Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 18

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 18
Anonim

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 18

Meskipun mereka sungkan mencari urusan, mereka bukan orang-orang yang takut mendapat urusan. Maka itu, biarpun bercuriga, mereka tenang tenang saja dan tidak membicarakan kejaran empat pengunggang itu.

"Pada waktu aku turun gunung, Soehoe sedang menutup diri dan bersemedhi," kata pula Lian Cioe. "Menurut perhitungan, setibanya kita di Boe-tong, beliau sudah selesai."

"Dulu ayah pernah memberitahukan kepadaku, bahwa selama hidup ia hanya mengagumi Thio Cinjin dan Kian boen tie seng, empat pendeta suci dari Siauw lim-pay," kata So So. "Tahun ini Thio Cinjin sudah mencapai usia seratus tahun dan dalam keagamaan, mungkin ia tidak mempunyai tandingan lagi didunia ini. Apakah beliau sedang mempelajari ilmu untuk hidup abadi?"

"Bukan, Insoe sedang merenungkan ilmu silat," jawabnya.

So So agak kaget. "Dalamnya ilmu silat yang dimiliki beliau sudah tak dapat diukur lagi," katanya. "apa lagi yang ingin dipelajari? Apakah pada jaman ini beliau masih mempunyai tandingan?"

"Semenjak usia sembilan puluh lima tahun, saban tahun in Soe menenutup diri sembilan bulan lamanya," menerangkan Lian Cioe. "Beliau sering mengatakan, bahwa intisari daripada ilmu silat Boe tong terletak didalam kitab Kioe yang Cin keng. Hanya sayang, pada waktu Kak wan Couw soe menghafal isi kitab itu, Insoe masih terlalu muda dan sesudah lewat sekian tahun, ia sudah tidak ingat lagi seluruh isinya. Maka itulah, dalam ilmu silat kami masih terdapat kekurangan-kekurangan."

"Kioe yang Cin keng adalah warisan Tat mo Couw soe Insoe mengatakan, bahwa makin lama beliau merenungkan, makin beliau merasa, bahwa dalam ilmu silat kami masih terdapat terlalu banyak kekurangan, seolah hanya merupakan separoh dari sebuah keseluruhan. Beliau mengatakan, bahwa untuk mencapai keseluruhan itu, orang harus mendapatkan dan mempelajari Kioe im Cin keng. Hanya sayang, sedang Kioe yang Cin keng saja masih belum lengkap, dimanakah orang harus mencari Kioe im Cin keng ? Disamping itu, apakah didalam dunia benar-benar terdapat kitab Kioe im Cin keng, masih merupakan sebuah teka teki."

"Tat mo Couw soe adalah seorang luar biasa dari negeri Thian tiok (India). Dalam kecerdasan dan bakat belum tentu Insoe kalah dari Tat mo Couw soe. Maka itu, sedang Cin keng tak mungkin didapatkan, apakah Insoe sendiri tidak mampu mengubah ilmu silat yang sempurna? Pertanyaan itu tidak bisa menghilang dari otak Insoe. Maka itulah, beliau lalu menutup diri untuk mempelajari dan merenungkan ilmu silat kami guna mencapai suatu kesempurnaan."

Mendengar keterangan itu, bukan main rasa kagumnya Coei San dan So So.

"Yang turut mendengar Kak wan Couwsoe menghafal Kioe yang Cin keng ada tiga orang." Lian Cioe melanjutkan penuturannya. "Yang satu Insoe sendiri, yang kedua Boe sek Taysoe dari Siauw lim sie, sedang yang ketiga seorang wanita yaitu Couwsoe Goe bie pay, Kwee Siang Kwee Lie hiap. Kecerdasan, bakat dan kepandaian mereka berlainan satu sama lain. Yang ilmu silatnya paling tinggi pada waktu itu adalah Boe sek Taysoe, Kwee Lie hiap ialah puteri Kwee Tayhiap dan Oey Yong, Oey Pangcoe. Sebagai puterinya ahli-ahli silat kelas utama pada jaman itu, beliau sudah memiliki ilmu silat yang beraneka warna. Insoe sendiri pada waktu itu dapat dikatakan belum mengenal ilmu silat. Tapi sebab itulah ilmu silat Boe tong menjadi ahli waris yang paling bersih dari pada kitab Kioe yang Cin keng."

"Belakangan mengenai ilmu-ilmu silat Siauw Lim, Go bie dan Boe tong, orang memberi julukan Ko (tinggi) kepada Siauw lim. Pok (luas) kepada Go bie dan Soen (bersih) kepada Boe tong. Ketiga partai masing-masing mempunyai keunggulan sendiri dan juga mempunyai kekurangan kekurangan."

"Kalau begitu, Kak wan Couw soe memiliki ilmu silat yang paling tinggi pada jaman itu," kata So So.

"Tidak !" jawabnya. "Kak wan Couw soe tidak mengerti ilmu silat. Dalam kuil Siauw lim sie, ia bekerja sebagai pengurus Cong keng kok (gedung perpustakaan). Ia seorang kutu buku yang membaca segala rupa kitab dan menghafalnya. Secara kebetulan ia mendapatkan Kioe yang Cin-keng Yang lalu dibacanya dan dihafalnya. Ia sama sekali tak tahu, bahwa dalam kitab itu terdapat ilmu silat yang sangat tinggi."

Lian Cioe selanjutnya menuturkan cara bagaimana kitab itu hilang dan tidak dapat ditemukan lagi. Coei San sendiri sudah pernah mendengar cerita itu dari gurunya, tapi So So yang baru pertama kali mendengarnya, merasa ketarik bukan main.

Lian Cioe seorang pendiam dan biasanya sangat jarang bicara. Tapi sekarang, dalam kegembiraannya karena sudah bertemu pula dengan adiknya yang disangka mati, ia berbicara banyak sekali, bahkan berguyon. Sesudah bergaul belasan hari dengan So So, ia merasa, bahwa si Teehoe sebenarnya bukan manusia jahat. Ia yakin, bahwa kekejaman So So pada masa yang lampau, adalah akibat daripada suasana dan pergaulannya. Kata orang, mendekati bak (tinta) keluaran hitam, mendekati coe see (bubuk merah) berlepotan merah. Sedari kecil, apa yang dilihat dan didengar So So adalah perbuatan-perbuatan sesat dan kejam, sehingga sesudah besar, ia tidak dapat membedakan lagi apa yang benar, apa yang salah dan biasa membunuh manusia secara serampangan. Tapi sesudah menikah dengan Soeteenya, adat yang kejam itu perlahan-lahan berubah. Itulah kesimpulan Lian Cioe.

Baru saja Coei San ingin menanyakan Soehengnya tentang kemajuan yang telah dicapai oleh gurunya dalam usaha menyempurnakan ilmu silat Boe-tong, sekonyong konyong suara tindakan kuda tadi terdengar pada kali ini dari menuju ketimur dan tidak lama kemudian mereka lewat diatas gili gili dekat perahu.

Coei San agak terkejut, tapi ia tidak menggubris. "Jieko" katanya. "jika Insoe mengundang tokoh-tokoh Siauw lim dan Gobie untuk bersama2 menyempurnakan ilmu silat, kurasa ketiga partai ini sama-sama akan memperoleh keuntungan yang sangat besar."

Lian Cioe menepuk lututnya. "Kau benar !" katanya dengan bersemangat. "Perkataan Soehoe, bahwa dihari kemudian kau bakal menjadi ahli warisnya sungguh tepat sekali."

"Perkataan itu kurasa sudah dikeluarkan karena Insoe selalu mengingat Siauwtee yang tidaak diketahui kemana perginya," kate Coei San. "Bukankah seorang anak durhaka yang bergelandangan di luaran lebih dipinggirkan oleh ibunya daripada anak berbakti yang selalu berdampingan dengan sang ibu? Pada waktu ini, janganlah dibandingkan dengan Toako, Jieko dan Sieko, sedangkan dengan Lioktee dan Cit tee pun, ilmu silat Sauwtee masih belum bisa menempil."

"Bukan, tafsirannya bukan begitu," kata Lian Cioe sambil meggelengkan kepala. "Sebegitu jauh mengenai ilmu silat, memang juga Ngotea tidak bisa menandingi aku. Akan tetapi, seorang ahli waris Insoe mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk memperkembangkan ilmu silat. Insoe sering mengatakan, bahwa dalam dunia yang lebar ini, soal gemilang atau suramnya Boe tong pay sebagai partai persilatan adalah soal remeh. Soal yang penting ialah seorang ahli silat harus menunaikan tugasnya sebagai seorang anggota dari Rimba Persilatan. Jika ia bisa mempelajari menyelami rahasia ilmu silat dan kemudian menurunkan pelajarannya itu kepada orang lain, supaya ilmu silat seorang koen coe (manusia utama) berbeda dengan ilmu silat seorang Siauwjin (manusia rendah). Jika ia dapat mempersatukan pencinta-pencinta negeri untuk mengusir penjajah dan merampas pulang negeri yang sedang dijajah, maka dapatlah dikatakan, bahwa ia sudah menunaikan tugasnya yang sangat mulia. Itulah penedapat Insoe mengenai tanggung jawab seorang ahli silat. Maka itulah seorang ahli warisnya, pertama harus mempunyai batin yang luhur dan kedua harus memiliki kesadaran. Mengenai batin, kita bertujuh tiada banyak bedanya. Tapi mengenai kesadaran, Ngotee lah yang paling unggul."

Coei San menggoyangkan tangannya. "Tapi siauw tee masih tetap berpendapat, bahwa perkataan itu sudah dikeluarkan Insoe karena beliau terlalu memikirkan siauwtee," katanya dengan suara ter haru. "Andaikata benar Insoe mempunyai niat begitu, biar bagaimanapun jua, siauwtee tak akan dapat menerimanya."

Mendadak Lian Cioe berpaling kearah So So. Ia bersenyum seraya berkata: "Teehoe pergilah kau melindungi Boe Kie, supaya ia tak jadi kaget. Urusan diluar akan diurus olehku dan Ngotee."

So So memandang kedarat, tapi ia tak dapat melihat sesuatu yang luar biasa. Selagi ia bersangsi, Lian Cioe berkata pula: "Diantara pohon pohon itu bersembunyilah orang dan diantara rumput alang-alang disebelah depan pasti bersembunyi perahu-perahu musuh"

So So membuka rnatanya lebar-lebar dan mengawasi keempat penjuru, tapi ia tetap tak melihat apapun jua. Diam-diam dia menduga mata sang Jiepeh kabur.

Sekonyong konyong Lian Cioe berteriak: "Boe tong san Jie Jiehiap dan Thio Ngo hiap numpang lewat ditempat ini. Kami memohon kalian sudi memaafkan, jika kami melanggar kesopanan. Kami mengundang kalian untuk naik keperahu ini guna minum bersama-sama."

Teriakan Lian Cioe diikuti dengan suara air yang terpukul dayung dan sesaat kemudian, dari antara rumput alang-alang muncullah enam buah perahu kecil yang didayung cepat sekali dan yang kemudian berbaris dan menghadang dari satu tepi kelain tepi sungai. Dari salah sebuah perahu itu terdengar suara "uuu...uuu..." dan dilepaskan sebatang anak panah pertandaan, yang mengeluarkan suara nyaring. Hampir berbareng, dari antara gerombolan pohon pohon melompat keluar belasan orang yang ringkas dan badannya semua mengenakan pakaian warna hitam dan semua mencekal senjata. Sedang muka mereka ditutup dengan topeng kain yang berwarna hitam juga.

So So kagum tak kepalang. "Nama besar Jie peh sungguh bukan nama kosong," pikirnya. Melihat jumlah musuh yang besar cepat cepat ia masuk kedalam gubuk perahu untuk melindungi puteranya. Anak itu ternyata sudah mendusin. Sesudah merapikan pakaiannya ia berbisik "Anak kau jangan takut!"

"Sahabat dari mama yang akan berkunjung?" tanya Lian Cioe. "Boe tong Jie Jie dan Thio Ngo hiap menyampaikan salam persahabatan."

Tapi tak satu manusiapun yang muncul dari perahu-perahu itu dan pertanyaan Jiehiap tetap tidak mendapat jawaban.

"Celaka!" Lian Cioe mengeluarkan seruan tertahan dan lalu melompat keair. Ia kelahiran Kang lam dan rumah tinggalnya berdekatan dengan sungai, sehingga semenjak kecil ia sudah mahir dalam ilmu berenang.

Ia menyelam dan melihat empat orang sedang berenang mendekat, ia mengerti maksud mereka yaitu ingin membor dasar perahu supaya perahu itu karam.

Jie Lian Cioe segera bersembunyi disamping badan perahu. Begitu lekas keempat orang itu datang dekat, kedua tangannya bergerak dan dua orang sudah tertotok jalanan darahnya. Hampir berbareng ia mengirim tendangan dan jalanan darah Cit sit hiap, dipinggang orang ketiga, kena tertendang. Musuh yang keempat coba melarikan diri, tapi Lian Cioe keburu menjambret pergelangan kakinya dan lalu melontarkannya keatas perahu. Mengingat, bahwa ketiga musuhnya pasti bakal mati kalelap jika tidak ditolong, ia segera melemparkan mereka satu persatu kekepala perahu dan kemudian barulah ia sendiri meloncat keatas perahu.

Sementara itu sesudah bergulingan, musuh keempat melompat bangun dan lalu menikam dada Coei San dengan bornya. Melihat ilmu silat orang itu biasa saja, tanpa berkelit. Coei San menangkap pergelangan tangannya yang mencekal senjata kemudian menotok jalanan darah didada dengan sikutnya. Tanpa mengeluarkan teriakan, dia rubuh diatas geladak perahu.

"Diantara yang berkumpul didarat kelihatannya terdapat beberapa orang yang berkepandaian tinggi", kata Lan Cioe. "Sesudah berhadapan, tak dapat kita berlaku sungkan lagi."

Coei San mengangguk dan lalu memerintahkan juragan perahu untuk menjalankan kendaraan air itu. Karena mesti melawan arus air, jalanannya perahu perlahan sekali. Begitu berdekatan dengan enam perahu musuh, Lian Cioe mengangkat keempat tawanannya, membuka jalanan darah mereka dan lalu melemparkannya keperahu yang paling dekat. Tapi sungguh heran dari enam perahu itu sama sekali tidak terdengar suara manusia, belasan orang yang berkumpul didaratanpun tidak mengeluarkan sepatah kata, seolah-olah mereka semua gagu, sedang keempat orang yang barusan dilontarkan juga tak muncul lagi.

Tiba-tiba, selagi perahu Lian Cioe mau melewati keenam perahu itu, seorang pendayung dari perahu musuh yang paling dekat mengayun tangannya dan hampir berbareng, dengan dua kali suara ledakan, kemudi perahu Lian Cioe terbakar dan perahunya sendiri terputar badannya.

Yang dilemparkan oleh sipendayung yalah semacam dinamit yang biasa digunakan oleh para nelayan untuk mendinamit ikan. Hanya karena barang peledak itu dibuat luar biasa besar maka tenaganyapun jauh lebih bear daripada dinamit yang biasa.

Dengan paras muka tetap menunjuk ketenangan, Lian Cioe melompat keperahu musuh. Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyalinya sangat besar dan sampai pada saat itu, ia masih tetap tidak bersenjata.

Kedatangan Jiehiap tidak digubris oleh sipendayung. "Siapa yang melemparkan dinamit?" bentak Lian Cioe. Tapi orang itu tidak menjawab dan lagaknya seperti orang gagu dan tuli.

Lian Cioe segera masuk kegubuk perabu, dimana terdapat dua orang laki-laki yang duduk pada sebuah meja, tapi merekapun tidak bergerak dan tidak bersuara.

Dengan mendongkol ia mencekal tengkuk salah seorang dan lalu mengankatnya tinggi-tinggi. "Hai! Kau jangan main gila!" bentaknya. tapi orang itu merarnkan kedua mata nya dan tetap menutup mulut.

Sebagai seorang kenamaan dari Rimba Persilatan, Lian Coe sungkan mengunjak kegarangan terhadap seorang yang bukan tandingannya. Ia lalu melepasakan orang itu dan pergi kebelakang perahu, dimana ia bertemu dengau Coei San dan So So yang mendukung Boe Kie.

Tiba-tiba So So berteriak "Awas! Penjahat menenggelamkan perahu!" Sesaat itu, air sudah mulai mencapai geladak perahu.

Ternyata, musuh yang berdiam diperahu itu sudah membuat persiapan dan begitu lekas Lian Cioe berempat pindah keperahu mereka, orang-orang itu lalu membuka sumbat lubang lubang di dasar perahu. Lian Cioe berempat lantas melompat keparaha yang kedua, tapi perahu itupun mulai kalam.

"Ngotee, sekarang tak bisa tidak, kita mendarat juga," katanya. Ia mengerti, bahwa musuh telah membuat keenam perahu itu sebagai papan loncatan untuk mengundang tamu-tamu naik kedaratan. Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada diatas gili-gili.

Belasan lelaki yang mengenakan pakaian hitam itu berdiri dalam garis setengah lingkaran, sehingga Lian Cioe berempat separuh terkurung. Sabagain besar diantara mereka bersenjatakan pedang sedang yang lainnya mencekal sepasang golok atau Joanpian (cambuk). Tak satupun yang membawa senjata berat.

Jiehiap berdiri tegak dengan paras muka dingin dan sepasang matanya yang bersinar terang menyapu musuh-musuh yang menghadang itu.

Mendadak, seorang musuh yang berdiri ditengah-tengah mengebas tangan kanannya dan barisan setengah lingkaran itu segera terpecah dua dan membuka jalan ditengah-tengah. Mereka berdiri dengan badan separuh membungkuk, ujung senjata mereka ditudingkan kebumi, sedang kedua tangan mereka dirangkap sebagai tanda memberi hormat. Sesudah membalas hormat, Lian Cioe bertindak maju. Begitu Jiehiap lewat sekonyong-konyong ujung kedua barisan kembali menyambung menjadi satu dan menutup jalanan keluar, sehingga Coei San, So So dan Boe Kie lantas saja terkurung.

Ngohiap tertawa terbahak-bahak. "Kalau begitu, yang dikehendaki kalian adalah aku, seorang she Thio," katanya. "Terima kasih atas perhatian kalian yang begitu besar."

Musuh yang berdiri ditengah tengah, yang rupanya menjadi pemimpin rombongan, kelihatan bersangsi. Ia menundukkan pedangnya dan sekali lagi membuka jalan.

"So So, kau jalan lebih dulu !" memerintah sang suami.

Sambil mendukung Boe Kie, si isteri segera bertindak maju.

Sekonyong-konyong selagi mau melewati kedua barisan, lima orang bergerak bagaikan kilat dan pedang mereka menuding Boe Kie. Dengan kaget So So bertindak mundur, tapi kelima musuh itu mengikuti dan pedang mereka tetap berada dalam jarak kira-kira satu kaki dari tubuh si bocah.

Lian Cioe yang sangat berwaspada sudah lantas melihat kejadian itu. Sekali menotol tanah dengan kedua kakinya, tubuhnya terbang dan masuk ke dalam kurungan musuh. Bagaikan kilat, kedua tangannya menepuk empat kali, saban tepukan mengenakan pergelangan tangan musuh yang mencekal pedang dan empat batang pedang hampir berbareng terpental ketengah udara. Sesudah itu, tangan kirinya menyambar pergelangan tangan musuh yang kelima. Begitu mencekal, ia merasa tangan musuh halus luar biasa, seperti juga tangan seorang wanita. Buru-buru ia menotok jalanan darah orang dan buru-buru pula ia melepaskan cekalannya. Tangan orang itu lantas saja lemas dan pedangnya jatuh ditanah.

Sesudah pedang mereka terlepas, kelima orang itu cepat-cepat melompat mundur.

Dilain saat, dua batang pedang menyambar Lian Cioe. Kedua senjata itu menikam lurus dari kiri dan kanan. Jiehiap lantas saja mengenali bahwa serangan itu yalah pukulan Tay mo pang see (Pasir yang rata digurun pasir) dari Koen loen pay.

Lian Cioe menunggu sampai ujung pedang hanya terpisah kira-kira tiga dim dari dadanya dan pada saat yang tepat, ia menarik sedikit dadanya kebelakang, sedang telunjuk tangan kiri dan tangan kanan menyentil badan kedua pedang itu.

Kedua sentilan itu kelihatannya tidak bertenaga, tapi sebenarnya hebat luar biasa disertai dengau Lweekang yang sangat tinggi. Menurut kebiasaan senjata lawan pasti akan terlepas. Tapi kali ini begitu telunjuknya nenyentuh badan pedang, ia merasakan sambutan dari tenaga Jioa kin (tenaga lembek), sehingga Lweekangnya kena dipunahkan. Tapi kedua musuh itu tak dapat mempertahankan diri, satu terhuyung tiga tindak dan badannya bergoyang-goyang sedang yang lain, sesudah mengeluarkan teriakan kesakitan, muntah darah.

Semenjak mencegat, tak satupun mengeluarkan suara dan teriakan itu adalah suara pertama. Sungguh heran, teriakan itu tajam dan nyaring, seperti teriakan seorang wanita.

Melihat kelihayan Lian Cioe, pemimpin rombongan mengebas tangannya dan belasan orang itu lantas saja mundur, akan kemudian menghilang di antara pohon-pohon. Lian Cioe mengawasi bayangan mereka deugan mata tajam. Ia mendapat kenyataan, bahwa hampir semuanya bertubuh langsing dan gerak-gerik mereka yang gemulai menyerupai gerak-gerik wanita.

"Jie Jie dan Thio Ngo dari Boe tong pay menghaturkan maaf kepada Thie khim Sianseng! " teriak Lian Cioe.

Orang-orang itu tidak menjawab, hanya sayup sayup terdengar tertawanya seorang wanita.

Sesudah bahaya lewat, So So menurunkan Boe Kie dari dukungannya dan sambil terus mencekal tangan puteranya, ia berkata. "Jiepeh, orang-orang itu rasanya orang perempuan. Apa mereka orang orang Koen loen pay?"

"Bukan," jawabnya "mereka orang Go bie pay."

"Go bie pay?" menegas Coei San dengan perasaan heran. "Bukankah tadi Jieko menyebut nama Thie khim Sianseng?"

Lian Cioe menghela napas, "Mereka tidak bersuara dan muka mereka ditutup dengan topeng itu semua menandakan bahwa mereka sungkan dikenali orang," katanya. "Lima pedang yang mengancam Boe Kie ialah Han bwee kiam tin (Barisan pedang bunga Bwee) dari Koen loen pay, sedang kedua orang yang menikam aku juga menggunakan pukulan Tay mo pang see data Koen loen pay. Karena mereka menyamar sebagai orang Koen loen, aku sungkan membuka rahasia mereka dan sengaja menyebutkan nama Thie khim Sianseng, Ciang boenjin dari Koen loen pay."

"Bagaimana Jiepeh tahu mereka orang Go bie pay?" tanya So So. "Apa diantaranya ada yang dikenal?"

"Tidak," jawabnya. "Dilihat dari Lweekangnya yang tidak seberapa dalam, mereka mungkin cucu cucu murid Biat coat Soe thay, Ciang boenjin Go bie pay. Dengan lain perkataan, mereka adalah murid turunan keempat dari partai tersebut. Diantara mereka, tak satupun yang dikenal aku. Tapi pada waktu mereka coba mempunahkan sentilanku dengan tenaga Jio kin, aku segera mengenali, bahwa ilmu yang digunakan lima Go bie pay. Sebagaimana kau tahu, tidaklah terlalu sukar untuk meniru pukulan-pukulan partai lain. Tapi begitu lekas seseorang menggunakan Lweekang, tak dapat tidak, topengnya terlocot."

Coei San mengangguk. "Sebenarnya mereka tak akan terluka berat, jika mereka tidak melawan dan segera melepaskan senjata waktu disentil Jieko," katanya. "Aku tahu, kalau Jieko memandang mereka semua seperti musuh, kedua bocah itu tentu sudah hilang jiwanya. Hanya aku merasa heran, mengapa hari ini mereka mencegat kita, sedang biasanya orang-orang Go bie pay selalu berlaku sungkan terhadap kita."

"Di waktu muda. Insoe pernah menerina budi Kwee Siang Liehiap Couw soe dari Go bie pay." menerangkan Lian Cioe. "Oleh karena begitu, In soe sering memesan, supaya kami jangan sampai kebentrok dengan murid-murid Go bie, supaya persahabatan lama dapat dipertahankan terus. Sesudah sentilanku mengenakan pedang, barulah aku tahu, bahwa mereka tak akan bisa bertahan. Aku ingin menarik pulang Lweekang, tapi sudah tidak keburu lagi, sehingga kedua orang itu terluka juga. Biarpun tidak disengaja, aku sudah melanggar pesanan Insoe."

So So tertawa. "Baik juga Jiepeh menyebutkan nama Thie khim Sianseng, sehingga, jika bersalah, kesalahan itu tidak ditujukan langsung terhadap Go bie pay."

Sementara itu, keenam perahu kecil sudah karam semua, sedang perahu yang ditumpangi Lian Cioe berempat sudah pergi jauh. Anak buah perahu perahu kecil itu dengan basah kuyup mulai merangkak naik digili-gili.

"Apa mereka semua orang-orang Go bie?" tanya So So.

"Bukan." bisik Lian Cioe. "Kurasa mereka orang orang Liang coan pang dari Cauw ouw."

Melihat lima batang pedang Go bie yang sangat bagus menggeletak ditanah, So So membungkuk untuk menjemputnya.

"Jangan ganggu!" melarang sang Jiepeh. "Jika dipedang itu diukir nama, dihari kemudian kita tak akan bisa menyangkal lagi. Hayolah kita meneruskan perjalanan."

Sekarang So So sudah merasa takluk terhadap Jiepeh yang mulia dan lihay itu. "Baiklah," katanya sambil berjalan dengan menuntun tangan Boe Kie.

Sesudah melewati gerombolan pohon pohon sekonyong-konyong Boe Kie berteriak dengan suara girang: "Kuda! Lihat!"

Benar saja, dibawah sebuah pohon lioe tampak tertambat tiga ekor kuda yang besar dan garang.

Cepat cepat mereka menghampiri dan didahan pohon tercantum selembar kertas. Coei San mengambil kertas itu yang tertulis perkataan seperti berikut: "Mempersembahkan tiga ekor kuda untuk menebus dosa."

"Mereka ternyata berlaku sungkan sekali terhadap kita," kata Lian Cioe. Mereka segera menunggang kuda-kuda itu dengan Boe Kie duduk di depan ibunya. Sibocah yang belum pernah menunggang kuda jadi girang tak kepalang.

"Sesudah banyak orang mengetahui gerak-gerik kita, kurasa menumpang perahu atau menumpang kuda tiada banyak bedanya," kata Coei San.

"Benar," jawab sang kakak: "Kita tentu akan menghadapi lebih banyak gelombang. Kalau bukan terlalu terpaksa, kita tidak boleh turunkan tangan terlampau berat." Ia berkata begitu, karena mengingat terlukanya kedua murid Go bie dan hatinya tetap merasa tidak enak.

Diam-diam So So merasa sangat malu. Karena kesalahan yang begitu kecil, Jiehiap sudah merasa begitu menyesal. Betapa jauh perbedaan antara dirinya sendiri yang pernah memandang jiwa manusia seperti jiwa semut dan sang Jiepeh yang sedemikian mulia hatinya. Ia merasa bahwa orang yang berdosa harus bertanggung jawab dan ia tak pantas menyukarkan Jie Lian Cioe lagi. Karena memikir begitu, ia lantas saja berkata: "Jiepeh, tujuan mereka ialah kami berdua suami istri. Sedang terhadap Jiepeh, mereka berlaku hormat sekali. Jika didepan ada rintangan lagi, biarlah teehoe yang menyambutnya lebih dulu dan jika aku kalah, barulah Jiepeh menolong."

"Ah, mengapa Teehoe berkata begitu"" kata Lian Coe. "Dengan berkata begitu, Teehoe menganggap aku seperti orang luar. Kita sekarang sudah terikat pamili, mati dan hidup haruslah bersama-sama."

So So tidak berani membantah lagi. "Terang terang mereka tahu, bahwa Jiepeh berada bersama sama kami, tapi mengapa mereka berlaku begitu ceroboh dan mengirim saja murid-murid turunan keempat yang ilmu silatnya belum seberapa?" tanyanya pula.

"Mungkin sekali karena persiapan mereka dilakukan dengan tergesa-gesa, sehingga tidak keburu memanggil orang orang lebih pandai," jawab Lian Cioe.

Karena menduga, bahwa pencegatan Go hie pay bertujuan untuk menyelidiki tempat sembunyinya Cia Soen, Coei San lantas berkata: "Baru sekarang kutahu, bahwa Gieheng bermusuhan dengan Go bie pay. Selarna berada di Peng hwee to, ia tidak pernah menyebut-nyebut itu."

"Ya, semula akupun merasa heran," kata Lian Cioe. "Go bie pay adalah sebuah partai persilatan yang menjaga keras peraturannya, sedang murid muridnya sebagian terbesar terdiri dari kaum wanita. Biat coat Soethay selamanya tidak mempermisikan murid-murid Go bie berkelara dalam dunia Kangouw. Mereka kebanyakan menjadi pendata, mengasingkan diri dari pergaulan atau menikah dan mengurus rumah tangga. Waktu Go bie pay mengirim orang untuk bertempur dangan Peh bie kauw kamipun merasa heran. Belakangan baru kami tahu latar belakangnya. Pada suatu malam Phoei Peng, Phoei Loo eng hiong, siorang jago tua dipropinsi Holan, dibunuh orang dan diatas tembok tertulis huruf-huruf yang berbunyi: Si pembunuh ialah Hoen goan Pek lek chioe Seng Koen."

"Apakah Phoei Peng anggauta Go bie pay ?" tanya So So.

"Bukan," jawabnya. Sesudah berdiam beberapa saat, barulah Jie Lian Cioe memberi penjelasan: "Sebenarnya adalah kurang pantas untuk membicarakan soal-soal pribadi dari orang-orang yang tingkatannya lebih atas. Sepanjang keterangan, di waktu muda, Biat coat Soethay adalah salah seorang wanita tercantik dalam Rimba Persilatan. Belakangan, mendadak beliau mencukur rambut dan menjadi pendeta, sedang Phoei Loo enghiong memutuskan sebuah lengannya sendiri, dan sampai mati ia tidak pernah menikah."

Hampir berbareng, Coei San dan So So mengeluarkan seruan tertahan. Baru sekarang mereka tahu, bahwa Ciang boen jin Go bie pay yang tersohor itu pernah mengalami kegagalan dalam percintaan. Mereka mengerti, kalau Biat coat Soethay sedapat mungkin ingin membalas sakit hatinya orang yang dicintainya.

"Jiepeh, apakah Phoei Loo enghiong seorang baik atau seorang jahat'?" tanya Boe Kie.

"Tentu saja seorang baik," jawabnya. "Sesudah mengutungkan lengan sendiri, ia bercocok tanam, membaca kitab-kitab dan menyembunyikan diri dari pergaulan manusia."

"Hai! Perbuatan Giehoe memang sangat tidak pantas," kata Boe Kie dengan suara duka. "Ia tak boleh membunuh manusia secara serampangan saja"

Lian Cioe jadi girang sekali. Ia mengangkat anak itu dan lalu mengusap kepalanya, "Anak kau sekarang tahu, bahwa seorang manusia tidak boleh sembarangan membunuh sesama manusia" katanya dengan suara halus. "Jiepeh sungguh merasa girang. Orang yang sudah mati tidak bisa hidup kembali. Maka itu, biarpun terhadap seorang yang sangat jahat, kita masih tidak boleh segera membunuhnya. Kita harus memberi kesempatan supaya dia bisa membelok kejalanan yang lurus."

"Jiepeh, aku ingin ajukan satu permintaan, bolehkan" tanya Boe Kie.

"Permintaan apa?" menegas sang paman.

"Jika mereka mencari Giehoe, aku minta jie peh suka membujuk mereka supaya mereka tidak membinasakannya karena Giehoe sudah buta dan tidak dapat melawan mereka," kata si bocah.

Lian Cioe bersangsi. Sesudah memikir sejenak, ia menjawab: "Tak dapat aku meluluskan permintaanmu. Tapi aku berjanji, bahwa aku sendiri tak akan membunuh Giehoemu"

Boe Kie mengawasi Jiehiap dengan mata membelalak dan air matanya berlinang-linang.

Waktu fajar menyingsing, mereka tiba disebuah kota kecil, dimana mereka mengaso setengah harian dan diwaktu lohor segera meneruskan perjalanan.

Selang beberapa hari, tibalah mereka dikota Hankouw. Hari itu selang mendekati kota Anlok. Ditengah jalan mereka bertemu dengan belasan orang yang lari lintang pulang dari sebelah depan.

Begitu bertemu dengan rombongan Lian Cioe mereka berteriak-berteriak: "Balik! Balik! Jangan menuju terus! Disebelah depan serdadu Tat coe (serdadu Mongol, Goan) sedang membunuh dan merampok".

Sambil mengawasi So So, salah seorang berkata "Kau sungguh berani mati. Kalau bertemu dengan mereka, kau bakal celaka."

"Ada berapa banyak?" tanya Lian Cioe,

"Belasan orang," jawabnya dan mereka segera lari terus kejurusan timur.

Musuh terbesar dari Boe tong Cit-hiap ialah serdadu Goan yang sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat. Dalam mendidik murid-muridnya, Thio Sam Hong memegang peraturan keras dan selamanya melarang murid-murid itu sembarangan turun tangan. Tapi jika menghajar serdadu Goan yang sedang merampok atau membunuh rakyat, mereka bukan saja tidak ditegur malah dipuji. Maka itu, mendengar rombongan musuh hanya berjumlah belasan orang, Lian Cioe lantas saja mengeprok tunggangannya dan maju kedepan diikut oleh Coei San bertiga.

Benar saja, sesudah berjalan kira-kira tiga mereka mendengar sesambat rakyat. Belasan serdadu yang bersenjata golok dan tombak tengah mengunjuk kegarangannya dan diatas tanah sudah menggeletak beberapa mayat.

Bukan main gusarnya Coei San. Ia menyerang dan melompat dari punggung kuda. Sebelum kedua kakinya hinggap dibumi, tinjunya menghantam dada seorarg serdadu yang mau menenteng satu anak kecil. Tanpa mengeluarkan suara serdadu itu roboh ditanah. Kawannya gusar dan menikam punggung Coei San dengan tombaknya.

Coei San memutar badan dan ujung tombak hanya terpisah kurang lebih setengah kaki dari dadanya. Sambil bersenyum ia menangkap ujung senjata dan lalu mendorongnya keras-keras, sehingga gagang tombak menghantam dada serdadu itu yang lantas saja roboh pingsan.

Melihat kelihaian Coei San, sambil berteriak teriak belasan serdadu lantas saja mengurung. So So buru-buru melompat turun dari tunggangannya. Ia merampas sebatang tombak dan membinasakan dua orang musuh. Serdadu-serdadu itu jadi keder dan mereka lalu melarikan diri. Tapi sambil lari disepanjang jalan mereka masih mengunjuk kekejaman dan mrlukakan beberapa orang penduduk,

"Cegat! Cegatlah mereka!" teriak Lian Coei yang cudah meluap darahnya. Seraya berkata begitu, ia mengubar dan mencegat empat orang serdadu. Coei San dan So So pun turut mengejar dan masing-masing memotong jalanan lari dari sejumlah musuh.

Walaupun garang, serdadu Goan kebanyakan tidak memiliki ilmu silat tinggi, sehingga Coei San dan So So tidak kuatir akan keselamatan Boe Kie.

Boe Kie juga melompat turun dari punggung kuda. Melihat paman dan kedua orang tuanya sedang mengamuk diantara belasan musuh, ia kegirangan dan menepuk nepuk tangan seraya berteriak-teriak: "Bagus! Bagus!"

Sokonyong-konyong, serdadu Goan yang tadi disodok Coei San dengan gagang tombak dan roboh pingsan, melompat bangun dan memeluk Boe Kie. Si bocah, terkesiap lalu menghantam dengan pukulan Sin liong Pa bwee. Karena melihat paman dan kedua orang tuanya mengamuk tanpa mengenal kasihan lagi, ia menggunakan pukulan itu dengan seantero tenaga.

Di luar dugaan serdadu Goan itu hanya mengeluarkan suara "heh!" terlahan, badannya tidak bergenting dan dengan sekali menotol tanah dan dengan kedua kakinya, ia melompat keatas punggung kuda yang lalu dikaburkan keras-keras.

Lian Cioe, Coei San dan So So kaget tak kepalaug, cepat-cepat mereka mengubar. Dengan beberapa lompatan Jiehiap sudah menyandak dan tangan kirinya menghantam punggung serdadu itu. Tanpa menengok, serdadu itu menangkis. "Plak!", kedua tangan beradu. Lian Cioe merasa tenaga musuh dahsyat luar biasa, seolah-olah gelombang besar, sehingga dadanya menyesak, tubuhnya bergoyang-goyang dan terhuyung beberapa tindak. Tunggangan serdadu itu tak kuat bertahan, keempat kakinya bergemetaran dan dia jatuh berlutut. Sambil mendukung Boe Kie, serdadu itu melompat turun dan terus kabur dengan menggunakan ilmu ringan badan. Dalam sekejap ia sudah lari puluhan tombak jauhnya.

Melihat paras muka Lian Cioe yang pucat pasir Coei San tahu, bahwa kakak seperguruan itu telah mendapat luka yang tidak enteng.

Buru-buru in menghampiri dan memeluknya. Sementara itu, dengan nekad So So mengejar terus, tapi musuh berkepandaian tinggi, makin lama jarak antara mereka makin jauh sehingga belakargan, sesudah membelok disebuah tikungan, serdadu itu menghilang dari pemandangan. Tapi So So yang sudah kalap mengejar terus.

"Minta Teehoe balik." kata Lian Cioe dengan suara perlahan. "Kita harus..... berusaha dengan perlahan"

"Bagaimana luka Jieko?" tanya si adik sambil menikam dua serdadu yang menerjang dengan tombaknya.

"Tak apa-apa," jawabnya, "Yang paling penting panggillah Teehoe."

Karena kuatir diantara sisa serdadu itu masih terdapat orang pandai, Coei San segera mengubar kian kemari dan sesudah mengusir mereka, barulah la melompat kepunggung kuda dan menyusul isterinya.

Sesudah membedal tunggangannya belasan li, barulah ia bertemu dengan So So yang tengah berlari-lari dalam keadaan kalap dan dengan tindakan limbung, suatu tanda, bahwa nyonya muda ini sudah kehabisan tenaga. Coei San memeluknya dan menaikkannya kepunggung kuda.

Sambil menangis sedu-sedan, So So berkata "Anak kita hilang ! Tidak kecandak ..... tidak kecandak....." Tiba-tiba matanya mendelik dan ia pingsan dalam pelukan sang suami.

Karena memikir keselamatan saudara seperguruannya, cepat-cepat Coei San memutar kuda dan lari balik ketempat tadi. Jauh-jauh ia melihat tiga serdadu Goan yang bersenjata tombak sedang mendekati Lian Cioe. Biarpun Soehengnaya duduk menyender dipohon ketiga serdadu itu, yang sudah berkenalan dengan kelihayannya Jiehiap tidak berani lantas menyerang.

"Tat-coe, serahkan jiwamu!" teriak Coei San sambil menerjang dengan kaburkan tunggangannya. Dilain saat, dua diantaranya sudah roboh, sedang musuh yang ketiga lari lintang-pulang. Sambil membentak keras, Ngohiap menimpuk dengan tombaknya. Dalam kegusarannya sebab putranya diculik, Soehengnya terluka dan isterinya pingsan, ia menimpuk dengan sepenuh tenaga. Tombak itu terbang dengan mengeluarkan suara mengaung dan "jres!" serdadu itu terpaku ditanah

Sementara itu, So So sudah mendusin. "Boe Kie!", ia sesambat.

Sesudah menjalankan pernapasan beberapa lama, Lian Cioe mengambil sebutir pel Thay it Tok beng tan yang lalu ditelannya. Beberapa saat kemudian, pada mukanya terlihat sinar merah. Ia membuka matanya seraya berkata perlahan "Sungguh hebat tenaga orang itu!"

Coei San lega hatinya. Ia tahu, bahwa jiwa soe hengnya sudah terlolos dari bahaya, tapi ia masih tidak berani mengajak bicara. Perlahan-lahan Jie hiap bangun berdiri. "Apa sudah tidak kelihatan bayangan bayangan lagi?" tanyanya dengan suara perlahan.

"Jiepeh....bagaimana baiknya?' tanya si Tee hoe dengan suara parau.

"Legakan hatimu, Boe Kie tidak kurang suatu apa," jawabnya. "Orang itu berkepandaian sangat tinggi. Aku merasa pasti bahwa seorang yang berkepandaian setinggi itu tak akan mencelakakan anak kecil yang tidak berdosa."

Air mata So So kembali mengucur. "Tapi... tapi... Boe Kie sudah diculik," katanya. Lian Cioe mengangguk. Ia memeramkan kembali kedua matanya dan mengasah otak.

Sesaat kemudian, ia membuka, matanya seraya berkata: "Aku tidak dapat menebak asal usul orang itu. Jalan satu satunya kita harus menanyakan Soehoe."

So So bingung bukan main. "Jiepeh, yang paling penting kita harus memikiri daya untuk merampas pulang Boe Kie," katanya memohon.

"Asal usul orang itu dapat diselidiki belakangan"

Lian Cioe tidak menyahut, ia hanya menggeleng gelengkan kepala.

"So moay, Jieko mendapat luka berat, sedang orang itu berkepandaian begitu tinggi," kata Coei San. "Andai kata kita sekarang dapat mencarinya, kitapun tidak dapat berbuat banyak,"

"Apa kita menyudahi dengan begitu saja ?" tanya si isteri dengan suara mendongkol.

"Kita tak perlu cari dia," jawabnya. "Dialah yang pasti akan cari kita."

So So adalah seorang wanita yang sangat pintar. Hanya karena puteranya diculik, pikirannya kalut dan ia tidak dapat berpikir dengan otak dingin. Mendengar perkataan sang suami, ia tersadar dan mengerti maksud Coei San. Serdadu Goan itu memiliki kepandaian begitu tinggi, sehingga Lian Cioe sendiri sampai terluka. Dia pasti seorang tokoh Rimba Persilatan yang menyamar. Jika mau, sesudah Lian Cioe terluka, dia bisa membinasakan Coei San bertiga. Tapi dia hanya menculik Boe Kie. Dari kenyataan itu, dapatlah di tebak, bahwa tujuan orang itu ialah ingin menekan, supaya Coei San dan isterinya mau mem buka rahasia mengenai tempat sembunyinya Cia Soen.

Coei San lalu mendukung dan menaikkan Jieko nya keatas punggung kuda dan perlahan-lahan mereka meneruskan perjalanan. Setibanya di An lok, mereka menginap disebuah rumah penginapan kecil dan sesudah bersantap, mereka segera mengunci pintu.

Lian Cioe segera bersila dan mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya. Coei San duduk didekatnya, sedang So So menyender disebuah kursi panjang. Kira-kira tengah malam, Lian Cioe turun dari pembaringan dan berjalan perlahan lahan, memutari kamar, untuk mengendorkan otot ototnya. "Ngotee." katanya. "Selama hidup, kecuali Soehoe sendiri, belum pernah aku bertemu dengan manusia yang memiliki Lweekang begitu hebat."

Pada waktu disodok dengan gagang tombak oleh Coei San, "serdadu" itu berlagak pingsan sehingga Coei San bertiga tidak memperhatikannya. Sekarang mereka mengingat ingat wajah dan potongan badan orang itu. Kalau tak salah, dia brewokan, tiada banyak bedanya dengan kebanyakan serdadu Goan.

"Dia menculik Boe Kie pasti dengan tujuan untuk menyelidiki Gieheng," kata So So. "Ah! Apakah anak itu akan membuka rahasia?"

"Boe Kie pasti tidak akan membuka rahasia," kata sang suami dengan suara tetap. "Kalau dia membuka rahasia, dia bukan anak kita,"

"Benar," kata si isteri. " Dia parti tidak membuka rahasia.,"

Tiba-tiba nyonya Coei San menangis pula.

"Mengapa kau menangis?" tanya sang suami.

"Kalau..... Boe Kie menutup ....... .mulut, penjahat itu pasti akan ......mempersakitinya." jawabnya terputus-putus. "Mungkin..... mungkin dia turunkan tangan beracun."

Coei San dan Lian Cioe menghela napas. "Batu kumala yang tidak digosok, tidak akan jadi barang yang berguna," kata Coei San. "Biarlah dia merasakan sedikit penderitaan. Mungkin sekali penderitaan itu banyak faedahnya dihari kemudian."

Walaupun mulutnya berkata begitu hatinya sakit sekali. Ia ingat bahwa pada saat itu Boe Kie sedang menderita siksaan atau sedang tidur nyenyak di atas pembaringan. Kalau dia sedang tidur nyenyak, dia tentu sudah membuka rahasia dan sudah menjadi manusia yang tak punya pribudi.

"Dari pada jadi manusia rendah, lebih baik dia mati," kata Coei San didalam hatinya. Ia melirik isterinya yang kelihatan berduka bukan main. Pada ke dua mata si isteri terlihat sinar mohon belas kasihan. Jantungnya memukul keras. Ia merasa. bahwa jika penjahat itu menekan So So dengan mengancam jiwa Boe Kie mungkin sekali si-isteri akan menakluk.

Ia menghela napas dan berkata "Jieko, bagaimana keadaanmu? Apa kau merasa enakan ? "

Semenjak kecil, mereka berdua bersama-sama belajar silat, sehingga yang satu sudah bisa rnembaca isi hati yang lain. Melihat sikap dan mendengar pertanyaan si adik, Lian Cioe sudah mengerti maksudnya. Ia mengerti, bahwa Coei San kuatir penjahat itu akan rnenyateroni dan coba menaklukkan So So dengan menyiksa Boe Kie. "Baiklah, kita meneruskan perjalanan malam ini juga."

Sesudah membayar uang sewa kamar dan santapan, mereka segera berangkat dan berjalan dengan mengambil jalanan kecil. Mereka bukan takut mati. Yang dikuatirkan yalah penjahat itu akan menyiksa Boe Kie didepan mata mereka, untuk memaksa mereka membuka rahasia.

Mereka meneruskan perjalanan tanpa bertemu dengan rintangan lagi. Tapi So So jatuh sakit karena duka, Coei San segera menyewa dua kereta keledai untuk So So dan Lian Cioe, sedang ia sendiri melindungi dengan menunggang kuda.

Sesudah melewati Siangyang, pada suatu malam mereka menginap disebuah rumah penginapan dikota Tay-pang-liam. Baru saja Coei San mengucapkan selamat malam kepada Soehengnya dan ingin kembali kekamarnya, tiba-tiba seorang lelaki menyingkap tira daa menyelonong masuk.

Dia mengenakan baju hijau dan celana pendek, sedang tangannya menyekal cambuk, sehingga macamnya seperti seorang kusir kereta. Begitu masuk, dia mengawasi Lian Cioe dan Coei San dengan mata melotot dan sesudah tertawa dingin, lalu memutar badan berjalan keluar.

Coei San tahu, bahwa orang itu mengandung maksud tidak baik. Sikap orang itu yang kurang ajar menggusarkan sangat hatinya. Sesaat itu,

tirai kain yang didorong oleh orang itu, terayun kedepan Coei San. Ia segera menangkap ujung tirai dan sambil mengerahkan Lweekang, menimpuknya kepunggung orang itu. "Ptak !" dia terhuyung, akan kemudian roboh dilantai. Cepat-cepat dia bangun berdiri, "Penjahat-penjahat Boe-tong pay !" bentaknya, "Sedang kebinasaan sudah berada diatas kepalamu, kau masih mengunjuk keganasan !" Mulutnya mencaci, tapi kakinya lari dan dari tindakannya yang limbung, ia bukan terluka enteng.

Lian Cioe tidak mengatakan suatu apa.

"Jieko, apa tidak baik kita jalan terus?" tanya Coei San.

"Tidak!" jawab sang kakak deagan suara lantang. "Besok pagi baru kita terangkat."

Coei San mengerti jalan pikiran kakak seperguruannya dan semangatnya lantas saja meluap luap "Benar!" katanya. "Dari tempat ini, dua hari lagi kita akan tiba digunung kita. Biarpun kita tolol, tak dapat kita merosotkan derajat dan keangkeran Boe tong pay. Di bawah kaki Boe tong san, masa boleh kita lari ngiprit?"

Sang kakak bersenyum. "Sesudah orang tahu siapa kita, biarlah mereka tahu, bagaimana murid murid Boe tong menghadapi kebinasaan yang sudah berada diatas kepala," katanya dengan suara angkuh.

Lian Cioe lantas saja mengikut kekamar Coei San dimana mereka duduk bersila diatas pembaringan batu dengan berendeng pundak sambil memeramkan mata dan menjalankan pernapasan. Malam itu, tujuh delapan orang berkeliaran diluar kamar dan diatas genteng, tapi mereka tidak berani menerjang karena merasa jerih terhadap nama besarnya Boe tong pay.

Pada esokan harinya, meskipun duduk dikereta. Lian Cioe memerintahkan supaya kusir menyingkap semua tirai, sehingga ia dapat mengamat amati keadaan diseputarnya. Sesudah meninggalkan Tay pong tiam beberapa li dari sebelah timur kelihatan mengejar tiga penunggang kuda yang kemudian mengintildebelakang kereta dalam jarak belasan tombak.

Sesudah berjalan lagi beberapa li, disebelah depan menunggu empat penunggang kuda. Begitu lekas rombongan Lian Cioe lewat, mereka segera mengikuti dari belakang. Beberapa lama kemudian, jumlah "pengiring" bertambah lagi empat orang.

Kusir kereta jadi ketakutan. "Tuan, apakah mereka penjahat?" Ia tanya Coei San dengan suara perlahan.

"Jangan takut," jawab Ngohiap. "Mereka bukan mau merampas uang"

Kira kira tengah hari, jumlah yang mengikuti bertambah lagi dengan enam orang. Pakaian mereka beraneka warna, ada yang mewah dan ada yang buruk.

Mereka semua membekal senjata dan mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah suara. Dilihat dari potongan badan mereka yang kecil, mungkin sekali mereka penduduk Tiongkok Selatan. Sesudah lewat tengah bari, jumlah mereka bertambah lagi dengan duapuluh satu orang. Beberapa antaranya yang bernyali besar, mendekati kereta sampai jarak kira-kira tiga tombak. Lian Cioe sendiri terus duduk sambil meramkan mata, seolah-olah tidak memperhatikan mereka.

Diwaktu magrib, dari sebelah depan mendatangi dua penunggang kuda, yang satu seorang tua dengan jenggotnya yang panjang, sedang yang lain seorang wanita muda yang berparas cantik. Si kakek bertangan kosong, tapi wanita itu bersenjatakan sepasang golok. Begitu tiba didepan kereta, mereka segera menghadang ditengah jalan.

Coei San naik darahnya. Sambil mengangkat tangan ia berkata: "Boe-tong Jie Jie dan Thio ngo numpang lewat dijalanan ini. Dapatkah kami menanya she dan nama tuan yang mulia?"

Orang tua itu bersenyum. "Dimana Cia Soen?" tanyanya. "Jika kau sudi memberitahukan, kami pasti tidak akan mengganggu murid2 Boe tong."

"Dalam hal ini, aku lebih dulu ingin meminta petunjuk Insoe," jawab Coei San.

"Jie Jie terluka, Thio Ngo sebatang kara." kata si tua. "Dengan sendirian, kau bukan tandingan kami." Seraya berkata begitu, ia meraba pinggangnya dan mengeluarkan sepasang Poan koan pit (Senjata yang menyerupai pit, pena Tionghoa), Senjata itu agak berbeda dengan yang biasa, karena ujungnya berbentuk kepala ular.

Coei San bergelar Gin kauw Tiat hoa dan salah sebuah senjatanya yalah Poan koan pit. Maka itu dapat dikatakan ia mengenal semua jago yang menggunakan Poan koan pit. Begitu melihat senjata si kakek, ia terkejut.

Waktu masih belajar silat, gurunya pernah cerita, banwa dinegeri Ko lee (Korea) terdapat sebuah pay yang menggunakan Poan koan pit berujung kepala ular. Silat partai itu berbeda dengan silat Tiam hiat (menotok jalan darah) yang di gunakan oleh ahli-ahli silat Tionggoan yang menggunakan poan koan pit. Silat partai itu katanya licin dan telengas. Partai tersebut dinamakan Sin liong pay (Partai Naga malaikat), sedang salah seorang tokohnya she Coan, tapi Thio Sam Hong sendiri tak tahu namanya.

Mengingat itu, ia lantas saja menyoja seraya berkata: "Bukankah Cianpwee dari Sin liong pay di Ko lee? Bolehkah aku mendapat tahu nama besar dari Coan Looy coe?"

Orang tua itu, yang bernama Coan Kian Lam, bukan lain daripada Ciangboenjin dari Sin Liong pay. Dengan memberi hadiah besar, Pangcoe Sam kang pang di Lang lam telah mengundangnya dari negeri Ko lee. Ia sebenarnya ingin merahasiakan dirinya, tapi diluar dugaan, begitu bertemu Coei San, rahasianya terbuka.

Sambil mengebas kedua pitnya, ia menjawab : "Loohoe Coan Kian Lam "

"Sin liong pay dan Rimba persilatan dari wilayah Tionggoan belum pernah berhubungan." kata Coei San "Bolehkah aku mendapat tahu, apa kesalahan Boe tong pay terhadad Coan Loo eng hiong ."

"Loohoe dan tuan memang tidak mempunyai permusuhan apapun jua." kata si tua, "Kami, orang Ko lee, juga tahu bahwa di Tionggoan terdapat Boe tong pay dengan tujuh pendekarnya yaug selalu melakukan perbuatan-perbaatan muila. Loohoe hanya ingin mengajukan satu pertanyaan dimana tempat persembunyiannya Cia Soen"

Biarpun cukup sopan, perkataannya sangat mendesak. Disamping itu, begitu lekas ia mengebas kedua senjatanya, orang-orang yang berkumpul di belakang kereta lantas saja berpencaran dan mengurung dari sebelah kejauhan. Maka itu, jadilah terang, bahwa jika mereka tidak mendapat jawaban memuaskan, satu pertempuran tidak dapat dielak kan lagi.

"Bagaimana jika aku menolak untuk menjawab?" tanya Coei San

"Thio Ngohiap memiliki kepandaian tinggi, sehingga biarpun berjumlah besar, kami tentu tidak dapat menahan kau," kata sikakek. "Tapi Jie Jiehiap telah luka dan isterimu sedang sakit. Dengan menggunakan kesempatan pada waktu orang berada dalam bahaya, kami akan menahan mereka berdua. Jika mau, Ngohiap boleh berlalu sekarang." Ia bicara dalam bahasa Tionghoa yang tidak lancar dan nadanya tajam, sehingga suaranya sangat menusuk kuping.

Mendengar kata-kata 'menggunakan kesempatan pada watu orang berada dalam bahaya' kata-kata yang sangat tidak mengenal malu, Coei San lantas saja berkata: "baik, Kalau begitu, tak bisa lain daripada aku meminta pelajaran dari Coan Loo enghiong. Tapi bagaimana, jika Coan Loo enghiong menjadi pihak yang kalah dalam pertempuran?"

"Jika aku kalah, kawan-kawanku akan mengerubuti kamu." jawabnya.

Coei San mengerti, tak guna bicara lagi. Tujuan satu satunya adalah coba membekuk Coan Kian Lam, supaya kawan-kawannya tidak berani menyerang. Ia segera melompat turun dari tunggangannya dan waktu kedua kakinya hinggap diatas bumi, tangan kirinya sudah mencekal gaetan perak yang berkepala harimau, sedang tangan kanannya memegang Poan koan pit.

"Kau tamu, maka aku mengundang kau menyerang lebih dulu," kata Ngohiap.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar