Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 72

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 72
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 72
"Tidak boleh!" kata Boe Kie. "Menggugurkan kandungan adalah perbuatan berdosa. Selain begitu, hal itu bisa menusuk kesehatan badanmu." Waktu berkata begitu, didalam hatinya tiba-tiba muncul perasaan sangsi. Cie Jiak berada dalam tangan Kay pang hanya kira-kira sebulan lamanya. Apa bisa jadi dia sudah hamil? Diam diam ia memegang nadi tunangannya. Tidak! Ia tidak mendapatkan tanda-tanda kehamilan. Tapi ia tidak mau menanya lebih terang, Ia mahir dalam ilmu ketabiban, tapi kepandaian itu terbatas dalam bidang luka-luka dan penyakit karena keracunan. Dalam penyakit kalangan wanita, ia tak punya banyak pengetahuan.

"Kalau anak ini perempuan masih tak apa," kata pula CieJiak. "Tapi kalau lelaki... Jika di hari kemudian kau menjadi hong tee (kaisar ) apakah dia harus menjadi tay coe ( putera mahkota )? Ah! ... sebaiknya, digugurkan saja untuk menghilangkan bibit penyakit."

"Cie Jiak," kata Boe Kie dengan suara kaku, "perkataan hong tee kuharap jangan disebut-sebut lagi. Aku seorang anak kampungan. Sedikitpun aku belum pernah mimpi, belum pernah mempunyai keinginan uutuk naik ditahta kerajaan. Apabila perkataanmu didengar oleh saudara-saudara kita mereka akan anggap aku sebagai manusia yang mengejar kekuasaan dan hati mereka akan menjadi dingin".

"Aku bukan mau paksa kau menjadi hongtee. Tapi kalau sudah takdir, biarpun mau menolak? Kau memperlakukan aku secara begitu mulia. Aku harus berusaha untuk membalasnya. Cioe Cie Jiak seorang wanita lemah, tapi kalau ada kesempatan mungkin sekali aku masih bisa memberi sedikit bantuan supaya kau menjadi kaisar. Ayahku gagal dalam usahanya dan menemui kebinasaan. Dahulu aku menjadi kong coe ( puteri seorang kaisar ). Siapa tahu di hari nanti aku akan menjadi seorang hong houw (permaisuri)?“

Mendengar perkataan yang sungguh-sungguh itu Boe Kie jadi tertawa. "Cie Jiak," katanya, "kemuliaan seorang hong houw belum tentu bisa menandingi kemuliaan Tiangboenjin dari Go bie pay. Sudahlah, hauw Nio-nio! Hamba mohon Hong houw Nio-nio sudi beristirahat!"

Awan kedukaan lantas saja membuyar dan sambil tertawa, kedua orang muda itu mengakhiri pembicaraan mereka.

Pada keesokan paginya, sesudah membuka jalan darah pelayan yang mengaso dikolong ranjang, Boe Kie meminta Pheng Eng Giok berdiam dikota raja tiga hari lagi untuk mendengar-dengar Cia Soen, sedang dia sendiri bersama Cie Jiak dan Han Lim Jie lalu berangkat ke-Hway see.

Perjalanan mereka tidak menemui rintangan. Setibanya didaerah Shoatang mereka sudah bisa menyaksikao kekalahan tenlara Mongol yang terus mundur dengan kerusakan besar. Sedapat mungkin Boe Kie bertiga menyingkir dari kelompok-kelompok musuh yang besar jumlahnya dengan mengambil jalan kecil. Belakangan mereka bertemu dengan seorang serdadu Goan yang kasar dan lalu membekuknya. Dari serdadu itu, mereka mengetahui, bahwa Han San Tong dengan beruntun mendapat beberapa kemenangan besar dan berhasil merebut beberapa tempat yang penting. Mereka sangat girang dan meneruskan perjalanan secepat mungkin.

Mulai perbatasan Soatang Anhoei kekuasaan sudah berada dalam tangan tentara rakyat Beng Kauw. Diantara tentara itu ada yang mengenal Han Lim Jie dan dia buru-buru melaporkan kepada Goan swee hoe (gedung panglima besar). Maka itulah pada waktu Boe Kie bertiga masih berada dalam jarak tigapuluh li dari kota Hauwcoe, mereka sudah dipapak oleh Han San Tong yang mengajak Coe Goan Ciang, Cie Tat, Siang Gie Coen, Teng Jie Thong Ho dan lain-lain panglima. Pertemuan itu sudah tentu sangat menggirangkan semua orang.

Sesudah Han San Tong mempersembahkan secawan arak kepada Boe Kie dengan diiringi tetabuhan perang dan sepasukan tentara yang mengenakan pakaian perang mentereng serta bersenjata lengkap, rombongan itu masuk kedalam kota Hauwcoe. Dengan menunggang kuda, Cie Jiak mengikuti dibelakang Boe Kie. Di sepanjang jalan ia menengok ke kanan dan ke kiri dengan perasaan bangga. Meskipun belum menyamai arak-arakan Hong tee dan Hong hauw dikota raja, iring-iringan itu sudah cukup memuaskan hatinya.

Setibanya dikota, safu demi satu para jenderal dan perwira menghadap dan memberi hormat kepada Boe Kie. Malam itu diadakan pesta besar. Mendengar puteranya ditolong oleh sang Kauwcoe sekali lagi secara resmi Han San Tong menghaturkan terima kasih.

Selama beberapa hari dengan beruntun datanglah Yoe Siauw, Hoan Yauw, In Thian Ceng, In Ya Ong, Tiat koan Hoejin Swee Poet Tek, Cioe thian, kelima Ciang kie soe dari Ngo-heng-kie dan lain-lain pemimpin Beng kauw. Mereka datang dari pelbagai tempat sebab mendengar warta tentang itu. Beberapa hari itu tak putus-putusnya diadakan pesta-pesta untuk menyambut para pemimpin itu. Lewat beberapa hari lagi tibalah Ceng ek Hok ong Wie It Siauw dan Pheng Eng Giok.

Kepada Boe Kie Pheng Hweeshio melaporkan bahwa ia sama sekali tak mendengar sesuatu tentang Cia Soen.

Waktu mendapat gilirannya, Wie It Siauw berkata, “Selagi berkelana di Hopak, aku bertemu dengan Ciang pang Liong tauw yang sedang menjalankan tugas kurang baik bagi agama kita. Aku lagi guyon-guyon dengannya. Waktu itu aku belum tahu, bahwa Cia Heng sudah kembali di Tiong goan. Kalau tahu aku pasti akan menyelidiki di kalangan Kay pang karena sangat mungkin Cia heng jatuh di tangan mereka." Boe Kie segera memberitahu bahwa Cia Soen memang pernah ditangkap oleh Kay pang tapi kemudian bisa melarikan diri. Iapun menuturkan segala pengalamannya dalam usaha mencari ayah angkatnya itu.

Hoan Yauw dan In Thian Cheng adalah orang-orang yang berakal budi, tapi merekapun tak bisa menembus kabut yang meliputi hilangnya Kim mo Sai ong.

“Kita masih belum bisa meraba asal-usul nona baju kuning itu,” kata Hoan Yauw.

"Kalau kita mengusut dari nona itu, mungkin sekali kita akan berhasil dalam usaha mencari Ceng heng.

Tapi siapakah yang menaruh tanda-tanda obor dari Louw Liong Kauwcoe mengejar sampai di Louw liong lagi?” tanya In Thian Cheng. "Bisa jadi orang itu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hilangnya Cia heng."

Diantara pemimpin-pemimpin Tjeng Kauw terdapat banyak yang berpengalaman luas. Tapi tidak seorangpun yang bisa menebak siapa adanya si baju kuning. Mereka hanya bisa membujuk Boe Kie dengan mengatakan bahwa ditinjau dari sepak-terjangnya si baju kuning sama sekali tidak mengandung niat kurang baik.

Boe Kie pun tidak berdaya. Ia hanya bisa memerintahkan sejumlah anggota Ngo heng kie pergi ke berbagai tempat untuk mengadakan penyelidikan.

Dalam beberapa perternpuran, biarpun mendapat kemenangan, tentara Beng kauw menderita juga kerusakan yang tidak kecil. Maka itu mereka memerlukan waktu dua tiga bulan untuk memperbaiki apa yang rusak, mengumpulkan serdadu baru dan mengaso.

Sebagaimana diketahui, pada malam itu Pheng Eng Giok turut menyaksikan percobaan membunuh diri dari Cioe Cie Jiak. Meskipun tak tahu latar belakangnya, ia mengerti, bahwa diantara pemuda dan pemudi yang sedang bercintaan memang sering terjadi gelombang atau ribut-ribut, Disamping itu, HoanYauw dan beberapa orang lain juga tahu adanya perhubungan yang agak luar biasa diantara Boe Kie dan Tio beng.

Apabila Kauwcoe mereka sampai menikah dengan seorang puteri Mongol, maka kejadian ini sudah tentu akan memberi akibat buruk bagi usaha menggulingkan pemerintahan Goan. Maka itulah, sesudah berdamai, mereka menarik kesimpulan, bahwa jalan yang paling baik adalah membujuk Boe Kie supaya melangsungkan upacara pernikahan dengan Cie Jiak secepat mungkin. Mereka menganggap bahwa sekarang adalah waktu yang paling tepat, karena peperangan justeru sedang ditunda.

Waktu mereka mengajukan usul, Boe Kie lantas saja mengiakan. In Thian Ceng lantas saja mencari hari dan segera ditetapkan, bahwa hari pernikahan Boe Kie dan Cie Jiak jatuh pada Sha gwee Cap-go (Bulan tiga tanggal 15).

Tak usah dikatakan lagi, seluruh anggota Beng kauw bergirang dan repot mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta pernikahan itu.

Pada waktu itu nama Beng kauw telah menggetarkan seluruh Tiongkok. Disebelah timur, Han San Tong menduduki kota-kota penting di wilayah Hway-see. Disebelah barat, Cie Coen Hoei telah mengalahkan tentera Mongol dalam pertempuran-pertempuran di sebelah utara Ouwpak dan selatan Holam. Maka itulah, begitu lekas warta tentang pernikahan Thio Kauw coe disiarkan, segera orang-orang gagah dari Rimba persilatan mulai datang - kian lama makin banyak, sehingga seolah-olah melimpahnya air banjir. Koen loen pay, Kong tong pay dan beberapa partai lain, yang dikenal sebagai partai lurus hati, sebenarnya tidak begitu akur dengan Beng kauw. Tetapi sesudah tokoh-tokohnya ditolong Boe Kie di Bin hoat sie, partai-partai tersebut rata-rata berhutang budi.

Disamping itu, Cioe Cie Jiak adalah Ciangboenjin dari Go-bie-pay yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Rimba Persilatan. Walau pun tidak datang sendiri, para ciang-boen-jin partai-partai itu mengirim wakil ke Hauw cioe untuk membawa barang antaran. Thio Sam hong sendiri tidak bisa datang. Sebagai bingkisan, orang tua itu menulis empat huruf "Kee-jie-,Kee-hoe," (Suami isteri yang baik ) diatas selembar sutera. Sutera itu bersama jilid kitab Thay Kek-koen yang ditulis sendiri, diserahkan kepada Song Wan Kiauw. Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang juga mendapat tugas untuk pergi ke Hauw coe guna memberi selamat dan doa restu kepada sepasang mempelai itu. Waktu itu Yo Poet Hwie sudah menikah dengan In Lie Heng dan ia mengikut ke Hauwcioe, begitu bertemu, dengan girang Boe Kie berseru, "Lok-Soe-cim!“

Muka Yo Poet Hwie lantas saja berubah merah. Ia menarik tangan Boe Kie dan lalu menuturkan segala pengalamannya semenjak meraka berpisahan. Ia girang tercampur terharu.

Sebab kuatir Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe menggunakan kesempatan itu untuk mencelakai Thay soepeknya, maka Boe Kie lalu memerintahkan Wie It Siauw pergi ke Boe-tong san sebagai wakilnya untuk menghaturkan terima kasih kepada Thio Sam Hong.

Kepada Ceng ek Hok ong, Boe Kie menceritakan sapak terjang Song Ceng Soe yang sudah membinasakan Boh Seng Kok dan berniat untuk mencelakai Thio Sam Hong. Ia memesan, supaya sesudah bertemu dengan Thio Sam Hong, Wie It Siauw harus menemani Jie Thay Giam dan Thio Siong Kee untuk berjaga-jaga terhadap tipu muslihat Tan Yoe Liang. Sesudah Song Wan Kjuuw bertiga kembali di Boe tong san, barulah Wie It Siauw pulang.

Mendengar penuturan itu, paras muka Ceng ek Hok ong berubah merah padam. "Atas nasihat Kauwcoe, Wie It Siauw tidak berani mengisap lagi darah manusia," katanya dengan suara gusar. "Tapi jika bertemu dengan kedua penjahat itu, aku pasti akan mengisap habis darah mereka."

"Terhadap Tan Yoe Liang, Wie heng boleh berbuat sesuka hati," kata Boe Kie. "Tapi Song Ceng Soe adalah putera tunggal Song Toasoepeh dan ia selalu dianggap sebagai calon ciangboenjin dari Boe tong pay. Kalau dia berdosa, biarlah Boe tong pay sendiri yang menghukumnya. Dengan memandang muka Song Toa soepeh, Wie heng tidak boleh melanggar selembar rambutpun." Wie It Siauw mengiakan dan segera berpamitan.

Pada Sha gwee Ceecap ( bulan tiga tanggal sepuluh ), sejumlah murid wanita Go-bie tiba di Hauwcioe dengan membawa antaran. Teng Bin Koen sendiri tidak muncul.

Lima hari kemudian tibalah hari pernikahan. Pagi-pagi sekali orang sudah berdandan dan mengenakan pakaian yang sebaik-baiknya. Upacara sembahyang kepada Bumi dan Langit itu segera akan dilakukan di gedung hartawan terkaya di kota Hauwcioe, Gedung itu dihias seindah-indahnya. Yang menjadi cu hun (yang memegang peranan orang tua) pengantin lelaki adalah In Thian Ceng, sedang Siang Gie Coen menjadi cu hun pengantin perempuan. Tiat koan Toojin mendapat tugas untuk menjaga keselamatan kota Hauw cioe selama pesta. Guna menjaga merembasnya musuh, dia harus mengatur penjagaan diseluruh kota yang dilakukan oleh sejumlah murid Beng kauw pilihan. Diluar kota dijaga oleh Tong Ho yang memimpin satu pasukan tentara. Pagi itu sebagai tamu terakhir datang wakil-wakil Siauw Lim pay dan Hwa san yang membawa barang antaran.

(Begitu tiba waktu Sia sie ( antara jam tiga dan lima sore ), terdengarlah bunyi meriam sebagai tanda dimulainya upacara pernikahan.

Yo Siauw dan Hoan Yauw mengundang semua tamu masuk di toa-thia ( ruangan besar). Tak lama kemudian, diapit oleh In Lie Heng dan Han Lim Jie, Boe Kie keluar dengan diiring suara tetabuhan dan hampir berbareng, Cie Jiak juga masuk ke ruangan upacara dengan dikawani oleh delapan murid wanita Go bie. Kedua mempelai lantas saja berdiri berendeng.

"Sembahyang kepada langit!" teriak pemimpin upacara.

Baru saja Boe Kie dan Cie Jiak mau berlutut tiba-tiba diluar pintu terdengar bentakan yang merdu, "Tahan !” Di lain detik, seorang wanita yang mengenakan pakaian hijau muda sudah berdiri ditengah-tengah ruangan. Wanita itu bukan lain daripada Tio Beng.

Kejadian yang tidak diduga-duga itu mengejutkan semua orang. Tokoh-tokoh Beng kauw dan berbagai partai persilatan yang sudah kenyang makan asam garam dunia Kang ouw, tidak pernah mimpi, bahwa Tio Beng berani datang seorang diri ke tempat ini. Beberapa orang yang beradat berangasan lantas saja bergerak untuk menyerang.

"Tahan dulu!" bentak Yo Siauw. Sambil menyoja para tamu, ia berkata pula. "Hari ini adalah hari paling beruntung dari Kauwcoe kami dan Ciangboenjin Go bie-pay. Tio-Kouwnio datang berkunjung dan beliau adalah tamu kami. Dengan memandang muka Go-bie-pay dan Beng kauw, kami mohon kalian suka melupakan ganjalan lama untuk sementara waktu jangan melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap Tio Kouwnio." Sehabis berkata begitu, ia memberi isyarat kepada Swee Poet Tek dan Pheng Eng Giok dengan kedipan mata. Kedua kawan itu mengerti maksudnya. Mereka segera meninggalkan ruangan itu dan menyelidiki jumlah jago-jago yang mungkin dibawa Tio Beng.

"Tio Kouwnio, kau duduklah sambil menyaksikan pernikahan," kata Yo Siauw pula. "Sesudah upacara, kami akan mengundang Tio-Kouwnio untuk turut minum arak kegirangan."

Tio Beng tersenyum. "Aku hanya ingin bicara beberapa patah dengan Thio Kauwcoe," katanya. "Sehabis bicara, aku akan segera berlalu."

"Sesudah upacara, nona boleh bicara." kata Yo Siauw.

"Sesudah upacara, sudah terlambat." jawabnya.

Yo Siauw dan Hoan Yauw saling mengawasi. Mereka mengerti, bahwa Tio Beng sengaja datang untuk mengacau dan biar bagaimana pun jua, mereka harus mencegah, supaya pesta itu tidak menjadi gagal. Yo Siauw lantas saja maju dua tindak. "Tio Kouwnio," katanya dengan suara menyeramkan. "Sebagai tuan rumah kami tidak ingin bertindak secara melanggar kepantasan dan kami mengharap, bahwa sebagai tamu, Tio Kouwnio juga bisa menghormati diri sendiri.” Ia telah mengambil keputusan, bahwa jika Tio Beng rewel, ia akan menotok jalan darahnya.

Si nona menengok kepada Hoan Yauw dan berkata, "Kauw Taysoe orang mau turun tangan terhadapku. Apa kau tak menolong ?"

"Koencoe," kata bekas orang sebawahan itu. "Di dalam dunia sering terjadi kejadian yang tak cocok dengan kemauan kita. Dalam hal ini kuharap Koencoe tak memaksakan sesuatu yang tak bisa dipaksakan lagi."

Si nona tertawa manis. "Tapi aku mau paksa juga," katanya. Ia berpaling kearah Boe Kie dan berkata pula. "Thio Boe Kie, kau adalah pemimpin Beng kauw. Sekarang aku mau tanya. Apakah perkataan seorang lelaki sejati tetap dipertahankan atau tidak?"

Begitu Tio Beng muncul, Boe Kie sangat berkuatir. Ia hanya berdoa supaya Yo Siauw berhasil membujuknya supaya dia lantas berlalu. Mendengar pertanyaan itu jantungnya memukul keras. Ia tak dapat menjawab lain dari pada "Tetap dipertahankan."

“Hari itu,” kata Tio Beng, ketika aku menolong jiwa In Lioksiokmu, kau telah berjanji akan melakukan, tiga rupa pekerjaan untukku. Bukankah benar begitu?"

"Benar. Kau ingin pinjam lihat To liong to. Kau bukan saja sudah melihat, kau bahkan sudah mencuri golok mustika itu."

Selama beberapa puluh tahun jago-jago Kangouw gagal dalam usaha mencari golok mustika itu. Maka itu, begitu mendengar bahwa To liong to sudah jatuh ke tangan Tio Beng, mereka lantas saja menjadi gempar.

"Dimana adanya To liong to hanya diketahui oleh Kim mo Say ong Cia Taihiap," kata Tio Beng. "Kau boleh tanya ayah angkatmu sendiri

Kembalinya Cia Soen ke Tionggoan belum diketahui oleh banyak orang. Keterangan Tio Beng sangat mengejutkan dan suara ramai-ramai lantas saja berhenti.

"Siang malam aku memikiri dimana adanya Giehoe,” kata Boe Kie. "Jika kau tahu, aku mohon kau sudi memberitahukan kepadaku."

Si nona tertawa. '"Kau sudah berjanji akan melakukan tiga pekerjaan, asal saja tidak bertentangan dengan kesatriaan dalam Rimba Persilatan," katanya. "Mengenai permintaan untuk pinjam lihat To liong to dapat dikatakan sudah dipenuhi olehmu. Walaupun golok itu belakangan hilang, aku tak bisa mempersalahkan kau. Sekarang permintaanku yang kedua. Thio Boe Kie di hadapan para orang gagah kau tidak boleh hilang kepercayaan."

"Pekerjaan apa yang harus aku lakukan?" tanya Boe Kie.

"Tio Kouwnio," sela Yo Siauw. "Mengenai janji Kauwcoe kami yang bersyarat itu, bukan saja Kauwcoe kami sendiri saja, tapi juga seluruh anggauta Bengkauw turut memikul tanggungan untuk menunaikannya. Tapi sekarang adalah saat yang sangat penting, saat bersembahyang kepada langit dan bumi dari Kauwcoe kami dengan pengantinnya. Maka itu, aku harap soal ini ditunda untuk sementara waktu dan janganlah Kouwnio merintangi upacara yang sedang berlangsung." Kata-kata yang terakhir itu diucapkan dengan nada keras.

Tapi Tio Beng tenang-tenang saja. Ia seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada Kong beng Co soe yang tersohor, "Pekerjaan yang aku ingin berikan kepada Kauwcoe-mu terlebih penting lagi dan tidak boleh ditunda,” katanya dengan suara ogah-ogahan. Tiba-tiba ia maju beberapa tindak dan berbisik di kuping Boe Kie "Permintaanku yang kedua ialah hari ini kau tak boleh menikah dengan Cioe Kouwnio !"

BoeKie tertegun. "Apa?" ia menegas.

"Itulah pekerjaanmu yang kedua," jawabnya "Yang ketiga aku akan berikan belakangan."

Biarpun bisik-bisik, setiap perkataan nona Tio didengar tegas oleh Cie Jiak, Song Wan Kiauw, In Lie Heng dan delapan murid Go bie yang mengiring pengantin perempuan. Mereka semua terkejut dan paras muka mereka lantas saja berubah. Kedelapan murid Go-bie itu lantas saja siap sedia untuk menyerang, jika nona Tio berani menghina Ciang boen-jin mereka.

"Permintaanmu tidak bisa diturut olehku,'' kata Boe Kie. "Kuharap kau suka memaafkan."

"Apa kau mau membatalkan janjimu sendiri?"

“Aku berjanji akan melakukan tiga pekerjaan yang diminta olehmu asal saja pekerjaan itu tidak melanggar ‘hiap gie’. Aku dan Cioe Kouwnio telah setuju untuk menjadi suami istri. Apabila aku menurut kemauanmu, maka aku melanggar ‘gie’”.

Tio Beng tertawa dingin, “Kalau kau menikah dengan dia, berarti kau melakukan perbuatan “put-hauw put-gie”, katanya. “Pada waktu arak-arakan di Hong-shia, apakah kau tidak lihat gambaran cara bagaimana ayah angkatmu diakali orang?”

Boe Kie meluap darahnya, “Tio Kouwnio!” bentaknya. “Hari ini aku menghormati kau dan mengalah terhadapmu karena kau adalah tamuku. Tapi kalau kau terus ngaco-belo, janganlah kau salahkan aku.”

Si nona tidak menggubris ancaman itu, “Apa benar kau tidak mau melakukan pekerjaan kedua itu?” tanyanya dengan suara tenang.

Boe Kie adalah orang yang berhati lemah. Tiba-tiba saja ia ingat bahwa sebagai seorang koencoe yang mempunyai kedudukan tinggai, Tio Beng rela memperlihatkan muka sendiri dan meminta ia membatalkan pernikahan. Hal ini pada hakikatnya merupakan satu bukti dari rasa cinta yang tak terbalas. Mengingat itu tanpa terasa ia berkata dengan suara lemah lembut.

“Tio Kouwnio…urusan sudah jadi begini…kau mundurlah. Thio Boe Kie adalah seorang anak kampong. Bagaimana cara…bagaimana cara…,” ia tidak dapat meneruskan perkataannya.

“Baiklah,” kata si nona, “Tapi lihat! Apa ini?” Ia membuka tangan kanannya dan menyodorkannya ke hadapan Boe Kie. Begitu melihat, Boe Kie terkejut. Dengan badan gemetaran ia berkata dengan suara terputus-putus, “Ah!...ini….”

Tio Beng buru-buru menutup lagi telapak tangannya dan memasukkan benda itu ke dalam sakunya. “Sekarang, terserah kepada kau, apa kau suka melakukan pekerjaan kedua itu atau tidak,” katanya seraya memuta badan dan berjalan keluar.

Benda apa yang dilihat Boe Kie dan mengapa ia begitu kaget, tidak diketahui oleh orang lain. Cie Jiak sendiri yang berdiri berendeng tidak bisa melihatnya karena mukanya terhalang sutra merah.

“Kalau kau mau, kau boleh ikut aku,” kata Tio Beng sambil terus berjalan.

“Tio Kouwnio!...tunggu dulu…segala hal dapat didamaikan.”

Tapi si nona tidak meladeni.

Tiba-tiba Boe Kie memburu. “Baiklah!” teriaknya. “Aku setuju untuk menunda pernikahan!”

Tio Beng menghentikan langkahnya.

“Kalau begitu ikut aku!” katanya.

Boe Kie maju dua langkah dan berhenti lagi. Ia menengok ke arah Cie Jiak dan mengawasi nona Cioe dengan sorot mata menyesal dan meminta maaf. Ia kelihatannya seperti mau memberi penjelasan tapi Tio Beng sudah berjalan keluar dengan langkah lebar. Keadaan sangat mendesak dan ia harus mengambil keputusan cepat. Di lain detik sambil menggertak gigi ia mengejar Tio Beng.

Baru saja ia memburu sampai di ambang pintu, disampingnya mendadak berkelabat bayangan merah dan orang lain sudah menerjang Tio Beng dari belakang. Hampir bersamaan dari bawah tangan baju yang berwarna merah menyambar lima jari tangan ke batok kepala si nona Tio. Serangan itu adalah serangan yang membinasakan yang dikirim secepat kilat. Yang menyerang tidak lain adalah pengantin perempuan.

“Sungguh hebat! Dari mana Cie Jiak mendapat pukulan itu?” pikir Boe Kie.

Biarpun sudah mempelajari macam-macam ilmu silat, Tio Beng tidak berdaya lagi. Pada detik yang sangat berbahaya tanpa berpikir lagi Boe Kie melompat dan meraih pergelangan tangan Cie Jiak. Nona Cioe menyikut dengan sikut kirinya. “Duk!”, sikut it mampir tepat di dada Boe Kie. Walaupun dilindungi Kioe-yang Sin-kang, Boe Kie terhuyung dan darahnya bergolak, sebab tenaga benturan itu bukan main kuatnya. Melihat pemimpinnya menghadapi bahaya, Hoan Yauw melompat dan mendorong pundak Cie Jiak. Dengan gerakan luar biasa si nona ngebut pergelangan tangan Hoan Yauw dengan jari-jari tangannya dan segera Hoan Yauw separuh badannya merasa kesemutan sehingga ia tidak bisa menyerang lagi.

Dengan adanya rintangan itu, Tio Beng sudah maju setengah langkah sehingga batok kepalanya lolos dari pukulan. Tiba-tiba ia merasakan sakit hebat karena lima jari tangan Cie Jiak sudah menancap di pundak kanannya di dekat leher.

Sambil mengeluarkan teriakan kaget, Boe Kie mendorong calon istrinya. Dengan telapak tangan kiri Cie Jiak membabat pergelangan tangan Boe Kie dan kemudian dengan tubuh tidak bergerak ia mengirim pukulan berantai, semuanya delapan pukulan. Mau tak mau Boe Kie melindungi diri dengan Kian-koen Tay lo-ie.

Semua kejadian itu sudah terjadi dalam sekejap mata, seluruh ruangan pesta sunyi senyap dan jago-jago Rimba Persilatan menyaksikannya. Sambil menahan nafas Tio Beng roboh dan darah mengucur dari lima lubang di pundaknya.

Dilain saat Cie Jiak menghentikan serangannya. “Thio Boe Kie!” bentaknya, “Sekarang kau benar-benar sudah mabuk oleh perempuan siluman itu dan kau menyia-nyiakan aku!”

“Cie Jiak!” kata Boe Kie dengan suara memohon, “Kuharap kau bisa membayangkan penderitaanku. Menikah dengan kau sedikitpun Thio Boe Kie tidak merasa menyesal. Aku hanya mohon supaya pernikahan ini ditangguhkan untuk sementara waktu.”

“Sesudah pergi, kau jangan kembali lagi,” kata Cie Jiak dengan suara dingin.

Sementara itu Tio Beng sudah bangun berdiri. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia berjalan keluar dengan darah mengucur di pundaknya.

Orang-orang gagah yang hadir di situ sudah kenyang menyaksikan kejadian-kejadian luar biasa dalam dunia ini, tapi peristiwa berdarah semacam itu, saat dua jago perempuan berebut suami adalah pengalaman yang pertama kali.

Tiba-tiba Boe Kie membanting sebelah kakinya, “Cie Jiak!” katanya dengan suara parau. “Budi Giehoe terhadapku besar bagaikan gunung…kecintaannya mendalam seperti lautan…Oh Cie Jiak! Kuharap kau mengerti perasaanku….” Sehabis berkata begitu ia menguber Tio Beng. In Thian-Ceng, Yo Siauw, Song wan Siauw Song Wang Kiauw In Lie Heng dan lain-lain yang tak tahu latar belakang kejadian itu tidak berani bergerak.

Saat semua orang kebingungan, tiba-tiba Cie Jiak merobek sutra merah yang menutup kepalanya. “Tuan-tuan, lihatlah!” teriaknya dengan suara nyaring. “Dia sudah mengkhianati aku. Mulai hari ini, Cioe Cie Jiak dan orang she Thio itu putus hubungan.” Seraya berkata begitu, ia mengangkat coe koa dari kepalanya, mencengkeram segenggam mutiara dan melemparkan cu khoa itu, kemudian sambil menggertakkan gigi dengan kedua tangannya ia meremas mutiara itu menjadi hancur seperti tepung dan jatuh ke lantai. “Jika aku tidak bisa mencuci hinaan di hari ini, biarlah badanku hancur seperti mutiara ini!” katanya dengan bernafsu. (Coe koa topi perhiasan bertata mutiara)

Baru saja In Thian Ceng dan lain-lain mau mencoba membujuk supaya ia bersabar dan menunggu kembalinya Boe Kie yang tentu akan memberi penjelasan, Cie Jiak sudah merobek pakaian pengantinnya dan melontarkannya ke lantai, kemudian dengan gerakan yang indah ia melompat ke atas genteng. In Thian Ceng dan kawan-kawannya mengejar tapi si nona sudah lari jauh ke arah Timur. Semua orang merasa kagum karena ilmu ringan tubuh Cie Jiak ternyata tak berada di bawah Ceng ek Hok ong Wie It Siauw. Karena tak sanggup mengejar, Yo Siauw dan yang lainnya terpaksa kembali ke toathia.

Demikianlah karena pengacauan Tio Beng, pesta yang meriah itu berakhir secara menyedihkan dan memalukan Beng Kauw. Para tamu yang datang dari jauh tentu saja merasa kecewa dan mereka mencoba menebak benda apa yang diperlihatkan Tio Beng kepada Boe Kie. Dari perkataan Boe Kie, mereka menebak bahwa benda itu tentu mempunyai hubungan dengan Cia Soen tapi tak seorangpun bisa menebak tepat teka-teki itu.

Sesudah berdamai, delapan murid Go Bie segera berpamitan. In Thian Ceng menghaturkan maaf dan mengatakan bahwa ia akan membawa Boe Kie ke puncak Go Bie untuk sekali lagi minta maaf dan kemudaian melangsungkan upacara pernikahan yang tertunda itu. Ia menyatakan harapannya agar persahabatan antara Go Bie pay dan Beng Kauw tak menjadi terganggu. Para murid Go Bie memberi jawaban samar-samar yang penuh rasa dongkol dan mereka segera pergi untuk mencari Cie Jiak.

Benda apakah yang diperlihatkan Tio Beng kepada Boe Kie?

Benda itu adalah rambut manusia yang berwarna kuning emas. Begitu melihat Boe Kie segera mengenali bahwa rambut itu adalah rambut ayah angkatnya. Warna kuning rambut itu berbeda dari warna kuning orang asing adalah akibat dari latihan Lweekang yang luar biasa. Dapatlah dimengerti bahwa begitu melihat rambut tersebut Boe Kie segera menarik kesimpulan bahwa ayah angkatnya jatuh ke tangan Tio Beng atau setidak-tidaknya si nona tahu di mana adanya sang Giehoe.

Kecintaan Boe Kie terhadap Cia Soen tak berbeda dari kecintaan seorang putra kandung terhadap ayah kandungnya sendiri. Baginya di dalam dunia ini tak ada hal yang lebih penting daripada keselamatan orang tua itu. Ia kuatir bahwa jika ia melangsungkan upacara pernikahan dengan Cie Jiak, dalam kegusarannya Tio Beng sgera membunuh atau menyakiti Giehoenya. Di hadapan para tamu ia tak bisa memberi penjelasan yang jelas. Di antara tamu-tamu itu kecuali orang-orang Beng Kauw dan Boe Tong pay sebagian besar ingin mencari Cia Soen baik untuk membalas sakit hati maupun untuk merebut To Liong To. Maka itu ia merasa sangat berdosa terhadap Cie Jiak demi keselamatan sang ayah angkat, ia tak dapat berbuat lain daripada menyusul Tio Beng.

Begitu keluar dari gedung pesta, ia lihat Tio Beng lari-lari dengan darah menetes di sepanjang jalan. Ia mengempos tenaga dan mempercepat langkahnya. Beberapa saat kemudian ia menghadang di depan si nona. “Tio Kauwnio,” katanya, “Janganlah kau memaksa aku untuk menjadi manusia tak berbudi yang akan di tertawai oleh segenap orang gagah.”

Tio Beng terluka sangat berat. Dengan memusatkan seluruh tenaganya, ia bisa juga mempertahankan diri. Begitulah melihat Boe Kie ia berkata dengan suara parau. “Kau!...kau…” Karena mengeluarkan suara, pemusatan tenaganya buyar dan sesaat itu juga, ia jatuh terguling.

Boe Kie membungkuk dan bertanya, “Di mana Giehoe-ku?”

“Bawalah aku untuk menolongnya,” jawab si nona, “Aku akan menunjuk jalan.”

“Apa jiwanya terancam?” tanya Boe Kie pula.

“Giehoe-mu…dia…jatuh ke tangan Seng Koen!...,” jawabnya.

Mendengar nama Seng Koen, hati Boe Kie mencelos. Ia sudah tahu bahwa dalam pertempuran di Kong Beng teng, manusia jahat itu hanya berlagak mati. Manusia itu berkepandaian tinggi dan banyak akalnya. Dengan ayah angkatnya, ia mempunyai permusuhan hebat. Jika sang Giehoe jatuh ke dalam tangannya, dapatlah dibayangkan betapa hebatnya bahaya yang mengancam jiwa orang tua itu.

“Seorang diri, kau tak…tak…akan bisa menolong,” kata Tio Beng pula, “Panggillah Yo Siauw…dan…yang lain-lain….” Seraya berkata begitu, ia menuding ke jurusan Barat. Tiba-tiba kepalanya terkulai dan ia pingsan.

Hati Boe Kie seperti dibakar. Dengan tergesa-gesa ia merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk membalut luka si nona Tio. Sesudah itu ia menggapai seorang anggota Beng Kauw yang kebetulan lewat dijalanan itu. “Lekas kau beritahukan kepada Yo Co-soe bahwa dengan membawa sejumlah pembantu, ia harus segera menyusul aku ke jurusan barat,” pesannya. “Ada tugas sangat penting yang perlu dikerjakan segera.” Orang itu membungkuk dan segera berlalu dengan berlari-lari untuk menyampaikan pesan tersebut.

Sedikitpun Boe Kie tidak mau membuang-buang waktu. Dengan mendukung Tio Beng itu ia segera lari ke pintu kota dan minta segera disediakan seekor kuda pilihan. Perwira yang menjaga pintu tidak berani membangkang dan begitu kuda dituntun keluar, Boe Kie segera melompat ke punggungnya dan mengaburkan ke jurusan barat.

Sesudah melalu belasan lie, tiba-tiba Boe Kie merasa bahwa badan Tio Beng yang didukungnya makin lama menjadi semakin dingin, ia memegang nadinya yang ternyata sudah lemah. Ia kaget dan segera memeriksa luka si nona. Dengan hati mencelos ia lihat lima lubang yang sudah warna ungu hitam, suatu tanda bahwa nona Tio kena racun yang sangat hebat. Sebagai murid Go Bie, bagaimana Cie Jiak bisa memiliki ilmu yang begitu beracun?” tanyanya di dalam hati. “Pukulannya yang hebat luar biasa bahkan lebih hebat daripada Biat Coat Soethay sendiri. Sungguh mengherankan.” Ia tahu bahwa jika tidak segera mendapat pertolongan, Tio Beng akan binasa. Tapi ia sendiri tidak membawa obat pemunah racun. Sesudah berpikir beberapa saat, ia melompat turun dari punggung kuda dan dengan mendukung si nona, ia segera mendaki sebuah gunung yang terletak di sebelah kiri. Sambil memanjat dai memperhatikan rumput-rumput untuk mencari daun obat yang bisa memunahkan racun. Tapi sesudah beberapa saat, sepohonpun tidak dapat ditemukan olehnya.

Dengan bingung ia berjalan terus. Mulutnya komat-kamit memohon pertolongan Tuhan. Tiba-tiba hatinya lega sebab di sebelah kanan di dekat sebuah air tumpah, ia lihat empat lima pohon yang kembangnya merah dan kembang itu obat pemunah racun. Cepat-cepat ia meletakkan Tio Beng di tanah. Sesudah melompati dua selokan, ia tiba di sisi tumpahan. Tapi baru saja ia membungkuk untuk memetik bunga merah itu, dibelakangnya terdengar bentakan seorang wanita, “Tahan!”

Ia menengok dan melihat tiga wanita yang berdiri di seberang selokan. Ia mengenali bahwa salah seorang di antaranya yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan jubah pendeta, adalah Ceng hoe, murid Go Bie pay. Dua yang lain, yang berusia muda dan mengenakan baju hitam juga murid Go Bie tapi ia tak tahu namanya.

Dengan tangan memegang pedang terhunus, Ceng hoei membentak, “Thio Kauwcoe! Ada apa kau datang ke sini?”

Boe Kie tidak segera menyahut. Ia terus memetik tiga kuntum bunga merah yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya. “Ceng hoei Soethay,” katanya sambil mengunyah kembang, “Apa kau membawa Hoed kong Kie tok tan?” Hoed kong Kie tok tan adalah pil obat Go Bie pay untuk memunahkan segala jenis racun dan mempunyai khasiat lebih besar daripada bunga yang sedang dikunyahnya. Ia tahu bahwa kalau turun gunung, hampir setiap murid Go Bie pay selalu membawa obat mujarab itu.

“Perlu apa kau bertanya!” kata Ceng hoei.

“Tio Kouwnio kena racun hebat dan aku mohon supaya Soethay sudi menghadiahkan tiga butir untuk mengobatinya,” jawabnya.

Ceng hoei mendelik. “Perempuan siluman itu adalah penjahat yang sudah membinasakan guruku,” katanya dengan suara keras. “Semua murid Go Bie ingin merobek kulitnya dan makan dagingnya. Hm!...Mereka kena racun yang sangat hebat? Itulah akibat dosanya sudah melewati takaran. Thio Kauwcoe, aku ingin tanya. Hari ini adalah pernikahanmu dengan Ciangboen jin kami. Mengapa begitu dibujuk perempuan siluman itu, kau…kau meninggalkan ruang pesta? Di mana kau mau menempatkan muka Ciangboen jin kami, di mana kau menempatkan Go Bie pay kami?”

Boe Kie menyoja. “Ceng hoei Soethay,” katanya, “Aku perlu segera menolong jiwa manusia, aku sangat menderita tapi tak bisa menceritakan penderitaanku sekarang. Aku mohon kalian sudi memberi maaf. Kecintaanku pada Cie Jiak tak akan berubah sampai mati. Langit dan bumi menjadi saksinya.”

Ceng hoei hanya menafsirkan bahwa orang yang mau ditolong adalah Tio Beng. Ia tak tahu bahwa selain Tio Beng, Boe Kie pun perlu menolong Cia Soen. Maka itu ia jadi lebih gusar. “Biarpun kau merasa perlu untuk menolong dia sepantasnya kau harus menunggu sampai selesai upacara pernikahan,” katanya, “Ha! Kau pandai sekali bersilat lidah!”

Karena pengobatan atas diri Tio Beng tidak boleh tertunda, Boe Kie tidak mau banyak bicara lagi. Ia melompat mendekati nona Tio, merobek baju di bagian pundak dan lalu menaruh bunga merah yang sudah dikunyah di atas luka. Ia menyadari bahwa daging di sekitar luka sudah bengkak dan berwarna lebih hitam. Ia kaget dan sangat kuatir, kalau nona itu sampai binasa di samping rasa duka dan menyesal, iapun tak akan bisa mencari ayah angkatnya lagi. Tanpa petunjuk Tio Beng, dia mau mencari di mana di dunia ini? Mungkin ayah angkatnya itu akan binasa di tangan Seng Koen.

Selagi ia membalut luka dengan tangan gemetar, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin dan sebatang pedang menikam dirinya. Tanpa menoleh, Boe Kie menyambut dengan tangan kirinya…tiga jari tangannya mendorong badan pedang dan serangan itu dapat dipunahkan. Dalam menangkis serangan yang dikirim oleh Ceng hoei, Boe Kie menggunakan ilmu yang istimewa. Kalau perhitungannya salah sedikit saja, tiga jari tangannya akan putus. Jangankan tanpa melihat, dengan berhadap-hadapan saja seorang ahli silat biasa tak akan berani menggunakan pukulan itu.

Sesudah pedangnya terdorong, Ceng hoei segera mengerahkan tenaga pukulan untuk mengirim serangan susulan. Diluar dugaan tenaga dorongan Boe Kie belum habis dan dirinya sendiri turut terdorong sehingga ia terhuyung beberapa langkah.

Ia tahu bahwa ia bukan tandingan Boe Kie. Tapi, karena merasa bahwa hari ini Go Bie pay sudah mendapat hinaan besar dan juga karena Tio Beng adalah musuh besar partainya maka ia tidak mau menyerah begitu saja. Musuh besar itu sudah kena racun hebat dan jika ia bisa menghalang-halangi pertolongan Boe Kie, ia mungkin akan bisa membalas sakit hati tanpa menggunakan pedang. Berpikir begitu ia segera berteriak, “Kwa Soemoay, Auw Soemoay, majulah!”

Kedua gadis remaja itu segera menghunus pedang dan menerjang.

Boe Kie tertawa getir. “Dengan kalian bertiga aku sama sekali tidak punya permusuhan,” katanya. “Mengapa kalian mendesak begitu hebat?” Sambil berkata begitu ia menangkis semua serangan dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya terus membalut luka.

Ketiga wanita itu menyerang sehebat-hebatnya tapi dengan Kian koen Tay lo ie Sin kang, Boe Kie berhasil menyelamatkan dirinya dari setiap serangan. Tiba-tiba Ceng hoei membentak keras dan pedangnya menikam Tio Beng. “Ah!” seru Boe Kie sambil menyentil badan pedang dengan jarinya. “Trang!” Ceng hoei merasa telapak tangannya terbeset dan pedangnya terpental ke tengah udara kemudian patah dua dan jatuh ke tanah.

Ceng hoei jadi kalap, ia melompat dan menotok punggung Boe Kie pada hiat yang membinasakan. Biarpun sabar, Boe Kie mendongkol juga. Ia menangkis dan mendorong dengan keras sehingga tubuh niekouw itu terpental dan jatuh tanpa ampun. Melihat kakak seperguruannya roboh, si gadis she Kwa dan she Auw tidak berani menyerang lagi.

Ketika itu Boe Kie sudah selesai membalut luka. Ia menyadari bahwa nafas Tio Beng jadi makin lemah dan hawa hitam makin menjalar. Ia tahu bahwa bunga merah itu tidak bisa menolong banyak. Dengan terpaksa ia menoleh ke Ceng hoei dan berkata dengan suara memohon, “Ceng hoei Soethay, kau adalah murid Sang Buddha yang selalu bertindak berdasarkan kasih. Kumohon kau sudi memberi tiga butir Hoed kong Kie tok tan, jika kau sudi meluluskan, seumur hidup aku takkan melupakan budimu yang sangat besar.”

“Kau mimpi!” bentak Ceng hoei, “Jika kau menolong perempuan siluman itu kau pun menjadi musuh besar dari partai kami.”

Sedari tadi si gadis she Auw ingin sekali mencoba membujuk Boe Kie tapi ia belum begitu berani membuka suara. Sekarang ia tak bisa tahan lagi. “Thio Kauwcoe,” katanya, “Aku dan Cioe Soecie begitu…begitu…baik. Mengapa…mengapa…karena perempuan siluman itu…kau jadi begitu? Sebaiknya kau kembali ke Cioe Soecie….” Ia tidak bisa meneruskan perkataannya dan mukanya berubah merah.

“Terima kasih atas maksud nona yang sangat baik,” jawab Boe Kie. “Tapi aku tidak bisa melihat kebinasaan dengan berpeluk tangan.” Sementara itu hawa hitam di sekitar pundak Tio Beng sudah jadi lebih hebat. “Nona,” katanya pula, “Apakah kau sudi menghadiahkan tiga butir Hoed kong Kie tok tan kepadaku? Nona, kau tolonglah, Thio Boe Kie pasti membalas budimu.”

Nona she Auw itu berhenti, merasa kasihan dan segera merogoh saku. Tapi melihat paras muka Ceng hoei yang penuh kegusaran, ia tidak berani mengeluarkan pil itu.

“Auw Soemay,” bentak Ceng hoei. “Apa kau lupa sakit hati kita? Jika kau serahkan pil itu aku akan binasakan kau!”

“Ceng hoei Soethay!” bentak Boe Kie. “Kalau kau sendiri tak sudi, akupun tidka memaksa tapi mengapa kau menghalang-halangi orang lain.”

Ceng hoei tidak menyahut, sambil menaruh kedua tangannya di dada, ia mundur selangkah demi selangkah, “Auw Soemay, Kwa Soemay, berangkat!” serunya.

Melihat si pendeta mau kabur dalam hatinya Boe Kie segera muncul keinginan untuk merampas obat. “Ceng hoei Soethay,” katanya, “Apabila kau tetap tidak mau menolong, kau jangan salahkan aku.” Seraya berkata begitu, ia merangsek, Ceng hoei angkat tangan kirinya dan tangan kanannya menyambar dari bawah tangan kiri, Boe Kie miringkan muka untuk menghindari pukulan itu sedang tangan kirinya menotok jalan darah di pundak Ceng hoei.

Begitu tertotok, bagian atas badan pendeta itu tidak bisa bergerak lagi tapi dengan nekad ia menendang betis Boe Kie.

Tendangan itu mampir tepat pada sasarannya tapi ia mendadak merasa Yong coan hiat dibawah kakinya panas, seluruh tubuhnya kesemutan dan ia berdiri terpaku.

“Thio Kauwcoe, jangan lukai Soecieku!” teriak si gadis she Auw.

“Tidak, sedikitpun aku tidak berniat mencelakai Soecie-mu,” jawabnya, “Tapi tolonglah ambil obat dari sakunya.”

“Auw Soemay!” bentak Ceng hoei. “Murid Go Bie boleh mati tidak boleh dihina. Aku mau lihat kalau kau berani ikut perintahnya.” Diancam begitu, si nona tidak berani bergerak.

Sekarang Boe Kie tidak lagi menghiraukan adat istiadat antara pria dan wanita. Ia segera merogoh saku Ceng hoei. Fui! Ceng hoei menyembur dengan ludahnya, Boe Kie miringkan kepalanya sambil menarik keluar tiga botol kristal. Saat itu gadis she Kwa mendadak menikam dari belakang.

Boe Kie mengibaskan tangan bajunya dan ujung pedang menikam angin. Sesudah itu ia membuka tutup tiga botol itu dan memeriksa isinya. Kemudian ia mengambil dan mengunyah tiga butir Hoed kong Kie tok tan. Sesudah pil itu hancur, yang separuh ia masukkan ke mulut Tio Beng dan separuh lagi ia taburkan di lubang luka. Karena kuatir tak cukup ia segera memasukkan botol obat ke dalam sakunya. “Maaf!” katanya seraya membuka jalan darah Ceng hoei. Akhirnya dengan mendukung Tio Beng ia lari ke jurusan barat.

Boe Kie menoleh dan melihat berkelabatnya sehelai sinar hijau. Ia terkesiap karena tangan kiri memegang pedang, Ceng hoei sudah membacok putus lengannya sebatas pundak. Ia segera sadar bahwa perbuatan nekad itu adalah karena gerakannya sendiri. Tadi wkatu menangkis tikaman si gadis she Kwa, secara tidak sengaja menyentuk kulit tulang pi peo (tulang di antara lengan dan pundak) niekauw itu. Sebagai seorang pendeta wanita yang suci bersih sentuhan dari seorang pria dianggapnya sebagai suatu hinaan dan kejadian yang sangat memalukan. Dalam gusarnya ditambah dengan adatnya yang berangasan dan keras ia sudah memutuskan lengan kanannya sendiri, muali dari bagian yang disentuh Boe Kie.

Sesudah melakukan perbuatan nekad itu dengan darah mengucur badan Ceng hoei bergoyang-goyang tapi dengan menggigit gigi ia mempertahankan diri supaya tidak roboh.

Boe Kie kembali dan sesudah meletakkan Tio Beng di tanah, bagaikan kilat ia memberi tujuh totokan kepada Ceng hoei untuk menghentikan keluarnya darah.

“Bangsat Mo Kauw, pergi!” bentak si niekauw.

Mendadak di sebelah kejauhan tiba-tiba terdengar suara suitan dan si nona she Kwa segera mengeluarkan sebuah suitan bambu yang lalu ditiupnya. Boe Kie tahu bahwa itulah tanda Go Bie pay untuk mengumpulkan kawan. Dilain saat, tujuh delapan orang sudah kelihatan mendatangi sambil berlari-lari.

Boe Kie merasa bahwa datangnya bantuan itu jiwa Ceng hoei tak perlu dikuatirkan lagi. Maka itu buru-buru ia mendukung Tio Beng dan terus kabur.

Sesudah kira-kira tiga puluh li, mendadak terdengar suara rintihan Tio Beng yang baru saja tersadar, “Apa…apa aku masih hidup?” tanyanya.

Boe Kie girang, “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.

“Pundakku sangat gatal,” jawabnya, “Hai!...Cioe Kouwnio sungguh hebat.”

Boe Kie lalu merebahkannya di tanah dan memeriksa pula lukanya. Ia sadar bahwa warna hitam belum berubah hanyak ketukan nadi si nona sudah lebih keras daripada tadi. Ia sekarang tahu bahwa Hoed kong Kie tok tan tidak cukup kuat untuk melawan racun itu. Sesudah berpikir sejenak, ia segera menghisap lubang luka itu menarik racun ke mulutnya membuangnya ke tanah. Sambil menahan bau amis yang sangat tajam, ia mengisap racun itu dan menyemburkannya berulang-ulang.

Sambil mengusap-usap rambut Boe Kie, Tio Beng bertanya dengan rasa terima kasih yang sangat besar, “Boe Kie Koko, apa kau bisa menebak latar belakang peristiwa ini?”

Boe Kie tidak menjawab, beberapa saat kemudia ia sudah mengisap habis semua racun dan pergi ke kolam untuk berkumur. Ia kembali dan sesudah duduk di samping nona Tio ia balik bertanya, “Latar belakang apa?”

“Cioe Kauwnio adalah murid sebuah partai lurus bersih. Tapi mengapa ia memiliki ilmu yang sesat itu?”

“Akupun merasa sangat heran, siapa yang sudah mengajarnya?”

Tio Beng tertawa, “Tak bisa lain, orang dari penjahat Mo Kauw,” katanya.

Boe Kie pun turut tertawa. “Di dalam Mo Kauw terdapat banyak sekali kepala iblis,” katanya. “Tapi diantara mereka tak ada yang memiliki ilmu begitu. Hanya Ong yang bisa menghisap darah manusia dan ilmu Thio Boe Kie yang bisa menghisap pundak manusia yang agak mirip dengan ilmu itu.”

Dengan penuh rasa bahagia, Tio Beng menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie, “Boe Kie Koko,” bisiknya. “Hari ini aku sudah mengacaukan pernikahan. Apa kau marah?”

Sungguh aneh, pada waktu itu sebaliknya daripada berduka, Boe Kie merasa senang. Kecuali memikirkan Cia Soen, ia bahkan merasa tenang dan beruntung. Mengapa bisa begitu? Ia sendiri tak tahu sebab musebabnya tapi ia tentu saja merasa malu untuk memberitahukan si nona perasaan hatinya yang sebenarnya. “Tentu saja aku marah,” jawabnya. “Di kemudian hari aku pun akan mengacaukan pernikahanmu.”

Muka Tio Beng segera berubah dadu, “Jika kau berani, aku akan bunuh kau,” katanya tersenyum.

Mendadak Boe Kie menghela nafas.

“Mengapa kau menghela nafas?”

“Entah siapa yang pada penitipan dahulu telah melakukan perbuatan mulia sehingga dalam penitisan sekarang ia begitu beruntung untuk menjadi Koen bee ya.” (Koen bee ya suami seorang putri raja muda)

“Sekarang masih ada waktu untuk kau sendiri melakukan perbuatan mulia,” kata si nona.

Jantung Boe Kie memukul keras, “Apa?” tegasnya.

Tapi si nona segera memalingkan kepala ke jurusan lain dan tidak menyahut.

Sesudah pembicaraan tiba pada titik itu, mereka merasa jengah utnuk berbicara lagi. Sesudah mengaso, Boe Kie lalu menaruh obat baru pada lubang luka dan kemudian sambil mendukung nona Tio ia meneruskan perjalanan ke jurusan barat.

Malam itu mereka tidur dibawah langit dan pada keesokan paginya mereka tiba di sebuah kota kecil. Karena Tio Beng masih sangat lemah dan belum bisa menunggang kuda maka Boe Kie hanya membeli seekor kuda untuk ditunggang berdua.

Sesudah berjalan lima hari, mereka tiba di daerah Ho-lam. Pada hari keenam, selagi enak jalan di sebalah depan tiba-tiba kelihatan debu mengebul dan tak lama kemudian mereka mendengar suara kaki kuda yang sangat ramai. Mereka tahu bahwa itu pasukan angkatan darat Mongol. Boe Kie buru-buru minggir dan menahan tunggangannya di sisi jalan.

Pasukan itu terdiri dari beberapa ratus serdadu dan tak memperdulikan Boe Kie dan Tio Beng. Sesudah mereka lewat, di sebelah belakang mengikuti sekelompok penunggang kuda yang tidak teratur.

Tiba-tiba Boe Kie mengeluh, “Celaka!” dan buru-buru melengos ke jurusan lain.

Apa yang dilihatnya tidak lain adalah Sin cian Pat hiong, delapan jago panah itu adalah bawahan Tio Beng. Ia bukan takut tapi ia tahu bahwa jika ia dikenali mereka dia bakal berabe sekali.

Kelompok itu yang terdiri kira-kira dua ratus orang lewat tanpa memperhatikan Boe Kie dan Tio Beng yang di sisi jalan. Sesudah mereka lewat, Boe Kie segera memutar tangannya untuk meneruskan perjalanan.

Mendadak terdengar suara kaki kuda dan tiga penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Begitu melihat orang-orang itu, Boe Kie terkesiap. Orang yang ditengah-tengah yang menunggang kuda putih mengenakan pakaian sulam dan topi emas sedangkan dua orang yang mengapitnya Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong.

Secepat mungkin Boe Kie mencoba memutar kepala kuda, tapi sudah terlambat. “Koen coe Nio nio!” teriak Ho Pit Ong, “Jangan takut!” Sehabis berteriak begitu ia bersiul keras dan kelompok Sin cian Pat hiong segera kembali. Dilain saat Boe Kie dan Tio Beng sudah dikurung.

Dengan perasaan ragu Boe Kie mengawasi si nona. Apakah Tio Beng sudah lebih dulu mengatur datangnya bala bantuan ini? Tapi hatinya langsung lega sebab si nona sendiri kelihatannya bingung. Ia memastikan bahwa nona itu tidak menjual dia.

“Koko,” seru Tio Beng, “Sungguh tak sidangka bisa bertemu dengan kau di tempat ini! Apa Thia-thia baik?”

Mendengar perkataan “Koko” (kakak) Boe Kie segera mengawasi pemuda yang mengenakan pakaian sulam. Ia segera mengenali bahwa dialah Kuh-kuh Temur, kakak Tio Beng yang dikenal juga dengan nama Han Ong Po-po. Di kota raja ia sudah pernah bertemu dengan pemuda bangsawan itu tapi karena ia mencurahkan seluruh perhatian kepada Hian beng Jie-loo maka ia tidak memperhatikan kakak Tio Beng itu.

Melihat adiknya, Ong Po-po kaget bercampur girang. Ia tidak mengenali Boe Kie. “Kau…kau…! Mengapa?...,” katanya.

“Koko,” kata Tio Beng, “Aku dibokong musuh dan mendapat luka beracun. Untung ditolong oleh Thio Kauwcoe, tanpa pertolongannya aku tak akan bisa berjumpa lagi dengan Koko.”

“Siauw ong-ya, dia tidak lain adalah Kauwcoe Mo Kauw, Thio Boe Kie,” bisik Lok Thung Kek.

Sudah lama Ong Po-po mendengar nama Boe Kie. Ia menduga bahwa adiknya bicara begitu karena diancam, maka itu ia segera memberi tanda dengan kibasan tangan. Melihat tanda itu, Hian beng Jie-loo segera mendekat dan empat anggota Sin cian Pat hiong segera memasang anak panah gendawa yang ditujukan ke punggung Boe Kie.

“Thio Kauwcoe,” kata Ong Po-po, “Kau adalah pemimpin suatu agama dan seorang gagah terkenal. Dengan menghina adikku bukankah akan ditertawai oleh semua orang? Lepaskan adikku! Hari ini aku ampuni jiwamu.”

“Koko, mengapa kau berkata begitu,” kata Tio Beng. “Sebaliknya dari menghina, Thio Kongcoe telah melepas budi padaku.”

Ong Po-po masih menganggap bahwa adiknya berada dibawah tekanan. “Thio Kauwcoe!” teriaknya, “Biarpun kepandaianmu sepuluh kali lipat lebih tinggi, kau tidak akan bisa melawan jumlah yang besar. Lepaskanlah adikku! Hari ini kita berdamai, Ong Po-po tidak akan melanggar janji, kau tidak usah kuatir.”

Boe Kie merasa demi keselamatan Tio Beng, nona itu memang lebih baik mengikuti kakaknya supaya bisa diobati oleh tabib-tabib pandai daripada ikut ia terlunta-lunta. Maka itu ia segera berkata, “Tio Kauwnio, kakakmu sudah dating, sebaiknya kita berpisah saja. Aku hanya memohon agar kau memberitahukan di mana ayah angkatku berada supaya aku bisa mencarinya. Tio Kauwnio, di kemudian hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu.” Sehabis berkata begitu, ia merasa sangat berduka dalam hatinya.

Jawaban Tio Beng diluar dugaan. “Jika aku belum memberitahukan di mana adanya Cia Tayhiap karena mempunyai maksud yang dalam,” katanya, “Aku hanya berjanji akan membawa kau ke tempat itu tapi aku tak bisa memberitahukan tempat itu kepadamu.”

Boe Kie kaget. “Kau belum sembuh dan ikut aku sangat tidak baik bagi kesehatanmu,” katanya, “Paling baik kau ikut kakakmu.”

Tapi si nona menggelengkan kepala, sambil mengawasi Boe Kie dengan sinar mata berduka ia berkata, “Kalau kau tinggalkan aku, kau tidak akan dapat mencari Cia Tayhiap. Aku percaya bahwa aku akan sembuh dalam waktu singkat. Aku yakain bahwa melakukan perjalanan adalah baik untuk kesehatanku. Kalau aku pulang ke Ong hoe aku bisa mati jengkel.”

“Siauw ong-ya,” kata Boe Kie kepada Ong Po-po, “Cobalah kau bujuk adikmu.”

Ong Po-po merasa sangat heran tapi sesaat kemudian ia berkata dengan suara tawar, “Kau jangan bercanda! Aku tahu jari tanganmu memegang hiat yang membinasakan adikku. Kau paksa dia untuk bicara begitu.”

Melihat dirinya masih dicurigai, Boe Kie melompat turun dari tunggangannya.

Selagi ia melompat turun, dua anggota Sin cian Pat hiong mengira ia mau menyerang Ong Po-po segera melepaskan anak panah ke punggungnya. Untuk memperlihatkan kepandaiannya ia mengibas dengan Kian koen Tau lo ie Sin kang. Kedua anak panah iu terpental balik dan tepat menghantam kedua gendewa yang segera menjadi patah. Kalau tidak lekas berkelit, kedua orang itupun pasti sudah terluka berat. Melihat kepandaiannya yang luar biasa itu kecuali Hian beng Jie-loo, semua orang termasuk Ong Po-po sendiri merasa kagum sekali.

“Tio Kauwnio,” kata Boe Kie, “Sebaiknya kau pulang dulu untuk berobat, setelah kau sembuh kita bisa bertemu lagi.”

Tapi si nona menggelengkan kepalanya. “Tidak,” jawabnya, “Tabib di Ong hoe mana bisa menandingi kau? Thio Kongcoe, kalau menolong orang, kau harus menolong sampai akhir.”

Mendengar perkataan adiknya, Ong Po-po kaget bercampur gusar. Saat itu Boe Kie berdiri agak jauh dari Tio Beng maka Ong Po-po segera menoleh ke Hian beng Jie-loo dan berkata, “Tolong kalian lindungi adikku. Ayo berangkat!”

“Baik!” jawab mereka yang lalu mendekati Tio Beng.

“Lok Hi Jie we Sian seng!” kata si nona dengan nyaring, “Ada satu urusan penting yang harus diselesaikan olehku dan Thio Kauwcoe. Tenaga kami berdua justru tak cukup maka kuminta kalian sudi untuk membantu.”

Kedua kakek itu melirik Ong Po-po. “Sepak terjang kepala siluman Mo Kauw selalu menyeleweng dan Koencoe Nio nio tidak boleh mendekati dia,” kata Lok Thung Kek, “Paling baik Koencoe Nio nio ikut Siauw ong-ya.”

Alis si nona berdiri. “Apa sekarang Jie wie hanya mau menuruti perkataan kakakku dan tak sudi lagi mendengar perkataanku?” tanyanya dengan marah.

“Ajakan Siauw ong-ya adalah untuk kebaikan Koencoe Nio nio sendiri,” kata Lok Thung Kek sambil tertawa, “Nasihatnya keluar dair hati yang mencintai.”

Tio Beng mengeluarkan suara di hidung. “Koko,” katanya, “Atas seijin Thia-thia aku berkelana di dunia Kang ouw, kau tak usah kuatir. Aku bisa menjada diri sendiri jika bertemu Thia-thia sampaikanlah hormatku.”

Ong Po-po tahu bahwa si adik sangat disayang oleh ayah mereka dan sebenarnya ia tidak berani terlalu mendesak tapi perginya adik seorang diri dengan Boe Kie biar bagaimanapun juga tak dapat diijinkan olehnya. Melihat si adik sudah mengedut tali untuk segera berangkat, ia segera menghadang dan berkata, “Hian moay, Thia-thia akan segera tiba di sini. Kau tunggulah sebentar, beritahukan dulu Thia-thia sebelum kau berangkat.”

“Begitu Thia-thia datang aku tentu dihalangi,” kata si nona, “Koko aku tidak ikut campur urusanmu kaupun jangan ikut campur urusanku.”

Ong Po-po melirik Boe Kie, melihat pemuda yang gagah dan tampan romannya itu dan mendengar perkataan adiknya, ia tahu si adik sudah cinta. Tapi Beng Kauw telah memberontak dan Kauwcoe Beng Kauw adalah kepala pemberontak. Ia gusar bercampur bingung. Terang-terang adiknya sudah dipengaruhi oleh kepala pemberontak itu. Bencana yang dihadapi bukan bencana kecil, demikian pikirnya.

Sesudah berpikir sejenak, sambil mengibas tangan kirinya ia membentak, “Tangkap kepala siluman itu!”

Hian beng Jie-loo segera menerjang, Lok Thung Kek menggunakan tongkat tanduk menjangan sedang Ho Pit Ong menyerang dengan pit-nya. Lweekang dari Hian beng Jie-loo agak lebih tinggi daripada orang-orang seperti Ia Thian Geng dan Cia Soen dan sekarang mereka mengerubuti seorang musuh adalah kejadian yang baru pertama kali terjadi. Melihat penyerangnya kedua lawan yang tangguh Boe Kie pun tidak berani bertindak sembrono dan segera melayani dengan menggunakan segenap kepandaiannya.

Tio Beng tahu kehebatan kedua kakek itu, ia merasa sangat kuatir akan keselematan Boe Kie. “Hian beng Jie-loo!” teriaknya, “Jika kau melukai Thio Kauwcoe aku akan memberitahu Thia-thia dan Thia-thia pasti tak akan mengampuni kau.”

“Omong kosong!” bentak Ong Po-po, “Setiap orang berusaha untuk membunuh penjahat pemberontak. Hian beng Jie-loo! Setelah kalian bunuh penjahat itu, Thia-thia dan aku akan memberi hadiah besar.” Ia terdiam sejenak dan berkata pula, “Sok Sianseng, aku akan mempersembahkan empat wanita cantik untukmu.”

Hian beng Jie-loo serba salah, pihak mana yang harus diikuti? Sesaat kemudian, Lok Thung Kek memberi isyarat kepada soetenya dengan kedipan mata dan berkata dengan suara perlahan, “Tangkap hidup-hidup saja.”

Tiba-tiba Boe Kie mengubah cara bersilatnya. Ia menggunakan ilmu silat Seng hwe teng. Dilain detik dengan satu pukulan aneh yang dikirim dari satu sudut yang tak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain ia berhasil menggaplok pipi Lok Thung Kek, “Coba tangkap hidup-hidup!” bentaknya dengan suara mengejek.

Si kakek gusar sekali, tapi sebagai ahli silat kelas utama dalam kegusarannya pemusatan pikirannya tidak terpecah. Ia segera menambah tenaga dan menyerang bagaikan hujan dan angin.

Saat semua orang mencurahkan perhatian pada pertempuran itu, tiba-tiba Tio Beng mengedut tali dan kuda yang ditungganginya segera melompat. Ong Po-po terkejut dan menyabet dengan cambuknya yang mampir di mata kiri binatang itu sehingga sambil meringkik keras dia mengangkat kedua kakinya. Tubuh Tio Beng miring dan karena masih sangat lemah ia hampir jatuh terjengkang. “Koko, apa kau benar-benar mau menghalangi aku?” bentaknya.

“Adik yang baik, dengarlah perkataanku,” jawabnya, “Jika kau menurut, aku akan menghaturkan maaf.”

“Koko, jika sekarang kau menghalangi aku, aku pasti akan mati. Thio Kauwcoe akan membenci aku sampai di sumsum…adikmu…sukar hidup lebih lama lagi….”

“Hian moay, mengapa kau berkata begitu? Gedung Jie lom ong dijaga oleh banyak orang pandai yang tentu akan bisa melindungi kau sebaik-baiknya. Jangankan melukai kau, sekalipun hanya bertemu muka dengan kau, iblis kecil itu tak akan bisa lagi.”

Si adik menghela nafas. “Aku justru kuatir tak bisa bertemu muka lagi dengannya,” katanya, “Kalau sampai begitu…aku…aku lebih suka mati.”

Pada jaman itu wanita Mongol memang lebih berani daripada wanita Han. Selain hubungan kakak dan adik itu sangat erat, mereka biasanya selalu bicara terus terang. Maka itu dalam keadaan terdesak, Tio Beng membuka rahasia hatinya secara terang-terangan.

“Moaycoe, mengapa kau bicara yang tidak-tidak?” bentak Ong Po-po dengan gusar, “Kau adalah anggota keluarga raja muda Mongol. Ibarat pohon, kau bercabang emas berdaun giok. Mana bisa kau jatuh cinta kepada anjing itu? Jika tahu, Thia-thia bisa mati berdiri!” Seraya berkata begitu, ia mengibaskan tangan kirinya dan tiga jago segera turun ke gelanggang untuk membantu mengepung Boe Kie. Tapi mereka tak bisa mendekati sebab saat itu Boe Kie dan Hian beng Jie-loo sedang bertempur menggunakan Sin kang yang tertinggi sehingga dalam jarak beberapa tombak angin tenaga dalam menyambar-nyambar bagaikan tajamnya pisau.

“Thio Kongcoe!” teriak Tio Beng, “Jika kau mau menolong Giehoe, kau harus lebih dulu menolong aku.”

Mendengar itu Ong Po-po tidak bisa menahan sabar lagi. Ia segera memeluk adiknya dan menendang perut kuda yang segera kabur.

Ilmu silat Tio Beng sebenarnya lebih tinggi dari kakaknya tapi dalam keadaan terluka ia tidak bertenaga untuk melawannya. Ia hanya bisa berteriak, “Thio Kongcoe tolong! Thio Kongcoe tolonglah aku!”

Boe Kie terkejut, dengan menggunakan seluruh tenaga ia mengirimkan dua pukulan sehingga Hian beng Jie-loo terpaksa mundur beberapa langkah. Dengan menggunakan kesempatan itu ia melompat dan mengejar Ong Po-po. Hian beng Jie-loo dan tiga jago segera mengejar. Tapi begitu mereka mendekat, Boe Kie segera memukul dengan Sin-liong Pah hwee (Naga sakti menyabetkan ekornya), yaitu salah satu pukulan dari Han liong Sip pat ciang. Biarpun belum menyelami inti sari dari pukulan itu tapi karena memiliki Kioe yang Sin kang, tenaga pukulan itu dahsyat sekali sehingga Hian beng Jie-loo dan tiga kawannya tidak berani terlalu dekat.

Dilain saat Ong Po-po sudah terkejar oleh Boe Kie. Sambil melompat tinggi ia mencengkram jalan darah dibatang leher pemuda bangsawan itu yang segera tidak bisa bergerak lagi yang lalu diangkat dan dilemparkan ke arah Lok Thung Kek. Karena kuatir majikannya terluka, si kakek buru-buru menyambuti. Dilain detik Boe Kie sudah mendukung Tio Beng melompat turun dari punggung kuda dan terus kabur ke lereng gunung.

Ho Pit Ong dan jago lain segera menguber tapi dari lereng Boe Kie lari ke atas puncak yang tingginya beberapa ratus tombak sehingga untuk mengejarnya orang harus mempunyai ilmu ringan badan yang tinggi. Hian beng Jie-loo adalah ahli silat kelas utama tapi ilmu ringan badan mereka tidak seberapa tinggi dan mepat lima jago yang lain bahkan tidak bisa lari lebih cepat daripada Ho Pit Ong. Melihat dirinya dikejar, Boe Kie menjumput beberapa batu dan menimpuk. Dua orang roboh dan menggelinding ke bawah sehingga yang lain tidak berani mengejar terlalu keras. Dalam sekejap Boe Kie sudah lari jauh.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar