Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 81

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 81
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 81
Para enghiong yg berada disitu rata2 berkepandaian tinggi, tapi mereka merupakan tenaga yang belum terlatih dalam peperangan. Sesudah Boe Kie mengeluarkan beberapa perintah, mereka segera menghunus senjata dan bergerak untuk menyambut musuh.

“Kauwcoe,” bisik Yo Siauw, “Jika mereka tidak dipimpin, sekali gebrak saja mereka bakal dipukul hancur.”

Boe Kie mengangguk. Ia segera keluar lebih dulu dan pergi ke pendopo di depan kuil untuk mengamat-amati musuh. Ia menyadari bahwa pasukan Mongol yang di depan, yang terdiri dari seribu jiwa lebih sudah tiba dilereng gunung. Tetapi mereka sudah dipukul mundur oleh Swie kim ie yang menggunakan senjata gendewa dan anak panah serta tombak di sebelah bawah gunung yang lebih jauh, ia lihat pasukan demi pasukan merayap naik dengan teratur. Jaman itu keangkeran tentara Mongol sudah tidak bisa manyamai jaman Genghis khan. Tapi biar bagaimanapun juga tentara pilihan Mongol masih merupaka tentara yang tiada tandingan.

Selagi Boe Kie mengasah otak untuk memundurkan tentara musuh di sebelah kiri mendadak terdengar teriakan-teriakan yang dibarengi dengan munculnya sejumlah pendeta wanita dan laki-laki muda yang berlari-lari ke atas gunung. Mereka adalah rombongan Go bie pay. Tak salah lagi dalam perjalanan pulang mereka bertemu dengan tentara Mongol yang memukul mereka balik ke atas gunung. Dilain saat Boe Kie dan kawan-kawannya melihat Cioe Cie Jiak, Ceng-hoei Ceng Ciauw dan beberapa pendeta lain berkelahi sambil mundur dengan tubuh berlumuran darah, tak jauh dari situ belasan pria yang memikul sebuah tandu sedang dikepung oleh sejumlah serdadu Mongol. Berulang kali Cie Jiak dan kawan-kawannya menerjang dan berhasil membinasakan puluhan serdadu musuh tapi mereka belum juga berhasil menolong kawan-kawan yang terkepung itu.

“Celaka!” seru Boe Kie. “Yang berada dalam tandu pasti Song soeko!” Ia berpaling dan berseru pula. “Liat hwee kie melindungi dari kedua samping, Wie heng Hoan Yo Jiesoe ikut aku.” Seraya memberi perintah ia berlari-lari dan menerjang musuh. Dua serdadu memapaki, dengan tombak rampasan ia menerjang pasukan musuh diikuti oleh Yo Siauw, Hoan Yauw dan Pheng Eng Giok.

Sesudah mengamuk beberapa lama, Hoan Yauw bertemu dengan seorang Siehoe thio (pangkat perwira Mongol). Dengan sekali pukul ia menghancurkan perwira itu dan kemudian sesudah merobohkan beberapa musuh ia berhasil merampas seorang yang terluka parah dan rebah di dalam sebuah tandu. Ia lalu menggendongnya, dan kabur ke tempat yang lebih aman.

Sementara itu dengan muka penuh darah Cie Jiak menerjang pula ke arah rombongan musuh.

“Cie Jiak balik! Song Toako sudah tertolong!” teriak Boe Kie.

Cie Jiak tidak meladeni, ia terus menyerang dengan cambuknya. Tapi, karena jalanan gunung yang sangat sempit dan penuh dengan manusia, terjangannya tidak berhasil.

Beberapa saat kemudian Boe Kie lihat kedua anggota Go bie pay, yang memikul sebuah tandu yang lain dikepung musuh.

“Apa Song Soeko berada dalam tandu itu?” tanya Boe Kie dalam hati. Ia segera menghampiri dengan berlari. Tapi saat masih terpisah setombak lebih dari tandu itu, kedua murid Go bie itu sudah kena bacokan golok dan anak panah bersama-sama tandu yang dipikulnya, mereka menggelinding ke bawah gunung.

Boe Kie terkejut. Ia melompat dan menggunakan tombak yang dipegang oleh tangan kirinya untuk menahan tergelincirnya tandu. Ia menyadari bahwa orang yang berada di dalam tandu itu dibungkus dengan kain putih dan hanya kelihatan mukanya. Orang itu memang tidak lain adalah Song Ceng Soe.

Ia segera melemparkan senjatanya dan mendukung Ceng Soe. Ia merasa heran karenga tubuhnya berat luar biasa dan sesudah mendukungnya ia menyentuh sesuatu yang keras. Rupa-rupanya di dalam kain putih yang membungkus tubuh Ceng Soe terdapat suatu benda yang berat dan keras. Tapi saat itu ia tidak sempat berpikir panjang lagi. Karena kuatir menggetarkan tulang-tulang kepala Ceng Soe yang belum lama disambung, ia tidak berani bertempur dengan serdadu-serdadu yang mencegatnya dan hanya berkelit sana sini, sambil berlari-lari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Untung juga tak lama kemudian ia bertemu dengan Thio Siong Kee dan In Lie Heng yang lalu melindungi dari serangan musuh.

Sementara itu pasukan Mongol yang lain dengan kekuatan beberapa ratus orang sudah mulai merangsek ke atas.

“Liat hwee kie turun tangan,” teriak Pheng Eng Giok.

Tentara Liat hwee kie segera menyemprotkan minyak tanah dan panah api sehingga dua ratus lebih serdadu Mongol yang berada di depan segera saja terbakar dan yang lainnya terpaksa mundur.

Dilain pihak, Ang soe kie yang menyemburkan air beracun juga sudah berhasil membinasakan serangan musuh. Dengan menggunakan kesempatan yang baik itu, para orang gagah turut menerjang dan membasmi musuh sepuas hati.

Melihat gelagat tidak baik, Ban hon thio yang memimpin tentara Mongol buru-buru memerintahkan dibunyikannya gendering untuk menarik mundur pasukan. Dilain saat, pasukan depan Mongol berubah menjadi pasukan belakang dibawah perlindungan tentara yang bersenjata anak panah mereka mundur ke bawah gunung dengan teratur.

Melihat begitu Pheng Giok menghela napas dna berkata, “Tentara Mongol benar-benar bukan tentara sembarangan. Mereka kalah tapi tak jadi kalut.”

Setibanya di kaki gunung tentara Mongol diatur seperti kipas dan membuat persiapan untuk beristirahat.

Sesudah musuh menghentikan serangan, Boe Kie segera mengeluarkan perintah.

“Swie Kim, Ang Soei dan Liat hwee, tiga bendera, menjaga di tempat-tempat yang penting Kie bok dan Hong touw kie harus menebang pohon dan membuat benteng-benteng untuk menahan terjangan musuh yang selanjutnya.”

Kelima bendera itu segera berpencar untuk melakukan tugas mereka.

Pertempuran itu memberi pelajaran dan membuka mata para orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Sekarang mereka mengerti bahwa perang lain dari pertandingan satu lawan satu atau pertempuran antara beberapa orang yang biasa terjadi dalam kalangan Kang ouw. Sekarang mereka mengakui bahwa Lweekang, Gwakan, senjata rahasia dan ilmu silat tinggi dari seseorang tidak banyak artinya dalam peperangan, di mana beribu atau puluhan ribu manusia bertempur secara besar-besaran. Sekarang mereka yakin bahwa tanpa bantuan Nio heng kie, hari itu mereka semua terhitung kuil Siauw lim tentu sudah musnah. Tanpa Ngo heng mereka tak akan bisa melawan dua laksa serdadu Mongol yang terlatih baik.

Sesudah musuh mundur semua, Boe Kie meletakan Song Ceng soe di tanah dan meraba dadanya. Pemuda she Song itu ternyata masih bernapas. Ia menengok untuk memanggil Cie Jiak, tapi nyonya itu tak kelihatan batang hidungnya. “Mana Song Heng jie?” tanyanya kepada beberapa murid Go bie pay yang berada di situ.

Mereka semua menggeleng-gelengkan kepala. Dengan repotnya melawan musuh, para enghiong pun tidak memperhatikan nyonya muda itu.

Karena kuatir Song Ceng soe terluka, Boe Kie segera membuka kain putih yang membungkus tubuh pemuda itu.

Bungkusan itu tak kurang dari tiga lapis. Begitu lapisan ketiga terbuka, terdengar suara kerontangan dan empat potong senjata jatuh di tanah. Boe Kie terkesiap, “To liong to! Ie thian kiam!” teriaknya. Mendengar teriakan itu semua orang memburu.

Di atas tanah menggeletak dua potong Ie thian kiam dan dua potong To liong to.

Boe Kie mengambil salah sepotong To liong to. Ia berdiri terpaku dan kedua matanya mengeluarkan sinar kedukaan. Ia ingat bahwa ayah dan ibunya meninggal karena golok mustika itu. Ia ingat bahwa selama dua puluh tahun lebih banyak orang bermusuhan, berkelahi dan hilang jiwa gara-gara golok itu. Ia ingat pula bahwa perkumpulan para enghiong di kuil Siauw lim sie juga disebabkan oleh To liong to. Sekarang golok tersebut muncul dalam keadaan patah dua dan tidak ada gunanya lagi.

