Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 17

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 17
Anonim

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 17

"Bagaimana dengan kakakku?" tanya So So sebelum Lie Thian hoan berlalu.

"Bagus, sangat bagus!" jawabnya. "Selama bebarapa tahun ini, ilmu silat kakakmu telah mendapat kemajuan luar biasa, sehingga aku sendiri sudah ketinggalan sangat jauh."

"Ah! Soesiok selamanya suka guyon-guyon dengan anak anak." kata So So sambil tertawa.

"Tidak, aku tidak bicara main-main," kata sang paman dengan suara sungguh sungguh. "Kemajuan kakakmu malah telah dipuji juga oleh ayahmu sendiri."

"Ah Soesiok!" kata nyonya Coei San. "Janganlah memuji orang sendiri dihadapan orang luar. Aku kuatir Jie Jie hiap akan tertawa."

"Sesudah Thio Ngohiap menjadi Kouw-ya (menantu), apakah Jie Jie hiap masih dipandang sebagai orang luar" kata Lie Thian Hoan seraya tertawa dan kemudian, sesudah memberi hormat, bersama dengan kawannya, ia lalu meninggalkan perahu Boe tong. Mendengar tanya jawab itu, Lian Cioe merasa kurang senang, tapi ia hanya mengerutkan alis dan tidak mengatakan apa-apa.

Begitu lekas orang-orang Peh hie kauw berlalu, Coei San segera bertanya dengan tergesa-gesa : "Jieko, bagaimana dengan keadaan Samko ? Apa..apa.. lukanya sudah sembuh?'

Lian Cioe menghela napas, ia tidak lantas menjawab pertanyaan adiknya.

Jantung Coei San berdebar keras. Dengan mata membelalak, ia mengawasi muka sang kakak.

"Samtee tidak mati," kata Lan Coei akhimya. "Tapi, hampir tiada beda dengan mati. Ia telah menjadi orang bercacad, kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi. Jie Thay Giam Jie Sam hiap..hm....dunia Kangouw tak akan melihatnya lagi."

Air mata Coei San lantas saja mengucur. " Apa kah sudah diketahui siapa yang mencelakakannya?" tanyanya dengan suara parau.

Lian Cioe tidak meniawab. Mendadak ia mutar kepala dan sinar matanya yang seperti kilat menatap wajah So So. "In Kauwnio, apa kau tahu siapa yang melakukan Jie Samtee?" tanyanya dengan suara tajam .

So So menggelengkan kapala. "Kudengar Jie Samhiap kena pukulan Kim kong cie dari Siauw lim sie," jawabnya.

"Benar! Tapi apa kau tahu siapa yang melakukan serangan itu?" tanya pula Lian Coe.

"Tidak, aku tak tahu," jawabnya.

Lian Cioe tidak mendesak lagi, tapi menengok kepada Coei San seraya berkata: "Ngotee, menurut Siauw lim pay kau telah membinasakan keluarga Liang boan Piauw kiok dan beberapa pendata. Siauw lim sie. Apa benar?"

Coei San tergugu dan menjawab dengan suara terputus-putus : "Ini... ini .."

"Kejadian itu tiada sangkut pautnya dengan dia ", menyelak So So. "Akulah yang sudah membunuh mereka."

Lian Cioe melirik nyonya muda itu dengan sorot mata gusar, tapi sejenak kemudian, paras mukanya udah berubah sabar kembali. "Aku memang tahu bahwa Ngo tee tak akan membunuh orang secara serampangan." katanya. "Semenjak kau menghilang antara partai kita dan Siauw lim pay telah terjadi sangketa. Kita mengatakan, bahwa mereka telah melukakan Samko, tapi mereka sebaliknya menuduh kau sebagai orang yang telah membunuh puluhan orang Siauw lim. Karena tak ada saksi, maka urusan itu sehingga sekarang masih belum bisa dibereskan. Untung juga Kong boen Tay-soe Ciang boen jin dari Siauw-lim pay, adalah seorang yang berpandangau jauh dan menghormati Insoe. Dengan sekuat tenaga, ia sudah melarang murid-muridnya menimbulkan gelombang. Itulah sebabnya mengapa selama sepuluh tahun, Boe-tong dan Siauw lim belum pernah terjadi bentrokan senjata."

"Diwaktu muda aku telah bertindak semberono dan sekarang aku merasa sangat menyesal" kata So So. "Tapi apa mau dikata beras sudah menjadi nasi. Jalan satu satunya adalah menyangkal tuduhan mereka,"

Paras muka Lian Cioe lantas saja berubah. Ia sungguh tak mengerti, bagaimana adiknya yang begitu mulia bisa menikah dengan wanita sesat itu.

Dilain pihak, So So pun merasa kurang senang terhadap Lian Cioe, karena Jie-hiap ini bersikap dingin tapi juga terus memanggil dengan panggilan "In Kouwnio" (nona In) dan tidak menggunakan "teehoe" (isteri dari adik lelaki). Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara tawar: "Siapa yang berbuat, ia yang harus bertanggung-jawab,

urusan ini, aku pasti tak akan menyeret-nyeret pihak Boe tong pay. Suruh saja Siauw lim pay cari Peh bie kauw."

Lian Cioe jadi gusar dan berkata dengan suara nyaring: "Dalam kalangan Kangouw, yang paling diutamakan adalah keadilan. Jangankan Siauw lim pay sebuah partai besar, anak kecilpun tak boleh dihina dengan mengandalkan kekuatan."

Jika teguran pedas itu diberikan pada sepuluh tahun berselang, So So tentu sudah menghunus pedang. Tapi sekarang, biarpun darahnya meluap, sebisa-bisa ia menahan napsu.

"Ajaran Jieko sedikitpun tak salah," kata Coei San seraya membungkuk.

"Aku tak kepingin dengar ajaranmu," kata So So didalam hati dan sambil menarik tangan Boe Kie, ia bertindak keluar. "Boe Kie, mari kita meninjau perahu besar ini yang belum pemah dilihat olehmu," katanya.

Sesudah isteri dan puteranya berlalu dari gubuk perahu, Coei San segera berkata dengan suara jengah. "Jieko, selama sepuluh tahun ini, aku...."

"Ngotee," sang kakak memotong perkataannya sambil mengebas tangan. "Kecintaan antara kau dan aku adalah kecintaan darah daging. Dalam bahaya apapun juga, aku akan tetap berdiri didampingmu untuk hidup dsn mati bersama-sama. Urusan pernikahanmu, kau tak usah membicarakan dengaku. Sesudah kemali di Boe tong, kau boleh melaporkan kepada Soehoe, Jika Soehoe gusar dan lalu menjatuhkan hukuman, kita beramai, Boe tong Cit hiap, akan berlutut dihadapan Soehoe untuk memohon pengampunan. Puteramu sudah begitu besar dan aku tidak percaya, bahwa Soehoe akan cukup tega untuk memisahkan kau dengan anak isterimu."

Bukan main rasa girang dan terima kasihnya Coei San. "Terima kasih atas kecintaan Jieko," katanya dengan suara terharu.

Jie Lian Cioe adalah seorang yang diluarnya kelihatan menyeramkan dan keras, sedang didalamnya, lembek dan mulia. Diantara Boe tong Cit hiap ialaj yang paling jarang berguyon, sehingga adik-adik seperguruannya lebih takut terhadapnya daripada terhadap Song Wan Kiauw. Tapi selain ditakuti, ia juga sangat dicintai, karena ia sangat mencintai saudara-saudara seperguruannya. Hilangnya Coei San mendukakan hatinya, sehingga hampir-hampir ia menjadi kalap. Pertemuan dengan si adik pada hari itu merupakan kejadian yang luar biasa menggirangkan, tapi ia tidak memperlihatkan kegirangannya itu pada paras mukanya dan malah sudah menegur So So dengan kata-kata keras.

Sesudah berada berduaan, barulah ia mengutarakan isi hatinya dihadapan si adik. Apa yang paling dikuatirkan olehnya adalah keselamatan So So yang sudah membunuh begitu banyak murid Siauw lim sie dan ia merasa, bahwa peristiwa itu tidak mudah dapat dibereskan dengan jalan damai. Tapi diam-diam ia sudah mengambil keputusan bahwa jika perlu, ia rela mengorbankan jiwanya sendiri, demi kepentingan dan keutuhan keluanga Soe teenya.

"Jieko apakah bentrokan kita dengan Peb-bie kauw karena gara gara siauwtee?" tanya pula Coei San. "Siauw tee sungguh merasa tidak enak."

"Bagaimana sebenamya kejadian dalam pertemuan Ong-poan-san ?" Lian Cioe balas menanya, tanpa menjawab pertanyaan siadik.

Coei San lantas saja menuturkan segala pengalamannya, cara bagaimana malam malam ia masuk kegedung Long boen Piauw kiok, bagaimana ia mengenal So So, bagaimana ia turut menghadiri pertemuan di Ong poan san, bagaimana Cia Soen membunuh orang, merampas To liong to dan akhirnya menawan ia dan So So. Sesudah mendengar penuturan itu, Lian Cioe lalu meminta penjelasan mengenai nasib Ko Cek Sang dan Chio Tauw. Sesudah segala apa jelas baginya, ia menghela napas seraya berkata: "Jika kau tidak pulang, entah sampai kapan rahasia ini baru bisa diketahui."

"Benar," kata Coei San, "Saudara angkatku .....hmm. Pada hakekatnya, Cia Soen sebenarnya bukan manusia jahat. Ia telah melakukan

banyak kedosaan sebab mengalami pengalaman hebat dan mendendam sakit hati yang hebat pula. Pada akhimya, aku telah mengangkat saudara dengan ia."

Lian Cioe hanya manggut manggutkan kepalanya.

"Dengan teriakannya yang maha dahsyat, Gie heng (saudara angkat) telah merusak urat syaraf semua orang yang berada dipulau itu." kata pula Coei San. "Ia mengatakan, bahwa andaikata orang orang itu tidak menjadi mati, mereka akan kehilangan ingatan dan dengan begitu, barulah rahasia To liong to tidak sampai menjadi bocor."

"Didengar dari penuturanmu, biarpun sangat kejam, Cia Soen adalah manusia luar biasa," kata Lian Cioe. "Sepak terjangnya sangat hati-hati, tapi ia masih terpeleset dan melupakan satu orang."

"Siapa?" tanya Coei San.

"Pek Kwie Sioe," jawabnya.

"Ah! Tancoe dari Hian boe tan," kata Coei San dengan kaget.

Lian Cioe mengangguk. "Menurut keteranganmu, diantara jago-jago yang berkumpul dipulau Ong poan san pada hari itu, Pek Kwie Sioe-lah yang memiliki Lweekang yang tinggi," katanya. "Karena diserang dengan semburan arak oleh Cia Soen, ia telah jatuh pingsan. Jika ia tidak berada dalam keadaan pingsan, mungkin sekali ia tak dapat mempertahankan diri pada waktu Cia Soen mengeluarkan teriakannya yang dahsyat itu."

"Benar!" Coei San memotong perkataan Soe hengnya sambil menepuk lutut. "Waktu itu memang Pek Kwie Sioe belum tersadar, sehingga oleh karenanya ia tak mendengar teriakan Gie heng dan secara kebetulan berhasil menyelamatkan dirinya. Benar! Gieheng seorang yang berpikiran panjang, tapi ia tidak bisa berpikir sampai di situ."

Lian Cioe menghela napas, "Yang masih hidup hanya Pek Kwie Sioe dan kedua murid Koen loen pay itu," katanya pula, "Sebagaimana kau

tau Lweekang Koen loen pay sangat luar biasa dan walaupun tenaga dalamnya masih belum cukup tinggi, Ko Cek Sang dan Chio tauw bisa terlolos juga dari kebinasaan. Tapi mereka hilang ingatan, seperti orang menderita penyakit urat syaraf. Setiap kali ditanya, siapa yang mencelakakan mereka, mereka hanya menggeteng-gelengkah kepala, Ko Cok Sang hanya menyebutkan nama seorang, yaitu nama 'In So So'...Hmmm".

Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata lagi . "Sekarang baru aku mengerti, bahwa si orang she Ko menyebut-nyebut nama Teehoe, karena ia tidak dapat melupakan kecantikan Teehoe. ..hm. Jika dilain kali See hoa coe mengeluarkan kata-kata yang kurang ajar, entah bagaimana aku harus menjawabnya. Pihaknya sendiri yang tidak benar, tapi dia masih mau menyalahkan orang."

"Jika Pak Kwie Sioe tidak kurang suatu apa, dia tahu dari seluk beluk dari segala kejadian di Ong poan san," kata Coei San.

"Tapi dia tetap menutup mulut," kata Lian Cioe. "Apa kau bisa menebak sebab musababnya?"

Siadik memikir sejenak. "Ya." jawabnya, sesaat kemudian. "Mereka menutup mutut karena masih mengharap bisa merampas To liong to "

"Benar," kata Lian Cioe. "Permusuhan dalam Rimba Persilatan berpangkal disitu. Koen loan pay menuduh, bahwa In So So mencelakakan Ko Cek Seng dan Chio Tauw, sedang pihak kita menganggap kau sudah dibunuh oleh orang orang Peh bie kauw"

"Apakah hadirnya Siauwtee dipulau itu telah diberitahukan oleh Pek Kwie Sioe ?" tanya Coei San.

"Bukan," jawabnya. "Pek Kwie Sioe membungkam tidak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bersama Sie tee dan Cit tee, aku telah membuat penyelidikan dipulau itu. Kami tahu kehadiranmu, sebab melihat duapuluh empat huruf yang di tulis olehmu ditembok batu dengan menggunakan Tiat pit. Kami, segera mencari Pek Kwie Sioe dan menanyakan tentang dirimu. Karena jawabannya kurang ajar, kita bertempur dan dia kena satu pukulanku. Tak lama kemudian orang orang Koen loen pay minta keterangan dari Peh bie kauw dan berbuntut dengan pertempuran. Malam pertempuran itu, Koen loen pay menderita kerugian dua orang dipihaknya binasa dan permusuhan menghebat. Srlama sepuluh tahun, dendaman sakit hati ini jadi makin mendalam."

Coei San sangat berduka. "Karena gara gara siauwtee suami isteri, berbagai partai menemui bencana " katanya. "Siauwtee sungguh merasa sungguh sangat tak enak. Sesudah memberi laporan kepada Insoe, siauwtee akan mengunjungi berbagai partai untuk coba mendamaikan dan siauw tee rela menerima hukuman apapun jua."

Lian Cioe menghela napas. "Dalam urusan orang ridak dapat menyalahkan kau," katanya. "Jika hanya karena persoalan kau berdua suami istri yang terseret dalam permusuhan, paling banyak hanya Koen loan, Boe tong dan Peh bie kauw, Tapi, dalam keinginannya untuk merampas To liong to, Peh bie kauw tidak pernah menyebut nyebut nama Cia Soen, sehingga dengan begitu, Kie keng pang, Hay see pay dan Sin koen boon sudah menumplek kedosaan diatas kepala Peh bie kauw. Mereka menganggap, bahwa orang orang Peh Bie kauwlah yang sudah membinasakan pemimpin-pemimpin mereka. Itulah sebabnya, mengapa Peh bie kauw sudah dikeroyok oleh begitu banyak partai dan golongan"

Coei San menggoyang-goyangkan kepalanya. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa kebaikannya To liong to, sehingga Gakhoe (mertua lelaki) rela menerima segala tuduhan yang tidak-tidak itu," katanya.

"Aku sendiri belum pernah bertemu muka dengan mertuamu," kata Lian Cioe. "Tapi kepandaiannya dalam memimpin orang-orangnya untuk melawan begitu banyak musuh, sangat dikagumi oleh semua orang."

"Jieko, ada hal lain yang tidak dimengerti olehku," kate pula Coei San. "Go bie dan Khong tong tidak turut hadir dalam pertemuan di Ong Poan San, mengapa mereks juga bermusuhan dengan Peb bie kauw?"

"Sebab musababnya berpangkal pada Giehengmu, Cia Soen, " jawabnya. "Dalam usahanya untuk mendapatkan To liong to Peh bie kauw tetah mengirim perahu-parahu Cia Soen diberbagai pulau. Kau harus mengetahui bahwa rahasia tak mungkin ditutup selama-lamanya. Meskipun Pek Kwie Sioe tetap membungkam, lama-lama rahasia itu bocor juga. Dangan menggunakan name Hoen-Goan Pek lek chioe Seng Koen, Gie-hengmu telah melakukan lebih dari tiga puluh pembunuhan yang menggemparkan. Banyak jago dari berbagai partai yang binasa ditangannya. Apa kau tahu kejadian ini?"

Coei San manggutkan kepala. "Kalau begitu, orang akhirnya tahu, bahwa itu semua telah dilakukan olehnya," katanya dengan suara perlahan.

"Setiap kali membunuh orang, diatas tembok ia menulis huruf-huruf besar yang berbunyi:Yang membunuh ialah Hoen goan Pek-lek-chioe Seng Koen," Lian Cioe melanjutkan penuturannya.

"Kejadian kejadian itu sedemikian hebatnya, sehingga aku dan lain-lain saudara pernah menerima perintah insoe untuk turun gunung guna bantu menyelidiki. Semula, tak satu manusiapun yang dapat menebak siapa penjahatnya, sedang Seng Koen sendiri tak pernah muncul. Tapi, sesudah rahasia Pak bie kauw bocor, orang-orang pandai berbagai partai lantas saja bercuriga dan mulai menebak-nebak. Cia Soen adalah murid tunggal dari Hoen-goan Pek lek Chie. Orang juga tahu meskipun tak tahu sebab sebabnya bahwa, belakangan Cia Soen bermusuhan hebat dengan gurunya. Maka itu, orang lantas saja menduga bahwa yang menggunakan nama Seng Koen adalah Cia Soen."

"Jumlah manusia yang dibunuh Cia Soen sudah terlalu besar dan jumlah partai yang punya dendam sudah terlalu banyak. Bahkan seorang yang berkedudukannya paling tinggi dalam Siauw lim-pay, yaitu Kong kianTaysoe, juga binasa dalam tangannya . Coba kau menaksir-naksir berapa jumlah orang yang ingin membalas sakit hati terhadapnya"

Paras muka Coei San berubah. pucat sekali, "Ya... Gie heng telah kembali kejalan lurus, tapi kedua tangannya berlumuran terlalu banyak darah." katanya dengan suara parau. "Jieko .. Pikiranku terlalu kusut dan aku tidak dapat memikir lagi."

"Dengan demikian semua orang mengeroyok Peh bie kauw," kata pula Lian Coe. "Karena kau, aku dan saudara-saudara mencari Peh bie kauw, karena Ko Cek Seng dan Chio Tauw, Koen loan pay mencari Peh bie kauw, karena kebinasaan pemimpinnya. Kie keng pang mencari Peh bie kauw. Siauw lim pay dan lain-lain golongan mencari Peh bie kauw sebab mau menanyakan dimana tempat sembunyinya Cia Soen. Selama beberapa tahun sudah terjadi lima kali pertempuran besar dan jumlah pertempuran kecil tak dapat dihitung lagi. Dalam pertempuran-pertempuran besar, pihak Peh bie kauw selalu jatuh dibawah angin. Akan tetapi, dengan kecerdikannya, Gak hoemu selalu dapat menolong rombongannya, sehingga tidak sampai menjadi hancur. Mau tidak mau semua orang orang mengakui, bahwa dia benar benar manusia luar biasa. Selama persoalan belum jelas dan masih banyak hal yang meragukan, Siauw lim, Koen loen, boe tong dan lain-lain pengurus tidak mau bertindak keterlaluan. Tapi golongan-golongan Kang ouw yang lainnya tidak sungkan-sungkan lagi. Kali ini, kami mendapat warta bahwa Hiocoe dari Thian sie tong telah berlayar dengan sebuah perahu besar. Kami lantas saja menguntip. Lie Hiocoe gusar dan pertempuran lantas saja terjadi. Jika kau tidak keburu datang, jumlah korban pasti akan lebih besar"

Bukan main rasa menyesalnya Coei San. Dengan sorot mata duka ia mengawasi kakak seperguruannya yang kelihatannya banyak lebih tua daripada sepulah tahun berselang. "Jieko selama sepuluh tahun, kau sungguh menderita..." katanya dengan suara berbisik. "Sesudah bisa bertemu lagi dengan kau, matipun aku rela...aku..."

"Ngotee, tak usah kau terlalu sedih," memotong kakak. "Berkumpulnya kembali Boe tong Cit hiap adalah kejadian yang sangat menggembirakan. Semenjak Samtee terluka dan kau menghilang, orang-orang Kangouw mengubah panggilan menjadi Boe tong Ngo Hiap. Huh huh! Hari ini Cit Hiap berkumpul kembali....." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, sebab mendadak ia ingat, bahwa biarpun Cit hiap masih lengkap tujuh orang, tapi sebenarnya tidak begitu, karena Jie Thay Giam sudah tak dapat menunaikan lagi tugasnya sebagai seorang pendekar.

Sesudah berlayar belasan hari, mereka tiba dimulut Sungai Tiang kang. Mereka segera menukar perahu yang lebih kecil dan meneruskan perjalanan disungai itu. Coei San dan So So sudah menukar pakaian yang pantas dan mereka sungguh merupakan pasangan yang setimpal yang satu tampan, yang lain cantik. Boe Kie pun mengenakan baju baru dan sebagian rambutnya dibuat menjadi dua kuncir yang diikat dengan sutera merah.

Dengan parasnya yang tampan, kegesitan dan kecerdasannya, ia sungguh seorang bocah yang menarik.

Dalam sibuknya mempelajari ilmu silat, Lian Cioe tidak menikah dan ia sekarang menumplek kasih sayangnya kepada putera Soeteenya itu. Boe Kie yang pintar mengetahui, bahwa Soepeh yang parasnya menyeramkan itu sangat mencintai nya, sehingga, saban-saban Lian Cioe mempunyai waktu luang, ia selalu mendekati sang paman untuk menanyakan ini dan itu. Sebagai anak yang bisa bidup dipulau terpencil, pengalaman bocah itu sangat terbatas sekali banyaknya, sehingga hampir segala apa yang dilihatnya merupakan suatu yang baru baginya. Lian Cioc tidak pemah merasa bosan untuk menjawab penjelasan penjelasan yang seperlunya. Sering-sering dengan mendukung Boe Kie, ia berdiri dikepala perahu untuk menikmati pemandangan alam bersama sama keponakannya itu.

Hari itu, perahu tiba dikaki gunung Teng koan san, daerah Tong leng dalam propinsi An hoei. Diwaktu magrib, perahu itu berlabuh didekat sebuah kota kecil dan juragan perahu mendarat untuk membeli daging dan arak. Coei San suami isteri dan Jie Lian Cioe beromong-omong digubuk perahu sambil minum teh, sedang Boa Kie main-main sendirian dikepala perahu.

Didarat, duduk didekat perahu itu, kelihatan seorang pengemis tua yang lehemya dilibat seckor ular hijau, sedang kedua tangannya bermain-main dengan seekor ular besar yang badannya hitam dengan titik putih.

Karena belum pemah melihat ular, Boe Kie menonton permainan sipengemis dengan mata membelalak. Melihat si bocah, pengemis itu mengangguk sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba sekali ia mengebas tangan, ular hitam itu melesat keatas, jungkir batik ditengah udara beberapa kali dan kemudian jatuh didadanya. Boo Kie heran bukan main dan terus mengawasi dengan mata tidak berkedip. Sipengemis tertawa dan menggapai-gapai sebagai undangan.

Tanpa memikir panjang Boe Kie segera melompat kedarat dan mendekatinya, Pengemis itu mengambit sebuah kantong kain yang menggemblok dipunggungnya dan sambil membuka mulut kantong, Ia berkata seraya berkata: "Didalam kantong ini terdapat serupa benda yang lebih menarik. Coba kau lihat."

"Benda apa?" tanya Boe Kie.

"Sangat menarik, kau lihat saja sendiri," jawabnya.

Boe Kie membungkuk dan mengawasi kedalam kantong itu, tapi ia tak dapat melihat apapun just. Ia maju setindak lagi untuk melihat dengan lebih jelas. Mendadak, bagaikan kilat, kedua tangan si pengemis bergerak, menungkup kepala Boe Kie. Bocah itu hanya dapat mengeluarkan teriakan di tenggorokan, karena mulutnya sudah dibekap dan badannya diangkat keatas.

Teriakan Boe Kie memang sangat lemah. Tapi Lian Cioe dan suami isteri Coei San adalah ahli kelas satu yang kupingnya tajam luar biasa.

Seketika itu mereka tahu, bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik. Dengan serentak mereka berlari lari kekepala perahu dan melihat Boe Kie yang sudah menjadi tawanan si pengemis. Baru saja mereka mau melompat kedarat, pengemis itu sudah membentak: "Jangan bergerak! Kalau kau masih sayang akan jiwa anak ini, jangan bergerak!"

Seraya mengancam, ia merobek baju Boe Kie dibagian pinggang dan mengangsurkan mulut ular hitam itu kedekat kulit punggung si bocah.

Melihat begitu, bukan main bingung dan gusarnya So So. Tanpa memikir lagi tangannya bergerak untuk melepaskan jarum emas.

"Jangan!" bentak Lian Cioe dengin suara perlahan. Ia sudah mengenali, bahwa ular hitam itu adalah salah satu dari delapan belas macam ular paling berbisa didalam dunia. Ular tersebut yang mengambil kedudukan kesebelas, diberi nama Cit lie seng. Makin hitam warnanya dan makin halus titik-titik putihnya, makin hebat bisanya. Ular sipengemis itu, yang hitamnya mengkilap dan titik putihnya bersinar terang, kelihatan membuka mulutnya yang besar, dalam mana terdapat empat batang caling, siap sedia untuk memagut punggung Boe Kie yang putih bersih.

Sekali dipagut, bocah itu pasti akan segera binasa. Andaikata pengemis itu bisa lantas dibinasakan dan obat pemunah bisa lantas didapatkan, masih belum tentu jiwa Boe Kia keburu ditolong dengan obat itu.

Itulah sebabnya, mengapa Lian Cioe mencegah niatan So So Dengan paras muka tidak berubah, ia bertanya: "Sebab apa tuan menawan anak itu ?"

"Sebelum aku menjawab, kau lebih dulu harus menolak perahumu sampai kira-kira delapan tombak dari tepi sungai," kata sipengemis.

Lian Cioe mengerti, bahwa sesudah perahu terpisah jauh dari tepian, Boe Kie makin sukar ditolong. Tapi karena anak itu menghadapi bencana, ia tidak dapat berbuat lain daripada menurut. Ia lalu menjemput rantai sauh dan sekali menyentak, sauhnya yang beratnya kira-kira lima puluh kati sudah melompat keluar dari permukaan air.

Melihat Lweekang Jie Jiehiap yang sangat tinggi itu, paras muka si tua agak berubah.

Dengan jantung berdebar keras, Coei San mengambil gala dan menotol tanah, sehingga perahu itu lantas saja bergerak ketengah sungai.

"Lebih jauh sedikit ?" teriak pengemis itu.

"Apa belum delapan tombak ?" tanya Coei San dengan mendongkol.

"Waktu mengangkat sauh Jie Jiehiap telah memperlihatkan Lweekang yang begitu tinggi," kata si tua sambil tertawa "Maka itu, biarpun sudah terpisah delapan tombak, aku yang rendah masih sangat kuatir,"

Apa boleh buat, Coei San mendorong pula sejauh beberapa tombak.

"Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia ." tanya Lian Cioe sambil menyoja.

"Aku yang rendah hanyalah seorang perajurit yang tidak masuk hitungan dalam Kay pang (Partai pengemis), sehingga namaku hanya akan mengotor kuping Jie Jiehiap," jawabnya.

Melihat pengemis itu menggendong enam buah karung, Lian Cioe merasa heran, sebab seorang pengemis yang membawa karung sebanyak itu mempunyai kedudukan yang cukup tinggi. Disamping itu. sepanjang pengetahuannya, Kay pang adalah sebuah partai yang selalu melakukan perbuatan perbuatan mulia, sedang Pangcoe dari partai itu adalah sahabat karib dari Toa seekonya, Song Wan Kiauw.

Selagi ia berpikir, tiba tiba So So berkata: "Apakah, Boe san pang dari Soe coan timur sudah dipersatukan dengan Kay pang? Kalau tidak salah, dalam partai pengemis tidak terdapat orang yang seperti tuan."

Si tua mengeluatkan seruan tertahan, bahna kagetnya. Sebelum ia menjawab, So So sudah berkata pula : "Ho Loosam, kau jangan main gila. Jika kau mengganggu selembar rambut anakku, aku akan mencincang tubuh Bwee Ciok Kian !"

Pengemis itu kaget tak kepalang, sehingga paras mukanya berubah pucat. Sesaat kemudian, sesudah dapat menenteramkan hatinya, ia berkata: "In Koawnio mempunyai mata yang sangat tajam dan dapat mengenali Ho Loosam, Atas perintah Bwee Pangcoe, aku datang kemari untuk menyambut Kongcoe."

"Singkirkan ular itu !" bentak So So dengan gusar. "Hu hu! Gerombolan Boe san pang yang tiada artinya berani menyentuh kepala Peh bie kauw!"

"In Kouwnio, kau salah," bantah Ho Loosam "Sedikitpun kami tidak mempunyai niatan untuk melanggar keangkeran Peh bie kauw. Asal saja In Kouwnio sudi menjawab pertanyaanku, bukan saja aku akan segera mengembalikan Kongcoe, tapi Bwee Pangsoe sendiripun akan datang berkunjung untuk meminta maaf."

"Pertanyaan apa ?" tanya So So.

"In Kouwnio sendiri mungkin sudah mendengar, bahwa putera satu satunya dari Bwee Pang coe telah binasa didalam tangan Cia Soen." jawab nya. "Bwee Pangcoe memohon supaya Thio Ngo hiap dan In Kouwnio .... aku salah ... supaya Thio Ngo Hiap dan Thio Hoejin sudi menaruh belas kasihan dengan memberitahukan tempat bersembunyinya Cia Soen. Untuk budi yang sangat besar itu, seluruh partai akan merasa sangat berterima kasih."

So So mengerutkan alis. "Kami tak tahu " katanya.

"Kalau begitu, kami memohon supaya kalian suka mendengar dengarkan dimana adanya Cia Soen, sedang dipihak kami, kami akan merawat Kongcoe baik baik" kata pula sipengamis. "Nanti sesudah kalian mendapat tahu tempat sembunyinya Cia Soen. Bwee Pangcoe sendiri akan mengembalikan Kongcoe."

Melihat caling ular hanya terpisah beberapa dim dari punggung puteranya, hati So So berdebar debar. Jika ia dapat mengambil keputusan sendiri, ia tentu akan segera membuka rahasia. Ia menengok dan mengawasi muka suaminya. Sesudah menjadi suami isteri sepuluh tahun, is mengenal adat sang suami yang keras dan mulia. Ia tahu, bahwa apapun jua yang akan terjadi Coei San pasti tidak akan menghianati Cia Soen. Ia mengerti, bahwa jika ia membuka rahasia dan Cia Soen binasa oleh karenanya, perhubungan mereka sebagai suami isteri sudah pasti tak bisa dipertahankan lagi. Maka itulah melihat paras muka Coei San yang menyeramkan, ia terpaksa menutup mulut.

"Baiklah, kau boleh menawan anakku," kata Thio Ngohiap dengan suara nyaring. "Seorang laki-laki tak akan menjual sahabat. Ho Loosam, kau terlalu memandang rendah kepada Boe tong Cit hiap."

Si pengemis terkejut, itulah jawaban yang tidak diduga-duga. Semula ia menaksir, bahwa begitu cepat Boe Kie tertawan, Coei San dan So So pasti akan memberitahukan tempat sembunyinya Cia Soen. Dengan rasa kagum, sambil berpaling kearah Lian Cioe, ia berkata: "Jie Jiehiap, Cia Soen adalah manusia berdosa yang kedosaannya bertumpuk tumpuk bagaikan gunung. Boe tong pay selalu mengutamakan keadilan dan pendirian yang sangat dihormati dalam Rimba Persilatan. Aku mengharap Jiehiap suka membujuk Ngohiap"

"Mengenai urusan ini, aku dan Ngotee sekarang justeru ingin pulang ke Boe tong untuk melaporkannya kepada Insoe dan meminta keputusannya," kata Lian Cioe, "Tiga bulan kemudian, kami akan mengadakan pertemuan di Hong ho lauw. Aku harap Bwee Pangcoe dan tuan juga suka menghadiri pertemuan itu, supaya kita beramai bisa berunding untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang memuaskan. Sekarang aku minta kau suka melepaskan anak itu."

Lian Cioe bicara dengan suara perlahan dari jarak belasan tombak. Tapi setiap perkataannya dapat didengar jelas oleh Ho I.oosam yang jadi kagum bukan main. "Boe tong Cit hiap yang namanya mengetarkan seluruh negeri sunguh-sungguh bukan nama kosong." katanya didalam hati. "Kali ini aku sudah menanam bibit permusuhan bagi Boe san pang. Tapi, biar bagaimanapun juga, sakit hati Bwee Pangcoe tidak bisa tidak dibalas."

Ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Kalau begitu, aku memohon beribu maaf dari kalian. Tidak ada jalan lain dari pada aku mengajak Thio Kongcoe pulang ke Tongcoa."

Karena Ho Loosam merangkap kedua tangannya, maka mulut ular yang dicekal dengan salah satu tangannya jadi tepisah agak jauh dari pungung Boe Kie. Biarpun kepalanya berada didalam karung, bocah itu telah mendengar jelas semua pembicaraan. Begitu lekas ia merasa tangan sipengemis terlepas dari dirinya, bagaikan kilat ia menepuk jalanan darah Leng tay hiat, dipunggung Ho Loosam, dan dengan berbareng, ia menendang seraya melompat. Karena kuatir musuh melepaskan ular, tanpa membuka karung yang masih menutup kepalanya, ia meloncat beberapa kali deagan sekuat tanaga.

Sesudah kabur belasan tombak, barulah ia mencabut karung dari kepalanya. Ia heran sebab melihat pengemis tua itu rebah ditanah tanpa bergerak.

Sementara itu, cepat-cepat Coei San menolak perahunya ketepi sungai dan kemudian, bersama isterinya dan kakaknya, ia melompat kedaratan. Bagaikan terbang So So berlari-lari kearah puteranya, yang lalu dipeluk dengan rasa girang yang meluap-luap.

Coei San sendiri segera menghunus pedang dan membunuh kedua ular berbisa itu.

Sesudah itu, barulah ia membungkuk dan memeriksa keadaan Ho Loosam yang mulutnya terus mengeluarkan darah dan kelihatannya sedang menderita kesakitan hebat,

"Ngotee," kata Lian Cioe dengan perasaan heran, "apa mungkin tepukan Boe Kie yang begitu enteng bisa mengakibatkan luka yang begitu berat ?" Ia mengangsurkan tangan dan coba mengangkat lengan kiri situa, tapi lengan itu kaku, seperti orang yang tertotok jalanan darahnya. Melihat begitu, ia segera mengurut jalanan darah Tau tiong hiat, dibagian dada, dan Toa twie hiat, dibelakang leher Ho Loosam.

Diluar dugaan, begitu diurut, sipengemis mengeluarkan teriakan menyayat hati. "Aduh! Mau bunuh, lekas bunuh .... Jangan kau ... menyiksa!" Ia sesambat. Seluruh tubuhnya menggigil dan giginya bercetukan.

Lian Cioe kaget tak kepalang, karena dengan urutan itu, ia bermaksud untuk menolong. Tan tiong hiat ialah pusat, atau sumber dari hawa tubuh manusia, sedang Toa twie hiat adalah tempat berkumpulnya jalanan darah besar dibagian kaki tangan manusia. Maka itu, jika kedua jalanan darah sudah mengalir baik, lain lain jalanan darah yang tertutup akan terbuka kembali.

Tapi diluar dugaan, akibatnya justeru sebaliknya. Melihat Ho Loosam menderita kesakitan yang begitu hebat, Lian Cioe segera menotok jalanan darah dipundaknya untuk mengurangkan penderitaannya dan keemudian berpaling mengawasi Coei San.

Tapi Coei San pun tidak mengerti sebab musababnya. "Sumoay," katanya. "Apakah kau melukakan dia dengan jarum emas?"

"Tidak," jawabnya. "Mungkin dia kena dipagut ulamya sendiri."

Sambil menahan sakit, si tua berkata: "Tidak... anakmu yang menghantam punggungku..." Ia melirik Boe Kie dengan sorot mata heran dan takut.

So So senang hatinya. "Boe Kie," katanya dengan suara bangga, "benarkah kau sendiri yang menghajamya ? Bagus! Bagus sekali!"

"Jalan darah apa yang harus dibuka untuk menolongnya?" tanya Coei San dengan suara jengah. Ia merasa main, bahwa sebagai ayah ia tidak dapat menolong orang yang dihajar oleh puteranya sendiri, sehingga pertanyaan itu tidak langsung ditujukan kepada Boe Kie.

So So tertawa geli. "Anak," katanya. "Thia thia menyuruh kau membuka jalanan darahrnya. Tolonglah dia! Sekarang dia sudah mengena lihaynya Cia Boe Kie."

Mendengar perkataan Cia Boe Kie, Lian Cioe merasa heran. "Cia Boe Kie ?" menegasnya.

"Ya," jawab Coei San sambil mengangguk. "Siauwtee telah menyerahkan anak itu kepada Gieheng dan sedari dilahirkan ia telah mengguna kan she Cia."

Boe Kie menggelengkan kepalanya. "Aku tak bisa," katanya.

"Mengapa tak bisa?" tanya sang ayah.

"Giehoe hanya mengajar aku untuk menotok orang, tapi tidak memberitarukan cara bagaimana harus membuka totokan itu," jawabnya. Ia diam sejenak dan kemudian berkata pula: "Waktu menurunkan pelajaran itu kepadaku, Giehoe mengatakan, bahwa jika pukulan mengenai Tai-yang, Tan-tiong, Toa-twie dan Leng tay, empat jalanan darah besar, orang yang terpukul bisa lantas binasa. Aku segera menanyakan bagaimana caranya menolong orang yang terpukul. Ia nneagerutkan alis dan berselang beberapa saat, barulah ia menjawab begini: Didalam dunia, ilmu ini hanya dikenal olehku dan olehmu berdua orang. Perlu apa kau belajar cara menolongnya? Kau hanya boleh memukul musuh dengan pukutan ini. Dan kalau yang dipukul musuh, perlu apa kita menolongnya? Apakah kau mau memberi kesempatan kepadanya, supaya dibelakang hari dia bisa membalas sakit hati? Itulah jawab Giehoe terhadap pertanyaanku."

Coei San dan isterinya mengakui bahwa suara itu, memang suara Cia Soea yang tangannya kejam dan kalau membabat, selalu membabat sampai diakarnya.

Biar bagaimanapun jua, Ho Loosan seorang laki laki yang keras kepala. "Jie Jiehiap, Thio Ngohiap, dalam hal ini, yang bersalah memamg aku sendiri," katanya. "Hatiku tidak baik dam memang pantas aku mendapat pembalasan yang tidak baik. Sekarang aku memohon supaya kalian cepat cepat mengambil jiwaku, supaya aku tidak menderita terlalu lama."

Lian Cioe menggelengkan kepala. "Tidak, kedosaanmu tidak pantas mendapat hukuman mati," katanya. "Aku meminta maaf untuk keponakanku yang sudah turun tangan tanpa mengetahui berat entengnya tangan itu. Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk menolong jiwamu," sehabis berkata begitu, ia mendukung Ho Loosam dan menaruhnya didalam gebuk perahu.

Sesudah itu ia kembali kedaratan dan bertanya kepada Boe Kie: "Apa namanya pukulan yang telah digunakan olehmu ?"

Melihat paras sang paman yang menyeramkan, bocah itu jadi ketakutan dan lantas saja menangis. "Aku bukan sengaja mau membinasakannya," jawabnya "Dia... dia mengancam aku dengan ular ... Aku takut, aku ... sangat takut ...."

Lian Cioe menghela napas. Dengan rasa cinta ia mendukung keponakannya dan mensusutan matanya. "Jiepeh tidak menyalahkan kau," katanya dengan suara halus. "Jika dia mengancam Jiepeh dengan ular, akupun akan menghajar dia."

Sesudah dibujuk dan dielus elus, barulah Boe Kie berhenti menangis "Menurut katanya Giehoe pukulan itu yalah pukulan yang sudah hilang dari Rimba Persilatan," Ia menerangkan. "Namanya Hang liong Sip pat ciang (Delapanbelas pukulan untuk menaklukkan naga)"


Begitu mendengar perkataan Hang liong Sip pat ciang, paras muka Lian Cioe berubah dan ia lalu menurunkan sibocah dari dukungannya.

Hang liong Sip pat ciang adalah ilmu silat yang sangat tersohor dari Ang Cit Kong, Pangcoe partai pengemis pada akhir jaman kerajaan Lam tong, Di samping ilmu itu Ang Cit Kong, melirik ilmu silat tongkat yang diberi nama Tah kauw Pang hoat. (Ilmu silat tongkat untuk memukul anjing ), yang juga sudah menggetarkan Rimba Persilatan dan sangat disegani oleh jago-jago pada masa itu, Tah kauw Pang hoat adalah ilmu yang hanya diturunkan kepada Pangcoe dari Kaypang dan sampai pada waktu itu masib dikenal orang. Tapi Han-liong Sip pat ciang sudah lama menghilang dari dunia persilatan.

Ilmu itu telah diturunkan oteh Ang Cit Kong kepada Kwee Ceng, tidak terdapat orang yang berbakat cukup untuk mempelajarinya. Sin tiauw Tay hiap Yo Ko adalah seorang yang mengenal macam-macam ilmu silat antaranya Hang liong Sip pat ciang, tapi lantaran belakangan satu lengannya putus ia tidak dapat menggunakan ilmu itu yang harus digunakan dengan kedua-dua tangan. Maka itulah, selama kira-kira seratus tahun, Rimba Persilatan hanya mendengar nama, tapi belum pernah melihat ilmu silat tersebut. Diluar dugaan, Boe Kie telah mendapatkannya dari Cia Soen.

"Apa benar kau memukul Ho Loosam dengan Hong liang Sip pat ciang?" mendesak Lian Cioe yang masih tidak percaya akan keterangan keponakannya.

Boe Kie mengangguk. "Menurut kata Giehoe pukulan itu diberi nama Sin liong Pa bwee (Naga sakti menyabet dengan buntutnya)." jawabnya.

Lian Cioe dan Coei San lantas saja ingat bahwa waktu menceritakan Hong liang Sip pat ciang, guru mereka memang pemah menyebutkan nama "Sin-liong Pa bwee," tapi Thio Sam Hong sendiri tidak mengenal pukulan itu. Mengingat bahwa dalam usianya yang masih begitu muda, Boe Kie sudah melukakan Ho Loosam begitu berat, keterangannya tentang Hang-liong Sip pat ciang mungkin tidak palsu.

"Waktu Boe Kie menerima pelajaran dari Gie hang, Siauwtee berdua isteri dilarang mendekat," menerangkan Coei San. "Siauwtee tak nyana Giehoe sudah menurunkan ilmu yang luar biasa itu"

"Giehoe mengatakan, bahwa ia hanya mengenal tiga dari delapanbelas pukulan itu dan ia mendapatkannya dari seorang ahli yang sudah mengasingkan diri dari dunia Kangouw." kata Boe Kie, "Giehoe juga mengatakan, ia merasa bahwa dalam perubahan perubahan ketiga pukulan itu ada sesuatu yang kurang tepat. Mungkin sekali, ahli itu sendiri belum dapat menyelami isi pukulan pukulan itu sampai kedasar dasarnya."

Jie Lian Cioe dan Thio Coei San jadi bengong. Mereka kagum bukan main akan lihaynya jago jago dijaman dulu. Cia Soen yang hanya memdapat oleh beberapa pukulan, sudah begitu hebat. Maka itu, lihaynya Ang Cit Kong dan Kwee Ceng hanya dapat dibayang bayangkan.

Antara ketiga orang itu, So So lah yang paling bunga hatinya. Sebagai seorang ibu, ia sangat bangga bahwa dalam pukulannya yang pertama puteranya yang masih begitu kecil sudah memperlihatkan kepandaian yang tinggi itu, Dalam girangnya, ia tidak memperhatikan pembicaraan antara suami dan Jiepehnya.

"Kurasa, selain Ho Loosam, Boe san pang juga mengirim lain orang untuk memyantu," kata Coei San. "Sebaiknya kita lekas lekas menyingkir dari tempat ini"

"Benar," ka'a Lian Cioe. "Aku sudah memberikan obat Tok bing sinsan kepada Ho Loosam. Harap saja obat itu dapat menolong jiwanya."

Mereka berempat lantas kembali keperahu. Napas Ho Loosam sangat lemah dan mulutnya masih mengeluarkan darah.

"Boe Kie," kata Cioe San dengan suara keren. "Kali ini, aku tidak menyalahkan kau. Lantaran adanya ancaman hebat, kau terpaksa turun tangan. Tapi lain kali, kecuali jika terlalu terdesak, tak boleh kau sembarangan bertempur. Lebih lebih, aku melarang kau menggunakan tiga pukulan dari Hang liong Sip liong itu. Kau mengerti ?"

"Baiklah. Anak tak akan melupakan pesan ayah," jawab sibocah.

Melihat paras muka ayah nya yang menyeramkan, air mata lantas saja berlinang linang dikedua matanya dan sesaat kemudian, ia lantas saja menangis keras.

Tak lama kemudian, juragan perahu sudah kembali dengan membawa arak dan daging, Lian Cioe segera memerintahkannya untuk menjalankan perahu.

Jilid 15

Malam itu, sesudah bersantap, Lian Cioe bersila dengan tangan menekan jalanan darah Toatwie hiat dibelakang leher Ho Loosam dan kemudian mengempos Lweekangnya untuk bantu mengobat sipengemis.

So So sangat tak puas akan cara-cara Jiepehnya itu yang dianggapnya seperti nenek2. Menurut jalan pikirannya, manusia semacam Ho Loosam bukan saja tidak pantas ditolong, malah harus dilemparkan kedalam air.

Sesudah mengalirkan Lweekangnya beberapa jam, Lian Cioe merasa lelah dan Coei San lalu menggantikannya. Diwaktu fajar menyingsing, pengemis tua itu tidak mengeluarkan darah lagi dan pada mukanya mulai terdapat sinar dadu.

"Jiwamu sudah ketolongan," kata Lian Cioe dengan girang. "Hanya mungkin ilmu silatmu tidak bisa pulih kembali "

"Budi Jie-wie tak akan dilupakan olehku si orang she Ho," kata Ho Loosam. "Akupun tak ada muka untuk menemui lagi Bwee Pangcoe. Mulai dari sekarang, aku akan menyingkir dari diri pergaulan dan tidak akan berkeliaran lagi di dalam kalangan Kangouw."

Waktu perahu tiba di An keng, pengemis itu berpamitan dan berlalu.

Sesudah berpisahan sepuluh tahun dengan guru dan saudara-saudara seperguruannya, Coei San ingin sekali tiba di Boe tong secepat mungkin. Ia merasa sangat tidak sabar akan perlahannya perahu, maka sesudah melewati An keng, ia mengajukan usul untuk mengambil jalanan darat dengan menunggang kuda.

"Ngotee, kurasa kita lebih baik terus menggunakan perahu," kata sang kakak. "Biarpun lebih lambat beberapa hari, kita lebih selamat. Diwaktu ini, entah berapa banyak orang ingin menyelidik tempat sembunyinya Cia Soen."

"Dengan berjalan bersama-sama Jiepeh, apakah masih ada manusia yang berani mencegat kita ?" kata So So.

"Kalau kami tujuh saudara semua berkumpul, mungkin sekali orang akan sangsi untuk mengganggu," kata Lian Cioe. "Tapi dengan hanya bertiga, tak bisa kita menghadapi begitu banyak orang pandai. Disamping itu, tujuan kita yalah untuk menyelesaikan urusan ini secara damai. Perlu apa kita menanam lebih banyak bibit permusuhan?"

Coei San mengangguk "Tak salah apa yang di katakan Jieko" katanya.

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Boe hiat, wilayah Oawpak. Malam itu, setibanya di Hok-tie-kouw, perahu itu melepas sauh dan bersiap untuk bermalam disitu.

Tiba-tiba Lian Cioe mendengar suara kaki kuda digili-gili dan ia mendongok keluar dari gubuk perahu. Secara kebetulan, dua penunggang kuda sedang membelokkan tunggangannya yang lalu dikaburkan kearah kota. Dengan begitu ia tidak bisa melihat muka kedua orang itu. Tapi dilihat dari gerak-geraknya yang gesit dan lincah, mereka pasti bukan sembarang orang.

Lian Cioe melirik adiknya dan berkata dengan suara perlahan: "Kurasa ditempat ini bakal terjadi sesuatu. Lebih baik kita berangkat sekarang juga."

"Baiklah," kata Coei San dengan rasa berterima kasih.

Semenjak Boe tong Cit-hiap turun gunung. dengan memiliki kepandaian tinggi dan sepak terjangnya selalu menuruti jalan yang lurus, mereka tak pernah menyingkir dari orang lain. Selama beberapa tahun yang paling belakang, nama Jie Lian Cioe naik makin tinggi, sehingga malah para Ciang boen jin dari partai-partai ternama, seperti Koen loan, Khong dan sebagainya, menaruh hormat terhadapnya. Tapi, malam itu, ia tak mau berdiam lama-lama di Hoktie kouw karena melihat bayangan dua orang yang tidak ternama. Coei San mengerti bahwa sikap sang kakak itu adalah demi keselamatan keluarganya.

Sementara itu, Lian Cioe sudah memanggil juragan perahu. Sambil mengangsurkan sepotong perak yang beratnya lima tahil, ia minta supaya perahu diberangkatkan sekarang juga. Meskipun lelah, melihat uang yang berjumlah besar itu, ia jadi girang dan mengiakan.

Malam itu, rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Boe Kie sudah menggeros, sedang ayah bundanya bersama sang Jiepeh minum arak dikepala perahu sambil menikmati pemandangan malam yang sangat indah itu. Dengan hati lapang, mereka minum sambil beromong-omong.

"Tak lama lagi Insoe berulang tahun yang ke seratus," kata Coei San. "Bahwa siauwtee keburu pulang untuk turut serta dalam pertemuan yang langkah itu merupakan bukti bahwa Langit menaruh belas kasihan atas diri siauwtee."

"Hanya sayang kita tidak bisa menyediakan antaran yang sepantasnya," menyambungi si isteri.

Lian Cioe tertawa seraya berkata: "Teesoe, apakah kau tahu, siapa diantara tujuh muridaya yang paling dicintai Insoe?"

"Tentu saja Jiepah," jawabnya sambil bersenyum.

Lian Cioe tertawa. "Teehoa nakal sekali," katanya. "Kau tahu, tapi kau sengaja mengatakan begitu. Diantara kami bertujuh orang, yang paling dicintai Insoe adalah suamimu yang tampan."

So So girang bukan main. "Aku tak percaya," katanya dengan paras muka berseri-seri.

"Diantara kami bertujuh setiap orang mempunyai keunggulan sendiri-sendiri," menerangkan Lien Cioe. "Toasoeko mempelajari kitab Ya keng dan sebagai manusia, ia rendah hati, sederhana besar jiwanya dan luas pemandangannya. Samtee seorang hati-hati dan pandai bekerja. Pekerjaan yang diberikan Insoe belum pernah digagalkan olehnya. Sietee berotak cerdas luar biasa. Lioktee unggul dalam ilmu pedang dan Cit tee belakangan ini telah mempelajari juga Gwakang (ilmu silat luar), sehingga ia akan mahir dalam ilmu dalam dan ilmu luar serta akan dapat menangkap tenaga keras dan tenaga lembek."

"Bagaimana dengan Jiepeh sendiri?" tanya So So.

"Aku berotak tumpul dan tak mempunyai keunggulan dalam apapun jua," jawabnya," jika Tee hoe ingin tahu juga, boleh dikatakan bahwa dalam pelajaran yang diturunkan oleh Soehoe, akulah yang paling giat mempelajarinya."

So So bertepuk tangan. "Aku memang tahu, bahwa diantara Boe tong Cit hiap, Jiepeh yang ilmu silatnya paling tinggi," katanya sambil tertawa. "Tapi Jiepeh sangat merendahkan diri dan suka mengakuinya."

"Memang, diantara kami bertujuh, memang Jie ko yang berkepandaian paling tinggi," kata Coei San. "Hai! .... Selama sepuluh tahun Siauwtee tak pernah menerima pelajaran In soe dan diwaktu ini, siauwtee pasti menduduki kursi yang paling buncit." Waktu mengucapkan kata-kata itu, suaranya bernada sedih.

"Akan tetapi, diantara kita bertujuh, kaulah yang Boen boe coan cay," kata Lian Cioe, "Tee hoe, aku sekarang ingin membuka suatu rahasia. Pada lima tahun berselang, ketika Soehoe merayakan ulang tahunnya yang kesembilan puluh lima, tiba-tiba paras muka beliau berubah sedih Sesudah menghela napas, beliau berkata: Diantara tujuh muridku, yang otaknya paling cerddas dan boen boe song coan hanyalah Coei San seorang. Aku sebenarnya mengharap, hahwa dihari kemudian ia akan bisa menjadi ahli warisku. Ah! .. Hanya sayang rejeki anak itu tipis sekali dan selama lima tahun, belum diketahui bagaimana nasibnya. Mungkin.... mungkin sekali ia sudah mendapat kecelakaan"

"Kau dengarlah, Teehoe. Apakah keliru, jika aku mengatakan, bahwa Ngotee paling disayang oleh Soehoe?"

Mendengar itu, Coei San merasa berterima kasih dan terharu, sehingga air matanya lantas saja berlinang-linang.

"Sekarang Ngotee sudah kembali dengan selamat dan pulangnya bersama-sama kalian, sudah merupakan antaran yang paling berharga untuk Soehoe," kata pula Lian Cioe.

Bicara sampai disini sekonyong konyong terdengar suara kaki kuda yang di kaburkan digili gili sungai. Kuda-kuda itu mendatangi dari sebelah timur dan menurut kearah barat. Ditengah malam yang sunyi, suaranya terdengar tegas sekali dan dari suara tindakan bisa diketahui, bahwa jumlahnya empat ekor kuda.

Lian Cioe bertiga saling mengawasi. Didalam hati mereka tahu, bahwa empat penungang kuda itu yang datang ditengah malam buta, kebanyakan mempunyai sangkut paut dengan mereka.
\
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar