Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 73

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 73
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 73

Ong Po-po jadi kalap. “Lepaskan anak panah! Lepaskan anak panah!” teriaknya sambil mementang busurnya sendiri dan lalu melepaskan sebatang anak panah ke punggung Boe Kie tapi karena jaraknya terlalu jauh, jatuh di tanah tanpa mengenai sasarannya.

Setelah memastikan bahwa kaki tangan kakaknya tidak akan bisa mengejar lagi barulah Tio Beng merasa lega. Sambil memeluk leher Boe Kie ia menghela nafas dan berbisik, “Untung aku berjaga-jaga untuk tidak segera memberitahukan di mana adanya Cia Tayhiap, kalau tidak, kau tentu tidak akan mau menolongku.”

“Bukankah aku sudah mengatakan bahwa sebaiknya kau pulang untuk berobat?” kata Boe Kie, “Untuk apa kau bentrok dengan kakakmu dan ikut aku menderita.”

“Aku rela menderita,” jawabnya, “Mengenai kakak, sekarang atau nanti aku pasti bentrok dengan dia. Hal terpenting bagiku adalah kuatir kau tidak mau mengajak aku. Yang lainnya hal kecil.”

Boe Kie tertegun. Ia tak pernah menduga sama sekali bahwa cinta Tio Beng terhadapnya sedemikian besar. Sudah lama ia tahu bahwa si nona menyukai dirinya. Tapi pada hakekatnya ia menganggap rasa cinta itu hanyalah rasa cinta yang tidak berdasar teguh dari seorang gadis remaja yang pikirannya mudah berubah-ubah. Baru sekarang ia menyadari bahwa cinta Tio Beng tulus dan murni. Untuk mengikuti dia, si nona rela melemparkan segala kekayaan dunia.

Berpikir begitu ia menunduk dan mengawasi muka yang pucat tapi cantik luar biasa. Pada saat itu sebagai manusia biasa ia tidak dapat menahan gejolak hatinya lagi dan dengan rasa cinta yang meluap-luap ia menempelkan bibirnya ke bibir si nona.

Muka Tio Beng segera berubah merah, kejadian itu merupakan goncangan yang terlampau berat bagi badannya yang sangat lemah dan ia pingsan.

Boe Kie yang paham ilmu ketabiban tidak menjadi bingung. Pingsannya Tio Beng hanya memperlipat rasa terima kasih dan rasa cintanya. Tiba-tiba dalam otaknya berkelabat sebuah pertanyaan, “Cinta Cie Jiak terhadapku mana bisa menandingi cinta Tio Kauwnio?”

Beberapa saat kemudian Tio Beng tersadar. Melihat Boe Kie seperti sedang memikirkan sesuatu ia bertanya, “Apa yang dipikirkan olehmu? Cioe Kauwniokah?”

Boe Kie mengangguk, “Aku merasa bersalah terhadapnya,” jawabnya.

“Kau menyesal?”

“Waktu aku mau bersembahyang dengan dia sebagai suami istri, aku ingat padamu dan aku sedih. Sekarang aku ingat dia dan aku merasa bersalah terhadap dia.”

“Tapi dalam hati kau lebih mencintai aku, bukankah begitu?”

“Bicara terus terang, terhadapmu aku cinta dan aku benci, terhadap Cie Jiak aku menghormati dan aku takut.”

Si nona tertawa geli. “Aku lebih suka terhadapku kau cinta dank au takut,” katanya, “Terhadap dia kau menghormati dan kau benci.”

Boe Kie ikut tertawa. “Tapi sekarang sudah jadi lain,” katanya tersenyum. “Terhadapmu kubenci dan kutakut. Kubenci karena kau sudah menggagalkan pernikahanku, kutakut sebab aku takut kau tidak mau membayar kerugian.”

“Bayar kerugian apa?”

“Bayar kerugian dengan dirimu sendiri, dengan menjadi istriku sebagai gantinya Cie Jiak.”

Muka Tio Beng segera berubah merah. “Tidak segampang itu,” katanya dengan sikap malu-malu, “Terlebih dulu aku harus ijin dari ayah, aku harus lebih dulu menyadarkan kakak….”

“Tapi bagaimana jika ayahmu menolak?”

Si nona menghela nafas. “Kata orang tua, menikah dengan iblis harus ikut iblis,” katanya. “Kalau sampai begitu, bagiku tiada jalan lain kecuali mengikuti si iblis kecil.”

“Perempuan siluman!” bentak Boe Kie, “Kau berkomplot dengan penjahat cabul dan pemberontak Thio Boe Kie! Hukuman apa yang harus dijatuhkan atas dirimu?”

“Di dunia ini, kamu berdua dihukum menjadi suami istri yang hidup beruntung sampai berambut putih. Di akhirat kamu berdua harus masuk ke delapan belas lapis neraka dan tidak bisa menitis lagi sebagai manusia!”

Bicara sampai disitu, mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

Mendadak di sebelah depan terdengar teriakan seseorang. “Koencoe Nio nio, siauw ceng sudah lama menunggu di sini!” Teriakan itu nyaring dan tajam, suatu tanda bahwa orang itu memiliki Lweekang yang sangat kuat.

Boe Kie terkejut dan segera menghentikannya. Dilain saat, dari sebuah tikungan muncul tiga orang hoan ceng (pendeta asing), yang satu mengenakan jubah warna merah, yang lain memakai jubah kuning, yang ketiga bertubuh kate kecil mengenakan jubah warna kuning emas. Si jubah merah merangkap kedua tangannya dan berkata sambil membungkuk, “Atas titah Ong-ya, siauw ceng menunggu di sini untuk menyambut Koencoe Nio nio pulang ke Ong hoe.”

Tio Beng tak kenal ketiga pendeta itu. “Siapa kalian?” tanyanya, “Aku belum pernah mengenal kalian.”

“Siauw ceng Mohan Fa,” jawabnya. Ia menunjuk si kate kecil dan berkata pula, “Yang itu Soepeh Kioe Coen cia sedang yang ini kakak seperguruan siauw ceng, Mohan Singh. Kami bertiga datang dari Thian tiok (India) dan bekerja di Ong hoe. Waktu kami datang Koencoe sudah berkelana maka tak heran jika Koencoe tak mengenal kami.” Setelah berkata begitu, ia membungkuk diikuti oleh kedua kawannya.

“Lweekang orang itu tidak lemah,” piker Boe Kie selagi Mohan Fa bicara. “Paman dan kakak seperguruannya tentu lebih hebat lagi. Seorang diri aku belum tentu bisa melawan mereka bertiga.”

“Perlu apa kalian mencegat aku di sini?” tanya Tio Beng.

Mereka tidak menyahut hanya Mohan Singh mengangkat tinggi-tinggi seekor merpati putih yang dipegangnya. Tio Beng tahu bahwa itulah merpati pos yang membawa warta dari kakak kepada ayahnya. Ia menduga bahwa ayahnya yang berkepandaian tinggi sudah turun tangan sendiri. Ia melirik Boe Kie dan melihat paras yang muram, “Apa ketiga pendeta itu sukar dimundurkan?” bisiknya.

Boe Kie mengangguk.

Sesudah berpikir sejenak, Tio Beng segera mengambil keputusan. “Aku akan beritahukan kau di mana Cia Tayhiap berada,” bisiknya pula, “Apa yang akan terjadi di kemudian hari, apa kau akan menyia-nyiakan aku atau tidak aku serahkan kepadamu.” Ia tahu bahwa Boe Kie sendiri dengan mudah akan bisa meloloskan diri dari kepungan, ia tak mau demi kepentingan pribadi, jiwa Cia Soen sampai terancam.

Tapi sekarang, Boe Kie sendiri sungkan berpisah lagi dengan Tio Beng. Ia menolak untuk kabur sendirian. “Kau jangan kuatir, kita harus menerjang keluar bersama-sama,” katanya.

Mereka dicegat di jalan gunung yang sangat sempit. Di sebelah kiri terdapat jurang yang dalam dan disebelah kanan berdiri lereng gunung yang menjulang ke atas bagaikan tembok, jalan satu-satunya ialah menerjang dengan kekerasan.

“Koencoe terluka berat dan Ong-ya sangat kuatir,” kata Mohan Fa, “Maka itu beliau telah memerintahkan siauw ceng untuk mengantar Koencoe pulang ke Ong hoe secepat mungkin.” Walaupun orang asing, ia bisa bicara Tionghoa secara lancar, kedua kawannya tak mengeluarkan sepatah kata. Kioe Coen cia menundukkan kepala sambil memejamkan mata seperti orang bersemedi sedang Mohan Singh berdiri tegak dengan membusungkan dada.

“Di mana Thia-thiaku?” tanya Tio Beng.

“Ong-ya menunggu di kaki gunung,” jawabnya, “Beliau ingin sekali bertemu dengan Koencoe.”

Tio Beng tertawa. “Bahasa Tionghoamu sangat baik,” katanya, “Baiklah! Thio Kongcoe mari kita berangkat!” Dengan berlagak menurut ia sudah mencari cara untuk segera kabur begitu mereka berada di tempat yang lebih terbuka.

Tapi diluar dugaan, Mohan Fa mengambil sekarung kain dari punggungnya dan dengan sekali dikibaskan karung itu berubah menjadi kain panjang yang kedua ujungnya dipegang olehnya dan Mohan Singh. “Koencoe, naiklah ke joli ini,” katanya sambil membungkuk.

“Aku tak suka duduk di joli,” kata Tio Beng sambil tertawa, “Aku lebih senang didukung olehnya.”

Boe Kie mengerti bahwa ia tak boleh lengah, hampir bersamaan ia maju dengan langkah lebar.

Sesudah membaca surat yang dibawa merpati pos, ketiga pendeta itu tahu bahwa Boe Kie berkepandaian tinggi. Mohan Singh segera memapakinya dengan benturan sikut. Boe Kie melompat tinggi melewati kepala Kioe Coen cia. Mendadak ia merasa sambaran angin yang sangat dingin ke arah kakinya. Bagaikan kilat ia membaba dengan tangan kiri untuk menyambut pukulan itu, mendadak angin dingin itu berubah menjadi sangat panas. Ternyata dalam sekejap si pendeta sudah dapat mengubah tenaga pukulannya dari dingin menjadi panas. Itulah Ciang hoat yang sangat hebat dari Thian tiok dan yang sangat berbeda dengan pukulan di wilayah Tiong goan. Tapi Kioe yang Sin kang yang dimiliki oleh Boe Kie adalah gubahan Tat mo Couwsoe yang berasal dari Thian tiok, begitu mendengar bahwa ketiga pendeta itu datang dari Thian tiok, ia segera berhati-hati. Dalam sambutannya itu ia menggunakan delapan bagian tangannya, begitu tangan kebentrok dengan meminjam tenaga lawan dan dengan menggunakan kesempatan itu Boe Kie melompat jauh dan kemudian dengan mendukung Tio Beng ia kabur secepatnya. Sesudah menjajal tenaga ia tahu bahwa Lweekangnya masih lebih tinggi setingkat dari tenaga dalam si pendeta.

Ketiga pendeta itu segera menguber sambil berteriak-teriak. Ilmu ringan badan mereka cukup tinggi tetapi mereka masih belum bisa menandingi Boe Kie yang memiliki Lweekang luar biasa. Biarpun mesti mendukung Tio Beng makin lama pemuda itu lari makin cepat dan sesudah melewati sebuah lereng ia sudah meninggalkan pengejarnya jauh sekali.

Tapi baru saja mau cari jalanan kecil untuk menyembunyikan diri, mendadak terdengar suara terompet yang berulang-ulang dan dilain saat tigapuluh lebih serdadu Mongol yang bersenjata gendewa dan anak panah sudah menghadang di depannya. Hampir bersamaan di atas tanjakan muncul pula sejumlah serdadu yang melemparkan balok-balok dan batu-batu ke bawah tanjakan itu. Tapi karena kuatir melukai Tio Beng, balok dan batu itu tidak ditujukan ke arah Boe Kie. Karena jalanan di depan sudah tercegat ia segera berlari ke tanjakan sebelah kiri, tapi baru lari beberapa tombak sudah terdengar suara gembereng dan diatas tanjakan muncul lagi pasukan Mongol lain yang bersenjata gendewa dan anak panah. Kalau seorang diri ia tentu akan menerjang, tapi dengan mendukung Tio Beng, ia tidak berani mengambil tindakan yang nekat itu. Andaikata si nona terkena anak panah atau balok batu dan terbinasa, seumur hidup ia akan menyesal.

Setelah berpikir sejenak, ia segera lari balik ke jalanan yang tadi dilaluinya tapi baru setengah li ia sudah berhadapan dengan ketiga pendeta asing. Ia menaruh Tio Beng di tanah dan membentak, “Kalau masih mau hidup, mundurlah!”

Kioe Coen cia maju selangkah dan segera memukul dada Boe Kie dengan kedua telapak tangannya dalam pukulan Pay san ciang. Dalam menghadapi jalan buntu, Boe Kie tidak dapat berbuat lain selain melawan. Dengan sepenuh tenaga ia segera menangkis dengan tangan kirinya.

Sesudah tertangkis tangannya, Kioe Coen cia terhuyung dan mundur beberapa langkah. Mohan Singh dan Mohan Fa menahan punggungnya dan mendorongnya kembali ke depan. Untuk kedua kalinya Kioe Coen cia mengirim pukulan Pay san ciang. Karena ingin menyimpan tenaga kali ini Boe Kie tidak mau melawan kekerasan dengan kekerasan. Ia menangkis dengan Kian koen Tay lo ie. Tapi ia segera terkejut karena telapak tangannya mendadak tersedot dan melekat pada telapak tangan si pendeta. Dua kali mencoba menarik kembali tangannya tapi tidak berhasil. Karena terpaksa, ia segera mengerahkan Kioe yang Sin kang dan mendorong lawannya. Tapi Kioe Coen cia tidak kena didorong, ia tetap berdiri tegak.

Dalam kagetnya Boe Kie menyadari bahwa Mohan Singh dan Mohan Fa menempelkan kedua telapak tangan mereka pada punggung Kioe Coen cia dan ketiga pendeta itu kelihatannya sedang mengerahkan seluruh tenaga dalam mereka. Ia segera tersadar, ia ingat Thio Sam Hong pernah memberitahukan kapadanya bahwa di Thian tiok terdapat sebuah ilmu mempersatukan tenaga beberapa orang untuk menghadapi tenaga yang sangat besar. Karena kuatir bala bantuan lawan keburu tiba, sambil membentak keras ia mengempos semangat dan menambah tenaganya.

Ketiga pendeta itu lantas saja memperlihatkan tanda2 tidak bisa bertahan lagi dan keringat mereka mengucur dari kepala dan muka. Sekonyong2 Mohan Fa menyemburkan darah dari mulutnya. Itulah bukti bahwa si pendeta sudah terluka berat, tapi sungguh aneh, sesudah darah disemburkan, tenaga pihak lawan berbalik bertambah satu kali lipat. Boe Kie terpaksa menambah pula tenaganya. Di lain saat Mohan Singh, yang selebar mukanya sudah berubah merak, meyemburkan darah ke leher Kioe Coen Cia seperti tadi, tenaga lawan bertambah lagi satu kali lipat. Boe Kie lantas saja mersa tenaganya mulai tertindih.

Dalam keadaan terdesatk ia segera mundur dua tindak untuk mengurangi tekanan dan sesudah itu, sambil mengambil napas dalam2 ia menyerang balik. Diserang begitu, badan Mohan Singh dan Mohan Fa bergoyang2, hampir2 mereka roboh.

Melihat kedua keponakan muridnya tak dapat bertahan lagi, buru2 Kioe Coen Cia membuka mulutnya dan menyemburkan darah kemuka Boe Kie. Pemuda itu miringkan kepala untuk mengegos semburan itu. Mendadak ia merasa dadanya seperti ditindih dengan besi yang berat nya berlaksa kati dan hawa dibagian tan tian bergolak2. Ia terkejut, Ia tanya nyana, ketiga pendeta itu memiliki ilmu yg sedemikian aneh. Tapi ia pun tahu, bahwa pihak lawan sudah hampir kehabisan tenaga. Jika ia bisa bertahan terus, kemenangan terakhir akan direbut olehnya sendiri. Ia segera memusatkan pikirannya dan mengempos seluruh Kioe yang Sin Kang yang terdapat dalam tubuhnya. Beberapa saat kemudian Mohan Fa berlulut, tapi tangannya masih tetap menempel dipunggung Kioe Coen Cia.

Baru saja Boe Kie bergiran, kupingnya mendadak mendengar suara tindakan kaki yang sangat enteng dan seorang pembokong menghantam punggungnya. Ia terkesiap dan mengibaskan tangan kanannya kebelakang untuk memunahkan serangan itu dengan Kian Koen Tay lo Ie. Tapi ia salah hitung. Tenaga Kian Koen Tay lo ie yg dimilikinya berdasarkan tenaga Kioe yang sin Kang. Pada saat itu hampir semua tenaga itu sudah dipergunakan olehnya untuk melawan ketiga pendeta itu.

Dengan demikian, tenaga untuk menangkis si pembokong hanya kira2 dua bagian dari seluruh tenaganya. Begitu tangannya kebentrok dengan tangan si pembokong, begitu cepat ia merasa menerobosnya semacam hawa yang dingin luar biasa dan badannya lantas saja bergemetaran. Dilain detik, ia roboh.

“Lok Sianseng, tahan!” teriak Tio Beng. Si penyerang gelap memang bukan lain daripada Lok Thung Kek.

Sehabis berteriak, dengan nekad si nona menubruk dan memeluk Boe Kie. “Aku mau lihat siapa yg berani bergerak lagi!” bentaknya.

Lok Thung Kek sebenarnya sudah mengangkat tangan untuk menghabiskan jiwa Boe Kie yang dipandangnya sebagai lawan terberat didalam dunia. Tapi karena pemuda itu dialingan oleh badan sang Koencoe, ia terpaksa undur kemabli dan lalu bersiul keras, sebagai isyarat bahwa Boe Kie sudah dapat dirobohkan. “Koencoe Nio nio,” katanya, “Ong ya hanya menghendaki supaya Koen coe Nio nio pulang. Beliau tak punya lain maksud. Orang ini adalah pemberontak. Mengapa Koen coe Nio nio melindungi dia?”

Tio Beng sebenarnya ingin mencaci bekas orang sebawahan itu tapi sebab kuatir dia menjadi gusar dan lalu teruntuk tangan jahat terhadap Boe Kie, maka sebisa bisa ia menahan hawa amarahnya dan lalu membangunkan Boe Kie tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Beberapa saat kemudian tiga penunggang kuda kelihatan mendatangi yang paling depat Ho Pit Ong, yang kedua Ong Po Po dan yang paling belakang Jie Lam Ong sendiri. Begitu tiba, mereka lantas melompat turun dari punggung kuda.

Jie Lam Ong mengerutkan alisnya dan berkata, “Beng beng, mengapa kau tak turut nasehat kakakmu? Bikin apa kau disini?”

Air mata si nona lantas saja mengucur, “Thia,” katanya, “anak telah di hina orang.”

Sang ayah maju beberapa tindak dan mengangsurkan tanagn untuk memegang putrinya. Tiba2 Tio Beng membalik tangannya, sinar putih berkelebat dan ia sudah menandalkan ujung sebatang pisau pada dadanya sendiri. “Thia!” teriak nya dengan suara menyayat hati. “Jika kau tidak meluluskan permintaanku hari ini anak akan mati di hadapanmu!”

Jie Lam Ong terkejut, ia mundur setindak dua, “Eeh!... Beng beng… mengapa kau begitu?” tanyanya. “Jika kau ingin minta sesuatu bicaralah baik2.”

Si nona segera membuka baju di bagian pundaknya dan memperlihatkan lukanya. Racun pada lukanya itu sudah hilang, tapi lukanya masih belum sembuh dan kelihatannya hebat sekali.

Sebagai seorang ayah yg sangat mencintai anaknya, Jie Lam Ong kaget bercampur bingung. “Mengapa… mengapa kau sampai mendapat luka begitu berat?” tanyanya dengan suara gemetar.

Sambil menuding Lok Thung Kek, Tio Beng menjawab dengan suara terputus putus, “Manusia itu sangan jahat.. anak melawan.. dan … dia menyengkeram anak. Mohon… Thia thia suka mengadilinya…”

Semangat si tua terbang. Untuk sejenak ia mengawasi si nona dengan mulut ternganga dan kemudian berkata dengan gemetar. “Tak.. tak mungkin… siauwjin berani berbuat begitu!”

Jie Lam Ong mendelik dan mengeluarkan suara di hidung. “Binatang!” bentaknya. “Dalam urusan Han Kie, aku sudah menaruh belas kasihan dan tak mau menyelidiki lebih jauh. Sekarang… huh, huh!... kau berani coba2 melanggar puteri ku. Tangkap!”

Ketika itu para boesoe sudah menyusul sampai disini. Mendengar perintah sang majikan. Biarpun tahu si kakek berkepandaian sangat tinggi, empat orang lantas saja menerjang. Kaget dan gusar mengaduk dalam dada Lok Thung Kek. Ia tahu bahwa si nona mau balas sakit hati sebab ia coba membinasakan Boe Kie. Ia pun tahu bahwa ia takkan dapat melawan sang putri yg pintar dan banyak akalnya. Maka itu, sesudah memukul mundur keempat boesoe itu dengan tangan ia menghela napas dan berkata “Soeiee, mari kita pergi!”

Ho Pit Ong kelihatan bersangsi.

“Ho sianseng!” seru Tio Beng. “Kau orang baik, tak seperti suhengmu. Lekas tangkap kan! Ayahku akan menaikkan pangkatmu dan memberi hadiah besar.”

Hian beng Jie Loo adalah ahli silat jarang tandingan pada jaman itu. Hanyalah karena kemaruk akan pangkat dan kemewahan, mereka rela mengabdi pada Jie Lam Ong. Ho Pit Ong tahu, bahwa kakak seperguruannya memang suak paras cantik dan tuduhan sang Koencoe Nio Hio mungkin sekali bukan tuduhan kosong. Disamping itu, hatinya jg bergoncang sebab mendengar janji pangkat dan hadiah besar. Tapi di lain pihak, hubungan dengan Lok thung Kek menyerupai hubungan antara saudara kandung dan ia merasa tak teag untuk mengkhianati suhengnya itu. Maka itulah ia sangsi, sangat bersangsi.

Melihat begitu paras muka Lok Thung Kek lantas saja berubah pucat pasti. “Sute,” katanya, “Kalau kau ingin naik pangkat tangkaplah aku!”

Ho Pit Ong menghela napas, “Suko!” katanya. “Mari kita pergi!” sehabis berkata begitu ia lalu melompat mendekati kakak seperguruan nya dan dengan berendeng pundak Hian Beng Jie Loo meninggalkan majikan mereka.

“Beng beng,” kata Jie Lam Ong sesudah kedua kakek itu berlalu, “Sesudah terluka kau harus pulang dahulu untuk berobat.”

“Waktu anak mau diperkosa, Tio Kongcoe itulah yang sudah menolong,” kata Tio Beng sambil mengunjuk Boe Kie. “Koko yg tak tahu, latar belakangnya berbalik menuduh dia sebagai pemberontak Thia ada satu peekraan besar yg harus dilakukan oleh anak dan Tio Kongcoe. Sesudah selesai kami berdua akan segera menemui Thia Thia.”

Mendengar keterangan itu, Jie Lam Omg tahu bahwa putrinya mencintai Boe Kie. Tapi menurut laporan puteranya, pemuda itu Kauwcoe dari Beng Kauw kepala pemberontak yg coba merobohkan Gaon Tiauw. Kunjungannya ke Tiongkok Selatan adalah untuk menghadapi kawanan pemberontak Beng Kauw didaerah Hway see, Ho Lamg dan Ouwpak. Maka itu cara bagaimana ia bisa mempermisikan putrinya mengikuti si kepala pemberontak? “Kakak Kauwcoe dari Beng Kauw,” katanya. “Apa benar?”

“Koko paling pandai mengarang cerita,” jawabnya. “Thia coba taksir2 usianya. Apa mungkin orang yang seperti dia menjadi pemimpin pemberontak Beng Kauw.”

Jie Lam Ong mengawasi Boe Kie. Ia menaksir paling banter pemuda itu berusia 22 tahun. Sesudah terluka muka boe kie pucat, sehingga yang tak tahu lebih baik pasti tidak akan menduga bahwa dia adalah pemimpin dari ratusan ribu tentara rakyat. Tapi raja muda itu tahu, bahwa putrinya sangat berakal budi. Biarpun bukan seorang kauwcoe, mungkin sekali pemuda itu salah seorang tokoh penting didalam Bengkauw pikirnya. Memikir begitu ia lantas saja membentak, “Bawa dia kekota dan selidiki asal usulnya. Asala saja dia bukan anggota Mo Kauw aku akan “memberi hadiah,” dengan begitu, ia coba menolong putrinya supaya si nona tak usah mendapat malu terhadap orang2 sebawahannya.

Empat boecoe segera mendekati Boe Kie.

Tio Beng menangis, “Thia thia apa benar mau mau memaksakan kebinasaanku?” tanyanya. Ia menekan pisaunya yg lantas saja menancap setengah dim, di daging sehingga darah lantas saja mengucur dan menodai bajunya.

Jie Lam Ong terkesiap, “Beng beng! Tak boleh kau berbuat begitu…” teriaknya.

“Thia thia anakmu tidak berbakti…” kata pula si nona. “Diam diam anak sudah menikah dengan Tio Kongcoe dan sekarang anak sudah mengandung! Kalau Thia mau membinasakand ia, binasakanlah anak terlebih dahulu…”

Pengakuan itu bagaikan halilitar ditengah hari bolong. Bukan saja Jie Lam Ong dan Ong Popo, bahkan Boe Kie sendiri kaget tak kepalang. Pemuda itu tak pernah mimpi, bahwa untuk melindungi dirinya si nona rela mengarang cerita itu, kedustaan yg menodai kesuciannya sendiri sebagai seorang gadis bangsawan dan terhormat.

Berulang ulang Jie Lam Ong membanting2. “Apa benar?.... Apa benar?....” tanyanya berulang2.

“Hal itu adalah hal yg sangat memalukan,” jawabnya. “Kalau bukan karena terpaksa anak pasti tidak akan membusukkan nama sendiri dihadapan orang banyak. Anak tahu, kejadian ini juga akan menyeret nama baik ayah dan saudara. Thia thia, jangalanh kau berduka! Hitung2 Thia thia kehilangan seorang anak. Lepaskanlah supaya anak bisa bawa diri sendiri!”

Dengan tagnan rada bergemetaran raja muda itu mengurut2 jenggotnya, sedang kepala dan mukanya basah dengan keringat. Dia adalah seorang jendral besar yang biasa mengambil keputusan2 penting dalam waktu yg sependek2nya. Tapi sekarang ia bingung. Ia tak tahu apa yg harus diperbuatnya.

“Moaycoe,” kata Ong Popo, “Kau dan Tio Kongcoe terluka berat, maka sebaiknya pulang bersama sama Thia thia untuk berobat. Sesduah kau berdua sembuh, Thia thia lantas bisa menikahkan kamu secara pantas. Thia thia dapat menatu, aku sendiri mendapa moay-hoe. Bukankah lebih baik begitu?”

Tio Beng tahu, bahwa bujukan sang kakak hanya merupakan tipu untuk mengulur waktu. Ia tahu, bahwa begitu lekas jatuh ke dalam tangan mereka, Boe Kie tak usah harap hidup lebih lama lagi. Tanpa menghiraukan kakaknya, ia lantas saja berkata, “Thia thia, ibarat beras sekarang adalah menjadi bubur. Kata orang, kawin dengan ayam, mengikut ayam, kawin dengan anjing, mengikuti anjing. Mati atau hidup anak mengikut Tio Kongcoe. Segala siasat tidak akan bisa memperdayai aku. Bagi Thia thia hanya terbuka 2 jalan. Apabila kau suka mengampuni anak, anak akan hidup terus. Tapi jika kau ingin anak mati, anak anak segera mati dihadapanmu.”

“Beng beng!” bentak sang ayah dengan gusar. “Kau harus pikir masak2. Jika kau mengikuti pemberontakan itu, mulai dari sekarang kau bukan anakku lagi.”

Dalam sedetik itu, si nona memikiri bulak balik ratusan kali. Ia merasa sangat berat untuk meninggalkan ayah dan kakak. Mengingat kecintaan sang ayah, hatinya seperti tersayat pisau. Tapi ia mengerti, bahwa sedikit saja ia bersangsi, jiwa Boe Kie takkan bisa ditolong lagi. Ia segera mengambil keputusan untuk lebih dahulu menolong kecintaannya dan dihari kemudian, barulah berusaha untuk meminta pengampunan sang ayah dan kakak. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara perlahan. “Thia thia.. koko… segala apa memang salah Beng beng. Ampunilah aku…”

Melihat keputusan putrinya tak bisa diubah lagi, bukan main rasa dukanya Jie Lam Ong. Ia merasa sangat menyesal, bahwa ia telah memperlihatkan rasa cintanya secara berlebih2an terhadap anak itu dan membiarkannya berkelana di dunia Kangouw, sehingga terjadi kejadian yang menyakiti hatinya itu. Mereka mengenal putri itu sebagai manusia keras kepala. Kalau dipaksa, bukan tak bisa jadi dia benar2 akan membunuh diri. Tanpa merasa jenderal tua itu menghela napas dan air matanya mengucur, “Beng beng...” katanya dengan suara parau, “Kau harus bsia menjaga diri. Thia thia mau pergi… berhati-hatilah!...”

Si nona mengangguk. Ia tidak berani mengangkat muka untuk melihat wajah ayahnya.

Jie Lam Ong memutar tubuh lalu turun gunung dengan tindakan perlahan. Ia seperti tidak melihat kudanya yg dituntun oleh seorang pengawal. Ia terus berjalan kaki. Tapi baru berjalan belasan tombah, tiba2 ia menengok dan berseru, “Beng beng, apa lukamu tak berbahaya? Apa kau bawa uang?”

Dengan air mata berlinang2, si nona menganggutkan kepalanya.

Alis Jie Lam Ong berkerut. Tiba2 dia berpaling kepada pengawalnya dan berkata, “Serahkan dua ekor kuda kepada Koen Coe!”

Beberapa pegawal lantas saja menuntun dua ekor kuda pilihan dan menyerahkan nya kepada Tio Beng.

Sesudah menghadiahkan kedua ekor kuda kepada putrinya, dengan diiring oelh para pengawal, Jie Lam Ong terus turun gunung. Enam orang boesoe memapak ketiga pendeta Thian tiok yg tidak bisa jalan karena kehabisan tenaga. Tak lama kemudian di jalanan itu hanya ketinggalan Boe Kie dan Tio Beng berdua.

Boe Kie lantas bersila dan mengerahkan sinkang untuk mengeluarkan hawa dingin akibat pukulan Lok Thung Kek, dari dalam tubuhnya. Dia menderita luka berat, sebab pada Long Thung Kek mengirim pukulan, ia sedang menggunakan seanterot tenaganya untuk menghadapi ketiga pendeta Thian tiok. Sesudah ia mengerahkan Kioe Yang Cin Khie tiga putaran dan dua kali memuntahkan darah, barulah dadanya yg menyesak jadi lebih lega. Ia membuka mata dan melihat paras muka Tio Beng yg diliputi rasa kuatir, “Tio Kouwnio, kau sangat menderita,” katanya dengan suara lemah lembut.

“Apa sampai sekarang kau masih merasa perlu untuk memanggil aku dengan istilah Tio Kouwnio?” tanya si nona. “Aku sudah bukan orang Kerajaan lagi, aku sudah bukan seorang Koencoe… Apa… apa kau menganggap aku sebagai wanita siluman?”

Perlahan2 Boe Kie bangun berdiri.

“Aku ingin ajukan satu pertanyaan,” katanya dengan suara sungguh2. “Kau harus menjawab sejujur2nya. Siapakah yg melukai piauw moay ku, In Lee? Apa kau?”

“Bukan!” jawabnya.

“Kalau bukan kau siapa?”

“Aku tidak bisa memberitahukan. Begitu lekas aku bertemu dengan Cia Tayhiap, orang tua itu bisa segera memberi keterangan jlease kepadamu.”

“Giehoeku? Apa benar Giehoe tahu siapa yg turunkan tangan jahat?”

“Kau baru saja terluka dan kau tidak boleh banyak berpikir. Aku hanya ingin mengatakan begini. Apabila dihari kemudian, sesudah menyelidiki sejelas2nya, kau mendapat bukti bahwa Thio Kouwnio dicelakai olehku, maka tanpa kau turun tangan, aku sendiri akan membunuh diri dihadapamu.”

Mendengar perkataan yg diucapkan sangat bernapsu dan tegas jelas, Boe kie tidak bisa percaya. Sesudah memikir sejenak ia berkata. Hm… kalau tak salah piauwmoay dicelakai oleh salah seorang dari kapal Persia. Mungkin sekali seorang yg berkepandaian tinggi dari kapal itu diam diam menyateroni pulau itu membikin kami semua jadi mabuk, turunkan tangan jahat terhadap piauw moay dan kemudian mencuri Ie Thian Kiam dan To Liong To. Dilihat begini, sesudah menolong Gie Hoe, kita harus pergi ke Persia. Hai!... Siauw Ciauw!...

Tio Beng tertawa geli, “Ku tahu segala akalmu,” katanya. “Kau ingin bertemu dengan Siauw Ciauw dan kau sengaja membuat dugaan yg tidak2. Aku menasehati, lebih baik kau jangan memikir yg bukan. Paling penting kau mengobati lukamu, supaya kita bisa pergi ke Siauw Lim Sie secepat mungkin.”

Boe Kie heran, “Perlu apa ke Siauw Lim Sie?” tanyanya.

“Menolong Cia Tayhiap?” jawabnya.

Boe Kie jadi lebih heran lagi, “Giehoe berada di Siauw Lim Sie?” ia menegas.

“Bagaimana Giehoe berada disitu?”

“Hal ini banyak seluk beluknya,” sahut si nona. “Akupun masih belum tahu seterang2nya. Tapi bahwa Cia Tayhiap sekarang berada di Siauw Lim Sie adalah kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Diantara orang2 sebawahanku terdapat seorang serdadu yang mencukur rambut dan menjadi pendeta di Siauw Lim Sie. Dialah yang beritahukan aku tentang Cia Tayhiap.”

“Ha!... sungguh lihai!...” seru Boe Kie. Entah apa yg dimaksudkan olehnya dengan perkataan lihai itu. Mungkin lihai itu berarti hebatnya bahaya yg dihadapi Cia Soen. Sesudah berkata begitu ia menundukkan kepala dan tak bicara lagi. Mendadak tubuhnya bergoyang ‘uah’. Ia muntah darah.

Tio Beng jadi bingung “Aku sungguh menyesal!” katanya. “Kalau kutahu lukamu begitu hebat, kalau kutahu kau jadi begitu jengkel aku pasti takkan bicara.”

Boe Kie duduk menyandar dibatu gunung dan berusaha untuk menjernihkan pikirannya. Tapi sebab pikirannya lagi kalut ia gagal dalam usahanya. “Kong kian Sengceng dai Siauw Lim Sie dibinasakan oleh Gie Hoe,” katanya. “Selama dua puluh tahun lebih orang2 Siauw Lim Sie coba mencari Gie hoe untuk membalas sakit hati. Kalau sekarang Gie hoe jatuh ketangan mereka, jiwalnya pasti akan melayang.”

“Kau tak usah bingung,” bujuk si nona. “Ada sesuatu yang menolong jiwa Cia Tayhiap.”

“Apa itu?”

“To Liong To.”

Boe Kie mendengar. Ia mengakui kebenaran perkataan Tio Beng. Selama beberapa ratus tahun Siauw Lim pay menjadi pemimpin dalam rimba persilatan. Partai itu sangat ingin memiliki To Liong To yg dikenal sebagai “Boe lim Cie coen” (yang termulia dirimba persilatan).

Untuk mendapatkan golok mustika itu mereka pasti takkan gampang2 membunuh ayah angkatnya. Tapi biar bagaimana pun juga, orang tua itu tentu takkan terlolos dari macam2 penderitaan dan haluan.

“Menurut pendapatku, usaha menolong Cia Tayhiap sebaiknya dilakukan oleh kita berdua saja,” kata Tio Beng. “Biarpun dalam Beng Kauw terdapat banyak orang gagah, tapi kalau kita menyerang secara besar2an, kedua belah pihak pasti akan mendapat kerusakan besar. Apabila Siauw Lim Sie merasa tak tahan menghadapi serang Beng Kauw, mungkin sekali mereka akan turunkan tangan jahat terhadap Cia Tayhiap, sebelum kita keburu menolong.”

Boe Kie manggut2kan kepala. Ia menyetujui perkataan si nona dan ia merasa sangat berterima kasih, “Beng moay, kau benar”, katanya. (Beng moay = adik Beng).

Sungguh sedap perkataan “Beng moay” itu, yang digunakan Boe Kie untuk pertama kali! Tapi dilain detik Tio Beng ingat orangtuannya, sanak familinya. Ia ingat bahwa mulai sekarang ia tak bisa pulang lagi kepada orantuanya dan mengingat begitu, ia berduka. Boe Kie apa yang dipikir gadis itu, tapi ia tak tahu bagaimana harus menghiburnya. Akhirnya ia berbangkit dan berkata. “Hayo kita berangkat.”

Melihat paras muka Boe Kie yang pucat pasi. Si nona merasa sangat kuatir. “Thia thia yang sangat mencintai aku tidak akan mengambil tindakan,” katanya. “Yang aku kuatir adalah koko. Dia mungkin akan mengirim orang untuk menangkap kita.

Boe Kie mengangguk. Ia pun merasa bahwa Ong Popo yang sangat lihat tak akan gampang2 mau melepaskan mereka berdua. Mereka terluka berat dan perjalanan ke Siauw Lim Sie kelihatannya penuh dengan duri.

“Boe Kie koko,” kata si nona. “Sekarang kita menyingkir dulu dari tempat ini. Sesudah tiba di kaki gunung barulah kita berdami lagi.”

Sekali lagi Boe Kie mengangguk. Dengan tindakan limbung mendekati kuda. Selagi mau melompat naik, tiba2 badannya sakit dan tenaganya tak cukup untuk naik kepunggung kuda. Sambil mengigit gigi, Tio Beng mendorong dia keatas dengan tangan kiri. Tapi sesudah Boe Kie berada diatas kura, lukanya di dada akibat tusukan pisau kembali mengeluarkan darah. Dengan banyak susah barulah ia bisa turut naik dan duduk dibelakang Boe Kie. Kalau tadi ia dipapah Boe Kie, sekarang ia yang harus memapah Boe Kie. Sesudah mengaso beberapa saat, tunggangan itu baru dijalankan, sedang yang seekor lagi mengikuti dari belakang.

Perlahan2 mereka turun gunung. Tio Beng sudah menduga pasti, bahwa sebegitu lama masih berada dihadapan ayahandanya, kakaknya tentu tidak akan berani bertindak. Tapi kalau sudah menyingkir dari mata orang tua itu, Ong Popo bisa mengambil segala rupa tindakan. Maka itu, mereka segera membelok ke timur dan kemudian mengambil sebuah jalanan kecil. Sesudah berjalan beberapa lama, mereka merasa agak lega. Andaikata Ong Popo mengirim orang untuk mengejar, tak mudah orang itu bisa menemukan mereka.

Selagi enak jalan, sekonyong2 terdengar suara kaki kuda dan dua penunggang kuda mendatangi dari belakang dengan cepatnya. Muka Tio Beng lantas saja berubah pucat. Sambil memeluk pinggang Boe Kie, berkata, “Kakakku bertindak cepat sekali. Kita ternyata tidak bisa terlolos dari tangannya. Boe Kie biarlah aku pulang dulu. Aku akan berikhtiar untuk memohon kepada ayah supaya kita bisa berkumpul kembali. Boe Kie koko, aku akan bersumpah tidak akan mengkhianati kau!” Sesaat itu kedua pengejar sudah datang dekat sekali. Tio Beng menarik les supaya tunggangan miring ke sisi jalanan dan mencabut pisaunya. Ia sudah mengambil keputusan pasti, bahwa jika kakaknya mau jiwa Boe Kie, ia akan mati bersama2 kecintaannya itu.

Tapi sesudah elwat, kedua pengejar itu tidak lantas berhenti dan ternyata mereka hanyalah dua serdadu biasa. Baru saja Tio Beng bergirang, kedua serdadu Mongol itu mendadak menahan kuda tunggangan mereka dan sesudah berdamai sejenak mereka lalu membelokkan kuda dan menghampiri.

“Hai! Darimana kamu curi kuda2 itu?” bentak salah seorang yang berewokan.

Mendengar bentakan itu Tio Beng tahu, bahwa mereka jadi mata merah karena melihat kuda yang dihadiahkan oleh ayahnya. Kuda2 itu adalah tunggangan pilihan dengan seta tertata emas sanggurdi yg terbuat daripada per k. Orang2 Mongol sangat mencinai kuda, sehingga oleh karenanya tidaklah heran kalau kedua serdadu itu bergoncang hatinya. Diam2 si nona mengambil keputusan bahwa kalu terpaksa ia akan menyerahkan kuda2 itu. “Jangan kurang ajar!” bentaknya dalam bahasa Mongol, “Dalam pasukan siapa kamu berdua?”

Serdadu itu terkejut. “Siapa Siocia?” dia balas menanya. Melihat pakaian Boe Kie dan Tio Beng yang sangat indah dan mendengar bahasa Mongol yg diucapkan dengan lancar dia tidak berani berlaku sembrono.

“Aku adalah putri Waeri Puche Ciangkoen,” jawab Tio Beng. “Ini kakakku. Ditengah jalan aku bertemu dengan orang jahat dan kami terluka.”

Kedua serdadu itu saling melirik dan kemudian mereka tertawa terbahak2. “Bagus!” teriak si berewok. “Paling benar aku antar kamu berdua ke akherat!” Seraya berkata begitu, dia menghunus golok menyentik les dan menerjang.

Tio Beng terkesiap. “Ee!” teriaknya. “Aku akan beritahukan ayah dan engkat akan dibeset oleh empat kuda.”

Si botak menyeringai dan mengeluarkan suara di hidung. “Puche tak becus melawan pemberontak Beng kauw dan melampiaskan amarahnya terhadap aku,” katanya. “Kemarin aku membenrontak dan mencincang ayahmu. Sungguh kebetulan kami bertemu dengan kamu berdua.” Seraya berkata begitu ia membacok. Tio Beng mengendut les dan kudanya melompat sehingga golok membacok angin. Selagi siberewok mau mengubar kawannya yg berusia lebih muda berkata, “Jangan bunuh nona manis itu! Paling benar kita mengambil dia untuk menghibur hati.”

“Bagus!” kata si berewok.

Pada detik itu, Tio Beng yg sangat pintar sudah menghitung tindakan yg harus diambilnya. Ia melompat turun dari punggung kuda dan lari ke sisi jalanan.

Kedua serdadu itu lantas saja mengubar.

“Aduh!” teriak si nona yang lantas roboh ditanah.

Si berewok menubruk. Begitu di tubruk, dengan sikutnya Tio Beng menggentus dada si penyerang, yang tanpa bersuara lagi, lantas terguling. Gentasan itu kena tepat pada jalan darah. Kawannya gusar dan lantas menyerang, tapi iapun mendapat nasib seperti si berewok. Sesudah merobohkan kedua serdadu itu, dengan napas tersengal sengal Tio Beng turunkan Boe Kie dari punggung kuda. “Binatang! Kamu mau mati atau hidup?” bentaknya.

Kedua serdadu itu yang tidak mengharap hidup lagi, melihat jalan hidup. “Ampun nona!” kata si berewok. “Aku tidak ikut menyerang Waerl Puche Ciangkoen.”

“Baiklah,” kata si nona. “Kamu menurut perintah, aku akan mengampuni jiwa anjingmu!”

“Turut! Turut!” jawab mereka, tergesa gesa.

Sambil menuding kedua kudanya sendiri si nona berkata, “Dengan menunggang kuda2 itu, kamu harus pergi ke jurusan timur. Dalam sehari dan semalam, paling sedikit kamu harus melalui tiga ratus li. Lebih cepat lebih baik.”

Kedua serdadu itu saling mengawasi. Mimpi pun ereka tak pernah mimpi, bahwa mereka akna mendapat perintah itu. Beberapa saat kemudia barulah si berewok berkata, “Kauw nio, siauwjin tidak… tidak berani…”

“Jangan rewel!” memutus Tio Beng. “Lekas nunggang kuda2 itu! Kalau ditanya orang, katakan saja, bahwa kamu membelinya di pasar. Kamu tidak boleh beritahukan hal yg sebenarnya. Mengerti?”

Kedua serdadu itu masih bersangsi. Tapi karena didesak Tio Beng berulang2, sambil menahan sakit dan dengan terpincang2, mereka lalu menghampiri kedua tunggangan itu. Tangan mereka masih belum bisa bergerak. Untung juga setiap orang Mongol pada jaman itu mahir dalam ilmu menunggang kuda, sehingga, biarpun tidak menggunakan tangan, ia bisa juga naik kepunggung binatang itu dan kemudian menjalankannya. Mereka menduga Tio Beng seorang otak miring dan merasa kuatir, kalau si nona berubah pikiran secara mendadak. Maka itu, sesudah berjalan belasan tombak, mereka menjepit perut kuda erat2, sehingga kedua binatang itu lantas saja kabur.

Boe Kie menghela napas, “Beng moay, kau sungguh pintah,” ia memuji. “Jika kuda2 itu dilihat oleh orang2nya kakakmu, mereka tentu menaksir, bahwa kita lari kejurusan timur. Beng moay, kemana kini kita menuju?”

“Ke Barat Daya,” jawabnya.

Mereka lantas saja menunggung kuda yg ditinggalkan oleh serdadu Mongol dan dengan perlahan menuju ke barat daya.

Jalan kecil yg diambil mereka berliku2 dan penuh dengan pohon2 berduri. Sesudah berjalan kurang lebih satu jam dan melalulu kira2 duapuluh lie, matahari mulai menyelam ke barat. Selagi mencari2 tempat untuk beristirahat, tiba2 mereka melihat mengepulnya asal disebelah depan. “Didepan ada rumah orang untuk kita bermalam,” kata Boe Kie dengan girang.

Mereka segera menuju keasap itu. Tak lama kemudia mereka lihat tembok kuning yg mengitari sebuah kelenteng.

Sesudah menurunkan Boe Kie, Tio Beng menghadapkan kuda itu ke arah Barat dan kemudian mencambuknya dengan sebatang ranting duri. Kedua binatang itu berdenger dan kabur sekeras2nya. Demikianlah, sekali lagi si nona mengatur siasat untuk memperdayai pengejar2 yang mungkin dikirim oleh kakaknya. Dengan hilangnya tunggangan, perjalanan makin sukar dilakukan. Tapi nona Tio tidak mau memikir panjang2. ia mendahulukan apa yg dianggapnya paling penting. Untuk menyelamatkan diri ia haru lebih dahulu menenggelamkan perahu.”

Dengan saling memapah, mereka mendekati pintu. Diatas pintu itu terdapat sebuah papan dengan huruf2 yang berbunyi, “Tiong gak Sin oio.” (Kelenteng Malaikat Tiong gak)

Tio Beng segera mengetuk2 pintu. Sesudah menunggu lama belum juga ada jawaban, si nona mengetuk lagi. Selang beberapa saat, dari dalam terdengar bentakan, “Siapa? Manusia atau setan?” dalam suara itu terdapat lweekang sehingga sudah dapat dipastikan, bahwa yg bicara adalah seorang Rimba Persilatan. Boe Kie kaget dan menarik si nona.

Tiba2 terdengar suara “kreeeyot” dan daun pintu itu yg rupanya jarang dibuka lantas saja terpentang. Diambang pintu berdiri seorang tapi karena waktu itu cuaca mulai gelap dan dia berdiri membelakangi sinar tenar terang, maka Boe Kie dan Tio Beng tidak bisa melihat mukanya. Tapi dia seorang pendeta, sebab kepalanya gundul dan mengenakan pakaian hwee-shio.

“Kami berdua kakak beradik,” kata Boe Kie. “Ditengah jalan kamu bertemu dengan perampok dan mendapat luka. Kami mohon bermalam disini dan kamu percaya Taysoe suka menaruh belas kasihan.”

Pendeta itu mengeluarkan suara dihidung.

“Huh… tidak!” sahutnya. “Disini bukan pengindapan.” Sehabis berkata begitu, tangannya bergerak untuk menutup pintu.

“Taysoe, tahan dulu!” kata Tio Beng. “Kata orang, siapa yg membantu orang, membantu diri sendiri. Dengan menolong kamu, mungkin Taysoe mendapat juga kebaikannya.”

“Kebaikan apa?” tanyanya dengan aseran.

Si nona segera membuka anting2nya yg tertata mutiara dan meyerahkannya kepada pendeta itu.

Melihat mutiara yang bersinar terang, untuk sejenak si pendeta mengawasi kedua tamunya dengan mata tajam. Akhirnya ia berkata, “Baiklah! Ya … membantu orang, membantu diri sendiri.”

Dengan memapah Boe Kie, Tio Beng segera bertindak masuk. Si pendeta membawa merea melewati ruang sembahyang dan sebuah perkarangan dan akhirnya berhenti disebuah kamar samping yang terletak dibagian timur.

“Kalian boleh tidur disini,” katanya.

Kamar ini gelap gulita. Dengan meraba2 ranjang, Tio Beng hanya mendapat selembar kasur rumput.

Mendadak terdengar suara sangat nyaring. “Hek Soetee, siapa?”

“Dua tamu yg numpang mengindap,” jawabnya si pendeta yang lantas saja bertindak untuk berlalu.

“Taysoe,” kata Tio Beng, “Bolehkan kami minta dua mangkok nasi dan sedikit makanannya?”

“Tidak ada nasi!” bentaknya, dan terus berlalu.

Si nona mendongkol bukan main. “Kurang ajar!” katanya, “Boe Kie koko, kau tentu lapar. Kita harus berusaha untuk mendapat makanan.”

Diluar kamar sekonyong2 terdengar suara tindakan yang ramai. Sinar api berkelebat dan pintu didorong orang. Dua orang pendeta mengangkat Ciaktay (tempat menancap lilin) tinggi2. dengan sekelebatan Boe Kie sudah tahu, bahwa yang datang berjumlah delapan orang ada yg alisnya tebal matanya melotot. Ada yang otot2 mukanya menonjol keluar. Semua beroman bengis dan kelihatannya semua bukan orang baik2.

“Keluarkan semua harta bendamu!” bentak seorang pendeta tua.

“Perlu apa?” tanya Tio Beng.

“Karena berjodoh kalian datang disini dan secara kebetulan kami ingin mengadakan sembahyang besar serta memperbaiki kelenteng kami yang sudah tua,” kata si pendeta. “Maka itu kami minta kalian suka mengeluarkan emas, perak dan lain2 barang berharga dan menyumbangkannya kepada kami. Apabila kalian berlaku pelit dan pousat sampai jadi gusar kalian berabe sekali.”

“Ah! Itulah perbuatan perampok!” kata si nona dengan gusar.

“Maaf! Maaf!” kata si pendeta sambil menyeringai. “Urusan perampok membunuh dan membakar memang perkerjaan kami. Karena didesak Mo Kauw, kami terpaksa mencukur rambut untuk mengelakan bencana. Kalian berdua berjodoh dengan kami. Kambing gemuk datang sendiri! Ha! Ha! Sungguh kejadian yg sukar terjadi lagi!”

Boe Kie dan Tio Beng terkesiap. Celaka sungguh! Mereka masuk disarang perampok.

“Lie siecoe jangan takut,” kata seorang pendeta lain sambil tertawa terhehe hehe.

“Kami berdelapan kebetulan tak punya nyonya. Kau begitu cantik! Sungguh kebetulan! He he he he…”

Tio Beng merogoh saku dan mengeluarkan delapan potong emas serta serenceng mutiara yg lalu ditaruh diatas meja. “Inilah semua milikku,” katanya. “Kami berdua adalah orang2 Rimba Persilatan juga. Kami harap dengan memandang persahabatan, kalian tak menganggu kami lagi.”

“Bagus!” kata si pendeta tua. “Apakah aku bisa tahu nama partai kalian?”

“Kami murid Siauw Lim Pay,” jawabnya. Siauw Lim Pay adalah sebuat partai besar dan dengan menyebutkan partai ebsar itu Tio Beng mengharap urusan akan jadi beres.

Tapi diluar dugaan si tua lantas saja tertawa terbahak2. “Murid Siauw Lim Pay?” Ia menegas denga suara menyeramkan. “Sungguh kebetulan! Kami tidak bisa melawan hweeshio2 Siauw Lim Pay dan sekarang mendapat kesempatan untuk melampiaskan ganjelan kamu terhadap kamu.” Seraya berkata begitu, ia mengangsurkan tangannya untuk menarik Tio Beng. Si nona mundur, sehingga tangan itu menjambret angin.

Boe Kie mengerti, bahwa baya sudah sangat mengancam. Ia dan Tio Beng terluka berat dan tidak bisa melawan. Selama beberapa tahun ia merobohkan banyak jago Rimba Persilatan yg kenamaan. Apa sekarang ia mesti binasa didalam tangan kawanan penjahat kecil? Tidak! Biar bagaimana pun juga, ia mesti melawan. “Beng Moay,” bisiknya “Kau sembunyi dibelakang ku. Aku masih bisa bereskan mereka.”

Nona Tio sangat pintar. Tapi sekarang ia mati akal. “Siapa sebenarnya kamu semua?”

“Kami adalah murid2 yang diusir dari Siauw Lim Sie,” jawab si perampok tua.

“Kalau bertemu dengan anggota lain partai, kami masih bisa menaruh belas kasihan. Tapi terhadap orang Siauw Lim sie… huh.. huh!... semuanya mesti dibunuh.”

“Bagus!” bentak Boe Kie. “Kamu pasti murid2 pendeta jahat Goan Tin. Bukan begitu?”

Si perampok tua (Red: aslinya di bilang si nona) mengeluarkan seruan kage. “Heran! Bagaimana kau tahu?” tanyanya.

“Kami justru mau ke Siauw lim sie.” Tio Beng mendahului. “Kami ingin menemui Tan Yoe Liang toako untuk mengangkat Gian Tin Taysoe menjadi Hong thio.” (Hong Thio kepala sebuah kelenteng).

“Bagus!” seru si tua. “Sang Budha memang sangat murah hati.”

“Ya.” Menyambung si nona, “kita semua harus bersatu padu untuk mencapai tujuanyg besar.”

Semua penjahat itu tiba2 tertawa terbahak2.

Kedelapan penjahat itu memang benar konco2 nya Tan Yoe Liang. Tan Yoe Liang lah yg membawa mereka ke Gian tin. Mereka berasal dari Rimba Hijau (kalangan perampok) dan memiliki ilmu yg cukup tinggi. Sesudah mendapat petunjuk2 Goan tin kepandaian mereka bertambah tinggi. Selama beberapa tahun memang Goan tin berusaha keras untuk merebut kedudukan hong thio dan mencari murid dari berbagai tempat. Untung juga Siauw lim sie mempunyai peraturan yang keras dan setiap murid baru selalu diselidiki asal usulnya, sehingga Goan tin tiada berhasil dalam usaha mengumpulkan orang2nya didalam kuil itu. Belakangan Tan Yoe Liang mengatur lain siasat. Ia mencari orang2 gagah dan penjahat2 dalam dunia Kang ouw dan mereka mengangkat Goan tin sebagai guru diluar Siauw Lim sie. Mereka disiapkan sekitar Siauw Lim Sie dan menunggu saat yg baik untuk turun tangan.

Goan tin adalah ahli silat kelas utama pada jaman itu. Mendengar nama Siauw Lim sie yang cemerlang dan melihat kepandaian pendeta itu banyak orang Kang ouw lari dari partainya sendiri dan rela menjadi muridnya, untuk menjadi murid Goan tin. Perkataan “Sang Budha memang sangat murah hati” sebenarnya kata2 rahasia dari persekutuan Goan tin dan harus dijawab dengan “Kembang mekar menemui Sang Budha.” Tio Beng sangat pintar. Ia bisa lantas menebak, bahwa Goan Tin ingin merebut kedudukan hong thio, tapi ia tidak tahu, bahwa perkataan yg diucapkan oleh si tua adalah kata2 rahasia.

“Hoe toako,” kata seorang yg katai gemuk, “Bocah perempuan itu mengatakan guru kita mau diangkat sebagai Hong thio. Darimana ia dengar warta itu? Hal ini hal besar. Kitaharus menyelidiki seterang2nya.”

Sementara itu, begitu mendenar nada tertawa kedelapan penjahat itu, Boe Kie sudah tahu bahwa ada sesuatu yg tidak benar dan bahaya yg lebih besar sedang mengancam. Sesudah terluka, meskipun Cin khie (hawa tulen) didalam tubuhnya tidak menjadi musnah, hawa itu suka dikumpulkan dan digunakan untuk berkelahi. Dalam menghadapi bencana, mati2an ia berusaha untuk mengumpulkan hawa tersebut. Tapi ia gagal. Hawa itu berkumpul dalam kelompok2 kecil disana sini dalam tubuhnya, tapi tidak bisa menjadi satu dan mengalir disepanjang jalan darah.

Tiba2 si penjahat tua menjambret Tio Beng. Sebab tak kuat menangkis, si nona hanya mundur keranjang Boe Kie sendiri tetap bersila sambil memejamkan kedua matanya. Ia terus mengerahkan pernapasannya dengan harapan sebagian tenaganya akan pulih kembali.

Melihat Boe Kie bersila dengan tenang di tengah ranjang, penjahat yg bertubuh katai gemuk meluap darahnya. “Bocah, kau sungguh sombong!” bentaknya sambil mengerahkan seluruh lweekangnya, sehingga tulang2nya berbunyi perotok2 dan kemudian, ia meninju Lan thiong hiat di dada Boe Kie sekuat2nya. “Buk!” Sehabis meninju lengan kanannya terkulai, matanya melotot dan ia tidak bergerak lagi. Si pendeta tua terkejut dan mengangaurkan tangan untuk menarik kawai itu. Tapi begitu tersentuh, si katai gemuk roboh --- mati!

Kawanan penjahat itu kaget tercampur gusar. Mereka menduga Boe Kie memiliki ilmu siluman.

Mengapa penjahat itu binasa seketika? Sebagaimana telah dikatakan, sesudah terluka Cin Khie (hawa tulen) dalam tubuh Boe Kie sukar berkumpul menjadi satu dan tidak bisa digunakan untuk melukai musuh. Tapi biarpun begitu, Kioe yang sin Kang didalam badannya tidak menjadi musnah. Penjahat itu memukul dengan sepenuh tenaganya. Kioe yang Sin kang Boe Kie waktu itu memang tidak cukup untuk menghantam musuh, tapi lebih dari cukup untuk melindungi dirinya sendiri. Begitu terpukul, tenaga Kioe yang segera menolah dan memulangkan tenaga pukulan itu. Disamping itu terjadi pula kejadian yg diluar dugaan. Karena terpukul hawa Kioe yang dalam Boe Kie terbangun pula, sehingga tenaga menolak ditambah lagi dengan tenaga lain. Itulah sebabnya mengapa si penjahat lantas saja binasa.

Pendeta tua itu seorang yg berpengalaman luas. Ia tahu bahwa Boe Kie mengugnakan ilmu meminjam tenaga, memukul tenaga. Tapi ia tidak jadi gentar, sebab ia percaya akan kelihaiannya Tiat see ciang nya (Tangan Pasir Besi). Sambil menarik napas dalam2, ia segera memukul dengan kedua tangannya.

Dalam Rimba Persilatan, Tiat See Ciang si tua cukup terkenal dan ia mendapat julukan Sin see Pa Thian Chioe (Tangan pasir malaikat yg bisa memecahkan langit)

Waktu kawannya yg gemuk memukul dada Boe Kie ia menyaksikan terang2an denga kedua matanya sendiri. Ia menduga bahwa didada pemuda itu tersimpat senjata beracun. Maka itu ia sekarang tujukan pukulannya kepada lengan Boe Kie yang berada di luar tangan baju. Ia ingin mematahkan lengan itu lebih dahulu dan kemudian barulah membinasakan pemuda itu. Tapi begitu memukul tubuh si tua terbang keluar dari jendel yg terbukan menjadi hancur dan kepalanya membentur batang pohon, sehingga ia binasa seketika itu juga.

Ketiga kawannya, yg masih belum tahu nasib si tua, lantas saja menyerang dengan berbareng. Yang satu meninju Tay yang hiat yang satu mencoba mengorek biji mata dengan pukulan Siang liong Chio coe (Sepasang naga merebut mutiara) sedang yg ketig menendang tan tian (dibawah pusar). Dengan menundukkan kepala Boe Kie menggores dua jari tangan yang mau mengorek biji matanya sehingga pukulan itu mampir pada dahinya dan sambil menahan napas, ia menerima dua pukulan yg lain.

Berbareng dengan suara “buk buk!” terdengar jeritan menyayat hati dan ketiga penjahat itu melayang jiwanya. Penjahat yg menendang tna sian mati dengan tulang kaki patah sebab tendangan terlalu keras. Dilain pihak dengan tertendangnnya tan tian chin khie dalam tubuh Boe Kie bergolak hebat dan tiba2 ia mersa jalan2 darah disebagian tubuhnya terbuka dengan mendadak. Ia girang dan berkata didalam hati. “Sayang sungguh pendeta jahat itu mampus terlalu cepat. Kalau ia bisa menendang beberapa kali lagi, keadaan akan lebih banyak mendingan. Diluhat begini dalam sepuluh hari tenagaku akan pulih kembali.”

Diantara delapan sudha lma orang melayang jiwanya. Taku usdah dikatakan lagi sisanya tiga orang ketakutan setengah mati dan kabur lintang pukang. Setibanya diluar mereka melihat mayat si tua yg menggeletak di bawah pohon dengan kepala hancur. Mereka kabur terus sampai diluar pintu kelenteng. Sebab tak diubar mereka berenti dan berdamai. “Kurasa bocah itu mempunya ilmu siluman,” kata yang satu.

“Bukan.. bukan ilmu siluman,” bantah yang lain. “Dia tentu memiliki lweekang yg tinggi yg digunakan untuk memukul balik serangan saudara kita.”

“Benar,” meyambung yg ketiga. “Biar bagaimanapun juga kita harus membalas sakit hati.”

Biarpun penjahat kejam, mereka ternyata masih mempunyai “gie khie” (rasa setia kawan) dari kalangan Kong ouw. Mereka berdelapan telah mengangkat saudara denga bersumpah untu sama2 senang dan sama2 susah. Sesudah berdamai agak beberapa saat, mereka bertekad bulat untuk membalas sakit hati. Tapi mereka mengerti, bahwa mereka bukan tandingan Boe Kie.

“Ah! Tak salah!” seorang tiba2 berseru. “Bocah itu tentu mendapat luka berat. Kalau tidak mengapa dia tidak mengubar?”

Kedua konconya jadi girang. “Benar,” kata yang satu. “Rupa2nya dia tidak bisa berjalan. Kelima saudara kita menyerang denga kai tangan dan dia memukul balik dengan lweekang. Sekarang kita serang dia dengan senjata. Aku tidak percaya badannya, badannya tidak mempan senjata.”

Untuk segera bertindak. Satu membawa tombak satu menentang golok, saut mencekal pedang dan mereka lantas masuk lagi kedalam kelenteng.

Mereka mendapat kenyataan, bahwa kamar disebelah timur sunyi tidk terdengar suara apapun juga. Indap2 merek mendekati dan mengintip dari jendela yang hancur. Ternyata Boe Kie masih tetap duduk bersila dan ia kelihatnnya lelah sekali. Tio Beng duduk disampingnya sambil menyusuti keringat.

Ketiga penjahat itu saling melirih. Tapi tak ada satupun yang berani menerjang lebih dahulu.

Selang beberapa saat, yang satu tidak sabar lagi. “Bocah bau!” teriaknya. “Akali kau nayari2 keluar!”

“Bocah tak tau malu!”

Menyambung yang lain. “Kalau kau benar2 berkepandaian tinggi, jangan gunakan ilmu siluman!”

Boe Kie tidak meladeni. Makin lama ketiga penjahat itu makin berani sehingga belakangan mereka mencaci dangan perkataan2 kotor. Tapi Boe Kie dan Tio Beng tidak marah. Sebaliknya dari bergusar, mereka bersyukur, bahwa sesudah kabur ketiga penjahat itu kembali lagi. Tempat itu tak jauh dari Siauw Lim Sie dan tadi waktu mereka lari, Boe Kie dan Tio Beng merasa khawatir kalau2 mereka pergi ke Siauw Lim Sie dan melaporkan kejadian itu kepada Seng Koen. Apabila Seng Koen atau konconya datang, bencana suka di hindarkan.

Sementara itu, sesudah diserang beberapa kali Kioe yang Ci Khie dibeberapa bagian tubuh Boe Kie yang tadinya terus membuyar, sekarang sedikit banyak bisa berkumpul. Ia masih belum bisa menggunakan lweekang untuk melukai musuh, tapi ia sekarang sudah tidak begitu bingung seperti semula.

Tiba2 terdengar suara, “brak!” dan pintu berbareng ujung tombak ygn berkuncir merah muncul di ambang pintu.

“Celaka!” seru Tio Beng seraya menyodor kan pisau yang dipegangnnya kepada Boe Kie. Boe Kie menggelengkan kepala. Dia tidak menyambut pisu itu sebab ia tahu, ia tak punya tenaga untuk menggunakannya.

Dilain detik sesudah membuat sebuah lingkaran bagaikan kilat ujung tombak menyambar kepada Boe Kie. Pada saat yg sangat berbahaya tapa berpikir lagi, Tio Beng merogo saku Boe Kie dan mengeluarkan sebatang Seng hwa leng, yang lalu ditaruh di dada Boe Kie, ditempat yang sedang disambar oleh mata tombak.

“Tak!” mata tombak mampir tepat pada Seng hwee leng. Pukulan itu merangsang Kioe yang sin kang dalam tubuh Boe Kie, dan tenaga itu lantas balik memukul. “Aduh!” si pendeta yang menikam mengeluarkan teriakan hebat, karena gagang tombak ambals didadanya.

Sebelum dia roboh seorang kawanan sudah membacok batok kepala Boe Kie dengan goloknya sebab kuatir sebatang Seng hwee leng tidak cukup kuat denga kedua tangannya nona Tio menaruh dua batang leng diatas kepala Boe Kie, sekali lagi terdengar suara “tak!”. Golok itu terpental dan menghantam janggut majikannya yg lantas saja menjadi hancur. Kali ini, sebab tidak keburu menarik palang tangan kirinya, ujung kelingking nona Tio tepapas putus oleh mata golok yang terpental. Dalam keadaan tegang, si nona sendiri tidak merasai luka itu.

Pendeta ketiga yg masuk dengan membawa pedang, terbang semangatnya ketika lihat dua kawan nya menggeletak tanpa bernyawa. Sambil berteriak keras, ia kabur.

“Dia tidak bolek di biarkan lari!” seru Tio Beng seraya menimpuk dengan sebatang Seng hwee leng. Meskipun ia menimpuk dengan seantero tenaga, senjata itu jatuh di tengah jalan sebab tenaganya tidak cukup.

Boe Kie terkejut. Ia memeluk si nona dan berbisik. “Timpuk lagi!” ia mengempos cin khie yg berkumpul didadanya dan mengirimnya kedalam tubuh si nona.

Tio beng menimpuk lagi deng Seng hwee leng yg dicekal ditangan kiri. Dua tindak lagi penjahat itu akan bisa menyelamatkan diri dibelakang tembok. Tapi dia tidak keburu sebab Seng hwee leng menyambar bagaikan kilat, amblas dipunggungnya menembus keluar didadanya.

Sesudah menggunakan tenaga yang penghabisan Boe Kie dan Tio Beng pingsan bersama sama dan dengan salik peluk mereka lantas ke bawah ranjang. Dalam kamar itu menggeletak enam sosokmayat, diluar kamar dua mayat lagi, sedang Boe Kie dan Tio Beng sendiri berbaring diantara kobakan darah. Sinar rembulan menerangi kelenteng itu yg sunyi bagaikan kuburan.

Sesudah lewat beberapa lama, Tio Beng tersadar. Ia memegang hidung Boe Kie dan mendapat kenyataan, bahwa pemuda itu masih bernapas dan jalan napasnya tenang. Perlahan2 ia berbangkit dan berusaha untuk mengangkat Boe Kie ke atas ranjang, tapi tenaga nya tak cukup, sehingga ia hanya bisa meluruskan tubuh Boe Kie dan kemudian mereka lantas napas tersenggal2 ia berduduk disamping kecintaannya.

Beberapa saat kemudian, Boe Kie membuka matanya. “Beng moay,” katanya. “Kau.. kau berada disini?”

Si nona tertawa. Mereka saling mengawasi dan mereka tertawa bersama2. muka mereka belepotan darah dan keadaan dalam kamar itu sesudah terlolos dari bencana bersama2 didalam hati mereka merasakan semacam kebahagiaan yang sukar dilukiskan.

Dalam seluruh pertempuran, mereka membinasakan tujuh pendeta tanpa mengeluarkan tenaga sendiri dan menggunakan ilmu meminjam tenaga memukul tenaga. Tapi dalam mengambil jiwa penjahat yg terakhir, mereka telah menggunakan seantero kekuatan dan sekarang mereka tak punya tenaga lagi. Meeka terpaksa rebah diantara mayat2 itu. Dengan tangan gemetaran Tio Beng membalut kelingkingnya yg terpapas golok untuk menghentikan darah. Sesudah itu bersama Boe Kie ia tertidur pulas.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar