Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 69

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 69
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 69
Berselang kira-kira setengah jam, ia mendengar suara kaki kuda yang mendatangi utara dari tenggara. Tak lama kemudian, ia melihat dua ekor kuda dengan empat penunggangnya: Song Wan Kiauw dan Jie Lian Cioe menunggang yang satu, In Lie Heng dan Thio Siong Kee menunggang yang lain.

“Sesudah kena pukulanku, perempuan siluman itu jatuh ke jurang,” demikian terdengar suara Jie Lian Cioe. “Kurasa dia tak akan bisa hidup lagi.”

“Hari ini barulah kita bisa mencaci hinaan di Ban Hoat Sie,” kata Thio Siong Kee. “Tapi perlu apa di bersembunyi di gua itu? Aku benar-benar merasa heran.”

“Tapi Sieko, apakah kau tidak bisa menebak-nebak?” tanya In Lie Heng.

“Tak bisa,” jawabnya. “Bagi kita, binasanya perempuan siluman itu tidak begitu penting. Kita baru bisa bergirang kalau kita bisa menemukan Cit Tee.” Makin lama mereka makin jauh dan akhirnya Boe Kie tidak bisa mendengar lagi pembicaraan mereka.

Sesudah menunggu beberapa lama lagi, Boe Kie turun dari pohon. Dengan mengikuti tapak-tapak kaki di atas salju, ia lantas berlari-lari ke arah timur. Ia sangat berkuatir akan keselamatan Tio Beng dan berkata dalam hatinya. “Biarpun jahat, kali ini dia menolong jiwaku. Kalau karena aku dia mengantarkan jiwa, aku sungguh…. “ memikir begitu, ia lari makin keras dan sesudah melalui kira-kira lima li, ia bertemu dengan sebuah tebing. Tapak-tapak di sekitarnya kelihatan kalang kabut, sedangkan di sisi tebing terdapat tanda-tanda dari gugurnya tanah dan batu. Boe Kie mengerti, bahwa karena terdesak, Tio Beng sudah terjun ke bawah bersama-sama kudanya.

“Tio Kouw Nio! Tio Kouw Nio!” teriaknya. Ia tak dapat jawaban. Ia melongok ke jurang. Ditengah malam ia tak bisa lihat dasar jurang itu yang dindingnya sangat terjal dan tidak punya tempat untuk menaruh kaki.

Tapi Boe Kie sudah nekat. Seraya menarik napas dalam-dalam ia turunkan kedua kakinya dan lalu merosot ke bawah sambil bersandar di dinding jurang. Perbuatan itu tentu sangat berbahaya, tapi ia tak memikir panjang-panjang lagi. Seraya merosot, ia mengerahkan lweekang dan berusaha keras untuk menancapkan sepuluh tangannya di es yang keras. Ia berhasil dan sesudah berhenti sejenak ia merosot lagi. Kejadian ini terulang lima enam kali. Akhirnya ia tiba di dasar jurang. Mendadak ia melompat karena kakinya menyentuh sesuatu yang lembek. Dengan meraba-raba ia mendapat tahu bahwa kakinya telah menginjak paha kuda dan Tio Beng sendiri masih mendekam di punggung kuda dan memeluk leher binatang itu. Cepat-cepat ia menyelidiki pernapasan si nona. Ia merasa agak lega sebab walaupun pingsan, gadis itu masih bernapas. Untung sungguh si nona terus memeluk leher kuda, sehingga di waktu jatuh, yang terpukul hebat adalah binatang yang mati seketika itu juga. Boe Kie lalu memegang nadi Tio Beng. Ia girang sebab ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun terluka berat jiwa si nona tidak akan terancam. Ia segera mendukungnya, menempelkan kedua telapak tangannya dengan telapak tangan Tio Beng dan kemudian mengerahkan tenaga dalam untuk mengobati luka itu.

Boe Kie bukan saja memilik lweekang yang sangat kuat. Tapi juga mahir dalam ilmu ketabiban. Maka itu sesudah dibantu kira-kira setengah jam dengan lweekang Boe Tong Pay yang murni, perlahan-lahan Tio Beng tersadar. Sesudah itu, Boe Kie lalu memasukkan Kioe Yang Cin Khie ke dalam tubuh si nona. Setengah jam kemudian fajar menyingsing. Tiba-tiba, “Uah!” Tio Beng muntah dara, ia tersadar seluruhnya. “Apa mereka sudah pergi? Apa mereka bertemu dengan kau?” bisiknya.

Mendengar pertanyaan yang penuh kasih sayang itu, bukan main rasa terharunya Boe Kie. “Mereka tidak menemukan aku,” jawabnya. “ah! …. Karena kau, kau sangat menderita…. “ Selagi bicara ia tetap mengirim Cin Khi ke dalam tubuh si nona. Dengan bibir tersungging senyuman Tio Beng memejamkan matanya. Kaki tangannya lemas, tapi dada dan perutnya hangat dan ia merasa nyaman sekali. Sesudah “hawa tulen” itu berputar beberapa kali di dalam tubuhnya, ia memutar kepalanya dan berkata sambil tersenyum. “Kau mengasolah. Aku sudah banyak mendingan.”

Mendadak rasa terima kasih yang sangat besar bergelombang dalam hati Boe Kie. Ia memeluk erat-erat dan menempelkan pipinya pada pipi si nona. “Kau sudah menolong nama baik-ku dan pertolongan itu sepuluh kali lipat lebih berharga daripada pertolongan jiwa,” bisiknya.

Tio Beng tertawa geli. “Aku perempuan jahat, bagiku nama baik tak menjadi soal. Yang penting adalah jiwa.”

Pada saat itulah, di atas jurang tiba-tiba terdengar bentakan. “Perempuan siluman! Benar saja kau belum mampus! Cara bagaimana kau mencelakai Boh Cit Hiap! Lekas mengaku!”

“Jangan perlihatkan mukamu!’ bisik nona Tio.

“Perempuan bangsat! Teriak Thio Siong Kee. “Jika kau tidak menjawab, kami akan menghantam dengan batu besar!”

Tio Beng mengawasi ke atas. Benar saja, Song Wan Kiauw berempat kelihatan berdiri di pinggir tebing dengan masing-masing memegang sebuah batu besar. Jika mereka menimpuk, jiwanya dan jiwa Boe Kie akan segera melayang. “Robek baju kulit ini untuk menutupi mukamu,” bisiknya. “Sesudah itu barulah kita kabur.”

Boe Kie segera melakukan nasehat si nona. Sesudah memakai topeng, ia menekan topi kulitnya ke bawah sampai lewat dahi.

Mengapa empat pendekar Boe Tong itu balik kembali! Karena mereka mempunyai pengalaman luas. Sesudah Tio Beng jatuh ke jurang, mereka sengaja menyingkir jauh-jauh. Tapi mereka tahu, bahwa sebagai seorang puteri dari kerajaan Goan, si nona pasti tidak berjalan sendirian. Ia pasti mempunyai orang-orang yang melindunginya secara diam-diam. Demikianlah, sesudah berjalan beberapa li, mereka kembali dan sesudah menambat tunggangan mereka di dahan pohon, mereka membuat obor dan memeriksa gua bekas tempat bersembunyinya Tio Beng. Di dalam gua mereka menemukan bangkai dua ekor rase yang badannya rusak karena gigitan binatang, entah binatang apa. Bau wangi dari rase itu masih belum menghilang. Sesudah menyelidiki, mereka keluar dan terus mengikuti tapak kaki Boe Kie. Akhrinya menemukan jenazah Boh Seng Kok yang kaki tangannya tergigit binatang. Kegusaran dan kedukaan mereka sukar dilukiskan. In Lie Heng menangis tersedu-sedu dan akhirnya roboh pingsan.

“Meskipun berkepandaian tinggi, dengan seorang diri perempuan siluman itu pasti tak akan bisa membinasakan Cit Tee,” kata Jie Lian Cioe sambil menyusut air mata. “Lak tee, jangan terlalu berduka. Kita sekarang harus mencari semua musuh dan membinasakan mereka untuk membalas sakit hatinya Cit Tee.”

“Sebaiknya kita bersembunyi di sekitar gua ini dan menunggu sampai fajar,” kata Thio Siong Kee. “Menurut dugaanku, kaki tangan si perempuan siluman pasti akan datang ke sini untuk mencarinya. Diantara tujuh pendekar Boe Tong, Siong Kee-lah yang paling berakal budi. Mendengar usul itu, Song Wan Kiauw bertiga lantas berhenti menangis dan dengan berpencaran lalu menyembunyikan diri di belakang batu-batu dekat mulut gua. Tapi sampai fajar menyingsing, tiada manusia yang datang ke situ.

Dengan mendongkol keempat jago Boe Tong itu lalu pergi ke tebing untuk mengamat-amati. Tiba-tiba mereka terkejut sebab sayup-sayup mereka mendengar suara manusia di bawah jurang. Waktu melongok ke bawah, mereka melihat seorang pria yang mengenakan pakaian indah sedang memangku Tio Beng. Buru-buru mereka mengambil batu besar dan mengancam. Mereka tidak lantas menimpuk sebab ingin menyelidiki sebab musabab kebinasaan Boh Seng Kok.

Jurang itu menyerupai sebuah sumur yang berdinding batu. Hanya sudut barat terdapat sebuah jalanan keluar yang sangat sempit. “Anjing Goan!” bentak Thio Siong Kee. “Naik dari jalan itu! Kalau berayal, kami akan menghabiskan jiwa kamu dengan batu-batu ini.” Karena pakaiannya indah, Thio Siong Kee menganggap Boe Kie sebagai seorang Mongol.

Boe Kie sendiri bingung bukan main. Di dasar tidak terdapat tempat bersembunyi yang bagaimanapun jua. Kalau para pamannya menimpuk, meskipun ia sendiri bisa menyelamatkan diri, Tio Beng pasti akan binasa. Lantaran tidak melihat lain jalan lagi, maka dengan apa boleh buat, sambil mendukung Tio Beng, perlahan-lahan ia memanjat ke atas. Ia sengaja tidak memperlihatkan keindahannya. Saban-saban ia berlagak terpeleset dan napasnya tersengal-sengal seperti orang kecapaian. Sesudah jatuh bangun beberapa kali barulah kakinya menginjak tanah datar.

Menurut perhitungannya, begitu lekas keluar dari mulut jurang, ia ingin segera melarikan diri dengan menggendong Tio Beng. Dengan menggunakan ilmu ringan badannya yang tinggi, ia masih ungkulan meloloskan diri dari kejaran.

Tapi Thio Siong Kee pintar luar biasa. Siang-siang ia sudah melihat bahwa orang Mongol itu berpura-pura dan ia sudah memberi isyarat supaya ketiga saudara seperguruannya berwaspada.

Maka itu, begitu lekas Boe Kie menginjak bumi ia sudah dikurung dengan empat pedang yang ujungnya terpisah kira-kira sekaki dari tubuhnya.

“Bangsat Tat Coe!” caci Song Wan Kiauw dengan suara gemetar. “Apa dengan memakai topeng, kau rasa akan bisa melarikan diri? Siapa yang membunuh Boh Cit Hiap? Lekas mengaku! Kalau kau berdusta, aku akan cincang badanmu!” Song Wan Kiauw sebenarnya berwatak sabar dan welas asih. Hanya karena melihat kebinasaan Boh Seng Kok yang begitu mengenaskan, maka itu, ia mengeluarkan cacian yang menyeramkan. Selama puluhan tahun, baru sekarang ia memperlihatkan kegusaran yang sedemikian hebat.

Tio Beng menghela napas. “Kalupawa Ciangkoen,” katanya. “Tak ada jalan lain lagi untuk meloloskan diri, sekarang kau boleh mengaku terus terang!” sesudah ia berbisik di kuping Boe Kie, “gunakan ilmu silat Seng Hwee Leng.”

Tak usah dikatakan lagi, kalau bisa Boe Kie tentu tak ingin bertempur melawan paman-pamannya. Tapi sekarang sudah terdesak di jalan buntu. Sambil menggigit gigi, ia melemparkan tubuh Tio Beng ke arah In Lie Heng dan seraya berjungkir balik tangannya menyambar lengan Thio Siong Kee. Dengan kaget, In Lie Heng menyambut tubuh nona Tio. Sesudah tertegun sejenak, ia menotok jalan darah si nona dan kemudian melontarkannya di tanah.

Sementara itu, Boe Kie sudah mengeluarkan ilmu silat Seng Hwee Leng yang sangat aneh. Ia meninju Song Wan Kiauw, menendang Jie Lian Cioe, menyeruduk Thio Siong Kee dengan kepalanya, dan merampas pedang In Lie Heng. Keempat pendekar Boe Tong itu adalah ahli-ahli silat kelas satu yang berpengalaman luas. Tapi menghadapi ilmu silat Seng Hwee Leng, mereka repot dan hampir-hampir tak bisa membela diri.

Dalam pertempuran di Leng Coa To. Boe Kie memiliki Kioe Yang Sin Kang dan Kian Koen Tay Lo Ie masih tidak bisa melawan Sam Soe dari Persia yang baru mempelajari sebagian ilmu Seng Hwee Leng. Sekarang Boe Kie sudah menyelami seluruh ilmu yang tertera di enam Seng Hwee Leng dan kepandaiannya sudah banyak lebih tinggi daripada kepandaian Sam Soe. Ilmu Seng Hwee Leng pada hakekatnya bukan ilmu terjurus yang sangat aneh dan sukar diraba.

Manakala ilmu tersebut digunakan oleh orang biasa, orang itu bukan tandingan perndekar Boe Tong yang terkenal sebagai ahli lweekang kelas utama. Tapi Boe Kie bukan orang biasa. Ia memiliki Kioe Yang Sin Kang, mahir dalam Kian Koen Tay Lo Ie dan paham dalam segala ilmu dari Boe Tong Pay. Maka itulah setiap serangannya serangan bahaya dan ditujukan kepada bagian-bagian yang kosong dari garis pembelaan keempat pendekar. Sesudah bertanding kurang lebih dua puluh jurus, serangan Boe Kie makin hebat dan makin aneh.

Tiba-tiba Tio Beng yang menggeletak di tanah berteriak, “Kalupuwa CiangKoen, sekarang baru mereka tahu kelihaian ilmu silat Mongol! Hajar mereka! Jangan sungkan-sungkan!”

Keempat pendekar Boe Tong mendongkol bukan main. Tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Kian lama mereka makin terdesak.

“Bela diri dengan Thay Kek Koen!” seru Thio Siong Kee.

Keempat pendekar Boe Tong lantas saja menambah cara bersilat mereka. Sekarang mereka membela diri secara rapat sekali dengan menggunakan ilmu gubahan Thio Sam Hong yang sangat lihai itu.

Sekonyong-konyong Boe Kie berduduk di tanah, kedua tinjunya meninju-ninju dadanya sendiri!

Selama menjagoi dalam rimba persilatan, para pendekar Boe Tong pernah mengukur tenaga dengan banyak sekali ahli-ahli silat yang tangguh dan pernah melayani entah berapa banyak pukulan yang aneh-aneh. Tapi baru sekarang mereka menyaksikan cara berkelahi yang aneh dari “tat coe”. Berduduk di tanah dan memukul dadanya sendiri. Jangankan melihat, mendengar pun mereka belum pernah mendengar pukulan yang luar biasa. Sebelum Boe Kie mengeluarkan silatnya yang luar biasa itu, keempat pendekar Boe Tong sudah memasukkan pedang mereka ke dalam sarung dan membela diri dengan tangan kosong. Boe Kie berduduk di tanah dan memukul-mukul dada, dalam kage dan heran mereka dengan serentak menghunus pedang dan menikam. Hampir berbareng pedang Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe, dan Thio Siong Kee menyambar ke tubuh Boe Kie. Pedang In Lie Heng telah dirampas dan dilemparkan oleh Boe Kie. Tapi di pinggangnya masih tergantung pedang Boh Seng Kok. Ia segera menghunusnya dan turut menikam

Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Boe Kie menyapu salju dengan kakinya dan salju itu muncrat berhamburan keempat penjuru.

Itulah salah sebuah pukulan Seng Hwee Leng yang dinamakan Hoei See Coan Siang Toei (pasir terbang menggulung rombongan pedagang) Ilmu ini dulu sering digunakan oleh si orang tua dari pegunungan untuk merobohkan rombongan pedagang yang lewat di padang pasir dengan menggunakan unta. “Si orang tua dari pegunungan” adalah perampok besar. Kalau lihat iring-iringan pedagang, ia segera duduk di pasir dan menangis tersedu sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Rombongan pedagang itu tentu saja lantas berhenti dan menanyakan sebab musababnya dari tangisannya itu. Selagi orang tak waspada, si Orang Tua dari Pegunungan tiba-tiba menyapu pasir dengan kakinya, sehingga pasir muncrat berhamburan dan masuk di mata pedagang-pedagang itu. Selagi korban-korbannya tidak bisa membuka mata, dia menyerang sehebat-hebatnya. Dengan sekali pukul, dia bisa membinasakan puluhan orang. Itulah asal-usul Hoei See Coan Siang Toei dan sebagai gantinya pasir, Boe Kie menggunakan salju.

Berbareng muncratnya salju, keempat pendekar Boe Tong kelilipan dan tidak bisa membuka mata. Tapi sebagai jago-jago ulung gerakan mereka cepat luar biasa dan serentak mereka melompat ke belakang. Tapi kalau mereka cepat, Boe Kie lebih cepat lagi. Bagaikan kilat, memeluk kedua lutut Jie Lian Cioe dan selagi menggulingkan diri, ia sudah menotok tiga hiat besar di tubuh jjh. Hampir berbareng ia berjungkjir dan selagi badannya melayang turun di udara, lutut kanannya menggentus Ngo Coe Hiat dan Sin Kong Hiat di tubuh In Lie Heng yang matanya lantas saja berkunang-kunang dan roboh di tanah. Song Wan Kiauw tidak dapat menggunakan pedangnya lagi tapi tangan kirinya lantas saja menghantam kepala si tat Coe. Tapi sebelum pukulan itu mampir pada sasarannya, mendadak dadanya kesemutan dan jalan darahnya sudah kena disikut Boe Kie.

Tak kepalang kagetnya Thio Siong Kee. Dalam sekejab tiga saudara seperguruannya dibikin tidak berdaya. Ia mengerti, bahwa biar bagaimanapun jua, dengan seorang diri ia bukan tandingan musuh yang tangguh itu. Tapi ia tentu tidak bisa kabur sendirian dengan meninggalkan saudara-saudaranya. Dengan nekat, ia segera mengirim tiga tikaman berantai.

Ketika itu Thio Siong Kee sudah dijalanan buntu dan menghadapi bahaya besar. Tidakannya tetap, sikapnya tenang dan serangannya hebat, sesuai dengan kemestian. Melihat begitu, didalam hati Boe Kie bersorak, “ilmu silat Boe Tong benar-benar luar biasa. Apabila tidak memiliki silat yang aneh ini, mungkin sekali aku tak bisa melawan para pamanku,” tiba-tiba ia memutar kepalanya, membuat lingkaran-lingkaran. Thio Siong Kee tidak memperdulikan, ia sengaja tak mau melihat lingkaran-lingkaran itu. Mendadak, dengan kecepatan luar biasa, ia menikam dada Boe Kie. Boe Kie menundukkan kepala, seolah-olah mereka mau memapaki tikaman itu dengan batok kepalanya. Sekonyong-konyong, pada waktu ujung pedang hampir menyentuh kulit kepala, ia membuang diri ke tanah dan menubruk ke depan. Hampir berbareng, empat hiat di kempungan dan betis kiri Thio Siong Kee tertotok dan tanpa ampun lagi, ia jatuh terjengkang.

Boe Kie tahu, bahwa empat totokan itu hanya dapat melumpuhkan bagian bawah tubuh pamannya. Selagi ia mau menotok Tiong Kie Hiat dan Tho To Hiat di bagian punggung, tiba-tiba Thio Siong Kee mengeluarkan teriakan menyayat hati, kedua matanya terbalik, tubuhnya bergemetaran dan sesaat kemudian, napasnya habis.

Hati Boe Kie mencelos, keempat totokannya takkan melukai sang paman. Apa paman itu memang sudah sakit dan penyakitnya kambuh karena ditotok? Keringat dingin membasahi bajunya dan dengan tangan gemetar ia meraba kepala pamannya. Siong Kee menyambar dan topeng Boe Kie terlocot! Mereka saling mengawasi dengan mata membelalak.

Beberapa saat kemudian, Thio Siong Kee berkata dengan suara parau. “Thio Boe Kie… kau!... kasih sayang kami terhadap kau tersia-sia…. “ Nada suara itu mengunjuk rasa duka dan gusar yang tiada taranya. Sambil menatap wajah Boe Kie, air mata pendekar Boe Tong itu mengalir turun di kedua pipinya. Tadi, sesudah dirobohkan, ia mengambil keputusan untuk melocotkan topeng musuh, supaya kalau mesti mati, ia mau mati setelah melihat wajah lawannya. Maka itu ia berlagak mati dan akhirnya berhasil menjambret topeng Boe Kie. Didalam pihak, Boe Kie yang berwatak polos tidak pernah menduga, bahwa ia akan diakali secara begitu.

Pada waktu itu, penderitaan Boe Kie banyak lebih hebat daripada penderitaan jasmaniah yang paling hebat. Bagaikan hilang ingatan, ia hanya berkata dengna suara perlahan: “bukan aku…. Sie Soepeh.. bukan aku yang membunuh Cit Soe Siok… “

Thio Siong Kee tertawa terbahak-bahak.

“Bagus!... bagus…. “ serunya. “Lekas kau bunuh kami semua! Toako! Lak Tee! Kau sudah lihat, bahwa manusia yang kita namakan Tat Coe bukan lain daripada anak Boe Kie yang kita cintai.”

Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang badannya tidak bisa bergerak, hanya mengawasi dengan mata melotot dan muka merah padam.

Hebat sungguh kedudukan Boe Kie. Tiba-tiba serupa ingatan pendek berkelebat di otaknya.

Lebih baik mati! Tapi, sebelum menjemput pedang dan mengorok leher, tiba-tiba Tio Beng berkata, “Thio Boe Kie! Dalam menghadapi penasaran, seorang laki-laki harus bisa mempertahankan diri. Di dalam dunia ini, air surut, batu kelihatan. Kau harus berusahan untuk membinasakan penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap untuk membalas sakit hatinya. Hanyalah dengan berbuat begitu, baru kau tak percuma menerima kasih sayang para pendekar Boe Tong.”

Boe Kie terkejut. Ia menyetujui pendapat Tio Beng. “Tapi apakah yang harus kita perbuat?” tanyanya. Sambil menanya begitu, ia menghampiri dan mengurut punggung serta pinggang si nona untuk membuka jalan darahnya yang tertotok.

“Kau tak usah terlalu bingung,” bujuk Tio Beng dengan suara lemah lembut. “Dalam Beng Kauw terdapat banyak orang pandai, sedang akupun mempunyai banyak pembantu yang berkepandaian tinggi. Penjahat itu pasti akan bisa dibekuk.”

“Thio Boe Kie! Teriak Siong Kee. “kalau di dalam hatimu masih terdapat rasa kasihan, bunuhlah kami dengan segera! Aku tak kuat menyaksikan kau bercinta-cintaan dengan perempuan siluman itu.”

Paras muka pemuda itu pucat bagaikan mayat. Ia benar-benar bingung dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.

“Tindakan kita yang pertama adalah coba menolong Han Lim Jie,” kata Tio Beng. “Sesudah itu, kita berusaha untuk mencari ayah angkatmu. Di sepanjang jalan kita boleh menyelidiki penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap dan yang membunuh Piauw Moaymu.”

“Apa?.... Apa?….” tanya Boe Kie dengan suara terputus-putus.

“Apakah Boh Cit Hiap dibunuh olehmu?” Tio Beng balas menanya dengan suara dingin. “Mengapa keempat pamanmu menuduh kau? Apa In Lee dibunuh olehku? Mengapa kamu menuduh aku? Apakah hanya kau seorang yang boleh penasaran terhadap orang lain dan orang lain tak boleh merasa penasaran terhadapmu?” kata-kata itu bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah ia mengakui, bahwa di dunia yang lebar ini sering terjadi kejadian-kejadian yang kebetulan, yang tidak bisa dikira oleh manusia. Sekarang dia sendiri menerima tuduhann berat. Ia tidak berdosa, tapi ia tidak berdaya untuk membersihkan diri. “apakah … Apakah Tio Kouw Nio seperti aku?....” tanyanya di dalam hati.

“Apakah keempat pamanmu bisa membuka sendiri totokanmu?” tanya pula Nona Tio.

Boe Kie menggelengkan kepala. “Tidak,” jawabnya. “Totokanku dari ilmu Seng Hwee Leng. Soepeh dan Soesiok takkan bisa membukanya. Sesudah lewat dua belas jam, totokan itu akan terbuka sendiri.”

“Jalan satu-satunya bagi kita adalah menaruh keempat pamanmu di dalam gua dan kita lantas menyingkirkan diri,” kata Tio Beng. “Sebelum berhasil mencari penjahat yang berdosa, kau tak boleh bertemu muka lagi dengan dia.”

“tapi di dalam gua itu sering keluar masuk binatang,” kata Boe Kie. “Pada jenazah bcs terdapat tanda-tanda gigitan.”

“ah! Otakmu sudah tidak bisa bekerja lagi!” kata si nona. “Kalau salah seorang dari keempat pamanmu bisa menggerakkan tangannya dan dalam tangannya terdapat sebatang pedang, apakah binatang buas akan bisa melukakan mereka?”

Muka Boe Kie berubah merah. Ia mengangguk dan menjawab. “Benar, kau benar.” Sesudah berkata begitu, ia mendukung tubuh keempat pamannya dan menaruh mereka di belakang sebuah batu besar, supaya terbebas dari serangan salju. Boe Kie tak menjawab dan hanya mengucurkan air mata.

Tio Beng tak bisa menahan sabarnya lagi. “Kalian adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan dan aku sungguh tak mengerti mengapa kalian begitu tolol,” katanya. “Kalau benar Boe Kie membunuh Boh Cit Hiap, bukankah dengna mudah saja dia bisa membinasakan kalian semua untuk menutup mulut kalian? Kalau dia tega membunuh Boh Cit Hiap, apakah dia tak tega membunuh kalian? Jika kalian mencaci terus, aku akan gaplok muka kalian satu persatu. Aku perempuan siluman, aku bisa lakukan apa yang kukatakan. Dulu waktu kalian berada di Ban Hoat Sie, dengan memandang muka Thio Kong Coe, aku sudah memberi perlakuan istimewa pada orang-orang Boe Tong Pay. Lihatlah! Jari tangan jago-jago Siauw Lim, Koen Loen, Go Bie, Hwa San dan Khong Tong diputuskan olehku. Terhadap pendekar-pendekar Boe Tong, aku membuat kecualian. Dibagian mana perlakuanku terhadap kalian kurang sempurna? Bilang!”

Song Wan Kiauw berempat saling mengawasi. Di dalam hati mereka masih berpendapat, bahwa Boh Seng Kok dibunuh Boe Kie, tapi mereka kuatir, Tio Beng akan benar-benar menggaplok mereka. Seorang gagah boleh dibinasakan, tapi tak boleh dihina. Kalau sampai mereka digaplok si perempuan siluman, mereka benar-benar merasa terhina. Maka itu mereka lantas berhenti mencaci.

Tio Beng tersenyum dan berkata, “Ambillah tunggangan kita untuk membawa paman-pamanmu ke gua.”

Boe Kie kelihatan bersangsi. “Lebih baik kudukung mereka,” katanya.

Si nona mengerti maksud perkataan itu. Ia tertawa dingin dan berkata, “Apa kau rasa, karena berkepandaian tinggi, kau seorang diri bisa membawa empat orang dengan sekaligus? Kutahu, kau kuatir begitu lekas kau pergi, aku akan membunuh paman-pamanmu. Kau belum pernah menaruh kepercayaan atas diriku. Baiklah, aku pergi mengambil kuda dan kau tunggu di sini.”

Mendengar perkataan yang jitu, sekali lagi muka Boe Kie berubah merah. Tapi memang benar ia tidak berani menyerahkan keempat pamannya ke dalam tangan si nona yang angin-anginan. Maka itu, ia lantas saja berkata, “Terima kasih banyak jika kau sudi mengambil kuda-kuda itu, kutunggu di sini.”

“Hm!.... “ Si nona mengeluarkan suara di hidung. “Kau begitu mulia, tapi orang tetap tak percaya kepadamu, kau begitu baik hati, tapi orang tetap menganggap kau seperti anjing.” Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.

Boe Kie tidak meladeni. Dengan hati masgul, ia megawasi bayangan si nona.

Sekonyong-konyong terdengar suara larinya kuda dari selatan, dan didengar dari suaranya jumlah kuda sedikitnya ada tiga ekor. Tio Beng pun sudah mendengarnya, karenanya ia buru-buru kembali dan berkata, “Ada orang!” seraya berkata begitu, ia lari ke belakang batu dan berjongkok di samping Boe Kie. Melihat separu badan Jie Lian Cioe berada di luar batu, ia segera menariknya.

“Jangan sentuh badanku!” bentak Jie Hiap dengan mata melotot.

Si nona tertawa, “aku justru ingin pegang badanmu,” katanya. “Aku mau lihat apa yang bisa diperbuat olehmu.”

“Tio Kouw Nio! Jangan kurang ajar terhadap soepehku!” bentak Boe Kie.

Tio Beng tertawa dan mengeluarkan lidahnya.

Sesaat itu, seorang penunggang kuda kelihatan mendatangi, dengan dikejar oleh dua orang lain. Dalam jarak kira-kira tiga puluh tombak, Boe Kie yang bermata jeli sudah mengenali, “Song Ceng Soe Toako!” bisiknya.

“Tahan kudanya!” kata Tio Beng.

“Perlu apa?” tanya Boe Kie.

“Jangan banyak tanya. Apa kau lupa, pembicaraan di ruangan kelenteng Bie Lek Hoed?” kata si nona.

Boe Kie mendusin, menjemput sepotong es dan menimpuk. Timpukan itu kena tepat di kaki depan kuda Song Ceng Soe yang langsung saja berlutut. Song Ceng Soe melompat turun dan coba membangunkan tunggangannya, tapi kuda itu tidak bisa berdiri lagi sebab tulangnya patah. Melihat pengejarnya sudah datang, cepat Song Ceng Soe segera melarikan diri. Tapi ia tidak bisa lari jauh, karena Boe Kie sudah menimpuk lagi dan potongan es mampir tepat pada jalan darah di betis kanannya.

Hampir berbareng robohnya Song Ceng Soe, kedua pengejar itu sudah menyandak. Mereka adalah Tan Yoe Liang dan Ciang Poen Liong Tauw.

“Heran sungguh!” kata Boe Kie dalam hati. “mereka bertiga bersama-sama pergi ke Tiang Pek San untuk mencari racun. Mengapa yang seorang lari dengan dikejar oleh yang dua?” sejenak kemudian ia mendapat lain ingatan. Ya, mungkin sekali Song Toako tersadar dan insaf bahwa ia tak boleh melakukan perbuatan terkutuk. Untung juga ia lari ke sini. Aku harus menolong.

Begitu menyandak, Tan Yoe Liang dan Ciang Liong Tauw meloncat turun dari tunggangan mereka. Mereka menduga kuda Song Ceng Soe roboh sebab terlalu letih dan pemuda itu sendiri terluka berat. Karena dugaan itu, mereka segera menghunus senjata yang lalu dituding ke tubuh Ceng Soe.

Tangan Boe Kie sudah mencekal kepingan es siap sedia untuk menimpuk. Tapi tangannya sudha disentuh Tio Beng, si nona menggeleng-gelengkan kepala, menuding kupingnya sendiri dan kemudian menuding Song Ceng Soe. Boe Kie mengerti bahwa ia dinasehati untuk bersabar dan menunggu pembicaraan ketiga orang itu.

“Orang she Song!” bentak Ciang Poen Liong Tauw. “Mengapa kau kabur ditengah malam buta? Apa kau mau membuka rahasia kepada ayahmu?” Sambil mencaci, ia membaling-balingkan golok Cie Kim Pat Kwa Lo di atas kepala Ceng Soe. Song Wan Kiauw sangat berkuatir akan keselematan puteranya. Secara kebetulan Boe Kie menengok dan ia melihat sorot mata sang paman yang penuh kekuatiran itu. Ketika benterok dengan mata Boe Kie, sinar matanya berubah dan memperlihatkan sinar memohon. Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya sebagai janji, bahwa ia akan menolong. “Kecintaaan ayah ibu benar-benar setinggi langit dan setebal bumi,” katanya di dalam hati. “Toasoepeh begitu gusar terhadapku. Tapi begitu melihat jiwa Song Toako terancam bahaya, ia rela untuk meminta pertolongan kepadaku. Andaikata Toasoepeh sendiri yang terancam bahaya, ia pasti tak akan meminta pertolongan.” Pada detik itu, tiba-tiba hatinya seperti tersayat pisau. Ia ingat, bahwa Song Ceng Soe mempunyai seorang ayah yang sangat mencintai, sedang ia sendiri seorang anak yatim piatu.

Sementara itu terdengar jawaban Song Ceng Soe, “Aku bukan mau memberitahukan ayah.”

“Pangcoe telah memberitahukan kau untuk mengikut kami ke Tiang Pek San guna mencari obat,” kata Ciang Poen Liong Tauw. “Mengapa kau pergi tanpa permisi?”

“Ciang Poen Liong Tauw! Aku anak manusia mempunyai ayah dan ibu. Kalian memaksa aku untuk mencelakai ayah kandung sendiri. Mana tega aku berbuat begitu? Aku bukan mau berseteru dengan kalian. Aku hanya tak sanggup melakukan perbuatan binatang itu.”

“apakah kau mau melanggar perintah Pangcoe? Apa kau tahu, hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap seorang anggota yang menghianati partai?”

“aku seorang berdosa besar. Aku memang sudah tak ingin hidup. Selama beberapa hari, setiap kali memejamkan mata, aku selalu melihat bayangan bcs selalu mengganggu aku. Ciang Poen Liong Tauw, bunuhlah aku! Aku akan merasa sangat berterima kasih.”

“Baiklah!” bentak si pengemis sambil mengangkat goloknya.

“Tahan!” cegah Tan Yoe Liang. “Liong Tauw Toako, apabila Song Heng Tee tetap menolak, lepaskan saja dia. Tak baik kalau kita bunuh.”

“Lepaskan dia?” menegas Ciang Boen Liong dengan suara heran.

“Benar, dia membinasakan paman gurunya sendiri, Boh Seng Kok. Dia berdosa besar dan pasti akan dibunuh oleh orang partainya sendiri. Perlu apa kita mengotorkan senjata?”

Itulah perkataan yang mengejutkan. Bagi keempat pendekar Boe Tong, kata-kata itu bagaikan halilintar yang menyambar dengan tiba-tiba.

Waktu mengintip pertemuan Kay Pang di kelenteng Bie Lek Hoed, ketika Tan Yoe Liang menyebut-nyebut nama Boh Seng Kok. Boe Kie sudah menduga bahwa Song Ceng Soe telah melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap pamannya itu. Tapi mimpipun tak pernah mimpi, bahwa Boh Seng Kok binasa dalam tangan pemuda itu. Antara mereka semua, hanyalah Tio Beng yang tidak terlalu kaget, sebab ia sudah menduga terjadinya kejadian itu.

“Tan Toako,” kata Song Ceng Soe dengan suara gemetar, “kau sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia ini. Asal kau tidak membuka mulut, ayah tentu tak akan tahu.”

Tan Yoe Liang tertawa tawar. “kau Cuma mengingat sumpahku, tapi lupa sumpah sendiri,” katanya. “kau sudah bersumpah, bahwa mulai waktu itu kau akan menurut segala perintahku. Apa kau atau aku yang lebih dahulu melanggar sumpah?”

“biarpun mesti mati, aku tak dapat menuruti perintahmu untuk menaruh racun di makanan Thay Soehoe dan ayah. Lebih baik kau bunuh saja aku.”

“Song Heng Tee, seorang gagah harus bisa bertindak dengan mengimbangi keadaan. Kami bukan menyuruh kau membinasakan ayah sendiri. Kami hanya ingin kau menaruh sedikit racun Bong Han Yo (obat yang melupakan), supaya mereka tertidur untuk sementara waktu. Bukankah kau sudah mengiakan waktu kita berada di kelenteng Bie Lek Hoed?”

“Aku hanya mengiakan untuk menaruh Bong Han Yo. Tapi yang ditangkap Ciang Poen Liong Tauw adalah binatang-binatang yang sangat beracun – ular, kelabang, dan sebagainya. Itu semua racun untuk membinasakan manusia. Itu semua bukan Bong Han Yo.”

Tan Yoe Liang mengawasi korbannya dan perlahan-lahan memasukkan pedangnya ke dalam sarung. “Cioe Kouw Nio dari Go Bie Pay sangat cantik bagaikan bidadari,” katanya. “didalam dunia sangat sukar dicari tandingannya. Aku merasa heran mengapa kau rela menyerahkan gadis itu ke dalam tangannya si bocah Boe Kie. Song Heng Tee, hari itu kau mengintip kamar tidur para wanita murid-murid Go Bie Pay dan perbuatanmu diketahui oeh Cit Soesiokmu lalu mengejar sehingga terjadi pertempuran di bukit batu. Pertempuran itu berakhir dengan peristiwa pembunuhan oleh seorang keponakan terhadap pamannya sendiri. Mengapa kau sudah melakukan pembunuhan itu? Bukankah karena ingin mendapatkan Cioe Kouw Nio yang cantik manis? Apa sekarang kau bisa mundur lagi? Tidak! Pasti tidak!”

Dengan menggunakan seantero tenaganya, Song Ceng Soe bangun berdiri, “Tan Yoe Liang, lidahmu sungguh jahat!” teriaknya.

“Kau menekan aku secara keterlaluan. Malam itu, di dalam pertempuran melawan bcs, aku sudah kalah. Aku berdosa besar. Kalau aku binasa, segala apa akan menjadi besar. Siapa suruh kau membantu aku? Aku kena ditipu olehmu, sehingga sekarang namaku hancur dan tidak akan bisa ditolong lagi.”

“Bagus, bagus!” kata Tan Yoe Liang dengan suara mengejek. “Apa boleh aku bertanya? Boh Seng Kok mati sebab punggungnya terpukul dengan pukulan Cia Thian Tiat Ciang (Pukulan tangan besai yang menggetarkan langit) Siapa yang memukulnya? Apa Kau? Malam itu, aku bukan saja menolong jiwamu, tapi juga menolong namamu. Apa itu salah? Song Heng Tee, didalam persahabatan, yang lain tak usah disebut-sebut lagi, tapi hal kau membunuh paman sendiri pasti tak akan diuar-uar olehku. Sekarang kita boleh berpisahan dan dilain hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu muka pula.”

Mendengar perkataan manusia itu yang seolah-olah bersedia untuk menyudahi segala persoalan sampai di situ, Song Ceng Soe sangat bersangsi. “Tan…. Tan Toako, apa yang mau diperbuat olehmu terhadapku?” tanyanya.

Tan Yoe Liang tertawa, “Aku selalu berbuat baik terhapamu, tapi kau tetap tak percaya aku,” katanya. “Apa yang aku mau berbuat terhadapmu? Tidak! Aku tak ingin berbuat apapun jua terhadapmu. Aku hanya ingin memperlihatkan serupa barang kepadamu. Kau lihatlah! Apa ini?”

Boe Kie dan Tio Beng sangat ingin melihat barang itu. Tapi mereka tidak berani mengeluarkan kepala. Tiba-tiba terdengar suara kaget dari Song Ceng Soe. “Ah!.... cincin besi Go Bie Pay!... milik Cioe Kouw Nio. Darimana kau dapatkan itu?”

Boe Kie terkejut, tapi dilain saat ia menduga, bahwa cincin itu bukan cincin tulen.

Tan Yoe Liang tertawa. “Lihatlah dahulu,” katanya. “Lihat dulu, apa tulen apa palsu.”

Beberapa saat kemudian Song Ceng Soe berkata, “Waktu berada di See Hek, aku pernah meminta pelajaran silat dari Biat Coat Soethay. Aku lihat cincin ini di jarinya. Rasanya, barang ini bukan barang palsu.”

Tiba-tiba terdengar suara “trang!”

“Inilah buktinya,” kata Tan Yoe Liang. “Kalau palsu, bacokanku pasti akan memutuskannya. Lihatlah! Di dalam cincin terdapat empat huruf Lioe Ie Siang Lie (dihadiahkan kepada anak Siang) Cincin ini dahulu milik Kwee Siang Lie Hiap, pendiri Go Bie Pay, dan terbuat daripada besia Hiantiat.

“Tan Toako…. “ Kata Song Ceng Soe dengan suara parau. “darimana…. Darimana kau mendapatkannya!... Dimana Cioe Kouw Nio sekarang?”

Tan Yoe Liang tersenyum, “Ciang Poen Liong Tauw, mari kita berangkat,” katanya tanpa memperdulikan pertanyaan Song Ceng Soe. “Mulai dari dulu, tapi sekarang Kay Pang tidak memerlukan manusia seperti dia lagi.” Suara tindakan kaki lantas terdengar kedua orang itu berjalan ke jurusan utara.

Sekonyong-konyong Song Ceng Soe memanggil, “Tan Toako! Apa dia mati atau masih hidup?”

Tan Yoe Liang kembali. “Benar,” katanya, “Cioe Kouw Nio berada dalam tangan kami. Dia sungguh cantik, aku sendiri belum beristeri. Aku ingin memohon kepada Pangcoe untuk menikah dengannya. Kurasa Pangcoe akan meluluskan.”

Song Ceng Soe mengeluarkan seruan tertahan.

“Benar, pada hakekatnya seorang koencoe tak akan merampas milik orang lain,” kata pula Tan Yoe Liang. “Tan Yoe Liang pasti tidak akan merusak persahabatan karena paras cantik. Tapi sekarang kau sudah menjadi penghianat partai. Diantara kita sudah tidak ada ikatan apapun jua dan aku bisa berbuat sesuka hati, bukankah begitu?”

Song Ceng Soe tidak menyahut. Dua macam pikiran rupa-rupanya sedang berkelahi di dalam hatinya.

Boe Kie melirik Song Wan Kiauw. Dengan rasa kasian, ia lihat pamannya mengucurkan air mata. Sebagai seorang gagah kalau bukan berlalu duka, paman itu tentu tidak akan menangis.

Beberapa saat kemudian barulah Song Ceng Soe berkata, “Tan Toako, Liong tauw Toako, tadi pikiranku kusut. Aku bersalah dan kuharap kalian suka memaafkan.”

Tan Yoe Liang tertawa terbahak-bahak. “Nah begini baru benar,” katanya. “Dengan menepuk dada aku memberi jaminan, bahwa soal kau menaruh Bong Han Yo di minuman para pendekar Boe Tong, bukan saja jiwa ayahmu tak akan kurang suatu apa, tapi Cioe Cie Jiak pun akan segera menjadi isterimu. Sesudah Thio Sam Hong dan para pendekar Boe Tong berada di dalam tangan kita. Thio Boe Kie pasti akan menurut segala perintah kita. Sesudah Kay Pang menguasai Beng Kauw, mengusir Tat coe dan merebut pulang tahta kerajaan, kau dan aku akan menjadi menteri-menteri sendiri negara. Bukan saja isteri kita dan anak-anak kita, tapi ayahnyapun akan menikmati segala kebesaran.”

Song Ceng Soe tertawa getir. “Thia-thia bukan manusia yang kemaruk harta,” katanya. “Aku hanya mengharap ayah jangan membunuh aku. Kalau harapan itu bisa terkabul, aku sudah merasa puas.”

Tan Yoe Liang tertawa, “Kecuali ayahmu dewa, ia pasti tak akan tahu latar belakang kejadian itu,” katanya. “Song Heng Tee, apa kakimu terluka? Kita berdua bisa menunggang kudaku. Setibanya di kota kita bisa membeli lain kuda.”

“Sebab terburu-buru, betisku terpukul kepingan es,” jawabnya. “Sungguh sial kepingan es itu kena tepat pada Coe Peng Hiat. Didalam dunia memang sering terjadi kejadian yang kebetulan.”

Dari pengakuan Song Ceng Soe dapatlah dilihat kelihaian Boe Kie dalam ilmu melepaskan senjata rahasia. Pemuda itu sama sekali tak pernah menduga, bahwa dirinya dibokong orang. Ia hanya merasa terpukul kepingan es yang secara kebetulan kena pada jalan darahnya. Hal ini pada hakekatnya tidak luar biasa. Lengan kita secara tidak sengaja juga sering membentur meja kursi dan kadang-kadang begitu terbentur, kita merasa kesemutan, karena benturan itu kebetulan kena pada “Hiat”.

“Bukan sial, tapi mujur,” kata Tan Yoe Liang sambil tertawa. “Song Heng tee bernasib baik dan sudah ditakdirkan bakal mempunyai isteri yang sangat cantik. Kalau betismu tidak terpukul es dan kami tidak bisa menyusul, maka kau tak akan tersadar dari kekeliruan. Dengan demikian, bukan saja namamu hancur, tapi usaha kitapun akan menjadi gagal. Selain begitu, Cioe Cie Jiak yang ayu akan menjadi isteri Tan Yoe Liang. Bukankah kejadian itu seperti burung hong berjodoh dengan burung gagak seolah-olah sekuntum bunga tertancap di atas tai kerbau?” Ia berbicara secara guyon-guyon, tapi setiap perkataannya hebat bukan main dan menekan Song Ceng Soe, sehingga pemuda itu tidak bisa berkutik lagi.

Song Ceng Soe menghela napas dan berkata dengan suara perlahan. “Tan Toako, bukan aku tidak percaya….”

“Kau mau bertemu dengan Cioe Kouwnio?” memutus Tan Yoe Liang. “Boleh! Mudah sekali. Sekarang Pangcoe dan para tiangloo berada di Louw liong dan Cioe Kouwnio pun berada di situ. Mari kita pergi ke Louw liong. Sesudah urusan Boe tong beres, kakakmu akan segera mengadakan pesta pernikahan untuk mewujudkan idam-idamanmu. Dan… seumur hidup, kita akan berterima kasih kepada Tan Yoe Liang Toako… ha..ha..ha….”

“Baiklah, mari kita pergi ke Louw liong,” kata pula Song Ceng Soe. “Tap Toako, bagaimana… bagaimana Cioe Kouwnio bisa berada dalam tangan kita?”

“Itulah berkat jasa Liong tauw Toako,” jawabnya sambil tertawa. “Hari itu, ketika Ciang pang dan Ciang poen Lio tauw makan minum di sebuah Cioe-lauw, mereka lihat tiga orang yang tidak dikenal. Sesudah diselidiki, salah seorang adalah Cioe Kouwnio. Ciang poen Liong tauw Toako segera mengirim orang untuk mengundangnya. Legakan hatimu. Cioe Kouwnio sehat walfiat, tak kurang satu apa.”

Boe Kie mengeluh. Sekarang baru ia tahu bahwa hari itu mereka sebenarnya dikenali. “Jika Giehoe tidak buta, ia bisa lihat bahwa rahasia sudah terbuka,” pikirnya. “Hai… aku dan Cie Jiak masih terus mimpi…” Tapi bagaimana dengan keselamatan Giehoe?” Dia bingung sebab Tan Yoe Liang tak pernah menyebut-nyebut ayah angkatnya.

Sementara itu si orang she Tan sudah berkata pula. “Song Heng tee, sesudah kau menikah dengan Cioe Kouwnio, Go Bie dan Boe tong pay harus menurut perintah Kay pang. Siauw lim pay sudah berada dalam tanganku. Ditambah dengan Kay Pang dan Beng Kauw, tenaga kita bukan main besarnya. Kita pasti bisa mengalahkan orang Mongol dan merebut negeri. Huh…huh… negara akan segera menukar majikan.”

Tan Yoe Liang berbicara dengan hati berbunga bunga. Ia memperlihatkan lagak seolah olah Kay pang sudah merebut seluruh negeri dan ia sendiri akan segera naik ke tahta kerajaan. Ciang poen Liaong tauw dan Song Ceng Soe juga turut ketawa, tapi tertawa mereka tertawa getir.

“Mari kita berangkat,” ajak Tan Yoe Liang. “Song Heng tee Bok Cit hiap binasa di dekat ini. Kau telah memasukkan jenazahnya ke dalam gua yang rasanya tak jauh dari sini. Bukankah begitu? Tadi, kudamu tiba tiba roboh. Apakah roh Bok Cit hiap menunjukkan keangkerannya? Ha.. ha.. ha!.... ha.. ha.. ha!...”

Kata kata itu membangunkan bulu roma Song Ceng Soe yang lantas saja berjalan dengan terpincang pincang.

Sesudah ketiga orang itu berlalu, Boe Kie lalu membuka jalan darah keempat pamannya sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya dan berkata, “Soepeh, Soesiok, tadi titjie berada dalam keadaan terjepit dan tidak bisa membersihkan diri, sehingga karena terpaksa, titjie telah melakukan perbuatan berdosa terhadap Soepeh dan Soesiok. Titjie bersedia untuk menerima segala hukuman.”

Song Wan Kiauw menghela napas panjang, air matanya mengucur dan ia menengadah tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Jie Lian Cioe segera membangunkan keponakannya dan berkata dengan suara menyesal. “Perhubungan kita bagaikan perhubungan tulang dan daging. Hal itu tak usah disebut sebut lagi. Aku sungguh tidak duga, bahwa Ceng Soe… Ceng Soe… Hai!... kalau bukan mendengar dengan kuping sendiri, siapa yang bisa percaya?”

Tiba tiba “srt…!” Song Wan Kiauw menghunus pedang. “Binatang…!” katanya dengan suara gemetar. “Sam wie Soe tee, anak Boe Kie, mari kita kejar. Biar kubunuh binatang itu dengan tangan sendiri.” Seraya berkata begitu, badannya berkelebat dan ia mengubar puteranya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.

“Toako, balik!” teriak Thio Siong Kee. “Kita harus berdama dulu.” Tapi Song Tayhiap tidak meladeni.

Boe Kie segera mengudak. Dengan cepat ia melewati sang paman dan lalu menghalang di depannya. “Tio Soe peh,” katanya sambil membungkuk. “Siesoepeh ingin bicara. Sebab ditipu, Song Toako telah membuat kekeliruan. Di hari kemudian, ia pasti akan mendusin. Jika Toasoepeh mau menghukum, tak perlu tergesa2.”

“Cit tee!... Cit-tee…!” kata Song Wan Kiauw dengan suara di tenggorokan. “Kakakmu benar2 berdosa besar…” Sekonyong-konyong ia mengangkat pedangnya dan coba menggorok leher. Boe Kie terkesiap dan secepat kilat tangannya menyambar. Sungguh mujur dia keburu merampas senjata itu dengan menggunakan ilmu Kian koen Tay lo ie. Tapi biarpun tak sampai membinasakan, ujung pedang menggores juga leher Song Tay hiap.

Ketika itu Jie Lian bertiga sudah menyusul. “Toako,” kata Thio Siong Kee dengan suara membujuk. “Ceng Soe telah melakukan perbuatan sangat terkutuk itu dan semua orang Boe tong pasti takkan dapat mengampuninya. Tapi, membersihkan rumah tangga sendiri urusan kecil, sedang urusan yang besar adalah keselamatan rakyat. Tak boleh, karena memperhatikan yang kecil, kita menyia nyiakan yang besar.”

“Membersihkan rumah tangga sendiri urusan kecil?” Menegas Song Wan Kiauw dengan mata melotot. “Huh!... sungguh sial aku mempunyai anak penghianat itu!....”

Didengar dari omongan Tan Yoe Liang, Kay pang ingin meminjam tangan Ceng Soe untuk mencelakai guru kita,” kata pula Thio Siong Kee dengan sabar. “Di samping itu, Kay pang berusaha untuk menekan atau mempengaruhi berbagai partai Rimba Persilatan guna merampas negeri. Bagi kita, Soecoen (guru yang mulia) merupakan urusan besar. Keselamatan Rima Persilatan dan rakyat di kolong langit juga merupakan urusan besar. Ceng Soe yang durhaka pasti akan mendapat pembalasan. Kewajiban kita yang sekarang ini adalah berdamai untuk menolong urusan besar.”

Song Wan Kiauw membungkam. Ia tak dapat membantah perkataan adiknya. Akhirnya ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan berkata dengan suara perlahan. “Pikiranku kusut, otakku tak bisa memikir lagi. Biarlah Sietee yang memikirkan tindakan kita.”

Sesudah kegusaran kakaknya agak mereda, In Lee Heng lalu mengeluarkan obat dan membalut luka Song Wan Kiauw.

“Menurut pendapatku,” kata pula Thio Siong Kee,” karena Kay pang ingin mencelakai Soecoen dan guru kita tidak tahu menahu, maka tindakan yang harus segera diambil adalah pulang ke Boe Tong secepat mungkin. Meskipun Tan Yoe Liang mengatakan bahwa ia ingin meminjam tangan Ceng Soe, manusia jahat itu mungkin akan turun tangan terlebih siang. Yang terpenting bagi kita ialah melindungi soecoan. Soecoan sudah berusia tinggi, kalau kejadian dahulu sampai terulang, kalau sampai ada musuh lagi yang sampai membokong dengan menyamar sebagai pendeta Siauw lim, kita tak akan bisa menebus kedosaan kita.”

Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Tio Beng dengan mata mendelik. Ia rupa rupanya masih mendongkol karena si nona pernah berusaha untuk membinasakan Thio Sam Hong.

Song Wan Kiauw mengeluarkan keringat dingin. “Benar…! Benar…!” katanya dengan gemetar. “Sebab ingin membunuh anak jahanam itu, aku sampai melupakan keselamatan Soecoan. Hai!... otakku sudah miring!”

Ia seorang yang tak sabaran. “Hayo! Lekas! Kita harus berangkat sekarang juga,” desaknya berulang-ulang.

“Boe Kie,” kata Thio Siong Kee sambil berpaling kepada keponakannya, “tugas menolong Cie Kauwnio harus ditunaikan olehmu sendiri. Sesudah berhasil, datanglah di Boe tong san.”

Boe Kie membungkuk dan berkata. “Baiklah Soepeh.”

“Tio Kauwnio berwatak kejam,” bisik Thio Siong Kee. “Kau harus berhati hati. Ceng Soe merupakan sebuah contoh seorang laki laki tak boleh dibikin lupa oleh paras cantik.”

Dengan muka merah Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya.

Sesudah selesai berdamai, keempat pendekar Boe tong Boe Kie lalu menguburkan jenazah Boh Seng Kok di belakang sebuah batu besar. Mereka menangis sedih sekali dan sehabis memeras air mata, Seng Wan Kiauw berempat segera berangkat.

Sesudah mereka berlalu, Tio Beng mendekati Boe Kie dan berkata. “Sie soepehmu menasihati supaya kau berhati hati terhadapku dan jangan sampai kena dibikin lupa oleh paras cantik. Dia mengatakan bahwa Song Ceng Soe adalah sebuah contoh. Benarkah begitu?”

“Bagaimana kau tahu?” tanya Boe Kie dengan suara jengah. “Apakah kau mempunyai kuping Soen hong nie?”

Tio Beng mengeluarkan suara di hidung. “Sekarang aku bicara terus terang,” katanya dengan bangga. “Aku berani memastikan bahwa sesudah memikir dan memikir lagi, Song Tay hiap dan yang lain lain akan berbalik mempersalahkan Cioe Cie Jiak yang dianggap sebagai gara gara yang mengakibatkan runtuhnya seorang jago muda dari Boe tong pay. Huh huh!... jalan pikiran orang lelaki tak pernah terlolos dari terkaanku.”

“Song Toasoepeh dan lain lain paman adalah koencoe (manusia utama), kata Boe Kie. “Mereka semuanya sudah mengetahui aturan dan tidak mungkin mempersalahkan orang secara serampangan.”

Si nona tertawa dingin, “Huh!... makin koencoe mungkin makin gila!” katanya. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi sambil tertawa, “Lekas tolong Cioe kauw untukmu! Kau celaka besar kalau dia sampai jatuh ke dalam tangan Song Ceng Soe.”

Muka Boe Kie berubah merah. “Mengapa celaka besar?” tanyanya sambil tertawa kecil.

Dengan mengikuti tapak kaki kuda Boe Kie dan Tio Beng berhasil menemukan tunggangan mereka yang lantas saja dikaburkan ke Kwan Lee. Boe Kie membedal kuda dan dengan pikiran kusut. Ia memikiri ayah angkatnya dan memikiri juga Cioe Cie Jiak. Mengingat bahwa Kay pang ingin menggunakan ayah angkatnya untuk menekan Beng Kauw, maka andaikata orang tua itu benar benar jatuh ke dalam tangan Partai Pengemis, jiwanya belum tentu terancam. Tapi biarpun begitu, sang Giehoe tentu tidak bisa terlolos dari segala hinaan. Ia lebih berkuatir akan keselamatan Cie Jiak. Si nona putih bersih. Dalam menghadapi Tan Yoe Liang yang jahat dan Song Ceng Soe yang tidak mengenal malu, jika didesak sampai di pojok, si nona pasti akan binasa. Mengingat begitu, ia ingin sekali mempunyai sayap supaya tiba di Lauw liong terlebih cepat.

Malam itu ia menginap di sebuah penginapan kecil. Walaupun tunggangan mereka kuda-kuda jempolan, tapi sebab dibedal terus menerus, kedua binatang itu sudah lelah sekali. Setiba di rumah penginapan mereka tak mau makan rumput lagi.

Sambil merebahkan diri di pembaringan batu makin lama Boe Kie makin bingung. Indap indap ia pergi ke depan jendela kamar Tio Beng. Nona itu sedang pulas nyenyak. Sesudah berpikir beberapa saat Boe Kie pergi ke meja pengurus penginapan, mengambil perabot tulis menyobek selembar kertas dan lalu menulis sepucuk surat. Ia mengatakan bahwa karena keadaan mendesak, ia mengambil keputusan untuk melangsungkan perjalanan di tengah malam. Sesudah menaruh surat itu di atas meja, ia membuka jendela, melompat keluar dan lari kabur ke jurusan selatan dengan menggunakan ilmu ringan badan yang paling tinggi.

Demikian, setiap malam ia meneruskan perjalanan dengan menggunakan ilmu ringan badan, sedang di waktu siang ia menggunakan keledai atau kuda. Dalam beberapa hari saja ia sudah tiba di Lauw liong. Meskipun terus menggunakan tenaga dan beberapa hari tak pernah tidur sebab memiliki lweekang yang sangat kuat ia tidak terlalu payah. Menurut perhitungan, dengan mengubar tanpa mengaso, siang siang ia sudah bisa melampaui rombongan Tan Yoe Liang. Tapi ia tak pernah bertemu dengan mereka. Mungkin sekali selagi ia berjalan di waktu malam, mereka sedang mengaso di penginapan.

Lauw liong adalah sebuah kota penting di propinsi Ho pak. Pada jaman kerajaan Tong, kota itu dijaga oleh seorang pembesar Cit tauwsoe selama kerajaan Cong dan Goan lauw liong mengalamai beberapa kali peperangan, sehingga kotanya hancur dan sampai sekarang belum pulih seperti sedia kala. Tapi biarpun begitu kota tersebut banyak penduduknya dan berbeda dengan kota kota di Kwan gwa yang sangat sepi.

Setibanya di kota itu, Boe Kie berkeliling di jalan jalan raya, di jalanan kecil, di lorong lorong, di rumah rumah penginapan dan rumah rumah makan. Heran sungguh ia tak pernah bertemu dengan seorang pengemis. Tan Yoe Liang tentu tidak berdusta waktu ia mengatakan bahwa para pemimpin pengemis berkumpul di Louw liong. Mungkin sekali pengemis pengemis itu sedang pergi menemui pangcu mereka.

“Kalau aku bisa mencari tempat pertemuan mereka, aku akan bisa menyelidiki benar tidaknya Giehoe dan Cie Jiak ditawan Kay Pang,” kata Boe Kie di dalam hati. Tapi sesudah menjelajah di seluruh dan di sekitar kota, ia masih belum mendapatkan sesuatu yang memberi petunjuk baik.

Waktu magrib Boe Kie mulai bingung. Tanpa merasa ia ingat kefaedahan Tio Beng.

“Kalau dia berada bersama aku, aku tentu tidak akan menghadapi jalanan buntu ini,” pikirnya. Dengan masgul ia lalu mencari sebuah rumah penginapan yang layak. Sesudah makan minum ia tidur sebentaran. Kira-kira tengah malam, ia melompat ke genteng untuk menyelidiki lagi.

Dengan matanya yang sangat tajam, ia mengawasi ke seputarnya, keadaan sunyi senyap dan angin dingin meniup dengan perlahan. Sedikitpun tak terlihat tanda, bahwa di kota itu tengah berlangsung pertempuran antara orang2 Kangouw. Ia jadi uring-uringan. Sekonyong-konyong dari loteng tinggi dari sebuah gedung besar terlihat sinar api.

“Kalau bukan milik pembesar tinggi, gedung itu tentu milik seorang hartawan,” pikirnya. “Tak mungkin pemilik gedung mempunyai sangkut paut dengan Partai pengemis…”. Belum habis jalan pikirannya, mendadak sesosok bayangan manusia melompat keluar dari sebuah jendela loteng. Gerakan orang itu cepat luar biasa dan dalam sekejap, ia tak kelihatan bayang bayangannya lagi. Kalau bukan Boe Kie yang mempunyai mata istimewa, melihatpun orang tak akan bisa melihatnya.

“Apa orang jahat bekerja di gedung itu?” tanyanya di dalam hati. “Orang itu ahli silat kelas utama.” Karena tak mempunyai tujuan tertentu, ia lantas mengambil keputusan untuk coba melihat lihat.

Setibanya di samping gedung, dengan sekali menjejakan tanah, tubuh Boe Kie melesat ke atas dan melompati tembok yang mengurung gedung. Sekonyong konyong jantungnya memukul lebih.

“Tan tiang loo sangat rewel,” demikian terdengar suara seorang. “Terang terang ia sudah mengatakan, bahwa kita akan berkumpul pula, di Lao ho kouw pada Chia hwee Cepeh. Sekarang ia mendadak menyuruh kita menunggu di sini. Dia bukan Pangcu, tapi lagaknya seperti Pangcu saja.”

Bukan main girangnya Boe Kie. Ia mengenali bahwa suara itu suara seorang anggota Kay Pang. Suara itu datang dari taman bunga. Begitu mendekat, ia dengar suara Soe hwee ling yang berkata, “Tan tiang loo sangat berakal budi. Ia berhasil membekuk Kim mo Say ong Cia Soen, yang dicari oleh segenap rimba persilatan selama dua puluh tahun lebih tanpa berhasil. Hasil yang gemilang itu jangankan di dalam partai kita sekalipun seluruh Rimba Persilatan, tak ada orang yang bisa meneladaninya…”

Boe Kie kaget bercampur girang. Sekarang ia tahu, ayah angkatnya berada dalam tangan orang-orang Kay Pang. Sesudah mengetahui itu, menolong sang Giehoe tak begitu sukar lagi pikirnya. Di dalam partai pengemis tidak terdapat tokoh tokoh yang benar benar berilmu tinggi.

Ia segera mendekati jendela dan mengintip dari celah-celah. Ternyata pertempuran itu berlangsung di sebuah pendopo di taman bunga.

Ia lihat Soe hwee liong duduk di tengah tengah. Coan kang dan Cie hoat Tiang loo, Ciang pang, Liong tauw dan tiga tiangloo delapan karung duduk di sebelah bawah.

Selain mereka terlihat pula seorang setengah tua yang berbadan gemuk dan mengenakan pakaian indah. Dilihat dari pakaiannya, dia seorang hartawan, tapi pada punggungnya terdapat enam lembar karung. Boe Kie manggut manggutkan kepalanya. “Benar,” katanya di dalam hati, “hartawan itu seorang murid Kay Pang. Para pengemis berkumpul di rumah orang kaya raya tak akan dapat diduga oleh siapapun jua, sungguh pintar!”

Sementara itu Soe hwee liong berkata pula, “Permintaan Tan tiangloo supaya kita menunggu di Louw liong tentu mempunyai sebab musabab yang beralasan. Kita mempunyai tujuan besar dan kita harus berhati hati.”

“Pangcu,” kata Ciang pang Liong tauw. “Tujuan orang gagah dalam mencari Cia Soen adalah untuk memperoleh To ling to yang dikenal sebagai Boe lim Cie coen (yang termulia dalam Rimba Persilatan). Tapi To liong to tidak terdapat di badan Cia Soen. Biar dibujuk dan diancam, dia tetap tidak mau beritahukan dimana adanya golok mustika itu. Dengan demikian, kita hanya mendapat seorang buta yang harus diberi makan dan minum. Apa gunanya? Menurut pendapat teecu, sebaiknya kita siksa padanya. Teecu melihat, apa dia tetap menutup mulut.”

Soe Hwee Liong meng-goyang2-kan tangan. “Tidak benar,” katanya. “Tindakan keras bisa merusak urusan besar. Kita harus tunggu Tan Tiangloo. Sesudah dia tiba, kita boleh berdamai lagi.”

Paras muka Ciang pang Liong tauw mengunjuk rasa mendongkol. Ia rupa rupanya merasa jengkel karena sang pemimpin terlalu menurut perkataan Tan Yoe Liang.

Soe Hwee Liong merogo saku dan mengeluarkan sepucuk surat yang lalu diangsurkan kepada Ciang pang Liong tauw. “Pang Heng tee,” katanya, “kuminta kau segera berangkat ke Ho cioe dan menyerahkan surat ini kepada Han San Tong. Beritahukan dia, bahwa puteranya berada dalam tangan kita dengan tak kurang suatu apa. Asal dia suka menakluk kepada partai kita, aku akan memperlakukannya secara layak.”

“Apakah pekerjaan menyampaikan surat harus dilakukan oleh teecu?” katanya Ciang pang Liong tauw.

Paras muka Soe Hwee Liong lantas saja berubah. “Pang Heng tee,” katanya, “selama setengah tahun ini Han San Tong dan kawan kawannya telah mencapai hasil hasil besar di daerah Ho cioe. Kudengar, di bawah perintah terdapat orang orang gagah kelas, seperti Coe Goan Ciang, Cie Tat, Siang Gie Coen dan lain lain. Maksud suratku ini ialah supaya Han San Tong menakluk kepada kita. Kalau dia bersedia untuk menakluk, Pang Heng tee harus menyelidiki apa menakluknya itu sungguh sungguh atau berpura pura. Di samping itu, Pang Heng tee pun harus mencari tahu kekuatan dari barisan Beng kauw. Tugas Pang Heng tee bukan semata mata menyampaikan surat. Tugasmu adalah berat.”

Ciang pang Liong tiauw tidak berani membantah lagi. “Baiklah,” katanya. Sesudah memberi hormat kepada pemimpinnya, ia segera meninggalkan ruangan pertemuan.

Sesudah itu dengan gembira mereka saling mengutarakan pikiran mengenai kemakmuran dan kejayaan Kay Pang yang sesudah menaklukan Beng kauw, Siauw lim, Boe tong dan Go bie pay. Angan angan Soe Hwee Liong ternyata tidak semuluk Tan Yoe Liang. Dia sudah merasa puas jika Kay Pang bisa menjagoi dalam Rimba Persilatan. Dia tidak bercita cita untuk merebut negara dan menjadi kaisar.

Boe Kie merasa sebal untuk mendengari lebih jauh dan berkata dalam hatinya. “Didengar dari pembicaraan mereka, Gie hoe dan Cie Jiak terkurung di gedung ini. Sebaiknya aku berusaha untuk melepaskan mereka dan kemudian barulah menghajar pengemis pengemis yang tak mengenal malu itu.” Sekali menjejak bumi, tubuhnya melesat ke atas dan hinggap di dalam pohon. Ia mengawasi ke sekitarnya, mencari cari tempat yang dijaga keras. Segera juga ia lihat, bahwa di bawah loteng terdapat belasan pengemis yang meronda dengan senjata terhunus.

Ia melompat turun, mendekati loteng itu, menyembunyikan diri di belakang sebuah batu besar. Selagi dua peronda memutar badan, secepat kilat ia lari ke kaki tembok di bawah loteng dan lalu memanjat ke atas dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang kong (cecak merambat di tembok). Ia segera memasang kuping dan mata ke loteng yang terang benderang itu.

Namun akhirnya dengan rasa penasaran ia lalu mengintip dari celah celah jendela. Sepanjang lilin besar yang ditaruh di meja sudah terbakar habis, separuh, tapi di dalam kamar itu tidak terdapat bayang bayangan manusia.

Loteng itu mempunyai tiga kamar. Sesudah menyelidiki kamar sebelah timur, ia mengintip di jendela kamar sebelah barat. Lilin yang berada di kamar itu juga kelihatan nyala sangat terang dan di atas meja terlihat banyak makanan dengan tujuh delapan mangkok nasi dan sumpitnya. Tapi cawan cawan arak belum diminum dan makanan itu baru saja dimakan. Herannya, di kamar itupun tidak terdapat manusia. Kamar yang di tengah gelap gulita. Boe Kie mendorong pintu, tapi terkunci dari dalam. “Giehoe!” panggilnya dengan suara perlahan. Ia tidak mendapat jawaban. “Kalau Giehoe tidak dikurung di sini, mengapa loteng ini dijaga begitu keras?” pikirnya. “Apakah ia menggunakan tipu berisi berisi kosong, kosong kosong berisi?” (berisi is kosong, kosong berisi – apa yang dilihat berisi, sebenarnya kosong, dilihat kosong sebenarnya berisi).

Tiba tiba hidungnya mengendus bau darah yang keluar dari kamar itu. Ia terkejut. Dengan mengeluarkan sedikit tenaga tapal pintu patah. Sambil mendorong pintu, ia melompat ke dalam dan menyambut kedua potongan tapal pintu itu supaya tidak jatuh dan mengeluarkan suara.

Baru ia menindakkan kakinya menginjak sesuatu yang lembek seperti tubuh manusia. Ia membungkuk dan meraba raba. Aha! Mayat manusia yang mati belum berapa lama. Ia merasa agak lega karena mayat itu berkepala kecil. Dengan jari tangannya ia menotok papan kamar barat yang lantas berlubang dan dari lubang itu masuk sinar terang.

Sekarang ia bisa lihat, bahwa kamar itu penuh mayat pengemis yang kelihatannya binasa karena mendapat luka hebat di badan. Ia membuka baju satu di antaranya dan melihat tapak tinju di dada, tapak dari pukulan Cit siang koen. “Ah! Inilah pukulan Giehoe,” pikirnya dengan rasa girang. Di sudut tembok terdapat sebuah gambar obor – tanda Beng kauw – yang diukir dengan serupa benda tajam. Tapi bagaimana Giehoe bisa dibekuk mereka?” tanya Boe Kie di dalam hati. “Mungkin mereka menggunakan bong han yo, tambang atau jala. Tapi pintu di tapal dari dalam. “Bagaimana Giehoe bisa keluar? Heran!” Sambil memikir begitu, ia tiba tiba melihat darah di lain pintu dan di daun pintu bagian luar terdapat telapak telapak tangan. Sekarang ia mengerti. Ayah angkatnya tidak sengaja membunuh seorang dan sesudah keluar dari kamar, ia menyuruh orang itu menapal pintu, akan kemudian mengirim pukulan Cit siang koen pada daun pintu. Biarpun teraling selembar papan, pukulan tersebut masih kuat untuk membinasakan pengemis itu yang memuntahkan darah dan darahnya menyembur ke pintu. “Ya, tadi kulihat melompatnya bayangan manusia dari atas loteng,” pikirnya. “Bayangan itu tentulah Giehoe… tapi… tidak mungkin. Orang itu bertubuh kurus kecil, sedangkan Giehoe tinggi besar. Siapa dia?”

Ia keluar dari kamar dan melongok ke bawah. Para pengemis masih meronda. Mereka tak tahu apa yang terjadi di atas. “Pengemis2 baru saja mati dan Giehoe tentu belum pergi jauh,” pikirnya. “Perlu apa kau menebak nebak?” Sebaiknya aku menyusul dan menanyakannya. Aku dan Giehoe bisa kembali ke sini untuk menghajar pengemis2 bau itu.”

Bayangan yang tadi melompat turun dari tembok sebelah barat daya. Setelah mengambil keputusan, Boe Kie segera melompat ke satu pohon dan dari pohon itu, dia melompat pula ke atas tembok barat daya. Ia membungkuk untuk menyelidiki. Dengan rasa heran dia mendapat kenyataan, bahwa di situ terpeta tapak tapak kaki kecil, yaitu tapak wanita. “Siapa wanita itu?” tanyanya di dalam hati. “Biat coat Soethay telah meninggal dunia. Cie san Liong ong pergi ke lain negeri, Pan Siok Ham dari Koen loen pay belum tentu mempunyai ilmu ringan badan yang sedemikian tinggi. Cie Jiak dan Tio Beng tak mungkin. Yang lain lebih tak mungkin.” Tapi ia tak memikir panjang2 lagi dan segera menguber ke jurusan barat daya.

Sesudah berlari lari beberapa lie dengan mengikuti jalan raya, ia tiba di persimpangan jalan. Sesuai dengan kebiasaan Kang ouw, mereka lantas mencari tanda tanda di gombolan rumput tinggi. Benar saja, di sebuah batu besar ia menemukan gambar obor yang mengunjuk ke sebuah jalan kecil, jurusan barat daya. Ia girang karena jejak ayah angkatnya sudah dapat diikuti. Gambar itu yang sangat indah tidak mungkin dilukis oleh sembarang orang. Hanyalah orang orang seperti Cia Soen yang boen boe coan bay yang dapat melukisnya.

Tanpa ragu ragu lagi, ia lalu mengejar dengan mengambil jalanan kecil itu. Ketika tiba di See boek, fajar sudah menyingsing. Sesudah menangsal perut dengan bak pauw dan kue phia, ia meneruskan perjalanan ke arah barat. Di Pangcoe tin di kaki tembok ia menemukan sebuah gambar obor yang mengunjuk ke sebuah si thung (tempat pemujaan abu leluhur). Ia girang dan merasa pasti bahwa ayah angkatnya bersembunyi di tempat itu. Ia menghampiri dan memilih empat huruf “Goei sie Su thung” (tempat pemujaan abu leluhur orang she Goei) di papan merek. Begitu masuk ia mendengar suara ramai ramai dari sejumlah orang yang sedang berjudi.


Tiba tiba seseorang melompat keluar dan menangkis pukulan itu. “Liong tauw toako sabar dulu,” katanya. Orang itu adalah Tan Yoe Liang.

“Tan Heng tee, aku minta kau menimbang urusan ini,” kata Ciang pang Liong tauw.

“Mana si perempuan siluman?” tanya Tan Yoe Liang.

“Dilepaskan oleh dia,” kata Ciang pang Liong tauw sambil menuding Song Ceng Soe.

“Bukan aku, dia yang melepaskannya,” balas Song Ceng Soe.

Selagi mereka bertengkar, Hian beng Jielo sudah menerobos keluar. Melihat Tio Beng tidak berada di luar kelenteng, mereka tahu bahwa sang majikan sudah meloloskan diri dan hati mereka jadi lega dan lebih mantep. Sambil tertawa nyaring, mereka menyerang pula dengan sekuat tenaga. Dengan sekali jurus empat murid Kay pang roboh di tanah. Waktu Coan kang Cie hoat dan Ciang boen memburu keluar mereka sudah kabur jauh dan hanya terdengar suara tertawa mereka yang membangunkan bulu roma.

Ciang pang Liong tauw berjingkrak bahna gusarnya. “Uber!” teriaknya.

“Jangan!” cegah Tan Yoe Liang. “Liong tauw Toako, musuh mungkin menyembunyikan pasukan yang kuat di sepanjang jalan.”

Si pengemis mendusin. “Benar,” katanya. “Mengapa aku begitu tolol? Musuh pasti datang kemari dalam jumlah yang besar. Dua orang saja sudah sukar dilawan.” Ia merasa berterima kasih terhadap Tan Yoe Liang dan kegusarannya terhadap Song Ceng Soe pun agak mereda.

Sementara itu Cie hoat Tiangloo menghitung kerusakan pada pihaknya. Sebelas orang mati dalam tangan Hian beng Jieloo, tujuh orang terluka berat dan delapan sembilan orang luka karena tertimpa patung Bie lek hoed. Ia segera memerintahkan orang untuk menolong yang luka dan memerintahkan Ciang poen Liong tauw memeriksa di seputar kelenteng dengan membawa sejumlah murid.

Sekarang marilah kita menengok Tio Beng. Sebagaimana diketahui, dengan rasa kuatir Boe Kie memperhatikan segala gerak geriknya. Waktu Seng Ceng Soe membalik pedangnya dan memukul kepala si nona dengan gagang senjata itu, hati Boe Kie mencelos. Pukulan itu bisa enteng, bisa berat. Kalau enteng, nona Tio akan pingsan. Jika berat, jiwanya melayang. Pada detik yang sangat berbahaya, tanpa memikir panjang panjang lagi ia melompat turun dan mendorong tongkat Ciang pang Liong tauw supaya menangkis gagang pedang yang menyambar. Dalam dorongan itu, ia menggunakan Kian koen Tay lo ie. Selama berdiam beberapa bulan di pulau kecil, ia mempelajari dan melatih diri dalam ilmu yang tertera pada Seng hwee leng yang diterjemahkan Siauw Ciauw. Ia mendapat kemajuan pesat dan sekarang kepandaiannya sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh Samsoe dari Persia. Maka itu dorongannya tadi bahkan tak diketahui oleh tokoh tokoh yang berilmu tinggi seperti Ciang peng Liong tauw dan Tan Yoe Liang. Ciang pang Liong tauw menduga bahwa Song Ceng Soe sengaja memukul tongkatnya, sedang Song Ceng Soe menduga, bahwa si pengemis yang sengaja menangkis senjatanya.

Pada saat kagetnya kedua musuh, Boe Kie menjambret seorang pengemis tujuh karung dan melemparkan keluar tembok sehingga dengan demikian, karena melihat berkelebatnya bayangan manusia, Ciang pang Liong tauw dan Tan Yoe Liang menduga bahwa Tio Beng sudah melarikan diri dengan melompati tembok. Sementara itu, sambil mendukung si nona bagaikan kilat Boe Kie melompat ke atas dan hinggap di atap toa tian.

Pada waktu itu ilmu mengentengkan badan Boe Kie sudah mencapai puncak tertinggi. Ia melompat seperti terbangnya seekor burung. Ada beberapa hal yang menguntungkan Boe Kie sehingga lompatannya tak dilihat orang. Pertama waktu itu sudah lewat lohor dan segala apa yang berada di bawah matahari tak terlihat bayangannya lagi. Kedua para pengemis sedang memburu keluar, sehingga biarpun ada beberapa orang yang merasa ada sesuatu yang lewat di dalam, mereka tidak menghiraukan. Ketiga, di sekitar toa tian masih penuh debu yang melayang di udara sebagai akibat dari robohnya patung Bie lek hoed. Keempat keadaan sedang kalut dan kelima tokoh tokoh yang berkepandaian tinggi sudah memburu keluar untung mengepung Hian beng Jie loo dan membekuk Tio Beng. Inilah beberapa yang membikin Boe Kie bisa menolong Tio Beng tanpa diketahui oleh siapapun juga.

Selagi badannya melayang di tengah udara dengan didukung lengan yang kuat, Tio Beng membuka matanya. Ia terkesiap karena penolong tadi yang alisnya tebal dan mukanya tampan, bukan lain daripada Boe Kie. Ia hampir tak percaya matanya sendiri. “Kau!” serunya dengan suara parau.

Buru buru Boe Kie mendekap muka si nona. Ia mengawasi ke bawah. Di kiri kanan di depan di belakang kelenteng penuh dengan murid2 Kay pang. Walaupun begitu, kalau mau, ia masih bisa meloloskan diri. Tapi, sesudah mengetahui adanya perundingan Kay pang untuk menjatuhkan Beng kauw dan masuknya Song Ceng Soe ke dalam partai pengemis, ia bertekad untuk menyelidiki hal itu sampai seterang terangnya! Ia tak boleh pergi dengan begitu saja. Di samping itu dalam pertengkaran antara Ciong pang Liong tauw dan Song Ceng Soe, kedua mata si pengemis mengeluarkan sinar yang ganas dan terdapat kemungkinan bahwa pengemis itu tak merasa segan untuk turunkan tangan jahat. Lain pertimbangan yang menahan perginya Boe Kie adalah Han Lim Jie yang masih tertawan. Pembantu yang setia itu harus ditolong. Memikir begitu ia mengambil keputusan untuk masuk pula dan bersembunyi di ruangan toa tian.

Ia merangkak ke pinggir genteng menggaet payon dengan kedua kakinya dan kemudian dengan sekali melompat ia sudah berada di belakang sebuah patung Buddha

some parts missing here

Loe Hwee Liong, Coan kang, Cie hoat Thiang Boo dan yang lain lain sudah memburu keluar sedang ruangan toa tian hanya terdapat beberapa pengemis yang terluka karena tertimpa patung Bie lek boat. Han Lim Jie sendiri tidak kelihatan mata hidungnya.

Ia mengawasi ke seputarnya, tapi untuk beberapa saat, ia masih belum mendapatkan tempat yang cocok untuk menyembunyikan diri. Tiba tiba Tio Beng menyentuh tangannya dan menuding sebuah tambur besar. Tambur itu ditaruh di atas tempat menaruh tambur yang tingginya setombak lebih dan berhadap hadapan dengan sebuah lonceng besar.

Boe Kie lantas saja mendusin. Dengan mepet mepet di pinggir tembok, ia pergi ke belakang tambur. Sambil meloncat ke atas, jari tangannya menggores kulit. “Pret!” kulit kerbau yang tebal robek seperti gores pisau. Dengan berdiri di lapangan kayu, ia menggores lagi dengan jerijinya dan membuat robekan garis silang. Sesudah itu, sambil menduking Tio Beng ia masuk ke dalamnya.

Tambur itu tambur tua. Di antara debu dan bau apak, Boe Kie mengendus wewangian yang keluar dari badan si nona. Tambur itu cukup besar, tapi kedua orang yang bersembunyi di dalamnya bergerakpun tak bisa lagi. Dengan hati berdebar debar, si nona bersandar di dada Boe Kie. Perasaan pemuda itu sendiri sukar dilukiskan. Rasa benci sakit hati, gusar duka dan rasa cinta tercampur menjadi satu. Ia mau mencaci, tapi dengan di kelilingi musuh ia tidak bisa membuka suara. Tiba tiba ia mendusin, bahwa kepala si nona bersandar pada dadanya. Ia kaget dan mendorong keras keras. Tio Beng gusar dan menyikut dadanya. Dengan ilmu memindahkan tenaga memukul tenaga, Boe Kie menghantam balik, sehingga si nona kesakitan, hampir hampir ia berteriak kalau mulutnya tidak keburu didekap Boe Kie.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara Cie hoat Tiangloo, “Melaporkan kepada Pangcoe ia mengatakan bahwa musuh telah meloloskan diri. Karena ketololanku, aku tak bisa menyerahkan musuh kepada Pangcoe, untuk kedosaaan itu, aku mohon Pangcoe suka memaafkan.”

“Sudahlah!” kata Soe Hwee Liong. Musuh berkepandaian sangat tinggi. Hal itu disaksikan oleh semua orang. Cie hoat Tiangloo tak usah berlaku terlalu sungkan.”

“Terima kasih Pangcoe,” kata Cie hoat.

Sesudah itu Ciang pang Liong tauw segera mengadu bahwa Song Ceng Soe sudah sengaja melepaskan Tio Beng dan pemuda itu lalu membela diri serta balas menuduh. Mereka lantas saja bertengkar dan suasana menjadi tegang.

“Sin Heng tee, bagaimana pendapatmu?” tanya Soe Hwee Liong.

“Melaporkan kepada Pangcoe, bahwa Ciang pang Liong tauw adalah tetua partai kita dan ia tentu tidak berdusta,” jawabnya. “Tapi Song heng tee pun masuk ke dalam partai kita dengan setulus hati, lebih lagi wanita siluman itu musuhnya. Menurutku perempuan she Tio itu memiliki kepandaian luar biasa dan dengan ilmu meminjam tenaga memukul tenaga, ia mendorong tongkat Liong tauw untuk menangkis gagang pedang Song heng tee. Dalam kekalutan, kedua belah pihak jadi salah mengerti.”

Di dalam hati Boe Kie memuji Tan Yoe Liang. Dia sungguh pintar. Tanpa menyaksikan kejadiannya, dia sudah bisa menebak tanpa meleset jauh.

“Benar,” kata Soe Hwee Liong. “Saudara saudara, kalian berdua bertujuan sama yaitu mengabdi kepada partai kita. Maka itu, kalian hendaknya jangan jadi bermusuhan karena hal yang remeh ini.”

Ciang pang Liong tauw manggut manggutkan kepalanya dan berkata dengan suara mendongkol, “Biarpun dia…”

“Song heng tee,” memutus Tan Yoe Liang. “Liong tauw Toako seorang yang berkedudukan tinggi. Biarpun ia menyalahkan kau, kau harus menerimanya dengan segala senang hati. Hayo, lekas minta maaf.”

Dengan apa boleh buat Song Ceng Soe maju setindak dan menjura. ‘Liong tauw Toako,” katanya, “Siauwtee bersalah dan mohon Toako suka memaafkan.”

Meskipun masih bergusar, si pengemis tak bisa lagi mengumbar napasnya. Ia mengeluarkan suara di hidung dan berkata, “Ya, sudahlah!”

Biarpun menggunakan kata kata yang kedengarannya seperti menegur Song Ceng Soe, pada hakekatnya Tan Yoe Liang mempersalahkan si pengemis tua. Ia mengatakan bahwa Tio Beng mendorong tongkat Liong tauw Toako untuk menangkis gagang pedang Song hengtee dan bahwa Liong tauw Toako seorang yang berkedudukan tinggi. ‘Biarpun ia menyalahkan kau, kau harus menerimanya dengan segala senang hati’. Perkataan2 itu sebenarnya menyindir Ciang pang Liong tauw dan sindiran itu dimengerti oleh para Tiangloo. Tapi sebab Tan Yoe Liang sangat disayangi oleh Pangcoe, maka tak seorangpun berani membuka suara.

“Tan Hengtee,” kata Soe Hwee Liong. “Puterinya Jie lam ong, Mo kauw adalah musuh kerajaan Goan. Tapi mengapa Koen coe Nio nio itu berbalik membela si iblis kecil Thio Boe Kie?”

Tan Yoe Liang berpikir, tapi sebelum ia menjawab, Ciang pang Liong tauw sudah mendahului. “Kulihat Koen coe Nio nio itu sangat bergusar mendengar Tan Hengtee mencaci Kiauwcoe dari Mo kauw, dia seperti juga mendengar cacian terhadap ayah atau saudara kandungnya sendiri. Hal ini sungguh sungguh membikin orang tidak mengerti.”

“Ku tahu sebabnya,” kata Song Ceng Soe. “Biarpun Mo kauw musuh kerajaan, Beng koencoe mencintai Thio Boe Kie. Bahwa dia selalu melindungi bocah itu bukanlah hal yang heran.”

Para pengemis terkejut banyak. Boe Kie sendiri merasa sangat jengah dan jantungnya memukul lebih keras. Tio Beng memutar kepalanya dan mengawasi pemuda itu. Di dalam tambur sangat gelap, tapi dengan kedua matanya yang luar biasa, Boe Kie bisa melihat sinar mata si nona yang mengeluarkan sorot mencintai. Tanpa merasa ia memeluk lebih keras. Mendadak, di depan matanya terbayang In Lee yang binasa secara mengenaskan. Mendadak pula, rasa cintanya yang baru muncul berubah menjadi rasa benci dan ia memijit lengan Tio Beng dengan penuh kegusaran. Meskipun pijitan itu tidak disertai tenaga dalam yang kuat, si nona merasakan kesakitan luar biasa. Dengan menggigit gigi ia menahan sakit dan air matanya mengalir turun di kedua pipinya. Boe Kie mengeraskan hati dan tidak memperdulikannya.

Sementara itu, Tan Yoe Liang sudah bertanya, “Bagaimana kau tahu? Apa benar ada hal yang sedemikian aneh?”

“Memang benar,” jawab Song Ceng Soe dengan nada membenci. “Bocah Thio Boe Kie bukan pemuda tampan, mukanya biasa saja, tapi ia mempunyai ilmu siluman sehingga banyak sekali wanita lupa daratan.”

Cie hoat Tiangloo manggut manggutkan kepalanya. “Tak salah. Di dalam Mo kauw memang terdapat serupa ilmu untuk memelet wanita. Bukankah Kie Siauw Hoe dari Go bie pay sudah celaka karena dipelet siluman Yo Siauw? Thio Coei San, ayah Thio Boe Kie, menurut pendapatku, dengan ilmu iblis, siluman kecil itu sudah merusak kehormatan Beng2 Koencoe, sehingga ibarat beras sudah menjadi nasi dan Beng beng Koencoe tidak bisa menolong dirinya lagi.”

Semua pengemis lantas saja berteriak teriak mencari Boe Kie yang dinamakan sebagai manusia keji dan kotor.

“Semua orang gagah harus berusaha untuk menyingkirkan manusia itu dari dunia,” kata Coan kang Tiangloo dengan suara menyeramkan. “Kalau dia dibiarkan hidup terus, entah berapa banyak wanita suci akan celaka dalam tangan penjahat cabul itu.”

Boe Kie merasa dadanya menyesak. Untuk menahan amarahnya, badannya bergemetar. Sampai pada detik itu ia masih jadi jejaka yang suci tapi sering sungguh ia dimaki sebagai penjahat cabul. Ia benar benar penasaran, tapi tak dapat ia mencaci segala tuduhan itu. Ia terutama bergusar sebab dikatakan sudah mencemarkan kesuciannya Tio Beng. Tiba tiba ia terkesiap, “Celaka!” ia mengeluh di dalam hati. “Kalau orang tahu aku bersembunyi disini berdua dua, biarpun bersumpah berat, orang takkan percaya kebersihanku.”

“Sesudah jatuh ke dalam tangan penjahat cabul itu, Cioe Cie Jiak Kouwnio mungkin tak dapat mempertahankan lagi kesuciannya,” kata pula Cong kang Tiangloo.

“Song heng tee, kau tak usah jengkel. Kami pasti akan merebut pulang isterimu yang tercinta. Peristiwa Kie Siauw Hoe pasti tidak akan terulang.”

“Benar,” menyambut Cie hoat Tiangloo, “Perkataan Toako benar sekali. Dahulu Boe tong pay tidak bisa membantu In Lie Heng dan sekarang partai itu juga tidak bisa membantu Song Ceng Soe. Sekarang Song heng tee sudah masuk ke dalam Kay pang. Apabila kita tidak bisa membela sakit hatinya dan tidak bisa mewujudkan angan angannya, perlu apa dia menjadi murid enam karung dari partai kita, sedang di dalam Boe tong pay ia seorang calon Ciang boen jin?”

Sekali lagi para pengemis berteriak teriak, mencaci Boe Kie habis habisan.

Tio Beng menempelkan bibirnya di kuping Boe Kie dan berbisik. “Ah!… kau penjahat cabul!” bisiknya bernada gusar, duka dan cinta, sehingga jantung Boe Kie kembali berdebar2.

“Kalau dia tidak begitu kejam, aku sungguh beruntung jika bisa menikah dengannya,” katanya di dalam hati.

Sementara itu dengan suara perlahan Song Ceng Soe menghaturkan terima kasih kepada pengemis yang mau membela dirinya.

Cie hoat Tiangloo adalah seorang yang sangat berhati hati dan ia bertanya pula, “Song heng tee, apakah kau tahu cara bagaimana Beng beng Koencoe dipincuk si penjahat cabul?”

“Latar belakangnya kutak tahu,” jawabnya. “Aku hanya tahu, Beng beng koencoe pernah menyateroni Boe tong san dengan pemimpin sejumlah jago jago untuk menangkap Thay soehoe. Tapi begitu bertemu dengan si penjahat, ia segera mengundurkan diri, sehingga bencana itu dapat dielakkan. Selama dua puluh tahun lebih Sam soesiok Jie Thay Giam bercacat. Beng beng koencoe lalu menghadiahkan serupa obat kepada si penjahat sehingga Sam soesiok menjadi sembuh.”

Itulah kata Cie hoat Boe tong pay adalah paku di mata kerajaan Goan. Kalau Beng beng koencoe tidak terpincuk ia tentu tak akan menyerahkan obat kepada si penjahat. Dilihat begini biarpun wataknya jahat, penjahat itu telah membuang budi kepada Thay soehoemu dan para pamanmu.”

“Ah!” tiba tiba Tan Yoe Liang berseru. “Melaporkan kepada Pangcoe, bahwa sesudah mendengar pembicaraan tadi, aku sekarang mempunyai serupa tipu yang bisa menaklukan penjahat cabul itu. Dengan tipu ini, seluruh Mo kauw dari atas sampai bawah akan menuruti perintah partai kita!”

Soe hwee Liong kegirangan. “Tan Heng tee, lekas beritahukan tipumu itu!” katanya.

“Disini terlalu banyak orang,” kata Tan Yoe Liang. “Biarpun kita berada di antara saudara saudara sendiri, aku masih berkuatir, kalau kalau rahasia besar ini menjadi bocor.”

Keadaan di toa tian berubah sunyi. Beberapa saat kemudian terdengar tindakan kaki belasan orang yang keluar dari ruangan itu sehingga yang ketinggalan hanyalah beberapa tokoh terpenting dari Kay pang.

“Rahasia ini harus dijaga baik baik jangan sampai bocor,” kata Tan Yoe Liang. Song Heng tee kedua Liong tauw Toako, mari kita periksa di atas, di depan dan di belakang kelenteng untuk memastikan bahwa tak ada orang luar yang mencuri dengar pembicaraan kita.”

Ciang pang dan Ciang poen Liong tauw segera melompat ke atas genteng, sedang Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe memeriksa seluruh toa tian, di depan dan di belakang kelenteng. Diam diam Boe Kie memuji Tio Beng, sebab kecuali tambur itu, segala pelosok diperiksa dengan teliti.

Beberapa lama kemudian mereka berempat kembali ke toa tian. “Dalam tipu ini, kita harus mengandalkan bantuan Song Heng tee,” bisik Tan Yoe Liang.

“Aku?” menegas Song Ceng Soe dengan suara heran.

“Benar,” jawabnya. “Ciang poen Liong tauw Toako, kuharap kau suka membagi racun Ngo tok Swee sim san (bubuk racun yang dapat menghilangkan kesadaran manusia) kepada Song Heng tee, Song Heng tee, dengan membawa racun itu kau harus pulang ke Boe tong san dan diam2 menaruhnya di makanan Thio Cinjin dan para pendekar Boe tong. Kami akan menunggu di kaki gunung. Sesudah berhasil, kita menangkap Thio Cinjin dan semua pendekar Boe tong. Kemudian kita menggunakan penangkapan tersebut untuk menekan Thio Boe Kie, memaksa ia untuk menurut segala kemauan kita.”

“Bagus! Tipu itu benar benar bagus!” puji Soe Hwee Liong.

“Tipu ini memang sangat bagus,” menyambut Cie hoat. “Kita sukar untuk bisa meracuni Thio Boe Kie. Tapi Song Heng tee pasti berhasil. Sebagai anggota penting dari Boe tong pay, kau bisa turun tangan dengan mudah sekali.”

Song Ceng Soe jadi bingung. Dengan paras muka pucat ia berkata, “Tapi.. tapi… aku pasti tak akan bisa meracuni ayah sendiri…”

“Song heng tee tidak usah kuatir,” bujuk Tan Yoe Liang. “Ngo tok Swee sim san adalah racun luar biasa dari partai kita. Racun itu hanya dapat menghilangkan kesadaran manusia untuk sementara waktu dan sama sekali tidak membahayakan jiwa. Kami semua sangat mengindahkan Song Tay hiap. Kami pasti tidak akan mengganggu selembar rambut ayahmu.”

Tapi Song Ceng Soe tetap menolak. “Jika diketahui, masuknya aku ke dalam partai kita ini pasti akan ditegur oleh Thaysoehoe dan ayah,” katanya. “Meracuni ayah sendiri adalah perbuatan yang aku tak akan berani lakukan.”

“Saudara,” kata Tan Yoe Liang. “Jalan pikiranmu tak benar. Dalam sejarah terdapat contoh contoh, bahwa ada orang orang yang rela menghukum keluarga sendiri demi kepentingan orang banyak atau negara. Apapula tujuan kita yang sekarang adalah menumpas Mo kauw. Kita menawan para pendekar Boe tong hanya untuk menaklukkan si penjahat cabul.”

“Kalau aku melakukan perbuatan itu, aku pasti akan dicaci oleh berlaksa orang dalam dunia Kang ouw dan aku tak ada muka lagi untuk hidup di antara langit dan bumi,” kata Song Ceng Soe.

“Song Heng tee, kau tak usah begitu berkuatir,” kata Tan Yoe Liang. “Mengapa tadi aku minta supaya semua tiangloo delapan karung meninggalkan ruangan ini? Mengapa kita memeriksa di seluruh kelenteng? Aku begitu berhati hati sebab takut rahasia bocor. Song heng tee, sesudah menaruh racun, kau sendiri harus berlagak pingsan dan kaupun akan ditangkap. Kau akan dikumpulkan bersama sama Thay soehoemu, ayahmu dan paman pamanmu. Kecuali kita bertujuh orang, di dalam dunia tak ada orang lain yang mengetahuinya. Kami semua kagum dan berterima kasih terhadap kau yang sudah menunaikan tugas yang sangat berat. Siapa lagi yang akan mentertawakan kau?”

Ceng Soe mengerutkan alisnya. Sesudah berpikir beberapa lama, ia berkata dengan suara perlahan. “Perintah Pangcoe dan Tan Toako sebenar benarnya tidak boleh ditolak olehku. Apa pula sebagai anggota baru dari partai kita, siauwtee seharusnya menggunakan kesempatan ini untuk membuat pahala. Maupun harus masuk kedalam lautan api, siauw tee mesti melakukannya. Akan tetapi… akan tetapi… seorang manusia yang hidup di dunia ini berpokok kepada ‘hauw gie’ (berbakti dan mempunyai rasa persahabatan). Maka itu, biar bagaimanapun jua siauw tee tidak bisa turun tangan terhadap ayah kandung sendiri.”

Semenjak dahulu Kay pang sangat mengutamakan ‘kebaktian’. Mendengar perkataan Song Ceng Soe, para tetua tidak berani mendesak lagi. Mendadak Tan Yoe Liang tertawa dingin.

“Yang muda tidak boleh menyerang yang tua adalah salah satu larangan dalam Rimba Persilatan,” katanya. “Hal itu sudah diketahui olehku dan Song Heng tee tak usah mengajari aku. Aku hanya ingin mengajukan pertanyaan. Pernah apakah Song Heng tee dengan Boh sengkok Cit hiap? Siapakah yang lebih tinggi tingkatannya? Boh Cit hiap atau kau sendiri?”

Song Ceng Soe tidak menjawab. Ia menundukkan kepala dan sesudah berselang beberapa lama, barulah ia berkata, “Baiklah! Siauw tee akan menurut perintah! Tapi kalian harus berjanji untuk tidak mengganggu selembar rambut ayahku, untuk tidak menghina ayah dengan cara apapun jua. Apabila kalian berjanji begitu, Siauwtee lebih suka celaka daripada melakukan perbuatan yang tidak mengenal kebaktian ini.”

Soe Hwee Liong dan yang lain lain jadi sangat girang. Mereka segera mengiakan tuntutan Song Ceng Soe.

Boe Kie merasa sangat heran. “Song Toa ko tadinya menolak keras, tapi mengapa begitu lekas Tan Yoe Liang menyebutkan Boh Cit siok ia lantas menyerah?” tanyanya di dalam hati. “Di dalam hal ini tentu menyelip latar belakang yang luar biasa. Aku harus menanyakan Boh Cit siok sendiri.”

Sementara itu Cie hoat Tiang loo dan Tan Yoe Liang lalu berunding dengan bisik bisik. Mereka membicarakan tindakan tindakan menangkap tokoh tokoh Boe tong pay, sesudah mereka kena racun. Saban saban Tan Yoe Liang menyatakan pikiran Soe Hwee Liong selalu berkata, “Bagus! Bagus!”

“Sekarang musim dingin dan Ngo tok masih bersembunyi di bawah tanah,” kata Ciang poen Liong tauw. “Siauwtee harus pergi ke kaki gunung Tian pek san untuk menggalinya. Di dalam dua puluh hari atau paling lama sebulan, siauwtee akan bisa membuat Ngo tok Swee sim san” (Ngo tok lima macam binatang beracun).

“Kalau begitu Tan heng tee dan Song heng tee sebaiknya mengawani Ciang poen Liong tauw ke Tiang Pek san sedang kami sendiri turun ke selatan lebih dahulu,” kata Cie hoat Tiang loo. “Sebulan kemudian kita berkumpul di Lao ho. Hari ini Cap Jie Gwee cee peh (bulan 12 tanggal 8). Lain tahun Cia gwee Cee peh (bulan 1 tanggal 8) kita bertemu pula.” Sesudah berdiam sejenak ia berkata pula, “Han Lim Jie yang sudah menjadi tawanan kita banyak gunanya. Kuminta Ciang pang Liong tauw menjaga baik baik, supaya jangan sampai direbut oleh orang2 Mo kauw. Dalam perjalanan ini kita harus sangat berhati hati supaya tindakan kita tidak diendus musuh.”

Sesudah itu semua orang lantas saja meminta diri dari Pang coe. Ciang poen Liong tauw, Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe berangkat paling dahulu dan kemudian dengan beruntun semua pengemis meninggalkan kelenteng Bie lek hoed.

Setelah semua orang berlalu, barulah Boe Kie dan Tio Beng melompat keluar dari dalam tambur. Sambil membereskan pakaiannya, dengan sorot mata girang tercampur gusar, nona Tio mengawasi Boe Kie.

“Hm.. “ Boe Kie mengeluarkan suara di hidung. “Kau masih ada muka untuk bertemu dengan aku!…”

Paras muka si nona lantas saja berubah. “Mengapa?” ia menegas. “Kedosaan apa yang kuperbuat terhadap Toakoauw coe?”

“Manusia kejam!” bentak Boe Kie dengan muka pucat. “Aku tak mempersalahkan kau, bila kau hanya mencuri Ie thian kiam dan To Liong to. Aku tak mempersalahkan kau jika kau hanya meninggalkan aku di pulau terpencil itu! Tapi, kau tahu, bahwa In kouwnio sudah terluka berat. Mengapa kau begitu kejam, begitu tega turunkan tangan jahat kepadanya? Perempuan kejam! Dalam dunia yang lebar ini, kekejamanmu sukar dicari keduanya!” Selagi mencaci, darahnya meluap. Ia maju setindak dan kedua tangannya menggaplok. Tio Beng coba berkelit, tapi mana bisa ia menyingkir dari serangan Boe Kie yang telah kalap? Plak!… plak….plak… plak!” kedua pipinya merah bengkak kena empat gamparan.

Rasa sakit malu dan gusar bercampur aduk dalam dada si nona. Akhirnya ia menangis. “Kau kata, aku curi Ie thian Kiam dan To liong to… siapa yang lihat?” tanyanya. “Kau kata.. aku kejam terhadap In Kouwnio… panggil dia kemari untuk diadu denganku…”

Boe Kie jadi makin gusar. “Baiklah!” teriaknya. “Aku akan kirim kau ke akherat untuk diadu dengannya!” Tangannya menyambar dan mencekik leher si nona. Tio Beng memberontak dan memukul dada Boe Kie, tapi pemuda itu yang tubuhnya dilindungi Kioe yang Sin kang tidak menghiraukan semua pukulan. Selang beberapa saat kemudian, dengan muka merah si nona pingsan.

Dalam sakit hatinya, Boe Kie sebenarnya sudah ingin meembinasakan nona Tio. Tapi melihat si nona dalam keadaan pingsan, tiba tiba hatinya lemas dan ia melepaskan cekikannya, sehingga si nona lantas saja roboh dengan kepala terpukul batu lantai.

Sesudah bersilang beberapa lama, perlahan lahan Tio Beng tersadar. Ia membuka kedua matanya dan melihat paras muka Boe Kie yang mengunjuk rasa kuatir. Sesudah si nona tersadar, Boe Kie menahan nafas lega.

“Apa benar In Kouwnio sudah meninggal dunia?” tanya Tio Beng.

Darah pemuda itu bergolak lagi. “Digores pedang tujuh belas delapan belas goresan bagaimana dia bisa hidup?” jawabnya dengan suara gemetar.

“Siapa… siapa yang kata aku berbuat begitu?” tanya Tio Beng. “Apa Cioe Kouwnio?”

“Cioe kouwnio tidak pernah memfitnah orang. Dia sama sekali tidak menuduh kau.”

“Apa In Kouwnio sendiri yang kata begitu?”

“In Kouwnio tidak bisa bicara. Binatang di pulau itu hanya terdapat lima orang. Apa ini perbuatan Giehoe? Apa aku? Apa In Kouwnio yang membacok dirinya sendiri? Hmm..! Kutahu jalan pikiranmu. Kau turunkan tangan jahat sebab kau takut aku menikah dengan piauw moay. Sekarang aku bicara terus terang. Tak peduli dia mati atau hidup, aku tetap menganggapnya sebagai isteriku.”

Tio Beng menundukkan kepalanya. Lama ia berdiri terpaku. Akhirnya ia bertanya. “Bagaimana kau bisa kembali ke Tionggoan?”

Boe Kie tertawa dingin. “Kami bisa kembali berkat kemuliaan hatimu,” katanya dengan nada mengejek. “Kau mengirim angkatan laut untuk mencari kami. Untung juga Gie hoe tidak setolol aku. Karena kecerdasan Gie hoe, kami tak masuk ke dalam perangkapmu. Kami tahu, bahwa kau telah mempersiapkan kapal2 meriam untuk menenggelamkan kapal yang ditumpangi kami. Tapi lihatlah! Tipu busukmu tak berhasil.”

Sambil mengusap usap pipinya yang bengkak, si nona menatap wajah Boe Kie. Mendadak kedua matanya mengeluarkan sinar kasihan dan mencinta. Ia menghela nafas panjang.

Buru2 Boe Kie memalingkan kepala ke lain jurusan, sebab ia kuatir terjatuh di bawah pengaruh kecantikan. Ia menjejak bumi dan berkata, “Aku pernah bersumpah untuk membalas sakit hati piauwmoay. Aku mengakui kelemahanku dan hari inin aku tidak bisa turun tangan. Kau terlalu jahat! Di lain hari kau pasti akan jatuh ke dalam tanganku!” Sehabis berkata begitu, ia berjalan keluar dengan tindakan lebar.

Tapi baru saja ia berjalan belasan tombak, Tio Beng sudah memburu. “Thio Boe Kie! Mau kemana kau?” teriak si nona.

“Kau tak perlu tahu!”

“Aku mau bicara dengan Cia tayhiap dan Cioe Kouwnio. Antarkan aku kepada mereka!”

“Giehoe tak akan berlaku sungkan terhadapmu,” kata Boe Kie. “Menemui Giehoe berarti mengantarkan jiwa.”

“Giehoemu kejam, tapi ia tidak setolol kau. Di samping itu, apabila Giehoemu membunuh aku, bukankah dengan demikian sakit hati piauw moaymu jadi terbalas impas?”

“Tolol apa aku? Aku hanya tak ingin kau menemui Giehoe.”

“Thio Boe Kie, kau memang tolol. Kau tak rela mengorbankan aku. Kau tak ingin ayah angkatmu membunuh aku. Bukankah begitu?”

Muka Boe Kie berubah merah. “Jangan rewel!” bentaknya. “Sebaiknya kau menyingkir jauh jauh dari kami. Jika tidak, aku mungkin tak dapat menguasai diriku lagi dan akan mengambil jiwamu.”

Setindak demi setindak Tio Beng mendekati. “Aku mesti ajukan beberapa pertanyaan kepada Cia Tayhiap dan Cioe Kouwnio,” katanya dengan suara sungguh sungguh. “Aku tak berani bicara jelek di belakang orang. Aku akan menanyakan seterang terangnya secara berhadap hadapan.”

“Pertanyaan apa yang kau akan ajukan?”

“Kau akan segera tahu. Aku sendiri berani menempuh bahaya, mengapa kau berbalik ketakutan?”

Boe Kie kelihatannya sangat bersangsi. Lewat beberapa saat, barulah dia berkata, “Kau harus ingat, bahwa kaulah yang memaksa. Jika Gie hoe turunkan tangan jahat, tak dapat aku menolong kau.”

“Kau tak usah terlalu kuatir,” kata si nona.

Tiba tiba Boe Kie naik darahnya. “Berkuatir?” ia mengulang. “Huh.. huh!.. Menurut pantas aku harus segera mengambil jiwamu.”

“Hayolah!” si nona menantang sambil tertawa.

Boe Kie mengeluarkan suara di hidung. Tanpa meladeni lagi, ia segera menuju ke kota dengan tindakan lebar, diikuti oleh Tio Beng dari belakang. Waktu hampir tiba di kota, Boe Kie menghentikan tindakannya dan menengok ke belakang. “Tio Kouwnio,” katanya, “aku pernah berjanji untuk melakukan tiga pekerjaan untukmu. Yang pertama mencari To liong to. Janji ini sudah dipenuhkan olehku. Masih ada dua. Jika kau menemui Giehoe, jiwamu pasti melayang. Kau pergilah! Aku ingin memenuhi janjiku itu dan sesudah terpenuhi, barulah kau pergi menemui Gie hoe.”

Si nona tertawa geli. “Thio Boe Kie,” katanya dengan suara bahagia. “Kau hanya mencari cari alasan supaya Giehoemu jangan sampai membinasakan aku. Kutahu, kau tak tega mengorbankan aku.”

“Kalau aku tak tega, mau apa kau?” kata Boe Kie dengan suara aseran.

“Aku merasa sangat girang,” jawabnya.

Boe Kie menghela napas. “Tio Kouwnio,” katanya. “Aku memohon… aku memohon.. kau jangan pergi…”

Si nona menggelengkan kepalanya. “Tidak, biar bagaimanapun jua, aku mesti menemui Cia Tayhiap,” katanya dengan suara tetap.

Boe Kie mengerti, bahwa tak guna ia membujuk lagi. Dengan tindakan berat, ia segera menuju rumah penginapan. Setiba di depan kamar Cia Soen, ia mengetuk pintu. “Giehoe!” panggilnya. Sesudah memanggil beberapa kali, ia belum juga mendapat jawaban. Ia menolak pintu kamar, tapi pintu itu dikunci dari dalam.

Ia merasa sangat heran karena ia tahu sang ayah angkat sangat sigap dan andaikata tertidur, tindakan kakinya di luar kamar pasti sudah menyadarkannya. Ia pun bercuriga dan berkuatir. Kalau orang tua itu keluar, mengapa pintu terkunci dari dalam? Ia segera mengerahkan tenaga dan mendorong pintu. “Brak!” palang pintu patah dan pintu terbuka dan… Cia Soen tak berada dalam kamarnya!

Boe Kie menyapu seluruh kamar dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa jendela terbuka separuh. “Gie hoe tentu keluar dari jendela,” pikirnya.

Ia pergi ke depan kamar nona Cioe. “Cie Jiak! Cie Jiak!” panggilnya. Si nona tak memberi jawaban. Ia segera membuka pintu dengan paksa dan sekali lagi ia mendapat kenyataan, bahwa Cie Jiak juga tak berada dalam kamar tapi buntelan pakaiannya masih terletak di atas pembaringan. “Apa mereka disatroni musuh?” tanyanya dalam hati. Ia segera menanya seorang pelayan tapi pelayan itu tak lihat Cia Soen dan Cie Jiak dan juga tak mendengar suara keributan. Boe Kie jadi agak lega. “Mungkin sekali mereka mendengar suara mencurigai dan mereka lalu mengejar. Ayah angkat berkepandaian sangat tinggi dan dengan dikawani oleh Cie Jiak yang sangat berhati hati mungkin takkan terjadi sesuatu yang tak enak.” Waktu memeriksa jendela dan keadaan di bawah jendela ia tak lihat petunjuk yang mencurigakan. Dengan hati yang lebih tenang ia lalu kembali ke kamarnya.

“Melihat Cia tayhiap tak berada di dalam kamar, mengapa kau berbalik merasa senang?” tanya Tio Beng sambil tersenyum.

“Omong kosong! Lagi kapan aku merasa senang?”

“Kau rasa aku tak bisa membaca paras mukamu? Waktu menolak pintu, kau memang kaget. Tapi sesudah itu, ketegangan otot2 mukamu lantas menghilang.”

Boe Kie tak meladeni dan lalu duduk di pembaringan batu. Seraya bersenyum simpul, Tio Beng duduk di kursi. Ia melirik Boe Kie dan berkata dengan suara perlahan. “Kutahu… kutahu, bahwa di dalam hati, kau kuatir Cia tayhiap membunuh aku sehingga menghilangnya orang tua itu berbalik menyenangkan hatimu. Kutahu… kau tak tega mengorbankan aku.”

“Kalau aku tak tega, mau apa kau?” bentak Boe Kie dengan mendongkol.

Si nona tertawa, “Aku merasa sangat girang,” jawabnya.

“Tapi mengapa berulang kali kau coba mencelakai aku?” tanya Boe Kie. “Apa di dalam hati kau membenci aku, kau rela mengorbankan aku?”

Paras Tio Beng lantas saja bersemu dadu. “Benar,” katanya, “memang benar dulu aku berusaha untuk mengambil jiwamu. Tapi sesudah pertemuan di Lek Lioe chung, apabila dalam hati aku mempunyai niatan sedikit saja untuk mencelakai kau, biarlah aku dikutuk Tuhan Yang Maha Esa, biarlah aku binasa secara mengenaskan, biarlah aku tak bisa menitis lagi dalam dunia yang fana ini.”

Mendengar sumpah yang sangat berat itu, Boe Kie terkejut. “Tapi mengapa hanya karena sebatang golok dan sebatang pedang, kau sudah begitu tega terhadapku dan meninggalkan aku di pulau kecil itu?” tanyanya pula.

“Kalau kau tetap berpendapat begitu, aku pun tak akan bisa membantah,” kata si nona. “Tunggu saja sampai Cia tayhiap dan Cioe kouwnio datang.”

“Dengan lidahmu, kau hanya bisa menipu aku seorang. Kau pasti tak akan dapat mengelabui Giehoe dan Cioe kouwnio.”

“Mengapa kau rela ditipu aku? Karena kau mencintai aku, bukan?”

“Kalau ya, mau apa kau?” bentak Boe Kie.

“Aku sangat girang,” jawabnya sambil tertawa manis.

Melihat tertawa yang menggoncangkan hati, buru buru Boe Kie memalingkan kepala ke lain jurusan.

“Hampir setengah hari aku bersembunyi di pohon itu,” kata Tio Beng. “Sekarang kulapar.” Tanpa menunggu jawaban, ia memanggil pelayan, menyerahkan sepotong emas dan memerintahkan supaya disediakan semeja makanan kelas satu.

Melihat uang yang berjumlah besar itu, si pelayan berlaku hormat luar biasa dan tak lama kemudian makanan dan minuman mulai diantar masuk.

“Sebaiknya tunggu sampai Giehoe datang dan kita boleh makan bersama sama,” kata Boe Kie.

“Begitu Cia tayhiap datang, jiwaku akan melayang,” kata si nona. “Paling benar makan dulu. Lebih baik jadi setan perut kenyang daripada setan kelaparan.” Biarpun ia berkata begitu, sikapnya dan suaranya sangat tenang, sedikitpun tidak mengunjuk rasa kuatir. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula, “Aku masih mempunyai emas. Sebentar kita boleh pesan makanan lagi.”

“Tapi aku tak berani makan bersama sama kau,” kata Boe Kie dengan suara dingin. “Kutakkan menaruh tahu Sip hiang joan kin san.”

Paras muka Tio Beng lantas saja berubah. Ia sangat mendongkol. “Terserah,” katanya. Sehabis ia berkata begitu, ia segera makan seorang diri. Sebab ia sendiri memang sudah lapar, Boe Kie lalu meminta beberapa potong kue phia dan memakannya dengan duduk di pembaringan batu.

Sesudah makan beberapa suap, si nona mendadak merasa sedih dan air matanya turun di kedua pipinya. Tiba tiba ia melemparkan sumpit dan lalu mendekam di meja sambil menangis segak seguk.

Lama juga ia menangis. Sesudah kedukaannya disalurkan, ia mengawasi keluar jendela. “Satu jam lagi siang akan berganti dengan malam,” katanya seorang diri. “Kemana Han Lim Jie akan dibawa? Kalau jejaknya tak dapat dicari, dia sukar ditolong lagi.”

Boe Kie terkejut. Ia melompat bangun dan berkata, “Benar. Aku harus menolong Han heng tee terlebih dahulu.”

“Cis! Tak tahu malu!” bentak Tio Beng. “Aku bukan bicara dengan kau.”

Melihat lagak si nona Boe Kie merasa geli tercampur dongkol. Cepat cepat ia menghabiskan kuenya dan lalu berjalan keluar dengan tindakan lebar.

“Aku ikut!” teriak Tio Beng.

“Tak boleh!”

“Mengapa?”

“Kau membunuh piauw moayku. Mana bisa aku berjalan sama sama musuh?”

“Baik. Nah, kau pergilah!”

Boe Kie segera bertindak keluar, tapi baru beberapa langkah, ia merandek. “Perlu apa kau berdiam di sini?” tanyanya.

“Tunggu Giehoemu. Aku akan memberitahu bahwa kau pergi untuk menolong Han Lim Jie.”

“Gie hoe sangat membenci kejahatan. Ia tak akan mengampuni kau.”

Tio Beng menghela napas. “Jika aku mesti mati, aku takkan mempersalahkan siapapun jua,” katanya. “Aku mati sebab nasibku buruk.”

Boe Kie mengawasi si nona. “Sebaiknya kau menyingkir untuk sementara waktu,” katanya dengan suara membujuk. “Sesudah aku kembali, kita bisa berdamai lagi.”

“Tak ada tempat untuk aku menyingkirkan diri.”

“Sudahlah! Kau ikut aku menolong Han Lim Jie.”

Tio Beng tertawa. “Ingatlah, kaulah yang mengajak aku,” katanya. “Bukan aku yang memohon mohon.”

“Hm… kau merupakan binatang iblis bagi diriku. Rupa rupanya memang sudah nasibku semenjak bertemu dengan kau, aku selalu menderita.”

Tio Beng tertawa geli. “Tunggu sebentar,” katanya sambil menepal pintu.

Beberapa lama kemudian, setelah pintu terbuka lagi, si nona ternyata sudah menukar pakaian, pakaian wanita yang sangat indah. Boe Kie tak pernah menduga, bahwa di dalam buntelan yang selalu dibawa bawa terisi seperangkat pakaian yang mahal harganya. “Perempuan ini banyak akalnya dan sepak terjangnya selain diluar dugaan orang,” katanya di dalam hati.

“Mengapa kau terus mengawasi aku?” tanya Tio Beng. “Apa pakaianku bagus?”

“Muka seperti bunga tho dan lie, hati bagaikan ular dan kalajengking,” jawabnya.

Tio Beng tertawa terbahak bahak. “Terima kasih banyak kepada Thio Toakauwcoe yang sudah menghadiahkan kata kata seindah itu,” katanya. “Thio kauwcoe, kaupun harus menukar pakaian.”

“Sedari kecil aku sudah biasa memakai pakaian compang camping,” kata Boe Kie dengan hati mendulu. “Apabila kau merasa malu melihat pakaianku, kau boleh tak usah mengikutku.”

“Kau jangan menduga yang tidak tidak,” kata Tio Beng sambil tersenyum. “Aku hanya ingin melihat romanmu sesudah kau mengenakan pakaian yang baik. Boe Kie koko, kau tunggulah di sini sebentar. Kawanan pengemis itu pasti mengambil jalanan ke Kwan Lwee. Kita tentu dapat mengejar mereka.” Sehabis berkata begitu tanpa menunggu jawaban, ia segera berlalu.

Boe Kie duduk bengong di pembaringan batu. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, ia heran mengapa ia seperti tauwhoe yang bisa dipermainkan oleh perempuan itu. “Terang terang dialah yang membinasakan piauw moay tapi aku masih bisa beromong omong dan tertawa tawa dengan dia,” pikirnya. “Boe Kie… ah Boe Kie… Lelaki apa kau? Apa kau ada muka untuk menjadi kauwcoe dari Beng kauw, untuk memimpin segenap orang gagah di kolong langit?”

Lama juga ia menunggu, tapi Tio Beng belum juga balik. Cuaca sudah mulai gelap.

“Perlu apa kutunggu dia?” pikirnya. Ia mau lantas berangkat, tapi ia segera membayangkan kemungkinan bertemunya Tio Beng dengan ayah angkatnya. Kalau mereka bertemu muka, nona Tio pasti akan binasa. Mengingat begitu dia mengurungkan niatnya dan menunggu terus. Ia mendongkol bukan main, duduk salah berdiripun salah. Akhirnya terdengar tindakan kaki dan si nona masuk dengan tangan menyangga dua bungkusan.

“Mengapa begitu lama?” tanya Boe Kie. “Sudahlah! Aku tak usah menukar pakaian. Mari kita berangkat.”

Si nona tertawa. “Sesudah kau menunggu begitu lama, beberapa detik lagi untuk menyalin pakaian tak jadi soal,” katanya. “Aku sudah membeli dua ekor kuda dan kita bisa mengubar di waktu malam.” Ia mengeluarkan kedua bungkusan itu dan mengeluarkan seperangkat pakaian, sepatu dan kaos kaki. “Di tempat kecil tak ada barang baik,” katanya pula. “Setibanya di kota raja, aku akan beli baju kulit rase.”

Boe Kie kaget dan lalu berkata dengan suara sungguh sungguh, “Tio Kouwnio, apabila kau menganggap bahwa aku kemaruk akan segala kemewahan dan bersedia untuk menekuk lutut kepada kerajaan, hilangkanlah anggapan itu. Thio Boe Kie adalah anak cucu bangsa Han. Andaikata diangkat menjadi raja muda, iapun tak akan menakluk kepada bangsa Mongol.”

Tio Beng menghela napas. “Thio Kauwcoe, kau lihatlah!” katanya. “Lihatlah, apa ini pakaian seorang Mongol atau pakaian orang Han?” Seraya berkata begitu, ia lalu membuka baju dan celana yang baru dibelinya. Boe Kie manggut2kan kepalanya, sebab pakaian itu adalah pakaian Han. Sesudah itu, sambil memutar tubuh, si nona berkata pula, “Nah kau lihatlah lagi! Apa pakaian ini pakaian puteri Mongol atau pakaian seorang puteri Han?”

Hati Boe Kie berdebar2. Tadi ia tak berkata. Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa nona Tio memang mengenakan pakaian wanita Han. Ia menatap wajah si nona yang balas mengawasinya dengan sorot mata penuh kecintaan. Mendadak ia tersadar, ia sadar akan maksud puteri Mongol itu. “Kau… kau…” katanya dengan suara parau.

“Sebab kutahu kau mencintai aku, aku sekarang tidak memperdulikan apapun jua. Aku bersedia untuk membuat pengorbanan yang paling besar,” katanya dengan suara perlahan. “Bagiku, orang Mongol atau orang Han tak jadi soal lagi. Kalau kau orang Han, aku orang Han. Kalau kau orang Mongol, akupun orang Mongol. Apa yang dipikiri olehmu adalah soal negara, soal ketentraman, soal kekuasaan, pengaruh dan nama. Tapi Boe Kie koko, bagiku yang paling penting adalah kau seorang – pribadimu sendiri. Entah kau manusia baik, entah kau pengemis… bagiku… sama saja!”

Mendengar kata2 itu, bukan main rasa terharunya Boe Kie. Untuk beberapa saat ia berdiri terpaku tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya ia berkata, “Apakah kau mencelakai piauwmoay lantaran jelus? Lantaran kuatir aku akan menikah dengan dia?”

“Thio Toakauwcoe!” bentak Tio Beng dengan suara keras. “Bukan aku yang mencelakai In Kouwnio. Kau percaya, baik – tidak ya sudah! Hanya ini keteranganku!”

Boe Kie menghela napas. “Tio Kouwnio,” katanya, “manusia bukan kayu atau batu. Kutahu kecintaanmu terhadapku. Tapi apakah sampai hari ini dan di tempat ini, kau masih juga ingin mendustai aku?”

“Dahulu, kuanggap diriku pintar. Tapi sekarang kutahu, bahwa di dalam dunia ada hal hal yang berada di luar taksiran manusia,” kata si nona secara menyimpang. “Boe Kie koko, biarlah kita jangan berangkat hari ini. Kau tunggu Cia tayhiap di kamar ini dan aku sendiri akan menunggu Cioe Kouwnio di kamarnya.”

“Mengapa begitu?” tanya Boe Kie heran.

“Kau tak usah tanya,” jawabnya. “Kau tidak usah kuatir akan keselamatan Han Lim Jie. Aku tanggung dia akan dapat ditolong.” Seraya berkata begitu, ia berjalan keluar dan pergi ke kamar Cie Jiak.

Boe Kie bingung. Ia tak dapat meraba maksud nona itu. Sambil bersandar di pembaringan batu, ia mengasah otak. Mendadak di dalam otaknya berkelebat serupa ingatan. “Apa tak bisa jadi, ia telah mengatur siasat untuk mencelakai Cie Jiak karena ia tahu aku sudah bertunangan dengan nona Cioe?” pikirnya di dalam hati. “Apa tak bisa jadi, ia menyuruh Hian beng Jie loo datang disini untuk membokong Gie hoe dan Cie Jiak?” Mengingat Hian beng Jie loo, rasa kuatirnya menghebat. Kedua kakek itu berkepandaian sangat tinggi. Biarpun matanya bisa melihat, ayah angkatnya belum tentu dapat menandingi salah seorang dari mereka. Ia melompat bangun dan berlari lari ke kamar Tio Beng. “Tio Kouwnio, kemana perginya Hian beng Jie loo?” tanyanya.

“Mungkin mereka menyusul ke selatan, sebab rupa rupanya mereka anggap aku masuk ke daerah Kwan lwee sesudah aku meloloskan diri,” jawabnya.

“Apa benar?”

“Kalau tak percaya, perlu apa kau tanya?”

Boe Kie tertegun. Ia berdiri di depan kamar tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun jua.

“Kalau aku mengatakan, bahwa aku sudah menyuruh Hian beng Jie loo datang kesini untuk membinasakan Cia tayhiap dan Cioe Kouwniomu yang tercinta, apa kau percaya?” tanya si nona.

Perkataan itu kena jitu di hati Boe Kie. Sekali menendang, pintu terpental. Dengan paras muka merah padam, ia berkata. “Kau…. Kau…..”

Melihat paras yang menakuti, si nona baru ketakutan. Ia merasa menyesal, bahwa ia sudah mengeluarkan kata-kata itu. “Jangan marah!” katanya terburu-buru. “Aku hanya guyon-guyon.”

Dengan sorot mata bagaikan pisau, Boe Kie menatap wajah si nona. “Tio Kouw Nio, bicaralah terang-terangan….. “ katanya dengan suara menyeramkan. “Kau tidak takut datang di sini… kau tidak takut bertemu dan dipadu dengan Gie Hoe. Apakah itu berarti, bahwa kau sudah tahu mereka berdua sudah mati, sudah tak ada lagi didalam dunia ini?” seraya berkata begitu, ia maju beberapa tindak, sehingga dengan sekali menghantam, ia akan bisa mengambil jiwa nona Tio.

Tio Beng balas mengawasi mata pemuda itu. “Thio Boe Kie,” katanya dengan suara sungguh-sungguh. “Aku bicara terus terang kepadamu. Dalam hal-hal di dunia ini, kecuali kau lihat dengan mata sendiri, kau tidak boleh lantas percaya. Lebih-lebih kau tidak boleh memikirkan yang bukan-bukan dan menarik kesimpulan sendiri. Jika kau mau membunuh aku, sekarangpun kau boleh turun tangan. Tapi kalau sebentar Gie Hoe-mu datang, bagaimana perasaanmu?”

Kegusaran Boe Kie lantas saja mereda, bahkan ia merasa malu sendiri. “Apabila Gie Hoe tidak kurang suatu apa, aku tentu saja merasa sangat girang.” Katanya dengan suara perlahan. “Kau tidak boleh guyon-guyon dalam soal keselamatan ayah angkatku.”

Tio Beng mengangguk. “memang, memang tak pantas aku mengeluarkan kata-kata itu.” Katanya. “Kuharap kau suka memaafkan.”

Mendengar permintaan maaf itu, hati Boe Kie lantas saja lemas. Ia tersenyum dan berkata, “Untuk kekasaranku, akupun memohon maaf.” Sehabis berkata begitu, ia segera balik ke kamar Cia Soen.

Semalam suntuk mereka menunggu, tapi kedua orang yang ditunggu tak juga kembali. Sesudah sarapan pagi ia segera berdamai dengan Tio Beng. “Heran sekali,” kata si nona sambil mengerutkan alis. “Kecuali Kay Pang, di tempat ini tak terdapat lain orang Kang Ouw. Sebaiknya kita mengejar rombongan Soe Hwee Liong dan coba menyelidiki.”

Boe Kie menyetujui usul itu. Sesudah membayar uang sewa kamar, ia memesan pengurus rumah penginapan supaya Cia Soen dan Cie Jiak jika mereka kembali menunggu saja di penginapan itu. Tak lama kemudian, seorang pelayan menuntun dua ekor kuda yang garang dan tinggi besar badannya. Boe Kie merasa kagum dan memberi pujian kepada kuda Kwan Gwa yang tersohor itu. Mereka lantas saja melompat ke punggung tunggangan itu yang segera dikabur ke jurusan selatan. Mereka merupakan pasangan setimpal yang lelaki tampan yang perempuan cantik, dan kedua-duanya mengenakan pakaian indah. Yang tak tahu pasti akan menduga bahwa mereka adalah suami isteri bangsawan yang sedang pesiar di daerah itu.

Hari itu mereka melalui dua ratus li lebih, malamnya mereka menginap di sebuah penginapan pada keesokan pagi. Mereka meneruskan perjalanan kira-kira tengah hari, angin dingin mulai meniup dengan santernya sehingga awan hitam beterbangan di angkasa. Sesudah mulai lagi, dua puluh li lebih salju mulai turun. Selama dalam perjalanan Boe Kie jarang berbicara dengan Tio Beng. Kini, meskipun turunnya salju jadi makin besar, ia terus membedal kuda tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Di waktu magrib, tebalnya salju sudah hampir sekali. Biarpun gagah, kedua tunggangan itu lelah, apapula mereka harus berjalan di jalanan gunung yang licin dan tebal saljunya. Boe Kie menahan les dan mengawasi seputarnya. Mereka berada di gunung yang tak ada manusianya. “Tio Kouw Nio, bagaimana baiknya?” Boe Kie bertanya, “kalau kita meneruskan perjalanan, kedua binatang ini mungkin roboh.”

Si nona tertawa dingin. “Kau hanya memikiri kuda, tidak memperdulikan manusia.” Jawabnya.

Ditegur begitu, Boe Kie merasa menyesal tercampur malu. “Aku sendiri mempunyai Kioe Yang Sin Kang, sehingga tidak mengenal letih,” pikirnya. “Benar-benar aku tak ingat dia.”

Sesudah berjalan lagi beberapa jauh, dari pinggir jalan tiba-tiba melompat keluar seekor kijang yang terus kabur ke atas. “Tio Kouw Nio, kau tunggu di sini.” Kata Boe Kie.

“Aku mau tangkap kijang itu untuk menangsal perut.” Ia melompat turun dan terus mengejar dengan mengikuti tapak-tapak di salju. Sesudah membelok di sebuah tanjakan lapat-lapat ia lihat binatang itu lari ke arah sebuah gua. Dengan sekali mengempos semangat, tubuh Boe Kie melesat bagaikan anak panah dan sebelum kijang itu masuk ke gua, ia sudah berhasil mencekal lehernya. Binatang itu coba memberontak, tapi tulang lehernya lantas patah dipijut Boe Kie.

Dengan menenteng bangkai kijang, Boe Kie kembali kepada Tio Beng. “Di sana ada sebuah gua yang cukup besar untuk dua orang.” Katanya. “Apa kau setuju jika kita menginap di situ?”

Nona Tio mengangguk. Tiba-tiba mukanya bersemu dadu dan ia memalingkan kepala ke lain jurusan.

Sesudah menambat kedua kuda di bawah pohon siong, Boe Kie lalu mencari cabang-cabang kayu kering dan membuat perapian di depan gua. Gua itu yang di dalamnya gelap, ternyata sangat bersih, bebas dari kotoran binatang. Boe Kie menguliti bangkai kijang, mencuci dagingnya dengan salju dan kemudian membakarnya di atas perapian. Tio Beng membuka baju luarnya yang terbuat daripada kulit binatang, menggelarnya di lantai gua dan kemudian mendudukinya sambil menikmati hawa hangat dari perapian. Tiba-tiba Boe Kie menengok dan mereka berdua saling tersenyum. Senyuman yang menghilangkan semua rasa letih dan lelah.

“Sesudah daging masak, mereka lalu makan dengan bernapsu. Selang beberapa lama, sambil bersender di dinding gua. Boe Kie berkata, “Kau tidurlah!” si nona tertawa manis, ia bersandar di dinding seberang dan lalu memejamkan kedua matanya. Dengan hidung yang saban-saban mengendus wewangian yang keluar dari badan puteri Mongol itu, Boe Kie melirik dengan rasa kagum, karena di bawah sinar api, Tio Beng lebih cantik lagi, seolah-olah sekuntum bunga Hay Thong yang baru mekar. Seraya menghela napas, iapun memejamkan mata.

Kira-kira tengah malam sayup-sayup tersadar dan segera memasang kuping. Ia tahu, bahwa yang sedang mendatangi berjumlah empat ekor kuda. “Di tengah malam buta dan di waktu turun salju mereka berjalan juga,” katanya di dalam hati. Mereka pasti sedang menghadapi urusan pentin.

“Makin lama suara itu makin dekat. Untuk sejenak mereka berhenti dan kemudian berjalan lagi. Tak bisa salah lagi kuda-kuda itu menghampiri gua, Boe Kie kaget. “Gua ini terletak di tempat yang sembunyi,” pikirnya. “Kalau bukan dituntun kijang, aku tak akan bisa mencarinya. Mengapa dan cara bagaimana orang-orang itu bisa datang kemari?” tiba-tiba ia mendusin dan berkata pula di dalam hati. “Benar! Mereka tentu lihat tapak kaki kami.”

Ketika itu Tio Beng pun sudah tersadar. “Mereka mungkin musuh,” katanya. “Biarpun kita tak takut, sebaiknya kita menyingkir.”

“Mereka datang dari selatan,” kata Boe Kie.

“Heran sekali,” kata si nona sambil meraup salju yang lalu digunakan untuk menutup api.

Sementara itu suara kaki kuda sudah berhenti dan sebagai gantinya terdengar tindakan empat orang. Dalam sekejab mereka mendekati gua. “gerakan mereka sangat cepat,” bisik Boe Kie. “Mereka berkepandaian sangat tinggi,” ia bingung sebab orang-orang itu sudah hampir tiba di depan gua. Tiba-tiba Tio Beng mencekal tangannya dan menariknya masuk ke dalam. Makin ke dalam gua itu jadi makin sempit dan baru saja masuk setombak lebih, mereka bertemu dengan sebuah tikungan.

Sekonyong-konyong terdengar suara seorang.

“Ah! Di sini ada gua.”

Boe Kie kaget tercampur girang sebab ia segera mengenali, bahwa orang yang berbicara adalah paman gurunya yang keempat. Thio Siong Kee.

“Tanda-tanda yang tinggalkan Cit Tee menuju ke tempat ini,” kata seorang lain. “Mungkin sekali Cit Tee pernah masuk ke gua ini,” itulah suara Boe Tong Liok Hiap, In Lie Heng.

Baru saja Boe Kie mau memanggil, mulutnya sudah ditekap Tio Beng. “Kita berada berduaan dan kalau dilihat mereka, kita akan merasa tidak enak,” bisik si nona.

Boe Kie menyetujui peringatan itu. Meskipun ia putih bersih, tapi jika ia dan Tio Beng ditemukan berduaan dalam sebuah gua, para paman itu tentu sukar percaya kebersihannya. Apapula, sebagai koencoe dari kerajaan goan, nona Tio pernah memperanjakan para pendekar Boe Tong di Ban Hoat Sie, sehingga kalau mereka bertemu muka, pertemuan itu merupakan pertemuan antara musuh dan musuh. Ia segera mengambil keputusan, bahwa begitu lekas para pamannya berlalu, akan segera ia berpisahan dengan Tio Beng, supaya ia tak usah mengalami hal-hal yang tidak enak.

“Ih!” Demikian terdengar seruan Jie Lian Cioe. “Di sini ada cabang-cabang siong yang terbakar…. Hmmm.. kulit… darah dan sisa daging kijang.”

“Hatiku sangat tak enak.” Kata orang keempat. “Kuharap saja Cit Tee tak kurang suatu apa.” Orang itu bukan lain daripada Song Wan Kiauw.

Jantung Boe Kie memukul keras. Empat paman gurunya turun gunung bersama-sama untuk mencari Boh Seng Kok. Dari pembicaraan mereka, dapat ditarik kesimpulan, bahwa paman guru yang paling kecil itu telah bertemu dengan musuh yang kuat. Ia turut merasa kuatir.

“Toa Soeko tak usah begitu kuatir,” kata Thio Siong Kee sambil tertawa. “Karena sangat mencintai Cit Tee, Toa Soeko masih menganggap dia sebagai anak kecil Boh Seng Kok dahulu. Andaikata ia bertemu dengan musuh tangguh, kurasa Cit Tee masih bisa menghadapinya.”

Aku bukan kuatir Cit Tee,” kata In Lie Heng. “Yang kupikiri si bocah Boe Kie yang sekarang tak ketahuan ke mana perginya. Dia sekarang menjadi kc dari Beng Kauw. Pohon yang tinggi mengandung angin. Dalam kedudukannya itu tentu ada banyak musuh yang ingin mencelakainya. Walaupun ilmu silatnya tinggi, pikirnya terlalu sederhana dan ia tak tahu hebatnya gelombang Kang Ouw. Kuatir ia kena ditipu orang jahat.”

Boe Kie merasa sangat terharu. Budi kebaikan para pamannya besar bagaikan gunung dan ia tak tahu bagaimana harus membalasnya. Mendadak Tio Beng berbisik, “aku orang jahat dan sekarang kau sudah ditipu orang jahat. Apa kau tahu?”

“Dalam usaha mencari Boe Kie dengan mengambil jalan utara, Cit Tee nampaknya telah mendapat endusan,” kata Song Wan Kiauw. “tapi apa artinya itu delapan perkataan yang ditinggalkannya di rumah penginapan Wie Kek di Tian Cin?”

“Ya….. “ kata Thio Siong Kee. “Cit Tee mengatakan, dalam rumah tangga ada perubahan, kita harus membersihkannya. Siapa yang dimaksudkan dengan kata-kata itu? Apakah dalam Boe Tong Pay terdapat manusia keji? Apa Boe Kie…. “ ia tak meneruskan perkataannya. Tapi nada suaranya mengunjuk rasa kuatir.

“Kurasa anak Boe Kie tak nanti melakukan sesuatu yang merusak nama rumah perguruan kita.” Kata In Lie Heng.

“Tapi si perempuan siluman Tio Beng terlampau lihai,” kata pula Thio Siong Kee. “Kau jangan lupa, anak Boe Kie masih muda, seorang muda gampang sekali dipengaruhi dengan kecantikan. Apakah… apakah… ia bertindak seperti ayahnya yang akhirnya binasa secara mengenaskan?.... “ Keadaan berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah hela napas.

Beberapa saat kemudian terdengar suara beradunya batu api yang membakar cabang-cabang pohon. Salah seorang pendekar Boe Tong membuat obor yang sinarnya lantas saja menerangi bagian dalam gua. Biarpun berada di tikungan, sayup-sayup Boe Kie bisa melihat paras muka Tio Beng yang mengunjuk rasa duka tercampur gusar. Ia tahu, bahwa perkataan Thio Siong Kee telah membangkitkan rasa jengkelnya si nona. Ia sendri merasa bingung dan berkata di dalam hati. “Perkataan Thio Sie Siok memang beralasan. Ibu belum pernah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Tapi toh, dia menyeret ayah sampai binasa, Tio Kouw Nio telah membunuh pmy, menghina Thay Soehoe dan para paman, ia tak bisa dibandingkan dengan ibu.” Memikir begitu, ia makin bingung. Kalau mereka menemukan aku bersama Tio Kouw Nio di gua ini, biarpun aku mencuci dengan semua air sungai Hoang Ho, tak dapat aku membersihkan diri.”

Tiba-tiba terdengar suara Song Wan Kiauw yang bergemetar. “Sie-tee, di dalam hatiku terdapat sebuah pertanyaan yang tak bisa keluar dari mulutku. Kalau aku mengatakan terang-terangan aku merasa tak adil terhadap ngo-tee yang sudah meninggal dunia.”

“apakah Toako kuatir Boe Kie turunkan tangan jahat terhadap Cit Tee?” tanya Thio Siong Kee dengan suara perlaha.

Song Wan Kiauw tak menyahut. Meskipun tak melihat, Boe Kie merasa bahwa paman itu telah manggutkan kepala.

“Anak Boe Kie berwatak mulia dan jujur.” Kata Thio Siong Kee. “Menurut pantas, ia takkan melakukan perbuatan keji itu, tapi Cit Tee sangat berangasan dan ceroboh. Kalau ia mendesak Boe Kie sampai di jalan buntu ditambah dengan siasat si perempuan siluman Tio Beng memang…. Memang… Hai!... Hati manusia tak dapat dijajaki. Semenjak dulu orang gagah sukar melawan paras cantik. Aku hanya berdoa agar dalam menghadapi detik-detik penting, Boe Kie bisa mempertahankan diri.”

“Toako, Sieko! Kalian jangan omong yang tidak-tidak!” kata In Lie Heng. “Belum tentu Cit Tee mengalami kebencanaan.”

“Tapi sendiri melihat pedang Cit Tee, aku tak enak tidur,” kata Song Wan Kiauw.

“Memang benar,” menyambung Jie Lian Cioe. “Orang-orang rimba persilatan sekali-sekali tak boleh lalai terhadap senjatanya. Kita tak boleh menaruh senjata secara sembarangan saja. Apapula pedang itu hadiah Soehoe. Kata orang pedang ada, orangnya hidup, pedang hilang, orangnya…. “ mendadak ia berhenti bicara dan perkataan “mati” yang sudah hampir keluar, ditelan lagi olehnya.

Mendadak kecurigaan keempat paman guru itu terhadap dirinya, Boe Kie jadi makin bingung dan berduka. Sekonyong-konyong dari dalam gua keluar semacam bau wangi yang tercampur dengan bau anaknya binatang, seperti jua gua itu pernah atau memang sedang dialami binatang. Karena kuatir wewangian itu diendusi para pamannya, sembil menahan napas dan mencekal sebelah tangan Tio Beng, Boe Kie masuk lebih jauh ke dalam gua. Supaya tak tersandung batu-batu yang menonjol, sambil berjalan Boe Kie meraba-raba lantai gua dengan tangan kirinya. Sesudah beberapa tindak dan baru saja membelok di sebuah tikungan lain, tangannya mendadak menyentuh sebuah benda lembek seperti tubuh manusia.

Boe Kie terkesiap, “tak perduli orang ini sahabat atau musuh sedikitpun dia tak bersuara para paman tentu akan mendengarnya,” katanya dalam hati. Bagaikan kilat ia menotok lima “hiat” di dada orang itu dan kemudian mencekal tangannya dan hatinya mencelos, sebab tangan itu seperti es tangan orang mati! Dengan bantuan sinar remang-remang yang menembus dari luar ia mengawasi muka orang itu. Tiba-tiba ia menggigil. Lapat-lapat ia seperti melihat muka Boh Seng Kok! Tanpa menghiraukan bahaya lagi, ia mendukung jenazah itu dan maju beberapa tindak ke tempat yang lebih terang. Sekarang ia mendapat kepastian, bahwa jenazah itu adalah jenazah Boh Seng Kok, yang mukanya pucaat dan matanya belum tertutup. Gusar dan duka bergolak-golak di dada pemuda itu, untuk sejenak ia berdiri terpaku.

Beberapa tindakan Boe Kie itu sudah didengar oleh keempat pendekar Boe Tong. “Siapa?” bentak Jie Lian Cioe. Dengan serentak mereka menghunus pedang.

Boe Kie mengeluh, “Jika ditemukan, aku pasti tidak bisa mengelakkan tuduhan membunuh paman,” pikirnya.

Pada detik itu di dalam otaknya berkelebat-kelebat berbagai ingatan. Dadanya menyesak dengan kedukaan yang sangat hebat karena ia ingat budi kecintaan Boh Seng Kok terhadap dirinya.

Dalam menghadapi bahaya, Tio Beng bisa berpikir cepat. Mendadak ia melompat dan menerjang sambil memutar pedang, bagaikan kilat ia mengirim empat serangan dengan pukulan-pukulan Go Bie Kiam Hoat yang terhebat. Baru saja keempat pendekar Boe Tong menangkis, ia sudah menerobos keluar dan sembil mengelakkan tikaman Thio Siong Kee, ia melompat ke punggung kuda dan menendang perut tunggangan itu dengan kakinya sehingga lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Tiba-tiba ia merasa punggungnya sakit dan matanya berkunang-kungan. Sambil mendekam dan memeluk leher kuda ia mempertahankan diri dan kabur terus. Ternyata ia sudah kena pukulan Jie Lian Cioe dan meskipun kenanya tidak telak, ia terluka berat.

Sementara itu sambil berteriak-teriak, keempat pendekar Boe Tong sudah mengejar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. “Makin jauh aku lari, makin gampang dia meloloskan diri,” kata Tio Beng di dalam hati. “Untung juga semua orang mengejar aku.”

Ketika si nona menerjang ke luar, Boe Kie mencelos hatinya. Dilain saat barulah ia mengerti, bahwa Tio Beng telah menggunakan tipuan muslihat untuk memancing harimau meninggalkan gunung untuk menolong dirinya. Buru-buru dengan mendukung jenazah Boh Seng Kok, ia lari keluar dan terus kabur ke jurusan barat sebab para pamannya mengejar ke arah timur. Sesudah melalui kurang lebih dua li, ia berhenti dan menaruh jenazah itu di belakang sebuah batu besar. Sesudah itu, ia kembali ke jalanan tadi dan memanjat sebuah pohon. Lama ia bersembunyi di situ sambil mengucurkan air mata. “Ah! Sungguh malang nasib Boe Tong Pay!” pikirnya. “siapakah yang telah membinasakan Cit Soesiok?”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar