nyo Ko tidak cocok dengan Kwe Hu, tapi menghadapi orok dalam pangkuannya ini, tiba2 timbul semacam pikiran aneh dalam benaknya: "Kini aku membelanya mati2an, kalau nasibnya mujur dan jiwanya dapat diselamatkan, tujuh hari lagi aku sendiri akan mati, kelak kalau dia sudah sebesar kakaknya itu entah dia akan teringat kepadaku atau tidak?"

Karena rangsangan perasaannya itu, entah dari mana datangnya kesedihan, tiba2 matanya menjadi merah dan hampir2 meneteskan air mata.

Bahwa Nyo Ko sudah kewalahan melayani serangan Hoat-ong itu juga disaksikan oleh Li Bok-chiu, semula ia merasa tidak tega dan bermaksud maju membantu, tapi segera terpikir pula olehnya bahwa kepandaian Nyo Ko sudah lebih tinggi daripada dia, jika sekarang tidak meminjam kepandaian si Hwesio ini untuk membunuhnya, kelak tentu akan mendatangkan bencana baginya. Karena itu ia tetap menonton saja tanpa membantu.

Di antara tiga orang ini ilmu silat Hoat-ong paling tinggi, Li Bok-chiu paling kejam, tapi bicara tentang tipu akal adalah Nyo Ko. Setelah bersedih sebentar segera pula ia memikirkan akal cara meloloskan diri, ia jadi teringat kepada tipu akal Khong Bheng di jaman Sam-kok, waktu itu di antara tiga negara, Co jo dari negeri Gui terhitung paling kuat dan negeri Han pimpinan Lau Pi paling lemah, untuk melawan Co Jo terpaksa Lau Pi berterikat dengan Lun Koan dari negeri Go.

Kalau sekarang Li Bok-chiu tidak mau membantu terpaksa dirinya sendiri yang harus membantu Li Bok-chiu, untuk ini segera Nyo Ko menyerang dua kali untuk menahan Hoat-ong, habis itu cepat ia melompat mundur dan mendadak menyodorkan bayi itu kepada Li Bok-chiu sambil berseru: "Terima ini!"



Kejadian ini benar2 di luar dugaan Li Bok-chiu, seketika ia tidak paham apa maksud Nyo Ko, tapi tanpa pikir ia terima jabang bayi itu.

Dalam pada itu Nyo Ko telah berseru pula "Li Supek, lekas lari membawa anak itu, biar kutahan bangsat gundul inil" Berbareng ia melancarkan serangan maut untuk mendesak mundur Hoat-ong.

Lik Bok-chiu mengira si Nyo Ko mengharapkan bantuannya sebagai sang paman guru dan tentu takkan membikin susah anaknya, maka dalam keadaan bahaya bayi itu diserahkan lagi padanya, tentu saja ia bergirang dan anggap sangat kebetulan baginya.

Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa cara itu adalah tipu akal Nyo Ko, begitu Li Bok-chiu hendak angkat kaki, mendadak Hoat-ong menghantamnya pula dengan roda perak, Karena tiada jalan lain, terpaksa Li Bok-chiu memutar balik kebutnya untuk menangkis.

Melihat maksud tujuannya sudah tercapai Nyo Ko menghela napas lega. Tapi dia tetap memikirkan keselamatan si orok dan tidak dapat berpeluk tangan tanpa urus seperti Li Bok - chiu tadi, Setelah istirahat sejenak, segera ia angkat pedang dan menerjang Hoat-ong dari samping.

Sementara itu sang surya sedang memancarkan cahaya yang terang, di tengah hutan lebat itu tetap tembus oleh cahaya matahari, semangat Nyo Ko terbangkit, ia mainkan pedangnya terlebih keras. "trang, trang", tiba2 roda perak Hoat-ong terkupas sebagian oleh Kun~cu-kiam yang tajam itu.

Kim-lun Hoat-ong juga tidak kurang saktinya, meski terkejut, namun gerak serangannya semakin lihay.

Tiba2 Nyo Ko mendapat akal, serunya: "Li-supek, awas roda tembaganya itu, bagian yang terkupas itu ada racunnya, jangan kau tersentuh olehnya."

"Memangnya kenapa?" ujar Li Bok-chiu tak acuh.

"Racun yang terpoles di pedangku ini sangat lihay" kata Nyo Ko.

Tadi Hoat-ong dilukai oleh pedang Nyo Ko, memangnya dia berkaatir kalau pedang anak muda itu beracun, tapi setelah sekian lama bertempur tiada terasa tanda aneh pada lukanya, maka ia tidak berkuatir lagi, Sekarang Nyo Ko menyebutnya pula, mau-tak-mau hatinya tergetar dan semangatnya menjadi lesu mengingat kekejian Kongsun Ci itu, mustahil pedang Nyo Ko yang diambil dari tempatnya itu tidak -dipoles dengan racun.

Mendadak Li Bok chiu berseru "Tusuk dia dengan pedangmu yang beracun itu, Ko-ji!" -Berbareng ia mengayun tangannya seperti menyambitkan senjata rahasia.

Cepat Hoat-ong memutar rodanya menjaga rapat tubuhnya, tapi gerakan Li Bok-chiu itu ternyata gertakan belaka, kesempatan itu telah di gunakannya untuk berlari ke sana secepat terbang.

Walaupun meragukan terkena racun, tapi Hoat-ong sangat tangkas, ia merasa lukanya tidak geli dan juga tidak bengkak, betapapun ia tak mau pulang dengan tangan hampa, maka cepat ia terus mengudak ke jurusan Li Bok-chiu.

Nyo Ko pikir kalau sebentar bertempur dan sebentar udak-mengudak, akhirnya tentu akan membikin susah orok yang baru dilahirkan itu, jalan keluar yang baik adalah menghalau Hoat-ong dengan gabungan tenaga mereka berdua dan urusan lain dapat diselesaikan belakang. Maka ia lantas berteriak: "Tak perlu lari, Li-supek, bangsat gundul ini terkena racun jahat, hidupnya tak tahan lama lagi"

Baru habis ucapamrya, dilihatnya. Li Bok-chiu sedang melompat ke depan dan menyusup ke arah sebuah gua di bukit sana. Hoat-ong kelihatan merandek kesima dan tidak berani ikut menerobos ke dalam gua.

Karena tidak tahu apa tujuan Li Bok-chiu membawa lari bayi itu, kuatir kalau mendadak bayi itu dibinasakan maka tanpa pikirkan keselamatan sendiri Nyo Ko terus menguber ke sana, ia putar pedangnya untuk menjaga diri, segera ia menerjang ke dalam gua, Terdengarlah suara gemerincing beberapa kali, pedangnya menyampuk jatuh tiga buah Peng-pok-sin-ciam, jarum berbisa yang dihamburkan Li Bok-chiu.

"Aku, Li-supek!" seru Nyo Ko. Di dalam gua gelap guiita, tapi Nyo Ko sudah biasa memandang lalam kegelapan, dilihatnya Li Bok-chiu merangkul si bayi dan tangan lain sudah siapkan segenggam jarum berbisa lagi.

Untuk meyakinkan orang bahwa dia tidak bermaksud jahat Nyo Ko sengaja membalik tubuh dan menghadap kesana, lalu berkata: "Biarlah kita bersatu untuk menghalau bangsat gundul itu?" Segera ia berjaga di mulut gua dengan pedang terhunus.

Hoat~ong menduga sementara ini kedua lawan takkan berani menerobos keluar lagi, ia lantas berduduk disamping gua dan membuka baju untuk memeriksa lukanya.

Dilihatnya bagian luka merah segar, tiada tanda2 keracunan, waktu ia pencet terasa sakit sedikit. Waktu ia mengerahkan tenaga dalam terasa tiada sesuatu alangan apapun juga.

Girang bercampur gemas juga Hoat ong, girangnya karena pedang si Nyo Ko ternyata tidak berbisa sebagaimana dikatakan anak muda itu, gemasnya karena dia telah dikibuli oleh bocah itu sehingga dia berkuatir percuma sekian lama.

Ia coba mengawasi gua itu, mulut gua itu ter-aling2 rerumputan lebar gua itu hanya tiba cukup dimasuki seorang, padahal tubuhnya sendiri tinggi besar, kalau menerjang kesana dan bergerak kurang leluasa, mungkin akan disergap malah oleh kedua lawan di dalam gua itu.

Seketika ia tidak mendapatkan akal yang baik, pada saat itulah tiba2 ada suara orang berseru padanya: "He, Hwesio gede, apa yang kau lakukan disitu?"

Hoat-ong mengenali itulah suara si Hindu cebol Nimo Smgh, ia tetap mengawasi gua itu sambil menjawab "Tiga ekor kelinci menyusup ke dalam gua, aku hendak menghalaunya keluar."

Rupanya dari jauh Nimo Singh melihat berkelebatnya roda Kim-lun Hoat-ong" yang beterbangan di udara, ia tahu pasti Hoat-ong sedang bertempur dengan musuh, maka cepat ia menyusul kesini, Waktu tiba di tempat sementara Nyo Ko berdua sudah menyusup ke dalam gua.

Melihat Hoat - ong sedang mengawasi dengan penuh perhatian,Nimo Sing menjadi girang, tanyanya cepat: "Kwe Ceng lari ke dalam gua?"

Hoat-ong mendengus dan berkata: "Ada seekor kelinci jantan dan seekor kelinci betina ada pula seekor anakan kelinci"

"Hahaa, jadi selain Kwe Cing dan isterinya, si bocah Nyo Ko itu juga berada di situ," seru Nemo Singh kegirangan.

Hoat-ong tidak menggubrisnya dan membiarkan dia mengoceh sendirian ia memandang sekelilingnya, segera ia mendapatkan akal, ia mengumpulkan ranting kayu dan rumput kering serta di tumpuk di mulut gua, lalu dibakarnya rumput kering itu. Kala itu angin sedang meniup dengan kencangnya, tanpa ayal asap tebal lantas tertiup ke dalam gua.



Waktu Hoat-ong mulai menimbun kayu dan rumput kering, Nyo Ko tahu maksud keji orang, sedangkan pihak musuh telah bertambah pula dengan datangnya Nimo Singh, Dengan suara pelahan ia berkata kepada Li Bok-chiu: "Akan kuperiksa apakah gua ini ada jalan tembus atau tidak."

Segera ia merunduk ke dalam sana, kira2 belasan meter jauhnya, ternyata gua itu sudah buntu, ia putar balik dan berkata pula dengan suara terta han: "Li-supek, mereka menyerang dengan asap bagaimana kita harus bertindak?"

Li Bok-chiu pikir menerjang dengan kekerasan jelas sukar loIos.dari kejaran Hoat-ong, sembunyi di dalam gua bukan cara penyelesaian yang baik, jika keadaan benar2 mendesak, jalan satunya terpaksa melarikan diri dengan meninggalkan anak orok toh Karena pikiran ini, sedikitpun ia tidak cemas, ia menyeringai dan tidak menjawab pertanyaan Nyo Ko itu.

Tidak lama gumpalan asap yang membanjir ke dalam gua semakin tebal, untuk sementara mereka dapat menahan napas, tapi bayi itu tidak tahan lagi, ya batuk ya menangis tiada hentinya.

"Hehe, kau kasihan padanya, bukan?" jengek Li Bok-chiu pada Nyo Ko.

Setelah mengalami perjuangan mati2an, dalam hati Nyo Ko memang sudah timbul kasih sayang kepada bayi perempuan itu, ia menjadi tidak tega mendengar tangisnya yang semakin keras itu.

"Biar kupondong dia!" katanya sambil mengulurkan kedua tangan dan mendekati Li Bok-chiu.

Tapi Li Bok-chiu lantas menyabetnya dengan kebut sambil membentak: "Jangan mendekat aku? apa kau tidak takut pada Peng-pok-sin-ciam!"

Cepat Nyo Ko melompat mundur, nama jarum nerbisa itu mengingatkannya masa kecilnya dahulu ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan, Li-Bok-chiu, hanya sebentar saja ia memegang jarum perak itu, tapi racun sudah menjalar ke tubuhnya, syukur ayah angkatnya, yaitu Auyang Hong, telah menolongnya dengan mengajarkan Lwekang yangj istimewa itu sehingga racun dapat didesak keluar.

Tiba2 ia mendapat akal, ia membalut tangannya dengan robekan kain baju, ia menuju, ke mulut gua dan menjemput ketiga jarum berbisa yang disambitkan Li Bok-chiu tadi, ia tancapkan jarum2 itu pada tanah dengan ujung runcing ke atas, habis itu ujung jarum yang menongol sedikit itu diculik pula dengan pasir tanah agar gemilapnya jarum itu tidak kelihatan. Saat itu mulut gua tertutup oleh asap tebal sehingga tindakan Nyo Ko itu tidak dilihat oleh Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh.

Selesai mengatur lalu Nyo Ko mundur lagi ke dalam gua dan membisiki pada Li Bok-chiu: "Aku sudah ada akal menghalau musuh, harap Li-supek pura2 menimang bayi itu supaya jangan me-nangis." Habis berkata, mendadak ia berteriak: "Aha, di belakang gua ini ada jalan tembusnya, Ii-supek, lekas kita pergi!"

Semula Li Bok-chiu melengak dan mengira apa yang dikatakan Nyo Ko itu memang betul, tapi Nyo Ko lantas membisikinya pula: "Hanya pura2 saja agar bangsat gundul itu terjebak olehku."

Sudah tentu teriakan Nyo Ko itu dapat didengar oleh Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh, mereka terkejut, mereka coba pasang kuping, di dalam gua sunyi senyap, suara tangisan bayi juga sayup2 semakin lirih, mereka tidak tahu bahwa mulut si bayi telah sengaja ditutup oleh lengan baju Nyo Ko, keruan mereka mengira Nyo Ko bersama Li Bdk-chiu benar2 sudah kabur melalui belakang gua.

Watak Nimo Singh tidak sabaran, tanpa pikir ia terus berlari memutar ke belakang gua, maksudnya hendak mencegat musuh, Tapi pikiran Hoat-ong terlebih cermat, setelah mendengarkan dengan teliti, ia merasa suara tangisan anak bayi itu cuma lirih tertahan saja dan tiada tanda2 semakin menjauh, ia tahu pasti si Nyo Ko sedang main gila hendak menipunya ke belakang gua, lalu anak muda itu akan menerjang keluar dari mulut gua.

Diam2 ia mentertawai akal Nyo Ko yang dangkal itu, ia pikir biar kusembunyi saja di samping mulut gua, begitu kalian keluar segera kumampuskan kalian.

Namun Nyo Ko juga tidak kalah cerdiknya, kembali ia berteriak pula: "He, cepat Li-supek, bangsat gundul itu sudah pergi, marilah kita lari keluar !" Habis ini tiba2 ia membisiki pula "marilah kita menjerit bersama untuk memancing dia masuk ke sini."

Li Bok-chiu tidak tahu akal bulus apa yang pedang diatur Nyo Ko itu, tapi ia tahu anak muda itu sangat licin, ia sendiri beberapa kali pernah dikibuli kalau dia sudah mengatur perangkap, rasanya pasti akan berhasil, betapapun ia mempunyai sandera anak bayi itu. asalkan Hoat-ong sudah dihalau pergi, akhirnya Nyo Ko harus menukar si bayi dengan Giok-li-sim-keng.

Maka ia lantas mengangguk tanda setuju, kedua orang segera menjerit berbareng "Aduh!"

Nyo Ko pura2 terluka parah dan merintih keras2, teriaknya: "Keparat, mengapa kau bertindak sekeji ini padadaku?" - Lalu ia mendesis pula dengan suara tertahan: "Lekas engkau berlagak terancam jiwamu!"

Cepat Li Bok-chiu melakukan permintaan itu, iapun berteriak dengan nada murka: "Bagus, biar kumati di... ditanganmu, betapapun, kau si.bangsat kecil ini juga... juga harus mampus di tanganku," ia membikin suaranya semakin lemah sehingga kalimat terakhir se-akan diucapkan dengan napas ter-engah2.

Mendengar itu, Hoat-ong sangat girang, ia pikir kedua orang sedang berebut si bayi dan mulai saling membunuh, tampaknya keduanya sama terluka parah. ia menjadi kuatir si bayi juga ikut tewas, jika terjadi begini berarti akan kehilangan alat pemerasan terhadap Kwe Cing.

Tanpa pikir lagi ia menyingkirkan onggokan kayu dan rumput kering yang terbakar itu terus menerjang ke dalam gua. Tapi baru dua-tiga langkah, mendadak telapak kaki kiri terasa sakit, untung ilmu silatnya memang tinggi dan dapat memberi reaksi dengan cepat, sebelum kaki menginjak sepenuhnya ke bawah, cepat kaki yang lain menggunakan tenaga terus melompat mundur lagi keluar gua, Waktu kaki menginjak tanah, terasa kaku kesemutan dan hampir saja jatuh terjungkal.

Dengan Lwekangnya yang tinggi itu, biarpun kakinya dibacok beberapa kali juga takkan sempoyongah berdirinya, karena itu segera ia menyadari apa yang telah terjadi, ia tahu telapak kakinya pasti tertusuk oleh benda berbisa. Baru dia hendak membuka sepatu dan kaos kaki untuk memeriksanya, dilihatnya Nimo Singh sudah putar balik dari belakang gua dan sedang mengomel. "Kurangajar! Bangsat kecil itu berdusta, di belakang gua tiada lubang tembusan apapun, Kwe Cing dan isterinya masih di alam gua."

Hoat-ong tidak menanggapi apapun, iapun urung membuka sepatu, katanya: "Memangnya tidak salah dugaanmu, sudah sekian lama tiada suatu suara, bisa jadi mereka telah pingsan semua oleh asap tebal tadi."

Diam2 Nimo Singh bergirang, ia pikir jasa menangkap Kwe Cing sekali ini pasti akan jatuh di tangannya, iapun tidak berpikir mengapa Kim lun Hoat-ong tidak merebut jasa itu, tanpa bicara lagi ia putar senjata ular bajanya untuk menjaga diri, ia terus menerobos ke dalam gua.



Ketiga buah jarum berbisa itu diatur oleh Nyo Ko tepat di tengah jalan yang harus dilalui, tak peduli langkah orang yang akan masuk itu lebar atau cekak, ialah satu jarum itu pasti akan diinjaknya, perawakan Nimo Singh sangat pendek dan langkahnya cekak, tapi ia bertindak dengan cepat, ketika kaki kanan menginjak sebuah jarum itu, begitu terasa sakit dan belum sempat menarik kakinya, tahu2 kaki kiri sudah menginjak lagi pada jarum yang lain.

Negeri Thian-tiok (lndia) terkenal negeri berhawa panas, rakyat umumnya suka telanjang kaki, maka Nimo Singh juga tidak bersepatu, meski kulit telapak kakinya sudah terlatih dan tebalnya seperti kulit banteng, namun betapa tajamnya Peng-pok-sin-ciam itu, sedikitnya dua senti menancap ke dalam telapak kakinya itu.

Tapi Nitno Singh memang kuat dan perkasa, sedikit luka itu sama sekali tak diperhatikan olehnya, ia ayun senjata ular baja dan menyapu ketanah, ia yakin di depan pasti tak ada jarum lagi dan baru saja hendak menerjang masuk untuk menangkap Kwe Cing, tiba2 kedua kakinya terasa lemas dan tidak sanggup berdiri tegak lagi, kontan ia jatuh terguling.

Baru sekarang ia tahu racun pada jarum yang tertancap kakinya itu sangat lihay, lekas2 ia berguling disertai merangkak keluar gua, dilihatnya Hoat-ong sedang memegangi sebelah kakinya yang hitam bengkak.

Segera Nimo Singh tahu duduknya perkara, dengan gusar ia membentak: "Bangsat gunduI, sudah tahu kau sendiri terluka oleh jarum berbisa, mengapa kau tidak memberi tahu padaku, sebaliknya sengaja membiarkan aku ikut terperangkap?"

"Aku terjcbak, kaupun terperangkap, ini namanya seri, satu-satu!" jawab Hoat-ong dengan tertawa.

Tidak kepalang gusar Nimo Singh, ia memaki "Keparat, menangkap Kwe Cing apa segala tak berarti lagi bagiku, biarlah aku mengadu jiwa dengan kau."

Sebenarnya kakinya sudah tak bertenaga lagi, tapi tangannya menahan tanah, sekaligus ia menubruk ke arah Hoat-ong, senjata ular baja terus mengetok kepala lawan itu.

Hoat-ong mengangkat roda tembaganya untuk menangkis, menyusul tangan yang lain terus menyikut Tubuh Nimo Singh lagi menubruk maju sehingga sukar menghindar, apalagi serangan Hoat-ong inipun sangat cepat, seketika bahu Ntmo Singh kena disikut dengan keras, walaupun otot daging Nimo Singh sangat kuat, tidak urung iapun kesakitan setengah mati.

Saking murkanya Nimo Singh tidak lagi memikirkan mati-hidupnya sendiri, ia tetap menubruk ke depan dan merangkul tubuh Hoat-ong se-kencang2nya, malah mulutnya terus menggigit dan kebetulan Hiat-to bagian leher kena dikertak.

Jika dalam keadaan biasa, betapapun tidak mungkin Nimo Singh dapat mendekati Hoat-ong yang berkepandaian setinggi itu, apalagi hendak merangkul tubuhnya dan menggigit lehernya, Tapi sekarang Hoat-ong sedang mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menahan menjalarnya racun yang mengenai telapak kakinya itu, sebab itulah waktu Nimo Singh menusuk maju, Hoat-ong sendiri sudah tidak cukup tenaga dalamnya dan hanya dapat melawannya dengan kekuatan luar.

Sebaliknya Nimo Singh menyerang dengan sepenuh tenaga, begitu berhasil menggigitnya, maka giginya tidak mau kendur lagi.

Cepat Hoat-ong menggunakan kaki kanan untuk menjegal karena kedua kaki Nimo Singh sudah lemas, ia tidak tahan dan terjerembab ke depan sambil menarik Hoat-ong, jadinya kedua orang sama terguling di tanah.

Hoat-ong bermaksud menarik orang, namun hiat-to penting tergigit, tenaga tangannya juga berkurang, sukar baginya untuk melepaskan diri, terpaksa tangannya digunakan mencengkeram Tay-hi-hiat dikuduk Nimo Singh, tempat inipun melupakan-Hiat-to penting di tubuh manusia, dengan cengkeraman ini dapatlah ia berjaga agar tidak dikerjai lebih lanjut oleh Nimo Singh.

Sebenarnya kedua orang sama2 jago kelas wahid dalam dunia persilatan, tapi mereka sama2 keracunan dan sekarang berkelahi dari jarak dekat secara bergumul keadaan mereka menjadi seperti tukang berkelahi kampungan tanpa harga diri, ke duanya ber-guling2 dan lambat laun mendekati tepi jurang.

Hal ini dapat dirasakan oleh Hoat~ong cepat ia berteriak: "Lepaskan tanganmu, kalau terguling lagi ke sana, kita berdua sama2 hancur terjerumus!"

Akan tetapi Nimo Singh sudah kalap, iapun tidak berusaha menolak racun dalam tubuhnya maka tenaganya menjadi lebih kuat daripada Hoat-ong, ia terus mendorong ke depan sehingga Hoat -ong tidak dapat menahannya.

Tampaknya sedikit lagi mereka pasti akan ter getincir ke dalam jurang, dalam keadaan kuati tiba2 Hoat-ong mendapat akal, cepat ia berteriak "He, Kwe Cing datang!"

"Di mana?" tanya Nimo Singh melengak kaget. Dan karena ucapannya ini dengan sendirinya mulutnya lantas terbuka sehingga gigitannya pada Hiat to Kim-lun Hoat-ong dilepaskan

Kesempatan itu segera digunakan Hoat-ong untuk menghantam. Baru sekarang Nimo Singh menari tertipu, cepat ia mengelak dan kembali menyeruduk lagi.

Hantaman Hoat-ong itu sebenarnya hendak memaksa Nimo Singh melompat mundur, tapi ia lupa kedua kaki Nimo Singh sudah tak dapat digunakan lagi karena keracunan oleh jarum tadi sehingga tidak mampu bergerak, jadinya bukan melompat mundur sebaliknya malah menyeruduk maju, Keruan Hoat-ong kaget dan kedua orang kembali bergumul menjadi satu, se-konyong2 dibawah tubuh terasa hampa, tanpa ampun kedua orang terjerumus ke dalam jurang.

Melihat akal si Nyo Ko berhasil dengan baik, diam2 Li Bok-chiu mengakui kehebatan anak muda itu. Waktu mendengar suara perkelahian kedua orang diluar, segera Li Bok-chiu bermaksud mengeluyur pergi, tapi mendadak terdengar pula suara jeritan kaget kedua orang, suaranya sangat aneh, itu suara jeritan waktu kedua orang terjatuh ke dalam jurang, tapi lantaran jarak tepi jurang dengan gua itu agak jauh, pula ter-aling2 oleh batu2 dan semak2 sehingga apa yang terjadi di luar itu tidaklah jelas.

"He, apa yang mereka lakukan itu" tanya Li Bok-chiu.

Nyo Ko juga tidak menyangka Hoat-ong dan Nimo Singh bisa terjerumus ke dalam jurang, setelah termenung sejenak, lalu menjawab "Bangsat gundul itu sangat licin, jangan2 iapun menirukan cara kita ber-pura2 saling melukai tadi, maksudnya supaya kita terpancing keluar."

"Ya, benar, tentu dia ingin memancing aku keluar untuk merampas obat penawar," ujar Li-Bok-chiu. Pelahan ia mendekati mulut gua dan bermaksud melongok keadaan di luar sana.

"Awas jarum di atas tanah itu," seru Nyo Ko.

Li Bok-chiu terkejut dan cepat menarik kembali langkahnya. sementara itu api di mulut gua sudah padam, asap sudah buyar sehingga didalam gua kembali gelap gulita, ia tidak dapat memandang dalam kegelapan seperti Nyo Ko sehingga tidak tahu ketiga jarum itu di tancapkan di bagian mana oleh anak muda itu, kalau sembarangan bertindak bukan mustahil iapun akan menginjaknya! Meski ia sendiri mempunyai obat penawarnya tapi bila kesempatan itu digunakan Nyo Ko untuk menyerangnya, maka sukarlah untuk melawannya andaikan jiwa sendiri tidak melayang oleh racun jarumnya sendiri



Karena itulah ia lantas berkata: "Lekas kau cabut jarum2 itu, buat apa kita berdiam terus di sini"

"Tunggu sebentar lagi, biar mereka mati keracunan barulah kita keluar," ujar Nyo Ko.

Li Bok-chiu mendengus satu kali, dalam hati ia seperti jeri kepada Nyo Ko, sama2 berdiam di dalam gua yang gelap, sedangkan ilmu silat sendiri belum tentu bisa mengalahkan anak muda itu, bicara tentang tipu akal malahan sudah jelas bukan tandingannya. Karena itulah ia coba merenungkan akal baik untuk meloloskan diri.

Sementara itu keadaan di luar gua sudah sunyi sepi, kedua orang di dalam gua juga sedang merenungkan kepentingan masing2 dan sama2 tidak bersuara. Pada saat itulah mendadak anak bayi itu menangis keras, agaknya bayi itu kelaparan, maklumlah, sejak lahir sama sekali belum pernah disusui.

Tiba2 Li Bok-chiu menjengek: "Di mana Sumoay? Kenapa dia tidak ambil pusing pada anaknya sendiri yang mungkin mati kelaparan."

"Siapa bilang bayi ini anak Kokoh?? jawab Nyo Ko, ini adalah puteri Kwe Cing, Kwe-tayhiap, tahu?"

"Hm, kau tidak perlu menggertak aku dengan namanya Kwe-tayhiap, memangnya kau kira aku lantas takut?" kata Li Bok-chiu. "Jika bayi ini anak orang lain, betapun kau takkan berusaha merebutnya dengan mati2an, pasti anak ini adalah hasil hubungan kalian berdua."

"Ya, aku memang bertekad akan memperisteri Kokoh" teriak Nyo Ko dengan gusar "Tapi kami belum menikah, cara bagaimana bisa mendapatkan anak? Hm, mulutmu harus dicuci bersih sedikit."

Kembaii Li Bok-chiu mengejek: "Huh, kau suruh mulutku bersih sedikit, kan seharusnya perbuatan kalian berdua diherankan lebih dulu."

Selama hidup Nyo Ko menghormati Siao-Iiong li sebagai malaikat dewata, mana ia tahan sang Koko difitnah dan dinista secara kotor, dengan murka membentak: "Suhuku suci bersih, kan perempuan buta ini janganlah mengoceh semaunya."

"Hah, suci bersih, cuma sayang Su-kiong-se (andeng2 cecak merah) pada lengannya sudah punah," jengek Li Bok-chiu pula.

"Sret," pedang Nyo Ko terus menusuk ke dada orang sambil membentak: "Tak soal jika kau memaki aku, tapi kata2mu menghina Suhuku, biar aku mengadu jiwa dengan kau."

"Sret~sret-sret," ber-turut2 ia menyerang lagi tiga kali.

ilmu pedang Nyo Ko memang hebat, pula dapat melihat dalam kegelapan, Li Bok-chiu hanya dapat menangkis berdasarkan kepandaian "mendegarkan suara angin dan membedakan arah", meski tangkisannya tidak meleset, tapi beberapa jurus kemudian iapun mulai kewalahan.

Untung Nyo Ko memikirkan keselamatan anak bayi itu, ia kuatir kalau serangannya terlalu gencar, dalam keadaan kepepet bukan mustahil Li Bok-chiu akan mencelakai bayi itu, sebab itulah dia tidak melancarkan serangan maut.

Begitulah sampai belasan jurus mereka bergebrak di dalam gua, se-koyong2 anak bayi itu menangis satu kali, habis itu lantas diam, sampai lama letap tak bersuara Iagi.

"Bagaimana bayi itu, kau mencelakai dia?" kata Nyo Ko dengan suara kuatir.

Melihat si Nyo Ko begitu memperhatikan si bayi, ia tambah yakin bayi itu pasti anak kandung Siao-liong-li, ia tangkis pedang Nyo Ko dengan kebutnya sambil berkata: "Sekarang belum mati, tapi kalau kau membantah perkataanku, memang nya kau kira aku tidak berani mencekik mampus setan cilik ini."

Nyo Ko bergidik, ia kenal watak Li Bok-chiu yang kejam itu, jangankan membunuh seorang bayi malahan membunuh segenap keluarga juga perbuatan biasa baginya, Cepat ia menarik kembali pedangnya dan berkata: "jelek2 kau adalah Supekku, asalkai kau tidak memaki Suhuku, dengan sendirinya aku menurut padamu"

"Baik, aku takkan memaki gurumu lagi dan kau harus turut perkataanku," kata Li Bok-chhi "Nah, sekarang kau melongok keluar sana, coba lihat bagaimana kedua bangsat itu."

Nyo Ko menurut, ia memeriksa sekeliling di luar gua, tapi tidak nampak bayangan Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh, ia kuatir Hoat-ong menjebaknya, ia coba menggunakan pedangnya dan membabati semak2 rumput yang mungkin dibuat sembunyi musuh, tapi ternyata tiada sesuatu jejak apa2. Segera ia masuk gua lagi dan berkata: "Kedua orang itu menghilang, mungkin mereka sudah kabur,"

"Hm, setelah terkena jarumku, seumpama kabur juga takkan mencapai jauh," jengek Li-Bok-chiu, "sekarang cabutlah semua jarum yang kau tancapkan di mulut gua tadi dan taruh di depanku sini."

Karena bayi itu masih terus menangis, Nyo Ko pikir harus lekas mencarikan sesuatu makanan baginya, maka ia turut perintah Li Bok-chiu itu, dengan tangan terbalut ia cabuti jarum2 itu dan di kembalikan kepada yang empunya.

Setelah memasukkan jarum berbisa itu ke kantungnya. segera Li Bok-chiu melangkah keluar, Styo Ko mengintilnya dengan cepat dan bertanya "Hendak kau bawa ke mana bayi itu?"

"Pulang ke rumahku," jawab Bok-chiu.

"Untuk apa kau membawa pulang anak ini? Kan bukan kau yang melahirkannya," seru Nyo Ko tanpa pikir.

Muka Li Bok-chiu menjadi merah dan men-lamperat: "Ngaco-belo tak keruan! Asalkan kau mengantar Giok-li-sim-keng dari Ko-bong pay kita kepadaku segera kukembalikan anak ini padamu, ku jamin takkan mengganggu seujung rambutnya."

Habis berkata ia terus berlari secepat terbang ke utara dengan Ginkang yang tinggi.

"He, harus kau susui dia dulu!" seru Nyo Ko sambil mengikutinya lari.

Dengan muka merah padam Li Bok-chiu berpaling dan membentak: "Keparat, kau bicara tidak keruan dan selalu meng-olok2 saja."

"Hm, meng-olok2 bagaimana?" ujar Nyo Ko dengan heran, "Bukankah anak itu akan mati kelaparan jika tidak disusui?"

"Aku masih gadis suci bersih, cara bagaimana dapat menyusui setan cilik ini?" omel Li Bok-chiu

Baru sekarang Nyo Ko tahu apa sebabnya muka orang merah, dengan tersenyum ia menjawab: "Li supek, bukan maksudku menyuruh engkau menyusui bocah ini, tapi: kuminta engkau berusaha mencarikan susu baginya."



Li Bok-chiu menjaga diri dengan suci bersih dan tidak pernah menikah, selama hidup berkecimpung di dunia Kangouw, mengenai urusan merawat bayi segala sedikitpun ia tidak paham.

la menjadi bingung, setelah berpikir sejenak, kemudian ia tanya: "Mencari susu ke mana? Makan nasi saja, bagaimana?"

"Boleh kau periksa dia bergigi atau tidak?" katanya.

Li Bok-chiu coba pentang mulut si orok yang mungil itu, lalu menggeleng dan berkata: "Tidak ada, satu bijipun tidak ada,"

"Hei, kita dapat mencari seorang perempuan yg sedang menyusui anaknya di kampung sana, kita suruh perempuan itu menyusui orok ini, bagus tidak"

^Ya, kau memang cerdik dan banyak akal," kata Bok-chiu dengan girang, ia coba memandang jauh ke sana dari tempat tinggi, kelihatan di sebelah barat sana ada asap mengepul. Segera mereka sama berlari ke sana, dalam waktu singkat sampailah mereka di suatu kampung kecil.

Sudah lama peperangan melanda kota Siang-yang, maka kota2 kecil sekitarnya juga telah men-jadi korban api peperangan itu dan setelah dihancurkan oleh keganasan pasukan Mongol, hanya di tempat pegunungan yang sunyi ini masih ada sedikit rumah penduduk.

"Dari rumah ke rumah Li Bok-chiu memeriksa dengan teliti, sampai rumah petani ke empat barulah dilihatnya seorang perempuan muda sedang menyusui anaknya yang berumur setahunan.

Bok-chiu sangat girang, tanpa permisi ia tarik anak perempuan muda itu dan dilemparkan ke atas dipan sana, habis itu bayi yang dipondongnya ia lantas ditaruh pada pangkuan perempuan itu sambil berkata: "Anak ini lapar, lekas kau menyusui dia."

Anak kecil yang dilemparkan ke dipan itu terbanting cukup keras, karena kesakitan seketika terdengarlah jerit tangis, Adalah lazim seorang ibu sayang pada anaknya sendiri, lekas2 ia menggendong kembali anaknya itu.

Melihat bagian dada perempuan muda itu terbuka, cepat Nyo Ko berpaling keluar rumah. Segera didengarnya bentakan Li Bok chiu "Kusuruh kau menyusui anakku, apa kau tidak dengar? Siapa suruh kau memondong anakmu sendiri?" - Menyusul terdengar kebut menyabet, lalu terdengar suara "Blang" sekali.

Nyo Ko terkejut dan menoleh, dilihatnya anak perempuan petani itu telah dibanting oleh Li Bok -chiu di dekat kaki tembok sana kepalanya berlumuran darah, entah mati atau masih hidup.

Tentu saja tidak kepalang pedih hati si perempuan petani, cepat ia menaruh anak Kwe Cing itu diatas dipan dan segera menubruk maju untuk memondong anaknya sendiri sambil menjerit dan menagis. Li Bok-chiu tambah gusar, ia angkat kebutnya hendak menyabet kepala perempuan itu.

Syukur Nyo Ko sempat menangkis kebut itu dengan pedangnya, dalam hati ia pikir Li Bok-chiu ini sungguh wanita yang paling kejam dan se-wenang2. tapi dimulut ia berkata: "Li-supek, kalau mau membinasakan dia, orang mati tak dapat lagi menyusui."

"Persetan!" omel Bok-chiu dengan gusar, "Apa toh. kulakukan adalah demi kebaikan anakmu, mengapa kau malah ikut campur urusan tetek bengek."

Diam2 Nyo Ko mendongkol sudah jelas bukan anaknya, tapi Li Bok-chiu terus menerus mengatakan bayi itu anaknya, Tapi kalau benar anaknya, mengapa dikatakan pula Nyo Ko ikut campur urusan tetek bengek.

Tapi Nyo Ko tidak membantah, katanya dengan tersenyum: "Anak ini sudah kelaparan, paling penting disusui dulu." - Berbareng ia terus hendak membopong bayi di atas dipan itu.

Namun Li Bok-chiu telah mengadangnya dengan ancaman kebut dan berseru: "Kau berani merebut anak itu?"

Terpaksa Nyo Ko melangkah mundur lagi dan berkata: "Baik, takkan kupondong dia."

Li Bok-chiu sendiri lantas pondong bayi itu dan baru saja akan disodorkan lagi kepada perempuan petani tadi, tapi perempuan itu ternyata sudah menghilang entah ke mana. Rupanya selagi mereka berdua bertengkar, perempuan itu terus kabur melalui pintu belakang dengan membawa puteranya yang terluka itu.

Dengan murka Li Bok-chiu menerjang keluar pintu, dilihatnya perempuan tadi sedang lari kesetanan ke depan sana dengan anaknya, sekali Li Bok-chiu menjengek, ia melompat ke sana, kebutnya terus menyabet, tahu2 perempuan petani brtsama anaknya sudah menggeletak tak bernyawa dengan tulang kepala pecah berantakan.

Masih belum puas dengan itu, Li Bok-chiu terus menyalakan api dan membakar rumah petani itu hingga habis menjadi abu, habis itu barulah ia melangkah pergi..

Diam2 Nyo Ko menyesali Li Bok-chiu yang teramat kejam dan keji itu, ia terus mengintil di belakangnya. Kedua orang sama2 diam dan berjalan di ladang pegunungan, sampai berpuluh li jauhnya, rupanya saking lelahnya bayi itu telah terpulas dalam pondongan Li Bok-chiu.

Tengah berjalan, tiba2 Li Bok-chiu bersuara heran dan berhenti, dilihatnya dua ekor anakan macan tutul sedang bersenda gurau di bawah sinar matahari, ia melangkah maju dan baru hendak mendepak minggir kedua ekor macan tutul kecil itu, se-konyong2 terdengar suara meraung dari semak2 di samping sana, seekor induk macan tutul yabg besar menubruk tiba.

Biarpun tinggi ilmu silat Li Bok-chiu juga kaget melihat betapa besarnya macan tutul itu, cepat ia melompat ke samping untuk menghindar.

Macan tutul itu kelihatan sangat buas, sekali tubruk tidak kena, segera ia memutar balik hendak mencakar, gerakannya sangat gesit seperti jago silat saja, Segera Li Bok-chiu angkat kebutnya dan menyabet, tapi mengenai batok kepala macan tutul itu sehingga binatang itu marah dan semakin buas, macan tutul itu mendekam di tanah dengan menyeringai hingga kelihatan kedua baris giginya yang putih tajam, kedua matanya terus mengincar mangsanya dan siap menerkam pula.

Cepat Li Bok-chiu menyambitkan kedua buah jarum untuk menyerang kedua mata harimau itu. Mendadak Nyo Ko berseru: "Nanti dulu!" -Berbareng kedua jarum itu disampuknya dengan pedangnya.

Pada saat itu juga macan tutul itu sudah melompat ke atas dan menubruk tiba pula, Namun pada saat yang sama Nyo Ko juga melompat keatas, lebih dulu ia sampok pula dua jarum yang sementara itu disambitkan lagi oleh Li Bok-chiu.

Menyusul kepalan kanan dengan cepat menghantam pada tulang punggung di dekat gitok macan itu.

Macan tutul itu mengaung kesakitan dan terjatuh, tapi segera menubruk lagi ke arah Nyo Ko. Cepat anak muda itu mengegos sambil menghantamkan sebelah tangannya, betapapun kuatnya binatang itu juga tidak tahan oleh genjotan Nyo Ko dan jatuh terjungkal.

Li Bok-chiu menjadi heran mengapa dia menolong harimau itu dari serangan jarumnya, sebaliknya sekarang anak muda itu berkelahi dengan binatang itu.



Dilihatnya susul menyusul Nyo Ko memukul macan tutul yang jatuh bangufn itu, hanya tempat yang dihantamnya itu bukan tempat mematikan melainkan tempat yang membuat binatang itu jatuh dan kesakitan melulu.

Suara macan tutul itu makin Iama makin perlahan, meski tidak terluka, tapi sudah belasan kali ia dipukul oleh Nyo Ko dan tidak tahan lagi segera ia melompat ke atas lereng bukit Tapi Nyo Ko sudah menduga akan itu, segera ekor harimau itu hendak ditariknya.

Tak terduga macan tutul itu mendadak mencawat ekornya di sela2 kaki sehingga tarikan Nyo Ko tidak kena pada sasarannya.

Selagi Nyo Ko hendak mengejar, mendadak macan tutul itu berpaling dan meraung seperti memanggil kedua ekor anaknya agar ikut lari. Pikiran Nyo Ko tergerak cepat ia pegang kuduk kedua anakan macan tutul dan diangkat tinggi ke atas.

Tampaknya induk macan juga sayang kepada anaknya, tanpa hiraukan keselamatan sendiri kembali macan tutul besar itu menubruk ke arah Nyo Ko. Cepat Nyo Ko melempar kedua anak harimau itu kepada Li Bok-chiu sambil berseru "peganglah ini, jangan dimatikan!"

Berbareng itu ia terus meloncat ke atas, bahkan lebih tinggi daripada macan tutul itu, ia incar dengan tepatnya, jatuh ke bawah dengan persis dapat menunggangi punggung macan tutul, kedua tangannya terus mencengkeram kencang telinga binatang itu dan ditahan ke bawah sekuatnya.

Macan tutul itu meronta sekuatnya, namun seluruh badannya sudah diatasi lawan, mulutnya yang terpentang lebar juga ambles terbenam ke dalam tanah.

"Li-supek, lekas membuat tali dengan kulit pohon dan mengikat keempat kakinya," seru Nyo Ko.

"Hm, aku tiada tempo ikut memain dengan kau," jengek Li Bok-chiu, habis itu segera ia hendak melangkah pergi

Nyo Ko menjadi ribut, teriaknya pula: "Hei, memangnya siapa mengajak kau main2? Maksudku macan tutul ini punya susu!"

Baru sekarang Li Bok-chiu paham maksud Nyo Ko, dengan girang ia berkata: "He, betul, Hanya kau yang dapat memikirkan hal ini." - Cepat mengambil belasan lempeng kulit pohon dan dipelintir menjadi tali yang kuat, lebih dulu ia ikat moncong macan tutul itu dengan kencang, habis itulah meringkus keempat kakinya.

Dengan tersenyum barulah Nyo Ko melepaskan pegangan pada harimau itu, ia berbangkit sambil kebut debu pasir di tubuhnya.

Harimau itu tidak dapat berkutik lagi, sinar matanya memancarkan rasa takut. Nyo Ko me-raba2 kepalanya dan berkata dengan tertawa: "jangan kuatir, jiwamu takkan kami ganggu, kami cuma minta kau menjadi mak inang sementara."

Segera Li Bok-chiu mendekatkan mulut si bayi pada punting susu harimau itu. Bayi itu sudah sangat kelaparan, begitu punting susu harimau masuk mulutnya, sekuatnya ia lantas menyedot

Air susu harimau tutul itu beberapa kali lipat lebih banyak daripada air susu manusia, tidak berapa lama kenyanglah.bayi itu dan terpulas pula dengan nyenyaknya.

Selama bayi itu menyusu hingga tertidur, selama itu pula pandangan Nyo Ko dan Li Bok-chiu tak pernah meninggalkan wajah si kecil yang molek itu, setelah menyaksikan bayi itu kenyang menyusu dan terpulas, air mukanya yang lembut itu tersenyum simpuI, hati kedua orang menjadi girang dab tanpa terasa mereka saling pandang dan tertawa.

Saling tertawa ini banyak membawa kedamaian bagi mereka, rasa waswas yang tadinya meliputi perasaan mereka seketika lenyap sebagian, Dengan wajah yang penuh perasaan lembut Li Bok-chiu memondong kembali bayi itu lambil ber-nyanyi2 kecil dengan suara pelahan.

Nyo Ko lantas mencari rumput yang lunak dan membuat sebuah "kasur" kecil dibawah pohon katanya: "Rebahkan di sini biar dia tidur lebih lelap.

"Sssst!" tiba2 Li Bok-chiu mendesis sambil memberi tanda agar anak muda itu jangan berisik.

Nyo Ko melelet lidah dengan muka jenaka, Terlihat si bayi telah tertidur dengan tenteram, bara sekarang ia dapat menghela napas lega.

Sementara itu kedua ekor anakan macan tutul juga sedang sibuk menyusu pada induknya, Suasana sekeliling aman tenteram, angin meniup sepoi2 manusia dan binatang berdampingan dengan damai Setelah mengalami banyak peristiwa selama beberapa hari ini, baru sekarang Nyo Ko merasakan longgar.

Li Bok-chiu duduk menunggui anak bayi itu, kebutnya mengebas pelahan mengusir lalat dan nyamuk yang menghinggapi si kecil, Di bawah kebut ini entah sudah berapa banyak melayang jiwa manusia, untuk pertama kalinya sekarang kebut itu digunakan untuk yang baik dengan perasaan kasih.

Nyo Ko melihat Li Bok-chiu terus memandangi si kecil dengan terkesima, terkadang mengulum senyum, lain saat tampak sedih, mendadak kelihatan terangsang, tapi segera kelihatan tenteram lagi. Mungkin batin iblis perempuan ini sedang bergolak dengan hebatnya dan teringat kepada pengalamannya selama ini.

Memang Nyo Ko tidak jelas kisah hidup Li Bok-chiu, hanya sekadarnya pernah didengarnya dari Thia Eng dan Liok Bu-siang, bahwa tindak-tanduknya sangat keji dan benci kepada sesamanya, tentu pernah ia pernah mengalami kedukaan yang luar biasa. Selama ini Nyo Ko benci padanya, sekarang terasa timbul juga rasa kasihan nya.

Selang agak lama, Li Bok-chiu angkat kepalanya, beradu pandang dengan Nyo Ko, melihat air muka anak muda itu tenang ramah, hati Li Bok-chiu rada tercengang, dengan suara pelahan ia berkat "Hari hampir gelap, bagaimana baiknya malam nanti?"

Nyo Ko memandang sekeliling situ. katanya kemudian: "Kita juga tak dapat membawa "mak inang" raksasa ini dalam perjalanan, sebaiknya kita mencari sebuah gua untuk bermalam, segala persoalan kita tentukan saja besok."

Li Bok-chiu mengangguk setuju. Nyo Ko lantas memeriksa sekitar tempat itu menemukan sebuah gua yang sekadarnya cukup untuk berteduh, ia mengumpulkan sedikit rerumputan dan dijereng menjadi dua kasuran besar dan kecil di dalam gua itu lalu berkata: "Li-supek, silahkan mengaso dulu, aku pergi mencari barang makanan."

Tidak lama kemudian Nyo Ko sudah kembali dengan membawa tiga ekor kelinci dan belasan buah buahan. ia melepaskan tali yang membelenggu moncong harimau tutul itu dan memberinya makan seekor kelinci, lalu ia membuat api unggun untuk memanggang kedua ekor kelinci yang lain dan dimakan bersama dengan Li Bok-chiu.



"Li supek, silakan tidur saja, akan ku jaga di sini" kata Nyo Ko kemudian. ia ambil seutas tali diikat pada dua batang pohon, di atas tali itulah ia tidur secara terapung.

"Cara tidur Nyo Ko itu adalah latihan utama dari Ko~bong-pay. dengan sendirinya Li Bck-chiu tak merasa heran. Selama ini selain terkadang dalam perjalanan bersama muridnya, Ang Leng-po, biasanya Li Bok-chiu pergi datang sendirian, sekarang Nyo Ko menemani dan melayani dia dengan baik dan rapi.

lnilah berbeda rasanya daripada hidup sendirian di pergunungan sunyi di masa lalu, tanpa terasa Li Bok-chiu menghela napas gegetun.

Tertidur sampai tengah malang tiba2 Nyo Ko mendengar suara burung berkicau di jurusan tenggara sana, suaranya nyaring halus dan terasa sangat enak didengar. ."

Dia pasang telinga mendengarkan sejenak, ia tidak tahu bunyi burung jenis apakah yang sedemikian merdunya. Karena ingin tahu, pelahan ia melompat turun dari ranjang tali dan merunduk ke arah datangnya suara burung itu.

Didengarnya suara burung itu terkadang meninggi dan mendadak rendah, tempo cepat dan lain jadi lambat, mirip sekali dengan orang yang sedang memainkan alat musiknya. Mau tak mau timbul hasratnya untuk menangkap burung aneh itu.

Begitulah ia terus menyusur maju ke sana, makin lama makin menurun tempatnya, akhirnya ia sama di sebuah lembah yang dalam, terdengar suara burung itu berada tidak jauh di depannya, kuatir mengejutkan burung itu, ia berjalan dengan pelahan dan langkahnya dibuat enteng, hati2 sekali ia menyingkap semak2 dan melongok ke sana, tapi ia menjadi kecewa, heran dan geli pula.

Kiranya burung yang berkicau dengan suara yang merdu tadi, bentuknya justeru sangat jelek badannya tinggi besar, malahan lebih tinggi satu kepala kalau berdiri berjajar dengan Nyo Ko. Bulu di sekujur badannya jarang2 sehingga mirip dicabut orang, warna bulunya kuning bercampur hitam dan kelihaian kotor, tampangnya rada mirip dengan sepasang rajawali piaraan Ui Yong di Tho-hoa-to itu, cuma kedua rajawali itu sangat cakap, sebaliknya rajawali aneh ini jelek, bedanya seperti langit dan bumi.

Malahan paruhnya besar membengkok, dibatok kepalanya tumbuh sebuah gumpalan daging merah sehingga menyerupai jengger, di antara beribu-ribu jenis burung di dunia ini, rasanya tiada lagi yang lebih jelek rupanya dari pada burung raksasa yang ini.

Rajawali jelek ini sedang melangkah kian kemari, terkadang menjulurkan sayap, ternyata sayap juga ada kelainan, sebelah kanan pendek sebelah kiri panjang, entah cara bagaimana ini bisa terbang. Sikap Rajawali aneh ini sangat angkuh, dengan bersitegang leher ia berjalan mondar mandir.

Setelah berkicau sejenak, mendadak suaranya berubah, dari halus merdu berubah menjadi galang menantang, tiba2 di sela-sela sana ada suara mendesis.

Sejak kecil Nyo Ko ikut ibunya menangkap ular, maka mendengar suara itu segera ia tahu ada tujuh atau delapan ekor ular berbisa besar sedang menyusur tiba. Sudah tentu dia tidak takut pada ular berbisa, tapi jumlah ular cukup banyak, mau tak-mau ia harus ber-jaga2.

Baru timbul rasa waswasnya, di bawah cahaya rembulan kelihatanlah warna loreng2, delapan ekor ular berbisa sekaligus menyambar ke arah si rajawali jelek tadi, tapi rajawali itu telah pentang paruhnya yang bengkok itu, ber-turut2 ia mencocok delapan kali, kontan kedelapan ekor ular m tercocok mati.

Betapa cepat dan jitu caranya memaruh luar biasa, sekalipun jago silat kelas satu sebangsa Kwe Cing atau Kim-lun Hoat-ong juga tidak lebih dari itu.

Nyo Ko terkesima menyaksikan kesaktian rajawali jelek itu, sekejap itu lenyaplah perasaan meremehkan dan mentertawakan rajawali yang buruk rupa itu, sekarang timbul perasaan kagum dan heran.

Sementara itu, rajawali aneh itu sedang melalap ular2 berbisa tadi satu demi satu, dari suaranya mengunyah itu se-akan2 mulut burung itu bergigi saja.

Semakin heran Nyo Ko menyaksikan itu, ia pikir kalau kejadian ini diceritakan pada orang lain, tentu orang takkan percaya, Selagi ia terpesona oleh kesaktian rajawali yang aneh itu, tiba2 hidungnya mengedus bau amis busuk, nyata ada ular menyusur tiba pula.

Agaknya rajawali itupun tahu datangnya ular, dia berkaok tiga kali se-akan sedang menarik perhatian. Mendadak terdengar suara bergedebuk dari atas pohon di depan sana menggelatung turun seekor ular sawa (Python) yang bulat tengahnya sebesar mangkuk, kepalanya bentuk segi tiga, begitu buka mulut, seketika segumpal kabut merah bisa menyembur ke arah rajawali tadi.

Namun rajawali itu sama sekali tidak gentar, sebaliknya ia malah memapak maju, mulutnya membuka, kabut berbisa tadi dihirupnya semua ke dalam perut. Berulang tiga kali ular sawa ini menyemburkan kabut racun, tapi seluruhnya dapat diisap oleh rajawali jelek itu.

Rupanya ular sawa itu tahu gelagat jelek dan ada tanda takut dan hendak mengerat mundur, namun rajawali itu cepat sekali mematuk sehingga sebuah mata ular itu terpatuk buta.

Tampaknya leher rajawali itu cekak lagi kasar, gerak-geriknya seperti kurang leluasa, tapi mulur mengkeretnya ternyata secepat kilat sehingga Nyo Ko tidak sempat melihat jelas cara bagaimana rajawali itu membutakan mata lawannya.

Karena kehilangan sebuah matanya, ular sawa-kesakitan sekali ia pentang mulut dan -"crat" jengger merah diatas kepala rajawali itu terus dipatuknya. Kejadian yang tak terduga ini ikut menjerit kaget.

Setelah menyerang berhasil, segera ular sawa itu merambat ke bawah, tubuhnya melilit beberapa kali di badan rajawali terus mengencang sekuatnya, tampaknya jiwa rajawali itu pasti sukar dipertahankan.

Lantatan ibunya tewas oleh pagutan ular berbisa, maka selama hidup Nyo Ko sangat benci pada ular, meski dia tidak menaruh simpatik terhadap rajawali buruk rupa itu, tapi iapun tidak ingin burung itu dicelakai ular jahat, cepat ia melompat keluar, pedangnya terus membacok tubuh ular itu. Terdengarlah suara "blang" yang nyaring pedang nya ternyata terpental balik.

Sungguh tak kepalang terkejut "Nyo Ko, Kun cu-kiam yang diperolehnya dari tempat Kongsun Ci itu sangat tajam, sampai roda perak Kim-lun Hoat ong juga terkupas sebagian, betapapun buas dan ganasnya ular sawa ini juga terdiri dari daging darah, mengapa Kun cu-kiam malah terpental.

Karena heran dan kejutnya, segera ia tambahi tenaga dan berturut membacok lagi tiga kali, kemudian terdengar "trang-trang-trang" tiga kali, suara nyaring beradunya logam, jelas bukan suara penuh sisik ular.

Waktu Nyo Ko periksa pedangnya, ternyata mata pedangnya ada tiga tempat gempilan kecil, bahwa badan ular dapat membikin pedangnya mental sudah aneh, malahan mata pedangnya gumpil, hal ini sungguh sukar dipercaya, diantara mata pedangnya itu jelas ada noda darah ular, terang ular sawa itu terluka oleh bacokannya

Sementara itu pergulatan antara ular dan rajawali sudah mengalami perubahan keadaan, Ular sawa itu semakin kencang melilit lawannya, sedangkan bulu rajawali itu tampak menegak dan melakukan perlawanan sekuat tenaga.

Diam2 Nyo Ko berkuatir bagi keselamatan rajawali itu, kalau sebentar ular sawa itu membinasakan rajawali, sasarannya selanjutnya tentu adalah dirinya, sedangkan badan ular itu lebih keras dar| pedang, lalu cara bagaimana akan melawannya.

Kalau melarikan diri sekarang jelas dapat lolos dengan selamat, tapi dasar wataknya memang berbudi luhur dan berjiwa pendekar, sekali ia sudah membacok ular sawa, ini berarti dia sudah memihak pada si rajawali untuk menghadapi musuh yang sama, kalau kabur sendirian, betapapun ia merasa tindakan demikian terlalu rendah dan pengecut.

Segera ia mengerahkan segenap tenaganya, "trang", kembali pedangnya membacok tubuh ular. Tapi mendadak tangannya terasa enteng, Kun cu kiam itu tinggal setengah saja yang terpegang di tangannya, badan ular juga lantas menyemburkan darah merah segar, namun tubuhnya belum tertabas putus.

Karena lukanya cukup parah, lilitan badan ular nampak agak mengendur, kesempatan ini segera gunakan rajawali sakti itu untuk memberosot keluar, waktu turun ke bawah paruhnya yang bengkok itu secepat kilat mematuk sehingga mata ular yang satunya juga terpatuk buta.

Ular itu pentang mulutnya yang lebar dan memagut kian kemari secara ngawur, kini kedua matanya sudah buta, tentu saja tidak dapat menggigit sasarannya.

Siapa tahu rajawali itu justeru sengaja menyodorkan kepalanya dau membiarkan jengger merahnya digigit lagi oleh ular.

Kembaii Nyo Ko terkesiap, tapi setelah dipikir segera ia paham maksud tujuan si rajawali, tentunya jengger merah burung itu adalah benda berbisa atau mungkin merupakan bagian yang anti ular.

Kalau ular sawa itu tidak mempan ditabas senjata tajam, jalan paliag baik adalah membinasakannya dengan racun.

Taring ular tampak menggigit jengger, gumpalan daging kepala rajawali itu, tubuhnya lantas terus melingkar pula, tapi sekali ini rajawali itu tidak membiarkan badahnya terbelit lagi. cakarnya bekerja, ekor ular dicengkeram dan dibetot hingga putus.

Sementara itu ular sawa sudah keracunan hebat, mendadak badannya terguling dan melepaskan gumpalan daging yang digigitnya itu. Meski rajawali itu tahu si ular sudah dekat ajalnya, tapi dia tidak membiarkan lawannya main gila lagi, kepala ular terus dicengkeram dan ditekan ke dalam tanah.

Rajawali itu buruk rupa, tapi tenaga saktinya sungguh kuat luar biasa, ular sawa itu tak bisa berkutik lagi dan tidak lama kemudian matilah ular itu.

Si rajawali lantas mengangkat kepala dan berbunyi tiga kali, habis itu ia berpaling kepada Nyo Ko dan berkicau dengan suara halus. Dari suara burung itu Nyo Ko merasakan nada persahabatan pelahan ia mendekatinya dan berkata: "Tiau-heng (kakak rajawali), tenaga saktimu sungguh mengejutkan aku sangat kagum."

Entah burung itu paham ucapannya atau tidak, hanya terdengar dia "berkicau" lagi beberapa kali, mendadak ia melangkah maju dan mematuk setengah potong Kun-cu-kiam yang dipegang Nyo Ko itu, tahu2 pedang itu sudah direbutnya.

Padahal kepandaian Nyo Ko sekarang sudah tokoh kelas satu, biarpun jago silat tertinggi juga tidak dapat merampas senjatanya dalam sekali gebrak saja, akan tetapi sekarang rajawali buruk rupa ini ternyata dapat menaklukannya dengan cepat luar biasa...

Tentu saja Nyo Ko terkejut dan cepat melompat mundur, ia bersiap siaga kalau itu burung menubruk maju Iagi. Tapi dilihatnya rajawali itu telah membuang Kun-cu-kiam kutung itu dengan sikap yang menghina.

Pahamlah Nyo Ko akan maksud rajawali itu, katanya: "Aha, tahulah aku. Kau melarang aku mendekati kau dengan bersenjata. padahal kita membunuh musuh bersama, mana aku dapat membikin susah padamu."

Rajawali itu bersuara pelahan dan mendekati Nyo Ko sambil menjulurkan sayapnya dan menepuk pelahan beberapa kali di punggung anak muda itu.

Melihat burung itu sangat cerdik dan dapat memahami ucapan manusia, Nyo Ko sangat girang iapun balas me-raba2 punggungnya.

Melihat bangkai ular sawa yang masih menggeletak di situ, Nyo Ko menjadi heran apa sebabnya ular itu mampu mematahkan Kun-cu-kiam, Segera ia memotong sepotong ranting kayu, ia menusuk bangkai ular, rasanya lunak, tiada sesuatu yang aneh.

Ketika kayu itu ia tusuk ke luka bekas bacokan pedang, tiba2 terbentur pada sesuatu benda yang keras, sedangkan bagian itu adalah perut dan bukan bagian tulang ular.

Nyo Ko bertekad mencari tahu sejelasnya, sekuatnya ia tusukan kayunya, waktu ia tarik kembali ujung kayu itu ternyata sudah terbelah menjadi dua, tampaknya di dalam tubuh ular itu pasti ada sesuatu benda yang tajam.

Ia coba berjongkok dan mengamati lebih teliti, dilihatnya di antara rembesan darah yang merah itu samar2 memancarkan kabut ungu yang tipis, jarak muka Nyo Ko dengan bangkai ular cukup jauh, tapi merasakan semacam hawa dingin yang aneh, semakin mendekat kepalanya ke bangkai rasa dingin itu semakin keras.

Segera Nyo Ko menjemput kembali kutungan Kun-cu-kiam tadi, ia mengupas kulit daging ular bagian yang terluka itu, seketika hawa dingin tadi bertambah kuat. la terkejut disangkanya ada benda berbisa yang sangat lihay, cepat ia gunakan kutungan Kun-cu-kiam untuk membacok. "trang", tahu2 pedang yang sudah kutung itu patah lagi menjadi dua.



Sekarang Nyo Ko sudah dapat menduga duduknya perkara, pasti di dalam tubuh ular itu terdapatsesuatu senjata tajam. Segera ia gunakan pedang kutung untuk mengupas kulit daging ular agar lebih bersih, akhirnya kelihatanlah sebatang pedang panjang satu meter yang bercahaya ungu.

Dengan girang Nyo Ko menggunakan pedang, kutung untuk mencungkil batang pedang ungu itu, mendadak "srrr,... ,cret", pedang ungu itu tercungkil mencelat dan menancap pada batang pohon di sebelah sana hingga lebih setengah batang pedang yang ambles. padahal cara mencungkil tadi tidak terlalu keras, namun pedangnya itu dapat menancap ke batang pohon seperti batang pisang saja empuknya, sungguh senjata yang maha tajam dan belum pernah dilihat Nyo Ko.

Waktu Nyo Ko menyembelih ular dan mengambil pedang ungu, selama itu si rajawali sakti juga terus mengawasi iapun tertarik melihat pedang ungu yang luar biasa itu, se-konyong2 ia menyerobot maju, gagang pedang digigitnya dan dicabut jenis dibawa lari ke tebing gunung sana.

Dalam semalam Nyo Ko telah berulang mengalami peristiwa aneh, ia merasa rajawali buruk rupa itu tak dapat diduga, segera ikut melompat turun ke bawah sana, Dilihatnya tepi tebing sana ada sebuah sungai kecil, dengan menggigit pedang ungu tadi, rajawali itu lantas rendam pedang itu dalam air sungai, agaknya untuk mencucinya.

Diam2 Nyo Ko mengangguk dan paham maksud si rajawali, pedang itu sudah lama mengeram di dalam perut ular berbisa. dengan sendirinya racun juga melekat pada batang pedang itu.

Setelah sekian lamanya si rajawali mencuci pedang, kemudian ia berpaling dan melemparkan pedang itu kepada Nyo Ko. Pedang itu se-akan2 berbentuk selarik sinar ungu menyambar ke arah Nyo Ko, tapi dengan cepat anak muda itu dapat menangkap gagang pedang, katanya dengan tertawa "Terima kasih atas kebaikan Tiau-heng." ia periksa, dilihatnya gagang pedang itu tertulis dua huruf Hindu kuno: "Ci-wi" atau mawar ui

Nyo Ko pegang pedang itu lurus ke depan menyendalnya perlahan, seketika batang pedang bergetar dan mengeluarkan suara mendengung, nyata batang pedang itu sangat lemas. Barulah mengerti akan persoalannya. "Ah lantaran pedang sangat lemas sehingga dapat mengikuti lenggak-lenggok tubuh ular, makanya tidak sampai mencelakai dan menembus perut ular meski mengeram sekian lamanya di dalam perut ular itu.

la coba mengayun pedang ungu itu ke samping, sebatang pohon yang cukup besar kontan tertabas putus, sedikitpun tidak memerlukan tenaga.

Rajawali tadi bersuara pelahan beberapa kali pula dan mendekati Nyo Ko, dengan paruhnya yang bengkok itu ia tarik2 ujung baju Nyo Ko, lalu mendahului melangkah ke sana.

Nyo Ko menduga perbuatan rajawali itu pasti mengandung arti yang daiara, ia segera mengikuti dibelakangnya. Langkah rajawali itu sangat cepat seperti kuda lari saja meski berjalan di antara batu pegunungan dan semak belukar, Nyo Ko keluarkan kemahiran Ginkangnya, tapi rasanya sukar menyusulnya, syukur rajawali itu lantas menunggunya kalau Nyo Ko ketinggalan jauh.

Makin lama tempat yang mereka tuju itu makin rendah dan akhirnya sampai di suatu lembah gunung yang dalam, Tidak lama kemudian sampailah mereka di sebuah gua besar, Rajawali itumengangguk kepala tiga kali di depan gua dan bersuara tiga kali, lalu menoleh, memandangi Nyo Ko.

Dari sikap rajawali itu Nyo Ko menduga, binatang itu seperti sedang menjalankan penghormatan ke dalam gua, ia pikir gua ini pasti didiami oleh orang kosen angkatan tua dan rajawali ini tentunya adalah piaraannya, jika demikian aku harus menurut adat istiadat.

Maka Nyo Ko lantas berlutut dan menyembah beberapa kali di depan gua dan berkata: "Tecu Nyo Ko menyampaikan salam hormat kepada cianpwe, agar sudi memaafkan kedatanganku yang sembrono ini."

Selang sejenak, tiada terdengar sesuatu jawaban apapun, Rajawali itu menarik lagi ujung bajunya terus melangkah ke depan gua.

Keadaan dalam gua gelap gulita, entah betul dihuni oleh orang kosen tokoh persilatan atau didiami oleh setan gendruwo, meski hatinya kebat-kebit, tapi mati-hidup tidak dipikirkan lagi, dengan menjinjing pedang pusaka "Ci-wi-kiam yang ditemunya itu, ia terus mengintil di belakang si rajawali sakti.

Sebenarnya gua itu sangat cetek, hanya beberapa langkah sudah buntu. di dalam gua, selain sebuah meja dan sebuah bangku batu tiada sesuatu benda lain Iagi.

Rajawali tadi berkaok tiga kali ke pojok gua sana, waktu Nyo Ko memandangnya tertampak di sudut sana ada segundukan batu yang menyerupai kuburan, ia pikir: "Tampaknya ini adalah makam seorang kosen, cuma sayang burung ini takdapat bicara sehingga sukar diketahui asal-usul tokoh ini"

Ketika ia menengadah, tiba2 dilihatnya dinding gua seperti ada tulisan, cuma lembab dan berlumut dinding itu, pula gelap, maka tidak tertampak jelas, Segera Nyo Ko membuat api dan menyalakan sebatang kayu kering, ia kesut lumut dinding gua, benar di situ ada tiga baris huruf. Goresan tulisan sangat halus, tapi melekuk dalam pada batu dinding, tampaknya diukir dengan senjata yang sangat tajam, besar kemungkinan diukir dengan Ci-wi-kiam ini.

Ketiga baris tulisan itu kira2 berarti "Malang melintang lebih 30 tahun di dunia Kangouw, membunuh habis semua musuh, mengalahkan seluruh jago di dunia ini tidak menemukan lawan lagi, maka bertirakat di lembah sunyi ini memperisterikan dan berkawankan rajawali Oho, sungguh sayang, selama hidup hanya mengharapkan seorang lawan sama kuat pun sukar ditemukan, pada bawah ketiga baris huruf itu disebut pula nama penulisnya, yakni: "Kiam-mo Tokko Kiu-pay"

"Kiam-mo Tokko Kiu-pay", demikian Nyo Ko mengulangi kata2 ini beberapa kali, hatinya merasakan sesuatu yang sukar dilukiskan, dari tulisan di dinding gua itu dapat ditarik kesimpulan bahwa orang kosen itu lantaran tidak mendapatkan tandingan karena jengkel lalu dia mengasingkan diri dilembah sunyi ini, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silat orang ini tentu sukar diukur.

Bahwa orang kosen itu berjuluk Kiam-mo (iblis pedang), dengan sendirinya ilmu pedangnya maha sakti, dia she Tokko dan bernama Kiu-pay (minta dikalahkan), mungkin dia telah menjelajahi seluruh jagat untuk mencari seorang yang mampu mengalahkan dia dan cita2nya itu tidak pernah terkabul, sebab itulah dia merasa masgul dan hidup menyendiri.

Membayangkan betapa hebat tokoh yang entah hidup di jaman apa itu, tanpa terasa Nyo Ko sangat kagum.

Nyo Ko angkat obornya dan memeriksa pula keadaan dalam gua, namun tidak ditemukan lagi sesuatu bekas lain, diatas makam itupun tidak ada tanda2 lain pula, Ia menduga mungkin setelah tokoh kosen itu meninggal lalu rajawali sakti inilah yang menguruki jenasahnya dengan batu. Mengenai pedang pusaka "mawar ungu" bisa tertelan ke perut ular sawa itu, karena rajawali sakti ini tidak dapat bicara, tampaknya teka-teki ini ta kkan terungkap selamanya.

Begitulah Nyo Ko ter-menung2 sejenak di situ, kemudian ia padamkan api obor, dalam kegelapan pedang pusaka yang dipegangnya itu memancarkan canana ungu yang remang2, teringat olehnya pedang ini pernah digunakan orang kosen Tokko Kiu-pay malang melintang di dunia persilatan tanpa terkalahkan, dan sekarang pedang pusaka ini jatuh ke tangannya, maka ia lantas berlutut dan menyembah lagi beberapa kali di depan makam batu tadi.



Melihat Nyo Ko sangat menghormati makam batu itu, rupanya rajawali sakti sangat senang, kembali ia menjulurkan sayapnya menepuk pundak anak muda itu.

Nyo Ko menjadi teringat tulisan tadi, dimasa Tokko Kiu-pay menyebut si rajawali sakti ini sebagai kawannya, jadi rajawali ini meski binatang kan terhitung angkatan tua pula, kalau kusebut dia Tiau-heng" (kakak rajawali) rasanya juga tak berlebihan.

BegituIah ia lantas berkata kepada burung itu: "Tiau-heng, tanpa sengaja kita bertemuu, agaknya memang ada jodoh antara kita, sekarang kumohon diri untuk pergi. Engkau ingin mendampingi makam Tokko-locianpwe di sini atau hendak berangkat saja bersamaku?"

Rajawali itu berbunyi beberapa kali sebagai jawaban. Sudah tentu Nyo Ko tidak paham artinya, yang jelas burung itu tetap berdiam saja di samping makam, maka Nyo Ko menarik kesimpulan rajawali itu merasa berat untuk meninggalkan kediaman yang sudah ratusan tahun dihuninya ini.

Segera ia merangkul leher rajawali itu dan ber-mesra2an sekian lama dengan dia barulah tinggal pergi.

Selama hidup Nyo Ko tiada mempunyai seorang sahabat karib kecuali saling cinta dengan Siau-liong-li, sekarang bertemu dengan rajawali sakti ini secara kebetulan, walaupun manusia dan binatang, tapi entah mengapa, rasanya sangat cocok sekali, sekeluarnya dari gua itu, terasa berat untuk meninggalkannya, maka setiap melangkah beberapa tindak ia lantas menoleh.

Akhirniya setiap kali ia menoleh, selalu si rajawali sakit berbunyi satu kali sebagai tanggapan menolehnya itu, meski jaraknya sudah semakin jauh, tapi rajawali itu dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan dan selalu menjawab dengan berbunyi satu kali bila Nyo Ko menoleh.

Sungguh hati Nyo Ko sangat terharu, mendadak ia berseru: "O, Tiau-heng, jiwaku sudah tidak lama lagi, nanti kalau urusan puteri Kwe - pepeh sudah selesai dan setelah kumohon diri pada Kokoh? segera kudatang ke sini, rasanya tidak sia2 hidupku ini apabila aku dapat terkubur di samping Tokko locianpwe."

Habis berkata ia memasukkan Ci-wi-kiam ke dalam sarung Kun-cu-kiam, lalu melangkah pergi dengan cepat

Sambil berjalan, dalam hati Nyo Ko terus merenungkan pengalaman aneh tadi, terpikir pula olehnya Kun-cu-kiam dan Siok-li-kiam yang dimilikinya bersama Siao-liong-li itu, sepasang pedang ini sebenarnya memberi ramalan yang baik, siapa tahu Kun-cu-kiam akhirnya patah, tampaknya dirinya memang sudah ditakdirkan tak dapat hidup bersama Siao-liong-Ii sampai hari tua, berpikir sampai di sini ia berduka dan tanpa terasa mencucurkan air mata.

Tengah berjalan, mendadak dari sebelah kanan menyambar tiba sesuatu senjata warna hitam, menyusul dari sebelah kiri juga ada orang menyergapnya. Saat itu pikiran Nyo Ko sedang bergolak dan sama sekali tidak menduga akan diserang oleh musuh dilembah sunyi begini.

Apalagi serangan dari kanan kiri ini juga sangat cepat, dapat menghindarkan yang kiri tentu sukar mengelakkan yang kanan.

Dalam keadaan kepepet Nyo Ko juga tidak sempat melolos pedang, sepat ia meloncat setinggi nya, ia menduga musuh pasti akan melancarkan serangan susulan waktu ia turun ke bawah, maka selagi terapung di atas, sekaligus ia cabut Ci- wi-kiam dan diputar dengan kencang untuk menjaga diri, dengan begitulah ia turun ke bawah.

Akan tetapi sebelum dia melabrak lawannya, se-konyong2 sesosok bayangan menubruk tiba dari belakang, ternyata si rajawali sakti itu. Dengan cepat rajawali itu menubruk ke semak2 di sebelah kanan, sekali patuk segera seekor ular tergigit olehnya terus dilemparkan ke tanah, menyusul ia lantas menubruk pula ke sebelah kiri, tertampak sinar emas berkelebat, sebuah roda emas menghantamnya rajawali itu bermaksud mematuk roda itu untuk merampasnya, tapi tidak berhasil, sedikit berputar segera paruhnya mematuk lagi. .

Dari semak2 pohon situ lantas melompat keluar seorang dengan sepasang rodanya, kiranya Kim-lun Hoat-ong adanya.

Kuatir rajawali itu dicelakai Hoat-ong yang lihay, cepat Nyo Ko berseru: "Silahkan mundur, Tiau-heng, biar aku yang melayani dia."

Namun sayap kiii si rajawali mendadak membentang ke belakang untuk mencegah Nyo Ko, sedangkan sayap kanan terus menyampuk ke depan.

Serangkum angin keras terus menyamber ke muka Hoat-ong, luar biasa tenaga sabetan sayap itu, biarpun jago silat kelas satu juga tidak sekuat itu.

Kiranya Hoat-ong dan Nimo Singh bergumul dan terjerumus ke jurang, untung ditepi jurang ada sebatang pohon besar, pada detik berbahaya itu Hoat-ong sempat menggunakan sebelah tangannya untuk merangkul batang pohon.

Saat itu Nimo Singh sudah dalam keadaan setengah sadar, namun dia masih tetap merangkul tubuh Hoat-ong dengan mati2an, setelah Hoat-ong mengawasi keadaan sekitarnya, kemudian ia lepaskan rangkulannya pada batang pohon sambil kakinya memancal, dengan tepat kedua orang jatuh pada onggokan semak2 rumput yang lebat terus menggelinding ke bawah mengikuti tebing yang miring itu.

Belasan meter jauhnya mereka ber guling dan baru berhenti setelah sampai di dasar lembah yang dalam itu. Tentu saja sekujur badan mereka babak belur oleh duri dan batu kerikil.

Segera Hoat-ong menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk menelikung tangan Nimo Singh sambil membentak "Lepaskan tidak?"

Dalam keadaan setengah sadar Nimo Singh merasa tidak bertenaga lagi untuk melawan, terpaksa ia lepaskan sebelah tangan dan tangan lain masih mencengkeram punggung orang.

"Hm, kedua kakimu sendiri keracunan hebat dan tidak lekas berusaha menolongnya masih main gila apa kau?" jengek Hoat-ong.

Ucapan ini seperti kemplangan diatas kepala Nimo Singh, cepat ia menunduk, tertampak kedua kaki sendiri sudah membengkak besar dua kali lipat daripada biasanya, ia tahu bila tidak lekas ditolong sebentar lagi kalau racun menjalar keatas tentu jiwanya melayang, ia menjadi nekat, ia melolos ular baja yang terselip di tali pinggang, sambil menggertak gigi ia bacok putus kedua kakinya itu sebatas lutut Seketika darah segar memuncrat, kontan iapun semaput.

Melihat betapa tegas dan perkasanya Nimo Singh, mau-tak-mau Hoat-ong merasa kagum juga. Mengingat orang sudah cacat kedua kaki dan tidak bakalan bersaing lagi dengan dirinya, segerat Hoat - ong menutup beberapa Hiat-to di kaki Nimo Smgh untuk menghentikan cucuran darahnya, habis itu ia mengeluarkan pula obat dibubuhkan pada lukanya serta membalutnya dengan robekan kain baju Nimo Singh.

Pada umumnya Busu (jago silat, Bushu kata orang Jepang) di negeri Thian-tiok mengalami gemblengan fisik yang hebat, rata2 pernah berlatih tidur di atas papan berpaku atau berpisau dan jenis2 ilmu yang menyakitkan lainnya.



Nimo Singh juga ahli dalam ilmu2 itu, maka begitu darahnya mampet, segera ia sanggup bangkit berduduk dan berkata kepada Hoat-ong. "Baiklah, kau telah menolong aku segala sengketa kita yang sudah lalu tak perlu di-ungkat lagi."

Hoat-ong tersenyum getir, dalam hati ia merasa keadaan sendiri malahan lebih buruk daripada Nimo Singh yang sudah buntung itu, meski buntung, tapi Nimo Singh sudah bebas dari keracunan. Maka Hoat-ong lantas duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk mendesak keluar hawa beracun di telapak kakinya itu.

Lebih satu jam barulah beberapa tetes air hitam dapat ditolak keluar, itupun sudah membuatnya jantung berdebar dan napas terengah.

Seharian itu mereka lantas istirahat di dasar-lembah itu. Tak terduga menjelang tengah malam. tiba2 terdengar suara tindakan orang mendatang dari kejauhan. Cepat Hoat-ong gusur tubuh Nimo Singh ke dalam semak2, ia sendiri lantas sembunyi di balik pohon.

Sesudah dekat, dikenalinya pendatang itu adalah Nyo Ko, anak muda itu mengintil di belakang seekor burung raksasa aneh, sekejap saja sudah lewat ke sana.

Mengingat racun dalam tubuhnya seketika sukar dibersihkan, timbul pikiran Hoat-ong hendak merobohkan Nyo Ko untuk merampas obat penawarnya, Sebab itulah mereka lantas sembunyi di situ begitu Nyo Ko kembali lagj, segera mereka menyergapnya. Untung kedua orang itu habis terluka dan banyak berkurang tenaganya, kalau tidak pasti Nyo Ko bisa celaka.

Begitulah sesudah Nyo Ko terhindar dari sergapan, dilihatnya si rajawali sakti pedang melabrak Hoat-ong dengan sengit, caranya menubruk dan menyabet dengan sayapnya serta caranya mengelak seluruhnya bergaya dan beraturan, tentunya burung ini sudah lama mengikuti orang kosen yang tak terkalahkan sebagai Tokko Kiu-pay, maka sudah apal sekali semua jurus ilmu silat sehingga tokoh semacam Hoat-ong juga cuma bertempur sama kuatnya saja melawan rajawali.

Makin lama Hoat-ong makin heran dan kuatir Nyo Ko berdiri di samping dengan pedang terhunus, kalau anak muda itu ikut mengerubutnya pasi dirinya bisa celaka, iapun heran darimana datangnya burung raksasa, kalau saja majikannya juga muncul maka tamatlah riwayatnya hari ini.

Berpikir sampai di sini, mendadak kedua roda-nya menyilang di depan dada untuk menahan patokan si rajawali, habis itu cepat ia melompat mundur sambil berseru: "Bocah she Nyo, darimanakah kau mendatangkan makhluk ini?"

Sebelah tangan Nyo Ko merangkul leher rajawali dengan mesra, lalu menjawab: "Ini adalah sahabat karibku, kakak Sin-tiau (rajawali sakti), Hendaknya jangan kau bikin marah dia. kalau dia terbang dan menubruk dari atas, sekali patuk tentu kepalamu akan berlubang besar."

Hoat-ong percaya ucapan Nyo Ko itu, berdiri saja sudah begitu tinggi rajawali itu, apalagi kalau terbang ke atas, cara bagaimana melawannya nanti? Karena itu ia cuma berdiri saja dan bungkam.

Terdengar Nyo Ko berkata pula: "Tiau-heng, engkau mengantar aku ke sini, kawanan penjahat ini menjadi ketakutan melihat kesaktianmu, rasanya tiada aral melintang lagi di depan sana, bolehlah kita berpisah di sini saja."

Sin-tiau itu memandang sekejap ke arah Hoat-ong dan Nimo Singh, habis itu cuma diam saja.

"Baiklah, jika engkau suka boleh awasi kedua orang ini, aku mohon diri buat berangkat lebih dulu:" kata Nyo Ko sambil memberi hormat dan melangkah pergi.

Karena kuatirkan bayi puteri Kwe Cing itu, maka ia berlari secepatnya ke gua itu, baru sampai di mulut gua sudah terdengar suara Li Bok-chiu menegurnya: "Ke mana kau sejak tadi? Di sini ada setan gentayangan yang terus menerus menangis saja, sungguh mengganggu dan menjemukan."

"Mana ada setan?" ujar Nyo Ko. Belum lenyap suaranya, tiba2 dari jauh berkumandang suara orang-menangis keras, Keruan ia terkejut, ia pikir masakah di dunia ini benar2 adalah setan segala?

Suara tangisan yang tadi kedengaran sangat jauh itu, dalam sekejap saja sudah mendekat, rasanya cuma beberapa puluh meter saja di luar gua sana.

Segera Nyo Ko melolos pedang Ci-wi-kiam dan mendesis pada Li Bok-chiu: "Kau jaga anak itu, biar kubereskan dia, Li-supek."

Serentak Li Bok-chtu merasakan hawa dingin dilihatnya sinar ungu yang samar2 dalam kegelapan, jelas senjata yang dipegang Nyo Ko adalah sebuah pedang mestika, Dengan heran ia tanya.

"Darimana kau mendapat pedang ini?"

Belum lagi Nyo Ko menjawab, tiba2 terdengar orang di luar gua itu sedang berteriak dan menangis. "Oh, buruk amat nasibku ini isteriku dibunuh orang, kedua putraku hendak saling bunuh membunuh pula."

Mendengar itu, legalah hati Nyo Ko, jelas itulah suara manusia dan sama sekali bukan setan segala. ia coba melongok keluar, di bawah cahaya bintang yang remang2 kelihatan seorang lelaki tinggi besar dengan rambut semerawut, pakaiannya robek dan compang camping, tangan menutupi muka sambil menangis dan ber-putar2 dengan cepat di situ, bagaimana wajahnya tak terlihat jelas.

"Huh, rupanya seorang gila, lekas usir dia agar tidak mengganggu tidur anak ini," jengek Li Bok-chiu.

Sementara itu lelaki tadi sedang menangis dan sesambatan pula: "di dunia ini aku cuma mempunyai dua anak ini, tapi mereka justeru hendak saling membunuh, lalu apa artinya hidupku ini?"

Sambil berkata ia terus menangis ter-gerung2 dengan sedihnya.

Hati Nyo Ko tergerak, ia pikir mungkin inilah dia? Segera ia memasukkan pedang kesarungnya: "Apakah di situ Bu-locianpwe adanya...?"

Orang itu menangis di ladang sunyi, soalnya karena hatinya teramat berduka, tak diduganya di lereng pegunungan ini ada orang lain, segera berhenti menangis balas menegur dengan suara bengis: "Siapa kau? Apa yang kau lakukan secara sembunyi2 di sini?"

Nyo Ko memberi hormat dan menjawab: "Cayhe bernama Nyo Ko, apakah cianpwe she Bu dan bernama Sam-thong?"

Orang ini memang betul adalah Bu Sam thong, dahulu dia dilukai Li Bok-chiu dengan jarum berbisa dan jatuh kelengar, waktu siuman kembali, dilihatnya Bu Sam-nio, isterinya sendiri sedang mengisap darah beracun dari lukanya itu, ia terkejut dan berseru mencegah sambil mendorong sang isteri.

Akan tetapi sudah terlambat, air muka sang isteri kelihatan hitam membiru. Nyata Bu Sam-nio telah mengorbankan diri sendiri demi untuk menyelamatkan sang suami, ia tahu ajalnya sudah dekat, sambil mengelus kepala kedua puteranya ia menyatakan penyesalannya yang tidak dapat membahagiakan suami sejak mereka menikah, sebab sang si suami mencintai perempuan lain. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur, harapannya sekarang hanya memohon sang suami suka jadi manusia berguna bagi negara dan bangsa serta hidup rukun selamanya.



Habis meninggalkan pesan itu Bu Sam-nio lantas menghembuskan napasnya yang penghabisan.

Karena kematian isterinya itu, saking berdukanya penyakit Bu Sam-thong kembali kumat, melihat kedua puteranya mendekap diatas mayat ibunya dan sedang menangis sedih, pikiran Bu Sam-thong serasa kosong, apapun tidak tahu lagi dan segera pergi tanpa arah tujuan.

Begitulah ia terus luntang lantung selama beberapa tahun di dunia Kangouw dalam keadaan tidak waras, It-teng Taysu mendapat berita itu dan mengirim anak muridnya untuk menjemput Bu Sam-thong ke Tayli, disitulah Bu Sam-thong akhirnya dapat disembuhkan.

Kemudian Bu Sam-thong mendapat kabar pula dari Cu Cu-liu yang menghadiri pertemuan besar para ksatria, bahwa kedua puteranya itu kini sudah dewasa serta sudah diajari It-yang-ci oleh Cu Cu-liu.

Tentu saja Bu Sam-thong sangat girang dan terkenang kepada putera2nya, ia lantas mohon diri pada sang guru dan berangkat ke Siangyang untuk menjenguk anak2nya.

Setiba Bu Sam-thong di Siangyang, kebetulan Kim lun Hoat-ong habis mengacau di kota itu, Kwe Cing terluka dan Ui Yong baru melahirkan, setelah menemui Cu Cu-liu dan Kwe Hu, Bu Sam-thong mendapat keterangan bahwa kedua puteranya itu telah minggat untuk saling berkelahi.

Tentu saja Sam-thong sangat berduka dan teringat kepada pesan sang isteri, cepat ia memburu keluar kota untuk mencari Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.

Akhirnya Bu Sam-thong dapat menemukan kedua puteranya disuatu kelenteng rusak. Sudah tentu kedua saudara Bu sangat gembira dapat bertemu kembali dengan sang ayah. Tapi ketika persoalan Kwe Hu dibicarakan, kedua bersaudara itu tidak mau mengalah.

Meski didamperat atau dibujuk dengan halus oleh sang ayah agar kedua pemuda itu jangan memikirkan Kwe Hu lagi, namun sukar terlaksana gagasan demikian. Di depan sang ayah memang kedua saudara Bu tidak berani bermusuhan, tapi dibelakang ayahnya mereka lantas ribut.

Malamnya kedua saudara itu berjanji akan mengadakan pertarungan menentukan di tempat sepi.

Bu Sam-thong sangat mendongkol dan berduka setelah mencuri dengar pembicaraan kedua anaknya serta mendahului mendatangi tempat yang telah ditentukan kedua anak muda itu dengan maksud mencegah pertarungan mereka. Semakin dipikir semakin berduka hatinya hingga akhirnya Bu Sam thong menangis sesambatan di ladang pegunungan yang sunyi itu.

Bu Sam-thong belum pernah kenal Nyo Ko, dalam keadaan sedih, tanpa terasa ia menjadi gusar karena merasa terganggu, segera ia membentak "Siapa kau? Darimana kau kenal namaku?"

"Paman Bu," jawab Nyo Ko, "Siautit (keponakan) pernah mondok di tempat Kwe-tayhiap di Thoa-ho-to bersama kedua saudara Tun-si dan Siu-bun waktu kami sama2 kecil. Selama ini nama paman sudah kukenal dan kukagumi."

Bu Sam-thong mengangguk. "Dau apa yang kau lakukan di sini? Aha, tentu kau hendak menjadi wasit dalam pertandingan Siu~bun dan Tun si ini. Hm, kau mengaku sahabat mereka, mengapa kau tidak berusaha melerai, sebaliknya malah mendorong dan ingin melihat keramaian, macam sahabat apa kau ini?"

Makin bicara makin bengis, segenap rasa gusarnya se-akan2 hendak di-lampiaskan atas diri Nyo Ko, maka sambil mendamprat terus melangkah maju dan angkat telapak tangan.

Melihat berewok orang se-akan2 menegak, sikapnya garang, Nyo Ko pikir sebagai murid It-teng Taysii, tentu ilmu silat orang sangat tinggi, kenapa mesti bergebrak dengan dia tanpa sebab. Karena itu ia lantas menyurut mundur dan berkata: "Sesungguhnya siautit tidak tahu kedua saudara Bu hendak bertanding di sini, harap paman jangan salah paham padaku."

"Omong kosong!" bentak Bu Sam-thong. "Kalau kau tidak tahu, mengapa kau berada di sini? Dunia sebesar ini, kenapa kau justeru berada di lembah sunyi ini?"

Diam2 Nyo Ko mendongkol, ia pikir orang ini benar2 gila dan sukar diajak bicara, apalagi pertemuan-nya di tempat sunyi ini memang betul jaga sangat kebetuIan, karena itu ia menjadi serba susah untuk menjawab.

Melihat orang ragu2 dan diam saja, Bu Sam-thong menganggap bocah ini pasti bukan orang baik2, dasar otaknya pernah terganggu, pula, sudah pernah patah hati, maka setiap kali melihat pemuda cakap tentu timbul rasa jemunya. Apalagi dia sedang gemas dan tak terlampiaskan, tanpa bicara lagi segera menabok ke pundak Nyo Ko.

Namun Nyo Ko sempat mengegos sehingga serangan tangan Bu Sam-thong itu mengenai tempat kosong" Cepat Bu Sam-thong tarik tangannya terus menyikut.

Nyo Ko tidak berani ayal, melihat serangan orang yang keras itu, cepat ia menggeser ke samping untuk menghindar lagi.

"Hebat juga Ginkangmu," seru Bu Sam-thong "Hayolah lekas keluarkan pedangmu!"

Pada saat itulah tiba2 bayi di dalam gua terjaga bangun dan menangis pula, pikiran Nyo Ko tergerak ia tahu Bu Sam-thong sangat benci kepada Li Bok chiu yang telah membunuh isterinya, kalau kepergok pasti akan bergebrak mati2an. sedangkan kedua orang sama2 lihaynya, sekali mulai bertarung pasti tidak kenal ampun lagi, bisa jadi si bayi akan keserempet bahaya.

Karena itu Nyo Ko lantas berkata dengan tertawa: "Paman Bu, siautit mana berani bergebrak dengan engkau? Tapi kalau engkau tetap menyangsikan pribadiku, akupun tidak berdaya, Begini, asal kubiarkan engkau menyerang tiga kali dan Siautit pasti takkan balas menyerang, jika engkau tidak berhasil membinasakan aku, maukah engkau segera pergi dari sini"

Bu Sam-thong menjadi marah, bentaknya: "Anak setan, temberang benar kau ini, tadi aku sengaja menahan diri dan tidak menyerang sungguh2, lalu kau berani memandang enteng padaku?" Mendadak jari telunjuk kanan menutuk ke depan, ia telah mengeluarkan ilmu jari sakti It - yang - ci ajaran It-teng Taysu.

Diam2 Nyo Ko prihatin, tertampak jari orang bergerak pelahan, tapi Hiat-to setengah badan sendiri se-akan2 terkurung oleh jarinya ini, bahkan sukar diketahui Hiat-to mana yang akan diarah jari orang, justeru tidak diketahui arah serangan lawan, terpaksa janji "takkan balas menyerang44 tidak dapat ditepati lagi, Dalam keadaan tiada jalan lain, cepat Nyo-Ko menyelentik dengan kedua jarinya, inilah Sian-ci-sin-thong" (selentikan jari sakti) ajaran Ui Yok-su.

Sian-ci-sin-thong dan lt-yang-ci sama2 terkenal selama berpuluh tahun ini dan masing2 mempunyai keunggulannya sendiri. Tapi latihan Nyo Ko masih cetek, dengan sendirinya sukar menandingi latihan Bu Sam-thong yang sudah berpuluh tahun lamanya itu.

Maka begitu jari kedua orang saling bentrok, seketika lengan kanan Nyo Ko tergetar, sekujur badan terasa panas dan terdesak mundur beberapa tindak barulah dapat berdiri tegak kembali.

Bu Sam-thong bersuara heran, katanya: "Eh, tampaknya kau memang pernah berdiam di Tho-hoa-to." Dan karena merasa segan terhadap Ui Yok~su, pula merasa sayang terhadap Nyo Ko yang masih muda tapi sudah mampu menandinginya, maka ketika serangan kedua kalinya ia lantas memperingatkan lebih dulu: "Awas tutukan kedua ini, kalau tidak mampu menangkis janganlah menangkis agar tidak rusak badanmu, aku takkan mencelakai jiwamu."



Habis berkata ia terus menubruk maju dan jarinya kembali menutuk pula, sekali ini yang di arah adalah perut Nyo Ko yang meliputi berbagai Hiat-to di bagian itu.

Nyo Ko merasa tidak sanggup menahan lagi dengan Sian-ci-sin-thong apabila jarinya tidak mau dipatahkan, dalam keadaan kepepet, tiba2 ia tarik pedang Ci-wi-kiam dan dibuat tameng di depan perutnya.

Batang pedang Ci-wi-kiam cuma beberapa senti lebarnya, namun berhawa dingin dan berbatang lemas, sedikit tergetar saja, sudah memancarkan cahaya ungu. Ketika jari Bu Sam-thong mendekat dan merasakan ketajaman pedang itu, cepat ia menarik kembali jarinya.

Hanya terkejut sebentar saja, menyusul tutukan ketiga kalinya dilontarkan lagi oleh Bu Sam-thong, sekali ini secepat kilat mengarah batok kepala di tengah alis Nyo Ko, ia menduga betapa hebat pedangnya, juga tidak sempat diangkat untuk membela diri.

Tak terduga, sekilas timbul akal aneh dalani benak Nyo Ko, mendadak ia memutar Ci-wi-kiam ke atas, bukannya untuk menangkis, sebaliknya ujung pedang diacungkan ke dada sendiri terus di-tusukkannya.

Gerakan ini sangat berbahaya, Bu Sam-thong terkejut, cepat tutukan jarinya itu diurungkan dan tangannya menyamber ke bawah dengan maksud merebut pedang Nyo Ko untuk menyelamatkan jiwanya.

Ternyata gerakan menusuk dada sendiri ini adalah tipuan Nyo Ko belaka, ketika ujung pedang menyentuh bajunya, segera ia tarik ke bawah dan segera diputar pula untuk melindungi seluruh tubuh nya, betapapun cepat gerakan Bu Sam-thong ini tetap terlambat sedetik sehingga tangannya hampir saja tertabas oleh pedang pusaka Nyo Ko itu.

Sekarang Nyo Ko benar2 telah mengalah tiga kali serangan tanpa balas menyerang, ia mulai mengeluarkan ilmu pedangnya, seketika Bu Sam thong merasa terkurung oleh hawa dingin yang tak tertahankan meski lihay It-yang-ci juga tidak dapat menghadapi pedang- mestika Nyo Ko ini.

Setelah melengak dan merasa kewalahan, Bu Sam-thong melompat mundur, dengan lesu ia berkata: "Hai, benar2 ksatria timbul dari kaum muda, tua bangka macamku sudah tak berguna lagi."

Nyo Ko merasa rikuh karena telah mengibul orang tua itu, cepat ia simpan kembali pedangnya, katanya sambil memberi hormat: "Kalau paman tidak bermaksud baik merampas pedang untuk menyelamatkan jiwaku, tentu siautit sukar menghindari tutukan ketiga kalinya tadi."

Hati Bu Sam thong rada terhibur karena Nyo Ko membeberkan sendiri tipu akalnya tadi, katanya gegetun: "Dahulu Ui Yong telah mengalahkan aku dengan akalnya, sekarang aku dikalahkan pula olehmu, ya orang kasar macam kami ini, memang bukan tandingan kaum muda yang cerdik pandai..."

Belum habis ucapannya, tiba2 dari jauh ada suara orang mendatangi jelas yang datang ada dua orang. Cepat Nyo Ko menarik Bu Sam thong sembunyi di balik semak2 pohon sana. Sesudah dekat, nyata kedua pendatang itu memang betul Bu Tun-si dan Bu Siu-bun.

Siu-bun berhenti dulu di sini dan memandang sekitarnya, lalu berkata: "Toako, tempat ini cukup lapang, boleh di sini saja,"

"Baik," jawaban Tun-si. Dia tidak suka banyak bicara, sret, segera pedang diIolosnya.

sebaliknya Siu-bun tidak lantas mencabut pe-dangnya, katanya pula: "Toako, pertarungan ini andaikan aku kalah dan kau tidak mau membunuh aku, apapun juga adikmu ini juga tak ingin hidup lagi di dunia ini. Mengenai menuntut balas kematian ibu dan merawat ayah serta melindungi adik Hu, ketiga tugas besar ini hendaklah Toako yang memikulnya semua,"

Mendengar ini, hati Bu Sam-thong menjadi pedih dan meneteskan ar mata.

Sementara itu Bu Tun-si lagi menjawab "Asal kan sama2 tahu, buat apa banyak bicara lagi. Kalau aku yang kalah, juga begitulah harapanku." Habis ini ia angkat pedangnya dan pasang kuda.

Namun Bu Siu-bun tetap tidak melolos pedangnya, tiba2 ia melangkah maju beberapa tindak dan berkata: "Toako, sejak kecil kita sudah kehilangan ibu dan jauh berpisah dengan ayah, kita kakak beradik hidup berdampingan dan tak pernah bertengkar bahwa sampai terjadi seperti sekarang ini, apakah Toako marah kepada adik?"

Tun-si menjawab: "Agaknya kejadian ini sudah takdir adikku, kita tidak berkuasa."

"Baiklah, tak peduli siapa yang hidup dari mati, selamanya jangan membocorkan rahasia kejadian ini agar ayah dan adik Hu tidak berduka," kata Siu-bun.

Bu Tun-si mengangguk dan menggenggam tangan Siu-bun dengan erat, kedua bersaudara berdiri berhadapan tanpa bicara sampai sekian lama.

Bu Sam-thong tak dapat menahan- perasaan nya dan bermaksud melompat keluar untuk menegur perbuatan bodoh kedua anak muda itu, tiba2 terdengar kedua orang itu sama2 berseru: "Baiklah, mulai!" - Berbareng mereka lantas melompat mundur.

Cepat sekali Siu-bun lantas melolos pedangnya dan "sret-sret-sret" tiga kali tanpa bicara lagi ia menyerang dengan cepat. Namun Tun-si dapat menangkisnya dan balas menyerang dua kali ke tempat mematikan di tubuh adiknya.

Bu Sam-thong berkuatir melihat serangan lihay itu, dilihatnya Siu-bun dapat mengelakkan serangan maut itu dengan mudah. Di lembah sunyi itu terdengar suara benturan pedang yang nyaring, kedua kakak beradik ternyata bertempur dengan mati2an tanpa kenal ampun.

Tentu saja Bu Sam-thong jadi sedih dan kuatir pula, keduanya sama2 putera kesayangannya, selamanya ia pandang sama, tidak pernah pilih kasih.

Serang menyerang kedua anak muda itu semakin ganas seperti menghadapi musuh saja layaknya, kalau pertarungan itu berlangsung terus, akhirnya pasti ada yang celaka, Saat ini kalau Bu Sam-thong mau perlihatkan dirinya dan mencegah, pasti kedua anak muda itu akan berhenti bertempur. Tapi sekarang ini, besok juga pasti akan mengadu jiwa puIa, betapapun ia tak dapat senantiasa mengawasi kedua anak muda itu. Begitulah Bu Sam-thong semakin sedih memikirkan betapa malang nasib keluarganya itu, tanpa terasa air matanya bercucuran.

Sejak kecil Nyo Ko memang tidak akur dengan kedua saudara Bu kecil itu, sesudah dewasa dan bertemu juga tetap tidak cocok. Seperti juga umumnya manusia, kalau melihat orang lain susah, maka timbul rasa senangnya.

Semula Nyo Ko juga bersyukur kedua saudara Bu itu saling genjot sendiri Tapi ketika melihat Bu Sam-thong sangat berduka, tiba2 timbul rasa bajiknya, terutama bila mengingat jiwa sendiri sudah tidak panjang lagi, pikirnya: "Selama hidupku tidak pernah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, setelah kumati tentu Kokoh akan berduka, selain itu yang akan teringat pada diriku paling2 juga cuma Thia Eng, Liok Bu-siang dan Kongsun Lik-oh beberapa nona cantik itu saja. Apakah tidak lebih baik sekarang kulakukan sesuatu yang berguna agar paman Bu ini selama hidup akan selalu ingat pada kebaikanku ini?"

Setelah ambil keputusan itu, segera ia membisiki-Bu Sam-thong: "Paman Bu, aku ada suatu akal yang dapat menghentikan pertarungan kedua kakak Bu."



Hati Bu Sam-thong bergetar, ia berpaling dengan penuh rasa terima kasih dan air matanya masih bercucuran namun tampaknya ia masih ragu2 karena tidak tahu Nyo Ko mempunyai akal bagus apa untuk memecahkan persoalan pelik ini?

"Cuma terpaksa aku harus bikin susah kedua saudara Bu, hendaknya paman jangan marah padaku," bisik Nyo Ko pula.

Dengan kencang Bu Sam-thong genggam kedua tangan Nyo Ko, saking terharu hatinya hingga tidak sanggup bicara, Sejak muda ia sudah tergoda oleh urusan cinta, tapi sejak isterinya meninggal rasa terharu atas budi kebaikan sang isteri yang rela mengorbankan jiwa sendiri untuk menyelamatkannya itu lambat laun membuat cinta kepayangnya kepada kekasihnya dahulu mulai hambar setelah tambah tua harapannya hanya tercurah pada kedua puteranya saja, biarpun jiwa sendiri harus dikorbankan iapun rela.

Karena itu ketika mendengar ucapan Nyo Ko tadi pada saat ia sudah putus harapan, tentu saja ia sangat girang se-akan2 mendapatkan wahyu.

Melihat sikap Bu Sam~thong, Nyo Ko menjadi terharu dan pedih hatinya, ia pikir kalau ayahku masih hidup, tentu beliau juga sayang padaku seperti ini.

Dengan suara tertawa ia lantas berkata pula: "Hendaklah paman Bu diam saja di sini dan jangan se-kali2 diketahui mereka, kalau tidak akalku akan gagal total,"

Dalam pada itu pertarungan kedua saudara Bu semakin sengit dan benar2 mengadu jiwa, Walaupun begitu dalam pandangan Nyo Ko, kepandaian kedua Bu cilik itu sesungguhnya belum ada tiga bagian daripada seluruh kepandaian Kwe Cing.

Pada saat itulah mendadak Nyo Ko bergelak tertawa terus memperlihatkan dirinya.

Tentu saja kedua saudara Bu terkejut, berbareng mereka melompat mundur, bentak mereka sambil menatap tajam kepada Nyo Ko: "Untuk apa kau datang ke sini?"

"Kalian sendiri untuk apa berada di sini?" jawab Nyo Ko dengan tertawa.

Bu Siu-bun ter-bahak2, katanya: "Karena iseng di malam sunyi im, maka kami bersaudara berlatih ilmu pedang di sini."

Diam2 Nyo Ko mengakui Bu cilik itu lebih cerdik, meski berdusta tapi cara, bicaranya seperti sungguh2, segera ia menjengek. "Hm, berlatih kok serang menyerang secara mati2-an? Hehe, giat amat cara kalian terlatih?"

Bu Tun-si menjadi gusar damperatnya: "Enyah lah kau, urusan kami tidak perlu kau ikut urus!"

"Ha, kalau benar2 berlatih sudah tentu aku tidak perlu urus," jengek Nyo Ko pula, "Tapi setiap kali kalian serang menyerang, yang kalian pikirkan melulu adik Hu belaka, mau-tak-mau aku harus ikut urus,"

Mendengar ucapan ^"adik Hu" yang sengaja dibikin mesra oleh Nyo Ko itu, seketika hati kedua saudara Bu itu tergetar Dengan gusar Siu-bun lantas mendamperat pula: "Kau mengaco belo apa?"

Dengan tegas Nyo Ko berucap lagi: "Adik Hu... kau dengar tidak? Adik Hu-ku tersayang itu puteri kandung paman dan bibi Kwe, betul tidak? urusan perjodohan harus berdasarkan idzin ayah ibu, benar tidak? sedangkan paman Kwe sudah lama menjodohkan adik Hu kepadaku, hal ini kan sudah kalian ketahui, tapi kalian malah bertanding pedang di sini untuk memperebutkan bakal isteriku itu, memangnya kalian ini anggap aku Nyo Ko ini manusia atau bukan?"

Kata2 Nyo Ko tegas dan bengis, seketika dua saudara Bu tak mampu menjawab. Mereka memang tahu Kwe Cing ada maksud memungut Nyo Ko sebagai menantu, tapi Ui Yong dan Kwe Hu sendiri tidak suka padanya.

Kini isi hati mereka mendadak dibongkar oleh Nyo Ko, kedua saudara Bu itu menjadi saling pandang dengan bingung.

Dasar Siu-bun memang lebih cerdik, segera ia belas mendengus: "Huh, bakal isteri apa? Berani juga kau mcngucapnya! Apa buktinya kau sudah dijodohkan dengan adik Hu? Adakah comblangnya? Apa kau sudah memberi panjer? sudahkah ber-tunangan?"

"Haha, memangnya kalian berdua yang sudah dijodohkan dengan dia, sudah ada comblangnya dan telah diluluskan orang tuanya?" balas Nyo Ko menjengek.

Maklumlah pada jaman dinasti Song, adat istiadat urusan perkawinan dipandang sangat penting, setiap perjodohan harus seidzin orang tua dan harus ada saksi2 comblangnya.

Sudah tentu hubungan kedua saudara Bu dengan Kwe Hu belum sampai sejauh itu, mereka menjadi bungkam oleh pertanyaan Nyo Ko.

Setelah berpikir sejenak, kemudian Siu-bun menjawab: "Bahwa Suhu bermaksud menjodohkan adik Hu padamu, hal itu memang betul. Nantun Subo (ibu guru) justeru menjatuhkan pilihannya atas satu diantara kami berdua. jadi sesungguhnya kedudukan kita bertiga sekarang adalah sama, siapapun belum punya hak. Soal siapa yang keluar sebagai pemenang kelak adalah sukar diramalkan.?"

Nyo Ko tidak menjawab, ia menengadah dan bergelak tertawa, "Apa yang kau tertawakan?" damperat Siu-bun dengan gusar. "Memangnya ucapanku salah?"

"Ya, salah, salah besar!" jawab Nyo Ko, "Bahwa paman Kwe suka padaku sudah tidak perlu di sangsikan lagi, malahan bibi Kwe juga sangat suka padaku, kalian berdua mana dapat di bandingkan dengan diriku."

"Hm, yang penting kenyataannya tiada berguna beromong kosong," jengek Siu-bun pula.

"Haha, untuk apa aku beromong kosong?" ujar Nyo Ko, "Bibi Kwe diam2 sudah menjodohkan puterinya padaku, kalau tidak buat apa kutolong ayah dan ibu mertuaku dengan mati2an, itu lantaran mengingat akan adik Hu itulah. Nah, coba katakan, apakah Subomu pernah berjanji kepada kalian?"

Kedua Ba cilik itu saling pandang dengan bingung, mereka merasa sang ibu guru memang tidak pernah memberi janji ucapan apapun, malahan hanya saja belum pernah mengunjuk keinginan hendak memungut menantu salah seorang di antara mereka. jangan2 ibu gurunya itu memang betul telah menjodohkan Kwe Hu kepada bocah she Nyo ini?

Tadinya kedua saudara itu hendak mengadu jiwa sendiri, tapi sekarang mendadak diantara mereka diselipi seorang lawan, seketika timbul rasa persatuan kedua saudara itu untuk menghadapi musuh bersama.

Seperti diketahui Nyo Ko pernah mengintip dan mendengar percakapan Kwe Hu dengan kedua saudara Bu itu, maka ia sengaja hendak memancing rasa cemburu mereka, dengan tertawa ia berkata pula "Adik Hu pernah berkata padaku bahwa kedua kakak Bu bersaing memperebutkan dia, karena tak dapat menolak, terpaksa adik Hu menyatakan menyukai ke-dua2nya. Padahal, hahaha, masa ada perempuan baik2 di dunia ini sekaligus mencintai dua orang lelaki. Adik Hu adalah gadis yang suci bersih, tidak mungkin terjadi begitu, Nah biar kukatakan sejujurnya pada kalian, bahwa menyukai ke-dua2nya berarti satupun tidak disukainya."

Lalu ia sengaja menirukan lagak lagu ucapan Kwe Hu pada malam itu: "O, Kakak Bu cilik, mengapa engkau selalu merecoki aku, masakah kau tidak tahu perasaanku padamu? O, kakak Bu besar rasanya lebih baik aku mati saja."



Seketika air muka kedua saudara Bu berubah ucapan Kwe Hu dikatakan kepada mereka secara tersendiri tatkala itu tiada orang ketiga yang hadir disitu. Kalau saja Kwe Hu tidak menceritakan kembali padanya, darimana Nyo Ko mengetahuinya? Hati mereka terasa sakit seperti disayat, rupa nya memang beginilah makanya selama ini Kwe Hu tidak mau menerima lamaran mereka...

Paras air muka kedua saudara Bu itu dapatlah Nyo Ko mengetahui bahwa akalnya telah mencapai sasarannya, segera ia berkata pula dengan sungguh2- "Pendek kata, adik Hu adalah bakal isteriku, sesudah menikah kami akan hidup bahagia sampai kakek2 dan nenek2..." - Sampai di sini, tiba2 terdengar di belakang ada suara orang menghela napas pelan, kedengarannya mirip benar dengan suara Siao-liong-li.

Nyo Ko terkejut dan hampir2 saja berseru memanggil, tapi segera ia menyadari suara itu adalah suara Li Bok chiu di dalam gua, orang ini se-kali2 tidak boleh dipertemukan dengan keluarga Bu ini.

Segera ia berkata pula kepada kedua saudara Bu: "Nah, makanya kalian jangan bermimpi dan buang2 tenaga percuma, Mengingat kebaikan bakal ayah dan ibu mertuaku, biarlah urusan kalian ini tidak kupikirkan lagi, kalian boleh pulang saja ke Siangyang untuk membantu ayah mertuaku menjaga benteng itu, kukira itulah tugas yang lebih utama bagi kalian."

BegituIah terus menerus ia menyebut Kwe Cing dan Ui Yong sebagai bakal ayah dan ibu mertuanya.

Sedih dan lesu kedua saudara Bu dan saling genggam tangan dengan kencang, kata Siu-bun dengan lemah: "Baiklah, Nyo-toako, kudoakan semoga engkau dan Kwe-sumoay hidup bahagia, kami bersaudara akan pergi jauh di rantau dan anggaplah di dunia ini- tak pernah ada kami berdua ini."

Habis berkata mereka lantas membalik tubuh, diam2 Nyo Ko bergirang karena maksud tujuannya kelihatan akan tercapai ia pikir meski kedua Bu cilik itu akan dendam padanya, tapi kelak keaua bersaudara itu pasti akan rukun dan saling sayang sebagaimana yang diharapkan Bu Sam~thong.

Bu Sam-thong juga bergirang setelah menyaksikan Nyo Ko berhasil membikin kedua puteranya berhenti bertempur sendiri, dilihatnya kedua anak muda itu bergandengan tangan dan melangkah pergi, tanpa tertahan ia terus berseru: "Anak Bun dan anak Si, marilah kita berangkat bersama."

Kedua Bu cilik melengak kaget, mereka menoleh dan memanggil "ayah" berbareng, Bu Sam-thong lantas memberi hormat kepada Nyo Ko dan berkata: "Adik Nyo, selama hidupku ini takkan melupakan budi pertolonganmu."

Nyo Ko mengerut kuning, ia pikir sungguh sembrono orang tua ini berbicara demikian di hadapan kedua Bu cilik, baru saja ia hendak membingungkan mereka dengan perkataan lain, namun Bu Siu bun sudah mulai curiga, katanya tiba2 kepada Tun-si.

"Toako, apa yang dikatakan bocah she Nyo tadi belum tentu betul."

Meski Bu Tun-si tidak banyak omong, tapi kecerdasannya tidak di bawah sang adik, ia pandang sekejap kepada ayahnya, lalu mengangguk kepada Siu-bun.

Melihat urusan bisa runyam, cepat Bu Sam~thong menambahkan: "Eh, kalian jangan salah wesel, sama sekali aku tidak minta adik Nyo ini untuk melerai kalian."

Sebenarnya kedua Bu cilik cuma curiga saja dan belum tahu persis urusan yang sesungguhnya, tapi mereka menjadi curiga setelah sang ayah bermaksud menutupi persoalannya, segera mereka ingat hubungan Nyo Ko dengan Kwe Hu biasanya tidak cocok pula Nyo Ko sangat mencintai Siao-liong-li, jadi apa yang dikatakan Nyo Ko besar kemungkinan tidak betul.

"Toako," kata Siu-bun kemudian, "Marilah kita pulang ke Siangyang untuk menanyai adik Hu sendiri."

"Benar," jawab Tun-si. "Ocehan orang lalu masakah dapat menipu kita,"

Segera Siu-bun berkata kepada Bu Sam-thong: "Ayah, marilah engkau ikut juga ke Siangyang, Temuilah Suhu dan Subo, mereka kan sahabatmu."

"Aku... aku..." muka Bu Sam-thong menjadi merah, ia bermaksud memperlihatkan wibawa seorang ayah untuk mengomeli kedua. ,puteranya, tapi kuatir kedua anak muda itu hanya mengiakan di depannya, tapi di belakangnya akan bertarung mati2an pula.

Nyo Ko lantas menjengek: "Saudara Bu, memangnya sebutan "adik Hu" boleh kau panggil se-sukamu? selanjutnya kularang kau menyebutnya, bahkan dalam hatipun tidak boleh kau pikirkan dia."

Siu-bun menjadi gusar, teriaknya: "Bagus, di dunia ini ternyata ada manusia se-wenang2 macam kau. "Adik Hu" sudah kusebut selama sepuluh tahun, mengapa kau berani melarang aku menyebutnya"?

"Hm, bukan saja sekarang aku tetap memanggil adik Hu, bahkan besok, lusa dan selanjutnya aku tetap akan memanggilnya. Adik Hu, adik Hu, adik Hu, ....." belum habis ucapannya, "plok", mendadak pipinya kena ditempeleng satu kali oleh Nyo Ko.

Segera Siu-bun mengacungkan pedangnya dan berkata dengan geram: "Baik, orang she Nyo, sudah lama kita tidak berkelahi, ya?

"He, anak Bun, berkelahi apa maksudmu?" cepat Bu Sam-thong mencegahnya.

Mendadak Nyo Ko berpaling kepada Bu Sam-thong dan bertanya: "Paman Bu, kau membantu pihak mana?"

Menurut aturan, adalah wajar kalau Bu Sam-thong membela anaknya sendiri, tapi tindakan Nyo Ko sekarang jelas demi untuk mencegah saling bunuh antara kedua bersaudara itu, karena itulah Bu-: Sam-thong menjadi serba salah dan melongo belaka.

"Begini saja," kata Nyo Ko pula, "Silahkan paman Bu duduk tenang di situ, aku takkan mencelakai jiwa mereka, rasanya merekapun tidak mampu mencelakai aku, engkau boleh menonton pertunjukan menarik ini saja."

Usia Nyo Ko berselisih jauh daripada Bu Sam thong, tapi pintarnya dan cerdiknya jauh di atas-nya, jadi apa yang dikatakan tanpa kuasa terus di turut saja oleh Bu Sam~thong, segera ia berduduk di atas batu padas di samping sana.

Nyo Ko lantas melolos Ci wi-kiam, seketika cahaya dingin gemerlapan, ia menyabet pelahan pedang lemas itu, terdengar suara mendesir, sepotong batu besar di sebelahnya di sabetnya cara bersilang, waktu kakinya mendepak, kontan batu besar itu pecah menjadi empat bagian, bagian yang retak itu halus licin seperti insan tahu saja.

Melihat betapa tajamnya pedang orang, kedua saudara Bu saling pandang dengan jeri, mereka menjadi ragu cara bagaimana akan dapat menandingi Nyo Ko dengan pedang selihay itu.

Tapi Nyo Ko lantas menyimpan kembali pedangnya, lalu berkata dengan tertawa. "Pedangku ini masakah kugunakan untuk menghadapi kalian?? sekenanya ia memotong sebatang dahan pohon, ia buang daunnya hingga berwujud. sebatang pentung sepanjang satu meteran, lalu berkata pula: "Tadi sudah kukatakan bahwa ibu mertua condong padaku, tapi kalian tidak percaya. sekarang boieh kalian saksikan, aku akan menggunakan pentung ini untuk melayani pedang kalian, kalian boleh maju sekaligus dan mengeluarkan segenap kepandaian ajaran ayah ibu mertuaku serta ajaran paman Cu Cu-liu, Sebaliknya aku hanya akan menggunakan ilmu silat ajaran ibu mertuaku saja, asalkan aku salah menggunakan sejurus dari aliran lain, segera anggap saja aku kalah."



Kedua saudara Bu sebenarnya jeri pada kepandaian Nyo Ko yang hebat, mereka sudah menyaksikan dia menempur Kim-lun Hoat-ong dengan cara aneh, tapi mereka menjadi naik pitam pula demi mendengar ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyebut "ayah dan ibu mertua" segala, se-akan2 Kwe Hu benar2 sudah menjadi isterinya, sungguh gemas mereka tidak kepalang. Malahan dengan sombongnya Nyo Ko menyatakan bersedia dikerubuti serta melayani pedang mereka dengan pentung, bahkan terbatas pada ilmu silat ajaran Ui Yong melulu.

Dalam keadaan begini kalau mereka tidak dapat mengalahkan Nyo Ko juga keterlaluan dan buat apalagi hidup di dunia ini.

Maka cepat Siu-bun menegas: "Baik, kau sendiri yang berkata begitu dan bukan kami yang minta. Kalau kau salah menggunakan ilmu silat dari golongan lain, lalu bagaimana?"

"Pertandingan kita ini bukan disebabkan permusuhan di masa lampau atau karena kebencian sekarang, kita bertempur demi adik Hu," kata Nyo-Ito. "Maka kalau aku kalah, asalkan aku memandang sekecap padanya atau bicara sepatah saja dengan dia, katakanlah aku ini manusia rendah yang tidak tahu malu. Tapi bagaimana pula jika kalian yang kalah?"

Pertanyaan Nyo Ko sengaja memaksa kedua saudara Bu itu harus menyatakan janji yang sama Ialu Siu-bun telah menjawab "Jika kami kalah, kamipun takkan menemui adik Hu untuk selamanya."

"Bagaimana kau, setuju?" tanya Nyo Ko kepada Tun Si.

"Kami bersaudara bersatu hati dan satu tujuan, tak ada perbedaan pendirian?" jawab Tun-si dengan gusar.

"Bagus, setelah kalah nanti, kalau kalian tidak pegang janji, maka kalian akan dianggap manusia tidak tahu malu yang melebihi binatang, begitu bukan?" Nyo Ko menegas pula.

"Benar," jawab Siu-bun. "Tidak perlu banyak bicara lagi, orang she Nyo, marilah mulai."

Habis berkata ia terus mendahulu menusuk dari sebelah kanan, berbareng Bu Tun-si juga bergerak dari sebelah kiri, asalkan Nyo Ko berusaha menghindar serangan Siu-Bun berarti akan dimakan oleh serangan Tun-si itu.

Akan tetapi dengan gesit Nyo Ko dapat menghindari beberapa kali serangan kedua Bu cilik itu sambil meng-olok2. Keruan kedua saudara Bu tambah murka dan menyerang terlebih gencar, "Kau mengaco apa? Mengapa kepandaian ajaran Subo tidak lekas kau keluarkan?"


"Baik, kaumeminta tentu akan kuperlihatkan. Nah, awasi inilah kepandaian asli ajaran ibu mertuaku!" seru Nyo Ko. Pentungnya menyabet serta diputar ke atas itulah gaya "menjegal" dari Pak kau-pang-hoat, berbareng jari tangan lain pura2 hendak menutuk Hiat-to di tubuh Bu Tun-si.

Ketika Tun-si melompat mundur, "bluk", tahu2 Bu Siu-bun sudah jatuh kesandung pentung.

Nampak adiknya kecundang, cepat Tun-si menubruk maju lagi dan menyerang dengan gencar.

"Benar, adik ada kesulitan, sang kakak yang menolong." demikian sambil meng-olok2, sekali pentungnya berkelebat tahu2 Nyo Ko sudah menggeser ke belakang Tun-si dan "plok", dengan tepat pantat Tun-si kena disabet sekali.

Gerakan pentung Nyo Ko itu tampaknya lamban, tapi tepat yang diarah adalah bagian yang sama sekali tak terduga. Dan memang di situlah letak keistimewaan Pak-kau-pang-hoat yang termashur itu.

Setelah merasakan gebukan pada pantatnya, walaupun tidak terlalu sakit, tapi jelas iapun sudah kecundang, karena itu diam2 timbul rasa kedernya. Dalam pada itu Bu Su-bun telah melompat bangun dan berseru: "Ini adalah Pak to-pau hoat, macam mana Subo mengajarkan kau secara diam2. jelas kau mencuri belajar beberapa jurus ketika kita sama2 menyaksikan Subo mengajarkan ilmu permainan pentung ini kepada Loh-tianglo tempo hari."

Mendadak pentung Nyo Ko menjulur dan "bluk" kembali Siu-bun dijegal hingga terbanting lagi, cepat Bu Tun-si menabas dengan pedangnya untuk menolong sang adik.

Nyo Ko menunggu Siu-bun merangkak bangun, lalu berkata dengan tertawar "Kalau kita menyaksikan bersama waktu ibu mertuaku mengajarkan pada loh-tianglo, kenapa aku bisa dan kalian tidak bisa? padahal yang diajarkan ibu mertuaku kepada Loh-tianglo hanya kuncinya saja secara lisan, bagaimana cara memainkan nya beliau telah mengajarkan padaku secara diam2, bahkan adik Hu juga tidakbisa, apalagi kalian ini."

Bu Siu-bun tidak tahu bahwa secara kebetulan Nyo Ko pernah mendapatkan ajaran dari Ang Chit-kong ketika pengemis sakti itu bertanding dengan Auyang Hong dipuncak Hoasan dahulu, maka dalam hati sebenarnya ia percaya apa yang dikatakan Nyo Ko, cuma di mulut ia tetap tidak mau kalah, katanya: "Huh, setiap orang memang berbeda. Bahwa secara kebetulan kami mendengar ajaran Subo kepada Loh tianglo itu, namun ilmu pentung mana boleh digunakan selain pangcu dari Kay-pang sendiri, sebelum ada perintah Subo, mana kami berani melatihnya? Hanya manusia rendah saja mau berbuat begitu? Hm. kau sendiri tidak tahu malu, tapi malah meng-okok2 orang lain."

Nyo Ko ter-bahak2, pentungnya berputar puIa dan "plok-plok" dua kali, tahu2 punggung Siu-bun dan Tun-si tersabet pula, Cepat kedua saudara Bu melompat ke samping dengan muka merah padam.

"Baiklah, karena tiada bukti dan saksi, meski kukalahkan kalian dengan Pak kau pang-hoat juga kalian belum mau mengaku kalah," ujar Nyo Ko, "Nah, sekarang akan kugunakan pula sejurus kepandaian lain ajaran Subo, coba lihat.

Habis ini ia pandang Siu-bun, kemudian menatap Tun-Si pula, lalu bertanya: "Katakan lebih dulu, ilmu silat ibu mertuaku berasal ajaran siapa?"

Dengan gusar Siu-bun menjawab. "Kalau kau tanpa malu2 menyebut lagi ibu mertua segala, maka kami tidak sudi bicara pula dengan kau."

"Ah, kenapa kalian berjiwa sesempit ini," kata Nyo Ko dengan tertabak "Baiklah, coba jawab pertanyaanku, ilmu silat Subomu berasal dari siapa?"

"Subo kami adalah puteri kesayangan Ui-tocu dari Tho-hoa-to, sudah tentu ilmu silatnya berasal ajaran ayahnya sendiri, masakah perlu kau tanyakan puia?" jawab Siu-bun.

"Benar"^ kata Nyo Ko, "Kaltan sendiri pernah tinggal beberapa tahun di Tho-hoa-to, apakah kalian tahu kepandaian khas Ui-tocu, terutama ilmu pedangnya, apa nama ilmu pedang kebanggaan beliau itu?".

Dengan bersemangat Bu Siu-hun menjawab "Ui-tocu terkenal maha sakti dan serba pintar segala apapun diketahui oleh beliau, Semua kepandaiannya juga diketahui olehmu, mengapa kau bertanya padaku, Giok-siau-kiam-hoat beliau termashur di seluruh dunia, tiada seorangpun di dunia Kangouw yang tidak tahu."

"Dan kalian pernah berjumpa dengan Vi tocu Sdak?" tanya Nyo Ko pula.



"Tidak pernah." jawab Siu~bun. "Ui-tocu suka mengembara, bahkan Suhu dan Subo sendiri jarang bertemu dengan beliau, apalagi orang muda seperti kami ini."

"O, jika begitu Giok-siau-kiam-hoat Ui-tocu itu tak pernah kalian lihat?" kata Nyo Ko.

"Melihat langsung memang belum pernah," jawab Siu-bun dengan mendengus "Tapi ketika hari ulang tahun Ui~tocu, Subo telah merayakannya dan berdoa dari jauh bagi kesehatan beliau, dalam pesta itu Subo telah memperlihatkan ilmu pedang kebanggaan Ui-tocu itu. Tatkala itu Nyo-heng sendiri sudah berangkat ke Cong-lam-san untuk mencari guru lain."

"Benar," ujar Nyo Ko sambil tertawa. Kemudian ibu mertuaku... ooh, baikiah, kemudian Subo kalian diam2 telah mengajarkan ilmu pedang itu padaku."

Kedua saudara Bu itu saling pandang, sudah tentu mereka tidak percaya, sedangkan Kwe Hu saja yang merupakan puteri tunggal kesayangan Ui Yong juga tidak diajari ilmu pedang, masakan bisa jadi Nyo Ko malah diberi pelajaran di luar tahu mereka.

"Kalian tentu tidak percaya, bukan?" kata Nyo Ko."Baiklah, coba lihat jurus serangan ini?"

Mendadak pentungnya digunakan sebagai pedang, "cret" tahu2 dada Bu Tun~si sudah tertusuk oleh ujung pedang.

Kalau saja pentung itu adalah pedang yang tajam, maka dada Bu Tun-si pasti sudah tembus dan jiwanya tentu sudah melayang.

Siu-bun cukup cekatan, melihat Nyo Ko mulai menyerang, secepat kilat iapun menusukkan pedangnya ke iga kanan Nyo Ko. Akan tetapi tetap terlambat sedikit, pentung Nyo Ko sempat diputar balik dan tahu2 menusuk ke pergelangan tangannya.

Serangan Nyo Ko ternyata mencapai sasarannya lebih cepat daripada serangan Siu~bun itu, belum lagi ujung pedang Siu-bun mengenai tubuh lawan atau pergelangan tangannya sudah tertusuk lebih dulu oleh ujung pentung Nyo Ko dan pedangnya pasti akan terlepas dari cekalan.

Cepat Siu-bun menarik kembali pedangnya dan berganti serangan lain, sambil memutar balik pedangnya, kaki kirinya terus menendang, sementara itu pentung Nyo Ko telah ditusukkan ke bahu Bu Tun-si sembari melangkah maju, tendangan Siu-buo se-akan2 tak dihiraukannya.

Dengan sendirinya tendangan Siu-bun menjadi mengenai tempat kosong, sedangkan keadaan Bu Tun si menjadi berbahaya, cepat ia putar pedangnya dengan kencang utk bertahan dengan dgn rapat, begitu terhindarlah dia dari tusukan pentung lawan.

Hanya beberapa jurus saja kedua saudara Bu itu sudah dibikin kelabakan oleh Nyo Ko, bertahannya terasa sulit, jangankan hendak balas menyerang. Sama sekali kedua Bu cilik itu tidak menyangka bahwa Giok-siau-kiara-noat yang pernah dipertunjukkan oleh Ui Yong itu ternyata memiliki gerak perubahan yang begini indah dan hebat pula untuk digunakan.

Karena kecundang kedua saudara Bu menjadi malu dan berduka pula, mereka mengira Giok siau-kiam hoat itu benar2 diajarkan oleh Ui Yong kepada Nyo Ko. Sudah tentu tak pernah mereka bayangkan bahwa Nyo Ko pernah berkumpul cukup lama dengan Ui Yok-su dan mendapatkan ajaran langsung kedua macam ilmu silatnya yang maha sakti itu.

Melihat kedua orang itu sedih dan lesu, hati Nyo Ko menjadi tidak tega. Tapi mengingat maksud tujuannya justeru hendak menyelamatkan jiwa mereka, kalau sekarang keduanya tidak dibikin menyerah betul2 agar selamanya takkan menemui Kwe Hu lagi, maka kelak keduanya pasti akan berkelahi mati2an lagi bagi nona itu, karena inilah dia mempergencar serangannya tanpa kenal ampun lagi.

Keruan kedua saudara Bo semakin keder, bayangan pentung" berkelebat mengelilingi mereka, segenap Hiat-to penting ditubuh mereka seluruhnya terancam oleh pentung Nyo Ko itu.

Terpaksa mereka mengertak gigi dan bertahan mati2an.

Sebenarnya kepandaian kedua Bu cilik itu tidak terlalu rendah, akan tetapi kalau dibandingkan Nyo to yang kini sudah menyamai jago kelas satu, dengan sendirinya mereka bukan tandingannya. Apalagi sekarang mereka menjadi gelisah, cara bertempur mereka menjadi ngawur. sebaliknya Nyo Ko tidak penggunakan serangan maut melainkan melayaninya dengan tenang.

Lambat-laun kedua saudara merasa pentung lawan itu se-akan2 membawa semacam kekuatan mengisap yang amat kuat, pedang mereka seperti melengket ikut bergoyang kian jemari tanpa kuasa.

Sampai akhirnya kedua saudara itu seperti saling tempur sendiri, pedang Bu Tun-si yang menusuk Nyo Ko terkadang hampir mengenai adiknya sendiri, begitu pula tabasan pedang Bu Siu-bun terpaksa harus ditangkis oleh Tun~si.

"Kebagusan Giok-siau-kiam-hoat tidak cuma begini saja, lihatlah" kata Nyo Ko

"Trak" pentungnya beradu dengan pedang Tun-si, cuma yang terbentur adalah bagian samping batang pedang sehingga pentung kayu ttu tidak rusak.

Seketika Tun-si merasa dibetot oleh suatu tenaga kuat, pedang hampir terlepas dari cekalannya. Lekas ia menarik balik sekuatnya, tapi Nyo Ko terus ikut mendorongkan pentungnya dan tahu2 pedang Bu Siu-bun juga ikut melengket pada pentungnya, ketika pentung Nyo Ko menahan ke bawah, segera ujung kedua pedang tertindih ke atas tanah.

Cepat kedua Bu cilik menarik pedang sekuat-nya, baru terasa sedikit kendur, tahu2 Nyo Ko melangkah maju, pentung kayu diangkat, tapi sebelah kakinya telah menggantikan pentung untuk menginjak ujung kedua pedang.Tahu2 tenggorokan kedua saudara Bu telah terancam oleh ujung pentung, kalau saja bertempur sungguh2, pasti leher mereka sudah ditembus oleh senjata musuh.

"Bagaimana, menyerah tidak?" tanya Nyo Ko dengan tertawa.

Seketika wajah kedua Bu cilik pucat pasi seperti mayat, mereka bungkam tak dapat menjawab. Segera Nyo Ko angkat kakinya dan mundur dua tiga tindak, melihat kedua saudara yang serba konyol itu, ia menjadi teringat kepada masa kecilnya dahulu, ketika dia kenyang dihina dan dikerubut oleh kedua Bu cilik itu dan baru sekarang dia dapat melampiaskan rasa dongkol itu, tanpa terasa mukanya memperlihatkan perasaan senang dan puas.

Kedua saudara Bu itu sama sekali tidak menduga bahwa Nyo Ko benar2 telah mendapatkan ajaran kepandaian Ui Yong. Namun mereka tetap penasaran mereka merasa waktu bertempur tadi telah didahului oleh lawan sehingga mereka tidak sempat mengeluarkan segenap kepandaian yang diperoleh dan Kwe Cing, malahan lt-yang-ci yang baru mereka pelajari juga sama sekali tidak sempat dimainkan.

Bu Tun-si menjadi putus asa, ia menghela napas panjang, pedang bermaksud dibuangnya dan akan pergi, tapi mendadak Bu Siu-bun berseru padanya: "Toako, jika kita sudahi sampai di sini saja, lalu apa artinya hidup kita di dunia ini? Tidakkah lebih baik kita adu jiwa saja dengan dia!"

Hati Tun-si terkesiap, segera iapun menjawab: "Benar!"

Serentak kedua bersaudara memutar pedang dan mengerubut maju lagi, sekarang mereka sudah nekat sehingga tidak perlu menjaga diri, yang mereka utamakan adalah menyerang saja dan selalu mengincar tempat yang mematikan perubahan ini ternyata hebat juga.

Keduanya, tidak berjaga diri lagi melainkan menyerang, mereka rela mati di bawah pentung Nyo Ko asalkan dapat gugur bersama musuh, Malahan disamping menyerang dengan pcdang, tangan kiri kedua Bu cilik juga memainkan It-yang-ci yang lihay itu.

"Bagus, pertarungan begini barulah nikmat!" kata Nyo Ko dengan tertawa.Malahan ia terus membuang pentungnya, dengan bertangan kosong ia berlari kian kemari di antara samberan pedang musuh, Meski kedua saudara Bu menyerangnya dengan tidak kenal ampun, namun tetap sukar mengenai sasarannya.

Bu Sam-thong merasa serba susah menyaksikan pertarungan itu, sebentar ia berharap Nyo Ko yang menang agar kedua puteranya takkan memikirkan dan memperebutkan Kwe Hu lagi. Tapi bila melihat Bu cilik mengalami bahaya, tanpa terasa timbul juga keinginannya agar mereka dapat mengalahkan Nyo Ko.

Tiba2 terdengar Nyo Ko bersuit nyaring, "cring-cring", jarinya menyelentik batang pedang kedua lawannya, seketika lengan kedua saudara Bu merasa pegal linu, genggamannya juga kesakitan, setengah badan juga tergetar kaku, pedang mereka serentak mencelat mundur.

Dengan gesitnya Nyo Ko lantas melompat ke atas dan berhasil menangkap kedua pedang itu, lalu katanya dengan tertawa: "Nah, inilah ilmu sakti Sian ci-sin-thong dari Tho-hoa-to, kalian pernah melihat nya belum?"

Sampai di sini, mau~tak-mau kedua saudara Bu juga menyadari bila pertarungan diteruskan, tentu mereka akan tambah konyol.

"Maaf!" kata Nyo Ko kemudian sambil menyodorkan kedua pedang rampasannya itu.

Siu-bun menerima kembali pedangnya dan berkata dengan pedih: "Ya, selamanya aku takkan menemui adik Hu lagi." - Habis berkata ia terus melintangkan pedang dan menggorok ke lehernya sendiri

Pikiran Bu Tun-si ternyata sama dengan adiknya, pada saat yang sama pula iapun angkat pedangnya hendak membunuh diri.

Tentu saja Nyo Ko terkejut, secepat terbang ia menubruk maju, "cring-cring" dua kali, kembali kedua pedang itu kena diselentiknya dan mencelat ke atas, "trang", kedua pedang saling bentur dan patah.

Pada saat itu Bu Sam-thong juga melompat maju, satu tangan satu orang, ia cengkeram gitok kedua anaknya sambil membentak dengan suara bengis: "Demi memperebutkan seorang perempuan kalian berdua lantas berpikiran pendek, sungguk percumalah kalian menjadi laki2"

Siu-bun mengangkat kepalanya dan menjawab: "Ayah, engkau sendiri bukankah juga merana selama hidup demi seorang perempuan? Aku......"

Belum habis ucapannya ia melihat muka sang ayah penuh dengan air mata, rasa dukanya tidak kepalang, seketika teringat olehnya perbuatan mereka bersaudara sesungguhnya teramat melukai perasaan sang ayah, tanpa terasa ia lantas menangis keras2.

Pegangan Bu Sam~thong menjadi kendur, segera ia merangkul kedua puteranya itu dan menangislah ketiganya berpelukan menjadi satu.

Merasa usahanya telah berhasil, hati Nyo Ko sangat senang, ia pikir meski jiwanya takkan tahan lama lagi, paling tidak ia telah berbuat sesuatu kebajikan.

Dalam pada itu terdengar Bu Sam-thong lagi berkata: "Anak bodoh, laki2 sejati masakah takut tidak mendapatkan bini? Bocah perempuan she Kwe itu tidak menyukai kalian, lalu untuk apa kalian memikirkan dia? Tugas utama kita sekarang ini apa, coba katakan?"

"Menuntut balas kematian ibu," seru Siu-bun

"Benar," kata Bu Sam thong sambil beringas.

"Meskipun menjelajahi ujung langit juga akan kita temukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang jahat itu."

Nyo Ko menjadi kuatir kalau ucapan merekah itu didengar oleh Li Bok chiu, kalau mereka tidak lekas dipancing pergi, tentu urusan bisa runyam.

Benar juga, sebelum ia berbuat sesuatu, tiba2 terdengar suara Li Bok-chiu mengekek tawa dan berkata: "Tidak perlu kalian menjelajahi ujung langit segala, sekarang juga Li Bok chiu menunggu di sini." - Sembari bicara ia terus melangkah ke-luar gua dengan tangan kiri membopong seorang bayi dan tangan kanan memegang kebut.

Sama sekali Bu Sam-thong dan kedua putera-nya tidak menduga iblis yang mereka sebut tadi akan muncul di situ secara mendadak, Dengan menggerang murka Bu Sam-thong terus menerjang dulu ke depan.

Pedang kedua saudara Bu sudah patah, cepat mereka menjembut pedang patah mereka dan ikut mengerubut dari kanan-kiri.

"Hei, jangan bergerak dulu, dengarkan penuturanku!" seru Nyo Ko.

Namun mata Bu Sam-thong sudah kadang merah membara, teriaknya: "Adik Nyo, bicara nanti saja, setelah kubunuh iblis ini." Sembari bicara ia lantas menyerang tiga, kali ber~turut2. Meski dia dengan pedang kutung, namun daya serangan kedua saudara Bu juga tidak dapat dipandang ringan, mereka, terus menyerang dengan nekat.



Nyo Ko tahu dendam kesumat mereka terlalu mendalam, betapapun pasti sukar dilerai, tapi kalau tidak berusaha menengahi, bisa jadi mereka akan mencelakai si bayi. Maka cepat ia berseru pula: "Li-supek, biarlah kupendong anak itu!"

Bu Sam-thong melengak. "Mengapa kau panggil dia Supek?" tanyanya bingung.

"Sutit yang baik, boleh kau serang bagian belakang orang gila ini, bayi ini akan kupondong sendiri dan tanggung tak apa," jawab Li Bok-chiu dengan tertawa.

Kiranya Li Bok-chiu juga merasakan kelihayan Bu Sam-thong, setelah bergebrak beberapa kali terasa jauh lebih kuat daripada dahulu, sedangkan kedua saudara Bu cilik juga tidak lemah, kerubutan ketiga orang agak sukar dilayani, sebab itulah ia sengaja memanggil Nyo Ko sebagai "Sutit yang baik" untuk mengacaukan pikiran ketiga lawan.

Ternyata Bu Sam-thbng terjebak oleh akal Li Bok-chiu itu, cepat ia berseru: "Anak Si dan Bun, kalian awasi bocah she Nyo itu, biar aku sendiri melabrak iblis ini."

Nyo Ko lantas melangkah mundur dan ber-kata: "Aku takkan membantu pihak manapun, tapi kalian jangan sekali2 membikin celaka anak bayi itu."

Hati Bu Sam-thong merasa lega melihat Nyo Ko sudah mundur, segera ia melancarkan serangan lebih gencar.

Sambil putar kebutnya menahan serangan lawan. Li Bok-chiu berseru: "Kedua Bu cilik, melihat pri-laku kalian tadi, kalian ini tergolong laki2 yang punya perasaan, berbeda dengan laki2 yang tak ber-budi dan ingkar janji yang kejam itu, Mengingat hal ini, biarlah kuampuni jiwa kalian, nah, lekas kalian pergi saja."

Tapi Bu Siu-bun lantas memaki: "Bangsat keparat, kau perempuan keji yang maha jahat, berdasarkan apa kau juga bicara tentang budi dan kebaikan" - Berbareng itu ia terus menyerang mati2an.

Ketika pedang kutung kedua Bu cilik terbentur kebut, dada mereka terasa sesak dan pedang kutung hampir terlepas, dari tangan, Cepat Bu Sam-thong menghantam, terpaksa Li Bok-chiu menangkisnya, dengan begitu kedua Bu cilik dapat diselamatkan.

Pelahan Nyo Ko mendekati belakang Li Bok-chiu, ia tunggu bila ada peluang segera akan menubruk maju untuk merebut bayi dalam pelukan iblis itu. Akan tetapi ayah beranak she Bu itu sedang menyerang dengan sengit sehingga Li Bok-chiu terpaksa memutar kencang kebutnya untuk menjaga diri, sedikitpun tidak ada lubang yang dapat dimasuki Nyo Ko.

Nampak serangan Bu Sam-thong bertiga tanpa menghiraukan keselamatan anak bayi Nyo Ko menjadi kuatir, cepat ia berseru pula: "Berikan anak itu padaku, Li-supek!" ~Sambil menunduk segera ia bermaksud menerobos maju untuk merebut bayi itu.

Akan tetapi Li Bok-chiu keburu membentak:nya: "Kau berani maju, sedikit kupiting anak ini, masakah jiwanya takkan melayang?"

Nyo Ko melengak dan tidak jadi menubruk maju. Pada saat Li Bok-chiu sedikit meleng itulah secepat kilat It-yang~ci Bu Sam-thong telah bekerja dengan baik, pinggang Li Bok-chiu tertutuk satu kali oleh jarinya.

Seketika Li Bok-chiu merasakan tempat yang tertutuk itu sakit luar biasa dan hampir jatuh terguling, sebisanya ia angkat sebelah kakinya menendang terlepas pedang kutung di tangan Bu Tun-si, menyusul kebutnya menyabet pula ke kepala Bu-Siu-bun.

Melihat anaknya terancam bahaya, cepat Bu-Sam-thong tarik Siu-bun ke belakang sehingga terhindar dari sabetan maut tadi.

Sesudah terluka oleh tutukan tadi, Li Bok-chiu merasa sukar bertahan lebih lama lagi, sekuatnya ia putar kebutnya, berbareng ia melompat kesana dan berlari masuk ke dalam gua.

Dengan girang Bu Sam-thong berseru: "Perempuan bangsat itu sudah kena tutukanku, sekali ini jiwanya pasti melayang."

Segera kedua Bu cilik hendak mengejar ke dalam gua dengan pedang terhunus, Tapi Sam-thong telah mencegahnya: "Awas, jarumnya berbahaya, dijaga saja di sini dan mencari akal..."

Baru saja kedua Bu cilik hendak melangkah mundur, se-konyong2 terdengar suara mengaum, dari dalam gua menerjang keluar seekor binatang buas.

Keruan Bu Sam-thong terkejut, sungguh di-luar dugaannya bahwa di dalam gua tempat sembunyi Li Bok chiu itu terdapat pula binatang buas begitu, Baru saja dia melengak, tahu2 cahaya perak gemerdep, dari bawah perut binatang buas itu menyambar beberapa buah jarum perak.

Hal ini lebih tak terduga oleh Bu Sam-thong, untung kepandaiannya cukup tinggi, sebisanya dia melompat ke atas sehingga jarum2 berbisa itu me-nyamber lewat di bawah kakinya, Tapt lantas terdengar jeritan kedua Bu cilik.

Sungguh kaget Bu Sam-thong tak terkatakan, sementara itu terlihat Li Bok-chiu telah memutar dari bawah perut macan tutul itu ke atas pung-gungnya, kebut terselip di kuduk baju, tangan kiri memeluk bayi dan tangan kanan memegangi gitok harimau, Binatang itu melompat beberapa kali dan menghilang di balik semak2 sana.

Lolosnya Li Bok-chiu dengan menunggang macan tutul juga sama sekali tak terduga oleh Nyo Ko: "Li~supek...."..." segera ia berseru dan hendak mengejar.

Tapi Bu Sam-thong tidak membiarkan Nyo Ko pergi begitu saja, ia sangat berduka melihat kedua putera-kesayangannya menggeletak tak bisaba ngun lagi, tanpa pikir ia rangkul Nyo Ko sambi berteriak: "Biarlah aku mengadu jiwa dengan kau."

Sama" sekali Nyo Ko tak mengira" Bu Sam^ thong akan bertindak padanya, maka sedikitpun ia tak berjaga sehingga dia terangkuI dengan kencang. Cepat ia berseru: "He, lepaskan! Aku harus merebut kembali bayi itu!"

"Bagus! Biar kita be ramai2 mati bersama saja!" teriak Bu Sam-thong pula.

Nyo Ko menjadi kelabakan, ia coba menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk mementang tangan orang yang merangkulnya itu, tak terduga bahwa meski Bu Sam-thong dalam keadaan bingung dan sinting tapi ilmu silatnya tidak menjadi kurang, dengan kencang ia mengunci rangkulannya itu sehingga usaha Nyo Ko melepaskan diri sama sekali tidak berhasil.

Melihat Li Bolc-chiu sudah menghilang dengan menunggang macan tutul, untuk mengejarnya jelas tidak keburu Iagi, Nyo Ko menghela napas dan berkata: "Paman Bu, buat apa kau merangkul aku? Kau lebih penting menolong mereka itu?

"Ya, ya, benar," seru Bu Sam-thong girang. Sambil melepas rangkulannya "Apakah kau dapat menyembuhkan luka jarum berbisa itu?"

Nyo Ko berjongkok memeriksa kedua Bu cilik, kelihatan dua jarum perak menancap di bahu kiri dan kaki kanan masing2, sementara itu racun sudah mulai menjalar, napas kedua anak muda itu tampak sesak dan dalam keadaan tak sadar.



Cepat Nyo Ko menyobek sebagian baju Bu Tun-si sebagai pembungkus tangan, lebih dulu ia cabut kedua jarum berbisa itu.

"Apakah kau punya obat penawar racuuoya?" tanya Bu Sam-thong kuatir.

Dahulu waktu Nyo Ko berkumpul dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang, ia pernah membaca dan mengapalkan isi kitab pusaka "Panca Bisa" milik Li Bok-chiu yang dicuri Bu-siang itu, maka ia paham cara bagaimana menawarkan racun jarum berbisa itu cuma untuk membuat obatnya tentu makan waktu, sedangkan sekarang mereka berada dilembah pegunungan sunyi, ke mana mendapatkan bahan obat sebanyak itu? Karena itu Nyo Ko cuma menggeleng saja menyaksikan keadaan kedua Bu cilik yang sudah payah itu.

Perasaan Bu Sam-thong seperti di-iris2 menyaksikan keadaan kedua puteranya itu, ia jadi teringat kepada isterinya yang mati demi mengisap darah beracun dari lukanya dahulu itu, mendadak ia menubruk ke atas badan Bu Siu-bun dan menempel mulutnya pada luka di kaki anaknya itu.

Tentu saja Nyo Ko terkejut, cepat ia bersemi "Hei, jangan!" Segera ia menutuk Tay~cui-hiaf di pinggang orang tua itu.

Karena tidak ter-duga2, seketika Bu Sam-thong roboh terguling dan takdapat berkutik melainkan memandangi kedua putera kesayangan dengan air mata bercucuran.

Tergerak perasaan Nyo Ko, ia pikir jiwanya sendiri juga akan melayang apabila racun bunga cinta itu mulai bekerja, baginya terasa tiada bedanya hidup lima hari lagi atau mati lebih cepat lima hari, JP-ril kedua Bu cilik ini memang tiada menonjol, tapi pasti Bu ini adalah orang yang berperasaan dan berbudi luhur, nasibnya juga kurang beruntung selama seperti diriku, Biarlah kukorban kehidupanku yang cuma tinggal beberapa hari ini untuk membahagiakan kehidupan mereka ayah beranak.

Karena pikiran itu, mendadak ia mencucup luka di kaki Bu Siu-bun, setelah mengusap darah berbisanya dan diludahkan beberapa kali, kemudian ia mencucup pula darah berbisa dari luka Bu Tun-si.

Begitulah secara bergiliran Nyo Ko menyedot darah berbisa dari luka kedua saudara Bu itu, tentu saja Bu Sam-thong sangat berterima kasih dan merasa bingung menyaksikan perbuatan Nyo Ko itu, susahnya dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutup.

Setelah mengisap sebentar pula, rasa pahit dalam mulut Nyo Ko mulai berubah menjadi rasa asin.

Sedangkan kepalanya semakin pusing dan terasa berat, ia menyadari dirinya telah keracunan hebat, sekuatnya ia berusaha mengisap lagi beberapa kali dan meludahkan air berbisa itu, tiba2 pandangannya menjadi gelap dan jatuh pingsanlah dia...

Entah berapa lamanya Nyo Ko tak sadarkan diri, ketika pelahan2 ia merasa ada bayangan orang yang samar2 bergoyang kian kemari di depannya, ia bermaksud mementangkan matanya untuk memandang lebih jelas, akan tetapi semakin berusaha semakin kabur rasanya.

Entah lewat berapa lama lagi barulah Nyo Ko membuka matanya, segera dilihatnya Bu Sam-thong sedang memandangi dirinya dengan rasa girang.

"Sudah baik dia, sudah baik!" terdengar orang tua itu berseru, mendadak berlutut dan menyembah beberapa kali padanya sambil berkata: "Adik Nyo, kau.... kau telah menyelamatkan... menyelamatkan kedua puteraku dan juga telah menyelamatkan jiwaku yang tua bangka ini."

Lalu dia merangkak bangun dan segera pula menyembah kepada seorang lagi sambil berseru : "Terima kasih, Susiok, terima kasih!"

Waktu Nyo Ko memandang orang itu, terlihat lah mukanya hitam, hidung besar dan mata cekung, tertampak rada2 mirip dengan Nimo Singh, rambutnya juga keriting, cuma sebagian sudah ubanan, usianya sudah tua.

Nyo Ko hanya tahu Bu Sam-thong adalah murid It-teng Taysu, tapi tidak tahu bahwa dia masih mempunyai seorang paman guru dari negeri Thian tok. Ia bermaksud bangun berduduk, tapi pinggang terasa lemas pegal, sedikitpun tak bertenaga, ia coba memandang sekitarnya ternyata berada di tempat tidur, di dalam kamarnya sendiri di kota Siangyang.

Baru sekarang dia benar yakin bahwa dirinya belum mati dan masih dapat berjumpa dengan Siao liong-li, tanpa terasa ia terus berseru: "Kokoh! Mana Kokoh?"

Seorang lantas mendekatinya dan meraba dahinya sambil berkata: "Tenanglah, Ko-ji, Kokohmu sedang keluar kota untuk sesuatu urusan."

Nyo Ko melihat orang ini adalah Kwe Cing.

Ia merasa terhibur melihat sang paman sudah sehat kembali. Segera teringat olehnya bahwa untuk memulihkan kesehatan sang paman diperlukan waktu tujuh hari tujuh malam masakah ketidak sadaranku ini sudah berselang sekian hari pula? jika begitu mengapa racun bunga cinta dalam tubuhku tidak kumat? Ia. menjadi bingung, pikiran menjadi kacau dan kembali ia tak sadarkan diri.

Waktu ia sadar kembali untuk kedua kalinya-sementara itu sudah jauh malam, di depan tempat tidur tersulut sebatang lilin merah, Bu Sam-thong kelihatan masih menungguinya dengan berduduk di depan situ dan memandangnya dengan penuh perhatian.

"Aku tidak apa2, paman Bu, jangan kuatir kau" kata Nyo Ko dengan tersenyum hambar, "-Dan kedua saudara Bu tentunya baik2 saja,"

Air mata Bu Sam-thong bercucuran, ia tak dapat berbicara saking terharunya, maka ia cuma menjawab dengan manggut2 saja.. Selama hidup Nyo Ko tak pernah merasakan terima kasih sedemikian dari orang lain, maka ia menjadi rikuh, cepat ia belokan pembicaraannya dan bertanya: "Cara bagaimana kita dapat pulang ke Siangyang sini?"

Bu Sam-thong mengusap air matanya, lalu menutur: "Atas permintaan nona Liong gurumu itu, Cu-sute telah mengantar kuda merah itu ke lembah sunyi untukmu, ketika melihat kita berempat sama2 tergeletak di situ, cepat2 dia menolong kita pulang ke sini"

"Darimana suhuku mengetahui aku berada di mana?" ujar Nyo Ko dengan heran, "Dan urusan apa yang membuatnya tidak dapat mencari aku dan perlu minta pertolongan paman Cu untuk mengantarkan kuda merah padaku?"

"Setibaku lagi di sini, akupun tidak sempat bertemu dengan nona Liong gurumu itu," tutur Bu Sam-thong. "Menurut Cu-sute, katanya usia nona Liong masih muda, cantik rupawan pula dan ilmu silatnya juga maha tinggi, sayang aku belum bisa berkenalan dengan beliau, Ai memang kaum ksatria selalu timbul dari kalangan angkatan muda, kukatakan kepada Cu-sute bahwa seumur kita ini seperti hidup pada tubuh babi belaka."

Nyo Ko sangat senang karena Bu Sam-thong memuji dan mengagumi Siao-liong-li dengan setulus hati, bicara tentang umur, menjadi ayah Siao-liong-li juga pantas bagi Bu Sam-thong, tapi dia ternyata begitu menghormati nona itu, jelas disebabkan dia menghormati si murid dan dengan sendirinya menghormat pulakepada sang guru.



Dengan tersenyum Nyo Ko lantas berkata. "luka siautit ini..."

"Adik Nyo," tiba2 Bu Sam-thong memotong "menolong sesamanya di dunia persilatan adalah kejadian yang biasa, tapi menyelamatkan orang lain tanpa memikirkan jiwa sendiri seperti engkau ia pula yang kau tolong adalah kedua puteraku yang sebelumnya bersikap kasar padamu, Tindakanmu ini selain guruku rasanya tiada orang ketiga lagi yang sanggup melakukannya.

Ber-ulang2 Nyo Ko menggeleng kepala, maksudnya minta Bu Sam-thong tidak meneruskan lagi ucapannya itu.

Namun Bu Sam-thong tidak menggubrisnya, dia tetap berucap: "Jika kupanggil engkau dengan sebutan "ln-kong" (tuan penolong) tentunya engkau juga tidak mau terima. Tapi kalau engkau tetap menyebut aku sebagai paman, itupun jelas kau teramat menghina kepadaku Bu Sam-thong ini."

Watak Nyo Ko memang suka terus terang dan tidak merecoki soal tetek bengek, seperti halnya Siao-liong-li, sekali dia anggap nona itu sebagai isteri maka soal pelanggaran tata adat umum dan panggilan yang tidak menurut aturan, semuanya suka dilakukan jika ada orang yang minta.

Karena itu tanpa pikir ia lantas menjawab: "Baiklah, aku akan panggil kau Bu-toako-saja, cuma kalau ketemu kedua saudara Tun-si dan Siu-bun. kurasa agak kurang enak dan entah cara bagaimana harus ku-sebut mereka."

"Sebut apa segala?" ujar Bu Sam-thong. "Jiwa mereka diselamatkan olehmu, jika mereka menjadi kerbau atau kudamu juga pantas."

"Engkau tidak perlu berterima kasih padaku, Bu-toako," kata Nyo Ko, "Memangnya aku sudah kena racun bunga cinta yang jahat dan jiwaku sukar diselamatkan, maka caraku cucup racun dari luka kedua saudara Bu itu sebenarnya tiada artinya sedikitpun bagiku."

"Soalnya bukan begitu, adik Nyo," kata Ba Sam-thong sambil menggeleng. "jangankan racun yang mengeram dalam tubuh itu belum pasti sukar diobati seumpama betul tak dapat disembuhkan namun tiap manusia tentu berharap akan tetap hidup biarpun cuma tahan sehari atau dua hari saja, sekalipun cuma sejam dua jam juga tetap ingin hidup. Di dunia ini memang tiada manusia dapat hidup abadi, baik nabi maupun orang biasa, akhirnya juga akan kembali kepada asalnya, namun begitu mengapa setiap orang tetap suka hidup dan enggan mati."

Nyo Ko tertawa dan tidak menanggapi jalan pikiran orang tua itu, tanyanya kemudian: "Sudah berapa hari kita pulang ke Siangyang sini?".

"Sampai sekarang sudah hari ketujuh," jawab Bu Sam thong.

Nyo Ko menjadi heran dan tidak habis mengerti katanya: "Pantasnya aku akan mati karena bekerjanya racun dalam tubuhku, mengapa aku masih hidup sampai sekarang, sungguh aneh dan ajaib."

Dengan girang Bu Sam-thong bertutur: "Susiokku itu adalah paderi sakti dan negeri Thian-tiok, nomor satu di dunia ini dalam hal mengobati keracunan. Dahulu guruku salah minum racun yang dikirim nyonya Kwe juga telah disembuhkan oleh beliau, sekarang juga akan kuundang dia ke sini."

Habis berkata ber-gegas2 ia terus keluar kamar.

Diam2 Nyo Ko bergirang, ia pikir jangan2 waktu aku jatuh pingsan, paderi sakti itu telah meminumkan sesuatu obat mujarab kepadaku sehingga racun bunga cinta itu dapat dipunahkan Ai, entah Kokoh berada di mana saat ini? Kalau dia mengetahui aku takkan mati, entah betapa gembiranya dia.

Teringat kepada hal2 yang meresap dan mesra itu, mendadak dadanya terasa seperti dipalu dengan keras dan sakitnya tidak kepalang, tak tertahankan iapun menjerit keras.

Sejak minum setengah butir obat pemberian Kiu Jian~jio itu, belum pernah dia mengalami kesakitan sehebat ini, bisa jadi kasiat setengah biji obat itu sudah bilang, sedangkan kadar racun dalam tubuhnya belum lagi punah seluruhnya. Sambil memegangi dada, keringat membasahi dahi Nyo Ko saking sakitnya.

Tengah tersiksa dengan hebatnya, tiba2 Nyo-Ko mendengar suara seorang bersabda: "Namo Budaya!" - Sambil merangkap kedua tangan di depan dada, paderi Thian-tiok itu tampak masuk ke kamar.

Bu Sam-thong ikut di belakang paderi Hindu itu, melihat keadaan Nyo Ko itu, ia terkejut dan cepat bertanya: "Adik Nyo, kenapa kau" - Lalu ia berpaling kepada paderi itu dan, memohon: "Susiok, racunnya kumat lagi, lekas memberikan obat padanya."

Paderi Hindu itu tidak paham ucapannya, tapi dia lantas mendekati Nyo Ko dan memeriksa nadinya. Bu Sam-thong sendiri lantas keluar kamar untuk mengundang Cu Cu-Iiu.

Cu Cu-liu adalah bekas Conggoan (gelar ahli sastra tertinggi), dia paham bahasa dan tulis Hindu kuno, hanya dia saja yang dapat berbicara dengan paderi itu, maka Bu Sam-thong mengundangnya untuk dijadikan juru bahasa.

Setelah tenangkan diri, rasa sakit Nyo Ko mulai hilang, lalu dia menceritakan asal usulnya keracunan bunga cinta itu.

Dengan teliti paderi hindu itu bertanya tentang bentuk bunga cinta itu, tampak dia terkejut dan ter-heran2, katanya: "Bunga cinta itu adalah bunga ajaib jaman purba, konon sudah lama lenyap dari permukaan bumi ini, siapa kira daerah Tionggoan sini masih ada tetumbuhan itu. Aku belum pernah melihat bunga itu, maka sesungguhnya tidak tahu cara bagaimana memunahkan kadar racunnya."

Setelah Cu Cu-liu menterjemahkan ucapan paderi Hindu itu, segera Bu Sam-thong ber-teriak2 memohon: "Kasihanilah Susiok! Tolonglah!"

Paderi itu menyebut nama Budha pula, lalu memejamkan mata dan menunduk merenung suasana dalam kamar menjadi sunyi senyap, siapapun tiada yang berani buka suara. Selang agak lama baruIah paderi Hindu itu membuka mata dan berkata: "Nyo kisu telah mencucup darah berbisa bagi kedua cucu muridku, pada hal racun jarum itu sangat jahat terisap sedikit saja akan mengakibatkan jiwa melayang, tapi Nyo-kisu ternyata masih sehat2 saja, sedangkan racun bunga cinta juga tidak bekerja pada waktunya, jangan2 terjadi racun menyerang racun sehingga Nyo-kisu malah mendapat berkahnya dan sembuh."

Cu Cu-liu dan Nyo Ko adalah orang2 yang pintar dan cerdik, mereka pikir uraian paderi Hindu itu memang masuk di akal, maka mereka sama mengangguk.

Paderi itu berkata pula: "Orang baik tentu mendapatkan pembalasan baik, Nyo-kisu mengorbankan diri demi menolong orang lain, inilah perbuatan bajik yang luhur, racun ini pasti dapat dipunahkan.

"Jika begitu, mohon Susiok lekas menolong nya," seru Bu Sam-thong girang.

"Untuk itu perlu kudatangi Coat-ceng-kok dan melihat sendiri bentuk bunga cinta itu, habis itu baru dapat mencari obat penyembuhnya yang tepat," tutur si paderi, "Yang penting selama ini hendaklah Nyo- kisu jangan timbul perasaan cinta, kalau tidak, maka rasa sakit akan semakin menghebat setiap kali kumat"

"Akan lebih baik lagi apabila Nyo-kisu daptit memutuskan perasaan cinta itu dan racun inipun akan punah dengan sendirinya tanpa diobati."



Nyo Ko pikir kalau harus memutuskan cinta kasihnya kepada Kokoh, lebih baik kumati saja, Tapi sebelum dia menanggapi cepat Bu Sam-thong mengajak Cu Cu-liu ikut paderi Hindu itu ke Coat ceng-kok, sudah tentu Cu Cu-liu menerima ajakan itu karena diapun utang budi kepada Nyo Ko.

Lalu Bu Sam-thong berkata pula kepada Nyp-Ko: "Adik Nyo, harap engkau istirahat saja dengan tenang, segala sesuatu pasti akan beres. Besok juga kami akan berangkat dan kembali selekasnya utk menyembuhkan penyakitmu, kelak aku masih harus minum arak pesta pernikahanmu dengan nona Kwe."

Nyo Ko melengak, ia pikir persoalan Kwe Hu sukar dijelaskan dalam waktu singkat, maka tanpa pikir ia hanya mengiakan saja. sesudah ketiga orang itu pergi, ia sendiri lantas berbaring untuk tidur.

Waktu mendusin, terdengar suara burung ber-kicau, rupanya fajar sudah menyingsing, Sudah beberapa hari Nyo Ko tidak makan, perut terasa lapar, dilihatnya di atas meja dekat pembaringannya ada empat piring penganan, segera ia ambil beberapa gotong kue dan dimakan.

Belum sepotong kue itu termakan habis, terdengar orang mengetuk pintu, lalu masuklah seorang berbaju merah jambon dengan air muka tampak marah, ternyata yang datang ini adalah Kwe Hu.

Nyo Ko meIongo sejenak, lalu menyapa "Pagi benar, nona Kwe."

Kwe Hu hanya mendengus pelahan saja dan tidak menjawab, ia lantas berduduk pada kursi di depan tempat tidur dengan alis menegak dan melotot gusar kepada Nyo Ko, sampai lama sekali masih tetap tidak berbicara.

Tentu saja hati Nyo Ko tidak enak, dengan tersenyum ia berkata pula: "Apa paman Kwe menyuruh kau menyampaikan sesuatu pesan padaku?"

"Tidak!" jawab Kwe Hu singkat dan ketus

Ber-ulang2 Nyo Ko mendapatkan sikap dingin begitu, kalau hari2 biasa tentu dia tak mau menggubris lagi nona itu, Tapi sekarang melihat sikap orang rada aneh, ia menjadi heran dan ingin tahu sebab apakah pagi2 nona itu sudah mendatangi kamarnya. Maka dengan mengering tawa ia bertanya pula: "Setelah melahirkan tentunya Kwe- pekbo juga sehat2 saja?"

"Sehat atau tidak ibuku, tidak perlu kau ber-kuatir," jawab Kwe Hu dengan lebih ketus.

Selain Siao-liong-li, tidak pernah Nyo Ko mau mengalah terhadap orang lain, tapi sekarang dia telah diperlakukan kasar oleh Kwe Hu, mau-tak mau timbul juga rasa dongkolnya. Segera iapun batas mendengus, lalu memejamkan mata dan tak menggubrisnya lagi.

"Kau mendengus apa?" tanya Kwe Hu gemas.

Kembali Nyo Ko mendengus lagi dan tetap tidak menggubrisnya.

"Kau dengar tidak, kutanya apa yang kau de-nguskan" bentak Kwe Hu.

Diam2 Nyo Ko geli melihat si nona menjadi kelabakan, jawabnya kemudian: "Badanku tidak enak, kudengus dua kali supaya merasa segar."

"Kau bohong, lain kata lain perbuatan, se-hari2 hanya mengacau, sungguh manusia rendah tidak tahu malu." damperat Kwe Hu dengan gusar.

Hati Nyo Ko tergerak karena tanpa sebab musabab si nona mendamperatnya secara sengit, ia pikir jangan2 ucapanku yang kugunakan untuk membohongi kedua saudara Bu telah diketahui nona ini. Melihat dalam keadaan marah wajah Kwe Hu tetap cantik molek, tanpa terasa timbul rasa kasihannya.

Dasar watak Nyo Ko memang rada dugal, segera ia berkata pula dengan tertawa: "Nona Kwe, apakah kau maksudkan apa yang kukatakan kepada kedua saudara Bu itu?"

"Apa yang kau katakan kepada mereka, hayo lekas mengaku," bentak Kwe Hu pula dengan suara tertahan.

"Tujuanku adalah demi kebaikan mereka agar mereka tidak saling membunuh dan membikin sedih hati ayahnya," ucap Nyo Ko dengan tertawa. "Apa yang kukatakan itu telah disampaikan oleh paman Bu padamu, bukan?"

"Dia..... dia begitu bertemu aku lantas mengucapkan selamat padaku dan memuji kau setinggi langit," tutur itwe Hu. "Nama baik anak... anak perempuan seperti diriku yang putih bersih masakah boleh sembarangan kau nista?" - Sampai di sini suaranya menjadi ter-sendat2 dan air matapun ber-linang2.

Nyo Ko menjadi sangat menyesal pada diri sendiri yang sembarangan omong tanpa pikir bahwa ucapannya yang bermaksud baik itu justeru akan merusak nama baik Kwe Hu, apapun juga memang perkataannya itu memang keterlaluan, rasanya persoalan ini akan sukar diselesaikan.

Melihat Nyo Ko diam saja, hati Kwe jadi tambah panas, katanya sambil menangisi "Menurut paman Bu, katanya kau telah mengalahkan kedua kakak Bu, mereka kau paksa berjanji takkan menemuiku untuk selamanya, apakah hal ini memang betul?"

Diam2 Nyo Ko menyesali Bu Sam-thong yang tidak genah itu, masakah kata2 itu perlu disampaikan kepada Kwe Hu, Terpaksa ia tidak membantah dan menjawab dengan mengangguk "Ya, memang tidak sepatutnya aku sembarangan omong, cuma maksud tujuanku sama sekali tidak jahat, harap kau memaklumi hal ini."

Kwe Hu mengusap air matanya, lalu bertanya pula: "Dan apa yang kau katakan semalam, untuk maksud apa pula?"

Nyo Ko melengak dan menegas: "Kukatakan apa semalam?"

"Paman Bu bilang setelah kau sembuh, dia berharap akan minum arak pesta pernikahanmu dan aku ken,....kenapa kan mengiakan tanpa malu?"

Wah, celaka, jadi ucapanku semalam juga terdengar olehnya, demikian Nyo Ko mengeluh dalam hati. Terpaksa ia membantah: "Semalam aku dalam keadaan setengah sadar dan tidak jelas apa yang dikatakan paman Bu padaku."

Kwe Hu dapat melihat anak muda itu sengaja berdusta, dengan suara keras ia berteriak: "Kau bilang ibuku mengajarkan ilmu silat padamu secara diam2 karena beliau penujui kau dan ingin memungut kau sebagai menantu, betul tidak ucapanmu ini?"

Muka Nyo Ko menjadi merah diberondong pertanyaan2 itu, ia pikir kelakarnya mengenai Kwe Hu paling2 akan dianggap dugal saja oleh orang lain, dasarnya aku juga bukan ksatria yang suci dan alim, tapi aku berdusta tentang diajari ilmu silat secara diam2 oleh Kwe-pekbo. persoalan ini bisa kecil bisa besar dan sekali2 jangan sampai diketahui bibi Kwe. Maka cepat ia meminta:

"Nona Kwe, memang salahku sembarangan omong, harap kau suka menutupi hal ini dan jangan sampai diketahui ayahmu."

"Hm jika kau takut pada ayahku, kenapa kau berani berdusta dan menghina ibuku?" jengek Kwe Hu.

Cepat Nyo Ko menyatakan: "Terhadap ibumu" sedikitpun tiada maksudku untuk menistanya, waktu itu tujuanku cuma ingin membikin kedua Bu putus harapan atas dirimu supaya mereka tidak saling membunuh sehingga bicaraku rada2 kelewatan."

Sejak kecil Kwe Hu dibesarkan bersama kedua saudara Bu, kini mendengar Nyo Ko berdusta dan membikin kedua anak muda itu putus asa terhadap dirinya serta berjanji takkan menemuinya keruan rasa gusarnya tak terperikan. Dengan suara keras ia bertanya pula:



"Baik, urusan ini akan kubereskan nanti dengan kau, sekarang yang penting adalah Moaymoayku, kemana kau membawanya pergi?"

"Ya, lekas mengundang ayahmu ke sini, aku justeru hendak membicarakannya dengan beliau," seru Nyo Ko.

"Ayahku sudah keluar kota untuk mencari adikku itu," jawab Kwe Hu. "Kau ini memang..... memang manusia yang tidak tahu malu, kau hendak menggunakan adikku untuk menukar obat penawar. Hm, rupanya jiwamu berharga dan jiwa adikku tidak berharga sepeserpun."

Sejak tadi Nyo Ko memang merasa menyesal dan malu diri karena terlanjur berbuat hal2 yang merusak nama baik Kwe Hu, tapi dituduh hehdak menggunakan anak bayi itu untuk menukar obat baginya, hal ini betapapun dia tak dapat menerima, dengan suara lantang ia berkata: "Dengan tekad bulat aku hendak merebut kembali adik perempuanmu untuk dikembalikan kepada ayah-bundamu, kalau dikatakan hendak kugunakan adikmu untuk menukar obat, hal ini sekali2 tidak pernah timbul dalam pikiranku.

"Habis kemana perginya adik ku?" tanya Kwe Hu.

"Dia telah dibawa lari Li Bok-chiu, aku merasa malu karena tak berhasil merampas nya kembali," tutur Nyo Ko. "Tapi bila tenagaku sudah pulih dan tidak mati, segera aku akan pergi mencarinya."

"Hm Li Bok-chiu itu adalah paman gurumu, betul tidak?" jengek Kwe Hu. "Tadinya kalian sembunyi di satu gua, betul tidak?"

"Benar, meski dia adalah paman guruku, tapi selamanya dia tidak akur dengan guruku," jawab Nyo Ko.

"Hm, tidak akur apa?" jengek Kwe Hu. "Tapi mengapa dia mau menuruti permintaanmu dengan membawa adikku pergi menukar obat bagimu?"

Nyo Ko melonjak bangun dengan gusar, katanya "Kau jangan sembarangan omong nona Kwe, meski aku Nyo Ko bukan manusia yang terpuji, tapi sama sekali tiada maksud berbuat begitu."

"Tiada bermaksud berbuat begitu? Hm, enak saja kau bicara," jawab Kwe Hu. "Gurumu sendiri yang mengatakan hal itu, memangnya aku yang fitnah dan sembarangan omong?"

"Guruku bilang apa lagi?" tanya Nyo Ko.

Serentak Kwe Hu berdiri dan menuding hidung Nyo Ko, katanya: "Gurumu berkata sendiri kepada paman Cu bahwa kau dan Li Bok-chiu sama2 berada di lembah sunyi sana, dia minta paman Cu suka mengantarkan kuda merah milik ayah untuk dipinjamkan padamu agar kau sempat membawa adikku ke Coat-ceng-kok untuk.... "

Kaget dan sangsi hati Nyo Ko, cepat memotong: "Benar, memang guruku mempunyai maksud begitu agar aku mengantar adikmu ke sana untuk mendapatkan separoh obat yang masih dipegang Kiu Jian-jio itu, tapi cara ini hanya untuk sementara saja dan takkan membikin susah adikmu..."

"Adikku baru lahir sehari dan telah kau serah-kan kepada seorang iblis yang kejam, masakah kau berani mengatakan takkan membikin susah adikku," kata Kwe Hu dengan gusar, "Kau ini bangsat keparat, manusia berhati binatang! Waktu kecilmu kau terluntang-lantung sebatangkara dan cara bagaimana ayah-ibuku telah memperlakukan kau? Kalau ayah ibu tidak memelihara kau hingga besar di Tho-hoa-to masakah kau dapat menjadi seperti sekarang ini? Siapa tahu air susu kau balas dengan air tuba, kau sekongkol dengan musuh dan ketika ayah - ibuku kurang sehat, kau telah menculik adikku."

Semakin mendamperat semakin beringas nona itu sehingga Nyo Ko sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membantah. Keruan tidak kepalang gusar dan dongkoInya Nyo Ko, "bliik", saking tak tahan ia terus jatuh pingsan di atas tempat tidur.

Selang agak lama, lambat-laun Nyo Ko siuman kembali, diiihatnya Kwe Hu masih menatapnya dengan muka merengut dan segera mengomeli pula: "Hm, tak tersangka kau masih mempunyai rasa malu, rupanya kaupun tahu kesalahan perbuatanmu yang terkutuk itu."

Nyo Ko menghela napas panjang, katanya: "Jika aku mempunyai pikiran begitu, mengapa aku tidak membawa adikmu langsung ke Coat-ceng-kok saja."

Racun dalam tubuhmu kumat dan tak dapat berjalan, makanya kau minta tolong paman gurumu." kata Kwe Hu. "Hehe, tapi maksud tujuanmu akhirnya toh gagal, biar kukatakan terus terang, begitu kudengar permintaan gurumu kepada paman Cu, segera kusembunyikan kuda merah itu sehingga muslihat jahat kalian guru dan murid menjadi gagal total."

"Baik, baik, apa yang kau suka katakan boleh silakan katakan saja, akupun tidak ingin membantah." kata Nyo Ko dengan mendongkol "Dan di mana guruku ? Ke mana dia?"

Muka Kwe Hu tiba2 rada merah, katanya:" Huh, ini namanya gurunya begitu dengan sendirinya muridnya juga begitu, gurumu juga bukan manusia baik2."

Dengan gusar Nyo Ko melonjak bangun pula dan berkata: "Kau memaki dan menghina aku, mengingat ayah-bundamu, takkan kupersoalkan pada-mu. Tapi mengapa mencerca guruku?"

"Cis, memangnya kalau gurumu kenapa?" semprot Kwe Hu pula. "Soalnya dia sendiri yang bicara secara tidak senonoh."

Sudah tentu Nyo Ko tidak percaya Siao-liong-li yang dianggapnya suci bersih dan polos itu dapat mengeluarkan kata2 yang tidak pantas segera ia balas mendengus "Hm, besar kemungkinan pikiranmu sendiri tidak benar, maka ucapan guruku juga kau terima dengan menyimpang."

Sebenarnya Kwe Hu tidak ingin mengulangi perkataan Siao-liong-li, tapi ia tidak tahan oleh olok2 Nyo Ko itu, tanpa pikir ia terus berkata:

"Gurumu bilang padaku: "Nona Kwe, hati Ko-ji sangat baik, hidupnya sebatangkara dan menderita, kau harus meladeni dia dengan baik," Lalu katanya pula: "Kalian memang pasangan yang setimpal suruhlah dia melupakan diriku, sama sekali aku tidak menyalahkan dia."

Kemudian dia memberikan pula pedangnya padaku, katanya pedang ini bernama Siok-Ii-kiam dan merupakan pasangan dengan Kun-cu-kiam milikmu. Apalagi namanya kalau perkataannya ini bukan tidak senonoh."

Setiap mendengarkan suatu kalimat itu, setiap kali perasaan Nyo Ko seperti disayat, pikirannya menjadi bingung, ia tidak tahu mengapa Siao-liong-li mengemukakan ucapan begitu. Habis Kwe Hu ber-kata, pelahan ia angkat kepalanya, mendadak matanya memancarkan cahaya aneh, bentaknya gusar.

"Kau berdusta, kau penipu. Mana mungkin guruku berkata begitu? Mana itu Siok-li-kiam? Mana? jika tak dapat kau perlihatkan, maka jelas kau berdusta?"

Kwe Hu mendengus, mendadak sebelah tangan mengeluarkan sebatang pedang dari belakang punggungnya, pedang itu hitam mulus, jelas itulah Siok li kiam yang diperoleh di Coat-ceng-kok itu"

Tidak kepalang rasa kecewa Nyo Ko, bicaranya sudah tanpa pikir lagi, segera ia berteriak: "Siapa ingin menjadi pasangan setimpal dengan kau? Kun-cu-kiamku sudah patah, Pedang ini memang betul milik guruku, pasti kau mencurinya, ya, kau mencurinya ya, kau mencurinya!"

Sudah sejak kecil Kwe Hu sangat dimanjakan, sekalipun ayah-bundanya juga mau mengalah padanya, apalagi kedua saudara Bu, mereka munduk2 belaka terhadap si nona, sekarang Nyo Ko bicara sekasar ini padanya, tentu saja ia tidak tahan. Apalagi nada ucapan Nyo Ko itu se-akan2 menuduh-nya sengaja mengarang ucapan Siao-liong-li itu agar si Nyo Ko mau menjadi pasangannya dan si Nyo Ko justeru tidak sudi.



BegituIah segera Kwe Hu pegang pedangnya, dia bermaksud meloiosnya terus menabas, tapi segera timbul keinginannyaakan membikin panas hati Nyo Ko, ia tahu anak muda itu sangat menghormat dan mencintai gurunya, kalau kejadian ini diceritakannya pasti anak muda itu akan marah setengah mati. . .

Dalam keadaan murka sama sekali Kwe Hu tidak menimbang lagi bagaimana akibatnya jika dia menguraikan apa yang hendak dikatakannya itu. Segera ia masukkan kembali pedang yang sudah hampir ditotoknya tadi, lalu berduduk dan berkata dengan tertawa dingin:

"Ya, gurumu memang cantik dan tinggi pula ilmu silatnya, sungguh wanita yang jarang ada bandingannya di dunia ini, Cuma saja, ada sesuatu yang tidak beres."

"Sesuatu apa yang tidak beres?" tanya Nyo Ko, "cuma kelakuannya tidak beres, suka bergaul secara sembunyi2 dengan kaum Tosu Coan-cin-kau," tutur Kwe Hu.

Dengan gusar Nyo Ko menyanggah: "Guruku bermusuhan dengan Coan-cin-kau, mana mungkin berhubungan secara gelap dengan mereka?"

Kalimat bergaul secara sembunyi yang kukatakan ini sesungguhnya masih terlalu sopan, malahan ada lainnya lagi yang tidak pantas diucapkan anak perempuan seperti diriku ini" kata Kwe Hu pula dengan tertawa dingin.

Nyo Ko tambah gusar, teriaknya: "Guruku suci bersih, jika kau sembarangan omong lagi, awal kalau mulutmu tidak kuremas."

Akan tetapi Kwe Hu tetap dingin2 saja dan berkata: "Ya, dia berani berbuat, aku yang berani mengatakan Huh, bagus amat nona yang suci bersih, tapi bergaul dengan seorang Tosu busuk." .

"Apa katamu?" hardik Nyo Ko dengan muka merah padam.

"Aku mendengar dengan telingaku sendiri, masakah bisa keliru?" kata Kwe Hu pu!a, "Enam orang Tosu Coan-cin-kau berkunjung kepada ayahku, tatkala mana dalam kota sedang kacau menghadapi serangan musuh, ayah ibu kurang sehat dan tidak dapat menemui mereka, maka akulah yang menyambut tetamunya...."

"Lantas bagaimana?" bentak Nyo Ko pula dengan gusar.

Melihat mata anak muda itu melotot merah, otot hijau sama menonjol di dahinya, Kwe Hu bergirang karena tujuannya tercapai, dengan ber-seri2 ia berkata pula: "Kedua Tosu itu masing2 bernama Tio Ci-keng dan In Ci~peng, ada tidak Tosu Coan -cin~kau yang bernama begitu?"

"Kalau ada lantas bagaimana?" bentak Nyo-Ko pula.

Dengan tersenyum Kwe Hu menyambangi "Setelah kuatur pondokan untuk mereka, lalu aku tidak mengurus mereka lagi, Siapa duga tengah malam seorang murid Kay pang melapor padaku, katanya kedua Tosu itu sedang bertengkar sendiri di dalam kamar."

Nyo Ko mendengus sekali, ia pikir Ci-keng dan Gi-peng memangnya tidak akur satu sama lain, bahwa mereka bertengkar kenapa mesti diherankan?

Dalam pada itu Kwe Hu sedang menutur pula: "Karena ingin tahu, diam2 aku mendekati jendela kamar mereka, kulihat mereka tidak berkelahi lagi, tapi masih ribut mulut. Orang she Tio bilang orang she In, berbuat begini dan begitu dengan gurumu, sedangkan Tosu she In itu tidak menyangkal hanya menyesalkan temannya itu tidak seharusnya bergembar-gembor..."

Mendadak Nyo Ko berbangkit dan duduk di tepi tempat tidur sambil membentak: "Berbuat begini dan begitu apa maksudmu?"

Muka Kwe Hu tampak merah, sikapnya rada kikuk untuk menjawab, katanya kemudian: "Mana aku tahu? Yang pasti masakah, perbuatan yang baik? Apa yang dilakukan guru kesayanganmu itu hanya dia sendiri yang tahu."

Nadanya penuh mengandung perasaan jijik dan menghina.

Saking gusar dan gugupnya, pikiran Nyo Ko menjadi kacau, tanpa pikir sebelah tangannya terus menampar, "plok", dengan tepat pipi Kwe Hu kena ditempeleng.

Dalam keadaan gusar, pukulan Nyo Ko itu cukup keras, keruan mata Kwe Hu ber-kunang2 dan sebelah pipinya lantas bengkak, kalau saja Nyo Ko tidak habis sakit, mungkin giginya rontok digampar oleh anak muda itu.

Selama hidup Kwe Hu mana pernah terhina secara begitu? sesungguhnya dia tidak tahu bahwa Siao-liong-li adalah satu2nya orang yang paliug dihormati dan dicintai Nyo Ko, mencemar nama baik Siao-liong-li adalah melebihi dia ditusuk pedang tiga kali. Tapi Kwe Hu juga seorang nona yang tidak pikir apalagi jika sudah murka, segera dia melolos Siok-li-kiam terus menusuk ke leher Nyo Ko.

Habis menampar Kwe Hu, Nyo Ko pikir persoalan ini pasti sukar diselesaikan, nona ini adalah puteri kesayangan paman dan bibi Kwe, seumpama mereka tidak menyalahkan dia, rasanya juga tidak betah tinggal lebih lama di kota ini.

Karena ia lantas turun hendak memakai sepatu dan ketika itulah dilihatnya pedang Kwe Hu menusuk tiba, Sambil mendengus sebelah tangan Nyo Ko meraih dan tangan yang lain terus menutuk dan memegang, dengan mudah saja Siok-Ii-kiam itu dapat direbutnya.

Ber-turut2 kecundang, Kwe Hu tambah murka? dilihatnya di atas ranjang ada pula sebatang pedang, ia terus menubruk maju dan merampasnya, segera pedang itu dilolosnya terus ditabaskan ke kepala Nyo Ko.

Seketika pandangan Nyo Ko menjadi silau tidak kepalang kagetnya melihat nona itu menabas-nya dengan Ci-wi-kiam, ia tidak berani merebutnya dengan tangan, sebisanya ia angkat Siok- li-kiam untuk menangkis.

Tak terduga karena dia habis sakit selama tujuh hari, tenaga belum pulih, baru saja Siok li kiam terangkat sedikit segera lengannya tidak sanggup terangkat lebih tinggi lagi.

Sementara itu tabasan pedang Kwe Hu sudah tiba, "Trang", kedua pedang beradu, Siok~li~kiam kutung menjadi dua. Kwe Hu sendiri terkejut, sama sekali tak disangkanya Ci-wi-kiam itu begitu lihay. Dalam keadaan unggul dan dendam atas tamparan Nyo Ko tadi.

Kwe Hu pikir biarpun kubunuh kau juga rasanya ayah-ibu takkan menyalahkan aku mengingat jiwa adikku juga dicelakai olehmu, Ketika itu kaki Nyo Ko juga terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai tanpa bisa melawan lagi, hanya tangan kanan saja yang terangkat di depan dada untuk menjaga diri, tapi sorot matanya sama sekali tiada menampilkan keinginan mohon dikasihani Kwe Hu menjadi gemas, segera pedangnya ditabaskan lebih ke bawah lagi....

Bagaimana akibat dari tabasan pedang Kwe Hu itu merupakan kunci utama cerita ini maka untuk sementara ini kita tinggalkan dahulu, Marilah kita kembali dulu pada Siao-liong-li ketika dia menunggang kuda merah menyusul Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong, tapi dia telah kesasar ke jurusan yang lain.



Kuda merah itu teramat cepat jarinya, sekejap sudah belasan li jauhnya, ketika dia putar balik, sementara itu Nyo Ko sudah menghilang di lembah pegunungan itu.

Tanpa kenal lelah Siao-liong-li terus mencari di sekitar Siangyang, Sampai tengah malam barulah ia mendengar suara raung tangis Bu Sam-thong di kejauhan. Cepat Siao~liong-li mencari ke arah datangnya suara, tidak lama dapatlah didengarnya suara pertempuran kedua saudara Bu, menyusul terdengar pula suara bicara Nyo Ko.

Tentu saja ia girang, ia kuatir Nyo Ko ketemukan musuh tangguh, maka ia ingin membantunya secara diam2 saja, segera ia turun dari kudanya, ia tambat kuda merah itu pada sebatang pohon, lalu merunduk ke sana dan sembunyi di balik sepotong batu padas untuk mengintip cara bagaimana Nyo Ko menghadapi musuh.

Celakanya yang terdengar adalah ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyatakan sudah dijodohkan dengan Kwe Hu, nona itu disebutnya sebagai bakal isterinya, Kwe Cing dan Ui Yong dipanggilnya ayah dan ibu mertua. Didengarnya pula Nyo Ko mengaku menerima ajaran ilmu silat secara diam2 dari Ui Yong, dilihatnya pula Nyo Ko sangat marah kepada kedua saudara Bu, serta melarang kedua anak muda itu kemudian menyebut nama Kwe Hu.

Begitulah setiap Nyo Ko mengucapkan hal itu, setiap kali pula Siao liong-Ii seperti disambar petir, pikirannya menjadi kacau, dunia mendadak dirasakan seperti sudah kiamat.

Kalau orang lain, tentu akan timbul rasa sangsinya melihat kata dan perbuatan Nyo Ko itu sama berbeda, namun Siao-liong li memang orang yang lugu, hatinya bersih, pikirannya sederhana, sedikitpun tidak paham seluk beluk kepalsuan kehidupan manusia.

Biasanya Nyo Ko juga tidak pernah membual sedikitpun padanya sekalipun terhadap orang lain anak muda itu memang suka juga, sebab itulah Siao-liong-li menaruh kepercayaan penuh terhadap apa yang diucapkan Nyo Ko.

Begitulah ketika melihat kedua Bu cilik bukan tandingan NyoKo, Siao-liong-Ii yang sedang berduka dan menyesali nasibnya itu tanpa terasa mengeluarkan suara tarikan napas panjang sebagaimana yang didengar oleh Nyo Ko itu sehingga dia hampir saja berseru memanggilnya. Pada saat itu juga Siao-liong-li lantas pergi dengan berlinangan air mata.

Sambil menuntun kuda merah itu Siao-liong-li berkeliaran semalaman di ladang sunyi itu, pikirannya kacau dan bingung. Usianya sudah lebih 20 tahun, tapi selama hidupnya berdiam di dalam kuburan kuno itu, seluk-beluk kehidupan manusia sedikitpun tidak dipahaminya, hakekatnya jalan pikirannya masih polos dan bersih seperti anak kecil. ia pikir: "Nyo Ko sudah terikat jodoh dengan nona Kwe, dengan sendirinya tak dapat menikahi diriku lagi. Pantas Kwe-tayhiap suami-isteri ber-ulang2 merintangi hasrat Ko-ji yang ingin menikahi aku, Bahwa selama ini Ko-ji tidak memberitahukan padaku tentang ikatannya dengan nona Kwe, tentunya karena dia kuatir aku akan berduka, Ai dia memang sangat baik padaku."

Begitulah lantaran dia juga mencintai Nyo Ko, walaupun dengan mata telinga sendiri mendengar anak muda itu mengatakan hendak menikah dengan Kwe Hu, namun ia tidak dendam sedikitpun kepada anak muda itu, ia hanya berduka dan menyesali nasibnya sendiri Malahan lantas terpikir lagi olehnya: "Sebabnya Ko-ji tidak cepat2 membunuh Kwe~tayhiap untuk membalas sakit hati kematian ayahnya, kiranya persoalan nona Kwe inilah yang membuatnya bimbang, jika begitu tampaknya dia juga sangat baik kepada nona Kwe. Kalau sekarang kuberikan kuda merah ini padanya, bisa jadi dia akan teringat lagi kepada kebaikanku dan perjodohannya dengan nona Kwe mungkin akan terganggu lagi. Rasanya lebih baik kupulang sendirian saja ke kuburan kuno itu, dunia yang fana ini cuma membikin kacau dan membingungkan pikiranku saja."

Setelah berpikir pula, akhirnya ia membulatkan tekad, meski hatinya terasa di-sayat2, cintanya kepada Nyo Ko terasa berat sekali untuk diputuskan, tapi terpikir pula olehnya menyelamatkan jiwa anak muda itu terlebih penting.

Karena itulah malam itu juga dia pulang ke Siangyang dan minta pertolongan Cu Cu-liu agar suka mengantarkan kuda merah kepada Nyo Ko yang masih berada di lembah sunyi itu.

Waktu itu Siangyang belum tenang kembali, Kwe Cing serta Ui Yong belum sehat pula, maka tugas pertahanan kota diurus oleh Loh Yu-kah dibantu oleh Cu Cu-liu.

Di tengah kemelut itulah Siao-liong-li membawa kuda merah datang pada Cu Cu-liu dan minta bantuannya mengantar kuda itu kepada Nyo Ko agar anak muda itu lekas pergi ke Coat~ceng~kok dan menukar obat penawar dengan bayi yang baru dilahirkan Ui Yong. Sudah tentu Cu Cu-liu merasa bingung oleh penuturan yang tak diketahui awal mulanya itu, la, coba bertanya lebih jelas, tapi Siao liong li sendiri sedang kesal dan tidak ingin banyak bicara, dia hanya mendesak Cu Cu-liu lekas berangkat, katanya kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang.

Sama sekali Siao-liong-li tidak pedulikan bahwa waktu itu Kwe Hu juga berada di sebelah Cu Cu-liu, ia pikir adikmu itu dibawa sementara ke Coat-ceng-kok, tentu tidak beralangan, apalagi demi menyelamatkan jiwa bakal suamimu.

Biasanya Siao-Iiong-li dapat menguasai perasaanya, suka atau duka jarang dipikirkan olehnya, tapi sejak jatuh cinta kepada Nyo Ko, segala ilmu menguasai perasaan sendiri yang dilatihnya sejak kecil hampir tak dapat digunakan lagi, guncangan perasaannya bahkan jauh lebih hebat daripada orang biasa.

Maka sesudah memberi pesan kepada Cu Cu liu lantaran beberapa kali menyebut nama Nyo Ko, tanpa terasa air matanya lantas bercucuran, cepat ia lari kembali kekamar sendiri dan menangis sedih di tempat tidur.

Biarpun Cu Cu-liu adalah seorang cerdik pandai, tapi lantaran tidak tahu seluk-beluknya persoalan, uraian Siao-Iiong-li yang tak keruan juntrungannya itu membuatnya bingung. Tapi ingat bahwa kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang", ia pikir terpaksa harus cepat ke lembah itu dan bertindak menurut keadaan di sana.

Tetapi ketika dia mau berangkat ternyata kuda merah yang dibawakan Siao-liong-Ii itu sudah hilang, waktu ditanyakan penjaga, katanya nona Kwe yang membawanya pergi. Ketika Kwe Hu dicari bayangan nona itupun tak dapat diketemukan.

Karena menguatirkan keselamatan Nyo Ko, terpaksa Cu Cu-liu menunggang kuda lain dan membawa belasan anggota Kay-pang menuju ke lembah yang ditunjuk Siao-liong-li itu. Di situ dilihatnya Nyo Ko dan ayah beranak keluarga Bu itu sama menggeletak tak bisa berkutik.

Cepat mereka dibawa pulang ke Siangyang dan kebetulan paman gurunya, yaitu si paderi Hindu datang dari negeri Tayli, paderi inilah yang menyadarkan Nyo Ko dan lain2.

Begitulah Siao-liong-li terus menangis di kamarnya, makin dipikir makin sedih, air matapun sukar dibendung lagi sehingga membasahi baju dan tempat tidurnya, ia bermaksud mengambil saputangan untuk mengusap air mata, tiba2 tangannya menyentuh Siok-li-kiam yang terselip di tali pinggangnya.



Tiba2 timbul pikirannya akan memberikan pedang itu kepada Kwe Hu agar nona itu dan Nyo Ko benar2 menjadi suatu pasangan yang setimpal. Maklumlah, Siao-liong-li teramat cinta kepada Nyo Ko, segala apa yang bermanfaat bagi anak muda itu rela dilakukannya Karena itulah ia lantas menuju ke kamar Kwe Hu.

Tatkala itu sudah lewat tengah malam, Kwe Hu sudah tidur, Tanpa mcngetok pintu segala segera Siao-liong-ii membuka daun jendela dan melompat masuk ke kamar serta membangunkan Kwe Hu serta mengatakan "kalian memang pasangan setimpal sebagaimana diuraikan kembali oleh Kwe Hu kepada Nyo Ko itu. setelah menyerahkan Siok-li-kiam kepada Kwe Hu segeru Siao-liong-li tinggal pergi.

Sudah tentu Kwe Hu ter-heran2 dan bertanya apa yang dimaksud, Namun Siao-Iiong li tidak menjawab terus melompat keluar jendela pula.

"Kembalilah, Liong-kokoh!" cepat Kwe Hu teriaknya sambil melongok keluar, tapi terlihat Siao-liong-li sudah melangkah pergi tanpa berpaling pula.

Dengan menunduk kepala menahan rasa sedih Siao-liong-li masuk ke taman bunga, bau bunga mawar yang sedang mekar mewangi mengingatkan dia ketika bersama Nyo Ko berlatih Giok-li-sim-keng diseling oleh semak2 bunga dahulu. Untuk berkumpul lagi seperti dahulu itu rasanya sukar terjadi lagi.

Selagi melayang pikirannya, tiba2 dari pojok rumah di sebelah kiri sana ada seorang sedang ber-kata: "Kau sebentar2 mengucap Siao-liong-li, apakah kau tidak dapat berhenti menyebutnya?"

Keruan Siao-liong-li terkejut, ia heran siapakah yang selalu menyebut namaku? Segera ia berhenti di situ untuk mendengarkan lebih cermat.

Segera terdengar pula suara seorang lain tertawa mengejek dan berkata: "Kau sendiri boleh berbuat, masakah aku tidak boleh menyebutnya?"

Terdengar orang- pertama tadi -menjawab: "lni adalah rumah orang lain, mata telinga teramat banyak kalau didengar orang lain, ke mana lagi nama baik Coan-cin-kau kita akan ditaruh?"

"Hehe, ternyata kau masih ingat kepada nama baik Coan-cin-kau kita?" jengek pula orang kedui tadi, "Hehe, malam itu di tepi semak bunga mawar di Cong-lam-san, rasa nikmat naik surga itu .... Wah, hahahaha!" Sampai disini ia hanya terkekeh2 saja dan tidak melanjutkan.

Siao-liong-Ii tambah kaget dan sangat curiga, ia pikir apakah mungkin malam itu waktu Ko-ji melaksanakan cintanya padaku telah dapat diintip oleh kedua Tosu ini?

Dari suara kedua orang itu Siao-liong-li sudah tahu mereka adalah In Ci-peng dan Tio Ci-keng. Maka diam2 ia mendekati jendela rumah itu dan berjongkok di situ untuk mendengarkan lebih Ianjut.

Sementara itu suara bicara kedua orang itu berubah menjadi lirih, tapi jarak Siao-liong-li sekarang sangat dekat, pendengarannya tajam pula, biarpun kedua orang bisik2 cara bicaranya juga dapat didengarnya dengan jelas.

Terdengar Ci-peng lagi berkata: "Tio-suheng, setiap hari siang dan malam kau selalu menyiksa aku, sebenarnya apa tujuanmu?"

"Kau sendiri paham, masakah perlu kuterangkan?" jawab Ci-keng.

"Apa yang kau kehendaki dariku telah kusanggupi aku cuma memohon urusan ini jangan kau sebut lagi, tapi makin lama makin sering kau mengungkatnya, apakah sengaja hendak menyiksa aku sampai mati seketika di depanmu sini?"

"Hm, akupun tidak tahu, yang jelas aku tidak tahan dan harus kuucapkan," jengek Ci-keng pula.

Mendadak In Ci-peng perkeras suaranya dan berkata: "Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu? Yang benar kau cemburu, kau cemburu padaku pada saat menikmati surga dunia itu."

Ucapan Ci-peng ini sangat aneh, Ci-keng ternyata tidak menjawab seperti hendak mengejek, tapi tak terucapkan.

Selang sebentar kembali Ci-peng bicara lagi:

"Ya, memang benar, malam itu di balik semak2 bunga mawar itu dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutuk oleh Auyang Hong sehingga cita2ku dapat terpenuhi. Ya, tidak perlu aku menyangkal didepanmu, andaikan tak kukatakan padamu juga kau takkan tahu, betul tidak? Karena sudah terlanjur kuberitahukan padamu, lalu kau terus menerus menggoda aku dan menyiksa pikiranku. Akan tetapi, akan tetapi aku tidak menyesal, tidak, sedikitpun tidak menyesal...." sampai akhirnya suaranya berubah menjadi halus dan lembut se-akan2 orang sedang mengingat.

Sambil mendengarkan hati Siao-liong-li serasa mendelung ke bawah, otaknya serasa mengingat "Masakah dia dan bukan Ko-ji yang kucintai itu? Tidak, tidak mungkin pasti Ko-ji adanya, dia berdusta, dusta!"

Terdengar Ci-keng berkata pula dengan suara kaku dingin: "Ya, dengan sendirinya kau tidak menyesal sedikitpun, sebenarnya kau tidak perlu katakan padaku, akan tetapi saking senangnya karena kau telah melakukan hal itu dan merasa perlu diutarakan pada seseorang. Nah, karena itu akupun membicarakan hal itu padamu setiap hari, setiap saat aku mengingatkanmu, tapi mengapa kau menjadi takut mendengarnya?"

Mendadak terdengar suara "blang-blung" beberapa kali, kiranya Ci-peng mem-bentur2kan kepala sendiri pada tembok, lalu berkata: "Baiklah, bicaralah, bicara lagi agar setiap orang di dunia ini tahu semua, akupun tidak takut. .. .tidak... tidak..."

"O, Tio-suheng, aoa yang kau inginkan dariku sudah kusanggupi, yang kumohon sukalah kau jangan mengungkapnya lagi."

Dalam waktu yang singkat saja ber-turut2 Siao-liong-li mendengar dua pertanyaan yang membuat hancur hatinya, seketika dia berdiri ter-mangu2 di luar jendela, meski dapat mendengar jelas pembicaraan Ci-peng dan Ci-keng itu, tapi arti percakapan mereka itu seketika sukar dipahami.

Sementara terdengar Ci-keng lagi berkata dengan tertawa: "Orang beragama seperti kita ini sekali kejeblos harus dapat mengendalikan diri agar bisa kembali kearah yang terang, bahwa senantiasa aku mengingatkanmu akan nama Siao-liong-li supayai kau menjadi biasa mendengarnya dan kemudian menjadi jemu, dari jemu menjadi benci, ini kan maksud baikku untuk menyelamatkanmu dari jalan tersesat."

"Dia adalah jelmaan bidadari manabisa kujemu dan benci padanya?" ujar Cipeng, Habis ini mendadak suaranya berubah keras: "Hm, tidak perlu kau bicara muluk2, pikiranmu yang keji dan berbisa masakah aku tidak tahu? Yang benar adalah kau iri kepadaku, kedua karena kau dendam pada Nyo Ko, kau ingin mengungkapkan peristiwa ini untuk menghancurkan kehidupan mereka guru dan murid, menyesal selama hidup."

Hati Siao-liong-li berdetak keras demi mendengar nama Nyo Ko disebut, tanpa terasa iapun menggumam pelahan nama anak muda itu dan timbul semacam perasaan bahagia yang tak terhingga, dia berharap kedua Tosu akan terus membicarakan si INyo Ko, asal ada orang menyebut nama anak muda itu maka gembiralan hatinya.

Terdengar Ci-keng juga perkeras suaranya dan berkata dengan gemas: "Hm, kalau aku tak dapat membikin anak jadah itu sekarat, hm, rasanya tak terlampias dendamku ini. Cuma.. cuma..."

"Cuma ilmu silatnya teramat tinggi dan kita bukan tandingannya begitu bukan?" jengek Ci peng.



"ltuIah belum pasti," kata Ci - keng. "Sedikit ilmu silat golongannya yang liar itu kenapa mesti di-herankan? In-sute, boleh kau lihat saja. suatu ketika kalau dia kepergok olehku, hm, tentu dia akan tahu rasa, tidak nanti kubiarkan dia mati dengan enak saja, kalau bukan kedua biji matanya tentu akan kukutungi kedua tangannya agar mati tidak hidup tidak, tatkala mana nonamu si Siao-liong-li itu boleh menyaksikannya supaya senang hatinya."

Siao-liong-li bergidik mendengar itu, kalau waktu biasa tentu dia sudah menerjang ke situ dan menghabisi jiwa kedua orang itu, tapi sekarang pikirannya lagi bingung, kaki tangan terasa lemas tak bertenaga. .

Sementara itu In Ci-peng sedang mendengus "Hm, kau cuma mimpi kosong belaka, ilmu silat golongan kita rasanya sukar menandingi ilmu silat golongan liar macam mereka itu."

"Keparat, kau ada main dengan Siao-liong-li, lantas ilmu silatnya juga kan puji setinggi langit," damperat Ci~keng.

Rupanya Ci-peng sudah kenyang dihina selama ini, sekarang iapun tidak tahan lagi, segera ia balas membentak: "Apa katamu? Kau punya perasaan tidak, jadi manusia harus tahu batas2 tertentu."

Ci-keng merasa titik kelemahan orang sudah tergenggam dalam tangannya, asalkan hal itu di-umumkan di Tiong-yang-kiong, akibatnya In Ci-peng pasti akan dijatuhi hukuman mati, sebab itulah dia menghina In Ci-peng dengan segala macam cara dan selama ini Ci-peng tak berani melawan Sedikitpun.

Tapi sekarang Ci-peng ternyata berani melawannya dengan kata2 kasar, ia menjadi gusar, mendadak ia melangkah maju terus menggampar.

Ci-peng tidak menduga sang Suheng akan meng-hantamnya, cepat ia menunduk, "plok", dengan tepat kuduknya yang kena tampar.

Betapapun Ci-keng adalah jago kelas satu dari Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja pukulanya itu cukup berat, tubuh Ci-peng sempoyongan dan hampir jatuh terjerungkup. Saking gemasnya ia cabut pedang dan balas menusuk.

Tapi Ci-keng sempat mengegos ke samping dan mengejek: "Bagus, ternyata kau berani bergebrak dengan aku." Segera iapun mencabut pedangnya dan balas menyerang.

"Setiap hari kau menyiksa aku, paling2 juga cuma mati, biarlah sekarang kau bunuh aku saja dan bereslah segalanya," ucap Ci peng dengan geram.

Habis itu ia terus melancarkan serangan, Dia adalah murid tertua Khu Ju-ki, kepandaiannya dengan Tio Ci-keng tidak berbeda banyak, apa yang mereka pelajari juga sama, maka sebenarnya sukar dibedakan unggul dan asot. Tapi lantaran dendamnya sudah menumpuk, yang diharapkan sekarang biarlah mati bersama saja.

Akan tetapi Ci-keng mempunyai perhitungan lain, dia tidak mau mencelakai jiwa Ci-peng, sebab itulah setelah dua-tiga puluh gebrakan, akhirnya Ci-keng sendiri malah terdesak ke pojok kamar.

Dengan sendirinya suara pertengkaran kedua Tosu itu segera diketahui anggota Kay-pang yang dinas jaga dan cepat pula dilaporkan kepada Kwe Hu. Lekas2 nona itu mendatangi tempat itu, dilihatnya Siao-liong-li berdiri di luar jendela, ia lantas menyapanya: "Liong-Kokoh!"

Siao liong-Ii berdiri ter-mangu2 saja di situ seperti tidak mendengar teguran Kwe Hu itu.

Tentu saja Kwe Hu heran, iapun tidak lantas masuk ke rumah itu melainkan ikut berdiri di situ, maka terdengarlah suara olok2 dan sindiran kasar Ci keng sambil menangkis serangan Ci-peng, setiap ucapannya semuanya menyangkut diri Siao-liong-li.

Sebagai nona muda yang sopan, Kwe Hu merasa tidak pantas berdiri di situ mendengarkan kata2 kotor kedua orang yang bertempur di dalam rumah itu, segera ia bermaksud tinggal pergi saja.

Tapi dilihatnya Siao-liong-li tetap berdiri terkesima, kata2 kotor kedua orang itu se-akan2 tak dihiraukan-nya sama sekali, Kwe Hu menjadi heran, ia coba tanya dengan suara pelahan: "Apakah betul apa yang mereka katakan itu?"

"Aku... akupun tidak tahu." jawab Siao-liong-li dengan bingung, "Tampaknya memang begitu." .

Seketika timbul perasaan menghina dalam hati Kwe Hu, ia mendengus sekali terus tinggal pergi tanpa bicara lagi.

Ci-peng dan Ci-keng tergolong jago silat pilihan, meski dalam pertempuran sengit selera mereka mendengar ada suara orang bicara diluar, "Trang" begitu kedua pedang beradu terus ditariknya kembali bersama dan serentak bertanya: "Siapa itu?"

"Aku," jawab Siao-liong-li.

Seketika seluruh badan Ci-peng merinding, ia menegas dengan suara gemetar "Kau? Kau siapa?"

"Siao-liong-li!"

Begitu nama ini diucapkan, bukan saja In Ci-peng terkesima seperti patung, bahkan Ci-keng juga kaget setengah mati dan menggigil ketakutan.

Dengan mata kepala sendiri Ci-keng menyaksikan betapa Siao-liong-li telah mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong, sampai paman gurunya yang lihay seperti Hek Tay-thong juga kalah dan hampir saja mati bunuh diri.

Sama sekali ia tak menduga bahwa Siao-liong-li juga berada di Siangyang, ia pikir ucapannya sendiri tadi besar kemungkinan telah didengar semua oleh si nona. Seketika ia menjadi ketakutan setengah mati dan entah cara bagaimana harus melarikan diri.

Perasaan In Ci-peng aneh luar biasa sehingga tak terpikir olehnya akan menyelamatkan diri, sebaliknya ia terus membuka daun jendela, Dilihatnya di situ berdiri seorang perempuan jelita berbaju putih, siapa lagi kalau bukan Siao-liong-li yang dirindukannya siang dan malam itu.

"Kau....kau" Ci-peng menegas dengan melongok

"Benar, aku." jawab Siao-liong-li. "Apa yang kalian katakan tadi apakah betul seluruhnya?"

"Be.... betul" Ci-peng mengangguk, "Boleh kau bunuh saja diriku!"

Habis berkata ia terus menyodorkan pedangnya keluar jendela. Sorot mata Siao-liong li memancarkan sinar yang aneh, hatinya pedih dan pilu tak terperikan, begitu sedih dan begitu gemas, rasanya biarpun membunuh seratus orang atau seribu orang juga dirinya bukan lagi seorang nona yang suci bersih dan tak dapat lagi mencintai Nyo Ko secara mendalam seperti dahulu.

Ketika Ci-peng menyodorkan pedangnya, Siao-liong-li tidak menerimanya, ia hanya pandang kedua Tosu itu dengan bingung.

Ci-keng melihat kesempatan baik, ia pikir perempuan ini dalam keadaan kurang waras, mungkin sudak gila, kalau sekarang tidak lekas kabur hendak tunggu kapan lagi? Maka cepat ia tarik Ci-peng dan berkata dengan menyeringai: "Lekas pergi saja, tampaknya dia merasa berat untuk membunuh kau-"

Habis berkata ia menarik Ci-peng sekuatnya dan berlari keluar pintu sana.

Ci-peng menjadi linglung melihat wajah Siao-liong-Ii, seluruh badan terasa lemas tak bertenaga, karena tarikan Ci-keng itu ia menjadi ter-huyung2 dan ikut berlari keluar.

Cepat Ci-keng mengeluarkan Ginkangnya untuk berlari cepat, semula Ci-peng ditarik oteh Ci-keng tapi segera iapun dapat mengeluarkan Ginkang sendiri. Kedua adalah jagoan Coan-cin-pay angkatan ke tiga, maka lari mereka ini sungguh cepat melebihi lari kuda, mereka menyusur kian kemari di jalan2 dalam kota, sebentar saja mereka sudah sampai di pintu gerbang sebelah timur.

Di pintu gerbang itu ada penjaga belasan anggota Kay-pang dan dua regu perajurit, anggota Kay-pang yang menjadi pemimpin kenal pada Ci-keng dan Ci-peng sebagai Tosu dari Coan - cin - pay, bicara tentang kedudukan kedua Tosu itu terhitung Suheng Kwe Cing, maka demi mendengar Ci-keng bilang ada urusan penting harus keluar benteng, kebetulan waktu ku tiada serangan dari pasukan musuh, maka cepat diperintahkan membuka pintu benteng.

Begitu pintu gerbang baru terbuka sedikit, cepat sekali Ci-keng lantas melompat keluar disusul oleh Ci-peng, Selagi orang Kay-pang itu memuji kehebatan Ginkang kedua Tosu itu, mendadak sesosok bayangan putih berkelebat keluar benteng pula, dengan terkejut ia membentak: "Siapa itu?"

Namun bayangan orang itu sudah lenyap, waktu ia melongok keluar benteng, karena fajar baru menyingsing, belasan meter di depan masih remang2 tertutup oleh kabut, maka tiada sesuatupun yang kelihatan. Diam2 anggota Kay-pang itu mengomel.

Ia pikir barangkali matanya sendiri yang mulai lamur sehingga pandangannya kabur.

Ci-keng berdua masih terus berlari hingga belasan li jauhnya baru berani melambatkan lari mereka.

Dengan kuatir dan bersyukur pula Ci-keng mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya sambil menggumam: "Wah, bahaya, sungguh bahaya!"

Tapi waktu ia berpaling ke belakang, tanpa terasa kakinya menjadi lemas, hampir saja jatuh ter-jungkal. Kiranya tidak jauh di belakangnya itu sudah berdiri seorang perempuan muda berbaju putih dan sedang memandangnya dengan melenggong, siapa lagi dia kalau bukan Siau-liong-li.

Sungguh kaget Ci-keng tak terperikan, ia menjerit satu kali dan segera menarik tangan Ci-peng untuk diajak lari pula, Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Siao-liong-li yang dikiranya sudah jauh ditinggalkan di kota Siangyang sana tahu2 masih mengintil dibelakangnya, cuma cara berjalan nona itu tidak bersuara, meski mengintil dalam jarak dekat juga tidak diketahuinya.

Sekaligus ia berlari agak jauh barulah dia coba menoleh ke belakang, dilihatnya Siao-liong li menguntit di belakang dalam jarak tetap, seperti tadi.

Dengan pikiran bingung dan takut Ci-keng segera "tancap gas" lebih kencang sambil menyeret Ci-peng. Dia tidak berani lagi sering2 menoleh, sebab setiap kali memandang kebelakang, setiap kali pula hatinya bertambah takut, lambat-laun kakinya mulai lemas, rasanya tangan yang memegangi lengan Ci-peng mulai tak bertenaga lagi.

"ln-sute," katanya kemudian, "kalau sekarang dia mau membunuh kita boleh dikatakan sangat mudah, tapi dia tidak melakukan hal ini, kukira dia pasti mempunyai maksud tertentu."

"Maksud tertentu apa?" tanya Ci-peng. . ,

"Kukira dia ingin menawan kita, lalu membongkar perbuatanmu yang kotor itu di depan para ksatria agar nama baik Coan-cin-pay akan runtuh habis2an."

Hati Ci-peng terkesiap, terhadap mati-hidupnya sendiri sebenarnya tak terpikir lagi olehnya, kalau saja Siao-liong-li akan membunuhnya pasti dia takkan melawan, tapi jika mengenai nama baik Coan-cin-pay, betapapun ia harus membelanya mati2an, apalagi jika runtuhnya kehormatan Coan-cin pay itu disebabkan oleh perbuatannya.

Teringat alasan ini dia menjadi kuatir juga, segera larinya bertambah cepat mendampingi Ci-keng.

Kedua orang berlari ke daerah yang sunyi dan sukar dicapai orang lain, terkadang mereka menoleh, tapi Siao-liong-Ii selalu berada dalam jarak puluhan meter di belakang, Dengan Ginkang Ko-bong-pay yang tiada tandingannya itu, kalau mau sebenarnya dengan mudah Siao-liong-li dapat melampaui kedua buruannya.

Cuma dia memang masih polos, jalan pikirannya sederhana, menghadapi persoalan maha besar ini dia menjadi bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus bertindak. Karena itu terpaksa ia hanya mengintil saja di belakang mereka, selalu dalam jarak itu2 saja tapi juga tidak membiarkan lolosnya kedua orang itu.

Pikiran Ci-peng dan Ci-keng memangnya sangat bingung, apalagi Siao-liong-li terus menguntit dan tidak diketahui apa maksud tujuannya, makin dipikir makin takut mereka.

Mereka berlari dari pagi hingga siang, dari siang hingga sore hari sudah 6-7 jam mereka ber-lari2 kesetanan, betapapun kuatnya tenaga dalam mereka akhirnya juga terempas-empis, langkahpun mulai sempoyongan dan tidak sanggup berlari cepat lagi.

Dalam pada itu panas matahari yang menyengat itu telah membuat mereka mandi keringat, malahan juga lapar dan haus, ketika tiba2 nampak di depan ada sebuah sungai kecil, mereka menjadi nekat.

Mereka pikir andaikan akan tertangkap di situ masa-bodohlah, Begitulah mereka terus menjatuhkan diri di tepi sungai kecil itu dan minum air sekenyangnya.

Dengan pelahan Siao-liong-li juga mendekati sungai bagian hulu, iapun meraup air untuk diminum, permukaan air sungai mencerminkan seorang nona jelita berbaju putih dengan ikal rambut hitam dan wajah cantik molek laksana dewi kahyangan.

Tapi, perasaan Siao-liong-li serasa hampa, dukanya tidak kepalang sehingga cermin dirinya itu tidak menariknya melainkan termangu2 saja memandangi bayangan sendiri di dalam air itu.

Sambil minum air, Ci-keng berdua senantiasa, melirik Siao- liong li, melihat nona itu ter-mangu2 se-akan2 lupa daratan pada dunia fana ini, cepat mereka saling memberi i syarat, dengan pelahan mereka berbangkit dan berjalan ber-jengket2 menjauh ke sana. Beberapa kali mereka menoleh dan melihat si nona masih termenung memandang air sungai, segera mereka percepat langkah terus berlari ke depan.

Mereka mengira sekali ini pasti dapat lolos dari kuntitan Siao-liong-li, siapa duga, ketika kebetulan Ci-peng berpaling, ternyata si nona sudah mengintil lagi di belakang mereka.



Seketika muka Ci-peng pucat pasi seperti mayat, serunya: "Sudahlah, sudahlah Tio suheng, kita toh tak dapat lolos, terserah saja apakah dia akan membunuh atau mencincang kita." Habis berkata ia terus berhenti dan berdiri di situ.

Ci-keng menjadi gusar dan membentak: "Kau mati juga pantas, tapi mengapa aku harus mati bersamamu?" Segera ia tarik tangan sang Sute untuk diajak lari pula.

Akan tetapi Ci-peng sudah putus asa dan tidak ingin lari lagi, Dasar Ci-keng memang pemberang, tanpa bicara lagi sebelah tangannya terus menggampar.

"Mengapa kau pukul aku?" teriak Ci - peng dengan gusar.

Melihat kedua orang itu saling hantam lagi, Siao-liong-li menjadi heran.

Pada saat itulah dari depan sana tampak mendatangi dua penunggadg kuda, rupanya dua kurir Mongol yang bertugas mengirim surat atau berita. pikiran Ci-keng bergerak, dengaa suara tertahan ia berkata pada Ci-peng: "Mari kita rebut kuda mereka. Kita pura2 berkelahi supaya tidak menimbulkan curiga Siao-liong-li."

Ci-peng-menurut, mereka pura2 berhantam lagi sambil menggeser ke jalan raya, Karena jalan terhalang, kedua perajurit MongoI itu menahan kuda mereka sambil mem-bentak2.

Tapi Ci-keng mendadak melompat ke atas, seorang satu seketika kedua perajurit Mongol itu disodok terjungkal ke bawah kuda rampasan itulah mereka terus kabur cepat ke utara.

Kedua ekor kuda itu adalah kuda perang piIihan, perawakannya gagah dan larinya cepat. Waktu mereka menoleh, ternyata Siao-liong-li tidak mengejar lagi, maka legalah hati mereka. Mereka terus melarikan kuda ke utara, belasan li kemudian sampailah mereka pada jalan persimpangan tiga.

"Dia melihat kita kabur ke utara, sekarang justeru membelok ke timur," kata Ci-keng sambil membelokkan kuda ke kanan dan diikuti Ci-peng.

Menjelang magrib, sampailah mereka di suatu kota kecil. Sehari suntuk mereka berlari tanpa mengisi perut barang sedikitpun, sudah tentu mereka sudah lelah dan lapar. Segera mereka mencari suatu warung makan dan pesan satu piring daging dan beberapa bakpau.

Sambil duduk menunggu daharan, hati Ci-keng masih berdebar-debar mengenang bahaya yang dihadapi nya tadi, ia tidak tahu mengapa Siao liong-li melulu menguntit saja dan tidak segera turun tangan.

Dilihatnya Ci-peng juga duduk menunduk dengan muka pucat dan seperti orang linglung.

Tidak lama makanan yang dipesan telah disuguhkan, segera mereka makan minum. Belum seberapa lama, tiba2 terdengar suara ribut di luar, seorang sedang mem-bentak2 dan bertanya "Siapa pemilik kedua ekor kuda ini? Mengapa berada di sini?" Dari logat suaranya agaknya orang Mongol.

Ci-keng berdiri dan mendekati pintu, dilihatnya seorang perwira Mongol dengan beberapa anak buah sedang bertanya mengenai kedua ekor kuda rampasan Ci-keng berdua itu, pelayan rumah makan tampak ketakutan dan menyembah.

Lantaran seharian diuber Siao-liong-li dan rasa dongkol Ci-keng belum terlampiaskan kini ada orang mencari gara2, segera ia tampil ke muka dan berteriak: "Kudaku, ada apa?"

"Dapat darimana?" tanya perwira itu. "milikku sendiri, peduIi apa dengan mu?" jawab Ci-keng.

Tatkala mana di utara Siangyang sudah berada dalam pendudukan pasukan Mongol, rakyat Song hidup di bawah penindasan secara kejam, mana ada orang berani bersikap kasar terhadap perwira Mongol?

Tapi lantaran melihat perawakan Ci-keng gagah dan kuat, membawa pedang pula, diam2 perwira itu rada jeri, ia lantas tanya pula: "Kau dapat beli atau mencuri?"

"Beli atau mencuri apa?" jawab Ci-keng dengan gusar. "Kuda ini adalah piaraanku sendiri."

"Tangkap" mendadak perwira itu memberi aba2. serentak beberapa perajurit itu mengerubut maju dengan senjata terhunus.

"Hm, berdasarkan apa kalian menangkap orang." bentak Ci keng sambit meraba pedangnya.

"Berani kau melawan, maling kuda?" jengek perwira Mongol itu. "Haha, barangkali kau sudah makan hati macan, maka berani melawan perwira markas besar? Hayo kau mengaku mencuri tidak?" ~- Berbareng ia menyingkap bulu paha belakang kuda hingga kelihatan cap bakar dua huruf Mongol.

Rupanya setiap kuda perang Mongol pasti di tandai dengan cap bakar untuk menjelaskan kuda itu termasuk pasukan dan kelompok mana, Ci-keng merampas kuda itu di tengah jalan, sudah tentu ia tidak tahu seluk-beluk tanda cap bakar sega!a.

Karena itu ia menjadi tak bisa menjawab. Tapi dia sengaja berdebat secara ngotot: "Siapa bilang kuda perang Mongol? Di tempat kami banyak juga kuda yatg kami beri cap bakar seperti ini? Memangnya tidak boleh dan melanggar aturan?"

"Perwira itu menjadi gusar, belum pernah ada orang yang berani membantah padanya, masakah sekarang ada maling kuda yang malah menantang-nya. Segera ia melangkah maju terus hendak mencengkeram baju dada Ci-keng.

Akan tetapi tangan kiri Ci-keng menagkis dan membalik, tangan perwira itu berbalik kena dipegangnya. Menyusul tangan kanan Ci-keng terus mencengkram punggung perwira itu dan diangkat ke atas, setelah diputar beberapa kali terus dilemparkan

Tanpa ampun -perwira itu terbanting ke dalam sebuah toko barang pecah belah, seketika terdengarlah suara gemerantang nyaring ber-turut2, rak mangkok piring dan barang2 porselin lain sama roboh dan hancur berantakan...

Muka perwira itupun babak belur terluka oleh pecahan beling serta tertindih oleh rak yang ambruk.

Cepat para perajurit Mongol memberi pertolongan sehingga lupa menangkap orang.

Ci-keng ter-bahak2 gembira dan masuk kembali ke warung makan untuk meneruskan daharannya tadi.

Karena ribut2 itu, toko2 yang tadinya buka dasar seketika sama tutup pintu. Tetamu yang sedang makan diwarung itupun segera buyar. Maka jumlah tentara Mongol terkenal ganas dan kejam, tapi sekarang ada orang Han memukuli perwira Mongol, maka akibatnya dapatlah dibayangkan, bukan mustahil seluruh kota akan dibumi-hanguskan.

Belum banyak Ci-keng mengisi perutnya, tiba2 kuasa rumah makan itu mendekatinya dan berlutut di depannya. Ci-keng tahu maksud orang, pasti kuatir perusahaannya ikut terkena getahnya, maka minta penyelesaian se-baik2nya.

Dengah tertawa ia lantas berkata: "jangan kuatir kau, setelah makan kenyang segera kami angkat kaki dari sini."

Tapi kuasa rumah makan itu tetap menyembah dengan muka pucat.

Ci-peng lantas berkata kepada Ci-keng: "Rupanya dia takut bila kita pergi, sebentar lagi pasukan Mongol akan datang minta pertanggungan jawabnya."

Ia memang lebih cerdik daripada Ci-keng, setelah berpikir sejenak," segera ia berkata pula kepada kuasa rumah makan itu. "Lekas ambilkan lagi dataran yang lezat, apa yang telah kami perbuat, adalah tanggung jawab kami sendiri, kenapa mesti takut?"



Kuasa rumah makan itu mengiakan dengan girang, cepat ia merangkak bangun dan memerintahkan daharan ditambah dan membawakan arak pula.

Sementara itu perwira Mongol yang babak belur itu telah dibangunkan anak buahnya dan dibawa pergi. Dengan tertawa Ci-keng berkata kepada Ci-peng: "ln-sute, sudah seharian kita kenyang tersiksa, sebentar biarlah kita labrak mereka sepuasnya."

Ci-peng hanya mendengus saja tanpa menanggapi sementara itu pelayan sibuk membawakan daharan, Sesudah makan lagi sekadarnya, mendadak Ci-peng berbangkit, pelayan yang ladeni disebelah-nya dihantamnya hingga terjungkal.

Keruan si kuasa rumah makan kaget, cepat ia mendekati dan minta maaf bila ada kesalahan pelayanan Tapi kaki Ci-peng lantas melayang pula, dengan tepat dengkul kuasa rumah makan itu didepak sehingga jatuh terguling.

Ci-keng tidak tahu maksud tujuan sang Sute, disangkanya rasa dongkol Ci-peng itu sengaja dilampiaskan atas diri si pelayan. Ja berusaha mencegahnya tapi mendadak Ci-peng mendomplangkan meja yang penuh mangkok piring makanan itu, menyusul dua orang pelayan dipukul roboh lagi.

Cara memukul Ci-peng itu disertai dengan tutukan Hiat-to, maka setelah jatuh, orang2 itu sama tergeletak tak bisa berkutik. Habis "ngamuk", Ci-peng kebut2 baju sendiri, lalu berkata: "sebentar kalau pasukan Mongol datang dan melihat kalian ku labrak sedemikian rupa, tentu kalian takkan di-marahi, Nah, paham tidak? Kalau perlu kalian boleh saling hantam lagi agar kelihatan lebih babak belur."

Baru sekarang orang2 itu mengerti apa maksud tujuan Ci-peng memukuli mereka, setelah menyatakan akal bagus. segera mereka saling hantam pula hingga baju robek dan hidung bengkak.

Pada saat itulah terdengar suara derapan kaki kuda, ada beberapa orang mendatang pula, serentak orang2 rumah makan itu sama merebabkan diri sambil berteriak mengaduh kesakitan serta minta ampun segala.

Setiba di depan rumah makan itu, benar juga penunggang2 kuda itu lantas berhenti dan masuklah empat perwira Mongol, dibelakangnya ikut pula seorang paderi Tibet yang bertubuh tinggi kurus dan seorang asing yang pendek dan hitam, orang asing itu sudah buntung kedua kakinya, kedua tangan memegang tongkat penyanggah ketiak.

Melihat keadaan rumah makan yang porak poranda itu, para perwira Mongol itu sambil me-ngerut kering, segera pula mereka membentak: "Lekas bawakan santapan enak, kami buru2 mau berangkat lagi!"

Kuasa rumah makan tadi melengak, baru sekarang ia tahu rombongan ini bukanlah kawan rombongan pertama tadi, ia menjadi bingung, kalau perwira Mongol yang dilabrak In Ci-peng tadi datang kembali, lalu cara bagaimana akan menghadapinya?

Tengah sangsi, perwira2 Mongol itu menjadi tidak sabar dan menyabetkan cambuk kudanya, Kuasa rumah makan itu terpaksa mengiakan dengan menahan rasa sakit, celakanya dia tak dapat bangun, syukur ada pegawai lain telah melayani kawanan Mongol itu dan mengaturkan meja kursi.

Paderi Tibet itu bukan lain daripada Kim-lun Hoat-ong dan orang asing hitam pendek dan kaki buntung itu adalah Nimo Singh. Mereka merawai diri beberapa hari di lembah sunyi itu. sesudah Hoat-ong mengeluarkan sisa racun dalam tubuh dan luka kaki Nimo Singh mulai sembuh barulah mereka meninggalkan lembah itu serta bertemu dengan perwira2 Mongol itu di tengah jalan, lalu bersama2 pulang ke markas besar Kubilai.

Tentu saja Ci-peng dan Ci-keng terkejut melihat datangnya Kim-lun Hoat-ong, mereka sudah pernah menyaksikan kelihayan paderi Tibet itu, malahan kedua muridnya saja, yaitu Darba dan Hotu yang dulu pernah menyatroni Tiong-yang-kiong, sukar ditandingi tokoh2 Coan-cin-pay, apalagi sekarang kepergok Kim-lun Hoat-ong sendiri, diam2 mereka kebat-kebit. Mereka saling memberi tanda dan segera mencari jalan buat meloloskan diri.

Meski Ci-keng berdua kenal Kim-lun Hoat-ong, sebaliknya Hoat-ong tidak kenal kedua Tosu itu, Walaupun keadaan rumah makan itu berantakan, namun suasana perang tatkala itu tidak membuatnya heran jika menyaksikan keadaan rusak itu.

Karena kepergiannya ke Siangyang sekali ini mengalami kekalahan, ia merasa malu bila nanti bertemu dengan Kubilai, maka yang dia pikirkan sekarang adalah cara bagaimana harus bicara kepada tuannya itu, sehingga kehadiran dua orang Tosu di rumah makan ini tidak digubris olehnya.

Pada saat itu tiba2 terjadi kegaduhan di luar rumah makan. sekawanan perajurit Mongol menerjang masuk, begitu melihat Ci-keng berdua, sambil mem-bentak2 terus hendak menangkapnya.

"Lari melalui pintu belakang". demikian kata Ci-peng dengan suara tertahan kepada Ci-keng sembari mendomplangkan sebuah meja sehingga mangkuk piring berserakan di lantai, berbareng mereka terus melompat menuju ke pintu belakang.

Sebab Kim-lun Hoat-ong duduk dekat pintu depan, kalau lari lewat di sebelahnya bisa jadi dia akan mengalangi mereka.

Ketika hampir menuju ke ruangan belakang, sekilas Ci-peng menoleh dan melihat Hoat-ong masih asyik minum tanpa gubris kekacauan di rumah makan itu, diam2 ia tergirang, asalkan paderi itu tidak ikut campur tentu tidak sukar untuk kabur.

Tak terduga mendadak sesosok bayangan melayang tiba, orang cebol buntung tahu2 melompat ke sana, sebelah tongkatnya lantas menghantam sekaligus Ci-peng dan Ci-keng.

Sudah tentu Ci-pehg berdua belum kenal siapa Nimo Singh, cepat mereka mengelak. Heran juga Nimo Singh karena serangannya tidak mengenai sasarannya, ia merasa kedua Tosu ini ternyata bukan jago Iemah.

Segera kedua tongkatnya bergantian yang satu dibuat menyanggah tubuh dan yang lain digunakan menyerang, dari bagian luar ia terus desak mundur Ci-peng berdua dan dengan sendirinya: Ci-peng berdua balas menyerang dan berusaha meloloskan diri.

Meski kepandaian Nimo Singh lebih tinggi dari pada Ci-peng berdua, tapi lantaran kedua kakinya buntung belum lama, tenaganya belum pulih seluruhnya, apalagi belum biasa memakai tongkat begitu, lama2 ia sendiri menjadi kewalahan dikerubuti Ci-peng dan Ci-keng.

Melihat kawannya rada kerepotan, pelahan Hoat-ong mendekati mereka, ketika pedang Ci-keng menusuk dada Nimo Singh dan orang Keling ini menangkisnya dengan tongkat, namun pedang Ci-peng sekaligus juga mengancam iga kanan Singh yang tak terjaga, kalau tidak ingin tertembus perutnya terpaksa Nimo Singh harus melompat ke samping.

Ketika Hoat-ong melangkah tiba, kebetulan Nimo Singh melompat ke atas, maka tangan kiri Hoat-ong lantas digunakan mendukung bokong Nimo Singh dan memondongnya, sedang tangan kanan memegangi lengannya. Saat itu tongkatnya masih menempel pedang Ci-keng, ketika Hoat-ong menyalurkan tenaga dalamnya melalui tongkat Nimo Singh, seketika Ci-keng merasa tangan kanan tergetar dan dada terasa sesak. "trang", pedang terpaksa dilepaskan dan jatun ke lantai.

Meski tenaganya belum cukup kuat, namun perubahan serangan Nimo Singh sangat cepat begitu pedang Ci-keng jatuh, segera ia memutar tongkatnya dan menempel pula pedang Ci-peng. Ketika Hoat-ong menyalurkan lagi tenaga dalamnya, sekuatnya Ci-peng juga melawan tenaga dalam, akan tetapi cara menguasai tenaga dalam Kim-lun Hoat-ong memang luar biasa bisa keras bisa lunak, "krek", tahu2 pedang Ci-peng juga patah, yang terpegang-olehnya hanya setengah potong pedang saja.



Dengan pelahan Hoat-ong menurunkan Nimo Singh, begitu kedua tangannya meraih, tahu2 pundak kedua Tosu sudah terpegang olehnya, katanya dengan tertawa: "Kita belum pernah kenal, kenapa saling labrak? Kepadaian kalian boleh dikatakan Jagopedang kelas satu di sini, Bagaimana kalau duduk dulu dan marilah omong2."

Cara memegang Hoat-ong itu biasa saja, tapi ternyata sukar dielakkan Ci-peng berdua, mereka merasa ditindih oleh tenaga maha kuat cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk melawan dan tidak berani menjawab.

Sementara itu pasukan Mongol yang menerjang masuk itu telah mengepung semua orang, perwira yang memimpin adalah seorang Cian-hu-tiang komandan seribu orang, dia kenal Kim-Iun Hoat-ong sebagai Koksu atau Imam Negara yang sangat dihormati pangeran Kubilai, cepat ia mendekati dan memberi hormat sambil menyapa: "Koksuya, kedua Tosu ini mencuri kuda perang dan memukul anggota tentara kita, harap Koksuya suka..." sampai di sinj, tiba2 ia mengamat-amati In Ci-peng, lalu berkata mendadak: "Hei, bukankah engkau ini In Ci-peng, In-totiang?"

Ci-peng mengangguk dan tidak menjawab, ia merasa tidak kenal perwira Mongol yang menegurnya ini.

Pegangan Hoat-ong lantas dikendurkan, diam2 iapun mengakui Lwekang kedua Tosu itu ternyata cukup hebat meski usia mereka rata2 baru 40-an.

Perwira Mongol itu lantas berkata pula dengan tertawa: "Apakah In-totiang sudah pangling padaku? 19 tahun yang lalu kita pernah berkumpul di gurun pasir sana dan makan panggang kambing, masakah sudah lupa, Namaku Sato!"

Setelah mengamati dan mengingat sejenak, Ci-peng menjadi girang dan berseru: "Aha, betul, betul! sekarang kau berewok lebat sehingga aku pangling padamu."

"Selama ini kami terus berjuang kian kemari sehingga rambut dan jenggot juga putih semua, tapi wajah Totiang ternyata tidak banyak berubah," ujar Sato dengan tertawa, "Pantas Jengis Khan Agung kami mengatakan kaum beragama seperti kalian ini hidup laksana malaikat dewata,"

Lalu ia berpaling kepada Hoat-ong dan menutur: "Koksuya, In-totiang ini dahulu pernah berkunjung ke negeri kami atas undangan Jengis Khan Agung kita, kalau dibicarakan kita adalah orang sendiri"

Hoat-ong manggut2, lalu melepaskan pundak Ci-peng berdua.

Supaya diketahui, dahulu waktu Jengis Khan mulai jaya, dia pernah mengundang kaum Tosu dari Coan-cinkau ke Mongol agar mengajarkan ilmu panjang umur kepadanya. Untuk itu Khu Ju-ki telah berangkat ke sana dengan membawa 18 anak muridnya, In Ci-peng adalah murid tertua dengan sendirinya ia ikut serta.

Untuk mereka, Jengis Khan telah mengutus 200 perajurit sebagai pengawal rombongan Khu Ju-ki itu, tatkala mana Sato cuma seorang perajurit biasa saja dan termasuk dalam pasukan pengawal itu, sebab itulah dia kenal In Ci-peng.

Selama 20 tahun Sato terus naik pangkat hingga menjadi Cian-hu-tiang dan secara kebetulan bertemu kembali dengan Ci-peng, tentu saja ia sangat gembira, segera ia suruh menyediakan makanan untuk menghormati Ci-peng, urusan kuda dan memukuli perajurit Mongol dengan sendirinya tak diusut pula.

Kim-Iun Hoat-ong juga pernah mendengar nama Khu Ju-ki dan mengetahui dia adalah tokoh nomor satu Coan-cin-pay, sekarang dilihatnya kepandaian Ci-peng berdua juga tidak lemah, diam2 ia mengakui ilmu pedang dan Lwekang Coan-cin-pay memang lihay.

Dalam pada itu Sato sibuk menanyai Ci-peng tentang kesehatan ke-18 murid Coan-cin-kau yang lain, bicara kejadian dimasa lalu, Sato menjadi bersemangat dan sangat gembira,

Pada saat itulah tiba2 masuk seorang perempuan muda berbaju putih. serentak Hoat-ong, Nimo Singh, Ci-peng dan Ci-keng sama terkesiap, Ternyata pendatang ini adalah Siao-liong-Ii.

Diantara orang2 itu hanya Nimo Singh yang tidak punya rasa dendam, segera ia menegur. "Hai, pengantin perempuan Cui-sian-kok, baik2 ya kau?"

Siao-liong-li hanya mengangguk saja tanpa menjawab, ia pilih meja dipojok sana dan berduduk tanpa gubris orang lain, ia memberi pesan seperlunya kepada pelayan agar membuatkan santapan.

Air muka Ci-peng berdua menjadi pucat dan hati berdebar, Hoat-ong juga kuatir kalau segera Nyo Ko menyusul tiba, selamanya dia tidak gentar apapun kecuali permainan ganda ilmu pedang Nyo Ko dan Siao-liong-li.

Begitulah ketiga orang sama memikirkan urusan sendiri dan tidak bicara lagi melainkan makan saja, Ci-peng berdua sebenarnya sudah kenyang makan, tapi kalau mendadak terdiam bisa jadi akan menimbulkan curiga orang lain, terpaksa mereka makan lagi tanpa berhenti agar mulut tidak mengangur.

Hanya Sato saja yang tetap gembira ria, ia tanya Ci-peng : "ln-totiang, apakah engkau pernah bertemu dengan Pangeran kami?"

Ci-peng hanya menggeleng saja tanpa bicara. Sato lantas menyambung: "Wah, pangeran kita ini sungguh pintar dan bijaksana, beliau adalah putera keempat pangeran Tulai, setiap perajurit sayang padanya, sekarang aku hendak menghadap beliau memberi laporan keadaan, kalau kedua Totiang tiada urusan lain, bagaimana kalau ikut serta menghadap beliau?"

Ci-peng sedang bingung, maka tanpa pikir ia menggeleng pula, Tapi pikiran Ci~keng lantas tergerak ia tanya Hoat-ong: "Apakah Taysu juga hendak menghadap Ongya?"

"Ya," jawab Hoat-ong "Pangcran Kubilai adalah pahlawan yang tiada bandingannya di jaman ini, kalian harus berkunjung dan berkenalan dengan beliau."

"Baiklah," cepat Ci-keng menanggapi "Kami akan ikut Taysu dan Sato-ciangkun ke sana." ~ Habis ini kakinya menyenggol pelahan kaki Ci-peng serta mengedipinya.

Sebenarnya Ci-peng terlebih cerdik daripada Ci-keng, cuma saja begitu melihat Siao-liong-li seketika ia menjadi linglung, Selang sejenak barulah dia ingat apa maksud tujuan Ci-keng itu, rupanya ingin meloloskan diri dari kejaran Siao liong-li dengan bernaung di bawah lindungan Kim-lun Hoat-ong.

Begitulah setelah makan, ber-turut2 semua orang lantas berangkat. Diam2 Hoat-ong merasa lega karena selama ini Nyo Ko tidak kelihatan muncul, pikirnya: "Coan-cin-kau adalah suatu sekte agama berpengaruh di Tionggoan, kalau saja dapat dirangkul tentu akan banyak bermanfaat bagi pihak Mongol. Apalagi tujuannya ke Siangyang telah mengalami kegagalan total, kalau dapat mengajak pulang kedua Tosu Coau-cin-kau ini kan juga suatu jasa besar."

Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka terus melarikan kuda dengan cepat, ketika di belakang terdengar pula derapan kaki binatang, Ci-keng menoleh dan samar2 kelihatan Siao-liong-li masih mengikuti dari jauh dengan menunggang seekor keledai.



Kim-luo Hoat-ong juga merinding setelah mengetahui Siao-liong-li membuntuti mereka, Diam2 iapun heran mengapa Siao-liong-li berani mengikutinya sendirian, padahal satu-lawan-satu jelas nona itu pasti bukan tandinganku, jangan2 dia membawa bala bantuan secara tersembunyi?

Demikianlah Kim-lun Hoat-ong menjadi sangsi, padahal kalau sekarang dia berani menyongsong kedatangan Siao-liong-li dan melabraknya, tentu nona itu akan celaka, kalau tidak terbunuh juga tertawan, Tapi Hoat-ong baru saja berkenalan dengan Ci-peng berdua dari Coan~ cin-pay, ia menjadi kuatir kalau kebetulan kecundang, hal ini tentu akan menurunkan pamornya, sebab itulah dia lebih suka cari selamat dan pura2 tidak tahu penguntitan Siao-liong-li.

Setelah menempuh perjalanan setengah malaman, sampai di suatu hutan, Sato memerintahkan pasukan berhenti mengaso, Masing2 duduk istirahat di bawah pohon, kelihatan Siao-liong-li juga turun dari keledainya dan duduk di sana dalam jarak beberapa puluh meter jauhnya.

Semakin misterius gerak-gerik si nona, semakin menimbulkan curiga Kim-lun Hoat-ong dan tidak berani sembarangan bertindak

Yang paling ketakutan tentu saja, In Ci-peng, memandang saja dia tidak berani: sesudah cukup mengaso, kemudian pasukan berangkat lagi, setelah jauh meninggalkan hutan itu, terdengar suara "keteplak-keteplak" yang samar2, ternyata Siao-liong~li tetap menguntit di belakang dengan keledainya.

Sampai pagi mendatang, Siao-liong-li tetap mengintil di belakang dalam jarak itu2 juga.

Sementara itu rombongan mereka sampai di suatu tanah datar yang luas, sepanjang mata memandang tiada menampak suatu bayangan apapun. Diam2 timbul pikiran jahat Kim-lun Hoat-ong, ia membatin: "Sejak kudatang ke Tionggoan belum pernah ketemu tandingan, tapi akhir2 ini ber-turut2 dikalahkan oleh ilmu pedang gabungan Nyo-Ko dan nona ini. sekarang dia terus membuntuti aku, tentu dia mempunyai maksud buruk, sebelum dia bertindak, kenapa tidak kubinasakan dia dahulu secara tak terduga olehnya, seumpama nanti bala bantuannya tiba tentu juga tidak keburu menoIongnya. Dan jika nona ini sudah mati, di dunia ini tiada orang lain lagi yang mampu melebihi aku."

Setelah ambil keputusan itu, baru saja dia mau menahan kudanya untuk menantikan datangnya Siao-liong-li, tiba2 dari depaa ada suara gemuruh datangnya serombongan orang disertai debu mengepul dan suara keleningan kuda atau unta.

"Wah, terlambat jika tahu bala bantuannya akan datang sekarang, tentu sejak tadi kubinasakan dia," demikian Hoat-ong membatin karena tidak sempat lagi menindak Siao-liong-li.

Pada saat lain tiba2 terdengar Sato berseru menyatakan herannya, Waktu Hoat-ong melongok jauh ke sana, terlihat rombongan yang datang itu sangat aneh, seluruhnya empat ekor unta tanpa penunggang, pada punggung unta pertama di sisi kanan terpancang sebuah bendera besar, ujung tiang bendera itu ikut berkibaran pula tujuh ikat bulu putih, itulah panji pengenal Kubilai.

"Barangkali Ongya yang datang?" guman Sato sambil keprak kudanya menyongsong ke depan, Kira2 beberapa puluh meter dari rombongan unta itu. Sato lantas turun dari kudanya dan berdiri di tepi jalan dengan hormat.

Kim-lun Hoat-ong merasa tidak leluasa lagi untuk membunuh Siao-liong-li jika betul Kubilai yang datang, ia ingin menjaga harga diri, sebab kalau sampai dilihat Kubilai bahwa dia membunuh seorang perempuan muda, tentu dia akan dipandang hina.

Sementara itu keempat unta tadi masih terus berlari cepat mendatangi tapi Hoat-ong tidak turun dari kudanya melainkan pelahan2 memapak kedepan. Terlihat di antara tempat luang keempat ekor unta itUi ada berduduk seorang secara terapung, orang itu berjenggot dan beralis putih dengan wajah selalu tersenyum, kiranya adalah Ciu Pek-thong yang baru mengacaukan Cui-sian-kok itu.

Terdengar Ciu Pek-thong berteriak dari jauh: "Bagus, bagus! Hwesio gede dan si cebol hitam, kita berjumpa kembali di sini, ada lagi nona cilik yang cantik molek itu!"

Hoat-ong sangat heran, ia tidak mengerti mengapa Cui Pek-thong bisa duduk terapung di tengah2 keempat unta itu. Tapi sesudah dekat barulah dia tahu duduknya perkara, kiranya di antara unta2 itu terbentang beberapa utas tali yang ujungnya terikat pada punuk tiap2 unta dan di tengah - tengah persilangan tali itulah Ciu Pek-thong berduduk.

Ciu Pek-thong adalah Sute cikal-bakal Coan-cin-kau, yaitu Ong Tiong-yang yang pernah menjalin cinta dengan nenek guru Siao-liong-li, bicara tentang kedudukan di Coan-cin-kau sekarang dialah paling top, tapi selangkahpun dia tidak pernah menginjak Tiong-yang-kiong dan jarang pula berhubungan dengan Ma Giok, Khu Ju-ki dan lain2, sebab itulah Ci-peng dan Ci-keng tidak mengenalnya.

Meski, mereka pernah mendengar cerita dari guru masing2 bahwa mereka mempunyai seorang Susiokco (kakek guru muda), tapi sudah lama tidak ada kabar beritanya, besar kemungkinan sudah meninggal dunia, maka sekarang merekapun tidak menduga bahwa tokoh aneh ini adalah sang Susiokco yang maha sakti itu.

BegituIah Hoat-ong mengernyitkan dahinya melihat kelakuan Ciu Pek-thong itu, ia pikir ilmu silat orang ini teramat tinggi dan sukar dilawan, ia coba menanyainya: "Apakah Ongya berada di belakang sana?"

"Kira2 40 li dibelakang sana adalah perkemahannya," jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa sambil menuding ke belakang "Eh, Toa-hwesio, kunasehati kau sebaiknya kau jangan pergi ke sana,"

"Sebab apa?" tanya Hoat-ong heran, "Sebab dia sedang marah2. jika kau ke sana, mungkin kepalamu yang gundul itu akan dipenggal olehnya," ujar Pek thong.

"Ngaco-balo!" omel Hoat-ong dengan mendongkoI. "Sebab apa Ongya marah?"

Sambil menuding panji tanda pengenal Kubilai itu, Pek-thong berkata dengan tertawa: "Lihat ini, panji kebesaran Ongyamu ini kena kucuri, mustahil dia tidak marah2 ya"

Hoat-ong meIengak, diam2 iapun percaya apa yang dikatakan itu, ia yakin Ciu Pek-thong pasti tidak berdusta, Segera ia tanya pula: "Untuk apa kau mencuri panji kebesaran Ongya?"

"Kau kenal Kwe Cing bukan?" tanya Pek-thong

"Ya, ada apa?" Hoat-ong mengangguk.

"Dia adalah saudara mudaku." tutur Pek thong dengannya sudah belasan tahun kami tidak bertemu, aku sangat kangen padanya, maka aku buru2 hendak menjenguk kesana. Kudengar dia sedang berperang dengan orang Mongol di Siang-yang, maka aku sengaja mencuri panji kebesaran pangeran Mongol ini sebagai kado untuk saudara-angkatku itu."

Hoat-ong kaget. ia pikir urusan bisa celaka, sedang Siangyang belum dapat dibobol, sekarang panji kebesaran panglimanya direbut musuh, hal ini teramat memalukan. "Hm ia harus mencari akal untuk merampas kembali panji ini."

Mendadak terdengar Ciu Pek-thong membentak, empat ekor unta itu terus bergerak dan berbondong2 berlari ke sana, setelah mengitar satu lingkaran, lalu berlari kembali, panji besar itu berkibar tertiup angin Ciu Pek-thong berdiri menegak di tengah persilangan tali, dengan tangan memegang tali kendali keempat unta, lagaknya seperti panglima besar saja, dengan ber-seri2 ia melarikan kawanan unta itu, sesudah dekat, "tarrr", cambuknya berbunyi dan serentak unta2 itu lantas berhenti, entah dengan cara bagaimana Ciu Pek-thong ternyata dapat mengendalikan unta2 itu dengan sangat penurut



"Toa-hwesio, bagus tidak barisan unta pimpinanku ini?" tanya Pek-thong dengan tertawa.

"Bagus sekali!" jawab Hoat-ong sambil mengacungkan ibu jarinya, tapi diam2 ia sedang memikirkan cara bagaimana merebut kembali panji itu.

Tiba2 Ciu Pek-thong mengangkat tangannya dan berseru: "Toahwesio, nona cilik, Lo wan-tong mau berangkat!"

Mendengar sebutan "Lo-wan-tong" itu, serentak Ci-peng dan Ci-keng berseru: "Susiokco!" - Berbareng merekapun melompat turun dari kudanya.

"Apakah ini Ciu-locianpwe dari Coan-cin-pay?" tanya Ci-peng.

Biji mata Ciu Pek-thong4 tampak ber-putar2, lalu menjawab: "Hm, ada apa? Kalian ini anak murid "hidung kerbau" yang mana?"

Dengan hormat Ci-peng menjawab: "Tio Ci-keng adalah murid Giok-yang-cu Ong-totiang dan Tecu sendiri In Ci-peng murid Tiang-jun-cu Khu-totiang."

"Huh, Tosu kecil Coan-cin-kau makin lama makin tidak keruan, tampaknya kalian juga tidak becus," dengus Pek-thong, mendadak kedua kakinya memancal ke depan, sepasang sepatunya terus me-nyamber ke muka Ci-peng berdua.

Ci-keng terkejut, cepat ia hendak menangkapnya. Tapi Ci-peng sudah yakin orang tua ini pasti Ciu Pek-thong adanya, ia pikir kalau Susiokco mau memberi hukuman, betapapun tidak boleh menghindar apalagi tenaga samberan sepatu itu tampaknya juga tidak keras, kalau kena rasanya tidak terlalu sakit, karena itulah ia tidak ambil pusing samberan sepatu dan tetap memberi hormat.

Di luar dugaan, ketika sepatu itu menyamber sampai di degan muka Ci peng berdua, se-konyong2 dapat memutar balik. Tangan Ci-keng menangkap tempat kosong, sementara itu kedua buah sepatu telah masuk kembali ke kaki Ciu Pek-thong.

Meski perbuatan Ciu Pek-thong itu lebih menyerupai permainan jahil, tapi kalau tidak memiliki tenaga dalam yang maha sakti pasti tidak dapat melakukannya. Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh sudah pernah menyaksikan Anak Tua Nakal itu mempermainkan orang di kemah Kubilai dengan pura2 menimpukkan ujung tumbak, maka mereka tidak merasa heran, sebab dasarnya sama saja seperti permainan sepatu terbang ini.

Akan tetapi Ci-keng menjadi amat kaget tak terhingga, dengan kepandaiannya sekarang, betapapun lawan menyerangnya dengan senjata rahasia juga pasti dapat ditangkapnya tanpa meleset, siapa tahu sebuah sepatu butut yang tampaknya menyamber tiba dengan pelahan itu ternyata takdapat ditangkapnya, Keruan ia tidak berani ragu lagi, segera ia ikut menyembah dan memperkenalkan namanya.

"Hahaha," Ciu Pek-thong tertawa, "Penilaian Khu Ju-ki dan Ong Ju-it sungguh rendah, mengapa menerima murid2 tak becus begini? Sudahlah, siapa minta disembah kalian?" - Habis ini mendadak ia membentak: "Serbu!" - serentak keempat ekor unta terus membedal cepat ke depan.

Namun secepat burung terbang Hoat-ong lantas melayang ke sana dan mengadang di depan kawanan unta sambil berseru: "Nanti dulu!" Kedua tangannya menahan di batok kepala dua ekor unta yang di depan, seketika pula unta2 yang sedang berlari itu dapat dihentikan dan bahkan didorong mundur beberapa langkah.

Ciu Pek-thong menjadi gusar, teriaknya: "Toa-hwesio, apakah kau mengajak berkelahi? Sudah belasan tahun Lo-wan-tong tidak menemukan tandingan kepalanku memang sedang gatal, marilah kita coba2 beberapa jurus!"

Sifat Ciu Pek-thong memang keranjingan ilmu silat, semakin tua bukannya semakin loyo, tapi kepandaiannya semakin tinggi sehingga tiada seorangpun yang berani bergebrak dengan dia. Tapi iapun tahu ilmu silat Kim-lun Hoat-ong cukup lihay dan dapat diajak berkelahi maka segera ia gosok kepalan dan ingin bergebrak

Namun Hoat-ong meng-goyang2 tangannya dan berkata: "Tidak, selamanya aku tidak sudi bergebrak dengan manusia tidak tahu malu, kalau kau memaksa, silakankau pukul saja dan pasti takkan kubalas."

Tentu saja Pek-thong menjadi gusar, damperat-nya: "Mengapa kau berani menganggap aku adalah manusia tidak tahu malu?"

"Habis, sudah jelas kau tahu aku tidak berada di tempat, kau mencuri panji kebesaran ini, apa namanya perbuatanmu ini kalau bukan tak tahu malu?", jawab Hoat-ong.

"Huh, kau merasa bukan tandinganku maka ketika aku pergi, kesempatan baik lantas kau gunakan. Hehe, Ciu Pek-thong, kau benar2 tidak punya muka."

"Baik, aku dapat menandingi kau atau tidak marilah kita berkelahi saja dan segera dapat di ketahui," tantang Pek-thong.

Hoat-ong sengaja menggeleng dan menjawab. "Sudah kukatakan aku tidak sudi bertempur dengan manusia tidak tahu malu, kau tak dapat memaksa aku. Kepalanku cukup terhormat kalau menghantam badan manusia tidak tahu malu, kepalaku bisa berbau busuk dan takkan hilang bau busuknya selama 3 tahun 3 bulan."

Ciu Pek-thong tambah murka, teriaknya: "Habis bagaimana menurut kau?"

"Kau harus menyerahkan kembali panji itu padaku dan malam nanti boleh kau coba mencuri nya lagi." ujar Hoat-ong, "Aku akan berjaga di markas sana, kau boleh merebutnya secara terang2an atau mencurinya secara gelap2an, asalkan kau dapat memegangnya lagi, segera aku menyerah dan mengakui kau memang pahlawan besar dan ksatria terhormat!"

Watak Ciu Pek-thong paling kaku, mudah dibakar, sesuatu urusan, semakin sulit semakin ingin diiakukannya. Segera ia cabut panji besar itu terus dilemparkan pada Hoat-ong sambil berseru: "Baik, terimalah, malam nanti akan kucuri kembali,"

Begitu tangan Hoat-ong menangkap panji itu, segera diketahui tenaga lemparan Ciu Pek-thong sangat kuat, cepat ia bertahan, tapi tidak urung tergetar mundur dua-tiga tindak, Karena pegangan Hoat-ong pada unta tadi dilepaskan, serentak ke-empat unta itu lantas berjingkrak terus membedal lagi ke depan.

Semua orang mengikuti bayangan Ciu Pek-thong dengan barisan unta yang aneh itu hingga jauh dan menghilang.

Sejenak Hoat-ong tertegun, kemudian ia serahkan panji kebesaran itu kepada Soto dan mengajaknya berangkai Iagi, Diam2 iapun merenungkan cara bagaimana harus menghadapi Lo-wan-tong yang tindak tanduknya aneh dan sukar diraba itu.

Tapi seketika ia takdapat menemukan akal yang bagus. Ketika tanpa sengaja ia menoleh, dilihatnya Ci-peng dan Ci-keng sedang bicara bisik2 sambil beberapa kali, berpaling dan melirik Siao-liong-li, tampaknya kedua Tosu itu sangat takut.



Tergerak hati Hoat-ong, ia pikir jangan2 penguntilan nona itu ditujukan kepada kedua Tosu ini. Segera ia coba memancing dengan kata2: "In-toheng, apakah kau memang kenal nona Liong itu?"

Air muka Ci-peng tampak berubah dan mengiakan pelahan, Hoat-ong tambah yakin akan dugaan tadi, Segera ia tanya pula: "Kalian telah berbuat salah padanya dan dia hendak mencari perkara kepada kalian, begitu bukan? Nona itu memang sangat lihay, kalian memusuhi dia, lebih banyak celaka daripada selamatnya."

Sudah tentu Hoat-ong tidak tahu menahu pertengkaran antara kedua Tosu itu, cuma dilihatnya kedua orang itu merasa gelisah dan bisik2, maka dia sengaja memancingnya dan dugaannya memang tidak meleset"

Namun Ci-keng juga lantas menanggapi: "Tapi nona itupun pernah berselisih dengan Taysu, malahan Taysu pernah kecundang di tangannya, masakah kekalahan itu tidak Taysu balas?"

"Darimana kau tahu?" dengus Hoat-ong.

"Kejadian itu tersiar di seluruh jagat, siapa yang tidak tahu?" ujar Ci-keng.

Diam2 Hoat-ong mengakui kelihayan kedua Tosu itu, maksudnya hendak menakutinya, ternyata Ci~keng berbalik hendak memperalatnya. Rasanya urusan ini lebih baik dibicarakan secara terus terang saja. Maka ia lantas berkata: "Nona Liong itu hendak membunuh kalian dan kalian merasa bukan tandingannya, maka kalian ingin perlindunganku, bukan?"

Dengan gusar Ci-peng menjawab: "Biarpun mati juga aku tidak perlu minta perlindungan orang, apalagi Taysu juga belum tentu bisa mengalahkan dia."

Melihat sikap Ci-peng yang tegas dan berani itu, Hoat-ong menjadi sangsi, jangan2 perkiraannya tidak betul. Tapi dengan tertawa ia lantas berkata: "Jika dia main berganda dengan Nyo Ko, tentu saja ilmu pedang mereka cukup lihay. Tapi sekarang dia sendirian, kaIau mau dapat kubinasakan dia dengan mudah."

"Belum tentu bisa," ujar Ci-keng sambil menggeleng. "Setiap orang Kangouw sama tahu bahwa Kim-lun Hoat-ong sudah pernah dikalahkan oleh Siao-liong-Ii!"

"Haha, sudah lama aku bertapa, tiada gunanya kau membakar aku dengan perkataanmu itu?" jawab Hoat-ong. Dari ucapan Ci-keng itu kini ia yakin benar bahwa Tosu itu memang berharap dirinya bergebrak dengan Siao-;iong-li.

Scbelnm Ciu Pek-thong muncul tadi sebenarnya ada maksud Kim-lun Hoat-ong untuk membinasakan Siao-liong-li, tapi sekarang dia telah berjanji dengan Ciu Pek-thong agar mencuri lagi panji kebesaran Kubilai, untuk itu tenaga kedua Tosu rasanya ada gunanya, jka Siao-liong-li dibunuh lebih dulu berarti hilanglah alat pemerasnya terhadap kedua Tosu ini.

Maka dengan sikap tak acuh ia lantas berkata pula: "Jika begitu, baiklah kuberangkat lebih dulu, nanti kalau kalian sudah selesaikan urusan nona itu, silakan berkunjung ke kemah Ongya sana."

Habis berkata ia terus melarikan kudanya ke depan, jelas tujuannya agar kedua Tosu itu tidak mengikuti dia.

Tentu saja Ci~keng menjadi gelisah, kalau paderi Tibet itu pergi dan Siao-liong-li memburu tiba, entah cara bagaimana dirinya akan disiksa oleh nona itu, apalagi kalau ingat betapa sakitnya sengatan tawon di Cong lam-san dahulu, tanpa terasa nyalinya menjadi pecah.

Tanpa memikirkan harga diri lagi segera ia melarikan kudanya menyusul ke depan sambil berseru: "Nanti dulu, Taysu! Jalanan di sini kurang kupahami, kalau sudi memberi petunjuk tentu takkan kulupakan budi pertolonganmu?"

Diam2 Hoat-ong tertawa geli mendengar seruan Ci-keng itu, ia pikir tentu Tosu ini bersalah pada nona Liong itu sehingga ketakutan sedemikian rupa.

Sedangkan Tosu she In itu tampaknya adem ayem saja rupanya tidak tersangkut dalam persoalan mereka, dengan tertawa ia lantas menjawab: "Baiklah, bisa jadi nanti akupun perlu bantuanmu."

"Jika Taysu memerlukan tenagaku, pasti akan kulakukan," cepat Cikeng menanggapi.

Hoat ong lantas meneruskan perjalanan dengaft berjajar dengan Ci-keng sambil menanyai keadaan Coan-cin-kau Sekaratig dan dijawab seperlunya saja oleh Ci-keng.

Dengan pikiran linglung Ci-peng mengikut dari belakang tanpa memperhatikan apa yang dibicarakan kedua orang itu.

Sementara itu Hoat-ong sedang berkata: "Konoti Ma-totiang sudah mengundurkan diri dari tugasnya dan menyerahkan jabatan ketua kepada Khu-totiang yang kabarnya juga sudah tua, kukira jabatan ketua berikut tentu akan jatuh pada gurumu, Ong-totiang."

Agaknya perkataan Hoat-ong itu rada menyentuh isi hati Ci-keng, tiba2 air mukanya rada berubah, jawabnya: "Usia guruku juga sudah lanjut sehingga beliau akhir2 ini jarang mengurusi pekerjaan umum, besar kemungkinan jabatan ketua nanti akan dilanjutkan oleh In-sute ini."

Melihat air muka Ci-keng menampilkan rasa penasaran, dengan suara lirih Hoat-ong coba membakarnya: "tampaknya ilmu silat Ih-foheng ini juga tak melebihi Tio-toheng sendiri, mengenai kecerdikan dan kecekatan kerja tentu juga selisih jauh dengan dirimu, kan jabatan ketua yang penting itu seharusnya diserahkan kepadamu."

Hal ini sebenarnya sudah terpendam selama beberapa tahun dalam hati Ci-keng, sekarang Hoat-ong yang membeberkan isi hatinya, tentu saja rasa dendam dongkolnya semakin kentara, padahal secara Iisan In Ci-peng sudah ditetapkan sebagai pejabat ketua yang akan datang, semula Ci-keng hanya penasaran dan iri saja, tapi sejak dia mengenai kesalahan Ci-peng, segera ia berdaya upaya hendak merebut kedudukannya.

Ci-keng yakin kalau dia membeberkan rahasia In Ci-peng yang diam2 jatuh cinta dan bahkan telah menodai Siao-liong-li, akibatnya Ci-peng pasti akan dihukum mati. Tapi iapun menyadari dirinya kurang disukai para paman gurunya, antar sesama saudara seperguruan juga banyak yang tidak cocok padanya, ia pikir akhirnya jabatan ketua itu toh juga takkan jatuh padanya, sebab itulah sampai sekarang ia belum membongkar dosa Ci-peng itu.

Dari gerak dan sikap kedua Tosu ini Hoat-ong dapat menerka jalan pikiran Ci-keng, ia pikir: "Kalau kubantu dia merebut jabatan ketuanya, tentu kelak dapat kuperalat dengan baik, pengaruh Coan- Cin~kau cukup besar dan tentu akan bermanfaat bagi penyerbuan Ongya ke selatan, bagiku berarti pula suatu jasa besar dan mungkin lebih besar daripada jasa membunuh Kwe Cing."

Begitulah diam2 Hoat-ong merancangkan tindakan selanjutnya, menjelang lohor, sampailah rombongan mereka di markas besar Kubilai, sebelum masuk ke kemah, Hoat ong coba berpaling, dilihatnya Siao-liong-li dengan keledainya berdiri jauh di sana dan tidak mendekat lagi, ia pikir dengan beradanya nona itu, mustahil kedua Tosu ini takkan masuk perangkapku.

Setelah berhadapan dengan Kubilai, ternyata pangeran Mongol itu sedang uring2an berhubung panji kebesarannya dicuri orang, padahal panji itu adalah simbol kebesaran dan kepemimpinan, maju mundurnya pasukan selalu mengikuti arah kibaran panji itu, tapi sekarang dicuri orang tanpa berdaya, hal ini sama saja mengalami kalah perang besar2an.



Kubilai sangat girang melihat Kim-lun Hoat ong sudah kembali, cepat ia berdiri menyambut Kubilai memang seorang pemimpin berbakat dan bijaksana melebihi sang kakek, yaitu Jengis Khan, untuk sementara dikesampingkan urusan kehilangan panji itu, tapi lantas menerima Ci-peng berdua yang diperkenalkan oleh Hoat-ong itu sebagai tanda simpatiknya terhadap kaum ksatria, Segera pula ia menyuruh menyediakan perjamuan.

In Ci-peng tetap lesu Iinglung, segenap pikiran-nya hanya melayang kepada diri Siao-liong-li, sebaliknya Ci-keng adalah manusia yang kemaruk kedudukan, melihat raja Mongol sedemikian menghormatinya, ia menjadi kegirangan.

Sama sekali Kubilai tidak menyinggung tentang kegagalan usaha Hoat-ong membunuh Kwe Cing, "ia hanya terus memuji kesetiaan Nimo Singh pada tugasnya sehingga kedua kakinya menjadi korban, Maka dalam perjamuan ini Nimo Singh diberi tempat utama dan ber-ulang2 mengajak minum padanya.

Dengan demikian bukan saja Nimo Singh menjadi lebih bulat kesetiaannya, orang lain juga merasakan budi kebaikan pangeran Mongol itu sungguh sangat luhur.

Selesai perjamuan Hoat-ong mengiringi Ci-peng dan Ci-keng mengaso ke perkemahan di samping sana. Ci-peng sudah lelah lahir batin, maka begitu membaringkan diri ia terus pulas tertidur

"Tio-toheng, daripada iseng, marilah kita jalan keluar," ajak Hoat-ong.

Mereka lantas berjalan keluar kemah, Dari jauh kelihatan Siao-liong-li berduduk di bawah pohon dan keledainya juga tertambat di sana, Tanpa terasa air tbuka Ci-keng berubah lagi, Tapi Hoat-ong pura2 tidak tahu, malahan ia sengaja mengajak omong yang dan menanyai berbagai keadaan Coan-cin-kau.

Lantaran sudah anggap Hoat-ong sebagai teman karibnya, Ci-keng lantas menjawab dengan terus terang.

Sambil bicara sambil berjalan terus ke depan, lambat-laun mereka sampai di tempat yang sepi, tiba2 Hoat-ong menghela napas dan berkata: "Tio-toheng, sungguh tidak mudah Coan-cin-kau kalian dapat berkembang sebaik ini, tapi terus terang ingin kukatakan bahwa para paman gurumu itu mengapa begitu gegabah untuk menyerahkan jabatan ketua yang penting itu kepada In-toheng?"

Sebenarnya sudah lama Ci-keng menginginkan kedudukan itu, akan tetapi ia sendiri menyadari harapannya terlalu tipis, maka iapun menghela napas demi mendengar Hoat-ong menyebut hal itu, lalu iapun memandang sekejap ke arah Siao-Iiong-li.

"Urusan nona Liong itu adalah soal kecil, asalkan aku mau turun tangan, dengan mudah saja dapat kubereskan dia dan kau tak perlu lagi kuatir." kata Hoat-ong, "Justeru yang penting adalah jabatan ketua agama kalian itu tidak boleh jatuh di tangan orang yang kurang tepat."

"Kalau Taysu dapat memberi petunjuk jalan yang baik, selama hidupku rela menuruti perintahmu" jawab Ci keng.

Tentu saja janji inilah yang di-harap2kan Kim lun Hoat-ong, segera ia menegas: "Kata2 seorang lelaki sejati harus ditepati dan tidak boleh menyesal di belakang hari."

"Sudah tentu," jawab Ci~keng.

"Baik, dalam waktu tiga bulan akan ku usahakan kau diangkat menjadi ketua Coan-cin-kau" kata Hoat-ong.

Girang sekali Ci-keng, tapi mengingat urusan ini sesungguhnya amat suIit, mau-tak-mau ia menjadi ragu2.

"Apakah kau percaya?" tanya Hoat-ong.

"Percaya, pasti percaya," jawab Ci-keng. "Kepandaian Taysu maha sakti, tentu engkau mempunyai daya upaya yang bagus."

"Sebenarnya aku tiada sangkut paut apapun dengan agama kalian, siapapun yang menjadi ketuanya juga sama saja bagiku, tapi entah mengapa, baru berkenalan rasanya aku sudah cocok dengan kau dan ingin membantu kau," kata Hoat-ong dengan tertawa,

"Maka langkah pertama kita harus diusahakan ada seorang kuat di dalam agamamu yang akan menjadi pendukungmu. Saat ini siapakah yang paling tinggi menurut angkataanya di agamamu!"

"lalah Ciu susiokco yang kita jumpai di tengah jalan tadi," jawab Ci-keng.

"Benar, kalau dia membantu kau dengan sepenuh tenaga, maka tiada seorangpun yang dapat menandingi kau lagi," ujar Hoat-ong.

"Betul, apa yang dikatakan Susiokco sudah tentu mempunyai bobot dan harus diturut oleh Ma-supek, Khu~supek dan lain!" kata Ci-keng dengan girang, "Tapi dengan cara bagaimana Taysu akan membuat Ciu~susiokco memihak diriku?"

"Tadi dia telah berjanji padaku akan datang ke sini untuk mencuri panji kebesaran Ongya," tutur Hoat-ong, "Nah menurut pendapatmu, dia datang atau tidak?"

"Tentu saja datang," jawab Ci-keng.

"Tapi panji ini justeru tidak kita kerek pada tiangnya melainkan kita sembunyikan di suatu tempat yang dirahasiakan Di tengah perkemahan yang beratus buah ini, biarpun Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian setinggi langit juga takkan menemukan panji itu hanya dalam semalam saja."

"Ya, memang," ujar Ci-keng, Tapi dalam hati ia anggap cara bertaruh begitu kurang jujur, andaikan menang juga kurang terhormat.

"Tentunya kau anggap pertaruhan cara demikian kalau menang juga kurang terhormat begitu bukan?" tanya Hoat-ong tiba2. "Tapi semua ini adalah demi kepentinganmu."

Ci-keng jadi melenggong memandang Hoat-ong, lebih tidak paham seluk beluknya.

Hoat-ong menepuk pelahan pundak Ci-keng, dan berkata pula: "Begini, akan kukatakan padamu tempat penyimpanan panji itu, kemudian secara diam2 kau memberitahukannya kepada Ciu Pek-thong agar dia menemukan panji itu, jadi kau akan berjasa besar baginya."

"Benar, benar, dengan demikian Ciu-susiokco pasti akan senang," seru Ci - keng dengan girang. tapi segera berpikir olehnya, katanya lagi: "Namun pertaruhan Taysu itu kan menjadi kalah?"

"Yang penting adalah persahabatan kita, soal kalah menang urusan pribadi bukan apa2 bagiku" kata Hoat-ong.

Tentu saja Ci-keng sangat berterima kasih, katanya: "Budi kebaikan Taysu entah cara bagaimana harus kubalas."

Hoat-ong tersenyum, katanya: "Asalkan kau sudah mendapatkan bantuan Ciu Pek-thong, lalu kubantu lagi dengan perencanaan yang lebih sempurna, dengan begitu jabatan ketua pasti akan jatuh ditanganmu." - Habis ini dia menuding bukit di sebelah sana dan berkata: "Marilah kita lihat2 ke bukit sana."

Kira2 beberapa li dari perkemahan Kubilai itu memang ada beberapa buah bukit, dengan cara jalan cepat mereka, hanya sekejap saja sudah sampai di tempat tujuan.

"Marilah kita mencari suatu gua sebagai tempat menyimpan panji," kata Hoat-ong.

Bukit pertama tandus dan tiada sesuatu gua, ber-turut2 mereka melintasi dua-tiga bukit, sampai bukit ketiga yang banyak pepohonan itu, malahan banyak pula guanya.

"Bagus sekali bukit ini," ujar Hoat-ong. Dilihatnya diantara celah2 dua batang pohon besar ada sebuah gua, mulut gua ter-aling2 oleh pohon sehingga tidak mudah terlihat. Segera ia berkata pula: "Nah ingatlah tempat ini, sebentar kusembunyikan panji itu, di dalam gua ini, malam nanti kalau Ciu Pek thong datang boleh kau membawanya ke sini."



Dengan gembira Ci-keng mengiakan saja, ia mengamat-amati pula kedua pohon besar dan ingat baik2 tempat itu, ia pikir pasti takkan salah.

Setiba kembali di perkemahan, setelah makan malam, Ci-keng berusaha mengajak bicara dengan Ci-peng, tapi Ci-peng masih lesu saja dan sungkan bicara.

Sementara itu malam sudah tiba, mendekat tengah malam, Ci-keng terus ngeluyur keluar dan duduk di samping sebuah gundukan pasir, Dilihatnya penjaga berkuda meronda kian kemari dengan ketat, dalam hati ia sangat kagum atas kepandaian Ciu Pek-thong yang maha sakti itu, di tengah penjagaan sekeras itu orang tua itu ternyata mampu pergi datang sesukanya dan berhasil mencuri panji kebesaran Kubilai.

Suasana sunyi senyap, langit membiru kelam hanya kelap-kelip bintang yang jarang2. Tiba2 terpikir oleh Ci-keng: "Kalau apa yang dikatakan Hoat-ong terlaksana, tiga bulan kemudian aku akan menjadi ketua Coan-cin-kau, tatkala mana namaku akan termashur di segenap penjuru, beribu Tokoan (kuil agama To) dengan penganut yang tak terhitung jumlahnya akan tunduk semua pada perintahku Hm, tatkala itu kalau mau mencabut nyawa bocah she Nyo itu boleh dikatakan mudah seperti merogoh barang di saku sendiri."

Begitulah makin dipikir makin senang hatinya sehingga dia berdiri dan memandang jauh ke sana, samar2 tertampak Siao-liong-li masih duduk di bawah pohon itu, segera terpikir pula olehnya: "Nona Liong itu memang cantik luar biasa dan setiap orang pasti suka padanya, pantas Ci-peng edan kasmaran padanya, Tapi seorang ksatria sejati yang mengutamakan tugas besar mana boleh hilang akal dan tergoda oleh kecantikan wanita?"

Pada saat itulah tiba2 terlihat sesosok bayangan orang berlari datang dengan cepat dan menyusuri kian kemari di antara perkemahan itu, hanya sekejap saja bayangan itu sudah sampai di bawah tiang bendera, orang itu berjubah longgar, jenggotnya yang putih bergoatsi tertiup angin, siapa lagi kalau bukan Ciu Pek-thong.

Melihat tiang itu kosong tiada benderanya, Pek-thong terkesiap, tadinya ia menyangka Kim-hin Hoat-ong pasti menyembunyikan jago2 di sekitar situ untuk mencegatnya dan inilah yang dia harap, sebab dengan demikian dia dapat berkelahi sepuasnya, siapa tahu tiang bendera itu ternyata kosong, ia coba memandang sekeliling, tertampak be-ribu2 kemah ber-deret2 dan kemana harus mencari panji kebesaran Kubilai.

Segera Ci-keng menyongsong ke depan, bara saja ia hendak menyapa, tapi lantas terpikir jika begitu saja dia memberitahu tempat bendera itu, pasti akan menimbulkan rasa sangsi orang malah, sebaiknya dibiarkan orang tua itu mencari dengan kelabakan, nanti kalau sudah tak dapat menemukannya barulah kumuncul dan memberitahukan tempat penyimpanan bendera, dengan begitu dia batu merasakan betapa berharganya bantuanku dan pasti ikan sangat berterima kasih padaku.

Segera ia sembunyi di balik sebuah kemah untuk mengawasi gerak-gerik Ciu Pek-thong, dilihatnya sekali lompat saja orang tua itu telah memanjat ke atas tiang bendera, hanya beberapa kali kedua tangannya bekerja, segesit kera pucuk tiang bendera itu telah dicapainya, Diam2 Ci-keng melongo kaget, padahal usia Ciu Pek-thong itu sedikitnya sudah lebih 90 jika belum genap seabad, tapi gerak-gerik-nya ternyata masih gesit dan tangkas seperti orang muda, sungguh luar biasa.

Setiba di atas pucuk tiang bendera, Ciu Pek-thong memandang sekelilingnya, yang terlihat cuma ribuan panji kecil yang berkibaran, hanya panji helai milik Kubilai itulah yang tidak nampak, ia menjadi gusar dan berteriak: "Hai, Kim-lun Hoat-ong, ke mana kau menyembunyikan Ongki (panji raja) itu?"

Bcgitu keras dan nyaring suaranya sehingga berkumandang jauh dan didengar oleh segenap perajurit Mongol, bahkan suara kumandang juga sayup2 terdengar membalik dari kejauhan sana.

Sebelumnya Hoat-ong sudah lapor pada Kubilai tentang urusan ini, maka perkemahan pasukan Mongol itu tetap sunyi senyap saja meski mendengai suara teriakan Ciu Pek-thong itu.

Terdengar Ciu Pek-thong menggembor lagi. "Wahai, Kim-lun Hoat-ong, kalau kau tidak menjawab, segera akan kumaki kau!"

Selang sebentar pula dan tetap tiada orang menggubris, terus saja Ciu Pek-thong mencaci-maki "Kim-lun busuk, Hoat-ong anjing, kau ini ksatria macam apa? Kau lebih tepat disebut kura2 yang mengerutkan kepala?"

Se-konyong2 di sebelah timur sana ada orang berseru: "Lo-wan-tong, Ongki yang kau cari beradij di sini, kalau mampu bolehlah kau mencurinya,"!

Secepat terbang Ciu Pek-thong terus melayang turun dan berlari ke sana sambil membentak: "Kemana?,"

Tapi sesudah berseru tadi, lalu orang itu tidak bersuara lagi, sambil memandangi kemah yang tak terhitung banyaknya itu, Ciu Pek-thong merasa bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus bertindak.

Pada saat itulah mendadak di sebelah barat sana ada suara melengking teriakan orang macam menguiknya babi disembelih: "Ongki berada di sini!"

Seperti kesetanan Ciu Pek-tbong terus memburu ke sana, Suara orang itu masih terdengar tanpa berhenti, tapi makin lama makin lirih dan akhirnya lenyap tak terdengar lagi.

Dengan ter-bahak2 Ciu Pek - thong berteriak pula: "Hahaha, Hoat-ong busuk, memangnya kau sengaja main kucing2an dengan aku ya? Haha, sebentar kalau kubakar perkemahan kalian ini barulah kau nyaho!"

Diam2 Ci-keng berkuatir, kalau betul orang tua ini main bakar, urusan memang bisa berubah runyam Cepat ia melompat keluar dari tempat sembunyinya dan mendesis: "Ssst! Ciu-susiokco, tidak boleh main bakar.

"Eh, kau, Tosu kecil!" tegur Pek-thong. "Kenapa kau bilang tidak boleh main bakar."

"Mereka justeru sengaja memancing kau menyalakan api," demikian Cikeng sengaja membual "Di tengah perkemahan ini penuh tersimpan bahan peledak, sekali engkau menyalakan api. seketika semuanya-akan meledak dan badanmu akan hancur lebur."

Ciu Pek-thong menjadi kaget dan memaki. "Keji juga muslihat busuk mereka ini."

Ci-keng bergirang karena orang tua itu percaya kepada ocehannya, Segera ia berkata pula: "Cucu murid mengetahui muslihat mereka dan kuatir Susiokco terjebak, maka sejak tadi hati cucu murid sangat cemas dan gelisah, sebab itulah kutunggu di sini"

Wo, baik hati juga kau," ujar Ciu Pek-thong--"Untung kau memberitahu padaku, kalau tidak kan Lo-wan-tong sudah mampus."

"Malahan cucu murid dengan menyerempet bahaya mendapat keterangan tempat penyimpanan Ongki itu, marilah Susiokco ikut padaku," bisik Ci-keng.

Akan tetapi Ciu Pek-thong lantas menggeleng dan berkata: "Jangan, jangan kau katakan padaku, kalau aku tak dapat menemukannya, anggaplah aku kalah."

Rupanya pertaruhan mencuri panji ini bagi Ciu Pek-thong adalah suatu permainan yang sangat menarik," kalau saja Ci-keng memberi petunjuk, andaikan berhasil juga terasa kurang nikmat baginya, apalagi setiap perbuatannya selamanya dilakukan secara terang2an dan tidak suka main sembunyi2an.



Karena bujukannya tidak berhasil, Ci-keng menjadi kelabakan, mendadak teringat bahwa kelakuan sang Susiokco ini lain daripada yang lain, untuk bisa berhasil harus dengan cara memancingnya. Segera ia berkata pula: "Susiokco, jika begitu akan kucari sendiri Ongki itu, lihat saja nanti kau lebih dulu berhasil atau aku." Habis berkata ia ierus mendahului berlari kearah bukit2.

Tidak jauh berlari, Ci-keng coba melirik kebe-lakang dan dilihatnya Ciu Pek-thong juga mengintilnya, langsung saja ia berlari ke bukit ketiga yang ada pepohonan itu, di situ ia menggumam sendiri: "mereka mengatakan Ongki itu disembunyikan dalam gua yang teraling oleh dua pohon besar, mana ada dua pohon besar yang dikatakan itu?"

Ia sengaja pura2 celingukan kian kemari, tapi tidak mendekati gua yang dikatakan Kim-lun Hoat-ong.

Tiba2 terdengar Ciu Pek-thong berseru gembira. "Aha, kutemukan lebih dulu di sini!" Berbareng ia terus menerobos ke sela2 kedua pohon.

Diam2 Ci-keng tersenyum karena maksud tujuannya sudah tercapai, ia pikir setelah sang Susiokco berhasil menemukan Ongki, pasti dia akan berterima kasih padaku, apalagi dia pasti merasa utang budi padaku karena aku telah menghindarkan dia dari kematian apabila dia jadi menyalakan api.

Dengan hati senang ia lantas mendekati gua itu tapi mendadak terdengar jeritan Ciu Pek-thong, suaranya ngeri menyeramkan, menyusul terdengal teriakannya: "Ular! Ular berbisa!"

Keruan Ci-keng kaget, sebelah kaki yang sudah melangkah ke dalam gua itu cepat di tariknya kembali, lalu berseru: "Susiokco, masakah di situ ada ular berbisa?"

"Buk... bukan ular.... bukan ular..."

Terdengar teriakan Ciu Pek-thong, suaranya sudah jauh lebih lemah.

Kejadian ini sama sekali di luar dugaan Tio Ci Keng, cepat ia menjemput sepotang kayu kering dan dinyalakan sebagai obor, lalu digunakan menerangi kedalam gua, Dilihatnya Ciu Pek-thong tergeletak di tanah, tangan kiri memegangi sehelai-bun panji dan ber-ulang2 dikebutkan seperti sedang menghalau sesuatu makhluk aneh.

"Susiokco, ada apakah ?" tanya Ci-keng kuatir.

"Aku digigit... digigit makhluk ber... makhluk berbisa...." kata Pek thong dengan suara lemah dan ter-putus2 sampai di sini tangannya juga lantas melambai ke bawah dan tidak kuat mengebutkan kain bendera lagi...

Ci-keng heran, makhluk berbisa apakah yang sedemikian lihaynya sehingga dapat membuat Ciu Pek-thong yang maha sakti itu tak dapat berkutik dalam waktu sesingkat itu? Segera dilihatnya kain panji yang dipegang Ciu Pek-thong itu ternyata sebuah panji tentara biasa dan bukan panji kebesaran Kubilai yang di cari itu.

Diam2 ia tambah ngeri. Kiranya paderi Tibet itu sengaja menipu aku memancing Susiokco ke sini, tapi di dalam gua ini telah disebarkan makhluk berbisa."

Dalam keadaan demikian, bagi Ci-keng yang penting adalah menyelamatkan jiwanya sendiri, mana sempat dia sempat memikirkan mati-hidupnya Ciu Pek-thong, iapun tidak berani memeriksa keadaan sang Susiokco dan makhluk berbisa apa yang menggigitnya itu, tanpa bicara lagi ia membuang obofnvl dan melarikan diri.

Tapi sebelum obor itu jatuh ke tanah, mendadak berhenti di tengah jalan, rupanya kena ditangkap oleh tangan seseorang, terdengar orang itu berkata: "Kenapa, masakah orang tua ditinggalkan begitu saja?" suaranya halus nyaring, tertampak baju putih berkelebat jelas itulah Siao-liong-li, di bawah cahaya obor wajahnya yang moIek itu tampak tidak mengunjuk perasaan girang atau gusar.

Sungguh kejut Ci-keng tak terkatakan. Sama sekali tak terduga bahwa Siao~liong~li berada begitu dekat di belakangnya, ingin sekali ia melarikan diri, tapi kakinya terasa berat dan sukar melangkah.

Padahal dari jauh Siao-liong-li mengawasi dia, setiap gerak gerik Tio Ci-keng tak pernah terlepas dari pengamatannya, Ketika Ci-keng memancing Ciu Pek-thong ke bukit ini, diam2 Siao-liong-li juga menguntit di belakangnya. Sudah tentu Ciu Pek-thong mengetahuinya, tapi ia tidak ambil pusingi hanya Ci-keng saja yang tidak tahu.

Dengan obor yang dipegangnya itu Siao~liong-li lantas menerangi tubuh Ciu Pek-thong, terlihat muka orang tua itu samar2 bersemu hijau, segera ia Iepaskan sarung tangan benang emas, lalu memegang tangan Ciu Pek-thong dan diperiksa. Seketika Siao-liong-li terperanjat ternyata ada tiga ekor labah2 sebesar ibu jari sedang menggigit tiga jari tangan kiri Ciu Pek-thong.

Bentuk ketiga ekor labah2 itu sangat aneh, seluruh badan berloreng merah dan hijau menyolok, sekali pandang saja orang akan merasa ngeri.

Siao-liong-li tahu makhluk berbisa apapun semakin bagus warnanya semakin jahat racunnya, apa lagi labah2 ini belum pernah dilihatnya, biarpun memakai sarung tangan juga tak berani ditangkapnya, cepat ia ambil sepotong ranting kayu dan bermaksud pencukit ketiga ekor labah2 itu.

Tak terduga labah2 itu ternyata menggigit kencang sekali di jari Ciu Pek-thong, beberapa kali Siao liong-li mencukitnya tetap tak terlepas: Tanpa pikir lantas menyambitkan tiga buah Giok~hong-ciam (jarum tawon putih), kontan ketiga ekor labah2 tertembus perutnya dan mati seketika.

Cara Siao-liong-Ii menyambitkan jarumnya itu sangat bagus sekali, tenaga yang digunakan begitu tepat, labah2 itu mati tertusuk jarum, tapi tidak sampai melukai Ciu Pek-thong.

Kiranya labah2 itu disebut "Cay swat-tu" (labah2 salju panca warna) dan hidup di pegunungan bersalju daerah Tibet, tergolong satu di antara tiga jenis makhluk berbisa paling jahat di dunia ini. Kim-lun Hoat-ong membawa labah2 berbisa ini ke Tionggoan maksudnya hendak mengadu kepandaian menggunakan racun dengan ahli racun di Tionggoan.

Tempo hari waktu dia berusaha membunuh Kwe Cing, karena tiada rencana menggunakan racun, maka dia tidak membawa labah2 berbisa ini. Tak terduga ia sendiri malah kena jarum berbisa Li Bok chiu.

Saking gemasnya setiba kembali di markas Kubilai ia lantas keluarkan kotak penyimpan labah2 itu dan disiapkan untuk menghadapi Li Bok-chiu apabila kepergok lagi setiap saat.

Kini dia bertaruh mencuri bendera dengan Ciu Pek thong dan juga bertemu dengan orang yang kemaruk menjadi ketua agama seperti Tio Ci-keng ini, maka diam2 ia telah mengatur tipu muslihat kejii lebih dulu dia menaruh sebuah bendera di daiarrt gua itu, di dalam bendera terbungkus tiga ekor labah2 berbisa.

Labah2 panca warna itu sangat ganas, sekali menggigit dan merasakan darah, maka takkan dilepaskan sebelum kenyang mengisap darah korban-nya. Kadar racunnya juga sangat jahat dan tak dapat disembuhkan dengan obat, sekalipun Hoat-ong sendiri juga tidak mempunyai obat penawarnya.

Sebabnya dia tak berani selalu membawa labah2 itu adalah untuk menjaga segala kemungkinan kelengahan diri sendiri, sebab akibatnya sukar di bayangkan.

Tak tersangka sambitan tiga buah jarum Siao-liong-li itu dengan tepat telah mengenai sasarannya dan sekaligus juga telah menyelamatkan nyawa Ciu Pek thong. Soalnya begini: Giok-hong-ciam itu mengandung racun tawon putih, meski kadar racunnya tidak sejahat labah2 panca warna itu, tapi begitu tertusuk oleh jarum itu, sebelum ajalnya labah itu telah mengeluarkan serum penangkis racun.

Perlu diketahui bahwa berkat memiliki serum penangkis racun itu dalam tubuhnya, maka labah2 tidak sampai mati sendiri oleh racun yang terkandung dalam badannya itu.

Ketika serum anti racun itu menyemprot keluar dari mulut labah2 dan masuk dalam darah Ciu Pek-thong, hanya sebentar saja labah2 itu jatuh dan mati. Bayangkan saja, kalau racun labah2 itu juga cuma dapat ditawarkan olehnya sendiri dan lain cara pengobatan lain, tatkala itu belum ada cara pembuatan serum anti racun seperti jaman sekarang, dengan sendirinya juga tidak dapat mengambil serum anti racun itu dari tubuh labah2.

Untunglah Siao Iiong- li buru2 ingin menolong Ciu Pek-thong, fmla seram melihat bentuk labah2 yang mengerikan itu, maka dia telah menggunakan senjata rahasianya yang halus itu, tapi justeru kebetulan telah menyelamatkan nyawa orang tua itu.

Setelah ketiga ekor labah2 itu jatuh ke tanah dan mati, melihat warnanya yang loreng2 itu, Siao-liong-li tetap merasa ngeri.

Ciu Pek-thong yang tadinya menggeletak kaku itu sekarang mendadak dapat menggerakkan tangan kirinya dan bertanya dengan suara pelahan: "Barang apakah yang menggigit aku, sungguh lihay amat."

Tampaknya dia hendak bangun, tapi baru sedikit mengangkat badannya kembali ia jatuh terbaring lagi.

Siao-liong-li sangat girang melihat Ciu Pek-thong tidak mati, ia coba memeriksa sekitar gua dengan obor, ia merasa lega setelah tidak lagi menemukan labah2 berbisa seperti tadi, ia coba tanya: "Ciu-loyacu, engkau tidak mati kan?"

"Rasanya belum mati sama sekali, baru mati separoh dan hidup setengah, haha haha..."

Ciu Pek-thong ingin tertawa keras, tapi segera terasa kaki dan tangannya kaku kejang sehingga suara tertawanya kedengaran aneh.

Pada saat itulah tiba2 seorang bergelak tertawa di luar gua, suaranya keras menggetar telinga, lalu terdengar ucapannya: "He, Lo-wan-tong! Ongki itu sudah dapat kau curi belum? pertaruhan kita ini dimenangkan kau atau aku?" - jelas itulah suaranya Kim-lun Hoat-ong.

Cepat Siao-liong-li memadamkan api obor dengan tangannya yang memakai sarung benang mas yang tidak takut senjata tajam maupun api. sedangkan Ciu Pek-thong lantas berkata dengan suara lemah: "Permainan ini sudah jelas Lo-wan-thong yang kalah, bisa jadi jiwaku juga akan kuserahkan padamu. He, Hoat-ong busuk barang apakah labah2 yang kau sebarkan ini, sungguh jahat amat."

Meski suaranya kedengaran lemah, tapi suara tertawa Hoat-ong yang keras ternyata tak dapat melenyapkan suara perkataannya itu. Keruan Hoat-ong terkejut, sudah jelas dia tergigit oleh labah2, tapi ternyata belum mati.

Dalam pada itu Ciu Pek-thong berkata pula. "Kau Tio Ci-keng si Tosu brengsek, kau makan dalam bela luar, terlalu, Boleh katakan kepada Khu supekmu, suruh dia bunuh saja kau!"

Tentu saja Ci-keng sangat ketakutan dan bersembunyi di belakang Kim-lun Hoat-ong.

"Eh, Tosu she Tio ini sangat baik, malahan Ongya kami akan memohon pada Sri Baginda agar mengangkat dia menjadi ketua Coan-cin-kau," kata Hoat-ong dengan-tertawa.

Ciu Pek-thong menjadi gusar, segera ia hendak mcndamperat pula, tapi racun labah2 itu sungguh luar biasa jahatnya, meski sebagian kadar racunnya sudah hilang, namun sedikit sisa saja sudah cukup membinasakan orang, untung tenaga dalam Ciu Pek-thong sangat kuat, tapi sedikit kendur saja tenaganya segera ia jatuh pingsan Iagi.

"Kim-lun Hoat-ong." tiba2 Siao-liong-li ikut bicara, "Kau adalah mahaguru satu aliran tersendiri namun kau menggunakan makhluk berbisa begini apakah kau tidak malu? Lekas keluarkan obat penawar untuk menyembuhkannya."

Melihat Ciu Pek-thong jatuh pingsan, Hoat-ong mengira racun dalam tubuh orang tua itu telah bekerja dan orangnya mati, diam2 ia sangat girang dan merasa tidak perlu lagi gentar terhadap Siao-liong~li. Apalagi bila teringat ucapan Tio Ci-keng siang tadi yang mengatakan semua orang mengetahui dia pernah dikalahkan Siao-liong-li, maka sekarang dia bertekad akan menawan si nona untuk memperlihakan kemampuannya.

Mendadak tangan kiri Hoat-ong disodorkan sedangkan tangan kanan terus mencengkeram Siao liong li sambil berseru: "Ini obat penawarnya, terimalah kau."

Siao-liong-li terkejut, cepat iapun bergerak, terdengar suara "tring" nyaring, selendang berkeleningan segera mengetok Hiat-to pergelangan tangan musuh.

"Hm, kalau aku sampai bergebrak ber-jurus2 dengan kau kan akan ditertawakan oleh Tosu she Tio itu," demikian Hoat-ong membatin sambil menghindari serangan Siao-liong-li, menyusul iapun mengeluarkan sepasang rodanya, sekali digesekkan, terdengarlah suara nyaring mengilukan.

Cepat Siao-liong-li menarik balik tali sutera-nya setelah serangannya luput, segera ia menghantam pula Tay-cui-hiat di punggung lawan, serangan kedua ini sangat cepat dan ganas pula, tampaknya sukar untuk dielakkan.

Akan tetapi Hoat-ong terus meloncat ke atas sambil memuji: "Kepandaianmu ini sungguh jarang ada bandingannya di kalangan wanita."

BegituIah kedua orang bertempur di lorong gua yang sempit itu, dalam sekejap saja belasan jurus sudah lalu, kalau Hoat-ong menyerang sekuatnya sebenarnya sukar bagi Siao-liong-li untuk menahan nya, tapi beberapa hari yang lalu Hoat-ong baru saja terluka oleh jarum berbisa, bahkan jiwanya hampir melayang, sekarang dilihatnya gaya ilmu silat Siao-liong-li serupa dengan Li Bok-chiu, malahan jurus serangannya terlebih bagus dan lihay daripada Li Bok-chiu, sudah tentu ia menjadi waswas dan tidak ingin kejeblos untuk kedua kalinya.



Sebab itulah hatinya sangat gelisah karena tak dapat mengalahkan lawan dengan cepat, tapi iapun tidak berani menyerang secara sembrono. Dalam kegelapan terdengarlah suara mendering benturan roda emas dan perak terseling oleh suara "tring-ting" genta kecil pada ujung senjata Siao-liong-li, bagi orang yang tidak tahu mungkin malah menyangka kedua orang sedang menabuh alat musik.

Ci-keng berdiri menonton dari tempat rada jauh, setiap kali mendengar suara nyaring benturan senjata, setiap kali pula jantungnya berdebar.

Teringat kematian sang Susiokco itu biarpun bukan direncanakan oleh dirinya, tapi apapun juga tak terlepas dari ikut tersangkut dosa membunuh orang tua demikian ini tiada ampun dalam dunia persilatan, kalau saja Hoat-ong dapat membunuh Siao liong-li tentu saja urusan menjadi beres seluruhnya, tapi kalau Siao-Iiong-li yang menang, akibatnya tentu bisa runyam.

Karena Hoat-ong tidak dapat menyerbu ke dalam gua, dengan sendirinya sukar pula baginya untuk mengalahkan Siao-liong-li, sebentar saja mereka sudah bergebrak beberapa puluh jurus dan tetap belum bisa dibedakan unggul dan asor.

Siao-liong-li menjadi gelisah dan kuatir, dilihatnya Ciu Pek-thong menggeletak tak bergerak sedikitpun, besar kemungkinan jiwanya akan melayang, pikirnya hendak menolongnya, tapi serangan Hoat-ong teramat gencar dan sukar menarik diri.

Pertarungan di tempat gelap itu sudah tentu lebih menguntungkan Siao-Iiong-li karena dia sudah lama hidup di kuburan kuno yang gelap itu.

Ketika dilihatnya Hoat-ong menyerang dari sisi kanan dan sebelah kirinya tak terjaga, cepat ia memutar tali sutera bergenta emas itu untuk mengetok iga kirinya, berbareng belasan jarum Giok-hong-ciam lantas dihamburkan.

Karena jaraknya teramat dekat, pula samberan jarum itu tak mengeluarkan suara, ketika Hoat-ong merasakan gelagat jelek, sementara itu jarak jarum sudah tinggal beberapa senti saja di depan tubuhnya.

Syukur ilmu silatnya memang maha tinggi, dalam detik berbahaya itu roda peraknya terus berputar dan tepat menggulung tali sutera bergenta Iawan, berbareng itu kedua kakinya terus memancar sekuat nya dia mengapung ke atas sehingga belasan jarum berbisa itu menyamber lewat dr bawah kakinya.

Dalam keadaan kepepet, saking kerasnya dia menggunakan tenaga, ketika tubuhnya mengapung ke atas, kedua tangannya juga ikut terangkat, maka sepasang roda berikut tali sutera bergenta milik Siao-liong-li itu juga ikut terbetot lepas dari cekalannya dan mencelat ke udara dengan menerbitkan suara nyaring gemerincing..

Sebelum tubuh lawan turun kembali, segera Siao-liong-li menghamburkan pula segenggam Giok-hong-ciam. Dalam keadaan masih terapung di udara, betapapun tinggi ilmu silatnya juga sukar menghindari apalagi jaraknya sekarang juga sangat dekat, keadaannya menjadi terlebih bahaya daripada tadi.

Namun Hoat-ong benar2 maha sakti, ketika meloncat ke atas tadi sudah terpikir olehnya kemungkinan pihak lawan akan menyusulkan serangan lagi, maka kedua tangannya sudah siap menarik baju sendiri, begitu dipentang, seketika jubahnya terobek menjadi dua bagian, pada saat itu juga jarum Siao-liong-li sudah menyamber tiba pula, namun kain baju yang dipegangnya lantas di-kebut2kan sehingga jarum2 berbisa itu tergulung seluruhnya ke dalam baju.

Sambil terbahak2 Hoat-ong tancap kakinya ke bawah dan melemparkan baju robek, tangan di ulurkan untuk menangkap sepasang roda yang baru jatuh dari atas. Dua kali dia lolos dari ancaman maut, semuanya berkat kehebatan ilmu silatnya dan juga kecerdikannya sehingga pada detik terakhir dia masih dapat menyelamatkan diri, malahan dengan begitu senjata Siao-liong-li dapat direbutnya.

Setelah unggul, segera Hoat-ong mengadang di mulut gua, katanya dengan tertawa: "Nah, nona Liong, masakah kau tidak lekas menyerah?"

Tapi dia masih kuatir kalau Siao~liong~li memasang perangkap apa2 di dalam gua, maka dia tidak berani menyerbu ke dalam, Dia tidak tahu bahwa saat itu Siao-liong-li justeru lagi kelabakan, senjatanya hilang, jarum juga sudah terpakai sebagian besar, kini tangannya cuma bersisa satu genggam jarum berbisa itu dan sembunyi di samping mulut gua.

Hoat-ong menunggu sebentar dan tidak nampak Sesuatu apa, tiba2 timbul akalnya, dia jemput kedua potong robekau bajunya tadi, lalu kedua rodanya dilemparkan ke dalam gua, selagi roda2 itu menggelinding, ia terus melompat dan berdiri di atas roda.

Tindakannya ini adalah untuk menjaga kemungkinan jarum berbisa di atas tanah, menyusul ia terus putar kain bajunya untuk melindungi tubuhnya, kira2 dua-tiga meter di dalam gua, sebelah tangannya lantas meraih untuk menangkap lawan.

Robekan bajunya tercocok berpuluh jarum berbisa yang disambitkan Siao-liong-li tadi sehingga berubah menjadi semacam senjata yang lihay, dengan tertawa ia berkata: "Nah, nona Liong, boleh kau coba senjataku yang menyerupai kulit landak ini"

Belum lenyap suaranya, se-konyong2 tangannya terasa kencang, ujung kain baju yang diputarnya itu mendadak terpegang oleh Siao liong-li. Maklumlah ia memakai sarung tangan benang emas yang tidak mempan ditabas senjata tajam, jangankan cuma kain baju yang penuh jarum, sekalipun pedang juga berani direbutnya.

Karena tak ter~duga2, dengan kaget cepat Hoat ong membetot sekuatnya, tapi sedikit merandek itu ia telah memberi kesempatan kepada Siao-liong~li untuk menghamburkan genggaman jarumnya. Ti-dak kepalang kaget Hoat-ong, dalam keadaan kepepet timbul juga akalnya, sebisanya dia tarik tubuh Ciu Pek-thong yang menggeletak di atas tanah itu untuk digunakan sebagai tameng, menyusul ia terus melompat keluar gua dengan mandi keringat dingin dan napas ter-engah2, diam2 ia bersyukur jiwanya dapat lolos dari lubang jarum.

Sementara itu berpuluh jarum berbisa Siao-Iiong-li telah menancap semua pada tubuh Ciu Pek-thong. Mau-tak-mau nona itu merasa menyesal karena orang yang sudah mati masih harus tersiksa oleh jarumnya itu.

Di luar dugaannya, tiba2 Ciu Pek-thong terus berteriak: "Aduh, sakitnya! Barang apalagi yang menggigit aku ini?"

Keruan Siao-liong-li kaget dan bergirang pula, cepat ia tanya: "He, Ciu Pek-thong, jadi kau belum mati?" Dasar nona yang masih polos dan tidak tahu tata kehidupan, sama sekali ia tidak paham cara bagaimana seharusnya memanggil seorang tua seperti Ciu Pek-thong, maka langsung saja ia sebut namanya.

Ciu Pek-thong lantas menjawab: "Tadi rasanya sudah mati dan sekarang telah hidup kembali. Entah matinya kurang beres atau hidupnya belum cukup?"

"Syukurlah kalau kau tidak mati," ujar Siao-liong-li "Hoat-ong itu sangat ganas, aku tidak dapat menandingi dia." Segera ia keluarkan batu sembrani untuk mencabuti jarum2 yang menancap di tubuh Ciu Pek-thong itu.



Ciu Pek-thong terus mencaci-maki: "Bangsat Hoat-ong itu sungguh pengecut, selagi aku mati belum siuman kembali, dia malah mencocoki aku dengan jarum sehalus ini."

Dengan tersenyum Siao~liong~li menjelaskan: "Ciu Pek-thong, akulah yang mencocoki kau dengan jarum ini." Lalu secara ringkas ia ceriterakan pertarungan tadi, kemudian ditambahkan pula: "Jarumku ini berbisa, apakah kau kesakitan?"

"O, tidak, malahan rasanya sangat enak, coba kau cocoki aku lagi" jawab Ciu Pek-thong.

Sudah tentu Siao-liong-Ii mengira orang tua itu cuma bergurau saja, ia lantas mengeluarkan satu botol porselen kecil dan berkata pula: "lni adalah madu tawon yang khusus dapat menyembuhkan racun jarumku ini, coba kau minum sedikit."

"Tidak, tidak!" Ciu Pek - thong menggeleng. "Enak rasanya jika dicekoki oleh jarummu ini, rasanya jarum ini adalah lawan labah2 berbisa ini"

Siao-liong-li tidak sependapat, tapi orang tidak mau menerima, maka iapun tidak memaksa. ia pikir lwekang orang tua ini sukar diukur, racun labah2 itu saja tidak dapat membunuhnya, tentu juga takkan beralangan hanya terkena racun jarum tawon putih.

Padahal racun tawon meski cukup libay, tapi juga dapat digunakan menyembuhkan macam2 penyakit seperti encok dan lain2, sebab itulah tiada peternak tawon yang mengidap penyakit encok, Namun Siao-Iiong-li dan Ciu Pek-thong tidak paham ilmu pengobatan, mereka tidak tahu racun dapat menawarkan racun, ternyata racun labah2 dalam tubuh Ciu Pek-thong telah banyak dipunahkan oleh racun jarum tawon Siao-liong-li itu.

Dari luar gua Kim-lun Hoat-ong dapat mendengar suara pembicaraan Ciu Pek-thong, terdengar suaranya penuh tenaga seperti orang sehat, tentu saja Hoat-ong kaget, ia pikir apakah orang ini memiliki tubuh malaikat sehingga tidak mempan segala macam racun?

Mumpung tenaga dalam orang ini belum pulih seluruhnya harus segera kubinasakan, kalau tidak kelak pasti akan mendatangkan bahaya besar. Akan tetapi sepasang rodanya sudah terlempar ke dalam gua, terpaksa ia putar tali sutera berkelening milik Siao-liong-li dan berseru: "Nona liong, ku pinjam saja senjatamu ini." - Sekuatnya ia ayun tali sutera itu ke dalam gua.

Karena ilmu silatnya sudah mencapai tingkatan yang tiada tara-nya, segala jenis senjata dapat dimainkannya dengan sesuka hati, maka tali sutera itupun dapat digunakannya sebagai cambuk, bahkan sangat baik untuk menyerang dari jauh dan tidak perlu lagi kuatir disambit oleh jarum berbisa Siao-liong-li

Seketika timbul hati kanak2 Siao-liong-li, iapun jemput roda emas dan perak milik Kim-lun Hoat-ong itu, "creng", ia benturkan kedua roda dan menerbitkan suara nyaring, lalu berseru: "Baik, kita boleh bertukar senjata dan bertempur lagi."

Tapi baru saja dia angkat kedua roda itu, ternyata bobotnya luar biasa, terlalu berat baginya untuk digunakan Rupanya roda emas itu terbuat dari emas murni, beratnya lebih 30 kati, terpaksa Siao-liong-li menarik kedua roda itu untnk menjaga di depan dada.


Hoat-ong melihat kesempatan baik, segera ia menubruk maju, tangannya terus meraih hendak merebut kedua roda itu. Tapi Siao Iiong-li lantas menyurut mundur satu langkah, berbareng roda perak yang lebih enteng itu terus disambitkan

Sebenarnya sambitan roda perak ini cuma gertakan saja, pada saat lain segera iapun menghamburkan lagi berpuluh Giok-hong-ciam, jarum2 ini berasal dari tubuh Ciu Pek-thong yang dicabutnya sudah hilang kadar racunnya, andaikan tercocok juga tidak beralangan.

Tapi Hoat-ong sudah kapok, dia tidak berani menangkap roda perak melainkan terus melompat mundur ke atas sehingga terluput dari tancapan jarum2 itu.

Ciu Pek-thong bergelak tertawa dan berseru. "Bagus, kalau bangsat gundul itu berani mendekap boleh kau serang dia dengan jarum. sebentar kalau tenagaku sudah pulih, segera kukeluar, menangkapnya dan nanti kita gebuki pantatnya."

"Tapi, ah, jarumku sudah habis sama sekali," kata Siao-Iiong-li.

"Wah, kalau begitu bisa konyol," ujar Ciu Pek-thong sambil garuk2 kepala.

Kedua orang, yang satu tua bangka dan yang lain muda jelita, mereka sama2 lugu dan polos, sama sekali tidak punya pikiran buruk terhadap orang lain, apa yang mereka pikirkan, itu pula yang mereka ucapkan.

Sebaliknya Kim-lun Hoat-ong adalah manusia yang cerdik dan banyak tipu akal, hanya dia tidak kenal watak Ciu Pek-thong dan Siao liong-Ii, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang mau berterus terang akan kelemahannya sendiri.

Menurut jalan pikirannya, kalau kedua orang itu mengatakan habis jarumnya, tentu adalah sebaliknya dan sengaja memancing dia mendekat untuk kemudian menyerangnya dengan cara yang tak terduga, Apalagi kalau ingat pada kedua kaki Nimo Singh yang sudah buntung itu akibat terkena jarum berbisa Li Bok-chiu, betapapun dia masih ngeri dan setiap tindakannya menjadi terlebih hati2....

Setelah berkutak-kutek sekian lama, lambat laun fajarpun menyingsing, Ciu Pek-thong duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar sisa racun yang masih mengeram dalam tubuhnya.

Tapi racun labah2 itu sungguh ganas luar biasa, setiap kali ia mengerahkan tenaga tentu dada terasa sesak dan muak, sekujur badan juga terasa gatal pegal, kalau diam saja tanpa mengerahkan tenaga malah terasa aman, ia mencoba beberapa kali namun tetap begitu, akhirnya ia putus asa dan berkata: "racun labah2 ini rasanya sukar disembuhkan."

Sudah tentu Hoat-ong yang mengintai di luar gua tidak tahu, kesukaran Ciu Pek-thong ini, sebaliknya ia menjadi kuatir melihat orang tua itu sedang menghimpun tenaga, Tiba2 timbul akalnya yang keji, segera ia mengeluarkan kotak yang berisi labah2 panca warna itu. Begitu tutup kotak dibuka, terlihatlah belasan ekor labah2 itu ber-gerak2 dengan warna warni yang menarik.

Hoat-ong mengambil satu jepitan terbuat dari tungu badak, dengan jepitan itu dijepitnya seutas benang labah2 dan dikibaskan pelahan, benang lipas itu membawa serta seekor labah2 loreng itu dan menempel pada dinding muIut gua sebelah kiri.

Beberapa kali Hoat-ong berbuat dengan cara yang sama, ia lepaskan seluruh labah2 itu, setiap ekor labah2 membawa seutas benang lipas dan penuh menempel sekitar mulut gua..

Mungkin sudah lama labah2 itu tidak diberi makan dan tentu saja kelaparan dan perlu segera mencari mangsa, maka dalam waktu singkat saja kawanan labah2 ini lantas membuat sarang di mulut gua, hanya sebentar saja mulut gua itu sudah tertutup oleh bentangan belasan sarang labah2, kalau labah2 loreng itu sangat berbisa, tentu sarangnya itu juga berbisa, dengan demikian Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong menjadi terkurung di dalam gua.

Waktu kawanan labah2 itu membuat sarang, Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong sangat tertarik dan hanya menonton belaka tanpa peduli sampai akhirnya lubang gua yang cukup lebar itu penuh sarang labah2, sedangkan labah2 berbisa berwarna loreng pun merayap kian kemari.



"Sayang jarumku sudah habis, kalau tidak tentu akan kubersihkan semua," ujar Siao-liong-li dengan suara tertahan.

Segera Ciu Pek-thong menjemput sepotong kayu dan bermaksud membobolkan sarang labah2 itu, tapi mendadak terlihat seekor kupu2 besar terbang mendekat dan tahu2 telah terperangkap oleh sarang labah2.

Seharusnya serangga yang terjebak sarang labah2 itu akan meronta-ronta dan sebisanya berusaha lari dengan membobol sarang labah2, tapi kupu2 yang besar ini seketika tak bisa bergerak lagi begitu lengket dengan benang sarang tabah2 itu.

Karena itulah cepat Siao-liong-li berseru kepada Ciu Pek-thong: "Awas, jangan mendekatinya, sarang labah2 itupun berbisa!"

Ciu Pek-thong terkejut, cepat ia mundur kembali, ia pikir tenaga sendiri sukar dipulihkan dalam waktu singkat, boleh juga berduduk lagi lebih lama di dalam gua ini. Tapi Siao-liong-li menjadi gelisah, ia tidak tahu keadaan yang serba tak bisa ini entah akan berlangsung hingga kapan, apalagi tidak diketahui sisa racun dalam tubuh orang tua ini apakah sudah terkuras bersih atau belum.

Karena itu ia lanH tas bertanya: "Ciu Pek-thong, caramu mengerahkan tenaga untuk menguras racun apakah cukup sehari semalam Iagi?"

Ciu Pek-thong menggeleng, jawabnya: "Wah, jangankan cuma sehari semalam, biarpun seratus hari seratus malam juga tak berguna."

"Ah, lalu bagaimana baiknya?" kata Siao-Iiong-li kuatir.

"Kalau saja bangsat gundul itu mau mengantar rangsum kepada kita, apa jeleknya kalau kita tinggal beberapa tahun lagi di sini," ujar Ciu Pek thong dengan tertawa.

Siao-liong-li menghela napas, katanya: "apabila Nyo Ko berada di sini, sekalipun tinggal selamanya di sini juga aku mau."

Ciu Pek-thong menjadi gusar, katanya: "Persetan dengan Nyo Ko segala, memangnya orang seperti aku ini kurang menarik dibandingkan si Nyo Ko itu? Apakah ilmu silatnya lebih tinggi daripadaku. Kurang apalagi jika aku yang menemani kau di sini?"

Pada dasarnya kedua orang ini lugu dan polos, sebab itulah meski ucapan Ciu Pek-thong itu rada2 tak genah, tapi Siao-liong-li juga tidak ambil pusing, deengan tersenyum ia menjelaskan: "Soalnya Nyo Ko mahir memainkan ilmu pedang Coan-cin-pay yang lihay itu, kalau dia main berpasangan dengan aku akan dapat mengalahkan Hwesio Tibet ini."

"Hahaha, bicara tentang ilmu pedang Coan-cin-pay, memangnya si Nyo Ko bisa melebihiku" ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa.

Tapi permainan ganda kami ini disebut Giok-li kiam-hoat, untuk ini harus cinta mencintai antara dia dan aku, dengan adanya paduan perasaan baiklah dapat mengalahkan musuh," tutur Siao-liong-li.

Bicara tentang cinta, seketika hati Ciu Pek-phong kebat-kebit, cepat ia menggeleng dan berkata: "Stop... stop! jangan kau ucapkan lagi, Hanya ingin kukatakan padamu bahwa tinggal selama beberapa di dalam gua ini, sebenarnya bukan soal, Dulu aku pernah berdiam di dalam sebuah gua di Tho hoa-to selama belasan tahun, aku sendirian tanpa seorang teman, terpaksa aku berkelahi dengan diriku sendiri, tapi sekarang kita tinggal berdua, berbicara dan dapat tertawa, keadaan jelas sangat berbeda."

"Aneh, berkelahi dengan dirinya sendiri, bagai mana caranya itu?" tanya Siao-Iiong-li ter-heran2.

Chiu Pek-thong sangat senang ada orang tertarik pada kepandaiannya yang khas itu, segera ia menjelaskan secara ringkas ilmu ciptaannya itu, yakni cara berkelahi dengan tangan kanan melawan tangan kiri satu orang melakonkan peranan dua orang.

Hati Siao-Iiong-Ji tergerak, ia pikir kalau ilmu aneh ini dapat kupelajari dengan tangan kiri ku mainkan Coan-cin-kiam hoat dan tangan kanan memainkan Giok-li-kiam-hoat, sehingga jadilah gabungan ilmu pedang dari dua orang.

Hanya saja kepandaian khas ini mungkin sukar dipelajari dalam waktu singkat. Segera ia bertanya: "Apakah ilmu ini sukar dipelajari?"

Dibilang sukar memang sangat sukar, dikatakan mudah juga sangat mudah," ujar Ciu Pek-thong. "Ada orang ingin belajar, tapi selama hidup tak berhasil, sebaliknya ada orang yang dapat mempelajarinya dengan baik hanya dalam waktu beberapa hari saja, Nah, kau kenal suami isteri yang bernama Kwe Ceng dan Ui Yong bukan?"

Siau-liong-li mengangguk.

"Nah, coba katakan, siapa yang lebih pintar diantara mereka suami dan isteri itu?"

"Kwe-hujin sangat pintar dan cerdas, diberitahu satu segera paham seratus, menurut Ko-ji, katanya di jaman ini mungkin tiada manusia lain yang lebih cerdas daripadanya. Sedangkan Kwe~ tayhiap memang tinggi ilmu silatnya, tapi soal kecerdasan hanya biasa saja."

"Hanya biasa apa?" ujar Ciu Pek thong dengan tertawan "Lebih tepat dikatakan goblok. Nah, coba katakan, aku ini pintar atau goblok?"

"Kau sudah, tua, tapi masih ketololan dan dari cara bicaramu juga angin2an," jawab Siao-liong li dengan tertawa.

"Benar ucapanmu memang, tidak salah" kata Pek-thong, "llmu kanan kiri saling berkelahi itu adalah, hasil pemikiranku kemudian kuajarkan adik Kwe dan cuma beberapa hari saja sudah dikuasainya. Lalu dia mengajarkan lagi kepada istrinya, tapi apa yang terjadi? Haha, jangan kau kira si Ui Yong itu pintarnya seperti setan, tapi ilmu ciptaanku itu justeru tidak berhasil dipelajari olehnya. Tadinya kukira Kwe Cing keliru mengajarnya, maka aku sendiri juga memberi petunjuk, namun pada pelajaran pertama saja dia gagal, coba, kan aneh dan lucu toh?"

"Bagaimanakah pelajaran pertama ilmu kepandaianmu itu?" tanya si nona.

Pertama kali adalah "tangan kiri melukis per-pegi dan tangan kanan menggambar bundaran", tapi meski ber-ulang2 ia menggambar tetap tidak jadi, Sebab ituIah kukatakan ada orang segera berhasil sekali belajar, tapi juga ada yang belajar selama hidup tetap tidak menguasai. Mungkin semakin pintar orang nya semakin tidak jadi."

"Masakah dunia ini ada orang bodoh lebih unggul belajar kepandaian daripada orang pintar? Heh, aku tidak percaya," kata Siao-liong-li.

Dengan tertawa Ciu Pek-thong berkata pula: "Kulihat kecerdasanmu dan kecantikanmu seimbang dengan si Ui Yong, ilmu silatmu juga selisih tidak jauh daripada dia. Kalau kau tidak percaya, sekarang kau boleh coba melukis sebuah persegi dengan tangan kirimu dan berbareng menggambar pula sebuah bundaran dengan tangan kananmu."

Sudah tentu Siao-liong-li ingin mencobanya, segera ia mengulurkan kedua jari telunjuk dari kedua tangannya dan berbareng menggambar di tanah, tapi hasilnya memang sangat mengecewakan gambar persegi lebih tepat dikatakan jorong dan gambar bundaran malahan mirip persegi.



Ciu Pek-thong ter-bahak2, katanya: "Nah, apa kataku? Kau anggap dirimu sangat pintar, nyatanya pekerjaan sepele begitu juga tidak bisa."

Siao-liong-li tersenyum, ia coba menghimpun semangat dan memusatkan pikiran, ia mengulurkan kedua jari pula dan sekenanya menggambar lagi sebuah persegi dan sebuah bundaran, sekali ini perseginya benar2 persegi dan yang bundar benar2 bundar-dar.

"He, kau.... kau..." tidak kepalang kejut Ciu Pek-thong. Sejenak baru disambungnya lagi: "Apakah sebelum ini kau sudah pernah mempelajarinya?"

"Belum pernah," jawab Siao liong-li. "Memangnya apa sulitnya?"

"Habis cara bagaimana kau bisa melukisnya sebaik ini?" ujar Ciu Pek-thong sambil garuk2 kepala.

"Aku sendiripun tidak tahu caranya," jawab Siao liong-li. "Yang pasti aku tidak memikirkan apa2 dan sekali jariku menggores lantas jadi."

Segera ia memberi demonstrasi lagi, kembali kedua tangannya mencorat-coret di tanah, -"tangan kiri menuliskan "Lo-wan-thong" dan tangan kanan menulis "Siao-Iiobg-li" kedua tangan menulis berbareng, tulisannya rajin dan indah laksana tertulis dari satu tangan saja.

Ciu Pek-thong menjadi girang, katanya: "Wah, tampaknya kepandaian ini sudah kau pelajari sejak kau bjerada di dalam kandungan ibumu."

BegituIah Ciu Pek thong lantas mengajari Siao liong-li ilmu berkelahi "Satu orang melakukan dua peranan", kalau tangan kiri menyerang tangan kanan lantas bertahan dan begitu pula sebaliknya, ia ajarkan seluruhnya kepada si nona segenap teori kanghu (Kungfu) hasil pemikirannya ketika terkurung di gua Tho-hoa-to dahulu itu..

Sebenarnya Kanghu ciptaan Ciu Pek thong ini kuncinya terletak pada "Hun-sim-ji-yong" (membagi perhatian untuk dua peranan). Justeru orang yang cerdik pandai, orang yang banyak berpikir dan suka berpikir, malahan sulit disuruh belajar ilmu berkelahi ini. .


Adapun Siao-liong-li sejak kecil sudah digembleng menghilangkan perasaan dan napsu, ilmu dasar itu sudah terpupuk dengan kuat, meski kemudian dia jatuh cinta kepada Nyo Ko sehingga banyak mengganggu ilmunya itu, tapi sekarang hatinya lagi terluka dan membuatnya patah hati dan putus asa, maka sebagian besar ilmunya yang telah dikuasainya dahulu itu telah pulih kembali dalam keadaan lapang pikiran dan benak kosong, sedikit diberi petunjuk oleh Ciu Pek-thong segera dapat dipahaminya.

Clu Pek-thong sendiri belum sembuh, tapi ia dapat memberi petunjuk dengan ucapan dan gerakan tangan secara mengasyikkan, Siao-liong li juga tertarik dan ber-ulang2 mengangguk sambil merentangkan tangan kanan menggunakan Giok-li-kiam-hoat dari- Ko-bong-pay dan tangan kiri menggunakan Coan-cin-kiam-hoat dari Coan-cin-pay, hanya dalam waktu beberapa jam saja sudah dapat dipahami seluruhnya.

"Cukuplah, aku sudah paham semua," kata Siao-liong-li, kedua tangannya lantas coba2 main beberapa jurus dan ternyata sangat tepat tanpa sesuatu kesalahan.

Keruan Ciu Pek-thong melongo bingung, berulang2 ia menyatakan herannya.

Dalam pada itu Kim-lun Hoat-ong dan Tio Ci-keng masih terus berjaga di luar gua, mereka cuma mendengar suara Ciu Pek-thong dan Siao liong-li yang berbicara tak ber-henti2 sampai sekian lama, ada omong ada tawa, sedikitpun tidak kesal sebagaimana orang tahanan umumnya.

Tentu saja merekapun heran, mereka coba pasang kuping ikut mendengarkan tapi secara terputus mereka hanya dapat menangkap beberapa kalimat pembicaraan Ciu Pek-thong berdua, malahan sama sekali tidak paham arti ucapannya.

Suatu ketika Siao-liong-li berpaling dan kebetulan melihat Hoat-ong dan Ci-keng sedang melongak-longok ke dalam gua seperti maling mengincar jemuran, segera ia berbangkit dan mengajak Ciu Pek-thong: "Marilah kita pergi."

"Kemana?" tanya Pek-thong melengak.

"Keluar sana dan membekuk bangsat gundul itu untuk memberikan obat penawar padamu,"

"Apakah kau yakin dapat mengalahkan dia?" Pek-thong bertanya sambil tarik2 janggutnya sendiri.

Belum lagi Siao-liong-li menjawab, tiba2 terdengar suara mengaungnya tawon, seekor tawon madu tampak terjebak ke dalam sarang labah2 di mulut gua dan meronta2 berusaha melepaskan diri, Kalau tadi kupu2 yang besar itu seketika mati begitu menyentuh benang sarang labah2, ternyata tawon madu ig kecil ini tidak takut pada racun labah2 loreng setelah me-ronta2, akhirnya sarang labah2 itu malah kebobolan satu lubang, Seekor labah2 lorong mengawasi dengan garangnya didekat tawon kecil tu, tapi tidak berani maju untuk menyerangnya.

Ketika tinggal di kuburan kuno itu dahulu, Siao-liong li pernah memiara gerombolan tawon madu dan dapat menguasainya dengan baik, malahan dia anggap kawanan tawon itu sebagai sahabat baik, sekarang melihat tawon kecil terperangkap, ia menjadi tidak tega dan ingin menolongnya.

Tiba2 terpikir olehnya: "Meski bentuk labah2 ini sangat menakutkan, tapi tawonku mungkin tidak takut pada-nya." - Segera ia mengeluarkan botol porselen dan membuka tutupnya, ia kerahkan tenaga dalam maka hawa panas tersalur dari telapak tangannya. botol itu.

Hanya sebentar saja Siao-liong-li menggenggam botol kecil itu, lalu teruar bau harum madu tawon keluar gua menembus sarang labah2.

Ciu Pek-thong menjadi heran dan bertanya "Apa yang kau lakukan?"

"Ini permainan suiapan yang menarik, kau ingin tahu tidak?" jawab Siao-liong li.

"Wah, bagus, bagus sekali" seru Pek-thong kegirangan. Tapi sulapan apakah itu.

Siao-liong li cuma tersenyum saja tanpa menjawab, diam2 ia mengerahkan tenaga dalamnya lebih kuat untuk menambah panasnya botol porselen agar bau harum madu teruar lebih cepat dan lebih keras.

Tatkala itu adalah musim panas, bunga hutan di lembah pegunungan sedang mekar semerbak, di mana2 terdapat gerombolan tawon liar yang mencari sari bunga. Ketika mencium bau harum madu serentak kawanan tawon membanjir dari segenap penjuru.

Setiap tawon sama menerjang isi dalam gua, tapi begitu menempel benang jaring labah2 lantas melengket dan berontak sekuatnya untuk membebaskan diri, ada sebagian tergigit mati oleh labah2 berbisa itu, tapi ada juga tawon yang sempat menyengat tubuh labah2. Meski labah2 adalah makhluk maha berbisa, tapi makhluk yang satu dimatikan oleh makhluk yang lain, agaknya tawon adalah musuh besar labah2 itu, begitu tersengat dan kena racun tawon, pelahan labah2 itupun kaku dan mati akhirnya.

Begitulah terjadi perang tanding antara kawanan tawon dengan labah2 berbisa itu, yang paling senang adalah Ciu Pek-thong, ia berjingkrak kegirangan menonton pertempuran aneh itu, sebaliknya Kim~lun Hoat-ong dan Ci-keng yang berada di luar gua menjadi melongo kesima dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.



Waktu itu kawanan labah2 masih di atas angin, hanya dua ekor saja yang mati, sebaliknya kawanan tawon sudah binasa beberapa puluh ekor, Namun tawon liar itu makin membanjir tiba, semula cuma beberapa ekor saja, lalu beberapa puluh, bertambah lagi beberapa ratus dan akhirnya be-ribu2, hanya sekejap saja jaring labah2 yang memenuhi mulut gua itu menjadi bobol sama sekali, belasan ekor labah2 berbisa itu mampus semua tersengat tawon.

Ci-keng sudah kapok karena dahulu pernah merasakan siksaan sengatan tawon, maka begitu melihat gelagat jelek, diam2 ia mengeluyur ke semak2 pohon sana, Hoat-ong sendiri cuma menyayangkan matinya labah2 itu, kehancuran barisan labah2 yang sukar dimengerti itu disangkanya karena dikerubut oleh kawanan tawon liar, ia pikir mungkin tawon suka bergerombol dan bersatu menghadapi musuh bersama sehingga kawanan Iabah2 itu dibinasakan seluruhnya ia tidak tahu bahwa datangnya gerombolan tawon itu sebenarnya sengaja dipancing oleh bau madu yang disiarkan oleh Siao-liong-li.

Malahan Hoat-ong memikirkan pula cara bagaimana agar dapat memaksa Ciu Pek-thong dan Siao-Iiong-li keluar gua untuk kemudian dibinasakan semua.

Namun Siao-Iiong-li sudah bertindak lebih dulu dengan kuku jarinya ia mencukil sedikit madu tawoni lalu disentilkan ke arah Hoat-ong, lalu jari telunjuk menuding ke kanan sekali dan ke kiri sekali, berbareng mulutnya juga mem-bentak2 dua kali, Mendadak kawanan tawon yang be-ribu2 jumlahnya itu terus menyamber keluar gua, ke arah Hoat-ong.

Keruan kaget Hoat-ong tidak kepalang, cepat ia membalik tubuh dan sekuatnya melompat ke sana hingga beberapa meter jauhnya, Ginkangnya memang sudah mencapai tingkatan maha tinggi, betapapun cepat terbang kawanan tawon itu ternyata masih kalah cepat daripada lompatan Hoat-ong. Sekejap saja ia sudah jauh meninggalkan kejaran kawanan tawon itu. Karena tidak dapat menyusul sasarannya pawanan tawon itupun lantas buyar sendiri2.

Ber-uIang2 Siao-liong-Ii membanting kaki dan menyatakan sayang.

"Sayang apa?" tanya Ciu Pek-thong.

"Dia berhasil kabur, kita tak dapat lagi merebut obat penawarnya," kata Siao-liong li

Kiranya tadi Siao-liong-li mengerahkan kawanan tawon hendak mengurung Kim-lun Hoat-ong dari kanan dan kiri, tak terpikir olehnya bahwa kawanan tawon itu bergabung secara liar dan bukan terdiri dari satu sarang, dengan sendirinya tidak penurut sebagaimana tawon putih yang di kuburan kuno itu.

Kalau sekadarnya disuruh mengejar dan menyengat musuh sih bisa, lebih dari itu jelas tidak mungkin.

Namun begitu CiuPek-thong juga sudah kagum luar biasa terhadap kesaktian Siao liong~li yang lahir mengendalikan kawanan tawon itu, ia merasa permainan ini jauh lebih menarik daripada semua permainan yang pernah dilihatnya, seketika ia menjadi lupa pada badan sendiri apakah sisa racunnya dapat dipunahkan seluruhnya atau tidak.

Karena sarang labah2 di mulut gua sudah hapus, segera Siao-Iiong-li melompat keluar, lalu ia memanggil Ciu Pek-thong agar ikut keluar.

Menyusul Ciu Pek-thong juga melompat keluar, tapi segera ia terbanting jatuh, "Wah, cialat! Tenaga sukar dikeluarkan!" katanya dengan gegetun, Mendadak sekujur badan gemetar dan gigi berkertukan.

Kiranya jatuhnya itu telah memancing bekerjanya sisa racun labah2 yang masih mengeram dalam tubuhnya, seketika ia menggigil kedinginan seperti kejeblos ke dalam peti es, bibir dan mukanya menjadi pucat pasi.

"He, Ciu Pek-thong, kenapa kau?" tanya Siao-liong-li kaget.

Ciu Pek-thong masih menggigil jawabnya dengan suara gemetar: "Lekas.... lekas kau cocok aku dengan.... dengan jarum itu."

"Tapi jarumku ini berbisa," kata Siao-liong-li.

"Ya, justeru.... justeru karena berbisa itulah, lekas!" pinta Pek thong pula.

Tergerak pikiran Siao-liong-li, teringat pertempuran antara kawanan tawon dengan labah2 berbisa tadi, ia pikit jangan2 racun tawon merupakan lawan racun labah2 itu? Segera ia jemput sebuah jarum dan mencoba mencocoki lengan Ciu Pek-thong.

Mendadak Pek-thong berteriak: "Bagus! Lekas tusuk beberapa kali lagi!"

Ber-turut2 Siao-liong-ii mencocoki beberapa kali lagi dan ber-ulang Ciu Pek-thong berteriak bagus. tampaknya kadar racun di jarum itu sudah lenyap, lalu Siao-Iiong-li berganti jarum yang lain, seluruhnya belasan jarum digunakan mencocoki tubuh Ciu Pek-thong, Akhirnya orang tua itu tidak menggigil lagi, ia menghela napas lega dan berkata: "Ehm, menyerang racun dengan racun, memang resep paling mujarab."

Habis itu ia coba mengerahkan tenaga dalam, tapi masih ada sisa racun yang belum hilang, mendadak ia menepuk paha dan bersemi "Aha, tahukah aku. Nona Liong, racun tawon pada jarummu itu agaknya kurang segar, sudah basi."

"Jika begitu, apakah kau mau kalau kusuruh |awanan tawon liar itu untuk menyengat kau?" ujar Siao-liong-li dengan tertawa.

"Aha, terima kasih sebelumnya, lekas kau mengundangnya, lekas!" seru Giu Pek-thong.

Siao-liong-li lantas membuka pula botol madunya untuk memancing kedatangan kawanan tawon liar, setiap tawon itu sama mengantupi badan Ciu Pek-thong, bukannya mengeluh sakit, sebaliknya, Anak Tua Nakal itu malah tertawa gembira, ia membuka bajunya sekalian, punggung yang telanjang itu sengaja dibiarkan disengat oleh kawanan tawon, berbareng iapun mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darah dan menghalau sisa racun labah2.

Agak lama juga ia diantupi tawon sehingga punggungnya penuh bintik merah bekas sengatan, akhirnya sisa racun dapat dihilangkan semua, kalau disengat lagi lantas terasa sakit, Maka berteriaklah Ciu Pek-thong: "Cukup, sudah cukup! Kalau diantupi lagi jiwaku bisa melayang!"

Siao-liong-li tersenyum dan menghalau pergi kawanan tawon itu. Lalu ia menjemput tali sutera berkeleningan yang terjatuh di samping sana, kemudian ia tanya Ciu Pek-thong: "Aku akan pergi ke Cong-Iam-san, kau ikut tidak?"

Ciu Pek-thong menggeleng dan menjawab: "Tidak, aku masih ada urusan lain, silakan engkau pergi sendiri saja."

"Oya, kau perlu ke Siangyang untuk membantu Kwe-tayhiap," kata Siao-Iiong-li. Menyebut nama "Kwe-tayhiap" ia lantas ingat pula kepada Kwe Hu, dari Kwe Hu lantas terkenang kepada Nyo Ko.

"Ciu Pek-thong," katanya kemudian dengan muram, "jika kau bertemu dengan Nyo Ko, janganlah kau bilang pernah bertemu dengan diriku."

Akan tetapi Ciu Pek-thong tidak menjawabnya, waktu Siao-liong-li mengawasi, tertampak orang tua itu sedang berkomat-kamit, entah apa yang sedang di gumamkan, malahan mimik wajahnya sangat aneh, entah lagi main gila apa?

Selang sejenak barulah mendadak Ciu Pek-thong mendongak dan bertanya: "Apa katamu tadi?"

"O, tidak apa2," jawab Siao-liong-li. "Sampai bertemu pula."



Tampaknya Ciu Pek-thong tidak menaruh perhatian kepada ucapan Siao-liong-li itu, ia cuma mengiakan, lalu berkomat-kamit lagi.

Tanpa-bicara lagi Siao-liong-li lantas berangkat sendiri, setelah melintasi suatu tanah tanjakan sana, tiba2 terdengar suara bentakan Ciu Pek-thong, suaranya seperti lagi menirukan Siao-liong-Ii ketika mengendalikan kawanan tawon.

Siao-liong-li sangat heran, diam2 ia memutar balik ke tempat, tadi dan mengintai dari balik pohon. dilihatnya Ciu Pek-thong memegangi sebuah botol porselen kecil dan sedang ber-jingkrak2 sambil ber-kaok2 aneh, Waktu Siao-liong-li meraba sakti sendiri, ternyata botol madunya itu sudah lenyap entah sejak kapan telah dicuri si Anak Tua Nakal itu.

Rupanya suara Ciu Pek-thong itu rada2 mirip cara Siao-liong-li memberi perintah kepada kawanan tawon, tapi lebih banyak salahnya, meski ada juga beberapa ekor tawon yang muncul karena mencium bau harum madu, tapi tiada satupun yang tunduk kepada perintah Ciu-Pek-thong, tawon2 itu cuma terbang kian kemari mengitari botol porselen.

Siao-liong-li tertawa geli melihat tingkah Anak Tua Nakal itu, segera ia menampakkan diri dan berseru "Sini, kuajarkan kau!"

Melihat rahasianya terbongkar dan ketangkap basah dengan bukti barang curiannya, Ciu Pek thong menjadi malu, tanpa bicara lagi ia terus berlari pergi dan dalam sekejap saja sudah menghilang.

Siao-liong-li bergelak tertawa melihat tingkah laku si tua yang lucu itu, Suara tertawanya berkumandang membalik, mendadak ia merasa hampa dan kesepian, tanpa terasa ia meneteskan air mata.

Bilamana ia mengadu kecerdasan dan tenaga dengan Kim-lun Hoat-ong, kemudian ia ditemani Lo-wab-tong dan bercanda sekian lama, kini musuh sudah kabur, kawan pun sudah pergi, di dunia ini bisanya tertinggal ia seorang diri saja.

Sepanjang jalan ia menguntit Ci-keng dan Ci-peng, ia merasa kedua Tosu itu sangat busuk, biarpun dicincang hingga hancur lebur juga sukar terlampias rasa dendamnya. padahal sekali dia turun jangan saja kedua orang itu pasti akan binasa, namun hati selalu enggan, rasanya sekalipun mereka dibinasakan, habis mau apa lagi?

Sendirian ia duduk ter-mangu2 di bawah pohon, akhirnya ia menggumam sendiri: "Agaknya harus mencari mereka lagi!"

Ia lantas turun dari bukit itu dan mencemplak atas keledai yang dilepas untuk makan rumput bawah bukit itu, baru saja ia mau berangkat ke arah pasukan Mongol, tiba2 di depan debu mengepul tinggi disertai suara terompet bergema riuh, pasukan tampak sedang bergerak ke selatan secara besar2an, jelas pihak Mongol mulai menggempur Siangyang lagi.

Siao-liong-li menjadi ragu2, di tengah pasukan besar itu, cara bagaimana mencari kedua Tosu itu. Tapi pada saat itu juga, se-konyong2 tiga penunggang kuda berlari lewat di bawah bukit, para penunggang kuda itu jelas berjubah kuning dan berkopiah kaum Tosu.

Siao-liong-li menjadi heran mengapa bisa bertambah seorang Tosu lagi, ia coba mengamati dari jauh, jelas yang paling belakang adalah Ci-peng sedangkan Ci-keng mengaburkan kudanya bersama Tosu ketiga yang berusia jauh lebih muda.

Tanpa pikir Siao-liong-li lantas keprak keledainya menyusul ke sana.

Ketika mendengar suara ketoprakan kaki kuda In Ci~peng menoleh ke belakang dan ternyata Siao liong-li sudah mengintil lagi, keruan air mukanya berubah pucat. segera Ci-keng dan Tosu yang muda juga mengetahui penguntilan Siao-liong-li.

"Siapakah perempuan muda ini, Tio~supek?" tanya Tosu muda itu.

"Dia adalah musuh besar Coan-cin-kau kita, sutit jangan banyak bertanya," jawab Ci-keng.

Toso muda itu terkejut, tanya pula dengan suara rada gemetar: "Apakah dia ini Jik-lian siancu Li Bok-chiu?"

"Bukan, tapi Sumoaynya," kata Ci-keng.

Kiranya Tosu muda itu bernama Ki Ci-seng, meski namanya juga pakai "Ci", tapi dia termasuk anak murid Coan-cin-kau angkatan ke empat, lebih rendah satu angkatan daripada In Ci-peng dan Tio ci-keng.

Yang diketahuinya hanya Li Bok-chiu telah beberapa kali bertengkar dengan para kakek-gurunya malahan pihak Coan-cin mereka beberapa kali kecundang.

Begitulah Ci-keng lantas cambuk kudanya agar berlari lebih cepat dan diikuti oleh Ci-peng berdua. Kanya sekejap saja Siao-liong-li sudah tertinggal jauh. Namun keledai belang yang ditunggangi Siao-jong-li itu sangat kuat larinya, meski tidak cepat namun dapat berlari secara teratur tanpa lelah, Sedangkan kuda2 itu setelah berlari cepat, kemudian megap2 napasnya dan mulai lamban larinya sehingga keledai belang dapat menyusulnya lagi.

Waktu Ci-keng menoleh dan melihat Siao-liong li sudah mendekat, cepat ia cambuk kudanya lagi, tapi kudanya cuma lari kencang sebentar, lalu lari lambat pula.

"Tio-supek, tampaknya kita tak dapat lari, marilah kita membalik kesana untuk mencegatnya dan biar In-supek lolos sendiri," kata Ki Ci-seng.

Dengan wajah geram Ci-keng menjawab: "Hm mudah saja kau bicara, memangnya kau tidak ingin hidup lagi?"

"Tapi... tapi In-supek mengemban tugas berat sebagai pejabat ketua, kita harus berusaha menyelamatkan dia," ujar Ci-seng.

Ci-keng sangat mendongkol ia hanya mendengus saja tanpa menjawab.

Melihat air muka sang paman guru yang marah itu, Ci-seng tidak berani bicara lagi, ia tunggu setelah Ci~peng mendekat, lalu berbisik padanya "In-supek, paling penting engkau harus jalan lebih dulu."

"Ah, biarkan saja dia menyusul ke sini," jawab Ci-peng tak acuh.

Diam2 Ci-seng sangat kagum melihat sikap sang paman guru yang sangat tenang itu, ia pikir sikap ksatria demikian sungguh sukar dicari bandingannya di antara tokoh angkatan ketiga, pantas para kakek guru memilih In-supek sebagai pejabat ketua, betapapun ia tidak tahu bahwa perasaan Ci-peng saat ini sungguh aneh luar biasa, andaikan Siao-liong-li ingin membunuhnya, maka iapun sudah siap memasangkan lehernya di depan si nona, sedikitpun tiada pikirannya buat melawan lagi.

Melihat kedua kawannya tidak cemas akan datangnya musuh, Ci-keng menjadi serba susah, hendak lari lebih dulu terasa malu, untunglah sementara ini tiada tanda2 Siao-liong-li akan bertindak kepada mereka. Namun hatinya tetap kebat-kebit, sebentar ia lantas menoleh ke belakang.

Begitulah tiga orang di depan dikuntit seorang dari belakang, mereka meneruskan perjalanan ke utara tanpa bicara lagi, sementara itu suara gemuruh gerakan pasukan Mongol ke selatan sudah Ienyap, hanya terkadang samar2 terdengar suara riuh umatnya pertempuran di kejauhan yang terbawa angin, tapi setelah arah angin berganti, suara itupun tak terdengar.



Sepanjang jalan, karena menghindari gangguan pasukan tentara yang besar itu, semua rumah penduduk boleh dikatakan kosong melompong, bahkan ayam dan anjingpun tak tertampak seekorpun, Kalau tempo hari Ci-peng dan Ci-keng berlari ke jurusan yang sepi, malahan terkadang dapat ditemukan rumah makan kecil yang sederhana dipedusunan, kini mereka melalui jalan besar, jangankan rumah makan, sebuah rumah penduduk yang utuh pun sukar ditemukan.

Malamnya Ci~peng bertiga lantas mondok di sebuah rumah bobrok yang tiada daun pintu dan jendela, Sekali2 Ci~keng coba mengintip keluar, di lihatnya Siao-liong-li telah memasang seutas tali antara dua batang pohon besar, di atas tali yang terbentang itulah si nona berbaring..

Ci-seng juga ikut mengintai, melihat betapa hebat kepandaian Siao-liong-li, hatinya menjadi takut. Hanya Ci-peng tidur dengan nyenyaknya, tanpa perdulikan urusan lain, semalaman Ci-keng tidak bisa pulas, sebentar bangun sebentar berbaring, ia sudah ber-siap2 apabila ada suara yang mencurigakan segera ia akan kabur lebih dulu.

Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan lagi, karena semalam suntuk tidak tidur, ditambahi rasa takutnya yang menumpuk, ia menjadi rada pusing kepala di atas kudanya. Ci-seng mendampingi

Ci-peng ketinggalan di belakang, dengan lesu Ci-peng menanyai Ci-seng tentang keadaan di Cong-lam-san akhir2 ini serta kesehatan para paman guru dan gurunya.

Menurut Ci-seng, Coan-cin-ngo-cu kelima murid utama Coan cin-kau, tadinya tujuh orang, Tam Ju-hoat dan Ma Giok sudah meninggal sehingga tinggal lima orang) sekarang mulai bertapa atau menyepi untuk waktu yang cukup lama, bisa setahun atau paling sedikit tiga bulan, sebab itulah ln Ci-peng diharapkan pulang ke Tiong-yang-kiong untuk menerima tugas sebagai pejabat ketua.

Ci-peng ter-mangu2 mendengar cerita itu, ia menggumam sendiri: "Kepandaian beliau2 itu tiada taranya, entah apalagi yang hendak mereka latih?"

Dengan suara tertahan Ci-seng membisiki: "Konon kelima kakek guru bertekad menyelami dan menciptakan semacam ilmu yang dapat mengalahkan jlimu silat Ko-bong-pay."

"Oh," Ci-peng bersuara singkat dan tanpa terasa menoleh memandang sekejap kepada Siao-liong-li.

Kiranya sesudah Siao-liong-li bergabung dengan Nyo Ko mengalahkan Kim-Iun Hoat-ong di pertempuran besar ksatria dahulu, ilmu silat kedua muda-mudi telah menggemparkan dunia persilatan, Tapi lantaran Nyo Ko berdua sedang mabok kepayang mereka tidak lagi memikirkan kejadian itu.

Namun dunia persilatan sudah kadung geger, katanya ilmu silat di dunia ini tiada yang dapat menandingi pewaris dari Ko-bong-pay. Sudah tentu desas-desus begitu, banyak di-bumbui pula.

Apalagi kejadian itu juga disaksikan oleh Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Ci peng dan Ci-keng, ditambah pula berita kemudian mengatakan Kim-lun Hoat-ong sekali lagi dikalahkan Nyo Ko dan Siao-liong-li sehingga paderi itu lari ter-birit2, tentu saja semua itu sangat mencemaskan pimpinan Coan-cin-kau, terutama kalau teringat pada suatu ketika Li Bok-chiu, Siao-liong-li atau Nyo Ko pasti akan menuntut balas kepada mereka.

Menghadapi Li Bok-chiu seorang saja sukar, apalagi ditambah Nyo Ko dan Siao-liong-li berdua, Bahwa diantara Li Bok-chiu dan Siao-liong-li juga terjadi sengketa ternyata tidak diketahui oleh pihak Coan cin-kau.

Kini pucuk pimpinan Coan-cin-kau hanya tinggal lima orang saja, semuanya sudah sama tua dan loyo, sedangkan anak murid angkatan muda juga tiada tokoh yang menonjol, kalau nanti pihak Ko-bong-pay datang, pasti Coan-cin-pay mereka akan kalah habis2an.

Sebab itulah kelima tokoh Coan-cin-kau itu memutuskan menyepi untuk memikirkan satu macam ilmu silat maha hebat sebagai persiapan untuk menghadapi pihak Ko-bong-pay. Lantaran itu pula In Ci-peng dipanggil pulang ke Cong-lam-san untuk menerima tugas sebagai pejabat ketua.

Begitulah mereka terus melanjutkan perjalanan ke barat laut, Siao-liong-li masih tetap menguntit di belakang dalam jarak tertentu.

Suatu hari sampailah mereka di wilayah Siam-say, sudah dekat dengan Cong-lam-san. Ci-peng tidak mengerti apa kehendak Siao-liong-li itu yang menguntitnya terus menerus, pikirnya: "Apakah dia hendak melapor kepada Suhuku tentang perbuatanku yang rendah itu atau dia akan mengobrak-abrik Coan-cin-kau lagi untuk menuntut balas sakit hatinya? Atau bisa jadi dia akan pulang ke Ko-bong pay yang satu jurusan dengan kami ini atau... atau...." sampai di sini ia tidak berani melanjutkan pikirannya lagi, yang jelas ia sudah tidak memikirkan mati- hidup selanjutnya, maka rasa takutnya menjadi banyak berkurang pula.

Selang beberapa hari, akhirnya mereka sampai di kaki gunung Cong lam, segera Ci-seng melepaskan sebuah anak panah berwarna. Tak lama kemudian empat Tosu tampak berlari turun dari atas gunung dan memberi hormat kepada Ci-peng serta menyambut kembalinya dengan hangat.

Tosu yang tertua lantas berkata: "Menurut keputusan kelima paman guru, begitu Jing-ho Cin-Jti (gelar agama In Ci-peng) tiba diharuskan segera bertugas sebagai pejabat ketua, tentang upacara serah terima boleh menunggu nanti sehabis Khu-susiok selesai menyepi."

"Apakah kelima paman guru sudah mulai menyepi," tanya Ci-peng.

"Sudah mulai 20 hari lebih," jawab Tosu itu".Tengah bicara, ber-turut2 datang pula belasan Tosu yang lain dan menyambut pulangnya ln Ci peng dengan tetabuhan, berbondong2 Ci-peng lantas di arak ke atas gunung sehingga Ci-keng tertinggal di belakang tanpa diperhatikan.

Tentu saja Ci-keng mendongkol dan gemas serta iri pula, namun dalam hati iapun bergirang "Nanti kalau kedudukan pejabat ketua sudah kupegang barulah "kalian tahu rasa."

Menjelang petang sampailah rombongan mereka di depan Tiong-yang-kiong, penghuni istana agama yang berjumlah lebih 500 orang itu sama berbaris memanjang di luar pintu disertai suara genta dan tambur yang ditabuh ber-taIu2.

Melihat keadaan yang khidmat itu, Ci-peng yang tadinya lesu itu seketika bersemangat kembali. Di bawah iringan 16 murid tertua ia masuk ke ruangan pendopo untuk memberi sembah kepada lukisan Ong Tiong-yang, yaitu cakal-bakal Coan-cin-kau, lalu masuk lagi ke ruangan berikutnya untuk memberi hormat kepada tujuh kursi yang biasanya menjadi tempat duduk Coan-cin-jit-cu jika berkumpul. Habis itu ia balik lagi ke ruangan pendopo di depan.

Murid Khu Ju-ki yang kedua, yakni Li Ci-iang, lantas mengeluarkan surat keputusan sang ketua dan dibacakan di depan orang banyak, menurut surat keputusan itu, In Ci-peng diperintahkan nenerima jabatan ketua.

Dengan sendirinya Ci-peng berlutut dan menerima perintah itu dengan perasaan terima kasih dan malu. Sekilas ia melihat Ci-keng berdiri di sebelah, air mukanya tersenyum mengejek, seketika hati Ci-peng tergetar.

Sehabis menerima surat perintah itu, Ci-peng berdiri dan hendak memberikan kata sambutan sekadarnya, pada saat itulah tiba2 masuk seorang Tosu penjaga dan melapor: "Lapor ketua, ada tamu di luar."



Ci-peng melengak, sama sekali tak diduganya bahwa Siao-liong-ii akan berkunjung padanya secara terang2an begitu, ia menjadi bingung cara bagaimana harus menghadapinya? Namun urusan sudah telanjur begini, hendak laripun tidak bisa lagi, terpaksa ia berkata: "Silakan tamunya masuk ke sini."

Tosu itu berlari keluar, tidak lama ia masuk lagi dengan membawa dua orang. Tapi semua orang menjadi heran melihat kedua tamu ini, lebih2 Ci-peng, ia tidak tahu untuk maksud apakah kedatangan kedua orang ini.

Kiranya kedua tamu ini yang seorang berdandan sebagai perwira Mongol dan seorang lagi adalah Siau-siang-cu yang pernah dilihatnya di markas Kubilai tempo hari.

"Ada titah Sri Bagtnda Raja memberi anugrah kepada pejabat ketua Coan-cin-kau!" segera perwira Mongol itu berseru lantang, ia terus maju ke tengah dan mengeluarkan segulungan sutera kuning dan di bentang, lalu membaca: "Pejabat ketua Coan-cin-kau dengan ini dianugrahi sebagai pemimpin besar golongan agama To dengan gelar ....." sampai di sini dilihatnya tiada seorangpun berlutut untuk menerima anugrah itu, maka ia lantas berteriak: "Silakan pejabat ketua menerima titah Sri Baginda ini!"

Ci-peng melangkah maju dan memberi hormat kepada perwira itu, lalu berkata: "Ketua kami Khu-cinjin saat ini sedang menyepi, maka untuk sementara Siauto ditugaskan sebagai pejabat ketua, Anugrah raja Mongol ini bukan ditujukan kepadaku maka Siauto tidak berani menerimanya."

"Sri Baginda memberi pesan bahwa Khu-cinjin adalah tokoh yang dihormatinya dan diketahui usianya sudah lanjut serta tidak tahu apakah beliau masih sehat atau sudah wafat, sebab itulah anugrah ini bukan ditujukan kepada Khu-cinjin pribadi melainkan ditujukan kepada pejabat ketua Coan-cin-pay sekarang," demikian kata perwira Mongol itu dengan tertawa.

"Tapi... tapi Siauto tidak berjasa apa2. sesungguhnya tidak berani terima anugerah," ujar Ci-peng dengan ragu2. Tapi perwira itu mendesak akhirnya Ci-peng menambahkan: "Karena persoalan ini cukup penting dan datangnya mendadak, silakan Tayjin duduk minum sebentar di ruangan dalam, biarlah Siauto mengadakan perundingan dahulu dengan para saudara seperguruan."

Perwira itu tampak kurang senang, apa boleh buat, terpaksa ia menurut bersama Siau-siang-cu mereka lantas dibawa ke ruangan belakang.

Ci-peng sendiri lantas mengundang ke-16 murid tertua Coan-cin-kau untuk berunding di ruangan samping, ia berkata setelah semua orang berduduk: "Urusan ini sangat penting dan Siauto tidak berani memutuskannya sendiri, untuk itu kuingin mendengar bagaimana pendapat saudara2."

Segera Ci-keng mendahului bicara: "Maksud baik raja MongoI ini harus diterima, hal inipun menandakan Coan-cin-kau semakin jaya, sampai raja Mongol juga tidak berani memandang enteng kepada kita." Habis berkata, dengan sikap yang gembira ia lantas bergelak tertawa.

"Kukira tidak demikian," Ci-siang ikut bicara. "Bangsa Mongol menyerbu negeri kita, rakyat jelata kita banyak menjadi korban, mana boleh kita menerima anugrahnya?"

"DahuIu Khu - supek sendiri juga menerima undangan cakal-bakal kerajaan Mongol yang bernama Jengis Khan itu dan jauh2 menuju ke daerah barat sana, tatkala itu In-ciangkau dan Li-suheng juga ikut serta, berdasarkan kejadian itu, apa salahnya kalau sekarang kita menerima anugerah raja Mongol?" ujar Ci-keng.

"Waktu itu dan keadaan sekarang sangat berbeda." jawab Ci-siang. "Ketika itu pihak Mongol hanya memusuhi kerajaan Kim dan belum menyerbu negara kita, kedua hal ini mana boleh di sama-ratakan?"

"Cong-Iam-san kita ini termasuk wilayah kekuasaan Mongol, kuil kita juga banyak yang tersebar dalam daerah kekuasaan pemerintah Mongol, kalau kita menolak anugerah ini, jelas Coan-cin-kau kita akan segera menghadapi bahaya," kata Ci-ikeng pula.

"Salah ucapan Tio-suheng ini," kata Ci-siang.

"Di mana letak salahnya, coba jelaskan." seru Ci keng aseran.

"Harap Tio-suheng menjawab dulu, siapakah Tiong-yang Cin-jin, cakal bakal agama kita ini?" Dan siapa pula guru kita yang termasuk dalam Coan cin jit-cu ini?" tanya Li Ci-siang dengan tenang.

"Kakek guru dan Suhu kita adalah para pendeta agama yang setia, mereka adalah tokoh termashur di dunia Kangouw, siapa yang tidak menghormat dan mengagumi mereka." jawab Ci-keng.

"Bagus! Malahan dapat kutambahkan mereka adalah lelaki sejati, pahlawan besar yang cinta negeri dan pembela bangsa, semuanya pernah berjuang mati2an dan bertempur melawan penyerbu dari negeri Kim" seru Ci-siang. "Nah, kalau angkatan tua Coan-cin-kau kita tiada seorangpun gentar menghadapi musuh, sekarang biarpun Coan-cin-kau akan tertimpa bahaya, kenapa kita harus takut. Harus diketahui bahwa kepala kita boleh dipenggal, tapi cita2 kita tidak boleh luntur"

Ucapan Ci-siang ini tegas dan gagah berani sehingga In Ci-peng dan belasan orang lainnya sama terbangkit semangatnya.

"Hm, memangnya cuma Li-suheng saja yang tidak takut mati dan kami ini adalah manusia pengecut semua." jengek Ci-keng. "Yang perlu kukemukakan adalah jerih payah Cousuya (cakal-bakal) kita, bahwa Coan-cin-kau bisa berkembang seperti sekarang ini, betapa banyak Co-suya dan ketujuh guru dan paman guru kita telah menegcurkan darah dan keringatnya? Kalau tindakan kita kurang benar sehingga menghancurkan Coau-cin-kau yang ini dalam sekejap mata saja, lalu cara bagaimana kita akan bertanggung-jawab terhadap Cosuya kita di alam baka?. Dan, cara bagaimana pula kita akan memberi alasan bila kelima guru kita nanti habis menyepi?"

Karena ucapannya cukup beralasan, segera ada dua-tiga tosu lain mendukungnya, Segera Ci~keng berkata puIa: "Bangsa Kim adalah musuh bebuyutan Coan-cin-kau kita. bahwa orang Mongol telah menghancurkan kerajaan Kim, hal ini sangat cocok dengan tujuan kita. Kalau saja Cosuya mengetahui hal ini, entah betapa beliau akan bergembira."

Tiba2 salah seorang murid Khu Ju-ki yang lain yakni Ong Ci-heng, ikut bicara: "Jika sehabis menghancurkan kerajaan Kim, lalu orang Mongol bersahabat dengan negeri Song kita, dengan sendirinya kita akan menerima mereka sebagai negeri tetangga yang terhormat. Tapi sekarang pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan sedang menggempur Siangyang, tanah air kita terancam bahaya, adalah rakyat jelata Song Raya, mana boleh menerima anugerah raja pihak musuh?"

Sampai di sini ia terus berpaling kepada In Ci-peng dan menegaskan: "Ciangkau-suheng (kakak guru pejabat ketua), kalau saja engkau menerima anugrah raja MongoI, itu berarti engkau adalah penghianat bangsa, orang berdosa dalam agama kita. Untuk itu sekalipun aku orang she Ong harus mengalirkan darah juga takkan mengampuni kau."

Mendadak Tio Ci-keng berdiri sambil menggebrak meja, bentaknya: "Ong-sute, apakah kau ingin main kasar? Kau berani bersikap kurangajar, begini terhadap pejabat ketua?"

"Yang kita utamakan adalah kebenaran, kalau perlu main kasar, memangnya kutakut padamu?" jawab Ong Ci-heng dengan suara keras.

Karena sama2 ngotot, tampaknya kedua pihak segera akan main kepalan dan adu senjata.



Tiba2 seorang Tosu bertubuh pendek kecil membuka suara: "Sungguh sayang bahwa di antara kita sendiri. harus berbeda pendapat. Padahal keadaan sekarang berbeda dengan masa dahuIu, Waktu itu Siaute juga ikut ke barat bersama Suhu untuk menemui Jengis Khan, dan menyaksikan sendiri keganasan perajurit Mongol. Kalau sekarang kita menerima anugerah dan menyerah pada Mongol, ini berarti kita membantu pihak yang lalim dan ikut berbuat jahat."

Tosu pendek kecil ini bernada Song Tek-hai, dia termasuk salah seorang dari ke-18 anak murid yang ikut Khu Ju-ki melawat ke Mongol dahuIu.

Ci-keng lantas menjengek: "Hm, kau pernah bertemu dengan Jengis Khan, lantas kau anggap hebat begitu? Sekali ini akupun bertemu sendiri dengan jklik raja Mongol, yaitu Kubilai, Pangeran ini sangat baik hati dan bijaksana, tiada sedikitpun tanda2 ganas dan kejam."

"Aha, bagus! jadi kau mengemban tugas bagi Kubilai untuk menjadi mata2 di sini?" teriak Ong Ci-heng.

Ci-keng menjadi gusar "Apa katamu?" bentaknya.

"Siapa yang bicara bagi orang Mongol, dia adalah pengkhianat!" teriak Ong Ci-heng pula.

Dengan murka Ci-keng terus melompat maju, sebelah tangannya terus menghantam kepala Ong Ci-heng. Namun dari samping dua orang murid Khu Ju-ki yang lain telah menangkis pukulannya ini.

"Bagus!" Ci-keng ber-kaok2 terlebih murka. "Anak murid Khu-supek memang banyak, jadi kalau hendak menang2an?"

Dalam keadaan tegang itu, Ci-peng menepuk tangan dan berseru: "Harap para Suheng dan Sute berduduk dengan tenang, dengarkanlah ucapanku."

Pejabat ketua Coan-cin-kau biasanya memegang kekuasaan tertinggi dan berwibawa, maka para Tosu itu lantas berduduk kembali dan tidak berani bersuara pula.

"Ya, memang seharusnya kita mendengarkan petua pejabat ketua, kalau dia menerima anugerahnya ya terimalah, kalau tidak ya tolak saja, Yang dianugerahi raja Mongol adalah dia dan bukan kau! atau aku, untuk apa kita ribut?" demikian Ci-keng berkata, ia yakin bahwa In Ci-peng pasti akan mengikuti kehendaknya karena rahasia orang sudah terpegang olehnya...

Maka dengan pelahan Ci-peng mulai bicara: "Siaute memang tidak mampu, baru saja diberi tugas pejabat ketua, hari pertama saja ternyata sudah menghadapi persoalan maha penting dan sulit ini. ia merandek sejenak dan ter-mangu2. Sorot mata semua orang sama tertuju padanya, suasana di ruangan itu menjadi hening.

Kemudian Ci-peng melanjutkan "Coan-cin-kau kita didirikan oleh Tiong-yang Cinjin dan dikembangkan oleh Ma-cinjin dan Khu-cinjin, sekarang Siaute menjabat ketua, mana kuberani menentangkan ajaran ketiga Cinjin itu? Coba para Suheng jawab sendiri, selagi negeri kita berada di bawah penindasan pihak Mongol, andaikan ketiga cianpwe kita itu berada disini, mereka akan menerima anugerah raja MongoI ini atau tidak?"

Semua orang terdiam dan sama memikirkan tindak tanduk kaum tua yang disebut itu. Ong Tiong-Sudah lama wafat dan banyak di antara murid angkatan ketiga ini tidak pernah melihatnya, sedangkan Ma Giok juga sudah meninggal dan pribadinya terkenal ramah-tamah, setiap keputusan yang diambil mengutamakan ketenangan.

Tapi Khu Ju-ki berwatak keras, namun berbudi luhur dan berjiwa setia, Teringat kepada Khu Ju-ki, serentak semua orang berteriak: "Khu-cinjin pasti takkan menerima anugerah raja Mongol ini."

Dengan suara keras Ci-keng lantas berteriak pula: "Tapi pejabat ketua sekarang adalah kau dan bukan Khu-supek."

"Namun Siauto harus taat kepada ajaran guru, apalagi dosaku teramat besar, matipun belum cukup penebus dosaku," jawab Ci peng, lalu ia menunduk.

Sudah tentu Tosu Iain tidak tahu arti yang terkandung dalam ucapan Ci-peng itu, hanya Ci-keng yang dapat menangkap maksudnya, ia lantas berbangkit dan menjengek: "Jika begitu, jadi sudah pasti kau tak mau terima?"

"Jiwaku sesungguhnya tidak berarti, yang utama adalah nama baik Coan cin-kau kita," jawab Ci peng dengan suara pedih, tapi kemudian suaranya berubah bersemangat ia menyambung pula. "Apalagi saat ini setiap ksatria perlu bersatu untuk melawan musuh dari Iuar. Coan-cin-pay kita terkenal sebagai tulang punggungnya dunia persilatan, kalau kita takluk kepada Mongol, ke mana lagi muka kita ini harus ditaruh?"

Serentak para Tosu itu bersorak gemuruh memuji ketegasan Ci - peng. Yang marah adalah Ci keng, segera ia melangkah pergi. Setiba di ambang pintu ia menoleh dan mendengus: "Goankau-suheng cara bicaramu terdengar bagus sekali, tapi hehe, bagai mana akibatnya persoalan ini tentu kau sendiri sudah memikirkannya."

Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa berpaling lagi. Beberapa Tosu yang mendukung Tio Ci-keng tadi juga cepat mengeluyur pergi di tengah sanjung puji Tosu yang larut kepada sikap In Ci-peng itu.

Ci-peng tidak bicara lagi, dengan muram ia kembali ke kamarnya sendiri, ia tahu setelah mengalami kegagalan tadi, Ci-keng pasti takkan menyerah begitu saja, tentu akan membongkar rahasia perbuatannya yang kotor terhadap Siao-liong-li itu.

Sebenarnya Ci-peng sudah bertekad mati ketika dia menolak anugerah Mongol tadi, selama beberapa bulan ini dia sudah kenyang menahan rasa takut ia tersiksa batinnya, teringat olehnya jika sudah mati maka segala apapun tidak perlu dikuatirkan lagi, maka hatinya menjadi lega malah.

Segera ia menutup pintu kamar dan dipalang, dengan iklas ia melolos pedang terus di gorokkan ke lehernya sendiri.

Mendadak dari belakang rak buku muncul seorang dan cepat merampas pedang In Ci-peng, karena tidak ber-jaga2, tahu2 pedang Ci-peng ini terampas begitu saja.

Keruan Ci-peng terkejut dan cepat menoleh, kiranya yang merampas pedangnya bukan lain daripada Tio Ci-keng.

"Setelah kau merusak nama baik Coan-cin-kau kita, sekarang kau ingin bunuh diri dan habis perkara, begitu?" jengek Ci-keng, "Nona Liong masih menunggu di luar sana, sebentar kalau dia datang akan meminta keadilan, lalu cara bagaimana kita akan menjawabnya?"

"Baik, akan kutemui dia dan bunuh diri dihadapannya untuk menebus dosaku," kata Ci-peng.

"Biarpun kau sudah bunuh diri juga urusan tak dapat diselesaikan," ujar Ci-keng. "Nanti sesudah keluar dari menyepi tentu kelima guru kita akan mengusut persoalanmu. Sekali nama baik Coan-cin kau kita runtuh, maka selamanya kau akan menjadi orang berdosa."

Ci-peng merasa terdesak dan bingung, ia metutupi mukanya dan mendadak duduk di lantai, menggumam sendiri: "Habis apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang harus kulakukan?"

Kalau tadi di depan orang banyak ia dapat bicara dengan lancar, sekarang setelah berhadapan sendirian dengan Tio Ci-keng ternyata sedikitpun tidak dapat menguasai diri.

"Baik, asalkan kau tunduk kepada syaratkan persoalan mengenai nona Liong akan kututup rapat, nama baikmu dan Coan-Cin-kau kita juga dapat di pertahankan," kata Ci~keng.

"Kau ingin kuterima anugerah raja Mongol itu?" tanya Ci-peng.

"Tidak, tidak! Aku tidak ingin kau menerima anugerahnya," jawab Ci-keng.

Hati Ci-peng terasa lega, tanyanya pula: "Habis apa keinginanmu? Lekas katakan pasti akan kuturuti."

* * * *

Tidak lama kemudian, terdengar riuh ramai suara genta dan tambur di pendopo Tiong-yang kiong sebagai tanda segenap anggauta harus berkumpul.

Li Ci siang memerintahkan anak buahnya membawa senjata di dalam jubah untuk menjaga segala kemungkinan.

Ruangan besar itu penuh ber-jubel Tosu tua dan muda, semuanya tegang ingin tahu apa yang bakal terjadi. Kemudian tampak Ci-peng melangkah keluar dari belakang, wajahnya pucat dan tak bersemangat, begitu berdiri di tengah ruangan segera ia berseru: "Para Toheng, atas perintah Khu~ciangkau tadi Siauto telah ditunjuk sebagai pejabat ketua, siapa tahu Siauto mendadak menderita penyakit maut dan takdapat disembuhkan..." karena keterangan yang tak ter-duga2 ini, seketika gemparlah para Tosu.

Kemudian Ci-peng menyambung: "Oleh karena itu, tugas sebagai pejabat ketua yang maha penting ini sukar dipikul, sekarang juga aku menunjuk murid tertua dari Ong-susiok, yakni Tio Ci-keng, sebagai pejabat ketua."

Seketika suasana menjadi hening, namun keadaan sunyi ini cuma berlangsung sekejap saja, segera terdengarlah suara protes beberapa orang, seperti Li Ci-siang, Ong Ci-heng, Song Tek-hong dan lain2. Be-ramai2 mereka berteriak "Tidak! tidak! bisa! Khu-cinjin menunjuk In-suheng sebagai pejabat ketua, tugas penting ini mana boleh diserahkan lagi kepada orang lain? - Ya, tanpa sebab, mana bisa In-suheng terserang penyakit maut seoara mendadak? Betul, di balik urusan ini tentu ada sesuatu intrik keji, kita harap Ciangkau- suheng jangan terjebak oleh tipu muslihat kaum pengkhianat.?

Begitulah seketika seluruh ruangan menjadi panik, Li Ci-siang dan kawan2nya sama melotot pada Tio Ci-keng, tapi Ci-keng tampaknya tenang2 saja dari anggap sepi sikap pihak lawan.

In Ci-peng lantas memberi tanda agar semua diam, lalu berkata: "Datangnya urusan ini terlalu mendadak, pantas kalau saudara2 tidak paham persoalannya. Coan cin-kau kita sedang menghadapi malapetaka, Siauto telah berbuat pula sesuatu kesalahan besar, sekalipun mati juga sukar bagiku, untuk menebus dosaku dan sukar menghindari bahaya yang mengancam."

Sampai di sini, air mukanya tampak sedih sekali, sejenak kemudian ia menyambung pula: "Sudah kupikirkan dengan masak2, kurasa hanya Tio-suheng yang berpengetahuan luas yang dapat membawa Coan-cin-kau terhindar dari bahaya ini. Untuk itu di antara para Suheng dan Sute harus kesampingkan pendirian pribadi dan ber-sama2 membantu Tio-suheng melaksanakan tugas bagi keselamatan dan kejayaan Coan~cin~kau kita ini."

Li Ci-siang menjadi sangat curiga, dari sikap In Ci-peng itu jelas sang Suheng menahan sesuatu rahasia yang sukar diuraikan, kalau sang Suheng yang menjabat ketua sudah memohon kerelaan para Sute, iapun tidak enak untuk ngotot, terpaksa ia menunduk dan tak bersuara lagi selain diam2 memikirkan langkah selanjutnya yang perlu diambil.

Watak Ong Ci-heng sangat jujur, tanpa pikir ia berteriak: "Kalau Ciangkau-suheng betul2 mau mengundurkan diri juga perlu menunggu selesainya guru2 kita habis menyepi, setelah dilaporkan barulah diambil keputusan yang lebih bijaksana."

"Tapi urusannya sudah terlalu mendesak, tidak dapat menunggu lagi," ujar Ci-peng dengan muram.

"Baiklah, seumpama memang begitu, di antara sesama saudara seperguruan kita, baik mengenai budi pekerti maupun mengenai Kanghu, rasanya yang melebihi Tio-suheng masih cukup banyak," kata Ci-seng pula. "Misalnya Li-suheng atau Song-sute, mereka terlebih pintar dan tangkas, kenapa mesti serahkan tugas maha penting kepada Tio-suheng yang tidak dapat diterima oleh semua orang."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar