Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 80
Melihat keadaan Boe Kie, To
Siauw, Hoan Yauw, Wie It Siauw, Hwee Poet Tek, Jie Lian Cioe, In Lie Hong dan
yang lain2 kaget tak kepalang. Mereka adalah orang2 yg memiliki “gie khie”
(rasa persahabatan) yang sangat tinggi. Untuk menolong Boe Kie mereka rela
mengorbankan jiwa. Tapi mereka tahu, bahwa lweekang mereka kalah jauh dari
orang2 yg sedang bertanding itu. Kalau mereka menyerang, dengan mudah ketiga
pendeta itu menyerang, dengan mudah ketiga pendeta itu bisa mengalihkan tenaga
serangan ketubuh Boe Kie, sehingga sebaliknya dari membantu mereka berbalik
menekan pemuda itu.
Tong Boen Lian, Cong Wie Hiap
dan Siang Keng Cie dari Khong tong Ngoolo yang pernah ditolong Boe Kie juga
turut bingung.
Sekonyong2 diantara kesunyian
yang penuh ketegangan, terdengar seruan Kong tie, “Son-wie Susiok, Thio
Kauwcoe, pernah melepas budi kepada partai kita. Melukai dia adalah poet-gie
melupakan persahabatan. Mohon Sam-wie Susiok menaruh belas kasihan.”
Mendengar seruan itu, orang2
Beng Kauw merasa sangat berterima kasih. Pada hakekatnya seruan kong tie tidak
berguna dan tidak perlu karena kedua belah pihak tidak bisa menangkapnya dan
karena kedua belah pihat memang berniat saling mencelakai. Tapi dalam aduan
tenaga itu, mereka seolah2 menunggang harimau dan suka untuk turun lagi.
Tiba2 Wie It Siauw melompat
dan tahu2 ia sudah berhadapan dengan Cioe Cie Jiak. Tapi dalam jarak setombak
ia berdiri terpaku. Jari2 tangan Cie Jiak sudah hampir menyentuh balok kepala
Cia Soen, sehingga kalau ia bergerak, jari2 tangan itu tentu akan menobloskan
batok kepala. Dan apabila Cia Soen binasa, Boe Kie juga akan menemui ajalnya.
Pada detik itu, seluruh
lapangan sunyi senyap bagaikan kuburan dan semua manusia seperti juga patung
batu.
Tiba2 kesunyian dipecahkan
oleh suara tertawanya Cioe Tan yang sambil tertawa berjalan mendekati
gelanggang pertandingan.
Yo Siauw terkejut. “Cioe-heng,
jangan sembrono!” teriaknya. Tapi si sembrono tidak meladeni dan berjalan
terus.
“Sam-wie Taysoe,” katanya
seraya tertawa ha ha hi hi sesudah berhadapan dengan ketiga pendeta itu. “Apa
kau sudah makan daging anjing?” Ia merogoh saku, mengeluarkan sepotong lutut
anjing yang memang sudah dimasak dan menggoyang2kannya didepan muka Touw Ok,
Cioe Tian adalah seorang yang sangat doyan arak dan daging. Selama berdiam
beberapa lama di Siauw Lim, ia terpaksa makan makanan cia cay (tidak berjiwa).
Kemarin diam2 ia menangkap seekor anjing dan memasak dagingnya. Sepotong lutut
anjing yang tidak habis, masih disimpan dalam sakunya. Karena terpaksa ia
sekarang menggunakan lutut anjing untuk memecahkan pemusatan semangat tiga
pendeta itu. Kalau pendeta itu bergusar, Boe Kie akan mendapat kemenangan.
Melihat begitu Yo Siauw dan kawan2nya jadi girang sekali.
Tapi ketiga tetua Siauw Lim
itu tidak menggubris.
Cioe Tian segera memasukkan
lutut itu kedalam mulutnya. “Aduh wangi betul!” katanya. “Samwie Touwee shio
apa kalian tidak mau turut mencoba?” Ia mencabut lutut itu dari mulutnya dan
lalu menyodorkannya kemulut Touw Ok.
Beberapa orang lantas
berteriak2, “Hei! Gila! Mundur kau…!”
Tapi baru saja lutut anjing
menyentuh bibir Tauw Ok, lengan Cioe Tian, begemetar separuh tubuhnya kesemutan
dan makanan itu jatuh ke tanah. Ternyata seluruh badan Touw Ok diliputi
lweekang yg bisa memukul balik setiap tenaga yang dtg dari luar.
“Aduh! Aduh! Sungguh hebat!”
teriak Cioe Tian, “Kalau kau tak mau makan daging anjing yah sudah saja! Perlu
apa kau melontarkannya sehingga menjadi kotor! Ganti! Hayo aku minta ganti!” Ia
berteriak2 sambil mementang2 tangan.
Tapi ketiga pendeta itu benar2
tinggi ilmunya. Mereka tetap tak dapat diganggu.
Mendadak si sembrono menghunus
golok pendek, “Hei! Kau dengarlah!” teriaknya. “Apabila kau tetap tak mau makan
daging anjing akan mengadu jiwa denganmu.” Seraya berkata begitu ia menggores
mukanya sendiri lantas saja mengucur darah.
Semua orang terkesiap tapi
ketiga pendeta itu seperti juga berada di dunia lain.
“Sudahlah,” teriak pula Cioe
Tian dengan suara parau “Toa hweeshio, jika kau tidak mau ganti daging anjingku
biarlah aku binasa dihadapanmu.” Ia mengangkat tangan dan mengacungkan golok di
ulu hatinya.
Itulah Cioe Tian! Seorang
gila2an yang berjiwa “tiong gie” (Setia kepada raja dan sahabat). Untuk
menolong Kauwcoenya, ia reala membunuh diri guna mengacaukan pemusatan pikiran
ketiga pendeta itu.
Pada detik terakhir satu
bayangan kuning, bayangan manusia yang menyambar bagaikan kilat berkelebat dan
merampas golok Cioe Tian. Sehabis menolong si sembrono tubuh orang itu melesat
lagi, mementang lima jari tangan kanan yang lalu ditancapkan kekepala Cie Jiak.
Dalam serangan itu ia menggunakan gerakan yang menyerupai gerakan Song Ceng
Soe, pada waktu pemuda itu membinasakan tetua kaypang. Waktu diserang jari2
tangan Cie Jiak hanya terpisah kira2 satu kaki dari batik kepala Cia Soen. Tapi
sebab serangan itu ia datang dengan kecepatan luar biasa, ia tidak keburu lagi
turun tangan jahat terhadap Cia Soen dna untuk menolong jiwa sendiri, ia
terpaksa lantas saja menangkis.
Kekuatan lweekang Boe Kie
tidak kalah dari ketiga lawannya. Ia hanya kalah dalam ilmu, “melupakan segala
apa”. Ia belum bisa menulikan kuping dan membutakan mata terhadap segala
sesuatu. Maka itu, ancaman Cie Jiak terhadap Cia Soen dan gangguan Cioe Tian
terhadap ketiga pendeta telah memecahkan pemusatan pikirannya. Ia sudah pusing
dan beberapa detik lagi ia akan muntah darah. Syukur beribu syukur pada saat
yang sangat berbahaya, bayangan kuning itu bukan lain daripada nona baju kuning
menolong Cioe Tian dan Cia Soen.
Begitu lekas hatinya mantap,
lweekang Boe Kie lantas saja bertambah, sehingga pertandingan sekali lagi jadi
berimbang. Bertambahnya lweekang Boe Kie tapi sesudah lweekangnya bertambah,
Boe Kie tidak balas menyerang dan hanya mempertahankan diri. Itulah kesempatan
yang paling baik untuk menyudahi keadaan, “menunggang harimau” dari kedua belah
pihak. Dengan perkataan lain, perubahan tenaga dalam itu merupakan kesempatan
untuk masing2 menarik pulang lweekang dan menghentikan pertandingan. Ketiga
pendeta itu yang perasaannya dapat dihubungkan satu sama lain tanpa bicara (secara
telepati) lantas saja menarik pulang sebagian tenaga2 mereka. Boe Kie girang
dan segera menarik pulang sebagian lweekangnya. Demikianlah, sebagian demi
sebagian kedua belah pihak memperkurang tenaga dalam mereka dan kira2 seminuman
teh, pertandingan sudah dapat dihentikan. Keempat jago itu tertawa terbahak2.
Boe Kie menyoja sampai kedua tangannya menyentuh bumi dan ketiga pendeta itu
membalas hormat dengan merangkap kedua tangan mereka.
Ketika itu si baju kuning
sudah bertempur hebat dengan Cioe Cie Jiak. Meskipun Cie Jiak menggunakan dua
senjata dan lawannya bertangan kosong, ia kelihatan keteter. Ilmu silat si baju
kuning menyerupai ilmunya Cie Jia. Perbedaannya hanya terletak pada cara
bergeraknya si baju kuning lurus bersih, sedang Cie Jiak “sesat bernada iblis”.
Kalau mau diperumpamakan, yang satu bagaikan dewi, yang lain bagaikan memedi.
Dengan sekali lirik saja Boe Kie sudah tahu bahwa si baju kuning lebih unggul
dan ayah angkatanya berada dalam keselamatan. Dalam pertempuran itu, si baju
kuning tidak lantas turunkan pukulan yang memutuskan dan ia seoalh2 mau
mengunjuk kepada lawannya, bahwa kepandaian lawan itu masih terlalu cetek.
Kalau mau, dalam beberapa gebrakan saja, ia sudah bisa merobohkan Cie Jiak.
“Thio Kauwcoe,” kata Touw Ok.
“Meskipun kau tidak bisa mengkan kami bertiga, kami juga tidak bisa menangkan
kau. Cia Kiesoe sekarang kau boleh pergi kemana suka!” sehabis berkata begitu,
ia membuka jalan darah Cia Soen yang tertotok. “Cia Kie Soe,” katanya pula.
“Letakkanlah golokmu dan jadilah manusia yang baik. Pintu agama Budha terbuka
lebar. Didalam dunia tidak ada manusia yang tidak bisa disebrangkan. Banyak
hari kau dan aku berdiam bersama2 dipuncak bukit ini. Hal ini juga merupakan
suatu jodoh.”
Cia Soen bangun berdiri, “Sang
Budha welas asih,” katanya. “Cia Soen sangat berterima kasih kepada sam wie
taysoe yang sudah memberi petunjuk kejalan terang.”
Sekonyong2 terdengar bentakan
nyaring dan tahu2 si baju kuning sudah merampas cambuk Cie Jiak. Sesudah itu ia
menyikut dada lawan yang lanta saja tidak bisa bergerak lagi. Sambil mementang
jari tangan kanannya diatas kepala Cie Jiak ia membentak, “Aoakah kau ingin
rasakan enaknya Kioe Im Pek Koet Jiauw?”
Cie Jiak meram dan menunggu
kebinasaan.
Biarpun kedua matanya buta,
Cia Soen tahu apa yang telah terjadi. Ia maju beberapa tindak dan berkata
sambil menyoja, “Nona sudah menolong jiwa kami ayah dan anak dan kami merasa
berhutang budi. Apabila Cioe Kouw nio tidak mendusin dan terus melakukan
perbuatan2 yg tidak pantas, ia tentu akan mendapat pembalasan yang setimpal.
Tapi sekarang aku mohon nona suka mengampuninya.”
“Kim mo Say ong bisa berubah
cepat sekali,” kata si baju kuning sambil melompat mundur.
Boe Kie menghampiri dan
mencekal tangan ayah angkatnya. Baru saja ia mengajak orang tua itu berlalu,
mendadak Cia Soen berkata, “Tahan dulu!” Sehabis berkata begitu ia menudin
salah soerang pendeta tua dari rombongan Siauw Lim Pay, “Hoek Goen pek lek
chioe Seng Koen, keluar kau!” bentaknya. “Biarlah dihadapan enghiong kita
membuat satu perhitungan!”
Semua orang terkejut dan
menengok kearah yang di tuding Cia Soen. Pendeta itu yang mukanya jelek dan
bongkok punggungnya menggenakan jubah compang camping dan sedikitpun tidak
menyerupai Seng Koen. Baru saja Boe Kie mau memberitahukan hal itu kepada ayah
angkatnya, Cia Soen sudah berkata: “Seng Koen, kau bisa mengubah muka, tapi kau
tak bisa mengubah suara. Begitu mendengar batukmu, aku lantas tahu kau siapa?”
Si tua menyeringai, “Manusia
buta, kau jangan bicara sembarangan!” katanya.
Begitu mendengar suaranya, Boe
Kie lantas saja mengenali bahwa dia itu memang benar Seng Koen. Waktu berada
didalam karung diatas Kong Beng Teng, ia pernah mendengar pembicaraan manusia
jahat itu. Ia lantas saja melompat dan mencegat jalan mundur musuh besar itu,
“Goan tin Tay soe, Seng Koen Cianpwee,” katanya. “Seorang laki2 harus berani
berterus terang. Mengapa kau menyembunyikan mukamu dri orang banyak?”
Dengan menyamar, banyak tahun
Seng Koen bersembunyi di Siauw Lim Sie. Banyak tahun ia mengatur siasat dan
mengumpulkan kaki tangan untuk merebut kekuasaan. Menurut rencananya, hari ini
ia akan mengadu domba para orang gagah, mencari tahu dimana adanya To Liong To,
membinasakan Cia Soen dan akhirnya merampas kedudukan Hong thio Siauw Lim Sie,
sesudah membunuh Kong beon dan Kong tie Seng ceng. Tapi diluar semua
perhitungannya, muncullah si baju kuning. Waktu nona she Yo itu merobohkan Cie
Jiak, hatinya mencelos dan tanpa merasa, ia batuk2 sewajarnya. Apa mau suara
batuk itu didengar dan dikenali Cia Soen.
Melihat Cia Soen memotong
jalanan mundurnya, ia tahu semua rencananya telah hancur. “Para pendeta Siauw
Lim dengarlah!” teriaknya. “Mo Kauw mengacau tempat yang suci ini dan menghina
partai kita. Hajar mereka! Bunuh mereka!” Kaki tangan Seng Koen lantas saja
menghunus senjata dan bergerak untuk menyerang.
Selama beberapa hari Kong tie
menahan sabar dan berduka sangat, sambil memikiri keselamatan suhengnya yang
sudah jatuh kedalam tangan kaum pemberontak. Sekarang begitu mendengar perintah
Seng Koen ia tahu, bahwa banyak orang akan mengorbankan jiwa. Ia menganggap,
bahwa keselamatan Kong Boen seorang adalah soal kecil, jika dibandingkan dengan
keselamatan ribuan manusia. Maka itu ia lantas saja berteriak, “Tahan! Murid2
Siauw lim tidak boleh bergerak. Dengarlah! Kong boen Hong thio sudah jatuh
kedalam tangan pengkhianat Coan tin. Bekuk dia! Sesudah itu barulah kita
menolong Hong Thio.”
Dalam sekejap keadaan berubah
kalut.
Kaki tangan Seng Koen ciut
nyalinya.
Diantara kekalutan, Boe Kie
lihat Cie Jiak tetap berduduk di tanah sambil menundukkan kepala. Ia merasa tak
tega dan lalu menghampiri, akan kemudian coba membangunkannya. Tapi Cie Jiak
mengibaskan tangannya dan buru2 kembali ke rombongan Go bie pay.
Sementar itu Cia Soen sudah
bicara dengan nyaring, “Segala kejadian yang terjadi di hari ini adalah gara2
Seng Koen dan aku. Segala urusan, segala hutang piutang haruslah dibereskan
oleh kami berdua, suhu, semua kepandaianku diberikan suhu, Seng Koen, seluruh
keluargaku dibinasakan olehmu. Kau adalah guruku dan musuhku. Hari ini kita
perhitungan.”
Melihat usahanya untuk menjadi
Hong thio Siauw Lim sie sudah gagal, didalam hati Seng Koen lantas saja muncul
lain tipu daya. “Cia Soen banyak dosanya, sehingga jita tidak bisa
mengalahkannya, aku bisa menumplek semua kedosaan diatas kepadalnya,” pikirnya.
“Semua kepandaiannya didapat dari aku dan kedua matanya buta. Mustahil aku
tidak bisa merobohkannya.” Memikir begitu ia segera membentak, “Cia Soen banyak
orang gagah binasa dalam tanganmu. Hari ini, bersama iblis2 Mo Kauw dan coba
mengacau tempat suci ini. Biar bagaimanapun juga aku berkewajiban membersihkan
rumah tangga itu sendiri dan menghukum murid durjana,” dengan tindakan lebar,
ia lalu menghampiri Cia Soen.
“Para enghiong, dengarlah
perkataanku!” teriak Cia Soen. “Ilmu silat Cia Soen memang didapat dari Seng
Koen. Tapi sebab maksudnya untuk memperkosa istriku tidak ada kesempatan, Seng
Koen sudah membunuh ayah, ibu, istri dan anakku. Sekarang aku mau tanya, apakah
pantas atau tidak pantas, jika aku mencari dia untuk membalas sakit hati?”
Pertanyaan itu disambut dengan
teriakan bergemuruh, “Pantas! Pantas!”
Diantara teriakan2 itu Seng
Koen, mengirim pukulan kekepala Cia Soen, Cia Soen mengengos dan “plak!”
pukulan itu jatuh dipundaknya. “Seng Koen,” katanya dahulu, waktu kau mengajar
pukulan Tiang Hong Keng thian (Bianglala membentang langit), kau menggunakan
Hoen Goan It khie kang untuk melukai musuh. Mengapa kau tidak mengerahkan
lweekang itu. Apakah lantaran kau sudah terlalu tua dan tidak bisa mengeluarkan
tenaga itu lagi?”
Memang Seng Koen tidak
mengeluarkan Hoan Goan It khie kang dan sebabnya begini, dia tahu Cia Soen
memiliki kepandaian tinggi, sehingga pukulan pertama itu lebih banyak pukulan
gertakan untuk menjajal2. Diluar dugaan Cia Soen tidak berkelit. Sebab ia tidak
menggunakan lweekang Cia Soen tidak terluka.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata Seng Koen mengirim pukulan kedua. Cia Soen hanya mengengos, ia masih belum
membalas. Begitu lekas tangannya memukul angin, Seng Koen mengirim tendangan
berantai yang mampir tepat dibawah iga.
Tendangan itu disertai tenaga
dalam yang hebat, sehingga tubuh Cia Soen bergoyan2 dan muntah darah.
“Gie Hoe, balaslah! Mengapa
Gie Hoe tidak mau membalas?” teriak Boe Kie.
Cia Soen tertawa getir, “Dia
guruku,” jawabnya. “Sebagai murid aku pantas menerima satu pukulan dan dua
tendangan.” Tiba2 ia mengirim pukulan geledek.
Mereka lantas saja bertempur
mati2an. Cia Soen tidak bisa melihat, tapi bertempur melawan Seng Koen, ia tak
usah menggunakan matanya. Sebagai murid ia paham semua ilmu silat gurunya.
Sesudah pukulan ini, ia tahu persis pukulan apa yang bakal menyusul. Perbedaan
diantara mereka banyak terletak di tenaga dalam. Cia Soen lebih muda belasan
tahun sehingga dalam tenaga ia lebih kuat dan lebih ulet. Diamping itu ia
pernah melatih diri di pulau Peng hwee to yang sangat dingin. Latihan dihawa
yang dingin itu banyak manfaatnya. Maka itulah, sesudah bertanding kira2
seratus jurus, ia belum jatuh dibawah angin.
Sesudah pertempuran mencapai
dua ratus jurus lebih, sekonyong2 Cia Soen berteriak keras dan mengirim
tinjunya.
“Cia siong koen!” seru Siang
Cie, tetua Khong tong pay.
Melihat pukulan2 Cia Soen,
semua tetua Khong tong pay kaget tercampur heran. Cit siang dicuri dari Khong
tong pay. Tapi sekarang pukulan2 yang dikeluarkan Cia Soen banyak lebih dahsyat
dari apa yang dapat dikeluarkan oleh para tetua Kong Thong pay sendiri. Begitu
lekas Cia Soen menggunakan Cit siang koen, Seng Koen mundur berulang2 sehingga
saban2 terdengar sorak sorai gegap gempita. Permusuhan antara guru dan murid
itu dan perbuatan Seng Koen banyak diketahui orang. Maka itu biarpun Cia Soen
banyak dosa nya dan sering membunuh orang simpati para hadirin masih tetap
diberikan kepada dirinya dan semua mengharap ia bisa mendapat kemenangan.
Sedang orang lain bergirang,
Boe Koe kaget dan berkuatir. “Celaka,” ia mengeluh. “Seng Koen menggunakan
Siauw Lim Kioe yang kang yang didapatinya sesudah berguru dengan Kong kian Seng
ceng. Gie Hoe belum mengenal ilmu itu.”
Dalam melatih Cit Siang koen
tergesa2 Cia Soen memang sudah mendapat luka didalam. Hal ini diketahui oleh
Seng Koen. Ia berlagak keteter dengan saban2 mengeluarkan Siauw Liom Kioe yang
kang. Acap kali Cia Soen memukul, ia segera menangkis.
Dengan Kioe yang kang, ia
memunahkan tujuh bagian tenaga pukulan itu dan memulangkan yang tiga bagian
ketubuh Cia Soen. Demikianlah, diluar Cia Soen kelihatannya berada diatas
angin, tapi sebenarnya makin lama lukanya jadi makin hebat.
Bukan main bingungnya Boe Kie.
Kesempatan membalas sakit hati sudah dicari2 ayah angkatnya selama puluhan
tahun. Tapi sekarang sesudah mendapat kesempatan itu, sang Giehoe berbalik
menghadapi maut. Ia tahu bahwa dalam puluhan gebrakan lagi, sang ayah angkat
akan muntah darah dan binasa.
“Goan tin,” kata Kong tie
denga suara dingin. “Apakah suhengku mengajar Kioe yang kang kepadamu supaya
kau menggunakannya untuk mencelakai manusia?”
Seng Koen tertawa dingin. “In
soe binasa dibawah pukulan Cit sing koen,” jawabnya. “Hari ini aku akan
membalas sakit hati In soe!”
“Binatang Seng Koen!” mendadak
Tio Beng berteriak. “Kioe yang kang Kong kian Seng ceng banyak lebih kuat dari
yang dimiliki oleh mu. Mengapa dia tidak bisa tertahan terhadap cit siang koen?
Kong kian Tay soe sudah dicelakai olehmu. Kaulah yang menipu ia membujuk supaya
ia suka mendamaikan permusuhanmu dengan Cia Tayhiap. Kau sudah menipu ia,
supaya ia suka menerima pukulan2 tanpa lantas. Huh huh… Lihat! Lihat! Siapa
yang berdiri dibelakangmu dengan muka berlumuran darah. Kong kian Seng ceng! Ya
memang Kong kian Seng ceng yg berdiri dibelakangmu.”
Seng Koen tahu bahwa Tio Beng
berdusta. Tapi sebab ia memang berdosa, perkataan2 itu sudah membangunkan bulu
romanya. Tiba2 pukulan menyambar ia menangkis dan membalas. Tubuhnya bergoyang
dan sekali ini ia tidak mundur. Ternyata dalam rasa seramnya karena mendengar
perkataan nona Tio, ia tidak bisa menggunakan Siauw Lim Kioe yang kang. Ia
merasa darah didadanya bergolak2 buru2 ia menggunakan taktik berlari2 diseputar
Cia Soen sambil menentramkan jalannya pernapasannya.
“Kong kian sengceng, jangan
lepaskan dia,” teriak pula nona Tio. “Tiup belakang lehernya. Benar! Kau mati
ditagnan murid, dia juga harus mampus ditangan muridnya. Ini hal yang dinamakan
membayar hutang. Langit ada matanya.”
Jantung Seng Koen berdenyut
lebih keras. Tiba2 ia merasa lehernya ditiup angin. Dipuncak itu memang banyak
angin tapi bagi Seng Koen usapan angin itu menyeramkan hatinya.
Melihat perubahan pada sikap
Seng Koen, Tio Beng lantas saja berteriak, “Ha,ha…! Seng Koen, coba kau
menengok dan liaht siapa dibelakangmu! Kau tidak berani? Lihatlah bayangan
hitam diatas bumi. Mengapa diatas bumi terdapat tiga bayangan manusia sedang
yang berkelahi hanya dua orang.”
Mendadak tinju Cia Soen
menyambar. Seng Koen tidak keburu mengerahkan Kioe yankang ia menangkis dengan
lweekang biasa. Begitu kedua tangan kebentrok, tubuh ketua lawan bergoyang2 dan
masing2 terhuyung beberapa tindak. Sekarang Seng Koen baru mendapat lihat
bahwa, “bayangan manusia” yang ketiga sebenarnya bayangan batang pohon siong
yang patah.
Melihat lihainya si murid,
makin lama Seng Koen jadi makin bingung. Menurut pendapatnya jika ia mau
meloloskan diri, jalan satu2nya ialah menjatuhkan Cia Soen. Tiba2 bayangan
batang pohon memberi ilham kepadanya. Dengan tindakan tidak bersuara, ia mundur
dua tindak ke arah batang pohon itu. Cia Soen merangsek, dia mundur lagi. Ia
ingin memancing lawan ke pohon itu.
“Giehoe, hati2 dibawah kaki!”
teriak Boe Kie.
Cia Soen terkejut buru2 ia
melompat kesamping. Tapi karena keterlambatan itu Seng Koen, mendapat kesempatan
baik. Ia segera mengirim pukulan yang tak bersuara kedada dan begitu lekas
telapak tangannya menyentuh dada, ia mengeluarkan lweekang yang sehebat2nya
hingga tanpa ampun lagi Cia Soen robih terjengkang!
Dengan girang Seng Koen
melompat dan menendang kepala muridnya. Pada detik terakhir Cia Soen
menggulingkan diri dan kemudian melompat bangun. Mulutnya mengeluarkan darah
dan mukanya menakutkan. Sambil berdiri tegak perlahan2 Seng Koen mengirim
pukulannya. Sebagaimana diketahui, Cia Soen menangkis setiap pukulan dengan
menggunakan kupingnya, dengan mendengari sambaran angin dari pukulan musuh.
Serangan Seng Koen mengirim pukulan yang tak bersuara dan ia tak berdaya.
Sekali lagi ia kena dipukul pundaknya. Ia menghadapi bencana. Banyak berteriak
terian mencaci. Seng Koen yang licik, tapi manusia itu tidak meladeni.
Pakaian Boe Kie basah dengan
keringat. Ia mencekal tangan Tio Beng dan berkata dengan suara gemetar. “Beng
moay, tolong lekas jalan apa?”
“Asal kau setuju menggunakan
senjata rahasia untuk membutakan kedua mata manusia itu?” tanya nona Tio.
Boe Kie menggelengkan kepala.
“Biarpun mesti mati, Giehoe pasti tak suak aku melakukan perbuatan itu,”
jawabnya.
Sementara itu, perlahan2 cuaca
berubah gelap.
Tiba2 terdengar teriakan,
“Thian kauw makan matahari. Thian kauw makan matahari.”
Boe Kie menengadah. Ia lihat
matahari sompelak separoh. Itulah gerhana matahari. Keadaan berubah kalut
sebagian orang mendongak keatas, sebagian terus menonton pertempuran dan
sebagian pula berlutut kearah matahari sambil manggut2 kepala.
“Bangsat! Seng Koen!” caci Tio
Beng. “Kau terlalu jahat, sehingga Lou hian ya (langit) esndiri tidak bisa
mengampuni kau lagi. Lihatlah! Langit mengunjuk keangkerannya untuk menumpas
kau. Hari ini kau harus mampus, rohmu akan dilemparkan kegunung golok dan
digodok dalam kuali minyak mendidih dan sepanjang masa kau tidak akan bisa
dilahirkan lagi didalam dunia!”
Melihat perubahan dilangint
itu dan makin lama cuaca makin gelap Seng Koen yang memang sudah goncang
hatinya jadi ketakutan. Ia menyerang mati2an dengan maksud mencari lowongan
untuk kabur kebawah gunung. Tapi Cia Soen yang bertekad untuk membalas sakit
hatinya, tidak memperdulikan apapun juga dan terus mendesak sehebat2nya,
sehingga ia tak mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.
Sekonyong2 terdengar
berkokoknya ayam jago dibukit dan beberapa saat kemudian, seluruh permukaan
matahari sudah ditutup oleh bayangan rembulan. Keadaan berubah jadi gelap
gulita. Ditempat jauh terdengar geram pekik dan jeritan macam2 binatang buas,
di campur dengan menyalaknya kawanan anjing. Keadaan benar2 menyeramkan. Orang2
yang berada disitu adalah jago2 rimba persilatan, tapi tak urung bulu roma
mereka bangun semua. Gerhana matahari sekali ini memang luar biasa, langit
gelap gulita seperti malam.
Dengan adanya perubahan alam
ini Seng Koen yang matanya terang jadi gelap seperti buta. Dengan hati keder ia
menggunakan siasat mundur, tapi Cia Soen tidka memberi hati kepadanya. Beberapa
saat kemudian ia berteriak “Aduh!”, sebab dadanya kena pukulan Cit siang koen
yang hebat. Tapi memang dia bukan manusia bodoh. Sesudah kena pukulan hebat, ia
mundur dengan mengubah cara berkelahi. Ia sekarang mengugnakan Siauw kin
hanchioe yaitu ilmu mencengkram, memiting, membanting dan sebagainya dalam
perkelahian rapat. Dengan ilmu itu ia tak perlu menggunakan mata.
Sambil menggeram Cia Soen pun
melawan ilmu yang serupa. Dalam kegelapan para hadirin hanya mendengar suara
bentrokan2 tanyan nyaring dahsyat.
Boe Kie mendengari dengan hati
berdebar2. ia tidak bisa membantu dan juga tidak bisa melihat jalan
perkelahian.
Dengan mendengar teriakan
“Thian kauw makan matahari” Cia Soen tahu apa yang sudah terjadi. Ia sendiri
sudah buta selama dua puluh tahun lebih. Ia sudah biasa dengan kebutaan itu dan
kupingnya sedikit banyak sudah bisa menggantikan peranan mata. Dilain pihak,
Seng Koen tidak pernah bertempur dengna kegelapan total, dalam keadaan diaman
kedua matanya tidak bisa digunakan. Cia Soen tahu bahwa selama kegelapan total
ia memang diatas angin.
Ia tidak boleh membuang wkatu
dan ia segera menyerang denga sehebatnya, dengan seantero kepandaian dan
tenaganya. Waktu Seng Koen menyerang dengan Siauw na-chioe iapun segera
menggunakan ilmu tersebut.
Sesudah beberapa gebrakan,
mendadak, mendadak Cia Soen mementangkan kedua tangannya dan mencoba mengacip
iga musuhnya. Seng Koen girang “Kena!” ia berteriak sambil menusuk kedua mata
Cia Soen denga dua jari tangannya.
Itulah pukulan Siang Liong
Chioe Coe.
Pukulan ini tidak luar biasa,
tapi kalai digunakan dalam Siauw kin na chioe, bahayanya sangat besar. Jika
musuh mengegos, si penyerang bisa mengirim pukulan susulan dengan tangan
kirinya dan kedua pukulan itu pasti akan menghantam kepala. (Siang liong Chioe
coe Sepasang naga berebut mutiara).
Tapi diluar dugaan Ciao Soen
tidak berkelit. Ia pun membentak “Kena!” dan menusuk mata Seng Koen dengan
pukulan Siang liong chioe coe juga. Pada detik kedua jarinya amblas dimata Cia
Soen, hati Seng Koen mencelos karena tanpa tercegah lagi, kedua matanya pun
kena tusukan jari.
Ketika itu matahari mulai
mengintip dan diantara cuaca remang2, pada hadirin bisa melihat kedua lawan itu
sekarang berdiri seperti patung dengan mata mengucurkan darah. Seng Koen sudha
jadi orang buta, sedang Cia Soen yang memang sudah buta, hanya mendapat luka
biasa.
“Enak jadi orang buta?” tanya
Cia Soen dengan suara dingin dan hampir berbareng, ia menghantam dengan
tinjunya. Pukulan Cit siang koen kena tepat di dada Seng Koen. Dengan tinju
kiri ia mengirim tonjokkan kedua. Seng Koen terhuyung, tubuhnya membentur
batang siong dna mulutnya memuntahkan darah.
“Segala apa ada pembalasannya!
Siancai! Siancai!” seru Touw Ok.
Cia Soen terkejut. Tinjunya
yang sudah terangkat diturunkan lagi, “Sebenarnya aku ingin menghadiahkan kau
dengan tiga belas pukulan Cit Siang Koen,” katanya. “Tapi sebab sekarang kau
sudah musnah dan kau sudah menjadi orang bercacat, maka aku tak bisa turunkan
sebelas pukulan lagi.”
Melihat Cia Soen mendapat
kemenangan para hadirin bersorak sorai.
Mendadak Cia Soen bersila
ditanah dan tulang2nya mengeluarkan suara peratak perotok.
Boe Kie terkesiap. Ia tahu
ayah angkatnya sedang membalik aliran hawanya untuk memusatkan (Red:
‘memusnahkan’ mungkin harusnya?) kepandaiannya sendiri.
“Gie hoe, jangan!” teriaknya.
Ia memburu tapi baru saja ia menempelkan telapak tangannya dipunggun sang ayah
angkat untuk mengirim Kioe yang cin khie, Cia Soen sudah melompat bangun dan
memukul dadanya sendiri, sehingga ia lantas saja muntah darah. Buru2 Boe Kie
mencekal tangan orang tua itu. Dengan hati mencelos, ia mendapat kenyataan,
bahwa sang Gie hoe tidak bertenaga lagi. Semua ilmu silatnya sudah musnah dan
sukar dipulihkan lagi.
“Seng Koen,” kata Cia Soen.
“Kau sudah membinasakan semua keluargaku. Hari ini aku membalas sakit hati
dengan membutakan kedua matamu dan membinasakan ilmu silat suhu, ilmu silatku
diberikan olehmu. Hari ini aku memusnahkannya dan memulangkannya kepadamu.
Mulai saat ini, antara kita berdua sudah tidak ada sangkutan lagi. Semua budi
dan semua sakit hati sudah dibayar lunas. Kau selamanya tak akan bisa melihat
aku, sedang akupun tak akan bisa melihat mukamu lagi.”
Seng Koen menutup mata dengan
kedua tangan dan tidak mengeluarkan sepatah kata.
Para orang gagah saling
mengawasi. Mereka tak nyana, bahwa permusuhan antara guru dan murid itu akan
berakhir secara begitu.
Sementar itu Cia Soen sudah
bicara dengan suara nyaring! “Aku Cia Soen berdosa besar dan aku sama sekali
tidak duga, bahwa aku bisa hidup sampai hari ini. Sekarang, jika diantara para
enghiong ada yang sanak keluarganya dibinasakan olehku, maka ia boleh lantas
saja maju untuk ambil jiwaku. Boe Kie, kau jangan merintangi dan juga tidak
boleh membalas sakit hati, supaya kau tidak menambah kedosaanku.”
Dengan air mata berlinang, si
anak mengangguk.
Untuk beberapa saat seluruh
lapangan sunyi senyap. Sesudah melihat apa yang terjadi, banyak orang yang
menganggap, bahwa turun tangan terhadap Cia Soen diwaktu itu bukan perbuatan
seorang ksatria.
Tiba2 seorang pria maju dan
berkata: “Cia Soen, ayahku, itu Cie Tin Cin Lam Khoe Loo Hiong binasa dalam
tanganmu. Aku ingin membalas sakit hatinya.”
“Benar, Koe Heng boleh lantas
turun tangan,” jawabnya.
Orang she Khoe itu segera
menghunus golok.
Bukan main bingungnya Boe Kie.
Ia serba salah. Tubuhnya gemetaran dan tanpa merasa ia maju beberapa tindak.
“Anak Boe Kie!” bentak sang
Gie Hoe, “Kalau kau merintangi, artinya kau anak tidak berbakti. Sesudah aku
mati, kau boleh periksa penjara diddalam tanah dan kau akan tahu segala apa.”
Orang she Khoe itu mengangkat
goloknya sampai dibatas dada. Tiba2 air matanya mengucur. Ia meludahi muka Cia
Soen dan berkata dengan suara parau, “Diwaktu hidup, Sian hoe (mendiang ayah)
seorang gagah. Jika tokhnya angker, ia tentu tidak setuju jika aku membinasakan
seorang buta yang tidak bisa melawan lagi…” Goloknya jatuh dan sambil menekap
muka dengan kedua tangannya, ia lari balik ke orang banyak.
Seorang wanita setengah tua
maju dan berkata: “Cia Soen, aku ingin membalas sakit hati kakakku. Im Yang Pan
Koan Cin Peng Hoei.” Ia mendekati, meludahi dan berlalu sambil menangis.
Melihat ayah angkatnya
dihinakan tanpa bergerak, hati Boe Kie seperti disayat pisau.
Dalam Rimba Persilatan hidup
atau mati di pedang kecil. Yang dianggap sebagai urusan besar ialah hinaan.
Kata orang.
“Orang gagah boleh dibunuh, tak
boleh dihina.” Meludahi muka adalah salah satu hinaan terhebat, tapi Cia Soen
menelannya dengan segala kerelaan. Ini merupakan bukti, bahwa ia sungguh2
merasa menyesal akan perbuatannya yang dulu2.
Demikianlah seorang demi
seorang maju menghampiri untuk membalas sakit hati sanak keluarganya. Ada yang
meludahi, ada yang menggelepok, ada pula yang mencaci. Cia soen menerima itu
semua dengan kepala menunduk dan mulut membungkam.
Sesudah tigapuluh orang lebih
melampiaskan ganjelannya, majulah seorang imam yang jenggotnya panjang. “Pinto
membuktikan bahwa Cia thay sebenarnya seorang mulia. Pintu sendiri pernah
membinasakan banyak orang baik, orang2 jalanan putih maupun orang2 jalanan
hitam. Apabila Pinto membalas sakit hati terhadap Cia thay hiap, lain2 orang
juga tentu akan mencari pinto untuk membalas dendam sakit hati mereka.” Sesudah
berkata begitu, ia menghunus pedang, mementil badan pedang yang lantas patah
dua dan melemparkan gagang senjata itu ditanah. Sesudah memberi hormat dengan
membungkuk, ia berlalu sambil menundukkan kepala.
Para hadirin lantas saja
mengutarakan pendapat mereka dengan bisik2. nama Thay hie coe tidak banyak
kenal orang. Tak dinyana, ia mempunyai kepandaian tinggi. Apa yang sangat
mempengaruhi orang adalah sikapnya dan dada yang lapang. Sesudah mendengar
teguran Thayhie coe, rasanya tak ada orang lagi yang menghina Cia Soen.
Tapi diluar dugaan, dari
rombongan Co bie pay keluarlah seorang pendeta tua. Ia menghampiri Cia Soen dan
berkata, “Kau sudah membunuh suamiku, tapi cukuplah jika aku meludahi mukamu,”
ia lantas saja menyemburkan ludahnya kemuka Cia Soen. Orang yang berkuping
tajam lantas bisa mendengar bahwa dalam semburan ludah itu mengandung sesuatu.
Cia Soen bahwa sebatang paku sedang menyambar. Ia tidak berkilat dan hanya
berkata didalam hati, “ Kalau aku mati sekarang, aku mati agak terlambat.”
Pada saat yang sangat penting
mendadak tubuh si baju kuning melesat dan tangan bajunya menggulung senjata
rahasia itu. “Soe thay siapa namanu!” bentaknya.
Niekouw it terkesiap, “Aku
Ceng ciauw” jawabnya.
“Hm.. Ceng Ciauw.. Ceng Ciauw!
Sebelum kau menjadi pendeta siapa suamimu? Cara bagaimana Cia Thayhiap
membinasakan dia?”
“Perlu apa kau bertanya begitu
melit?”
“Cia Thayhiap menyesal akan
perbuatannya yang dulu2. Kalau yang maju adalah orang yg benar2 mau membalas
sakit hati ayah atau sanak lain biarpun di cincang, Cia Thayhiap akan menerima
dengan rela dan orang luar tidak boleh mencampuri. Tapi mana kala yang turun
tangan merupakan manusia yang mau memancing ikan di air keruh yang mau membunuh
untuk mulut orang, maka siapapun juga, boleh mencampuri.”
“Dengan Cia Thayhiap aku tak
punya permusuhan. Perlu apa aku membunuh orang untuk menutup…” Ceng Ciauw tidak
meneruskan perkataan! Ia tahu bahwa dalam kaget dan takutnya, ia sudah
kesalahan omong. Paras mukanya pucat pasi dan ia melirik Cioe Cie Jiak.
“Benar!” kata si baju kuning.
“Dengan Cia tayhiap kau tidak mempunyai permusuhan apa kau membunuh orang untuk
menutup mulutnya? Hm.. dua belas pendeta wanita Go Bie Pay dari tingkatan Ceng
hiaom, Ceng hie, ceng ciauw semuanya menjadi pendeta sedari masih gadis. Dari
mana datangnya suami?”
Tanpa menjawab Ceng Ciauw
balik kerombongannya.
“Mana boleh kau berlaku begitu
saja?” bentak si baju kuning sambil melompat. Dengan beberapa lompatan ia sudah
mencegah nikouw it. Ia menotong pinggang dan menendang sehingga Ceng Ciauw
lantas saja roboh.
Si baju kuning tertawa dingin.
“Ciauw Kauw nio, susah membunuh orang untuk menutup mulutnya!” katanya.
“Jangan omong kosong kau!”
kata Cie Jiak dengan suara dingin. “Ceng ciauw suci memang mau membalas sakit
hatinya.”
Ia mengibaskan tangannya dan
berkata pula. “Banyak murid partai lurus bersih tak membedakan lagi mana yang
lurus mana pula yang sesat dan sudah rela bersatu padu dengan kawanan siluman.
Go Bie Pay tak boleh turut masuk diair kotor. Hayo kita pulang!” Semua murid Go
Bie lantas saja bersiap untuk berangkat. Beberapa anara mengawasi Ceng Ciauw
yang rebah ditanah. Mereka tak tahu apa Ciang beon jin mereka akan menolong
atau akan membiarkan saja saudara seperguruannya yang roboh itu.
Sementara itu terdengar
bentakan Kong tie, “Goantin! Lekas perintahkan kaki tanganmu melepaskan Hong
thio! Jika terjadi sesuatu yang tak diharapkan, kedosaanmu akan lebih besar
lagi.”
Seng Koen terawa getir.
“Sesudah urusan sampai disini biar kita mati bersama2,” katanya.
“Andaikata mau sekarang akupun
tak bisa menolong lagi si hweesio tua Kong boen. Apa kau buta? Apa kau tak
lihat sinar api?”
Kong tie tekrjut. Ia mengawasi
kebawah bukit dan benar saja dikuil Siauw Lim sie terlihat berkobar api.
“Celaka! Ta mo tong terbakar,” serunya. “Lekas padamkan api!”
Semua pendeta Siauw Lim yang
berada disitu lantas bergerak untuk turun bukit guna memadamkan api. Tiba2
terlihat semburan2 air yang panjang seperti naga putih dan tak lama kemudian
api sudah dapat dikuasai.
Kong tie merangkap kedua
tangannya, “Kuil kami terbebas dari kemusnahan.”
Beberapa saat kemudian dua
pendeta mendaki bukit dengan berlari2. “Melaporkan kepada Soesiok couw,” kata
yang satu kepada Kong tie “Kaki tangan Goan tin telah membakar Tot mo tong.
Syukur beribu syukur, para enghiong dari Ang soei kie keburu menolong dan
sekarang sudah dipadamkan.”
Kong tie menghampiri Boe Kie
dan merangkap kedua tangannya. “Bahwa kuil siauw lim sie terbebas dari
kemusnahan adalah karena pertolongan Thio Kauwcoe yang sangat besar,” katanya.
“Semua anggota Siauw Lim tak akan melupakan budi yang sangat besar itu.”
Boe Kie membalas hormat. “Hal
ini hanya sepantasnya saja dan Taysoe tak usah berkata begitu,” jawabnya.
“Kong beon suheng dikurung di
tat mo ih oleh murid2 itu,” kata pula Kong tie. “Walaupun kebakaran sudah
dipadamkan, aku masih belum tahu nasib suheng. Thio Kauwcoe dan yang lain2
tunggulah sebenaran disini, loolap ingin pergi menyelidiki.”
Seng koen tertawa terbahak2.
“Tubuh Kong boen dilabur minyak kerbau dan minyak babi,” katanya. “Begitu api
berkobar, begitu ia tamat riwayatnya. Ang soei kie bisa menolong Tat mo ih,
tapi tak akan mampu menolong situa.”
“Kalau Angsioe kie tak bisa,
masih ada Houw Touw kie!” kata seorang yang sedang mendaki puncak bukit. Orang
itu adalah Hoan Yauw. Ia muncul bersama Gan Hoan (Ciang kie see Aouw touw kie)
dan seorang pendeta tua yang dipapah mereka. Orang2 tahu, bahwa pendeta yang
dipapah itu bukan lain dari pada Hong thio seng ceng. Mereka mendapat luka dan
pakaian mereka terbakar disana sini.
Kong tie membuta dan memeluk
suhengnya, “Suheng!...” katanya dengan suara parau.”Sutemu tak punya kebecusan
dan berdosa besar.”
Kong boen tersenyum. “Kalau
Hoan Siecoe dan Gan Siecoe tidak keburu muncul dari terowongan, aku tak akan
bisa bertemu lagi dengan kau masih bernapas,” katanya.
“Kepandaian Hauw towu kie
dalam membuat terowongan tiada bandingannya didalam dunia,” kata Kong tie
dengan suara kagum dan berterima kasih. Ia berpaling kepada kedua penolong itu
dan membungkuk. “Hoan Siecoe,” katanya pula, “loocang pernah berlaku tak pantas
terhadapmu dan aku harap kau sudi memaafkan. Looceng sekarang membatalkan
perjanjian bertemu di Ban hoat sie. Looceng tidak berani pergi kesitu.”
Dalam Rimba Persilatan, tak
menempati janji dipandang sebagai hal yang lebih memalukan daripada kalah
berkelahi. Bahwa Kong tie rela menarik pulang janjinya dan menyerah kalah.
Merupakan bukti, bahwa ia merasa sangat berhutang budi kepada Hoan Yauw. Kedua
tokoh itu memang saling menghargai. Mulai dari waktu itu mereka menjadi sahabat
karib.
***
Dalam usaha busuknya. Seng
Koen sudah membuat rencana yang diperhitungkan masak2.
Sebelum pembukaan Enghiong Tay
hwee ia berhasil membokong Kong boen dengan totokan dna kemudia mempenjarakan
pemimpin itu di ruangan Tay moin, yang diisi dengan rumput, kayu kering, tahan2
api. Ruang itu lalu kemudian dijaga oleh kaki tangannya yg setia. Dengan Kong
boen sebgai tanggungan, ia berhasil menundukkan Kong tie. Ia mengancam bahwa
jiwa Kong tie membantah perintahnya, Kong boen akan segera dibakar.
Sesudah usahanya gagal, ia
memberi isyarat supaya kaki tangannya segera membakar Tat mo ih. Ia mengharap
selagi para enghiong dan para pendeta berusaha memadamkan api, kawan2nya akan
bisa ditolong dirinya.
Tapi dalam pada itu telah
terjadi sesuatu yang tak pernah diduga olehnya. Begitu tiba dikaki gunung Sauw
sit san, pada sebelum bertemu dengan Boe Kie, Yo Siauw memerintahkan Houw tauw
kie membuat terowongan kekuil Siauw Lim sie. Tujuannya ialah untuk menolong Cia
Soen. Tapi belakangan ternyata bahwa Cia Soen bukan dipenjarakan didalam kuil.
Penukaran patung Tat mo Couw soe dalam Tat mo ih dilakukan oleh orang2 Houw
Touw kie.
Waktu Seng koen terlocot
topengnya. Tio Beng dan Yo Siauw lantas bisa menduga apa yang akan terjadi.
Sesudah berdamai, mereka minta Hoan Yauw memimpin Ang soei dan Houw tauw kie
untuk memadamkan kan kebakaran dan menolong Kong boen di Tat mo ih. Tapi karena
rapihnya persiapan, maksud menolong tercapai, Houw touw kie menderita kerusakan
dan ketiga anggotanya mengorbankan jiwa. Kalau Hoan Yauw dan Gian Hoan tidak
menggunakan terowongan waktu kabur dengan membawa Kong hoen maka mereka bertiga
pun akan binasa. Kebakaran itu hanya merusak Tat mo ih dan beberapa bangunan
lain.
Tay hiong po thian ceng keng
dok loohan hion dan lain2 gedung dapat diselamatkan.
***
Sesudah berdamai dengan Kong
tie, Kong Boen segera mengeluarkan perintah supaya semua kaki tangan Seng Koen
dipenjarakan dibelakang kuil menunggu keputusan, Seng Koen sudah berdiam lama
di Siauw lim sie dan konco2nya berjumlah tidak sedikit. Tapi melihat kepala
mereka sudah dirobohkan Hong thio ketolongan, orang2 itu tidak berani melawan
dibawah pimpinan Sioe co lo han tong mereka digiring turun bukit.
Sesudah itu Boe Kie mendapat
kenyataan bahwa dalam kekalutan, Cie Jiak dan rombongannya sudah berlalu,
dengan meninggalkan Ceng Ciauw yang masih rebah ditanah.
Boe Kie menghampiri si baju
kuning dan sambil menyoja, ia berkata: “Dua kali Thio Boe Kie menerima
pertolongan cie cie. Untuk itu aku hanya menghaturkan banyak2 terima kasih.
Disamping itu, aku mohon tanya she dan nama cici yang mulia, supaya siang malam
aku bisa mengingatkannya.”
Si nona tersenyum. Ia menjawab
dengan kata yg merupakan sajak: “Dibelakang gunung Ciong lam san, terdapat
kuburan Mayat Hidup, Burung Rajawali sakti dan pasangan pendekar tak muncul
lagi dalam dunia Kangouw.” Seraya berkata begitu, ia membalas hormat dan
kemudian, ia mengulapkan tangan kearah delapan pengiringnya. Sesaat kemudian,
bersama delapan wanita baju putih dan hitam itu, ia turun bukit.
Boe Kie memburu, “Cici tahan
dulu!” serunya.
Si nona tidak meladeni dan
berjalan terus. “Yo Cici! Yo Cici!” panggil Soe Heng Sek.
“Segala urusan kay pang
kumohon bantuan kauwcoe,” kata si baju kuning sambil berjalan terus.
“Boe Kie menerima perintah.”
“Terima Kasih!” Perkataan
“terima kasih” itu terdengar jauh sekali karena si nona sudah menggunakan ilmu
mengentengkan tubuh.
Sesudah itu, Boe Kie mendekati
Cia Soen. “Gie Hoe,” panggilnya. Air matanya mengucur.
“Anak edan,” kata sang Gie hoe
sambil tertawa. “Atas petunjuk Sam wie ko ceng aku sekarang baru mendusin.
Segala hutang2ku telah dibereskan. Kau sebenarnya harus merasa girang. Mengapa
kau berduka? Sebab ilmu silatku musnah? Apakah kau ingin aku menggunakan lagi
ilmu iut untuk melakukan perbuatan2 berdosa?”
“Giehoe benar,” kata si anak
dengan suara perlahan.
Cia Soen lalu menghampiri Kong
boen dan berlutut. “Tee coe berdosa besar dan memohon Hong thio sudi menerima
teecu sebagai murid,” katanya.
Sebelum Kong boen menjawab,
Touw Ok mendahului: “Mari! Biar looceng saja yang mengambil kau sebagai murid.”
“Teecu tidak berani mengharap
begitu besar,” kata Cia Soen.
Cia Soen berkata begitu sebab
jika ia mengangkat Kong Boen sebagai guru, ia berada ditingkatan “goan” sedang
jika ia mengambil kedudukan tingkatan “Kong” yang bersamaan tinggi denga Kong
boen dan Kongtie.
“Fui!” bentak Touw Ok. “Kong
kosong. “Goan” juga sama kosongnya. Kau sungguh tolol!”
Cia Soen tertegun, tapi ia
lantas mendusin. “Guru kosong, murid kosong, tak ada dosa, tak ada mulia, tak
ada jasa,” katanya.
Touw Ok tertawa terbahak2.
“Sekarang kau sudah menjadi anak murid kami,” katanya. “Kamu tak usah mengubah
nama. Kau mengerti maksudku?”
“Mengerti,” jawabnya. “Segala
apa hanya merupakan bayangan kosong. Jangankan nama sedangkan tubuhpun pada
hakekatnya sesuatu yang tak ada.”
Cia Soen seorang yang
“boen-boe-coan-cay” (paham surat dan silat). Sesudah mendapat petunjuk Touw Ok,
ia segera dapat menangkan intisari dari pada pelajaran sang Budha. Belakangan
ia menjadi salah seorang pendeta suci.
Boe Kie menyaksikan dan
mendengar itu semua dengan rasa girang tercampur duka.
“Mari!” kata Touw Ok akhirnya
sambil menuntun tangan Cia Soen dan bersama kedua saudara seperguruannya, ia
turun bukti. Kong-boen, Kong-tie, Boe Kie dan yang lain2 memberi hormat dengan
membungkuk. Tigapuluh tahun yang lalu Kim mo say ong melakukan perbuatan2 yang
menggemparkan dunia Kang Ouw. Sekarang ia masuk di “pintu kosong”. Mengingat
itu semua, banyak orang menghela napas dengan rasa terharu.
Sesudah ketiga pendeta dan Cia
Soen berlalu sambil merangkap kedua tangannya, Kong Boen berkata. “Kami merasa
malu, bahwa berhubung dengan terjdinya pengkhianatan kami tak bisa melayani
para enghiongnya secara pantas. Sekarang kita berkumpul. Entah kapan kita bisa
berkumpul pula. Mengingat itu kami memberanikan diri untuk mengundang kalian
guna mengaso sehari dua hari dikuil kami.”
Bersama tuan rumah, para tamu
lantas saja kembali ke kuil siauw lim sie, dimana sudah disediakan makanan cia
cay. Sesudah itu diadakan sembahyang untuk rohnya orang2 gagah yang membuang
jiwa dalam pertempuran.
Untuk Boe Kie, selesainya
Enghiong Tayhwee belum berarti hilangnya banyak tanda2 didalam hatinya. Masih
banyak hal yang belum terang baginya. Cia Soen sudah berlalu sebelum memberi
keterangan. Boe Kie merasa bahwa banyak pertanyaan yang belum terjawab,
mempunyai sangkut paut dengan Cie Jiak. Ia seorang mulia dan ia masih belum
melupakan kecintaan dahulu. Maka itu ia menghibur diri sendiri dengan memikir,
bahwa soal2 itu sebaiknya jangan diselidiki terlalu mendalam supaya nama Cie
Jiak jangan jadi lebih rusak.
Sesduah bersantap, ia pergi
ketempat Kaypang untuk membicarakan soal2 partai pengemis denga Soe Hong Sek
dan nama Tingloo. Selagi beruntun, mendengar swee poet. Tak menerobos masuk dan
berkata. “Kaucoe, Boe tong siehiap datang berkunjung. Ia mengatakan, ada urusan
penting yang mau dibicrakan.”
Boe Kie terkejut. “Apa ada
sesuatu yg terjadi atas diri Thay suhu?” tanyanya didalam hati. Buru2 ia keluar
menyambut. Sesudah memberi hormat dengan berlutut, hatinya baru agak lega sebab
lihat paras muka thio Siauw Koe tenang2 saja. “Apa Thay suhu baik?” tanyanya.
“Tak kurang suatu apa,”
jawabnya. “Di Butong san aku mendapat warta bahwa dua laksa tentara Goan sedang
menuju ke Siauw Lim sie dengan maksud yang tidak baik terhadap eng hiong
tayhwee. Maka itu, baru2 aku datang disini.”
“Mari kita beritahukan Hong
thio,” kata Boe Kie.
Mereka segera pergi keruangan bealkang
dan menemui Kong boen.
Sesudah berpikir sejenak, Kong
Beng berkata, “Soal ini sangat besar. Kita harus berdamai dengan para orang
gagah.” Ia segera memerintahkan dibunyikannya lonceng dan mengumpulkannya semua
orang di Tay hiong Pothan dan mendengar laporan Thio Siong Kee semua orang
terkejut dan beberapa antaranya lantas saja mengutarakan pikiran Yang berdarah
panas mengusulkan supaya mereka turun gunung dan melabrak tentara musuh. Yang
lebih tenang mengenakan, bahwa gerakan tentara Goan itu belun tentu ditujukan
kepada Siauw Lim Sie.
“Aku mengerti bahwa Mongol,”
kata Thio Siong Kee. “Aku dengar dengan kuping sendiri bahwa pasukan itu benar2
mau menyerang Siauw Lim sie.”
“Menurut pendapatku, tentara
kerajaan menyerang karena mereka menduga bahwa berkumpulnya kita disini
mempunyai tujuan untuk merusakan mereka,” kata Kong Boen.
“Kita paham ilmu silat dan
kita tak takut kawanan Tai coe, musuh datang harus disambut. Air datang harus
dibendung. Kita tak usah takut…” Belum habis Kong boen bicara beberapa orang
sudah menepuk2 tangan untuk menyatakan persetujuannya.
Sesudah sambutan mereda,Kong
ben selanjutnya! “Akan tetapi kita orang2 Rimba Persilatan, biasa bertempur
satu melawan satu. Kita berkelahi dengan tangan kosong atau dengan senjata
rahasia! Berkelahi dengan menunggang senjata panjang seperti tombak dan
sebagainya, kita belum punya pengalaman. Maka itu menurut pikiran loolap,
sebaiknya para neghiong bubar dan pulang kemasing2 tempatnya.”
Mendengar saran itu untuk
beberapa saat semua orang membungkam.
“Aku sendiri tidak setuju,”
kata Boe Kie. “Pertama kalau kita bubar Tat coe akan mengatakan bahwa kita tkut
terhadap mereka. Kedua bagaimana dengan para suhu yang berdia dikuil ini?”
Kong boen tersenyum. “Kalau
tentara Goan lihat bahwa yang berada disini hanya para pendeta2 dan bukan
orang2 kangouw, mereka tentu tak akan berbuat apa2,” katanya.
Semua orang mengerti bahwa
Kong boen berkata begitu karena tidak mau merembet orang. Para tamu datang atas
undangan Siauw Lim Sie. Kong Boen tak mau mereka mengorbankan jiwa karea gara2
orang Siauw Lim Sie. Tapi orang2 yg berada disitu adalah laki2 sejati. Mana
bisa mereka mundur dalam menghadapi musuh?
“Dihadapan Hong thio dan para
enghiong aku yang rendah sebenarnya tidak boleh banyak mulut,” kata Yo Siauw.
Pada hakekatnya setiap orang yang berada disini mempunyai kewajiban untuk
melawan musuh menurut pikiranku kita sebaiknya mencari daya untuk memancing Tat
coe dimana bisa menggempur mereka. Sedapat mungkin janganlah kuil yang
bersejarah ini dijadikan medang perang.”
Semua orang lantas saja
menyetujui usul itu.
Tiba2 diluar terdengar suara
kaki kuda yang dikaburkan secepat2nya dan kemudian berhenti didepan kuil.
Beberapa saat kemudian masuk dua partai dengan diantara oleh seorang Tie Kek
Ceng. Dari pakaiannya mereka ternyata anggota Beng Kauw.
Sesudah memberi hormat, salah
seorang berkata, “Melaporkan kepada Kauw coe, bahwa pasukan depan Tat coe yang
berjumlah lima ribu orang sedang menerjang ke Siauw Lim Sie. Mereka mengatakan
bahwa para suhu mengumpulkan orang untuk melakukan pemberontakan. Mereka
sesumbar mau injak Siauw Lim sie sampai jadi bumi rata dan mereka mau
membinasakan setiap kepala.” Ia berhenti ditengah jalan.
Kong Boen tersenyum. “Kau mau
mengatakan kepada gundul bukan?” tanyanya. “Tak usah ragu2. Katakanlah segala
perkataan yang harus dikatakan.”
Orang itu mengangguk.
“Disepanjang jalan kami mendapat kenyataan bahwa sudah banyak pendeta yang
dibinasakan Tat coe,” katanya pula. “Tat coe mengatakan begini, ‘kepala gundul
bukan orang baik.’ Siapa yang membawa senjata harus dibunuh. Itulah pendirian
pasukan latcoe.”
Semua orang meluap darahnya.
Banyak yang lantas berteriak2 dan mengusulkan turun gunung untuk menggempur
musuh. Semenjak orang Mongol berkuasa di Tiongkok pencinta2 negeri diseluruh
Rimba persilatan memang menganggap penjajah sebagai musuh dan dalam cara2nya
sendiri berusaha untuk mengusir penjajah. Gerakan Beng Kauw merupakan sebuah
usaha mereka.
Melihat besi sedang panas, Boe
Kie segera berkata dengan suara lantang. “Saudara saudara! Hari ini merupakan
kesempatan yang paling baik untuk memperlihatkan bahwa laki2 sejati yang bisa
berkurban demi kepentingan negara. Nama Siauw Lim Eng hiong tay hwee akan
tercatat dalam buku sejarah dan akan diingat orang untuk selama2nya.”
Pidato bersemangat itu
disambut dengan sorak sorai gegap gempita.
“Sekarang biarlah kita minta
Kong boen Hong thio memegang pemimpin,” kata pula Boe Kie. “Kami dari Beng Kauw
akan mentaati semua perintah.”
“Mana bisa begitu?” kata Kong
boen seraya merangkap kedua tangnnya. “Walaupun benar kami pernah belajar dan
mengerti sedikit ilmu sialt, kami sama sekali tidak mengenal ilmu perang.
Semenjak beberapa tahun lalu Beng Kauw sudah memulai suatu usaha besar
diketahui oleh semua orang. Menurut pendeta loolap, hanya tentara Beng Kauw
yang akan dapat melawan tnetara Tat coe. Maka itu loolap mengusulkan untuk
mengangkat Thio Kauwcoe sebagai Boe lim beng coe (kepala perserikatan dari
Rimba Persilatan) guna memimpin kita dalam peperangan melawan Tat coe.”
Sebelum Boe Kie keburu membuka
mulut, para hadirin sudah menyambut usul itu dengan tepuk tangan dan sorakan.
Biarpun Boe Kie masih muda dan
sepang terjangnya dalam Rimba Persilatan belum cukup untuk menakluki hati
orang, ilmu silatnya yang sangat tinggi sudah disaksikan segenap orang gagah.
Disamping itu, panglima2 tentara Beng Kauw, seperti Han San Tong. Cie Sioe
Hwee, Coe Coan Ciang dan lain lalu, telah mendapat kemenangan2 dalam peperangan
disepanjang sungai Hway ho di Holam, Ouwpak dan sebagainya. Oleh karena itu para
orang gagah yakin, bahwa selain Beng Kauw, tak ada parti yang lebih cocok untuk
memimpin pertempuran dan memegang komando sebagai Beng coe.
“Tanggung jawab Beng coe berat
luar biasa,” kata Boe Kie dengan suara merendah. “Aku tidak punya kemampuan dan
kuminta kalian suka memilih lain orang yg lebih pandai.”
Sekonyong2 terdengar suara
ribut yang bergemuruh dan dilain saat dua anggota Swie kim kie menerobos masuk
keruangan musyawarah. “Tentara Mongol sudah menerjang kegunung ini!” teriak
salah seorang.
Sampai disitu Boe Kie tidak
bisa berlaku sungkan lagi. “Swie kim kie, Ang Soe kie maju dimuka untuk
menyambut musuh!” katanya dengan suara angker. “Cioe Tian Sianseng, Tiat koan
To tiang, kalian berdua bantu mereka dengan masing2 membawa saut bendera.”
Cioe Tian dan Tiat koen Toojin
membungkuk dan segera berlalu untuk menjalankan tugas.
“Swee Poet Tek suhu,” kata
pula Boe Kie. “Kuminta kau pergi ke berbagai tempat yang berdekatan untuk
meminta bala bantuan dengan membawa Seng hwee leng sebagai tanda kepercayaan.”
Tanpa menyia2kan waktu Swee Poet Tek segera berangkat.