Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 83 (Tamat)

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 83 (Tamat)
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 83 (Tamat)

Tapi Bengkauw berasal dari Persia menurut ajaran Beng kauw seorang harus hemat, sehingga oleh karenanya, diantara penganut agama jarang sekali yang punya lebih dari satu isteri. Boe Kie pun anggap, bahwa ia sudah boleh merasa beruntung kalau bisa menikah dengan salah seorang dari keempat gadis itu. Ia merasa bahwa jika sesudah menikah dengan salah seorang ia masih mengambil gundik, ia berbuat tak pantas terhadap isteri yang seperti dewi itu.

Demikianlah pada waktu yang lalu persoalan itu bsering memusingkan kepala.

Belakangan Siauw Ciauw pergi ke Persia dan In Lee dibunuh orang.

Semua orang menduga bahwa pembunuh nona In adalah Tio beng maka dari itu, menurut kepantasan maka pilihannya harus jatuh kepada Cie Jiak. Diluar dugaan, timbulah gelombang yang akhimya berakibat kaburnya Tio Beng dan diajukan partanyaan sulit oleh nona Cioe.

Melihat Boe Kie tidak menjawab, Cie Jiak berkata pula. "Pertanyaanku hanya andai2. Sekarang ini kau tak usah memilih lagi. Siauw Ciauw sudah menjadi Kauwcoe di Persia sedang aku---aku telah mencelakai In Kouwnio. Diantara kami berempat, secara wajar pilihanmu harus jatuh kepada Tio Kouwnio. Aku hanya ingin bertanya. "Andaikata kami berempat, bebas dari kedosaan atau ganjelan, sekarang berada disini siapakah diantara kami yang akan kau pilih?"

"Cie Jiak, pertanyaan itu sebenarnya sudah lama mengganggu pikiranku. Hari ini baru kutahu siapa yaug dicintai olehku."

"Siapa? Tio Kauwnio?"

"Hari ini aku tak berhasil mencari dia. Di dalam hati, aku kepingin mati. Manakala aku tidak bisa bertemu lagi dengan dia kurasa akupun tidak akan bisa hidup lama di dunia. Waktu Siauw Ciauw pergi, aku berduka. Perbuatanmu juga sangat mendukakan aku. Tapi Cie Jiak, aku tak boleh mendustai kau. Apabila aku tidak bisa bertemu dengan Beng moay, aku lebih suka mati, Cie Jiak rasa hatiku ini belum pernah kuuraikan kepada orang lain."

"Hari itu di kota raja, waktu kulihat kau menemui dia dirumah makan, aku sudah tahu kepada siapa kau berikan cintamu. Tapi aku masih terus mimpi. Kuduga bahwa sesudah aku - -aku - - - menikah denganmu kau bisa berubah pikiran. Tapi - - - aku hanya mendustai diriku sendiri !"

"Cie Jiak, terhadap kau, aku selalu menghargai dan menghormati. Terhadap In Piauw moay, aku merasa berterima kasih. Terhadap Siauw Ciauw, aku menyayang- Hanyalah terhadap Tio Kouwnio aku menaruh cintaku. Cintaku terhadap dia adalah cinta yang tercetak di jantung dan terukir di tulang."

"Ya - - - cinta yang tercetak di jantung dan terukir di tulang - - Cinta yang tercetak dijantung dan terukir di tulang - - " Cie Jiak mengulang dengan suara perlahan.

Ia berdiam sejenak dan kemudian menambahkan, "Boe Kie Koko, cintaku terhadapmu juga cinta yang tercetak di jantung dan terukir ditulang, apa kau tahu?"

Boe Kie merasa sangat terharu. Sambil mencekal tangan si nona ia berkata, "Cie Jiak aku tak dapat merasai perasaan hatimu. Aku tak tahu cara bagaimana aku harus membalas kecintaanmu. Aku - - - aku berlaku sangat tidak pantas terhadapmu."

"Tidak! Kau selalu berbuat kebaikan terhadapku. Apa kau tak tahu? Sekarang kutanya- Apabila kau tak bisa mencari Tio Kouwnio, jika ia dibunuh orang, atau andaikata ia berubah pikiran, kau ... bagaimana kau berbuat?"

"Entahlah! Tapi biar bagaimanapun juga diatas ada langit dibawah ada bumi, aku akan mencari dia deogan segala tenaga yang dipunyai olehku.

Si.nona menghela napas. "Dia tak akan berubah pikiran," katanya.

"Kalau benar kau ingin menemui dia, hal itu bisa terjadi dengan mudah sekali."

Boe Kie kaget bercampur girang. Ia melompat bangun. "Dimana dia?" tanyanya. "Cie Jiak lekas bilang."

Nona Cioe mengawasi wajah Boe Kie penuh kegirangan. "Terhadap aku kau tidak akan perlihatkan kecintaan yang begitu besar," katanya.

"Jika kau ingin tahu dimana adanya Tio Kauwnio, kau lebih dulu harus mengatakan satu permintaanku. Tanpa meluluskan permintaanku itu, tak usah harap kau bisa bertemu lagi dengan dia!"

"Permintaan apa?"

"Permintaan itu sekarang belum dapat dipikir olehku. Namun, setelah kudapat, aku akan beritahukan kau. Tapi kau tak usah kuatir. Permintaanku itu tidak akau melanggar "Hiap gie" (kesatrian) tidak akan menodai nama baik Bengkauw, maupun namamu sendiri dan permintaan itu akan bermanfaat bagi usahamu yang besar. Tapi mungkin sekali tugas yang terdapat dalam permintaan itu tak mudah dikerjakan."

Boe Kie tercengang. Si nona ternyata telah menuruti contoh Tio beng waktu nona Tio mengajukan tiga permintaan kepadanya. Ia tidak bisa lantas menjawab dan untuk beberapa saat, ia menatap muka Cie Jiak dengan mulut ternganga.

"Kalau kau tak suka meluluskan, terserah kepadamu," kata pula si nona.

"Tapi seorang laki-laki harus menjaga kepercayaan. Apabila kau sudah mengatakan, dibelakang hari kau tidak boleh mangkir janji."

"Kau kata parmintaan itu tidak melanggar "hiap gie" tidak menodai nama Beng kauw dan namaku sendiri dan bahkan bermanfaat bagi usaha besar. Bukankah begitu?"

"Benar."

"Baiklah. Kalau benar tidak melanggar "hiap gee" dan kalau tidak merugikan usaha besar, aku meluluskan." (Usaha besar ialah usaha untuk merobohkan kerajaan Goan).

"Mari kita bersumpah dengan saling menepuk tangan." kata Cie Jiak seraya mengeluarkan tangan kanannya.

Boe Kie tahu, bahwa begitu lekas ia menepuk telapak tangan Cie Jiak ia seperti juga diikat dengan rantai besar. Nona Cioe sungguh hebat. Ia halus dan lemah lembut tapi cara-caranya lebih keras dari Tio Beng. Perlahan-lahan ia angkat tangannya, tapi tidak lantas menepuk

Si nona tersenyum, "Begitu kau menepuk, begitu kau akan bisa bertemu dengan kecintaanmu," katanya.

Darah Boe Kie bergolak. Tanpa berpikir lagi ia menepuk tangan Cie Jiak tiga kali.

Nona Cioe tertawa. "Coba kau lihat siapa di dalamnya?" tanyanya sambil menyingkap ranting-ranting pohon berdaun rindang yang berada dibelakangnya.

"Bengmoay!" teriak Boe Kie.

Tiba-tiba ditempat yang jauhnya beberapa tombak terdengar suara "ih" dari seorang perempuan. Biarpun perlahan, suara itu didengar Boe Kie. Ia terkesiap dan rupa-rupa ingatan berkelebat diotaknya. Tapi ia tak sempat memikir yang lain dan lalu menarik tangan Tio-beng. Sekali lagi ia terkejut, sebab tangan si nona kaku. Ia mendusin bahwa Tio beng telah ditangkap dan ditotok jalan darahnya oleh Cie Jiak yang lalu menyembunyikannya ditempat itu. Ia mulai mengurut punggung nona Tio supaya darah bisa mengalir lagi sebagaimana biasa. Si nona mengawasi Boe Kie dengan sorot mata penuh kecintaan dan rasa bahagia. Ia sudah dengar pembicaraan antara Boe Kie dan Cie Jiak. Ia sudab tahu bahwa pemuda itu mencintainya dengin cinta yang tercetak dijantung dan terukir ditulang.

Mendadak Cie Jiak membungkuk dan bicara bisik-bisik di kuping Boe Kie yang lalu menjawab dengan bisik-bisik pula. Diluar dugaan, tiba-tiba saja nona Cioe marah besar.

"Thio Boe Kie!" bentaknya. Kau sama sekali tak pandang mata padaku! Kau lihatlah! Sesudah kena racun, apa perempuan she Tio itu masih bisa hidup terus?"

Boe Kie mencelos hatinya. "Dia - - - dia, kena racun? Kau yang meracuni?” tanyanya kemudian, Ia membungkuk dan membuka kelopak mata kiri Tio Beng. Sesaat itu mendadak ia merasa punggungnya kesemutan. Ia ditotok Cie Jiak.

"Celaka!" ia mengeluh dan tubuhnya bergoyang-goyang. Sebab memiliki Lwekang yang sangat kuat, biarpun tertotok, ia tidak lantas roboh. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darahnya. Tapi Cie Jiak tak tinggal diam, bagaikan kilat ia mengirim lima totokan lain di lima "hiat" besar, yaitu dipundak dan di punggung.

Meskipun lihay, Boe Kie tak kuat melawan enam totokan itu. Ia roboh terjengkang, tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan Cie Jiak menuding dadanya dengan pedang.

"Thio Boe Kie, hari ini kuambil jiwamu!" bentaknya.

"Aku tak perduli setannya. In Lee terus saja mengganggu aku. Aku tidak. bisa hidup lebih lama lagi, Mari kita mati bersama!" Seraya berkata begitu, ia mengayun pedang untuk menikam Boe Kie.

"Tahan!" mendadak terdengar teriakan seorang wanita. "Cie Jiak, aku belum mati."

Cie Jiak menengok. Seorang wanita baju hitam melompat keluar dari alang-alang dan menotok punggungnya. Cie Jiak berkelit dan wanita itu memutar tubuh sehingga mukanya kena sinar rembulan.

Muka itu sangat cantik tapi di muka yang ayu itu terdapat goresan-goresan bekas luka. Boe Kie lantas saja mengenali bahwa dia itu bukan lain dari pada In Lee. Bengkak-bengkak di muka nona In sudah hilang dan biarpun terdapat tanda bekas luka, kecantikan si nona tidak berkurang. Boe Kie lantas saja ingat si gadis cilik yang mengikut Kim hoa Popo dan yang pertama kali ditemuinya di Ouw tiap kok.

Sesudah berkelit, Cie Jiak menuding dada Boe Kie dengan pedangnya. “Kalau kau maju setindak lagi, aku ambil jiwanya,” ia mengancam.

In Lee benar saja tak berani bergerak! "Apa belum cukup kau melakukan perbuatan jahat?" katanya dengan suara bingung.

"Apa kau manusia atau setan?" tanya nona Cioe.

"Tentu saja manusia,” jawabnya.

Mendadak Boe Kie berteriak, "Coe Jie!” Ia melompat dan memeluknya. "Oh, Coe Jie! Kau membuat aku sangat menderita!" katanya dengan suara parau. Dipeluk begitu, In Lee tak bisa berkutik lagi.

Cie Jiak tertawa geli. Sesudah memasukkan pedang ke sarung, ia berkata. "Huh-huh Menyamar menjadi setan untuk menakut-nakuti aku. Jika aku tidak menggunakan tipu, kau tentu masih belum mau keluar." Sehabis berkata begitu ia menghampiri Tio Beng dan membuka jalan darah nona Tio!

Tio Beng menghela napas. Sesudah menjadi tawanan Cie Jiak, ia bergirang sebab dengar pengakuan Boe Kie! Tapi baru bergirang ia sudah berkuatir lagi sebab munculnya nona In.

"Lepaskan aku!“ kata In Lee. "Tio Kouwnio dan Cioe Kouwnio berada djsini. Apa kau tak malu!"

Boe Kie tersenyum." Melihat kau hidup kembali, aku kegirangan,“ katanya "Tapi .. tapi bagaimana bisa jadi begitu?“

In Lee menarik tangan pemuda itu sehingga muka Boe Kie menghadapi rembulan. Ia mengawasi dan mendadak menjewer kuping orang.

"Aduh! Mengapa kau jewer kupingku?" teriak Boe Kie.

"Tioe-pat koay," kata si nona, kau memang pantas dicincang dengan laksaan golok! Kau menggunakan nama Can A Goe untuk menipu aku, menyuruh aku membuka rahasia hatiku. Kau mau bikin aku malu dihadapan banyak orang. Kau... kau mengubur aku hidup-hidup. Celaka sungguh! Karena kau, aku sangat menderita.“ Sehabis berkata begitu ia pukul tiga kali dada Boe Kie.

Boe Kie tidak mengerahkan Kioe yang Sinkang. Ia rela menerima pukulan itu. "Piawmoay," katanya sambil tertawa.

"Sungguh mati, kukira kau sudah meninggal dunia. Aku sudah mencucurkan banyak air mata. Bagaimana kau bisa hidup lagi? Loo thian ya (Langit) benar-benar mempunyai mata."

"Loo thian ya punya mata, tapi kau, Tioe-pai koay, tak punya mata. Kau murid Tiap kok-Ie sian, Masakah orang sudah mati atau belum mati tak diketahui olehmu? Aku tak percaya. Kau tentu mencela mukaku yang bengkak-bengkak, sehingga sebelum aku putus jiwa, kau sudah mengubur aku. Kau tak lebih tak kurang daripada setan umur pendek yang tak punya perasaan hati!"

Boe Kie menyeringai. "Kau boleh caci aku sepuas hati," katanya.

"Waktu itu aku memang gila. Melihat mukamu berlepotan darah, napasmu berhenti dan jantungmu tidak mengetuk lagi, aku lantas menarik kesimpulan, bahwa kau sudah tidak dapat ditolong lagi..."

In Lee melompat coba menjewer kuping kanannya.

Boe Kie berkelit dan sambil menyoja ia berkata. "Piauw moay yang baik, ampunilah aku!"

"Tidak! Aku takkau ampuni kau! Hari itu entah bagaimana aku tersadar. Diseputarku dingin semua potongan-potongan batu. Kalau kau mau mengubur aku hidup-hidup, perlu apa kau membuat lubang tertutup batu? Bukankah lebih baik kau menguruk aku dengan tanah, supaya aku tak bisa bernapas, supaya aku mati sungguhan?“

"Terima kasih kepada langit dan bumi !" kata Boe Kie. "Sungguh mujur hari itu aku menutup lubang dengan batu-batu." Seraya berkata begitu, tanpa merasa ia melirik Cie Jiak.

"Aku larang kau lihat dia !" bentak In Lee dengan gusar.

"Mengapa?" tanya Boe Kie.

"Sebab dia pembunuh yang membunuhku" jawabnya.

"Kau masih hidup, sehingga tak dapas kau mengatakan Cioe Kauwnio sebagai pembunuh," sela Tio beng.

"Aku sudah mati satu kali. Dia tetap pembunuh!"

Sambil berkata begitu In Lee telah menatap Cie Jiak dengan sorot mata yang dingin seakan juga menembus ke ulu hati Cie Jiak membuat tubuh Cie Jiak jadi gemetar karenanya.

"Piauw moay yang baik!“ kata Boe Kie untuk melenyapkan kekakuan suasana disaat itu. "Kau telah pulang dari pulau karang itu dengan selamat, kami benar2 merasa bersyukur dan girang melebihi perasaan girang jika memperoleh hadiah yang tak ternilai harganya, maka sekarang aku ingin mohon kepadamu, maukah engkau duduk dengan tenang, untuk saling menceritakan pengalaman selama itu?"

Muka In Lee jadi berobah waktu mendengar perkataan Boe Kie, dia telah tertawa dingin sekali dengan wajah yang memancarkan perasaan tidak senangnya.

"Engkau mempergunakan perkataan kami" kata In Lee kemudian.

"Ingin kutanya dulu, dengan perkataan kami, "KAMI" yang engkau maksud itu meliputi siapa-siapa saja?"

"Disini hanya terdapat empat orang, dengan sendirinya meliputi aku bersama nona Cioe dan Tio, entah merekapun senang untuk mendengarkan pengalaman yang menarik di pulau karang yang pernah engkau alami itu. . ."

“In Kouwnio,” tiba2 Cie Jiak te1ah memotong perkataan Boe Kie.

"Waktu itu memang timbul maksud jahatku, hingga telah mencelakaimu, setelah itu siang dan malam aku telah tersiksa oleh penyesalan-penyesalan yang tidak berkesudahan, dalam mimpiku, selalu pula aku tidak merasa aman dan dikejar oleh perasaan menyesal dan takut. Jika tidak, tentu akupun tidak akan ketakutan setengah mati waktu hari itu mendadak melihat engkau ditengah rimba itu ....! Tetapi kini melihat engkau masih sehat dan selamat tidak kurang suatu apapun juga, maka terhindarlah segala dosa-dosaku. Thian yang maha pengasih menjadi saksi, aku merasa bersyukur melihat engkau dalam keadaan selamat dan sehat seperti sekarang ....!"

In Lee tidak menyahuti perkataan Cie Jiak, tampakoya dia berpikir sejenak, dan kemudian menganggukkan kepalanya perlahan-lahan beberapa kali.

"Ya, memang dapat diterima oleh akal sehat. Sesungguhnya peristiwa itu terjadi karena dikuasai oleb nafsu jahat saja dan engkau melakukannya diluar kesadaranmu. Sesungguhnya aku ingin mencarimu untuk membuat perhitungan tetapi kini biarlah. Anggap saja sudah selesai dan diantara kita sudah tidak terdapat sakit hati dan dendam.”

Mendengar perkataan In Lee itu, tiba-tiba Cie Jiak telah berdiri dan berlutut di hadapan In Lie dengan air mata yang bercucuran berlinang membasahi pipinya. Dia telah meratap dengan suara yang menyayatkan, mengandung perasaan syukur dan terharu bercampur juga dengan perasaan dukanya. "Nona In ... ooh nona In ... aku benar-benar terlalu jahat, aku terlalu jahat memperlakukan dirimu beberapa saat yang lalu, akulah manusia yang terkutuk ..." ratapnya dan dia berkata begitu sambil berlutut, sehingga menimbulkan kesan yang mengharukan, terlebih lagi dia telah menangis terisak isak.

Suara In Lee terdengar begitu ramah dan lembut, dia berkata-kata dengan penuh perasaan persahabatan, menambah Cie Jiak terharu bukan main. Dia menangis sampai tubuhnya gemetaran.

Biasanya In Lee mempunyai watak yang keras dan kukuh, tidak mudah pendirian dan hatinya berobah, tetapi waktu melihat Cie Jiak rela berlutut demikian sambil menangis, dan mengakui kesalahan yang pernah dilakukannya, hati In Lee jadi lemas dan kemarahan dihatinya jadi mencair.

Segera ia membangunkan Cie Jiak dan disertai oleh perkataannya, "Cioe Ciecie, semuanya sudah lewat dan berlalu, janganlah menyinggung-nyinggungnya pula, karena tidak perlu kita mempercakapkan persoalan yang tidak ada artinya lagi itu, akupun memang tidak mengalami kecelakaan apa-apa, dan juga tidak jadi mati ...

In Lee membimbing Cie Jiak untuk duduk berendeng disampingnya, kemudian dia membenarkan rambutnya yang agak kusut, disusul oleh kata-katanya, “Semula mukaku bengkak dan mengerikan sekali, tapi karena dahsyat pedangmu, darah yang mengandung racun telah mengalir keluar, bengkak mukaku lantas saja berangsur-angsur menjadi kempis dan lenyaplah bengkak dimukaku.” Sambil berkata begitu In Lee telah tersenyum ramah sekali, tidak memancarkan sikap permusuhan pula dengan Cie Jiak.

Hati Cie Jiak jadi terharu dan menyesal sekali, sehingga dia tidak mengetahui harus mengucapkan kata-kata apa untuk menyahuti perkataan In Lee, dan akhirnya Cie Jiak hanya berdiam diri saja.

"Aku bersama Cicu dan Cie Jiak waktu itu masih tinggal cukup lama diatas pulau karang itu," kata Boe Kie memecahkan suasana hening itu. Setelah engkau keluar dari kubur, apakah engkau tidak melihat kami?”

Muka In Lee jadi berobah lagi, memancarkan kegusaran yang sangat, dan dia telah mendengus mengeluarkan suara tertawa dingin.

"Hmmm, tidak melihat kalian?" tanyanya dengan suara yang sinis dan mengejek. "Justru aku yang tidak sudi menemui kau! Huh! Huh! Betapa mesranya, betapa sangat hangatnya dan penuh kasih sayang, bisik-bisikmu yang ditujukan kepada nona Cioe, tentu saja tidak dapat aku menyaksikan dengan hati yang dingin, dimana perasaanku terbakar oleh kemarahan dan mendongkol. Hmm, bukankah disaat itu engkau berkata, "Selanjutnya aku akan lebih mencintaimu, lebih sayang dan memanjakanmu, mana bisa kubiarkan engkau menderita lagi ... ! Huh, bukankah begitu kata-kata yang kauucapkan?" Dan sengaja In Lee meniru suara palsu Boe Kie waktu mengucapkan isi hatinya waktu dibuai cinta-kasih dengan Cie Jiak waktu berada di pulau karang dulu, lalu In Lee menyusul pula dengan meniru suara Cie Jiak,

"’Apabila aku berbuat sesuatu yang salah, apakah engkau akan menghajar memaki dan membunuh?’

Dan disaat itu engkau pernah berkata lagi. 'Sejak kecil aku telah kehilangan bimbingan orang tua, siapa berani menjamin pada suatu waktu aku tidak akan melakukan sesuatu yang khilap? Cie Jiak, engkau adalah isteriku yang sangat kucintai, melebihi dari diriku sendiri. Andaikata benar kau melakukan suatu kesalahan, betapapun aku takkan tega untuk menghukum dirimu dan biarlah sekarang ini Sang Rembulan menjadi saksi, alasan apapun juga aku tentu takkan tega untuk menghukummu.’ Bukankah begitu? Alangkah mesranya! Alangkah mesranya!"

Ternyata, semua percakapan yang begitu mesra antara Boe Kie dengan Cie Jiak waktu di pulau karang dulu itu telah didengar seluruhnya oleh In Lee, tentu saja muka Cie Jiak seketika berubah menjadi merah padam dan dia malu sekali, sehingga dia menundukkan kepala dalam-dalam.

Sedangkan Boe Kie juga sangat malu dan merasa kikuk sendirinya. Boe Kie berusaha untuk menguasai goncangan hatinya dan dia melirik kepada Tio beng, dimana dia melihat wajah gadis itu pucat pasi diliputi kegusaran yang sangat, maka dia mengeluarkan tangannya memegang tangan si gadis.

Diluar dugaan mendadak Tio beng membalikkan tangannya, dengan sengit kedua kuku jarinya panjang dan tajam itu telah menusuk ke punggung tangan Boe Kie.

Kaget dan kesakitan Boe Kie menarik pulang tangannya, dia hanya meringis dan tak berani bergerak atau menjerit.

Disaat itu In Lee telah mengeluarkan sepotong papan kayu dan diangsurkan kehadapan Boe Kie, disusuli dengan perkataannya yang dingin. "Lihatlah yang jelas, benda apakah ini ?"

Mata Boe Kie terpentang lebar-lebar mengawasi benda itu, hatinya kembali tergoncang keras karena ternyata diatas papan kayu itu terukir tulisan yang cukup dikenalinya.

"Kuburan isteri ternyata In Lee alias Coe Jie, suami Tio Boe Kie.”

Itulah papan kuburan yang dibuat oleh Boe Kie didepan kuburan In Lee tempo hari waktu berada dipulau karang.

Dengan sikap yang ganas dan bercampur perasaan mendongkol, In Lee telah berkata lagi, "Aku waktu itu telah merangkak keluar liang kubur dan melihat tulisan papan ini, aku jadi bingung karenanya. Aneh, jadi setan cilik Thio Boe Kie yang membuatnya . . . Sungguh membuatnya aku jadi tidak mengerti. Baru kemudian setelah mendengar percakapan kalian, aku baru mengerti duduknya persoalan ...

Rupanya Can A Goe itu sama dengan Thio Boe Kie dan Thio Boe Kie itu tidak lain dari pada Can A-Goe, setan cilik, selama itu engkau telah menipuku mentah2, memperdayakan diriku ..." Setelah berkata begitu, dengan sengit In Lee menggebrakkan papan kayu itu, yang dikeprukkan diatas kepala Boe Kie.

"Pletak !" Papan itu pecah menjadi beberapa potong.

"Mengapa sedikit2 kau main pukul?” tegur Tio Beng gusar dan muka memancarkan perasaan tidak senang. "Mengapa tidak hujan tidak angin selalu main pukul seenakmu ?"

"Hahahaha," tertawa In Lee dengan suara suara keras, mengandung ejekan dan sering sekali dia memperhatikan Tio beng telah berubah merah ketika dia berkata-kata, "Yang kupukul adalah dia, tapi kau yang merasa sakit, bukan?"

"Dia hanya mengalah. kepadamu, jangan engkau tidak kenal gelagat ..." bentak Tio-beng tidak mau kalah dengan perasaan mendongkol dan suara yang sengit.

“Aku tak tahu gelagat ? Ya, ya sekarang aku tahu, tapi percayalah, engkau tidak perlu kuatir bahwa aku kelak akan saling rebut dengan kau memperebutkan Ciu Pat Koay ini," kata In Lee sambil diiringi suara tertawanya yang keras. Di dalam batinku hanya terukir seorang yang pernah kukenal, yang sangat kucintai, yaitu Thio Boe Kie cilik yang pernah menggigit tanganku di Ouw Tiap Kok. Mengenai Ciu Pat Koay yang berada disini, baik ia bernama Can A Goe maupun dia menamakan dirinya Thio Boe Kie, aku tidak mau perduli. Sedikitpun aku tidak merasa senang ataupun mencintainya --- lalu dia berpaling dan berkata dengan suara yang lemah lembut kepada Boe Kie. "Engko A Goe, selamanya kau sangat baik kepadaku, engkau memperlakukan aku selamanya dengan baik dan aku benar-benar sangat berterima kasih sekali ..., namun sayang sekali hatiku sudah kuserahkan bulat-bulat kepada Boe Kie cilik yang kejam dan bengis itu, sedangkan engkau .... bu .... bukan dia. Engkau bukan Boe Kie cilik yang kucintai itu. . . !"

Tentu saja Boe Kie jadi heran. Sudah jelas dia adalah Thio Boe Kie, mengapa sekarang In Lee mengatakannya bahwa dia bukan Thio Boe Kie? Bukankah dia yang pernah menggigit tangan In Lee waktu di Ouw Tiap Kok dulu?

Dengan sorot mata yang ramah dan lembut sekali, In Lee menatapi Boe Kie dengan sikap termangu dan tertegun. Tiba-tiba saja sinar matanya dalam sekejap telah berobah bersinar sangat aneh, diiringi oleh kepalanya yang digeleng-gelengkannya.

"Engko A Goe, engkau tidak mengerti ketika digurun pasir didaerah barat dulu, engkau pernah sehidup semati dengan aku dan di pulau karang itupun engkau sangat setia dan berbakti, memperlakukan aku dengan sangat baik-- - - - Yaa.. . kau adalah seorang anak yang baik! Hanya saja ingin kukatakan padamu bahwa hatiku sudah lama kuserahkan kepada si-Boe Kie cilik itu, maka aku ingin pergi mencarinya . . . aku ingin mencarinya . . ." Dan mata In Lee telah memandangi Boe Kie sejenak, lalu dia memutar tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan dengan sikap yang lesu.

Mendadak saja Boe Kie tersadar. Rupanya yang benar2 dicintai Piauw moay nya itu adalah Thio Boe Kie dalam khayalan belaka, yaitu Boe Kie yang terukir dalam sanubarinya, didasar hatinya yang suci yang pernah dikenalnya di Ouw Tiap Kok dulu itu, tapi bukan Thio Boe Kie yang sebenarnya, yang kini berada dihadapannya. Ya, bukan Boe Kie yang berbudi pekerti baik dan bijaksana ini, tetapi adalah Boe Kie cilik, yang licik, yang bengis dan jahat itu.

Bermacam-macam perasaan yang saat itu muncul dihati Boe Kie dan dia hanya duduk tertegun saja memandangi bayangan Piauw moay yang pergi dengan langkah-langkah kaki yang lesu, yang lambat laun akhirnya lenyap dari pandangan matanya, tertelan oleh kegelapan sang malam.

Boe Kie juga yakin dan merasa kasihan kepada Piauw moaynya karena In Lee tentu akan tetap teringat kepada pemuda tanggung yang pernah dikenalinya di Ouw Tiap Kok itu dan pasti akan mencari Boe Kie 'khayalan' itu, sekalipun seumur hidupnya tidak akan berhasil dicapainya, tetapi itu bayang2 dari Boe Kie khayalan itu telah terukir dalam meresap didasar kalbu dan hatinya yang suci.

Cie Jiak menghela napas menyesal, dan dia jadi berpikir bahwa semua itu karena kesalahannya, sehingga dia membuat pikiran In Lee tidak waras ....

Tetapi Boe Kie malah berpikir lain.

"Dia memang memiliki pikiran yang kurang waras, itu adalah dosa dan kesalahanku yang tidak berampun! Kini dia merupakan gadis yang tidak normal alam pikirannya...!" Namun kalau dibandingkan dengan orang yang berotak waras, dia mungkin lebih bahagia dan senang.

Dan yang dipikirkan Tio beng berbeda lagi. In Lee telah muncul secara tiba-tiba dan telah pergi lagi begitu saja, hal ini telah membuat hatinya merasa lega. Tetapi bagaimana dengao Cioe Cie Jiak? In Lee tidak jadi mati. Cia Soen juga selamat tidak kurang suatu apa, kitab militer dalam To Liong To dan kitab silat dalam It Thian kiam sudah diberikan semua kepada Boe Kie, kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Cie Jiak beberapa saat yang lalu, kalau dinilai sekarang boleh dibilang sudah tidak memiliki arti apa-apa lagi. Sudah tentu Song Ceng Soe membinasakan Bok Seng Kok akibat jatuh cinta kepadanya namun itu adalah perbuatan Song Ceng Soe sendiri. Sebelumnya Cie Jiak sama sekali tidak tahu menahu akan peristiwa itu, juga tidak pernah meminta kepada Song Ceng Soe untuk melakukan perbuatan itu, terlebih lagi diantara dia dengan Boe Kie memang pernah ada ikatan tali perkawinan, diluar dari hubungan yang lainnya.

Setelab semuanya berdiam diri tenggelam dalam alam pikiran masing-masing, tiba-tiba Cie Jiak telah bangkit berdiri, sambil katanya. "Mari kita segera berangkat!"

"Berangkat kemana?" tanya Tio beng heran.

"Ke Siauw Lim Sie," sahut Cie Jiak. "Tadi aku melihat Pheng Hweesio tergesa-gesa datang hendak mencari Kauwcoenya, rupanya di dalam Bengkauw terjadi sesuatu persoalan yang gawat sekali . . . "

Boe Kie jadi terkejut mendengar berita itu.

"Celaka, jangan aku terlalu melalaikan urusan besar agama, akibat tenggelam dalam persoalan pribadi," berpikir Boe Kie dengan hati diliputi penyesalan. Maka segera dia mengajak Tio Beng dan Cie Jiak untuk berangkat.

Tidak berselang lama, merekapun tibalah di tempat tinggal rombongan Beng Kauw.

Memang Yo Cie Soe (Hoan Yauw). Pheng Eng Giok dan Yo Siauw serta yang lainnya tengah sibuk mencari-cari kemana perginya sang kauwcoe. Mereka jadi gembira dan bersyukur melihat Boe Kie telah kembali dalam keadaan sehat dan selamat.

Tetapi merekapun jadi heran waktu melihat Cie Jiak dan Tio Beng ikut dengan bersama Kauwcoe mereka.

Meiihat sikap rekan-rekannya itu memperlihatkannya sikap yang lesu dan tidak bersemangat, segera Boe Kie dapat menduganya bahwa talah terjadi sesuatu hal yang tidak baik.

Cepat-cepat dia bertanya. "Pheng Taisu, ada urusan apakah engkau mencariku?"

Sebelum Pheng Eng Gie menjawab, Cie Jiak segera menarik tangan Tio Beng, diajak menyingkir.

Tio Beng mengetahui maksud Cie Jiak, yang tidak mau mendengar rahasia dalam Beng kauw, dia mengikuti saja tanpa mengucapkan suatu apapun juga.

Yo Siauw dan Hoan Yauw menjadi terheran-heran melihat kelakuan kedua gadis itu. Dulu waktu di Ho Cin, waktu sang Kauwcoe hendak menikah, keduanya itu saling cakar2an dan saling pukul2an, aneh sekali .... mengapa kini mereka tampaknya demikian rukun, bagaikan saudara kandung saja ! Entah dengan mempergunakan cara apa sang Kauwcoe telah berhasil merujukkan kedua gadis itu?

Setelah Cie Jiak dan Tio Beng pergi, Pheng Eng Giok lalu berkata, "Lapor kepada Kauw-coe, kita telah mengalami kekalahan besar di Ho Cioe, kita telah menderita kerugian yang sangat besar dan Han Sian Tong telah gugur."

"Hah ?" berseru Boe Kie kaget dan berduka.

Kini pimpinan sementara didaerah dipegang oleh Coe Goan Ciang, kedua saudara Cie Tat dan Siang Gie It dan Co Cun juga telah pergi membantu, begitu pula Han lim jie". Pheng Eng Giok melanjutkan laporannya. "Situasi agak penting, mohon Kauwcoe mengatur seperlunya".

Segera Boe Kie menanyakan lebih jauh peristiwa yang terjadi di medan pertempuran akhir-akhir ini.

Waktu mereka tengah berunding tiba-tiba In Ya Ong telah datang dan berkata: "Lapor kepada Kauwcoe, Kay pang mengirimkan orang membawa berita bahwa si jahanam Ta Yoe Liang itu sudah diketahui jejaknya".

"Di mana dia ?" tanya Boe Kie.

"Keparat itu ternyata telah berhasil menyelusup kedalam pasukan yang dipimpin saudara Cie Siu Hwe, kabarnya saudara Cie sangat percaya dan sayang kepadanya," sahut In Ya Ong.

"Jika demikian, tentu kita yakin sulit untuk mengambil tindakan . . ." ujar Boe Kie. "Harap Koko mengirimkan orang untuk memberikan bisikan kepada saudara Cie, bahwa keparat Tan Yoe Liang itu sangat licik dan kejam, jangan-jangan akan timbul bibit bencana bila terlalu mempercayai dia maka paling baik jika bisa menjauhi dia ..."

"Yang terbaik adalah sekali tabas membinasakan she Tan itu, urusan menjadi beres!" ujar In Ya Ong.

"Baiklah, urusan itu biar kuselesaikan," kata In Ya Ong waktu melihat Boe Kie dan yang lainnya berdiam diri dalam keadaan bimbang.

Disaat itu tiba-tiba sekali datang kurir yang membawa surat kilat dari Cie Siu Hwee.

"Celaka, kita kena didahului dia - - - " kata Yo Siauw mengerutkan alisnya.

Waktu Boe Kie membaca surat itu, ternyata merupakan sepucuk surat yang bunyinya sangat panjang lebar, dimana Cie Siu Hwee melaporkan bahwa Tao Yoe Liang telab mengakui berbuat dosa dan salah kepada sang Kauwcoe. Ia menyadarinya jika dosanya terlampau besar maka dia rela untuk masuk

menjadi anggauta Beng kauw dan ia berjanji pula untuk merobah kesalahannya yang lalu dengan berjuang membantu Beng kauw, asalkan sang Kauwcoe memberikan kesempatan kepadanya untuk memperbaikinya.

Boe Kie menyerahkan surat itu kepada Yo Siauw dan kemudian kepada semua rekan-rekannya untuk dibaca bergilir.

=====================

Dengan sengit In Ya Ong kemudian berkata, “Cie Hiantee terlalu mempercayai orang itu, kelak pasti akan merasakan getahnya.”

“Ya, keparat Tan Yoe Liang benar-benar licin, bahkan sangat licin sekali,” kata Yo Siauw.

“Tetapi kita sekarang ini berada dalam keadaan serba sulit, karena tentu tidak dapat kita membinasakan Tan Yoe Liang sekarang ini, karena kuatir kalau-kalau menimbulkan salah paham pahlawan-pahlawan seluruh negeri,” kata Yo Siauw

“Tepat!” angguk Boe Kie. “Pheng Tatsu, kau sangat akrab dengan Cie Hiantee, silakan kau mencari dia, kesempatan untuk menasehati dia agar lebih waspada terhadap tipu muslihat Tan Yoe Liang jadi lebih luas dengan terjalinnya hubungan baik di antara mereka berdua…dan jangan sekalai-sekali Cie Hiantee itu menyerahkan kekuasaan kepadanya.”

Pheng Eng Giok menerima tugas itu.Namun Cie Siu Hwe merupakan orang yang sulit sekali dinasehati, tidak mau memperhatikan nasehat Pheng Eng Giok sehingga dia telah dicelakai Tan Yoe Liang dan melayang jiwanya di tangan orang she Tan tersebut.

Setelah melakukan perebutan kekuasaan, Tan Yoe Liang memimpin tentaranya bergerak di wilayah Barat dan bertempur sendiri dengan pasukan Beng Kauw di daerah Timur dan mengangkat dirinya sebagai Han ong, walaupun akhirnya ia berhasil dikalahkan di Hoa Yang Ouw dan terbinasa, namun banyak para pahlawan Beng Kauw telah menjadi korban.

Malamnya Boe Kie telah berunding lebih mendalam dengan Yo Siauw dan tokoh-tokoh Beng Kauw lainnya untuk membagi tugas pergi membantu pasukan-pasukan Beng Kauw yang lemah di berbagai

daerah. Dia sendiri sudah terlalu lama tidak bertemu dengan Thio Sam Hong, maka Boe Kie sangat rindu sekali terhadap orang tua itu. Keesokan harinya dia segera mendahului berangkat ke Bu tong san bersama Tio Beng, Jie Lian Coe, Thio Siong Kee dan Song Ceng Soe. Dalam rombongan itu turut pula Cioe Cie Jiak yang karena merasa berdosa terhadap kedurhakaan Song Ceng Soe itu, maka dia ingin pergi menghadap Thio Sam Hong untuk menerima hukuman dari pendiri partai Bu tong pay itu. Murid-murid Go bie pay segera mengiringinya ke Bu tong san.

Jarak antara Siauw lim sie dan Bu tong san tidak terlalu jauh, karena itu tidak berselang lama tibalah mereka di pegunungan yang indah itu.

Boe Kie ikut Jie Lian Coe, In Lee Heng dan Siongkee ke dalam untuk menemui Thio Sam Hong, lalu memberi hormat juga kepada Song Wan Kiauw dan Jie Tay Giam.

Mendengar putranya dibawa pulang, dengan geram Song Wan Kiauw meloloskan pedang dan memburu keluar.

“Di mana binatang durhaka itu?” bentak Wan Kiauw setelah tiba di ruangan depan.

Waktu melihat putranya rebah di atas usungan, kepalanya juga penuh dibalut dengan kain putih, tanpa bicara lagi pedangnya terus ditusukkan, tapi mendadak tangannya terasa lemas, tusukkannya tidak meluncur terus, tertahan di tengah udara karena dia jadi tidak tega untuk meneruskan tusukannya.

Di saat seperti itu, teringatlah dia akan cinta kasih antara seorang ayah dan anaknya, hubungan baik antara saudara seperguruan, yaitu Boh Seng Kok almarhum. Sungguh kacau dan rumit pikirannya di saat itu.

Mendadak dia telah menarik kembali pedangnya bahkan mata pedang itu telah dibaliknya, ditikamkan ke arah perutnya sendiri.

Tetapi sekali jambret, Boe Kie dapat merampas pedang sang Soepeh, disertai juga dengan seruan, “Janganlah berbuat nekad seperti itu!” katanya. “Urusan ini biarlah diputuskan Taysoehoe saja….”

Thio Sam Hong menghela napas, dia telah berkata dengan suara yang berat mengandung kemurkaan, penyesalan dan kedukaan yang dalam.

“Sungguh tidak beruntung sekali Bu tong pay ternyata memiliki murid yang durhaka seperti ini….”

Dan setelah berkata begitu, dia menoleh kepada Song Wan Kiauw. Katanya dengan suara nyaring, “Wan Kiauw, bukan hanya kau seorang yang tidak bahagia, kamipun merasa sedih dan menyesal sekali. Anak durhaka dan pengkhianat seperti ini lebih baik tidak ada.”

Dan menyusul dengan perkataannya itu maka tangan kanannya telah bergerak.

“Plakkk!” dada Song Ceng Soe telah dipukulnya satu kali. Tetapi pukulan itu sangat hebat sekali, tenaga pukulan pendiri Bu tong pay itu sangat dahsyat sekali, seketika itu juga isi perut Song Ceng Soe hancur remuk dan napasnya telah putus di saat itu juga.

“Suhu…!” dengan menangis Song Wan Kiauw telah berlutut di hadapan gurunya. “Tecu tidak bisa mengajar anak sehingga mengakibatkan kematian Cittee, sungguh Tecu merasa berdosa…!”

Thio Sam Hong membangunkan murid tertua itu, katanya dengan kepala mengangguk penuh kedukaan, “Ya, peristiwa ini memang merupakan kesalahanmu, maka Ciangboenjin Bu tong pay mulai hari ini kuserahkan kepada Lian Coe. Kau boleh menggunakan pikiranmu untuk menghayati Tay kek Koen hoat agar kepandaianmu menjadi lebih sempurna sedangkan urusan untuk umum perguruan kita kau tidak perlu mengurus dan memusingkannya….”

Song Wan Kiauw menerima keputusan itu sambil mengucapkan terima kasih.

Menyaksikan betapa kerasnya Thio Sam Hong mengatur rumah tangganya membinasakan Song Ceng Soe dan memecat Song Wan Kiauw sebagai ahli waris, semua orang merasa kaget dan tertegun karenanya.

Waktu Thio Sam Hong mengetahui hasil Eng Hiong Tay Hwee serta pergerakan Beng Kauw melawan tentara Mongol, dia sangat memuji Boe Kie.

Sejak semula Cioe Cie Jiak berdiri di samping namun sekejappun juga Thio Sam Hong tidak pernah menoleh untuk memandangnya

Setelah mayat Song Ceng Soe dibawa pergi oleh petugas kuil, mendadak Thio Sam Hong meloloskan pedang Song Wan Kiauw yang dipergunakan untuk menuding Cie Jiak disertai kata-katanya yang angker,

“Nona Cie sebagai ketua Go bie pay, sudah berapa banyak ilmu pedang Biat Coat Suthay yang kau pelajari?”

Cie Jiak terkejut tapi cepat-cepat dia menjawab dengan sikap yang hormat, “Yang telah berhasil dipahami oleh Boanpwe baru tiga bagian dari kepandaian Insu,” sahutnya.

“Mendiang Kwee Liehiap mendirikan Go bie pay dengan harapan agar kelak murid-muridnya dapat mengangkat nama harum Go bie pay di kalangan Kangouw serta menjadi manusia baik, taetapi kau hanya memiliki tiga bagian dari ilmu kepandaian Biat Coat Suthay, lalu berdasarkan apa kau sanggup mengembangkan Go bie pay?” tegur Thio Sam Hong pula. “Kau kini telah memperoleh sedikit ilmu silat keji malang melintang menjagoi Eng Hiong Tay Hwee, apakah selanjutnya anak murid Go bie pay belajar juga kepandaianmu yang keji itu?”

Setelah berdiam diri sejenak utnuk mengatur pernapasannya yang sangat memburu, Thio Sam Hong telah melanjutkan perkataannya, “Kwee Liehiap pernah menanam budi kepadaku, maka aku tidak rela menyaksikan Go bie pay yang didirikan dengan susah payah itu akan hancur begitu saja.”

“Teguran Thio Cinjin memang tepat,” sahut Cie Jiak sambil menunduk. “Boanpwe sudah lama mengatur sebuah rencana.”

“Rencana apa?” tanya Thio Sam Hong.

Cie Jiak tidak menjawab pertanyaan Thio Sam Hong, tapi berpaling kepada Boe Kie, katanya, “Thio Kauwcoe, dulu ketika kau bertempur dengan jago-jago Lak Toa Pay di Kong Bong Teng, kalau tidak salah pernah kudengar engkau mengatakan bahwa engkau bukan murid Bu tong pay, benarkah itu?”

Boe Kie tidak mengetahui sebenarnya ke arah mana pertanyaan itu dimaksudkan Cie Jiak, tetapi dia menjawab juga. “Mendiang ayahku adalah murid Bu tong pay, dan Tay Suhu pernah mengajarkan Tay Kek Kun Hoan kepadaku, maka jika aku mengaku murid Bu tong pay, kiranya masih boleh juga.”

“Pernah kudengar lagi, katanya gurumu yang pertama adalah Cia Tayhiap. Dia adalah murid Hoen Goen Pie Ek Jiu Kun, sedangkan kau yang Sin Kangmu adalah diperoleh dari kitab peninggalan Tat Mo Couwsu, Kian Kau Tay Lo Ie Sin Hoat dipelajari dari kitab wasiat Kauwcoe Beng Kauw yang lalu. Padahal orang persilatan, di mana kita paling mengutamakan perbedaan aliran mana yang kau anut,” kata Cie Jiak sambil mengawasi Boe Kie dalam-dalam.

“Apa yang aku pelajari terlalu banyak dan ruwet, kalau bicara yang benar, aku tidak termasuk anak murid suatu golongan,” sahut Boe Kie.

Segera Cie Jiak bertanya kepada Thio Sam Hong, “Thio Cin Jin, apa yang dikatakannya itu benar atau tidak?” sambil mengawasi Thio Sam Hong.

“Benar!” sahut Thio Sam Hong sambil mengangguk. “Sesungguhnya memang begitu. Keadaan seperti Boe Kie sangat jarang terjadi di kalangan Boe Lim. Itu adalah karena banyaknya penemuan-penemuan aneh dan diperolehnya semua,” dan kemudian Thio Sam Hong menghela napas, dalam waktu beberapa detik itu, ia teringat pengalaman-pengalaman di masa lalu waktu Boe Kie masih kecil.

Mendadak Cie Jiak meloloskan potongan It Thian Kiam dari pinggangnya, tangannya menarik rambutnya yang panjang, ditariknya ke arah depan, sekali tebas putuslah rambut itu.

Karenanya semua orang jadi kaget dan bingung, mereka memandang tidak mengerti.

Di saat itu Cie Jiak telah berkata dengan suara yang nyaring sekali.

“Dosa-dosaku terlalu besar, sudah lama aku berniat untuk memotong rambut menggunduli kepala, kembali kepada Sang Budha maka dari itu Thio Kauwcoe bukankah engkau telah pernah berjanji padaku bahwa satu permintaanku yang harus kau laksanakan tanpa dapat menolaknya. Benar tidak?”

“Benar!” sahut Boe Kie. “Hanya apabila hal itu harus merupakan hal yang tidak mengingkari perbuatan kaum Hiap gie, menguntungkan pergerakan Nasional dan tidak merusak nama baik Beng Kauw dan pribadi, bukankah begitu?”

“Ya….” angguk Cie Jiak. “Jika demikian seorang laki-laki sejati sekali berkata harus ditepati terlebih lagi di hadapan Tay Suhu dan para paman gurumu, kelak kau jangan menjilat ludahmu sendiri.”

Melihat si gadis berbicara dengan sikap bersungguh-sungguh Boe Kie jadi terharu, tanpa berpikir panjang lagi ia telah berkata, “Ya, silakan kau sebutkan permintaan itu.”

Cie Jiak menoleh kepada Thio Sam Hong, katanya dengan suara nyaring, “Thio Cinjin, aku mohon memakai ruang pendopomu sebentar.”

Segera dia membuka buntalannya dan mengeluarkan dua potong Leng Pay (papan sembahyang) yang sepotong bertuliskan “Tempat abu Pendiri Go bie pay. Kwee Siang Kwee Liehiap” dan yang lainnya lagi bertuliskan “Tempat abu ketua Go bie pay angkatan ketiga, Biat Coat Soethay”. Dengan hormat sekali Cie Jiak telah Leng pay itu di atas meja sembahyang dan melihat itu, Thio Sam Hong bersama Song Wan Kiauw, Thio Boe Kie dan yang lain-lainnya ikut memberi hormat. Kemudian Cie Jiak meloloskan Tiat Cie Goan atau Cincin Besi yang dipergunakannya, dan berkata kepada Boe Kie. “Thio Boe Kie, Thio Kauwcoe selaku Ciang boenjin dari Go bie pay angkatan keempat Cioe Cie Jiak dengan ini menyerahkan jabatan ketua kepadamu.”

Mendengar itu semua orang jadi tertegun kaget, memandang tidak percaya apa yang tengah terjadi itu.

Maka itu terdengar lagi suara Cie Jiak. “Tetapi kau masih tetap merangkap menjadi Kauwcoe Beng Kauw, pemimpin para patriot untuk mengusir penjajah. Sejak kini, setiap anak murid Go bie pay tunduk dibawah perintahmu!”

“Hei…ini…ini mana boleh terjadi?” cepat-cepat Boe Kie ingin membantahnya.

“Mengapa?” tanya Cie Jiak. “Go bie pay di dirikan Kwee Liehiap yang cukup dihormati setiap orang gagah bukan? Dengan diangkatnya kau menjadi Cian boenjin, kiranya tidaklah merendahkan harga dirimu.”

Boe Kie jadi serba salah, dia memandang Thio Sam Hong dengan sorot mata mohon diberikan pertolongan utnuk menghadapi urusan yang demikian mendadak.

Tidak terduga, Thio Sam Hong justru telah tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Nona Cioe, kau benar-benar hebat, karean berdasarkan tindakanmu ini, tidak sia-sialah Biat Coat Soethay menyerahkan Ciang boenjin kepadamu! Kalau Go bie pay diserahkan dibawah pimpinan Boe Kie, soal perkembangannya tidak usah diragukan lagi.”

Walaupun peristiwa itu diluar dugaan semua orang, tetapi Boe Kie memang tidak termasuk suatu golongan atau aliran, kalau menerima jabatan ketua Go bie pay, tidaklah melanggar peraturan Kangouw.

Sebaliknya hal itu justru memang besar manfaatnya bagi gerakan Nasional, untuk keutuhan dari persatuan dan kesatuan dan juga tidak merugikan nama baik Beng Kauw dan juga tidak merusak nama pribadi Boe Kie, maka terdengarlah Thio Sam Hong telah berkata lagi.

“Anakku Boe Kie jika kau sudah pernah berjanji dengan anak Cioe, janganlah engkau mengingkarinya…!”

Lalu Cioe Cie Jiak mengeluarkan sejilid kitab tipis bersama2 kedua It Thian Kiam diserahkan kepada Boe Kie diiringi perkataannya.

“Ini adalah kita inti ilmu Go Bie Pay kita yang ditulis oleh Kwee Liehiap, harap kau menerimanya dengan baik dan hormat…!”

Terpaksa Boe Kie menurut tidak membantah lagi, dia menerima kitab itu, kitab ilmu silat ajaran Go Bie Pay dan kedua potong It Thian kiam diterimanya juga berikut cincin besi tanda sebagai kekuasaan tertinggi seorang Ciang Boen Jin Go Bie Pay dari tangan Cie Jiak, lalu Boe Kie memberi hormat dihadapan Leng pay menyusul mana Cie Jiak memimpin Ciang Boen Jin angkatan kelima yang baru ini. Begitu pula Thio Sam Hong dan yang lain2nya berturut2 telah memberikan ucapan selamat.

Sejak saat itulah Cioe Cie Jiak telah memotong rambutnya menjadi seorang niokouw, tidak mengurus soal2 keduniawian lagi.

Boe Kie segera perintahkan Ceng Hui memimpin anak murid Go Bie Pay kembali ke Go Bie San, dia sendiri memohon diri dan meminta Thio Sam hong dan yang lain2nya menuju ke Ho Cioe bersama Tio Beng untuk melakukan inspeksi atas pergerakan Beng Kauw.

Sepanjang perjalanannya dia menerima berita kemenangan serta mendengar diperbagai temapt daerah lain banyak timbul pergolakan dari kaum patriot, di daerah Kang Soh ada Thio Soe seng, didaerah Tay Cioe ada Poe Kok Tia walaupun tidak termasuk dibawah panji Beng Kauw, tapi adalah merupakan rekan seperguruan yang satu tujuan, yaitu melawan dan berusaha mengusir tentara Mongolia.

Dengan seorang kawan Boe Kie melakukan perjalanan yg menggembirakan, justru kawan sejalannya itu adalah Tio Beng. Dan yang lebih menggembirakan sekali justru dia mendengar usaha pergerakan nasional banyak memperoleh kemajuan maka dia yakin bahwa pembebasan tanah air sudah dekat berakhir.

Dia berpikir juga bahwa berhasilnya pergerakan itu tentu saja dibebaskan faktor utamanya dimana terpimpin dengan baik maka dia mengharapkan selanjutnya seluruh negeri akan aman dan damai abadi rakyat sejahtera dan hidup tentram bahagia.

Dengan demikian, barulah tidak percuma dan sisa2 perjuangannya selama beberapa tahun ini.

Karena tak ingin menerbitkan keonaran maka sepanjang jalan dia tak menemui pemimpinan pasukan Beng Kauw hanya diam2 menyelidiki dan lihat aktif laskar Beng Kauw sangat baik tak mengganggu rakyat dimana2 terdengar pujian2 kebijaksanaan jendral Coe Goan Ciang dan penglima Cie.

***

Malamnya Theng Ho mengadakan pesta meriah untuk menghormati kedatangan pucuk pimpinan itu, sejenak kemudian baru Coe Gaon Ciang datang tergesa-gesa bersama beberapa perwira tinggi yang lainnya terus memberi hormat dihadapan Boe Kie, meminta maaf atas keteledoran mereka menyambut.

Boe Kie cepat2 membangunkan orang2nya itu dan memuji kemenangan2 yang dicapai Coe Goan Ciang.

Dengan sangat hormat Coe Goan Ciang menuangkan tga cawan arak berturut2 untuk menyuguhkan sang Kauwcu lalu menyuguhkan pula kepada Tio Beng.

Kemudian mereka membicarakan perkembangan situasi dimedan perang yang sangat menguntungkan Beng Kauw itu, tiba2 tampak panglima Liauw Eng Tiong masuk tergesa2, lebih dulu memberi hormat kepada sang kauwcu, lalu berbisik kepada Coa Goan Ciang, “Sudah dapat kami tangkap…!”

“Bagus!” sahut Coe Goan Ciang.

Saat itulah tiba2 terdengar suara teriakan penasaran seorang diluar dan mendengar suaranya, segera Boe kie mengenali suara Han Lian Jie.

Dia heran dan bertanya, “Ada apakah sesungguhnya yang terjadi didiri Han Hian te?”

“Lapor kepada Kauwcu,” sahut Coe Goan Ciang, “Han Sim Jie telah bersekutu dengan musuh bermaksud mendobrak, maka dia telah diringkus.”

“Ha?” berseru Boe Kie terkejut. “Cepat bawa dia kemari, biar kutanya sendiri kepadanya.”

Belum selesai ucapannya itu, mendadak kepalanya terasa pusing, matanya berkunang2 gelap dan kemudian Boe Kie tidak sadarkan diri lagi.

Waktu Boe Kie tersadar kembali, ternyata dia merasakan tangannya telah di borgol dengan alat belenggu yg sangat kuat. Keaadaan sekitanya gelap, telah membuat Boe Kie jadi tekejut.

Dia merasakan kepalanya tersandar sesuatu yg lunak halus, ternyata Tio Beng juga telah ditawan bersamanya disitu, hanya gadis itu belum lagi tersadar.

Berpikir sejenak, segera tersadarlah Boe Kie bahwa secara diam2 Coe Goan Ciang telah menaruh obat tidur didalam minuman mereka. Ternyata jendral kepercayaannya itu telah menyeleweng.

Sedikit mengerakkan tenaga dalamnya, Boe Kie merasakan tak ada perobahan sesuatu dalam tenaga saktinya itu.

Di saat itu tiba2 Boe Kie mendengar seseorang berkata, “Coe Taoko, babat rumput harus keakar2nya, jangan sampai kita tinggal bibit bencana di kemudian hari,” dan itulah suaranya Cie Tat.

“Tetapi bangsat kecil ini adalah atasan kita janganlah kita lupa dan ingkar terhadap kawan,” terdengar suara Coe Goan Ciang yang menyahuti ragu2.

Tiba2 Gie Coan ikut berbicara, “Jika Coe Taoko kuatir terjadi sesuatu dalam pasukannya, lebih baik turun tangan secara diam2 agak tak merugikan nama baik Taoko.”

“Jika demikian pendapat saudara2 Cie dan Siang, baiklah aku menurut saja,” sahut Coe Goan Ciang. “Hanya bangsat cilik ini agak berjasa bagi agama kita, rahasianya ini jangan sampai diketahui orang lain…”

Setelah bicara2 begitu, ketiga orang tersebut segera keluar kamar.

Boe Kie menarik napas sedih, dia merasa berduka mendengar percakapan itu. Dia meraba pinggangnya, bersyukur potongan In Thian Kiam masih ada, segera dia akan menggunakan ilmu Kiam Kun Tay Lo Ie Sin kang dan meloloskan pedang patah itu untuk momotong belenggu besi, lalu menyadarkan Tio Beng yang diajak melarikan diri dari tempat itu.

Sambil melarikan diri, bermacam2 perasaan bergolak di hati Boe Kie, dan dia benar2 gusar melihat pengkhianatan Coe Goen Ciang, yang lupa budi dan mengkhianatinya.

Tetapi Cie Tat dan Ciang Gie Coen yang sangat erat sekali hubungannya, demi kedudukan dan kejayaan sendiri, rela mengkhianatinya juga, hal ini benar2 melukai hati Boe Kie.

“Mereka memiliki tugas memimpin dalam menghadapi musuh penjajah, kalau aku pergi membunuhnya mungkin pasukan pergerakan akan berantakan dan kemungkinan gerakan Nasional akan gagal berantakan…!” berpikiri Boe Kie. “Memang aku Thio Boe Kie juga tidak terlalu memikirkan keuntungan pribadi. Wahai Cie Taoko, Siang Taoko, kalau terlalu memandang rendah kepadaku!”

***

Sesampainya diluar kota, Boe Kie lalu menulis sepucuk surat panjang lebar, dia menyerahkan jabatan Bengcoe dari Beng Kauw kepada Yo Siauw. Tetapi mengenai apa yg didengarnya di Ho cioe itu sehuruf pun tidak disinggungnya sudah tentu dia tidak menduga bahwa yang di maksudkan oleh Siang Gie Cun dan Tat sebenarnya adalah Han Lim Jie. Mengenai kedatangan Boe Kie di Ho Ciu sama sekali tidak diketahui mereka berdua.

Semua itu hanya merupakan tipu muslihat dari Coe Goan Ciang belaka.

Soalnya karena Coe Goan Ciang ingin menjadi kaisar bercita2 untuk duduk disinggasana menjadi raja, maka dia telah menjalankan tipu muslihatnya. Kalau sampai Beng Kauw menang dan berhasil tentu saja Boe Kie yang jelas menjadi kaisar karena dia merupakan puncah pimpinan dari gerakan itu.

Sengaja Coe Goan Ciang telah meminumkan obat tidur yang dicampurkan dalam arak Boe Kie dan Tio Beng, mengaturnya demikian rupa agar seluruh percakapannya dengan Cie Tat dan Siang Gie Coen di dengar Boe Kie, sehingga menimbulkan salah paham diantara mereka.

Putus asa dan menyesal Boe Kie tentu akan mengasingkan diri.

Coe Goan Ciang cukup hebat dan mengenal akan kelihaian Boe Kie dalam ilmu silat, untuk membinasakannya, dia tidak berani karena jika sampai akal muslihatnya itu bocor, berarti dia menghadapi bahaya yg sangat besar. Tapi berbicara tentang kecerdsar serta tipu daya jauh diatas Boe Kie.

Dia kenal jiwa Boe Kie seorang patriot, mengutamakan kepentingan negara diatas segalanya, hubungan dengan Cie Tat dan Siang Gie Coan bagaikan saudara kandung, asal percakapan mereka itu didengar Boe Kie, pasti Boe Kie akan meninggalkan tempat itu secara diam2.

Ternyata yg direncanakan Coe Goan Ciang berjalan lancar.

Sedangkan soal Han Lim Jie bersekutu dengan musuh dan bermaksud memberontak, jelas itu hanya fitnah belaka.

Soalnya sejak gurunya Han San Tong anak buah Han San Tong telah mengangkat Han Lim Jie sebagai pengganti ayahnya sedangkan Coe Goan Ciang Cie Tat dan Siang Gie Coan malah hanya menjadi bawahannya.

Coe Goan Ciang telah memalsukan surat bukti Han Lim Jie bersekutu dengan musuh, dia berhasil pula membeli seorang pelayan kepercayaan Han Lim Jie pura2 melaporkan hal itu kepada Cie Tat nan Siang It Coen.

Karena percaya Cie Tat dan Siang Gie Coen untuk membasmi Han Lim Jie, sehingga Coe Goan Ciang malah berpura2 mencegahnya, setelah didesak berulang kali barulah kemudian dia mengijinkan untuk menghukum Han Lim Jie.

Dia sengaja mengurung Boe Kie ditempat yang mudah untuk meloloskan diri dan begitu Boe Kie sudah pergi, Coe Goan Ciang segera perintahkan perwiranya, yaitu Lauw Eng tong, menenggelamkan Han Lim Jie kedasar sungai.

Sungguh hasil yg diperolehnya memuaskan hati Coe Goan Ciang, karena sekali tepuk dua lalat yg terbinasa, tipu muslihatnya itu telah berhasil dengan baik sekali dan tak seorangpun yang mengetahui muslihat Coe Goan Ciang itu.

Kemudia walaupun Yo Siauw menggantilan Boe Kie menjadi Kauwcu Beng Kauw, namun Coe Goan Ciang sudah tumbuh sudah mengembangkan sayapnya. Kekuatannya sudah terpupuk pula Yo Siauw tua, jelas tak bisa berbuat untuk saling rebut kedudukan kaisar dengan Coe Goan Ciang.

Akhirnya tercapai juga cita2 Coe Goan Ciang, dimana Coe Goan Ciang berhasil duduk di singgasana menjadi kaisar yaitu kaisar yang di kenal sebagai Beng Taiciauw pendiri dinasti Beng.

***

Kembali waktu Boe Kie tengah menulis surat panjang lebar untuk Yo Siauw. Tio Beng melihat Mauwpit (pena tulis tiong hoa) ditangan Boe Kie itu masih basah dan belum diletakkan, sikap Boe Kie juga lesu dan mukanya muram, maka katanya. “Engko Boe Kie, kau pernah berjanji akan melakukan tiga pekerjaan untukku. Soal pertama meminjamkan To Liong To kepadaku, itupun sudah tercapai. Kedua dilarang menikah dengan nona Cioe, juga sudah dilaksanakan. Dan kini tinggal soal yang ketiga… jangan kau melanggar janjimu sendiri…”

“Hah?” Boe Kie terkejut. “Ahh, kembali engkau mengeluarkan pikiran2 sintingmu!”

“Engko Boe Kie,” tertawa Tio Beng dengan riang. “Aku berpikir, karena alisku ini terlalu tipis dan buruk bentuknya, aku mohon engaku mau menambahkannya dengan melukisnya, agar lebih tebal. Dengan pit itu engkau bisa melukiskannya untuk memperindah! Bukankah soal itu tidak melanggar peraturan Hiapgie dari pada kaum Boe lim!”

Boe Kie tertawa, sahutnya sambil menatap mesra sekali. “Oh, baiklah sayang… mulai sekarang sampai dunia berakhir, setiap hari aku akan melukis alismu itu, agar kau tampak semakin cantik!”

Dan kedua muda mudi itu telah tertawa dengan suara yang renyai, mengandung kebahagiaan.

Bunga ditelaga berwarna putih.
Teratai dan burung Hian selalu saling bertentangan tempat beradanya.
Kesatria menang melawan penjajah.
Rakyat tersenyum bahagia.
Bayi menangis lincah dan bebas.
Tanah yang gersang memerah kembali.
Pohon2 tumbuh dengan daunnya yang rindang subur.
Semua tersenyum, sambil berseru, “Bebas!”
Dan para pahlawan, kembali kerumah masing2…

T A M A T

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar