Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 71
Boe Kie menghela nafas dan
untuk beberapa saat, semua orang membungkam.
Akhirnya Coan kang tiangloo
berkata, “Thio Kauwcoe, putera Han San Tong berbicara ayah masih berada di
tempat kami!” Ia lalu berbicara dengan seorang pengemis yang lantas masuk ke
dalam dengan tindakan cepat.
Tak lama kemudian,
terdengarlah cacian Han lim Jie. “Pengemis, kau lagi lagi coba menipu tuan
besarmu!” teriaknya. Thio Kauwcoe seorang agung dan mulia. Mana boleh jadi ia
sudi datang di sarang kawanan pengemis bau? Sudahlah! Lekas lekas kau hantarkan
aku ke See tian (dunia baka)! Segala akal bulusnya tidak dapat digunakan
terhadapku.”
Boe Kie merasa kagum. Di dalam
hati ia memuji pemuda itu, yang setia jujur dan bernyali besar. Buru buru ia
bangkit dan menyambut, “Han toako,” katanya, “aku berada di sini. Selama
beberapa hari kau banyak menderita.”
Melihat Boe Kie, Han Lim Jie
terkesiap. Dengan kegirangan yang meluap luap sedetik kemudian ia berlutut dan
berkata, “Thio Kauwcoe, benar benar kau berada di sini!… bunuhlah pengemis
pengemis bau itu!”
Sambil tertawa Boe Kie
membangunkannya. “Han toako,” katanya dengan terharu. “Para tiangloo ditipu
orang dan sudah terjadi salah mengerti. Sekarang segala apa sudah menjadi
terang. Dengan memandang mukaku, kuharap Han Toako sudi melupakan segala apa
yang sudah terjadi.”
Sesudah bangun berdiri dengan
mata melotot Han Lim Jie mengawasi para tokoh pengemis. Ia ingin mencaci untuk
melampiaskan rasa dongkolnya, tapi sesudah mendengar perkataan Boe Kie, ia
terpaksa menahan sabar.
“Thio kauwcoe,” kata Cie hoat
tiangloo. “Kunjunganmu membikin terang muka partai kami. Kami ingin mengundang
kalian dalam sebuah perjamuan sederhana untuk menyambut Thio Kauwcoe dan
menghaturkan maaf kepada Kouwnio serta Han toako.” Ia berpaling kepada seorang
murid dan berkata pula, “Lekas sediakan meja perjamuan!”
Murid itu lantas saja
mengiakan.
Karena memikir ayah angkatnya
dan ingin bicara banyak dengan Cioe Cie Jiak, Boe Kie tak punya kegembiraan
untuk makan minum. Maka itu, sambil merangkap kedua tangannya ia berkata, “Aku
menghaturkan banyak terima kasih atas undangan kalian. Tapi aku tak bisa
membuang buang waktu karena perlu mencari Gie hoe. Di lain hari aku mau datang
berkunjung pula. Kuharap kalian suka memaafkan untuk penolakan ini.”
Tapi Coan kang Tiangloo dan
yang lain2 tidak mau mengerti sehingga Boe Kie terpaksa juga menerima undangan
itu. Selagi makan minum, para tetua Kaypang kembali menghaturkan maaf dan
berjanji akan menyebar murid murid Kaypang untuk bantu mencari Cia Soen. Begitu
lekas mendapat warta baik, mereka akan segera melaporkan kepada Beng kauw, kata
mereka. Untuk kebaikan itu, Boe Kie menghaturkan banyak terima kasih. Biarpun
berkepandaian dan berkedudukan tinggi, ia sedikitpun tidak mengunjuk
kesombongan. Ia bahkan sangat merendah, sehingga para pengemis merasa kagum dan
takluk. Sesudah bersantap, Boe Kie bertiga segera berpamitan. Para pengemis
mengantar mereka sampai sepuluh li di luar kota Louw liong dan mereka
berpisahan dengan hati berat.
Dengan menunggang kuda kuda hadiah
Kay pang, Boe Kie, Cie Jiak dan Han Lim Jie meneruskan perjalanan ke selatan
dengan mengambil jalan raya. Han Lim Jie berlaku sangat hormat. Ia tidak berani
merendengkan kudanya dengan Boe Kie dan Cie Jiak dan hanya mengikuti dari
belakang. Di sepanjang jalan, ia melayani Boe Kie dan Cie Jiak seperti seorang
pelayan.
Boe Kie merasa sangat tidak
enak. “Han Toako,” katanya, “biarpun kau seorang anggota agama kita, kau hanya
diharap mendengar segala perintahku dalam urusan urusan yang resmi. Dalam
pergaulan pribadi sehari hari, kita adalah orang orang yang sepantar, yang
berkedudukan sama tinggi, seperti saudara dan sahabat. Sedalam dalamnya aku
sangat menghormati kepribadianmu.”
Han Lim Jie kelihatan bingung
dan jengah. “Dengan setulus hati aku yang rendah berdiri sama tinggi dengan
Kauwcoe?” Aku sudah merasa sangat beruntung, bahwa aku mendapat kesempatan
untuk melayani Kauwcoe.”
“Aku bukan Kauwcoe,” kata Cie
Jiak sambil tersenyum. “Kau jangan mengunjuk kehormatan yang begitu besar
terhadapku.”
“Coe kouwnio bagaikan seorang
dewi,” jawabnya. “Bahwa siauwjin bisa berbicara sepatah dua patah kata dengan
Kouwnio sudah merupakan kebahagiaan seumur hidup. Siauwjin hanya kuatir,
sebagai manusia kasar siauwjin sering bicara kasar dan untuk segala kekurang ajaran,
siauwjin mohon Kouwnio suka memaafkan.”
Mendengar kata kata memuja itu
yang tulus ikhlas, sebagai manusia biasa, diam diam Cie Jiak merasa girang.
Sambil berjalan Boe Kie
menanya Cie Jiak, cara bagaimana dia ditangkap oleh orang orang Kay pang. Si
nona memberitahukan, bahwa hari itu, sesudah Boe Kie meninggalkan rumah
penginapan untuk menyelidiki siasat Kay pang, badan Cia Soen bergemetaran dan
mulutnya ngaco. Ia ketakutan dan berusaha untuk menentramkannya, tapi tidak
berhasil. Cia Soen seolah olah tidak mengenalnya lagi. Dia melompat dan
kemudian roboh pingsan. Pada saat itu, di tengah enam tujuh orang tokoh Kay
pang yang lantas menerobos masuk ke dalam kamar. Sebelum keburu menghunus
pedang, jalan darahnya sudah ditotok. Kemudian bersama Cia Soen, ia dibawa ke
Louw liong.
Mendengar keterangan itu, Boe
Kie manggut manggutkan kepalanya. Sedari kecil ia memang sudah tahu, bahwa
sebagai akibat dari latihan Cit Siang kocu, ayah angkatnya mendapat serupa
penyakit kalap dan kadang kadang kumat dengan mendadak. Tapi dimana adanya ayah
angkat itu sekarang?”
“Kota raja adalah tempat
berkumpulnya macam macam manusia,” kata Boe Kie akhirnya. “Kurasa, dalam
perjalanan ke selatan, sebaiknya kita mampir di kota raja untuk menyelidiki.
Mungkin sekali, dari Ceng ek Hok ong Wie hong aku bisa mendapat keterangan
berharga.”
Cie Jiak tertawa, “Ke kota
raja?” ia menegas dengan nada mengejek. “Apa benar benar kau hanya ingin
menemui Wie It Siauw?”
Boe Kie mengerti maksud
tunangannya, sehingga paras mukanya lantas saja berubah merah. “Memang belum
tentu kita bisa menemui Wie heng,” jawabnya. Tujuan kita adalah mencari Giehoe,
kalau kita bisa bertemu dengan Wie heng, Kouw tauwtoo atau Yo Co Soe, sedikit
banyak kita akan mendapat bantuan.”
“Kukenal seorang yang pintar
luar biasa,” kata Cie Jiak sambil tersenyum. “Dia seorang wanita cantik. Jika
kau cari dia, kau akan mendapat banyak bantuan. Orang-orang seperti Yo Co soe
atau Kouw Tauw tok tidak akan bisa menyaingi kepintaran nona cantik itu.”
Boe Kie pernah menceritakan
pertemuannya dengan Tio Beng di kelenteng Biek lek hoed, tapi tak urung ia kena
disindir juga. “Kau tidak pernah melupakan Tio kouwnio dan setiap ada
kesempatan, kau selalu mengejek aku,” katanya dengan suara jengah.
Cie Jiak tertawa, “Apa aku
atau kau yang tidak pernah melupakan dia?” tanyanya. “Apa kau rasa kutak tahu
rahasia hatimu?”
Boe Kie adalah seorang yang
polos dan jujur. Ia menganggap, bahwa sesudah berjanji untuk hidup sebagai
suami isteri, ia tak boleh menyembunyikan sesuatu di hadapan tunangannya itu.
Maka itu dengan memberanikan hati ia lantas saja berkata, “Ada satu hal yang
aku harus beritahukan kepada kau. Kuharap kau tidak jadi gusar.”
“Kalau pantas gusar, aku akan
gusar, kalau tak pantas gusar, aku pasti tak akan gusar,” jawabnya.
Boe Kie menjadi lebih jengah.
Di hadapan tunangannya pernah bersumpah untuk membunuh Tio Beng guna membalas
sakit hatinya In Lee. Tapi waktu bertemu dengan nona Tio, bukan saja ia tidak
turun tangan, ia bahkan jalan bersama sama dengan nona itu. Sebagai seorang
yang tidak biasa berpura pura, ia tidak berani membuka suara lagi.
Tak lama kemudian mereka tiba
di kota kecil dan waktu itu matahari sudah mulai menyelam ke barat. Mereka
segera mencari penginapan kecil untuk bermalam. Sesudah makan Boe Kie mengurut
punggung Cie Jiak untuk memperlancar aliran darah. “Hiat” yang tertotok sudah
terbuka sendiri, tapi otot masih agak kaku dan mengalirnya darah masih kurang
lancar. “Ilmu menotok Kay pang memang istimewa,” kata Boe Kie di dalam hati.
“Cie Jiak angkuh dan sungkan minta pertolongan, sedang orang yang menotok
berlagak lupa. Hmm… kawanan pengemis itu mati matian mau coba menolong muka.
Sesudah kalah, mereka ingin memperhatikan keunggulan dalam tiam-hoat.”
Karena hawa udara panas,
sesudah diurut, Cie Jiak berkata, “Mari kita jalan jalan di luar.”
“Baiklah,” kata Boe Kie.
Dengan Boe Kie menuntun tangan
si nona, mereka berjalan sampai di luar kota. Ketika itu sang surya sudah
menyelam ke barat, dan sesudah berjalan beberapa lama lagi, mereka lalu duduk
di bawah sebuah pohon.
Di situlah antara kesunyian
dan pemandangan alam yang indah, Boe Kie lalu menuturkan segala pengalamannya –
cara bagaimana ia bertemu dengan Tio Beng di kelenteng Bie lek hoed, cara
bagaimana ia menemui jenazah Boh Seng kok, pertemuannya dengan rombongan Song
Wan Kiauw dan kejarannya terhadap tanda gambar obor dari Louw liong, sampai di
Louw liong lagi. Sesudah selesai bercerita, sambil memegang tangan si nona, ia
berkata dengan suara sungguh sungguh. “Cie Jiak, kau adalah tunanganku dan tak bisa
aku menyimpan saja apa yang dipikir olehku. Tio kouwnio berkeras untuk menemui
Giehoe dan mengatakan, bahwa ia ingin bicara dengan Giehoe. Ketika itu aku
sudah bercuriga. Sekarang, makin kupikir, makin kutakut.” Waktu mengucapkan
perkataan perkataan paling belakang suara bergemetar.
“Kau takut apa?” tanya Cie
Jiak.
Boe Kie merasa, bahwa kedua
tangan tunangannya dingin seperti es dan juga bergemetaran.
“Kuingat, bahwa Giehoe
mempunyai semacam penyakit kalap dan kalau lagi kumat ia tak ingat segala apa,”
jawabnya.
“Dalam kekalapannya, ia pernah
melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap ibu, sehingga kedua matanya buta.
Waktu aku lahir, dalam kalapnya Giehoe coba membunuh ayah dan ibu. Sungguh
mujur, pada detik yang sangat berbahaya, aku menangis keras dan suara
tangisanku itu telah menyadarkannya. Ah!… aku kuatir.. ku kuatir…”
“Kuatir apa?”
Boe Kie menghela nafas.
“Sebenarnya aku tak boleh membuka rahasia hatiku ini kepada siapa pun jua,”
katanya dengan suara hampir tak kedengaran. “Aku.. aku… kuatir piauwmoay…
dibunuh… oleh Giehoe…”
Bagaikan dipagut ular, Cie
Jiak melompat bangun. “Apa?” tanyanya dengan suara parau. “Cia tayhiap seorang
ksatria budiman yang mencintai kita. Mana boleh jadi ia membunuh In Kouwnio?”
“Aku hanya berkuatir,” kata
Boe Kie. “Aku merasa syukur, beribu syukur, jika kekuatiranku itu tidak benar.
Tapi… andai kata benar Gie hoe membunuh Piauw moay, ia melakukan itu dalam
keadaan tidak sadar. Hei!.. Semua… gara gara bangsat Seng Koen.”
Cie Jiak menggeleng gelengkan
kepalanya. “Tak bisa, tak bisa jadi,” katanya. “Apakah racun Sip hiang Joad kin
san juga ditaruh oleh Gie hoe? Darimana Gie hoe mendapat racun itu?”
Boe Kie tak menyahut. Kedua
matanya mengawasi ke tempat jauh. Ia tak dapat menembus kabut tebal yang
menyelimuti teka teki itu.
“Boe Kie Koko,” kata Cie Jiak
dengan suara dingin. “Dengan macam macam cara kau berusaha untuk melindungi Tio
Beng.”
“Kalau Tio Kouwnio benar2
pembunuhnya, mengapa ia berkeras ingin menemui Giehoe dan ingin bicara
dengannya?” kata Boe Kie.
Si nona tertawa dingin. “Tio
kouwnio pintar luar biasa,” katanya. “Andai kata ia bertemu dengan Gie hoe, ia
pasti mempunyai siasat lain untuk meloloskan diri.” Tiba tiba nada suara Cie
Jiak berubah lunak dan ia berkata dengan suara lemah lembut. “Boe Kie koko, kau
seorang yang sangat jujur. Dalam kepintaran dan mengatur siasat, kau bukan
tandingan Tio Kouwnio.”
Boe Kie menghela nafas pula.
Ia mengakui benarnya perkataan Cie Jiak. Sambil memegang tangan si nona, ia
berkata, “Cie Jiak, aku merasa bahwa hidup di dunia seperti hidup dalam
siksaan. Kau lihatlah, sekarang aku bahkan harus curigai ayah angkatku sendiri.
Aku hanya mengharap, bahwa sesudah Tat coe bisa diusir pergi, aku akan bisa
hidup ber-sama2 kau di pegunungan yang sepi, jauh dari pergaulan, jauh dari
manusia lain.”
“Kurasa tak mungkin,” kata Cie
Jiak. “Kau adalah Kauwcoe dari Beng kauw. Apabila, atas berkah Tuhan, Tat coe
bisa terusir, tugas mengurus negara jatuh di tangan Beng kauw. Mana bisa kau
menikmati penghidupannya yang tenteram itu?”
“Kepandaianku tak cukup untuk
menjadi Kauwcoe dan akupun sebenarnya tak ingin menjadi kauwcoe. Jika di
kemudian hari beban Kauwcoe Beng Kauw terlalu berat, maka aku harus menyerahkan
kedudukan itu kepada orang yang lebih pandai.”
“Kau masih berusia muda, kalau
sekarang kepandaianmu belum cukup, apa kau tak bisa menambah pengetahuanmu?
Mengenai aku sebagai Ciang boen Go bie pay, akupun mempunyai pikulan yang
sangat berat. Soehoe telah menyerahkan cincin besi Ciang boen kepadaku dengan
pesanan, supaya aku mengangkat naik derajat kami. Maka itulah, andaikata kau
benar2 menyembunyikan diri di pegunungan, aku sendiri tak punya rejeki untuk
menuntut penghidupan begitu.”
Waktu melihat cincin itu di
tangan Tan Yoe Liang, aku bingung bukan main. Kukuatir akan keselamatanmu.
Kalau punya sayap, aku tentu sudah terbang waktu itu juga. Cie Jiak, siapa yang
memulangkannya kepadamu?”
“Song Ceng Soe Siauw hiap.”
Mendengar disebutkannya nama
Song Ceng Soe, jantung Boe Kie memukul keras. “Song Ceng Soe sangat baik
terhadapmu bukan?” tanyanya.
“Mengapa kau menanya begitu?”
menegas si nona. Ia menangkap nada luar biasa dalam suara tunangannya.
“Tak apa2,” jawabnya. “Kutahu
bahwa Song Soeko sangat mencintai kau. Dia rela mengkhianati partai dan ayah
kandung sendiri. Dia bahkan rela membunuh paman seperguruan sendiri. Tak usah
dikatakan lagi, terhadapmu dia baik luar biasa.”
Cie Jiak menengadah dan sambil
mengawasi sang rembulan yang baru muncul di sebelah timur, ia berkata dengan
suara perlahan. “Jika perlakuanmu terhadapku separuh saja dari perlakuannya,
aku sudah merasa sangat puas.”
“Aku bukan Song Soeko. Jika
untukmu aku harus melakukan perbuatan put hauw dan put gie (tidak berbakti dan
tidak mengenal persahabatan), biar bagaimanapun jua aku takkan dapat
melakukannya.
“Untukku tak bisa melakukan
segala apa. Di pulau kecil kau pernah bersumpah akan membunuh perempuan siluman
itu, guna membalas sakit hatinya In Kouwnio. Tapi setelah bertemu muka, kau
melupakan semua sumpahmu.”
“Cie Jiak, manakala terbukti
bahwa To Liong to dan Ie thian kiam dibawa oleh Tio Kouwnio dan piauwmoay
dibinasakan olehnya, aku pasti takkan mengampuninya. Tapi apabila tak berdosa,
aku tentu tak mengambil jiwanya. Meskipun sekali aku khilaf dalam mengucapkan
sumpah itu.”
Cie Jiak membungkam.
“Mengapa kau diam saja? Apa
aku salah?” tanya Boe Kie.
“Tidak!” jawabnya. “Aku
sendiri sedang memikiri sumpahku sendiri yang diucapkan di hadapan Soehoe di
menara Ban hoat sei. Aku merasa sangat menyesal bahwa waktu menerima lamaranmu,
aku tak memberitahukan sumpah itu kepadamu secara terang-terangan.”
Boe Kie terkejut. “Kau… kau…
sumpah apa?” tanyanya.
“Di hadapan Soehoe, aku telah
bersumpah bahwa jika di hari kemudian aku menikah dengan kau, maka roh kedua
orang tuaku takkan mendapat ketenteraman di dunia baka, bahwa roh Soehoe akan
menjadi setan jahat yang akan terus menggangguku, bahwa anak cucuku akan
menjadi manusia2 hina, yang lelaki menjadi budak, yang perempuan menjadi
pelacur!”
Tak kepalang kagetnya Boe Kie.
Ia berdiri terpaku dan badannya menggigil. Sesudah lewat beberapa lama dan
sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah ia berkata. “Cie Jiak, sumpah itu tak
boleh dianggap sungguh2. Gurumu sudah memaksa kau mengucapkan sumpah itu sebab
ia anggap Beng kauw sebagai agama siluman dan aku sendiri sebagai manusia jahat
yang tak mengenal malu. Kalau ia tahu hal yang sebenarnya, ia pasti takkan
menyuruh kau bersumpah begitu.”
Air mata si nona lantas
mengucur. “Tapi… tapi… ia sudah tak tahu lagi,” katanya. Tiba-tiba ia menubruk
Boe Kie dan sambil menangis tersedu-sedu, ia menyesapkan kepalanya di pangkuan
pemuda itu.
Sambil mengusap usap rambut
tunangannya, Boe Kie berkata. “Cie Jiak, apabila roh gurumu benar-benar angker,
ia pasti takkan mempersalahkan kau. Apakah aku benar-benar seorang penjahat
cabul, jahanam yang tidak mengenal malu?”
“Sekarang memang belum, tapi
siapa tahu karena dipengaruhi Tio Beng, di belakang hari kau tidak menjadi
manusia yang tidak mengenal malu?”
Mau tak mau Boe Kie tertawa.
“Ah, Cie Jiak!” katanya. “Kau menilai aku terlalu rendah. Apakah kau mengharap
mempunyai suami manusia jahat?”
Si nona mengangkat kepalanya.
Kedua matanya masih basah, tapi sinarnya sinar tertawa. “Tak malu kau!”
bentaknya dengan suara perlahan. “Apa kau sudah menjadi suamiku?” Kalau kau
terus bersahabat dengan perempuan siluman itu, aku sungkan menjadi isterimu.
Siapa berani memastikan, bahwa kau tidak akan meneladani Song Ceng Soe yang
rela melakukan perbuatan terkutuk karena gara gara paras cantik?”
Boe Kie menunduk dan mencium
dahi tunangannya. “Siapa suruh kau begitu cantik?” katanya. “Inilah salahnya
kedua orang tuamu yang melahirkan seorang puteri yang terlalu cantik, sehingga
kaum pria mabok otaknya.”
Mendadak saja, di belakang
pohon dalam jarak kira-kira tiga tombak terdengar suara tertawa dingin.
“Huh..huh!…” Hampir berbareng terlihat berkelebatnya bayangan manusia yang
kabur dengan kecepatan kilat.
Cie Jiak melompat bangun. “Tio
Beng!…” serunya dengan suara parau.
Suara tertawa itu, memang
suara wanita, tapi Boe Kie masih bersangsi, apakah benar Tio Beng? “Perlu apa
dia menguntit kita?” tanyanya.
“Lantaran dia mencintai kau!”
jawabnya dengan gusar. “Mungkin kau berdua diam diam sudah berjanji untuk
bertemu di sini guna mempermainkan aku.”
Boe Kie bersumpah keras keras,
membantah terkaan tunangannya. Cie Jiak berdiri dengan darah meluap. Tiba-tiba
karena mengingat nasibnya, ia menangis lagi.
Dengan tangan kiri memeluk
pundak, Boe Kie menyeka air mata tunangannya dengan tangan baju kanannya.
“Mengapa kau menangis?” tanyanya dengan suara lemah lembut. “Kalau aku
menjanjikan Tio Kouwnio datang di sini untuk mempermainkan kau, biarlah aku
dikutuk langit dan bumi. Coba kau pikir, apabila benar aku mencintai dia dan
kutahu bahwa dia berada dekat, mana boleh jadi aku mengucapkan kata kata cinta
terhadapmu? Bukankah dengan berbuat begitu, aku sengaja menyakiti hatinya?”
Cie Jiak merasa perkataan itu
beralasan juga. Ia menghela nafas dan berkata. “Boe Kie koko, hatiku sangat
tidak tenteram.”
“Mengapa?”
“Aku tidak dapat melupakan
sumpahku. Selain itu, Tio Beng pun tentu tak bisa mengampuni aku. Baik dalam
ilmu silat maupun dalam kepintaran, aku tak dapat menandinginya.”
“Aku melindungi kau dengan
segenap tenagaku. Kalau dia berani melanggar selembar rambut isteriku, aku
pasti takkan mengampuni dia.”
“Apabila aku lantas mati
dibunuh olehnya, ya sudah saja. Apa yang ditakuti olehku adalah, karena
disiasatkan olehnya, kau bergusar terhadapku dan lalu membunuhku. Kalau aku
mati cara begitu, aku mati dengan penasaran, dengan mata melek.”
“Kau benar sudah gila!” kata
Boe Kie dengan tertawa. “Berapa banyak manusia sudah mencelakai aku, berbuat
kedosaan terhadapku, tapi toh aku tak membunuh mereka. Mana boleh jadi aku
bunuh isteri tercinta?” Ia membuka bajunya dan seraya mengunjuk bekas luka
tusukan pedang, ia berkata pula, “Tusukan siapa ini? Cie Jiak, makin dalam
tusukanmu, makin dalam pula rasa cintaku terhadapmu.”
Dengan rasa menyesal dan rasa
cinta yang sangat besar, Cie Jiak meraba raba tanda luka itu. Sekonyong-konyong
mukanya berubah pucat. “Tikaman dibalas dengan tikaman…” katanya dengan suara
parau. “Di belakang hari… andaikata benar kau membunuh aku, aku takkan
penasaran lagi…”
Buru2 Boe Kie memeluk si nona.
“Sudahlah Cie Jiak!” katanya. Kita harus lekas2 cari Gie hoe supaya orang tua
itu segera bisa menikahkan kita. Setelah menikah kalau kau senang, kau boleh
menikam aku lagi beberapa kali dan aku takkan merasa menyesal.”
Sambil menyandarkan kepalanya
di dada Boe Kie, Cie Jiak berbisik, “Aku mengharap, bahwa sebagai laki laki
sejati, kau takkan melupakan perkataanmu di malam ini.”
Lama mereka berdiam di situ,
ber-omong2 dengan penuh kasih, di antara sinar rembulan yang putih bagaikan
perak. Sesudah larut malam barulah mereka kembali ke rumah penginapan.
Pada keesokan pagi, bersama
Han Lim Jie, mereka meneruskan perjalanan ke selatan. Pada suatu magrib,
tibalah mereka di kota raja. Mereka mendapat kenyataan bahwa rakyat di seluruh
kota sedang sibuk membersihkan rumah dan jalan, dan di depan setiap rumah
terdapat hio to (meja sembahyang). Mereka lalu mencari rumah penginapan dan
menanya seorang pelayan mengenai kerepotan itu.
“Kedatanganmu sungguh
kebetulan,” kata si pelayan. “Kalian mempunyai rejeki besar, besok adalah hari
arak arakan besar di Hong shia (kota tempat tinggalnya kaisar).”
“Arak arakan apa?”
“Besok adalah hari pesiarnya
Hong shia (kaisar), kejadian ini hanya terjadi satu tahun sekali. Tujuan Hong
shia adalah bersembahyang di kelenteng Keng sioe sie. Malam ini kalian harus
tidur siang siang dan besok bangun pagi pagi.”
“Pagi pagi sekali kau harus
pergi di mulut pintu istana Giok tek tian untuk mendapat tempat yang baik.
Kalau untung bagus, kau bisa lihat wajah Hong siang, Hong houw (permaisuri),
Koei hoi (selir kaisar), putera mahkota dan puteri kaisar. Coba kalian pikir,
kalau sebagai rakyat jelata kita tidak berada di kota raja mana bisa kita
melihat wajah Hong siang dengan mata sendiri?”
Bukan main mendongkolnya Han
Lim Jie. Tanpa bisa menahan sabar lagi, ia lantas saja mengeluarkan suara di
hidung. “Huh!… manusia apa kau!” bentaknya. “Kau pengkhianat yang tak mengenal
malu, yang mengakui musuh sebagai ayahmu sendiri. Apa senangnya melihat muka
kaisar Tat coe?”
Si pelayan kaget. Ia menatap
muka Han Lim Jie dengan mulut ternganga. Akhirnya sambil menuding ia berkata.
Kau!… kau… perkataan memberontak! Apa kau tak takut potong kepala?”
“Kau seorang Han, tapi kau
begitu mendewa-dewakan kaisar Tat coe,” kata Han Lim Jie. “Kau sungguh tak
mengenal malu, lelaki tak punya tulang punggung!”
Melihat sikap Han Lim Jie yang
galak garang, si pelayan tidak berani berkata apa apa lagi. Ia memutar badan
dan berlalu. Tapi Cie Jiak lantas melompat dan menotok jalan darah di
punggungnya. “Dia tentu banyak mulut dan kalau dia dibiarkan pergi, kita
mungkin ditangkap,” katanya. Seraya berkata begitu, ia menendang tubuh si
pelayan ke kolong ranjang dan berkata pula. “Biar dia kelaparan beberapa hari.
Kita baru lepaskan dia waktu mau meninggalkan kota ini.”
Tak lama kemudian pengurus
rumah penginapan berteriak teriak memanggil pelayan itu yang sedang mengaso di
kolong ranjang. “A Hok! A Hok! Kemana kau? Ambil air untuk tamu kamar nomor
tiga!”
Sambil menahan tertawa, Han
Lim Jie menepuk meja, “Hei! Lekas sediakan makanan dan arak!” bentaknya. Tuan
besarmu sudah lapar!”
Makanan dan minuman diantarkan
oleh seorang pelayan lain yang datang dengan menggerutu. “Si A Hok tentu kabur
untuk melihat keramaian. Kurang ajar! Dia enak-enakan, aku yang capai.”
Pada keesokan paginya, baru
tersadar Boe Kie sudah dengar ramai ramai. Ia keluar dan melihat ribuan rakyat,
lelaki, perempuan, tua dan muda, berjalan ber-bondong2 ke jurusan utara dengan
mengenakan pakaian baru. Semua orang riang gembira. Di antara gelak tertawa,
terdengar pula suara merotoknya petasan. Keramaian itu melebihi keramaian tahun
baru.
Tak lama kemudian Cie Jiak pun
turut keluar. “Mari kita nonton,” ajaknya.
“Kita pernah bertempur dengan
boesoe gedung Jie lam ong,” kata Boe Kie. “Aku kuatir kita akan dikenali. Kalau
mau menonton, kita harus menyamar.”
Bersama Han Lim Jie, mereka
lalu mengenakan pakaian orang dusun dan kemudian menuju ke Hong shia bersama
sama rombongan rakyat.
Ketika itu baru masuk Sin sie
(jam tujuh sampai jam sembilan pagi), tapi di dalam dan di luar Hong shia sudah
penuh dengan manusia. Dengan Boe Kie sebagai pembuka jalan, mereka maju dengan
perlahan. Akhirnya mereka berdiri menunggu di bawah payon sebuah gedung besar,
di luar pintu Yan coen boen.
Tak lama kemudian, di sebelah
kejauhan terdengar suara gembrengan dan tambur. “Sudah datang! Mereka datang!”
teriak rakyat yang menunggu sambil memanjangkan leher mereka. Suara itu makin
lama jadi makin keras sehingga terlihatlah rombongan pertama dari arak-arakan
itu. Mereka terdiri dari 108 orang yang bertubuh tinggi besar dan mengenakan
seragam hijau. Tangan kiri mereka memegang sebuah gembereng besar dan tangan
kanan memukulnya dengan menurut irama.
Hebatnya suara 108 gembereng
dapat dibayangkan. Rombongan gembereng diikuti rombongan tambur yang terdiri
dari 30 orang. Di belakang mereka mengikuti tetabuhan – ada rombongan pi-poe
(semacam gitar) dari See hek, rombongan terompet dari Mongol dan sebagainya.
Jumlah anggota rombongan2 itu berkisar antara seratus orang lebih sampai
seribu. Sesudah rombongan musik, muncul dua bendera sutera yang sangat besar.
Yang satu dengan huruf “An pang Hoe kok” (menenteramkan dan melindungi negara),
yang lain dengan “Tin sia Hok mo” (menindih yang kotor, menakluki siluman).
Kedua bendera itu dikawal oleh 400 serdadu Mongol – di depan 200, di belakang
200, yang menunggang kuda putih dan memegang macam macam senjata. Melihat
keangkeran itu, rakyat bersorak sorai tak henti-hentinya.
BOE KIE mendongkol bukan main.
Ia menganggap penduduk kota raja tidak mengenal malu dan melupakan, bahwa
negara mereka dijajah orang.
Baru saja kedua bendera itu
lewat didepan Boe Kie, dari sebelah barat tiba-tiba menyambar dua helai sinar
putih kearah tiang bendera. Sinar itu adalah sinar golok terbang yang
masing-masing terdiri dari tujuh batang. Walaupun tiang bendera itu besar, tapi
kedua tiang itu tidak dapat bertahan dari serangan tujuh golok, sehingga di
lain saat kedua-duanya patah dan roboh bersama sama benderanya. Keadaan lantas
saja berubah kalut. Belasan orang terguling tertimpa tiang.
Kejadian yang tidak
diduga-duga itu turut mengejutkan Boe Kie dan Cie Jiak. Han Lim Jie kegirangan
dan tanpa merasa mulutnya terbuka untuk. bersorak. Untung juga sebelum suaranya
keluar mulutnya keburu ditekap Cie Jiak. Boe Kie tahu, bahwa golok terbang itu
dilepaskan oleh ahli silat kelas satu, hanya sayang ia tak lihat siapa yang
melepaskannya.
Empat ratus serdadu Mongol
yang melindungi bendera gusar tercampur takut. Secara serampangan mereka
menangkap tujuh delapan orang yang segera dibinasakan ditempat itu juga.
Han Lim Jie meluap darahnya.
"Binatang!" cacinya dengan suara tertahan. Yang melepaskan golok
sudah kabur, yang dibinasakan rakyat tidak berdosa".
"Sst! Han Toako!"
bisik Cie Jiak. "Kita mau nonton, bukan mau bikin ribut".
Han Lim Jie manggutkan
kepalanya dan tidak berani buka suara lagi.
Sesudah ribut ribut sebentar
dari belakang datang lagi rombongan-rombongan tetabuhan. Rakyat mulai
bersorak-sorak pula dan kejadian tadi yang mengenaskan segera dilupakan orang.
Dibelakang rombongan tetabuhan
yang kedua itu mengikuti rombongan-rombongan wayang, seperti wayang po-tee-hie
dan lain-lain, dan selewatnya, rombongan wayang muncullah kereta-kereta hias
yang ditunggu-tunggu. Setiap kereta ditarik kuda pilihan dan diatas kereta
terdapat pemuda-pemudi dengan bermacam-macam pakaian yang menggambarkan
ceritera-ceritera atau dongeng jaman dahulu, seperti "Pek-Nio nio merendam
Kim san," "Tong Som Cong mengambil kitab suci di See thian".
"Tong Beng pesta di istana rembulan dan sebagainya.
Disaban kereta terdapat
sehelai bendera suram dengan nama pembesar yang mempersembahkannya. Makin ke
belakang kereta itu makin indah dan pembesar-pembesar yang namanya tertera di
bendera juga makin tinggi pangkatnya.
Dengan mendapat tempik sorak
gegap gempita, kereta-kereta lewat satu demi satu. Tiba-tiba suara tetabuhan
yang mengiring setiap kereta berubah secara menyolok yang diperdengarkan sebuah
lagu kuno. Boe Kie melihat, bahwa di kereta yang sedang mendatangi tertancap
sehelai bendera putih, dengan tulisan. "Cioe Kong Lioe hong Koan coan (
Cie Kong membuang Koan Siok dan Coa Siok ). Di kereta itu terdapat seorang pria
setengah tua yang memegang peranan Cioe Kong dan disampingnya berduduk seorang
kanak-kanak yang mengenakan pakaian raja yaitu Raja Yan seng ong. Dua orang
lain yang mengenakan pakaian sebagai Koan Siok dan Coa Siok, berbisik-bisik
satu sama lain dan menuding-nuding Cioe Kong. Dibelakang kereta tersebut
mengikuti lain kereta dengan bendera dengan tulisan yang berbunyi: "Ong
Bong Kee-jin Kee Gie" (Ong Bong berlagak jadi manusia budiman) "Ong
Bong" di kereta itu, yang mukanya dipoles bedak putih, sedang membagi
bagian uang kepada beberapa rakyat miskin, Di belakang kedua kereta itu
mengikuti empat bendera dengan tulisan yang merupakan sajak.
"Cioe Kong pernah dicaci.
Ong Bong pernah dipuja.
Kalau waktu itu mereka mati,
Tulen palsunya yang tahu
siapa?"
Membaca sajak itu. Boe Kie
manggut-manggut manggutkan kepala. "Benar,“ pikirnya. "dalam dunia
ini, salah atau benar, hitam atau putih, sukar sekali bisa diketahui. Cioe Kong
seorang nabi, tapi, waktu membuang Koan Siok dan Coa Siok orang menuduhnya
sebagai pengkhianat yang ingin merebut tahta kerajaan. Ong-bong seorang menteri
dorna. Tapi semula pada waktu ia merendahkan diri dan menghormat rakyat ia
dipuji. Inilah apa yang dikatakan sesudah berjalan jauh, barulah kita tahu seekor
kuda, sesudah diuji lama. barulah kita mengenal hati manusia. Orang yang
menerangkan kedua kereta itu bukan sembarang orang. Ia termenung. Ia ingat
segala pengalaman yang akhir-akhir ini. Ia ingat duga-dugaannya dalam sebuah
teka-teki yang ditutup kabut. Manusia apa sebenarnya Tio Beng? Apa dia membunuh
atau tidak membunuh In Lee? Sekonyong-konyong ia disadarkan oleh suara
gembereng pecah. Ia menengadah dan melihat sebuah kereta yang ditarik oleh dua
kuda kurus. Berbeda dari yang lain, kereta itu polos tanpa hiasan apapun jua.
Beberapa orang tertawa
mengejek. "Masakah kereta begitu turut diarak?" kata seorang.,
Tapi waktu kereta ita
mendekati, Boe Kie terkesiap. Ia terkesiap karena diatas kereta, disebuah
dipan, bersila seorang tinggi besar yang rambutnya kuning, dan kedua matanya
meram. Siapa lagi, kalau yang digambarkan bukan Kim-mo Say ong Cia Soen?
Disamping "Cia Soen" berdiri seorang wanita cantik yang memegang
cangkir teh. Keayuan wanita itu belum menyamai Cie Jiak, tapi pakaian dan geriknya
tidak berbeda dari nona Cioe.
“Cioe Kouwnio, dia mirip
kau!" bisik Han Lim Jie dengan suara kaget.
Cie Jiak tidak menyahut, Boe
Kie menengok dan melihat muka si nona yang pucat pasi dan dada yang turun naik.
Ia tahu bahwa tunangannya sedang bergusar. Ia mencekal tangan orang yang dingin
bagaikan es.
Kereta yang disebelah belakang
masih memperlihatkan ceritera "Cia Soen Cie Jiak“, Cie Jiak menotok
punggung "Cia Soen" dan kemudian mengangkat pedang untuk membunuh
oraug tua itu. "Benar! benar!Bunuh dia!" teriak beberapa orang.
Kereta ketiga masih juga
cerita "Cia Soen Cie Jiak" Enam tujuh orang mengenakan pakaian
pengemis sedang menahan 'Cia Soen dan Cie Jiak.“
Boe Kie tak merasa sangsi
lagi, bahwa ketiga kereta itu dibuat atas suruhan Tio beng, untuk menghina
tunangannya. Ia membungkuk, menjemput enam butir batu kecil dan menimpuk
Hebat sungguh timpukan itu!
Setiap batu mampir tepat di mata kanan setiap kuda dan batu itu terus masuk ke
otak, sehingga sesudah berbenger dan berjingkrak-jingkrak, enam ekor kuda itu
lantas saja roboh binasa. Keadaan berubah kalut. Kecuali Cie Jiak dan Han Liem
Jie, tak seorangpun mendapat tahu timpukan dari dalam tangan bajunya.
Nona Cioe menggigit bibirnya,
"Boe Kie koko,” katanya, perempuan siluman itu . . .. terlalu, terlalu
menghina aku....." Ia tak bisa meneruskan suaranya yang parau dan badannya
agak bergemetaran.
Dengan rasa kasihan, Boe Kie
mencekal tangan tunangannya. "Cie Jiak," katanya dengan suara
membujuk, perempuan itu memang dapat melakukan apa pun jua. Kau jangan ladeni.
Asal aku mencintai kau, orang luar tak akan bisa berbuat sesuatu apa."
Cie Jiak mengangguk. Lewat
beberapa saat mendadak ia berkata. "Ah, sekarang ku ingat! Hari itu Giehoe
sehat-sehat saja dan tiba-tiba ia bergemetaran, lalu roboh. Sesudah roboh
mulutnya ngaco. Apa tak bisa jadi.....perempuan siluman itu bersembunyi di
rumah penginapan dan melepaskan senjata rahasia terhadap Gie hoe?"
"Kurasa tak mungkin"
jawab Boe Kie.
"Kalau itu perbuatannya
aku rasa tak akan keburu menyusul ke kelenteng Bie tek-hoed. Mungkin juga
kerajaan Hian beng Jie loo.
Sementara itu sejumlah serdadu
Mongol sudah datang dan menyingkirkan bangkai2 kuda supaya arak-arakan tidak
terhalang.
Boe Kie dan Cie Jiak tak punya
kegembiraan lagi untuk menonton kereta-kereta hias lewat tanpa diperhatikan
mereka. Sesudah kereta hias, datanglah rombongan pendeta yang mengenakan jubah
merah, diikuti oleh 2000 serdadu Gie lim koen yang bersenjata tombak dan 3000
serdadu pilihan yang bersenjata gendewa dan anak panah. Kemudian, diantara asap
hio yaag mengepul keatas, berjalan rerotan joli dengan patung-patung malaikat,
semuanya 360 patung. Dengan paling dulu joli Kwan teeSeng koen (Kwan Kong ).
Rakyat menyambut rerotan itu dengan mengucapkan doa, banyak diantaranya
berlutut ditanah.
Akhirnya, sesudah lewatnya
barisan yang membawa alat-alat upacara, seperti kim koa (labu emas), kim toei
(martil emas) dan sebagainya, rakyat bersorak, "Hongsiang!
Hongsiang!" teriak mereka.
Sebuah joli besar yang ditutup
dengan sutera kuning dan digotong oleh 32 sie wie baju sulam kelihatan
mendatangi. Joli itu joli kaisar. Boe Kie mengawasi dengan mata tajam. Ia
mendapat kenyataan, bahwa kaisar itu pucat mukanya dan suatu tanda dari pelesir
dan arak yang tidak mengenal batas. Putera mahkota mengikuti dengan menunggang
kuda. Dengan menggendong gendewa tertawa emas, putera kaisar itu kelihatan
gagah dan angker dan cocok untuk menjadi sesorang putera Mongol.
“Kauwcoe," bisik Han Lim
Jie, "mengapa kau tidak mau menggunakan kesempatan ini untuk membinasakan kaisar
Tat coe itu?"
"Hm!" jawabnya. Ia
tidak bisa lantas mengambil keputusan dan lalu menimbang-nimbang baik tidaknya.
"Dengan membinasakan dia
Kauwcoe menyingkirkan satu bahaya bagi rakyat," bisik pula Han Lim Jie.
"Biarpun dia banyak pengawalnya2, mana bisa menghalangi serangan
Kauwcoe."
Mendadak, seorang yang berdiri
disebelah kiri Boe Kie, berbisik. "Tidak boleh! Jangan!"
Boe Kie terkejut dan melirik
orang itu, seorang penjual obat setengah tua . Sekonyong-konyong dia
mengacungkan kedua jempolnya dan membuat tanda obor didepan dadanya.
"Pheng Eng Giok menghadap kepada Kauwcoe," bisiknya.
Boe Kie kegirangan dan berkata
dengan suara tertahan. "Kau! ... Pheng ..."
Pandai sungguh Pheng Hweeshio
menyamar, sehingga Boe Kie yang berdiri disampingnya tidak dapat mengenalinya.
"Disini bukan tempat
bicara," bisik Pheng Eng Giok. "Kauwcoe tidak beleh binasakan kaisar
Tat coe."
Boe Kie tahu, bahwa
pembantunya itu mempunyai pemandangan yang sangat luas. Ia mengangguk dan
mencekal tangannya erat-erat, sebagai tanda rasa girangnya.
Kaisar dan putera mahkata
diiringi oleh barisan Gie lim koen dengan kekuatan 3000 orang dan rerotan yang
terakhir adalah berlaksa rakyat jelata yang mengenakan pakaian beraneka-warna.
"Mari lihat Hong houw Nio nio dan Kong coe Nio nio!" seru beberapa
orang sambil menggapai sahabat atau kenalannya.
"Aku ingin sekali lihat
mereka," kata Coe Jiak kepada Boe Kie. Ia mengangguk dan bersama Pheng Eng
Giok dan Han Lim Jie, mereka lalu menuju ke arah Giok tek tian, bersama-sama
rerotan rakyat. Tak lama kemudian mereka melihat tujuh buah loteng indah yang
dihias secara indah pula. Dibawah loteng dijaga oleh sepasukan Gie lim koen
bersenjata rotan yang digunakan untuk mengusir rakyat yang datang terlalu
dekat. Dengan tak banyak susah Boe Kie berempat mendesak ke depan. Di loteng
yang di tengah-tengah berduduk sang kaisar disebuah kursi naga-nagaan dengan
diapit oleh dua orang permaisurinya yang berbadan gemuk dan berpakaian mewah.
Putera mahkota duduk di sebelah kiri, sedang yang duduk di sebelah kanan
seorang wanita muda yang berusia kira-kira dua puluh tahun.
"Dia tentulah puteri
kaisar," kata Boe Kie di dalam hati sambil mengawasi loteng kedua yang
terletak disebelah kiri.
Tiba-tiba jantungnya mengetuk
lebih keras, karena di loteng ini berduduk Tio Beng yang mengenakan baju bulu
dan perhiasan mahal. Di tengah-tengah loteng itu berduduk seorang raja muda
yang berparas agung dan bukan lain daripada Kuhkun Temur, ayahanda Beng-beng
Koencoe. Kuhkun Temur, kakak Tio Beng kelihatan berjalan di sisi loteng dengan
tindakan seperti tindakan harimau.
Dengan mata mendelong Cie Jiak
mengawasi kedua permaisuri yang mewah itu. Tanpa merasa ia maju beberapa tindak
dan melewati perbatasan yang diperbolehkan untuk rakyat jelata. Seorang anggota
Gie lim koen segera menyabet dengan rotannya.
Bagaikan kilat Cie Jiak
menangkap ujung rotan. Dengan mudah ia akan dapat merobohkan serdadu itu, tapi
sejenak kemudian ia melepaskan cekalannya dan mundur, akan kemudian menghilang
diantara orang banyak.
Ketika itu didepan loteng
mulai diadakan latihan barisan Thian mo Thia tin oleh rombongan Han ceng
(pendeta asing). "Tin" yang diperlihatkan di keluarga kaisar
benar-benar hebat dengan perubahan-perubahan yang sangat aneh, sehingga
saban-saban mendapat sambutan yang gegap gempita dari berlaksa rakyat. Tapi Cie
Jiak tidak tertarik oleh latihan itu. Sesudah mengawasi Tio Beng beberapa lama,
ia menghela napas, dan berkata. "Mari kita pulang."
Setibanya di rumah penginapan,
Pheng Eng Giok memberi hormat kepada Boe Kie sebagai mana layaknya dan
masing-masing lalu menceriterakan pengalamannya. Pheng Hweeshio yang baru
kembali dari Hway see ternyata tak tahu kalau Cia Soen sudah pulang ke Tiong
goan. Ia memberitahu, bahwa Coe Goan Cang, Cie Tat dan Siang Gie Coen telah memperoleh
banyak kemajuan sehingga Beng kauw sangat disegani.
Pheng Taysoe," kata Han
Lim Jie sesudah Pheng Eng Giok selesai menutur. "Apabila tadi kita
melompat untuk naik ke loteng dan membunuh kaisar Tat coe itu, bukankah dengan
demikian kita menyingkirkan satu bencana bagi rakyat?"
Pheng Hweeshio
menggeleng-gelengkan kepala, “Kaisar bebodoran itu justru pembantu kita yang
sangat berharga,” jawabnya. "Mana boleh kita membunuh dia?"
"Han Heng tee" kata
Pheng Eng Giok sambil tersenyum, "kaisar itu tolol, kejam dan doyan
pelesir. Paling belakang dia memerintahkan penggalian sungai Hong ho. Rakyat
sangat menderita dan bergusar. Mengapa saudara-saudara kita sudah memperoleh
hasil-hasil baik di medan perang? Apa benar tentara rakyat serba kekurangan
bisa melawan tentara Mongol yang gagah perkasa? Sebab musabab dari kemenangan
kita ialah karena rakyat sudah. membenci Tat coe. Dalam setiap pertempuran,
rakyat membantu kita. Kaisar tolol itu tak bisa menggunakan orang-orang pandai,
Jenderal yang seperti Jie Lam ong selalu dihalang-halangi dan dicurigai. Kaisar
bebodoran itu kuatir, bahwa kalau pahalanya sudah terlalu besar, raja muda
tersebut akan merebut kerajaan. Maka itu perlahan-lahan dia mengurangi
kekuasaan Jie Lam ong atas ketentaraan dan mengangkat jenderal-jenderal tolol
untuk memimpin tentara, sehingga biarpun gagah perkasa, pasukan-pasukan Mongol
sering kalah dalam medan perang. Inilah sebabnya mengapa aku mengatakan bahwa
kaisar Tat coe itu pembantu kita yang sangat berharga."
Han Lim Jie tersadar. Ia manggut-manggutkan
kepalanya dan merasa kagum akan pandangan Pheng Eng Giok yang sangat jauh.
"Apabila kita membunuh
kaisar Tat coe itu, putera mahkota akan menggantikannya" kata pula Pheng
Hweeshio. "Meskipun bodoh, dia tentu tak sebodoh ayahnya. Jika dia bisa
menggunakan panglima-panglima yang pandai usaha kita bisa gagal seanteronya.''
"Syukur sekali Taysoe
berada disini" kata Boe Kie. "Kalau tidak, mungkin aku sudah
menyerang dan merusak urusan besar."
"Kauwcoe adalah seorang
yang sangat penting dan memikul tugas berat untuk mengusir kekuasaan Tat
coe" kata Pheng Eng Giok. "Maka itu Kauwcoe tak boleh menempuh bahaya
secara sembrono. Seorang kaisar selalu dijaga keras dan diantara pengawalnya
terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi. Meskipun gagah, Kauwcoe belum
tentu bisa melawan mereka yang berjumlah sangat besar."
Boe Kie mengangkat kedua
tangannya dan berkata. "Aku merasa sangat berterima kasih untuk nasihat
Taysoe dan aku berjanji akan memperhatikannya."
Cie Jiak menghela napas.
"Memang kau juga tidak boleh sembarangan menerjang bahaya" katanya.
Di hari kemudian sesudah usaha kita berhasil, kursi naga tentu akan diduduki
oleh Thio Kauwtjoe."
Han Lim Jie bertepuk tangan.
"Benar!“ serunya dengan suara perlahan.
"Thio Kauwcoe jadi
Hongtee. Cioe Kouwnio jadi Hong houw. Pheng dan Yo coesoe sebagai Yoe sin
siang."
Muka nona Cioe lantas saja
berubah merah. Ia menunduk dengan sikap kemalu-maluan tapi sinar ujung matanya
menandakan bahwa ia merasa girang sekali.
Dengan sikap bingung Boe Kie
sendiri buru-buru menggoyang-goyangkan kedua tangannya. "Han Hengtee,
perkataanmu itu tak boleh dikeluarkan lagi!" katanya dengan suara
sungguh-sungguh. "Aku hanya bertujuan untuk menolong rakyat dari penderitaan,
sesudah berhasil aku akan segera mengundurkan diri. Aku sedikitpun tak kemaruk
akan kekayaan dan kedudukan tinggi."
Pheng Eng Giok tertawa.
"Kauwcoe mempunyai kepandaian dan kebijaksanaan yang jarang
tandingan" katanya, "Kalau waktunya tiba andaikata Kauwcoe mau menolak,
Kauwcoe takkan bisa menolak. Dahulu, Tio Kong In pun belum pernah mimpi akan
menjadi kaisar." ( Ti Kong In adalah, pertama dari kerajaan Song)
„Tidak bisa!“ kata Boe Kie.
„Bila dalam usaha ini hatiku bercabang dan mempunyai angan-angan untuk
keuntungan pribadi, biarlah langit dan bumi mengutuk aku, biarlah aku mati
secara tidak baik!“
Mendengar penolakan yang
disertai sumpah itu, paras muka Cie Jiak lantas saja berubah. Ia melongok
keluar jendela dan berkata, „Pemimpin Beng Kauw menjadi kaisar bukan kejadian
yang terlalu luar biasa. Dahulu ayahku mengangkat diri sendiri sebagai raja.
Kalau berhasil, bukankah ayah sudah menjadi Hong-tee?“
"Ya, hanya sayang Cioe
Coe Ong Cioe Soeheng gagal dalam usahanya,“ kata Pheng Eng giok dengan suara
duka. „Kalau berhasil, Cioe Kouwnio sudah menjadi Kong coe Nio-nio.“
Cie Jiak tertawa dingin.
“Mm!....." Ia mengeluarkan suara di hidung. „Apakah keistimewaan Koen coe
dari Jie-lam ong? Tapi toh ada yang mengawasinya tanpa berkedip dan
mendewi-dewikannya. Kalau aku jadi lelaki dan aku mau menikah dengan keluarga
kaisar sendiri, kalau bisa menjadi Hoe-ma barulah boleh dibuat bangga. (Hoe ma
adalah Menantu lelaki dari seorang kaisar)
Pheng Eng Giok dan Han Lim Jie
yang menafsirkan perkataan Cie Jiak sebagai guyonan, lantas saja tertawa
terbahak-bahak. Tapi Boe Kie sendiri bukan main rasa jengahnya. „Cie-Jiak
sangat halus budi pekerti, tapi mengapa ha ri ini ia mengeluarkan kata-kata
itu?" pikirnya.
"Mungkin sekali waktu
tadi aku mengawasi Tio Kouwnio, Cie Jiak merasa tak senang. Tapi... ah! ...
Perkataannya itu hanya membuktikan kecintaannya terhadapku."
Sementara itu Pheng Eng Giok
melaporkan hasil-hasil gerakan Beng Kauw dalam keseluruhannya. Ia mengatakan
bahwa biarpun sering juga menderita kekalahan di medan perang tapi tenaga
kekuatan Beng kauw makin lama jadi makin besar! Hanya sayang dalam Rimba
Persilatan masih terdapat partai-partai yang merasa jelus atau mengiri,
persatuan yang sempurna belum tercapai. Maka itu kata Pheng Eng Giok alangkah
baiknya jika bisa diadakan pertemuan dan musyawarah besar antara orang-orang
gagah Rimba Persilatan. Apabila tercapai persatuan yang kokoh, maka usaha
mengusir Tat-coe pasti akan terwujud.
"Taysoe benar," kata
Boe Kie. "Nanti sesudah bertemu dengan Yo-CoSoe, kita akan berdamai lebih
jauh."
Sesudah makan malam Boe Kie
berkata, "Aku dan Pheng Taysoe ingin jalan-jalan sambil mendengar-dengar
halnya Giehoe." Ia menengok kepada Han Lim Jie dan berkata pula: "Han
Heng-tee, kau dan Cie Jiak tak usah mengikut. Kalian mengaso saja." Ia tidak
mau mengajak Han Lim Jie sebab kuatir saudara yang berangasan itu menerbitkan
onar.
Sesudah keluar dari rumah
penginapan, mereka berpencaran, yang satu mengambil jalan ke barat, yang lain
ke timur dan berjanji akan pulang ke penginapan sebelum jam dua lewat tengah
malam.
Boe Kie yang menuju ke barat
memasang mata dan kuping. Tapi apa yang didengarnya hanya omong-omongan rakyat
tentang keramaian siang tadi dan cerita-cerita ngawur tentang pemberontakan
Beng kauw. Ia tak mendapat sesuatu yang penting. Ia berjalan dengan menuruti
mau nya kaki, makin lama jalan jadi makin sepi. Tiba-tiba jantungnya memukul
keras karena ia mendapat kenyataan, bahwa ia berada didepan sebuah rumah makan
kecil, dimana dahulu ia pernah minum arak bersama-sama Tio Beng. “Mengapa aku
bisa datang kesini? Apa lantaran aku selalu tidak dapat melupakan Tio
Kouwnio?" tanyanya didalam hati.
Pintu rumah makan itu separuh
dirapati, di dalam tidak terdengar suara, seperti juga tiada tamunya. Ia
mendorong pintu dan bertindak masuk. Seorang pegawai kelihatan tertidur sambil
mendekam di meja. Ia terus masuk kedalam.
Ternyata, pada sebuah meja di
suatu sudut berduduk seorang tamu yang sedang bersantap dengan muka menghadap
kedalam, dibawah penerangan sebatang lilin. Hati Boe Kie berdebar-debar sebab
ia segera mengenali, bahwa meja itu adalah dimana ia pernah minum arak bersama
nona Tio.
Sebab mendengar tindakan, tamu
itu mendadak berbangkit dan menengok dan ... orang itu bukan lain dari pada Tio
Beng sendiri!
Untuk sejenak kedua-duanya
berdiri terpaku dan Kedua-duanya mengeluarkan seruan kaget.
"Kau! ... mengapa kau
datang kesini?" kata Tio Beng. Suaranya bergemetaran. Sebagai tanda dari
goncangan hatinya.
„Aku keluar jalan-jalan dan
kebetulan lewat disini dan tak dinyana......" kata Boe Kie sambil
mendekati. Melihat seperangkat piring mangkok dan sepasang sumpit didepan si
nona, ia berkata pula "Apa kau sedang menunggu seseorang ?"
Tio Beng lantas bersemu dadu.
"Tidak" jawabnya. "Dua kali kita pernah minum arak di sini dan
kau duduk dihadapanku. Maka itu ... maka itu ... kuperintahkan pelayan
menyediakan piring mangkok itu."
Boe Kie merasa sangat
berterimakasih. Ia lihat empat tempat macam sayur di meja dan ke empat macam
sayur itu tidak berbeda dengan sayur yang pernah dimakannya bersama sama nona
Tio.
Tak kepalang rasa terharunya
Boe Kie. Tanpa merasa ia memegang tangan si nona dan berkata dengan perlahan.
"Tio Kouwnio .... "
"Aku hanya merasa
menyesal ..." kata si nona, "menyesal aku terlahir dalam keluarga
raja muda Mongol yang menjadi musuhmu ...“
Pada saat itulah, di luar
jendela mendadak terdengar "heh-heh," suara tertawa dingin, dan
serupa benda menyambar lilin yang lantas saja menjadi padam. Boe Kie dan Tio
Beng mengenal bahwa suara itu suara Cie Jiak. Mereka jadi serba salah keluar
salah, berdiam diruangan yang gelap itupun salah. Dalam detik itu, di atap
rumah terdengar suara berkeresekan dan bagaikan angin, Cie Jiak sudah berlalu.
"Apa benar kau sudah
bertunangan sama dia?" bisik Tio Beng.
"Benar," jawabnya.
"Aku tidak boleh berdusta.“
"Hari itu waktu
bersembunyi dibelakang pohon, kudengar perkataan-perkataanmu yang penuh
kecintaan, yang manis seperti madu. Ketika itu, aku ingin lantas mati, aku tak
mau hidup lebih lama lagi di dunia ini. Aku tertawa dingin dua kali. Sekarang
ia membalasnya. Tapi . . . tapi . . . dari mulutmu aku tidak pernah mendengar
sepatah katapun yang bisa menghibur hatiku ..."
"Tio Kouwnio, sebenarnya
aku tidak boleh datang kesini lagi, tidak boleh bertemu muka lagi dengan kau.
Aku sudah mengikat janji dan aku tak pantas melakukan sesuatu yang dapat
membangkitkan rasa dukamu. Tio Kouwnio ibarat pohon kau bercabang emas dan
berdaun kemala. Mulai dari sekarang kau harus melupakan aku ...."
Tio Beng memegang tangan Boe
Kie dan mengusap-usap tanda bekas luka dibelakang tangan itu. "Luka ini
karena gigitanku." katanya, "Biarpun ilmu silatmu tinggi, biarpun
ilmu ketabibanmu tinggi, tak bisa kau menghilangkan tanda luka dalam
hatiku?" Sehabis berkata begitu, ia menatap wajah Boe Kie dengan air mata
yang tak bisa dilukiskan. Sekonyong-konyong kedua tangaanya memegang kepala Boe
Kie dan ia . . .. menggigit bibir pemuda itu sehingga mengeluarkan darah!
Sesudah itu ia mondorong dan melompat keluar dari jendela. "Penjahat
cabul! Aku benci kau!... aku benci kau ...“ serunya.
*****
SESUDAH Boe Kie dan Pheng Eng
Giok berlalu, Han Lim Jie berkata "Cioe Kouwnio, kau tidurlah
siang-siang." Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu dan pergi ke
kamarnya sendiri.
Cie Jiak tertawa, “Han
Toako," katanya. "Mengapa kau begitu takut? Duduk omong omong
sebentar saja kau tidak mau."
"Tidak ! tidak!"
jawabnya. Ia mempercepat tindakannya, masuk ke kamarnya dan lalu menapal pintu.
Sambil rebah diatas
pembaringan batu, ia membayangkan kecantikan dan kehalusan Cie Jiak yang dipandangnya
seperti dewi. Tak lama kemudian ia tertidur.
Kira-kira tengah malam
mendadak pintu terketuk. Ia melompat bangun dan bertanya, "Siapa?"
"Aku,“ demikian terdengar
suara Cie Jiak. "Buka pintu! Aku ingin bicara denganmu."
Han Lim Jie melompat turun
dari pembaringan, membuka tapal pintu dan menyalakan lilin. Dengan kaget ia
lihat kedua mata si nona yang merah dan sikapnya yang luar biasa. "Cioe
Kauwnio, kau . . . kau. . . kenapa?" tanyanya. Untuk sejenak ia berdiri
terpaku dan kemudian sambil lari keluar ia berkata, "Aku mau ambil
air." Tak lama kemudian ia masuk lagi dengan membawa sepaso air. "Kau
. . . cucilah mukamu," katanya.
Cie Jiak tidak menyahut. Ia
hanya menggelengkan kepalanya dan mengawasi api lilin dengan mata mendelong.
Mendadak air matanya mengucur. Han Lim Jie kaget bercampur bingung, ia tak tahu
apa yang harus diperbuatnya.
Lama juga nona Cioe berdiri
bengong seperti orang linglung. Tiba-tiba ia tersadar dan mengeluh dengan suara
perlahan.
"Cioe Kouwnio, siapa yang
menyakitimu?" tanya Han Lim Jie. "Beritahukanlah kepadaku. Si orang
she Han akan tikam dia."
Cie Jiak tetap membungkam.
Sambil menghela napas, ia bertindak keluar dan masuk ke kamarnya sendiri.
Sesudah duduk beberapa lama, ia keluar lagi.
Han Lim Jie jadi makin bingung.
Tak lama kemudian kentong berbunyi tiga kali. "Mengapa Kauwcoe dan Pheng
Taysoe belum juga balik?" tanyanya didalam hati, "Tak lama ada jalan
lain dari pada tunggu pulangnya mereka." Walaupun berkuatir, ia tidak
berani menengok si nona yang sudah masuk lagi ke kamarnya. Ia lalu merebahkan
diri di pembaringan.
Dalam keadaan setengah tidur,
sekonyong-konyong ia mendengar suara gedubrukan di kamar Cie Jiak, seperti
jatuhnya kursi. Ia melompat bangun dan berlari-lari ke kamar nona Cioe. Dengan
bantuan sinar rembulan, dari luar jendela ia lihat bayangan sesosok tubuh
manusia yang bergelantungan dan bergoyang-goyang dengan perlahan. Dengan hati
mencelos ia berteriak "Cioe Kouwnio ! ... Cioe Kouwnio ..."
Ia menolak pintu, tapi pintu
ditimpal dari dalam. Tanpa memikir panjang lagi, dengan seantero tenaga, ia
mendorong pintu dengan pundaknya, sehingga timpal pintu patah. Ia masuk ke
dalam dan segera menyalakan lilin. Cocok dengan dugaannya, nona Cioe
menggantung diri dengan seutas tambang yang diikatkan pada balok rumah dengan
lehernya sendiri. Bagaikan kalap, ia melompat tinggi, menjambret tambang dan
menarik sekuat-kuatnya, sehingga tambang itu putus. Dengan tangan bergemetaran,
ia mendukung tubuh si nona dan merebahkannya diatas pembaringan. Seperti disambar
halilintar, ia mendapat kenyataan, bahwa nona Cioe sudah tidak bernapas!
"Cioe Kouwnio !.... Cioe Kouwnio !..." ia sesambat.
Tiba-tiba diluar kamar
terdengar suara seorang. "Han Toako, ada apa?" Orang itu lantas masuk
kedalam dan dia bukan lain daripada Boe Kie sendiri. Melihat tunangannya, bukan
main kagetnya, pemuda itu. Buru-buru ia membuka ikatan tambang pada leher Cie
Jiak dan meraba dadanya. Untung juga jantungnya masih berdenyut. "Masih
bisa ditolong," katanya dengan suara lega. Ia lalu mengurut punggung Cie
Jiak dan mengirim Kioeyang Cin khie kedalam tubuh si nona.
Beberapa saat kemudian Cie
Jiak berteriak, "Uah!" dan lalu menangis. Ia membuka matanya dan
begitu melibat Boe Kie ia berkata "Biar aku mati! Aku lebih baik
mati!" Mendadak ia lihat bibir Boe Kie yang berdarah dan bertanda tapak
gigi, darahnya lantas saja bergolak dan dengan sekuat tenaga ia menggaplok.
Han Lim Jie terkesiap. Ia
berdiri terpaku dan mengawasi dengan mata membelalak. Pihak mana yang harus
diambil olehnya? Di satu pihak Kauwcoe yang dipujanya, dilain pihak calon
nyonya Kauwcoe yang juga dipandangnya seperti dewi. Selagi kebingungan mendadak
pundaknya ditepuk orang. Ia menengok dan ternyata orang itu bukan lain dari
pada Pheng hweeshio. "PhengTay soe" katanya dengan suara girang.
"Lekas bujuk Cioe Kouwnio!"
Pheng Eng Giok tertawa.
"Bujuk apa?” tanyanya. "Mari kita keluar".
"Tidak bisa! Mereka akan
berkelahi! Cioe Kouwnio bukan tandingan Kauwcoe," kata si tolol.
Pheng Eng Giok tertawa
terbahak bahak. "Han Heng-tee, apakah kita berdua bisa menandingi
Kauwcoe?" tanyanya. "Aku berani pastikan dengan seorang diri Cioe
Kouwnio akan mendapat kemenangan." Seraya berkata begitu, ia memberi
isyarat dengan kedipan mata dan lalu menarik taagan Han Lim Jie.
Sementara itu, sesudah menggapelok
tunangannya, Cie Jiak lalu membanting diri di pembaringan dan menangis
tersedu-sedu. Boe Kie duduk di pinggir ranjang dan sambil mengusap-usap pundak
si nona, ia berkata dengan suara lemah lembut. "Sungguh mati aku tidak
berjanji dengan dia untuk mengadakan pertemuan di situ. Hal itu telah terjadi
karena kebetulan saja."
"Justa! Bohong! Aku tidak
percaya!"
Boe Kie menghela napas.
"Cie Jiak, apa kau tak ingat riwayat Cioe Kong dan Ong Bong?"
tanyanya. "Dalam dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian kebetulan yang
bisa menimbulkan salah mengerti".
Si nona bangun duduk.
"Kau sungguh kejam!" teriaknya. "Koencoe Nio nio-mu menghina aku
dengan sajaknya dan kau bahkan menyebut-nyebutnya lagi. Lihat bibirmu! Apa kau
tak malu?" Sehabis berkata begitu, mukanya sendiri berubah merah.
Boe Kie mengerti, bahwa ia
takkan dapat membela diri. Jalan satu-satunya ia harus bersabar. Melihat muka
tunangannya yang kemerah-merahan, lehernya yang masih bertanda bekas ikatan
tambang dan matanya yang merah, di dalam hatinya lantas saja timbul rasa
kasihan. Ia ingat, bahwa jika tidak keburu ditolong oleh Han Lim Jie,
tunangannya itu pasti sudah binasa. Mengingat begitu, dengan rasa terharu ia
segera memeluk. Cie Jiak coba memberontak, tapi Boe Kie terus memeluk erat-erat
dan mencium dahinya.
Lama ia memeluk dan Cie Jiak
pun tidak memberontak lagi. Tiba-tiba ia merasa jengah sendiri. Perlahan-lahan
ia melepaskan pelukannya dan berkata. "Cie Jiak, kau tidurlah. Besok kita
bicara lagi. Kalau aku berani menjustai kau lagi dan diam-diam mengadakan
pertemuan dengan Tio Kouwnio, kau boleh bunuh aku."
Si nona tidak menjawab. Ia
terus menangis dengan perlahan. Makin dibujuk, ia menangis makin keras.
Akhirnya Boe Kie bersumpah, bahwa ia tidak akan berkhianat dan bahwa ia masih
tetap mencintai si nona deagan segenap jiwa.
"Aku tak mempersalahkan
kau, aku hanya merasa menyesal akan nasibku yang buruk..." kata Cie Jiak
dengan suara hampir tak kedengaran.
"Diwaktu masih kecil,
kita bersama-sama bernasib buruk," kata Boe Kie. "Dengan Tat coe yang
berkuasa, seluruh rakyat bernasib buruk. Nanti sesudah Tat coe terusir, kita
akan hidup beruntung."
Tiba-tiba Cie Jiak mengangkat
kepalanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Boe Kie Koko, kutahu
kecantikanmu terhadapku. Ku tahu ini semua karena gara-gara bujukan si
perempuan siluman... bukan kau yang berhati bercabang. Tapi ... tapi ... dengan
sebenarnya aku tak bisa menjadi isterimu. Aku ingin mati. Tapi si Han Lim Jie
menolong aku. Sesudah gagal satu kali, aku tak berani mencoba untuk kedua kali.
Aku... akan mengikuti contoh Soehoe, aku akan mencukur rambut dan menjadi
pendeta. Ya! Ciang ... boenjin dari Gobie pay memang biasanya seorang wanita
yang tidak menikah.“
"Mengapa kau mempunyai
pikiran begitu ? Apakah kau bergusar terhadap Tio Kouwnio karena kau anggap Tio
Kouwnio memberi petunjuk, bahwa kaulah yang sudah mencelakai ayah angkatku
?"
"Apa kau percaya ?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau tidak percaya,
baguslah. Siapapun juga tak akan percaya."
"Tapi mengapa kau terus
berduka?"
Cie Jiak menggigit bibirnya.
"Karena ... karena ...“ katanya. Sehabis mengatakan dua kali perkataan
"karena", ia memalingkan mukanya ke jurusan lain. "Boe Kie
Koko," katanya pula dengan suara parau. "Sebenarnya kau lebih baik
tidak pernah bertemu dengan aku. Mulai dari sekarang, kau jangan ingat-ingat
lagi diriku. Kau boleh menikah dengan Tio Kouwnio atau dengan wanita lain. Aku
. . . aku tak perduli ..." Mendadak kedua kakinya menjejak pembaringan dan
tubuhnya melesat keluar dari jendela dan kemudian hinggap diatas rumah.
Boe Kie tertegun. Ia tak
pernah menduga bahwa tunangannya memiliki ilmu mengentengkan badan yang begitu.
Sesaat itu ia tidak sempat memikir panjang-panjang lagi dan segera menguber.
Si nona kabur ke jurusan
timur. Boe Kie mengejar dengan mengambil jalan mutar dan dengan cepat, ia sudah
menghadang didepan. Sebab tidak keburu menghentikan tindakannya, Cie JiaK
menubruk Boe Kie yang segera memeluknya, mereka berada di dekat sungai kecil.
Boe Kie lalu mendukung tunangannya ke sebuah batu besar di pinggir sungai.
"Cie Jiak," katanya dengan suara halus, "Suami isteri harus
sama-sama senang dan sama-sama susah. Penderitaanmu adalah penderitaanku juga.
Ganjelan apa yang sedang dipikir olehmu. Bilanglah! ... kau bilanglah..."
Sambil menyesapkan kepalanya
di dada Boe Kie, si nona menangis tersedu-sedu. "Aku ... aku ...."
katanya terputus-putus. "Kehormatanku sudah dirusak orang! ... Aku sudah
ternoda ... Aku ... aku sudah ... hamil! Bagaimana aku bisa menikah dengan
kau?"
Pengakuan itu bagaikan halilintar
ditengah hari bolong. Boe Kie terpaku ia merasa kepalanya puyeng dan matanya
berkunang-kunang.
Perlahan-lahan Cie Jiak bangun
berdiri. "Itulah sudah nasibku," katanya. "Kau harus bisa
melupakan aku."
Boe Kie tidak menyahut. Ia
menatap wajah tunangannya dengan mata membelalak. Ia tak percaya kupingnya
sendiri.
Si nona menghela napas. Ia
memutar badan dan berlalu.
Boe Kie melompat dan seraya
mencekal tangan tunangannya, ia bertanya dengan suara gemetar. "Apa ....
bangsat Song Ceng Soe?"
Cie Jiak mengangguk. Dengan
air mata berlinang-linang ia berkata, "Aku ditotok dan aku tidak bisa
melawan ... "
Pada detik itu juga Boe Kie
sudah mengambil keputusan. Ia memeluk Cie Jiak dan berkata dengan suara halus.
"Cie Jiak, itu semua bukan salahmu. Sesudah beras menjadi bubur,
jengkelpun tiada gunanya. Cie Jiak karena penderitaanmu itu, aku lebih
mencintai kau, aku lebih merasa kasihan terhadapmu. Besok kita berangkat ke
Hway see dan mengumumkan kepada saudara-saudara agamaku, bahwa kita akan segera
menikah. Mengenai anak dalam kandunganmu, anggap saja, bahwa anak itu adalah
anakku sendiri. Cie Jiak, bagiku kau masih tetap suci, kau tetap putih bersih,
karena segala kejadian itu adalah diluar kemauanmu."
"Perlu apa kau menghibur
aku? Aku sudah ternoda. Mana bisa aku menjadi hoe jin (isteri) dari seorang
Kauwcoe?"
"Cie Jiak, dengan berkata
begitu kau memandang rendah kepadaku Thio Boe Kie seorang laki-laki tulen.
Pemandanganku berlainan dengan pemandangan orang biasa. Andai kata, karena
khilaf, kau terpeleset dan jatuh, aku masih bisa melupakan segala kesalahanmu.
Apalagi dalam hal ini, dimana bencana sudah datang diluar keinginanmu?"
Bukan main rasa berterima
kasihnya Cie Jiak. "Boe Kie Koko," katanya, "apa benar kau
begitu mulia? Kukuatir kau menjustai aku."
"Kecintaanku ...
kebaikanku terhadapmu, kau akan tahu dihari kemudian. Pada hakekatnya, sekarang
ini aku belum berbuat baik terhadapmu."
Si nona menangis makin sedih.
"Boe Kie Ko ko ... " bisiknya, "gugurkan saja kandungan ku
dengan menggunakan obat ... "