Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 71

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 71
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 71

Boe Kie menghela nafas dan untuk beberapa saat, semua orang membungkam.

Akhirnya Coan kang tiangloo berkata, “Thio Kauwcoe, putera Han San Tong berbicara ayah masih berada di tempat kami!” Ia lalu berbicara dengan seorang pengemis yang lantas masuk ke dalam dengan tindakan cepat.

Tak lama kemudian, terdengarlah cacian Han lim Jie. “Pengemis, kau lagi lagi coba menipu tuan besarmu!” teriaknya. Thio Kauwcoe seorang agung dan mulia. Mana boleh jadi ia sudi datang di sarang kawanan pengemis bau? Sudahlah! Lekas lekas kau hantarkan aku ke See tian (dunia baka)! Segala akal bulusnya tidak dapat digunakan terhadapku.”

Boe Kie merasa kagum. Di dalam hati ia memuji pemuda itu, yang setia jujur dan bernyali besar. Buru buru ia bangkit dan menyambut, “Han toako,” katanya, “aku berada di sini. Selama beberapa hari kau banyak menderita.”

Melihat Boe Kie, Han Lim Jie terkesiap. Dengan kegirangan yang meluap luap sedetik kemudian ia berlutut dan berkata, “Thio Kauwcoe, benar benar kau berada di sini!… bunuhlah pengemis pengemis bau itu!”

Sambil tertawa Boe Kie membangunkannya. “Han toako,” katanya dengan terharu. “Para tiangloo ditipu orang dan sudah terjadi salah mengerti. Sekarang segala apa sudah menjadi terang. Dengan memandang mukaku, kuharap Han Toako sudi melupakan segala apa yang sudah terjadi.”

Sesudah bangun berdiri dengan mata melotot Han Lim Jie mengawasi para tokoh pengemis. Ia ingin mencaci untuk melampiaskan rasa dongkolnya, tapi sesudah mendengar perkataan Boe Kie, ia terpaksa menahan sabar.

“Thio kauwcoe,” kata Cie hoat tiangloo. “Kunjunganmu membikin terang muka partai kami. Kami ingin mengundang kalian dalam sebuah perjamuan sederhana untuk menyambut Thio Kauwcoe dan menghaturkan maaf kepada Kouwnio serta Han toako.” Ia berpaling kepada seorang murid dan berkata pula, “Lekas sediakan meja perjamuan!”

Murid itu lantas saja mengiakan.

Karena memikir ayah angkatnya dan ingin bicara banyak dengan Cioe Cie Jiak, Boe Kie tak punya kegembiraan untuk makan minum. Maka itu, sambil merangkap kedua tangannya ia berkata, “Aku menghaturkan banyak terima kasih atas undangan kalian. Tapi aku tak bisa membuang buang waktu karena perlu mencari Gie hoe. Di lain hari aku mau datang berkunjung pula. Kuharap kalian suka memaafkan untuk penolakan ini.”

Tapi Coan kang Tiangloo dan yang lain2 tidak mau mengerti sehingga Boe Kie terpaksa juga menerima undangan itu. Selagi makan minum, para tetua Kaypang kembali menghaturkan maaf dan berjanji akan menyebar murid murid Kaypang untuk bantu mencari Cia Soen. Begitu lekas mendapat warta baik, mereka akan segera melaporkan kepada Beng kauw, kata mereka. Untuk kebaikan itu, Boe Kie menghaturkan banyak terima kasih. Biarpun berkepandaian dan berkedudukan tinggi, ia sedikitpun tidak mengunjuk kesombongan. Ia bahkan sangat merendah, sehingga para pengemis merasa kagum dan takluk. Sesudah bersantap, Boe Kie bertiga segera berpamitan. Para pengemis mengantar mereka sampai sepuluh li di luar kota Louw liong dan mereka berpisahan dengan hati berat.

Dengan menunggang kuda kuda hadiah Kay pang, Boe Kie, Cie Jiak dan Han Lim Jie meneruskan perjalanan ke selatan dengan mengambil jalan raya. Han Lim Jie berlaku sangat hormat. Ia tidak berani merendengkan kudanya dengan Boe Kie dan Cie Jiak dan hanya mengikuti dari belakang. Di sepanjang jalan, ia melayani Boe Kie dan Cie Jiak seperti seorang pelayan.

Boe Kie merasa sangat tidak enak. “Han Toako,” katanya, “biarpun kau seorang anggota agama kita, kau hanya diharap mendengar segala perintahku dalam urusan urusan yang resmi. Dalam pergaulan pribadi sehari hari, kita adalah orang orang yang sepantar, yang berkedudukan sama tinggi, seperti saudara dan sahabat. Sedalam dalamnya aku sangat menghormati kepribadianmu.”

Han Lim Jie kelihatan bingung dan jengah. “Dengan setulus hati aku yang rendah berdiri sama tinggi dengan Kauwcoe?” Aku sudah merasa sangat beruntung, bahwa aku mendapat kesempatan untuk melayani Kauwcoe.”

“Aku bukan Kauwcoe,” kata Cie Jiak sambil tersenyum. “Kau jangan mengunjuk kehormatan yang begitu besar terhadapku.”

“Coe kouwnio bagaikan seorang dewi,” jawabnya. “Bahwa siauwjin bisa berbicara sepatah dua patah kata dengan Kouwnio sudah merupakan kebahagiaan seumur hidup. Siauwjin hanya kuatir, sebagai manusia kasar siauwjin sering bicara kasar dan untuk segala kekurang ajaran, siauwjin mohon Kouwnio suka memaafkan.”

Mendengar kata kata memuja itu yang tulus ikhlas, sebagai manusia biasa, diam diam Cie Jiak merasa girang.

Sambil berjalan Boe Kie menanya Cie Jiak, cara bagaimana dia ditangkap oleh orang orang Kay pang. Si nona memberitahukan, bahwa hari itu, sesudah Boe Kie meninggalkan rumah penginapan untuk menyelidiki siasat Kay pang, badan Cia Soen bergemetaran dan mulutnya ngaco. Ia ketakutan dan berusaha untuk menentramkannya, tapi tidak berhasil. Cia Soen seolah olah tidak mengenalnya lagi. Dia melompat dan kemudian roboh pingsan. Pada saat itu, di tengah enam tujuh orang tokoh Kay pang yang lantas menerobos masuk ke dalam kamar. Sebelum keburu menghunus pedang, jalan darahnya sudah ditotok. Kemudian bersama Cia Soen, ia dibawa ke Louw liong.

Mendengar keterangan itu, Boe Kie manggut manggutkan kepalanya. Sedari kecil ia memang sudah tahu, bahwa sebagai akibat dari latihan Cit Siang kocu, ayah angkatnya mendapat serupa penyakit kalap dan kadang kadang kumat dengan mendadak. Tapi dimana adanya ayah angkat itu sekarang?”

“Kota raja adalah tempat berkumpulnya macam macam manusia,” kata Boe Kie akhirnya. “Kurasa, dalam perjalanan ke selatan, sebaiknya kita mampir di kota raja untuk menyelidiki. Mungkin sekali, dari Ceng ek Hok ong Wie hong aku bisa mendapat keterangan berharga.”

Cie Jiak tertawa, “Ke kota raja?” ia menegas dengan nada mengejek. “Apa benar benar kau hanya ingin menemui Wie It Siauw?”

Boe Kie mengerti maksud tunangannya, sehingga paras mukanya lantas saja berubah merah. “Memang belum tentu kita bisa menemui Wie heng,” jawabnya. Tujuan kita adalah mencari Giehoe, kalau kita bisa bertemu dengan Wie heng, Kouw tauwtoo atau Yo Co Soe, sedikit banyak kita akan mendapat bantuan.”

“Kukenal seorang yang pintar luar biasa,” kata Cie Jiak sambil tersenyum. “Dia seorang wanita cantik. Jika kau cari dia, kau akan mendapat banyak bantuan. Orang-orang seperti Yo Co soe atau Kouw Tauw tok tidak akan bisa menyaingi kepintaran nona cantik itu.”

Boe Kie pernah menceritakan pertemuannya dengan Tio Beng di kelenteng Biek lek hoed, tapi tak urung ia kena disindir juga. “Kau tidak pernah melupakan Tio kouwnio dan setiap ada kesempatan, kau selalu mengejek aku,” katanya dengan suara jengah.

Cie Jiak tertawa, “Apa aku atau kau yang tidak pernah melupakan dia?” tanyanya. “Apa kau rasa kutak tahu rahasia hatimu?”

Boe Kie adalah seorang yang polos dan jujur. Ia menganggap, bahwa sesudah berjanji untuk hidup sebagai suami isteri, ia tak boleh menyembunyikan sesuatu di hadapan tunangannya itu. Maka itu dengan memberanikan hati ia lantas saja berkata, “Ada satu hal yang aku harus beritahukan kepada kau. Kuharap kau tidak jadi gusar.”

“Kalau pantas gusar, aku akan gusar, kalau tak pantas gusar, aku pasti tak akan gusar,” jawabnya.

Boe Kie menjadi lebih jengah. Di hadapan tunangannya pernah bersumpah untuk membunuh Tio Beng guna membalas sakit hatinya In Lee. Tapi waktu bertemu dengan nona Tio, bukan saja ia tidak turun tangan, ia bahkan jalan bersama sama dengan nona itu. Sebagai seorang yang tidak biasa berpura pura, ia tidak berani membuka suara lagi.

Tak lama kemudian mereka tiba di kota kecil dan waktu itu matahari sudah mulai menyelam ke barat. Mereka segera mencari penginapan kecil untuk bermalam. Sesudah makan Boe Kie mengurut punggung Cie Jiak untuk memperlancar aliran darah. “Hiat” yang tertotok sudah terbuka sendiri, tapi otot masih agak kaku dan mengalirnya darah masih kurang lancar. “Ilmu menotok Kay pang memang istimewa,” kata Boe Kie di dalam hati. “Cie Jiak angkuh dan sungkan minta pertolongan, sedang orang yang menotok berlagak lupa. Hmm… kawanan pengemis itu mati matian mau coba menolong muka. Sesudah kalah, mereka ingin memperhatikan keunggulan dalam tiam-hoat.”

Karena hawa udara panas, sesudah diurut, Cie Jiak berkata, “Mari kita jalan jalan di luar.”

“Baiklah,” kata Boe Kie.

Dengan Boe Kie menuntun tangan si nona, mereka berjalan sampai di luar kota. Ketika itu sang surya sudah menyelam ke barat, dan sesudah berjalan beberapa lama lagi, mereka lalu duduk di bawah sebuah pohon.

Di situlah antara kesunyian dan pemandangan alam yang indah, Boe Kie lalu menuturkan segala pengalamannya – cara bagaimana ia bertemu dengan Tio Beng di kelenteng Bie lek hoed, cara bagaimana ia menemui jenazah Boh Seng kok, pertemuannya dengan rombongan Song Wan Kiauw dan kejarannya terhadap tanda gambar obor dari Louw liong, sampai di Louw liong lagi. Sesudah selesai bercerita, sambil memegang tangan si nona, ia berkata dengan suara sungguh sungguh. “Cie Jiak, kau adalah tunanganku dan tak bisa aku menyimpan saja apa yang dipikir olehku. Tio kouwnio berkeras untuk menemui Giehoe dan mengatakan, bahwa ia ingin bicara dengan Giehoe. Ketika itu aku sudah bercuriga. Sekarang, makin kupikir, makin kutakut.” Waktu mengucapkan perkataan perkataan paling belakang suara bergemetar.

“Kau takut apa?” tanya Cie Jiak.

Boe Kie merasa, bahwa kedua tangan tunangannya dingin seperti es dan juga bergemetaran.

“Kuingat, bahwa Giehoe mempunyai semacam penyakit kalap dan kalau lagi kumat ia tak ingat segala apa,” jawabnya.

“Dalam kekalapannya, ia pernah melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap ibu, sehingga kedua matanya buta. Waktu aku lahir, dalam kalapnya Giehoe coba membunuh ayah dan ibu. Sungguh mujur, pada detik yang sangat berbahaya, aku menangis keras dan suara tangisanku itu telah menyadarkannya. Ah!… aku kuatir.. ku kuatir…”

“Kuatir apa?”

Boe Kie menghela nafas. “Sebenarnya aku tak boleh membuka rahasia hatiku ini kepada siapa pun jua,” katanya dengan suara hampir tak kedengaran. “Aku.. aku… kuatir piauwmoay… dibunuh… oleh Giehoe…”

Bagaikan dipagut ular, Cie Jiak melompat bangun. “Apa?” tanyanya dengan suara parau. “Cia tayhiap seorang ksatria budiman yang mencintai kita. Mana boleh jadi ia membunuh In Kouwnio?”

“Aku hanya berkuatir,” kata Boe Kie. “Aku merasa syukur, beribu syukur, jika kekuatiranku itu tidak benar. Tapi… andai kata benar Gie hoe membunuh Piauw moay, ia melakukan itu dalam keadaan tidak sadar. Hei!.. Semua… gara gara bangsat Seng Koen.”

Cie Jiak menggeleng gelengkan kepalanya. “Tak bisa, tak bisa jadi,” katanya. “Apakah racun Sip hiang Joad kin san juga ditaruh oleh Gie hoe? Darimana Gie hoe mendapat racun itu?”

Boe Kie tak menyahut. Kedua matanya mengawasi ke tempat jauh. Ia tak dapat menembus kabut tebal yang menyelimuti teka teki itu.

“Boe Kie Koko,” kata Cie Jiak dengan suara dingin. “Dengan macam macam cara kau berusaha untuk melindungi Tio Beng.”

“Kalau Tio Kouwnio benar2 pembunuhnya, mengapa ia berkeras ingin menemui Giehoe dan ingin bicara dengannya?” kata Boe Kie.

Si nona tertawa dingin. “Tio kouwnio pintar luar biasa,” katanya. “Andai kata ia bertemu dengan Gie hoe, ia pasti mempunyai siasat lain untuk meloloskan diri.” Tiba tiba nada suara Cie Jiak berubah lunak dan ia berkata dengan suara lemah lembut. “Boe Kie koko, kau seorang yang sangat jujur. Dalam kepintaran dan mengatur siasat, kau bukan tandingan Tio Kouwnio.”

Boe Kie menghela nafas pula. Ia mengakui benarnya perkataan Cie Jiak. Sambil memegang tangan si nona, ia berkata, “Cie Jiak, aku merasa bahwa hidup di dunia seperti hidup dalam siksaan. Kau lihatlah, sekarang aku bahkan harus curigai ayah angkatku sendiri. Aku hanya mengharap, bahwa sesudah Tat coe bisa diusir pergi, aku akan bisa hidup ber-sama2 kau di pegunungan yang sepi, jauh dari pergaulan, jauh dari manusia lain.”

“Kurasa tak mungkin,” kata Cie Jiak. “Kau adalah Kauwcoe dari Beng kauw. Apabila, atas berkah Tuhan, Tat coe bisa terusir, tugas mengurus negara jatuh di tangan Beng kauw. Mana bisa kau menikmati penghidupannya yang tenteram itu?”

“Kepandaianku tak cukup untuk menjadi Kauwcoe dan akupun sebenarnya tak ingin menjadi kauwcoe. Jika di kemudian hari beban Kauwcoe Beng Kauw terlalu berat, maka aku harus menyerahkan kedudukan itu kepada orang yang lebih pandai.”

“Kau masih berusia muda, kalau sekarang kepandaianmu belum cukup, apa kau tak bisa menambah pengetahuanmu? Mengenai aku sebagai Ciang boen Go bie pay, akupun mempunyai pikulan yang sangat berat. Soehoe telah menyerahkan cincin besi Ciang boen kepadaku dengan pesanan, supaya aku mengangkat naik derajat kami. Maka itulah, andaikata kau benar2 menyembunyikan diri di pegunungan, aku sendiri tak punya rejeki untuk menuntut penghidupan begitu.”

Waktu melihat cincin itu di tangan Tan Yoe Liang, aku bingung bukan main. Kukuatir akan keselamatanmu. Kalau punya sayap, aku tentu sudah terbang waktu itu juga. Cie Jiak, siapa yang memulangkannya kepadamu?”

“Song Ceng Soe Siauw hiap.”

Mendengar disebutkannya nama Song Ceng Soe, jantung Boe Kie memukul keras. “Song Ceng Soe sangat baik terhadapmu bukan?” tanyanya.

“Mengapa kau menanya begitu?” menegas si nona. Ia menangkap nada luar biasa dalam suara tunangannya.

“Tak apa2,” jawabnya. “Kutahu bahwa Song Soeko sangat mencintai kau. Dia rela mengkhianati partai dan ayah kandung sendiri. Dia bahkan rela membunuh paman seperguruan sendiri. Tak usah dikatakan lagi, terhadapmu dia baik luar biasa.”

Cie Jiak menengadah dan sambil mengawasi sang rembulan yang baru muncul di sebelah timur, ia berkata dengan suara perlahan. “Jika perlakuanmu terhadapku separuh saja dari perlakuannya, aku sudah merasa sangat puas.”

“Aku bukan Song Soeko. Jika untukmu aku harus melakukan perbuatan put hauw dan put gie (tidak berbakti dan tidak mengenal persahabatan), biar bagaimanapun jua aku takkan dapat melakukannya.

“Untukku tak bisa melakukan segala apa. Di pulau kecil kau pernah bersumpah akan membunuh perempuan siluman itu, guna membalas sakit hatinya In Kouwnio. Tapi setelah bertemu muka, kau melupakan semua sumpahmu.”

“Cie Jiak, manakala terbukti bahwa To Liong to dan Ie thian kiam dibawa oleh Tio Kouwnio dan piauwmoay dibinasakan olehnya, aku pasti takkan mengampuninya. Tapi apabila tak berdosa, aku tentu tak mengambil jiwanya. Meskipun sekali aku khilaf dalam mengucapkan sumpah itu.”

Cie Jiak membungkam.

“Mengapa kau diam saja? Apa aku salah?” tanya Boe Kie.

“Tidak!” jawabnya. “Aku sendiri sedang memikiri sumpahku sendiri yang diucapkan di hadapan Soehoe di menara Ban hoat sei. Aku merasa sangat menyesal bahwa waktu menerima lamaranmu, aku tak memberitahukan sumpah itu kepadamu secara terang-terangan.”

Boe Kie terkejut. “Kau… kau… sumpah apa?” tanyanya.

“Di hadapan Soehoe, aku telah bersumpah bahwa jika di hari kemudian aku menikah dengan kau, maka roh kedua orang tuaku takkan mendapat ketenteraman di dunia baka, bahwa roh Soehoe akan menjadi setan jahat yang akan terus menggangguku, bahwa anak cucuku akan menjadi manusia2 hina, yang lelaki menjadi budak, yang perempuan menjadi pelacur!”

Tak kepalang kagetnya Boe Kie. Ia berdiri terpaku dan badannya menggigil. Sesudah lewat beberapa lama dan sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah ia berkata. “Cie Jiak, sumpah itu tak boleh dianggap sungguh2. Gurumu sudah memaksa kau mengucapkan sumpah itu sebab ia anggap Beng kauw sebagai agama siluman dan aku sendiri sebagai manusia jahat yang tak mengenal malu. Kalau ia tahu hal yang sebenarnya, ia pasti takkan menyuruh kau bersumpah begitu.”

Air mata si nona lantas mengucur. “Tapi… tapi… ia sudah tak tahu lagi,” katanya. Tiba-tiba ia menubruk Boe Kie dan sambil menangis tersedu-sedu, ia menyesapkan kepalanya di pangkuan pemuda itu.

Sambil mengusap usap rambut tunangannya, Boe Kie berkata. “Cie Jiak, apabila roh gurumu benar-benar angker, ia pasti takkan mempersalahkan kau. Apakah aku benar-benar seorang penjahat cabul, jahanam yang tidak mengenal malu?”

“Sekarang memang belum, tapi siapa tahu karena dipengaruhi Tio Beng, di belakang hari kau tidak menjadi manusia yang tidak mengenal malu?”

Mau tak mau Boe Kie tertawa. “Ah, Cie Jiak!” katanya. “Kau menilai aku terlalu rendah. Apakah kau mengharap mempunyai suami manusia jahat?”

Si nona mengangkat kepalanya. Kedua matanya masih basah, tapi sinarnya sinar tertawa. “Tak malu kau!” bentaknya dengan suara perlahan. “Apa kau sudah menjadi suamiku?” Kalau kau terus bersahabat dengan perempuan siluman itu, aku sungkan menjadi isterimu. Siapa berani memastikan, bahwa kau tidak akan meneladani Song Ceng Soe yang rela melakukan perbuatan terkutuk karena gara gara paras cantik?”

Boe Kie menunduk dan mencium dahi tunangannya. “Siapa suruh kau begitu cantik?” katanya. “Inilah salahnya kedua orang tuamu yang melahirkan seorang puteri yang terlalu cantik, sehingga kaum pria mabok otaknya.”

Mendadak saja, di belakang pohon dalam jarak kira-kira tiga tombak terdengar suara tertawa dingin. “Huh..huh!…” Hampir berbareng terlihat berkelebatnya bayangan manusia yang kabur dengan kecepatan kilat.

Cie Jiak melompat bangun. “Tio Beng!…” serunya dengan suara parau.

Suara tertawa itu, memang suara wanita, tapi Boe Kie masih bersangsi, apakah benar Tio Beng? “Perlu apa dia menguntit kita?” tanyanya.

“Lantaran dia mencintai kau!” jawabnya dengan gusar. “Mungkin kau berdua diam diam sudah berjanji untuk bertemu di sini guna mempermainkan aku.”

Boe Kie bersumpah keras keras, membantah terkaan tunangannya. Cie Jiak berdiri dengan darah meluap. Tiba-tiba karena mengingat nasibnya, ia menangis lagi.

Dengan tangan kiri memeluk pundak, Boe Kie menyeka air mata tunangannya dengan tangan baju kanannya. “Mengapa kau menangis?” tanyanya dengan suara lemah lembut. “Kalau aku menjanjikan Tio Kouwnio datang di sini untuk mempermainkan kau, biarlah aku dikutuk langit dan bumi. Coba kau pikir, apabila benar aku mencintai dia dan kutahu bahwa dia berada dekat, mana boleh jadi aku mengucapkan kata kata cinta terhadapmu? Bukankah dengan berbuat begitu, aku sengaja menyakiti hatinya?”

Cie Jiak merasa perkataan itu beralasan juga. Ia menghela nafas dan berkata. “Boe Kie koko, hatiku sangat tidak tenteram.”

“Mengapa?”

“Aku tidak dapat melupakan sumpahku. Selain itu, Tio Beng pun tentu tak bisa mengampuni aku. Baik dalam ilmu silat maupun dalam kepintaran, aku tak dapat menandinginya.”

“Aku melindungi kau dengan segenap tenagaku. Kalau dia berani melanggar selembar rambut isteriku, aku pasti takkan mengampuni dia.”

“Apabila aku lantas mati dibunuh olehnya, ya sudah saja. Apa yang ditakuti olehku adalah, karena disiasatkan olehnya, kau bergusar terhadapku dan lalu membunuhku. Kalau aku mati cara begitu, aku mati dengan penasaran, dengan mata melek.”

“Kau benar sudah gila!” kata Boe Kie dengan tertawa. “Berapa banyak manusia sudah mencelakai aku, berbuat kedosaan terhadapku, tapi toh aku tak membunuh mereka. Mana boleh jadi aku bunuh isteri tercinta?” Ia membuka bajunya dan seraya mengunjuk bekas luka tusukan pedang, ia berkata pula, “Tusukan siapa ini? Cie Jiak, makin dalam tusukanmu, makin dalam pula rasa cintaku terhadapmu.”

Dengan rasa menyesal dan rasa cinta yang sangat besar, Cie Jiak meraba raba tanda luka itu. Sekonyong-konyong mukanya berubah pucat. “Tikaman dibalas dengan tikaman…” katanya dengan suara parau. “Di belakang hari… andaikata benar kau membunuh aku, aku takkan penasaran lagi…”

Buru2 Boe Kie memeluk si nona. “Sudahlah Cie Jiak!” katanya. Kita harus lekas2 cari Gie hoe supaya orang tua itu segera bisa menikahkan kita. Setelah menikah kalau kau senang, kau boleh menikam aku lagi beberapa kali dan aku takkan merasa menyesal.”

Sambil menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie, Cie Jiak berbisik, “Aku mengharap, bahwa sebagai laki laki sejati, kau takkan melupakan perkataanmu di malam ini.”

Lama mereka berdiam di situ, ber-omong2 dengan penuh kasih, di antara sinar rembulan yang putih bagaikan perak. Sesudah larut malam barulah mereka kembali ke rumah penginapan.

Pada keesokan pagi, bersama Han Lim Jie, mereka meneruskan perjalanan ke selatan. Pada suatu magrib, tibalah mereka di kota raja. Mereka mendapat kenyataan bahwa rakyat di seluruh kota sedang sibuk membersihkan rumah dan jalan, dan di depan setiap rumah terdapat hio to (meja sembahyang). Mereka lalu mencari rumah penginapan dan menanya seorang pelayan mengenai kerepotan itu.

“Kedatanganmu sungguh kebetulan,” kata si pelayan. “Kalian mempunyai rejeki besar, besok adalah hari arak arakan besar di Hong shia (kota tempat tinggalnya kaisar).”

“Arak arakan apa?”

“Besok adalah hari pesiarnya Hong shia (kaisar), kejadian ini hanya terjadi satu tahun sekali. Tujuan Hong shia adalah bersembahyang di kelenteng Keng sioe sie. Malam ini kalian harus tidur siang siang dan besok bangun pagi pagi.”

“Pagi pagi sekali kau harus pergi di mulut pintu istana Giok tek tian untuk mendapat tempat yang baik. Kalau untung bagus, kau bisa lihat wajah Hong siang, Hong houw (permaisuri), Koei hoi (selir kaisar), putera mahkota dan puteri kaisar. Coba kalian pikir, kalau sebagai rakyat jelata kita tidak berada di kota raja mana bisa kita melihat wajah Hong siang dengan mata sendiri?”

Bukan main mendongkolnya Han Lim Jie. Tanpa bisa menahan sabar lagi, ia lantas saja mengeluarkan suara di hidung. “Huh!… manusia apa kau!” bentaknya. “Kau pengkhianat yang tak mengenal malu, yang mengakui musuh sebagai ayahmu sendiri. Apa senangnya melihat muka kaisar Tat coe?”

Si pelayan kaget. Ia menatap muka Han Lim Jie dengan mulut ternganga. Akhirnya sambil menuding ia berkata. Kau!… kau… perkataan memberontak! Apa kau tak takut potong kepala?”

“Kau seorang Han, tapi kau begitu mendewa-dewakan kaisar Tat coe,” kata Han Lim Jie. “Kau sungguh tak mengenal malu, lelaki tak punya tulang punggung!”

Melihat sikap Han Lim Jie yang galak garang, si pelayan tidak berani berkata apa apa lagi. Ia memutar badan dan berlalu. Tapi Cie Jiak lantas melompat dan menotok jalan darah di punggungnya. “Dia tentu banyak mulut dan kalau dia dibiarkan pergi, kita mungkin ditangkap,” katanya. Seraya berkata begitu, ia menendang tubuh si pelayan ke kolong ranjang dan berkata pula. “Biar dia kelaparan beberapa hari. Kita baru lepaskan dia waktu mau meninggalkan kota ini.”

Tak lama kemudian pengurus rumah penginapan berteriak teriak memanggil pelayan itu yang sedang mengaso di kolong ranjang. “A Hok! A Hok! Kemana kau? Ambil air untuk tamu kamar nomor tiga!”

Sambil menahan tertawa, Han Lim Jie menepuk meja, “Hei! Lekas sediakan makanan dan arak!” bentaknya. Tuan besarmu sudah lapar!”

Makanan dan minuman diantarkan oleh seorang pelayan lain yang datang dengan menggerutu. “Si A Hok tentu kabur untuk melihat keramaian. Kurang ajar! Dia enak-enakan, aku yang capai.”

Pada keesokan paginya, baru tersadar Boe Kie sudah dengar ramai ramai. Ia keluar dan melihat ribuan rakyat, lelaki, perempuan, tua dan muda, berjalan ber-bondong2 ke jurusan utara dengan mengenakan pakaian baru. Semua orang riang gembira. Di antara gelak tertawa, terdengar pula suara merotoknya petasan. Keramaian itu melebihi keramaian tahun baru.

Tak lama kemudian Cie Jiak pun turut keluar. “Mari kita nonton,” ajaknya.

“Kita pernah bertempur dengan boesoe gedung Jie lam ong,” kata Boe Kie. “Aku kuatir kita akan dikenali. Kalau mau menonton, kita harus menyamar.”

Bersama Han Lim Jie, mereka lalu mengenakan pakaian orang dusun dan kemudian menuju ke Hong shia bersama sama rombongan rakyat.

Ketika itu baru masuk Sin sie (jam tujuh sampai jam sembilan pagi), tapi di dalam dan di luar Hong shia sudah penuh dengan manusia. Dengan Boe Kie sebagai pembuka jalan, mereka maju dengan perlahan. Akhirnya mereka berdiri menunggu di bawah payon sebuah gedung besar, di luar pintu Yan coen boen.

Tak lama kemudian, di sebelah kejauhan terdengar suara gembrengan dan tambur. “Sudah datang! Mereka datang!” teriak rakyat yang menunggu sambil memanjangkan leher mereka. Suara itu makin lama jadi makin keras sehingga terlihatlah rombongan pertama dari arak-arakan itu. Mereka terdiri dari 108 orang yang bertubuh tinggi besar dan mengenakan seragam hijau. Tangan kiri mereka memegang sebuah gembereng besar dan tangan kanan memukulnya dengan menurut irama.

Hebatnya suara 108 gembereng dapat dibayangkan. Rombongan gembereng diikuti rombongan tambur yang terdiri dari 30 orang. Di belakang mereka mengikuti tetabuhan – ada rombongan pi-poe (semacam gitar) dari See hek, rombongan terompet dari Mongol dan sebagainya. Jumlah anggota rombongan2 itu berkisar antara seratus orang lebih sampai seribu. Sesudah rombongan musik, muncul dua bendera sutera yang sangat besar. Yang satu dengan huruf “An pang Hoe kok” (menenteramkan dan melindungi negara), yang lain dengan “Tin sia Hok mo” (menindih yang kotor, menakluki siluman). Kedua bendera itu dikawal oleh 400 serdadu Mongol – di depan 200, di belakang 200, yang menunggang kuda putih dan memegang macam macam senjata. Melihat keangkeran itu, rakyat bersorak sorai tak henti-hentinya.

BOE KIE mendongkol bukan main. Ia menganggap penduduk kota raja tidak mengenal malu dan melupakan, bahwa negara mereka dijajah orang.

Baru saja kedua bendera itu lewat didepan Boe Kie, dari sebelah barat tiba-tiba menyambar dua helai sinar putih kearah tiang bendera. Sinar itu adalah sinar golok terbang yang masing-masing terdiri dari tujuh batang. Walaupun tiang bendera itu besar, tapi kedua tiang itu tidak dapat bertahan dari serangan tujuh golok, sehingga di lain saat kedua-duanya patah dan roboh bersama sama benderanya. Keadaan lantas saja berubah kalut. Belasan orang terguling tertimpa tiang.

Kejadian yang tidak diduga-duga itu turut mengejutkan Boe Kie dan Cie Jiak. Han Lim Jie kegirangan dan tanpa merasa mulutnya terbuka untuk. bersorak. Untung juga sebelum suaranya keluar mulutnya keburu ditekap Cie Jiak. Boe Kie tahu, bahwa golok terbang itu dilepaskan oleh ahli silat kelas satu, hanya sayang ia tak lihat siapa yang melepaskannya.

Empat ratus serdadu Mongol yang melindungi bendera gusar tercampur takut. Secara serampangan mereka menangkap tujuh delapan orang yang segera dibinasakan ditempat itu juga.

Han Lim Jie meluap darahnya. "Binatang!" cacinya dengan suara tertahan. Yang melepaskan golok sudah kabur, yang dibinasakan rakyat tidak berdosa".

"Sst! Han Toako!" bisik Cie Jiak. "Kita mau nonton, bukan mau bikin ribut".

Han Lim Jie manggutkan kepalanya dan tidak berani buka suara lagi.

Sesudah ribut ribut sebentar dari belakang datang lagi rombongan-rombongan tetabuhan. Rakyat mulai bersorak-sorak pula dan kejadian tadi yang mengenaskan segera dilupakan orang.

Dibelakang rombongan tetabuhan yang kedua itu mengikuti rombongan-rombongan wayang, seperti wayang po-tee-hie dan lain-lain, dan selewatnya, rombongan wayang muncullah kereta-kereta hias yang ditunggu-tunggu. Setiap kereta ditarik kuda pilihan dan diatas kereta terdapat pemuda-pemudi dengan bermacam-macam pakaian yang menggambarkan ceritera-ceritera atau dongeng jaman dahulu, seperti "Pek-Nio nio merendam Kim san," "Tong Som Cong mengambil kitab suci di See thian". "Tong Beng pesta di istana rembulan dan sebagainya.

Disaban kereta terdapat sehelai bendera suram dengan nama pembesar yang mempersembahkannya. Makin ke belakang kereta itu makin indah dan pembesar-pembesar yang namanya tertera di bendera juga makin tinggi pangkatnya.

Dengan mendapat tempik sorak gegap gempita, kereta-kereta lewat satu demi satu. Tiba-tiba suara tetabuhan yang mengiring setiap kereta berubah secara menyolok yang diperdengarkan sebuah lagu kuno. Boe Kie melihat, bahwa di kereta yang sedang mendatangi tertancap sehelai bendera putih, dengan tulisan. "Cioe Kong Lioe hong Koan coan ( Cie Kong membuang Koan Siok dan Coa Siok ). Di kereta itu terdapat seorang pria setengah tua yang memegang peranan Cioe Kong dan disampingnya berduduk seorang kanak-kanak yang mengenakan pakaian raja yaitu Raja Yan seng ong. Dua orang lain yang mengenakan pakaian sebagai Koan Siok dan Coa Siok, berbisik-bisik satu sama lain dan menuding-nuding Cioe Kong. Dibelakang kereta tersebut mengikuti lain kereta dengan bendera dengan tulisan yang berbunyi: "Ong Bong Kee-jin Kee Gie" (Ong Bong berlagak jadi manusia budiman) "Ong Bong" di kereta itu, yang mukanya dipoles bedak putih, sedang membagi bagian uang kepada beberapa rakyat miskin, Di belakang kedua kereta itu mengikuti empat bendera dengan tulisan yang merupakan sajak.

"Cioe Kong pernah dicaci.

Ong Bong pernah dipuja.

Kalau waktu itu mereka mati,

Tulen palsunya yang tahu siapa?"

Membaca sajak itu. Boe Kie manggut-manggut manggutkan kepala. "Benar,“ pikirnya. "dalam dunia ini, salah atau benar, hitam atau putih, sukar sekali bisa diketahui. Cioe Kong seorang nabi, tapi, waktu membuang Koan Siok dan Coa Siok orang menuduhnya sebagai pengkhianat yang ingin merebut tahta kerajaan. Ong-bong seorang menteri dorna. Tapi semula pada waktu ia merendahkan diri dan menghormat rakyat ia dipuji. Inilah apa yang dikatakan sesudah berjalan jauh, barulah kita tahu seekor kuda, sesudah diuji lama. barulah kita mengenal hati manusia. Orang yang menerangkan kedua kereta itu bukan sembarang orang. Ia termenung. Ia ingat segala pengalaman yang akhir-akhir ini. Ia ingat duga-dugaannya dalam sebuah teka-teki yang ditutup kabut. Manusia apa sebenarnya Tio Beng? Apa dia membunuh atau tidak membunuh In Lee? Sekonyong-konyong ia disadarkan oleh suara gembereng pecah. Ia menengadah dan melihat sebuah kereta yang ditarik oleh dua kuda kurus. Berbeda dari yang lain, kereta itu polos tanpa hiasan apapun jua.

Beberapa orang tertawa mengejek. "Masakah kereta begitu turut diarak?" kata seorang.,

Tapi waktu kereta ita mendekati, Boe Kie terkesiap. Ia terkesiap karena diatas kereta, disebuah dipan, bersila seorang tinggi besar yang rambutnya kuning, dan kedua matanya meram. Siapa lagi, kalau yang digambarkan bukan Kim-mo Say ong Cia Soen? Disamping "Cia Soen" berdiri seorang wanita cantik yang memegang cangkir teh. Keayuan wanita itu belum menyamai Cie Jiak, tapi pakaian dan geriknya tidak berbeda dari nona Cioe.

“Cioe Kouwnio, dia mirip kau!" bisik Han Lim Jie dengan suara kaget.

Cie Jiak tidak menyahut, Boe Kie menengok dan melihat muka si nona yang pucat pasi dan dada yang turun naik. Ia tahu bahwa tunangannya sedang bergusar. Ia mencekal tangan orang yang dingin bagaikan es.

Kereta yang disebelah belakang masih memperlihatkan ceritera "Cia Soen Cie Jiak“, Cie Jiak menotok punggung "Cia Soen" dan kemudian mengangkat pedang untuk membunuh oraug tua itu. "Benar! benar!Bunuh dia!" teriak beberapa orang.

Kereta ketiga masih juga cerita "Cia Soen Cie Jiak" Enam tujuh orang mengenakan pakaian pengemis sedang menahan 'Cia Soen dan Cie Jiak.“

Boe Kie tak merasa sangsi lagi, bahwa ketiga kereta itu dibuat atas suruhan Tio beng, untuk menghina tunangannya. Ia membungkuk, menjemput enam butir batu kecil dan menimpuk

Hebat sungguh timpukan itu! Setiap batu mampir tepat di mata kanan setiap kuda dan batu itu terus masuk ke otak, sehingga sesudah berbenger dan berjingkrak-jingkrak, enam ekor kuda itu lantas saja roboh binasa. Keadaan berubah kalut. Kecuali Cie Jiak dan Han Liem Jie, tak seorangpun mendapat tahu timpukan dari dalam tangan bajunya.

Nona Cioe menggigit bibirnya, "Boe Kie koko,” katanya, perempuan siluman itu . . .. terlalu, terlalu menghina aku....." Ia tak bisa meneruskan suaranya yang parau dan badannya agak bergemetaran.

Dengan rasa kasihan, Boe Kie mencekal tangan tunangannya. "Cie Jiak," katanya dengan suara membujuk, perempuan itu memang dapat melakukan apa pun jua. Kau jangan ladeni. Asal aku mencintai kau, orang luar tak akan bisa berbuat sesuatu apa."

Cie Jiak mengangguk. Lewat beberapa saat mendadak ia berkata. "Ah, sekarang ku ingat! Hari itu Giehoe sehat-sehat saja dan tiba-tiba ia bergemetaran, lalu roboh. Sesudah roboh mulutnya ngaco. Apa tak bisa jadi.....perempuan siluman itu bersembunyi di rumah penginapan dan melepaskan senjata rahasia terhadap Gie hoe?"

"Kurasa tak mungkin" jawab Boe Kie.

"Kalau itu perbuatannya aku rasa tak akan keburu menyusul ke kelenteng Bie tek-hoed. Mungkin juga kerajaan Hian beng Jie loo.

Sementara itu sejumlah serdadu Mongol sudah datang dan menyingkirkan bangkai2 kuda supaya arak-arakan tidak terhalang.

Boe Kie dan Cie Jiak tak punya kegembiraan lagi untuk menonton kereta-kereta hias lewat tanpa diperhatikan mereka. Sesudah kereta hias, datanglah rombongan pendeta yang mengenakan jubah merah, diikuti oleh 2000 serdadu Gie lim koen yang bersenjata tombak dan 3000 serdadu pilihan yang bersenjata gendewa dan anak panah. Kemudian, diantara asap hio yaag mengepul keatas, berjalan rerotan joli dengan patung-patung malaikat, semuanya 360 patung. Dengan paling dulu joli Kwan teeSeng koen (Kwan Kong ). Rakyat menyambut rerotan itu dengan mengucapkan doa, banyak diantaranya berlutut ditanah.

Akhirnya, sesudah lewatnya barisan yang membawa alat-alat upacara, seperti kim koa (labu emas), kim toei (martil emas) dan sebagainya, rakyat bersorak, "Hongsiang! Hongsiang!" teriak mereka.

Sebuah joli besar yang ditutup dengan sutera kuning dan digotong oleh 32 sie wie baju sulam kelihatan mendatangi. Joli itu joli kaisar. Boe Kie mengawasi dengan mata tajam. Ia mendapat kenyataan, bahwa kaisar itu pucat mukanya dan suatu tanda dari pelesir dan arak yang tidak mengenal batas. Putera mahkota mengikuti dengan menunggang kuda. Dengan menggendong gendewa tertawa emas, putera kaisar itu kelihatan gagah dan angker dan cocok untuk menjadi sesorang putera Mongol.

“Kauwcoe," bisik Han Lim Jie, "mengapa kau tidak mau menggunakan kesempatan ini untuk membinasakan kaisar Tat coe itu?"

"Hm!" jawabnya. Ia tidak bisa lantas mengambil keputusan dan lalu menimbang-nimbang baik tidaknya.

"Dengan membinasakan dia Kauwcoe menyingkirkan satu bahaya bagi rakyat," bisik pula Han Lim Jie. "Biarpun dia banyak pengawalnya2, mana bisa menghalangi serangan Kauwcoe."

Mendadak, seorang yang berdiri disebelah kiri Boe Kie, berbisik. "Tidak boleh! Jangan!"

Boe Kie terkejut dan melirik orang itu, seorang penjual obat setengah tua . Sekonyong-konyong dia mengacungkan kedua jempolnya dan membuat tanda obor didepan dadanya. "Pheng Eng Giok menghadap kepada Kauwcoe," bisiknya.

Boe Kie kegirangan dan berkata dengan suara tertahan. "Kau! ... Pheng ..."

Pandai sungguh Pheng Hweeshio menyamar, sehingga Boe Kie yang berdiri disampingnya tidak dapat mengenalinya.

"Disini bukan tempat bicara," bisik Pheng Eng Giok. "Kauwcoe tidak beleh binasakan kaisar Tat coe."

Boe Kie tahu, bahwa pembantunya itu mempunyai pemandangan yang sangat luas. Ia mengangguk dan mencekal tangannya erat-erat, sebagai tanda rasa girangnya.

Kaisar dan putera mahkata diiringi oleh barisan Gie lim koen dengan kekuatan 3000 orang dan rerotan yang terakhir adalah berlaksa rakyat jelata yang mengenakan pakaian beraneka-warna. "Mari lihat Hong houw Nio nio dan Kong coe Nio nio!" seru beberapa orang sambil menggapai sahabat atau kenalannya.

"Aku ingin sekali lihat mereka," kata Coe Jiak kepada Boe Kie. Ia mengangguk dan bersama Pheng Eng Giok dan Han Lim Jie, mereka lalu menuju ke arah Giok tek tian, bersama-sama rerotan rakyat. Tak lama kemudian mereka melihat tujuh buah loteng indah yang dihias secara indah pula. Dibawah loteng dijaga oleh sepasukan Gie lim koen bersenjata rotan yang digunakan untuk mengusir rakyat yang datang terlalu dekat. Dengan tak banyak susah Boe Kie berempat mendesak ke depan. Di loteng yang di tengah-tengah berduduk sang kaisar disebuah kursi naga-nagaan dengan diapit oleh dua orang permaisurinya yang berbadan gemuk dan berpakaian mewah. Putera mahkota duduk di sebelah kiri, sedang yang duduk di sebelah kanan seorang wanita muda yang berusia kira-kira dua puluh tahun.

"Dia tentulah puteri kaisar," kata Boe Kie di dalam hati sambil mengawasi loteng kedua yang terletak disebelah kiri.

Tiba-tiba jantungnya mengetuk lebih keras, karena di loteng ini berduduk Tio Beng yang mengenakan baju bulu dan perhiasan mahal. Di tengah-tengah loteng itu berduduk seorang raja muda yang berparas agung dan bukan lain daripada Kuhkun Temur, ayahanda Beng-beng Koencoe. Kuhkun Temur, kakak Tio Beng kelihatan berjalan di sisi loteng dengan tindakan seperti tindakan harimau.

Dengan mata mendelong Cie Jiak mengawasi kedua permaisuri yang mewah itu. Tanpa merasa ia maju beberapa tindak dan melewati perbatasan yang diperbolehkan untuk rakyat jelata. Seorang anggota Gie lim koen segera menyabet dengan rotannya.

Bagaikan kilat Cie Jiak menangkap ujung rotan. Dengan mudah ia akan dapat merobohkan serdadu itu, tapi sejenak kemudian ia melepaskan cekalannya dan mundur, akan kemudian menghilang diantara orang banyak.

Ketika itu didepan loteng mulai diadakan latihan barisan Thian mo Thia tin oleh rombongan Han ceng (pendeta asing). "Tin" yang diperlihatkan di keluarga kaisar benar-benar hebat dengan perubahan-perubahan yang sangat aneh, sehingga saban-saban mendapat sambutan yang gegap gempita dari berlaksa rakyat. Tapi Cie Jiak tidak tertarik oleh latihan itu. Sesudah mengawasi Tio Beng beberapa lama, ia menghela napas, dan berkata. "Mari kita pulang."

Setibanya di rumah penginapan, Pheng Eng Giok memberi hormat kepada Boe Kie sebagai mana layaknya dan masing-masing lalu menceriterakan pengalamannya. Pheng Hweeshio yang baru kembali dari Hway see ternyata tak tahu kalau Cia Soen sudah pulang ke Tiong goan. Ia memberitahu, bahwa Coe Goan Cang, Cie Tat dan Siang Gie Coen telah memperoleh banyak kemajuan sehingga Beng kauw sangat disegani.

Pheng Taysoe," kata Han Lim Jie sesudah Pheng Eng Giok selesai menutur. "Apabila tadi kita melompat untuk naik ke loteng dan membunuh kaisar Tat coe itu, bukankah dengan demikian kita menyingkirkan satu bencana bagi rakyat?"

Pheng Hweeshio menggeleng-gelengkan kepala, “Kaisar bebodoran itu justru pembantu kita yang sangat berharga,” jawabnya. "Mana boleh kita membunuh dia?"

"Han Heng tee" kata Pheng Eng Giok sambil tersenyum, "kaisar itu tolol, kejam dan doyan pelesir. Paling belakang dia memerintahkan penggalian sungai Hong ho. Rakyat sangat menderita dan bergusar. Mengapa saudara-saudara kita sudah memperoleh hasil-hasil baik di medan perang? Apa benar tentara rakyat serba kekurangan bisa melawan tentara Mongol yang gagah perkasa? Sebab musabab dari kemenangan kita ialah karena rakyat sudah. membenci Tat coe. Dalam setiap pertempuran, rakyat membantu kita. Kaisar tolol itu tak bisa menggunakan orang-orang pandai, Jenderal yang seperti Jie Lam ong selalu dihalang-halangi dan dicurigai. Kaisar bebodoran itu kuatir, bahwa kalau pahalanya sudah terlalu besar, raja muda tersebut akan merebut kerajaan. Maka itu perlahan-lahan dia mengurangi kekuasaan Jie Lam ong atas ketentaraan dan mengangkat jenderal-jenderal tolol untuk memimpin tentara, sehingga biarpun gagah perkasa, pasukan-pasukan Mongol sering kalah dalam medan perang. Inilah sebabnya mengapa aku mengatakan bahwa kaisar Tat coe itu pembantu kita yang sangat berharga."

Han Lim Jie tersadar. Ia manggut-manggutkan kepalanya dan merasa kagum akan pandangan Pheng Eng Giok yang sangat jauh.

"Apabila kita membunuh kaisar Tat coe itu, putera mahkota akan menggantikannya" kata pula Pheng Hweeshio. "Meskipun bodoh, dia tentu tak sebodoh ayahnya. Jika dia bisa menggunakan panglima-panglima yang pandai usaha kita bisa gagal seanteronya.''

"Syukur sekali Taysoe berada disini" kata Boe Kie. "Kalau tidak, mungkin aku sudah menyerang dan merusak urusan besar."

"Kauwcoe adalah seorang yang sangat penting dan memikul tugas berat untuk mengusir kekuasaan Tat coe" kata Pheng Eng Giok. "Maka itu Kauwcoe tak boleh menempuh bahaya secara sembrono. Seorang kaisar selalu dijaga keras dan diantara pengawalnya terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi. Meskipun gagah, Kauwcoe belum tentu bisa melawan mereka yang berjumlah sangat besar."

Boe Kie mengangkat kedua tangannya dan berkata. "Aku merasa sangat berterima kasih untuk nasihat Taysoe dan aku berjanji akan memperhatikannya."

Cie Jiak menghela napas. "Memang kau juga tidak boleh sembarangan menerjang bahaya" katanya. Di hari kemudian sesudah usaha kita berhasil, kursi naga tentu akan diduduki oleh Thio Kauwtjoe."

Han Lim Jie bertepuk tangan. "Benar!“ serunya dengan suara perlahan.

"Thio Kauwcoe jadi Hongtee. Cioe Kouwnio jadi Hong houw. Pheng dan Yo coesoe sebagai Yoe sin siang."

Muka nona Cioe lantas saja berubah merah. Ia menunduk dengan sikap kemalu-maluan tapi sinar ujung matanya menandakan bahwa ia merasa girang sekali.

Dengan sikap bingung Boe Kie sendiri buru-buru menggoyang-goyangkan kedua tangannya. "Han Hengtee, perkataanmu itu tak boleh dikeluarkan lagi!" katanya dengan suara sungguh-sungguh. "Aku hanya bertujuan untuk menolong rakyat dari penderitaan, sesudah berhasil aku akan segera mengundurkan diri. Aku sedikitpun tak kemaruk akan kekayaan dan kedudukan tinggi."

Pheng Eng Giok tertawa. "Kauwcoe mempunyai kepandaian dan kebijaksanaan yang jarang tandingan" katanya, "Kalau waktunya tiba andaikata Kauwcoe mau menolak, Kauwcoe takkan bisa menolak. Dahulu, Tio Kong In pun belum pernah mimpi akan menjadi kaisar." ( Ti Kong In adalah, pertama dari kerajaan Song)

„Tidak bisa!“ kata Boe Kie. „Bila dalam usaha ini hatiku bercabang dan mempunyai angan-angan untuk keuntungan pribadi, biarlah langit dan bumi mengutuk aku, biarlah aku mati secara tidak baik!“

Mendengar penolakan yang disertai sumpah itu, paras muka Cie Jiak lantas saja berubah. Ia melongok keluar jendela dan berkata, „Pemimpin Beng Kauw menjadi kaisar bukan kejadian yang terlalu luar biasa. Dahulu ayahku mengangkat diri sendiri sebagai raja. Kalau berhasil, bukankah ayah sudah menjadi Hong-tee?“

"Ya, hanya sayang Cioe Coe Ong Cioe Soeheng gagal dalam usahanya,“ kata Pheng Eng giok dengan suara duka. „Kalau berhasil, Cioe Kouwnio sudah menjadi Kong coe Nio-nio.“

Cie Jiak tertawa dingin. “Mm!....." Ia mengeluarkan suara di hidung. „Apakah keistimewaan Koen coe dari Jie-lam ong? Tapi toh ada yang mengawasinya tanpa berkedip dan mendewi-dewikannya. Kalau aku jadi lelaki dan aku mau menikah dengan keluarga kaisar sendiri, kalau bisa menjadi Hoe-ma barulah boleh dibuat bangga. (Hoe ma adalah Menantu lelaki dari seorang kaisar)

Pheng Eng Giok dan Han Lim Jie yang menafsirkan perkataan Cie Jiak sebagai guyonan, lantas saja tertawa terbahak-bahak. Tapi Boe Kie sendiri bukan main rasa jengahnya. „Cie-Jiak sangat halus budi pekerti, tapi mengapa ha ri ini ia mengeluarkan kata-kata itu?" pikirnya.

"Mungkin sekali waktu tadi aku mengawasi Tio Kouwnio, Cie Jiak merasa tak senang. Tapi... ah! ... Perkataannya itu hanya membuktikan kecintaannya terhadapku."

Sementara itu Pheng Eng Giok melaporkan hasil-hasil gerakan Beng Kauw dalam keseluruhannya. Ia mengatakan bahwa biarpun sering juga menderita kekalahan di medan perang tapi tenaga kekuatan Beng kauw makin lama jadi makin besar! Hanya sayang dalam Rimba Persilatan masih terdapat partai-partai yang merasa jelus atau mengiri, persatuan yang sempurna belum tercapai. Maka itu kata Pheng Eng Giok alangkah baiknya jika bisa diadakan pertemuan dan musyawarah besar antara orang-orang gagah Rimba Persilatan. Apabila tercapai persatuan yang kokoh, maka usaha mengusir Tat-coe pasti akan terwujud.

"Taysoe benar," kata Boe Kie. "Nanti sesudah bertemu dengan Yo-CoSoe, kita akan berdamai lebih jauh."

Sesudah makan malam Boe Kie berkata, "Aku dan Pheng Taysoe ingin jalan-jalan sambil mendengar-dengar halnya Giehoe." Ia menengok kepada Han Lim Jie dan berkata pula: "Han Heng-tee, kau dan Cie Jiak tak usah mengikut. Kalian mengaso saja." Ia tidak mau mengajak Han Lim Jie sebab kuatir saudara yang berangasan itu menerbitkan onar.

Sesudah keluar dari rumah penginapan, mereka berpencaran, yang satu mengambil jalan ke barat, yang lain ke timur dan berjanji akan pulang ke penginapan sebelum jam dua lewat tengah malam.

Boe Kie yang menuju ke barat memasang mata dan kuping. Tapi apa yang didengarnya hanya omong-omongan rakyat tentang keramaian siang tadi dan cerita-cerita ngawur tentang pemberontakan Beng kauw. Ia tak mendapat sesuatu yang penting. Ia berjalan dengan menuruti mau nya kaki, makin lama jalan jadi makin sepi. Tiba-tiba jantungnya memukul keras karena ia mendapat kenyataan, bahwa ia berada didepan sebuah rumah makan kecil, dimana dahulu ia pernah minum arak bersama-sama Tio Beng. “Mengapa aku bisa datang kesini? Apa lantaran aku selalu tidak dapat melupakan Tio Kouwnio?" tanyanya didalam hati.

Pintu rumah makan itu separuh dirapati, di dalam tidak terdengar suara, seperti juga tiada tamunya. Ia mendorong pintu dan bertindak masuk. Seorang pegawai kelihatan tertidur sambil mendekam di meja. Ia terus masuk kedalam.

Ternyata, pada sebuah meja di suatu sudut berduduk seorang tamu yang sedang bersantap dengan muka menghadap kedalam, dibawah penerangan sebatang lilin. Hati Boe Kie berdebar-debar sebab ia segera mengenali, bahwa meja itu adalah dimana ia pernah minum arak bersama nona Tio.

Sebab mendengar tindakan, tamu itu mendadak berbangkit dan menengok dan ... orang itu bukan lain dari pada Tio Beng sendiri!

Untuk sejenak kedua-duanya berdiri terpaku dan Kedua-duanya mengeluarkan seruan kaget.

"Kau! ... mengapa kau datang kesini?" kata Tio Beng. Suaranya bergemetaran. Sebagai tanda dari goncangan hatinya.

„Aku keluar jalan-jalan dan kebetulan lewat disini dan tak dinyana......" kata Boe Kie sambil mendekati. Melihat seperangkat piring mangkok dan sepasang sumpit didepan si nona, ia berkata pula "Apa kau sedang menunggu seseorang ?"

Tio Beng lantas bersemu dadu. "Tidak" jawabnya. "Dua kali kita pernah minum arak di sini dan kau duduk dihadapanku. Maka itu ... maka itu ... kuperintahkan pelayan menyediakan piring mangkok itu."

Boe Kie merasa sangat berterimakasih. Ia lihat empat tempat macam sayur di meja dan ke empat macam sayur itu tidak berbeda dengan sayur yang pernah dimakannya bersama sama nona Tio.

Tak kepalang rasa terharunya Boe Kie. Tanpa merasa ia memegang tangan si nona dan berkata dengan perlahan. "Tio Kouwnio .... "

"Aku hanya merasa menyesal ..." kata si nona, "menyesal aku terlahir dalam keluarga raja muda Mongol yang menjadi musuhmu ...“

Pada saat itulah, di luar jendela mendadak terdengar "heh-heh," suara tertawa dingin, dan serupa benda menyambar lilin yang lantas saja menjadi padam. Boe Kie dan Tio Beng mengenal bahwa suara itu suara Cie Jiak. Mereka jadi serba salah keluar salah, berdiam diruangan yang gelap itupun salah. Dalam detik itu, di atap rumah terdengar suara berkeresekan dan bagaikan angin, Cie Jiak sudah berlalu.

"Apa benar kau sudah bertunangan sama dia?" bisik Tio Beng.

"Benar," jawabnya. "Aku tidak boleh berdusta.“

"Hari itu waktu bersembunyi dibelakang pohon, kudengar perkataan-perkataanmu yang penuh kecintaan, yang manis seperti madu. Ketika itu, aku ingin lantas mati, aku tak mau hidup lebih lama lagi di dunia ini. Aku tertawa dingin dua kali. Sekarang ia membalasnya. Tapi . . . tapi . . . dari mulutmu aku tidak pernah mendengar sepatah katapun yang bisa menghibur hatiku ..."

"Tio Kouwnio, sebenarnya aku tidak boleh datang kesini lagi, tidak boleh bertemu muka lagi dengan kau. Aku sudah mengikat janji dan aku tak pantas melakukan sesuatu yang dapat membangkitkan rasa dukamu. Tio Kouwnio ibarat pohon kau bercabang emas dan berdaun kemala. Mulai dari sekarang kau harus melupakan aku ...."

Tio Beng memegang tangan Boe Kie dan mengusap-usap tanda bekas luka dibelakang tangan itu. "Luka ini karena gigitanku." katanya, "Biarpun ilmu silatmu tinggi, biarpun ilmu ketabibanmu tinggi, tak bisa kau menghilangkan tanda luka dalam hatiku?" Sehabis berkata begitu, ia menatap wajah Boe Kie dengan air mata yang tak bisa dilukiskan. Sekonyong-konyong kedua tangaanya memegang kepala Boe Kie dan ia . . .. menggigit bibir pemuda itu sehingga mengeluarkan darah! Sesudah itu ia mondorong dan melompat keluar dari jendela. "Penjahat cabul! Aku benci kau!... aku benci kau ...“ serunya.

*****

SESUDAH Boe Kie dan Pheng Eng Giok berlalu, Han Lim Jie berkata "Cioe Kouwnio, kau tidurlah siang-siang." Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu dan pergi ke kamarnya sendiri.

Cie Jiak tertawa, “Han Toako," katanya. "Mengapa kau begitu takut? Duduk omong omong sebentar saja kau tidak mau."

"Tidak ! tidak!" jawabnya. Ia mempercepat tindakannya, masuk ke kamarnya dan lalu menapal pintu.

Sambil rebah diatas pembaringan batu, ia membayangkan kecantikan dan kehalusan Cie Jiak yang dipandangnya seperti dewi. Tak lama kemudian ia tertidur.

Kira-kira tengah malam mendadak pintu terketuk. Ia melompat bangun dan bertanya, "Siapa?"

"Aku,“ demikian terdengar suara Cie Jiak. "Buka pintu! Aku ingin bicara denganmu."

Han Lim Jie melompat turun dari pembaringan, membuka tapal pintu dan menyalakan lilin. Dengan kaget ia lihat kedua mata si nona yang merah dan sikapnya yang luar biasa. "Cioe Kauwnio, kau . . . kau. . . kenapa?" tanyanya. Untuk sejenak ia berdiri terpaku dan kemudian sambil lari keluar ia berkata, "Aku mau ambil air." Tak lama kemudian ia masuk lagi dengan membawa sepaso air. "Kau . . . cucilah mukamu," katanya.

Cie Jiak tidak menyahut. Ia hanya menggelengkan kepalanya dan mengawasi api lilin dengan mata mendelong. Mendadak air matanya mengucur. Han Lim Jie kaget bercampur bingung, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Lama juga nona Cioe berdiri bengong seperti orang linglung. Tiba-tiba ia tersadar dan mengeluh dengan suara perlahan.

"Cioe Kouwnio, siapa yang menyakitimu?" tanya Han Lim Jie. "Beritahukanlah kepadaku. Si orang she Han akan tikam dia."

Cie Jiak tetap membungkam. Sambil menghela napas, ia bertindak keluar dan masuk ke kamarnya sendiri. Sesudah duduk beberapa lama, ia keluar lagi.

Han Lim Jie jadi makin bingung. Tak lama kemudian kentong berbunyi tiga kali. "Mengapa Kauwcoe dan Pheng Taysoe belum juga balik?" tanyanya didalam hati, "Tak lama ada jalan lain dari pada tunggu pulangnya mereka." Walaupun berkuatir, ia tidak berani menengok si nona yang sudah masuk lagi ke kamarnya. Ia lalu merebahkan diri di pembaringan.

Dalam keadaan setengah tidur, sekonyong-konyong ia mendengar suara gedubrukan di kamar Cie Jiak, seperti jatuhnya kursi. Ia melompat bangun dan berlari-lari ke kamar nona Cioe. Dengan bantuan sinar rembulan, dari luar jendela ia lihat bayangan sesosok tubuh manusia yang bergelantungan dan bergoyang-goyang dengan perlahan. Dengan hati mencelos ia berteriak "Cioe Kouwnio ! ... Cioe Kouwnio ..."

Ia menolak pintu, tapi pintu ditimpal dari dalam. Tanpa memikir panjang lagi, dengan seantero tenaga, ia mendorong pintu dengan pundaknya, sehingga timpal pintu patah. Ia masuk ke dalam dan segera menyalakan lilin. Cocok dengan dugaannya, nona Cioe menggantung diri dengan seutas tambang yang diikatkan pada balok rumah dengan lehernya sendiri. Bagaikan kalap, ia melompat tinggi, menjambret tambang dan menarik sekuat-kuatnya, sehingga tambang itu putus. Dengan tangan bergemetaran, ia mendukung tubuh si nona dan merebahkannya diatas pembaringan. Seperti disambar halilintar, ia mendapat kenyataan, bahwa nona Cioe sudah tidak bernapas! "Cioe Kouwnio !.... Cioe Kouwnio !..." ia sesambat.

Tiba-tiba diluar kamar terdengar suara seorang. "Han Toako, ada apa?" Orang itu lantas masuk kedalam dan dia bukan lain daripada Boe Kie sendiri. Melihat tunangannya, bukan main kagetnya, pemuda itu. Buru-buru ia membuka ikatan tambang pada leher Cie Jiak dan meraba dadanya. Untung juga jantungnya masih berdenyut. "Masih bisa ditolong," katanya dengan suara lega. Ia lalu mengurut punggung Cie Jiak dan mengirim Kioeyang Cin khie kedalam tubuh si nona.

Beberapa saat kemudian Cie Jiak berteriak, "Uah!" dan lalu menangis. Ia membuka matanya dan begitu melibat Boe Kie ia berkata "Biar aku mati! Aku lebih baik mati!" Mendadak ia lihat bibir Boe Kie yang berdarah dan bertanda tapak gigi, darahnya lantas saja bergolak dan dengan sekuat tenaga ia menggaplok.

Han Lim Jie terkesiap. Ia berdiri terpaku dan mengawasi dengan mata membelalak. Pihak mana yang harus diambil olehnya? Di satu pihak Kauwcoe yang dipujanya, dilain pihak calon nyonya Kauwcoe yang juga dipandangnya seperti dewi. Selagi kebingungan mendadak pundaknya ditepuk orang. Ia menengok dan ternyata orang itu bukan lain dari pada Pheng hweeshio. "PhengTay soe" katanya dengan suara girang. "Lekas bujuk Cioe Kouwnio!"

Pheng Eng Giok tertawa. "Bujuk apa?” tanyanya. "Mari kita keluar".

"Tidak bisa! Mereka akan berkelahi! Cioe Kouwnio bukan tandingan Kauwcoe," kata si tolol.

Pheng Eng Giok tertawa terbahak bahak. "Han Heng-tee, apakah kita berdua bisa menandingi Kauwcoe?" tanyanya. "Aku berani pastikan dengan seorang diri Cioe Kouwnio akan mendapat kemenangan." Seraya berkata begitu, ia memberi isyarat dengan kedipan mata dan lalu menarik taagan Han Lim Jie.

Sementara itu, sesudah menggapelok tunangannya, Cie Jiak lalu membanting diri di pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Boe Kie duduk di pinggir ranjang dan sambil mengusap-usap pundak si nona, ia berkata dengan suara lemah lembut. "Sungguh mati aku tidak berjanji dengan dia untuk mengadakan pertemuan di situ. Hal itu telah terjadi karena kebetulan saja."

"Justa! Bohong! Aku tidak percaya!"

Boe Kie menghela napas. "Cie Jiak, apa kau tak ingat riwayat Cioe Kong dan Ong Bong?" tanyanya. "Dalam dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian kebetulan yang bisa menimbulkan salah mengerti".

Si nona bangun duduk. "Kau sungguh kejam!" teriaknya. "Koencoe Nio nio-mu menghina aku dengan sajaknya dan kau bahkan menyebut-nyebutnya lagi. Lihat bibirmu! Apa kau tak malu?" Sehabis berkata begitu, mukanya sendiri berubah merah.

Boe Kie mengerti, bahwa ia takkan dapat membela diri. Jalan satu-satunya ia harus bersabar. Melihat muka tunangannya yang kemerah-merahan, lehernya yang masih bertanda bekas ikatan tambang dan matanya yang merah, di dalam hatinya lantas saja timbul rasa kasihan. Ia ingat, bahwa jika tidak keburu ditolong oleh Han Lim Jie, tunangannya itu pasti sudah binasa. Mengingat begitu, dengan rasa terharu ia segera memeluk. Cie Jiak coba memberontak, tapi Boe Kie terus memeluk erat-erat dan mencium dahinya.

Lama ia memeluk dan Cie Jiak pun tidak memberontak lagi. Tiba-tiba ia merasa jengah sendiri. Perlahan-lahan ia melepaskan pelukannya dan berkata. "Cie Jiak, kau tidurlah. Besok kita bicara lagi. Kalau aku berani menjustai kau lagi dan diam-diam mengadakan pertemuan dengan Tio Kouwnio, kau boleh bunuh aku."

Si nona tidak menjawab. Ia terus menangis dengan perlahan. Makin dibujuk, ia menangis makin keras. Akhirnya Boe Kie bersumpah, bahwa ia tidak akan berkhianat dan bahwa ia masih tetap mencintai si nona deagan segenap jiwa.

"Aku tak mempersalahkan kau, aku hanya merasa menyesal akan nasibku yang buruk..." kata Cie Jiak dengan suara hampir tak kedengaran.

"Diwaktu masih kecil, kita bersama-sama bernasib buruk," kata Boe Kie. "Dengan Tat coe yang berkuasa, seluruh rakyat bernasib buruk. Nanti sesudah Tat coe terusir, kita akan hidup beruntung."

Tiba-tiba Cie Jiak mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Boe Kie Koko, kutahu kecantikanmu terhadapku. Ku tahu ini semua karena gara-gara bujukan si perempuan siluman... bukan kau yang berhati bercabang. Tapi ... tapi ... dengan sebenarnya aku tak bisa menjadi isterimu. Aku ingin mati. Tapi si Han Lim Jie menolong aku. Sesudah gagal satu kali, aku tak berani mencoba untuk kedua kali. Aku... akan mengikuti contoh Soehoe, aku akan mencukur rambut dan menjadi pendeta. Ya! Ciang ... boenjin dari Gobie pay memang biasanya seorang wanita yang tidak menikah.“

"Mengapa kau mempunyai pikiran begitu ? Apakah kau bergusar terhadap Tio Kouwnio karena kau anggap Tio Kouwnio memberi petunjuk, bahwa kaulah yang sudah mencelakai ayah angkatku ?"

"Apa kau percaya ?"

"Tentu saja tidak!"

"Kalau tidak percaya, baguslah. Siapapun juga tak akan percaya."

"Tapi mengapa kau terus berduka?"

Cie Jiak menggigit bibirnya. "Karena ... karena ...“ katanya. Sehabis mengatakan dua kali perkataan "karena", ia memalingkan mukanya ke jurusan lain. "Boe Kie Koko," katanya pula dengan suara parau. "Sebenarnya kau lebih baik tidak pernah bertemu dengan aku. Mulai dari sekarang, kau jangan ingat-ingat lagi diriku. Kau boleh menikah dengan Tio Kouwnio atau dengan wanita lain. Aku . . . aku tak perduli ..." Mendadak kedua kakinya menjejak pembaringan dan tubuhnya melesat keluar dari jendela dan kemudian hinggap diatas rumah.

Boe Kie tertegun. Ia tak pernah menduga bahwa tunangannya memiliki ilmu mengentengkan badan yang begitu. Sesaat itu ia tidak sempat memikir panjang-panjang lagi dan segera menguber.

Si nona kabur ke jurusan timur. Boe Kie mengejar dengan mengambil jalan mutar dan dengan cepat, ia sudah menghadang didepan. Sebab tidak keburu menghentikan tindakannya, Cie JiaK menubruk Boe Kie yang segera memeluknya, mereka berada di dekat sungai kecil. Boe Kie lalu mendukung tunangannya ke sebuah batu besar di pinggir sungai. "Cie Jiak," katanya dengan suara halus, "Suami isteri harus sama-sama senang dan sama-sama susah. Penderitaanmu adalah penderitaanku juga. Ganjelan apa yang sedang dipikir olehmu. Bilanglah! ... kau bilanglah..."

Sambil menyesapkan kepalanya di dada Boe Kie, si nona menangis tersedu-sedu. "Aku ... aku ...." katanya terputus-putus. "Kehormatanku sudah dirusak orang! ... Aku sudah ternoda ... Aku ... aku sudah ... hamil! Bagaimana aku bisa menikah dengan kau?"

Pengakuan itu bagaikan halilintar ditengah hari bolong. Boe Kie terpaku ia merasa kepalanya puyeng dan matanya berkunang-kunang.

Perlahan-lahan Cie Jiak bangun berdiri. "Itulah sudah nasibku," katanya. "Kau harus bisa melupakan aku."

Boe Kie tidak menyahut. Ia menatap wajah tunangannya dengan mata membelalak. Ia tak percaya kupingnya sendiri.

Si nona menghela napas. Ia memutar badan dan berlalu.

Boe Kie melompat dan seraya mencekal tangan tunangannya, ia bertanya dengan suara gemetar. "Apa .... bangsat Song Ceng Soe?"

Cie Jiak mengangguk. Dengan air mata berlinang-linang ia berkata, "Aku ditotok dan aku tidak bisa melawan ... "

Pada detik itu juga Boe Kie sudah mengambil keputusan. Ia memeluk Cie Jiak dan berkata dengan suara halus. "Cie Jiak, itu semua bukan salahmu. Sesudah beras menjadi bubur, jengkelpun tiada gunanya. Cie Jiak karena penderitaanmu itu, aku lebih mencintai kau, aku lebih merasa kasihan terhadapmu. Besok kita berangkat ke Hway see dan mengumumkan kepada saudara-saudara agamaku, bahwa kita akan segera menikah. Mengenai anak dalam kandunganmu, anggap saja, bahwa anak itu adalah anakku sendiri. Cie Jiak, bagiku kau masih tetap suci, kau tetap putih bersih, karena segala kejadian itu adalah diluar kemauanmu."

"Perlu apa kau menghibur aku? Aku sudah ternoda. Mana bisa aku menjadi hoe jin (isteri) dari seorang Kauwcoe?"

"Cie Jiak, dengan berkata begitu kau memandang rendah kepadaku Thio Boe Kie seorang laki-laki tulen. Pemandanganku berlainan dengan pemandangan orang biasa. Andai kata, karena khilaf, kau terpeleset dan jatuh, aku masih bisa melupakan segala kesalahanmu. Apalagi dalam hal ini, dimana bencana sudah datang diluar keinginanmu?"

Bukan main rasa berterima kasihnya Cie Jiak. "Boe Kie Koko," katanya, "apa benar kau begitu mulia? Kukuatir kau menjustai aku."

"Kecintaanku ... kebaikanku terhadapmu, kau akan tahu dihari kemudian. Pada hakekatnya, sekarang ini aku belum berbuat baik terhadapmu."

Si nona menangis makin sedih. "Boe Kie Ko ko ... " bisiknya, "gugurkan saja kandungan ku dengan menggunakan obat ... "

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar