-------------------------------
-----------------------------
Bagian 13
Jilid 11
Sesudah Coei San si nonapun
berdoa perlahan: "Aku mohon supaya Langit melindungi kami berdua, supaya
dari satu ke lain penitisan kami bisa terus menerus menjadi suami isteri."
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Andaikata dibelakang hari
kami bisa kembali di Tiong goan, tee coe akan mencuci hati dan memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang dulu. Tee coe akan bertobat dan bersama-sama suamiku,
tee coe akan berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan balk. Tee coe tak
akan membunuh manusia lagi secara sembarangan. Jika tee coe melanggar sumpah
ini, biarlah Langit dan manusia menghukum tee coe."
Coei San girang tak kepalang.
Ia tak pernah menduga, bahwa tanpa diminta, sang isteri telah bertobat dan
bersumpah untuk menjadi manusia balk. Sesudah selesai dengan upacara pernikahan
itu, sambil saling mencekal tangan dan duduk berendeng diatas es. Pakaian
mereka basah dan hawa dingin menyerang dengan hebat. Akan tetapi, hati mereka
hangat bagaikan hangatnya muslin semi yang penuh kebahagiaan dan keindahan.
Lewat beberapa lama, baru
mereka ingat, bahwa sudah sehari suntuk, perut mereka belum ditangsal. Kedua
senjata Coei San sudah hilang dilaut, tapi So So masih mempunyai pedang yang
tergantung dipinggangnya. Coei San lalu menghunus pedang isterinya, membungkus
ujung pedang dengan kulit biruang dan kemudian, sambil mengerahkan Lwee kang
sampai di jeriji tangan, ia menekuknya sehingga ujung pedang itu menjadi
bengkok seperti gaetan. Tak lama kemudian, dengan menggunakan gaetan itu, ia berhasil
menangkap seekor ikan yang cukup besar. Ikan diwilayah Kutub Utara gemuk dan
banyak minyaknya, sehingga biarpun baunya sangat amis dapat menambahkan tenaga
dan menghangatkan badan.
Demikianlah siang malam,
gunung es itu terapung-apung kejurusan utara, Mereka mengerti, bahwa
kemungkinin pulang ke Tionggoan hampir tidak ada, tapi hati mereka tenang dan
damai. Ketika itu, siang sudah berubah sangat panjang, sedang malam sangat
pendek dan mereka tak dapat mengbitung hari lagi. Pada suatu hari, mendadak mereka
lihat mengepulnya asap hitam disebelah utara. So So yang melihat lebih dulu,
mencelos hatinya dan paras mukanya berubah pucat. "Ngo ko!" teriaknya
sambil, menuding asap hitam itu.
"Apa disitu terdapat
manusia?" tanya sang suami dengan rasa kaget tercampur girang. Tapi
biarpun sudah tertampak dalam pandangan mata, tempat mana asap itu keluar masih
terpisah jauh sekali, Sesudah lewat lagi satu hari, asap itu jadi makin besar
dan makin tinggi kelihatannya dan diantara asap terlihat sinar api.
"Siapa itu?" tanya
So So.
Sang suami tidak menjawab, ia
hanya menggelengkan kepalanya.
"Ngoko, ajal kita sudah
hampir tiba," kata si isteri dengan suara gemetar. "Itu pintu
nereka."
Coei San terkejut, tapi ia
segera membujuk: "Mungkin juga disana ada manusia yang sedang membakar
hutan."
"Kalau membakar hutan,
bagaimana asap dan apinya begitu tinggi?" tanya sang isteri.
"So So, sesudah tiba
disini, biarlah kita menyerahkan segala apa kepada Langit," kata Coej San.
"Kalau Langit tidak mau kita mati kedinginan dan ingin kita mati terbakar,
biarlah kita menerima nasib."
Dengan perlahan tapi tentu,
gunung es itu terus menuju kearah asap dan api. Coei San dan So So yang tidak
mengerti sebab musababnya, merasa sangat heran dan mereka hanya menganggap,
bahwa apa yang bakal terjadi, baik kecelakaan maupun keselamatan, adalah
takdir.
Apa yang dilihat mereka
sebenarnya adalah sebuah gunung berapi yang bekerja, sehingga sebagai akibat,
air laut diseputar gunung itu menjadi hangat dan air yang hangat mengalir
kejurusan selatan. Dengan demikian, secara wajar, air yarg dingin atau es
terbetot kearah utara.
Sebagaimana diketahui, angin
dan gelombang yang saling terjadi ditengah lautan adalah karena perbedaan
antara air dingin dan panas dalam hawa dan air.
Sesudah terapung-apung lagi
sehari semalam, gunung es itu tiba dikaki gunung.
Ternyata gunung berapi itu
berada diatas sebuah pulau yang sangat besar. Disebelah barat terdapat sebuah
puncak dengan batu yang bentuk dan macamnya sangat aneh. Selama berkelana di
daerah Tionggoan, Coei San sudah kenyang mendaki gunung-gunung yang kenamaan,
akan tetapi, belum pernah ia melihat puncak yang begitu luar biasa. Ia
mengawasi itu semua dengan mata membelalak dan kegirangan meluap-luap didalam
hatinya. Ia tak tahu bahwa puncak itu adalah tumpukan lahar yang disemprotkan
gunung berapi selama ratusan atau ribuan tahun. Disebelah timur terdapat tanah
datar yang sangat luas. Tanah datar itupun muncul disitu karena bekerjanya
gunung berapi. Abu yang disemprotkan oleh gunung itu jatuh ke dalam laut dan
lama-lama, mungkin dalam tempo ribuan tahun, air laut teruruk dan muncullah
tanah datar yang sangat luas.
Biarpun tempat itu sudah
mendekati Kutub Utara, tapi karena gunung berapi masih bekerja, maka hawa
dipulauitu menyerupai hawa digunung Tiang pek san atau daerah Hek Liong kang.
Dipuncak-puncak yang tinggi terlihat salju, tapi ditempat yang rendah,
pohon-pohon menghijau, pohon siong, pek dan lain-lain yang tidak terdapat
diwilayah Tionggoan.
Sesudah memandang beberapa
lama dengan mata tidak berkesip, tiba-tiba So So melompat dan memeluk suaminya.
"Ngoko ! Kita sudah tiba ditempat dewa !" bisiknya dengan suara
serak.
Kegirangan Coei San pun sukar
dilukiskan. Ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata dan hanya balas memeluk
isterinya yang tercinta.
Lama mereka saling peluk
dengan disaksikan oloh sejumlah menjangan yang sedang makan rumput dengan
tenang diatas pulau itu. Kecuali asap api yang agak menakuti, segala apa yang
tertampak disitu adalah tenang, damai dan indah.
Mandadak terdengar teriakan So
So: "Celaka ! Kita tak dapat mendarat!" Ternyata gunung es itu, yang
terpukul dengan air yang hangat, mulai bergerak meninggalkan pulau.
Coei San pun tidak kurang
kagetnya. Buru-buru
mengerahkan Lweekang dan
menghantam es yang lantas saja somplak sebesar balok. Sesudah itu, sambil
memeluk balokan es itu, mereka melompat kedalam air dan dengan menggunakan
tangan dan kaki sebagai penggayu, mereka akhir nya mendarat dipulau itu.
Melihat kedatangen manusia,
manjangan-menjangan yang sedang makan rumput mendongak dan mengasi, tapi mereka
tidak memperlihatkan rasa takut sedikit jua. Perlahan lahan So So mendekati,
menepuk-nepuk punggung salah seekur. "Kalau disini terdapat juga beberapa
ekor burung ho, aku pasti akan mengatakan, bahwa tempat ini adalah tempatnya
dewa Lam kek Sian ong," katanya seraya tertawa.
Karena letih, mereka segera
merebahkan diri diatas lapangan rumput dan pulas nyenyak untuk beherapa jam
lamanya. Waktu tersadar, matahari masih belum menyelam. "Sekarang mari
kita menyelidiki pulau ini untuk mendapat tahu apa ada manusia atau binatang
buas," kata sang suami.
"Aku rasa tak mungkin ada
binatang buas," kata So So.
"Lihat saja
menjangan-menjangan itu yang hidup damai dan tenteram."
So So adalah seorang wanita
yang sangat memperhatikan dandanannya. Biarpun menghadapi bahaya diatas gunung
es, ia tetap berpakaian rapi.
Sekarang sudah berada diatas
bumi, begitu tersadar, ia membereskan pakaian dan rambutnya dan kemudian
membantu sang suami menyisir rambut. Sesudah itu, harulah mereka berangkat
untuk menyelidiki pulau tersebut.
Untuk menghadapi segala
kemungkinan, So So mencekal pedangnya yang sudah bengkok, sedang Coei San
sendiri lalu mematahkan cabang pohon untuk dijadikan semacam tongkat. Dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka berlari-lari dari selatan keutara
yang panjangnya lebib dari duapuluh lie. Apa yang dilihat mereka di sepanjang
jalan, selain pohon pohon yang tinggi kate, adalah binatang kecil, burung dan
pohon-pohon bunga yang kebanyakan tidak dikenal mereka.
Belakangan, sesudah melewati
hutan besar, dari
jauh mereka lihat sebuah
gunung batu dan dikaki gunung itu terdapat sebuah guha. "Ah! Sungguh bagus
tempat ini !" teriak sang isteri sambi1 lari-lari.
"Hati hati!" teriak
Coei San.
Belum rapat mulutnya, dari
dalam guha mendadak berkelebat satu bayangan dan seekor biruang putih yang
sangat besar menerjang keluar. Biruang itu yang panjang bulunya seolah-olah
seekor kerbau.
Dengan kaget So So melompat
mundur. Biruang itu berdiri diatas kedua kakinya seperti manusia dan menghantam
kepala So So dengan satu telapak kakinya. Nyonya itu menyambut dengan sabetan
pedang, tapi apa mau, karena pedang bengkok itu sudah jadi lebih pendek,
sabetannya meleset. Baru saja ia mau membabat lagi, binatang itu sudah menubruk
dan menghantam senjatanya yang lantas saja jatuh diatas tanah.
"So So, mundur!"
teriak Coei San seraya melompat dan menotok lutut biruang itu dengan
tongkatnya. Cabang kayu itu patah, tapi tulang kaki binatang itu hancur dan dia
mengeluarkan jeritan hebat dan menyeramkan.
Buru-buru So So menjemput
pedangnya untuk memberi bantuan.
"Lekas lontarkan pedarg
itu keudara!" teriak Coei San. Sang isteri terkejut, tapi ia nenurut apa
yang diperintahkan suaminya.
Dengan menotol tanah dengan
kakinya, Coei San melompat tinggi dengan menggunakan ilmu Tee in ciong dan
sekali menjambret, ia menangkap pedang itu. Dengan tangan kiri mencekal tongkat
pendek, ia sekarang seperti juga ber senjatakan Gin kauw dan Poan kian pit. Ia
mengangkat tangan kanannya dan menyabet dari atas kebawah dengan gerakan huruf
"Hong" (tajam). Pukulan tersebut diberikutkan dengan Lweekang yang
sangat dahsyat dan tongkat pendek itu amblas tujuh delapan dim dikepala
binatang itu yang sesudah ngamuk dan menggeram hebat, lantas saja rubuh tanpa
berkutik lagi.
So So menepuk-nepuk tangan
sambil tertawa. "Indah sekali ilmu ringan badan itu!" teriaknya.
"Hebat sungguh totokan itu!"
Tapi, baru babis ia berteriak
begitu tiba-tiha Coei San berseru : "Awas! Lari!"
Mendengar teriakan suaminya
dengan cepat ia melompat kedepan. Begitu menengok kebelakang, ia terkesiap
karena dibelakangnya sudah berbaris tujuh ekor biruang putih yang
memperlihatkan sikap menakutkan.
Coei San mengerti. bahwa
mereka berdua tak akan dapat melawan tujuh binatang buas itu. "Lari
!" bisiknya dan mereka lantas saja kabur dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan.
Meskipun badannya besar,
binatang-binatang itu bisa lari cepat sekali, tapi kecepatan mereka masih kalah
dengan ilmu ringan badan Coei San dan So So, sehingga sesudah mengubar beberapa
lama, mereka ketinggalan agak jauh. Tapi mereka terus mengejar dari belakang.
"Jalan satu-satunya lari
ke air," kata Coei San "Apa biruang tidak bisa berenang?"
tanyanya.
"Entahlah," jawab So
So sambil menggelengkan kepala.
"Harap saja mereka tidak
bisa berenang."
Sambil bicara mereka lari
terus secepat-cepat nya.
"Celaka!" mendadak
So So mengeluh.
"Mengapa ?" tanya
Coei San.
"Apa kau tahu apa makanan
biruang putih?" sang isteri balas menanya. "Menurut katanya seorang
jurumudi. biruang makan madu tawon dan ikan."
"Makan ikan" menegas
Coei San sambil menghentikan tindakannya. "Kalau benar binatang itu makan
ikan, mereka pasti bisa berenang."
Sebelum mereka dapat berdamai
terlebih jauh,
sekonyong konyong So So
berteriak: "Ih! Mengapa mereka berada didepan kita ?"
Dengan hati berdebar-debar
mereka mengawasi enam ekor biruang yang mendatangi dari sebelah depan.
"Bukan. Mereka bukan
biruang yang tadi," kata Coei San. "Kita sekarang dicegat dari depan
dan dari belakang," Sehabis berkata begitu, buru burn ia melompat keatas
satu pohon siong yang sangat besar .
Sesudah berada diatas, ia
menggaetkan kedua kakinya dicabang pohon, sehingga badannya menggelantung
kebawah dan kedua tangannya menyambut-tangan sang isteri yang turut melompat
keatas. "Aku harap saja mereka tak dapat memanjat pohon," kata So So
sesudah mereka duduk disatu cabang.
"Biarpun mereka, bisa
manjat kita tak usah kuatir," kata sang suami. "Maju satu, kita
binasakan satu. Asal saja tidak dikurung, kita masih dapat melayani."
Sesaat kemudian, enam ekor
biruang yang datang dari depan dan tujuh ekor dari belakang sudah berkumpul
dibawah pohon. Mereka mendongak dan menggeram hebat sambil memperlihat gigi
mereka.
Coei San mematahkan sebatang
cabang kecil yang lain digunakan untuk menimpuk mata seekor biruang.
Timpukan itu mengenakan tepat
pada sasarannya dan sambil menggeram serta me lompat-lompat bahna sakitnya,
binatang itu menyeruduk pangkal pohon dengan kepalanya. Melihat hasil pertama,
Coei San segera mengulangi perbuatannya. Tapi kawanan binatang itu ternyata
pintar sekali dan mereka semua menundukkan kepala dan mulai mengeragoti pohon.
Oleh karena begitu, Coei San hanya dapat menimpuk punggung mereka yang kulitnya
tebal, sehingga serangan itu tidak dirasakan sama sekali. Tak lama kemudian,
pangkal pohon itu sudah somplak sebagian dan jika di dorong beramai-ramai,
sudah pasti akan roboh.
Coei San menghela napas.
"Aku tak nyana, sesudah berhasil menyelamatkan diri dari lautan, kita
bakal jadi makanan kawanan biruang," katanya.
Dengan jantung memukul keras,
So So mengawasi satu pohon siong yang terpisah kira-kira tujuh delapan tombak.
"Ngoko," bisiknya. "Dengan ilmu mengentengkan badan, sekali
lompat kau bisa turun kebawah dan dengan sekali lompat lagi, kau bisa naik
kepohon itu."
Sang suamipun sudah lihat
kemungkinan itu. Memang, kalau seorang diri, ia dapat berbuat begitu. Tapi
dengan membawa isterinya, mereka tentu akan tercegat ditengah jalan. Maka itu
sambil menggeleagkan kepala, ia berkata: "Tidak dapat. Tak dapat aku
berbuat begitu."
"Ngoko, tak usah kau
pikiri aku," kata pula sang istiri. "Tidak perlu kita mati
berdua-dua."
"Kita sudah bersumpah,
bahwa Langit diatas bumi dibawah, kita tak akan berpisahan untuk
selama-lamanya." jawab sang suami. "Mana dapat aku meninggalkan kau
dengan begitu saja ?"
Bukan main rasa terharunya
nyonya itu, sehingga air matanya lantas saja berlinang-linang. Ia ingin coba
membujuk lagi, tapi mu!utnya seearti terkancing.
Sesaat itu, tiba-tiba pohon
bergoyang-goyang, karena didesak dengan berbareng oleh kawanan biruang itu.
Hati So So mencelos, sehingga
tanpa merasa, ia mengeluarkan teriakan perlanan. Ia tahu. beberapa detik lagi,
pohon itu pasti akan rubuh.
Pada saat yarg sangat
berbahaya, disebelah kejauhan sekonyong konyong terdengar suara yang sangat
tajam. Suara itu tidak begitu keras, tapi aneh sekali, seperti bunyi burung
malam, seperti bunyi khim, seperti angin meniup daun bambu dan seperti bunyi
genta.
Begitu mendengar suara itu,
ketigabelas biruang berhenti serentak dalam usahanya untuk merubuhkan pohon dan
berdiri diam sambil memasang kuping. Dari sikap mereka, seolah olah suara itu
adalah suara yarg paling menakuti didalam dunia. Apa yang paling mengherankan
lagi, sesaat kemudian, seekor demi seekor menundukkan kepala dan mendekam
diatas tanah tanpa bergerak.
Walaupun tak tahu apa artinya
itu, Coei San dan So So girang tak kepalang dan harapan besar muncul dalam hati
mereka. "Tolong! Tolong!" jerit So So. "Tolong....! Biruang mau
mencelakakan manusia."
Jeritan itu disambut dengan
suara yang tadi, yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa, lebih cepat dari
terbangnya burung.
Sesaat kemudian, didepan
mereka berkelebat satu bayangan merah, seolah-olah sebuah bola api yang
menyambar dari satu pohon disebelah depan dan kemudian hinggap didahan pohon
dimana Coei San dan So So sedang menyembunyikan diri.
Sekarang baru mereka bisa
melihat nyata. Yang hinggap didahan itu adalah seekor kera yang bulu nya merah,
tingginya kira-kira tiga kaki, mukanya putih seperti batu giok, sedang kedua
matanya yang berkilat-kilat mengeluarkan sinar keemas emasan.
Bahwa binatang yang datang
kesitu adalah seekor
kera yang begitu menarik,
tidak diduga-duga mereka. Waktu berteriak untuk meminta pertolongan, So So
menaksir, bahwa binatang yang mengeluarkan suara begitu adalah binatang buas
yang sangat menakuti.
Tapi karena sedang menghadapi
bahaya besar, mau tidak mau, ia berteriak juga. Maka itu, dengan kegirangan
yang meluap-luap, ia segera mengangsurkan tangannya kearah kera itu.
Biarpun belum pernah melihat
manusia kera itu ternyata pintar luar biasa. Ia rupanya mengerti maksud
persahabatan itu dan segera mengulur satu tangannya dan menyentuh tangan si
nyonya. Sambil menuding kawanan biruang itu, So So ber kata: "Mereka mau
mencelakakan kami. Apa kau dapat menolong?"
Melihat gerakan So So, seraya
memekik kera itu melompat turun dan menghampiri salah seekor biruang. Dengan
sekali menggerakkaa tangan, jari-jarinya amblas kedalam kepala biruang itu dan
dilain saat, tangannya sudah memegang otak biruang. Ia melompat naik pula dan
dengan sikap hormat, mengangsurkan otak biruang itu kepada So So.
Coei San dan isterinya kaget
bakan main. tenaga binatang yang sehebat itu sungguh-sungguh belum pernah
didengar mereka. So So sebenarnya tidak sanggup menelan otak mentah itu. Tapi
sebab tidak mau membangkitkan kegusaran tuan penolong itu, dengan apa boleh
buat, ia menyambutinya. Ia menggigit sebagian otak itu, dan menyerahkan sisanya
kepada Coei San.
Diluar dugaan, otak biruang
itu lezat luar biasa, lebih enak dari makanan apapun jua yang pernah
dimakannya. Sambil bersenyum, ia lalu mengambilnva kembali dari tangan suaminya
dan menghabis kan semuanya.
"Terima kasih, terima
kasih," katanya sambil memanggut-manggutkan kepala.
Dilain saat kera itu sudah
melompat turun lagi dan mengambil pula dua otak biruang yang lalu dimakannya.
Sungguh mengherankan, kawanan biruang itu bukan saja tidak berani melawan, tapi
juga tidak berani lari Mereka terus mendekam diatas tanah, seperti orang yang
sedang menerima hukuman.
So So tertawa nyaring.
"mampuskan semua biruang itu," katanya. "Kalau kau tidak keburu
datang, kami berdua tentu sudah masuk kedalam perut mereka." Sambil
memekik kera itu melompat turun lagi dan dalam sekejap ia sudah membinasakan semua
biruang itu.
Coei San dan So so lantas saja
turut melompat turun. Melihat tiga belas bangkai binatang itu, Coei San merasa
tidak tega dan ia berkata dengan suara menyesal: "Sebenarnya tak usah
membinasakan mereka semua. Cukup jika mereka diusir pergi."
Mendengar perkataan suaminya,
So So yang sedang mencekal lengan si kera agak terkejut. "Ngoko tentu
mencela aku," katanya didalam hati. "Ya... aku harus berusaha untuk
mengubah adatku yang kejam." Tapi biarpun hatinya menyesal, ia tertawa
seraya berkata: "Hm. . . sekarang Ngoko merasa kasihan terhadap
biatang-binatang buas itu. Kalau saudara kera tidak datang menolong, apakah
biruang-biruang itu akan menaruh belas kasihan terhadap kita?"
"Kalau kita sama kejamnya
seperti binatang, bukankah kita tiada beda seperti binatang?" kata sang
suami.
"Binatangpun ada juga
yang baik," kata So So sambil tertawa. "Lihatlah saudara kera ini.
Kepandaiannya lebih tirggi dan rupanya lebih tampan daripada kau."
Coei San tertawa
terbahak-bahak. "Ai ya?" seru nya. "Kau membuat aku
cemburu."
Sesudah terlolos dari lubang
jarum. mereka bergembira sekali dan beromong-omong dengan tertawa-tawa. Kera
merah itupun tidak kurang gembiranya dan dia melompat-lompat kian kemari.
"Kawanan biruang itu
mungkin mempunyai anak, coba kita tengok," kata Coei San.
Dengan So So menutun kera,
mereka lalu masuk kedalam guha. Sesudah berjalan-jalan kira-kira sembilan
tombak, ditengah-tengah guha itu terbuka sebuah lubang, sehingga sinar terang
menyorot masuk kedalam. Hanya sayang, guha yang sebenar nya sangat nyaman itu
berbau busuk sebab penuh dengan kotoran dan air kencing biruang. "Kalau
tidak berbau busuk, tempat ini cocok sekali untuk menjadi tempat meneduh
kita," kata So So sambil menekap hidung.
"Kita dapat
mernbersihkannya," kata sang suami.
"Sesudah lewat sepuluh
hari atau paling lama setengah bulan, kurasa bau itu akan hilang
sendirinya"
So So mengawasi Coei San
dengan hati girang tercampur duka, karena ia ingat, babwa mulai hari itu, ia
akan berdiam dipulau tersebut bersama sama Coei San untuk selama-lamanya.
Sementara itu, Coei San sudah
mematahkan cabang-cabang poloh yang lalu dibuat menjadi sebuah sapu. Dengan
dibantu oleh isterinya, ia lalu menyapu kotoran biruang. Dengan gembira sikera
coba membantu, tapi biarpun pintar, kera tetap kera dan sebaliknya daripada
membantu, ia mengacau pekerjaan orang. Karena mengingat budinya, Coei San dan
So So membiarkan ia mengunjuk kenakalannya. Sesudah bekerja berat, guha itu
akhirnya bersih, tapi bau busuknya belum mau menghilang juga.
"Alangkah baiknya jika
kita dapat mencuci dengan air," kata So So. "Hanya sayang kita tak
punya tahang."
Sesudah memikir sejenak, Coei
San berkata: "Ada jalan," Buru-buru ia mendaki gunung dan mengambil
beberapa balok es yang lalu ditaruh dibatu-batu yang agak tinggi dalam guha
itu.
"Ngoko, lihay sungguh
otakmu!" memuji sang isteri sambil menepuk-nepuk tangan.
Tak lama kemudian, balokan es
itu mulai melumer dan airnya mangalir kebawah, sehingga guha itu seolah-olah
disiram.
Sedang suaminya mencuci guha,
dengan menggunakan pedang bengkok, So So memotong daging biruang yang kemudian
ditumpuk menjadi satu. Walaupun dipulau itu terdapat gunung berapi tapi karena
berada dalam wilayah Kutub Utara, maka hawanya masih sangat dingin. Maka itu,
sesudah diuruk dengan potongan-potongan es, daging itu rasanya tak akan rusak
dalam tempo lama.
Sesudah selesai bekerja, So So
menghela napas seraya berkata: "Manusia selalu merasa tidak puas. Jika
sekarang kita dapat menyalakau api dan membakar telapak kaki biruang, kita akan
dapat mencicipi makanan yang sungguh luar biasa."
(Telapak kaki biruang semenjak
jaman purba sudah diakui sebagai salah satu makanan yang paling enak).
"Api ada, hanya terlalu
besar," kata Coei San sambil mengawasi asap yang mengepul dari gunung
berapi. "Perlahan-lahan kita harus berdaya untuk mengambil api itu."
Malam itu mereka makan otak
biruang dan tidur diatas pohon.
Pada esokan paginya, baru saja
membuka mata, So So sudah berteriak : "Aduh! Wangi sungguh !" Ia
melompat turun dari pohon dan mendapat tahu, bahwa bau wangi itu darang dari
dalam guha.
Bersama suaminya, ia
berlari-lari kedalam guha, dimana terdapat tumpukan-tumpukan bunga yang tengah
dilontarkan kian kemari oleh sikera sambil melompat-lompat, So So yang sangat
suka akan bunga jadi girang bukan main dan mengawasi lagak kera itu sambil
menepuk nepuk tangan.
Coei San. "Aku hendak
bicarakan serupa soal
denganmu."
Melihat paras suaminya yang
bersungguh-sungguh
ia agak terkejut. "Ada
apa?" tanyanya.
"Aku ingin berdamai
bagaimana kita bisa mendapatkan api." jawabnya,
"Ah, orang edan
kau!" bentak stag isteri seraya tertawa . "Kukira ada urusan penting.
Ambil api!
Aku setuju. Lekas beritahukan
rencanamu."
"Dimulut gunung berapi,
hawanya luar biasa panas dan kita tak akan dapat mendekatinya,"
menerangkan Coei San. "Maka itu menurut pendapatku, jalan satu-satunya
ialah membuat tambang yang panjang dari kulit pohon. kemudian menjemur tambang
itu dan ....."
"Bagus!" memutus
sang isteri. "Kemudian mengikat sebutir batu diujung tambang, melontarkan
tambang itu kemulut gunung barapi dan menariknya kembali sesudah ujung tambang
terbakar. Bukankah begitu maksudmu?"
Coei San mengangguk seraya
memuji kepintaran isterinya.
Karena ingin sekali makan
daging matang, tanpa menyia-nyiakan tempo lagi, mereka segera bekerja. Selang
dua hari, mereka sudah membuat tambang yang panjangnya seratus tombak lebih dan
yang lalu dijemur dibawah sinar matahari. Pada hari ke empat, dengan membawa
tambang itu, mereka lalu pergi ke gunung berapi.
Walaupun kelihatannya dekat,
gunung itu terpisah empat puluh li lebih dari tempat mereka. Makin dekat dengan
gunung itu, hawa makin panas. Keringat mengucur dari tubuh mereka dan diseputar
itu tidak terdapat pohon-pohonan lagi. Apa yang mereka menemuinya hanyalah
batu-batu yang gundul.
Sesudah berjalan lagi beberapa
lama, hawa panas jadi makin hebat. Melihnt muka isterinya yang merah kepanasan,
Coei Scan yang menggendong jadi tak merasa tega. "Kau tunggu disini, biar
aku saja yang pergi kesitu," katanya.
"Jangan rewel!"
bentak sang isteri. "Kalau kau banyak bicara, aku tak akan meladeni lagi.
Paling banyak seumur hidup kita tidak mengenal api lagi, seumur hidup makan
makanan mentah."
Coei San besenyum dan mereka
teuns mendaki gunung itu. Sesudah berjalan lagi kurang lebih satu li, napas
mereka tersengal-sengal dan hampir tak dapat bertahan lagi. Coei San memiliki
Lweekang yang sangat tinggi, tapi iapun merasa matanya ber kunang-kunang dan
kupingnya berbunyi. "Sudahlah," katanya. "Dari sini saja kita
melontar kan tambang ini. Jika tidak menyala. hem...kita..."
So So tertawa dan menyambungi:
"Kita jadi suami isteri orang hutan..." Belum habis perkataannya,
badannya bergoyang-goyang dan ia pasti rubuh jika tidak buru-buru mencekal
pundak suaminya.
Dari atas tanah Coei San
menjemput sebutir batu yang lalu diikatkan keujung tambang. Sesudah itu, sambil
berlari-lari dan mengerahkan Lweekang, ia melontarkan tambang dengan sekuat
tenaga.
Bagaikan seekor ular, tambang
itu terbang di tengah udara, kemudian jatuh dipermukaan bumi. Akan tetapi,
sebab jarak dengan mulut gunung yang mengeluarkan api, masih terlalu jaub, maka
sesudah mereka menunggu beberapa lama, tambang itu belum juga menyala.
Sementara itu, mereka
merasakan hawa panas semakin hebat, sehingga mata mereka seolah-olah
mengeluarkan api. Coei San menghela napas seraya berkata: "Orang-orang
dulu membuat api dengan menggosok kayu atau memukul batu. Sudahlah! Menggunakan
tambang tidak berhasil. Biarlah kita cari lain jalan saja."
Dengan rasa kecewa, So So
manggutkan kepalanya.
Selagi ia mau memanggil sikera
merah, yang selalu mengikuti kemanapun juga mereka pergi, tiba-tiba ia lihat
binatang itu menjemput sebutir batu dan dengan menyontoh cara Coei San, dia
berlari-lari, kemudian melontarkan batu itu. Dia gembira bukan main dan
kelihatannya tak takut akan hawa panas.
Melihat begitu, tiba tiba So
So mendapat satu
pikiran. "E eh, kera itu
kelihatannya tidak takut api." katanya didalam hati. Ia segera bersiul dan
berkata: "Saudara kera,
apakah kau dapat menolong untuk membawa ujung tambang ke api dan menyalahkannya
?" Sambil berkata begitu, ia memberi isyarat dengan tangannya.
Kera itu ternyata pintar luar
biasa. Baru saja So So memberi isyarat dua tiga kali, ia sudah mengerti apa
maksudnya dan seraya berbunyi keras, dengan belasan kali lompatan saja, dia
sudah melalui seratus tombak lebih dan sesudah menjemput ujung tambang, dia
berlari kemulut gunung bagaikan kilat cepatnya.
Melihat begitu, Coei San dan
So So merasa menyesal, karena mereka kuatir dia tercemplung di dalam lubang
api. "Kauw jie! Kauw jie!" teriak So So. "Balik! Hayo
balik!"
Baru saja ia berteriak begitu,
jauh-jauh terlihat mengepulnya asap diujung tambang yang kemudian ditarik
dengan cepat oleh si kera dan beberapa saat kemudian ujung tambang yang menyala
sudah berada dihadapan Coei San dan So So. Bukan main girangnya mereka, So So
melompat dsn memeluk binatang itu, sedang Coai San lalu mengambil cabang-cabang
kayu kering yang diikat menjadi satu sebagai semacam obor dan kemudian
menyulutnya dengan api ditambang itu.
Apa yang sangat mengherankan
bagi mereka ialah, jangankan badannya sedangkan bulu si kera sedikitpun tidak
berubah.
Dengan hati gembira, kedua
suami isteri itu segera kembali keguha biruang bersama-sama sikera merah.
Mereka segera mengumpulkan
cabang-cabang kayu dan rumput kering untuk membuat sebuah perapian. Didalam
dunia, dapat dikatakan semua binatang sangat takuti api. Tapi sikera merah
adalah lain dari yang lain.
Sambil mengeluarkan bunyi yang
menggelikan dan dengan lagak nakal, ia bergulingan beberapa kali diatas
perapian yang berkobar-kobar.
Mendadak Coei San ingat apa
yang pernah dituturkan oleh gurunya dan tanpa merasa, ia mengeluarkan seruan
"ah !"
"Ada apa ?" tanya
sang isteri.
"Soehoe pernah
memberitahukan aku, bahwa di dalam dunia hidup semacam tikus yang dinamakan
tikus api," jawabnya. "Tikus itu dapat masuk bedalam api tanpa
terbakar bulunya yang panjangnya satu dim lebih, dapat dibuat menjadi semacam
kain yang diberi nama kain asbes. Kalau kain itu kotor, cara mencucinya adalah
memasukannya kedalam api dan begitu dikeluarkan dari api, warnanya sudah putih
kembali seperti sediakala. Menurut pendapatku, kera itu tidak banyak berbeda
dengan tikus yang dituturkan Soehoe."
So So tertawa. "Jika bulu
Saudara Kauw jie rontok, aku akan membuat kain untukmu!" kata nya.
"Tapi paling sedikit kau harus berusia dua atau tiga ratus tahun."
Sesudah mempunyai api, segala
apa beres, mereka masak air, memasak daging dan membuat satu dua rupa masakan.
Sedari perahu tenggelam, belum pernah mereka merasakan makanan matang. Sekarang
secara tidak diduga duga, mereka dapat makan telapak kaki biruang yang kesohor
lezat dan dapatlah dibayangkan kegembiraan mereka. Si kera merah yang tidak
makan lain daripada otak biruang, pergi kehutan untuk mencari buah-buahan.
Madam itu, sesudah makan
kenyang, Coei San dan So So tidur didalam guha diantara bau wangi dari berbagai
macam bunga yang luar biasa.
Keesokan paginya, Coei San
keluar dari guha dan dengan hati lapang ia memandang ketempat jauh.
Tiba-tiba ia melihat seorang
yang bertubuh tinggi besar berdiri tegak diatas batu cadas dipinggir laut. Ia
kaget bukan main, karena orang itu bukan lain dari pada Cia Soen! Sesudah
mengalami penderitaan yang sangat hebat, ia dan isterinya mendarat dipulau yang
indah itu. Tapi baru saja menikmati penghidupan bahagia dan tenteram beberapa
hari, si memedi sudah muncul lagi.
Dilain saat, ia lihat Cia Soen
jalan mendatangi dengan badan bergoyang goyang. Ternyata, sesudah matanya buta,
ia tidak dapat menangkap ikan atau membunuh biruang, sehingga sedari hari itu,
ia tak pernah menangsal perut dan biarpun badannya kuat luar biasa, ia tak
dapat mempertahankan diri lagi.
Sesudah berjalan belasan
tombak, badannya kelihatan bergemetar dan rubuh diatas tanah.
Buru-buru Coei San kembali
keguha. Begitu melihat suaminya, So So bersenyum seraya berkata: "Ngo
.."
Ia tidak meneruskan
perkataannya sebab melihat paras sang suami yang suram.
Sesudah berhadapan dengan
isterinya, Coei San berkata dengan suara perlahan: "Si orang she Cia ada
disini!"
So So melompat bangun seperti
orang dipagut ular. "Dia sudah lihat kau ?" bisiknya. Tapi saat itu
juga ia ingat, bahwa Cia Soen sudah buta dan hatinya jadi lebih tenang.
"Ngoko, kau tak usah takut," katanya pula. "Masakan kita berdua,
ditambah lagi dengan Kauw jie, tidak dapat melawan seorang buta?"
Coei San manggut-manggutkan
kepalanya. "Dia rubuh pingsan karena kelaparan" katanya.
"Mari kita tengok,"
kata sang isteri sambil merobek ujung bajunya kemudian dirobek lagi jadi empat
potong kecil. Dua segera dimasukkan ke dalam kupingnya dan yang dua lagi
diserahkan kepada suaminya. Dengan tangan kanan mencekal pedang dan tangan kiri
menuntun si kera merah, ia segera mengikuti Coei San untuk menengok Cia Soen.
Sesudah berada dekat, Coei San
berteriak: "Cia Cianpwee. apa kau mau makan ?"
Dalam keadaan lupa ingat, Cia
Soen mendengar teriakan itu dan pada paras mukanya lantas saja terlukis sinar
harapan. Tapi dilain saat, ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara Coei San
dan paras mukanya lantas saja berubah menyeramkan. Selang beberapa lama,
barulah ia mengangguk.
Coei San segera melontarkan
sepotong daging seraya berteriak: "Sambutlah !"
Cia Soen bangun sambil menekan
tanah dengan tangan kiri dan dengan pertolongan kupingnya yang sangat tajam,
dengan tangan lainnya ia menangkap daging itu yang lalu dimakan perlahan-lahan.
Melihat seorang yang begitu
gagah perkasa telah menjadi lemah dalam hati Coei San lantas saja timbul
perasaan kasihan. Tapi So So mempunyai pendapat lain. Ia sangat tidak mupakat
dengan tindakan suaminya yang sudah memberi makanan kepada Cia Soen.
"Hmm! Sesudah kuat,
mungkin dia akan membinasakan kita berdua," katanya didalam hati. Tapi
karena sudah bersumpah untuk menjadi orang baik maka meskipun hatinya
mendongkol, ia menutup mulut.
Sesudah makan sepotong daging
itu. Cia Son lantas saja pulas diatas tanah. Coei San segera menyalakan sebuah
perapian didekatnya untuk mengusir hawa dingin dan mengeringkan pakaian Cia
Soen yang basah kuyup. Sampai lohor barulan si buta sadar.
"Tempat apa ini?"
tanyanya.
Melihat gerakan mulutnya, Coei
San dan So So, yang menungguinya, segera mencabut satu sumbatan kuping untuk
mulai bicara, tapi mereka sangat berwaspada dan siap sedia untuk menyumbat
kuping jika terlihat gerakan yang luar biasa.
"Pulau ini adalah pulau
yang tidak ada manusia." jawab Coei San.
Cia Soen mengeluarkan suara
dihidung. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata: "Katau begitu kita
tak akan bisa pulang."
"Hal itu lebib baik kita
menyerahkan saja ke pada kebijaksanaan langit," kata pula Coei San.
Mendadak Cia Soen meluap
darahnya dan bagaikan kalap ia mulai mencaci langit. Sesudah kenyang memaki
maki ia meraba-raba satu batu besar dan lalu duduk diatasnya. "Apa yang
kamu ingin berbuat terhadapku ?" tanyanya.
Coei San melirik isterinya
yang segera memberi isyarat, bahwa ia menyerahkan keputusan kepada sang suami.
"Sesudah memikir sejenak, pemuda itu lalu berkata dengan suara nyaring:
"Cia Cianpwee, kami berdua suami isteri ..."
"Hm..... " Cia Soen
memotong pembicaraan orang. "Kamu sudah menjadi suami isteri?"
Paras muka, So So lantas saja
bersemu dadu, sedang hatinya girang. "Dalam pernikahan kami, dapat
dikatakan Cianpweelah yang menjadi comblang," katanya seraya tertawa.
"Untuk itu. kami harus menghaturkan terima kasih."
Cia Soen kembali mengeluarkan
suara dihidung.
"Baiklah. Apa yang kamu
mau berbuat terhadapku?" tanyanya pula.
"Cia Cianpwee," kata
Coei San. "Kami merasa sangat menyesal, bahwa kami telah membutakan kedua
matamu. Tapi karena hal itu sudah terjadi kami meminta maaf pun tiada gunanya.
Jika kits ditakdirkan untuk berdiam dipalau ini seumur hidup dan tak bisa
kembali lagi di Tionggoan maka satu-satunya yang dapat diperbuat kami yalah
merawat Cianpwee seumur hidup."
Cia Soen mengangguk.
"Ya.. begitu saja," kata nya.
"Kami berdua sangat
mencintai satu sama lain dan akan hidup atau mati bersama-sama," kata pula
Coei San. "Jika penyakit Cianpwee kumat lagi dan mencelakakan salah
seorang diantara kami, maka orang yang masih hidup sudah pasti tak akan mau
hidup lebih lama lagi."
" Kau ingin mengatakan,
bahwa jika kalian berdua mati, akupun tak bisa hidup seorang diri di pulau ini.
Bukankah begitu?" tanya Cia Soen
"Benar," jawab Coei
San.
"Kalau begitu, perlu apa
kalian menyumbat kuping?" tanya pula Cia Soen.
Coei San dan So So saling
mengawasi sambil bersenyum dan lalu mencabut potongan kain yang masih menyumbat
kuping kiri mereka. Mereka merasa kagum bukan main, karena walaupun sudah tak
dapat melihat, Cia Soen masih dapat mengetahui segala apa dengan kupingnya yang
sangat tajam.
Sesudah beromong omong
sedikit, Coei San lalu meminta orang tua itu memberi nama kepada pulau mereka.
"Di pulau ini terdapat es yang ribuan tahun tak pernah melumer dan
terdapat pula api yang laksaan tahun tak pernah padam." kata Cia Soen.
"Maka biarlah kita menamakannya pulau Pang hwee to saja." Pang hwee
to berarti Pulau es dan api.
Demikianlah. Mulai waktu itu,
tiga manusia dan seekor kera menjadi penghuni dari pulau terpencil itu.
Untuk keperluan hidup, Coei
San dan So So bekerja keras. Mereka membuat piring mangkok dengan membakar
tanah liat, membuat dapur dengan menumbuk tanah dan batu, membuat kursi meja
dan lain-lain perabotan rumah tangg. Biarpun buatannya sangat kasar, alat-alat
dan perabotan itu dapat memenuhi keperluan mereka. Saban-saban ada tempo yang
luang, mereka menanam pohon-pohon bunga disebelah kiri guha itu.
Cia Soen juga tidak pernah
rewel dan hidup dengan tenteram. Setiap hari ia duduk termenung sambil mencekal
To liong to. Ia rupanya terus mengasah otak untuk memecahkan rahasia yang
bersembunyi dalam golok mustika itu. Mereka membujuk supaya ia jangan memutar
otak lagi. "Aku pun mengerti bahwa andaikata aku dapat memecahkan rahasia
ini, aku tak akan dapat berdiam disebuah tempat yang terpencil dan tak punya
harapan untuk bisa kembali ke Tionggoan," jawabnya dengan suara getir.
"Akan tetapi, karena aku tak punya kerjaan dan merasa sangat kesepian maka
biarlah aku mengasah otak untuk menghilangkan tempo." Mendengar jawaban
yang sangat beralasan, mereka mengangguk dan tidak membujuk lagi.
Kira-kira setengah li dalam
guha biruang, terdapat sebuah guha lain yang lebih kecil. Sesudah bekerja keras
kurang lebih sepuluh hari, Coai San mengubah guha itu menjadi sebuah kamar yang
kecil, yang lalu diserahkan kepada Cia Soen untuk dijadikan kamar tidurnya.
Beberapa bulan telah terlalu
dengan cepatnya. Pada suatu hari, bersama sikera merah, Coei San dan So So pesiar
kesebelah utara pulau itu. Di luar dugaan mereka, pulau itu sangat panjang dan
sesudah melalui seratus li lebih, mereka belum wencapai ujungnya.
Sesudah berjalan lagi beberapa
lama, disebelah depan menghadang sebuah hutan yang sangat besar. Mereka mendekati
hutan itu, tapi baru saja Coei San ingin masuk, si kera merah berbunyi keras
dan memperlihatkan sikap ketakutan. So So jadi kuatir dan berkata: "Ngo
ko, kau tak boleh masuk, Kauw jie kelihatannya saungat ketakutan."
Coei San merasa heran tercampur
kuatir, karena si isteri yang biasanya sangat bergembira jika menemui sesuatu
yang luar biasa, pada waktu waktu
belakangan sangat lesu
kelihatannya. "So So, mengapa kau?" tanyanya. "Apa badanmu
kurang enak."
Ditanya begitu, So So
kelihatannya kemalu maluan, sehingga paras mukanya barubah merah. "Tidak
apa-apa," jawabnya dengan suara perlahan.
Sang suami jadi makin heran
dan terus mendesak. Akhirnya, sambil menunduk ia berkata dengan suara perlahan:
"Langit rupanya tahu, bahwa kita terlalu kesepian dan akan mengirim
seorang manusia lain datang kepulau ini."
Coei San terkesiap dan dilain
saat, kegirangannya meluap-luap. "Kita akan punya anak?" tanyanya.
"Sts! Perlahan
sedikit!" bentak si isteri, tapi dilain saat ia tertawa geli karena baru
ia ingat bahwa disekitar hutan itu tiada lain manusia.
Siang malam terbang bagaikan
anak panah yang melesat dari busurnya. Cuaca berubah agi, siang makin pendek
dan malam makin panjang, sedang hawa udarapun makin dingin. Sesudah hamil, So
So gampang capai, tapi ia tetap melakukan pekerjaan sebari-hari seperti masak,
menambal pakaian dan menyapu lantai.
Malam itu ia sudah hamil
hampir sepuluh bulan. Sesudah menyalakan perapian didalam guha, kedua suami
isteri lalu duduk beromong-omong. "Ngoko. coba kau tebak, apa anak kita
lelaki atau perempuan?" kata So So.
"Perempuan seperti kau,
lelaki seperti aku, bagi ku sama saja." jawab sang suami.
"Aku lebih suka anak
lelaki." kata pula So So. "Coba kau pilih satu nama untuknya."
Coei San hanya mengeluarkan
suara "hmmm" dan tidak menjawab perkataan isterinya.
"Ngoko, apa sedang
dipikir olehmu?" tanya pula sang isteri. "Dalam beberapa hari ini kau
kelihatannya agak bingung."
Coei San bersenyum. "Tak
apa-apa, mungkin karena kegirangan bakal menjadi ayah, aku kelihatannya tolol,"
jawabnya.
Tapi nyonya itu yang sangat
pintar tak dapat
diakali. Ia sudah melihat
bahwa pada mata suaminya terdapat sinar kekuatiran. "Ngoko, jika kau tidak
berterus terang, aku akan jengkel sekali." katanya dengan suara lemah
lembut. "Ada apa yang mendukakan hatimu?"
Coei San menghela napas.
"Aku harap saja penglihatanku keliru," katanya. "Dalam beberapa
hari ini, kulihat perubahan pada paras muka Cia Cianpwee."
So So mengeluarkan seruan
tertahan dan berkata dengan suara berkuatir : "Benar, akupun sudah lihat
perubahan itu. Paras mukanya makin hari jadi makin ganas dan mungkin sekali ia
bakal kalap lagi."
Coei San manggut-manggutkan
kepalanya. "Dia rupanya jengkel karena tidak dapat menembus rahasia yang
meliputi To liong to." katanya.
Tiba-tiba air mata So So
mengucur, sehingga suaminya terkejut. "Aku sedikitpun tidak merasa
halangan kalau kita mati bertempur dan mati bersama-sama dia," katanya
dengan suara sedih. "Tapi.... tapi....."
Dengan rasa terharu, Coei San
memeluk istrinya.
"Benar sesudah mempunyai
anak, kita tak boleh sembarangan mengadu jiwa," katanya "Kalau dia
kumat lagi kalapnya, tiada jalan lain dari pada membinasakannya. Kedua matanya
sudah buta dan aku merasa pasti, dia tak akan bisa mencelakakan kita."
Mendengar niatan suaminya untuk
membunuh Cia Soen, badan nyonya itu bergemetaran. Sebagaimana diketahui, waktu
masih ia kejam luar biasa dan dapat membunuh puluhan manusia tanpa berkesiap.
Tapi sesudah hamil, entah mengapa hatinya jadi berubah mulia.
Pernah kejadian pada suatu
hari Coei San menangkap seekor biang menjangan yang diikut oleh dua anaknya
sampai diguba. So So merasa tak tega dan berkeras supaya suaminya melepaskan
betina menjangan itu. Ia lebih suka makan buah buahan saja daripada
membunuhnya.
Melihat istrinya menggigil,
Coei San tertawa seraya berkata dengan suara menyinta: "Aku harap saja dia
tidak kalap lagi. So So, berikan saja nama Liam Coe (Langit Welas asih) kepada
anak kita. Apa kau setuju? Aku ingin supaya kalau sudah besar, dia akan terus
ingat, bahwa ibunya mempunyai hati yang welas asih. Perem puan atau lelaki,
kita berikan saja nama itu."
So So mengangguk dengan
perasaan beruntung. "Dulu, setiap kali aka membunuh manusia, hati ku
merasa girang," katanya. "Tapi sekarang, dengan mengatahui, bahwa
dalam hatiku telah muncul perasaan kasih terhadap sesama manusia, aku merasa
bahagia dan kebahagiaan itu berbeda jauh dengan kegirangan diwaktu dulu, waktu
aku membunuh manusia."
Sang suami manggut-manggutkan
kepalanya. "Aku sungguh girang mendangar pengutalanmu ini," katanya.
"Orang kata, bibit mencelakakan manusia tidak boleh ditanam didalam hati,
bibit menolong manusia harus dipupuk."
"Benar," kata So So.
"Tapi bagaimana kita harus bertindak, kalau benar dia kalap lagi. Dengan
adanya saudara Kauw jie sebagai pembantu, kekuatan kita bertambah besar."
"Tapi kurasa kita tidak
dapat terlalu mengandalkan kera" kata sang suami. "Dia memang pintar
sekali, tapi belum tentu dia mengerti kemauan kita. Kita harus mencari daya
upaya yang lebih semgurna."
"Begini saja," So So
mengajukan usulnya. "Waktu momberikan makanan kepadanya, kita menaruh
racun.... Tidak! Tidak boleh begitu! Belum tentu dia kalap lagi dan mungkin
sekali kita menduga keliru."
"Aku mempunyai serupa
akal yang rasaaya dapat digunakan," kata Coei San. "Mulai besok kita
pindah kebagian sebelum guha ini dan membuat sebuah lubang jebakan dibagian
luar dan diatas lubang itu, kita tutup dengan rumput dan daun daun
kering."
"Akal itu sangat baik,
hanya aku kuatir kau akan dicegat dia ditengah jalan waktu kau memburu
binatang," kata So So.
Coei San tertawa. "Tak
usah kau kuatirkan keselamatanku," katanya, "Begitu lekas melihat
gelagat kurang baik, aku bisa
lantas melarikan diri. Dengan memanjat batu-batu cadas dan tebing, kurasa dia
tak akan dapat menyandak aku."
Keesokan paginya, Coei San
lalu mulai menggali lubang dibagian luar guha itu. Karena tidak mempunyai
cangkul besi, ia terpaksa menggunakan potongan kayu, sehingga pekerjaan itu
memerlukan tenaga yang sangat besar. Tapi berkat Lweekangnya yarg sangat tinggi,
sesudah bekerjaa keras tujuh hari lamanya, ia berhasil menggali lubang yang
dalamnya sudah kira-kira tiga tombak.
Sementara itu, makin hari Cia
Soen makin gila lagaknya. Sering-sering ia menari-nari ditempat terbuka sambil
mencekal To liongto. Coei San bekerja makin keras. Sesudah menggali lima
tombak, ia berniat menancapkan potongan-potongan kayu tajam didasar lubang.
Menurut rencananya, guha itu bermulut lebar dan berdasar sempit sehingga jika
Cia Soen jatuh kedalamnya, ia bukan saja akan terluka, tapi sukar dapat
melompat keluar karena badannya bakal terjepit.