Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 58
Yo Siauw, Wie It Siauw, dan
Swee Poet Tek tertawa dalam hati. Kedua orang muda itu sahabat lama dan dalam
menghadapi perpisahan mereka mungkin ingin mengatakan sesuatu yang tak boleh
didengar orang lain. Memikir begitu, mereka segera mempercepat tindakan dan
meninggalkan Boe Kie dan Poet Hwi.
Sesudah kedua orang tua itu
pergi jauh, sambil menarik tangan Boe Kie, si nona berkata, Boe Kie koko,
kemari, mereka menghadapi sebuah batu besar dan lalu berduduk di atasnya.
Jantung itu memukul keras. aku dan dia pernah sama-sama melewati banyak bahaya
besar. Perhubungan antara aku dan dia bukan perhubungan biasa. Katanya di dalam
hati. Tapi sesudah perpisahan lama dan bertemu lagi sikapnya agak dingin, acuh
tak acuh. Apakah yang dia sekarang mau sampaikan kepadaku?
Sebelum bicara, paras muka si
nona sudah berubah merah dan ia menundukkan kepala. Lama juga ia berdiam
bagaikan patung. Akhirnya ia mendongak dan berkata, Boe Kie koko, pada waktu
ibu mau menutup mata, bukankah ia telah meminta supaya kau melihat-lihat aku?
Benar, jawabnya.
Dengan melalui perjalanan
berlaksa li, dari Tepi Hwai Ho sampai ke See Hek, kau telah berhasil
menyerahkan aku kepada ayah. Dalam perjalanan itu, berulang kali kau mengalami
penderitaan hebat dan menghadapi bahaya-bahaya besar. Budi yang tidak bisa
dilukiskan dengan kata-kata belaka. Sebegitu jauh aku hanya mengingat di dalam
hati dan tidak pernah menyebutkannya di hadapanmu.
Itu semua tak ada harga untuk
disebutkan lagi, kata Boe Kie. apabila aku tidak mengawani kau ke See Hek, aku
tentu tidak mengalami kejadian-kejadian yang sangat kebetulan dan di waktu ini
aku pasti sudah tidak berada di alam dunia.
Tidak! Boe Kie koko, kau tak
boleh mengatakan begitu, kata si nona sembil menggelenggelengkan kepala. Kau
seorang yang sangat mulia, dengan restu Tuhan segala bahaya akan berubah
menjadi keselamatan. Boe Kie koko, sedari kecil aku sudah ditinggalkan ibu,
ayah adalah seorang yang paling dekat denganku, tapi aku tidak bisa mengatakan
kepadanya apa yang aku ingin katakana sekarang. Kau adalah Kauw Coe kami, akan
tetapi, di dalam hati aku masih tetap memandang kau sebagai kakak kandungku.
Hari itu, ketika kau datang di Kong Beng Teng dalam keadaan sehat, bukan main
rasa girangku. Akan tetapi, aku merasa malu hati untuk menyatakan perasaan itu.
Boe Kie koko, kau tidak gusar, bukan?
Tidak! Tentu saja aku tidak
gusar, jawabnya. Si nona menundukkan kepala dan berkata pula. Terima kasih, kau
sungguh mulia, Boe Kie koko, aku telah memperlakukan Siauw Ciauw secara kejam
dan mungkin sekali kau mendongkol terhadap perlakuan itu. Hal itu terjadi
karena aku selalu tidak dapat melupakan kebinasaan ibu yang sangat mengenaskan
sehingga terhadap orang jahat, aku tidak main kasihan lagi. Belakangan sesudah
melihat perlakuanmu terhadap Siauw Ciauw, aku tidak membencinya lagi.
Boe Kie tersenyum, Siauw Ciauw
beradat aneh, tapi kurasa dia bukan seorang jahat, katanya.
Ketika itu matahari sudah
mulai menyelam ke barat dan musim rontok yang dingin mulai turun. Untuk
beberapa saat mereka tidak berkata-kata. Tiba-tiba paras muka si nona berubah
lagi, kulitnya yang putih bersemu dadu, kedua matanya mengeluarkan sinar
kecintaan, sedang sikapnya seperti orang kemalu-maluan. Boe Kie koko, katanya
dengan suara hampir tidak kedengaran, bukankah ayah dan ibu berdosa terhadap In
Liok Siok?
Ah! Kejadian yang sudah
lampau, tak perlu disebut-sebut lagi, kata Boe Kie.
Tidak! bantah si nona. Bagi
orang lain, kejadian itu memang kejadian yang sudah lama. Aku sendiri sekarang
sudah berusia tujuh belas tahun. Tapi bagi In Liok Siok kejadian itu bkan
kejadian lama. Ia masih tidak bisa melupakan ibu. Waktu ia terluka berat dan
berada dalam keadaan setengah sadar, sering-sering ia mencekal tanganku dan
berkata Siauw Hoe! Siauw Hoe! Jangan tinggalkan aku, aku sudah menjadi manusia
bercacat. Tapi aku memohon jangan tinggalkan aku.. jangan tinggalkan aku, ia
bicara dengan suara parau dan kemudian air matanya mengalir turun di kedua
pipinya.
Liok Siok mengatakan begitu,
sebab ia berada dalam keadaan lupa ingat, kata Boe Kie dengan suara membujuk.
Kau tidak boleh menerima perkataan itu secara sungguh.
Poet Hwi menggelengkan kepala.
Kau salah, bantahnya. Bukan begitu kau tidak tahu, tapi aku tahu. Belakangan
sesudah tersadar, ia mengawasi aku dengan sorot mata dan sikap yang tidak
berbeda. Ia mau minta supaya aku kan dia, tapi ia merasa berat untuk membuka
mulut.
Boe Kie menghela napas. Ia
mengenal baik adat paman itu. Biarpun ilmu silatnya sangat tinggi, pada
hakekatnya In Lie Heng berperasaan sangat halus. Dahulu waktu masih kecil, Boe
Kie sering menyaksikan cara bagaimana paman itu mengucurkan air mata untuk
urusanurusan kecil. Kebinasaan Siauw Hoe merupakan pukulan sangat hebat. Maka
tidaklah heran meskipun sudah bercacat, Lie Heng masih tidak bisa melupakan tunangannya
itu.
Sesudah termangu beberapa
lama, Boe Kie berkata dengan suara serak. Ya .. kita tidak bisa berbuat banyak
untuk menghibur hatinya. Jalan satu-satunya aku harus berusaha sekeraskerasnya
untuk merampas Hek Goan Toan Siokko guna mengobati Liok Siok san Sam Soepeh.
Makin lama melihat sikap In
Liok Siok, hatiku merasa kasihan. Kata pula Poet Hwi. Aku tidak dapat
menghilangkan perasaan bahwa selama orang itu termasuk ayah dan ibu telah
melakukan perbuatan yang tidak pantas terhadapnya. Boe Kie koko ia terdiam
sejenak kemudian meneruskan perkataannya dengan suara hampir tak kedengaran,
aku sudah berjanji dengan In Liok Siok, bahwa aku tak perduli ia sembuh atau
tak sembuh, aku akan mengawaninya seumur hidup dan tidak akan berpisah lagi
selama-lamanya!ı sehabis berkata begitu, air mata mengucur deras, akan tetapi
paras mukanya berubah terang. Itulah paras dari seorang yang dihinggapi rasa
malu bercampur bangga.
Boe Kie terkejut. Ia tak
pernah mimpi, bahwa Poet Hwi rela mengabdi kepada In Lie Heng seumur hidup.
Untuk beberapa saat, dia mengawasi si nona dengan mata membelalak dan kemudian
berkata dengan suara terputus-putus, kau!..... kau..
Secara tegas aku sudah
berjanji dengannya, bahwa dalam penitisan ini, aku akan mengikutinya
selama-lamanya, berkata pula Poet Hwi dengan suara yang tetap. Walaupun seumur
hidup ia bercacat, maka seumur hidup aku akan mendampinginya, melayaninya dan
coba menghiburnya.
Boe Kie menghela napas dan
sambil mengawasi si nona dengan alis berkerut, ia berkata, tapi kau..
Janjiku tak diberikan
kepadanya secara tergesa-gesa, memutus Poet Hwi. Di sepanjang jalan, aku
merenungkan soal itu masak-masak. Bukan saja itu tidak berpisahan denganku,
akupun tak bisa berpisahan dengannya. Kalau lukanya tak sembuh, aku tidak bisa
hidup lebih lama di dalam dunia. Saban kali aku mendampinginya, ia selalu
mengawasiku dengan sorot mata yang tak dapat dilukiskan pada saat itu. Boe Kie,
dahulu, waktu masih kecil, aku selalu memberikan rahasia hatiku kepadamu.
Kuingat karena tak punya uang untuk beli kembang gula, di tengah malam buta,
aku mencuri sebuah tong jin (kembang gula yang berbentuk manusia) dan
memberikannya kepadaku. Apa kau masih ingat?
Disebutkannya kejadian yang
lampau itu mengharukan sangat hatinya Boe Kie. Di depan matanya lantas saja
terbayang pengalaman-pengalaman pada waktu ia bersama Poet Hwi, dengan
bergandengan tangan, merantau ke wilayah barat. Aku ingat, jawabnya sambil
menundukkan kepala.
Seraya memegang tangan
kakaknya, si nona berkata pula: tapi aku tidak tega untuk makan gula itu yang
akhirnya melumer karena hawa panas matahari. Aku sangat berduka dan menangis
terus. Kau coba membujuk aku dan mengatakan, bahwa kau akan memberikan sebuah
lagi. Tapi biar bagaimanapun jua, kau takkan mendapatkan tong jin yang sama
seperti itu. Belakangan kau membeli tong jin yang lebih besar dan lebih bagus,
tapi sebaliknya dari girang, aku menangis lagi. Waktu itu kau sangat jengkel
dan mencaci aku yang dikatakan tidak dengar kata. Apa kau masih ingat?
Boe Kie tersenyum. Apa aku
maki kau? katanya. Aku sudah lupa.
adatku sangat kukuh, kata pula
si nona. In Liok Siok adalah tong jin pertama yang disukai olehku. Aku menolak
lain kembang gula. Boe Kie koko, sering-sering di tengah malam yang sunyi
kuingat segala kebaikanmu. Beberapa kali kau sudah menolong jiwaku. Menurut
pantas, aku harus mengabdi kepadamu seumur hidup. Akan tetapi, aku hanya bisa
menganggap kau sebagai saudara kandung.
Di dalam hati, aku menyintai
dan menghormati kau sebagai seorang kakak. Tapi terhadap dia, aku mempunyai rasa
kasihan dan rasa cinta yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Usianya banyak lebih tua dan
tingkatannya pun lebih tinggi daripada aku. Di samping itu, ayah adalah seorang
musuh besarnya Kutahu bahwa dalam hal ini kau menghadapi kesukaran-kesukaran
besar. Tapi.. tanpa memperdulikan apapun jua, aku membuka isi hatiku kepadamu.
Sehabis berkata begitu, tiba-tiba ia berbangkit dan kabur secepatnya.
Boe Kie berdiri bagaikan
patung dan dengan hati berduka ia mengawasi si bayangan Poet Hwi yang lalu
menghilang di lembah gunung. Lama ia berdiri di situ dengan air mata mengalir
di kedua pipinya. Sesudah kenyang menangis, barulah ia menyusul kawan
kawannya. Melihat tanda-tanda bekas air
mata di kedua belah pipi kauwcoe mereka, Wie It Siauw dan Swee Poet Tek melirik
Yo Siauw sambil bersenyum. Di dalam hati, mereka menduga bahwa tak lama lagi Ko
Cosoe bakal menjadi mertua Thio Kauwcoe.
Sesudah berada dikaki gunung,
Yo Siauw berkata. Kauwcoe, menurut pendapatku, Tio Kauwnio yang mempunyai
banyak pengiring tidak akan berjalan sendiri. Maka itu usaha mencari dia
tidaklah terlalu sukar. Sebaiknya kita sekarang mengejar dengan berpencaran, ke
arah timur, selatan, barat dan utara dan besok tengah hari, kita berkumpul di
Kok shia. Bagaimana pikiran kauwcoe?
Aku setuju, jawabnya. Aku akan
mengambil jalan ke barat. Kok shia terletak di sebelah timur Boe tong san dan
dengan mengejar ke jurusan barat, ia harus menempuh jarak lebih jauh daripada
kawan-kawannya. Hian beng Jie lo memiliki kepandaian yang tinggi, katanya pula.
Apabila Sam wie bertemu dengan mereka, menyingkirlah jika masih bisa
menyingkir. Tak usah Sam wie bertempur dengan mereka. Ketiga jago itu mengiakan
dan segera mengejar ke timur, selatan dan utara.
Jalanan ke barat adalah
jalanan gunung, tapi dengan menggunakan ilmu ringan badan, Boe Kie tidak
menemui kesukaran apapun jua. Dalam waktu satu jam lebih, ia sudah tiba di Sip
yan tin. Sesudah makan semangkok mie di sebuah warung makan, ia menanya seorang
pelayan, apakah dia pernah melihat sebuah joli dengan tirai sutera kuning.
Lihat! jawabnya. Di samping
joli ada tiga orang sakit yang digotong dalam tandu. Mereka lewat di sini
kira-kira satu jam yang lalu menuju ke arah Oey liong tin!
Boe Kie girang karena
rombongan itu pasti tidak bisa berjalan cepat. Ia segera mengambil keputusan
untuk menyelidiki di waktu malam. Ia segera pergi ke tempat sepi dan tidur di
sebuah batu besar. Kira-kira tengah malam, barulah ia menuju ke Oey liong tin.
Dengan melompati tembok ia
masuk ke dalam kota. Jalanan sepi, tapi penerangan di sebuah penginapan yang
besar kelihatan terang sekali. Ia melompat naik ke genteng dan dengan beberapa
lompatan ia sudah berada di atas genteng sebuah rumah kecil yang berdampingan
dengan rumah penginapan itu. Dengan matanya yang sangat jeli ia memandang ke
sekitarnya. Tiba-tiba ia melihat sebuah tenda di atas lapangan, di pinggir
sungai di bagian luar kota. Di seputar tenda itu berkelebat-kelebat
bayangan-bayangan manusia suatu tanda bahwa tenda tersebut dijaga keras. Apa
Tio Kouw nio berada di tenda itu? tanyanya di dalam hati. Muka dan bicaranya
nona itu tidak berbeda dengan orang Han, tapi tempat tinggalnya dan makanannya
mempunyai selera orang Mongol.
Tapi baru saja ia mau
menghampiri tenda itu, dari jendela sebuah rumah penginapan tiba-tiba terdengar
suara merintih. Boe Kie kaget. Ia melompat turun, mendekati jendela itu dan
melongok ke dalam.
Dalam kamar itu terdapat tiga
ranjang dan di atas setiap ranjang berbaring satu orang. Yang kedua tidak
kelihatan mukanya, tapi yang menghadap ke jendela bukan lain daripada Pat pie
Sin mo Oe boen Cek. Ia merintih dengan perlahan, rintihan dari seorang yang
menahan kesakitan hebat. Sedang kedua lengan dan kedua betisnya dibalut kain
putih.
Mendadak Boe Kie ingat
sesuatu. Tulang kaki tangannya telah dihancurkan olehku dan sekarang sedang
diobati dengan Hek giok Toansiok ko, pikirnya. Kalau tidak merebut sekarang,
mau tunggu kapan lagi?
Memikir begitu ia segera
mendorong jendela dan melompat masuk. Seorang yang berada di dalam kamar itu
berteriak dan meninju. Dengan tangan kirinya Boe Kie menangkap tinju yang
menyambar, sedang tangan kanannya menotok ke jalan darah itu. Ia sekarang suatu
mendapat kenyataan bahwa dua orang yang lain adalah si kakek botak A jie dan
Giok bin Sin kiam Poei Tong pek. Orang yang ditotok olehnya mengenakan jubah
panjang warna hijau dan tangannya memegang dua batang jarum emas. Tak bisa
salah lagi dia seorang tabib yang sedang mengobati ketiga jago itu dengan
penjaruman. Di atas meja terdapat sebuah botol yang berwarna hitam dan pinggir
botol menggeletak beberapa gulung daun hio.
Boe Kie menjemput botol itu,
membuka tutupnya dan mencium-cium. Ia mengendus bebauan yang pedas dan tajam.
Tiba-tiba Oe boen Cek
berteriak, Tolong!... ada orang merampas obat!... Bagaikan kilat Boe Kie menotok
A-hiat (hiat yang membuat orang jadi gagu) ketiga jago itu dan kemudian membuka
balutan lengan Oe boen Cek. Ternyata lengan itu dilabur dengan lapisan koyo
yang berwarna hitam. Karena mengenal kelicikan Tio Beng, sehingga nona itu
mungkin menaruh obat palsu di dalam botol untuk menjebaknya, maka Boe Kie
segera mengeruk koyo yang melekat di luka-luka Oe boen Cek dan si kakek botak.
Ia menganggap bahwa andaikata di dalam botol itu berisi obat palsu, obat yang
dilabur kedua jago itu tak mungkin palsu.
Sementara itu karena mendengar
teriakan Oe boen Cek, orang-orang yang menjaga di luar sudah mulai menyerang.
Pintu ditendang dan beberapa orang menerjang masuk. Tanpa menengoki Boe Kie
menendang setiap musuh yang mendekatinya. Dalam sekejap ia sudah merobohkan
enam orang. Sesaat kemudian ia sudah mengeruk habis koyo yang melekat di
luka-luka Oe boen Cek dan A jie dan kemudian membungkusnya dengan kain
pembalut.
Ia tidak berani berdiam lebih
lama lagi, karena jika Hian beng Jie lo keburu datang, ia bakal berabe sekali.
Dengan cepat ia masukkan botol hitam dan bungkusan koyo ke dalam sakunya dan
kemudian melontarkan tubuh si tabib keluar jendela. Plak! tabib itu terpukul
jatuh. Benar saja di luar bersembunyi musuh. Dengan menggunakan kesempatan itu,
Boe Kie melompat keluar. Dua sinar golok menyambar. Dengan menggunakan Kian
koen Thay lo ie Sin kang, Boe Kie menyeret dengan tangan kanannya dan menarik
dengan tangan kirinya, sehingga musuh yang di sebelah kiri membabat yang di
sebelah kanan. Sementara itu, ia sendiri kabur secepat-cepatnya.
Ia berlari-lari dengan hati
bungah. Biarpun ia tidak dapat menyelidiki asal usul Tio Beng tapi
didapatkannya Hek giok Toan Siok ko secara begitu mudah sudah merupakan hasil
yang gilang gemilang. Ia tidak mau membuang2 waktu pergi ke Kok shia guna
menemui Yo Siauw dan yang lain-lain, tapi terus menuju ke Boe tong san.
Setibanya di kuil, ia segera memerintahkan salah seorang anggota Ang sei kie
pergi ke Kok shia untuk memberitahukan hal itu kepada Yo Siauw dan kawan2nya.
Mendengar Hek giok Toan siok
ko telah dapat dirampas, Thio Sam Hong dan yang lain-lain tentu saja merasa
sangat girang. Sesudah menuturkan cara bagaimana ia merebut koyo itu, Boe Kie
segera membandingkan koyo kerokan dengan obat yang terisi di dalam botol hitam
itu. Ternyata kedua-duanya tidak berbeda, di samping itu ia pun mendapat
kenyataan bahwa botol obat dibuat daripada sepotong batu giok hitam yang jika
dipegang mengeluarkan rasa hangat, sehingga botol itu saja mempunyai harga yang
tidak bisa ditaksir berapa besarnya.
Sekarang ia tidak bersangsi
lagi. Ia segera memerintahkan orang menggotong In Lie Heng ke kamar Jie Thay
hiam dan merendengkan kedua mereka. Poet Hwie yang ikut masuk tidak berani
kebentrok mata dari Boe Kie, tapi paras mukanya yang berseri-seri membuktikan
bahwa ia merasa sangat berterima kasih. Dahulu waktu mengantar dia ke See hek
Boe Kie telah membuat pengorbanan besar, antaranya di Koen loen san mewakili
dia minum arak beracun. Tapi bagi si nona, semua budi itu kalah besarnya
seperti budi yang sekarang.
Sam soepeh, kata Boe Kie,
lukamu yang dahulu sudah rapat dan sembuh. Kalau sekarang mau diobati tit-jie
harus mematahkan lagi tulang-tulang dan kemudian menyambungnya pula. Titjie
harap Sam soepeh suka menahan sakit untuk sementara waktu.
Di dalam hati Jie Thay Giam
tidak percaya bahwa kelumpuhannya yang sudah berjalan kurang lebih duapuluh
tahun masih dapat diobati. Tapi ia tak mau menolak, sebab ia merasa paling
jeleknya obat itu tidak berhasil dan ia bercacat terus. Di samping itu iapun
sungkan mengecewakan keponakannya yang sangat berbudi. Boe Kie berusaha untuk
menebus dosa kedua orang tuanya dan jika aku menolak, ia tentu tak enak hati,
pikirnya. Perduli apa sedikit rasa sakit. Ia seorang lelaki keras kepala yang
tak suka banyak bicara. Ia hanya tersenyum dan berkata. Boe Kie, kau boleh
berbuat sesukamu.
Sesudah meminta Poet Hwie
keluar Boe Kie buka pakaian pamannya itu dan sehabis menotok jalan darah Hoen
soei hiat (jalan darah yang mengakibatkan pulas) ia segera mematahkan tulang-tulang
di bagian yang dulu patah. Ia menyambung lagi tulang itu melabur koyo dan
dibalut dengan jepitan papan tipis. Mengobati In Lie Heng banyak lebih mudah
karena waktu bertemu dengan sang paman di See hek ia sudah menyambung tulang
yang patah secara sempurna sehingga sekarang tidak perlu dipatahkan lagi. Ia
hanya perlu melabur koyo dan membalutnya.
Sesudah selesai barulah
merasai letihnya. Ia segera memerintahkan kelima orang kie soe Ngo heng kie
untuk menjaga kedua pamannya secara bergilir lalu sehabis makan tengah hari, ia
mengaso dalam kamarnya. Karena kantuk dan lelah tak lama kemudian ia tertidur.
Tiba-tiba lapat-lapat terdengar suara tindakan kaki dan seseorang berhenti di
depan kamarnya. Ada apa? Kauw coe sedang tidur? bisik Siauw Ciauw yang menjaga
di luar pintu. Jawab Goan Hoan, Ciang kie soe Houw touw kie dengan suara
perlahan, In Lie hiap menderita kesakitan hebat dan sudah tiga kali pingsan.
Sebelum Gan Hoan bicara habis,
Boe Kie sudah melompat keluar dan berlari pergi ke kamar Jie Thay Giam. In Lie
Heng sedang pingsan. Kedua matanya mendelik dan Poet Hwie menangis sambil
mendekap muka dengan kedua tangannya. Di ranjang lain, sambil menggertak gigi
Jie Thay Giam menggelisah.
Tak kepalang kagetnya Boe Kie.
Ia segera menotok beberapa hiat dan mengurut tubuh In Lie Heng untuk
menyadarkannya. Sambil menengok kepada Jie Thay Giam ia bertanya, Samsoepeh,
apa kesakitan terasa di bagian tubuh yang patah? Benar, tapi itu masih tak apa,
jawabnya. Yang lebih hebat lagi, rasa sakit di dalam perut seperti seperti
digigit berlaksa kutu.
Boe Kie mencelos hatinya.
Kalau benar keterangan itu, sang paman sudah pasti kena racun hebat. Liok siok,
apa yang dirasai Liok siok? tanyanya kepada In Lie Heng yang sudah tersadar.
Yang merah, yang ungu, yang
hijau, kuning putih, biru indah sungguh! banyak sekali bolabola kecil
menari-nari sungguh indah lihatlah lihatlah!... kau lihatlah.
Ah! teriak Boe Kie. Ia merasa
seakan2 disambar halilintar, sehingga hampir-hampir ia jatuh pingsan. Mengapa?
Karena ia ingat keterangan dalam Tok keng (kitab tentang racun) dari Ong Lan
Kauw, yang antara lain berbunyi seperti berikut.
Cit ciong Cit hoa ko dibuat
daripada tujuh macam serangga dan tujuh macam bunga beracun. Orang yang kena
racun itu lebih dahulu merasakan sakit di dalam perut, seperti digigit
serangga. Kemudian, ia seperti melihat macam2 warna yang indah, seperti 7 macam
bunga yang berterbangan kian kemari. Dari sekian banyak serangga dan bunga
beracun, orang dapat memilih tujuh macam serangga dan tujuh macam bunga2
beracun untuk membuat Cit ciong Cit hoa ko. Yang paling hebat ialah empatpuluh
sembilan macam campuran itu dengan perubahan2nya yang tak kurang dari enampuluh
tiga macam. Racun koyo itu hanya dapat dipunahkan dengan menggunakan racun
juga.
Keringat dingin membasahi baju
Boe Kie. Ia tahu, bahwa ia sudah kena dijebak Tio Beng dan bahwa koyo di dalam
botol itu bukan lain daripada Ciat ciong Ciat hoa ko. Mengingat kekejaman Tio
Beng, ia bergidik. Dalam memasang jebakan, perempuan itu tidak merasa segan
untuk melebur racun di tubuh kedua orang sebawahannya, untuk mengorbankan jiwa
jago-jagonya yang berkepandaian tinggi.
Dengan cepat Boe Kie membuka
kain pembalut dan dengan arak mencuci koyo racun yang melekat di kaki dan
tangan kedua pamannya. Melihat paras muka pemuda itu, Poet Hwie tahu, bahwa
sesuatu yang hebat telah terjadi. Tanpa malu-malu lagi, ia segera bantu mencuci
kaki dan tangan In Lie Heng. Sesudah koyo bersih, ternyata warna hitam sudah
masuk ke dalam daging dan tidak dapat dihilangkan lagi.
Boe Kie tidak berani
sembarangan menggunakan obat. Ia hanya memberikan obat untuk menahan sakit dan
menentramkan semangat kepada kedua pamannya. Sesudah itu, dengan tindakan
limbung ia bertindak keluar dari kamar Jie Thay Giam. Rasa kaget, kuatir dan
malu memenuhi dadanya. Tiba-tiba kedua lututnya lemas dan ia roboh sambil
menangis.
Poet Hwie memburu. Boe Kie
koko! Boe Kie koko! teriaknya dengan air mata bercucuran.
Aku sudah membunuh Sampeh dan
Liok siok!... katanya dengan suara putus harapan. Pada detik itu, ia sama sekali
tidak melihat jalan untuk menolong jiwa kedua pamannya. Cit ciong Cit hoa ko
dapat dibuat menurut ratusan cara. Siapapun jua tak akan tahu serangga macam
apa dan bunga apa yang digunakan dalam membuat koyo itu. Untuk memunahkan racun
itu, orang harus menggunakan racun melawan racun. Dengan demikian, sebelum
orang tahu racun apa yang terdapat dalam koyo itu, ia tidak berdaya, sebab
kalau salah menggunakan racun, maka si penderita pasti akan hilang jiwanya.
Dalam kedukaannya dan rasa
menyesalnya yang sangat besar, tiba-tiba Boe Kie mengerti, mengapa dahulu
ayahnya telah membunuh diri. Ia sekarang sudah berbuat kesalahan besar yang
tidak bisa diperbaiki lagi. Seperti mendiang ayahnya, baginya pun hanya
terdapat satu jalan. Jalan membunuh diri untuk menebus dosa. Perlahan-lahan ia
bangun berdiri.
Boe Kie koko, apa benar tak
ada obat lagi? tanya Poet Hwie dengan mata membelalak. Boe Kie koko, mengapa
kau tidak mau mencoba?
Boe Kie menggeleng-gelengkan
kepala.
Oh, begitu? kata si nona. Di
luar dugaan dalam mengeluarkan perkataan itu, suara dan sikap Poet Hwie
kelihatan tenang.
Mendadak jantung Boe Kie
memukul keras. Ia ingat apa yang pernah dikatakan oleh si nona.
Pada waktu membuka rahasia
hatinya, antara lain Poet Hwie mengatakan, kalau lukanya tak sembuh akupun tak
bisa hidup lebih lama di dalam dunia. Ia sekarang tahu, bahwa ia bukan membunuh
dua, tetapi tiga orang.
Dengan mata berkunang-kunang,
ia berdiri bagaikan patung. Tiba2 Gouw Kin Co masuk dan berkata, Kauw coe, Tio
Kouw nio berada di luar kuil dan minta bertemu dengan kau.
Aku justru mau cari dia!
teriak Boe Kie. Ia mencabut pedang yang tergantung di pinggang Poet Hwie dan
lalu menuju keluar pintu dengan tindakan lebar.
Siauw Ciauw mencabut kembang
mutiara yang tertancap di kundainya dan sambil mengangsurkan perhiasan itu
kepada Boe Kie, ia berkata, Kong coe, pulangkan ini kepadanya.
Boe Kie mengawasi dan di dalam
hati ia memuji sikap si nona. Tanpa mengatakan suatu apa, ia mengambil kembang
itu.
Setibanya di luar, ia lihat
Tio Beng berdiri sendirian dengan bibir tersungging senyuman, dengan disoroti
sinar matahari sore, nona itu kelihatan lebih cantik lagi. Di belakangnya,
dalam jarak belasan tombak, berdiri Hian beng Jie lo yang memegang tali les
dari tiga ekor kuda.
Boe Kie melompat. Dengan
sekali berkelebat tangan kirinya sudah mencekal kedua pergelangan tangan si
nona, sedang pedangnya yang dipegang dengan tangan kanan, menuding dada musuh.
Keluarkan obat pemunah! bentaknya.
Kata Tio Beng sambil
tersenyum, Kau pernah memaksaku, apa kini kau ingin memaksa lagi? Aku datang
untuk menengok kau. Mengapa kau bersikap begitu garang terhadap seorang tamu?
Berikan obat pemunah kepadaku!
kata Boe Kie. Jika tidak, aku tidak ingin hidup lebih lama lagi dan kaupun tak
usah hidup lebih lama lagi.
Muka si nona bersemu dadu,
Fui! katanya. Kau mau mati, boleh mati. Kau sangkut paut apa denganku? Siapa
mau mati bersama-sama kau?
Aku bukan berguyon, kata Boe
Kie dengan mata melotot. Apabila kau tidak menyerahkan obat pemunah, hari ini
adalah hari matinya kau dan aku.
Dari kedua pergelangan
tangannya yang dicengkeramkan Boe Kie, nona Tio dapat merasakan bergemetarnya
tubuh pemuda itu. Iapun merasai sebuah benda keras di telapak tangan Boe Kie.
Pegang apa kau? tanyanya.
Kembangmu, jawabnya. Nih, aku
pulangkan! Dengan sekali menggerakkan tangan kembang itu sudah menancap di
kundai si nona dan kemudian, secepat kilat, tangan kirinya itu sudah
mencengkeram pula pergelangan tangan Tio Beng.
Mengapa kau pulangkan? tanya
nona Tio. Kau mempermainkan aku hebat sekali, jawabnya. Ku tak sudi memegang
segala milik kau.
Apa benar? menegas Tio Beng
sambil tersenyum. Tapi mengapa kau meminta obat dari aku?
Ditanya begitu, Boe Kie jadi
tertegun. Dalam mengadu lidah, ia selalu kalah. Mengingat bahwa Jie Thay Giam
dan In Lie Heng akan segera meninggal dunia, bukan main rasa dukanya. Kedua
matanya merah, hampir2 ia mengucurkan air mata. Andaikata ia bisa mendapatkan
obat itu, ia rela untuk berlutut. Tapi ia yakin, bahwa terhadap wanita yang
kejam itu, takkan guna ia memohon-mohon.
Sementara itu, In Thian Ceng
dan yang lain-lain sudah datang ke situ. Melihat tangan nona Tio dicekal Boe
Kie dan Hian beng Jie lo berdiri di tempat jauh dengan sikap acuh tak acuh,
merekapun segera berdiri di belakang Boe Kie dan menunggu perkembangan
selanjutnya dengan hati berdebar debar.
Sesudah berdiam sejenak, nona
Tio berkata pula, Kau seorang kauwcoe dari Beng kauw dan ilmu silatmu yang
sangat tinggi menggetarkan dunia. Tapi mengapa baru saja menghadapi sebuah
cengkeraman kecil, kau sudah bersikap kanak-kanak? Kau berteriak2 dan
menangis2.
Sungguh memalukan! Aku
sekarang mau bicara sejujurnya. Sebab kau kena pukulan Hian beng Sin ciang, aku
sengaja datang untuk menengok keadaanmu. Di luar dugaan, begitu bertemu dengan
aku, kau berteriak-teriak. Lepaskan tanganku! Mau lepas atau tidak?
Ditegur begitu, Boe Kie merasa
sedikit jengah. Ia segera melepaskan cekalannya, sebab ia merasa bahwa biar
bagaimanapun jua, nona itu tak akan bisa melarikan diri.
Sambil mengusap2 kundainya
yang tertancap kembang mutiara, Tio Beng tertawa. Tapi kau rupanya tidak
terluka, katanya.
Boe Kie mengeluarkan suara di
hidung. Hm! Segala Hian beng Sin ciang belum tentu dapat melukai orang,
katanya.
Tapi bagaimana dengan Tay lek
Kim kong cie? Dengan Cit ciong hoa ko? tanya Tio Beng dengan nada mengejek.
Benar2 Cit ciong Cit hoa ko!
kata Boe Kie dengan penuh kebencian.
Tiba-tiba nona Tio mengubah
sikapnya. Sekarang ia berkata dengan suara sungguh-sungguh.
Thio Kauwcoe, aku bersedia
untuk menyerahkan Hek giok Toan sik ko kepadamu dan akupun bersedia untuk
memberi obat pemunah Cit ciong Cit hoa ko kepadamu. Aku bersedia, asal saja kau
suka meluluskan tiga permintaanku. Jika kau menggunakan kekerasan, kau dapat
membunuh aku, tapi kau jangan harap bisa mendapat obat. Kalau kau coba memaksa
aku dengan disiksa, aku bisa memberi obat palsu atau racun yang hebat.
Boe Kie girang, Permintaan
apa? Lekas bilang! katanya cepat.
Sambil bersenyum, si nona
menjawab. Bukankah aku pernah mengatakan, bahwa begitu lekas aku dapat memikir
tiga permintaan itu aku akan segera memberitahukan kepadamu? Kau hanya perlu
mengatakan dan berjanji untuk tidak melanggar janji. Aku mesti tak akan minta
kau menangkap rembulan di langit, tak akan minta kau melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan Rimba Persilatan dan juga takkan minta kau membunuh diri
sendiri.
Mendengar bahwa ia tak akan
diminta untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan Rimba
Persilatan Boe Kie merasa lega. Ia lantas saja berkata dengan suara lantang,
Tio Kouwnio, asal saja kau benar-benar memberikan obat yang bisa menyembuhkan
kedua pamanku, biarpun mesti masuk ke lautan api, aku tak akan menampik segala
perintahmu.
Tio Beng tersenyum sambil
mengangsurkan tangan ia berkata, Baiklah! Marilah kita menepuk tangan sebagai
sumpah. Aku akan segera memberikan obat yang diminta olehmu. Di belakang hari,
sesudah Samsoepeh dan Lioksoesiokmu sudah sembuh, kau akan melakukan tiga
permintaanku. Asal saja ketiga permintaanku itu tidak bertentangan dengan
peraturan dalam Rimba Persilatan. Kau setuju?
Ya. Kata Boe Kie seraya
mengulurkan tangannya dan menepuk tiga kali tangan si nona.
Sesudah itu, Tio Beng mencabut
kembang mutiara yang tertancap di kundainya. Sekarang kau harus menerima lagi
hadiah ini! katanya.
Sebab kuatir nona Tio marah
dan menarik pulang janjinya, Boe Kie segera menyambuti perhiasan itu.
Tapi kau tidak boleh
memberikan lagi kembangku ini kepada budak yang cantik itu, kata Tio Beng.
Baiklah! jawabnya.
Nona Tio tertawa dan mundur
tiga tindak. Obat akan segera diantarkan kepadamu, katanya.
Thio Kauwcoe, sampai bertemu
lagi! Ia mengibaskan tangan baju, memutar tubuhnya yang langsing dan lantas
berjalan pergi. Dengan sikap menghormat Hian beng Jie lo menyerahkan
tunggangannya. Tio Beng melompat naik ke atas punggung tunggangannya dan tanpa
menengok lagi, ia turun gunung.
Sesudah si nona dan dua
pengiringnya membelok di satu tikungan, dari atas sebuah pohon tiba-tiba
melompat turun seorang pria. Boe Kie mengenali, bahwa dia itu bukan lain
daripada Cian Jie Pay, salah seorang dari Sin cian Pat hiong. Majikanku
mengirim sepucuk surat kepada Thio Kauwcoe! teriaknya sambil melepaskan anak
panah.
Boe Kie menyambutnya dengan
tangan kiri. Di ujung anak panah itu yang mata panahnya sudah dicopotkan,
terikat sepucuk surat yang dialamatkannya kepada Thio Kauwcoe pribadi. Boe Kie
segera merobek sampul dan surat itu berbunyi seperti berikut: Di lapisan kotak
emas, Koyo mustajab sudah tersimpan lama Di lubang kembang mutiara Terdapat
surat obat Kedua barang itu sudah lama berada dalam tangan Tuan Tapi mengapa
Tuan begitu bersusah hati? Karena Tuan tak sudi melihatnya Dan menyerahkannya
kepada seorang budak.
Membaca itu, Boe Kie kaget,
girang dan malu. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia memperhatikan kembang mutiara
itu dan coba memutar-mutar setiap mutiara yang tertera di atasnya. Benar juga
salah sebuah dapat diputar, karena bagian bawahnya diperlengkapi dengan ulir
(alur-alur berputar seperti pada sekrup). Boe Kie segera mencopotnya dan ia
mendapat kenyataan, bahwa pada batang kembang yang terbuat daripada emas
terdapat sebuah lubang. Di dalam lubang itu terisi benda yang berwarna putih.
Dengan jarum emas, ia mengorek keluar benda itu selembar kertas amat tipis
dengan tulisan yang memberitahukan nama nama serangga dan kembang beracun yang
digunakan dalam Cit ciong Cit hoa ko. Di samping itu juga terdapat petunjuk
cara bagaimana ia harus menolong orang yang kena racun koyo itu.
Petunjuk yang terakhir
sebenarnya tak perlu diberikan. Begitu lekas mengetahui nama-nama serangga dan
kembang yang digunakan, Boe Kie sendiri bisa mengobati. Sesudah melihat, bahwa
petunjuk itu tidak menyimpang dari keharusan, ia jadi girang sekali. Ia
sekarang tahu bahwa Tio Beng tidak main gila. Buru-buru ia masuk ke dalam dan
dengan dibantu oleh beberapa orang, ia segera membuat obat dan memakaikannya di
kaki dan tangan kedua pamannya. Benar saja, dalam waktu kurang lebih satu jam,
akibat mengamuknya racun sudah banyak mereda. Rasa sakit di perut dan
warna-warna yang dilihat oleh Jie Thay Giam dan In Lie Heng mulai menghilang.
Sesudah itu Boe Kie mengambil
kotak emas tempat penyimpanan kembang mutiara yang diberikan kepadanya oleh Tio
Beng.
Sesudah meneliti beberapa
lama, ia berhasil mendapatkan lapisan rahasia dalam kotak itu dan pada lapisan
itu terdapat koyo yang berwarna hitam. Berbeda dengan koyo racun, koyo sangat
harum baunya. Tapi Boe Kie tak berani berlaku sembrono lagi. Ia menangkap
seekor anjing, mematahkan satu kakinya dan kemudian mengobatinya dengan koyo
itu. Pada keesokan harinya tulang yang patah sudah mulai menyambung.
Berselang tiga hari, racun
yang mengeram dalam tubuh Jie Thay Giam dan In Lie Heng sudah terusir semua dan
Boe Kie mulai mengobati dengan Hek giok Toan siok bo. Kali ini tidak terjadi
sesuatu yang diluar dugaan. Koyo ini ternyata sangat mujarab. Kira-kira dua
bulan kedua tangan In Lie Heng sudah bisa bergerak. Tapi Jie Thay Giam yang
sudah lumpuh selama sepuluh tahun tidak bisa sembuh seperti sedia kala. Ia
hanya bisa jalan perlahan-lahan dengan bantuan tongkat. Biar bagaimanapun jua,
hal itu sudah merupakah perbaikan yang tidak diduga-duga.
Karena harus mengobati kedua
pamannya, Boe Kie terpaksa berdiam lama di Boe tong san.
Sementara itu para Ciang kie
Hoe oe dari Ngo heng kie sudah kembali dengan beruntun dan mereka membawa warta
yang mengejutkan. Menurut mereka, rombongan2 Go bie, Hwa san, Khong tong dan
Koen loen yang menyerang Beng kauw di See hek, belum pulang ke masingmasing
tempatnya. Kalangan Kang ouw gempar. Orang-orang Rimba Persilatan percaya,
bahwa sesudah membasmi rombongan keenam partai, Beng kauw akan segera
menyatroni dan merampas berbagai partai persilatan. Menghilangnya pendeta2 kuil
Siauw lim sie telah menerbitkan gelombang yang belum pernah dialami dalam Rimba
Persilatan.
Masih untung para wakil pemimpin
Ngo heng kie membawa surat Thio Sam Hong dan merekapun tak memperkenalkan diri
sebagai anggota Beng kauw. Kalau bukan begitu mereka mungkin tak pulang. Mereka
selanjutnya menerangkan, bahwa pada waktu ini, berbagai partai, berbagai piauw
hang dan kelompok kelompok perampok, baik yang di gunung maupun di air, semua
siap sedia dan sangat waspada sebab mereka kuatir Beng kauw akan menyerang
dengan tiba-tiba.
Beberapa hari kemudian, In
Thian Ceng dan In Yo Ong yang pulang ke markas besar Peh bie kie sesudah Jie
Thay Giam dan In Lie Heng mendapat obat juga sudah kembali di Boe tong san.
Mereka melaporkan bahwa dalam Peh bie kie sudah dibuat perubahan-perubahan dan
seluruh pasukan sekarang berada di bawah Beng kauw. Di samping itu merekapun
memberitahukan bahwa jago-jago Rimba Persilatan di daerah tenggara sudah mulai
bergerak dan membentuk pasukan-pasukan rakyat untuk menggulingkan pemerintah
penjajah.
Pada waktu itu tentara Goan
masih sangat kuat dan dengan cepat mereka menumpas pasukanpasukan rakyat. Di
samping kekuatan pemerintah Goan, perlawanan rakyat itupun mempunyai kelemahan,
ialah mereka bergerak dengan sendiri-sendiri, satu sama lain tidak mengadakan
hubungan atau perserikatan, sehingga dengan mudah mereka dapat dibasmi. Malam
itu di ruangan belakang Thio Sam Hong mengadakan perjamuan cia cay untuk In
Thian Ceng dan puteranya. Selagi makan minum In Thian Ceng menceritakan sebab
musabab dari kekalahan pemberontakan rakyat. Dalam setiap pergerakan
anggota-anggota Beng kauw dan Peh bie kie (dahulu Peh bie kie kauw) selalu
mengambil bagian dan banyak di antaranya telah ditangkap atau dibinasakan oleh
tentara Goan.
Menurut pandangan hati rakyat
sekarang sudah berubah dan waktu ini adalah waktunya mengusir Tat-coe dan
merampas pulang tanah air kita, kata Yo Siauw. Selama hidup mendiang Yo Kauwcoe
itu selalu memikiri persoalan ini, hanya sayang karena bermusuhan dengan
berbagai partai persilatan, maka selama kurang lebih seratus tahun agama kita
tidak bisa bergandengan tangan dengan orang-orang gagah di seluruh negeri untuk
mengusir kaum penjajah. Atas berkah Tuhan sekarang, Thio Kauwcoe memegang
tampuk pimpinan. Permusuhan kita dengan berbagai partai sudah mulai berkurang.
Kini tibalah waktunya untuk kita bersatu padu dalam melawan musuh.
Yo Co soe, kata Cioe Tian. Apa
yang dikatakan olehmu kedengarannya sangat tepat, tapi itu semua hanya omong
kosong.
Yo Siauw tak jadi gusar.
Bagaimana pendapat Cioe heng?
Orang-orang Kang ouw semua
mengatakan bahwa Beng kauw telah membunuh jago-jago dari enam partai..,
jawabnya. Begitu mendengar nama Beng kauw, begitu mereka naik darah.
Mana bisa bersatu padu dalam
melawan musuh? Kata-katamu enak sekali kedengarannya.
Tapi bagaimana melakukannya?
Memang pada waktu ini kita
memang masih mendapat nama jelek, kata Yo Siauw. Bagi aku percaya, pada
akhirnya segala apa akan jadi terang. Apabila dalam hal ini seorang yang
berkedudukan begitu tinggi seperti Thio Cinjin bisa menjadi saksi.
Cioe Tian tertawa nyaring,
Andai kata kita benar sudah membunuh Song Wan Kiauw Biat coat, Ho Thay Ciong
dan yang lain-lain, Thio Cin-jin yang berada di gunung ini sudah pasti takkan
mengetahuinya, kata si sembrono. Maka itu kesaksian Thio Cinjin tak bisa
diterima sebagai bukti yang kuat.
Cioe Tian! bentak Tiat koan
Too jin, Di hadapan Thio Cinjin dan Kauwcoe tak dapat kau bicara yang
gila-gila.
Disemprot begitu, Cioe Tian
tak berani membuka mulut lagi.
Apa yang dikatakan Cioe heng
bukan tidak beralasan sama sekali sela Pheng Eng Giok.
Menurut pikiran pin ceng
sebaiknya kita segera mengadakan sebuah perhimpunan antara pemimpin Beng kauw.
Dalam perhimpunan kita mengumumkan keinginan Thio Kauwcoe untuk memperbaiki
hubungan dengan berbagai partai. Di samping itu, dalam pertemuan tersebut,
kitapun dapat menyelidiki dimana adanya rombongan Song Thay-hiap, Biat coat
Soethay dan lain-lain.
Menyelidiki dimana adanya Song
Thay hiap bukan pekerjaan sukar, kata Cioe Tian. Bahkan mudah sekali, kita
tidak usah mengeluarkan tenaga. Beberapa orang lantas saja menanya dengan
bernafsu.
Bagaimana?
Lekas katakan!
Mengapa kau tak siang-siang
memberitahukan kami?
Dengan paras muka berseri-seri
si sembrono menceguk cawannya dan kemudian berkata dengan suara nyaring, Anak
kunci berada dalam tangan Thio Kauwcoe sendiri. Asal Thio Kauwcoe mau membuka
mulut, menanyakan Tio Kouwnio, segala apa akan menjadi terang.
Aku merasa pasti, bahwa tidak
dibunuh mereka pasti ditawan oleh nona tersebut.
Selama dua bulan lebih, Wie It
Siauw, Peng Eng Giok dan Swee Poet Tek pernah turun gunung untuk menyelidiki
jejak Tio Beng yang sesudah membuat perjanjian dengan Boe Kie sesudah
menghilang tanpa bekas. Bukan saja nona itu, tapi orang2nya pun yang berjumlah
tak sedikit tak ketahuan kemana perginya. Para pemimpin Beng kauw hanya bisa
menduga-duga bahwa nona Tio mempunyai hubungan dengan kaisar Goan. Di samping
itu tak terdapat lain penerangan.
Maka itulah, mendengar jawaban
Cioe Tian, beberapa orang lantas saja mengejek dan mengatakan bahwa pikiran si
sembrono hanya omong kosong belaka. Meskipun tahu, bahwa nona Tio merupakan
sumber keterangan. Tapi yang menjadi soal, kemana mereka harus mencari nona
yang licin itu.
Cioe Tian tertawa, Orang-orang
seperti kalian tentu saja takkan bisa mencari nona itu, katanya. Tapi Kauwcoe
kita tak usah mencarinya. Kauwcoe kita masih hutang tiga pekerjaan yang belum
dikerjakan. Apa kalian kira nona yang lihay akan membebaskan hutang dengan
begitu saja? Huh huh!... Dia sangat cantik dan ayu. Tapi aku setiap kali
kuingat namanya, badanku sudah bergemataran.
Semua orang tertawa, tapi
mereka mengakui bahwa pendapat kawan itu memang sebuah kenyataan.
Boe Kie menghela napas, Aku
mengharap supaya lekas-lekas menyebutkan tiga permintaannya, supaya aku segera
bisa membereskan hutang, katanya. Siang malam aku selalu memikiri, permintaan
apa yang akan diajukan olehnya. Pheng Thaysoe, tadi kau mengusulkan supaya
agama kita mengadakan sebuah perhimpunan besar antara para pemimpin. Bagaimana
pendapat kalian?
Aku setuju, kata Yo Siauw.
Tapi dimana kita harus mengadakan perhimpunan tersebut? Sesudah memikir beberapa
saat, Boe Kie berkata, Dalam menduduki kursi sebagai wakil Kauwcoe, aku sering
sekali ingat dua orang yang telah melepas budi besar terhadapku. Yang satu Tiap
kok Ie sian Ouw Ceng Goe Sianseng. Sungguh menyesal, orang tua itu telah binasa
di tangan Kim hoa popo. Yang satu lagi, Siang Gie Cien Toko yang sekarang tak
diketahui dimana adanya. Sebagai peringatan untuk kedua tuan penolong itu,
kalau bisa, ku ingin perhimpunan kita diadakan di Ouw tiap kok di Hwaipak.
Bagus2! teriak Cioe Tian
sambil menepuk2 tangan. Dahulu Kian sie Pout kioe setiap hari bertengkar dengan
aku. Sebagai manusia dia boleh juga. Melihat kebinasaan dia tak sudi menolong
dan akhirnya dia sendiri binasa tanpa ditolong orang. Tapi biar bagaimanapun
jua, Cioe Tian mau memberi hormat dengan berlutut di depan kuburannya.
Persetujuan dicapai dengan suara bulat. Kurang lebih tiga bulan lagi, pada Peh
Swee Tiong Cioe (tanggal lima belas bulan delapan menurut penanggalan Imlek,
yaitu pesta pertengahan musim rontok). Beng Kauw akan mengadakan perhimpunan
besar antara para pemimpinnya di seluruh negeri.
Pada keesokan paginya,
sejumlah petugas dari Ngo heng-kie dan Peh bie-kie turun gunung untuk
menyampaikan perintah Kauwcoe kepada para pemimpin Bengkauw. Segenap para
pemimpin Bengkauw, yang berkedudukan hin coe ke atas, harus sudah berada di Ouw
tiap kok pada sebelum Pehgwee Cap go guna bertemu dengan Kauwcoe baru dan
merundingkan hal-hal penting mengenai agama mereka.
Sebab masih ada waktu tiga
bulan dan juga sebab kuatir Jie Thay Giam dan In Lie Heng kumat lagi
penyakitnya, maka Boe Kie tidak berani lantas meninggalkan Boe tong san.
Sambil merawat kedua pamannya,
dalam waktu-waktu luang, ia selalu memint penjelasan penjelasan mengenai Thay
kek koen dari kakek gurunya. Sementara itu, Wie It Siauw, Pheng Eng Giok, Swee
Poet Tek dan yang lain-lain terus berkelana di berbagai tempat untuk
menyelidiki tempat sembunyinya Tio Beng.
Atas perintah Kauwcoe, dengan
apa boleh buat Yo Siauw berdiam terus di Boe tong san. Mengingat perbuatannya
terhadap Kie Siauw Hoe, ia selalu merasa malu terhadap In Lie Heng dan tidak
berani sering-sering bertemu muka. Saban hari, ia kebanyakan menutup diri di
dalam kamar dan membaca buku. Tanpa urusan yang sangat penting, ia tak pernah
keluar dari kamar itu.
Pada suatu lohor Boe Kie
datang di kamar Yo Siauw untuk merundingkan soal-soal yang mau dibicarakan
dalam perhimpunan besar. Sebagai seorang muda yang mendadak memikul beban
sangat berat, ia sering merasa kuatir kalau-kalau ia tidak dapat menunaikan
tugasnya itu. Yo Siauw adalah orang satu-satunya yang paham akan seluk beluk
Beng kauw. Maka itulah ia meminta Yo Co soe untuk mengawaninya di Boe tong san
supaya setiap waktu ia bisa minta pikirannya.
Sesudah bicara beberapa lama,
Boe Kie menjemput sejilid buku yang terletak di meja. Di kulit buku tertulis
huruf-huruf yang berbunyi Masuknya Beng kauw ke Tiongkok dan di sebelah bawah
dalam huruf-huruf kecil tertulis Disusun oleh tee coe Kong beng Co soe Yo
Siauw.
Boe Kie menghela nafas. Yo Co
soe katanya, kau seorang boen boe coan cay dan merupakan tiang dari agama kita.
Terima kasih atas pujianmu
Kauwcoe, jawabnya sambil membungkuk.
Boe Kie membalik-balik
lembaran buku itu yang mencatat sejarah Beng kauw. Menurut catatan itu, Beng
kauw masuk ke Tiong Tauw (tanah tengah atau Tiongkok) pada tahun Yancay kesatu
dari Boe Cek Thian dari kerajaan Tong yaitu pada waktu seorang Iran menghadap
ratu dan menyerahkan Sam cong keng kitab pelajaran Beng kauw. Mulai waktu itu
orang Tionghoa mempelajari kitab tersebut. Tahun tay lek ketiga (kerajaan Tong)
bulan enam tanggal 29 di Lok yang Tiangan diberdirikan sebuah kuil Beng kauw
yang diberi nama Tay in Kong beng sie, belakangan kuil-kuil seperti itu juga
diberdirikan di Tay goan, Keng cioe, Yang cioe, Ang cioe, Wat cioe dan lain-lain
kota penting. Pada tahun Hwee ciang ketiga Kaisar mengeluarkan perintah untuk
membinasakan anggota-anggota Beng kauw semenjak itu pengaruh dan tenaga agama
tersebut sangat berkurang. Karena dilarang, Beng kauw menjadi semacam agama
rahasia yang selalu diuber-uber dan ditindas oleh pembesarpembesar negeri. Nama
Beng kauw yang aseli adalah Mo ni kauw, belakangan orang menukar perkataan mo
dari Moni menjadi mo yang berarti iblis, sehingga akhirnya agama itu diejek
sebagai Mo kauw atau agama iblis.
Membaca sampai disitu, Boe Kie
menghela napas panjang. Yo Co soe, katanya, tujuan agama kita ialah
menyingkirkan kejahatan dan menjalankan kebaikan. Pada hakekatnya agama yang
kita pelajari itu, tidak banyak berbeda dengan Hoed kauw dan Too kauw. Mengapa
sedari jaman Tong sampai sekarang agama kita selalu ditindas?
Hoed bertujuan untuk
menyelamatkan mahluk, jawabnya. Tapi pendeta2 Hoed kauw adalah orang-orang
beradat yang tak mau campur tangan dalam urusan dunia. Too kauw pun demikian.
Di lain pihak, agama kita bergerak di antara rakyat jelata dan mengambil bagian
dalam segala suka dan dukanya. Penganut2 agama kita selalu membantu orang-orang
yang mendapat kesukaran. Ada kalanya, pembesar yang rakus menindas rakyat.
Terhadap pembesar-pembesar semacam itu agama kitapun tak segan-segan untuk
memberi perlawanan, sehingga sebagai akibatnya, kita sering mesti kebentrok
dengan kalangan pembesar.
Boe Kie manggut2-kan
kepalanya. Kalau begitu, agama kita baru benar2 bisa menjadi makmur, manakala
kaisar dan pembesar-pembesar negeri waktu sekarang ini sudah tidak mau menindas
rakyat dan jagoan2 serta hartawan-hartawan berpengaruh menghentikan segala
tindakan yang sewenang-wenang, katanya.
Kauwcoe benar! teriak Yo Siauw
sambil menepuk meja. Itulah tujuan agama kita, negeri yang adil dan damai.
Boe Kie manggut-manggutkan
kepalanya. Yo Co soe, apa bisa kita mengalami jaman itu? tanyanya.
Atas berkah Tuhan, semoga kita
akan mengalami jaman yang diidam-idamkan itu, jawabnya. Sesudah berdiam
sejenak, ia berkata pula, Biarpun ditindas, sampai kini masih berdiri. Pada
kerajaan Lam-song (Song Selatan), tahun Siauw hin keempat, seorang pembesar
bernama Ong Kie Ceng telah membereskan laporan mengenai urusan agama kita
kepada kaisar. Jika mau, Kauwcoe boleh membaca laporan itu. Seraya berkata
begitu, ia membalik lembaran yang mencatat laporan itu mengangsurkan kepada Boe
Kie.
Boe Kie segera membaca laporan
itu berbunyi sebagai berikut.
Di Ciat kang dan Kang ouw
terdapat kebiasaan cia cay (tidak makan makanan berjiwa) mengabdi kepada iblis.
Sebelum jaman Phoei Lap, larangan masih longgar dan jumlah orang yang mengabdi
kepada iblis tidak begitu besar. Sesudah jaman Phoei Lap, larangan semakin
diperkeras, tapi jumlah iblis jadi makin besar.
Hamba dengar, sepak terjang
kawanan iblis adalah sebagai berikut.
Dalam setiap kampungan, satu
dua orang yang lebih licik dan cerdik menjadi kepala iblis.
Mereka mencatat she dan nama2
penduduk yang kemudian dipersatukan ke dalam persekutuan iblis. Seorang
pengikut iblis tidak makan makanan berjiwa. Kalau dia mendapat urusan atau
kesukaran, maka kawan-kawan sekutunya akan membantu, baik dengan uang, maupun
dengan tenaga atau jiwa.
Pada hakekatnya, tidak makan
daging berarti mengirit ongkos dan dengan hidup irit, seseorang gampang merasa
puas. Saling bantu membantu antara kawan-kawan berarti saling mencintai dan
saling mencintai berarti setiap pekerjaan mudah diselesaikan dengan jalan
gotong royong (Poei Lap yang disebutkan dalam buku itu adalah salah seorang
Kauwcoe Beng Kauw yang memberontak terhadap kerajaan Song di Ciat kang timur.
Ia dikalahkan dan belakangan dibinasakan).
Membaca sampai disitu, Boe Kie
berkata, Biarpun Ong kie Ceng memusuhi Beng kauw, tapi ia mengakui bahwa
penganut-penganut agama kita hidup irit dan sederhana dan saling menyintai.
Sebab berkata begitu ia membaca pula.
Sepanjang pengetahuan hamba
mendiang kaisar pun selalu menganjurkan rakyat untuk saling mencintai dan bantu
membantu. Hidup sederhana dan irit memang merupakan kebiasaan yang baik dari
jaman dahulu. Hanya sayang banyak pembesar tidak bisa hidup sederhana sehingga
pemimpin-pemimpin iblis bisa mendapat kesempatan untuk menghasut rakyat dan
menerima pujian rakyat untuk persekutuan mereka.
Rakyat banyak yang bodoh.
Mereka menganggap, bahwa jika mereka menuruti perkataan iblis dan mengabdi
kepada iblis, mereka bisa mendapat keputusan dan segala rupa pekerjaan bisa
diselesaikan dengan gotong royong. Dengan demikian mereka percaya segala apa
yang dikatakan oleh pemimpin2 iblis dan dengan berlomba2 mereka masuk ke dalam persekutuan
iblis. Itulah sebabnya, mengapa larangan makin diperkeras, kemajuan mereka
makin sukar dibendung.
Boe Kie menengok kepada Yo
Siauw dan berkata sambil tertawa, Yo Co soe, Ong Kie Ceng seorang jujur. Dia
kata larangan makin diperkeras, kemajuan mereka makin sukar dibendung.
Inilah pengakuan bahwa agama
kita dicintai rakyat. Apa boleh kupinjam buku ini? Adalah kewajibanku untuk
mempelajari usaha-usaha dan nasehat-nasehat para pemimpin kita yang sudah
almarhum.
Tentu saja boleh, jawabnya.
Aku justru ingin minta petunjuk Kauw coe.
Sambil memegang buku itu Boe
Kie berkata pula. Jiu samsoepeh dan In Lioksiok sudah boleh dikatakan sembuh.
Besok kita berangkat ke Ouw tiap kok. Di samping itu ada suatu hal yang
kuinginkan menanyakan pikiran Yo Co soe. Hal ini mengenai adik Poet Hwie.
Yo Siauw menduga Boe Kie
melamar puterinya jadi girang sekali. Jiwa Poet Hwie telah ditolong Kauwcoe,
katanya. Kami berdua ayah dan anak ingin sekali membalas budi yang sangat besar
itu. Perintah apapun jua yang Kauwcoe mau berikan aku pasti akan menurut dengan
girang hati.
Boe Kie lantas saja
menceritakan pengakuan Poet Hwie pada hari itu.
Yo Siauw kaget tak kepalang
dan untuk beberapa saat ia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata. Bahwa anakku
dicintai In Liok hiap adalah kejadian yang sangat menggirangkan, kata ia
akhirnya. Tapi usia mereka berbeda terlampau jauh dan angkatan merekapun tidak
bersamaan In berkata sampai disitu ia tidak dapat meneruskan perkataannya.
Usia In Liok siok belum cukup
empat puluh. Ia sedang gagah2nya. Biarpun benar adik Poet Hwie memanggilnya
dengan sebutan Siok-siok (paman, mereka tidak mempunyai hubungan dalam
perguruan). Mereka saling mencintai dengan setulus hati. Manakala pernikahan
ini bisa terjadi, maka ganjelan yang dahulu lantas bisa disingkirkan. Menurut
pendapatku inilah kejadian yang sungguh-sungguh boleh dibuat girang.
Yo Siauw seorang yang sangat
terbuka. Sebab perbuatan terhadap Kie Siauw Hoe, ia selalu merasa malu untuk
bertemu muka dengan In Lie Heng. Sekarang mendengar perkataan Boe Kie di dalam
hati ia mengakui, bahwa pernikahan itu bukan saja menebus dosa, tapi juga bisa
menghilangkan segala ganjelan antara Beng kauw dan Boe tong pay. Memikir begitu
ia lantas saja menyoja dan berkata, Bahwa Kauwcoe sudah sudi campur tangan untuk
membereskan soal ini merupakan bukti bahwa Kauwcoe sangat menyayangi kami.
Untuk itu semua, terlebih dahulu aku menghaturkan banyak terima kasih.
Malamnya Boe Kie mengumumkan
kabar girang itu. Semua orang turut bersyukur dan mereka menghaturkan selamat kepada
In Lie Heng. Poet Hwie sendiri tidak berani menemui orang dan bersembunyi di
dalam kamarnya. Thio Sam Hong dan Jie Thay Giam yang merasa kaget dan heran,
belakangan turut bergirang. Waktu ditanya tentang tanggal pernikahannya, In Lie
Heng menjawab, Sesudah Toa soeko dan yang lain-lain pulang barulah kita
menetapkan tanggal itu.
Pada keesokan harinya, bersama
Yo Siauw dan In thian ceng, In Ya ong, Tiat koan toojin, Cioe Tian, Siauw Ciauw
dan yang lain-lain, Boe Kie mohon berpamitan dengan Thio Sam Hong dan kedua
pamannya untuk berangkat ke Hwaipak. Poet Hwie tidak mengikut sebab ia masih
perlu merawat In Lie Heng.
Dalam perjalanan itu rombongan
Boe Kie menyaksikan penderitaan rakyat yang sangat hebat. Daerah sepanjang
pantai biasanya daerah yang kaya. Tapi apa yang dilihat mereka hanyalah
ladang-ladang yagn kosong kering dan kelaparan yang merajalela di mana-mana.
Dengan ringkas dapat dikatakan, bahwa kemiskinan rakyat sudah sampai pada
puncaknya. Boe Kie dan kawan-kawannya merasa sangat berduka, tapi merekapun
tahu, bahwa dengan adanya penderitaan itu kekuasaan Mongol di Tiongkok pasti
tidak dapat dipertahankan dalam waktu lama. Sekarang saja, orang-orang gagah di
seluruh negeri sudah mulai bangkit untuk mengusir kaum penjajah itu.
Pada suatu hari mereka tiba di
Kay pay kie yang terletak tak jauh dari Ouw tiap kok. Selagi enak berjalan,
sekonyong2 mereka mendengar teriakan-teriakan dan belakangan ternyata bahwa
teriakan itu keluar dari dua pasukan yang sedang bertempur. Boe Kie dan
kawan2nya segera membedal kuda dan sesudah melewati sebuah hutan, mereka
melihat kira-kira seribu serdadu Mongol sedang mengepung sebuah tangsi yang di
atasnya berkibar bendera Bengkauw. Tangsi itu dipertahankan oleh anak buah yang
berjumlah kecil yang perlahanlahan mereka tak dapat mempertahankan diri lagi.
Tapi biarpun dihujani anak panah, mereka tetap tidak mau menyerah. Tentara Goan
berteriak-teriak.
Pemberontak Mo kauw! Lekas
menakluk!
Kalau menakluk, kalian
mendapat ampun.
Apa kamu mau mampus semua?
Untuk beberapa saat, rombongan
Boe Kie memperhatikan jalannya pertempuran.
Kauwcoe, apa kita sudah boleh
menerjang musuh? tanya Coe Tian.
Baiklah! jawabnya. Lebih
dahulu singkirkan pemimpin-pemimpin pasukan itu.
Di lain saat, Yo Siauw, In
Thian Ceng, In Ya Ong, Tiat koan Toojin dan Cioe Tian sudah menerjang musuh.
Dua orang Peh hoe thio lantas saja roboh. Sesaat kemudian, Cian hoe thio yang
memimpin pasukan dibinasakan In Ya Ong. Karena kehilangan pemimpin, tentara
Goan lantas saja kalut. Dilain pihak, melihat datangnya bala bantuan,
orang-orang yang membela tangsi bersorak-sorai. Pintu tangsi terbuka dan
seorang pria yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata tombak menerjang keluar.
Dalam sekejap ia sudah merobohkan sejumlah serdadu Goan.
Setiap kali tombak orang itu
berkelebat, seorang serdadu Goan terjungkal. Melihat begitu, tentara Goan
menjadi jeri. Mereka lari serabutan untuk menyingkirkan diri dari orang itu
yang gagah dan angker bagaikan malaikat.
Para pemimpin Beng kauw dalam
rombongan Boe Kie merasa kagum dan memuji orang gagah itu. Tapi yang paling
bergirang adalah Boe Kie sendiri karena ia sudah mengenali bahwa orang itu
bukan lain daripada Siang Gie Coen yang selalu diingatnya siang dan malam.
Hanya karena masih mesti bertempur, ia tak bisa segera menghampiri tuan
penolong itu. Sebab digencet dari depan dan belakang, tentara Goan mendapat
kerusakan besar. Kurang lebih limaratus orang mati dan luka-luka. Sisanya tidak
berani berperang terus dan lalu melarikan diri.
Sesudah musuh kabur, sambil
tertawa terbahak-bahak Siang Gie Coen berseru, Saudarasaudara dari manakah yang
sudah memberi bantuan? Siang Gie Coen menghaturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Siang Toako! teriak Boe Kie.
Aduh! Siang malam siauwtee memikiri Toako, ia berlari lari dan memegang tangan
kakak itu erat-erat.
Siang Gie Coen memberi hormat
dengan membungkuk. Saudara Kauwcoe, katanya dengan suara gemetar. Aku menjadi
kakakmu dan juga menjadi orang sebawahanmu. Tak dapat aku mengatakan, betapa
besar rasa girangku.
Ternyata Siang Gie Coen
memegang tugas Hee koa dalam Kie bok kie. Pertempuran hebat di Kong beng teng
yang berakhir dengan diangkatnya Boe Kie sebagai Kauwcoe sudah diketahuinya
dari Boen Cong Siong Ciang kie soe Kie bok kie. Sudah beberapa hari, dengan
sejumlah anggota Kie bok kie, ia berkemah disitu untuk menunggu kedatangan Boe
Kie. Apa mau, sepasukan tentara Goan menyerang. Karena musuh berjumlah lebih
besar, ia berlagak kalah dan memancing musuh untuk dibasmi.
Di luar dugaan rombongan Boe
Kie muncul pada saat yang tepat dan ia segera menerjang ke luar. Dalam
Bengkauw, ia berkedudukan rendah sebagai orang bawahan, ia lantas memberi
hormat Yo Siauw, In Thian Ceng dan yang lain-lain. Melihat kegagahannya dan
mengingat bahwa saudara angkat Kauwcoe para pemimpin Beng kauw itu memperlakukannya
sebagai sahabat yang sederajat.
Siang Gie Coen segera
memerintahkan orang menyediakan makanan untuk menjamu para tamunya. Selagi
makan minum, ia menceritakan keadaan dan apa yang dilakukannya di daerah itu.
Selama beberapa tahun, daerah Hwai lam dan Hwai pa (sebelah selatan dan utara
sungai Hwai ho) mengalami kekeringan, sehingga rakyat sangat menderita. Karena
terpaksa, ia mengumpulkan saudara-saudara Beng kauw dan melakukan pekerjaan
tanpa modal. Tapi dalam pekerjaan itu ia hanya merampok milik hartawan jahat
atau pembesar rakus dan jika ada kelebihan, kelebihan itu selalu digunakan
untuk menolong rakyat. Beberapa kali tentara Goan coba menyerang tangsi mereka
tapi selalu dapat dipukul mundur.
Sesudah menginap semalaman,
pada keesokan paginya, bersama pasukan Siang Gie Coen rombongan Boe Kie
meneruskan perjalalan. Mereka menganggap, bahwa sesudah mengalami kekalahan,
selama dua tiga bulan tentara Goan pasti tak akan berani menyerang lagi.
Beberapa hari kemudian mereka
tiba di luar Ouw tiap kok. Mendengar kedatangan Kauwcoe para anggota Bengkauw
yang sudah tiba lebih dahulu lantas saja keluar menyambut. Ternyata barisan Kie
bok kie sudah membangun rumah-rumah kecil untuk tempat meneduhnya para orang
gagah. Wie It Siauw, Peng Eng Giok dan Swee Poet tek pun sudah berada di situ
dan mereka segera menemui Boe Kie.
Sesudah berkenalan dengan
semua orang, Boe Kie segera memerintahkan disediakan barang sembahyang dan lalu
menyembayangi suami istri Ouw Ceng Goe dan Kie Siauw Hoe.
Mengingat kejadian dahulu
bukan main rasa terharunya. Mimpipun tak pernah mimpi, bahwa hari ini ia bisa
kembali seorang Kauwcoe dari satu agama yang sangat besar pengaruhnya pada
jaman itu.
Tiga hari kemudian tibalah
harian Tiongcioe. Di tengah-tengah lapangan Ouw tiap kok yang luas didirikan
sebuah panggung tinggi dan di depan panggung dinyalakan api koen boen, yang
sangat besar.
Sesudah semua pemimpin Beng
kauw berkumpul, Boe Kie segera naik ke atas panggung dan dengan suara lantang
mengumumkan bahwa Beng kauw sudah menghentikan permusuhan dengan berbagai
partai persilatan di wilayah Tionggoan dan bahwa sekarang Beng kauw berusaha
dengan sekuat tenaga utnu mengusir penjajah Goan dari tanah air. Sesudah itu,
ia membaca peraturan-peraturan agama yang bertujuan untuk menyingkirkan
penjahat dan menolong sesama manusia yang memerlukan pertolongan.
Pengumuman itu disambut oleh
sorak sorai gegap gempita. Dalam suasana riang gembira dan dengan semangat
bergelora para hio coe dan yang lain-lain memasang hio dan bersumpah untuk
mentaati pesan Kauwcoe. Hari itu dian berkobar-kobar, wangi hio dapat diendus
di seluruh selat. Sesudah terpecah belah begitu lama, Beng Kauw sekarang
bersatu kembali.
Semua orang mengakui, bahwa di
dalam Beng Kauw belum pernah tercapai persatuan yang sedemikian kokoh dan
diantaranya banyak yang mengucurkan air mata kegirangan. Sesudah itu Boe Kie
membuat lain pengumuman yang berbunyi sebagai berikut: Menurut kebiasaan agama
kita, kita semua tidak makan makanan yang asalnya berjiwa. Tapi dalam menghadapi
kelaparan, manusia harus makan apapun juga yang bisa dimakan. Apa pula hari ini
kita harus bertekad untuk melakukan satu pekerjaan besar, yaitu mengusir Tat
coe (orang Mongol) dari tanah air kita. Kalau kita tetap tidak makan makanan
berjiwa, maka tenaga atau semangat kita akan berkurang dan kita sukar untuk
menunaikan tugas tugas yang berat itu. Maka itulah, mulai dari sekarang, kami
mulai menghapuskan peraturan yang melarang anggota-anggota makan makanan
berjiwa dan minum arak. Sebagai manusia yang hidup dalam dunia ini, kita harus
mementingkan urusan besar. Soal makan adalah soal remeh yang bisa diubah sesuai
dengan keadaan.
Malam itu, dibawah sinar
rembulan, beberapa ribu pemimpin Beng kauw makan minum sepuas hati dan pesta
baru berakhir setelah terang tanah.
Sesudah mengaso sampai
kira-kira tengah hari, Boe Kie bangun dan mandi. Baru saja dia selesai
berpakaian, seorang anggota melaporkan bahwa Cioe Coan Ciang, Cie Tat dan
beberapa anggota lain dari Ang soei kie minta bertemu.
Boe Kie girang dan lalu keluar
menyambut. Begitu melihat Boe Kie, Cioe Coan Ciang, Cie Tat, Thong Ho, Teng
Jie, Hoa In, Gouw Liang dan Gouw Tin yang menunggu di luar pintu, lantas saja
memberi hormat dan membungkuk.
Cepat-cepat Boe Kie membalas
hormat. Di depan matanya lantas saja terbayang kejadian pada hari itu, pada
waktu Cie Tat menolong jiwanya. Dengan tangan kiri menuntun Coe Goan Ciang dan
tangan kanan menuntun Cie Tat, ia mengajak semua orang memasuk ke dalam.
Sesudah meminta maaf, Coe Goan Ciang dan kawan-kawannya baru berani duduk di
kursi. Ternyata Coe Goan Ciang sudah tak menjadi pendeta lagi. Sesudah menerima
perintah Kauwcoe, buru-buru kami datang ke sini, katanya.
Di luar dugaan, di tengah
jalan kami bertemu dengan kejadian yang luar biasa, sehingga kami terlambat,
dan untuk itu, kami memohon maaf.
Kejadian apa? tanya Boe Kie.
Pada bulan enam kami telah
menerima perintah Kauwcoe, jawabnya. Kami merasa girang lalu berdamai tenang
barang antaran yang sebaiknya dibawa kami untuk memberi selamat kepada Kauwcoe.
Tapi Hwai pak daerah miskin dan tak ada barang berharga. Untung juga masih ada
banyak waktu dan sesudah berunding, kami mengambil keputusan untuk mencoba
peruntungan di propinsi Shoa tang. Sebab kuatir dikenali pembesar negeri, kami
menyamar sebagai kusir kereta keledai, dengan aku sendiri sebagai pemimpin
rombongan. Hari itu kami tiba di kota Kwie tek hoe dimana kereta kami disewa
oleh beberapa saudagar yang ingin pergi ke Ho tek, di Shoa tang. Selagi enak
berjalan, tiba-tiba kami diuber oleh sejumlah orang yang bersenjata dan
kelihatannya garang sekali. Mereka mengusir saudagar2 itu dan kemudian dengan
sikap galak mengatakan bahwa kami harus mengangkut lain penumpang. Saudara Hoa
In yang beradat berangasan lantas saja mau turun tangan. Untung saja ia keburu
dihalangi oleh saudara Cie Tat yang buru-buru memberi isyarat dengan lirikan
mata. Orang2 itu mengirim kami dan sembilan buah kereta kami ke sebuah lembah,
dimana sudah menunggu beberapa belas kereta lain. Di atas tanah kelihatan
berduduk sejumlah hweeshio.
Hweeshio? menegas Boe Kie.
Benar, jawabnya. Mereka
kelihatannya sangat berduka cita, sebagian besar mereka berduduk dengan
menundukkan kepala. Tapi banyak di antaranya bukan sembarang orang. Ada yang
Tay yang hiatnya menonjol keluar, ada yang tubuhnya tinggi besar kokoh.
Bisik-bisik saudara Cie Tat mengatakan, bahwa pendeta2 itu memiliki ilmu silat
yang sangat tinggi. Setibanya kami, orang-orang galak itu memerintahkan semua
hweeshio naik ke kereta dan menggiring kami ke jurusan utara.