Ia angkat potongan itu dan menyadari bahwa di tengahnya berlubang. Ie thian kiam pun demikian. Mungkin sekali di dalam lubang itu telah disembunyikan sesuatu, tapi isinya sudah diambil orang.

Yo Siauw menghela napas, “Kauw coe!” katanya. “Sudah lama sekali aku coba memecahkan teka teki sumber ilmu silat Cioe Kauwnio sekarang aku bisa mengatakan bahwa ilmu Cioe Kauwnio didapat dari pedang dan golok itu.”

Boe Kie bukan orang tolol. Iapun sudah bisa meraba-raba kejadian yang sebenarnya. Ia sekarang dapat membayangkan bahwa malam itu waktu berada di sebuah pulau kecil. Cie Jiaklah yang sudah mencuri Thian kiam dan To liong to. Entah dengan jalan bagaimana ia menyingkirkan Tio Beng, membinasakan In Lee dan lalu saling membacok kedua senjata itu sehingga Ie thian kiam dan To liong to yang tersohor patah dua-duanya. Sesudah itu ia ambil pit kip (kitab ilmu) yang disembunyikan dalam kedua senjata itu dan melatih diri secara diam-diam.

Makin lama Boe Kie berpikir makin jelas duduk persoalan. “Benar,” katanya di dalam hati. “Di pulau itu waktu aku mencoba mengusir racun dari tubuhnya dengan menggunakan Kioe yang Sing kang aku merasakan munculnya semacam tenaga luar biasa yang melawan Sin kang. Belakangan tenaga itu jadi lebih kuat. Hai…karena tergesa-gesa ia tak pelajari dasar-dasar Lweekang yang sejati tapi melatih diri dalam ilmu luar yang beracun, yang bisa memberi hasil dalam waktu singkat. Sungguh sayang….”

Selagi ia termenung, Gouw Kia Co Ciang kie soe, Swi kim kie mendekati dan berkata seraya membungkuk. “Kauwcoe, aku jadi pandai besi (tukang besi). Aku bisa membuat macam-macam senjata. Mungkin sekali pedang dan golok mustika itu masih dapat disambung. Apakah Kauwcoe setuju kalau aku mencobanya?”

Yo Siauw girang, “Ilmu membuat pedang dari Gouw Sioe soe tiada tandingannya dikolong langit,” katanya. “Kauwcoe boleh mengijinkannya.”

Boe Kie mengangguk. “Baiklah,” katanya. “Memang sangat sayang jika kedua senjata ini tidak bisa digunakan lagi. Gouw Kioe soe, kau cobalah.”

“Heesheng,” kata Gouw Kin Co kepada Hee Yam, Ciang kie soe, “Liat hwee kie, membuat pedang golok mempunyai kaitan yang erat dengan api. Dalam hal ini, aku memerlukan bantuanmu. Untuk sementara waktu Tat coe mungkin tidak berani segera menyerang lagi. Bagaimana kita mencoba sekarang juga.”

Hee Yam tertawa. “Mupakat,” jawabnya. “Soal api memang bidangku.”

Kedua pemimpin bendera itu segera membuat persiapan. Mereka membuat sebuah dapur yang sangat tinggi dan pada dapur itu hanya terbuka sebuah lubang yang panjangnya belum cukup satu kaki. Dalam Liat hwee kie selalu tersedia macam-macam bahan baker, sehingga dalam waktu singkat api sudah berkobar-kobar di dapur itu.

Dengan penuh perhatian Gouw Kin Co mengawasi api. Di atas tanah berjejer belasan golok. Sesudah api berubah warnanya ia mengambil beberapa batang golok dan memasukkannya ke dalam dapur untuk menilai “sifat” dari api yang tengah berkobar-kobar itu. Beberapa lama kemudian, api yang tadi berwarna hijau berubah menjadi putih. Ia segera mengambil jepitan baja menjepit dua potongan To liong to menyambungnya satu degan yang lain dan kemudian memasakkannya ke dalam dapur.

Dengan rasa kagum semua orang menyaksikan cara kerja pandai besi itu. Ia tidak memakai baju dan keringat mengucur terus dari tubuhnya yang berotot. Hawa panas dari dapur itu hebat luar biasa dan bunga api yang selalu muncrat keluar jatuh di tubuhnya. Tapi ia seolah-olah tidak merasakan semua itu. Dengan menumpahkan seluruh perhatian, ia berdiri bagaikan patung dengan kedua tangan memegang jepitan baja yang menjepit dua potong To liong to.

Mendadak dua anggota Liat hwee kie yang memompa hong shia roboh pingsan. Hee Yam dan Ciang kie Hoe soe (wakil pemimpin) Liat hwee kie melompat menyeret kedua orang korban itu dan kemudian mereka sendirilah yang menggantikannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki Lweekang yang kuat. Begitu lekas hong shia ditarik mereka, api berkobar makin besar. (Hong shi – Alat berbentuk kotak untuk memompa angin ke dalam dapur).

Selang beberapa lama tiba-tiba Gouw Kin Co berseru, “Gagal!” ia melompat mundur dengan paras muka pucat. Kedua jepitan bajak yang dicekalnya sudah mulai melumer tapi To liong to masih tidak bergeming. “Kauwcoe, anak buahmu tak punya kebecusan,” katanya dengan suara memohon maaf. “Nama besar To liong to benar-benar bukan nama kosong.”

Hee Yam dan Ciang ki Hoe soe Liat hwe kie juga turut mundur. Pakaian mereka sudah basah dengan keringat.

“Boe Kie koko,” kata Tio Beng dengan tiba-tiba, “Bukankah Seng hwee leng juga logam mustika dan bahkan tidak dapat diputuskan oleh To liong to?”

“Benar!” kata Boe Kie. “Hampir kulupa.” Ia mempunyai enam Seng hwee leng, tapi yang satu sudah diberikan kepada Swee Poet Tek untuk memanggil bala bantuan.

Ia segera merogoh saku dan mengeluarkan kelima batang “leng” yang lalu diserahkan kepada Gouw Kin Co. “Kalau golok dan pedang itu sukar disambung, Gouw heng tak usah memaksakan diri,” katanya. “Swee heng leng adalah mustika dari agama kita. Sebisa mungkin jangan sampai rusak.”

Gouw Kin Co menyambut dan menelitinya sambil mengerutkan alis.

“Apabila Gouw heng tak punya pegangan sebaiknya jangan menempuh bahaya,” kata Boe Kie.

“Swee heng leng ini terbuat dari emas putih, besi Hian tiat, pasir Kim Kong dan bahan istimewa lain,” terang Gouw Kin Co. “Benda luar biasa ini tak akan bisa dilumerkan dengan api. Apa yang aku tak dapat pikirkan adalah bagaimana Seng hwee leng dulu dibuat.”

“Sudahlah, untuk apa Gouw heng memikirkan hal itu,” kata Hee Yam. “Paling baik kita segera mencoba.”

Gouw Kin Co mengangguk, “Kauwcoe tidak usah kuatir,” katanya. “Meskipun api yang dibuat Hee heng cukup hebat, kulit Seng hwee leng tidak akan rusak.” Sehabis berkata begitu ia menjepit sepotong To liong to dengan dua “leng” dan potongan yang lain dengan dua “leng” pula. Kemudian dengan dua jepitan baja yang baru ia menjepit keempat “leng” itu yang lalu dimasukkan ke dalam dapur. Seperti tadi, gas memompa angin dilakukan Hee Yam dan Ciang kie Hoesoe dari Liat hwee kie.

Makin lama api berkobar makin tinggi, selang setengah jam Gouw Kin Co, Hee Yam dan Ciang kie Hoe soe sudah kelihatan payah sekali dan hampir tidak bisa mempertahankan diri lagi dari serangan hawa panas.

Melihat itu, Hoan Yauw memberi isyarat kepada Cioe Tian dengan lirikan mata dan gerakan tangan. Dengan bersamaan mereka melompat dan menggantikan pekerjaan Hee Yam dan kawannya. Begitu angin dalam hong shia dipompa oleh dua tenaga baru yang memeiliki Lweekang sangat tinggi, api yang berwarna putih segera menghembus ke atas.

Mendadak Gouw Kin Co berteriak, “Kouw heng, sekarang kau boleh turun tangan!”

Kouw Beng Louw, Ciang kie Hoe soe dari Swie kim kie lari mendekati dapur dan…, ia menggores dada Gouw Kin Co dengan goloknya.

Semua orang terkesiap dan menggeluarkan seruan tertahan.

Darah segera mengucur dari dada Gouw Kin Co yang telanjang dan jatuh di atas To liong to. Jatuhnya darah itu mengeluarkan suara ces…ces…dibarengi dengan naiknya uap putih dari badan golok.

“Selesai!” teriak Gouw Kin Co pula. Ia mundur beberapa langkah dan jatuh duduk di atas tanah.

Semua mata ditujukan ke arah To liong to, dua potongan golok itu sudah tersambung.

Sekarang semua orang baru sadar bahwa dalam tekadnya untuk menyambung golok mustika itu, Gouw Kin Co sudah lebih dulu mengadakan persetujuan dengan Kouw Beng Louw untuk menggunakan darahnya sendiri, apabila cara yang biasa mendapat kegagalan. Menggunakan darah manusia dikenal sebagai suatu cara di jaman purba untuk melumerkan logam yang tidak bisa dilumerkan dengan api biasa. Sepanjang cerita, dalam usaha membuat sepasang pedang mustika, dahulu sepasang suami istri Kan Ciang dan Bok Yo telah mengorbankan jiwa dengan melompat ke dalam dapur.

Dengan rasa haru Boe Kie menubruk bawahannya itu dan memeriksa lukanya. Luka itu tidak berbahaya, ia segera mengeluarkan obat dan menaburnya di dada Gouw Kin Co. “Gouw heng, mengapa kau berbuat begitu?” katanya dengan suara parau. “Golok itu bisa disambung atau tidak, sama sekali tak menjadi soal. Untuk apa kau menyakiti diri sendiri?”

Melihat sang pemimpin tidak memperdulikan Seng hwee leng atau To liong to dan lebih dulu memeriksa lukanya, Gouw Kin Co merasa berterima kasih. “Luka ini hanya dikulit,” katanya. “Kauwcoe tak usah kuatir.” Ia bangun berdiri dan mengambil To liong to. Ternyata dua potong golok itu tersambung dengan sempurna dan pada sambungannya hanya terlihat sehelai tanda bekas darah. Dengan rasa bangga ia menyerahkan kepada Boe Kie yang baru saja mengambil kembali keempat “leng” yang tadi digunakan untuk menjepit potongan golok. Keempat “leng” itu tidak kurang apapun.

Sesudah mengawasi golok mustika itu beberapa saat, Boe Kie menyabetkannya ke arah sepasang tombak Mongol. “Tak!” dua tombak itu putus menjadi empat potong.

Para hadirin bersorak sorai. Sementara itu, Gouw Kin Co memegang dua potong Ie thian kiam dengan mata merenung. Di depan matanya terbayang mendiang Cung ceng Ciang Kie soe Swee kim-kie dan puluhan saudara lain yang dibinasakan dengan pedang itu.

Perlahan-lahan air matanya mengalir turun, “Kauwcoe,” katanya dengan suara perlahan. “Pedang ini telah mengambil jiwa Chung To do dan banyak saudara lain. Gouw Kin Co membencinya sampai ke tulang-tulang. Dengan sangat menyesal, aku tak sanggup menyambungnya kembali. Aku bersedia menerima segala hukuman.” Sehabis berkata begitu ia menangis tersenguk-senguk.

“Gouw heng sama sekali tidak berdosa,” kata Boe Kie dengan suara lemah lembut.

“Itu hanya menunjuk “gie hie” Gouw heng yang sangat tebal.” Ia mengambil dua potong pedang itu dari tangan Gouw Kin Co dan menghampirinya. “Ceng hoei! Pedang ini adalah milik Go bie pay,” katanya. “Kuminta Soe thay sudi mengambilnya untuk kemudian diserahkan kepada Cioe…kepada Song Hoe jin.” Ceng hoei mengambilnya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Untuk beberapa lama Boe Kie mencekal To liong to sambil mengerutkan alis. Akhirnya ia berpaling kepada Kong boen dan berkata, “Hong thio, golok ini didapatkan oleh Giehoeku. Sekarang Giehoe sudah menjadi seorang pendeta dan murid Siauw lim. Sudah sepantasnya kalau To liong to disimpan oleh Siauw lim pay.”

Kong boen menggoyang-goyangkan tangannya. “Golok itu telah menemukan majikannya,” katanya. “Dari berlaksa tentara, Thio Kauwcoe telah merebut kembali To liong to. Hal ini disaksikan oleh semua orang. Belakangan Gouw Toako menyambungnya kembali dengan mengucurkan darah sendiri. Disamping itu, segenap anggota Rimba Persilatan telah mengangkat Thio Kauwcoe sebagai Boe lim Beng coe, baik dilihat dari sudut kepandaian dan kebijaksanaan, maupun dari sudut kebajikan dan kedudukan yang tinggi, To liong to harus berada dalam tangan Thio Kauwcoe. Menurut pendapat loolap hal ini adalah yang paling adil.”

Semua orang menyetujui pendapat Kong boen dan beramai-ramai mendesak supaya Boe Kie sudi menerimanya.

Karena tidak bisa menolak lagi, mau tak mau Boe Kie lalu menggantungkan To liong to dipinggangnya. “Apabila dengan golok ini aku bisa menguasai enghiong Timba Persilatan untuk mengusir Tat coe, aku akan merasa girang sekali,” pikirnya.

Semua orang merasa girang. Banayk yang lalu menghafal kata-kata yang dikenal sejak seratus tahun yang lalu. “Boe lim cie coen, po to to liong, hauw leng, thiat hoe, boh kam poet ciong!” atau Yang mulia dalam Rimba Persilatan adalah golok mustika To liong. Memerintah di kolong langit, tak ada yang berani tidak menurut. Disebelah bawah masih ada perkataan, “le jian poet coet, swee ie kiam ceng hiong?” apabila Ie thian kiam tidak keluar, siapakah yang berani mengadu ketajaman dengan dengannya? Melihat Ie thian kiam sudah tidak dapat disambung lagi, orang-orang yang menghafal tidak menyebutkan lagi delapan perkataan yang terakhir itu. Pihak yang merasa paling puas karena rusaknya Ie thian kiam adalah anggota-anggota Swie kim kie, sebagaimana diketahui banyak orang, bendera itu telah dibinasakan dengan pedang menggunakan pedang mustika tersebut.

Sesudah penyambungan golok selesai, sejumlah anggota Ang soe kie menggotong keluar sebuah kuali besar dari dalam kuil dan sesudah mengisi minyak dalam kuali itu segera menarihnya di atas dapur. Minyak panas itu akan digunakan untuk menyemprot tentara Mongol jika mereka menyerang pula.

Sore itu, kecuali tentara Ngo beng kie dan sejumlah pendeta Siauw lim yang menjaga di luar, semua orang bersantap di dalam kuali itu. Sehabis makan Boe Kie memanjat satu pohon besar dan mengamat-amati gerakan musuh di kaki gunung. Ia lihat tentara Mongol terpencar di sana sini di seputar gunung dan asap putih mengepul di berbagai tempat yang merupakan satu tanda bahwa serdadu-serdadu itu sedang menanak nasi.

Boe Kie melompat turun dari pohon. “Wie heng,” katanya kepada Wie It siauw. “Saat malam menjelang kau selidiki keadaan musuh kalau-kalau mereka ingin menyerang di waktu malam.”

Wie it Siauw mengiyakan dan segera berlalu.

“Kauwcoe,” kata Yo Siauw, “Menurut pendapatku, sesudah dihajar di depan gunung hari ini, Tatcoe tidak akan menyerang lagi. Yang kita harus jaga adalah bokongan dari gunung.”

“Benar,” kata Boe Kie. “Mari kita mengamati dari atas bukit.” Bersama Yo Siauw, Hoan Yauw dan Gan Hoan, ia segera berangkat ke bukit di belakang gunung di mana Cia Soen pernah dipenjarakan.

“Aku ikut!” kata Tio Beng.

Dari puncak bukit, mereka mengawasi ke bawah, keadaan tenang-tenang saja. Sama sekali tak ada petunjuk dari gerakan tentara. Sambil mengusap-usap tiga batang siong yang dirubuhkannya, Boe Kie ingat pengalamannya yang sangat hebat. Tiba-tiba dalam otaknya teringat peringatan, “Ah, hampir kulupa,” katanya di dalam hati. “Gie hoe telah berpesan agar kuperiksa keadaan di dalam lubang.”

Batu penutup lubang masih belum dikembalikan ke tempat asalnya. Ia segera melompat turun. Ternyata dasar lubang itu merupakan sebuah kamar dengan garis tengah kira-kira setombak. Cuaca sudah mulai gelap dan keadaan di lubang itu lebih gelap lagi. Ia mengeluarkan bibit api untuk menerangi keadaan lubang. Dengan bantuan sinar api, ia lihat empat gambar di empat penjuru dinding batu. Gambar-gambar itu dilukis engan menggunakan potongan batu tajam, sederhana tapi cukup terang.

Gambar di sebelah timur memperlihatkan dua wanita – yang satu tidur di tanah, yang lain menotok wanita yang tidur dengan jari tangan kirinya, sedang tangan kanannya merogoh saku yang sedang tidur itu. Di sisi gambar terdapat tulisan yang berbunyi “mengambil obat”.

Gambar di sebelah selatan menunjuk sebuah gambar kapal dan seorang wanita yang melemparkan seorang wanita lain ke kapal itu. Pada gambar itu terdapat tulisan “mengusir”

Boe Kie mengeluarkan keringat dingin. “Benar-benar begitu kejadiannya!” pikirnya. “Cie Jiak menotok jalan darah Beng moay dan mencuri Sip hiong Joan kin san untuk meracuni Giehoe dan aku. Sesudah itu ia melemparkan Beng moay ke kapal Persia. Tapi mengapa ia tidak membunuhnya? Hmm…ya! Kalau dibunuh, ia tidak bisa menimpakan dosa diatas pundak Beng moay. Kalau begitu piauw moay pun dicelakai olehnya.”

Di bawah gambar itu dilukiskan dua orang lelaki. Yang satu sedang tidur pulas, yang lain yang rambutnya panjang tengah memasang kuping. Boe Kie kaget. Ia sekarang menyadari bahwa semua perbuatan Cie Jiak diketahui oleh ayah angkatnya. “Giehoe sungguh bisa menahan sabar dan di pulau itu ia sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia sudah tahu pengkhianatan Cie Jiak,” katanya dalam hati.

“Ia memang harus berlaku begitu. Ketika itu ia dan aku sudah menelan Sip hiang Joan kin-san dan jiwa kami berada dalam tangan Cie Jiak. Tak heran kalau Giehoe menuduh Beng moay dengan sungguh-sungguh. Ia tahu aku seorang jujur, apabila aku ragu, rahasia bisa bocor.”

Pada gambar ketiga, di sebelah barat terlihat Cia Soen yang sedang duduk dan dibokong dari belakang oleh Cie Jiak, sedang dari luar menerobos masuk sejumlah anggota Kay pang. Gambar ini sama dengan apa yang terlihat dalam arak-arakan di kota raja.

Baru saja Boe Kie mau memeriksa gambar keempat, api padam. “Beng moay, kemari,” serunya. “Kupinjam api.”

Tio Beng melompat turun.

Gambar keempat memperlihatkan dibawanya Cia Soen oleh belasan pria, sedang di kejauhan dari belakang pohon mengintip seorang wanita muda. Lukisan keempat gambar itu sangat baik muka orangnya kecuali muka Cia Soen yang tidak menyerupai orang-orang itu. Boe Kie mengerti bahwa hal itu sudah terjadi karena Cia Soen buta sejak puluhan tahun berselang dan belum pernah melihat muka orang-orang yang dilukisnya.

Sambil menuding wanita muda yang bersembunyi di balik pohon, Boe Kie bertanya, “Siapa wanita itu? Kau atau Cie Jiak?”

“Aku,” jawabnya. “Seng Koen merampas Cia Tayhiap dari tangan Kay pang dan kemudian mengirimnya ke Siauw lim sie. Tapi ia sendiri membuat tanda-tanda Beng kauw sehingga kau mengubar-ubar tanda-tanda itu dalam sebuah lingkaran besar. Sering aku ingin merebut Cia Tayhiap tapi selalu tidak kesampaian. Belakangan aku mencoba juga tapi gagal dan aku hanya bisa mengambil segenggam rambut Cia Tayhiap untuk dijadikan barang bukti guna mencegah pernikahanmu dengna Cie Jiak. Saat melakukan itu aku merasa tak enak hati dan merasa bersalah terhadapmu.”

Boe Kie mengawasi si nona dengan mata merenung. Selama beberapa bulan, nona yang ayu itu kurus banyak, pipinya menjadi agak pucat dan ia merasa sangat kasihan. Tiba-tiba ia memeluk erat-erat. “Beng moay…aku yang bersalah.” Karena pelukan itu api segera padam dan gua itu gelap gulita. “Beng moay,” kata Boe Kie pula. “Jika kau kurang pintar, mungkin sekali aku sudah membunuhmu. Kalau sampai terjadi begitu….”

Si nona tertawa. “Apa kau tega mengambil jiwaku?” tanyanya. “Waktu kau bertemu dengan aku di kota raja, mengapa kau tidak segera membunuh aku?”

Boe Kie menghela napas. “Beng moay, rasa cintaku terhadapmu telah membuat aku tidak berdaya,” katanya. “Jika piauw moay benar-benar dibinasakan olehmu, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Sekarang semuanya sudah menjadi jelas. Disamping rasa menyesal untuk Cie Jiak, aku harus mengakui bahwa diam-diam aku merasa girang.”

Mendengar pengakuan yang setulus hati itu, si nona girang bukan main hatinya. Dia segera menyusupkan kepalanya di dada yang lebar. Lama mereka berada dalam keadaan begitu, tanpa mengucapkan sepatah kata! Akhirnya Tio Beng menengadah. Ia lihat bulan seperti sisir tergantung di sebelah timur sedang keadaan di sekitar sunyi bagaikan kuburan. Ia tahu Yo Siauw, Hoan Yauw dan Gan Hoan sudah menyingkir ke tempat lain supaya tidak mengganggu mereka.

“Boe Kie Koko,” kata si nona, “Apa kau masih ingat pertemuan kita di Lek boe San chung? Kita bersama-sama jatuh ke dalam penjara di bawah tanah. Bukankah kejadian itu menyerupai kejadian sekarang ini?”

Boe Kie tertawa. Ia mencekal kaki kiri Tio Beng dan sepatunya.

Tio Beng tertawa geli! “Kau tak tahu malu!” bentaknya, “Lelaki menghina perempuan!”

“Kau bukan perempuan biasa. Akal bulusmu sangat banyak. Sepuluh lelaki belum tentu bisa menandingi kau seorang.”

“Aku yang rendah tak sanggup menerima pujian begitu tinggi dari Thio Kauwcoe yang mulia.”

Sampai di situ mereka terbahak-bahak. Kata-kata itu telah diucapkan mereka waktu berada dalam lubang jebakan di Lek hoe chung. Kalau dulu mereka berhadapan sebagai musuh sekarang sebagai kekasih.

Mendadak sayup-sayup terdengar bentakan-bentakan, satu tanda dari terjadinya pertempuran. Mereka memasang kuping.

“Mari kita lihat!” kata Boe Kie sambil memegang tangan Tio Beng dan dengan sekali menggenjot tubuh, mereka sudah berada di muka bumi. Di tempat yang jauh mereka lihat tiga bayangan manusia berlari-lari ke jurusan timur dengan kecepatan luar biasa. Dari gerakan-gerakannya dan cara berlarinya, ketiga orang itu adalah ahli-ahli silat kelas satu.

Yo Siauw muncul, ia mendekati Boe Kie dan berkata, “Mereka bukan orang kita.”

“Yo Cosoe,” kata Boe Kie. “Bersama Yoesoe kau berdiam di sini. Aku kuatir musuh menggunakan tipu, memancing harimau keluar dari gunungnya. Aku mau mencoba selidiki mereka.”

Yo Siauw menerima perintah itu dengan membungkuk.

Boe Kie segera memeluk pinggang Tio Beng dengan sebelah tangannya dan sambil menjejak bumi ia mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Toga bayangan di depan itu ternyata sedang kejar-kejaran, satu kabur dua mengudak. Boe Kie menambah tenaga, kakainya bekerja makin cepat sehingga Tio Beng merasa seperti dibawa terbang dengan menunggang awan. Sesudah mengejar satu li lebih dengan bantuan sinar bulan yang reman-remang, mereka segera mengenali bahwa kedua orang yang mengejar itu tak lain adalah Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong.

Mendadak Pit Ong menimpuk dengan poan kaon pitnya yang berujung patok burung. Orang yang dikejar melompat ke samping dan menangkis senjata musuh dengan pedangnya. Dengan sedikit kelambatan itu, Lok Thung sudah menyandak dan menikam dengan tongkatnya yang bercagak seperti tanduk menjangan.

Orang itu menghindar dan membalas dengan pukulan telapak tangan, Boe Kie dan Tio Beng mengeluarkan seruan tertahan. Ia adalah Cioe Cie Jiak, mukanya pucat seperti kertas dan rambutnya terurai. Segera Boe Kie menarik tangan Tio Beng dan bersembunyi di belakang pohon.

Sesudah menyambut pit-nya yang jatuh, Ho Pit Ong segera merangsek dan mengepung Cie Jiak bersama kakak seperguruannya.

“Setan tua!” bentak Cie Jiak. “Untuk apa kau mengejar aku?”

“Hari ini Thio Boe Kie merebut To liong to dan In thian kiam,” kata Lok Thung Kek. “Dengan mata sendiri kami lihat bahwa ilmu pit kip, ilmu silat yang terdapat dalam kedua senjata itu sudah tidak ada lagi. Pit kip itu pasti berada di tangan Song Hoejin.”

Boe Kie terkejut.

“Pit kip memang ada,” jawab Cie Jiak. “Tapi sesudah selesai dan berhasil latihanku, aku segera membakarnya.”

Lok Thung Kek mengeluarkan suara di hidung. “Enak saja menggoyangkan lidah!” katanya. “To liong to dan Ie thian kiam dikenal sebagai yang termula dalam Rimba Persilatan. Semua ahli silat di kolong langit ingin sekali mendapatkannya. Mana bisa pit kip dalam kedua senjata itu dapat dipelajari dalam waktu singkat? Biarpun tinggi, ilmu Song Hoejin belum mencapai puncak tertinggi. Kalau Song Hoejin sudah selesai dalam latihan semua pelajaran yang tertera dalam pit kip itu, maka dalam sekejap mata kau bisa mengambil jiwa kami berdua. Mengapa kau main kejar-kejaran?”

“Kalau kau tak percaya, terserah,” kata Cie Jiak. “Aku tak punya waktu untuk bicara lama-lama.” Seraya berkata begitu, ia melompat untuk lari.

“Tahan!” bentak Lok Thung Kek. Dengan bersamaan kedua kakek itu menyerang dari kiri kanan.

Cie Jiak memutar pedangnya bagaikan titiran dan menyambut serangan-serangan Hian beng Jieloo. Di siang hari Boe Kie telah menyaksikan Cie Jiak telah menggunakan cambuk dan kin dengan rasa kagum ia menonton silat pedang indah. Sesudah belasan jurus, biarpun dikerebuti Lweekang yang lebih kuat mungkin sekali mereka sudah dijatuhkan. “Sungguh sayang,” kata Boe Kie dalam hati. “Jika Cie Jiak bersenjata Ie thian kiam, Hian beng Jieloo tidak akan bisa berbuat banyak, dengan pedang biasa ia kalah Lweekang dan kalah ulet. Paling banyak ia bisa pertahankan diri dalam dua ratus jurus.”

Sesudah lewat dalam beberapa jurus lagi Cie Jiak mengeluarkan pukulan-pukulan aneh. Boe Kie tahu bahwa itulah usaha untuk melarikan diri. Dengan serangan nekat-nekatan itu kalau untung bagus, memang Cie Jiak bisa berhasil. Tapi salah sedikit saja ia bisa celaka. Perlahan-lahan Boe Kie keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati gelanggang pertempuran. Kalau perlu, ia mau menolong.

Mendadak seraya membentak keras Cie Jiak mengirim tiga tikaman berantai kepada Lok Thung Kek. Karena sedikit terlambat, tikaman ketiga merobek baju dan pundak si kakek turut tergores pedang, pada waktu itu Ho Pit Ong mendadak menimpuk punggung Cie Jiak dengan kedua pitnya. Dalam menghadapi musuh, kalau tidak terpaksa, Ho Pit Ong belum pernah menggunakan timpukan itu. Tapi sekarang, karena kuatir datangnya bala bantuan musuh yang bisa menggagalkan usaha merebut pit kip, ia menggunakan pukulan yang diberi nama Siang ho Lee kong (sepasang burung ho berbunyi di angkasa). Begitu kedua poan-koan pit yang ditimpuk beradu di tengah udara dengan mengeluarkan suara nyaring dan satu di atas dan satu di bawah, menyambar kepala dan pinggang Cie Jiak.

Dilain pihak, begitu merasakan sambaran angin di punggung, Cie Jiak berkelit. Tapi diluar dugaan, sesudah terbentrok di tengah udara dengan pit itu mengubah arah serangan. Ketika itu dapat menolong diri dari pit yang menyerang kepala, tak keburu mengelak pit yang menyambar pinggang.

Pada detik yang sangat berbahaya Boe Kie melompat dan menjambret pit itu sambil menangkis timpukan Ho Pit Ong dengan sebelah tangan yang lain.

Cie Jiak yang menduga bahwa ia bakal mati sudah pejamkan kedua matanya. Selagi Boe Kie menangkis serangan Ho Pit Ong, tangan Lok Thung Kek menyambar dan menjambret di kempungannya. Itulah Hian beng Sin ciang yang menggetarkan Rimba Persilatan. Begitu kena, napas Cie Jiak sesak dan ia roboh.

Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Dengan kagetnya Boe Kie melemparkan poan koan pit Ho Pit Ong, mendukung pinggang Cie Jiak dan melompat setombak lebih jauhnya. “Hian beng Jieloo,” bentaknya. “Kau sungguh tak tahu malu!”

Lok Thung Kek tertawa terbahak-bahak.

“Kukira siapa, tak tahunya Thio Toakouw coe,” katanya dengan suara mengejek. “Di mana Koen coe ku? Ke mana kau bawa Koen coe?”

Tio Beng menghampiri dan mengambil Cie Jiak dari tangan Boe Kie. Ia tertawa dan berkata,” Lok Sianseng, siang malam kau tak bisa melupakan aku. Apa kau tak takut ayahku marah?”

“Perempuan siluman!” bentak si kakek dengan gusar. “Huh huh…kau mencoba merenggangkan aku dengan soeteeku. Dengan ayahmu kami sudah putuskan semua hubungan. Jie lam ong marah atau tidak, tak ada sangkut pautnya dengan kami lagi.”

Boe Kie menatap wajah kedua kakek itu dengan darah meluap. Mendengar cacian terhadap Tio Beng dan melihat pukulan terhadap Cie Jiak, ia segera ingat perbuatan mereka terhadap dirinya di waktu ia masih kecil, “Beng moay,” katanya. “Kau mundurlah. Hari ini aku akan beri pelajaran kepada mereka.”

Melihat Boe Kie bertangan kosong, Lok Thung Kek segera menyimpan senjatanya.

Boe Kie maju selangkah dan sesudah membentak “sambutlah!” ia memukul dengan Lok ciak hwee dengan mendorong kedua telapak tangannya. Pukulan yang dikirim dengan gerakan perlahan adalah Thay kek Koen hoat, tapi pada kedua tangannya tersembunyi tenaga Kioe yang Sin kang. Ia telah mengambil keputusan untuk menggunakan tenaga Soen yang (panas) yang paling murni untuk menghadapi tenaga Soen im (dingin) dari Hian beng Sin ciang.

Di jaman sekarang Thay kek koen sudah jadi ilmu silat yang biasa saja. Tapi pada akhir kerajaan Goan, waktu baru dirubah oleh Thio Sam Hong di dalam Rimba Persilatan jarang sekali terlihat ilmu tersebut. Karena kuatir Boe Kie menyembunyikan sesuatu di balik pukulan yang enteng lemas itu, Thung Kek tak berani menyambut dan lalu melompat ke samping. Boe Kie memutar tubuh sambil mengirim pukulan kedua pada Ho Pit Ong.

Beberapa kali Boe Kie pernah bertempur dengan Hian beng Jieloo dan ia tahu bahwa kepandaiannya melebihi kedua kakek itu. Tapi kedua lawan itu bukan orang sembarangan.

Ia tak boleh begitu sembrono atau memandang enteng. Kesalahan kecil bisa berakibat hebat. Dengan menggunakan Thay kek Koen hoat, yang mengirimkan pukulan dalam bentuk lingkaran, ia berada dalam kedudukan tegak dengan garis pembelaan yang hampir tak bisa ditembus. Pada hakikatnya Thay kek Koen hoat adalah ilmu silat yang mengerahkan tenaga. Pada lingkaran-lingkaran Thay kek itu ia menyelipkan tenaga Kioe yang Sin kang sehingga hawa panas yang murni menekan hawa dingin dari Hian beng Sin ciang.

Makin lama gerakan-gerakan Boe Kie jadi makin lancar. Ia mengerti bahwa kedua kakek itu adalah jago-jago yang jarang tandingannya dalam dunia. Sesudah merobohkan mereka, tak mudah ia bisa bertemu lagi dengan lawan yang setimpal, yang bisa digunakan sebagai kawan berlatih silat. Maka itu ia tidak tergesa-gesa.

Sesudah bertempur seratus jurus lebih, secara kebetulan waktu menengok ia melihat tubuh Tio Beng gemetaran dan hampir tak kuat menyangga tubuh Cie Jiak lagi. “Celaka!” ia mengeluh. “Cie Jiak kena pukulan Hian beng Sin ciang, yang ia latih adalah tenaga dingin. Tenaga dingin ditambah lagi dengan tenaga dingin yang sangat beracun, Beng moay juga kena akibatnya dan tak tahan lagi.”

Buru-buru ia menambah tenaga dengan pukulan-pukulan hebat, ia mencoba menindih Lok Thung Kek. Si kakek dapat menangkap maksudnya, sambil berkelit ia berseru, “Soetee! Berkelahi dengan siasat gerilya. Perempuan she Cioe itu sudah hampir mampus, jangan biarkan dia menolong.”

“Baik,” jawab Ho Pit Ong sambil melompat keluar dari gelanggang menjemput kedua pitnya dan kemudian menyerang dengan kedua senjata itu. Boe Kie mendongkol. Ia merangsek dan mengirim pukulan geledek yang disertai dengan sepuluh bagian tenaga Kie yang Sin kang sehingga napas Ho Pit Ong sesak. Tanpa memperdulikan keselamatan soeteenya, Lok Thung Kek mengeluarkan toyanya dan menikam pinggang Boe Kie dengan senjata itu.

Biarpun menggunakan senjata, Hian beng Jieloo tak bisa merobohkan Boe Kie tetapi dengan senjata, sedikitnya untuk sementara waktu mereka dapat mempertahankan diri.

Dilain pihak, dalam menghadapi senjata, Boe Kie menukar ilmu silat. Ia sekarang menggunakan Liong jiauw Kin nan chioe yang diturunkan oleh Kong seng Seng ceng (Liong jiauw Kin nan chioe, Silat cakar naga).

“Sungguh bagus Liong jiauwmu!” seru Lok Thung Kek. “Sebentar lagi dapat digunakan untuk menggali.”

“Menggali lubang?” tanya Ho Pit Ong.

Lok Thung Kek tertawa nyaring, “Ya, menggali lubang untuk mengubur Cioe Kauwnio,” jawabnya. Karena bicara, pemusatan tenaga si kakek terpecah. Mendadak Boe Kie menendang lutut kirinya, dia gusar dan lalu menyerang bagaikan angin dan hujan.

Sambil bertempur, Boe Kie menengok beberapa kali. Gemetar tubuh Cie Jiak dan Tio Beng makin hebat. “Beng moay, bagaimana?” tanyanya.

“Dingin luar biasa!” jawabnya.

Boe Kie terkesiap. Sesudah berpikir sejenak, ia mengerti sebabnya. Tak salah lagi, karena baik hati Tio Beng mengerahkan Lweekang dan coba membantu Cie Jiak untuk melawan hawa dingin. Tapi lantaran tenaga dalamnya masih rendah, sebaliknya dari berhasil ia sendiri diserang hawa dingin. Boe Kie segera menyerang sehebat-hebatnya untuk menjatuhkan lawannya secepat mungkin. Tapi Hian beng Jieloo menukar siasat. Mereka terus mundur dengan berpencaran dan menyerang balik kalo Boe Kie mencoba mendekati Cie Jiak dan Tio beng.

Boe Kie bingung. “Beng moay!” teriaknya. “Lepaskan Cioe Kauwnio!”

“Aku…aku…tak bisa!”

“Mengapa?”

“Punggungnya menempel keras di telapak tanganku,” ia bicara dengan gigi gemeretukan dan tubuh bergoyang-goyang.

Boe Kie jadi lebih bingung.

“Thio Kauwcoe,” kata Lok Thung Kek. “Cioe Kauwnio berhati kejam, ia mengirim hawa dingin ke tubuh Cocoe Nio nio. Cocoe Nio nio menghadapi bahaya, apa tak baik kita berdamai saja?”

“Berdamai bagaimana?”

“Kita hentikan dulu pertempuran ini. Kami akan mengambil dua jilid kitab yang berada pada Cioe Kauwnio sedang kau bebas untuk menolong Koencoe.”

Boe Kie mengeluarkan suara di hidung, ia tak dapat menyetujui usul itu. Ilmu silat Hian beng Jieloo sudah sangat tinggi. Jika memperoleh kedua kitab itu kepandaian mereka akan mencapai tingkat yang tak akan bisa ditaklukkan oleh siapapun juga. Ia menengok dan lihat muka Tio Beng yang putih berubah menjadi hijau, sedang parasnya menunjukkan penderitaan hebat. Ia mengerti bahwa ia tak boleh berpikir lebih lama lagi, tiba-tiba ia melompat mundur, mencekal telapak kanan si nona dengan tangan kirinya dan mengirim Kioe yang Cin khie.

“Serang!” teriak Lok Thung Kek. Sebatang tongkat dan dua poan-koan pit segera menghantam bagaikan hujan dan angin.

Begitu mendapat aliran Kioe yang Cin khie, Tio Beng yang darahnya sudah hampir membeku segera merasakan kehangatan yang sangat nyaman. Boe Kie mengerahkan seluruh tenaganya dan melawan dengan nekat. Tapi dengan cepat ia merasa tak tahan sebab ia harus menggunakan sebagian besar tenaga dalamnya untuk menekan hawa dingin Hian beng Sin ciang dari kedua kakek dan Kioe im dari Cioe Cie Jiak dan bersamaan itu ia harus menggunakan Lweekang untuk melayani dua jagao kelas utama. Sesudah bertempur beberapa lama, kaki celana di bagian lututnya dirobek dengan poan koan pit dan darah mulai mengucur. Ia terdesak dan menghadapi bencana. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh Lweekang dan berteriak memanggil Yo Siauw dan kawan-kawannya. Tapi di lain saat ia mendengar bentakan-bentakan Yo Siauw dan Hoan Yauw serta suara beradunya senjata. Ia tahu bahwa mereka pun dikepung musuh.

Karena kuatir datangnya bala bantuan, Hian beng Jieloo memperhebat serangan mereka. Sambil menggeram Lok Thung Kek mengirim tiga serangan berantai ke arah mata Boe Kie. Dengan telapak tangan Boe Kie berhasil menangkis serangan lawan, mendadak Ho Pit Ong menggulingkan diri di tanah dan menotok pinggangnya dengan poan koan pit kiri. Boe Kie tak keburu berkelit lagi, karena itu ia terpaksa mengerahkan Kian koen Tay lo ie utnuk memindahkan totokan itu, tapi karena si kakek menggunakan Lweekang yang sangat dahsyat, ia tidak bisa memastikan bahwa ia akan berhasil. “Tak!” pinggangnya tergetar tapi…heran!...ia tidak merasa sakit. Dilain detik ia mengerti bahwa totokan itu jatuh pada To liong to yang tergantung di pinggangnya. Dalam pertempuran, Boe Kie biasanya tidak menggunakan senjata. Paling banter ia menggunakan Seng hwee leng. Ia tak pernah membawa senjata sehingga ia sama sekali tak ingat bahwa sebatang golok mustika tergantung di pinggangnya.

Sekarang ia sadar dan girang, sambil membentak keras ia menendang dan Ho Pit Ong buru-buru mundur bagaikan kilat. Ia menghunus To liong to dan membabat tongkat Lok Thung Kek yang menyambar dada “Sret!” kepala menjangan tongkat itu putus dan jatuh di tanah.

“Celaka!” seru si tua.

Dua pit Ho Pit Ong menikam bersamaan dan sekali lagi Boe Kie membabat dengan To liong to. Hampir bersamaan dengan dua poan koan pit berubah menjadi empat potong. Semangat Boe Kie terbangun dan memutar golok mustika itu seperti titiran sehingga Hian beng Jieloo tidak berani mendekati lagi.

Dibawah perlindungan To liong to, sekarang Boe Kie bisa menggunakan seluruh Kioe yang Cin khie untuk menekan hawa dingin. Dalam beberapa saat saja hawa dingin beracun dari Hian beng Sin ciang yang mengeram dalam tubuh Tio Beng dan Cioe Cie Jiak sudah terusir semuanya menjadi bersih. Sesudah racun Hian beng Sin ciang musnah, tanpa diketahui Boe Kie, terjadi satu perkembangan baru. Apabila dua hawa “im” (dingin) dan “yang” (panas) bertempur dalam tubuh manusia, maka yang lebih kuat selallu memusnahkan yang lebih lemah. Demikianlah sesudah hawa Hian beng Sin ciang terusir, Kioe yang Cin khie lalu menekan tenaga Kioe im yang dimiliki Cie Jiak.

Sesudah mendapatkan Kioe im Cin keng yang disembunyikan dalam Ie thian kiam, Cie Jiak berlatih diam-diam secara tergesa-gesa. Karena kuatir diketahui Cia Soen dan Boe Kie, ia hanya berani berlatih di waktu malam dan karena waktu sudah mendesak, ia tak sempat mempelajari dasar-dasar kitab ilmu silat itu dan terpaksa memilih ilmu rendah yang lebih mudah dilatih diantaranya Kioe im Pek koet jiauw. Dulu jilid kedua Kioe im Cin keng dicuri oleh Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong (keduanya muruid Oey Yok Soe dari tangan Tong sia Oey Yok Soe). Apa yang dipelajari oleh kedua murid murtad itu juga Kioe im Pek koet jiauw. Dapat dimengerti bahwa ilmu yang dilatih tergesa-gesa tak bisa mempunyai dasar Lweekang yang kuat, begitu bertemu dengan lawan tangguh tenaga dalamnya akan segera tertindih. Setelah kena racun Hian beng Sin ciang, Cie Jiak lalu memasukkan hawa beracun ke dalam usaha mengusirnya dari tubuhnya. Sesudah Boe Kie menolong barulah ia merasa nyaman. Tapi baru saja ia mau melepaskan diri dari telapak tangan Tio Beng, semacam tenaga yang sangat kuat telah menyedot dan ia tak bisa melepaskan dirinya lagi. Tadi Tio Beng yang tak bisa melepaskan diri dari punggungnya tapi sekarang ia sendiri yang tak bisa memberontak diri telapak tangan Tio Beng. Ini sudah terjadi karena adanya perbedaan kekuatan tenaga.

Boe Kie terus mengirim Kioe yang Cin khie karena ia masih merasakan perlawanan hawa dingin yang kelaur dari telapak tangan Tio Beng. Ia hanya menduga bahwa racun Hian beng Sin ciang belum terusir semuanya. Ia tak tahu bahwa hawa dingin itu adalah Kioe im Cin khie dari Cie Jiak. Makin lama Kioe im Cin khie yang didapatkan Cie Jiak dengan susah payah makin berkurang. Cie Jiak mengeluh tapi ia tak berani buka suara sebab sekali bicara, ia akan muntah darah.

Untung juga, sesudah keadaan badannya pulih kembali, Tio Beng tertawa dan berkata, “Boe Kie Koko, aku sudah sembuh. Sekarang boleh kau layani kedua tua bangka itu!”

“Baiklah!” kata Boe Kie sambil menarik kembali tenaga dalamnya.

Cie Jiak seperti orang yang baru mendapat pengampunan. Sesudah tenaga menyedot hilang, ia merasa bahwa hawa racun Hian beng Sin ciang sudah terusir dari tubuhnya tapi tenaga dalamnya sendiri berkurang banyak. Satu dua detik ia mengawasi Boe Kie yang sedang memutar golok dan menyerang Hian beng Jieloo dengan hebatnya. Mendadak ia mementang lima jari tangannya yang lalu ditancapkan ke batik kepala Tio Beng.

“Aduh!” teriak nona Tio.

Totokan dan teriakan itu disertai dengan suara “krek” dari patahnya tulang. Yang patah adalah tulang-tulang jari tangan Cie Jiak yang segera kabur secepatnya.

Boe Kie terkesiap. Ia menengok dan berseru, “Beng moay….”

Si nona meraba-raba kepalanya dengan tangan gemetaran.

Boe Kie melompat mundur dan dengan tangan kanan memutar golok, ia meraba kepala Tio Beng dengan tangan kirinya. Ia merasa lega karena biarpun tangannya menyentuh darah yang basah lengket, tapi batok kepala nona Tio tidak mendapat kerusakan. “Beng moay, jangan takut!” katanya. “Hanya luka di kulit.”

Gagalnya serangan Cioe Cie Jiak dan patahnya jari-jari tangannya adalah karena di dalam tubuh Tio Beng masih terdapat Kioe yang Cin khie dan tenaga dalam Cie Jiak sudah berkurang banyak.

Sambil bertempur, Boe Kie merasa bahwa dengan menggunakan golok mustika itu biarpun menang, kemenangan itu bukan kemenangan gemilang. “Yo Cosoe! Hoan Yoe soe! Bagaimana keadaan kalian?” teriaknya.

“Tiga sudah roboh, masih ada tujuh,” jawab Hoan Yauw. “Kauwcoe tak usah kuatir!”

Mendengar jawaban yang disertai dengan Lweekang yang kuat. Boe Kie tahu bahwa keadaan mereka memang tak usah dikuatirkan, ia segera menyerahkan To liong to kepada Tio Beng dan kemudian memindahkan pukulan Ho Pit Ong ke arah lain dengan Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh. Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh adalah ilmu yang sangat sulit dan tak boleh digunakan secara sembarangan. Salah sedikit saja ilmu itu bisa membakar diri yang menggunakannya. Maka itulah, pada waktu mesti menolong Tio Beng dan Cie Jiak dari hawa dingin, biarpun keadaannya berbahaya ia tak berani menggunakan ilmu tersebut. Hian beng Jieloo adalah tokoh-tokoh kelas utama, Kian koen Tay lo ie tingkat rendah takkan berhasil terhadap mereka.

Sekarang sudah selesai menolong Tio Beng dan Cie Jiak, barulah ia berani menggunakan ilmu tersebut.

“Plak!” pukulan Ho Pit Ong pindah arah dan menghantam pundah Lok Thung Kek.

Lok Thung Kek terkejut. “Soetee, mengapa kau begitu?” tanyanya dengan gusar.

Ho Pit Ong orang yang otaknya tumpul dan dalam setiap urusan ia harus berpikir lama sebelum bisa menangkap artinya. Dalam kejadian ini ia merasa heran dan bingung biarpun di dalam hati ia tahu bahwa Boe Kie yang melakukannya. Ia berpendapat bahwa jalan satu-satunya untuk minta maaf dari soehengnya adalah menyerang musuh sehebat-hebatnya. Demikianlah ia segera menendang dengan seluruh tenaganya. Boe Kie mengibaskan tangan kirinya dan tendangan itu menyambar tan tian (di bawah pusar) Lok Thung Kek. Tan tian adalah pusat penting dalam tubuh manusia untuk mengerahkan hawa. Lok Thung Kek terkesiap. Secepat kilat ia berkelit dan membentak, “Soetee, apa kau gila?”

“Benar Ho Sianseng!” seru Tio Beng. “Bekuk soehengmu yang berdosa dan cabul! Ayahku akan memberi hadiah besar kepadamu.”

Boe Kie geli di dalam hati. Semula ia ingin menggunakan Kian koen Tay lo ie untuk menuntun serangan Ho Pit Ong ke arah Lok Thung Kek dan Lok Thung Kek ke arah Ho Pit Ong. Tapi sesudah mendengar perkataan Tio Beng, ia hanya menuntun pukulan-pukulan Ho Pit Ong ke arah Lok Thung Kek dan terhadapa Lok Thung Kek ia tetap melayani dengan Thay kek koen. “Ho Sianseng, kau tak usah kuatir,” katanya. “Kita berdua pasti bisa menumpas manusia she Lok ini. Jie lam ong akan mengangkat kau sebagai…sebagai…”

“Ho Sianseng!” Tio Beng menolong. “Pangkatmu sudah ada di sini. Ia merogoh saku, mengeluarkan segulung kertas dan mengibas-ngibaskannya. “Dengarlah!” teriaknya pula. “Kau akan dianugerahkan pangkat Thay goan Hoe kok Yang Wie Tay ciang koen.”

Saat itu pukulan Boe Kie menolak Lok Thung Kek ke samping kiri. Secara kebetulan selagi terhuyung si tua dipapaki oleh pukulan Ho Pit Ong yang arahnya dialirkan dengan Kian koen Tay lo ie sehingga kakek she Lok itu tergencet di antara dua pukulan yang menyambar dari kiri dan kanan.

Selama puluhan tahun Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong tak pernah berpisah dan mencintai seperti saudara kandung sendiri. Lok Thung Kek tak percaya bahwa adik seperguruannya akan menjual dia tapi sesudah lima kali beruntun diserang dengan pukulan yang membinasakan ia jadi kalap. “Binatang,” teriaknya. “Aku tak sangka karena pangka kau melupakan giekhie.”

Ho Pit Ong kebingungan. “Aku…aku…,” katanya dengan suara terputus-putus.

“Benar,” sambung Tio Beng. “Kau berbuat begitu sebab terpaksa, karena kau akan menjadi Hoe kok Yang Wie Tay ciang koen.”

Selagi si nona bicara, Boe Kie mengerahkan sepuluh bagian tenaganya. Begitu pukulan Ho Pit Ong menyambar, ia mengalihkan dengan Kian koen Tay lo ie dan “plak” pukulan itu jatuh tepat di pundak Lok Thung Kek. Lok Thung Kek balas memukul dan beberapa gigi Ho Pit Ong yang masih tinggal rontok semua. Sebagai seorang tua, Ho Pit Ong sangat menyayangi beberapa gigi itu sehingga dapatlah dimengerti kalau darahnya segera meluap. “Soeko! Kau keterlaluan,” bentaknya. “Aku memukul kau tanpa senjata.”

“Omong kosong!” teriak Lok Thung Kek.

Biarpun berkepandaian tinggi, Hian beng Jieloo tak mengenal Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh. Dalam silat Tionggoan memang terdapat ilmu “meminjam tenaga dan empat tahil memukul ribuan kati” tapi orang yang berkepandaian seperti mereka tak gampang-gampang bisa diserang ilmu begitu. Maka itu, Lok Thung Kek sama sekali tak pernah menduga bahwa serangan-serangan adik seperguruannya adalah karena perbuatan Boe Kie.

Di dalam hati Ho Pit Ong tahu bahwa Boe Kie lah yang main gila. “Setan! Kurang ajar kau!” cacinya.

“Benar, tak usah panggil dia soeko lagi!” menyambung Tio Beng. “Memang dia setan!”

Sesaat itu Boe Kie menarik pukulan Ho Pit Ong ke pipi Lok Thung Kek, yang begitu kena lantas saja bengkak

“Boe Kie Koko, mari kita bantu Yo Co Soe,” kata Tio Beng.

Melihat kalapnya Lok Thung Kek, Boe Kie tahu bahwa siasatnya sudah berhasil. “Ho Sian seng, aku serahkaan penjahat cabul itu kepadamu,” katanya seraya melompat keluar dari gelanggang pertempuran.

“Ho Sianseng,” kata Tio Beng, “sesudah kau membekuk soeko mu, kau boleh pinjam pit kip To Liong To selama sebulan.”

Sesudah Boe Kie dan Tio Beng berlalu, kedua kakek itu bertempur terus sampai kedua-duanya terluka. Ho Pit ong coba membersihkan diri, tapi Lok Thung Kek tak bisa percaya sehingga akhirnya mereka menjadi musuh.

Dengan mengikuti suara beradunya senjata, Boe Kie dan Tio Beng pergi ke tempat pertempuran Yo Siauw dan kawan-kawannya. Di atas tanah menggeletak lima mayat, Yo Siauw melayani tiga orang, Hoan Yauw dan Gan Hoan dia bertanding dengan seorang lawan. Antara lima musuh itu yang paling berat adalah lawannya Hoan Yauw. Meskipun berkepandaian tinggi, Hoan Yauw tidak bisa berbuat banyak dan hanya lebih unggul sedikit di dalam pukulan-pukulan. Boe Kie tidak turun tangan, ia hanya menonton. Beberapa saat kemudian Yo Siauw merobohkan seorang, melihat bahaya dua lawan Yo Siauw lantas kabur, diturut oleh lawannya Gan Hoan. Selagi musuhnya lari, Gan Hoan melepaskan pasir beracun dan orang itu sambil berteriak kesakitan lantas saja roboh binasa. Di lain saat hanyalah lawan Hoan Yauw yang masih berkelahi dengan mati-matian.

“Saudara, kulihat kau seorang gagah,” kata Hoan Yauw. “Lebih baik kau menyerah saja.”

“Apakah manusia yang menyerah kepada musuh masih bisa dinamakan orang gagah!” tanya orang itu dengan gusar.

“Benar,” kata Boe Kie seraya maju ke depan dan menyabet beberapa kali dengan To Liong To. Berbareng dengan sabetan-sabetan itu, di tengah udara berterbangan rambut manusia. “Hoan heng, lepaskan dia!” kata Boe Kie sambil tersenyum.

Sebab merasa dingin, orang itu mengusap kepala dan mukanya. Mendadak saja ia berdiri terpaku dengan mulut ternganga. Ternyata sebagian rambut dan jenggotnya telah terpapas habis. Ia menyoja kepada Boe Kie dan berkata, “Aku takluk dan rela menerima segala hukuman.”

Boe Kie tertawa. “Saudara boleh berlalu,” katanya.

Orang itu menghela nafas, memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.

“Apa mereka semua boesoe gedung Jie lam ong?” tanya Boe Kie kepada Tio Beng. “Siapa dia?”

“Dia pemimpin wie soe (pengawal) dari kakakku,” jawabnya. “Namanya, Kioejian koen Louw Sian Kek. Waktu ini dialah jago utama dalam gedung ayahku.” (Kioejian koen – silat si jenggot).

“Si jenggot jadi janggut licin,” kata Yo siauw sambil tertawa. “Rasanya, dia tidak bisa berdiam lebih lama lagi di gedung Ong hoe.”

Selagi mereka bicara, sejumlah pendeta Siauw lim dan anggota Beng kauw memburu ke tempat pertempuran Hian beng Jieloo. Melihat datangnya banyak orang, kedua kakek itu lantas berlalu sambil terus bertempur di sepanjang jalan.

Setibanya di kuil Siauw lim sie, Boe Kie memeriksa luka Tio Beng yang sama sekali tidak berbahaya. Mendadak Boe Kie ingat dan ia berkata, “Beng moay, secara kebetulan kau membawa kertas, sehingga Lok Tung Kek tidak bisa tidak percaya.”

Si nona tertawa manis. Ia merogoh saku, mengeluarkan segabung kertas tipis dan mengulap ulapkannya di muka Boe Kie. “Coba kau tebak kertas apa ini?” katanya.

Boe Kie tertawa. “Kalau kau yang suruh, seumur hidup aku takkan bisa menebak,” jawabnya.

Kertas itu terdiri dari dua gabung dan si nona lalu memecahnya dan menaruh dua gabung itu di kedua telapak tangannya.

Boe Kie mengawasi. Yang dilihat seperti kertas itu ternyata bukan kertas, tapi sutera setipis sayap tonggeret. Di atas lembaran lembaran sutera itu terdapat huruf huruf yang sangat halus.

Ia menjemput gabungan yang satu. Pada halaman muka terdapat tulisan “Boe Bok Ie soe” (kitab peninggalan Gak Hoei). Dalam kitab itu – lembaran lembaran kitab itu – lembaran lembaran sutera itu memang bukan lain daripada kitab – terdapat ilmu perang yang serba lengkap. Ia mengambil kitab yang lain, yang di atasnya tertulis “Kioe im cin keng” (kitab ilmu silat Kioe im). Kitab itu berisi macam-macam ilmu silat yang aneh-aneh dan pada halaman halaman terakhir terdapat pelajaran Kioe im pek koei jiauw, Coei sim ciang, dan sebagainya.

Boe Kie meneliti itu semua dengan jantung memukul keras. “Dari… dari mana… kau dapatkan ini?” tanyanya dengan suara terputus-putus.

“Selagi dia tidak bisa bergerak, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik,” jawabnya. Aku tak sudi belajar ilmu-ilmu beracun, sebaiknya kitab ini dibakar saja. Perlu apa ditinggalkan di dalam dunia untuk mencelakai manusia?” (dengan “dia” Tio Beng maksudkan Cioe Cie Jiak).

Boe Kie membalik-balik beberapa lembaran cinkeng. Ia mendapat kenyataan bahwa isinya sangat dalam dan tak bisa lantas dipecahkan olehnya. Di samping itu ia mendapat bukti bahwa bagian depan bukan terdiri dari ilmu silat keleas rendah. “Beng moay, kau salah,” katanya. “Kioe im cin keng berisi ilmu ilmu yang sangat tinggi. Kalau dipelajari dan dilatih menurut aturan, dalam sepuluh atau dua puluh tahun, orang akan memperoleh hasil menakjubkan. Memang juga, kalau orang tergesa-gesa dan mempelajari kulit-kulitnya saja yang memberi hasil cepat, ia akan memperoleh ilmu ilmu yang sifatnya beracun.” Ia terdiam sejenak dan kemudian berkata lagi. “Cie cie yang mengenakan baju kuning itu mempunyai ilmu silat yang sejalan dengan Cioe kauwnio. Tapi pukulan dan gerakannya memperlihatkan suatu ilmu yang lurus bersih. Tak bisa salah lagi, iapun mendapatkan ilmunya dari Kioe im cin keng.”

“Boe Kie koko,” kata Tio Beng. “Cie cie itu mengatakan di belakang gunung Ciong lim san terdapat kuburan mayat hidup, burung rajawali sakti dan pasangan pendekar tak muncul lagi dalam dunia Kangouw. Apa artinya ini?”

Boe Kie menggelengkan kepala. “Tak tahu,” jawabnya. “Nanti kita boleh tanya Thay soehoe.”

Sesudah beromong-omong lagi beberapa lama, karena musuh tidak membuat gerakan apa apa lagi, semua orang lantas pergi tidur.

Pada keesokan paginya, Boe Kie memanjat satu pohon besar untuk menyelidiki keadaan musuh. Ia mendapat kenyataan, bahwa jumlah musuh bertambah dengan kira-kira selaksa orang dan dilihat dari gerakannya, mereka sedang mempersiapkan gerakan baru. Di antara gerakan gerakan bendera dan serdadu, sayup sayup terdengar bunyi terompet yang tak berhenti hentinya. Persiapan tentara Goan itu telah membuat hati orang gagah jadi merasa keder.

“Beng moay…” kata Boe Kie sesudah turun dari pohon.

“Hem… ada apa?” tanya si nona.

“Tak apa apa… aku hanya ingin memanggil namamu.” Boe Kie sebenarnya ingin meminta pikiran gadis yang pintar itu dalam usaha mengundurkan musuh. Tapi di dalam saat itu ia ingat, bahwa Tio Beng tersebut adalah seorang puteri Mongol, yang karena cinta sudah mengkhianati orang tuanya sendiri. Kalau sekarang ia minta si nona menelurkan siasat untuk membasmi bangsanya sendiri, ia anggap permintaan itu agak keterlaluan.

Tapi dengan melihat paras muka Boe Kie dan nada suaranya, Tio Beng sudah bisa membaca isi hati pemuda itu. “Boe Kie koko, aku merasa terima kasih, bahwa kau mengerti kesukaranku,” katanya. “Dalam hal ini sebaiknya aku tidak bicara banyak.”

Dengan merasa masgul Boe Kie masuk ke kamarnya. Ia mengasah otak, tapi sesudah beberapa lama, belum juga ia mendapatkan jalan yang baik. Dalam pekatnya ia membalik lembaran kedua kitab yang diberikan Tio Beng. Sesudah Kioe im cin keng, tanpa sengaja ia membaca kalimat “terkepung di gunung Goe tauw san” dalam Boe bok lesoe. Ia kaget dan membaca terus.

Ternyata di bagian itu Gak Hoei menceritakan pengalamannya pada waktu ia dan tentaranya dikepung oleh tentara Kim yang berjumlah besar di gunung Goe tauw san, cara bagaimana ia menjalankan siasat menggeret musuh dari dalam dan luar sehingga mereka memperoleh kemenangan besar.

Tiba-tiba Boe Kie menepuk meja. “Langit membantu aku,” serunya. Biarpun keadaan Siauw sit san sekarang berbeda dari keadaan Goe tauw sasn dahulu, ia merasa ia masih bisa jalan untuk mendapatkan kemenangan.

Makin lama ia kelihatan makin gembira. “Gak Boe bok sungguh sungguh manusia luar biasa,” katanya seorang diri. “Dalam keadaan begitu berbahaya, seorang manusia tak akan berdaya lagi… Memang… memang ilmu perang seperti ilmu silat. Kita harus ada petunjuk dari orang pandai…” Ia mencelup telunjuknya di air teh dan membuat peta bumi di atas meja. Ia tahu, bahwa keadaan sangat berbahaya, tapi ia yakin bahwa dengan bantuan Tuhan, Siauw Lim sie masih dapat ditolong. Dalam perang, yang berjumlah kecil sukar melawan musuh yang berjumlah besar dan di dalam peperangan ini, ia tidak boleh mengadu kekuatan, tak boleh mengadakan pertempuran berhadap-hadapan.

Tak lama kemudian ia sudah mempunyai gambaran tegas tentang apa yang harus dilakukananya. Tanpa menyia nyiakan waktu, ia segera pergi ke Tay hiong Po thian dan minta Kong boen Hong Thio mengumpulkan para orang gagah.

Sesudah semua enghiong berkumpul, Boe Kie berkata dengan suara nyaring. “Sekarang ini tentara Tat coe berkumpul di kaki gunung dan mungkin sekali mereka akan segera menyerang pula. Walaupun kemarin kita mendapat kemenangan kecil dan sudah menurunkan semangat musuh, tapi kalau menyerang lagi dengan mati-matian, kita yang berjumlah lebih kecil sukar melawan mereka yang berjumlah sangat besar.” Ia berdiam sejenak, kedua matanya yang sangat tajam menyapu seluruh ruangan. “Aku ini adalah seorang yang tidak punya kemampuan, tapi atas kecintaan kalian sudah mengangkat aku sebagai Boe lim Beng boe dan untuk sementara waktu, aku terpaksa menerima keangkatan itu,” katanya pula. “Hari ini kita harus bersama-sama membasmi musuh. Demi kepentingan kita beramai-ramai, kuminta kalian suka mentaati segala perintah.”

Pidato pendek itu disambut dengan sorak sorai gegap gempita. Semua orang berjanji akan turut segala perintah Beng coe.

Boe Kie girang. “Terima kasih!” katanya. “Nah, marilah kita mula. Gouw Kin Co!”

Begitu namanya dipanggil, pemimpin Swie kim kie itu maju dan memberi hormat dengan membungkuk.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar