Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 46

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 46
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 46
Ia menghela nafas dan berkata pula. “Selama beberapa tahun setiap saat aku memikiri daya upaya untuk menghancurkan Mo kauw. Hei…..Aku sungguh beruntung, istriku direbut orang. Muridku satu2nya menganggapku sebagai musuh besarnya……”

Mendengar disebutnya Cia Soen. Jantung Boe Kie memukul keras dan ia memusatkan segala perhatiannya untuk mendengari Seng Koen. Tapi dengan pemusatan perhatian itu, Kioe Yang Cin Khie (Hawa tulen Kioe yang) yang berkumpul di tubuhnya jadi bertambah. Tal lama kemudian, ia merasa tulang2nya seperti melar, seolah2 mau meledak, sedang lubang2 rambutnya seakan2 menjadi beberapa kali lipat lebih besar.

Goan Tin melanjutkan ceritanya. “Sesudah turun dari Kong beng teng, aku pulang ke Tionggoan dan mencari muridku Cia Soen yang sudah lama tak bertemu. Diluar dugaan, begitu bertemu aku diberitahukan, bahwa ia sudah menjadi salah satu Hoa kauw Hoat ong dari Mo kauw……”

Ia malah coba membujukku supaya aku turut menyeburkan diri ke dalam agama siluman itu. Ia mengatakan bahwa Mo kauw bertujuan untuk mengusir kaum penjajah. Aku gusar tak kepalang. Tapi aku segera menekan kegusaranku, karena kuingat, bahwa Mo kauw sudah berakar dalam dan mempunyai banyak orang pandai, sehingga dengan sendirian, aku pasti tak bisa berbuat banyak. Jangankan aku seorang diri, sedangkan sebuah perserikatan dari orang2 gagah seluruh rimba persilatan belum tentu bisa menghancurkannya, aku menarik kesimpulan jalan satu2nya iyalah menjalankan tipu supaya Mo kauw terpecah belah dan anggota2nya saling bunuh membunuh. Hanyalah dengan cara itu. Mo kauw bisa dihancurkan”

Yo Siauw dan yang lain2 memasang kuping dengan hati berdebar2. mereka merasa, bahwa dalam banyak tahun mereka seperti berada dalam pulas yang nyenyak, tanpa mengetahui, bahwa seorang musuh besar tengah menjalankan siasat untuk membinasakan Beng kauw.

Diam2 mereka mengakui kegoblokannya mereka. Bahwa dalam banyak tahun ini, apa yang diperbuat mereka hanyalah berkelahi dengan kawan sendiri untuk merebut kursi Kauwcoe. Cerita Goan tin itu bagaikan bunyi genta yang telah menyadarkan mereka.

“Pada waktu itu, paras tak berubah, aku hanya mengatakan bahwa urusan itu urusab besar yang harus dipikir masak2,” kata pula Goan tin. “Beberapa hari berselang aku berlagal mabuk arak dan coba mencemarkan kehormatan istri muridku. Dengan menggunakan kesempatan itu, aku membunuh ayah, ibu, istri dan anaknya Cia Soen. Aku mengerti, bahwa dengan berbuat begitu. Ia akan marah besar dan coba mencari aku untuk membalas sakit hatinya. Kalau dia tidak berhasil mencari aku, maka menurut dugaanku, ia akan melakukan perbuatan yang gila2. ha..ha!….kata orang, mengenal anak tidak seperti ayahnya, mengenal murid tidak seperti gurunya. Aku mengenal watak muridku itu. Dia anak sangat baik, tapi seorang pemarah yang mudah menjadi gelap. Ia tidak bisa memikir panjang2, ia tidak bisa meneliti siasat orang.”

Mendengar sampai disitu Boe Kie merasa kepalanya puyeng. Ia gusar bukan main, dadanya seperti mau meledak. “Kalau begitu semua penderitaan Gie Hoe adalah akibat dari tipu busuknya bangsat tua itu.” Katanya dalam hati.

Dengan suara bangga Goan tin berkata pula “Dengan menggunakan namaku Cia Soen telah membinasakan orang2 gagah dalam kalangan Kangouw. Tujuannya yalah untuk memaksa aku keluar untuk menemui dia. Ha….ha! mana bisa aku menuruti kemauannya, rahasia tentu saja tak bisa ditutup. Biarpun dia menggunakan namaku, tapi orang tahu bahwa pembunuhan2 itu dilakukan olehnya. Dia menanam banyak sekali permusuhan. Hutang2 darah itu semua masuk kedalam buku hutang Beng kauw…..”

Ia berhenti sejenak, kemudia lanjutnya. “diluar banyak musuh, didalam Beng Kauw berantakan. Kamu semua tidak terlepas dari tipu dayaku. Aku merasa menyesal dia batal membunuh Song Wan Kiauw. Tapi cukuplah, dia sudah membunuh Kong kian Taysoe, melukai lima tetua Kho tong, membinasakan jago2 lima partai di pulau Ong poan san, bahkan orang2 Peh bie kauw tak terluput dari tangannya. Ha…ha….ha! murid baik, murid manis. Ha…ha….ha…..” dia tertawa bagaikan orang edan.

Tiba2 Boe Kie merasa kupingnya “menguing” dan ia pingsan. Tapi beberapa saat kemudian, ia sudah tersadar lagi. Semenjak kecil, ia sendiri pernah menerima macam2 hinaan. Tapi apa yang diderita ayah angkatnya, ratusan kali lipat lebih hebat. Karena tipu busuknya Seng Koen, ayah angkat itu, seorang yang keras seperti besi, musnah rumah tangganya. Rusak namanya, matanya buta keduanya dan sekarang hidup sebatang kara di pulau terpencil. Aduh! Itulah sakit hati yang tidak bisa tidak dibalas.

Bahna gusarnya, dadanya menyesak. Dan karena gusar, Kioe yang Cin Khie dalam tubuhnya mengamuk hebat. Nafasnya tersengal2 membunag “hawa tulen” yang seperti juga meledak keluar dari dalam tubuhnya. Tapi ia berada didalam karung. Hawa yang keluar dari hidung dan mulutnya tak bisa buyar, sehingga sebagai akibatnya, perlahan2 karung Kian Koen it khie tay melembung.

Tapi semua orang yang tengah mendengari cerita Goan tin tidak memperhatikan melambungnya karung itu.

Goan tin berkata pula. “Yo Siauw, Cioe Tian, Wie It Siauw dan yang lain2, apa kamu mau bicara?”

Yo Siauw menghela nafas, “Sesudah keadaan jadi begini, apa lagi yang mau dikatakan?” katanya, “Goan tin taysu, apakah kau bisa mengampuni jiwa anakku? Ibunya ialah Kie Siauw Hoe dari Go Bie Pay. Ia belum masuk ke dalam Beng Kauw.”

“Membabat rumput harus membabat sampai diakarnya, aku tak mau memelihara harimau kecil untuk jadi biang penyakit,” jawabnya. Ia berjalan pelan2 dan lalu mengangkat tangannya untuk menepuk batok kepala Yo Siauw.

Boe Kie terkesinap. Tanpa menghiraukan hawa panas yang seperti dibakar, ia melompat kehadapan Goan tin, mengangkat tangan kirinya dan menangkis pukulan pendeta itu. Begitu tertangkis, tangan Goan tin terpental. Sesudah terkena pukulan Han beng Bian ciang, pendeta itu terluka berat dan sekarang, tenaganya baru pulih sebagian, sehingga tangkisan Boe Kie telah menggoncang tubuhnya dan mau tidak mau, ia mundur setindak dengan badan limbung. “Bocah!” bentaknya. “Kau…..kau…..”

Boe Kie merasa mulut dan lidahnya kering serta panas. Hawa cin khie mengamuk makin hebat.

Sesudah menetapkan semangat, Goan tin memukul karung itu dengan telapak tangannya. Tapi pukulan itu, yang tidak kena dibadan Boe Kie, sudah terpukul balik dengan tenaga membal dari karung tersebut, sehingga sekali ia terhuyung. Ia kaget bukan main dan tak tahu sebab musababnya. Dia sama sekali tidak pernah bermimpi, bahwa manusia yang berada dalam karung itu mempunyai tenaga Kioe yang Sin keng.

Sementara itu, Kioe yang Cin khie yang mengamuk didalam tubuh Boe Kie sudah mendekati titik peledakan. Jika Kian koen It kie tay keburu meledak, maka ia terlolos dari kebinasaan, kalau tidak, Cin khie itu akan segera meledak dan membakar seluruh tubuhnya.


Dilain saat Goan tin telah maju 2 tindak dan kembali menghantam karung dengan telapak tangannya. Seperti tadi, ia terhuyung pula, tapi karungnya pun, yang didorong keras, berguling2 seperti bola raksasa. Dada Boe Kie semakin menyesak. Ia sukar mengeluarkan lagi hawa dari badannya, sebab karung itu sudah terlalu penuh. Dengan beruntun Goan tin memukul 3 kali dan menendang 2 kali dan tiap kali menyerang, setiap kali terhuyung sebab terpukul balik dengan tenaga membal karung tersebut.

“Masih untung pukulan dan tendangannya tidak meyentuh pada Boe Kie. Bila menyentuh tubuh yang penuh dengan Kioe yang Sin kang ia pasti terluka berat.

Yo Siauw, Pheng Eng Giok dan Swee Poet Tek mengawasi kejadian aneh itu dengan mata membelalak. Kian koen It khie tay adalah milik Swee Poet Tek, tapi iapun tak tahu, mengapa karung bisa melembung seperti bola. Ia juga tak tahu apa Boe Kie masih hidup atau sudah mati.

Dengan gregetan Goan tin mencabut pisau dari pinggangnya dan dengan sekuat tenaga, ia menikam. Tapi karung itu hanya mendesak, tidak pecah. Ia terkesinap. Ia tak tahu, bahwa karung itu tebuat daripada semacam bahan yang aneh. Dengan menggunakan pisau biasa, karung mustika itu tentu saja tidak bisa dirobek.

Sesudah gagal dalam beberapa serangan, Goan tin berkata dalam hatinya. “perlu apa aku meladeni manusia dalam karung itu?” ia menendang dan karung itu terbang keluar.

Apa mau karung itu terbentur pintu dan terpental balik, menyambar Goan tin. Melihar sambaran itu, dia mengangkat kedua tangannya dan menghantam sekuat tenaga.

“Dar!” peledakan dahsyat yang menyerupai geledek menggetarkan seluruh ruangan dan ribuan kepingan kain terbang berhamburan. Kian Koen It khie tay hancur! Goan tin, Yo Siauw, Cioe tian dan yang lain2 merasa seperti disambar semacam hawa yang sangat panas, sedang Boe Kie sendiri berdiri terpaku bagaikan patung dengan paras muka seperti orang linglung, sebab ia sendiri tak tahu apa yang telah terjadi.

Ia sendiri tak tahu, bahwa pada detik itu, ia sudah mencapai hasil lengkap dalam memiliki Kioe yang Sin kang yang murni. Pada detik itu, naga seolah2 bertemu dengan harimau, langit bersatu padu dengan bumi. Tadi waktu ia masih berada didalam karung yang penuh dengan Kioe yang Cin khie, ratusan jalan darahnya seperti diurut oleh ratusan ahli silat kelas utama yang dengan berbareng mengeluarkan hawa tulen mereka. Jodoh yang luar biasa itu belum pernah dialami oleh siapapun juga. Dan pada saat meledaknya karung, cin khie didalam dan diluar badannya mengalami suatu kegoncangan hebat.

Didalam semua pembuluh darahnya seperti juga mengalir semacam air perak dan sekujur badannya nyaman luar biasa.

Dalam seluruh rimba persilatan, kejadian seaneh itu baru saja terjadi.

Goan tin adalah manusia jahat yang licik dan cerdas otaknya. Melihat pemuda itu masih dalam keadaan bingung. Ia tahu, bahwa sekarang adalah kesempatan satu2nya untuk menyerang. Bila kesempatan yang baik itu telah lewat dan Boe Kie keburu turun tangan terlebih dahulu, ia bakal binasa. Maka itu ia lantas saja maju dan menotok Tian tiong hiat, didada pemuda itu.

Dengan cepat Boe Kie menangkis dengan tangannya.

Dalam ilmu silat, kepintaran Boe Kie masih sangat cetek. Waktu berada di pulau Peng hwee to, ia pernah belajar silat dari Cia Soen dan kedua orang tuanya. Tapi apa yang telah dipelajarinya adalah ilmu2 biasa. Maka itu, ia takkan bisa menandingi seorang lawan seperti Goan tin. Pada waktu mengkis pukulan si pendeta, Yang tie hiat di pergelangan tangannya, telah kena ditotok dengan It im cie, sehingga ia menggigil dan mundur setindak dengan terhuyung.

Tapi badan pemuda itu penuh dengan Kioe yang Cin khie dan hawa tersebut menerobos masuk ke dalam tubuh Goan tin dari jari tangannya. Hampir berbareng dengan terhuyungnya Boe Kie, “yang” (panas) dari Kioe yang Sin kang bertempur dengan hawa “im” (dingin) dalam tubuhnya Goan tin. Biarpun lihay si pendeta yang telah terluka, mana bisa melawan Kioe yang cin khie? Ia bergidik dan merasa seantero tenaga dalamnya membuyar. Hatinya mencelos. Ia tahu, bahwa ia tengah menghadapi kebinasaan. Buru2 ia memutar badan lalu kabur.”Seng koen!” teriak Boe Kie dengan gusar.

“Tinggalkan jiwamu disini!” sesaat itu Goan tin sudah lari masuk meninggalkan pintu. Boe Kie melompat untuk mengejar, tapi, “Bruk!”, ia menubruk pinggir pintu, pipinya yang terbentur dirasa sakit sekali.

Mengapa begitu?

Sesudah berhasil didalam Kioe yang Sin kang, setiap gerakan Boe Kie berlipat kali lebih besar tenaganya daripada biasanya. Maka itu, waktu melompat, jarak lompatan itu jauh luar biasa, sehingga ia kehilangan keseimbangan dan menubruk pintu. Ia tak tahu mengapa ia bisa melompat begitu jauh. Tapi ia tak bisa memikir panjang2 dan lalu turut masuk kedalam pintu samping itu.

Ia sekarang berada dalam ruangan kecil. Dalam tekadnya untuk membalas sakit hati ayah angkatnya, tanpa menghiraukan kemungkinan dibokong, ia mengubar terus.

Setelah melalui ruangan itu, ia tiba dalam sebuah halaman terbuka.

Ia mengendus bau wangi, wanginya bunga yang ditanam di halaman itu.

Tiba2 ia lihat sinar lampu yang keluar dari sebuah kamar disebelah barat. Ioa memburu ke kamar itu dan menolak pintu. Satu bayangan abu2 berkelebat, Goan tin menyingkap sebuah tirai sulam dan masuk kedalamnya, Boe Kie mengejar iapun menyingkap tirai itu dan ikut masuk. Tapi orang yang dikejar tidak terlihat batang hidungnya. Ia mengawasi keseputarannya dan ia heran, sebab ia ternyata berada dalam kamarnya seorang gadis dari keluarga hartawan. Dipinggir dinding terdapat tempat untuk berhias dan diatas meja berhias berdiri sebuah ciaktay dengan lilinnya yang memancarkan sinar terang dalam kamar itu. Dalam pandangan sekilas mata, ia merasa bahwa kamar itu lebih indah daripada kamarnya Cioe Kioe tin. Diseberang meka hias terdapat sebuah ranjang tertutup oleh tirai, sedang disepan ranjang terlihat sepasang kasur sulam, sebagai tanda, bahwa seorang wanita sedang tidur diranjang itu.

Boe Kie berdiri dengan penuh rasa heran.

Kamar itu hanya dengan sebuah pintu, dan semua jendela tertutup rapat. Barusan, terang2an lihat Goan tin masuk, tapi pendeta itu tidak terlihat bayang2nya lagi! Apakah ia sembunyi dalam ranjang? Apakah yang harus diperbuat olehnya? Apakah ia boleh menyingkap tirai ranjang itu?

Selagi bersangsi, tiba2 ia mendengar tindakan kaki yang sangat enteng. Ia melompat dan sembunyi di belakang rak, tempat menggantungkan selimut, yang terletak didinding sebelah barat.

Sesaat kemudian, seorang wanita terdengaran batuk2. Boe Kie dan melihat masuknya 2 orang wanita muda, yang satu berusia kira2 enambelas tahun, terus batuk2 dan berjalan dengan dipayang oleh yang lain, yang berusia lebih muda. Dilihat dari dandananny, nona cilik itu adalah pelayan dari nona yang dipayang itu. “Siocia, kau mengasolah,” katanya dengan suara membujuk.

“Jangan jengkel dan jangan bingung.”

Siocia itu batuk2 lagi. Tiba2 ia mengangkat tangannya dan menggaplok pipi pelayannya. Tamparan itu hebat, sehingga si pelayan terhuyung. Sebab sebelah tangannya memegang pundak pelayan itu, maka waktu si pelayan terhuyung, badannya turut bersempoyongan dan berputar menghadap Boe Kie. Dengan bantuan sinar lilin, pemuda itu melihat wajah yang tidak asing lagi, mata besar, biji mata hitam, muka potongan telur, muka dari Yo Poet Hwie! Tubuh si nona sudah banyak lebih jangkung dan lebih besar, tapi sikapnya dan gerak geriknya masih seperti dulu.

Dengan nafas tersengal-sengal Poet Hwie berkata. “Kau suruh aku jangan bingung…………hm!………..Kau sendiri tentu saja tidak bingung. Bagimu, paling baik bila ayahku dibinasakan orang, supaya kau bisa mencelakai aku. Kalau aku telah mati, kau bisa berkuasa disini,” pepayang Poet Hwie kesebuah kursi. “Ambil pedangku!” memerintah si nona sudah berduduk.

Si pelayan segera mengambil sebuah pedang yang tergantung didinding. Boe Kie mengawasi dan mendapat kenyataan, bahwa pada kedua kaki pelayan itu terikat selembar rantai besi yang halus, sedang pada kedua pergelangan tangannyapun terikat dengan rantai yang sama. Kaki kirinya pincang dan badannya bongkok, seperti busur yang melengkung. Waktu ia memutar badan sesudah mengambil pedang, Boe Kie melihat mukanya dan pemuda itu terkejut, sebab muka itu jelek luar biasa. Mata kanannya kecil, mata kirinya besar, hidung melesak, mulutnya mengok dan dalam keseluruhan muka itu sangat menakutkan. “Mukanya lebih jelek daripada Coe Jie.” Katanya dalam hati. “Kejelekan Coe Jie karena racun dan masih dapat dirubah. Tapi kejelekan nona cilik itu adalah dari pembawaannya dan tak dapat diperbaikki lagi.”

Seraya menyambuti senjata itu dari tangan pelayanannya, Poet Hwie batuk2 lagi beberapa kali. Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah peles dan menuang 2 butir yowan, yang lalu ditelannya.

“Kalau begitu Poet Hwie berbekal obat, sehingga biarpun terkena It Im cie, ia masih bisa bergerak,” kata Boe Kie dalam hati. “Tak bisa salah lagi, obat itu panas sifatnya,” benar saja, beberapa saat kemudian. Paras nona Yo bersemu merah dan pada kedua pipinya terlihat sinar dari hawa panas. Perlahan2 ia bangkit dan berkata. “Aku mau tengok ayah.”

“Mungkin sekali musuh masih belum pergi,” kata si pelayan. “Sebaiknya aku yang pergi menyelidiki terlebih dahulu. Kalau sudah tak ada bahaya barulah siocia keluar.” Ia bicara dengan suara yang sangat tak sedap kedengarannya, seperti suara dari seorang lelaki setengah tua.

“Tak perlu berlagak baik hati!” bentak Poet Hwie. “Lepaskan aku.”

Dengan apa boleh buat, si pelayan mengangsurkan tangan kanannya. Sebab kedua pergelangan tangannya terantai maka waktu mengangsurkan tangan kanan, tangan kirinya turut diangsurkan. Tiba2 tangan kiri Poet Hwie menyambar dan mencengkeram pergelangan tangan kanan pelayannya, jari2 tangannya mencengkeram Hwee cong, Yang tie dan Gwa koan hiat.

Badan pelayan itu lantas saja kesemutan dan tak bisa bergerak lagi. “Siocia………” katanya. “Kau………kau……….”

Poet Hwie tertawa dingin. “Kami, ayah dan anak, telah dibokong musuh dan kami tengah menghadapi kebinasaan,” katanya dengan suara menyeramkan. “Apakah kau takkan menggunakan kesempatan ini untuk membalas sakit hati. Tak sudi kami disiksa olehmu! Jalan yang paling baik adalah membunuh kau terlebih dahulu.” Seraya berkata begitu, ia mengayun pedang yang lalu ditebas ke leher pelayannya.

Boe Kie terkesiap. Melihat keadaan si pelayan, ia merasa sangat kasihan. Pada detik berbahaya, ia melompat dan mementil badan pedang yang lantas saja terpental dan jatuh dilantai. Dilain pihak, walaupun terluka, gerakan nona Yo cepat luar biasa. Hampir berbareng dengan terlepasnya pedang, dua jari tangannya terpentang dan meyambar ke mata Boe Kie. Totokan itu hanyalah Siang liong Chio coe (dua naga berebut mutiara), serupa pukulan biasa. Tapi sesudah dilatih oleh ayahnya beberapa tahun, pukulan yang sederhana itu mempunyai tenaga yang sangat besar.

Dengan kaget Boe Kie melompat kebelakang oet Hwie Moay moay, aku!” teriaknya.

Mendengar perkataan “Poet Hwie Moay moay” yang tak asing lagi, nona Yo terkesiap dan berteriak. “Apa Boe Kie koko?” biarpun blom lihat muka, ia mengenal suara itu.

Boe Kie merasa menyesal, bahwa ia memperkenalkan dirinya. “Poet Hwie Moay moay bagaimana keadaanmu selama beberapa tahun ini?”

Si nona mengawasi. Ia bersangsi, karena dihadapannya berdiri seorang pria yang pakaiannya compang camping dan mukanya kotor “Kau……kau….apa banar kau Boe Kie koko?” tanyanya “Bagaimana………kau bisa datang disini?”

“Swee Poet Tek yang membawa aku,” sahutnya. “Tadi Goan tin Hweeshio masuk kesini, tiba2 ia menghilang. Apa dalam kamar ini ada jalan lain?”

“Goan tin hweeshio kabur?” menegas si nona.

“Sesudah kena pukulan Ceng ek Hong ong, ia terluka berat,” menerangkan Boe Kie. “Barusan ia kabur dan aku mengubarnya. Ia masuk ke kamar ini da lantas menghilang. Dia adalah musuh besarku, aku mesti cari dia.”

“Dalam kamar ini tiada jalan lain,” kata si nona. “Bagaimana dengan ayahku? Aku mau tengok padanya.” Seraya berkata begitu, ia menepak batok kepala pelayannya.

“Jangan!…..” teriak Boe Kie sambil mendorong pundak si nona, sehingga tepukannya jatuh ditempat kosong.

Sesudah percobaan membunuh pelayannya 2 kali dihalang2i, Poet Hwie jadi gusar. “Boe Kie koko!” bentaknya. “apakah kau kawannya budak kecil itu?”

“Baru hari ini aku bertemu dengannya” jawab pemuda itu.

“kalau kau tak tahu duduknya persoalan, janganlah campur2 urusanku,” kata pula nona Yo. “Dia adalah musuh besar dari keluargaku, karena kuatir dia mencelakaiku maka ayah sudah merantai kaki tangannya. Sekarang kami berdua ayah dan anak, kena It im cie. Dia pasti akan menggunakan kesempatan yang baik ini untuk membalas sakit hati. Jika kami jatuh dalam tangannya, celakalah!”

Tapi Boe Kie masih tetap yakin, bahwa nona kecil itu bukan manusia jahat. Maka itu, ia lalu berkata. “Nona, apakah kau akan berusaha membalas sakit hati dengan menggunakan kesempatan baik itu?”

Si nona menggeleng2kan kepala “tidak!” jawabnya.

“Poet Hwie moay noay, dengarlah!” kata Boe Kie. “Ia sudah berjanji. Ampunilah dia!”

“Baiklah,” kata nona Yo. “Aku tak dapat menolak permintaanmu. “Aduh……” Tiba2 tubuhnya tergoyang2 seperti mau jatuh.

Boe Kie mengerti, bahwa si nona sudah tak dapat mempertahankan dirinya lagi, sebab lukanya yang sangat berat. Buru2 ia mendekati untuk memegangnya. Mendadak ia merasakan kesakitan hebat pada Hian kie dan Tiong kie hiat, dibagian pinggangnya dan ia roboh tanpa berdaya. Ternyata, ia sudah dibokong nona itu, jari tangan Poet Hwie menyambar ke arah Tay yang hiat dari pelayannya.

Tapi sebelum totokan itu hampir pada sasarannya ia menggigil. Sekujur badannya kesemutan. Cekalannya pada pergelangan tangan si pelayan terlepas, kedua lututnya lemas dan ia jatuh duduk di kursi.

Poet Hwie memang sudah terluka berat dan bahwa ia tadi dapat mempertahankan diri adalah karena khasiat obat yang telah ditelannya. Sesudah menotok Boe Kie tenaganya habis dan tak kuat menyerang lagi.

Sambil menjemput pedang yang masih menggeletak dilantai, si pelayan berkata, “Siocia, kau selalu bercuriga, bahwa aku akan membunuh kau. Kalau mau dengan mudah aku sekarang bisa berbuat begitu. Tapi aku tak punya maksud jahat.” Ia segera memasukkan pedang itu kedalam sarungnya, dan lalu menggantungnya ke dinding.

Sekonyong2 Boe Kie bangun berdiri “Poet Hwie moay moay, kau lihatlah!” katanya. “Dia memang tidak mengandung niatan yang kurang baik.”

Dengan rasa kagum nona Yo mengawasi pemuda itu yang dengan mudah dapat membuka sendiri “hiat” yang ditotoknya.

Sambil menyoja, Boe Kie berkata pada nona cilik itu. “Nona, aku ingin sekali mengubar pendeta itu. Apakah disini tak ada lagi jalan lain?”

“Apakah kau tak bisa membatalkan niatmu?” si nona balas tanya.

“Manusia itu telah melakukan perbuatan2 terkutuk,” menerangkan Boe Kie. “Biarpun mesti mengubar ke ujung langit, aku tak bisa mengampuni dia.”

Si pelayan menggigit bibirnya. Sesudah berpikir sejenak, ia manggut2. ia meniup lilin, mengeluarkan saputangan yang ditaruh diatas muka Poet Hwie. Sesudah itu ia mencekal tangan Boe Kie dan menuntunnya didalam kegelapan.

Karena yakin orang tidak berniat jahat, Boe Kie segera mengikutinya. Ia dituntun kedepan ranjang. Si nona membuka kelambu dan naik ke ranjang sambil menarik tangan Boe Kie. Pemuda itu kaget bukan main. Biarpun nona itu masih kekanak2an dan beroman jelek, ia tetap seorang wanita. Ia segera menarik tangannya.

“Jalanan berada di pembaringan,” bisik si nona.

Boe Kie percaya dan semangatnya lantas saja terbangun. Tanpa bersangsi lagi, ia turut naik ke pembaringan. Dengan cepat si nona merebahkan dirinya dan Boe Kie turut rebah di sampingnya. Entah alat apa yang ditarik si nona, papan ranjang tiba2 menjeblak dan mereka berdua jatuh kebawah.

Dari atas ke dasar lubang ada beberapa tombak jauhnya. Untung juga, dasar lubang itu ditutup dengan rumput kering yang tebal, sehingga mereka tidak merasa sakit. Tiba2 terdengar suara menjeblak dan papan ranjang sudah kembal ke tempat asalnya. “Sungguh lihay alat rahasia itu!” memuji Boe Kie didalam hati. Tanpa diberitahukan, tiada manusia yang bisa menduga, bahwa didalam ranjang terdapat jalanan rahasia. Sambil menyekel tangan si nona, ia segera berjalan ke jurusan depan. Mendengar suara berkerincingnya rantai, mendadak ia ingat sesuatu. “Nona ini pincang dan kakinya diikat dengan rantai, bagaimana ia bisa lari begitu cepat?” tanyanya dalam hati.

Si nona yang rupanya bisa menebak apa yang dipikirkan Boe Kie, sekoyong2 berkata sambil tertawa, “Pincangku, pincang buatan, untuk mengelabui Looya dan Siocia,”

Dalam kegelapan Boe Kie tak bisa melihat wajah nona itu, tapi dalam hati ia berkata. “Tak heran jika ibuku mengatakan, bahwa wanita pandai sekali menipu orang. Hari ini, bahkan Poet Hwie moay moay merasa tak halangan untuk membokong aku.”

Sesudah berjalan beberapa puluh tombak, dengan mengikuti terowongan yang berliku2 mereka tiba di ujung jalanan, tapi Goan tin masih tetap tak kelihatan bayangannya.

“Sudah sering sekali aku datang kesini,” kata sinona. “Kupercaya ada lain jalanan, hanya ku tak tahu dimana alat untuk membuka pintunya.”

Dengan kedua tangannya Boe Kie meraba-raba dinding, tapi tak bisa mendapatkan apapun juga. “Aku sudah mencoba puluhan kali, tanpa berhasil,” kata pula si nona. “Sungguh mengherankan. Aku bahkan pernah membawa obor untuk menyelidikinya, tapi tetap tak bisa mendapatkan alatnya.”

Tiba2 dalam otak Boe Kie berkelebat suatu ingatan. “Mungkin sekali memang tidak ada alat rahasia untuk membuka pintu,” pikirnya. Ia segera menyerahkan Chin kie pada kedua lengannya dan mendorong dinding sebelah kiri dengan sekuat tenaga. Dinding itu tidak bergerak. Sekali lagi ia mengerahkan tenaga dan mendorong dinding kanan. Tiba2 dinding itu bergoyang sedikit!

Ia girang tak kepalang. Ia menarik nafas dalam2 dan mendorong sekeras2nya. Dengan perlahan dinding itu bergeser ke belakang. Ternyata dinding itru tebuat daripada sebuah batu yang sangat tebak dan besar.

Jalanan rahasia Kong beng teng memenag sangat menakjubkan. Ada bagian2 yang diperlengkapi dengan alat2 rahasia yang disembunyikan, tapi ada juga yang tidak, seperti pintu itu yang hanya bisa dibuka oleh seseorang yang mempunyai tenaga luar biasa. Hal ini adalah untuk menjaga kalau2 rahasia diketahui oleh orang luar. Misalnya seperti nona kecil itu, yang andaikata tahu rahasianya, masih tetap tak bisa membuka pintu karena tenaganya tak cukup.

Tapi Boe Kie yang memiliki Kioe yang sin kang bukan manusia biasa dan ia berhasil. Sesudah pintu terbuka kira2 3 kaki, ia mengirim pukulan dengan telapak tangannya, karena ia khawatir Goan tin bersembunyi di belakang pintu dan membokongnya. Berbareng dengan pukulannya ia melompat masuk.

Mereka masuk dengan selamat dan berada di terowongan yang sangat panjang. Dengan hati2, mereka bertindak maju. Jalanan menurun ke bawah. Makin jauh makin rendah. Sesudah melalui seratus tombak lebih, mereka bertemu dengan jalanan yang bercagak tujuh. Boe Kie bersangsi, jalanan mana yang harus diambil? Mendadak disebelah kiri terdengar tegas sekali.

“Ambil jalan ini!” bisik Boe Kie sambil berlari2 dijalan yang paling kiri. Jalanan itu tidak rata dan sukar dilalui, tapi dalam kegusarannya Boe Kie berjalan terus tanpa menghiraukan bahaya. Si nona mengikuti dari belakang dengan suara rantai yang berkerincingan tidak henti2nya. Boe Kie menengok ke belakang seraya berkata. “Musuh berada didepan, keadaan sangat berbahaya. Sebaiknya kau mengikuti saja dari sebelah jauh.”

“Takut apa? Kesukaran harus dipikul bersama,” jawabnya dengan suara tetap.

Selang beberapa saat, jalanan bukan saja menurun, tapi juga terus membelok ke sebelah kiri seperti keong, dan makin lama makin sempit, sehingga akhirnya terowongan itu hanya bisa memuat badannya satu orang.

Selagi enak berjalan, mendadak saja Boe Kie merasakan sambaran angin yang sangat dahsyat. Ia terkesiap dan tangannya menyambar pinggang si nona dan kemudia melompat ke depan.

“Dukkkk!” batu halus dan pasir muncrat keatas.

Sesudah menentramkan hati, si nona berseru. “Celaka! Kepala gundul itu bersembunyi dan mendorong batu untuk membinasakan kita.”

Sambil mengangkat kedua tangannya diatas kepala, Boe Kie mendaki jalan itu. Baru beberapa tindak, kedua tangannya sudah menyentuh batu yang sangat kasar permukaannya

Tiba-tiba dari belakang batu terdengar suara Goan-tin. “Bangsat kecil! Hari ini aku mengubur engkau di dalam. Tapi untungnya masih bagus, kau mampus dengan ditemani seorang wanita. Biarpun kau bertenaga besar, aku mau lihat apa kau mampu menyingkirkan batu ini. Kalau satu tak cukup, aku akan menambah dengan satu lagi.”

Hampir berbarengan terdengar suara diangkatnya batu dengan semacam alat besi diikuti dengan bunyi yang sangat hebat. Goan-tin ternyata sudah melepaskan sebuah batu lagi yang jatuh di atas batu pertama.

Dengan gusar dan bingung Boe Kie meraba batu itu. Walaupun jalanan tak tertutup rapat tapi celah-celah di antara dinding dan batu raksasa itu paling besar hanya bisa masuk lengan. Badan manusia sudah pasti tak bisa lewat. Sambil memompa semangat, ia mendorong sekuat-kuatnya, tapi batu itu sedikitpun tak bergeming. Kedua batu yang tersusun tindih itu beratnya berlaksa kati, tak bisa digeser oleh manusia manapun juga. Bahkan gajah takkan kuat untuk mendorongnya. Boe Kie berdiri terpaku, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Di belakang batu terdengar suara nafas Goan-tin yang tersengal-sengal. Dalam keadaan terluka berat, sesudah menggerakkan kedua batu itu tenaganya habis. Selang beberapa saat, ia bertanya, “Bocah…siapa…siapa namamu….” Ia tak dapat meneruskan perkataannya.

“Andaikata ia sekarang berubah pikiran dan ingin menolong kami berdua, ia sudah tak bisa berbuat begitu,” kata Boe Kie dalam hati. “Sudahlah, buat apa aku meladeni dia. Paling baik aku cari jalan lain.” Berpikir begitu, ia memutar badan dan turun ke bawah mendekati nona.

“Aku punya bahan api, tapi tak punya lilin,” kata si pelayan kecil, “Kalau dinyalakan sebentar tentu sudah padam kembali.”

“Tunggu dulu,” kata Boe Kie sambil berjalan maju dengan perlahan. Sesudah berjalan beberapa puluh langkah, mereka tiba di ujung terowongan. Mereka meraba-raba, mendadak tangan Boe Kie menyentuh tahang kayu. “Ada jalan,” katanya dengan girang dan memukul hancur tahang itu dengan kedua tangannya.

Isi tahang yang menyerupai tepung, jatuh berhamburan. Ia mengambil sepotong papan dan berkata, “Coba nyalakan api.”

Nona kecil itu lalu mengeluarkan baja pencetus api, batu api dan sumbu. Dengan cepat ia membuat api dan menyulut potongan kayu itu. Mendadak api itu menyala di potongan kayu yang lantas saja terbakar, sedang hidung mereka mengendus bau belerang. Mereka terkejut.

“Bahan peledak!” seru si nona seraya mengangkat tinggi-tinggi potongan kayu yang sudah menyala itu. Mereka lantas saja mendapati kenyataan bahwa isi tahang itu ternyata bahan peledak yang berwarna hitam. Si nona tertawa dan berkata dengan suara pelan. “Bila barusan letusan api menyambar ketumpukan bahan peledak itu, hwee-shio jahat yang berada di luar akan turut binasa bersama-sama kita.” Seraya berkata begitu, ia menengok ke arah Boe Kie yang tengah mengawasinya dengan mata membelalak. “Mengapa?” tanyanya tertawa.

“Ah…Kalau begitu, kau…kau…sangat cantik,” kata Boe Kie.

Si nona tertawa geli sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. “Karena kaget aku melupakan samaranku,” katanya. Ia meluruskan pinggangnya dan ternyata bahwa ia bukan saja tak bongkok tapi juga tak pincang.

Dengan sinar mata yang terang, alis yang kecil bengkok, hidung mancung dan lekuk pada pipinya, ia seorang wanita yang sangat ayu. Hanya sebab masih berusia muda dan tubuhnya belum cukup besar maka kecantikannya itu, ia kelihatannya masih kekanak-kanakan.

“Memang kau menyamar begitu?” kata Boe Kie.

“Siocia sangat membenci aku,” jawabnya. “Dengan melihat romanku jelek, ia merasa senang. Tanpa menyamar, aku tentu sudah mati.”

“Mengapa ia mau nyawamu?” tanya pemuda itu pula.

“Sebab ia selalu curiga,” sahutnya. “Ia kuatir aku akan membunuh ia dan Looya.”

“Gila!” kata Boe Kie, “Tadi waktu ia sudah tidak bisa bergerak, kau mencekal pedang tapi kau tidak mencelakai dia. Mulai dari sekarang ia pasti tak akan curiga lagi.”

Si nona tertawa kecil. “Dengan membawa kau kemari, Siocia tentu akan lebih curiga lagi,” katanya. “Tapi sudahlah! Perduli apa dia curiga atau tidak. Masih belum tentu, apa kita bisa keluar dari tempat ini.”

Dengan bantuan sinar obor, mereka ternyata berada di tempat yang menyerupai kamar batu di mana terdapat alat-alat senjata, busur dan anak panah yang sudah berkarat. Senjata-senjata itu rupanya disediakan untuk melawan musuh. Dinding di sekitar ruangan itu tertutup rapat. Sekarang mereka tahu bahwa Goan-tin sudah sengaja batuk-batuk untuk memancing mereka ke jalan buntu.

“Kongcoe, namaku Siauw Ciauw,” kata si nona memperkenalkan diri. “Kudengar Siocia memanggil Boe Kie Koko kepadamu. Kalau tak salah, namamu Boe Kie. Benarkah begitu?”

“Benar,” jawabnya. “Aku she Thio….” Mendadak ia mengingat sesuatu. Ia mengambil sebatang tombak yang beratnya kira-kira empat puluh kati. “Bahan peledak ini mungkin bisa menolong kita,” katanya, “Bukan mustahil kita akan bisa menghancurkan batu besar itu.”

“Bagus, bagus!” seru Siauw Ciauw seraya menepuk-nepuk kedua tangannya. Tepukan tangan itu diiringi dengan suara kerincingan rantai.

“Rantai ini mengganggu gerakan tangan dan kakimu,” kata Boe Kie. “Sebaiknya diputuskan saja.”

“Jangan!” cegah si nona. “Looya bisa marah besar.”

“Aku tak takut. Katakan saja akulah yang memutuskannya,” kata Boe Kie. Sehabis berkata begitu sambil mengerahkan Lweekang, ia membetot rantai yang mengikat pergelangan tangan Siauw Ciauw. Rantai hanya sebesar batang sumpit dan tenaga betotan tak kurang dari tiga ratus kati. Tapi sungguh heran, rantai itu tidak bergeming dan hanya mengeluarkan suara “aung”.

Boe Kie heran. Ia membetot lagi dengan menambah tenaga, tapi tetap tidak berhasil.

“Rantai ini memang sangat aneh, tak dapat diputuskan walaupun dengan menggunakan senjata mustika,” kata Siauw Ciauw. “Anak kuncinya berada dalam tangan Siocia.”

Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya. “Kalau kita bisa keluar, aku akan minta anak kunci itu,” katanya.

“Ia tak akan memberikannya,” kata si nona.

“Tapi aku percaya, ia akan meluluskan permintaanku,” kata Boe Kie. “Hubunganku dengannya bukan hubungan biasa.” Sehabis berkata begitu, dengan membawa tombak ia pergi ke bawah batu besar. Untuk beberapa saat ia berdiri dan memasang kuping, suara nafas Goan-tin sudah tidak terdengar lagi, rupanya ia sudah pergi jauh.

“Mungkin kita tak bisa menghancurkan batu ini dengan satu ledakan,” kata Boe Kie yang dengan menggunakan ujung tombak lantas saja mulai membuat lubang di celah antara batu besar dan lantai terowongan. Ia kemudian mengisi lubang itu dengan bahan peledak dan memukul-mukulnya dengan kepala tombak supaya menjadi padat. Sesudah itu, ia menabur segaris bahan peledak dari lubang terus ke ruangan bawah. Garis bahan peledak itu hendak dijadikan semacam sumbu untuk peledakan.

Sesudah beres, Boe Kie lalu mengambil obor dari tangan si nona yang buru-buru menekap kuping dengan kedua tangannya. Dengan berdiri menghadang di depan Siauw Ciauw, Boe Kie segera menyulut “sumbu” itu. Api menyala dan bagaikan kilat menyambar ke lubang yang berisi bahan peledak.

Dunggg!…Hawa panas menyambar, ruangan itu bergoncang! Boe Kie terhuyung dua langkah sedang Siauw Ciauw jatuh terjengkang. Obor padam dan asap memenuhi ruangan itu. Sambil membangunkan si nona, Boe Kie bertanya, “Siauw Ciauw, apa kau terluka?”

“Aku…aku…taka pa-apa,” jawabnya. Mendengar suara yang terputus-putus seperti orang bersedih, Boe Kie merasa heran. Waktu obor sudah dinyalakan lagi, ia melihat mata si nona mengembang air. “Kau kenapa?” tanyanya.

“Thio Kongcoe,” sahutnya, “Kau belum pernah mengenal aku, tapi…tapi mengapa kau begitu baik terhadapku?”

“Apa?” tanya Boe Kie dengan rasa heran.

“Mengapa kau menghalangi aku?” kata Siauw Ciauw. “Aku adalah seorang budak yang kedudukannya sangat rendah. Kau…kau seorang yang mulia. Mengapa kau melindungi aku dengan menghadang di depanku?”

Pemuda itu tersenyum. “Kau seorang wanita dan adalah sepantasnya saja jika aku berusaha untuk melindungi keselamatanmu,” katanya. Melihat asap sudah mulai menghilang, ia naik lagi ke atas untuk memeriksa hasil ledakan. Ternyata batu raksasa itu tidak bergeming dan hanya somplak di satu sudut. Dengan perasaan gelisah ia berkata, “Untuk membuat lubang yang cukup besar guna merangkak keluar, batu ini mungkin harus diledakkan tujuh atau delapan kali. Tapi sisa bahan peledak hanya cukup untuk kira-kira dua kali ledakan.” Seraya berkata begitu, ia mengangkat tombak dan mulai membuat sebuah lubang lain di celah antara dinding terowongan dan batu raksasa.

Mendadak pada waktu ujung tombak menyodok dinding, sepotong batu jatuh ke bawah dan terlihatlah lubang di dinding itu. Boe Kie kaget bercampur girang. Ia memasukkan sebelah tangan dan menggoyang-goyangkannya. Dinding itu bergerak sedikit. Ia menggerakkan tenaga dalam dan membetot. Ia berhasil membuat sepotong batu copot. Sesudah tiga potong batu copot, lubangnya sudah cukup besar untuk memuat badan manusia. ternyata di situ terdapat sebuah terowongan lain. Walaupun tidak dapat menghancurkan batu raksasa, ledakan tadi sudah melepaskan batu-batu dinding terowongan.

Dengan mencekal obor, Boe Kie masuk lebih dulu ke terowongan yang kedua dan kemudian menggapai Siauw Ciauw supaya si nona mengikuti masuk. Seperti yang pertama, jalanan ini berputar-putar bagaikan keong dan menurun ke bawah. Kali ini Boe Kie bertindak lebih hati-hati. Ia mencekal tombak erat-erat, siap sedia untuk menangkis bokongan Goan-tin. Sesudah melalui kira-kira delapan puluh tombak mereka tiba di depan sebuah pintu batu. Boe Kie segera menyerahkan obor dan tombak kepada Siauw Ciauw dan sambil mengerahkan Lweekang, ia mendorong pintu yang segera saja terbuka.

Pintu itu adalah pintu sebuah kamar batu yang sangat besar. Boe Kie bertindak masuk dan mendadak ia melihat dua kerangka manusia. Pakaian kedua kerangka itu masih belum hancur, sehingga dapat diketahui bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar