Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 36
Setiap kali berlatih menulis
huruf2 indah Kiao Tin selalu mengajak Boe Kie dan memberi petunjuk2. Dengan
duduk berhadapan mereka belajar bersama sama. Kalau cape mereka berhenti
menulis dan beromong omong sambil tertawa tawa.
Dalama latihan ilmu silatpun;
keluarga Coe memperlakukan bocah itu sebagai seorang anggota keluarga. Coe
Tiang Leng memperbolehkan Boe Kie turut serta dalam ruangan latihan dan tempo2
menyuruh anak itu berlatih bersama sama putrinya. Ilmu silat keluarga Coe dan
silat yg dikenal Boe Kie agak berbeda. Akan tetapi, pada hakekatnya ilmu silat
diseluruh dunia bersuber satu, maka sesudah memperhatikan beberapa kali, Boe
Kie dapat mengikuti latihan tanpa banyak kesukaran. Toang Leng dan putrinya
tidak berlaku pelit mereka mengajar si bocah dengan sungguh hati.
Semenjak meninggalkan pulau
Peng Hwee To, Boe Kie selalu hidup dalam penderitaan. Baru sekarang ia dapat
mencicipi penghidupan tenteram yang bahagia.
Tanpa merasa satu bulan
setengah sudah lewat. Hati iut pada pertengahan Jie-gwee selagi Kioe Tin dan
Boe Kie berlatih menulis huruf 2 indah tiba2 Siauw Hong masuk seraya berkata.
"Siocia, Yauw Jie-ya
sudah kembali dari Tiong goan." (Jie-ya Tuan kedua)
Si nona kegirangan. Sambil
melempar pit, ia berteriak. "Bagus! Aku sudah menunggu setengah tahun
lebih." Ia menarik tangan Boe Kie mari kita menemui Yauw Jie-siok, aku tak
tahu, apa ia membeli barang2 yang kupesan." (Jie-siok Paman kedua).
Dengan berlari mereka pergi ke
kota thia (ruangan tengah).
"Siapa Yauw
Jie-siok?" tanya si bocah.
"Ia adalah saudara thia
thia," jawabnya "Namanya Yauw Ceng Coen, berglear Cian Lie Toei hong
(Dalam seribu li mengejar angin). Tahun yang lalu ayah telah meminta padanya
pergi ke Tiong goan untuk mengantarkan beberapa rupa barang. Aku memesan supaya
ia membeli yan cie dan puput dari Hang cie, jarum sulam, benang dan gambar2
lukisa dari Souw cioe, pit bak, contoh2 huruf dan buku2. Aku tak tahu, apa ia
perhatikan pesanku itu."
Coe-kee-choeng (Perkumpulan
keluarga Coe) terletak di See hek (Wilayah barat) dalam lingkungan gunung Koe
Loen san. Alat2 kecantikan, buku2, perabot tulis dan sebagainya yang diperlukan
oleh nona Coe tak bisa didapat dalam jarak ribuan lie. Tempat itu terpisah
berlaksa lie dari daerah Tiong-goan sedang sekali pulang perlu memerlukan tempo
dua tiga tahun. Maka itulah, saban ada orang yang mau pergi ke Tiong-goan, Coe
Kioe Tin selalu memesan ini atau itu dalam jumlah yang besar.
Tapi begitu tiba diambang
pintu, mereka terkejut karena mendengar suara tangisan. Dengan hati berdebar
debar mereka bertindak masuk. Hati mereka mencelos sebab melihat Coe Tiang Leng
sekang berlutut dilantai sambil berpelukan dan menangis dengan seorang lelaki
kurus jangkung yang mengenakan pakai berkabung.
"Yauw Jie-siok!"
teriak Kioe Tin seraya menubruk.
Sang ayah menyapu air matanya
dan berkata dengan suara parau. "Ah Tin jie! Toa in jien (tuan penolong
besar) kita Nyonya... Thio Ngo... ya... telah meninggal dunia!"
"Tapi... tapi bagaimana
bisa begitu?" tanya si nona dnegan mata membalak. "Bukanlah, sesudah
menghilang sepuluh tahun In kong (paduka penolong) sudah kembali?"
Lelaki setengah tua yang
mengenakan pakaian berkabung itu Coan-lie Toei hong Yauw Ceng Coan menengok
seraya berkata dengan suara terputus putus. "Kita yang berdiam ditempat
jauh... sukar mendapat warta. Sesudah ku tiab di Tiong-goan baru kutahu,
bahwa... bahwa Tio Iajin bersama Thio Hoejin sudah meninggal dunia pada kita2
empat tahun berselang dengan.... Dengan membunuh diri sendiri! Aku mendapat
warta itu sebelum mendaki Boe tong san. Atku tidak percaya. Belakangan sudah
tiba di boe tong san dan bertemu dengan Song Toa hiap Jie hiap barulah kutahu
bahwa warta itu bukan cerita kosong... Hai!"
Betapa besar rasa kaget Boe
Kie dapatlah dibayangkan. Sesudah mendengar keterangan itu ia tidak bersangsi
lagi, bahwa yang dinamakan sebagai "Toa-injin Thio Ngoya" adalah
ayahandanya sendiri, melihat kesedihan Coe Tiang Leng, Yau Ceng Coan dan Coe
Kioe Tie, yang jg turut mengucurkan air mata hampir2 ia melompat menubruk dan
memperkenalkan diri sendiri. Tapi ia segera mengurungkan niatannya sebab kuatir
tidak dipercaya dan orang bahkan bisa menduga jelek atas dirinya.
Beberapa saat kemudian Coe
Hoejin muncul dengan di papah oleh seorang budak dan sambil menangis ia
mengajukan banyak pertanyaan kepada Yauw Ceng Coan. Karena sedang ditindih
dengan kedukaan, Yauw Ceng Coen sampai lupa untuk menjalankan peradatan kepada
gie-so nya (istri dari saudara angkat). Ia segera menuturkan cara bagimana Thio
Coei San bersama istrinya telah binasa dengan membunuh diri.
Sambil seraya menggigit gigi,
sebisa bisa Boe Kie menahan rasa sedihnya. Tapi biarpun begitu, ia tidak dapat
mencegah mengucurnya air mata. Hanya karena semua orang bersedih hati mereka
tidak memperhatikan tangisan si bocah.
Sekonyong-konyong tangan Coe
Tiang Leng berkelebat dan .... "prak!".... sebuah meja delapan
persegi somplak. "Jie-tee!" katanya dengan suara keras. "Dengan
tegas dan dengan jelas, aku minta kau memberitahukan namanya oran2 yg telah
naik ke Boe tong dan endesak begitu rupa sehingga In Kong terpaksa membunuh
diri."
"Sesudah mendapat tahu
tentang kebinasaan In Kong, sebenarnya aku harus buru2 pulang untuk memberi
laporan kepada Taoko," kata Yauw Ceng Coan"Tapi sebab ingin
mengetahui nama musuh2 itu, maka aku lalu menyelidiki. Belakangan kudengar,
bahwa disamping tiga pendeta suci dari Siauw Lim Pay, jumlah musuh bukan
sedikit. Perlahan lahan aku mengumpulkan keterangan sehingga oleh karenanya aku
pulang sangat terlambat." Sesudah itu ia segera menyebutkan nama2 semua orang
yg turut hadir dalam peristiwa berdarah di Boe tong san.
"Jie-tee," kata Coe
Tiang Leng dengan sudar duka, "Mereka itu adalah jago2 terutama dalam
Rimba persilatan dan satupun tak akan dapat ditandingi oleh kita. Tapi budi
Thio Ngoya berat seperti gunung, sehingga biarpun badan kita menjadi tepung,
kita mesti jg coba membalas sakit hati Nyonya".
"Tak salah apa yg
dikatakan Taoko," kata Yauw Ceng Coan. "Jiwa kita telah dihidupkan
pula oleh Thio Ngoya dan sesudah itu kita bisa menyambung umur selama belasan
tahun, adalah sepantasnya saja kalau sekaang kita membuang jiwa demi
kepentingan Ngoya. Siauw-tee hanya merasa menyesal, bahwa siaw-tee tidak dapat
mencari putera Ngoya. Alangkah baiknya jika kita berhasl mencarinya dan
mengajak ia kesini supaya kita dapat merawatnya seumur hidup."
Mendengar itu, Coe Hoejin
segera minta penjelasan lebih lanjut mengenai putranya Coei San. Yauw Ceng Coan
menyatakan, bahwa sebegitu jau diketahuinya, putera tuan penolong itu, telah
mendapat luka berat dan pergi kesuatu tempat untuk berobat. Bahwa sepanjang
keterangan anak itu batu berusia kira2 sembilan tahun dan bahwa Thio Sam Hong
berniat untuk mengangkat dia sebagai Ciang boenjin Boe tong pay dibelakagn
hari.
Coe Tiang Leng dan istrinya
merasa sangat girang dan mereka segera berlutut untuk menghaturkan terima kaish
kepada Langit dan bumi, atas belas kasihan yang sudah dilimpahkan kepada suami
istri Thio Coei San, yang biar bagaimanapun jg, ternyata sudah mempunyai
turunan.
"Taoko jinson yang
usianya ribuan tahun benar, soat-lian dari gunung Thian san, emas hitam pisau
dan lain2 barang yg di titipkan Toako sudah aku serahkan kepada Thio
Kongcu," kata pula Yauw Ceng Coan.
Sang kakak mengangguk dan
berkata. "Kau benar, aku setuju dengan tindakanmu itu."
"Tin jie," kata Coe
Tiang Leng berpaling kepada puterinya, "kau boleh menceritakan kepada
saudara Thio, cara bagaimana keluarga kita telah ditolong oleh Thio
Ngoya".
Kioe Tin segera menuntun
tangan Boe Kie dan mengajaknya pergi ke kamar ayahnya. "itlah dia!"
kata si nona sambil menunjuk sebuah lukisan yang di gantung di tengah2 tembok.
Di samping gambar itu terdapat tulisan yang berbunyi seperti berikut.
"Gambar peringatan mengenai pertolongan yang diberikan oleh Tuan penolong
Thio Coei San."
Membaca nama mendiang ayahnya,
air mata Boe Kie lantas saja berlinang linang.
Lukisan itu memperlihatkan
sebidang lapangan rumput di pedusunan, dimana terdapat seorang pemuda gagah
dnegan tangan kiri memegang gaetan perak dan tangan kanan bersenjata Poan
koan-pit yang sedang pertempuran melawan lima musuh. Boe Kie lantas saja
mengenali, bahwa pemuda itu adalah mendiang ayahnya sendiri. Diatas tanah
tergeletak dua orang yang terluka berat, satu Coe Tiang Leng Mansatu lagi Yauw
Ceng Coan. Didekat mereka terdapat dua orang lain yang sudah binasa. Disudut
sebelah kiri kelihatan berdiir seorang wanit muda yg dengan paras muka
ketakutan, sedang memeluk satu bayi perempuan. Wanita muda itu adalah Coe
Heojin. Boe Kie mengawasi si bayi yang pada pojok mulutnya terdapat setitik
tahi lalat dan lantas tahu, bahwa bayi itu bukan lain daripada Coe Kioe Tin
sendiri. Kertas dari lukisan itu sudah kuning dan sudah usia sedikit belasan
tahun.
Kioe Tin lantas saja
menceritakan sejarah lukisan itu. Tak lama sesudah ia terlahir, ayahnya
melarikan diri kedaerah sebelah barat untuk menyingkir dari seorang musuh yang
sangat lihai. Tapi ditengah jalan, mereka dicandak oleh rombongan musuh. Dua
orang adik seperguruan ayanya binasa dalam pertempuran, sedang orang tua itu
sendiri dan Yauw Ceng Coan sudah roboh dengan luka berat. Pada detik2 yang
sangat berbahaya, secara kebetulan Thio Coei San lewat disitu dan segera
memberi pertolongan dengan memukul mundur musuh2 itu. Menurut perhitungan,
kejadian itu telah terjadi pada waktu sebelum Coei San menghilang selama sepuluh
tahun.
Sesudah selesai menutur, si
nona berkata pula dengan paras muka berduka. "Karena berada di tempat
jauh, warta tentang kembalinya Thio In Kong baru didapat kami pada tahun2 yang
lalu. Sebab sudah bersumpah untuk tidak menginjak lagi wilayah Tionggoan, ayah
terpaksa meminta san dengan membawa beberapa rupa barang antaran. Siapa
nyana..." Bicara sampai disitu seorang kacung masuk dan memberitahukan;
bahwa si nona harus segera pergi ke ruang sembahyang. Cepat cepat Kioe Tin
menukar pakai putih dan bersama Boe Kie ia segera pergi ke ruang belakang,
dimana sudah diatur sebuah meja sembahyang dengan lengpay yang tertulis seperti
berikut. "Kedudukan roh yang angker dari Tuan Penolong Thio Thayhiap Coei
San dan Thio Hoejin." Begitu mereka masuk, Coe Tiang Leng bersama istrinya
dan Yauw Ceng Coan sudah berlulut didepan meja sembahyang sambil menangis sedih
dan merekapun lantas saja berlutut di belakang ketiga orang tua itu.
Sambil mengusap-usap kepala
Boe Kie, Coe Tiang Leng berkata dengan suara terharu. "Saudara kecil,
bagus... Thio Thayhiap adalah seorang kesatria, seorang laki2 jarang tandingan
dalam dunia yg lebar ini. Walupun kau tidak mengenalnya, bukan sanak dan bukan
kadang, tapi memang pantas sekali jika kau mengunjuk hormat kepadanya."
Boe Kie menunduk, supaya orang
tua itu tidak melihat matanya yang mengembang air. Ia merasa, bahwa sekarang ia
lebih2 tidak dapat mengakui, bahwa ia adalah putera Thio Coei San, Yauw Ceng
Coan mendapat keterangan yang tidak begitu tepat dan mengatakan bahwa ia baru
berusia kira2 sembilan tahun. Jika ia membuka rahasianya sebagai putera Thio
Coei San, merekapun belum tentu akan percaya.
"Toako," kata Yauw
Ceng Coan denga suara perlahan, "bagaimana dengan Cia-ya...?"
Coe Tiang Leng batuk2 dan
meliriknya. Yauw Ceng Coan mengerti maksud kakaknya, ia mengangguk sedikit dan
berkata pula, "Bagaimana dengan cia-gie? Apa Toako mau mengumumkan
perkabungannya?"
"Kau putuskan saja
sendiri." Jawabnya.
Boe Kie jadi heran, "Tadi
terang2 kudengar Cia-ya," katanya dalam hati. "Mengapa sekarang jadi
cia-gie? Apa Cia-ya dimaksudkan sebagai ayah angkatku?" (Cia ya bearti
tuan Cia sedang cia-gie yalah pemberitahuan tentang perkabungan).
Malam itu Boe Kie tak bisa
tidur. Di depan matanya kembali terbayang kejadian2 dimasa silam, pada waktu ia
masih berada di pulau Peng hwee-to bersama kedua orangtuanya dan ayah
angkatnya. Keesokan paginya, berbareng dengan suara tindakan, hidungnya
mengendus bebauan harum dan sesaat kemudian, Coe Kioe Tin masuk dengan membawa
paso air cuci muka.
Boe Kie terkejut. Ia melompat
bangun seraya berkata. "Tin cie... mengapa... mengapa kau..."
"Semua pelayan dan budak
sudah pergi," jawabnya "Apa halangannya jika aku melayani kau sekali
dua kali?"
Bukan main rasa herannya si
bocah. "Tapi, mengapa...?" tanyanya.
"Sudah lama Thia-thia
menyuruh mereka pergi," kata si nona. "Setiap orang diberikan uang
dan disuruh pulang, karena ... karena rumah ini sangat berbahaya." Ia
berdiam sejenak dan kemudian berkata pua, " Sesudah kau cuci muka ayang
ingin bertemu dengamu."
Dengan hati tak enak, buru2
Boe Kie mencuci muka dan sesudah itu, ia menyisir rambut dengan dibantu oleh si
nona, yang kemudian mengajaknya pergi ke kamar buku Coe Tiang Leng. Dalam
gedung itu terdapat seratus lebih pelayan dan budak, tapi sekarang, satupun tak
kelihatan mata hidungnya.
Begitu lekas mereka masuk ke
dalam kamar buku, Coe Tiang Leng segera berkata. "Saudara Thio aku
menghargai kau sebagai seorang laki2 sejati dan sebenarnya aku ingin menahan
engkau berdiam disini sampai sembilan atau sepuluh tahun. Tapi karena
terjadinya satu perubahan luar biasa, maka kita terpaksa harus segera berpisah.
Saudara Thio, kumohon kau tidak menjadi kecil hati." Sambil mengangkat
dulang yang berisi duabelas potong emas, duabelas potong perak dan sebliah
pedang pendek, ia berkata pula, "Inilah sedikit tanda mata dari kamu
bertiga suami-oistir dan anakku. Kamu harap saudara Thio suka menerimanya.
Kalau loohoe masih bisa hidup terus, dibelakang hari kita akan bisa bertemu
pula..." Karena terharu, ia tidak dapat meneruskan perkataannya.
Boe Kie mundur setindak dan
seraya membungkuk, ia berkata dengan suara nyaring. "Coe pehpeh, biarpun
masih kecil dan tak punya guna, siauwtit bukan manusia yang takut mati. Pada
saat keluarga Coe Pehpeh menghadapi marabahaya; biar bagaimanapun jug siauwtit
tak akan menyingkir seorang diri. Walaupun siauwtit tak bisa membantu Pehpeh
dan Ciecie, tapi siauwtit ingin hidup atau mati bersama-sama kaliah." Coe
Tiang Leng coba membujuk berulang2, tapi si bocah tetap pada pendiriannya.
Akhirnya sesudah kewalahan,
orang tua itu menghela napas seraya berkata. "Hai! Anak kecil memang tidak
tahu bahaya. Sekarang aku terpaksa menceritakan persoalannya kepadamu. Tetapi
kalu lebih dahulu harus bersumpah, bahwa kau tak akan membocorkan rahasia ini
dan jg katu tidak akan mengajukan pertanyaan apapun jua."
Boe Kie segera berlutu dan
mengucapkan sumpahnya. "Langit menjadi saksi, bahwa aku tidak akan
membocorkan atau mengajukan pertanyaan mengenai keterangan yang akan diberikan
oleh Pehpeh. Jika aku melanggar janji ini biarlah aku binasa dengan badan
dicincang laksaan golok, badanku hancur dan namaku busuk."
Dengan terharu Coe Tiang Leng
membangunkan Boe Kie. Ia melongok keluar jendela dan kemudian melompat ke atas
genting untuk menyelidiki kalau2 ada musuh yang bersembunyi. Sesudah itu,
barulah ia kembali ke kamar buku dan bicara bisik2. Kau hanya boleh mendengar
apa yang dikatakan olehku, tapi tidak boleh mengajukan pertanyaan, sebab tembok
ada kupingnya.
Boe Kie mengangguk.
Kemarin Yauw Jie-tee pulang
dengan membawa seorang lain, bisik orangtua itu. Orang itu she Cia bernama
Soen, bergelar Kim-mo Say ong
Boe Kie terkesiap, badannya
bergemetaran.
Cia tayhiap intu adalah
saudara angkat Thio In-kong, Coe Tiang Leng melanjutkan penuturannya. Ia bermusuhan
hebat dengan banyak partai dan tokoh rimba persilatan. Bahwa Tho Inkong
suami-istri sampai membunuh diri adalah karena tidak mau memberitahukan dimana
tempat bersembunyinya saudara angkat itu. Aku sendiri tak tahu, cara bagaimana
Cia thayhiap akhirnya bisa pulang ke Tionggoan dan begitu kembali, ia segera
mengamuk dan membinasakan banyak orang untuk membalas sakit hatinya Thio
Inkong. Tapi biar bagaimanapun gagah pun jua; satu orang tak akan bisa melawan
musuh yang berjumlah besar, sehingga akhirnya ia mendapat luka berat.
Yauw Jie-tee adalah seorang
yang pintar dan berhati2. Ia berhasil menolong Cia Thayhiap dan membawanya
kemari. Rombongan musuh terus mengejar dan menurut dugaan, tak lama lagi mereka
akan datang kesini. Kami sudah pasti tak akan bisa melawan mereka. Tapi aku
sudah mengambil keputusan untuk membalas budi dan bersedia untuk binasa dalam
melindungi Cia Tayhiap. Tapi kau sendiri tak punya sangkut paut dengan urusan
ini. Maka dari itu, perlu apa kau turut membuang jiwa? Saudara Thio hanya ini
saja yang dapat kukatakan. Sekarang masih ada tempo, kau pergilah lekas2!
Begitu lekas rombongan musuh tiba, batu giok akan hancur dan kau tak akan
keburu menyingkir lagi.
Boe Kie mendengar itu dengan
jantung memukul keras. Ia kaget bercampur girang. Mimpi pun ia tak pernah
mimpi, bahwa ayah angkatnya bisa datang disitu. Tanpa merasa ia berkata. Dimana
Coe Tiang Leng memekap
mulutnya seraya berbisik. Sit! Musuh lihay luar biasa. Sedikit saja tidak
hati2, jiwa Cia Tayhiap bisa melayang. Apa kau lupa sumpahmu?
Si bocah manggutkan kepalanya.
Saudara Thio, kata pula orang
tua itu, aku sudah bicara seterang2nya. Aku menganggap kau sebagai sahabat dan
aku telah membuka rahasia hatiku. Sekarang, kau berangkatlah.
Sesudah mendengar penuturan
Coe pehpeh aku lebih2 tak akan menyingkirkan diri, kata si bocah dengan suara
tetap.
Coe Tiang Leng menghela napas,
Ayolah! Kita harus bertindak sekarang jg, katanya Ia segera bertindak keluar
pintu dengan di ikuti oleh Kioe Tin dan Boe Kie.
Coe Hoejin dan Yauw nCeng Coan
sudah diluar pintu dan disamping mereka terdapat beberapa bulatan besar,
seperti orang mau merantau ke tempat jauh. Boe Kie menengok kesana sini tapi
ita tak melihat ayah angkatnya.
Coe Tiang Leng segera
mengeluarkan bahan api dan menyalakan obor yang lalu digunakan untuk menyulut
pintu tengah. Dalam sekejap, api merembet keatas. Ternyata gedung yang besar
itu sudah di siram dengan minyak tanah.
Semenjak dahulu diwilayah
See-hek, di daerah pegunungan Thuansan dan Koen Loen, terdapat sumber sumber
minyak tanah yang sering mengalir keluar bagian air mancur. Perkampungan Coe
kee chung hampir satu li panjangnya yang terdiri dari rumah rumah besar. Tapi
denga n menggunakan minyak, dalam sekejap mata, seluruh perkampungan sudah
berubah menjadi lautan api. Boe Kie mengawasi berkobarnya api dengan perasaan
terharu. Harta yang dikumpulkan Coe Pehpeh dengan susah payah selama
bertahun-tahun dalam sekejap menjadi tumpukan puing, katanya didalam hati. Dan
itu semua demi kepentingan ayah angkat. Laki laki gagah seperti Coe pehpeh
sungguh sukar dicari tandingannya didalam dunia.
Malam itu Coe Tiang Leng dan
istrinya, Koe Tin dan Boe Kie mengindap didalam sebuah gua. Dengan senjata
terhunus, lima orang murid yang dipercaya menjaga diluar gua, dbawah pimpinan
Yauw Ceng Coan, pada hari ketiga, api kebakaran baru menjadi padam. Untung juga
musuh belum tiba. Malam itu, Coe Tiang Leng mengajak semua orang meninggalkan
gua dan masuk kedalam sebuah terowongan dibawah tanah yang sangat panjang.
Sesudah berjalan beberapa lama, mereka bertemu dengan beberapa kamar batu
dimana terdapat makanan, air dan sebaginya. Tapi hawa disitu sangat panas.
Melihat Boe Kie menyusut
keringat tak henti hentinya, Kioe Tin tertawa dan bertanya. Adik Boe Kie,
adalah kau tahu, mengapa hawa disini terlalu panas? Dapatkah kau menebak, di
mana berada kita sekarang?
Tiba2 bocah mengendus bau asap
dan ia lantas saja tersadar, Ah!
katanya. Kita berada dibawah Coe-kee-chung
Kau sungguh pintar, memuji si
nona sambil tertawa.
Boe Kie merasa sangat kagum.
Dengan siasat bumi hangus, musuh pasti tidak akan menduga bahwa Cia Soen
sebenaranya bersembunyi dibawah tempat kebakaran dan mereka tentu akan mengubar
ketempat lain.
Diantara kamar2 batu itu ada
sebuah yang pintunya - pintu besi ditutup rapat. Boe Kie menduga, bahwa ayah
angkatnya berada dalam kamar tersebut, tapi, biarpun sangat ingin bertemu
dengan orang tua itu, ia tidak berani menanyakan atau bertindak sembarangan. Ia
mengerti, bahwa setiap tindakan yang ceroboh dapat berakibat hebat.
Setelah berdiam disitu kira
kira setengah hari, hawa panas perlahan lahan mulai mereda. Baru saja Coe Tiang
Leng dan yang lain2 menggelar selimut untuk mengaso, sekonyong konyong
terdengar suara tindakan kuda mendatangi dari sebelah kejauhan. Tak lama
kemudian, kuda kuda itu sudah berada diatas tempat persembunyian mereka.
Api sudah padam lama, bangsat
Coe Tiang Leng pasti sudah kabur ketempat lain dengan membawa Cia Soen,
demikian terdengar suara seorang. Ayolah, ubar! Sesaat kemudian, terdengar
suara kaki kuda yang makin lama jadi makin jauh. Ternyata, terowongan tersebut
dan Coe kee-ching dihubungkan dengan sebatang pipa besi, sehingga setiap suara
dimuka bumi bisa didengar jelas dalam lorong dibawah tanah.
Pada malam itu, lima rombongan
musuh lewat diataas rombongan Koen loen-pay, kie-keng pang dan dua rombongan
terdiri dari tujuh delapan sampai belasan orang dan mereka semua mencari Cia
Soen dengan menggunakan perkataan perkataan yang hebat2.
Kalau Giehoe belum buta dan
tidak terluka bangsat cecurut itu tidak dipandang sebelah mata olehnya, kata
Boe-Kie didalam hati.
Sesudah kelima rombongan itu
lewat, Yauw Ceng Coau segara menyumbat lubang pipa dengan sepotong kayu, supaya
suara dalam terowongan tidak sampai terdengar diatas. Sesudah itu, ia berkata
dengan suara perlahan. Aku ingin menengok Cia Tay-hiap.
Coe Tiang Leng mengangguk dan
Yauw Ceng Coan segera memutar alat rahasia dipinggir pintu besi yang perlahan
lahan lantas terbuka. Dengan membawa lampu minyak tanah, Ia masuk kedalam kamar
itu.
Sesaat itu, Boe Kie tidak
dapat menahan sabar lagi, ia berbangkit, menghampiri pintu dan mengawasi ke
dalam. Ia melihat seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar sedang tidur
meringkuk dan muka menghadap kedalam. Air mata si bocah lantas saja berlinang
linang.
Cia Tayhiap, bisik Yauw Ceng
Coan, apa kau merasa enakan? Mau minum?
Mendadak angin menyambar dan
lampu padam. Hampir berbareng terdengar suara buk! tubuh Yauw Ceng Coan
terpental keluar dan jatuh dilantai.
Manusia2 dari Siauw Lim pay,
Koen loen pay, Khong tong pay! demikian terdengar Cia Soan. Mari! Mari! Apa
kamu kira Kim-mo Say-eng Cie Soen takut kepadamu?
Celaka! seru Coe Tiang Leng.
Cit Tayhiap kapal Ia mendekati seraya berakata. Cia Tay hiap, kami adalah
sahabat2, bukan musuh.
Cia Soen tertawa terbahak bahak,
Sahabat2? ia menegas. Apa kau mau menipu aku dnegan omongan manis2? Ia berjalan
keluar dengan tindakan lebar dan sekonyong2 menghantam dada Coe Tiang Leng
telapak tangannya. Pukulan itu disertai lweekang hebat luar biasa, sehingga
lampu minyak tanah yang ditaruh ditengah2 terowongan berkedip2.
Coe Tiang Leng tidak menangkis
ia mengegoa dan melompat mundur. Setelah pukulannya melesat, Cia Soen melompat
dan meninju Coe Hoejiu. Nyonya itu tidak mengerti ilmu silat, hingga, kalau
kena, jiwa pasti melayang. Pada saat yang sangat berbahaya, Coe Tiang Leng dan
putrinya melompat dan menangkis pukulan itu.
Melihat kejadian yang tidak
diduga duga, Boe Kie berdiri terpaku dan mengawasi denagn mata membelalak.
Sementara itu, sambil
menggeram bagaikan binatang terluka, Cia Soen menyerang dengan kedua tanganya,
tapi Coe Tiang Leng tidak berani balas menyerang dan hanya berusaha untuk
menyelamatkan diri dengan berkelit kesana sini. Satu waktu, karena egosan Coe
Tiang Leng, pukulan Kim-mo Say ong, menghantam dinding terowongan yang dibuat
daripada batu. Begitu kena, batu besar itu hancur dan muncrat berhamburan.
Semua orang terkesiap mereka tak duga Cia Soen memiliki lweekang yg begitu
dahsyat. Kalau pukulan itu mampir di tubuh manusia, biarpun tidak mati, orang itu
pasti terluka berat.
Dengan rambut terurai, sinar
mata berkilat kilat dan muka berlepotan darah, Cia Soen terus menyerang seperti
harimau edan dan mulutnya mengeluarkan suara ha-ha ho-ho yang membangunkan bulu
roma. Makin lama ia mengamuk makin hebat, sehingga semua orang merasa sangat
berkuatir, sedang Coe Hoejin sendiri berdiri di satu sudut dengan dilindungin
oleh putrinya.
Satu ketika, karena terdesak,
Coe Tiang Leng mendorong sebuah meja untuk menahan terjangan si kalap. Bagaikan
kilat Cia Soen menghantam dengan kedua tinjunya. Prak! meja itu hancur luluh.
Boe Kie bingung bukan main. Ia
berdiri dipinggir dinding dan mengawasi kejadian itu dengan mulut ternganga. Ia
kaget tercampur heran karena orang itu ternyata bukan ayah angkatnya, Kim-mo
San-ong Cia Soen. Kedua mata ayah angkatnya buta, tapi orang itu tidak kurang
suatu apa.
Sekonyong-konyong, ketika Coe
Tiang Leng berdiri membelakangi dinding, si kalab menghanta. Ia tidak bisa
berkelit lagi, tapi ia tetap tidak mau menangkis. Cia Tayhiap! teriaknya. Aku
bukan musuh, aku tak akan membalas seranganmu.
Orang itu tidak menghiraukan
telapak tangannya terus menyambar ke dada Coe Tiang Leng Buk!, badan Coe Tiang
Leng bergoyang2 dan paras mukanya berubah pucat. Cia Tayhiap apa sekarang kau
sudah percaya? tanyanya.
Anjing! Sambut pukulanku! caci
si kalap.
Ia meninju, Uah! Coe Tiang
Leng muntahan darah. Kau adalah gie heng (saudara angkat) dari Thio Inkong,
katanya dengan suara parau. Biarpun mati, aku tak akan balas menyerang.
Orang itu tertawa terbahak2,
Bagus!... bagus! teriaknya bagaikan orang gila. Kau tidak membalas artinya
ajalmu sudah sampai. Suaranya berkata begitu kedua tangannya menyambar2 dan
mengenakan dada serta perut Coe Tiang Leng. Sesaat kemudian, sambil
mengeluarkan teriakan menyayat hati Coe Tiang Leng roboh terkulai. Tapi si
kalap masih belum puas. Ia menubruk sambil mengayun tinjunya.
Pada detik yang sangat
berbahaya, Boe Kie melompat dan dengan mati2 an menangkis pukulan itu. Begitu
lengannya kebentrok dengan tinju si kalap, ia merasa dadanya menyesak. Tapi,
tanpa mempedulikan bencana, ia menudin dan berteriak. Kau! kau bukan Cia Soen! kau bukan
Orang itu gusar. Tahu apa kau,
setan kecil? bentaknya sambil menendang. Boe Kie mengegos dan berteriak pula.
Kau bukan Cia Soen! kau menyamar sebagai
Cia Soen.
Mendengar teriakan Boe Kie,
perlahan2 Cie Tiang Leng merangkak bagus. Kau kau bukan Cia Soen? serunya
dengan suara parau. Kau menipu aku?. Tiba2 badannya bergoyang2 Uah! mulutnya
menyemburkan darah yang secara kebetulan menyambar tepat pada muka orang itu.
Hampir berbaring, tubuhnya jatuh ngusruk kedepan dan dengan menggunakan
kesempatan itu, dialah dan tangannya bergerak dan jerijinya menotolk Sin hong
hi at, dibawah tetek si kalap.
Sesudah terluka berat. Coe
Tiang Leng bukan tandingannya orang itu. Tapi ia berhasil menolohg jalan darah
si kalap karena totokan it yang cie itu dikirim secara diluar dugaan.
Dalam bidang ilmu totok, It
yang cie tiada keduanya. Biarpun berkepandaian tinggi, orang itu tidak berdaya
lagi. Sambil menggeram, ia terguling Coe Tiang Leng segera mengirim dua totokan
susulan, tapi sesudah itu, ia sendiri roboh tanpa ingat orang lagi. Coe Kioe
Tin dan Boe Kie buru2 mendekati dan mengangkat tubuh orang tua itu.
Selang beberapa saat,
perlahan-lahan Coe Tiang Leng tersadar. Ia mengawasi Boe Kie dan berkata dengan
suara terputus-putus. Apa apa benar dia dia bukan Cia Soan?
Coe Pehpeh, sekarang aku mesti
berterus terang, kata si bocah. Orang yang dinamakan Inkong olehmu adalah
ayahku sendiri, sedang Kim-mo Say-ong Cia Soen adalah ayah angkatku. Tidak! Aku
tidak bisa salah mengenali.
Coe Tiang Leng
menggeleng-geleng kepalanya.
Kedua mata Giehoe buta, tapi
mata orang itu melek, menerangkan Boe Kie. Mata Gie hoe buta sebelum mendarat
Peng hwee to jadi kejadian itu tidak diketahui oleh siapapun dua. Orang itu
menyamar sebagai Giehu, tapi ia tak tahu kenyataan tersebut.
Cie Kie Tin menarik tangannya.
Adik Boe Kie apa benar kau puteranya tuan penolong kami? tanyanya dengan suara
terharu. Bagus! Sungguh bagus!
Tapi orang tua itu masih tetap
tidak percaya.
Karena terpaksa, Boe Kie
segera menceritakan mengapa ia sampai datang digunung Koen Loen. Yauw Ceng Coan
menanyakan hal ilhwal kejadian di Boe tong yang berbuntut dengan kebinasaan
kedua orang tuanya dan pertanyaan2 itu telah dijawab dengan ringkas dan terang
oleh Boe Kie.
Semua orang, kecuali Coe Tiang
Leng, tidak bersangsi lagi. Hanya orang tua itu yang masih menggoyang-goyangkan
kepalanya dan mengawasi muka si bocah dengan sorot mata pertanyaan. Kalau dia
berdusta, kita akan berdosa terhadap Cia tayhiap, katanya dengan suara
perlahan.
Tiba2 Yauw Ceng Coan mencabut
pisau belatinya dan sambil menuding mata kanan orang itu, ia membentak,
Sahabat! Kim mo Say ong Cia Soan buta kedua matanya. Kalu kau mau menyamar sebagai
dia, penyamaran itu harus mirip betul. Biarlah hari ini aku tolong membutakan
kedua matamu. Sahabat! Aku, si orang she Yauw, telah ditipu olehmu. Kalau
saudara kecil itu tidak berada disini, bukankah secara tolol Coe Taoko akan
mengantarkan jiwa? sehabis berkata begitu, ia menggerakkan tangannya, sehingga
ujung pisau hampir menempel dengan mata si penipu.
Orang itu tertawa terbahak2.
Jika kau mempunyai nyali, bunuhlah aku, tantangnya. Apa kau kira Kay pay-chioe
Ouw Pa manusia pengecut? (Kay pay chioe si tangan yg bisa membelah tugu butu.
"Oh!" kata Coe Tiang
Leng dengan suara kaget.
"Kay-pay chiu Ouw Pa!
Hm!...Kalau begitu kau anggota Khong tong-pay."
Benar! teriak Ouw Pa. Semua
partai dalam dunia persilatan sudah tahu, bahwa Coe Tiang Leng mau membalas
sakit hatinya Thio Coei San. Siapa yang turun tangan lebih dulu, dia yang
menang.
Kau sungguh jahat! bentak Yauw
Ceng Coan. Ia mengangkat pisaunya dan lalu menikam ulu hati orang itu.
Jie-tee, tahan! cegah Coe
Tiang Leng seraya mencekal tangan adiknya. Kalau dia benar Cia Tayhiap, biarpun
mati kita berdua masih tidak dapat menebus dosa.
Bukankah saudara kecil ini
sudah memberi keterangan yang cukup jelas? kata Yauw Ceng Coan, Toako, jika kau
terus ragu, kita tak akan bisa menghindar lagi dari bencana besar.
Tapi sang kakak menggelengkan
kepalanya. Aku lebih suka mati dicincang ribuan golok daripada mengganggu
selembar rambut saudara angkatnya Thio In Kong, katanya.
Coe Pehpeh, orang itu sudah
pasti bukan ayah angkatku, kata Boe Kie. Sebagai seorang yang bergelar Kim-mo
Say-ong (Raja singa bulu emas), rambut Giehoe berwarna kuning. Tapi orang itu
berambut hitam.
Sesudah berpikir beberapa
saat, Coe Tiang Leng manggutkan kepalanya. Ia menuntun tangan Boe Kie seraya
berkata, Saudara kecil, ikut aku. Mereka keluar dari kamar batu, keluar dari
terowongan dan kemudian pergi ke bawah sebuah tebing, di belakang tanjakan.
Dengan duduk di samping Boe Kie di atas sebuah batu besar, Coe Tiang Leng
berkata, Saudara kecil, kalau orang itu bukan Cia Tayhiap, kita mesti segera
membinasakan dia. Tapi sebelum turun tangan, perasaan raguku harus dihilangkan
lebih dulu. Bagaimana pendapatmu? Apakah pendirianku benar atau salah.
Sikap itu adalah karena Coe
Pehpeh menghormati ayah dan Giehoe, kata Boe Kie. Tapi orang itu sudah pasti
bukan Giehoe. Coe Pehpeh, kau boleh tidak ragu lagi.
Orang tua itu menghela napas.
Naik, katanya, Di waktu masih muda, aku seringkali diperdayai orang. Hari ini
aku tidak mau balas menyerang sehingga aku mendapat luka berat. Hal itu terjadi
sebab aku salah menilai orang. Salah boleh sekali, tetapi tidak boleh sampai
dua kali. Urusan ini adalah urusan besar. Soal mati atau hidupku tak menjadi
soal. Biar bagaimanapun juga, aku harus melindungi keselamatanmu dan
keselamatan Cia Tayhiap, supaya hatiku lega. Akan tetapi, aku tak berani
membuka mulut.
Bukan main terharunya Boe Kie.
Coe Pehpeh, demi kepentingan ayah dan Giehoe, kau sudah membakar rumah dan
harta benda sendiri, katanya. Bukan saja begitu, tapi Coe Pehpeh sendiripun
sampai mendapat luka berat. Apakah aku masih harus meragukan kejujuranmu.
Mengenai keadaan Giehoe, biarpun Pehpeh tak menanyakan aku sendiri memang ingin
memberitahukan bagaimana kedua orang tuaku bersama Cia Soen telah
diombang-ambingkan ombak sehingga mendarat di pulau Peng hwee-to, bagaimana
mereka berdiam di pulau itu selama sepuluh tahun dan bagaimana kedua orang
tuaku dan Cia Soen mengangkat saudara. Tentu saja sebagian kejadian itu tidak
dialami olehku sendiri dan aku mendengarnya dari kedua orang tuaku.
Coe Tiang Leng adalah seorang
yang berpengalaman dan berhati-hati. Ia tidak mudah percaya cerita orang. Tapi
sesudah mendengar penuturan Boe Kie, ia tidak ragu lagi. Sesudah membuang napas
lega, ia mendongak dan berkata dengan suara bersyukur, Inkong! Inkong! Sebagai
roh yang angker, kau tentu mengetahui semua perasaanku. Selama aku, Coe Tiang
Leng, masih hidup, aku pasti akan memelihara dan mendidik saudara Boe Kie
sampai menjadi orang. Tapi musuh terlalu banyak. Maka itu, aku mohon Inkong
melindungi. Setelah berkata begitu, ia berlutut dan manggutkan kepala
berulang-ulang. Bukan main sedihnya Boe Kie, ia bersedih dan berterima kasih
dan segera berlutut di samping orang tua itu.
Sesudah bangkit, Coe Tiang
Leng berkata, Sekarang aku tak ragu lagi. Hai! Koen loen pay!...Siauw lim
pay!...semua berjumlah besar. Saudara kecil, sebenarnya aku ingin
mempertaruhkan jiwaku untuk memberikan perlawanan guna membinasakan musuh-musuh
itu untuk membalas budinya Inkong. Tapi sekarang keadaan berubah. Menurut
pendapatku, tugas untuk memelihara anak yatim piatu adalah lebih penting
daripada membalas sakit hati. Hal yang sekarang dipikirkan olehku adalah
mencari tempat untuk menyembunyikan diri. Tempat ini sudah cukup jauh dari
dunia pergaulan tapi musuh-musuh kita masih bisa datang sampai ke sini. Di mana
di manakah kita bisa mencari tempat yang lebih aman? Ia diam sejenak dan
kemudian berkata pula, Cia Tayhiap berdiam seorang diri di pulau Peng hwee-to.
Selama beberapa tahun ia tentu merasa sangat kesepian. Hai! Cia Tayhiap begitu menyintai
Inkong. Aku hanya berharap, bahwa suatu waktu aku akan bisa bertemu muka dengan
dia. Kalau harapan ini bisa terwujud biarpun mati, aku akan mati dengan rela.
Boe Kie, jadi lebih berduka.
Tiba-tiba dalam otaknya terlintas ingatan dan ia segera berkata, Coe Pehpeh,
apakah tidak baik kita beramai-ramai pergi ke Peng hwee-to? Selama di pulau
itu, aku hidup bahagia. Tapi begitu pulang ke Tiong-goan, semua lantas saja
berubah. Apa yang disaksikan dan dialami olehku adalah pembunuhan-pembunuhan
dan peristiwa-peristiwa berdarah.
Coe Tiang Leng menatap wajah
si bocah. Saudara kecil, apa benar kau ingin kembali ke Peng hwee-to? tanyanya.
Ditanya begitu Boe Kie tidak
segera menjawab, karena tiba-tiba saja ia ragu. Ia ingat bahwa ia bakal mati
dalam waktu yang tak terlalu lama. Ia ingat pula, bahwa perjalanan ke Peng
hwee-to penuh bahaya sehingga belum tentu mereka bisa mencapai jarak tersebut.
Tidak pantas aku menyeret-nyeret seluruh keluarga Coe Pehpeh ke jalanan yang
penuh bahaya, pikirnya.
Melihat keraguan itu, Coe
Tiang Leng segera saja berkata seraya mengusap-usap kepala Boe Kie, Saudara
kecil, kau dan aku bukan orang luar. Kau harus memberitahukan apa yang dipikir
olehmu sejujur-jujurnya. Apakah kau berniat kembali ke Peng hwee-to? Ia berkata
begitu dengan suara sungguh-sungguh, dengan nada memohon.
Karena pengalaman pahit getir,
di dalam hatinya, Boe Kie sudah merasa sangat sebal untuk berkelana lebih lama
dalam dunia Kang-ouw yang kejam dan berbahaya. Kalau sebelum mati ia bisa
bertemu muka lagi dengan ayah angkatnya, kalau ia bisa mati dalam pelukan
Giehoe itu, ia sungguh merasa sangat beruntung. Berpikir begitu, perlahan-lahan
ia manggutkan kepalanya.
Coe Tiang Leng tidak bicara
lagi dan dengan menuntun tangan si bocah, ia kembali ke kamar batu. Begitu
bertemu dengan Yauw Ceng Coan, ia berkata, Sekarang tidak usah diragukan lagi
bahwa orang itu manusia jahat.
Yauw Ceng Coan mengangguk dan
dengan memegang pisau, ia segera masuk ke dalam kamar rahasia.
Sesaat kemudian, dalam kamar
terdengar teriakan yang menyayat hati dan waktu Yauw Ceng Coan keluar lagi,
pisau yang dipegangnya berlumuran darah.
Tempat persembunyian kita ini
sudah diketahui musuh dan kita tak dapat tinggal lebih lama lagi, kata Coe
Tiang Leng. Semua orang segera meninggalkan terowongan dan sesudah berjalan
duapuluh li lebih, sesudah melewati dua puncak gunung, tibalah mereka di sebuah
lembah. Sesudah berjalan lagi beberapa lama, mereka bertemu sebuah pohon kwi
yang sangat besar dan di bawah pohon berdiri empat lima rumah kecil.
Waktu itu fajar sudah mulai
menyingsing. Semua orang lantas saja masuk ke dalam sebuah rumah di mana
terdapat cangkul, luku golok dan alat-alat pertanian lain. Di samping itu, di
dalam rumah tersebut juga terdapat dapur dengan perabot masak yang serba lengkap
serta bahan makanan yang tidak sedikit. Boe Kie segera mengerti, bahwa untuk
menjaga kedatangan musuh-musuhnya Coe Tiang Leng sudah membuat dan melengkapi
rumah itu, sebagai persiapan kalau-kalau ia perlu menyingkirkan diri.
Begitu tiba, orang tua itu
yang mendapat luka berat segera rebah di ranjang untuk mengaso, sedang Coe Hoe
Jin mengeluarkan pakaian sepatu dan ikat kepala petani dari dalam peti pakaian
lalu membagikannya kepada semua orang. Dalam sekejap anggota-anggota keluarga
yang kaya raya itu sudah mengenakan pakaian petani yang kasar.
Setelah berdiam beberapa hari
berkat obat turunan yang sangat mujarab, kesehatan Coe Tiang Leng mendapat
kemajuan yang sangat pesat. Untung musuh tidak mengejar sampai di situ,
sehingga mereka bisa hidup dengan tenteram. Mereka mempersiapkan barang-barang
untuk melakukan perjalanan jauh. Boe Kie mengerti bahwa persiapan itu adalah
untuk pergi ke pulau Peng hwee-to guna membalas budi.
Malam itu ia tak bisa tidur,
pikirannya melamun, membayangkan hal-hal yang akan terjadi di pulau itu nanti.
Ia akan bisa berkumpul dengan Coe Kiu Tin, Coe Pehpeh, Yauw Jie Siok dan ayah
angkatnya dengan kehidupan yang bahagia, tanpa penindasan dari penjajah Goan.
Mengingat itu semua, hatinya
jadi gembira. Sampai tengah malam, ia masih bolak-balik di atas pembaringan.
Tiba-tiba ia mencium bau wangi dan satu bayangan manusia kelihatan berkelabat,
ternyata bayangan itu adalah Coe Kiu Tin, mendadak wajah Boe Kie berubah merah.
Perlahan-lahan si nona
mendekati pembaringan dan berbisik, Adik Boe Kie, apa kau sudah tidur?
Sesaat kemudian ia merasa
mukanya diraba-raba oleh si nona yang rupanya mau menyelidiki apa ia
benar-benar sudah tidur.
Boe Kie kaget bercampur
girang, malu bercampur takut, tapi ia tetap pejamkan mata dan berpura-pura tidur,
dan mengharap supaya Kiu Tin buru-buru keluar. Semenjak baru bertemu, ia memuja
si nona bagaikan seorang Dewi, ia sudah merasa beruntung kalau setiap hari bisa
bertemu dengan gadis cantik itu. Dalam jiwanya yang masih bersih, pemujaan itu
bebas dari segala pikiran yang bukan-bukan. Ia bahkan tidak pernah membayangkan
atau memikirkan untuk mengambil nona Coe sebagai istrinya. Maka itulah,
kedatangan Kiu Tin ditengah malam buta sangat membingungkan hatinya.
Apakah Tin-jie ingin
membicarakan sesuatu yang sangat penting denganku? tanyanya dalam hati. Baru
saja berpikir begitu, mendadak ia merasa dadanya kesemutan karena di bagian
Tiat tiong hiat telah ditotok. Hampir berbarengan, jalan darah yang lain pada
Kian tin, Sin cong, Kie tie serta Hoan tiauw hiat juga tertotok.
Itu kejadian yang sungguh
diluar dugaan! Siapa sangka si nona menyatroni untuk menotok jalan darahnya?
Tapi dilain saat, ia mendapat satu ingatan lain. Aha! Tin-jie tentu ingin
menjajal kewaspadaan diwaktu tidur, pikirnya. Besok, waktu akan membuka jalan
darahku, ia tentu mentertawai aku. Hmm, kalau aku tahu begitu, tentu melompat
bangun untuk mengagetkannya.
Dilain pihak, sesudah menotok
jalan darah Boe Kie, perlahan-lahan Kiu Tin membuka jendela dan melompat ke
atas genteng.
Paling baik aku membuka jalan
darahku dan menakut-nakuti dnegan menyamar sebagai setan, pikir Boe Kie. Seraya
tertawa geli, ia segera mengerahkan Lweekang dan coba membuka jalan darah yang
tertotok dengan menggunakan ilmunya Cia Soen. Tapi totokan si nona adalah totokan
It-yang-cie yang sangat hebat dan sesudah berdeging kira-kira setengah jam,
barulah ia berhasil membuka jalan darahnya.
Berhasilnya Boe Kie adalah
karena pertama Lweekang nona Coe masih sangat rendah dan kedua, Kiu Tin memang
hanya ingin menotok perlahan sebab sungkan melukai si bocah. Kalau totokan
It-yang-cie diberikan seorang ahli berkepandaian tinggi, biarpun Boe Kie
sepuluh kali lipat lebih hebat, ia tak akan dapat membuka jalan darahnya.
Begitu terbebas, cepat-cepat
Boe Kie memakai pakaian luar dan melompat ke atas genting dari jendela. Sambil
berlari-lari ia menyusul ke arah jalanan yang tadi diambil oleh si nona. Tapi
apa yang ditemukan hanya gunung kosong yang sunyi senyap, dengan pohon-pohon
yang kadang-kadang mengeluarkan suara kresekan karena ditiup angin.
Sesudah mengejar beberapa lama
dengan rasa kecewa, ia menghentikan langkahnya. Tapi dilain saat ia berpikir
lain, Perlu apa aku membalas. Sekarang Tin-jie sangat menyayangi aku, tapi
kalau malam ini aku membalasnya, mungkin sekali ia akan berbalik membenci aku.
Berpikir begitu, hatinya jadi tenang kembali.
Waktu itu adalah permulaan
musim semi. Bunga di lembah itu sudah mulai mekar dan menyiarkan bebauan yang
sangat harum. Kesunyian malam dan pemandangan di sekitar gunung itu mendatangkan
banyak kenangan dari masa lampau. Karena memang tak bisa tidur, Boe Kie tidak
segera kembali, perlahan-lahan ia berjalan di sepanjang pinggiran sebuah
selokan. Salju di tanjakan sudah mulai melumut dan air yang mengalir di selokan
bercampur kepingan-kepingan es.
Sesudah berjalan beberapa
lama, sekonyong-konyong di dalam hutan sebelah kiri terdengar suara tawa
seorang wanita. Boe Kie terkesiap sebab suara itu adalah suara Kiu Tin.
Apakah Tin-jie sudah melihat
aku? tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba terdengar bentakan
si nona. Piauw ko, jangan rewel kau! Apa kau minta dihajar? bentakan itu
disusul dengan tawa seorang lelaki yang bukan lain adalah Wie Pek.
Boe Kie terkejut, jantungnya
memukul keras dan kepalanya seperti diguyur dengan air es. Sekarang ia mengerti.
Ia mengerti, bahwa Kiu Tin menotok jalan darahnya bukan untuk bercanda, tapi
untuk mencegah terbukanya rahasia pertemuan itu. Ia menghela napas dan berkata
dalam hatinya. Ya! Aku mesti tahu diri. Aku tak lebih dan tak kurang daripada
seorang bocah miskin yang tak punya tempat berteduh. Baik dalam ilmu silat, aku
berada jauh di bawah Wie Siang Kong. Di samping itu mereka adalah saudara
sepupu dan merupakan pasangan yang cocok, yang satu cantik yang satu tampan.
Mengingat begitu, hatinya menjadi lebih tenteram dan sambil menghela napas, ia
segera bertindak untuk berlalu.
Mendadak, di sebelah belakang
terdengar suara langkah kaki. Hampir berbarengan dengan bergandengan tangan,
Wie Pek dan Kiu Tin muncul dari dalam hutan. Karena sungkan bertemu dengan dia,
buru-buru Boe Kie bersembunyi di belakang satu pohon besar. Pada saat itu,
langkah kaki yang mendatangi dari sebelah belakang sudah mendekati.
Thia seru Kiu Tin, suaranya
gemetar seperti orang ketakutan.
Orang itu ternyata Coe Tiang
Leng. Ia rupanya gusar dan sambil mengeluarkan suara di hidung ia membentak,
Bikin apa kau di sini?
Kiu Tin mencoba menekan rasa
takutnya dan dengan tawa yang dipaksakan ia menjawab.
Sudah lama kami tidak pernah
bertemu dan malam ini, kebetulan Piauw ko datang, anak datang menyusul kemari
untuk mengobrol.
Kau terlalu berani mati, kata
sang ayah dengan suara yang mendongkol. Kalau Boe Kie tahu.
Anak sudah menotok lima jalan
darahnya dan sekarang ia sedang tidur nyenyak, kata si nona.
Coe Pehpeh juga sudah tahu,
bahwa aku menyayangi Tin-cie, kata Boe Kie dalam hati, kuatir aku berduka. Ia
tak tahu, bahwa biarpun sayang, aku tak punya maksud yang lain. Hai!...Coe
Pehpeh kau sungguh baik terhadapku.
Tapi perkataan Coe Tiang Leng
yang selanjutnya menerbitkan rasa heran dalam hati Boe Kie.
Meskipun begitu, kita harus
berhati-hati supaya ia tak lihat sesuatu yang mencurigakan, kata orang itu.
Kiu Tin tertawa. Ah! Anak
kecil tahu apa, katanya.
Tin-moay, kata Wie Pek, Aku
mau pulang, aku kuatir suhu menunggu-nunggu aku.
Si nona kelihatannya merasa
berat untuk segera berpisah. Biar ku antar pulang, katanya.
Mari kita pergi bersama-sama,
kata sang ayah. Aku ingin bicara dengan gurumu untuk pergi ke Peng hwee-to,
kita harus membuat persiapan yang seksama. Sehabis Coe Tiang Leng berkata
begitu, dia segera menuju ke arah barat.
Boe Kie jadi makin heran. Ia
tahu, bahwa guru Wie Pek adalah Boe Liat, ayahnya Boe Ceng Eng. Didengar dari
perkataan Coe Tiang Leng, sepertinya Boe Liat bersama putrinya dan Wie Pek
bakal turut pergi ke Peng hwee-to. Mengapa hal itu belum pernah didengar
olehnya? Ia kuatir, sebab bila soal Cia Soen diketahui terlalu banyak orang
kemungkinan bocornya rahasia akan menjadi sangat besar. Sesudah berpikir
sejenak, tiba-tiba ia ingat perkataan Coe Tiang Leng yang mengatakan kita harus
berhati-hati supaya ia tak lihat sesuatu yang mencurigakan. Ia curiga dan
dilain saat, ia ingat pula hal lain yang lebih mencurigakan. Ia ingat, bahwa
gambar mendiang ayahnya yang digantung di rumah keluarga Coe. Ayahnya dilukiskan
sebagai seorang yang bermuka panjang, sedangkan muka ayah sebenarnya bundar
telur.
Paras muka Boe Kie mirip
dengan Coei San, tapi potongan muka mereka sangat berlainan. Muka si anak
persegi panjang, muka sang ayah bundar telur, dengan lancip di bagian janggutnya.
Coe Tiang Leng mengatakan bahwa gambar itu telah dilukis olehnya sendiri pada
belasan tahun yang lalu. Walaupun begitu dan andaikata orang tua itu tidak
pandai melukis, tidak mungkin ia membuat kesalahan dalam melukis potongan muka
tuan penolongnya. Apa yang dilukis Coe Tiang Leng pada hakekatnya Boe Kie dalam
usia dewasa.
Aha! Ada lagi yang
mengherankan, kata si bocah dalam hatinya. Bentuk Poan koan-pit yang bisa
digunakan Tia tia mirip dengan pit dan gagangnya, sangat pendek. Tapi Poan
koan-pit dalam lukisan itu adalah Poan koan-pit biasa. Sebagai seorang ahli
Poan koan-pit, bagaimana Coe Pehpeh bisa melukis salah?
Mengingat itu semua, Boe Kie
menjadi bingung dan ketakutan. Di dalam hati kecilnya sudah menduga-duga sebab
musebab keanehan-keanehan itu. Akan tetapi, dugaan itu terlalu hebat, sehingga
ia tidak bisa meneruskan taksirannya itu. Ah! Tak boleh aku berpikir yang
gila-gila, ia menghibur dirinya sendiri. Coe Pehpeh begitu sayang aku dan aku
tak pantas menduga yang tidak-tidak. Paling baik aku pulang dan tidur. Kalau
dia tahu bahwa aku menguntit dia, bisa-bisa jiwaku melayang.
Mengingat jiwa melayang,
tiba-tiba ia menggigil. Ia sendiri tak tahu, mengapa ia menjadi begitu
ketakutan.
Sesudah berdiri terpaku
beberapa lama tanpa terasa ia melangkah ke arah jalanan yang dilalui oleh Coe
Tiang Leng bertiga. Sekonyong-konyong di sebuah hutan yang agak jauh ia melihat
sinar api yang berkelap-kelip, sebagai tanda, bahwa di dalam hutan itu terdapat
sebuah rumah orang. Dengan jantung berdebar keras, ia menuju ke arah sinar api
dengan langkah ringan.
Setibanya di belakang rumah
itu, sesudah menentramkan hati, ia mengendap-endap menghampiri jendela dan
melongok ke dalam. Ternyata memang benar Coe Tiang Leng bertiga berada dalam
ruangan itu. Mereka duduk menghadap jendela dan sedang bicara dengan dua orang
yang duduk membelakangi jendela sehingga muka mereka tak dapat dilihat oleh Boe
Kie. Tapi yang satu seorang wanita, mungkin sekali Boe Ceng Eng, sedang yang
satunya lagi adalah seorang pria bertubuh tinggi besar. Dengan penuh perhatian,
sambil manggut-manggut lelaki itu tengah mendengar penuturan Coe Tiang Leng
tentang bagaimana mereka harus menyamar sebagai pedagang kemudian berlayar dari
pantai Shoatang.
Aku benar tolol, kata Boe Kie
dalam hatinya, Orang itu mungkin sekali Boe Chung Coe. Sebagai seorang sahabat
Coe Pehpeh, ini adalah kejadian lumrah diantara sahabat karib. Mengapa aku jadi
begitu ketakutan?
Thia, bagaimana kalau kita
tidak bisa cari pulau itu dan juga tidak bisa pulang kembali? tanya wanita itu yang ternyata memang Boe
Ceng Eng.
Sekarang Boe Kie mendapat
kepastian, bahwa lelaki itu adalah Boe Liat.
Kalau takut, kau boleh tak
usah ikut, jawab sang ayah. Di dalam dunia ini, tanpa berani menempuh
kesukaran, manusia takkan bisa memperoleh sesuatu yang berharga.
Ayahku sering pergi ke
Tiong-goan dan ia pasti tahu racun yang baik, kata pemuda itu. Kita bisa minta
bantuan ayah.
Sesaat Boe Liat bangkit seraya
menepuk pundak Kiu Tin, ia berkata, Tin-jie. Tiba-tiba ia menengok dan Boe Kie
melihat tegas mukanya. Ia terkesiap, karena orang itu adalah manusia yang sudah
menyamar sebagai ayah angkatnya.
Sekarang semua menjadi jelas.
Dipukulnya Coe Tiang Leng hingga muntah darah, teriaknya yang menyayat hati dan
sebagainya hanyalah sandiwara belaka. Agar sandiwara itu kelihatan
sungguh-sungguh, mereka harus menggunakan Boe Liat yang memiliki kepandaian
tinggi.
Tin-jie, kau sendiri harus
menjalankan perananmu baik-baik, kata Boe Liat sambil tertawa, Selama dalam
perjalanan, kau harus baik terhadap setan kecil itu. Kau harus menjaga supaya
ia tidak tersadar.
Thia, kau harus meluluskan
satu permintaanku, kata Kiu Tin.
Permintaan apa? tanya sang
ayah.
Kau menyuruhku melayani setan
kecil itu dan kau tak tahu, betapa besar penderitaanku, jawabnya. Dari sini ke
Peng hwee-to masih jauh sekali. Selama itu, entah berapa besar kedongkolan yang
harus ditelan olehku. Maka itu aku minta supaya sesudah kau dapat merebut To
liong-to kau ijinkan aku untuk membacok mampus setan kecil itu!
Mendengar kata-kata yang
sekejam itu, mata Boe Kie gelap hampir ia roboh. Lapat-lapat ia mendengar suara
Coe Tiang Leng, Sebenar-benarnya kita tak pantas menjalankan tipuan ini
terhadap dia. Di samping itu dia juga bukan orang jahat. Kurasa membinasakan
Cia Soen dan merampas To liong-to, cukuplah kalau kita membutakan kedua matanya
dan meninggalkan dia di pulau itu.
Coe Toako adalah seorang yang
welas asih dan perkataanmu itu membuktikan bahwa kau memang seorang ksatria,
puji Boe Liat.
Coe Tiang Leng menghela napas.
Kita terpaksa menjalankan tipuan ini karena tak ada lagi jalan yang lebih baik,
katanya. Boe Jie tee, sesudah berlayar, perahumu harus berada agak jauh dari
perahuku. Kalau terlalu dekat, anak itu bisa curiga. Tapi kalau terlalu jauh,
hubungan kita bisa terputus. Maka itu kau harus memilih anak buah dan pengemudi
yang pandai.
Boe Kie merasa kepalanya
pusing. Ia mengasah otak untuk memecahkan banyak pertanyaan. Aku belum pernah
memperkenalkan diri, tapi bagaimana mereka bisa menebak asal-usulku? tanyanya
dalam hati. Hm mungkin sekali karena aku sudah menggunakan ilmu Boe tong-pay
dan Hang lion Sip pat ciang waktu melawan Wie Pek dan kedua perempuan itu. Coe
Pehpeh seorang cerdas dan berpengalaman luas. Rupanya, begitu melihat ilmu
silatku, ia sudah bisa menebak asal-usulku.
Beberapa saat kemudian, ia
berkata pula dalam hatinya. Ia tahu, bahwa kedua orang tuaku lebih suka mati
daripada membuka rahasia. Ia menaksir bahwa jika menggunakan kekerasan, ia tak
akan bisa mengorek dari mulutku. Maka itu, ia menggunakan siasat membakar rumah
sendiri dan menjalankan tipu Kouw-jiok-kee (menyakiti diri sendiri), sehingga
tanpa meminta, aku sudah membuka rahasia Peng hwee-to. Ah!...Coe Tiang Leng!
Coe Tiang Leng! Tipumu sungguh beracun!
Sementara itu, Coe Tiang dan
Boe Liat sudah mulai membicarakan rencana pelayaran, Boe Kie tak berani
mendengar lebih jauh dan dengan sangat hati-hati, ia lalu meninggalkan rumah
itu. Sambil memasang kuping, ia berjalan selangkah demi selangkah. Ia tahu,
bahwa kedua orang tua itu memiliki kepandaian yang sanggat tinggi, sehingga
sedikit saja ia bertindak salah, mereka segera bisa mendengarnya. Sesudah
terpisah belasan tombak, barulah ia berani berjalan lebih cepat. Dalam
ketakutan ia tak memilih jalanan. Ia terus mendaki tanjakan dan menuju ke
sebuah hutan lebat. Selama kurang lebih satu jam ia berlari-lari seperti orang
kalap, tanpa berani mengaso.
Waktu fajar menyingsing, ia
berada di dalam hutan dari sebuah puncak yang tertutup salju. Dengan napas
tersengal-sengal ia menhentikan langkah dan menengok untuk melihat kalau-kalau
ada yang mengejar.