Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 64

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 64
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 64
Nenek Kim Hoa tertawa getir, “Aku Tanya nyana, bahwa didalam dunia ada manusia yg begitu tolot seperti kau” katanya. “Bukan kah dengan kupingmu sendiri kau sudah mendenagr pengakuan Boe Liat dan Boe Ceng Eng, bahwa bocah she Thio itu jatuh kedalam jurang yg dalamnya berlaksa tombak di wilayah she hek? Pada waktu ini tulang2nya mungkin sudah jadi tanah. Dan kau masih memikiri dia!”

“Tapi popo entah mengapa aku tetap tidak bisa melupakan dia,” kata si nona. “Mungkin sekali… inilah apa yg pernah dikatakan popo tentang hutang pada penitisan yg lampau…”

Si nenek menghela napas dan paras mukanya jadi terlebih sabar. “Sudahlah! Hapuskan bocah itu dari keringatmy!” katanya dengan membujuk. “Dia sekarang sudah mati. Andaikata kau dan dia sudah jadi suami istri, kaupun tak bisa berbuat apapun jua. Hm… baik jg dia mati siang2. kalau dia belum mati dan sekarang dia melihat mukamu apakah kau akan jatuh cinta kepadamu? Untung dia sudah mampus. Kalau tidak kau harus menyaksikan dia bercinta2an dan menikah dengan wanita lain. Apabila terjadi kejadian itu bukankah kau akan lebih menderita daripada sekarang?”

In Lee tidak menjawab. Ia menundukkan kepala dan air mata meleleh turun dikedua pipinya.

“Kita tak usah menyebut wanita lain,” kata pula si nenek. “Lihat saja Cioe Kouwnio yg di tawan kita. Dia cantik dan ayu bagikan bunga. Kalau she Thio itu masih hidup dan melihat nona Cioe dia pasti akan jatuh cinta. Dan kau? Apa yg akan diperbuat olehmu? Apa kau akan membunuh Cioe Kouwnio atau akan membunuh bocah she Thio itu? Huh! Huh! … Jika kau tak melatih diri dalam Ciat hoe chioe kau akan menjadi seorang gadis yg sangat cantik. Tapi skrg… segala apa sudah kasep.”

“Benar…” kata In Lee dengan suara sedih. “Orangnya sudah mati, sedang mukaku sudah rusak. Tak guna bicara panjang2 lagi. Tapi Cia Tayhiap adalah ayah angkatnya. Popo, aku hanya memohon belas kasihanmu dalam hal ini. Mengenai lain urusan, aku berjanji akan menaati segala perintahmu.” Sehabis berkata begitu, ia berlutut dan menangis segak2 sambil memanggut2kan kepalanya.

Dalam pelayaran ke Peng Hwee to untuk mengajak Cia Soen pulang ke Tiong goan, Kim hoa popo dan In Lee telah menggunakan waktu sekarang lebih satu tahun. Belakangan, setelah masuk kedalam dunia Kang Ouw, mereka tidak pernah berhubungan dengan tokoh Rimba Persilatan. Itulah sebabnya mengapa sampai sekurang mereka belum tahu bahwa Boe Kie telah menjadi Kauwcoe dari Beng Kauw.

Sesudah memikir beberapa saat, nenek Kim hoa berkata, “Baik kau bangunlah!”

“Terima kasih popo!” kata si nona dengan girang.

“Aku hanya meluluskan permohonanmu untuk tidak mengambil jiwanya. Tapi tekadku untuk merampas To Liong to tidak dapat diubah lagi…”

“Tapi popo…”

“Jangan rewel! Jangan sampai darahku meluap!” Sehabis membentak, si nenek mengayun tangannya “Cring!” demikian terdengar suara beradunya logam daengan batu. Sambil maju dengan perlahan, ia mengayun tangannya berulang2 dan setiap nyanan tangan di iring dengan suara “cring”. In Lee sendiri berduduk dibatu seraya menangis dengan perlahan.

Melihat kecintaan nona itu terhadap dirinya. Boe Kie merasa sangat terharu dan berterima kasih.

Beberapa lama kemudian, dari jarak belasan tombak, si nenek membentak, “Bawa kemari!”

Mau tak mau In Lee berbangkit dan menjemput karungnya. Dengan menenteng karung itu, ia menghampiri si nenek.

Boe Kie merangkak maju beberapa tindak. Tiba2 ia bergidik ia merasa punggungnya diguyur dengan air es. Mengapa? Karena dibatu2 gunung dalam jarak dua tiga kaki, tertancap sebatang jarum baja yg panjangnya kira2 delapan coen dengan tajamnya mendongak keatas. Ah! Nenek Kim hoa benar2 jahat! Sebab kuatir tidak bisa menjatuhkan ayah angkatnya, dia memasang “barisan jarum”. Rupa2nya Kim Hoa popo menganggap bahwa ia juga menggunakan senjata rahasia, ia belum tentu bisa berhasil. Sebab Kim mo Say ong bisa berkulit (Red: berkelit?) dengan mendengar sambaran angin.

Boe Kie seorang manusia yg sangat sabar. Tapi skrg darahnya meluap. Sebisa2 ia mencekam hawa amarahnya karena ia tahu bahwa dengan mengumbar napsu ia bisa merusak urusan besar. Semula ia ingin segera mencabut jarum itu dan melocoti topeng si nenek, tapi ia segera membatalkan niatnya karena mendapat lain pikiran. “Nenek jahat itu memanggil Gie hoe dengan istilah Cia Hiantee. Dahulu mereka tentu mempunya perhubungan yg lebih erat. Sekarang kutunggu sampai ia bertengkar dengan Gie hoe dan pada saat yg tepat, aku membuka topengnya. Hari ini langit menaruh belas kasihan sehingga secara kebetulan aku berada di tempat ini. Gie Hoe pasti tidak akan mengalami bahaya apapun jua.”

Sesudah mengambil keputusan, dengan pikiran lebih tenang, ia segera duduk di atas sebuah batu.

Sekonyong2 angin meniup dan di antara suara angina terdapat lain suara seperti jatuhnya selembar daun. Tapi Boe Kie yang berkuping tajam sudah tahun bahwa suara itu adalah Tan Yoe Liang yg tangannya memegang sebatang golok bengkok. Golok itu sangat tipis dan di bungkus dengan selembar kain untuk menendang sinarnya. Melihat lagak orang yg seperti maling, diam2 Boe Kie memuji, tepatnya tebakan Boe Kie. Dengan sesungguhnya dia bukan manusia baik2, katanya didalam hati.

Mendadak terdengar seruan Kim Hoa Popo, “Cia Hiantee, penjahat anjing yg tak mengenal mampus dtg menyatroni lagi!”

Boe Kie terkejut. Nenek Kim Hoa sungguh tidak boleh dibuat gegabah. “Apa dia jg sudah tahu kedatanganku?” tanyanya pada diri sendiri. Ia melihat Tan Yoe Liang sendiri sudah merebahkan diri dirumput, tanpa berani bergerak. Dengan sangat hati2 ia maju lagi beberapa tombak. Ia ingin berada terlebih dekat dengan ayah angkatnya untuk merintangi setiap bokongan dari si nenek.

Dilain saat orang yg bertubuh tinggi besar keluar dari gubuk. Orang itu adalah Cia Soen. Ia berdiri tegak tanpa mengeluarkan sepatah kata.

“Cia hiantee, kau selalu bercuriga terhadap sahabat lama, tapi menaruh kepercayaan besar terhadap orang luar,” kata Kim Hoa popo. “Tadi siang kau melepaskan Tan Yoe Liang dan sekarang dia datang lagi.”

“Tombak yg terang gampang dikelit, anak panah gelap sukar dijaga,” jawabnya.

“Selama hidupnya Cia Soen paling sering menderita karena perbuatan orang sendiri. Kalau Tan Yoe Liang mau mencari aku biarlah dia mencari aku.”

“Cia Hiantee, perlu apa kau meladeni manusia rendah itu?” kata si nenek. “Tadi siang waktu kau mengampuni jiwanya, apa kau tahusikap kai dan tangannya? Hm… kedua tangannya bersiap dengan pulukan Say coe Pek Tauw sie kakinya memasang kuda2 Heng mo Tee Tauw sit dari Siauw lim pay. Ha, ha, … ha, ha…” suaranya tertawa yg menyerupai jeritan burung hantu sangat menyeramkan.

Cia Soen kaget. Ia tahu bahwa Kim Hoa popo tidak berdusta. Karena tidak bisa melihat ia sudah bisa diakali. “Cia Soen sudah sering dihina orang,” katanya dengan suara tawar. “Dalam dunia Kang Ouw, jumlah manusia rendah seperti dia tidka bisa dihitung berapa banyaknya. Membunuh atau tidak membunuh dia tidak menjadi soal. Han Hoe jin, kau adalah seorang sahabat lama, waktu itu, mengapa kau tidak memberitahukan aku? Mengapa baru sekarang kau mengatakan begitu? Apa maksudmu?”

Sehabis bertanya begitu, tiba2 badannya melesat dan dalam gerakan yg cepat luar biasa, ia sudah berada dihadapan Tan Yoe Liang.

Dengan sekali menggerakkan tangan kirinya ia merampas golok bengkok, sedang tangan kanannya memberi tiga gapelokan beruntun pada pipi Tan Yoe Liang. Sesudah itu sambil mencengkeram leher pemuda itu, ia membentak: “Binatang! Aku bisa mengambil jiwamu seperti mengambil jiwa ayam, tapi aku sudah meluluskan bahwa sepuluh tahun kemudian, kau boleh datang lagi untuk mencari diriku. Dilain kali, jika kita bertemu pula, antara kira berdua hanya terbuka jalan mati atau hidup.” Ia mengangkat tubuh Tan Yoe Liang dan melontarkannya jauh2.

Apa mau, pemuda itu melayang jatuh ke arah “barisan jarum”. Si nenek kaget. Kalau Tan Yoe Liang jatuh diatas jarum, rahasianya akan terbuka dan capai lelahnya akan tersia2. Secepat kilat ia melompat dan menotok pingang pemuda itu dengan tongkatnya, sehingga tubuh yg hampir ambruk ditanah terpental lagi beberapa tombak jauhnya. “Pergi!” bentaknya. “Kalau kau berani menginjak lagi pulau Leng coa to, aku akan mengambil jiwanya seratus murid Kay pang, Kim hoa popo tidak pernah omong kosong. Sekarang aku hanya menghadiahkan kau dengan sekuntum bunga emas.”

Hampir berbareng sehelai sinar emas menyambar dan sekuntum bunga emas (kim hoa) mampir tepat pada jalan darah dipipi Tan Yoe Liang sehingga untuk sementara waktu, dia tidak dapat berbicara timpukan si nenek itu adalah untuk menjaga kalau2 Tan Yoe Liang membuka rahasianya. Dilain pihak, pemuda itu sendiri lalu kabur sekeras2nya.

Karena menyerang Tan Yoe Liang, sekarang Cia Soen hanya terpisah beberapa tombak dari ‘barisan jarum’ dan Boe Kie berada disebelah belakangnya. Dengan memiliki lweekang yg beberapa kali lipat lebih tinggi daripada Tan Yoe Liang, Boe Kie dapat menahan pernapasannya begitu rupa, sehingga biarpun dia berada sangat dekat, Kim hoa popo dan Cia Soen masih belum mengetahui.

“Cia hiantee, kau sungguh lihai,” memuji si nenek. “Kupingmu dapat menggantikan mata dan kegagahanmu masih belum berkurang. Menurut pendapatku kau masih bisa malang melintang dalam dunia Kang Ouw sedikitnya duapuluh tahun lagi.”

“Hm, tapi aku tak bisa mendengar Say Coe Pek Touw atau Hang Mo Tee Touw Sit Han Hoe Jin, aku tidak mengharap banyak. Asal saja aku bisa tahu dimana adanya Boe Kie atau mendapat kabar tentang keadaannya, biarpun mati, aku akan mait dengan mata meram. Hutang darah Cia Soen berat bagaikan gunung. Ia pantas mati dengan menggenaskan.. huh huh… janganlah bicara lagi dengan malang melintang dalam dunia Kangouw.”

Si nenek tertawa, “Cia Hian tee,” katanya. “Bagi Hoe kauw Hoat ong dari Beng Kauw, membunuh beberapa orang tak menjadi soal. Cia Hiantee, pinjamkanlah To Liong to kepadaku.”

Cia Soen tidak menyahut.

“Cia Hiantee,” kata pula si nenek, “tempat ini telah diketahui musuh dan kau tak bisa berdiam lebih lama lagi. Aku akan mencari tempat lain yg lebih aman dan akan membawamu ke situ untuk berdiam beberapa bulan. Serahkanlah To Lion To kepadaku. Setelah merobohkan Go bie Pay, aku akan mencari Tio Kongcu dengan seantero tenagaku.”

Tapi Kim mo say ong tetap menggeleng2kan kepalanya.

“Cia Hiantee, apa kau masih ingat kata2 soe tay hoat ong, Cie peh kim ceng? Dahulu dibawah pimpinan Yo Kauwcoe Eng ong, In Hian tee, Hong Ong, Wie Hiantee ditambah lagi dengan kau dan aku berdua telah malang melintang dikolong langit tanpa menemui tandingan. Sekarang biarpun badan kita sudah tua. Hati kita masih gagah seperti dahulu. Cia Hiantee apakah kau tega membiarkan Cie San Lao, cie cie mu dihina orang?” (Soe tay hoat ong Cie peh kim ceng, Empat hoe hauw Hoat ong, yaitu Cie san liong on. Peh bie Eng ong, Kim mo say ong dan Ceng Ek Hok on!)

Boe Kie terkesiap, “Ah! Apa Kim hoa popo Cie San Lion ong?” tanyanya didalam hati.

“Sudahlah!” kata Cia Soen dengan suara tawar. “Itulah urusan dahulu. Perlu apa disebut2 lagi? Sudah tua! … kita sekarang sudah tua.”

“Cia hiantee, cie cie mu belum lamur. Apa aku tak bisa melihat, bahwa selama dua puluh tahan kepandaianmu banyak bertambah? Perlu apa kau merendahkan diri? Kita hidup tidak terlalu lama lagi. Menurut pendapatku, sementara Soe Tay hoat ong belum mati, kita berempat haruslah bergandengan tangan pula dan melakukan sesuatu yg lebih hebat dan menggemparkan didalam dunia.”

Cia Soen menghela napas, “In jieko dan Wie hantee belum tentu masih hidup,” katanya. “Apa pula Wie Han tee yg didalam badannya mengeram racun dingin. Mungkin sekali ia sekarang sudah tidak berada didalam dunia lagi.”

“Kalau salah, dengan sejujurnya aku memberitahukan bahwa disini waktu Peh bie Eng ong dan Ceng ek Hok Ong berada di Kong Beng Teng.”

“Di Kong Beng Teng? Perlu apa mereka datang di Kong Beng Teng?”

“A lee telah melihat mereka dengan mata sendiri. A lee adalah cucu kandung dari In Hiantee. Ia dimarahi oleh ayahnya dan ayahnya mau membunuh dia, pertama kali aku yg menolongnya. Kedua kali ia ditolong Wie Hiantee yg membawanya ke Kong Beng Teng. Tapi ditengah jalan diam2 aku meramasnya. A lee coba kau ceritakan kepada Cia Kong2 cara bagaimana enam partai besar coba menyerang Kong beng teg.”

Dengan ringkas Alee segera memutarkan apa yg diketahui olehnya. Tapi karena sebelum tiba di Kong Beng Teng ia sudah ditemukan dan dibawa pergi oleh Kim hoa popo, maka ia tidak tahu kejadian2 di puncak gunung itu.

Makin mendengar Cia Soen jadi bingung, “Habis bagaimana? Habis bagaimana?” Ia bertanya tak henti2nya. Akhirnya ia teriak dengan penuh kegusaran. “Han hoe jin! Karena berebut kedudukan Kauw Coe kau tidak akur dengan saudara2 kita. Tapi pada waktu agama kita menghadapi bahaya bagaimana kau tega untuk berdiri dengan berpeluk tangan? Lihatlah In Jie ko Wie hianteeNgoi sian jin dan Ngo hen kie! Bukankah mereka semua datang di Kong Beng Teng untuk membantu?”

“Tanpa To Liong to, aku hanya pecandu Biat Coat Loonie. Biapun datang di Kong Beng Teng, aku tak ada muka untuk bertempur melawan dia. Apa pula waktu aku kebetulan mendengar tempat sembunyianmu. Dengan tergesa2 aku serga berlayar ke Peng hwee to.”

“Bagaimana kau tahu tempatku? Apakah orang Boe tong yg memberitahukan kepadamu?”

“Bukan!” orang Boe tong tak tahu tempatmu.





Waktu didesak Coei San duami istri lebih suka membunuh diri dari pada membuka rahasia. Orang Boe tong tak tahu tempat sembunyianmu. Baiklah, hari ini aku akan bicara terang2an. Di See hek aku bertemu dengan seorang yg bernama Boe Liat. Secara kebetulan kau mendengar pembicaraannya, dengan anak perempuan. Aku segera membekuk dia. Aku menyiksa dia dan sebab tak tahan siksaan dia membuka rahasia.”

Sesudah berdiam beberapa saat, Cia Soen bertanya, “Bukankah orang she Boe itu pernah bertemu dengan anak Boe Kie. Hm.. dia tentu menipu anakku dan mengorek rahasiaku dari mulutnya.”

Bukan main rasa malu Boe Kie. Ia ingat cara bagimana ia sudah ditipu Coe Tiang leng dan Coe Kioe Tin sehinga ia membuka rahasia. Kalau lantaran itu ayah angkatnya benar2 jadi celaka, biarpun mati berlaksa kali, ia tak bisa menebus dosa.

“Serangan enam partai terhadap Beng Kauw bukan urusan kecil,” kata pula Cia Soen. “Bagaimana sebenarnya nasib kita? Mengapa kau tidak memberitahukan hal itu kepadaku, waktu kita bertemu di Peng hwee to? Kau sudah pergi ke Tiong goan lagi dan aku percaya bahwa kau sudah mendapat warta yg lebih jelas.”

“Apa faedahnya jika aku beritahukan kau kejadian itu pada waktu aku datang di Peng Hwee to? Paling banyak kau mengoeml panjang pendek. Mati hidupnya Beng Kau tak ada sangkut pautnya lagi dengan Kim hoa popo. Kau rupa2nya sudah lupa kejadian di Kong Beng Teng. Waktu Kong Beng Co soe dan Kong Beng Yoe soe mengepung aku. Tapi si nenek masih belum melupakan kejadian itu.”

“Hait….. Ganjelan pribadi adalah soal kecil, melindungi agama kita adalah soal besar. Han hoejin dadamu sempit sekali.”

“Bagus!” bentak si nenek dengan gusar. “Kau laki2 gagah aku perempuan berpemandangan sempit! Apa kau tidak tahu, bahwa aku sudha untuk memutuskan hubungan dengna Beng Kauw? Kalau bukan begitu cara bagaimana Ouw Goe bisa memperlakukan aku sebagai orang luar? Dia menuntut supaya aku bersumpah untuk kembali kepada Beng Kauw dan hanyalah jika aku memenuhi tuntutannya barulah ia mengobati luka keracunan dari Gin yan sianseng. Cia hian tee, sekarang aku berterus terang. Akulah yg membunuh Tiap kok Ie sien Ouw Ceng Goe Cie san Liong ong sudah melanggar peraturan Beng Kauw yg paling penting. Mana bisa aku berhubung lagi dengan orang Beng Kauw?”

“Cia Song menggeleng2kan kepalanya. “Han hoe jin, aku mengerti maksudmu yg sebenarnya,” katanya. “Dengan meminjam To liong to, dimulut kau mengatakan untuk melawan Go bie pay, tapi dihati, kau sebenarnya ingin menggunakan golok itu untuk menggempur Yo Siauw dan Hoan Yauw. Tidak! Aku takkan meminjamkan golok ini.”

Kim hoa popo batuk2, “Cia hiantee, antara kita berdua, siapa yg berkepandaian tinggi?” tanyanya.

“Keempat hoat ong masing2 mempunyai keunggulan sendiri2”.

“Apa sesudah matamu buta, kau masih berani bertanding dengan aku?”

“Kau mau coba merampas golokku dengan kekerasan, bukan? Dengan mempunyai To Liong to biarpun buta, Cia Soen masih bisa meladeni kau.” Mendadak ia mendongak dan mengeluarkan siulan nyaring. “Han Hoe jin!” bentaknya dengan gusar. “Dua puluh tahun Giok Bin Hwee Kauw mengawani aku di Peng Hwe to. Mengapa kau membunuh dia dengna racun? Aku selalu menahan sabar dan tidak menegur kau, apa kau kira aku tidak tahu?” (Giok bin Hwee kauw, kera bulu merah, muka putih seperti batu giok).

Boe Kie terkesiap. Kera itu pernah menolong kedua orang tuanya. Diwaktu kecil, binatang itu adalah kawan mainnya satu2nya. Mendengar kebinasaan binatang itu, ia seolah2 mendengar meninggalnya seorang sahabat karib. Ia berduka tercampur gusar.

Si nenek tertawa dingin. “Aku benci kera kecil itu,” katanya. “Saban kali bertemu dia selalu mengawasi aku dengan sorot mata beringas. Gerakannya sangat cepat dan kalau aku tidak selalu berwaspada, bisa2 aku mampus dalam cekernya. Aku merendam beberapa buah tho didalam air racun. Kalau dia benar sakti, dia tentu tahu apa buah itu beracun atau tidak, pikirku. Tapi kera tetap kera. Nama besarnya hanya nama kosong. Dia gegares habis beberapa buah tho itu dan bahkan dia menyoja2, mengucapkan terima kasih kepadaku.”

Boe Kie meluap darahnya. Hampir2 ia menerjang. Sebisa2 ia menahan sabar karena mengingat bahwa biar bagaimanapun jua, si nenek adalah kepala dari keempat Hoe Kauw Hoat Ong. Untuk mempertahankan ‘gie-khie’ ia harus berdaya untuk menaklukkan nenek yg gagah itu.

Cia Soen menarik napas dalam2 dan maju setindak. Dengan sikap angker, kedua biji matanya yg sudah tidak dapat melihat lagi menatap wajah nenek Kim Hoa. In Lee keder dan mundur beberapa tindak. Dilain pihak, Kim hoa popo mencekal tongkatnya erat2 dan mengawasi Cia Soen dengan waspada. Suasana tegang luar biasa, ibarat gendewa yg sudah terpentgan. Diantara tiupan angin malam yg membangunkan bulu roma, kedua lawan itu saling berhadapan dalam jarang kurang lebih setombak. Lama mereka berdiri, masing2 sungkan untuk bergerak lebih dahulu.

Tiba2 Cia Soen berkata, “Han hoe jin, hari ini kau mendesak aku, sehingga aku tidak bisa turun tangan. Hai! Kejadian ini melanggar sumpah saudara dari keempat Hoe kauw hoat ong. Didalam hati, Cia Soen sangat menderita.”

“Cia Hiantee, hatimu memang lembek. Wkatu baru mendengar aku tidak percaya, bahwa kau sudah membunuh begitu banyak jago2 Rimba Persilatan.”

Cia Soen menghela napas. “aku kalap karena terbinasanya keluargaku – ayah, ibu, istri dan anak,” katanya. “Tapi kejadian yg membuat aku paling menyesal ialah, bahwa kau sudah membinasakan Kongkian Seng ceng dengan pukulan Cit siang koen.”

Si nenek tekejut. “Apa benar2 kau membinasakan Kong kian Seng Ceng?” ia menegas. “Lagi kapan kau belajar ilmu yg hebat itu?” Mendengar matinya Kong kian di dalam tangan Kim mo say ong, hatinya keder.

“Kau tak usah takut. Waktu di pukul, Kong kian Seng ceng tidak membalas. Dengan menggunakan ilmu Budha yg tiada batasnya, beliau berusaha untuk menuntun aku kejalan yg benar. Hai! … aku membinasakannya dengan tiga belas pukulan…”

“Kini aku percaya. Kepandaianku tak bisa menandingi Kong Kian Seng Ceng. Kau membinasakannya dengan tigabelas pukulan. Mungkin sekali, dengan sembilan atau sepuluh tinju, kau sudah bisa membinasakan aku.”

Cia Soen mundur setindak. Mendadak suaranya berubah lunak. “Han Hoe jin,” katanya, “Dahulu, waktu masih berada di Kong Beng Teng, Han Taoko dan kau telah memperlakukan aku baik sekali. Ketika Siauwtee sakit, sebulan lebih kalian merawat aku. Budi ini takkan bisa dilupakan.” Sambil menepuk2 bajunya yg berlapis kapas, ia berkata pula, “Dipulau peng hwee to, aku mengenakan baju yg terbuat dari kulit binatang. Kau membuat pakaian yg sangat cocok bagiku. Ini semua membuktikan, bahwa kecintaan persaudaraan masih belum hilang. Kau membunuh Giok bin Hwee kauw dan hatiku sakit. Tapi apa yg sudah terjadi tak dapat diubah lagi. Kau pergilah! Mulai sekarang, kita tak usah bertemu lagi. Aku hanya bisa mohon pertolonganmu, supaya anak Boe Kie bisa datang disini untuk menemui aku. Jika kau sudi meluluskan permohonanku, aku merasa sangat berhutang budi.”

Si nenek tertawa sedih. “Kalau begitu, kau masih ingat kejadian2 dahulu” katanya. “Sementara Gin yap taoko meninggal dunia, aku sudah merasa tawar terhadap segala keduniawian. Hanyalah karena masih ada beberapa urusan yg belum beres, aku masih belum mau mati untuk mengikuti Gin yap taoko. Cia hiantee biarpun kepandaian mereka tinggi dan akalnya banyak, semua jago di Kong beng teng tak dipandang sebelah mata olehku. Kecuali satu2nya adalah kasu sendiri. Apa kau tau sebab musababnya?”

Sesudah memikir beberapa saat, Cia Soen menggelengkan kepala, “Tidak,” jawabnya. “Cia Soen seorang bodoh dan tidak cukup berharga untuk dihargai oleh Hian Cie (kakakku yg budiman).”

Si nenek berjalan beberapa tindak dan berduduk diatas sebuah batu besar. “Diseluruh Kong Beng Teng, hanya nyonya Yo Kauwcoe dan kau sendiri yg dipandang mata oleh Cie san li ong long,” katanya. “Waktu aku menikah dengan Gin Yap Siang seng, hanya kau bedua yg tidak mengutuk aku, karena aku menikah dengan orang luar.”

Perlahan2 Cia Soen pun berduduk diatas sebuah batu besar. “Biarpun bukan penganut agama kita, Han Taoko adalah seorang gagah sejati,” katanya. “Pemandangan saudara2 kita memang sangat cupat. Hmm… bagaimana akibat serangan enam partai terhadap Kong Beng Teng? Bagaimana nasih saudara2 kita itu?”

“Cia Hiantee, badanmu diluar lautan, hatimu tetap di Tiong goan. Manusia hanya hidup beberapa puluh tahun. Dalam sekejap waktu itu lewat. Perlu apa kau memikiri orang lain?”

Mereka berhadapan dalam jarak beberapa kaki dan bisa saling mendengar jalan pernapasan masing2. Karena si nenek selalu batuk2 diwaktu berbicara, Cia Soen lalu berkata, “Waktu bertempur dengan orang2 Kaypang, dadamu tertikam pedang. Apa luka itu sampai sekarang belum sembuh?”

“Saban hawa udara dingin, batukku menghebat. Hmm, sesudah batuk tigapuluh tahun, aku sudah jadi biasa lagi. Cia Hiantee kudengar jalan pernapasanmu tidak begitu baik. Apakah kau mendapat luka didalam waktu berlatih Cit siang koen? Cia hiantee kau hraus menjaga diri.”

“Terima kasih atas perhatian Hian cie,” mendadak ia menengok kepada In Lee dan berkata, “In Lee, kemari.”

Si nona mendekati.

“Coba kau totok aku dengan jari tangamu, dengan seantero tenagamu.”

In Lee terkejut, “Aku tak berani!” katanya.

Cia Soen tertawa. “Cia Kong Kong, kau dan popo adalah saudara angkat. Segala urusan bisa dibereskan secara damai.”

Cia Soen tertawa sedih, “Cobalah totok aku,” katanya pula. “Kau tak usah takut. Kau di perintah olehku.”

In lee tak bisa menolak lagi. Ia segera membalut telunjuk tangan kanannya dengan sapu tangan dan kemudai menotok pundak Cia Soen. “Aduh!” ia menjerit, tubuhnya terpental setombak lebih dan ia jatuh duduk. Ia merasa kesakitan hebat, seolah2 tulang2nya patah semua.

“Cia Hiantee, kau sungguh beracun,” kata Kim Hoa popo. “Sebab takut aku mendapat pembantu, kau bertindak untuk menyingkirkannya.”

Cia Soen tidak lantas menjawab. Selang beberapa saat barulah ia berkata, “Anak ini sangat baik hatinya. Ia menotok hanya dengan menggunakan dua tiga bagian tenaga. Ia membungkus jarinya dan tidak mengerahkan racun Cian coe, bagus2! Kalau dia tidak berhati mulia, racun laba2 sekarang sudah menyebar jantungnya dan ia tentu sudah menjadi mayat.”

Mendengar itu, keringat dingin mengucur dari hati Boe Kie. Orang2 Beng Kauw memang agak kejam, pikirannya. “Gie hoe yg begitu mulia, tak urung telengas juga.”

“A lee, mengapa kau begitu baik terhadapku?” tanya Ciao Soen.

”Sebab kau … kau …. Adalah ayah angkatnya. Sebab kau dengan kesini untuk kepentingannya. Didalam dunia, hanya kita berdua, kau dan aku yg masih memperhatikan dia.”

“Ah! Aku tak nyana kau begitu menyayangi Boe Kie. Hampir2 aku mengambil jiwamu. Mari! Aku ingin membisikkan sesuatu dikupingmu.”

Perlahan2, sambil menahan sakit, In Lee bangun berdiri lalu menghampiri Cia Soen.

“Aku akan turunkan pelajaran semacam Lwee kang kepadamu,” bisik Cia Soen di kuping nona. “Lwee kang didapatkan olehku di Peng hwee to dan merupakan hasil jerih payahku selama seumur hidup.” Sebab berkata begitu ia segera membaca pelajaran tersebut, dari kepala sampai di buntut. Tentu saja In Lee tidak bisa lantas mengerti dan ia hanya coba menghafalnya. Sesudah membaca tiga kali beruntun Cia Soen bertanya “Apa kau sudah ingat semua?”

“Ya” jawabnya.

“Kau harus berlatih terus dan sesudah berlatih diri selama lima tahun, kau akan memperoleh hasilnya. Apa kau tahu maksudku yg sebenarnya dalam memberi pelajaran ini?”

Tiba2 In Lee mengangis segak seguk, “Aku tahu… tapi… hal itu tidak bisa terwujud,” jawabnya dengan suara terputus2.

“Apa yang kau tahu? Mengapa tidak bisa terwujud?” sambil bertanya begitu Cia Soen mengangkat tangannya. Jika In Lee memberi jawabyg tak menyenangkan, ia segera membinasakannya. Seraya mendekap muka dengan kedua tangannya, si nona berkata, “Ku tahu .. ku tahu, kau ingin aku mencari Boe Kie dan memberi pelajaran itu kepadanya. Kutahu.. kau ingin aku memiliki lweekangmu yg sangat lihai itu supaya aku bisa melindungi dia, supaya dia tak dihina orang. Tapi.. tapi…” ia tak bisa meneruskan kata2nya dan menangis menggerung gerung.

“Tapi apa?” bentak Cia Soen, “Apakah anakku Boe Kie…”

In Lee menubruk dan memeluk Cia Soen. Sambil menangis sedu sedan ia berkata, “Enam.. enam tahun yg lalu.. dia.. dia mati di See hek… terjerumus kedalam jurang!”

Badan Cia Soen bergoyang2. “Apa benar?” ia menegas dengan suara gemetar.

“Benar… Boe Liat dan anak perempuannya menyaksikan kebinasaannya dengan mata sendiri. Tujuh kali aku totok mereka dengan Cian Coe Chioe dan tujuh kali aku menolong jiwanya. Aku menyiksa mereka secara hebat luar biasa. Kupercaya mereka tidak berdusta.”

Sekonyong2 Cia Soen menengadah dan mengeluarkan jeritan menyayat hati sedang air matanya mengucur turun dikedua pipinya.

Melihat kedukaan ayah angkatnya dan saudari sepupunya, hampir2 Boe Kie tak bisa mempertahankan diri. Hampir2 ia melompat untuk memperkenalkan dirinya.

“Cia Hiantee,” kata nenek Kim hoa.

“Sesudah Thio Kongcoe meninggal dunia, perlu apa kau memegang terus to Liong to? Bukankah lebih baik kau menyerahkannya kepadaku?”

“Hebat sungguh kau mendustai aku!” bentak Cia Soen dengan suara menyeramkan. “Kalau kau maui golok ini, ambil dulu jiwaku!” Perlahan2 ia mendorong In Lee dan “brett” ia merobek pakaiannya dan melontarkan robekan itu kepada si nenek. Inilah yg dinamakan “Kwa pauw toan gie” (Merobek ppakaian, memutuskan persahabatan).

Waktu In Lee mau memberitahukan tentang “kebinasaan” Boe Kie, Kim hoa popo sebenarnya ingin merintangi. Tapi ia mendapat lain pikiran. Ia tahu, warta jelek itu akan sangat mendukakan Kim mo say ong, sehingga dalam pertempuran tenaganya akan berkurang, pikirnya kalut dan lebih gampang dipancing masuk ke dalam ‘barisan jarum’. Memikir begitu, dia hanya mengawasi sambil tersenyum dingin.

“Ah! Kini tiba waktunya unutk maju dan mencegah pertempuran,” kata Boe Kie didalam hati. Tapi sebelum dia melompat keluar, kupingnya yg sangat tajam mengangkap suara bernapasnya manusia diantar rumput2 tinggi.

Suara itu sangat perlahan dan pendek. Kalau bukan Boe Kie, lain orang pasti takkan bisa mendengarnya. “Kalau begitu si nenek menyembunyikan pembantu yg sangat lihai,” pikir Boe Kie. “Aku tak boleh lantas keluar.”

Sementara itu, setelah merobek pakaian nya sambil membentak keras Cia Soen memutar To liong to yg bagaikan seekor naga hitam turun naik disekitar tubuhnya. Kim hoa popo melayani dengan sangat hati2. dia bergerak diluar jarak samberan golok dan jika Cia Son sengaja membuka lowongan barulah ia berani merangsek. Tapi begitu lekas tongkat nya hampir beradu dengan To long to, dengan kecepatan luar biasa, ia menyingkir pula. Kedua lawan itu saling mengenal ilmu silat masing2. Mereka tahu, bahwa keputusan tak didapatkan dalam seratus atau duaratus yg kedua belah pihak mempunyai sesuatu yg menguntungkan. Cia Soen mempunyai golok mustika, sedangkan si nenek menarik keuntungan karena Cia Soen tidak bisa melihat. Dengan sedikit keuntungan itu, masing2 berusaha untuk mendapatkan kemenangan. Pada hakekatnya mereka bukan mengadu ilmu silat tapi mengadu kepintaran.

Mendadak dua sinar emas menyambar. Nenek Kim Hoa menumpuk dengan bunga emasnya. Cia Soen menyambut dengan goloknya dan … kedua senjata rahasia itu, menempel badan To Liong to! Bunga emas tersebut terbuat dari baja murni yg dilapis emas. Sebab To liong to terbuat daripada besi “hian tian” yg mengandung besi berani (sembrani) Kim Hoa popo mendapat nama beasr nya karena senjata rahasia itu. Biarpun matanya bisa melihat, Cia Soen harus menggunakan seantero kepandaiannya untukmenyelamatkan diri dari serangan Kim Hoa. Diluar dugaan To Liong to justru penakluk senjata rahasia.

Dengan beruntun si nenek melepaskan tujuh delapan bunga emas akan tetapi semuanya menempel di badan golok. Diantara kegelapan malam, bunga2 emas itu bagaikan kunang2 yg menari2. Sekonyong2 sambil batuk2, si nenek melepaskan seraup kim hoa. Beberapa belas bunga emas menyambar serentak. Cia Soen mengibas tangan baju kiri, sambil menyampik dengan To Liong to. Delapan sembilan kim hoa menempel di golok, yg lainny amasuk kedalam tangan baju.

“Han hoe jin,” kata Kim mo say ong. “Gelarmu Cie San liong on bertemu dengan golokku ini, gelar itu sangat tidak baik.”

Kim Hoa popo bergidik. Pada jaman itu, diantara ahli2 silat yg setiap hari bermain senjata masih banyak yg percaya akan takhayul mengenai nama senjata nama atau gelaran. Si nenek bergelar “Liong Ong” (Raja Naga) sedang nama golok itu adalah “To Liong” (Membunuh Naga). Sambil menekan rasa kedernya, ia tertawa dingin dan berkata, “Mungkin sekali tongkat Sat say thung (Tongkat membunuh singa) lebih dulu membinasakan anak singa yg matanya buta.” (Gelar Cia Soen Kim mo Say Ong yg berarti Raja Singa bulu emas).

Sehabis berkata begitu, dengan kecepatan luar biasa, ia menyamber pundak Cia Soen dengan tongkatnya. Cia Soen coba mengegos, tapi ia terlambat dan pundaknya terpukul. “Aduh!” teriaknya sambil terhuyung beberapa tindak.

Boe Kie kaget tercampur girang. Mengapa ia bergirang? Karena ia tahu, bahwa dengan sengaja menerima pukulan, ayah angkatnya sedang menjalankan tipu. Pada waktu itu, ia sudah menjadi seorang ahli silat yang berkedudukan sangat tinggi dan dalam menonton pertempuran. Ia selalu bisa meramalkan pukulan2 yg bakal dikeluarkan oleh kedua belah pihak. Setelah Cia Soen terpukul, ia berkata didalam hati. “Kalau Gie hoe menimpuk dengan bunga emas yg tergulung dudalam tangan bajunya. Kim hoa popo pasti akan mundur kesebelah kiri. Gie hoe tentu akan membacok dengan pukulan Cian san Bai soei loan pie hong sit. Sebab takut akan ketajaman To lion to, si nenek pasti akan mundur dua kali, dia tidak bisa mundur lagi. Kalau dengan menggunakan kesempatan itu, dengan lweekangnya Gie hoe menimpuk dengan bunga emas yg menempel pada badan To Liong to. Kim hoa popo rasanya akan terlalu berat.”

Sesuai dengan dugaan Boe Kie, tiba2 terlihat menyambar beberapa sinar emas. Cia Soen benar2 menimpuk dengan kim hoa yang tergulung didalam tangan bajunya. Dan sesuai dengan dugaan pemuda itu, nenek Kim hoa melompat mundur kesebelah kiri.

Mendadak Boe Kie mengeluh, “Celaka! Kim hoa popo menggunakan tipu!” ia mengeluh karena ingat sesuatu.

Sementara itu, di gelanggang terus berlangsung pertempuran seperti yg ditaksir Boe Kie. Cia Soen membacok dengan Cian Sen Ban Soei Loan pie hong sit. Si nenek melompat mundur lagi kekiri dan Cia Soen lalu menimpuk dengan beralsan kim hoa yg menempel pada badan golok.”Aduh!” teriak si nenek dan badannya sempoyongan.

Sesudah “merobek baju, memutuskan persahabatan,” Cia Soen tidak sungkan2 lagi. Sambil membentak keras, ia melompat tinggi dan lagi tubuhnya melayang kebawah, ia mengayun goloknya.

Mendadak terdengar teriakan In Lee, “Awas! Dibawah ada jarum!”

Cia Soen terkesiap. Kejadian inilah yg sudah dilihat Boe Kie, sehingga ia mengeluh.

Pada detik itu, belasan bunga emas menyambar. Kim hoa popo menimpuk selagi badan Cia Soen masih berada ditengah udara supaya ia tidak bisa mundur lagi dan jatuh diatas ‘barisan jarum’.

Kim mo say ong memang sudah tidak berdaya lagi. Ia hanya bisa menyelamatkan diri dari serangan bunga2 emas dengan menyampok dengan To Liong to, tapi ia tidak bisa menggelakkan hinggapnya diatas ‘barisan jarum’. Selagi dianya sedang ia menyampok dan selagi badannya melayang turun tiba2 ia mendengar suara ‘tring trinh….’ Dilain detik kedua kakinya hinggap diatas batu…. Dengan tak kurang suatu apa! Ia berjongkok dan meraba2 dan tangannya menyentuh jarum tajam di batu2 sekitarnya. Tapi empat batang jarunm yg sedang diinjaknya, hilang terpukul batu. Cia Soen gusar tercampur kaget. Ia tahu, bahwa ia sudah di tolong oleh orang yg berkepandaian tinggi. Dengan mendengar sambaran batu, ia pun tahu, bahwa yg menolong nya bukan lain daripada si pemuda yg mengaku sebagai kie keng pang dan yg pernah coba menolong nya dengan timpukan tujuh butir batu. Hebat sungguh kepandaian pemuda itu, pikirnya. Sudah lama dia menonton tanpa diketahui. Mengingat begitu, keringat dingin mengucur di dahi Kim mo say ong.

“Sekarang kedua Hoe Kouw hoat ong dari Beng Kauw masing2 sudah berjalan kau tipu Kouw jiok kee (tipu mempersakiti diri sendiri). Pundak Cia Soen sudah terpukul tongkat, tubuh si nenek sudah kena bunga emas. Biarpun tidak berbahaya, luka itu jg tak enteng.




Sesudah batuk2, sambil mengawasi tempat bersembunyinya Boe Kie, Kim hoa popo membentak, “Bocah Kie keng pang! Sekali lagi kau mengacau urusan nenekmu. Siapa namamu?”

Sebelum Boe Kie menjawab mendadak menyambar sinar emas dan In Lee mengeluarkan teriakan kesakitan. Kim hoa popo tahu, bahwa kepandaian Boe Kie tidak berada disebelah bawahnya. Jika ia menyerang In Lee pemuda itu tentu akan merintangi. Maka itu, ia sengaja berbicara dan pada saat Boe Kie tdk berwaspada ia menimpuk dengan tiga bunga emas yg menancap tepat di dada si nona.

Tak kepalang kagetnya Boe Kie. Badannya melesat bagaikan anak panah dan selagi berada di tengah udara, ia menyambut dua kim hoa yg menyambar. Begitu hinggap ditanah, ia memeluk tubuh In Lee.

Dealam keadaan setengah lupa si nona melihat seorang lelaki berkumis memeluk dirinya. Secara wajar Ia menolak keras dengan kedua tangannya. Begitu menggunakan tenaga, ia memuntahkan darah.

Boe Kie lantas saja mengerti mengapa In Lee menolak dirinya. Buru2 ia mengusap mukanya beberapa kali untuk mencopot kumis palsu dan penyamarannya.

Di lain saat nona In mengawasi dengan mata membelak. “A Goe koko, apa kau?” tanyanya dengan suara parau.

“Benar aku!” jawabnya.

Hati si nona lega dan ia pingsan. Karena lukanya sangat berat, Boe Kie tidak berani mencabut senjata rahasia yg menancap dan hanya menotok beberapa jalan darah untuk melindungi bagian2 terpenting dari tubuh In Lee.

“Dua kali tuan menolong Cia Soen dan Cia Soen takkan melupakan budi yg sangat besar itu,” kata Kim mo Say ong.

Mata Boe Kie lantas saja mengembeng air. “Gie… mengapa…” katanya.

Sesaat itu, ditempat jauh mendadak terdengar suara “tring!” Suara itu aneh. Perlahan tapi merdu dan menusuk kuping. Mendengar suara itu, jantung Kim hoa, Cia Soen dan Boe Kie melonjak, seolah2 mendengar halilintar yg dahsyat. Mereka bertiga adalah orang yg memiliki lwee kang yg tinggi. Kioe yang sin kang Boe Kie dapat dikatakan sudah sempurna dan ia tidak bisa dilanggar lagi oleh segala kekotoran. Tapi heran, suara itu dapat menggetarkan jantungnya. Ia bahkan merasa dirinya terombang ambing di angkasa. Itulah kejadian yg benar2 luar biasa.

Di lain detik, suara itu terdengar pula, lebih dekat bberapa puluh tombak. Dalam sedetik suara itu sudah berpindah sedemikian jauh. Sungguh hebat!

Tapi suara kedua berbeda dari yg pertama. Suara itu halus lemah lembut. Bagaikan bisikan seorang bercintaan di tengah malam yg sunyi seolah2 tiupan angin yg silir. Akan tetapi biarpun begitu, suara itu seperti membetot nyawa.

Boe Kie mengerti, bahwa ia sedang menghadapi seorang manusia luar biasa. Sambil memeluk In Lee, ia berdidi tegak siap sedia untuk menyambut setiap serangan.

Sekonyong2 terdengar “tang!” yang sangat hebat, yg berkumandang diseluruh lembah.

Hampir bersamaan muncul tiga orang, semua mengenakan jubah putih. Dua diantaranya bertubuh jangkung sedang yang di sebelah kiri seorang wanita. Mereka berdiri dengan membelakangi rembulan sehingga Boe Kie tidak bisa melihat muka mereka. Tapi tak bisa salah lagi mereka adalah anggota Beng-kauw, karena pada ujung jubah mereka tersulam sebuah obor.

“Seng hwee leng Beng-kauw sudah tiba,” kata si jangkung yang berdiri di tengah-tengah. “Hoe kauw Liong ong, Say ong, mengapa kalian tidak menyambut dengan berlutut?” Ia berbicara dalam bahasa Han yang sangat jelek dan kaku.

Boe Kie terkejut, “Menurut surat wasiat Yo Kongcoe, semenjak jaman Kongcoe ketiga puluh satu, jaman Kauwcoe, Seng hwee leng jatuh ke dalam tangan Kay-pang dan sampai sekarang belum bisa diambil kembali,” pikirnya. “Mengapa benda-benda itu berada di dalam tangan mereka? Apa itu Seng hwee leng asli? Apa benar mereka murid Beng-kauw?” Bermacam-macam pertanyaan keluar masuk dalam otaknya.

“Aku sudah keluar dari Beng-kauw, perkataan Hoe kauw Liong ong jangan disebut-sebut lagi,” kata Kim hoa po po. “Siapa nama tuan? Apa itu Seng hwee leng asli? Dari mana kalian mendapatkannya?”

“Pergi!” bentak orang itu. “Kalau kau sudah keluar dari agama kami, perlu apa kau banyak rewel? Pergi!”

Kim hoa po po tertawa dingin, “Kim hoa po po belum pernah dihina orang,” katanya, “Bahkan Kauwcoe memerlukan aku dengan segala kehormatan. Apa kedudukanmu di dalam Beng-kauw?”

Tiba-tiba ketiga orang itu bergerak dengan serentak mendekati dan tangan kiri mereka mencoba mencengkram badan si nenek. Kim hoa po po menyapu dengan tongkatnya. Entah bagaimana ketiga orang itu menggeser kaki tahu-tahu kedudukan badan mereka sudah berubah. Si nenek menyapu angin dan belakang lehernya dicengkram dengan tiga tangan dan segera dilontarkan jauh-jauh.

Astaga! Nenek Kim hoa adalah seorang ahli silat kelas utama. Andaikata ia dikepung oleh tiga orang jago yang paling hebat belum tentu ia bisa dirobohkan dengan satu dua jurus. Tapi ketiga orang itu sungguh-sungguh aneh gerakan kaki dan tangannya.

Tiba-tiba Boe Kie mengeluarkan teriakan “in!” Ia merasa bahwa gerakan badan, tangan dan kaki ketiga orang itu tak lain dari gerakan Kian koen Tay lo ie. Apakah mereka bersama-sama memiliki ilmu yang sangat tinggi itu?

Waktu mendengar suara “tang” yang ketiga kali, In Lee sadar dari pingsannya. Ia membuka kedua matanya dan mendapati kenyataan bahwa ia masih dipeluk Boe Kie. Dadanya sakit luar biasa dan sambil menahan sakit ia segera memejamkan kedua matanya.

Sesudah ketiga orang itu mengubah kedudukan, Boe Kie bisa melihat mukanya. Yang bertubuh paling jangkung berjenggot dan matanya biru, sedang yang satunya lagi berambut kuning dan berhidung bengkok seperti patuk elang. Kedua-duanya orang asing, yang wanita berambut hitam dan mukanya tak berbeda dengan muka orang Tiong-hoa. Hanya biji matanya tidak hitam. Ia berusia kurang lebih dua puluh tahun dan raut mukanya berbentuk kwa cie, ia cantik. “Semua orang asing, tidak herean apabila mereka itu suaranya kaku dan bicaranya seperti orang menghafal buku,” kata Boe Kie dalam hati.

“Melihat Seng hwee leng seperti bertemu dengan Kauwcoe,” teriak si jenggot. “Cia Soen mengapa kau tidak menyambut dengan berlutut?”

“Siapa kalian?” Tanya Kim-mo Say-ong.

“Kalau kalian murid agama kita, Cia Soen pasti mengenal nama kalian. Kalau bukan murid agama kami, kalian tidak bersangkut paut dengan Seng hwee leng.”

“Dari mana asalnya Beng-kauw?”

“Dari Persia.”

“Benar, aku adalah Lioe in soe (Utusan Awan) dari Beng-kauw yang berkedudukan di Persia. Kedua kawanku ini adalah Biauw hong soe (Utusan Rembulan). Atas perintah Cong Kauwcoe (Kauwcoe Pusat) dari Persia, kami bertiga datang ke Peng-goan.”

Cia Soen dan Boe Kie terkejut. Sesudah membaca buku gubahan Yo Siauw, Boe Kie tahu bahwa Beng-kauw memang berasal dari Persia. Melihat ilmu silat ketiga orang itu, ia percaya bahwa keterangan si jenggot bukan keterangan palsu. Ia tidak membuka mulut dan menunggu jawaban ayah angkatnya.

“Kauwcoe kami mendapat kabar bahwa Kauwcoe cabang Tiong-goan hilang tanpa jejak,” kata si rambut kuning Biauw hong soe. “Karena itu, murid-murid cabang Tiong-goan bermusuhan satu sama lain dan saling bunuh. Ceng Kauwcoe memerintahkan Sam soe (tiga utusan) In, Hong dan Goat datang ke Tiong-goan untuk membereskannya. Sesudah kami tiba di sini, semua murid harus mendengar perintah kami.”

Boe Kie girang. “Bagus,” pikirnya, “Dengan begini aku terbebas dari pikulan yang berat. Pengetahuanku memang sangat cetek dan bisa jadi aku akan menggagalkan urusan yang sangat besar.”

“Meskipun benar Beng-kauw Tiong-goan berasal dari Persia, akan tetapi selama seribu tahun lebih sudah jadi agama yang berdiri sendiri tanpa dikuasai Cong-kauw (pusat),” kata Cia Soen. “Bahwa dari tempat jauh Sam wie datang ke sini, Cia Soen merasa sangat girang. Tapi menyambut dengan berlutut adalah hal yang tidak beralasan.”

Lioe in soe merogoh saku dan mengeluarkan dua potong “pay” (potongan logam atau batu) yang panjangnya kira-kira dua kaki. “Pay” itu bukan emasa dan bukan batu giok, entah terbuat dari bahan apa. Begitu dikeluarkan kedua “pay” segera dipukulkan satu sama lain. “Ting!” itulah suara aneh yang terdengar paling dulu. Dalam jarak dekat, kedengarannya lebih hebat lagi.

“Inilah Seng hwee leng dari Beng-kauw cabang Tiong-goan,” kata Lioe in soe. “Mendiang Kauwcoe Cio tak becus sehingga barang ini jatuh ke tangan Kay-pang. Untung juga kami dapat merampasnya kembali. Semenjak dulu melihat Seng hwee leng seperti bertemu dengan Kauwcoe sendiri. Cia Soen apa kau masih mau berkepala batu?”

Waktu Cia Soen masuk agama Beng-kauw, Seng hwee leng sudah lama hilang. Ia belum pernah melihatnya tapi ia tahu sifat-sifatnya yang luar biasa. Dalam kitab-kitab Beng-kauw “pay” yang dipegang oleh ketiga orang asing itu adalah Seng hwee leng asli. Apalagi mereka memiliki kepandaian yang sangat luar biasa dan sekali gebrak mereka sudah bisa melemparkan tubuh Kim hoa po po. Kepandaiannya sendiri kira-kira setanding dengan Kim hoa po po sehingga andaikata ia mau melawan iapun takkan bisa melawan. “Aku percaya omongan tuan,” katanya. “pesan apa yang mau disampaikan oleh kalian?”

Lioe in soe tak menjawab. Ia mengibaskan tangan kirinya. Biauw hoe soe dan Hwie goat soe mengerti maksudnya. Dengan serentak ketiga orang itu melompat tinggi dan dalam sesaat mereka sudah berhadapan dengan Kim hoa po po. Si nenek menimpuk dengan enam Kim hoa tapi dengan mudah mereka bisa menyelamatkan diri. Hwie goat soe merengsek dan mencoba menotok leher si nenek. Kim hoa po po menangkis dan memukul dengan tongkatnya. Tiba-tiba tubuh si nenek terangkat tinggi, punggungnya sudah dicengkram oleh Lioe in soe dan Biauw hong soe dan diangkat ke atas. Ia tidak berdaya sebab jalan darah dipunggung sudah ditotok. Hwie goat soe maju dan dengan tangan kirinya ia menotok tujuh hiat di dada Cie San Liong ong.

Jalan serangan ketiga orang itu licin dan lancer, “Ilmu silat mereka tidak luar biasa,” kata Boe Kie dalam hati. “Yang luar biasa adalah kerjasama mereka. Hwie goat soe memancing si nenek, kedua tangannya membekuk dengan membokong, ilmu silat mereka secara perorangan belum tentu lebih tinggi dari Kim hoa po po.”

Sementara itu Lioe in soe melemparkan Kim hoa po po ke hadapan Cia Soen. “Cia Say ong,” katanya, “Menurut peraturan Beng-kauw, seseorang yang sudah masuk agama itu tapi ia meninggalkan agama kita maka dia telah menjadi murid pengkhianat. Penggal kepalanya!”

Cia Soen terkejut, “Beng-kauw di Tiong-goan tak punya peraturan begitu,” jawabnya.

“Mulai dari sekarang, Beng-kauw cabang Tiong-goan harus menurut Cong-kauw,” kata Lioe in soe dengan suara dingin. “Nenek itu telah mengatur tipuan busuk untuk mencelakai kau dan itu semua telah dilihat kami. Hidupnya dia merupakan bibit penyakit. Lekas binasakan dia!”

“Dahulu Han hoejin telah memperlakukan aku baik sekali. Empat Raja Pelindung Beng-kauw terikat pada tali persaudaraan. Biarpun hari ini dia memperlakukan aku dengan Poet ceng (tanpa kecintaan) tapi aku tak bisa membalasnya dengan Poet hie (tanpa rasa persahabatan) dan turun tangan untuk membinasakannya.”

Biauw hong soe tertawa terbahak-bahak. “Kau sungguh rewel!” katanya. “Caramu seperti perempuan bawel. Dia berusaha untuk membinasakan kau tapi kau tidak mau mengambil jiwanya. Mana ada aturan begitu? Heran! Aku sungguh tidak mengerti!”

“Aku bisa membunuh manusia tanpa terkesiap tapi aku tak bisa membunuh saudara seagama,” kata Cia Soen dengan suara mantap.

“Tapi kau mesti membunuh dia,” kata Hwie goat soe, “Kalau kau menolak berarti kau melanggar perintah. Kami akan lebih dulu mengambil jiwamu.”

“Baru datang di Tiong-goan Sam wie sudah mencoba memaksa Kim-mo Say-ong utnuk membunuh Cie San Liong ong,” kata Cia Soen dengan suara mendongkol. “Apakah Sam wie mau mencoba memperlihatkan keangkeran dengan menakut-nakuti aku?”

Hwie goat soe tersenyum, “Meskipun kau buta hati mengerti segalanya,” katanya, “Hayo! Lekas turun tangan!”

Cia Soen menengadah dan tertawa nyaring sehingga suaranya berkumandang di seluruh lembah, “Kim-mo Say-ong selamanya bekerja sebagai laki-laki,” katanya dengan suara keras. “Aku tak sudi membunuh sahabat sendiri. Tapi andaikata nenek itu musuh besarku akupun takkan turun tangan sebab dia sekarang sudah tidak bisa membela diri, Cia Soen belum pernah membunuh manusia yang tidak bisa melawan lagi.”

Mendengar perkataan itu, Boe Kie merasa kagum sekali dan terhadap ketiga utusan itu ia mulai merasa muak.

“Bagi setiap murid Beng-kauw melihat Seng hwee leng seperti melihat Kauwcoe sendiri,” kata Biauw hong soe. “Say-ong, apa kau mau memberontak?”

“Cia Soen telah buta dua puluh tahun lebih. Biarpun kau menaruh Seng hwee leng dihadapanku, aku tak bisa melihatnya. Maka itu, melihat Seng hwee leng seperti melihat Kauwcoe sendiri tiada sangkut pautnya denganku.”

“Bagus!” bentak Biauw hong soe dengan gusar. “Benar-benar kau mau berkhianat?”

“Cia Soen tidak berani berkhianat, tapi tujuan Beng-kauw ialah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan menyingkirkan segala kejahatan. Disamping itu Beng-kauw pun sangat mengutamakan “gie kie”. Kepala Cia Soen boleh jatuh di tanah tapi Cia Soen tak boleh melakukan perbuatan sebusuk itu.”

Nenek Kim hoa tidak bisa bergerak tapi ia mendengar tegas setiap perkataan Kim-mo Say-ong.

Boe Kie tahu bahwa ayah angkatnya tengah menghadapi bencana. Perlahan-lahan ia melepaskan In Lee di tanah.

“Semua anggota Beng-kauw di Tiong-goan yang tidak menghormati Seng hwee leng akan mendapatkan hukuman mati,” bentak Lioe in soe.

“Aku adalah Hoe-kauw Hoat ong (Raja Pelindung Agama),” kata Cia Soen dnegan suara lantang, “Biarpun Kauwcoe sendiri yang mau membinasakan aku, ia harus mengadakan upacara kepada Langit dan Bumi dengan memberitahukan segala dosa-dosaku.”

Biauw hong soe tertawa. “Gila!” katanya. “Di Persia tidak ada peraturan begitu. Begitu datang di Tiong-goan, Beng-kauw segera mempunyai aturan yang gila-gila.”

Mendadak Sam soe membentak kerasa dan menyerang dengan berbarengan. Cia Soen segera memutar To liong to untuk melindungi diri. Sesudah menyerang tiga jurus tanpa berhasil dengan serentak mereka mengeluarkan Seng hwee leng. Hwie goat soe merangsek dan memukul batok kepala Cia Soen dengan Seng hwee leng yang dicekal dalam tangan kirinya. Cia Soen menangkis dengan goloknya. “Trang!” Biarpun senjata mustika, golok itu tidak bisa memutuskan Seng hwee leng. Hampir bersamaan, Lioe in soe menggulingkan diri di tanah dan memukul betis Cia Soen sehingga ia terhuyung satu dua langkah. Pada detik yang bersamaan Biauw hong soe berhasil menotok punggung Cia Soen dengan Seng hwee lengnya. Mendadak ia merasa tangannya dibetot orang dan Seng hwee leng dirampas. Dengan hati mencelos ia memutar badan. Yang merampas adalah seorang pemuda yang mengenakan pakaian anak buah perahu.

Perampasan Seng hwee leng dilakukan Boe Kie dengan kecepatan luar biasa. Dengan gusar Lioe in soe dan Hwie goat soe segera menyerang dari kiri dan kanan, untuk menyelamatkan diri Boe Kie melompat mundur ke sebelah kiri. Diluar dugaan punggungnya kena dipukul Hwie goat soe. Seng hwee leng adalah benda yang sangat keras dan pukulan itu disertai Lweekang yang hebat. Maka Boe Kie berkunang-kunang. Untung juga dia memiliki Sin kang dan sambil melompat ke depan ia mengempos semangat untuk menentramkan hatinya.

Sam soe tidak memberi nafas kepadanya dan segera mengurung. Sesudah serang menyerang beberapa jurus dengan Seng hwee leng yang dipegang tangan kanannya, Boe Kie mengirimkan pukulan gertakan kepada Lioe in soe dan berbarengan tangan kirinya menjambret Seng hwee leng yang dicekal dalam tangan kiri Hwie goat soe. Baru saja mau membetot mendadak Hwie goat soe melepaskan cekalannya sehingga buntut Seng hwee leng itu membal ke atas dan memukul pergelangan tangannya. Jari-jari tangan Boe Kie kesemutan sehingga mau tidak mau ia terpaksa melepaskan pula Seng hwee leng yang sudah dipegangnya, Hwie goat soe lantas saja menyambutnya.

Semenjak memiliki Kian koen Tay loe ie dan mendapat petunjuk Thio Sam Hong mengenai Thay kek keon, Boe Kie tidak pernah menemui tandingan. Diluar dugaan, dalam menghadapi seorang wanita muda seperti Hwie goat soe, dua kali beruntun ia kena dipukul. Dalam pukulan kedua, jika tidak memiliki Sin kang, pergelangan tangannya pasti sudah patah.

Sekarang ia tidak berani melayani kekerasan lagi. Sambil membela diri ia memperhatikan serangan-serangan lawan untuk mencari jalan melawannya.

Dilain pihak, ketiga utusan itu merasa kaget. Belum pernah mereka menemui lawan seperti Boe Kie.

Tiba-tiba Biauw hong soe menundukkan kepalanya dan menyeruduk. Inilah serangan luar biasa yang bertentangan dengan peraturan ilmu silat. Menyeruduk dengan bagian tubuh yang terpenting tidak pernah atau sedikitnya jarang digunakan oleh ahli-ahli silat di daerah Tiong-goan.

Boe Kie berdiri tegak bagaikan gunung. Ia mengerti bahwa serudukan itu akan disertai dengan serudukan susulan. Ketika batok kepala Biauw hogn soe hanya terpisah satu kaki dari perutnya barulah ia menggeser kaki dan mundur selangkah. Mendadak Lioe in soe melompat tinggi dan ketika tubuhnya turun, ia mencoba duduk di atas kepala Boe Kie. Inipun serangan aneh. Buru-buru Boe Kie mengegos ke samping. Mendadak ia merasa dadanya sakit sebab kena disikat Biauw hong soe tapi Biauw hong soe sendiri yang kena didorong dengan tenaga Kioe yang Sin kang terhuyung beberapa langkah.

Paras Sam soe berubah pucat. Tapi mereka segera merangsek lagi. Selagi Hwie goat soe membabat dengan kedua Seng hwee leng mendadak Lioe in soe melompat tinggi dan menjungkir balik tiga kali di tengah udara. Ia heran melihat saltonya Lioe in soe dan cepat-cepat ia mengegos ke kiri, mendadak sinar putih berkelabat dan pundak kanannya terpukul Seng hwee leng Lioe in soe. Ia terkesiap, itu pukulan yang sangat aneh. Bagaimana caranya selagi bersalto Lioe in soe bisa memukul dirinya tanpa ia sendiri bisa mencegahnya? Pukulan itu sangat hebat, meskipun seluruh tubuhnya dilindungi Sin kang, rasa sakit terasa di sumsum. Kalau bisa ia ingin mundur tapi ia tahu kalau ia mundur, ayah angkatnya akan binasa. Ia jadi nekat, sesudah menarik nafas dalam-dalam ia melompat menghantam dada Lioe in soe dengan telapak tangannya.

Pada detik yang bersamaan, Lioe in soe pun melompat ke depan sambil memukul kedua Seng hwee lengnya. “Trang!” Selagi abdannya masih berada di udara, mendengar suara itu Boe Kie merasa semangatnya terbetot keluar. Tiba-tiba Biauw hong soe terpental sebab didorong oleh Kioe yang Sin kang. Hampir bersamaan Hwie goat soe sudah menghantam pundak Boe Kie dengan Seng hwee leng.

Cia Soen tahu bahwa si pemuda Kie yang menolong jiwanya sedang menghadapi bencana, ia merasa menyesal bahwa ia tak bisa membantu. Makin lama ia jadi makin bingung. Jika bertempur sendirian ia bisa melawan dengan mengandalkan ketajaman kupingnya. Sekarang ia tak bisa membedakan yang mana lawan yang mana kawan. Bagaimana jadinya kalau To liong to sampai membinasakan kawan. Tapi ia tahu bahwa penolongnya sudah terpukul beberapa kali. “Siauw hiap! Lekas menyingkir!” teriaknya. “Ini urusan Beng-kauw, bukan urusan Siauw hiap bahwa Siauw hiap sudah sudi menolong Cia Soen merasa sangat berhutang budi.”

“Aku…Lari! Lekas kau…lari!” seru Boe Kie dengan suara terputus-putus.

Mendadak Lioe in soe menghantam dengna Seng hwee leng. Boe Kie menangkis dengan Seng hwee leng juga. “Trang!” Seng hwee leng Lioe in soe terlepas. Boe Kie segera melompat tinggi untuk menangkapnya. Tiba-tiba “bret!” baju dipunggungnya robek sebab jambretan Hwie goat soe. Goresan kuku mengeluarkan darah dan Boe Kie merasa perih pada punggungnya. Karena serangan itu, gerakan Boe Kie jadi terhambat dan Seng hwee leng keburu diambil kembali oleh Lioe in soe.

Sesudah bertempur beberapa lama, Boe Kie yakin bahwa Lweekang ketiga lawan itu masih kalah jauh dari tenaga dalamnya. Yang sukar dilawan adalah ilmu silat, kerja sama dan senjata mereka yang aneh. Mereka bekerja sama dalam cara yang sangat luar biasa. Boe Kie tahu bahwa kalau ia bisa merobohkan salah seorang maka ia akan mendapatkan kemenangan tapi hal itu tidak gampang dilakukan.

Dengan Sin kangnya, dua kali Boe Kie menghantam Biauw hong soe tapi lawan itu hanya terhuyung beberapa langkah dan rupa-rupanya tidak mendapat luka yang berarti. Selain itu setiap kali ia menyerang yang satu, dua yang lain segera menolong dengan cara yang tak diduga-duga. Beberapa kali ia menukar ilmu silat tapi ia tetap tak bisa memecahkan kerja sama mereka yang sangat erat.

Dilain pihak, Sam soe pun tak berani membenturkan kaki tangan atau badan mereka dengan Boe Kie. Setiap kali mengadu kekuatan setiap kali pihak mereka yang menderita.

Mendadak, sambil membentak keras Cia Soen memeluk To liong to melompat masuk ke gelanggang pertempuran dan mendekati Boe Kie. “Siauw hiap, gunakanlah golok ini!” katanya. Seraya berkata begitu, ia menyodorkan To liong to.

Boe Kie menyambuti dan Cia Soen melompat mundur. Selagi melompat, punggungnya terkena tinju Biauw hong soe yang menyambar tanpa bersuara sehingga ia tidak dapat mendengarnya. “Aduh!” ia mengeluh. Ia merasa isi perutnya seperti terbalik.

Sementara itu, sambil menggertak gigi Boe Kie membacok Lioe in soe. Si jenggot memapaki kedua Seng hwee leng yang lantas menempel di badan To liong to. Tiba-tiba Boe Kie merasa tangannya tergetar sehingga To liong to hampir terlepas.

Hatinya mencelos, buru-buru ia mengempos semangat dan menambah Lweekangnya. Merampas senjata dengan Seng hwee leng adalah satu-satunya ilmu yang sangat diandalkan oleh Lioe in soe. Dapat dikatakan ia belum pernah gagal. Kali ini ia tidak berhasil dan kaget bukan main. Melihat itu, sambil membentak keras Hwie goat soe melompat dan menempelkan kedua Seng hwee lengnya di badan To liong to. Sekarang empat Seng hwee leng membetot golok dan tenaga membetot bertambah satu kali lipat.

Boe Kie sudah terluka beberapa kali dan biarpun bukan luka berat tenaganya berkurang. Sesudah bertahan beberapa saat, ia merasa separuh badannya panas dan tangannya yang mencekal golok gemetaran. Ayah angkatnya menyayangi To liong to seperti jiwa sendiri dan bahwa orang tua itu sudah dengan rela meminjamkan kepada orang yang belum dikenal merupakan bukti bahwa sang Gie hoe mempunyai gie kie yang sangat tebal. Kalau To liong to sampai hilang dalam tangannya, mana ia ada muka untuk menemui sang ayah angkat lagi? Berpikir begitu sambil membentak, ia mengerahkan seluruh Kioe yang Sin kang ke tangan kanannya.

Paras muka Lioe in soe dan Hwie goat soe berubah pucat. Biauw hong soe kaget, ia melompat dan turut menempelkan sebuah Seng hwee lengnya ke badan To liong to.

Sekarang satu melawan tiga dan berkat Sin kang, Boe Kie tetap bisa bertahan. Diam-diam ia merasa syukur bahwa ia berhasil merampas sebelah “leng” dari tangan Biauw hong soe. Jika Liok leng (enam leng) menekannya dengan bersamaan belum tentu ia bisa mempertahankan diri.

Dengan tubuh tak bergerak, keempat orang mengerahkan Lweekang mereka yang paling tinggi.

Mendadak saja Boe Kie merasa dadanya sakit seperti ditusuk dengan jarum halus. Tusukan itu luar biasa hebat, terus menerobos ke dalam isi perutnya. Hampir bersamaan, To liong to terlepas dari cekalannya dan ditarik oleh lima Seng hwee leng!

Boe Kie terkesiap tapi sebagai ahli silat kelas utama, dalam kagetnya ia tak menjadi bingung. Ia menghunus Ie thiam kiam yang terselip dipunggungnya dan dengan Toan coan Jie ie (berputar-putar menurut kemauan hati) salah sebuah pukulan Thay kek Kiam hoat, ia membuat sebuah lingkaran dengan bersamaan membabat kepungan Sam soe. Cepat-cepat ketiga lawan itu melompat mundur. Boe Kie memasukkan Ie thiam kiam ke dalam sarung dan dengan sekali raih ia menangkap gagang To liong to.

Sungguh indah keempat gerakan melepaskan To liong to dan menghunus Ie thian kiam, memasukkan pedang ke dalam sarung dan menangkap gagang To liong to. Tempo kecepatannya bagaikan kilat dan gerakannya gemulai. Itulah gerakan-gerakan yang dikeluarkan dengan menggunakan Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh.

Sam soe Persia mengeluarkan seruan kaget. Tak kepalang heran mereka. Lweekang mereka kalah jauh dari Boe Kie. Karena mereka berteriak, tenaga bertahan mereka berkurang dan kelima Seng hwee leng berbalik kena dibetot Boe Kie bersama-sama To liong to. Buru-buru Sam soe mengempos semangat dan keadaan pulih seperti tadi, keempat orang saling bertahan dan saling membetot.

Dilain saat, sekali lagi Boe Kie merasa dadanya sakit seperti ditusuk jarum.

Tapi sekarang karena sudah bersiap-siap, To liong to tidak sampai terlepas. Sehelai hawa dingin telah menerobos masuk dari lapisan Kioe yang Sin kang yang melindungi seluruh tubuh Boe Kie dan menyerang isi perutnya. Boe Kie mengerti bahwa itulah tenaga dalam Sam soe yang menyerang dengan perantaraan Seng hwee leng. Pada umumnya manakala dingin menyerang panas, belum tentu dingin mendapatkan kemenangan, tapi dalam hal ini Kioe yang Sin kang melindungi seluruh tubuh sedang hawa dingin itu berkumpul menjadi satu dalam bentuk sehelai benang tipis itu dan menikam bagaikan tikaman pisau. Itulah sebabnya mengapa biarpun hebat, garis pertahanan Kioe yang dapat diterobos juga.

Serangan itu sebenarnya dilakukan oleh Hwie goat soe dan Lweekang yang digunakan Tauw koet ciam (jarum yang bisa menembus tulang). Ia kaget dan heran karena Boe Kie dapat mempertahankan diri terhadap serangan Lweekang Tauw koet ciam, ia ingin sekali merampas Ie thian kiam tapi tak bisa berbuat begitu sebab kedua tangannya memegang Seng hwee leng. Biauw hong soe pun ingin merebut pedang mustika itu dan tangan kirinya kosong, tapi karena tenaganya sudah dikumpulkan di tangan kanan maka tangan kiri itu tidak bertenaga lagi.

Boe Kie mengerti bahwa dengan terus bertahan seperti itu dan setiap saat diserang dengan hawa dingin pada akhirnya ia akan roboh. Tapi ia tidak berdaya untuk menolong dirinya.

Sementara itu ia mendengar suara nafas Cia Soen yang mendekati selangkah demi selangkah. Ia tahu bahwa sang Gie hoe mau memberi bantuan.

Memang benar Kim mo Say ong telah mengambil keputusan untuk membantu “si pemuda Kie keng pang”. Selagi keempat orang itu mengadu Lweekang, kalau ia memukul musuh seperti juga memukul Boe Kie. Maka itu ia terus ragu dan belum berani turun tangan.

Boe Kie jadi bingung, “Yang paling penting Gie hoe harus menyingkir,” pikirnya, “Tapi kalau ia tahu bahwa aku adalah Boe Kie, ia tidak mau menyingkir.” Berpikir demikian, ia lantas saja berteriak, “Cia Tay hiap, walaupun Sam soe berkepandaian tinggi, kalau mau aku bisa meloloskan diri dengan gampang sekali. Cia Tay hiap, kau menyingkirlah untuk sementara waktu. Aku akan segera mengembalikan golok mustikamu.”

Sam soe terkesiap, menurut kebiasaan orang yang sedang mengadu Lweekang tidak boleh bicara, begitu ia berbicara tenaga dalamnya buyar. Tapi Boe Kie bisa berbicara sambil bertahan terus.

“Siapa nama she Siauw hiap yang mulia?” tanya Cia Soen.

Untuk sejenak Boe Kie ragu, tapi ia segera mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan diri. Apabila ia menyebut namanya yang asli, ayah angkatnya pasti akan mengadu jiwa dengan ketiga orang Persia itu. Berpikir begitu, ia lantas menjawab, “Aku yang rendah she Can bernama A Goe. Mengapa Cia Tay hiap tidak mau segera pergi? Apa Cia Tay hiap tidak percaya aku dan takut aku telan golok mustika ini?”

Cia Soen tertawa terbahak-bahak. “Siauw hiap, kau tak usah menggunakan kata-kata itu untuk mengusir aku,” katanya dengan suara terharu. “Kutahu kau dan aku mempunyai nyali yang sama. Cia Soen merasa bersyukur bahwa dalam usia tua ia bisa bertemu dengan seorang sahabat seperti kau. Can Siauw hiap, aku ingin menghantam perempuan itu dengan Cit siang koen. Begitu aku memukul, kau lepaskan To liong to.”

Boe Kie tahu kehebatan Cit siang koen, dengan mengorbankan golok mustika ternama itu memang dengan sekali tinju ia bisa membinasakan Hwie goat soe. Tapi kejadian itu berarti bahwa Beng-kauw Tiong goan akan bermusuhan dengan beng-kauw pusat. Kalau kini ia menyetujui dibunuhnya seorang utusan pusat, bukankah perbuatannya tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang Kauwcoe? Mengingat itu, buru-buru ia mencegah. “Tahan!” Ia menengok kepada Lioe in soe dan berkata pula, “Mari kita berhenti untuk sementara waktu, aku mau berbicara dengan Sam wie.”

Lioe in soe mengangguk.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar