-------------------------------
-----------------------------
Bagian 07
THIO COEI SAN mendapat gelaran
Gin kauw Tiat hoa (Gaetan perak Coretan besi) karena tangan kirinya menggunakan
Houw tauw kauw (Gaetan kepala harimau ) yang terbuat dari pada perak, sedang
tangan kanannya bersenjatakan Poan koan pit (senjata yang menyerupai pena
Tionghoa) yang terbuat daripada besi. Sebab kuatir ditertawai oleh kaum
sasterawan, maka sesudah mahir dalam ilmu silat, ia lalu mempelajari juga ilmu
surat di bawah pimpinan gurunya yang Boen boe coan cay (pandai ilmu surat dan
ilmu silat). Song loan tiap itu pernah dipelajari olehnya pada dua tahun yang
lain.
Sambil bersembunyi di belakang
tiang, ia memperhatikan gerakan tangan gurunya yang menulis seperti berikut:
"Hie Cie toen sioe, song loan cie kek, sian bok cay lie to tok, toei wie kouw
seng. (Hie Cie memberi hormat. Kesedihan dan kekalutan melampaui batas,
kuburan-kuburan leluhur diubrak abrik, kalau diingat sungguh hebat perasaan
duka).
Lewat beberapa saat, Coei San
dapat merasakan bahwa setiap coretan yang dibuat oleh gurunya mengandung
kedukaan dan secara mendadak, ia berhasil menyelami perasaan Ong Hie Cie
sendiri pada waktu ia menulis Song loan tiap itu.
Ong Hie Cie adalah seorang
sasterawan besar pada jaman kerajaan Cin Timur. Di waktu itu, Tiongkok kacau
balau dan bangsa asing menentang kekuasaannya. Dalam kesedihan dan kekalutan
hebat (song loan), murid-murid Ong Hie Cie teleh melarikan diri ke Tiongkok
Selatan. Bukan saja manusia, tapi kuburan-kuburan pun turut diubrak abrik,
sehingga dapatlah dibayangkan, kedukaan dan kegusaran rakyat yang sangat
menghormati kuburan leluhur mereka. Penderitaan yang hebat itu semua dilukiskan
dalam Song loan tiap.
Diwaktu yang lampau, dalam
keadaan yang selalu riang dan gembira, Thio Coei San tidak bisa memahami maksud
yang sebenarnya arti 'tiap' itu. Tapi sekarang, karena ia sendiri tengah
diliputi dengan kedukaan berhubung dengan terlukanya Jie Thay Giam maka secara
mendadak ia dapat menyelami arti "Song loan dan "To tok".
Sesudah menulis beberapa kali,
Thio Sam Hong menghela napas panjang dan lalu masuk keruangan tengah, dimana ia
termenung-menung beberapa lama. Tiba-tiba ia mengangkat pula tangan kanannya
dan menulis huruf-huruf ditengah udara. Kali ini, huruf-huruf itu berbeda
dengan huruf-huruf Song loan tiap. Huruf-huruf pertama adalah "Boe"
(Persilatan), sedang yang kedua "Lim" Rimba. Ia menulis terus sampai
duapuluh empat huruf.
Dengan mengawasi gerakan
tangan sang guru, Thio Coei San tahu, bahwa yang ditulisnya ialah: "Boe
lim cie coen, po to To liong hauw leng thian hee, boh kam poet ciong, Ie thian
poet coet swee ie ceng hong."
"Apakah Soehoe sedang
coba memecahkan teka teki dalam kata itu", tanyanya didalam hati. Thio Sam
Hong menulis huruf-huruf itu berulang-ulang, semakin lama gerakan tangannya
jadi semakin perlahan, setiap gerakan menyerupai gerakan silat. Mendadak saja,
Thio Coei San tersadar. Ia sekarang mengerti, bahwa dengan menulis duapuluh
empat huruf itu, sang guru sebenarnya tengah menjalankan serupa ilmu silat yang
sangat tinggi, dalam mana setiap huruf berarti setiap pukulan.
Dalam duapuluh empat huruf
itu, hurup "liong" (naga) dan huruf "hong" (tajam) yang
paling banyak coretannya, sedang huruf "to" (golok) dan huruf
"hee" (bawah) yang paling sedikit coretannya, Tapi, walaupun coretannya
banyak, gerakannya tidak kelihatan berlebihan, sedang biarpun coretannya
sedikit, gerakannya tidak kelihatan kekurangan. Setiap gerakan pukulan tepat
dan mantep, indah dan lincah, angker bagaikan badai, bertenaga seperti tubrukan
harimau, kokoh kuat seakan-akan tindakan gajah, cepat seolah-olah berkredepan
kilat diangkasa. Dalam duapuluh empat huruf itu terdapat dua "poet"
dan dua "thian" tapi, sesuai dengan artinya yang berbeda beda, jiwa
dari pukulan pukulannya berbeda-beda.
Dalam tahun-tahun yang
belakangan ini, jarang sekali Thio Sam Hong berlatih silat. Ilmu silat In Lie
Heng dan Boh Seng Kok didapat dari Song Wan Kiauw dan Jie Lian Coe yang
mewakili gurunya. Maka itu, biarpun Thio Coei San murid kelima, tapi
sebenar-benarnya ia, adalah murid penutup, atau murid terakhir yang mendapat
pelajaran dari Thio Sam Hong sendiri.
Malam itu guru dan murid
mempunyai perasaan yang sama, berhubung dengan terjadinya peristiwa mendukakan
itu. Mereka berduka sebab memikiri keselamatan Jie Thay Giam dan mendongkol
karena adanya ancaman dari pihak yang belum di ketahui siapa adanya. Dalam
jengkelnya, Thio Sam Hong sudah menulis huruf-huruf itu dan secara kebetulan,
ia telah menciptakan semacam ilmu silat baru. Secara kebetulan, oleh karena,
pada waktu baru menulis huruf-huruf itu, ia sedikit pun tak punya niatan untuk
menggubah ilmu pukulan. Sementara itu, Thio Coei San yang kebetulan bersembunyi
dibelakang tiang, telah melihat dipertunjukkannya ilmu silat tersebut, yang
lantas saja dapat dipahami olehnya lantaran iapun sedang diliputi dengan perasaan
duka. Demikianlah, secara sangat luar biasa, satu ilmu silat baru yang
berdasarkan seni menulis huruf, telah tercipta dalam Rimba Persilatan.
Dua jam lamanya, sehingga
rembulan naik tinggi, Thio Sam Hong berlari terus menerus. Beberapa lama
kemudian, sambil bersiul nyaring, telapak tangan kanannya menyabet dari atas
kebawah, bagaikan menyambernya sehelai sinar pedang. Sabetan yang dahsyatitu
merupakan coretan terakhir dari huruf "hong".
Sehabis menyabet, ia dongak
seraya berkata: "Coei San, bagaimana pendapatmu dengan Soe hoat (seni
menulis huruf indah) ini?"
Thio Coei San terkesiap. Ia
tak nyana bahwa bersembunyinya telah diketahui oleh sang guru. Buru-buru ia
manghampiri seraya menjawab: "Hari ini teecoe mujur luar biasa, karena
dapat melihat ilmu silat Soehoe yang begitu tinggi. Apa boleh teecoe panggil
Toasoeko dan yang lain-lain, supaya mereka pun bisa turut menyaksikan?"
Sang guru meoggelengkan
kepalanya. "Kegembiraanku sudah habis, sehingga mungkin sekali aku tak
bisa menulis lagi begitu bagus," katanya "Wan Kiauw, Siong Kee dan
yang lain lain tidak mengerti Soehoat, sehingga meskipun melihat, belum tentu
mereka bisa menarik banyak kefaedahan." Sehabis berkata begitu seraya
mengebas tangan jubahnya, is berjalan masuk keruangan dalam.
Thio Coei San tidak berani
tidur, sebab kuatir sesudah pulas, ia akan lupakan ilmu silat itu. Dengan
lantas ia bersilat dan menjernihkan pikiran, sambil mengingat-ingat setiap
coretan yang barusan dilihatnya, dengan tempo-tempo bangun berdiri dan
menjalankan beberapa pukulan sulit. Entah berapa jam ia bersila disitu, tapi
pada akhirnya dapatlah ia menghapal seluruh ilmu silat tersebut yang terdiri
dari duapuluh empat huruf dengan seluruh lima belas perubahan-perubahannya.
Beberapa saat kemudian, ia
melompat bangun dan lalu menjalankan semua pukulan itu. Sesudah beberapa jurus,
pukulan pukulannya keluar dengan deras dan lancar bagaikan air tumpah, sedang
tubuhnya enteng melompat kian kemari seperti seekor kera. Akhirnya, ia membuat
coretan paling penghabisan dari huruf 'Hong' (tajam) dengan telapak tangan
kanannya yang menyambar dari atas kebawah dan "bret!", ujung bajunya
robek karena pukulan itu. Ia kaget tercampur girang. Tiba tiba saja, ia
mendapat kenyataan, bahwa matahari sudah naik tinggi.
Sesudah menyusut keringat yang
membasahi mukanya, ia segera berlari lari kekamar Jie Thay Giam, di mana sang
guru sedang menempelkan kedua telapak tangannya pada dada saudara seperguruan
itu sambil mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya.
Perlahan-lahan supaya tidak
mengganggu, ia berjalan keluar dari kamar itu. Ternyata Song Wan Kiauw, Thio
Siong Kee dan In Lie Heng sudah berangkat. Sedang rombongan Liang boen Piauw
kiok pun sudan turun gunung. Karena sungkan mengganggu latihannya, maka ketiga
saudara seperguruan itu sudah pergi tanpa pamitan lagi.
Ia pun segera berkemas,
membekal senjata dan beberapa puluh tahil perak, akan kemudian, pergi lagi ke
kamar Jie Thay Giam. "Soehoe, teecoe mau berangkat sekarang" katanya.
Sambil bersenyum, sang guru manggut manggutkan kepalanya.
Sehabis berkata begitu, Coei
San mendekati pembaringan dan lihat muka Thay Giam yang berwarna kehitam
hitaman karena pengaruh racun, sedang tanda tandanya bahwa kakak seperguruan
itu masih bidup, hanya napasnya yang berjalan perlahan sekali. Bukan main rasa
dukanya. "Samko," katanya dengan suara serak, "Biarpun badanku
hancur lulur, aku pasti akan, membalas sakit hatimu". Ia menekuk lutut
dihadapan gurunya dan kemudian sambil menekap muka dengan kedua tangannya, ia
meninggalkan kamar itu.
Dengan menuggang Cengcong ma
(kuda bulu hijau putih), ia turun dari Boe tong san. Sesudah melalui lima puluh
li lebih, siang terganti dengan malam dan awan mendung meliputi langit. Baru
saja ia masuk kedalam sebuah rumah penginapan. Hujan mulai turun. Semakin lama,
hujan itu jadi semakin besar dan semalam suntuk turun tak henti hentinya. Pada
keesokan paginya, awan gelap belum buyar dan hujan masih terus turun dengan
tidak kurang hebatnya.
Karena ingin membalas sakit
hati Soekonva secepat mungkin, ia tak mau membuang buang tempo. Ia segera
membeli baju hujau dan tudung dari pemilik penginapan dan lalu meneruskan
perjalanan. Untung juga Cengcong ma bukan sembarang kuda, sehingga dia dapat
berlari terus dijalanan berlumpur sangat jelek.
Sesudah melewati Lao ho kouw,
ia menyebrang sungai Han soei yang airnya banjir dan menerjang kealiran bawah
dengan dahsyatnya. Cengcong ma dibedal terus melalui kota Siang yang dan Hoan
soie. Ia dengar berita orang bahwa di aliran sebelah bawah Han soei, gili-gili
bobol rakyat diserang air bah. Setibanya di Gie shia, ia mulai bertemu dengan
rakyat yang melarikan diri dari serangani banjir dengan berbondong-bondong.
Hujan masih turun terus dan penderitaan rakyat hebat bukan main.
Selagi mengaburkan
tunggangannya, disebelah depan terlihat sejumlah penunggang kuda yang
mengibarkan bendera piauw hang. Segera juga ia mengenali, bahwa mereka mereka
itu adalah orang orang Liong boen piauw kiok. Ia lantas saja mencambuk Cengcong
ma yang segera lari bagaikan terbang dan sesudah melewati rombongan itu, ia
menahan les, memutar tunggangannva dan menghadang ditengah jalan.
Melihat Thio Coei San, Touw
Tay Kim menanya dengan suara dingin: "Thio Ngo hiap, ada urusan apa kau
mengubar kami?"
"Apakah Touw Cong piauw
tauw lihat penderitaan rakyat yang kelanggar bencana banjir itu ?" ia
balas menanya.
Touw Tay Kim tak duga ia bakal
ditanya begitu.
"Apa?" menegasnya
dengan terkejut.
Pemuda itu tertawa-dingin.
"Aku ingin minta para dermawan mengeluarkan emas mereka untuk menolong
rakyat yang bersengsara" jawabnya.
Paras Cong piauw tauw itu
lantas saja berubah pucat. "Kami orang-orang piauw hang setiap hari hidup
diujung senjata dan mencari makan dengan mempertaruhkan jiwa," katanya
dengan suara gusar. "Mana kami mempunyai kekuatan untuk menolongg begitu
banyak orang ?"
"Serahkan itu duaribu
tahil emas yang berada dalam sakumu!" bentak Thio Coei San.
"ThioNgo hiap, apa kau
mau mencari-cari urusan dengan aku?" tanya Touw Tay Kim seraya meraba
gagang golok.
Ciok dan Soe Piauw tauw lantas
saja menghunus senjata mereka dan berdiri didekat pemimpinnya.
Dengan tetap bertangan kosong,
Thio Coei San berkata sambil tertawa dingin: "Touw Cong piauw tauw,
tanyalah dirimu sendiri. Sesudah makan upah, apakah kau sudah menjalankan
tugasmu? Hmn! Kau, masih ada muka untuk mengantongi duaribu tahil emas itu
?"
Muka Touw Tay Kim merah padam,
karena malu dan gusar. "Bukankah kami sudah mengantar Jie Sam hiap sampai
di Boe tong san ?" Ia membela diri. "Sebelum kami menerima tugas itu,
ia memang sudah terluka berat. Sekarang pun ia masih belum mati."
"Jangan ngaco!"
bentak Coei-San "Apa kaki tangan Jie Sam ko sudah patah-waktu ia berangkat
dan Lim an?"
Touw Tay Kim tak dapat
menjawab.
"Thio Ngo hiap."
menyelak Soe Piauw Tauw, "Apakah sebenarnya maksudmu. Katakan saja
terang-terangan."
"Aku balas hancurkan
tulang tulang tanganmu!" bentaknya sambil melompat dan menerjang. Soe
piauw tauw mengangkat toyanya untuk menangkis, tapi ia kalah cepat. Bagaikan
kilat, Thio Coei San mengebas dan membabat dengan tangan kirinya dan toya itu
terbang sedang Soe Piauw tauw jatuh terpelanting dari tungganannya. Dalam
serangan itu, Thio Coei San menggunakan huruf "thian" (langit) dari
ilmu silat yang baru didapatinya.
Piauw tauw yang bisa lihat
selatan, coba menyingkirkan diri, tapi sudah tidak keburu lagi. Karena tangan
Coei San sudah menyapu pinggangnya dalam gerakan garis melintang dari huruf
"thian" sehingga tanpa ampan lagi, tubuhnya bersama-sama sela kuda
terpental setombak lebih dan jatuh terjengkang diatas tanah. Waktu diserang,
kedua kaki piauw tauw, itu menginjak sanggurdi keras-keras, tapi sebab lawannya
menghantam dengan Lwekang yang sangat hebat, maka tali ikatan perut kuda
menjadi putus dan sela kuda turut terlempar.
melihat hebatnva serangan
musuh, Touw Tay Kim mengeprak kudanya dan menerjang. Dengan sekali memutar
badan. Coei San menghantam dengan pukulan huruf "hee" (bawah).
"Buk!" pukulan itu
mengenakan tepat dipunggung Touw Tay Kim yang tubuhnya lantas saja ber
goyang-goyang. Karena ilmunya banyak lebih tinggi daripada kawannya, maka ia
tidak sampai roboh dari tungganannya. Baru saja ia melompat turun dari punggung
kuda untuk mengadu jiwa, tiba tiba ia merasa tenggorokannya penuh dan
"ugh!" ia muntahkan datah. Ia terhuyung beberapa tindak. Kakinya lemas
roboh duduk diatas tanah. Tiga piauw soe lainnya dan para pegawai piauw hang
tentu saja tidak berani bergerak lagi.
Waktu baru bertemu dengan
rombongan piauw hang itu, dengan kegusaran yang meluap luap Thio Ngo hiap
betekad untuk mematahkan kaki tangan para piauw soe itu. Tetapi sesudah
melukakan tiga orang secara begitu mudah, malah seorang diantaranya mendapat
luka berat, ia sedikitpun tidak menduga, bahwa ilmu silat yang baru
dipelajarinya itu sedemikian hebat. Hatinya jadi lemas dan ia tak tega untuk
turun tangan lebih jauh.
"Orang she Touw!"
bentaknya, "Hari ini aku berlaku murah terhadapmu. Keluarkan dua ribu
tahil emas itu untuk menolong rakyat yang kelanggar bencana alam. Aku akan
menilik sepak terjangmu dari kejauhan dan jika setahil saja kau sembunyikan dalam
kantong mu, aku akan basmi seluruh Liong boen Piauw kiok, aku akan binasakan
kecil besar tujuh puluh dua jiwa, malah ayam dan anjing pun tak akan diberi
ampun!"
Ia mengancam dengan
menggunakan kata-kata dari orang yang memberikan dua ribu tahil emas sebagai
upah untuk mengantar Jie Thay Giam ke Boe tong san.
Perlahan-lahan Tauw Tay Kim
bangun berdiri, tapi ia merasa punggungnya sakit sangat dan begitu bergerak, ia
kembali muntahkan darah. Soe Piauw tauw yang hanya mendapat luka enteng, segera
berkata dengan suara lemas "Thio Ngo hiap, emas itu berada di Lim an,
sehingga tak dapat kami menolong orang-orang yang berada di sini"
Thio Coei San tertawa dingin.
"Kau kira aku anak kecil?" tanyanya dengan nada mengejek, "Semua
jago Liong boen Piauw kiok keluar dari sarangnya dan Lim an hanya ketinggalan
keluarga kamu yang tak bisa melindungi harta itu. Emas itu sudah pasti berada
disini!" Sambil berkata begitu, ia menyapu rombongan piauw hang dengan
matanya. Mendadak ia menghampiri sebuah kereta dan menghantam dengan telapak
tangannya, "Brak!" kereta hancur dan belasan potongan emas jatuh
berhamburan di tanah.
Semua orang pucat mukanya.
Mereka tidak mengerti, bagaimana pemuda itu tahu tempat menyimpan emas.
Ternyata, biarpun masih berusia muda, Thio Ngo hiap berotak cerdas, bermata
awas dan berpengalaman luas. Melihat tanda lumpur diroda kereta yang mengunjuk
bahwa roda-roda tersebut amblas lebih dalam dari pada kereta-kereta lainnya dan
melihat bagaimana sesudah ia menghajar Touw Tay Kim, sebaliknya dari pada
menolong pemimpin itu, tiga piauw soe buru-buru mendekati kereta tersebut, maka
ia segera menarik kesimpulan, bahwa kereta itu, yang muatnya diisi dengan
muatan sangat berharga. Ia mengawasi potongan-potongan emas itu sambil tertawa
dingin dan kemudian tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi ia melompat kepunggung
Kuda yang terus di kaburkan.
Sembari jalan hatinya senang
sekali. Ia menduga pasti, bahwa demi keselamatan keluaga mereka,
piauwsoe-piauwsoe itu tak akan berani membantah perintahnya. Perasaan senang
itu sebagian besar disebabkan oleh kenyataan, bahwa ilmu silat yang berdasarkan
dua puluh empat huruf yang baru di dapatnya, bukan main lihaynya.
Dengan melawan hujan, beberapa
hari ia membedal kudanya terus menerus. Meskipun binatang itu binatang luar
bias, tenaganya ada batasnya.
Demikianlah, waktu tiba
didaerah propinsi Kang say, mulut kudanya mengeluarkan busa putih dan badannya
panas, Coei San menyesal bukan main, karena ia sangat sayang tunggangannya itu.
Ia segera berhenti disebuah rumah penginapan, memberi obat kepada kudanya dan
selang beberapa hari, barulah panasnya turun. Sesudah binatang itu sembuh, ia
meneruskan perjalanan dengan perlahan-lahan dan pada tanggal Sie gwee Sha cap
(Bulan Empat tanggal 30) barulah ia masuk kedalam kota Lim an.
Sesudah dapat kamar disebuah
hotel, ia segera menimbang-nimbang tindakan apa yang akan diambilnya.
"Karena kudaku sakit, aku sangat terlambat," pikirnya. "Apa
rombongan Liongboen Piauw kiok sudah pulang? Dimana adanya Jieoko dan Citee?
Biarlah malam ini aku menyelidiki digedung piauw kiok itu."
Sesudah makan malam, ia segera
mencari tahu letaknya gedung Liong boen Piauw kiok dari pelayan-pelayan hotel
yang memberitahu bahwa gedung itu berdiri dipinggir telaga See Ouw. Kemudian ia
pergi kepusat toko-toko dan membeli seperangkat pakaian baru dengan kopiah
sasterawan serta sebuah kipas Hang cioe yang tersohor. Ia kembali kehotel,
mandi, menyisir rambut dan lalu menukar pakaian. Waktu berdiri didepan kaca dan
memandang bayangannya sendiri, ia tertawa gali. Bayangan itu adalah bayangan
seorang Kongcoe sasterawan dan bukan seorang Hiapsoe (pendekar) yang namanya
menggetarkan Rimba Persilatan.
Dengan bersenyum senyum, ia
meminjam alat tulis dari pengurus hotel untuk menulis syair dikipasnya. Secara
wajar, apa yang ditulisnya adalah itu dua puluh empat huruf "Ie thian to
liong". Ia merasa heran sebab setiap coretan yang turun diatas kipas
banyak lebih bertenaga dan indah daripada biasanya. "Sesudah mempelajari
silat itu, Soe hoatku juga dapat banyak kemajuan," pikirnya.
Pada waktu itu kerajaan Song
sudah roboh dan seluruh Tiongkok berada di bawah kekuasaan dinasti Goan. Karena
Lim an adalah bekas ibukota Lam song (Song Selatan), bangsa Mongol telah
membuat penjagaan lebih kuat dikota itu daripada dilain lain kota. Mereka
memerintah dengan tangan besi, sehingga dalam kekuatannya, banyak penduduk
bearpindah kelain tempat. Maka itulah, disepanjang jalan Thio Coei San bertemu
dengan banyak rumah yang rusak karena akibat perang dan yang kosong sebab
ditinggalkan penghuninya. Kota yang sepi itu memperlihatkan pemandangan
menyedihkan, tidak tertampak pula keramaian serta kemakmuran dari Lim an yang
dulu, yang merupakan salah sebuah kota tersohor dari Kanglam yang indah permai.
Cuaca masih belum gelap, tapi
banyak rumah sudah pada menutup pintu dan di jalanan jarang sekali terlihat
rakyat jelata. Apa yang ditemukan Coei San hanyalah serdadu-serdadu Mongol yang
meronda dengan menunggang kuda. Sebab tak ingin banyak urusan, sedapat mungkin
ia menyingkirkan diri dari peronda-peronda itu.
Dulu, di waktu malam, apapula
pada malam malam terang bulan, telaga See ouw bukan main ramainya dan seluruh
telaga seolah-olah ditabur dangan lampu-lampu perahu pelesir. Tapi sekarang,
ketika ia tiba di Pak tee dan memandang ketempat jauh, telaga itu diliputi
dengan kegelapan yang menyeramkan dan diatas air tak terdapat sebuah perahupun.
Ia menghela napas berulang-ulang dan sesuai dengan petunjuk pelayan hotel, ia
lalu berjalan menuju kegedung Liong boen Piauw kiok.
Gedung itu sangat besar dan
berhadapan dengan telaga See ouw sedang dua singa-singaan batu di depan pintu
sangat menambah keangkerannya. Perlahan-lahan Thio Coei San mendekati.
Tiba-tiba, ia melihat sebuah
perahu pelesir ditepi telaga depan gedung itu. Dalam perahu dipasang dua tengloleng
sutera dan dibawah penerangan itu kelihatan duduk seorang lelaki yang sedang
minum arak seorang diri. "Enak betul minum arak diatas air," katanya
dalam hati sambil menghampiri pintu. Teng (peep: teng=???) besar yang
tergantung didepan gedung tidak dipasangi lilin, sedang pintunya yang dicat
merah tua tertutup rapat. Penghuni gedung itu rupanya sudah pada tidur.
"Sebulan yang lalu Samko masuk ke pintu ini," pikirnya dengan rada
duka. Mendadak ia terkejut, karena di belakang nya terdengar hela napas yang
panjang.
Ditengah malam yang sunyi,
hela napas itu kedengarannya menyeramkan dan menyayat hati. Dengan cepat ia
memutar badan, tapi ia tidak lihat bayangan satu manusiapun. Kecuali orang yang
sedang minum arak data in perahu, di sekitar itu tidak terdapat lain manusia.
Dengan perasaan heran, ia mengawasi orang itu, yang mengenakan tiungsha (jubah
panjang) warna hijau dan memakai topi empat persegi, yaitu dandanan seorang
sasterawan seperti ia sendiri. Ia tak dapat melihat tegas muka orang itu, tapi
dipandang dari samping dengan bantuan sinar tengloleng, kelihatannya pucat
pasi. Orang itu duduk termenung-menung dengan tidak bergerak dan gerakan
satu-satunya hanyalah berkibatnya tangan jubah karena tiupan angin.
Sesudah mengawasi beberapa
lama, ia memutar badan lagi dan mencekal cincin tembaga yang menempel dipintu
dan lalu mengetuk-ngetuknya beberapa kali. Sebenarnya ia ingin masuk dengan
melompat tembok, tapi sesudah melihat orang di perahu itu, ia merasa jengah
sendiri. Suara ketukan itu terdengar nyaring sekali dan sehabis mengetuk, ia
menempelkan kupingnya didaun pintu, tapi di dalam sunyi-sunyi saja tidak
terdengar suara manusia yang menghampiri pintu.
Dengan heran, ia mendorong
sedikit dan pintu itu terbuka. Lantas saja ia bertindak masuk seraya berseru:
"Apa Touw Cong piauw tauw ada dirumah ?"
Ia berjalan terus keruangan
tengah yang gelap gelita. Mendadak terdengar suara "truk!" pintu
tertutup keras seperti di tiup angin.
Ia kaget, lalu melompat keluar
dari ruangan itu dan menghampiri pintu. Ia terperanjat karena pintu itu sudah
dikunci orang. Tapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyalinya sangat
besar. Sambil tertawa dingin, ia masuk pula ke ruangan tengah.
Baru saja masuk beberapa
tindak, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin tajam dari depan belakang, kiri
dan kanan. Dengan sekali melompat, ia kelit serangan keempat pembokong itu.
Dalam kegelapan ia lihat berkelebatnya sinar-sinar putih, sebagai tanda, bahwa
penyerang-penyerang menggunakan senjata golok. Cepat seperti kilat, ia meloncat
kesebelah barat dan telapak tangan kanannya membabat salah seorang dari kanan
kiri. "Ptak!" tangannya mengenakan jitu jalanan darah Tay yang hiat
orang itu yang lantas saja roboh terguling. Hampir berbareng, telapak tangan
kirinya menyabet dari kanan atas kiri bawah dan mampir tepat dipinggang seorang
musuh lainnya yang juga ambruk dilantani. Dua pukulan itu merupakan satu garis
melintang dan satu coretan miring dari huruf "poet" (tidak). Sesudah
berhasil merobohkan dua musuh, ia mengirim pukulan lurus dari atas kebawah dan
satu totokan yaitu coretan lurus dan sebuah titik dari hurup "poet"
dan dua penyerang lainnya terjungkal di lantai.
Demikianlah, dengan empat
pukulan yang merupakan tiga coretan dan sebuah titik huruf "poet", ia
berhasil menjatuhkan empat pembokong itu.
Karena tak tahu siapa empat
penyerang itu, Thio Coei San sunkan berlaku kejam, dan hanya menggunakan tiga
bagian tenaganya. Orang keempat yang "ditotok" olehnya, terhuyung
beberapa tindak dan badannya menubruk sebuah kursi yang lantas saja menjadi
hancur "Binatang! Sungguh kejam kau!" cacinya: "Kalau kau benar2
laki-laki, beritahukan namamu,"
"Jika aku berlaku kejam,
jiwamu sudah melayang" katanya sambil tertawa. "Aku adalah Thio Coei
San dari Boe tong san."
Orang itu mengeluarkan seruan
kaget. "Apa.... benar kau Gin kauw Tiat hoa Thio Coei San?" tanyanya
dengan suara tidak percaya.
Sambil bersenyum, Thio Ngo
hiap meraba pinggangnya dan di lain saat, tangan kirinya sudah mencekal gaetan
Houw tauw kauw yang terbuat dari pada perak, sedang tangan kanannya memegang
Poan koan pit besi. Dengan sekali membenturkan kedua senjata, lelatu api
muncrat disertai dengan suara yang sangat nyaring.
Dengan bantuan sinar lelatu
api, Thio Coei San mendapat lihat, bahwa keempat penyerang itu mengenakan jubah
pertapaan hweshio yang warnanya kuning. Dua di antaranya, yang mukanya
kebetulan berhadapan dengannya, mengawasi dengan sorot mata gusar dan membenci.
Bukan main herannya Ngo hiap.
"Siapa Tay-soe?" tanyanya.
"Sakit hati yang dalam
seperti lautan, tak bisa dibalas hari ini!" teriak satu diantaranya.
"Ayo berangkat!" Hampir bareng dengan teriakan itu, mereka melompat
bangun dan lalu berjalan keluar. Salah seorang yang rupanya terluka berat,
sempoyongan dan roboh dilantai. Dua kawannya lantas memberi pertolongan dan
mereka berlalu tanpa menengok lagi. "Soe wie tahan dulu!" teriak Coei
San. "Sakit hati apa ?" Tapi keempat pendeta itu tidak meladeni dan
jalan terus.
Thio Coei San bingung campur
heran. Untuk beberapa saat ia berdiri bengong sambil mengasah otak, tapi tak
berhasil memecahkan teka teki itu.
Mengapa dalam gedung Liong
boen Piauw kiok bersembunyi empat orang Hweeshio? Mengapa mereka lantas
menyerang secara membabi buta? Mengapa mereka mengatakan sakit hati yang dalam
seperti lautan? "Untuk menjawab pertahyaan-pertanyaan itu, jalan
satu-satunya adalah menanyakan orang-orang Liong boen Piauw kiok,"
pikirnya.
Memikir begitu, ia lantas saja
berteriak: "Apa Touw Cong piauw tauw berada di rumah? Apa Cong piauw tauw
ada?" Tapi sesudah berteriak berulang-ulang, ia tetap tak dapati jawaban.
"Tak bisa jadi manusia tidur seperti bangkai." katanya daiam hati.
"Apa mereka mabur ketakutan?" Ia terus mengeluarkan bahan api yang
lalu dinyala kan, sehingga ruangan yang gelap gelita itu lantas menjadi terang.
Ia menghampiri sebuah ciak tay (tempat menancap lilin) yang berdiri di atas
meja teh dan menyulut lilinnya. Sesudah itu, dengan berwaspada, sambil membawa
ciaktay, ia berjalan ke ruangan belakang.
Barusan belasan tindak, tiba
tiba ia lihat tubuh seorang wanita yang rebah di lantai seperti sedang tidur.
"Toacie, mengapa kau tidur di situ?" tegurnya. Wanita itu tidak
menjawab dan tidak berqerak. Dengan tangan kiri ia medorong pundak wanita itu,
sedang tangan kanannya yang mencekel ciaktay menyuluhi muka orang. Tiba-tiba
saja, ia terkesiap.
Wanita itu sedang tertawa,
tapi otot-ototnya kaku! Dia sudah mati lama juga. Perlahan-lahan ia
melempangkan pinggangnya dan lagi-lagi ia terperanjat, sebab di depan tiang
disebelah kiri kelihatan menggeletak sesosok tubuh lain. Ia menghampiri dan
memeriksanya. Ternyata orang itu seorang kakek yang berdandan sebagai pelayan,
juga sudah mati dengan muka tertawa!
Dengan jantung berdebar-debar,
Thio Coei San meraba pinggang dan kemudian, dengan tangan kiri mencekel gaetan
dan tangan kanan mengangkat ciaktay tinggi-tinggi, ia bertindak maju setindak
demi setindak. Dengan rasa kaget dan heran yang sukar dilukiskan, apa yang
ditemukannya adalah puluhan mayat-mayat, yang menggeletak di sana sini! Di
seluruh gedung Liong boen Piauw kiok yang besar dan luas itu, tak terdapat lagi
manusia hidup.
Thio Coei San adalah seorang
pendekar kenamaan dalam Rimba Persilatan yang sudah kenyang mengalami
kejadian-kejadian hebat. Tapi kali ini, melihat kekejaman manusia yang sudah
membasmi sesama manusia, ia menggigil. Bayangannya ditembok kelihatan
bergoyang-goyang, karena tangannya yang mencekel ciaktay bergemetaran.
Mendadak ia ingat ancaman itu
orang yang telah memberi upah kepada Liong boen Piauw kiok untuk mengantarkan
kakak seperguruannya ke Boe tong san.
Sekarang benar-benar
seisi-Piauwkiok telah dibasmi. Apakah kekejaman itu sudah dilakukan sebab
piauwkiok tersebut sudah gagal dalam menunaikan tugasnya? "Orang itu
turunkan tangan kejam karena Jie Samko sehingga menurut pantas dia mestinya
sahabat Samko", katanya di dalam hati. "Orang itu berkepandaian
banyak lebih tinggi daripada Touw Tay Kim. Sesudah mengetahui, mengapa bukan ia
sendiri yang mengantar Samko? Kakak adalah seorang pendekar mulia yang membenci
setiap kejahatan. Apa mungkin ia bersahabat dengan manusia yang begitu
kejam?"
Dangan rasa heran yang semakin
lama jadi semakin besar, ia bertindak keluar dari ruangan sebelah barat. Dengan
pertolongan sinar lilin, ia lihat dua orang pendeta yang mengenakan jubah warna
kuning sedang bersender ditembok dan mengawasi padanya dengam paras muka
tertawa. Ia mendekati dan membentak: "Perlu apa Jie wie datang
disini?" Tapi mereka tidak menyahut dan juga tidak bergerak.
Mayat!
Pada tubuh kedua mayat itu
tidak terdapat luka apapun juga, hanya dada jalanan darah Siauw yauw hiat
(jalan darah yang membangkitkan tertawa) terdapat total merah. Ia manggut
manggutkan kepala dan mengerti, bahwa paras muka tertawa dari mayat-mayat itu
adalah akibat totokan pada jalanan darah tersebut.
Mendadak, ia terkesiap karena
ingat sesuatu. "Celaka!" Ia mengeluh, "Sakit hati yang dalam
seperti lautan ..."Ia teringat cacian salah seorang dari empat hweeshio
yang telah menyerang dirinya. Ia merasa bahwa semua tuduhan bakal ditumpuk
diatas pundaknya. Siapa keempat pendeta itu? Dilihat dari pukulan pukulannya,
mereka adalah ahli-ahli ilmu silat Siauw limpay. Touw Tay Kim seorang Siauw lim
sehingga mungkin sekali mereka berada disitu atas undangan Cong piauw tauw
tersebut. "Tapi dimana adanya Jie Jieko dan Boh Cit tee?" tanyanya
didalam hati. "Mereka diperintah Soehoe untuk melindungi keluarga Liong
boen Piauw kiok. Apa bisa jadi, dengan memiliki kepandaian sangat tinggi mereka
telah dirobohkan orang?"
Semakin dipikir, teka teki itu
jadi semakin sulit. "Dengan pulangnya keempat hweesio Siauw lim pay pasti
akan menaruh kecurigaan atas diriku," katanya didalam hati. "Tapi,
biar bagaimanapun juga urusan ini akan menjadi terang. Satu waktu, kita pasti
akan tahu siapa adanya manusia kejam itu. Siauw lim dan Boetong harus bekerja
sama untuk mencari manusia itu. Yang paling penting adalah cari Jie-ko dan
Cit-tee." Memikir begitu ia segera meniup lilin dan keluar dari gedung
tersebut dengan melompati tembok.
Tapi pada sebelum kedua
kakinya hinggap diatas bumi diluar tembok, tiba tiba ia merasakan kesiuran
angin yang menyambar pinggangnya, disusul dengan bentakan: "Thio Coei San,
Roboh kau!"
Pula saat itu, badannya masih
berada ditengah udara, sehingga ia tak dapat berkelit lagi. Dalam bahaya, Thio
Ngo hiap tak jadi bingung, secepat arus kilat, tangan kirinya menekan senjata
musuh dan dengan meminjam tenaga, badannya melesat keatas lagi dan kedua
kakinya hinggap diatas tembok.
Hampir berbareng dengan
hinggapnya diatas tembok, kedua tangannya sudah mencekal kedua senjatanya.
Melihat lihaynya pemuda itu,
sipenyerangpun kaget dan kagum, karena ia mengeluarkan seruan tertahan dan
berkata: "Bocah ! Kau sungguh lihay !"
Dengan tangan kiri mencekal
gaetan dan tangan kanan memegang Poan koan pit, Coei San melintangkan senjata
itu di depan dadanya, kepala gaetan dan ujung pit menunduk kebawah. Itulah
gerakan Kiong leng kauw hoei (Dengan hormat menerima pelajaran) yang digunakan
dalam Rimba persilatan. Jika seorang yang tingkatannya lebih rendah berhadapan
dengan orang yang lebih tinggi, sebagai seorang kesatria, walaupun hatinya
mendongkol, Coei San tetap sungkan melanggar adat istiadat.
Ia menunduk dan melihat dua
pendeta yang mengenakan jubah pertapaan warna merah dengan sulaman benang emas
berdiri berendeng dibawah dengan masing-masing mencekal Sian thung (toya yang
mengeluarkan sinar emas).
Melihat jubah pertapaan itu,
Coei San terkejut. "Apakah mereka anggauta Siauw Lim Cap peh Lo han yang
tersohor?" tanyanya di dalam hati. (Siauw lim Cap peh lohan = Delapan
belas Lohan dari Siauwlim sie).
Dengan San thungnya, pendeta
yang disebelah kiri menubruk batu hijau, sehingga mengeluarkan suara yang
sangat nyaring. "Thio Coei San!" bentaknya "Boe tong Cit hiap
mempunyai nama yang cukup baik. Tapi mengapa begitu kejam?"
Mendengar pendeta itu tidak
menggunakan panggilan "Thio Ngo hiap atau Thio ngoya, Coei San jadi
mendongkol. Diantara Boetong Cit Hiap, biarpun gerak geriknya sopan dan paras
mukanya halus, dialah yang berada paling tinggi. (peep: what's that mean?)
Dalam kedongkolannya, ia segera menyahut dengan suara dingin: "Tanpa
menanyakan lebih dulu siapa yang salah, siapa yang benar, dengan bersembunyi
dikaki tembok, Tay soe sudah membokong aku. Apakah perbuatan itu perbuatan
seorang gagah? Kudengar ilmu silat Siauw Lim menggetarkan seluruh dunia, tapi
aku tak nyana di antara orang Siauwlim ada juga yang pandai membokong."
Bukan main gusarnya hweeshio
itu. Dengan sekali menggenjot tubuh, ia melesat ke atas tembok, sedangkan kedua
kakinya belum hinggap ditembok, toyanya sudah menyambar. Dengan cepat Coei San
mangangkat Hauw tauw kauw untuk menahan sambaran Sian thung dan dengan
berbareng Poan koan pit nya menotok senjata lawan, "Trang!" ujung
Poan koan pit membentur Sian thung dengan dahsyatnya. Kedua tangan pendeta itu
tergetar dan tubuhnya melayang kebawah lagi, tapi kedua lengan Coei San juga
kesemutan sehingga ia jadi kaget. Ia mengerti bahwa kini ia berhadapan dengan
seorang yang berilmu tinggi dan jika mereka berdua mengrubuti, ia mungkin tak
mampu membela diri.
"Siapa Jie wi?" bentaknya.
"Pinceng adalah Goan
im" jawab pendeta yang berdiri disebelah kanan "Yang ini adalah
Soeteku Goan giap."
Buru-buru Coei San menundukkan
senjatanya dan sambil mengangkat kedua tangan, ia berkata: "Ah! Kalau
begitu, Jie wie Taysoe adalah dari Siauw lim Cap peh Lohan. Sudah lama aku
mendengar nama Taysoe yang sangat harum dan aku merasa beruntung, bahwa hari
ini kita bisa bertemu muka. Pelajaran apakah yang mau diberikan oleh Taysoe
?"
"Soal ini bersangkut paut
langsung dengann Siauw Lim dan Boe tong pay," jawab Goan Im.
"Kami berdua adalah orang
orang yang berkedudukan sangat rendah dalam Siauw lim pay dan sebenarnya kami
tak dapat mengurus persoalan ini. Tapi karena sudah terlanjur bertemu, kami
tanya mengapa Thio Ngo hiap membinasakan puluhan orang dari Liong boen Piauw
kiok dan dua Soetit (keponakan murid) kami? Orang kata, jiwa manusia bersangkut
paut dengan Langit. Kami ingin dengar, bagaimana Ngo hiap mau membereskan
peristiwa ini."
Kata-kata itu meskipun
diucapkan deugan perlahan, kedengarannya sangat menusuk kuping, sehingga
dapatlah diketahui, bahwa kepandaian pendeta tersebut banyak lebih tinggi dari
pada adik seperguruannya.
Thio Coei San tertawa dingin.
"Mengenai permbunuhan terhadap orang-orang Liong boen Piauw kiok, aku
sendiripun merasa sangat heran," jawab nya. "Disamping itu, aku juga
tidak mengerti, mengapa begitu membuka mulut, Taysoe sudah menuduh aku. Apakah
kejadian itu disaksikan dengan mata kepala Taysoe sendiri ?"
"Hoei hong!" teriak
Goan im. "Coba kau memberi kesaksian di hadapan Thio Ngo hiap."
Dari belakang pohon lantas
saja muncul empat orang pendeta yang tadi dirobohkan Coei San dalamm gedung
Liong boen Piauw kiok.
Pendeta yang bergelar Hoei
hong itu lantas saja membungkuk seraya berkata: "Melaporkan kepada Soepoh,
bahwa beberapa puluh orang dari Liong boen Piauw kiok Hoei thong dan Hoei kong
kedua Soeheng semuanya.... semuanya dibinasakan oleh bangsat she Thio
itu."
"Apa kau lihat dengan
mata kepala sendiri ?" tanya Goan im.
"Ya," jawabnya.
"..Kalau tak keburu lari, teecoe berempat pun sudah binasa di
tangannya."
"Murid Sang Buddha tak
boleh berjusta," kata Goan im dengan suara keren. "Soal ini mengenai
Siauw lim dan Boe tong, kedua partai besar dalam Rimba persilatan, dan kau
tidak boleh bicara sembarangan"
Hoei bong segera berlutut dan
sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Teecoe tak akan berani
menjustai Soepeh dan apa yang dikatakan teecoe adalah kejadian yang
sebenar-benarnya. Untuk itu, Sang Buddha menjadi saksinya."
"Cobalah kau ceritakan
apa yang dilihat dengan matamu sendiri" memerintah Goan im. Mendengar
perkataan itu, Thio Coei San lantas saja ia melompat turun.
Goan-giap yang menduga pemuda
itu ingin menyerang Hoei hong, lantas saja menyabet dengan Sianthungnya. Coei
San menunduk untuk memunahkan serangan itu dan kemudian, dengan sekali melompat
ia sudah berada di belakang Hoei hong. Menurut ilmu silat toya Hok mo thung
(takluki iblis), sesudah sabetannya meleset, Goan giap harus menyerang pula
dengan membabat pundak lawan. Akan tetapi, karena waktu itu Coei San sudah
berada di belakang Hong bong, maka jika ia menyerang lagi, toyanya akan lebih
dulu mengenakan keponakan muridnya. Dalam kagetnya, ia terpaksa menarik pulang
Sian thungnya. "Mau apa kau?" bentaknya.
"Aku mau mendengarkan
ceritanya," menjawab Coei San.
Hoei hong mengerti bahwa kalau
mau, Thio Coei San yang berada dalam jarak dua kaki, dengan mudah bisa
mengambil jiwanya dan meskipun kedua Soe pehnya berada di situ, mereka tak akan
keburu menolong. Tapi dalam gusarnya, ia tak jadi gentar, dan lantas saja
memberi keterangan dengan suara nyaring : "Waktu berada di Kang pak
(sebelah utara Sungai Besar). Goan sim Susiok menerima surat Touw Tay Kim
Suheng yang meminta pertolongan. Begitu menerima surat itu buru-buru Soesiok
memerintahkan Hoei Thong dan Hoei Kong Soeheng memberi datang kemari untuk
memberi bantuan. "
"Belakangan Soesiok pun
memberi perintah kepada teecoe dan ketiga Soetee untuk menyusul. Begitu tiba,
Hoei kong Soeheng mengatakan bahwa malam ini, musuh mungkin datang menyatroni
dan ia minta kami berempat sembunyi dikaki tembok sebelah timur. Iapun memesan
supaya kami jangan sembarangan meninggalkan tempat jagaan dan jangan sampai
diselomoti dengan tipu memancing harimau keluar dari gunung.
Baru siang berganti malam, tiba-tiba
kami mendengar bentakan dan cacian Hoei thong Soeheng yang sudah mulai
bertempur di ruang belakang. Sesaat kemudian ia mengeluarkan teriakan
kesakitan, Sebagai tanda terluka berat. Teecoe segera memburu keruangan
belakang dan tihat dia ..dia..... bangsat She Thio itu" Berkata sampai
disitu, mendadak ia melompat bangun dan berteriak sambil menuding hidung Thio
Coei San. "Dengan mata kepalaku sendiri kulihat kau pukul Hoei kong
Soeheng yang lantas mati dengan membentur tembok. Karena merasa tidak ungkulan,
aku lalu bersembunyi dibawah jendela dan menyaksikan cara bagaimana kau
menerjang ke pekarangan sambil membunuh orang. Tak lama kemudian, delapan orang
Piauw kiok berlarian keluar dari belakang dengan diubar olehmu. Mereka semua
kau binasakan dengan totokan dan sesudah membasmi semua orang yang berada dalam
gedung, barulah kau mabur dengan melompati tembok."
Thio Coei San berdiri tegak
tanpa bergerak.
"Kemudian
bagaimana?" tanyanya dengan suara dingin.
"Kemudian?" bentak
Hoei hong dengan kegusaran meluap-luap. "Kemudian aku balik ketembok timur
dan berdamai dengan ketiga Soeteeku. Kami yakin, bahwa kepandalanmu terlalu
tinggi untuk dilawan, dan jalan satu-satunya adalah menunggu, datangnya ketiga
Soepeh di dalam gedung piauw kiok. Tapi sungguh tak dinyana, kau lagi-lagi
menyatroni untuk mencari Touw Cong piauw tauw. Biarpun tahu bahwa kami hanya
bakal mengantarkan jiwa, kami bukan bangsa pengecut, maka segara kami
menyerang. Waktu ditanya olehkU, bukankah kau telah memperkenalkan diri sebagai
Gin kauw Tiat hoa Thio Coei San? Semula aku tak percaya. Aku berpendapat, bahwa
sebagai salah seorang dari Boe tong Cit hiap, kau tentu tak akan melakukan
perbuatan yang begitu kejam. Tapi kau lantas saja mengeluarkan kedua senjatamu,
sehingga tak mungkin kau Thio Coei San palsu."
"Benar, memang benar aku
telah memperkenal kan diri dan mengeluarkan senjataku," kata Coei San.
"Memang benar aku yang sudah merobohkan kamu. Tapi coba ceritakan sekali
lagi, coba tuturkan lagi, bagaimana dengan mata kepala sendiri, kau melihat aku
membunuh puluhan orang itu."
Pada saat itulah, tiba-tiba
Goan im mengebas tangan jubahnya dan mendorong tubuh Hoei hong beberapa kaki
jauhnya. "Ya! Cobalah kau cerita kan lagi, supaya Thio Ngo hiap yang
namanya menggetarkan Rimba Persilatan, tidak dapat menyangkal pula,"
katanya dongan suara menyeramkan. Ia mendorong Hoei hong guna berjaga-jaga
kalau-kalau dalam gusarnya, pemuda itu turunkan tangan jahat untuk menutup
mulut saksi.
"Baiklah" kata Hoei
hong. "Aku akan menegaskan satu kali lagi. Dengarlah! Dengan mataku
sendiri kulihat. kau membinasakan Hoei hong dan Hoei thong Soeheng. Dengan
mataku sendiri, kulihat kau membunuh delapan orang dari Liong boen Piauw kiok
dengan totokan."
"Apa kau lihat tegas
mukaku?" tanya Coei San dengan suara menyeramkan. "Pakaian apa yang
dipakai olehku?"
Sambil berkata begitu ia
menyalakan api dan menyuluhi mukanya sendiri.
Hoei hong menatapnya dan
berkata dengan suara membenci: "Tak salah ! Kau mengenakan pakaian itu,
jubah panjang dan topi empat segi. Waktu itu kau menyelipkan kipasmu di
belakang leher baju."
Bukan main gusarnya Thio Ngo
hiap. Ia tak mengerti mengapa pendeta itu menuduhnya secara membabi buta.
Sambil mengangkat api
tinggi-tinggi, ia maju dua tindak dan membentak: "Kalau kau mempunyai
nyali, katakan lagi bahwa yang membunuh orang adalah Thio Coei San!"
Mendadak kedua mata pendeta
its mengeluarkan sinar luar biasa. Ia menunding seraya berteriak:
"Kau....!"
Tubuhnya tiba-tiba terjengkang
dan robot di tanah. Dengan serentak sambil mengeluarkan seruan tertahan, Goan
giap dan Goan im melompat untuk coba menolong. Tapi Hoan hong sudah
menghembuskan napasnya yang penghabisan dengan paras muka ketakutan.
"Kau! kau membunuh
dia!" teriak Goan giap dan Goan im, tapi juga mengagetkan sangat Thio Coei
San. Ia menengok kebelakang dan matanya yang sangat jeli melihat goyangnya
beberapa cabang pohon "Jangan lari!" bentaknya sambil melompat.
Ia mengerti, bahwa
perbuatannya itu sangat berbahaya sebab musuh yang bersembunyi dapat
membokongnya. Tapi untuk cuci bersih segala tuduhan, ia mesti bisa menangkap
pembunuh itu. Selagi badannya masih berada di tengah udara itu Goan im dar Goan
giap sudah menyabet dengan senjata mereka. Bagaikan kilat, ia menekan Sian
thung Goan giap dengan Houw tauw kauw dan menotok toya Goan im dan Goan giap
dengan Poan koan pit dan dengan meminjam tenaga itu, badannya melesat keatas.
Begitu kedua kakinya hinggap di atas tembok, segera matanya menyapu kearah
gerobolan pohon. Benar saja beberapa cabang kecil masih bergoyang goyang, tapi
orang yang bersembunyi sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sambil menggeram dan mengebas
Sian thungnya Goan giap bergerak untuk melompat keatas tembok "Jie wie
jangan merintangi aku. Mari kita ubar pembunuh itu!" teriak Coei San.
"Kau ..... dihadapanku
kau berani membunuh orang !" teriak Goan im dengan napas tersengal-sengal,
"Apa sekarang kau masih mau menyangkal". Beberapa kali Goan giap coba
melompat ke atas, tapi ia selalu kena dipukul mundur. "Thio Ngo Hiap, kami
bukan mau mengambil jiwamu," kata Goan im. "Kau ikut saja kami ke
Siauw lim sie"
"Benar-benar gila!"
teriak Coei San. "Karena gara gara kalian berdua yang sudah menghalang
halangi aku,pembunuh itu telah berhasil melarikan diri. Sekarang kamu berbalik
mau mengajak aku ke Siauw Lim sie. Perlu apa aku pergi ke Siauw Lim sie?"
"Supaya Hong thio kami
dapat memberi keputusan," jawabnya. "Dengan beruntun kau sudah
membinasakan tiga orang murid kuil kami, ini adalah terlalu besar untuk
dibereskan oleh kami berdua."
Coei San tertawa dingin
"Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Sungguh percuma kamu
berdua menjadi anggauta dari Siauw lim Cap peh Lo han. Penjahat lari di depan
hidungmu, kamu masih belum tahu!"
"Sudahlah!" kata
Goan im dengan suara menyesal dan duka. "Biar bagaimanapun juga, hari ini
kami tak akan dapat melepaskan kau."
Mendengar tuduhan yang sangat
hebat itu, semakin lama pemuda itu jadi semakin gusar."Tay Soe"
katanya sambil tertawa dingin. "Jika kamu mempunyai kepandaian, cobalah
tangkap aku!" hampir berbareng dengan tantangannya, Goan giap menumbuk
tanah dengan San thungnya dan badannya segera melesat keatas. Coei San pun
melompat tinggi dan selagi tumbuhnya melayang turun, bagaikan angin puyuh ia
menyerang. Goan giap coba menangkis, tapi dengan sekali balik Houw tauw kauw,
ia menggeres alis pendeta itu yang lantas saja mengucurkan darah dan tumbuhnya
ambruk ke bawah. Dalam serangan itu, Coei San masih berlaku murah hati. Jika
gaetan tersebut diturunkan sedikit lagi kearah tenggorkan, jiwa Goan giap tentu
sudah melayang.
"Giap soeete!"
teriak Goan im. "Apa kau terluka berat?"
"Tidak Jangan rewel!
Hajarlah !" jawabnya dengan kalap.
Mendengar perkataan saudara
seperguruannya. Goan im segera menyerang sambil melompat lompat dan sesaat
kemudian, tanpa membalut luka nya, Goan giap pun segera membantu. Melihat
serangan-serangan yang sangat hebat itu, Coei San mengerti, bahwa jika kedua
pendeta tersebut dapat , melompat ke atas tembok, ia bakal repot sekali.
pMaka itu, sambil mengempos
semangat, ia segera berkelahi dengan hati-hati dan menjaga supaya kedua
lawannya jangan sampai berdiri di tembok. Ketiga pendeta dari tingkatan
"Hoei" tidak berani maju, biarpun mereka ingin sekali membantu.
Thio Coei San mengerti bahwa
untuk membersihkan dirinya dari tuduhan yang sangat hebat itu, ia harus
menyelidiki dan membekuk pembunuh yang tulen. Ia tahu bahwa dilangsungkannya
pertempuran hanyalah akan memperdalam sakit hati dan salah mengerti. Maka itu
sambil menggerakkan kedua senjatanya untuk menutup serangan kedua pendeta itu,
ia berseru keras dan mengenjot tubuh.
Tapi sebelum ia melompat tiba
tiba terdengar bentakan geledek, dan tembok yang sedang diinjaknya roboh
didorong orang. Sebelum kedua kakinya hinggap di bumi seorang pendeta yang
tubuhnya tinggi besar menerjang dan coba merampas kedua senjatanya.
Di tempat gelap Coei San tak
bisa lihat tegas muka hweeshio itu, tapi melihat sepuluh jarinya yang dipentang
seperti gaetan, ia tahu, bahwa pendeta itu menyerang dengan Houw jiauw kang
(ilmu pukulan kuku harimau) salah satu pukulan terlihay dari Siauw lim sie.
"Sim Soeheng!"
teriak Goan giap. "Jangan kasih bangsat ini lari"
Semenjak turun dari Boe tong
san, Thio Coei San jarang bertemu dengan tandingan. Sesudah memiliki ilmu silat
Ie thian To liong, kepandaiannya jadi lebih tinggi lagi dan nyalinya pun jadi
lebih besar. Melihat serangan mati-matian dari tiga pendeta itu ia jadi
mendongkol bukan main dan lantas saja timbul niatan untuk memperlihatkan
kepandiannya. Ia segera menyelipkan kauw tauw kauw dan Poan koan pit di
pinggang nya dan membentak "Kalau mau bertempur, ayolah! Biarpun Siauw lim
Cap peh Lo han turun semua, Thio Coei San sedikit pun tidak merasa keder"
Sesaat itu, tangan kiri Goan sim menyambar. Sambil berkelit, ia menggerakkan
tangannya "Bret!" tangan jubah pendeta itu robek. Dengan gusar Goan
sim coba mencengkeram pundaknya, tapi sebelum kelima jarinya menyentuh pundak,
lututnya sudah ditendang Coei San.
Tapi diluar dugaan, dua kaki
Goan sim luar biasa kuat, sehingga biarpun kena tendangan jitu, badannya hanya
bergoyang-goyang dan tidak sampai roboh di tanah. Sambil menggeram, tangan
kanan nya menyambar, dan dengan berbareng, Sian thung Goan im dan Goan giap
menyabet pinggang dan kepala. Coei San tak jadi bingung. Dengan lompat tinggi
ia menyelamatkan dirinya.
Sambil bertempur Coei San
berkata dalam hatinya: "Dalam beberapa tahun yang belakangkangan nama Boe
tong dan Siauw lim dikatakan berendeng dalam Rimba Persilatan. Tapi yang mana
lebih tinggi, yang mana lebih rendah, sukar sekali dapat diukur. Biarlah hari
ini aku menjajal kepandaian pendeta Siauw Lim." Ia segera mengempos
semangat dan melayani ketiga lawan itu dengan hati-hati. Sesudah lewat sekian
jurus, biarpun dikerubuti tiga, perlahan lahan ia berada di atas angin.
Sebenarnya, ilmu silat Siauw
lim dan Boe tong mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Boe tong pay didirikan
oleh Thio Sam Hong, seorang luar biasa pada jaman itu. Tapi ilmu silat Siauw
lim sie, dengan sejarah seribu tahun lebih dan diperbaiki terus menerus, bukan
main hebatnya. Dalam pada itu, orang harus ingat, bahwa dalam Boe tong pay,
Thio Coei San termasuk sebagai Jago kelas utama, sedang Goan im, Goan sim dan
Goan giap biarpun kedudukannya sebagai anggota Cap peh Lo han, dalam kalangan
Siauw lim sie ilmu silatnya baru mencapai tingkatan kedua. Maka itu sesudah
bertempur lama, sebaliknya dari keteter, Thio Coei San jadi semakin gagah.