Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 30
Jilid 25
Boe Kie yang dikuatirkan
keselamatannya jika berada lama-lama di lembah Ouw-tiap-kok sudah menyatakan
kesediaannya untuk ikut menyingkir dari lembah itu bersama-sama Kie Siauw Hoe
dan puterinya.
"Boe kie," kata Kin
Siauw Hoe, "bila kau mau ikut dengan aku, kita boleh jalan bersama sama.
Aku sendiri akan segera pergi menemui soehoe ke Go bie san. Kalau nasib baik
dan beliau tidak mendengar hasutan Soecieku, maka untukmu masih ada sedikit
harapan hidup karena beliau memang mempunyai niatan untuk menurunkan semua
kepandaiannya kepadaku, bahkan akan mengambil aku sebagai ahil warisnya.
Manakala niatan itu dilaksanakan, beliau terutama tentu akan menurunkan Go bie
Kioe yang kang kepadaku. Selanjutnya aku bisa ajarkan ilmu itu kepadamu. Dengan
memiliki Go bie Kioe yang kang, kau bisa menggabungkannya dsngan Siauwlim dan
Boe tong Kioe yang kang sehingga rasanya racun dingin Hian beng Sin ciang bisa
dengan gampang terusir keluar dari badanmu. Tapi, aih..., sesudah aku melakukan
perbuatan yang tidak panta, mana aku ada muka untuk bertemu lagi dengan Soehoe?
Mana bisa belia mengangkat aku menjadi ahli warisnya lagi?"
Semula sang bibi bicara dengan
semangat berapi-api karena memikiri penyakit yang diderita Boe Kie. Tapi,
manakala teringat olehnya akan dirinya yang telah ternoda, ia jadi tampak
bermuram durja.
Melihat paras sang bibi yang
sangat berduka, Boe Kie segera menghibur: "Kie Kouw kouw, kau tak usah
bersedih. Ouw Sinshe mengatakan bahwa paling lama aku hanya bisa hidup setahun
lagi. Akupun sering memeriksa keadaan badanku dan aku yakin, bahwa apa yang
dikatakan Ouw Sinshe bukan omong kosong. Andaikata gurumu mengajar Go bie Kioe
yang kang kepadamu, kurasa kaupun tak akan keburu menolong aku. Memang benar
juga, jalan yang paling baik adalah kita menyingkir sekarang juga. Tapi dalam
cara mengobati lukamu, masih ada beberapa bagian yang belum begitu terang
bagiku. Untuk itu, aku masih perlu minta petunjuk Ouw Sinshe,"
SiauwHoe tertawa dan menanya:
"Apa tak bisa jadi ia akan sengaja memberi petunjuk yang salah. Kau tidak
boleh lupa, bahwa ia sudah berusaha untuk meracuni aku."
"Tidak, kurasa ia tak
akan berbuat sedemikian," membantah Boe Kie. "Sebegitu jauh,
obat-obat atau cara mengobati yang diberikan oleh Ouw Sinshe, sangat mustajab
dan tepat. Disamping itu, akupun dapat membedakan jika ia sengaja memberikan
obat yang salah. Dan.... inilah justeru yang aku tidak mengerti!"
Sesaat itu, Poet Hwie sudah
kembali dengan kepala memakai topi rangkaian bunga. Mereka bertiga sudah
mempunyai topi, perundinganpun sudah selesai dan mereka lalu kembali kerumah
Ouw Ceng Goe.
Malam itu, Boe Kie tak bisa
pulas lagi. Kira kira tengah malam Ouw Ceng Goe menggerayang lagi kegubuk Siauw
Hoe, gubuk Kan Ciat dan kawan-kawannya untuk menaruh racun.
Tiga hari telah lewat tanpa
terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena tidak pernah kena racun lagi, kesehatan
Siauw Hoe pulih dengan cepat. Keadaan Sie Kong Wan dan yang lain-lain masih
tetap seperti biasa, sebentar mendingan, sebentar hebat. Beberapa orang sudah
mulai mengeluh dan mengatakan, bahwa kepandaian Boe Kie masih terlalu rendah,
tapi si bocah tidak menggubris.
Malam itu, sambil berbaring
dipembaringan, Boe Kie berkata dalam hatinya: "Sesudah lewat malam ini,
aku sudah mengikut Kie Kouw-kouw menyingkirkan diri. Karena racun dalam tubuhku
tak bisa dipunahkan, lebih baik aku tidak pulang ke Boe tong, supaya Thay
soe-hoe dan paman paman jangan berubah hati. Aku akan pergi ketempat yang sepi
dan mati dengan diam-diam."
Mengingat bahwa ia akan segera
meninggalkan Ouw tiap kok, hatinya terharu. Walaupun Ceng Goe beradat aneh, ia
telah memperlakukannya baik sekali dan selama kurang lebih dua tahun, orang tua
itu menurunkan banyak ilmu ketabiban kepadanya. Sesudah berkumpul begitu lama,
di dalami hatinya sudah bersemi rasa cinta terhadap orang tua itu.
Maka itu, perlahan-lahan ia
bangun, dan pergi kekamar si tabib malaikat dan menanyakan kesehatan orang tua
itu dari luar kamar. Tiba-tiba ia ingat bahwa Kim Hoa Coe jin akan segera
menyateroni. Apa Ouw Sinshe mampu melawan perempuan jahat itu? Ia merasa
kasihan dan segara berkata "Ouw Sinshe, kau sudah berdiam di Ouw tiap kok
begini lama, apa kau tidak merasa sebal? Mengapa kau tidak mau pergi pelesir
ketempat lain?"
Ceng Goe terkejut. "Aku
sedang sakit, mana bisa aku pergi ketempat lain?" jawabnya.
"Tapi Sinshe dapat
mengunakan kereta," kata pula Boe Kie. "Dengan menutup jendela kereta
dengan tirai supaya tidak masuk angin, kau bisa pergi kemanapun juga"
Tiap kok Ie sian menghela
napas. "Anak hatimu mulia sekali," ia memuji. "Dunia sedemikin
lebar, dimanapun sama saja. Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari ini?
Bagaimana dadamu? Apakah hawa dingin masih bergolak di tantianmu?"
"Makin lama hawa itu
makin bertambah", jawabnya. "Sudahlah! Biarkan saja. Aka toh sudah tak
bisa ditolong lagi."
Untuk beberapa saat Ceng Goe
tidak mengatakan suatu apa. "Anak, sekarang aku ingin memberi obat yang
akan bisa menolong jiwamu," katanya. "Gunakanlah Tong kwie, Wan cie,
Seng tee, Tok ho dan Hong hong, lima macam. Ditengah malam, minumlah obat itu
cepat-cepat, dengan menggunakan Coan san ka sebagai penuntun."
Boe Kie kaget. Lima macam
bahan obat itu sama sekali tiada sangkut pautnya dengan penyakit yang
dideritanya. Bukan saja begitu, sifat kelima macam bahan obat itu malah berbahaya
untuk dirinya. Ditambah dengan Coan san ka, bahaya itu jadi makin besar.
"Sinshe, berapa
timbangannya?" tanyanya dengan rasa heran.
"Jangan rewel!"
bentak Ceng Goe dengan suara gusar. "Aku sudah memberitahukan kau. Sudah
cukup. Pergi!"
Si bocah gusar. Semenjak
berdiam di Ouw tiap kok, orang tua itu memperlakukannya secara sopan-santun dan
mereka sering kali merundingkan soal ketabiban sebagai sahabat. Tak dinyana,
hari ini Ceng Goe berlaku begitu kasar terhadapnya. Dengan rasa mendongkol, ia
kembali kekamarnya.
Sambil bergulik-gulik
dipembaringan ia berkata di dalam hati, "Dengan baik hati aku menasehati
supaya kau menyingkir, tapi aku berbalik di hina olehmu. Hm ! ... Kau juga coba
memberi obat yang tidak-tidak kepadaku. Apa kau kira aku akan kena diakali?".
Makin lama hatinya jadi makin
panas. Ia tak mengerti mengapa si tua begitu berani mati dan memberikannya
resep obat yang begitu gila-gilaan. Beberapa lama kemudian, ia merasa lelah dan
maramkan kedua matanya. Mendadak, dalam keadaan layap layap, serupa ingatan
berkelebat dalam otaknya. Ah! Tong kwie, Wan cie, resep tanpa diberi timbangan
obatnya... Dalam dunia tak ada resep yang sedemikian. Aha! Apa tak bisa jadi
Tong kwie dimaksudkan kay tong kwie kie? Mungkin! (Tong kwie adalah namanya
serupa obat. Tapi "Tong kwie" atau "kay tong kwie kie" juga
berarti "harus pulang" )
Sesudah memikir beberapa saat,
tiba-tiba ia melompat bangun dan berkata dalam hatinya. "Benar! Resep itu
mengandung maksud lain. Dengan Wan cie, ia rupanya ingin menyuruh aku 'cie cay
wan hang' (ingatan berada ditempat jauh) atau dengan lain perkataan, ia ingin
aku 'ko hoei wan coew' (pergi ketempat yang jauh). Ia menyebutnya Seng tee
(tanah hidup) dan Tok ho (hidup sendirian). Mungkin sekali, Seng tee berarti
'Seng louw' (jalanan hidup) dan sesudah mengambil jalanan hidup barulah aku
bisa 'hidup sendirian'. Apa arti Hong hang (menjawab angin)? Ouw Sin she
maksudkan supaya aku menutup rahasja, jangan sampai 'membocorkan angin'."
"Obat itu harus diminum
cepat-cepat diwaktu tengah malam buta dengan menggunakan Coan san ka sebagai
penuntun. 'Cepat cepat', 'tengah malam buta', 'Coan san ka' .... Apakah Ouw
Sinshd maksudkan, bahwa aku harus cepat-cepat kabur ditengah malam buta dengan
menembus jalanan gunung dan tidak boleh mengambil jalanan raya? Tak salah!
Itulah tentu maksud yang sebenarnya." (Coan san ka berarti tenggiling.
Arti huruf`-huruf itu sendiri ialah 'menembus gunung').
Berpikir begitu, ia segera
menghampiri pintu. Sebelumnya membukanya, ia merendek. "Sekarangi musuh
belum tiba, tapi mengapa Ouw Sinshe tidak memberitahukan aku secara
teang-terangan?" tanyanya didalam hati. "Mengapa ia mengeluarkan
cangkeriman itu? Kalau aku tidak dapat menebaknya, bukankah aku bisa celaka?
Ah! Sekarang sudah lewat tengah malam, aku mesti menyingkir secepat
mungkin."
Walaupun baru berusia belasan
tahun, Boe Kie sudah mempunyai jiwa ksatria. Ia ingin segera menyingkir, tapi
ia memikiri nasib Ouw Sinshe. Di lain saat ia ingat, bahwa si tabib malaikat
tentu lah juga sudah mempunyai pegangan untuk melawan musuh karena sesudah tahu
bakal datangnya musuh itu, ia tetap tidak mau menyingkir. Tapi biar
bagaimanapun juga, meskipun Ceng Goe sudah memesan supaya ia menutup rahasia,
ia tak bisa tidak menolong Siauw Hoe dan puterinya.
Perlahan-lahan ia keluar dari
kamarnya dan pergi ke gubuk Siauw Hoe. Ia menepuk-nepuk tangan seraya memanggil
manggil dengan suara perlahan. "Kie Kouwkouw .... Kie Kouwkouw .....
bangun!"
Siauw Hoe tersadar
"Siapa? Boe Kie ?" tanyanya.
Sesaat itu, sekonyong konyong
si bocah merasa sambaran angin yang sangat halus dipunggungnya dan baru saja ia
memutar badan, pundak dan pinggangnya sudah kesemutan dan ia roboh tanpa
berkutik lagi. Gerakan penyerang itu cepat luar biasa. Di lain saat, iapun
sudah merobohkan Siauw Hoe dengan totokan. Dengan bantuan sinar bulan sisir,
Boe Kie melihat, bahwa orang itu mengenakan topeng kain hijau.
Ouw Ceng Goe!
Sedang berbagai pertanyaan
berkelebat-kelebat dalam otak Boe Kie, tangan kiri si tabib malaikat sudah
mencengkeram pipi Siauw Hoe untuk memaksanya membuka mulut, sedang tangan
kanannya coba memasukkan sebutir yo wan.
Sebelum pel itu masuk kedalam
mulutnya, Siauw Hoe sudah mengendus bebauan yang sangat tak enak. Ia mengerti,
bahwa pel itu adalah racun yang sangat hebat, tapi ia tidak berdaya, kaki
tangannya tidak bisa bergerak lagi.
Dengan sorot mata putus
harapan, ia mengawasi puterinya. "Poet jie !" ia mengeluh di dalam
hati. "Ibumu bernasib celaka, kaupun jelek peruntungan. Mulai dari
sekarang, ibumu tak bisa merawatmu lagi."
Tiba tiba pada detik yang
sangat berbahaya, Boe Kie melompat bangun. Orang itu kaget dan menengok, tapi
punggungnya sudah dihantam Boe Kie dengan sekuat tenaga.
Ternyata, sesudah ditotok
jalanan darah pada pundak dan pinggangnya, untuk sementara Boe Kie rebah dengan
tidak berdaya. Tapi, sebagai ahli waris Cia Soen, selang beberapa saat, ia
berhasil membuka jalan darahnya dengan menggunakan Lweekang. Ia melompat bangun
dan pada detik yang sangat genting, ia menghantam jalanan darah Kin soe hiat
dipunggung Ouw Ceng Goe dengan pukulan Sin liong Pa bwee, yaitu salah satu
jurus dari Hang liong Sip pat ciang. Meskipun ia hanya mengenal bagian kulit
dari pukulan itu, tapi karena jurus tersebut adalah jurus yang sangat luar
biasa dan juga sebab Ouw Ceng Goe sama sekali tidak menduga bakal dibokong cara
begitu, maka, begitu lekas pukulan Boe Kie mengenai Kin soe hiat, ia roboh
tanpa mengeluarkan suara.
Berbareng dengan robohnya,
topeng kain tersingkap separuh dan begitu melihat, Boe Kie mengeluarkan
teriakan tertahan. "Ah !"
Mengapa?
Karena muka itu bukan muka Ouw
Ceng Goe, tapi muka seorang wanita setengah tua yang berparas cantik.
"Siapa kau?" bentak
Boe Kie.
Sesudah terpukul, wanita itu
merasakan kesakitan hebat, mukanya pucat pasi, sehingga ia tidak dapat menjawab
pertanyaan si bocah.
Buru-buru Boe Kie membuka
jalanan darah Kie Siauw Hoe dan berkata. "Kie Kouwkouw, tempelkan ujung
pedangmu didadanya, supaya dia tidak bisa berkutik. Aku mau menengok Ouw
Sinshe." Ia berkuatir akan keselamatannya Ouw Ceng Goe. Ia menduga bahwa
wanita itu adalah konco Kim hoa Coe jin. Jika perempuan jahat itu keburu
datang, maka dia dan Siauw Hce serta puterinya pasti akan celaka.
Dengan lari seperti terbang ia
pergi ke kamar Ceng Goa dan tanpa banyak rewal, ia memukul pintu yang lantas
saja terpentang.
"Ouw Sinshe!"
teriaknya, tapi tak ada jawaban. Ia segera mengeluarkan bahan api dan menyulut
lilin. Kasur terbuka, tapi orang tua itu tak kelihatan bayang - bayangannya.
Melihat kamar itu kosong, hatinya agak lega, karena ia semula menduga bahwa Ouw
Ceng Goe sudah dibinasakan. "Ouw Sinshe rupanya diculik musuh,"
pikirnya.
Baru saja ia mau keluar, di
bawah ranjang tiba tiba terdengar suara helaan napas. Ia segera mengangkat
ciak-tak (tempat tancapan lilin) dan menyuluhi kolong ranjang. Ia girang bukan
main, karena melihat Ouw Ceng Goe rebah disitu dengan kaki tangan terikat.
"Ouw Sinshe, jangan khawatir!" katanya dan lalu merangkak ke kolong
ranjang untuk menyeretnya keluar.
Ternyata, orang tua itu tidak
bisa bicara sebab mulutnya disumbat dengan buah toh dan Boe Kie segera mengorek
keluar buah itu. Waktu mau membuka ikatan, ia mendapat kenyataan, kaki tangan
Ceng Goe diikat dengan tambang urat kerbau, sehingga ia tidak dapat
memutuskannya dan lalu mecari pisau.
"Mana perempuan
itu?" Tanya Ceng Goe selagi Boe Kie mau memotong tambang.
"Jangan kuatir, ia sudah
ditakluki dan tak akan bisa lari," jawabnya.
"Jangan putuskan dulu
tambang ini!" Kata Ceng Goe tergesa. "Lekas bawa dia kemari. Lekas
kalau terlambat, aku kuatir tak keburu lagi."
Boe Kie heran. "Mengapa
begitu?" tanyanya
"Lekas bawa dia
kemari!" bentak orang tua "Tidak!.... Begini saja. Lebih dulu,
berikan padanya tiga butir Goe hong Hiat ciat tan. Ambillah dari laci ketiga.
Lekas...! Lekas .." Ia berkata begitu dengan paras muka bingung dan pucat.
Boe Kie tahu, bahWa Goe hong
Hiat ciat tan adalah pel untuk memunahkan racun dan dibuat dengan menggunakan
macam-macam bahan yang sangat mahal harganya. Untuk memunahkan racun yarg
sangat hebat, sebutir saja sudah lebih dari cukup. Tapi Ouw Ceng Goe
menyuruhnya untuk memberikan tiga butir. Siapa wanita itu?
Ia heran tak kepalang, tapi
melihat sikap orang tua itu, ia tidak berani menanya melit-melit. Buru buru ia
mengambil pel itu dan berlari-lari ke gubuk Siauw Hoe.
"Lekas telan!"
bentaknya sambil menyodorkan tiga butir Goe hong Hiat ciat tan kepada
tawanannya.
"Pergi! Aku tak perlu
dengan pertolonganmu!" teriak wanita itu. Begitu mengendus bau Goe hong
Hiat ciat tan, ia lantas saja mengetahui, bahwa Boe Kie datang dengan membawa obat.
"Ouw Sinshe yang menyuruh
aku membawa obat ini," kata Boe Kie dengan mendongkol.
"Pergi!...
pergi!..pergi....!" teriak pula wanita itu. Sesudah kena pukulan Boe Kie,
teriakannya lemah sekali.
Si bocah bingung dan hanya
bisa menebak-nebak. Ia menduga, bahwa waktu mengikat Ceng Goe wanita itu kena
senjata racun. Untuk korek keterangan mengenal musuhnya, Tiap kok Ie sian
rupanya sengaja memberi obat pemunah kepadanya. Memikir begitu, ia lantas saja
menotok jalanan darah Kian tin hiat, sehingga wanita itu tak bisa melawan dan
kemudian memasukkan tiga butir pel itu kedalam mulutnya.
Karena suara ribut-ribut, Poet
Hwie mendusin dan mengawasi wanita itu dengan perasaan heran.
"Kouw-kouw mari kita membawa
dia kepada Ouw Sinshe," kata Boe Kie. Mereka lantas saja mencekal tangan
wanita itu yang lalu diseret ke kamar Tiap kok Ie sian.
Begitu mereka masuk, Ouw Ceng
Goe menanya "Sudah makan obat?"
"Sudah," jawab Boe
Kie.
Paras muka Ceng Goe jadi lebih
tenang dan Boe Kie segera memotong tambang yang mengikat kaki tangannya.
Sesudah kaki tangannya merdeka, Tian kok Ie sian segera menghampiri wanita itu,
membuka kelopak matanya dam memegang nadinya.
"Eh...eh!" katanya
dengan suara kaget, "Mengapa kau mendapat luka? Siapa yang sudah melukakan
kau?"
Wanita itu menjebi.
"Tanya muridmu!" bentaknya.
Ouw Ceng Goe memutar badannya
dan menanya Boe Kie : "Apa kau yang memukul?"
"Benar," jawabnya,
"waktu dia mau....."
Plok! Plok!
Orang tua itu menggaplok Boe
Kie keras keras, sehingga mata si bocah berkunang kunang.
Siauw Hoe menghunus pedang dan
membentak: "Kurang ajar!" Tapi, tanpa menghiraukannya, Ceng Goe lalu
menanya wanita itu: "Bagaimana rasanya dadamu? Aku pasti akan menyembuhkan
kau." Sikap dan perkataannya berbeda jauh, bagaikan langit dan bumi dengan
kebiasaan Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe. Tapi si wanita tetap tidak mengubris
dan terus bersikap tawar.
Dengan rasa heran yang sangat
besar, Boe Kie mengawasi kejadian itu sambil mengusap-usap pipinya yang
bengkak.
Dengan sikap menyayang Tiap
kok Ie sian lalu membuka jalanan darah si wanita, mengurut-urutnya, mengambil
beberapa macam daun obat yang lalu dimasukkan kedalam mulut wanita itu,
memondongnya dan menaruhnya diatas pembaringan, akan kemudian menyelimutinya
dengan selimut tebal. Semua itu dilakukan si-tua secara lemah lembut dan penuh
kecintaan.
Boe Kie menggeleng-gelengkan
kepala. Benar benar otaknya pusing.
Sesudah berdiri beberapa saat
didepan pembaringan, Ceng Goe berkata dengan suara halus: "Sekarang selain
racun, kaupun mendapat luka. Jika aku dapat menyembuhkan, kita jangan
menjajal-jalal kepandaian lagi."
Wanita itu tertaWa. "Apa
artinya luka ini?" katanya. "Tapi apakah kau tahu, racun apa yang
ditelan olehku? Jika kau bisa menyembuhkan aku, aku akan mengaku kalah. Hm!
.... Tetapi belum tentu kepandaian Ie sian (tabib malaikat atau tabib dewa)
bisa menandingi kepandaian Tok sian (si dewi racun)." Sehabis berkata
begitu, ia bersenyum dan senyumnya itu menggairahkan.
Dalam usia belasan tahun, Boe
Kie belum mengerti soal percintaan. Tapi biarpun begitu, ia bisa merasakan,
bahwa diantara kedua orang tua itu terdapat kasih sayang yang tiada batasnya.
"Semenjak sepuluh tahun
berselarg, aku sudah mengatakan, bahwa Ie Sian tak akan bisa menandingi Tok
sian." kata Ceng Goe. "Tapi kau tak percaya. Kau terlalu suka
menjajal ilmu. Aku sungglth tidak mengerti, mengapa kau begitu gila sehingga
kau meracuni diri sendiri. Sekarang aku mengharap, bahwa Ia sian akan menang
dari Tok Sian. Jika aku gagal, akupun tak sudi hidup sendirian didalam
dunia."
Wanita itu bersenyum pula.
"Jika aku meracuni orang lain, kau bisa berlagak kalah." katanya.
"Ha ha!... Dengan meracuni diri sendiri, kau tentu akan mengeluarkan
seantero kepandaianmu."
Ceng Goe mengusap-ngusap
rambut wanita itu dan berkata deagan suara nyaring: "Hatiku sangat
berkuatir. Sudahlah ! Jangan kau bicara banyak banyak. Meramkan matamu dan
mengaso. Tapi ingatlah. kalau dengan diam-diam kau mengerahkan Lweekang untuk
mencelakakan diri sendiri, kau berbuat curang dalam pertandingan ilmu
ini."
"Aku tidak begitu
rendah," kata wanita itu sambil tertawa. Ia segera memeramkan kedua
matanya dan pada bibirnya tersungging senyuman.
Untuk beberapa saat, kamar itu
sunyi-senyap. Siauw Hoe dan Boe Kie menyaksikan itu semua dengan mata
membelalak. Tiba-tiba Tiap kok Ie sian memutar badan dan menyoja kepada Boe
Kie. "Saudara kecil," katanya, "dalam kebingungan aku telah
berbuat kesalahan terhadapmu. Aku harap kau sudi memaafkan."
"Sedikitpun aku tidak mengerti,
apa artinya ini semua," kata Si bocah dengan mendongkol.
Sekonyong-konyong si tua
mengangkat tangan kanannya dan menggapelok dua kali pipi seniri keras-keras.
"Saudara, kecil," katanya Pula. "Kau adalah tuan penolongku.
Hanya karena aku sangat memikiri keselamnatan isteriku, maka aku sudah berbuat
kedosaan terhadapmu."
"Dia..... dia
isterimu?" menegas si bocah dengan suara heran.
Ceng Goe mengangguk,
"Benar, dia isteriku!" jawabnya.
Melihat sikap orang tua itu
dan mendengar bahwa wanita itu adalah isterinya, semua kedongkolan Boe Kie
lantas menghilang.
Ceng Goe mengambil kursi dan
lalu mempersilakan Siauw Hoe dan Boe Kie duduk, "Kalian tentu merasa heran
melihat kejadian dihari ini." katanya, "Baiklah! Aku akan
menceritakan latar belakangnya tanpa tedeng tedeng. Isteriku seorang she Ong
namanya Lan Kouw. Kami berdua adalah saudara seperguruan. Pada waktu kami masih
berada dalam rumah perguruan, disamping belajar ilmu silat, aku mempelajari
ilmu ketabiban, sedang dia mempelajari Tok soet (ilmu menggunakan racun).
Menurut pendapatnya, tujuan belajar ilmu silat adalah untuk membunuh orang dan
tujuan Tok soet juga untuk membunuh orang. Boe soet (Ilmu silat) dan Tok soet
merupakan dua macam ilmu yang berdiri berendeng. Maka itu, jika seorang mahir dalam
Boe soet dan Tok soet, maka kepandaiannya bertambah dengan satu kali lipat.
Ilmu ketabiban adalah untuk menolong manusia, sehingga pada hakekatnya, ilmu
ketabiban dan ilmu silat bertentangan satu sama lain. Itulah jalan pikiran
isteriku. Tapi karena bakatku terletak dalam ilmu ketabiban, aku tak dapat
mengubah kesukaan itu."
"Meskipun apa yang
dipelajari kami berdua, perhubungan kami sangat erat dan diantara kami telah
timbul perasaan cinta. Belakangan, Soehoe telah menikahkan kami berdua.
Perlahan-lahan nama kami mulai terkenal dalam dunia kangouw, sehingga banyak
orang memberi gelaran Ie Sian kepadaku dan julukan Tok Sian kepada isteriku.
Kepandaiannya dalam soal racun sungguh-sungguh lihay. Ia sudah melebihi
kepandaian Soehoe sendiri dan mungkin sekali didalam dunia sukar dicari
tandingannya. Bahwa dia telah medapat gelaran Sian atau Dewi, merupakan bukti
nyata dari kepandaiannya.
"Dasar aku yang tolol,
yang bertindak tanpa dipikir lagi. Berapa kali isteriku telah meracuni orang,
dan orang itu telah datang kepadaku untuk meminta pertolongan. Tanpa memikir
panjang aku segera menolong mereka. Pada waktu itu hatiku malah merasa senang.
Sedikitpun aku tidak merasa bahwa tindakanku itu sangat menyinggung perasaan
isteriku. Aku sama sekali tak ingat, bahwa jika menyembuhkan orang yang
diracuni olehnya, maka itu berarti bahwa kepandaian Ie sian adalah lebih unggul
dari pada Tok sian"
Siauw Hoe menggeleng-gelengkan
kepala dan menghela napas. Sepasang suami isteri itu benar benar manusia aneh.
Sementara itu Ceng Goe
melanjutkan penuturannya. "Isteriku sangat mencintai aku. Di dalam dunia
sukar dicari tandingannya. Tapi aku sendiri? Dengan di dorong oleh napsu mau
menang, berulang kali aku menyinggung perasaannya. Cobalah kalian pikir.
Meskipun dia patung, satu waktu dia bisa habis kesabarannya. Akhirnya aku
tersadar. Aku bersumpah, bahwa aku tak akan menolong lagi orang yang telah
diracuni olehnya. Lantaran begitu, lama-lama orang memberi gelaran Kian sie
Poet kioe atau melihat kebinasaan tak sudi menolong padaku. Melihat aku
berubah, isterikupun merasa senang. Tapi baru saja beberapa tahun aku mengambil
jalan yang benar, muncullah peristiwa adik perempuanku."
"Kehormatan adikku telah
dilanggar oleh bangsat Sian Ie Thong dari Hwa san pay dan akhirnya binasa dalam
tangannya. Tapi, samoai pada detik mau menghembuskan napasnya yang penghabisan,
adikku masih mencintai bangsat itu. Pesannya yang terakhir supaya aku berjanji,
bahwa selama hidup aku akan menolongnya, jika ia memerlukan pertolongan. Karena
melihat adikku tidak akan mati dengan mata meram jika aku tidak meluluskan
permintaannya, maka mau tidak mau, dengan hati penasaran, aku terpaksa
memberikan janjiku itu."
"Diluar tahuku, isteriku
telah menaruh racun yang sangat hebat dibadan Sian Ie Thong. Racun itu yang
jalannya sangat perlahan, akan merusak seluruh tubuh bangsat yang sesudah
menderita hebat selama tiga tahun, akan mampus dengan dagingnya membusuk. Sian
Ie Tong mengetahui janjiku yang diberikan kepada adikku. Begitu melihat
keadaannya berbahaya, ia segera meminta pertolongan kepadaku. Hai!.. Otakku
benar-benar pusing. Kalau aku menolong, aku menyinggung isteri sendiri. Kalau
tidak menolong aku melanggar janji."
"Sian Ie Tong adalah
Ciangboenjin Hwa san pay. Ilmu silatnya tinggi dan dalam kalangan kangouw, ia
dikenal sebagai seorang pendekar," kata Siauw Hoe. "Sungguh tak
dinyana dia sebenarnya manusia rendah. Ouw Sinshe sesudah adikmu binasa dalam
tangannya, kaupun tak perlu menolong dia. Apa pula adikmu yang sudah meninggal
dunia tidak tahu lagi urusan itu."
"Tidak!" membantah
Boe Kie. "Kie Kouwkouw, kau salah. Roh seorang yang sudah meninggal dunia
masih bisa mengetahui apa yang terjadi didalam dunia," Waktu mengatakan
begitu ia ingat kedua orang tuanya. Ia mengharap supaya roh ayah dan ibunya
masih tetap berada dilam baka dan nanti kalau ia sendiri menginggal dunia, ia
akan bisa berkumpul lagi dengan kedua orang itu.
Tiap kok ie sian menghela
napas. "Apa yang terjadi dialam baka tidak diketahui oleh manusia,"
katanya.
"Pada waktu itu, jalan
pikiranku adalah begini: jika aku berdosa terhadap isteriku, dialam kemudian
aku masih dapat memperbaikinya. Tapi jika aku melanggar janji ... hai!...
Selama hidupnya, adikku selalu menderita... Bagaimana aka tega untuk menyakiti
rohnya?"
"Demikianlah, dengan menggunakan
seluruh kepandaian, aku akhirnya berhasil menyembubkan sibangsat Sian Ie thong.
Isteriku tidak ribut-tibut lagi, ia hanya berkata dengan suara dingin: Bagus.
Kepandaian Tiap kok ie sian Ouw Ceng Goe benar-benar tinggi. Tapi Tok Sian Ong
Lan Kauw tak sudi menakluk. Sekarang marilah kita menjajal ilmu, untuk mendapat
keputusan, Ie Sian atau Tok sian yang lebih tingggi! Mati matian aku memohon
maaf, tapi ia tidak meladeni."
"Beberapa tahun isteriku
memperdalami ilmunya dan telah maracuni beberapa orang Kangouw yang
ternama.Sesudah meracuni, ia memberi petunjuk supaya orang-orang itu datang
kepadaku. Tok soet isteriku ternyata sudah banyak lebih lihay, sehingga
tempo-tempo aku tidak mendapat jalan untuk mengobati orang yang kena racunnya.
Ditambah lagi dengan rasa sungkan untuk membangkitkan amarah isteriku, maka
dalam menghadapi keracunan yang hebat, sudah gagal satu dua kali, aku
menghentikan usahaku dan mengatakan saja bahwa aku tak mampu menolong
lagi."
"Tapi diluar dugaan,
sikapku bahkan menambah kegusarannya. Ia menuduh bahwa aku sudah memandang
rendah kepadanya dan bahwa aku sudah sengaja tidak mau mengeluarkan seantero
kepandaianku. Dengan gusar ia meninggalkan Ouw tiap kok dan mengatakan bahwa
biar apapun yang terjadi, ia takkan kembali kepadaku."
"Selama berada diluar,
berulang kali ia meracuni orang dan menyuruh orang-orang itu datang kepadaku.
Kependaiannya makin tinggi, sehingga tempo-tempo aku tak tahu, siapa yang sudah
meracuni penderita yang meminta pertolonganku. Dalam menghadapi penderita yang
seperti itu, dengan menganggap, bahwa dia bukan diracuni oleh isteriku,
kadang-kadang aku memberi pertolongan dan menyembuhkannya. Belakangan baru
kutahu, bahwa orang itu sebenarnya telah diracuni oleh isteriku. Demikianlah
perhubungan kita jadi makin renggang."
"Namaku Ceng Coe, atau
Kerbau Hijau, sebenarnya lebih tepat jika nama itu diganti dengan 'Kerbau
Tolol'. Entah kebaikan apa yang sudah kuperbuat, sehingga aku dicintai oleh
seorang wanita begitu mulia seperti isteriku itu dan hanyalah karena
ketololanku, maka ia telah meninggalkan rumah dan hidup terlunta-lunta di
luaran. Mengingat bahayanya dunia Kangouw, setiap saat, setiap detik, hatiku
selalu memikiri keselamatannya"
Berkata sampai disitu, paras
muka Tiap kok Ie sian kelihatan berduka sekali.
Siauw Hoe melirik Ong Lan Houw
yang rebah dipembaringan. "Didalam dunia, siapa yang berani melanggar Ouw
Hoejin?" katanya dalam hati. "Sudah bagus kalau orang lain tidak
dilanggar olehnya. Sungguh lucu! Ouw Sinshe kelihatannya sangat takut pada
isterinya."
Sesudah berdiam sejenak, Ceng
Goe berkata pula: "Pada tujuh tahun berselang, sepasang suami isteri yang
sudah berusia lanjut kena racun hebat dan mereka datang disini untuk meminta
pertolongan. Mereka adalah majikan pulau Leng coa to, di laut Tong hay. Mereka
memiliki ilmu silat yang luar biasa dan tingkatan merekapun tinggi sekali.
Puluhan tahun berselang, nama Kim Hoa Popo dan Gin yap Sianseng menggetarkan
Rimba Persilatan."
"Aku tidak berani lantas
menolak secara tegas. Tapi cobalah kalian pikir, cara bagaimana aku berani
membuat kesalahan lagi? Aku lalu memeriksa nadi mereka dan mengatakan, bahwa
Gin-yap Sianseng sudah tak dapat diobati lagi, sedang kim-hoa Popo hanya kena
racun enteng dan ia akan bisa menyembuhkan dirinya dengan menggunakan Lweekang
sendiri. Aku diberitahukan, bahwa yang meracuni mereka adalah seorang Pek to
pay (Partai Unta putih) yang sangat lihay di wilayah See hek (Wilayah barat)
dan tiada sangkut pautnya dengan isteriku. Tapi sesudah sesumbar bahwa selain
anggauta Beng kauw, aku tak akan menolong orang lagi, maka aku tak bisa
menjilat ludah sendiri hanya karena yang minta tolong orang jempolan. Nyonya
tua itu memohon mohon supaya aku suka menolong seorang saja, yaitu suaminya,
dan untuk itu, ia menjanjikan hadiah yang sangat besar. Kalian harus mengetahui
bahwa di dalam Rimba
persilatan, Gin yap sian seng dan Kim hoa Popo sangat cemerlang dan bahwa
mereka sudah mau membuka mulut untuk meminta pertolonganku, bagiku sudah
merupakan muka yang sangat besar (kehormatan besar). Tapi demi kepentingan kami
berdua suami isteri aku tetap tidak mau menolong."
"Untung juga mereka tidak
menggunakan kekerasan. Sesudah yakin tak ada harapan, mereka pergi dengan
perasaan duka. Aku mengerti bahwa karena penolakan-penolakanku untuk mengobati
orang, aku sudah menanam banyak bibit permu suhan. Tapi kecintaan dan kerukunan
antara aku dan isteriku masih lebih panting daripada kepentingan orang lain.
Bagaimana pendapat kalian? Bukankah pendirian itu pendirian benar?"
Siauw Hoe dan Boe Kie membungkam,
tapi didalam hati mereka tentu saja sangat tidak menyetujui pendirian yang gila
itu.
Sementara itu, Ouw Ceng Goe
sudah berkata pula: "Waktu Gie Coen datang kesini paling belakang ia
mengatakan bahwa di tengah jalan dia bertemu dengan seorang nenek yang
memberitahukan bahwa, sesuai dengan dugaanku, Gin Yap Sian seng sudah meninggal
dunia karena racun itu. Sesudah Gie Coen berlalu, isteriku mendadak pulang.
Melihat Boe Kie, ia segera menggunakan bie-yo (obat tidur), sehingga saudara
kecil pules nyenyak semalam suntuk."
"Ah! Kalau begitu kerjaan
Ong Lan Kouw," kata si bocah didalam hati. "Hari itu aku menduga,
bahwa aku sakit."
Sesudah melirik isterinya,
Ceng Goe melanjutkan penuturannya: "Pulangnya isteriku tentu saja sangat
menggirangkan. Iapun sudah mendengar bahwa Kim-Hoa Popo telah datang lagi di
Tiong goan, sehingga biarpun masih mendongkol terhadapku, buru-buru ia pulang untuk
memberitahukan hal itu kepadaku. Atas kemauannya, aku berpura-pura sakit cacar
dan menolak untuk menemui orang. Kami mengunci diri di dalam kamar dan memikiri
siasat untuk menghadapi Kim Hoa Popo. Ilmu silat nyonya tua itu terlalu lihay,
sehingga tak mungkin kami melarikan diri. Tapi ia mempunyai adat yang aneh.
Jika ia ingin membunuh seseorang, serangannya dibatasi dalam tiga kali. Kalau
orang itu bisa menyelamatkan diri dari ke tiga tiga kali serangannya, maka ia
akan mengampuninya."
"Selang beberapa hari
kemudian datanglah Sie Kong Wan, Kan Ciat, kau sendiri, Kie Kouwnio dan yang
lain-lainnya sampai limabelas orang."
"Begitu mendengar luka
kalian, aku segera mengetahui, bahwa Kim Hoa Popo sengaja mau mencoba-coba aku,
apakah aku masih tetap pada pendirianku, yaitu tidak mau menolong siapapun jua,
kecuali murid Beng kauw. Luka kelima belas orang itu rata-rata luka yang sangat
aneh. Aku adalah seorang yang keranjingan ilmu ketabiban. Begitu melihat luka
atau penyakit aneh, tanganku lantas saja gatal dan ingin menjajal kepandaianku.
Sekarang Kim Hoa Popo mengirim bukan satu, tapi Limabelas orang. Kalian
dapatlah membayangkan perasaanku. Tapi akupun mengerti maksud nenek itu, jika
ada seseorang saja yang diobati olehku, celakalah aku. Ia pasti akan menyiksa
aku ratusan kali lipat lebih hebat daripada orang yang diobati itu. Lantaran
begitu, sambil menahan keinginan hati, aku tetap berpeluk tangan. Belakangan
sesudah Boe Kie menanyakan pendapatku andaikata orang yang terluka adalah
seorang murid Beng kauw, barulah aku memberi petunjuk. Tapi aku sangat
berhati-hati dan sengaja menerangkan, bahwa Boe Kie adalah murid Boe tong pay
dan tidak bersangkut paut dengan diriku."
"Melihat bahwa dengan
pertolongan Boe Kie, urang-orang itu mulai sembuh dengan cepat, Lan Houw
kembali merasa tidak senang. Setiap maim, diam-diam ia menaruh racun dipiring
mangkok mereka. Dengan demikian, lagi-lagi ia bermaksud untuk mengadu
kepandaian denganku. Kelimabelas orang itu rata rata adalah jago-jago Rimba
Persilatan. Bagaimana ia bisa menyateroni tanpa diketahui? Sebelum menyebar
racun, lebih dulu ia menggunakan Obat tidur."
Siauw Hoe dan Boe Kie saling
mengawasi. Sekarang baru mereka mengerti, mengapa pada malam itu, Siauw Hoe
begitu sukar disadarkan, sehingga Boe Kie sampai perlu menggoyang-goyangkan
badannya.
"Selama beberapa hari
ini, kesehatan Kie Kouw nio pulih dengan cepat, seperti juga racun isteriku
tidak mempan lagi," kata pula Ceng Goa. "Sesudah menyelidiki, ia
mengerti bahwa rahasianya sudah diketahui Boe Kie, maka ia segera mengambil
keputusan untuk mengambil jiwa Boe Kie. Hai!... Kata orang sungai dan gunung
lebih mudah diubah daripada adat manusia. Aku harus mengakui, bahwa aku, Ouw
Ceng Goe tidak cukup setia kepada isteriku. Sebenarnya aku sudah mengambil
keputusan uatuk berpeluk tangan, tapi karena Boe Kie telah menasehati aku
supaya aku menyingkir ketempat lain, maka hatiku lantas saja menjadi lemah. Aku
segera memberi resep istimewa padanya dengan menyebutkan Tong wie, Wan sie, Tok
ho dan beberapa macam obat lain. Aku tidak dapat bicara terus terang, karena
Tan Kouw berada ddampingku."
"Tapi isteriku adalah
seorang yang sangat cerdas dan juga mengenal ilmu ketabiban. Mendengar resep
yang gila itu, sesudah mengasah otak beberapa lama, ia segera dapat menangkap
maksudku yang sebenarnya. Ia lalu mengikat kaki tanganku dan mengambil beberapa
macam racun yang lalu ditelannya. "Soeko," katanya. "Aku dan kau
sudah menjadi suami isteri selama dua puluh tahun lebih. Lautan bisa kering,
batu bisa haneur, tapi kecintaan kita tak akan bisa berubah. Tapi kau selamanya
memandang rendah kepada Tok toetku. Setiap orang yang diracuni olehku, selalu
dapat di tolong olehmu. Sekarang aku sendiri menelan racun. Jika kau dapat
menolong jiwaku aku takluk terhadapmu. Bukan main rasa kagetku, berulang ulang
aku minta ampun dan mengaku kalah. Tapi ia lalu menyumbat mulutku dengan buah
tho, sehingga aku tidak dapat bicara lagi. Kejadian selanjutnya sudah diketahui
kalian. Hai! .... Boe Kie, kau berdosa terhadapku. Kau membalas kebaikan dengan
kejahatan. Aku menasehati kau untuk menyingkirkan tapi kau berbalik melukakan
isteriku yang tercinta." seraya berkata begitu ia menggeleng-gelengkan
kepala.
Siauw Hoe dan Boe Kie saling
mengawasi tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Mereka mendongkol tercampur
geli. Sedang suami isteri itu benar benar aneh dan sukar dicari tandingannya
didalam dunia selebar ini. Karena rasa cinta yang besar Ouw Ceng Goe takut
terhadap isterinya. Dilain pihak, Ong Lan Kouw terus menindih suaminya dan
akhirnya ia bahkan meracuni diri sendri.
Sesudah menggelengkan kepala,
Tiap kok ie sian berkata pula: "Cobalah kalian pikir: Apa yang harus
diperbuat olehku? Kalau sekarang aku berhasil menyembuhkannya, itu akan
berarti, bahwa kepandaianku lebih unggul dari pada kepandaiannya dan Lan Kouw
tentu akan tetap merasa kurang senang. Jika aku gagal, jiwanya melayang. Hai!
Aku mengharap Kim hoa Popo cepat-cepat datang supaya aku lekas-lekas mampus
agar jangan merasakan penderitaan ini lebih lama lagi."
Tiba tiba serupa ingatan
berkelebat dalam otak Boe Kie. "Racun apa yang ditelan Soebo?" to
nyanya. "Bagaimana mengobatinya?" (Soebo-Isteri dari seorang guru).
Sambil berkata begitu, ia menggoyang-goyangkan tangan, sebagai isyarat supaya
Ceng Goe tidak menjawab dengan sebenarnya.
Ceng Goe melirik isterinya
yang sedang tidur menghadap kedalam. Sebagai seorang yang sangat pintar, ia
segera mengerti maksud bocah itu.
"Selama beberapa tahun
kepandaian isteriku sudah maju jauh, sehingga aku tidak dapat menebak racun apa
yang ditelannya," jawabnya. "Dan sebelum mengetahui racunnya, aka
tentu tak dapat mengobatinya."
Selagi orang tua itu menjawab
pertanyaannya, dengan jari tangan Boe Kie menulis huruf-huruf yang berbunyi
begini diatas meja: "Beritahukanlah aku dengan tulisan". Selagi
menulis, mulutny berkata. "Kalau begitu Soebo tak bisa diobati lagi"
"Isteriku sendiri pasti
tahu cara mempunahkan racun itu," kata Ceng Goa. "Tapi aku mengenal
adatnya. Biarpun mati, ia tak nanti memberitahukan kepada kita." Waktu
berkata begitu, dengan telunjuknya ia menulis diatas meja. Racun Sam ciong Sam
co. Sam ciong ialah kelabang, ular tanah dan laba-lain beracun, Sam co terdiri
dari Cin po co, Toan chung co dan Siauw houw koen. Sesudah itu ia menulis juga
resep obat. (Sam ciong Tiga macam binatang. Sam-co Tiga macam rumput).
Boe Kie mengangguk dan lalu
menulis pula diatas meja: "Kau telanlah Sam ciong Sam co. Sesudah kau
meracuni diri sendiri, aku yang akan menolong"
Tiap kok Ie sian terkejut,
tapi ia segera dapat menangkap maksud Boe Kir. "Jalan ini sangat
berbahaya," pikirnya. "Tapi karena tak ada lain jalan biarlah aku
mencoba secara untung untungan."
Sementata itu Boe Kie sudah
berkata pula. "Ouw Sinshe, dengan memiliki kepandaian yang begitu tinggi,
apakah bisa jadi kau tak tahu racun apa yang sudah ditelan Soebo?"
"Menurut dugaanku, ia
telah menelan racun Sam ciong Sam-co," jawabnya. "Sam ciong bersifat
"im" (dingin), sedang Sam-co besifat "yang" (panas).
Jangankan sampai enam macam, satu macam saja sudah sukar untuk diobati. Jika
aku menggunakan obat yang sangatnya panas untuk mempunahkan racun binatang yang
bersifat dingin, maka racun rumput yang panas akan menjadi jadi. Dan begitu
juga sebaliknya. Tubuh manusia yang terdiri dari darah daging, tak akan bisa
bertahan terhadap enam rupa racun yang hebat itu." Ia mengibas tangannya
dan berkata pula: "Kalian pergilah! Manakala Lan Kouw binasa, akupun tak
bisa hidup sendirian didalam dunia."
"Kami harap Sinshe bisa
menyayang diri dan coba membujuk Soebo," kata Boe Kie.
Ceng Goe menghela napas.
"Kalau dia bisa di bujuk, kejadian hari ini boleh tak usah terjadi,"
Jawabnya dengan suara putus harapan.
Siauw Hoe dan Boe Kie lantas
saja meninggalkan kamar itu.
Sesudah mereka berlalu, Tiap
kok Ie sian segera menotok jalanan darah, dipinggangnya dan pinggang isterinya.
"Soe-moay," katanya dengan suara parau, "suamimu tak mempunyai
kemampuan dan tak dapat memunahkan racun Sam ciong Sam co. Jalan satu-satunya
yalah mengikuti kau kedunia baka untuk menyambung perjodohan kita," ia
merogoh saku isterinya dan mengeluarkan beberapa bungkus obat, yang sesuai
dengan dugaannya, berisi Sam ciong Sam co.
Karena ditotok, tubuh Lan Kouw
tidak bisa berkutik, tapi mulutnya masih bisa bicara. "Soeko, tak boleh
kau makan racun!" teriaknya dengan kaget.
Sang suami tidak meladeni. Ia
membuka bungkusan bubuk racun yang lalu dimasukkan kedalam mulutnya dan ditelan
dengan bantuan air.
Paras muka Lan Kouw pucat
pasti. "Soeko?" jeritnya. "Kau gila! Mengapa begitu banyak?
Racun sebanyak itu dapat membinasakan tiga manusia."
Tiap kok Ie skin tertawa
dingin. Ia duduk menyender dikursi disamping kepala ranjang. Sesaat kemudian,
perutnya seperti disayat ratusan pisau dan ia mengerti, bahwa Toan-chung co
(Rumput memutuskan usus) sudah mulai bekerja. Tak lama lagi, lima racun yang
lain juga turut mengamuk dan penderitaan Ceng Goe tak mungkin dilukiskan dengan
perkataan.
"Soeko! Racun itu ada
pemunahnya!" teriak Lan Kouw.
Sang suami menggigil, giginya
bercatrukan dan ia berkata sambil menggelengkan kepala : "Aku...
tak....percaya...."
"Lekas makan Giok liong
Souw hap san!" teriak si isteri. "Gunakan jarum untuk membuyarkan
racun!"
"Apa gunanya?" kata
Ceng Goe.
Sekarang nyonya itu menangis,
"Racun yang ditelan olehku sangat sedikit," katanya: "Kau makan
terlalu banyak. Oh Soeko!... Lekaslah tolong jiwamu.... Kalau terlambat.... tak
keburu lagi...."
"Aku mencintai kau dengan
segenap jiwa," kata sang suami. "Tapi kau sendiri tak hentinya
mengajak aku mengadu ilmu. Aku merasa, hidup lebih lama tiada artinya ....
aduh!: ... aduh!! Ia bukan berpura-pura, ketika itu racun ular dan lawa lawa
sudah mulai menyerang jantung. Badannya bergoyang-goyang dan dilain detik, ia
sudah tak ingat orang.
Semua kejadian itu didengar
jelas oleh Siauw Hoe dan Boe Kie yang menunggu diluar pintu. "Soeko!
Soeko!" Lan Kouw sesambat. "Akulah yang bersalah... Kau tidak boleh
mati....aku tak akan mengajak kau mengadu ilmu lagi"
Sekarang Boe Kie menganggap
bahwa sudah tiba waktunya untuk ia turun tangan. Ia menerobos masuk dan
bertanya: "Soebo... lekas! Lekas! beritahukan cara menolong Soehoe!"
Lan Kouw girang tak kepalang.
"Lekas berikan Giok liong Souw hap san kepadanya!" teriaknya.
"Lekas! Ambil jarum emas dan tusuklah jalan darah Yong coan hiat dan kioe
bwee hiat dan cepat!"
Pada detik itu, diluar kamar
sekonyong-konyong terdengar suara batuk-batuk. Ditengah malam buta, suara itu
membangunkan bulu roma. Kie Siauw Hoe melompat masuk, paras mukanya pucat
bagaikan kettas. Sambil melompat, ia berkata dengan suara heran :"Kim Hoa
Popo...."
Hampir berbareng dengan perkataan
popo tirai bergoyang dan diambang pintu berdiri seorang nenek yang tangannya
mencekal satu nona cilik yang berparas sangat cantik.
Nenek itu memang bukan lain
daripada Majikan Pulau Leng coa to, Kim Hoa Popo. Melihat Ceng Goe mencekal
perut dengan paras muka bersemu hitam dan berada dalam keadaan pingsan, ia
terkejut dan bertanya: "Ada apa?"
Lan Kouw menangis keras,
"Soeko! Soeko!" jeritnya. "Mengapa kau meracuni diri
sendiri?"
Kedatangan Kim Hoa Popo di
wilayah Tiong goan mengandung dua maksud. Pertama untuk mencari musuh yang
telah meracuni suaminya dan kedua untuk memberi hukuman kepada Ouw Ceng Goe..
Tak dinyana, ia bertemu Tiap kok Ie sian yang sudah hampir mati. Sebagai
seorang ahli dalam ilmu menggunakan racun, begitu melihat paras muka Ceng Goe
dan Lan Kouw, ia mengetahui, bahwa jiwa mereka sukar untuk di tolong lagi. Ia
menduga, bahwa Ceng Goa sudah menelan racun karena takut hukuman yang mungkin
dijatuhkan olehnya dan dengan adanya dugaan itu, rasa sakit hatinya lagtas saja
menghilang. Ia menghela napas dan sambil menarik tangan si nona cilik, ia
berjalan keluar. Dilain saat, suara batuk batuk terdengar diluar rumah, dalam
jarak puluhan tombak. Kecepatan bergeraknya nenek sungguh sukar dicari
tandingannya.
Sesudah Kim hoa Popo berlalu,
Boe Kie meraba dada Ceng Goe yang jantungnya masih mengetuk dengan perlahan.
Buru-buru ia mengambil Giok
long Souw hap san yang lalu dicekukkan kemulut orang tua itu dan kemudian
mengambil jarum emas untuk menusuk Yong coan hiat dan Kioe bwee hiat, supaya hawa
beracun bisa keluar dari lubang tusukan. Sesudah menolong sang Soehoe, barulah
ia menolong Soebo.
Setengah jam kemudian,
perlahan-lahan Tiap kok ie sian tersadar. Rasa syukur dilukiskan, ia menaagis
dan berkata "Saudara kecil! kau adalah tuan penolong kami yang sudah
menolong jiwa kami berdua."
"Sekarang kalian boleh
tak usah berkuatir lagi." kata Boe Kie. "Kim hoa Popo yang menduga
kalian pasti akan binasa, sudah berlalu tanpa mengatakan sepatah kata"
"Tapi aku masih tetap
berkuatir," kata sang Soebo. "Kim hoa Popo adaiah seorang yang sangat
berhati-hati. Biarpun hari ini ia sudah pergi, dilain hari ia pasti akan datang
pula untuk menyelidiki. Kami berdua harus menyingkirkan diri. Saudara kecil,
aku ingin meminta pertolonganmu. Buatlah dua buah kuburan kosong dan tulisilah
nama kami diatas batu nisan." Si bocah mengangguk sebagai tanda ia akan
melakuknn permintaan itu.
Ceng One dan Lan Kouw segera
berkemas dan malam itu juga, dengan menumpang sebuah kereta keledai, mereka
berangkat meninggalkan Ouw tiap kok. Boe Kie mengantar mereka sampai di mulut
selat. Sesudah berkumpul dua tahun lebih dan sekarang meski berpisahan secara
mendadak, Ceng Goe dan Boe Kie merasa sangat terharu. Sambil mengangsutkan
sejilid buku tulisan tangan kepada si bocah, orang tua itu berkata. "Boe
Kie, semua pelajaranku sudah tercatat dalam buku ini. Aku menghadiahkannya
kepadamu. Aku merasa sangat menyesal bahwa racun Hian beng Sin ciang dalam
tubuhmu masih belum dapat disingkirkan. Aku mengharap, bahwa sesudah
mempelajari buku ini, kau sendiri akan mendapat jalan untuk mempunah racun itu.
Dengan berkah Tuhan, dihari kemudian kita masih bisa bertemu lagi"
Sambil menghaturkan banyak
terima kasih, Boe Kie menerima hadiah itu.
"Boe Kie," kata Lan
Kouw, "kau bukan saja sudah menolong jiwa kami, tapi juga sudah
mengakurkan kami berdua suami isteri. Menurut pantas, akupun harus memberikan
semua pelajaran kepadamu.. Hanya sayang apa yang dipelajari olehku ada ilmu
ilmu meracuni manusia yang tiada faedahnya. Aku hanya dapat memohon pada Tuhan
Yang Maha Esa, supaya kau sembuh dalam tempo agar dihari kemudian aku masih
bisa membalas sedikit budimu."
Demikianlah, dengun rasa duka,
mereka berpisahan.
Sesudah kereta itu tak
kelihatan bayangan-bayanganya lagi, barulah Boe Kie kembali kerumah Ceng Goe
yang sudah kosong. Pada esokan paginya, ia segera membuat dua buah kuburan
disamping rumah dan kemudian memanggil tukang batu untuk mendirikan bong pay
(batu nisan). Diatas sebuah bong pay tertulis. "Kuburan Tiap kok Ie sian,
Ouw Sinshe, Ceng Goe", sedang dilain bong pay tertulis. "Kuburan
Nyonya Ouw, Ong sie"
Kan Ciat, Sie Kong Wan dan
yang lain-lain percaya, bahwa kedua suami isteri itu telah meninggal dunia
karena sakit cacar.
Sesudah pengacaunya berlalu,
dengan diobati Boe Kie, semua orang sembuh dengan cepat sekali. Dalam sepuluh
hari, mereka semua sudah berlalu dengan menghaturkan banyak terima kasih.
Selama beberapa hari, Boe Kie
memusatkan seluruh perhatiannya kepada buku yang diberikan oleh Tiap kok ie
sian. Ia mendapat kenyataan bahwa isi buku itu benar-benar hebat, berisi
resep-resep luar biasa dan macam-macam cara untuk mengobati berbagai penyakit
yang aneh-aneh. Sungguh tak malu Ouw Ceng Goe mendapat gelaran Ie sian. Tapi
sesudah mempelajari delapan sembilan hari, ia masih juga belum dapat membaca
Keterangan tentang cara mengusir racun Hian beng Sin ciang. Ia memikir
bulak-balik, mengasah otak Siang malam, tapi tetap tidak berhasil. Ia jadi
putus harapan.
Hari itu, dengan perasaan
tertindih ia jalan jalan diluar rumah. Sambil mengawasi keduaku kuburan kosong
itu, ia berkata dalam hatinya: "Setahun lagi, siapakah yang akan mengubur
mayat ku?" Mengingat begitu, hatinya sedih dan air mata nya mengucur.
Sekonyong-konyong
dibelakangnya terdengar suara batuk-batuk. Ia kaget, dan memutar badannya.
Orang yang berdiri dibelakangnya ternyata bukan lain daripada Kim hoa Popo yang
sedang mencekal tangan sigadis kecil
"Anak kecil, pernah
apakah kau dengan Ouw Ceng Goe?" tanya si nenek. "Mengapa kau
menangis didepan kuburannya ?"
Jawab Boe Kie. "Aku kena
racun Hian beng Sin ciang . . . ."
Si nenek mengangsurkan
tangannya dan memegang nadi Boe Kie. "Siapa yang memukul kau?"
tanyanya dengan suara heran.
Boe Kie menggelengkan kepala.
"Entahlah," Jawabnya. "Orang itu menyamar seperti seorang perwira
Mongol. Aku tak tahu siapa adanya dia. Aku datang kemari untuk meminta
pertolongan Ouw Sinshe, tapi ia tak sudi menolong. Sekarang ia meninggal dunia
dan penyakitku tentu tak dapat diobati lagi. Itulah sebabnya mengapa aku
menangis."
Melihat paras muka si bocah
yang sangat tampan dan gerak geriknya yang menarik. Kim hoa Popo merasa kasihan
sehingga ia menghela napas panjang dan berkata." Sayang, sungguh
sayang!"
Dua tahun yang lalu, waktu
baru diberitahukan bahwa racun Hian beng Sin ciang sukat diobati, Boe Kie
ketakutan. Belakangan, sesudah berbagai usaha gagal, ia putus harapan dan jadi
nekad. Ia sudah tidak memikiri lagi soal mati dan hidupnya. Maka itu, mendengar
perkataan si nenak, ia tertawa dingin dan berkata. "Mati atau hidup tak
bisa diminta secara paksa. Apakah seseorang yang serakah yang ingin hidup terus
menerus bukan seorang yang sedang mabuk ? Entahlah. Apakah seseorang yang takut
mati bukan seperti seorang kanak-kanak yang kesasar dan tidak mengenal jalan
pulang? Entahlah. Apakah seseorang yang sudah meninggal dunia tidak merasa
menyesal bahwa ia dahulu ingin sekali dilahirkan didalam dunia? Inipun tak
diketahui olehku,"
Si nenek terkesiap. Untuk
sementara ia tidak mengeluarkan sepatah kata dan coba memecahkan maksud
perkatan si bocah.
Kata-kata itu adalah petikan
dari kitab Lam hoa keng gubahan Cong coe -Chuang tse-. Sebagai mana diketahui
Thio Sam Hong menganut agama Too kauw tapi ketujuh muridnya tidak turut memeluk
agama tersebut. Meskipun begitu, mereka terus mempelajari Lam Hoa keng semasak-masak
nya.
Waktu berada di pulau Peng
bwee to, karena tak ada buku dan perabot tulis, Thio Coei San mengajar ilmu
surat kepada puteranya dengan menulis huruf diatas tanah. Antara lain, ia telah
menyuruh anaknya menghafal kitab Lam-hoa-keng. Kata-kata yang dikutip Boe Kie
mengandung makna yang seperti berikut: Hidup belum tentu senang dan mati belum
tentu menderita, sehingga pada hakekatnya hidup atau mati tidak banyak
perbedaannya. Seseorang yang hidup di dunia seperti sedang mimpi dan kalau ia
mati, ia seperti tersadar dari mimpinya. Mungkin sekali, sesudah mati, rohnya
menyesal mengapa dahulu dia hidup di dalam dunia dan mengapa dia tidak mati
terlebih siang. Demikianlah kira-kira arti perkataan itu.
Sebagai seorang bocah, Boe Kie
sebenarnya belum mengerti soal mati atau hidup. Tapi karena selama kurang lebih
empat tahun setiap hari ia berada antara mati dan hidup, maka sedikit banyak ia
dapat menyelami juga arti perkataan Cong coe. Tanpa merasa, ia mengharap supaya
sesudah mati, ia akan berada ditempat yang bahagia, supaya ia bisa berkumpul
lagi dengan roh kedua orang tuanya, sehingga kematiannya banyak lebih
menyenangkan dari pada hidup sebatangkara didalam dunia yang lebar ini.
Bagi Kim Hoa Popn, perkata itu
telah mengingatkannya kepada sang suami yang sudah almarhum. Puluhan tahun,
dengan penuh kecintaan mereka bersuami isteri. Tiba-tiba pada suatu hari, sang
suami yang tercinta telah berpulang kealam baka, seperti seorang pelancong yang
pulang ke negeri sendiri. Mengingat begitu, didalam hatinya segera muncul satu
pertanyaan: "Apakah kebinasaan suami itu bukan kejadian yang tidak terlalu
jelek?"
Dengan perasaan heran si nona
cilik yang berdiri disamping Kim Hoa Popo mengawasi muka si nenek dan kemudian
melirik Boe Kie. Ia tidak mengerti perkataan Boe Kie dan juga tidak mengerti
mengapa neneknya bengong terlongong longong.
Beberapa saat kemudian, Kim
Hoa Popo menghela napas dan berkata: "Soal mati atau hidup tak bisa
diketahui manusia. Biarpun kematian belum tentu merupakan suatu kejadian yang menakuti,
tapi pada umumnya manusia takut mati. Benar! Manusia tidak bisa meminta secara
paksa. Pada akhirnya, satu hari semua manusia akan mati. Akan tetapi, jika bisa
hidup satu hari lebih lama, orang lebih suka hidup satu hari lebih lama!"
Melihat sikap dan perkataan si
nenek yang lemah-lembut, hati si bocah jadi tenang tenteram. Sesudah
menyaksikan lukanya kelima belas orang dan rasa takutnya Ouw Ceng Goa, Boe Kie
menganggap nenek itu sebagai memedi kejam. Tapi sekarang, melihat paras Kim hoa
Popo yang penuh kecintaan dan sikapnya yang ramah tamah, ia merasa, bahwa si
nenek menyayangnya dengan setulus hati, sehingga dengan demikian rasa takutnya
banyak berkurang.
"Nak," kata pula
nenek itu, "Siapakah ayahmu dan dimana ia sekarang?"
Tanpa tedeng-tedeng, secara
ringkas Boe Kie segera memberi jawaban dan menuturkan sebab musabab sehingga
dia berada di Ouw tiap kok.
"Kalau begitu kau adalab
putera Boe tong Thio Ngohiap," kata Kim hoa Popo dengan suara heran.
"Menurut pendapatku orang itu melukakan kau dengan Hian beng Sin ciang
karena dia ingin memaksa kau memberitahukan tempat sembunyinya Cia Soen.
Bukankah begitu ?"
"Benar" Jawab Boe
Kie. "Dia telah menyiksa aku dengan berbagai cara, tapi aku tetap
membungkam."
"Tapi apa kau tahu dimana
adanya Cia Soen ?" tanya pula si nenek.